-------------------------------
----------------------------
Bab 8: Warisan Leluhur
Tempat tinggal Sih Siau-jin
ini serupa benar dengan sang kakak, bedanya cuma dimana-mana penuh debu dan
tidak pernah dibersihkan. Pintu rumah juga tertutup rapat, bahkan pada gelang
pintu diikat dengan sepotong tali.
Padahal jika ada orang ingin
masuk ke situ, biarpun diikat sepuluh tali juga tiada gunanya. Ikatan tali itu
tidak lebih hanya sebagai petunjuk saja, apakah ada orang masuk secara
diam-diam atau tidak. Dengan sendirinya Coh Liu-hiang tahu arti pemberian tali
itu.
Untuk sejenak ia berdiri diam
sambil mengawasi tali pengikat pintu, akhirnya ia membukanya. Tapi dia tidak
segera melangkah masuk. Daun pintu berkeriat-keriut tertiup angin, di dalam
rumah sangat gelap, cahaya matahari tak dapat menyorot ke dalam rumah karena terhalang
oleh tembok yang tinggi dan ke teduhan pepohonan.
Coh Liu-hiang menunggu setelah
matanya dapat menyesu aikan keadaan yang gelap itu, barulah mulai melangkah
masuk ke dalam, langkahnya sangat lambat dan hati-hati.
Mungkinkah dia anggap rumah
ini sangat berbahaya? Memang betul, terkadang 'orang gila' memang sangat
berbahaya, tapi tempat tinggal orang gila masakah juga berbahaya?
Akhirnya Coh Liu-hiang
terbelalak melihat keadaan di dalam rumah itu.
Siapa pun, apabila sudah masuk
ke rumah ini dan bermaksud mentari Sih Po-po, tentu akan mendadak mengira
dirinya kesasar. Sebab dari keadaan di dalam rumah ini hakikatnya tidak mirip
tempat tinggal orang lelaki.
Di pojok sana ada sebuah meja
rias yang sangat besar, di atas meja rias tertaruh bermacam-macam benda dan
hampir semuanya adalah barang keperluan bersolek orang perempuan. Di atas
ranjang, di atas kursi, juga tertaruh macam-macam pakaian yang beraneka warna,
semuanya bermotif bunga yang berwana-warni, mungkin anak perempuan saja jarang
ada yang berani memakai kain baju macam begini.
Apabila yang bertempat tinggal
di sini adalah orang perempuan, maka perempuan ini pun pasti ada sesuatu yang
tidak beres, apalagi yang tinggal di sini adalah seorang lelaki, lelaki yang
sudah berumur empat puluh tahun lebih.
Dengan sendirinya lelaki ini
adalah seorang gila dan tidak perlu disangsikan lagi. Seketika sorot mata Coh
Liu-hiang menjadi guram pula. Ia coba mengitari ruangan rumah dan meneliti
setiap benda.
Tiba-tiba ia menemukan bahwa
Sih Po-po adalah seorang yang rajin, semua barang yang dipakainya di sini
adalah barang pilihan yang mahal, kwalitas bajunya juga tergolong yang paling
baik, bahkan semuanya serba bersih. Meski hampir semua barang di dalam rumah
ini tertaruh begitu saja seperti tidak teratur, tapi semuanya resik, apik dan
bagus.
Lantas siapakah yang
membersihkan tempat ini? Jika ada orang membersihkan rumahnya, mengapa tiada
orang membersihkan halaman rumah?
Mendadak sorot mata Coh
Liu-hiang mencorong terang. Pada saat itulah mendadak terdengar suara gemerasak
di atap rumah, Coh Liu-hiang terkejut, tanpa pikir ia mengayun tangannya,
sebatang tusuk kundai segera menyambar ke atas.
Tusuk kundai itu tadinya
berada di atas meja rias, Coh Liu-hiang sedang mengamat-amatinya, sekarang
mendadak disambitkannya, "cret", tusuk kundai menancap di
langit-langit rumah.
Anehnya mendadak terdengar
suara mencicit yang mengerikan di atas langit-langit rumah itu, langit-langit
rumah itu terbuat dari papan sehingga mirip loteng, cuma tiada tangga dan
sesuatu lubang. Tusuk kundai yang menancap di papan langit langit itu nampak
gemerdap.
Dengan enteng Coh Liu-hiang
melayang ke atas, dan menempel di langit-langit, menempel rata seperti lengket
di situ, dengan pelahan ia cabut tusuk kundai itu, maka dilihatnya setitik
darah ikut menetes keluar melalui lubang kecil itu, darah itu ke hitam-hitaman
seperti tinta, bahkan membawa semacam bau busuk yang sukar dilukiskan.
"Ah, kiranya seekor
tikus," gumamnya dengan tertawa. Akan tetapi tikus ini telah banyak
membantunya. Ia bersihkan darah yang merembes keluar itu, lalu ia mengetuk
pelahan langit-langit rumah dengan tusuk kundai itu. Dengan sendirinya
langit-langit rumah itu kosong bagian atasnya.
Seperti seekor cecak saja Coh
Liu-hiang menggeser ke pinggir sana, mendadak sebelah tangannya menolak
langit-langit atap itu, sepotong papan lantas terangkat ke atas dan
tertampaklah sebuah lubang masuk yang gelap, dengan gesit Coh Liu-hiang lantas
menyusup ke atas loteng itu.
Suara gempar di luar sana
sementara itu sudah mulai reda. Tapi Coh Liu-hiang rada kecewa melihat keadaan
di atas loteng itu, ternyata tiada sesuatu rahasia yang ditemukannya, yang ada
di situ hanya sebuah bangku dan sebuah peti baju. Peti yang su dah amat tua,
seperti barang yang sudah lama disingkirkan oleh pemiliknya. Tapi waktu Coh
Liu-hiang merabanya, peti itu ternyata sangat bersih, tiada berdebu sedikitpun.
Inilah penemuan yang menarik.
Cepat ia membuka peti itu,
ternyata isinya cuma beberapa potong baju yang sangat umum, tiada sedikitpun
tanda-tanda yang aneh pada baju-baju ini, siapa pun pasti tidak heran melihat
baju demikian.
Akan tetapi Coh Liu-hiang
harus dikecualikan mungkin karena baju-baju ini terlalu biasa, terlalu umum
makanya membuat Coh Liu-hiang terheran-heran. Mengapa di atas loteng tempat
tinggal seorang gila bisa tersimpan baju yang biasanya dipakai. Dan kalau
baju-baju ini sudah biasa dipakai, mengapa disimpan di atas loteng, padahal
peti baju ini tiada berdebu sedikitpun.
Coh Liu-hiang manaruh kembali
baju-baju itu ke dalam peti dan ditutupnya lagi, lalu ia memberosot keluar
melalui lubang loteng tadi dan merapatkan papannya, ia coba memandangnya dari
bawah, jelas tiada tanda-tanda pernah disentuh orang.
Lalu ia menaruh kembali tusuk
kundai tadi di meja rias, kemudian keluar dan merapatkan pintu, diikatnya
kembali daun pintu dengan tali.
Sementara itu cahaya api di
luar sana sudah berubah menjadi kepulan asap, agaknya api sudah berhasil
dipadamkan. Di luar halaman sana terdengar suara orang berseru memanggil, ada
orang datang mencari Coh liu-hiang.
Cepat Coh Liu-hiang melompat
ke atas, dengan enteng dia melayang ke wuwungan dan mendekam di situ.
Didengarnya ada dua orang
berlari datang, seorang sedang memanggil, “Coh-tayhiap, Cengcu mengundang
engkau minum teh di ruangan depan.”
Tapi seorang lagi menanggapi,
"Jelas orang sudah pergi apa gunanya kau berkaok-kaok di sini?"
Orang pertama tadi agaknya
menjadi ragu, omelnya kemudian, "Masa dia pergi tanpa pamit, jangan-jangan
Sih-jiya kita yang menyeretnya pergi."
Orang kedua lantas menanggapi
dengan tertawa, "Kedatangan orang she Coh ini hanya menimbulkan gara-gara
saja, sehingga dua hari kita tak dapat tidur nyenyak, jika dia kena dikerjai
Jiya, barulah tahu rasa.”
Coh Liu-hiang mendengarkan
percakapan mereka dengan mendongkol. Sesudah kedua orang itu pergi, cepat ia
membuka beberapa genteng, dari situ ia menyusup masuk lagi ke atas loteng tadi.
Ia menemukan bangkai tikus tadi dan disingkirkannya ke pojok sana, ia robek
ujung bajunya untuk mengusap lantai loteng hingga bersih.
Maka tertampaklah lubang kecil
yang ditembus tusuk kundai tadi, ia mendekam di situ dan mengintip ke bawah
melalui lubang kecil tadi, kemudian ia gunakan kawat pembuka gembok tadi untuk
memperbesar lubang itu. Selesai bekerja, dengan rileks ia berbaring di situ, ia
meraba hidungnya dengan tersenyum agaknya ia merasa sangat puas terhadap segala
apa yang telah dikerjakannya itu.
Entah sudah berapa lama pula,
pintu di bawah mendadak berbunyi, cepat Coh Liu-hiang terjaga, ia membalik
tubuh pelahan dan mengintip ke bawah melalui lubang kecil itu. Sebelumnya ia
sudah memperhitungkan letaknya sehingga lubang yang kecil ini cukup digunakan
untuk mengintip segala gerak-gerik orang yang masuk ke dalam rumah.
Ia lihat yang masuk itu memang
betul Sih Po-po adanya. Mula-mula si sinting itu menguap ngantuk, lalu
menggeliat seperti orang sakit pinggang, kemudian punggung diketuk-ketuk dengan
kepalan sambil mondar-mandir di dalam rumah seperti mengendurkan otot.
Kecuali bajunya yang tidak
layak itu, kalau melihat gerak-geriknya sekarang jelas tiada sesuatu tanda
orang gila. Apakah orang gila kalau sudah berada di tempat tinggalnya lantas
berubah menjadi normal kembali? Apakah kebanyakan orang gila di dunia ini baru
akan kumat penyakit gilanya bilamana bertemu dengan orang lain?
Coh Li-hiang sangat tertarik
oleh semua ini, maklum meski banyak pengetahuannya dan luas pengalamannya, tapi
belum di ketahuinya apa yang dilakukan seorang gila bilamana berada sendirian.
Dilihatnya Sih Po-po sedang
mengitar kian kemari, kemudian ia duduk di depan meja rias dan termangu mangu
memandang cermin perunggu, lalu tusuk kundai tadi diambilnya dan diendus-endus,
ia mencibir terhadap cermin sambil bergumam. "Hm, pencuri sialan,
memangnya apa yang ingin kaucuri?"
Nyata dia telah mengetahui ada
orang masuk ke rumahnya. Diam-diam Coh L.u-hiang merasa senang seperti anak
sekolah dasar yang berhasil memecahkan soal berhitung yang sulit. Di luar
dugaan baru saja ia mengedip, tahu-tahu Sih Po-po sudah menghilang.
Entah sengaja atau tidak,
mendadak Sih Po-po telah menyelinap ke pojok, yang sukar dipandang Coh
Liu-hiang. Walaupun begitu Coh Liu-hiang dapat mendengar suara berkeriut pada
lantai di bawah.
Apa yang sedang dilakukan Sih
Po-po? Bila orang lain tentu akan menunggu lagi, tapi Coh Liu-hiang tidak sabar
lagi, ia sudah lama menunggu dan kesempatan sekarang tidak boleh disia-siakan.
Sekali menarik papan lubang loteng, secepat angin ia terus melompat turun.
Jika terlambat satu langkah
saja, mungkin sukar lagi bagi Coh Liu-hiang untuk menemukan Sih Po-po. Kiranya
di belakang meja rias itu ada sebuah jalan rahasia bawah tanah dan Sih Po-po
sudah hampir menerobos ke situ.
"Eh, ada tamu masa tuan
rumahnya malah tinggal pergi begitu saja?" demikian Coh Liu-hiang menegur
dengan tertawa.
Sih Po-po menoleh, melihat Coh
Liu-hiang, seketika ia berjingkrak gusar dan mengomel, "Tamu? Kau
terhitung tamu apa? Kau penipu, pencuri....... " Sebenarnya ia memegang
sesuatu benda gepeng entah apa, pada saat menoleh itulah dengan cepat benda itu
lantas disimpannya di dalam baju.
Coh Liu-hiang pura-pura tidak
melihat, ia tetap tersenyum dan berkata, "Apapun juga, yang jelas aku
tidak berbuat sesuatu kesalahan dan berdosa, maka juga tidak perlu masuk ke
lorong bawah tanah."
Mendengar itu, kemudian Sih
Po-po berjingkrak gusar, teriaknya. "Aku menerobos ke lorong bawah tanah
untuk mencari kawan, peduli apa dengan kau?"
"O, menyusup ke
terowongan situ untuk mencari kawan? Kiranya kawanmu tinggal di bawah
tanah?"
"Ya, memang, kau mau
apa?" jawab Sih Po-po. "Hanya kelinci saja yang tinggal di terowongan
bawah tanah semacam ini, apakah kawanmu itu kelinci?"
"Memang betul, kelinci
jauh lebih menyenangkan daripada manusia, mengapa aku tidak boleh berkawan
dengan mereka?" kata Sih Po-po dengan melotot.
"Betul juga," ujar
Coh Liu-hiang sambil menghela napas gegetun. "Berkawan dengan kelinci
paling tidak takkan berbahaya, cara bagaimana kita akan berpura-pura gila pasti
takkan diperdulikan oleh kelinci."
Sih Po-po tidak marah,
sebaliknya ia terus bergelak tertawa dan berkata, "Bagus, bagus, kiranya
kau pun suka berkawan dengan kelinci, hayo, marilah lekas ikut bersamaku."
Berbareng ia terus melompat maju hendak menarik tangan Coh Liu-hiang.
Sudah tentu Coh Liu-hiang tak
dapat diakali untuk kedua kalinya, dengan enteng ia mengegos ke samping Sih
Po-po katanya dengan tertawa, "Aku tidak membunuh orang dan juga tidak
pura-pura gila, untuk apa harus berkawan dengan kelinci?"
"Apa katamu? Aku tidak
paham?" tanya Sih Po-po sambil tertawa.
Coh Liu-hiang memandangnya
tajam-tajam, katanya tegas, "Kau tidak perlu pura-pura gila lagi, aku
sudah tahu siapakah engkau."
"Sudah tentu kau tahu
siapa diriku!" seru Sih Po-po sambil bergelak tertawa. "Aku ini
Sih-Jiya dari Sih-keh-ceng, adik kandung si jago pedang nomor satu di dunia, si
anak ajaib, anak jenius."
"Ya, kecuali itu, kau pun
si pembunuh berdarah dingin nomor satu di dunia," tukas Coh Liu-hiang.
"Pembunuh?" Sih
Po-po menegas, "Pembunuh apa? Memang barusan aku telah membunuh seekor
ayam."
Coh Liu-hiang tidak pedulikan
dia meski orang berlagak pilon, ia berkata pula dengan pelahan, "Begitu
masuk ke rumah segera kau tahu, ada orang masuk ke sini, sebab meski
barang-barang ini tampaknya tertaruh secara semrawut, tapi sebenarnya sudah kau
atur sedemikian rupa sehingga sedikit digeser orang saja segera akan ketahuan.
Kau pun yakin kecuali diriku, tiada orang lain yang menaruh curiga padamu,
sebab itulah, begitu diketahui ada orang masuk ke sini dengan segera kau
teringat padaku."
"Ya, sebabnya lantaran
sudah kuketahui kau ini bukan cuma penipu saja, bahkan juga pencuri," kata
Sih Po-po.
"Rumah ini meski
tampaknya seperti tempat tinggal seorang gila, padahal banyak lubang-lubang
kelemahannya dan tidak nanti dapat mengelabui orang yang berpandangan
taiam," kata Coh Liu-hiang pula.
"Hm, apakah kau ini orang
berpandangan tajam? Kukira pandanganmu tidak tajam, bahkan rada lamur, seperti
kawanku si kelinci,'' jengek Sih Po-po.
"Rumah ini mirip kamar
seorang pelajar, tampaknya segala sesuatunya kacau balau, tapi sesungguhnya
sengaja diatur, bahkan semua serba resik dan apik," kata Coh Liu-hiang
pula. Mendadak ia tertawa dan menyambung, "Selanjutnya jika kau masih
ingin pura-pura gila, paling tidak kau harus menaburi rumahmu ini dengan
sedikit kotoran sapi atau tahi anjing, pupur yang kau gunakan juga jangan
begitu tinggi kwalitasnya, gunakan saja kapur labur, kan lebih masuk
akal."
"Haha, pantas mukamu
putih bersih, kiranya kau suka pakai pupur labur sebagai bedak," seru Sih
Po-po sambil berkeplok tertawa.
"Dan yang paling penting,
tidak seharusnya kau meninggalkan bajumu di atas loteng," kata Coh
Liu-hiang pula.
Sih Po-po berkedip-kedip,
tanyanya kemudan, "Baju, baju apa?"
"Baju yang kau pakai pada
waktu kau hendak membunuh orang,"jawab Coh Liu-hiang.
Mendadak Sih po-po tertawa terkekeh-kekeh,
tapi sorot matanya tiada sedikitpun menampilkan rasa tertawa.
Dengan tajam Coh Liu-hiang
menatapnya dan berkata, "Kau tahu semua ini sudah kutemukan, kau tahu
segala rahasiamu lambat atau cepat pasti akan terbongkar olehku, makanya kau
ingin mengeluyur pergi, tapi sekali ini tak dapat lagi kulepaskan kau."
Tertawa Sih Po-po semakin
keras, makin terpingkal-pingkal hingga dia beguling-guling di lantai, akan
tetapi Coh Liu-hiang selalu menatapnya dengan tajam, kemana pun dia berguling
selalu diawasi dengan ketat oleh Coh Liu-hiang.
"Waktu mula-mula bertemu
dengan kau, sudah timbul rasa heranku," kata Coh Liu-hiang pula.
"Tapi sama sekali tak terpikir olehku bahwa kau inilah si pembunuh
berdarah dingin itu. Apabila kau tidak terburu nafsu ingin lekas-lekas
membunuhku, bisa jadi takkan kusangka akan dirimu untuk selamanya."
Sambil berguling-guling di
lantai, Sih Po-po berkata pula, "Orang lain semua sudah bilang aku gila,
hanya kau saja yang bilang aku tidak gila. Hahaha, engkau benar-benar orang yang
baik hati."
Mendadak ia berguling pula ke
depan Coh Liu-hiang, tapi dengan cepat Coh Liu-hiang menjauhinya, katanya
dengan tersenyum, "Kemudian kau pun tahu untuk membunuh diriku bukan
pekerjaan yang mudah, maka kau lantas ganti siasat dan bermaksud memfitnah
diriku, kau ingin meminjam kecepatan pedang kakakmu untuk mencabut
nyawaku."
Meski Sih Po-po masih terus
tertawa, tetapi tertawanya sudah tak bersuara lagi, jadi lebih tepat dikatakan
menyengir.
Dalam pada itu Coh Liu-hiang
sedang berkata pula, "Untuk maksud tujuanmu itu maka lebih baik dulu kau
mencuri pedang pusaka kakakmu, lalu hendak melakukan pembunuhan gelap. Karena
setiap jengkal Sih-keh-ceng sudah kau kenal, dengan sendirinya kau dapat pergi
datang sesukamu dan tiada seorangpun yang mampu menangkapmu," ia tertawa
lalu menyambung pula,
"Lebih-lebih daun pintu
perbatasan halaman itu, bilamana orang hendak menangkap si pembunuh, segera kau
menyelinap masuk lewat pintu itu dan pulang ke rumah sendiri, kalau orang sudah
tidak menaruh perhatian lagi, lalu kau pasang lagi gemboknya. Seumpama
perbuatanmu kepergok orang juga tidak jadi soal, sebab tiada seorang pun yang
memperhatikan dan mencurigaimu, bagi pandangan orang lain, kau tidak lebih cuma
seorang gila, dan justru inilah ilmu 'menghilang' yang ampuh bagimu."
Mendadak Sih Po-po berdiri dan
menatap Coh Liu-hiang tajam-tajam.
Dengan hambar Coh Liu-hiang
berkata pula, "Kau memang seorang cerdik, setiap pekerjaanmu selalu kau
atur sedemikian rapinya sehingga tiada seorang pun yang menerka akan dirimu.
Bahwa Sih-jisiauya dari Sih-keh-ceng, adik kandung Sih Ih-jin bisa menjadi
pembunuh bayaran, membunuh orang untuk mendapatkan uang, cerita ini betapapun
sukar dipercaya oleh siapa pun juga."
Mendadak Sih Po-po bergelak
tertawa, katanya, "Memang aneh, Sih-jicengcu dari Sih-keh-ceng bisa
membunuh orang demi mendapatkan duit, ini benar-benar kejadian yang ganjil dan
tidak masuk diakal dan sukar untuk dipercaya."
"Padahal persoalan ini
sama sekali tidak ganjil," kata Coh Liu-hiang. “Sebab kau membunuh orang
bukanlah demi mendapatkan uang, tapi demi nama, demi kehormatan, sebagai
kompensasi dari derita batinmu."
"Derita batin? Memangnya
batinku menderita apa?" kata Sih Po-po, air mukanya seperti menampilkan
sesuatu yang sukar untuk dikatakan, kulit mukanya berkerut-kerut. Mendadak ia
tertawa terkekeh-kekeh dan menambahkan lagi, "Hahaha, siapakah yang tidak
tahu kakakku adalah pendekar pedang nomor satu di dunia? Siapa yang berani
membikin susah padaku?"
Coh Liu-hiang menghela napas
pelahan, katanya, "Justru lantaran kakakmu adalah jago pedang nomor satu
di dunia, maka kau terperosok sedemikian rupa. Sebenarnya kau pun sangat pintar
dan berbakat, tinggi ilmu silatmu boleh dikatakan jarang ada bandingannya di
dunia persilatan, dengan bakat dan ilmu silatmu, sebenarnya kau dapat
memperoleh nama besar di Kangouw, cuma sayang....... " Dia menghela napas
panjang, lalu menyambung lagi dengan pelahan, "Cuma sayang, kau adalah
adik Sih Ih-jin."
Sekonyong-konyong ujung mulut
Sih Po-po gemetar seperti mendadak dicambuk orang.
"Sebab semua
keberhasilanmu itu tenggelam oleh kebesaran si jago pedang nomor satu di dunia,
apapun yang kau lakukan, orang lain takkan memuji dirimu, tapi yang dipuji
adalah 'adik si jago pedang nomor satu di dunia'. Apabila kau memperoleh
sesuatu sukses, semua itu adalah layak, wajar, sebab kau adalah adik si
pendekar pedang nomor satu di dunia. Tapi jika kau berbuat sesuatu kesalahan,
maka kau adalah seorang yang berdosa besar, sebab semua orang pasti akan
menganggap kau telah membikin malu pada kakakmu."
Sekujur badan Sih Po-po
menjadi gemetar dan tak dapat bersuara lagi.
"Jika orang lain,"
demikian Coh Liu-hiang menyambung. "Bisa jadi dia akan menyerah pada
nasib, malah mungkin terus runtuh dan tenggelam, tapi kau bukanlah manusia yang
mudah menyerah dan suka mengaku kalah, tapi apa mau dikata jika kau pun tahu
kesuksesanmu selamanya takkan melebihi kakakmu."
Ia menghela napas panjang,
lalu berkata pula sambil menggeleng, "Cuma sayang, jalan yang kau tempuh
telah salah......."
Bibir Sih Po-po
bergerak-gerak, seperti mau bicara apa-apa, tapi urung.
Coh Liu-hiang lantas berkata
pula. "Semua itu sudah tentu lantaran harapan kakakmu kepadamu teramat
tinggi, caranya mendidikmu terlalu keras, karena sayangnya padamu sehingga
pengawasannya juga sangat ketat. Sebab itulah lantas timbul pikiran berontak
dalam benakmu, tapi kau pun tahu di bawah pengawasan kakakmu, pada hakikatnya
kau tidak dapat sembarangan bertindak, makanya lantas timbul akalmu untuk
'pura-pura gila' agar orang lain tidak menaruh perhatian lagi padamu, agar
orang lain kecewa padamu, dengan demikian dapatlah kau bebas bergerak dan dapat
berbuat apapun sesuai kehendakmu."
Dia pandang lekat-lekat Sih
Po-po dengan penuh rasa menyesal.
Mendadak Sih Po-po bergelak
tertawa pula, tertawa latah katanya sambil menuding hidung Coh Liu-hiang,
"Hahaha, sungguh aneh jalan pikiranmu. Cuma sayang, semua ini hanya
ocehanmu sendiri, jika kau anggap diriku adalah biang keladi organisasi
pembunuh bayaran itu, paling tidak kau harus punya bukti nyata."
"Kau ingin bukti?"
tanya Coh Liu-hiang.
"Ya, jika tak dapat kau
buktikan, itu berarti kau memfitnah orang baik-baik," teriak Sih Po-po
dengan bengis.
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Baik, kau minta bukti, biar kuperlihatkan bukti nyata
padamu," Pelahan-lahan ia mengeluarkan gembok berkarat itu dan
diperlihatkan kepada Sih Po-po, katanya, "Inilah buktinya,"
"Ini terhitung bukti
macam apa?" jengek Sih Po-po.
"Gembok ini kuambil dari
pintu sana, gembok ini sudah sangat lama tidak pernah disentuh orang, hanya
kemarin dulu si pembunuh gelap itu pernah membuka gembok ini, betul
tidak?" kata Coh Liu-hiang.
Sih Po-po tidak menjawab,
sorot matanya penuh rasa kejut dan heran, nyata dia tak dapat menerka permainan
apa yang hendak dibawakan Coh Liu-hiang, ia bertekad takkan tertipu lagi.
Maka Coh Liu-hiang berkata
pula, "Orang yang membuka gembok ini pasti meninggalkan sidik jari, jika
gembok ini baru saja dipegang oleh pembunuh gelap itu, maka diatas inipun
terdapat sidik jari pembunuh itu, betul tidak?"
Mulut Sih Po-po terkancing
lebih rapat lagi.
"Dan sekarang kudapati di
atas gembok ini hanya ada sidik jarimu," kata Coh Liu-hiang pula.
"Sidik jari? Sidik jari
apa maksudmu?"akhirnya Sih Po-po ingin tahu.
"Manusia adalah makhluk
paling cerdik dari segala makhluk hidup di dunia ini, memang sangat ajaib cara
Tuhan menciptakan manusia, meski kau dan aku sama-sama manusia, tapi wajah kita
tidak sama, perawakan kita juga berbeda, di dunia ini hakikatnya juga tiada dua
manusia yang berwajah sama persis."
Sih Po-po tampak melongo, ia
belum tahu sesungguhnya apa yang dimaksudkan Coh Liu-hiang.
Mendadak Coh Liu-hiang
mengulurkan tangannya dan berkata pula, "Coba lihat pada telapak tangan
setiap orang pasti ada garis tangan, pada setiap jarinya juga ada sidik
jarinya. Namun garis tangan dan sidik jari setiap orang tiada yang sama, di
dunia ini tidak ada dua orang yang mempunyai sidik jari yang sama. Apabila kau
mau mempelajarinya secara cermat tentu kau akan tertarik oleh hal yang aneh
ini, cuma sayang, sejauh ini tiada seorang pun yang memperhatikan keajaiban
alam ini."
Makin bingung Sih Po-po
mendengarkan uraian Coh Liu-hiang itu, menghadapi sesuatu yang tidak
dipahaminya, biasanya orang itu pasti akan bersikap tak acuh dan meremehkan,
segera Sih Po-po menjengek. "Hm, obrolanmu ini paling-paling hanya dapat
menipu anak kecil umur tiga, dan jangan harap dapat menipu diriku."
Walaupun demikian ucapannya, tidak urung kedua tangannya lantas
disembunyikannya di belakang punggung.
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Sudah tiada gunanya meski sekarang kau menyembunyikan tanganmu,
sebab sudah kuselidiki dan kuperiksa benda-benda di meja riasmu, sidik jari
yang terdapat pada benda-benda itu memang persis sama dengan sidik jari di atas
gembok ini. Asalkan keduanya diperlihatkan, seketika kesalahanmu akan terbukti
dengan jelas dan tak mungkin dapat disangkal."
Sungguh kejut dan sangsi Sih
Po-po, tanpa terasa air mukanya menjadi pucat, mendadak tangannya menyapu
sehingga semua barang yang berada di meja rias tersapu jatuh berantakan ke
lantai.
"Coba, itukan tandanya
orang berdosa dan kuatir tertangkap?" seru Coh Liu-hiang dengan bergelak
tertawa. "Melulu kejadian ini sudah cukup membuktikan semua dosamu."
Tiba-tiba Sih Po-po meraung
murka, "Kau setan iblis, kau bukan manusia, mestinya sejak dulu-dulu
kubinasakan kau." Berbareng itu ia terus menubruk maju.
"Berhenti!" mendadak
terdengar seorang membentak. Keruan Sih Po-po terkejut, cepat ia menoleh,
ternyata Sih Ih-jin sudah berdiri di ambang pintu.
Air muka Sih lh-jin juga
kelihatan pucat menakutkan, dia menghela napas panjang, katanya dengan sedih
"Jite, akhirnva kau tetap tertipu olehnya."
Jidat Sih Po-po tampak penuh
berkeringat, tapi sama sekali tidak berani bergerak. Maklumlah sejak kecil
mereka sudah kehilangan orang tua, selama ini berada di bawah asuhan sang kakak
sehingga kakak ini sangat diseganinya seperti ayahnya.
Dengan menyesal Sih Ih-jin
berkata pula. "Apa yang dikatakan Coh Hiang-swe memang betul, setiap orang
mempunyai sidik jari yang berbeda, tangan orang menyentuh setiap benda juga
akan meninggalkan sidik jarinya. Ini hanya teori saja, sama halnya orang suka
bilang bumi ini bundar, namun sebegitu jauh tiada yang dapat membuktikannya.”
Dia memandang lekat-lekat Coh
Liu-hiang, lalu menegas pula, "Hiang-swe, bukankah selamanya kau pun tak
dapat membuktikan teorimu itu?"
Coh Liu-hiang meraba hidung,
jawabnya sambil menyengir, "Ya, teori ini bisa jadi akan dibuktikan orang
setelah beratus tahun lagi, sekarang memang belum dapat dibuktikan."
Baru sekarang Sih Po-po tahu
dirinya memang betul telah masuk perangkap Coh Liu-hiang, ia memelototi
seterunya itu entah sedih entah gusar, entah bagaimana pula perasaannya.
Tiba-tiba Sih Ih jin tertawa,
katanya. "Tapi, Hiang-swe kau pun telah tertipu olehku."
"Aku tertipu
olehmu?" Coh Liu-hiang menegas.
"Ya, " jawab Sih
Ih-jin pelahan. "Biang keladi organisasi pembunuh gelap itu sebenarnya
bukan Siau-jin tapi diriku."
Sekali ini Coh Liu-hiang
benar-benar terkejut, "Kau?"
"Betul, aku," jawab
Sih Ih-jin tegas.
Untuk sejenak Coh Liu-hiang
melenggong, ia menghela napas panjang, katanya kemudian, "Kutahu kasih
sayang antara kalian bersaudara, makanya kau rela memikul tanggung jawab bagi
adikmu."
Sih lh-jin menggeleng,
katanya, "Tidak, justru sebaliknya, aku tidak tega membiarkan dia
menanggung dosaku," Ia menghela napas panjang, lalu menyambung pula,
"Coba kau lihat, betapa luas dan megah perkampungan ini, betapa besar
biaya perawatannya pula. Padahal sudah berpuluh tahun aku pensiun, apabila aku
sudah tidak mempunyai penghasilan ekstra, cara bagaimana aku dapat memelihara
kediamanku yang besar ini?"
"Ini.......
ini......." Coh Liu-hiang menjadi ragu.
"Kau tahu, aku tidak
mahir berdagang dan juga tidak pintar berusaha, aku pun tidak suka magang
menjadi pembesar dan mencari kekayaan, lebih-lebih aku tidak sudi mencuri dan
mencopet," kata Sih Ih-jin. "Maka jalan satu-satunya bagiku adalah
apa yang menjadi kemahiranku, yakni memainkan pedang dan memenggal kepala
orang."
Dia tersenyum pedih, lalu
menyambung, "Demi untuk mempertahankan perkampungan warisan leluhur kami
ini, demi hidup berkecukupan sehari-hari anak muridku, terpaksa kugunakan jiwa
orang lain sebagai sumber penghasilanku, masa teori ini masih belum kau pahami,
Hiang-swe?"
Selama hidup Coh Liu-hiang
belum pernah terkesiap dan sedih seperti sekarang ini. Dia berdiri melenggong,
satu kata saja tidak sanggup bersuara pula.
Dengan rawan Sih Ih-jin
berkata lagi, "Tapi adikku ini, demi kejayaan keluarga dan demi nama baik
kakaknya, dia tidak sayang menanggung dosaku, kalau tidak, sungguh
aku......."
Mendadak Sih Po-po meraung,
"Sudahlah, jangan kau katakan lagi, jangan kau katakan lagi!"
"Urusan ini sudah tiada
sangkut pautnya lagi dengan kau," bentak Sih Ih-jin bengis. "Aku
sendiri akan menyelesaikannya dengan Coh Hiang-swe, sekarang kau enyah dari
sini!"
Sih Po-po menggreget,
jengeknya, "Hm, enyah? Sejak kecil aku selalu tunduk padamu, apapun yang
kau perintahkan selalu kuturuti, tapi sekali ini, sekali ini aku tidak mau
tunduk lagi padamu."
"Kau berani?" bentak
Sih Ih-jin gusar.
Sih Po-po tidak
mengacuhkannya, ia berkata pula, "Waktu aku berumur empat, kau mulai
mengajarku membaca, waktu berumur enam, kau mengajarku main pedang, segala apa
kau lah yang mengajariku. Selama hidupku ini selalu tertekan olehmu sehingga
tidak dapat bernapas. Untuk semua itu aku harus berterima kasih padamu dan
sekarang kau akan menanggung pula dosaku, jadi engkau selalu adalah kakakku
yang berbudi, sebaliknya aku ini adik yang tidak tahu diri......."
Omong-omong, akhirnya ia
menangis tergerung-gerung, teriaknya pula dengan parau, "Tapi cara
bagaimana kau tahu pula bahwa aku masih tetap akan menerima budi kebaikanmu?
Aku yang berbuat, biarlah aku sendiri pula yang bertanggung jawab, tidak perlu
kau menjadi orang baik, tidak perlu!"
Air muka Sih Ih-jin berubah
pucat, ucapnya, "Kau....... kau......."
Mendadak Sih Po-po berteriak
pula sambil menengadah, "Pembunuh gelap itu ialah diriku, pembunuh bayaran
itupun diriku. Orang yang kubunuh sudah tak terhitung jumlahnya, matipun aku
tidak rugi lagi....... Nah, Coh Liu-hiang mengapa tidak lekas turun
tangan?"
Air mata Sih Ih-jin juga
bercucuran, katanya dengan suara parau, " Ya, semua ini salahku, aku
memang keterlaluan padamu, aku terlalu keras mengekangmu. Hiang-swe biang
keladi sebenarnya dari semua kesalahan ini ialah diriku, silakan kau bunuh aku
saja."
Pedih rasa hati Coh L.u-hiang,
hampir saja ia ikut meneteskan air mata.
Dengan suara bengis Sih Po-po
lantas berteriak pula, "Coh Liu-hiang, tidak perlu kau berlagak welas
asih....... Baik, kau tidak mau turun tangan, biar aku yang melakukannya
sendiri......" Sampai di sini, mendadak ia melolos sebuah belati terus
menikam ke tenggorokan sendiri, seketika suaranya berhenti.i
Sih Ih-jin menjerit kaget dan
memburu maju, namun sudah kasip. Darah menyemprot seperti air mancur, sekali
lagi mem buat bajunya menjadi merah pula.
Tapi sekali ini adalah darah
adiknya. Apakah bajunya ini akan disimpannya pula seperti yang dulu-dulu?
Hiat-ij-jin. si manusia
berbaju darah. O, Sih Ih-jin.
Pelahan-lahan Coh Liu-hiang
mengundurkan diri.
Demi melacak dan menemukan
pemimpin organisasi pembunuh bayaran ini, entah telah banyak menguras tenaga
dan pikirannya, entah berapa lama pula dia menyelidik dan mengikuti jejaknya,
dan sekarang cita-citanya itu telah terlaksana.
Akan tetapi apakah hati Coh
Liu-hiang benar-benar sangat gembira?
Siang hari di musim rontok
lebih singkat, senja hampir tiba. Angin meniup, daun kering berguguran, Coh
Liu-hiang menjumput sehelai daun rontok itu dan memandangnya dengan
termangu-mangu sekian lamanya, lalu daun kering itu dibuangnya dan kabur
terbawa angin.
Dengan membusungkan dada, Coh
Liu-hiang lantas melangkah keluar Sih-keh-ceng. Begitu keluar pintu gerbang
perkampungan Sih, segera Coh Liu-hiang mengetahui ada orang bersembunyi jauh di
balik pohon sana dan sedang mengintai ke sini.
Meski orang itu hanya
mengintip dan cuma kelihatan sebelah matanya, tapi sudah mengenal siapa
dia..... Kecuali Siau-tut-cu atau si gundul jelas tiada orang lain yang
berkepala kelimis begitu.
Pengintai itu memang betul si
gundul adanya. Begitu melihat Coh Liu-hiang keluar dari Sih keh-ceng, seketika
mata si jembel kecil ini mencorong terang.
Namun Coh Liu-hiang seperti
tidak melihatnya, tentu saja si gundul menjadi cemas, berulang-ulang ia
menggapai dan Coh Liu-hiang tetap tidak menggubrisnya, sebaliknya malah
berjalan menuju ke arah yang berlawanan.
Cepat si gundul berlari
menyusulnya, tapi ia cuma mengintil di belakang saja dan tidak berani menyapa.
Orang yang baru habis membakar
rumah tentu tidak tentram perasaannya. Ia tunggu setelah jauh meninggalkan
Sih-keh-ceng, barulah dia berani mendekati Coh Liu-hiang serta menegur dengan
tertawa. "Engkau orang tua jika tidak keluar, sungguh kami cemas setengah
mati."
Coh Liu-hiang menepuk-nepuk
pipinya dan berkata, "Aku belum lagi tua, kalian pun tidak perlu
cemas?"'
Si gundul melengak mendengar
jawaban yang ketus itu. Cepat ia bicara dengan mengiring tawa,
"Jangan-jangan Hiang-swe lagi marah kepada kami? Apakah lantaran kami
tidak menyerbu ke dalam untuk membantumu?"
"Mana berani kuharapkan
bantuan kalian?" jengek Coh Liu-hiang, "Yang kuharap agar selanjutnya
kalian jangan lagi mengaku diriku ini sebagai sahabat kalian."
Sebenarnya si gundul lagi
tertawa demi mendengar ucapan itu seketika tertawanya berubah menyengir. Selang
sejenak barulah dia bertanya dengan gelagapan, “Seb....... sebab apa?"
"Sebabnya, banyak dan
macam-macam sahabatku, tapi sababat yang suka membunuh dan membakar belum
pernah punya" jawab Coh Liu-hiang. "Hm, masih muda belia sudah main
bunuh dan bakar, jika sudah dewasa kan lebih-lebih tak keruan."
"Tapi aku tidak pernah
membunuh orang," kata si gundul dengan gelisah.
"Dan membakar?"
tanya Coh Liu-hiang.
"Juga ti.....tidak
pernah," jawab si gundul menyengir. "Cuma..... cuma"
"Cuma demi diriku,
makanya kau main bakar begitu?"
Keringat memenuhi muka si
gundul, ia menjadi bingung apakah harus mengangguk atau menggeleng.
"Kau membakar rumah demi
diriku dan aku harus berterima kasih, begitu bukan?" kata Coh Liu-hiang .
"Jika demikian bila kelak kau membunuh orang demi diriku, kan lebih-lebih
aku harus berterima kasih padamu."
Si gundul menjadi kelabakan
dan tidak dapat menjawab, hampir saja ia menangis.
Coh Liu-hiang menghela napas,
katanya pula, "Jika yang kau bakar adalah rumah orang jahat, meski tidak
pantas, tapi masih dapat dimengerti juga alasanmu. Sebaliknya bila rumah yang
kau bakar adalah rumah orang baik-baik dan orang yang kau bunuh juga orang
baik-baik, maka apapun alasanmu dan demi siapa pun, jelas tak dapat diterima.
Nah, paham kau?"
Berulang-ulang si gundul
mengangguk, air matanya pun mulai menetes.
Air muka Coh Liu-hiang tampak
berubah ramah, katanya pula, "Usiamu sekarang masih muda belia, maka
kuharap agar kau selalu ingat bahwa seorang lelaki sejati juga ada hal-hal yang
pantang dilakukannya. Artinya, ada sementara urusan, biar pun dengan alasan
apapun, sekali-kali tidak boleh kau lakukan."
Seketika Siau-tut-cu atau si
gundul berlutut dan menyembah, dengan lengan baju ia mengusap mukanya yang penuh
air mata dan juga ingus. Katanya dengan suara terguguk, "Ya, ya, aku
paham, lain kali aku tidak berani lagi. Tak peduli demi siapa pun juga aku
takkan berbuat sesuatu kebusukan lagi, takkan membunuh dan juga membakar."
Coh Liu-hiang tertawa senang
setelah mendengar janji ini, katanya, "Bagus, harus selalu kau ingat
perkataanmu ini. Kau tidak cuma sahabatku, bahkan saudaraku yang baik."
Dia tarik bangun si gundul,
katanya pula dengan tertawa. "Kau mesti ingat pula, air mata lelaki harus
mengalir ke dalam perut, sedangkan ingus tidak boleh ditelan."
Si gundul tertawa. Masih
mendingan kalau tidak tertawa, sekali tertawa hampir saja ingusnya lari dalam
perut. Cepat ia menyedot sekerasnya, sehingga ingus yang memanjang melewati
bibir itu mengkeret pula masuk hidung.
Coh Liu-hiang tertawa geli,
katanya, " Tak tersangka kau mempunyai Lwekang yang istimewa ini."
Si gundul menjadi malu,
jawabnva dengan kikuk, "Si buruk juga ingin belajar kepandaianku ini, tapi
selalu gagal, sebaliknya ingus malah memenuhi mukanya."
"Ehm, , dimana dia?"
tanya Coh Liu-hiang,
"Dia mengawasi seseorang
di sana, kini sedang menunggu Hiang-swe, mungkin dia sudah tidak sabar menunggu
lagi," tutur si gundul.
*******
Si burik memang sangat cemas
karena Coh Liu-hiang yang ditunggu-tunggu belum lagi muncul, tapi orang yang
bersama dia itu lebih gelisah. Sama sekali tak terduga oleh Coh Liu-hiang bahwa
orang ini ialah lh-kiam, kacung Sih Bun.
Begitu melihat Coh Liu-hiang,
segera Ih-kiam hendak memberi hormat. Cepat Coh Liu-hiang mencegahnya dan
bertanya dengan tertawa, "Kalian memang sudah kenal bukan?"
"Kenal sih tidak sebelum
ini." tutur si burik. "Untung ada dia, jika bukan bantuannya, mungkin
kami sukar meloloskan diri dari Sih keh-ceng......."
Mendengar si burik hendak
menyinggung urusan membakar rumah tadi, cepat si gundul menariknya ke samping.
Dengan hormat lh-kiam lantas
berkata kepada Coh Liu-hiang. "Pesan Hiang-swe sudah hamba sampaikan
kepada Ji-kongcu."
"Dan bagaimana
pendapatnya?" tanya Coh Liu-hiang.
"Ji-kongcu sudah lama
kagum atas keharuman nama Hiang-swe, saat ini beliau mungkin sudah menunggu di
rumah kecil sana," kata Ih-kiam.
"Bagus," kata Coh
Liu-hiang tertawa. "Sekarang kuharap kau ke sana dulu dan beritahukan
kepada Sih-jikongcu agar dia suka menunggu sebentar, katakan segera aku akan ke
sana."
Sesudah Ih-kiam pergi. Coh
Liu-hiang berpikir sejenak lalu berkata kepada kedua jembel cilik itu,
"Ada suatu urusan lagi, terpaksa harus minta bantuan kalian."
Si burik kuatir diomeli
berhubung soal membakar rumah di Sih-keh-ceng itu, maka dia cuma menunduk dan
tak berani mendekat Sedangkan si gundul sudah mendapat persen omelan tadi, ia
mendahului menjawab, "Jangankan cuma suatu urusan, seratus urusan juga
akan kami jalankan
Kemudian Coh Liu-hiang
menepuk-nepuk pundak si gundul, katanya dengan tertawa, "Suami isteri yang
kucari kemarin malam itu, apakah kau masih ingat dan kenal?"
"Sudah tentu ingat dan
kenal," jawab si gundul.
"Baik, sekarang juga
pergilah kau mencari mereka, bawa lah mereka ke rumah kecil milik keluarga Sih
itu, katakan aku yang mengundang mereka ke sana."
"Tanggung beres!"
seru si gundul.
"Tapi ingat," Coh
Liu-hiang menambahkan lagi. "Setiba di sana, tunggu saja di luar,
sebaiknya jangan sampai terlihat orang lain. Bila kupanggil, barulah kalian
boleh muncul."
Sambil mengiakan segera si
gundul berlari pergi dengan menyeret si burik.
Coh Liu-hiang menguap
mengantuk dan menggeliat, gumamnya, "Syukurlah segala sesuatunya berjalan
dengan lancar, akhirnya akan tersingkap semuanya......"