Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 6: Liukan Pinggang Sang Gadis

Maling Romantis (Xue Hai Piao Xiang) Bab 6: Liukan Pinggang Sang Gadis
Maling Romantis
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 6: Liukan Pinggang Sang Gadis
Sebaliknya berada di dalam air Thio Siau-lim laksana naga bermain di tengah lautan, gerak badannya segesit ikan selicin belut, cukup berkelebat dan meliukkan badan, tahu-tahu ia sudah mencengkeram pergelangan tangan It-tiam-ang serta menotok hiat-tonya. Setelah tidak berkutik, lalu ia angkat badan orang serta dilemparkan ke pinggir danau, serunya tertawa: “Ang-heng, walau sekarang kau sedikit menderita, tentunya jauh lebih enak daripada kau menggila dan mampus jadinya.”

Lalu ia putar badan dan selulup ke dalam air. Cepat sekali ia berenang menuju ke arah datangnya suara harpa.

Kabut tebal mengembang di permukaan air, keadaan remang-remang, jauh di tengah danau sana berlabuh sebuah sampan kecil. Di atas sampan tunggal ini duduk bersila seorang padri muda yang mengenakan jubah putih, jari-jarinya tengah memetik harpa, di tengah keremangan kabut tampak biji matanya laksana bintang kejora yang bersinar menyala, bibir merah gigi putih, raut mukanya lebih mirip dengan wajah perempuan cantik dibanding kekasaran muka seorang laki-laki, namun tindak-tanduknya kelihatan lemah lembut, wajar dan gagah, sifat-sifatnya ini perempuan siapa pun takkan bisa menandinginya.

Seluruh badannya selintas pandang seperti amat bersih, tiada debu sedikit pun yang mengotori badannya, seolah-olah dia baru saja turun dari khayangan di tengah angkasa yang berawan.

Coh Liu-hiang memandangnya dua kali, segera ia berseru dengan tertawa sambil mengerut kening: “Kiranya dia, seharusnya aku sudah ingat sejak tadi. Kecuali dia, siapa pula yang mampu memetik suara harpa sebaik itu... celaka adalah aku yang hampir mati dari efek alunan suara harpanya tadi.”

Ia menyelam maju dan baru melongokkan kepalanya dari permukaan air setelah berada dekat di pinggir sampan, katanya: “Dalam hati Taysu memangnya ada perasaan yang tidak bisa direlakan?”

Petikan harpa seketika kacau berantakan dan akhirnya berhenti. Padri itu agaknya kaget, namun sikapnya tetap tenang dan tenteram. Sekilas ia berpaling, segera unjuk senyum mekar, katanya: “Setiap kali Coh-heng bertemu dengan Pinceng, apakah badanmu harus selalu basah kuyup seperti ini?”

Padri muda ini bukan lain adalah Biau-ceng Bu-hoa yang terkenal di seluruh kolong langit. Tempo hari waktu dia menikmati petikan harpanya di atas sampan di tengah lautan, kebetulan Coh Liu-hiang muncul dari dalam air serta mengejutkan hatinya juga.

Cepat Thio Siau-lim melompat naik ke atas sampan, katanya melotot: “Siapa itu Coh Liu-hiang?”

Bu-hoa tersenyum, ujarnya: “Kecuali Coh-heng, dalam kolong langit ini siapa yang mampu sampai sedemikian dekatnya di samping Pinceng. Siapa pula kecuali Coh-heng yang memahami makna alunan suara harpa, menaklukkan sanubari orang.”

Thio Siau-lim tergelak-gelak, “Kecuali Coh Liu-hiang, seluruh dunia siapa pula yang mampu mengejutkan kau dari dalam air.... Bu-hoa, Bu-hoa, namamu memang Bu-hoa (tiada kembang), namun tak terhitung kembang-kembang suci yang terbenam dalam sanubarimu.”

Di tengah gelak tawanya, cepat ia meraih ke muka menanggalkan kedok mukanya terus dilempar ke dalam air. Maka muncullah muka asli Coh Liu-hiang di tengah danau di atas sampan di bawah penerangan bintang-bintang kecil di angkasa raya. Entah berapa banyak gadis yang tak bisa tidur bisa melihat raut wajahnya ini.

Kata Bu-hoa: “Kedok muka yang sedemikian indah dan bagus kenapa Coh-heng buang ke dalam air?”

“Kedok muka ini sudah konangan oleh tiga orang, kenapa harus kupakai lagi?”

“Cara menyamar Coh-heng sungguh tiada bandingan di seluruh jagat. Seumpama Pinceng tidak mengenali penyamaranmu, siapa pula yang punya ketajaman mata dapat mengenali samaranmu?”

“Peduli bagaimana mereka membongkar kedok samaranku, yang terang muka asliku sudah mereka ketahui. Kalau samaran muka seseorang sampai dikenal oleh tiga orang, seumpama mukanya amat buruk pun lebih baik dia kembali kepada muka aslinya saja.”

“Entah siapa kedua tokoh yang lain itu?” tanya Bu-hoa.

“Orang pertama adalah 'Membunuh orang tiada darah, setitik darah di ujung pedang'.”

Bu-hoa sedikit mengerutkan kening. Mendadak harpa tujuh senar di pangkuannya ia buang ke dalam air juga.

“Harpamu paling tidak jauh lebih mahal daripada kedok mukaku tadi, kenapa pula kau membuangnya ke dalam air?”

“Di sini kau menyinggung nama orang itu, berarti harpa itu sudah tersentuh oleh bau anyirnya darah, selanjutnya pasti tidak akan bisa mengumandangkan suara suci dan bersih,” lalu ia pun mencuci kedua tangannya di dalam air danau, dikeluarkannya secarik sapu tangan putih untuk menyeka kering tangannya.

“Kau kira air danau ini bersih? Bukan mustahil di dalamnya ada......”

“Orang bisa membuat air kotor, sebaliknya air tidak akan mengotori manusia. Mengalir pergi, datang yang baru, selamanya tidak akan kotor.”

“Tak heran kau suka menjadi Hwesio, orang seperti kau kalau tidak mencukur gundul jadi orang beribadat, mungkin kau tidak akan bisa hidup di dalam dunia fana.”

Bu-hoa tertawa tawar, tanyanya: “Memangnya siapakah orang kedua?”

“Orang kedua ini walau sudah tahu akan diriku, sebaliknya aku belum tahu siapa dia. Yang kutahu bahwa ginkangnya amat tinggi, senjata rahasianya amat keji, malah dia pun mahir menggunakan Jinsut!”

“Jinsut?” bergetar badan Bu-hoa.

“Kau paling paham akan segala sumber, tahukah kau apa ajaran Jinsut pernah masuk ke Tionggoan?”

Bu-hoa berpikir sesaat lamanya, katanya kalem: “Aliran Jinsut asal-mulanya diajarkan dari Ih-ho (Arab), seumpama di daratan Tang-ni sana sendiri ilmu ini termasuk kepandaian misterius yang amat disegani. Tapi menurut pandangan Pinceng, kemampuan dan kesaktianmu bukan saja punya taraf yang sejajar dan setanding, malah mungkin ada sedikit melampauinya.”

“Kau mengagulkan aku, apa kau ingin supaya kelak bila bermain catur aku sengaja mengalah kepadamu?”

“Ilmu silat di Tang-ni sebetulnya bersumber dari bangsa kita di jaman dinasti Tong dulu, cuma mereka sedikit menambahi bumbu dan dirubah serta direvisi dan terciptalah aliran lain yang tersendiri. Kaum persilatan di Tang-ni sekarang yang paling terkenal adalah Liu-seng-jiu, It-to-liu dan lain-lainnya. Aliran perguruan kebanyakan mereka mengutamakan ketenangan mengatasi gerakan, bergerak belakangan mengatasi yang duluan, bukankah mirip dan serasi dengan ajaran Lwekang murni dari aliran bangsa kita? Tentang permainan ilmu pedang mereka yang ganas dan keji, gampang dan murni, bukankah sesumber dengan ilmu golok yang berkembang paling jaya dan lama pada dinasti Tong dulu?”

“Memang kau paham segala sumber ilmu, namun Jinsut itu......”

“Jinsut ilmu sihir, nama ini kedengarannya memang amat aneh dan mengandung arti yang amat dalam, namun sebetulnya tidak lepas dari ginkang, am-gi, obat bius dan ilmu rias diri yang dikombinasikan menjadi satu, cuma sejak dilahirkan pembawaan mereka suka meniru, mempunyai dasar semangat aneh yang lain dari yang lain. Setelah berhasil mempelajari ilmu dari bangsa kita, bukan saja bisa meresapinya dan menyedot inti sarinya, malah bisa pula memecah, menganalisa dan memperluas ajaran itu seolah-olah menjadi dongeng aneh dan menakjubkan.”

“Aku hanya bertanya, setelah mengalami godokan dan gemblengan dalam proses perubahan ilmu yang mereka miliki serta akhirnya menjadi ilmu yang dinamakan Jinsut itu, apakah ilmu itu pernah masuk ke dalam tanah air kita? Adakah orang yang berhasil mempelajarinya?”

“Kabarnya dua puluh tahun yang lalu pernah datang seorang bangsa Arab ahli sihir yang mendarat dan akhirnya dia menetap di daerah Binglam selama tiga tahun. Kaum Bulim di daratan besar bila ada yang pandai menggunakan Jinsut kukira pasti hasil ajaran dari orang Arab itu. Selama tiga tahun dia menetap di sana, dan yang pasti bahwa dia adalah seorang tokoh silat kenamaan di daerah Binglam sana.”

“Binglam?” Coh Liu-hiang mengerutkan kening. “Apakah keturunan Tan dan Lim, dua aliran Bulim terbesar di sana?”

“Cuaca malam seindah ini, kau malah mengajak aku membicarakan soal duniawi, memangnya tidak menyia-nyiakan pemandangan seindah gambar lukisan di malam ini?”

“Memangnya aku ini orang kasar dari dusun, apalagi pada saat sekarang, kecuali persoalan-persoalan duniawi ini, segala macam urusan lain tiada yang menarik perhatianku.”

Mendadak ia berdiri, katanya sambil tertawa besar, “Kalau kau hendak berkhotbah atau main catur, setelah persoalanku beres, tentu akan kucari kau, dan lagi aku berjanji badanku tentu akan kering dan bersih.”

“Baik, janji main catur ini jangan sekali-kali kau lupakan, lho!”

Kepala Coh Liu-hiang menongol keluar dari permukaan air, serunya keras: “Siapa bila melupakan janji dengan Bu-hoa, tentu orang itu orang linglung.”

Bu-hoa mengantar badan orang yang berlalu pergi segesit ikan, katanya sambil tersenyum: “Dapat berkenalan dengan orang seperti dia, peduli teman atau musuh, bolehlah terhitung suatu kejadian yang menggembirakan.”

Coh Liu-hiang kembali ke daratan, ia jinjing badan It-tiam-ang dan mencari sepucuk pohon tinggi besar, dicarinya dahan-dahan pohon yang rimbun dedaunannya, di sana ia baringkan badan orang, lalu melompat turun, serunya sambil mengulap tangan: “Biar sekarang kita berpisah, setengah jam lagi kau akan siuman sendiri. Aku tahu kau pasti tidak suka aku melihat keadaanmu yang serba runyam bila kau siuman nanti.”

Langsung ia berlari-lari masuk ke kota, sepanjang jalan pulang pergi ia putar otak, terasa sampai detik ini persoalan ini masih acak-acakan, sedikit pun tak berhasil ia raba sumber persoalannya. Dia berkeputusan untuk sementara tidak usah susah-susah putar otak memikirkan persoalan ini, biarlah otaknya istirahat saja beberapa waktu.

Otak manusia memang aneh, kalau lama tidak dipakai pun bisa karatan, sering dipakai dan melelahkan dia pun bisa menjadi linu dan kejang.

Waktu ia tiba di kota, sang surya sudah keluar dari peraduannya. Pagi sudah menjelang, di jalan sudah kelihatan beberapa orang berlalu-lalang. Baju Coh Liu-hiang sudah kering, ia membelok dua kali berputar dua kali, tahu-tahu ia kembali ke Kwi-gi-tong. Mayat Song Kang tak kelihatan. Sim San-koh dan murid-murid Thian-sing-pang sudah tidak kelihatan sama sekali.

Beberapa laki-laki berseragam hitam sedang memberesi keadaan yang morat-marit. Melihat Coh Liu-hiang, beramai-ramai mereka membentak: “Sekarang perjudian belum dibuka, datanglah nanti malam, kenapa terburu-buru?”

Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: “Aku hendak mencari Leng Chiu-hun.”

“Kau terhitung barang apa,” damprat laki-laki itu. “Berani kau langsung memanggil nama Kongcu kami.”

“Memang aku ini bukan barang apa-apa, namun tak lain adalah saudara kenalan Leng Chiu-hun.”

Beberapa laki-laki itu saling pandang, serempak mereka melempar sapu terus berlari masuk ke dalam.

Tak lama kemudian, dengan langkah malas Leng Chiu-hun berjalan keluar, air mukanya tampak lesu seperti kurang tidur, namun kedua biji matanya berkilat terang, dari atas ke bawah dia amat-amati Coh Liu-hiang, tanyanya dingin: “Siapa tuan ini? Seingatku belum pernah aku punya saudara kenalan seperti kau ini.”

Coh Liu-hiang sengaja celingukan ke sekelilingnya, lalu katanya merendahkan suara: “Aku inilah Thio Siau-lim. Demi mengelabui mata kuping orang, sengaja aku menyamar seperti ini.”

Sekilas Leng Chiu-hun melengak, cepat sekali ia sudah menarik tangannya sambil tertawa besar, serunya: “Kiranya kau Thio-jiko, aku memang pantas mampus. Sudah sekian lamanya tak bertemu, sampai saudara sendiri pun sudah kulupakan.”

Coh Liu-hiang tertawa geli, ia diam saja dirinya ditarik masuk ke dalam sebuah kamar tidur yang dipajang amat indah, kelihatan kepala seorang perempuan dengan rambutnya yang awut-awutan, sebuah tusuk konde menggeletak di pinggir bantal.

Tiba-tiba Leng Chiu-hun menyingkap kemul, katanya dingin: “Tugasmu sudah selesai, kenapa belum pergi juga?”

Tersipu-sipu perempuan itu merangkak bangun dan cepat-cepat mengenakan pakaiannya terus berlari keluar dengan langkah sempoyongan.

Baru sekarang Leng Chiu-hun duduk sambil menatap Coh Liu-hiang, katanya: “Tak nyana ilmu rias saudara ternyata begini lihay. Setelah mengubah samaranmu sekarang, tentunya tidak sewajar dan leluasa seperti semula. Kalau saudara menyamar lebih jelek sedikit, tentunya sukar konangan. Caramu ini...... raut mukamu sedikit banyak tentu akan menimbulkan perhatian orang.”

Coh Liu-hiang mengelus hidung, katanya: “Apa Leng-heng ada melihat sesuatu keganjilan atas samaranku?”

Hampir saja pecah perut Coh Liu-hiang saking menahan geli, namun lahirnya tetap tenang-tenang saja, ujarnya: “Menyamar di waktu malam gelap, bentuknya kurang sempurna, namun ya apa jadinyalah!”

Kembali Leng Chiu-hun meliriknya dua kali, katanya: “Sebetulnya sih cukup baik, asal hidungmu sedikit rendah, matamu disipitkan, tentu lebih sempurna.”

“Ya, ya, lain kali tentu akan kurubah,” sahut Coh Liu-hiang menahan geli. Sambil celingukan, katanya tiba-tiba: “Di mana Sim San-koh?”

“Aku tidak suka meniru cara saudara, tentunya sudah kulepas dia pulang. Walau Thian-sing-pang tiada punya tokoh-tokoh yang menonjol, jelek-jelek merupakan sindikat yang kenamaan juga, tentunya aku tidak suka mengikat pertikaian-pertikaian terlalu mendalam dengan mereka.”

“Memang betul demikian, entah saudara sudah mengutus anak buah untuk memperhatikan gerak-gerik kaum persilatan di kota Kilam ini?”

“Aku sudah suruh orang mencari dengan seksama. 'Ngo-kui' bahwasanya tidak berada di dalam kota, kecuali itu memang ada beberapa tokoh yang cukup terkenal, namun mereka tiada sangkut-pautnya dengan urusan kita ini.”

“Siapakah orang itu?”

“Dandanan orang itu aneh dan lucu, pedangnya sempit panjang, bukan lain adalah tokoh dari Hay-lam-kiam-pay, dilihat dari tindak-tanduknya dia orang kosen, kukira kalau bukan Ling Ciu-cu pasti Thian-ing-cu.”

“Thian-ing-cu,” seru Coh Liu-hiang berjingkrak bangun. “Di mana dia sekarang?”

“Kenapa saudara begini tegang?” tanya Leng Chiu-hun heran.

“Jangan tanya dulu, lekas katakan di mana dia sekarang, kalau terlambat mungkin sudah kasep.”

“Dia tidak menginap di biara atau di dalam kuil, namun bermalam di In-ping-lau di selatan kota. Untuk apa saudara begini kesusu untuk menemui dia?”

Belum habis kata-katanya, Coh Liu-hiang sudah berlari keluar, gumamnya: “Semoga kedatanganku belum terlambat. Semoga dia tidak menjadi korban yang ketiga lantaran surat itu.”

Areal bangunan In-ping-lau ini amat luas, tidak sedikit tamu-tamu luar kota yang menginap di dalam hotel ini, namun orang beribadah hanya Thian-ing-cu satu-satunya, seorang diri menempati sebuah kamar di pekarangan samping yang kecil, menghadap ke arah matahari terbit. Cuma saat mana orangnya sedang keluar.

Bagi seorang ahli seperti Coh Liu-hiang, setelah dia mencari tahu letak kamarnya, dengan cepat ia sudah berada di pekarangan kecil itu, menggunakan sebatang kawat baja dengan mudah ia membuka gembok dan masuk ke dalam kamar.

Nama besar Thian-ing-cu memang amat disegani, semua barang atau perbekalan yang dia bawa tidak banyak, cuma sebuah buntalan kain kuning. Dalam buntalan terdapat beberapa stel pakaian, dua pasang kaus kaki panjang dan segulung buku dan kertas tulisan. Buku ini ia buntal di dalam lempitan pakaian dalamnya, diikat pula dengan benang sutera. Kelihatannya Thian-ing-cu amat memandangnya sangat berharga. Coh Liu-hiang berpikir: “Surat misterius itu bukan mustahil disimpan di dalam buku ini?”

Coh Liu-hiang insyaf bahwa surat itu menyangkut peristiwa ini, dan penting serta besar artinya bagi dirinya untuk mencari sumber penyelidikan. Bukan mustahil merupakan kunci penjelasan rahasia peristiwa ini, kalau tidak, tidak mungkin beberapa jiwa berkorban secara konyol lantaran surat itu.

Hati-hati Coh Liu-hiang membuka ikatan benang sutera itu. Benar juga, di antara lembaran buku-buku itu melayang jatuh selembar sampul surat. Betapa girang hatinya. Cepat ia jemput surat itu, di atas secarik kertas merah jambon tertulis dua baris kata-kata yang bergaya indah dan berseni, kelihatannya buah tangan seorang perempuan.

Kertas surat itu sudah telempit, membekas garis-garis luntur sehingga menjadi kucel, terang sudah dibaca dan dilempit entah berapa kali, namun tetap dipelihara dan disimpan dengan baik, dari sini dapatlah disimpulkan bahwa penerima surat ini memandangnya amat berharga.

Isi surat itu rada mengambang dan pakai sindiran lagi, jelas penulisnya mengharap penerima surat ini putuskan saja hubungan asmara, jangan selalu pikir dan mengenang dirinya. Kalau dikatakan secara terang atau cekak-aos, artinya adalah: “Aku tidak suka kepadamu, maka jangan kau terlalu tergila-gila kepadaku.”

Sudah tentu surat ini ditujukan kepada Thian-ing-cu, surat itu tertanda 'Ling-siok' dua huruf kecil, tentunya nama kecil perempuan itu.

Diam-diam Coh Liu-hiang menarik napas, batinnya: “Naga-naganya sebelum menjadi orang beribadat Thian-ing-cu pernah mengalami patah hati. Bukan mustahil lantaran kejadian itu dia mengorbankan masa depannya dan menyucikan diri mengabdi kepada ajaran Thian. Sampai sekarang dia masih bawa surat cinta ini, kiranya dia pun seorang romantis.”

Tanpa sengaja ia mencuri lihat rahasia pribadi orang lain, dalam hati ia amat menyesal, akhirnya ia toh tidak menemukan surat misterius itu, mau tak mau hatinya merasa kecewa pula.

Buntalan kain kuning kembali pada posisi dan bentuknya semula, siapa pun takkan bisa membedakan bahwa buntalan ini barusan pernah disentuh orang.

Waktu beranjak di jalan raya, Coh Liu-hiang menggumam sendiri: “Ke manakah Thian-ing-cu? Dari tempat jauh dia meluruk ke mari, tentunya hendak menyelidiki jejak Suhengnya Ling-ciu-cu. Kalau toh sudah berada di Kilam, bukan mustahil dia akan mencari kabar ke Cu-soa-bun......” karena pikirannya ini, segera ia menyetop sebuah kereta besar, terus dibedal menuju ke Kwi-gi-tong.

Dilihatnya Leng Chiu-hun sedang berdiri di ambang pintu sambil menggendong tangan, agaknya barusan mengantar seorang tamu.

Begitu melihat Coh Liu-hiang, ia tertawa. Katanya, “Kau masih terlambat juga.”

Lekas Coh Liu-hiang bertanya: “Barusan apakah Thian-ing-cu ke mari?”

“Ya, kau mencari dia, sebaliknya dia mencari aku! Anehnya, pihak Hay-lam-kiam-pay pun kehilangan seseorang. Anehnya lagi dia tidak mencari tahu kepada orang lain, justru mencariku. Hay-lam dan Kilam berjarak ribuan li, pihak Hay-lam-pay kehilangan orang, bagaimana mungkin Cu-soa-bun bisa tahu jejaknya?”

“Tahukah kau, setelah meninggalkan tempat ini dia hendak ke mana?”

“Pulang ke In-ping-lau, aku sudah berjanji lewat lohor aku akan balas berkunjung ke sana!”

Belum orang habis bicara, bayangan Coh Liu-hiang sudah tak kelihatan. Kali ini ia sudah tahu jalannya, langsung ia memburu ke pekarangan kecil itu. Jendela kamar itu sudah terbuka, seorang Tosu tinggi kurus yang menggelung tinggi rambut kepalanya sedang duduk di sisi jendela menuang air teh. Entah apa yang sedang dipikirkan, dari poci yang tertuang miring, sedikit pun tidak kelihatan air teh mengalir keluar, namun orang agaknya tidak sadar, tangannya masih menjinjing poci teh itu.

Coh Liu-hiang merasa lega, gumamnya pula: “Syukur aku tidak terlambat. Kali ini betapa pun tidak akan kubiarkan orang lain membunuhnya lebih dulu sebelum aku bertindak!”

Segera ia merangkap tangan bersoja ke dalam kamar, serunya: “Apakah Thian-ing Totiang yang berada di dalam rumah?”

Begitu asyik Thian-ing-cu memeras otak, sehingga seruan yang demikian keras pun tidak mengagetkan dirinya. Coh Llu-hiang geli, batinnya: “Tosu romantis ini mungkin sedang mengenang perempuan bernama 'Ling-siok' itu.”

Dengan langkah lebar ia mendekati jendela, katanya pula: “Kedatangan cayhe ini
demi suheng.....” sampai di sini baru didapati bahwa poci itu sudah kosong, air teh sudah mengalir habis membasahi selebar permukaan meja, malah membasahi pakaiannya pula.

Cepat sekali otak Coh Liu-hiang bekerja. Dengan lirih ia tepuk pundak orang, tak nyana dengan badan kaku orang roboh menggelundung ke lantai. Setelah rebah di lantai, kaki tangannya tetap bergaya seperti duduknya tadi, dengkul tertekuk tangan masih menjinjing poci teh itu.

Keruan bukan kepalang terkejutnya Coh Liu-hiang. Lekas ia melompat masuk, kaki tangan Thian-ing-cu ternyata sudah kaku dingin, napasnya sudah berhenti, dadanya berlepotan darah, ternyata setelah tertotok jalan darahnya, lalu tertusuk mati oleh sebatang pedang di dadanya.

Ahli pedang yang kenamaan dari Hay-lam-pay ini ternyata terbunuh secara menggelap dan tanpa disadari oleh sang korban sendiri. Pembunuh itu menghunjamkan pedangnya dari dada tembus ke punggung, namun poci teh di tangannya toh tidak terlepas jatuh. Betapa takkan mengejutkan kepandaian si pembunuh itu!

Betapa hati Coh Liu-hiang takkan mencelos. Dengan cermat ia periksa keadaan sekeliling kamar, namun tiada tanda mencurigakan yang dia temukan, terang kepandaian pembunuh itu amat tinggi.

Sambil mengawasi jenazah Thian-ing-cu, Coh Liu-hiang berdoa dalam hati: “Meski bukan aku yang membunuhmu, tapi kau mati lantaran aku. Kalau orang itu tidak tahu aku hendak mencarimu, belum tentu dia membunuhmu. Sayang sekali di waktu hidupmu kau sendiri memegang kunci rahasia yang menyangkut persoalan ini, kau sendiri tidak tahu-menahu.”

Sampai sekarang Cou Yu-cin, Sebun jian, Leng-ciu-cu, Ca Bok-hap berempat mempunyai titik persamaan, yaitu mereka berempat pasti pernah menerima sepucuk surat dan surat itu pasti ditulis oleh satu orang, sumber penyelidikan inilah satu-satunya yang dikejar dan ingin diketahui oleh Coh Liu-hiang. Untuk membongkar rahasia ini, dia harus tahu siapakah penulis surat itu. Apa pula yang tertulis dalam surat itu?

Tepat tengah hari, cahaya matahari nan terik menyinari jalan raya yang berlandaskan papan batu hijau itu sampai mengkilap.

Beranjak di jalan berbatu licin ini, walau air muka Coh Liu-hiang tidak mengunjuk perasaan hatinya, namun hati kecilnya teramat kecewa hampir putus asa.

Surat-surat yang pernah diterima Cou Yu-cin, Sebun Jian, dan Ling-ciu-cu boleh dikata sudah hilang. Song Kang, Nyo Siong dan Thian-ing-cu yang punya hubungan erat dengan persoalan ini pun terbunuh untuk menutup mulutnya, yang ketinggalan hanyalah pihak Ca Bok-hap, mungkin dari sana masih ada sumber penyelidikan yang dapat ditemukan. Tapi waktu Ca Bok-hap keluar pintu, apakah dia meninggalkan surat itu? Seumpama dia meninggalkan surat itu, kepada siapa dia serahkan surat itu? Seumpama Coh Liu-hiang sudah tahu siapa orang itu, memangnya dia bisa menemukan jejak orang itu yang berada di tengah gurun pasir yang tak terjelajah oleh manusia?

Coh Liu-hiang menarik napas. Ia belok ke jalan samping di mana ia memasuki sebuah warung arak dan makan-minum sepuasnya. Kalau perut laki-laki sudah dijejal, sesak dengan makanan enak yang memenuhi seleranya, pikirannya pun menjadi terang dan jernih. Dari jendela yang terpentang lebar, iseng-iseng Coh Liu-hiang melongok keluar dengan sorot pandangan tertarik mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang di jalanan. Mendadak dilihatnya beberapa orang laki-laki sedang menuntun kuda mengiringi seorang gadis berpakaian jubah ungu. Mereka membelok ke arah sini dari jalan raya besar sana.

Beberapa laki-laki itu sudah tentu takkan menarik perhatian Coh Liu-iang, namun gadis yang berdandan sebagai nyonya muda itulah yang membuat matanya bersinar terang. Dia bukan lain adalah Sim San-koh.

Tampak muka bundar kwacinya itu bersungut-sungut. Sambil mengerut alis, mimik mukanya seakan-akan uring-uringan dan selalu hendak mencari gara-gara kepada orang lain, namun para laki-laki itu pun acuh tak acuh dan berjalan goyang gontai tak bersemangat.

Thian-sing-pang yang biasanya malang-melintang dan ditakuti di daerah Hoan-lam ini ternyata begini mengenaskan, sampai diusir orang dari kota Kilam, betul-betul suatu kejadian yang amat memalukan dan merupakan hinaan.

Waktu tiba di bawah pohon gundul di ujung jalan sana, mereka berhenti. Agaknya sedang merundingkan sesuatu. Laki-laki itu sama naik ke atas kuda, teus dicemplak ke arah timur keluar kota, sementara seorang diri Sim San-koh melanjutkan perjalanan ke arah barat, arah yang berlawanan.

Tergerak hati Coh Liu-hiang, terpikir sesuatu olehnya. Lekas ia lemparkan sekeping uang di atas meja sebagai pembayaran makan-minumnya. Dengan tergesa-gesa ia mengejar ke arah barat pula, maka dilihatnya potongan badan yang langsing, montok dan menggiurkan itu sedang berlenggang di depan sana.

Dari kejauhan Coh Liu-hiang terus menguntit di belakangnya. Dengan puas ia menikmati gaya sang gadis cantik yang berlenggang menggoyangkan pinggul, siapa pun yang melihatnya dengan nyata pasti jantungnya berdebar keras. Demikianlah, rasa kecewa dan putus asa Coh Liu-hiang tadi sudah terlupakan sama sekali.

Agaknya Sim San-koh tidak menyadari dan tidak tahu bila dirinya dikuntit orang. Seumpama dia melihat Coh Liu-hiang, dia pun tidak akan mengenalnya, karena Coh Liu-hiang sekarang bukan lagi Thio Siau-lim dalam penyamarannya tadi.

Saban-saban Sim San-koh berhenti menanyakan sesuatu kepada orang-orang di pinggir jalan atau kepada pemilik toko dan penarik kereta, entah apa yang sedang dicarinya.

Tujuannya ke luar kota, jalan yang dilaluinya pun semakin sempit, penuh semak belukar dan jorok. Akhirnya dia menuju ke pojokan kota, di mana merupakan tempat tinggal rakyat tingkat rendah yang miskin. Sudah tentu Coh Liu-hiang teramat heran, sungguh ia tidak habis mengerti, siapakah sebetulnya yang sedang dia cari.

Orang seperti Sim San-koh berada di daerah seperti itu, sudah tentu kedatangannya menjadi perhatian orang banyak, ada beberapa bajingan gelandangan malah saling tuding dan bersuit menggoda, agaknya mereka sedang berdebat main nilai segala.

Tapi Sim San-koh tidak memperdulikan tingkah laku orang lain, seolah-olah acuh tak acuh dan tak mendengar ocehan kotor mereka. Kalau orang mengawasi dirinya, dia pun balas melotot kepadanya, malah sering dia bertanya ke sana ke sini pula. Orang yang dia cari dan ditanyakan alamatnya itu agaknya sudah lama menetap di daerah ini, tidak sedikit yang menuding suatu arah sambil menjelaskan. Tempat yang ditunjuk ternyata adalah sebuah bukit kecil.

Di atas bukit kecil ini dibangun dua deret rumah gubuk, keduanya dibangun dari papan-papan yang bersambung satu sama lainnya, bentuknya tidak genah dan miring serta reot, terang di sini merupakan daerah miskin yang dihuni oleh para gelandangan di pinggir kota Kilam.

Semakin heran dan tak mengerti Coh Liu-hiang dibuatnya.

“Di tempat seperti ini, adakah seseorang yang bisa dia temukan?”

Setelah tiba di bawah bukit, kembali Sim San-koh bertanya kepada seorang perempuan yang berperut besar. Kali ini lapat-lapat Coh Liu-hiang ada mendengar ia bertanya demikian: “Sun Hak-boh apakah tinggal di atas sana? Yaitu siucay tukang gambar itulah?”

Nyonya berperut besar itu menggeleng-gelengkan kepala, sebagai jawaban bahwa ia tidak tahu, namun seorang anak tanggung di sampingnya segera berteriak: “Sun-siucay yang dikatakannya itu bukan lain adalah Sun-lothau itulah.”

Baru sekarang nyonya itu tertawa, katanya; “Oh, jadi kau hendak mencari Sun-lothau? Dia tinggal di rumah ketujuh di atas sana, di muka rumahnya ada tergantung kerai berbentuk Pat-kwa, gampang sekali ditemukan.”

Orang macam apa pula Sun-siucay itu? Kenapa Sim San-koh harus menemukan dia?

Mungkinkah ada tokoh-tokoh lihay yang menyembunyikan diri di daerah miskin di pinggir kota Kilam ini?

Coh Liu-hiang berputar ke samping rumah nomor tujuh yang dimaksud. Dari sebuah lobang jendela kecil yang terletak di samping rumah, ia melongok ke dalam. Tampak seorang kakek ubanan yang berbadan bungkuk sedang duduk di pinggir meja reot. Penerangan di dalam gubuk itu remang-remang, namun kentara jelas si orang tua ini hidup dalam kemelaratan, seolah dia sudah tidak menaruh minat akan kehidupan manusia umumnya. Dengan tenang ia duduk di tempatnya, seolah-olah sedang menunggu waktu menjelang ajalnya saja.

Kakek tua laksana sebatang lilin di tengah hamparan hujan badai ini, memangnya kenapa bisa menimbulkan perhatian Sim San-koh? Sungguh Coh Liu-hiang tidak habis mengerti. Waktu ia terheran-heran itulah Sim San-koh sudah menyingkap kerai melangkah masuk. Sekilas ia menjelajahkan pandangannya, lalu mengerutkan kening, katanya: “Apa kau ini Sun Hak-boh, Sun-siucay?”

Roman muka si kakek tetap kaku tidak menunjukkan perubahan rasa hatinya, katanya kaku: “Iya, aku memang Sun Hak-boh, tanya nasib dua tail, soal jiwa satu tail.”

Semakin dalam kerut alis Sim San-koh, katanya: “Yang kucari adalah guru gambar Sun-siucay, bukan ahli nujum.”

Sun Hak-boh menyahut tawar: “Aku inilah guru lukis Sun-siucay, namun sejak dua puluh tahun yang lalu aku sudah mengalihkan objekku. Kalau nona hendak bergambar, tentunya sudah terlambat dua puluh tahun.”

Baru sekarang kerut alis Sim San-koh menjadi longgar, katanya: “Ganti objek atau tidak bukan soal, asal kau betul adalah guru gambar dua puluh tahun yang lalu, memang kaulah yang kucari-cari.”

Sembari bicara, dari dalam lengan bajunya ia mengeluarkan gulungan sebuah lukisan, terus dibeber di atas meja di depan Sun Hak-boh. Dengan tajam ia menatap Sun Hak-boh, katanya dengan nada berat: “Kutanya kau, apakah gambar lukisan ini hasil karyamu? Siapa pula orang yang kau gambar ini?”

Ingin Coh Liu-hiang ikut melihat gambar lukisan itu, sayang penerangan di dalam rumah rada gelap, bayangan Sim San-koh justru menghalangi gambar lukisan itu, maka nihillah niat hatinya.

Yang dapat dilihat adalah selebar muka Sun Hak-boh yang tetap pucat kosong, sedikit pun ia tidak menunjukkan mimik mukanya, seperti tidak berperasaan sama sekali. Seumpama seorang pikun, seolah-olah tinggal raga kasarnya itulah yang masih bertahan tanpa sukma dan jiwa.

Hakekatnya sorot matanya tak pernah memandang ke arah gambar lukisan itu. Dengan hambar dan pandangan kosong ia menatap lurus ke depan. Dari pandangan hambar dan kosong itu, sepatah demi sepatah ia berkata: “Aku tidak tahu siapa yang menggambar lukisan ini, dari mana pula aku bisa tahu siapa yang digambar di dalam lukisan itu.”

Sekali berdiri Sim San-koh menjinjing baju di depan dadanya, katanya gusar: “Kenapa kau tidak tahu? Di atas gambar ini terang ada tanda tangan namamu.”

“Lepaskan tanganmu, memangnya matamu picak, tidak melihat kalau aku ini seorang buta?”

Seperti mukanya mendadak ditampar orang, lekas Sim San-koh melepaskan tangannya, teriaknya: “Kau... jadi apa pun kau tidak bisa melihatnya lagi?”

“Kalau mataku masih bisa melihat, memangnya kenapa aku harus menyimpan alat lukisanku? Menggambar adalah jiwaku, sudah lama aku kehilangan jiwa, yang duduk di sini bukan lain adalah seonggok mayat belaka.”

Lama sekali Sim San-koh menjublek di tempatnya, pelan-pelan ia menggulung pula gambar lukisan itu. Namun baru setengah saja, tiba-tiba ia meletakkan kembali lukisan itu di atas meja, katanya keras: “Walau kau tidak bisa melihat lukisan gambar ini, tapi mungkin kau masih ingat kepadanya. Dia seorang perempuan cantik, masihkah kau ingat kapan kau pernah melukis seorang perempuan cantik?”

“Sekarang walau aku ini seorang tua renta yang miskin dan picak, tapi dua puluh tahun yang lalu, aku Sun Hak-boh adalah tokoh yang kenamaan.”

Rona wajahnya nan hambar kosong itu secara aneh memancarkan cahaya cemerlang yang sekejap saja, cahaya yang bangga seolah-olah menghidupkan kembali jiwa dan sukmanya. Katanya lebih lanjut: “Dua puluh tahun yang lalu, orang sering membandingkan aku sebagai Co Cut-hin, seperti Go To-cu, entah putri-putri bangsawan dari kalangan apa pun dalam dunia, sama berebut minta aku menggambarkan lukisan mereka. Entah berapa banyak perempuan-perempuan cantik yang pernah kulukiskan.....”

“Tapi yang satu ini jauh berlainan.... kau harus percaya kepadaku. Walau berapa banyak perempuan jelita yang pernah kau lukis, melulu dia inilah pasti tidak akan pernah kau lupakan. Peduli siapa pun, bila pernah melihat raut wajahnya, selama hidupnya tentu tidak akan melupakannya.”

Sun Hak-boh menepekur sebentar, mendadak ia bertanya: “Gambar lukisan yang kau maksud apakah lebar dua kaki panjang tiga kaki? Apa orang yang kulukis itu mengenakan pakaian hijau dengan pripit biru, di bawah kakinya mendekam seekor kucing hitam......” entah kenapa nada suaranya semakin gemetar dan akhirnya tak kuasa meneruskan kata-katanya.

Sebaliknya Sim San-koh berjingkrak senang, katanya: “Tidak salah, memang gambar itulah. Aku tahu kau pasti tidak akan melupakannya, tentunya kau pun ingat siapakah perempuan cantik yang kau lukis ini?”

Kini sekujur badan Sun Hak-boh yang gemetar, rona wajahnya yang hambar dan kosong kelihatan amat takut dan jeri, katanya dengan suara serak: “Jadi dia yang kau tanyakan.... dia yang kau tanyakan.... aku.... aku tidak ingat siapa dia.... aku tidak pernah mengenalnya.”

Kedua tangannya berpegangan di tepi meja, meja sampai berkeriut keras ikut gemetar. Dengan sempoyongan ia coba berdiri di atas kakinya, lalu dengan terhuyung-huyung hendak lari ke luar pintu.

Cepat Sim San-koh menariknya, lalu menekannya duduk kembali di kursinya semula, katanya bengis: “Kau pernah melihatnya, bukan? Kau pun masih mengingatnya, bukan?”

“Nona, kumohon kau lepaskan aku saja..... Seorang tua miskin yang tidak berguna seperti aku ini, di sini aku menunggu ajal dengan tenang, kenapa kau harus memaksaku?”

“Sret!”, Sim San-koh mencabut badik serta mengancam tenggorokannya, ancamnya bengis: “Tidak kau katakan, biar kubunuh kau!”

Bergetar sekujur badan Sun Hak-boh, akhirnya ia berteriak keras: “Baik, akan kukatakan, dia..... dia bukan manusia, dia adalah iblis perempuan!”

Mengintip sampai di sini, hati Coh Liu-hiang pun diliputi perasaan heran dan tertarik akan persoalan ini. Siapakah perempuan di atas lukisan itu? Apa pula sangkut-pautnya dengan Sim San-koh? Kedatangannya semula hendak menyelidiki berita Suhengnya Cou Yu-cin, memangnya kenapa pula tanpa kenal jerih-payah mencari seorang pelukis rudin yang sudah tua renta ini dan dengan mengancam menanyakan asal-usul perempuan di atas gambar lukisan itu?

Memangnya perempuan itu punya sangkut-paut dengan suatu rahasia yang menyebabkan Cou Yu-cin dan lain-lainnya menghilang?

Kini si pelukis mengatakan tidak mengenal perempuan itu setelah berselang dua puluh tahun kemudian. Kenapa kelihatannya dia amat menakutinya? Apa benar dia seorang iblis perempuan?

“Iblis perempuan?” terdengar Sim San-koh menjengek hidung. “Perempuan secantik ini mana bisa dikatakan iblis perempuan?”

“Tidak salah, memang dia teramat cantik. Selama hidupku betapa banyak perempuan cantik yang pernah kulihat, namun tiada seorang pun yang bisa dibandingkan dengan dia. Kecantikan orang lain paling-paling bikin pandanganmu kabur, namun kecantikannya bisa membikin kau gila, sehingga kau rela mengorbankan segala milikmu termasuk jiwa ragamu sendiri. Tidak banyak yang kau harapkan, cukup untuk dapat melihat senyum tawanya belaka.”

Walaupun dia sedang melukiskan betapa cantiknya sang bidadari, namun suaranya kedengaran sember dan bergetar ketakutan, seolah-olah memang sering terjadi banyak korban yang ingin melihat senyum tawanya saja.

Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, pikirnya: “Kalau terlalu ayu memang ada kalanya bisa berubah menakutkan, namun selama hidupku ini kenapa belum pernah aku berjumpa dengan perempuan cantik yang bisa membuat hatiku takut?”

Sementara itu terdengar Sun Hak-boh sedang menutur lebih lanjut: “Waktu aku melihatnya, sudah tentu aku pun amat kaget dan merasa lemas sekujur badanku berhadapan dengan kecantikannya. Waktu itu aku belum berupa buruk seperti sekarang, kalau tidak mau dikata sebagai pemuda ganteng cakap, pernah beberapa gadis terkena penyakit rindu oleh karena aku, namun aku anggap hal itu seperti sepele saja. Tapi dia..... di hadapannya, seolah-olah berubah menjadi budaknya, ingin rasanya kupersembahkan segala milikku kepadanya.”

Sim San-koh mengangkat alis, katanya, “Apa benar di dunia ini ada perempuan secantik itu?”

“Orang yang belum pernah melihat rupanya, memang sukar mempercayainya. Lukisan itu, aku yakin karyaku ini cukup bernilai, namun mana aku mampu melimpahkan mimik wajahnya nan asli memabukkan setiap orang yang melihatnya, tindak-tanduknya...., boleh dikata aku hanya bisa melukis seperseribu dari segala kesempurnaan dirinya.”

“Dia mencarimu hanya untuk supaya kau lukis?”

“Ya. Setelah bertemu aku, lantas dia minta supaya dibuatkan empat lembar lukisan dirinya. Aku menghabiskan waktu tiga bulan lamanya. Kuperas segala daya cipta, keringat, keahlianku, akhirnya berhasil dengan sukses.”

Mendadak terkulum senyuman bangga di ujung mulutnya, katanya kalem: “Dalam tiga bulan ini setiap hari setiap saat aku berhadapan dengan dia..... tiga bulan ini sungguh merupakan hari-hari bahagia selama hayatku, tapi tiga bulan kemudian dia.....” Sampai di sini, senyuman di ujung mulutnya tiba-tiba sirna, roman mukanya kembali mengunjuk rasa takut yang tak terperikan. Kembali sekujur badannya gemetar dan berkeringat dingin.

Tak tahan tertawa Sim San-koh: “Tiga bulan kemudian bagaimana?”

“Tiga.... tiga bulan kemudian, malam setelah aku menyelesaikan keempat lembar lukisan itu, dia menyiapkan meja perjamuan. Dia sendiri yang melayani aku makan-minum sehingga serasa arwahku terbang ke awang-awang. Karena dicekok arak terus-menerus, memangnya kondisi badanku sudah teramat lelah setelah memeras keringat selama tiga bulan, beberapa cangkir saja aku lantas jatuh mabuk. Waktu aku siuman, baru aku tahu, dia..... dia.....” kalamenjing di lehernya naik-turun menelan ludah, sepatah demi sepatah kata-katanya keluar dari tenggorokannya yang tersendat: “Ternyata kedua biji mataku sudah dia korek keluar dengan kekerasan.”

Mendengar sampai di sini, Sim San-koh di dalam rumah dan Coh Liu-hiang di luar sana sama berjingkrak kaget. Lama kemudian Sim San-koh baru menarik napas panjang, katanya: “Kenapa dia berbuat demikian?”

Sun Hak-boh tertawa rawan, sahutnya: “Karena aku pernah melukis dirinya, dia tidak suka aku melukis bagi perempuan lain lagi.”

Biasanya Sim San-koh sering berlaku kejam membunuh orang tanpa berkesip, tapi begitu mendengar kekejaman perempuan yang telengas ini, tapak tangannya sampai berkeringat, gumamnya: “Iblis perempuan.... memang dia betul iblis perempuan.”

“Sudah kukatakan dia adalah iblis perempuan. Siapa pun yang memilikinya, pasti akan mengalami bencana. Nona, kau.... untuk apa kau cari dia? Gambar lukisan ini cara bagaimana pula bisa terjatuh ke tanganmu?”

“Gambar lukisan ini adalah milik Toa-suhengku, Cou Yu-cin,” sahut Sim San-koh.

Bersinar biji mata Coh Liu-hiang, batinnya: “Ternyata tebakanku tidak meleset, perempuan itu ternyata ada hubungannya dengan Cou Yu-cin.”

“Kalau demikian, kenapa tidak kau tanyakan asal-usulnya kepada suhengmu?” tanya Sun Hak-boh.

“Toa-suhengku sudah menghilang.”

“Menghilang?..... sebelum menghilang?”

“Dulu sudah tentu pernah kutanyakan, namun dia tidak mau menjelaskan.”

“Kalau dia tidak mau menjelaskan, kenapa kau ingin tahu?”

Kata Sim San-koh penasaran, “Selama hidupnya Toa-suheng tidak mau menikah lantaran perempuan ini. Kebahagiaan hidup suhengku boleh dikata terkubur oleh perempuan ini. Setiap waktu, setiap saat, ia selalu merindukannya sehingga lupa makan tidak bisa tidur. Sehari-hari selalu dalam keadaan linglung dan suka mengigau. Selama sepuluh tahun tak pernah kehidupannya berubah. Namun dia sebaliknya tidak pernah menunjukkan perhatiannya kepada suhengku, apa yang dia berikan kepada suhengku melulu penderitaan dan kesengsaraan belaka.”

“Kau hendak menemui dia demi kebaikan Toa-suhengmu?”

“Ya!” ujar Sim San-koh kertak gigi dengan penuh kebencian. “Aku membencinya!”

“Kau membencinya lantaran kau sendiri pun mencintai suhengmu? Kalau bukan lantaran dia, mungkin kau sudah menjadi bini Toa-suhengmu, benar tidak?” laki-laki tua yang tidak punya mata ini ternyata dapat menembusi relung hati orang lain.

Sim San-koh serasa ditusuk jarum. Dengan lemas ia jatuh terduduk, namun lekas ia bangkit kembali, katanya dengan suara ringan: “Aku mencarinya ada sebab lainnya pula.”

“Sebab apa?”

“Suatu malam Toa-suheng pernah menerima sepucuk surat. Lalu dia termenung menghadap gambar lukisan ini sampai pagi tanpa tidur. Hari kedua, pagi-pagi benar dia lantas keluar pintu dan tak pernah kembali lagi.”

“Tak pernah kembali sejak keluar pintu?”

“Ya, oleh karena itu kupikir menghilangnya Toa-suheng pasti ada sangkut-pautnya dengan perempuan ini. Bukan mustahil surat itu adalah buah permainannya. Jikalau bisa menemukan dia, mungkin aku bisa menemukan Toa-suheng pula.”

Lama Sun Hak-boh berdiam diri, lalu katanya pelan-pelan: “Aku tahu namanya adalah Chiu Ling-siok.”

Nama Chiu Ling-siok tidak membawa pengaruh apa-apa bagi Sim San-koh, namun amat mengejutkan bagi Coh Liu-hiang yang mengintip di luar jendela. Tiba-tiba dia teringat pada surat yang dia baca dalam buntalan Thiang-ing-cu tempo hari, bukankah tanda tangan penulis surat itu adalah Ling-siok juga? Jadi surat cinta itu ternyata bukan ditujukan kepada Thiang-ing-cu, tapi ditujukan kepada Ling-ciu-cu. Setelah Ling-ciu-cu menghilang, seperti pula Sim San-koh, Thian-ing-cu menaruh curiga kepada penulis surat itu dan ingin mencari jejaknya pula. Karena kesimpulannya ini, tanpa ragu-ragu, cepat Coh Liu-hiang menyelinap masuk lewat jendela.

Serasa kabur pandangan Sim San-koh, tahu-tahu di dalam bilik reot itu sudah bertambah seseorang di hadapannya. Dengan kaget ia mundur mepet ke dinding, bentaknya bengis: “Siapa kau?”

Coh Liu-hiang tersenyum simpul sambil mengawasi muka orang, ujarnya: “Nona tidak perlu kaget. Seperti kedatangan nona, Cayhe pun sedang menyelidiki jejak Chiu-hujin, Chiu Ling-siok itu.”

Senyumannya sungguh mengandung tenaga gaib sehingga orang merasa tenteram, terutama kekuatan yang dapat meredakan kekuatiran hati perempuan. Ternyata Sim San-koh mulai tenang, tanyanya: “Untuk apa kau mencari dia?”

Dua kali lirikannya kemudian, segala kewaspadaan terhadap Coh Liu-hiang sudah sirna tak berbekas, namun kedua biji matanya malah membelalak besar. Coh Liu-hiang tahu tatapan mata orang tidak lebih hanya ingin memperlihatkan keindahan matanya saja, jadi tiada rasa gusar atau kekuatiran. Maka dengan tersendat-sendat, sengaja ia berkata, “Karena Cayhe dengan Chiu Ling-siok juga....” Sampai di sini ia sudah melihat jelas gambar lukisan yang dibeber di atas meja. Seketika mulutnya seperti disumbat, seketika ia berdiri menjublek.

Perempuan dalam lukisan ini alis matanya terang bersinar, sungguh seraut wajah nan ayu, molek laksana hidup, memang bidadari di antara manusia, gambar perempuan ini mirip benar dengan gambar yang pernah dilihatnya di kamar Sebun Jian tempo hari. Kamar yang sederhana itu hanya diisi selembar gambar lukisan perempuan ini, terang betapa rindu dan mendalam kenangannya kepada perempuan ini, sampai sekarang dia hidup sebatang kara tentunya karena perempuan ini pula. Sebaliknya Ling-ciu-cu terima menjadi orang beribadah lantaran dia pula.

Sampai detik ini Coh Liu-hiang sudah tahu ada tiga laki-laki terpincut-pincut sampai lupa daratan dan terima hidup sebatang kara tidak kawin selama hidup, mereka adalah Sebun Jian, Cou Yu-cin dan Ling-ciu-cu.

“Kau kenal dia?” tanya Sim San-koh menatapnya.

“Aku tidak mengenalnya, untung tidak kenal.”

Sun Hak-boh berkata, “Aku tak perduli siapa kalian, kalian sama-sama hendak mencari tahu jejaknya. Apa yang kuketahui sudah kuterangkan, bolehlah kalian pergi.”

“Di mana dia sekarang?” tanya Sim San-koh.

“Sejak malam itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.... atau boleh dikatakan aku tidak pernah mendengar suaranya lagi.”

“Kau hanya memberitahu namanya saja, apa sih gunanya?” ujar Sim San-koh penasaran.

“Apa yang kuketahui memang cuma sebanyak itu saja.”

Tiba-tiba Coh Liu-hiang menyeletuk, “Katamu kau pernah menggambar empat lembar lukisannya?”

“Ya, empat lembar.”

“Apa kau tahu kenapa dia minta kau melukis empat lembar?”

“Waktu itu aku pun heran. Orang lain cukup minta satu lembar saja, kenapa dia sendiri minta empat lembar? Waktu aku sudah menyelesaikan gambar ketiga, akhirnya tak tertahan kutanyakan kepadanya.”

“Adakah dia memberitahu kepadamu?” cepat Coh Liu-hiang bertanya.

“Dia memberitahu kepadaku.... karena dia hendak memberikan keempat lembar lukisan itu kepada empat orang laki-laki. Dengan keempat laki-laki itu pernah terjadi.... cinta asmara dan saat itu terpaksa dia harus putus hubungan dengan mereka.”

“Dia mencari pelukis ternama sepertimu ini, maksudnya supaya kecantikannya kau lukiskan di atas kertas ini, lalu masing-masing ia bagikan kepada empat laki-laki itu. Dengan demikian, meski ia putus hubungan dengan mereka, mereka toh tidak akan melupakan dirinya. Ingin dia membuat keempat laki-laki itu menderita dan merasa rindu setiap kali melihat gambar lukisannya itu,” demikian ujar Coh Liu-hiang.

“Perempuan kejam! Maksud tujuannya memang terlaksana. Setiap kali Suhengku mengawasi lukisan ini, hatinya menderita serasa seperti diiris-iris sembilu.”

“Tiba pada titik persoalannya sekarang: kenapa dia harus putuskan hubungannya dengan mereka?” ujar Coh Liu-hiang.

“Kalau seorang perempuan tanpa kenal kasihan dan tega hati memutuskan hubungannya dengan laki-laki pujaannya, biasanya hanya satu sebab saja.”

“Sebab apa?” tanya Coh Liu-hiang.

“Yaitu dia hendak menikah dengan laki-laki lain, laki-laki yang lebih tampan, lebih baik dari keempat laki-laki itu.”

“Benar, isi hati perempuan hanya bisa diraba dan diselami oleh perempuan.”

“Laki-laki yang mengawininya itu, kalau tidak memegang kekuasaan besar, pasti memiliki ilmu silat tinggi, atau mungkin mempunyai kekayaan harta yang tak ternilai banyaknya.”

Sim San-koh tersenyum mengawasi Coh Liu-hiang, lalu menambahkan: “Tentunya mungkin pula laki-laki itu seperti kau yang punya senyuman manis yang menarik sanubari setiap perempuan.”

“Nona sekarang pun tergerak dan tertarik?”

Merah jengah muka Sim San-koh, namun matanya menatap lekat-lekat, katanya sambil tertawa genit: “Untung tidak banyak laki-laki seperti kau dalam dunia ini, harta karun pun belum tentu dipandang oleh dia, maka laki-laki yang mengawininya itu pastilah tokoh Bulim yang punya kedudukan tinggi dan nama besar! Asal kita bisa menemukan siapakah laki-laki itu, tentu dapat menemukan dia.”

“Bagus, persoalan ini memang makin menyempit, namun kaum persilatan di Kangouw entah berapa banyak tokoh-tokoh kosen. Menurut pemandanganku, lebih baik nona serahkan gambar lukisan ini kepadaku, tunggu saja di rumah. Setelah aku berhasil mendapat berita yang nyata, pasti akan kuberi kabar kepada nona.”

Dengan pandangan genit Sim San-koh melangkah maju menjatuhkan diri di atas badan orang, katanya sambil menatapnya: “Kenapa aku harus menyerahkan kepadamu? Kenapa aku harus percaya kepadamu?”

Berputar biji mata Coh Liu-hiang, tiba-tiba ia membisiki beberapa patah kata di pinggir telinga orang.

Seketika berubah air muka Sim San-koh, kaki tersurut dua langkah, serunya gemetar: “Jadi kau.... kau.... setan jahat ini.”

Membalikkan tubuh seperti orang kesurupan setan, segera ia angkat langkah seribu.

Pelan-pelan Coh Liu-hiang menghela napas lega. Segera ia gulung gambar lukisan itu, lalu ia berdiri di depan meja. Tanpa berkedip ia mengawasi Sun Hak-boh. Tatapan matanya yang tajam seolah-olah terasakan juga oleh Sun Hak-boh yang buta ini. Dengan kurang tenteram, ia menggerakkan badan di atas kursi, akhirnya ia berkata: “Kenapa kau tidak segera berlalu?”

“Aku sedang menunggu.”

“Menunggu apa?”

“Menunggu keterangan yang masih kau rahasiakan mengenai si... dia itu.”

Sesaat Sun Hak-boh terlongong, katanya sambil menghela napas, “Urusan apa pun takkan bisa mengelabuimu, ya?”

“Aku tahu kau pasti membencinya, namun kau tidak suka ada orang yang mencelakai dia. Tapi kalau kau tidak mau membeberkan terus terang apa saja yang kau ketahui mengenai dirinya, mungkin dia benar-benar bakal dibunuh orang.”

“Kenapa?” seru Sun Hak-boh kuatir dan berubah roman mukanya.

“Keempat laki-laki yang menerima gambar lukisan itu sekarang sudah mati semua.”

“Sudah mati? Bagaimana bisa mati?”

“Walau sekarang aku belum tahu seluk-beluk kematian mereka, namun aku sudah tahu mereka sama-sama pernah menerima sepucuk surat dari Chiu Ling-siok dan akhirnya menemui ajalnya secara misterius setelah keluar pintu.”

“Kau.... maksudmu Chiu Ling-siok yang mencelakai jiwa mereka?”

“Kalau Chiu Ling-siok ingin mereka menderita sakit rindu seumur hidupnya, tentu takkan mencelakai jiwa mereka. Suratnya itu mungkin lantaran dia menghadapi sesuatu kesukaran, minta mereka lekas datang membantu kesulitannya.”

“Benar, bila seorang perempuan menghadapi kesukaran, yang diingatnya tentulah laki-laki yang paling baik kepada dirinya, dan hanya orang-orang itu pula yang berkorban dan suka berjuang setia bagi kepentingannya.”

“Namun keempat orang itu sudah menemui ajalnya. Orang yang mencabut jiwa mereka, beruntun mencabut jiwa orang lain pula, tujuannya hanyalah untuk menutupi rahasia hubungannya dengan keempat orang itu, berusaha supaya aku tidak melibatkan diri dalam persoalan rahasia ini. Dari sini dapatlah disimpulkan, kesukaran yang dihadapi pasti belum tertanggulangi, bukan mustahil sekarang dia dalam bahaya.”

“Kalau toh persoalan ini begini berbahaya, kenapa kau harus melibatkan diri dalam petualangan ini? Memangnya kau ingin menolong dia?”

“Kalau aku tidak tahu di mana sekarang dia berada, bagaimana bisa menolongnya?”

Sun Hak-boh menepekur sesaat lamanya, katanya pelan-pelan: “Tadi kalian lupa menanyakan sesuatu kepadaku.”

“Soal apa?”

“Kau lupa bertanya kepadaku di tempat mana aku menggambar lukisannya.”

“Betul, soal ini pun tentu ada hubungannya.”

“Lima li ke luar kota terdapat sebuah Oh-i-am! Di sanalah aku membuat lukisan itu. Pemimpin biara itu adalah Siok-sim Taysu, kenalan kentalnya. Tentunya dia tahu di mana sekarang si dia berada.”

“Masih ada lagi?” tanya Coh Liu-hiang.

Sun Hak-boh tertunduk tidak bersuara lagi.

Coh Liu-hiang menggulung gambar itu, terus tinggal pergi. Tapi mendadak ia berputar pula dan katanya: “Walau mata sudah buta, namun hati tidak buta. Dengan hati sebagai mata, memangnya kau tidak bisa melukis lagi.... Sun-heng, cobalah kau berpikir dengan cermat, harap jagalah dirimu baik-baik.”

Sekilas Sun Hak-boh melengak, seketika alis dan biji matanya yang kosong bergerak-gerak, serunya keras: “Terima kasih akan petunjukmu, harap tanya siapakah nama besarmu?”

Waktu itu Coh Liu-hiang sudah pergi jauh.

Di tempat gelap di luar jendela, tiba-tiba terdengar jawaban dingin seseorang: “Dia she Coh, bernama Liu-hiang.”

Waktu Coh Liu-hiang tiba di bawah bukit, dilihatnya sebuah kereta berenda hitam berhenti di depan sana. Kereta tunggangan yang paling umum di kota Kilam untuk menempuh perjalanan jauh dengan cepat. Dirinya memang tidak leluasa mengembangkan ginkang, maka Coh Liu-hiang mendekat dan bertanya: “Apa kereta ini sedang menunggu orang?”

Kusir kereta bermuka bundar, sahutnya sambil berseri tawa: “Memang sedang menunggumu, ayolah berangkat!”

“Tahukah kau ada sebuah Oh-i-am di luar kota?”

“Tepat bila kau mencari diriku untuk mengantarmu ke sana. Kemarin baru saja aku mengantar bini sembahyang ke sana. Silakan naik kereta, tanggung tidak akan kesasar.”

Kereta berjalan dengan cepat, di dalam kereta Coh Liu-hiang mulai putar otak memikirkan kembali persoalan ini, kini persoalan sudah dibikin ringkas dan kuncinya terletak pada: apakah dia bisa menemukan jejak Chiu Ling-siok saja. Yang diketahuinya sekarang tidak lebih hanyalah bahwa Sebun Jian, Cou Yu-cin, Ling-ciu-cu dan Ca Bok-hap sama keluar pintu lantaran surat undangan Chiu Ling-siok. Tapi kenapa Chiu Ling-siok mengundang mereka? Apa benar hendak meminta bantuan mereka? Perempuan seperti dia itu, kesulitan apa pula yang dia hadapi sehingga harus meminta bantuan orang untuk mengatasinya?

Kereta berjalan cukup cepat, namun letak Oh-i-am memang tidak dekat, untung Coh Liu-hiang pun sedang peras otak menerawang, sehingga dalam perjalanan tidak menjadi gugup.

Akhirnya ia tersentak dari keasyikan berpikir waktu mendengar suara kusir kereta, “Nah, Oh-i-am berada di dalam hutan di depan sana, silakan kau turun saja!”

Di depan sana adalah sebidang hutan Tho, di pinggir sungai terdapat sebuah biara kecil, saat mana sudah menjelang malam, dari dalam biara lapat-lapat terdengar suara mantra, agaknya para biarawati sedang sembahyang malam.

Biara dalam hutan Tho dengan pemandangan alam yang sejuk permai, mamang Siok-sim Taysu itu adalah seorang cendikia, kalau tidak mana mungkin bisa bersahabat kental dengan perempuan secantik Chiu Ling-siok.

Pintu besar biara terpentang lebar, Coh Liu-hiang langsung berjalan masuk, pelita belum dipasang di dalam biara, suara mantra masih terdengar halus tenang. Seorang biarawati berjubah hitam dengan selubung putih sedang berdiri di bawah pohon di bawah teras sana, agaknya sedang mengenang masa silam dan penuh duka cita. Sampai pada keadaan ini, langkah Coh Liu-hiang mau tidak mau diperlambat. Dengan berjinjit Coh Liu-hiang maju mendekat dan coba bertanya: “Apakah Siok-sim Taysu berada di dalam biara?”

Sekilas biarawati itu melirik kepadanya, lalu merangkap tangan di depan dada, katanya: “Pin-ni adalah Siok-sim, entah Sicu datang dari mana? Untuk apa ke mari?”

“Sudah lama Taysu melepaskan diri dari duniawi, entah masih ingatkah kepada teman lamamu Chiu Ling-siok?”

“Ingat berarti tidak ingat, tidak ingat itulah ingat, kenapa sicu bertanya? Kenapa Pin-ni harus menjawab?”

“Setelah bicara berarti tidak omong, kalau tidak omong berarti sudah bicara, kalau Taysu bersikukuh tidak mau bicara, bukankah mirip seperti itu?”

Terunjuk senyum di ujung mulut Siok-sim Taysu, katanya: “Sicu ternyata tahu tentang ajaran Budha.”

“Ya, tahu satu dua bait saja.”

“Sicu sudah paham, kenapa pula Pin-ni harus menyelesaikan? Kalau Sicu bisa datang ke mari tentu kau sudah dapat penjelasan Sun Hak-boh bahwa gambar lukisan Chiu Ling-siok adalah untuk diberikan kepada orang lain sebagai tanda kenangan?”

“Bagaimana kelanjutannya?”

“Ling-siok memang berjodoh dengan Budha. Setelah memutuskan tali asmara yang membelenggu dirinya, sedikitpun tiada angan-angannya hidup dalam duniawi. Dua puluh tahun yang lalu, dia mengucap sumpah dan Pn-ni sendiri yang mencukur rambutnya menjadi biarawati.”

“Jadi biarawati? ....sekarang....”

“Mengandalkan bakat dan kesadarannya, sudah tentu takkan lama hidup menderita di alam duniawi.”

“Dia.... apakah dia sudah meninggal?”

“Pergi datang, tanpa janggalan....Omitohud, siancay.... siancay....”

Akibat ini sungguh di luar dugaan Coh Liu-hiang, bagaimana pun tak pernah dia pikirkan bahwa Chiu Ling-siok bukan menikah dengan orang lain, tapi malah mencukur rambut menjadi biarawati, tak terduga pula orangnya ternyata sudah meninggal.

Seketika ia menjublek dan terlongong di tempatnya, seolah-olah sekujur badan menjadi lemas tak mampu bergerak.

Siok-sim Taysu tersenyum, ujarnya: “Dari mana Sicu datang? Kenapa tidak kembali ke tempat asal?”

Dengan hambar Coh Liu-hiang membalikkan badan, langsung beranjak keluar, gumamnya: “Kalau Chiu Ling-siok sudah ajal, memangnya siapa yang menulis surat itu? Memangnya orang lain yang memalsukan nama dan tulisannya? Memangnya kematian Cou Yu-cin dan lain-lain hakikatnya tiada sangkut pautnya dengan dia?”

Sampai sekarang dia belum bisa mendapatkan bukti yang nyata bahwa surat-surat yang diterima oleh Cou Yu-cin berempat adalah tulisan Chiu Ling-siok sendiri. Yang diketahui hanyalah bahwa Sebun Jian, Cou You-cin, Ling Ciu-cu dan Ca Bok-hap berempat semasa hidupnya sama terpincut kepada Chiu Ling-Siok.

Dengan tertawa getir Coh Liu-hiang menggumam: “Tapi itu bukan alasan untuk mengatakan bahwa mereka ajal lantaran dia. Sekarang, kalau Chiu Ling-siok sudah lama meninggal, aku harus bekerja mulai dari permulaan pula.”

Tatkala itu dia sudah keluar dari bilangan hutan Tho, beberapa langkah kemudian tiba-tiba ia menghentikan langkah, serunya tertahan: “Tidak benar! Urusan ini rada janggal!”

Secara cermat kembali ia menyelusuri liku-liku urusan dari semula serta menganalisa kenyataan yang dihadapi, tiba-tiba ia bertepuk tangan, ujarnya: “Siok-sim Taysu tak pernah keluar pintu, dari mana ia tahu aku pernah pergi ke tempat Sun Hak-boh? Dari mana pula ia bisa tahu dan memberitahu kepadaku bahwa lukisan itu sengaja hendak dihadiahkan kepada orang lain?” Sebat sekali ia berlari balik menerjang masuk ke dalam biara, tidak kelihatan bayangan orang di bawah pohon.

Suara mantra masih berkumandang. Waktu Coh Liu-hiang menerjang masuk, para biarawati yang sedang sembahyang malam itu sama tersentak kaget, dengan nanar mata Coh Liu-hiang menjelajah setiap raut muka orang, tak dilihatnya biarawati yang berjubah hitam tadi, segera ia bertanya dengan keras: “Di mana Siok-sim Taysu?”

Seorang biarawati tua menjawab dengan hambar: “Dalam biara kecil ini tiada orang yang dipanggil Siok-sim!”

“Bukankah Siok-sim Taysu ketua dari Oh-i-am?”

“Biara kecil ini dinamakan Tho-i-am, Oh-i-am terletak di sebelah barat kota, beberapa li lagi harus berputar ke sana.”

Jadi biara kecil ini ternyata bukan Oh-i-am? Coh Liu-hiang melenggong, katanya tergagap: “Tadi ada seorang suhu berjubah hitam yang berdiri di bawah pohon sana, masa dia bukan salah seorang penghuni biara ini?”

Biarawati tua itu menatapnya dengan sorot aneh, seperti mengawasi seorang linglung atau gila, katanya perlahan-lahan: “Seluruh penghuni biara ini sekarang hadir di sini menyelesaikan sembahyang malam, masakah ada orang di bawah pohon sana tadi?”

Coh Liu-hiang berlari-lari ke arah barat, diam-diam ia mengeluh: “Kenapa aku begini ceroboh, kereta besar nan mewah itu mana mungkin sudi menunggu penumpang di daerah miskin seperti itu? Terang memang dia sedang menunggu aku, sehingga aku gampang terjebak olehnya. Tujuannya terang supaya aku menyangka Chiu Ling-siok benar sudah mati dan menjerumuskan aku ke jalan lain.”

Tatkala itu hari sudah mulai petang, tempat itu sudah jauh dari kota, Coh Liu-hiang mengembangkan ilmu mengentengkan tubuhnya, tak lama kemudian dilihatnnya jauh di bawah kaki gunung di depan sana sebuah bayangan tembok biara.

Biara atau kuil yang bobrok dan sudah lama tak terurus lagi, setitik sinar terang berkelap-kelip menyendiri di malam gelap, angin menghembus keras menghamburkan dedaunan kering sehingga bunyi keresekan seolah-olah bunyi langkah setan gentayangan yang sedang mencari mangsa. Serasa berdiri bulu kuduk Coh Liu-hiang menghadapi suasana seram ini, seakan-akan setan gentayangan itu sedang meniup tengkuknya. Namun ia tidak berhenti atau putar balik karenanya, seringan burung walet langsung ia melesat ke arah titik sinar pelita itu.

Di pinggir dian kecil, duduk seorang biarawati (nikoh) jubah hitam sedang termangu-mangu, jubahnya sudah banyak berlubang dan kucel, roman mukanya kuning seperti malam, sikapnya linglung seperti orang kesurupan setan.

Coh Liu-hiang batuk-batuk kering, lalu tanyanya: “Apakah di sini Oh-i-am?”

“Oh-i-am, sudah tentu Oh-i-am, siapa berani bilang tempat ini bukan Oh-i-am?”

Tak terlihat sikap pura-pura oleh Coh Liu-hiang, tanyanya pula: “Apakah Siok-sim Taysu ada?”

Biarawati itu berpikir sebentar, tiba-tiba ia terkikik geli, sahutnya: “Ada, tentu ada, siapa bilang dia tiada?”

Biara bobrok yang aneh dan ganjil, biarawati yang misterius serta tawanya yang lucu, tak tertahan Coh Liu-hiang pun merasa bergidik seram, katanya: “Entah sudikah suhu bawa Cayhe menemui Siok-sim Taysu?”

Biarawati itu mendadak berdiri, katanya: “Mari ikut aku!” tangannya terulur mengangkat dian, seperti api setan menyoroti kain gordin yang sudah luntur warnanya, patung Budha yang sudah kotor dan bercat hitam. Di mana-mana berserakan daun-daun kering, rumput liar tumbuh dengan suburnya, ditambah dengan debu dan galagasi. Dengan kaki pincang, satu tinggi yang lain rendah, biarawati itu membawanya melalui pekarangan yang sudah menjadi semak belukar, tak terlihat bayangan seorang pun di dalam Oh-i-am ini. Kalau ada, tentulah setan atau dedemit yang sedang mengintip kedatangan mereka.

Keadaan belakang jauh lebih gelap lagi, pohon di tengah pekarangan tumbuh dengan daunnya nan lebar, di bawahnya adalah deretan kamar-kamar tempat tinggal, kamar yang paling tengah adalah sebuah ruangan pemujaan. Angin malam menghembus daun jendela yang sudah bobrok sehingga mengeluarkan suara keriat-keriut yang menakutkan, siapa pun yang mendengar suara seperti itu di tengah malam buta rata di tempat yang seram seperti itu pula tentulah jantungnya bisa mencelat keluar dari rongga dada saking takutnya.

Tiba-tiba biarawati itu berpaling sambil unjuk seri tawa, katanya: “Tunggulah sebentar.”

Coh Liu-hiang mengawasi gelagasi yang memenuhi daun pintu, tak tertahan ia bertanya: “Apakah Siok-sim Taysu sedang bersemedi?”

“Bersemedi, tentu sedang bersemedi, siapa bilang dia tidak sedang semedi?” sahut biarawati itu tertawa sambil menyibak gelagasi terus berjalan masuk.

Terpaksa Coh Liu-hiang menunggu di luar pekarangan belukar. Di luar jadi semakin gelap gulita, kokok beluk sedang memperdengarkan suaranya seperti pekik setan yang kesusahan. Berdiri di bawah pohon, tak terasa berdiri bulu roma Coh Liu-hiang.

Sesaat kemudian, terdengar biarawati itu bersuara dari ruang pemujaan: “Suhu, ada orang menengok engkau, apa kau sudi menemuinya?”

Tak lama kemudian biarawati itu berjalan keluar sambil angkat dian di tangannya, katanya: “Guruku mengangguk, silahkan kau masuk!”

“Terima kasih!” ujar Coh Liu-hiang berlega hati. Bagaimanapun juga dia benar-benar berharap dapat bertemu muka dengan Siok-sim Taysu. Dengan langkah lebar ia melangkah masuk, sinar dian menyorot masuk dari belakangnya.

“Siok-sim Taysu....Taysu,” seruan Coh Liu-hiang tidak mendapat jawaban, keadaan ruang pemujaan yang remang-remang berhawa dingin membuat orang mengkirik. Coh Liu-hiang maju dua langkah pula, angin menghembus masuk, tiba-tiba dilihatnya sesosok bayangan melayang di atas. Waktu ia angkat kepala, mana ada bayangan manusia. Yang dilihat hanyalah seperangkat tulang belulang manusia.

Tengkorak yang lengkap ini bergantung-gantung di atas belandar, bergoyang gontai terhembus angin, bau apek dan amis merangsang hidung, tak terasa Coh Liu-hiang sampai terlongong di tempatnya saking kagetnya.

Tiba-tiba didengarnya biarawati itu terloroh-loroh menggila di depan pintu, teriaknya mencak-mencak sambil tepuk tangan: “Kau sudah melihatnya... kau sudah melihatnya, kenapa kau tidak bicara?”

Tengkorak yang tergantung di atas itu ternyata adalah tulang-tulang Siok-sim Taysu yang ingin ditemuinya. Ternyata orang sudah menggantung bunuh diri, kulit dagingnya sudah menjadi jerangkong.

Biarawati gila itu ternyata tidak mengebumikan jenazahnya, orang malah main tipu dan berkelakar dengan cara sekeji ini, terang biarawati ini seorang gila yang berhati jahat dan punya tujuan jelek pula. Tawanya yang menggila masih berkumandang, biarawati itu masih mencak-mencak dan tepuk tangan, dian di tangannya sudah terbanting pecah. Karena sinar api padam, hawa setan terasa lebih melingkupi sanubarinya.

Tak terasa berkeringat tapak tangan Coh Liu-hiang, setindak demi setindak ia mundur ke arah pintu. Mendadak tengkorak di atas itu menubruk ke arah Coh Liu-hiang. Saking kagetnya, serasa copot nyali Coh Liu-hiang, hendak berkelit ingin mengulurkan tangan meraihnya pula. Tepat pada saat itulah secarik sinar pedang secepat kilat menyelonong turun menembusi tulang-tulang kerangka itu, menusuk dada Coh Liu-hiang. Sungguh cepat dan keji benar tusukan pedang ini.

Hampir saja Coh Liu-hiang tidak mampu berkelit lagi, lekas ia menyedot napas mendekukkan dada. “Cret”, ujung pedang menggores koyak baju di depan dadanya. Bersamaan dengan itu berbintik-bintik sinar hitam yang sukar dipandang dengan mata telanjang di malam nan gelap langsung memberondong ke tenggorokan dan beberapa Hiat-to penting di dadanya.

Sesosok bayangan hitam yang lain melambung tinggi ke arah belandar dan “Blum!”, atap rumah diterjang berlubang besar dan pecah berhamburan, diiringi gelak tawa yang seram dan penuh dendam dan kedongkolan laksana terbang melarikan diri.

Begitu Coh Liu-hiang meluputkan diri dari tusukan pedang, ia sudah menduga lawan pasti menyusuli dengan serangan lain yang lebih keji dan mematikan, sambil mendekuk dada segera ia menjatuhkan diri menggelundung di atas tanah.

Sinar hitam melesat lewat menyerempet mukanya. Sempat pula dilihatnya bayangan hitam yang menjebol atap itu mengenakan pakaian serba hitam, kecepatan gerak tubuhnya laksana setan terbang. Terang orang ini pula yang tempo hari membunuh Thio-jiang-sing Song Kang dan menghilang dengan jinsut di Tay-bing-ouw.

Setelah Coh Liu-hiang melompat bangun dan mengejar ke atas genteng, bayangan orang yang misterius itu sudah tidak kelihatan lagi. Bintang kelap-kelip di angkasa raya, angin menghembus sepoi-sepoi dingin. Berdiri di atas genteng, keringat dingin tanpa terasa sudah membasahi sekujur tubuhnya. Setelah melongo sekian lamanya, ia lompat turun pula ke pelataran, dilihatnya biarawati gila tadi sedang berdiri mematung seperti orang linglung tanpa bergerak, tak bersuara lagi.

Coh Liu-hiang hinggap di depannya, bentaknya bengis: “Siapa orang itu? Apa kau sudah bersekongkol dengan dia?”

Di kegelapan malam, terlihat muka biarawati itu mengunjuk senyuman aneh, mata dipicingkan, dengan genit mengerling kepada Coh Liu-hiang, katanya cekikikan: “Dia... aku...” tawanya mendadak terputus, sekujur badanpun tiba-tiba gemetar dan kejang , kontan ia terjengkang roboh, terlihat beberapa titik darah mengalir keluar dari tenggorokan dan dadanya.

Ternyata senjata rahasia yang menyerang Coh Liu-hiang tadi melesat keluar pintu dan semuanya mengenai badannya. Lekas Coh Liu-hiang berjongkok memeriksa lukanya, terlihat darah segar yang mengalir keluar sebentar saja berubah warna menjadi hijau mengkilap. Disusul lobang panca inderanya sama melelehkan darah segar yang sama.

“Keji benar senjata rahasia ini,” gumam Coh Liu-hiang merinding. “Kau... kau pergilah dengan tenang!” Ia maklum, terkena senjata rahasia beracun sejahat itu, siapa pun takkan mampu menyembuhkannya. Kalau reaksi dirinya tadi sedikit terlambat, mungkin dirinya sekarang yang rebah sekarat meregang jiwa.

Dada biarawati itu masih rada hangat dan denyut jantungnya masih terasa, mendadak ia membuka mata mengawasi Coh Liu-hiang, sorot matanya berubah bening dan terang secara menakjubkan.

“Masih ada pesan apa yang hendak kau katakan?”

Bibir biarawati bergerak-gerak, akhirnya tercetus suara lemah dari mulutnya: “Bu... bu...”

“Kau tiada pesan apa-apa, bukan?”

Muka biarawati itu mengunjuk rasa gelisah, keringat membasahi seluruh kepalanya, tapi meskipun ia sudah mengerahkan seluruh sisa tenaganya, tenggorokannya serasa tertutup dan tak mampu mengeluarkan suara lagi.

Akhirnya ia meninggal. Sebelum ajal pikirannya mendadak sadar dan jernih, sebetulnya ia hendak memberi bahan penyelidikan yang amat penting kepada Coh Liu-hiang, sayang Coh Liu-hiang tidak tahu.

Waktu Coh Liu-hiang keluar dari Oh-i-am, malam sudah larut, perasaannya pun teramat berat, bahan penyelidikan yang terakhir di mana ia mempunyai harapan besar, akhirnya terputus pula.

Batinnya: “Tak heran pembunuh itu tidak takut aku mencari datang ke Oh-i-am, ternyata dia sudah tahu bahwa Siok-sim Taysu sudah mati. Kalau tidak, waktu aku berada di luar jendela Sun Hak-boh dan berjaga-jaga terhadap perbuatan kejinya, toh akhirnya dia tetap punya banyak kesempatan untuk turun tangan kepadanya untuk menutup mulut Sun Hak-boh.”

“Jadi dia memang ingin meminjam mulut Sun Hak-boh untuk menyebut Oh-i-am lalu memalsukan Siok-sim Taysu dan memancingku ke jalan yang keliru, siapa nyana aku berhasil membongkar tipu muslihatnya. Karena tipu muslihat gagal, dia sudah memperhitungkan aku pasti akan meluruk ke Oh-i-am, maka dia sudah sembunyi di atas belandar lebih dulu. Waktu aku kurang siaga, melemparkan tengkorak Siok-sim Taysu dan berkesempatan turun tangan pula kepadaku.”

“Walau kali ini dia gagal pula, namun rencana kerjanya sebetulnya memang cukup cermat. Tindakannya jauh lebih jahat. Asal sedikit aku terlena, sulit aku terhindar dari kekejian tangannya. Begitu besar dan keras tekadnya merintangi aku melibatkan diri dalam persoalan rahasia ini, tanpa segan-segan membunuh jiwa beberapa orang pula, dapatlah disimpulkan bahwa urusan yang menyangkut dirinya ini pasti teramat penting dan besar artinya, pasti akan mengejutkan siapa pun juga.”

Menempuh bahaya, sebetulnya bukan soal apa-apa baginya. Semakin berbahaya urusan, dia malah semakin bergairah dan makin besar pula rasa tertariknya. Mendadak ia menengadah dan tertawa besar, katanya: “Kau dengarkan, perduli siapa pun kau, kalau hendak menggertak atau menakuti aku, pastilah kau sedang bermimpi. Cepat atau lambat pasti aku akan membongkar kedok rahasiamu, kau tidak akan lolos dari tanganku.”

Alam belukar jauh dari jejak manusia, lawan misterius bagaikan setan itu entah masih bersembunyi di sekitarnya atau tidak, entah mendengar tantangannya ini atau tidak.

Setelah menghentikan tawanya, kembali Coh Liu-hiang tenggelam dalam pikiran. “Sebetulnya apakah yang hendak diucapkan oleh biarawati itu sebelum ajalnya? ‘Bu’ yang dia maksudkan tentu tidak berarti ‘bukan’?” gumamnya, “Dilihat dari sorot matanya, tentu banyak omongan yang hendak dia katakan, apakah dia maksudkan pembunuh itu she Bu?”

Waktu Coh Liu-hiang kembali ke kota, pasar malam sudah usai. Sungguh penat dan lapar, namun langsung dia menuju ke Kwi-gi-tong.

Orang seperti Chiu Ling-siok tentunya perempuan yang cukup ternama, orang yang mengawininya tentu terkenal juga. Murid Cu-soa-bun cukup banyak dari segala tingkatan, pergaulan mereka pun amat luas, bukan mustahil di antara orang-orang mereka ada yang tahu jejak perempuan itu.

Beberapa hari ini, mau tidak mau hatinya ikut gundah dan kurang tentram, tidak pernah terpikir olehnya bahwa dirinya sendiri yang punya pandangan dan pergaulan amat luas, kenapa sebelum ini belum pernah ia mendengar nama Chiu Ling-siok dari mulut orang? Kalau dia sendiri tidak tahu menahu tentang orang itu, orang lain mana mungkin bisa tahu?

Sekonyong-konyong didengarnya dentaman kaki kuda yang berlari di jalan raya di belakangnya, disusul suara bentakan nyaring: “Minggir!”

Baru saja Coh Liu-hiang menyingkir ke pinggir jalan, seeokor kuda sudah berkelebat lewat dari sampingnya. Kuda yang hitam dari kepala sampai ekornya, tiada warna bulu lain kecuali warna hitam yang mengkilap, kilap sinar itu mirip benar dengan cahaya kilauan mutiara hitam.

Mantel hitam di atas kuda melambai-lambai tertiup angin, memperlihatkan pakaian ketat warna merah berapi, kuda dan penunggangnya cepat sekali membedal lewat, hampir saja Coh Liu-hiang keterjang jatuh. Bukan saja Coh Liu-hiang tidak jadi marah, malah dia berteriak terkejut memuji: “Sungguh seekor kuda yang amat bagus!”

Seperti pula terhadap perempuan, menilai kuda merupakan keahlian Coh Liu-hiang pula. Ada kalanya begitu dia melihat kuda bagus, hatinya jauh lebih riang gembira dibanding dia melihat perempuan cantik.

Walau hanya sekilas dan dari arah belakang ia melihat bayangan kuda itu, namun ia berani memastikan kuda itu pasti kuda pilihan yang jempolan dan bukan mustahil kelahiran dari peranakan naga. Orang yang bisa menunggang kuda seperti itu, tentulah dia pun bukan sembarangan tokoh.

“Siapa pula orang itu?” Coh Liu-hiang menggumam seorang diri. “Untuk apa dia datang ke Kilam? Perempuan cantik ada kalanya menikah dengan suami bodoh, namun kuda jempolan tak mungkin dimiliki oleh sembarangan orang awam. Kalau kuda bagus memilih majikan, pandangannya jauh lebih tajam daripada perempuan cantik memilih calon suaminya, paling tidak dia tidak mudah dibujuk rayu kata-kata manis mulut laki-laki, tak mungkin pula tergila-gila sampai jatuh semaput melihat banyaknya uang emas. Tapi bila dia sudah memilih seseorang, jauh lebih setia daripada perempuan terhadap suaminya,” tanpa terasa Coh Liu-hiang tertawa geli sendiri.

Dia sembarang waktu selalu mencari kesempatan untuk menghibur hati dan tertawa-tawa, sekaligus untuk mengendurkan urat syarafnya yang selalu tegang beberapa hari ini. Itulah sikapnya sebagai manusia, mungkin itu pula sebabnya kenapa dia selalu bisa hidup di kala menghadapi situasi antara mati dan hidup. Urat syaraf seseorang bila terlalu tegang setiap kali menghadapi bahaya, maka bagaimanapun dia akan kehilangan akal sehatnya, entah cara bagaimana harus menghadapinya. Apalagi dia yakin pandangannya pasti tidak salah, karena terhadap perempuan dan kuda, boleh dikata dia mempunyai kewibawaan yang tidak pernah dimiliki oleh orang lain.

Belum lagi tiba Kwi-gi-tong, dari kejauhan Coh Liu-hiang sudah melihat kuda hitam itu. Dia berdiri di bawah lampion yang tergantung di depan pintu Kwi-gi-tong, kepalanya sedang bergoyang turun naik menengadah sambil meringkik pendek.

Tali kendalinya oleh si majikan tidak diikat pada tiang bendera, rupanya tak kuatir kudanya itu bakal dicuri orang, beberapa orang tampak berdiri berkeliling di kejauhan, tiada seorang pun yang mendekatinya.

Tapi ada seseorang yang lagi berjongkok sambil memeluk perut, mulut merintih dan muka berkeringat sambil mengerut kesakitan. Coh Liu-hiang menghampiri serta menepuk pundaknya, katanya: “Kawan kena disakiti, ya?”

“Kuda kurcaci ini galak sekali,” sahut orang itu sambil meringis.

“Kembang elok banyak durinya, perempuan cantik seperti pula kuda, pantang diganggu. Selanjutnya kau harus selalu ingat kata-kataku ini.”

Karena ingin melihat siapa penunggang kuda ini, sembari bicara langsung ia masuk ke dalam rumah.

Waktu itu belum tengah malam, saatnya Kwi-gi-tong paling ramai dikunjungi penjudi. Tapi walau sinar lilin terang benderang, namun di dalam rumah sunyi senyap. Coh Liu-hiang mengerutkan kening, segera ia menyingkap kerai terus melangkah masuk.

Tampak puluhan penjudi sama berdiri mepet ke tembok dengan muka pucat ketakutan. Gadis-gadis cantik yang biasanya berlalu-lalang segesit burung walet, kini sama berdiri di pinggir dengan badan gemetar.

Waktu ia jelajahkan pandangannya, para laki-laki pelindung tempat perjudian sama rebah tak berkutik di atas lantai. Memang ada yang tak mampu bergerak, tapi ada pula yang memang tak berani merangkak bangun. Puluhan pasang mata sama menatap ke arah orang yang mengenakan mantel hitam.

Dengan tegar dia berdiri di depan meja bundar, membelakangi pintu, maka Coh Liu-hiang hanya bisa melihat cambuk panjang di tangannya yang bersinar kemilau, muka orang tidak bisa dilihatnya. Tapi rona muka Leng Chiu-hun dapat dilihatnya jelas.

Muka Leng Chiu-hun seperti tidak berdarah, sorot matanya mengunjuk rasa kaget, gugup dan jera, dengan tajam ia sedang menatap laki-laki bermantel hitam di hadapannya.

Sunyi senyap, tiada suara apa pun di dalam ruang judi ini, saking tegangnya jantung serasa hampir meledak, badan pun gemetar, begitu hening serasa sesak napas dan mencekam hati, seumpama anak panah di atas busur yang terpentang, hujan badai pun bakal menerjang tiba.

Tiada seorang pun yang memperhatikan Coh Liu-hiang masuk, Coh Liu-hiang pun tidak mengusik orang lain, cuma secara diam-diam ia melangkah ke sana, lalu berdiri di pinggir dengan berdiam diri.

Dari samping sekarang dia dapat melihat muka orang bermantel hitam itu, kiranya seorang pemuda. Mantel hitam itu membungkus badannya yang ramping. berpakaian serba hitam ketat pula, sabuk hitam, sepatu kulit kuda warna hitam, sarung tangan kulit sapi warna hitam, tangannya menggenggam cambuk panjang warna hitam pula, hanya roman mukanya yang kelihatan pucat, pucat yang menakutkan.

Dari samping jelas oleh Coh Liu-hiang hidungnya yang mancung, bibir nan tipis terkatup rapat, menggambarkan kekerasan tekadnya, dingin dan kaku. Alisnya lentik tegas ke atas, bulu-bulu alisnya yang hitam menaungi sepasang mata yang melekuk dalam, seumpama telaga jernih yang tak kelihatan dasarnya, tiada seorang pun yang dapat meraba jalan pikiran dan maksud hatinya.

Raut mukanya itu boleh dikata serba sempurna, pemuda ini boleh dikata tiada satu pun cacat pada badannya, keadaan yang serba sempurna ini sungguh membuat jeri nyali setiap hadirin.

Dengan menatap orang, agaknya Leng Chiu-hun sedang mempertimbangkan jawaban apa yang akan dia lontarkan. Namun pemuda serba hitam ini sedikit pun tidak kelihatan tergesa-gesa, hanya ia balas menatap orang dengan dingin. Akhirnya berkata Leng Chiu-hun perlahan-lahan: “Kalau tuan ingin berjudi, sudah tentu aku suka mengiringi. Tapi Cayhe mohon tanya dulu siapa nama kebesaran tuan, tentunya tuan tidak sekikir itu untuk memberitahu kepadaku, bukan?”

“Aku tidak punya nama!” sahut pemuda itu pendek. Lagu suaranya dingin, tajam dan cekak aos, namun rada berlainan dibanding dengan Tionggoan It-tiam-ang. Kedua lagu suara laksana pisau, cuma pisau Tionggoan It-tiam-ang sudah karatan, pisau pemuda ini justru bisa membikin putus rambut yang disebul di atasnya. Nada suara It-tiam-ang bengis dan menyeramkan, sementara kata-kata pemuda ini kasar, temberang dan cekatan.

“Kalau tuan tidak sudi memperkenalkan nama besarmu, mungkin.....”

“Mungkin kenapa?”

“Menurut kebiasaan di sini, selamanya tidak berjudi dengan orang asing.” Leng Chiu-hun menatap sorot mata si pemuda, lalu tertawa kering dan berkata: “Tapi tuan datang dari jauh, Cayhe tentu tidak akan membikin tuan kecewa.”

“Itulah bagus.”

“Entah judi apa yang tuan inginkan?”

“Biar judi dadu saja.”

“Taruhannya.....”

Sekali ulur si pemuda mengeluarkan sebentuk Giok-pit, tampak Giok-pit ini mengeluarkan pancaran sinar hangat, tiada cacat sedikit pun. Sampai pun Coh Liu-hiang selama hidupnya belum pernah melihat batu giok sesempurna itu. Sudah tentu Leng Chiu-hun pun seorang ahli dalam menilai sesuatu benda, seketika berkilat sorot matanya, namun mulutnya berkata tawar: “Tuan pasang batu giok ini untuk mempertaruhkan apa?”

“Mempertaruhkan kau!”

Berubah air muka Leng Chiu-hun, serunya sambil tertawa besar: “Bertaruh aku? Aku Leng Chiu-hun masa begitu berharga?”

“Kalau aku menang, maka kau harus ikut aku.”

Seperti tenggorokannya mendadak diiris pisau, seketika berhenti tawa Leng Chiu-hun, matanya mendelik ke arah batu giok di atas meja, terpancar rasa tamak dan ingin mengangkanginya, lalu ia melirik ke arah dadu di pinggiran sana, mendadak ia menjawab lantang: “Baik! Aku pasang diriku!”

Kata-kata ini seketika menimbulkan keributan di ruang judi yang hening lelap tadi. Namun Coh Liu-hiang tahu bahwa Leng Chiu-hun berani mempertaruhkan dirinya, tentu dalam permainan enam biji dadu ini dia mempunyai cara atau kepandaian khas yang tidak mungkin dilakukan orang lain, ia yakin dirinya pasti menang.

Tampak sebutir demi sebutir Leng Chiu-hun menjemput dadu itu serta dimasukkan ke dalam porselen berbentuk seperti mangkuk, lalu menutupnya pula dengan tatakan bundar, katanya pelan-pelan: “Cara judi dengan dadu banyak macamnya, tuan.....”

“Aku pasang yang terkecil. Jumlah titik yang paling kecil, itulah yang menang.”

Leng Chiu-hun tersenyum, ujarnya: “Pasang besar atau kecil sama saja. Tuan, silakan!”

Baru saja ia hendak mendorong dadu itu kepada orang, si pemuda sudah berkata: “Silakan kau dulu yang mengocok.”

Leng Chiu-hun berpikir sebentar, lalu katanya: “Baik, setitik sama.....”

“Setitik yang sama dianggap seri!” sambung si pemuda.

“Bagus!” seru Leng Chiu-hun. Begitu tangan terangkat, suara dadu dalam mangkok berkumandang di dalam ruang judi yang sunyi itu.

Muka Leng Chiu-hun amat prihatin dan tegang, seluruh perhatiannya ia tumplekkan pada mangkok yang dia kocok terus di pinggir telinganya, dadu pun terus berbunyi dan berkerotokan di dalam mangkok, suaranya seolah-olah menyedot sukma setiap hadirin.

Saking tegang, serasa sesak napas setiap hadirin. “Brak!”, tahu-tahu Leng Chiu-hun sudah menggabrukkan mangkok porselen itu di atas meja.

Puluhan mata serempak menatap ke arah jari-jari tangannya yang putih mulus, pelan-pelan tangannya mulai terangkat membuka tutup, maka tampaklah enam dadu.....

Kembali ruang judi digemparkan oleh suara ribut dan bisik-bisik para hadirin. Keenam dadu itu ternyata adalah sama menunjukkan setitik merah, seakan-akan seperti enam tetes darah merah di atas tutup tatakan itu. Enam dadu berarti enam titik, jumlah yang tidak mungkin dikurangi lagi, terang Leng Chiu-hun berada pada posisi yang tak mungkin kalah lagi. Ujung mulutnya seketika mengunjuk senyuman bangga akan kemenangannya.

Coh Liu-hiang membatin: “Kepandaian Leng Chiu-hun mengocok dadu memang hebat, entah dengan cara apa si pemuda bisa mengalahkan dia?”

Sedikit pun si pemuda tidak menjadi keder, sikapnya tetap dingin kaku, katanya dingin: “Memang hebat.”

“Tuan, silakan!” ujar Leng Chiu-hun.

“Baik!” sekonyong-konyong cambuk panjang di tangannya bagai ular hidup meluncur ke depan seperti memagut. Keruan Leng Chiu-hun kaget, ia kira orang hendak main kekerasan. Siapa tahu cambuk yang meluncur bagai kilat itu tiba-tiba berhenti di atas dadu, ujung cambuknya dengan gesit selincah ular hidup menggulung sebutir dadu, seperti mulut ular yang memagut lalu dilepas pula. “Ser!” dadu itu seketika mencelat terbang lempang ke depan sana dan “trap!”, melesak masuk ke dalam dinding yang dikapur halus, seluruh dadu itu terporot di atas dinding, yang kelihatan hanya setitik warna merah. Bisa menggunakan lentikan tangan menimpuk dadu terporot ke dalam dinding, hanya menunjukkan satu titik saja, sudah bukan pekerjaan yang gampang, mungkin hanya ahli senjata rahasia kelas atas saja yang mampu melakukannya. Si pemuda justru memerlukan cambuk panjang enam kaki untuk membelit dadu lalu melempar, kekuatan pergelangan tangan dan ketajaman matanya benar-benar hebat dan sukar dibayangkan kehebatannya.

Tak tertahan seluruh hadirin sama berseru memuji. Di tengah suara hiruk-pikuk kekaguman dan rasa heran itulah, dadu kedua kembali tergulung. Dengan cara yang sama kembali ditimpukkan, dadu kedua ini tepat melesak masuk mengenai dadu pertama, muka yang menghadap keluar tetap sama, setitik merah pula. Begitulah cambuk itu bergerak melingkar-lingkar turun naik beruntun menggulung sisa dadu yang lain, dadu ketiga didorong dadu keempat dan dadu keempat didorong dadu kelima dan seterusnya sampai keenam dadu semua dilempar ke dalam dinding, yang kelihatan hanya satu titik merah yang rata dengan permukaan dinding.

Keruan terbelalak mata semua hadirin menyaksikan pertunjukkan yang hebat dan menakjubkan ini.

Namun sikap si pemuda tak berubah, mimiknya tetap kaku, katanya pelan-pelan: “Enam dadu hanya satu titik, kau kalah!”

Pucat pias selembar muka Leng Chiu-hun, mendadak ia berteriak: “Tidak masuk hitungan, cara seperti itu mana dapat masuk hitungan?”

“Kau hendak mungkir dan main curang?” baru sekarang si pemuda menyeringai.

Cambuk panjangnya kembali terayun terbang bagaikan ular beracun menggulung kearah Leng Chiu-hun. Bagaimanapun juga Leng Chiu-hun bukan seorang lemah, “sreng!” tahu-tahu pedangnya sudah terlolos keluar. Siapa nyana cambuk ular itu seakan-akan bernyawa, tahu-tahu bisa menukik berubah arah dan dengan kencang tahu-tahu sudah membelit senjata lawan, sekali tarik dan sendal seketika gaman Leng Chiu-hun mencelat terbang lepas dari cekalan tangannya. “Clep!” menancap di atas belandar, gagang pedangnya bergoyang-goyang melambaikan kuncir benang suteranya. Lebih celaka lagi raut mukanya yang pucat memutih itu tiba-tiba sudah memetakan sejalur garis merah darah.

“Kau sudah kalah,” jengek si pemuda. “Hayo ikut aku pergi!”

Saking kaget dan ketakutan, Leng Chiu-hun sampai berdiri menjublek dengan badan lemas lunglai.

Tiba-tiba suara seseorang menyela dengan kalem: “Begitu asyik kalian berjudi, tanganku jadi gatal, marilah biar aku ikut bertaruh!” suaranya halus senyumnya tawar, siapa pula kalau bukan Coh Liu-hiang.

Waktu cambuk terayun menari-nari di tengah udara, mantel itu sedikit terangkat dan tersingkap, sekilas terlihat oleh Coh Liu-hiang lapisan kain merah bagian dalam mantel hitam itu tersulam seekor unta terbang. Jikalau bukan lantaran unta terbang itu, mungkin Coh Liu-hiang tidak akan sudi menampilkan diri.

Semua hadirin sudah melongo dan ciut nyalinya oleh kepandaian silat si pemuda, kini melihat ada orang yang masih berani hendak bertaruh dengannya, semua sama melototkan mata mengawasi Coh Liu-hiang.

Sebaliknya Leng Chiu-hun merasa mendapat anugerah dewata yang menolong kesusahannya, seketika mukanya berseri tawa lebar, katanya: “Thio-heng ternyata ingin bertaruh juga, sungguh baik sekali, baik sekali”

Setenang lautan samudra, mantap dan teguh tekadnya, sepasang mata si pemuda bagaikan tajamnya ujung pisau lekat-lekat menatap muka Coh Liu-hiang. Siapa pun bila ditatap oleh mata seperti itu mungkin arwahnya bisa copot dari badan kasarnya.

Sebaliknya Coh Liu-hiang bersikap acuh tak acuh seperti tak terjadi apa-apa, katanya berseri tawa: “Tuan datang dari gurun pasir, bukan?”

Air muka si pemuda yang dingin dan kaku seketika berubah, tanyanya mendesis: “Siapa kau?”

“Seperti tuan, aku pun sudah melupakan namaku.”

“Kau hendak pasang judi? Baik! Judi apa?”

“Judi dadu, tetap judi dadu, tentunya jumlah sedikit yang menang!”

Reaksi para hadirin sungguh lucu mendengar kata-katanya ini. Mereka kira orang ini sudah gila, enam dadu itu kini cuma menunjukkan satu titik, memangnya dia bisa menang?

Agaknya si pemuda tertarik dan merasa senang, sorot matanya bercahaya, tanyanya: “Taruhanmu.....”

“Kalau tuan kalah, sudah tentu mainan batu jade ini menjadi milikku, Leng-kongcu pun tak usah ikut kau. Kecuali itu, ingin aku mengajukan beberapa patah pertanyaan kepada tuan!”

Pertaruhan yang ringan dan murah saja, seketika terangkat alis si pemuda, tanyanya: “Kalau kau yang kalah?”

“Kalau aku kalah, akan kujelaskan semua urusan yang ingin benar kau ketahui itu.”

Berubah air muka si pemuda, “Dari mana kau bisa tahu hal apa yang ingin kuketahui?”

“Mungkin aku mengetahuinya.”

Lain orang bila kalah taruhannya amat tinggi nilainya, sebaliknya kalau dia sendiri yang kalah hanya kalah omongan saja, malah belum pasti dan baru mungkin saja, pertaruhan seperti ini sungguh tidak adil, semua orang kira si pemuda tentu tidak mau terima meski jelas dia bakal menang.

Tak nyana si pemuda berpikir sebentar, lalu berkata tandas: “Baik, pertaruhan ini jadilah!”

“Aku tahu tuan pasti akan bertaruh!”

“Dadu sudah kutimpukkan, apa kau pun hendak menimpukkan sekali lagi dengan cara yang sama?”

“Tidak perlulah!”

Terasa oleh semua orang bahwa otak orang ini memang tidak normal, terlihat ia menghampiri meja judi lain dan mengambil enam butir dadu yang lain.

Dia genggamn keenam biji dadu itu dalam tapak tangan. Leng Chiu-hun merasa seluruh jiwa raganya pun ikut tergenggam dalam tapak orang. Kalau sikap Coh Liu-hiang biasa dan wajar, sebaliknya seluruh badan Leng Chiu-hun sudah dibasahi keringat dingin. Tak tertahan ia berseru memperingatkan: “Thio-heng, jangan kau lupa, pihak lawan sudah melempar setitik angka saja.”

“Aku tahu,” ujar Coh Liu-hiang tawar. Segera sebelah tangannya terayum melemparkan sebiji dadu. Semua orang mengira dia hendak meniru perbuatan si pemuda, tapi paling-paling dia hanya bisa mendapat angka sebanding dengan lawan, paling-paling tidak terkalahkan, namun toh tidak akan menang. Tapi takjub dan heran pula semua hadirin dibuatnya, karena biji dadu itu meluncur amat lambat dan aneh sekali. Kalau si pemuda menimpuk dengan ujung cambuknya, sebaliknya ia melontar dengan tangan, betapa besar perbedaan antara pertunjukan kepandaian ini, kenapa pula Coh Liu-hiang harus mempertunjukkan kejelekan diri sendiri, namun setelah melihat dadu yang ditimpukkan itu bergerak lambat di tengah udara seperti terikat benang dan ditarik pelan dalam satu garis datar, sungguh semua orang sama tak mengerti, kenapa dadu itu tidak bisa membelok atau jatuh.

Semua orang memang tidak tahu betapa besar pengerahan Lwekang untuk menggerakkan timpukan dadu sekecil itu dengan gerakan lambat yang lempang itu, namun mereka maklum bahwa lambat itu jauh lebih sukar daripada cepat.

Tatkala dadu kedua di tangan Coh Liu-hiang sudah melesat keluar, luncurannya rada cepat sedikit mengejar dadu pertama dan “Tras!” dadu pertama ternyata ditubruk pecah hancur. Luncuran biji dadu ketiga lebih cepat sedikit lagi, mengejar biji dadu kedua dan “Tras!” sekali lagi dadu kedua pun terpukul hancur. Begitulah satu per satu Coh Liu-hiang menjentikkan dadunya, biji keempat menghancurkan biji ketiga, biji kelima menghancurkan biji keempat dan seterusnya. Biji kelima amat cepat dan besar, setelah menghancurkan biji keempat terus meluncur menumbuk tembok dan terpental balik, kebetulan kebentur dengan biji keenam yang melesat tiba, kedua biji terakhir ini saling bentur di tengah udara dan hancur bersama.

Enam biji dadu sama hancur menjadi bubuk berhamburan di atas lantai, dan anehnya bubuk dadu itu akhirnya bertumpuk di dalam bidang yang sama sehingga menumpuk tinggi. Sudah tentu semua hadirin dibikin melongo keheranan seakan-akan sedang melihat permainan sulap layaknya.

Coh Liu-hiang menepuk-nepuk tangan, katanya tertawa: “Daduku hancur, setitik pun tiada lagi, tentunya tuan yang kalah.”

Tak tahan lagi, akhirnya Leng Chiu-hun berjingkrak kegirangan, serunya sambil bertepuk tangan: “Benar, enam dadu setitik pun tiada lagi, bagus, bagus sekali!”

Seketika pucat muka si pemuda, cara yang digunakan Coh Liu-hiang memang baik dan mengambil keuntungan melulu, namun cara permainannya benar-benar merupakan kepandaian asli dan tulen, sedikit pun tak mungkin secara kebetulan. Apalagi cara yang ia gunakan untuk mengalahkan Leng Chiu-hun juga sama dengan cara nakal-nakalan, mana bisa ia mengatakan kelicikan orang lain? Saat mana mimik wajahnya mirip benar dengan keadaan Leng Chiu-hun waktu kalah tadi, mau mungkir pun tak bisa lagi. Biasanya dia sering mempermainkan orang sesuka dan seriang hatinya, tak nyana hari ini dia ketemu batunya dan balas dipermainkan orang secara konyol.

Tampak biji matanya yang cekung setenang air laut yang dalam dan mantap kini berubah seperti mega di ujung langit berubah berulang kali terhembus angin lalu dengan bentuk warna-warni. Sorot matanya yang semula dingin kini memperlihatkan perasaan.

Coh Liu-hiang merasa heran melihat perubahan ini, batinnya: “Kalau matanya itu tumbuh di atas badan perempuan, maka perempuan ini pasti cantik molek, cukup sekali mengerling laki-laki pasti akan rela berkorban demi dirinya. Sayang sepasang mata yang indah ini dimiliki oleh laki-laki, tumbuh di tempat yang tidak benar.”

Sesaat lamanya si pemuda baju hitam menjublek, mendadak cambuk panjangnya terayun dan mengamuk seperti orang kesurupan melecuti orang-orang yang menonton di pinggiran. Dalam sekejap saja puluhan orang kena dihajar babak belur, beramai-ramai mereka berteriak kesakitan dan berebut lari keluar menyelamatkan diri. Si pemuda masih terus mengayunkan cambuk lemasnya, bentaknya bengis: “Pergi! Semua menggelundung pergi! Satu pun tak boleh tinggal di sini!”

Suara hiruk-pikuk membuat suasana ruang judi menjadi gaduh, jerit tangis para gadis-gadis pelayan yang berjatuhan dan saling berhimpitan terdengar menyayatkan hati, malah ada yang berlari keluar sambil merangkak. Keruan berubah air muka Leng Chiu-hun, bentaknya gusar: “Orang-orang itu tidak mengusikmu, kenapa kau lampiaskan......”

“Kau pun lekas menggelundung keluar!” damprat si pemuda baju hitam, “Menggelundung ke luar!”

Darah segar setetes demi setetes mengucur keluar dari muka Leng Chiu-hun, namun mengusapnya pun tidak, dengan melotot ia pandang si pemuda, jengeknya dingin: “Kalau kau tidak mau mengaku kalah di hadapan orang banyak, tentu aku boleh keluar, namun.......”

“Tar!” kembali mukanya kena lecutan cambuk, tapi ia tetap berdiri di tempatnya tanpa bergeming, katanya pula pelan-pelan: “Asal kau ingat, akan datang suatu ketika aku orang she Leng pasti akan menuntut balas berlipat ganda kepadamu.”

Kembali cambuk si pemuda terayun, hardiknya: “Cambuk keempat!”

Leng Chiu-hun membanting kaki, sambil kertak gigi ia pun melangkah keluar.

Tatkala itu seluruh ruangan sudah kosong melompong, tidak kelihatan bayangan orang lain kecuali Coh Liu-hiang dan si pemuda baju hitam. Agaknya rasa gusar dan penasaran si pemuda masih belum terlampiaskan, kembali ia bikin hancur segala perabotan dan gambar lukisan atau pajangan apa saja di atas dinding.

Coh Liu-hiang tetap berdiri di pinggir meja. Sambil tersenyum ia mengawasi ulah orang yang mengamuk itu, katanya: “Sekarang semua orang sudah menyingkir, kau boleh mengaku kalah, bukan?”

Pelan-pelan terjulur lemas dan menjuntai ke lantai cambuk panjang si pemuda baju hitam, tampak pundaknya turun naik, lambat laun napasnya mulai normal kembali, dengan suara rendah tertahan akhirnya ia bersuara: “Apa yang ingin kau tanyakan? Lekas katakan!”

Sebentar Coh Liu-hiang termenung, katanya: “Surat yang diterima ayahmu sebelum beliau masuk ke pedalaman, apakah pernah kau melihatnya? Entah apa sebenarnya yang tertulis di atas surat itu?”

Sigap sekali mendadak si pemuda membalikkan badan, sorot matanya setajam pisau menatap muka Coh Liu-hiang, serunya bengis: “Dari mana kau tahu siapa ayahku? Cara bagaimana kau tahu beliau masuk ke pedalaman? Bagaimana pula kau bisa tahu sebelum ke pedalaman beliau pernah menerima sepucuk surat?”

“Jangan kau lupa, sekarang akulah yang berhak bertanya kepadamu!”

“Pertanyaan sudah kau ajukan, sekarang akulah yang sedang bertanya kepadamu.”

“Pertanyaanku belum kau jawab, kenapa kau malah balas bertanya kepadaku?”

“Aku hanya menerima pertanyaanmu, toh tidak berjanji hendak menjawab pertanyaanmu.”

Coh Liu-hiang melenggong, katanya tertawa: “Selama ini ingin aku melihat siapakah orang yang paling tidak pegang aturan di dunia ini, baru hari ini aku benar-benar kebentur.”

“Pertanyaan sudah kau ajukan, mainan itu boleh kau ambil, orang she Leng pun sudah kulepas pergi, pertaruhan antara kita sudah impas dan lunas, kini tiba saatnya kau menjawab pertanyaanku!”

Kata-kata ini diucapkan seperti petasan meledak, cepat dan gugup, seolah-olah sebelumnya memang sudah dia rencanakan dalam hati, sungguh Coh Liu-hiang tidak pernah menduga pemuda dingin dan angkuh ini ternyata bisa main licin dan licik, ujarnya sambil tertawa getir: “Kalau aku tidak menjawab pertanyaanmu?”

Hanya sepatah kata jawaban si pemuda: “Mati!”

“Kalau aku tidak mau mati?”

Sungguh lucu dan tepat sekali pertanyaan ini. Sejak kecil dan sebesar itu, belum pernah si pemuda menghadapi seseorang dengan sikap yang seperti itu. Sorot matanya yang dingin membeku itu tiba-tiba memancarkan ledakan kembang api, desisnya sadis: “Kalau bukan kau yang mampus, biar aku yang mati!” belum lenyap gema suaranya, cambuk panjangnya mendadak menyabet tiba.

Jalur cambuk panjangnya itu seakan-akan membuat banyak lingkaran-lingkaran besar kecil yang tidak terhitung banyaknya, setiap lingkaran cambuknya itu agaknya hampir menjerat leher Coh Liu-hiang. Bahwasanya satu pun tiada yang berhasil menjerat.

Seenteng asap mengambang, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah berada di belakang si pemuda, katanya mengolok: “Jika aku tidak membiarkan kau cari kematian?”

Sekali raih si pemuda menanggalkan mantel terus dikebutkan, mantel hitam yang lebar itu seketika berkembang dan menungkup ke arah kepala Coh Liu-hiang seperti segumpal awan, di antara berkelebatnya bayangan hitam tampak terselip tujuh titik sinar bintang dingin. Agaknya si pemuda sudah murka betul-betul, serangannya tidak mengenal kasihan lagi. Begitu tangan kiri menarik mantel, Chit-sing-ciam yang tersembunyi di gagang cambuknya pun berbareng merangsek tiba.

Serangan kombinasi ini dinamakan Hun-te-hwi-siang (Bintang Terbang di Bawah Mega), ternyata salah satu ilmu tunggal Tay-mo-sin-liong yang pernah malang melintang di kolong langit, entah berapa banyak tokoh-tokoh silat kenamaan yang menemui ajalnya oleh serangan hebat ini.

Tujuh bintik sinar bintang tertelan di bawah gumpalan mega hitam, siapa pun jangan harap bisa melihatnya jelas. Di saat ia mendengar angin sambaran senjata rahasia musuh, untuk berkelit pun sudah terlambat.

Mimpi pun Coh Liu-hiang tidak mengira pemuda ini pun membekal kepandaian tinggi dan ilmu yang sekeji ini, kesiur senjata rahasia yang menerjang di udara tahu-tahu sudah melesat tiba di depan dada. Kalau dia harus berkelit, terang tak sempat lagi. Dalam seribu kesibukannya, lekas ia menyedot dada melekukkan kulit daging, secepat anak panah ia menjatuhkan badan terus menggelundung mundur.

Luncuran tujuh titik bintang itu sendiri pun secepat kilat, namun Coh Liu-hiang mundur lebih cepat dari luncuran senjata rahasia itu, tahu-tahu mundur mepet ke dinding, tenaga luncuran senjata rahasia itu pun sudah kendor dan jauh lebih lemah. Mendadak ia mengulurkan tangannya, seperti menangkap nyamuk, ketujuh bintik bintang hitam itu kena ditangkap olehnya. Seketika si pemuda bergetar berdiri dengan terkesima, teriaknya tak tertahan: “Gerakan badan yang teramat cepat, sungguh hebat ilmu Hun-kong-coh-ing (menangkap bayangan membagi cahaya) itu.”

Di tengah suara bentakannya, beruntun ia menyerang dengan lecutan cambuknya tujuh kali. Ilmu cambuk orang lain biasanya laksana hujan badai, namun lingkaran cambuknya ini justru serapat dan seketat mega mendung sebelum hujan turun, sebelum bayu menghembus layu.

Kalau gerak lingkaran cambuk orang entah menyapu miring atau menyodok maju, tapi lingkaran ini justru menggulung datang dari berbagai arah, lingkaran besar membelit hingga lingkaran kecil, di dalam lingkaran kecil masih ada lingkaran lebih kecil lagi, di luar lingkaran besar masih ada lingkaran yang lebih besar pula.

Sekilas pandang seperti ada ribuan lingkaran bayangan cambuk yang berterbangan di tengah udara berlapis bertumpuk, ada yang akan menjirat tangan ada yang akan menjirat kepala, kalau orang biasa tidak bergebrak sama dia hanya melihat bayangan lingkaran cambuknya yang tak terhitung banyaknya itu, mungkin sudah pusing kepala dan jatuh semaput.

Umpamanya Coh Liu-hiang sendiri selama hidupnya belum pernah menghadapi lingkaran-lingkaran aneh seperti itu, namun ia insaf asal satu di antara sekian banyak lingkaran itu menjirat anggota badannya tentu akibatnya amat fatal. Tapi lingkaran besar kecil sekian banyaknya sungguh sulit diraba lingkaran mana yang tulen atau lingkaran yang ini cuma serangan pura-pura belaka. Lingkaran yang berisi atau kosong campur aduk. Secepat kilat sambung menyambung menggulung dirinya, untuk memunahkannya sesulit memanjat ke langit.

Sembari berkelit Coh Liu-hiang peras otaknya mencari akal, tiba-tiba dilihatnya di atas meja judi terdapat sebuah bumbung yang berisi batangan bambu kecil panjang satu kaki, batang-batang bambu ini biasanya digunanakan untuk mempermudah dalam pembayaran para penjudi dengan nilai-nilai uang yang tidak sama menurut waris dan panjangnya.

Sekali berkelebat dan berjumpalitan sejauh empat tombak, dengan mudah Coh Liu-hiang sudah meraih batang bambu kecil itu, waktu cambuk melingkar datang pula mendadak ia timpukkan sebatang bambu ke dalam lingkaran cambuk. Terdengar “pletek!” kisaran lingkaran cambuk itu dibikin lambat, namun batangan bambu itu patah menjadi dua.

Begitu lingkaran cambuk mematahkan batangan bambu, bayangan lingkaranpun sirna, namun begitu si pemuda kembali menggentak cambuknya, lingkaran-lingkaran yang tak terhitung banyaknya kembali menggulung tiba. Lingkaran demi lingkaran menerjang datang, batangan bambu di tangan Coh Liu-hiang pun sebatang demi sebatang ditimpukkan, setiap batang bambu tepat sekali masuk di tengah-tengah lingkaran cambuk. Maka terdengarlah suara “pletak-pletok” seperti ledakan poyah, tampak lingkaran cambuk satu demi satu menghilang, batangan bambupun patah satu per satu.

Suara seperti itu enak didengar, namun keadaan pertunjukkannya jauh lebih mengasyikkan. Kalau dikatakan ilmu cambuk si pemuda boleh menjagoi seluruh dunia, cara Coh Liu-hiang memusnahkannyapun tiada bandingannya di kolong langit.

Maklum begitu ujung cambuk melingkar, kekuatannya sudah terhimpun penuh dan tinggal dimanfaatkan saja, begitu menyentuh sesuatu benda lain atau mendapat perlawanan tenaga luar lainnya kekuatan yang terhimpun itu mau tak mau harus tersalurkan, oleh karena itu begitu batangan bambu tertimpuk masuk maka kekuatan lingkaran cambuk itu pasti menggulungnya sampai patah, setelah batangan bambu dipatahkan kekuatan lingkaran cambuk itupun punah, dengan sendirinya lingkaran itupun sirnalah.

Gampang sekali untuk menerangkan teori ini, namun di saat menghadapi musuh dan bergebrak seru seperti sekarang ini, untuk menjelaskan teori ini, sungguh amat sukar dan tak mungkin dilakukan.

Memang Coh Liu-hiang seorang genius, seorang berbakat untuk mempelajari ilmu silat. Bukan saja setiap ilmu silat yang dia pelajari pasti dapat diyakinkan dengan sempurna, malah pengalaman dan kecerdikan otaknya dalam menghadapi segala bentuk perubahan serangan musuh pun teramat luas, jauh melebihi orang lain. Banyak ilmu silat yang jelas takkan mungkin dapat dia pecahkan, begitu dia sendiri sudah menghadapinya dalam praktek, sekilas saja secara refleks pasti dapat dia pikirkan cara pemecahannya. Maka sering terjadi seorang yang sebetulnya membekal ilmu silat yang lebih tinggi dari dia, setelah bergebrak malah kena dikalahkan olehnya. Meski dia kalah dengan keheranan dan secara aneh seperti tidak masuk akal, namun semakin aneh maka semakin mereka tunduk lahir batin. Memang di situlah letak salah satu cacat hati manusia.

Kepandaian Hwi-hoang-tan-goat, Heng-sing-pou-hi (cincin terbang menjerat rembulan, awan berkembang mentata hujan) si pemuda baju hitam biasanya malang melintang di gurun pasir, selamanya belum pernah mendapat tandingan setimpal, tak nyana secara kenyataan dia menghadapi cara pemecahan yang aneh dan menakjubkan.

Lama-kelamaan hatinya menjadi gugup dan gelisah, cambuk diputarnya semakin kencang, maka lingkaran pun semakin banyak. Semakin banyak lingkaran, batangan bambu yang ditimpukkan pun semakin banyak juga, sebentar saja batangan bambu di tangan Coh Liu-hiang terang akan habis. Sudah tentu si pemuda baju hitam diam-diam girang, batinnya: “Setelah batangan bambumu habis kau gunakan, akan kulihat apa pula yang bisa kau lakukan?”

Tengah pikirannya bekerja, dilihatnya setelah Coh Liu-hiang menimpukkan batangan bambu di tangan kanan, lingkaran cambuknya mematahkan batangan bambu itu. Begitu lingkaran lenyap, daya kerja lingkaran cambuk yang lain sudah tentu rada tertahan dan menjadi kendor. Ternyata Coh Liu-hiang tidak menyia-nyiakan kesempatan paling baik ini, dengan gerakan Hun-kong-cou-ing, kembali ia raup batangan bambu yang sama patah berserakan di lantai itu, dari satu kini menjadi dua, jumlahnya semakin banyak dan takkan putus bahkan yang diperlukan.

Gelisah dan gusar pula si pemuda baju hitam, lingkarannya tiba-tiba di kiri lain kejap sudah di kanan, dari depan lalu berkisar ke belakang, saking dongkolnya malah ada lingkaran cambuknya yang tidak menjirat ke arah Coh Liu-hiang. Tapi walau lingkaran cambuk itu menjurus ke arah satu sudut mana saja, asal tangan Coh Liu-hiang bergerak, batangan bambunya dengan tepat pasti masuk ke tengah lingkaran cambuknya.

Dasar pembawaan watak si pemuda ini pun keras kepala dan kukuh, semakin lihay cara pemunahan lawan, semakin dia nekad dan berjuang mati-matian, tidak mau dia gunakan permainan ilmu cambuk lainnya.

Akhirnya tak tertahan Coh Liu-hiang tertawa geli, serunya: “Apa belum puas kau membuat lingkaran-lingkaran sebanyak ini?”

“Selamanya tidak akan percuma lingkaran yang kubuat ini!” sahut si pemuda sambil mengertakkan gigi.

“Sampai kapan kau hendak menjerat orang dengan lingkaran cambukmu?”

“Sampai kau terjerat mampus!”

“Kalau selamanya aku tidak bisa mati?”

“Selama itu pula aku berusaha menjerat lehermu.”

Coh Liu-hiang melengak, katanya kewalahan: “Watak dan kemauan tuan ternyata tidak ubahnya seperti kerbau dungu!”

“Kalau kau tidak sabar menghadapi lingkaran cambukku, lekaslah menggelinding pergi.”

“Bagus, sungguh menyenangkan kata-katamu, sampai aku pun.......”

Di tengah percakapan, lingkaran cambuk tetap bergulung-gulung tiba hendak menjirat badannya, batangan bambu tetap ditimpukkan, memunahkannya. Sampai pada kata-katanya terakhir, tangan Coh Liu-hiang masih menggenggam sepuluhan batang-batang bambu, sekaligus tiba-tiba ia timpukkan bersama, namun tiada satu batang pun meluncur ke arah lingkaran. Pertempuran-pertempuran tokoh-tokoh silat tingkat tinggi, mana boleh lena atau meleng? Saking kegirangan, tahu-tahu ujung cambuk si pemuda sudah menjerat leher Coh Liu-hiang, begitu ujung cambuknya melilit, “plok” tahu-tahu muka Coh Liu-hiang berbekas sejalur goresan darah. Meski kena sedikitpun Coh Liu-hiang tidak menjadi gugup, bagai seekor ular atau belut dengan licin dan gesit sekali badannya berputar dengan mudah ia sudah membebaskan diri sekaligus ia jengkangkan badannya ke belakang terus melesat mundur dengan badan menengadah ke atas, tahu-tahu sudah mundur mepet tembok.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar