-------------------------------
----------------------------
Bab 2. Senjata yang menakutkan
Cuaca cerah, hawa segar. Tiga
buah kereta yang dipajang indah dan megah tengah berlari di jalan raya yang
dipagari pepohonan rindang.
Kereta terdepan kelihatannya
kosong tanpa muatan seorangpun, namun kereta ini tanpa kuda, sebaliknya ditarik
enam laki-laki yang berbadan tegap tinggi dan kekar, sinar mata mereka
berkilat-kilat, sekilas pandang orang akan tahu bahwa ke enam orang ini adalah
ahli silat yang berkepandaian tinggi, namun mereka terima diperbudak, maka dapatlah
dibayangkan bagaimana majikan mereka, tentulah seorang tokoh Bulim yang amat
kosen.
Kereta terbelakang, sering
terdengar suara cekikikan genit seorang perempuan semerdu kicauan burung
kenari, sayang jendela kereta tertutup rapat, siapapun takkan bisa melihat atau
tahu muka si penunggang kereta.
Kereta yang ditengah
sebaliknya lebih besar dan lebar, keadaanyapun paling mewah, jendela kereta
terpentang lebar, namun kerai menjuntai turun, dari balik kerai itu sering
terdengar gelak tawa riang gembira. Gelak tawa gembira yang keluar dari mulut
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa, mendengar Soh Yong-yong berada di
Yong-cui-san-cheng, masakah mereka tidak sudi ikut Li Giok-ham pulang kesana?
Memang kereta ini tidak dibuat
sebagus kereta KiPing -yan itu, tapi kereta ini lebih luas dan lebar, lebih
nyaman dan segar, membuat orang tak merasa letih meski menempuh perjalanan
jauh. Bukan hanya sekali saja Coh Liu-hiang bertanya-tanya: “Cara bagaimana
Yong ji bertiga bisa tahu-tahu berada di Yong cui san ceng?
Liu Bu-bi selalu menjawab
dengan tertawa: “Sekarang terpaksa aku harus jual mahal, yang terang setelah
kau bertemu dengan nona Soh kau akan jelas duduknya perkara.”
Berhari-hari lamanya mereka
kembali ke Tiong-goan lalu lintas jalan raya semakin banyak, orangpun lebih
banyak hilir mudik, melihat ketiga buah kereta ini, sudah tentu tiada satupun
yang tidak memperhatikan.
Hari itu mereka sampai di
Kayhong, hari sudah magrib, terpaksa rombongan mereka masukkota dan mencari
penginapan.
Setelah makan malam dan
menenggak arak habis beberapa cawan arak, semua orang kembali ke kamar
masing-masing untuk istirahat. Hanya Oh Thi-hoa menuruti kebiasaannya, dia
tetap duduk di kamar Coh Liu-hiang tidak mau kembali ke kamarnya sendiri.
Masih segar dalam ingatan Coh
Liu-hiang akan kejadian masa lalu yang penuh bahaya dan serba misterius yang
menimpa dirinya dikota ini, sehingga pikirannya berkecamuk dan tidak bisa
tidur. Maka kebetulan juga kehadiran Oh Thi-hoa di kamarnya.
“Pandanganmu memang jitu.”
kata Oh Thi-hoa, “Li Giok ham suami istri memang pandai menggunakan Kim si bian
ciang. Pui san khek biasanya tidak punya murid, namun beliau sahabat kental Li
Koan bu laksana saudara sepupu, bukan mustahil bila dia menurunkan keahliannya
kepada anak sahabatnya.”
Coh Liu-hiang menghela napas
panjang: “Yang berada di luar dugaan, jago kosen nomor satu pada masa lalu,
kini sudah jadi orang tanpa daksa, para Bulim Cianpwe satu persatu sudah
menemui ajalnya, sungguh harus dibuat sayang dan mengenaskan.”
“Untungnya dia masih punya
seorang putra sebaik itu, sembilan kali sembilan delapan puluh satu jurus
Ling-hong-kiam ditambah Kim-si-biau-ciang, memangnya Yong cui-san-ceng kuatir
tidak bisa diperkembang luaskan?”
Menurut pandanganku,
kepandaian silat Liu Bu-bi bukan saja lebih tinggi dari suaminya, terutama ilmu
Ginkangnya terang lebih tinggi.”
“Khabarnya kepandaian silat
dari ketiga keluarga besar persilatan khusus diturunkan kepada menantu tanpa
diteruskan kepada anak gadisnya, jikalau dia sudah menjadi menantu Li Koan hu,
sudah tentu ilmu silatnya tidak lemah.”
“Umpama kata benar dia menikah
dan masuk ke dalam keluarga Li, yang terang tak akan lebih lama dari sepuluh
tahun, sementara anak didik dari ketiga keluarga besar persilatan, sejak umur
tiga atau lima sudah mulai diajarkan ilmu silat, kukira Li Giok-ham tidak
menyimpang dari kebiasaan ini.”
“Benar, kulihat sedikitnya dia
sudah sepuluh tahun belajar dengan tekun.”
“Kalau demikian maka tidak
pantas bila kepandaian Liu Bu-bi justru lebih tinggi dari suaminya. Kecuali
asal-usul keluarganyapun dari kau persilatan, tapi seluruh dunia ini, berapa
banyak tokoh-tokoh silat yang bisa mendidik muridnya jauh lebih jempolan dari
murid didik Li Koau-hu?”
Oh Thi-hoa mengerut kening,
tanyanya: “Memangnya kau mulai curiga akan asal-usulnya?”
“Beberapa kali aku ingin
menanyakan asal-usul perguruannya, selalu dia menyimpang kelain persoalan, dari
sini aku mendapat kesimpulan, jelas dia pasti bukan anak murid dari empat Pang
besar, tujuh partai tak habis kupikir di dalam Bulim kapan pernah ada tokoh silat
kosen dari tingkatan tua yang punya nama she Liu?”
“Bagaimana juga, pendek kata
kau tidak akan mencurigai bahwa menantu Li Koan hu ini adalah si Burung Kenari
itu.” Dan lagi umpama kata benar dia, adalah Burung Kenari memangnya mau apa?
Burung Kenari pernah menanam budi kepada kita, tiada punya ganjelan hati tidak
bermusuhan, malah jiwaku ini pun pernah ditolong! Jika bertemu Burung Kenari,
aku hanya akan berterima kasih kepadanya.”
Coh Liu-hiang hanya
menyeringai tawa saja tak bersuara lagi.
Pada saat itulah, suara
teriakan-teriakan berkumandang dari kamar sebelah.
Oh Thi-hoa mengerut alis,
katanya tertawa: “Suami istri yang begitu akrab dan kasih sayang apakah juga
sering perang mulut?”
Terdengar suara jeritan
semakin keras melengking, dan lagi kedengarannya teramat menderita dan
kesakitan, terang itulah suara Li Bu-bi. Maka tanpa ayal mulut bicara, secepat
kilat Oh Thi-hoa sudah menerjang ke luar.
Terpaksa Coh Liu-hiang ikut
memburu keluar, tampak pekarangan sunyi senyap, para pelayan dan kacung-kacung
yang mengikuti perjalanan suami istri, tiada seorangpun yang nampak keluar
untuk menjenguk keadaan majikan mereka.
Jikalau mereka tidak tuli,
pasti mereka sudah mendengar suara keluh kesakitan yang melengking dimalam
gelap nan sunyi ini, tapi kenapa tiada satupun diantara mereka yang keluar? Apa
mereka sudah biasa mendengar jerit kesakitan seperti ini?
Sinar pelita masih kelihatan
menyala dari kamar Liu Bu-bi. Terdengar suara Liu Bu-bi sedang merintih-rintih
kesakitan: “Kau bunuh aku saja! Bunuh aku saja!”
Berubah air muka Oh Thi-hoa,
baru saja ia hendak menerjang masuk, didengarnya pula suara Li Giok-ham sedang
membujuk: “Tahanlah sebentar, tahan sebentar, jangan kau ribut membangunkan
orang lain!”
Suara Liu Bu-bi serak
merintih: “Aku tidak tahan lagi, dari pada tersiksa seperti ini, lebih baik
mampus saja.”
Baru saj Oh Thi-hoa tahu bahwa
kedua suami istri ini bukan sedang perang mulut tak tahan dia berkata: “Mungkin
mendadak dia terserang penyakit?”
Coh Liu-hiang lebih prihatin,
sahutnya: “Rasa sakit ini kukira bukan kumat mendadak, pastilah penyakit lama
yang sudah mengeram dibadannya, dan lagi memang sering kumat dalam jangka waktu
tertentu, oleh karena itu sampai kaum hambapun sudah biasa mendengar keributan
ini, kalau tidak mana mungkin mereka tetap sembunyi di dalam kamar
masing-masing saja.”
“Begitu penyakit itu kumat
rasa sakitnya tentu amat menyiksa, kalau tidak orang seperti Liu Bu-bi pasti
tak nanti menjerit-jerit dan merintih-rintih, entah penyakit apa yang
menghinggapi dirinya.”
Kelihatan keadaannya segar
bugar seperti orang lain, tak nyana begitu kumat ternyata begitu menyiksa dan
menakutkan, kulihat mungkin bukan terjangkit suatu penyakit apa apa, tapi
terkena semacam racun apa yang amat lihai.”
“Racun-racun” berubah rona
muka Oh Thi-hoa. “Jikalau dia terkena racun, masakan Li Koan-hu tidak mencari
daya untuk menyembuhkan, sudah lama kudengar ilmu ketabiban Li Koan-hu amat
tinggi, orang yang keluar masuk di Yong-cui-san-ceng kebanyakan adalah para
Cianpwe. Pui san-khek justru seorang ahli dalam memunahkan racun, memangnya
orang sebanyak itu tidak mampu menawarkan racun dalam badannya? Begitu tega
melihat dia tersiksa demikian rupa?”
Coh Liu-hiang menghela napas,
dia tidak banyak bicara lagi.
Dari dalam rumah masih terus
kedengaran suara rintihan Liu Bu-bi dengan lemah lembut dan penuh kesabaran Li
Giok-ham membujuk dan menghibur, terdengar pula suara kerenyut-kerenyut dari
papan ranjang yang bergerak-gerak. Dari suara ini dapatlah dirasakan bahwa
kesakitan Liu Bu-bi tak menjadi reda sebaliknya semakin jadi dan saking tak
tahan dia meronta-ronta, sedang Li Giok ham sekuat tenaga menahan dan mengekang
dirinya.
“Kenapa tidak kau masuk
menengoknya, bukan mustahil kau dapat tolong menawarkan racunnya itu?”
“Liu Bu-bi adalah perempuan
yang berwatak keras dan punya pambek, jelas dia takkan senang orang lain
melihat keadaannya yang runyam, ada omongan apa, biarlah tunggu sampai besok
pagi dibicarakan pula.”
Sekonyong-konyong “Beeerrr!”
seekor burung yang bermalam dipucuk pohon di pekarangan terkejut dan terbang,
dari ujung mata Coh Liu-hiang dapat melihat diantara sela-sela dedaunan pohon
di atassana ada bintik sinar perak berkelebat. Tepat pada saat itu juga
serumpun hujan perak tahu-tahu memberondong ke bawah dari celah-celah rumpun
dedaunan di pucuk pohon, sasarannya langsung Coh Liu-hiang, betapa cepat daya
luncurannya, sungguh sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Jikalau burung di pucuk pohon
tidak terkejut terbang, kali ini Coh Liu-hiang pasti mampus di bawah
berondongan hujan bintik-bintik perak ini, karena begitu dia mendengar samberan
angin, untuk berkelitpun sudah terlambat.
Pada saat-saat yang gawat
itulah, sekali jotos dia bikin Oh Thi hoa roboh terjengkang, berbareng dia
menubruk tengkurap ke atas badan Oh Thi-hoa. Maka terdengar suara tang ting
yang ramai, seperti hujan lebat mengetuk genteng, puluhan bintik perak itu
seluruhnya sudah memaku amblas ke dalam tanah tempat dimana tadi dirinya
berdiri.
Disusul bayangan orang
tiba-tiba melambung tinggi ke tengah udara dari gerombolan bayang-bayang pohon
yang gelap, bersalto sekaligus terus membelok turun, melesat keluar pagar
tembok yang gelap gulita.
Belum lagi Oh Thi-hoa
menyadari apa yang telah terjadi, bayangan Coh Liu-hiang sudah melesat keluar
pagar tembok pula, melihat bintik-bintik perak yang tersebar disekitar kakinya,
mendadak Oh Thi hoa seperti teringat sesuatu, seketika berubah air mukanya,
teriaknya: “Ulat busuk, hati-hati kau, ini seperti Ban-hi-li-ba-ting atau Hujan
paku galak, ditengah gema suaranya, badannya pun sudah ikut mengudak kesana.
Ditengah malam nan kelam,
kabut tipis memenuhi jagat, bayangan Coh Liu-hiang samar-samar masih kelihatan
di depansana , sementara bayangan hitam di sebelah depan lagi sudah tidak
kelihatan.
Kabut semula masih tipis dan
tawar, namun sekejap mata sudah berubah begitu tebal seperti asap putih
bergulung-gulung, lambat laun bayangan Coh Liu-hiang sudah tidak kelihatan
lagi.
Dikejauhan sana sebetulnya
terlihat sinar api yang kelap-kelip, namun sinar lampu itu pun sudah lenyap
tertelan kabut yang tebal ini, terasa hampir gila Oh Thi hoa dibuatnya saking
gelisah dan bingung, namun dia tak berani bersuara dan berisik.
Karena di dalam keadaan
seperti ini, dia bersuara kemungkinan dirinya menjadi sasaran empuk untuk
sambitan senjata rahasia, Oh Thi-hoa insaf pada saat seperti ini ada senjata
rahasia menyerang dirinya, jelas dia takkan bisa meluputkan diri. Tak urung
diapun gelisah dan gugup bagi keselamatan Coh Liu-hiang, karena keadaan Coh
Liu-hiang terang lebih berbahaya dari dirinya.
Beberapa langkah lagi,
tiba-tiba dilihatnya di atas tanah disampingsana ada sinar putih berkelebat,
waktu dia dekati dan menjemputnya, ternyata itulah sebuah kotak gepeng yang
terbuat dari perak. Kotak gepeng dari perak ini, panjang tujuh dim, tebal tiga
dim, buatannya amat halus dan baik sekali, pada samping kotak ini berderet tiga
baris lobang kecil sebesar jarum, setiap barisnya ada sembilan lobang. Bagian
atas dari kotak ini ada diukir dengan lukisan kembang yang lembut, setelah
diamat-amati dengan seksama baru terlihat ditengah lukisan kembang ini terdapat
dua baris tulisan huruf-huruf yang liku-liku.
Sekian lamanya Oh Thi-hoa
mengamat-amatinya, namun dia tidak tahu tulisan apakah itu, tak tahan dia
menarik napas panjang, mulutpun menggumam: “Agaknya kelak aku harus lebih
banyak latihan Gingkang, tapi juga harus belajar membaca mengenal tulisan.”
Baru saja dia hendak berangkat
lebih lanjut, sekonyong-konyong terasa deru angin kencang menerpa datang dari
samping, sebuah telapak tangan menebas ke bawah ketiaknya, sementara tangan
yang lain berusaha merebut kotak perak di tangannya.
Diam-diam Oh Thi-hoa mencaci:
“Keparat, aku memang sedang kebingungan mencari kau, kau malah mengantar jiwa
sendiri.” ditengah berkelebatannya pikiran ini, tangannya tiba-tiba sudah balas
menjotos dan kakipun melayang menendang kaki orang.
Sukar dilukiskan betapa lihai
dan hebatnya jotosan dan tendangan kakinya ini, memang gampang dikatakan, namun
prakteknya justru amat sukar, karena orang itu menubruk datang dari samping
kiri, berarti dia harus memutar badan menggeser langkah baru bisa mengegos diri
dari rangsangan lawan, sekaligus baru bisa balas menyerang, dari sini dapatlah
dibuktikan meski Oh Thi-hoa terlalu banyak menenggak air kata-kata, tapi gerak
gerik badan dan pinggangnya masih cukup lincah dan cekatan, setangkas ular
sakti.
Siapa nyana gerak-gerik si
penyerang justru lebih lincah, lebih gesit, sekali berkelebat dengan enteng
tahu-tahu orang sudah berada di belakangnya, baru sekarang Oh Thi-hoa
betul-betul kaget, baru saja dia putar badan, penyerang itu sudah bersuara
dengan nada berat tertahan: “Siau Oh, kau?”
Mendadak Oh Thi-hoa menghela
napas lega, katanya tertawa kecut: “Kenapa sekarang kau pun meniru aku, tanpa
memberi peringatan kau lantas menyerang saja?”
“Kulihat sinar perak yang kau
pegang ini, sudah kusangka kau adalah si pembokong dengan alat senjata
rahasianya, siapa menduga bahwa benda ini bakal terjatuh ke tanganmu.”
Oh Thi-hoa mengedip-ngedip
mata, katanya: “Masakah kau sendiripun tidak menduga? Dengan dua kali pukul dan
tiga kali tendang kubikin keparat itu ngacir mencawat ekor, sudah tentu benda
ini dengan gampang kudapatkan.”
Coh Liu-hiang melengak, “Apa
benar?” tanyanya sangsi.
“Tidak benar!”
Coh Liu-hiang tertawa geli,
“Sebetulnya akupun menduga bagaimana juga pasti tak akan berhasil mengudaknya.”
“Aku tak berhasil membekuknya
masih boleh diterima dengan nalar, si Maling Romantis yang Ginkangnya nomor
satu di seluruh dunia, kenapa setengah harian tidak berhasil menyandak si
pembokong itu malah kehilangan orangnya?”
“Jikalau kabut tak setebal
ini, mungkin aku bisa membekuknya, tapi ginkang orang itu memang tidak lemah,
waktu aku mengudak keluar pagar tembok orang itu sudah empatlima tombak
jauhnya.”
“Di dalam waktu sekejap itu,
dia sudah dapat terbang ke empatlima tombak, kalau demikian bukankah Ginkangnya
lebih tinggi dari Li Giok-ham suami istri?”
“Mungkin setingkat lebih
tinggi.”
“Dibanding aku?”
Tak tertahan Coh Liu-hiang
tertawa pula, katanya menahan geli: “Kalau kau rada mengurangi minum arak,
mungkin Ginkangnya tidak unggul dari kau, tapi sekarang…”
“Sekarang kenapa?” Oh Thi-hoa
menarik muka. “Memangnya sekarang aku tidak lebih unggul dari Giok ham suami
istri?” tanpa menunggu jawaban Coh Liu-hiang, dia sudah tertawa pula, “Tak
perlu kau jawab pertanyaanku ini, supaya hatiku tidak sedih.”
“Sebetulnya Ginkangmu
kira-kira sebanding dengan Li Giok-ham suami istri, Setitik Merah dan Lamkiong
Lim, boleh terbilang ilmu tingkat tinggi. Tapi Ginkang orang ini kira-kira
setarap dengan Bu Hoa, saat ini kalau bukan dengan mata kepalaku sendiri, aku
melihat tenggorokan Bu Hoa terhujam panah, mungkin aku bakal mengira pembokong
tadi adalah Bu Hoa yang hidup kembali.”
“Kalau demikian, tokoh-tokoh
Kang-ouw sekarang yang memiliki Ginkang setingkat itu tidak banyak lagi, benar
tidak?”
“Ya, memang tidak banyak!”
“Kenapa kau selalu kebentur
dengan musuh-musuh yang begini tangguh?”
Coh Liu-hiang menepekur sekian
lamanya, akhirnya dia balas bertanya: “Benda di tanganmu itu kau dapatkan dari
mana?”
“Ku temukan ditengah jalan,
diatasnya ada ukiran huruf, coba kau lihat bisa tidak kau baca?”
Coh Liu-hiang terima kotak
perak itu, setelah meneliti sebentar, kontan berubah rona mukanya, “Inilah
tulisan kuno!”
Oh Thi-hoa jadi uring-uringan:
“Benda ini terang jahat dan peranti membunuh orang kenapa harus diukir dengan
huruf-huruf yang tak bisa dibaca, boleh dikata mirip benar bahwa ia itu terang
adalah lonte “pelacur”, justru dia mengenakan tujuh delapan celana!”
“Ini bukan disengaja hendak
mempermainkan orang, soalnya alat senjata rahasia ini merupakan benda keramat
peninggalan orang dahulu, malah dibuat oleh seorang tanpa daksa yang sedikitpun
tidak pandai main silat.”
“Benar, akupun pernah dengar
asal-usul mengenai Bau-li-hoa-ting ini, tapi huruf apa terukir diatasnya itu?”
“Huruf-huruf yang terukir ini
berbunyi: Keluar pasti melihat darah, kembali kosong pertanda celaka. Kecepatan
diantara kesibukan, sang raja diantara senjata rahasia!”
“Kaum sastrawan memang pandai
omong besar, agaknya ucapan ini memang tidak salah!” ujar Oh Thi-hoa tertawa geli.
“Kukira bukan sengaja hendak
omong besar, hanya untuk menakuti orang belaka.” kata Coh Liu-hiang menghela
napas. “Betapa halus dan pintar buatan alat senjata rahasia ini, daya pegasnya
yang meluncur amat kuat dan kencang, memang tidak malu disebut sebagai raja
diantara senjata rahasia. Berbagai alat senjata yang ada pada Bulim jaman
sekarang, bila dibanding dengan alat senjata rahasia ini, kecepatannya sudah
terang terpaut dua bagian, sebaliknya senjata rahasia umumnya digunakan untuk
melukai orang dan mencapai kemenangan terakhir, meski hanya terpaut setengah
dim saja, bedanya sudah terlalu jauh.”
“Apakah alat ini jauh lebih
kuat dari bumbung jarum buatan Ciok koan-im itu?”
“Jarum sambitan dari bumbung
jarum buatan Ciok Koan-im itu memang sudah cukup keras, tapi kau masih sempat
berkelit setelah orang menyambitkan kepadamu. Sebaliknya bila Bau-li-hoa-ting
sudah disambitkan, aku berani bertaruh tiada seorang tokoh lihai dalam dunia
ini yang mampu menyelamatkan diri.”
“Tapi kau tadi toh mampu
meluputkan diri?”
“Itulah nasib baikku, karena
sebelum paku-paku didalam alat ini disambitkan aku telah terkejut dan waspada
walau demikian jikalau jarak sambitan orang itu beberapa kaki lebih hebat lagi
aku tetap takkan terhindar dari malapetaka.”
“Kalau demikian bukankah alat
senjata rahasia ini teramat tinggi nilainya!”
“Didalam pandangan kaum
persilatan, alat ini memang barang mestika yang tak ternilai harganya.”
“Kalau demikian, kenapa orang
itu membuang begitu saja di tanah? Jikalau dia memiliki kepandaian setinggi
itu, masakan kotak sekecil dan seenteng ini tak mampu memeganginya?”
“Ya, kejadian ini memang rada
ganjil”
Sinar pelita dikamar Lin Bu-bi
sudah padam, kedua suami istri itu agaknya sudah tidur lelap.
Secara diam diam Coh Liu-hiang
dan Oh Thi-hoa kembali ke kamarnya, pelita didalam kamar mereka masih menyala,
cuma sumbunya sudah hampir terbakar habis.
Lekas Oh Thi-hoa memuntir
putaran sehingga sumbunya keluar lebih besar, kamar menjadi lebih terang pula
katanya: “Sia-sia kami bekerja setengah malaman, bayangan orang pun tak dilihat
jelas, kalau tidak segera menenggak arak, aku sudah hampir gila dibuatnya.”
Diatas meja terdapat sebuah
poci teh dan sebuah poci arak, Oh Thi-hoa merasa cangkir arak terlalu kecil,
sembari mengoceh dia menuang penuh cawan tehnya dengan arak.
Coh Liu-hiang geleng-geleng
kepala, katanya: “Terlambat minum arak tohkan tidak bakal mampus, marilah kita
keluar dulu lihat Bau-hi-li-hoa-ting itu apakah masih berada di tempatnya
semula.” sebelah tangan menjunjung pelita tangan yang lain menarik Oh Thi-hoa
mereka melangkah keluar.
Didalam rumah ada seekor
tabuhan yang sedang terbang, melingkar mengikuti sinar pelita yang bergerak,
akan tetapi dikala tabuhan ini terbang lewat di atas cawan yang berisi penuh
arak itu, tiba-tiba jatuh dan kecemplung ke dalam cawan arak itu.
Apakah tabuhan itu mabuk juga
oleh bau arak sehingga tak bisa terbang lagi? Tapi bau arak masakan ada yang
begitu keras?
Jikalau Coh Liu-hiang belum
melangkah keluar, tentu dia akan melihat serangga kecil seperti tabuhan begitu
terjatuh ke dalam cawan arak itu, arak dalam cawan itu mengeluarkan suara
“Ces”, disusul asap hijau yang tipis mengepul keluar. Ternyata tabuhan yang
kecemplung ke dalam arak itu sudah lenyap tanpa bekas, di dalam waktu sesingkat
itu tabuhan itu sudah lumer dan mencair terbaur didalam arak menjadi buih-buih
putih. Kejap lain buih-buih kecil itupun sudah pecah dan hilang, secawan arak
tetap secawan arak, malah kelihatannya begitu bening dan enak rasanya,
sedikitpun tidak menunjukkan sedikitpun kotoran apa saja.
Jikalau semacam arak ini
diminum masuk ke perut Oh Thi-hoa, maka isi perut Oh Thi-hoa tanggung bakal
meledak dan membusuk hancur tanpa meninggalkan bekas !
xxx
Kota Kayhong jarang turun
hujan, maka tanah di pekarangan amat kering dan keras, hampir sekeras batu,
umpama dikeduk menggunakan linggis, orangpun akan bekerja memeras keringat,
setengah harian orang baru bisa membenamkan sebatang paku, dengan pukulan palu
besar.
Tapi dibawah penerangan pelita
ditangan Coh Liu-hiang, didapatinya kedua puluh tujuh batang Bau-hi-li-hoa-ting
seluruhnya menancap amblas ke dalam tanah, yang nampak hanya lobang-lobang saja
yang berjajar.
Berkata Coh Liu-hiang:
“Lihatlah tempat dimana senjata rahasia ini disambitkan, berapa jauh menurut
pikiranmu?”
“Kira kira ada empatlima
tombak.” Sahut Oh Thi-hoa menerawang sebentar.
“Jadi Li Hoa-ling atau paku
dari kembang ini disambitkan dari jarak empatlima tombak, namun masih bisa
menancap amblas ke dalam tanah berapa kuat dan deras daya luncuran senjata
rahasia ini, dapatlah kau bayangkan sendiri”
“Ingin aku membongkar kotak
gepeng ini untuk melihat keadaan dalamnya seolah-olah kotak ini bisa
membidikkan kedua puluh tujuh batang jarum itu seperti orang menarik busur
panah saja.” mulutnya bicara, lekas dia berjongkok, dengan sebuah pisau kecil,
satu persatu dia korek kedua puluh tujuh Li-hoa-ling itu, namanya saja paku,
bahwasanya tidak ubahnya seperti jarum sulaman, cuma pangkalnya saja yang rada
membesar, tapi kalau ditekan diatas telapak tangannya rasa enteng bisa terbang
dihembus angin kencang.
Mencelos hati Oh Thi-hoa,
katanya: “Paku sekecil dan enteng ini dapat juga menancap amblas ke dalam tanah
sekeras ini, jikalau kau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapapun
aku tidak mau percaya.”
“Karena kecepatannya luar biasa,
maka kekuatannya besar luar biasa pula.”
“Paku sekecil ini menghantam
tanah amblas seluruhnya, jikalau sampai mengenai badan manusia, masakah jiwanya
dapat diselamatkan… aku pasti akan memasukkannya kembali ke dalam kotak itu,
ingin aku menjajal betapa kecepatannya sambutannya? “lalu kerjanya dipercepat,
sebentar saja dia sudah selesai mengorek keluar kedua puluh tujuh batang jarum
itu. “Ujung paku ini begitu runcing dan tajam kau harus hati hati”
“Tidak apa-apa aku tahu
Bua-hi- li-hoat ting selamanya tidak pernah dilumuri racun, karena tanpa
dilumuri racun, kekuatan paku sekecil ini cukup berkelebihan untuk menamatkan
jiwa orang.”
Mereka kembali ke dalam rumah,
Oh Thi-hoa tuang seluruh paku-paku itu di atas meja, lalu diangkatnya cawan
arak sambil tertawa, katanya: “Sekarang aku boleh minum bukan ! Apa kaupun
ingin minum secawan?”
Coh Liu-hiang tertawa tawa,
sahutnya: “Aku minum teh saja.” Pelita diletakkan, lalu menyambar cawan tehnya.
Takkala itu Oh Thi hoa sudah
angsurkan cawan araknya ke depan mulutnya. Dia tidak menyaksikan tabuhan kecil
yang terjatuh ke dalam araknya karena keracunan oleh bau arak, sudah tentu dia
tidak tahu bila arak itu dia minum masuk ke perutnya, maka dalam dunia ini
bakal tidak ada manusia yang bernama Oh Thi hoa lagi.
Inilah secawan terakhir yang
bakal diminumnya, disaat arak hampir tertenggak ke mulutnya. Sungguh tidak
pernah terduga olehnya mendadak Coh Liu-hiang layangkan sebelah tangannya,
kontan cawan itu tersampok terbang dan jatuh kerontangan pecah berantakan, arakpun
tercecer di lantai. Bukan kepalang kejut Oh Thi-hoa, teriaknya penasaran: “Apa
kau mendadak terserang penyakit anjing gila?”
Tanpa perduli caci maki orang,
Coh Liu-hiang malah berkata: “Kau lihat poci teh ini”.
“Mataku tidak picak, sudah
tentu aku melihatnya”.
“Pandanglah tanganku ini!”
“Kau memangnya sudah gila,
kenapa harus memandang tanganmu, memangnya tanganmu mendadak bisa tumbuh
sekuntum kembang mawar?”
Berkata Coh Liu-hiang tawar:
“Tanganku yang ini, semula kugunakan untuk mengambil poci teh, tapi pernahkah
kau perhatikan pegangan poci teh ini sekarang sudah beringset ke arah lain,
tidak terletak pada sebelah tanganku ini”.
“Tidak terletak sebelah tangan
kirimu? Memangnya kenapa?”
“Tadi aku duduk di sini,
pernah aku menuang secawan teh dan kuminum habis lalu kukembalikan poci ini
pada letaknya semula, tapi pegangan poci ini sekarang tidak pada posisi
semula”.
“Memangnya kenapa harus dibuat
ribut, bukan mustahil tadi kau sudah ganti menggunakan tanganmu yang lain”.
“Selamanya aku menggunakan
tangan kiri untuk menuang teh, sejak dulu sudah menjadi kebiasaan, selamanya
takkan berubah”.
“Me…..memangnya kenapa?”
“Itu berarti, setelah aku
minum tehku tadi poci teh ini pernah disentuh orang, dan kau kecuali terserang
penyakit demam, selamanya tak pernah menyentuh poci teh”.
“Umpamanya aku sakit demam
batuk juga tak kau bisa menyentuh poci teh, karena orang lain setelah mabuk
arak harus minum teh, untuk menghilangkan mabuknya, aku sebaliknya begitu
mengendus bau teh, mabukku bakal menjadi-jadi”.
“Nah itulah, jikalau kau
sendirian tidak pernah menyentuh poci teh ini, poci teh ini sendiripun tak bisa
bergerak, lalu kenapa letak posisinya berpindah?
Oh Thi-Hoa melengak heran,
katanya: “Setelah mendengar uraianmu akupun jadi heran.”
“Itu berarti di kala kami berdua
keluar tadi, pasti ada orang masuk ke mari menyentuh poci teh ini. Tanpa sebab
untuk apa dia masuk ke mari menyentuh poci teh ini?”
Tersirap darah Oh Thi Hoa,
serunya: “Apakah dia sudah menaruh racun di dalam poci teh ini?”
“Benar, orang itu sudah memperhitungkan
begitu kembali mulut kita tentu kering dan pasti menuang teh atau arak untuk
minum maka dia taruh racun di dalam poci teh, tapi agaknya tak pernah terpikir
olehnya bahwa selamanya aku menuang air teh menggunakan tangan kiriku, maka
setelah dia masukkan racun seenaknya saja dia taruh poci teh ini tidak pada
posisi semula, sehingga pegangan poci ini berpindah arah yang berlawanan.”
Oh Thi-Hoa menjublek di
tempatnya. Sesaat lamanya baru ia bersuara, “Kalau dalam teh ini beracun, tentu
araknyapun berbisa.”
“Kalau tidak masa aku sudah
gila menyampok cawan arakmu tanpa sebab? Meski banyak ragam setan arak di
kolong langit ini, tapi setiap arak dipandangnya lebih berharga dari jiwanya
sendiri, umpama kau membakar rumah dan harta bendanya, mungkin dia tidak akan
marah, tapi bila kau menumpahkan araknya, pasti dia akan marah seperti orang
gila.”
“Caci maki yang bagus, bagus
makianmu.”
“Bukan aku ingin memakimu, aku
hanya ingin supaya kau tahu bahwa aku tidak terjangkit anjing gila.” Lalu dia
tuang sisa setengah air the ke dalam poci arak, “Ces” seketika asap hijau
mengepul naik, seperti orang menuang air dingin ke dalam wajan yang minyaknya
sedang mendidih.
Merinding Oh Thi-hoa
dibuatnya, katanya: “Racun yang lihay sekali, agaknya setanding dengan racun
yang pernah digunakan Ciok-koan-im.”
Coh Lu-hiang membenamkan rona
mukanya dengan mimik kaku tanpa bicara.
“Kalau dilihat gelagatnya,
orang yang menyambitkan senjata rahasia dan orang yang menaruh racun di sini
pasti satu komplotan bukan?”
Coh Lu-hiang hanya mengiakan
dan mengangguk.
Sesaat lamanya Oh Thi-hoa
tercenung diam, katanya kemudian dengan tertawa: “Sungguh tidak pernah aku
memperhatikan kau selalu menggunakan tangan kiri mengambil teh, setiap
mengerjakan apa saja kau selalu menggunakan tangan kanan, kenapa melulu tangan
kiri saja yang kau gunakan mengambil air teh?
“Karena selama beberapa tahun
ini kau bertempat tinggal di antara kapal, sebesar kapal itu tempatnya tentu
terbatas, demikian juga kamarku itu tidak terlalu besar, maka setiap benda
harus ditaruh pada letak masing-masing yang tepat serasa, terutama poci arak
atau poci teh, jikalau meletakkan di tempat yang salah, maka pasti sering
menjatuhkan atau menyentuh benda-benda lainnya, oleh karena itu Yong-ji lantas
membuat sebuah rak khusus untuk menaruh poci teh di sebelah kiri di pinggir
kursi yang sering kududuki, cukup mengulur tangan dengan mudah aku bisa
mengambilnya.” Dia tertawa-tawa lalu meneruskan, “Setelah kebiasaan sekian
lamanya, maka selalu aku mengambil teh dengan tangan kiriku.”
“Lucu, lucu, tapi kenapa
Yong-ji tak menaruh rak poci teh itu di sebelah kananmu saja?”
“soal ini gampang dibereskan
karena di sebelah kanan tiada tempat kosong untuk menaruh poci teh itu.”
Oh Thi-hoa geleng-geleng
kepala, ujarnya: “Tak nyana tinggal di atas kapal juga ada kegunaannya yang
serba melit, tinggal di kapal adakalanya memang terasa terkekang dan kurang
bebas, tapi semakin kecil tempat tinggalmu, maka semakin membiasakan dirimu
untuk tidak sembarangan menyentuh barang-barang lain yang bukan tujuanmu, maka
setiap melakukan pekerjaan apapun, kau akan bekerja menurut aturan, kebiasaan
seperti ini mungkin jarang terlihat dan takkan menunjukkan manfaatnya, tapi
dikala kau menghadapi bahaya sering tanpa kau sadari tahu sudah menolong
jiwamu.”
“Kalau demikian jikalau aku
pindah ke dalam kurungan burung dara bukankah aku bakal manusia paling punya
aturan dalam cara kehidupanku”. Mendadak seperti teringat apa-apa, senyuman
yang menghias mukanya seketika beku, teriaknya: “Kamar Li Giok-ham sepi
lenggang tanpa kedengaran sedikit suara bukan mustahil mereka berdua sudah
menjadi korban keganasan orang.”
Tidak mungkin, siapapun yang
mengincar jiwa kedua suami istri ini, bukan soal sepele.”
“Tapi waktu mereka datang Lu
Ba bi sedang kumat penyakitnya, mungkin mereka tidak mampu melawan….bagaimana
juga, aku harus menjenguk mereka.”
“Menjenguk mereka pun baik,
mungkin mereka ada mendengar sesuatu apa yang mencurigakan.”
Tanpa menunggu kata Coh
Liu-hiang berakhir, Oh Thi hoa sudah berlari keluar.
Waktu itu cuaca masih gelap
meski menjelang fajar, dikejauhan sudah terdengar kokok ayam jago.
Dua kali Oh Thi hoa memanggil,
Li Giok-ham sudah menyulut api di dalam kamar dan membuka pintu dengan
mengenakan mantel ia keluar, roman mukanya masih unjuk rasa kantuk dan
keheranan serta kaget, namun ia tetap tersenyum menyapa: “Kalian begini pagi
sudah bangun !”
Melihat orang keluar dengan
segar bugar barulah Oh Thi-hoa mengelus dada lega, katanya tertawa: “Bukan kami
bangun pagi-pagi tapi semalam suntuk kami tidak tidur.”
Berkilat sorot mata
Li-Gok-ham, tanyanya: “Apakah terjadi sesuatu?”
“Panjang kalau dibicarakan
kalau kau sudah bangun, marilah duduk ke kamar, kami mengobrol disana.”
Li Giok-ham berpaling ke dalam
kamar, lalu pelan-pelan menutup pintu dari luar, katanya menghela nafas:
“Istriku pada kurang enak badan, sebetulnya siaute pun baru saja pulas.”
“Apakah penyakit istrimu tidak
berat?” Tanya Oh -Thi-hoa.
“Ya penyakit lama saja yang
kumat, setiap bulan pasti kumat dua kali, namun tak mengganggu kesehatannya,
Cuma rada menyulitkan saja.”
Sekaligus Oh Thi-hoa melirik
pada Coh Liu-hiang, seperti hendak bilang: “rekaanmu meleset, dia tidak terkena
racun, cuma penyakit lama saja yang kumat.”
Coh Liu-hiang mandah tertawa,
katanya malah: Kalau Li-heng baru saja tertidur, entah adakah kau mendengar
sesuatu yang mencurigakan?”
“Istriku terus merintih-rintih
kesakitan sambil meronta-ronta, seperti anak kecil saja, terpaksa aku harus
cari akal untuk membujuk dan menghiburnya, kejadian lain sampai tidak pernah
kuperhatikan.” Baru berhenti mendadak dia bertanya:” Sebetulnya apakah yang
telah terjadi, apakah?”
“Bukan kejadian apa-apa, Cuma
ada orang berusaha mencelakai jiwa Coh Liu-hiang ini pun penyakitnya sejak
lama, setiap bulan malah kumat sering kali. “
Oh Thi-hoa mengolok-olok
jenaka.
Li Giok-ham terkejut “Adaorang
hendak mencelakai Coh- heng? Siapakah orangnya yang punya nyali begitu besar?”
“Aku mengejarnya setengah
harian dia, namun bayangan orangpun tak berhasil kecandak, tokoh-tokoh kosen
yang lihay dalam Kangouw, agaknya hari-kehari lebih banyak lagi”.
“Waktu itu mereka sudah
kembali ke dalam kamar, begitu melihat paku-paku perak diatas meja, seketika
berubah air muka Li Giok-ham, katanya: “Senjata rahasia diatas meja ini
bukankah alat orang untuk mencelakai Coh heng?”
Coh Liu-hiang menatap muka
orang lekat-lekat sahutnya; “”Apa Liheng juga kenal asal-usul senjata rahasia
ini?”
“Agaknya mirip dengan Bau
hi-li hoa ting.”
“Tepat!” ujar Coh Liu-hiang
“Coh Liu-hiang memang tidak
bernama kosong, menurut yang Siaute ketahui, kekuatan daya luncur serangan Ban
hi-li hoa ting ini boleh terhitung nomor satu di seluruh muka bumi, setiap kali
disambitkan mesti melihat darah, sampai sekarang belum ada seorang tokoh kosen
manapun yang bisa berkelit atau meluputkan diri dari incarannya, It-seng Totiang
yang dulu malang melintang di Lam-hoa, akhirnya mati karena senjata rahasia
ini. Sebaliknya Coh-heng tetap tak kurang suatu apa. Hal ini membuktikan, bahwa
kepandaian silat Coh-heng masih setingkat lebih tinggi dari tokoh besar ahli
pedang yang pernah menjagoi daerah selatan itu”.
Oh Thi-hoa tertawa ujarnya:
“Cuma nasibnya saja selalu lebih beruntung dan orang lain”.
“Di bawah incaran Bau-hi
li-hoa ting tidak pernah ada orang yang bernasib baik kecuali Coh-heng. umpama
nasib orang berlipat, lebih baik sekali-kali tak akan bisa lolos dari
brondongan dua puluh tujuh batang paku perak ini”.
“Agaknya kau amat paham
mengenai senjata rahasia yang keji ini, tanya Oh Thi-hoa.
“Inilah senjata rahasia yang
paling terkenal dimuka bumi ini dulu waktu ayah mulai mengajarkan ilmu silat
kepada kami, pernah pula menuturkan tentang segala seluk beluk senjata rahasia,
disuruhnya supaya selanjutnya aku lebih waspada, menurut kata beliau. Dikolong
langit ini ada enam benda yang paling menakutkan. Bau-hi-li-hoa-ting ini adalah
salah satu diantaranya.
“Pengetahuan Li-locianpwe amat
luas” timbrung Coh Liu-hiang, “tentunya asal usul pembuatan alat senjata ini
juga pernah diceritakan kepada Li-heng”.
“Pembuat alat senjata ini
adalah anak dari keluarga persilatan juga, namanya Cin Si-bing, ayahnya adalah
Lam-ouw siang kiam yang jaya dan disegani pada zaman dulu”.
“Menurut apa yang kami
ketahui, pembuat alat senjata ini, sedikitpun tidak bisa main silat, putra dari
Lam-ouw siang kiam cara bagaimana tidak pandai main silat? Apakah khabar ini
kurang benar?” sela Oh Thi-hoa.
Apa yang Oh-heng dengar tidak
salah, Cin Si bing memang tidak bisa main silat, karena sejak kecil dia sudah
terserang kelumpuhan dan tak terobati sehingga tidak leluasa bergerak, bukan
saja tidak bisa belajar silat, malah tenaga untuk berdiripun tak bisa”.
“Kasihan!” Ujar Oh Thi-hoa.
“Mereka adalahlima laki-laki
bersaudara. Cin Si bing nomor tiga, mungkin karena tanpa daksa sehingga otaknya
jauh lebih cerdik dan pintar dari ke empat kakak adiknya, sayang badan cacat. Sementara
saudara-saudaranya sudahmalang melintang menegakkan nama di kalangan kang ouw.
Sudah tentu hatinya amat iri, jelus dan penasaran, maka dia lantas bersumpah
pada suatu ketika dia hendak melakukan sesuatu yang cukup menggemparkan dunia
supaya orang-orang lain melek matanya bahwa orang cacatpun tak boleh dipandang
rendah”.
“Ke empat saudaranya itu
bukankah Kam lam su-gi yang amat terkenal dulu?”
“Ya” Li Giok-ham mengiakan,
“setahun penuh hidup Cin Si-bing hanya rebah saja di atas pembaringan, kecuali membaca
buku, maka dia menghabiskan waktu membuat mainan dari ukuran kaya, dasar
otaknya emang pintar dan berbakat lagi, lama kelamaan sepasang tangannya itu
menjadi begitu ahli, khabarnya rumahnya dipasang alat-alat rahasia yang
dibuatnya sendiri dengan amat lihay dan beraneka ragamnya meniru alat kerbau,
dan kuda kayu buatan Cukat Liang pada zaman Sam-kok dulu, diapun membuat banyak
sekali orang-orangan dari kayu yang bisa bergerak sendiri, cukup asal dia
menyentuh tombol rahasianya, orang-orangan kayu dapat melayani segala makan
minumnya dengan baik”.
Oh Thi-hoa tertawa, katanya:
“Kalau begitu rumahnya itu tentu amat menyenangkan kalau Cin-siansing itu belum
meninggal, ingin aku menemui beliau”.
“Begitulah beberapa tahun
telah berselang, dengan kayu dia berhasil membuat sebuah kotak rahasia yang
dilengkapi alat-alat pegas dan sebagainya, lalu dia suruh saudara-saudaranya
pergi mencari pandai besi untuk membuatkan kotak yang mirip kayunya itu dari
bahan perak, saudaranya menyangka hanya mainan anak-anak belaka maka tidak
pernah mengambil perhatian, di Koh-so berhasil mencarikan pandai besi yang
paling terkenal pada waktu itu dipanggil pulang ke rumahnya, kalau tidak salah
pandai besi itu bernama Kiau jiu song”.
Sampai di sini ia menghela
napas, lalu melanjutkan: “Kiau jiu song bertempat tinggal di rumah Cin Si-bing
itu selama tiga tahun, siapapun tiada yang tahu apa saja kerja kedua orang ini
didalam rumah serba rahasia itu, cuma setiap bulannya Cin Si-bing menyuruh
prang mengantar honor yang berjumlah besar ke rumah Kiau jiu song untuk ongkos
hidup sehari-hari bagi keluarganya, oleh karena itu meski tiga tahun tidak
pulang, istri dan anaknya tidak perlu kuatir”.
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya: “Mungkin istrinya itu tidak tahu bahwa uang yang mereka makan itu
adalah uang jaminan yang diberikan Cin Si-bing untuk membeli nyawa suaminya”.
“Benar, tiga tahun kemudian,
begitu Kiau jiu ong keluar dari rumah itu, kontan dia terjungkal jatuh terus
tak bangun lagi. Kontan lantaran dia sudah kehabisan tenaga, daya otak dan
hatinya sudah keropos, jiwanyapun tak tertolong lagi. Tapi bagaimana duduk
perkara yang sebenarnya siapapun tiada yang tahu Keluarga Ciu dibilangan
Ouw-lam selatan waktu itu merupakan keluarga besar yang punya kekayaan dan
kekuasaan, amat disegani dan terkenal, oleh karena itu keluarga Kiau jiu
songpun tiada yang menarik perkara akan kematian yang aneh itu”.
Coh Liu-hiang menghela napas
pula, ujarnya: “Kalau Kiau Jiu song sudah tahu kunci rahasia cara pembuatan
alat Bau-hi-li-hoa-ting, Cin Si-bing pasti tidak akan membiarkannya hidup dan
membocorkan kepada orang lain, mungkin Kiau jiu song si pembuat alat itu
sendiri yang menjadi korban pertama kali oleh Bau-hi-li-hoa-ting”.
“Setengah bulan kemudian,
mendadak Ciu Si-bing menyebar banyak undangan dia undang seluruh tokoh-tokoh
ahli senjata rahasia yang berkepandaian tinggi, hari itu kebetulan hari
Tiong-chiu, bulan sedang purnama, orang-orang Kangouw itu memandang muka Kam
lam su gi, yang hadir ternyata tidak sedikit jumlahnya, disaat para hadirin sedang
kebingungan, entah apa maksud Ciu kongcu yang cacat dan belum pernah berkelana
di Kangouw ini menyebar undangan sekian banyaknya”.
Ingin Oh Thi-hoa menimbrung,
akhirnya dia telan kembali kata-katanya.
Terdengar Li Giok-ham
melanjutkan: “Tak nyana setelah minum arak berputar tiga kali, mendadak Ciu
Si-bing mohon kepada Hou Lam-hwi untuk bertanding senjata rahasia”.
Akhirnya Oh Thi-hoa tak sabar
lagi, selanjutnya: “Apakah Hou Lam-hwi yang dijuluki Pat-pi-sin-wan atau lutung
sakti delapan tangan itu?”
Benar, seluruh badan orang ini
dari atas sampai ke bawah penuh ditaburi alat-alat senjata rahasia, khabarnya
didalam waktu yang bersamaan dia bisa menyambitkan delapan macam senjata
rahasia yang berlainan, sudah tentu kepandaian menyambit serangan senjata rahasiapun
luar biasa, seolah-olah badannya tumbuh delapan tangan, memang sesungguhnya dia
boleh dipandang sebagai ahli senjata rahasia yang kosen di Bulim pada jaman
itu, sudah tentu tokoh semacam dia mana suci melayani tantangan seorang tanpa
daksa untuk bertanding. Apalagi dia cukup kental berhubungan dengan Kang Lam
su-gi”.
“Benar, umpama dia menang.
Kemenangannya itupun tak perlu dipuji”, ujar Oh Thi-hoa.
“Seluruh hadirinpun menduga
Ciu Si-bing hanya berkelakar saja, tak kira Ciu Si-bing berkukuh untuk bertanding
dengan Hou Lam-hwi malah dia memancing dengan perkataan tajam yang kotor, Hou
Lam-hwi terpaksa turun gelanggang karena penasaran”.
“Akhirnya bagaimana?”
“Kusingkat saja ceritanya,
akhirnya Hou Lam-hwi mati di bawah berondongan Bau-hi-li-hoa-ting itu, malah
beberapa tokoh ahli senjata rahasia yang lainpun ikut jadi korban. Semua orang
tahu bahwa Ciu Si-bing menyambit senjata rahasia dari kotak perak gepeng di
tangannya itu, namun tiada orangpun yang bisa berkelit menyelamatkan diri”.
“Telengas benar Cin-kongcu
itu” Coh Liu-hiang menghela napas.
“Sejak kecil orang ini sudah
cacad jasmani sudah tentu tabiatnya jadi eksentrik, tapi apakah Lam ouw siang
kiam dan Kang lam su gi tidak mengurus anak dan saudaranya itu”.
“Waktu itu Lam ouw siang kiam
dan bersaudara sudah wafat, Kam lam su gi sebaliknya mempunyai tujuan licik
tertentu”.
“Tujuan licik apa?”
“Melihat saudaranya dapat
membuat alat senjata rahasia selihay itu, maka mereka berangan-angan untuk
menegakkan lebih cemerlang nama kebesaran keluarga Ciu mereka di kalangan
mayapada ini, namun tak pernah terpikir oleh mereka, karena ambisi yang
keterlaluan ini, kaum persilatan di Kangouw sudah pandang mereka sebagai musuh
umum kaum persilatan, siapapun tak ingin alat rahasia sekejam itu terjatuh ke
tangan para saudara Ciu itu, maka siapapun ingin melenyapkan saja itu baru lega
hatinya, karena siapa yang tidak takut bila alat senjata rahasia itu digunakan
memusuhi dirinya?”
“Terutama orang-orang yang
biasanya sengketa dengan keluarga Ciu itu”, timbrung Oh Thi-hoa. “Tahu musuh
mereka memiliki alat senjata rahasia yang begitu lihay, sudah tentu setiap
malam tidak bisa tidur”.
“Oleh karena itu mereka
berpikir turun tangan lebih dulu tentu menguntungkan, maka dengan berbagai daya
upaya satu per satu mereka sikat Kang lam su gi, lalu Ciu keh ceng dibakarnya
habis seluruhnya, sudah tentu Ciu Si-bing pun mati ditengah kobaran api itu”.
Sampai sekarang baru Coh
Liu-hiang bertanya: “Lalu belakangan Bau-hi-li-hoa-ting ini terjatuh ke tangan
siapa?”
“Tiada yang tahu alat senjata
rahasia itu jatuh ketangan siapa, karena siapapun yang memperolehnya tentu
merahasiakan dan tak mau bilang kepada siapapun, tapi setiap selang tiga lima
bulan, pasti ada tokoh Kangouw yang menemui ajalnya karena Bau-hi-li-hoa-ting
ini, tapi orang yang membekal alat senjata itu sendiripun takkan berumur
panjang, karena begitu ada sedikit kabar dan bocor beritanya, pasti akan ada
orang yang berusaha merebutnya.”
“Kalau demikian, bukanlah alat
senjata rahasia ini menjadi benda yang bertuah?” ujar Coh Liu-hiang. “Selama
puluhan tahun, entah berapa kali sudah alat senjata rahasia ini sudah pindah
tangan setiap orang yang pernah memilikinya tentu akhirnya ajal, sampai
beberapa tahun yang lalu, alat senjata rahasia ini mendadak menghilang tak
keruan paran, mungkin orang yang memilikinya tidak pernah menggunakannya oleh
karena itu kaum persilatan pada generasi mendatang ini meski sering mendengar
cerita mengenai Bau-bi-hi-hoa-ting ini malah tidak sedikit pula orang yang tahu
akan bentuk dan pembawanya, namun tiada seorangpun yang pernah melihatnya
sendiri.
Oh Thi-hoa mengawasi Coh
Liu-hiang katanya tertawa: “Kalau begitu, agaknya nasib kita memang luar
biasa.” “Kali ini orang itu ternyata hendak menghadapi Coh-heng maka dia
berusaha menggunakan alat rahasia yang lihay ini.” “Dari sini dapatlah
disimpulkan bahwa orang itu tentu mempunyai dendam kesumat dengan Coh-heng,
karena perduli dia pinjam, merebut atau mencurinya, bahwa dia dapat memiliki
alat senjata rahasia ini tentulah bukan suatu hal yang gampang.” “Kalau begitu
lebih aneh lagi ” ujar Oh Thi-hoa, “Dengan susah payah dia dapat memiliki alat
senjata ini, kenapa pula dibuang begitu saja.” “Mungkin karena tidak berhasil
mencelakai Coh-heng, tiada gunanya dia simpan alat ini pula, mungkin malah
bakal menimbulkan bencana bagi diri sendiri, bila alat ini hasil curian, bukan
mustahil pemiliknya akan mencari perhitungan kepadanya, oleh karena itu
seenaknya saja dia buang, supaya orang sulit menyelidiki siapakah sebenarnya
pencurinya?”
“Benar,” Oh Thi-hoa menepuk
tangan, pasti ada sebab musababnya”.
Berkata Li Giok-ham: “Dan lagi
khabarnya setiap senjata rahasia ini disambitkan harus melihat darah, kalau
sebaliknya bakal membawa mala petaka bagi pemiliknya, mungkin diapun sudah tahu
bahwa alat senjata rahasia tak bertuah, masakah dia berani membawa-bawanya lagi
di badannya”.
“Benar, itupun kemungkinan,
tapi ……”
“Tapi siapakah sebenarnya
orang itu? Masakah Coh-heng sedikitpun tidak bisa menduganya?”
Soalnya aku sendiri belum
melihat muka asli orang itu, main tebak dan reka tak berguna malah
membingungkan saja. Namun bila dia begitu teliti, agaknya sudah direncanakan
lebih dulu untuk membunuh aku, sekali gagal pasti ada dua kalinya, akan datang
suatu ketika pasti diketahui siapa dia sebenarnya?”.
Terdengar suara cekikikan,
katanya: “Tepat, selama beberapa tahun belakangan ini, belum pernah kudengar
ada siapa yang bisa lolos dari telapak tangan Maling Romantis”.
Malam dan seram, senjata
rahasia yang aneh dan hebat, pembunuh misterius, cerita berdarah, suasana dalam
kamar sebetulnya sudah cukup berat membuat orang seolah-olah susah bernapas.
Tapi begitu Liu Bu-bi melangkah masuk, hawa dalam kamar seakan-akan bergolak
dan cahaya menjadi terang, kehidupan lebih bergairah, sampaipun api pelita yang
sudah guram itupun seperti menyala lebih terang.
Rambutnya yang panjang terurai
panjang menyuntai di atas pundaknya, muka halus tanpa pupur dengan alis lentik
ini sedikitpun tidak menunjukkan rasa kesakitan, kurus dan keletihan. Hampir Oh
Thi-hoa tidak percaya bahwa perempuan ayu yang berdiri di depannya ini adalah
orang yang belum lama berselang meronta-ronta kesakitan bergelut dengan siksa
dan derita.
Lebih mengetuk kalbunya lagi
karena tangan orang menjinjing sebuah poci arak. Terpancar cahaya terang pada
sorot mata Oh Thi-hoa, tak tahan ingin rasanya dia memburu maju merebut poci
arak itu.
Tak nyana baru saja tanganya
terulur, secepat kilat Coh Liu-hiang mendadak menangkap pergelangan tangannya
terus ditelikung ke belakang. Karuan Oh Thi-hoa menjerit kesakitan, makinya:
“Kau kejangkitan penyakit apa lagi?” belum habis kata-katanya secepat kilat Coh
Liu-hiang beruntun menutuk Thian-cwan, Yiap-pek, Ti-te, Khong-cui dan Tong
ling,lima jalan darah besar padalima tempat yang berlainan.
Bukan saja tak mampu bergerak
lagi separoh badan Oh Thi-hoa rasanya linu kemeng dan mati rasa “Bluk” terjatuh
duduk kembali ke kursinya semula, dengan kesima dia pandang Coh Liu-hiang.
Li Giok-ham suami-istripun
kaget dan melongo.