-------------------------------
----------------------------
Bab 3. Terluka
Liu Bu-bi senyum manis
katanya: “Apakah Coh Liu-hiang kuatir poci arakku ini keracunan?”
Coh Liu-hiang menghela napas,
ujarnya: “Araknya memang tidak beracun, tapi badannya sudah ada racunnya”.
“Apakah Oh-heng sudah meminum
arak beracun itu?” ujarnya Li Giok-ham.
“Kali ini bukan arak yang
membuat celaka dirinya, tapi tangannya sendiri”, sahut Coh Liu-hiang tertawa.
Baru sekarang semua orang tahu
bahwa sebelah tangan Oh Thi-hoa sudah bengkak malah kulitnya sudah menghitam
bening dan menguap asap hitam.
Li Giok-ham menjerit kaget:
“Cara bagaimana Oh-heng bisa keracunan?”
Dengan sebelah tangannya, Oh
Thi-hoa menarik-narik hidungnya, katanya getir, “Mungkin aku betul-betul
kepergok setan kepala besar tadi”.
Coh Liu-hiang bertanya:
“Apakah tadi kau mencabuti Bau-hi-li-hoa-ting itu satu-persatu?”
Oh Thi-hoa mengiakan dengan
manggut.
“Nah, disitulah letak
persoalannya, kau kira bila kulit tanganmu tak pecah atau terluka, hawa beracun
tak merembes masuk ke dalam tubuh, tanpa kau sadari bahwa racun di atas
paku-paku perak itu bisa melalui celah-celah kuku jarimu merembes ke dalam
badan”.
Tapi menurut apa yang ku tahu,
timbrung Li Giok-ham, “Bau-hi-li-hoa-ting ini selamanya tak pernah dilumuri
racun, soalnya kekuatan senjata rahasia ini sendiri sudah begitu keras dan
dahsyat meski tak beracun orang yang tersambit pasti mati!”
“Ucapan Li heng memang tak
salah, tapi pembunuh itu agaknya kuatir kematianku masih kurang cepat, maka
Bau-hi-li-hoa-ting yang sejak mula tidak beracun dia lumuri racun yang paling
jahat”.
Li Giok-ham suami-istri beradu
pandang, mereka tidak bicara lagi, namun pelita digeser ke samping paku-paku
perak yang berserakan di atas meja itu, dari sangkul rambutnya Liu Bu-bi
menanggalkan sebatang tusuk konde, pelan-pelan dijepitnya sebatang terus
diamati-amati dengan seksama didepan mata, roman muka mereka semakin serius dan
akhirnya berubah tegang.
Oh Thi-hoa batuk-batuk dua
kali, ujarnya: “Apakah benar paku itu beracun?”
Kembali Li Giok-ham
suami-istri saling pandang, Liu Bu-bi mengiakan.
“Sudah lama kudengar bahwa
Li-locianpwe bukan saja berilmu silat tinggi namun juga seorang terpelajar yang
pernah mempelajari ketabiban meski tidak sudi menggunakan senjata rahasia
beracun melukai orang, namun dalam bidang ini beliau banyak memeras otak
menyelidikinya, sesuai dengan ajaran dan warisan keluarga, tentunya pengetahuan
Li-heng dalam bidang inipun amat luas.”
“Tidak salah,” Oh Thi-hoa
menambahkan. “Kalau kalianpun bilang paku itu beracun, tentulah tidak akan
salah lagi.”
“Oleh karena itu Cayhe mohon
petunjuk kepada Li-heng,” ujar Coh Liu-hiang, “entah racun macam apa yang
dilumuri di atas paku-paku ini?”
Li Giok-ham menarik napas dulu
baru menjawab: “Obat racun di dunia ini terlalu banyak ragamnya, sampai
ayahkupun mungkin tidak bisa membedakannya satu persatu!”
Coh Liu-hiang menjublek di
tempatnya agaknya seperti hendak bicara namun tak bisa membuka mulut.
Mendelik mata Oh Thi-hoa,
katanya: “Kalau demikian racun yang mengenai aku ini jadi tidak bisa
disembuhkan?”
Liu Bu-bi unjuk tawa yang
dipaksakan ujarnya: “Siapa bilang tidak bisa disembuhkan?”
“Buat apa kalian kelabui aku,
aku ini memangnya anak kecil? Kalau kalian tidak tahu racun apa yang mengenai
aku, cara bagaimana bisa menyembuhkan keracunanku ini?”
Kembali Li Giok-ham suami
istri beradu pandang. Mulut mereka terbungkam.
Berputar biji mata Oh Thi-hoa,
mendadak dia gelak tawa, ujarnya: “Buat apa kalian sama merenggut dan patah
semangat, paling tidak sekarang aku belum mampus! Hayolah, hari ini ada arak
hari ini mabuk, marilah kita minum sepuas-puasnya dulu.” Sebelah tangannya
masih bisa bergerak hendak meraih balik tangannya yang satu ini.
“Kenapa tidak kau beri
kesempatan aku banyak minum, mumpung aku masih bisa hidup. Bila aku sudah
mampus, umpama kau setiap hari menyiram kuburanku dengan arak setetespun tidak
akan bisa kunikmati.”
“Tadi aku sudah menutuk
Hiat-to dan membendung racun tertutup di lenganmu saja. Asal kau tak minum lagi
di dalam jangka setengah hari, kadang racunnya takkan menjalar.”
“Setelah setengah hari?
Masakah di dalam jangka dua belas jam ini kau dapat mengundang orang yang dapat
menawarkan racun di dalam badanku?”
Coh Liu-hiang tertunduk,
ujarnya: “Bagaimana juga cara ini jauh lebih baik untuk mengulur jiwamu.”
Oh Thi-hoa gelak-gelak, serunya:
“Saudara yang baik, kau tak usah pergi mencari orang serta munduk-munduk minta
bantuannya. Cukup asal kau berikan poci arak itu, tanggung aku takkan mampus.”
Mendadak dari balik kulit sepatu panjangnya dia merogoh keluar sebatang pedang
kecil, katanya tertawa: “Coba lihat, inilah caraku yang paling praktis untuk
menghilangkan racun. Bukankah cara ini tidak ada bandingannya?”
Terkesiap darah Coh Liu-hiang,
serunya: “Apa kau ingin ….”
“Orang sering bilang, ular
menggigit tangan orang gagah mengutungi pergelangan tangan. Apakah hal ini
perlu dibuat geger? Kenapa kau ribut tak keruan paran”
Mengawasi pedang kecil yang
kemilau di tangan Oh Thi-hoa tanpa terasa keringat bertetes-tetes di atas
kepala Coh Liu-hiang. Sebaliknya rona muka Oh Thi-hoa sedikitpun tidak berubah.
Li Giok-ham menghela napas,
katanya: “Oh-heng memang tidak malu sebagai orang gagah, cuma ….”
Mendadak Liu Bu-bi menyeletuk:
“Cuma kau harus menunggu dua belas jam dulu.”
“Kenapa?”
“Karena tiba-tiba teringat
olehku seseorang yang dapat menyembuhkan keracunanmu.” sahut Liu Bu-bi. Tanpa
menunggu orang lain bersuara matanya mengerling ke arah Li Giok-ham, lalu
menambahkan: “Apakah kau sudah lupa kepada Cianpwe yang hanya mempunyai tujuh
jari tangan itu?”
Berkilat sorot mata Li
Giok-ham, serunya riang: “Oh ya, hampir saja kulupakan dua hari yang lalu
Su-piaute atau adik nisan ke empat malah masih menyinggung nama Cianpwe itu,
katanya beliau sudah pergi ke Ko-siang cheng adu minum arak selama tujuh hari
tujuh malam dengan Hiong lopek, sampai sekarang belum berkesudahan, entah siapa
yang menang, asal beliau masih disana, Oh-heng pasti masih ada harapan”.
Liu Bu-bi tertawa, ujarnya:
“Kalau toh belum ada ketentuan siapa bakal menang, Hiong lopek pasti takkan
membiarkan dia pergi”.
“Dimana letak Ko Siong-cheng?”
tanya Oh Thi-hoa, “Siapa pula Hiong Lopek itu? Siapa pula Cianpwe yang hanya
punya tujuh jari itu? Orang-orang yang kalian singgung ini, kenapa belum
kukenal atau pernah dengar namanya?”
Walaupun Hiong Lopek adalah
sahabat kental pada cianpwe yang seangkatan dengan ayahku, namun dia sendiri
bukan orang dari kaum persilatan, sudah tentu Oh-heng tentu takkan kenal siapa
dia”, demikian sahut Li Giok-ham.
Liu Bu-bi menambahkan:
“Tentang Cianpwe tujuh jari itu, Oh-heng tentu pernah mendengar nama besarnya,
cuma beliau belakangan ini, karena suatu peristiwa yang menyedihkan melarang
orang lain menyinggung namanya”.
“Perangai Cianpwe ini memang
terbuka dan simpatik”, Li Giok-ham lebih jauh, namun tabiatnya sangat aneh,
jikalau sampai diketahui kami belakangnya melanggar pantangannya, kami
suami-istri jangan harap bisa hidup tentram”.
Oh Thi-hoa tertawa, katanya:
“Kalau tabiat orang itu begini aneh, dengan aku tidak pernah kenal lagi,
jikalau sampai aku kebentur tembok dan gagal, bukan lebih-lebih mengenaskan
dari pada aku mampus keracunan?”
Liu Bu-bi tersenyum manis,
ujarnya: “Tidak perlu kau sendiri harus mengalami kegagalan, biar kami saja
yang pergi, cukup asal kumasakkan dua macam sayuran kepadanya, tanggung dia
tidak akan menolak permintaanku”.
“Benar, tapi kita harus lekas
berangkat”, timbrung Li Giok-ham, “Letak Ko siong cheng memang tidak jauh,
namun tidak dekat, dan lagi disana paling tidak kau harus memakan waktu saja
jam lagi untuk memasak hidanganmu itu”.
Oh Thi-hoa menghela napas,
katanya: “Kalian begini simpatik, jikalau aku masih mengulur-ulur waktu kalian,
aku ini bukan manusia lagi, tapi …… ulat busuk, kaupun perlu mengiringi
perjalanan mereka”.
“Tidak perlulah”, sela Liu
Bu-bi, “Lebih baik Coh-heng ……”kata-katanya tiba-tiba terputus karena tiba-tiba
dilihatnya Coh Liu-hiang meski tetap duduk di kursinya, namun sekujur badannya
sedang gemetar, mukanya menguning seperti kertas emas.
Serasa terbang arwah Oh
Thi-hoa saking kaget teriaknya gemetar: “Kau ……. kau ……. sebelum dia kuat
bicara, Coh Liu-hiang sudah tersungkur jatuh”.
Bergegas Li Giok-ham dan Liu
Bu-bi memburu maju memapaknya bangun, dimana jari-jari tangan mereka menyentuh
badannya, terasa kulit badannya meski terlapis baju, namun masih terasa panas
membara seperti gosokan.
Akhirnya Oh Thi-hoa ikut
nimbrung maju teriaknya serak: “Apakah kaupun keracunan?”
Coh Liu-hiang geleng-geleng
kepala dengan lemah.
“Kalau tidak keracunan
memangnya apa sih yang terjadi, Li heng kau …… tolong periksa keadaannya
sekarang, lekas ……
Coh Liu-hiang kertak gigi,
dengan sekuat tenaga dia tertawa dibuat-buat suaranya mendesis dari sela-sela
giginya: “Masakah kau belum pernah melihat orang jatuh sakit? Kenapa dibuat
ribut-ribut?”
“Tapi biasanya badanmu sekekar
kerbau, beberapa tahun ini belum pernah aku melihat kau jatuh sakit kali ini
kok malah sakit?”
“Memang kali ini datangnya
penyakitku ini tidak tepat pada waktu semestinya”.
Waktu hendak memotong lengan
tangannya sendiri tadi, sikap Oh Thi-hoa masih tenang dan wajar, bisa kelakar
pula, namun kini kepalanya gemrobyos oleh keringat, teriaknya: “Orang selamanya
tidak pernah sakit, sekali sakit tentu berat Li-heng kau ……..”
“Kau tidak perlu gugup”, bujuk
Liu Bu-bi, “Kukira Coh-heng belakangan ini terlalu capai dan bekerja keras,
terserang angin dingin lagi ditambah kegugupan hatinya lagi karena tanganmu
ini, maka mudah sekali dia terserang sakit”.
“Benar,” sahut Coh Liu-hiang,
“Sakitku ini tidak menjadi soal, kalian lebih …… lebih baik lekas pergi mencari
…… mencari obat pemunah itu,” katanya tidak soal padahal bibirnya gemetar tak
bisa bicara lagi.
Kata Oh Thi-hoa: “Keracunan
tanganku ini, yang tidak menjadi soal, lebih baik kalian berusaha menyembuhkan
penyakitnya dulu.
“Omong kosong,” sentak Coh
Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menjadi sengit,
katanya keras: “Jikalau kau tidak mau mereka mengobati penyakitmu dulu, umpama
obat pemunah racunku dibawa pulang, aku tidak sudi makan”.
Coh Liu-hiang marah
dampratnya: “Usiamu sudah setua ini, kenapa masih belum bisa membedakan berat
dan ringan, aku ….. penyakitku umpama harus tertunda tiga hari lagi juga tidak
akan apa-apa, sebaliknya racun di tanganmu tidak boleh ditunda,” dia meronta
sekuat tenaga berusaha berdiri, tapi baru terduduk sudah terperosok jatuh pula.
Tersipu Oh Thi-hoa hendak memapahnya, sehingga mulut tidak sampai bicara lagi,
terpaksa hanya membanting kaki melulu.
Li Giok-ham tertawa, katanya:
“Kalau sama-sama setia kawan dan berjiwa ksatria namun …. Namun penyakit
Coh-heng ini pantang menggunakan tenaga dan tak boleh marah, jikalau kami tidak
menurut kemauannya, penyakitnya malah bertambah berat, untunglah aku ada
membawa Ceng biau san, puyer ini khusus untuk menyembuhkan penyakit seperti ini
dan pasti manjur!”.
“Ya, setelah minum puyer ini,
harus istirahat pula secukupnya, untuk Oh-heng perlu juga menelan pil ini,”
demikian kata Li Giok-ham sambil mengangsurkan sebutir pil kuning kepada Oh
Thi-hoa: “Khasiat obat ini cukup menahan racun ini menjalar, maka sebelum kami
pulang penyakit Coh-heng dan racun di lengan Oh-heng tidak akan memburuk”.
Jikalau menggunakan ibarat
kata sehari laksana satu tahun untuk melukiskan keadaan Oh Thi-hoa pada waktu
itu, memang cukup setimpal dan tepat sekali. Semula didahului oleh penyakit
lama Liu Bu-bi kumat lalu pembunuh misterius itu menyerang dengan alat senjata
rahasia yang keji, kini bukan saja dirinya keracunan, sampai Coh Liu-hiangpun
terserang penyakit dan rebah di atas pembaringan tak bisa bergerak.
Begini banyak persoalan pelit
yang menyebalkan ini sekaligus melihat dirinya, dalam keadaan serba risau dan
gerah ini arakpun tidak boleh diminum, cara bagaimana Oh Thi-hoa bisa tentram
melewatkan waktu sepanas ini?
Dengan susah payah dia
menunggu akhirnya dua jam sudah berselang dengan sebelah tangannya yang normal
Oh Thi-hoa menjinjing Ceng hiau san dan poci teh menghampiri Coh Liu-hiang,
siapa yang nyana memegangi obat saja Coh Liu-hiang sudah tidak kuat lagi
sehingga puyer itu jatuh tercecer di lantai. Untung meski tidak makan obat,
penyakit Coh Liu-hiang tidak memburuk, lambat laun dia malah terlena didalam
tidurnya sementara perut Oh Thi-hoa sudah berontak saking kelaparan maka dia
suruh pelayan membawa nasi ke kamar.
Agaknya pelayan ini hendak
menjilat dan mencari alem, katanya tertawa: “Kemarin tuan tamu ada pesan arak
terbaik buatan kita, kebetulan hari tinggal seguci saja, apakah tuan tamu
hendak memesan lagi?”
Untung kalau tidak menyinggung
soal arak, memangnya Oh Thi-hoa sedang merasa penasaran dan belum terlampias,
seketika meledak amarahnya, hardiknya dengan berjingkrak: “Bapakmu ini toh
bukan setan arak, siang hari bolong begini kenapa minum arak, sundelmu?”
Sungguh mimpipun pelayan itu
takkan habis mengerti kenapa tepukan alemnya di pantat kuda bisa mengenai
pahanya, saking ketakutan seketika lari ngacir lintang-pukang, waktu antar
makanan yang dipesan tak berani masuk lagi.
Tak nyana sekali pulas Coh
Liu-hiang bisa tidurlima jam lamanya kira-kira mendekati magrib baru ia siuman
Oh Thi-hoa mengira ia jatuh semaput baru sekarang ia merasa lega: “Bagaimana
kau rasa lebih baik tidak?”
Coh Liu-hiang tertawa, belum
sempat bicara, Oh Thi-hoa sudah menambahkan: “Kau tidak kuatir akan diriku,
racunku tidak menjadi soal kecuali lenganku ini tertutuk oleh kau, tak bisa
bergerak, makan bisa keyang, seperti orang biasa lazimnya!”.
Waktu itu didalam rumah sudah
mulai gelap Oh Thi-hoa lantas menyulut api memasang lentera, diberinya Coh
Liu-hiang makan semangkuk bubur, dan tangan Coh Liu-hiang masih bergetar,
mangkokpun tidak bisa dipegangnya kencang.
Kelihatan lahir Oh Thi-hoa
wajar dan masih tertawa-tawa, namun hatinya amat mendelu dan merasa tertekan
perasaannya.
“Apa mereka masih belum
pulang?” tanya Coh Liu-hiang dengan napas memburu.
Mengawasi tabir malam di luar
jendela, sesaat Oh Thi-hoa diam saja, akhirnya tak tahan lagi, sahutnya: “Dalam
Kang ouw mana ada Bulim Cianpwe berjari tujuh? Bagaimana juga tak habis
kupikirkan? Dulu memang ada Chit cay in tho atau Maling sakti tujuh jari, tapi
bukan lantaran dia hanya punya tujuh jari, adalah karena tangan kanannya tumbuh
dua jari lebih banyak, kalau ditambahkan seluruhnya berjumlah dua belas jari,
dan lagi, bukan saja orang ini tidak bisa menawarkan racun, malah kinipun sudah
meninggal dunia”.
“Kalau demikian kau anggap
kedua suami-istri ini sedang membual?”
“Kenapa mereka harus membual?”
Coh-heng menghela napas, dia
pejamkan matanya lagi.
Aku hanya mengharap semoga
mereka lekas pulang, kalau tidak bila pembunuh kemarin malam ini datang lagi
kami berdua mungkin pasrah nasib saja terima digorok leher kami.
Memang kekuatiran Oh Thi-hoa
cukup beralasan, dalam keadaan mereka sekarang, Coh Liu-hiang jatuh sakit,
tenaga memegangi mangkok saja sudah tidak kuat, lengan Oh Thi-hoa tinggal satu
saja yang bisa bergerak, jikalau pembunuh misterius itu meluruk datang, mereka
berdua terang takkan bisa melawan.
“Tapi kalau orang itu sudah
bekerja demikian rapi berusaha membunuh aku, sekali gagal pasti akan diusahakan
kedua kalinya”.
Waktu Coh Liu-hiang mengatakan
hal ini, Oh Thi-hoa belum merasakan apa-apa, namun serta dipikir, lama kelamaan
hatinya semakin bingung dan takut, jantung berdebar-debar, tanpa sadar
kelakuannya menjadi semakin aneh, lekas dia menutup rapat jendela kamarnya.
Didengarnya Coh Liu-hiang
berkata: “Kalau dia mau datang, apa gunanya kau tutup jenela?”
Sekian lama Oh Thi-hoa
terlongong, keringat dingin sudah membasahi jidatnya. Tak lama kemudian, bulan
dan bintang tidak kelihatan muncul, cuaca ternyata semakin mendung dan hujanpun
turunlah.
Suara ramai di sekeliling
hotel semakin sirap dan malam kembali sunyi lelap, titik air hujan saja yang
kedengaran berjatuhan, menyentuh daun jendela, suaranyapun semakin ramai
semakin lebat dan semakin nyaring, belakangan malah saling bersahutan seperti
genderang dibunyikan di medan laga, membuat orang mendidih darahnya.
Kalau dalam keadaan seperti
ini ada orang berjalan malam, bukan saja tidak kedengaran langkah kakinya,
sampai lambaian pakaiannyapun takkan bisa terdengar. Memang malam hujan begini
adalah saat terbaik bagi orang berjalan malam melaksanakan operasinya.
Oh Thi-hoa tiba-tiba mendorong
terbuka jendela, dengan mata terbuka lebar, matanya mendelong tak berkedip
mengawasi alam nan gulita di luar jendela, pohon flamboyan di pekarangan
berubah menjadi bayangan-bayangan raksasa, sedang balas melotot kepadanya.
Sekoyong-koyong “Serr” sesosok
bayangan berkelebat lewat di depan jendela. Oh Thi-hoa berjingkrat kaget, waktu
dia tegasi dan melihat jelas hanya seekor kucing hitam saja, keringat dingin
sudah membasahi badannya.
Coh Liu-hiang disebelah dalam
ikut berteriak kaget: “Adaorang datang?”
Oh Thi-hoa tertawa dipaksakan,
sahutnya: “Hanya seekor kucing kelaparan saja,” suaranya terdengar wajar dan
seenaknya saja, bahwasanya hatinya amat mendelu dan getir.
Berapa tahun sudah mereka
berdua malang melintang di Kang ouw, mati hidup dipandangnya sebagai mainan
saja, kapan pernah pandang orang-orang jahat dalam mata mereka, seumpama
menghadapi laksaan musuh berkudapun mereka tak pernah gentar mengerut ke
kening. Tapi sekarang hanya seekor kucing saja, sudah cukup membuatnya kaget mengucurkan
keringat dingin.
Malam semakin larut, hujan
belum reda juga, api lentera sebesar kacang nan kemilau sang ksatria sedang
terbelenggu oleh penyakit didalam kamar sekecil ini, sekilas Oh Thi-hoa melirik
kepada Coh Liu-hiang, air mata hampir menetes keluar.
Didalam keheningan malam,
kedua puluh tujuh batang Bau-hi-li-hoa-ting tetap menggeletak di atas meja
dengan sinar peraknya yang kemilau, seolah-olah sedang unjuk perbawa dan
menantang kepada Oh Thi-hoa.
Sekonyong-konyong sorot mata
Oh Thi-hoa bersinar tajam, “Kalau senjata rahasia ini dapat membunuh orang,
tentunya dapat juga untuk mempertahankan diri, kini kalau dia sudah berada di
tanganku, kenapa tidak kumanfaatkan dia untuk membunuh orang itu?”
Meski hanya sebelah tangannya
saja yang dapat bergerak, akan tetapi tangan ini sudah digembleng dan dilatih
secara berat seperti besi baja yang ditempa, kokoh dan kuat, kelima
jari-jarinya dari bergerak dengan lincah dan gesit, semuanya amat berguna.
Meskipun dia belum pernah lihat alat senjata rahasia semacam
Bau-hi-li-hoa-ting, tapi waktu berusia sepuluh tahun dulu, dia pernah
membongkar dan mempelajari konstruksi alat-alat rahasia penyambit panah yang
terbuat dari bumbung baja.
Dengan pengalaman yang sudah
dibekalinya itu, tidaklah mudah dia mempelajari konstruksi alat penyambit
Bau-hi-li-hoa-ting yang terbuat dari kotak perak itu, perlahan-lahan akhirnya
berhasil juga, dia memasukkan paku-paku perak itu kedalam tabung masing-masing
yang berjumlah duapuluh tujuh lobang. Kira-kira seperminuman teh, kemudian dia
sudah selesai dengan pekerjaannya.
Sampai pada waktu itu, baru
dia menarik napas lega, mulutpun mengguman: “Baik kalau berani salahkan keparat
itu biar datang”.
Sekonyong-konyong suara
samberan angin meluncur lagi seperti tadi dari luar, sesosok bayangan kini
melesat masuk dari luar ke dalam kamar malah. Kali ini Oh Thi-hoa sudah lebih
tabah dan mantap, dengan ketajaman matanya dia sudah melihat bayangan itu
adalah seekor kucing juga, tapi kucing ini melesat terbang terbuang ke tengah ruangan.
Dengan mengulap tangan Oh
Thi-hoa bermaksud mengusir dengan menakut-nakutinya dengan bentakan rendah. Tak
nyana kucing yang terbang lurus itu tiba-tiba melorot jatuh dan “Blug” tepat
jatuh ke atas meja, lentera di atas meja sampai bergetar jatuh.
Cepat sekali Oh Thi-hoa
memburu maju menyambar lentera sementara matanya mengawasi kucing, dilihat si
kucing rebah lemas di atas meja tanpa bergerak, napasnya sudah kempas-kempis,
jiwanya tinggal menunggu waktu saja.
Pada leher si kucing malah
terikat seutas benang yang membelit secarik kertas. Oh Thi-hoa segera mengambil
kertas itu, dilihatnya di atas kertas ada huruf-huruf yang berbunyi: “Coh
Liu-hiang … Coh Liu-hiang, coba kau pandang dirimu sekarang hampir mirip dengan
kucing ini? Apa kau masih tetap hidup?”
Kertas itu bukan saja
merupakan rekening penagih nyawa mereka, boleh dikata merupakan suatu
penghinaan pula, jikalau Coh Liu-hiang sampai melihat beberapa patah kata ini,
betapa perasaan hatinya?
Oh Thi-hoa insaf kalau kertas
peringatan ini sudah dikirim dulu, sebentar si pengirimnya tentu akan tiba
juga, kali ini mereka tidak menggunakan cara keji yang rendah dan untuk
membokong, sebaliknya menantang secara terang-terangan, tentunya sudah
memperhitungkan bahwa Coh Liu-hiang bukan saja tiada mampu melawan, malah untuk
lari menyelamatkan dirinya tak bisa lagi.
Mengawasi kucing yang
kempis-kempis di atas meja, serta mengawasi Coh Liu-hiang yang rebah di atas
pembaringan, mendadak dia mengambil kotak perak berisi Bau-hi-li-hoa-ting itu
berlari keluar lewat jendela.
Dari pada menunggu musuh
datang mencabut nyawa mereka, lebih baik keluar meluruknya ajak adu nyawa,
watak dan perbuatan keras Oh Thi-hoa ini, sampai mampuspun takkan bisa dirubah
lagi. Terasa olehnya darah mendidih di seluruh badan, sedikitpun tak terpikir
olehnya bahwa Coh Liu-hiang sedikitpun tak punya tenaga untuk melawan, jikalau
dirinya tinggal pergi melabrak musuh, dengan Coh Liu-hiang sendirian tinggal
dalam kamar tanpa ada orang yang menjaga dan melindungi, bukankah berarti
memberi umpan musuh untuk membekuk atau membunuhnya dengan gampang.
Hujan rintik-rintik, sehingga
tabir yang sudah gelap ini semakin kelam, di pekarangan sebelahsana sayup-sayup
kedengaran tawa perempuan yang cekikikan genit, lebih menambah suasana yang
hening lelap dan dingin ini terasa seram.
Begitu tiba di pekarangan
langsung Oh Thi-hoa lompat ke wuwungan rumah, bentaknya bengis: “Sahabat sudah
kemari, kalau berani silahkan unjuk diri dan bertanding sampai ajal dengan aku
orang she Oh, sembunyi ditempat gelap terhitung orang gagah macam apa?”
Kuatir membuat Coh Liu-hiang
kaget, suaranya tidak berani keras-keras, namun diapun kuatir orang yang
dicarinya tidak mendengar maka sambil bicara tak henti-hentinya dia membanting
kaki.
Tak nyana belum lagi
kata-katanya terucap habis, di belakangnya tiba-tiba terdengar suara tawa geli
yang tertahan, berkata dingin seseorang: “Sejak tadi sudah kutunggu kau disana
siapa suruh matamu tak melihatku”.
Sigap sekali Oh Thi-hoa putar
badan, tampak sesosok bayangan orang berkelebat, tahu-tahu orang sudah melompat
ke wuwungan rumah yang lain, orang ini mengenakan pakaian serba hitam, kepala
dan mukanya berkerudung serba hitam, kepala dan mukanya tertutup kain hitam,
katanya pula dengan tertawa dingin: “Jikalau kau ingin gebrak aku, kenapa tidak
berani kemari?”
Dengan menggeram gusar Oh
Thi-hoa segera menubruk kesana, tapi begitu ia tiba di wuwungan sebelahsana ,
orang itu sudah melesat sejauh tujuh delapan tombak jauhnya diiringi diawasi
dengan tertawa dingin.
Begitu kejar mengejar
berlangsung dengan cepat, kejap lain mereka sudah jauh meninggalkan penginapan
itu, tangan Oh Thi-hoa kencang-kencang memegang alat senjata rahasia yang ganas
dan hebat itu, apa boleh buat orang itu berlari seperti dikejar setan, jarak
mereka masih tetap bertahan tujuh delapan tombak, kalau Oh Thi-hoa tak berhasil
memperpendek jarak kedua pihak, ia kuatir senjata rahasianya takkan bisa
mencapai sedemikian jauh dengan serangan telak yang mematikan, kalau senjata
rahasia ini merupakan alat senjata titik terakhir yang bakal menentukan mati
hidupnya, betapapun ia tak berani sembarangan bergerak, bertaruh dengan nasib
dan mengejar kemenangan yang belum dapat dipastikan.
Harus diketahui ilmu ginkang
Oh Thi-hoa sebetulnya tak rendah, namun sebelah lengannya kini masih tertutuk
Hiat-tonya dan tak bisa bergerak, bukan saja darah tidak normal dan lancar
dalam saluran badannya, dikala berlari tanpa adanya imbangan gerak-gerik
tangannya larinya menjadi kurang cepat dan gerak-geriknya kurang leluasa.
Seluruh kekuatan sudah dia
kerahkan, namun jarak mereka malah semakin jauh. Tiba-tiba orang itu lompat
turun ke jalan raya tapi tidak melalui jalan besar, malah memilih ke
jalan-jalan kecil-kecil, dari lorong-lorong sempit membelok ke gang sempit,
segesit ikan berenang, selicin belut menyusup, belok ke timur lalu menikung ke
selatan, tiba-tiba bayangannya tak kelihatan lagi.
Keruan Oh Thi-hoa semakin naik
pitam dampratnya sengit: “Kalau kau datang hendak bunuh aku, biar aku berdiri
di sini saja, kenapa kau tidak kemari membunuhku?”
Belum lenyap caci makinya,
pada tikungan di depansana kembali ia dengar cekikikan tawa orang yang geli
tertahan. Tampak orang itu melongokkan kepalanya katanya tertawa dingin: “Aku
masih sedang menunggu kau kenapa tidak kemari saja”.
Sebelum orang bicara habis,
dengan sisa setaker tenaganya Oh Thi-hoa menubruk kesana, baru saja badannya
berputar menyelinap ke ujung tembok, tampak seorang kakek tua yang memikul
jualan mi dan bakpao sedang berengsot-engsot mendatangi dengan pikulannya turun
naik keberatan.
Saking bernafsu mengejar
musuh, langkahnya begitu tergopoh-gopoh dan cepat sekali seperti mobil yang
remnya blon, tak terkendali lagi “Brak krompyang!” pikulan si orang tua
ditumbuknya sampai putus dan barang dagangannya pontang-panting tercecer
kemana, bukan soal kalau mi dan bakpao sama jatuh dan hancur, celaka adalah
kuah dan minyak goreng di atas wajan sama tumpah membasahi Oh Thi-hoa, sudah
tentu seluruh badannya gebes-gebes basah dan kepanasan, jalan kampung dari
batu-batu keras yang memangnya licin setelah hujan, ditambah kuah dan minyak
yang tercecer ditanah menambah licin permukaan jalan pula, begitu menumbuk
pikulan langkah Oh Thi-hoa masih sempoyongan ke depan dan akhirnya terpeleset
terguling-guling.
Orang baju hitam yang dikejarnya
sekarang sudah berhenti dan membalik badan, serunya tepuk tangan sambil
mengolok-olok senang, “Bagus baik sekali, hari ini Hoa ou tiap atau kupu-kupu
kembang, menjadi ayam pilek kecebur ke sungai”.
Dengan menggerung gusar Oh
Thi-hoa mencak-mencak merangkak bangun, tapi kakek tua penjual mi itu sudah
menggelinding datang, sekali raih ditariknya baju belakang tengkuknya terus
menubruk ke atas badannya, serunya dengan suara serak kalap: “Kau jalan apa
tidak pakai mata? Keluarga besar kecil menggantungkan barang daganganku ini,
kau sebaliknya bikin putus sumber kehidupanku, adu jiwa dengan kau”
Kalau mau gampang saja Oh
Thi-hoa kipaskan kakek tua ini ke samping, namun dia tahu yang salah memang
dirinya, terpaksa dia tumpahkan amarah, katanya: “Lepaskan tanganmu
barang-barangmu yang rusak seluruhnya kuganti”.
“Baik” seru kakek tua, “Ganti
ya ganti, keluarkan uangmu, pikulan Mie ini kubuat dengan ongkos tujuh tahil
perak, ditambah dua puluh delapan mangkuk dan Mi, bakpao kuah dan lain-lain
paling tidak berjumlah sepuluh tail”.
“Baik sepuluh tail ya sepuluh
tail, kuganti seluruhnya,” dengan lantang Oh Thi-hoa berkata kedengarannya ia
bicara dengan enak saja bahwasanya diam-diam dia mengeluh dalam hati, Karena
dia ini memang seorang laki-laki yang rudin pembawaan sejak kecil, umpama
kantongnya memiliki selaksa tail perak dalam tiga haripun bisa dipakainya
sampai habis, demikian pula sekarang satu peserpun kantongnya tidak punya uang.
Sementara kakek tua itu masih
mendesaknya dengan sengit: “Sepuluh tail ya sepuluh tail, lekas keluarkan
emasmu?”
“Aku ….. besok pasti kubayar
kepadamu,” seru Oh Thi-hoa tergagap.
Kakek itu jadi gusar:
“Memangnya aku tahu bahwa aku ini tulang miskin, kalau sepuluh tail perak tidak
kau bayar sekarang juga, jangan harap kau lepas dari tanganku”.
Orang baju hitam itu masih
belum berlalu dari kejauhan, dia masih menonton pertengkaran ini dengan berseri
riang, sudah tentu Oh Thi-hoa semakin keripuhan, belakangan diapun naik pitam,
serunya: “Kukatakan besok ya besok pasti kubayar, lepas tanganmu” dia membalik
badan hendak melempar badan si kakek tua ini, siapa tahu cekalan kakek tua ini
ternyata kencang dan kuat sekali, tahu-tahu pergelangan tangannya malah
dipegang begitu keras seperti kacip.
Baru sekarang Oh Thi-hoa
betul-betul terkejut, ternyata si kakek tua penjual mi inipun seorang tokoh
kosen, gelagatnya orang malah sehaluan dan sejalan dengan orang baju hitam itu.
Kalau dalam keadaan biasa, Oh
Thi-hoa tak perlu gentar, tapi bukan saja dirinya tinggal sebelah tangan yang
bisa bergerak, malah Lwekangnya paling tidak sudah susut tujuh delapan puluh
persen. Tangannya dicengkeram lagi, bergerakpun tidak bisa, orang baju hitam
seorang saja dirinya kewalahan dan tak mampu menghadapinya, bila ditambah kakek
tua ini, masakah dia bisa memilih jalan hidup.
Kakek tua itu masih
merengek-rengek: “Tidak keluarkan uang peraknya, biar aku adu jiwa dengan kau.”
Oh Thi-hoa tertawa dingin,
jengeknya: “Kau tidak tahu kau….” belum habis dia berkata tiba-tiba kakek tua
dekap mulutnya, lalu berbisik di pinggir telinganya: “Bocah itu masih berdiri
disana , biar kubantu kau, dia tak akan bisa lolos.”
Begitu Oh Thi-hoa melongo,
kakek tua itu sudah mencaci lagi lebih keras dengan mulut berkaok-kaok, matanya
berulang kali memberi tanda lirikan kepada Oh Thi-hoa supaya dirinya siap-siap.
Sebat sekali Oh Thi-hoa
meronta dan membalik berbareng kakek tua itu pegang bahu dan pundaknya ikut
menggelundung terus dorong kedua tangannya dengan kuat, meminjam kekuatan
dorongan ini badan Oh Thi-hoa laksana anak panah mencelat terbang sejauh enam
tujuh tombak.
Sudah tentu orang baju hitam
itu kaget, teriaknya tertahan: “Kau….”
Baru sepatah kata keluar dari
mulutnya, tiba-tiba Oh Thi-hoa sudah terbang di atas kepalanya dan tancap kaki,
di belakangnya satu tombak mencegat jalan larinya, dengan mengacungkan alat
Bau-hi-li-hoa-ting Oh Thi-hoa membentak dengan bengis: “Barang apa yang ku
pegang di tanganku ini, tentunya kau sudah tahu seujung jarimu saja berani
bergerak, dua puluh tujuh batang paku perak ini akan kutancapkan ke atas
badanmu!”
Orang baju hitam itu menarik
napas panjang, katanya dengan suara sember: “Kau… apa yang kau inginkan?”
“Sebetulnya ada dendam
permusuhan apakah dengan Coh Liu-hiang, kenapa kau berbuat serendah itu dengan
membokongnya?”
“Aku tidak punya dendam sakit
hati apa-apa dengan dia” sahut orang baju hitam.
“Jadi kau mendapat tugas dan
perintah majikanmu untuk membunuh dia?”
“Bukan!”
“Kalau demikian tanggalkan
kedok mukamu biar kulihat jelas siapa kau sebenarnya?”
Bergetar badan orang baju
hitam, agaknya dia kaget menjublek.
Oh Thi-hoa tertawa
gelak-gelak, katanya: “Aku sudah menduga, aku pasti kenal baik sama kau, oleh
karena itu kau berusaha menyembunyikan kepala tidak berani dilihat orang,
sekarang kalau kau sudah terjatuh ke tanganku, masakah kau ingin mengelabui aku
lebih lanjut?”
Tiba-tiba orang baju hitam itu
tertawa besar sambil menengadah, tangan bertolak pinggang.
Oh Thi-hoa gusar, dampratnya:
“Apa yang kau tertawakan?”
“Aku hanya menertawakan diriku
sendiri, kenapa suka turut campur urusan tetek bengek, beberapa kali berusaha
menolong jiwamu, kini bukan membalas budi pertolonganku, kau malah hendak
membalas dengan dendam penasaran, menggunakan alat senjata rahasia sekeji itu
pula untuk menghadapi aku.”
Keruan Oh Thi-hoa melongo,
tanyanya: “Kau pernah menolong jiwaku?”
“Waktu kau terkurung oleh
Ciok-koan-im, siapa yang menolong kau dengan membunuh para murid Ciok-koan-im?
Waktu kau minum arak beracun Ciok-koan-im, siapa pula yang memberi obat penawar
kepadamu? Masakah kejadian belum lama ini sudah kau lupakan?”
Belum habis kata-katanya, Oh
Thi-hoa sudah berjingkrak kaget, teriaknya: “Burung Kenari, jadi kau inilah
Burung Kenari?”
“Hmm.” orang baju hitam
mendengus hidung.
“Kau, beberapa kali menolong
jiwaku? Kenapa pula sekarang kau hendak mencabut jiwaku?”
“Jikalau aku benar-benar
menginginkan jiwamu, memangnya kau masih bisa hidup sampai sekarang?”
Kembali Oh Thi-hoa tertegun
dibuatnya, tanyanya: “Tapi kau, kau kenapa?”
“Tidak usah kau banyak tanya.”
sentak orang baju hitam beringas. “Sekarang juga aku hendak pergi, jikalau
hendak membalas air susu dengan air tuba, kebaikan kau bayar dengan kejahatan,
silahkan kau sambitkan Bau-hi-li-hoa-ting itu kepadaku.” mulut bicara, badanpun
berputar, habis kata-katanya kakinya sudah berlari beberapa langkah.
“Tunggu dulu, aku ingin
omong.” Oh Thi-hoa berkaok-kaok.
Tanpa menoleh dan tidak
dihiraukan seruannya, orang baju hitam itu lari ketempat gelap dan sekejap saja
telah menghilang, terpaksa Oh Thi-hoa mengawasi bayangan orang pergi dengan
mendelong sedikitpun dia tidak memperoleh akal cara bagaimana dirinya harus
bertindak. Karena dia memang bukan manusia rendah diri yang membalas kebaikan
orang dengan perbuatan jahat, betapapun misterius dan serba tersembunyi sepak
terjang si Burung Kenari ini, betapapun orang pernah menolong jiwanya.
Tengah dia terlongo,
didengarnya orang batuk-batuk di belakangnya, berkata seseorang dengan tertawa:
“Koan-hucu, Koan Kong, di jalan raya Hoa-yong pernah juga melepas Coh Bing-tik,
sikap Oh Tayhiap hari ini, tak ubahnya seperti pambek Koan-hucu pada jaman Sam
Kok dulu, yang patut dipuji dan dibanggakan karena keluhuran budi dan
kebijaksanaannya, setia dan dapat dipercaya.” Ternyata kakek tua itu masih
berada disitu, belum berlalu!
Lekas Oh Thi-hoa membalik
badan terus menjura, sapanya tertawa getir: “Cayhe selamanya belum kenal dengan
Lotiang, terima kasih akan bantuan Lotian barusan.”
“Meski Oh Tayhiap tidak kenal
Losiu, sebaliknya sejak lama Losiu sudah kenal baik nama besar Oh Tayhiap.”
“Sungguh memalukan, harap
tanya sukalah Lotiang memberitahukan namanya yang mulia?”
“Losiu Cay-tok-hiang, atau si
sebatangkara!”
“O, kiranya Ban-li-tok-hing
“jalan sendirian laksaan li” Cay-loyacu dari angkatan tua Kaypang, tak heran
sedikit jinjing dan lempar Cayhe laksa laksana naik awan menunggang kabut,
Cayhe sungguh berlaku kurang hormat.”
“Tidak berani, tidak berani.”
“Tapi bagaimana Cianpwe bisa…
bisa…”
“Kau ingin tanya bagaimana
pengemis bangkotan seperti aku tahu-tahu ganti objek jadi penjual Mi, benar
tidak?”
Oh Thi-hoa menyengir geli,
katanya: “Cayhe memang sedikit heran.”
“Sejak Coh Liu-hiang Maling
Romantis berhasil membongkar perbuatan jahat Lamkiong Ling, maka pandangan kaum
persilatan terhadap pengemis aku ini berubah, setiap kaum persilatan melihat
orang-orang pengemis malah amat menyolok mata, oleh karena itu bagi orang yang
suka kelana di Kang-ouw seperti aku bila berpakaian seperti pengemis bukan saja
tidak leluasa, kemungkinan bisa menimbulkan banyak kesulitan.”
“Benar, sudah lama kudengar
Cayhe paling benci kejahatan, paling suka menegakkan keadilan dan memberantas
kelaliman, maka sepanjang tahun kelana kian kemari, sampai perbatasan yang liar
dan belukar itu juga pernah dijajahi, tujuannya tidak lain untuk melihat
benarkah didalam kehidupan manusia di mayapada ini memang ada kejadian yang tak
adil, jikalau ada orang bisa mengetahui asal usul locianpwe, mungkin suara atau
kejadian yang tidak adilpun takkan bisa terlihat lagi oleh Cianpwe.”
Tertawa dan menyeka kotoran
dimukanya, Oh Thi-hoa menambahkan: “Karena setiap orang yang punya nyali
berbuat kejahatan di depan Ban-li-tok-hing, tidak berapa banyak dalam dunia
ini, tapi si Burung Kenari itu bila tahu orang yang jualan bakmi ini adalah
Ban-li-tok-hing, mungkin sejak tadi telah ngacir.”
Cay-tok-hing tersenyum ewa,
katanya: “Losiu baru saja tamasya ke perbatasan yang liar dan belukar itu,
tahu-tahu kudengar peristiwa besar yang memalukan di dalam Kaypang kami,
untunglah Coh Liu-hiang si Maling Romantis tanpa pamrih berhasil menolong bencana
besar yang terpendam di dalam tampuk pimpinan Kaypang kami, kalau tidak nama
baik dan kebesaran Kaypang kami selam berabad-abad bakal dibuat rusak dan
runtuh ditangan murid murtad yang celaka itu.”
“Seperti Cianpwe, Coh
Liu-hiang pun mempunyai watak turut campur urusan orang lain.”
Cay-tok-hing si batangkara
tertawa: “Sudah lama Losiu dengar bahwa Oh Tayhiap adalah sahabat Coh Liu-hiang
yang paling dekat laksana saudara sepupu sendiri, oleh karena itu begitu tadi
aku mendengar Burung Kenari menyebut Hoa-ou-tiap, maka campur tangan ini tidak
bisa tidak harus kulakukan juga.”
Tiba-tiba berkilat sorot mata
Oh Thi-hoa, tanyanya: “Cianpwe sudah lama kelana di Kang-ouw, adakah pernah
mendengar asal-usul si Burung Kenari?”
“Disitulah letak keheranan
Losiu, dinilai dari Ginkang si Burung Kenari ini, walau belum bisa dijajarkan
dengan Ginkang Maling Romantis tapi didalam kalangan Kang-ouw sudah termasuk
kelas wahid, seharusnya sudah punya nama tenar dan kebesaran di Bulim, tapi
nama Burung Kenari, Losiu justru belum pernah mendengarnya.”
Oh Thi-hoa mengerut kening,
katanya: “Apakah orang ini tokoh muda yang baru saja keluar kandang? Tetapi
dilihat dari sepak terjangnya dan perbuatannya yang culas serapi itu, tidak
mirip seperti muka baru yang masih berbau pupuk bawang.”
“Menurut pendapat Losiu,
kemungkinan orang ini adalah samaran tokoh Kangouw kawakan yang menyamar saja.
Burung Kenari hanyalah nama tiruan atau julukannya saja. Dan lagi bukan
mustahil orang ini memang sudah dikenal oleh Oh Tayhiap, oleh karena itu dia
mengenakan kerudung kepala supaya muka aslinya tidak kau kenali.”
“Aku sendiripun sudah menduga
akan hal ini, tapi sungguh tak pernah kupikirkan, siapakah diantara
teman-temanku yang bakal berbuat sedemikian ini?”
“Masih ada satu hal, Losiu
amat heran pula.”
“Kalau orang ini tiada maksud
mencelakai Oh Tayhiap, kenapa dia memancing Oh Thayhiap mengejarnya kemari?”
Seketika Oh Thi-hoa tertegun,
tiba-tiba ia rasakan sekujur badannya dingin seperti hampir membeku, teriaknya
tertahan dengan terbelalak: “Celaka, mungkin dia tipu aku dengan tipu memancing
harimau meninggalkan sarangnya.”
“Memancing harimau
meninggalkan sarangnya apa?” tanya si Batangkara tak tahu.
Tak sempat menjawab pertanyaan
orang, tanpa pamitan lagi Oh Thi-hoa segera berlari bagai terbang, karena baru
sekarang benar-benar dia sadari akan keadaan Coh Liu-hiang yang berbahaya.
Namun baru sekarang dia sadar, sudah tentu amat terlambat.
Jendela tidak tertutup, kucing
sudah mati, hembusan angin malam nan dingin membuat hawa kamar semakin dingin,
kertas tulisan di atas meja terhembus melayang jatuh, lentera pun seketika
padam.
Dengan penerangan lentera itu,
kamar ini masih terasa redup dan gelap, kini lentera padam, keruan suasana
terasa dingin gelap dan seram.
Seperti kucing yang sudah
mampus di atas meja, Coh Liu-hiang rebah tanpa bergerak diatas pembaringan.
Apakah nasibnya begini saja, menunggu ajal karena sakitnya atau bakal direnggut
musuh dengan konyol?
Sekonyong-konyong sesosok
bayangan orang muncul diambang jendela. Orang inipun mengenakan pakaian serba
hitam yang ketat, kepalanya terbungkus kerudung hitam, gerak-geriknya selincah
kucing, seenteng burung walet.
Punggungnya menggendong sarung
pedang yang dibelit dengan tali melintang, pedang panjang sudah tersoren di tangannya,
disembunyikan di belakang sikutnya, sekali membalik tangan, cepat sekali
pedangnya akan dapat menembusi tenggorokan sasarannya.
Sekian lama dia mendekam di
bawah jendela, dengan cermat dia memperhatikan keadaan dan pasang kuping.
Didengarnya deru pernapasan Coh Liu-hiang berubah-ubah, adakalanya lemah,
mendadak berubah berat dan menggeros, kalau lemah seperti napasnya hampir
putus, kalau berat menggeros seperti dengus napas sapi.
Orang baju hitam ini
mendengarkan sekian lamanya, sepasang matanya yang berkilat tajam dari balik
kerudungnya menampilkan rasa puas dan senang, sudah didengarnya dari deru napas
Coh Liu-hiang bahwa penyakitnya malah bertambah berat, bukan malah sembuh atau
menjadi ringan. Tapi dia cukup sabar untuk tak segera menerobos masuk, terlebih
dulu ia bergaya merentang kedua tangan lalu “Sret” menusukkan pedang ditengah
udara, sambaran pedang ditengah udara bolong membara sambaran angin yang cukup
keras. Kalau dalam keadaan normal biasanya Coh Liu-hiang tentu sudah mendengar
dan terjaga bangun. Tapi kini sedikitpun tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.
Baru sekarang orang baju hitam
yang satu ini menongolkan badannya dengan berdiri tegak, ternyata perawakan
badannya lebih tinggi dari orang baju hitam yang mengaku sebagai Burung Kenari
tadi, badannya lebih kekar pula, namun ilmu Gingkangnya malah setingkat lebih
rendah.
Menyadari kekurangan dirinya,
maka orang ini bertindak penuh hati-hati dan waspada, dia tidak segera
menerobos masuk kekamar, setelah menunggu pula sebentar, baru sebelah tangannya
menekan alas jendela terus menyelinap masuk ke dalam.
Begitu gelap keadaan dalam
kamar ini sampailima jari tangan sendiripun tidak kelihatan, orang baju hitam
ini seolah-olah sudah membaurkan diri di dalam kegelapan, meski masih berada di
luar jendela tadipun sukar dilihat gerak-gerik bayangannya. Berdiri ditempat
gelap kembali dia menunggu beberapa saat, deru pernapasan Coh Liu-hiang diatas
pembaringan masih tidak teratur, kalau tidak mau dikatakan sudah kempas-kempis
tinggal menunggu ajal.
Kembali orang baju hitam
menggerakkan langkah pelan-pelan maju ke depan. Langkah kakinya amat enteng dan
tenang, hampir tak mengeluarkan suara. Tapi habis hujan, jalanan di luar becek,
maka alas sepatu orang inipun basah dan berlepotan lumpur, dua langkah kemudian
“Srek” tiba-tiba sepatunya menggesek lantai mengeluarkan suara lirih.
Walau suara gesekan ini amat
lirih, tapi didalam suasana yang hening lelap seperti itu, kedengarannya justru
amat nyata dan lebih menusuk pendengaran dari golok karatan yang sedang diasah.
Mungkin terkejut oleh suara
gesekan lirih ini, Coh Liu-hiang seperti bergerak di atas pembaringan. Orang
baju hitam seketika mematung diam seperti membeku, napaspun tak berani keras.
Tak kira Coh Liu-hiang hanya sedikit membalikkan badan saja, kini mukanya
menghadap ke sebelah dalam, ke arah dinding, didalam kegelapan orang baju hitam
mengelus dada menghela napas lega, menunggu lagi beberapa kejap, mendadak
dengan langkah cepat dia menubruk ke arah pembaringan, pedang di tangannya
laksana ular sanca yang galak menusuk ke arah Coh Liu-hiang yang rebah di atas
pembaringan.
xxx
Sembari berlari marathon,
seperti berlomba mengejar prestasi, dalam hati Oh Thi-hoa mengumpat caci akan
kebodohan dirinya, jikalau Coh Liu-hiang benar-benar sudah terbokong oleh
orang, umpama dirinya masih bisa bertahan hidup, selanjutnya juga malu
berhadapan dengan orang banyak.
Sungguh ingin rasanya tumbuh
sayap dapat segera terbang kembali ke kamarnya. Akan tetapi mendadak dia
menghentikan langkah.
Mendadak Oh Thi-hoa sadar
dirinya tak berhasil mencari jalan untuk kembali ke penginapannya tadi. Tadi
waktu mengejar Burung Kenari, dirinya telah diajak putar kayun putarsana balik
sini, ia sendiri tidak tahu dirinya sekarang berada dimana, berapa jauh diri
penginapannya, lebih celaka lagi diapun sudah tidak bisa membedakan arah.
Didalam malam nan gelap,
sehabis hujan ditengahkota yang masih asing bagi dirinya, setiap jalan raya dan
gang-gang sempit serta lorong panjang satu sama lain hampir mirip, demikian
pula bangunan dan bentuk dari perumahan dari jalan ini dengan jalan yang itupun
tiada bedanya.
Ingin dia menggedor pintu
rumah orang, untuk tanya jalan, tapi disadari pula bahwa dia pun tak tahu apa
nama penginapan yang ditinggali itu, karena dia lupa tanya dan tak ambil peduli
tetek bengek ini, untuk tanya jalanpun tiada gunanya pula.
Sungguh hampir gila Oh Thi-hoa
dibuatnya saking gugup, berdiri kehujanan, seluruh badannya sudah basah kuyup,
mukanya basah karena air hujan, atau keringat? Mungkin juga air mata?
Tusukan pedang orang baju
hitam dilontarkan dengan serangan ganas, bagai ekor kalajengking yang mengatup,
cepatnya seperti kilat, dan lagi yang diarah adalah Hiat-to penting dibadan Coh
Liu-hiang, dari jurus serangan dapatlah dibayangkan bahwa pembunuh ini sudah
pengalaman dan orang yang ahli dialam bidang ini.
Maka terdengarlah “Blus”
pedang panjang yang kemilau itu sudah menusuk tembus tapi bukan menghujam ke
badan Coh Liu-hiang, ternyata hanya menusuk sebuah bantal.
Ternyata didalam detik-detik
yang menentukan itu, Coh Liu-hiang sudah kempas-kempis itu mendadak mencelat
berputar badan, dengan bantal dia menangkis tusukan pedang orang. Keruan kejut
bukan main si orang baju hitam, menarik pedang, pedang tak bergeming segera
terlintas dalam otaknya untuk melarikan diri meninggalkan pedang. Tapi meski
reaksinya sudah amat cepat dan cekatan, toh gerakan Coh Liu-hiang lebih cepat
lagi, belum lagi dia sempat menarik tangannya, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah
pegang pergelangan tangannya.
Namun si orang baju hitam tidak
menjadi gugup dan kehilangan akal, telapak tangan kiri tegak seperti golok,
membabat pergelangan tangan Coh Liu-hiang. Tak nyana Coh Liu-hiang mendadak
menarik tangan kanannya sehingga tebasan tangan kirinya mengenai tangan
kanannya sendiri, saking sakitnya mulutnya mendehem keras.
Cepat sekali tangan Coh
Liu-hiang yang lain tiba-tiba sudah berada di bawah ketiaknya, menepuk
pelan-pelan, separuh badannya seketika kesemutan kemeng dan mati kutu tak bisa
bergerak lagi.
Ditengah kegelapan, tampak sepasang
biji mata Coh Liu-hiang laksana bintang kejora kelap-kelip, mana ada
tanda-tanda sedang sakit dan kempas-kempis hampir mati. Baru sekarang badan si
orang baju hitam benar-benar bergidik seram, suaranya serak sumbang: “Kau….”
hanya sepatah kata saja yang terucapkan, kata-kata selanjutnya terputus.
Coh Liu-hiang tersenyum,
katanya: “Cayhe sudah perhitungkan bahwa tuan pasti akan datang pula, maka
sejak lama sudah aku menunggumu disini.”
Keringat gemerobyos membasahi
kepala dan muka si orang baju hitam, katanya pula gemetar: “Kau… tidak sakit?”
“Walau badanku tidak sakit,
tapi aku memang punya sakit hati, jikalau aku tidak bikin terang asal-usul dan
maksud tujuanmu, penyakit hatiku ini tidak akan dapat disembuhkan!”
Orang itu menarik napas,
katanya: “Coh Liu-hiang memang tidak bernama kosong, betul-betul punya
kemampuan yang luar biasa, hari ini aku mengaku kalah dan terjungkal di
tanganmu, apa keinginanmu”, mendadak dia tertawa riang, katanya pula: “Aku tahu
Maling Romantis selamanya tidak melukai musuhnya, apa benar?”
“Tidak salah, tapi jikalau kau
tidak terus terang mengenai asal usul dirimu sendiri, Kenapa berulang kali
berusaha membunuhku dengan cara membokong, meski aku tidak merenggut jiwamu,
terpaksa aku harus bertindak kasar kepadamu.”
“Memangnya aku tidak punya
dendam sakit hati dengan kau, kapan pula aku pernah kemari berusaha membunuh
kau?”
“Masakah baru pertama kali ini
kau hendak membunuh aku?”
“Sudah tentu untuk kedua
kalinya.”
Berkilat mata Coh Liu-hiang,
tanyanya pula: “Apakah kau bukan diutus seseorang kemari untuk melaksanakan
tugasmu?”
“Tidak salah, aku hanya…”
belum selesai dia bicara, tiba-tiba terdengar suara “Ser!” didalam gelap
agaknya ada seulas sinar kecil pendek berkelebat cepat sekali sudah menghilang.
Terasa oleh Coh Liu-hiang
pergelangan tangan orang yang dipegangnya seperti mengejang dan kaku. Tiba-tiba
badannyapun melonjak gemetar, sorot matanya memancarkan rasa sakit dan
ketakutan, suaranya serak terputus-putus. “hanya… adalah…”
Berubah air muka Coh
Liu-hiang, sentaknya, “Siapa? lekas katakan!”
Tenggorokan orang baju hitam
berbunyi “krok, krok” lalu tak mampu bicara lagi, maka rahasia yang bersemayam
direlung hatinya ikut terbawa oleh helaan napas yang terakhir, selamanya takkan
terbongkar.
Ketika itulah dari luar
terdengar suara teriakan Lu Giok-ham yang gugup dan prihatin.
“Coh-heng, Coh-heng, apa kau
terluka?” ditengah teriakannya Li Giok-ham bersama Liu Bu-bi sudah berlari
datang terus melesat masuk lewat jendela.
Tak lama kemudian Liu Bu-bi
sudah menyalakan lentera, melihat Coh Liu-hiang berdiri segar bugar di depan
pembaringan, segera ia menarik napas lega, katanya berseri tawa kegirangan.
“Terima kasih kepada langit dan bumi, terhitung kami sempat menyusul pulang
tepat pada waktunya.”
Kedua orang ini basah kuyup
dan kotor berlepotan lumpur, gerak geriknya pun amat lambat dan lemah seperti
kehabisan tenaga, jelas dalam sehari semalam ini mereka menempuh perjalanan
dengan cepat tak mengenal lelah.
Sekian lama Coh Liu-hiang
tatap mereka dengan nanar, akhirnya diapun menghela napas ujarnya: “Tidak
salah, memang kalian pulang tepat pada waktunya.”
Dengan mengangkat lentera di
atas kepala Liu Bu-bi melotot ke arah orang serba hitam itu, katanya: “Ingin
kami tahu siapakah orang ini sebetulnya, kenapa bersusah payah berusaha
membunuh Coh Liu-hiang?”
“Hanya sayang sekali ini
selamanya kami takkan tahu dengan tujuan apa dia kemari.”
“Kenapa?”
“Karena orang yang sudah mati
masakah bisa bicara?”
Sesaat lamanya Liu Bu-bi
terlongong, katanya kemudian: “Ya, memang aku tidak boleh terburu napsu
membunuhnya, tapi mendadak melihat seseorang menenteng pedang berdiri di depan
pembaringan Coh-heng, di luar tahuku pula bahwa penyakit Coh-heng sudah sembuh,
karena gugupku, tanpa pikir panjang aku terus turun tangan tanpa ingat untuk
mengompas keterangannya.”
Li Giok-ham mengerut kening,
katanya gegetun: “Memangnya aku sudah tahu watakmu yang sembrono ini, suatu
ketika pasti akan bikin kapiran orang.”
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya: “Untuk ini mana boleh salahkan dia, toh dia bermaksud baik juga.”
Liu Bu-bi malah berkata
sejujurnya. “Tapi kejadian ini memang harus salahkan aku semoga Coh-siansing.”
“Jiwaku sudah tertolong,
hatiku sudah amat berterima kasih, sungguh tiada maksud lain dalam benakku,
kalau persoalan ini diperpanjang, hatiku jadi tidak enak dan membuat aku malu
sendiri.”
Li Giok-ham akhirnyapun
tertawa lebar, katanya: “Tak kira penyakit Coh-heng bisa sembuh begini cepat,
dari sini dapatlah dibuktikan orang baik tentu mendapatkan berkah dari Thian.”
“Sungguh harus disesalkan,
tanpa kusadari aku tertidur nyenyak sehari lamanya, ternyata penyakitku sembuh
sendiri, kalian malah susah payah harus kayun langkah menempuh perjalanan jauh
dengan badan kotor dan tenaga habis, sungguh aku amat terima kasih dan hutang budi.”
Tiba-tiba Liu Bu-bi berjongkok
menanggalkan kain kedok orang hitam itu, lalu katanya gemas: “Coh-heng apa kau
kenal siapa dia?”
Dibawah penerangan api
lentera, tampak roman muka orang ini pucat kehijauan, terlintas pula perasaan
ketakutan disaat jiwanya belum ajal, tapi dari biji mata dan bentuk alisnya itu
dapatlah diperkirakan bahwa semasa hidup orang ini tentu teramat kejam dan
telengas.
“Bukan saja aku tidak kenal
orang ini, malah melihatpun belum pernah.”
Li Giok-ham mengerut kening
pula, katanya: “Kalau demikian, kenapa dia hendak membokong Coh-heng? Memangnya
ada seseorang yang berdiri di belakang layar?”
Coh Liu-hiang tidak segera
menjawab, dari bantalnya tadi dia mencabut pedang panjang itu, di bawah
penerangan lentera dia amat-amati dengan seksama, lalu menghela napas panjang,
katanya: “Pedang ini memang mirip gaman yang peranti membunuh orang.”
“Tidak salah.” ujar Li
Giok-ham. “Pedang ini tiga dim lebih panjang dari pedang umumnya yang sering
dipakai oleh tokoh-tokoh pedang di Kangouw, namun jauh lebih tipis dan sempit.
Malah dua mili lebih sempit dari Soat-coa-kiam milik orang Hay-lam-kiam-pay,
orang yang mempergunakan pedang seperti ini ilmu pedangnya tentu mirip dengan
ilmu pedang dari Hay-lam-kiam pay, mengutamakan kelincahan yang culas dan
keji.”
“Pengetahuan Li-heng amat
luas, memang tidak malu sebagai putra seorang ahli pedang.” Coh Liu-hiang
memuji.
Agaknya Li Giok-ham hendak
merendah diri, tapi Coh Liu-hiang sudah keburu menambahkan: “Orang yang
menggunakan pedang ini aku memang tidak kenal, tapi pedang seperti ini pernah
aku melihatnya sekali.”
“O, Dimana?” tanya Li
Giok-ham.
“Entah pernah Li-heng
mendengar nama Setitik Merah dari Tionggoan?”
“Apakah Coh-heng maksudkan
adalah pembunuh bayaran yang hanya mengenal uang tanpa kenal buruannya dengan
julukan “Membunuh orang tanpa melihat darah”, Setitik Merah di bawah pedangnya
itu?”
“Benar, dia itulah!”
Waktu ayah memberi komentar
dan penilaian kepada tokoh-tokoh ahli pedang pada jaman ini, pernah juga
menyinggung nama orang ini, katanya ilmu pedangnya merupakan aliran tersendiri
yang membuka jalannya tersendiri. Sebetulnya kehebatan pedangnya boleh
dijajarkan untuk bertanding dengan Hiat-in-jin Sia Tayhiap, namun sayang gerak
dan tipu pedangnya mengutamakan kelicikan dan nyeleweng, sepak terjangnyapun
terlalu lalim, maka tanpa sadari ilmu pedangnyapun menjurus ke jalan sesat.
Sejak dulu kala, sesat takkan mengalahkan lurus, oleh karena itu bakatnya
terlalu tinggi, betapapun ia rajin dan tekun belajar, kepandaiannya tetap tidak
dapat mencapai puncak tinggi yang gemilang.”
“Dari uraian ini saja sudah
cukup menandakan kebesaran Li-locianpwe sebagai tokoh pedang nomor satu di
seluruh jagat. Pada jaman ini, setiap orang yang mempelajari ilmu pedang harus
mengukir petuah ini didalam kalbu masing-masing, selama hidupnya pasti tidak
akan sia-sia.”
Berkata pula Li Giok-ham:
“Kalau hati jujur, ilmu pedangpun lurus, hati jahat ilmu pedang menjadi sesat!
Hal ini memang merupakan teori yang tak terbantahkan sejak dulu kala.”
Mendadak Liu Bu-bi menyela:
“Pedang pembunuh ini apakah mirip dengan milik Setitik Merah dari Tionggoan
itu?”
“Kecuali gagang pedangnya yang
rada berbeda, selebihnya panjang pendek dan lebarnya pun tak berbeda.”
Mengerling biji mata Liu
Bu-bi, katanya: “Kalau demikian pembunuh ini bukan mustahil adalah utusan
Setitik Merah.”
Coh Liu-hiang tertawa,
ujarnya: “Sama sekali tidak mungkin!”
“Jadi maksud Coh-heng…” Liu
Bu-bi berkata ragu-ragu lalu menggigit bibir.
“Maksudku yaitu bahwa pembunuh
ini sendiri hakekatnya tiada permusuhan dengan aku, kalau tidak mau kukatakan
belum pernah mengenalku, bahwa dia berusaha membunuh aku lantaran dia diutus
atau dibeli orang lain.”
Liu Bu-bi menerawang sebentar,
katanya kemudian: “Tidak salah, kalau pedang yang dipakai pembunuh itu mirip
milik Setitik Merah dari Tionggoan, tentunya salah seorang saudara
seperguruannya, sudah tentu diapun mempunyai usaha yang sama, yaitu membunuh
orang untuk mengejar bayaran yang tinggi.”
Li Giok-ham mengerut kening,
katanya: “Apa benar didalam kalangan Kangouw ada begitu banyak orang yang
usahanya terima bayaran untuk membunuh orang?”
“Menurut gelagatnya memang
demikianlah.” ujar Coh Liu-hiang. Tiba-tiba menggeledah badan si orang hitam,
namun kantong baju kosong tidak membawa apa-apa. Memang orang-orang yang
hidupnya mengejar untuk mencabut nyawa orang lain sekali-kali pantang membawa
apa-apa yang mungkin bisa membuka identitas atau asal-usul orang itu sendiri,
apalagi barang barang yang dibawanya itu bakal merupakan beban pula bagi
dirinya.
Akhirnya Coh Liu-hiang
menemukan dua macam barang di dalam lipatan baju dalamnya yaitu selembar chek
yang berjumlah amat besar dan sebuah medali tembaga yang bentuk dan warnanya
amat aneh.
Chek adalah pembayaran paling
umum yang berlaku pada jaman itu, chek yang terpercaya pula, dimanapun chek ini
diuangkan bisa segera diterima dengan cepat. Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya: “Dua puluh ribu tahil perak, tidak heran kalau begitu getol
semangatnya hendak menghabisi jiwaku. Untuk dua puluh ribu tahil perak ini
kemungkinan saja aku sendiri mau membunuh diriku sendiri, sungguh tak pernah
terpikir olehku bahwa jiwaku ternyata berharga begitu tinggi.”
Li Giok-ham geleng-geleng
kepala, ujarnya: “Bahwa orang itu berani merogoh kantong mengeluarkan dua puluh
ribu tahil untuk menamatkan jiwa Coh-heng, pastilah dia mempunyai dendam
kesumat yang mendalam dengan Coh-heng.”
Kembali Liu Bu-bi menimbrung:
“Aku sudah dapat perkirakan siapa kiranya orang yang berani merogoh kantong
untuk membayar sedemikian mahalnya.”
“O, Siapa?”
“Chek dengan nilai uang
sebesar itu, bank-bank dimanapun juga tidak akan sembarang mau mempergunakan,
maka pada buku administrasi didalam bank itu pasti ada dicatat dengan jelas
siapa pemakainya, asal kita pergi ke bank dan periksa kepada siapa pembayaran
uang sebesar ini diberikan, bukankah kita bisa mengetahui siapa orang itu?”
“Kukira cara ini belum tentu
bisa berhasil.” Coh Liu-hiang menanggapi.
Terbelalak mata Liu Bu-bi,
tanyanya: “Kenapa? Memangnya Coh-heng sudah tahu siapa kiranya gerangan orang
itu?”
Coh Liu-hiang menjelaskan
kesangsiannya: “Kalau aku hendak membeli seseorang untuk membunuh orang,
sekali-kali tidak akan kugunakan chek pembayaran atas namaku, oleh karena itu
meski kita mengobrak abrik di kantor bank, bukan saja tidak berguna, malah
mungkin kita bisa terpancing ke jurusan sesat, yang kita temukan adalah
orang-orang yang tiada sangkut pautnya dengan peristiwa ini, tak ada hubungan
dengan kita.”
“Ya.” akhirnya Liu Bu-bi bisa
menerima penjelasan ini, “Analisa ini memang masuk diakal.”
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya: “Namun paling tidak sekarang aku sudah berhasil mengetahui suatu hal.”
“Coh-heng sudah tahu hal apa?”
tanya Liu Bu-bi.
“Paling tidak sekarang aku
sudah tahu bahwa orang itu pasti seorang hartawan, karena hanya untuk mencabut
jiwa orang-orang itu bisa merogoh kantong sekali jreng dua puluh ribu tahil,
kukira jumlahnya terbatas dalam dunia ini.”
Sudah sejak tadi Li Giok-ham
menepekur, kini dia membuka suara: “Lalu apa pula maksudnya dengan medali
perunggu ini?”
Tampak medali perunggu bagian
mukanya terukir garis-garis liku-liku seperti kembang di bagian tengahnya
terukir tiga belas batang pedang yang membundar jajar, bentuk pedang itu satu
sama lain mirip, mirip pula dengan pedang pembunuh yang sudah ajal ini, sebaliknya
bagian medali perunggu kebalikannya ada terukir satu huruf delapan.”
Berkata Li Giok-ham dengan
mengerut kening: “Apa pula makna dari tiga belas pedang ini?” sudah sejak tadi
dia memikirkannya tanpa dapat memecahkan artinya.
Mendadak bercahaya sorot mata
Liu Bu-bi, katanya bertepuk tangan: “Maknanya kira-kira sudah kuketahui.”
“Kau paham apa maksudnya?”
tanya Coh Liu-hiang.
Kata Li Giok-ham sambil
berpikir-pikir: “Tiga belas pedang, apakah tiga belas orang?”
“Benar, ketiga belas orang ini
tentunya punya usaha yang sama yaitu sebagai pembunuh bayaran, tangan
ditengah-tengah bundaran pedang itu merupakan simbol dari pemimpin dari mereka,
orang ini termasuk orang yang ke delapan di dalam kelompok mereka, maka
kebalikan medali ini terukir huruf 8″, lalu dia unjuk tawa kepada Coh Liu-hiang
katanya lebih lanjut: “Sementara Setitik Merah dari Tionggoan kemungkinan
adalah jagoan nomor satu dari kelompok tiga belas orang itu.”
“Agaknya memang seperti dugaan
kalian.” ujar Coh Liu-hiang.
“Tapi yang amat menakutkan
tentunya tangan itu, meski dia tidak pernah unjuk diri namun secara diam-diam
dan sembunyi-sembunyi dia kendalikan gerombolan rahasia ini tiga belas orang
itu diperalat untuk mengusahakan bayaran tinggi untuk setiap jiwa yang harus
mereka bunuh.”
Berkata Li Giok-ham dengan
tersirap kaget: “Di dalam kalangan Kangouw ternyata ada gerombolan yang
mengobyekkan diri sebagai pembunuh bayaran, sungguh suatu hal yang amat
menakutkan.”
“Ya, kemungkinan merupakan
suatu tragedi bagi kaum persilatan yang amat mengerikan dan menakutkan selama
ratusan tahun mendatang ini.” kata Liu Bu-bi pula.
Mulut Coh Liu-hiang tidak
bicara, namun hatinya amat mendelu, pikirnya: “Tak heran Setitik Merah selalu
seperti tertekan oleh berbagai kesulitan dan beban berat, ternyata lantaran dia
sudah terjeblos di dalam gerombolan rahasia ini dan tidak mungkin melepas diri.
Oleh sebab itu setelah dia berkeputusan untuk tidak melanjutkan usahanya
sebagai pembunuh bayaran, segera dia minggat ke tempat jauh di luar perbatasan,
lari ke tengah gurun pasir. Karena dia tahu tangan ditengah kelompok pedang itu
pasti tidak akan berpeluk tangan memberi kebebasan kepadanya.”
Siapapun dia asal sudah
terjeblos masuk ke dalam gerombolan ini kecuali mati, mungkin selama hidup
jangan harap kau bisa membebaskan diri dari segala kesulitan. Baru sekarang
pula disadari oleh Coh Liu-hiang kenapa sorot pandangan mata Setitik Merah
selalu membeku dingin, rawan dan gelisah. Sungguh Coh Liu-hiang amat menyesal
kenapa sebelum ini dirinya tidak pernah memikirkan ke arahsana .
Terdengar Liu Bu-bi berkata
dengan tertawa: “Tapi gerombolan ini sekarang tidak begitu menakutkan lagi.”
“Kenapa?” tanya Li Giok-ham.
“Karena tidak berapa lama
lagi, tangan itu pasti akan terbelenggu oleh borgol.”
Li Giok-ham berpikir sebentar,
cepat sekali dia sudah maklum akan kata-kata istrinya. katanya tertawa: “Tidak
salah kalau sekarang mereka berani menepuk lalat di atas kepala Coh Liu-hiang
si Maling Romantis, tentunya Coh-heng tidak akan berpeluk tangan membiarkan
mereka bukan?”
“Apalagi, kalau toh cara kerja
gerombolan ini begitu rahasia dan terkoordinir dengan baik oleh si tangan itu
didalam menekan setiap kontrak jual beli, maka cukup asal Coh-heng berhasil
mencari tahu siapakah si “tangan” itu, maka tak sulit untuk mencari tahu siapa
pula orang yang berani membayar dua puluh ribu tahil perak untuk membunuh
jiwamu.”
Coh Liu-hiang tiba-tiba
tertawa, ujarnya: “Aku sih tak perlu tergesa-gesa mencari dia.”
Meski Liu Bu-bi selalu dapat
mengendalikan perasaan hatinya, namun sekarang rona mukanya menampilkan rasa
heran dan kejut serta tak mengerti tanyanya: “Kenapa?”
“Orang seperti dia sampai pun
melaksanakan pembunuhan kepada seseorang yang diincarpun tak berani turun
tangan sendiri, kalau aku melihat tampangnya malah bikin naik pitam saja.
Sekarang yang menjadi hasratku yang terbesar adalah menyambangi tokoh pedang
nomor satu pada jaman ini, bukanlah hal ini jauh lebih menyenangkan dari pada
mencari perkara dengan orang-orang kerdil yang kerjanya membadut untuk mengelabui
pandangan orang lain?” Dengan tajam dia tatap muka Liu Bu-bi, lalu menambahkan
dengan kalem, “Dan lagi cepat atau lambat toh dia pasti akan mencariku, kenapa
aku harus susah-susah mencari dia malah?”
Liu Bu-bi segera unjuk tawa
manis katanya: “Dan, yang paling penting mungkin Coh-heng kuatir nona Soh dan
lain-lain teramat gelisah menunggu kedatanganmu?”
Mereka berhadapan dengan
sama-sama berseri tawa, Li Giok-ham sebaliknya berubah air mukanya, teriaknya
tersendat: “Mana Oh-heng, Kemana Oh-heng?”
Agaknya baru sekarang dia
sadar bahwa Oh Thi-hoa selama ini tidak berada didalam kamar ini, ternyata Coh
Liu-hiang tidak menjadi gugup, setelah orang menanyakan, baru dia menjawab
dengan tawar. “Tadi agaknya dia melihat jejak musuh yang mencurigakan, tanpa
pikir panjang lantas keluar mengudak.”
Liu Bu-bi tersirap kaget dan
pucat mukanya, katanya: “Oh-heng hanya bisa menggerakkan sebelah tangannya,
mana boleh begitu gegabah mengejar musuh?”
“Kukira tidak menjadi soal.”
ujar Coh Liu-hiang kalem.
“Tidak menjadi soal?” sela Liu
Bu-bi. “Masa Coh-heng tidak kuatir dia terbokong atau terperangkap oleh
kekejian musuh?”
“Aku yakin dia tidak akan
mengalami sesuatu apa-apa yang merugikan dirinya.”
“Darimana kau bisa tahu?”
“Karena tujuan orang hanya
ingin mencabut jiwaku bukan mengincar nyawanya, tapi paling hanya ingin
memancing keluar, sehingga lebih leluasa untuk membunuh aku.”
“Tapi… tapi kenapa sampai
sekarang dia belum kunjung pulang?”
“Kalau tidak sedang mencuri
arak, pasti dia tersesat jalan.”
“Coh-heng agaknya amat yakin
dan begini tabah.”
“Bukan hatiku tabah dan yakin
benar, soalnya aku sudah mendengar suaranya.”
Jarang orang bisa tahu
sebelumnya kapan akan turun hujan, hal ini tidak perlu dibuat heran, karena
betapapun orang yang benar-benar tahu akan ilmu perbintangan seperti Cu-kat
Ling pada jaman Sam Kok dulu tidak banyak jumlahnya. Dan lebih aneh pula,
jarang pula orang mengetahui kapan hujan itu akan mereda. Hujan seolah-olah
berhenti di luar kesadaran orang-orang yang tidak pernah memperhatikannya.
Ditengah malam nan sunyi sepi
itu, betul-betul juga kedengaran suara Oh Thi-hoa berkata kumandang ditengah
malam nan gelap: “Nah benar yang ini.”
Lalu terdengar pula suara
serak tua lain berkata: “Kali ini tidak salah lagi.”
“Pasti benar.” sahut Oh Thi-hoa
yakin. Habis kata-katanya bayangan Oh Thi-hoa sudah berkelebat masuk ke
pekarangan, seperti seekor kucing yang menerobos masuk kamar setelah ekornya
terinjak orang. Dilain kejap maka terdengar pula seruannya: “O, Jadi sudah
kembali?” habis berseru, matanya melotot pula, katanya: “Ulat busuk, kenapa kau
mendadak kau sudah merangkak bangun?”
Belum Coh Liu-hiang menjawab,
sebuah suara serak tua di luar bertanya: “Apakah Coh Liu-hiang Maling Romantis
tidak apa-apa?”
Coh Liu-hiang memegang
hidungnya, sahutnya “Terima kasih akan perhatian tuan, kenapa di luar?,
silahkan masuk!”
Orang di luar itu menjawab:
“Sebetulnya Losiu amat ingin bertemu dengan Maling Romantis, tapi akhirnya
kupikir, sekarang lebih baik aku tidak bertemu saja.”
“Kenapa?”
“Sekarang bila aku berhadapan
dengan kau, paling tidak harus menyembah tujuh delapan belas kali kepadamu,
tapi tua bangka setua aku ini harus berlutut menghadap orang lain, tentunya
kurang leluasa, terpaksa biar lain kesempatan saja akan kucari jalan lain untuk
membalas budi kebaikanmu, lalu adu minum pula dengan kau sepuas-puasnya.”
Bicara pada kata-kata terakhir, suaranya sudah semakin jauh, kira-kira puluhan
tombak.
Coh Liu-hiang melengak heran,
katanya: “Siapakah orang itu? Kapan aku pernah menanam budi kepadanya?”
“Tehadap dia pribadi kau sih
tak memberi kebaikan apa-apa, tapi buat Kaypang.” sahut Oh Thi-hoa.
“O, jadi dia anggota murid
Kaypang?”
“Bukan murid, malah Tianglo
dihitung tingkat kedudukannya, agaknya Jin Jip yang menjadi pangcu Kaypang yang
terdahulu itupun setingkat lebih rendah.”
Berputar biji mata Coh
Liu-hiang, katanya kesima: “O, Apakah yang kau maksud adalah Ban-li-tok-hing,
Cay locianpwe?”
“Tidak salah.”
“Cara bagaimana kau bisa
berkenalan dengan cianpwe aneh ini?”
“Memangnya kau baru setimpal
berkenalan dengan para Cianpwe-cianpwe aneh itu, masakah aku tidak boleh kenal
satu dua?” setelah tergelak tawa, segera menambahkan: “Jikalau kau iri hati,
biar aku beritahu sekalian kepada mu, malam ini akupun ada bertemu dengan
seseorang, seseorang yang ingin benar kau temui.”
“Siapa?”
“Burung Kenari.” agaknya Oh
Thi-hoa masih ingin bicara, siapa tahu Coh Liu-hiang mendadak menjejalkan
sesuatu barang ke dalam mulutnya, hendak dimuntahkanpun tidak bisa, keruan dia
gelagapan, serunya: “Ini… apakah ini?”
Coh Liu-hiang tersenyum
katanya: “Itulah obat penawar yang dibawa pulang oleh Li-heng suami istri
dengan susah payah dari tempat jauh, nah lebih baik lekas kau rebahkan diri dan
tidurlah dengan nyenyak saja.”