Mayat Kesurupan Roh (Gui Lian Xia Qing) Bab 10: Dugaan yang Tidak Meleset (TAMAT)

Mayat Kesurupan Roh (Gui Lian Xia Qing) Bab 10: Dugaan yang Tidak Meleset (TAMAT)
Mayat Kesurupan Roh
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 10: Dugaan yang Tidak Meleset (TAMAT)

Siau-tut-cu dan Siau-moa-cu tidak terhitung anak kecil lagi, terkadang mereka pun serupa orang dewasa, paling tidak mereka dapat berlagak sudah dewasa,

Tapi sekarang gerak-gerik mereka jelas hanya dua anak kecil saja, bahkan anak kecil yang merasa penasaran, mulut mereka yang menjengkit itu mungkin bisa dibuat gantungan botol.

Tadi Si In dan Liang-ma berkeras mengundang semua orang ke rumah mereka untuk minum arak. Dengan sendirinya Thio Kan-cay tidak mau pergi, sebab dia sudah cukup tua, pula seorang 'tabib sakti'. Minum arak baginya seperti bertaruh dengan jiwanya sendiri.

Cu Beng-cu dan Sih Bun juga tidak terima undangan Si In itu, sebab mereka harus pulang untuk menyambung sandiwara mereka. Dan Liang-ma juga tidak berkeras meminta kehadiran mereka.

Yang tidak adil ialah Siau-tut-cu dan Siau-moa-cu ingin hadir, tapi Liang-ma dan Si In justru tidak menyampaikan undangan pada mereka. Keruan mereka sangat mendongkol, seterusnya si gundul dan si burik lantas tidak sudi menyinggung lag| urusan itu, malahan si gundul tidak sudi memikirkannya lagi.

Sedapatnya si gundul memikirkan urusan lain, gumamnya, "Beberapa orang ini benar-benar sialan, ya pura-pura sakit, ya pura-pura mati juga pura-pura menjadi setan, sudah banyak membuang tenaga dan pikiran, juga mengalirkan air mata pula, dan semua itu hanya karena satu kata saja, yaitu 'cinta' he....he....he." Dia terkekeh-kekeh beberapa kali, lalu berseru, "Sungguh tak kupahami 'cinta' yang sialan itu mempunyai daya tarik yang se besar itu sehingga dapat membuat orang sebanyak ini menjadi gila semua."

"Ya, aku pun tidak paham, kuharap selama hidup ini jangan terjadi hubungan dengan satu kata ini," tukas si burik.

Dengan keras dia tendang sepotong batu, seperti sekali tendang dia hendak mengenyahkan 'cinta' itu. Ia tidak tahu bahwa "cinta' tidak sama dengan batu, betapapun besar tenaga yang digunakan tetap tak dapat mengenyahkannya. Jika dikira sekali tendang telah mengenyahkannya, tahu-tahu dia mental balik, se makin keras tenaga tendangan, semakin cepat pula dia mental kembali lagi. Bila dipikir dapat menginjaknya hingga hancur, maka injakan ini pasti akan menyakitkan hati sendiri.

Siau-tut-cu termenung hingga lama, tiba-tiba ia berkata pula, "He, kaukira Cu-jiya akan membiarkan puterinya diperisteri oleh Sih-jisiauya?"

"Mau tak mau dia harus setuju, sebab 'roh' anaknya kan roh orang lain," kata Siau-moa-cu. Ia merasa ucapan sendiri yang bermakna ganda ini sangat lucu, maka ia terkikik geli sendiri, rasa dongkolnya tadi lantas lenyap sebagian.

Tapi Siau-tut-cu lantas mendelik, katanya, "Tapi bagaimana dengan Sih-tayhiap, apakah dia dapat menerima anak menantunya ini?"

"Jika orang lain membicarakan dengannya, mungkin akan ditolak oleh Sih-tayhiap,” kata Siau-moa-cu. "Tapi sekarang Coh Hiang-swe yang bicara dengan dia, mau tak mau dia pasti menerimanya."

Si gundul mengangguk katanya, "Betul, dia hutang budi kepada Hiang-swe, setiap orang seakan-akan hutang budi kepada Coh Hiang-swe."

Si burik mencibir, katanya, "Pantas si nenek sialan itu berkeras mengundang Coh Hiang-swe ke tempatnya untuk minum arak."

"Plok", mendadak si gundul menampar si burik katanya, "Kau burik sialan, memangnya kau kira dia benar-benar mengundang minum arak pada Coh Hiang-swe?"

Si burik melotot, jawabnya. "Habis untuk apa kalau tidak minum arak?"

"Ai, dasar burik," omel si gundul. "Masa tidak dapat melihat gelagat, mereka hendak menjadi perantara bagi Coh Hiang-swe."

"Menjadi perantara? Perantara apa?" tanya si burik dengan melenggong.

"Sudah tentu menjadi perantara bagi Coh Hiang-swe dan nona Ciok Siu-hun itu," tutur si gundul, "Mereka merasa berhutang budi kepada Coh Hiang-swe, maka mereka ingin membalasnya dengan mengumpulkan Coh-toako dan nona Ciok itu."

Si burik berkeplok tertawa, katanya, "Betul aku memang heran, seorang perawan seperti nona Ciok itu mengapa tengah malam buta mau pergi ke rumah orang untuk minum arak, kiranya dia telah penujui Coh-toako kita."

"Orang baik seperti Coh-toako kita, ya cakap, ya pintar, adalah aneh kalau anak perempuan tidak suka padanya," kata si gundul pula.

"Akan....... akan tetapi, apakah Coh-toako juga suka pada nona Ciok itu?" tanya si burik.

"Wah, untuk ini, sukar untuk di jelaskan......." si gundul garuk-garuk kepalanya yang kelimis itu. "Tapi nona Ciok itupun terhitung cantik dan cocok bagi Coh-toako, aku suka minum arak bahagia mereka,"

"Jika demikian, akhir dari peristiwa ini adalah semuanya bergembira," ujar si burik. "Tertinggal kita berdua saja tengah malam buta masih keluyuran kian kemari seperti setan gentayangan, perut terasa lapar lagi."

"Plok", kembali si gundul memberi gamparan lagi sambil mengomel. "Kau ini memang burik sialan, orang tidak mengundang makan minum pada kita, memangnya kita tak dapat makan minum sendiri? Di sana juga masih ada penjual makanan, malahan aku sudah mencium bau arak."

Benar juga, di ujung jalan sana memang masih ada sebuah lampu gantung. Di bawah sinar lampu, di tempat penjual bakmi itu, nampak seorang laki-laki kekar menongkrong di atas bangku panjang sedang minum arak dengan bebas, di depannva nampak semangkuk besar penuh berisi arak.

Si penjual yang sudah lanjut usia itu sebenarnya berulang-ulang sudah menguap mengantuk, sebenarnya ia ingin lekas kukut dan pulang tidur, tapi tidak berani mengusir tamunya. Soalnya tamunya inipun jarang dilihatnya selama dia berjualan, tamu peminum yang aneh.

Padahal musim rontok sudah hampir lalu, musim dingin sudah hampir tiba, hawa sudah mulai dingin. Tetapi lelaki kekar ini masih telanjang setengah badan sehingga kelihatan tubuhnya yang hitam dan keras laksana baja.

Tong tua, si penjual bakmi sudah beberapa kali menuang kan arak pada mangkuk besar itu dan lelaki kekar itupun me nenggaknya habis begitu saja, cara menuang arak Tong tua se olah-olah tidak secepat cara minum lelaki itu.

Stau-tut-cu dan Siau-moa-cu sama kesima menyaksikan kehebatan minum arak lelaki hitam ini. Si burik melelet lidah dam membisiki si gundul, ""Wah, luar biasa, orang ini benar-benar gentong arak."

Si gundul berkedip-kedip, katanya kemudian, " Meski kekuatan minumnya sangat hebat, tapi juga belum tentu dapat melebihi Coh-toako kita."

"Tentu saja," sambung si burik dengan tertawa, "Memangnya orang Kangouw mana yang tidak tahu Ginkang Coh-toako kita tiada bandingannya, juga kekuatan minum araknya sukar tandingkan orang lain."

Suara bicara mereka sebenarnya tidak keras, si Tong tua sama sekali tidak mendengarnya, tetapi telinga lelaki hitam seperti radar tajamnya, apa yang dipercakapkan kedua jembel cilik itu agaknya dapat didengar seluruhnya. Mendadak ia menggebrak meja dan berbangkit, teriaknya. "Siapa itu Coh-toako kalian?"

Orang ini ternyata bermata besar dan beralis tebal, tampangnya cukup cakap, lebih-lebih sepasang matanya yang mencorong terang laksana bintang di langit.

Tapi lantaran cara bicaranya yang garang itu si gundul yang pertama-tama tidak terima, dengan mendelik ia menjawab, "Siapa Coh-toako itu buka urusanmu dan tidak perlu kau urus." Belum habis ucapannya, tahu-tahu lelaki itu sudah berada di depan mereka, entah cara bagaimana, sekali raih segera si gundul dan si burik kena dicengkeramnya.

Sebenarnya si gundul dan si burik juga bukan lawan empuk, tapi aneh, berhadapan dengan orang ini mereka telah berubah menjadi seperti dua ekor anak ayam, sama sekali tak bisa berkutik, apalagi melawan. Dibandingkan dengan lelaki kekar ini, memang kedua jembel kecil ini tiada ubahnya seperti dua ekor anak ayam.

Kedua anak itu diangkatnya ke atas sehingga tangan dan kaki mereka meronta-ronta, orang itu memandang mereka dengan sorot mata yang terang, tetapi seperti mengandung tertawa.

Namun suarnya tetap garang, bentaknya pula, "Dengarkan, kalian berdua setan cilik ini, apabila Coh-toako yang kalian bicarakan itu ialah si kutu busuk tua Coh Liu-hiang, maka kalian harus lekas membawaku mencarinya....."

Kontan Siau-tut-cu mendampratnya, "Kau ini kutu macam apa? Kau berani memaki Coh-toako sebagai kutu busuk tua? Kau sendirilah kutu busuk tua, kutu busuk hitam."

Siau-moa-cu juga ikut memaki, "Hm, bagi Coh-toako cukup dengan satu jari saja akan dapat memites mampus kau kutu busuk hitam ini, maka janganlah kau berlagak garang di sini, lekas kau lari saja mencawat ekor."

"Salah kau," tukas si gundul. "Kutu busuk tak punya ekor, tapi perutnya gede, sekali dipites Coh-toako pasti mampus."

Meski tidak besar tenaga kedua anak muda itu, tapi nyalinya tidaklah kecil, cara mereka memaki orang pun tergolong tingkat tinggi. Sekarang mereka sudah nekat, mereka lantas memaki sepuasnya tanpa memikirkan keselamatan sendiri lagi.

Di luar dugaan, lelaki hitam berewok itu tidak marah, sebaliknya malah bergelak tertawa, katanya, "Bagus, hahaha, bagus! Kalian berdua setan cilik ini memang boleh juga. Tetapi orang lain takut kepada si kutu busuk tua itu, aku sendiri tidak takut padanya. Bila berlomba minum arak, dia juga akan keetinggalan jauh di belakangku, jika kalian tidak percaya, hayolah bawa aku menemui dia dan kalian nanti boleh tanya langsung padanya."

***********

Di atas meja sudah siap beberapa macam hidangan lezat seperti Ang-sio-bak, bebek tim, Kay-lan cah-hwe-kiu dan lain-lain, semuanya terpilih, mungkin sudah seharian Liang ma menyiapkannya.

Akan tetapi sekarang hidangan itu masih utuh berada diatas meja, sama sekali belum tersentuh. Sebab yang duduk di situ sekarang cuma tinggal dua orang saja dan tampaknya kedua orang itu sama sekali tiada napsu makan.

Memang, sebagian hadirin sudah pergi. Tapi yang pergi itu bukanlah tamunya melainkan tuan rumahnya. Malahan ketika pergi mereka sama memberi alasan yang masuk di akal. Walaupun setiap orang dapat mengetahui alasan mereka itu cuma dibuat-buat saja.

Maksud tujuan kepergian mereka hanya ingin memberi kesempatan pada Coh Liu-hiang untuk berada berduaan dengan Ciok Siu-hun, maksud mereka ini dipahami Coh Liu-hiang juga dimengerti Ciok Siu-hun.

Lucunya Ciok Siu-hun juga tidak menahan tuan rumah yang sengaja tinggal pergi dan ia sendiri pun tiada maksud pergi. Dengan kikuk ia memegang sumpit dan pelahan-lahan mengetuk cawan arak sehingga menimbulkan suara "tring-tring' yang nyaring pelahan, dia seperti ingin memecahkan kesunyian di dalam rumah ini, seperti juga tangannya terlalu menganggur sehingga perlu dicarikan pekerjaan.

Wajah Ciok Siu-hun tampak bersemu merah, dipandang di bawah cahaya lampu kelihatan sangat molek dan menggiurkan. Dia memandang ke bawah sehingga bulu matanya yang panjang menutupi kelopak matanya, giginya yang putih menggigit pelahan bibirnya yang tipis merah sepeti delima merekah.

Di halaman luar daun pohon berkresekan tertiup angin. Arak yang bersemu kehijau-hijauan mengeluarkan bau sedap.

Malam seindah ini, wanita secantik ini, arak seharum ini, andaikan tidak diminum juga sudah mabuk.

Terhadap arak dan anak perempuan cantik, pengalaman Coh Liu-hiang mungkin jauh lebih luas daripada kebanyakan orang. Tapi entah mengapa, hatinya sekarang berdebar, jarang dia mendengar debar jantung sendiri seperti sekarang ini.

Tiba-tiba Ciok Siu-hun mengangkat kepalanya, pandangannya meluncur dari muka Coh Liu-hiang beralih ke tangannya, lesung pipinya menambah senyumnya yang manis.

"Kau tidak mengajak minum padaku?" tiba-tiba si nona bertanya dengan pelahan.

"Kau suka minum arak?" tanya Coh Liu-hiang, "Baik, ku suguh kau satu cawan."

"Pelit," omel Ciok Siu-hun. "Mau menyuguh harus tiga cawan, memangnya kau kuatir aku menjadi mabuk?"

Dengan cepat tiga cawan arak benar-benar telah dihabiskan si nona.

Apakah seseorang dapat minum arak atau tidak, cukup dilihat dari gayanya memegang cawan. Maka dari cara si nona memegang cawan dapatlah Coh Liu-hiang menilai sedikitnya dia sudah pernah minum arak.

Coh Liu-hiang juga mengiringi menghabiskan tiga cawan. Katanya kemudian dengan tertawa, "Terus terang, tak tersangka olehku bahwa kau dapat minum arak, bahkan cukup kuat."

Siu-hun juga melirik sekejap, katanya, "O, kau kira aku ini kampungan, bukan? Padahal orang kampungan juga mahir minum arak." Dia menuang arak pula dan menyambung dengan pelahan. "Supaya kau tahu, waktu malam tahun baru, aku sendiri telah menghabiskan setengah guci arak, kau percaya tidak?"

"Wah, jika demikian, mestinya kucari Siau Oh untuk minum bersama," seru Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Siapa itu Siau Oh?" tanya Ciok Siu-hun.

"Namanya Oh Thi-hoa, sahabat lamaku, juga sahabat karibku, kekuatan minumnya jauh di atasku."

"Baik, lain kali boleh kau ajak dia kemari, akan kucekoki dia hingga mabuk." kata Ciok Siu-hun dengan tertawa. "Akan tapi sekarang....... sekarang aku cuma mau minum bersamamu."

Ia lantas angkat cawan dan berkata pula, "Marilah, kuhormati kau........ sudah tiga cawan kau suguh aku, sekarang kubalas suguh kau enam cawan, aku lebih royal dari padamu."

"Enam cawan?" Coh Liu-hiang menegas sambil meraba hidung. "Enam cawan apakah tidak terlalu banyak?"

Siu-hun mendelik, omelnya, "Kenapa? Kau kuatir aku mabuk bukan? Asalkan kau sendiri tidak mabuk dan tidak perlu kau urus diriku."

Dengan cepat enam cawan arak telah dihabiskan si nona. mukanya menjadi lebih merah.

"Setelah kuminum enam cawan ini, maukah kuantar kau pulang?" tanya Coh Liu-hiang.

Si nona mengerling penuh arti, jawabnya, "Silakan minum dulu.""

Sudah tentu enam cawan arak bukan apa-apa bagi Coh Liu-hiang, maka setelah habis diminumnya, ia lantas bertanya pula, "Sekarang marilah kuantar kau pulang."

Sambil menggigit bibirnya yang tipis, Ciok Siu-hun menunduk, pelahan-lahan ia menanggalkan sepatu sulamnya yang masih baru itu lalu melipat kedua kakinya yang putih mulus itu ke atas kursi, kemudian ia mengangkat kepalanya pelahan-lahan dan memandang lekat-lekat pada Coh Liu-hiang. katanya, "Aku tidak mau pulang....... "

Ia mengerling genit, lalu menambahkan pula dengan senyuman menggiurkan, "Marilah sekarang giliranmu lagi menyuguh arak padaku."

Kembali Coh Liu-hiang meraba hidung sendiri pula. Kalau orang lain biasa garuk-garuk kepala, tapi kebiasaan Coh Liu-hiang adalah meraba hidung.

Siu-hun menunduk lagi, ucapnya dengan rawan, "Hatiku kesal dan ingin minum arak, masa engkau tidak suka mengjringi aku minum arak?"

Coh-Liu-hiang menghela napas gegetun, katanya, "Asalkan kau tidak mabuk, biarpun mengiringi kau minum selama tiga hari juga tidak soal bagiku."

"Kuatir aku mabuk?" tanya Ciok Siu-hun.

"Aku tidak takut pada siapa pun, aku cuma takut kepada orang yang mabuk arak," ujar Coh Liu-hiang sambil menyengir.

Siu- hun tertawa, katanya, "Baiklah, kujamin takkan minum sampai mabuk, nah boleh?"

Terpaksa Coh Liu-hiang mengangkat cawan dan menjawab. "Baiklah, marilah minum" Sebenarnya Coh Liu-hiang juga tahu tiada seorang pun yang berani menjamin dirinya pasti tak bisa mabuk, satu-satunya jalan yang tidak dapat mabuk ialah sama sekali tidak minum.

Meski caranya ini tidak bagus, tapi justru paling tepat dan mujarab. Cuma sayang, kebanyakan orang tidak suka memakai cara ini, sebab itu pula orang yang mabuk setiap harinya di dunia ini sukar dihitung jumlahnya.

Coh Liu-hiang juga tidak menyuruh orang minum bukan lah sesuatu yang baik, tapi menasehati orang tidak minum juga bukan cara yang baik, sebab semakin kau membujuk dia agar ja ngan minum, dia justru akan minum terlebih banyak. Dalam hal ini yang dia harapkan adalah semoga kesanggupan minum Ciok Siu-hun memang kuat Dan nyatanya si nona memang kuat mi num, cuma tidak sekuat sebagaimana diduganya sendiri

Memang, tiada seorang pun yang dapat menakar kekuatan minumnya sendiri. Maka sorot mata Ciok Siu-hun mulai buram, dia pandang Coh Liu-hiang dengan lekat, ia tuding hidung Coh Liu-hiang dengan sumpit, katanya dengan tertawa,

"Kutahu kau bukan orang baik-baik, memang sudah kutahu kau bukan orang baik-baik....... Untuk pertama kalinya kulihat kau, segera kutahu diriku pasti runyam."

"Memangnya dalam hal apa aku tidak baik?" tanya Coh Liu-hiang sambil menyengir.

"Kau....... kau telah mencekoki aku hingga mabuk," kata si nona sambil nyekikik.

Mendongkol dan geli pula Coh Liu-hiang, katanya, "Bukankah kau sendiri bilang dirimu tak dapat mabuk?"

Ciok Siu-hun mengernyitkan hidungnya yang mungil itu dan mencibir, kakinya diselonjorkan lagi lalu bergumam, "Hawa terasa gerah, membuat hati kesal, maukah kau mengiringi aku berjalan-jalan keluar?"

Segera Coh Liu-hiang berdiri dan mengiakan.

Si nona berjongkok sehingga kepalanya hampir menerobos ke kolong meja, katanya, "Mana sepatuku.......sepatuku?" Rupanya sepatunya telah terlempar ke sebelah sana.

Terpaksa Coh Liu-hiang menjemputkan sepatunya. Tak terduga, Ciok Siu-hun lantas mengangkat kakinya ke atas dan berkata dengan nyekikik , "Masukkan pada kakiku....... masukkan, kalau tidak, aku tak dapat berjalan."

Hati Coh Liu-hiang kembali berdebar melihat kaki yang putih mulus itu. Tindakan budak cilik ini sesungguhnya keterlaluan baginya, seakan-akan sedang menghinanya, seolah hendak membuktikan Coh Liu-hiang pasti tak berani menolak.

Biasanya Coh Liu-hiang pasti akan memberi hajaran setimpal kepada perempuan yang tidak tahu adat begini. Tapi kali ini dia tidak bertindak demikian, ia benar-benar memasukkan sepatu itu kepada kaki si nona dan memayangnya keluar.

Kedua tangan si nona merangkul pundak Coh Liu-hiang, seluruh badannya seolah-olah menggelendot di bahunya.

Malam sunyi senyap, bintang-bintang berkedip memenuhi cakrawala menerangi jalanan berbatu itu. Angin meniup sepoi-sepoi laksana hembusan napas sang kekasih. Sama sekali ia tak tahu bahwa dalam kegelapan ada sepasang mata yang sedang mengintainya.

*******

Di dalam rumah papan kecil itu tidak terlalu gelap, sebab cahaya bintang samar-samar juga menembus ke dalam.

Coh Liu-hiang tak tahu mengapa dirinya menuruti kehendak Ciok Siu-hun dan mengapa membawanya ke sini pula........ Mungkin dia memang benar sudah rada mabuk, mabuk dan mabuk memang macam-macam dan tidak sama.

Dengan langkah cepat dan gesit Ciok Siu-hun membalik tubuh dan berkata, 'Tahukah kau mengapa aku ingin datang ke sini?"

Coh Liu-hiang hanya terbeliak saja tanpa bersuara.

"Sebab di sinilah untuk pertama kalinya kulihat kau." kata Ciok Siu-hun.

"Hayolah pergi." kata Coh Liu-hiang, sungguh aneh ucapannya ini.

"Pergi? Mengapa pergi?" tanya si nona.

"Jika kau tidak pergi, tahukah apa yang akan kulakukan?"

Siu-hun tertawa genit sambil menggeleng. Sedapatnya Coh Liu-hiang bersikap garang dan buas, katanya dengan suara berat "Jika kau tahu aku bukan orang baik-baik, seharusnya kau dapat menerka apa yang hendak kulakukan. Jika kau pergi selekasnya akan mujur. Kalau tidak, segera akan kurobek bajumu, lalu........"

Belum habis ucapannya, mendadak Ciok Siu-hun berkeluh tertahan, terus menjatuhkan diri dalam pelukan Coh Liu-hiang, katanya sambil merangkul lehernya, “Kau sungguh busuk, kutahu pada suatu ketika kau pasti akan memperlakukan diriku cara begini."

Coh Liu-hiang jadi melengak. Sebenarnya cuma di mulut saja ia ingin menakut-nakuti dia, siapa tahu ia sendiri mendahului bertindak, ia ingin mendorongnya....... tapi justru tempat yang tidak pantas didorongnya yang terpegang oleh tangannya.

Suara tertawa Siu-hun nyaring seperti bunyi keleningan, dia pegang tangan Coh Liu-hiang dan bahkan dimasukkan ke sela-sela bajunya sambil berbisik "Coba kau pegang, jantungku berdebar-debar dan badanku panas bukan?"

Badan si nona memang betul panas. Meski merasa berat, namun cepat juga Coh Liu-hiang menarik kembali tangannya.

Tidak terduga si nona lantas memegang tangannya dan menggigitnya sekali dengan gregetan. "Kau memang busuk," omel si nona sambil menggigit jari Coh Liu-hiang.

"Kau selalu memancing diriku, dari awal hingga akhir, terus memelet diriku memangnya kau kira aku tidak tahu? Dan sekarang kau ingin la ri, jika kau berani lari, segera kugigit putus jarimu."

Betapapun Coh Liu-hiang adalah seorang lelaki, lelaki jantan, lelaki tulen, lelaki sehat, lelaki tanpa cacat dan tanpa penyakit, bagaimana seorang lelaki sehat berada sendirian dengan seorang nona cantik, selanjutnya kiranya tidak perlu di ceritakan lagi

*********

Sang surya sudah menyingsing dan memancarkan cahayanya yang keemasan, menyinari kaki Ciok Siu-hun yang panjang dan putih mulus itu. Lelaki manapun betapapun kukuh cara berpikirnya, mau tak mau temu juga akan mengaku keindahan paha Ciok Siu-hun yang menggiurkan ini.

Sorot mata Coh Liu-hiang bergeser mulai dari betis hingga paha untuk kemudian berpindah ke wajah si nona. Mukanya masih kelihatan bersemu kemerah-merahan, napasnya tampak sedemikian tenang dan pelahan, nyenyak sekali tidurnya seperti anak bayi.

Memandangi wajah yang polos ini, tiba-tiba penyesalan yang tak terkatakan dalam hati Coh Liu-hiang.

Dia bukan seorang yang 'lemah', akan tetapi, sekali ini sungguh dia berharap semalam dia adalah seorang yang 'lemah'. Akan tetapi jelas ia tidak 'lemah', soalnya dia memang lelaki sehat, tiada cacat, tiada kelainan lahir maupun batin, mental maupun fisik.

Dan semuanya itupun sudah terjadi. Ia pun pernah berpacaran dengan anak perempuan lain, tapi semuanya itu berbeda. Kebanyakan anak perempuan itu sangat keras tekadnya, sangat teguh imannya. Ia tahu sekalipun anak-anak perempuan itu masih merindukan dia tapi jelas takkan menderita baginya.

Namun sekarang, anak perempuan yang meringkuk dalam pelukannya ini, sedemikian polos, sedemikian murni, sedemikian lemah..... sungguh ia tidak berani membayangkan bagaimana akibatnya sesudah dirinya meninggalkan dia?

"Apakah dia akan bunuh diri," teringat demikian, sungguh Coh Liu-hiang ingin menggampar muka sendiri beberapa kali.

Kaki Ciok Siu-hun tampak bergerak dan mengkeret, pelahan-lahan terlihat pula dekik pipinya. Lalu ia pun membuka mata, ia telah mendusin.

Hampir-hampir tidak berani Coh Liu-hiang mengadu pandang dengan si nona. Siu-hun membalik tubuh sambil menggeliat, tiba-tiba ia berkeluh pelahan, katanya dengan senyuman manis, "O, sakit sekali kepalaku."

"Makanya lain kali jangan terlalu banyak minum arak," ucap Coh Liu-hiang dengan suara lembut.

Siu-hun terkikik-kikik, katanya, "Konon orang yang suka minum arak, kebanyakan kurang daya ingatannya, selang dua-tiga hari kemudian tentu akan melupakan semua penderitaannya setelah mabuk arak."

Tertawa juga Coh Liu-hiang, katanya, "Memang betul, setahuku, paling sedikit Siau Oh sudah ribuan kali menyatakan pantang minum lagi, setiap kali sakit kepala, dia tentu berteriak tidak mau minum. Akan tetapi belum lewat satu hari, tahu-tahu pantangannya sudah dilanggarnya."

Siu-hun bangkit berduduk sambil kucek-kucek mata yang masih sepat, katanya dengan tertawa, "O, kiranya sang surya sudah setinggi ini."

"Ya, hari sudah siang," kata Coh Liu-hiang. "Rasanya aku.......aku tidak mau pergi......." Sebenarnya ia hendak berkata, "mau tak mau aku harus pergi" Akan tetapi kata-kata ini sukar diucapkannya.

Tak terduga Ciok Siu-hun lantas berkata malah, "Kau tidak mau pergi, akulah yang akan pergi."

Coh Liu-hiang melengak."Kau........"

"Kutahu kau pun harus pergi," kata Siu-hun.

"Lantas........ lantas selanjutnya kita........"

"Selanjutnya? Tlada selanjutnya buat kita, sebab selanjutnya kau pun pasti tak dapat bertemu lagi denganku."

Coh Liu-hiang melenggong.

Dengan tertawa Ciok Siu-hun lantas berkata pula, "Mengapa kau terkejut? Memangnya kau kira aku akan mengikat dirimu dan takkan melapaskan kau pergi?"

Mendadak ia mencium pipi Coh Liu-hiang, lalu berdiri, ia mulai mengenakan pakaiannya, lalu berkata pula dengan sungguh-sungguh, "Kau dan aku hakikatnya mempunyai dunia sendiri-sendiri, seumpama aku dapat menahan dirimu dengan paksa atau aku berkeras ingin ikut denganmu, namun selanjutnya aku pasti juga takkan bahagia."

Coh Liu-hiang jadi melengong pula dan tidak dapat bersuara.

Siu-hun tersenyum lembut, katanya, "Aku adalah seorang biasa, kehidupanku sehari-hari juga sangat biasa, hari-hari selanjutnya juga akan kulalui secara biasa. Dalam hidupku ternyata bisa bergaul denganmu secara luar biasa begini, meski cuma satu hari saja, namun sudah puas bagiku. Kelak bilamana sudah lanjut usiaku, paling tidak dapatlah kukenangkan hari bahagia yang berkesan ini."

Dia pandang lekat-lekat wajah Coh Liu-hiang, lalu menyambung pula dengan halus, "Sebab itulah, betapapun juga aku tetap berterima kasih padamu."

Coh Liu-hiang tak dapat bersuara, dia duduk terkesima, entah bagaimana perasaannya.

Siu-hun menciumnya lagi beberapa kali, habis itu mendadak ia membalik tubuh terus melangkah pergi dengan cepat, tanpa menoleh lagi……..

Coh Liu-hiang memang berharap anak perempuan itu dapat pergi dengan baik, dan sekarang ia benar-benar pergi dengan baik tanpa menimbulkan persoalan, tapi di dalam hati Coh Liu-hiang berbalik timbul rasa pedih dan kecut.

Sebenarnya dia berharap si nona lekas pergi, tapi sekarang ia malah berharap perginya jangan terlalu cepat. Orang sering bilang hati perempuan sukar diraba, padahal hati lelaki bukankah juga sama begitu?

Sampai sekian lama Coh Liu-hiang memandangi daun pintu yang tertutup itu, rasanya seperti berharap si nona tiba-tiba mendorong pintu dan masuk lagi.

Mendadak, daun pintu benar-benar terbuka dan seorang tampak melangkah masuk......

Namun yang masuk ini bukanlah Ciok Siu-hun yang manis itu melainkan seorang lelaki kekar berewok dengan bau arak yang menusuk hidung.

"He, Siau Oh, mengapa kau datang ke sini?" seru Coh Liu-hiang.

Si berewok peminum ini memang betul Oh Thi-hoa adanya, kawan karib Coh Liu-hiang, kawan sehidup semati. Oh Thi-hoa tidak menjawab pertanyaan itu, dia menggeleng dan berkata dengan tertawa, "Kutu busuk tua, kau benar-benar lihai....... Dengan cara bagaimana kau memikat anak perempuan itu? Harus kau ajarkan resepmu ini kepadaku."

Coh Liu-hiang menyengir, sukar baginya untuk mengutarakan perasaannya, katanya, "Untuk apa kuajari kau, tiada gunanya, sebab setiap anak perempuan pasti akan lari terbirit-birit bila melihatmu."

Meski maksud Coh Liu-hiang sengaja hendak membikin marah Oh Thi-hoa, tapi ia pun tahu Oh Thi-hoa tidak nanti marah, ia pun tahu Oh Thi-hoa tidak nanti sedih atau kesal, memang sulit untuk membuat kesal Oh Thi-hoa.

Di luar dugaan, setelah mendengar cemooh Coh Liu-hiang tadi, seketika wajah Oh Thi-hoa berubah murung dan tidak dapat tertawa lagi, sampai lama ia berdiri melenggong, habis itu mendadak ia menampar muka sendiri satu kali sambil berteriak, "Betul, ucapanmu memang betul. Aku ini setan arak, miskin pula, orang malas, kotor, bermuka buruk. Jika anak perempuan tidak lari melihat diriku barulah aneh."

Coh Liu-hiang jadi melengak juga. Ia tahu Oh Thi-hoa bukan kawan yang tidak boleh diajak berkelakar, sudah lebih dari 20 tahun ia kenal Oh Thi-hoa, ia kenal watak kawannya ini seperti kenal dirinya sendiri. Selamanya Oh Thi-hoa bergembira ria dan tidak kenal apa artinya kesal apalagi susah

Tapi mengapa sekarang berubah menjadi begini?

Apakah dia sakit? Dilihatnya mata Oh Thi-hoa menjadi merah dan basah, ternyata hampir meneteskan air mata

Coh Liu-hiang tertawa geli, katanya, "Siapa bilang kau bermuka buruk? Orang yang berkata begitu tentu buta matanya. Coba lihat, hidungmu, alismu, matamu.....ya lebih-lebih sepasang matamu ini, di antara seratus ribu orang juga sukar dicari seorang yang mempunyai mata sejeli matamu ini."

Tanpa terasa Oh Thi-hoa meraba-raba matanya sendiri, tampaknya ia menjadi senang, tapi tiba-tiba ia menggeleng pula, katanya dengan bersungut, "Tapi seumpama benar mataku ini sangat bagus, kan juga tiada gunanya jika aku seorang miskin."

"Seorang lelaki, seorang jantan sejati, apa salahnya jika cuma miskin sedikit?" ujar Coh Liu-hiang. "Asalkan jiwamu teguh, tulangmu keras....... Kan tidak semua anak perempun di dunia ini mata duitan, hanya mengutamakan uang melulu?"

Tanpa terasa Oh Thi-hoa membusungkan dada, tapi segera mengkeret lagi, katanya pula sambil menggeleng, "Cuma sayang, aku pun seorang setan arak, pemabuk."

"Apa jeleknya orang minum arak?" kata Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Justru minum arak barulah dapat menonjolkan sifat kejantananmu. Sejak dahulu kala hingga kini, setiap orang besar, orang ternama, hampir semuanya pasti suka minum arak. Bilamana anak perempuan melihat caramu minum yang gagah, tentu dia akan jatuh hati padamu,"

Oh Thi-hoa tetap menggeleng, katanya, "Kata-katamu tiada gunanva, anak perempuan tetap akan lari melihatku."

"Anak prempuan mana yang akan lari melihatmu?" tanya Coh Liu-hiang, "Kuyakin dia justru malah akan mengejarmu Masakah sudah kau lupakan Ko A-lam (bekas pacar Oh Ti-hoa), itu murid kenamaan Hoa-san-pay, lantaran dia ingin jadi isterimu, maka dia telah mengubermu selama dua-tiga tahun."

Apa yang dikatakan Coh Liu-hiang memang betul.

Dahulu, pada suatu siang di musim panas, ketika mereka asyik minum arak di danau Bok-jiu-oh, di situ Oh Thi-hoa telah mabuk dalam keadaan sadar tak sadar ia telah berjanji akan kawin dengan Ko A-lam yang tergila-gila padanya itu.

Akan tetapi esoknya ia telah melupakan semua kejadian itu dan dengan sendirinya juga janjinya. Namun Ko A-lam sendiri tidaklah lupa dan mendesak Oh Thi-hoa harus kawin dengannya sesuai janjinya. Nona itu mengancam, apabila Oh Thi-hoa ingkar janji, maka dia akan kehilangan muka dan akan bunuh diri.

Tentu saja Oh Thi-hoa menjadi kelabakan, larilah dia terbirit-birit dan dikejar-kejar oleh Ko A-lam. Menurut cerita Oh Thi-hoa sendiri, sesudah dua tiga tahun si nona menguber dan minta kawin padanya.

Peristiwa ini boleh dikatakan kejadian menyenangkan bagi Oh Tld-hoa, Coh Liu-hiang mengira kawannya itu akan gembira bila diingatkan kejadian ini.

Siapa duga, begitu mendengar nama Ko A-lam, seketika wajah Oh Thi-hoa berubah murung seperti orang yang habis kalah judi.

Coh Liu-hiang merasa heran, ia coba bertanya, "Jangan-jangan kau bertemu lagi dengan Ko A-lam?"

"Ehm," Oh Thi-hoa mengangguk.

"Masa dia tetap tak gubris padamu?" tanya Coh Liu-hiang dengan tercengang.

"Ya, dia......dia tidak menggubris diriku, seperti tidak mau kenal lagi," sehabis berucap begitu, ia lantas lemas dan lesu seperti anak kecil yang habis dimarahi sang ibu.

Coh Liu hiang tambah heran, ia tarik Oh Thi-hoa dan menyuruhnya duduk, tanyanya kemudian, "Sebenarnya apa yang terjadi, coba ceritakan?"

"Begini," tutur Oh Thi-hoa, "Suatu hari kudapatkan dua guci arak simpanan lama,kucari si jaring kilat Thio Sam, sebab ikan panggangnya terkenal paling lezat, kuingat kaupun sangat suka makan ikan panggangnya."

"Betul," jawab Coh Liu-hiang, "Hanya ikan panggangnya yang cocok dengan seleraku, tidak amis, tidak hangus, tetapi tetap terasa segarnya ikan."

"Begitulah waktu kami sedang duduk di haluan kapal sambil makan ikan panggang dan minum arak, tiba-tiba sebuah perahu meluncur lewat dengan cepat, tiga penumpang itu, satu di antaranya sudah kukenal."

"Ko A-lam bukan?" tukas Coh Liu-hiang.

Oh Thi-hoa mengangguk, katanya dengan menyesal, "Betul memang dia. Aku pun terkejut waktu itu, segera kususul dan bermaksud menyapa dia, siapa tahu dia sama sekali tidak mau menggubris diriku, dengan segala cara kugapai dia, tapi dia seperti tidak melihatku."

"Bisa....... bisa jadi dia memang tak melihatmu," kata Coh Liu-hiang.

"Siapa bilang?" ujar Oh Thi-hoa. "Dia duduk di dekat jendela, malahan melototi aku sekian lama, tapi mendelik seperti patung. Waktu kususul, dia masih tetap berduduk di dekat jen dela kabin perahu, tidak mau menggubris padaku pula."

"Kenapa tidak kau lompat ke atas perahunya dan langsung menanyai dia?"

"Aku tidak berani?" jawab Oh Thi-hoa dengan bersungut.

"Kau tak berani? Hahaha, mengapa? Paling-paling di depak jatuh ke sungai," kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Kau tidak tahu, di antara tiga penumpang perahunya itu terdapat juga gurunya, yaitu si Nikoh tua dari Hoa-san-pay. Aku menjadi rada takut....... Aku tidak takut pada orangnya, hanya takut pada wajahnya itu."

Ciangbunjn Hoa-san-pay sekarang, yaitu Koh-bwe Taysu si Nikoh tua guru Ko A-lam yang dimaksud Oh Thi-hoa, adalah seorang tokoh beribadat tinggi, konon sudah ada 30 tahun Nikoh itu tidak pernah memperlihatkan wajah tersenyum, karena itu setiap orang Kangouw sama ketakutan bila melihat mukanya yang kaku dan dingin itu.

Tergerak hati Coh Liu-hiang mendengar guru Ko A-lam itu juga berada di perahu itu, katanya, "Koh-bwe Taysu kan sudah lebih 20 tahun tidak pernah menginjak dunia ramai, sekali ini mengapa dia turun gunung lagi?"

Tiba-tiba ia sangat tertarik oleh kejadian ini, ia yakin, bila tiada urusan penting, tidak nanti Koh-bwe Taysu turun gunung lagi. Dan kalau Nikoh (biksuni) tua itu sampai turun gunung, maka pasti telah terjadi sesuatu luar biasa.

Mendadak Coh Liu-hiang tepuk pundak Oh Thi-hoa dan berkata, "Jangan kau kesal, tunggu setelah urusan di sini sudah kubereskan, segera kutemani kau mencari Ko A-lam untuk tanya padanya, apa sebabnya dia tidak menggubris dirimu lagi?"

Ujung mulut Oh Thi-hoa bergerak-gerak, tiba-tiba ia ber kata, "Jika kau melihat Koh-bwe Taysu. tentu kau pun terkejut."

"Memangnya kenapa?" tanya Coh Liu-hiang.

"Sebab dia sudah Hoan-siok (piara rambut dan kembali pada kehidupan orang biasa lagi)," kata Oh Thi-hoa.

"Apa? Koh-bwe Taysu telah Hoan-siok? Ah, persetan kau!" omel Coh Liu-hiang.

Setiap orang Kangouw tahu Koh-bwe Taysu sudah cukur rambut dan manjadi Nikoh selama lebih 40 tahun, tinggi ibadat nya, hidupnya prihatin, kalau dibilang dia juga bisa Hoan-siok, maka hal itu bisa lebih mengejutkan daripada orang bilang Coh Liu-hiang telah menjadi Hwesio.

Dengan menyengir Oh Thi-boa berkata pula, "Aku sendiri tahu bilamana kukatakan hal ini pasti takkan dipercaya oleh siapa pun juga. Akan tetapi kenyataannya memang begitu Koh-bwe Taysu benar-benar telah Hoan-siok."

"Mungkin kau pangling dan salah lihat," ujar Coh Liu-hiang.

"Tidak, tak mungkin salah lihat," jawab Oh Thi-hoa. "Wajah Koh-bwe Taysu tak nanti dilupakan oleh siapa pun juga yang pernah melihatnya, apalagi aku."

"Akan tetapi......."

"Waktu kulihat dia, rambutnya sudah tumbuh panjang, beruban dan jarang," tutur Oh Thi-hoa. "Dia berjubah sulaman bunga merah, tangan memegang tongkat, mirip benar seorang nenek keluarga bangsawan yang anggun."

Coh Liu-hiang melongo dan tidak sanggup berkata lagi.

Bahwa Koh-bwe Taysu turun gunung, sudah cukup membuatnya terkejut, bahwa Koh-bwe Taysu telah Hoan-siok, lebih-lebih sukar untuk dipercaya. Di balik persoalan ini, pasti menyangkut suatu urusan yang aneh dan misterius. Maka semakin tertarik pula Coh Liu-hiang oleh peristiwa aneh ini.

Mendadak ia melompat bangun dan berlari keluar secepat terbang sambil berseru, "Kau tunggu di sini, sekitar lohor pasti aku kembali dan kita dapat pergi bersama."

**********

Rekaan Coh liu-hiang memang tidak meleset Di dunia Kangouw memang telah terjadi suatu peristiwa besar, siapapun yang ikut campur urusan ini pasti akan mendatangkan bencana kematian baginya. Kalau Coh Liu-hiang pintar, seharusnya dia menghindarinya jauh-jauh.

Cuma sayang, orang pintar terkadang juga bisa berbuat kebodohan.

TAMAT

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar