-------------------------------
----------------------------
Bab 7: Ketenangan Coh Liu Hiang
Sesudah Coh Liu-hiang dan Ciok
Siu- hun pergi, orang yang mengintip di luar jendela itupun berlarian pergi
dengan cepat. Di bawah cahaya bintang yang remang-remang kelihatan rambutnya
yang beruban, kiranya orang ini adalah Liang-ma.
Apakah, orang tua ini memang
sudah tahu mayat di dalam peti mati itu bukan Si In? Lantas untuk apa dia
berlagak berduka cita? Apakah mungkin nenek yang baik hati inipun mempunyai
maksud tujuan tertentu?
**********
Sementara itu Coh Liu-hiang sedang
berlarian keluar taman dengan menggandeng Ciok Siu-hun, mereka berharap
selekasnya meninggalkan tempat seram ini.
Akan tetapi sebelum mereka
sampai di pintu keluar, sekonyong-konyong seorang menegurnya, "Nah, kau
lagi, paman, kau telah menipuku. Orang tua mana boleh menipu anak kecil!"
Belum lenyap suaranya,
tahu-tahu seorang telah mengadang di depan. Orang ini berwajah kemerah-merahan,
rambutnya sudah ubanan, tapi memakai baju merah bersulam bunga, baju anak-anak.
Siapa lagi dia kalau bukan si
sinting. Sih Po-po Ciok Siu-hun terkesima saking kagetnya, hendak lari pun
tidak sanggup lagi.
Untung Sih Po-po tak
memperhatikan dia, yang di pelototi hanya Coh Liu-hiang, katanya pula
"Hayo, paman bintang di langit itu ternyata tidak berjumlah dua puluh sembilan
ribu sekian."
Dalam pada itu Coh Liu-hiang
telah membisiki Ciok Siu-hun agar lekas pergi dulu dan menunggunya di rumah
saja.
Habis itu barulah dia
menanggapi teguran Sih Po-po, "Apakah betul begitu? Ya, mungkin aku yang
salah hitung." "Orang tua mestinya tak boleh menipu anak kecil, tapi
kau telah menipuku. Ehm, aku emoh..... aku..... hu..... uuh......"
Mendadak Sih Po-po mewek-mewek, lalu duduk mengesot di tanah dan menangis
seperti anak kecil.
Kelakuan ini sungguh di luar
dugaan Coh Liu-hiang, terpaksa ia menjawab dengan tertawa, "Diamlah,
jangan menangis, biar nanti malam kuhitung lagi bagimu dan besok akan kuka
takan padamu jumlahnya yang tepat"
"Tidak, tidak mau,"
seru Sih Po-po. "Sekarang juga kau harus menemaniku menghitung bersama.
Kecuali...... kecuali izinkan kuraba hidungmu, kalau tidak, takkan kulepaskan
kau."
Coh Liu-hiang jadi melengak,
tanyanya, "Untuk apa kau ingin meraba hidungku?"
"Sebab hidungmu pasti
sangat bagus dibuat main-main," kata Sih Po-po.
"Masa hidungku sangat
bagus dibuat mainan." ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Darimana
kau tahu hidungku bagus untuk mainan?"
"Habis, kalau hidungmu
tidak bagus buat mainan, mengapa kau sendiri selalu merabanya?" kata Sih
Po-po, mendadak ia melompat maju dan berseru dengan manja, "Hayo, aku pun
ingin meraba hidungmu, lekas, coba kurabanya, kalau..... kalau tidak, kau harus
menghitungkan bintang untukku."
Meski tidak enak juga
hidungnya diraba orang, tapi apapun juga lebih baik daripada disuruh menghitung
bintang. Pula Coh Liu-hiang tidak ingin terhalang lebih lama oleh si sinting
itu, terpaksa ia menjawab dengan menyengir, "Jika hidungku sudah kau raba,
lalu kau tidak merecoki aku lagi?"
Seketika Sih Po-po menjadi
girang dan berhenti menangis, jawabnya, "Ya, asalkan hidungmu sudah
kuraba, segera kau boleh pergi."
“Baiklah, silakan
meraba," kata Coh Liu-hiang.
Sambil melonjak-lonjak girang,
pelahan Sih Po-po menjulurkan tangannya ke hidung Coh Liu-hiang sambil
tertawa-tawa, sebenarnya gerak tangan Sih Po-po sangat lambat, tapi sesudah
dekat, mendadak ia tekan Gin-hiang-hiat di samping hidung Coh Liu-hiang,
seketika Coh Liu-hiang merasa tubuhnya kesemutan dan tak bisa berkutik lagi.
Segera Sih Po-po angkat tubuh
Coh Liu-hiang sambil terkekeh-kekeh, katanya, "Kau telah mengacaukan hitunganku,
maka kepalamu akan kubenturkan hingga pecah."
Mendadak ia luruskan tubuh Coh
Liu-hiang, terus dilemparkan ke gunung-gunungan sana. Tampaknya kepala Coh
Liu-hiang pasti akan remuk tertumbuk gunung-gunungan batu itu.
*****
Sementara itu Ciok Siu-hun
sudah berlari sampai di pintu taman, napasnya sudah senin-kamis, tadi dia
digendong oleh Coh Liu hiang, untuk keluar sekarang dia harus membuka pintu.
Pintu taman tidak digembok, tapi terhalang oleh lonjoran besi itu, palang itu
sudah karatan dan lengket, semakin gelisah semakin susah membukanya.
Tentu saja ia tambah kelabakan
dan bingung sedangkan Coh Liu-hiang entah akan menyusulnya atau tidak.
Pada saat itulah tiba-tiba
terdengar seorang tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, "Kau sudah datang ke
sini, maka boleh tinggal beberapa hari di sini, kenapa terburu-buru hendak
pergi lagi?"
Tidak kepalang kejut Ciok
Siu-hun, tanpa menoleh lagi ia lantas berlari pula. Akan tetapi baru dua tiga
langkah, tahu-tahu sebuah tangan seperti cakar setan telah mencekik lehernya.
Belum lagi sempat menjerit, pingsanlah dia.
*****
Sementara itu Coh Liu-hiang
juga tak berkutik menghadapi Sih Po-po yang sinting, lebih-lebih tak
terbayangkan dirinya bisa mati di tangan orang sinting ini.
Ketika Sih Po-po mengayun tangannya,
meluncurlah tubuh Coh Liu-hiang ke arah gunung-gunungan. Meski dia lantas bisa
bergerak kembali, namun untuk mengubah arah jelas tidak ke buru lagi. Terpaksa
ia dekap kepalanya dengan kedua tangan, dengan harapan akan dapat menahan benda
yang akan ditumbuknya. Namun ia cukup menyadari tumbukan ini andaikan tak
membuatnya mampus, paling tidak juga akan mendelik dan sekarat, habis itu, si
sinting tentu tidak akan tinggal diam pula.
Maka terdengar suara gemuruh
yang keras, batu kerikil muncrat kemana-mana, ternyata kepala Coh Liu-hiang
tidak pecah terbentur, sebaliknya gunung-gunungan itu malahan tertumbuk ambrol
dan terbuka sebuah lubang besar.
Sungguh aneh bin ajaib,
masakah kepalanya jauh lebih keras daripada batu?
Semula Sih Po-po sedang berkeplok
tertawa gembira, kini mendadak ia pun melenggong, teriaknya, "Wah celaka,
kepala orang ini terbuat dari besi?" Sembari berteriak ia terus berlari
pergi secepat terbang.
Sekujur badan Coh Liu-hiang
terasa sakit semua, kepala pun pening, ia sendiri tidak jelas apa yang terjadi
sebenarnya, sayup-sayup didengarnya di dalam gunung-gunungan itu ada jerit
kaget orang. Namun karena matanya berkunang-kunang, maka ia tidak dapat melihat
jelas dimanakah orang itu.
Tiba-tiba didengarnya seorang
menjerit kaget, "He, bukankah ini Coh Liu-hiang......?" Tajam
melengking suara itu, jelas itulah suara Hoa Kim-kiong.
Coh Liu-hiang meronta bangun
sambil kucek-kucek mata. kemudian baru dapat melihat jelas sekitarnya. Kiranya
dia jatuh di atas buah ranjang ,di tepi ranjang ada seorang dengan tangan
menutupi dadanya yang telanjang , siapa lagi dia kalau bukan Hoa-kiong.
Di sebelah ada pula seorang
lelaki yang tampak meringkik ketakutan dan sedang memakai celana dengan
gemetar.
Kiranya gunung-gunungan ini
hanya kelihatan kukuh di bagian luarnya, di dalam ternyata kosong, lapisan
gunung-gunungan inipun sangat tipis, bukan buatan dari batu, melainkan dibuat
dengan adukan semen yang tipis dan dibangun jadi gunung-gunungan, lalu bagian
luar ditimbun rerumputan.
Rupanya di dalam gunung-gunung
inilah tempat pertemuan gelap Hoa Kim-kiong dengan gendaknya. Coh Liu-hiang
merasa geli, ia merasa dirinya masih mujur juga. Dalam pada itu si lelaki tadi
telah mengeluyur pergi.
Coh Liu-hiang lantas berdiri
juga, katanya sambil memberi hormat, "Maaf, maaf, lain kali bilamana
kubentur batu lagi, sebelumnya pasti akan kuketuk pintu dulu."
Tapi Hoa Kim-kiong meraihnya
dan meliriknya dengan senyum tak senyum, katanya, "Masa kau akan pergi
sekarang juga? Memangnya kedatanganmu bukan untuk mencariku?"
Sunggguh Coh Liu-hiang merasa
risi untuk memandangi senyuman orang, lebih-lebih tak berani memandang tubuh
orang yang telanjang itu. Tentu saja ia kelabakan karena tidak tahu arah mana
ia harus memandang, terpaksa ia menyengir dan berkata, "O, aku memang
datang untuk mencarimu....."
Belum habis ucapannya, Hoa
Kim-kiong sudah lantas menubruk maju sambil tertawa nyekikik, katanya,
"Adik yang bagus, memang sudah kuduga, akhirnya kau pasti tidak tahan dan
akan datang mencariku. Memang sudah kuketahui kau ini bukan manusia baik-baik.
Mengingat pandanganmu yang bisa membikin semaput ini, baiklah kakak akan
meluluskan kehendakmu sekali saja."
Tubuh yang telanjang itu
tampak basah dan likat oleh keringat, meski hampir seluruh tubuhnya seakan-akan
diguyur minyak wangi, namun tetap tak dapat menutupi bau keteknya yang sengak
itu.
Untuk pertama kalinya Coh
Liu-hiang merasa hidung yang ciri juga ada gunanya, paling tidak bau ketek Hoa
Kim-kiong yang memuakkan, sekarang tak begitu terasa olehnya. Walaupun begitu,
ia pun merasa risi, cepat ia hendak mendorong perempuan tak tahu diri ini, tapi
karena salah alamat, tahu-tahu tangannya menolak pada segumpal daging yang
lunak.
Hoa kim-kiong tertawa
terkikik, ucapnya, "Hihihi, tanganmu juga tidak jujur......"
Coh Liu-hiang jadi mati kutu
dan tidak berani bergerak lagi, katanya dengan menyengir, "Sebenarnya aku
hendak mencarimu, tapi sekarang mau tak mau aku harus lekas pergi lagi."
"Memangnya kenapa?"
tanya Hoa Kim-kiong, jelas dia sangat kecewa.
"Masa kau tidak tahu
bahwa Sih Po-po yang melemparkan diriku ke sini?" tutur Coh Liu-hiang.
"Sekarang dia sudah tahu aku berada di sini, tempat inipun sudah berlubang
besar, apabila dilihat orang lain......."
"Aku tidak takut,"
tukas Kim-kiong. Memang perempuan kalau sudah berhasrat, maka malu atau takut
sudah tidak dikenalnya lagi.
"Akan tetapi kalau Sih
Po-po datang mengacau lagi, kan runyam," ujar Coh Liu-hiang.
"Tentunya kau kenal wataknya, orang seperti dia kan dapat berbuat apapun
juga."
Dipikir memang juga benar, terpaksa
Hoa Kim-kiong melepaskan pegangannya, katanya dengan gemas, "Si gila ini,
pasti takkan kuampuni dia."
Maka legalah hati Coh
Liu-hiang, ia coba bertanya pula, "Apakah dia benar-benar gila? Orang gila
mana bisa memiliki kepandaian setinggi itu?"
"Sejak kecil dia merasa
tersiksa oleh pengawasan kakaknya." tutur Hoa Kim-kiong. "Sih Ih-jin
selalu memaki dia tak becus. Orang lain menganggap gilanya karena keranjingan
berlatih pedang, tapi kukira lebih benar gilanya karena tekanan batin."
Sekian lama Coh LSu-htang
termenung, ucapnya dengan menyesal, "Jika sang kakak terlalu terkenal,
yang menjadi adik memang lebih banyak ruginya."
Tiba-tiba Hoa Kim-kiong
menarik tangannya lagi, keruan Coh Liu-hiang terkejut hingga berkeringat
dingin, jika si nenek memaksakan kehendaknya lagi, sekali ini pasti sukar
melepaskan diri.
Syukur Hoa Kim-kiong tidak
melanjutkan gerak aksi lainnya, dia cuma menatap tajam Coh Liu-hiang dan
bertanya, "Kau akan datang lagi atau tidak?"
Coh Liu-hiang berdehem
beberapa kali, lalu menjawab, "Su.......sudah tentu."
"Kapan?"
"Be........ besok atau
lusa, pasti........ pasti kudatang lagi........." Mendadak ia melonjak
bangun dan berseru, "Wah ada orang, aku harus lekas pergi......."
Belum habis ucapannya, lantas menerobos keluar seperti dikejar setan.
Untung juga dia angkat kaki
pada waktu yang tepat, kalau tidak tentu akan timbul kesukaran lagi. Baru saja
dia pergi, segera terlihat belasan oraog berlari datang secepat terbang. Ada
yang membawa tenglong, ada yang bersenjata, yang berjalan paling depan adalah
seorang gemuk tinggi besar, ia cuma memakai kaus kutang dan bercelana pendek,
tangannya juga memegang golok, saking marahnya, mukanya tampak merah padam.
"Tangkap maling cabul
itu!" teriak si kakek gemuk, "Barang siapa yang berhasil
menangkapnya, hadiah kontan seratus tahil emas. Tangkap, jangan sampai
lolos!"
Diam-diam Coh Liu-hiang meraba
hidung pila. Tapi ia pun tidak marah meski dirinya didakwa sebagai maling
segala.
Ia malah menaruh kasihan
kepada kakek gemuk ini, sebab dia telah salah mencari menantu, malahan juga
keliru ambil isteri. Bahwa dia belum mati kaku menyaksikan tingkah dua
perempuan bejat di rumahnya itu sudah harus dipuji.
Akan tetapi darimanakah Si
Hau-liam mengetahui rumahnya kedatangan 'maling cabul' segala?
Apakah si sinting Sih Po-po
yang menyampaikan info itu?
Makin lama Coh Liu-hiang
merasakan si sinting itu benar-benar berbahaya, tapi juga semakin
menarik........
******
Sebenarnya sudah berapa kali
Coh Liu-hiang berkunjung ke Siong-kang-hu, namun jalannya sebegitu jauh belum
lagi hapal. Dia harus berputar kayun dahulu kian kemari untuk akhirnya baru
dapat menemukan gang tempat tinggal Yap Seng-lan yang akan dicarinya itu.
Dilihatnya si gundul sedang
berjongkok di pojok emper rumah sana dan sedang makan Siopia (panganan sebangsa
roti bakar), sepasang matanya yang besar hitam itu sedang mengerling dalam
kegelapan. Sekali pandang saja Coh Liu-hiang lantas melihat si gundul.
Akan tetapi si gundul baru
melihat Coh Liu-hiang setelah pendekar pujaannya ini berada di sampingnya. Ia
kaget sehingga Siopia yang masih sisa setengah potong itu terjatuh.
Tapi Coh Liu-hiang sempat
meraih Siopia yang hampir terjatuh itu, dengan tersenyum Siopia itu
dikembalikan kepada si gundul, katanya, "Hari ini kau tentunya tidak
sempat makan nasi, lain hari pasti akan kutraktir kau makan enak, eh, kau suka
makan apa?"
Si gundul memandangnya penuh
rasa hormat dan kagum, jawabnya, "Aku tidak ingin makan apa-apa, yang
kuharapkan ialah dapat belajar kungfu setinggi engkau dan puaslah hatiku."
Coh Liu-hiang menepuk
pundaknya dan berkata dengan tertawa, "Kungfu harus dipelajari, tapi nasi
juga harus dimakan. Betapa tinggi kungtu seorang, tetap harus makan nasi."
Ia mengerling ke sana, lalu bertanya, "Apakah sudah kautemukan?"
Si gundul menepuk dada dan
menjawab "Sudah tentu ketemu, itulah tempatnya, rumah yang di depan
pintunya ada sebuah tenglong kecil." Dia jejalkan sisa Siopia ke dalam
mulut dan ditelan, habis itu bicaranya baru bisa lebih jelas, katanya kemudian,
"Penghuni gang ini cuma
mereka saja yang baru pindah kemari, bahkan cuma terdiri dari suami isteri
berdua, tiada jongos dan tanpa babu. Sang isteri seperti penduduk setempat,
yang lelaki berlogat utara."
"Apakah mereka berada di
rumah?" tanya Coh Liu-hiang
"Konon kedua suami isteri
inipun selalu bersembunyi di rumah sepanjang hari, tidak pernah keluar
berbelanja, apalagi bergaul dengan tetangga, tapi baru saja ada seorang datang
mencari mereka."
"O, orang macam
apa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Seorang nenek, rambut
sudah ubanan, tapi masih cekatan, hanya kelihatan rada gugup, sambil berjalan
seringkali menoleh ke belakang, seakan-akan kuatir dikuntit setan."
Terbeliak mata Coh Liu-hiang,
cepat ia bertanya pula, "Bilakah nenek itu datang?"
"Baru saja," jawab
si gundul. "Dia datang waktu aku mulai makan Siopia sampai sekarang, lima
biji Siopia belum habis kumakan."
"Dia masih di
dalam?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ya, belum keluar
lagi," kata si gundul.
Baru habis ucapan si gundul,
tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah melayang masuk ke rumah yang dimaksud. Si gundul
melelet lidah, gumamnya, "Jika tidak kulihat siapa dia sebelumnya, tentu
akan kusangka seekor burung raksasa......"
*****
Rumah itu tidak besar, di
halaman depan ada dua pohon sedap malam yang sedang mekar semerbak.
Di dalam rumah ada cahaya
lampu, pintu dan jendela tertutup rapat. Dari bayangan yang kelihatan dari
balik jendela itu tampak bayangan seorang perempuan tua berduduk di samping
meja dengan kepala tertunduk, seperti lagi menulis, seperti juga sedang menyulam.
Kini Coh Liu-hiang tidak
berpikir tentang adat kesopanan lagi, sekuatnya ia menolak pintu hingga
terbuka, kiranya orang yang berduduk di dalam itu sedang makan hubur. Karena
terkejut, mangkuk terjatuh dan pecah berantakan.
Orang tua itu berbaju hijau, rambut
sudah beruban, kiranya Liang-ma adanya.
Coh Liu-hiang tertawa dan
menyapa, "Hah, benar juga kau berada di sini."
Liang-ma menepuk-nepuk dada
dengan napas terengah-engah katanya, "Wah, hampir mati terkejut aku,
kukira garong, tak tersangka Kongcu adanya. Mengapa Kongcu bisa datang ke
sini?"
"Justru akulah yang ingin
bertanya padamu, mengapa kau datang ke sini?" jawab Coh Liu-hiang, ia
pandang sekeliling ruangan, yang menarik perhatiannya ialah di atas meja ada
tiga pasang sumpit dan mangkuk.
Dengan tertawa Liang-ma
menjawab, "Sebenarnya aku tidak sempat, tapi lantaran sudah lama tidak
melihat mereka, aku ingin menjenguknya."
Gemerlap sinar mata Coh
Liu-hiang, "Mereka?" Ia menegas, "Siapa mereka?"
"Anak perempuanku,"
jawab Liang-ma. "Dan menantuku...."
"Apa betul?" jawab
Coh Liu-hiang. "Aku pun ingin melihat mereka."
Liang-ma tak menolak, segera
ia berteriak. "Toa-gu, Siau-cu, lekas keluar, ada tamu!"
Benar juga, segera muncul dua
muda mudi, dengan air muka bersungut, malahan kedengarannya mereka menggerutu,
"Sudah jauh malam, orang tidur diganggu."
Kedua muda-mudi ini tampaknya
belum lama menikah, yang perempuan tinggi besar seperti seekor kerbau, yang
lelaki kurus kecil ketolol-tololan, mana ada tanda-tanda sebagai pemain
sandiwara segala? Jika pengamen jalanan mungkin benar."
"Kongcu ini ingin melihat
kalian," demikian kata Liang-ma dengan tertawa. "Mungkin beliau tahu
kalian terlalu melarat, maka ingin memberi sedekah pada kalian. Hayolah lekas
kalian menyembah."
Cepat juga kedua orang itu berlutut
dan menvembah, yang lelaki malah terus menyodorkan tangannya.
Keruan Coh Liu-hiang serba
runyam dan terpaksa merogoh saku sambil bergumam, entah omong apa. Habis itu
lantas dia mengeluyur pergi.
Cepat Liang-ma merapatkan
pintu. Habis itu lantas ia tertawa terkekeh kekeh, katanya, "Sekali ini
Coh Liu-hiang benar-benar terjungkal habis-habisan."
Sembari menghitung uang persen
Coh Liu-hiang, anak perempuan tadi berkata sambil tertawa, "Wah, setiap
biji satu tahil seluruhnya ada dua belas biji perak, hihihi, tak tersangka sang
maling budiman kita semudah ini dikibuli, mencuri ayam tidak berhasil malah
kehilangan segenggam beras."
Dalam pada itu Liang-ma telah
merangkak ke atas meja, lalu mengetuk-ngetuk langit-langit rumah, serunya,
"Siauya dan Siocia, silakan turun, ia sudah pergi."
Selang sejenak, papan
langit-langit rumah mendadak tersingkap, dua muda-mudi berturut-turut melompat
turun. Yang lelaki juga sangat tampan, juga lemah lembut seperti anak
perempuan.
Setelah melompat turun, lelaki
tampan itu lantas berkata dengan tertawa, "Kami benar-benar harus
berterima kasih kepada Liang-ma, entah cara bagaimana harus membalas kebaikanmu
ini."
“Asalkan Siauya selalu baik
kepada Siocia, maka cukuplah bagiku atas segala yang telah kulakukan ini,"
kata Liang-ma dengan tertawa.
Dengan mesra pemuda itu
memandang anak perempuan di sebelahnya, ucap dengan lembut, "Sekalipun
Liang-ma menyuruhku berbuat buruk padanya, sukar juga bagiku melakukannya.
Muka si anak perempuan menjadi
merah, omelnya dengan tertawa, "Coba, betapa manisnya mulutmu ini."
Lelaki yang ketolol-tololan
tadi mendadak menimbrung dengan tertawa, "Jika mulut Siauya tidak manis,
mana bisa Siocia bertekad menikah dengannya."
Liang-ma melototnya sekejap,
tapi ia sendiri pun tertawa geli.
Si pemuda tampan berdehem dan
berkata, "Meski rintangan ini sudah kita lalui dengan baik, namun rumah
ini bukan lagi tempat yang aman."
"Betul, Pendekar Harum
tak bernama kosong," ujar anak perempuan tadi, "Pantas orang Kangouw
sama bilang urusan apapun tak dapat mengelabui dia "
"Terima kasih atas pujian
nona," demikian tiba-tiba seseorang menanggapi dengan tertawa
Seketika air muka semua orang
berubah pucat, "Sia......siapa itu?" jengek Liang-ma.
Padahal tanpa bertanya juga
sudah diketahuinya siapa pendatang ini. Pintu segera terbuka didorong orang,
tampak seseorang muncul di ambang pintu dengan tertawa, siapa lagi dia kalau
bukan Coh Liu-hiang?
Mendadak pemuda tampan tadi
menubruk maju, sekaligus ia menendang dengan kedua kakinya ke dada Coh
Liu-hiang.
"Hebat juga
tendanganmu!" kata Coh Liu-hiang sambil mengegos.
Kungfu dalam hal tendangan
mengutamakan kekuatan kuda-kuda. harus kukuh dan mantap, tapi dalam hal
kegesitan dan kelincahan dengan sendirinya kurang, sebab itulah tendangan
berantai dengan dua kaki beruntun yang disebut 'Lian-hoan-wan-yang-tui' ini
sangat sukar dilatih.
Jika ditilik dari cara
menendang anak muda itu, jelas tendangannya ini sudah cukup lihai. Cuma sayang,
lawan yang di hadapinya sekarang ialah Coh Liu-hiang.
Baru saja kedua kakinya
menendang dan lawan mengelak tahu-tahu dengkulnya terasa kaku kesemutan,
tubuhnya terus anjlok ke bawah, sama sekali tak diketahuinya cara bagaimana Coh
Liu-hiang balas menutuknya.
Cepat si anak perempuan
memburu maju untuk memapahnya sehingga pemuda itu tidak sampai terjatuh.
"Ap.... apakah kau terluka?" tanyanya kuatir.
Anak muda itu menggeleng,
katanya kemudian dengan geram, "Jika dia sudah kemari, jangan lagi
membiarkannya pergi."
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Sudah cukup lama kucari kalian, umpama kalian menyuruhku pergi
juga tak dapat kuterima."
"Kami tidak kenal kau,
untuk apa kau cari kami?" tanya anak perempuan itu.
"Kalian tidak tahu, tapi
sudah lama kutahu nama kalian, lebih-lebih tuan muda Yap ini, siapa gerangan
anak muda di kotaraja yang tidak kenal tuan Yap Seng-lan kita yang serba mahir
dan serba genit."
Dia sengaja menambahi
kata-kata "genit" yang lebih pantas digunakan atas diri orang
perempuan. Keruan seketika muka anak muda itu berubah merah.
Dengan gusar si anak perempuan
lantas mendesis, "Ya, memang betul dia seorang pemain panggung, tapi orang
panggung kan juga manusia. Apalagi menjadi aktor kan lebih baik daripada
menjadi maling "
Coh Liu-hiang menghela napas
gegetun, katanya, "Anak perempuan kalau sudah jatuh cinta, maka segala
apapun baik baginya. Hanya saja, coba jawab, nona yang baik, mengapa kau tidak
suka menjadi manusia, tapi ingin menjadi setan?"
Berubah air muka anak
perempuan itu, katanya, "Apa katamu? Aku tidak paham?"
“Urusan sudah lanjut begini,
biarpun nona Si tidak paham juga percuma," kata Coh Liu-hiang.
Bergetar tubuh si anak
perempuan itu, tanpa terasa ia mundur dua-tiga tindak, tanyanya dengan
terputus-putus, "Ap......apa katamu? Siapa itu nona Si? Aku tidak kenal
dia?"
"Nona Si ialah puteri
kesayangan Si Hau-liam, she Si bernama In," ucap Coh Liu-hiang sekata demi
sekata. "Rupanya dia telah jatuh cinta pada seorang muda bernama Yap
Seng-lan, cuma sayang, ayah ibunya tak memahami isi hati sang puteri dan akan
menjodohkannya kepada Sih-jikongcu dari Sih-keh-ceng. Lantaran cinta nona Si
kepada pemuda she Yap sudah kadung bersemi, terpaksa dia pura-pura mati untuk
menghindari perkawinannya dengan Sih-jikongcu. Tapi orang mati harus ada
mayatnya, maka lantas dia menggunakan mayat nona Ciok sebagai gantinya."
Coh Liu-hiang berhenti
sejenak, kemudian dengan tertawa ia menyambung, "Nah, nona Si, apa yang
kukatakan sudah cukup gamblang bukan?"
Sejak tadi Liang-ma melototi
Coh Liu-hiang dengan gemas, kini mendadak ia berteriak, "Betul, apa yang
kau katakan memang betul seluruhnya. Dia memang nona In, lalu kau mau
apa?"
Si in menggenggam erat-erat
tangan Yap Seng-lan, ucapnya dengan tegas, "Jika kau bermaksud menyuruhku
pulang, kau harus bunuh dulu diriku."
"Tidak, kau harus
membunuhku dulu!" seru si pemuda alias Yap Seng-lan.
"Ai, cinta memang buta,
cinta seorang memang tak dapat dipaksakan oleh siapapun juga......" Coh
Liu-hiang menghela napas gegetun.
"Jika demikian, mengapa
kau ikut campur urusan kami?" seru Si ln.
Dengan beringas Liang-ma
lantas menambahkan "Sejak bayi nona In sudah kuasuh, hubungan kami jauh
lebih rapat daripada anak dan ibu kandung, maka tidak dapat kubiartan dia
dijodohkan kepada pemuda yang tak disukainya. Apa artinya hidup ini jika harus
tersiksa, maka aku tak dapat tinggal diam dalam urusan perjodohan nona
In." Dia menatap tajam Coh Liu-hiang, lalu menyambung dengan bengis,
"Sebab itulah kuharap engkau pun jangan ikut campur urusan ini,
kalau......."
"Aku kan tidak
menghendaki dia pulang?" sela Coh Liu-hiang dengan tersenyum. "Aku
pun tidak termaksud membuyarkan tekad kalian, maksudku mencarinya adalah untuk
membuktikan bahwa dia tidaklah mati."
"Masa kau tidak.........
tidak ada maksud lain?" Liang-ma menegas.
"Selain itu aku cuma
ingin minta secawan arak bahagia mereka." ujar Coh Liu-hiang dengan
tertawa.
Liang-ma melenggong hingga
sekian lama, sikapnya rada kikuk, seperti mau omong apa-apa, tapi urung, entah
apa yang hendak diutarakannya.
Dalam pada itu Yap Seng-lan
dan Si In telah berlutut di depan Coh Liu-hiang, setelah mereka menyembah dan
menengadah, ternyata sang pendekar sudah tidak kelihatan lagi, hanya terdengar
suaranya berkumandang dari jauh, "Tengah malam besok harap kalian menunggu
di sini..........." Ketika kata terakhir itu terdengar, sementara itu
suaranya sudah sayup-sayup jauh sekali.
Liang-ma menghela napas lega,
gumamnya, "Bilamana diketahui Coh Hiang-swe sedemikian bijaksana jalan
pikirannya, tentu aku tidak perlu lagi menahan nona Ciok itu sebagai
sandera."
Kiranya orang yang menyergap
Ciok Siu-hun di taman keluarga Si itu ialah Liang-ma.
Mendadak bati Yap Seng-lan
tergerak, katanya dengan tertawa, "Kalau urusan sudah kadung begini,
kenapa kita tidak bekerja lebih lanjut sekalian."
"Lebih lanjut
bagaimana?" tanya Liang-ma.
"Kenapa engkau tidak memindahkan
nona Ciok itu ke sini saja," kala Yap Seng-lan dengan tertawa "kan
Coh Hiang-swe akan kemari lagi besok malam. Dia sudah membantu kita, kan layak
jika kita pun membantu mereka."
Tapi Si In menghela napas,
ucapnya, "Dia telah membantu kita, semoga dia juga dapat membantu orang
lain lagi."
*******
Bagi Coh Liu-hiang sekarang
tinggal satu soal lagi. Bahwa Si In jelas tidak mati, lalu cara bagaimana Cu
Beng-cu dapat hidup kembali dengan roh Si In?
Tentang kematian Cu Beng-cu
sebenarnya tidak mungkin dipalsukan, jadi sudah mati sungguh-sungguh, ini sudah
dinyatakan sendiri oleh tabib sakti Thio Kan-cay.
Sebagai tabib termasyhur,
tentunya tidak perlu disangsikan lagi kepastiannya tentang mati-hidup
seseorang. Jika dia sudah menyatakan Cu Beng-cu telah mati, maka tidak mungkin
terjadi nona itu hidup kembali.
Jadi persoalan ini sebenarnya
sangat sulit untuk dijelaskan, namun sedikitpun Coh Liu-hiang tidak merasa
cemas, tampak nya dia sudah mempunyai keyakinan sendiri.
Karena si gundul mengundangnya
minum kembang tahu dan makan Siopia serta Yuciakwe, maka hadirlah dia ke tempat
yang disebut.
'Menjamu tamu' adalah urusan
yang sangat menyenang kan, bisa menjamu tamu tentu jauh lebih menyenangkan
daripada di jamu orang. Yang lucu ialah semakin miskin orangnya semakin suka
pula menjamu tamu.
Si gundul merasa bangga dan
kegirangan, kalau bisa ia ingin mengeluarkan segenap persediaan santapan rumah
makan kecil itu, berulang-ulang ia membujuk Coh Liu-hiang agar makan lebih
banyak.
Sementara itu hari belum lagi
terang, baru mulai remang-remang di ufuk timur.
Selagi Coh Liu-hiang
menghabiskan semangkuk kembang tahu, tiba-tiba muncul si burik dan
Siau-hwe-sin. Kedua orang ini sangat gelisah dan tegang. Berulang-ulang si
burik malahan menoleh ke belakang, seperti takut dikuntit orang,
Setelah berduduk, segera
Siau-hwe-sin berkata dengan suara tertahan. "Wah, semalam telah terjadi
lagi dua peristiwa besar.”
"O, kejadian apa?"
tanya Coh Liu-hiang
"Kedua peristiwa itu
seluruhnya terjadi di Sih-keh-ceng," tutur Siau-hwe-sin.
"Konon beberapa pedang
pusaka simpanan Sih Ih-jin telah lenyap." sambung si burik. Padahal setiap
orang di Sih-keh-ceng, baik tukang sapu maupun tukang masak, semuanya mahir
ilmu pedang," demikian Siau-hwe-sin bercerita lebih lanjut,
"Tapi pencuri pedang ini
dapat keluar masuk leluasa di Sih-keh-ceng, bahkan berhasil membawa lari pedang
simpanan Sih Ih-jin. Tidak usah bicara lain, melulu Ginkangnya serta
keberaniannya sudah boleh dikatakan luar biasa."
Meski dia bercerita mengenai
pencuri pedang., tapi pandangaunya tak pernah meninggalkan perubahan air muka
Coh Liu- hiang.
Namun Coh Liu-hiang tidak
mengacuhkannya, ia tertawa dan berkata, "Memang betul, sesungguhnya memang
tidak banyak yang memiliki Ginkang setinggi itu, cuma peristiwa ini sudah
kuketahui sejak dulu."
Siau-hwe-sin melengak
mendengar jawaban ini, seketika ia merasa tegang sehingga napas terasa sesak.
Dengan tergagap-gagap si burik lantas bertanya, "Dar...... darimanakah
Hiang-swe mengetahui peristiwa itu?"
"Orang pertama yang
mengetahui peristiwa pencurian pedang itu dengan sendirinya ialah si
pencurinya....... Coh Liu-hiang sengaja menghentikan ucapannya, dilihatnya
wajah Siau hwe-sin dan si burik berubah pucat, bahkan kedua orang saling
berkedip, jelas mereka merasa yakin si pencuri pedang pasti Coh Liu-hiang
adanya.
Maka tersenyumlah Coh
Liu-hiang dan melanjutkan ucapannya, "Tapi peristiwa yang kuketahui ini
kudengar langsung dari Sih Ih-jin sendiri."'
"O, pantas Hiang-swe
mengetahui lebih dulu daripada kami?" kata si burik.
"Dan apa peristiwa yang
lain?*' tanya Coh Liu-hiang.
Dengan menahan suaranya
Siau-hwe-sin berbisik. "Semalam Sih-keh-ceng kedatangan pembunuh
gelap."
Mau tak mau Coh Liu-hiang juga
melengak, tanyanya sambil mengerut kening, "Pembunuh gelap? Memangnya
siapa yang hendak dibunuhnya?"
"Sih Ih-jin," Jawab
Siau-hwe-sin.
Pelahan-lahan Coh Liu-hiang
mengangkat tangannya untuk meraba hidung pula.
"Sih Ih-jin terkenal
sebagai jago pedang nomor satu di dunia, tapi ada orang yang berani mencari
perkara padanya, nyali orang itu sungguh terlebih besar daripada harimau,"
kata Siau-hwe-sin, sembari bicara ia terus mengawasi perubahan air muka Coh
Liu-hiang.
Sudah tentu Coh Liu-hiang
dapat meraba jalan pikiran orang, katanya dengan tertawa, "Jika kau
mengira aku inilah penyatron Sih keh-ceng itu, kenapa tidak kau katakan terus
terang saja?"
Muka Siau-hwe-sin menjadi
merah, katanya dengan tergagap, “Menurut cerita orang Sih-keh-ceng, sedikitnya
mereka mengerahkan empat atau lima puluh orang, tapi si penyatron tak dapat
ditangkap, bahkan wajah dan perawakan orang inipun tidak terlihat jelas, hanya
sayup-sayup tercium bau harum yang sedap, sebab itulah kukira.......
kukira....... " .
"Kau kira apa?"
tanya Coh Liu-hiang dengan tersenyum. "Selain Coh Hiang-swe, rasanya sukar
bagiku untuk menemukan orang lain yang memiliki Ginkang setingg itu serta nyali
sebesar itu," ujar Siau-hwe-sin sambil rnenyengir.
Coh Liu-hiang menghela napas
gegetun, katanya, "Jangankan kau, bahkan aku sendiri pun tak dapat
mengemukakannya"
"Tapi sekarang Sih Ih-jin
merasa pasti Hiang-swe yang melakukan kedua peristiwa itu, maka sejak tengah
malam tadi Sih Ih-jin mengirim orang-orangnya mencari Hiang-swe, mereka telah
memasang perangkap pula di sekitar Ceng-pwe-san-ceng," tutur si burik.
"Ya, padahal kota sekecil
ini, bila Hiang-swe tidak lekas-lekas mencari akal, mungkin sebentar lagi akan
dipergoki mereka," kata Siau-hwe-sin.
"Mencari akal? Mencari
akal apa? Memangnya Hiang-swe harus sembunyi, harus lari ketakutan?"
mendadak si gundul berteriak penasaran sambil menggebrak meja.
Siau-hwe-sin menarik muka dan
mendampratnya, "Tutup mulut......"
Coh Liu-hiang tersenyum dan
berucap. "Ya, kutahu maksud baikmu, cuma sayang, urusan sudah telanjur
begini, seumpama aku ingin lari juga tak dapat lagi."
Pada saat itulah
sekonyong-konyong seseorang mendengus, "Hm, pintar juga kau. Dalam keadaan
demikian, adalah aneh bilamana kau dapat lari."
Tempat penjual kembang tahu
ini terletak di ujung jalan dengan memasang sebuah gedek sebagai atap, lalu sebuah
meja panjang dengan beberapa bangku.
Begitu lenyap ucapan orang
tadi, serentak terdengarlah suara gemuruh, gedek bambu itu telah disingkapkan
orang, belasan orang berbaju hitam ringkas serentak menerjang tiba dengan
pedang terhunus, jelas semuanya jago silat pilihan.
Seketika pucat air muka
Siau-hwe-sin, kontan ia meraih sebuah bangku terus dilemparkan ke sana. Meski
bangku itu tidak terlalu berat, tapi daya lemparannya cukup keras.
Tak terduga seorang berbaju
hitam yang menjadi pemimpin cuma mencukit pelahan dengan ujung pedangnya,
seketika bangku panjang itu tersengkelit balik, bahkan jauh lebih keras
daripada meluncurnya tadi dan hampir saja menyodok tubuh Siau-hwe-sin. Maka
mangkuk di atas meja seketika hancur berrantakan.
"Siau-hwe-sin,"
dengan gusar si baju hitam mendamprat. "Kami menganggap kau sebagai kawan
dan mencari kabar Coh Liu-hiang padamu, tak apalah jika kau tidak mau
menerangkan nya, tapi sekarang kau sengaja mengkhianati kami dan malah membela
orang she Coh ini." Di tengah bentakan gusar, serentak tiga empat pedang
menusuk ke arah Siau-hwe-sin.
Mendadak Coh Liu-hiang
berbangkit karena terkejut, seketika para penyerang itu menyurut mundur. Tak
tahunya Coh Liu-hiang hanya menepuk-nepuk pundak si gundul dan berkata padanya
dengan tersenyum, "Sedap juga kembang tahu ini, sebelum kupulang nanti
pasti akan kumakan lagi satu kali "
Meski si gundul sudah pucat
ketakutan, tapi dia tetap tertawa dan menjawab. "Baik, nanti tetap aku
yang menjamu engkau."
"Tidak, lain kali harus
giliranku." kata Coh Liu-hiang.
"Jangan, jangan,"
seru si gundul "Aku cuma mampu menjamu engkau dengan kembang tahu dan
Yuciakue, bila engkau mau menjamu diriku, engkau harus menjamu minum
arak,"
Mereka bicara dengan bebas,
seolah-olah kawanan jago pedang seragam hitam ini tak digubrisnya. Tentu saja
si baju hitam yang menjadi pemimpin mendongkol, ia membentak gusar, secepat
kilat pedangnya menusuk.
Serentak kawanan baju hitam
yang lain juga ikut menyerang, gerak pedang mereka ini sangat cepat, arah yang
di incar juga jitu, cara kerja-sama sangat rapat, biasanya sukar bagi lawan
untuk menghindarkan sekali tusuk saia.
Di luar dugaan mendadak
terdengar suara gemerantang beradunya pedang dengan pedang, Coh Liu-hiang yang
sudah terkurung di tengah sinar pedang itu entah dengan cara bagaimana
tahu-tahu sudah menghilang.
Keruan si baju hitam terkejut,
cepat ia menyurut mundur sambil memutar pedangnya. Terdengar suara tertawa di
atap gedek, entah sejak kapan Coh Liu-hiang sudah melayang ke atas payon dan
sedang memandang mereka dengan tertawa
"Kalian bukan
tandinganku, lebih baik bawalah aku untuk menemui Sih-toacengcu kalian,"
kata Coh Liu-hiang.
Kawanan baju hitam segera
hendak menerjang maju lagi, tapi di cegah oleh orang yang menjadi pemimpin,
dengan pandangan tajam orang ini menatap Coh Liu-hiang dan bertanya, "Jadi
kau berani menemui Cengcu kami?"
"Kenapa tidak
berani?" jawah Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Memangnya dia suka
makan manusia dan harus di takuti?"
*********
Tanpa banyak bicara lagi Coh
Liu-hiang mengikuti kawanan baju hitam itu ke Sih-keh-ceng. Sementara itu hari
sudah terang benderang. Coh Liu-hiang berjalan di depan dengan muka bercahaya
dan penuh semangat, melihat keadaannya itu, siapa pun takkan percaya bahwa dia
tidak tidur semalam suntuk, lebih-lebih tak terpikir bahwa orang-orang yang
mengikut di belakangnya itu setiap saat dapat menusuk dan membuat punggungnya
berlubang.
Yang mengintil di belakang Coh
Liu-hiang makin banyak, beberapa kelompok kawanan baju hitam kini telah
bergabung menjadi satu, semuanya berbisik-bisik membicarakan orang she Coh yang
sedemikian besar nyalinya dan berani ikut mereka ke Sih-keh-ceng, ada sementara
diantara mereka mengira otak Coh Liu-hiang mungkin kurang waras seperti halnya
Sih-jicengcu mereka ^*
Siau-hwe-sin, si gundul dan si
burik menaruh perhatian besar atas keselamatan Coh Liu-hiang, mereka tidak
berani bertindak, terpaksa menguntit juga dari kejauhan.
Mereka heran melihat
ketenangan Coh Liu-hiang, mereka tidak tahu apa maksud tujuan kepergian Coh
Liu-hiang ke Sih-keh-ceng, diam-diam mereka kuatir. Sih-keh-ceng tiada ubahnya
seperti sarang harimau dan kubangan naga, pedang Sih Ih-Jin bahkan lebih
menakutkan daripada harimau maupun naga. Kepergian Coh Liu-hiang ke sana apakah
dapat keluar lagi dengan hidup.
Sembari menguntit, berbareng
Siau-hwe-sin juga memberi isyarat di sepanjang jalan yang dilalui, maka dari
berbagai penjuru, kawanan pengemis berbondong-bondong juga berkumpul, barisan
kaum jembel yang berada di belakang juga semakin panjang.
Seorang gagah dan tampan
berjalan paling depan, di belakangnya mengikut satu rombongan jago pedang
dengan sikap bengis, di belakangnya lagi satu barisan pengemis.
Barisan panjang ini sungguh
mirip pawai yang menarik, untung hari masih pagi, orang yang berlalu lalang di
jalan tidak banyak, toko-toko di tepi jalan juga belum buka pintu.
Setiba di Sih-keh-ceng, Sih
lh-jin tidak melakukan penyambutan, ia malah membawa sebuah kursi malas ke
belakang taman dan duduk mencari angin di sana.
Jago pedang nomor satu di
dunia ini memang tidak sia-sia terkenal sebagai seorang Kangouw ulung, dia tahu
kapan harus bertindak dan cara bagaimana harus bertindak. Baginya cerita
tentang Coh Liu-hiang sudah tidak asing lagi, masing-masing kisah di dunia
Kangouw mengenai Coh Liu-hiang telah membuat Pendekar Harum itu seperti tokoh
dalam dongeng.
Meski dia tidak percaya penuh
seluruh cerita itu, tapi memang terbukti banyak tokoh Kangouw kelas wahid yang
telah dikalahkan Coh Liu-hiang, ini kejadian nyata bukan dongeng.
Sih lh-jin sendiri juga tidak
pernah meremehkan Coh Liu-hiang, kini ia sedang menantikan kedatangannya, rada
bersemngat dan juga rada tegang. Perasaan demikian sudah timbul sejak beberapa
tahun, maka sekarang dia harus dapat menahan perasaan, harus bisa bersabar menanti
kedatangan Coh Liu-hiang.
Dan akhirnya Coh Liu-hiang
muncul juga. sedang rnemandangnya dengan tersenyum. '
"Kau sudah datang,"
sapa Sih lh-jin tak acuh sambil membuka matanya dengan kemalas-malasan.
"Ya, aku sudah
datang," jawab Coh Liu-hiang
"Apakah lukamu sudah
sembuh?" tanya Sih lh-jin.
"Terima kasih, sudah
banyak lebih baik."
"Ehm, bagus," Sih
lh-jin tidak tanya lebih banyak lagi, segera ia berbangkit, ia memberi tanda,
segera seseorang membawakan pedang.
Pedang ini sangat panjang,
belasan inci lebih panjang dari pada pedang umumnya, pedang sudah terlolos dari
sarungnya tanpa hiasan, memang pedang Sih lh-jin bukanlah pedang untuk
dipamerkan, pedangnya hanya untuk membunuh.
Pedang yang berwarna
kehijau-hijauan itu, rnemancarkan cahaya kebiru-biruan, meski berdiri dalam
jarak beberapa langkah jauhnya, namun Coh Liu-hiang dapat merasakan hawa dingin
yang terpancar dari pedang itu.
''Pedang bagus! Inilah
benar-benar senjata hebat," puji Coh Liu-hiang.
Sih lh-jin memandang pedangnya
sekejap, lalu berkata de ngan hambar, "Kau memakai senjata apa?"
Coh Liu-hiang tak menjawab
pertanyaan ini, sebaliknya ia menyapu pandang sekelilingnya. Sementara itu
kawanan orang berseragam hitam telah mengepung rapat sekitar taman.
"Apakah kau tidak merasa
tempat ini terlalu sempit?" tanya Coh Liu-hiang kemudian.
"Hm, selama hidupku
menghadapi siapapun juga tak pernah kuminta bantuan seseorang." jengek Sih
Ih-jin.
"Aku pun tahu mereka
pasti tidak berani ikut turun tangan, tapi mereka adalah anak buahmu, beradanya
mereka di sekitar sini, betapapun aku merasa terancam sekalipun mereka tidak
turun tangan," ujar Coh Liu-hiang dengan tersenyum.
Lalu sambungnya pula,
"Semalam suntuk aku tidak tidur, jika kutempur kau sekarang, dalam hal
kondisi badan aku sudah kalah satu langkah. Sedangkan taman ini adalah
tempatmu, setiap pohon dan setiap benda di sini sudah sangat hapal bagimu, jika
kutempur kau di sini dalam kondisi tempat, aku pun sudah kalah satu langkah.
Kalau saja harus ditambah lagi kalah pengaruh oleh keadaan, maka pertempuran
ini tanpa berlangsung juga jelas aku sudah kalah seluruhnya."
Sih Ih-jin memandangnya dengan
tajam, meski dingin sorot matanya, namun sudah menampilkan setitik rasa
menghormat, inilah rasa hormat yang khas antara seorang ahli terhadap ahli yang
lain. Begitu sorot mata kedua orang saling tatap, begitu pula dalam hati
masing-masing sudah saling memahami.
Mendadak Sih Ih-jin memberi
tanda kepada anak buahnya dan berseru, "Mundur keluar, tanpa perintahku,
siapa pun dilarang masuk kemari!"
"Terima kasih," ucap
Coh Liu-hiang. Meski sikapnya sangat prihatin, tapi ucapan "terima
kasih" ini tercetus dari lubuk hatinya yang dalam, tiada sedikitpun
mengandung nada menyindir. Selama hidupnya sudah banyak mengucapkan "terima
kasih", tapi belum pernah satu kali pun berucap setulus sekarang. Sebab ia
tahu perintah Sih Ih-jin mengundurkan anak buahnya itu tiada lain juga suatu
tanda penghormatan padanya.
Sekalipun pertempuran ini akan
segera menentukan mati dan hidup, tapi rasa hormat inipun pantas mendapatkan
terima kasih. Terima kasih yang diperoleh dari pihak lawan selalu jauh lebih
berharga daripada diperoleh dari kawan sendiri, tentu juga jauh lebih
mengharukan.
Sih Ih-jin mengangkat
pedangnya, ditatapnya pedangnya lekat-tekat hingga sekian lama, kemudian
mengangkat kepalanya dan berkata, "Keluarkan senjatamu!"
"Belum lama berselang aku
pernah hadapi Swe It-hoan, Swe-locianpwe, senjata yang kugunakan waktu itu
tidak lebih hanya sebatang ranting kayu lemas saja," tutur Coh Liu-hiang
dengan tenang.
Sih Ih-jin tidak menanggapi,
ia memandangnya dengan dingin dan ingin mendengarkannya lebih lanjut.
"Takkala itu kukatakan
pada Swe-locianpwe bahwa pertarungan antara tokoh kelas tinggi, faktor mencapai
kemenangan tidak terletak pada senjatanya yang tajam," demikian Coh
Liu-hiang berkata pula. "Jika kutempur lawanku dengan kayu lemas, bagiku
tidaklah rugi, bahkan lebih menguntungkan."
Sih Ih-jin mengernyit dahi,
seperti tak paham logika yang dikemukakan Coh Liu-hiang itu, mana mungkin
setangkai kayu lemas menghadapi pedang yang tajam bisa lebih menguntungkan
malah? Walaupun tidak sependapat, tapi dia tidak mengutarakan jalan pikirannya
sendiri. Apalagi Swe lt-hoan (Baca dalam PERISTIWA BURUNG KENARI, oleh Gan KH.
) juga terkenal sebagai jago pedang nomor wahid. masa Coh Liu-hiang dapat
mengalahkannya dengan setangkai kayu saja.
Dalam pada itu Coh Liu-hiang
telah menyambung, "Sebab kalau kugunakan setangkai kayu untuk menghadapi
pedang yang tajam, tentu hal ini akan mempengaruhi pikiran Swe-licianpwe, dengan
kedudukannya yang terhormat itu tentunya dia tidak mau menarik keuntungan atas
diriku dalam hal senjata, sebab itu pula pada saat melancarkan serangan, dia
tentu akan selaki was-was."
Mendengar sampai di sini.
tanpa terasa Sih Ih-jin manggut-manggut juga.
Sedang Coh Liu-hiang telah
melanjutkan ucapannya, "Dan kalau tidak menarik keuntungan berarti
menderita rugi. Umpamanya menggunakan jurus 'Hong-hong-tian-ih' (burung Hong
pentang sayap) untuk menyerang mukanya, seharusnya pedangnya akan menangkis ke
atas untuk menyampuk senjataku, tapi lantaran dia pikir senjataku cuma
setangkai kayu, tentu dia tidak merasa perlu menyampuk seranganku itu, dan pada
saat dia belum menggunakan jurus pengganti itulah aku lantas mendahului
menyerangnya pula.
"Padahal," demikian
Coh Liu-hiang menyambung pula dengan tersenyum. "Seperti halnya peperangan
antara dua negara, setiap jengkal tanah yang harus direbut, bila ada rasa
waswas dan sungkan maka pertempuran itu pasti akan gagal."
Sorot mata Sih Ih-jin
menampilkan rasa memuji pula, ucapnya tawar, "Tapi aku bukan Swe
It-hoan."
"Memang,' kata Coh
Liu-hiang. "Ilmu pedang Swe It-hoan terlalu kolot, setiap jurus mengikuti
peraturan, sedangkan ilmu pedang Cianpwe mengutamakan 'mendahului' mencapai
kemenangan. Di antara keduanya jelas ada perbedaan yang menyolok."
Sih Ih-jin menggut-manggut
pula sebagai tanda sependapat, katanya, "Ya, uraian yang tepat."
"Sebab itulah, sekarang
takkan kugunakan tangkai kayu untuk melawan Cianpwe," kata Coh Liu-hiang.
"Kau ingin menggunakan
apa?" kata Sih Ih-jin.
"Hanya dengan kedua
tanganku ini"
"Kau akan melawan
pedangku dengan bertangan kosong?" tanya Sih Ih-jin sambil mengerut
kening.
"Pedang Cianpwe jelas
tajam tiada bandingannya, ilmu pedang Cianpwe juga tiada tandingannya, senjata apapun
yang kugunakan rasanya sukar untuk melawannya, apalagi kecepatan Cianpwe juga
tiada taranya di dunia ini, seumpama aku dapat memperoleh pedang yang sama
tajamnya dengan Cianpwe juga sukar untuk menahan sekali serangan Cianpwe."
Tanpa terasa timbul juga rasa
senang pada sorot mata Sih Ih-jin. Maklum setiap manusia di dunia ini pasti
suka di sanjung puji, tidak terkecuali pula Sih Ih-jin, apalagi kata-kata itu
dari mulut Coh Liu-hiang.
Waktu bicara, Coh Liu-hiang
selalu mengawasi perubahan air muka Sih Ih-jin, maka pelahan-lahan ia
menyambung pula, "Sebab itulah bila sudah mulai bergebrak, sama sekali aku
tak kan menangkis atau balas balas menyerang, hanya akan kuhindari dengan cara
gesit dan enteng, untuk itu bila tak bersenjata tentu gerak-gerikku akan lebih
ringan dan juga bisa lebih cepat."
Ia tertawa, lalu menambahkan,
"Terus terang, jika tidak sungkan dan kuatir dianggap kurang sopan,
sebenarnya ingin kutanggalkan baju luar sekalian agar dapat bergerak lebih
leluasa."
Sih Ih-jin termenung sejenak,
katanya kemudian. "Jika demikian, bukankah kau sendiri telah mengikat
dirimu dalam keadaan 'takkan menang'?"
"Tapi 'tidak kalah' kan
sama juga dengan 'menang', jadi harapanku hanya memperoleh kemenangan dalam
keadaan 'tidak kalah."
"Kau yakin pasti tidak
akan kalah?" tanya Sih Ih-jin dengan sinar mata gemerlap.
"Ketika menghadapi
beberapa lawan yang lihai dulu, mana Cayhe berani yakin pasti akan
menang?" jawab Coh Liu-hiang dengan tersenyum.
Sih Ih-jin tertawa
terbahak-bahak, begitu berhenti tertawa, dengan suara bengis ia lantas
membentak, "Baik, silakan bersiap untuk menghindar!"
Tidak perlu disuruh lagi,
dengan sendirinya Coh Liu-hiang sudah bersiap sejak tadi, sebab sejak ia mulai
bicara, sejak itu pula dia sudah mulai dalam keadaan 'darurat perang', dan apa
yang diucapkannya itu setiap katanya juga mempunyai tujuan, cara bicaranya
itupun semacam siasat perang.
Ia pun tahu bilamana pedang
Sih Ih-jin sudah mulai menyerang , maka cepatnya pasti laksana kilat menyambar
dan sukar dielak. Maka sebelum pedang Sih Ih-jin bergerak, lebih dulu tubuh Coh
Liu-hiang mulai bergeser.
Pada saat itulah sinar pedang
menyambar secepat kilat, hanya dalam sekejap saja bagian pundak, dada dan
pinggang Coh Liu-hiang sudah ditusuk enam kali.
Gerakan pedang Sih lh-jin
tampaknya tiada sesuatu yang istimewa, tapi cepatnya sukar dibayangkan, enam
kali tusukan itu seolah-olah dilakukan oleh enam pedang sekaligus. Untung
sebelumnya Coh Liu-hiang sudah bergerak lebih dahulu, dengan demikian dapatlah
serangan-serangan itu terhindarkan.
Akan tetapi serangan Sih
Ih-jin mirip gelombang samudra bergulung-gulung, baru habis serangan tadi,
menyusul enam kali tusukan dilontarkan pula, sama sekali tidak memberi
kesempatan bernapas bagi lawannya.
Meski Ginkang Coh Liu-hiang
tiada bandingannya, tetapi menghadapi serangan kilat Sih Ih-jin yang
sambung-menyambung itu, sudah beberapa kali ia menghadapi bahaya maut. setiap
kali pedang lawan seolah-olah menyerempet lewat, namun tajam pedang orang dapat
dirasakannya, bilamana terlambat sedetik sa ja, maka akibatnya sukar
dibayangkan.
Tanpa berkedip Coh Liu-hiang
terus mengikuti gerakan pedang Sih Ih-jin, agaknya dia ingin menyelami gerak
perubahan dan cara serangan Sih Ih-jin.
Waktu untuk belasan kalinya
Sih Ih-jin melontarkan serangan berantai, sekonyong-konyong Coh Liu-hiang
bersuit panjang terus meloncat ke atas, waktu tusukan pedang Sih lh-jin tiba,
lebih dulu dia sudah melayang jauh ke sana.
Ketika Sih Ih-jin memburu maju
dan melancarkan serangan lagi, namun Coh Liu-hiang sudah melayang ke atas
jembatan kecil, sekali kakinya menutul, segera ia melayang lagi ke atas
gunung-gunungan.
Untung pekarangan taman ini
sangat luas, begitu Coh Liu-hiang mulai mengeluarkan Ginkangnya, seperti burung
terbang saja ia melayang kian kemari dari satu tempat ke tempat lain.
Hanya sekejap saja tak
terlihat lagi, yang tertampak cuma sesosok bayangan berlompatan naik turun di
depan sana, di belakangnya menyusul selarik cahaya mengkilat terus
membayanginya. Berbareng itu terdengar pula suara gemerisik yang ramai, daun
pohon sama rontok seperti hujan.
Baru sekarang Sih Ih-jin tahu
Ginkang Coh Liu-hiang memang sukar ditandingi siapa pun juga. Sih lh-jin
sendiri selain terkenal ilmu pedangnya yang nomor satu, juga Ginkangnya tidak
kurang hebatnya, tapi sekarang ia merasakan agak payah, terutama matanya.
Maklumlah, kalau usia sudah
lanjut, mau tak mau ketajaman mata akan mundur juga. Betapapun Sih Ih-jin juga
manusia, kini dirasakannya setiap benda di tengah taman itu seolah-olah sedang
bergerak menari-nari tiada hentinya.
Seorang kalau melarikan
kudanya dengan cepat menyusur hutan, tentu akan terasa pepohonan di kedua
sisinya seakan-akan menyambar dari depan. Sekarang gerak tubuh Sih Ih-jin
secepat terbang, dengan sendirinya timbul juga perasaan serupa itu. Cuma ia pun
yakin Coh Liu-hiang pasti juga mempunyai perasaan sama seperti dia, bukankah
Coh Liu-hiang juga manusia, tentu tidak terkecuali.
Cara bertempur Coh Liu-hiang
ini tak menurut aturan yang layak, namun sebelumnya sudah dikatakannya bahwa
dia hanya main menghindar saja, maka Sih Ih-jin juga tak dapat menyalahkan dia.
Dalam pada itu terlihat Coh
Liu-hiang sedang menyelinap masuk ke tengah-tengah apitan dua pohon. Di luar
dugaan, antara dua pohon itu masih ada lagi satu batang, jadi tiga pohon
berdiri dalam bentuk segitiga, bayangan gelap kedua pohon yang di depan telah
menutupi pohon yang ketiga sehingga tidak kelihatan sebelum mendekat.
Jika dalam keadaan biasa tentu
Coh Liu-hiang dapat melihatnya, tapi sekarang gerak tubuhnya teramat cepat,
waktu mengetahui di depan mengalang sebatang pohon lagi, tahu-tahu ia sudah
menerjang ke batang pohon itu. Ingin menahan diri sudah tidak keburu lagi.
Keruan Sih Ih-jin kegirangan,
cepat pedangnya menusuk. Bila tubuh Coh I iu-hiang tertumbuk batang pohon,
jelas sukar baginya untuk menghindarkan serangan Sih lh-jin itu, apa lagi
seumpama dia sempat menahan diri dan menyurut mundur, tentunya punggungnya akan
tertembus oleh pedang lawan.
Rupanya Sih Ih-jin juga yakin
serangan pasti akan berhasil. Jika pertarungan ini berlangsung dalam keadaan
biasa, bisa jadi akan timbul rasa sayangnya terhadap bakat Coh Liu-hiang
sehingga cara turun tangannya mungkin akan lebih ringan. Tapi sekarang segala
sesuatu terjadi dengan sangat cepat hakikatnya tiada waktu baginya untuk berpikir,
tahu-tahu pedangnya sudah menusuk ke depan. Dan kalau pedangnya sudah berjalan,
maka sukarlah untuk ditarik kembali.
"Cret", pedang telah
menembus...... tapi bukan punggung Coh Liu-hiang yang tertembus melainkan
batang pohon..
Kiranya gerakan Coh Liu-hiang
itu hanya pancingan belaka. Betapa cepat gerak tubuhnya sungguh sukar untuk
dibayangkan oleh siapa pun juga. Waktu tubuhnya sudah hampir menumbuk pohon,
pada detik terakhir itulah mendadak tubuhnya menyurut, kakinya memancal batang
pohon, ia terguling ke sana.
Ia pun mendengar suara
"cret" tadi, ia tahu pedang lawan sudah menusuk batang pohon. Itulah
pohon cemara yang sangat keras, bilamana pedang menancap di batang pohon, jelas
tak dapat dicabut kembali begitu saja, pasti akan membuang tenaga dan makan
waktu pula.
Apabila pada saat demikian Coh
Liu-hiang menubruk maju lagi dan turun tangan, pasti Sih Ih-jin tak dapat
mengelak, sebab dia pasti belum sempat mencabut kembali pedangnya. Dan Sih
Ih-jin tanpa pedang tentu tidak menakutkan lagi.
Namun Coh Liu-hiang tidak
berbuat demikian, ia hanya berdiri diam saja disamping sambil memandang Sih Ih
jin.
Ternyata Sih Ih-jin tidak
lantas mencabut pedangnya dan tidak menyerang pula. Yang dipandangnya adalah
pedang yang tergigit oleh batang pohon, sampai lama ia memandang, akhirnya ia
berkata dengan tertawa. "Nyata kau memang mempunyai jalan untuk mencapai
kemenangan, kau benar-benar tidak terkalahkan”.
Bahwasanya Sih Ih-jin mengakui
Coh Liu-hiang tidak kalah ini sama halnya dia mengakui Coh Liu-hiang telah
menang
Sih Ih-jin termasyhur sebagai
jago pedang nomor satu di dunia, selama hidup belum pernah ketemu tandingan.
Tapi sekarang kalah menang hanya diterimanya dengan tertawa saja, kebesaran
jiwa dan kelapangan dadanya sungguh harus dipuji.
Mau tak mau Coh Liu-hiang
merasa kagum juga di dalam hati, ucapnya kemudian dengan hormat, "Meski
Cayhe belum terkalahkan, tapi Cianpwe juga tidak kalah."
"Kau tak kalah kan boleh
dikatakan sudah menang, sebaliknya kalau aku tidak menang akan berarti sudah
kalah, sebab cara yang kita gunakan memang berbeda kata," Sih Ih-jin.
"Sekali-kali Cayhe tidak
berani bilang 'sudah menang', sebab Cayhe telah menarik keuntungan atas diri
Cianpwe."
"Sebenarnya aku sendiri
pun tahu, betapapun aku tetap tertipu olehmu," ujar Sih Ih-jin dengan
tertawa, lalu ia menyambung pula. “Sebelumnya aku telah siap siaga menghadapimu
di sini, takkala mana baik tenaga maupun pikiranku telah berada di dalam
puncaknya, laksana busur sudah terpentang dan siap dibidikkan."
"Maka Cayhe sama sekali tidak
berani bergebrak dengan Cianpwe pada saat itu," kata Coh Liu-hiang.
"Tapi kau sengaja
mengajak bicara dulu padaku untuk memencarkan semangat dan perhatianku, lalu
memakai kata-kata sanjungan untuk membikin senang hatiku, setelah timbul kesan
baikku padamu, dengan sendirinya semangat tempurku sudab mulai buyar,"
setelah tersenyum, lalu Sih lh-jin melanjutkan,
"Yang kau gunakan adalah
akal bagus dalam ajaran siasat militer buah pikiran Sun-cu, bahwa sebelum
pertempuran terjadi harus berusahalah agar semangat tempur prajurit lawan patah
dan runtuh. Kemudian kau telah menguras tenagaku dengan Ginkang andalanmu,
paling akhir kau gunakan juga akal memancing musuh masuk ke dalam perangkap.
Padahal ilmu pedang adalah pertarungan satu lawan satu, siasat perang total,
pantas kau tidak pernah kalah dalam pertempuran, sampai-sampai tokoh kelas
wahid seperti Swe lt-hoan, Ciok Koan-im, Sin-cui Kiongcu dan lain-lain juga
bukan tandinganmu."
Coh Liu-hiang meraba hidungnya
dengan likat, ucapnya dengan tersenyum. "Cayhe sungguh merasa
malu......."
"Apa yang menjadikan kau
malu? Pertarungan antara dua jagoan top adalah seperti peperangan dua negara,
jika dapat mengalahkan lawan dengan tipu akal yang bagus, itulah baru cara
seorang panglima sejati, kenapa kau bilang malu? Apalagi betapa tinggi
Ginkangmu juga kukagumi lahir batin."
"Kelapangan dada dan
kebesaran jiwa Cianpwe sungguh membuat Cayhe tunduk benar-benar, sesungguhnya
sama sekali tiada maksud Cayhe hendak menantang Cianpwe, pertempuran ini hanya
karena terpaksa saja."
"Sebenarnya akulah yang
salah menuduhmu," ujar Sih Ih-jin dengan menghela napas gegetun.
"Sekarang aku harus pahami bahwa kau sama sekali bukan si pencuri pedang
dan penyergap itu, sebab kalau tidak, waktu serangan ku meleset dan pedangku menancap
di pohon, tentu kesempatan mana takkan kau sia-siakan."
"Kedatanganku ini bukan
saja ingin memberi penjelasan kepada Cianpwe, tetapi juga sekaligus ingin
melihat kehebatan ilmu pedang Cianpwe, sebab sebegitu jauh kurasa ilmu pedang
si pembunuh gelap itu mempunyai gaya dan cara yang sama dengan Cianpwe "
"O, ya?" tergerak
juga Sih Ih-jin.
"Cepat atau lambat
rasanya tak terhindar lagi harus kutempur pembunuh gelap itu, pertempuran mana
akan sangat besar artinya dan menentukan segalanya, sama sekali aku tak boleh
kalah, makanya ingin ku belajar kenal dulu dengan ilmu pedang Cianpwe untuk
kugunakan sebagai cermin."
"Ehm, aku menjadi ingin
tahu wajah asli orang itu......."
"Tapi kukira orang itu
takkan berani memperlihatkan diri di hadapan Cianpwe," kata Coh Liu-hiang.
"Sebab apa?" tanya Sih lh-jin. "Memangnya kau kira orang itu ada
sesuatu sangkut-pautnya dengan diriku?" Air mukanya menampilkan rasa
sangsi dan kualir, namun Coh Liu-hiang tetap tidak mau memberi jawaban pasti
atas pertanyaannva, ia malah menengadah memandang sekelilingnya, seakan-akan
merasa tertarik oleh suasana sekitar ini.
Tempat ini adalah sebuah taman
yang sunyi dengan pepohonan yang rindang, kebanyakan adalah pohon-pohon tua
yang sudah berumur ratusan tahun, dahannya tinggi, juga rumah dan pagar tembok
dibangun lebih tinggi daripada rumah umumnya, juga bukan tempat sembunyi yang
baik, sekalipun jagoan yang memiliki Ginkang tinggi juga tak dapat pergi datang
sesukanya, apalagi di sini adalah tempat tinggal Sih lh-jin, si jago pedang nomor
satu di dunia.
Setelah berpikir sejenak,
kemudian Coh Liu-hiang berkata pula, "Jika aku, jelas aku tak berani
melakukan tindakan kekerasan di sini kecuali sebelumnya sudah kuatur jalan
untuk kabur."
Diketahuinya di pojok pagar
taman sana ada sebuah pintu kecil, pagar tembok penuh dirambati akar-akaran
yang sudah setengah kering, sebab itulah pintu kecil ini sebagian besar
tertutup oleh akar-akaran itu, kalau tidak diperhatikan, sukar untuk mengetahui
pintu ini.
Segera Coh Liu-hiang mendekati
pintu itu, gumamnya, "Apakah ini pintu yang digunakannya untuk
kabur?"
"Pintu ini selalu
tergembok, malah sudah beberapa tahun tak pernah dibuka," kata Sih lh-jin.
Memang benar, palang pintu
yang terbuat dari besi itu tampak sudah karatan, itulah tandanya sudah lama
sekali tak pernah dibuka. Tapi kalau diteliti secara cermat tentu akan
diketahui sebagian karat pada palang besi telah terkelupas dan rontok di tanah,
dari bekasnya jelas kelupasan baru, Coh Liu-hiang memungut secuil rontokan
karat besi itu, katanya setelah berpikir sejenak, "Apakah tempat ini
sering dibersihkan?"
"Setiap hari tentu
disapu." kata Sih Ih-jin. "Cuma.....cuma selama dua hari ini
karena....."
"Karena selama dua hari
ini selalu disibukkan menangkap penyatron, dengan sendirinya lupa membersihkan
halaman sehingga karat besi inipun tidak tersapu, begitu bukan?" tukas Coh
Liu-hiang dengan tertawa.
"Karat besi apa
maksudmu?" tanya Sih Ih-jin.
"Daun pintu ini jelas
baru saja dibuka orang, makanya karat besi pada gembok dan palang pintu ini terkelupas
dan jatuh di tanah," kata Coh Liu-hiang.
"Tapi pagi kemarin dulu,
halaman ini jelas telah disapu oleh si Lau Li yang biasanya bekerja sangat
teliti, tempat yang sudah disapu, tidak mungkin meninggalkan kotoran
apapun," kata Sih Ih-jin.
"Sebab itulah daun pintu
ini pasti dibuka orang setelah halaman ini dibersihkan Lau Li, mungkin hal ini
terjadi pada malam harinya," ujar Coh Liu-hiang.
Tergerak hati Sih Ih-jin.
katanya, "Jadi maksudmu......."
"Maksudku, si pembunuh
gelap itu mungkin menyelinap masuk dari pintu ini, lalu kabur lagi melalui
pintu ini pula."
Air muka Sih Ih-jin tambah
prihatin, ia mondar-mandir pelahan sambil menggendong tangan, katanya kemudian,
"Padahal pintu ini sudah lama tak terpakai, orang yang kenal pintu inipun
tidak banyak......"
Coh Liu-hiang meraba hidung
pula, entah apa yang dipikirnya.
Sesudah berdiam agak lama baru
Sih Ih-jin menyambung pula, "Jelas Ginkang orang itu sangat tinggi, dia
dapat pergi datang tanpa diketahui orang lain, untuk apa dia mesti melalui
pintu ini?"
"Justru tiada seorang pun
yang menyangka dia akan keluar masuk melalui pintu ini, makanya dia sengaja
memakai pintu ini untuk masuk secara diam-diam dan keluar lagi dengan
aman."
"Dan sekarang pintu ini
sudah tergembok lagi."
"Ya, di sinilah letak
keanehannya."
"Sesudah kabur, masakah
dia berani kembali ke sini untuk menggembok pintu?"
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Bisa jadi dia merasa yakin dapat menghindari mata telinga orang
lain."
"Memangnya dia anggap
orang-orang yang berada di sini orang buta semua."
"Mungkin dia mempunyai
cara yang khas."
"Cara apa? Memangnya dia
memiliki ilmu menghilang?" ujar Sih Ih-jin.
Coh Liu-hiang tidak menanggapi
lagi, dia sedang memperhatikan gembok pintu. Tiba-tiba ia mengeluarkan seutas
kawat yang agak panjang, kawat itu dimasukkan ke lubang gembok, lalu diputarnya
pelahan, "klik", tahu-tahu gembok itu dapat dibukanya.
"Aku pun tahu gembok ini
tak dapat merintangi penyatron malam yang berpengalaman, yang kuharapkan cukup
menjaga keamanan saja," kata Sih Ih-jin sambil mendorong daun pintu itu,
lalu menyambung pula, "Apakah Hiang-swe bermaksud melongok halaman di
sebelah?"
"Ya, maksudku juga
demikian, harap Cianpwe sudi mengantar," kata Coh Liu-hiang. Agaknya dia
sangat berminat terhadap gembok yang sudah karatan itu, pada saat Sih Ih-jin
melangkah masuk ke halaman sebelah, di luar tahu tuan rumah itu, dia terus
masukkan gembok itu ke dalam bajunya.
Dilihatnya halaman sebelah
juga sangat sunyi, bangunan yang ada juga tidak banyak, namun daun kering
tampak memenuhi halaman, debu juga menumpuk di kusen jendela, semua itu
menambah beningnya suasana.
Setelah memandang debu dan
daun yang memenuhi halaman, air muka Sih Ih-jin tampak mengunjuk rasa marah.
Maklumlah, melihat keadaan yang kotor ini, siapa pun dapat menduga sedikitnya
sudah dua-tiga bulan halaman ini tidak pernah di sapu.
Diam-diam Coh I iu-hiang
merasa geli, pikirnya, "Rupanya kaum budak Sih-keb-ceng juga sama dengan
hamba keluarga lain, cara kerjanya hanya giat di depan sang majikan saja."
Waktu ini ada angin meniup
santer sehingga daun kering bertebaran dan menerbitkan suara gemerisik.
"Apakah halaman ini
memang kosong?" tanya Coh Liu-hiang.
"Di sini sebenarnya
adalah tempat tinggal saudaraku Siau-jin," tutur Sih Ih-jin.
"Dan sekarang?"
tanya Coh Liu-hiang pula.
"Sekarang...... ai memang
saudaraku itu kurang rapi dalam soal-soal kecil begini, makanya kaum hamba juga
berani teledor."
Ucapan Sih Ih-jin ini cukup
taktis, tapi juga menerangkan tiga hal. Yakni, pertama membuktikan Sih Siau-jin
masih bertempat tinggal di sini. Kedua, kaum hambanya tidak mengindahkan
'Sih-jiya' yang sinting ini, maka tempat tinggalnya tidak mendapat perhatian
kaum budaknya. Ketiga, secara tidak langsung Sih Ih-jin seakan-akan menjelaskan
hubungan renggang antara mereka bersaudara, sebab kalau dia sering berkunjung
ke sini, mustahil kaum budak itu berani meremehkan tempat ini? Pula daun pintu
itu tidak mungkin tergembok serapat itu.
"Mungkin akhir-akhir ini
Sih-jiya jarang berdiam di sini?" kata Coh Liu-hiang dengan sorot mata
tajam.
Sih Ih-jin tidak menjawab, dia
hanya menghela napas menyesal saja. Pada saat itulah sekonyong-konyong
terdengar suara ribut di luar, ada orang berteriak kaget. "Ha, api,,,,,,
istal kuda terbakar....... "
Meski Sih Ih-jin seorang yang
sabar, tidak urung naik pitam juga sekarang, Jengeknya, "Hm, bagus, bagus
sekali. Kemarin dulu ada pencuri pedang, kemarin ada pembunuh gelap, sekarang
ada orang membakar lagi. Apa barangkali aku Sih Ih-jin benar-benar sudah tua
dan loyo?"
Cepat Coh Liu-hiang menghiburnya,
"Ah, di musim kering, kurang hati-hati sedikit tentu mudah menimbulkan
kebakaran, apalagi istal kuda biasanya banyak tertimbun jerami dan rumput
kering.......”
Meski begitu ucapannya, tapi
diam-diam Coh Liu-hiang sudah tahu siapa yang berbuat. Jelas itulah buah tangan
Siau-hwe-sin.
Mungkin pemimpin Kay-pang
kelompok Siong-kang-hu itu merasa kuatir atas diri Coh Liu-hiang yang sudah
sekian lama masuk ke rumah Sih Ih-jin dan belum nampak keluar, tentu saja ia
tidak dapat tinggal diam lagi dan terpaksa mulai bertindak.
Sih Ih-jin tersenyum hambar
tanpa menanggapi ucapan Coh Liu-hiang tadi.
Pada saat itu kembali ada
suara jeritan kaget orang ramai. "He, dapur juga terbakar, lekas
dipadamkan........ Hm, itulah dia keparat yang membakar halaman belakang sana,
lekas kejar!"
Rupanya tehnik membakar
Siau-hwe-sin tidak terlalu tinggi sehingga jejaknya ketahuan musuh. Diam-diam
Coh Liu-hiang menghela napas gegetun, dilihatnya air muka Sih Ih-jin
pucat-pasi, mungkin karena geramnya. Agaknya dia ingin mengejar si penyatron
itu, tapi tidak enak meninggalkan Coh Liu-hiang di sini sendirian.
Waktu mereka memandang ke
balik pagar tembok sana, tertampak api sudah mulai berkobar. Tiba-tiba terkilas
sesuatu pikiran dalam benak Coh Liu-hiang, katanya. "Silakan Cianpwe
memadamkan kebakaran itu, biarlah Cayhe tunggu di sini, bisa jadi sebentar
Sih-jihiap akan pulang dan dapat kuajak mengobrol dia.”
"Jika begitu, maaf, aku
tidak menemanimu lagi." kata Sih Ih-jin, cepat ia melangkah keluar, tapi
baru dua-tiga tindak, mendadak ia berpaling dan berkata pula, "Apabila
terjadi saudaraku kurang adat, Hiang-swe tidak perlu sungkan-sungkan padanya,
silakan engkau memberi hajaran saja."
Coh Liu-hiang tidak
menjawabnya, ia hanya tersenyum saja, senyuman yang sangat misterius.