-------------------------------
----------------------------
Bab 10: Dugaan yang Tidak Meleset (TAMAT)
Siau-tut-cu dan Siau-moa-cu
tidak terhitung anak kecil lagi, terkadang mereka pun serupa orang dewasa,
paling tidak mereka dapat berlagak sudah dewasa,
Tapi sekarang gerak-gerik
mereka jelas hanya dua anak kecil saja, bahkan anak kecil yang merasa
penasaran, mulut mereka yang menjengkit itu mungkin bisa dibuat gantungan
botol.
Tadi Si In dan Liang-ma
berkeras mengundang semua orang ke rumah mereka untuk minum arak. Dengan
sendirinya Thio Kan-cay tidak mau pergi, sebab dia sudah cukup tua, pula
seorang 'tabib sakti'. Minum arak baginya seperti bertaruh dengan jiwanya
sendiri.
Cu Beng-cu dan Sih Bun juga
tidak terima undangan Si In itu, sebab mereka harus pulang untuk menyambung
sandiwara mereka. Dan Liang-ma juga tidak berkeras meminta kehadiran mereka.
Yang tidak adil ialah
Siau-tut-cu dan Siau-moa-cu ingin hadir, tapi Liang-ma dan Si In justru tidak
menyampaikan undangan pada mereka. Keruan mereka sangat mendongkol, seterusnya
si gundul dan si burik lantas tidak sudi menyinggung lag| urusan itu, malahan
si gundul tidak sudi memikirkannya lagi.
Sedapatnya si gundul
memikirkan urusan lain, gumamnya, "Beberapa orang ini benar-benar sialan,
ya pura-pura sakit, ya pura-pura mati juga pura-pura menjadi setan, sudah banyak
membuang tenaga dan pikiran, juga mengalirkan air mata pula, dan semua itu
hanya karena satu kata saja, yaitu 'cinta' he....he....he." Dia
terkekeh-kekeh beberapa kali, lalu berseru, "Sungguh tak kupahami 'cinta'
yang sialan itu mempunyai daya tarik yang se besar itu sehingga dapat membuat
orang sebanyak ini menjadi gila semua."
"Ya, aku pun tidak paham,
kuharap selama hidup ini jangan terjadi hubungan dengan satu kata ini,"
tukas si burik.
Dengan keras dia tendang
sepotong batu, seperti sekali tendang dia hendak mengenyahkan 'cinta' itu. Ia
tidak tahu bahwa "cinta' tidak sama dengan batu, betapapun besar tenaga
yang digunakan tetap tak dapat mengenyahkannya. Jika dikira sekali tendang
telah mengenyahkannya, tahu-tahu dia mental balik, se makin keras tenaga
tendangan, semakin cepat pula dia mental kembali lagi. Bila dipikir dapat
menginjaknya hingga hancur, maka injakan ini pasti akan menyakitkan hati
sendiri.
Siau-tut-cu termenung hingga
lama, tiba-tiba ia berkata pula, "He, kaukira Cu-jiya akan membiarkan
puterinya diperisteri oleh Sih-jisiauya?"
"Mau tak mau dia harus
setuju, sebab 'roh' anaknya kan roh orang lain," kata Siau-moa-cu. Ia
merasa ucapan sendiri yang bermakna ganda ini sangat lucu, maka ia terkikik
geli sendiri, rasa dongkolnya tadi lantas lenyap sebagian.
Tapi Siau-tut-cu lantas
mendelik, katanya, "Tapi bagaimana dengan Sih-tayhiap, apakah dia dapat
menerima anak menantunya ini?"
"Jika orang lain
membicarakan dengannya, mungkin akan ditolak oleh Sih-tayhiap,” kata
Siau-moa-cu. "Tapi sekarang Coh Hiang-swe yang bicara dengan dia, mau tak
mau dia pasti menerimanya."
Si gundul mengangguk katanya,
"Betul, dia hutang budi kepada Hiang-swe, setiap orang seakan-akan hutang
budi kepada Coh Hiang-swe."
Si burik mencibir, katanya,
"Pantas si nenek sialan itu berkeras mengundang Coh Hiang-swe ke tempatnya
untuk minum arak."
"Plok", mendadak si
gundul menampar si burik katanya, "Kau burik sialan, memangnya kau kira
dia benar-benar mengundang minum arak pada Coh Hiang-swe?"
Si burik melotot, jawabnya.
"Habis untuk apa kalau tidak minum arak?"
"Ai, dasar burik,"
omel si gundul. "Masa tidak dapat melihat gelagat, mereka hendak menjadi
perantara bagi Coh Hiang-swe."
"Menjadi perantara?
Perantara apa?" tanya si burik dengan melenggong.
"Sudah tentu menjadi
perantara bagi Coh Hiang-swe dan nona Ciok Siu-hun itu," tutur si gundul,
"Mereka merasa berhutang budi kepada Coh Hiang-swe, maka mereka ingin
membalasnya dengan mengumpulkan Coh-toako dan nona Ciok itu."
Si burik berkeplok tertawa,
katanya, "Betul aku memang heran, seorang perawan seperti nona Ciok itu
mengapa tengah malam buta mau pergi ke rumah orang untuk minum arak, kiranya
dia telah penujui Coh-toako kita."
"Orang baik seperti
Coh-toako kita, ya cakap, ya pintar, adalah aneh kalau anak perempuan tidak
suka padanya," kata si gundul pula.
"Akan....... akan tetapi,
apakah Coh-toako juga suka pada nona Ciok itu?" tanya si burik.
"Wah, untuk ini, sukar
untuk di jelaskan......." si gundul garuk-garuk kepalanya yang kelimis
itu. "Tapi nona Ciok itupun terhitung cantik dan cocok bagi Coh-toako, aku
suka minum arak bahagia mereka,"
"Jika demikian, akhir
dari peristiwa ini adalah semuanya bergembira," ujar si burik.
"Tertinggal kita berdua saja tengah malam buta masih keluyuran kian kemari
seperti setan gentayangan, perut terasa lapar lagi."
"Plok", kembali si
gundul memberi gamparan lagi sambil mengomel. "Kau ini memang burik
sialan, orang tidak mengundang makan minum pada kita, memangnya kita tak dapat
makan minum sendiri? Di sana juga masih ada penjual makanan, malahan aku sudah
mencium bau arak."
Benar juga, di ujung jalan
sana memang masih ada sebuah lampu gantung. Di bawah sinar lampu, di tempat
penjual bakmi itu, nampak seorang laki-laki kekar menongkrong di atas bangku
panjang sedang minum arak dengan bebas, di depannva nampak semangkuk besar
penuh berisi arak.
Si penjual yang sudah lanjut
usia itu sebenarnya berulang-ulang sudah menguap mengantuk, sebenarnya ia ingin
lekas kukut dan pulang tidur, tapi tidak berani mengusir tamunya. Soalnya
tamunya inipun jarang dilihatnya selama dia berjualan, tamu peminum yang aneh.
Padahal musim rontok sudah
hampir lalu, musim dingin sudah hampir tiba, hawa sudah mulai dingin. Tetapi
lelaki kekar ini masih telanjang setengah badan sehingga kelihatan tubuhnya
yang hitam dan keras laksana baja.
Tong tua, si penjual bakmi
sudah beberapa kali menuang kan arak pada mangkuk besar itu dan lelaki kekar
itupun me nenggaknya habis begitu saja, cara menuang arak Tong tua se olah-olah
tidak secepat cara minum lelaki itu.
Stau-tut-cu dan Siau-moa-cu
sama kesima menyaksikan kehebatan minum arak lelaki hitam ini. Si burik melelet
lidah dam membisiki si gundul, ""Wah, luar biasa, orang ini
benar-benar gentong arak."
Si gundul berkedip-kedip,
katanya kemudian, " Meski kekuatan minumnya sangat hebat, tapi juga belum
tentu dapat melebihi Coh-toako kita."
"Tentu saja,"
sambung si burik dengan tertawa, "Memangnya orang Kangouw mana yang tidak
tahu Ginkang Coh-toako kita tiada bandingannya, juga kekuatan minum araknya sukar
tandingkan orang lain."
Suara bicara mereka sebenarnya
tidak keras, si Tong tua sama sekali tidak mendengarnya, tetapi telinga lelaki
hitam seperti radar tajamnya, apa yang dipercakapkan kedua jembel cilik itu
agaknya dapat didengar seluruhnya. Mendadak ia menggebrak meja dan berbangkit,
teriaknya. "Siapa itu Coh-toako kalian?"
Orang ini ternyata bermata
besar dan beralis tebal, tampangnya cukup cakap, lebih-lebih sepasang matanya
yang mencorong terang laksana bintang di langit.
Tapi lantaran cara bicaranya
yang garang itu si gundul yang pertama-tama tidak terima, dengan mendelik ia
menjawab, "Siapa Coh-toako itu buka urusanmu dan tidak perlu kau
urus." Belum habis ucapannya, tahu-tahu lelaki itu sudah berada di depan
mereka, entah cara bagaimana, sekali raih segera si gundul dan si burik kena
dicengkeramnya.
Sebenarnya si gundul dan si
burik juga bukan lawan empuk, tapi aneh, berhadapan dengan orang ini mereka
telah berubah menjadi seperti dua ekor anak ayam, sama sekali tak bisa
berkutik, apalagi melawan. Dibandingkan dengan lelaki kekar ini, memang kedua
jembel kecil ini tiada ubahnya seperti dua ekor anak ayam.
Kedua anak itu diangkatnya ke
atas sehingga tangan dan kaki mereka meronta-ronta, orang itu memandang mereka
dengan sorot mata yang terang, tetapi seperti mengandung tertawa.
Namun suarnya tetap garang,
bentaknya pula, "Dengarkan, kalian berdua setan cilik ini, apabila
Coh-toako yang kalian bicarakan itu ialah si kutu busuk tua Coh Liu-hiang, maka
kalian harus lekas membawaku mencarinya....."
Kontan Siau-tut-cu
mendampratnya, "Kau ini kutu macam apa? Kau berani memaki Coh-toako
sebagai kutu busuk tua? Kau sendirilah kutu busuk tua, kutu busuk hitam."
Siau-moa-cu juga ikut memaki,
"Hm, bagi Coh-toako cukup dengan satu jari saja akan dapat memites mampus
kau kutu busuk hitam ini, maka janganlah kau berlagak garang di sini, lekas kau
lari saja mencawat ekor."
"Salah kau," tukas
si gundul. "Kutu busuk tak punya ekor, tapi perutnya gede, sekali dipites
Coh-toako pasti mampus."
Meski tidak besar tenaga kedua
anak muda itu, tapi nyalinya tidaklah kecil, cara mereka memaki orang pun
tergolong tingkat tinggi. Sekarang mereka sudah nekat, mereka lantas memaki
sepuasnya tanpa memikirkan keselamatan sendiri lagi.
Di luar dugaan, lelaki hitam
berewok itu tidak marah, sebaliknya malah bergelak tertawa, katanya,
"Bagus, hahaha, bagus! Kalian berdua setan cilik ini memang boleh juga.
Tetapi orang lain takut kepada si kutu busuk tua itu, aku sendiri tidak takut
padanya. Bila berlomba minum arak, dia juga akan keetinggalan jauh di
belakangku, jika kalian tidak percaya, hayolah bawa aku menemui dia dan kalian
nanti boleh tanya langsung padanya."
***********
Di atas meja sudah siap
beberapa macam hidangan lezat seperti Ang-sio-bak, bebek tim, Kay-lan cah-hwe-kiu
dan lain-lain, semuanya terpilih, mungkin sudah seharian Liang ma
menyiapkannya.
Akan tetapi sekarang hidangan
itu masih utuh berada diatas meja, sama sekali belum tersentuh. Sebab yang
duduk di situ sekarang cuma tinggal dua orang saja dan tampaknya kedua orang
itu sama sekali tiada napsu makan.
Memang, sebagian hadirin sudah
pergi. Tapi yang pergi itu bukanlah tamunya melainkan tuan rumahnya. Malahan
ketika pergi mereka sama memberi alasan yang masuk di akal. Walaupun setiap
orang dapat mengetahui alasan mereka itu cuma dibuat-buat saja.
Maksud tujuan kepergian mereka
hanya ingin memberi kesempatan pada Coh Liu-hiang untuk berada berduaan dengan
Ciok Siu-hun, maksud mereka ini dipahami Coh Liu-hiang juga dimengerti Ciok
Siu-hun.
Lucunya Ciok Siu-hun juga
tidak menahan tuan rumah yang sengaja tinggal pergi dan ia sendiri pun tiada
maksud pergi. Dengan kikuk ia memegang sumpit dan pelahan-lahan mengetuk cawan
arak sehingga menimbulkan suara "tring-tring' yang nyaring pelahan, dia
seperti ingin memecahkan kesunyian di dalam rumah ini, seperti juga tangannya
terlalu menganggur sehingga perlu dicarikan pekerjaan.
Wajah Ciok Siu-hun tampak
bersemu merah, dipandang di bawah cahaya lampu kelihatan sangat molek dan
menggiurkan. Dia memandang ke bawah sehingga bulu matanya yang panjang menutupi
kelopak matanya, giginya yang putih menggigit pelahan bibirnya yang tipis merah
sepeti delima merekah.
Di halaman luar daun pohon
berkresekan tertiup angin. Arak yang bersemu kehijau-hijauan mengeluarkan bau
sedap.
Malam seindah ini, wanita
secantik ini, arak seharum ini, andaikan tidak diminum juga sudah mabuk.
Terhadap arak dan anak
perempuan cantik, pengalaman Coh Liu-hiang mungkin jauh lebih luas daripada
kebanyakan orang. Tapi entah mengapa, hatinya sekarang berdebar, jarang dia
mendengar debar jantung sendiri seperti sekarang ini.
Tiba-tiba Ciok Siu-hun
mengangkat kepalanya, pandangannya meluncur dari muka Coh Liu-hiang beralih ke
tangannya, lesung pipinya menambah senyumnya yang manis.
"Kau tidak mengajak minum
padaku?" tiba-tiba si nona bertanya dengan pelahan.
"Kau suka minum
arak?" tanya Coh Liu-hiang, "Baik, ku suguh kau satu cawan."
"Pelit," omel Ciok
Siu-hun. "Mau menyuguh harus tiga cawan, memangnya kau kuatir aku menjadi
mabuk?"
Dengan cepat tiga cawan arak
benar-benar telah dihabiskan si nona.
Apakah seseorang dapat minum
arak atau tidak, cukup dilihat dari gayanya memegang cawan. Maka dari cara si
nona memegang cawan dapatlah Coh Liu-hiang menilai sedikitnya dia sudah pernah
minum arak.
Coh Liu-hiang juga mengiringi
menghabiskan tiga cawan. Katanya kemudian dengan tertawa, "Terus terang,
tak tersangka olehku bahwa kau dapat minum arak, bahkan cukup kuat."
Siu-hun juga melirik sekejap,
katanya, "O, kau kira aku ini kampungan, bukan? Padahal orang kampungan
juga mahir minum arak." Dia menuang arak pula dan menyambung dengan
pelahan. "Supaya kau tahu, waktu malam tahun baru, aku sendiri telah
menghabiskan setengah guci arak, kau percaya tidak?"
"Wah, jika demikian,
mestinya kucari Siau Oh untuk minum bersama," seru Coh Liu-hiang dengan
tertawa.
"Siapa itu Siau Oh?"
tanya Ciok Siu-hun.
"Namanya Oh Thi-hoa,
sahabat lamaku, juga sahabat karibku, kekuatan minumnya jauh di atasku."
"Baik, lain kali boleh
kau ajak dia kemari, akan kucekoki dia hingga mabuk." kata Ciok Siu-hun
dengan tertawa. "Akan tapi sekarang....... sekarang aku cuma mau minum
bersamamu."
Ia lantas angkat cawan dan
berkata pula, "Marilah, kuhormati kau........ sudah tiga cawan kau suguh
aku, sekarang kubalas suguh kau enam cawan, aku lebih royal dari padamu."
"Enam cawan?" Coh
Liu-hiang menegas sambil meraba hidung. "Enam cawan apakah tidak terlalu
banyak?"
Siu-hun mendelik, omelnya,
"Kenapa? Kau kuatir aku mabuk bukan? Asalkan kau sendiri tidak mabuk dan
tidak perlu kau urus diriku."
Dengan cepat enam cawan arak
telah dihabiskan si nona. mukanya menjadi lebih merah.
"Setelah kuminum enam
cawan ini, maukah kuantar kau pulang?" tanya Coh Liu-hiang.
Si nona mengerling penuh arti,
jawabnya, "Silakan minum dulu.""
Sudah tentu enam cawan arak
bukan apa-apa bagi Coh Liu-hiang, maka setelah habis diminumnya, ia lantas
bertanya pula, "Sekarang marilah kuantar kau pulang."
Sambil menggigit bibirnya yang
tipis, Ciok Siu-hun menunduk, pelahan-lahan ia menanggalkan sepatu sulamnya yang
masih baru itu lalu melipat kedua kakinya yang putih mulus itu ke atas kursi,
kemudian ia mengangkat kepalanya pelahan-lahan dan memandang lekat-lekat pada
Coh Liu-hiang. katanya, "Aku tidak mau pulang....... "
Ia mengerling genit, lalu
menambahkan pula dengan senyuman menggiurkan, "Marilah sekarang giliranmu
lagi menyuguh arak padaku."
Kembali Coh Liu-hiang meraba
hidung sendiri pula. Kalau orang lain biasa garuk-garuk kepala, tapi kebiasaan
Coh Liu-hiang adalah meraba hidung.
Siu-hun menunduk lagi, ucapnya
dengan rawan, "Hatiku kesal dan ingin minum arak, masa engkau tidak suka
mengjringi aku minum arak?"
Coh-Liu-hiang menghela napas
gegetun, katanya, "Asalkan kau tidak mabuk, biarpun mengiringi kau minum
selama tiga hari juga tidak soal bagiku."
"Kuatir aku mabuk?"
tanya Ciok Siu-hun.
"Aku tidak takut pada
siapa pun, aku cuma takut kepada orang yang mabuk arak," ujar Coh
Liu-hiang sambil menyengir.
Siu- hun tertawa, katanya,
"Baiklah, kujamin takkan minum sampai mabuk, nah boleh?"
Terpaksa Coh Liu-hiang
mengangkat cawan dan menjawab. "Baiklah, marilah minum" Sebenarnya
Coh Liu-hiang juga tahu tiada seorang pun yang berani menjamin dirinya pasti
tak bisa mabuk, satu-satunya jalan yang tidak dapat mabuk ialah sama sekali
tidak minum.
Meski caranya ini tidak bagus,
tapi justru paling tepat dan mujarab. Cuma sayang, kebanyakan orang tidak suka
memakai cara ini, sebab itu pula orang yang mabuk setiap harinya di dunia ini
sukar dihitung jumlahnya.
Coh Liu-hiang juga tidak
menyuruh orang minum bukan lah sesuatu yang baik, tapi menasehati orang tidak
minum juga bukan cara yang baik, sebab semakin kau membujuk dia agar ja ngan
minum, dia justru akan minum terlebih banyak. Dalam hal ini yang dia harapkan
adalah semoga kesanggupan minum Ciok Siu-hun memang kuat Dan nyatanya si nona
memang kuat mi num, cuma tidak sekuat sebagaimana diduganya sendiri
Memang, tiada seorang pun yang
dapat menakar kekuatan minumnya sendiri. Maka sorot mata Ciok Siu-hun mulai
buram, dia pandang Coh Liu-hiang dengan lekat, ia tuding hidung Coh Liu-hiang
dengan sumpit, katanya dengan tertawa,
"Kutahu kau bukan orang
baik-baik, memang sudah kutahu kau bukan orang baik-baik....... Untuk pertama
kalinya kulihat kau, segera kutahu diriku pasti runyam."
"Memangnya dalam hal apa
aku tidak baik?" tanya Coh Liu-hiang sambil menyengir.
"Kau....... kau telah
mencekoki aku hingga mabuk," kata si nona sambil nyekikik.
Mendongkol dan geli pula Coh
Liu-hiang, katanya, "Bukankah kau sendiri bilang dirimu tak dapat
mabuk?"
Ciok Siu-hun mengernyitkan
hidungnya yang mungil itu dan mencibir, kakinya diselonjorkan lagi lalu
bergumam, "Hawa terasa gerah, membuat hati kesal, maukah kau mengiringi
aku berjalan-jalan keluar?"
Segera Coh Liu-hiang berdiri
dan mengiakan.
Si nona berjongkok sehingga kepalanya
hampir menerobos ke kolong meja, katanya, "Mana
sepatuku.......sepatuku?" Rupanya sepatunya telah terlempar ke sebelah
sana.
Terpaksa Coh Liu-hiang
menjemputkan sepatunya. Tak terduga, Ciok Siu-hun lantas mengangkat kakinya ke
atas dan berkata dengan nyekikik , "Masukkan pada kakiku....... masukkan,
kalau tidak, aku tak dapat berjalan."
Hati Coh Liu-hiang kembali
berdebar melihat kaki yang putih mulus itu. Tindakan budak cilik ini
sesungguhnya keterlaluan baginya, seakan-akan sedang menghinanya, seolah hendak
membuktikan Coh Liu-hiang pasti tak berani menolak.
Biasanya Coh Liu-hiang pasti
akan memberi hajaran setimpal kepada perempuan yang tidak tahu adat begini.
Tapi kali ini dia tidak bertindak demikian, ia benar-benar memasukkan sepatu
itu kepada kaki si nona dan memayangnya keluar.
Kedua tangan si nona merangkul
pundak Coh Liu-hiang, seluruh badannya seolah-olah menggelendot di bahunya.
Malam sunyi senyap,
bintang-bintang berkedip memenuhi cakrawala menerangi jalanan berbatu itu.
Angin meniup sepoi-sepoi laksana hembusan napas sang kekasih. Sama sekali ia
tak tahu bahwa dalam kegelapan ada sepasang mata yang sedang mengintainya.
*******
Di dalam rumah papan kecil itu
tidak terlalu gelap, sebab cahaya bintang samar-samar juga menembus ke dalam.
Coh Liu-hiang tak tahu mengapa
dirinya menuruti kehendak Ciok Siu-hun dan mengapa membawanya ke sini
pula........ Mungkin dia memang benar sudah rada mabuk, mabuk dan mabuk memang
macam-macam dan tidak sama.
Dengan langkah cepat dan gesit
Ciok Siu-hun membalik tubuh dan berkata, 'Tahukah kau mengapa aku ingin datang
ke sini?"
Coh Liu-hiang hanya terbeliak
saja tanpa bersuara.
"Sebab di sinilah untuk
pertama kalinya kulihat kau." kata Ciok Siu-hun.
"Hayolah pergi."
kata Coh Liu-hiang, sungguh aneh ucapannya ini.
"Pergi? Mengapa
pergi?" tanya si nona.
"Jika kau tidak pergi,
tahukah apa yang akan kulakukan?"
Siu-hun tertawa genit sambil
menggeleng. Sedapatnya Coh Liu-hiang bersikap garang dan buas, katanya dengan
suara berat "Jika kau tahu aku bukan orang baik-baik, seharusnya kau dapat
menerka apa yang hendak kulakukan. Jika kau pergi selekasnya akan mujur. Kalau
tidak, segera akan kurobek bajumu, lalu........"
Belum habis ucapannya,
mendadak Ciok Siu-hun berkeluh tertahan, terus menjatuhkan diri dalam pelukan
Coh Liu-hiang, katanya sambil merangkul lehernya, “Kau sungguh busuk, kutahu
pada suatu ketika kau pasti akan memperlakukan diriku cara begini."
Coh Liu-hiang jadi melengak.
Sebenarnya cuma di mulut saja ia ingin menakut-nakuti dia, siapa tahu ia
sendiri mendahului bertindak, ia ingin mendorongnya....... tapi justru tempat
yang tidak pantas didorongnya yang terpegang oleh tangannya.
Suara tertawa Siu-hun nyaring
seperti bunyi keleningan, dia pegang tangan Coh Liu-hiang dan bahkan dimasukkan
ke sela-sela bajunya sambil berbisik "Coba kau pegang, jantungku
berdebar-debar dan badanku panas bukan?"
Badan si nona memang betul
panas. Meski merasa berat, namun cepat juga Coh Liu-hiang menarik kembali
tangannya.
Tidak terduga si nona lantas
memegang tangannya dan menggigitnya sekali dengan gregetan. "Kau memang
busuk," omel si nona sambil menggigit jari Coh Liu-hiang.
"Kau selalu memancing
diriku, dari awal hingga akhir, terus memelet diriku memangnya kau kira aku
tidak tahu? Dan sekarang kau ingin la ri, jika kau berani lari, segera kugigit
putus jarimu."
Betapapun Coh Liu-hiang adalah
seorang lelaki, lelaki jantan, lelaki tulen, lelaki sehat, lelaki tanpa cacat
dan tanpa penyakit, bagaimana seorang lelaki sehat berada sendirian dengan
seorang nona cantik, selanjutnya kiranya tidak perlu di ceritakan lagi
*********
Sang surya sudah menyingsing
dan memancarkan cahayanya yang keemasan, menyinari kaki Ciok Siu-hun yang
panjang dan putih mulus itu. Lelaki manapun betapapun kukuh cara berpikirnya,
mau tak mau temu juga akan mengaku keindahan paha Ciok Siu-hun yang menggiurkan
ini.
Sorot mata Coh Liu-hiang
bergeser mulai dari betis hingga paha untuk kemudian berpindah ke wajah si
nona. Mukanya masih kelihatan bersemu kemerah-merahan, napasnya tampak
sedemikian tenang dan pelahan, nyenyak sekali tidurnya seperti anak bayi.
Memandangi wajah yang polos
ini, tiba-tiba penyesalan yang tak terkatakan dalam hati Coh Liu-hiang.
Dia bukan seorang yang
'lemah', akan tetapi, sekali ini sungguh dia berharap semalam dia adalah
seorang yang 'lemah'. Akan tetapi jelas ia tidak 'lemah', soalnya dia memang
lelaki sehat, tiada cacat, tiada kelainan lahir maupun batin, mental maupun
fisik.
Dan semuanya itupun sudah
terjadi. Ia pun pernah berpacaran dengan anak perempuan lain, tapi semuanya itu
berbeda. Kebanyakan anak perempuan itu sangat keras tekadnya, sangat teguh
imannya. Ia tahu sekalipun anak-anak perempuan itu masih merindukan dia tapi
jelas takkan menderita baginya.
Namun sekarang, anak perempuan
yang meringkuk dalam pelukannya ini, sedemikian polos, sedemikian murni,
sedemikian lemah..... sungguh ia tidak berani membayangkan bagaimana akibatnya
sesudah dirinya meninggalkan dia?
"Apakah dia akan bunuh
diri," teringat demikian, sungguh Coh Liu-hiang ingin menggampar muka
sendiri beberapa kali.
Kaki Ciok Siu-hun tampak
bergerak dan mengkeret, pelahan-lahan terlihat pula dekik pipinya. Lalu ia pun
membuka mata, ia telah mendusin.
Hampir-hampir tidak berani Coh
Liu-hiang mengadu pandang dengan si nona. Siu-hun membalik tubuh sambil
menggeliat, tiba-tiba ia berkeluh pelahan, katanya dengan senyuman manis,
"O, sakit sekali kepalaku."
"Makanya lain kali jangan
terlalu banyak minum arak," ucap Coh Liu-hiang dengan suara lembut.
Siu-hun terkikik-kikik,
katanya, "Konon orang yang suka minum arak, kebanyakan kurang daya
ingatannya, selang dua-tiga hari kemudian tentu akan melupakan semua
penderitaannya setelah mabuk arak."
Tertawa juga Coh Liu-hiang,
katanya, "Memang betul, setahuku, paling sedikit Siau Oh sudah ribuan kali
menyatakan pantang minum lagi, setiap kali sakit kepala, dia tentu berteriak
tidak mau minum. Akan tetapi belum lewat satu hari, tahu-tahu pantangannya
sudah dilanggarnya."
Siu-hun bangkit berduduk
sambil kucek-kucek mata yang masih sepat, katanya dengan tertawa, "O,
kiranya sang surya sudah setinggi ini."
"Ya, hari sudah
siang," kata Coh Liu-hiang. "Rasanya aku.......aku tidak mau
pergi......." Sebenarnya ia hendak berkata, "mau tak mau aku harus
pergi" Akan tetapi kata-kata ini sukar diucapkannya.
Tak terduga Ciok Siu-hun
lantas berkata malah, "Kau tidak mau pergi, akulah yang akan pergi."
Coh Liu-hiang
melengak."Kau........"
"Kutahu kau pun harus
pergi," kata Siu-hun.
"Lantas........ lantas
selanjutnya kita........"
"Selanjutnya? Tlada selanjutnya
buat kita, sebab selanjutnya kau pun pasti tak dapat bertemu lagi
denganku."
Coh Liu-hiang melenggong.
Dengan tertawa Ciok Siu-hun
lantas berkata pula, "Mengapa kau terkejut? Memangnya kau kira aku akan
mengikat dirimu dan takkan melapaskan kau pergi?"
Mendadak ia mencium pipi Coh
Liu-hiang, lalu berdiri, ia mulai mengenakan pakaiannya, lalu berkata pula
dengan sungguh-sungguh, "Kau dan aku hakikatnya mempunyai dunia
sendiri-sendiri, seumpama aku dapat menahan dirimu dengan paksa atau aku berkeras
ingin ikut denganmu, namun selanjutnya aku pasti juga takkan bahagia."
Coh Liu-hiang jadi melengong
pula dan tidak dapat bersuara.
Siu-hun tersenyum lembut,
katanya, "Aku adalah seorang biasa, kehidupanku sehari-hari juga sangat
biasa, hari-hari selanjutnya juga akan kulalui secara biasa. Dalam hidupku
ternyata bisa bergaul denganmu secara luar biasa begini, meski cuma satu hari
saja, namun sudah puas bagiku. Kelak bilamana sudah lanjut usiaku, paling tidak
dapatlah kukenangkan hari bahagia yang berkesan ini."
Dia pandang lekat-lekat wajah
Coh Liu-hiang, lalu menyambung pula dengan halus, "Sebab itulah, betapapun
juga aku tetap berterima kasih padamu."
Coh Liu-hiang tak dapat
bersuara, dia duduk terkesima, entah bagaimana perasaannya.
Siu-hun menciumnya lagi
beberapa kali, habis itu mendadak ia membalik tubuh terus melangkah pergi
dengan cepat, tanpa menoleh lagi……..
Coh Liu-hiang memang berharap
anak perempuan itu dapat pergi dengan baik, dan sekarang ia benar-benar pergi
dengan baik tanpa menimbulkan persoalan, tapi di dalam hati Coh Liu-hiang
berbalik timbul rasa pedih dan kecut.
Sebenarnya dia berharap si
nona lekas pergi, tapi sekarang ia malah berharap perginya jangan terlalu
cepat. Orang sering bilang hati perempuan sukar diraba, padahal hati lelaki
bukankah juga sama begitu?
Sampai sekian lama Coh
Liu-hiang memandangi daun pintu yang tertutup itu, rasanya seperti berharap si
nona tiba-tiba mendorong pintu dan masuk lagi.
Mendadak, daun pintu
benar-benar terbuka dan seorang tampak melangkah masuk......
Namun yang masuk ini bukanlah
Ciok Siu-hun yang manis itu melainkan seorang lelaki kekar berewok dengan bau
arak yang menusuk hidung.
"He, Siau Oh, mengapa kau
datang ke sini?" seru Coh Liu-hiang.
Si berewok peminum ini memang
betul Oh Thi-hoa adanya, kawan karib Coh Liu-hiang, kawan sehidup semati. Oh
Thi-hoa tidak menjawab pertanyaan itu, dia menggeleng dan berkata dengan
tertawa, "Kutu busuk tua, kau benar-benar lihai....... Dengan cara
bagaimana kau memikat anak perempuan itu? Harus kau ajarkan resepmu ini
kepadaku."
Coh Liu-hiang menyengir, sukar
baginya untuk mengutarakan perasaannya, katanya, "Untuk apa kuajari kau,
tiada gunanya, sebab setiap anak perempuan pasti akan lari terbirit-birit bila
melihatmu."
Meski maksud Coh Liu-hiang
sengaja hendak membikin marah Oh Thi-hoa, tapi ia pun tahu Oh Thi-hoa tidak
nanti marah, ia pun tahu Oh Thi-hoa tidak nanti sedih atau kesal, memang sulit
untuk membuat kesal Oh Thi-hoa.
Di luar dugaan, setelah
mendengar cemooh Coh Liu-hiang tadi, seketika wajah Oh Thi-hoa berubah murung
dan tidak dapat tertawa lagi, sampai lama ia berdiri melenggong, habis itu
mendadak ia menampar muka sendiri satu kali sambil berteriak, "Betul,
ucapanmu memang betul. Aku ini setan arak, miskin pula, orang malas, kotor,
bermuka buruk. Jika anak perempuan tidak lari melihat diriku barulah
aneh."
Coh Liu-hiang jadi melengak
juga. Ia tahu Oh Thi-hoa bukan kawan yang tidak boleh diajak berkelakar, sudah
lebih dari 20 tahun ia kenal Oh Thi-hoa, ia kenal watak kawannya ini seperti
kenal dirinya sendiri. Selamanya Oh Thi-hoa bergembira ria dan tidak kenal apa
artinya kesal apalagi susah
Tapi mengapa sekarang berubah
menjadi begini?
Apakah dia sakit? Dilihatnya
mata Oh Thi-hoa menjadi merah dan basah, ternyata hampir meneteskan air mata
Coh Liu-hiang tertawa geli,
katanya, "Siapa bilang kau bermuka buruk? Orang yang berkata begitu tentu
buta matanya. Coba lihat, hidungmu, alismu, matamu.....ya lebih-lebih sepasang
matamu ini, di antara seratus ribu orang juga sukar dicari seorang yang
mempunyai mata sejeli matamu ini."
Tanpa terasa Oh Thi-hoa
meraba-raba matanya sendiri, tampaknya ia menjadi senang, tapi tiba-tiba ia
menggeleng pula, katanya dengan bersungut, "Tapi seumpama benar mataku ini
sangat bagus, kan juga tiada gunanya jika aku seorang miskin."
"Seorang lelaki, seorang
jantan sejati, apa salahnya jika cuma miskin sedikit?" ujar Coh Liu-hiang.
"Asalkan jiwamu teguh, tulangmu keras....... Kan tidak semua anak perempun
di dunia ini mata duitan, hanya mengutamakan uang melulu?"
Tanpa terasa Oh Thi-hoa
membusungkan dada, tapi segera mengkeret lagi, katanya pula sambil menggeleng,
"Cuma sayang, aku pun seorang setan arak, pemabuk."
"Apa jeleknya orang minum
arak?" kata Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Justru minum arak barulah
dapat menonjolkan sifat kejantananmu. Sejak dahulu kala hingga kini, setiap
orang besar, orang ternama, hampir semuanya pasti suka minum arak. Bilamana
anak perempuan melihat caramu minum yang gagah, tentu dia akan jatuh hati
padamu,"
Oh Thi-hoa tetap menggeleng,
katanya, "Kata-katamu tiada gunanva, anak perempuan tetap akan lari
melihatku."
"Anak prempuan mana yang
akan lari melihatmu?" tanya Coh Liu-hiang, "Kuyakin dia justru malah
akan mengejarmu Masakah sudah kau lupakan Ko A-lam (bekas pacar Oh Ti-hoa), itu
murid kenamaan Hoa-san-pay, lantaran dia ingin jadi isterimu, maka dia telah
mengubermu selama dua-tiga tahun."
Apa yang dikatakan Coh
Liu-hiang memang betul.
Dahulu, pada suatu siang di
musim panas, ketika mereka asyik minum arak di danau Bok-jiu-oh, di situ Oh
Thi-hoa telah mabuk dalam keadaan sadar tak sadar ia telah berjanji akan kawin
dengan Ko A-lam yang tergila-gila padanya itu.
Akan tetapi esoknya ia telah
melupakan semua kejadian itu dan dengan sendirinya juga janjinya. Namun Ko
A-lam sendiri tidaklah lupa dan mendesak Oh Thi-hoa harus kawin dengannya
sesuai janjinya. Nona itu mengancam, apabila Oh Thi-hoa ingkar janji, maka dia
akan kehilangan muka dan akan bunuh diri.
Tentu saja Oh Thi-hoa menjadi
kelabakan, larilah dia terbirit-birit dan dikejar-kejar oleh Ko A-lam. Menurut
cerita Oh Thi-hoa sendiri, sesudah dua tiga tahun si nona menguber dan minta
kawin padanya.
Peristiwa ini boleh dikatakan
kejadian menyenangkan bagi Oh Tld-hoa, Coh Liu-hiang mengira kawannya itu akan
gembira bila diingatkan kejadian ini.
Siapa duga, begitu mendengar
nama Ko A-lam, seketika wajah Oh Thi-hoa berubah murung seperti orang yang
habis kalah judi.
Coh Liu-hiang merasa heran, ia
coba bertanya, "Jangan-jangan kau bertemu lagi dengan Ko A-lam?"
"Ehm," Oh Thi-hoa
mengangguk.
"Masa dia tetap tak
gubris padamu?" tanya Coh Liu-hiang dengan tercengang.
"Ya, dia......dia tidak
menggubris diriku, seperti tidak mau kenal lagi," sehabis berucap begitu,
ia lantas lemas dan lesu seperti anak kecil yang habis dimarahi sang ibu.
Coh Liu hiang tambah heran, ia
tarik Oh Thi-hoa dan menyuruhnya duduk, tanyanya kemudian, "Sebenarnya apa
yang terjadi, coba ceritakan?"
"Begini," tutur Oh
Thi-hoa, "Suatu hari kudapatkan dua guci arak simpanan lama,kucari si jaring
kilat Thio Sam, sebab ikan panggangnya terkenal paling lezat, kuingat kaupun
sangat suka makan ikan panggangnya."
"Betul," jawab Coh
Liu-hiang, "Hanya ikan panggangnya yang cocok dengan seleraku, tidak amis,
tidak hangus, tetapi tetap terasa segarnya ikan."
"Begitulah waktu kami
sedang duduk di haluan kapal sambil makan ikan panggang dan minum arak,
tiba-tiba sebuah perahu meluncur lewat dengan cepat, tiga penumpang itu, satu
di antaranya sudah kukenal."
"Ko A-lam bukan?"
tukas Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa mengangguk, katanya
dengan menyesal, "Betul memang dia. Aku pun terkejut waktu itu, segera
kususul dan bermaksud menyapa dia, siapa tahu dia sama sekali tidak mau
menggubris diriku, dengan segala cara kugapai dia, tapi dia seperti tidak
melihatku."
"Bisa....... bisa jadi
dia memang tak melihatmu," kata Coh Liu-hiang.
"Siapa bilang?" ujar
Oh Thi-hoa. "Dia duduk di dekat jendela, malahan melototi aku sekian lama,
tapi mendelik seperti patung. Waktu kususul, dia masih tetap berduduk di dekat
jen dela kabin perahu, tidak mau menggubris padaku pula."
"Kenapa tidak kau lompat
ke atas perahunya dan langsung menanyai dia?"
"Aku tidak berani?"
jawab Oh Thi-hoa dengan bersungut.
"Kau tak berani? Hahaha,
mengapa? Paling-paling di depak jatuh ke sungai," kata Coh Liu-hiang
dengan tertawa.
"Kau tidak tahu, di
antara tiga penumpang perahunya itu terdapat juga gurunya, yaitu si Nikoh tua
dari Hoa-san-pay. Aku menjadi rada takut....... Aku tidak takut pada orangnya,
hanya takut pada wajahnya itu."
Ciangbunjn Hoa-san-pay
sekarang, yaitu Koh-bwe Taysu si Nikoh tua guru Ko A-lam yang dimaksud Oh
Thi-hoa, adalah seorang tokoh beribadat tinggi, konon sudah ada 30 tahun Nikoh
itu tidak pernah memperlihatkan wajah tersenyum, karena itu setiap orang
Kangouw sama ketakutan bila melihat mukanya yang kaku dan dingin itu.
Tergerak hati Coh Liu-hiang
mendengar guru Ko A-lam itu juga berada di perahu itu, katanya, "Koh-bwe
Taysu kan sudah lebih 20 tahun tidak pernah menginjak dunia ramai, sekali ini
mengapa dia turun gunung lagi?"
Tiba-tiba ia sangat tertarik
oleh kejadian ini, ia yakin, bila tiada urusan penting, tidak nanti Koh-bwe
Taysu turun gunung lagi. Dan kalau Nikoh (biksuni) tua itu sampai turun gunung,
maka pasti telah terjadi sesuatu luar biasa.
Mendadak Coh Liu-hiang tepuk
pundak Oh Thi-hoa dan berkata, "Jangan kau kesal, tunggu setelah urusan di
sini sudah kubereskan, segera kutemani kau mencari Ko A-lam untuk tanya
padanya, apa sebabnya dia tidak menggubris dirimu lagi?"
Ujung mulut Oh Thi-hoa
bergerak-gerak, tiba-tiba ia ber kata, "Jika kau melihat Koh-bwe Taysu.
tentu kau pun terkejut."
"Memangnya kenapa?"
tanya Coh Liu-hiang.
"Sebab dia sudah
Hoan-siok (piara rambut dan kembali pada kehidupan orang biasa lagi),"
kata Oh Thi-hoa.
"Apa? Koh-bwe Taysu telah
Hoan-siok? Ah, persetan kau!" omel Coh Liu-hiang.
Setiap orang Kangouw tahu
Koh-bwe Taysu sudah cukur rambut dan manjadi Nikoh selama lebih 40 tahun,
tinggi ibadat nya, hidupnya prihatin, kalau dibilang dia juga bisa Hoan-siok,
maka hal itu bisa lebih mengejutkan daripada orang bilang Coh Liu-hiang telah
menjadi Hwesio.
Dengan menyengir Oh Thi-boa
berkata pula, "Aku sendiri tahu bilamana kukatakan hal ini pasti takkan
dipercaya oleh siapa pun juga. Akan tetapi kenyataannya memang begitu Koh-bwe
Taysu benar-benar telah Hoan-siok."
"Mungkin kau pangling dan
salah lihat," ujar Coh Liu-hiang.
"Tidak, tak mungkin salah
lihat," jawab Oh Thi-hoa. "Wajah Koh-bwe Taysu tak nanti dilupakan
oleh siapa pun juga yang pernah melihatnya, apalagi aku."
"Akan tetapi......."
"Waktu kulihat dia,
rambutnya sudah tumbuh panjang, beruban dan jarang," tutur Oh Thi-hoa.
"Dia berjubah sulaman bunga merah, tangan memegang tongkat, mirip benar
seorang nenek keluarga bangsawan yang anggun."
Coh Liu-hiang melongo dan tidak
sanggup berkata lagi.
Bahwa Koh-bwe Taysu turun
gunung, sudah cukup membuatnya terkejut, bahwa Koh-bwe Taysu telah Hoan-siok,
lebih-lebih sukar untuk dipercaya. Di balik persoalan ini, pasti menyangkut
suatu urusan yang aneh dan misterius. Maka semakin tertarik pula Coh Liu-hiang
oleh peristiwa aneh ini.
Mendadak ia melompat bangun
dan berlari keluar secepat terbang sambil berseru, "Kau tunggu di sini,
sekitar lohor pasti aku kembali dan kita dapat pergi bersama."
**********
Rekaan Coh liu-hiang memang
tidak meleset Di dunia Kangouw memang telah terjadi suatu peristiwa besar,
siapapun yang ikut campur urusan ini pasti akan mendatangkan bencana kematian
baginya. Kalau Coh Liu-hiang pintar, seharusnya dia menghindarinya jauh-jauh.
Cuma sayang, orang pintar
terkadang juga bisa berbuat kebodohan.
TAMAT