-------------------------------
----------------------------
Bab 6: Liukan Pinggang Sang Gadis
Sebaliknya berada di dalam air
Thio Siau-lim laksana naga bermain di tengah lautan, gerak badannya segesit
ikan selicin belut, cukup berkelebat dan meliukkan badan, tahu-tahu ia sudah
mencengkeram pergelangan tangan It-tiam-ang serta menotok hiat-tonya. Setelah
tidak berkutik, lalu ia angkat badan orang serta dilemparkan ke pinggir danau,
serunya tertawa: “Ang-heng, walau sekarang kau sedikit menderita, tentunya jauh
lebih enak daripada kau menggila dan mampus jadinya.”
Lalu ia putar badan dan
selulup ke dalam air. Cepat sekali ia berenang menuju ke arah datangnya suara
harpa.
Kabut tebal mengembang di
permukaan air, keadaan remang-remang, jauh di tengah danau sana berlabuh sebuah
sampan kecil. Di atas sampan tunggal ini duduk bersila seorang padri muda yang
mengenakan jubah putih, jari-jarinya tengah memetik harpa, di tengah keremangan
kabut tampak biji matanya laksana bintang kejora yang bersinar menyala, bibir
merah gigi putih, raut mukanya lebih mirip dengan wajah perempuan cantik
dibanding kekasaran muka seorang laki-laki, namun tindak-tanduknya kelihatan
lemah lembut, wajar dan gagah, sifat-sifatnya ini perempuan siapa pun takkan
bisa menandinginya.
Seluruh badannya selintas
pandang seperti amat bersih, tiada debu sedikit pun yang mengotori badannya,
seolah-olah dia baru saja turun dari khayangan di tengah angkasa yang berawan.
Coh Liu-hiang memandangnya dua
kali, segera ia berseru dengan tertawa sambil mengerut kening: “Kiranya dia,
seharusnya aku sudah ingat sejak tadi. Kecuali dia, siapa pula yang mampu
memetik suara harpa sebaik itu... celaka adalah aku yang hampir mati dari efek
alunan suara harpanya tadi.”
Ia menyelam maju dan baru
melongokkan kepalanya dari permukaan air setelah berada dekat di pinggir sampan,
katanya: “Dalam hati Taysu memangnya ada perasaan yang tidak bisa direlakan?”
Petikan harpa seketika kacau
berantakan dan akhirnya berhenti. Padri itu agaknya kaget, namun sikapnya tetap
tenang dan tenteram. Sekilas ia berpaling, segera unjuk senyum mekar, katanya:
“Setiap kali Coh-heng bertemu dengan Pinceng, apakah badanmu harus selalu basah
kuyup seperti ini?”
Padri muda ini bukan lain
adalah Biau-ceng Bu-hoa yang terkenal di seluruh kolong langit. Tempo hari
waktu dia menikmati petikan harpanya di atas sampan di tengah lautan, kebetulan
Coh Liu-hiang muncul dari dalam air serta mengejutkan hatinya juga.
Cepat Thio Siau-lim melompat
naik ke atas sampan, katanya melotot: “Siapa itu Coh Liu-hiang?”
Bu-hoa tersenyum, ujarnya:
“Kecuali Coh-heng, dalam kolong langit ini siapa yang mampu sampai sedemikian
dekatnya di samping Pinceng. Siapa pula kecuali Coh-heng yang memahami makna
alunan suara harpa, menaklukkan sanubari orang.”
Thio Siau-lim tergelak-gelak,
“Kecuali Coh Liu-hiang, seluruh dunia siapa pula yang mampu mengejutkan kau
dari dalam air.... Bu-hoa, Bu-hoa, namamu memang Bu-hoa (tiada kembang), namun
tak terhitung kembang-kembang suci yang terbenam dalam sanubarimu.”
Di tengah gelak tawanya, cepat
ia meraih ke muka menanggalkan kedok mukanya terus dilempar ke dalam air. Maka
muncullah muka asli Coh Liu-hiang di tengah danau di atas sampan di bawah
penerangan bintang-bintang kecil di angkasa raya. Entah berapa banyak gadis
yang tak bisa tidur bisa melihat raut wajahnya ini.
Kata Bu-hoa: “Kedok muka yang
sedemikian indah dan bagus kenapa Coh-heng buang ke dalam air?”
“Kedok muka ini sudah konangan
oleh tiga orang, kenapa harus kupakai lagi?”
“Cara menyamar Coh-heng
sungguh tiada bandingan di seluruh jagat. Seumpama Pinceng tidak mengenali penyamaranmu,
siapa pula yang punya ketajaman mata dapat mengenali samaranmu?”
“Peduli bagaimana mereka
membongkar kedok samaranku, yang terang muka asliku sudah mereka ketahui. Kalau
samaran muka seseorang sampai dikenal oleh tiga orang, seumpama mukanya amat
buruk pun lebih baik dia kembali kepada muka aslinya saja.”
“Entah siapa kedua tokoh yang
lain itu?” tanya Bu-hoa.
“Orang pertama adalah
'Membunuh orang tiada darah, setitik darah di ujung pedang'.”
Bu-hoa sedikit mengerutkan
kening. Mendadak harpa tujuh senar di pangkuannya ia buang ke dalam air juga.
“Harpamu paling tidak jauh
lebih mahal daripada kedok mukaku tadi, kenapa pula kau membuangnya ke dalam
air?”
“Di sini kau menyinggung nama
orang itu, berarti harpa itu sudah tersentuh oleh bau anyirnya darah,
selanjutnya pasti tidak akan bisa mengumandangkan suara suci dan bersih,” lalu
ia pun mencuci kedua tangannya di dalam air danau, dikeluarkannya secarik sapu
tangan putih untuk menyeka kering tangannya.
“Kau kira air danau ini
bersih? Bukan mustahil di dalamnya ada......”
“Orang bisa membuat air kotor,
sebaliknya air tidak akan mengotori manusia. Mengalir pergi, datang yang baru,
selamanya tidak akan kotor.”
“Tak heran kau suka menjadi
Hwesio, orang seperti kau kalau tidak mencukur gundul jadi orang beribadat,
mungkin kau tidak akan bisa hidup di dalam dunia fana.”
Bu-hoa tertawa tawar,
tanyanya: “Memangnya siapakah orang kedua?”
“Orang kedua ini walau sudah
tahu akan diriku, sebaliknya aku belum tahu siapa dia. Yang kutahu bahwa
ginkangnya amat tinggi, senjata rahasianya amat keji, malah dia pun mahir
menggunakan Jinsut!”
“Jinsut?” bergetar badan
Bu-hoa.
“Kau paling paham akan segala
sumber, tahukah kau apa ajaran Jinsut pernah masuk ke Tionggoan?”
Bu-hoa berpikir sesaat
lamanya, katanya kalem: “Aliran Jinsut asal-mulanya diajarkan dari Ih-ho
(Arab), seumpama di daratan Tang-ni sana sendiri ilmu ini termasuk kepandaian
misterius yang amat disegani. Tapi menurut pandangan Pinceng, kemampuan dan
kesaktianmu bukan saja punya taraf yang sejajar dan setanding, malah mungkin
ada sedikit melampauinya.”
“Kau mengagulkan aku, apa kau
ingin supaya kelak bila bermain catur aku sengaja mengalah kepadamu?”
“Ilmu silat di Tang-ni
sebetulnya bersumber dari bangsa kita di jaman dinasti Tong dulu, cuma mereka
sedikit menambahi bumbu dan dirubah serta direvisi dan terciptalah aliran lain
yang tersendiri. Kaum persilatan di Tang-ni sekarang yang paling terkenal
adalah Liu-seng-jiu, It-to-liu dan lain-lainnya. Aliran perguruan kebanyakan
mereka mengutamakan ketenangan mengatasi gerakan, bergerak belakangan mengatasi
yang duluan, bukankah mirip dan serasi dengan ajaran Lwekang murni dari aliran
bangsa kita? Tentang permainan ilmu pedang mereka yang ganas dan keji, gampang
dan murni, bukankah sesumber dengan ilmu golok yang berkembang paling jaya dan
lama pada dinasti Tong dulu?”
“Memang kau paham segala
sumber ilmu, namun Jinsut itu......”
“Jinsut ilmu sihir, nama ini
kedengarannya memang amat aneh dan mengandung arti yang amat dalam, namun
sebetulnya tidak lepas dari ginkang, am-gi, obat bius dan ilmu rias diri yang
dikombinasikan menjadi satu, cuma sejak dilahirkan pembawaan mereka suka
meniru, mempunyai dasar semangat aneh yang lain dari yang lain. Setelah
berhasil mempelajari ilmu dari bangsa kita, bukan saja bisa meresapinya dan
menyedot inti sarinya, malah bisa pula memecah, menganalisa dan memperluas
ajaran itu seolah-olah menjadi dongeng aneh dan menakjubkan.”
“Aku hanya bertanya, setelah
mengalami godokan dan gemblengan dalam proses perubahan ilmu yang mereka miliki
serta akhirnya menjadi ilmu yang dinamakan Jinsut itu, apakah ilmu itu pernah
masuk ke dalam tanah air kita? Adakah orang yang berhasil mempelajarinya?”
“Kabarnya dua puluh tahun yang
lalu pernah datang seorang bangsa Arab ahli sihir yang mendarat dan akhirnya
dia menetap di daerah Binglam selama tiga tahun. Kaum Bulim di daratan besar
bila ada yang pandai menggunakan Jinsut kukira pasti hasil ajaran dari orang
Arab itu. Selama tiga tahun dia menetap di sana, dan yang pasti bahwa dia
adalah seorang tokoh silat kenamaan di daerah Binglam sana.”
“Binglam?” Coh Liu-hiang
mengerutkan kening. “Apakah keturunan Tan dan Lim, dua aliran Bulim terbesar di
sana?”
“Cuaca malam seindah ini, kau
malah mengajak aku membicarakan soal duniawi, memangnya tidak menyia-nyiakan
pemandangan seindah gambar lukisan di malam ini?”
“Memangnya aku ini orang kasar
dari dusun, apalagi pada saat sekarang, kecuali persoalan-persoalan duniawi
ini, segala macam urusan lain tiada yang menarik perhatianku.”
Mendadak ia berdiri, katanya
sambil tertawa besar, “Kalau kau hendak berkhotbah atau main catur, setelah
persoalanku beres, tentu akan kucari kau, dan lagi aku berjanji badanku tentu
akan kering dan bersih.”
“Baik, janji main catur ini
jangan sekali-kali kau lupakan, lho!”
Kepala Coh Liu-hiang menongol
keluar dari permukaan air, serunya keras: “Siapa bila melupakan janji dengan
Bu-hoa, tentu orang itu orang linglung.”
Bu-hoa mengantar badan orang
yang berlalu pergi segesit ikan, katanya sambil tersenyum: “Dapat berkenalan
dengan orang seperti dia, peduli teman atau musuh, bolehlah terhitung suatu
kejadian yang menggembirakan.”
Coh Liu-hiang kembali ke
daratan, ia jinjing badan It-tiam-ang dan mencari sepucuk pohon tinggi besar, dicarinya
dahan-dahan pohon yang rimbun dedaunannya, di sana ia baringkan badan orang,
lalu melompat turun, serunya sambil mengulap tangan: “Biar sekarang kita
berpisah, setengah jam lagi kau akan siuman sendiri. Aku tahu kau pasti tidak
suka aku melihat keadaanmu yang serba runyam bila kau siuman nanti.”
Langsung ia berlari-lari masuk
ke kota, sepanjang jalan pulang pergi ia putar otak, terasa sampai detik ini
persoalan ini masih acak-acakan, sedikit pun tak berhasil ia raba sumber
persoalannya. Dia berkeputusan untuk sementara tidak usah susah-susah putar
otak memikirkan persoalan ini, biarlah otaknya istirahat saja beberapa waktu.
Otak manusia memang aneh,
kalau lama tidak dipakai pun bisa karatan, sering dipakai dan melelahkan dia
pun bisa menjadi linu dan kejang.
Waktu ia tiba di kota, sang
surya sudah keluar dari peraduannya. Pagi sudah menjelang, di jalan sudah
kelihatan beberapa orang berlalu-lalang. Baju Coh Liu-hiang sudah kering, ia
membelok dua kali berputar dua kali, tahu-tahu ia kembali ke Kwi-gi-tong. Mayat
Song Kang tak kelihatan. Sim San-koh dan murid-murid Thian-sing-pang sudah
tidak kelihatan sama sekali.
Beberapa laki-laki berseragam
hitam sedang memberesi keadaan yang morat-marit. Melihat Coh Liu-hiang,
beramai-ramai mereka membentak: “Sekarang perjudian belum dibuka, datanglah
nanti malam, kenapa terburu-buru?”
Coh Liu-hiang tertawa,
ujarnya: “Aku hendak mencari Leng Chiu-hun.”
“Kau terhitung barang apa,”
damprat laki-laki itu. “Berani kau langsung memanggil nama Kongcu kami.”
“Memang aku ini bukan barang
apa-apa, namun tak lain adalah saudara kenalan Leng Chiu-hun.”
Beberapa laki-laki itu saling
pandang, serempak mereka melempar sapu terus berlari masuk ke dalam.
Tak lama kemudian, dengan
langkah malas Leng Chiu-hun berjalan keluar, air mukanya tampak lesu seperti
kurang tidur, namun kedua biji matanya berkilat terang, dari atas ke bawah dia
amat-amati Coh Liu-hiang, tanyanya dingin: “Siapa tuan ini? Seingatku belum
pernah aku punya saudara kenalan seperti kau ini.”
Coh Liu-hiang sengaja
celingukan ke sekelilingnya, lalu katanya merendahkan suara: “Aku inilah Thio
Siau-lim. Demi mengelabui mata kuping orang, sengaja aku menyamar seperti ini.”
Sekilas Leng Chiu-hun
melengak, cepat sekali ia sudah menarik tangannya sambil tertawa besar,
serunya: “Kiranya kau Thio-jiko, aku memang pantas mampus. Sudah sekian lamanya
tak bertemu, sampai saudara sendiri pun sudah kulupakan.”
Coh Liu-hiang tertawa geli, ia
diam saja dirinya ditarik masuk ke dalam sebuah kamar tidur yang dipajang amat
indah, kelihatan kepala seorang perempuan dengan rambutnya yang awut-awutan,
sebuah tusuk konde menggeletak di pinggir bantal.
Tiba-tiba Leng Chiu-hun
menyingkap kemul, katanya dingin: “Tugasmu sudah selesai, kenapa belum pergi
juga?”
Tersipu-sipu perempuan itu
merangkak bangun dan cepat-cepat mengenakan pakaiannya terus berlari keluar
dengan langkah sempoyongan.
Baru sekarang Leng Chiu-hun
duduk sambil menatap Coh Liu-hiang, katanya: “Tak nyana ilmu rias saudara
ternyata begini lihay. Setelah mengubah samaranmu sekarang, tentunya tidak
sewajar dan leluasa seperti semula. Kalau saudara menyamar lebih jelek sedikit,
tentunya sukar konangan. Caramu ini...... raut mukamu sedikit banyak tentu akan
menimbulkan perhatian orang.”
Coh Liu-hiang mengelus hidung,
katanya: “Apa Leng-heng ada melihat sesuatu keganjilan atas samaranku?”
Hampir saja pecah perut Coh
Liu-hiang saking menahan geli, namun lahirnya tetap tenang-tenang saja,
ujarnya: “Menyamar di waktu malam gelap, bentuknya kurang sempurna, namun ya apa
jadinyalah!”
Kembali Leng Chiu-hun
meliriknya dua kali, katanya: “Sebetulnya sih cukup baik, asal hidungmu sedikit
rendah, matamu disipitkan, tentu lebih sempurna.”
“Ya, ya, lain kali tentu akan
kurubah,” sahut Coh Liu-hiang menahan geli. Sambil celingukan, katanya
tiba-tiba: “Di mana Sim San-koh?”
“Aku tidak suka meniru cara
saudara, tentunya sudah kulepas dia pulang. Walau Thian-sing-pang tiada punya
tokoh-tokoh yang menonjol, jelek-jelek merupakan sindikat yang kenamaan juga,
tentunya aku tidak suka mengikat pertikaian-pertikaian terlalu mendalam dengan
mereka.”
“Memang betul demikian, entah
saudara sudah mengutus anak buah untuk memperhatikan gerak-gerik kaum
persilatan di kota Kilam ini?”
“Aku sudah suruh orang mencari
dengan seksama. 'Ngo-kui' bahwasanya tidak berada di dalam kota, kecuali itu
memang ada beberapa tokoh yang cukup terkenal, namun mereka tiada
sangkut-pautnya dengan urusan kita ini.”
“Siapakah orang itu?”
“Dandanan orang itu aneh dan
lucu, pedangnya sempit panjang, bukan lain adalah tokoh dari Hay-lam-kiam-pay,
dilihat dari tindak-tanduknya dia orang kosen, kukira kalau bukan Ling Ciu-cu
pasti Thian-ing-cu.”
“Thian-ing-cu,” seru Coh
Liu-hiang berjingkrak bangun. “Di mana dia sekarang?”
“Kenapa saudara begini
tegang?” tanya Leng Chiu-hun heran.
“Jangan tanya dulu, lekas
katakan di mana dia sekarang, kalau terlambat mungkin sudah kasep.”
“Dia tidak menginap di biara
atau di dalam kuil, namun bermalam di In-ping-lau di selatan kota. Untuk apa
saudara begini kesusu untuk menemui dia?”
Belum habis kata-katanya, Coh
Liu-hiang sudah berlari keluar, gumamnya: “Semoga kedatanganku belum terlambat.
Semoga dia tidak menjadi korban yang ketiga lantaran surat itu.”
Areal bangunan In-ping-lau ini
amat luas, tidak sedikit tamu-tamu luar kota yang menginap di dalam hotel ini,
namun orang beribadah hanya Thian-ing-cu satu-satunya, seorang diri menempati
sebuah kamar di pekarangan samping yang kecil, menghadap ke arah matahari
terbit. Cuma saat mana orangnya sedang keluar.
Bagi seorang ahli seperti Coh
Liu-hiang, setelah dia mencari tahu letak kamarnya, dengan cepat ia sudah
berada di pekarangan kecil itu, menggunakan sebatang kawat baja dengan mudah ia
membuka gembok dan masuk ke dalam kamar.
Nama besar Thian-ing-cu memang
amat disegani, semua barang atau perbekalan yang dia bawa tidak banyak, cuma
sebuah buntalan kain kuning. Dalam buntalan terdapat beberapa stel pakaian, dua
pasang kaus kaki panjang dan segulung buku dan kertas tulisan. Buku ini ia
buntal di dalam lempitan pakaian dalamnya, diikat pula dengan benang sutera.
Kelihatannya Thian-ing-cu amat memandangnya sangat berharga. Coh Liu-hiang
berpikir: “Surat misterius itu bukan mustahil disimpan di dalam buku ini?”
Coh Liu-hiang insyaf bahwa
surat itu menyangkut peristiwa ini, dan penting serta besar artinya bagi
dirinya untuk mencari sumber penyelidikan. Bukan mustahil merupakan kunci
penjelasan rahasia peristiwa ini, kalau tidak, tidak mungkin beberapa jiwa
berkorban secara konyol lantaran surat itu.
Hati-hati Coh Liu-hiang
membuka ikatan benang sutera itu. Benar juga, di antara lembaran buku-buku itu
melayang jatuh selembar sampul surat. Betapa girang hatinya. Cepat ia jemput
surat itu, di atas secarik kertas merah jambon tertulis dua baris kata-kata
yang bergaya indah dan berseni, kelihatannya buah tangan seorang perempuan.
Kertas surat itu sudah
telempit, membekas garis-garis luntur sehingga menjadi kucel, terang sudah
dibaca dan dilempit entah berapa kali, namun tetap dipelihara dan disimpan
dengan baik, dari sini dapatlah disimpulkan bahwa penerima surat ini
memandangnya amat berharga.
Isi surat itu rada mengambang
dan pakai sindiran lagi, jelas penulisnya mengharap penerima surat ini putuskan
saja hubungan asmara, jangan selalu pikir dan mengenang dirinya. Kalau
dikatakan secara terang atau cekak-aos, artinya adalah: “Aku tidak suka
kepadamu, maka jangan kau terlalu tergila-gila kepadaku.”
Sudah tentu surat ini
ditujukan kepada Thian-ing-cu, surat itu tertanda 'Ling-siok' dua huruf kecil,
tentunya nama kecil perempuan itu.
Diam-diam Coh Liu-hiang
menarik napas, batinnya: “Naga-naganya sebelum menjadi orang beribadat
Thian-ing-cu pernah mengalami patah hati. Bukan mustahil lantaran kejadian itu
dia mengorbankan masa depannya dan menyucikan diri mengabdi kepada ajaran
Thian. Sampai sekarang dia masih bawa surat cinta ini, kiranya dia pun seorang
romantis.”
Tanpa sengaja ia mencuri lihat
rahasia pribadi orang lain, dalam hati ia amat menyesal, akhirnya ia toh tidak
menemukan surat misterius itu, mau tak mau hatinya merasa kecewa pula.
Buntalan kain kuning kembali
pada posisi dan bentuknya semula, siapa pun takkan bisa membedakan bahwa
buntalan ini barusan pernah disentuh orang.
Waktu beranjak di jalan raya,
Coh Liu-hiang menggumam sendiri: “Ke manakah Thian-ing-cu? Dari tempat jauh dia
meluruk ke mari, tentunya hendak menyelidiki jejak Suhengnya Ling-ciu-cu. Kalau
toh sudah berada di Kilam, bukan mustahil dia akan mencari kabar ke
Cu-soa-bun......” karena pikirannya ini, segera ia menyetop sebuah kereta
besar, terus dibedal menuju ke Kwi-gi-tong.
Dilihatnya Leng Chiu-hun
sedang berdiri di ambang pintu sambil menggendong tangan, agaknya barusan
mengantar seorang tamu.
Begitu melihat Coh Liu-hiang,
ia tertawa. Katanya, “Kau masih terlambat juga.”
Lekas Coh Liu-hiang bertanya: “Barusan
apakah Thian-ing-cu ke mari?”
“Ya, kau mencari dia,
sebaliknya dia mencari aku! Anehnya, pihak Hay-lam-kiam-pay pun kehilangan
seseorang. Anehnya lagi dia tidak mencari tahu kepada orang lain, justru
mencariku. Hay-lam dan Kilam berjarak ribuan li, pihak Hay-lam-pay kehilangan
orang, bagaimana mungkin Cu-soa-bun bisa tahu jejaknya?”
“Tahukah kau, setelah
meninggalkan tempat ini dia hendak ke mana?”
“Pulang ke In-ping-lau, aku
sudah berjanji lewat lohor aku akan balas berkunjung ke sana!”
Belum orang habis bicara,
bayangan Coh Liu-hiang sudah tak kelihatan. Kali ini ia sudah tahu jalannya,
langsung ia memburu ke pekarangan kecil itu. Jendela kamar itu sudah terbuka,
seorang Tosu tinggi kurus yang menggelung tinggi rambut kepalanya sedang duduk di
sisi jendela menuang air teh. Entah apa yang sedang dipikirkan, dari poci yang
tertuang miring, sedikit pun tidak kelihatan air teh mengalir keluar, namun
orang agaknya tidak sadar, tangannya masih menjinjing poci teh itu.
Coh Liu-hiang merasa lega,
gumamnya pula: “Syukur aku tidak terlambat. Kali ini betapa pun tidak akan
kubiarkan orang lain membunuhnya lebih dulu sebelum aku bertindak!”
Segera ia merangkap tangan
bersoja ke dalam kamar, serunya: “Apakah Thian-ing Totiang yang berada di dalam
rumah?”
Begitu asyik Thian-ing-cu
memeras otak, sehingga seruan yang demikian keras pun tidak mengagetkan
dirinya. Coh Llu-hiang geli, batinnya: “Tosu romantis ini mungkin sedang
mengenang perempuan bernama 'Ling-siok' itu.”
Dengan langkah lebar ia
mendekati jendela, katanya pula: “Kedatangan cayhe ini
demi suheng.....” sampai di
sini baru didapati bahwa poci itu sudah kosong, air teh sudah mengalir habis
membasahi selebar permukaan meja, malah membasahi pakaiannya pula.
Cepat sekali otak Coh
Liu-hiang bekerja. Dengan lirih ia tepuk pundak orang, tak nyana dengan badan
kaku orang roboh menggelundung ke lantai. Setelah rebah di lantai, kaki
tangannya tetap bergaya seperti duduknya tadi, dengkul tertekuk tangan masih
menjinjing poci teh itu.
Keruan bukan kepalang terkejutnya
Coh Liu-hiang. Lekas ia melompat masuk, kaki tangan Thian-ing-cu ternyata sudah
kaku dingin, napasnya sudah berhenti, dadanya berlepotan darah, ternyata
setelah tertotok jalan darahnya, lalu tertusuk mati oleh sebatang pedang di
dadanya.
Ahli pedang yang kenamaan dari
Hay-lam-pay ini ternyata terbunuh secara menggelap dan tanpa disadari oleh sang
korban sendiri. Pembunuh itu menghunjamkan pedangnya dari dada tembus ke
punggung, namun poci teh di tangannya toh tidak terlepas jatuh. Betapa takkan
mengejutkan kepandaian si pembunuh itu!
Betapa hati Coh Liu-hiang
takkan mencelos. Dengan cermat ia periksa keadaan sekeliling kamar, namun tiada
tanda mencurigakan yang dia temukan, terang kepandaian pembunuh itu amat
tinggi.
Sambil mengawasi jenazah Thian-ing-cu,
Coh Liu-hiang berdoa dalam hati: “Meski bukan aku yang membunuhmu, tapi kau
mati lantaran aku. Kalau orang itu tidak tahu aku hendak mencarimu, belum tentu
dia membunuhmu. Sayang sekali di waktu hidupmu kau sendiri memegang kunci
rahasia yang menyangkut persoalan ini, kau sendiri tidak tahu-menahu.”
Sampai sekarang Cou Yu-cin,
Sebun jian, Leng-ciu-cu, Ca Bok-hap berempat mempunyai titik persamaan, yaitu
mereka berempat pasti pernah menerima sepucuk surat dan surat itu pasti ditulis
oleh satu orang, sumber penyelidikan inilah satu-satunya yang dikejar dan ingin
diketahui oleh Coh Liu-hiang. Untuk membongkar rahasia ini, dia harus tahu
siapakah penulis surat itu. Apa pula yang tertulis dalam surat itu?
Tepat tengah hari, cahaya
matahari nan terik menyinari jalan raya yang berlandaskan papan batu hijau itu
sampai mengkilap.
Beranjak di jalan berbatu
licin ini, walau air muka Coh Liu-hiang tidak mengunjuk perasaan hatinya, namun
hati kecilnya teramat kecewa hampir putus asa.
Surat-surat yang pernah
diterima Cou Yu-cin, Sebun Jian, dan Ling-ciu-cu boleh dikata sudah hilang.
Song Kang, Nyo Siong dan Thian-ing-cu yang punya hubungan erat dengan persoalan
ini pun terbunuh untuk menutup mulutnya, yang ketinggalan hanyalah pihak Ca
Bok-hap, mungkin dari sana masih ada sumber penyelidikan yang dapat ditemukan.
Tapi waktu Ca Bok-hap keluar pintu, apakah dia meninggalkan surat itu? Seumpama
dia meninggalkan surat itu, kepada siapa dia serahkan surat itu? Seumpama Coh
Liu-hiang sudah tahu siapa orang itu, memangnya dia bisa menemukan jejak orang
itu yang berada di tengah gurun pasir yang tak terjelajah oleh manusia?
Coh Liu-hiang menarik napas.
Ia belok ke jalan samping di mana ia memasuki sebuah warung arak dan
makan-minum sepuasnya. Kalau perut laki-laki sudah dijejal, sesak dengan
makanan enak yang memenuhi seleranya, pikirannya pun menjadi terang dan jernih.
Dari jendela yang terpentang lebar, iseng-iseng Coh Liu-hiang melongok keluar
dengan sorot pandangan tertarik mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang di
jalanan. Mendadak dilihatnya beberapa orang laki-laki sedang menuntun kuda
mengiringi seorang gadis berpakaian jubah ungu. Mereka membelok ke arah sini
dari jalan raya besar sana.
Beberapa laki-laki itu sudah
tentu takkan menarik perhatian Coh Liu-iang, namun gadis yang berdandan sebagai
nyonya muda itulah yang membuat matanya bersinar terang. Dia bukan lain adalah
Sim San-koh.
Tampak muka bundar kwacinya
itu bersungut-sungut. Sambil mengerut alis, mimik mukanya seakan-akan
uring-uringan dan selalu hendak mencari gara-gara kepada orang lain, namun para
laki-laki itu pun acuh tak acuh dan berjalan goyang gontai tak bersemangat.
Thian-sing-pang yang biasanya
malang-melintang dan ditakuti di daerah Hoan-lam ini ternyata begini
mengenaskan, sampai diusir orang dari kota Kilam, betul-betul suatu kejadian
yang amat memalukan dan merupakan hinaan.
Waktu tiba di bawah pohon
gundul di ujung jalan sana, mereka berhenti. Agaknya sedang merundingkan
sesuatu. Laki-laki itu sama naik ke atas kuda, teus dicemplak ke arah timur
keluar kota, sementara seorang diri Sim San-koh melanjutkan perjalanan ke arah
barat, arah yang berlawanan.
Tergerak hati Coh Liu-hiang,
terpikir sesuatu olehnya. Lekas ia lemparkan sekeping uang di atas meja sebagai
pembayaran makan-minumnya. Dengan tergesa-gesa ia mengejar ke arah barat pula,
maka dilihatnya potongan badan yang langsing, montok dan menggiurkan itu sedang
berlenggang di depan sana.
Dari kejauhan Coh Liu-hiang
terus menguntit di belakangnya. Dengan puas ia menikmati gaya sang gadis cantik
yang berlenggang menggoyangkan pinggul, siapa pun yang melihatnya dengan nyata
pasti jantungnya berdebar keras. Demikianlah, rasa kecewa dan putus asa Coh
Liu-hiang tadi sudah terlupakan sama sekali.
Agaknya Sim San-koh tidak
menyadari dan tidak tahu bila dirinya dikuntit orang. Seumpama dia melihat Coh
Liu-hiang, dia pun tidak akan mengenalnya, karena Coh Liu-hiang sekarang bukan
lagi Thio Siau-lim dalam penyamarannya tadi.
Saban-saban Sim San-koh
berhenti menanyakan sesuatu kepada orang-orang di pinggir jalan atau kepada
pemilik toko dan penarik kereta, entah apa yang sedang dicarinya.
Tujuannya ke luar kota, jalan
yang dilaluinya pun semakin sempit, penuh semak belukar dan jorok. Akhirnya dia
menuju ke pojokan kota, di mana merupakan tempat tinggal rakyat tingkat rendah
yang miskin. Sudah tentu Coh Liu-hiang teramat heran, sungguh ia tidak habis
mengerti, siapakah sebetulnya yang sedang dia cari.
Orang seperti Sim San-koh
berada di daerah seperti itu, sudah tentu kedatangannya menjadi perhatian orang
banyak, ada beberapa bajingan gelandangan malah saling tuding dan bersuit
menggoda, agaknya mereka sedang berdebat main nilai segala.
Tapi Sim San-koh tidak
memperdulikan tingkah laku orang lain, seolah-olah acuh tak acuh dan tak
mendengar ocehan kotor mereka. Kalau orang mengawasi dirinya, dia pun balas
melotot kepadanya, malah sering dia bertanya ke sana ke sini pula. Orang yang
dia cari dan ditanyakan alamatnya itu agaknya sudah lama menetap di daerah ini,
tidak sedikit yang menuding suatu arah sambil menjelaskan. Tempat yang ditunjuk
ternyata adalah sebuah bukit kecil.
Di atas bukit kecil ini
dibangun dua deret rumah gubuk, keduanya dibangun dari papan-papan yang
bersambung satu sama lainnya, bentuknya tidak genah dan miring serta reot, terang
di sini merupakan daerah miskin yang dihuni oleh para gelandangan di pinggir
kota Kilam.
Semakin heran dan tak mengerti
Coh Liu-hiang dibuatnya.
“Di tempat seperti ini, adakah
seseorang yang bisa dia temukan?”
Setelah tiba di bawah bukit,
kembali Sim San-koh bertanya kepada seorang perempuan yang berperut besar. Kali
ini lapat-lapat Coh Liu-hiang ada mendengar ia bertanya demikian: “Sun Hak-boh
apakah tinggal di atas sana? Yaitu siucay tukang gambar itulah?”
Nyonya berperut besar itu
menggeleng-gelengkan kepala, sebagai jawaban bahwa ia tidak tahu, namun seorang
anak tanggung di sampingnya segera berteriak: “Sun-siucay yang dikatakannya itu
bukan lain adalah Sun-lothau itulah.”
Baru sekarang nyonya itu
tertawa, katanya; “Oh, jadi kau hendak mencari Sun-lothau? Dia tinggal di rumah
ketujuh di atas sana, di muka rumahnya ada tergantung kerai berbentuk Pat-kwa,
gampang sekali ditemukan.”
Orang macam apa pula
Sun-siucay itu? Kenapa Sim San-koh harus menemukan dia?
Mungkinkah ada tokoh-tokoh
lihay yang menyembunyikan diri di daerah miskin di pinggir kota Kilam ini?
Coh Liu-hiang berputar ke
samping rumah nomor tujuh yang dimaksud. Dari sebuah lobang jendela kecil yang
terletak di samping rumah, ia melongok ke dalam. Tampak seorang kakek ubanan
yang berbadan bungkuk sedang duduk di pinggir meja reot. Penerangan di dalam
gubuk itu remang-remang, namun kentara jelas si orang tua ini hidup dalam
kemelaratan, seolah dia sudah tidak menaruh minat akan kehidupan manusia
umumnya. Dengan tenang ia duduk di tempatnya, seolah-olah sedang menunggu waktu
menjelang ajalnya saja.
Kakek tua laksana sebatang
lilin di tengah hamparan hujan badai ini, memangnya kenapa bisa menimbulkan
perhatian Sim San-koh? Sungguh Coh Liu-hiang tidak habis mengerti. Waktu ia terheran-heran
itulah Sim San-koh sudah menyingkap kerai melangkah masuk. Sekilas ia
menjelajahkan pandangannya, lalu mengerutkan kening, katanya: “Apa kau ini Sun
Hak-boh, Sun-siucay?”
Roman muka si kakek tetap kaku
tidak menunjukkan perubahan rasa hatinya, katanya kaku: “Iya, aku memang Sun
Hak-boh, tanya nasib dua tail, soal jiwa satu tail.”
Semakin dalam kerut alis Sim
San-koh, katanya: “Yang kucari adalah guru gambar Sun-siucay, bukan ahli
nujum.”
Sun Hak-boh menyahut tawar:
“Aku inilah guru lukis Sun-siucay, namun sejak dua puluh tahun yang lalu aku
sudah mengalihkan objekku. Kalau nona hendak bergambar, tentunya sudah
terlambat dua puluh tahun.”
Baru sekarang kerut alis Sim
San-koh menjadi longgar, katanya: “Ganti objek atau tidak bukan soal, asal kau
betul adalah guru gambar dua puluh tahun yang lalu, memang kaulah yang
kucari-cari.”
Sembari bicara, dari dalam
lengan bajunya ia mengeluarkan gulungan sebuah lukisan, terus dibeber di atas
meja di depan Sun Hak-boh. Dengan tajam ia menatap Sun Hak-boh, katanya dengan
nada berat: “Kutanya kau, apakah gambar lukisan ini hasil karyamu? Siapa pula
orang yang kau gambar ini?”
Ingin Coh Liu-hiang ikut
melihat gambar lukisan itu, sayang penerangan di dalam rumah rada gelap,
bayangan Sim San-koh justru menghalangi gambar lukisan itu, maka nihillah niat
hatinya.
Yang dapat dilihat adalah
selebar muka Sun Hak-boh yang tetap pucat kosong, sedikit pun ia tidak
menunjukkan mimik mukanya, seperti tidak berperasaan sama sekali. Seumpama
seorang pikun, seolah-olah tinggal raga kasarnya itulah yang masih bertahan
tanpa sukma dan jiwa.
Hakekatnya sorot matanya tak
pernah memandang ke arah gambar lukisan itu. Dengan hambar dan pandangan kosong
ia menatap lurus ke depan. Dari pandangan hambar dan kosong itu, sepatah demi
sepatah ia berkata: “Aku tidak tahu siapa yang menggambar lukisan ini, dari
mana pula aku bisa tahu siapa yang digambar di dalam lukisan itu.”
Sekali berdiri Sim San-koh
menjinjing baju di depan dadanya, katanya gusar: “Kenapa kau tidak tahu? Di
atas gambar ini terang ada tanda tangan namamu.”
“Lepaskan tanganmu, memangnya
matamu picak, tidak melihat kalau aku ini seorang buta?”
Seperti mukanya mendadak
ditampar orang, lekas Sim San-koh melepaskan tangannya, teriaknya: “Kau... jadi
apa pun kau tidak bisa melihatnya lagi?”
“Kalau mataku masih bisa
melihat, memangnya kenapa aku harus menyimpan alat lukisanku? Menggambar adalah
jiwaku, sudah lama aku kehilangan jiwa, yang duduk di sini bukan lain adalah
seonggok mayat belaka.”
Lama sekali Sim San-koh menjublek
di tempatnya, pelan-pelan ia menggulung pula gambar lukisan itu. Namun baru
setengah saja, tiba-tiba ia meletakkan kembali lukisan itu di atas meja,
katanya keras: “Walau kau tidak bisa melihat lukisan gambar ini, tapi mungkin
kau masih ingat kepadanya. Dia seorang perempuan cantik, masihkah kau ingat
kapan kau pernah melukis seorang perempuan cantik?”
“Sekarang walau aku ini
seorang tua renta yang miskin dan picak, tapi dua puluh tahun yang lalu, aku
Sun Hak-boh adalah tokoh yang kenamaan.”
Rona wajahnya nan hambar
kosong itu secara aneh memancarkan cahaya cemerlang yang sekejap saja, cahaya
yang bangga seolah-olah menghidupkan kembali jiwa dan sukmanya. Katanya lebih
lanjut: “Dua puluh tahun yang lalu, orang sering membandingkan aku sebagai Co Cut-hin,
seperti Go To-cu, entah putri-putri bangsawan dari kalangan apa pun dalam
dunia, sama berebut minta aku menggambarkan lukisan mereka. Entah berapa banyak
perempuan-perempuan cantik yang pernah kulukiskan.....”
“Tapi yang satu ini jauh
berlainan.... kau harus percaya kepadaku. Walau berapa banyak perempuan jelita
yang pernah kau lukis, melulu dia inilah pasti tidak akan pernah kau lupakan.
Peduli siapa pun, bila pernah melihat raut wajahnya, selama hidupnya tentu
tidak akan melupakannya.”
Sun Hak-boh menepekur
sebentar, mendadak ia bertanya: “Gambar lukisan yang kau maksud apakah lebar
dua kaki panjang tiga kaki? Apa orang yang kulukis itu mengenakan pakaian hijau
dengan pripit biru, di bawah kakinya mendekam seekor kucing hitam......” entah
kenapa nada suaranya semakin gemetar dan akhirnya tak kuasa meneruskan
kata-katanya.
Sebaliknya Sim San-koh
berjingkrak senang, katanya: “Tidak salah, memang gambar itulah. Aku tahu kau
pasti tidak akan melupakannya, tentunya kau pun ingat siapakah perempuan cantik
yang kau lukis ini?”
Kini sekujur badan Sun Hak-boh
yang gemetar, rona wajahnya yang hambar dan kosong kelihatan amat takut dan
jeri, katanya dengan suara serak: “Jadi dia yang kau tanyakan.... dia yang kau
tanyakan.... aku.... aku tidak ingat siapa dia.... aku tidak pernah
mengenalnya.”
Kedua tangannya berpegangan di
tepi meja, meja sampai berkeriut keras ikut gemetar. Dengan sempoyongan ia coba
berdiri di atas kakinya, lalu dengan terhuyung-huyung hendak lari ke luar
pintu.
Cepat Sim San-koh menariknya,
lalu menekannya duduk kembali di kursinya semula, katanya bengis: “Kau pernah
melihatnya, bukan? Kau pun masih mengingatnya, bukan?”
“Nona, kumohon kau lepaskan
aku saja..... Seorang tua miskin yang tidak berguna seperti aku ini, di sini
aku menunggu ajal dengan tenang, kenapa kau harus memaksaku?”
“Sret!”, Sim San-koh mencabut
badik serta mengancam tenggorokannya, ancamnya bengis: “Tidak kau katakan, biar
kubunuh kau!”
Bergetar sekujur badan Sun
Hak-boh, akhirnya ia berteriak keras: “Baik, akan kukatakan, dia..... dia bukan
manusia, dia adalah iblis perempuan!”
Mengintip sampai di sini, hati
Coh Liu-hiang pun diliputi perasaan heran dan tertarik akan persoalan ini.
Siapakah perempuan di atas lukisan itu? Apa pula sangkut-pautnya dengan Sim
San-koh? Kedatangannya semula hendak menyelidiki berita Suhengnya Cou Yu-cin,
memangnya kenapa pula tanpa kenal jerih-payah mencari seorang pelukis rudin
yang sudah tua renta ini dan dengan mengancam menanyakan asal-usul perempuan di
atas gambar lukisan itu?
Memangnya perempuan itu punya
sangkut-paut dengan suatu rahasia yang menyebabkan Cou Yu-cin dan lain-lainnya
menghilang?
Kini si pelukis mengatakan
tidak mengenal perempuan itu setelah berselang dua puluh tahun kemudian. Kenapa
kelihatannya dia amat menakutinya? Apa benar dia seorang iblis perempuan?
“Iblis perempuan?” terdengar
Sim San-koh menjengek hidung. “Perempuan secantik ini mana bisa dikatakan iblis
perempuan?”
“Tidak salah, memang dia
teramat cantik. Selama hidupku betapa banyak perempuan cantik yang pernah
kulihat, namun tiada seorang pun yang bisa dibandingkan dengan dia. Kecantikan
orang lain paling-paling bikin pandanganmu kabur, namun kecantikannya bisa
membikin kau gila, sehingga kau rela mengorbankan segala milikmu termasuk jiwa
ragamu sendiri. Tidak banyak yang kau harapkan, cukup untuk dapat melihat
senyum tawanya belaka.”
Walaupun dia sedang melukiskan
betapa cantiknya sang bidadari, namun suaranya kedengaran sember dan bergetar
ketakutan, seolah-olah memang sering terjadi banyak korban yang ingin melihat
senyum tawanya saja.
Diam-diam Coh Liu-hiang
menghela napas, pikirnya: “Kalau terlalu ayu memang ada kalanya bisa berubah
menakutkan, namun selama hidupku ini kenapa belum pernah aku berjumpa dengan
perempuan cantik yang bisa membuat hatiku takut?”
Sementara itu terdengar Sun
Hak-boh sedang menutur lebih lanjut: “Waktu aku melihatnya, sudah tentu aku pun
amat kaget dan merasa lemas sekujur badanku berhadapan dengan kecantikannya.
Waktu itu aku belum berupa buruk seperti sekarang, kalau tidak mau dikata
sebagai pemuda ganteng cakap, pernah beberapa gadis terkena penyakit rindu oleh
karena aku, namun aku anggap hal itu seperti sepele saja. Tapi dia..... di
hadapannya, seolah-olah berubah menjadi budaknya, ingin rasanya kupersembahkan
segala milikku kepadanya.”
Sim San-koh mengangkat alis,
katanya, “Apa benar di dunia ini ada perempuan secantik itu?”
“Orang yang belum pernah
melihat rupanya, memang sukar mempercayainya. Lukisan itu, aku yakin karyaku
ini cukup bernilai, namun mana aku mampu melimpahkan mimik wajahnya nan asli
memabukkan setiap orang yang melihatnya, tindak-tanduknya...., boleh dikata aku
hanya bisa melukis seperseribu dari segala kesempurnaan dirinya.”
“Dia mencarimu hanya untuk
supaya kau lukis?”
“Ya. Setelah bertemu aku,
lantas dia minta supaya dibuatkan empat lembar lukisan dirinya. Aku
menghabiskan waktu tiga bulan lamanya. Kuperas segala daya cipta, keringat,
keahlianku, akhirnya berhasil dengan sukses.”
Mendadak terkulum senyuman
bangga di ujung mulutnya, katanya kalem: “Dalam tiga bulan ini setiap hari
setiap saat aku berhadapan dengan dia..... tiga bulan ini sungguh merupakan
hari-hari bahagia selama hayatku, tapi tiga bulan kemudian dia.....” Sampai di
sini, senyuman di ujung mulutnya tiba-tiba sirna, roman mukanya kembali
mengunjuk rasa takut yang tak terperikan. Kembali sekujur badannya gemetar dan
berkeringat dingin.
Tak tahan tertawa Sim San-koh:
“Tiga bulan kemudian bagaimana?”
“Tiga.... tiga bulan kemudian,
malam setelah aku menyelesaikan keempat lembar lukisan itu, dia menyiapkan meja
perjamuan. Dia sendiri yang melayani aku makan-minum sehingga serasa arwahku
terbang ke awang-awang. Karena dicekok arak terus-menerus, memangnya kondisi
badanku sudah teramat lelah setelah memeras keringat selama tiga bulan, beberapa
cangkir saja aku lantas jatuh mabuk. Waktu aku siuman, baru aku tahu, dia.....
dia.....” kalamenjing di lehernya naik-turun menelan ludah, sepatah demi
sepatah kata-katanya keluar dari tenggorokannya yang tersendat: “Ternyata kedua
biji mataku sudah dia korek keluar dengan kekerasan.”
Mendengar sampai di sini, Sim
San-koh di dalam rumah dan Coh Liu-hiang di luar sana sama berjingkrak kaget.
Lama kemudian Sim San-koh baru menarik napas panjang, katanya: “Kenapa dia
berbuat demikian?”
Sun Hak-boh tertawa rawan,
sahutnya: “Karena aku pernah melukis dirinya, dia tidak suka aku melukis bagi
perempuan lain lagi.”
Biasanya Sim San-koh sering
berlaku kejam membunuh orang tanpa berkesip, tapi begitu mendengar kekejaman
perempuan yang telengas ini, tapak tangannya sampai berkeringat, gumamnya:
“Iblis perempuan.... memang dia betul iblis perempuan.”
“Sudah kukatakan dia adalah
iblis perempuan. Siapa pun yang memilikinya, pasti akan mengalami bencana.
Nona, kau.... untuk apa kau cari dia? Gambar lukisan ini cara bagaimana pula
bisa terjatuh ke tanganmu?”
“Gambar lukisan ini adalah
milik Toa-suhengku, Cou Yu-cin,” sahut Sim San-koh.
Bersinar biji mata Coh
Liu-hiang, batinnya: “Ternyata tebakanku tidak meleset, perempuan itu ternyata
ada hubungannya dengan Cou Yu-cin.”
“Kalau demikian, kenapa tidak
kau tanyakan asal-usulnya kepada suhengmu?” tanya Sun Hak-boh.
“Toa-suhengku sudah
menghilang.”
“Menghilang?..... sebelum
menghilang?”
“Dulu sudah tentu pernah
kutanyakan, namun dia tidak mau menjelaskan.”
“Kalau dia tidak mau
menjelaskan, kenapa kau ingin tahu?”
Kata Sim San-koh penasaran,
“Selama hidupnya Toa-suheng tidak mau menikah lantaran perempuan ini.
Kebahagiaan hidup suhengku boleh dikata terkubur oleh perempuan ini. Setiap
waktu, setiap saat, ia selalu merindukannya sehingga lupa makan tidak bisa
tidur. Sehari-hari selalu dalam keadaan linglung dan suka mengigau. Selama
sepuluh tahun tak pernah kehidupannya berubah. Namun dia sebaliknya tidak
pernah menunjukkan perhatiannya kepada suhengku, apa yang dia berikan kepada
suhengku melulu penderitaan dan kesengsaraan belaka.”
“Kau hendak menemui dia demi
kebaikan Toa-suhengmu?”
“Ya!” ujar Sim San-koh kertak
gigi dengan penuh kebencian. “Aku membencinya!”
“Kau membencinya lantaran kau
sendiri pun mencintai suhengmu? Kalau bukan lantaran dia, mungkin kau sudah
menjadi bini Toa-suhengmu, benar tidak?” laki-laki tua yang tidak punya mata
ini ternyata dapat menembusi relung hati orang lain.
Sim San-koh serasa ditusuk
jarum. Dengan lemas ia jatuh terduduk, namun lekas ia bangkit kembali, katanya
dengan suara ringan: “Aku mencarinya ada sebab lainnya pula.”
“Sebab apa?”
“Suatu malam Toa-suheng pernah
menerima sepucuk surat. Lalu dia termenung menghadap gambar lukisan ini sampai
pagi tanpa tidur. Hari kedua, pagi-pagi benar dia lantas keluar pintu dan tak
pernah kembali lagi.”
“Tak pernah kembali sejak
keluar pintu?”
“Ya, oleh karena itu kupikir
menghilangnya Toa-suheng pasti ada sangkut-pautnya dengan perempuan ini. Bukan
mustahil surat itu adalah buah permainannya. Jikalau bisa menemukan dia,
mungkin aku bisa menemukan Toa-suheng pula.”
Lama Sun Hak-boh berdiam diri,
lalu katanya pelan-pelan: “Aku tahu namanya adalah Chiu Ling-siok.”
Nama Chiu Ling-siok tidak
membawa pengaruh apa-apa bagi Sim San-koh, namun amat mengejutkan bagi Coh
Liu-hiang yang mengintip di luar jendela. Tiba-tiba dia teringat pada surat
yang dia baca dalam buntalan Thiang-ing-cu tempo hari, bukankah tanda tangan
penulis surat itu adalah Ling-siok juga? Jadi surat cinta itu ternyata bukan
ditujukan kepada Thiang-ing-cu, tapi ditujukan kepada Ling-ciu-cu. Setelah
Ling-ciu-cu menghilang, seperti pula Sim San-koh, Thian-ing-cu menaruh curiga
kepada penulis surat itu dan ingin mencari jejaknya pula. Karena kesimpulannya
ini, tanpa ragu-ragu, cepat Coh Liu-hiang menyelinap masuk lewat jendela.
Serasa kabur pandangan Sim
San-koh, tahu-tahu di dalam bilik reot itu sudah bertambah seseorang di
hadapannya. Dengan kaget ia mundur mepet ke dinding, bentaknya bengis: “Siapa
kau?”
Coh Liu-hiang tersenyum simpul
sambil mengawasi muka orang, ujarnya: “Nona tidak perlu kaget. Seperti
kedatangan nona, Cayhe pun sedang menyelidiki jejak Chiu-hujin, Chiu Ling-siok
itu.”
Senyumannya sungguh mengandung
tenaga gaib sehingga orang merasa tenteram, terutama kekuatan yang dapat
meredakan kekuatiran hati perempuan. Ternyata Sim San-koh mulai tenang,
tanyanya: “Untuk apa kau mencari dia?”
Dua kali lirikannya kemudian,
segala kewaspadaan terhadap Coh Liu-hiang sudah sirna tak berbekas, namun kedua
biji matanya malah membelalak besar. Coh Liu-hiang tahu tatapan mata orang
tidak lebih hanya ingin memperlihatkan keindahan matanya saja, jadi tiada rasa
gusar atau kekuatiran. Maka dengan tersendat-sendat, sengaja ia berkata,
“Karena Cayhe dengan Chiu Ling-siok juga....” Sampai di sini ia sudah melihat
jelas gambar lukisan yang dibeber di atas meja. Seketika mulutnya seperti
disumbat, seketika ia berdiri menjublek.
Perempuan dalam lukisan ini
alis matanya terang bersinar, sungguh seraut wajah nan ayu, molek laksana hidup,
memang bidadari di antara manusia, gambar perempuan ini mirip benar dengan
gambar yang pernah dilihatnya di kamar Sebun Jian tempo hari. Kamar yang
sederhana itu hanya diisi selembar gambar lukisan perempuan ini, terang betapa
rindu dan mendalam kenangannya kepada perempuan ini, sampai sekarang dia hidup
sebatang kara tentunya karena perempuan ini pula. Sebaliknya Ling-ciu-cu terima
menjadi orang beribadah lantaran dia pula.
Sampai detik ini Coh Liu-hiang
sudah tahu ada tiga laki-laki terpincut-pincut sampai lupa daratan dan terima
hidup sebatang kara tidak kawin selama hidup, mereka adalah Sebun Jian, Cou
Yu-cin dan Ling-ciu-cu.
“Kau kenal dia?” tanya Sim
San-koh menatapnya.
“Aku tidak mengenalnya, untung
tidak kenal.”
Sun Hak-boh berkata, “Aku tak perduli
siapa kalian, kalian sama-sama hendak mencari tahu jejaknya. Apa yang kuketahui
sudah kuterangkan, bolehlah kalian pergi.”
“Di mana dia sekarang?” tanya
Sim San-koh.
“Sejak malam itu, aku tidak
pernah melihatnya lagi.... atau boleh dikatakan aku tidak pernah mendengar
suaranya lagi.”
“Kau hanya memberitahu namanya
saja, apa sih gunanya?” ujar Sim San-koh penasaran.
“Apa yang kuketahui memang
cuma sebanyak itu saja.”
Tiba-tiba Coh Liu-hiang
menyeletuk, “Katamu kau pernah menggambar empat lembar lukisannya?”
“Ya, empat lembar.”
“Apa kau tahu kenapa dia minta
kau melukis empat lembar?”
“Waktu itu aku pun heran.
Orang lain cukup minta satu lembar saja, kenapa dia sendiri minta empat lembar?
Waktu aku sudah menyelesaikan gambar ketiga, akhirnya tak tertahan kutanyakan
kepadanya.”
“Adakah dia memberitahu
kepadamu?” cepat Coh Liu-hiang bertanya.
“Dia memberitahu kepadaku....
karena dia hendak memberikan keempat lembar lukisan itu kepada empat orang
laki-laki. Dengan keempat laki-laki itu pernah terjadi.... cinta asmara dan
saat itu terpaksa dia harus putus hubungan dengan mereka.”
“Dia mencari pelukis ternama
sepertimu ini, maksudnya supaya kecantikannya kau lukiskan di atas kertas ini,
lalu masing-masing ia bagikan kepada empat laki-laki itu. Dengan demikian,
meski ia putus hubungan dengan mereka, mereka toh tidak akan melupakan dirinya.
Ingin dia membuat keempat laki-laki itu menderita dan merasa rindu setiap kali
melihat gambar lukisannya itu,” demikian ujar Coh Liu-hiang.
“Perempuan kejam! Maksud
tujuannya memang terlaksana. Setiap kali Suhengku mengawasi lukisan ini,
hatinya menderita serasa seperti diiris-iris sembilu.”
“Tiba pada titik persoalannya
sekarang: kenapa dia harus putuskan hubungannya dengan mereka?” ujar Coh
Liu-hiang.
“Kalau seorang perempuan tanpa
kenal kasihan dan tega hati memutuskan hubungannya dengan laki-laki pujaannya,
biasanya hanya satu sebab saja.”
“Sebab apa?” tanya Coh
Liu-hiang.
“Yaitu dia hendak menikah
dengan laki-laki lain, laki-laki yang lebih tampan, lebih baik dari keempat
laki-laki itu.”
“Benar, isi hati perempuan
hanya bisa diraba dan diselami oleh perempuan.”
“Laki-laki yang mengawininya
itu, kalau tidak memegang kekuasaan besar, pasti memiliki ilmu silat tinggi,
atau mungkin mempunyai kekayaan harta yang tak ternilai banyaknya.”
Sim San-koh tersenyum
mengawasi Coh Liu-hiang, lalu menambahkan: “Tentunya mungkin pula laki-laki itu
seperti kau yang punya senyuman manis yang menarik sanubari setiap perempuan.”
“Nona sekarang pun tergerak
dan tertarik?”
Merah jengah muka Sim San-koh,
namun matanya menatap lekat-lekat, katanya sambil tertawa genit: “Untung tidak
banyak laki-laki seperti kau dalam dunia ini, harta karun pun belum tentu
dipandang oleh dia, maka laki-laki yang mengawininya itu pastilah tokoh Bulim
yang punya kedudukan tinggi dan nama besar! Asal kita bisa menemukan siapakah
laki-laki itu, tentu dapat menemukan dia.”
“Bagus, persoalan ini memang
makin menyempit, namun kaum persilatan di Kangouw entah berapa banyak
tokoh-tokoh kosen. Menurut pemandanganku, lebih baik nona serahkan gambar
lukisan ini kepadaku, tunggu saja di rumah. Setelah aku berhasil mendapat
berita yang nyata, pasti akan kuberi kabar kepada nona.”
Dengan pandangan genit Sim
San-koh melangkah maju menjatuhkan diri di atas badan orang, katanya sambil
menatapnya: “Kenapa aku harus menyerahkan kepadamu? Kenapa aku harus percaya
kepadamu?”
Berputar biji mata Coh
Liu-hiang, tiba-tiba ia membisiki beberapa patah kata di pinggir telinga orang.
Seketika berubah air muka Sim
San-koh, kaki tersurut dua langkah, serunya gemetar: “Jadi kau.... kau....
setan jahat ini.”
Membalikkan tubuh seperti
orang kesurupan setan, segera ia angkat langkah seribu.
Pelan-pelan Coh Liu-hiang
menghela napas lega. Segera ia gulung gambar lukisan itu, lalu ia berdiri di
depan meja. Tanpa berkedip ia mengawasi Sun Hak-boh. Tatapan matanya yang tajam
seolah-olah terasakan juga oleh Sun Hak-boh yang buta ini. Dengan kurang
tenteram, ia menggerakkan badan di atas kursi, akhirnya ia berkata: “Kenapa kau
tidak segera berlalu?”
“Aku sedang menunggu.”
“Menunggu apa?”
“Menunggu keterangan yang
masih kau rahasiakan mengenai si... dia itu.”
Sesaat Sun Hak-boh terlongong,
katanya sambil menghela napas, “Urusan apa pun takkan bisa mengelabuimu, ya?”
“Aku tahu kau pasti
membencinya, namun kau tidak suka ada orang yang mencelakai dia. Tapi kalau kau
tidak mau membeberkan terus terang apa saja yang kau ketahui mengenai dirinya,
mungkin dia benar-benar bakal dibunuh orang.”
“Kenapa?” seru Sun Hak-boh
kuatir dan berubah roman mukanya.
“Keempat laki-laki yang
menerima gambar lukisan itu sekarang sudah mati semua.”
“Sudah mati? Bagaimana bisa
mati?”
“Walau sekarang aku belum tahu
seluk-beluk kematian mereka, namun aku sudah tahu mereka sama-sama pernah
menerima sepucuk surat dari Chiu Ling-siok dan akhirnya menemui ajalnya secara
misterius setelah keluar pintu.”
“Kau.... maksudmu Chiu
Ling-siok yang mencelakai jiwa mereka?”
“Kalau Chiu Ling-siok ingin
mereka menderita sakit rindu seumur hidupnya, tentu takkan mencelakai jiwa
mereka. Suratnya itu mungkin lantaran dia menghadapi sesuatu kesukaran, minta
mereka lekas datang membantu kesulitannya.”
“Benar, bila seorang perempuan
menghadapi kesukaran, yang diingatnya tentulah laki-laki yang paling baik
kepada dirinya, dan hanya orang-orang itu pula yang berkorban dan suka berjuang
setia bagi kepentingannya.”
“Namun keempat orang itu sudah
menemui ajalnya. Orang yang mencabut jiwa mereka, beruntun mencabut jiwa orang
lain pula, tujuannya hanyalah untuk menutupi rahasia hubungannya dengan keempat
orang itu, berusaha supaya aku tidak melibatkan diri dalam persoalan rahasia
ini. Dari sini dapatlah disimpulkan, kesukaran yang dihadapi pasti belum
tertanggulangi, bukan mustahil sekarang dia dalam bahaya.”
“Kalau toh persoalan ini
begini berbahaya, kenapa kau harus melibatkan diri dalam petualangan ini?
Memangnya kau ingin menolong dia?”
“Kalau aku tidak tahu di mana
sekarang dia berada, bagaimana bisa menolongnya?”
Sun Hak-boh menepekur sesaat
lamanya, katanya pelan-pelan: “Tadi kalian lupa menanyakan sesuatu kepadaku.”
“Soal apa?”
“Kau lupa bertanya kepadaku di
tempat mana aku menggambar lukisannya.”
“Betul, soal ini pun tentu ada
hubungannya.”
“Lima li ke luar kota terdapat
sebuah Oh-i-am! Di sanalah aku membuat lukisan itu. Pemimpin biara itu adalah
Siok-sim Taysu, kenalan kentalnya. Tentunya dia tahu di mana sekarang si dia
berada.”
“Masih ada lagi?” tanya Coh
Liu-hiang.
Sun Hak-boh tertunduk tidak
bersuara lagi.
Coh Liu-hiang menggulung
gambar itu, terus tinggal pergi. Tapi mendadak ia berputar pula dan katanya:
“Walau mata sudah buta, namun hati tidak buta. Dengan hati sebagai mata,
memangnya kau tidak bisa melukis lagi.... Sun-heng, cobalah kau berpikir dengan
cermat, harap jagalah dirimu baik-baik.”
Sekilas Sun Hak-boh melengak,
seketika alis dan biji matanya yang kosong bergerak-gerak, serunya keras:
“Terima kasih akan petunjukmu, harap tanya siapakah nama besarmu?”
Waktu itu Coh Liu-hiang sudah
pergi jauh.
Di tempat gelap di luar
jendela, tiba-tiba terdengar jawaban dingin seseorang: “Dia she Coh, bernama
Liu-hiang.”
Waktu Coh Liu-hiang tiba di
bawah bukit, dilihatnya sebuah kereta berenda hitam berhenti di depan sana.
Kereta tunggangan yang paling umum di kota Kilam untuk menempuh perjalanan jauh
dengan cepat. Dirinya memang tidak leluasa mengembangkan ginkang, maka Coh
Liu-hiang mendekat dan bertanya: “Apa kereta ini sedang menunggu orang?”
Kusir kereta bermuka bundar,
sahutnya sambil berseri tawa: “Memang sedang menunggumu, ayolah berangkat!”
“Tahukah kau ada sebuah
Oh-i-am di luar kota?”
“Tepat bila kau mencari diriku
untuk mengantarmu ke sana. Kemarin baru saja aku mengantar bini sembahyang ke
sana. Silakan naik kereta, tanggung tidak akan kesasar.”
Kereta berjalan dengan cepat,
di dalam kereta Coh Liu-hiang mulai putar otak memikirkan kembali persoalan
ini, kini persoalan sudah dibikin ringkas dan kuncinya terletak pada: apakah
dia bisa menemukan jejak Chiu Ling-siok saja. Yang diketahuinya sekarang tidak
lebih hanyalah bahwa Sebun Jian, Cou Yu-cin, Ling-ciu-cu dan Ca Bok-hap sama
keluar pintu lantaran surat undangan Chiu Ling-siok. Tapi kenapa Chiu Ling-siok
mengundang mereka? Apa benar hendak meminta bantuan mereka? Perempuan seperti
dia itu, kesulitan apa pula yang dia hadapi sehingga harus meminta bantuan
orang untuk mengatasinya?
Kereta berjalan cukup cepat,
namun letak Oh-i-am memang tidak dekat, untung Coh Liu-hiang pun sedang peras
otak menerawang, sehingga dalam perjalanan tidak menjadi gugup.
Akhirnya ia tersentak dari
keasyikan berpikir waktu mendengar suara kusir kereta, “Nah, Oh-i-am berada di
dalam hutan di depan sana, silakan kau turun saja!”
Di depan sana adalah sebidang
hutan Tho, di pinggir sungai terdapat sebuah biara kecil, saat mana sudah
menjelang malam, dari dalam biara lapat-lapat terdengar suara mantra, agaknya
para biarawati sedang sembahyang malam.
Biara dalam hutan Tho dengan
pemandangan alam yang sejuk permai, mamang Siok-sim Taysu itu adalah seorang
cendikia, kalau tidak mana mungkin bisa bersahabat kental dengan perempuan
secantik Chiu Ling-siok.
Pintu besar biara terpentang
lebar, Coh Liu-hiang langsung berjalan masuk, pelita belum dipasang di dalam
biara, suara mantra masih terdengar halus tenang. Seorang biarawati berjubah
hitam dengan selubung putih sedang berdiri di bawah pohon di bawah teras sana,
agaknya sedang mengenang masa silam dan penuh duka cita. Sampai pada keadaan
ini, langkah Coh Liu-hiang mau tidak mau diperlambat. Dengan berjinjit Coh
Liu-hiang maju mendekat dan coba bertanya: “Apakah Siok-sim Taysu berada di
dalam biara?”
Sekilas biarawati itu melirik
kepadanya, lalu merangkap tangan di depan dada, katanya: “Pin-ni adalah
Siok-sim, entah Sicu datang dari mana? Untuk apa ke mari?”
“Sudah lama Taysu melepaskan
diri dari duniawi, entah masih ingatkah kepada teman lamamu Chiu Ling-siok?”
“Ingat berarti tidak ingat,
tidak ingat itulah ingat, kenapa sicu bertanya? Kenapa Pin-ni harus menjawab?”
“Setelah bicara berarti tidak
omong, kalau tidak omong berarti sudah bicara, kalau Taysu bersikukuh tidak mau
bicara, bukankah mirip seperti itu?”
Terunjuk senyum di ujung mulut
Siok-sim Taysu, katanya: “Sicu ternyata tahu tentang ajaran Budha.”
“Ya, tahu satu dua bait saja.”
“Sicu sudah paham, kenapa pula
Pin-ni harus menyelesaikan? Kalau Sicu bisa datang ke mari tentu kau sudah
dapat penjelasan Sun Hak-boh bahwa gambar lukisan Chiu Ling-siok adalah untuk
diberikan kepada orang lain sebagai tanda kenangan?”
“Bagaimana kelanjutannya?”
“Ling-siok memang berjodoh
dengan Budha. Setelah memutuskan tali asmara yang membelenggu dirinya,
sedikitpun tiada angan-angannya hidup dalam duniawi. Dua puluh tahun yang lalu,
dia mengucap sumpah dan Pn-ni sendiri yang mencukur rambutnya menjadi
biarawati.”
“Jadi biarawati?
....sekarang....”
“Mengandalkan bakat dan
kesadarannya, sudah tentu takkan lama hidup menderita di alam duniawi.”
“Dia.... apakah dia sudah
meninggal?”
“Pergi datang, tanpa
janggalan....Omitohud, siancay.... siancay....”
Akibat ini sungguh di luar
dugaan Coh Liu-hiang, bagaimana pun tak pernah dia pikirkan bahwa Chiu
Ling-siok bukan menikah dengan orang lain, tapi malah mencukur rambut menjadi
biarawati, tak terduga pula orangnya ternyata sudah meninggal.
Seketika ia menjublek dan
terlongong di tempatnya, seolah-olah sekujur badan menjadi lemas tak mampu
bergerak.
Siok-sim Taysu tersenyum,
ujarnya: “Dari mana Sicu datang? Kenapa tidak kembali ke tempat asal?”
Dengan hambar Coh Liu-hiang
membalikkan badan, langsung beranjak keluar, gumamnya: “Kalau Chiu Ling-siok
sudah ajal, memangnya siapa yang menulis surat itu? Memangnya orang lain yang
memalsukan nama dan tulisannya? Memangnya kematian Cou Yu-cin dan lain-lain
hakikatnya tiada sangkut pautnya dengan dia?”
Sampai sekarang dia belum bisa
mendapatkan bukti yang nyata bahwa surat-surat yang diterima oleh Cou Yu-cin
berempat adalah tulisan Chiu Ling-siok sendiri. Yang diketahui hanyalah bahwa
Sebun Jian, Cou You-cin, Ling Ciu-cu dan Ca Bok-hap berempat semasa hidupnya
sama terpincut kepada Chiu Ling-Siok.
Dengan tertawa getir Coh
Liu-hiang menggumam: “Tapi itu bukan alasan untuk mengatakan bahwa mereka ajal
lantaran dia. Sekarang, kalau Chiu Ling-siok sudah lama meninggal, aku harus
bekerja mulai dari permulaan pula.”
Tatkala itu dia sudah keluar
dari bilangan hutan Tho, beberapa langkah kemudian tiba-tiba ia menghentikan
langkah, serunya tertahan: “Tidak benar! Urusan ini rada janggal!”
Secara cermat kembali ia
menyelusuri liku-liku urusan dari semula serta menganalisa kenyataan yang
dihadapi, tiba-tiba ia bertepuk tangan, ujarnya: “Siok-sim Taysu tak pernah
keluar pintu, dari mana ia tahu aku pernah pergi ke tempat Sun Hak-boh? Dari
mana pula ia bisa tahu dan memberitahu kepadaku bahwa lukisan itu sengaja
hendak dihadiahkan kepada orang lain?” Sebat sekali ia berlari balik menerjang
masuk ke dalam biara, tidak kelihatan bayangan orang di bawah pohon.
Suara mantra masih
berkumandang. Waktu Coh Liu-hiang menerjang masuk, para biarawati yang sedang
sembahyang malam itu sama tersentak kaget, dengan nanar mata Coh Liu-hiang
menjelajah setiap raut muka orang, tak dilihatnya biarawati yang berjubah hitam
tadi, segera ia bertanya dengan keras: “Di mana Siok-sim Taysu?”
Seorang biarawati tua menjawab
dengan hambar: “Dalam biara kecil ini tiada orang yang dipanggil Siok-sim!”
“Bukankah Siok-sim Taysu ketua
dari Oh-i-am?”
“Biara kecil ini dinamakan
Tho-i-am, Oh-i-am terletak di sebelah barat kota, beberapa li lagi harus
berputar ke sana.”
Jadi biara kecil ini ternyata
bukan Oh-i-am? Coh Liu-hiang melenggong, katanya tergagap: “Tadi ada seorang
suhu berjubah hitam yang berdiri di bawah pohon sana, masa dia bukan salah
seorang penghuni biara ini?”
Biarawati tua itu menatapnya
dengan sorot aneh, seperti mengawasi seorang linglung atau gila, katanya
perlahan-lahan: “Seluruh penghuni biara ini sekarang hadir di sini
menyelesaikan sembahyang malam, masakah ada orang di bawah pohon sana tadi?”
Coh Liu-hiang berlari-lari ke
arah barat, diam-diam ia mengeluh: “Kenapa aku begini ceroboh, kereta besar nan
mewah itu mana mungkin sudi menunggu penumpang di daerah miskin seperti itu?
Terang memang dia sedang menunggu aku, sehingga aku gampang terjebak olehnya.
Tujuannya terang supaya aku menyangka Chiu Ling-siok benar sudah mati dan
menjerumuskan aku ke jalan lain.”
Tatkala itu hari sudah mulai
petang, tempat itu sudah jauh dari kota, Coh Liu-hiang mengembangkan ilmu
mengentengkan tubuhnya, tak lama kemudian dilihatnnya jauh di bawah kaki gunung
di depan sana sebuah bayangan tembok biara.
Biara atau kuil yang bobrok
dan sudah lama tak terurus lagi, setitik sinar terang berkelap-kelip menyendiri
di malam gelap, angin menghembus keras menghamburkan dedaunan kering sehingga
bunyi keresekan seolah-olah bunyi langkah setan gentayangan yang sedang mencari
mangsa. Serasa berdiri bulu kuduk Coh Liu-hiang menghadapi suasana seram ini,
seakan-akan setan gentayangan itu sedang meniup tengkuknya. Namun ia tidak
berhenti atau putar balik karenanya, seringan burung walet langsung ia melesat
ke arah titik sinar pelita itu.
Di pinggir dian kecil, duduk
seorang biarawati (nikoh) jubah hitam sedang termangu-mangu, jubahnya sudah
banyak berlubang dan kucel, roman mukanya kuning seperti malam, sikapnya
linglung seperti orang kesurupan setan.
Coh Liu-hiang batuk-batuk
kering, lalu tanyanya: “Apakah di sini Oh-i-am?”
“Oh-i-am, sudah tentu Oh-i-am,
siapa berani bilang tempat ini bukan Oh-i-am?”
Tak terlihat sikap pura-pura
oleh Coh Liu-hiang, tanyanya pula: “Apakah Siok-sim Taysu ada?”
Biarawati itu berpikir
sebentar, tiba-tiba ia terkikik geli, sahutnya: “Ada, tentu ada, siapa bilang
dia tiada?”
Biara bobrok yang aneh dan
ganjil, biarawati yang misterius serta tawanya yang lucu, tak tertahan Coh
Liu-hiang pun merasa bergidik seram, katanya: “Entah sudikah suhu bawa Cayhe
menemui Siok-sim Taysu?”
Biarawati itu mendadak
berdiri, katanya: “Mari ikut aku!” tangannya terulur mengangkat dian, seperti
api setan menyoroti kain gordin yang sudah luntur warnanya, patung Budha yang
sudah kotor dan bercat hitam. Di mana-mana berserakan daun-daun kering, rumput
liar tumbuh dengan suburnya, ditambah dengan debu dan galagasi. Dengan kaki
pincang, satu tinggi yang lain rendah, biarawati itu membawanya melalui
pekarangan yang sudah menjadi semak belukar, tak terlihat bayangan seorang pun
di dalam Oh-i-am ini. Kalau ada, tentulah setan atau dedemit yang sedang mengintip
kedatangan mereka.
Keadaan belakang jauh lebih
gelap lagi, pohon di tengah pekarangan tumbuh dengan daunnya nan lebar, di
bawahnya adalah deretan kamar-kamar tempat tinggal, kamar yang paling tengah
adalah sebuah ruangan pemujaan. Angin malam menghembus daun jendela yang sudah
bobrok sehingga mengeluarkan suara keriat-keriut yang menakutkan, siapa pun
yang mendengar suara seperti itu di tengah malam buta rata di tempat yang seram
seperti itu pula tentulah jantungnya bisa mencelat keluar dari rongga dada
saking takutnya.
Tiba-tiba biarawati itu
berpaling sambil unjuk seri tawa, katanya: “Tunggulah sebentar.”
Coh Liu-hiang mengawasi
gelagasi yang memenuhi daun pintu, tak tertahan ia bertanya: “Apakah Siok-sim
Taysu sedang bersemedi?”
“Bersemedi, tentu sedang
bersemedi, siapa bilang dia tidak sedang semedi?” sahut biarawati itu tertawa
sambil menyibak gelagasi terus berjalan masuk.
Terpaksa Coh Liu-hiang
menunggu di luar pekarangan belukar. Di luar jadi semakin gelap gulita, kokok
beluk sedang memperdengarkan suaranya seperti pekik setan yang kesusahan.
Berdiri di bawah pohon, tak terasa berdiri bulu roma Coh Liu-hiang.
Sesaat kemudian, terdengar
biarawati itu bersuara dari ruang pemujaan: “Suhu, ada orang menengok engkau,
apa kau sudi menemuinya?”
Tak lama kemudian biarawati
itu berjalan keluar sambil angkat dian di tangannya, katanya: “Guruku
mengangguk, silahkan kau masuk!”
“Terima kasih!” ujar Coh
Liu-hiang berlega hati. Bagaimanapun juga dia benar-benar berharap dapat
bertemu muka dengan Siok-sim Taysu. Dengan langkah lebar ia melangkah masuk,
sinar dian menyorot masuk dari belakangnya.
“Siok-sim Taysu....Taysu,”
seruan Coh Liu-hiang tidak mendapat jawaban, keadaan ruang pemujaan yang
remang-remang berhawa dingin membuat orang mengkirik. Coh Liu-hiang maju dua
langkah pula, angin menghembus masuk, tiba-tiba dilihatnya sesosok bayangan
melayang di atas. Waktu ia angkat kepala, mana ada bayangan manusia. Yang
dilihat hanyalah seperangkat tulang belulang manusia.
Tengkorak yang lengkap ini
bergantung-gantung di atas belandar, bergoyang gontai terhembus angin, bau apek
dan amis merangsang hidung, tak terasa Coh Liu-hiang sampai terlongong di
tempatnya saking kagetnya.
Tiba-tiba didengarnya
biarawati itu terloroh-loroh menggila di depan pintu, teriaknya mencak-mencak
sambil tepuk tangan: “Kau sudah melihatnya... kau sudah melihatnya, kenapa kau
tidak bicara?”
Tengkorak yang tergantung di
atas itu ternyata adalah tulang-tulang Siok-sim Taysu yang ingin ditemuinya.
Ternyata orang sudah menggantung bunuh diri, kulit dagingnya sudah menjadi
jerangkong.
Biarawati gila itu ternyata
tidak mengebumikan jenazahnya, orang malah main tipu dan berkelakar dengan cara
sekeji ini, terang biarawati ini seorang gila yang berhati jahat dan punya
tujuan jelek pula. Tawanya yang menggila masih berkumandang, biarawati itu
masih mencak-mencak dan tepuk tangan, dian di tangannya sudah terbanting pecah.
Karena sinar api padam, hawa setan terasa lebih melingkupi sanubarinya.
Tak terasa berkeringat tapak
tangan Coh Liu-hiang, setindak demi setindak ia mundur ke arah pintu. Mendadak
tengkorak di atas itu menubruk ke arah Coh Liu-hiang. Saking kagetnya, serasa
copot nyali Coh Liu-hiang, hendak berkelit ingin mengulurkan tangan meraihnya
pula. Tepat pada saat itulah secarik sinar pedang secepat kilat menyelonong
turun menembusi tulang-tulang kerangka itu, menusuk dada Coh Liu-hiang. Sungguh
cepat dan keji benar tusukan pedang ini.
Hampir saja Coh Liu-hiang
tidak mampu berkelit lagi, lekas ia menyedot napas mendekukkan dada. “Cret”,
ujung pedang menggores koyak baju di depan dadanya. Bersamaan dengan itu
berbintik-bintik sinar hitam yang sukar dipandang dengan mata telanjang di
malam nan gelap langsung memberondong ke tenggorokan dan beberapa Hiat-to
penting di dadanya.
Sesosok bayangan hitam yang
lain melambung tinggi ke arah belandar dan “Blum!”, atap rumah diterjang
berlubang besar dan pecah berhamburan, diiringi gelak tawa yang seram dan penuh
dendam dan kedongkolan laksana terbang melarikan diri.
Begitu Coh Liu-hiang meluputkan
diri dari tusukan pedang, ia sudah menduga lawan pasti menyusuli dengan
serangan lain yang lebih keji dan mematikan, sambil mendekuk dada segera ia
menjatuhkan diri menggelundung di atas tanah.
Sinar hitam melesat lewat
menyerempet mukanya. Sempat pula dilihatnya bayangan hitam yang menjebol atap
itu mengenakan pakaian serba hitam, kecepatan gerak tubuhnya laksana setan
terbang. Terang orang ini pula yang tempo hari membunuh Thio-jiang-sing Song
Kang dan menghilang dengan jinsut di Tay-bing-ouw.
Setelah Coh Liu-hiang melompat
bangun dan mengejar ke atas genteng, bayangan orang yang misterius itu sudah
tidak kelihatan lagi. Bintang kelap-kelip di angkasa raya, angin menghembus
sepoi-sepoi dingin. Berdiri di atas genteng, keringat dingin tanpa terasa sudah
membasahi sekujur tubuhnya. Setelah melongo sekian lamanya, ia lompat turun
pula ke pelataran, dilihatnya biarawati gila tadi sedang berdiri mematung
seperti orang linglung tanpa bergerak, tak bersuara lagi.
Coh Liu-hiang hinggap di
depannya, bentaknya bengis: “Siapa orang itu? Apa kau sudah bersekongkol dengan
dia?”
Di kegelapan malam, terlihat
muka biarawati itu mengunjuk senyuman aneh, mata dipicingkan, dengan genit
mengerling kepada Coh Liu-hiang, katanya cekikikan: “Dia... aku...” tawanya
mendadak terputus, sekujur badanpun tiba-tiba gemetar dan kejang , kontan ia
terjengkang roboh, terlihat beberapa titik darah mengalir keluar dari
tenggorokan dan dadanya.
Ternyata senjata rahasia yang
menyerang Coh Liu-hiang tadi melesat keluar pintu dan semuanya mengenai
badannya. Lekas Coh Liu-hiang berjongkok memeriksa lukanya, terlihat darah
segar yang mengalir keluar sebentar saja berubah warna menjadi hijau mengkilap.
Disusul lobang panca inderanya sama melelehkan darah segar yang sama.
“Keji benar senjata rahasia
ini,” gumam Coh Liu-hiang merinding. “Kau... kau pergilah dengan tenang!” Ia
maklum, terkena senjata rahasia beracun sejahat itu, siapa pun takkan mampu
menyembuhkannya. Kalau reaksi dirinya tadi sedikit terlambat, mungkin dirinya
sekarang yang rebah sekarat meregang jiwa.
Dada biarawati itu masih rada
hangat dan denyut jantungnya masih terasa, mendadak ia membuka mata mengawasi
Coh Liu-hiang, sorot matanya berubah bening dan terang secara menakjubkan.
“Masih ada pesan apa yang
hendak kau katakan?”
Bibir biarawati
bergerak-gerak, akhirnya tercetus suara lemah dari mulutnya: “Bu... bu...”
“Kau tiada pesan apa-apa,
bukan?”
Muka biarawati itu mengunjuk
rasa gelisah, keringat membasahi seluruh kepalanya, tapi meskipun ia sudah
mengerahkan seluruh sisa tenaganya, tenggorokannya serasa tertutup dan tak
mampu mengeluarkan suara lagi.
Akhirnya ia meninggal. Sebelum
ajal pikirannya mendadak sadar dan jernih, sebetulnya ia hendak memberi bahan
penyelidikan yang amat penting kepada Coh Liu-hiang, sayang Coh Liu-hiang tidak
tahu.
Waktu Coh Liu-hiang keluar
dari Oh-i-am, malam sudah larut, perasaannya pun teramat berat, bahan
penyelidikan yang terakhir di mana ia mempunyai harapan besar, akhirnya
terputus pula.
Batinnya: “Tak heran pembunuh
itu tidak takut aku mencari datang ke Oh-i-am, ternyata dia sudah tahu bahwa
Siok-sim Taysu sudah mati. Kalau tidak, waktu aku berada di luar jendela Sun
Hak-boh dan berjaga-jaga terhadap perbuatan kejinya, toh akhirnya dia tetap
punya banyak kesempatan untuk turun tangan kepadanya untuk menutup mulut Sun
Hak-boh.”
“Jadi dia memang ingin
meminjam mulut Sun Hak-boh untuk menyebut Oh-i-am lalu memalsukan Siok-sim
Taysu dan memancingku ke jalan yang keliru, siapa nyana aku berhasil membongkar
tipu muslihatnya. Karena tipu muslihat gagal, dia sudah memperhitungkan aku
pasti akan meluruk ke Oh-i-am, maka dia sudah sembunyi di atas belandar lebih
dulu. Waktu aku kurang siaga, melemparkan tengkorak Siok-sim Taysu dan
berkesempatan turun tangan pula kepadaku.”
“Walau kali ini dia gagal
pula, namun rencana kerjanya sebetulnya memang cukup cermat. Tindakannya jauh
lebih jahat. Asal sedikit aku terlena, sulit aku terhindar dari kekejian
tangannya. Begitu besar dan keras tekadnya merintangi aku melibatkan diri dalam
persoalan rahasia ini, tanpa segan-segan membunuh jiwa beberapa orang pula,
dapatlah disimpulkan bahwa urusan yang menyangkut dirinya ini pasti teramat
penting dan besar artinya, pasti akan mengejutkan siapa pun juga.”
Menempuh bahaya, sebetulnya
bukan soal apa-apa baginya. Semakin berbahaya urusan, dia malah semakin
bergairah dan makin besar pula rasa tertariknya. Mendadak ia menengadah dan
tertawa besar, katanya: “Kau dengarkan, perduli siapa pun kau, kalau hendak
menggertak atau menakuti aku, pastilah kau sedang bermimpi. Cepat atau lambat
pasti aku akan membongkar kedok rahasiamu, kau tidak akan lolos dari tanganku.”
Alam belukar jauh dari jejak
manusia, lawan misterius bagaikan setan itu entah masih bersembunyi di
sekitarnya atau tidak, entah mendengar tantangannya ini atau tidak.
Setelah menghentikan tawanya,
kembali Coh Liu-hiang tenggelam dalam pikiran. “Sebetulnya apakah yang hendak
diucapkan oleh biarawati itu sebelum ajalnya? ‘Bu’ yang dia maksudkan tentu
tidak berarti ‘bukan’?” gumamnya, “Dilihat dari sorot matanya, tentu banyak
omongan yang hendak dia katakan, apakah dia maksudkan pembunuh itu she Bu?”
Waktu Coh Liu-hiang kembali ke
kota, pasar malam sudah usai. Sungguh penat dan lapar, namun langsung dia
menuju ke Kwi-gi-tong.
Orang seperti Chiu Ling-siok
tentunya perempuan yang cukup ternama, orang yang mengawininya tentu terkenal
juga. Murid Cu-soa-bun cukup banyak dari segala tingkatan, pergaulan mereka pun
amat luas, bukan mustahil di antara orang-orang mereka ada yang tahu jejak
perempuan itu.
Beberapa hari ini, mau tidak
mau hatinya ikut gundah dan kurang tentram, tidak pernah terpikir olehnya bahwa
dirinya sendiri yang punya pandangan dan pergaulan amat luas, kenapa sebelum
ini belum pernah ia mendengar nama Chiu Ling-siok dari mulut orang? Kalau dia
sendiri tidak tahu menahu tentang orang itu, orang lain mana mungkin bisa tahu?
Sekonyong-konyong didengarnya
dentaman kaki kuda yang berlari di jalan raya di belakangnya, disusul suara
bentakan nyaring: “Minggir!”
Baru saja Coh Liu-hiang menyingkir
ke pinggir jalan, seeokor kuda sudah berkelebat lewat dari sampingnya. Kuda
yang hitam dari kepala sampai ekornya, tiada warna bulu lain kecuali warna
hitam yang mengkilap, kilap sinar itu mirip benar dengan cahaya kilauan mutiara
hitam.
Mantel hitam di atas kuda
melambai-lambai tertiup angin, memperlihatkan pakaian ketat warna merah berapi,
kuda dan penunggangnya cepat sekali membedal lewat, hampir saja Coh Liu-hiang
keterjang jatuh. Bukan saja Coh Liu-hiang tidak jadi marah, malah dia berteriak
terkejut memuji: “Sungguh seekor kuda yang amat bagus!”
Seperti pula terhadap
perempuan, menilai kuda merupakan keahlian Coh Liu-hiang pula. Ada kalanya
begitu dia melihat kuda bagus, hatinya jauh lebih riang gembira dibanding dia
melihat perempuan cantik.
Walau hanya sekilas dan dari
arah belakang ia melihat bayangan kuda itu, namun ia berani memastikan kuda itu
pasti kuda pilihan yang jempolan dan bukan mustahil kelahiran dari peranakan
naga. Orang yang bisa menunggang kuda seperti itu, tentulah dia pun bukan
sembarangan tokoh.
“Siapa pula orang itu?” Coh
Liu-hiang menggumam seorang diri. “Untuk apa dia datang ke Kilam? Perempuan
cantik ada kalanya menikah dengan suami bodoh, namun kuda jempolan tak mungkin
dimiliki oleh sembarangan orang awam. Kalau kuda bagus memilih majikan,
pandangannya jauh lebih tajam daripada perempuan cantik memilih calon suaminya,
paling tidak dia tidak mudah dibujuk rayu kata-kata manis mulut laki-laki, tak
mungkin pula tergila-gila sampai jatuh semaput melihat banyaknya uang emas.
Tapi bila dia sudah memilih seseorang, jauh lebih setia daripada perempuan
terhadap suaminya,” tanpa terasa Coh Liu-hiang tertawa geli sendiri.
Dia sembarang waktu selalu
mencari kesempatan untuk menghibur hati dan tertawa-tawa, sekaligus untuk mengendurkan
urat syarafnya yang selalu tegang beberapa hari ini. Itulah sikapnya sebagai
manusia, mungkin itu pula sebabnya kenapa dia selalu bisa hidup di kala
menghadapi situasi antara mati dan hidup. Urat syaraf seseorang bila terlalu
tegang setiap kali menghadapi bahaya, maka bagaimanapun dia akan kehilangan
akal sehatnya, entah cara bagaimana harus menghadapinya. Apalagi dia yakin
pandangannya pasti tidak salah, karena terhadap perempuan dan kuda, boleh
dikata dia mempunyai kewibawaan yang tidak pernah dimiliki oleh orang lain.
Belum lagi tiba Kwi-gi-tong,
dari kejauhan Coh Liu-hiang sudah melihat kuda hitam itu. Dia berdiri di bawah
lampion yang tergantung di depan pintu Kwi-gi-tong, kepalanya sedang bergoyang
turun naik menengadah sambil meringkik pendek.
Tali kendalinya oleh si
majikan tidak diikat pada tiang bendera, rupanya tak kuatir kudanya itu bakal
dicuri orang, beberapa orang tampak berdiri berkeliling di kejauhan, tiada
seorang pun yang mendekatinya.
Tapi ada seseorang yang lagi
berjongkok sambil memeluk perut, mulut merintih dan muka berkeringat sambil
mengerut kesakitan. Coh Liu-hiang menghampiri serta menepuk pundaknya, katanya:
“Kawan kena disakiti, ya?”
“Kuda kurcaci ini galak
sekali,” sahut orang itu sambil meringis.
“Kembang elok banyak durinya,
perempuan cantik seperti pula kuda, pantang diganggu. Selanjutnya kau harus
selalu ingat kata-kataku ini.”
Karena ingin melihat siapa
penunggang kuda ini, sembari bicara langsung ia masuk ke dalam rumah.
Waktu itu belum tengah malam,
saatnya Kwi-gi-tong paling ramai dikunjungi penjudi. Tapi walau sinar lilin
terang benderang, namun di dalam rumah sunyi senyap. Coh Liu-hiang mengerutkan
kening, segera ia menyingkap kerai terus melangkah masuk.
Tampak puluhan penjudi sama
berdiri mepet ke tembok dengan muka pucat ketakutan. Gadis-gadis cantik yang
biasanya berlalu-lalang segesit burung walet, kini sama berdiri di pinggir
dengan badan gemetar.
Waktu ia jelajahkan
pandangannya, para laki-laki pelindung tempat perjudian sama rebah tak berkutik
di atas lantai. Memang ada yang tak mampu bergerak, tapi ada pula yang memang
tak berani merangkak bangun. Puluhan pasang mata sama menatap ke arah orang
yang mengenakan mantel hitam.
Dengan tegar dia berdiri di
depan meja bundar, membelakangi pintu, maka Coh Liu-hiang hanya bisa melihat
cambuk panjang di tangannya yang bersinar kemilau, muka orang tidak bisa
dilihatnya. Tapi rona muka Leng Chiu-hun dapat dilihatnya jelas.
Muka Leng Chiu-hun seperti
tidak berdarah, sorot matanya mengunjuk rasa kaget, gugup dan jera, dengan
tajam ia sedang menatap laki-laki bermantel hitam di hadapannya.
Sunyi senyap, tiada suara apa
pun di dalam ruang judi ini, saking tegangnya jantung serasa hampir meledak,
badan pun gemetar, begitu hening serasa sesak napas dan mencekam hati, seumpama
anak panah di atas busur yang terpentang, hujan badai pun bakal menerjang tiba.
Tiada seorang pun yang
memperhatikan Coh Liu-hiang masuk, Coh Liu-hiang pun tidak mengusik orang lain,
cuma secara diam-diam ia melangkah ke sana, lalu berdiri di pinggir dengan
berdiam diri.
Dari samping sekarang dia
dapat melihat muka orang bermantel hitam itu, kiranya seorang pemuda. Mantel
hitam itu membungkus badannya yang ramping. berpakaian serba hitam ketat pula,
sabuk hitam, sepatu kulit kuda warna hitam, sarung tangan kulit sapi warna
hitam, tangannya menggenggam cambuk panjang warna hitam pula, hanya roman
mukanya yang kelihatan pucat, pucat yang menakutkan.
Dari samping jelas oleh Coh
Liu-hiang hidungnya yang mancung, bibir nan tipis terkatup rapat, menggambarkan
kekerasan tekadnya, dingin dan kaku. Alisnya lentik tegas ke atas, bulu-bulu
alisnya yang hitam menaungi sepasang mata yang melekuk dalam, seumpama telaga
jernih yang tak kelihatan dasarnya, tiada seorang pun yang dapat meraba jalan
pikiran dan maksud hatinya.
Raut mukanya itu boleh dikata
serba sempurna, pemuda ini boleh dikata tiada satu pun cacat pada badannya,
keadaan yang serba sempurna ini sungguh membuat jeri nyali setiap hadirin.
Dengan menatap orang, agaknya
Leng Chiu-hun sedang mempertimbangkan jawaban apa yang akan dia lontarkan.
Namun pemuda serba hitam ini sedikit pun tidak kelihatan tergesa-gesa, hanya ia
balas menatap orang dengan dingin. Akhirnya berkata Leng Chiu-hun
perlahan-lahan: “Kalau tuan ingin berjudi, sudah tentu aku suka mengiringi.
Tapi Cayhe mohon tanya dulu siapa nama kebesaran tuan, tentunya tuan tidak
sekikir itu untuk memberitahu kepadaku, bukan?”
“Aku tidak punya nama!” sahut
pemuda itu pendek. Lagu suaranya dingin, tajam dan cekak aos, namun rada
berlainan dibanding dengan Tionggoan It-tiam-ang. Kedua lagu suara laksana
pisau, cuma pisau Tionggoan It-tiam-ang sudah karatan, pisau pemuda ini justru
bisa membikin putus rambut yang disebul di atasnya. Nada suara It-tiam-ang
bengis dan menyeramkan, sementara kata-kata pemuda ini kasar, temberang dan
cekatan.
“Kalau tuan tidak sudi
memperkenalkan nama besarmu, mungkin.....”
“Mungkin kenapa?”
“Menurut kebiasaan di sini,
selamanya tidak berjudi dengan orang asing.” Leng Chiu-hun menatap sorot mata
si pemuda, lalu tertawa kering dan berkata: “Tapi tuan datang dari jauh, Cayhe
tentu tidak akan membikin tuan kecewa.”
“Itulah bagus.”
“Entah judi apa yang tuan
inginkan?”
“Biar judi dadu saja.”
“Taruhannya.....”
Sekali ulur si pemuda
mengeluarkan sebentuk Giok-pit, tampak Giok-pit ini mengeluarkan pancaran sinar
hangat, tiada cacat sedikit pun. Sampai pun Coh Liu-hiang selama hidupnya belum
pernah melihat batu giok sesempurna itu. Sudah tentu Leng Chiu-hun pun seorang
ahli dalam menilai sesuatu benda, seketika berkilat sorot matanya, namun
mulutnya berkata tawar: “Tuan pasang batu giok ini untuk mempertaruhkan apa?”
“Mempertaruhkan kau!”
Berubah air muka Leng
Chiu-hun, serunya sambil tertawa besar: “Bertaruh aku? Aku Leng Chiu-hun masa
begitu berharga?”
“Kalau aku menang, maka kau
harus ikut aku.”
Seperti tenggorokannya
mendadak diiris pisau, seketika berhenti tawa Leng Chiu-hun, matanya mendelik
ke arah batu giok di atas meja, terpancar rasa tamak dan ingin mengangkanginya,
lalu ia melirik ke arah dadu di pinggiran sana, mendadak ia menjawab lantang:
“Baik! Aku pasang diriku!”
Kata-kata ini seketika
menimbulkan keributan di ruang judi yang hening lelap tadi. Namun Coh Liu-hiang
tahu bahwa Leng Chiu-hun berani mempertaruhkan dirinya, tentu dalam permainan
enam biji dadu ini dia mempunyai cara atau kepandaian khas yang tidak mungkin
dilakukan orang lain, ia yakin dirinya pasti menang.
Tampak sebutir demi sebutir
Leng Chiu-hun menjemput dadu itu serta dimasukkan ke dalam porselen berbentuk
seperti mangkuk, lalu menutupnya pula dengan tatakan bundar, katanya
pelan-pelan: “Cara judi dengan dadu banyak macamnya, tuan.....”
“Aku pasang yang terkecil.
Jumlah titik yang paling kecil, itulah yang menang.”
Leng Chiu-hun tersenyum,
ujarnya: “Pasang besar atau kecil sama saja. Tuan, silakan!”
Baru saja ia hendak mendorong
dadu itu kepada orang, si pemuda sudah berkata: “Silakan kau dulu yang
mengocok.”
Leng Chiu-hun berpikir
sebentar, lalu katanya: “Baik, setitik sama.....”
“Setitik yang sama dianggap
seri!” sambung si pemuda.
“Bagus!” seru Leng Chiu-hun.
Begitu tangan terangkat, suara dadu dalam mangkok berkumandang di dalam ruang
judi yang sunyi itu.
Muka Leng Chiu-hun amat
prihatin dan tegang, seluruh perhatiannya ia tumplekkan pada mangkok yang dia
kocok terus di pinggir telinganya, dadu pun terus berbunyi dan berkerotokan di
dalam mangkok, suaranya seolah-olah menyedot sukma setiap hadirin.
Saking tegang, serasa sesak
napas setiap hadirin. “Brak!”, tahu-tahu Leng Chiu-hun sudah menggabrukkan
mangkok porselen itu di atas meja.
Puluhan mata serempak menatap
ke arah jari-jari tangannya yang putih mulus, pelan-pelan tangannya mulai
terangkat membuka tutup, maka tampaklah enam dadu.....
Kembali ruang judi digemparkan
oleh suara ribut dan bisik-bisik para hadirin. Keenam dadu itu ternyata adalah
sama menunjukkan setitik merah, seakan-akan seperti enam tetes darah merah di
atas tutup tatakan itu. Enam dadu berarti enam titik, jumlah yang tidak mungkin
dikurangi lagi, terang Leng Chiu-hun berada pada posisi yang tak mungkin kalah
lagi. Ujung mulutnya seketika mengunjuk senyuman bangga akan kemenangannya.
Coh Liu-hiang membatin:
“Kepandaian Leng Chiu-hun mengocok dadu memang hebat, entah dengan cara apa si
pemuda bisa mengalahkan dia?”
Sedikit pun si pemuda tidak
menjadi keder, sikapnya tetap dingin kaku, katanya dingin: “Memang hebat.”
“Tuan, silakan!” ujar Leng
Chiu-hun.
“Baik!” sekonyong-konyong
cambuk panjang di tangannya bagai ular hidup meluncur ke depan seperti memagut.
Keruan Leng Chiu-hun kaget, ia kira orang hendak main kekerasan. Siapa tahu
cambuk yang meluncur bagai kilat itu tiba-tiba berhenti di atas dadu, ujung
cambuknya dengan gesit selincah ular hidup menggulung sebutir dadu, seperti
mulut ular yang memagut lalu dilepas pula. “Ser!” dadu itu seketika mencelat
terbang lempang ke depan sana dan “trap!”, melesak masuk ke dalam dinding yang
dikapur halus, seluruh dadu itu terporot di atas dinding, yang kelihatan hanya
setitik warna merah. Bisa menggunakan lentikan tangan menimpuk dadu terporot ke
dalam dinding, hanya menunjukkan satu titik saja, sudah bukan pekerjaan yang
gampang, mungkin hanya ahli senjata rahasia kelas atas saja yang mampu
melakukannya. Si pemuda justru memerlukan cambuk panjang enam kaki untuk
membelit dadu lalu melempar, kekuatan pergelangan tangan dan ketajaman matanya
benar-benar hebat dan sukar dibayangkan kehebatannya.
Tak tertahan seluruh hadirin
sama berseru memuji. Di tengah suara hiruk-pikuk kekaguman dan rasa heran
itulah, dadu kedua kembali tergulung. Dengan cara yang sama kembali
ditimpukkan, dadu kedua ini tepat melesak masuk mengenai dadu pertama, muka
yang menghadap keluar tetap sama, setitik merah pula. Begitulah cambuk itu
bergerak melingkar-lingkar turun naik beruntun menggulung sisa dadu yang lain,
dadu ketiga didorong dadu keempat dan dadu keempat didorong dadu kelima dan
seterusnya sampai keenam dadu semua dilempar ke dalam dinding, yang kelihatan
hanya satu titik merah yang rata dengan permukaan dinding.
Keruan terbelalak mata semua
hadirin menyaksikan pertunjukkan yang hebat dan menakjubkan ini.
Namun sikap si pemuda tak
berubah, mimiknya tetap kaku, katanya pelan-pelan: “Enam dadu hanya satu titik,
kau kalah!”
Pucat pias selembar muka Leng
Chiu-hun, mendadak ia berteriak: “Tidak masuk hitungan, cara seperti itu mana
dapat masuk hitungan?”
“Kau hendak mungkir dan main
curang?” baru sekarang si pemuda menyeringai.
Cambuk panjangnya kembali
terayun terbang bagaikan ular beracun menggulung kearah Leng Chiu-hun. Bagaimanapun
juga Leng Chiu-hun bukan seorang lemah, “sreng!” tahu-tahu pedangnya sudah
terlolos keluar. Siapa nyana cambuk ular itu seakan-akan bernyawa, tahu-tahu
bisa menukik berubah arah dan dengan kencang tahu-tahu sudah membelit senjata
lawan, sekali tarik dan sendal seketika gaman Leng Chiu-hun mencelat terbang
lepas dari cekalan tangannya. “Clep!” menancap di atas belandar, gagang
pedangnya bergoyang-goyang melambaikan kuncir benang suteranya. Lebih celaka
lagi raut mukanya yang pucat memutih itu tiba-tiba sudah memetakan sejalur
garis merah darah.
“Kau sudah kalah,” jengek si
pemuda. “Hayo ikut aku pergi!”
Saking kaget dan ketakutan,
Leng Chiu-hun sampai berdiri menjublek dengan badan lemas lunglai.
Tiba-tiba suara seseorang
menyela dengan kalem: “Begitu asyik kalian berjudi, tanganku jadi gatal,
marilah biar aku ikut bertaruh!” suaranya halus senyumnya tawar, siapa pula
kalau bukan Coh Liu-hiang.
Waktu cambuk terayun
menari-nari di tengah udara, mantel itu sedikit terangkat dan tersingkap,
sekilas terlihat oleh Coh Liu-hiang lapisan kain merah bagian dalam mantel
hitam itu tersulam seekor unta terbang. Jikalau bukan lantaran unta terbang
itu, mungkin Coh Liu-hiang tidak akan sudi menampilkan diri.
Semua hadirin sudah melongo
dan ciut nyalinya oleh kepandaian silat si pemuda, kini melihat ada orang yang
masih berani hendak bertaruh dengannya, semua sama melototkan mata mengawasi
Coh Liu-hiang.
Sebaliknya Leng Chiu-hun
merasa mendapat anugerah dewata yang menolong kesusahannya, seketika mukanya
berseri tawa lebar, katanya: “Thio-heng ternyata ingin bertaruh juga, sungguh
baik sekali, baik sekali”
Setenang lautan samudra,
mantap dan teguh tekadnya, sepasang mata si pemuda bagaikan tajamnya ujung
pisau lekat-lekat menatap muka Coh Liu-hiang. Siapa pun bila ditatap oleh mata
seperti itu mungkin arwahnya bisa copot dari badan kasarnya.
Sebaliknya Coh Liu-hiang
bersikap acuh tak acuh seperti tak terjadi apa-apa, katanya berseri tawa: “Tuan
datang dari gurun pasir, bukan?”
Air muka si pemuda yang dingin
dan kaku seketika berubah, tanyanya mendesis: “Siapa kau?”
“Seperti tuan, aku pun sudah
melupakan namaku.”
“Kau hendak pasang judi? Baik!
Judi apa?”
“Judi dadu, tetap judi dadu,
tentunya jumlah sedikit yang menang!”
Reaksi para hadirin sungguh
lucu mendengar kata-katanya ini. Mereka kira orang ini sudah gila, enam dadu
itu kini cuma menunjukkan satu titik, memangnya dia bisa menang?
Agaknya si pemuda tertarik dan
merasa senang, sorot matanya bercahaya, tanyanya: “Taruhanmu.....”
“Kalau tuan kalah, sudah tentu
mainan batu jade ini menjadi milikku, Leng-kongcu pun tak usah ikut kau.
Kecuali itu, ingin aku mengajukan beberapa patah pertanyaan kepada tuan!”
Pertaruhan yang ringan dan
murah saja, seketika terangkat alis si pemuda, tanyanya: “Kalau kau yang
kalah?”
“Kalau aku kalah, akan
kujelaskan semua urusan yang ingin benar kau ketahui itu.”
Berubah air muka si pemuda,
“Dari mana kau bisa tahu hal apa yang ingin kuketahui?”
“Mungkin aku mengetahuinya.”
Lain orang bila kalah
taruhannya amat tinggi nilainya, sebaliknya kalau dia sendiri yang kalah hanya
kalah omongan saja, malah belum pasti dan baru mungkin saja, pertaruhan seperti
ini sungguh tidak adil, semua orang kira si pemuda tentu tidak mau terima meski
jelas dia bakal menang.
Tak nyana si pemuda berpikir
sebentar, lalu berkata tandas: “Baik, pertaruhan ini jadilah!”
“Aku tahu tuan pasti akan
bertaruh!”
“Dadu sudah kutimpukkan, apa
kau pun hendak menimpukkan sekali lagi dengan cara yang sama?”
“Tidak perlulah!”
Terasa oleh semua orang bahwa
otak orang ini memang tidak normal, terlihat ia menghampiri meja judi lain dan
mengambil enam butir dadu yang lain.
Dia genggamn keenam biji dadu
itu dalam tapak tangan. Leng Chiu-hun merasa seluruh jiwa raganya pun ikut
tergenggam dalam tapak orang. Kalau sikap Coh Liu-hiang biasa dan wajar,
sebaliknya seluruh badan Leng Chiu-hun sudah dibasahi keringat dingin. Tak
tertahan ia berseru memperingatkan: “Thio-heng, jangan kau lupa, pihak lawan
sudah melempar setitik angka saja.”
“Aku tahu,” ujar Coh Liu-hiang
tawar. Segera sebelah tangannya terayum melemparkan sebiji dadu. Semua orang
mengira dia hendak meniru perbuatan si pemuda, tapi paling-paling dia hanya
bisa mendapat angka sebanding dengan lawan, paling-paling tidak terkalahkan,
namun toh tidak akan menang. Tapi takjub dan heran pula semua hadirin
dibuatnya, karena biji dadu itu meluncur amat lambat dan aneh sekali. Kalau si
pemuda menimpuk dengan ujung cambuknya, sebaliknya ia melontar dengan tangan,
betapa besar perbedaan antara pertunjukan kepandaian ini, kenapa pula Coh
Liu-hiang harus mempertunjukkan kejelekan diri sendiri, namun setelah melihat
dadu yang ditimpukkan itu bergerak lambat di tengah udara seperti terikat
benang dan ditarik pelan dalam satu garis datar, sungguh semua orang sama tak mengerti,
kenapa dadu itu tidak bisa membelok atau jatuh.
Semua orang memang tidak tahu
betapa besar pengerahan Lwekang untuk menggerakkan timpukan dadu sekecil itu
dengan gerakan lambat yang lempang itu, namun mereka maklum bahwa lambat itu
jauh lebih sukar daripada cepat.
Tatkala dadu kedua di tangan
Coh Liu-hiang sudah melesat keluar, luncurannya rada cepat sedikit mengejar
dadu pertama dan “Tras!” dadu pertama ternyata ditubruk pecah hancur. Luncuran
biji dadu ketiga lebih cepat sedikit lagi, mengejar biji dadu kedua dan “Tras!”
sekali lagi dadu kedua pun terpukul hancur. Begitulah satu per satu Coh
Liu-hiang menjentikkan dadunya, biji keempat menghancurkan biji ketiga, biji
kelima menghancurkan biji keempat dan seterusnya. Biji kelima amat cepat dan besar,
setelah menghancurkan biji keempat terus meluncur menumbuk tembok dan terpental
balik, kebetulan kebentur dengan biji keenam yang melesat tiba, kedua biji
terakhir ini saling bentur di tengah udara dan hancur bersama.
Enam biji dadu sama hancur
menjadi bubuk berhamburan di atas lantai, dan anehnya bubuk dadu itu akhirnya
bertumpuk di dalam bidang yang sama sehingga menumpuk tinggi. Sudah tentu semua
hadirin dibikin melongo keheranan seakan-akan sedang melihat permainan sulap
layaknya.
Coh Liu-hiang menepuk-nepuk
tangan, katanya tertawa: “Daduku hancur, setitik pun tiada lagi, tentunya tuan
yang kalah.”
Tak tahan lagi, akhirnya Leng
Chiu-hun berjingkrak kegirangan, serunya sambil bertepuk tangan: “Benar, enam
dadu setitik pun tiada lagi, bagus, bagus sekali!”
Seketika pucat muka si pemuda,
cara yang digunakan Coh Liu-hiang memang baik dan mengambil keuntungan melulu,
namun cara permainannya benar-benar merupakan kepandaian asli dan tulen,
sedikit pun tak mungkin secara kebetulan. Apalagi cara yang ia gunakan untuk
mengalahkan Leng Chiu-hun juga sama dengan cara nakal-nakalan, mana bisa ia
mengatakan kelicikan orang lain? Saat mana mimik wajahnya mirip benar dengan
keadaan Leng Chiu-hun waktu kalah tadi, mau mungkir pun tak bisa lagi. Biasanya
dia sering mempermainkan orang sesuka dan seriang hatinya, tak nyana hari ini
dia ketemu batunya dan balas dipermainkan orang secara konyol.
Tampak biji matanya yang
cekung setenang air laut yang dalam dan mantap kini berubah seperti mega di
ujung langit berubah berulang kali terhembus angin lalu dengan bentuk
warna-warni. Sorot matanya yang semula dingin kini memperlihatkan perasaan.
Coh Liu-hiang merasa heran
melihat perubahan ini, batinnya: “Kalau matanya itu tumbuh di atas badan
perempuan, maka perempuan ini pasti cantik molek, cukup sekali mengerling
laki-laki pasti akan rela berkorban demi dirinya. Sayang sepasang mata yang
indah ini dimiliki oleh laki-laki, tumbuh di tempat yang tidak benar.”
Sesaat lamanya si pemuda baju
hitam menjublek, mendadak cambuk panjangnya terayun dan mengamuk seperti orang
kesurupan melecuti orang-orang yang menonton di pinggiran. Dalam sekejap saja
puluhan orang kena dihajar babak belur, beramai-ramai mereka berteriak
kesakitan dan berebut lari keluar menyelamatkan diri. Si pemuda masih terus
mengayunkan cambuk lemasnya, bentaknya bengis: “Pergi! Semua menggelundung
pergi! Satu pun tak boleh tinggal di sini!”
Suara hiruk-pikuk membuat
suasana ruang judi menjadi gaduh, jerit tangis para gadis-gadis pelayan yang
berjatuhan dan saling berhimpitan terdengar menyayatkan hati, malah ada yang
berlari keluar sambil merangkak. Keruan berubah air muka Leng Chiu-hun,
bentaknya gusar: “Orang-orang itu tidak mengusikmu, kenapa kau
lampiaskan......”
“Kau pun lekas menggelundung
keluar!” damprat si pemuda baju hitam, “Menggelundung ke luar!”
Darah segar setetes demi
setetes mengucur keluar dari muka Leng Chiu-hun, namun mengusapnya pun tidak,
dengan melotot ia pandang si pemuda, jengeknya dingin: “Kalau kau tidak mau
mengaku kalah di hadapan orang banyak, tentu aku boleh keluar, namun.......”
“Tar!” kembali mukanya kena
lecutan cambuk, tapi ia tetap berdiri di tempatnya tanpa bergeming, katanya
pula pelan-pelan: “Asal kau ingat, akan datang suatu ketika aku orang she Leng
pasti akan menuntut balas berlipat ganda kepadamu.”
Kembali cambuk si pemuda
terayun, hardiknya: “Cambuk keempat!”
Leng Chiu-hun membanting kaki,
sambil kertak gigi ia pun melangkah keluar.
Tatkala itu seluruh ruangan
sudah kosong melompong, tidak kelihatan bayangan orang lain kecuali Coh
Liu-hiang dan si pemuda baju hitam. Agaknya rasa gusar dan penasaran si pemuda
masih belum terlampiaskan, kembali ia bikin hancur segala perabotan dan gambar
lukisan atau pajangan apa saja di atas dinding.
Coh Liu-hiang tetap berdiri di
pinggir meja. Sambil tersenyum ia mengawasi ulah orang yang mengamuk itu,
katanya: “Sekarang semua orang sudah menyingkir, kau boleh mengaku kalah,
bukan?”
Pelan-pelan terjulur lemas dan
menjuntai ke lantai cambuk panjang si pemuda baju hitam, tampak pundaknya turun
naik, lambat laun napasnya mulai normal kembali, dengan suara rendah tertahan
akhirnya ia bersuara: “Apa yang ingin kau tanyakan? Lekas katakan!”
Sebentar Coh Liu-hiang
termenung, katanya: “Surat yang diterima ayahmu sebelum beliau masuk ke pedalaman,
apakah pernah kau melihatnya? Entah apa sebenarnya yang tertulis di atas surat
itu?”
Sigap sekali mendadak si
pemuda membalikkan badan, sorot matanya setajam pisau menatap muka Coh
Liu-hiang, serunya bengis: “Dari mana kau tahu siapa ayahku? Cara bagaimana kau
tahu beliau masuk ke pedalaman? Bagaimana pula kau bisa tahu sebelum ke
pedalaman beliau pernah menerima sepucuk surat?”
“Jangan kau lupa, sekarang
akulah yang berhak bertanya kepadamu!”
“Pertanyaan sudah kau ajukan,
sekarang akulah yang sedang bertanya kepadamu.”
“Pertanyaanku belum kau jawab,
kenapa kau malah balas bertanya kepadaku?”
“Aku hanya menerima
pertanyaanmu, toh tidak berjanji hendak menjawab pertanyaanmu.”
Coh Liu-hiang melenggong,
katanya tertawa: “Selama ini ingin aku melihat siapakah orang yang paling tidak
pegang aturan di dunia ini, baru hari ini aku benar-benar kebentur.”
“Pertanyaan sudah kau ajukan,
mainan itu boleh kau ambil, orang she Leng pun sudah kulepas pergi, pertaruhan
antara kita sudah impas dan lunas, kini tiba saatnya kau menjawab
pertanyaanku!”
Kata-kata ini diucapkan
seperti petasan meledak, cepat dan gugup, seolah-olah sebelumnya memang sudah
dia rencanakan dalam hati, sungguh Coh Liu-hiang tidak pernah menduga pemuda
dingin dan angkuh ini ternyata bisa main licin dan licik, ujarnya sambil
tertawa getir: “Kalau aku tidak menjawab pertanyaanmu?”
Hanya sepatah kata jawaban si
pemuda: “Mati!”
“Kalau aku tidak mau mati?”
Sungguh lucu dan tepat sekali
pertanyaan ini. Sejak kecil dan sebesar itu, belum pernah si pemuda menghadapi
seseorang dengan sikap yang seperti itu. Sorot matanya yang dingin membeku itu
tiba-tiba memancarkan ledakan kembang api, desisnya sadis: “Kalau bukan kau
yang mampus, biar aku yang mati!” belum lenyap gema suaranya, cambuk panjangnya
mendadak menyabet tiba.
Jalur cambuk panjangnya itu
seakan-akan membuat banyak lingkaran-lingkaran besar kecil yang tidak terhitung
banyaknya, setiap lingkaran cambuknya itu agaknya hampir menjerat leher Coh
Liu-hiang. Bahwasanya satu pun tiada yang berhasil menjerat.
Seenteng asap mengambang,
tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah berada di belakang si pemuda, katanya mengolok:
“Jika aku tidak membiarkan kau cari kematian?”
Sekali raih si pemuda
menanggalkan mantel terus dikebutkan, mantel hitam yang lebar itu seketika
berkembang dan menungkup ke arah kepala Coh Liu-hiang seperti segumpal awan, di
antara berkelebatnya bayangan hitam tampak terselip tujuh titik sinar bintang
dingin. Agaknya si pemuda sudah murka betul-betul, serangannya tidak mengenal
kasihan lagi. Begitu tangan kiri menarik mantel, Chit-sing-ciam yang
tersembunyi di gagang cambuknya pun berbareng merangsek tiba.
Serangan kombinasi ini
dinamakan Hun-te-hwi-siang (Bintang Terbang di Bawah Mega), ternyata salah satu
ilmu tunggal Tay-mo-sin-liong yang pernah malang melintang di kolong langit,
entah berapa banyak tokoh-tokoh silat kenamaan yang menemui ajalnya oleh
serangan hebat ini.
Tujuh bintik sinar bintang
tertelan di bawah gumpalan mega hitam, siapa pun jangan harap bisa melihatnya
jelas. Di saat ia mendengar angin sambaran senjata rahasia musuh, untuk
berkelit pun sudah terlambat.
Mimpi pun Coh Liu-hiang tidak
mengira pemuda ini pun membekal kepandaian tinggi dan ilmu yang sekeji ini,
kesiur senjata rahasia yang menerjang di udara tahu-tahu sudah melesat tiba di
depan dada. Kalau dia harus berkelit, terang tak sempat lagi. Dalam seribu
kesibukannya, lekas ia menyedot dada melekukkan kulit daging, secepat anak
panah ia menjatuhkan badan terus menggelundung mundur.
Luncuran tujuh titik bintang itu
sendiri pun secepat kilat, namun Coh Liu-hiang mundur lebih cepat dari luncuran
senjata rahasia itu, tahu-tahu mundur mepet ke dinding, tenaga luncuran senjata
rahasia itu pun sudah kendor dan jauh lebih lemah. Mendadak ia mengulurkan
tangannya, seperti menangkap nyamuk, ketujuh bintik bintang hitam itu kena
ditangkap olehnya. Seketika si pemuda bergetar berdiri dengan terkesima,
teriaknya tak tertahan: “Gerakan badan yang teramat cepat, sungguh hebat ilmu
Hun-kong-coh-ing (menangkap bayangan membagi cahaya) itu.”
Di tengah suara bentakannya,
beruntun ia menyerang dengan lecutan cambuknya tujuh kali. Ilmu cambuk orang
lain biasanya laksana hujan badai, namun lingkaran cambuknya ini justru serapat
dan seketat mega mendung sebelum hujan turun, sebelum bayu menghembus layu.
Kalau gerak lingkaran cambuk
orang entah menyapu miring atau menyodok maju, tapi lingkaran ini justru
menggulung datang dari berbagai arah, lingkaran besar membelit hingga lingkaran
kecil, di dalam lingkaran kecil masih ada lingkaran lebih kecil lagi, di luar
lingkaran besar masih ada lingkaran yang lebih besar pula.
Sekilas pandang seperti ada
ribuan lingkaran bayangan cambuk yang berterbangan di tengah udara berlapis
bertumpuk, ada yang akan menjirat tangan ada yang akan menjirat kepala, kalau
orang biasa tidak bergebrak sama dia hanya melihat bayangan lingkaran cambuknya
yang tak terhitung banyaknya itu, mungkin sudah pusing kepala dan jatuh
semaput.
Umpamanya Coh Liu-hiang
sendiri selama hidupnya belum pernah menghadapi lingkaran-lingkaran aneh
seperti itu, namun ia insaf asal satu di antara sekian banyak lingkaran itu
menjirat anggota badannya tentu akibatnya amat fatal. Tapi lingkaran besar
kecil sekian banyaknya sungguh sulit diraba lingkaran mana yang tulen atau lingkaran
yang ini cuma serangan pura-pura belaka. Lingkaran yang berisi atau kosong
campur aduk. Secepat kilat sambung menyambung menggulung dirinya, untuk
memunahkannya sesulit memanjat ke langit.
Sembari berkelit Coh Liu-hiang
peras otaknya mencari akal, tiba-tiba dilihatnya di atas meja judi terdapat
sebuah bumbung yang berisi batangan bambu kecil panjang satu kaki,
batang-batang bambu ini biasanya digunanakan untuk mempermudah dalam pembayaran
para penjudi dengan nilai-nilai uang yang tidak sama menurut waris dan
panjangnya.
Sekali berkelebat dan
berjumpalitan sejauh empat tombak, dengan mudah Coh Liu-hiang sudah meraih
batang bambu kecil itu, waktu cambuk melingkar datang pula mendadak ia
timpukkan sebatang bambu ke dalam lingkaran cambuk. Terdengar “pletek!” kisaran
lingkaran cambuk itu dibikin lambat, namun batangan bambu itu patah menjadi
dua.
Begitu lingkaran cambuk
mematahkan batangan bambu, bayangan lingkaranpun sirna, namun begitu si pemuda
kembali menggentak cambuknya, lingkaran-lingkaran yang tak terhitung banyaknya
kembali menggulung tiba. Lingkaran demi lingkaran menerjang datang, batangan
bambu di tangan Coh Liu-hiang pun sebatang demi sebatang ditimpukkan, setiap
batang bambu tepat sekali masuk di tengah-tengah lingkaran cambuk. Maka terdengarlah
suara “pletak-pletok” seperti ledakan poyah, tampak lingkaran cambuk satu demi
satu menghilang, batangan bambupun patah satu per satu.
Suara seperti itu enak
didengar, namun keadaan pertunjukkannya jauh lebih mengasyikkan. Kalau
dikatakan ilmu cambuk si pemuda boleh menjagoi seluruh dunia, cara Coh
Liu-hiang memusnahkannyapun tiada bandingannya di kolong langit.
Maklum begitu ujung cambuk
melingkar, kekuatannya sudah terhimpun penuh dan tinggal dimanfaatkan saja,
begitu menyentuh sesuatu benda lain atau mendapat perlawanan tenaga luar
lainnya kekuatan yang terhimpun itu mau tak mau harus tersalurkan, oleh karena
itu begitu batangan bambu tertimpuk masuk maka kekuatan lingkaran cambuk itu
pasti menggulungnya sampai patah, setelah batangan bambu dipatahkan kekuatan
lingkaran cambuk itupun punah, dengan sendirinya lingkaran itupun sirnalah.
Gampang sekali untuk
menerangkan teori ini, namun di saat menghadapi musuh dan bergebrak seru
seperti sekarang ini, untuk menjelaskan teori ini, sungguh amat sukar dan tak
mungkin dilakukan.
Memang Coh Liu-hiang seorang
genius, seorang berbakat untuk mempelajari ilmu silat. Bukan saja setiap ilmu
silat yang dia pelajari pasti dapat diyakinkan dengan sempurna, malah
pengalaman dan kecerdikan otaknya dalam menghadapi segala bentuk perubahan
serangan musuh pun teramat luas, jauh melebihi orang lain. Banyak ilmu silat
yang jelas takkan mungkin dapat dia pecahkan, begitu dia sendiri sudah
menghadapinya dalam praktek, sekilas saja secara refleks pasti dapat dia
pikirkan cara pemecahannya. Maka sering terjadi seorang yang sebetulnya
membekal ilmu silat yang lebih tinggi dari dia, setelah bergebrak malah kena
dikalahkan olehnya. Meski dia kalah dengan keheranan dan secara aneh seperti
tidak masuk akal, namun semakin aneh maka semakin mereka tunduk lahir batin.
Memang di situlah letak salah satu cacat hati manusia.
Kepandaian Hwi-hoang-tan-goat,
Heng-sing-pou-hi (cincin terbang menjerat rembulan, awan berkembang mentata
hujan) si pemuda baju hitam biasanya malang melintang di gurun pasir, selamanya
belum pernah mendapat tandingan setimpal, tak nyana secara kenyataan dia
menghadapi cara pemecahan yang aneh dan menakjubkan.
Lama-kelamaan hatinya menjadi
gugup dan gelisah, cambuk diputarnya semakin kencang, maka lingkaran pun semakin
banyak. Semakin banyak lingkaran, batangan bambu yang ditimpukkan pun semakin
banyak juga, sebentar saja batangan bambu di tangan Coh Liu-hiang terang akan
habis. Sudah tentu si pemuda baju hitam diam-diam girang, batinnya: “Setelah
batangan bambumu habis kau gunakan, akan kulihat apa pula yang bisa kau
lakukan?”
Tengah pikirannya bekerja,
dilihatnya setelah Coh Liu-hiang menimpukkan batangan bambu di tangan kanan,
lingkaran cambuknya mematahkan batangan bambu itu. Begitu lingkaran lenyap,
daya kerja lingkaran cambuk yang lain sudah tentu rada tertahan dan menjadi
kendor. Ternyata Coh Liu-hiang tidak menyia-nyiakan kesempatan paling baik ini,
dengan gerakan Hun-kong-cou-ing, kembali ia raup batangan bambu yang sama patah
berserakan di lantai itu, dari satu kini menjadi dua, jumlahnya semakin banyak
dan takkan putus bahkan yang diperlukan.
Gelisah dan gusar pula si
pemuda baju hitam, lingkarannya tiba-tiba di kiri lain kejap sudah di kanan,
dari depan lalu berkisar ke belakang, saking dongkolnya malah ada lingkaran
cambuknya yang tidak menjirat ke arah Coh Liu-hiang. Tapi walau lingkaran
cambuk itu menjurus ke arah satu sudut mana saja, asal tangan Coh Liu-hiang
bergerak, batangan bambunya dengan tepat pasti masuk ke tengah lingkaran
cambuknya.
Dasar pembawaan watak si
pemuda ini pun keras kepala dan kukuh, semakin lihay cara pemunahan lawan,
semakin dia nekad dan berjuang mati-matian, tidak mau dia gunakan permainan
ilmu cambuk lainnya.
Akhirnya tak tertahan Coh
Liu-hiang tertawa geli, serunya: “Apa belum puas kau membuat
lingkaran-lingkaran sebanyak ini?”
“Selamanya tidak akan percuma
lingkaran yang kubuat ini!” sahut si pemuda sambil mengertakkan gigi.
“Sampai kapan kau hendak
menjerat orang dengan lingkaran cambukmu?”
“Sampai kau terjerat mampus!”
“Kalau selamanya aku tidak
bisa mati?”
“Selama itu pula aku berusaha
menjerat lehermu.”
Coh Liu-hiang melengak,
katanya kewalahan: “Watak dan kemauan tuan ternyata tidak ubahnya seperti
kerbau dungu!”
“Kalau kau tidak sabar
menghadapi lingkaran cambukku, lekaslah menggelinding pergi.”
“Bagus, sungguh menyenangkan
kata-katamu, sampai aku pun.......”
Di tengah percakapan,
lingkaran cambuk tetap bergulung-gulung tiba hendak menjirat badannya, batangan
bambu tetap ditimpukkan, memunahkannya. Sampai pada kata-katanya terakhir,
tangan Coh Liu-hiang masih menggenggam sepuluhan batang-batang bambu, sekaligus
tiba-tiba ia timpukkan bersama, namun tiada satu batang pun meluncur ke arah
lingkaran. Pertempuran-pertempuran tokoh-tokoh silat tingkat tinggi, mana boleh
lena atau meleng? Saking kegirangan, tahu-tahu ujung cambuk si pemuda sudah
menjerat leher Coh Liu-hiang, begitu ujung cambuknya melilit, “plok” tahu-tahu
muka Coh Liu-hiang berbekas sejalur goresan darah. Meski kena sedikitpun Coh
Liu-hiang tidak menjadi gugup, bagai seekor ular atau belut dengan licin dan
gesit sekali badannya berputar dengan mudah ia sudah membebaskan diri sekaligus
ia jengkangkan badannya ke belakang terus melesat mundur dengan badan
menengadah ke atas, tahu-tahu sudah mundur mepet tembok.