-------------------------------
----------------------------
Bab 5: Perjudian
Thio Siau-lim bergerak seperti
tiba-tiba terjaga dari impiannya, gumamnya: "Eh, ada orang ya? Siapa
itu?"
Perempuan pembunuh itu amat
kaget seperti kuatir mengejutkan orang di luar jendela itu. Namun ia tidak
bersuara, waktu berpaling kelihatan ia mengulum senyum geli, ternyata kedoknya
sudah hilang, sinar rembulan menyoroti mukanya, ternyata memang cantik
mempesona.
Thio Siau-lim sengaja pentang
lebar-lebar kedua matanya, dia pun tak bersuara.
Perempuan itu unjuk senyum
lebar dan manis mesra, menatapnya pula dengan pandangan menarik, jari-jari
tangannya yang runcing halus pelan-pelan sudah merambati kancing bajunya di
depan dada, satu-persatu dia membuka pakaiannya.
“Kau.... kau ini....”
Thio-Siao-lim melenggong.
Lekas perempuan itu angkat
jari di depan mulutnya, menyuruhnya jangan bersuara, dengan gemulai pinggangnya
meliuk gontai, pakaian ketat yang membungkus tubuhnya seketika melorot jatuh ke
bawah. Kecuali pakaian hitam itu, bagian dalamnya kosong plontos tanpa secarik
benang pun jua.
Cahaya rembulan seketika
menyoroti seluruh badannya yang montok telanjang laksana gading.
Serasa sesak napasnya
Thio-Siau-lim, di saat ia terlongong, tiba-tiba terasa badan yang padat kenyal,
licin, dingin dan lembut laksana ular tahu-tahu menyusup masuk ke dalam
kemulnya.
Bau badannya mambawa harum
sabun cendana yang semerbak, agaknya dia baru saja mandi. Harum sabun yang
wangi sedap baunya, tapi anehnya, waktu bau wangi ini teruar dari badannya,
cukup membuat nafsu birahi seorang laki-laki sirna tanpa diketahui ke mana
perginya.
Badannya yang licin dan
berminyak bagai ular sudah membelit badan Thio-Siau-lim.
Thio-siau-lim menggumam
melongo: “Tengah malam buta rata, memdadak ada seorang gadis cantik membuka
polos pakaiannya, menyusup ke dalam kemul, cerita macam ini mungkin seorang
pengarang cerita porno yang paling brutal pun takkan bisa menuliskannya seperti
ini?”
Gadis itu rebah di pinggir
telinganya, katanya berbisik sambil cekikikan geli: “Seorang laki-laki ketiban
rejeki sebesar ini, memangnya masih belum puas?”
“Apa kau ini siluman rase?
Atau setan?”
“Ya, memang aku ini siluman
rase, aku hendak mencekikmu sampai mati.”
Mendadak gemetar sekujur badan
Thio-Siau-lim, katanya: “Bicara terus terang, hatiku takut setengah mati!”
Gadis itu pelan-pelan
mengelusnya, katanya tertawa genit: “Jangan takut, seumpama rase menjadi
siluman, dia tetap mempunyai ekor, coba kau raba pinggangku, apa ada ekornya
tidak?” ia tarik tangan orang.....
“La.....lu, siapa kau
sebenarnya?”
“Leng-kongcu kuatir kau
kesepian, sengaja mengutus aku ke mari untuk menemani kau, sekarang kau boleh
lega hatilah?”
“Leng-kongcu memang baik hati,
kau tidak kalah baiknya, apa pun yang kau inginkan pasti kuberikan.”
“Aneh, biasanya Leng-kongcu
bersikap dingin kaku, kenapa terhadap kau sebaliknya? Memangnya....ada sesuatu
permintaan apa-apa terhadapmu?”
“Em...”
Gadis itu merapatkan badannya,
reaksinya sungguh amat mendebarkan jantung, katanya: “Orang baik, katakan
kepadaku apakah yang sedang kau rundingkan dengan dia?”
“Ai....”
Meliuk-liuk pinggang si gadis,
katannya berbisik: “Malam ini agaknya Leng-kongcu amat sibuk, apakah terjadi
sesuatu?... Tiga orang Tiang-lo yang bertempat tinggal di rumah Ciangbunjin itu
kenapa tidak tampak bayangannya?”
Agaknya gadis itu jadi uring-uringan,
katanya aleman sambil mendorong dada orang: “Diajak bicara diam saja. Baik! Aku
tidak mau hiraukan kau lagi.”
“Sekarang bukan saatnya untuk
bicara.”
“Tapi sekarang kau harus....”
belum lenyap suaranya, mendadak si gadis rasakan seluruh badan kejang linu,
kaki tangannya tak mampu bergerak lagi. Baru sekarang dia betul-betul kaget,
teriaknya tertawa: “Kau.... apa yang kau lakukan?”
Tiba-tiba Thio-Siau-lim bangun
berduduk, katanya sambil berseri tawa mengawasinya: “Kau beritahu aku dulu,
siapa kau? Setelah itu baru kejelaskan tentang diriku.”
“Bukankah tadi sudah
kuberitahu, Leng-kongcu yang suruh aku ke mari?”
“Orang yang diutus Leng-kongcu
mana mungkin merambat turun dari atas genteng.”
Biji mata yang indah itu kini
menyorotkan rasa ketakutan. Serunya: “Kau.... jadi kau sudah melihatnya tadi?”
“Harus disayangkan, tak
sengaja aku tadi melihatnya.”
“Kau, kenapa tadi kau tidak
bersuara?”
“Kau kan tidak suruh aku
bicara? Apalagi aku hanya tidak senang rahasiaku diselidiki orang, tetapi gadis
jelita hendak buka baju telanjang di hadapanku, memangnya amat kebetulan malah
bagiku.”
“Kau...... kau bangsat bangor
ini,” maki si gadis mendesis gusar.
“Sekarang, tibalah saatnya kau
mengaku terus terang.”
Gadis itu melototkan matanya,
suaranya serak saking gusarnya: “Ingin rasanya kubunuh kau!”
“Tidak mau bicara?”
Berkeriut gigi si gadis,
“Kalau tidak kau bunuh aku, kelak pasti akan menyesal.”
“Baik, kau tidak mau bicara,
orang lain pasti bisa memaksamu bicara.” mendadak ia gulung tubuh orang dengan
kemul kapas itu terus berteriak-teriak keras: “Tangkap maling.... tangkap
mata-mata!”
Keruan pucat pias selembar
muka si gadis, sungguh mimpi pun ia tidak menyangka orang tega hati
memperlakukan dirinya sekeji ini.
Serempak para laki-laki di luar
pintu segera menerjang masuk, bentaknya bersama, “Mana mata-matanya?”
Thio Siau-lim menunjuk gadis
di atas ranjang itu, katanya, “Itu di sana! Lekas bawa ke tempat Leng-kongcu
untuk dikorek asal-usulnya.”
Kaget dan girang para
laki-laki itu, segera mereka menjinjing gulungan selimut kapas itu
beramai-ramai.
Badan si gadis tidak bisa
bergerak, tapi mulutnya masih mencaci-maki, “Kau binatang! Kau anjing! Kau...
akan mati tanpa liang kubur!”
Perlahan-lahan Thio Siau-lim
menggaruk hidungnya, katanya menggumam, “Ada orang yang mengatakan aku ini
hidung belang, aku masih bisa menerimanya. Tapi kalau ada orang yang menganggap
aku pikun, terpaksa aku harus memberi hajaran padanya.”
***
Liu-yap-to masih tergeletak di
lantai, Thio Siau-lim pun menjemputnya dan ditimang serta diawasi, katanya
sambil mengerutkan kening, “Jadi perempuan itu orang Thian-sing-pang, bagaimana
mungkin orang Thian-sing-pang bisa berada di sini?”
Sesaat lamanya ia menerawang,
lalu mengenakan pakaian dan menyelipkan Liu-yap-to itu di pinggangnya, sedikit
pundaknya terangkat, tahu-tahu badannya sudah meluncur keluar dari lubang
genteng.
Sesaat lamanya ia mendekam di
atas genteng, setelah meneliti keadaan sekelilingnya, mulutnya menggumam
sendiri, “Dia datang dari sebelah timur, jadi Thian-sing-pang berada di sebelah
timur.” Segera ia kembangkan ginkangnya, melompat dari wuwungan ke wuwungan
yang lain, seakan mega mengambang di bawah kakinya, angin malam yang dingin
menghembus lewat membasahi mukanya.
Bentuk wuwungan rumah itu
berbeda satu dengan yang lain, demikian pula penghuni rumah-rumah di bawah,
juga terdiri dari orang-orang yang berlainan sifat dan kesenangannya, dengan
aneka ragam kehidupannya pula, namun siapa yang dapat membandingi
keaneka-ragaman hidupnya?
Malam semakin larut, tabir
malam makin pekat, suasana dalam rumah-rumah itu pun mulai terjatuh dalam
kegelapan, kadang kala terdengar jerit tangis orok yang terjaga di tengah
malam, atau suara senda-gurau suami-isteri yang sedang bemain cinta di atas
ranjang.....
Kecuali suara riang gembira,
ada kalanya terdengar juga suara caci-maki dari mulut yang penasaran. Suara
kucing menubruk tikus, suara ngorok laki-laki gendut yang tidur nyenyak, serta
suara dadu yang jatuh ke dalam mangkuk dengan suara kelontang yang nyaring.
Di waktu malam, berjalan di
atas wuwungan rumah orang merupakan suatu kesenangan yang lain daripada yang
lain, terasa keunggulan yang tidak mungkin dibandingi orang lain, perasaan
seperti inilah yang paling ia sukai.
Tiba-tiba dilihatnya cahaya
lampu yang menyorot terang di pekarangan depan sana, namun di tempat gelap di
mana sorot lampu tidak mampu mencapainya, seakan-akan tampak kemilau sinar
golok dan bayangan orang yang sedang mendekam di sana.
Mendadak Thio Siau-lim
menghentikan larinya, gumamnya, “Mungkin di sinilah tempatnya!” Sebat sekali ia
menyembunyikan diri di balik wuwungan, sesaat lamanya ia meneliti keadaan
sekitarnya, dilihatnya seseorang berjalan keluar dari dalam rumah, katanya
setelah berludah, “Apa Sam-kohnio sudah kembali?”
Laki-laki tegap di tempat
gelap di pojok sana segera menyahut, “Belum kelihatan!”
Orang itu menggeliat, katanya
ragu-ragu, “Aneh, mungkin terjadi sesuatu?”
“Mengandalkan kecerdikan
Sam-moay, kuyakin tidak akan terjadi apa-apa.”
Mendadak Thio Siau-lim
melemparkan Liu-yap-to itu ke bawah seraya membentak, “Sam-moay-mu sudah
terjatuh ke tangan Pang kita, kalian tunggu saja akibatnya!”
Dari dalam rumah beruntun
melesat bayangan orang, laksana pedang yang disambitkan. Ia mengenakan pakaian
ketat warna hitam, tangannya menggenggam sebatang pedang yang kemilau
memancarkan cahaya hijau.
Melihat gerakan tubuh orang,
kembali Thio Siau-lim dibuat terkejut, batinnya, “Kepandaian orang ini agaknya
lebih tinggi dari Chit-sing-toh-hun Cou Yu-cin. Dari mana Thian-sing-pang mempunyai
tokoh kosen tersembunyi seperti dia ini?”
Seenteng daun, secepat kilat
ia melesat pergi, bayangan hitam itu pun mengejar dengan kencang dan ketat di
belakangnya. Sengaja ia memperlambat larinya sambil berpaling ke belakang.
Dilihatnya raut muka orang
yang seperti mayat hidup, sepasang matanya sipit laksana bintang kejora yang
menyorot terang, sekilas pandang lebih menakutkan dari kilauan pedangnya.
Baru saja Thio Siau-lim
menghentikan langkahnya, laki-laki berbaju hitam itu segera menyusul tiba, di mana
pedangnya menari-nari beterbangan. “Sret! Sret! Sret!”, beruntun beberapa kali.
Dalam sekejap ia sudah menusuk tiga kali.
Tiga tusukan pedang itu bukan
saja cepat lagi tepat, sasaran yang dituju pun tak lepas dari tempat-tempat
mematikan di badan Thio Siau-lim. Ilmu pedangnya memang belum boleh dikatakan
sudah mencapai puncak kesempurnaannya, namun serangannya ganas dan telengas,
jarang ada tandingan soal kekejiannya. Sorot matanya memancarkan kebencian,
kekejaman dan sinar buas seperti serigala kelaparan, seakan-akan kesenangannya
yang terbesar dalam hidup ini adalah membunuh orang, tujuan hidupnya pun juga
demi membunuh orang.
Gaya permainan pedangnya pun
amat aneh, sikutnya ke atas, posisinya seperti tidak pernah bergerak,
kelihatannya ia cuma mengandalkan kekuatan pergelangan tangannya untuk
menusukkan pedang. Bila tiba saatnya, selamanya tak pernah menyia-nyiakan
sedikit pun tenaganya.
Melihat raut wajah orang yang
seperti mayat hidup, menyaksikan gaya serangan pedangnya yang aneh dan lucu,
mendadak tergerak hati Thio Siau-lim, teringat olehnya seseorang.
***
Dengan cepat dan cara yang
aneh sekali, pergelangan tangan orang itu bergerak dengan gesit dan enteng.
Sinar pedang seperti percikan kembang api, siapa pun tidak bisa melihat gerak
perubahannya.
Sekilat pandang, beruntun ia
menusuk tiga belas kali, sementara Thio Siau-lim sudah melampaui empat wuwungan
rumah, sinar pedang laksana ular jahat yang membelit badannya, namun sejauh itu
tidak berhasil menyentuh ujung bajunya.
Itulah gaya gerakan pedang
yang lebih cepat dari sambaran kilat, namun gerakan badan yang jauh lebih cepat
pula dari kilat dipamerkan oleh Thio Siau-lim. Waktu tusukan keempat belas
dilancarkan, mendadak tersendat dan berhenti satu kaki di depan tenggorokannya.
Gerak tusukan pedang itu boleh
dikata teramat cepat lagi tepat, namun berhentinya pun amat wajar dan enteng,
badan pedang bergeser sedikit pun tidak. Gerakan tubuh Thio Siau-lim yang
meluncur secepat kilat pun mendadak berhenti. Kedua orang berdiri berhadapan,
seakan sama-sama sudah membeku.
Terpancar sorot aneh dari biji
mata laki-laki baju hitam ini, katanya tegas: “Kau bukan murid Cu-soa-bun.”
Lagu suaranya pun ganjil dan lain daripada yang lain, dingin, rendah, berat,
serak, pendek, kedengarannya seperti bukan kata-kata yang keluar dari
tenggorokan manusia, walaupun suaranya rendah datar, namun membawa daya
kekuatan yang menusuk sanubari orang, sehingga orang sulit melupakan setiap
patah kata yang pernah dia ucapkan.
Thio Siau-lim tertawa,
katanya: “Dari mana kau tahu kalau aku bukan murid Cu-soa-bun?”
“Murid Cu-soa-bun tiada
seorang pun yang bisa meluputkan diri dari tiga belas tusukan pedangku.”
“Sudah tentu kau pun bukan
orang Thian-sing-pang.”
“Tidak salah!” sahut laki-laki
baju hitam itu.
Lenyap suaranya, pedangnya
yang berhenti di tengah jalan mendadak menusuk datang pula. Betapa cepat
tusukan ini sungguh luar biasa. Begitu pedangny amenusuk, jarang dapat dicari
orang yang mampu meluputkan diri dari tusukan pedang yang hanya berjarak satu
kaki saja.
Tapi hebat memang kepandaian
Thio Siau-lim. Sebelum pedang orang bergerak, tahu-tahu ia sudah berkelebat
mundur tiga kaki, walau orang hendak menusuk tenggorokan Thio Siau-lim, sedikit
pun ia tidak jadi marah, malah katanya sambil tertawa: “Kalau kau toh bukan murid
Thian-sing-pang, aku pun bukan murid Cu-soa-bun, kau dan aku boleh dikata
selamanya tidak saling kenal, kenapa kau harus membunuh aku?”
Ucapannya belum cukup tiga
puluh kata, namun dilancarkan dengan cepat sekali, tapi laki-laki baju hitam
sudah menusukkan tiga puluh enam serangan pedangnya pula, gaya serangannya
lebih ganas dan lebih keji. Biasanya dia tidak suka banyak bicara, karena
sebelum ia bicara, pedang di tangannya sudah memberikan jawaban yang cekak-aos.
Mati! Itulah jawaban yang biasa ia berikan kepada orang.
“ilmu pedang kilat, ilmu
pedang yang ganas keji, memang tidak malu dijuluki pedang cepat nomor satu dari
Tionggoan.... hebat memang pedang menyapu sukma tanpa bayangan, Setitik Merah
dari Tionggoan.”
Tiiada jawaban, setelah tiga
puluh enam tusukan, tiga puluh enam tusukan melanda pula mengancam
tenggorokannya.
Selama itu Thio Siau-lim tidak
pernah balas menyerang, mukanya mengulum senyum simpul, katanya: “Kalau ingin
pinjam tangan membunuh orang, carilah It-tiam-ang (Setitik Merah).... kabar di
Kangouw, asal ada orang yang mau mengeluarkan harga tinggi, seumpama teman baik
atau darah daging sendiri pun kau akan membunuhnya, apa benar kabar yang
kudengar ini?” habis kata-katanya ini, tiga puluh enam tusukan pedang yang
ketiga kalinya sudah dilontarkan pula.
Kata Thio Siau-lim menghela
napas: “Sudah lama kudengar perihal sepak terjangmu, sayang kau tidak mau buka
suara, sebetulnya ingin aku mengobrol denganmu, bukankah mengobrol lebih nikmat
dan aman daripada mengayun golok mempertaruhkan jiwa menimbulkan banjir darah.”
Pedang panjang It-tiam-ang
mendadak berhenti pula, sorot matanya yang tajam menyedot sukma orang kembali
menatap Thio Siau-lim, mendadak ia menyeringai tawa menunjukkan barisan giginya
yang putih, katanya: “Maling romantis suka menagih sukma, malam hari suka
meninggalkan bau harum... jadi kau ini Coh Liu-hiang!”
Kali ini ganti Thio Siau-lim
yang melengak kaget, katanya tertawa geli: “Siapa yang kau maksud Coh Liu-hiang
itu?”
“Kecuali maling romantis Coh
Liu-hiang yang mampu meluputkan diri dari seratus empat puluh empat tusukan
pedangku tanpa membalas, masih tetap tersenyum lagi, kukira sukar dicari orang
kedua di kolong langit ini.”
“Terkaanmu memang benar,” Thio
Siau-lim tertawa besar. “Memang aku tidak senang menggunakan kekerasan,
bunuh-membunuh mengalirkan darah merupakan perbuatan goblok manusia yang
utama.”
Berkilat sorot mata
It-tiam-ang, tanyanya: “Selamanya kau tidak pernah membunuh orang?”
“Kau tidak percaya?”
“Kau belum pernah membunuh
orang, dari mana kau bisa tahu betapa nikmatnya membunuh orang?”
“Selamanya kau belum pernah
terbunuh, tentunya belum pernah merasakan betapa derita jiwa seseorang yang
dibunuh. Kalau seseorang membangun kesenangan hati sendiri di atas kesengsaraan
orang lain, orang macam itu kukira tidak berguna lagi.”
Kembali terpancar percikan api
yang menyala dari biji mata It-tiam-ang. Belum lagi ia bersuara, tiba-tiba
terdengar seseorang membentak: “It-tiam-ang, hayo serang! Kenapa kau tidak
turun tangan?”
Ternyata baru sekarang
murid-murid Thian-sing-pang menyusul tiba, empat-lima orang berdiri di atas
wuwungan empat tombak jauhnya, hanya seorang laki-laki kekar yang melompat maju
berdiri lebih dekat, serunya sambil banting kaki: “Kami keluar uang
mengundangmu untuk membunuh, bukan mengundangmu untuk putar bacot melulu.”
It-tiam-ang melirik pun tidak
ke arah orang itu, malah Thio Siau-lim yang unjuk senyum, katanya:
“Mengandalkan ilmu pedangnya yang hebat ini, entah berapa uang perakmu untuk
membeli sekali tusukan pedangnya?”
Laki-laki tegap berbaju sutera
itu tertawa dingin, jengeknya: “Keluar dua ketip perak saja sudah terlalu
banyak. Orang suka mengagulkan bagaimana lihaynya It-tiam-ang. Siapa tahu
kiranya dia hanyalah seorang lemah yang tidak berani bertindak.”
Baru saja kata-kata “lemah”
diucapkan, sinar pedang mendadak berkelebat, belum lagi mengeluarkan suara
jeritannya, laki-laki itu sudah terjungkal jatuh. Thian-toh-hiat di
tenggorokannya berlubang dalam mengeluarkan setitik darah.
Cuma setitik darah segar.
Di bawah penerangan sinar
bintang, tampak kulit daging mukanya berkerut-kerut kejang, selebar mukanya
dihiasi butiran keringat sebesar biji kacang. Meski sudah kerahkan setaker
tenaganya, suaranya tak terdengar pula dari lehernya, namun terdengar deru
napasnya yang ngos-ngosan seperti binatang hendak disembelih.
It-tiam-ang, setitik merah
yang teramat lihay, sampai membunuh orang pun tak sudi mengeluarkan banyak
tenaga, kebetulan telah menusuk tempat yang mematikan, sekali tusuk kebetulan
menamatkan jiwa orang, setengah mili pun pedang itu tidak menusuknya lebih
dalam.
Pelan-pelan ujung pedang
It-tiam-ang terjulur turun ke bawah, di ujung pedangnya pun terdapat setitik
darah, dengan sinar sorot matanya menatap titik darah itu, tanpa angkat kepala,
katanya kalem: “Orang yang hidup, tiada seorang pun yang bisa memakiku sebagai
orang lemah.”
Deru napas yang ngos-ngosan
itu lama-kelamaan semakin lemah, raut muka murid Thian-sing-pang itu sudah
pucat tak berdarah lagi, akhirnya napas pun berhenti.
Kata Thio Siau-lim sambil
menengadah dan menghela napas: “Bagus benar, membunuh orang tanpa kelihatan
darah, setitik merah di ujung pedang.” Pelan-pelan ia merogoh keluar secarik
sapu tangan sutera putih, lalu ditutupkan di atas muka laki-laki itu.
Baru sekarang para murid
Thian-sing-pang berkaok mencaci-maki: “It-tiam-ang, kau biasanya mengutamakan
keadilan dan kesetiaan, kenapa hari ini.......”
It-tiam-ang segera menukas
dengan kasar: “Aku hanya menjual pedang, bukan orang. Siapa pun, bila menghina
aku, maka dia harus mati!”
Murid-murid Thian-sing-pang
banting kaki dan mendamprat: “Kita sewa kau untuk membunuh orang, kenapa kau
tidak berani turun tangan kepadanya?”
Sekilas It-tiam-ang melirik
kepada Thio Siau-lim, katanya kalem: “Kalian minta aku untuk menghadapi Cu-soa-bun
saja, orang ini sebaliknya bukan murid Cu-soa-bun.”
“Sret,” pedang tersaung
kembali ke dalam serangkanya, sigap sekali ia melompat turun ke bawah terus
tinggal pergi.
Sungguh gusar dan kaget
murid-murid Thian-sing-pang, mendadak seseorang membentak: “Orang inilah yang
semalam sekongkol dengan Leng Chiu-hun, orang ini pula yang tadi dicari oleh
Sam-kohnio.”
“Benar,” sahut Thio Siau-lim.
“Kalau sekarang kalian hnedak menyusul dia, lekas kalian susul ke
Kwi-gi-tong.....” belum lenyap suaranya, tiba-tiba tubuhnya telah berkelebat.
Waktu para murid Thian-sing-pang menubruk datang, bayangannya sudah jauh
puluhan tombak.
Lima belas lentera yang
terbuat dari tembaga, oleh tangan seorang ahli disusun sedemikian rupa
menyerupai bentuk budur, sebelah atapnya ditutup oleh kap lampu yang terbuat
dari tembaga bundar berlobang-lobang pula, maka sorot lampu terkumpul pada satu
sasaran lobang sehingga memancarkan cahaya terang yang menyolok mata.
Lampu yang berbentuk aneh ini
sebetulnya ditaruh di atas meja judi yang beralas kain beludru warna hijau,
namun meja judi yang panjang, lebar dan besar itu kini digunakan sebagai tempat
kompres oleh Leng Chiu-hun. Ternyata gadis yang digulung kemul kapas oleh Thio
Siau-lim itu terikat kencang di atas meja kompres itu. Sorot lampu yang terang
itu tertuju ke mukanya yang pucat dan cantik itu.
Kedua matanya melotot lebar,
kelopak matanya membesar bundar, semangatnya runtuh dan loyo seolah-olah dalam
keadaan tidak sadar, terdengar mulutnya sedang komat-kamit menggumam: “Aku she
Sim, bernama San-koh...., aku she Sim..... bernama San-koh..... aku murid
Thian-sing-pang..... aku murid Thian-sing-pang....”
Leng Chiu-hun bercokol di atas
kursi besar di pinggir meja judi itu, mukanya kaku dan membeku, sedikit pun
tidak menunjukkan perasaan, cuma sorot matanya membayangkan senyum ejek yang
keji.
Baru saja Thio Siau-lim
melangkah masuk, segera ia menggeleng kepala dan katanya sambil menghela napas:
“Serigala betina yang licik ini agaknya telah berubah menjadi domba yang j
inak. Apa sekarang dia sudah mau buka mulut?”
Leng Chiu-hun tertawa tawar,
ujarnya: “Perempuan yang lahirnya keras dan kukuh, bahwasanya tekadnya melempem
dan tak punya pendirian, seseorang bila ingin perempuan menyimpan rahasianya,
tentunya laki-laki itu sudah pikun.”
“Urusan yang berbahaya seperti
ini memang tidak cocok dilaksanakan oleh kaum hawa, di dalam dapur atau di
pinggir ranjang barulah tempat yang cocok bagi mereka. Sayangnya perempuan yang
pintar justru tidak paham akan teori ini.”
“Thio-heng masih ingin
bertanya apa kepadanya?” tanya Leng Chiu-hun sambil tertawa sadis, matanya
melirik kepada Thio Siau-lim, katanya pula: “Seumpama sekarang kau bertanya
dulu dia mempunyai berapa gendak, pasti dia akan menjelaskannya.”
Thio Siau-lim batuk-batuk
kering, ia maju mendekat serta membungkuk mengawasi Sim San-koh, katanya: “Apa
kau masih kenal aku?”
Dengan lemah dan lesu Sim
San-koh membuka kelopak matanya, mendadak ia tertawa cekikikan, sahutnya:
“Tentu aku masih kenal kau, kau adalah seorang kekasihku, yang paling memberi
kenikmatan kepadaku, tapi kau adalah seorang bajingan, seekor binatang......”
Leng Chiu-hun tertawa
terbahak-bahak, serunya: “Bisa dimaki sebagai binatang oleh perempuan seperti
ini, Thio-heng tentunya kau memang seorang ahli yang jempolan dalam bidang itu.
“Binatang” di mulut perempuan ada kalanya mempunyai makna yang jauh lebih
berarti.”
Dengan tertawa kecut Thio
Siau-lim meraba hidungnya, tanyanya pula: “Kenapa kau hendak menyelidiki
rahasiaku?”
Sim San-koh menjawab: “Karena
gerak-gerikmu waktu mencari Leng Chiu-hun amat mencurigakan, entah rahasia apa
yang sedang kalian rundingkan?”
“Memangnya sepak-terjangku ini
ada sangkut-pautnya dengan fihak Thian-sing-pang kalian?”
“Tentu ada sangkut-pautnya.
Kali ini Thian-sing-pang meluruk ke Kilam, tujuannya memang hendak mencari
Cu-soa-bun. Leng Chiu-hun justru seorang murid Cu-soa-bun yang mempunyai
kekuasaan penting.”
Leng Chiu-hun terkekeh tawa,
selanya: “Cu-soa-bun biasanya tiada bermusuhan dengan Thian-sing-pang, kenapa
Thian-sing-pang hendak cari gara-gara?”
Sim San-koh menjelaskan:
“Karena Thian-sing-pang Pangcu, Chit-sing-toh-hun Cou Yu-cin mendadak hilang.
Sebelum berangkat, dia pernah berkata hendak mencari Sat-jiu-suseng Sebun Jian
dari Cu-soa-bun.”
Berkilat mata Thio Siau-lim, tanyanya:
“Tahukah kau untuk apa dia mencari Sebun Jian?”
“Tidak tahu.”
“Apa Cou Yu-cin biasanya ada
ikatan persahabatan dengan Sebun Jian?”
“Selamanya tiada hubungan sama
sekali.”
“Tahukah kau bahwa Sebun Jian
sekarang sudah menghilang?”
“Tidak tahu.”
Semakin kencang kerut alis
Thio Siau-lim, agaknya dia sedang memeras otak memikirkan persoalan pelik ini.
Mendadak Leng Chiu-hun
membentak bengis: “Peristiwa ngeri yang terjadi di dalam perguruan kita, apa
ada sangkut-pautnya dengan Thian-sing-pang?”
“Peristiwa berdarah apa?
Sedikit pun aku tidak tahu.”
Leng Chiu-hun mengerling ke
arah Thio Siau-lim. Kata Thio Siau-lim: “Sebelum Cou Yu-cin keluar pintu,
apakah dia pernah menerima sepucuk surat?”
Sim San-koh berpikir sebentar,
sahutnya: “Ya, tidak salah!”
Bersinar mata Thio Siau-lim,
tanyanya, “Tahukah kau di mana surat itu sekarang?”
Kembali Sim San-koh berfikir,
baru akhirnya menjawab, “Ciangbunjin menyerahkannya pada Ji-suhengku.”
“Siapa suhengmu?”
“Thian-jiang-sing Song Kang.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di di Jiciu mencari derma
untuk membayar It-tiam-ang, malam ini dia akan pulang.”
“Tionggoan It-tiam-ang?” seru
Leng Chiu-hun terkejut dan tersirap darahnya. “Apakah pembunuh bayaran yang
berdarah dingin itu? Mengapa Thian-sing-pang sudi membayar mahal padanya?”
Sim San-koh tertawa kaku,
sahutnya, “Karena kami harus menghadapi Cu-soa-bun. Jika terbukti kalian
membunuh Ciangbunjin kami, maka tugasnya adalah membunuh kalian satu per satu
sampai habis.”
Raut wajah Leng Chiu-hun yang
pucat itu sudah memutih tak berdarah, jari-jarinya yang runcing halus tak
henti-hentinya menggosok gagang golok di pinggangnya, tanyanya, “Berapa upah
yang kalian berikan padanya?”
“Satu laksa tail untuk setiap
kepala orang yang dibunuhnya, ditambah seribu tail bila berhasil membunuhmu,
Leng Chiu-hun, nilainya adalah lima ribu tail.”
Leng Chiu-hun terloroh-loroh
seperti orang sinting, katanya keras, “Bagus, baru sekarang aku tahu jiwaku
dinilai lebih mahal daripada orang lain, tapi lima ribu tail bukanlah jumlah
yang banyak, aku malah bisa membayar dia selaksa tail.... dua laksa tail.....”
“It-tiam-ang biasanya
mengutamakan kesetiaan dan dapat dipercaya. Kalau dia sudah menerima kontrak,
biarpun kau berani membayar sepuluh kali lipat dari upah yang kami berikan, dia
tak akan sudi menerimanya.”
Tawa Leng Chiu-hun tiba-tiba
berhenti, jarinya menggenggam kencang gagang goloknya, matanya tertuju keluar
jendela, seakan takut It-tiam-ang yang serba misterius dan menakutkan itu akan
menerjang masuk.
Dengan linglung Sim San-koh
tertawa memandang Thio Siau-lim, katanya, “Sebetulnya siapa namamu?
Sesungguhnya nama Thian-jiang-sing itu lebih cocok digunakan olehmu.
Ji-suhengku meski bergelar Thian-jiang-sing, badannya tidak sekekar dan sekuat
dirimu.”
Thio Siau-lim mengulurkan jari
menotok Hiat-to tidurnya, katanya menggumam, “Anak perempuan tidak boleh banyak
bicara. Kalau menjadi perempuan cerewet, mungkin kau tidak akan laku kawin.
Anak perempuan yang tidak laku kawin, aku tidak sudi melihatnya. Di dunia ini
kalau tiada perempuan yang tidak laku kawin, persoalan buruk tentu tak akan
sebanyak ini.”
***
Sim San-koh akhirnya tertidur
dengan nyenyak.
Mata Leng Chiu-hun masih
menatap keluar jendela, tampak mulutnya komat-kamit menggumam, “Tionggoan
It-tiam-ang, sampai di manakah kecepatan pedangnya? Benarkah dia sejahat dan
keji seperti yang tersiar? Memangnya dia benar-benar......”
“Leng-heng tak perlu banyak
fikiran,” tukas Thio Siau-lim. “Yang terang segera kau akan berhadapan
dengannya.”
Tiba-tiba Leng Chiu-hun berjingkrak
bangun seperti disengat kala, tanyanya, “Segera dia akan datang?”
“Kalau dia ingin datang,
tentunya sudah datang.”
Jari-jari Leng Chiu-hun yang
menggenggam gagang golok makin memutih kencang, mendadak ia menggebrak meja,
teriaknya keras, “Baik, biarkan dia datang! Seumpama maling sakti Coh Liu-hiang
yang datang juga belum tentu aku gentar terhadapnya, mengapa aku harus jeri
menghadapi Tionggoan It-tiam-ang?”
Thio Siau-lim tersenyum
simpul, “Apakah Coh Liu-hiang lebih menakutkan daripada Tionggoan It-tiam-ang?”
“Di kolong langit ini, siapa
pula yang lebih menakutkan daripada Coh Liu-hiang?”
“Menurut apa yang kutahu,
bahwasanya dia adalah seorang yang bijaksana, bajik dan baik hatinya, mungkin
di dunia ini tiada orang yang lebih baik kecuali dia.”
“Sungguh menggelikan.....
belum pernah kudengar kata-kata lucu yang menggelikan seperti ini. Seumpama Coh
Liu-hiang mendengar ucapanmu itu, mungkin giginya akan copot saking gelinya.”
Thio Siau-lim menghela nafas,
katanya sambil tertawa getir, “Manusia memang aneh, ada kalanya lebih percaya
pada obrolan orang yang berbohong dan tidak percaya pada omongan yang jujur.”
Sekonyong-konyong genteng di
atas ruang pendopo itu berderak.
Gelak tawa Leng Chiu-hun
seketika sirap, seluruh badannya mengejang tegang, badannya lalu melenting ke
pinggir jendela, serunya lantang, “Sahabat di luar, silakan masuk!”
Sementara Thio Siau-lim
perlahan-lahan membuka pintu dan berjalan keluar, katanya tertawa, “Kalau
kalian ke mari hendak berkelahi, silakan mencarinya. Jikalau ingin mengadu
untung, aku malah mau melayani.”
Di luar gelap gulita, hanya
disinari bintang-bintang yang berkerlap-kerlip, terlihat di atap rumah berjajar
bayangan orang yang berkumpul menjadi satu, sedang merundingkan sesuatu. Lalu
melompat turun lima orang laki-laki, seorang lagi masih tetap berdiri di
pinggir atap sambil bergendong tangan, sikapnya acuh seperti tidak terjadi
apa-apa, namun sepasang matanya laksana mata serigala yang memancarkan sinar
terang di kegelapan malam. Thio Siau-lim melihat jelas, orang itu adalah
Tionggoan It-tiam-ang.
Salah seorang laki-laki yang
turun lebih dulu berbaju kencang, mukanya bercambang, ukuran badannya yang
kurus kering tidak setimpal dengan jenggot kasarnya. Di antara kelima orang
itu, memang ginkangnya jauh lebih tinggi. Begitu menginjak bumi, dengan tajam
segera ia menatap Thio Siau-lim, katanya bersoja, “Apakah tuan majikan rumah
ini?” Terlihat telapak tangannya terangkap di luar, tapi jari tengah dan jari
manisnya masing-masing mengenakan tiga cincin baja yang berwarna emas hitam.
Thio Siau-lim tertawa,
sapanya, “Apakah tuan Thian-jiang-sing Song Kang?”
“Ya,” sahut laki-laki
berjenggot kasar itu.
Thio Siau-lim lalu menyingkir
ke samping, katanya tertawa, “Tuan rumah sudah menunggu di dalam, silakan!”
Leng Chiu-hun kembali duduk di
atas kursi besar di pinggir meja judi itu. Golok panjang berkilauan sudah
terlolos, ujungnya mengancam tenggorokan Sim San-koh. Dengan dingin ia
menyambut kedatangan Song Kang, katanya sinis, “Sungguh kebetulan kedatangan
Song-jisiansing. Aku berhasil menangkap seorang maling perempuan. Kalau
Song-jisiansing ada minat, silakan tampil ke depan untuk mengorek keterangannya
bersamaku.”
Song Kang berdiri membelakangi
pintu, raut wajahnya yang bundar membeku sudah mekar menjadi warna abu-abu,
harus maju melabrak orang ataukah bertindak menurut gelagat, sedikit pun ia
tidak bisa mengambil keputusan.
Leng Chiu-hun terkekeh,
serunya, “Song-jisiansing, apakah pakaianmu terlalu sempit? Menahan nafas
sampai mukamu merah padam begitu. Kau harus mencari tukang jahit, bolehkah
Cayhe kenalkan seorang tukang jahit yang pandai pada Song-jisiansing?”
Murid-murid Thian-sing-pang
menjadi beringas gusar, serempak mereka menyerbu masuk. Tiba-tiba Song Kang
membalikkan telapak tangannya, ia pukul keluar pintu seorang yang menerjang
paling depan hingga jungkir balik. Seolah tidak terjadi apa-apa, lekas ia
merangkap tangan dan berkata dengan tawa yang dipaksakan, “Ini... kukira telah
terjadi salah faham.”
“Salah faham?” Leng Chiu-hun
mengangkat alisnya.
“Orang yang terancam di bawah
golok Leng-kongcu itu adalah Sumoay-ku.”
“Wah, aku bertindak kurang
hormat malah, kalau Sumoaymu mau memberitahu asal-usulnya, mana berani Cayhe
bertindak kurang ajar.” Mulut bicara sungkan, namun ujung goloknya tetap
mengancam leher Sim San-koh, sedikit pun tidak bermaksud membebaskan
tawanannya.
Kelihatan betapa prihatin dan
gugup Song Kang, katanya dengan tertawa dipaksakan: “Kalau saudara sudi
membebaskan Sumoayku, Thian-sing-pang akan berterimakasih dan berhutang budi.”
“Hubungan antara
laki-perempuan, jika kelewat batas memang sukar mengelabui mata orang lain,”
Leng Chiu-hun tertawa lebar.
Akhirnya berubah juga air muka
Song Kang, bentaknya, “Apa katamu?”
“Aku berkata, demi Sumoaymu
yang romantis ini, sampai suheng sendiri sudah dilupakan,” demikian olok Leng
Chiu-hun.
Semakin merah padam raut muka
Song Kang, katanya tersendat, “Sumoayku.... Suhengku.....”
Leng Chiu-hun mendadak
berjingkrak berdiri, bentaknya bengis, “Seorang laki-laki harus bicara terus
terang. Biar aku jelaskan padamu, persetan mati hidup Cou Yu-cin atau ke mana
dia pergi, Cu-soa-bun tidak pernah tahu-menahu. Tentang Sumoaymu ini... kau
ingin membawanya pulang, kukira tidak sedemikian gampang.”
Song Kang mengepalkan
tangannya, katanya gemetar, “Kau..... apa keinginanmu?”
“Kalau kau ingin perempuan ini
pulang dalam keadaan hidup, kau harus bersumpah dan melarang orang
Thian-sing-pang selamanya memasuki wilayah Kilam. Demikian juga dengan temanmu
di atap itu, tentu kau pun harus mengajaknya kembali.”
Belum lenyap suaranya,
tiba-tiba kesiur angin keras menyambar, sesosok bayangan orang melesat masuk
lewat jendela sebelah kiri terus terbang keluar lewat jendela kanan. Kejadian
itu berlangsung secepat kilat. Terdengar suara “Tring!” yang nyaring, hampir saja
golok di tangan Leng Chiu-hun dijentik lepas oleh orang itu.
Waktu semua orang berpaling,
tampak Setitik Merah dari Tionggoan sudah berdiri di atap sebelah kanan. Tanpa
bersuara, tindakannya itu sudah memberi jawaban singkat dan paling gampang
serta mudah difahami. “Kalau aku ingin datang atau pergi, tiada seorang pun
yang mampu mengekang diriku.”
Keruan berubah muka Leng
Chiu-hun. Dasar licik, segera dia berganti sikap, katanya tertawa, “Asal
saudara tidak mencampuri urusan Thian-sing-pang, sembarang waktu ingin berada
di Kilam, murid-murid Cu-soa-bun kami akan menyambutmu dengan pesta kebesaran.”
Kini Song Kang tak tahan lagi,
bentaknya, “It-tiam-ang, kau sudah membunuh seorang murid kami, bukan hanya aku
tidak mencari perhitungan padamu, malah kumaki mereka, terhadap bapakku sendiri
pun Song Kang tidak pernah sesungkan ini. Tapi barusan kau jelas bisa
membebaskan Sam-moay, namun kau tidak turun tangan, kau.....”
Setitik Merah menyahut dingin,
“Selamanya aku hanya membunuh, tak tahu cara bagaimana menolong orang.”
Sorot matanya lebih dingin
dari pisau tajam. Song Kang hanya melirik sekilas, kata-kata selanjutnya seakan
tersumbat di mulutnya. Beberapa saat kemudian, barulah dia dapat berkata dengan
tersendat, “Kalau demikian.... mengapa kau tidak membunuhnya?”
“Aku membunuh orang tidak
pernah dengan cara membokong, kau suruh dia keluar, biar kubunuh dia untukmu.”
“Cuma, sebelum Cayhe keluar,
batok kepala Sumoaymu ini tentu sudah berpisah dengan badan kasarnya,” ancam
Leng Chiu-hun menyeringai dingin.
Dengan mendongkol Song Kang
membanting kaki, katanya serak, “Baiklah, kuturuti keinginanmu. Sejak kini
Thian-sing-pang tidak akan menginjak daerah Kilam.“ Orang seperti Song Kang
memang tiada duanya, kedudukannya tinggi di Kangouw maupun di dalam Pang
sendiri. Kalau ingin hidup dan berkecimpung di kalangan Kangouw, setiap patah
kata harus sekokoh gunung, selamanya tidak boleh diubah.
Leng Chiu-hun mengunjuk tawa
lebar, katanya, “Bila sudah demikian....”
Tiba-tiba seseorang menyeletuk
sambil tertawa berseri, “Jangan kau lupa, Leng-heng, aku pun punya bagian atas
diri nona itu.”
Sigap sekali Song Kang
membalikkan badan, dilihatnya Thio Siau-lim sedang melangkah masuk sambil
tertawa lebar. Sepasang matanya seperti menyemburkan api, bentaknya murka, “Kau
ini barang apa? Mau ikut campur?”
“Aku bukan barang,” ujar Thio
Siau-lim tetap dengan tertawa. “Aku manusia.”
Sambil menggerung Song Kang
melontarkan kepalan, cincin di jarinya seketika memancarkan sinar dingin, untuk
membunuh orang segampang membalikkan telapak tangan, namun di mana kepalannya
melayang, tahu-tahu hanya mengenai tempat kosong karena orang di depannya
tiba-tiba hilang.
Waktu ia menoleh, dilihatnya
Thio Siau-lim sedang cengar-cengir di bawah emper rumah rumah sana, katanya,
“Sudah Cayhe katakan, berkelahi aku tidak suka.”
Sungguh gusar dan kaget Song
Kang dibuatnya, beruntun ia memberi tanda lambaian tangan pada It-tiam-ang,
tapi It-tiam-ang seolah tidak melihat, terpaksa Song Kang berseru, “Ang-heng,
kau... memangnya belum tiba saatnya kau bertindak?”
It-tiam-ang berpaling ke arah
Thio Siau-lim sebentar, sahutnya, “Semua manusia di kolong langit ini dapat
kubunuh, tapi dia.... kau suruh orang lain saja yang lebih lihai dariku!” Dari
atap rumah ia melemparkan buntalan uang perak, tanpa berpaling terus tinggal
pergi.
Song Kang melongo dan
menjublek di tempat, sungguh mimpi pun tak terpikirkan olehnya Tionggoan
It-tiam-ang yang membunuh manusia seperti membabat rumput hari ini terbentur
batu, ada orang yang tidak mampu dan tidak mau dibunuhnya.
Thio Siau-lim berdiri diam
sambil menggendong tangan, pakaiannya melambai tertiup angin, katanya dengan
tetap tersenyum, “Sebetulnya syaratku jauh lebih gampang dari yang diajukan
oleh Leng-kongcu.”
Akhirnya Song Kang kewalahan
dan membanting kaki, serunya, “Apa keinginanmu? Lekas katakan!”
“Asal kau berikan surat
Suhengmu yang diserahkan padamu sebelum dia pergi, hanya kubaca sebentar, bukan
saja segera kuantar Sumoaymu keluar, malah akan kusewakan tandu dan kubunyikan
petasan untuk membuang hawa busuknya.”
Keruan Song Kang melengak,
katanya, “Jadi syaratmu hanya ingin melihat surat itu?”
“Ya, setelah kubaca, segera
kukembalikan.”
Lama Song Kang menepekur, lalu
katanya perlahan, “Surat itu sudah kubakar, tapi apa yang tertulis dalam surat itu,
aku pernah membacanya, entah ada sangkut-paut apa surat itu denganmu? Mengapa
kau ingin melihatnya?”
“Tidak perlu kau tahu apa
maksudku hendak membaca surat itu. Cuma aku ingin tahu apakah kau tidak ingin
Sumoaymu yang genit ini kembali ke dalam pelukanmu?”
Song Kang mempertimbangkan,
sekilas ia mengawasi raut muka sang Sumoay yang kelihatan pucat di bawah
sorotan sinar lampu, seketika bergolak darah dalam rongga dadanya. Tanpa
menghiraukan segalanya, segera ia berteriak keras, “Baik, akan kukatakan.
Sebetulnya surat itu tidak mengandung rahasia apa-apa, namun.....” Mendadak
mulutnya menjerit seram, badannya pun tersungkur beberapa kaki dan roboh
terjerembab.
Murid-murid Thian-sing-pang
seketika terpekik kaget dan menjadi gaduh. Sedikit pun tidak terlihat luka di
atas badannya, namun sejalur darah merembes keluar dari tulang punggung ruas
ketujuh.
Berubah air muka Leng
Chiu-hun, serunya, “Inilah orang kedua yang mati lantaran surat itu. Thio-heng,
kau....” Waktu ia berpaling, Thio Siau-lim yang tadi berdiri di emper rumah itu
sudah tidak kelihatan lagi bayangannya.
***
Waktu Song Kang roboh sambil
melolong seram, di ujung tembok nan jauh sana berkelebat sesosok bayangan hitam
terus menghilang. Seorang pun tidak ada yang melihatnya, tapi mana bisa lepas
dari sepasang mata Thio Siau-lim nan jeli.
Sebat sekali badannya segera
melambung tinggi beberapa tombak, terus mengejar dengan kencang, siapa sangka
bayangan hitam itu tahu-tahu sudah puluhan tombak jauhnya. Betapa tinggi
ginkangnya, kaum persilatan sama mengetahui, namun ginkang bayangan hitam ini
pun ternyata tidak lemah.
Dua sosok bayangan, satu di
depan, yang lain mengejar di belakang, melesat terbang di atas kota Kilam yang
malam itu terasa panas kering, laksana dua layang-layang yang terikat pada
seutas benang. Sekejap saja keduanya sudah melampaui tembok kota langsung
menuju ke arah yang jauh di mana diliputi kabut tebal yang pekat, tahu-tahu
mereka sudah sampai di pesisir Tay-bing-ouw, danau kenamaan yang amat indah dan
menakjubkan pemandangannya.
Lambat-laun Thio Siau-lim
berhasil memperpendek jarak di antara mereka, terang dalam sekejap ia akan
dapat menyandak bayangan hitam itu. Memang di kolong langit ini, perduli dia
siapa, ginkangnya betapa pun pasti satu tingkat lebih rendah dari ilmu mengentengkan
tubuhnya.
“Sahabat, hentikan saja
langkahmu,” seru Thio Siau-lim tertawa. “Aku berjanji tidak akan melukai
seujung rambutmu. Tapi kalau kau ingin terjun ke air, terang kau akan menderita
malah.”
Bayangan hitam itu bergelak
tertawa seperti burung hantu, katanya, “Coh Liu-hiang, akhirnya aku dapat
mengetahuimu juga!” Di tengah suaranya, tahu-tahu suatu benda meluncur di udara
dan meledak menghamburkan asap tebal berwarna ungu berbau aneh. Seketika
seluruh badannya tertelan dalam asap tebal itu, tak ketinggalan Thio Siau-lim
sendiri pun tertelan di dalamnya.
Terasa asap tebal itu seperti
sesuatu benda yang menindih seluruh badan Thio Siau-lim, bukan saja pandangan
mata menjadi kabur, gerak-geriknya yang lincah pun menjadi sukar dikembangkan pula.
Waktu ia berhasil menerobos keluar dari kepungan kabut tebal itu sambil menahan
nafas, dirinya sudah berada di pinggir danau, bayangan itu pun sudah
menghilang, tampak air danau yang tenang itu beriak membundar lentur, semakin
lebar dan akhirnya sirna.
Dengan mendelong Thio Siau-lim
mengawasi riak air yang membundar lentur itu, mulutnya menggumam, “Apakah itu
Jinsut yang misterius dari kalangan persilatan di Tang-ni (Jepang)? Mengapa
belum pernah kudengar kaum persilatan Tionggoan ada yang mahir menggunakan ilmu
yang mendekati aliran sesat ini?”
Menurut cerita orang kuno,
Jinsut adalah semacam ilmu yang dapat menghilangkan badan kasar sendiri secara
tiba-tiba di hadapan musuh. Untuk mempelajari ilmu ini hingga sempurna, orang
harus putus hubungan dengan cinta asmara, mempersembahkan jiwa raga sendiri
sebagai taruhan untuk mencapai pelajaran Jinsut yang paling tinggi. Betapa
berat derita dan sengsara dalam proses pelajaran ini, tak bisa dilakukan oleh
sembarang orang. Seumpama kaum persilatan di Tang-ni sendiri, tokoh yang pandai
menggunakan Jinsut ini dipandang sebagai tokoh misterius laksana dedemit.
Sesaat lamanya Thio Siau-lim
menjublek di tempatnya, katanya sambil tertawa kecut, “Orang ini pandai
menggunakan Jinsut, memiliki ginkang yang hebat pula, hari ini Coh Liu-hiang
benar-benar terbentur batu, sayang belum bisa kuketahui siapa dia sebenarnya.”
Mendadak didengarnya seseorang
berkata dengan dingin, “Coh Liu-hiang, cabut senjatamu!” Suaranya serak-serak
basah, berbareng sesosok bayangan hitam lalu melangkah keluar dari tengah kabut
di pinggir danau itu, dia bukan lain Tionggoan It-tiam-ang.
“Mengapa kau pun berada di
sini?” tanya Thio Siau-lim tertegun.
“Aku mengikuti jejakmu,
sekarang baru bertemu di sini, tentunya kau tak akan membuatku kecewa, bukan?”
Thio Siau-lim mengusap
hidungnya, ujarnya, “Sejak tadi kau menguntitku? Mengapa?”
“Hanya untuk menghunjamkan
pedangku ini ke tenggorokanmu.”
Keruan Thio Siau-lim melengak,
tanyanya, “Kau hendak membunuhku?”
“Mungkin akulah yang akan kau
bunuh,” sahut It-tiam-ang sinis.
“Kau tahu, selamanya aku tidak
membunuh orang, apalagi kau……”
“Kau tidak membunuhku, biarlah
aku yang membunuhmu.”
“Tapi tadi kau sudah bilang
tidak…..”
“Aku tidak mau membunuhmu
lantaran orang lain, aku ingin membunuhmu lantaran aku sendiri.”
“Mengapa?”
“Bisa berduel dengan Coh
Liu-hiang merupakan peristiwa yang membesarkan hatiku.”
Thio Siau-lim menggelengkan
kepalanya, katanya sambil menggendong tangan, “Sayang aku tiada berminat untuk
berkelahi, maafkanlah.”
“Kau mau tidak mau harus
bertanding denganku!” bentak It-tiam-ang. Di tengah alunan suaranya yang
bergema di udara itu, sinar pedangnya laksana bianglala menusuk, namun Thio
Siau-lim tetap menggendong tangan, tanpa bergerak sedikit pun, tahu-tahu sinar
pedang sudah berhenti setengah dim di depan lehernya.
Sinar pedang yang kemilau
membuat kedua alisnya kelihatan memucat. Kala menyilang di lehernya, tampak
jakunnya tergetar diancam oleh sinar pedang yang berhawa dingin, namun sikap
dan air mukanya tetap tidak berubah, semangatnya seolah terbuat dari besi baja.
It-tiam-ang segera mendorong ujung pedangnya setengah dim ke depan, ujung
pedang sedikit pun tidak bergeser dari sasarannya, pergelangan tangannya seakan
terbuat dari besi murni. Suaranya serak mengancam, “Kau kira aku tidak berani
membunuhmu?”
Ujung pedang sudah hampir
menempel di lehernya, namun sedikit pun ketenangan Thio Siau-lim tidak
tergoyahkan, katanya tertawa tawar, “Sudah tentu bukannya kau tidak berani,
cuma tak sudi.”
“Aku bertekad hendak membunuhmu,
mengapa tak sudi?”
“Membunuh dengan cara seperti
ini, kesenangan apa pula yang dapat kau peroleh?”
Ujung pedang tiba-tiba
bergetar, tangan It-tiam-ang yang sekokoh batu ternyata sudah bergeming,
bentaknya dengan suara parau, “Kau betul-betul begitu yakin?” Mendadak
pedangnya menusuk maju.
Dari kepala sampai kaki Thio
Siau-lim tidak terlihat bergerak, walau ujung pedang menyerempet lewat
lehernya, tusukan pedang ini kemungkinan bisa menembus tenggorokannya.
Raut muka It-tiam-ang tetap
dingin seperti es, namun kulit dagingnya mulai berkerut mengejang, selebar
mukanya tiba-tiba berkerut aneh, katanya, “Kau…. kau benar-benar tidak sudi
bertarung denganku?” Suaranya gemetar.
“Sungguh mohon dimaafkan!”
sahut Thio Siau-lim menghela nafas.
“Bagus!” seru It-tiam-ang
menengadah seraya tertawa panjang. Nada tawanya rawan dan pedih, pedang diputar
balik terus menusuk ke arah tenggorokannya sendiri.
Sudah tentu perbuatan nekad
It-tiam-ang ini amat mengejutkan Thio Siau-lim, segera telapak tangannya
menebas tegak hendak merampas pedang orang, namun secepat kilat pergelangan
tangan It-tiam-ang bergerak lincah, ujung pedang tetap tertahan mengarah ke
tenggorokannya. Sementara itu Thio Siau-lim mulai mengembangkan ilmu
Khong-jiu-jip-pek-to, dengan keras berusaha hendak merebut senjata orang.
Di bawah penerangan cahaya
bintang yang berkerlap-kerlip, tampak sinar pedang berkelebatan, bayangan orang
pun timbul tenggelam dengan gerakan cepat dan gesit serta lincah sekali. Betapa
pun kedua orang ini sudah turun tangan, namun gerak-gerik keduanya sama cepat
dan jauh berbeda dari pertarungan adu silat umumnya, karena yang seorang
berusaha untuk bunuh diri, yang lain berusaha menolong dan menggagalkan usaha
orang untuk mencari jalan pendek.
Pertempuran semacam ini sungguh
belum pernah terjadi sejak zaman dahulu. Dalam sekejap saja puluhan jurus sudah
berlalu. Mendadak terdengar suara “Creng!”, kumandang suara kecapi dari tengah
danau. Petikan demi petikan mengalun turun naik bergema di tengah udara nan
sunyi lengang, namun serasa mengandung suasana penasaran dan kebencian,
seumpama negara yang sedang menghadapi keruntuhan, rasa marah dan cinta sukar
terbendung, seolah-olah terhina dan tak terlampiaskan gejolak hatinya.
Begitu alunan suara kecapi
berkumandang di udara, alam semesta serasa diliputi rasa rawan yang dibakar
oleh nafsu membunuh, bintang-bintang di angkasa raya seakan redup dan
tenggelam, panorama alam dan keindahan danau Tay-bing-ouw menjadi kuncup dan
tak berkesan pula.
Dasar watak dan hati Thio
Siau-lim selalu lapang dan terbuka, seorang yang jujur dan polos, tidak menjadi
soal bagi dirinya ketika mendengar alunan suara kecapi yang mengandung daya
tarik yang luar biasa itu. Tapi riwayat hidup It-tiam-ang berbeda jauh, sejak
kecil ia hidup menderita dan berkelana di Kangouw seraya mengecap kesengsaraan
dan kenistaan. Ia memang berhati keji, fikirannya pun sempit dan selalu
dihinggapi oleh rasa penasaran akan ketidakadilan, kalau tidak mana mungkin dia
menjadi seorang pembunuh bayaran, membunuh orang sebagai hobi.
Tatkala itu alunan suara harpa
sudah berkumandang di telinganya, seketika darah mendidih dan badan terasa
panas membakar, ternyata ia sukar mengendalikan diri lagi, mendadak ia bersuit
panjang dan nyaring sambil menengadah, pedangnya bergerak terbalik pula menusuk
ke arah Thio Siau-lim.
Tusukan ini amat cepat dan
ganas, tidak sempat Thio Siau-lim berpikir, secara refleks badannya bergerak
mengegos diri, cuaca memang remang-remang, namun jelas kelihatan sepasang
matanya It-tiam-ang merah telah berdarah, gerak-geriknya membabi-buta seperti
kesetanan. Waktu tusukan kedua It-tiam-ang dilancarkan, tak bisa lagi Thio
siau-lim berkelit pula, kalau dulu ia masih tetap bersikap tenang, tapi kini ia
menghadapi lawan yang betul-betul sudah kehilangan kesadarannya. Petikan harpa
semakin cepat, gerak sambaran pedang It-tiam-ang ikut menjadi cepat,
seolah-olah gerak-gerik dan jalan pikirannya sudah terkendali dan dibelenggu
oleh suara petikan harpa itu, sehingga ia tidak punya pedoman dan kontrol atas
dirinya sendiri lagi.
Keruan Thio Siau-lim tersirap
darahnya, bukan ia kuatir pedang It-tiam-ang akan melukai dirinya, adalah ia
tahu kalau pertempuran cara seperti ini berlangsung lebih lama lagi,
It-tiam-ang pasti akan bisa melukai atau membunuh dirinya.
Cahaya pedang sudah menjadi
tabir berkilat terang yang membungkus seluruh badan Thio Siau-lim, sinar pedang
yang merabu seperti gila ini terang takkan dapat dikendalikan atau ditundukkan
oleh siapa pun juga.
Thio Siau-lim mendadak berseru
lantang: “Apa kau berani ikut aku ke bawah?” di tengah gema suaranya, tiba-tiba
badannya melambung tinggi berjumpalitan di tengah udara terus terjun ke dalam
danau.
Tanpa ragu-ragu sedikit pun,
It-tiam-ang meniru perbuatannya ikut terjun ke dalam air. Tapi di dalam air
jauh berbeda dengan daratan, waktu It-tiam-ang menusukkan pedangnya,
paling-paling hanya menimbulkan riak gelombang air yang berbuih, sukar dia
melukai lawannya pula.