Legenda Pulau Kelelawar Bab 09: Kungfu Terlihai

Bab 09: Kungfu Terlihai

Rombongan kelasi yang semula berkumpul di atas geladak, kini sudah tidak keiihatan lagi. orang sebanyak itu telah menghilang dalam waktu singkat.

Keruan Kim Leng-ci melenggong bingung.

"He, jangan-jangan orang Pian-hok-to sudah datang tadi dan membawa mereka pergi?" seru Thio Sam.

'Tanpa dijemput orang. masa kita sendiri tak dapat pergi ke sana?" tiba-tiba Oh Thi-hoa berkata dengan gemas.

"Sedikitnya nona Kim tentu tahu jalan rahasia keluar masuk mereka?" Thio Sam coba memancing.

Kim Leng-ci tidak menjawab, mukanya semakin pucat.

"Tidak apa-apa. seandainya kau tidak tahu. kami tetap dapat mengetahuinya." ujar Oh Thi-hoa dengan suara lembut. Dia tertawa lalu menyambung pula, "Sudah banyak kejadian aneh dan peristiwa rumit yang pernah kita alami dan semua dapat kita pecahkan dengan baik."

Mendadak Kim Leng-ci menarik tangan Oh Thi-hoa. katanya dengan gemetar, "Bagaimana bila kita tidak pergi ke sana?"

"Sebab apa?" tanya Oh Thi-hoa heran.

"O, ti..... tidak.... tidak apa-apa..." jawab si nona dengan menunduk.

"Kalau kita sudah sammpai di sini, masa tidak jadi ke sana?" ujar Oh Thi-hoa.

"Apalagi kita pun tak dapat mundur kembali, hakikatnya tiada pilihan lain bagi kita," tukas Thio Sam.

"Akan tetapi.... tahukah kalian betapa seram tempat itu," kata Kim Leng-ci dengan badan menggigil.

Semua orang termenung.

Sejenak kemudian barulah Coh Liu-hiang berkata, "Kalau nona Kim bilang begitu. kupercaya Pian-hok-to pasti suatu tempat yang menakutkan dan lain dari pada yang lain, bisa jadi sama sekali tak dapat kita bayangkan."

"O, nona Kim. kumohon dengan sangat, sudilah kau terangkan, sebenarnya macam apakah Pulau Kalong yang mengerikan itu? Sesungguhnya apanya yang begitu menakutkan?" tanya Thio Sam.

Sampai lama Kim Leng-ci termenung, akhirnya ia bersuara sekata demi sekata,"Aku tidak tahu!"

"Hahahaha!" Oh Thi-hoa tertawa geli.

"Aku benar-benar tidak tahu." teriak Kim Leng-ci mendadak dengan mendongkol. "Sebab aku tak dapat melihat apapun."

"Aneh. kau tidak dapat melihat apapun?" Oh Thi-hoa menegas dengan heran. "Kalian tidak melihat apa-apa. mengapa merasa takut?"

Dengan gregetan Kim Leng-ci menjawab, "Justru tidak dapat melihat apapun maka menakutkan."

"Sebab apa? Sungguh aku tidak paham." ujar Oh Thi-hoa.

"Aku paham," tukas Thio Sam.

''Hm, kau paham kentut!" jengek Oh Thi-hoa.

Thio Sam tidak marah. katanya pula, "Coba jawab. hal apa yang paling menakutkan di dunia ini?"

Oh Thi-hoa berpikir sejenak, lalu jawabnya. "Kesepian kukira yang paling menakutkan di dunia in. adalah kesunyian."

"Saat ini kita sedang bergulat dengan elmaut dan bukan waktunya berlibur dan membuat sajak!" kata Thio Sam dengan mendongkol.

"Habis apa yang paling menakutkan menurutmu?" jawab Oh Thi-hoa.

Thio Sam memandang jauh ke sana, katanya kemudian. "Kegelapan! Karena kegelapan maka tak dapat melihat apapun." Dia menghela napas, lalu menyambung pula, "Baru sekarang kupaham arti Pulau Kalong itu."

"Apa artinya?" tanya Oh Thi-hoa.

"Kau tahu tidak apa kekurangannya pada badan kalong atau kelelawar dan sejenisnya?"

Oh Thi-hoa menggeleng dengan bingung.

"Mata, kelelawar punya mata tapi tak dapat melihat. mereka adalah makhluk hidup yang buta!" tutur Thio Sam.

"Jadi kau maksudkan. orang-orang di Pulau Kalong adalah orang buta semua?" tanya Oh Thi-hoa.

"Kukira begitu." ujar Thio Sam.

"Tapi.... tapi apakah orang buta juga menakutkan?" gumam Oh Thi-hoa sambil berkerut kening.

"Orang buta sudah tentu tidak menakutkan. tapi kalau kita sendiri juga berubah buta. itulah yang menakutkan!" kata Thio Sam sambil menyeringai.

Mau tak mau berubah juga air muka Oh Thi-hoa, katanya. "Masa kau kira bila kita sampai di Pian-hok-to sana. kita juga akan berubah menjadi buta?"

"Ehmm," Thio Sam mengangguk.

"Persetan." jengek Oh Thi-hoa. "Hm. ingin kulihat dengan cara bagaimana mereka akan membutakan matakut kecuali mereka mahir ilmu gaib."

Kim Leng-ci menghela napas katanya. "Mereka tidak perlu menggunakan ilmu gaib. barangsiapa tiba di sana akan berubah menjadi buta dengan sendirinya."

ooooooo00000ooooooooo

Tandus, gersang!

Itulah keadaan pulau yang misterius ini. Batunya berwarna kelabu pucat. dingin keras, seram.

Ombak masih mendampar di pantai pulau dengan suaranya yang gemuryh. Batu karang memenuhi sekeliling pulau. hampir setiap arah ada bangkai kapal yang kandas di situ sehingga mirip sebangsa kambing atau kelinci yang tergigit binatang purba. Betapapun kuat dan ringannya, kapal juga sukar berlabuh di situ.

Di tengah suasana seram itulah Oh Thi-hoa berdiri di atas sepotong batu karang di tepi pantai memandang sekelilingnya. Akhirnya ia menghela napas panjang dan berkata, "Sungguh suatu tempat yang mengerikan."

"Jika tidak menyaksikan sendiri biarpun dibunuh juga tidak kupercaya di dunia ini ada tempat begini, tapi ternyata ada manusia yang dapat hidup di tempat demikian." kata Thio Sam.

"Bisa jadi mereka bukan manusia, melainkan setan, sebab tempat ini hakikatnya mirip kuburan benda hidup tapi tidak kelihatan," kata Oh Thi-hoa.

"Ya. bahkan kapal yang utuh saja tidak ada, tampaknya setiap yang berada di sini jangan harap lagi akan pergi."

"Apakah kau benar-benar pernah datang ke sini satu kali?" tiba-tiba Oh Thi-hoa bertanya kepada Kim Leng-ci. "Ehm," si nona mengangguk. "Kemudian cara bagaimana kau meninggalkan tempat ini?" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Pian-hok Kongcu menyuruh orang mengantar keberangkatanku," jawab Kim Leng-ci.

"Dan kalau tidak diantar, dapatkah kiranya kau pergi sendiri?"

"Jika tidak diantar terpaksa aku harus mati di sini!" jawab Kim Leng-ci dengan menunduk.

Begitu berada di pulau ini, lidah si nona serasa begitu kaku sehingga setiap ucapannya seakan-akan sangat memakan tenaga. Habis berkata tadi butiran keringat lantas menghiasi dahinya.

Mendengar keterangan itu, Oh Thi-hoa menjadi ngeri juga sehingga berkeringat dingin.

Kalau dulu dia pernah menghadapi musuh yang tangguh dan tempat yang betapapun bahayanya, tapi semua itu dapat dihadapinya dengan tenang, sebab tempat-tempat ini cukup banyak peluang untuk kabur bilamana perlu. Tapi sekarang yang dihadapinya adalah sebuah pulau karang di tengah samudera raya. Sebuah tempat yang buntu.

Coh Liu-hiang sejak tadi hanya termenung saja. tiba-tiba ia bertanya, "Pian-hok Kongcu (Tuan muda kelelawar) yang kau katakan itu apakah Tocu (penguasa pulau) di sini?"

"Ehm," si nona mengangguk.

"Apakah kau tahu dia she apa dan siapa namanya?"

"Tidak.... tidak tahu.... tiada seorangpun tahu."

"Dan juga tiada seorang pun yang pernah melihatnya?" tanya Coh Liu-hiang pula.

"Tidak.... kan sudah kukatakan. setiap orang yang berkunjung ke sini akan berubah menjadi buta."

"Hah. jika demikian yang paling untung sekali ini jelas ialah Goan-kongcu." ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Untung? Untung apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Dia kan orang buta?" jawab Coh Liu-hiang.

Mendadak Kim Leng-ci menengadah dan berkata, "Hiangswe.... lekas kita pergi saja, mungkin masih keburu..."

"Pergi dan sini? Kemana?" tanya Coh Liu-hiang.

"Kemanapun boleh. daripada di sini."

"Tapi apa yang dapat kita lakukan? Tempat ini tiada terdapat jalan lain."

"Kita dapat mencari sebuah kapal rusak dan sembunyi di situ, kita tunggu bila ada kapal lain datang kemari...."

"Harus tunggu berapa lama?" sela Oh Thi-hoa.

"Berapa lamapun jadi, daripada di sini," jawab si nona.

Oh Thi-hoa menghela napas, katanya, "Bagiku tentu saja suka mengawanimu menunggu. tapi kau tidak kenal sifat kutu busuk tua ini."

"Tapi.... Hiangswe, apakah kau tak ingin pulang dengan hidup? Tempat ini sesungguhnya teramat berbahaya." seru Kim Leng-ci.

"Semakin seram ucapanmu, semakin dia tak mau pergi!" kata Oh Thi-hoa.

"Sebab apa?" tanya si nona.

"Sebab urusan semakin berbahaya semakin menarik baginya," tutur Oh Thi-hoa. "Selama hidup paling suka menyerempet bahaya. suka bertualang. suka perangsang, apakah nanti bisa pulang dengan hidup atau tidak adalah soal lain baginya."

Kembali Kim Leng-ci menunduk. ucapnya perlahan, "Kutahu kalian tentu.... tentu mengira aku ini takut mati.... padahal yang kutakutkan bukanlah soal mati."

"Kutahu, di dunia ini memang ada hal-hal lain yang jauh lebih menakutkan daripada mati," kata Coh Liu-hiang dengan tenang. "Sebab itulah..., apabila nona Kim tidak mau tinggal di sini, kami pun tak bisa memaksa."

"Kau kan dapat menyuruh Thio Sam tetap tinggal di sini mengawanimu, ini memang kewajibannya," ujar Oh Thi-hoa.

Thio Sam melotot dan berkata. "Asalkan nona Kim suka, dengan sendirinya akan kutemani dia, cuma dia tidak mau terima diriku, tapi minta kau..."

Mendadak Kim Leng-ci menatap Oh Thi-hoa dan bertanya, "Apakah kau mau menemani aku?"

"Sudah........ sudah tentu," jawab Oh Thi-hoa sambil mengusap keringat. "Cuma...."

"Cuma apa?" tanya si nona.

Oh Thi-hoa memandangnya sekejap, tertatap oleh sorot mata si nona, akhirnya ia menghela napas perlahan dan berkata. "O, tidak apa-apa, akan kutemani kau."

Kim Leng-ci menatapnya lekat-lekat, sampai lama barulah ia berkata dengan perlahan. "Bisa mendengar ucapanmu ini apalagi yang kutakuti?...."

oooooooooo0000000ooooooooo

Akhirnya mereka tiba di balik sepotong batu karang yang menyerupai pintu angin, di situ terikat seutas tali baja panjang dan di atas tali tergantung sebuah kereta luncur.

Tali baja itu menjurus ke dalam sebuah gua yang gelap gulita. Ke sinilah Kim Leng-ci membawa mereka.

"Apakah tempat ini jalan masuknya?" tanya Oh Thi-hoa.

"Ya. ketika itu dari sinilah kumasuk ke sana." tutur Kim Leng-ci.

"Mengapa tiada terdapat seorang penjaga pun"'" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Hakikatnya tidak perlu penjaga, sebab setiap orang yang berada di sini kan tiada jalan lain kecuali meluncur masuk ke sana," kata Kim Leng-ci. "Dan sekali sudah masuk ke sana. untuk keluar lagi boleh dikatakan sesulit...... sesulit naik ke langit."

"Tempat apakah pada akhir persinggahan kereta luncur ini?" tanya Coh Liu-hiang.

"Inilah tempat mereka menyambut tamu."

"Di sanakah Pian-hok Kongcu menyambut tamunya?"

"Terkadang Ting Hong yang berada di sana."

"Sesungguhnya Ting Hong itu pernah apanya Pian-hok Kongcu?" tanya Coh Liu-hiang.

"Seperti muridnya."

Setelah berpikir sejenak. lalu Coh Liu-hiang bertanya pula.

"Dari sini ke sana kira-kira berapa jauh?"

"Akupun tidak tahu persis berapa jauh," jawab Kim Leng-ci. "Aku cuma ingat, ketika aku berhitung sampai tujuh puluh sembilan, kereta luncur itu lantas berhenti."

"Tampaknya anak perernpuan memang lebih cermat daripada lelaki, andaikan aku pernah datang kemari, tidak nanti aku main hitung segala," kata Oh Thi-hoa dengan tertawa.

"Seumpama berhitung juga takkan tepat hitunganmu," sela Thio Sam. "Hakikatnya kau tidak tahu hitungan, sampai berapa cawan arak yang kau minum juga tidak jelas..., terkadang sudah terang kau minum tiga puluh cawan, tapi kau mengaku sudah minum delapan puluh cawan."

"Kutahu kau pintar berhitung. sebab arak yang kau minum tidak pernah lebih dan tiga cawan," ujar Oh Thi-hoa.

Tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa, tanyanya, "Eh. dapatkah kau berhitung sampai lima puluh?"

Dengan mendelik Oh Thi-hoa menjawab, "Sudah tentu ..."

"Baik, begitu berada di atas kereta, kita lantas mulai berhitung, bila hitungan mencapai lima puluh, segera kita terjun ke bawah," kata Coh Liu-hiang.

oooooo00000oooooo

Baru saja hitungan mereka sampai sepuluh, kereta luncur sudah memasuki kegclapan. Kegelapan yang tiada ujung pangkalnya, kegelapan yang tak diketahui cetek dan dalamnya, satu titik sinar saja tidak ada. Juga tiada suara apapun.

Tubuh setiap orang meluncur mengikuti kereta gantung itu, hati mereka pun terasa tenggelam ke bawah.

Kalau ada sesuatu yang menakutkan di dunia ini, maka hal itu adalah kegelapan yang tidak nampak apapun.

Ketika mereka berhitung sampai dua puluh lima, cahaya pada mulut gua tempat masuk mereka pun tiada kelihatan lagi. Setiap orang asemakin gerah, sesak napas dan cemas.

Apakah jalan ini benar-benar jalan masuk ke neraka?

Dengan erat Oh Thi-hoa menggenggam tangan Kim Leng-ci, ketika hitungannya sampai empat puluh enam, barulah ia melepaskan tangannya dan perlahan menepuk bahu si nona.

"Empat puluh tujuh.... empat puluh delapan....... empat puluh sembilan.... lima puluh....loncat!"

Seketika Thio Sam merasa dirinya seperti sepotong batu yang anjlok ke bawah. Dan tempat apakah di bawah sana? Bukit bergolok? Wajan berminyak mendidih atau lautan api?

Apapun juga yang terdapat di bawah sana, terpaksa ia paSrah nasib. Hakikatnya ia tak dapat berhenti lagi.

Dalam amat tempat ini, sampai sekian lama masih belum mencapai dasar....

Thio Sam sengaja memejamkan mata malah. Pada saat itulah sekonyong-konyong ia merasa seperti menyentuh sesuatu. Segera ia bermaksud menahan tubuhnya, tapi terlambat. Sekalipun di bawah tidak libih hanya sepotong batu, tempat kakinya akan terbanting patah. 

Syukurlah mendadak sebuah tangan mendadak terjulur dari samping dan menyanggahnya dengan perlahan. Sudah tentu ia tidak dapat melihat tangan siapa itu, tapi selain Coh Liu-hiang rasanya tiada orang lain lagi.

"Ai. mempunyai kawan sebagai Coh Liu-hiang benar-benar beruntung bagiku," demikian pikir Thio Sam.

Baru timbul pikiran begitu. tiba-tiba tangan itupun beruntun menutuk beberapa Hiat-to di tubuhnya.

Sejenak suasana menjadi sunyi. rasanya tambah panas dan menyesakkan napas.

Seperti seekor ikan mati saja. Thio Sam dilemparkan orang ke tanah. Dia mengertak gigi, menahan sakit dan tidak bersuara.

Orang itupun tidak bertanya, terdengar suara tindakannya yang perlahan meninggalkan tempai itu.

Keadaan gelap gulita, jari sendiri saja tak kelihatan. Tempat apakah ini? Apakah penjara? Dimanakah Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Kim Leng-ci?

Thio Sam berharap nasib kawan-kawannya itu akan lebih baik daripada dirinya.

Pada saat itulah, terdengar suara langkah seseorang mendekatinya. Lalu seorang dilempurkan pula ke tanah. bahkan terbanting lebih keras.

Rupanva nasib Oh Thi-hoa tidak lebih mujur daripada Thio Sam. waktu jatuh dia masuk ke sebuah jaring, tapi bukan jaring sembarang jaring, melainkan jaring kawat yang keras sehingga tulangnya tergentak sakit, bantingan tadi malahan hampir membuat tulangnya terlepas.

Kontan ia mencaci maki, tapi betapapun ia berkaok-kaok tetap tiada orang menggubris. Langkah orang tadi sudah menjauh. "blang". terdengar pintu ditutup, dan suaranya dapat diduga kalau bukan pintu batu tentulah pintu besi.

"Siau Oh?..-" mendadak didengarnya suara seorang memanggilnya perlahan.

"He. Thio Samkah di situ?" jawab Oh Thi-hoa terkejut.

"Ya, tak tersangka kau pun datang kemari," kata Thio Sam dengan gegetun.

"Keparat, sekali ini benar-benar terjungkal dengan penasaran, sampai bayangan lawan juga belum terlihat, tahu-tahu sudah kejeblos di tangan orang." omel Oh Thi-hoa dengan gemas.

Selama hidupnya sudah banyak menyerempet bahaya dan mengalami peristiwa yang menakutkan. tapi setiap kali sedikitnya dia sempat mengadakan perlawanan. Namun sekali ini kesempatan melawan saja tidak ada.

Thio Sam menghela napas, katanya. "Baru sekarang kutahu apa sebabnya nona Kim merasa takut, agaknya kita seharusnya menuruti nasehatnya."

Dengan gregetan Oh Thi-hoa menanggapi, "Baru sekarang juga kutahu Pian-hok Kongcu itu bukan manusia. sebab kalau dia manusia tentu takkan menggunakan cara sekeji ini."

Tampaknya begitu kita sampai di sini, segera diketahui oleh mereka," ujar Thio Sam.

"Setiap gerak-gerik kita diawasi oleh mereka, sebaliknya kita tidak melihat mereka. Inilah yang benar-benar menakutkan."

"Mana nona Kim?" tiba-tiba ia bertanya pula.

Oh Thi-hoa tak menjawab, sebaliknya balas bertanya, "Dimanakah si kutu busuk tua itu? Mengapa tidak kelihatan?"

Belum habis ucapan Thio Sam, mendadak pintu terbuka lagi. Kembali suara langkah seseorang mendatangi lalu membanting seseorang ke lantai.

Seketika hati Oh Thi-hoa dan Thio Sam tercekam.

Pintu tertutup lagi, segera Oh Thi-hoa berseru, "Kutu busuk, apa kau?"

Tapi orang itu tidak menjawab.

Thio Sam menjadi kuatir serunya. "Jangan-jangan nasibnya memang lebih jelek daripada kita, dia telah tewas."

"Tidak mungkin. mana bisa orang mati digusur kemari?"

"Seumpama dia mati, tentu juga lukanya tidak ringan, kalau tidak, masa tidak dapat bersuara?" kata Thio Sam.

Oh Thi-hoa berpikir sejenak, katanya kemudian, "Kau dapat bergerak tidak? Coba mendekat ke sana dan periksa dia."

"Keadaanku mirip kepiting mampus..." kata Thio Sam dengan lesu.

"Kau sendiri bagaimana?"

"Wah, lebih konyol daripada kepiting mampus," jawab Oh Thi-hoa.

"Bisa jadi orang.... orang ini bukan Coh Liu-hiang, tapi nona Kim?"

Asalkan Coh Liu-hiang tidak mati, maka mereka ada harapan akan tertolong. Sebab itulah mereka berharap orang yang baru digusur masuk ini ialah Kim Leng-ci.

Tapi Oh Thi-hoa lantas berkata dengan tegas, "Pasti bukan nona Kim."

"Masa? Darimana kau tahu?" tanya Thio Sam. Oh Thi-hoa tidak menjawab lagi.

"Kenapa kau diam saja? Urusan apa yang tak dapat kau ceritakan?" omel Thio Sam.

Tapi Oh Thi-hoa bungkam.

Setelah berpikir, akhirnya Thio Sam berkata dengan rawan, "Jika Coh Liu-hiang juga terkurung di sini, maka nasib kita pasti tamat."

Sekonyong-konyong orang itu menanggapi. "Aku bukan Coh Liu-hiang."

Jelas suara ini datangnya dari tempat orang yang baru dilempar masuk itu. Malahan suaranya kedengaran sudah dikenal.

"Siapa?" berbareng Oh Thi-hoa dan Thio Sam bertanya.

Orang ini menghela napas panjang, jawabnya. "Aku bukan manusia. Tapi binatang. hewan. hewan yang tidak tahu budi."

"Hah. Kau Cu-tiang. kiranya kau?" seru Thio Sam.

Betul. memang suara Kau Cu-tiang.

Sekarang Oh Thi-hoa juga ingat, serunya, "He. mengapa kau pun masuk ke sini?"

"Inilah ganjaranku yang setimpal." jawab Kau Cu-tiang dengan sedih.

"Apakah Ting Hong... "

"Dia lebih-lebih bukan manusia. bahkan hewan pun bukan," sela Kau Cu-tiang dengan gemas sebelum lanjut ucapan Thio Sam.

"Mengapa dia memperlakukan kau cara begini?" tanya Oh Thi-hoa.

Kau Cu-tiang lantas bungkam. Tapi biarpun dia tidak mengaku. dalam hati Oh Thi-hoa dapat membayangkan apa yang terjadi. 'Habis mams sepah dibuang'. setelah tak terpakai. maka konyollah nasib Kau Cu-tiang.

Seorang kalau suka mengkhianati kawan, tentu dia juga akan dikhianati orang lain. Memang begitulah nasib penjilat di dunia ini, nasib konyol.

Sayup-sayup Kau Cu-tiang seperti sedang merintih, agaknya dia terluka.

Sebenarnya Oh Thi-hoa hendak menyindir dan mendampratnya, sekarang ia menjadi tidak tega, ia cuma menghela napas panjang dan berkata, "Untung si kutu busuk itu belum sampai mengalami nasib seperti kita."

"Kan sudah kukatakan, dalam keadaan betapapun gawatnya, dia pasti sanggup..." belum habis ucapan Thio Sam, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka lagi dan ada suara tindakan orang pula.

Yang datang sekali ini ternyata dua orang......

Seketika hati Oh Thi-hoa dan Thio Sam tercekam pula.

Betapapun Coh Liu-hiang juga manusia dan bukan malaikat dewata, di tempat segelap ini, betapapun tinggi kepandaiannya juga tiada gunanya.

ooooooooo0000000ooooooooo

Coh Liu-hiang memang mempunyai pengalaman tersendiri. Begitu dia terjun ke bawah kereta luncur itu, segera ia merasakan keadaan yang tidak beres.

Pembawaannya mempunyai sesuatu kelebihan yang aneh, yaitu dapat merasakan dimana beradanya bahaya.

Dan sekarang bahaya itu berada di bawah kakinya.

Namun tubuhnya sudah kadung jatuh ke bawah dan tidak mungkin bisa balik ke atas lagi, juga tidak bisa berhenti. Agaknya di dunia ini tiada seorang pun yang mampu mengubah nasibnya yang tragis.

Yang mampu mengubah nasibnya hanya dia sendiri. Barang siapa kalau ingin nasib sendiri berubah. maka orang yang paling dapat diandalkan ialah dirinya sendiri.

Sementara itu kereta gantung tadi sudah meluncur jauh ke sana. Begitu terjun ke bawah dan timbul firasat tidak baik, seketika Coh Liu-hiang memancalkan kaki di udara sehingga dia terjungkir dan mengapung lebih tinggi ke atas, kedua kakinya bertekuk dan sempat menggantol Pada tali baja yang melintang di udara itu. Legalah hati Coh Liu-hiang setelah usahanya berhasil. Bilamana daya reaksinya sedetik terlambat dan kakinya tidak keburu menggantol pada tali baja, ia akan terjerumus ke bawah, terjerumus ke dalam perangkap seperti apa yang dialami Oh Thi-hoa dan Thio Sam.

Tidak lama kemudian, dapatlah ia mendengar teriakan terkejut dan raungan gusar Oh Thi-hoa, suaranya sangat singkat, lalu suasana kembali sunyi.

Tetapi kesunyian tidak identik dengan aman. Dalam kegelapan, dimana-mana tersembunyi mara bahaya.

Sambil bergelantungan di kawat baja itu, Coh Liu-hiang harus mengambil keputusan maha penting dalam waktu sesingkatnya, yaitu keputusan yang menyangkut mati-hidupnya.

Dia dapat melompat ke atas kawat baja dan mundur keluar, ia pun dapat menuju ke pusat Pian-hok-to melalui kawat baja itu.

Tapi segera ia memastikan kedua jalan itu tidak dapat ditempuh. Sebab pada kawat baja sana pasti ada perangkap lain yang lebih berbahaya sedang menunggu. Lebih-lebih ia tidak dapat pergi dengan meninggalkan kawan-kawannya yang terjebak. Kawat baja itu terasa mulai bergoyang. kereta gantung itu seperti meluncur balik. Segera Coh Liu-hiang mengayun kawat baja itu sehingga bergoyang kian kemari, jarak ayunan itu makin jauh dan tinggi.

Ketika tinggi ayunan kawat baja itu terasa cukup, mendadak Coh Liu-hiang melepaskan kakinya dan meluncur ke sana.

Ginkang Coh-hiangswe tiada bandingannya, bahkan burung yang bersayap juga tak dapat menandinginya. Meski ini cuma isyu saja di dunia Kangouw, tapi memang tidak terlalu berlebihan dan mendekati kenyataan.

Berkat ayunan itu, sekali melayang dapatlah ia meluncur sejauh tujuh delapan tombak. Jika orang lain mungkin luncuran sejauh dan sekeras ini akan membuat kepalanya pecah tertumbuk dinding batu.

Namun Ginkang Coh Liu-hiang memang tinggi luar biasa, ia meluncur dengan kepala di dep.an dan kaki di belakang. maka begitu ujung jari menyentuh dinding karang, seketika tubuhnya dilemaskan, sekujur badan lantas menempel dinding terus merosot perlahan ke bawah.

Setelah merosot beberapa tombak, perlahan ia menahan tubuhnya sehingga mirip seekor cecak yang menempel di tembok.

Dengan cermat ia mendengarkan apa yang terdapat di bawah.

Tiada sesuatu suara pun yang terdengar, tapi penuh macam-macam bau, ada bau harum arak, buah-buahan dan teh, juga ada bau harum pupur wanita.

Tempat apakah ini?

Ia coba menempelkan telinganya di dinding, maka terdengar di bawah dinding sana seperti ada suara dengusan napas yang terputus-putus dan tertahan, lalu diselingi tawa ngikik perempuan.

Sebagai lelaki yang sudah berpengalaman, Coh Liu-hiang tahu jenis suara apa itu. Ia tahu bilamana perempuan mengeluarkan suara tertawa geli dan puas seperti itu, sungguh ia tidak ingin mendengarkan suara tertawa begitu di tempat begini. Lapat-lapat ia pun mendengar debaran jantungnya sendiri.

Ketika debar jantungnya sudah mulai agak tenang, perlahan ia mulai menggeser lagi ke kiri dengan 'Pia-hou-kang' atau ilmu cecak merayap di dinding.

Akhirnya ia dapat menemukan darimana datangnya suara tertawa tadi, ke situlah dia merayap turun.

Ia yakin, tempat yang ada suara tertawa seperti itu tentu akan jauh lebih aman daripada tempat lain.

Kegelapan memang menakutkan. tapi sekarang kegelapan malah membantunya, asalkan tidak bersuara, tentu tiada seorang pun akan menemukan dia. Dan Coh Liu-hiang memiliki Ginkang maha tinggi sudah tentu tidak nanti menimbulkan suara.

Dia merayap terus ke bawah. ketika ia menyentuh sesuatu yang kemudian diketahuinya adalah daun pintu. ternyata suara tertawa genit tadi keluar dari balik pintu ini. Hanya saja suara tertawa tadi kini telah berganti menjadi suara keluhan yang mendebarkan jantung.

Setelah berpikir, akhirnya Coh Liu-hiang tidak jadi mendorong daun pintu itu. "Ada yang harus dilakukan seseorang, ada pula yang tidak boleh diperbuat seseorang". Dan untuk hal beginian, maka ia pun tidak ingin mengganggunya.

Ia coba menggeser lagi ke kiri, ia menemukan satu sayap pintu pula. Di balik pintu itu tiada sesuatu suara apapun. Ia coba mendorong perlahan daun pintu dan ternyata terus dibuka.

Segera di belakang pintu ada orang berseru. "Silakan masuk!" Suaranya merdu memikat sehingga sukar bagi orang untuk menolak undangannya.

Padahal Coh Liu-hiang tidak dapat melihat apa yang terdapat di belakang pintu dan juga tidak dapat menerka siapa perempuan itu serta ada berapa orang di situ? Bisa jadi kalau dia masuk ke situ, untuk selamanya takkan keluar lagi dengan hidup.

Akan tetapi ia toh tetap masuk ke situ.

Sesuatu keputusan ditentukan hanya dalam sekejap saja, tapi akibat dari sesuatu keputusan sering-sering akan mempengaruhi selama hidup seseorang.

Bau harum di dalam rumah semakin semerbak dan memabukkan.

Begitu melangkah ke dalam, segera seseorang menjatuhkan diri ke pelukannya. Tanpa memandang juga Coh Liu-hiang tahu itu adalah tubuh perempuan. perempuan telanjang bulat.

Kulit badannya halus licin, buah dadanya tegak kenyal, segenap bagian tubuhnya seperti membara.

Sungguh luar biasa, tempat yang asing, perempuan yang tidak dikenalnya, kegelapan dan....

Berapa orang lelaki di dunia ini yang mampu melawan rangsangan yang memikat ini? Dengan sendirinya timbul juga reaksi badaniah pada diri Coh Liu-hiang. Perempuan itu tertawa cekakak cekikik. malah terus menggerayangi badan Coh Liu-hiang yang timbul reaksi spontan itu. Dengan suara manis memikat, perempuan itu berkata, "Ehmmm, kau masih muda. sudah lama dan lama sekali aku tidak pernah berdekatan dengan orang muda. Yang datang ke sini hampir seluruhnya adalah roang tua, tua bangka, ya bau, ya kotor, ya..... ya tidak 'becus' lagi dan ......"

Ia terus merangkul Coh Liu-hiang erat-erat, seakan hendak menelannya bulat-bulat.

Sedemikian 'hot' perempuan itu, sampai Coh Liu-hiang sendiri terkejut. Hakikatnya perempuan itu bukan lagi manusia tapi lebih mirip seekor srigala betina yang lagi birahi.

Tangan perempuan itu terus menggerayangi tubuh Coh Liu-hiang, kasarnya melebihi lelaki yang paling sadis, dengan napas terengah-engah ia berseru tak sabar, "Hayolah, lekas tunggu apa lagi?!"

Rupanya 'serigala betina' ini sudah terlalu lama kelaparan dan kehausan begitu mendapat sasaran buruannya, ia sudah tidak tahan lagi. tidak sabar lagi. rasanya ingin segera merobek-robek dan mengoyak mangsanya.

Gerak-gerik perempuan itu memang sadis. mendekati gila.

Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas. Belum pernah ia menemui perempuan begini. sebenamya ingin mencoba rasanya ''sadisme' cuma sayang, sekarang bukan waktu yang cocok.

Perempuan itu sedang meratap, "O, sayang..„ marilah ... kumohon dengan sangat, jangan.... jangan kau tunggu lagi. aku ... aku tidak tahan...."

Mendadak Coh Liu-hiang memotong ucapannya, "Coba katakan dulu. sedikitnya aku mesti mengetahui siapa kau?"

"Aku tidak punya she, juga tidak punya nama. cukup asalkan kau tahu aku ini perempuan.... semua perempuan yang berada di sini kan sama saja."

"Tempat apakah ini?" tanya Coh Liu-hiang.

Perempuan itu seperti terkejut, ia menegas. "Masa.... masa kau tidak tahu tempat apa ini?"

"Ya, aku memang tidak tahu," jawab Coh Liu-hiang.

"Kau..... kau tidak tahu. lalu cara bagaimana kau datang?"

Belum lagi Coh Liu-hiang menjawab, perempuan itu merangkulnya lagi sambil berkeluh, "O, aku tidak ambil perduli siapa kau, tidak memusingkan cara bagaimana kau datang kemari. Cukup asalkan kau seorang lelaki, maka aku tidak peduli segalanya."

"Jika aku tidak mau membuktikan?" jawab Coh Liu-hiang. Perempuan itu menghela napas panjang, katanya, "Maka kau harus mati!"

Coh Liu-hiang tahu ucapan itu bukan ancaman, seorang kalau sudah datang di sini memang setiap saat dan dimana pun bisa mati. bahkan dapat mati dengan sangat cepat.

Jika Coh Liu-hiang ingin selamat, ingin mencari tahu rahasia tempai ini. maka lebih dulu harus menaklukkannya. Untuk menaklukkan perempuan jenis ini hanya ada satu cara.

Tapi Coh Liu-hiang ingin menggunakan cara lain. Mendadak ia pencet Hiat-to mematikan di tubuh perempuan itu sambil menggertak, "Jika aku mati, maka kau harus mati lebih dahulu. Jika kau ingin hidup, maka kau harus berdaya lebih dahulu agar aku tetap hidup."

Tapi perempuan itu tidak takut, sebaliknya dia malah tertawa, jawabnya, "Mati? Kau kira aku takut mati?"

"Orang yang bilang di mulut tidak takut mati sudah banyak kujumpai, tapi orang yang benar-benar tidak takut mati belum pernah kulihat," ujar Coh Liu-hiang.

"Jika begitu, sekarang kau sudah melihat satu," kata perempuan itu dengan tertawa.

"Tapi aku pun dapat menyiksa kau hingga jauh lebih menderita daripada mati."

"Menderita?" perempuan itu menegas. "Orang macam diriku ini masa ada penderitaan lain lagi yang dapat menyiksaku?"

Coh Liu-hiaing tidak dapat bersuara lagi, seban ia tahu apa yang diucapkan perempuan itu memang betul.

"Dengan cara apapun tidak dapat kau gertak diriku, sebab hakikatnya aku bukan manusia lagi," kata perempuan itu. "Asalkan kau bantu aku, maka aku pun akan membantumu," kata Coh Liu-hiang sambil menghela napas. "Apapun kehendakmu juga akan kupenuhi."

"Aku cuma menghendaki lelaki, menghendaki kau," kata si perempuan tegas.

Kalau hendak menaklukkan perempuan jenis ini, hanya ada satu cara, hakikatnya tiada pilihan lain.

ooooooooo0000000000ooooooooo

Betapapun besarnya gelombang ombak akan segera berlalu, datangnya cepat, perginya juga cepat.

Sekarang badai sudah reda dan akhirnya lenyap. Perempuan itu berbaring lemas di sana. seolah-olah runtuh seluruhnva.

Hidupnya seakan-akan hanya untuk kepuasan sejenak.

Seorang kalau hidupnya hanya untuk kesenangan sekejap. maka betapa tragis hidupnya itu.

Tiba-tiba Coh Liu-hiang merasa dia jauh lebih malang dari perempuan mana pun yang pernah dijumpainya, sebab kehidupannya sudah kehilangan arti, tiada kemarin, juga tiada esok.

Kemarin hanya kegelapan belaka, esok bahkan bertambah gelap, hidupnya sama dengan menanti kematian.

Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Asal aku dapat keluar dengan hidup. tentu akan kubawa serta dirimu."

"Tidak perlu," jawab perempuan itu.

"Apakah kau ingin tinggal selamanya di sini?"

Perempuan itu mengiakan.

"Mungkin kau sudah lupa keadaan dunia luar sana, di sana tidak segelap ini, di sana ada cahaya. juga ada bahagia."

"Tidak, aku tidak mau. tidak suka cahaya. tidak mau bahagia, aku suka kegelapan," jawab si perempuan.

Apapun yang diucapkannya selalu dengan nada yang sama, selalu manis dan genit, bahwa perempuan yang hidup dalam kegelapan begini bisa mengucapkan kata-kata demikian. sungguh sukar dibayangkan siapa pun.

Dia sudah kehilangan perasaan sama sekali, katanya pula, "Yang kuinginkan sudah kau berikan padaku. Kau sendiri menghendaki apa?"

"Aku... aku cuma ingin tanya beberapa soal padamu." "Tidak perlu kau tanya siapa diriku. hakikatnya aku bukan manusia. aku cuma perempuan jalang. Setiap orang yang datang ke sini boleh mencari aku dan akan kusambut dengan gembira." Di ruangan yang sempit dan gelap inilah seluruh kehidupannya, seluruh dunianya Di sini tidak kenal tahun, bulan. juga tak dapat dibedakan siang atau malam.

Dia hanya dapat menunggu selamanya dalam kegelapan, Menunggu dengan telanjang bulat, menunggu sampai dia mati.

Kehidupan ini hakikatnya bukan kehidupan manusia. siapa pun tidak tahan. Tapi perempuan ini justru sanggup dan tahan.

Kehidupan begini cukup satu hari saja sudah dapat membuat orang gila, membuat orang kalap dan berubah menjadi hewan yang buas dan rakus. Sebab itulah apa yang diperbuat perempuan ini dapatlah dimaklumi dan dapat dimaafkan.

Tiba-tiba Coh Liu-hiang memberosot turun dari tempat tidur serta mengenakan bajunya.

Perempuan itupun tidak menahannya, ia cuma tanya, "Kau akan pergi?"

"Mau tak mau aku harus pergi," jawab Coh Liu-hiang. "Akan kemana?" tanya pula perempuan itu. Coh Liu-hiang menghcla napas, jawabnya. "Sampai saat ini aku sendiri tidak tahu."

"Kau tahu tempat apakah di luar sana?"

"Tidak tahu."

"Jika tidak tahu. hakikatnya satu langkah saja tidak boleh kau pergi. Bisa jadi, begitu kau keluar dari rumah ini, seketika kau akan mati."

"Ya, bisa jadi...... tapi apapun juga aku harus mencobanya." "Mengapa kau tak meminta bantuanku?" tiba-tiba perempuan itu bertanya. Coh Liu-hiang tertegun, sebab ia tidak sampai hati. Ia tidak tega omong, juga tidak sampai hati meminta dia berbuat sesuatu. lebih-lebih memperalat dia, sebab sekarang telah timbul semacam perasaan dosa dalam benaknya.

Kalau ada orang yang sampai hati memperalat perempuan malang iini, maka dosanya sungguh boleh dikatakan tak terampuni.

Sampai lama Coh Liu-hiang diam saja, ia menghela napas, kemudian berkata, "Pokoknya asalkan aku dapat keluar dengan hidup. tentu aku akan kembali kesini untuk mengeluarkanmu."

Perempuan itupun termenung hingga lama, lalu berkata, "Engkau.... engkau sangat baik."

Tiba-tiba suaranya penuh perasaan halus ia menyambung pula, "Kau ingin kemana, dapat kubawa kau ke sana."

"Tidak.... tidak, besar sekali bahayanya jika kau ikut padaku," kata Coh Liu-hiang.

"Bahaya?" perempuan itu tertawa. "Mati saja aku tidak takut, masa kutakut bahaya segala?"

"Tapi aku...."

"Aku sendirilah yang mau mengantar suka rela," ujar perempuan itu. "Hampir tak pernah kulakukan sesuatu dengan suka rela. sedikitnya kau harus memberi kesempatan padaku."

00ooo00

Di dunia ini meski tiada kegelapan yang kekal, tapi juga tidak ada terang yang abadi. Sebab itulah kehidupan manusia selalu diliputi banyak kejadian yang tragis. banyak melahirkan puisi yang menyedihkan dan nyanyian yang mengharukan.

Tapi betapa sedih dan harunya sajak, rasanya tak dapat menandingi kalimal sangat sederhana tadi, kalimat yang memilukan hati. "Hampir tak pernah kulakukan sesuatu dengan suka rela."

Mungkin sangat sedikit orang yang benar-benar dapat memahami isi dan arti yang terkandung pada kalimat yang memilukan ini, sebab memang jarang ada yang mengalami nasib tragis begini. Apalagi, umumnya manusia hanya tahu pada penderitaan sendiri saja, tapi tak mau tah penderitaan orang lain.

Tapi Coh Liu-hiang justru sangat memahami hal-hal ini.

Dia paham cara bagaimana ikut merasakan kegembiraan dan kesuksesan orang lain, ia pun sangat memahami kemalangan orang lain. Selalu ia berusaha membagi kelebihan kegembiraan seseorang kepada orang lain yang memerlukannya.

Sebab itulah Coh Liu-hiang selalu bertualang, berkelana, menyerempet bahaya dan ingin ikut campur urusan apapun juga. Bila perlu ia juga mencuri, bahkan merampas dengan kekerasan. Itulah Coh Liu-hiang, panglimanya maling, si bagus bangsat.

Dalam kegelapan, Coh Liu-hiang digandeng perempuan itu dan berjalan ke depan dengan perasaan menyesal dan terharu. "Siapa namamu?" tanya Coh L iu-hiang. "Aku tidak punya nama.... aku cuma sebuah alat... alat pelampiasan," jawab perempuan itu hambar. "Jika kau berkeras ingin tahu, maka bolehlah kau panggil diriku Tang-sam-nio (si perempuan ketiga sebelah timur), sebab kamarku terletak pada nomor tiga di sebelah timur."

Padahal tiap orang, betapapun rendahnya dia, tentu mempunyai nama. Bahkan kucing dan anjing terkadang juga diberi nama. Tapi aneh, mengapa perempuan ini tidak punya nama?

"Kau ingin kubawa ke sana? Lari keluar?" tanya perempuan itu. "Atau ingin mencari Pian-hok Kongcu?"

"Tidak," jawab Coh Liu-hiang. "Sekarang aku ingin menolong dulu kawan-kawanku."

Kawan nomor satu. Urusan kawan lebih penting, kadang orang mengira hidup Coh Liu-hiang hanya untuk orang lain.

Akan tetapi dia suka, dia cuma berbuat apa yang disukainya. Tiada orang yang dapat memaksa dia.

"Kutahu di sebelah sana ada sebuah penjara," tutur perempuan itu. "Tapi entah kawan-kawanmu dikurung dimana. bisa jadi mereka sudah terbunuh."

Hal ini memang sama sekali tak berani dipikirkan oleh Coh Liu-hiang.

"Tempat ini terdiri dari tiga tingkat," tutur perempuan itu pula.

"Sekarang kita berada di tingkat paling bawah."

Nyata hidupnya memang benar-benar di nerakanya neraka.

"Tingkat terbawah ini ada tiga deret rumah timur, barat dan selatan. Bagian tengah adalah ruangan duduk, sering kami mengiringi orang minum arak di situ."

Seketika Coh Liu-hiang ingat pada rumah pelacuran yang pernah dikunjunginya. Di tempat-tempat begitu juga ada sebuah ruangan duduk dan para nona tinggal di kamar-kamar sempit sekelilingnya. mereka menunggu. menunggu tamu, menunggu uang yang akan membeli masa remaja mereka. Kalau dibandingkan tempat ini, jelas mereka jauh lebih beruntung. Tapi berapa banyak bedanya? Memangnya siapa yang benar-benar suka melakukan perbuatan mesum begitu? Siapa pula yang dapat melihat bekas air mata di bawah pupur mereka?

Biasanya. perempuan yang sudah bercokol lama di tempat begituan juga bisa berubah kaku, pati rasa, tapi juga bisa lelah. Tentu saja mereka pun ingin kabur, tapi bisa kabur kemana?

"Kedua tingkat di atas sana, selama ini baru satu-dua kali kulihat." demikian tutur perempuan itu. "Untung penjaranya terletak di tingkat paling bawah ini. setelah keluar pintu dan mengikuti dinding kanan, lalu belok ke belakang. tibalah di sana."

Kedengarannya penjara ini terletak sangat dekat, tapi sekarang Coh Liu-hiang merasa jaraknya sedemikian jauh, seolah-olah sukar dicapai.

oooooooo0000000000oooooooooo

"Hanya di dalam rumah ini kita boleh bicara, sekeluarnya dari sini tidak boleh lagi mengeluarkan suara apapun juga. Dimana-mana terpasang perangkap maut. Kita berjalan dengan perlahan dan hati-hati daripada gagal mencapai tempat tujuan."

Demikian sebelum meninggalkan tempat sempit itu si perempuan berpesan kepada Coh Liu-hiang.

Kini mereka terus mennggeremet ke depan dengan sangat perlahan dan hening.

Coh Liu-hiang merasa tangan perempuan itu mulai basah, jelas berkeringat dingin. Mau tak mau ia pun merasa sesuatu firasat yang tidak enak.

Pada saat itulah Tang-sam-nio tiba-tiba berhenti, genggamannya bertambah erat.

Meski tidak dapat melihat apa-apa, tapi Coh Liu-hiang merasa ada orang datang.

Yang datang dua orang, meski cara berjalan mereka hati-hati, tapi tetap menimbulkan suara yang sangat lirih.

Sudah tentu tidak setiap orang di Pian-hok-to ini memiliki Ginkang tinggi, tapi bilamana dipergoki kedua orang ini, maka akibatnya sukar dibayangkan.

Coh Liu-hiang menempel rapat pada dinding sambil menahan napas. Kedua orang itu terus maju ke sini dengan perlahan, seperti sedang ronda. juga seperti sedang mencari apa-apa.

Bilamana ada setitik sinar saja, segera mereka akan mengetahui. jarak mereka dengan Coh Liu-hiang tidak lebih hanya dua-tiga kaki saja jauhnya. Tapi di Pulau Kalong ini tidak boleh ada setitik sinar pun, siapa pun dilarang membawa sesuatu benda yang dapat menerbitkan cahaya ke pulau itu.

Begitu ketatnya larangan itu. sampai barang makanan juga dimakan dingin dan mentah. sebab kalau ada api tentu juga akan ada sinar.

"Pulau ini mutlak harus selalu gelap!" inilah perintah Pian-hok Kongcu.

Perintah ini dipegang teguh dan dipatuhi dengan baik. Kedua orang ini tak bersuara, tapi tiba-tiba Coh Liu-hiang mendengar suara orang.

Kiranya tepat di sampingnya adalah sebuah pintu. dari balik pintu itulah suara tadi tersiar keluar. Entah sejak kapan daun pintu sudah terbuka.

Suara seorang lelaki sedang berkata, "Untuk apa kau tarik diriku? Apakah kau masih ingin minta Pit-hun-oh (sejenis pipa tembakau yang berbentuk seperti botol yang diberi air, kalau dihisap akan timbul suara bunyi air) jamrud ini?" Seorang perempuan lantas memohon dengan suara halus. "Ya, sudilah engkau memberikannya kepadaku, bila kau berikan, apapun akan kuserahkan padamu."

"Kan sudah kau serahkan segalanya padaku tadi?" ujar lelaki tadi dengan hambar.

Tambah lunak suara perempuan itu, katanya, "Tapi...... tapi lain kali bila......"

"Lain kali?" jengek lelaki itu. "Darimana kau tahu lain kali akan kucari lagi? Perempuan di sini kan tidak cuma kau seorang saja?"

Seketika perempuan itu bungkam dan persoalan ini seperti sudah berakhir.

Tiba-tiba lelaki tadi berkata pula, "Kau kan tidak isap tembakau, mengapa kau berkeras minta pipa tembakau ini?"

"Sebab aku.,. aku menyukainya," jawab perempuan itu perlahan. "Aku suka.... suka pada lukisan yang terukir di situ."

"Kau dapat melihatnya?" lelaki itu tertawa.

"Tapi dapat kuraba. Kutahu lukisan itu melukiskan pemandangan alam. serupa panorama yang ada di kampung halamanku, bila aku merabanya, rasanya seperti pulang ke rumah... "

Suaranya sangat perlahan sehingga seperti orang mengigau, mendadak ia pegang lelaki itu pula dan memohon dengan sangat. "Sudi.... sudilah engkau memberikan pipa itu kepadaku. sebenarnya aku anggap diriku ini orang mati. tapi bila kuraba ukirannya. seketika aku seperti hidup kembali. Bila meraba ukirannya. aku merasa dapat menahan segala penderitaan apa pun. Selamanya aku tak pernah menyukai sesuatu benda apapun. kumohon dengan sangat. sudilah engkau memberikannya padaku. Lain kali bila.... bila kau datang lagi, tentu aku akan....."

Ratapan itu sama memilukannva seperti apa yang diucapkan Tang-sam-nio. Hampir saja Coh Liu-hiang tidak tahan dan ikut memohon baginya.

Tapi belum lagi habis ucapan perempuan itu, "Plak" sekonyong-konyong terdengar suara tamparan keras, agaknya perempuan itu telah digampar hingga jatuh.

Lalu terdengar lelaki itu mendengus. "Hm, lebih baik tanganmu digunakan meraba lelaki saja. perempuan hina macam kau juga berani..."

Mendadak Tang-sam-nio melepaskan pegangan Coh Liu-hiang terus menubruk ke arah lelaki itu.

Murka!

Hanya kemurkaan saja yang dapat menyadarkan orang dari pati rasa. Hanya kemurkaan saja yang dapat membuat orang melupakan segalanya. Dan Tang-sam-nio telah kalap dan tidak pedulikan apapun juga ketika menubruk orang itu.

Ia merasa tamparan orang itu seakan menampar mukanya. Sudah tentu mimpi pun lelaki itu tidak tahu akan ditubruk orang dari samping, ia menjerit kaget dan "tring", sesuatu benda terjatuh ke lantai, jelas itulah pipa tembakau yang dimaksudkan.
Kedua orang yang sedang ronda tadi segera berhenti begitu mendengar suara orang dan berdiri diam di samping, setelah mendengar jeritan kaget itu, serentak mereka menubruk maju.

Bisa jadi pada detik itu juga semua perangkap akan digerakkan. Mungkin Coh Liu-hiang juga akan terjebak ke dalam cengkeraman 'kalong', segala daya upaya tampaknya akan gagal total. Gagal hanva oleh sebuah pipa tembakau saja.

Padahal untuk sampai di sini, entah sudah berapa banyak kfesukaran yang ditempuh Coh Liu-hiang dan berapa imbalan yang telah dibayarnya. sekarang dia harus berkorban cuma lantaran sebuah pipa tembakau. Bilamana ada orang mengetahui akan nasibnya, tentu orang akan menyesal dan mungkin akan menangis baginya.

Akan tetapi Coh Liu-hiang sendiri tidak menyesal. Sebab ia tahu persoalannya bukan lantaran sebuah pipa tembakau, melainkan kehormatan insani, harkat manusia. Betapapun harga yang harus dibayarnya ia pun rela, sekalipun harus mengorbankan jiwa juga dia tidak sayang.

Segera Coh Liu-hiang juga bergerak, memapak ke arah kedua peronda tadi, seketika kedua orang itu merasa ada prang menyongsong mereka, namun terlambat, sikut Coh Liu-hiang dengan telak menyodok lambung mereka. Gerakan Coh Liu-hiang sungguh cepat luar biasa, kecepatan maksimal yang dapat dicapai oleh manusia dan tidak nanti dapat dibayangkan orang lain.

Habis itu terus memutar balik dan menghadapi lelaki tadi.

Tang-sam-nio sudah terpental karena hantaman orang itu. Terdengar orang itu sedang membentak. "Siapa kau?........."

Belum habis ucapannya. tahu-tahu pukulan dahsyat Coh Liu-hiang sudah menyambar tiba.

Sekali ini orang itu sudah waspada. ia sempat menghindarkan serangan Coh Liu-hiang, orang yang bisa datang ke Pian-hok-to sudah tentu bukan sembarang orang.

Segera ia menggeser langkah dan menampar pula. yang digunakan adalah gerakan 'Toa-sui-pi-jiu' (gerakan membanting dan melempar) yang lihai.

Akan tetapi dia keliru. Dalam kegelapan begini, mestinya dia tidak perlu mengeluarkan tenaga pukulan sedahsyat itu sebab deru angin pukulannya berbalik menunjukkan tempat dimana dia berada. Karena itulah, begitu tangannya bergerak, seketika urat nadi pergelangan tanganjuga lantas terpencet lawan.

Mimpi pun tak tersangka olehnya bahwa musuh yang dihadapi sedemikian hebat. Padahal ia sendiri tergolong tokoh terkenal, sudah banyak pengalaman. tentu lebih sering menang daripada kalah, maka dia masih dapat hidup jaya sampai sekarang. Tapi mati pun dia tidak percaya bahwa di dunia ini ada seseorang dapat memegang urat nadinya hanya dalam satu gebrakan saja.

Keruan ia kaget dan membentak, "siapa kau?..... Tetapi belum habis ucapannya, sekujur badan lantas lemas. beberapa Hiat-to penting telah tertutuk hingga tak bisa berkutik lagi.

Tangan yang menutuknya itu bergerak sangat cepat dan enteng. ternyata jauh lebih berguna daripada gerak 'Toa-sui-pi-jiu'nya yang maha kuat.

Segera ia mendengar seorang membisikinya, "Ingat, mereka juga manusia, jangan kau aniaya mereka!"

Asalkan manusia maka dia harus diperlakukan sama adil. Siapapun tidak berhak merampas harkat dan jiwa orang lain.

ooooo00000oooooooo

Makhluk hidup di dunia ini hanya sebangsa kalong dan kelelawar saja yang dapat terbang berdasar daya perasa sendiri.

Waktu terbang, kelelawar membawa semacam suara aneh dan khas. bilamana suara ini menyentuh sesuatu benda, seketika akan diketahui oleh kelelawar itu. Jadi semacam sistem radar zaman sekarang.

Sekarang Coh Liu-hiang mendengar semacam suara yang aneh, segenap penjuru seakan-akan penuh dengan suara khas ini. Ia tahu manusia kelelawar dari neraka mulai datang. Alat perangkap belum lagi digerakkan, juga tidak ada senjata rahasia yang terbidik, sebab di sini masih banyak tetamu undangan. hakikatnya mereka pun belum jelas apa yang terjadi di sini. Akan tetapi selekasnya mereka pasti akan tahu.

Tidak ada orang yang dapat melawan mereka dalam kegelapan yang tiada harapan ini. Sebaliknya mereka sudah terbiasa dalam kegelapan, ilmu silat dan serangan mereka mungkin tidak menakutkan jika dilakukan di tempat yang terang, tapi dalam kegelapan jiwa setiap orang dapat direnggutnya.

Coh Liu-hiang juga manusia. ia pun tidak terkecuali dan sukar terhindar dari nasib buruk itu.

Cuma segala apa memang selalu terjadi dalam sedetik yang sangat singkat. Jika sekarang Coh liu-hiang mau kabur atau merayap ke atas dinding umpamanya, tentu tiada orang yang mampu mengejarnya, sedikitnya ia dapat menyelamatkan diri dari ancaman maut ini.

Tapi di dunia ini ada juga orang yang benar 'tam-su-ya', artinya konsekuen terhadap sesuatu, terhadap orang atau urusan

Dalam keadaan bagaimanapun gawatnya, tidak nanti ia meninggalkan kawan. Dan begitulah pribadi Coh Liu-hiang.

Didengarnya Tang-sam-nio membisikinya, "Lekas lari, belok ke kanan, di depan sana...." Tapi baru sampai di sini, Coh Liu-hiang menarik tangannya dan berseru tertahan. "Hayo, lari....."

"Tidak aku tidak mau pergi," jawab Tang-sam-nio. "Harus kutemukan dulu pipa tembakau itu dan kuberikan padanya ."

Coh Liu-hiang menghela napas gegetun dan hendak bicara lagi. Dalam keadaan demikian, jiwa sendiri juga sukar diselamatkan, tapi perempuan ini malah ingin menemukan pipa tembakau yang jatuh itu, seakan-akan pipa tembakau itu jauh lebih penting daripada jiwa sendiri

Jika orang lain tentu akan menganggap perempuan itu sudah gila. atau paling tidak tentu tolol andaikan tidak ditinggalkan, tentu akan menyeretnya pergi secara paksa.

Tapi Coh Liu-hiang tidak berbuat begitu. Ia tidak pergi sendiri, juga tidak menyeretnya secara paksa, ia pun tidak merintangi kehendak perempuan itu. Sebaliknya ia malah membantunya mencari.

Sementara ia tahu yang dicari sesungguhnya bukan pipa tembakau segala, yang dicarinya adalah peri kemanusiaan yang sudah jatuh. harkat manusia yang hilang.

Untuk ini Coh Liu-hiang harus bantu menemukannya. Memang begitulah pribadi Coh Liu-hiang. Demi berbuat sesuatu yang dia anggap harus dikerjakan maka dia tak peduli segala akibatnya, sekalipun golok mengancam di atas kuduknya juga takkan mengubah pendiriannya.

ooooooooo000000000ooooooooooo

"Akhirnya pipa tembakau itu ditemukan tidak?"

Inilah pertanyaan Oh Thi-hoa kepada Coh Liu-hiang setelah mendengar ceritanya.

"Sudah tentu ketemu." jawab Coh Liu-hiang. "Dan bila pipa tembakau itu ditemukan. bisa jadi saat itu jiwamu yang akan hilang "

"Bukankah sekarang aku masih hidup segar bugar?" Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, katanya, "Kau keparat ini memang selalu mujur. Tapi dalam kegelapan begini, cara bagaimana kau menemukan pipa tembakau itu? Itu kan sama saja seperti menggagap jarum di dasar lautan?"

Coh Liu-hiang tertawa. jawabnya secara aneh, "Jarum kan tidak berbau?"

"Jarum tak berbau, sedang pipa tembakau berbau. Waktu pipa tembakau jatuh ke dasar lantai, tutupnya terlepas. dan baunya tersebar, meski kami tak dapat melihatnya, tapi dapat mencium baunya sehingga ketahuan dimana letak benda itu."

Sekarang Oh Thi-hoa benar-benar menyerah, ia menghela napas panjang. katanya, "Ehm, kau benar-benar anak yang berbakat tinggi, jika diriku, dalam keadaan begitu tak nanti timbul pikiran semacam ini. Jika aku yang disuruh mencari, mungkin tiga hari juga tak dapat menemukannya."

"Ya, terus terang. aku pun rada kagum terhadap diriku sendiri," kata Coh Liu-hiang.

"Padahal, meski otakmu sangat encer. tapi hidungmu kan cacat. mengapa mendadak jadi tajam juga daya kerjanya?"

"Justru lantaran ciri hidungku ini bila mengendus bau tembakau lantas bersin. maka untuk mencari pipa tembakau itu menjadi lebih mudah."

Mau tak mau Oh Thi-hoa menggeleng kepala dan menghela napas pula, katanya, "Terkadang aku pun tidak paham, mengapa setiap kali menghadapi bahaya, selalu timbul pikiranmu yang baik dan mendapat akal yang paling bagus hingga segala bahaya berubah menjadi aman....... sesungguhnya ini memang keahlianmu atau cuma mujur saja?"

Waktu Coh Liu-hiang menyerahkan pipa tembakau kepada perempuan yang malang itu, saking terharunya, perempuan itu mencucurkan air mata. Sungguh tak tersangka oleh perempuan itu bahwa dia masih mempunyai air mata untuk dicucurkan.

Sekarang, sekalipun dia mati juga bukan soal lagi, sedikitnya ia sudah menemukan sesuatu yang paling berharga pada sifat manusia, betapapun masih ada orang yang menganggapnya sebagai manusia dan mau memperhatikan dia.

Tapi bagi Coh Liu-hiang, setelah pipa tembakau itu ditemukan, mau tak mau ia harus tetap tinggal di situ. Tiada jalan lagi baginya untuk pergi.

Suara aneh tadi kini telah memenuhi segenap penjuru dan membuat orang mengkirik. jelas tempat ini sudah terkepung, entah berapa banyak orang yang datang, juga tak diketahui orang-orang macam apa yang datang ini.

Sampai dinding batu juga timbul suara aneh dan khas, kepungan mereka rasanya seperti sebuah jaring yang mencakup segala penjuru dan tiada sesuatu lubang apapun.

Rasanya Coh Liu-hiang tidak bisa kabur, kemana pun dia pergi pasti akan terjaring. Tapi jika dia tinggal diam saja di sini, kan juga akan ditemukan oleh mereka?

Dia seperti sudah buntu, tiada jalan lolos lagi. Jika Oh Thi-hoa sejak tadi tentu dia sudah menerjang dan mengadu jiwa dengan mereka. Tapi Coh Liu-hiang tidak bertindak demikian.

Coh Liu-hiang mempunyai cara kerja sendiri. Dia selalu mendapatkan akal yang paling baik pada saat yang paling gawat. Ruangan ini paling-palng dua-tiga tombak persegi, hanya ada sebuah meja. sebuah bangku dan sebuah ranjang, tiada jendela juga tiada pintu tembus lain. Ruangan ini jadi seperti sebuah gentong dan Coh Liu-hiang justru berada di dalam gentong.

Orang yang datang jelas sangat banyak, sedikitnya ratusan, yang masuk menggeledah ke situ juga ada tujuh-delapan orang. Setiap orang memegang sepotong pentung kecil panjang. Pentung ini seperti sungut pada bangsa serangga, digunakan untuk mencari barang yang mencurigakan. Jadi pentung ini sama dengan mata mereka dalam kegelapan.

Untuk mencari dua orang di dalam sebuah kamar yang begitu kecil, sudah tentu tidak sulit, asalkan 'sungut' mereka menyentuh tubuh Coh Liu-hiang, maka pasti akan tertangkap.

Dengan pentung itu. orang-orang itu telah memeriksa setiap pelosok ruangan itu, sampai kolong tempat tidur, di bawah meja. bagian langit-langit, tiada sesuatu tempatpun yang dilewatkan Tapi sebegitu jauh Coh Liu-hiang tidak ditemukan. Kemanakah Coh Liu-hiang bersembunyi? Dia bukan dewa, bukan ahli sulap, apakah dia benar-benar dapat menjadi seekor kutu busuk dan sembunyi di sela-sela tempat tidur? Apalagi dia membawa serta Tang-sam-nio. Dua orang sebesar itu dan bersembunyi di dalam ruangan sekecil itu, mengapa tak bisa ditemukan oleh mereka? Sungguh aneh, sungguh sukar dimengerti?

Agaknya orang-orang yang masuk menggeledah itupun rada terkejut dan heran, mereka mulai menyiksa perempuan malang tadi dan menanyai dia. "Kemana orang tadi?"

"Orang apa? Hakikatnya tiada kedatangan siapapun."

"Jika tak ada yang datang. cara bagaimana ketiga orang itu bisa mati?"

"Entah, sama seka1i aku tidak melihat apa-apa, cuma kudengar suara jeritan. bisa jadi mereka saling membunuh sendiri." Suara perempuan itu kedengaran gemetar sambil merintih, jelas dia mengalami siksaan yang amat berat. Tapi dia tetap mengertak gigi dan bertahan, mati pun dia tidak mau mengaku.

Mendadak seseorang bertanya. "Yang mati itu siapa?" Suaranya seperti sudah dikenal, itulah suara Ting Hong.

Segera ada yang menjawab dengan sangat hormat, "Yang mati Tio Kang, tokoh ternama dari Toa-beng-hu. Selain itu ada lagi kedua saudara kita dari peronda keenam puluh sembilan."

Keterangan ini membuat Coh Liu-hiang ikut terkejut. Ia tahu Tio Kang berjuluk "Tan-cing-khay-pi" atau satu tangan menghancurkan pilar. Ilmu silatnya tergolong jago kelas satu di dunia Kangouw, Coh Liu-hiang sendiri juga tidak mengira dapat merobohkannya hanya dalam satu kali gebrak saja.

Manusia baru dapat mengerahkan kesanggupannya yang paling besar apabila dalam keadaan kepepet. Setelah berpikir sejenak baru Ting Hong berkata pula.

"Ketiga orang ini tidak mati. masa orang hidup atau mati tak dapat kalian bedakan?"

Tiada seorang pun yang berani menjawab. Habis itu lantas terdengar suara keluh perlahan Tio Kang.

"Apa-apaan ini? Siapa yang menutuk Hiat-tomu?" tanya Ting Hong.

"Siapa tahu?" jawab Tio Kang dengan penasaran Hakikatnya bayangan setan saja tak kulihat."

"Cara bagaimana ia menutuk Hiat-tomu?" tanya pula Ting Hong setelah termenung sejenak.

"Entah, darimana dapat kulihat? Tahu-tahu Hiat-toku tertutuk begitu saja," jawab Tio Kang, "Apakah.... apakah kalian tidak menangkapnya?"

"Tidak," jawab Ting Hong.

Salah seorang menukas, "Sejak tadi kami mengepung tempat ini, biarpun seekor lalat pun tak dapat terbang keluar."

"Hm, lalat mungkin tak dapat kabur keluar tapi orang ini pasti dapat lolos," jengek Ting Hong.

Tio Kang menghela napas gegetun, gumamnya, "Dia hakikatnya bukan manusia, tapi setan, selama hidupku ini belum pernah kulihat gerak tangan yang begitu cepat."

"Tentunya kau dapat menerka siapa dia?" ujar Ting Hong.

"Engkau sendiri tahu siapa dia?" tanya Tio Kang.

"Ehmm," agaknya Ting Hong mengangguk.

"Siapa?"

"Coh Liu-hiang!"

Mendengar nama ini, seketika Tio Kang tertegun, ia termenung sejenak, lalu berkata, "Darimana kau tahu dia itu Coh Liu-hiang?"

"Jika dia bukan Coh Liu-hiang, sejak tadi jiwa kalian tentu sudah melayang, kalian pasti terbunuh agar tidak memberi keterangan!"

Tio Kang tidak bersuara lagi, air mukanya sangat lucu, sedikitnya pasti menyengir.

'To Swe' Coh Liu-hiang, panglimanya pencuri, si maling budiman, selama ini dalam keadaan bagaimanapun, belum pernah dia membunuh pecundangnya. Selama beratus tahun ini, di antara pendekar-pendekar ternama di dunia persilatan yang tangannya tak berbau darah. mungkin cuma Coh Liu-hiang.

Hal ini sudah lama tersiar di dunia Kangouw dan menjadi cerita, dengan sendirinya Tio Kang sendiri pernah mendengar.

Bahwa dia ternyata kebentur Coh Liu-hiang, untuk ini ia sendiri tidak tahu apakah mujur atau malang, untung atau sial.

Ting Hong termenung sejenak, katanya kemudian, "Sekarang kalian mundur ke tempat penjagaan masing-masing."

"Mundur? Akan.,., akan tetapi..." ada yang ragu-ragu.

"Mau apa jika tak mundur?" jengek Ting Hong, "Memangnya Coh Liu-hiang akan tinggal di sini menunggu kalian?"

Terpaksa orang itu mengiakan dan memerintahkan kawan-kawannya agar mundur ke pos penjagaan masing-masing.

"Dimulai pada peronda ketujuh puluh nanti. setiap jam ditambah lagi dengan enam regu peronda," demikian Ting Hong menambahkan perintahnya. "Asalkan ketemu orang yang tidak membawa tanda pengenal, bunuh saja habis perkara."

ooo0000oooo

"Sesungguhnya kau sembunyi dimana waktu itu?" Demikian pertanyaan Oh Thi-hoa kepada Coh Liu-hiang ketika diceritakan pengalamannya, serupa orang lain, ia pun tak dapat menerkanya.

"Di tempat tidur, sejauh itu kami berbaring saja di tempat tidur," demikian tutur Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Di tempat tidur?" teriak Oh Thi-hoa tertawa. "Dua orang sebesar kalian berbaring di tempat tidur dan tidak ditemukan mereka? Apakah mereka orang tolol atau memang goblok?"

"Sudah tentu aku memakai akal."

"Akal apa? Masa di tempat tidur itu ada alat rahasianya?"

"Tidak ada, di tempat tidur itu tidak ada apa-apanya selain selimut saja."

"Habis menggunakan akal apa? Masa kau benar-benar berubah jadi kutu busuk dan menyusup ke sela-sela tempat tidur?"

"Coba kau terka akal apa yang kugunakan?"

"Persetan! Siapa yang dapat menerka akal setan apa yang kau gunakan?"

Coh Liu-hiang tertawa. lalu berkata, "Sebenarnya akal yang kugunakan sedikitpun tidak aneh. Begini caranya, kusuruh perempuan itu tidur di satu sisi dan menarik kencang selimutnya, sedangkan aku berbaring di sisi yang lain dan juga menarik kedua ujung selimut, ketika pentung mereka menyapu lewat di atas selimut tentu saja di atas tempat tidur tiada terdapat apa-apa, tak tahunya kami justru berbaring di bawah selimut."

Oh Thi-hoa tercengang hingga lama, lalu menghela napas panjang dan bergumam, "Busyet. akalmu ini memang sama sekali tidak aneh. Tapi hanya kau setan alas ini saja yang mampu memikirkan akal yang tidak aneh ini."

"Sudah tentu telah kuperhitungkan, mereka pasti tak menyangka kami berbaring di tempat tidur, apalagi selimutnya sudah kami bentang rata di atas," ujar Coh Liu-hiang.

"Tapi saat itu cukup asalkan ada setitik cahaya saja, maka tamatlah riwayatmu." kata Oh Thi-hoa.

"Jangan lupa, di Pulau Kalong ini sama sekali tidak boleh ada setitik cahaya apapun," kata Coh Liu-hiang. "Segala sesuatu di dunia ini ada faedahnya tentu juga ada cirinya. Mungkin Pian-hok Kongcu tak pernah menyangka bahwa kegelapan di pulaunya ini malah banyak membantu kesukaranku."

"Tapi mereka beronda seketat itu, cara bagaimana kau dapat lolos?"

"Begitu mereka mundur pergi, segera pula kukabur. Sebab aku pun tahu penjagaan mereka pasti bertambah ketat setelah kejadian itu. tapi waktu mereka mundur bersama tentu juga agak kacau. jika kesempatan baik itu tidak kugunakan, selanjutnya jangan harap akan dapat lolos."

'Tidak boleh menyia-nyiakan setiap kesempatan', inilah pedoman hidup Coh Liu-hiang yang selalu ditaatinya.

ooooo000ooooo

Dalam kegelapan. Oh Thi-hoa dan Thio Sam benar-benar mati kutu.

Selagi mereka menggerutu panjang-pendek. tiba-tiba terdengar suara tindakan orang datang ke arah mereka. Suara tindakan dua orang.

Suara langkah seorang lebih berat, tapi langkah yang seorang lagi sangat enteng, seenteng setan iblis atau badan halus, jika Oh Thi-hoa tidak menempelkan telinganya ke lantai, hakikatnya tidak dapat mendengarnya.

Siapa lagi yang mempunyai suara langkah kaki seringan itu kecuali Coh Liu-hiang. Ginkang Coh Liu-hiang memang terkenal tiada bandingannya di dunia ini.

Tinggal setitik harapan yang masih tersisa dalam hati Oh Thi-hoa, segera ia mencoba menegur, "Kutu busuk tua!"

Pendatang lantas menjawab. "Siau Oh"

Seketika Oh Thi-hoa melenggong. setitik harapannya yang terakhir rupanya juga hanyut sekarang. Dia berharap Coh Liu-hiang masih bebas di luar dan akan berusaha menolongnya, siapa tahu kini si 'kutu busuk' itupun tergusur ke dalam penjara.

Dengan gemas ia lantas berkata, "Keparat, mengapa kau pun datang kemari?' Selama ini kepandaianmu kan maha hebat?

Coh Liu-hiang tidak bicara lagi, ia mendekati Oh Thi-hoa.

"Kau masuk sendiri ke sini?" tanya Oh Thi-hoa bingung.

"Sudah tentu kumasuk sendiri, aku kan bukan ikan?" ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa. Lalu ia membuka jaring dan melepaskan Hiat-to Oh Thi-hoa yang tertutuk. Oh Thi-hoa menghela napas ucapnya sambil menyengir,

"Aku memang ikan, ikan sialan, kepandaianmu memang jauh lebih tinggi daripadaku."

Dalam pada itu Hiat-to Thio Sam sudah dibuka Coh Liu-hiang, ia bertanya, "Darimana kau tahu kami berada di sini?"

"Berkat bantuan sahabatku ini, dia yang mengantarku ke sini," kata Coh Liu-hiang.

"Sahabatmu? Siapa dia?" tanya Thio Sam heran.

"Dia bernama Tang-sam-nio.... kuyakin kelak kalian pun dapat bersahabat dengan baik."

"Sudah tentu. kawanmu adalah juga kawanku. Cuma sayang, sekarang kita tak dapat melihatnya," kata Oh Thi-hoa dengan tertawa. Lalu ia menyambung. "Eh. Tang-sam-nio. baik-baikkah kau? Aku bernama Oh Thi-hoa, ada lagi seorang temanku bernama Thio Sam."

"Baik..." suara Tang-sam-nio rada gemetar. bisa jadi lantaran dia tak pernah mempunyai sahabat. Maklum. selama ini tiada seorang pun yang mau menganggapnya sebagai sahabat.

"Mana nona Kim?" tanya Coh Liu-hiang.

"Entahlah...... " cepat Thio Sam mendahului menjawab. "Bisa jadi Siau Oh tahu, tapi dia tidak mau omong."

"Sebab apa?" tanya Coh Liu-hiang. "Setan yang tahu apa sebabnya," jawab Thio Sam.

Oh Thi-hoa termenung agak lama, habis itu baru berkata dengan geregetan, "Sudahlah, kita tak perlu mencarinya."

Coh Liu-hiang jadi terkejut, "Kenapa? Masa dia sudah....."

"Hakikatnya dia tidak terjun ke bawah," kata Oh Thi-hoa.

"Apa betul?" seru Thio Sam.

"Sejak mula kuberdiri di sampingnya, ketika hitungan sudah genap lima puluh. Segera kuterjun ke bawah tapi dia tetap diam saja di atas kereta. pasti tidak keliru lagi."

"Mengapa dia tidak ikut terjun?" tanya Thio Sam bingung.

"Dia memang sahabat lama orang di Pian-hok-to ini. untuk apa dia ikut terjun bersama kita? Bukan mustahil kereta luncur itupun perangkap yang sengaja dipasang untuk menjebak kita," kata Oh Thi-hoa dengan gemas.

Coh Liu-hiang menghela napas, katanya. "Sudah dua kali kau salah menuduh dia. hendaklah jangan sampai terjadi lagi ketiga kalinya."

"Kau bilang salah menuduh dia, memfitnah belaka?" tanya Oh Thi-hoa dengan mendongkol.

"Ehm." Coh Liu-hiang mengangguk.

"Jika begitu, coba jelaskan. mengapa dia tidak ikut terjun bersama kita?" Apakah berhitung sampai lima puluh saja dia tidak mampu ?"

"Apa yang dilakukannya itu justru demi kita, demi kau." ujar Coh Liu-hiang.

Hampir saja Oh Thi-hoa berteriak lagi. katanya. "Demi diriku? Demi supaya aku terjun ke dalam jaring ini?"

"Dia pasti tidak tahu di bawah ada perangkapnya," kata Coh Liu-hiang.

"Jika begitu kan seharusnya dia ikut terjun ke sini!"

"Bila dia ikut terjun juga, bukankah kereta luncur itu akan kosong?"

"Memangnya kenapa kalau kosong?" tanya Oh Thi-hoa. "Kalau Pian-hok Kongcu tahu kereta gantung itu meluncur ke sana tanpa suatu sebab, tentu akan menduga pasti ada orang menyusup masuk ke sini dan dia pasti juga akan memperketat penjagaan. Sebab itulah nona Kim sengaja tinggal di atas kereta, ia lebih suka mengorbankan diri sendiri demi keselamatan kita."

Tiba-tiba Tang-sam-nio menghela napas panjaang, ucapnya dengan rawan, "Engkau seakan-akan selalu memikirkan kebaikan orang dan selalu berpikir jauh......."

"Makanya banyak orang yang menganggap dia sangat menyenangkan," kata Thi0 Sam dengan tertawa.

Oh Thi-hoa juga menghela napas, katanya, "Jika dia bertekad berbuat begitu, mengapa sebelumnya aku tidak diberitahu?"

"Jika kau diberitahu, apakah kau akan tinggal diam dan membiarkan dia berbuat ebgitu?" tanya Coh Liu-hiang.

Oh Thi-hoa menggentakkan kaki dan bergumam. "Ai, tampaknya aku memang benar-benar brengsek dan konyol."

Di sini seperti masih ada seorang teman lagi, siapa dia?" tanya Coh Liu-hiang tiba-tiba.

"Kau pasti tak dapat menerka siapa dia," ujar Thio Sam.

Tapi Coh Liu-hiang lantas berucap dengan tak acuh, "Jangan-jangan Kau-heng?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar