-------------------------------
----------------------------
Bab 8. Sin Cui Kiong
Sudah tentu semua orang sama
tertegun mendengar penjelasan ini. Lama juga suasana dalam bui di bawah tanah
itu sunyi senyap. Akhirnya Oh Thi-hoa pula yang membuka suara sambil mengawasi
Coh Liu-hiang: “Apakah otakmu merupakan barang mestika yang tak ternilai
harganya, kenapa begitu banyak orang yang menginginkan batok kepalamu?”
“Dengan kau, aku tidak
bermusuhan tiada dendam, sebetulnya aku tidak tega dan sudi melakukan perbuatan
sekeji ini untuk membunuh kau, tapi orang itu bilang, racun yang mengeram dalam
tubuhku sudah berakar, paling lama bisa bertahan tiga bulan lagi, dalam tiga
bulan ini jikalau aku tidak berhasil menyerahkan kepalamu kepadanya, dianjurkan
supaya aku lekas mempersiapkan diri untuk ajal.”
Tanpa sadar Coh Liu-hiang
kucek-kucek hidung, katanya: “Sekarang sudah berapa lama?”
“Sudah dua bulan.”
“Apakah omongan orang itu
dapat dipercaya?”
“Jikalau kau tahu siapa dia,
kau tak curiga akan ucapannya.”
“Aku sih tak menduga, ternyata
kau toh perempuan yang takut mati juga.” demikian olok Oh Thi-hoa.
Bercucuran air mata Liu Bu-bi,
katanya sesenggukan: “Aku tidak takut mati, aku hanya… hanya…”
“Hanya apa?” desak Oh Thi-hoa.
Dengan suara serak Li Giok-ham
menyela pula: “Hanya karena aku, dia tidak tega pergi meninggalkan aku seorang
diri, tentunya kau sudah paham bukan?”
“Aku sudah ngerti.” ujar Coh
Liu-hiang.
“Tentunya kau pun sudah tahu,
bahwasanya dia bukan mata-mata dari siapapun. bahwa dia bukan mata-mata
Ciok-koan-im seperti yang kau duga dia hendak merenggut nyawamu lantaran dia
harus mempertahankan hidup.”
“Manusia hidup kalau bukan
demi pribadi sendiri dia akan kualat, untuk ini aku tidak menyalahkan dia. Apa
yang dia lakukan dan perjuangkan memang pantas dan jamak.”
Agaknya Li Giok-ham tidak
menduga Coh Liu-hiang bakal mengeluarkan kata-kata ini, katanya kemudian
setelah terlongong: “Kalau demikian sukalah kau memberi kesempatan kepadanya
untuk melaksanakan keinginannya.”
“Tadi sudah kukatakan, manusia
hidup bukan demi diri sendiri dia akan kualat, meski aku ingin membantu dia,
tapi paling tidak aku harus pikirkan dulu kepentinganku juga.” dengan tajam ia
awasi Li Giok-ham, maka lalu menambahkan dengan tertawa: “Jikalau kau diminta
memenggal kepalamu sendiri untuk membantu orang lain, kau mau tidak?”
Muka Li Giok-ham yang pucat
seketika merah padam, serunya kasar: “Tapi bantuan ini tidak bisa tidak harus
kau lakukan.”
“O? Apa ya?”
“Jikalau kau tidak mau mampus,
biar kelima temanmu ini menebus kematianmu, tentunya kau tidak tega melihat
kelima temanmu ini mampus gara-gara kau bukan?”
“Jikalau kau bunuh mereka,
kalian suami istri…”
“Yang terang kami suami istri
sudah tidak ingin hidup lagi.”
“Agaknya kau ini memang
romantis dan kukuh, demi Bini sendiri tak segan-segan kau melakukan perbuatan
terkutuk apapun… tapi kenapa tak langsung saja kau gunakan Bau hi li hoa ting
di tanganmu itu untuk membunuh aku?”
Li Giok-ham kertak gigi,
serunya sumbang: “Aku tidak yakin berhasil membunuh kau, sekarang merupakan
pertaruhanku yang terakhir kali, aku tidak mau main-main dengan taruhanku ini.”
“Sedikitnya ucapanmu ini
terhitung jujur.”
“Sampai di sini saja ucapanku,
tak berguna kau mengulur waktu biar aku memberi kesempatan terakhir kepadamu
untuk berpikir, setelah aku menghitung lima, kalau kau tidak mampus biar mereka
yang gugur!”
Coh Liu-hiang geleng-geleng
kepala, gumamnya: “Lima hitungan? Kenapa tidak tiga hitungan saja? Bukankah
lebih pendek lebih tegang dan menusuk perasaan?”
Dengan muka membesi Li
Giok-ham mulai hitungannya: “Satu…” karena tegang dan dihayati emosi suaranya
kedengaran serak, dua kali mulutnya bergerak baru hitungan “Satu” terucap
karena dia tahu jikalau Coh Liu-hiang tidak mau mati, meski Oh Thi-hoa, Soh
Yong-yong, Li Ang-siu, Song Thiam-ji dan Mutiara hitam mampus, mereka suami
istripun takkan bisa hidup lebih lama lagi.
Sikap dan mimik Coh Liu-hiang
tetap tenang, seperti tidak rela atau mau jiwanya harus dikorbankan begitu
saja.
“Dua!” dengan suara serak Li
Giok-ham menambah satu hitungan lagi.
Ternyata Coh Liu-hiang tetap
berdiri adem ayem sambil menggendong kedua tangannya, mulutnya menyungging
senyuman malah.
Sungguh Li Giok-ham tak sudi
melihat senyumnya, terpaksa dia melotot kepada Soh Yong-yong dan lain-lain,
sudah tentu diapun tahu tiada seorangpun dari mereka yang mau bilang: “Coh
Liu-hiang, lekas kau mampus saja! Biar kami yang bertahan hidup, kami adalah
orang-orang yang terdesak oleh kau, jikalau kau sudi mati demi kami, seluruh
orang dalam dunia ini akan memuja dan menyanjung dirimu.”
Tapi Li Giok-hampun tidak
mengharap mereka bilang demikian, dia menganggap mereka bilang: “Coh Liu-hiang
sekali-kali kau tidak boleh mati! Biarlah kami yang mati! Kami orang-orang awam
yang tiada berguna hidup dalam dunia fana ini, matipun tidak menjadi soal.”
Lebih besar mereka harapannya
bilang: “Dapat mati demi kau, kami akan mati dengan meram dan terhibur di alam
baka, semoga kau tidak melupakan kami, setiap musim semi pada tanggal kematian
kami, sulutlah dupa di depan pusara kami, kami sudah puas dan tentram.”
Karena Li Giok-ham tahu bila mereka
mengucapkan kata-kata ini, maka terciptalah suatu suasana kepedihan, kegagahan
dan ketukan jiwa yang memilukan. Diapun tahu Coh Liu-hiang sesuai dengan
julukannya sebagai Maling Romantis, pasti hatinya akan terketuk oleh bujukan
kata-kata ini dan berkobar serta mendidih darahnya, sehingga tak bisa
mengendalikan emosi sendiri. Dikala itu umpama dia tak mau mati, maka dia suami
istri pasti akan mampus.
Tapi kenyataan Soh Yong-yong
dan lain-lain tetap bungkam, mereka berdiri tetap tak bergerak ditempat
masing-masing, menunggu dengan tenang, bukan saja tidak tegang, sedih juga
tidak.
Keruan kejut heran dan putus
asa Li Giok-ham dibuatnya, kenyataan orang-orang ini tidak terpengaruh oleh
suasana, memangnya mereka bukan manusia yang berdarah daging dan tidak punya
perasaan dan emosi? Dengan tegang Li Giok-ham menambah hitungannya: “Tiga.”
Mendadak Coh Liu-hiang
tersenyum dan berkata: “Baru sekarang aku paham akan dua hal!”
“Dua hal apa?” tercetus
pertanyaan dari mulut Li Giok-ham.
“Baru sekarang aku paham bahwa
anak didik keturunan Yong-cui san-cheng memangnya tidak bisa melakukan
kejahatan, karena bukan saja kau tak tahu cara bagaimana kau harus melakukan
kejahatan itu, sampaipun cara bagaimana kau harus menggertak dan menakuti
orangpun tidak tahu.” sambil tersenyum dia meneruskan “Jikalau kau ingin orang
takut akan rencanamu, maka kau sendiri jangan takut, jikalau kau sendiri sudah
ketakutan lebih dulu, orang lain mana bisa kau bikin takut?”
Oh Thi-hoa bergelak, serunya:
“Tidak salah, begitu pula bagi seorang yang suka humor, sekali-kali dirinya
tidak boleh tertawa diwaktu mengucapkan kata yang lucu dan menggelikan, jikalau
kau sendiri sudah terpingkel-pingkel, meski ceritamu amat lucu dan menarik,
orang lain tidak akan tertawa melihat kelakuanmu sendiri.”
Li Giok-ham gusar, dampratnya:
“Kau kira…”
Li Giok-ham gusar, “Kalian
sangka…”
Coh Liu-hiang tidak beri
kesempatan dia bicara tukasnya: “Anak didik dari keluarga elite seperti kalian
ini masih mempunyai suatu ciri yang paling fatal.”
“Ciri apa?” hampir saja Li
Giok-ham tak bisa tahan diri, hendak bertanya. Tapi akhirnya dia urungkan malah
menggembor keras: “Empat!”
Hakekatnya Coh Liu-hiang tidak
hiraukan pada hitungannya, katanya lebih jauh: “Ciri kalian yang terbesar
adalah tidak punya pengalaman Kangouw sama sekali, soalnya kalian sendiri tidak
perlu berkecimpung dan berusaha di kalangan Kangouw berjuang dan bersusah payah
untuk mencari hidup, kalian dilahirkan sudah hidup dalam kemewahan, merasa
derajat sendiri jauh lebih tinggi dari orang lain, oleh karena itu sedikit
banyak kalian sama berpandangan cupat dan sempit, anggap segalanya serba bisa,
serba tahu dan serba punya, oleh karena itu tidaklah heran bila kalian sering
lalai, ceroboh dan gampang keblinger.”
Mendadak dia tuding Bau hi li
hoa ting ditangan Li Giok-ham, katanya lebih lanjut: “Umpama kata, alat Bau hi
li hoa ting ini sekarang merupakan tameng kehidupanmu, kalian suami istri kini
hanya mengandal akan alat itu, apakah pegasnya tetap bekerja normal? Tidak kau
lihat apakah kotak itu memang benar ada isinya?”
Sikap Li Giok-ham seperti kena
lecut cambuk, katanya dengan serak: “Bau hi li hoa ting selamanya belum pernah
gagal…”
“Tiada sesuatu yang abadi dan
tak pernah salah didalam dunia ini, sampaipun matahari ada kalanya digigit
anjing langit “gerhana”, kenapa pula Bau hi li hoa ting ini tak mungkin gagal?
Bukan mustahil alat dan pegasnya sudah karatan? Mungkin pula ada ulat-ulat
kecil yang tiba-tiba menyusup ke dalam, sehingga lobang jarumnya tersumbat?”
Hidung Li Giok-han pun sudah mulai
basah oleh keringat, tangan yang memegangi alat senjata rahasiapun mulai
gemetar.
Berkata Coh Liu-hiang lebih
lanjut dengan tawar: “Apalagi, umpama alat ini tak pernah gagal, sekarangpun
tak berguna lagi, karena bahwasanya alat ini kosong, kemaren malam waktu kami
menghadapi Thian-lo-te-hong suami istri paku-paku didalamnya sudah kita
sambitkan seluruhnya.”
Tiba-tiba Li Giok-ham
terbahak-bahak, katanya: “Kau kira aku ini anak umur tiga tahun, masakah
gampang kau gertak dengan omongan kentutmu ini? Biar kuberitahu terus terang,
ocehanmu hakekatnya tiada sepatah kata pun yang kupercaya.” Meski nadanya
begitu dan tandas, sebenarnya hatinya sudah goyah, karena orang yang
benar-benar punya keyakinan tidak akan tertawa begitu rupa, tawa semacam itu
tak lebih hanya untuk menutupi kekalutan pikiran dan kekuatiran hatinya.
“Jikalau kau tidak percaya,”
Coh Liu-hiang tetap kalem “kenapa tak kau periksa sendiri?”
“Tidak perlu aku memeriksanya,
tak perlu!” seru Li Giok-ham dengan geram. Mulut mengatakan tidak perlu, namun
tak tertahan biji matanya sudah melirik ke arah kotak yang dipegangnya, tangan
yang lain tanpa sadarpun terangkat mengelus bagian permukaannya. Bahwasanya
apakah kotak ini berisi atau kosong hakekatnya dia tidak akan bisa melihat dan
merasakan, tak mungkin teraba oleh tangannya pula, maklumlah karena ketegangan
urat syarafnya saja yang tak bisa mengendalikan perasaan diri sendiri lagi.
Tepat disaat biji matanya
melirik itulah, meski hanya sekilas, laksana anak panah tiba-tiba badan Coh
Liu-hiang melenting menubruk maju.
Sudah tentu kejut dan murka Li
Giok-ham bukan kepalang, namun berkelitpun sudah tak sempat lagi. Meski gerak
reaksinya cukup cepat, namun tiada sesuatu gerakan apapun yang bisa menandingi
kecepatan gerak Coh Liu-hiang. Dikala dia sadar dirinya kena tipu Coh Liu-hiang
sudah angkat kedua tangannya tinggi ke atas kepala, ditengah pergumulan seru
itu, entah jari-jari siapa yang menyentuh tombol alat senjata rahasia Bau hi li
hoa ting itu. “Bung” sinar perak laksana kilat sama ramai, dua puluh tujuh
batang Li-hoa ting seluruhnya amblas tak kelihatan.
Seluruh tenaga dan semangat Li
Giok-ham seakan-akan ikut melesat keluar, ikut menyertai seluruh paku-paku Li
hoa-ting yang merupakan sandaran hidupnya, sekujur badannya seakan akan menjadi
hampa dan melompong tak bersukma lagi, “Tang” kontan alat senjata rahasia
itupun tak kuat dipegangnya lagi, jatuh berkelontangan di atas lantai.
Peristiwa ini berlangsung
dalam waktu yang teramat singkat, suara dikala Li hoa-ting itu melesat keluar
lalu menancap diatas batu, disusul suara kelontangan dari alat senjata rahasia
yang jatuh itu, boleh dikata hampir berlangsung dalam waktu yang bersamaan,
kejap lain suasana menjadi hening lelap, seperti tiada kehidupan lagi dalam
alam semesta ini.
Tampak tangan kiri Coh
Liu-hiang menyanggah tangan kanan Li Giok-ham, sementara sikut tangan kanannya
menyelinap diantara ketiak kiri Li Giok-ham. Li Giok-ham sendiri seperti orang
yang sudah kehilangan sukma, bukan saja matanya tidak mengawasi Coh Liu-hiang
atau mengawasi orang-orang di sekitarnya, dengan mendelong dia mengawasi kedua
puluh tujuh paku-paku yang amblas masuk ke dalam batu di atas langit-langit.
Sebetulnya Liu Bu-bi sudah
melangkah hendak menerjang Coh Liu-hiang, tapi baru selangkah tiba-tiba dia tertegun
dan menjublek di tempatnya. Diapun tak mengawasi Coh Liu-hiang, hanya mengawasi
Li Giok-ham seperti orang linglung, sepasang matanya yang indah jeli itu penuh
diliputi rasa pilu, rawan dan duka, penuh diliputi derita, juga terkandung rasa
cinta yang tak terhingga. Dia tidak mengucurkan air mata, namun sorot matanya
jauh lebih memilukan dari pada mengucurkan airmata.
Begitu sergapan Coh Liu-hiang
berhasil, sudah tentu Oh Thi-hoa, Soh Yong-yong, dan lain-lain berjingkrak
kegirangan, namun tiada satupun diantara mereka yang bergerak dan bersuara,
tertawa atau bicarapun tidak.
Seolah-olah mereka sama haru
akan nasib dan liku-liku percintaan kedua suami istri yang mengalami berbagai
rintangan dan gemblengan, rasanya segan dan tak tega lagi melukai hati mereka,
karena meski perbuatan mereka selama ini amat tercela dan menyakiti hati
mereka, betapapun pengalaman hidup mereka jauh lebih harus dikasihani.
Tiba-tiba Song Thiam-ji
mendekap mukanya, pecahlah tangisnya sesenggukkan. Memang selamanya jarang orang
bisa meraba kapan nona-nona muda yang dimabuk asmara bisa mengucurkan air mata,
karena sembarang waktu kemungkinan saja menghadapi setiap persoalan,
gadis-gadis itu bakal menangis, mungkin saja lantaran cinta mereka mengalirkan
airmata. Mereka bisa menangis karena sesuatau benda yang indah, namun mungkin
pula bersedih karena melihat suatu tragedi yang tragis.
Mereka bisa menangis lantaran
duka, namun bisa pula mengalirkan airmata karena kegirangan. Malah kemungkinan
pula mereka bisa menangis bukan lantaran suatu persoalan.
Tapi air mata Sing Thiam ji
sungguh airmata kejujuran, airmata murni, seolah-olah dia sudah lupa bahwa
kedua suami istri ini adalah musuh yang dia benci dan ingin dibunuhnya, malah
merekapun ingin membunuhnya. Namun dia menangis begitu pilu, sehingga orang tak
tahan dan sama menyangka dia lebih rela memenggal batok kepala Coh Liu-hiang,
untuk menolong kedua suami istri ini.
Biji mata Li Ang-siu, Soh
Yong-yong dan Mutiara hitam, lambat laun ikut berkaca-kaca dan basah pula oleh
airmata.
Oh Thi-hoa menghela napas,
gumamnya: “Perempuan, oh perempuan… sungguh bikin bingung.”
Coh Liu-hiang tertawa getir,
ujarnya: “Wah, karena tangisan kalian ini, akupun merasa seakan-akan aku inilah
yang memang patut mati.”
Tiba-tiba Li Ang-siu bertanya:
“Kau… bagaimana keputusanmu akan mereka?”
Coh Liu-hiang termenung,
katanya kemudian: “Sudah tujuh kali mereka berusaha membunuh aku.”
“Tapi selanjutnya mereka
takkan bisa mencelakai kau lagi,” ujar Li Ang-siu.
Berkata Soh Yong-yong lembut:
“Tadi kudengar mereka bilang, mereka hanya mencari suatu tempat yang sepi,
hidup tentram ditempat pengasingan untuk beberapa bulan terakhir ini, kau…
bolehlah kau beri kesempatan kepada mereka.”
“Benar, boleh kau lepaskan
mereka saja.” Mutiara hitam ikut menimbrung.
“Bagaimana maksudmu sendiri?”
tanya Coh Liu-hiang kepada Oh Thi-hoa.
“Tidak boleh dilepas…” belum
ucapan Oh Thi-hoa selesai, Song Thiam ji sudah berjingkrak, serunya sambil
banting kaki: “Kenapa tidak boleh dilepas?”
“Kenapa kau ini begitu kejam?”
Li Ang siu menimbrung.
Oh Thi-hoa menarik napas,
katanya: “Jikalau sekarang kita biarkan mereka pergi, berarti membunuh mereka
pula secara tidak langsung. soalnya Liu Bu-bi takkan hidup lama lagi, bila dia
meninggal, apakah Li Giok-ham masih bisa hidup?”
Soh Yong-yong berempat sama
tertegun, “Kau…” Li Ang-siu gugup. “Memangnya kau hendak menolong mereka
malah?”
“Jikalau mereka berhasil
membunuh Coh Liu-hiang, sudah tentu adalah musuh besarku. Namun mereka tidak
berhasil membunuh Coh Liu-hiang, sebaliknya pernah menolong jiwa kami, oleh
karena itu bukan saja mereka adalah teman baikku mereka pula sebagai tuan
penolongku.” sampai di sini Oh Thi-hoa membusungkan dada, katanya keras:
“Memangnya Oh Thi-hoa harus mandah saja mengawasi tuan penolongku mati karena
keracunan?”
Song Thiam ji tiba-tiba
memeluknya, serunya tertawa dengan mengembeng airmata: “Kau memang orang baik.”
kulit mukanya tinggal satu dim di hadapan Oh Thi-hoa.
Oh Thi-hoa seperti merintih,
katanya: “Jikalau kau memeluk lebih kencang dan tidak segera lepaskan, aku akan
menjadi orang jahat.”
Tersipu-sipu Song Thiam-ji
lepaskan pelukannya, mukanya sudah merah malu, namun butiran airmata di pipinya
belum lagi kering, seolah-olah buah apel yang masak basah oleh air embun.
Dengan tertawa besar Oh
Thi-hoa menghampiri terali besi katanya: “Asal kau berterus terang siapa
sebenarnya orang yang dapat menolongmu, kita akan bantu kau meminta obat
pemunahnya kepada dia, jikalau dia tidak mau beri, hehe… jangan pandang si
Kupu-kupu kembang lagi kepadaku kalau tidak kuhajar dia sampai gepeng
kepalanya.”
Li Giok-ham tetap mendelong
mengawasi paku-paku di atas langit-langit. Demikian pula Liu Bu-bi mengawasi
muka Li Giok-ham tanpa berkedip. Seolah-olah kedua suami istri ini tidak
mendengar percakapan mereka.
“Cobalah kau sebutkan.” pinta
Soh Yong-yong lembut, “asal kau mau katakan, mereka pasti akan berdaya mendapat
obat pemunah itu.”
Dari celah-celah terali besi
Li Ang-siu ulur tangan menarik lengan Liu Bu-bi, katanya: “Betapapun sulitnya
urusan ini, Coh Liu-hiang pasti dapat berdaya untuk memperolehnya.”
Akhirnya bercucuran airmata
Liu Bu-bi, katanya pilu: “Sungguh kalian terlalu baik, kebaikan kalian
terhadapku, selama hidupku ini mungkin takkan bisa kubalas.”
“Cobalah kau sebutkan,
terhitung kau sudah membalas kebaikan kita.” ujar Li Ang-siu.
Tiba-tiba Liu Bu-bi menarik
tangannya, katanya gemetar: “Tak bisa kukatakan.”
“Kenapa tidak bisa?” Li
Ang-siu menegas.
Kata Liu Bu-bi dengan airmata
bercucuran: “Karena bila kukatakan, bukan saja tak berguna, malah kalian bisa
celaka karenanya, sekarang aku… sungguh tidak tega aku membuat celaka.”
“Kau kuatir kita terbunuh oleh
orang yang memiliki obat pemunahnya itu?” tanya Li Ang-siu.
Liu Bu-bi mengiakan sambil
manggut kepala.
“Kalau begitu kau terlalu
memandang rendah mereka berdua?” Li Ang-siu tertawa.
“Sampai detik ini memangnya
kau belum percaya bila mereka memiliki kepandaian mujijat yang tiada taranya?”
Song Thiam-ji menimbrung dengan banting kaki.
Liu Bu-bi tertawa sedih,
ujarnya: “Jikalau ada orang bisa merebut obat pemunah itu dari tangan
pemiliknya ini akupun tidak perlu susah payah berusaha hendak memenggal kepala
Coh Liu-hiang, coba kau pikir, bila aku bisa mengundang Say Ih hang, Siau Giok
kiam serta Thian lo te bong suami istri tokoh tokoh sakti lainnya untuk
membunuh Coh Liu-hiang, sudah tentu akupun bisa minta mereka untuk berusaha
meminta obat pemunah bagiku, kenapa aku tidak berbuat demikian?”
“Masakah mengandal para Bulim
Cianpwe itu, masih tidak akan mampu memperoleh obat pemunahnya dari tangan orang
itu?”
“Umpama mereka meluruk bersama
akhirnya akan gugur bersama pula secara sia-sia.”
Baru sekarang Oh Thi-hoa amat
kaget dibuatnya, katanya tersirap darahnya: “Katamu orang itu bisa membunuh Say
It-hang, Siau Giok-kiam dan Thia lo-te-bong serta para Bulim Cianpwe lainnya
secara mudah?”
“Tidak salah.”
Lama Oh Thi-hoa terlongong,
katanya seperti menggumam: “Apa benar ada tokoh sesakti itu dalam dunia ini?
Sungguh aku tak habis percaya.”
Tiba-tiba Coh Liu-hiang ikut
menghela napas, ujarnya: “Tanpa dia jelaskan, sekarang aku sudah bisa menduga
siapa tokoh yang dia maksudkan.”
“Siapa”
“Cui-bok-im-ki”
Begitu menduga Cui-bok-im-ki
ini, kulit muka Oh Thi-hoa seketika seperti dilabur selapis kapur yang tipis
dan memutih jelas serta menyolok, sampaipun sinar matanya pun menjadi pudar.
Yang lainnyapun ikut terbelalak kaget dan seperti mendengar sesuatu nama iblis
yang amat mengerikan. Seolah-olah ke empat huruf nama ini mengandung suatu daya
iblis yang bisa menyedot sukma dan alam pikiran orang, asal mendengar nama ini
orang seolah-olah mendengar suatu berita buruk atau mendapat firasat jelek.
Hanya Mutiara hitam yang lama
menetap di gurun pasir saja, yang seolah-olah tidak terpengaruh akan nama ini,
Maka segera dia bertanya: “Nama Cui-bok-im seperti pernah kudengar, namun tak
ingat lagi siapakah tokoh itu?”
“Cui-bok-im-ki adalah
Sin-cui-nio-nio.” tutur Oh Thi-hoa. “Dialah majikan dari penghuni Sin cui
kiong.”
Baru sekarang roman muka
Mutiara hitam sedikit berubah.
Mengawasi Liu Bu-bi, Coh
Liu-hiang bertanya: “Tidak meleset bukan tebakanku?”
Lama berdiam diri baru Liu
Bu-bi menghirup napas segar, katanya dengan manggut manggut: “Ya, benar memang
beliau adanya.”
Berkata Hek-tin-cu: “Meski
jarang aku masuk ke Tionggoan, namun pernah juga kudengar bahwa Cui-bok-im-ki
adalah orang teraneh nomor satu di Bulim, kabarnya tabiatnya sedikit mirip
Ciok-koan-im selama hidupnya amat membenci kaum laki-laki, perduli laki-laki
siapapun asal melirik sekali kepadanya, maka jiwanya pasti tak akan diampuni.”
Oh Thi-hoa mengelus hidung,
katanya tertawa getir: “Kau salah dalam hal ini, sedikit pun tabiatnya tidak
sama dengan Ciok-koan-im, bukan saja Ciok-koan-im tak membenci laki-laki, malah
boleh dikata amat senang bergaul dengan laki-laki, terutama laki-laki yang
cakap ganteng dan dirinya hanya seleranya terhadap laki-laki terlalu besar,
oleh karena itu dia selalu ingin mencicipi yang segar, yang baru.”
Liu Bu-bi menghela napas
ujarnya: “Tapi Cui-bok-im-ki memang benar-benar membenci laki-laki, menurut apa
yang ku tahu dalam dunia ini tiada seorang laki-lakipun yang pernah berdekatan
apalagi bersentuhan sama dia, maka dalam Sin-cui-kiong takkan ada bayangan
seorang laki-lakipun.”
“Tapi akupun tahu jelas.”
timbrung Mutiara hitam, “bahwa tabiatnya memang sering berubah, senang dan
gusar tidak menentu walau amat membenci laki-laki, namun jiwanya tidak begitu
jahat, juga tidak seperti Ciok-koan-im, selalu berusaha mencelakai jiwa orang
lain.”
“Benar,” sela Coh Liu-hiang,
asal orang lain tidak mengganggu dia maka diapun tak akan mengusik orang lain.”
“Lalu kenapa dia ingi membunuh
kau? Memangnya kau pernah menggangu dia?” tanya Mutiara hitam.
“Ya, memang aku pernah
membuatnya gusar” sahut Coh Liu-hiang gegetun.
“Bahwasanya ada permusuhan apa
diantara kalian” tanya Liu Bu-bi. “Akupun tidak tahu, juga tak berani tanya
kepada kalian.”
“Tiga empat bulan yang lalu,”
demikian tutur Coh Liu-hiang, “didalam Sin-cui-kiong mendadak kemalingan,
mereka kehilangan sebotol Thian-it-cui, maka orang-orang Sin-cui-kiong lantas
curiga akulah yang mencurinya.”
“Maka benar kau yang mencuri?”
tanya Liu Bu-bi.
“Sudah tentu bukan aku.”
“Aku percaya pasti bukan
perbuatanmu.” timbrung Oh Thi-hoa. “Jikalau Thian it-sin-ciu mungkin dia mau
mencurinya untuk diminum secara diam-diam, memangnya buat apa dia mencuri Thian
it sin ciu?”
Song Thiam ji tiba-tiba
cekikikan geli, katanya: “Jikalau Thian-it-sin-ciu, aku pasti tahu siapa yang
telah mencurinya. Cui berarti air, ciu adalah arak, cu sama dengan cuka, disini
dimaksud “cemburu”.
Li Ang-siu kontan mendelik,
katanya berbisik sambil gigit bibir: “Setan cilik, kau sendiri yang main
cemburu!” Sudah sekian tahun lamanya mereka hidup berdampingan dengan Coh
Liu-hiang, setiap hari menghabiskan waktu di tengah lautan, maka jiwa dan
pikiran mereka lapang dan terbuka, sembarang waktu tak lupa untuk tertawa. Tapi
kali ini Coh Liu-hiang benar-benar tidak bisa tertawa.
Katanya dengan mengerut
kening: “Macam apakah Thian-it-sin-ciu itu, melihatpun aku belum pernah, namun
orang-orang Sin-cui-kiong justru mencari kesulitan, mereka mengancam kepadaku
supaya dalam satu bulan aku harus sudah berhasil membongkar atau menangkap
siapa sebetulnya pencuri itu, kalau aku gagal mereka akan membuat perhitungan
dengan aku.”
“Apa kau berhasil menemukan
siapa orang yang mencuri itu?” tanya Liu Bu-bi.
“Ketemu sih sudah, malah
urusannya sudah kubongkar, namun kejadian yang berlangsung saat itu sungguh
terlalu banyak dan menyibukkan diriku, sehingga terlupakan olehku, batas waktu
yang ditentukan oleh pihak Sin-cui-kiong, maka sampai sekarang aku belum sempat
memberi pertanggungan jawab kepada mereka.”
Oh Thi-hoa geleng-geleng
kepala, katanya: “Seorang laki-laki yang terdidik dan terpercaya mana boleh
lupa diri akan janji pertemuan dengan seorang perempuan? Tak heran bila orang akan
mencari perkara kepadamu, aku sih takkan menyalahkan mereka.”
Li Ang-siu muring, katanya
merenggut: “Bahwasanya tak perlu mengingat janji dengan mereka, itu waktu
hakekatnya dia sedikitpun tidak punya pegangan, apalagi urusan itu tiada
sangkut pautnya dengan dirinya, namun begitu dia berhadapan dengan gadis montok
yang kerlingan matanya sehangat air laut, kepalanya lantas pusing tujuh
keliling, secara ceroboh dia terima dan berjanji terhadap orang, sekarang
Sin-cui-kiong…”
Tiba-tiba Song Thiam-ji cekikikan
lagi, katanya: “Sin-cui-kiong tak perlu dibuat heran dan takut, jikalau mereka
berani kemari, yang terang pihak kita sudah ada Ciangbun cin Sin cui kiong
untuk menghadapinya.”
Sebetulnya Li Ang siu dan Song
Thiam ji cukup tahu saat-saat seperti ini bukan waktunya untuk berkelakar,
soalnya mereka merasa air mata yang bercucuran di sini sudah terlalu banyak,
maka mereka hendak menciptakan suasana lain yang riang dan penuh gairah hidup.
Karena mereka berpendapat didalam orang-orang menghadapi suatu kesulitan dan
mara-bahaya, airmata hakekatnya tidak akan bisa menyelesaikan atau mengakhiri
persoalan. Hanya gelak tawa saja satu-satunya senjata terampuh untuk menghadapi
kesulitan dan mara-bahaya atau kedukaan.
Akan tetapi lambat laun
merekapun insaf, bukan saja tawa riang mereka tidak berhasil menyapu suasana
yang rawan dan perasaan duka orang, malah terasa kelakar ini merupakan suatu
pukulan batin yang menambah pilu dihati.
Memang melihat tawa riang
mereka yang begitu lebar, sikap Liu Bu-bi sebaliknya semakin tawar dan pilu,
karena dia selalu merasakan kebahagiaan orang lain, hanya dirinya saja yang
diliputi kehidupan yang sengsara. Lambat laun Thiam-ji dan Li Ang-siu tak kuasa
meneruskan tawanya.
Baru sekarang Liu Bu-bi sadar
bahwa mereka masih terkurung didalam sel, maka pelan-pelan tangan kanannya
terangkat menekan sebuah tombol di atas dinding, terali besi itu segera
membuka, kedua sisi melesat ke dalam dinding. Pelan-pelan dia lalu berpaling
kearah Coh Liu-hiang serta menjura hormat: “Berkat luhur budi Maling Romantis
yang tak membunuh kami suami istri, hari kami sudah senang dan berterima kasih,
sungguh tidak bisa dan tidak ingin minta bantuan Maling Romantis untuk menolong
jiwa kami pula, selanjutnya semoga….”
Coh Liu-hiang segera menukas:
“Kau tidak usah anggap aku menyerempet bahaya untuk menolong kau, yang terang
aku memang harus pergi ke Sin-cui-kiong.”
Liu Bu-bi geleng-geleng
kepala, ujarnya: “Tempat seperti itu lebih baik kau tidak kesana.”
“Mana mungkin aku tidak akan
kesana, jikalau aku tidak pergi, kesulitan yang akan kuhadapi kelak semakin
berlipat ganda, bahwa Sin-cui-nio-nio bisa memerasmu untuk membunuh aku, maka
diapun bisa suruh orang lain mencelakai aku, memangnya selama hidup aku harus
selalu berjaga-jaga dari sergapan kaki tangannya?”
“Benar.” Oh Thi-hoa menimbrung
dan mengutarakan pendapatnya, “kalau dia sudah ingkar janji, maka perlu dia
kesana memberi penjelasan, kukira Cui-bok-im-ki bukan seorang yang tak kenal
aturan.”
“Jadi kau kira dia seorang
yang kenal aturan?” tanya Liu Bu-bi.
“Jikalau benar dia tidak kenal
aturan, kita juga punya cara tidak kenal aturan untuk menghadapi dia, umpama
kata Sin-cui-kiong adalah gunung golok, lautan api, sarang naga atau gua
harimau, aku orang she Oh juga akan menerjangnya kesana.”
Tiba-tiba Soh Yong-yong
menyela bicara: “Yang terang tiada gunung golok lautan api di Sin cui kiong,
bukan pula sarang naga gua harimau, malah tempat itu merupakan tempat tamasya
dengan panorama terindah di dunia, laksana taman firdaus tempat semayam
dewa-dewi.”
“Benar, hanya kau saja yang
pernah masuk ke Sin cui kiong, bagaimana menurut perasaanmu apa benar tempat
itu amat menakutkan?”
“Dalam pandanganku, sedikitpun
tempat itu tidak menakutkan, malah menyenangkan.”
“O? Lalu?” Coh Liu-hiang
menegas.
“Pernahkah mendengar taman
firdaus didalam dongeng kuno? Sin cui kiong mirip benar dengan taman firdaus,
tempat itu boleh dikata merupakan sorga dunianya manusia, setiba aku di sana
sungguh hampir aku tak mau percaya bila aku berada didalam Sin-cui-kiong yang
sudah terkenal di seluruh jagat, karena di sana tiada kekerasan, tiada
kejahatan, tiada kehidupan yang kasar dan saling membunuh.” Seperti sedang
mengenang gambaran yang pernah dialaminya, Soh Yong-yong melanjutkan: “Waktu
itu kebetulan permulaan musim panas, aku naik sebuah sampan menyusuri sungai
mengikuti arus air, entah berapa lama sudah berselang lama-kelamaan kutemui
kelopak-kelopak kembang mawar yang mengalir mengikuti arus air.”
Tiba-tiba Coh Liu-hiang
bertanya: “Apakah ada juga bunga rampai?”
“Memang diantara sekian banyak
kelopak kelopak kembang itu ada bunga rampai yang wangi, hembusan angin
sepoi-sepoi membawa bau harum yang memabukkan, duduk di atas sampan, bukan saja
seperti berada dialam lukisan, malah seperti berada didalam dongeng.”
Begitu indah kisah ceritanya,
sampai Oh Thi-hoa melongo mendengarkan.
Tutur Soh Yong-yong lebih
lanjut: “Seperti mabuk, seperti linglung pula saking kesima, entah berapa lama
sampanku terhanyut, lama kelamaan melalui sebuah celah-celah lamping gunung,
kedua sisi sungai tumbuh rumput-rumput yang tebal dan lebat, keadaan gelap
gulita, kelima jariku sendiri tak kelihatan. Dengan dayung aku menyingkirkan
rumput-rumput yang mengandung air, beberapa kejap kemudian pandangan tiba-tiba
terbuka lebar, tiba-tiba selayang mata memandang ratusan jenis bunga-bunga
terbentang di depan mata, bagai permadani, itulah sebuah lembah yang indah dan
sejuk, di sebelah kanan tampak sebuah air terjun menumpahkan airnya dari puncak
batu, suasana tentram damai, sungguh mengetuk sanubari, diantara gerombolan
pepohonan yang lebat ditaburi kembang-kembang itu, tampak gardu gubuk dan
panggung-panggung, dan yang mengherankan ratusan macam jenis burung-burung
besar kecil sama bersarang ditempat itu, melihat manusia mereka tidak takut,
malah beberapa ekor diantaranya ada yang terbang hinggap di atas kedua pundakku
seolah-olah hendak bicara dengan aku.”
Keindahan alam yang dilukiskan
laksana gambar lukisan, seperti syair dengan uraian suara nan merdu lembut,
sungguh mengasyikkan.
Li Ang-siu menghela napas
pelan-pelan, katanya: “Kalau tahu Siu-cui-kiong merupakan dunia indah tempat
bersemayam dewata, pasti aku minta ikut kau kesana.”
Tiba-tiba Liu Bu-bi bertanya:
“Tapi cara bagaimana nona bisa tahu bila sungai kecil itu adalah jalan untuk
menembus ke dalam gunung?”
“Aku punya seorang bibi,
beliau adalah murid Sin-cui-kiong, pernah aku diberitahu bila hendak mencari
beliau cara bagaimana aku harus masuk kesana, sudah tentu rahasia ini beliau
larang aku memberi tahu kepada orang lain.”
Berkedip-kedip mata Song
Thiam-ji, tanyanya: “Apakah bibimu tinggal di gubuk ditengah tengah keliling
kembang indah itu?”
“Belakangan baru aku tahu
gardu dan gubuk-gubuk diantara semak-semak kembang itu ternyata adalah tempat
tinggal murid-murid Sin cui kiong, karena hoby masing-masing berlainan, maka
bentuk bangunan tempat tinggal merekapun berlainan.”
“Tempat seperti apa tempat
tinggal bibimu?” tanya Li Ang-siu.
“Beliau tinggal didalam dua
bilik gubuk yang mungil, bagian depannya dipagari bambu, didalam pekarangan ada
ditanam seruni, belum saatnya berkembang tapi begitu aku tiba di sana, aku toh
cukup dibuat terpesona.”
Oh Thi-hoa menghela napas,
katanya seperti mengigau: “Agaknya Cui-bok-im-ki masih jauh lebih baik daripada
Ciok-koan-im menghadapi murid-muridnya.”
“Sayang sekali setiba disana,
aku dilarang keluar dan kelayapan.” demikian tutur Soh Yong-yong lebih lanjut.
“Terpaksa aku mengeram diri dalam rumah bibi, karena dia memberi peringatan
kepadaku jikalau sembarangan kelayapan keluar, seketika aku bakal ketimpa
bencana yang mengancam jiwa.”
“Bencana apa?” tanya Coh
Liu-hiang.
“Beliau tidak jelaskan bencana
apa yang terang aku disekam dalam rumahnya sehingga tiada seorangpun yang
melihat kehadiranku di sana, maka nona Kianglam Yan itupun tidak sempat kulihat
di sana.”
“Kalau begitu kaupun tidak
bertemu dengan Cui-bok-im-ki?” tanya Coh Liu-hiang.
“Tidak.”
“Kau pun tidak tahu di sebelah
mana tempat tinggalnya?”
“Tidak tahu” sahut Soh
Yong-yong menghela napas. “Sungguh aku ingin bisa bertemu dengan tokoh Bulim
yang terkenal ini, namun bibi berpesan wanti-wanti kepadaku, betapapun dia
melarang aku pergi menemuinya, namun aku berani pastikan bahwa diapun tinggal
di dalam lembah permai itu, mungkin tinggal ditengah hutan buah Tho di seberang
rumahnya, atau mungkin pula menetap didalam biara kecil yang terletak di lereng
bukit itu.”
“Biara? Memangnya di dalam Sin
cui kiong juga ada Nikoh?”
“Katanya Cui-bok-im-ki adalah
seorang ibadat yang fanatik dengan ajarannya, maka dia mengijinkan Biau-ceng Bu
Hoa untuk berkhotbah didalam lembah itu.”
Coh Liu-hiang menepekur,
katanya kemudian: “Kalau demikian, memang dia kemungkinan tinggal didalam biara
itu!”
“Tapi menurut apa yang
kutahu,” demikian Soh Yong-yong melanjutkan ceritanya, “Bu Hoa sendiripun belum
pernah melihatnya, setelah masuk ke dalam lembah, setiap hari Bu Hoa hanya
duduk di atas batu panggung yang besar di depan air terjun itu berkotbah selama
dua jam, diapun tahu setiap hari Cui-bok-im-ki pasti mendengarkan khotbahnya,
namun selama itu tidak tahu dimana sebenarnya dia orang berada.”
“Sungguh seorang tokoh yang
misterius.” ujar Coh Liu-hiang, “jauh lebih misterius dari apa yang pernah
kubayangkan.”
“Tapi keadaan Sin-cui-kiong
sebaliknya tidak semisterius yang kubayangkan, semula kukira tempat itu tentu
amat seram dan menakutkan, siapa tahu tempat itu justru begitu indah dan permai
dari kebanyakan tempat lainnya.”
Tiba-tiba Liu Bu-bi
menyeletuk: “Jangan kalian lupa diri, aku sendiripun pernah pergi ke
Sin-cui-kiong.”
“Sudah tentu kau pernah pergi
kesana.” ujar Oh Thi-hoa.
“Menurut apa yang kutahu,
Sin-cui-kiong bukan tempat seindah yang dilukiskan oleh nona Soh.”
“Oh?” Oh Thi-hoa heran,
“Memangnya ada perbedaan apa didalam Sin-cui-kiong yang pernah kau alami?”
“Jauh sekali bedanya,” sahut
Liu Bu-bi, lalu dia menyambung dengan suara lebih tegas: “Sin-cui-kiong yang
dilihat nona Soh adalah alam tamasya laksana peraduan dewata, sebaliknya Sin
cui kiong yang kulihat sebaliknya mirip neraka.”
Seluruh hadirin menjublek dan
melongo ditempat masing-masing.
Berkata Liu Bu-bi lebih
lanjut: “Aku tidak mendapat petunjuk bibi untuk melalui jalan yang ditunjuk,
maka perlu menghabiskan banyak waktu, aku berhasil mencari-tahu kepada seorang
yang mengetahui seluk beluknya, ternyata bagi orang yang hendak berkunjung ke Sin
cui kiong harus melalui Bo-dhi-am.”
Berkerut alis Oh Thi-hoa,
katanya: “Kalau Bo dhi-am itu punya hubungan yang begitu erat dengan Sin
cui-kiong, tentunya merupakan suatu tempat yang terkenal, kenapa selama ini
belum pernah kudengar nama biara ini?”
“Soalnya Bo-dhi-am yang ini
tidak lebih hanya sebuah biara kecil yang sudah bobrok.” demikian tutur Liu
Bu-bi. “Penghuni biara kecil bobrok ini hanya seorang Nikoh yang sepintas lalu
usia Nikoh ini kira-kira sudah mencapai tujuh delapan puluh tahun, agaknya malah
seorang bisu dan tuli. Akan tetapi bagi siapapun yang hendak pergi ke Sin
cui-kiong maka dia harus membeberkan tujuan dan keinginannya hendak menuju ke
Sin cui-kiong kepada Nikoh bisu tuli ini.”
“Kalau toh Nikoh itu bisu
tuli, masakah dia bisa mendengar ucapan orang?” tanya Oh Thi-hoa.
“Jikalau dia tidak mengijinkan
kau masuk ke Sin cui kiong, maka dia lantas bisu dan tuli betapapun kau meratap
dan mohon kepadanya, dia anggap tidak mendengar, tapi bila dia mau membawamu
masuk, setiap patah kata-katamu dia bisa mendengarnya dengan jelas.”
“Baik juga caranya ini,” ujar
Oh Thi-hoa tertawa geli.
“Setelah aku kemukakan
alasanku kenapa ingin masuk ke Sin cui kiong kepadanya, lama lama dia berdiam
diri mendadak dia menuang secangkir teh suruh aku meminumnya.”
“Apa kau meminumnya?” tanya Oh
Thi-hoa.
“Bagaimana mungkin aku tidak
meminumnya?” Liu Bu-bi tertawa, “Sudah tentu akupun tahu bahwa air teh ini
tentu tidak enak rasanya, setelah kuminum kontan aku jatuh pingsan, waktu aku
siuman kembali, tahu-tahu sudah terkurung didalam sebuah keranjang menjalin,
keranjang menjalin yang basah kuyup seperti keranjang yang sudah lama terendam
didalam air, sudah tentu sekujur badankupun basah kuyup.”
Sejak tadi Li Giok-ham berdiri
mematung seperti kehilangan semangat dan daya pikirnya, baru sekarang dia
menghirup napas panjang dengan penuh perasaan kasihan dan kasih sayang
mengawasi istrinya.
“Untung keranjang itu terbuat
dari menjalin” demikian tutur Liu Bu-bi lebih lanjut, “tutupnyapun tidak
terkunci maka aku dapat merayap keluar dari keranjang baru kudapati diriku
berada didalam sebuah lorong di bawah tanah, keadaan gelap-gulita, yang
terdengar hanya suara gemerciknya air yang mengalir tapi aku sendiri sukar
membedakan dari mana kumandang suara itu datangnya.”
“Didalam Sin-cui-kiong pasti
terdapat suatu sumber air, paling tidak hal ini tidak perlu diragukan” demikian
Coh Liu-hiang utarakan pendapatnya.
Oh Thi-hoa melototkan mata,
ujarnya: “Kalau Sin-cui-kiong tiada air memangnya ada arak saja?”
“Karena tiada apa-apa yang
kulihat terpaksa aku berlalu menggeremet dan meraba-raba bukan saja tidak tahu
berapa panjang lorong di bawah tanah ini, akupun tidak tahu, kemana lorong ini
akan menembus.”
“Tapi paling tidak kau bisa
berkepastian, didalam lorong bawah tanah ini terang takkan ada orang yang akan
membokongmu, karena paling tidak Cui-bok-im-ki bukan orang yang suka atau sudi
mencelakai jiwa orang secara menggelap.” demikian ujar Oh Thi-hoa.
Sebetulnya dia bermaksud baik
mengutarakan pendapatnya ini, tak nyana justru menusuk-nusuk kelemahan Liu
Bu-bi, raut mukanya yang pucat seketika merah, katanya menunduk: “Waktu itu
meski mata dan telingaku tak berguna lagi, namun hidungku masih amat berguna,
karena didalam lorong itu aku mengendus berbagai bau yang aneka ragamnya.”
“Ba… bau apa?” tanya Li
Ang-siu merinding.
“Semula ku endus bau lembab,
disusul bau sesuatu yang hangus seperti ada sesuatu yang terbakar sampai
kering, belakangan ada pula bau anyirnya darah, bau besi karatan, bau tanah,
bau kayu dan banyak lagi…” terunjuk rasa seram dan ketakutan pada muka dan
sorot matanya, suaranya jadi gemetar: “Meski tiada seorangpun yang akan
membokongku tiada jebakan atau perangkap apapun, tapi hanya bau-bau yang
beraneka ragamnya itu, sungguh sudah membuatku hampir gila.”
Tak tahan bertanya Oh Thi-hoa:
“Bau-bau itu kan tidak bisa melukai kesehatanmu, memangnya kenapa menakutkan?”
“Sebetulnya memang tidak
pernah terpikir olehku dalam hal apa bau-bau itu kok menakutkan, tapi pada saat
itu baru benar-benar kusadari tiada suatu peristiwa apapun yang benar-benar
lebih menakutkan dari bau-bau itu,” suaranya sudah menjadi serak, katanya lebih
lanjut: “Waktu aku mengendus bau hangus terbakar, wujudnya belum terasakan
seolah-olah tengah berjalan di atas sebuah bangku, seperti sedang dipanggang di
atas bara.”
Song Thiam ji mengkerutkan
pundak, diam-diam dia menggeser ke dekat Li Ang-siu.
“Waktu aku mengendus bau darah
dan besi karatan, terasa seolah-olah diriku diantara tumpukan mayat-mayat,
seperti ada mayat-mayat hidup yang sembunyi dan mengintip diriku
ditempat-tempat gelap sekelilingku, sampaipun menggeremet majupun aku sudah tak
berani lagi, karena aku kuatir begitu kakiku melangkah bakal menginjak mayat,
malah bukan mustahil mayat dari seorang teman baikku sendiri.”
Badan Li Ang-siu jadi gemetar
dan berdiri bulu kuduknya, diam-diam diapun menggeser mendekati Soh Yong-yong
dan sembunyi di belakangnya.
“Setelah aku mengendus bau
kayu dan tanah maka aku sendiri seolah-olah sudah menjadi sesosok mayat yang
sudah terpaku didalam peti mati dan terpendam didalam bumi.” sampai di sini dia
menghela napas, “Semula aku hanya mengira karena melihat sesuatu yang seram,
atau kuping mendengar sesuatu suara yang mengerikan baru hari menjadi ciut. Dan
saat itu baru aku betul-betul insaf bau yang terendus oleh hidung merupakan
suatu yang menakutkan.”
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: “Memang mungkin kejadian itu sendiri jauh lebih nyata dari pada apa
yang terlihat oleh mata dan terdengar oleh kuping, sebaliknya bau yang terendus
oleh hidung yang merupakan sesuatu yang tak bisa kau raba dan tak mungkin kau
lihat, terpaksa kau hanya bisa mengkhayal dan main tebak-tebak, semakin dipikir
semakin seram, ngeri dan menakutkan. oleh karena itu pernah aku bilang, sesuatu
yang paling ditakuti oleh manusia umumnya, bukan terhadap sesuatu benda
tertentu, namun tak lain adalah suatu yang kau khayalkan, sesuatu yang kau
bayangkan sendiri mengenai sesuatu itu didalam benakmu.”
“Oleh karena itu, didalam
lorong bawah tanah itu, meski aku tidak bisa melihat apa-apa tak mendengar
apa-apa, tapi toh aku sudah tersiksa dan menderita sampai kehabisan tenaga,
sampaipun tenaga untuk berjalanpun tiada lagi.” demikian tutur Liu Bu-bi.
Song Thiam-ji sekarang sudah
mendekam ke dalam pelukan Li Ang-siu, namun mulutnya masih berani bertanya:
“Akhirnya… bagaimana?”
Anak-anak perempuan kebanyakan
memang mempunyai ciri-ciri yang sama, semakin mendengar cerita yang seram
menakutkan, semakin getol mereka ingin mendengar kelanjutannya.
“Pada saat itulah, didalam
lorong gelap itu tiba kumandang sebuah suara orang, kedengarannya suara itu
begitu merdu, lembut dan menarik perhatian, tapi pada waktu itu aku hanya
merasakan suara itu begitu dingin, kosong, bukan suara manusia.”
“Dia… dia… apa yang dia
katakan?” tanya Song Thiam-ji gelagapan.
“Dia bilang dia sudah
memeriksa penyakitku, diapun sudah tahu racun apa yang bersarang didalam
badanku, tapi bila aku ingin dia berusaha menolong jiwaku, dia minta… minta…”
“Minta batok kepalaku sebagai
tumbal, sebagai persyaratannya, benar tidak?” Coh Liu-hiang menyambung.
Tertunduk kepala Liu Bu-bi
katanya: “Meski aku sudah meratap dan menyembah-nyembah kepadanya, kutanya
adakah imbalan lain yang kutempuh, tapi dia tidak hiraukan diriku lagi, suaraku
sudah serak, namun dia tetap seperti tidak mendengar.”
“Kalau demikian kaupun tidak
bertemu dengan Cui-bok-im-ki?” kata Coh Liu-hiang.
“Bukan saja aku tidak pernah
melihat beliau, malah satu diantara murid-muridnyapun tiada yang kujumpai.”
“Cara bagaimana pula kau bisa
pulang?” tanya Oh Thi-hoa.
“Entah berapa lama aku
bertangisan, tiba-tiba hidungku mengendus sesuatu bau aneh, bau yang wangi,
seolah-olah hembusan angin sepoi-sepoi musim semi yang masuk dari jendela.
seolah-olah bau harum didalam pelukan ibunda yang sedang menyusui bayinya, begitu
mengendus bau ini, tanpa terasa aku lantas tertidur pulas.”
“Waktu kau siuman pula, kau
sudah kembali didalam Bu-dhi-am itu?” tanya Oh Thi-hoa. “Ya, benar.” sahut Liu
Bu-bi. “Waktu aku siuman pakaianku sudah kering. Nikoh tua itu sedang duduk di
hadapanku, tangannya masih memegangi cangkir teh yang barusan kuminum itu,
seperti tiada pernah terjadi sesuatu, waktu kutanya dia dan kuminta kepadanya,
sepatah katapun seperti tak mendengar lagi.”
Kaki tangan Song Thiam-ji
menjadi dingin, suaranya gemetar: “Kau… seolah-olah kau seperti sedang
bermimpi?”
“Benar, sampaipun aku sendiri
sukar membedakan, sebetulnya aku sedang bermimpu? Atau mengalami suatu kejadian
yang benar-benar kenyataan?”
Li Ang-siu ikut menarik napas
lega, katanya getir: “Mendengar ceritamu, aku ingin benar bisa masuk kedalam
Sin-cui-kiong.”
Mengawasi Soh Yong-yong,
berkata Song Thiam-ji: “Sin-cui-kiong… Sin-cui-kiong. Sebetulnya tempat macam
apakah itu?” pertanyaan seperti ini dia tujukan kepada Soh Yong-yong, namun
diapun tak menginginkan jawabannya, karena dia tahu Soh Yong-yong pasti takkan
dapat menjawabnya.
Kembali semua berdiam diri,
hati masing-masing dirundung berbagai pertanyaan. Apa benar Sin cui kiong
merupakan alam dewata, seperti yang dituturkan Soh-yong-yong? atau merupakan
tempat seperti neraka yang penuh diliputi misteri dan menakutkan seperti yang
dituturkan Liu Bu-bi?
Kembali Oh Thi-hoa melakukan
kebiasaannya mengelus hidung, gumamnya: “Mungkin kalian pergi kedua tempat yang
berlainan.”
“Dalam kolong langit ini hanya
ada satu Sin cui kiong, tak mungkin ada tempat kedua.” jawab Liu Bu-bi tegas.
“Tempat yang kudatangi itu,
terang adalah Sin cui kiong, pasti takkan salah” Soh Yong-yong amat yakin akan
pengalamannya. Nada mereka sama-sama tegas dan tandas.
“Kalau orang lain yang
bercerita mungkin bisa keliru, dan aku mungkin tak mau percaya, tapi kalian
nona-nona sama yakin, kemungkinan memang…” Oh Thi-hoa tidak ragu-ragu lagi,
setelah merandek dia mengawasi Liu Bu-bi, katanya: “Setelah kau tiba ditempat
itu, seorangpun kau tidak melihatnya, dengan keyakinan apa kau berani
memastikan diri bila kau sudah berada di Sin cui kiong?”
Li Ang siu lekas menyambung:
“Benar! Dari mana kau tahu bila Nikoh tua dalam Bo dhi-am itu pasti akan
mengantarmu pergi ke Sin cui kiong?”
Bersinar biji mata Soh
Yong-yong diapun berebut bicara: “Siapa yang beritahu kepadamu, harus lewat Bo
dhi-am itu? Bukan mustahil hal ini merupakan perangkap yang sudah direncanakan
lebih dulu oleh orang itu?”
“Perangkap?”
“Benar! Perangkap!” Soh Yong-yong
menegaskan, “bukan mustahil orang itu sama dia… ada permusuhan dengan Coh
Liu-hiang, maka sengaja dia memasang perangkap untuk menipu kau, sudah tentu
Nikoh tua dalam Bo dhi-am itupun komplotannya.”
“Sedikitpun tidak salah.” seru
Oh Thi-hoa tepuk tangan, “dia menipumu karena ingin kau membunuh Coh Liu-hiang,
hakekatnya mereka tidak pernah membawamu pergi ke Sin ciu kiong.”
“Setelah kau minum air teh
itu,” timbrung Li Ang siu, “kau sudah pingsan, mereka boleh sembarang membawamu
ke suatu tempat yang terang kau toh tidak tahu.”
Liu Bu-bi menepekur sesaat
lamanya, katanya: “Memang bukan beralasan apa yang kalian uraikan.”
“Sudah tentu masuk diakal”
ujar Li Ang siu, lorong bawah biara itu, suara yang kau dengar bukan mustahil
pula adalah perkataan Nikoh tua itu pula.”
Liu Bu-bi menghela napas,
ujarnya: “Tapi kalau toh hal ini menyangkut mati hidupku, masakah aku mau
percaya begitu saja akan petunjuk orang lain? Sudah tentu aku amat percaya
kepada orang yang memberi kisikan padaku mengenai jalan yang harus kutempuh.”
Oh Thi-hoa terkekeh-kekeh,
katanya: “Orang yang terlalu percaya kepada orang lain sering dia celaka
sendiri, tentunya kau jauh lebih paham akan pengertian ini dari orang lain.”
Merah muka Liu Bu-bi, katanya
tertunduk: “Tapi orang ini…. orang ini pasti takkan berbohong.”
“O” Lama juga belum pernah
kudengar ada orang yang tidak pernah membual, aku jadi ingin tahu siapa
sebenarnya orang ini?”
“Beliau adalah Li Ui Loh-ce Ui
lokiam khek yang dijuluki Lun-cu kiam oleh kaum Bulim, kukira kalian pasti
pernah mendengar legenda mengenai sepak terjang beliau orang tua?”
Seketika terkancing mulut Oh
Thi-hoa, karena diapun tahu bila dalam kolong langit ini ada orang yang tidak
pernah membual maka orang itu pasti Kuncu kiam Ti Loh-ce adanya.
Tak tahan bersuara pula Li
Ang-siu: “Memang tidak salah, Ci lo kiam khek ini memang tidak malu dijuluki
Kuncu “sosiawan” yang benar jujur, selama hidupnya belum pernah dia membual
atau menipu orang lain. Lebih harus dipuji dan dikagumi, bukan saja terhadap
teman dia bersikap jujur, meski terhadap musuhnya selamanya dia bicara apa
adanya, selamanya tidak pernah berbohong.”
Song Thiam-ji bertepuk,
serunya tertawa: “Nona Li kita hendak mengeduk pengetahuan dalam perutnya untuk
jual lagak di hadapan kita, memangnya apa yang dia uraikan tak salah, boleh
kita mendengarkan dengan hati lapang!”
Liu Bu-bi menjadi heran dan
membatin: “Nona Li ini masih muda belia, diwaktu Kun cukiam melintang di
Kangouw, mungkin dia belum lahir, namun dari nadanya ini seolah-olah dia amat jelas
mengenai seluk-beluk kehidupan Kun-cu-kiam masa lalu.”
Memang diluar tahunya, bukan
saja Li Ang-siu banyak mengetahui riwayat hidup dan sepak terjang Kun-cu-kiam
masa lalu, malah tokoh-tokoh kosen yang kenamaan di Bulim pun tak sedikit yang
dia ketahui.
Oh Thi-hoa justru bertanya:
“Katamu terhadap musuhpun Ui lo-kiam khek tak mau berbohong, aku jadi tak
mengerti.”
Berkata Li Ang-siu: “Bila kau
bergebrak dengan musuh, kalau lawan bertanya: “Kepandaian apa yang menjadi
keahlianmu? Berapa jurus pula yang paling lihai. Waktu turun tangan kau hendak
menggunakan tipu yang mana? Kau mau beritahu kepadanya tidak?”
Oh Thi-hoa tertawa geli
katanya: “Ha, ha, lucu sekali, bila bergebrak dengan musuh yang diutamakan
adalah permainan isi, kosong yang tidak menentu, sehingga musuh dibuat
keripuhan dan tak mampu membalas, jikalau pihak sendiri mengutarakan serangan
jurus apa yang hendak kau lancarkan, terhitung berkelahi apa dengan lawan?”
“Jadi bila lawanmu bertanya
demikian kau tidak mau menjawab?” Li Ang-siu menegas.
“Kalau orang itu musuh
besarku, sudah tentu aku tidak mau beritahu, tapi yang terang musuhkupun takkan
mengajukan pertanyaan ini kepadaku, karena dia toh tahu aku bukan orang gila,
umpama benar aku menjawab, tentu bukan sejujurnya.”
Li Ang-siu cekikikan, katanya:
“Akupun tahu kau pasti takkan bicara sejujurnya, umpama kau berterus terang,
lawanpun takkan mau percaya, atau tidak berani percaya. Akan tetapi setiap
bergebrak dengan musuh, perduli pertanyaan apapun yang diajukan lawan, setiap
patah pertanyaan pasti dia jawab dengan jelas, dan lagi apa yang pernah dia
katakan pasti tak pernah ditarik dan dikoreksi. Kalau dia bilang jurus terakhir
hendak menggunakan tipu burung terbang kembali ke hutan untuk meraih ikat
kepala lawan, maka dia pasti tak akan menggunakan gadis rupawan menyusup benang
untuk menusuk dada lawannya.”
Oh Thi-hoa melengak katanya:
“Bertempur cara demikian, bukankah dia selalu kena dirugikan oleh musuh?”
“Memangnya lantaran sifatnya
ini, entah sudah berapa kali Ui lo-kiam-khek mengalami kerugian selama
hidupnya, maka setelah orang banyak tahu akan wataknya ini, sebelum mengajaknya
bergebrak pasti bertanya lebih dulu.”
“Meski Lwekang Ui locianpwe
amat tinggi, umpama orang tahu jurus apa yang hendak dia lancarkan juga belum
tentu kuasa menandinginya, tapi bila kebentur lawan yang membekal kepandaian
setanding dirinya, bukankah dia bakal terjungkal ditangan musuh?”
“Memang begitulah kejadiannya,
dalam beberapa kali pertempuran, jelas Ui-locianpwe seharusnya menang, akhirnya
malah kena dikalahkan, dan lantaran dia memang seorang Kuncu sejati, maka meski
lawan berhasil mengalahkan dia, orang toh tidak tega melukainya.”
Liu Bu-bi segera menyambung:
“Apalagi, dengan kejujuran Ui Locianpwe menghadapi setiap kawan dan lawan, maka
pergaulannya amat luas, temannya tersebar dimana mana, para tokoh-tokoh Kangouw
dari tingkatan yang lebih tua, boleh dikata sama adalah sahabat dekatnya maka
umpama dia orang adalah musuh besarnya, orangpun tak akan berani melukainya.”
sampai di sini dia menarik napas dalam, “silahkan kalian pikir, ucapan yang
dikatakan oleh orang macam dia, apakah tidak boleh dipercaya?”
“Kalau demikian tempat yang
kau tuju itu pasti tidak akan salah lagi adalah Sin cui kiong.” ujar Oh Thi-hoa
menghela napas.
“Hal ini tak perlu diragukan
lagi.”
Sesaat lamanya Soh Yong-yong
menepekur katanya: “Sayang sekali dimana sekarang Ui locianpwe berada, kalau
tidak ingin aku mohon beberapa petunjuk kepada beliau.”
Selama ini Coh Liu-hiang
mendengarkan dengan cermat, kini tiba-tiba tertawa, ujarnya “Petunjuk apa yang
ingin kau minta? Silahkan kau utarakan saja, bukan mustahil Ui-locianpwe bisa
mendengarkan pertanyaanmu,”
Melotot biji mata Soh
Yong-yong katanya: “Apa beliau berada disekitar sini?”
Kembali Coh Liu-hiang mandah
tertawa-tawa, namun tidak menjawab.
Terdengar dua kali batuk-batuk
lirih dari batu undakan yang menembus ke bawah tanah ini. Maka muncullan tiga
bayangan orang dengan langkah pelan-pelan.
Ketiga orang sama-sama
mengenakan jubah serba hitam, sama-sama memanggul pedang di punggungnya, segera
Oh Thi-hoa mengenali mereka, adalah orang-orang yang tadi bergebrak melawan Coh
Liu-hiang. Cuma sekarang mereka sama menanggalkan kedok mukanya, sikap ketiga
orang sama angker berwibawa, namun bentuk dan perawakan ke tiganya berbeda satu
sama lain. Yang ditengah dan terdepan adalah seorang kakek tua yang bermuka
seperti baskom perak dengan biji mata terang dan beralis tebal. Walau sekarang
sudah jadi hartawan dan ketiban rejeki besar pastilah masa mudanya dulu adalah
seorang laki-laki ganteng yang romantis. Ditengah alisnya yang rada berkerut
kelihatan rada marah, sikapnya kelihatan keras dan tegas, terang sekali orang
ini bukan lain adalah, Ciok-kiam Sian Ciok yang terkenal di seluruh jagat itu.
Laki-laki yang di sebelahnya kira-kira
satu kepala lebih tinggi dengan perawakan kekar, mukanya putih bersih, meski
sikapnya kelihatan serius, namun sorot matanya kelihatan welas asih. Kini kedua
alisnya rada berkerut, seolah-olah dirundung persoalan berat.
Dan seorang yang lain berperawakan
sedang tidak tinggi juga tidak rendah, raut mukanya biasa saja, sikapnya kalem
dan sabar, malah tak menunjukkan sesuatu mimik pada mukanya. Diantara ketiga
orang ini, hanya dia seorang yang tidak membawa sikap pambek seorang gagah yang
penuh wibawa, tapi hanya dia saja yang berperasaan dingin kaku.
Li Giok-ham suami istri begitu
melihat kedatangan ketiga orang ini, segera berlutut tak berani bergerak,
orang-orang itu melirikpun tidak kepada mereka berdua, langsung berhadapan
dengan Coh Liu-hiang serta menjura bersama.
Berkata Giok-kiam Sian Ciok
setelah menghela napas: “Barusan Losiu dikelabui oleh anak yang masih ingusan
ini, hampir saja melakukan suatu kesalahan besar yang terampuh, sungguh malu
sebenarnya untuk berhadapan dengan Maling Romantis.”
Tersipu-sipu Coh Liu-hiang
balas menjura, katanya: “Berat kata-kata Cianpwe, Cayhe mana berani menerima
pujian setinggi ini.”
Laki-laki tinggi besar
menghela napas pula juga ujarnya: “Selama hidup Losiu percaya belum pernah
melakukan suatu perbuatan durhaka dan tercela, tapi sekali ini… ai, peristiwa
kali ini sungguh bikin Losiu malu bukan main, semoga Maling Romantis suka
memaafkan dosa kesalahan ini.”
“Tidak berani… tidak berani…”
hanya itu saja yang bisa terucapkan oleh Coh Liu-hiang.
Siau Ciok membanting kaki,
ujarnya: “Persoalan kami pendek saja, Losiu beramai sebetulnya malu untuk
berhadapan dengan orang luar pula, tapi kalau urusan tinggal terbengkalai
begini dan kami tinggal pergi begitu saja sikap kami lebih tak bisa dipuji
lagi, terpaksa kami bertiga memberanikan diri kemari mohon Maling Romantis suka
memberi keputusan dan jatuhkan hukuman yang setimpal.”
Sebetulnya Oh Thi-hoa masih
merasa sengit dan dongkol terhadap mereka, namun melihat mereka sekarang sudah
tidak jaga gengsi dan ketenaran nama selama puluhan tahun, mohon ampun dan
minta dihukum terhadap angkatan muda yang masih muda belia, mau tak mau dalam
hati dia amat kagum dan tunduk lahir batin, akan jiwa besar mereka. Betul ya
betul, salah ya salah, tahu salah mengaku salah. sikap dan pambek seorang
angkatan tua dari Bulim seperti ini memang patut dipuji dan dibuat teladan bagi
generasi kita yang akan datang.
Sikap Coh Liu-hiang kelihatan
amat risi, kikuk dan gelisah, tersipu-sipu dia merendah diri lalu berkata:
“Apakah keadaan Li-locianpwe sudah rada baik?”
Sian Ciok menghela napas,
ujarnya: “Syukur atas karunia dan belas kasihan Thian, Koan hu-heng karena
malapetaka mendapat rejeki besar, tapi karena penyakitnya yang sudah terlalu
lama, kondisi badannya sudah teramat lemah, tadi ditekan oleh amarah yang
berlimpah limpah lagi, meski penyakit lama sudah berlalu, penyakit baru kembali
bangkit, walau kami beramai sudah berusaha menolong dengan saluran hawa murni,
namun dalam waktu dekat terang kesehatannya takkan bisa pulih dengan lekas.”
“Bagaimana pula dengan Thi-san
totiang?”
“Watak Toheng ini memang
teramat keras, seperti lombok, semakin tua semakin pedas, sedikitpun tak
terpikir olehnya bahwa sekarang dia sudah lanjut usia, mana dia kuat menahan
luka-luka sedemikian berat, tapi meski masih sekuatnya bertahan, namun
keadaannya sekarang malah jauh lebih payah dari saudara Koan-hu, untungnya Ling
Hwi situa bangka itu adalah seorang tabib kenamaan, kini sedang merawatnya
dengan tekun.”
Mendengar sampai di sini
airmata Li Giok-ham sudah bercucuran pula, Liu Bu-bi sampai sesenggukkan tak
bersuara, berbareng kedua suami istri manggut-manggut membentur kepala di atas
lantai, katanya gemetar: “Wanpwe patut mati, memang Wanpwe berdua yang harus
mampus!”
Untung kalau mereka tidak buka
suara, kata-kata mereka malah menimbulkan kemarahan Siau Ciok, dampratnya:
“Kalian masih berani tinggal di sini? Terhadap kamipun kalian berani main tipu,
memangnya tidak takut menghadapi hukuman keluarga dari leluhur kalian?”
Li Giok-ham meratap: “Wanpwe
tahu dosa kesalahan ini takkan menolong jiwa Wanpwe, memang setimpal untuk
menerima hukuman leluhur, cuma Wanpwe mohon sekalian Cianpwe mengampuni
jiwanya, dia, dia… sebenarnya tiada sangkut-paut dengan persoalan ini.”
“Kalau dia tiada
sangkut-pautnya, memangnya siapa yang ada sangkut-pautnya?” damprat Siau Ciok.
“Kebesaran nama Yong cui san-cheng sudah kalian runtuhkan, memangnya harus
mempertahankan hidupnya untuk bikin malu di hadapan orang banyak?”
Liu Bu-bi menjerit tangis
dengan sedihnya, serunya: “Memang peristiwa ini adalah gara-gara diriku, malah
tiada sangkut-pautnya dengan dia, harap para Cianpwe suka mengampuni jiwanya.”
Mendengar tangis dan ratapan
mereka yang begitu sedih dan memilukan, Soh Yong-yong dan lain-lain ikut
berduka dan haru, sungguh mereka kehabisan akal cara bagaimana untuk memohon
ampun bagi suami istri yang setia dan senasib ini.
Tak nyana laki-laki tinggi
kekar itu menghela napas pula, timbrungnya: “Kalian tidak perlu bersedih, kami
ada mendapat pesan dari saudara Koan-hu seharusnya memberi hukuman setimpal
sesuai undang-undang keluarga besar kalian, tapi diatas tadi kami sudah dengar
pengakuan kalian, kamipun merasa pengalaman hidup kalian memang harus
dikasihani, bukannya kesalahan berat ini tidak boleh diampuni, kami sudah berkeputusan
untuk mintakan ampun dan keringanan kepada saudara Koan-hu.”
Siau Ciok membanting kaki
berulang kali, katanya menyengir getir: “Tadi sudah kukatakan, akan lebih keras
dan banyak mengajar adat mereka, kenapa sekarang kau malah bicara demikian
blak-blakan terhadap mereka?”
Laki-laki tinggi besar itu
menjawab: “Agaknya mereka benar-benar sudah bertobat, buat apa pula kau harus
bikin mereka gelisah dan kepepet putus asa?”
Tak terasa Soh Yong-yong
saling adu pandang dengan tersenyum kepada Li Ang-siu, karena mendengar
pembicaraan di sini, mereka sudah dapat menerka bahwa laki-laki tinggi besar
ini, terang adalah Kun-cu kiam.
Tapi jangan kata Soh Yong-yong
dan lain-lain, sampaipun Coh Liu-hiang sendiripun tak tahu asal-usul laki-laki
sedang yang bersikap dingin kaku dan bermuka biasa ini. Sepintas lalu usianya
agak lebih muda dari Siao Ciok dan Ui Loh-ce, tapi tadi waktu Coh Liu-hiang
terkepung didalam barisan, sudah terasa olehnya Lwekang orang ini amat tinggi,
ilmu pedangnyapun amat lihai dan ganas, terang tingkatannya tak di bawah Siau
Ciok, Thi-san, Ling-Hwi-kek, Ui Loa-ce dan Swe It-hang para Cianpwe yang sama
ahli dalam ilmu pedang.
Apalagi kalau toh dia teman
karib Li Koan-hu, sudah tentu adalah seorang Cianpwe yang sudah lama angkat
nama, namun Coh Liu-hiang justru tidak habis mengerti, diantara tokoh-tokoh
kosen para Cianpwe yang dikenal ada seseorang yang mirip seperti orang ini.
Baru saja Coh Liu-hiang hendak
tanya nama dan asal-usulnya, tak kira orang sudah membalikkan badan,
menggendong kedua tangan, menengadah dengan mendelong, entah apa yang sedang
dia pikirkan. Ternyata Siau Ciok atau Ui Loh-ce juga tidak memperkenalkan dia
orang kepada Coh Liu-hiang, seolah-olah dia adalah seorang tokoh yang misterius
dan mau tidak mau timbul rasa ketarik Coh Liu-hiang terhadap orang yang satu
ini.