-------------------------------
----------------------------
Bab 4: Genggaman Tangan
Terkulum senyuman sinis dan
jahat di ujung mulut gadis itu, namun Coh Liu-hiang tidak memberi kesempatan
orang untuk bicara, dia menggenggam tangannya dan menariknya, lalu katanya,
“Nona Leng, bila kau ingin mencari jawaban atas teka-teki ini, kau harus
percaya padaku,” kedengaran suaranya lemah lembut penuh kasih sayang dan jujur
pula, namun sorot matanya jauh lebih berdaya tarik daripada nada suaranya yang
mampu menundukkan kekerasan hati orang.
Akhirnya gadis itu tertawa
lebar, ujarnya, “Aku bukan she Leng.”
“Kalau begitu aku memanggil
kau siapa?” bersinar sorot mata Coh Liu-hiang.
Tiba-tiba gadis itu menarik
muka, katanya dingin, “Kau boleh memanggilku nona Leng saja.”
“Lebih dulu aku hendak
menyelidiki Thian-it-sin-cui itu, barang itu tidak bisa mendatangkan kekayaan,
juga tidak bisa menambah kepandaian ilmu silat berlipat ganda, mengapa harus
mencurinya?”
“Pertanyaan ini seharusnya
ditujukan padamu lebih dulu.”
“Hanya satu kegunaan
Thian-it-sin-cui, yaitu untuk mencelakai jiwa orang, malah membunuh tanpa
disadari dan tanpa diketahui oleh si korban. Sedemikian rupa dia berdaya upaya,
mencurahkan segala tenaga, mengerahkan segala daya fikir dan akal untuk mencuri
Thian-it-sin-cui, jelas punya satu tujuan.”
“Satu pun sudah cukup.”
“Nah, dapat kita simpulkan
bahwa orang yang hendak dicelakai oleh si 'dia' adalah orang yang tidak gampang
dibunuh hanya dengan menggunakan racun, dengan kata lain orang yang hendak
dibunuh oleh si 'dia' adalah orang yang tidak mampu dibunuhnya dengan
menggunakan kepandaian atau kekuatan sendiri.”
Perempuan itu manggut-manggut,
katanya, “Benar, kalau tidak, dia tak akan berani menyerempet bahaya mencuri
Thian-it-sin-cui.”
“Tetapi kalau benar dia
berhasil mencuri Sin-cui dari Sin-cui-kiong, masih ada berapa orang yang tidak
mampu dibunuhnya? Untuk bisa berhasil mencuri 'air sakti' dari Sin-cui-kiong,
si 'dia' harus mempunyai kepandaian setingkat aku,” Coh Liu-hiang tersenyum,
lalu ia berkata pula, “Karena itu dapat disimpulkan bahwa si 'dia' berhasil
mencuri 'air sakti' dari Sin-cui-kiong karena ada orang yang telah membantunya
secara diam-diam.”
“Siapa orang yang kau maksud?”
jengek si gadis dingin.
Coh Liu-hiang menatapnya
bulat-bulat, katanya,“Setelah 'air sakti' itu hilang, adakah orang hilang dari
istana kalian?”
“Jadi kau maksud anak murid
istana kami yang membantunya mencuri air sakti tersebut, setelah air itu
tercuri, ia sendiri pun harus segera menyelamatkan diri, begitu?”
“Memangnya tidak mungkin
terjadi hal seperti itu?”
“Sudah tentu mungkin, sayang
sekali selama puluhan tahun ini tidak ada seorang pun anak murid Sin-cui-kiong
kami yang hilang atau melarikan diri.”
“Sejak kehilangan 'air sakti'
itu, apakah tidak terjadi suatu peristiwa di istana kalian? Umpamanya ada yang
bunuh diri....”
Seketika berubah sikap gadis
itu, serunya, “Bagaimana kau bisa tahu?”
Bersinar sorot mata Coh
Liu-hiang, katanya keras, “Jadi ada yang bunuh diri, benar tidak? Mengapa dia
harus bunuh diri?”
“Persoalan istana kami,
mengapa perlu kau tahu?” bentak perempuan itu dengan beringas.
Coh Liu-hiang menggenggam
tangan perempuan itu, katanya perlahan, “Nona Leng, tolong kau ceritakan secara
jujur tentang peristiwa itu, peristiwa itu adalah kunci persoalan ini,
maukah... maukah kau percaya padaku?”
Gadis itu menarik tangannya
serta pelan-pelan memalingkan mukanya, sekian lama dia menepekur diam, akhirnya
dia berkata dengan perlahan, “Dia adalah gadis yang rupawan dan cantik jelita,
serta romantis pula, usianya pun paling muda, sekarang.... sekarang dia sudah meninggal,
aku tak bisa singgung dirinya lagi.”
“Mengapa dia bunuh diri?
Apakah karena hamil dan dia merasa malu?”
Gadis itu tidak menjawab, tapi
tangannya menggenggam kencang bajunya, terang hatinya bergolak diliputi rasa
haru dan pedih serta penasaran.
“Jelas sudah kalau begitu,”
ujar Coh Liu-hiang. “Terang si 'dia' sudah melanggar kesuciannya, di bawah
ancaman dan bujuk rayu akhirnya dia berhasil mencuri Thian-it-sin-cui, namun si
'dia' tidak menepati janji membawanya pergi untuk dijadikan isteri, maka dia
memilih jalan pendek.”
“Tutup mulutmu!” bentak si
gadis dengan badan gemetar.
“Sejak dahulu kala, gadis yang
romantis senantiasa mengalami nasib yang mengenaskan......... daripada kau
bersedih, lebih baik kau berusaha menemukan si 'dia', membalas dendam bagi si
korban.”
Sigap sekali gadis itu
membalikkan tubuh, tanyanya, “Cara bagaimana mencari si 'dia'?”
“Sebelum ajal, apakah ada
pesan darinya?”
Berlinang air mata perempuan
itu, katanya dengan haru, “Dia hanya berkata.... dia berdosa terhadap orok
dalam kandungannya.”
“Sampai keadaan demikian, dia
masih tidak sudi menyebut nama si 'dia', seolah-olah dia khawatir kalau orang
lain mencelakai si 'dia'. Ilmu iblis apakah yang dimiliki orang itu, sehingga
seorang gadis muda bisa kepincut mati-matian kepadanya?”
“Selama ini tidak pernah dia
menyinggung si 'dia', hakikatnya dia tidak pernah menyebut-nyebut tentang
seorang laki-laki, sungguh mimpi pun tidak pernah kami duga bisa terjadi
peristiwa seperti ini.”
“Apakah dia tidak mempunyai
teman laki-laki?”
“Sejak dilahirkan, sepanjang
hidupnya dia tidak pernah kenal dengan laki-laki.”
“Aneh... mengapa hari ini
terjadi beberapa peristiwa aneh. Empat orang yang satu dengan lainnya tidak
saling kenal meninggal dalam waktu bersamaan di satu tempat pula! Air sakti
Sin-cui-kiong secara misterius dicuri orang. Seorang gadis suci pingitan yang
selama hidupnya tidak pernah bicara dengan lelaki, tiba-tiba diketahui hamil.
Selintas pandang, ketiga peristiwa aneh ini satu dengan yang lainnya tiada
berhubungan sama sekali, namun justru saling berkaitan erat.” Coh Liu-hiang
mengangkat kepalanya, gumamnya, “Siapa yang bisa menjelaskan persoalan aneh
seperti ini?”
“Kau sendiri!” seru gadis itu.
Coh Liu-hiang tertawa getir,
katanya, “Aku....”
Gadis itu menatapnya dengan
tajam, katanya bengis, “Demi kau sendiri, kau harus berusaha membongkar rahasia
ini.”
“Tapi dari mana aku harus
bertindak? Boleh dikata aku tidak mempunyai sumber penyelidikan sama sekali.”
“Sumbernya pasti ada, dan kau
sendiri pula yang harus menemukannya.” kata si gadis, kembali ia membalikkan
badan membelakangi Coh Liu-hiang, lanjutnya dengan tandas, “Kuberi kau tempo
satu bulan, bila kau tidak berhasil menemukannya, Sin-cui-kiong akan
mencarimu.”
“Mengapa kau membalikkan
badan? Memangnya bila kau berhadapan denganku, tidak mampu mengucapkan
kata-kata yang tidak tahu aturan ini?”
Gadis itu tidak menghiraukan
kata-katanya, dia beranjak mendekati buritan kapal. Di bagian belakang kapal
yang gelap, tampak ada sebuah sampan kecil yang bisa bergerak cepat dan laju.
Dengan enteng dia melayang turun, sekejap mata sampan kecil itu sudah meluncur
pergi ditelan kegelapan malam.
Coh Liu-hiang bertopang dagu
di dek kapal, dengan berdiam diri ia mengawasi bayangan orang pergi. Sinar
bintang tampak redup, sampan kecil itu terombang-ambing digoyang alunan ombak,
sari panjang di atas tubuhnya tertiup angin melambai-lambai, seolah-olah dewi
kahyangan yang sedang menari di tengah lautan. Tiba-tiba ia memalingkan muka
dengan mengunjuk tawa berseri yang manis, serunya, “Aku bernama Kiong Lam-yan!”
***
Coh Liu-hiang menjulurkan
kedua kakinya, dengan nyaman ia rebah di atas kursi malasnya, matanya memandang
pusaran arak yang berada di dalam cawannya, lalu ia menggumam, “Memang dia amat
cantik, terutama senyum tawanya, lebih cemerlang dari sinar bintang yang
berkerlap-kerlip di angkasa, dan akhirnya lenyap ditelan kegelapan.”
“Sebulan lagi kau tidak akan
merasa dia cantik, terutama bila ujung pedangnya mengancam tenggorokanmu,”
demikian goda Li Ang-siu dengan tawar.
“Dia tidak menggunakan
pedang,” ujar Coh Liu-hiang.
Berkedip-kedip mata Li
Ang-siu, “Memangnya dia menggunakan pisau sayur?”
Tak tahan lagi Coh Liu-hiang
tertawa geli, katanya sungguh-sungguh, “Yang dia gunakan adalah mangkuk sayur.”
“Mangkuk sayur?”
“Kalau tidak pakai mangkuk,
bagaimana dia bisa menadahi cukamu yang tumpah dari gucimu yang terbalik?”
Song Thiam-ji cekikikan,
katanya, “Jangan kau menyalahi dia, bahwasanya dia jauh lebih lihai daripada
Kiong Lam-yan!”
“Oh!” Coh Liu-hiang berseru
heran.
Song Thiam-ji menekuk
pinggang, katanya dengan geli, “Kiong Lam-yan paling hanya murid Sin-cui-kiong,
tetapi nona Li Ang-siu kita ini sebaliknya adalah Ciangbunjin Sin-cui-kiong.”
Li Ang-siu memburu maju,
dampratnya sambil mengertak gigi, “Setan cilik, kau ingin mampus!” Sambil
terkekeh geli, Song Thiam-ji berlari, terus saja ia berkaok-kaok, “Yong-ci,
tolong! Lihai benar Ciangbunjin dari Sin-cui-kiong!” Begitulah mereka
kejar-mengejar dengan bersenda-gurau.
Sambil tersenyum simpul So
Yong-yong mengawasi Coh Liu-hiang, katanya lembut, “Sekarang apa yang akan kau
lakukan?”
“Sampai detik ini tidak ada
sumber penyelidikan yang dapat kutemukan. Tetapi aku tahu bahwa si 'dia' pasti
adalah seorang laki-laki tampan, kalau tidak mana mungkin gadis pingitan itu
bisa kepincut padanya?”
“Belum tentu semua gadis
menyukai laki-laki tampan.”
“Menurut pandanganmu, orang
macam apakah sebenarnya si 'dia' itu?”
“Pasti dia adalah laki-laki
yang pandai bicara, sangat pintar, pandai menarik perhatian seorang gadis serta
romantis. Gadis remaja yang beranjak dewasa, selamanya takkan kuasa melawan
laki-laki seperti ini.”
“Laki-laki semacam ini
memangnya bisa masuk ke Sin-cui-kiong?”
“Laki-laki seperti ini bila
sudah masuk ke Sin-cui-kiong, mungkin tidak bisa keluar dengan hidup. Di dunia
ini, laki-laki yang bisa keluar dari Sin-cui-kiong dengan hidup mungkin hanya
ada beberapa orang saja.”
“Oleh karena itu terpaksa aku
memohon bantuanmu untuk melakukan sesuatu.”
“Maksudmu hendak mengutus aku
ke Sin-cui-kiong?”
“Aku... aku hanya menguatirkan
kesehatanmu.”
“Jadi kau anggap aku
sedemikian lemah, tak tahan dihembus angin?”
“Entah bisa tidak kau
menemukan bibi misanmu, tanyakan biasanya laki-laki macam apa yang
diperbolehkan keluar-masuk di Sin-cui-kiong. Tanyakan juga gadis macam apa pula
yang bunuh diri itu. Lebih baik kalau bisa menemukan barang-barang peninggalan
gadis itu. Kalau dia ada meninggalkan buku atau surat, itu lebih baik.”
“Begitu terang tanah, segera
aku berangkat.”
“Cuma kau....”
Dengan aleman So Yong-yong
mendekap mulut orang dengan jari-jarinya yang runcing halus, katanya tertawa,
“Apa yang ingin kau kemukakan, aku sudah tahu. Setelah aku pergi, bagaimana
dengan dirimu?”
“Tujuh hari kemudian akan
kutunggu kau di Hong-ih-ting di pesisir Tay-bing-ouw di Kilam.”
“Kilam? Bukankah di sana pusat
Cu-soa-bun?”
“Hay-lam-pay dan
Chit-sing-pang terlalu jauh dari sini, sebaliknya Ca Bok-hap datang dari daerah
luar perbatasan yang jauh di ujung langit. Aku mengharap dari anak murid
Cu-soa-bun aku bisa memperoleh kabar yang kuperlukan.”
“Tapi kau harus hati-hati,
kalau mereka tahu.....”
“Walau mereka membenciku,
mereka tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap diriku,” Tiba-tiba Coh
Liu-hiang membentangkan telapak tangannya, entah sejak kapan tahu-tahu tangannya
sudah menggenggam sebotol porselen kecil. Begitu sumbat dibuka, segera terendus
semacam bau wangi yang terasa aneh memenuhi ruangan besar itu.
Segera Coh Liu-hiang tarik
suara dan bersenandung, “Malam hari maling sakti meninggalkan bau wangi, entah
di manakah sukmamu gentayangan...”
“Jadi kau ingin supaya aku
meninggalkan bau wangi ini di mana-mana?”
“Betul! Sepanjang jalan kau
tinggalkan sedikit bau ini, supaya orang susah meraba jejakku ada di mana,
takkan terduga pula oleh mereka, aku sebenarnya sudah berada di Kilam.”
“Tapi kau... kali ini kau akan
muncul sebagai duplikat siapa?”
“Anggota Cu-soa-bun kebanyakan
adalah hartawan besar. Jika aku ingin mendapat kepercayaan dari mereka, maka
aku harus menyamar sebagai orang perlente yang lebih royal membuang uang
daripada mereka.” Sambil menggeliat malas ia pun bangkit, lalu mendorong lemari
yang penuh padat untuk menyimpan botol-botol arak ke samping, ternyata di
belakang lemari minuman itu terdapat sebuah pintu kecil yang sempit.
***
Di belakang pintu sempit
rahasia itu terdapat sebuah ruang segi enam yang berbentuk aneh. Enam dinding
sekelilingnya terpasang kaca yang terang, cukup dengan menyalakan sebuah
lentera saja sudah dapat menerangi sepuluh kali lipat keadaan kamar kecil itu.
Sepanjang dinding kaca itu
dikelilingi pula oleh lemari-lemari pendek yang terbuat dari kayu, di sana
terdapat ratusan laci kecil, di setiap laci tercantum nomor yang berbeda, tak
ubahnya dengan laci di toko obat.
So Yong-yong menggelendot di
pinggir pintu, katanya tertawa, “Yang kau inginkan mungkin nomor enam puluh
tiga atau nomor seratus tiga belas.”
Coh Liu-hiang menarik laci
nomor enam puluh tiga, di dalamnya tersimpan seperangkat jubah dan celana ketat
yang terbuat dari sutera halus warna biru tua, kelihatannya setengah baru, di
samping itu terdapat pula sepasang sandal kain, sebuah kantong kecil warna
hitam terbuat dari kulit ikan cucut, serta sejilid buku tipis.
Coh Liu-hiang mengerutkan
keningnya, tanyanya, “Apakah benar nomornya?”
“Mungkin tidak salah.”
“Tapi dinilai dari pakaian
ini, bukan baju yang sering dipakai orang kaya.”
“Pedagang besar yang bermukim
di Kilam hanya ada dua orang saja. Yang seorang adalah cukong besar pemilik
bank di Sansay, cukong yang memakai pakaian seperti ini, boleh dianggap cukup
berlebihan.”
“Oh, iya, aku lupa, barang
perak milik orang Sansay kebanyakan digodok dulu dalam obat, ada kalanya aku
merasa heran, mereka menyimpan uang sebanyak itu, entah apa tujuannya.”
Lalu ia pun membalik lembaran
buku tipis itu, di halaman pertama bertuliskan:
Nama: Ma Pek-ban
Pekerjaan: Direktur bank
Su-khong Sansay
Usia: Empat puluh
Kesukaan: Tidak ada
Ciri-ciri: Setiap kali
melewati tempat berair pasti akan melepaskan sandal, waktu hujan selalu
berusaha menggunakan payung milik orang lain, badannya membawa bau seperti
sudah lama tak pernah mandi
Belum selesai membaca, lekas
Coh Liu-hiang menutup buku itu terus dikembalikan ke dalam laci, katanya sambil
menghela nafas, “Kalau kau ingin aku menyamar sebagai orang ini, lebih baik aku
mati saja.”
“Kau sendiri yang menyuruhku
menulis dan mencatat bahan-bahan itu di dalam buku, pengemis jorok pun kau
pernah menyamarnya, mengapa sekarang kau tidak mau.....”
“Lebih baik menjadi pengemis
daripada menjadi cukong macam dia itu.”
“Kalau begitu, coba kau buka
laci nomor seratus tiga belas.”
Coh Liu-hiang membuka laci
nomor seratus tiga belas, di dalamnya tersimpan seperangkat pakaian indah dan
mentereng terbuat dari bahan yang mahal, sepasang sepatu kulit yang mengkilap,
kecuali itu terdapat pula dua butir bola besi yang mengeluarkan suara
gemerincing bila ditimang-timang di telapak tangan, sebuah golok melengkung
yang dihiasi batu jamrud, sebuah kantong kecil yang terbuat dari kulit ikan
cucut hitam serta sejilid buku tipis pula.
Setelah itu So Yong-yong
berkata, “Yang sering pulang pergi ke Kilam, selain cukong besar pemilik bank,
orang yang paling royal adalah pemilik perkebunan di daerah luar perbatasan
Tiang-pek-san, yaitu ketua Jay-sam-pang yang berdagang kolesom.”
“Kedengarannya dia jauh lebih
menarik.”
Kembali Coh Liu-hiang membalik
halaman buku tipis itu, tertulis di situ:
Nama: Thio Siau-lim
Pekerjaan: Pedagang obat
kolesom Koan-gwa
Usia: Tiga puluh enam
Kesukaan: Arak, berjudi dan
main perempuan
Belum selesai membaca, Coh
Liu-hiang sudah menutup buku itu, katanya sambil tersenyum, “Menarik, sungguh
amat menarik sekali.”
“Aku tahu, tentu cukup
memenuhi seleramu. Tapi kau tetap harus membawa pula peti itu, aku sudah
menyiapkan nomor tiga, tujuh, dua puluh delapan dan empat puluh di dalam peti
itu.”
“Kalau begitu, sejak hari ini
aku akan menyamar sebagai Thio Siau-lim selama beberapa hari.” Di tengah gelak
tawanya, ia pun membuka kantong kulit itu, lalu mengeluarkan sebuah kedok muka
yang halus dan tipis.
***
'Kwi-gi-tong', tiga huruf emas
bergaya tandas seperti naga melingkar atau burung hong menari, tampak
berkilauan di bawah penerangan sinar pelita.
Di sanalah pusat perjudian
terbesar di seluruh kota Kilam.
Tatkala itu pelita baru saja
dipasang, suasana Kwi-gi-tong amat ramai dan hiruk-pikuk. Sebuah ruangan besar
penuh sesak, diliputi oleh bau arak dan asap tembakau yang mengepul menyesakkan
nafas, terendus pula bau pupur dan gincu di atas tubuh para perempuan, bau
keringat busuk di atas badan para lelaki.... kepala setiap hadirin pun hampir
semuanya basah oleh butiran keringat yang kemilau tersorot oleh sinar pelita.
Ada yang berseri tertawa
riang, namun ada pula yang lesu dan patah semangat, ada yang bersikap tenang,
ada pula yang tegang mengepal tinju dan gemetar seluruh badannya.
Di ruangan paling depan
terdapat dua meja Paykiu, dua meja judi dadu, dua meja Capjiki. Tingkatan orang
yang bertaruh di sini pun paling acak-acakan, kaya miskin tiada perbedaan, asal
ada uang boleh bertaruh. Suara hiruk-pikuk di sini pun paling ramai. Di setiap
meja berdiri seorang laki-laki berseragam hitam dan berikat pinggang kain
merah, setiap yang menarik taruhan, dia harus menyetor sepuluh persen padanya.
Ruangan tengah rada sepi dan
tenang, di sini hanya terdapat tiga meja, orangnya pun lebih sedikit, tiga meja
penuh dengan orang-orang gemuk bertubuh gendut, terang mereka adalah
hartawan-hartawan besar yang getol berjudi. Uang perak bertumpuk-tumpuk di atas
meja di hadapan setiap orang, di pinggir meja tersedia hidangan dan makanan,
tak ketinggalan pula rokok. Puluhan gadis ayu yang berpakaian mewah dengan
perhiasan memenuhi seluruh badan tampak mondar-mandir sambil jual senyuman
manis, seperti kupu-kupu yang mengelilingi sekuntum bunga, di sana melorot uang
perak, di sini menjumput dua keping uang emas.
Para penjudi itu tidak
menghiraukan perbuatan mereka, maklum apa artinya uang kecil itu, maka yang
kalah semakin cepat kantong uangnya kosong, yang menang sebaliknya kantong
uangnya tidak terlihat padat. Uang perak atau emas sama mengalir ke kantong
baju gadis-gadis itu melalui jari-jari mereka mereka yang penuh dihiasi cincin
berkilauan, akhirnya bertumpuk di kas sang majikan pemilik rumah judi itu.
Perjudian di sana memang dibuka dan diusahakan oleh fihak Cu-soa-bun.
Rumah di bagian belakang, pintunya
tertutup kerai lebar, di dalam rumah itu terdapat tujuh atau delapan penjudi,
namun gadis-gadis yang melayani di sini pun paling banyak, ada yang
menghidangkan makanan, ada yang menuangkan arak, namun ada pula yang
menggelendot dalam pelukan orang. Sebutir demi sebutir mereka mengupaskan kwaci
terus dijejalkan ke mulut penjudi-penjudi yang dermawan itu, jari-jari mereka
laksana duri mawar, kerlingan matanya tajam semanis madu.
Seorang pemuda bermuka pucat
mengenakan jubah panjang hijau pupus tampak berdiri di pinggir meja sambil
tersenyum simpul, tak henti-hentinya ia menepuk pundak salah seorang tamu,
katanya, “Hari ini nasibmu kurang mujur, pergi bawalah Cu-ji ke kamar untuk
bermalas-malasan saja.”
Namun yang diajak bicara
selalu menjawab sambil tertawa lebar, “Buat apa terburu-buru, belum lagi lima
laksa tail!”
Maka tangan si pemuda pun
ditarik, sambil tersenyum senang ia mengelus-elus jenggotnya yang baru tumbuh,
tangan yang ia gunakan selalu tangan kiri, tangan kanan selalu disembunyikan di
balik lengan baju.
Pemuda ini bukan lain adalah
pengurus tertinggi Kwi-gi-tong, tak lain adalah murid Ciangbunjin Cu-soa-bun,
Sat-jin-giok-lan Han-bin-beng-siang (Membunuh tanpa mimik wajah berubah) Leng
Chiu-hun.
Tiba-tiba seorang laki-laki
kurus tepos bermata juling dengan kepala seperti keledai berpakaian perlente
menyelinap masuk, dari jauh ia sudah menjura dan berkata dengan hormat sambil
tertawa, “Selamat siang, Cheng-cu baik-baik saja?”
Leng Chiu-hun menarik muka,
segera ia menghampiri dengan menggendong tangan, makinya dengan mengerut
kening, “Thia Sam, berani kau main terobosan ke tempat ini?”
Tersipu-sipu Thia Sam
membungkukkan badan, katanya sambil tertawa, “Mana Siaujin berani main terobos
di sini, cuma....” Sambil melotot, lalu katanya lagi, “Semalam kedatangan
seorang tamu yang royal, dalam sekejap saja dia sudah menghamburkan uang
sebanyak tiga laksa tail di tempat Siau-cui sana, waktu aku mencari tahu,
ternyata tangannya masih gatal, maka Siaujin memberanikan diri untuk membawa
orang itu ke mari.”
“O, orang macam apakah dia?”
“Dia she Thio, bernama
Siau-lim.”
“Thio Siau-lim?” Leng Chiu-hun
terpekur. “Amat asing nama ini bagiku.”
“Kabarnya dia jarang masuk
perbatasan, maka.....”
“Orang-orang macam apa yang
berjudi di tempat ini, tentunya kau sudah tahu. Orang yang tiada punya
asal-usul seumpama hendak menghamburkan uangnya, orang-orang ini pun takkan
memberi peluang kepadanya.”
“Siauya tak usah kuatir, orang
yang tidak punya asal-usul mana Siaujin berani membawanya ke mari.... tamu she
Thio itu adalah pedagang kolesom terbesar di Tiang-pek-san, kini datang ke
Kilam hendak membuang sedikit uang mencari hiburan.”
“Hm, pedagang kolesom ya, biar
kulihat dulu,” kata Leng Chiu-hun, lalu ia menyingkap kerai dan melongok
keluar. Tampak seorang laki-laki bercambang pendek, muka merah, sedang berdiri
dengan gagah di luar pintu sambil menggendong tangan. Tangannya menggenggam dua
butir bola besi yang mengeluarkan suara gemerincing. Walau dia berdiri tanpa
bergerak, tindak-tanduknya kelihatan angker dan berwibawa. Semua hadirin di
rumah itu tiada yang sebanding dengannya, seolah-olah burung bangau di tengah
ayam babon.
Bergegas Leng Chiu-hun
menyingkap kerai dan melangkah maju memapak, katanya sambil soja, “Thio-heng
datang dari tempat jauh, Siaute tidak melayani dengan semestinya, harap suka
dimaafkan.” Sembari tertawa lebar, ia menarik tangan Thio Siau-lim, seakan-akan
teman lama.
Ternyata Thio Siau-lim adalah
orang jujur yang selalu menepati omongannya, orang kaya yang keluar uang tanpa
berubah air mukanya, kebetulan meja di rumah itu sedang berjudi paykiu, segera
ia merogoh saku dan ikut pasang, beberapa kali putaran saja dia sudah kalah
lima laksa tail.
Para gadis ayu itu segera
merubung maju, beramai mereka berebut menuangkan teh, berebut melihat isi kartu
pula. Thio Siau-lim bergelak tertawa, tangan kiri menarik, tangan kanan
memeluk, mendadak dari dalam kantong bajunya ia mengeluarkan setumpuk uang
kertas, katanya, “Nah, m
ari dimulai lagi, bagaimana
kalau aku yang menjadi bandarnya?”
Waktu Leng Chiu-hun melirik,
dilihatnya lembaran uang kertas yang paling atas adalah lembaran sepuluh laksa
tail, seketika mukanya berseri tawa senang, katanya, “Kalau Thio-heng yang
menjadi bandar, biarlah Siaute ikut bertaruh.”
Yang menjadi bandar saat itu
adalah ketua dari empat puluh perusahaan beras di seluruh kota Kilam, dia sudah
meraih puluhan laksa tail, memangnya sudah ingin mengundurkan diri, maka
tawaran Thio Siau-lim itu menjadi kebetulan malah, segera ia mendorong kartunya
ke tengah meja sambil berkata, “Silakan Thio-heng menjadi bandar, Siaute pasang
Thian-bun.”
Thio Siau-lim menindihkan
kedua bola besinya ke atas lembaran uang, katanya tertawa, “Mestikaku, tindih
mereka baik-baik, jangan sampai seorang pun lari.”
Babak perjudian selanjutnya
menjadi amat menyenangkan, masing-masing berlomba mempertaruhkan uang dan
keahliannya, namun jantung pun berdebar dan hati ikut merasa tegang, keringat
pun bercucuran di jidat masing-masing penjudi. Separoh kemenangan cukong beras
tadi akhirnya hanyut, namun ia bisa melihat gelagat, segera ia berhenti dan
tinggal ke belakang dengan menarik gadis kesayangannya. Dua orang yang lain
kabarnya terkenal takut bini, meski hendak menarik balik modal semula, namun
terpaksa harus mundur dan pulang.
Setelah tengah malam, yang
masih berjudi dalam rumah itu tinggal lima-enam orang saja.
Thio Siau-lim menghisap pipa
cangklongnya yang diangsurkan seorang gadis yang duduk di pinggirnya, tangannya
mengocok kartu, sedang matanya menatap Leng Chiu-hun, katanya dengan tertawa lebar,
“Laute, keluarkan uangmu dan pasanglah.”
Leng Chiu-hun tersenyum,
sahutnya, “Ya, Siaute memang sudah siap pasang.” Kembali ia merogoh keluar
setumpuk uang kertas, sepasang matanya jelilatan seperti mata anjing yang
mencari sasaran, mendadak ia mendorong semua uangnya dan dipasangkan ke
Thian-bun pula, katanya, “Tiga puluh laksa tail, perduli kalah atau menang,
kali ini yang bakal menentukan.”
Sekali pasang tiga puluh laksa
tail, meski yang hadir di perjudian itu adalah hartawan-hartawan yang kaya raya,
semua kaget dan ikut berubah mukanya, tiada seorang pun yang berani ikut
pasang. Thio Siau-lim tetap tertawa riang, katanya, “Baik, mari kita berjudi
sendiri.” Segera ia melemparkan dadunya, tujuh angka. Leng Chiu-hun segera
mengambil kartu teratas, sementara Thio Siau-lim mengambil yang nomor tiga,
tanpa dilihat lagi Leng Chiu-hun terus membalik kartunya perlahan-lahan.
Selembar Thian dan selembar
Jin, itulah Thian-kah. Serempak para hadirin mengeluarkan suara kagum dan iri,
bahkan para gadis pun berteriak-teriak sambil bertepuk tangan.
Tampak Thio Siau-lim merangkap
tangan, ditepuk dan didorong, hanya sekilas dilihatnya lalu, “Plak!”, ia
membanting kedua kartunya di pinggir meja. Semua penonton menunggu dengan rasa
tegang dan mata melotot, tak tahan lantas bertanya berbareng, “Bagaimana?”
Sedikit pun tak berubah air
muka Thio Siau-lim. Segera ia menghitung tiga puluh laksa tail dan didorongkan
ke depan Leng Chiu-hun, katanya tertawa, “Nah, terimalah, aku mengaku kalah!”
Berputar biji mata Leng Chiu-hun,
katanya, “Hari ini tentu kalian sudah puas, biarlah dilanjutkan lain hari
saja!”
Perjudian pun bubar,
masing-masing orang melangkah ke belakang sambil menggandeng gadis pujaannya,
terlelap dalam buaian mimpi sambil berpelukan.
Thio Siau-lim menggeliat,
katanya tertawa, “Laute, kau memang jempol, pandanganmu amat tepat, menyikat
dengan telak!”
Leng Chiu-hun berkata tawar,
“Apa ya....” mendadak secepat kilat tangan kirinya terulur mencabut golok yang
tergantung di pinggang Thio Siau-lim, ujung golok yang kemilau tahu-tahu sudah
mengancam pelipisnya, jengeknya dingin, “Siapa kau sebenarnya? Apa kerjamu di
sini?”
Sikap Thio Siau-lim tidak
berubah sedikit pun, katanya tertawa, “Apa Laute sedang berkelakar denganku?
Aku tidak mengerti.”
“Betulkah kau tidak tahu?”
jengek Leng Chiu-hun dingin. Tangan kirinya tiba-tiba menggaplok meja, kedua
kartu yang disisihkan Thio Siau-lim di pinggir meja tadi mendadak mencelat naik
dan jatuh terbalik tercecer di atas meja. Kedua kartu itu berbentuk nomor yang
sama.
Mata Leng Chiu-hun setajam
pisau, desisnya bengis, “Terang barusan kau yang menang, mengapa pura-pura
kalah?”
“Mataku sudah lamur, mungkin
aku salah lihat,” sahut Thio Siau-lim tertawa.
“Seorang laki-laki sejati
berani berterus-terang, saudara ada keperluan apa datang ke mari?” bentak Leng
Chiu-hun. “Lebih baik bicara terus terang saja.... apa kau sengaja hendak
menarik hatiku? Apa maksud tujuanmu?”
Sirna sudah senyum tawa Thio
Siau-lim, katanya dengan nada berat, “Mata Leng-heng memang tajam.... ya, Cayhe
ke mari memang ada keperluan. Tapi persoalan ini bukan saja bisa membawa
keuntungan bagi diriku, Pang kalian pun..... “ sengaja ia mengunjuk tawa penuh
arti, secara lihai ia menghentikan kata-katanya.
Tanpa berkedip Leng Chiu-hun
menatapnya, sorot matanya semakin kalem dan tangan pun ditarik sambil
melemparkan golok itu ke atas terus ditangkapnya pula. “Sret!”, ia memasukkan
kembali golok itu ke dalam sarungnya, katanya, “Kalau begitu, mengapa kau tidak
berterus terang saja minta bertemu denganku?”
Thio Siau-lim tersenyum,
ujarnya, “Kalau akan mengerjakan suatu persoalan yang luar biasa, harus melalui
jalan yang tidak biasa pula. Kalau tidak berbuat sesuatu untuk menarik kesan
dan perhatian Leng-heng padaku, apa yang Cayhe katakan, apa Leng-heng mau
percaya?”
Leng Chiu-hun berkata tawar,
“Dengan tiga puluh laksa tail untuk memberi kesan, apa tidak terlalu mahal?”
“Bila urusan bisa sukses, tiga
puluh laksa tail itu cuma beberapa persen saja dari seluruh keuntungan yang
bisa kita capai.”
Muka pucat Leng Chiu-hun
seketika memancarkan cahaya terang, katanya, “Pekerjaan yang melanggar hukum,
selamanya Pang kami tidak mau melakukannya.”
“Walau Cayhe miskin, kalau
hanya ribuan laksa tail kukira masih ada. Pekerjaan yang melanggar hukum dan
berbahaya, sekali-kali tidak nanti Cayhe sudi melakukannya.”
Tiba-tiba Leng Chiu-hun
menepuk meja pula, bentaknya beringas, “Urusan yang tidak melanggar hukum dan
tidak menyerempet bahaya, mana bisa keuntungan sedemikian besar? Mengapa kau
tidak mencari orang lain, justru mencari Pang kita?”
“Karena pekerjaan ini harus
diselesaikan oleh salah seorang Tianglo Pang kalian, kalau tidak, bukan saja
tak terhitung kesulitan yang harus kita hadapi, bahkan boleh dikata mustahil
bisa berhasil.”
“Siapa yang kau maksud?”
“Sat-jiu-su-seng Sebun Jian.”
Leng Chiu-hun perlahan-lahan
membalikkan badan, melangkah dua tindak dengan kalem serta duduk dengan
perlahan.
“Kalau Sebun-cianpwe sudi
menampilkan diri, pekerjaan ini seratus persen pasti berhasil. Oleh karena itu
Leng-heng harus berusaha supaya Sebun-cianpwe mau keluar untuk merundingkan
persoalan ini. Setelah mendengarkan penjelasan Cayhe, Sebun-cianpwe pasti tidak
akan menampik.”
“Guruku tidak gampang mau
menemui tamu, katakan saja padaku, kan sama saja.”
“Untuk persoalan ini, aku
harus bicara langsung dengan Sebun-cianpwe.”
Leng Chiu-hun memutar badan,
bentaknya gusar, “Tampaknya kau sengaja hendak mempermainkan aku.”
Thio Siau-lim tertawa gelak,
serunya, “Orang yang main-main dengan tiga puluh laksa tail, mungkin belum pernah
terjadi.”
Dengan nanar Leng Chiu-hun
menatap muka orang sekian lama, akhirnya ia berkata dengan nada berat,
“Kedatanganmu sangat tidak kebetulan, guruku sekarang tidak berada di Kilam.”
“Apa benar?”
“Selamanya aku tidak pernah
berbohong.”
Lama sekali Thio Siau-lim
terpekur, lambat laun sikapnya kelihatan amat kecewa, lalu katanya dengan
menghela nafas seraya menengadah, “Sayang! Sungguh sayang! Keuntungan tiga
ratus laksa tail sudah di depan mata, agaknya segala rencana bakal gagal
total.” Segera ia bersoja terus angkat langkah keluar dengan lesu.
Lekas Leng Chiu-hun memburu
maju serta menariknya, katanya, “Maksudmu tiga ratus laksa tail?”
“Aku ini seorang pedagang,
kalau tidak mendapat keuntungan sepuluh kali lipat, mana aku sudi menghamburkan
uang tiga puluh laksa tail?”
Tergerak hati Leng Chiu-hun,
tanyanya, “Sudikah kau menunggu sampai guruku pulang?”
“Urusan penting dan segenting
ini mana bisa diulur-ulur, kecuali.....”
“Kecuali apa?” cepat Leng
Chiu-hun menegas.
“Kecuali sebelum pergi Sebun-cianpwe
ada meninggalkan pesan ke mana beliau pergi, lalu secepatnya kita menyusul ke
sana, mungkin waktunya masih keburu.”
Mau tak mau Leng Chiu-hun
semakin tertarik, katanya dengan membanting kaki, “Selama ini kalau Suhu pergi,
tidak pernah meninggalkan pesan, cuma kali ini... Setelah beliau menerima
sepucuk surat, pada hari kedua pagi-pagi sekali beliau sudah lantas berangkat.”
Bersinar mata Thio Siau-lim,
tanyanya, “Sepucuk surat? Di mana?”
Leng Chiu-hun menarik
tangannya, katanya tergesa-gesa, “Mari ikut aku.”
“Ke mana?”
“Liap-te-cui-hun-jin Nyo
Siong, tentu kau pernah mendengar namanya, bukan?”
“Jadi surat itu sekarang
berada di tangan Nyo-cianpwe?”
“Benar, kuingat sebelum pergi
Suhu memasukkan surat itu ke dalam sampulnya dan diserahkan pada Nyo-susiok
untuk disimpan. Jikalau bisa melihat surat itu, pasti tahu ke mana guruku
pergi.”
“Tapi... tapi apakah
Nyo-cianpwe sudi memperlihatkan surat itu kepada kita?”
“Tiga ratus laksa tail, siapa
pun asalkan manusia, jumlah ini bukanlah jumlah yang kecil.”
***
Mereka tidak menumpang kereta.
Dengan berjalan cepat, setelah menikung dua jalanan, mereka pun tiba di tempat
tujuan.
Pada sebuah jalan berbatu yang
bersih dan tidak begitu pendek, di sini hanya terdapat enam bangunan gedung
besar. Rumah kediaman Nyo Siong adalah bangunan nomor dua dari sebelah kiri.
Tak perlu Thio Siau-lim
memperhatikan keadaan sekitarnya, ia pun cukup tahu bahwa bangunan gedung besar
di sekitar sini adalah tempat kediaman hartawan-hartawan kaya raya dari seluruh
kota Kilam. Malah celah-celah papan batu yang menjadi jalan itu pun tersapu
bersih. Namun seorang yang berkedudukan seperti Nyo Siong ini seharusnya
berdiam di sebuah bangunan tunggal yang menyendiri di luar kota.
Agaknya Leng Chiu-hun dapat
meraba jalan fikiran orang, segera ia menjelaskan dengan tertawa, “Guruku
memang rada aneh dan suka menyendiri, tapi entah mengapa justru berkukuh
tinggal di dalam kota. Memang beliau tidak suka bicara dengan orang lain, tapi
menyukai suara percakapan orang.”
“Gurumu... bukankah rumah ini
tempat tinggal Nyo.....”
“Suhu dan Nyo-susiok tinggal
bersama di satu gedung.”
Pintu hitam pekarangan bagian
luar ternyata hanya dirapatkan saja. Leng Chiu-hun langsung mendorong pintu
terus beranjak masuk, pekarangan itu tampak sepi dan tidak kedengaran suara
orang. Pelita di dalam ruang pendopo seharusnya ditambahi minyak, ruangan
sebesar itu hanya disinari oleh lampu dian yang remang-remang, menjadikan
suasana terasa seram dan mendebarkan jantung.
“Biasanya Nyo-susiok suka
tidur pagi-pagi,” demikian kata Leng Chiu-hun. “Begitu beliau tidur, para
pembantunya segera mengeluyur keluar secara diam-diam. Terutama kalau guruku
tidak di rumah, mereka semakin bertingkah.”
“Pelayan wanita atau genduk,
masakah juga mengeluyur di luar malam-malam begini?”
“Tiada genduk atau babu di
dalam rumah ini.”
Mereka lalu berputar melewati
ruang pendopo, langsung menuju ke halaman belakang. Keadaan di sini lebih
lelap, deretan kamar di sebelah kiri sana lapat-lapat terlihat cahaya api yang
menyorot keluar. Leng Chiu-pun pun berujar, “Aneh, apakah Nyo-susiok malam ini
belum tidur?”
Baru saja ia melangkah hendak
melewati deretan pohon mangga di tengah pekarangan, setetes air tiba-tiba jatuh
menetes di atas pundaknya, tanpa sadar segera ia mengusap dengan tangannya.
Cahaya api yang menyorot keluar dari jendela kebetulan menerangi tangannya.
Darah segar! Punggung tangannya ternyata berlepotan darah.
Dengan kaget Leng Chiu-hun
mengangkat kepala, di atas sebatang dahan pohon mangga lapat-lapat seperti
terlihat seseorang menggapai padanya. Sebat sekali ia menggenjot kakinya terus
melesat naik, secepat kilat ia mencengkeram pergelangan tangan orang, tapi
hanya sebelah tangan orang yang terpegang. Tangan yang berlepotan darah.
Tak tertahan Leng Chiu-hun pun
menjerit kaget, “Susiok! Nyo-susiok! Tapi tiada jawaban dari dalam kamar.
Seperti orang kesetanan,
segera ia melompat turun dan menerjang daun pintu terus menerobos masuk ke
dalam. Dilihatnya Nyo Siong rebah di atas ranjang, seolah-olah sedang tidur
lelap, hanya rambut dan kepalanya yang ubanan berada di luar selimut yang
menutupi seluruh tubuhnya. Tapi keadaan di dalam kamar tampak morat-marit,
setiap benda sudah berkisar dari tempatnya, tiga peti kayu yang berada di
pinggir ranjang pun sudah terjungkir balik dan terbuka.
Tanpa banyak fikir lagi segera
ia memburu ke dekat tempat tidur dan tangannya menyingkap selimut tebal yang
terbuat dari kain kapas itu.
Darah! Badan berlepotan darah
tanpa terlihat kaki dan tangannya!
Gemetar seluruh tubuh Leng
Chiu-hun seperti orang kedinginan, teriaknya gemetar, “Ngo-kui-hun-si!
Beginikah Ngo-kui-hun-si itu......”
Bergegas ia membalikkan badan
dan menerjang keluar pula, sebuah tangan yang lain tergantung di bawah teras,
darahnya masih menetes, kematian Nyo Siong dengan tubuh terpotong-potong itu
terang berlangsung tidak melebihi setengah jam yang lalu.
Agaknya Thio Siau-lim pun amat
kaget dan berdiri terlongong di tempatnya.
“Cu-soa-bun tiada dendam
permusuhan dengan Ngo-kui, mengapa Hiat-sat-ngo-kui menurunkan tangan
jahatnya?”
“Kau... dari mana kau tahu
kalau Hiat-sat-ngo-kui yang turun tangan keji?”
“Ngo-kui-hun-si (Lima Setan
Membagi Mayat) merupakan lambang mereka,” desis Leng Chiu-hun dengan penuh
dendam dan kebencian.
“Tapi lambang itu juga bisa dipinjam
orang lain untuk melakukan kejahatan.”
Namun Leng Chiu-hun seperti
tidak memperhatikan ucapan Thio Siau-lim, kini ia mulai memeriksa dan
membongkar setiap barang yang masih ada di dalam kamar itu.
“Apa pula yang kau cari, surat
itu terang sudah hilang,” ujar Thio Siau-lim.
Surat itu memang sudah tiada
di tempatnya, hilang tanpa bekas.
Semakin pucat raut muka Leng
Chiu-hun, kelihatannya begitu menakutkan,
mendadak orang menubruk tiba
menjambak baju Thio Siau-lim, teriaknya beringas:
"Sebetulnya apa
sangkut-pautmu dengan peristiwa ini?"
"Kalau ada
sangkut-pautnya, memangnya aku bisa berada di sini?"
Dengan melotot sekian saat,
Leng Chiu-hun mendeliki orang, pegangan tangannya
semakin kendor dan akhirnya
terlepas, katanya dengan suara serak berat: "Tapi bagaimana kedatanganmu
bisa begini kebetulan?"
"Karena beberapa hari ini
aku memang sedang sebal," sahut Thio Siau-lim tertawa
getir, tiba-tiba sorot matanya
berputar, katanya, "Kenapa kau tidak lihat ke kamar gurumu, mungkin
sesuatu dapat kau temukan di sana."
Leng Chiu-hun berpikir
sebentar, pelita diangkatnya terus menuju ke bilik sebelah
timur. Pintunya pun tidak
terkunci. Tianglo Cu-soa-bun yang suka menyendiri ini ternyata mempunyai sebuah
kamar yang serba sederhana.
Di atas dinding cuma terdapat
selembar gambar lukisan, bukan gambar pemandangan atau
hasil seni lukis dari karya
pelukis kenamaan, namun hanya selembar gambar seorang perempuan setengah badan,
demikian hidup dan menakjubkan lukisan gambar ini. Jaman itu sulit dicari
gambar orang setengah badan. Tak terasa Thio Siau-lim melirik dua tiga kali ke
arah gambar ini. Semakin dipandang semakin terasa perempuan di dalam gambar
sedemikian cantik jelita, sulit dilukiskan dengan kata-kata. Meskipun hanya
selembar gambar lukisan belaka, namun seolah-olah mempunyai daya tarik yang tak
bisa dilawan.
Tak tahan Thio Siau-lim memuji
sambil menghela napas gegetun: "Tak nyana Subomu ini
ternyata seorang perempuan
yang cantik luar biasa."
"Sampai sekarang guru
masih jejaka," sahut Leng Chiu-hun dingin.
Thio Siau-lim tertegun,
"O, kalau begitu tak heran kalau dia suka tinggal bersama
Nyo-cianpwe, tidak heran pula
di sini tidak pakai pelayan perempuan." Mulutnya bicara sementara dalam
hati ia membatin: "Sampai sekarang Sebun Jian masih jejaka? Kenapa pula
dia menggantung gambar perempuan cantik ini di dalam kamarnya? Siapa dan pernah
apa perempuan ini dengan dia?"
Mungkin gambar ini hanyalah
lukisan biasa saja. Tapi lukisan biasa, kenapa pula bisa digambar setengah
badan?
***
Kini Thio Siau-lim sudah
berada dalam kamar sebuah hotel, di luar jendela tampak tujuh-delapan laki-laki
tinggi besar yang berikat pinggang kain merah tua sedang mondar-mandir berjaga
di sekeliling kamar.
Laki-laki ini sama merubung
dan membimbingnya kembali ke dalam kamarnya seolah-olah
pengawal pribadinya saja. Yang
benar, mereka adalah anak buah yang diutus Leng Chiu-hun untuk mengawasi
gerak-geriknya.
Leng Chiu-hun sih tidak
bertujuan jahat terhadapnya, cuma saja tidak rela dan penasaran bila tiga ratus
laksa tail perak itu terjatuh ke tangan orang lain. Tentunya Thio Siau-lim
sendiri pun paham akan seluk-beluk ini. Tak tertahan ia tertawa geli, tawa
riang yang mengandung arti.
Kalau dia benar-benar ingin
melakukan sesuatu, dalam pandangannya kedelapan laki-laki ini bolehlah dianggap
delapan patung kayu belaka!
Ia padamkan pelita lalu
melojoti seluruh pakaian sampai telanjang bulat, terus rebah di atas ranjang,
sedapat mungkin ia kendorkan kaki-tangannya, kemul kapas yang bersih terasa
empuk dan kasar menggesek badan, rasanya sungguh nyaman dan nikmat sekali.
Lama-kelamaan seluruh badan sudah berhenti bergerak dan dalam keadaan tenang,
cuma otaknya saja yang masih bekerja.
Mendadak genteng di atas kamar
berkeresek dan bergerak perlahan, cahaya rembulan yang remang-remang menyorot
masuk menerangi kamar yang gelap ini. Beberapa buah genteng sudah tergeser dan
dipindah dari tempatnya, namun sedikit pun tidak mengeluarkan suara yang
mengejutkan, agaknya penyatron ini adalah seorang ahli dalam perjalanan malam,
gerak-geriknya cekatan dan berhati-hati.
Kejap lain tampak sesosok
bayangan orang selicin ikan menerobos masuk, kedua tangan bergelantungan di
atap rumah, menunggu sebentar setelah tidak mendengar sesuatu suara, lalu
seenteng daun ia melompat turun ke atas lantai.
Thio Siau-lim tetap rebah
tanpa bergerak, mata dipicingkan mengawasi gerak-gerik orang. Dalam hati ia
tertawa geli, kalau orang ini maling kecil, kalau dia
berani datang ke mari, terang
bahwa kakek moyangnya dulu memang berhutang jiwa kepada dirinya.
Di bawah penerangan sinar
rembulan yang redup, tampak orang ini mengenakan kedok hitam mengenakan pakaian
hitam legam yang ketat membungkus potongan badannya yang padat dan montok serta
ramping, ternyata seorang gadis yang berpotongan menggiurkan.
Tangannya menggenggam sebilah
Liu-yap-to yang pendek dan ringan, sinar golok kemilau ditimpa sinar rembulan
yang remang-remang, sepasang matanya yang jeli dan menyolok antara hitam dan
putihnya sedang menatap orang yang rebah di atas ranjang tanpa berkesip.
Thio Siau-lim merasa amat lucu
dan menarik. Memang amat menyenangkan. Gadis montok yang menggiurkan, ternyata
seorang pembunuh gelap pula. Tidak sedikit kejadian aneh yang pernah dialami
Thio Siau-lim, tapi belum pernah ada gadis menggiurkan yang coba membunuh dirinya,
baru pertama kali ini.
Kuatir membuat kaget dan takut
pembunuh gelap ini, ia menggeres semakin keras, pura-pura tidur nyenyak. Namun
perempuan pembunuh ini agaknya tak ingin membunuh dia.
Dengan berjinjit-jinjit ia
maju mendekat, pakaian Thio Siau-lim yang bertumpuk di lantai dijumputnya lalu
dirogohnya kantong dan diperiksa isinya, ditimang-timangnya tumpukan lembaran
uang besar itu, lalu ia jejalkan kembali ke dalam sakunya.
Jadi perempuan pembunuh ini
pun tidak bermaksud mencuri, kalau toh tidak ingin membunuh tidak mencuri pula,
memangnya apa maksud kedatangannya?
Matanya celingukan kian ke
mari, dilihatnya peti kayu bercat hitam di bawah ranjang, segesit kucing ia
melompat ke sana, sebelah tangannya dengan cekatan membuka tutup peti kayu.