Legenda Pulau Kelelawar Bab 12: Sinar Harapan (TAMAT)

 
Bab 12: Sinar Harapan (TAMAT)
Waktu untuk kedua kalinya Oh Thi-hoa masuk ke dalam terowongan pulau yang gelap gulita ini. dia sudah dapat menguasai perasaannya dan jauh lebih tenang daripada waktu masuk pertama kalinya. Sebab sekarang dia sudah jauh lebih paham keadaan dan seluk-beluk di dalam terowongan itu.

Gelap. keadaan masih tetap gelap gulita.

Oh Thi-hoa terus merambat ke depan menyusuri dinding batu dengan harapan akan dapat melihat setitik sinar api yang dipegangCoh Liu-hiang.

Akan tetapi ia tidak melihatnya dan juga tidak mendengar suara apapun.

Suasana yang menakutkan timbul pula bersama dengan datangnya kegelapan.

Baru sekarang Oh Thi-hoa merasa dirinya sama sekali tidak tahu apa-apa atas tempat ini. Dia tidak tahu masih berapa banyak orang yang bersembunyi di sini? Berapa pula setan iblis yang gentayangan?

Dan dimana Coh Liu hiang? Apa telah masuk perangkap musuh?

Lalu kemana perginya Goan Sui-hun? Juga Hoa Cin-cin?

Sama sekali Oh Thi-hoa tidak tahu. Bilamana seorang sama sekali tidak tahu apa-apa. terhadap sesuatu, maka segera dia akan merasa takut. Rasa takut selalu timbul bersama dengan rasa ketidaktahuan.

Sekonyong-konyong dalam kegelapan seperti ada orang berdehem.

Secepat terbang Oh Thi-hoa melayang ke sana dan berseru, "Kutu busuk......" Tapi suaranya lantas terputus sebab ia lantas merasa orang ini bukan Coh Liu-hiang,

Baru saju orang ini hendak menyelinap lewat di sebelahnya, dengan cepat Oh Thi-hoa merentangkan tangan untuk mengalangi kepergiannya. Cara turun tangannya sekali ini lain dari biasanya, gerakannya cepat, cuma menimbulkan desir angin perlahan. yang digunakan adalah gaya 'cepat' dan 'potong'.

Tapi orang ini dapat bergerak dengan enteng dan gesit seperti badan halus. meski sekaligus Oh Thi-hoa melancarkan tuiuh kali pukulan. tapi ujung baju orang saja tak tersentuh olehnya. Ia menjadi sangsi apakah dalam kegelapan terdapat seorang sebagaimana disangkanya?

Tapi di sini barusan jelas ada seseorang. kecuali orang itu bisa menghilang, kalau tidak. dia pasti masih berada di sini.

"Hmm. tak peduli kau setan atau manusia, yang pasti jangan harap dapat kabur dari sini," jengek Oh Thi-hoa.

Mendadak ia menghantam beberapa kali secara membadai. sekarang tak dipusingkan lagi apakah angin pukulannya yang menderu dan didengar lawan atau tidak. Kini, tak terpikir lagi olehnya akan dapat merobohkan lawan, yang penting orang harus dipaksa menangkis atau balas menyerang. Maka terdengarlah suara angin pukulan yang menderu, segenap penjuru diliputi angin pukulannya yang dahsyat. Ilmu pukulan Oh Thi-hoa memang jauh lebih hebat dari pada kekuatannya minum arak.

Dalam kegelapan mendadak bergema pula suara berdehem orang ini.

"Haha, memang sudah kuketahui...." belum lanjut ucapan Oh Thi-hoa, seketika ia urungkan olok-oloknya. sebab mendadak ia merasa pergelangan tangan kirinya digores perlahan oleh sesuatu benda yang dingin. Segera pula tenaga pada tangannya itu lenyap.

Tangan setan ?!

Apakah betul tangan setan? Kalau tidak mengapa begini dingin? Dan begini cepat?

Oh Thi-hoa meraung murka, kepalan kanan terus menghantam.

Pukulan ini hampir menggunakan segenap tenaganya, andaikan tidak dapat merontokkan gunung. sedikitnya juga bisa menghancurkan batu.

Tapi dalam kegelapan lantas terdengar orang tertawa perlahan.

Suara tertawa itu begitu perlahan, begitu lirih, seperti ada dan juga seperti tidak ada, tahu-tahu suara itu berada di belakang Oh Thi-hoa.

Cepat Oh Thi-hoa membalik tubuh terus menendang. Akan tetapi suara tertawa itu sudah jauh di sebelah sana dan mendadak tidak terdengar lagi.

Betapapun tabah Oh Thi-hoa. tidak urung ia merinding juga, seumpama yang ditemuinya ini bukan setan tapi manusia, gerak tubuh orang ini sungguh secepat setan iblis. Selama hidup Oh Thi-hoa tak pernah menemui lawan yang begini menakutkan. Mendadak terdengar pula suara orang batuk satu kali, suara ini sedikitnya sudah empat lima tombak jauhnya. Oh Thi-hoa menggereget, sekuat tenaga ia melayang ke sana.

Dia tidak perduli lagi apakah setan atau manusia, juga tidak perduli ada apa di depan sana, biarpun menumbuk dinding hingga kepala pecah juga tak terpikir lagi olehnya.

Memang begitulah watak Oh Thi-hoa, bilamana dia sudah gregetan maka segala apapun tidak dipedulikan lagi. Sekalipun ketemu Giam-lo-ong juga dia berani melabraknya, apalagi cuma seorang setan cilik yang tidak berani muka berhadapan muka.

Karena terjangan yang cepat benarlah lantas ia menumbuk sesuatu benda. Rasanya sangat lunak, tapi juga terasa keras. Jelas seorang 'manusia'.

Dan siapakah manusia ini?

Padahal tubrukan Oh Thi-hoa ini sangat keras, biarpun pohon juga akan ditumbuknya hingga tumbang, tapi orang ini masih tetap berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak.

Oh Thi-hoa terkejut segera telapak tangannya memotong ke leher orang.

Serangan ini sangat cepat, siapa tahu orang ini terlebih cepat daripada dia, sekali berputar. tahu-tahu ia sudah berada di belakang Oh Thi-hoa pula.

Kejut dan gusar Oh Thi-hoa. segera ia bermaksud melancarkan serangan kedua. tak terduga orang itu lantas berseru tertahan di belakangnya. "He. Siau Oh. hidungku hampir peyot diterjang olehmu. apa ini belum cukup?"

Coh Liu-hiang! Orang ini ternyata Coh Liu-hiang adanya!

Hampir saja Oh Thi-hoa mencaci maki, dengan dongkol ia berkata. "Brengsek, kukira benar-benar ketemu setan, kiranya kau si kutu busuk tua ini? Coba katakan. mengapa sejak tadi kau tidak bersuara dan kenapa mesti lari?"

"Barangkali kau memang, ketemu setan," jawab Coh Liu-hiang. "Sejak tadi aku berdiri di sini. kau sendiri yang menerjang kemari."

"Sejak tadi kau berdiri di sini?" Oh Thi-hoa menegas dengan melenggong.

"Ya. bilakah kutinggalkan tempat ini?........"

"Jadi orang yang baru saja bergebrak denganku bukanlah dirimu?"

"Bilakah pernah kita bergebrak?"

"Habis di mana....... di mana orang tadi?"

"Orang siapa?"

"Baru saja ada orang lari ke sini, masa kau tak tahu?"

"Barangkali kau lagi mimpi? Setan saja tidak ada di sini, dimana ada orang?" kata Coh Liu-hiang.

Oh Thi-boa mengembus napas dingin dan tidak dapat bicara lagi. Ia tahu reaksi Coh Liu-hiang biasanya sangat cepat, daya rasanya juga sangat peka. apabila ada orang melayang di sampingnya tidak nanti dia tidak mengetahuinya, tapi orang tadi jelas berlari menuju ke sini dan Coh Liu-hiang juga jelas berada di sini. lalu mengapa dia sama sekali tidak merasakan apapun?

Oh Thi-hoa menghela napas, lalu bergumam, "Wah, apakah sekali ini aku memang benar-benar ketemu setan?"

Mendadak ia turun tangan pula dan mencengkeram urat nadi pergelangan tangan orang ini sambil membentak dengan bengis, "Sesungguhnya siapa kau?"

"Masa suaraku saja tidak kau kenali lagi?" jawab Coh Liu-hiang.

"Hmm, yang terlihat saja belum tentu benar, apalagi yang terdengar," jengek Oh Thi-hoa.

Agaknya sekarang kau sudah banyak belajar lebih telili," ujar Coh Liu-hiang dengan gegetun.

"Jika benar kau si kutu busuk, mana geretan api tadi?"

"Ada."

"Baik, coba nyalakan api, ingin kulihat."

"Melihat apa?"

"Melihat dirimu!"

"Tapi tanganku kan harus kau lepaskan dulu baru aku dapat........"

Belum habis ucapan Coh Liu-hiang, mendadak di kejauhan berkelebat sinar api. Sesosok bayangam orang segera berkelebat lenyap bersama letikan api.

Oh Thi-hoa tidak lagi percaya kepada orang ini, kontan kepalannya menjotos.

Ia tahu di terowongan gunung ini selain Coh Liu-hiang pasti tiadaorang kedua yang membawa geretan api. Sekarang sinar api tampak menyala di tempat lain. dengan sendirinya orang di depan ini bukanlah Coh Liu-hiang.

Logika ini sama halnya dengan satu tambah satu sama dengan dua sederhana sekali, siapa pun dapat menghitungnya. Biarpun sebelum ini Oh Thi-hoa sering salah hitung, tapi sekali ini pasti tidak keliru lagi.

Dengan tangan kanan ia pegang pergelangan tangan orang itu sehingga orang itu tidak dapat bergerak lagi, maka jotosannya pasti juga akan kena sasarannya dengan tepat, tidak mungkin meleset.

"Tak peduli kau manusia atau setan. yang pasti sekali ini akan kuhajar kau hingga kelihatan wujud asalmu.'" rasa dongkol ini sudah ditahannya sekian lama, sekarang ada kesempatan baik, la tak sungkan-sungkan lagi, pukulan ini dilontarkan dengan sepenuh tenaga.

Bila muka orang ini terpukul. mustahil kalau kepala orang ini tak penyok.

Siapa tahu pukulan yang tepat dan jitu ini akhirnya tetap mengenai tempat kosong. Mendadak ia merasa siku kanan kesemutan, pergelangan tangan orang itu tahu-tahu memberosot lepas. "krek" karena memukul terlalu keras dan tidak kena sasarannva. pergelangan tangan Oh Thi-hoa sendiri terkilir.

Keruan Oh Thi-hoa terkejut, cepat ia melompat mundur, "Blang". Sungguh celaka. entah apa yang ditumbuknva. ingin mundur pun tidak dapat lagi, kedua tangannya yang satu kesakitan dan yang lain kesemutan. diangkat saja tidak sanggup lagi. Bila sekarang lawan menonjoknya satu kali, barulah benar-benar jitu dan tepat, kecuali menerima pukulan rasanya tiada jalan lagi bagi Oh Thi-hoa.

Di luar dugaan pihak lawan ternyata tidak memberi reaksi apa-apa.

Oh Thi-hoa mulai berkeringat dingin, ucapnya dengan mengertak gigi. "Tunggu apa lagi? Jika berani hayolah maju. siapa takut padamu?"

Terdengar orang itu menghela napas dalam kegelapan, katanya, "Sudah tentu kau tidak takut padaku. Cuma akulah yang rada-rada takut padamu."

Sekonyong-konyong sinar api berkelebat lagi. Sekali ini api menyala di depan mata Oh Thi-hoa, seorang memegang geretan api dan berdiri beberapa kaki di sebelah sana. siapa lagi dia kalau bukan Coh Liu-hiang?

Oh Thi-hoa jadi mendelik sehingga biji matanya hampir meloncat keluar. gumamnya dengan bingung. "Kau? Bi.... bilakah kau datang ke sini?"

"Sudah setengah hari kau bicara denganku, kepalaku hampir saja pecah kau pukul, sekarang malah kau tanya bilakah aku datang ke sini?" jawab Coh Liu-hiang dengan menyengir. "Selain kau, siapa pula yang sanggup berbuat demikian? Jika aku tidak takut padamu, siapa lagi yang kutakuti?"

Muka Oh Thi-hoa menjadi rada merah, katanya. "Yang tadi kan bukan kau yang kupukul, jelas tadi kau berada di sana?"

Sekarang ia dapat melihat tempat berkelebatnya cahaya api tadi defkat dengan lubang keluar sana.

"Yang kau pukul justru diriku." kata Coh Liu-hiang. Tentu saja Oh Thi-hoa melongo, katanya kemudian dengan tergagap. "Yang kupukul adalah kau? Lantas siapa orang itu? Mengapa dia juga mempunyai geretan api?"

Coh Liu-hiang tidak menjawab, dia memang tidak perlu menjawab, sebab Oh Thi-hoa sudah paham dengan sendirinya.

Jika orang itu bukan Coh Liu-hiang. dengan sendirinya dia adalah Goan Sui-hun.

Orang lain dilarang membawa geretan api atau sebangsanya, sudah tentu Goan Sui-hun satu-satunya orang yang dapat dikecualikan. Dia adalah penguasa Pian-hok-to ini, biarpun geretan api di seluruh dunia ini diangkut ke sini juga tiada seorang pun yang dapat melarangnya.

"Lubang keluar terletak di sana, jangan-jangan ia sudah lari keluar?" kata Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang tertawa. jawabnya, "Sekali ini agaknya benar ucapanmu."

"Jika kau tahu siapa dia, mengapa tidak kau kejar?" kata Oh Thi-hoa dengan menyesal.

"Sebenarnya aku ingin mengejamya. tapi sayang tanganku dipegang oleh seseorang." kata Coh Liu-hiang.

Muka Oh Thi-hoa kembali merah. ucapnya, "Dia seorang buta. mana terpikir olehku bahwa dia juga membawa geretan?"

"Memangnya siapa yang menentukan peraturan orang buta tidak boleh membawa geretan?" tanya Coh Liu-hiang.

"Apa gunanya dia membawa geretan?"

"Ya, geretan memang tiada guna baginya, mungkin cuma untuk membikin kau memukul kawan sendiri saja."

Sudah tentu Oh Thi-hoa mafhum, bilamana jotosannya tadi berhasil merobohkan Coh Liu-hiang, maka ia sendiri pun jangan harap akan dapat lolos dan sini dengan hidup.

Walaupun dalam hati tahu begitu, namun di mulut lain lagi bicaranya.

Memang ada sementara orang. yang lain di mulut dan lain di hati. Dalam hati mungkin membenarkan, tapi di mulut pun tidak mau mengaku salah.

Oh Thi-hoa berkata pula. "Apa pun juga yang pasti tiada seujung rambutmu yang terganggu olehku. sebaliknya kau?"

"Aku kenapa?" tanya Coh Liu-hiang.

"Sampai sekarang tidak kau kejar dia. tapi masih membaui temanmu di sini," jengek Oh Thi-hoa. "Seumpama benar pukulanku tadi tepat mengenai kau, juga takkan membinasakan kau, tapi sekarang aku sudah hampir mati sesak napas karena bau busukmu."

"Biar kukejar juga tiada faedahnya, pasti tak bisa menyusul," ucap Coh Liu-hiang adem ayem.

"Kau omong iseng atau membaui bau busuk jauh lebih baik daripada berdiri melongo."

"Kecuali menyiarkan bau busukmu, apakah tiada pekerjaan lain lagi bagimu?" teriak Oh Thi-hoa dengan mendongkol.

"Apa yang dapat kukerjakan lagi?"

"Thio Sam, Ko A-lam. Eng Ban-li dan lain-lain, semuanya berada di luar. Sekarang Goan Sui-hun sudah mengeluyur keluar, masa kau masih mengobrol di sini?"

"Selain Thio Sam dan lain-lain itu. di luar masih ada orang lain lagi tidak?"

"Sudah tentu ada."

"Ada berapa banyak?"

"Sedikitnya ada belasan atau likuran orang."

"Jika masih ada berpuluh orang lagi. hanya sendirian, masa Goan Sui-hun berani keluar?"

Oh Thi-hoa jadi melengak. katanya. "Jika dia tidak keluar, lalu ke mana?"

"Mana kutahu?" jawab Coh Liu-hiang.

"Jika kau pun tidak tahu, lalu siapa yang tahu?" ujar Oh Thi-hoa dengan gelisah.

"Siapa pun tidak ada yang tahu." jawab Coh Liu-hiang. "Tempat ini adalah sarangnya jika tikus sudah sembunyi di dalam liangnya, kucing yang paling lihai pun tidak mampu menemukannya."

"Apa ditinggal begini saja jika tak dapat menemukannya?"

"Konon dalam hadis kaum Muslim ada sabda nabi yang mengatakan: Jika gunung tidak mau datang ke depanmu, maka datanglah kau ke depan gunung."

"Apa arti sabda nabi ini?"

"Artinya, jika kita tak dapat menemukan dia. maka biarkan saja dia yang mencari kita."

"Dengan berdiri menunggu di sini?" Oh Thi-hoa menegas.

"Apa salahnya berdiri disini, rasanya juga tidak ada tempat lain yang lebih baik daripada tempat ini."

"Dan kalau dia tidak datang kemari?"

"Memangnya kau mempunyai akal lain yang lebih baik?"

Oh Thi-hoa tidak dapat menjawab, dia memang tidak punya akal lain.
Terdengar Coh Liu-hiang bergumam, "Entah bagaimana rasanya kalau pergelangan tangan keseleo, sakit atau tidak?"

"Sakit atau tidak adalah urusanku, perduli apa dengan kau?" teriak Oh Thi-hoa.

"Tidak ingin kubetulkan?" ujar Coh Liu-hiang.

"Bisa kubetulkan sendiri, tak perlu kau merisaukannya."

"Jika kau dapat membetulkannya sendiri. mau tunggu apa lagi?"

Baru sekarang Oh Thi-hoa bekerja. ia tarik pergelangan tangannya yang terkilir itu dan dibetulkan pada tempatnya, lalu berkata. "Terus tcrang, saking dongkolnya karena ucapanmu sehingga kulupakan tanganku yang keseleo ini."

Habis bicara, ia sendiri pun tertawa geli. Tapi segera ia berkerut kening dan berkata pula. "He. mana Kim Leng-ci? Belum kau temukan dia?"

"Sudah kucari setengah harian. bayangm seorang pun tak kulihat," ujar Coh Liu-hiang dengan menyesal.

"Tapi aku malah melihat satu orang." kata Oh Thi-hoa.

"OOo? Siapa?" tanya Coh Liu-hiang.

"Meski tidak betul-betul kulihat dia dengan jelas, tapi kudengar suara batuknva, malahan kena diraba sekali oleh tangannya," teringat kepada tangan setan tang dingin itu. tanpa terasa ia merinding pula.

Coh Liu-hiang menanggapi dengan tak acuh. "Jika kau tak jelas melihatnya, darimana kau tahu dia manusia atau bukan?........ Ah, jangan-jangan ada setan perempuan yang penujuimu lagi?"

Mendadak Oh Thi-hoa melonjak dan berteriak, "Jika kau ingin menunggu lagi di sini. silakan kau tunggu saja sendirian."

"Dan kau?" tanya Coh Liu-hiang.

"Aku..... aku akan pergi mencarinya."

"Kau dapat menemukan dia?"

"Yang akan kucari kan tidak cuma Goan Sui-hun saja."

"Memangnya siapa pula?"

"Masih ada nona Kim Leng-ci, Hoa Cin-cin," dengan suara keras Oh Thi-hoa menyambung pula, "Kutahu Hoa Cin-cin sangat baik padamu, tampaknya kau pun jatuh hati padanya, tapi seharusnya kau tahu sekarang. biang keladi yang membunuh Koh-bwe Taysu ialah Hoa Cin-cin. yang membunuh Pek Lak juga dia, kejahatan yang diperbuatnva jauh lebih banyak daripada Goan Sui-hun. masa kau masih ingin mencarinya?"

Coh Liu-hiang tak menjawab. memang tiada sesuatu yang dapat diucapkan lagi.

"Sekarang hanya satu hal yang masih belum kupahami," kata Oh Thi-hoa pula.

Coh Liu-hiang tertawa, katanya. "Tak tersangka ada juga urusan yang tidak kau pahami."

"Aku tidak mengerti mengapa dia kenal Goan Sui-hun dan sesungguhnya ada hubungan apa antara mereka?"

"Dengan sendirinya dia kenal Goan Sui-hun, kau sendiri kan juga kenal Goan Sui-hun?" ujar Oh Thi-hoa.

"Tapi tampaknya mereka sudah lama kenal, kalau tidak. mengapa ia mencuri rahasia Jing-hong-cap-sah-sik untuk Goan Sui-hun?"

Coh Liu-hiang hanya tertawa saja tanpa menanggapi, tertawa yang khas.

Setiap kali Coh Liu-hiang tertawa khas begini, tandanya telah menemukan sesuatu rahasia yang tak diketahui orang lain.

Sudah tentu kebiasaan ini sudah hapal bagi Oh Thi-hoa, apalagi dia hendak tanya apa yang ditertawakan Coh Liu-hiang sekali ini, Pada saat itulah dalam kegelapan mendadak muncul sesosok bayangan orang.

Orang ini memakai baju hitam ketat. berkerudung muka hitam pula. dandanannya tiada ubahnya seperti kelelawar yang terdapat di Pian-hok-to ini. Tapi gerak tubuhnya yang enteng dan gesit itu, tampaknya sekalipun Pian-hok-tocu Goan Sui-hun juga tak dapat menyusulnya.

Malahan 'manusia kelelawar' ini memondongIlagi seseorang, baru Oh Thi-hoa berkedip. orang jtu sudah berada di depan mereka, Coh Liu-hiang tidak memberi reaksi sama sekali, jelas sudah kenal pendatang ini.

"Siapa orang ini?" tanya Oh Thi-hoa.

Orang itu tidak menjawab. ia cuma berdehem perlahan.

Seketika berubah air muka Oh Thi-hoa. nyata 'setan' yang dipergokinya tadi, sedangkan orang yang berada di pangkuan 'setan' itu justru adalah Kim Leng-ci. Apakah mungkin orang yang menyalakan api tadi juga dia? Masa dia inilah 'orang yang tidak kelihatan' itu?

"Kau kenal dia?" tanya Oh Thi-hoa dengan suara parau.

"Untung kenal," jawab Coh Liu-hiang.

"Siapa dia sesungguhnya? Cara bagaimana kau punya kawan lain di sini?" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Dia bukan kawan lain," jawab Coh Liu-hiang tertawa.

"Habis siapa kalau bukan kawan lain?" Oh Thi-hoa menjadi tambah bingung.

Didengarnya Coh Liu-hiang lagi bertanya, "Nona Kim terluka?"

'Manusia kelelawar' itu mengangguk.

"Apakah parah?" tanya Coh Liu-hiang pula.

Orang ini menggeleng.

"Dan yang lain-lain?"

Kembali orang itu menggeleng saja.

"Baiklah, jika begitu, mari kita melihat keluar," kata Coh Liu-hiang.

Lagi-lagi orang itu hanya mengangguk.

"Mengapa tidak bicara? Apakah orang bisu?" demikian Oh Thi-hoa membatin, jika bisa ia ingin menyingkap kerudung muka orang. Cuma sayang, gerak tubuh orang ini benar-benar teramat cepat sekali. Sekali memeluk pinggang, tahu-tahu sudah melayang beberapa tombak jauhnya.

Terpaksa Oh Thi-hoa ikut saja dari belakang. Tiba-tiba ia melihat pinggang orang ini sangat kecil. mirip pinggang orang perempuan.

Setiba di mulut gua. cepat Coh Liu-hiang mendahului melayang keluar. Jika dari atas ada batu jatuh. dia rela menerima resiko itu.

Dengan sendirinya tiada batu yang jatuh dari langit, sinar sang surya di luar justru hangat dan cemerlang.

Namun sekalipun di bawah sinar sang surya yang hangat dan cemerlang itu sering juga terjadi hal-hal yang buruk dan menakutkan.

Manusia yang paling buruk adalah manusia mati, yang paling menakutkan juga orang mati.

Selama hidup Coh Liu-hiang belum pernah menyaksikan orang mati sebanyak ini.

Semua orang yang berada di situ sudah mati. ada sebagian di antaranya yang sampai mati pun masih bergumul. meski mereka mati saling bunuh. tapi di balik peristwa seram ini seakan-akan ada sebuah tangan yang menakutkan yang telah mendalangi mereka memainkan lakon yang tragis ini.

Napas Eng Ban-li sudah berhenti, tapi tangannya masih mencengkeram erat Kau Cu-tiang, apapun juga dia telah menunaikan tugasnya. Bagaimanapun kepribadian Eng Ban-li. melulu semangatnya 'mati pun tidak mau lepas tangan' sudah cukup mendapat penghormatan orang.

Thio Sam juga menggeletak di samping mereka, menelungkup dan tidak bergerak lagi. Meski tiada mengalirkan darah pada tutahnya. tapi napasnya juga sudah putus. Jika yang lain-lain itu mati saling membunuh, lantas Thio Sam dan temannya dibunuh oleh siapa? Begitu juga Tang-sam-nio dan Ko A-lam.

Tang-Sam-nio meringkuk di balik batu karang yang gelap. seolah-olah mati atau hidup tetapi tidak berani bertemu dengan orang lain.

Ko A-lam mendekam di depan Tang-sam-nio.

oooo000ooooo

Sinar sang surya masih tetap cerlang-cemerlang, indah permai, keindahan yang membuat orang mual dan ingin muntah.

Apa yang terlihat ini sungguh sukar dibayangkan bisa terjadi di bawah sinar sang surya yang cemerlang ini, akan tetapi lebih mirip dalam mimpi,impian buruk.

Coh Liu-hiang jadi melenggong. mendadak ia gemetar, ia ingin muntah, tapi sukar tertumpah keluar. sebab hakikatnya tiada sesuatu yang dapat ditumpahkan.

Perutnya kosong, hatinya juga kosong. seluruh badannya serasa hampa belaka.

Bukannya Coh Liu-hiang tidak pernah melihat orang mati. Soalnya yang sekarang ini kebanyakan adalah kenalan atau sahabatnya, padahal belum lama berselang mereka masih berkumpul dalam keadaan hidup.

Ia tidak tahu bagaimana air muka Oh Thi-hoa sekarang, ia pun tidak sampai hati memandangnya. Apapun tidak ingin dilihatnya, apapun tidak mau didengarnya lagi.

Tapi pada saat itu juga. sekonyong-konyong didengarnya sesuatu suara yang sangat aneh. seperti suara orang memanggil tapi juga mirip suara orang merintih.

Jangan-jangan di sini masih ada yang hidup?

Seketika Coh LiU-hiang seperti terjaga dari impian buruk, segera ia menemukan suara itu datang dari balik batu karang sana. Suara Ko A-lam atau Tang-sam-nio?

Tubuh Tang-sam-nio yang meringkuk itu mendadak bergerak sedikit, habis itu lantas mengeluarkan suara rintihan pula.

Begitu lirih dan lemah suaranya seperti merintih dan juga seperti memanggil nama Coh Liu-hiang.

Dia melangkah dengan lambat dan sorot matanya menampilkan semacam perasaan yang aneh.

Apakah dia telah melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat orang lain?

Oh Thi-hoa juga memburu maju dan berseru, "Dia mungin dapat tertolong, lekas sedikit. mengapa lambat begitu?... ."

Belum habis ucapannya, 'Tang-sam-nio' yang kempas-kempis dan Ko A-lam mendadak meloncat bangun serentak, berbareng keempat tangan mereka berayun cepat ke depan hingga terjadilah hujan titik sinar perak yang beribu-ribu jumlahnya.

Mimpi pun Oh Thi-hoa tidak menyangka Ko A-lam akan turun tangan keji padanya. seketika ia jadi terkesima sehingga lupa menghindar. Apalagi seumpama dia ingin menghindar juga belum tentu mampu.

Datangnya hujan senjata rahasia ini terlalu cepat, lebat dan keji, apa yang terjadi ini datangnya terlalu mendadak.

Syukur pada detik yang paling gawat itulah tiba-tiba Oh Thi-hoa merasa ditolak oleh suatu tenaga maha kuat, kontan tubuhnya mencelat jauh ke samping. Ia merasa berkesiurnya angin tajam mendesing lewat di bawah kaki dan samping bajunya.

Akhirnya dia terbanting di tanah. tapi jiwanya dapat diselamatkan dari renggutan maut hujan senjata rahasia keji itu. Siapakah yang berhasil menyelamatkan Oh Thi-hoa? Dan bagaimana dengan Coh Liu-hiang? Serangan mendadak ini hakikatnya tidak pernah diduga siapa pun yang mampu mengelak. Tapi Coh Liu-hiang justru seakan sudah mengetahui sebelumnya. Dia masih tetap berdiri tegak di tempatnya.

Ko A-lam juga sudah berdiri. mukanya tampak pucat seperti mayat, kesima seperti patung.

Saat mereka memandang 'Tang-sam-nio'. ternyata sudah roboh terpukul, yang merobohkan dia ialah perempuan misterius yang 'tak kelihatan' itu. Bukan saja cepat gerak tubuhnya, cara turun tangannya juga cepat, hampir sukar dibayangkan.

Memang. semua perubahan dan apa yang terjadi ini berlangsung sedemikian cepaatnya dan sukar untuk dibayangkan.

Sampai lama sekali Oh Thi-hoa melongo, kemudian ia melonjak bangun dan memburu ke depan Ko A-lam, katanya, "Ken..... kenapa kau berbuat demikian? Apakah kau sudah gila?"

Ko A-lam tak menjawab. satu kata pun tidak bicara. Mendadak ia menjatuhkan diri ke tanah dan menangis sedih.

Betapapun ia seorang perempuan. seperti juga kebanyakan perempuan yang lain, jika menyadari berbuat salah dan sukar memberi penjelasan. maka menangis adalah merupakan satu-satunya jawaban yang paling baik.

Benar juga. Oh Thi-hoa tidak bertanya lagi, ia berpaling dan berkata pula. "Dan mengapa Tang-sam-nio menverangmu secara keji?"

"Dia bukan Tang-sam-nio," jawab Coh Liu-hiang dengan menghela napas.

"Tang-sam-nio" yang dimaksud juga berdandan menyerupai kelelawar, orang lain tidak dapat melihat wajah aslinya.

Namun 'Tang-sam-nio' ini memang bukan Tang-sam-nio yang sebenarnya, sedangkan Ko A-lam benar-benar Ko A-lam yang tulen.

Mengapa dia bisa melakukan perbuatan yang nekat dan menakutkan ini?

Oh Thi-hoa berjingkrak gemas. serunya, "Jadi sudah sejak tadi kau tahu dia bukan Tang-sam-nio?"

"Aku.... aku cuma sangsi saja," jawab Coh Liu-hiang.

"Kau tahu siapa dia?" tanya Oh Thi-hoa pula.

Sampai lama Coh Liu-hiang termenung. kemudian menghela napas panjang dan berkata, "Siapa dia. kukira selamanya takkan pernah terpikir olehmu."

"Dia inikah si pembunuh itu?" tanya Oh Thi-hoa.

"Betul," jawab Coh Liu-hiang.

Terbeliak mata Oh Thi-hoa, katanya, "Jika begitu aku pun tahu siapa dia."

"O, kau tahu?" Coh Liu-hiang menegas.

"Ya, kutahu, Hoa Cin-cin, dia pasti Hoa Cin-cin," seru Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang hanya tertawa saja, tapi si baju hitam yang juga berkerudung hitam itu ikut keluar bersama mereka dari dalam gua, mendadak ia berkata, "Dia pasti bukan Hoa Cin-cin." "Bukan dia? Habis siapa Hoa Cin-cin?" tanya Oh Thi-hoa. "Aku!" seru si baju hitam.

Perlahan-lahan ia menaruh orang yang dipondongnya dan perlahan pula menyingkap kerudung mukanya.

Kain hitam itu seperti sehelai tirai yang telah menutupi berbagai rahasia yang sukar dibayangkan orang banyak. Dan sekarang tirai ini mulai tersingkap....

Hoa Cin-cin!

Seketika Oh Thi-hoa berjingkat. seperti mendadak pantatnya didepak orang.

Orang serba hitam ini ternyata Hoa Cin-cin adanya.

Jelas Coh I.iu-hiang sebelumnya sudah tahu, bahkan jelas selalu berada bersama nona ini. makanya tertawanya tadi begitu misterius begitu khas.

Lalu Hoa Cin-cin menyingkap pula kerudung muka orang yang dipondongnya dan berkata, "Nona Kim yang hendak kau tolong juga sudah kutemukan bagimu."

Wajah Kim Leng-ci tampak pucat lesi, seperti mengalami rasa kaget dan takut yang luar biasa, maka sejauh ini masih belum siuman.

Melihat semua ini, Oh Thi-hoa sendiri hampir saja jatuh semaput.

Jika Hoa Cin-cin betul berada di sini. lantas siapa yang menyaru sebagai Tang-sam-nio?

Mengapa pula Ko A-lam membela dan menutupi penyamarannya, bahkan berkomplot dengan dia?

Sekarang, semua misteri itu hampir terbongkar semua. cukup tinggal membuka tirai yang menutupi muka si 'Tang-sam-nio' saja.

Memandangi kedok yang misterius itu. mendadak Oh Thi-hoa merasa mulutnya kering dan pahit. Iaingin membuka sendiri kedok itu, tapi rasanya sangat berat, menjulurkan tangan saja tidak sanggup.

Maklumlah, misteri ini terlalu besar, terlalu pelik, terlalu berliku-liku dan terlalu mengejutkan.

Sungguh aneh, pada saat jawaban semua teka-teki itu akan terungkap, dalam hati Oh Thi-hoa malah timbul semacam perasaan takut yang sukar dilukiskan.

Didengarnya Coh Liu-hiang menghela napas perlahan dan berkata, "Segala sesuatu di dunia ini terkadang memang sangat aneh, apa yang kau sangka tidak mungkin terjadi justru sering terjadi..." Dia menatap Oh Thi-hoa lekat-lekat lalu menyambung pula. "Coba katakan, menurut kau, siapa yang paling tidak mungkin dituduh sebagai pembunuh dari semua kejadian itu?"

Hampir tanpa pikir Oh Thi-hoa terus menjawab. "Koh-bwe Taysu!"

Coh Liu-hiang mengangguk. Katanya. "Betul, umpama dia belum mati, siapa pun takkan menyangka pembunuhnya dia."

Mendadak ia membuka tirai yang terakhir ini. Akhirnya dia menyingkap wajah asli si pembunuh ini.

Kembali Oh Thi-hoa berjingkat seperti pantatnya ditendang orang, tendangan sangat keras.

Koh-bwe Taysu!

Si pembunuh ternyata Koh-bwe Taysu adanya. Segala rencana ini kiranya didalangi Koh-bwe Taysu secara diam-diam.

Kalau begitu. biang keladi atau dalang yang sesungguhnya dari misteri Pian-hok-to atau Pulau Kalong ini bisa jadi juga Koh-bwe Taysu adanya.

oooo000oooo

Pikiran manusia memang sangat aneh.

Terkadang dalam benaknya hanya memikirkan suatu soal hingga lama dan lama sekali. Tapi acapkali pada saat yang sama dapat memikirkan sekaligus bebragai persoalan yang berlainan.

Dalam sekejap ini juga Oh Thi-hoa sedang memikirkan macam-macam persoalan.

Pertama yang teringat olehnya adalah apa yang terjadi di kapal Goan Sui-hun pada hari pertama dia menumpang kapal itu. Malamnya dia berkencan dengan Kim Leng-ci, mereka akan bertemu di geladak. Karena banyak peristiwa yang terjadi hari itu. dia hampir lupa kepada janji pertemuan itu. sebab itulah dia terlambat hadir. rapi baru saja dia naik tangga geladak kapal, mendadak didengamya jeritan orang.

Dia merasa pasti itulah jeritan orang perempuan, suara jeritan yang ngeri dan ketakutan. Dia mengira Kim Leng-ci mengalami sesuatu, dengan kecepatan penuh dia menerjang ke atas geladak kapal. tapi yang dilihatnya ialah Ko A-lam yang berdiri tenang bersandar di lankan kapal.

Di geladak kapal dilihatnya ada ceceran air kotor. Waktu itu dia mengira Ko A-lam cemburu, dari cemburu berubah menjadi dendam dan mendorong Kim Leng-ci ke laut. Siapa tahu kemudian diketahui Kim Leng-ci masih baik-baik berada di kabin sendin. bahkan menutup pintu dan tidak mau menerima kedatangan Oh Thi-hoa.

Ia merasa bingung pada kejadian itu. cuma teringat olehnya bahwa sejak malam itu. di atas kapal lantas muncul seorang pembunuh yang 'tidak kelihatan'.

Tapi sekarang, ia menjadi jelas seluruhnya. Koh-bwe Taysu tidak mati. Kalau Ting Hong dapat menggunakan obat dan pura-pura mati, dengan sendirinya Koh-bwe Taysu juga dapat berbuat demikian. Pada waktu Kim Leng-ci menunggu kedatangannya di geladak kapal, pada waktu ini pula adalah saatnya Koh-bwe Taysu hendak 'hidup kembali' dari dalam laut.

Tatkala mana malam sudah larut, di geladak tiada orang lain. Ketika Kim Leng-ci melihat seorang yang jelas-jelas sudah meninggal mendadak hidup kembali dari dalam laut, sudah tentu ia kaget dan menjerit ketakutan.

Apa yang didengar Oh Thi-hoa memang betul jeritan takut Kim Leng-ci. Tapi ketika dia menerjang ke atas geladak, semen
tara itu Koh-bwe Taysu sudah membawa pergi Kim Leng-ci. Mungkin dia kuatir dilihat oleh Oh Thi-hoa. maka Ko A-lam sengaja ditinggal di situ untuk mengalihkan perhatian Oh Thi-hoa. Dengan beradanya Ko A-lam di geladak jelas untuk membantu hidup kembalinya sang guru. Demi melihat si nona, tentu saja Oh Thi-hoa tak memperhatikan urusan lain, maka Koh-bwe Taysu ada kesempatan membawa Kim Leng-ci turun ke kabin.

Karena diancam oleh Koh-bwe Taysu. Kim Leng-ci tidak berani membocorkan rahasia ini. maka sikapnya waktu itu sangat aneh dan berbeda daripada biasanya.

Sebaliknya sikap Ko A-lam pada waktu itu sangat lembut. dia sama sekali tidak marah pada Oh Thi-hoa yang telah menyakiti hatinya. sebaliknya dia malah menghiburnya dan mengajaknya minum arak segala.

Padahal biasanva Ko A-lam sangat menghormati sang guru, bilamana Koh-bwe Taysu benar-benar meninggal. tidak nanti dia mempunyai perasaan sebaik itu.

Baru sekarang Oh Thi-hoa paham, kiranva sejak mula Ko A-lam sudah tahu rahasia ini. justru lantaran dia sangat segan dan dan hormat kepada gurunya maka apapun perintah Koh-bwe Taysu pasti dilakukannya dengan baik tidak berani membangkang juga tidak berani melawan. sekalipun bertentangan dengan pikirannya sendiri.

Sekali ini Oh Thi-hoa yakin rabaannya pasti tidak keliru lagi, hanya saja masih ada beberapa hal lain yang belum dapat dipahaminya. Misalnya Kim Leng-ci adalah anak perempuan yang berwatak keras dan suka mengikuti kemauannya sendiri, berdasarkan apa Koh-bwe Taysu dapat merundukkan dia serta membuatnya menuruti segala kehendaknya?

Kalau rahasia kematian Koh-bwe Taysu ini sudah diketahui Kim Leng-ci, mengapa tidak sekalian membunuhnya saja untuk menghilangkan saksi hidup?

Selama hidup, Koh-bwe Taysu terkenal jujur dan lurus, mengapa mendadak bisa berbuat hal-hal demikian?

Ada hubungan apa Goan Sui-hun dan Koh-bwe Taysu? Mengapa Koh-bwe Taysu sengaja pura-pura mati? Kalau Ting Hong pura-pura mati adalah karena dia tahu rahasianya akan dibongkar oleh Coh Liu-hiang dan sebabnya Koh-bwe Taysu pura-pura mati apakah juga lantaran dia tahu rahasianya bakal dibongkar orang?

Siapakah sebenarnya yang ditakutinya? Lebih-lebih pertanyaan yang terakhir itulah yang membuat Oh Thi-hoa bingung.
Ia tahu yang ditakuti Koh-bwe Taysu pasti bukan Coh Liu-hiang, sebab waktu itu Coh Liu-hiang sama sekali tidak menaruh curiga kepadanya, pula kesanggupan ilmu silat Coh Liu-hiang juga tidak perlu membuat Koh-bwe Taysu takut padanya.

Sungguh Oh Thi-hoa tak tahu di dunia ini masih ada orang yang dapat membuat Koh-bwe Taysu sedemikian takut padanya?

oooo000ooooo

Oh Thi-hoa tidak berpikir lagi dan juga tidak dapat berpikir lagi, sebah ia telah melihat munculnya Goan Sui-hun.
Pemuda tuna netra, Pian-hok Kongcu yang misterius ini mendadak muncul. Dia berdiri jauh di atas batu karang yang menonjol di tengah damparan ombak, kelihatan masih tetap ganteng masih tenang. Terhadap segala urusan masih tetap penuh percaya diri.

Begitu melihat orang itu seketika timbul rasa murka yang sukar dikatakan, serentak Oh Thi-hoa ingin menerjang ke sana. Tapi Coh Liu-hiang keburu menariknya sambil menggeleng, bisiknya, "Kalau dia berani memperlihatkan dirinya. kukira dia pasti mempunyai sesuatu andalan. biarlah kita dengarkan dulu apa yang hendak dikatakannya."

Meski dia bicara dengan bisik-bisik, tapi nyata tetap tak terhindar dari telinga Goan Sui-hun yang tajam menyerupai pendengaran kelelawar itu.

"Coh-hiangswe!" demikian Goan Sui-bun menyapa. "Goan-kongcu!" jawab Coh Liu-hiang.

Goan Sui-hun menghela napas. katanya, "Coh-hiangswe benar-benar ksatria kaum jantan dan tidak bernama kosong. Cayhe mengira rencana kami ini sedemikian rapinya dan tiada lubang kelemahan setitik pun, tak tersangka masih tetap juga terbongkar oleh Coh-hiangswe."

"Jaring takdir tersebar rapat tanpa lubang sedikitpun, di dunia ini memang tiada sesuatu rahasia yang selamanya tak dapat dibongkar orang," kata Coh Liu-hiang.

Goan Sui-hun mengangguk perlahan. jawabnya. "Tapi entah semenjak kapan Coh-hiangswe mulai menaruh curiga?"
Coh Liu-hiang berpikir sejenak, jawabnya kemudian, "*Cara kerja setiap orang biasanya punya kebiasaan masing-masing, semakin cerdik pandai, semakin tak terhindar dari kebiasaannya. Sebab orang pandai bukan saja bertanggung jawab, bahkan seringkali suka menilai rendah orang lain."

Goan Sui-hun hanya mendengarkan saja dengan cermat dan tidak menanggapi.

Maka Coh Liu-hiang menyambung pula. "Apa yang kami alami di kapal Goan-kongcu itu hampir tidak banyak bedanya dengan yang kami alami di kapal Hay Koa-thian, setelah kutemukan persamaan ini,segera terpikir olehku bahwa Pek Lak dan
lain-lain bisa jadi terbunuh oleh orang yang sama. Sebab umumnya orang mati pasti takkan dicurigai orang, bahkan setiap manusia di dunia ini sama mempunyai titik kelemahan, yaitu suka menganggap apa yang baru terjadi pasti takkan terjadi pula kedua kalinya."

Goan Sui-hun manggut-manggut, seperti merasa setuju dan sangat memuji jalan pikiran Coh Liu-hiang ini.
Maka Coh Liu-hiang berucap pula, "Jelas antara anda dan Koh-bwe Taysu ingin memperalat titik kelemahan pikiran orang banyak, kecuali itu jelas juga masih ada manfaat lainnya."

"Manfaat apa?" tanya Goan Sui-hun.

"Di antara penumpang kapal yang mahir Ti-sim-jiu hanya ada tiga orang, Koh-bwe Taysu sudah mati, yang tersisa hanya Ko A-lam dan Hoa Cin-cin saja," Coh Liu-hiang tertawa lalu menyambung pula. "Tentunva kau tahu bahwa Ko A-lam adalah sahabat baik kami. kau mengira kami pasti tidak mencurigai dia. Apalgi pada setiap kejadian selalu ada orang dapat memberi alibi dan membuktikan dia tidak berada di tempat kejadian."

"Ya. memang betul begitu." kata Goan Sui-hun.

"Jika Ko A-lam tidak dapat dicurigai, yang tertinggal hanya Hoa Cin-cin," tutur Coh Liu-hiang pula. "Dan tanda-tanda yang ditinggalkan. hampir semuanya memberi kesan bahwa dia adalah si pembunuhnya sehingga setiap orang akan menaruh curiga padanya."

"Kecuali Hiangswe tentunya." tukas Goan Sui-hun.

"Sebenarnya aku pun tak terkecuali," ujar Coh Liu-hiang. "Bila kau dan Koh-bwe Taysu tak bertindak keterlaluan, hampir saja aku pun mengira Hoa Cin-cin adalah pembunuhnya, sebaliknya ia pun hampir menganggap akulah pembunuhnya. Hampir saja kami bertarung dalam kegelapan secara tidak sadar. Dan bilamana terjadi aka terbunuh atau dia yang kubunuh, tentunya kau akan sangat bergembira."

"Ya. begitulah rencana kami," kata Goan Sui-hun. "Cuma dalam hal apa Hiangswe anggap kami bertindak keterlaluan?"

"Tidak seharusnya kalian menyuruh Ko A-lam mencap huruf di punggungku, keempat huruf yang berbunyi 'Akulah si pembunuhnya', begitu bukan?"

"Darimana kau tahu dia yang melakukan hal itu?" tanya Goan Sui-hun.

"Sebab waktu kami terkurung di penjara batu itu, hanya dia seorang saja yang pernah mendekati aku, bahkan seperti tidak sengaja menepuk punggungku, jelas keempat huruf itu sebelumnya sudah tertulis di telapak tangannya, ditulis dengan bubuk fosfor, di tempat apa saja tangannya menepuk, di situlah akan meninggalkan keempat huruf itu. Sudah tentu, huruf-huruf itu
ditulis dengan terbalik terlebih dahulu, ketika dicap pada tubuh orang lain akan berubah menjadi tulisan benar," sampai di sini mendadak dia berpaling dan tertawa terhadap Oh Thi-hoa, lalu bertanya,"Apakah kau masih ingat permainan cap-capan pada waktu masih kecil?"

Oh Thi-hoa juga tertawa, tertawa yang disengaja. Sebab ia tahu bilamana mereka tertawa semakin gembira, bagi Goan Sui-hun akan semakin tertusuk.

Goan Sui-hun merasa heran, ia bertanya, "Permainan? Apa maksudmu?"

"Dahulu, waktu usiaku sekitar belsan, aku suka menulis dengan kapur beberapa huruf di telapak tanganku, antara lain berbunyi 'Aku minta kawin'. lalu kucapkan tulisan itu pada punggung temanku sehingga dia ke sana kemari ditertawai kawan-kawan lain." demikian tutur Oh Thi-hoa.

Goan Sui-hun juga ingin tertawa, tapi tidak jadi. Dengan menarik muka ia berkata, "Dan cara bagaimana Coh-hiangswe menemukan tulisan di punggungmu itu?"

"Punggungku tidak bermata. dengan sendirinya tulisan itu dilihat dulu oleh orang lain, yakni Hoa Cin-cin," jawab Coh Liu-hiang.
"Oo, setelah melihat tulisan itu dia tidak menganggap kau sebagai pembunuhnya, sebaliknya malah memberitahukan kepadamu?" tanya Goan Sui-hun.

Mendadak Hoa Cin-cin menyela. "Ya, sebab waktu itu aku sudah tahu siapa dia, meski dalam kegelapan aku tak dapat melihat jelas mukanya, tapi kutahu selain dia tiada orang lain lagi yang memiliki Ginkang setinggi dia." Dia mengerling penuh arti ke arah Coh Liu-hiang, lalu menyambung pula, "Selamanya tidak pernah kucurigai dia sebagai pembunuh."

"Sebab apa?" tanya Goan Sui-hun.

Hoa Cin-cin tak menjawab. Dia memang tidak perlu menjawab, sebab sorot matanya sudah menjawab semuanya.

Pada waktu dia memandang Coh Liu-hiang dengan lekat-lekat, sorot matanya selain menunjukkan rasa penuh pengertian. penuh kepercayaan dan semacam rasa cinta batin yang sangat dalam. kecuali itu tiada lain lagi.

Cinta memang sesuatu yang aneh, dapat membuat orang menjadi sangat bodoh, tapi juga dapat membuat orang menjadi sangat pintar. dapat membikin orang berbuat kesalahan. tapi juga dapat membikin orang berbuat banyak hal-hal yang baik.
Selang agak lama barulah berpisah sinar mata mereka yang saling menatap lekat-lekat itu.

Coh Liu-hiang berkata, "Baru waktu itulah kutahu dia pasti bukan si pembunuhnya. waktu itu juga kuyakin si pembunuh pasti Koh-bwe Taysu adanya. Sebab hanya Koh-bwe Taysu saja yang dapat membikin Ko A-lam mengkhianati kawan lamanya." Suara tangis Ko A-lam sebenarnya sudah berhenti. sekarang dia mulai terguguk-guguk lagi.

"Tatkala mana meski kami sudah saling memahami dan saling percaya. tapi kami tetap tidak berhenti bertempur, sebab kami ingin menggunakan waktu saling gcbrak itu untuk merundingkan sesuatu rencana yang rapi."

Dengan suara lembut Hoa Cin-cin menukas, "Waktu itu hatiku sudah beku, segala rencana adalah hasil pemikirannya."

"Rencana Coh-hiangswe sudah lama kurasakan, tapi sekarang aku masih ingin tahu lebih jelas," jengek Goan Sui-hun.

"Dia minta aku mengumpulkan pakaian dan arak kalian serta mengatur segala sesuatu di sekeliling panggung batu," tutur Hoa Cin-cin. "Dia sendiri naik ke atas untuk memencarkan perhatian kalian, waktu kalian asyik mendengarkan pembicaraannya, hingga tiada yang memperhatikan apa yang sedang kami kerjakan di bawah."

Ia menghela napas perlahan, lalu menyambung dengan muram, "Sudah tentu semua itu berkat bantuan Tang-sam-nio. Tanpa dia, hakikatnya aku tidak dapat mengumpulkan pakaian seragam kalian, juga sukar mengumpulkan arak sebanyak itu."

Tang-sam-nio termasuk anggota 'kelelawar manusia' Pian-hok-to, dia adalah seekor 'kelelawar' yang harus dikasihani, dengan sendirinya dia tahu di mana tersimpan arak dan pakaian para 'manusia kelelawar'.

Baju disiram dengan arak, dengan sendirinya mudah terbakar. Apalagi kain baju 'manusia kelelawar' itu terbuat dari semacam bahan yang khas, tipis dan ringan.

Seketika Goan Sui-hun menjadi bungkam, agaknya tidak sanggup bicara lagi.

Oh Thi-hoa lantas bertanya, 'Tapi mengapa Koh-bwe Taysu malah berusaha memfitnah dan mencelakai nona Hoa?"

"Sebab nona Hoa inilah satu-satunya orang tang paling ditakuti Koh-bwe Taysu," tutur Coh Liu-hiang.

Tanpa terasa Oh Thi-hoa meraba hidungnya, sungguh dia tidak habis mengerti apa sebabnya guru mesti takut pada murid ?

Tapi lantas terdengar Coh Liu-hiang bertutur pula. "Meski resminya Hoa Cin-cin adalah murid Koh-bwe Taysu, tapi sebenarnya ilmu silatnya diperoleh dari ajaran orang lain?"

"Siapa yang mengajarnya?" tanya Oh Thi-hoa.

"Hoa Ging-hong, Hoa-thaycosu," jawab Coh Liu-hiang.

"Kutahu Hoa-siancu ialah pejabat ketua Hoa-san-pay angkatan keempat, beliau kan sudah meninggal?" tanya Oh Thi-hoa.

"Walaupun Hoa-siancu sudah lama wafat tapi beliau telah menulis pada satu kitab rahasia seluruh buah karya ilmu silat selama hidupnya, kitab itu diserahkan kepada saudara sepupunya dan Hoa Cin-cin adalah buyut keponakan Hoa-siancu sendiri."

"O, pahamlah aku sekarang," kata Oh Thi-hoa. "Cuma....."

"Meski sudah kau ketahui darimana Hoa Cin-cin mendapat ilmu silatnya, tapi masih banyak persoalan lain yang belum kau pahami, begitu bukan maksudmu?" tanya Coh Liu-hiang.

"Ya. memang," jawab Oh Thi-hoa sambil menyengir.

"Untuk ini, biarlah kita bagi dalam beberapa tahap," tutur Coh Liu-hiang pula. "Pertama, setelah Hoa Cin-cin mendapatkan ilmu tinggalan Hoa-siancu, Kungfunya menjadi lebih tinggi dari pada Koh-bwe Taysu. Ilmu sakti Ti-sim-jiu ini justru Hoa Cin-cin sendiri yang mengaiarkan kepada Koh-bwe Taysu."

"Hal ini sudah kupikirkan." ujar Oh Thi-hoa "Makanya sekali bergebrak tadi nona Hoa dapat mengatasinya. Kecuali nona Hoa. kukira di dunia ini tiada orang kedua lagi yang sanggup melakukannya."

"Kedua." sambung Coh Liu-hiang. "Setelah Hoa Cin-cin memperoleh kitab pusaka tinggalan Hoa-siancu. dia lantas memikul semacam tugas istimewa, tugas rahasia." "Tugas apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Wajib mengawasi setiap pejabat Ketua Hoa-san-pay." tutur Coh Liu-hiang.

Apakah Hoa-siancu telah menetapkan tugas istimewa ini di dalam kitab pusaka yang ditinggalkanny a?" tanya Oh Thi-hoa.

"Betul, makanya kedudukan Hoa Cin-cin di dalam Hoa-san-pay menjadi lain daripada yang lain, segala sesuatu persoalan yang terjadi di Hoa-san-pay dia berhak bertanya dan menegur. Setiap anak murid Hoa-san-pay, siapa pun juga tanpa kecuali bila berbuat sesuatu kesalahan. ia pun berhak memberi hukuman. bahkan Koh-hwe Taysu yang menjabat sebagai ketua juga tidak terkecuali." sejenak kemudian Coh Liu-hiang menyambung, "Sejauh ini kita tak habis mengerti mengapa rahasia Jing-hong-cap-sah-sik bisa bocor atau dicuri orang. soalnya kita tidak pernah menyangka bahwa si pemiliknya bisa pula menjadi si pencurinya."

Oh Thi-hoa menghela napas, katanya. "Ai, Koh-bwe Taysu ternyata manusia rendah begini. sungguh mimpi pun tak pernah kubayangkan."

"Apa yang diperbuatnya sudah tentu demi Goan-kongcu," kata Coh Liu-hiang pula. "Cuma waktu itu sama sekali tak pernah terpikir olehnya bahwa di Hoa-san-pay mendadak muncul seorang Hoa Cin-cin, seorang pengawas yang luar biasa. Sebab nona Hoa belum lama datang ke Hoa-san."

"O, justru lantaran nona Hoa ingin mengusut tanggung jawab tercurinya rahasia Jing-hong-cap-sah-sik itu, makanya Koh-bwe Taysu terpaksa harus berlagak seperti orang yang tak berdosa dan ikut aktif mengusut perkara ini," tukas Oh Thi-hoa. "Ya, kita menganggap nona Hoa adalah gadis yang lemah dan menilai rendah dia, namun Koh-bwe Taysu cukup paham, nona Hoa ini anak perempuan macam apa dan cukup kenal pula wataknya yang keras dan kecerdikannya."

Seketika sorot mata Hoa Cin-cin mencorong terang. Bagi seorang anak gadis. di dunia ini tidak ada urusan lain yang lebih menggembirakan dan lebih membanggakan daripada mendengar pujian dan kekasih sendiri.

Oh Thi-hoa lantas menukas. "O. rupanya waktu itu Koh-bwe Taysu sudah tahu, rahasianya lambat atau cepat pasti akan diketahui oleh nona Hoa. maka timbul niatnya membunuh nona Hoa, tapi dia tidak berani turun tangan. maka menggunakan tipu muslihat keji."

"Betul, tindakannya ini bukan cuma hendak mencelakai nona Hoa saja, ia pun ingin memperalat kita untuk berlawanan dengan nona Hoa, dengan demikian dapat pula menghapuskan prasangka nona Hoa terhadap dia. maka segala urusan dapat dilakukannya tanpa kuatir lagi."

"Jika begitu, orang berbaju serba putih yang dilihat Eng Ban-li tempo hari itu juga Koh-bwe Taysu?!" tanya Oh Thi-hoa.

"Betul. dengan sendirinya Eng Ban-li juga binasa di tangan Koh-bwe Taysu. Hari itu sebenarnya Eng Ban-Li sudah mengenali suara Koh-bwe Taysu. tetapi sebegitu jauh dia tidak berani °m°ng terus terang."

"Ya, sebab sama sekali tidak diduganya bahwa Koh-bwe Taysu adalah orang macam begini." tutur Oh Thi-hoa. "Lebih-lebih dia tidak menyangka Koh-bwe Taysu juga bisa pura-pura mati untuk kemudian hidup kembali. maka ia pun ragu-ragu terhadap telinganya sendiri.

Coh Liu-hiang mengangguk, katanya dengan gegetun, "Setiap orang pasti pernah berbuat sesuatu salah, cuma sayang, apa yang diperbuat Koh-bwe Taysu sekali ini terlalu besar salahnya."

"Dan aku tetap tidak mengerti dan ingin tanya, sesungguhnya untuk apa dia berbuat demikian? Ada hubungan apa antara dia dengan Goan Sui-hun?" tanya Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang termenung sejenak, katanya kemudian, uYa, selain mereka sendiri, kukira siapa pun tiada yang tahu hal ini."

Sejak tadi Goan Sui-hun hanya mendengarkan saja percakapan mereka, mendadak ia mendengus, "Hm, aku berani menjamin, selama hidup ini kalian pasti tetap tidak tahu."

"Urusan begini aku pun tidak ingin tahu." ujar Coh Liu-hiang dengan tak acuh. "Tapi ada soal lain justru ingin kutanyakan padamu!"

"Silakan tanya," jawab Goan Sui-hun.

"Cara bagaimana kalian mempengaruhi dan mengancam Kim Leng-ci, mengapa kalian tak membunuhnya saja untuk tutup mulut," kata Coh Liu-hiang

"Betul. hal inipun tidak kupahami sampai sekarang," sambung Oh Thi-hoa cepat.

Tiba-tiba tersembul semacam senyuman aneh pada ujung mulut Goan Sui-hun, katanya, "Sebenarnya sangat sederhana jawaban pertanyaanmu ini, kami tidak membunuh dia dan juga tidak mengancam dia, sebab kami hakikatnya tidak perlu bertindak begitu. Betapapun dia memang tidak mungkin membocorkan rahasia kami."

"Sebab apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Sebab," jawab Goan Sui-hun dengan tenang, "Orang yang dicintainya bukanlah kau melainkan aku. Sudah sejak lama menyerahkan seluruh orangnya padaku." Keterangan ini benar-benar membikin Oh Thi-hoa melenggong, jauh lebih terkejut daripada waktu mendengar Koh-bwe Taysu adalah si pembunuh.

Bahkan Coh Liu hiang juga melengak seperti mendadak didepak satu kali.

"Padahal sebenarnya sudah lama kalian mesti tahu hal ini," kata Goan Sui-hun pula. "Kalian tahu, tidak peduli siapa pun hanya boleh datang satu kali saja ke Pian-hok-to sini, tapi mengapa Kim Leng-ci dapat datang pula untuk kedua kalinya? Siapa pun yang pernah datang ke Pian-hok-to hampir tiada seorang pun yang ingin berkunjung lagi ke sini, mengapa dia masih berminat datang pula kemari?"

Dia tertawa hambar. lalu menyambung. "Justru kedatangannya untuk kedua kalinya ini ialah ingin mencari aku."

Mendadak Oh Thi-hoa berjingkrak gusar dan memaki. "Kentut busuk. satu patah katamu pun tak dapat dipercaya."

"Tidak perlu kau percaya, aku pun tidak mengharapkan kau percaya," ujar Goan Sui-hun dengan hambar.

Oh Thi-hoa tertegun, mulutnya terasa pahit, ingin berteriak pun sukar.

Meski di mulut dia bilang tidak percaya. tapi dalam batin mau tak mau harus percaya.

Memang ada beberapa hal Kim Leng-ci memperlihatkan sikap yang aneh, bilamana tidak dipikirkan Oh Thi-hoa masih mendingan, kalau dipikir makin lama makin bingung.

"Malam itu. di atas geladak kapal si nona mengutarakan isi hatinya. apakah semua itu cuma pura-pura saja?" bila teringat hal ini. hati Oh Thi-hoa sakit seperti ditusuk jarum.

Apabila saat ini dia mau berpaling dan memandang sekejap ke arah Kim Leng-ci. niscaya dia takkan merasa sakit hati. Cuma sayang, biarpun mati ia tidak sudi memandang si nona. Kim Leng-ci seperti masih pingsan dan belum sadar tapi ujung matanya kelihatan ada butiran air mata.

Ia tahu perasaannya terhadap Oh Thi-hoa tidaklah pura-pura, ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya bisa timbul perasaan baik begitu terhadap Oh Thi-hoa, padahal sesungguhnya dia memang sudah menyrahkan seluruh raganya bagi Goan Sui-hun.

Dia menyukai Oh Thi-hoa mungkin disebabkan ketulusan hati Oh Thi-hoa, keluguannya, simpatiknya, kejujurannya. Biarpun bagaimana pribadi Goan SUi-hun, apapun yang telah dilakukannya, semua ini tidak mengurangi cintanya terhadap pemuda tuna netra ini.

Dia memperhatikan Oh Thi-hoa. bahkan jauh melebihi perhatian terhadap dirinva sendiri. Tapi kalau Goan Sui-hun menyuruhnya mati, tanpa pikir ia pun rela mati.

Dia tidak tahu mengapa bisa memiliki perasaan demikian, sebab di dunia ini sesunggubnya memang jarang ada orang yang paham apa artinya 'cinta kasih' dan 'cinta birahi'. dua hal yang tidak sama.

Cinta kasih laksana bintang di langit, cinta birahi laksana api yang berkobar.

Meski cahaya bintang redup. namun kekal abadi. Sebaliknya api yang berkobar memang terang dan panas, akan tetapi singkat dan cuma sekejap saja.

Cinta kasih pun masih bersyarat dan dapat dipahami. tapi cinta birahi sama sekali gila dan ngawur.

Sebab itulah cinta kasih dapat membuat bahagia selamanya, sebaliknya akibat dan cinta birahi hanya mendatangkan kemalangan.

Terdengar Goan Sui-hun berkata, "Apabila masih ada hal lain yang belum dimengerti, silakan Coh-hiangswe bertanya."

Coh Liu-hiang menghela napas. katanya kemudian, "Sudah tidak ada lagi."

"Tiada yang kau tanyakan lagi atau mungkin ada urusan lain yang belum teringat olehmu?" jengek Goan Sui-hun. "Oo?" Coh Liu-hiang melengak.

"Apakah sudah kau pikirkan, siapakah yang akan memperoleh kemenangan pertarungan ini?" tanya Goan Sui-hun.

"Ya, sudah kupikirkan," jawab Coh Liu-hiang. "Jika benar sudah kau pikirkan. maka seharusnya kau tahu kemenangan terakhir ini tetap berada pada diriku," kata Goan Sui-hun pula.

Coh Liu-hiang diam saja, ia menolak memberi jawaban.

"Sebab aku tetap aku, sebaliknya kalian pasti akan mati, semuanya akan mati, sebab tiada seorang pun di antara kalian dapat meninggalkan Pian-hok-to ini dengan hidup."

"Dan kau sendiri?" tanya Coh Liu-hiang.

Goan Sui-hun tertawa, ia memberi tanda, segera dari balik batu karang tidak jauh di belakangnya muncul sebuah sampan dan meluncur mendekati Goan Sui-hun.

Sampan itu didayung oleh delapan lelaki kekar dengan telanjang dada, sekali dayung, sampan itu meluncur ke depan secepat anak panah terlepas dan busurnya. Sekali berhenti didayung. sampan itu lantas berhenti mendadak.

"Nah, kalian sudah lihat jelas," kata Goan Sui-hun. "Cukup sekali lompat aku akan melayang ke atas sampan itu. Biarpun Ginkang Coh-hiangswe tiada bandingannya di dunia ini mungkin juga tidak sanggup merintangi diriku."

Terpaksa Coh Liu-hiang mengangguk, sebab apa yang dikatakan Goan Sui-hun itu memang berdasarkan fakta.

"Sejenak kemudian sampan ini membawaku ke suatu kapal yang berlabuh di balik bukit sana dan beberapa hari kemudian aku sudah berada kembali di Bu-ceng-san-ceng. orang Kangouw pasti tidak tahu apa yang terjadi di sini, sebab waktu itu kalian mungkin sudah mampus seluruhnya di sini."

Goan Sui-hun menghela napas, lalu melanjutkan dengan tenang. "Meski tidak enak rasanya menunggu kematian. tapi apa daya, di sini memang tiada kapal lain lagi. Dengan sendirinya Cayhe juga takkan membiarkan kapal lain berlalu di sini."

Setelah berpikir sejenak. mendadak Coh Liu-hiang bertanya. "Kau akan pergi sendirian?"

"Apakah aku pergi sendirian atau tidak, hal ini bergantung juga pada kalian," jawab Goan Sui-hun.

"Bergantung kami?" Coh Liu-hiang menegas.

"Jika kalian memperbolehkan kubawa pergi Koh-bwe Taysu, Kim Leng-ci dan nona Ko, maka aku pun tidak menolak, tapi kalau kalian tidak setuju aku pun tidak keberatan," kata Goan Sui-hun dengan tak acuh.

Mendadak Kim Leng-ci melonjak bangun dan menerjang ke sana sambil berteriak. "Baw a aku, bawa serta diriku! Aku tak ingin mati di sini, kalau mesti mati biarlah kumati bersamamu!" Tiada seorang pun yang merintangi tindakan Kim Leng-ci bahkan tiada seorang pun yang memandangnya.

Meski luka Kim Leng-ci tidak ringan. tapi sekarang segenap sisa tenaganya seperti telah dikerahkan seluruhnya. Dengan terhuyung-huyung ia merayap ke atas batu karang itu dan menubruk ke dalam pelukan Goan Sui-hun.

Tersembul pula senyuman puas pada ujung mulut Goan Sui-hun, katanya, "Betul tidak, apa yang kuceritakan tadi, Sekarang kalian tentunya mau percaya bukan?"

Belum habis ucapannya. mendadak senyuman yang menghias wajahnya itu lenyap seketika.

Siapa pun tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya, yang terlihat Goan Sui-hun berangkulan erat dengan Kim Leng-ci dan keduanya terjatuh dari ketinggian bukit karang yang beratus meter tingginya itu.

Tubuh mereka digulung ombak laut dan menumbuk pada batu karang yang lain.

Seketika buih air laut berubah menjadi merah seperti merahnya gincu di bibir gadis yang cantik.

00ooo00

Urusan apa pun pasti ada saatnya berakhir. Peristiwa yang ruwet dan berkepanjangan sering berakhir dengan cepat dan mendadak. Sebab perkembangannya sudah mencapai titik akhir dan orang lain belnm lagi mengetahuinya. Coh Liu-hiang berhasil mencegat sampan tadi dan menyeretnya kembali. Sementara itu Koh-bwe Taysu sudah mengembuskan napasnya yang penghabisan. Air mukanya masih tetap tenang, siapa pun tidak tahu sesungguhnya apa yang menyebabkan kematiannya?

Semua orang juga tidak tahu sesungguhnya Kim Leng-ci mati demi apa?

Apakah karena tidak mampu berpisah dengan GGoan Sui-hun? Atau karena dia tahu selain mati dan tidak mampu lagi memiliki hati orang macam Goan Sui-hun itu? Atau mati demi Oh Thi-hoa?

Mayat Goan Sui-hun dan Kim Leng-ci, sudah hanyut dibawa ombak entah ke mana. Tapi Oh Thi-hoa berharap Kim Leng-ci tidak mati. Dia lebih suka menyaksikan kedua muda-mudi itu pergi dengan hidup daripada menyaksikan Kim Leng-ci mati di depannya.

Di sinilah letak perbedaan Oh Thi-hoa dan Goan Sui-hun. Dan inilah yang terpenting. Inilah cinta sejati!

Cinta yang dalam, cinta yang suci murni akan lebih banyak memikirkan kepentingan orang yang dicintainya, tidak egois dan tidak latah.

00ooo00

Ko A-lam juga sedang duduk termenung. memandang jauh ke kaki langit nan biru. Hatinya terasa kosong. hampa, tiada sesuatu yang dapat dipikirkannya, ia tidak ingin memikirkannya, juga tidak berani memikirkannya.

Sejak tadi Coh Liu-hiang selalu memperhatikan gerak-gerik Ko A-lam.

Mendadak nona itu berpaling dan berkata kepadanya. "Kau kuatir aku pun akan cari mati, begitu bukan?"

Coh Liu-hiang tertawa, tertawa yang likat, sebab ia tidak tahu cara bagaimana menjawabnya.

Ko A-lam juga tertawa, dia malah tertawa dengan sangat tenang, katanya, "Jangan kuatir. aku takkan mati, pasti tidak, sebab masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."

Coh Liu-hiang memandangnya lekat-lekat, tiba-tiba timbul semacam rasa kagumnya.

Dia selalu mengira dirinya paling memahami perasaan perempuan, tapi sekarang baru diketahuinya bahwa apa yang dipahaminya ternyata tidak sebanyak perkiraannya, masih banyak perempuan yang jauh lebih hebat, lebih kuat daripada apa yang pernah dibayangkannya.

Terdengar Ko A-lam berkata, "Banyak kesalahan yang pernah kulakukan, asalkan aku tidak mengulangi lagi kesalahan itu, mengapa aku tidak boleh hidup terus?"

"Kau tidak berbuat salah, yang salah bukankah kau," kata Coh Liu-hiang.

Ko A-lam tidak menanggapi ucapan ini, ia terdiam hingga lama, tiba-tiba ia berkata, "Thio Sam tidak mati."

"Hah betul?" seru Coh Liu-hiang dengan terbeliak. "Yang turun tangan padanya ialah diriku. aku cuma menutuk Hiat-tonya saja."

Hampir saja Coh Liu-hiang berlutut di depan si nona demi mendengar keterangan ini. Selamanya ia tidak pernah berlutut kepada orang apalagi orang perempuan. Tapi sekarang ia benar-benar ingin berlutut kepada Ko A-lam. Sebab ia terlalu gembira dan sangat berterima kasih.

"Sebelum ajalnya Kau Cu-tiang seperti berkata sesuatu kepada Eng Ban-li, aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi Thio Sam mendengarnya," tutur Ko A-lam.

"Kau kira sebelum meninggal Kau Cu-tiang akhirnya menceritakan kepada Eng Ban-li dimana beradanya harta rampokan itu?" tanya Coh Liu-hiang.

Ko A-lam mengangguk. katanya, "Ya. seorang kalau sudah mendekati ajalnya sering akan berubah menjadi baik hati dan lebih bajik daripada biasanya." Mendadak ia menambahkan, "Makanya setelah kalian pulang nanti, juga masih banyak pekerjaan yang harus kalian selesaikan."

"Ya, betul kata Coh Liu-hiang. "Harta rampokan itu perlu kalian temukan dan dikembalikan pada yang berhak, persoalan Sin-liong-pang juga perlu diselesaikan oleh kalian," kata Ko A-lam.

Ko A-lam memandangnya lekat-lekat, mendadak air mukanya berubah prihatin, ucapnya dengan perlahan, "Tapi masih ada suatu urusan yang harus kau kerjakan pula dan urusan ini tidak mudah diselesaikan."

"Urusan apa?" tanya Coh Liu-hiang.

"Perpisahan," jawab Ko A-lam.

"Perpisahan, Perpisahan dengan siapa?" tanya Coh Liu-hiang.

Tapi Ko A-lam tidak menjawab pertanyaan ini, sebab ia tahu Coh Liu-hiang sendiri sudah tahu jawabannya.

Memang, saat itu Coh Liu-hiang sudah berpaling ke sana. Dilihatnya Hoa Cin-cin sedang memandangnya termangu-mangu di kejauhan sana, matanya yang jeli dan suci itu memancarkan sinar yang penuh kepcrcayaan dan cinta. Lain tidak.

Hati Coh Liu-hiang terasa tenggelam.

Ia paham arti kata Ko A-lam. ia tahu dirinya tidak mungkin bersatu dengan si nona, sebab Hoa Cin-cin juga masih punya tugas, masih banyak urusan yang harus ditunaikan.

"Selain dia, tiada orang lain yang sanggup memimpin Hoa-san-pay, juga tiada orang lain yang dapat menyelamatkan Hoa-san-pay,"' demikian kata Ko A-lam. "Inilah tugas yang besar, tugas yang suci dan keramat. Dia harus menerima tugas ini dan tidak mungkin menolaknya."

"Ya, kupaham," jawab Coh Liu-hiang dengan muram.

"Jika benar kau mencintai dia. maka kau harus memikirkan kepentingannya, mungkin dia memang dilahirkan untuk menjadi wanita yang besar dan bukan untuk menjadi isteri yang biasa."

"Ya, kutahu," kata Coh Liu-hiang pula.

"Bagimu, perpisahun lebih mudah, tapi baginya......."

Belum lanjut ucapan Ko A-lam, tiba-tiba seseorang menanggapi dengan suara rawan. "Aku pun paham. pada hakikatnya kalian tidak perlu kuatir bagiku."

Entah sejak kapan Hoa Cin-cin sudah berada di depan mereka. Datangnya bagaikan segumpal awan yang sukar diraba. Tapi sinar matanya mencorong terang dan menatap Coh Liu-hiang lekat-lekat, katanya dengan tenang, "Perpisahan memang berat, tapi aku tidak gentar...," Mendadak ia pegang tangan Coh Liu-hiang dan menyambung pula, "Apapun aku tidak takut. asalkan sebelum perpisahan, kita dapat berkumpul dengan gembira begini. mengapa kita harus memikirkan hal-hal yang merisaukan dan menyedihkan? Tuhan menciptakan manusia bukan menyuruhnya mencari susah sendiri."

Coh Liu-hiang tidak bicara lagi, sebab tenggorokannya serasa tersumbat, tiada sesuatu yang dapat dikatakan pula. Mendadak ia merasa kedua orang yang berdiri di hadapan itu adalah dua wanita yang besar dan bukan cuma satu.

Ko A-lam termenung hingga lama dan lama sekali, akhirnya ia berpaling ke sana perlahan-lahan. Ia melihat Oh Thi-hoa, tiba-uba ia berbangkit dan mendekatinya.....

Cahaya sang surya waktu senja merah semarak. air laut beriak membentang luas, apapun kehidupan manusia tetap indah!

Sebab itulah asalkan dapat hidup, setiap orang harus hidup terus, hidup dengan sebaik-baiknya.

00ooo00

Kini tinggal satu rahasia saja yang belum terjawab. Sesungguhnya ada hubungan apa antara Goan Sui-hun dan Koh-bwe Taysu?

Rahasia ini selamanya takkan terjawab lagi, sebab rahasia itu sudah ikut terkubur di dasar laut bersama nyawa mereka.

Bisa jadi Koh-bwe Taysu adalah ibu Goan Sui-hun, mungkin pula kekasihnya. Sebab keluarga Goan di Soasay dan Hoa-san-pay mempunyai hubungan yang erat, banyak kesempatan bagi Goan Sui-hun untuk berdekatan dengan Koh-bwe Taysu. Betapapun Koh-bwe Taysu juga manusia, manusia yang berperasaan. Apalagi, ia yakin Goan Sui-hun pasti tidak mempersoalkan wajah dan usianya, sebab Goan Sui-hun memang tidak dapat melihatnya, dia seorang buta.

Mungkin cuma orang buta saja yang menarik bagi perempuan lanjut usia, sebab dia menganggap hanya orang buta saja yang dapat benar-benar mencintai sepenuh hati.

Kedengarannya hal ini memang rada-rada aneh dan ganjil tapi bukannya tidak mungkin terjadi.

Banyak persoalan yang tampaknya sangat ruwet dan sangat misterius, tapi terjadinya sering hanya karena suatu sebab yang sangat sederhana, yaitu Cinta!

Cinta dapat menghancurkan, cinta juga dapat menciptakan segalanya.

Kalau kehidupan manusia ini penuh cinta, mengapa bersusah payah mencari tahu rahasia orang lain?

Mengapa tidak mengurangi prasangka dan celaan terhadap orang lain dan lebih banyak memberi simpati dan kasih?

Selama hidup Goan Sui-hun dan Koh-bwe Taysu bukankah penuh diliputi kemalangan? Bukankah mereka pun perlu dikasihani dan mendapatkan simpati?

0oo0

Bahtera laju!

Coh Liu-hiang dan Hoa Cin-cin berdiri berduaan di haluan kapal dan sedang memandang jauh ke depan sana.

Kampung halaman sudah kelihatan... Sinar harapan sedang menanti!

T A M A T
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar