Mayat Kesurupan Roh (Gui Lian Xia Qing) Bab 1: Mayat Hidup Kesurupan Roh

Mayat Kesurupan Roh (Gui Lian Xia Qing) Bab 1: Mayat Hidup Kesurupan Roh
Mayat Kesurupan Roh
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 1: Mayat Hidup Kesurupan Roh

Supaya maklum sebelumnya, ini bukan cerita tentang setan, akan tetapi, peristiwa ini, tidak kurang seram dan anehnya daripada cerita setan manapun di dunia ini,

Tanggal dua puluh delapan bulan sembilan, masih musim rontok, namun hawa sudah terasa dingin. Apa yang terjadi dalam 'Ceng-pwe-san-ceng,' (perkampungan Lempar cangkir) kalau tidak disaksikan sendiri oleh Coh Liu-hiang, mungkin selamanya dia takkan percaya.

Ceng-pwe-san-ceng terletak di luar kota Siongkang, berjarak kurang dari tiga li dengan Siu-ya-kio (jembatan alam permai) yang termashur itu.

Setiap tahun, bila musim dingin hampir tiba, dapat dipastikan Coh Liu-hiang datang ke Ceng-pwe-san-ceng dan tinggal selama beberapa waktu di situ. Sebabnya, untuk memenuhi kegemarannya, yakni makan ikan Loh (sejenis ikan bandeng air tawar).

Maklumlah, di kolong langit ini, hanya ikan Loh yang hidup di sungai di bawah Siu-ya-kio ini yang berinsang empat, benar-benar lain daripada yang lain.

Setiap orang Kangouw tahu, Cukong perkampungan Ceng-pwe, yakni Cu Kin-hou. Cu-jiya, selain Ciang-hoat (ilmu pukulan dengan telapak tangan) menjagoi wilayah Kanglam, dia masih mempunvai kemahiran lain yang istimewa, yakni kemahiran memasak Loh-hi-kwe (kuah ikan Loh) dengan bumbunya yang khas.

Lebih dari itu, setiap orang Kangouw juga tahu Cu-jiya adalah seorang hartawan yang sosial, di rumahnya selalu penuh tamu, Akan tetapi tetamu di seluruh kolong langit ini. hanya dua orang saja yang dapat membuat Cu-jiya turun tangan sendiri ke dapur untuk mengolah Loh-hi-kwe.

Dan Coh Liu-hiang adalah seorang di antara kedua orang yang beruntung itu.

Akan tetapi, kedatangan Cob Liu-hiang ke Ccng-pwe-san-ccng kali ini gagal menikmati Loh-hi-kwe yang dimasak Cu-jiya sendiri, sebaliknya dia malah mengalami suatu peristiwa yang selamanya belum pernah dialaminya, peristiwa ajaib, misterius dan sukar untuk dipercaya.

Selama hidup Coh Liu-hiang juga tidak percaya di dunia ini bisa terjadi hal demikian.

Seperti Coh Liu-hiang, Cu-jiya juga orang yang paling tahu cara bagaimana hidup nikmat. Dia tidak suka pada kedudukan, tidak kemaruk pangkat, yang dia barapkan hanya sehat dan gembira.

Di Ceng-pwe-san-ceng terdapat penyanyi yang paling tenar di daerah Kanglam, ada arak yang paling tua dan enak. Di istal ada kuda pacu yang paling cepat larinya. Di ruang makan penuh tamu penggemar makan.

Akan tetapi kesenangan Cu-jiya bukan cuma hal-hal begitu. Ada tiga hal yang paling menyenangkan Cu-jiya selama hidupnya ini.

Pertama, dia mempunyai seorang sahabat karib seperti Coh Liu-hiang. DIa sering berkata pada siapa pun juga, dia lebih suka menebas putus tangan kiri sendiri daripada kehilangan sahabat seperti Coh Liu-hiang.

Hal kedua yang menyenangkan dia ialah mempunyai musuh yang ditakuti di dunia ini, yaitu Sih Ih-jin, Sih-tayhiap yang terkenal sebagai 'Thian-he- te-kiam khek' si pendekar pedang nomor satu di dunia. Sudah berlangsung tiga puluhan tahun permusuhannya dengan Sih Ih-jin, tapi Cu-jiya masih dapat hidup gembira dan bahagia hingga sekarang, biarpun Sih Ih-jin sangat disegani namanya menggoncangkan jagat, tapi nyatanya tidak dapat berbuat apa-apa terhadap Cu-jiya. Apabila membicarakan hal ini, tanpa terasa Cu-jiya lantas bergelak tertawa dan merasa bangga.

Hal ketiga yang juga sangat menyenangkan dia adalah karena dia mempunyai seorang anak perempuan yang sangat pintar, sangat cantik dan juga sangat penurut. Cu-jiya tidak mempunyai anak laki-laki, tapi hal ini tak pernah membuatnya menyesal, sebab ia anggap anak perempuan satu-satunya ini beratus kali lebih baik daripada orang lain yang mempunyai sepuluh anak laki-laki.

Cu Beng-cu, anak perempuan kesayangannya itu, sesungguhnya tidak pernah membuat kecewa sang ayah. Sejak kecil hingga besar, hampir tidak pernah Beng-cu jatuh sakit, lebih-lebih tak pernah berbuat sesuatu yang mengesalkkan hati sang ayah. Kini Beng-cu berusia delapan belas, tetapi masih tetap menyenangkan dan penurut seperti anak umur tiga tahun.

Meski ilmu silat Beng-cu tidak terlalu tinggi, tapi di antara kaum wanita sudah tergolong pilihan, tergolong top. Setelah berkelana dua kali, sedikit banyak di dunia Kangouw juga mulai terdengar namanya yang gemilang, orang menyebutnya 'Giok-sian-wa atau si boneka dewi cantik.

Walau orang tahu sebabnya dia mendapatkan nama sebagian besar karena penghormatan kawan Kangouw kepada ayahnya, akan tetapi Cu-jiya sendiri tidak memusingkan urusan itu.

Sesungguhnya Cu-jiya sendiri tidak mengharapkan anak perempuannya akan menjadi seorang pendekar wanita. Apalagi Beng-cu sendiri juga tiada waktu banyak untuk berlatih silat.

Maklum, dia harus meladeni sang ayah, mengiringi dia main catur, mengiringi minum arak, mesti memetik kecapi bagi beliau, belum lagi belajar mengarang bunga, membaca kitab, menulis sajak. Pokoknya, apapun yang dilakukannya adalah demi sang ayah, sebab dalam kehidupannya memang belum ada lelaki kedua.

Singkatnya, nona Cu ini adalah model anak perempuan permata hati setiap ayah. Hampir tidak pemah Cu-jiya merisaukan anak perempuannya. Sebegitu jauh Beng-cu memang tidak pemah membikin susah sang ayah.

Akan tetapi sekarang, peristiwa yang paling ajaib, paling seram, paling aneh dan paling sukar untuk dipercaya justru terjadi atas diri Beng-cu.

* * * *

Akhir bulan kesembilan, hawa sudah terasa sangat dingin Namun, betapapun dinginnya cuaca, asalkan sudah berada di Ceng-pwe-san-ceng, maka akan timbul rasa hangat, seperti pelarian yang lelah dan telah pulang ke rumahnya sendiri.

Sebabnya tiada lain karena tiap orang di Ceng-pwe-san-ceng, dari yang atas sampai ke bawah, dari yang tua sampai yang muda, semuanya berwajah cerah dan menyambut setiap tamunya dengan berseri, sekalipun penjaga pintu juga sopan santun dan penuh hormat terhadap setiap tamunya.

Sebelum masuk pintu gerbang, segera akan terendus bau arak yang sedap, bau masakan yang menimbulkan selera, harumnya pupur dan semerbaknya bunga, dari jauhpun akan terdengar alunan musik tiup dan petik yang mcrdu serta gelak tawa yang riang, tidak ketinggalan suara nyaring benturan gelas.

Semuanya itu seakan-akan sedang memberitahukan bahwa segala kegembiraan itu sedang menantikan kedatangan tamu.Namun sekali ini selagi masih berada beberapa puluh tombak jauhnya Coh Liu-hiang sudah merasakan gelagat yang tidak cocok dengan biasanya.

Kedua pintu gerbang Ceng-pwe-san-ceng bercat merah dan selalu terbuka sepanjang tahun, kini tampak tertutup rapat, di depan pintu juga sepi senyap , tiada kereta, tiada kuda, apalagi bayangan manusa.

Sampai sekian lama Coh Liu-hiang mengetuk pintu, akhirnya seorang kakek membukakan pinlu Serta melihat Coh Liu-hiang meski si kakek lantas menyambutnya dengan berseri tawa, akan tetapi jelas tertawa yang canggung, tertawa ewa atau menyengir.

Suasana cerah dan gembira di perkampungan ini seperti sediakala, kini sudah tidak nampak lagi sediktpun.

Malahan di halaman tampak banyak bersemikan daun rontok yang hampir tidak pernah disapu, ketika angin meniup daun kering itu kabur berhamburan, suasananya menimbulkan rasa pilu dan hampa tak terkatakan.

Coh Liu-hiang bertambah kaget setelah dia berhadapan dengan Cu Kin-hou. Tokoh Kangouw budiman yang biasanya berwajah cerah dan bersemu merah ini kini telah berubah pucat dan kurus, sampai matanya juga mendelong. Baru satu tahun berpisah, rasanya Cu Kin-hou sudah bertambah tua belasan tahun.

Di wajah Cu Kin-hou sekarang sudah tidak diketemukan lagi bayangan riang dan bahagia, senyuman yang diperlihatkannya juga tidak dapat menutupi mata alisnya yang penuh kesedihan itu.

Ruang tamu yang biasanya ramai penuh tamu itu kinipun sunyi senyap, tiada seorang tamu pun, alat perabot sudah banyak berdebu, sampai-sampai burung walet yang biasanya terbang kian-kemari menyusuri ruangan yang besar ini kinipun tidak kelihatan lagi, mungkin sudali hijrah ke tempat lain.

Sesungguhnya apa yang telah terjadi di Ceng-pwe-san-ceng ini? Mengapa berubah sebanyak ini? Heran dan kejut Coh Liu-ihiang tak terkatakan.

Cu-jiya menjabat tangan Coh Liu-hiang erat-erat, sekian lama pula ia pun tidak sanggup bersuara.

"Jiko, selama......selama ini baik-baikkah kau?" Coh Liu-hiang coba menjajaki.

"Baik, baik..." sekaligus Cu Kin-hou mengucapkan “baik" beberapa kali dan air mata pun berlinang, tangan Coh Liu-hiang digenggamnya lebih kencang dan suaranya menjadi serak, "Cuma Beng-cu......Beng-cu......"

"Beng-cu kenapa?" tanya Coh Liu-hiang. Cu Kin-hou menghela napas panjang dan menjawab dengan murung, "Dia sakit, sakit berat sekali."

Padahal tanpa dijelaskan juga Coh Liu-hiang tahu Beng-cu pasti sakit berat, kalau tidak, orang tua yang selalu riang gembira ini tidak mungkin bersedih sedemikian rupa.

"Ah, orang muda kan bukan apa-apa kalau cuma jatuh sakit saja? Setelah sembuh malahan akan bertambah kuat," ucap Coh Liu-hiang dengan tertawa canggung Co Kin-hou menggeleng dan berkata pula, "Kau tidak tahu, kau tidak tahu, penyakit anak ini adalah...... adalah semacam penyakit aneh."

"Penyakit aneh?" Liu-hiang menegas. "Ya, dia berbaring di tempat tidur, setetes air pun tak mau minum, sebutir nasi pun tak mau makan, tanpa minum dan makan ini sudah berlangsung hampir sebuian lamanya, seumpama kau, juga tidak tahan akan penderitaan begini. apalagi dia...."

"Apakah sebab musabab penyakitnya sudah diketahui?"

"Hampir semua tabib ternama di wilayah Kanglam ini telah kudatangkan, namun tetap tidak diketahui apa penyakitnya, ada sementara tabib hanya memeriksa nadi, lalu parnit pulang, membuka resep obat saja tidak mau. Apabila tiada obat Siok-beng-wan (pil penyambung nyawa) pemberian Thio Kan-cay yang diminumya tiap hari sehingga jiwanya masih terlindung, kalau tidak.....kalau tidak, anak ini mungkin... mungkin sudah......" Sampai di sini suaranya menjadi tersendat-sendat dan air mata pun bercucuran.

"Thio Kan-cay.yang dimaksud Jiko itu apakah Kan-cay Siansing si tabib sakli dan pendekar ternama dengan julukan it ci-poan-sing-si (satu jari menentukan mati dan hidup)?"

"Ehm, betul " jawab Ci Kin-hou.

"Jika Losiansing ini sudah datang apalagi yang dikuatirkan Jiko” ujar Coh Liu-hiang dengan berseri "Asalkan Losiansing ini mau turun tangan, masa ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya?"

"Kau... kau tidak tahu, sebenarnya ia pun tidak.....tidak mau membuka resep, cuma lantaran......"

Belum habis penuturannya, mendadak seorang tua dengan berpakaian mentereng dengan sorot mata yang tajam dan berwajah bersih melangkah masuk dengan terburu-buru, ia mengangguk kepada Coh Liu-hiang, lalu bergegas mendekati Ci Kin-hou serta memjejalkan satu biji obat ke mulutnya sambil berkata,

"Telan!"

Tanpa terasa Cu Kin-hou menelan obat itu, lalu bertanya dengan kuatir, "Ada apa ini?"

Orang tua itu telah berputar kesana dan berkata, "Ikut kemari!"

Coh Liu-hiang kenal orang tua ini adalah Kan-cay Siansing, si tabib sakti yang termashur itu. Melihat kelakuannya terhadap tuan rumah, diam-diam Coh Liu-hiang merasakan gelagat tidak baik.

"Apakah...... apakah Beng-cu...... dia......dia...." Cu Kin-hou bertanya dengan ragu-ragu.

Kan-cay Siansing tak menjawab, ia hanya menghela napas panjang dan manggut-manggut. Cu Kin-hou menjerit terus menerjang ke dalam.

Waktu Coh Liu-hiang ikut masuk ke sana, Cu Kin-bou sudah jatuh pingsan di depan pembaringan, di atas tempat tidur membujur tenang sesosok tubuh gadis yang cantik dengan muka pucat lesi dan kedua mata tertutup rapat

Kan-cay Siansing menarik selimut, menutupi muka yang pucat itu, lalu ia berkata kepada Cu-jiya, “Lantaran kukuatir Cu-jiya akan terlalu sedih dan mengganggu jantung sehingga terjadi pula hal-hal yang tak terduga, maka lebih dahulu telah kuberi minum....... satu, biji Hou-sim-tan (pil penguat jantung), kemudian kuberitahukan berita duka ini, tak tersangka.........tak tersangka dia tetap............."

Tabib sakti yang biasanya memandang mati dan hidup sebagai sesuatu yang wajar itu, kini air mukanya menampilkan rasa duka dan pedih. Lalu dia menyambung, "Sudah sekian lama dia bersusah payah, aku menjadi kuatir kalau-kalau dia pun ambruk, syukurlah Hiang-swe hadir di sini, tolong kau menguatkan jantung nadinya dengan tenaga dalammu, jika kau tidak datang. sungguh entah apa yang harus kulakukan."

Tanpa disuruh lagi segera Coh Liu-hiang menempelkan telapak tangannya pada hulu hati Cu Kin-hou, diam-diam ia menyalurkan tenaga dalamnya.

Cuaca remang-remang, malam sudah hampir tiba, namun Ceng-pwe-san-ceng yang luas itu belum lagi menyalakan lampu. Meski angin meniup kencang, namun seakan-akan sukar men i up buyar suasana yang sedih dan seram di perkampungan ini.

Perkampungan yang terdiri dari enam-tujuh lapis gedung ini terasa sunyi senyap, tiada orang berbicara dan tiada orang yang bergerak kian kemari, Setiap orang seakan-akan kuatir ke pergok setan pencabut nyawa yang diutus dari neraka dan mungkin bersembunyi di sudut yang gelap untuk menantikan sasarannya.

Keadaan bertambah hening, jenazah Cu Beng-cu masih berada di ruangan itu, Cu Kin-hou melarang siapa pun menyentuhrrya, ia sendin berlutut di samping, kaku seperti patung.

Perasaan Coh Liu-hiang juga tertekan, ia tahu betapa cintanya orang tua ini kepada putri satu-satunya itu. Para tabib terkenal yang datang dari berbagai penjuru itupun berduduk disana tanpa berkata, rnereka merasa bingung apakah mesti mohon diri buat pergi atau tidak? Mereka merasa malu karena usaha mereka tidak berhasil.

Sebegitu jauh kepala Cu-jiya terbenam dalam dekapan telapak tangannya , mendadak dia mengangkat kepala , matanya yang merah memandang jauh ke sana dengan hampa, ucapnya dengan parau. "Mana lampunya? Mengapa tidak menyalakan lampu? Masa kalian tidak mangizinkan kulihat mukanya?"

Tanpa bicara Coh Liu-hiang berdiri ia mendapatkan batu dan pisau ketikan api di atas meja, tapi baru saja ia menyulut lampu perunggu yang berkerudung kristal, sekonyong-konyong angin kencang meniup dan luar jendela sehingga selimut putih yang menutupi jenazah itu tersingkap, kelambu tempat tidur juga terselak hingga gantungan kelambu yang terbuat dari tembaga membentur tiang ranjang dan menerbitkan suara kelinting nyaring mirip bunyi kelintingan setan pencabut nyawa yang sedang berkeliaran.

"Bres", lampu yang sudah dinyalakan Coh Liu-hiang itu padam pula. Tanpa terasa Coh liu-hiang merinding juga sehingga kristal kerudung lampu jatuh ke lantai, maka hancurlah kristal itu. Suasana menjadi gelap gulita pula.

Angin masih meniup dengan kencangnya, beberapa tabib menaikkan leher baju untuk menahan hawa dingin, ada di antaranya sudah mnggigil, ada pula yang. berkeringat dingin.

Pada saat itulah, mayat di atas ranjang itu mendadak membuka mata terus bangkit berduduk. Sesaat itu jantung setiap orang seolah-olah berhenti berdenyut. Habis itu lantas ada suara jeritan kaget, Sampai-sarnpai Coh Liu-hiang tanpa terasa menyurut mundur satu tindak.

Pandangan 'mayat' itu mula-mula tampak termangu-mangu terarah lurus ke depan, lalu pandangannya mulai menggeser namun matanya tetap mengandung hawa orang mati yang seram dan misterius.

Tampaknya Cu Kin-hou juga melenggong terkejut, bibirriya bergerak, tapi tak dapat mengeluarkan suara.

Biji mata 'mayat' itu tampak bergerak beberapa kali dengan kaku, sekonyong-konyong menjerit dengan suaranya yang keras melengking.

Begitu keras dan seram suaranya sehingga ada diantara hadirin segera hendak lari ketakutan, namun kaki serasa diganduli benda beribu kati, hanya gemetar saja dan tiada tenaga buat melangkah.

Suara jeritan 'mayat' mulai serak. akhimya berhenti dengan terengah-engah, ucapnya dengan parau, "Tempat apakah ini? Meng......mengapa aku bisa berada di sini?"

Mata Cu-jiya terbelalak lebar, ucapnya dengan suara gemetar, "O, Tuhan Maha Pengasih, Beng-cu ternyata tidak mati, Beng-cu telah hidup kembali"

Siapa tahu mendadak "Beng-cu' meeronta keras dan mendorong, dengan erat ia memegang selimut yang mcnyelimuti tubuhnya, tampaknya gemetar tegang. dengan terkejut ia melotot pada Cu Kin-hou. hitam matanya sepenti membesar saking takutnya laksana melihat setan.

"Beng-cu," dengan napas tersengal Cu Kin-hou berkata pula, "Masa kau tidak......tidak kenal ayah lagi?"

'Mayat' itu meringkuk, mendadak ia berteriak dengan parau, "Aku bukan Beng-cu, bukan anakmu, aku......aku tidak kenal kau!"

Tentu saja Cu-jiya melengak, tak terkecuali, Coh Liu-hiang juga tercengang.

"Jika begitu, apakah kau tahu siapakah dirimu sendiri?" tanya Liu-hiang.

"Sudah tentu kutahu." teriak 'mayal' itu. "Aku adalah nona besar Si dari Si-keh-ccng (perkampungan keluarga Si)."

"Ha, jangan-jangan kau ini anak perempuan Kim-kiong Hujin?" tanya Coh Liu-hiang sambil berkerut kening.

Mata 'mayat hidup' itu terbeliak, ucapnya, "BetuI, sedikitpun tidak salah. setelah kalian tahu nama kebesaran ibuku, seyogyanya lekas kalian mengantarku pulang agar tidak mendatangka kesukaran bagi kalian."

Sebaliknya muka Cu-jiya tampak merah padam saking gusarnya, dia membanting kaki di lantai dan mengomel. "Coba lihat, budak.... budak ini malah mengaku maling sebagai ibunya!"

'Mayat hidup' itu mendelik, jawabnya, "Siapa maling? Kalian sendiri maling, kalian berani menculik diriku"

Gemetar sekujur badan Cu-jiya saking menahan gusarnya, dia menyurut mundur dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan napas terengah-engah sampai sekian lamanya, tiba-tiba ia mengucurkan air mata pula dan berkata dengan suara gemetar.

"Anak......anak ini telah dihinggapi penyakit apa, bilamana penyakitnya dapat disembuhkan. aku...... aku bersedia membagi setengah dari seluruh harta benda kekayaanku kepadanya."

Coh liu-hiang juga merasakan kejanggalan pertstiwa ini, dengan heran dan penuh tanda tanya, ia memandang Thio Kan-cay, katanya, "Bagaimana menurut pendapat Thio-losiansing?”

Thio Kan-cay termenung sejenak, jawabnya kemudian, "Melihat keadaan penyakitnya, rasanya seperti sejenis 'Li-hun-cing' (sakit kehilangan ingatan), hanya orang yang mengalami pukulan batin dan goncangan perasaan hebat baru bisa menderita penyakit ini. Sudah hampir lima puluh tahun aku berpraktek dan belum pemah melihat penyaki demikian......"

Wajah 'mayat hidup' itu mendadak juga merah padam, dengan gusar ia membentak, "Siapa yang kena penyakit 'Li-hun-cing'? Kukira kau sendiri yang sakit gila ngaco belo tak keruan membacot sesukanya."

Thio Kan-cay menatapnya lekat-lekat sekian lama, tiba-tiba ia memindahkan sebuah cermin perunggu besar yang tertaruh di pojok sana ke depan nona cantik ini, katanya dengan tegas

"Coba, sekarang kau perhatikan, tahukan kau siapakah dirimu sendiri?"

"Gila kau!" damprat nona itu dengan gusar. ''Sudah tentu kutahu siapa diriku sendiri, tidak perlu kupandang.....". Meski mulutnya bilang tidak perlu tidak urung ia menoleh juga memandang ke arah cermin.

Tapi pandangan sekilas ini mendadak membuatnya terkejut tak terhingga dengan takut ia menjerit "He, siapa ini? Aku...aku tidak kenal dia, aku tidak......tidak tahu siapa dia..."

"Yang tercernin di sini dengan sendirinya ialah dirimu sendiri, masa kau tak kenal lagi pada dirimu sendiri?" kata Thio Kan-cay.

Mendadak anak dara itu menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menutupi muka dengan selimut. teriaknya parau, "Bukan, ini bukan diriku, bukan diriku!" Sembari menjerit ia terus memukul tempat lidur sekuatnya, lalu menangis tergerung-gerung.

Setiap orang yang menyaksikan melongo terkesima, tiada yang dapat bersuara, meski dalam hati samar-samar dapat menerka apa yang terjadi ini. tapi siapa pun tak berani percaya hal ini bisa terjadi.

Thio Kan-cay menarik Coh Liu-hiang dan Cu Kin-hou ke samping sana, dengan suara tertahan ia berkata kepada mereka, '"Anak dara ini tidak sakit."

"Kalau tidak sakit kenapa......kenapa berubah jadi begini?!" ucap Cu Kin-hou.

“Meski dia tidak sakit, tapi aku malah berharap akan lebih baik bila dia sakit," ujar Thio Kan-cay dengan menghela napas

"Seb......sebab apa?" tanya Cu-Jiya bingung.

'*Sebab dalam keadaan tidak sakit seperti ini akan jauh lebih.... lebih ,menakutkan daripada kalau dia sakit" tiitur Thio Kan-cay.

"Menakutkan?" Cu-jiya menegas dengan suara parau, keringat dingin tampak merembes keluar di jidatnya.

"Kita tahu, sudah sebulan dia terbaring menderita sakit, bahkan tidak makan tidak minum, seumpama sakitnya mendadak sembuh. tentu tenaganya takkan pulih secepat ini." demikian tutur Thio Kan-cay. "Apalagi tadi sudah jelas denyut nadinya sudah berhenti dan tidak mungkin tertolong lagi. Untuk itu aku berani menjamin kebenarannya dengan nama baikku yang sudah bersejarah hampir lima puluh tahun, pasti tidak salah penentuanku ini."

"Sudah tentu, siapa yang tidak tahu kemahiran pertabiban Thio-losiansing, siapa pula yang tidak percaya?" ujar Coh Liu-hiang

Tapi dengan air muka prihatin Thio Kan-cay berkata pula, "Jika demikian, harus pula kuminta pendapat Coh Hiang-swe, Coba katakan, seorang sudah jelas mati, mengapa bisa hidup kembali secara mendadak? Coh Hiang-swe berpengalaman lias dan pengetahuan banyak, pernahkah kau melihat kejadian ini?"

Coh Liu-hiang melcnggong sekian lamanya, Jawabnya ke mudian dengan senyum getir. "Ya, selamanya belum pemah kulihat, bahkan mendengar saja tidak pernah."

"Tapi jelas pula anak dara ini telah hidup kembali," kata Thio Kan-cay. "Coba, kalau menurut pandangan Coh Hiang-swe, cara bagaimana harus menjelaskan persoalan ini?"

Kembali Coh Liu-hiang termangu sejenak, kemudian menjawab, "Thio-losiansing sendiri merasa bagaimana harus menjelaskannya?"

Thio Kan-cay berpikir agak lama, sorot matanya menampilkan rasa kuatir dan ngeri, dengan suara tertahan akhimya ia berucap, "Menurut pandanganku, kejadian ini hanya bisa dijelaskan dengan satu istilah......Mayat kesurupan Roh!"

*******

Mayat kesurupan roh!

Keterangan ini membuat Cu Kin-hou melonjak gerara dan meraung gusar, "Thio Kan-cay tadinya kukira kau punya pandangan berharga, siapa tahu kau bisa mengucapkan hal yang tidak masuk akal ini. Hm, tabib sakti macam apa kau ini, sungguh tak berani kuterima lagi. Silakan, silakan!"

Thio Kan-cay juga menarik muka, katanya, "Baik, jika demikian, biarlah kumohon diri saja". Dengan gusar segera ia hendak tinggal pergi.

Tapi Coh Liu-hiang telah menarik dan membujuknya agar jangan pergi, kemudian ia pun membujuk tuan rumah, katanya, "Urusan ini memang luar biasa, kita harus berpikir dan bertindak secara bijaksana, janganlah kila dipengaruhi emosi."

Cu Kin-hou melolot, katanya, "Memangnya kau.....kau pun percaya kepada omongan setan begitu?"

Coh Liu-hiang termenung sejenak, lalu katanya, "Apapun juga, harap kalian berdua suka tenang dulu, biarlah kulayani anak dara itu, harus kutanya hingga jelas duduk perkaranya."

Lalu ia mendekati tempat tidur, ia tunggu setelah tangis anak dara itu mulai mereda, dengan suara lembut ia lantas bertanya, "Aku dapat memahami perasaan nona, bahkan aku bersimpati kepadamu. Kutahu, siapapun kalau menghadapi urusan begini pasti juga akan sangat berduka. Yang kuharapkan hendaklah nona percaya padaku. Sungguh, sama sekali tiada maksud jahat kami hendak membikin susah nona, lebih-lebih bukan kami yang menculik nona ke sini."

Suara Coh Liu-hiang yang lembut dan berdaya tarik itupun mengandung tenaga yang dapat menenangkan pikiran orang. Tangis nona itu benar-benar berhenti, namun kepalanya masih dibenamkan dalam selimut, ucapnya dengan parau, "Bukan kalian yang menculik diriku ke sini, mengapa aku bisa berada di sini?"

"Cobalah, silakan nona berpikir lagi secara tenang, coba ingat-ingat, sesungguhnya apa yang telah terjadi sehingga nona bisa berada di srni?"

"Pikiranku kusut, aku......aku tak ingat apa-apa lagi......"

Tanpa terasa ia mengangkat kepalanya, matanya yang jeli seolah-olah teraling oleh selapis kabut.

Coh Liu-hiang tidak mendesaknya, sampai agak lama ba rulah si nona berkata pula dengan pelahan, "Ya. aku ingat,, aku jatuh sakit hingga lama sekali, sangat berat sakitku."

Seketika timbul rasa girang pada sorot mata Cu Kin-hou, serunya, "O, anak baik, akhirnya kau dapat mengingatnya juga. Kau memang jatuh sakit lama sekali, selama sebulan ini kau senantiasa berbaring di tempat tidur ini dan tak pernah bangun."

Dia mengerling sekeliling ruangan ini, lalu menyambung pula, "Kamarku itu sama besarnya dengan kamar ini, tempat tidurku terletak di sebelah sana. Di tempat tidur ada meja rias kayu cendana, di samping meja rias adalah sebuah rak bunga dengan sebuah anglo kecil yang selalu mengepulkan asap wangi."

Gemerlap sinar mata Coh Liu-hiang, ia bertanya pula, "Barang apa saja yang tertaruh di meja rias itu?"

"Biasa, barang-barang yang kugunakan bersolek sehari-hari sebangsa pupur dan minyak wangi, semuanya kupesan dari Po-hiang-cay, sebuah pabrik barang-barang kosmetik yang terkenal di Pakkhia (Peking)," tiba-tiba wajah si nona seperti bersemu merah, cepat ia menyambung pula, "Namun di kamarku itu tiada bunga, sebab bila aku mencium bau serbuk bunga segera kulitku akan gatal, malahan jendela kamarku terpasang tirai kain yang tebai, soalnya sejak kecil aku tidak suka pada sinar matahari."

Jendela kamar ini juga terpasang tirai, namun tirai anyaman lidi bambu yang halus dan bukan kain, di pojok kamar juga ada sebuah pot bunga seruni yang sedang mekar. Melihat bunga seruni ini, sorot mata si nona lantas mengunjuk rasa jemu.

Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, sebab ia tahu Cu Beng-cu sangat menyukai bunga dan bunga yang paling disukainya adalah bunga seruni, makanya di kamanya diberi hiasan bunga seruni bersama potnya.

Namun Coh Liu-hiang tidak memberi komentar apa-apa, segera ia memindahkan pot bunga seruni itu keluar. Dengan rasa terima kasih si nona itu memandang Coh Liu-hiang, ucapnya kemudian, "Setelah tersekap sebulan lebih di dalam kamar, aku menjadi kesal dan tiba-tiba ingjn melihat sinar matahari, sebab itulah pagi tadi kusuruh orang membuka semua daun jendela kamarku."

"Pagi tadi? Siapa yang nona suruh membuka daun jendela?" tanya Coh Liu-hiang.

"Liang-ma (mak Liang), yaitu mak inangku, sudah sekian tahun ia momong diriku. sebab ibu selalu sibuk, biasanya jarang berkumpul dengan kami."

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Nama kebesaran Kim-kiong Hujin sudah lama kukagumi." Cu-jiya mendengus mendengar kata-kata Coh Liu-hiang ini, tetapi ia tetap menahan perasaannya dan tidak membuka suara.

Anak dara itu menatap jauh keluar jendela, katanya dengan pelahan. "Kejadian pagi tadi masih kuingat dengan jelas, Cuma sekarang......sekarang mengapa hari sudah gelap? Apa.....apa sudah sangat lama aku tertidur?"

"Apa yang terjadi pagi tadi? Apakah nona masih ingat?" tanya Liu-hiang.

"Sudah tentu masih ingat," jawab si nona. "Karena kulihat sinar matahari di luar sangat indah, aku menjadi gembira dan timbul hasratku untuk jalan-jalan di taman."

"Nona dapat berjalan?" tanya Coh Liu-hiang.

Anak dara itu tersenyum pedih, jawabnya, "Sebenarnya aku tidak kuat berdiri, tapi Liang-ma tidak tega membuat kecewa kehendakku, maka dia memapah dan menurunkan aku dari tempat tidur serta mengganti pakaianku."

"Apakah baju yang nona pakai sekarang ini?" tanya Coh Liu-hiang pula.

"O. sama sekali bukan ini," jawab nona itu. "Baju itu adalah baju kesukaanku yang dijahit sendiri oleh Liang-ma, bahan baju itupun kupesan beli dari toko kain sutera Hu-swi-sian di Pakhia, warnanya merah dengan sulaman burung Hong wama ungu."

Entah mengapa, bicara punya bicara. tiba-tiba muka si nona bersemu merah seperti orang kemalu-maluan.

"Kemudian apakah nona jadi keluar berjalan-jalan?" tanya Coh Liu-hiang.

"Tidak jadi, sebab kebetulan ibu datang, malahan ibu membawa serta seorang tabib ternama."

"Siapa tabib ternama itu ?" tanya Thio Kan-cay mendahului bertanya.

"Ibu bilang hampir semua tabib ternama di daerah Kang lam telah diserobot oleh Ceng-pwe-san-ceng sehingga penyakitku sukar disembuhkan, maka ibu sengaja mengundang tabib ternama Ong Uh-han dari Utara, yaitu Ong-losiansing yang namanya sama gemilangnya dengan Tiio Kan-cay di daerah selatan, mereka terkenal dengan sebutan Ong di Utara dan Thio di se-latan."

"Bukan Ong di utara dan Tio di selatan, tapi harus Thio di selatan dan Ong di utara," tutur Thio Kan-cay dengan menarik muka. Rupanya ia tidak terima bila namanya ditaruh di bagian belakang.

Anak dara itu memandangnya sekejap, tiba-tiba ia berseru, "He, apa kau Thio Kan-cay, mengapa kau berada di sini, konon kau diundang ke Ceng-pwe-san-ceng?"

"Betul, Thio-losiansing ini memang betul Thio Kao-cay adanya, tempat inipun Ceng-pwe-san-ceng," kata Coh Liu-hiang,

"Hah, jadi di sini Ceng-pwe-san-ceng, jadi kalian memang menculik diriku? Sesungguhnya apa kehendak kalian?" seru si nona dengan cemas.

"Sudah kukatakan sejak tadi, kami sama sekali tidak berniat jahat terhadap nona......"

"Jika tidak bermaksud jahat, mengapa tidak melepaskan aku pulang?" sela si nona dengan aseran.

Coh Liu-hiang saling pandang dengan Cu Kin-hou sekejap, ucapnya kemudian dengan tersenyum, "Penyakit nona sekarang belum sembuh seluruhnya, lebih baik istirahat sementara waktu di sini, nanti kalau sudah......"

Sekonyong-konyong anak dara itu melonjak bangun dan berteriak, "Tidak, aku tidak mau istirahat di sini, aku ingin pulang. Siapa berani merintangi aku, biarlah aku mengadu jiwa dengan dia. Di tengah teriaknya segera ia pun melompat bangun dan bermaksud menerjang keluar.

"Rintangi dia, lekas cegah dia!" seru Cu Kin-hou.

Pandangan si nona serasa kabur, entah bagaimana caranya, tahu-tahu Coh Liu-hiong yang berdiri di samping tempat tidur sudah menghadang di depannya, mengalangi jalan keluarnya. Dengan gregetan si nona lantas mencengkeram pundak Coh Liiu-hiang. Jarinya yang lentik laksana cakar itu mengincar Koh-cing-hiat di kanan kiri pundaknya.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar