-------------------------------
----------------------------
Bab 1: Mayat Hidup Kesurupan Roh
Supaya maklum sebelumnya, ini
bukan cerita tentang setan, akan tetapi, peristiwa ini, tidak kurang seram dan
anehnya daripada cerita setan manapun di dunia ini,
Tanggal dua puluh delapan
bulan sembilan, masih musim rontok, namun hawa sudah terasa dingin. Apa yang
terjadi dalam 'Ceng-pwe-san-ceng,' (perkampungan Lempar cangkir) kalau tidak
disaksikan sendiri oleh Coh Liu-hiang, mungkin selamanya dia takkan percaya.
Ceng-pwe-san-ceng terletak di
luar kota Siongkang, berjarak kurang dari tiga li dengan Siu-ya-kio (jembatan
alam permai) yang termashur itu.
Setiap tahun, bila musim
dingin hampir tiba, dapat dipastikan Coh Liu-hiang datang ke Ceng-pwe-san-ceng
dan tinggal selama beberapa waktu di situ. Sebabnya, untuk memenuhi
kegemarannya, yakni makan ikan Loh (sejenis ikan bandeng air tawar).
Maklumlah, di kolong langit
ini, hanya ikan Loh yang hidup di sungai di bawah Siu-ya-kio ini yang berinsang
empat, benar-benar lain daripada yang lain.
Setiap orang Kangouw tahu, Cukong
perkampungan Ceng-pwe, yakni Cu Kin-hou. Cu-jiya, selain Ciang-hoat (ilmu
pukulan dengan telapak tangan) menjagoi wilayah Kanglam, dia masih mempunvai
kemahiran lain yang istimewa, yakni kemahiran memasak Loh-hi-kwe (kuah ikan
Loh) dengan bumbunya yang khas.
Lebih dari itu, setiap orang
Kangouw juga tahu Cu-jiya adalah seorang hartawan yang sosial, di rumahnya
selalu penuh tamu, Akan tetapi tetamu di seluruh kolong langit ini. hanya dua
orang saja yang dapat membuat Cu-jiya turun tangan sendiri ke dapur untuk
mengolah Loh-hi-kwe.
Dan Coh Liu-hiang adalah
seorang di antara kedua orang yang beruntung itu.
Akan tetapi, kedatangan Cob
Liu-hiang ke Ccng-pwe-san-ccng kali ini gagal menikmati Loh-hi-kwe yang dimasak
Cu-jiya sendiri, sebaliknya dia malah mengalami suatu peristiwa yang selamanya
belum pernah dialaminya, peristiwa ajaib, misterius dan sukar untuk dipercaya.
Selama hidup Coh Liu-hiang
juga tidak percaya di dunia ini bisa terjadi hal demikian.
Seperti Coh Liu-hiang, Cu-jiya
juga orang yang paling tahu cara bagaimana hidup nikmat. Dia tidak suka pada
kedudukan, tidak kemaruk pangkat, yang dia barapkan hanya sehat dan gembira.
Di Ceng-pwe-san-ceng terdapat
penyanyi yang paling tenar di daerah Kanglam, ada arak yang paling tua dan
enak. Di istal ada kuda pacu yang paling cepat larinya. Di ruang makan penuh
tamu penggemar makan.
Akan tetapi kesenangan Cu-jiya
bukan cuma hal-hal begitu. Ada tiga hal yang paling menyenangkan Cu-jiya selama
hidupnya ini.
Pertama, dia mempunyai seorang
sahabat karib seperti Coh Liu-hiang. DIa sering berkata pada siapa pun juga,
dia lebih suka menebas putus tangan kiri sendiri daripada kehilangan sahabat
seperti Coh Liu-hiang.
Hal kedua yang menyenangkan
dia ialah mempunyai musuh yang ditakuti di dunia ini, yaitu Sih Ih-jin,
Sih-tayhiap yang terkenal sebagai 'Thian-he- te-kiam khek' si pendekar pedang
nomor satu di dunia. Sudah berlangsung tiga puluhan tahun permusuhannya dengan
Sih Ih-jin, tapi Cu-jiya masih dapat hidup gembira dan bahagia hingga sekarang,
biarpun Sih Ih-jin sangat disegani namanya menggoncangkan jagat, tapi nyatanya
tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Cu-jiya. Apabila membicarakan hal ini,
tanpa terasa Cu-jiya lantas bergelak tertawa dan merasa bangga.
Hal ketiga yang juga sangat
menyenangkan dia adalah karena dia mempunyai seorang anak perempuan yang sangat
pintar, sangat cantik dan juga sangat penurut. Cu-jiya tidak mempunyai anak
laki-laki, tapi hal ini tak pernah membuatnya menyesal, sebab ia anggap anak
perempuan satu-satunya ini beratus kali lebih baik daripada orang lain yang
mempunyai sepuluh anak laki-laki.
Cu Beng-cu, anak perempuan
kesayangannya itu, sesungguhnya tidak pernah membuat kecewa sang ayah. Sejak
kecil hingga besar, hampir tidak pernah Beng-cu jatuh sakit, lebih-lebih tak
pernah berbuat sesuatu yang mengesalkkan hati sang ayah. Kini Beng-cu berusia
delapan belas, tetapi masih tetap menyenangkan dan penurut seperti anak umur
tiga tahun.
Meski ilmu silat Beng-cu tidak
terlalu tinggi, tapi di antara kaum wanita sudah tergolong pilihan, tergolong
top. Setelah berkelana dua kali, sedikit banyak di dunia Kangouw juga mulai
terdengar namanya yang gemilang, orang menyebutnya 'Giok-sian-wa atau si boneka
dewi cantik.
Walau orang tahu sebabnya dia
mendapatkan nama sebagian besar karena penghormatan kawan Kangouw kepada
ayahnya, akan tetapi Cu-jiya sendiri tidak memusingkan urusan itu.
Sesungguhnya Cu-jiya sendiri
tidak mengharapkan anak perempuannya akan menjadi seorang pendekar wanita.
Apalagi Beng-cu sendiri juga tiada waktu banyak untuk berlatih silat.
Maklum, dia harus meladeni
sang ayah, mengiringi dia main catur, mengiringi minum arak, mesti memetik
kecapi bagi beliau, belum lagi belajar mengarang bunga, membaca kitab, menulis
sajak. Pokoknya, apapun yang dilakukannya adalah demi sang ayah, sebab dalam
kehidupannya memang belum ada lelaki kedua.
Singkatnya, nona Cu ini adalah
model anak perempuan permata hati setiap ayah. Hampir tidak pemah Cu-jiya
merisaukan anak perempuannya. Sebegitu jauh Beng-cu memang tidak pemah membikin
susah sang ayah.
Akan tetapi sekarang,
peristiwa yang paling ajaib, paling seram, paling aneh dan paling sukar untuk
dipercaya justru terjadi atas diri Beng-cu.
* * * *
Akhir bulan kesembilan, hawa
sudah terasa sangat dingin Namun, betapapun dinginnya cuaca, asalkan sudah
berada di Ceng-pwe-san-ceng, maka akan timbul rasa hangat, seperti pelarian
yang lelah dan telah pulang ke rumahnya sendiri.
Sebabnya tiada lain karena
tiap orang di Ceng-pwe-san-ceng, dari yang atas sampai ke bawah, dari yang tua
sampai yang muda, semuanya berwajah cerah dan menyambut setiap tamunya dengan
berseri, sekalipun penjaga pintu juga sopan santun dan penuh hormat terhadap
setiap tamunya.
Sebelum masuk pintu gerbang,
segera akan terendus bau arak yang sedap, bau masakan yang menimbulkan selera,
harumnya pupur dan semerbaknya bunga, dari jauhpun akan terdengar alunan musik
tiup dan petik yang mcrdu serta gelak tawa yang riang, tidak ketinggalan suara
nyaring benturan gelas.
Semuanya itu seakan-akan
sedang memberitahukan bahwa segala kegembiraan itu sedang menantikan kedatangan
tamu.Namun sekali ini selagi masih berada beberapa puluh tombak jauhnya Coh
Liu-hiang sudah merasakan gelagat yang tidak cocok dengan biasanya.
Kedua pintu gerbang
Ceng-pwe-san-ceng bercat merah dan selalu terbuka sepanjang tahun, kini tampak
tertutup rapat, di depan pintu juga sepi senyap , tiada kereta, tiada kuda,
apalagi bayangan manusa.
Sampai sekian lama Coh
Liu-hiang mengetuk pintu, akhirnya seorang kakek membukakan pinlu Serta melihat
Coh Liu-hiang meski si kakek lantas menyambutnya dengan berseri tawa, akan
tetapi jelas tertawa yang canggung, tertawa ewa atau menyengir.
Suasana cerah dan gembira di
perkampungan ini seperti sediakala, kini sudah tidak nampak lagi sediktpun.
Malahan di halaman tampak
banyak bersemikan daun rontok yang hampir tidak pernah disapu, ketika angin
meniup daun kering itu kabur berhamburan, suasananya menimbulkan rasa pilu dan
hampa tak terkatakan.
Coh Liu-hiang bertambah kaget
setelah dia berhadapan dengan Cu Kin-hou. Tokoh Kangouw budiman yang biasanya
berwajah cerah dan bersemu merah ini kini telah berubah pucat dan kurus, sampai
matanya juga mendelong. Baru satu tahun berpisah, rasanya Cu Kin-hou sudah
bertambah tua belasan tahun.
Di wajah Cu Kin-hou sekarang
sudah tidak diketemukan lagi bayangan riang dan bahagia, senyuman yang
diperlihatkannya juga tidak dapat menutupi mata alisnya yang penuh kesedihan
itu.
Ruang tamu yang biasanya ramai
penuh tamu itu kinipun sunyi senyap, tiada seorang tamu pun, alat perabot sudah
banyak berdebu, sampai-sampai burung walet yang biasanya terbang kian-kemari
menyusuri ruangan yang besar ini kinipun tidak kelihatan lagi, mungkin sudali
hijrah ke tempat lain.
Sesungguhnya apa yang telah
terjadi di Ceng-pwe-san-ceng ini? Mengapa berubah sebanyak ini? Heran dan kejut
Coh Liu-ihiang tak terkatakan.
Cu-jiya menjabat tangan Coh
Liu-hiang erat-erat, sekian lama pula ia pun tidak sanggup bersuara.
"Jiko, selama......selama
ini baik-baikkah kau?" Coh Liu-hiang coba menjajaki.
"Baik, baik..."
sekaligus Cu Kin-hou mengucapkan “baik" beberapa kali dan air mata pun
berlinang, tangan Coh Liu-hiang digenggamnya lebih kencang dan suaranya menjadi
serak, "Cuma Beng-cu......Beng-cu......"
"Beng-cu kenapa?"
tanya Coh Liu-hiang. Cu Kin-hou menghela napas panjang dan menjawab dengan
murung, "Dia sakit, sakit berat sekali."
Padahal tanpa dijelaskan juga
Coh Liu-hiang tahu Beng-cu pasti sakit berat, kalau tidak, orang tua yang
selalu riang gembira ini tidak mungkin bersedih sedemikian rupa.
"Ah, orang muda kan bukan
apa-apa kalau cuma jatuh sakit saja? Setelah sembuh malahan akan bertambah
kuat," ucap Coh Liu-hiang dengan tertawa canggung Co Kin-hou menggeleng
dan berkata pula, "Kau tidak tahu, kau tidak tahu, penyakit anak ini
adalah...... adalah semacam penyakit aneh."
"Penyakit aneh?"
Liu-hiang menegas. "Ya, dia berbaring di tempat tidur, setetes air pun tak
mau minum, sebutir nasi pun tak mau makan, tanpa minum dan makan ini sudah
berlangsung hampir sebuian lamanya, seumpama kau, juga tidak tahan akan
penderitaan begini. apalagi dia...."
"Apakah sebab musabab
penyakitnya sudah diketahui?"
"Hampir semua tabib
ternama di wilayah Kanglam ini telah kudatangkan, namun tetap tidak diketahui
apa penyakitnya, ada sementara tabib hanya memeriksa nadi, lalu parnit pulang,
membuka resep obat saja tidak mau. Apabila tiada obat Siok-beng-wan (pil
penyambung nyawa) pemberian Thio Kan-cay yang diminumya tiap hari sehingga
jiwanya masih terlindung, kalau tidak.....kalau tidak, anak ini mungkin...
mungkin sudah......" Sampai di sini suaranya menjadi tersendat-sendat dan
air mata pun bercucuran.
"Thio Kan-cay.yang
dimaksud Jiko itu apakah Kan-cay Siansing si tabib sakli dan pendekar ternama
dengan julukan it ci-poan-sing-si (satu jari menentukan mati dan hidup)?"
"Ehm, betul " jawab
Ci Kin-hou.
"Jika Losiansing ini
sudah datang apalagi yang dikuatirkan Jiko” ujar Coh Liu-hiang dengan berseri
"Asalkan Losiansing ini mau turun tangan, masa ada penyakit yang tak dapat
disembuhkannya?"
"Kau... kau tidak tahu,
sebenarnya ia pun tidak.....tidak mau membuka resep, cuma lantaran......"
Belum habis penuturannya,
mendadak seorang tua dengan berpakaian mentereng dengan sorot mata yang tajam
dan berwajah bersih melangkah masuk dengan terburu-buru, ia mengangguk kepada
Coh Liu-hiang, lalu bergegas mendekati Ci Kin-hou serta memjejalkan satu biji
obat ke mulutnya sambil berkata,
"Telan!"
Tanpa terasa Cu Kin-hou
menelan obat itu, lalu bertanya dengan kuatir, "Ada apa ini?"
Orang tua itu telah berputar
kesana dan berkata, "Ikut kemari!"
Coh Liu-hiang kenal orang tua
ini adalah Kan-cay Siansing, si tabib sakti yang termashur itu. Melihat
kelakuannya terhadap tuan rumah, diam-diam Coh Liu-hiang merasakan gelagat
tidak baik.
"Apakah...... apakah
Beng-cu...... dia......dia...." Cu Kin-hou bertanya dengan ragu-ragu.
Kan-cay Siansing tak menjawab,
ia hanya menghela napas panjang dan manggut-manggut. Cu Kin-hou menjerit terus
menerjang ke dalam.
Waktu Coh Liu-hiang ikut masuk
ke sana, Cu Kin-bou sudah jatuh pingsan di depan pembaringan, di atas tempat
tidur membujur tenang sesosok tubuh gadis yang cantik dengan muka pucat lesi
dan kedua mata tertutup rapat
Kan-cay Siansing menarik
selimut, menutupi muka yang pucat itu, lalu ia berkata kepada Cu-jiya,
“Lantaran kukuatir Cu-jiya akan terlalu sedih dan mengganggu jantung sehingga
terjadi pula hal-hal yang tak terduga, maka lebih dahulu telah kuberi
minum....... satu, biji Hou-sim-tan (pil penguat jantung), kemudian
kuberitahukan berita duka ini, tak tersangka.........tak tersangka dia
tetap............."
Tabib sakti yang biasanya
memandang mati dan hidup sebagai sesuatu yang wajar itu, kini air mukanya
menampilkan rasa duka dan pedih. Lalu dia menyambung, "Sudah sekian lama
dia bersusah payah, aku menjadi kuatir kalau-kalau dia pun ambruk, syukurlah
Hiang-swe hadir di sini, tolong kau menguatkan jantung nadinya dengan tenaga
dalammu, jika kau tidak datang. sungguh entah apa yang harus kulakukan."
Tanpa disuruh lagi segera Coh
Liu-hiang menempelkan telapak tangannya pada hulu hati Cu Kin-hou, diam-diam ia
menyalurkan tenaga dalamnya.
Cuaca remang-remang, malam
sudah hampir tiba, namun Ceng-pwe-san-ceng yang luas itu belum lagi menyalakan
lampu. Meski angin meniup kencang, namun seakan-akan sukar men i up buyar
suasana yang sedih dan seram di perkampungan ini.
Perkampungan yang terdiri dari
enam-tujuh lapis gedung ini terasa sunyi senyap, tiada orang berbicara dan
tiada orang yang bergerak kian kemari, Setiap orang seakan-akan kuatir ke
pergok setan pencabut nyawa yang diutus dari neraka dan mungkin bersembunyi di
sudut yang gelap untuk menantikan sasarannya.
Keadaan bertambah hening,
jenazah Cu Beng-cu masih berada di ruangan itu, Cu Kin-hou melarang siapa pun
menyentuhrrya, ia sendin berlutut di samping, kaku seperti patung.
Perasaan Coh Liu-hiang juga
tertekan, ia tahu betapa cintanya orang tua ini kepada putri satu-satunya itu.
Para tabib terkenal yang datang dari berbagai penjuru itupun berduduk disana
tanpa berkata, rnereka merasa bingung apakah mesti mohon diri buat pergi atau
tidak? Mereka merasa malu karena usaha mereka tidak berhasil.
Sebegitu jauh kepala Cu-jiya
terbenam dalam dekapan telapak tangannya , mendadak dia mengangkat kepala ,
matanya yang merah memandang jauh ke sana dengan hampa, ucapnya dengan parau.
"Mana lampunya? Mengapa tidak menyalakan lampu? Masa kalian tidak
mangizinkan kulihat mukanya?"
Tanpa bicara Coh Liu-hiang
berdiri ia mendapatkan batu dan pisau ketikan api di atas meja, tapi baru saja
ia menyulut lampu perunggu yang berkerudung kristal, sekonyong-konyong angin
kencang meniup dan luar jendela sehingga selimut putih yang menutupi jenazah
itu tersingkap, kelambu tempat tidur juga terselak hingga gantungan kelambu
yang terbuat dari tembaga membentur tiang ranjang dan menerbitkan suara
kelinting nyaring mirip bunyi kelintingan setan pencabut nyawa yang sedang
berkeliaran.
"Bres", lampu yang
sudah dinyalakan Coh Liu-hiang itu padam pula. Tanpa terasa Coh liu-hiang
merinding juga sehingga kristal kerudung lampu jatuh ke lantai, maka hancurlah
kristal itu. Suasana menjadi gelap gulita pula.
Angin masih meniup dengan
kencangnya, beberapa tabib menaikkan leher baju untuk menahan hawa dingin, ada
di antaranya sudah mnggigil, ada pula yang. berkeringat dingin.
Pada saat itulah, mayat di
atas ranjang itu mendadak membuka mata terus bangkit berduduk. Sesaat itu
jantung setiap orang seolah-olah berhenti berdenyut. Habis itu lantas ada suara
jeritan kaget, Sampai-sarnpai Coh Liu-hiang tanpa terasa menyurut mundur satu
tindak.
Pandangan 'mayat' itu
mula-mula tampak termangu-mangu terarah lurus ke depan, lalu pandangannya mulai
menggeser namun matanya tetap mengandung hawa orang mati yang seram dan
misterius.
Tampaknya Cu Kin-hou juga
melenggong terkejut, bibirriya bergerak, tapi tak dapat mengeluarkan suara.
Biji mata 'mayat' itu tampak
bergerak beberapa kali dengan kaku, sekonyong-konyong menjerit dengan suaranya
yang keras melengking.
Begitu keras dan seram
suaranya sehingga ada diantara hadirin segera hendak lari ketakutan, namun kaki
serasa diganduli benda beribu kati, hanya gemetar saja dan tiada tenaga buat
melangkah.
Suara jeritan 'mayat' mulai
serak. akhimya berhenti dengan terengah-engah, ucapnya dengan parau,
"Tempat apakah ini? Meng......mengapa aku bisa berada di sini?"
Mata Cu-jiya terbelalak lebar,
ucapnya dengan suara gemetar, "O, Tuhan Maha Pengasih, Beng-cu ternyata
tidak mati, Beng-cu telah hidup kembali"
Siapa tahu mendadak
"Beng-cu' meeronta keras dan mendorong, dengan erat ia memegang selimut
yang mcnyelimuti tubuhnya, tampaknya gemetar tegang. dengan terkejut ia melotot
pada Cu Kin-hou. hitam matanya sepenti membesar saking takutnya laksana melihat
setan.
"Beng-cu," dengan
napas tersengal Cu Kin-hou berkata pula, "Masa kau tidak......tidak kenal
ayah lagi?"
'Mayat' itu meringkuk, mendadak
ia berteriak dengan parau, "Aku bukan Beng-cu, bukan anakmu, aku......aku
tidak kenal kau!"
Tentu saja Cu-jiya melengak,
tak terkecuali, Coh Liu-hiang juga tercengang.
"Jika begitu, apakah kau
tahu siapakah dirimu sendiri?" tanya Liu-hiang.
"Sudah tentu
kutahu." teriak 'mayal' itu. "Aku adalah nona besar Si dari
Si-keh-ccng (perkampungan keluarga Si)."
"Ha, jangan-jangan kau
ini anak perempuan Kim-kiong Hujin?" tanya Coh Liu-hiang sambil berkerut
kening.
Mata 'mayat hidup' itu
terbeliak, ucapnya, "BetuI, sedikitpun tidak salah. setelah kalian tahu
nama kebesaran ibuku, seyogyanya lekas kalian mengantarku pulang agar tidak
mendatangka kesukaran bagi kalian."
Sebaliknya muka Cu-jiya tampak
merah padam saking gusarnya, dia membanting kaki di lantai dan mengomel.
"Coba lihat, budak.... budak ini malah mengaku maling sebagai
ibunya!"
'Mayat hidup' itu mendelik,
jawabnya, "Siapa maling? Kalian sendiri maling, kalian berani menculik
diriku"
Gemetar sekujur badan Cu-jiya
saking menahan gusarnya, dia menyurut mundur dan menjatuhkan diri di atas kursi
dengan napas terengah-engah sampai sekian lamanya, tiba-tiba ia mengucurkan air
mata pula dan berkata dengan suara gemetar.
"Anak......anak ini telah
dihinggapi penyakit apa, bilamana penyakitnya dapat disembuhkan. aku...... aku
bersedia membagi setengah dari seluruh harta benda kekayaanku kepadanya."
Coh liu-hiang juga merasakan
kejanggalan pertstiwa ini, dengan heran dan penuh tanda tanya, ia memandang
Thio Kan-cay, katanya, "Bagaimana menurut pendapat Thio-losiansing?”
Thio Kan-cay termenung
sejenak, jawabnya kemudian, "Melihat keadaan penyakitnya, rasanya seperti
sejenis 'Li-hun-cing' (sakit kehilangan ingatan), hanya orang yang mengalami
pukulan batin dan goncangan perasaan hebat baru bisa menderita penyakit ini.
Sudah hampir lima puluh tahun aku berpraktek dan belum pemah melihat penyaki
demikian......"
Wajah 'mayat hidup' itu
mendadak juga merah padam, dengan gusar ia membentak, "Siapa yang kena
penyakit 'Li-hun-cing'? Kukira kau sendiri yang sakit gila ngaco belo tak
keruan membacot sesukanya."
Thio Kan-cay menatapnya
lekat-lekat sekian lama, tiba-tiba ia memindahkan sebuah cermin perunggu besar
yang tertaruh di pojok sana ke depan nona cantik ini, katanya dengan tegas
"Coba, sekarang kau
perhatikan, tahukan kau siapakah dirimu sendiri?"
"Gila kau!" damprat
nona itu dengan gusar. ''Sudah tentu kutahu siapa diriku sendiri, tidak perlu
kupandang.....". Meski mulutnya bilang tidak perlu tidak urung ia menoleh
juga memandang ke arah cermin.
Tapi pandangan sekilas ini
mendadak membuatnya terkejut tak terhingga dengan takut ia menjerit "He,
siapa ini? Aku...aku tidak kenal dia, aku tidak......tidak tahu siapa
dia..."
"Yang tercernin di sini
dengan sendirinya ialah dirimu sendiri, masa kau tak kenal lagi pada dirimu
sendiri?" kata Thio Kan-cay.
Mendadak anak dara itu
menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menutupi muka dengan selimut. teriaknya
parau, "Bukan, ini bukan diriku, bukan diriku!" Sembari menjerit ia
terus memukul tempat lidur sekuatnya, lalu menangis tergerung-gerung.
Setiap orang yang menyaksikan
melongo terkesima, tiada yang dapat bersuara, meski dalam hati samar-samar
dapat menerka apa yang terjadi ini. tapi siapa pun tak berani percaya hal ini
bisa terjadi.
Thio Kan-cay menarik Coh Liu-hiang
dan Cu Kin-hou ke samping sana, dengan suara tertahan ia berkata kepada mereka,
'"Anak dara ini tidak sakit."
"Kalau tidak sakit
kenapa......kenapa berubah jadi begini?!" ucap Cu Kin-hou.
“Meski dia tidak sakit, tapi
aku malah berharap akan lebih baik bila dia sakit," ujar Thio Kan-cay
dengan menghela napas
"Seb......sebab
apa?" tanya Cu-Jiya bingung.
'*Sebab dalam keadaan tidak
sakit seperti ini akan jauh lebih.... lebih ,menakutkan daripada kalau dia
sakit" tiitur Thio Kan-cay.
"Menakutkan?"
Cu-jiya menegas dengan suara parau, keringat dingin tampak merembes keluar di
jidatnya.
"Kita tahu, sudah sebulan
dia terbaring menderita sakit, bahkan tidak makan tidak minum, seumpama
sakitnya mendadak sembuh. tentu tenaganya takkan pulih secepat ini."
demikian tutur Thio Kan-cay. "Apalagi tadi sudah jelas denyut nadinya
sudah berhenti dan tidak mungkin tertolong lagi. Untuk itu aku berani menjamin
kebenarannya dengan nama baikku yang sudah bersejarah hampir lima puluh tahun,
pasti tidak salah penentuanku ini."
"Sudah tentu, siapa yang
tidak tahu kemahiran pertabiban Thio-losiansing, siapa pula yang tidak
percaya?" ujar Coh Liu-hiang
Tapi dengan air muka prihatin
Thio Kan-cay berkata pula, "Jika demikian, harus pula kuminta pendapat Coh
Hiang-swe, Coba katakan, seorang sudah jelas mati, mengapa bisa hidup kembali
secara mendadak? Coh Hiang-swe berpengalaman lias dan pengetahuan banyak,
pernahkah kau melihat kejadian ini?"
Coh Liu-hiang melcnggong
sekian lamanya, Jawabnya ke mudian dengan senyum getir. "Ya, selamanya
belum pemah kulihat, bahkan mendengar saja tidak pernah."
"Tapi jelas pula anak
dara ini telah hidup kembali," kata Thio Kan-cay. "Coba, kalau
menurut pandangan Coh Hiang-swe, cara bagaimana harus menjelaskan persoalan
ini?"
Kembali Coh Liu-hiang termangu
sejenak, kemudian menjawab, "Thio-losiansing sendiri merasa bagaimana
harus menjelaskannya?"
Thio Kan-cay berpikir agak
lama, sorot matanya menampilkan rasa kuatir dan ngeri, dengan suara tertahan
akhimya ia berucap, "Menurut pandanganku, kejadian ini hanya bisa
dijelaskan dengan satu istilah......Mayat kesurupan Roh!"
*******
Mayat kesurupan roh!
Keterangan ini membuat Cu
Kin-hou melonjak gerara dan meraung gusar, "Thio Kan-cay tadinya kukira
kau punya pandangan berharga, siapa tahu kau bisa mengucapkan hal yang tidak
masuk akal ini. Hm, tabib sakti macam apa kau ini, sungguh tak berani kuterima
lagi. Silakan, silakan!"
Thio Kan-cay juga menarik
muka, katanya, "Baik, jika demikian, biarlah kumohon diri saja".
Dengan gusar segera ia hendak tinggal pergi.
Tapi Coh Liu-hiang telah
menarik dan membujuknya agar jangan pergi, kemudian ia pun membujuk tuan rumah,
katanya, "Urusan ini memang luar biasa, kita harus berpikir dan bertindak
secara bijaksana, janganlah kila dipengaruhi emosi."
Cu Kin-hou melolot, katanya,
"Memangnya kau.....kau pun percaya kepada omongan setan begitu?"
Coh Liu-hiang termenung
sejenak, lalu katanya, "Apapun juga, harap kalian berdua suka tenang dulu,
biarlah kulayani anak dara itu, harus kutanya hingga jelas duduk
perkaranya."
Lalu ia mendekati tempat
tidur, ia tunggu setelah tangis anak dara itu mulai mereda, dengan suara lembut
ia lantas bertanya, "Aku dapat memahami perasaan nona, bahkan aku
bersimpati kepadamu. Kutahu, siapapun kalau menghadapi urusan begini pasti juga
akan sangat berduka. Yang kuharapkan hendaklah nona percaya padaku. Sungguh,
sama sekali tiada maksud jahat kami hendak membikin susah nona, lebih-lebih
bukan kami yang menculik nona ke sini."
Suara Coh Liu-hiang yang
lembut dan berdaya tarik itupun mengandung tenaga yang dapat menenangkan
pikiran orang. Tangis nona itu benar-benar berhenti, namun kepalanya masih
dibenamkan dalam selimut, ucapnya dengan parau, "Bukan kalian yang
menculik diriku ke sini, mengapa aku bisa berada di sini?"
"Cobalah, silakan nona
berpikir lagi secara tenang, coba ingat-ingat, sesungguhnya apa yang telah
terjadi sehingga nona bisa berada di srni?"
"Pikiranku kusut,
aku......aku tak ingat apa-apa lagi......"
Tanpa terasa ia mengangkat
kepalanya, matanya yang jeli seolah-olah teraling oleh selapis kabut.
Coh Liu-hiang tidak
mendesaknya, sampai agak lama ba rulah si nona berkata pula dengan pelahan,
"Ya. aku ingat,, aku jatuh sakit hingga lama sekali, sangat berat
sakitku."
Seketika timbul rasa girang
pada sorot mata Cu Kin-hou, serunya, "O, anak baik, akhirnya kau dapat
mengingatnya juga. Kau memang jatuh sakit lama sekali, selama sebulan ini kau
senantiasa berbaring di tempat tidur ini dan tak pernah bangun."
Dia mengerling sekeliling
ruangan ini, lalu menyambung pula, "Kamarku itu sama besarnya dengan kamar
ini, tempat tidurku terletak di sebelah sana. Di tempat tidur ada meja rias
kayu cendana, di samping meja rias adalah sebuah rak bunga dengan sebuah anglo
kecil yang selalu mengepulkan asap wangi."
Gemerlap sinar mata Coh
Liu-hiang, ia bertanya pula, "Barang apa saja yang tertaruh di meja rias
itu?"
"Biasa, barang-barang
yang kugunakan bersolek sehari-hari sebangsa pupur dan minyak wangi, semuanya
kupesan dari Po-hiang-cay, sebuah pabrik barang-barang kosmetik yang terkenal
di Pakkhia (Peking)," tiba-tiba wajah si nona seperti bersemu merah, cepat
ia menyambung pula, "Namun di kamarku itu tiada bunga, sebab bila aku
mencium bau serbuk bunga segera kulitku akan gatal, malahan jendela kamarku
terpasang tirai kain yang tebai, soalnya sejak kecil aku tidak suka pada sinar
matahari."
Jendela kamar ini juga
terpasang tirai, namun tirai anyaman lidi bambu yang halus dan bukan kain, di
pojok kamar juga ada sebuah pot bunga seruni yang sedang mekar. Melihat bunga
seruni ini, sorot mata si nona lantas mengunjuk rasa jemu.
Diam-diam Coh Liu-hiang
menghela napas, sebab ia tahu Cu Beng-cu sangat menyukai bunga dan bunga yang
paling disukainya adalah bunga seruni, makanya di kamanya diberi hiasan bunga
seruni bersama potnya.
Namun Coh Liu-hiang tidak
memberi komentar apa-apa, segera ia memindahkan pot bunga seruni itu keluar.
Dengan rasa terima kasih si nona itu memandang Coh Liu-hiang, ucapnya kemudian,
"Setelah tersekap sebulan lebih di dalam kamar, aku menjadi kesal dan
tiba-tiba ingjn melihat sinar matahari, sebab itulah pagi tadi kusuruh orang
membuka semua daun jendela kamarku."
"Pagi tadi? Siapa yang
nona suruh membuka daun jendela?" tanya Coh Liu-hiang.
"Liang-ma (mak Liang),
yaitu mak inangku, sudah sekian tahun ia momong diriku. sebab ibu selalu sibuk,
biasanya jarang berkumpul dengan kami."
Coh Liu-hiang tertawa,
katanya, "Nama kebesaran Kim-kiong Hujin sudah lama kukagumi."
Cu-jiya mendengus mendengar kata-kata Coh Liu-hiang ini, tetapi ia tetap
menahan perasaannya dan tidak membuka suara.
Anak dara itu menatap jauh
keluar jendela, katanya dengan pelahan. "Kejadian pagi tadi masih kuingat
dengan jelas, Cuma sekarang......sekarang mengapa hari sudah gelap? Apa.....apa
sudah sangat lama aku tertidur?"
"Apa yang terjadi pagi
tadi? Apakah nona masih ingat?" tanya Liu-hiang.
"Sudah tentu masih
ingat," jawab si nona. "Karena kulihat sinar matahari di luar sangat
indah, aku menjadi gembira dan timbul hasratku untuk jalan-jalan di
taman."
"Nona dapat
berjalan?" tanya Coh Liu-hiang.
Anak dara itu tersenyum pedih,
jawabnya, "Sebenarnya aku tidak kuat berdiri, tapi Liang-ma tidak tega
membuat kecewa kehendakku, maka dia memapah dan menurunkan aku dari tempat
tidur serta mengganti pakaianku."
"Apakah baju yang nona
pakai sekarang ini?" tanya Coh Liu-hiang pula.
"O. sama sekali bukan
ini," jawab nona itu. "Baju itu adalah baju kesukaanku yang dijahit
sendiri oleh Liang-ma, bahan baju itupun kupesan beli dari toko kain sutera
Hu-swi-sian di Pakhia, warnanya merah dengan sulaman burung Hong wama
ungu."
Entah mengapa, bicara punya
bicara. tiba-tiba muka si nona bersemu merah seperti orang kemalu-maluan.
"Kemudian apakah nona
jadi keluar berjalan-jalan?" tanya Coh Liu-hiang.
"Tidak jadi, sebab
kebetulan ibu datang, malahan ibu membawa serta seorang tabib ternama."
"Siapa tabib ternama itu
?" tanya Thio Kan-cay mendahului bertanya.
"Ibu bilang hampir semua
tabib ternama di daerah Kang lam telah diserobot oleh Ceng-pwe-san-ceng
sehingga penyakitku sukar disembuhkan, maka ibu sengaja mengundang tabib
ternama Ong Uh-han dari Utara, yaitu Ong-losiansing yang namanya sama
gemilangnya dengan Tiio Kan-cay di daerah selatan, mereka terkenal dengan
sebutan Ong di Utara dan Thio di se-latan."
"Bukan Ong di utara dan
Tio di selatan, tapi harus Thio di selatan dan Ong di utara," tutur Thio
Kan-cay dengan menarik muka. Rupanya ia tidak terima bila namanya ditaruh di
bagian belakang.
Anak dara itu memandangnya
sekejap, tiba-tiba ia berseru, "He, apa kau Thio Kan-cay, mengapa kau
berada di sini, konon kau diundang ke Ceng-pwe-san-ceng?"
"Betul, Thio-losiansing
ini memang betul Thio Kao-cay adanya, tempat inipun Ceng-pwe-san-ceng,"
kata Coh Liu-hiang,
"Hah, jadi di sini
Ceng-pwe-san-ceng, jadi kalian memang menculik diriku? Sesungguhnya apa
kehendak kalian?" seru si nona dengan cemas.
"Sudah kukatakan sejak
tadi, kami sama sekali tidak berniat jahat terhadap nona......"
"Jika tidak bermaksud
jahat, mengapa tidak melepaskan aku pulang?" sela si nona dengan aseran.
Coh Liu-hiang saling pandang
dengan Cu Kin-hou sekejap, ucapnya kemudian dengan tersenyum, "Penyakit
nona sekarang belum sembuh seluruhnya, lebih baik istirahat sementara waktu di
sini, nanti kalau sudah......"
Sekonyong-konyong anak dara
itu melonjak bangun dan berteriak, "Tidak, aku tidak mau istirahat di
sini, aku ingin pulang. Siapa berani merintangi aku, biarlah aku mengadu jiwa
dengan dia. Di tengah teriaknya segera ia pun melompat bangun dan bermaksud
menerjang keluar.
"Rintangi dia, lekas
cegah dia!" seru Cu Kin-hou.
Pandangan si nona serasa
kabur, entah bagaimana caranya, tahu-tahu Coh Liu-hiong yang berdiri di samping
tempat tidur sudah menghadang di depannya, mengalangi jalan keluarnya. Dengan
gregetan si nona lantas mencengkeram pundak Coh Liiu-hiang. Jarinya yang lentik
laksana cakar itu mengincar Koh-cing-hiat di kanan kiri pundaknya.