Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 1. Teman atau musuh baru ..... ?

Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 1. Teman atau musuh baru ..... ?
Peristiwa Burung Kenari
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 1. Teman atau musuh baru ..... ?

Kulit muka Oh Thi-hoa sekarang sudah berubah legam karena teriknya matahari padang pasir beberapa waktu yang lalu, setelah beberapa botol arak masuk ke dalam perut, kulit mukanya menjadi merah menyala kegelap-gelapan, katanya menghela napas: “Baru sekarang aku sadar, orang-orang awam seperti mereka inilah baru betul-betul amat menarik, kalau setiap hari kau selalu bergaul dengan mereka mungkin kau tidak akan merasa ketarik, akan tetapi bila kau sudah berkayuh langkah bertamasya di padang pasir yang terik itu, maka kau akan benar-benar sadar tiada sesuatu apapun di dalam dunia ini yang menarik hatimu kecuali manusia!”

Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: “Dan di situ pulalah letak perangaimu yang menarik, seseorang yang punya rasa simpatik terhadap sesama manusia pastilah dia itu bukan seorang durjana, seorang busuk tentu tidak akan punya jalan pikiran seperti kau ini.”

“Terima kasih akan pujianmu, aku hanya mengharap Jago Mampus itupun bisa mendengar pujianmu ini.” Menyinggung Ki Ping yan alias Jago Mampus, gelak tawa Oh Thi-hoa menjadi sumbang dan mimik mukanya jadi kecut, beruntun dia tenggak tiga cangkir arak, lalu menggebrak meja, katanya gegetun: “Sungguh aku tak habis mengerti, kenapa Jago Mampus tidak mau seperjalanan dengan kita, kenapa dia harus pulang?”

“Jikalau kau tahu di rumah ada orang yang sedang menunggu kau, pasti kaupun tergesa-gesa akan pulang!”

Lama Oh Thi-hoa tidak bicara, beruntun dia habiskan lagi tiga cangkir baru dia menghela napas pula, ujarnya: “Benar, bagaimanapun seorang laki-laki bila tahu di rumah ada orang yang sedang menunggu dirinya pulang, sedang merindukan dirinya, sungguh suatu hal yang amat menyenangkan!”

Tapi yang penting adalah dalam hatimu benar-benar merindukan seseorang yang patut kau perhatikan, kalau tidak umpama rumahnya itu merupakan suatu tempat terindah di seluruh jagat ini, andaikata kau menggusurnya pulang dengan cambuk, diapun tidak akan sudi pulang.

Oh Thi-hoa mengedip-ngedipkan matanya, katanya tertawa: “Aku tahu, kau sedang merindukan Yong-ji dan lain-lain bukan?” tanpa menunggu Coh Liu-hiang segera ia menambahkan pula: “Bahwasanya umpama kata mereka sudah pulang, hakekatnya kau tidak perlu menguatirkan mereka, cukup mengandal tenaga mereka bertiga, tujuh propinsi selatan dan enam puluh tiga propinsi di utara memangnya siapa berani mengusik seujung rambut mereka?”

Coh Liu-hiang mandah tertawa getir, Oh Thi-hoa pun tidak banyak bicara lagi, karena pada saat mana mereka lihat ada seorang muda berpakaian serba hijau sedang melangkah menghampiri mereka.

Pemuda ini sebetulnya duduk di meja sebelah, tak jauh dari tempat duduk mereka, bukan saja berparas cakap tampan, kelihatannya tindak tanduknya lemah lembut dan gagah, pakaiannya meski tidak terlalu mewah, namun potongannya cukup cocok dengan perawakan badannya, bahkan kainnyapun terbuat dari sutra yang mahal, kelihatannya anak dari keluarga hartawan yang punya pendidikan keras dan tahu adat.

Orang seperti dia kemanapun dia berada, pastilah menarik perhatian orang banyak, apalagi di sebelahnya diiringi istrinya yang cantik molek.
Sebetulnya sejak tadi Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang sudah memperhatikan sepasang suami istri ini, diwaktu mereka minum arak, kedua suami istri ini juga sedang minum, selain cara minum mereka benar-benar mengejutkan orang banyak, ternyata kekuatan minum suami istripun cukup banyak. Dikala sang suami minum arak, sang istri ternyata dapat mengiringinya dengan baik. Sejak tadi Coh Liu-hiang sudah merasa ketarik dan kagum.

Sekarang pemuda ini meninggalkan sang istri datang menghampiri, sungguh Oh Thi-hoa tidak mengerti apa maksud orang, pemuda jubah hitam itu sudah tiba dihadapannya, merangkap kedua tangan dan menyapa dengan tersenyum: “Sebetulnya Siaute tidak berani mengganggu selera minum arak tuan-tuan berdua, tapi melihat kalian sedemikian besar takaran minumnya sungguh tak tahan lagi untuk mohon berkenalan, semoga kalian tidak salahkan keteledoran ini”.

Bagi tukang judi, umpama celana satu-satunya yang dia pakaipun akhirnya kalah dalam pertaruhan, dia masih senang dipuji orang bahwa dia pintar berjudi, pandai bertaruh. Demikian juga orang yang suka minum arak, tiada yang tiada disanjung puji sebagai orang yang punya takaran besar. Apalagi takaran minum pemuda ini sendiripun tidak sedikit, pujian seperti ini keluar dari mulutnya, sudah tentu membuat hati orang yang dipujinya kegirangan setengah mati.

Oh Thi-hoa sudah berdiri menyambut, katanya tertawa: “Empat penjuru lautan semua adalah saudara, kau sudi kemari, itu berarti kau pandang kami, kalau kami masih salahkan kau, kukira kami ini sudah gila!”

Pemuda itu tersenyum, katanya pula: “Jikalau Siaute tidak melihat bahwa kalian adalah kaum pendekar yang berjiwa besar, lapang dan luhur, juga sekali kali tidak berani mengganggu di sini.”

Oh Thi-hoa mendadak menarik muka, katanya sungguh-sungguh: “Sebetulnya kau memang tidak pantas kemari.”

Baru saja pemuda itu tertegun, Oh Thi-hoa sudah menyambung: “Jikalau kau kemari ingin ajak kami minum arak, biarlah minta kami saja yang kesana, kenapa kau tinggalkan binimu seorang diri menunggu di meja sana , paling tidak kau harus dihukum tiga cangkir lebih dulu.”

Pemuda itu terpingkal-pingkal dengan tepuk tangan, serunya: “Kalau kalian sudi pindah ke meja sana , umpama Siaute dihukum minum tiga puluh cangkir juga tidak menjadi soal.”

Setelah tiga cangkir arak masuk ke perut, Oh Thi-hoa sudah begitu akrab dan saling membahasakan saudara tua dan muda.

Untuk Coh Liu-hiang tidak begitu mudah dia lantas bisa bersahabat dengan orang begitu akrab dalam waktu sesingkat ini, namun bukan berarti bahwa dia berwatak aneh dan berjiwa sempit serta suka menyendiri, apalagi kedua pemuda suami istri ini begitu ramah-tamah dan simpatik, siapapun takkan sungkan-sungkan lagi untuk berkenalan lebih dekat dengan mereka.

Bukan saja pemuda ini baik tutur kata dan sopan santun, takaran araknya pun luar biasa, pintar basa-basi lagi, demikian pula istrinya, berparas cantik dan lemah lembut, cuma diantara tengah alisnya, lapat-lapat seperti mengandung kegetiran hati yang merisaukan sanubarinya, rona mukanyapun pucat dan putih sekali, seperti orang yang baru sembuh dari penyakit yang cukup berat.

Akan tetapi sikap dan keadaan sakit yang molek ini, cukup menggiurkan dan menawan hati juga. Sepuluh diantara sebelas orang ada di dalam ruang makan di atas loteng ini, rata-rata sering melirik mata ke arahnya dengan melotot.
Setiap matanya mengerling, pandangan mata laki-laki yang duduk tersebar di sekelilingnya sama terkesima, jikalau ada orang yang tidak melirik atau memandang kepadanya, tentulah orang itu sudah mabuk dan tidak sadar diri.

Ternyata pemuda jubah hijau ini tidak hiraukan bagaimana pandangan orang lain terhadap istrinya, bukan saja dia tidak marah, malah seperti merasa senang dan bangga. Yang aneh, suami istri muda ini kelihatannya lemah lembut dan sopan santun, malah boleh dikata lembut tak kuat menahan hembusan angin, namun sepasang matanya justru berkilat terang sebening air danau.

Coh Liu-hiang maklum hanya seseorang yang membekal Lwekang tinggi saja yang mungkin mempunyai sorot mata setajam itu, jelas bahwa suami istri muda ini adalah kaum persilatan yang punya kepandaian tidak rendah pula.
Akan tetapi pada setiap gerak-gerik dan percakapan mereka, sedikitpun tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai orang yang pandai bermain silat dan sudah berpengalaman di kalangan Kangouw, dari sudut manapun tetap bukan kaum persilatan. Mau tidak mau Coh Liu-hiang jadi ketarik juga kepada kedua orang ini.

Terhadap istri orang lain sudah tentu tidak enak dan sungkan dia mengawasinya dengan seksama, tapi disaat suaminya sedang menghaturkan arak dan ajak Thi-hoa adu minum, istrinya itu sedang menunduk dan batuk-batuk kecil. Kebetulan sinar api menyorot dari sebelah samping dan menyinari selembar mukanya. Sorot mata Coh Liu-hiang berlawanan arah sama-sama tertuju ke wajah orang.

Sungguh seraut wajah yang serba sempurna tanpa cacat sedikitpun, bentuk liku pada setiap kulit mukanya kentara amat jelas dan lengkap, seolah-olah lebih sempurna dari ukiran sebuah patung dewi pualam yang indah itu. Tapi berkat ketelitian Coh Liu-hiang serta ketajaman matanya, lapat-lapat dia merasakan raut muka yang sempurna ini tetap masih kekurangan sesuatu yang kurang wajar pada diri seorang perempuan cantik.

Dari sudut tempat duduk Coh Liu-hiang sekarang, kebetulan tepat sekali dapat memandang kedua alis dari samping yang tersorot sinar api, ternyata perempuan secantik ini tanpa mempunyai alis, jadi alis lentik di atas matanya itu adalah hasil karya seorang ahli dengan goresan potlot hitam yang sedemikian miripnya dan sukar dibedakan kalau tidak diperhatikan.

Serasa hampir berhenti napas Coh Liu-hiang. “Burung Kenari?” Apakah nyonya muda dihadapannya ini adalah si Burung Kenari?

Seketika terbayang oleh Coh Liu-hiang mayat-mayat gadis di dalam lembah sesat ditengahpadang pasir itu, kematian setiap gadis itu sedemikian mengerikan, kedua alis setiap korbannya tiada satupun yang ketinggalan, semua dicukur kelimis… “Apakah lantaran dia sendiri tidak mempunyai alis, maka setiap kali dia membunuh seorang perempuan, alis korbannya lantas dicukuri lebih dulu?”
Hanya sekilas Coh Liu-hiang mengawasi lantas melengos, kebetulan pemuda jubah hijau dengan tertawa angkat cangkir kepadanya. Coh Liu-hiang angkat juga cangkirnya ajak orang minum bersama, katanya tertawa: “Sudah sekian banyak arak tertelan ke dalam perut, namun siapakah she dan nama besar saudara belum lagi sempat kami tanyakan?”

Oh Thi-hoa gelak-gelak, serunya: “Ya, ya, aku hanya repot minum dan minum saja sampai melupakan hal ini, sungguh harus dihukum tiga cangkir.”
Setelah Oh Thi-hoa tenggak habis tiga cangkir, baru pemuda baju hijau memperkenalkan dirinya dengan tertawa: “Siaute Li-Giok-nam.

Belum habis kata-katanya, istrinya yang cantik itupun angkat cawan dan menyela: “Kenapa kalian tidak tanya siapa aku? Apakah setiap perempuan setelah dia menikah lantas tak pantas ditanyakan namanya?”

Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang katanya tertawa: “Agaknya kami harus dihukum minum tiga cangkir lagi.”

Li Giok-han segera memperkenalkan dengan tertawa: “Istriku bernama Liu Bu-bi. Bu-bi artinya “tanpa alis”, jangan kalian sangka dia ini lemah tak tahan dihembus angin, sebetulnya bukan saja wataknya menyerupai laki-laki, kalau berkelahi, diapun tidak akan bisa dikalahkan oleh laki-laki.”

“O!” Oh Thi-hoa bersuara heran dengan tertawa: “Tak nyana istrimu ini kiranya srikandi yang perwira dari kaum hawa!”

Liu Bu-bi tersenyum manis katanya: “Sebetulnya sampai namaku pun mirip dengan laki-laki, cuma diwaktu kecil aku kena penyakit keras, meski tidak mati, namun alisku rontok seluruhnya… alisku sekarang adalah lukisan palsu belaka, masakah kalian tidak bisa membedakan?”

Semula Coh Liu-hiang mengira orang pasti menyembunyikan kekurangan dirinya ini, tak nyana bahwa sekarang dia mengaku terus terang malah, sudah tentu Coh Liu-hiang merasa sangat diluar dugaan.

Terdengar Li Giok-han menimbrung: “Sekarang giliran Siaute mohon tahu siapakah nama besar kalian berdua?”

“Aku she Oh bernama Thi-hoa, dia…”

Baru saja Coh Liu-hiang belum berkeputusan apakah dia haru membiarkan orang memperkenalkan dirinya, tepat pada saat itulah sekonyong-konyong ada orang menerobos maju dekat mereka, sambil berseru keras menuding Coh Liu-hiang: “Apakah semua hadirin sudah melihat jelas, tuan ini adalah Coh Liu-hiang yang terkenal di kolong langit, hari ini sungguh kalian beruntung, dapat melihat muka asli Maling Romantis yang sesungguhnya, adalah pantas kalau kalian berdiri menghaturkan secangkir arak kepadanya!”

Tenggorokan ini agaknya amat lebar, dan suaranya sekeras tukang jual obat di pinggir jalan yang sering menjajakan dagangannya, sudah tentu dengan suara teriakannya ini seluruh tamu-tamu yang hadir di dalam loteng ini sama terkejut, meski diantara mereka hakekatnya tidak tahu siapa dan orang macam apa sebenarnya Coh Liu-hiang si Maling Romantis, tapi bagi orang yang pernah kelana dan menempuh perjalanan jarak jauh, pasti pernah mendengar ketenaran Coh Liu-hiang, seketika berobah roman muka mereka.

Tampak orang ini berbaju biru bercelana abu-abu. Kedua kakinya diikat dengan kain panjang warna hitam, sedang baju di depan dadanya tersingkap lebar, pelipis sebelah kiri ditempel obat koyo, terang sekali dia ini seorang bajingan atau buaya darat setempat, setelah berkaok-kaok tanpa banyak tingkah lagi segera dia putar badan dan hendak pergi. Coh Liu-hiang masih bisa berlaku tenang, sebaliknya Oh Thi-hoa tidak sabar lagi, sekali raih dia cengkeram pundak orang, katanya dengan tertawa berseri: “Siapa sahabat ini? Cara bagaimana kau bisa kenal Coh Liu-hiang?”

Orang itu berusaha meronta melepaskan diri namun sedikit Oh Thi-hoa kerahkan tenaga, keringat dingin seketika berketes-ketes membasahi jidatnya, katanya sambil meringis: “Aku yang kecil ini hanya penjual obat saja, masakah kenal Coh Liu-hiang tokoh kosen yang tenar di Kangouw, soalnya ada orang memberi sepuluh tail perak kepadaku, suruh aku berkaok-kaok di sini, begitulah kejadiannya dan titik.”

Oh Thi-hoa tahu apa yang dikatakan ini memang benar, karena dengan kepandaian orang serendah ini, untuk kenal siapakah Coh Liu-hiang yang sebenarnya tidak akan mungkin terjadi. Sebaliknya Coh Liu-hiang mengerut kening katanya, “Siapakah yang memberi kau sepuluh tail perak? dan menyuruhmu kemari?”

Laki-laki itu unjuk tawa getir, katanya meringis kesakitan: “Orang itu bilang adalah teman baik Coh Liu-hiang, Sianjin sendiripun tak melihat roman mukanya.”
“Memangnya kau ini picak?” damprat Oh Thi-hoa dengan melotot.

“Orang itu menyeret Sianjin ke tempat yang gelap, membelakangi sinar lagi, Sianjin hanya melihat orang itu membawa sebuah kurungan, di dalam kurungan kalau tak salah ada seekor burung kenari.”

“Burung Kenari?” tak tertahan Oh Thi-hoa berteriak kaget. Segera dia berpaling kearah Coh Liu-hiang tak memberikan reaksi apa-apa, cuma tertawa-tawa katanya: “Benar, memang orang itu adalah temanku, agaknya dia sengaja hendak menggoda aku, kau beleh pergilah!”

Terpaksa Oh Thi-hoa lepaskan tangannya, selicin belut laki-laki itu segera berlari sipat kuping turun ke bawah loteng.

Agaknya Li Giok-han pun terkesima, baru sekarang dia menarik napas panjang, katanya sambil menepuk tangan: “Bi-ji, kau sudah dengar bukan? Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang paling kau kagumi, sekarang sedang duduk di hadapanmu, tidak lekas kau haturkan secangkir arak kepadanya?”

Liu Bu-bi tertawa, katanya: “Sudah tentu aku ingin menghaturkan secangkir arak, namun sekarang Coh Liu-hiang takkan bisa minum lagi.”

“Tidak bisa minum lagi? Kenapa?” Liu Giok-han menegur.

“Jikalau kau ditatap sedemikian rupa oleh sekian banyak pasang mata, apa kau masih bisa tenang minum arak?” bisa-bisa dia tersenyum manis kepada Coh Liu-hiang, katanya pula: “Oleh karena itu Coh-siangsing kau tidak perlu menemani kami minum lagi, jikalau kau ingin pergi, kami sekali kali tidak akan menahan dan menyalahkan kau.”

Coh Liu-hiang menarik napas panjang, katanya dengan tertawa getir: “Cayhe sebetulnya tak ingin pergi, tapi sekarang…. terpaksa Cayhe mohon diri saja.”
Begitu tiba di bawah loteng, dengan keras Oh Thi-hoa lantas menepuk pundak Coh Liu-hiang, katanya: “Ulat busuk, bukankah banyak sekali perempuan-perempuan yang pernah kau lihat, tapi perempuan seperti Liu Bu-bi ini, kukira kau belum pernah melihatnya bukan? Dia cantik rupawan, hal ini tak perlu diragukan lagi, malah… malah gagah dan periang, genit dan supel, begitu prihatin lagi, tahu bahwa kau tidak akan tahan lama duduk disana segera dia membujukmu untuk segera mengundurkan diri, apalagi terhadap suaminya tentu lebih besar perhatiannya.”

“Tidak salah, dalam hal ini memang harus dihargai.”

“Dihargai? Memangnya cukup dihargai saja, perempuan seperti dia berani kukatakan pasti tak ada yang keduanya dimuka bumi ini.”

“O!”

“Ada kalanya perempuan itu mempunyai banyak manfaat, tapi perempuan tetap perempuan, setiap perempuan sedikit atau banyak pasti mempunyai kekurangannya, ada yang suka cerewet, ada yang bertingkah, ada pula yang bersikap dingin kaku dan kasar lagi, namun ada pula yang cabul dan murah menjual cinta, ada yang melarang suaminya minum arak, sebaliknya dia sendiri suka minum cuka.”

“Kalau toh setiap perempuan mempunyai kekurangannya sendiri, memangnya dia itu bukan perempuan?”

“Justru disitulah letak keistimewaannya seluruh manfaat dan kebaikan dari rupa-rupa perempuan, dia memiliki seluruhnya, tapi kekurangan setiap perempuan, tiada satupun yang ada padanya, demikian pula sifat baik dan watak laki-laki yang patut dihargaipun dia miliki, namun justru dia seratus persen adalah perempuan, kalau masih ada perempuan kedua seperti dia, meski harus mampus mempertaruhkan jiwa, aku akan mati-matian berusaha mengawininya.”

Baru pertama kali ini kau melihatnya, sudah begitu jelas kau mengenal dirinya?”

Oh Thi-hoa membusungkan dada, katanya lebih keras:” Jangan kau kira hanya kau saja yang pandai menilai, dan menyelami jiwa perempuan, aku orang she Oh belum tentu lebih asor dari kau.”

“Masakah tak terpikir olehmu, bukan mustahil bila dia itu Burung Kenari itu?”
Hampir saja Oh Thi-hoa menghindar kaget, serunya melotot: “Burung Kenari? Apa kau hari ini tak enak badan? Jikalau benar dia Burung Kenari, lalu siapa pula yang membawa kurungan burung itu?… Jikalau dia benar Burung Kenari, biar kupenggal kepalaku ini.”

Coh Liu-hiang tertawa-tawa saja tak banyak bicara lagi, karena dia sendiri mulai curiga juga akan dugaan dan pemikirannya, sesaat lamanya baru mulutnya menggumam: “Hari ini sudah dijamu makan minum oleh mereka, besok kita harus berdaya undang mereka menjamunya kembali”.

Oh Thi-hoa tepuk tangan serunya: “Setengah harian kau ngobrol, baru kata-katamu ini yang patut dipuji.”

Memang mereka sudah berencana untuk menginap dikota ini semalam, maka sejak datang tadi mereka sudah mencari penginapan dan minta dua kamar yang paling bersih.

Sinar rembulan menyinari pohon flamboyan di depan jendela, pada pertengahan musim semi ini, entah dari mana datangnya hembusan angin yang membawa bau harum seolah-olah membuat orang kantuk dan tenggelam dalam buaian mimpi.
Tapi Oh Thi-hoa masih duduk di kamar Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiangpun tidak mendesaknya untuk kembali ke kamarnya sendiri untuk tidur, karena Coh Liu-hiang cukup tahu orang paling takut akan kesunyian. Apalagi di dalam waktu yang sudah larut malam dengan bulan purnama lagi, memang tidak bisa tidak seseorang duduk melamun seorang diri tanpa ditemani sahabatnya, memandang rembulan bundar di tengah cakrawala. Coh Liu-hiang berkata lirih: “Bau kembang demikian harum, musim rontok mungkin sudah berselang tanpa kita sadari.

Oh Thi-hoa menarik napas katanya: “Entah berapa banyak persoalan pula yang tanpa kita sadari sudah berlalu demikian saja, apalagi musim rontok…”

Pada saat itulah, terdengar suara orang banyak yang ribut-ribut, disusul terdengar seorang berseru lantang: “Apakah Coh Liu-hiang tinggal di sini? Yau Tiang-hoa sengaja berkunjung kemari.”

Coh Liu-hiang mengerut kening, katanya: “Celaka, ternyata Burung Kenari suruh orang berkaok-kaok di atas loteng itu, maksudnya hendak mencari kesukaran bagi kita.”

Baru saja kata-katanya berakhir, di taman kembang di luar kamarnya sudah penuh sesak berjublek banyak orang.Ada yang menenteng lampion, ada pula yang memanggul seguci arak, ada yang sudah setengah sinting karena hampir mabuk, ada yang rasa kantuknya belum hilang, seolah-olah baru saja diseret orang dari tempat tidurnya.

Yang berjalan terdepan adalah seorang laki-laki yang panjang kaki, panjang tangan, badannya kurus hitam, dua tiga langkah saja orangnya sudah tiba di pinggir jendela, biji matanya berjelalatan, segera dia rangkap tangan menjura dan berkata: “Siapakah yang bernama Coh Liu-hiang? Cayhe Yau Tiang-hoa, semula murid Siau lim pay dari golongan preman, sekarang membuka Piau-kiok kecil-kecilan di sini, sudah lama kami dengar ketenaran nama besar Coh Liu-hiang si Maling Romantis, kau Coh Liu-hiang sudah sudi mampir ke kota kecil ini, jikalau kami tidak diberi kesempatan untuk menyambut selayaknya sebagai tuan rumah, berarti memandang rendah kami sekalian."

Orang ini bicara cepat dan gugup menyerocos dengan ludah berhamburan, waktu menyebut Siau Lim pay mukanya unjuk takabur dan bangga.

Menghadapi orang-orang awam yang suka mengagulkan diri ini, sungguh Oh Thi-hoa seperti kehabisan akal, baru saja dia ingin menyeret keluar menyingkir ke tempat lain, tak nyana Coh Liu-hiang sudah menepuk pundaknya sambil tertawa, katanya: “Agaknya tidak kecil gengsi dan mukamu, begitu besar penghargaan mereka sampai meluruk begini banyak kemari.”

Keruan mendelong biji mata Oh Thi-hoa, tapi orang-orang banyak di luar jendela itu sudah beramai-ramai menjura dan bersoja kepadanya, untuk menyangkalpun sudah tak sempat lagi. Didengarnya orang-orang di luar itu berebut menyanjung puji kepadanya.

“Sudah lama kagum akan kebesaran nama Coh Liu-hiang! Hari ini beruntung dapat berhadapan dengan Maling Romantis, sungguh amat menggirangkan!”

Waktu Oh Thi-hoa melirik dilihatnya Coh Liu-hiang sudah menyingkir kesamping jendela, sungguh gemasnya bukan main, namun sekilas biji matanya berputar, tiba-tiba dia bergelak tawa ujarnya: “Benar, Cayhe memang Coh Liu-hiang, tapi Coh Liu-hiang tak lebih hanya maling kecil belaka, masakah aku berani bikin repot para saudara sekalian untuk menjenguk kemari?” sembari bicara sengaja dia melerok kepada Coh Liu-hiang, tak nyana Coh Liu-hiang masih berseri geli sambil menggendong tangan di tempatnya, sedikitpun tak marah oleh banyolannya.

Yau Tiang-hoa sebaliknya tertegun, sesaat kemudian lalu berkata dengan mengerut kening: “Coh Liu-hiang terlalu merendahkan diri, kaum persilatan yang tak tahu Maling Romantis mencuri punya si lalim untuk bantu si miskin, berjiwa besar, bajik dan setia kawan, suka menegakkan keadilan lagi, siapa pula yang berani mengatakan Maling kecil atau perampok atas diri Coh Liu-hiang?”

Oh Thi-hoa terbahak-bahak: “Di hadapanku kalian tidak akan berani berkata demikian, di belakangku bukan mustahil bukan saja memakiku sebagai rampok atau maling, mungkin mencaciku sebagai kurcaci dan apa saja yang lebih rendah!”
Kembali Yau Tiang-hoa tertegun, katanya tertawa kering: “Coh Liu-hiang ternyata begini humor dan suka berkelakar, sungguh lucu dan menyenangkan” seperti kuatir Coh Liu-hiang mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar kuping, lekas dia menambahkan “Biarlah Cayhe perkenalkan beberapa kawan yang ikut datang ini… tuan ini adalah Mao Kian kong, orang menyebutnya Sinkun-bu-tek-toa-piau-khek atau Piausu besar bertangan sakti tanpa tandingan, dia ini Tio Toa hay… Beruntun dia memperkenalkan puluhan nama orang, kalau bukan Sin kun atau kepala sakti tentu Sin to atau golok sakti, kalau bukan Bu tek atau tiada tandingan tentu Tin wi atau menggoncangkan kota .

Mengawasi tampang orang-orang ini, mendengar lagi nama gelaran mereka satu persatu, sungguh serasa hampir saja gigi Oh Thi-hoa protol saking geli, tak tahan dia berkata tertawa: “Kalian datang berbondong-bondong entah ada petunjuk apa kepadaku.”

Tio Toa-hay segera tampil ke depan, katanya: “Cayhe beramai bukan saja amat kagum bahwa Ginkang Maling Romantis tiada bandingan dimuka bumi ini, takaran minumannyapun tiada bandingannya di seluruh kolong langit, kali ini kita punya kesempatan sama, kita beramai ingin sekedar menyuguh arak beberapa cawan kepadamu.”

“Salah, salah, kalian salah semua, Gingkang ku Coh Liu-hiang ini meski secepat lari kuda, sekencang harimau, tapi takaran minumku paling hanya setanding saja dengan si Ulat busuk, orang yang benar-benar punya takaran minum tiada bandingannya nih berada disini.”

Kemana jarinya menuding, pandangan semua orang yang diluar jendela serempak tertuju kearah Coh Liu-hiang, untuk menyingkirpun tak dapat lagi, maka Oh Thi-hoa bergelak tawa, katany: “Nah inilah Oh Thi-hoa, Oh Tayhiap, dia benar-benar tokoh besar didalam bidang minum arak, seorang gagah, seorang enghiong, kalau kalian tidak lekas haturkan beberapa cawan lebih banyak kepadanya kelak pasti kalian akan menyesal dan kecewa karena kehilangan kesempatan baik ini.”

Belum habis kata-katanya, entah berapa banyak jumlah orang-orang itu sudah beramai-ramai memburu masuk lewat jendela atau dari pintu,lima diantara sepuluh orang sudah memburu ke arah Coh Liu-hiang dan berdekatan untuk bersalaman dengannya.

Baru sekarang Oh Thi-hoa terhitung membalas dendam, tanpa menunggu orang menghatur arak kepadanya, lebih dulu dia rebut cawan ditenggaknya habis tiga cawan besar. Lalu katanya tertawa besar: “Sebenarnya bukan saja aku Coh Liu-hiang takaran minumku tak sebanding Oh Tayhiap ini, ilmu silatkupun bukan tandingannya, pada suatu hari aku mengajaknya bertanding, dalam lima puluh jurus saja aku sudah kena dibantingnya, kepala keluar kecap… coba kalian lihat, kepalaku di sini pelang, untung dia kenal kasihan kepada teman sendiri, kalau tidak mungkin pelang di kepalaku ini lebih besar tiga kali lipat.”

Mata semua orang terbelalak dan berpaling ke arah Coh Liu-hiang, beramai-ramai mereka bertanya: “Apa benar Oh Tayhiap kau?”

Ribut sekali sampai kuping Coh Liu-hiang serasa pekak oleh pertanyaan yang bertubi-tubi, tiada satupun pertanyaan mereka yang jelas terdengar olehnya, terpaksa dia hanya menyengir saja sambil mengelus hidung, dalam hati gemas dan gegetun setengah mati, ingin rasanya sumbat mulut Oh Thi-hoa dengan rumput kering.

Pada saat itulah “Wut” sebuah benda hitam legam dan berat tiba-tiba melesat terbang lewat jendela dari luar pekarangan masuk ke dalam kamar, begitu keras daya luncuran benda ini sampai angin menderu dan jendelapun sampai bergetar bersuara. Keruan orang-orang yang berada didalam kamar sama kaget dan menjerit menyingkir sejauh mungkin. “Blang” serasa bergetar seluruh kamar itu, benda berat itu tepat jatuh di atas meja, piring mangkok dan cangkir serta guci yang berada di atas meja besar itu sama tersapu jatuh seluruhnya, waktu semua orang menegasi ternyata itulah sebagai hiasan ditengah taman kembangsana .

Gentong ikan mas ini sedikitnya berat tiga lima ratusan kati, tapi orang dapat mengangkat dan dilemparkan ke dalam kamar dari jarak yang begini jauh, malah tepat sekali jatuh di atas meja, malah air di dalam gentong tiada setetespun yang tercecer keluar, maka dapatlah diukur berapa besar dan hebat kekuatan tenaga orang yang melemparnya masuk, sungguh mengejutkan, serempak semua hadirin sama berpaling keluar jendela.

Bintang-bintang kelap-kelip menghias cakrawala, sinar rembulan sebening air telaga, pepohonan dari tanaman didalam pekarangan seolah-olah baru saja tersiram dan tercuci bersih dan menjadi segar, dan di bawah pohon flamboyan disana itu tahu-tahu tampak dua sosok bayangan orang.

Entah kapan dan dari mana datangnya kedua bayangan orang ini, mereka sama mengenakan jubah panjang warna hitam, kepala dan mukanya berkerudung oleh kedok hitam pula.

Kedok yang terpakai dari kedua orang ini berlainan coraknya. Yang bertubuh pendek mengenakan kedok muka orang yang sedang tertawa lebar dengan mulut terpentang, sementara kedok muka orang yang tinggi sedang mewek-mewek seperti hendak menangis, jadi kedua kedok berlawanan ini, satu tertawa yang lain menangis jelas sekali perbedaan dan warnanya, hijau dan putih. Kalau dilihat siang hari tentu amat lucu dan menertawakan, tapi pada malam sunyi di tengah bulan purnama ini kelihatan justru rada seram dan mengiriskan.

Hembusan angin malam yang kencang menggetar bunyinya jubah panjang yang dipakai kedua orang ini, hembusan angin dingin itupun menghembus masuk ke dalam kamar, seketika Yau Tiang-hoa dan lain-lain sama bergidik dan merinding, suaranya tergagap: “Ke… kedua sahabat itu apakah juga teman baik Coh Liu-hiang?”

“Bukan” sahut Oh Thi-hoa tegas sambil geleng kepala.

“Lalu siapakah kedua orang itu?” Tanya Yau Tiang-hoa pula dengan mengkirik.
Terpentang lebar mulut Oh Thi-hoa tertawa lebar, sahutnya: “Kenapa kau tanya aku malah, kau ini murid Siau lim pay yang diagungkan itu, sebagai tuan rumah di sini lagi, jikalau di dalam kota kedatangan orang2 yang tak dikenal asal usulnya, masakah kau tidak tahu?”

Karena diumpak, Yau Tiang-hoa segera membusungkan dada, segera ia tampil ke depan dengan unjuk sikap gagah sebagai murid Siau lim pay, tak nyana begitu dia angkat kepala, empat biji mata di luar jendela itu sedingin es setajam pisau sedang menatap kepada dirinya.

Orang berkedok muka tertawa itu segera tertawa cekikikan, katanya kalem: “Tak nyana di sini ada murid Siau lim pay, maaf, kurang hormat, kurang hormat.” Sembari bicara segera ia membungkuk badan menjemput dua buah batu bata yang masing-masing dijepit diantara kedua jarinya, waktu ucapannya sampai pada kata “kurang hormat” kedua batu bata itu tiba2 sama rontok berhamburan memenuhi tanah, ternyata hanya sedikit mengerahkan tenaga jarinya saja kedua batu bata itu sudah dijepit hancur berkeping-keping.

Begitu demonstrasi kekuatan jari-jari si orang berkedok tertawa diperlihatkan, jangan kata Yau Tiang-hoa sudah pucat pias saking kaget dan ketakutan. Sampaipun Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa ikut terkejut dan kagum.

Orang berkedok tangis itu segera menjengek dingin: “Sudah lama kudengar pukulan dari Siau-liem-pay tiada bandingan di seluruh kolong langit, sudikah sahabat ini keluar memberi beberapa jurus?” suara itu seperti meringkik tangis mirip benar dengan suara seorang banci.

Napas Yan Tiau-hoa tersengal tanpa sebab, sahutnya tergagap: “Aku… Cayhe… tak sempat bicara lagi tiba-tiba badannya roboh menindih Tio Toa-hay. Ternyata kedua lututnya lemas dan tak kuat berdiri lagi, sekilas Mao kian-kong melirik kepada Oh Thi-hoa, mendadak dia membesarkan nyali berkata dengan keras: “Kawan di luar itu aliran dari mana? Memangnya kau tidak tahu siapa yang tinggal di sini?”

“Siapa dia?” tanya orang berkedok tangis dingin.

Sebaliknya, orang berkedok tawa itu berkakakan: “Paling hanya kaum keroco yang suka main gertak dan suka mulut besar belaka.”

Merah muka Mao kian-kong, katanya: “Mulut sahabat ini sukalah bicara sedikit bersih, tahukah kau Oh Thi-hoa, Coh Liu-hiang Maling Romantis yang menggetar dunia persilatan sama berada disini.”

Orang berkedok tangis itu berkata: “Memangnya hari ini kami hendak mencari Oh Tay-hiap dan Coh Liu-hiang, siapapun dia asal teman baik kedua orang ini, terhitung menjadi tujuan kita pula, bagi mereka yang tidak bersangkut paut dengan kedua orang ini, lekas menyingkir ke samping.” sembari bicara telapak tangannya mengelus batang pohon, begitu habis kata-katanya, daun-daun plamboyan di pucuk pohon tiba-tiba sederas hujan sama runtuh berjatuhan.
Maka orang-orang yang berkerumun didalam rumah itu seperti digiring dengan cambuk beramai-ramai lari ke samping menjauhi Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang. Tinggal mereka berdua yang tetap berdiri ditengah ruangan.

Mao Kian-kong segera unjuk tawa dipaksakan katanya: “Kami memangnya tiada hubungan apa-apa dengan Coh Liu-hiang, malah kenalpun belum pernah, benar tidak?”

Orang-orang lain segera unjuk tawa dipaksakan juga dan menanggapi: “Hakekatnya memang tidak kenal… siapakah sih Coh Liu-hiang itu?”

Orang berkedok tangis menjengek lebih dingin: “Betul-betul kawanan kunyuk kurcaci.”

Orang berkedok tawa berkata: “Kalau demikian kalian dua orang silahkan keluar.”

Oh Thi-hoa tiba-tiba maju ke depan Mao Kian-kong, katanya cengar-cengir: “Mao-toa piausu, persahabatan kami selama beberapa tahun ini kenapa kau tak ikut membantu kesulitanku?”

Memutih bibir Mao Kian-kong matanyapun mendelik ketakutan, katanya gemetar: “Kau… siapa kau hakekatnya aku tidak kenal kau, mana boleh kau memfitnah orang.”

Oh Thi-hoa terpingkal-pingkal katanya: “Kalau kau tidak kenal aku, baiklah silahkan kau minum secawan arak ini," pelan-pelan dia angkat secawan arak tinggi-tinggi terus dituang pelan-pelan diatas kepala Mao Kian-kong, saking kaget dan ketakutan setengah mati Mao Kian-kong sudah berdiri kaku mematung, menyingkirpun tidak berani.

Oh Thi-hoa gelak-gelak sambil membuang cawannya, katanya: “Agaknya perlu kau mengganti nama dengan sebutan kunyuk bedebah.” ditengah gelak tawanya tiba-tiba badannya sudah melesat keluar jendela.

Dua bayangan orang di luar itupun serempak berkelebat terbang jauh ke belakang, tahu-tahu hinggap di atas pagar tembok terus berkelebat sekali gali lenyap ditelan kegelapan di luarsana , betapa tinggi dan hebat kepandaian ginkangnya sungguh amat mengejutkan.

Akan tetapi ilmu ginkang Oh Thi-hoa apalagi Coh Liu-hiang dibandingkan siapapun takkan lebih asor, namun melihat lawan begitu tinggi dan amat lihai, sedikitpun mereka tidak berani takabur. Mereka terbang melesat jajar berendeng adu pundak, dari kejauhan menguntit kedua bayangan itu, dalam waktu dekat sengaja mereka tidak berani mengejar terlalu dekat, sekilas Oh Thi-hoa melirik pada Coh Liu-hiang, katanya tertawa getir: “Agaknya musuhmu yang lihay lihay tak sedikit jumlahnya.”

“Memangnya kedua orang di depan itu bukan musuhmu?”

Oh Thi-hoa melengak katanya: “Hakekatnya melihatpun aku belum pernah orang macam apa sebenarnya kedua orang ini”

“Aku juga belum pernah melihat mereka.”

“Coba kau pikir-pikir kedua orang ini pasti mencari kau, musuh musuhku tiada satupun yang membekal kepandaian setinggi mereka, hanya satu saja Kui-ong “Raja Setan” Han Bui tapi tiga tahun yang lalu iapun sudah menjadi setan asli.”

“Aku sendiripun tak habis pikir kapan pernah musuh setangguh mereka ini.”
Masakan dari gerak gerik dan langkah ilmu silat mereka kau tidak bisa membedakan siapa mereka? Tidak banyak tokoh-tokoh selihay mereka ini dalam kalangan Kang ouw!”

“Pukulan tangan kedua orang ini sama dilandasi kekuatan lunak, seperti Kim si hiang ciang “Pukulan Kapas Benang Emas” dari aliran Kam-cong. Akan tetapi yang benar-benar dapat meyakinkan Kim-si-hian-siang sampai tingkat setaraf itu, selama tiga puluhan tahun mendatang ini tidak lain hanya Put sian khek seorang saja.”

“Tapi Put sian-khek hanya punya sebuah tangan, mana mungkin menjadi dua orang?

“Aku tahu mereka jelas tak mungkin Put-sian-khek adanya oleh karena itu aku tak habis pikir siapakah gerangan kedua orang ini?”

“Perduli siapa kedua orang ini, gelagatnya malam ini kita harus bertanding adu jiwa, semula kukira sepulang ke kampung halaman boleh kita mengecap hidup tenteram dan damai siapa nyana baru ditengah jalan sudah kebentur kesulitan begini, tahu begini, aku lebih suka ikut Pipop-kongcu kembali ke negeri Kui-je hidup disanjung dan berkelebihan di sana.”

Mulut mereka bicara, namun gerak gerik mereka tidak menjadi kendor karenanya, gerakan kedua orang di depan pun tidak menjadi lambat, betapa kuat pernapasan mereka, kiranya tidak lebih asor dari mereka.

Jalan yang mereka tempuh semakin belukar naik turun tidak menentu, masuk hutan melompati jurang, akhirnya mereka tiba pada suatu tempat dimana banyak terdapat kunang-kunang sedang beterbangan dimalam hari, kiranya tanpa disadari mereka telah tiba di tanah pekuburan.

Oh Thi-hoa mengerut kening, katanya:
“Kembali tiba di tanah pekuburan, kenapa setiap kali ada orang yang menantang berkelahi sama aku, selalu mencari tanah pekuburan sebagai gelanggang pertumpahan?”

Coh Liu-hiang tertawa, katanya: “Jikalau ingin ajak kau minum arak, sudah tentu akan bawa kau ke rumah makan, tapi sekarang dia merenggut jiwamu, sudah tentu membawamu ke tanah pekuburan supaya lebih gampang membereskan mayatnya.”
Kebetulan hembusan angin malam yang rada santer menghembus datang dari depan kunang-kunang sama serabutan menyampok muka mereka. Di sini bulan purnama seraya memancarkan cahayanya yang redup. Cahaya yang redup remang-remang menyinari tanah pekuburan yang serba seram, sunyi dan semak belukar seperti ini, dari kejauhan sering terdengar lolong serigala lagi, suaranya yang melengking tinggi dan tajam laksana pekik setan yang penasaran, namun rasanya lebih jelek dan lebih seram kedengarannya dari setan nangis, lama kelamaan Oh Thi-hoa merasa kulit mukanya kaku kejang tak bisa tertawa lagi.
Kedua orang seragam hitam itu sementara mana sudah berhenti ditengah tengah tanah pekuburan ini, dengan dingin mereka mengawasi kedatangan Coh Liu-hiang berdua.

Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa memperlambat langkahnya, langkah demi langkah dengan kewaspadaan mereka maju mendekat. Tampak di depan kuburan-kuburan yang berjajar dan bersusun susun itu sudah ditata empat peti mati kecil, di atas peti mati kecil ini dilambari tikar dari rumput, orang berkedok muka tangis ulur tangannya menuding peti-peti mati di depannya dan berkata: “Silahkan !”
Oh Thi-hoa mengelus-elus hidung katanya tertawa:

“Jikalau peti mati ini dipersiapkan untuk aku, rasanya terlalu kecil.”

Orang berkedok muka tertawa terkekeh kekeh, katanya: “Jikalau badanmu dipotong menjadi dua, bukankah tepat dan pas?”

Meniru suara tawa orang, Oh Thi-hoapun terkekeh kekeh, ujarnya: “Potongan badanmu kira kira sebanding dengan aku untuk memasukkan badanmu peti inipun pas dan tepat.”

Orang berkedok muka tangis itu ternyata menuding pula ke arah peti mati yang lain: “Silahkan !”

Oh Thi-hoa tertawa riang, serunya: “Tak heran usaha toko peti mati belakangan ini cukup laris, kiranya ada orang menggunakan peti mati sebagai tempat duduk!”

Melihat Coh Liu-hiang sudah duduk, terpaksa diapun duduk ke tempat yang ditunjuk.

Empat orang masing-masing menduduki empat peti mati, satu sama lain berhadapan, duduk ditengah tanah pekuburan.

Coh Liu-hiang tersenyum ewa, katanya: “Entah siapakah nama besar kalian berdua? Sebetulnya apakah tujuan kalian memancing kami kemari? Apakah sebelum kami pernah bermusuhan?” beruntun dia ajukan tiga pertanyaan, namun satupun tidak dijawab.

Orang berkedok muka tangis mendadak malah mengulap tangan memberi tanda dan memberi perintah, “Siapkan hidangan !”
Oh Thi-hoa melengak, katanya tertawa geli: “Jadi kalian undang kami hendak menjamu makam minum di sini?”

Orang berkedok muka tangis itu berkata: “Cuma harus disayangkan ditempat seperti ini tiada hidangan lezat apa-apa yang patut kusuguhkan kepada kalian.” baru habis kata katanya, dari balik kuburan bersusun di belakangsana muncul dua orang, kedua orang inipun mengenakan jubah panjang warna hitam, mukanyapun mengenakan kedok yang serba aneh dan lucu. Kedua orang ini mendatangi sambil menggotong sebuah peti mati.

Namun peti mati yang ini jauh lebih besar, kedua orang baju hitam itu terus maju dan menggotong peti mati besar ini ditengah tengah antara mereka berempat, setelah meletakkan di tanah, berputar kedua orang ini membungkuk memberi hormat terus mengundurkan diri ke tempat datangnya semula. Seolah-olah mereka memang keluar masuk dari dalam kuburan.

Orang berkedok muka tertawa kembali ulurkan tangannya sambil berkata: “Mari silahkan.” “Silahkan? silahkan apa?” tanya Oh Thi-hoa heran. “Silahkan makan !” orang kedok muka tangis pula yang menjawab.

Sekilas Oh Thi-hoa tertegun, tiba-tiba ia tertawa keras: “Apa kalian hendak undang aku kemari menggasak makanan orang mati?”

Dingin suara orang berkedok tangis itu: “Setiba ditempat ini makan apa kalau tidak makan mayat orang?”

Oh Thi-hoa melenggong serunya terloloh-loloh: “Ha, ha, aneh, lucu dan menyenangkan, sungguh amat menyenangkan !”

Suara tawanya tiba-tiba terputus, dilihatnya orang berkedok muka tangis sudah ulurkan tangannya ke dalam peti mati, “peletak jari jarinya seperti memutus semacam entah barang apa.

Diwaktu tangan orang ditarik keluar tahu-tahu jari-jarinya sudah memegangi sebuah pangkal lengan tangan yang berlepotan darah, sedikit menyingkap kedok mukanya ke atas “kres” dengan lahap dia gerogoti lengan berdarah daging mentah itu, serunya tertawa senang: “Silahkan, silahkan, silahkan orang ini mampus belum lama, dagingnya masih segar dan lezat.” sembari tertawa dan bicara, mulutnya kecap-kecap dengan nikmatnya, darah segar mengalir keluar dari ujung mulutnya dan membasahi dagunya.

Sungguh kaget dan mual Oh Thi-hoa dibuatnya, teriaknya gusar: “Sebetulnya kalian…” tak nyana baru beberapa patah serunya, dilihatnya Coh Liu-hiang juga ulurkan tangan masuk ke dalam peti mati. “pletak” tahu-tahu diapun menjemput sembarang lengan tangan yang berlepotan darah pula. Disusul “kres” dengan lahapnya diapun gigit daging lengan tangan itu, seperti menggerogoti paha ayam. Darah segarpun mengalir dari ujung mulut berketes-ketes jatuh ke tanah.
Merinding dan berdiri bulu roma Oh Thi-hoa melihat adegan seram dan serba kejam ini, seperti manusia purba yang masih hidup secara primitif saja gegares daging manusia yang mentah, keruan dia berjingkrak gusar, bentaknya: “Coh Liu-hiang sejak kapan kaupun belajar makan daging manusia yang mentah begitu?”

Coh Liu-hiang tertawa, katanya: “Daging manusia ini memang segar dan lezat rasanya luar biasa nikmatnya, mari kau boleh mencicipi sekerat saja.”
Kaget dan gusar bukan kepalang Oh Thi-hoa dibuatnya, disaat dia kehabisan akal tak tahu apa yang dia harus lakukan, kedua orang berkedok itu mendadak terbahak-bahak, orang berkedok muka tertawa cekikikan geli, ujarnya: “Memang sejak mula aku sudah tahu kami takkan bisa mengelabui mata Coh Liu-hiang si Maling Romantis!”

Ditengah gelak tawa mereka, tiba-tiba di empat penjuru muncul puluhan lampu lampion yang terang benderang, sehingga tanah pekuburan ini diterangi seperti siang hari, baru sekarang Oh Thi-hoa yang berdiri melongo melihat jelas, bahwa lengan tangan yang berlepotan darah itu adalah sekerat tebu yang dibuat sedemikian rupa lalu dilumuri kuah kental yang terbuat dari gula merah, didalam kegelapan tanah pekuburan yang serba seram ini, dibawah pancaran sinar bulan yang redup remang-remang, walau berhasil mengelabui pandangan Oh Thi-hoa, toh tak berhasil menipu Coh Liu-hiang

Mulut Oh Thi-hoa melongo dan melelet lidah, sekuatnya dia menggosok-gosok hidung, katanya: “Ini… sebetulnya apa sih yang sedang kalian lakukan?”
Orang berkedok muka tertawa segera menanggalkan kedok mukanya sambil tertawa: “Siaute memang punya pikiran yang muluk-muluk dan rada brutal, semoga Oh-heng suka memaafkannya!” orang ini masih muda belia, beralis tebal bermata tajam bening, ternyata bukan lain adalah kenalan barunya Li Giok-ham. Sudah tentu orang yang mengenakan kedok muka tangis itu bukan lain adalah Liu Bu-bi.

Kembali Oh Thi-hoa berjingkrak, serunya tertawa besar: “Ha..ha.. sungguh menyenangkan, selama hidupku belum pernah kutemui kejadian yang menyenangkan seperti ini, kalian berdua memang pandai mengada-ada!”

Liu Bu-bi tersenyum lebar, katanya: “Aku tahu kalian pasti akan dibikin repot oleh kawanan tamu yang tak diundang itu sampai tak bisa meloloskan diri, maka terpaksa kami mencari akal seperti ini sekaligus untuk menyenangkan hati dan menghibur lara!”

“Bagus, bicara kalian ini memang tiada bandingannya di kolong langit. Kecuali kau, mungkin sukar dicari orang kedua yang bisa menemukan cara sebagus ini.” Oh Thi-hoa memujinya.

Li Giok-ham tertawa ujarnya: “Tapi betapapun cermat dan teliti cara kerjanya toh tetap tak berhasil mengelabui ketajaman mata Coh-heng.”
“Memangnya matanya tumbuh berlipat ganda tajamnya, tapi aku tidak jelas dan pingin punya mata seperti dia, karena keadaan itu bakal mempersempit diri dan tak bisa seriang seperti aku ini.”

Di dalam peti mati itu bukan saja terdapat tebu istimewa, ada pula jeruk, manggis semangka dan mangga. Sudah tentu hidangan buah-buahan yang segar-segar ini merupakan hidangan baru yang amat mencocoki selera mereka setelah perut biasanya dijejal daging dan arak melulu. Apalagi meski buah buahan ini bukan makanan yang mahal, tetapi di tanah pekuburan seperti ini pada musim rontok pula sudah tentu rasanya jauh lebih menyenangkan daripada hidangan tapak biruang atau lidah burung, dari sini dapatlah dinilai, bukan saja tuan rumah amat prihatin dan pintar meladeni tamunya, jelas sekali orangnyapun tak segan-segan mengeduk kantong untuk menyediakan makanan yang tidak mungkin bisa didapatkan tidak pada musimnya.

Angkat cawan araknya, Oh Thi-hoa tertawa, katanya: “Selama hidupku meski tidak sedikit perbuatan brutalku, tapi duduk di atas peti mati di tanah pekuburan, minum arak benar-benar merupakan kejadian pertama kali segede ini usiaku.”
Segera Li Giok-ham bertanya: “Apakah Oh-heng merasa kurang senang?”

“Kurang senang? Malahan aku merasa amat riang dibanding dengan tempat ini, kamar-kamar di hotel itu boleh dikata lebih sumpek dan gerah daripada berada di dalam peti mati sekecil ini. Dibanding kalian suami istri, kawanan Piauwsu yang menyebalkan itu, seperti rombongan mayat hidup melulu.”

Liu Bu-bi tertawa geli katanya: “Walau waktu itu aku mengenakan kedok orang menangis, namun mendengarkan merubah nama julukan si kepala gundul itu, hampir saja aku tertawa geli.”

Oh Thi-hoa mengucek-ucek hidung, katanya: “Kalau tahu banyolanku bakal terdengar kalian, tentu aku tak berani mengeluarkan kata-kataku ini.”
Coh Liu-hiang tiba-tiba bersuara: “Kaum Kang-ouw sama tahu, di dalam Bulim pada jaman ini terdapat tiga keluarga besar persilatan, ketenaran dan kebesaran ketiga keluarga besar ini tidak lebih asor dari tiga Pang besar dan Chat pay atau tujuh partai, dan lagi setiap keluarga dari ketiga keluarga besar persilatan, masing-masing mewariskan ilmu silat ajaran leluhurnya turun temurun merupakan tradisi keluarga, tingkat kepandaian silatnya cukup setimpal dijajarkan dengan Lo han sin kun dari Siao lim pay dan setanding dengan Liang gi-kiam-hoat dari Bu-tong-pay. Cuma para anak didik dan keturunan dari ketiga keluarga besar persilatan ini masing-masing amat memasuki dan terkekang oleh undang-undang keluarga, maka jarang sekali mereka mondar-mandir di kalangan Kangouw.” Di luar dugaan mendadak Coh Liu-hiang mengobral tentang situasi dunia persilatan pada jaman itu, orang lain tadi kemek-kemek tak tahu bagaimana harus ikut bicara, terpaksa mereka tinggal diam mendengarkan uraiannya lebih lanjut.

“Puluhan tahun belakangan ini,” Coh Liu-hiang meneruskan uraiannya, “tunas-tunas muda yang berbakat dari masing-masing anak didik ketiga keluarga besar persilatan ini saling bermunculan walau mereka jarang di Kang-ouw, namun bak umpama seekor naga setiap kali menampakkan diri, pasti ada-ada saja yang dilakukan, dan pasti menggemparkan seluruh dunia umpamanya.”

Tak tahan Oh Thi-hoa segera menyeletuk: “Umpamanya, Lamkiong Ping dari Lam-kiong si-keh dulu pernah di dalam satu malam saja menyapu bersih delapan belas pangkalan berandal dari puncak Thay-hang san yang malang melintang selama empat puluhan tahun di dunia persilatan disapunya habis ke akar-akarnya dan lenyap dari permukaan bumi.”

Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: “Itu kejadian lima puluhan tahun yang lalu, sudah Lamkiong koncu yang muda belia dan gagah itu, sepuluh tahun yang lalu sudah berpulang ke tanah asalnya, khabarnya menjadi dewa dua tiga puluh tahun…”

“Dua tiga puluh tahun mendatang,” Oh Thi-hoa kembali menyela, “Peristiwa besar yang menggetarkan Bulim adalah peristiwa Hong-cui san-ceng yang dipimpin oleh Li Boan-hu Locianpwe, beliau mengundang tiga puluh satu ahli pedang yang ternama di seluruh dunia berkumpul di puncak datar di Kiam-ti “telaga pedang” dimana mereka minum teh mendemonstrasikan ilmu pedang, dan Li-locianpwe dengan sebatang pedang Koh bu-yang-kiam yang mempunyai sembilan kali sembilan delapan puluh satu jurus, mengalahkan ketiga satu ahli-ahli pedang itu, sehingga mereka tunduk lahir batin, beliau diangkat sebagai tokoh pedang nomor satu di seluruh jagat.”

“Benar.” ujar Coh Liu-hiang menepuk tangan, “Akan tetapi ilmu silat dari keluarga besar persilatan ini masing-masing mempunyai kebolehan dan kebagusannya sendiri-sendiri, tapi tiga puluh tahun belakangan ini, Yong-cui-san-ceng yang berada di Hay-yang-san yang terletak di Koh so hin sebagai puncak dari kebesarannya.”

Sampai disini dia tersenyum pula, mendadak dia berpaling kepada Li Giok-ham, katanya tetap tersenyum lebar: “Li-heng masih muda dan gagah, betapa tinggi kepandaian silatmu jarang terlihat ada tandingannya di kalangan Kangouw kalau dugaan Cayhe tidak meleset tentulah kau salah satu anak didik dari Yong cui san cheng itu.”

“Sungguh harus disesalkan”, sahut Li Giok-ham, “Siaute tidak belajar dengan tekun dalam bidang ilmu silat, sehingga merendahkan derajat ketenaran keluarga yang sudah dijunjung tinggi sejak puluhan tahun yang lalu.”
“Li-heng terlalu merendah, entah pernah apa Li heng dengan Li Koan hu, Li locianpwe?”

“Beliau adalah ayahku.” sahut Li Giok ham dengan hormat dan hikmat.
Sejak tadi Oh Thi-hoa sudah mendengarkan dengan mata terbelalak dan alis tegak, tak tahan segera dia bersorak sambil tepuk tangan. “Tak heran kalian suami istri begini hebat, begini jempolan, anak didik keluarga besar kaum persilatan memang lain dari pada yang lain.”

Li Giok-ham tertawa, ujarnya: “Patah tumbuh hilang berganti, selama puluhan tahun ini generasi muda saling bermunculan di seluruh pelosok dunia, jadi bukan melulu Yong-cui-san-cheng saja yang tetap di puncak ketenarannya, dan lagi kebesaran kita sudah mulai pudar dan tersapu oleh ketidak becusan dari generasi muda seperti tingkatanku ini, sampai pun ayah kini tidak berani mengagulkan diri lagi sebagai jago pedang nomor satu di seluruh jagat.”

Tanpa menunggu Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang buka suara, segera dia menambahkan: “Paratokoh-tokoh ahli pedang yang dulu ikut menjajal kepandaian pedang di gardu teh di pesisir Kiam-ti itu, kini sudah banyak yang sudah meninggal dunia. Akan tetapi ahli-ahli pedang dari generasi muda yang muncul di Kang-ouw belakangan ini banyak yang jauh lebih unggul daripada para cianpwe yang terdahulu. Menurut penilaian ayahku, tokoh-tokoh ternama pada jaman ini, kami hanya menilai dalam bidang ilmu pedangnya saja, terhitung Sia-ih-jin tayhiap sebagai jago nomor satu di seluruh muka bumi ini.”

Coh Liu-hiang segera menanggapi: “Itu hanya pujian Li-locianpwe kepada generasi muda yang berbakat saja, Cayhe memang pernah dengar katanya ilmu pedang Sia-ih jiu hebat luar biasa dan seperti mainan sulapan belaka dan tak kentara gerak bentuknya tapi bicara soal pengalaman dan kematangan latihannya, dibanding Li-locianpwe, tak perlu disangsikan lagi masih jauh sekali jaraknya, kenapa Li-heng terlalu merendah?”

Oh Thi-hoa tertawa, selanya: “Tidak salah rendah hati memang watak seorang yang berbudi luhur, tapi kalau terlalu berkelebihan malah kebalikannya pura-pura belaka.”

Li Giok-ham menarik napas panjang, katanya: “Adahal-hal yang tidak kalian ketahui beberapa tahun yang lalu secara tak terduga ayah mendadak terserang semacam penyakit aneh yang tak dapat disembuhkan lagi sampai sekarang masih tetap rebah di atas pembaringan. juga sudah sepuluh tahun tak pernah pegang pedang lagi.”

Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa sama-sama tertegun, mereka tak tahu cara bagaimana harus menghibur dan menghela napas gegetun belaka.
Sesaat kemudian Li Giok-ham malah berseri tawa pula, katanya: “Melulu dinilai dari ilmu sebagai jagoannya, tapi kalau bicara soal kecerdikan, ilmu silat, pengalaman menghadapi musuh dan mengalahkannya, dikolong langit ini, siapa pula yang bisa menandingi Coh Liu-hiang?”

Oh Thi-hoa terloroh-loroh, meski dia cukup baik, tapi jangan kau mengagulkan dia terlalu tinggi yang jelas dia tidak sungkan dan rendah hati seperti kau.”
“Bicara apa peristiwa besar belakangan ini yang menggemparkan Bulim, tentunya harus diakui hanya Coh Liu-hiang pula yang harus dinobatkan ke tempat teratas dalam usahanya menumpas intrik antara Lamkiang Ling dan Biau ceng Bu Hoa, sekaligus menolong dan menegakkan kembali nama baik Siau lim pay dan Kay-pang.”
Coh Liu-hiang tertawa-tawa, katanya: “Itu hanya kejadian kecil saja, kenapa harus dibuat pujian.”

“Kaupun tidak usah sungkan-sungkan” sela Oh Thi-hoa, “Kalau peristiwa itu kejadian kecil, lain peristiwa yang bagaimana baru boleh terhitung kejadian besar?”

Liu Bu-bi mendadak tertawa, timbrungnya: “Kalau dinilai kecerdikan, ilmu silat dan pengalaman menghadapi musuh serta mengalahkannya, sudah jelas tiada orang yang mampu menandingi Coh Liu-hiang, tapi kalau bicara keluhuran jiwa, ke lapangan dada serta wataknya suka bebas merdeka, memangnya siapa pula yang bisa dibandingkan Hoa-ouw hiap atau kupu-kupu kembang Oh Thi-hoa, Oh Tayhiap?”

“Tepat sekali ucapan ini.” seru Oh Thi-hoa tertawa lebar, “Kalau dibanding minum arak memang tiada orang yang betul-betul bisa dibandingkan dengan aku.”

“Benar” ujar Coh Liu-hiang pula, “Dikolong langit ini, memang tiada orang yang dapat mabuk lebih cepat daripada kau.”

Oh Thi-hoa berjingkrak berdiri sambil berkaok-kaok: “Bocah keparat, berani kau ugal-ugalan di hadapan seorang ahli? Akan datang suatu ketika, akan kuadu kekuatan dengan kau, coba saja buktikan siapa yang roboh lebih dulu.”

“Ugal-ugalan di depan seorang ahli,” ujar Liu Bu-bi tersenyum manis, “kata-kata yang tepat sekali, jauh lebih mengasyikkan daripada permainan badut didalam panggung sandiwara.”

“Kecuali setan arak seperti dia ini, siapapun takkan sudi mengeluarkan kata-kata seperti itu, itulah yang dikatakan tiga patah kata tidak lepas dari kepintarannya.” demikian Coh Liu-hiang mengolok-ngolok.
“Kalian benar-benar sahabat baik yang berjiwa besar dan luhur budi.” kata Li Giok-ham. “Siaute dapat berkenalan dengan kalian sungguh merupakan rejeki yang tiada taranya bagi kami, ingin rasanya kami bila berkumpul lebih lama lagi.”
Liu Bu-bi menambahkan: “Oleh karena itu sungguh besar harapan kami untuk mengundang kalian untuk bertamu sepuluh hari di Yongcun san-ceng, sumber air disana merupakan salah satu dari tiga sumber air abadi yang terkenal di seluruh dunia, bukan saja nikmat untuk menyeduh teh, buat bikin arakpun tak kalah enaknya.”

Seketika bersinar biji mata Oh Thi-hoa, katanya menepuk paha: “Sudah lama kudengar Yongcui san-ceng dibangun membelakangi gunung menghadap keair, sejak lama ingin rasanya aku bertamasya ke tempat nan indah permai itu, sekaligus untuk berkenalan dengan jago pedang nomor satu di seluruh jagat ini.” diliriknya Coh Liu-hiang sebentar, lalu menambahkan dengan menghela napas: “Namun sayang aku harus temani dia pergi mencari beberapa orang lagi.”

Coh Liu-hiang segera menambahkan: “Betapa Cayhe tidak ingin memberi sembah hormat kepada Li-locianpwe, cuma tugas berat melibat diri, kali ini belum bisa kesana, untunglah hari masih panjang, kelak aku pasti mencari kesempatan.”
Bergerak kerlingan mata Liu Bu-bi katanya: “Sungguh harus disesalkan, dalam rumah kami ada beberapa orang yang ingin benar berhadapan dengan Coh Liu-hiang.”
“O?” Coh Liu-hiang bersuara heran bertanya-tanya.

“Kau tak perlu tanya,” timbrung Oh Thi-hoa, “Yang mau bertemu dengan kau tentu gadis berusia tujuh belasan, persoalan apapun tidak tahu, entah darimana mereka pernah dengar segala julukan muluk seperti Maling Romantis meninggalkan bebauan wangi! Pemuda tampan diantara gerombolan bajingan segala! Maka mereka yakin kau pasti seorang laki-laki yang luar biasa. Li-heng, coba katakan benar tidak?”

Liu Bu-bi cekikikan geli, katanya: “Mereka memang gadis-gadis perawan yang baru saja mekar, tapi jikalau kau katakan mereka tak tahu urusan, salah besar ucapanmu.”

“O?” ganti Oh Thi-hoa bersuara heran.

“Beberapa nona itu bukan saja pandai ilmu silat, pintar menulis dan ahli seni lukis dan sastra, pintar dan cantik-cantik, malah satu diantaranya seorang jenius yang pernah mengikuti ujian pemerintah dan mendapat anugerah tinggi dari ilmu sastra.”
“O! Siapakah namanya?”

Liu Bu-bi tertawa tawar, sahutnya: “Namanya Soh Yong yong.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar