-------------------------------
----------------------------
Bab 10. Jalan rahasia lain
Di sebelah biara pemujaan
untuk dewa bumi terdapat sebuah petak rumah persegi, didalamnya banyak terdapat
meja kursi, kiranya itulah sebuah rumah sekolahan, tapi guru tiada muridpun
tentu bubar, tiada satu orangpun didalam ruang kelas. Tapi sinar api terpasang
terang benderang, api lilin bergoyang gontai tertiup angin, kelihatannya
menjadi seram.
Waktu Coh Liu-hiang mengejar
sampai di sini, bayangan hitam itu tiba-tiba berhenti.
Orang itu ternyata adalah
seorang kakek kurus kering, rambutnya sudah ubanan seluruhnya namun badannya
masih kelihatan sehat dan kuat, berdiri ditengah gelap seperti sebatang tongkat
bambu. Tiba-tiba dia membalik badan berhadapan dengan Coh Liu-hiang dengan
tertawa: “Ginkang Maling Romantis memang tak bernama kosong, tiada bandingannya
dikolong langit.”
“Ah, Cianpwe terlalu memuji.”
Coh Liu-hiang merendahkan diri. Disaat bicara ini dia sudah perhatikan orang
tua dihadapannya ini katanya pula dengan tertawa: “Dalam kolong langit ini,
bila ada yang tak dapat kukejar kecuali Ban-li-tok-hing Cay locianpwe pasti
tiada orang lain, justru cianpwe malam ini membuat wanpwe terbuka matanya.”
Orang tua itu gelak-gelak
ujarnya: “Mendengar pujian Maling Romantis, Losiu jadi merasa berkecil hati,
sebetulnya bukan Losiu sengaja hendak pamer kepandaian, bahwa Losiu memancing
Maling Romantis ke tempat ini, karena didalam hotel itu terdapat beberapa
kurcaci yang menyebalkan, kukira kurang leluasa bila bicara di sana.”
Banyak orang berpendapat orang
yang usianya semakin menanjak tua semakin sungkan dan suka merendah hati,
hakekatnya bila jiwa seseorang semakin tua, dia semakin tidak mau mengalah
malah sebaliknya suka mendengar puji sanjung orang lain akan kebolehan dirinya.
Apalagi pujian yang diucapkan oleh seseorang yang kira-kira setingkat dirinya,
maka rasanya lebih syuur, tiada orang yang tak suka mendengar pujian semacam
ini dalam dunia ini. Jikalau Cay Tok-hing tidak ingin supaya Coh Liu-hiang tahu
akan tingkat kepandaiannya kenapa dia tadi tidak mau jalan pelan-pelan saja?
Setelah tertawa, lekas Coh
Liu-hiang sudah mengerut kening, katanya: “Orang-orang kurcaci yang dimaksud
Cianpwe, bukanlah….”
“Yaitu kawanan bandit yang
tinggal di kamar sebelah kalian itu, sebetulnya tujuan Losiu menguntit jejak
mereka, sehingga aku sampai di sini, sungguh tak kira di sini pula aku bisa
jumpa dengan Maling Romantis.”
“Kalau demikian Wanpwe harus
berterima kasih kepada mereka malah, entah apa sih kerja mereka sebenarnya?
Sampai Cianpwe susah harus menguntit jejak mereka?”
Cay Tong hing tertawa-tawa,
ujarnya: “Tua bangka seperti aku ini paling takut kesepian, soalnya mereka
kuatir jiwanya tercabut oleh raja akhirat disaat tiada orang lain, demikian
juga aku tua bangka ini, maka setiap hari selalu ikut mencampuri urusan orang lain.”
sampai di sini dia menarik muka, katanya lebih lanjut: “Mereka para kurcaci itu
adalah Bu-bing-siau-cut dari Bulim, tapi belakangan ini mereka melakukan
perbuatan yang terkutuk, aku tua bangka ini bersumpah hendak menghabisi jiwa
mereka.” Sebelum orang menyebutkan perbuatan terkutuk apa yang dilakukan
orang-orang itu, Coh Liu-hiang pun tidak enak bertanya, maklumlah Coh Liu-hiang
selamanya tidak suka cerewet.
“Sekarang Losiu sudah
menemukan jejak mereka.” demikian tutur Cay Tok-hing lebih lanjut. "Namun
belum sempat turun tangan, tentunya Maling Romantis merasa heran?”
“Ya, memangnya aku rada
bingung.”
“Itulah karena mereka seperti
sudah picak matanya karena ketakutan sehingga pandangan mata dikelabui setan,
dunia selebar ini, mereka justru lari ke tempat ini, tentunya kau tahu di
dataran ini tak leluasa menghabisi jiwa orang.”
“Memang, Wanpwe juga ada
dengar, Cui-bo-im-ki melarang orang membunuh sesamanya di daerah seratus li
sekitar Sin-cui-kiong, bila siapa berani melanggar undang-undang ini, maka
jiwanya harus dihabisi juga.”
“Bukannya Losiu takut akan
larangan itu, soalnya lelaki tak leluasa berkelahi dengan perempuan, hidup
setua ini buat apa aku harus bertengkar dengan kaum hawa?” Orang ini ternyata
memang berwatak keras dan pedas sekali-kali dia tak mau tunduk kepada orang
lain meski hanya mengadu mulut secara berhadapan.
Walau merasa geli dalam hati,
namun Coh Liu-hiang hanya mengiyakan saja, “Memang benar ucapan Cianpwe,
bertengkar dengan perempuan, laki-laki juga yang rugi.”
“Sebetulnya Losiu sudah lama
ingin minum bersama Maling Romantis, sayang sekali kaum pengemis seperti aku
tidak leluasa duduk didalam restoran, terpaksa kubawa kemari sementara meminjam
tempat ini, semoga besok pagi bila Ang-siansing datang mengajar, jangan sampai
dia jatuh mabuk mengendus bau arak yang kita tinggalkan di sini.”
Berkata Coh Liu-hiang menahan
tawa: “Entah Cianpwe sudah menyiapkan daging anjing, Wanpwe tidak makan daging
anjing lho.”
Cay Tok-hing menepuk
pundaknya, katanya gelak-gelak: “Kukira kaupun sudah keracunan oleh teori dalam
buku, para kutu buku bila memperbincangkan kaum jembel seperti kami tentu
mengira kami ini doyan makan daging anjing, sebetulnya bukan setiap pengemis
pasti suka makan daging anjing.”
Lilin yang tersulut sudah
tinggal separo guci arak yang ditaruh di bawah meja sudah terbuka segelnya, di
atas meja masih terdapat sebungkus sayur asin yang dibungkus oleh kertas
minyak. Agaknya Cay Tok-hing memang sudah menyiapkan perjamuan sederhana di
sini.
Tapi beberapa hari yang lalu
dia tak mau menemui diri Coh Liu-hiang, kenapa hari ini mendadak dia merubah
haluan? Tiba-tiba Coh Liu-hiang menyadari bahwa pertemuan hari ini pasti bukan
secara kebetulan. Orang pasti ada urusan penting sehingga mencari dirinya, yang
terang pasti persoalan pasti sudah genting dan gawat.
Setelah nenggak beberapa
cangkir arak, tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa, katanya: “Apakah Cianpwe
sebelumnya memang sudah tahu bila pihak Sin cui kiong memang sudah sengaja
hendak mencari perkara kepada Wanpwe, sudah Cianpwe perhitungkan dengan masak
bila Wanpwe pasti akan datang ke tempat ini, maka siang-siang sudah menunggu di
sini, siap membantu kesulitan Wanpwe?”
Sekilas Cay Tok hing tertegun,
katanya tertawa lebar sambil angkat cangkir: “Sering Losiu mendengar orang
bilang, Coh Liu-hiang mempunyai nyali besi mempunyai hati yang luhur dan bajik
lagi, kiranya tak berlebihan pujian ini, agaknya segala persoalan takkan bisa
mengelabui kau.”
“Berita dari Kaypang memang
amat tajam, bantuan Cianpwe justru membuat orang tunduk lahir batin, tapi
persoalan kali ini.”
“Losiu tahu persoalan ini
orang lain tak boleh ikut campur, kedatanganku ini tak lain hanya mau
melaporkan sesuatu persoalan saja, sekedar untuk menebus jasa pertolongan
Maling Romantis kepada pihak Pang kami.”
Coh Liu-hiang berdiri terus
menjura, katanya: “Terlalu berat ucapan Cianpwe.”
“Persoalan yang hendak Losiu
utarakan besar sangkut pautnya dengan murid murtad Pang kami, Lamkiong Ling
itu.”
“Mengenai Bu Hoa juga?”
“Ya, Bu Hoa” ujar Cay Tok-hing
sambil meletakkan cangkir diatas meja. “Orang ini sudah beribadah namun tak
mematuhi ajaran agama, dengan licin dia memelet seorang nona suci bersih dari
murid Sin-cui kiong serta memperkosanya, sehingga jiwa orang akhirnya berkorban
karenanya, tentunya Maling Romantis sudah tahu akan kejadiannya.”
“Tapi peristiwa ini Wanpwe
belum pernah membicarakan kepada siapapun, entah dari mana pula Cianpwe bisa
mengetahui peristiwanya sedemikian jelas?”
“Maling Romantis membenci
kejahatan pelindung kebenaran, tak sudi membongkar rahasia pribadi orang lain,
sungguh suatu sikap yang patut dihargai, sayang sekali, kertas tak bisa
membungkus api, betapapun rahasia perbuatan seseorang didalam kejahatan cepat
atau lambat akhirnya pasti diketahui orang juga.”
Dia menghela napas panjang, lalu
melanjutkan: “Dosa Lamkiong Ling memang patut dicacah hancur, tapi sesudah dia
mati segala dosanya pun himpas, setelah dirundingkan oleh para Tianglo akhirnya
diputuskan, mereka tetap menguburkan jenazah Pangcu sesuai dengan kedudukannya,
ini… sudah tentu lantaran mereka berpendapat keburukan rumah tangga tidak baik
tersiar di luar, untuk pahit getirnya ini tentunya kau cukup memahami.”
“Ya.” Coh Liu-hiang mengiakan
dengan manggut-manggut prihatin.
“Murid-murid Pang kami diwaktu
mengumpulkan barang-barang peninggalan Lamkiong Ling, didapatnya di atas sekian
barang-barangnya terdapat sebuah Bok-hi yang amat antik.”
“Bok-hi?” Coh Liu-hiang
mengerut kening.
“Bok-hi yang biasa digunakan
oleh kaum pendeta dalam bersembahyang, murid Kaypang kami tidak bisa bersembahyang,
darimana bisa ketinggalan Bok-hi? Maka kami lantas berpikir Bok hi ini pasti
barang peninggalan atau titipan Bu Hoa.”
“Ya, kukira demikian.”
“Kita sama tahu Lamkiong Ling
menjadi bejat dan nyeleweng lantaran hasutan dan tekanan Bu Hoa yang jahat dan
keji itu, tak urung murid-murid yang memujanya sama merasa penasaran bagi
kematiannya…” dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan suara rawan.
“Maklumlah sejak kecil Lamkiong Ling adalah anak laki-laki yang patuh dan
tunduk kepada orang tua, tahu seluk-beluk kehidupan manusia, para Tianglo Pang
kami sama menaruh harapan besar atas dirinya, karenanya amat mendalam dalam
sanubari kami.”
Coh Liu-hiang menghela napas
sambil manggut-manggut, batinnya: “Putra sendiri melakukan kesalahan jamak, kalau
orang tuanya anggap orang lainlah yang menyebabkan anaknya terjeblos ke dalam
jurang hina.”
Didengarnya Cay Tok-hing
melanjutkan “Terutama Ih-tianglo yang paling penasaran dan sangat haru, tak
tahan lagi dia rebut Bok-hi itu terus dibantingnya sampai hancur
berkeping-keping. Siapa tahu setelah Bok-hi pecah, dari dalamnya muncul sejilid
buku tipis.”
“Buku tipis?” tergerak hati
Coh Liu-hiang.
“Apa yang tercatat didalam
buku itu?”
“Buku tipis itu disimpan
begini rahasia, kalau bukan mencatat pelajaran ilmu Lwekang atau ilmu silat
tinggi, pastilah mencatat sesuatu yang serba penting dan rahasia. sebetulnya
Losiu dan lain-lain bukan orang yang suka melihat rahasia pribadi orang lain,
sebetulnya kami sudah berkeputusan untuk tidak membukanya, tapi Ong-tianglo
berpendapat, bukan mustahil rahasia yang tercatat didalam buku ini besar
sangkut-pautnya dengan Kaypang kami, maka dia berkukuh untuk membuka dan
dibaca.”
“Maklumlah sejak berdirinya
sampai turun-temurun ratusan tahun secara tradisi, Kaypang selalu mengutamakan
kejujuran dan kebenaran apalagi mencuri lihat catatan pribadi orang lain.
betapapun dipandang sebagai perbuatan yang kurang dapat dihargai.” Oleh karena
itu Cay Tok-hing harus berputar kayun dulu dengan cerita panjangnya untuk
menjelaskan hal ini, sudah tentu Coh Liu-hiang mandah mengiakan saja.
Setelah menghabiskan secangkir
arak pula, Cay Tok hing melanjutkan ceritanya: “Benar juga dalam buku tipis itu
mencatat rahasia Bu Hoa selama hidupnya, sungguh Losiu tak habis mengerti
kenapa dia sudi mencatat segala perbuatan rendah dan hina serta memalukan itu.”
Coh Liu-hiang tersenyum,
ujarnya: “Kalau Cianpwe merasa semua perbuatannya itu nista dan memalukan, Bu
Hoa justru menganggap karya hidupnya yang paling gemilang, kalau toh dia tak
bisa membeber rahasia dirinya, terpaksa dia catat seluruhnya, sebagai koleksi
dan untuk bacaan dikelak dihari tua.”
Cay Tok hing ikut tertawa,
katanya: “Agaknya Maling Romantis dapat menyelami jalan pikiran orang-orang
jahat ini begitu mendalam, kau menyelidikinya tak heran betapapun licin licik
dan nakal seseorang, sekali kebentur dengan Maling Romantis, dia tak akan
berdaya sama sekali.”
Terpaksa Coh Liu-hiang berdiri
dan menjura lagi, dengan rendah hati tanyanya: “Apakah diantara catatan Bu Hoa
itu ada juga menyinggung pengalamannya di Sin cui kiong?”
“Ya, memang begitulah, oleh
karena itu sengaja Losiu meluruk kemari untuk melaporkan hal ini kepadamu.”
“Tidak berani… banyak terima
kasih…”
Coh Liu-hiang ragu-ragu
sebentar, lalu tanyanya: “Maksud Cianpwe apa hendak meminjamkan buku catatan
itu untuk kubaca?”
“Sebetulnya Losiu ada maksud
meminjamkan, tapi… Bu Hoa dijuluki Biau ceng, banyak keluarga besar dari kaum
Bulim di Kangouw sama berlomba untuk mengundangnya ke rumah masing-masing
sebagai suatu kebanggaan, maka… didalam buku catatan itu tercatat pula tidak
sedikit rahasia pribadi anak gadis dari putri-putri bangsawan, tokoh-tokoh
ternama, bila sampai rahasia ini tersiar entah berapa banyak keluarga-keluarga
kenamaan dalam Bulim yang bakal pecah berantakan. berapa banyak gadis-gadis
suci bakal bunuh diri saking malu, oleh karena itu Losiu sudah bakar habis buku
yang kotor itu.”
“Bagus, tindakan yang tepat.”
“Tapi catatan mengenai Sin cui
kiong sudah Losiu baca dengan teliti, karena mungkin hanya dialah laki-laki
yang benar-benar pernah memasuki Sin cui kiong secara terang-terangan, maka apa
yang dia catat tentunya jauh lebih bernilai dan patut dihargai.”
“Wanpwe mohon penjelasan.”
“Bu Hoa memang seorang yang
pintar dan cerdik, bukan saja mengenal seni musik, seni lukis dan seni tulisan,
lebih pandai pula berkhotbah, sampaipun im-kiong cu dari Sin cui kiong pun ada
mendengar nama besarnya, perlu diketahui Im-kiong-cu adalah seorang pemeluk
agama yang saleh.
“Hal ini wanpwe sudah pernah
dengar orang bilang.”
“Sin cui kiong cu
mengundangnya untuk berkotbah bukan saja Bu Hoa merasa amat bangga, malah
kebetulan pula sesuai dengan keinginannya, karena memang dia sudah mengincar
Thian-it-siu cui.”
“Untuk menamatkan jiwa
seseorang, tanpa menimbulkan gejala-gejala keracunan, kecuali Thian-it-sin cui,
dalam dunia ini tiada benda lainnya lagi.”
“Tapi meski dia sudah masuk ke
dalam Sin cui kiong, toh dia tak punya kesempatan untuk turun tangan, soalnya
Im kongcu amat keras mengawasi murid-muridnya, bahwasanya dia tidak pernah
punya kesempatan untuk bicara sepatah katapun kepada nona-nona itu.”
“O?”
“Dan lagi Im kongcu tidak
menahannya tinggal di Sin cui kiong, setiap hari setelah lohor, lantas
mengundangnya masuk untuk berkhotbah selama satu jam, setelah selesai kotbahnya
segera mengantarnya keluar lembah, ingin berhenti sedetik saja pun tak
diperbolehkan.”
Coh Liu-hiang menepekur,
tanyanya: “Siapa saja orang-orang yang menjemput antar dia?”
“Yang menjemput dan
mengantarnya adalah empat murid perempuan Sin cui kiong ke empat orang ini sama
lain saling mengawasi, sebetulnya memang tiada kesempatan sedikitpun, sampai
pun Bu Hoa sendiri itu waktu sudah putus asa, siapa nyana pada suatu hari,
tiba-tiba dia melihat satu diantara ke empat nona-nona itu ada yang diam-diam mengerling
tawa kepadanya.”
“Tentunya nona inilah yang
bernama Sutouw King?”
“Benar waktu itu diapun belum
tahu bila nona ini bernama Sutouw King, cuma terasa olehnya kerlingan mata
gadis cantik ini mengandung rasa manis mesra, seolah ada naksir kepada dirinya,
sayang sekali mereka tak punya kesempatan untuk bicara.”
“Orang semacam Bu Hoa, untuk
main asmara dan memelet gadis tak perlu pakai bicara segala.” ujar Coh
Liu-hiang.
“Tapi kalau tiada kesempatan,
betapapun dia tidak bisa turun tangan.”
“Orang seperti dia, sudah
tentu selalu berusaha mencari kesempatan.”
“Ya, memang begitulah” ujar
Cay Tok hing gemas. “Menurut catatannya, Sin cui kiong terletak didalam sebuah
lembah gunung yang permai subur laksana permadani, bunga berkembang biak,
laksana alam dunia tersendiri, diantara taburan kembang dan pepohonan yang
teratur dan tumbuh rapi terawat baik itu tersebar bangunan gubuk-gubuk dan
gardu-gardu indah, disanalah murid-murid Sin cui kiong bertempat tinggal.”
Diam-diam Coh Liu-hiang
berpikir: “Cerita Yong-ji ternyata tidak salah, tapi apa yang dikisahkan Liu
Bu-bi, apa pula yang terjadi akan dirinya?”
“Di dalam lembah terdapat air
terjun,” demikian Cay Tok-hing meneruskan ceritanya, “air tumpah dari tempat
ketinggian seperti naga yang menari ditengah udara, di bawah air terjun
terdapat sebuah kubangan, ditengah tengah kubangan itu terdapat pula sebuah
batu besar, disanalah tempat Bu Hoa berkotbah. Begitu masuk ke lembah, Bu Hoa
langsung duduk diatas batu besar ini mulai berkotbah, habis berkotbah lantas
berlalu, dasar cerdik setelah dia rencanakan dan pikir pulang pergi, terasa
hanya pada batu besar ini saja dia bisa meninggalkan langkah-langkah tipu
dayanya.”
“Langkah tipu daya apa?”
“Batu besar ini memang licin
dan mengkilap bagai kaca, pada suatu hari waktu dia masuk lembah sengaja dia
menginjak tempat becek yang berlumut hijau maka begitu melangkah naik ke atas
batu besar ini, kakinya lantas terpeleset jatuh.” dengan gemas Cay Toh-hing
melanjutkan, “Semua orang sama tahu Bu Hoa adalah murid Siaowlim yang tinggi
kepandaiannya, kalau dikata berdiripun dia tidak bisa tegak, orang lain tentu
tidak mau percaya, tapi setelah alas sepatunya kotor kena lumpur dan lumut,
sukarlah dikatakan apalagi dia sengaja merubah beberapa kali gerakan baru
terperosok jatuh ke air, betapa pintar gerak-gerik badannya sampai Im kiong cu
pun kena dia kelabui.”
Coh Liu-hiang tertawa getir,
katanya dalam hati: “Memangnya aku sendiripun kena ditipu dan dikelabuinya
beberapa kali? Seseorang bila dia mampu mengapusi aku, mungkin jarang ada orang
yang tidak bisa ditipunya.”
Terdengar Cay Tio-hing berkata
pula: “Setelah badannya basah kuyup, sudah tentu tak bisa berkotbah lagi dengan
tenang, maka dia harus mengeringkan dulu pakaiannya, sudah tentu permintaan
bukannya tidak masuk aturan, sampaipun Im-kiongcu pun tak bisa menolak
permintaannya, maka dia suruh orang untuk membawanya ke sebelah biara di kaki
gunung, di sana membuat api unggun untuk mengeringkan pakaiannya.”
“Untuk mengeringkan pakaian
paling tidak perlu setengah jam, dalam jangka setengah jam banyak urusan yang
bisa dia selesaikan.” ujar Coh Liu-hiang.
“Dia kira nona Sutouw King
yang mengerling senyum kepadanya itu pasti akan menggunakan kesempatan ini
untuk berhadapan dua-duaan sama dia, siapa tahu ternyata dua nona yang lain
mengantarkannya ke dalam biara itu, malah setelah api unggun berkobar, mereka
lantas mengundurkan diri, semua pintu dan jendela biara kecil itu ditutup
rapat.”
Coh Liu-hiang juga merasa
heran, katanya: “Kalau begitu, bukankah Bu Hoa tidak bisa berbuat apa-apa
lagi?”
“Disaat dia mengeluh itulah,
nona Sutouw itu tiba-tiba muncul dari belakang patung pemujaan, malah secara
sukarela menyerahkan kesuciannya, perubahan ini menurut katanya dia sendiripun
merasa di luar dugaannya.”
Coh Liu-hiang juga melengak
keheranan, gumamnya: “Nona Sutouw itu muncul dari belakang patung pemujaan?
Kalau demikian, biara kecil itu pasti ada jalan rahasia. Memangnya setiap
rumah-rumah didalam Sin cui kiong dipasangi jalan rahasia bawah tanah? Apakah
setiap jalan bawah tanah itu sama menembus ketempat tinggal Cui-bo-im-ki?
Malahan ada jalan rahasia yang tembus ke Bo-dhi-am yang didatangi Liu Bu-bi
itu?”
Cay Tok-hing seperti tidak
mengerti apa yang dikatakannya, namun dia tidak bertanya, katanya: “Menurut apa
yang dikatakan, Sutouw King sebenarnya adalah salah satu murid kepercayaan
Im-kiongcu, setelah bersenggama dan main mesra-mesraan sekian lamanya, dia
lantas jatuh cinta kepati-pati, namun tujuannya hanya ingin memiliki Thian
it-sin cui, maka Sutouw King lantas mencurikan sebotol buat dia, dua hari
kemudian diwaktu dia turun lembah, secara diam-diam botol itu diserahkan
kepadanya.”
Coh Liu-hiang melengak,
katanya: “Masakah begitu gampang?”
“Dia sendiri memang tak
menduga urusan bisa terjadi begitu lancar dan gampang, karena meski murid-murid
Sin cui kiong sama cantik-cantik, namun sikap mereka tetap dingin dan kaku
seperti tak berperasaan, mimpipun dia tak pernah menduga bahwa Sutouw King rela
menyerahkan kesuciannya, begitu cabul melebihi perempuan lacur dan perempuan
jalang umumnya.”
Coh Liu-hiang semakin tak
habis mengerti, katanya: “Apalagi dalam dua hari dia sudah berhasil mencari
sebotol penuh Thian-it-sin-cui, sudah tentu dia memang murid Cui-bo-im-ki yang
tersayang, sebagai murid kesayangan tentunya bukan perempuan cabul dan genit,
mana bisa begitu melihat Bu Hoa lantas jatuh hati, berubah begitu cepat?”
“Mungkin itulah yang dinamakan
karma.”
Coh Liu-hiang tak sependapat,
katanya: “Menurut pendapat tecu, dalam kejadian ini masih ada tersembunyi latar
belakang yang belum kita ketahui.”
“Peduli apa benar ada latar
belakang yang belum kami tahu, yang terang kejadian ini sudah berselang, hari
ini Losiu menyinggung hal ini, tidak lain hanya ingin supaya Maling Romantis
tahu sedikit keadaan Sin cui kiong sebagai bahan-bahan pertimbangan.” Cay
Tok-hing tertawa-tawa, lalu menyambung: “Catatan harian itu adalah tulisan Bu
Hoa sendiri, apa yang tercatat didalamnya pasti bukan bualan, oleh karena itu
menurut pendapat Losiu, tempat tinggal Im kiong cu pasti berada dipinggang
gunung atau didekat kubangan air di bawah air terjun itu, maka diwaktu Bu Hoa
berkotbah, dia baru bisa mendengar dengan jelas.”
Pada saat itu juga keduanya
mendadak berdiri, di luar terdengar suara lambaian pakaian tertiup angin,
seseorang berkata dengan tertawa: “Ada arak dan masakan, kenapa tidak undang
aku, agaknya Cay-locianpwe memang pilih kasih dan berat sebelah!”
Ditengah gelak tawanya yang
kumandang, seseorang menerobos masuk, dia bukan lain adalah Oh Thi-hoa. Tapi
diapun tahu sekarang bukan saatnya minum arak, karena dia ingin lekas-lekas
bicara.
Setelah mendengar cerita
pengalamannya, tanpa sadar Coh Liu-hiang mulai mengelus hidung, disaat dia
merasa senang atau dirundung persoalan pelik, selalu tak disadari pasti
mengelus-ngelus hidung.
“Tak usah pegang hidung,
jangan kuatir akan keselamatan Yong-ji, dia lebih cerdik dan pandai bertindak
seperti yang kau bayangkan!” kata Oh Thi-hoa.
“Menurut apa yang kau
tuturkan, ke enam orang itu bukan terhitung orang-orang Kangouw kelas satu,
hanya secara kebetulan saja berhasil melakukan pekerjaan besar.” kata Coh
Liu-hiang setelah berpikir sebentar.
Cay Tok-hing menimbrung:
“Memangnya enam orang itu hanya kaum keroco saja, bukan Losiu sengaja hendak
menguntit mereka, cuma secara kebetulan saja aku memergoki mereka.”
Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya:
“Kaum keroco seperti mereka sudah tentu tak perlu bikin susah Locianpwe, tak
usah Cianpwe jelaskan akupun sudah mengetahui.”
“Kalau demikian, Tonglam Yan
keluar dari sarangnya jadi bukan hendak menghadapi kami, agaknya ke enam orang
itu yang bernasib sial, sehingga kebentur di tangannya.”
“Darimana kau bisa berpendapat
demikian?” tanya Cay Tok hing.
“Ah, masakah Cianpwe belum
jelas, menangkap juntrungannya?” Oh Thi-hoa tertawa.
Cay Tok hing tertawa, Oh
Thi-hoa melanjutkan: “Kiong lam Yan adalah orang yang diutus mencari Coh
Liu-hiang, kalau Im-ki suruh dia menemui Coh Liu-hiang yang kenamaan, dapatlah
dibayangkan dia pasti salah satu tokoh kepercayaan yang berkepandaian tinggi
dari Sin cui kiong, tapi ke enam orang itu toh kaum keroco belaka, tak perlu
susah-susah dia sendiri yang turun tangan.”
Coh Liu-hiang mendelik
kepadanya katanya: “Hari ini aku jadi heran kenapa kau banyak bicara, sedikit
minum arak?”
“Tapi kata-kata ini jangan
disalah-artikan.” ujar Cay Tok hing: “Orang yang diutus pihak Sin cui kiong
untuk menemui Coh Liu-hiang pasti kedudukan dan tingkat kepandaiannya di dalam
lembah amat tinggi, pasti bukan khusus untuk menghadapi keenam orang itu.”
“Kalau demikian kedatangan
Kionglam Yan dikota kecil ini memangnya khusus hendak menghadapi Coh Liu-hiang?
Tapi darimana mereka bisa tahu bila Coh Liu-hiang sudah berada di sini?”
Coh Liu-hiang menepekur,
sementara Cay Tok hing sudah mengukuti hidangan diatas meja dan masukan ke
dalam sebuah karung lalu memadamkan lilin lagi. Katanya dengan suara kereng:
“Sinar api dimalam nan gelap, dapat menjadi perhatian orang lain, kalau Oh-heng
bisa menemukan tempat ini, bukan mustahil orang lainpun bisa kemari, marilah
kita mencari tempat lain saja.”
Baru saja Coh Liu-hiang putar
badan sampai diambang pintu, tiba-tiba dia hentikan langkahnya. Oh Thi-hoa yang
sedang berdiri diambang jendela harus makan waktu beberapa lamanya lagi baru
bisa melihat jelas, ditengah keremangan malam itu melayang datang dua sosok
bayangan orang.
Gerakan kedua bayangan ini
begitu enteng dan cepat serta aneh lagi, terutama orang yang di sebelah kiri
dengan perawakan agak pendek. Coh Liu-hiang dan Tok hing merupakan ahli di
bidang ilmu Ginkang, sekali pandang lantas mereka tahu, bukan saja Ginkang
orang ini amat tinggi, malah gerak-geriknya selalu dapat bergaya dengan gemulai
dan indah serta lembut, seolah-olah sedang menari ditengah angkasa mengikuti
irama musik yang dibawa lalu oleh hembusan angin malam.
Oh Thi-hoa melirik kepada Cay
Tok hing lalu melirik pula kepada Coh Liu-hiang, tak tahan ida menghela napas,
biasanya diapun amat bangga akan ilmu Ginkangnya sendiri tapi setiap orang yang
dia lihat malam ini, ilmu Ginkangnya justru jauh lebih tinggi dari dirinya,
seolah-olah seluruh tokoh Ginkang yang paling top di seluruh dunia malam ini
sama meluruk dan tumplek di kota ini.
Diam-diam Cay Tok hing memberi
tanda dengan ulapan tangan, serempak mereka bertiga segera mengundurkan diri
lewat jendela di sebelah belakang, kebetulan di luar jendela adalah lereng
gunung yang lebat ditumbuhi rumput liar.
Mereka tidak menyingkir jauh,
namun terpencar tidak berjauhan menyembunyikan diri didalam semak-semak rumput
yang gelap, hati masing-masing sama menerka dan menebak-nebak, Siapa kedua
orang itu? Untuk apa dia kemari? Mereka berkeputusan untuk mencari tahu sampai
jelas duduknya persoalan.
Bukan saja kedua bayangan
orang itu langsung menuju ke sekolahan itu, agaknya mereka bukan untuk sekali
ini datang ke tempat ini, agaknya mereka sudah tahu dan apal benar akan situasi
daerah sekitar ini. Ala kadarnya mereka berputar memeriksa keadaan sekitarnya
lalu masuk kelas, begitu masuk ke belakang pintu orang yang bertubuh rada
pendek itu lantas berkata dengan suara berat: “Kenapa pintu ini tidak ditutup?”
Seorang yang lain tertawa,
katanya: “Anak-anak kecil biasanya terburu-buru ingin lekas pulang, masakah
mereka ingat untuk menutup pintu lagi?”
“Tapi Ong-siansing yang
memberi pelajaran di sini itu, aku tahu adalah seorang tua yang kolot dan keras
terhadap murid-muridnya, kerjanya selalu hati-hati dan rajin, mana bisa…”
“Bukan mustahil dia sudah
dibikin pusing kepala oleh kenakalan murid-muridnya, apalagi pintu tertutup
atau tidak apa sih halangannya, yang terang tempat seperti ini tiada sesuatu
benda berharga yang bisa menarik perhatian orang lain untuk datang kemari.”
Suara orang ini serak kalem dan tua, kedengarannya seperti sudah amat dikenal.
Dalam waktu dekat sulit Oh
Thi-hoa dan Coh Liu-hiang teringat siapa gerangan laki tinggi yang dikenal
suaranya ini. Laki-laki yang bertubuh rada pendek itu sudah beranjak mendekati
jendela, tapi waktu mereka mengundurkan diri, juga lupa menutup lagi.
lapat-lapat masih kelihatan raut muka orang ini, kontan Oh Thi-hoa dan Coh
Liu-hiang melengak keheranan dibuatnya. Ternyata orang ini bukan lain adalah
laki-laki berperawakan sedang berpakaian serba hitam sebagai ahli pedang yang
berkedok dan tak dikenal asal usulnya itu, kini pakaiannya sudah ganti warna
tidak seperti waktu berada di Yong cui san cheng tempo hari. Maka tak perlu
diragukan lagi bahwa seorang yang lain pasti adalah Kuncu-kiam Ui Loh-ce.
Tengah malam buta rata kedua
orang ini datang ke tempat sunyi ini, malah gerak-geriknya sembunyi-sembunyi
seperti takut dilihat orang, memangnya apa pula tujuan mereka? Sudah tentu Oh
Thi-hoa dan Coh Liu-hiang merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati.
Ditengah keremangan malam
kelihatan sikap dan mimik muka laki-laki sedang itu amat prihatin, sinar
matanya aneh dan terang kelihatannya amat haru dan terlalu emosi.
Mengawasi tabir malam di luar
jendela orang ini terlongong beberapa kejap lamanya, katanya setelah menghela
napas panjang: “Selama beberapa tahun ini hidupku seolah-olah selalu dibayangi
setan dan ketakutan akan bayanganku sendiri, mungkin kau…”
Ui Loh ce menghampiri menepuk
pundaknya, ujarnya: “Aku tidak menyalahkan kau, didalam situasi dan keadaan
seperti ini, berhati-hati dan selalu waspada memang jamak.”
Laki-laki itu menunduk,
katanya rawan: “Setiap orang dalam dunia ini sama ingin membunuhku, hanya kau… sejak
mula sampai kini sikapmu tidak berubah dan tidak pernah meninggalkan aku,
sebaliknya bukan saja aku tidak bisa membalas kebaikanmu, malah selalu bikin
susah dan ikut terembet urusanku.”
“Bersahabat mengutamakan setia
kawan perduli bagaimana sikapmu terhadap orang lain, terhadap aku, kau tetap
setia dan akrab, didalam pandangan mataku, kau dibanding siapapun dalam dunia
ini kau jauh lebih boleh dipercaya.” sampai di sini dia tersenyum lalu
meneruskan: “Dalam jaman sekarang sahabat sejati memang sukar didapat, teman
seperti kau, mungkin selama hidupku takkan bisa kucari yang keduanya.”
Laki-laki sedang itu amat
haru, katanya tersenyum: “Seharusnya akulah yang berkata demikian, kalau kaum
persilatan tahu Kuncu-kiam sudi bersahabat dengan orang seperti aku ini,
mungkin bakal merupakan berita gempar yang paling aneh daripada Thian Long
Taysu dari Siauwlim itu kembali preman mempersunting bini.” suaranya riang
dengan tertawa, namun raut mukanya tetap kaku.
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa
beradu pandang, dalam hati masing-masing tanpa berjanji sama membatin:
“Ternyata orang ini memang memakai kedok muka.”
Tapi siapakah sebenarnya orang
ini? Kenapa setiap insan persilatan ingin membunuhnya? Pada tengah malam buta
rata seperti ini mendatangi sekolahan yang kosong ini, apa sih sebetulnya
maksud tujuannya?
Hampir tak tertahan ingin
rasanya Oh Thi-hoa menerjang keluar, merenggut kedok muka orang ini, ingin dia
melihat jelas muka orang yang sebenarnya.
Hening sebentar, terdengar Ui
Loh ce buka suara pula: “Malam ini, aku seharusnya tidak perlu kemari.”
“Aku justru ingin kau kemari,
karena aku ingin kau bisa melihatnya.” sorot matanya menampilkan emosi hatinya,
tak tertahan dia tertawa riang, katanya pula “Mungkin selama hidupmu kau takkan
pernah melihat gadis rupawan secantik itu.”
Ui Loh-ce tertawa ujarnya:
“Tak usah melihat, aku sudah tahu, dia pasti seorang nona pintar, cerdik,
cantik, aku cuma… mungkin dengan kehadiranku di sini, kalian tidak akan leluasa
bicara.”
“Apanya yang tidak leluasa,
sejak lama dia sudah tahu tentang dirimu, hari ini bila berhadapan dengan kau,
pasti dia akan merasa amat senang.” tiba-tiba dia tertawa pula, katanya lebih
lanjut “Hari ini aku pastikan minum sepuasku, sudah lama aku belum pernah
seriang malam ini, kelak mungkin takkan kualami…”
Ui Loh ce kembali menukas:
“Hari-hari gembira seperti ini jangan kau mengeluarkan kata-kata yang
mematahkan semangat, kini waktunya sudah hampir tiba, lekaslah kau keluarkan
arak hidangannya.”
Ternyata kedua orang ini
memang sedang menunggu kedatangan seseorang, malah hendak minum merayakan
pertemuan ini.
Tak urung berpikir Oh Thi-hoa
dalam benaknya: “Tak kira ruang sekolahan ini menjadi warung arak, malah
dagangannya cukup laris, siapapun yang datang kemari sama ingin menikmatinya
dengan riang hati.”
Coh Liu-hiang bertambah heran,
mendengar pembicaraan mereka, agaknya laki-laki sedang ini seperti sedang
menunggu kedatangan kekasihnya, tapi kenapa mereka janji pertemuan didalam
ruang sekolahan ini? Memangnya perempuan itu juga malu dilihat orang?
Tampak laki-laki sedang itu
memang membawa sebuah kantongan besar, satu persatu dia keluarkan terus ditaruh
di atas meja, katanya dengan tertawa: “Kacang bawang meski makanan kecil yang
paling biasa, tapi dia justru merasa jauh lebih nikmat dari segala maskan
restoran yang paling mahal, tempo hari seorang diri dia menghabiskan dua kati.”
“Benar, barang yang paling
biasa, justru ada orang menganggapnya sebagai barang berharga.”
Laki-laki sedang itu menepekur
sebentar, tiba-tiba dia memutar badan, katanya seperti menggumam: “Aku memang
salah terhadapnya, seharusnya kubawa pergi tapi aku ini jadi orang yang lemah
tak punya keteguhan hati, seakan-akan aku jadi tega melihat dia hidup didalam
suasana kesepian yang mencekam sanubari.” kini dia sudah membelakangi Ui Loh
ce, agaknya dia segan dilihat oleh Ui Loh ce bila tangannya sedang menyeka
airmata, di luar tahunya bahwa tiga orang di luar jendela yang gelap itu
menyaksikan gerak-geriknya dengan jelas.
Waktu itu Ui Loh ce sudah
menyulut sebatang lilin, meski dalam rumah sudah bertambah penerangan namun
suasana menjadi hening dan dingin, penerangan api lilin sedikitpun tak merubah
suasana yang sepi dan menekan perasaan ini. Karena mereka sedang menunggu,
memangnya tiada sesuatu yang bisa merubah suasana lebih meriah didalam keadaan
sedang menunggu seperti ini, lama kelamaan Ui Loh ce kelihatan tak sabar lagi.
Kembali lelaki sedang itu berdiri diambang jendela, dengan mendelong memandang
ke tempat nan jauh. Tabir malam dikejauhan terasa semakin pekat, akhirnya dia
menghela napas, mulutnya mengigau: “Sekarang mungkin sudah lewat kentongan
ketiga.”
“Kukira waktu belum selarut
itu.”
Laki-laki itu, geleng-geleng
kepala katanya: “Coba pikir, malam ini mungkinkah dia kemari?”
Ui Loh ce tertawa dibuat-buat,
sahutnya: “Pasti tidak datang.”
Laki-laki itu membalik badan,
katanya: “Sebetulnya memang baik juga bila dia tidak kemari, kalau aku jadi dia
belum tentu aku mau datang, aku…”
Tiba-tiba terdengar suara
“Tok” di luar pintu serempak laki-laki itu dan Ui Loh ce memutar badan, maka
terlihat sesosok bayangan putih semampai tahu-tahu sudah berdiri di luar pintu.
Keadaan di luar pintu masih
gelap, Oh Thi-hoa tidak melihat jelas raut muka bayangan putih ini, namun waktu
dia melirik dilihatnya mulut Coh Liu-hiang terpentang lebar, seperti kakinya
tiba-tiba diinjak orang. Soalnya dia sudah jelas melihat bayangan putih di luar
pintu itu, dilihatnya sorot matanya yang dingin dan jeli itu, orang ini
ternyata adalah Kionglam Yan.
Sungguh mimpipun dia tidak
pernah menduga lelaki sedang itu ternyata sedang menunggu kedatangan Kionglam
Yan di sini. Kionglam Yan yang bersikap dingin kasar itu, ternyata adalah
kekasih yang selalu diimpikan oleh lelaki sedang. Selama ini dia berpendapat
Kionglam Yan adalah gadis suci dan rupawan yang agung dan bersih, gadis yang
tak boleh dijamah atau disentuh oleh sembarang orang, siapa tahu ternyata
diapun punya kekasih gelap yang malu dilihat orang lain.
Diam-diam Coh Liu-hiang
menghela napas seolah-olah merasa gegetun bahwa dirinya telah ditipu
mentah-mentah umpama orang di luar itu adalah bininya diapun takkan seheran dan
melengak begitu rupa. Karena sesuatu yang bisa bikin lelaki dongkol dan marah,
adalah perempuan yang tak bisa dia miliki namun dengan gampang dimiliki orang
lain malah, sungguh laki manapun takkan bisa menerima kekalahan seperti ini
secara konyol.
Tampak laki-laki itu
menyongsong dengan kegirangan, namun tiba-tiba dia hentikan langkahnya di depan
pintu, teriaknya tertahan: “Nona King, kau!”
Kionglam Yan melangkah masuk,
katanya tawar: “Tiba-tiba aku disibukkan urusan lain, maka datang terlambat,
maaf ya.” mulutnya minta maaf, namun sikapnya dingin, siapapun dapat merasakan
sedikitpun dia tidak punya perasaan minta maaf.
Coh Liu-hiang justru diam-diam
menghela napas lega. Karena dari sikap dan pembicaraan ini dia sudah melihat
bahwa Kionglam Yan dan laki-laki itu sedikitpun tak punya hubungan mesra dan
kasih, memangnya bukan dia orang yang ditunggu oleh laki-laki ini? Kalau bukan
dia, kenapa Kionglam Yan datang kesini?
Setelah melenggong sekian
saat, akhirnya laki-laki itu menunduk dan berkata: “Sian King dia… dia tidak
bisa datang, betulkah?”
“Kalau dia bisa datang akupun
takkan kemari, betul tidak?”
Lelaki itu manggut dengan
hambar, “Tak datang juga baik, memang sudah kukatakan lebih bagus ia tak usah
kemari.”
“Apakah waktunya diubah?”
tanya Ui Loh ce penuh perhatian dan harapan sambil mengawasi Kionglam Yan.
Kionglam Yan tidak acuh akan
pertanyaannya, katanya tawar: “Selanjutnya dia takkan bisa kemari lagi
selamanya takkan datang kemari.”
Kedua tangan lelaki sedang itu
tiba-tiba gemetar dan saling genggam dengan kencang, suaranya beringas: “Adakah
dia… adakah dia menulis surat buat aku?”
“Tiada!” sahut Kionglam Yan.
Sekujur badan lelaki sedang
gemetar semakin keras, mendadak dia menggembor seperti kalap: “Kenapa? Suhunya
pernah berjanji kepadaku, setiap lima tahun memberi izin untuk menemui aku di
sini, kenapa sekarang dia ingkar janji, kenapa?”
“Guruku tak pernah ingkar
janji, omongan yang pernah terucap oleh beliau selamanya tak pernah diubah
lagi.”
“Memangnya kenapa dia tidak
kemari menemui aku? Aku tidak percaya bila dia tidak mau menemui aku.”
“Bukannya dia tak mau bertemu
dengan kau, yang terang kau sudah tidak bisa bertemu lagi dengan dia.”
Mendadak seperti kena aliran
strom sekujur badan laki-laki sedang itu mengejang, kakinya menyurut mundur,
suaranya gemetar: “Dia… apakah.. apakah dia sudah…”
Ternyata Kionglam Yan menghela
napas, katanya pelan-pelan: “Selanjutnya dia sudah takkan pernah mengecap
derita kehidupan di dunia fana ini, sungguh dia jauh lebih beruntung dari pada
kau, dan aku.” belum habis dia bicara, laki-laki sedang itu sudah meloso jatuh
dengan badan lemas lunglai.
Lekas Ui Loh-ce memburu maju
memapahnya, suaranya meratap: “Entah sudikah nona memberitahu kepada kami, cara
bagaimana dia menemui ajalnya?”
Sesaat Kionglam Yan berdiri
diam. katanya pelan-pelan: “Aku hanya bisa bilang, dia gugur demi melindungi
gengsi dan kewibawaan Sin cui kiong kami, karena dia memang seorang gadis yang
punya nama besar, luhur dan bakti, kami sama merasa bangga oleh
pengorbanannya.”
Dengan hambar laki-laki sedang
itu manggut-manggut, gumamnya: “Terima kasih kau beritahu ini kepadaku, aku…
aku amat senang.” tak tertahan airmata bercucuran deras.
Kembali Kionglam Yan menepekur
sekian lamanya, katanya dengan suara tangkas: “Kau punya seorang putri yang
patut dipuji, sungguh merupakan keberuntungan, karena sebetulnya kau tidak
setimpal.”
Mendengar sampai di sini,
kembali hati Coh Liu-hiang menyesal dan mendelu. Baru sekarang disadarinya
bahwa segala rekaannya tadi ternyata salah semua, yang ditunggu laki-laki
sedang ini bukan kekasihnya namun adalah putrinya.
Terdengar Kionglam Yan berkata
dingin: “Sekarang dia sudah meninggal, dengan Sin cui kiong kau sudah tiada sangkut
paut atau ikatan apa-apa lagi, maka suhu harap selanjutnya kau jangan berada
disekitar tempat ini.”
“Tapi… tapi jenazahnya…”
“Jenazahnya, kami sudah
mengebumikan dengan baik.”
“Bolehkah aku menengok
pusaranya?”
“Tidak boleh.” agaknya dia
enggan bicara berlarut-larut dengan laki-laki sedang ini, segera dia putar
badan. Tapi setiba di depan pintu, tiba-tiba berpaling dan berkata dengan suara
merdu: “Tahukah kau di kalangan Kangouw ada seorang yang bernama Coh
Liu-hiang?”
Laki-laki itu hanya manggut-manggut
saja.
“Bagus, kalau kau berhadapan
sama dia lebih baik kau bunuh saja, karena Sutouw King mati di tangannya.”
Saking marah sampai pucat muka
Coh Liu-hiang, namun tak pernah terpikir olehnya nona Kionglam Yan yang
dipandangnya suci agung ini ternyata pandai membual seperti tukang jual sayuran
yang menjajakan dagangannya, lebih celaka lagi karena jiwanya yang diincar dan
jadi sasaran. Kecuali itu diapun melengak heran. Karena Sutouw King yang
menjadi korban asmara dan permainan Bu Hoa itu ternyata adalah putri dari
laki-laki perawakan sedang ini.
“Blang” sebuah meja tahu-tahu
remuk redam oleh gaplokan telapak tangan lelaki sedang.
Sekian lama Ui Loh-ce melongo,
mulutnya mengigau: “Ada kejadian itu? Apa benar dalam dunia ada kejadian
seperti ini?”
Tiba-tiba lelaki itu
berjingkrak berdiri “Bluk” tiba-tiba jatuh terduduk pula, seluruh badannya
seolah sudah lemas lunglai dan kosong melompong, tanpa jiwa tanpa sukma, kedua
tangan yang tergenggam tadipun sudah terlepas. Sesaat lagi, tiba-tiba dia
menengadah bergelak tawa seperti orang kesurupan setan.
“Kau… kau…” berobah air muka
Ui Loh-ce.
Lelaki sedang itu tertawa
menggila serunya: “Aku tak apa-apa, aku sedang mentertawakan diriku sendiri,
selama hidupku aku Hiong nio-cu entah pernah menodai beberapa banyak anak gadis
dan bini orang, sekarang orang hanya membunuh putri tunggalku kenapa aku harus
membenci dia, mungkin inilah yang dinamakan karma, Yang Maha Esa memberi
hukuman setimpal kepada diriku.” gelak tawanya yang menggila sudah berubah jadi
ratapan tangis yang memilukan.
Tapi Cay Tok-hing, Oh Thi-hoa
dan Coh Liu-hiang begitu terkejut sampai sekian lamanya melenggong tak bisa
bersuara, malam ini mereka sama kebentur berbagai kejadian yang aneh di luar
dugaan tapi kejadian apapun takkan jauh lebih mengejutkan daripada kejadian
ini, laki-laki sedang yang serba misterius ini kiranya adalah Hiong nio cu. Tak
heran dia sendiri bilang: “Orang di seluruh kolong langit ini masa hendak
membunuhnya untuk melampiaskan dendam.” Tak heran pula buatan kedok muka yang
digunakannya itu begitu halus dan baik sekali, gerak-gerik dan tindak-tanduknya
pun serba sembunyi-sembunyi. Demikian pula ilmu Ginkangnya amat tinggi. Tak
heran dia bilang: “Siapapun pasti tidak mau percaya Kun-cu-kiam sudi bersahabat
dengan dirinya.”
Kuncu-kiam dipandang laki-laki
sejati nomor wahid di kalangan Kangouw, ternyata benar-benar bersahabat karib
dengan maling pemetik kembang nomor wahid pula di dunia ini, memangnya siapapun
takkan menduga dan mau percaya, tak heran bagai bayangan mengikuti bentuknya
saja hubungan intim mereka, ternyata memang dengan kedudukan dan kewibawaan Ui
Loh-ce dia hendak menyembunyikan dirinya.
Tak heran Ui Loh ce berkata
wanti-wanti: “Dia mempunyai kesulitan yang tak bisa dijelaskan kepada orang
lain, harap Coh Liu-hiang tak menyelidiki asal-usulnya.” kiranya orang memang
kuatir bila Coh Liu-hiang membongkar kedok aslinya. Semua persoalan yang tak
terpecahkan itu, kini sudah pecah sendiri oleh pengakuan yang bersangkutan.
Akan tetapi, bukankah Hiong
nio cu sudah mampus? Orang-orang Kangouw sama tahu bila dia sudah menemui
ajalnya oleh majikan Sin cui kiong, kenapa justru sekarang masih hidup? Sin cui
kiong cu yang tak pernah menjilat ludahnya sendiri, kenapa harus membual dan
menyebar kabar bohong demi manusia durjana ini? Sin cui kiong cu yang selama
hidupnya amat membenci laki-laki kenapa pula harus mengelabui orang lain demi
laki-laki cabul manusia hina dina ini? Hal ini sungguh membuat Coh Liu-hiang
bertiga tak habis mengerti.
Disaat Oh Thi-hoa dan Coh
Liu-hiang melenggong, tiba-tiba terdengar suara dengusan keras, tahu-tahu Cay
Tok hing sudah menerjang keluar lewat samping mereka, belum lagi badannya
mencapai jendela ditengah udara dia sudah membentak dengan bengis: “Hiong nio
cu kenalkah kepadaku Cay Tok hing? Dua puluh tahun yang lalu, aku sudah
bertekad membabat kejahatan bagi insan persilatan, hari ini apa pula yang ingin
kau katakan?”
Hong nio cu duduk mematung
seperti linglung, dengan mendelong dia awasi sinar api yang kelap-kelip di
depannya, seolah-olah tak mendengar makian Cay Tok hing. Sebaliknya Ui Loh-ce
lekas memapak selangkah berhadapan dengan Cay Tok hing, katanya dengan kereng:
“Dia bukan Hiong nio-cu, Hiong nio cu sudah lama mati.”
Cay Tok hing berkakakan,
serunya: “Sudah lama kudengar Kuncu kiam selama hidupnya tidak membual, tak
nyana kau ini tak lebih hanya manusia ringan lidah dan pandai menipu orang
melulu, orang yang suka mencatut kebaikan orang lain belaka, pada detik-detik
seperti ini kau masih berani berbohong?”
Teguh tekad Ui Loh-ce, katanya
tegas: “Losiu bukan membual, Hiong nio-cu yang jahat dan durjana itu sudah lama
mati, yang duduk di sini ini adalah laki-laki yang harus dikasihani karena
dengan segala derita dia sudah bertobat dua puluh tahun lamanya, seorang yang
mesti dikasihani karena selama ini tak pernah bisa tidur dan makan dengan
tentram, seorang ayah yang baru tahu bahwa putrinya telah dibunuh orang.”
“Kasihan?” jengek Cay Tok
hing, “Para gadis-gadis suci yang dia nodai dan berkorban jiwanya itu apakah
tidak lebih kasihan? Dosa-dosa selama hidupnya apakah himpas begitu saja?”
“Umpama derita dan siksa yang
dia alami ini belum setimpal buat menebus dosanya, tapi sejak lama ia sudah
bertobat dan memperbaiki kesalahan, sekarang sudah berubah menjadi teman
karibku yang paling berbudi, luhur jiwa dan laki-laki yang tahu aturan, maka
bila sekarang kau membunuhnya, kau bukan membunuh seorang maling cabul tapi kau
membunuh seorang luhur, bajik dan penuh cinta kasih.” sampai disini Ui Loh-ce
menghela napas, katanya pula: “Setelah kau dapat memahami hal ini, jikalau
masih ingin membunuhnya silahkan turun tangan! Bukan saja dia tidak akan
melawan akupun tak akan merintangi, cuma…”
“Cuma apa?”
“Cuma bila aku melihat teman
karibku ini menemui ajal di hadapanku, akupun takkan tinggal hidup seorang
diri.”
Sekilas Cay Tok hing tertegun,
serta merta matanya melirik keluar jendela, agaknya ingin minta pertimbangan
Coh Liu-hiang. Tapi Coh Liu-hiang tak ingin unjuk diri! Sudah tentu dia tidak
mau dituduh dan dijatuhi dosa sebagai pembunuh Sutouw King, diapun tahu didalam
waktu seperti ini, siapapun takkan bisa memberi penjelasan mengenai liku-liku
peristiwa itu.
Tampak sikap kereng dan tegang
Ui Loh-ce semakin mengendor dan kembali pada wajah welas asihnya, sorot matanya
sebaliknya lebih tegas, siapapun akan tahu orang seperti dia terang takkan bisa
bicara bohong.
Cay Tok hing menghela napas,
katanya: “Hiong nio cu dapat bersahabat dengan orang seperti kau, sungguh
merupakan keberuntungan besar, anehnya, orang macam dia itu, bagaimana bisa
bersahabat dengan laki-laki sejati seperti kau ini?” tak memberi kesempatan Ui
Loh-ce bersuara, segera dia meneruskan: “Sebetulnya akupun sudah mengira,
seorang yang jahat dan cabul, pasti tak mungkin menaruh kasih sayang begitu
besar terhadap putrinya sendiri seperti sikapnya itu…”
Tiba-tiba Coh Liu-hiang
merasakan suara bicaranya berubah sumbang, lama kelamaan kata-katanya semakin
tak lancar dan kurang jelas malah makin lama makin pelan. Tapi Cay Tok hing
sendiri agaknya tidak menyadari, katanya lebih lanjut: “Bahwa Hiong nio cu
begitu besar kasih sayangnya terhadap putrinya sendiri, sungguh suatu hal yang
sukar dipercaya oleh siapapun, dan untuk hal ini, aku memang patut memberi
kebebasan kepadanya.” belum lagi kata-katanya terakhir terucapkan, tiba-tiba
berubah hebat air mukanya tepat pada pada kata-kata “memberi kebebasan
kepadanya”, dia sudah menubruk kedepan Hiong nio cu serta menggenjot sekuat
tenaga.
Hiong nio cu tetap
tenang-tenang ditempatnya, tidak berkelit tidak pula menangkis, karena pukulan
dahsyat dari Jian-li-tok-hing hiap yang sudah kenamaan pada enam puluhan tahun
yang lalu, ternyata tidak membawa tenaga sedikitpun.
Ui Loh-ce berubah air mukanya,
katanya mendelik kepada Hiong-nio-cu: “Kau… kenapa kau…”
Suara Cay Tok hing serak tersendat:
“Kau masih bisa apa, matamu dan mataku memangnya tidak salah menilainya.”
Baru sekarang Oh Thi-hoa
menyadari bahwa Hiong-nio-cu secara diam-diam tengah menyebar semacam racun tak
berbau tak berwarna, memabukkan, maka Cay Tok-hing dan sahabatnya sendiri Ui
Loh-ce sama-sama keracunan dan roboh terkapar. Orang begitu baik terhadapnya,
ada sebaliknya membokong dan merobohkan kawannya, memang Hiong nio cu tak
bernama kosong, manusia rendah budi yang hina dina dalam dunia ini.
Terasa darah memuncak keatas
kepala, Oh Thi-hoa sudah bergerak hendak menerjang keluar, tak kira Coh
Liu-hiang sudah menarik dan menahannya, malah mulutpun didekap.
Dalam pada itu Hiong nio cu
sudah bangkit berdiri, airmata bercucuran dengan deras, kelihatan amat kontras
dengan kedok mukanya yang kaku dan aneh itu. Tampak dia menjura kepada Cay
Tok-hing, seraya berkata: “Banyak terima kasih, akan budi Cay-siansing
membatalkan niatnya membunuh aku, selama hidup Cayhe takkan lupa, tapi
Cay-siansing boleh lega hati, Cayhe pasti tidak akan bikin kau kecewa karena
kau batal membunuhnya.” lalu dia berputar menghadapi Ui Lih-ce, katanya dengan
kepala tertunduk “Tentang kau, aku sungguh tiada omongan apa-apa yang perlu ku
utarakan, kau… kau..” sampai disini tenggorokkannya seolah-olah tersumbat
buntu, kata-katanya terputus, sementara Cay Tok hing dan Ui Loh ce saat itu
memang sudah tidak dengar apa-apa lagi, mereka sudah sama-sama roboh.
Setelah rebah terlentang Ui
Loh ce masih sempat mengucapkan sepatah dua patah kata, meski suaranya lemah
dan lirih, tapi setiap patah katanya diucapkan dengan jelas, terdengar dia
berkata: “Aku pasti tidak akan salah menilaimu!”
Airmata yang berkaca-kaca di
kelopak mata Hiong nio cu tak tertahan sudah berderai membasahi pipinya dengan
deras. Dengan menjublek dia awasi Ui Loh ce yang jatuh pingsan dan rebah di
atas lantai, tiba-tiba dia berlutut lalu menyembah tiga kali, lalu
ditanggalkannya jubah luarnya yang serba hitam itu ditutupkan ke atas badan Ui
Loh ce. Tangannya kelihatan gemetar menahan emosi, katanya: “Aku memang
keterlaluan terhadap kau.” beberapa patah kata yang pendek ini entah mengandung
betapa getirnya hati dan remuknya perasaannya. Betapa besar persahabatan.
Sungguh siapapun yang melihat dan mendengar akan terkejut sanubarinya dan ikut
pilu dan simpatik.
Dilain saat dengan sigap dia
sudah putar badan berlari-lari kencang menyongsong kepekatan malam.
Oh Thi-hoa mengucek-ngucek
hidung, katanya: “Dia… apakah maksudnya?”
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya: “Dia hanya ingin masuk kedalam Sin cui kiong karena peduli putrinya
itu masih hidup atau sudah mati, betapapun dia harus melihatnya untuk
penghabisan kali, tapi dia toh tahu bila Ui Loh-ce pasti akan menentang dan
tidak membiarkan dirinya pergi.
“Karena kepergiannya ini tak
ubahnya mengantar jiwa melulu.” ujar Oh Thi-ho. “Ui Loh ce agaknya tidak tega
dia pergi mengantar kematian.”
“Ya, memang begitulah, maka
aku harus menguntitnya ikut dia masuk ke Sin cui kiong, terpaksa Cay-locianpwe
dan Ui-locianpwe berdua kuserahkan kepadamu.” sekali enjot kaki badannya
seketika melejit dengan enteng melampaui wuwungan rumah. Terdengar suaranya
berkumandang dikejauhan: “Jangan lupa masih ada Yong-ji.”
Entah Oh Thi-hoa mendengar
seruannya ini, yang terang mulutnya mengigau. “Ternyata Hiong nio cu memang
sudah bertobat dan membina diri kembali, ternyata dia tidak bermaksud jahat
terhadap Ui Loh ce dan Cay Tok hing, tapi jikalau aku tadi tak tertahan
benar-benar menerjang keluar, jikalau kesalahan tangan sampai membunuh dia,
tanpa memberi kesempatan dia memberi penjelasan, bukankah selamanya dia akan
mati penasaran dan tidak tentram dialam baka? Sebaliknya bukan mustahil aku
akan tepuk dada dan merasa bangga.” dia tidak berani berpikir lebih lanjut.
Keringat dingin gemerobyos membasahi badannya.
Untuk menguntit dan mengikuti
jejak Hion nio cu bukan suatu hal yang sepele, bukan saja gerak-geriknya
cekatan, cepat, malah setiap langkah dan tindak-tanduknya kelihatan amat
waspada dan hati-hati, semua ini sudah dia latih dengan matang didalam
kehidupan menjadi pelarian yang dikejar-kejar oleh setiap manusia, maka untuk
menguntit dia secara diam-diam serta tak konangan olehnya, dalam dunia ini
kecuali Coh Liu-hiang, mungkin sukar dicari orang keduanya.
Karena kecuali ilmu Ginkang
Coh Liu-hiang yang tinggi luar biasa, diapun memiliki sepasang mata yang jeli
dan tajam sekali, oleh karena itu dia tak perlu mengejar terlalu dekat, terlalu
ketat.
Heran Coh Liu-hiang dibuatnya
karena orang yang dikuntitnya ini tak berlari menuju ke atas pegunungan,
sebaliknya orang berlari masuk kota langsung mendatangi salah satu hotel,
memangnya dia tak ingin pergi ke Sin cui kiong? demikian Coh Liu-hiang bertanya
tanya dalam hati. Coh Liu-hiang sudah yakin rekaannya meleset lagi.
Tempat penginapannya sendiri
tak jauh dari sini, sebetulnya diapun ingin pula menengok keadaan Soh Yong-yong
akan tetapi dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menguntit jejak
Hiong-nio cu, karena lapat-lapat dia sudah merasakan Hion nio cu pasti
mempunyai hubungan atau suatu ikatan yang erat dengan Sin cui kiong, malah
suatu hubungan yang lain dari yang lain, maka dia ingin menggunakan Hion nio cu
sebagai batu lompatan karena dia berpendapat hanya inilah satu-satunya jalan
yang harus dia tempuh.
Tak lama lagi hari mendekati
subuh dan bakal terang tanah, kota pegunungan yang kecil ini kelihatannya
bercokol tenang diselimuti hawa dingin dan bertabirkan malam dengan kabutnya
yang tebal, sinar bulan yang redup menyinari jagat raya, semua penghuni
rumah-rumah didalam kota masih lelap didalam tidurnya, meski kehidupan mereka
sederhana dan tawar, tapi bukankah kehidupan yang biasa dan sederhana itu
merupakan perlambang kehidupan yang bahagia dan makmur?
Boleh dikata Coh Liu-hiang
sudah hampir lupa betapa nikmatnya tidur nyenyak didalam kamar berselimut tebal
memeluk guling. Walau keindahan malam hari nan permai ini, ditengah malam buta
sembunyi di wuwungan rumah mengintip dan mencari lihat rahasia pribadi orang
lain, sungguh bukannya suatu pekerjaan enak menggembirakan hati.
Untung tak lama kemudian Hiong
nio cu sudah melompat keluar dari kamarnya, sorot matanya berkelebat ditengah
malam, selincah kucing sigap sekali dia orang sudah menyelinap dan menghilang
ditengah malam nan gelap ini. Terlihat oleh Coh Liu-hiang meski hanya sekilas
saja orang kini seperti ada membawa sebuah buntalan kulit warna hitam, jadi
tujuannya kembali dulu ke dalam hotel agaknya untu mengambil kantong kulit itu.
Apakah yang terisi didalam
kantong kulit itu? Kenapa begitu besar perhatiannya terhadap kantong ini sampai
susah-susah harus kembali dulu mengambilnya? Baru kali ini Hiong niu cu
langsung berlari ke arah pegunungan, setengah jam kemudian, dia sudah tiba di
kaki gunung, tapi dia tak memanjat ke atas, menyusuri kaki gunung laksana
terbang dia tetap berlari-lari cukup lama. Tempat-tempat yang dilalui semakin
belukar dan liar, ada kalanya harus melompati semak-semak berduri pula. ada
kalanya pula harus menyelinap melalui celah-celah batu gunung.
Walau Coh Liu-hiang amat
memperhatikan tapi bila lain kali dia harus datang sendiri, belum tentu dia
bisa menemukan jalan-jalan yang sudah dilalui tadi. Hiong nio cu sebaliknya
sudah apal betul mengenai segala letak batu, pohon dan rumput di sepanjang
jalan-jalan ini dia berhenti atau merandek untuk menemukan arah, seolah-olah
sudah puluhan kali atau ratusan kali dia pernah melewati jalan-jalan ini,
umpama memejamkan mata diapun bisa berjalan mencapai tujuannya.
Tapi setelah memasuki bilangan
gunung sebelah dalam, gerak-geriknya tampak semakin berhati-hati, disaat
badannya terapung ditengah udara, secara tiba-tiba dia sering celingukan kian
kemari atau berpaling ke belakang, maka untuk menguntit dan supaya tidak
konangan oleh orang Coh Liu-hiang harus bertindak lebih hati-hati, dan juga
lebih payah. Apa lagi cuaca sudah semakin terang, dan mega berwarna sudah
muncul di belakang puncak sebelah sana, ketiban sinar matahari, air embun di
atas daun-daun pohon pun mulai memancarkan sinar kemilau. Begitu terang tanah
jelas sekali, Coh Liu-hiang takkan mampu menguntitnya lagi. Tatkala itu suryapun
sudah terbit didalam lembah pegunungan nan sunyi dan liar serta dingin ini,
seperti diselimuti sari halus nan ringan, sehingga panorama seolah-olah hanya
terpandang didalam gambar lukisan yang serba misterius.
Tapi Coh Liu-hiang jadi
was-was dan kuatir, bila kabut terlalu tebal bukan saja dia bisa kehilangan
jejak Hiong nio cu, malah bukan mustahil bisa kehilangan arah. Jikalau ditempat
seperti ini tersesat jalan, sungguh suatu hal yang amat menakutkan sekali.
Hembusan angin yang sepoi
membawa suara gemericiknya air yang mengalir di tempat nan sunyi laksana
perpaduan suara musik dewata, sungguh suara irama yang mengasyikkan dan
mengetuk kalbu. Teringat akan kisah yang diceritakan oleh Soh Yong-yong, diam
diam Coh Liu-hiang membatin dengan senang: “Mungkinkah tempat ini merupakan
mulut permulaan untuk masuk ke dalam Sin cui kiong?
Akan tetapi setiba ditempat
ini Hong nio cu malah berhenti. Ia jelajahkan pandangannya ke sekitarnya lalu
melambung tinggi melesat ke arah sebuah ngarai. Lereng gunung di sebelah sini
bentuknya curam dan berbahaya, bagian bawahnya lurus tegak setinggi puluhan
tombak di sebelah atasnya batu-batu runcing mencuat keluar, ditengah menongol
keluar sebuah batu ngarai merupakan sebuah panggung dasar. Setiba di ngarai
menyerupai batu panggung ini Hiong nio-cu malah berhenti dan menghilang.
Ternyata di atas ngarai ini
terdapat sebuah goa, soalnya teraling batu-batu runcing yang mencuat keluar
dengan berbagai bentuk yang beraneka ragamnya itu, maka dipandang dari bagian
bawah, lobang goa ini tidak bisa terlihat dengan jelas.
Apakah goa ini merupakan salah
satu jalan rahasia yang bisa tembus ke Sin cui kiong? Coh Liu-hiang tidak
segera ikut melesat naik, sedikitpun dia tidak berani bertindak secara gegabah
soalnya keadaan di sekitarnya teramat berbahaya, bila sedikit lena bukan saja
seketika jejaknya konangan oleh orang, kemungkinan dirinya terpojok pada posisi
yang berbahaya, bila lawan segera melontarkan serangan maut bahwasanya jalan
untuk mundur pun tiada lagi.
Seperti cecak, Coh Liu-hiang
tempelkan badannya pada dinding gunung terus merayap naik ke atas berputar ke
sebelah sana, menyembunyikan diri di atas ngarai yang berbentuk seperti
panggung ini, lalu dia tempelkan pula telinganya pada dinding gunung, mendengar
dengan seksama.
Sayup-sayup didengarnya suara
aneh dari dalam goa, seperti benturan logam keras, seperti pula Hiong nio cu
sedang menjajal beberapa senjata besi yang kecil-kecil di atas batu keras,
suaranya lirih namun jelas. Terang Hiong nio cu masih berada didalam goa ini dan
belum berlalu. Tak lama kemudian Coh Liu-hiang mendengar pula suara air
tertuang masuk tenggorokan serta kecap mulut yang sedang menggerogoti sesuatu,
kadang kala diselingi helaan napas berat, langkah kaki yang mondar-mandir.
Sebetulnya Coh Liu-hiang sedang
bertanya-tanya untuk apa dia menyembunyikan diri di dalam gua ini, baru
sekarang dia menyadari bahwa orang sengaja menghabiskan waktu didalam goa ini
untuk menunggu hari menjadi gelap. Lebih gamblang lagi bahwa Hiong nio cu
ternyata tidak berani masuk ke dalam Sin cui kiong pada siang hari bolong.
Diam-diam Coh Liu-hiang
menghela napas, terpaksa diapun menunggu di luar, kalau Hiong nio cu agaknya
sudah mempersiapkan segalanya, terutama ransum dan air sudah tersedia,
sebaliknya Coh Liu-hiang tidak membawa apa-apa, terpaksa dia menunggu di luar
serba kekeringan. Untuk menunggu sampai gelap kira-kira harus lima enam jam
lagi, menunggu selama ini sungguh merupakan suatu hal yang menyiksa, terpaksa
dia mencari tempat yang tersembunyi dan teraling di lereng gunung untuk
merebahkan diri, tapi sekejappun ia tidak berani memejamkan mata.
Soalnya umpama Hiong nio cu
sudah keluar sebelum menjadi gelap, maka dia bakal kehilangan kesempatan, walau
sejak dulu Coh Liu-hiang suka menyerempet bahaya, tapi bahaya seperti ini dia
tak berani menempuhnya. Menunggu orang apalagi dalam keadaan serba kering dan
lapar, sudah tentu merupakan suatu derita siksa yang luar biasa.
Orang macam Coh Liu-hiang yang
memang sudah gemlengan umpama kelaparan tiga atau lima hari dia tak akan roboh
lemas, tapi kelaparan bukan merupakan masalah kondisi badan melulu, soalnya
kelaparan bisa mengakibatkan suatu kekosongan semangat pada lahiriah seseorang,
mana sedapat mungkin Coh Liu-hiang giat memikirkan banyak persoalan supaya
dirinya tak terlalu kesepian, untung memang banyak persoalan yang harus dia
pikirkan. Selama hidupnya terdapat beraneka ragam kenangan yang patut dia
pikirkan kembali, meski diantara sekian kenangan itu ada pula yang membuat
hatinya terketuk dan menderita, tapi kebanyakan pengalaman hidupnya sering
membawa perasaan hangat dan ketentraman bagi jiwanya.
Teringat olehnya pula masa
silam disaat-saat dirinya masih kecil merupakan bocah belasan tahu, itulah
suatu kehidupan serba emas, kehidupan yang berlimpah-limpah.
Memangnya para enghiong besar
yang kenamaan, dikala meyakinkan ilmu dan menggembleng diri datang menempuh
pelajaran ilmu silat sering menderita dan sengsara, diri Coh Liu-hiang sendiri
dan selamanya juga tidak pernah merasakan adanya siksaan atau derita. Walau dia
pernah mengalami tidak tidur tak pernah istirahat, pernah pula berlari lari di
atas pegunungan yang penuh bertaburan bunga salju, untuk melatih kekuatan
kondisi badan serta ilmu Ginkangnya, pernah juga di bawah terik matahari
mengucurkan keringat, malah mengalirkan darah, tapi dia sendiri tak pernah
anggap sebagai derita karena semua itu memang hoby dan kesenangannya, maka
dimanakah dan dalam keadaan bagaimana juga dia selalu bisa menemukan kesenangan
hatinya.
Kembali terbayang para
sahabatnya yang kental sejak masa kecilnya dulu, yaitu Ki Ping yan, Oh Thi-hoa…
teringat akan Oh Thi-hoa hampir saja tak tahan dia hendak tertawa selama ini
dia beranggapan Oh Thi-hoa bukan laki-laki yang betul-betul gemar minum arak
yang disukai hanyalah suasana romantis bila seseorang sedang menikmati araknya.
Dia mempunyai banyak teman
yang beraneka ragam, terasa olehnya semua teman-teman itu tiada yang jelek bagi
dirinya, maka didalam lubuk hatinya yang paling dalam selalu diliputi
kehangatan persahabatan, dan kehangatan persahabatan ini membuat hatinya nyaman
dan segar perasaannya. Karena arak biasanya membawakan suasana riang ramai
dalam kehidupan manusia.
Maka diapun terkenang pula
kepada Setitik Merah dan Ki Bu-yong, kedua orang ini lahiriahnya laksana gunung
salju, dingin dan beda tak berperasaan, namun relung hatinya sebaliknya sepanas
api membara. Entah kemana kedua orang ini sekarang, apakah Setitik Merah masih
melanjutkan pelariannya untuk menghindari cengkeraman sindikat gelap yang
dikuasai oleh si “tangan” yang serba misterius dan menakutkan itu. Dia hanya
berdoa secara diam-diam.
Tatkala itu didalam suasana
kosong dan sunyi ditengah pegunungan ini, terdengar suara gemericik aliran air,
suara kicauan burung yang merdu serta suara serangga yang bersahutan, suara
desiran angin yang menarikan rerumputan, suara daun-daun pohon yang keresekan,
dari jauh kedengaran pula lolong binatang liar yang sedang mencari mangsa.
Waktu Coh Liu-hiang angkat
kepala melihat cuaca, tiba-tiba didapatinya sang surya sudah doyong ke arah
barat. Memangnya sering orang menghabiskan waktu didalam kenangan masa lalu,
oleh karena banyak orang-orang tua sebatangkara yang hanya hidup didalam
kenangan melulu, baru bisa dia menghabiskan waktu hari-hari nan sunyi selama
beberapa tahun.
Sekarang masih dua jam
kira-kira untuk menunggu hari menjadi gelap, Coh Liu-hiang ulurkan kaki tangan
menggeliat, baru saja ia hendak berdiri menggerakkan badan melemaskan otot,
siapa tahu pada saat itu pula dari dalam lobang goa di sebelah atas itu
menongol keluar seseorang. Orang ini bukan Hiong nio cu. Kecuali Hiong nio cu
ternyata masih ada orang lain yang berada didalam goa itu, menunggunya sejak
tadi, dia memang sudah menunggu kedatangan Hiong nio cu didalam gua.
Itulah seorang gadis cantik
berpakaian serba putih laksana salju, berdiri di atas batu yang mencuat keluar
di pinggir ngarai, rambut panjangnya yang mayang kehitam-hitaman yang halus
sama melambai-lambai tertiup angin, kelihatannya begitu rupawan bak bidadari
dari kahyangan.
Dan itulah Kionglam Yan.
Bagaimana Kionglam Yan bisa berada disini? Lalu kemanakah Hiong-nio cu?
Jantung Coh Liu-hiang mulai
berdebar debar tapi setelah dia amat-amati dengan lebih cermat, baru dia sadar
bahwa perempuan ini ternyata bukan Kionglam Yan, namun sikapnya mirip sekali
dengan Kionglam Yan. Sikap, gerak-gerik, pakaian dan dandanannya, demikian
sabuk di pinggangnya itu, semuanya ini merupakan pertanda dan sebagai pemberian
tahu kepada khalayak ramai bahwa dia orang adalah anak didik dari Sin cui kiong
yang menggetarkan dunia.
Memangnya kenapa dia tiba-tiba
bisa berada didalam goa itu? Apakah gua itu tembus kesalah satu jalan rahasia
yang menuju ke Sin cui kiong? Masakah Hiong nio cu sudah sampai di Sin cui
kiong? Mau tidak mau hati Coh Liu-hiang rada gelisah, tampak gadis itu melayang
turun dengan enteng dari atas ngarai, ilmu Ginkangnya begitu hebat demikian
pula gayanya begitu mempesonakan. Waktu melayang inilah kelihatan sebelah
tangannya menjinjing sebuah kantong kulit.
Ternyata gadis cantik ini
bukan lain adalah Hiong nio cu.
Coh Liu-hiang hanya tertawa
getir secara diam-diam. Hiong nio cu memang tidak bernama kosong, ilmu
tata-rias serta amarahnya jauh lebih hebat pula, hampir saja Coh Liu-hiang pun
kena dia kelabui. Lebih menakjubkan adalah, setelah dia menyalin muka menjadi
seorang gadis, dari atas sampai kaki, tiada sedikitpun memperlihatkan
gerak-gerik atau gaya seorang laki-laki, sekejap mata, setiap gerak tangan dan
kakinya, demikian gemulai badannya, seratus persen mirip dengan perempuan asli.
Meski Coh Liu-hiang sendiri juga, bisa menyaru naga seperti naga, menjiplak
harimau seperti harimau, tapi menyaru jadi perempuan semirip ini, seumur
hidupnya jangan harap dapat dia lakukan dengan baik.
Setelah tiba di bawah ngarai,
Hiong nio cu celingukan pula sekian lamanya, rada lama dia berdiam di sini
tidak segera bergerak. Tiba-tiba terlihat oleh Coh Liu-hiang, di ujung alis dan
di pinggir mata orang sudah dihiasi banyak keriput, dilihat dari kejauhan
memang dia mirip seorang gadis cantik, tapi usianya terang sudah cukup lanjut.
Apakah ini wajah asli Hiong
nio cu?
Diam-diam Coh Liu-hiang
menghela napas, tak heran terhadap raut wajahnya biasanya Hiong nio cu amat
bangga, boleh dikata dia memang seorang laki-laki tampan yang paling cakep di
seluruh jagat ini.
Walaupun usianya sudah rada
tua, tapi kecantikannya masih jauh lebih elok dari gadis-gadis muda lainnya,
seorang laki-laki ternyata jauh lebih cantik dari perempuan aslinya, sungguh
suatu hal yang luar biasa. Akan tetapi bila dia toh sudah menyaru jadi
perempuan dari perempuan aslinya? Hal ini membuat Coh Liu-hiang bingung dan tak
habis mengerti.
Mimpipun tak pernah terpikir
olehnya bahwa Hiong nio cu ternyata mirip sekali dengan Kionglam Yan. Memangnya
antara Hiong nio cu dan Kionglam Yan mempunyai hubungan kental yang tak
diketahui orang luar?
Mungkin pembaca bisa bertanya:
“Kalau Hiong nio cu sudah menyaru jadi murid Sin cui kiong untuk menyelundup ke
dalam Sin cui kiong, kenapa tidak sekaligus dia menyaru jadi Kionglam Yan
saja?”
Tapi Coh Liu-hiang tahu jelas
pertanyaan semacam ini adalah pertanyaan yang paling dogol, karena tata rias
ilmu menyamar bukan ilmu gaib dan menyaru sudah tentu dengan mudah merubah
bentuk raut wajahnya sendiri sehingga orang lain tak mengetahui rahasia
samarannya, tapi sekali kali tak mungkin menyaru menjadi duplikat seseorang,
bahwa Coh Liu-hiang pernah menyaru jadi Thio Sian-lim dengan baik, itulah
karena tiada orang disana yang kenal siapa sebenarnya Thio Siau-lim itu!
Oleh karena itu bila benar
Hiong nio cu didalam waktu sesingkat itu bisa menyaru seperti Kionglam Yan,
menyelundup masuk ke dalam Sin cui kiong, maka orang-orang Sin cui kiong takkan
ada seorangpun yang mengetahui, hal ini bukan merupakan sebuah cerita namun
merupakan sebuah dongeng.
Jikalau Hiong nio cu diberikan
waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan diri, menyiapkan diri untuk meniru
dan berbuat seperti gerak-gerik, sikap dan tutur bicaranya, itu sih mungkin
saja.
Akan tetapi Hiong nio cu
tiba-tiba menggali sebuah liang di tanah bawah kakinya, isi kantong kulit hitam
itu dituang seluruhnya ke dalam lobang galian ini, dari kantong kulit itu
terang adalah bahan-bahan untuk tata rias itu. Kini tangannya hanya menenteng
kantong kulit yang sudah kosong itu.
Kantong kosong apa pula
gunanya? Kembali Coh Liu-hiang terheran heran dibuatnya.
Waktu itu meski menjelang
magrib, namun sinar matahari masih memancarkan terang benderang di ufuk barat,
Hiong nio cu menengadah melihat cuaca, kakinya lantas beranjak pelan-pelan.
Agaknya dia jauh lebih gelisah dari Coh Liu-hiang, tak sabar menunggu hari
menjadi gelap segera dia sudah bertindak.
Setelah menunggu orang
membelok ke sebuah lekukan gunung, baru Coh Liu-hiang berani bergerak mengejar
ke arah sana, siap tahu setelah dia sendiri tiba di lekukan gunung itu,
ternyata bayangan dan jejak Hiong nio cu sudah menghilang tanpa bekas.
Yang terang lekuk gunung ini
merupakan jalan buntu, kedua sisinya berdinding tinggi lurus, sementara bagian
tengah dihadang sebuah dinding gunung pula, seolah olah sebuah kotak persegi
yang hilang sebagian pinggirannya. Jikalau Hiong nio cu sudah memasuki kotak
dinding ini, cara bagaimana bisa mendadak hilang? Akan tetapi tempat ini
dikelilingi dinding gunung yang tinggi, umpama tumbuh sayappun jangan harap
bisa terbang ke atas, memangnya dia bisa menyelusup masuk ke bumi?
Sungguh kejadian aneh yang
luar biasa, tapi rasa heran dan kejut Coh Liu-hiang cepat sekali sudah hilang,
dengan seksama dan teliti selangkah demi selangkah dia mengamati tanah di
sekitarnya, akhirnya dia temukan dinding sebelah kiri dengan dinding ditengah.
Lebar celah-celah dinding ini hanya satu kaki dan lagi penuh ditumbuhi dan
dijalari rumput dan lumut serta kayu-kayu rotan kalau tidak dengan mata
kepalanya sendiri Coh Liu-hiang saksikan Hiong nio cu menghilang ditempat ini,
sudah diduga bahwa ditempat ini pasti ada jalan rahasia untuk dirinya
menghilang umpama dia mencari dan meraba-raba satu hari penuhpun jangan harap
dapat menemukan celah-celah dinding gunung yang penuh tertutup dedaunan dan
ranting-ranting pohon ini.
Setelah melewati celah-celah
gunung, maka suara gemericiknya air mengalir yang sayup-sayup sampai tadi
kedengaran lebih jelas, air gemerincik bening dan merdu seperti tetesan air
dipinggir telinga, kabut putih masih tebal belum buyar, sehingga seluruh lembah
gunung yang belukar dan belum diinjak manusia ini serasa sepi lenggang dan
menakjubkan.
Coh Liu-hiang segera
membungkuk badan, dengan merunduk-runduk pelan-pelan dia maju ke arah datangnya
suara air, dia insaf setiap langkah kakinya lebih mendekat berarti selangkah
lebih dekat ke arah rahasia yang bakal dibongkarnya. Akan tetapi selangkah
menambah mara bahaya yang bakal mengancam jiwanya pula.
Sekonyong-konyong terdengar
suara mendesis aneh seperti sesuatu benda yang semakin melembung. Segera Coh
Liu-hiang menghentikan langkah, pelan-pelan dia rebahkan badan, laksana seekor
ular dengan kedua tangannya dia merambat maju kira-kira dua tiga kaki lagi,
dari tempat sembunyinya dibalik rumput alang-alang, inilah dilihatnya Hiong nio
cu.