-------------------------------
----------------------------
Bab 9. Usaha memasuki sarang musuh
Kini Kun-cu kiam sudah
mengawasi Soh Yong-yong, bertanya dengan penuh keheranan: “Nona ini…”
Tersipu-sipu Soh Yong-yong
memberi hormat, sahutnya: “Wanpwe Soh Yong-yong, ada beberapa persoalan memang
aku ingin mohon petunjuk Cianpwe.”
Ui Loh-ce tersenyum, katanya:
“Silahkan nona berkata!”
Setelah termenung sebentar,
Soh Yong-yong bertanya: “Apa Cianpwe sudah yakin benar bahwa Bo dhi-am itu
merupakan tempat keluar masuk ke Sin cui kiong?”
“Ya, tidak akan salah.” sahut
Ui Loh-ce, dia berpikir sebentar lalu meneruskan: “Waktu Bu-bi bertanya
kepadaku, sebetulnya Losiu tidak tahu apa maksudnya hendak pergi ke Sin cui
kiong, kukira lantaran jiwa mudanya yang ingin tahu dan ketarik sesuatu yang
serba misterius maka tanpa sengaja dia bertanya sambil lalu saja.”
“Apakah Cianpwe tahu asal-usul
Suthay tua dalam Bo dhi-am itu?”
“Suthay tua itu sebetulnya
adalah seorang tokoh kosen yang aneh juga, sayang sekali tiada orang yang tahu
asal-usulnya, belum ada orang yang pernah mendengar dia bicara sepatah kata.”
“Dia benar-benar cacad, atau
hanya pura-pura bisu tuli?”
“Seseorang bila dia bisa
pura-pura bisu tuli selama puluhan tahun, pasti dia mempunyai pengalaman hidup
yang mengenaskan, buat apa pula Losiu harus mencari tahu apakah dia itu
pura-pura bisu tuli?”
“Jiwa lapang Cianpwe sungguh
harus dikagumi dan kita angkatan muda tiada satupun yang bisa memadai, sungguh
Wanpwe amat menyesal mengajukan pertanyaan ini.” kata Soh Yong-yong yang lalu
mundur ke tempatnya pula berdiri diam menurunkan kedua tangannya.
Tak lama kemudian Ui Loh-ce
malah yang bertanya: “Yang ingin nona Soh tanyakan kukira tak hanya sekian saja
bukan?”
Lama Soh Yong-yong menepekur,
katanya hormat: “Memang masih ada persoalan lain, Wanpwe ingin petunjuk Cianpwe.”
“Kalau demikian, kenapa nona
tidak bertanya?”
“Wanpwe kuatir, ada beberapa
hal mungkin Cianpwe tidak berani membeberkannya dimuka umum, tapi jikalau
Wanpwe mengajukan pertanyaan ini, Cianpwe tidak bisa berbohong dengan alasan
lain pula, maka Wanpwe betul-betul tidak berani bertanya.”
Mendengar sampai disini,
diam-diam Oh Thi-hoa tertawa geli dalam hati, batinnya: “Tak heran ulat busuk
suruh nona Soh pergi ke Sin cui kiong, menyirapi berita, agaknya dia memang
pandai untuk mengajukan pertanyaan dimulut dia bilang tidak berani bertanya,
sebetulnya secara gamblang dia sudah membeber pertanyaan ini, malah orang
ditekan mau tidak mau harus mengatakan.”
Benar juga Ui Loh-ce segera
tertawa, katanya: “Apakah nona ingin tanya Losiu cara bagaimana bisa tahu akan
hal ini?”
Soh Yong-yong hanya tersenyum
saja tanpa bersuara.
“Sebetulnya Losiu sendiripun
mendengar dari penuturan orang lain.” sengaja atau tak sengaja matanya sedikit
melirik kepada laki-laki perawakan sedang di sebelahnya, katanya lebih lanjut:
“Losiu pun percaya apa yang dituturkan orang itu pasti takkan salah karena
selama hidupnya belum pernah dia menyimpan persoalan hidupnya kepada Losiu,
malah sepatah katapun belum pernah dia membual di hadapanku.”
Bersinar mata Soh Yong-yong,
tiba-tiba tertawa, katanya: “Tentunya orang ini adalah teman karib Cianpwe
dalam menikmati hidup senggang” sengaja dia keraskan suara waktu mengatakan
teman karib menikmati hidup senang.
Ui Loh-ce tertawa, ujarnya:
“Ah, nona bergurau saja, selama hidup Losiu tidak kepincut paras cantik, mana
punya teman hidup segala?”
“Kalau demikian, jadi orang
yang memberi tahu akan hal ini kepada Cianpwe adalah orang laki-laki?”
“Em!” Ui Loh-ce bersuara dalam
mulut.
Soh Yong-yong segera mendesak
lebih lanjut: “Menurut apa yang Wanpwe tahu, dikolong langit ini tiada seorang
laki-lakipun yang mengetahui seluk-beluk rahasia Sin-cui-kiong cara bagaimana
pula teman Cianpwe itu bisa mengetahui hal-hal ini?”
Ui Loh-ce berpikir sebentar,
katanya: “Persoalan yang menyangkut Losiu sendiri, tiada yang perlu Losiu
sembunyikan bila kau tanya tapi persoalan ini menyangkut rahasia orang lain,
maaf Losiu tidak bisa banyak bicara.” waktu bicara kembali matanya melirik
kepada laki-laki di sebelahnya, tiba-tiba dia angkat tangan bersoja, katanya:
“Sampai di sini saja Losiu bicara, aku mohon diri lebih dulu.”
Laki-laki perawakan sedang ini
sudah membalik badan, tersipu-sipu dia menjura kepada Coh Liu-hiang terus
melangkah keluar lebih dulu, agaknya kedua orang sudah tidak suka tinggal lebih
lama lagi ditempat ini.
Siau Ciok mengerut kening,
katanya keras: “Loh-heng, urusan disini kau tidak bisa mengurusnya?”
Diatas undakan batu Ui loh-ce
tertawa, sahutnya: “Urusan intern keluarga mereka, kita orang luar hendak
menguruspun tak berkuasa lagi, saudara Koan-hu meski sedang naik pitam namun
dalam tiga lima hari ini pasti amarahnya sudah mereda.” sampai pada
kata-katanya terakhir dia orang sudah pergi jauh.
Siau Ciok membanting kaki
pula, segera diapun berlari keluar, tiba-tiba dia berpaling pula berkata kepada
Li Giok-ham: “Dalam dua tiga hari ini lebih baik jangan kau temui bapakmu,
supaya amarahnya tidak kumat sehingga dia Cap-hwe cip-mo, semakin jauh kau
menyingkir lebih baik, setelah penyakitnya sembuh boleh kau kembali, waktu itu
dia sudah punya tenaga, supaya hajarannya lebih keras diatas badanmu.”
Masakan Siong ho lau memang
amat terkenal, apalagi perut semua orang memang sudah kelaparan sekian lamanya,
sudah tentu Oh Thi-hoa tak ketinggalan minum arak sepuas-puasnya, sampaipun Soh
Yong-yong ketarik minum beberapa cangkir.
Diantara mereka hanya Mutiara
hitam saja yang seolah-olah dirundung pikiran pepat, sudah tentu Li Giok-ham
dan Liu Bu-bi suami istri tiada selera menelan nasi meski hidangan cukup lezat,
memangnya mereka sebetulnya merasa malu diri ikut berada disini, makan bersama
pula.
Tapi Li Ang siu justru
berkata: “Mana boleh kalian pergi ketempat lain? Kita tiada yang tahu dimana
letak Bo dhi-am itu, sukalah kau bawa kami kesana, memangnya kau tak sudi
membantu kami?”
Song Thiam-ji ikut bantu
bersuara sambil menarik lengan Liu Bu-bi, katanya: “Coh Liu-hiang memangnya
sudah berkeputusan hendak berkunjung ke Sin cui kiong, asal dia bisa masuk ke
Sin cui kiong, pasti obat pemunahnya dapat dibawa pulang, kau tidak usah
kuatir.”
Orang lain sama tahu persoalan
tidak segampang seperti yang dikatakan, namun tiada satupun diantara mereka
yang pesimis menghadapi kesulitan yang bakal mereka hadapi, ketemu betapapun
besar bencana yang dihadapi Coh Liu-hiang pasti bisa mengatasi dan menerjangnya
kesana. Mereka berpendapat seumpama kepandaian Cui bok im ki memang setinggi
langit tidak lebih diapun seorang manusia yang berdarah daging, memangnya orang
kuasa menelan Coh Liu-hiang bulat-bulat?
Yang benar-benar kuatir
menghadapi persoalan ini justru Coh Liu-hiang sendiri. Karena hanya dia sendiri
yang pernah berhadapan dengan kepandaian silat Ciok-koan-im, Cui-bok-im-ki
justru tokoh yang paling ditakuti oleh Ciok-koan-im selama hidupnya, sebetulnya
sampai dimana taraf kepandaian silat Im-ki, sungguh membayangkanpun dia tak
berani memikirkan, apalagi Sin cui kiong tempat bersemayamnya itu merupakan
suatu alam firdaus yang penuh diliputi misteri.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa berkata:
“Ling Hwi-khek, Siau Ciok, Thi-san Totiang, Ui Loh-ce berempat memang sudah
lama aku pernah dengar keterangan mereka, tapi siapa gerangan laki-laki yang
bertindak tanduk seperti orang banci itu?”
“Maksudmu lelaki perawakan
sedang tak pernah tertawa, tak mau buka suara itu?”
“Ya, siapa lagi kalau bukan
dia?”
“Melihat orang ini, akupun
merasa aneh, sebetulnya ingin aku bertanya asal-usulnya, tak kira tiba-tiba
sudah tinggal pergi.”
Soh Yong-yong tersenyum
ujarnya: “Begitu cepat mereka berlalu, mungkin memang dia takut kita menanyakan
asal usulnya.”
“Tapi…” Li Ang siu merandek,
“Li kongcu masakah kaupun tak tahu siapa orang itu?”
Li Giok-ham geleng-geleng
kepala, ujarnya: “Cianpwe yang satu ini adalah pembantu yang diajak oleh
Ui-locianpwe. Ui-locianpwe hanya bilang ilmu pedangnya amat tinggi, jarang ada
orang yang bisa menandingi pada jaman ini, sekali kali takkan menggagalkan
urusan, namun dia tak mau menyebut nama dan asal-usulnya.”
Li Ang-siu mengerut kening,
katanya: “Memangnya kenapa harus serba rahasia?”
“Waktu itu merekapun merasa
heran, namun tak berani banyak bertanya, kukira setelah kedatangan Siau-cianpwe
dan lain-lain tentu bisa mengenali dirinya.”
“Benar.” Li Ang siu mendukung.
“Pergaulan Siau Tayhiap memang luas, angkatan tua dari tokoh-tokoh Bulim tiada
yang tak dikenal dengan baik olehnya.”
“Tapi bukan saja Siau locianpwe
tak mengenal dia, malah dia orang selamanya belum pernah dilihatnya,
tokoh-tokoh kosen ahli pedang dalam bulim yang dikenalnya pasti tiada seorang
yang mirip dengan bentuk muka dan perawakannya.” demikian tutur Li Giok-ham.
Tiba-tiba Soh Yong-yong tertawa
pula, ujarnya: “Memangnya sejak mula aku sudah menduga dalam dunia ini pasti
takkan ada seorangpun yang bisa mengenal dia.”
“Kenapa?” tanya Li Ang siu.
“Cahaya didalam ruang bawah
tanah itu amat guram tak heran bila kalian tidak bisa melihatnya dengan jela.”
ujar Soh Yong-yong.
“Memangnya dia mengenakan
kedok muka?” teriak Li Ang siu.
Soh Yong-yong tersenyum sambil
mengawasi Coh Liu-hiang, katanya: “Bukan saja ilmu tata rias orang ini amat
lihai, kedok muka yang dipakainya itupun buatan seorang ahli, oleh karena itu
baru bisa mengelabui kau dan mata sekalian orang.”
Coh Liu-hiang mandah tertawa
tanpa bersuara.
Berkata Oh Thi-hoa: “Coba
kalian lihat lucu benar mimik tawanya itu, seolah-olah segala persoalan tak
bisa kelabui dirinya, hakekatnya kepandaian terlihai dari orang yang satu ini
adalah tertawa-tawa, begitu aneh tawanya itu sehingga orang sukar meraba
sebetulnya berapa banyak persoalan yang dia ketahui.”
Li Ang siu berseri tawa
katanya: “Memang kau tak malu sebagai teman karibnya.”
“Raut muka orang itu kaku
dingin dan tak berperasaan, tanpa menunjukkan sesuatu mimik lagi, memangnya aku
sudah curiga kulit mukanya rada ganjil, namun aku justru tak berhasil
membongkar gejala-gejala yang ganjil itu.” demikian Oh Thi-hoa uring-uringan.
“Maklumlah karena kedok muka
yang dia pakai ini jauh berlainan, dengan kedok muka yang sering terlihat,
dalam kalangan Kangouw umumnya memang itu hasil karya dari seorang yang
benar-benar ahli, boleh dianggap sebagai benda-benda sejenisnya.” demikian Soh
Yong-yong memberikan uraiannya.
Berkata pula Oh Thi-hoa: “Tak
banyak orang-orang yang benar-benar ahli dalam kalangan Kangouw yang bisa
membuat kedok muka sebaik itu. Selama lima puluh tahun mendatang, yang
benar-benar ahli didalam pembuatan kedok muka ini tak lebih dari sepuluh orang,
namun toh hanya ada tiga orang yang boleh dibilang sebagai ahli diantara ahli.”
“Tahukah kau siapa-siapa saja
ketiga orang yang ahli itu?” tanya Soh Yong-yong.
“Orang pertama bernama
Siau-bak-tong soalnya sejak berumur tujuh tahun dia sudah angkat nama, namun
belum genap dua puluh dia sudah tutup usia, para ahli yang pandai membuat kedok
muka boleh dikata tiada satupun orang baik-baik, hanya dia saja yang terhitung
tak terlalu bejat.” sampai disini kata-katanya tiba-tiba tertegun, karena
tiba-tiba dilihatnya mimik muka Soh Yong-yong menunjukan rasa duka dan pilu,
biji matanyapun merah dan berkaca-kaca hendak menangis.
Berputar biji mata Li Ang siu,
segera dia menimbrung: “Orang kedua bernama Jian-bin-jin-mo, beberapa tahun
yang lalu orang yang satu ini sudah menemui ajalnya ditumpas oleh Thi
Tiong-siang Thi Tayhiap dari Thi-hiat-toa-ki-bun. malah seorang musuhnya yang
dinamai Ban biau kiong yang dia bangun selama bertahun-tahun dengan berbagai
jerih payah itu pun dia bakar sampai musnah dan rata dengan tanah. sudah tentu
semua kedok muka buatannya pun terbakar seluruhnya, tak ada satupun yang
ketinggalan.”
“Masih ada satu lagi, siapa
dia?” tanya Liu Bu-bi.
Li Ang siu menggigit bibir,
katanya: “Begitu teringat nama orang ini aku lantas muak, lebih baik tak usah
kusebut saja.”
“Memangnya dia lebih jahat dan
keji dari Jian-bin-jin-mo?” tanya Liu Bu-bi.
“Jian-bin-jin-mo paling-paling
dianggap berhati kejam bertangan gapah, kejam dan telengas keluar batas, tapi
orang ini bukan saja berjiwa rendah hina-dina, tidak tahu malu, perbuatan yang
menjijikkanpun bisa dia lakukan, boleh dikata dia tidak mirip manusia lagi.”
Liu Bu-bi termenung sebentar,
katanya dengan kesima: “Apakah yang kau maksud adalah manusia siluman banci
yang bernama Hiong-nio-nio itu?”
“Betul dia.” ujar Li Ang siu
penuh kebencian. “Perduli golongan hitam atau aliran putih dalam kalangan
Kangouw tiada yang tidak ingin mencacah badannya, sejak jaman dahulu kala,
mungkin tiada orang yang mempunyai musuh sedemikian banyaknya seperti dia, maka
sepanjang tahun selalu dia sembunyi berpindah pindah. mengandal kedok muka
buatannya sendiri itulah dia berusaha menghindarkan diri dari kejaran para
musuh-musuhnya.”
“Apakah mungkin dia orang yang
datang bersama Ui-locianpwe itu?” Liu Bu-bi menegas.
Coh Liu-hiang tersenyum,
ujarnya: “Selama hidupnya Ui locianpwe mengutamakan suci murni, berjiwa jujur
dan lurus, mana bisa bersahabat dengan manusia rendah begituan, apalagi, meski
Hio-nio-cu licik dan licin pandai merubah bentuk, ilmu Gingkang dan pedangnya
tidak lemah pula, tapi sepuluh tahun yang lalu dia sudah tamat riwayatnya
karena kejahatannya di luar batas.”
“Sejak kecil aku hidup
ditengah pasir.” demikian kata Liu Bu-bi, “Sejarah perkembangan kaum Bulim di
Tionggoan tak kuketahui, kalau tidak mau dibilang terlalu asing bagi diriku.”
Lebih lanjut Coh Liu-hiang
tertawa pula, katanya: “Selamanya Yong-cui-san-cheng memegang teguh peraturan
rumah tangga secara tradisi yang ditegakkan oleh nenek moyangnya, sudah tentu
takkan sudi menyinggung nama manusia bejat yang memalukan ini, tapi kematian
Hong-nio cu waktu itu betul-betul merupakan suatu peristiwa besar yang
menggemparkan seluruh Bulim, banyak orang tak segan-segan meluruk datang dari
tempat ribuan li jauhnya hanya untuk melihat mayatnya, tujuannya tak lain hanya
ingin pula mengiris sekerat kulit dagingnya.”
“Kalau toh tiada orang-orang
Bulim yang pernah melihat muka aslinya,” demikian tanya Liu Bu-bi, “darimana
bisa diketahui bila mayat itu benar adalah mayat Hiong nio cu?”
“Karena orang yang membunuhnya
bukan saja menggantung mayatnya tinggi di puncak pohon, malah diatasnya
digantung pula sebuah spanduk besar dengan tulisan huruf-huruf merah yang besar
maksudnya, bahwa mayat orang ini adalah Hiong nio cu pemetik bunga “pemerkosa”
yang cabul itu, maka Sin-cui-kiong menggasaknya demi menuntut balas bagi para
korban yang konyol oleh kekejamannya.”
“Sin cui-kiong?” teriak Liu
Bu-bi tertahan, “Memangnya Hiong nio-cu akhirnya menemui ajalnya ditangan Cui
bo im ki?”
“Benar, lantaran yang
membunuhnya adalah Sin cui kiong-cu, maka orang-orang aliran Kang-ouw baru
yakin percaya benar bahwa mayat itu benar-benar adalah Hong nio cu, karena
pihak Sin cui kiong pasti tidak akan keliru.”
Oh Thi hoa selalu mengawasi
Soh Yong-yong, kini tiba-tiba berkata: “Meski Hiong nio cu orangnya sudah ajal,
kedok muka buatannya bukan mustahil ada yang dia tinggalkan, kedok muka yang
dipakai oleh laki-laki perawakan sedang itu bukan mustahil adalah sisa dari
hasil karyanya itu.”
“Terang tidak mungkin.” sela
Li Ang siu tegas.
“Kedok muka itu toh tidak
diukir merek atau nama pembuatnya, darimana kau berani begitu yakin akan
pendapatmu?” tanya Oh Thi-hoa.
“Karena Hiong-nio cu ini
hakekatnya bersuara banci dan beringkah laku seperti perempuan, namun ia justru
mengagulkan diri sebagai laki-laki tertampan di seluruh jagat, dan semua kedok
muka buatannya seluruhnya bertipe gagah dan ganteng mirip laki-laki tak mungkin
dia membuat kedok muka sejelek itu.”
“Em, Memang masuk akal.” ujar
Oh THi-hoa.
“Justru karena ciptaannya
serba bagus mutunya, maka dia pandang buah karyanya sebagai mestika tidak
ternilai, kedok muka buatan Siau-hak-thong dan Jian-bin-jin-mo mungkin masih
ketinggalan dan tersebar di kalangan Kangouw menjadi milik orang lain, tapi
kedok muka buatannya selamanya tiada seorangpun yang melihatnya.”
Kembali Coh Liu-hiang
menimbrung: “Apalagi kalau toh dia sudah ajal ditangan Sin-cui-kiong, umpama
benar dia ada meninggalkan kedok muka buatannya, pasti terjatuh di tangan
Im-ki, tak mungkin tersebar diluaran.”
Kembali Oh Thi-hoa melirik
kepada Soh Yong-yong, katanya: “Kalau toh Jian-bin-jin-mo dan Hiong nio-cu tak
meninggalkan kedok muka buatannya di kalangan ramai, dan kedok muka yang
dipakai orang itu mungkin adalah hasil karya dari Siau hak tong itu.”
“Tidak mungkin.” Soh Yong-yong
menyangkal dengan tegas.
Sejak tadi Oh Thi-hoa sudah
perhatikan perubahan mimik Soh Yong-yong yang setiap kali nama Siau-hak-tong
disinggung, maka sekarang diapun tidak perlu banyak tanya pula, dia menunggu
penjelasan orang.
Betul juga Soh Yong-yong
lantas menjelaskan: “Kedok muka buatan Siau-hak-tong, juga tak pernah tersebar
di kalangan Kangouw.”
“O, darimana kau bisa tahu?”
Dengan mata merah Soh
Yong-yong tertunduk, katanya: “Karena seluruh kedok muka buatannya diwariskan
kepadaku, karena aku.. aku adalah adiknya.”
Seketika Oh Thi-hoa melongo,
mulutpun terkunci rapat. Memang sejak lama dia pernah mendengar Coh Liu-hiang
bilang bahwa Song Thiam ji, Li Ang siu dan Soh Yong-yong bertiga adalah
anak-anak sebatangkara yang mempunyai riwayat hidup yang mengenaskan. Tapi tak
pernah terpikir olehnya bahwa Soh Yong yong ternyata adalah saudara sepupu dari
Siau sin tong “Bocah sakti” meski mulutnya terkancing, matanya justru menatap
kepada Coh Liu-hiang, seolah-olah mau bilang: “Tak heran orang sering bilang
Coh Liu-hiang pandai merubah bentuk dan banyak duplikatnya, kiranya diapun
mewarisi hasil karya Siau sin tong, kau ulat busuk ini kenapa tidak sejak dulu
menjelaskan kepada aku, memangnya masih ingin mengelabui aku?”
Coh Liu-hiang menyingkir,
katanya: “Kalau orang tidak mau unjuk muka aslinya, itu adalah kebebasan orang,
kitapun tak bisa menyelidiki asal usulnya sampai keakar-akarnya, yang terang
orang tidak bermaksud jahat terhadap kita.” tanpa memberi kesempatan orang lain
bicara segera dia menambahkan: “Tadi waktu aku mohon diri dan mengucapkan
terima kasih kepada Li locianpwe, mereka masih berada di sana, agaknya memang
sedang menunggu kedatanganku, waktu aku berlalu Ui locianpwe, lantas menarikku
ke samping, dia bilang kepadaku katanya teman itu seorang yang harus
dikasihani, dia mempunyai banyak kesulitan yang tak mungkin dijelaskan kepada
orang lain, diharap kita bisa memaafkan dia.”
“Memaafkan dia apa? Kenapa Ui
Loh-ce mendadak membicarakan hal ini kepadamu?” tanya Li Ang siu.
“Ini… mungkin karena dia orang
yang memberitahukan seluk-beluk Sin cui kiong itu kepada Ui lo kiam khek, maka
Ui lo kiam khek mengharap kita tak menyelidiki soal ini lebih lanjut.”
Oh Thi-hoa berkata: “Oleh
karena itu kau tak ingin menyelidikinya lebih lanjut benar tidak?”
“Aku percaya Ui lo kiam khek
pasti tak menipu aku, tak mungkin mencelakaiku, kalau toh aku sudah berjanji
kepadanya, maka aku pun takkan menjilat ludahku sendiri.” tiba-tiba sikapnya
jadi serius, katanya dengan suara yang tertekan: “Setiap orang mempunyai hak
untuk merahasiakan urusan pribadinya, asal dia tak melukai dan merugikan orang
lain siapapun tiada hak untuk menyelidikinya.”
“Benar orang yang suka
menyelidiki rahasia orang lain, tentulah dia seorang yang rendah dan hina
dina.” Oh Thi-hoa memberi suara.
Selama ini Mutiara hitam
selalu melengos dari tatapan mata Coh Liu-hiang, tak berani beradu pandang.
Biji matanya yang bundar jeli dan dingin mantap itu diliputi kerawanan dan
masgul, seolah-olah permukaan air danau yang bening mengapa ditutupi selapis
kabut pagi yang mulai menipis. Tiba-tiba dia berdiri, katanya dengan menunduk:
“Aku… sungguh aku amat merasa sungkan terhadap kalian, tapi… kalau sekarang
kalian sudah bisa kumpul bersama, dosakupun terhitung ringan.”
Li Ang siu membuka mata
lebar-lebar, katanya: “Toaci kenapa kau ngomong demikian?”
Mutiara hitam tertawa
sahutnya: “Karena aku harus segera pulang, maka kurasa perlu aku bicara dulu
dimuka, aku…” belum habis dia bicara, Song Thiam ji dan Li Ang siu sudah
menarik kedua tangannya.
Kata Song Thiam ji gelisah:
“Kita toh sudah mengikat persaudaraan, masakah boleh kau tinggalkan kami pergi
seorang diri?”
“Gurun pasir memang bukan
tempat yang baik, tapi… disanalah rumahku… mungkin,” tiba-tiba dia teringat bahwa
dirinya tak punya rumah lagi, sampai disini suaranya tersendat pilu hampir
menangis.
Li Ang siu ikut gugup,
katanya: “Rumah kita adalah rumahmu juga, kau… kau…”
“Benar.” timbrung Soh Yong
yong, “Kita semua kumpul bersama, laksana saudara sepupu sendiri.”
Song Thiam ji berkata keras:
“Kalau kau ingin pergi, biar aku ikut kau.” begitu tegas, tulus dan besar
tekadnya.
Bayangan kabut di depan mata
Mutiara hitam menjadi berkaca-kaca dari butiran air mata. sedapat mungkin dia
menahan tetesan airmatanya, namun tak tertahan dia mengerling ke arah Coh
Liu-hiang, seperti hendak berkata: “Mereka tidak mau aku pergi, bagaimana
dengan maksudmu?”
Coh Liu-hiang tersenyum,
katanya: “Walau kita tidak angkat menjadi saudara, namun terhitung sebagai
sahabat karib, sekarang teman kita mengalami kesulitan, masa boleh kau
tinggalkan temanmu pergi begitu saja?”
Ternyata ucapannya amat
manjur. Mutiara hitam menghela napas penuh dikasihani “Kau…” suaranya tersendat
dalam kerongkongan.
“Kuharap kau bisa menemani
Thiam-ji dan Ang-siu pergi ke Bo-dhi-am, mereka masih anak-anak yang hijau tak
punya pengalaman Kangouw, sebagai saudara yang lebih tua, kau wajib melindungi
dan mengawasi mereka.”
Mutiara hitam tertunduk diam,
akhirnya pelan-pelan dia duduk kembali ditempatnya.
Song Thiam ji seketika
bersorak girang, serunya: “Kami pasti mendengar petunjuknya, pasti tidak
nakal.”
Oh Thi-hoa terloroh-loroh
serunya: “Kalau demikian, memangnya kau ini bocah nakal yang suka membuat
gara-gara?”
Kontan Song Thiam ji melotot
dan merengut kepadanya, namun senyumnya masih menghias ujung mulutnya.
Berkata Coh Liu-hiang: “Tapi
kalian tak tahu dimana letak dari Bo-dhi-am itu, maka harap Li Kongcu suka
membawa mereka kesana.”
“Dan kau?” tanya Li Ang siu.
“Aku berangkat bersama Siau
Oh, masuk dari jalan lain ke dalam Sin cui kiong, Yong-ji akan menunjukkan
jalannya, hari ini tanggal sembilan, kalau nasib kita baik, pada malam terang
bulan, kita sudah bisa bersua di dalam Sin cui kiong.”
Li Ang siu seperti menyadari
sesuatu, katanya: “Kita sama-sama kaum hawa, maka paling tidak bisa masuk ke
dalam Sin cui kiong, pasti takkan mengalami mara-bahaya, tetapi kau…?”
“Tak usah kuatir.” seru Oh
Thi-hoa tertawa lebar. “Kalau Cui bo-im ki itu toh seorang cewek, tanggung
diapun takkan membunuh ulat busuk.”
Coh Liu-hiang sengaja tarik
muka, katanya: “Benar, paling dia hanya suka membunuh laki-laki macam tampangmu
ini.”
Oh Thi-hoa juga menarik muka,
katanya: “Bukan aku takut dibunuh olehnya, celaka malah bila dia minta kawin
kepadaku, sungguh berabe.”
Li Ang siu dan Song Thiam ji
sudah terloroh-loroh, saking geli mereka terpingkal pingkal dengan memegangi
perut. Kata Song Thiam ji setelah tawanya mereda: “Kalau benar dia ingin kawin
dengan kau, maka Sin cui kiong harus diganti dengan Sin cui kiong.”
xxx
Itulah sebuah kota kecil yang
terletak di pegunungan, maju lebih jauh lantas sudah memasuki alas pegunungan
yang ratusan li panjangnya. Waktu Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Soh Yong-yong
tiba dikota kecil ini, hari sudah magrib menjelang petang.
Perduli sampai dimana saja,
urusan terbesar yang dipentingkan Oh Thi-hoa adalah mencari arak, dia boleh
tidak usah makan nasi, tidak tidur asal ada arak yang dapat dia habiskan sehari
semalam.
Maklumlah kota pegunungan
dengan penduduk yang jarang-jarang orang berlalu lalang di jalan raya. Tatkala
itu tiba-tiba dari depan sana berbondong-bondong mendatangi beberapa orang,
begitu melihat dandanan mereka Coh Liu-hiang lantas tahu mereka adalah kaum
persilatan, sebaliknya begitu melihat rona muka orang-orang itu, Oh Thi-hoa
lantas tahu bahwa mereka itu pasti kawanan setan arak, karena orang-orang yang
suka minum arak biji matanya pasti berobah seperti biji mata ikan yang sudah
mati. Demikian pula suara orang yang sering minum arak pasti teramat besar dan
kasar, bila mereka menyangka sudah merendahkan suara untuk bicara, orang lain
justru sudah pekak kupingnya saking ribut.
Baru saja Oh Thi-hoa hendak
mencari tahu kepada mereka: “Dimana sih yang ada menjual arak?” maka
pembicaraan mereka sudah didengarnya dengan jelas.
Kata seorang: “Dua tua bangka
yang memasuki Thay pek-lau tadi apa kau tahu siapa mereka?”
Siapa tanya orang di
sebelahnya: “Memangnya bapak mertuamu?”
Orang yang bicara dulu tertawa
dingin, jengeknya: “Kalau benar dia bapak mertuaku sejak tadi aku sudah unjukan
diri…” ketahuilah, dia orang bukan lain adalah Kun-cu kiam Ui Loh ce yang
pernah memberantas habis delapan belas pentolan Bak kong cay itu, tentunya kau
pernah mendengar nama besarnya?”
Benar juga orang itu agaknya
tertegun dan jeri, selanjutnya tak berani bercuit.
Orang ketiga justru tertawa
katanya: “Khabarnya setiap kali bergebrak dengan lawan, tua bangka ini
memberitahu lebih dulu jurus tipu apa yang hendak dia lancarkan apa benar kabar
yang pernah kudengar itu?”
Jawab orang terdahulu: “Umpama
kata jurus apa yang hendak dia lancarkan, tetap kau takkan kuat melawannya, di
sini banyak tempat untuk minum arak, buat apa harus cari kesulitan dengan
mereka?”
Sembari bicara mereka
berbondong-bondong lewat disamping Coh Liu-hiang, malah diantaranya ada yang
melirik dan melotot kepada Soh Yong yong, seolah-olah ingin mencicipi wedang
tahu makan kacang goreng. Tapi teringat Kun-cu-kiam berada ditempat yang tak
jauh dari sini betapapun dia tak berani mengumbar kebiasaannya.
Setelah mereka pergi jauh, Oh
Thi-hoa baru tertawa: “Tak nyana Ui Loh-ce juga berada di sini, memangnya orang
hidup dimanapun bisa berjumpa, entah bagaimana takaran minumnya? Biar kutemui
mereka untuk adu minum.”
Coh Liu-hiang berpikir,
katanya: “Mungkin mereka tidak ingin bertemu dengan kita.”
“Kenapa?” tanya Oh Thi-hoa,
tiba-tiba biji matanya berputar, katanya seperti menyadari sesuatu: “Orang itu
bilang mereka berdua, yang satu tentu laki-laki yang berkedok itu, bukan
mustahil mereka memang hendak ke Sin-cui kiong juga, kalau tidak masakah jauh
jauh mereka datang ketempat ini?”
Coh Liu-hiang seperti sedang
berpikir, maka dia tidak segera menjawab.
Tiba-tiba bersinar mata Oh
Thi-hoa katanya: “Rekaanmu pasti tidak meleset, orang itu pasti ada hubungan
erat dengan Sin cui kiong, kalau tidak seorang laki-laki segede itu, mana
mungkin mengetahui seluk-beluk Sin cui kiong begitu jelas?”
Soh Yong yong mandah diam saja
mendengarkan, memangnya hanya perempuan pintar seperti dia saja baru bisa
mengerti disaat laki-laki bicara dia harus menutup rapat mulutnya sendiri.
Setelah lama
menimbang-nimbang, berkata Coh Liu-hiang dengan tertawa: “Kalau toh mereka
mempunyai kesulitan yang tidak ingin diketahui orang, kitapun tidak usah
membuatnya runyam, tapi kawanan Kangouw tadi kelihatannya bukan orang
baik-baik, kita harus perhatikan mereka.”
“Aku setuju akan pendapatmu”
“Memangnya aku kan tidak akan
menentang karena dengan mengikuti jejak mereka, bukan saja kau bisa mencampuri
urusan mereka, sekaligus menikmati arak, kedua hal ini adalah kesukaanmu.”
Oh Thi-hoa gelak-gelak,
katanya: “Ulat busuk memangnya tidak kecewa menjadi teman Oh Thi-hoa yang
paling karib.”
Memang banyak arak ditempat
tujuan kawanan persilatan itu, tapi di sini tiada sesuatu persoalan yang bisa
diurusnya, karena kelihatannya orang-orang ini cukup tahu diri, malah tiada
satupun yang mengigau karena terlalu banyak menghabiskan arak.
Setelah puas minum, mereka
lantas cari hotel dan masuk kamar tutup pintu merebahkan diri diatas ranjang
dan tidur, tak lama kemudian terdengar gerosan mereka seperti babi yang sudah
pulas.
Coh Liu-hiang merasa di luar
dugaan, asal ada arak dan belum lagi mabuk Oh Thi-hoa tidak perlu perdulikan
urusan tetek bengek, sudah tentu mereka tidak ingin masuk gunung disaat hari
menjelang malam, terpaksa mereka pun menginap didalam hotel itu.
Oh Thi-hoa masih punya cirinya
yang lain, yaitu tidak mau kembali ke kamarnya untuk tidur. Setelah kentongan
ketiga Coh Liu-hiang sudah menguap ngantuk, katanya: “Besok kita harus pergi ke
Sin cui kiong, memangnya kau tidak ingin tidur memulihkan tenaga supaya urusan
tidak terbengkalai?”
Oh Thi-hoa cengar-cengir,
katanya: “Kalau kebanyakan tidur kepalaku malah pusing lebih baik, pada saat
itulah terdengar suara “tak” diluar jendela.
Seseorang merendahkan suara
berat berkata: “Coh Liu-hiang keluar!”
Belum kata-kata ini habis
diucapkan bayangan Oh Thi-hoa sudah berkelebat keluar jendela, selamanya dia
tidak tahu takut akan bokongan orang, terpaksa
Coh Liu-hiang ikut menerjang
keluar. Tampak sesosok bayangan hitam berkelebat di atas wuwungan rumah di
depan sana, agaknya malah masih sempat melambaikan tangan kepada Coh Liu-hiang,
sekejap saja, tahu-tahu bayangannya sudah melesat tujuh delapan tombak jauhnya.
Berapa tinggi Ginkang orang ini, sungguh membuat Coh Liu-hiang kaget.
Oh Thi-hoa bersuara rendah:
“Tak nyana kita tak memberi kesulitan kepadanya, dia malah mencari kesulitan
kita.”
Coh Liu-hiang tahu dia yang
dimaksud oleh Oh Thi-hoa adalah tokoh kosen ahli pedang yang berkedok itu, tapi
Coh Liu-hiang justru rada curiga, katanya: “Kukira orang ini jelas bukan si dia
itu.”
“Kenapa bukan dia?”
“Dia sedang sibuk
menyembunyikan asal usulnya sendiri, masakah kemudian mencari kita?”
“Memangnya siapa kalau bukan
dia? Jangan kau lupa, tokoh kosen ini berapa banyaknya dalam jagat ini?”
“Kau pun jangan lupa daerah
ini sudah termasuk lingkaran terlarang bagi Sin cui kiong.”
Oh Thi-hoa tertawa tawa
katanya: “Tapi orang itu terang adalah laki-laki, terang bukan murid dari Sin
cui kiong, memangnya kau tidak bisa membedakan dia laki-laki atau perempuan?”
karena bicara langkah kakinya menjadi mengendor, sementara bayangan itu sudah
melesat dengan cepat, jaraknya semakin jauh.
“Lekas kejar!” seru Oh
Thi-hoa.
“Kalau dia mencari kita, tentu
akan menemui kami, buat apa tergesa-gesa?” benar juga, langkah orang di depan
itupun jadi mengendur, akhirnya berhenti di pucuk wuwungan sebuah rumah kecil,
kembali melambaikan tangan ke arah mereka.”
Coh Liu-hiang tiba-tiba
berkata: “Lekas kau pulang melindungi Yong-ji, jangan sampai terpancing oleh
musuh.”
Begitu getolnya Oh Thi-hoa
ingin tahu siapa sebenarnya laki-laki yang memancing mereka keluar dengan
kepandaian Gingkang setinggi ini, untuk apa pula mengundang mereka keluar,
sungguh tak rela dia disuruh pulang. Tapi Coh Liu-hiang segera kembangkan
kebolehannya, beberapa kali lompatan orang sudah melesat, jauh ke depan.
Apa boleh buat terpaksa Oh
Thi-hoa hanya menghela napas terus putar balik, mulutnya menggerundel: “Bila
bersama ulat busuk, ada urusan baik selalu tidak menjadi giliranku.”
Malam berlarut suasana sepi
tak kelihatan bayangan manusia mondar mandir didalam kota pegunungan ini,
lampu-lampu sudah sama dipadamkan, hanya ada dua rumah saja yang masih
menyalakan lampu diantara kamar-kamar hotel kecil itu, sebuah adalah kamar
khusus buat para pegawai hotel, kamar yang lain adalah tempat tinggal Coh
Liu-hiang.
Sudah tentu Soh Yong yong
menetap ke kamar sebelah Coh Liu-hiang, di sebelah pekarangan terdapat tiga
buah kamar lagi, semua ditempati rombongan laki-laki kawanan orang-orang
persilatan itu, sinar lampu sudah padam kecuali gerosan tak terdengar suara
lain.
Waktu Oh Thi-hoa kembali pula
ke dalam kamar, sinar lampu tampak menyorot dari ketiga kamar ini, bayangan
orang pun berpeta pada jendela kertas. Untuk apa orang-orang ini tengah malam
buta rata pada bangun?
Dari kamar Soh Yong-yong tak
terdengar suara apa-apa, sekilas Oh Thi-hoa berpikir, akhirnya dia bersembunyi
di atap rumah, secara diam-diam mengawasi dan memperhatikan keadaan ketiga
kamar itu. Dia tahu orang-orang itu bukan manusia baik-baik, tapi kalau tengah
malam buta rata mereka bergerak hendak beroperasi, memangnya sasaran mana yang
patut mereka incar didalam kota pegunungan kecil yang serba miskin ini? Tapi
mereka menginap di sini, terang mereka mempunyai tujuan.
Oh Thi-hoa membuka mata lebar,
batinnya: “Perduli kerja apa yang hendak mereka lakukan, hari ini kebentur di
tanganku, terhitung mereka yang bakal ketiban pulung.”
Tak lama kemudian, kamar
dipaling kiri, tiba-tiba padam lampunya, dua sosok bayangan orang secara indap
indap mengeloyor keluar, dengan jarinya mengetuk dua kali di atas jendela di
kamar tengah, serunya lirih: “Kentongan ketiga.”
Orang dalam kamar dengan
tertawa segera berkata: “Kita sudah siap sejak tadi, memang sedang menunggu
kalian” ditengah pembicaraannya dua orang memanggul dua buntalan besar berjalan
keluar, katanya: “Bawalah dulu buntalan ini, kami hendak kencing dulu.”
Dua orang di luar itu tertawa,
makinya: “Kalian memangnya orang desa, belum lagi memikul harta, sekali minum
lantas kencing-kencing.”
T
engah mereka berkelakar dengan
makiannya sambil menerima kedua buntalan itu, tak kira dua orang yang baru
keluar dari kamar ini tiba-tiba mengeluarkan pisau dari lengan baju. “Cras”
kontan dia kutungi leher kedua temannya sendiri. Kedua orang itu sama
mengeluarkan suara gerungan terus roboh terkapar tak bernyawa lagi. Dua orang
yang lain masing-masing mengeluarkan segumpal kapuk terus dijejalkan ke dalam
mulut mereka, sehingga darah setetespun tidak bercucuran, cara kerja mereka
sungguh cekatan, gampang dan ahli, agaknya memang sudah biasa membunuh
mangsanya.
Sudah tentu perobahan ini amat
di luar dugaan Oh Thi-hoa, sungguh tak pernah terpikir dalam benaknya bahwa
orang-orang ini akan saling bunuh lebih dulu sebelum beroperasi dan berhasil
dengan incarannya.
Tatkala itu dari kamar paling
kanan sudah melompat keluar dua orang, melihat perobahan ini agaknya amat
kaget, seketika mereka menyurut mundur serta memegang golok masing-masing,
bentaknya bengis: “Lui-losam, apa yang ingin kau lakukan?”
Dengan alas sepatunya Lui
losam kalem saja membersihkan darah di ujung goloknya, katanya cengar-cengir:
“Apapun tidak ingin kulakukan, cuma aku merasa bila sesuatu benda harus dibagi
empat orang, jatahnya tentu lebih banyak daripada dibagi enam.”
Mereka saling berpandangan
lalu sama gelak tawa.
Berkata pula Liu losam: “Meski
kita sudah menghilangkan jejak dari kejaran kawanan alap-alap itu, namun yang
mengincar dagangan besar ini tentu masih ada rombongan lain pula, bukan
mustahil di belakang kita ada yang mengikuti jejak mereka, haraplah lekas
berangkat.”
Baru sekarang Oh Thi-hoa lebih
jelas bahwa mereka ternyata adalah kawanan begal, malah baru saja melakukan
suatu dagang gelap tanpa modal, demi menghilangkan jejak dari kejaran yang
berwajib, maka mereka lari ke kota pegunungan ini. Buntalan itu cukup besar dan
menonjol entah apa yang terbungkus di dalamnya. tapi karena buntalan ini tak
segan-segan mereka saling bunuh sendiri, terang buntalan itu pasti berisi
sesuatu yang patut dibuat rebutan.
Hati Oh Thi-hoa sudah gatal,
tangannya lebih gatal lagi, batinnya: “Kalau aku belum melihat apa isi buntalan
ini mungkin malam ini aku tidak bisa tidur.” Bahwasanya bukan saja dia ingin
melihat apa isi buntalan itu, ke empat orang ini seolah-olah babi-babi gemuk
yang diantar ke hadapannya, bila dia tolak, rasanya terlalu tidak menghargai
diri sendiri.
Tatkala itu Lui losam sudah
menjinjing buntalan itu, baru saja Oh Thi-hoa hendak menubruk keluar, tiba-tiba
dilihatnya sesosok bayangan putih laksana segumpal kembang salju melayang turun
dari tengah udara.
Lui losam dan teman-temannya
seperti belum melihat, setelah bayangan putih itu melayang turun di hadapan
mereka dengan ringannya baru serempak mereka dibuat kaget.
Oh Thi-hoa pun amat kaget,
karena Ginkang bayangan ini sungguh amat hebat, sungguh dia tak habis mengerti
didalam kota kecil di pegunungan ini, kenapa sekaligus tumplek beberapa
tokoh-tokoh silat kosen yang bermunculan.
Kemudian orang membelakangi
dirinya, maka dia tidak bisa melihat jelas raut muka orang, namun dari potongan
badannya yang semampai dan ramping, rambutnya terurai mayang, kelihatannya
adalah seorang gadis cantik rupawan yang masih muda belia. Karena begitu rasa
kejut Lui losam dan teman-temannya hilang mereka lantas memicingkan mata,
dengan terpesona mengawasi gadis baju putih ini, kalau laki-laki sampai
memicingkan mata mengawasi dengan terpesona, gadis ini tentu tak berparas
buruk. Oh Thi-hoa cukup berpengalaman dalam bidang ini.
Terdengar gadis baju putih itu
berkata: “Dua mayat diatas tanah ini, apakah kalian yang membunuhnya?”
Lui losam malah menyengir
tawa, katanya: “Apakah kami yang membunuh kedua orang, nona secantik kau ini,
malah kesudian menjadi opas memakan sesuap nasi, dari pajak rakyat.”
Berkata kalem gadis baju
putih: “Kalau ditempat lain kalian membunuh orang, sedikitpun tiada sangkut
pautnya dengan aku, tapi disini.”
“Memangnya ada bedanya
ditempat ini?”
“Ditempat ini tak boleh
membunuh orang!”
“Tapi sekarang aku sudah
membunuh kedua orang ini, coba katakan bagaimana persoalan ini harus
diselesaikan?”
Sebetulnya hatinya rada takut
berhadapan dengan gadis belia ini, karena dia tahu Ginkang nona ini amat
tinggi, namun sekarang agaknya dia sudah kepincut kepati-pati oleh kecantikan
si gadis dihadapannya, maka nyalinya bertambah besar. Karena laki-laki memang
jarang berhati-hati setiap kali berhadapan dengan perempuan cantik. Oleh karena
itulah gadis yang cantik sering dengan mudah menipu lelaki.
Berkata gadis itu: “Setelah
kau membunuh orang, memang hanya ada dua cara untuk menyelesaikannya.”
“Cara apa?”
“Cara pertama, mayat kedua
orang ini harus kau makan sampai habis malah dengan lidahmu kau harus jilat
sampai bersih noda-noda darah yang berceceran ditanah.”
Lui losam tertawa lebar, katanya:
“Aku orang ini sering makan apa saja, cuma makanan benar tidak mau makan mayat
orang, hidangan kecil tidak mau makan lalat, gelak tawanya tiba-tiba terputus,
seolah-olah dia sudah merasakan bahwa gadis dihadapannya ini bukan sedang
berkelakar. Walau Oh Thi-hoa tak melihat muka orang tapi dia tahu paras orang
tentu sudah berubah.
Terdengar gadis itu berkata
dengan kalem: “Kalau kau tak ingin makan mayat ini juga tak menjadi soal, toh
masih ada cara kedua.”
“Cara… cara apa lagi?” suara
Liu losam mulai gemetar.
“Cara kedua jauh lebih mudah
dilaksanakan. marilah kau ikut aku.” ajak si gadis lalu dengan gemulai dia
putar badan, tahu-tahu sudah melayang naik ke pagar tembok.
Dalam sekilas pandang inilah
Oh Thi-hoa akhirnya berhasil melihat raut muka orang. Sebetulnya dia tidak
terhitung teramat cantik namun di tengah malam yang tenang dan gelap ini, di
bawah penerangan sinar bintang yang remang-remang, kelihatannya dia orang
memang memiliki suatu daya sedot yang tak terlawankan oleh kawanan bandit itu.
Seolah-olah sudah melupakan
tujuan semula. Lui losam dan ketiga temannya sekejap mereka ragu-ragu namun
kejap lain serempak mereka sudah ikut lompat dan memburu.
Kamar tempat tinggal Soh
Yong-yong masih seperti tak terdengar suara apa-apa, gelagatnya dia terlalu
pulas, setelah mengamati pelajaran yang terdahulu, kali ini Oh Thi-hoa tidak
berani ceroboh, dia tahu dirinya harus berjaga di sini, jikalau sampai Soh
Yong-yong terbokong dan kena diingusi orang, bukan saja malu dia bertemu dengan
Coh Liu-hiang, boleh dikata malu pada diri sendiri, malu menjadi manusia.
Tapi gadis baju putih itu
memang cantik dan terlalu aneh tindak tanduknya, apa maksudnya menyuruh ke
empat laki-laki itu mengikuti dirinya? Hendak dibawa kemana mereka berempat?
Apa pula yang berisi didalam buntalan besar itu?
Sungguh serasa hampir meledak
rasa ingin tahu Oh Thi-hoa, kalau segera tidak memburu kesana untuk menyaksikan
secara jelas, bukan mustahil dia kontan bisa menjadi gila. Dengan keras dia
mengelus-elus hidungnya, disaat dia kebingungan tak tahu apa yang harus dia
lakukan, siapa tahu saat itulah tiba-tiba Soh Yong-yong menongolkan kepalanya
dari balik jendela serta melambaikan tangan kepada dirinya.
Tersipu-sipu Oh Thi-hoa
melompat turun, serunya: “Hah! Kiranya kau belum tidur?”
Soh Yong-yong berseri tawa,
katanya: “Setelah kalian minum arak, suara bicaranya yang ribut bisa bikin si
tuli kaget dan sadar dari pulasnya, masakah aku bisa tidur? Apalagi malam ini
pekarangan ini begini ramai.”
“Jadi kau sudah saksikan
seluruhnya?”
“Aku lihat kalian keluar
mengejar bayangan seseorang, tak lama kemudian hanya kau sendirian saja yang
pulang.”
Kalau dalam keadaan biasa
mungkin Oh Thi-hoa akan menggoda hubungannya dengan Coh Liu-hiang, supaya paras
orang merah dan malu, atau supaya orang lain gelisah menguatirkan keadaan Coh
Liu-hiang. Tapi sekarang, seleranya bukan atas persoalan ini. Maka segera dia
bertanya: “Peristiwa yang terjadi di pekarangan sebelah tadi, kaupun sudah
melihatnya?”
“Apakah kau ingin menguntit
mereka untuk tahu jejak mereka?” tanya Soh Yong-yong.
Bersinar mata Oh Thi-hoa,
serunya senang: “Kau juga ikut? Bagaimana kalau kita pergi bersama-sama?”
“Aku tidak boleh pergi, karena
perempuan itu bila diapun melihat diriku, bukan mustahil bisa menimbulkan
kesulitan, tapi aku sih tidak menjadi soal.”
“Kenapa?”
“Karena dia kenal aku, namun
tidak mengenalmu.”
“Dia kenal kau? Apa akupun
mengenalnya? Siapakah dia?”
“Dia itulah utusan pihak
Sin-cui kiong yang menemui Coh Liu-hiang itu, namanya Kiong lam Yan.”
Oh Thi-hoa terperanjat,
melongo sebentar, mulutnya menggumam: “Tak heran ilmu silatnya amat tinggi,
kiranya murid kesayangan Cui-bo-im-ki.”
“Lebih besar hasratmu untuk
melihatnya kesana, bukan?”
Kembali Oh Thi-hoa pegangi
hidungnya, katanya: “Tapi kau…”
“Boleh silahkan kau pergi, aku
kan bukan anak kecil, memangnya harus kau lindungi?”
Oh Thi-hoa kegirangan,
katanya: “Kau memang nona yang baik, tak heran ulat busuk selalu memuji dirimu
malah kuatir bila dia kurang hati-hati mungkin bisa menelanmu bulat-bulat.”
Akhirnya toh dia memang bikin
wajah Soh Yong-yong bersemu merah, diwaktu dia melesat ke atas pagar tembok,
hatinya masih merasa riang, karena dia senang bila melihat wajah gadis rupawan
bersemu merah dan malu-malu. Dia senang melihat hubungan muda mudi yang intim,
bertautnya dua hati yang sepaham dan sepengertian, dia merasa hal-hal seperti
itu merupakan kejadian paling sempurna baik dan indah dalam dunia ini.
Diam-diam diapun ikut
bergirang bagi Coh Liu-hiang, karena diapun merasakan Soh Yong-yong memang
gadis pujaan yang serba lengkap, serba baik. Dia menghirup napas panjang,
mulutnya mengigau: “Ulat busuk memang lebih beruntung dari diriku.”
Tapi sekarang Oh Thi-hoa
menghadapi keadaan yang merisaukan hati, didalam waktu percakapannya ini,
bayangan gadis baju putih dan Lui losam berempat sudah tak kelihatan lagi.
Dia tahu langkah kiong Lam Yan
takkan lebih lambat dari kecepatan larinya, tapi kekuatan lari Lui losam
berempat, dia yakin meski hanya mengejar dengan satu kaki, dia masih kuasa
menyandak mereka. Sekarang dia bertanya tanya, ke arah mana barisan mereka
menuju? Jalan di sebelah kiri menuju ke jalan raya didalam kota, ke arah kanan
ke jalan raya keluar kota, ke sebelah depan adalah arah kemana tadi dia bersama
Coh Liu-hiang mengejar bayangan hitam tadi.
Setelah meragu sebentar segera
dia melesat lempang ke depan, karena dengan mengambil jurusan ini umpama tak
berhasil menemukan kiong Lam Yan, paling tidak bisa bertemu dengan Coh
Liu-hiang.
Arah yang dituju ini tiada
jalan, yang ada hanya wuwungan rumah orang yang sambung menyambung. Masih segar
dalam ingatannya diwaktu tadi dia berlarian di wuwungan rumah-rumah itu, tadi
lampu di sebelah bawah sudah padam seluruhnya, maklumlah penduduk dalam kota
pegunungan yang biasanya harus menghemat minyak, maka jarang orang menyulut
pelita diwaktu tidur.
Tapi sekarang tiba-tiba dia
lihat di depan sana ada beberapa rumah yang menyulut lampu, malah terdengar
pula suara ketukan yang ramai kumandang dari sebelah pekarangan. Pekarangan
dimana kedengaran suara ramai itu banyak bertumpuk balok-balok kayu besar kecil
di emperan rumah tergantung lampion besar yang menyorotkan sinar terang.
Sebetulnya Oh Thi-hoa hendak
membelok ke samping, namun sekilas ujung matanya melihat dua orang, sedang
sibuk mengerjakan peti mati.
Betapapun kecilnya sebuah kota
bila penduduknya cukup banyak pasti disana terdapat sebuah pertukangan yang
khusus membuat peti mati, karena setiap penduduk kota dalam waktu tertentu
pasti ada orang yang meninggal, orang mati ini memerlukan peti mati, hal ini tak
perlu dibuat heran.
Bahwa pegawai pertukangan kayu
sibuk menyelesaikan peti mati, pastilah didalam peti itu ada jenazah orang. Hal
inipun tak perlu dibuat heran.
Anehnya justru kedua orang ini
bekerja ditengah malam buta-rata, memangnya disekitar tempat ini ditengah malam
ini ada orang mati mendadak? Meski ada orang mati toh boleh dikerjakan besok
pagi. Orang yang sudah mati kan tak perlu tergesa-gesa harus masuk peti mati,
orang hidup sudah takkan sudi masuk ke dalam peti mati.
Mau tak mau tergerak juga
pikiran Oh Thi-hoa, tak tahan dia akhirnya menghentikan larinya, maka segera
dia dapati didalam pekarangan ternyata tersedia empat buah peti mati. Tiga
diantara peti mati itu belum terpakai, ketiga peti mati ini masing-masing
berisi satu jenazah.
Tanpa ragu-ragu Oh Thi-hoa
segera lompat ketengah pekarangan, dua orang yang sedang sibuk memaku peti mati
terperanjat, palu ditangan mereka sampai mencelat terbang saking kagetnya.
Oh Thi-hoa tak hiraukan
mereka, dengan seksama dia periksa tiga peti mati yang masih terbuka itu, cukup
sekilas saja dia melihat ketiga mayat didalam peti mati itu, seketika berubah
air mukanya, tak kuasa mulutpun berteriak kaget: “Kiranya mereka”
Mayat-mayat yang berada di
ketiga peti mati ini ternyata Lui-losam dan kawan-kawannya. Sebelum ini Oh
Thi-hoa masih melihat mereka hidup segar bugar, mimpipun dia tak menyangka
dalam waktu yang begitu singkat keempat orang ini sudah rebah didalam peti mati
tanpa bernyawa lagi.
Dua orang tukang kayu itu
sudah berlutut dan menyembah ratapnya ketakutan “Toaya ampun, kejadian ini
bukan perbuatan kami.”
Melihat muka pucat kedua orang
ini, Oh Thi-hoa tahu orang pasti menyangka dirinya sekomplotan dengan
Lui-losam, terpaksa dia unjuk tawa, dibuat-buat, katanya: “Akupun tahu kejadian
ini bukan urusan kalian, tapi apakah yang telah terjadi akan mereka?”
Laki-laki yang berusia agak
tua agaknya adalah juragan dari perusahaan pertukangan ini, dia membesarkan
nyali menjawab: “Sebetulnya kami sudah tidur, tiba-tiba ada seorang dewi masuk
ke kamar kami menggigil kami bangun, lalu suruh kami menyediakan empat peti
mati dan menunggu di luar pekarangan.”
“Apakah nona cantik yang
berpakaian putih-putih?”
“Benar, meski merasa heran,
tapi di sini sering tersiar adanya bidadari yang memberi berkah kepada para
penduduk kota, malah katanya banyak bidadari di puncak gunung sana maka kami
tak berani membangkang perintahnya.”
“Mereka itu bukan bidadari,
mereka adalah setan-setan air.”
Dingin bulu kuduk juragan peti
mati, katanya tergagap: “Bila… nona… air itu tak lama kemudian kembali, membawa
empat.. empat laki-laki kemari, sikapnya tidak galak terhadap ke empat
laki-laki itu, dia malah minta satu diantaranya membayar dua puluh tail perak
kepadaku.”
“Apa yang dikatakan orang
itu?”
“Laki-laki itu agaknya malah
kegirangan, katanya: “Mereka memang adalah temanku, membelikan peti mati juga
pantas.” Setelah mendengar penjelasannya ini baru hati kami lega, kukira ada
teman-teman mereka yang meninggal, maka nona itu membawa mereka kemari untuk
membeli peti mati. Seolah-olah ketiban rejeki, belum pernah dalam satu hari
kami menjual empat peti mati sekaligus.. mana tahu..” giginya gemeretak,
suaranya pun tak terdengar lagi.
Mengawasi mayat-mayat Liu
losam didalam peti mati, Oh Thi-hoa jadi geli dan dongkol.
Sesaat kemudian juragan peti
mati melanjutkan ceritanya: “Siapa nyana setelah uang kuterima, nona itu
tiba-tiba berkata: “Cara kedua gampang saja, yaitu menyerahkan jiwa kalian.”
Baru saja kami merasa kaget, belum lagi tahu apa yang telah terjadi, tahu-tahu
ke empat laki-laki itu sudah terkapar roboh tak bernyawa lagi.” badannya
gemetar dan ngeri, katanya dengan suara terputus-putus: “Selama hidup belum
pernah aku… aku melihat… orang mati begitu cepat, empat orang segar bugar,
entah kenapa…. tiba-tiba sudah menjadi mayat semuanya.”
Oh Thi-hoa ikut melongo,
tanyanya: “Selanjutnya bagaimana?”
“Selanjutnya… nona itu
mendadak menghilang dari hadapan kami.” getir air muka juragan peti mati,
katanya menyambung: “Peristiwa ini kalau kuceritakan kepada orang lain pasti tak
ada yang mau percaya, terpaksa malam ini juga kami kerja lembur untuk
menyelesaikan kerja ini, terus diangkat keluar. mohon Toaya.”
“Kau tak usah kuatir.” Oh
Thi-hoa tertawa: “Akupun bisa segera menghilang, urusanmu aku tak mau perduli
lagi, tapi ke empat orang itu ada membawa buntalan besar, apa kau melihatnya?”
“Kelihatannya memang… agaknya
sudah dibawa pergi oleh nona itu, kami sudah ketakutan maka tidak melihat
jelas…” belum habis dia bicara, Oh Thi-hoa benar-benar sudah menghilang dari
pandangannya.
Juragan peti mati ini jatuh
sakit tujuh hari, kalau ada orang tanya peristiwa apa yang terjadi pada tujuh
hari yang lalu, maka dia lantas menyumpah-nyumpah dikatakan kerja apapun tidak
pernah dia lakukan, cuma dikatakan malam itu dia bermimpi amat buruk.