Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 8. Sin Cui Kiong

Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 8. Sin Cui Kiong
Peristiwa Burung Kenari
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 8. Sin Cui Kiong

Sudah tentu semua orang sama tertegun mendengar penjelasan ini. Lama juga suasana dalam bui di bawah tanah itu sunyi senyap. Akhirnya Oh Thi-hoa pula yang membuka suara sambil mengawasi Coh Liu-hiang: “Apakah otakmu merupakan barang mestika yang tak ternilai harganya, kenapa begitu banyak orang yang menginginkan batok kepalamu?”

“Dengan kau, aku tidak bermusuhan tiada dendam, sebetulnya aku tidak tega dan sudi melakukan perbuatan sekeji ini untuk membunuh kau, tapi orang itu bilang, racun yang mengeram dalam tubuhku sudah berakar, paling lama bisa bertahan tiga bulan lagi, dalam tiga bulan ini jikalau aku tidak berhasil menyerahkan kepalamu kepadanya, dianjurkan supaya aku lekas mempersiapkan diri untuk ajal.”

Tanpa sadar Coh Liu-hiang kucek-kucek hidung, katanya: “Sekarang sudah berapa lama?”

“Sudah dua bulan.”

“Apakah omongan orang itu dapat dipercaya?”

“Jikalau kau tahu siapa dia, kau tak curiga akan ucapannya.”

“Aku sih tak menduga, ternyata kau toh perempuan yang takut mati juga.” demikian olok Oh Thi-hoa.

Bercucuran air mata Liu Bu-bi, katanya sesenggukan: “Aku tidak takut mati, aku hanya… hanya…”

“Hanya apa?” desak Oh Thi-hoa.

Dengan suara serak Li Giok-ham menyela pula: “Hanya karena aku, dia tidak tega pergi meninggalkan aku seorang diri, tentunya kau sudah paham bukan?”

“Aku sudah ngerti.” ujar Coh Liu-hiang.

“Tentunya kau pun sudah tahu, bahwasanya dia bukan mata-mata dari siapapun. bahwa dia bukan mata-mata Ciok-koan-im seperti yang kau duga dia hendak merenggut nyawamu lantaran dia harus mempertahankan hidup.”

“Manusia hidup kalau bukan demi pribadi sendiri dia akan kualat, untuk ini aku tidak menyalahkan dia. Apa yang dia lakukan dan perjuangkan memang pantas dan jamak.”

Agaknya Li Giok-ham tidak menduga Coh Liu-hiang bakal mengeluarkan kata-kata ini, katanya kemudian setelah terlongong: “Kalau demikian sukalah kau memberi kesempatan kepadanya untuk melaksanakan keinginannya.”

“Tadi sudah kukatakan, manusia hidup bukan demi diri sendiri dia akan kualat, meski aku ingin membantu dia, tapi paling tidak aku harus pikirkan dulu kepentinganku juga.” dengan tajam ia awasi Li Giok-ham, maka lalu menambahkan dengan tertawa: “Jikalau kau diminta memenggal kepalamu sendiri untuk membantu orang lain, kau mau tidak?”

Muka Li Giok-ham yang pucat seketika merah padam, serunya kasar: “Tapi bantuan ini tidak bisa tidak harus kau lakukan.”

“O? Apa ya?”

“Jikalau kau tidak mau mampus, biar kelima temanmu ini menebus kematianmu, tentunya kau tidak tega melihat kelima temanmu ini mampus gara-gara kau bukan?”

“Jikalau kau bunuh mereka, kalian suami istri…”

“Yang terang kami suami istri sudah tidak ingin hidup lagi.”

“Agaknya kau ini memang romantis dan kukuh, demi Bini sendiri tak segan-segan kau melakukan perbuatan terkutuk apapun… tapi kenapa tak langsung saja kau gunakan Bau hi li hoa ting di tanganmu itu untuk membunuh aku?”

Li Giok-ham kertak gigi, serunya sumbang: “Aku tidak yakin berhasil membunuh kau, sekarang merupakan pertaruhanku yang terakhir kali, aku tidak mau main-main dengan taruhanku ini.”

“Sedikitnya ucapanmu ini terhitung jujur.”

“Sampai di sini saja ucapanku, tak berguna kau mengulur waktu biar aku memberi kesempatan terakhir kepadamu untuk berpikir, setelah aku menghitung lima, kalau kau tidak mampus biar mereka yang gugur!”

Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, gumamnya: “Lima hitungan? Kenapa tidak tiga hitungan saja? Bukankah lebih pendek lebih tegang dan menusuk perasaan?”
Dengan muka membesi Li Giok-ham mulai hitungannya: “Satu…” karena tegang dan dihayati emosi suaranya kedengaran serak, dua kali mulutnya bergerak baru hitungan “Satu” terucap karena dia tahu jikalau Coh Liu-hiang tidak mau mati, meski Oh Thi-hoa, Soh Yong-yong, Li Ang-siu, Song Thiam-ji dan Mutiara hitam mampus, mereka suami istripun takkan bisa hidup lebih lama lagi.

Sikap dan mimik Coh Liu-hiang tetap tenang, seperti tidak rela atau mau jiwanya harus dikorbankan begitu saja.

“Dua!” dengan suara serak Li Giok-ham menambah satu hitungan lagi.
Ternyata Coh Liu-hiang tetap berdiri adem ayem sambil menggendong kedua tangannya, mulutnya menyungging senyuman malah.

Sungguh Li Giok-ham tak sudi melihat senyumnya, terpaksa dia melotot kepada Soh Yong-yong dan lain-lain, sudah tentu diapun tahu tiada seorangpun dari mereka yang mau bilang: “Coh Liu-hiang, lekas kau mampus saja! Biar kami yang bertahan hidup, kami adalah orang-orang yang terdesak oleh kau, jikalau kau sudi mati demi kami, seluruh orang dalam dunia ini akan memuja dan menyanjung dirimu.”

Tapi Li Giok-hampun tidak mengharap mereka bilang demikian, dia menganggap mereka bilang: “Coh Liu-hiang sekali-kali kau tidak boleh mati! Biarlah kami yang mati! Kami orang-orang awam yang tiada berguna hidup dalam dunia fana ini, matipun tidak menjadi soal.”

Lebih besar mereka harapannya bilang: “Dapat mati demi kau, kami akan mati dengan meram dan terhibur di alam baka, semoga kau tidak melupakan kami, setiap musim semi pada tanggal kematian kami, sulutlah dupa di depan pusara kami, kami sudah puas dan tentram.”

Karena Li Giok-ham tahu bila mereka mengucapkan kata-kata ini, maka terciptalah suatu suasana kepedihan, kegagahan dan ketukan jiwa yang memilukan. Diapun tahu Coh Liu-hiang sesuai dengan julukannya sebagai Maling Romantis, pasti hatinya akan terketuk oleh bujukan kata-kata ini dan berkobar serta mendidih darahnya, sehingga tak bisa mengendalikan emosi sendiri. Dikala itu umpama dia tak mau mati, maka dia suami istri pasti akan mampus.

Tapi kenyataan Soh Yong-yong dan lain-lain tetap bungkam, mereka berdiri tetap tak bergerak ditempat masing-masing, menunggu dengan tenang, bukan saja tidak tegang, sedih juga tidak.

Keruan kejut heran dan putus asa Li Giok-ham dibuatnya, kenyataan orang-orang ini tidak terpengaruh oleh suasana, memangnya mereka bukan manusia yang berdarah daging dan tidak punya perasaan dan emosi? Dengan tegang Li Giok-ham menambah hitungannya: “Tiga.”

Mendadak Coh Liu-hiang tersenyum dan berkata: “Baru sekarang aku paham akan dua hal!”
“Dua hal apa?” tercetus pertanyaan dari mulut Li Giok-ham.

“Baru sekarang aku paham bahwa anak didik keturunan Yong-cui san-cheng memangnya tidak bisa melakukan kejahatan, karena bukan saja kau tak tahu cara bagaimana kau harus melakukan kejahatan itu, sampaipun cara bagaimana kau harus menggertak dan menakuti orangpun tidak tahu.” sambil tersenyum dia meneruskan “Jikalau kau ingin orang takut akan rencanamu, maka kau sendiri jangan takut, jikalau kau sendiri sudah ketakutan lebih dulu, orang lain mana bisa kau bikin takut?”

Oh Thi-hoa bergelak, serunya: “Tidak salah, begitu pula bagi seorang yang suka humor, sekali-kali dirinya tidak boleh tertawa diwaktu mengucapkan kata yang lucu dan menggelikan, jikalau kau sendiri sudah terpingkel-pingkel, meski ceritamu amat lucu dan menarik, orang lain tidak akan tertawa melihat kelakuanmu sendiri.”

Li Giok-ham gusar, dampratnya: “Kau kira…”

Li Giok-ham gusar, “Kalian sangka…”

Coh Liu-hiang tidak beri kesempatan dia bicara tukasnya: “Anak didik dari keluarga elite seperti kalian ini masih mempunyai suatu ciri yang paling fatal.”

“Ciri apa?” hampir saja Li Giok-ham tak bisa tahan diri, hendak bertanya. Tapi akhirnya dia urungkan malah menggembor keras: “Empat!”

Hakekatnya Coh Liu-hiang tidak hiraukan pada hitungannya, katanya lebih jauh: “Ciri kalian yang terbesar adalah tidak punya pengalaman Kangouw sama sekali, soalnya kalian sendiri tidak perlu berkecimpung dan berusaha di kalangan Kangouw berjuang dan bersusah payah untuk mencari hidup, kalian dilahirkan sudah hidup dalam kemewahan, merasa derajat sendiri jauh lebih tinggi dari orang lain, oleh karena itu sedikit banyak kalian sama berpandangan cupat dan sempit, anggap segalanya serba bisa, serba tahu dan serba punya, oleh karena itu tidaklah heran bila kalian sering lalai, ceroboh dan gampang keblinger.”

Mendadak dia tuding Bau hi li hoa ting ditangan Li Giok-ham, katanya lebih lanjut: “Umpama kata, alat Bau hi li hoa ting ini sekarang merupakan tameng kehidupanmu, kalian suami istri kini hanya mengandal akan alat itu, apakah pegasnya tetap bekerja normal? Tidak kau lihat apakah kotak itu memang benar ada isinya?”

Sikap Li Giok-ham seperti kena lecut cambuk, katanya dengan serak: “Bau hi li hoa ting selamanya belum pernah gagal…”

“Tiada sesuatu yang abadi dan tak pernah salah didalam dunia ini, sampaipun matahari ada kalanya digigit anjing langit “gerhana”, kenapa pula Bau hi li hoa ting ini tak mungkin gagal? Bukan mustahil alat dan pegasnya sudah karatan? Mungkin pula ada ulat-ulat kecil yang tiba-tiba menyusup ke dalam, sehingga lobang jarumnya tersumbat?”

Hidung Li Giok-han pun sudah mulai basah oleh keringat, tangan yang memegangi alat senjata rahasiapun mulai gemetar.

Berkata Coh Liu-hiang lebih lanjut dengan tawar: “Apalagi, umpama alat ini tak pernah gagal, sekarangpun tak berguna lagi, karena bahwasanya alat ini kosong, kemaren malam waktu kami menghadapi Thian-lo-te-hong suami istri paku-paku didalamnya sudah kita sambitkan seluruhnya.”

Tiba-tiba Li Giok-ham terbahak-bahak, katanya: “Kau kira aku ini anak umur tiga tahun, masakah gampang kau gertak dengan omongan kentutmu ini? Biar kuberitahu terus terang, ocehanmu hakekatnya tiada sepatah kata pun yang kupercaya.” Meski nadanya begitu dan tandas, sebenarnya hatinya sudah goyah, karena orang yang benar-benar punya keyakinan tidak akan tertawa begitu rupa, tawa semacam itu tak lebih hanya untuk menutupi kekalutan pikiran dan kekuatiran hatinya.

“Jikalau kau tidak percaya,” Coh Liu-hiang tetap kalem “kenapa tak kau periksa sendiri?”

“Tidak perlu aku memeriksanya, tak perlu!” seru Li Giok-ham dengan geram. Mulut mengatakan tidak perlu, namun tak tertahan biji matanya sudah melirik ke arah kotak yang dipegangnya, tangan yang lain tanpa sadarpun terangkat mengelus bagian permukaannya. Bahwasanya apakah kotak ini berisi atau kosong hakekatnya dia tidak akan bisa melihat dan merasakan, tak mungkin teraba oleh tangannya pula, maklumlah karena ketegangan urat syarafnya saja yang tak bisa mengendalikan perasaan diri sendiri lagi.

Tepat disaat biji matanya melirik itulah, meski hanya sekilas, laksana anak panah tiba-tiba badan Coh Liu-hiang melenting menubruk maju.

Sudah tentu kejut dan murka Li Giok-ham bukan kepalang, namun berkelitpun sudah tak sempat lagi. Meski gerak reaksinya cukup cepat, namun tiada sesuatu gerakan apapun yang bisa menandingi kecepatan gerak Coh Liu-hiang. Dikala dia sadar dirinya kena tipu Coh Liu-hiang sudah angkat kedua tangannya tinggi ke atas kepala, ditengah pergumulan seru itu, entah jari-jari siapa yang menyentuh tombol alat senjata rahasia Bau hi li hoa ting itu. “Bung” sinar perak laksana kilat sama ramai, dua puluh tujuh batang Li-hoa ting seluruhnya amblas tak kelihatan.

Seluruh tenaga dan semangat Li Giok-ham seakan-akan ikut melesat keluar, ikut menyertai seluruh paku-paku Li hoa-ting yang merupakan sandaran hidupnya, sekujur badannya seakan akan menjadi hampa dan melompong tak bersukma lagi, “Tang” kontan alat senjata rahasia itupun tak kuat dipegangnya lagi, jatuh berkelontangan di atas lantai.

Peristiwa ini berlangsung dalam waktu yang teramat singkat, suara dikala Li hoa-ting itu melesat keluar lalu menancap diatas batu, disusul suara kelontangan dari alat senjata rahasia yang jatuh itu, boleh dikata hampir berlangsung dalam waktu yang bersamaan, kejap lain suasana menjadi hening lelap, seperti tiada kehidupan lagi dalam alam semesta ini.

Tampak tangan kiri Coh Liu-hiang menyanggah tangan kanan Li Giok-ham, sementara sikut tangan kanannya menyelinap diantara ketiak kiri Li Giok-ham. Li Giok-ham sendiri seperti orang yang sudah kehilangan sukma, bukan saja matanya tidak mengawasi Coh Liu-hiang atau mengawasi orang-orang di sekitarnya, dengan mendelong dia mengawasi kedua puluh tujuh paku-paku yang amblas masuk ke dalam batu di atas langit-langit.

Sebetulnya Liu Bu-bi sudah melangkah hendak menerjang Coh Liu-hiang, tapi baru selangkah tiba-tiba dia tertegun dan menjublek di tempatnya. Diapun tak mengawasi Coh Liu-hiang, hanya mengawasi Li Giok-ham seperti orang linglung, sepasang matanya yang indah jeli itu penuh diliputi rasa pilu, rawan dan duka, penuh diliputi derita, juga terkandung rasa cinta yang tak terhingga. Dia tidak mengucurkan air mata, namun sorot matanya jauh lebih memilukan dari pada mengucurkan airmata.

Begitu sergapan Coh Liu-hiang berhasil, sudah tentu Oh Thi-hoa, Soh Yong-yong, dan lain-lain berjingkrak kegirangan, namun tiada satupun diantara mereka yang bergerak dan bersuara, tertawa atau bicarapun tidak.

Seolah-olah mereka sama haru akan nasib dan liku-liku percintaan kedua suami istri yang mengalami berbagai rintangan dan gemblengan, rasanya segan dan tak tega lagi melukai hati mereka, karena meski perbuatan mereka selama ini amat tercela dan menyakiti hati mereka, betapapun pengalaman hidup mereka jauh lebih harus dikasihani.

Tiba-tiba Song Thiam-ji mendekap mukanya, pecahlah tangisnya sesenggukkan. Memang selamanya jarang orang bisa meraba kapan nona-nona muda yang dimabuk asmara bisa mengucurkan air mata, karena sembarang waktu kemungkinan saja menghadapi setiap persoalan, gadis-gadis itu bakal menangis, mungkin saja lantaran cinta mereka mengalirkan airmata. Mereka bisa menangis karena sesuatau benda yang indah, namun mungkin pula bersedih karena melihat suatu tragedi yang tragis.

Mereka bisa menangis lantaran duka, namun bisa pula mengalirkan airmata karena kegirangan. Malah kemungkinan pula mereka bisa menangis bukan lantaran suatu persoalan.

Tapi air mata Sing Thiam ji sungguh airmata kejujuran, airmata murni, seolah-olah dia sudah lupa bahwa kedua suami istri ini adalah musuh yang dia benci dan ingin dibunuhnya, malah merekapun ingin membunuhnya. Namun dia menangis begitu pilu, sehingga orang tak tahan dan sama menyangka dia lebih rela memenggal batok kepala Coh Liu-hiang, untuk menolong kedua suami istri ini.
Biji mata Li Ang-siu, Soh Yong-yong dan Mutiara hitam, lambat laun ikut berkaca-kaca dan basah pula oleh airmata.

Oh Thi-hoa menghela napas, gumamnya: “Perempuan, oh perempuan… sungguh bikin bingung.”

Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: “Wah, karena tangisan kalian ini, akupun merasa seakan-akan aku inilah yang memang patut mati.”

Tiba-tiba Li Ang-siu bertanya: “Kau… bagaimana keputusanmu akan mereka?”

Coh Liu-hiang termenung, katanya kemudian: “Sudah tujuh kali mereka berusaha membunuh aku.”

“Tapi selanjutnya mereka takkan bisa mencelakai kau lagi,” ujar Li Ang-siu.

Berkata Soh Yong-yong lembut: “Tadi kudengar mereka bilang, mereka hanya mencari suatu tempat yang sepi, hidup tentram ditempat pengasingan untuk beberapa bulan terakhir ini, kau… bolehlah kau beri kesempatan kepada mereka.”

“Benar, boleh kau lepaskan mereka saja.” Mutiara hitam ikut menimbrung.
“Bagaimana maksudmu sendiri?” tanya Coh Liu-hiang kepada Oh Thi-hoa.

“Tidak boleh dilepas…” belum ucapan Oh Thi-hoa selesai, Song Thiam ji sudah berjingkrak, serunya sambil banting kaki: “Kenapa tidak boleh dilepas?”

“Kenapa kau ini begitu kejam?” Li Ang siu menimbrung.

Oh Thi-hoa menarik napas, katanya: “Jikalau sekarang kita biarkan mereka pergi, berarti membunuh mereka pula secara tidak langsung. soalnya Liu Bu-bi takkan hidup lama lagi, bila dia meninggal, apakah Li Giok-ham masih bisa hidup?”

Soh Yong-yong berempat sama tertegun, “Kau…” Li Ang-siu gugup. “Memangnya kau hendak menolong mereka malah?”

“Jikalau mereka berhasil membunuh Coh Liu-hiang, sudah tentu adalah musuh besarku. Namun mereka tidak berhasil membunuh Coh Liu-hiang, sebaliknya pernah menolong jiwa kami, oleh karena itu bukan saja mereka adalah teman baikku mereka pula sebagai tuan penolongku.” sampai di sini Oh Thi-hoa membusungkan dada, katanya keras: “Memangnya Oh Thi-hoa harus mandah saja mengawasi tuan penolongku mati karena keracunan?”

Song Thiam ji tiba-tiba memeluknya, serunya tertawa dengan mengembeng airmata: “Kau memang orang baik.” kulit mukanya tinggal satu dim di hadapan Oh Thi-hoa.

Oh Thi-hoa seperti merintih, katanya: “Jikalau kau memeluk lebih kencang dan tidak segera lepaskan, aku akan menjadi orang jahat.”

Tersipu-sipu Song Thiam-ji lepaskan pelukannya, mukanya sudah merah malu, namun butiran airmata di pipinya belum lagi kering, seolah-olah buah apel yang masak basah oleh air embun.

Dengan tertawa besar Oh Thi-hoa menghampiri terali besi katanya: “Asal kau berterus terang siapa sebenarnya orang yang dapat menolongmu, kita akan bantu kau meminta obat pemunahnya kepada dia, jikalau dia tidak mau beri, hehe… jangan pandang si Kupu-kupu kembang lagi kepadaku kalau tidak kuhajar dia sampai gepeng kepalanya.”

Li Giok-ham tetap mendelong mengawasi paku-paku di atas langit-langit. Demikian pula Liu Bu-bi mengawasi muka Li Giok-ham tanpa berkedip. Seolah-olah kedua suami istri ini tidak mendengar percakapan mereka.

“Cobalah kau sebutkan.” pinta Soh Yong-yong lembut, “asal kau mau katakan, mereka pasti akan berdaya mendapat obat pemunah itu.”

Dari celah-celah terali besi Li Ang-siu ulur tangan menarik lengan Liu Bu-bi, katanya: “Betapapun sulitnya urusan ini, Coh Liu-hiang pasti dapat berdaya untuk memperolehnya.”

Akhirnya bercucuran airmata Liu Bu-bi, katanya pilu: “Sungguh kalian terlalu baik, kebaikan kalian terhadapku, selama hidupku ini mungkin takkan bisa kubalas.”
“Cobalah kau sebutkan, terhitung kau sudah membalas kebaikan kita.” ujar Li Ang-siu.

Tiba-tiba Liu Bu-bi menarik tangannya, katanya gemetar: “Tak bisa kukatakan.”
“Kenapa tidak bisa?” Li Ang-siu menegas.
Kata Liu Bu-bi dengan airmata bercucuran: “Karena bila kukatakan, bukan saja tak berguna, malah kalian bisa celaka karenanya, sekarang aku… sungguh tidak tega aku membuat celaka.”

“Kau kuatir kita terbunuh oleh orang yang memiliki obat pemunahnya itu?” tanya Li Ang-siu.

Liu Bu-bi mengiakan sambil manggut kepala.

“Kalau begitu kau terlalu memandang rendah mereka berdua?” Li Ang-siu tertawa.

“Sampai detik ini memangnya kau belum percaya bila mereka memiliki kepandaian mujijat yang tiada taranya?” Song Thiam-ji menimbrung dengan banting kaki.

Liu Bu-bi tertawa sedih, ujarnya: “Jikalau ada orang bisa merebut obat pemunah itu dari tangan pemiliknya ini akupun tidak perlu susah payah berusaha hendak memenggal kepala Coh Liu-hiang, coba kau pikir, bila aku bisa mengundang Say Ih hang, Siau Giok kiam serta Thian lo te bong suami istri tokoh tokoh sakti lainnya untuk membunuh Coh Liu-hiang, sudah tentu akupun bisa minta mereka untuk berusaha meminta obat pemunah bagiku, kenapa aku tidak berbuat demikian?”

“Masakah mengandal para Bulim Cianpwe itu, masih tidak akan mampu memperoleh obat pemunahnya dari tangan orang itu?”

“Umpama mereka meluruk bersama akhirnya akan gugur bersama pula secara sia-sia.”

Baru sekarang Oh Thi-hoa amat kaget dibuatnya, katanya tersirap darahnya: “Katamu orang itu bisa membunuh Say It-hang, Siau Giok-kiam dan Thia lo-te-bong serta para Bulim Cianpwe lainnya secara mudah?”

“Tidak salah.”

Lama Oh Thi-hoa terlongong, katanya seperti menggumam: “Apa benar ada tokoh sesakti itu dalam dunia ini? Sungguh aku tak habis percaya.”

Tiba-tiba Coh Liu-hiang ikut menghela napas, ujarnya: “Tanpa dia jelaskan, sekarang aku sudah bisa menduga siapa tokoh yang dia maksudkan.”

“Siapa”

“Cui-bok-im-ki”

Begitu menduga Cui-bok-im-ki ini, kulit muka Oh Thi-hoa seketika seperti dilabur selapis kapur yang tipis dan memutih jelas serta menyolok, sampaipun sinar matanya pun menjadi pudar. Yang lainnyapun ikut terbelalak kaget dan seperti mendengar sesuatu nama iblis yang amat mengerikan. Seolah-olah ke empat huruf nama ini mengandung suatu daya iblis yang bisa menyedot sukma dan alam pikiran orang, asal mendengar nama ini orang seolah-olah mendengar suatu berita buruk atau mendapat firasat jelek.

Hanya Mutiara hitam yang lama menetap di gurun pasir saja, yang seolah-olah tidak terpengaruh akan nama ini, Maka segera dia bertanya: “Nama Cui-bok-im seperti pernah kudengar, namun tak ingat lagi siapakah tokoh itu?”

“Cui-bok-im-ki adalah Sin-cui-nio-nio.” tutur Oh Thi-hoa. “Dialah majikan dari penghuni Sin cui kiong.”

Baru sekarang roman muka Mutiara hitam sedikit berubah.

Mengawasi Liu Bu-bi, Coh Liu-hiang bertanya: “Tidak meleset bukan tebakanku?”

Lama berdiam diri baru Liu Bu-bi menghirup napas segar, katanya dengan manggut manggut: “Ya, benar memang beliau adanya.”

Berkata Hek-tin-cu: “Meski jarang aku masuk ke Tionggoan, namun pernah juga kudengar bahwa Cui-bok-im-ki adalah orang teraneh nomor satu di Bulim, kabarnya tabiatnya sedikit mirip Ciok-koan-im selama hidupnya amat membenci kaum laki-laki, perduli laki-laki siapapun asal melirik sekali kepadanya, maka jiwanya pasti tak akan diampuni.”

Oh Thi-hoa mengelus hidung, katanya tertawa getir: “Kau salah dalam hal ini, sedikit pun tabiatnya tidak sama dengan Ciok-koan-im, bukan saja Ciok-koan-im tak membenci laki-laki, malah boleh dikata amat senang bergaul dengan laki-laki, terutama laki-laki yang cakap ganteng dan dirinya hanya seleranya terhadap laki-laki terlalu besar, oleh karena itu dia selalu ingin mencicipi yang segar, yang baru.”

Liu Bu-bi menghela napas ujarnya: “Tapi Cui-bok-im-ki memang benar-benar membenci laki-laki, menurut apa yang ku tahu dalam dunia ini tiada seorang laki-lakipun yang pernah berdekatan apalagi bersentuhan sama dia, maka dalam Sin-cui-kiong takkan ada bayangan seorang laki-lakipun.”

“Tapi akupun tahu jelas.” timbrung Mutiara hitam, “bahwa tabiatnya memang sering berubah, senang dan gusar tidak menentu walau amat membenci laki-laki, namun jiwanya tidak begitu jahat, juga tidak seperti Ciok-koan-im, selalu berusaha mencelakai jiwa orang lain.”

“Benar,” sela Coh Liu-hiang, asal orang lain tidak mengganggu dia maka diapun tak akan mengusik orang lain.”

“Lalu kenapa dia ingi membunuh kau? Memangnya kau pernah menggangu dia?” tanya Mutiara hitam.

“Ya, memang aku pernah membuatnya gusar” sahut Coh Liu-hiang gegetun.

“Bahwasanya ada permusuhan apa diantara kalian” tanya Liu Bu-bi. “Akupun tidak tahu, juga tak berani tanya kepada kalian.”

“Tiga empat bulan yang lalu,” demikian tutur Coh Liu-hiang, “didalam Sin-cui-kiong mendadak kemalingan, mereka kehilangan sebotol Thian-it-cui, maka orang-orang Sin-cui-kiong lantas curiga akulah yang mencurinya.”

“Maka benar kau yang mencuri?” tanya Liu Bu-bi.

“Sudah tentu bukan aku.”

“Aku percaya pasti bukan perbuatanmu.” timbrung Oh Thi-hoa. “Jikalau Thian it-sin-ciu mungkin dia mau mencurinya untuk diminum secara diam-diam, memangnya buat apa dia mencuri Thian it sin ciu?”

Song Thiam ji tiba-tiba cekikikan geli, katanya: “Jikalau Thian-it-sin-ciu, aku pasti tahu siapa yang telah mencurinya. Cui berarti air, ciu adalah arak, cu sama dengan cuka, disini dimaksud “cemburu”.

Li Ang-siu kontan mendelik, katanya berbisik sambil gigit bibir: “Setan cilik, kau sendiri yang main cemburu!” Sudah sekian tahun lamanya mereka hidup berdampingan dengan Coh Liu-hiang, setiap hari menghabiskan waktu di tengah lautan, maka jiwa dan pikiran mereka lapang dan terbuka, sembarang waktu tak lupa untuk tertawa. Tapi kali ini Coh Liu-hiang benar-benar tidak bisa tertawa.
Katanya dengan mengerut kening: “Macam apakah Thian-it-sin-ciu itu, melihatpun aku belum pernah, namun orang-orang Sin-cui-kiong justru mencari kesulitan, mereka mengancam kepadaku supaya dalam satu bulan aku harus sudah berhasil membongkar atau menangkap siapa sebetulnya pencuri itu, kalau aku gagal mereka akan membuat perhitungan dengan aku.”

“Apa kau berhasil menemukan siapa orang yang mencuri itu?” tanya Liu Bu-bi.

“Ketemu sih sudah, malah urusannya sudah kubongkar, namun kejadian yang berlangsung saat itu sungguh terlalu banyak dan menyibukkan diriku, sehingga terlupakan olehku, batas waktu yang ditentukan oleh pihak Sin-cui-kiong, maka sampai sekarang aku belum sempat memberi pertanggungan jawab kepada mereka.”

Oh Thi-hoa geleng-geleng kepala, katanya: “Seorang laki-laki yang terdidik dan terpercaya mana boleh lupa diri akan janji pertemuan dengan seorang perempuan? Tak heran bila orang akan mencari perkara kepadamu, aku sih takkan menyalahkan mereka.”

Li Ang-siu muring, katanya merenggut: “Bahwasanya tak perlu mengingat janji dengan mereka, itu waktu hakekatnya dia sedikitpun tidak punya pegangan, apalagi urusan itu tiada sangkut pautnya dengan dirinya, namun begitu dia berhadapan dengan gadis montok yang kerlingan matanya sehangat air laut, kepalanya lantas pusing tujuh keliling, secara ceroboh dia terima dan berjanji terhadap orang, sekarang Sin-cui-kiong…”

Tiba-tiba Song Thiam-ji cekikikan lagi, katanya: “Sin-cui-kiong tak perlu dibuat heran dan takut, jikalau mereka berani kemari, yang terang pihak kita sudah ada Ciangbun cin Sin cui kiong untuk menghadapinya.”

Sebetulnya Li Ang siu dan Song Thiam ji cukup tahu saat-saat seperti ini bukan waktunya untuk berkelakar, soalnya mereka merasa air mata yang bercucuran di sini sudah terlalu banyak, maka mereka hendak menciptakan suasana lain yang riang dan penuh gairah hidup. Karena mereka berpendapat didalam orang-orang menghadapi suatu kesulitan dan mara-bahaya, airmata hakekatnya tidak akan bisa menyelesaikan atau mengakhiri persoalan. Hanya gelak tawa saja satu-satunya senjata terampuh untuk menghadapi kesulitan dan mara-bahaya atau kedukaan.

Akan tetapi lambat laun merekapun insaf, bukan saja tawa riang mereka tidak berhasil menyapu suasana yang rawan dan perasaan duka orang, malah terasa kelakar ini merupakan suatu pukulan batin yang menambah pilu dihati.

Memang melihat tawa riang mereka yang begitu lebar, sikap Liu Bu-bi sebaliknya semakin tawar dan pilu, karena dia selalu merasakan kebahagiaan orang lain, hanya dirinya saja yang diliputi kehidupan yang sengsara. Lambat laun Thiam-ji dan Li Ang-siu tak kuasa meneruskan tawanya.

Baru sekarang Liu Bu-bi sadar bahwa mereka masih terkurung didalam sel, maka pelan-pelan tangan kanannya terangkat menekan sebuah tombol di atas dinding, terali besi itu segera membuka, kedua sisi melesat ke dalam dinding. Pelan-pelan dia lalu berpaling kearah Coh Liu-hiang serta menjura hormat: “Berkat luhur budi Maling Romantis yang tak membunuh kami suami istri, hari kami sudah senang dan berterima kasih, sungguh tidak bisa dan tidak ingin minta bantuan Maling Romantis untuk menolong jiwa kami pula, selanjutnya semoga….”

Coh Liu-hiang segera menukas: “Kau tidak usah anggap aku menyerempet bahaya untuk menolong kau, yang terang aku memang harus pergi ke Sin-cui-kiong.”

Liu Bu-bi geleng-geleng kepala, ujarnya: “Tempat seperti itu lebih baik kau tidak kesana.”

“Mana mungkin aku tidak akan kesana, jikalau aku tidak pergi, kesulitan yang akan kuhadapi kelak semakin berlipat ganda, bahwa Sin-cui-nio-nio bisa memerasmu untuk membunuh aku, maka diapun bisa suruh orang lain mencelakai aku, memangnya selama hidup aku harus selalu berjaga-jaga dari sergapan kaki tangannya?”

“Benar.” Oh Thi-hoa menimbrung dan mengutarakan pendapatnya, “kalau dia sudah ingkar janji, maka perlu dia kesana memberi penjelasan, kukira Cui-bok-im-ki bukan seorang yang tak kenal aturan.”

“Jadi kau kira dia seorang yang kenal aturan?” tanya Liu Bu-bi.

“Jikalau benar dia tidak kenal aturan, kita juga punya cara tidak kenal aturan untuk menghadapi dia, umpama kata Sin-cui-kiong adalah gunung golok, lautan api, sarang naga atau gua harimau, aku orang she Oh juga akan menerjangnya kesana.”

Tiba-tiba Soh Yong-yong menyela bicara: “Yang terang tiada gunung golok lautan api di Sin cui kiong, bukan pula sarang naga gua harimau, malah tempat itu merupakan tempat tamasya dengan panorama terindah di dunia, laksana taman firdaus tempat semayam dewa-dewi.”

“Benar, hanya kau saja yang pernah masuk ke Sin cui kiong, bagaimana menurut perasaanmu apa benar tempat itu amat menakutkan?”

“Dalam pandanganku, sedikitpun tempat itu tidak menakutkan, malah menyenangkan.”

“O? Lalu?” Coh Liu-hiang menegas.

“Pernahkah mendengar taman firdaus didalam dongeng kuno? Sin cui kiong mirip benar dengan taman firdaus, tempat itu boleh dikata merupakan sorga dunianya manusia, setiba aku di sana sungguh hampir aku tak mau percaya bila aku berada didalam Sin-cui-kiong yang sudah terkenal di seluruh jagat, karena di sana tiada kekerasan, tiada kejahatan, tiada kehidupan yang kasar dan saling membunuh.” Seperti sedang mengenang gambaran yang pernah dialaminya, Soh Yong-yong melanjutkan: “Waktu itu kebetulan permulaan musim panas, aku naik sebuah sampan menyusuri sungai mengikuti arus air, entah berapa lama sudah berselang lama-kelamaan kutemui kelopak-kelopak kembang mawar yang mengalir mengikuti arus air.”

Tiba-tiba Coh Liu-hiang bertanya: “Apakah ada juga bunga rampai?”

“Memang diantara sekian banyak kelopak kelopak kembang itu ada bunga rampai yang wangi, hembusan angin sepoi-sepoi membawa bau harum yang memabukkan, duduk di atas sampan, bukan saja seperti berada dialam lukisan, malah seperti berada didalam dongeng.”

Begitu indah kisah ceritanya, sampai Oh Thi-hoa melongo mendengarkan.

Tutur Soh Yong-yong lebih lanjut: “Seperti mabuk, seperti linglung pula saking kesima, entah berapa lama sampanku terhanyut, lama kelamaan melalui sebuah celah-celah lamping gunung, kedua sisi sungai tumbuh rumput-rumput yang tebal dan lebat, keadaan gelap gulita, kelima jariku sendiri tak kelihatan. Dengan dayung aku menyingkirkan rumput-rumput yang mengandung air, beberapa kejap kemudian pandangan tiba-tiba terbuka lebar, tiba-tiba selayang mata memandang ratusan jenis bunga-bunga terbentang di depan mata, bagai permadani, itulah sebuah lembah yang indah dan sejuk, di sebelah kanan tampak sebuah air terjun menumpahkan airnya dari puncak batu, suasana tentram damai, sungguh mengetuk sanubari, diantara gerombolan pepohonan yang lebat ditaburi kembang-kembang itu, tampak gardu gubuk dan panggung-panggung, dan yang mengherankan ratusan macam jenis burung-burung besar kecil sama bersarang ditempat itu, melihat manusia mereka tidak takut, malah beberapa ekor diantaranya ada yang terbang hinggap di atas kedua pundakku seolah-olah hendak bicara dengan aku.”

Keindahan alam yang dilukiskan laksana gambar lukisan, seperti syair dengan uraian suara nan merdu lembut, sungguh mengasyikkan.

Li Ang-siu menghela napas pelan-pelan, katanya: “Kalau tahu Siu-cui-kiong merupakan dunia indah tempat bersemayam dewata, pasti aku minta ikut kau kesana.”

Tiba-tiba Liu Bu-bi bertanya: “Tapi cara bagaimana nona bisa tahu bila sungai kecil itu adalah jalan untuk menembus ke dalam gunung?”

“Aku punya seorang bibi, beliau adalah murid Sin-cui-kiong, pernah aku diberitahu bila hendak mencari beliau cara bagaimana aku harus masuk kesana, sudah tentu rahasia ini beliau larang aku memberi tahu kepada orang lain.”

Berkedip-kedip mata Song Thiam-ji, tanyanya: “Apakah bibimu tinggal di gubuk ditengah tengah keliling kembang indah itu?”

“Belakangan baru aku tahu gardu dan gubuk-gubuk diantara semak-semak kembang itu ternyata adalah tempat tinggal murid-murid Sin cui kiong, karena hoby masing-masing berlainan, maka bentuk bangunan tempat tinggal merekapun berlainan.”

“Tempat seperti apa tempat tinggal bibimu?” tanya Li Ang-siu.

“Beliau tinggal didalam dua bilik gubuk yang mungil, bagian depannya dipagari bambu, didalam pekarangan ada ditanam seruni, belum saatnya berkembang tapi begitu aku tiba di sana, aku toh cukup dibuat terpesona.”

Oh Thi-hoa menghela napas, katanya seperti mengigau: “Agaknya Cui-bok-im-ki masih jauh lebih baik daripada Ciok-koan-im menghadapi murid-muridnya.”

“Sayang sekali setiba disana, aku dilarang keluar dan kelayapan.” demikian tutur Soh Yong-yong lebih lanjut. “Terpaksa aku mengeram diri dalam rumah bibi, karena dia memberi peringatan kepadaku jikalau sembarangan kelayapan keluar, seketika aku bakal ketimpa bencana yang mengancam jiwa.”

“Bencana apa?” tanya Coh Liu-hiang.

“Beliau tidak jelaskan bencana apa yang terang aku disekam dalam rumahnya sehingga tiada seorangpun yang melihat kehadiranku di sana, maka nona Kianglam Yan itupun tidak sempat kulihat di sana.”

“Kalau begitu kaupun tidak bertemu dengan Cui-bok-im-ki?” tanya Coh Liu-hiang.

“Tidak.”

“Kau pun tidak tahu di sebelah mana tempat tinggalnya?”

“Tidak tahu” sahut Soh Yong-yong menghela napas. “Sungguh aku ingin bisa bertemu dengan tokoh Bulim yang terkenal ini, namun bibi berpesan wanti-wanti kepadaku, betapapun dia melarang aku pergi menemuinya, namun aku berani pastikan bahwa diapun tinggal di dalam lembah permai itu, mungkin tinggal ditengah hutan buah Tho di seberang rumahnya, atau mungkin pula menetap didalam biara kecil yang terletak di lereng bukit itu.”

“Biara? Memangnya di dalam Sin cui kiong juga ada Nikoh?”

“Katanya Cui-bok-im-ki adalah seorang ibadat yang fanatik dengan ajarannya, maka dia mengijinkan Biau-ceng Bu Hoa untuk berkhotbah didalam lembah itu.”
Coh Liu-hiang menepekur, katanya kemudian: “Kalau demikian, memang dia kemungkinan tinggal didalam biara itu!”

“Tapi menurut apa yang kutahu,” demikian Soh Yong-yong melanjutkan ceritanya, “Bu Hoa sendiripun belum pernah melihatnya, setelah masuk ke dalam lembah, setiap hari Bu Hoa hanya duduk di atas batu panggung yang besar di depan air terjun itu berkotbah selama dua jam, diapun tahu setiap hari Cui-bok-im-ki pasti mendengarkan khotbahnya, namun selama itu tidak tahu dimana sebenarnya dia orang berada.”

“Sungguh seorang tokoh yang misterius.” ujar Coh Liu-hiang, “jauh lebih misterius dari apa yang pernah kubayangkan.”

“Tapi keadaan Sin-cui-kiong sebaliknya tidak semisterius yang kubayangkan, semula kukira tempat itu tentu amat seram dan menakutkan, siapa tahu tempat itu justru begitu indah dan permai dari kebanyakan tempat lainnya.”

Tiba-tiba Liu Bu-bi menyeletuk: “Jangan kalian lupa diri, aku sendiripun pernah pergi ke Sin-cui-kiong.”

“Sudah tentu kau pernah pergi kesana.” ujar Oh Thi-hoa.

“Menurut apa yang kutahu, Sin-cui-kiong bukan tempat seindah yang dilukiskan oleh nona Soh.”

“Oh?” Oh Thi-hoa heran, “Memangnya ada perbedaan apa didalam Sin-cui-kiong yang pernah kau alami?”

“Jauh sekali bedanya,” sahut Liu Bu-bi, lalu dia menyambung dengan suara lebih tegas: “Sin-cui-kiong yang dilihat nona Soh adalah alam tamasya laksana peraduan dewata, sebaliknya Sin cui kiong yang kulihat sebaliknya mirip neraka.”

Seluruh hadirin menjublek dan melongo ditempat masing-masing.
Berkata Liu Bu-bi lebih lanjut: “Aku tidak mendapat petunjuk bibi untuk melalui jalan yang ditunjuk, maka perlu menghabiskan banyak waktu, aku berhasil mencari-tahu kepada seorang yang mengetahui seluk beluknya, ternyata bagi orang yang hendak berkunjung ke Sin cui kiong harus melalui Bo-dhi-am.”

Berkerut alis Oh Thi-hoa, katanya: “Kalau Bo dhi-am itu punya hubungan yang begitu erat dengan Sin cui-kiong, tentunya merupakan suatu tempat yang terkenal, kenapa selama ini belum pernah kudengar nama biara ini?”

“Soalnya Bo-dhi-am yang ini tidak lebih hanya sebuah biara kecil yang sudah bobrok.” demikian tutur Liu Bu-bi. “Penghuni biara kecil bobrok ini hanya seorang Nikoh yang sepintas lalu usia Nikoh ini kira-kira sudah mencapai tujuh delapan puluh tahun, agaknya malah seorang bisu dan tuli. Akan tetapi bagi siapapun yang hendak pergi ke Sin cui-kiong maka dia harus membeberkan tujuan dan keinginannya hendak menuju ke Sin cui-kiong kepada Nikoh bisu tuli ini.”

“Kalau toh Nikoh itu bisu tuli, masakah dia bisa mendengar ucapan orang?” tanya Oh Thi-hoa.

“Jikalau dia tidak mengijinkan kau masuk ke Sin cui kiong, maka dia lantas bisu dan tuli betapapun kau meratap dan mohon kepadanya, dia anggap tidak mendengar, tapi bila dia mau membawamu masuk, setiap patah kata-katamu dia bisa mendengarnya dengan jelas.”

“Baik juga caranya ini,” ujar Oh Thi-hoa tertawa geli.

“Setelah aku kemukakan alasanku kenapa ingin masuk ke Sin cui kiong kepadanya, lama lama dia berdiam diri mendadak dia menuang secangkir teh suruh aku meminumnya.”

“Apa kau meminumnya?” tanya Oh Thi-hoa.

“Bagaimana mungkin aku tidak meminumnya?” Liu Bu-bi tertawa, “Sudah tentu akupun tahu bahwa air teh ini tentu tidak enak rasanya, setelah kuminum kontan aku jatuh pingsan, waktu aku siuman kembali, tahu-tahu sudah terkurung didalam sebuah keranjang menjalin, keranjang menjalin yang basah kuyup seperti keranjang yang sudah lama terendam didalam air, sudah tentu sekujur badankupun basah kuyup.”

Sejak tadi Li Giok-ham berdiri mematung seperti kehilangan semangat dan daya pikirnya, baru sekarang dia menghirup napas panjang dengan penuh perasaan kasihan dan kasih sayang mengawasi istrinya.

“Untung keranjang itu terbuat dari menjalin” demikian tutur Liu Bu-bi lebih lanjut, “tutupnyapun tidak terkunci maka aku dapat merayap keluar dari keranjang baru kudapati diriku berada didalam sebuah lorong di bawah tanah, keadaan gelap-gulita, yang terdengar hanya suara gemerciknya air yang mengalir tapi aku sendiri sukar membedakan dari mana kumandang suara itu datangnya.”

“Didalam Sin-cui-kiong pasti terdapat suatu sumber air, paling tidak hal ini tidak perlu diragukan” demikian Coh Liu-hiang utarakan pendapatnya.

Oh Thi-hoa melototkan mata, ujarnya: “Kalau Sin-cui-kiong tiada air memangnya ada arak saja?”

“Karena tiada apa-apa yang kulihat terpaksa aku berlalu menggeremet dan meraba-raba bukan saja tidak tahu berapa panjang lorong di bawah tanah ini, akupun tidak tahu, kemana lorong ini akan menembus.”

“Tapi paling tidak kau bisa berkepastian, didalam lorong bawah tanah ini terang takkan ada orang yang akan membokongmu, karena paling tidak Cui-bok-im-ki bukan orang yang suka atau sudi mencelakai jiwa orang secara menggelap.” demikian ujar Oh Thi-hoa.

Sebetulnya dia bermaksud baik mengutarakan pendapatnya ini, tak nyana justru menusuk-nusuk kelemahan Liu Bu-bi, raut mukanya yang pucat seketika merah, katanya menunduk: “Waktu itu meski mata dan telingaku tak berguna lagi, namun hidungku masih amat berguna, karena didalam lorong itu aku mengendus berbagai bau yang aneka ragamnya.”

“Ba… bau apa?” tanya Li Ang-siu merinding.

“Semula ku endus bau lembab, disusul bau sesuatu yang hangus seperti ada sesuatu yang terbakar sampai kering, belakangan ada pula bau anyirnya darah, bau besi karatan, bau tanah, bau kayu dan banyak lagi…” terunjuk rasa seram dan ketakutan pada muka dan sorot matanya, suaranya jadi gemetar: “Meski tiada seorangpun yang akan membokongku tiada jebakan atau perangkap apapun, tapi hanya bau-bau yang beraneka ragamnya itu, sungguh sudah membuatku hampir gila.”

Tak tahan bertanya Oh Thi-hoa: “Bau-bau itu kan tidak bisa melukai kesehatanmu, memangnya kenapa menakutkan?”

“Sebetulnya memang tidak pernah terpikir olehku dalam hal apa bau-bau itu kok menakutkan, tapi pada saat itu baru benar-benar kusadari tiada suatu peristiwa apapun yang benar-benar lebih menakutkan dari bau-bau itu,” suaranya sudah menjadi serak, katanya lebih lanjut: “Waktu aku mengendus bau hangus terbakar, wujudnya belum terasakan seolah-olah tengah berjalan di atas sebuah bangku, seperti sedang dipanggang di atas bara.”

Song Thiam ji mengkerutkan pundak, diam-diam dia menggeser ke dekat Li Ang-siu.
“Waktu aku mengendus bau darah dan besi karatan, terasa seolah-olah diriku diantara tumpukan mayat-mayat, seperti ada mayat-mayat hidup yang sembunyi dan mengintip diriku ditempat-tempat gelap sekelilingku, sampaipun menggeremet majupun aku sudah tak berani lagi, karena aku kuatir begitu kakiku melangkah bakal menginjak mayat, malah bukan mustahil mayat dari seorang teman baikku sendiri.”

Badan Li Ang-siu jadi gemetar dan berdiri bulu kuduknya, diam-diam diapun menggeser mendekati Soh Yong-yong dan sembunyi di belakangnya.
“Setelah aku mengendus bau kayu dan tanah maka aku sendiri seolah-olah sudah menjadi sesosok mayat yang sudah terpaku didalam peti mati dan terpendam didalam bumi.” sampai di sini dia menghela napas, “Semula aku hanya mengira karena melihat sesuatu yang seram, atau kuping mendengar sesuatu suara yang mengerikan baru hari menjadi ciut. Dan saat itu baru aku betul-betul insaf bau yang terendus oleh hidung merupakan suatu yang menakutkan.”

Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: “Memang mungkin kejadian itu sendiri jauh lebih nyata dari pada apa yang terlihat oleh mata dan terdengar oleh kuping, sebaliknya bau yang terendus oleh hidung yang merupakan sesuatu yang tak bisa kau raba dan tak mungkin kau lihat, terpaksa kau hanya bisa mengkhayal dan main tebak-tebak, semakin dipikir semakin seram, ngeri dan menakutkan. oleh karena itu pernah aku bilang, sesuatu yang paling ditakuti oleh manusia umumnya, bukan terhadap sesuatu benda tertentu, namun tak lain adalah suatu yang kau khayalkan, sesuatu yang kau bayangkan sendiri mengenai sesuatu itu didalam benakmu.”

“Oleh karena itu, didalam lorong bawah tanah itu, meski aku tidak bisa melihat apa-apa tak mendengar apa-apa, tapi toh aku sudah tersiksa dan menderita sampai kehabisan tenaga, sampaipun tenaga untuk berjalanpun tiada lagi.” demikian tutur Liu Bu-bi.

Song Thiam-ji sekarang sudah mendekam ke dalam pelukan Li Ang-siu, namun mulutnya masih berani bertanya: “Akhirnya… bagaimana?”

Anak-anak perempuan kebanyakan memang mempunyai ciri-ciri yang sama, semakin mendengar cerita yang seram menakutkan, semakin getol mereka ingin mendengar kelanjutannya.

“Pada saat itulah, didalam lorong gelap itu tiba kumandang sebuah suara orang, kedengarannya suara itu begitu merdu, lembut dan menarik perhatian, tapi pada waktu itu aku hanya merasakan suara itu begitu dingin, kosong, bukan suara manusia.”

“Dia… dia… apa yang dia katakan?” tanya Song Thiam-ji gelagapan.

“Dia bilang dia sudah memeriksa penyakitku, diapun sudah tahu racun apa yang bersarang didalam badanku, tapi bila aku ingin dia berusaha menolong jiwaku, dia minta… minta…”

“Minta batok kepalaku sebagai tumbal, sebagai persyaratannya, benar tidak?” Coh Liu-hiang menyambung.

Tertunduk kepala Liu Bu-bi katanya: “Meski aku sudah meratap dan menyembah-nyembah kepadanya, kutanya adakah imbalan lain yang kutempuh, tapi dia tidak hiraukan diriku lagi, suaraku sudah serak, namun dia tetap seperti tidak mendengar.”

“Kalau demikian kaupun tidak bertemu dengan Cui-bok-im-ki?” kata Coh Liu-hiang.

“Bukan saja aku tidak pernah melihat beliau, malah satu diantara murid-muridnyapun tiada yang kujumpai.”

“Cara bagaimana pula kau bisa pulang?” tanya Oh Thi-hoa.

“Entah berapa lama aku bertangisan, tiba-tiba hidungku mengendus sesuatu bau aneh, bau yang wangi, seolah-olah hembusan angin sepoi-sepoi musim semi yang masuk dari jendela. seolah-olah bau harum didalam pelukan ibunda yang sedang menyusui bayinya, begitu mengendus bau ini, tanpa terasa aku lantas tertidur pulas.”

“Waktu kau siuman pula, kau sudah kembali didalam Bu-dhi-am itu?” tanya Oh Thi-hoa. “Ya, benar.” sahut Liu Bu-bi. “Waktu aku siuman pakaianku sudah kering. Nikoh tua itu sedang duduk di hadapanku, tangannya masih memegangi cangkir teh yang barusan kuminum itu, seperti tiada pernah terjadi sesuatu, waktu kutanya dia dan kuminta kepadanya, sepatah katapun seperti tak mendengar lagi.”

Kaki tangan Song Thiam-ji menjadi dingin, suaranya gemetar: “Kau… seolah-olah kau seperti sedang bermimpi?”

“Benar, sampaipun aku sendiri sukar membedakan, sebetulnya aku sedang bermimpu? Atau mengalami suatu kejadian yang benar-benar kenyataan?”

Li Ang-siu ikut menarik napas lega, katanya getir: “Mendengar ceritamu, aku ingin benar bisa masuk kedalam Sin-cui-kiong.”

Mengawasi Soh Yong-yong, berkata Song Thiam-ji: “Sin-cui-kiong… Sin-cui-kiong. Sebetulnya tempat macam apakah itu?” pertanyaan seperti ini dia tujukan kepada Soh Yong-yong, namun diapun tak menginginkan jawabannya, karena dia tahu Soh Yong-yong pasti takkan dapat menjawabnya.

Kembali semua berdiam diri, hati masing-masing dirundung berbagai pertanyaan. Apa benar Sin cui kiong merupakan alam dewata, seperti yang dituturkan Soh-yong-yong? atau merupakan tempat seperti neraka yang penuh diliputi misteri dan menakutkan seperti yang dituturkan Liu Bu-bi?

Kembali Oh Thi-hoa melakukan kebiasaannya mengelus hidung, gumamnya: “Mungkin kalian pergi kedua tempat yang berlainan.”

“Dalam kolong langit ini hanya ada satu Sin cui kiong, tak mungkin ada tempat kedua.” jawab Liu Bu-bi tegas.

“Tempat yang kudatangi itu, terang adalah Sin cui kiong, pasti takkan salah” Soh Yong-yong amat yakin akan pengalamannya. Nada mereka sama-sama tegas dan tandas.

“Kalau orang lain yang bercerita mungkin bisa keliru, dan aku mungkin tak mau percaya, tapi kalian nona-nona sama yakin, kemungkinan memang…” Oh Thi-hoa tidak ragu-ragu lagi, setelah merandek dia mengawasi Liu Bu-bi, katanya: “Setelah kau tiba ditempat itu, seorangpun kau tidak melihatnya, dengan keyakinan apa kau berani memastikan diri bila kau sudah berada di Sin cui kiong?”

Li Ang siu lekas menyambung: “Benar! Dari mana kau tahu bila Nikoh tua dalam Bo dhi-am itu pasti akan mengantarmu pergi ke Sin cui kiong?”

Bersinar biji mata Soh Yong-yong diapun berebut bicara: “Siapa yang beritahu kepadamu, harus lewat Bo dhi-am itu? Bukan mustahil hal ini merupakan perangkap yang sudah direncanakan lebih dulu oleh orang itu?”

“Perangkap?”

“Benar! Perangkap!” Soh Yong-yong menegaskan, “bukan mustahil orang itu sama dia… ada permusuhan dengan Coh Liu-hiang, maka sengaja dia memasang perangkap untuk menipu kau, sudah tentu Nikoh tua dalam Bo dhi-am itupun komplotannya.”

“Sedikitpun tidak salah.” seru Oh Thi-hoa tepuk tangan, “dia menipumu karena ingin kau membunuh Coh Liu-hiang, hakekatnya mereka tidak pernah membawamu pergi ke Sin ciu kiong.”

“Setelah kau minum air teh itu,” timbrung Li Ang siu, “kau sudah pingsan, mereka boleh sembarang membawamu ke suatu tempat yang terang kau toh tidak tahu.”

Liu Bu-bi menepekur sesaat lamanya, katanya: “Memang bukan beralasan apa yang kalian uraikan.”

“Sudah tentu masuk diakal” ujar Li Ang siu, lorong bawah biara itu, suara yang kau dengar bukan mustahil pula adalah perkataan Nikoh tua itu pula.”
Liu Bu-bi menghela napas, ujarnya: “Tapi kalau toh hal ini menyangkut mati hidupku, masakah aku mau percaya begitu saja akan petunjuk orang lain? Sudah tentu aku amat percaya kepada orang yang memberi kisikan padaku mengenai jalan yang harus kutempuh.”

Oh Thi-hoa terkekeh-kekeh, katanya: “Orang yang terlalu percaya kepada orang lain sering dia celaka sendiri, tentunya kau jauh lebih paham akan pengertian ini dari orang lain.”

Merah muka Liu Bu-bi, katanya tertunduk: “Tapi orang ini…. orang ini pasti takkan berbohong.”

“O” Lama juga belum pernah kudengar ada orang yang tidak pernah membual, aku jadi ingin tahu siapa sebenarnya orang ini?”

“Beliau adalah Li Ui Loh-ce Ui lokiam khek yang dijuluki Lun-cu kiam oleh kaum Bulim, kukira kalian pasti pernah mendengar legenda mengenai sepak terjang beliau orang tua?”

Seketika terkancing mulut Oh Thi-hoa, karena diapun tahu bila dalam kolong langit ini ada orang yang tidak pernah membual maka orang itu pasti Kuncu kiam Ti Loh-ce adanya.

Tak tahan bersuara pula Li Ang-siu: “Memang tidak salah, Ci lo kiam khek ini memang tidak malu dijuluki Kuncu “sosiawan” yang benar jujur, selama hidupnya belum pernah dia membual atau menipu orang lain. Lebih harus dipuji dan dikagumi, bukan saja terhadap teman dia bersikap jujur, meski terhadap musuhnya selamanya dia bicara apa adanya, selamanya tidak pernah berbohong.”

Song Thiam-ji bertepuk, serunya tertawa: “Nona Li kita hendak mengeduk pengetahuan dalam perutnya untuk jual lagak di hadapan kita, memangnya apa yang dia uraikan tak salah, boleh kita mendengarkan dengan hati lapang!”

Liu Bu-bi menjadi heran dan membatin: “Nona Li ini masih muda belia, diwaktu Kun cukiam melintang di Kangouw, mungkin dia belum lahir, namun dari nadanya ini seolah-olah dia amat jelas mengenai seluk-beluk kehidupan Kun-cu-kiam masa lalu.”

Memang diluar tahunya, bukan saja Li Ang-siu banyak mengetahui riwayat hidup dan sepak terjang Kun-cu-kiam masa lalu, malah tokoh-tokoh kosen yang kenamaan di Bulim pun tak sedikit yang dia ketahui.

Oh Thi-hoa justru bertanya: “Katamu terhadap musuhpun Ui lo-kiam khek tak mau berbohong, aku jadi tak mengerti.”

Berkata Li Ang-siu: “Bila kau bergebrak dengan musuh, kalau lawan bertanya: “Kepandaian apa yang menjadi keahlianmu? Berapa jurus pula yang paling lihai. Waktu turun tangan kau hendak menggunakan tipu yang mana? Kau mau beritahu kepadanya tidak?”

Oh Thi-hoa tertawa geli katanya: “Ha, ha, lucu sekali, bila bergebrak dengan musuh yang diutamakan adalah permainan isi, kosong yang tidak menentu, sehingga musuh dibuat keripuhan dan tak mampu membalas, jikalau pihak sendiri mengutarakan serangan jurus apa yang hendak kau lancarkan, terhitung berkelahi apa dengan lawan?”

“Jadi bila lawanmu bertanya demikian kau tidak mau menjawab?” Li Ang-siu menegas.

“Kalau orang itu musuh besarku, sudah tentu aku tidak mau beritahu, tapi yang terang musuhkupun takkan mengajukan pertanyaan ini kepadaku, karena dia toh tahu aku bukan orang gila, umpama benar aku menjawab, tentu bukan sejujurnya.”
Li Ang-siu cekikikan, katanya: “Akupun tahu kau pasti takkan bicara sejujurnya, umpama kau berterus terang, lawanpun takkan mau percaya, atau tidak berani percaya. Akan tetapi setiap bergebrak dengan musuh, perduli pertanyaan apapun yang diajukan lawan, setiap patah pertanyaan pasti dia jawab dengan jelas, dan lagi apa yang pernah dia katakan pasti tak pernah ditarik dan dikoreksi. Kalau dia bilang jurus terakhir hendak menggunakan tipu burung terbang kembali ke hutan untuk meraih ikat kepala lawan, maka dia pasti tak akan menggunakan gadis rupawan menyusup benang untuk menusuk dada lawannya.”

Oh Thi-hoa melengak katanya: “Bertempur cara demikian, bukankah dia selalu kena dirugikan oleh musuh?”

“Memangnya lantaran sifatnya ini, entah sudah berapa kali Ui lo-kiam-khek mengalami kerugian selama hidupnya, maka setelah orang banyak tahu akan wataknya ini, sebelum mengajaknya bergebrak pasti bertanya lebih dulu.”

“Meski Lwekang Ui locianpwe amat tinggi, umpama orang tahu jurus apa yang hendak dia lancarkan juga belum tentu kuasa menandinginya, tapi bila kebentur lawan yang membekal kepandaian setanding dirinya, bukankah dia bakal terjungkal ditangan musuh?”

“Memang begitulah kejadiannya, dalam beberapa kali pertempuran, jelas Ui-locianpwe seharusnya menang, akhirnya malah kena dikalahkan, dan lantaran dia memang seorang Kuncu sejati, maka meski lawan berhasil mengalahkan dia, orang toh tidak tega melukainya.”

Liu Bu-bi segera menyambung: “Apalagi, dengan kejujuran Ui Locianpwe menghadapi setiap kawan dan lawan, maka pergaulannya amat luas, temannya tersebar dimana mana, para tokoh-tokoh Kangouw dari tingkatan yang lebih tua, boleh dikata sama adalah sahabat dekatnya maka umpama dia orang adalah musuh besarnya, orangpun tak akan berani melukainya.” sampai di sini dia menarik napas dalam, “silahkan kalian pikir, ucapan yang dikatakan oleh orang macam dia, apakah tidak boleh dipercaya?”

“Kalau demikian tempat yang kau tuju itu pasti tidak akan salah lagi adalah Sin cui kiong.” ujar Oh Thi-hoa menghela napas.

“Hal ini tak perlu diragukan lagi.”

Sesaat lamanya Soh Yong-yong menepekur katanya: “Sayang sekali dimana sekarang Ui locianpwe berada, kalau tidak ingin aku mohon beberapa petunjuk kepada beliau.”

Selama ini Coh Liu-hiang mendengarkan dengan cermat, kini tiba-tiba tertawa, ujarnya “Petunjuk apa yang ingin kau minta? Silahkan kau utarakan saja, bukan mustahil Ui-locianpwe bisa mendengarkan pertanyaanmu,”

Melotot biji mata Soh Yong-yong katanya: “Apa beliau berada disekitar sini?”

Kembali Coh Liu-hiang mandah tertawa-tawa, namun tidak menjawab.

Terdengar dua kali batuk-batuk lirih dari batu undakan yang menembus ke bawah tanah ini. Maka muncullan tiga bayangan orang dengan langkah pelan-pelan.
Ketiga orang sama-sama mengenakan jubah serba hitam, sama-sama memanggul pedang di punggungnya, segera Oh Thi-hoa mengenali mereka, adalah orang-orang yang tadi bergebrak melawan Coh Liu-hiang. Cuma sekarang mereka sama menanggalkan kedok mukanya, sikap ketiga orang sama angker berwibawa, namun bentuk dan perawakan ke tiganya berbeda satu sama lain. Yang ditengah dan terdepan adalah seorang kakek tua yang bermuka seperti baskom perak dengan biji mata terang dan beralis tebal. Walau sekarang sudah jadi hartawan dan ketiban rejeki besar pastilah masa mudanya dulu adalah seorang laki-laki ganteng yang romantis. Ditengah alisnya yang rada berkerut kelihatan rada marah, sikapnya kelihatan keras dan tegas, terang sekali orang ini bukan lain adalah, Ciok-kiam Sian Ciok yang terkenal di seluruh jagat itu.

Laki-laki yang di sebelahnya kira-kira satu kepala lebih tinggi dengan perawakan kekar, mukanya putih bersih, meski sikapnya kelihatan serius, namun sorot matanya kelihatan welas asih. Kini kedua alisnya rada berkerut, seolah-olah dirundung persoalan berat.

Dan seorang yang lain berperawakan sedang tidak tinggi juga tidak rendah, raut mukanya biasa saja, sikapnya kalem dan sabar, malah tak menunjukkan sesuatu mimik pada mukanya. Diantara ketiga orang ini, hanya dia seorang yang tidak membawa sikap pambek seorang gagah yang penuh wibawa, tapi hanya dia saja yang berperasaan dingin kaku.

Li Giok-ham suami istri begitu melihat kedatangan ketiga orang ini, segera berlutut tak berani bergerak, orang-orang itu melirikpun tidak kepada mereka berdua, langsung berhadapan dengan Coh Liu-hiang serta menjura bersama.

Berkata Giok-kiam Sian Ciok setelah menghela napas: “Barusan Losiu dikelabui oleh anak yang masih ingusan ini, hampir saja melakukan suatu kesalahan besar yang terampuh, sungguh malu sebenarnya untuk berhadapan dengan Maling Romantis.”

Tersipu-sipu Coh Liu-hiang balas menjura, katanya: “Berat kata-kata Cianpwe, Cayhe mana berani menerima pujian setinggi ini.”

Laki-laki tinggi besar menghela napas pula juga ujarnya: “Selama hidup Losiu percaya belum pernah melakukan suatu perbuatan durhaka dan tercela, tapi sekali ini… ai, peristiwa kali ini sungguh bikin Losiu malu bukan main, semoga Maling Romantis suka memaafkan dosa kesalahan ini.”

“Tidak berani… tidak berani…” hanya itu saja yang bisa terucapkan oleh Coh Liu-hiang.

Siau Ciok membanting kaki, ujarnya: “Persoalan kami pendek saja, Losiu beramai sebetulnya malu untuk berhadapan dengan orang luar pula, tapi kalau urusan tinggal terbengkalai begini dan kami tinggal pergi begitu saja sikap kami lebih tak bisa dipuji lagi, terpaksa kami bertiga memberanikan diri kemari mohon Maling Romantis suka memberi keputusan dan jatuhkan hukuman yang setimpal.”

Sebetulnya Oh Thi-hoa masih merasa sengit dan dongkol terhadap mereka, namun melihat mereka sekarang sudah tidak jaga gengsi dan ketenaran nama selama puluhan tahun, mohon ampun dan minta dihukum terhadap angkatan muda yang masih muda belia, mau tak mau dalam hati dia amat kagum dan tunduk lahir batin, akan jiwa besar mereka. Betul ya betul, salah ya salah, tahu salah mengaku salah. sikap dan pambek seorang angkatan tua dari Bulim seperti ini memang patut dipuji dan dibuat teladan bagi generasi kita yang akan datang.

Sikap Coh Liu-hiang kelihatan amat risi, kikuk dan gelisah, tersipu-sipu dia merendah diri lalu berkata: “Apakah keadaan Li-locianpwe sudah rada baik?”

Sian Ciok menghela napas, ujarnya: “Syukur atas karunia dan belas kasihan Thian, Koan hu-heng karena malapetaka mendapat rejeki besar, tapi karena penyakitnya yang sudah terlalu lama, kondisi badannya sudah teramat lemah, tadi ditekan oleh amarah yang berlimpah limpah lagi, meski penyakit lama sudah berlalu, penyakit baru kembali bangkit, walau kami beramai sudah berusaha menolong dengan saluran hawa murni, namun dalam waktu dekat terang kesehatannya takkan bisa pulih dengan lekas.”

“Bagaimana pula dengan Thi-san totiang?”

“Watak Toheng ini memang teramat keras, seperti lombok, semakin tua semakin pedas, sedikitpun tak terpikir olehnya bahwa sekarang dia sudah lanjut usia, mana dia kuat menahan luka-luka sedemikian berat, tapi meski masih sekuatnya bertahan, namun keadaannya sekarang malah jauh lebih payah dari saudara Koan-hu, untungnya Ling Hwi situa bangka itu adalah seorang tabib kenamaan, kini sedang merawatnya dengan tekun.”

Mendengar sampai di sini airmata Li Giok-ham sudah bercucuran pula, Liu Bu-bi sampai sesenggukkan tak bersuara, berbareng kedua suami istri manggut-manggut membentur kepala di atas lantai, katanya gemetar: “Wanpwe patut mati, memang Wanpwe berdua yang harus mampus!”

Untung kalau mereka tidak buka suara, kata-kata mereka malah menimbulkan kemarahan Siau Ciok, dampratnya: “Kalian masih berani tinggal di sini? Terhadap kamipun kalian berani main tipu, memangnya tidak takut menghadapi hukuman keluarga dari leluhur kalian?”

Li Giok-ham meratap: “Wanpwe tahu dosa kesalahan ini takkan menolong jiwa Wanpwe, memang setimpal untuk menerima hukuman leluhur, cuma Wanpwe mohon sekalian Cianpwe mengampuni jiwanya, dia, dia… sebenarnya tiada sangkut-paut dengan persoalan ini.”

“Kalau dia tiada sangkut-pautnya, memangnya siapa yang ada sangkut-pautnya?” damprat Siau Ciok. “Kebesaran nama Yong cui san-cheng sudah kalian runtuhkan, memangnya harus mempertahankan hidupnya untuk bikin malu di hadapan orang banyak?”

Liu Bu-bi menjerit tangis dengan sedihnya, serunya: “Memang peristiwa ini adalah gara-gara diriku, malah tiada sangkut-pautnya dengan dia, harap para Cianpwe suka mengampuni jiwanya.”

Mendengar tangis dan ratapan mereka yang begitu sedih dan memilukan, Soh Yong-yong dan lain-lain ikut berduka dan haru, sungguh mereka kehabisan akal cara bagaimana untuk memohon ampun bagi suami istri yang setia dan senasib ini.

Tak nyana laki-laki tinggi kekar itu menghela napas pula, timbrungnya: “Kalian tidak perlu bersedih, kami ada mendapat pesan dari saudara Koan-hu seharusnya memberi hukuman setimpal sesuai undang-undang keluarga besar kalian, tapi diatas tadi kami sudah dengar pengakuan kalian, kamipun merasa pengalaman hidup kalian memang harus dikasihani, bukannya kesalahan berat ini tidak boleh diampuni, kami sudah berkeputusan untuk mintakan ampun dan keringanan kepada saudara Koan-hu.”

Siau Ciok membanting kaki berulang kali, katanya menyengir getir: “Tadi sudah kukatakan, akan lebih keras dan banyak mengajar adat mereka, kenapa sekarang kau malah bicara demikian blak-blakan terhadap mereka?”

Laki-laki tinggi besar itu menjawab: “Agaknya mereka benar-benar sudah bertobat, buat apa pula kau harus bikin mereka gelisah dan kepepet putus asa?”

Tak terasa Soh Yong-yong saling adu pandang dengan tersenyum kepada Li Ang-siu, karena mendengar pembicaraan di sini, mereka sudah dapat menerka bahwa laki-laki tinggi besar ini, terang adalah Kun-cu kiam.

Tapi jangan kata Soh Yong-yong dan lain-lain, sampaipun Coh Liu-hiang sendiripun tak tahu asal-usul laki-laki sedang yang bersikap dingin kaku dan bermuka biasa ini. Sepintas lalu usianya agak lebih muda dari Siao Ciok dan Ui Loh-ce, tapi tadi waktu Coh Liu-hiang terkepung didalam barisan, sudah terasa olehnya Lwekang orang ini amat tinggi, ilmu pedangnyapun amat lihai dan ganas, terang tingkatannya tak di bawah Siau Ciok, Thi-san, Ling-Hwi-kek, Ui Loa-ce dan Swe It-hang para Cianpwe yang sama ahli dalam ilmu pedang.

Apalagi kalau toh dia teman karib Li Koan-hu, sudah tentu adalah seorang Cianpwe yang sudah lama angkat nama, namun Coh Liu-hiang justru tidak habis mengerti, diantara tokoh-tokoh kosen para Cianpwe yang dikenal ada seseorang yang mirip seperti orang ini.

Baru saja Coh Liu-hiang hendak tanya nama dan asal-usulnya, tak kira orang sudah membalikkan badan, menggendong kedua tangan, menengadah dengan mendelong, entah apa yang sedang dia pikirkan. Ternyata Siau Ciok atau Ui Loh-ce juga tidak memperkenalkan dia orang kepada Coh Liu-hiang, seolah-olah dia adalah seorang tokoh yang misterius dan mau tidak mau timbul rasa ketarik Coh Liu-hiang terhadap orang yang satu ini.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar