-------------------------------
----------------------------
Bab 9: Perasaan yang Aneh
Tanpa banyak kesukaran,
dapatlah Coh Liu-hiang membujuk Cu Kin-hou, lalu dibawanya si nona 'Cu Beng-cu'
yang entah tulen atau palsu ini meninggalkan Ceng pwe-san-ceng.
Muka nona Cu ini masih pucat
pasi, namun matanya mencorong terang. Agaknya selama dua hari sudah cukup
baginya untuk memulihkan semangat dan tenaganya, namun cara berjalannya tetap
'alon-alon asal kelakon', cukup lama dia ikut di belakang Coh Liu-hiang,
katanya kemudian dengan pelahan, "Batas waktu tiga hari sudah hampir
tiba."
"Ya, kutahu," sahut
Coh Liu-hiang tertawa.
"Kau sudah berjanji,
setelah tiga hari aku boleh pulang?"
"Betul," kata Coh
Liu-hiang pula.
"Jika demikian, apakah
sekarang..... sekarang juga aku boleh pergi?"
"Sudah tentu aku tidak
keberatan, cuma setelah pulang apakah ayah ibumu masih mengenalmu? Jika aku,
tidak nanti aku mengakui seorang anak perempuan yang tak kukenal sebagai
anaknya sendiri."
"Namun....... namun kau
sudah berjanji, kau harus menjelaskan kepada mereka," ujar si nona.
"Masa Kim-kiong Hujin mau
percaya pada omonganku?" kata Coh Liu-hiang.
“Siapa di dunia Kangouw yang
tidak kenal ucapan Coh Hiang-swe adalah kata-kata emas?" ujar si nona.
"Asalkan Coh Hiang-swe mau bicara, sekalipun musuh juga akan
percaya."
Coh Liu-hiang berpikir
sejenak, tiba-tiba ia menoleh dan berkata, "Jangan kuatir, keinginanmu
pasti terlaksana, cuma untuk ini harus bersabar, tidak boleh terburu napsu.
Kalau terburu-buru, semua usahaku bisa kacau-balau."
Nona Cu menunduk, setelah
berjalan sejenak pula, tibalah di hutan kecil sana, dipandang dari jauh rumah
kecil itu sudah kelihatan, mendadak ia berhenti dan berkata, "Kau.......
kau tidak mengantar aku pulang, tapi hendak membawaku kemana?"
“Kau melihat rumah kecil di
sana itu bukan?" tanya Coh Liu-hiang.
Muka nona Cu semakin pucat,
sedapatnya ia mengangguk "Nah, sudah lelah kita berjalan, marilah kita
istirahat sebentar di rumah itu," kata Coh Liu-hiang.
"Tidak..... tidak aku
tidak mau ke sana," kata nona Cu. Meski dia berusaha menahan perasaannya, tak
urung tampak rada gemetar.
"Di rumah itu kan tiada
setannya, apa yang kau takuti?" ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Apalagi kau sudah mati satu kali, seumpama ada setan juga tidak perlu kau
takuti."
"Kabarnya rumah itu.....
rumah itu milik keluarga Sih," kata si nona.
"Jika kau Cu Beng-cu,
dengan sendirinya kau tak dapat ke rumah she Sih. Tapi kau kan bukan Cu Beng-cu
asli, Cu Beng-cu sudah mati, kau cuma meminjam jasadnya untuk hidup kembali,
kenapa kau tidak boleh pergi ke sana?! Apalagi kau adalah bakal isteri
Sih-jikongcu, lambat atau cepat kau pasti juga akan masuk ke rumah keluarga
Sih."
"Akan.....akan
tetapi....."
"Jangan menguatirkan
diriku, aku adalah kawan baik Sih Ih-jin," kata Coh Liu-hiang.
Si nona melenggong pula hingga
lama, akhirnya dia ikut juga ke sana, dengan kepala tertunduk, kakinya serasa
diganduli rantai yang berat.
Tapi Coh Liu-hiang berjalan
dengan cepat, begitu sampai di depan pintu rumah kecil itu, segera pintu
terbuka, seorang pemuda cakap dengan baju perlente menyambut keluar.
Sebenarnya wajah pemuda itu
mengulum senyum, jelas dia bergembira akan kedatangan Coh Liu-hiang, tapi
begitu melihat 'nona Cu' ini, seketika senyumnya berubah menjadi beku sehingga
lebih tepat dikatakan menyengir.
Meski sejak tadi nona Cu hanya
menunduk saja, kini air mukanya jelas juga berubah pucat.
Coh Liu-hiang menyapu pandang
sekejap wajah kedua muda-mudi ini, lalu katanya dengan tertawa, "Kiranya
kalian berdua sudah kenal sebelum ini."
Pemuda itu dan nona Cu segera
menjawab berbareng, "Tidak kenal......."
"Tidak kenal?" kata
Coh Liu-hiang dengan tertawa “Ya tidak menjadi soal, toh lambat atau cepat,
kalian pasti akan kenal." Lalu ia memberi hormat kepada pemuda cakap itu
dan berkata pula, "Saudara ini tentunya Sih-kongcu adanya."
Pemuda itu memang Sih Bun,
putera Sih Ih-jin yang telah mengikat jodoh dengan Si In, puteri Kim-kiong
Hujin. Cepat ia membalas hormat dan berkata, "Ya sudah lama kudengar nama
kebesaran Coh Hiang-swe, sekali ini entah Hiang-swe hendak memberi petunjuk
apa?"
"Petunjuk sih tidak
ada," kata Coh Liu-hiang, "Silakan masuk ke dalam saja dan bicara dan
bicaralah nanti." Dia bicara seperti tuan rumah, terpaksa Sih Bun dan
'nona Cu' menunduk dan masuk ke dalam rumah, seketika mereka tidak banyak bicara
lagi mirip pesakitan yang sedang menunggu vonis hakim.
Ih-kiam tampak berada di dalam
rumah, segera ia mengundurkan diri keluar. Sebelum dia keluar, Coh Liu-hiang
sempat membisikinya, "Sebentar bila Siau-tut-cu datang, suruhlah dia masuk
sendirian."
Dalam pada itu 'nona Cu' dan
Sih Bun ternyata berdiri terpisah, yang satu berdiri di pojok kiri sana, yang
lain di sudut kanan, keduanya berdiri tegak tak bergerak.
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Tempat ini sangat baik, seumpama dijadikan kamar pengantin baru
juga cocok..... eh, Sih-kongcu, betul tidak?"
Sih Bun menjawab dengan
tergagap, "O, ti..... ya, betul....."
Lalu Coh Liu-hiang mengitar
satu kali ruangan rumah kecil ini sambil bernyanyi-nyanyi kecil, setiba di
pintu, mendadak ia membuka daun pintu dan Siau-tut-cu atau si gundul kebetulan
muncul.
"Bagus, kedatanganmu
sangat kebetulan," seru Coh Liu-hiang. "Apakah kau kenal kedua orang
ini?"
Siau-tut-cu mengerling,
seketika ia tertawa senang, jawabnya, "Tentu saja kenal, Kongcuya dan
Siocia ini sungguh orang yang baik hati, pertama kali bertemu saja lantas
memberi persen satu tahil perak padaku."
Belum habis ucapannya, muka
nona Cu dan Sih Bun tampak berubah hebat Keduanya cepat menyanggah,
"Ti....... tidak, aku tidak kenal dia....... anak ini salah mengenali orang."
Siau-tut-cu berkedip-kedip,
katanya pula dengan tertawa, "Tidak mungkin salah, masa aku pangling,
pengemis yang pernah mendapatkan sedekah dari orang baik selamanya takkan
melupakannya."
"Jika demikian, jadi
Sih-jikongcu dan nona Cu memang sudah kenal sebelum ini," seru Coh
Liu-hiang dengan tertawa.
Sekonyong-konyong nona Cu
berteriak, "Tidak, aku tidak....... aku tidak she Cu, kalian salah lihat,
aku ini Si In....... aku tidak kenal dia" Sembari meraung ia bermaksud
menerjang keluar.
Akan tetapi baru saja dia
berlari beberapa langkah, segera dilihatnya 'Si ln' yang tulen telah berdiri di
ambang pintu.
"Kau kenal dia
bukan?" tanya Coh Liu-hiang dengan tersenyum sambil menuding Si In asli.
Gemetar sekujur tubuh Cu
Beng-cu, setindak demi setindak ia menyurut mundur, ucapnya dengan gemetar,
"Aku...... aku......."
"Jika kau mengaku Si In,
lah siapa lagi dia?" tanya Coh Liu-hiang pula.
Mendadak Cu Beng-cu mengeluh
tertahan, lalu jatuh pingsan.
*******
Yap Seng-lan, Si In dan
Liang-ma, sama duduk di sebelah sana, air muka menampilkan perasaan yang aneh,
entah cemas, entah cemas, entah kuatir, entah tegang dan entah pula bergirang.
Ih-kiam, Siau-tut-cu dan
Siau-moa-cu (si burik) juga berdiam melenggong di sisi lain, jelas mereka pun
tidak habis mengerti duduk perkaranya, mereka merasa ragu dan juga heran.
Cu-Beng-cu mendekap dalam
pelukan Sih Bun seakan tak sanggup berdiri lagi.
Tadi mereka mengaku tidak
saling kenal, tapi begitu Cu Beng-cu jatuh pmgsan, tanpa pikir Sih Bun lantas
memondongnya bangun dan tidak pernah dilepaskan lagi.
Meski perasaan setiap orang
tidak sama, namun pandangan semua orang sama tertuju pada Coh l.iu-hiang,
semuanya menunggu penjelasannya.
Lebih dulu Coh Liu-hiang
membesarkan sumbu lampu, habis itu barulah dia bertutur dengan pelahan,
"Sudah banyak kudengar cerita tentang 'setan', tapi orang yang benar-benar
pernah melihat setan tiada terdapat seorang pun. aku juga pernah mendengar
cerita tentang 'mayat kesurupan roh'.........." Sampai di sini ia tertawa,
lalu menyambung, "Kejadian demikian sebenarnya sulit untuk dipercaya,
sebab aku menyaksikannya sendiri kematian nona Cu, aku pun menyaksikan dia
hidup kembali....... Malah aku pun memeriksa sendiri jenazah nona Si,
sampai-sampai baju yang dipakainya waktu meninggal juga kubuktikan memang
serupa dengan baju yang dipakai nona Cu waktu dia hidup kembali Semua ini
terbukti memang betul 'mayat telah kesurupan roh' dan mau tak mau orang harus
percaya."
Siau-tut-cu merasa bingung, ia
coba bertanya. "Tapi sekarang nona Si kan tidak meninggal, nona Cu mengapa
bisa bicara sebagai nona Si? Kalau nona Si tidak meninggal, lalu darimana
datangnya jenazah dalam peti itu?"
"Hal ini memang
membingungkan dan aneh, semula aku pun tidak habis mengerti," kata Coh
Liu-hiang. "Baru kemudian ketika tanpa sengaja kudapatkan rumah ini,
kutemukan kotak berisi pupur dan gincu di dalam tungku."
"Ada sangkut apa antara
sebuah kotak barang rias dengan 'mayat kesurupan roh?"' tanya Siau-tut-cu.
"Jika kau ingin tahu
rahasia ini, lekas kau pergi mencari kan seorang ke sini, sebab orang itu
sangat besar sangkut pautnya dengan peristiwa ini, dia pasti jugi sangat ingin
tahu," kata Coh Liu-hiang.
Belum lagi si gundul menjawab,
tiba-tiba Liang-ma berkata,"Apakah orang yang Hiang-swe maksud ialah nona
Ciok?"
"Betul, kau pun kenal
dia?" tanya Coh Liu-hiang.
Wajah Liang-ma yang sudah
keriput itu bisa juga merah, katanya, "Nona Ciok sudah kuundang kemari,
cuma dia berkeras akan pulang dulu untuk tukar pakaian, baru mau bertemu dengan
Hiang-swe."
Coh Liu-hiang menghela napas
dan tidak bicara lagi, memangnya apa yang dapat dia katakan pula.
Untunglah usia Ciok Siu-hun
masih muda. Pada umumnya perempuan muda kalau berdandan akan jauh lebih cepat
dari pada perempuan lanjut usia. Lamanya berdandan orang perempuan memang
selalu berbanding dengan umurnya.
Ketika Ciok Siu-hun muncul dan
melihat sekian banyak yang hadir di rumah kecil ini, dengan sendirinya ia pun
tercengang.
Si gundul tidak sabar lagi,
segera ia membuka suara pula. "Sesungguhnya apa sangkut-pautnya kotak rias
itu dengan semua persoalan ini?"
Coh Liu-hiang tertawa,
tuturnya, "Bahwa di dalam tungku yang telantar itu ada sebuah kotak berisi
barang-barang rias orang perempuan, ini menandakan di sini pasti sering ada
pertemuan rahasia antara sepasang laki-perempuan. Semula aku menduga pada dua
orang lagi, tapi bau harum yang pernah kuendus dari tubuh mereka ternyata tidak
sama dengan bau pupur yang terdapat di kotak ini."
Dia tidak menyebut nama Hoa
Kim-kiong dan Sih Hong-hong, sebab selamanya dia tidak suka merusak nama baik
orang lain. Namun wajah Cu Beng-cu segera berubah merah
Si gundul melirik sekejap, ia
menyela pula, "Ketika kau mendengar dariku....... "
"Ya, begitu begitu
mendengar pengalamanmu, segera aku menerka seorang di antaranya pasti Sih-jikongcu
ini," tukas Coh Liu-hiang "Akan tetapi siapa pula 'teman' Sih
jikongcu itu? Sejauh ini aku tak dapat menerkanya."
Istilah 'teman' yang digunakan
Coh Liu-hiang ini sangat kena sehingga wajah Sih Bun berubah merah juga.
Coh Liu-hiang lantas menyambung,
"Semula kukira Ciok-toakohnio (nona Ciok pertama, maksudnya kakak Ciok
Siu-hun) tapi setelah kupergoki saudara cilik Ih-kiam ini di makam toakohnio,
barulah kutahu dugaanku itu salah besar."
lh-kiam tampak menunduk dan
hampir mencucurkan air mata.
"Sebab itulah aku tambah
heran," demikian Coh Liu-hiang melanjutkan. "Jika Ciok-toakohnio
tiada sangkut pautnya dengan Sih-kongcu, mengapa Sih-kongcu sedemikian
memperhatikan sakitnya? Mengapa pula dia sedemikian baik kepada paman nona Ciok?
Bahkan dia disalah-pahami oleh nona Siu-hun pun tidak menyanggahnya, sebaliknya
kesalahan itu di biarkan tetap salah. Maka aku lantas sangsi, di balik
persoalan ini pasti ada sesuatu yang tidak beres, kalau tidak, masakah
Sih-kongcu mau menerima tuduhan yang tidak benar itu?"
Dengan gemas Ciok Siu-hun
melotot sekejap kepada Sih Bun, tapi wajah sendiri lantas berubah merah.
"Kupikir rahasia ini
pasti ada hubungannya dengan kematian Ciok toakohnio," demikian Coh
Liu-hiang melanjutkan. "Maka aku berusaha membongkar kuburan
Ciok-toakohnio agar persoalannya menjadi jelas. Siapa tahu......."
"Siapa tahu
Ciok-toakohnio ternyata juga tidak meninggal, peti matinya cuma berisi beberapa
potong batu saja," si gundul mendahului.
"Tidak, Ciok-toakohnio
justru betul-betul telah meninggal." ucap Coh Liu-hiang sambil menghela
napas gegetun.
Si gundul jadi melongo,
katanya kemudian, "Jika..... jika begitu, mengapa jenazahnya bisa berubah
menjadi batu?"
"Sebab jenazahnya telah
dipinjam pakai oleh oleh orang lain," kata Coh Liu-hiang, dia tidak
memberi kesempatan lagi kepada si gundul untuk menyela, segera ia menyambung
pula, "Dan lantaran Sih-jikongcu hendak meminjam pakai jenazah nona Ciok,
maka dia sangat memperhatikan sakitnya, dan lantaran orang yang menutup peti
mati adalah paman nona Ciok, maka Sih kongcu sangat baik kepada sang paman.'
"Tapi..... tapi untuk
apakah Sih-kongcu meminjam pakai jenazah nona Ciok?" sela si gundul pula,
rupanya dia semakin bingung.
"Sebab Sih-kongcu hendak
menggunakan jenazah nona Ciok untuk menyaru sebagai jenazah nona Si In agar
orang lain menyangka nona Si benar-benar sudah meninggal," tutur Coh
Liu-hiang. "Bisa jadi wajah dan perawakan nona Ciok rada mirip nona Si,
apalagi wajah orang mati tentu juga agak berubah, setiap orang pasti takkan
menaruh perhatian terhadap jenazah, andaikan kurang persis penyamarannya juga
tidak menjadi soal, lagi pula Liang-ma juga telah ikut dalam tindakan rahasia
ini."
Seketika Liang-ma juga
menunduk kikuk. Siau-tut-cu menggaruk garuk kepalanya yang gundul, katanya,
"Akan..... akan tetapi untuk apa nona Si sengaja pura-pura
meninggal?"
"Jika nona Si tidak
meninggal, cara bagaimana pula sandiwara 'mayat kesurupan roh' yang dibawakan
nona Cu Beng-cu itu bisa dilakonkan?*' kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Wah, aku menjadi semakin
bingung," si gundul menyengir heran. "Kan baik-baik saja, mengapa
nona Cu mesti....."
"Persoalan ini tampaknya
memang sangat rumit," sela Coh Liu-hiang. "Padahal urusannya sangat
sederhana, kunci yang terpenting dalam hal ini hanya satu huruf saja, yakni
'cinta'. Sorot matanya menyapu wajah Cu Beng-cu lalu berhenti pada Sih Bun,
katanya pula dengan tersenyum. "Soalnya sejak kecil Cu Beng-cu telah
dijodohkan dengan putera keluarga Ting, perjodohan ini sebenarnya sangat
setimpal, cuma sayang nona Cu justru bertemu dengan Sih-jikongcu, keduanya
jatuh cinta."
“Bukankah keluarga Cu dan
keluarga Sih adalah musuh bebuyutan?" tanya si gundul.
"Betul, setelah
berkenalan dengan Sih-kongcu, mungkin nona Cu lantas menyadari tidak seharusnya
jatuh cinta kepada Sih-kongcu. Akan tetapi cinta memang aneh, sekali sudah
jatuh cinta, orang lain tidak dapat memaksanya, bahkan ia sendiri pun tidak
mampu mengekang diri pula. Walaupun tahu dirinya tidak seharusnya jatuh cinta
kepada orang itu, akan tetapi tanpa kuasa dirinya justru jatuh cinta."
Ciok-Siu-hun menghela napas,
katanya,"Makanya orang sering bilang, cinta itu buta, apakah memang
demikian adanya?"
"Ada sementara orang
memang rela menjadi buta," ucap Coh Liu-hiang sambil mengerling sekejap
pada si nona. "Tapi di dunia ini masih tetap banyak orang yang ingin
membuat mata mereka terbuka. Sorot matanya beralih kembali ke arah Beng-cu dan
Sih Bun, katanya pula, "Meski cinta nona Cu dan Sih-kongcu sangat
mendalam, tapi mereka pun tahu jodoh mereka sukar dirangkap, bila orang lain
yang menjadi mereka, dalam keadaan kepepet begini bisa jadi mereka akan bunuh
diri bersama......"
Sambil menatap lekat-kkat pada
cahaya lampu, Ciok Siu-hun bergumam, "Cara demikian kan terlalu
bodoh."
"Ya, sudah tentu hal ini
hanya dapat dilakukan orang lemah." kata Coh Liu-hiang.
"Jika aku," mendadak
Ciok Siu-hun mengangkat kepalanya, "Mungkin aku akan......akan......
minggat bersama."
Dengan segala keberaniannya ia
mencetuskan kata-kata ini, habis itu mukanya menjadi merah.
Coh Liu-hiang menggeleng,
ucapnya lembut "Minggat juga bukan cara yang baik, sebab mereka tahu jelas
antara keluarga Cu dan Sih adalah musuh bebuyutan, jika mereka minggat bersama,
bisa jadi permusuhan antar keluarga akan bertambah mendalam......" Ia
tersenyum, lalu menyambung pula, "Apalagi duel maut antawa Sih-tayhiap
dengan Cu-cengcu sudah dekat waktunya, bila mereka minggat bersama dan
mengetahui salah seorang ayahnya telah dibunuh oleh pihak lain, apakah hati
mereka tidak akan berduka?"
Ciok Siu-hun mengangguk,
ucapnya dengan pelahan, “Ya, betul juga, minggat memang bukan cara yang baik
dan tak dapat menyelesaikan persoalan......"
"Padahal nona Cu dan
Sih-kongcu bukanlah kaum lemah, mereka pun bukan orang bodoh," kata Coh
Liu-hiang pula. "Dalam keadaan terpaksa, akhirnya timbul jalan pikiran
mereka yang aneh dan sukar dibayangkan, yaitu......."
"Mayat kesurupan
roh," kata Coh Liu-hiang sambil mengangguk. Dengan sorot mata memuji, ia
pandang sekejap Cu Beng-cu, lalu melanjutkan, "Jika nona Cu benar-benar telah
hidup kembali dengan meminjam jazad nona Si In, maka nona Cu lantas berubah
menjadi nona Si, sedangkan nona Si memang tunangan Sih-kongcu, dengan
sendirinya nanti juga akan menjadi isteri Sih-kongcu, maka jelas Cu-jiya tidak
dapat membantah, sebaliknya Sih-tayhiap juga tak dapat menolak
"Lantas bagaimana dengan
Si-loya dan Si-hujin?"
"Maksud tujuan Hoa
Kim-kiong memang ingin lebih mempererat hubungan keluarga Si dan Sih, kini
melihat puterinya yang jelas-jelas sudah mati bisa hidup kembali, tentu saja
dia bersyukur dan kegirangan, dia pasti setuju."
"Ya, betul juga, dengan
demikian semuanya menjadi gembira dan bahagia." seru si gundul dengan
tertawa.
"Yang paling ajaib nona
Si telah 'meminjam’ jazad nona Cu, sebaliknya nona Cu juga telah 'meminjam' roh
nona Si. Jadi dalam kenyataannya, CuBeng-cu dan Si In telah berubah menjadi
isteri Sih Bun, maka Cu-jiya juga akan berubah menjadi mertua Sih Bun, dan
dengan sendirinya pula adalah besan Sih-tayhiap......."
"Betul, apapun juga anak
menantu Sih-tayhiap kan juga ada setengahnya terhitung puteri Cu-cengcu,
sekalipun kedua orangtua tetap tidak suka, mau tak mau mereka pun harus
mengakui kenyataan."
"Memang betul
begitu," sambung Coh-Liu-hiang pula dengan tertawa "Tatkala mana
hasrat duel mereka tentu juga akan mereda, betapapun dendam kesumat antar kedua
keluarga akan luntur juga."
"Betul, akal ini sungguh
sangat bagus," si gundul berkeplok memuji.
"Tetapi juga terlalu
berlebihan," sambung si burik., "Jika aku, pasti tidak akan
percaya."
"Betul juga, makanya
rencana harus dibuat sedemikian rapinya, pelaksanaannya juga harus sempurna,
dengan demikian mau tak mau orang lain pun akan percaya," kau Coh
Liu-hiang. "Dan untuk melaksanakan rencana mereka ini, pertama, dengan
sendirinya harus mendapat persetujuan Si In, nona ini harus mau pura-pura
mati."
"Dengan sendirinya nona
Si takkan menolak.'' tukas si gundul pula. "Sebab, dia juga punya kekasih
lain, dasarnya memang dia tidak suka diperisteri oleh Sih-kongcu"
"Justru begitulah."
kata Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Ketika kudengar bedak yang biasa
dipakai nona Si berasal dari seorang Yap-kongcu yang datang dari kotaraja,
segera timbal rasa curigaku. Waktu itu juga sudah kupikirkan, jangan-jangan
nona Si cuma pura-pura mati untuk melepaskan diri dari keharusan kawin dengan
Sih-kongcu."
“Makanya kau menyuruh kami
berdua menyelidiki Yap Seng-lan." kata si gundul.
"Betul, ketika kutemukan
mereka berdua, maka persoalan inipun menjadi jelas dan tersingkap
seluruhnya," kata Coh-Liu-hiang. "Sekarang biarlah kujelaskan sekali
lagi mulai dari awal hingga akhir peristiwa ini. Lebih dulu Cu Beng-cu dan Si
In sudah berjnaji untuk 'mati' pada saat yang sama. Sebab itulah, begitu Si In
'mati', di tempat lain Cu-Beng-cu juga lantas hidup kembali. Dengan sendirinya
lebih dahulu Si In sudah memberitahukan kepada Cu Beng-cu pakaian apa yang akan
di pakainya waktu mati serta semua alat perabot di kamarnya,sebab itulah
setelah Ciu-Beng-cu 'hidup' kembali, ia dapat menjelaskan keadaan Si In tanpa
selisih sedikitpun.
"Dan karena Si In cuma
pura-pura mati. untuk ini diperlukan pinjaman jenazah orang lain. Kebetulan
waktu itu Ciok-toakohnio lagi sakit keras, maka pilihan Sih-kongcu lantas jatuh
padanya. Sih-kongcu telah bersekongkol dengan paman nona Ciok, jenazah nona
Ciok telah dibawa pergi waktu mau masuk peti mati dan diganti dengan batu.
Setiba jenazah di kamar nona Si, terjadilah pertukaran tempat, nona Si In yang
hidup lantas diselundupkan keluar."
"Lantaran Liang-ma sangat
sayang kepada Si In seperti anak kandung sendiri, yang diharapkan adalah
kebahagiaan anak dara itu, maka ia pun membantu sepenuhnya. Tanpa bantuan
Liang-ma, hakikatnya peristiwa ini tidak mungkin berlangsung dengan baik,"
sampai di sini Coh l.iu-hiang menghela napas panjang, lalu menyambung pula, "Yang
paling sulit dalam persoalan ini ialah 'timing'nya harus diatur dengan tepat
tanpa selisih sedetikpun, maka segalanya berjalan dengan beres tanpa kesulitan
apapun."
Siau-moa-cu juga mengembuskan
napas panjang, katanya dengan tertawa, "Jika menurut cerita Hiang-swe ini,
peristiwa ini rasanya sangat sederhana, tapi kalau kau tidak bercerita, selama
hidup juga sukar memecahkannya."
"Dan sekarang sudah kau
pahami seluruhnya, bukan?" kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.
"Masih ada satu hal yang
belum kupahami," kata Siau-moa-cu atau si burik.
"O, apalagi?" tanya
Coh Liu-hiang.
"Jika nona Cu hakikatnya
tidak meninggal, mengapa Cu-jiya percaya penuh anak perempuannya telah
mati?" tanya si burik.
"Sudah tentu karena
sebelumnya nona Cu sudah bersekongkol denagn para tabib ternama itu, coba
pikir, kalau ada belasan tabib terkemuka menyatakan penyakitmu sudah tiada
obatnya, tak dapat disembuhkan lagi, bisa jadi kau sendiripun akan yakin dirimu
pasti akan mati. Apalagi....." sampai di sini mendadak Coh Liu-hiang memandang
keluar jendela dan tertawa, lalu menyambung, "Apalagi di antara
tabib-tabib ternama itupun terdapat Thi Kan-cay losiansing, hasil pemeriksaan
Thio losiansing masa perlu disangsikan lagi dan siapa yang tidak percaya? Bila
Thio-losiansing, menyatakan seorang sudah mati, siapa yang berani, bilang orang
itu masih hidup?"
Mendadak terdengar suara orang
berseru dengan tertawa, "Makian tepat, umpatan bagus, lantaran tabib tua
bangka seperti aku ini termasyhur dapat menyembuhkan segala macam penyakit,
tapi selama ini toh tidak mampu menyembuhkan sakit rindu orang. Maka sekali ini
terpaksa aku menebalkan mukaku untuk melakukan penipuan."
Di tengah gelak tertawanya,
tertampak Thio Kan-cay melangkah masuk. Serentak Cu Beng-cu, Sih Bun, Si In dan
Yap Seng-lan berbangkit dan menyembah kepada tabib sakti itu.
Coh Liu-hiang juga memberi
hormat, katanya, "Losiansing tidak cuma mahir menyembuhkan segala macam
penyakit luar dalam, caramu menyembuhkan sakit rindu orang ternyata juga lebih
tinggi setingkat daripada tabib lain."
"Jika betul demikian,
kelak bila Coh Hiang-swe juga sakit rindu, hendaklah jangan lupa
mencariku" kau Thio Kan-cay dengan tertawa. .
"Tentu, tentu, pasti aku
tidak lupa." sahut Coh Liu-hiang dengan tertawa.
Dengan tertawa pula Thio
Kan-cay berkata. "Cuma harus disayangkan, bila ada anak-gadis yang rindu
pada Coh Hiang-swe, mungkin aku tidak mampu menyembuhkannya, sebaliknya jika
dikatakan Hiang-swe bakal sakit rindu terhadap anak gadis orang, kukira tiada
seorang pun di dunia ini yang mau percaya."
Coh Liu-hiang hanya tertawa
saja dan tidak menanggapi sebab diketahuinya Ciok Siu-hun sedang menatapnya.
Thio Kan-cay lantas
membangunkan Cu Beng-cu, katanya dengan tersenyum, "Bahwa sekali ini aku
mau membantu, selain terharu pada cinta kalian yang murni, sesungguhnya juga
karena tertarik oleh perencanaan kalian yang serba baru dan aneh ini Cuma
sayang, mengapa mesti melaksanakan rencana kalian tepat pada waktu kedatangan
Coh Hiang-swe, itu berarti kalian mencari kesukaran sendiri."
Muka Cu Beng-cu menjadi merah
dan tak dapat menjawab. Dengan tertawa Coh Liu-hiang berkata, "Sebabnya
sekarang telah kuketahui."
"O? Kau tahu?" tanya
Thio Kan-cay.
"Mereka justru sengaja
menunggu kedatanganku agar aku bisa menjadi penghubung bagi mereka," tutur
Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Sebab kalau aku sudah menyaksikan sendiri
persoalan ini, mau tak mau aku mesti ikut campur, kan setiap orang tahu aku ini
paling suka ikut campur urusan orang lain?" Setelah terbahak, lalu ia
menyambung lagi sambil menggeleng, "Rupanya mereka tahu bilamana aku
menjadi juru bicara, mau tak mau Sih-tayhiap dan Si Hau-liam pasti akan percaya
penuh, sebab........"
"Sebab setiap orang
Kangouw tahu kata-kata Coh Hiang-twe adalah kata-kata emas, apa yang kau
ucapkan tidak mungkin dusta," tukas Thio Kan-cay dengan tertawa.
Mendadak ia berpaling kepada
Cu Beng-cu dan menam bahkan, "Swipoa yang kalian ketik memang sangat rapi,
cuma sayang, akhirnya kalian tetap melupakan sesuatu."
Cu Beng-cu menunduk, katanya
lirih. "Mohon penjelasan Cianpwe."
"Kalian telah melupakan
bahwa Coh Hiang-swe tidak nanti dapat ditipu oleh siapa pun juga." kata
Thio Kan-cay pula. "Sekarang rahasia kalian telah kena dibongkar olehnya.
Apakah kalian masih ingin minta dia menjadi juru bicara untuk membujuk orang tua
kalian?"
Serentak Cu Beng-cu berempat
berlutut dan menyembah pula kepada Coh Liu-hiang. kata mereka. "Mohon
Hiang-swe sudi membantu, sungguh kami sangat berterima kasih. "
"Untuk apa kalian
memohon," jawab Coh Liu-hiang, "Kan sudah kukatakan tadi, aku ini
orang yang paling suka ikut campur urusan orang lain, pula tidak suka
mengecewakan orang, kalau aku bisa melihat setiap pasang kekasih di dunia ini
menjadi suami-isteri bahagia, kenapa tidak kubantu melaksanakannya.''
Thio Kan-cay berkeplok
tertawa, katanya, "Coh Hiang-swe memang tidak malu sebagai Pendekar Harum.
Sesungguhnya harus kuingat juga sebelum ini, bahwa Hiang-swe sengaja membongkar
rahasia kalian ini, soalnya dia tidak mau orang memandangnya sebagai pendekar
bodoh."
Lalu ia berkata pula kepada Cu
Beng-cu berempat, "Sekarang kalian pun mendapatkan suatu pengalaman, yaitu
selanjutnya apapun yang kalian harapkan dari Hiang-swe paling baik jika kalian
menjelaskan dulu segala persoalannya, apabila ada yang ingin menipu Hiang-swe,
akhirnya yang tertipu pasti kau sendiri."