Legenda Pulau Kelelawar Bab 08: Tertawa yang Memilukan

Bab 08: Tertawa yang Memilukan
"Ya, pertanyaan-pertanyaan ini hanya mereka sendiri yang dapat memberi jawaban." ujar Goan Sui-hun. Setelah menghela napas, mendadak ,a berkata pula, "Sebelum meninggal, apakah gurumu meninggalkan pesan?"

"Aku.... aku tidak tahu," jawab si nona cilik tadi.

"Tak tahu?" Oh Thi-hoa menegas dengan berkerut kening.

"Ya. sebab begitu melihat darah, seketika.... seketika aku jatuh pingsan," jawab si nona.

"Kukira Na-lohujin juga tak sempat omong apa-apa, sebab beliau pasti juga tidak tahu asal-usul mereka, kalau tahu, masakah sampai kena disergap?" kata Coh Liu-hiang.

Goan Sui-hun menghela napas, katanya, "Sudah berpuluh tahun beliau tidak bergerak di dunia Kangouw, dengan sendirinya tidak pernah mengikat permusuhan dengan siapa pun juga, lalu mengapa orang-orang itu sengaja menyergapnya dengan perencanaan serapi ini? Apa sebabnya?"

Memang di sinilah kunci rahasia ini.

Apa sebabnya? Tanpa sebab mustahil membunuh orang?

Coh Liu-hiang tidak menjawab pertanyaannya, ia termenung cukup lama. katanya kemudian dengan menghela napas. "Apapun juga. rahasia ini pada suatu hari pasti akan terbongkar. tapi sekarang aku cuma berharap kejadian-kejadian menakutkan ini selanjutnya takkan terjadi lagi."

Sudah tentu tak pernah terpikir olehnya. betapa besar imbalannya bila dia ingin membongkar rahasia ini, lebih-lebih tak terpikir olehnya bahwa kejadian-kejadian beberapa hari berikutnya akan akan jauh lebih seram dan menakutkan dari sebelumnya.

Upacara pemakaman berlangsung sederhana, tapi khidmat. Pemakaman secara dilarung, yakni dihanyutkan ke laut. Meski murid pemeluk agama Budha mengutamakan pembakaran mayat tapi Ko A-lam dan nona cilik itu tidak berkeras minta guru mereka dibakar, dengan sendirinya orang lain tidak perlu banyak bicara.

Sekarang Coh Liu-hiang mengetahui si nona cilik itu bernama Hoa Cin-cin.

Hoa Cin-cin! Bukan saja namanya indah, anak dara ini juga cantik. Hanya nyalinya saja terlalu kecil serta pemalu.

Sejak dia meninggalkan pelukan Coh Liu-hiang, sama sekali ia tak berani memandangnya lagi barang sekejap. Apabila sorot mata Coh Liu-hiang tertuju kepadanya, seketika mukanya meniadi merah.

Baju Coh Liu-hiang masih tertinggal bekas air mata si nona, tapi dalam hati Coh Liu-hiang terasa rada kesal, ia tidak tahu bilakah akan datang kesempatan untuk memeluk anak dara itu.

Ko A-lam juga tidak memandang pada Oh Thi-hoa, juga tidak bicara.

Goan Sui-hun bertanya padanya, apakah gurunya meninggalkan pesan sebelum mengembuskan napas penghabisan, tapi Ko A-lam menggeleng kepala dengan mimik aneh, ujung jarinya agak gemetar, seperti kuatir dan rada-rada takut.

Mengapa bisa begitu? Apa sebabnya?

Apakah sebelumnya Koh-bwe Taysu telah membeberkan sesuatu rahasia kepadanya, tapi dia tidak mau memberitahukan kepada orang lain atau memang tidak berani buka mulut?

00ooo00

Cuaca gelap dan mendung, agaknya akan hujan angin lagi.

Pendek kata, seharian ini tiada terjadi sesuatu yang menyenangkan, benar-benar membuat orang merasa cemas dan gelisah, hampir membuat orang jadi gila.

Yang paling kesal tentu Oh Thi-hoa, banyak urusan yang hendak ditanyakan pada Coh Liu-hiang, tapi belum ada kesempatan. Setelah malam tiba. habis makan dan kembali ke kabin segera Oh Thi-hoa menutup pintu kamar dan berseru, "Baik. sekarang tentu dapat kau ceritakan."

"Cerita apa?" tanya Coh Liu-hiang.

"Koh-bwe Taysu mati begitu saja. masa kau tidak berkomentar apa-apa?"

"Betul, kukira sedikit banyak kau pasti melihat sesuatu yang mencurigakan?" kata Thio Sam.

Coh Liu-hiang tak menjawab, ia termenung sejenak, ucapnya kemudian, "Jika ada sesuatu yang kutemukan, tentu kalian pun sudah melihatnya."

"Mengapa tidak kau ceritakan, coba?" kata Oh Thi-hoa.

"Pertama, para gadis pencari mutiara itu pasti bukan pelaku utamanya."

"Betul Inipun sudah kuduga, tapi siapa gerangan pelaku utamanya?" tanya Oh Thi-hoa.

"Meski aku tidak tahu siapa dia, tetapi mereka tahu Na-lohujin sama dengan Koh-bwe Taysu."

"Betul," Oh Thi-hoa mengangguk. "Sudah kuduga yang hendak mereka bunuh sesungguhnya ialah Koh-bwe Taysu."

"Tapi Koh-bwe Taysu juga serupa Na-lohujin. berpuluh-puluh tahun tidak berkecimpung di dunia Kangouw, musuhnya di masa lalu juga sudah mati semua."

"Sebab itulah kunci persoalan ini. tepat seperti apa yang dikatakan Goan Sui-hun. yaitu sebab apa orang-orang ini hendak membunuh Koh-bwe Taysu? Apa maksud tujuannya?"

"Maksud tujuan membunuh kebanyakan menyangkut dendam, duit perempuan," kata Coh Liu-hiang. "Tapi beberapa soal ini pasti tiada sangkut pautnya dengan Koh-bwe Taysu."

"Betul," tukas Oh Th i-hoa. " Koh-bwe Taysu tidak punya musuh juga bukan hartawan, lebih-lebih tidak mungkin tersangkut urusan percintaan."

"Sebab itulah kecuali beberapa sebab itu, sisanya cuma tinggal satu kemungkinan." kata Coh Liu-hiang. "Kemungkinan apa?" tanya Oh Thi-hoa. "Yaitu antara membunuh atau dibunuh," tutur C oh Liu-hiang "Sebab biang keladi persoalan ini tahu, bila tak membunuh Koh-bwe Taysu". maka dialah yang akan dibunuh."

Oh Thi-hoa meraba hidung, katanya, "Apa maksudmu pelaku ulama ini yang menjual rahasia Jing-hong-cap-sah-sik itu?" "Betul," jawab Coh Liu-hiang.

"Artinya orang yang berada di Pian-hok-to, begitu bukan?" "Betul." kata Coh Liu-hiang. "Mereka tahu, Na-lohujin ini-pun Koh-bwe Taysu adanya. mereka tahu perjalanan Koh-bwe Taysu adalah untuk membongkar rahasia mereka, maka harus turun tangan lebih dulu dengan cara apapun, betapapun Koh-bwe Taysu tidak boleh menginjak Pan-hok-to dalam keadaan hidup," "Jika begitu, tentu mereka pun sudah tahu siapa kita? Seyogyanya mereka pun akan membinasakan kita sekaligus, tapi mengapa kita tidak diganggu sama sekali?"

"Bisa jadi mereka pun tahu bukan pekerjaan mudah jika hendak membunuh kita, atau mungkin juga...,"

Belum habis ucapan Thio Sam. segera Coh Liu-hiang menyambungnya. "Mungkin mereka mempunyai rencana tertentu, mereka yakin dapat membunuh kita. maka sekarang tak perlu terburu-buru turun tangan."

"Apakah mereka baru akan turun tangan bila kita sudah tiba di Pian-hok-to?" tanya Oh Thi-hoa.

"Hal ini sangat mungkin," kata Coh Liu-hiang. "Sebab di sanalah daerah kekuasaan mereka, segala apapun lebih menguntungkan mereka, sebaliknya kita..... " Ia menghela napas, lalu mnyambung sambil menyengir, "Bagaimana bentuk Pian-hok-to itu sampai detik inipun belum lagi tahu."

Thio Sam tampak termenung, ucapnya kemudian. "Jika kita ingin tahu bagaimana keadaan pulau itu, hanya satu orang yang dapat kita tanyai."

"Siapa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Kau!" jawab Thio Sam.

Oh Thi-hoa melengak dan tertawa geli, katanya, "Apakah kau melihat setan? Mimpi pun belum pernah kulihat pulau kalong segala."

Thio Sam berkedip-kedip, katanya tertawa, "Kau sendiri memang belum pernah berkunjung ke sana, tapi nona Kim kan pernah? Jika sekarang kau tanya padanya, tentu dia akan memberi keterangan padamu."

"Aha betul!" teriak Oh Thi-hoa mendadak sambil melompat bangun dengan tertawa. "Aku memang ada janji, hampir saja kulupa jika kau tidak mengingatkan."

oooo0000oooo

Setelah keluar dari kamar baru Oh Thi-hoa ingat seharian ini Kim Leng-ci tidak kelihatan, entah sengaja menghindari Ko A-lam atau tidur di kamarnya.

Yang dia harapkan adalah semoga Kim Leng-ci tidak melupakan janji pertemuan ini.

Mungkin dia sendiri sangat mementingkan janji pertemuan ini. maka bisa lupa. Tapi kalau Kim Leng-ci juga lupa. tentu dia akan sangat sedih.

Antara lelaki dan perempuan bila mulai mengadakan janji berkencan, maka hatinya akan berdebar-debar, di samping gembira juga cemas, kedua pihak kuatir kalau pihak lain tidak menepati janji maka ia sendiri malah tidak mau hadir lebih dahulu.

Begitu pula perasaan Oh Thi-hoa pada saat itu hampir saja putar balik. saat itu ia telah mendaki tangga. Mendadak terdengar suara jeritan.

Suara perempuan, apakah suara Kim Leng-ci?

Suara jeritan itu penuh mengandung rasa kaget dan takut, menyusul lantas terdengar suara "plung" yang keras, seperti benda berat yang tercebur ke laut.

Jantung Oh Thi-hoa hampir saja berhenti berdetak, Apakah mungkin kapal inipun serupa kapal Hay Koa-thian? Di kapal ini pun bersembunyi si pengganas?

Apakah Kim Leng-ci juga serupa Hiang Thian-hui, telah dibunuh orang lebih dahulu, lalu diceburkan ke laut?

Dengan gerak cepat Oh Thi-hoa menerjang ke atas, ke geladak kapal. Ia menghela napas lega setiba di atas. Sebab dilihatnya Kim Leng-ci berdiri di sana, berdiri di tempat yang sama seperti kemarin, berdiri menghadap ke laut.

Rambutnya yang panjang tampak bergoyang-goyang tertiup angin, tampaknya begitu lembut dan luwes. Di sekitar situ tiada nampak orang lain, juga tiada suara orang.

Tapi mengapa tadi dia menjerit? Apakah dia melihat sesuatu yang sangat menakutkan?

Perlahan-lahan Oh Thi-hoa mendekati, setiba di belakangnya barulah ia menyapa dengan tersenyum. "Apakah kudatang terlambat?"

Namun si nona tidak menoleh, juga tidak menjawab. "Tadi seperti terdengar ada sesuatu benda jatuh ke laut, barang apakah?" tanya Oh Thi-hoa pula.

Kim Leng-ci hanya menggeleng tanpa menjawab. Rambutnya bergerak-gerak membawa bau harum.

Tanpa terasa Oh Thi-hoa membelai rambut si nona, katanya dengan suara lembut "Kau bilang ingin bicara denganku, mengapa tidak kau katakan sekarang?"

Si nona lantas menunduk, tubuhnya rada gemetar. Malam di lautan lepas seakan-akan jauh lebih hangat, lebih mudah menggetar sukma.

Oh Thi-hoa merasa si nona sedemikian lembut, menyenangkan, dirinya wajib melindunginya, menyukainya. Tanpa terasa merangkul pinggangnya dan berbisik perlahan, "Di depanku, apapun boleh kau katakan, sesungguhnya aku dan nona Ko tiada hubungan apa-apa. hanya......."

Sekonyong-konyong 'Kim Leng-ci' mendorongnya, terus membalik tubuh sambil menatapnya dengan tajam. Muka si nona kelihatan pucat pasi, bibirnya juga pucat.

"Hanya...... hanya apa?" dengan suara gemetar si nona bertanya.

Seketika Oh Thi-hoa jadi melenggong. melenggong seperti patung. Nona yang berdiri di depannya ini ternyata bukan Kim Leng-ci melainkan Ko A-lam adanya.

Sungguh runyam! Rupanya karena pikiran kacau, yang dipikir Oh Thi-hoa hanya Kim Leng-ci dan janji penemuan mereka, ia lupa antara Ko A-lam dan Kim Leng-ci punya perawakan sama, rambut juga sama panjangnya. Maka siapa pun yang berdiri di situ hakikatnya tak diperhatikan olehnya.

Tanpa berkedip Ko A-lam melototi Oh Thi-hoa, lalu ia menegas pula, "Hanya apa maksudmu?"

Oh Thi-hoa gelagapan dan kikuk, akhirnya menjawab pula, "Hanya teman saja..., bukankah kita memang teman?"

Mendadak Ko A-lam membalik tubuh ke sana. menghadap ke laut. Dia tidak bicara lagi, tapi tubuhnya gemetar, entah karena rasa takut atau berduka.

"Sejak.... sejak tadi kau berada di sini?" tanya Oh Thi-hoa.

"Ehm," jawab Ko A-lam.

"Di sini tiada terjadi sesuatu?"

"Tidak."

Oh Ihi-hoa jadi ragu-ragu, ucapnya, "Juga tiada kedatangan orang lain?"

Ko A-lam terdiam sejenak, mendadak ia mengejek "Jika kau berjanji dengan seorang untuk bertemu di sini. maka boleh kukatakan padamu bahwa sama sekali dia tidak muncul."

Oh Thi-hoa ragu-ragu hingga lama, akhirnya tak tahan dan berkata, "Tapi tadi ku.... kudengar seperti ada suara sesuatu."

"Suara apa?" tanya Ko A-lam.

"Suara benda jatuh ke laut? Juga ada suara jeritan orang,"jawab Oh Thi-hoa.

"Hm, barangkali kau mimpi," jengek Ko A-lam.

Oh Thi-hoa tidak berani bertanya lagi. tetapi ia percaya telinga sendiri pasti tidak keliru dengar.

Sungguh ia ingin bertanya suara jeritan siapakah tadi? Suara "plung" tadi sebenarnya suara apa?

Ia pun percaya Kim Leng-ci pasti tidak ingkar janji, sebab janji bertemu datang dan si nona sendiri, jika begitu, mengapa dia tidak hadir? Kemanakah dia pergi?

Sekonyong-konyong timbul bayangan adegan yang menakutkan di depan mata Oh Thi-hoa, ia seperti melihat dua anak perempuan yang berambut panjang sedang bertengkar, seorang di antaranya telah didorong masuk ke laut.

Seketika tangan Oh Thi-hoa berkeringat dingin, mendadak ia tarik tangan Ko A-lam dan dibawa lari kembali ke kabin.

Ko A-lam terkejut dan gusar, katanya, "He, apa-apaan?"

Oh Thi-hoa tidak menjawab, ia menyeretnya ke depan pintu kabin Kim Leng-ci. lalu menggedor pintu sekeras-kerasnya.

Tidak terdengar suara jawaban dan dalam, jelas Kim Leng-ci tidak berada di kamarnya.

Mata Oh Thi-hoa menjadi merah, ia seperti melihat mayat nona itu mengambang di permukaan laut. Darah terasa bergolak di rongga dadanya, tanpa pikir lagi ia mendobrak pintu sekuatnya sehingga daun pintu terpentang.

Tapi ia jadi melengak sendiri.

Seorang tampak duduk di tempat tidur dan sedang menyisir rambut dengan santai, siapa lagi kalau bukan Kim Leng-ci?

Wajah si nona tampak pucat dan melotot! Oh Thi-hoa dengan dingin.

Ko A-lam juga mendelik padanya dengan dongkol. Oh Thi-hoa serba runyam, kalau bisa ingin bunuh diri saja. Terpaksa ia menyengir dan menegur dengan ragu-ragu, "Meng..... mengapa kau tidak membuka pintu?" "Untuk apa tengah malam menggedor pintu kamar orang?" jengek Kim Leng-ci.

Seketika Oh Thi-hoa seperti kena ditampar satu kali, mukanya terasa panas, hati juga panas. Ia termangu-mangu sejenak akhirnya bertanya, "Jadi kau memang., memang tidak hadir?"

"Hadir kemana?" tanya Kim Leng-ci.

Mau tak mau Oh Thi-hoa menjadi gemas juga. "Kau sendiri yang berjanji padaku, mengapa berlagak tidak tahu?"

Kim Leng-ci tak memperlihatkan sesuatu perasaan, jawabnya hambar, "Aku berjanji? Ah. barangkah aku lupa."

Mendadak ia bangkit, "blang", daun pintu terus digabrukkan dengan keras.

Karena palang pintu patah lantaran didobrak Oh Thi-hoa tadi. ia lantas menyeret meja untuk menahan daun pintunya.

Mendengar suara meja diseret itu. Oh Thi-hoa merasa dirinya seperti seekor anjing, anjing piaraan yang goblok, untung tiada orang lain yang menyaksikan, kalau tidak, mungkin dia bisa membenturkan kepalanya ke dinding untuk bunuh diri.

Ia menunduk malu, baru disadarinya tangan Ko A-lam masih digandengnya. Si nona ternyata tidak melepaskan tangannya.

Hati Oh Thi-hoa jadi sedih dan berterima kasih pula, katanya sambil menunduk, "Aku salah.... aku salah menuduhmu."

"Ini kan sifatmu, sudah lama kutahu," ujar Ko A-lam. suaranya lirih lembut dan sedang menatapnya lekat-lekat,
lalu berkata dengan suara halus. "Sebenarnya kau pun tidak perlu sedih, ucapan anak perempuan memang tidak boleh dianggap sungguh-sungguh Bisa jadi ia pun tidak sengaja hendak membohongimu, mungkin ia cuma merasa lucu saja mempermainkanmu."

Sudah tentu maksud Ko A-lam ingin menghibur agar perasaan Oh Thi-hoa tidak terlalu kikuk Tapi bagi pendengaran Oh Thi-hoa. kata-kata Ko A-lam itu lebih menusuk daripada mencaci maki padanya.

Ko A-lam juga menunduk, katanya, "Jika.... jika kau merasa kesal kuiringi kau minum barang dua-tiga cawan."

Dalam keadaan demikian Oh Thi-hoa memang memerlukan minum dua cawan arak. Baru sekarang ia percaya 'teman lama' tetap lebih baik.

Diam-diam ia memaki kebrengsekan dirinya sendiri, punya teman sebaik ini, tapi malah mencari cewek lain, malahan hendak melukai hatinya.

Mata Oh Thi-hoa jadi rada merah, hidung juga rada basah.

Suara jeritan siapakah tadi? Mengapa menjerit? Dan suara "plung" itu suara apakah sebenarnya?

Mengapa Kim Leng-ci tidak datang memenuhi janjinya? Urusan apa yang telah mengubah pendiriannya?

Pertanyaan-pertanyaan itu kini sudah dilupakan seluruhnya oleh Oh Thi-hoa. Kini, asalkan didampingi teman lama seperti Ko A-lam, untuk apa pula dia memikirkan urusan lain?

Oh Thi-hoa kucek-kucek hidung dan berkata, "Aku akan berusaha mencari arak, dimana akan kau tunggu?"

Ko A-lam tertawa, jawabnya, "Kau masih tetap sama seperti tujuh delapan tahun yang lalu, tidak berubah sedikitpun."

"Kau pun tidak berubah," kata Oh Thi-hoa sambil menatapnya lekat-lekat.

Kepala Ko A-lam tertunduk semakin rendah, ia menghela napas perlahan lalu berkata pula, "Aku........ aku sudah tua."

Pipinya bersemu merah, di bawah cahaya remang-remang, tampaknya lebih muda daripada tujuh-delapan tahun yang lalu.

Seorang yang kesepian bilamana bertemu kembali dengan kekasih lama, mana bisa mengekang perasaannya. Ko A-lam pun demikian, mustahil Oh Thi-hoa tidak demikian?

Oh Thi-hoa sudah melupakan peristiwa tadi, segera ia pegang tangan si nona dan berkata, "Marilah kita...."

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar suara "blang" yang keras disertai guncangan yang dahsyat.

Seluruh kapal seakan-akan terlempar oleh suara benturan itu. lampu tembaga yang menempel di dinding ikut bergoyang-goyang dan hampir padam.

Ko A-lam menjerit perlahan dan menjatuhkan diri ke pelukan Oh Thi-hoa. Oh Thi-hoa sendiri pun tidak dapat berdiri tegak. Ia terhuyung-huyung menumbuk tubuh seseorang.

Rupanya Thio Sam adanya, entah sejak kapan ia sudah keluar, bahkan muncul sedemkian cepat. Jangan-jangan sejak tadi dia sudah berdiri dan mencuri dengar di situ?

Di tengah seribu kerepotannya, Oh Thi-hoa tidak melototi Thio Sam, desisnya, "Keparat, nampaknya watakmu yang suka main sembunyi-sembunyi ini sukar berubah, hati-hati jika matamu timbul bisul besar."

Thio Sam menyengir, katanya, "Aku tidak melihat apa-apa dan juga tidak mendengar apapun." Belum lenyap suaranya ia angkat langkah seribu.

* * * * * *

Alam gelap gulita, cahaya bulan maupun sinar bintang tertutup rapat awan tebal, sinar lampu sudah padam tertiup topan.

Badan kapal mulai miring, gelombang badai bergulung-gulung mendampar ke atas geladak. Kecuali topan dan ombak yang gemuruh, apa pun tidak kelihatan dan tidak terdengar. Tiada seorang pun yang tahu apa yang telah terjadi.

Semua orang berkumpul di atas geladak, semua bermuka pucat ketakutan. Perubahan alam ini tidak mungkin dilawan oleh siapa pun. Setiap orang sama memegangi sesuatu, kuatir digulung ombak besar dan tertelan.

Hanya beberapa orang saja yang masih berdiri tegak di sana. baju mereka pun sudah basah kuyup oleh air ombak, tapi sikap mereka masih tetap tenang.

Lebih-lebih Goan Sui-hun, tampaknya jauh lebih tenang daripada Coh Liu-hiang, ia berdiri tegak di sana dan mendengarkan dengan cermat. Tiada yang tahu apa yang dapat didengar olehnya.

Tiba-tiba ombak besar mendampar. seorang kelasi terlempar kemari. untung Goan Sui-hun sempat menangkap tubuhnya. Tanyanya dengan prihatin, "Apa yang terjadi?"

Dengan suara serak kelasi itu menjawab, "Kapal menumbuk karang. badan kapal pecah dan kemasukan air."

Goan Sui-hun berkerut kening, katanya, "Dimana juru mudi yang memimpin pelayaran ini?"

"Tidak kelihatan, sudah kucari tidak ketemu. mungkin terhanyut ombak," tutur kelasi itu.

Sejak tadi Coh Liu-hiang berdiri di samping Goan Sui-hun, kini mendadak ia berkata. "Kapal ini masih dapat bertahan berapa lama?"

"Sukar diramalkan," jawab si kelasi. "Tapi takkan lebih lama dari setengah jam."

Setelah berpikir. Coh Liu-hiang berkata pula. "Akan kulihat ke depan sana."

Begitu berkelebat, segera tubuhnya seperti menghilang ditelan badai dan ombak yang mengamuk itu.

Batu karang bertebaran di permukaan laut. dipandang dalam kegelapan malam yang pekat ini tampaknya seperti taring raksasa binatang purba. Badan kapal seakan-akan tergigit oleh taring raksasa itu.

Mendadak Coh Liu-hiang melihat bayangan orang berkelebat di batu karang sana. Di malam gelap begini, di tengah damparan ombak dan angin hadai. tentu sukar baginya untuk membedakan wajah dan bentuk tubuh orang itu. la cuma merasa Ginkang orang iru maha tinggi, bahkan seperti sudah dikenalnya.

Siapakah gerangan dia? Mengapa meninggalkan kapal di tengah gelombang ombak sedahsyat ini? Akan kemanakah dia?

Padahal di kejauhan cuma kegelapan belaka, apapun tak terlihat. Dipandang ke sana melalui batu karang yang menyerupai deretan gigi raksasa binatang purba, tampaknya seperti berada di perbatasan neraka. Apakah orang ini sengaja masuk neraka dengan sukarela?

Tiba-tiba terdengar seorang menegur, "Apakah Coh hiang-swe melihat sesuatu?"

Kiranya Goan Sui-hun sudah menyusul tiba, bahkan mengetahui Coh Liu-hiang berada di situ. Meski matanya buta. tapi perasaannya seperti mempunyai sebuah mata.

Setelah termenung sejenak, Coh Liu-hiang menjawab, "Di batu karang sana seperti ada seseorang...."

"Orang? Dimana?" tanya Goan Sui-hun.

"Sudah lari ke sana," tutur Coh Liu-hiang sambil memandang ke tempat gelap di kejauhan sana.

"Tempat apakah di sana?" tanya Goan Sui-hun pula.

"Entah, tidak kelihatan," jawab Coh Liu-hiang.

"Jika ada orang menuju ke sana, kukira di sana pasti ada pulau." kata Goan Sui-hun setelah berpikir sejenak.

"Sekalipun ada, tentu juga pulau karang tanpa penghuni."

"Berdasarkan apa Coh-hiangswe menarik kesimpulan demikian?" tanya Goan Sui-hun.

"Kalau ada orang di sana, tentu ada cahaya lampu?"

"Apakah Hiangswe tidak melihat sinar lampu?"

"Tidak ada, apapun tidak kelihatan!"

Goan Sui-hun terdiam agak lama, lalu katanya, "Apapun juga, di sana kan lebih aman daripada di sini, kalau tidak, mengapa dia kabur ke sana?"

Coh Liu-hiang mengangguk. katanya, "Betul juga. Tapi dia tahu tempat apa di sana, sedangkan kita tidak tahu."

"Sebab itulah kita pun harus coba ke sana daripada bercokol di sini. yang jelas sebentar lagi akan mati konyol," kata Goan Sui-hun.

Sementara itu Oh Thi-hoa dan Thio Sam juga sudah menyusul. segera ia menyela. "Baik, aku akan pergi dulu ke sana."

"Jika dalam keadaan biasa. tentu Cayhe tidak berani berebut dengan kalian, tapi dalam keadaan begini. apa yang dapat dilihat orang buta mungkin malah takkan terlihat oleh orang yang tidak buta," habis berkata, sekonyong-konyong pemuda tuna netra itu terus melayang ke sana, kedua lengan bajunya mengebut hingga menjangkitkan deru angin. Ketika suara angin lenyap. jejaknya juga sudah menghilang dalam kegelapan.

Semua orang melenggong, sampai lama sekali baru Thio Sam menghela napas dan bergumam, "Pendiam seperti anak perempuan, lincah seperti kelinci lepas. Melukiskan dia dengan kedua kalimat ini sungguh sangat cocok sekali. Biasanya kalian cuma melihat dia ramah tamah dan sangat pendiam. siapa yang menduga dia memiliki Kungfu setinggi itu?"

Oh Thi-hoa juga menghela napas gegetun. katanya, "Jika Thian mengizinkan aku memilih seorang sahabat, maka aku pasti memilih dia daripada memilih si kutu busuk."

"He, tempaknya kau seperti perempuan bayaran yang lebih suka yang baru dan emoh pada yang lama," jengek Thio Sam.

Mendadak Coh Liu-hiang menyela, "Jika aku, mungkin aku pun akan memilih dia."

"Sebab apa?" tanya Thio Sam sambil berkerut kening.

"Sebab aku lebih suka bermusuhan dengan siapa pun juga daripada dengannva." kata Coh Liu-hiang.

"Apakah kau anggap dia jauh lebih menakutkan dari musuh paling tangguh yang pernah kau kalahkan?" tanya Thio Sam.

Dengan sungguh-sungguh Coh Liu-hiang menjawab, "Terus terang. memang dia jauh lebih menakutkan dari siapa pun."

"Untung dia bukan musuh kita, tapi kawan kita," ujar Oh Thi-hoa sambil menghela napas lega.

"Aku juga cuma berharap dia juga akan menganggap kita sebagai kawannya," tukas Thio Sam.

Tiba-tiba Oh Thi-hoa bertanya, "Apakah tadi kau melihat orang di batu karang sana?"

"Ehm," Coh Liu-hiang mengangguk.

"Mengapa tidak segera kau kejar dia?"

"Ginkang orang itu jelas tidak di bawahku, waktu aku hendak mengejar, tahu-tahu dia sudah menghilang."

Oh Thi-hoa berkerut kening, katanya, "Orang yang memiliki ginkang setaraf kau di dunia ini kuyakin dapat dihitung dengan jari, lantas siapakah orang itu?"

"Meski wajah dan bangun tubuhnya tidak jelas kulihat, tapi rasanya aku pernah melihatnya, seperti orang yang sudah kita kenal," tutur Coh Liu-hiang.

"Katamu perawakannya tidak jelas kau lihat, cara bagaimana diketahui dia itu kenalan kita?" tanya Oh Thi-hoa.

"Sebab gaya Ginkangnya amat istimewa. pula dia...." Coh Liu-hiang tidak melanjutkan, mendadak matanya mencorong terang, seperti teringat sesuatu.

"Dia.... dia apa?" tanya Oh Thi-hoa

"Dia punya kaki.... Ya. tidak salah lagi kakinya itu," gumam Con Liu-hiang.

"Kakinya kenapa?" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Kakinya jauh lebih panjang daripada orang lain."

"Hah, yang kau maksudkan apakah... Kau Cu-tiang?" seru Oh Thi-hoa dengan terbeliak.

Tapi Coh Liu-hiang tidak menjawab. Dia tidak suka memastikan sesuatu hal yang belum jelas sepenuhnya.

Ia tahu bilamana seseorang terlalu cepat menarik kesimpulan. maka sukar menghindari kesalahan. Padahal kesalahan betapapun kecilnya, sering mendatangkan bencana besar.

Sementara itu Eng Ban-li juga sudah berkumpul di sini, serunya terkejut, "Wah, jika demikian, jangan-jangan Kau Cu-tiang memang berada di kapal ini, jangan-jangan Goan Sui-hun melindunginya selama ini"

"Betul." sambung Thio Sam. "Kabin yang kosong ada empat, rombongan Koh-bwe Taysu menempati tiga kamar. masih sebuah lagi pasti tempat tinggalnya.... Memang sudah kuduga sejak mula pasti ada sesuatu yang tidak beres pada kabin itu."

'Tapi penyakitmu justru setiap kali terlalu cepat menarik kesimpulan," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Namun sudah jelas aku....."

"Bisa jadi dia tidak turun dari kapal ini, tapi justru datang dari pulau sana," sela Coh Liu-hiang.

"Betul bisa jadi dia sudah berada di pulau sana, ketika mendengar suara kapal menumbuk karang. dengan sendirinya Ia memeriksa ke sini," tukas Oh Thi-hoa.

"Apalagi aku pun tidak tahu jelas sesungguhnya siapai dia. di dunia ini kan banyak orang yang berkaki panjang dan tidak cuma Kau Cu-tiang."

"Pula. seumpama betul dia Kau Cu-tiang. anggap betul dia berada di kapal ini, lalu bagaimana? Kan juga tak dapat membuktikan bahwa Goan Sui hun berkomplot dengannya." ujar Oh Thi-hoa.

"Apa betul tidak mungkin?" tanya Thio Sam.

"Sudah tentu tidak." jawab Oh Thi-hoa dengan mendelik,

"Coba jawab, jika kau menjadi Goan Sui-hun. ketika melihat orang terapung di lautan. apakah kau tak menanyai asal-usulnya,
habis itu baru menolongnya?"

"Tidak." jawab Thio Sam tanpa pikir. "Menolong orang seperti juga memadamkan kebakaran. sedetik pun tidak boleh
tertunda."

"Itu dia, memang betul begitu," seru Oh Thi-hoa. "Makanya, sampai detik ini mungkin sekali Goan Sui-hun belum lagi tahu siapa dia."

"Tapi. tapi paling tidak kan harus diceritakannya kepada kita..."

"Cerita apa?" kata Oh Thi-hoa "Darimana dia tahu Kau Cu-tiang ada persoalan dengan kita? Jika Kau Cu-tiang tidak suka bergaul. apakah dia dapat memaksanya keluar kamar. Orang baik seperti dia kan tidak mungkin memaksakan sesuatu kepada
orang lain?"

Thio Sam menghela napas gegetun ucapnya, "Wah. jika demikian, kita mengukur orang lain dengan baju kita sendiri."

"Tepat," seru Oh Thi-hoa. "Kalau ada sesuatu yang terpuji pada dirimu, maka hal itu adalah kau ini cukup tahu diri."

Ketika angin menderu pula. Tahu-tahu Goan Sui-hun sudah muncul kembali di depan mereka.

Sekujur badan pemuda tuna netra itu basah kuyup. tapi sikapnya seakan tak pernah meninggalkan tempatnya.

Segera Oh Thi-hoa mendahului, bertanya, "Apakah Goan-kongcu menemukan sesuatu di sana?"

"Ya, daratan," jawab Goan Sui-hun.

"Hah, di sana ada daratan?" seru Oh Thi-hoa girang.

"Bukan saja ada daratan, juga ada orang," demikian Goan Sui-hun menambahkan.

"Orang? Ada berapa orang?" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Seperti sangat banyak."

Oh Thi-hoa tambah heran. tanyanya pula, "Orang-orang macam apa?"

"Aku cuma mendengar suara langkah orang banyak, lalu buru-buru kembali ke sini."

"Mengapa Goan-kongcu tak bertanya kepada mereka tempat apakah di sana?" Eng Ban-li ikut bicara.

"Sebab mereka memang hendak mencari kita, mungkin sudah hampir tiba sekarang..."

Belum habis ucapan Goan Sui-hun. di batu karang sudah muncul satu barisan bayangan orang. Jumlahnya ada tujuh atau delapan orang, susul-menyusul mereka berjalan di pulau karang yang tandus dan terjal itu dalam kegelapan. namun cara berjalan mereka sangat cepat dan ringan seperti di tanah datar saja.

Oh Thi-hoa menaruh perhatian penuh mengamati barisan orang itu. apakah ada orang yang berkaki panjang.

Ternyata tidak ada, Perawakan orang-orang itu rata-rata kecil serupa kaum wanita. Kini barisan orang itu sudah dekat tapi tetap belum terlihat jelas wajah mereka.

Orang yang berjalan paling depan sangat gesit, kira-kira empat-lima tombak jauhnya, dia lantas berhenti pada puncak sepotong batu karang yang menonjol.

Angin kencang disertai ombak mendampar, orang itu tampak bergoyang-goyang seperti setiap saat bisa ditelan ombak. Tapi, setelah ombak besar mendampar beberapa kali, orang itu masih tetap berdiri tegak di tempatnya.

Sekali pandang Coh Liu-hiang lantas tahu Ginkang orang ini juga sangat tinggi. bahkan pasti seorang perempuan.

Terdengar orang itu berseru. "Apakah di situ kapal penumpang Goan-kongcu dari Tionggoan?" suaranya yang nyaring merdu jelas suara perempuan.

Segera Goan Sui-hun menjawab. "Betul. Cayhe memang Goan Sui-hun adanya. entah anda....''

Tidak sampai Goan Sui-hun habiskan ucapannya, orang itu lantas memberi hormat dan berkata. "Akhirnya Goan-kongcu tiba juga di sini dari tempat sekian jauhnya. hamba sekalian terlambat menyambut mohon dimaafkan."

"Apakah di sini Pian-hok-to?" tanya Goan Sui-hun. "Betul!" jawab orang itu.

Mendengar itu. semua orang menghela napas panjang, entah merasa lega. girang atau cemas.

Meski sudah sampai di tempat tujuan. tapi sesungguhnya apa yang akan terjadi di sini? Berapa orang yang dapat pulang dengan hidup?

* * * * *

Di kejauhan sana masih tetap gelap gulita dan misterius.

Pian-hok-to masih tetap terselubung kegelapan dan penuh rahasia. Siapa pun tidak tahu di sana itu surga atau neraka? Sedikitnya dalam bayangan pikiran setiap orang. surga tentu tidak berbentuk demikian.

Orang yang berdiri di puncak karang itu mendadak melayang ke atas, sekali kakinya menutul haluan kapal, segera ia mengapung ke puncak tiang layar.

Baru sekarang semua orang dapat melihat jelas orang itu memakai baju hitam mulus muka juga tertutup oleh kain hitam Tangannya memegang seutas tali panjang. ujung tali itu lantas diikat pada pucuk tiang layar.

Tali itu kelihatan melintang di udara menjurus ke tempat gelap sana, entuh ujung tali yang lain terikat dimana? Dengan tertawa si baju hitam lantas berkata, "Ombak sangat besar, batu karang juga sangat curam, silakan kalian melalui jembatan."

"Jembatan? Jembatan apa?" tanya Goan Sui-hun dengan kening berkerut.

"Jembatan tali ini," jawab si baju hitam. "Setelah berada di atas jembatan, asalkan tidak terperosok ke bawah, dapatlah langsung mencapai surga di tengah pulau kami. Tocu sedang menunggu kedatangan tuan-tuan sekalian." Dia tertawa nyaring lalu menyambung pula, "Dan setiba di sana. tentu tuan-tuan akan merasakan perjalanan ini tidaklah sia-sia."

"Tapi kalau terjatuh ke bawah jembatan. lantas bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa.

"Bagi orang yang tidak yakin dapat melintasi jembatan ini, lebib baik tinggal saja di sini," jawab si baju hitam dengan hambar. "Meski jembatan ini dapat mengantar orang ke surga. tapi bila sampai terjatuh, mungkin akan terjerumus ke neraka dan tak dapat menitis lagi."

"Orang yang dapat melintasi jembatan ini mungkin sangat terbatas. apakah anda menyuruh aku hanya memikirkan kepentingan sendiri dan tidak menghiraukan keselamatan orang lain?" ujar Goan Sui-hun.

Si baju hitam tertawa, jawabnya. "Sudah tentu masih tersedia satu jalan lain. orang yang tidak mampu melintasi jembatan ini dipersilakan menempuh jalan satunya lagi."

"Jalan lain macam apakah itu?" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Bila hari sudah terang, tentu tuan-tuan akan tahu sendiri bagaimana jalan itu," kata si baju hitam.

*******

Hari belum lagi terang tanah.

Orang pertama yang naik ke atas jembatan dengan sendirinya ialah Goan Sui-hun. Sebelum melangkah pergi agaknya ia hendak bicara apa-apa kepada Coh Liu- hiang, tapi akhirnya diurungkan niatnya. Dia seperti yakin Coh Liu-hiang dapat memahami isi hatinya.

Ko A-lam melintasi jembatan itu, Ginkang murid Hoa-san-pay dengan sendirinya tidak lemah. Sejak tadi ia berdiri di samping Oh Thi-hoa. sebelum berangkat, dia sempat bertanya pada Oh Thi-hoa. jalan mana yang akan ditempuhnya.

Belum lagi Oh Thi-hoa bersuara. Coh Liu-hiang telah mewakilkan menjawab. "Kami akan mengambil jalan yang lain."

Ko A-lam tak bicara apa-apa lagi. sebab dia paham maksud ucapan Coh Liu-hiang itu.

Setelah Ko A-lam, giliran berikutnya adalah Hoa Cin-cin, mendadak dia menoleh dan memandang Coh Liu-hiang. seperti ada yang hendak dikatakan. tapi tidak berani diucapkannya. Coh Liu-hiang tertawa. katanya tersenyum, "Jangan kuatir, aku pasti akan pergi juga ke sana. kupikir jalan yang lain akan jauh lebih aman dari perjalanan ini."

Muka Hoa Cin-cin menjadi merah.

Diam-diam Oh Thi-hoa menghela napas gegetun. Ada sementara persoalan tau dapat dipahaminya.

Mengapa anak perempuan yang ditemukan Coh Liu-hiang selalu begitu mulus, murni dan lembut?

Sebaliknya anak perempuan yang dikenalnya kalau tidak angin-anginan dan judes, tentu galak seperti macan betina.

ooo000oooo

Jembatan tali itu bergoyang-goyang di tengah tiupan angin kencang.

Dengan sendirinya orang yang berjalan di atas jembatan tali itupun bergoyang-goyang dan setiap saat dapat terjerumus ke bawah, terjerumus ke neraka dan tak mungkin menitis lagi.

Tampaknya mereka masih terus melangkah ke depan setindak demi setindak, dengan perlahan mereka melangkah ke tempat gelap. Setiap orang sama menahan napas dan berkeringat dingin. Seumpama akhirnya mereka dapat melintasi jembatan itu. lalu akan tiba dimanakah mereka?

Yang sedang menanti kedatangan mereka di ujung jembatan tali sama bisa jadi iblis yang diutus datang dari neraka.

Tiba-tiba Oh Thi-hoa berkata pada Coh Liu-hiang. "Seharusnya kita ikut pergi bersama mereka, mengapa kau tak mau?"

"Kita kan tidak memiliki kartu undangan. juga bukan tamu yang disukai, bila kita pergi bersama mereka, kukira cuma akan menambah susah dan takkan menguntungkan siapa-siapa."

"Tapi cepat atau lambat kita kan harus ke sana juga, dari mana kau tahu jalan satunya lagi itu lebih aman daripada melintasi tali ini?"

"Dengan melalui jalan satunya. sedikitnya takkan menarik perhatian orang."

"Betul," sela Thio Sam. "Kita dapat masuk ke sana dengan menyamar sebagai kelasi, lalu bertindak menurut keadaan."

Tiba-tiba ia melihat Kim Leng-ci berdiri di samping segera ia bertanya, "Dan kau. nona Kim, mengapa engkau tidak ikut pergi bersama mereka?"

"Aku tidak suka," jawab Kim Leng-ci dengan ketus.

Coh Liu-hiang berpikir sejenak, katanya kemudian. "Maksud nona Kim seharusnya dapat dipahami kita."

"Sudah tentu kupaham mengapa dia tidak ikut pergi, sebab dia ingm mendampingi aku," demikian hampir ucapan ini terlontar dari mulut Oh Thi-hoa.

Untung Coh Liu-hiang lantas menyambung pula ucapannya tadi, "Jika Kau Cu-tiang sudah muncul, tentu Ting Hong juga berada di sana Padahal dia sudah sirik terhadap nona Kim, bila sekarang nona Kim ikut ke sana, bukan mustahil akan mengalami bahaya."

Oh Thi-hoa meraba hidungnya, tiba-tiba ia merasa orang lain jauh lebih cerdik daripada dia dan jauh lebih realistis.

Didengarnya Coh Liu-hiang berkata. "Ada suatu hal ingin kuminta petunjuk kepada nona Kim."

"Kalian kan serba tahu, untuk apa minta petunjukku?" jengek Kim Leng-ci.

"Kami tidak tahu sesungguhnya Pian-hok-to ini pulau yang bagaimana keadaannya," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Betul" sambung Thio Sam. "Yang paling aneh ialah di pulau itu ternyata banyak penghuni. tapi mengapa tiada setitik sinar lampu apapun, apakah orang-orang yang tinggal di pulau itu dapat melihat dalam keadaan gelap?"

Tiba-tiba sorot mata Kim Leng-ci menampilkan perasaan takut. tanpa omong apa-apa, terus berputar pergi. Asalkan "Pian-hok-to" disebut, mulut nona itu lantas terkancing rapat seperti terjahit sama sekali tidak mau memberi keterangan.

"Tadinya kukira orang yang mempunyai penyakit sinting adalah Thio Sam. baru sekarang kutahu yang sakit adalah nona itu," ujar Oh Thi-hoa dengan mendongkol.

Coh Liu-hiang termenung sejenak, lalu katanya, "Jika nona Kim tidak mau bicara tentang Pulau Kalong ini, tentu dia punya kesulitan sendiri."

"Kesulitan apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Bisa jadi...... bisa jadi Ia pernah diperingatkan orang dan dilarang mengeluarkan rahasia pulau ini," kata Coh Liu-hiang.

Oh Thi-hoa sengaja mengeraskan suaranya dan berlagak seperti orang mengancam. "Jika kau berani membocorkan rahasia pulau ini kedua matamu akan kucungkil dan lidahmu akan kupotong..... begitu bukan ancamannya?"

"Bisa jadi lebih seram daripada itu," ujar Coh Liu-hiang. "Kau kira dia takut?" tanya Oh Thi-hoa. "Jika ancaman itu datangnya darimu, tentu saja dia tidak takut. Tapi ada sementara orang yang berani berbuat, apa yang telah diucapkan akan dilakukannya," ujar Coh Liu-hiang.

"Seumpama ia benar-benar takut, sekarang kan tiada orang Pian-hok-to di sini, siapa tahu dia membocorkan seluk-beluk pulau ini atau tidak?"

"Apa kau yakin di atas kapal ini pasti tiada terdapat orang Pian-hok-to?"

Oh Thi-hoa jadi bungkam dan tidak dapat menjawab, selang agak lama barulah ia menghela napas, katanya sambil menyengir, "Sekarang aku hanya mengharapkan sesuatu."
"Sesuatu apa?" tanya Thio Sam.

"Kuharap bilamana kita sudah berada di pulau itu, jangan sampai orang membual kita berubah menjadi kalong." sekuatnya ia kucek-kucek hidung. lalu bergumam. "Sekalipun aku berubah menjadi seekor anjing juga kutahan, kalau berubah menjadi kalong, menjadi kelelawar, wah......"

00ooo00

Akhirnya ufuk timur mulai terang. bentuk sebuah pulau juga mulai nampak jelas di depan sana.

Dengan kecepatan maksimal Oh Thi-hoa berganti pakaian sebagai kelasi, lalu berdiri di haluan kapal dan menunggu.

Sesungguhnya bagaimana bentuk Pulau Kalong ini? Apakah terdapat beratus-ratus atau beribu-ribu ekor kalong yang terbang melayang di udara pulau itu?

Karena ingin tahu itulah, maka dia menunggu dan menunggu lagj.

Dan akhirnya dapatlah ia melihat apa yang diharapkannya. Cuma dia menjadi kecewa dan tercengang,

Di atas pulau tiada terdapat seekor kalong pun, bukan saja kalong. bahkan tiada sesuatu apapun.

Pulau Kalong ini tidak lebih hanya sebuah bukit karang tandus, tiada bunga, pohon, rumput, binatang dan tiada kehidupan. Orang-orang yang kelihatan semalam juga entah menghilang kemana.

Oh Thi-hoa berkaok-kaok penasaran, "Busyet! Jadi inilah Pulau Kalong. Inikah gua emasnya? Hah. tampaknya kita telah dibohongi bulat-bulat."

Coh Liu-hiang juga sangat prihatin. ia tidak memberi komentar apa-apa.

"Hah, malah diberitahukan di sini ada pemandangan indah. ada arak yang tak habis terminum. scmua itu ternyata cuma kentut maknya busuk. persetan semua hakikatnya tiada bayangan ^setan pun di sini," demikian Oh Thi-hoa uring-uringan sendiri.

"Lain-lain memang tidak ada. tapi setan kan jelas ada?" ujar Thio Sam.

"Mana ada setan? Kau melihatnya?" tanya Oh Thi-hoa.

"Beberapa orang yang datang semalam, apa kalau bukan setan? Orang-orang yang ikut pergi bersama mereka itu mungkin juga sudah dibawa masuk ke neraka."

Sudah tentu Thio Sam cuma berseloroh saja, tapi omong sampai di sini tanpa terasa ia sendiri jadi merinding. katanya pula sambil menyengir terhadap Coh Liu-hiang. "Menurut pendapatmu, orang-orang itu bersembunyi kemana?"

Coh Liu-hiang tidak bersuara. Sebelum sesuatu persoalan dibikin terang. selamanya ia tidak banyak komentar. Dan jelas peristiwa inipun rada membingungkannya.

Oh Thi-hoa membuka suara pula, "Bisa jadi, sebelumnya mereka menyiapkan kapal lain dan menunggu di sini, begitu orang-orang itu dibawa ke sana, segera kapal diberangkatkan."

"Ehm.... masuk diakal." ujar Thio Sam sambil berkeplok.

"Mungkin pula tempat ini bukan Pian-hok-to, tujuan mereka hanya ingin meninggalkan kita di sini," sambung Oh Thi-hoa.

"Bagus. masuk diakal juga." tukas Thio Sam pula.

"Dan peduli tempat ini Pian-hok-to atau bukan, yang jelas kita akan mati konyol di pulau karang ini," kata Oh Thi-hoa dengan menghela napas.

"Betul," kata Thio Sam. "Untung kapal ini terjepit di tengah batu karang. maka tidak sampai tenggelam Tapi siapa pun tidak mampu memindahkan kapal yang kandas ini, terpaksa kita harus tinggal selama hidup di atas kapal."

"Bila di pulau ini ada pepohonan, betapapun kita masih dapat membuat kapal atau membikin sebuah rakit, tapi sayang pulau sialan ini sama sekali tiada tetumbuhan apapun, jangankan pohon."

"Kau tunggu sebentar," kata Thio Sam tiba-tiba.

Tiada yang tahu apa yang akan dilakukarnnya. Yang jelas dia terus berlari ke kabin kapal, ketika berlari balik lagi kelihatan dia membawa sebuah kaleng.

"Apakah kau mencarikan arak bagiku?" tanya Oh Thi-hoa. "Dalam keadaan begini, arak pun tidak ingin kuminum lagi."

"Ini bukan arak tapi garam." jawab Thio Sam sambil membuka tutup kaleng itu.

"Garam?" Oh Thi-hoa menegas. "Untuk apa kau membawa garam sebanyak ini?"

"Kata orang. garam dapat digunakan menolak keangkeran, juga dapat menghilangkan sial," tutur Thio Sam "Nah. silakan kau cicipi sedikit."

Dengan ragu-ragu Oh Thi-hoa memandangnya, akhirnya dicicipj juga setitik.

"Hayo, tambah lagi sedikit," desak Thio Sam.

"Harus makan berapa banyak supaya bisa menghapus kesialan?" gumam Oh Thi-hoa.

"Sebaiknya satu kaleng penuh kau makan semua," kata Thio Sam.

"Keparat, apa kau gila?!" serentak Oh Thi-hoa berteriak. "Apakah kau sengaja hendak membunuhku?"

"Mungkin dia hendak membikin dirimu menjadi dendeng agar kelak dapat digunakan sebagai ransum bilamana sudah kehabisan bahan makanan." sela Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Hm. biarpun dia makan satu karung garam, dagingnya tetap kecut. aku lebih suka mati kelaparan daripada makan dagingnya." ujar Thio Sam dengan tertawa.

"Sesungguhnya apa artinya ini?" tanya Oh Thi-hoa gusar.

"Tiada arti apa-apa." kata Thio Sam tak acuh. "Aku cuma pernah mendengar cerita orang. katanya..., katanya bila tikus sudah banyak makan garam. maka akan berubah menjadi kalong. Aku jadi ingin mencoba bila manusia kebanyakan makan garam, apa juga akan berubah jadi kalong seperti halnya tikus?"

Belum habis ucapannya. Oh Thi-hoa menggamparnya.

Thio Sam sudah menduga akan tindakan Oh Thi-hoa, cepat ia melompat mundur. katanya sambil tertawa, "Sebenarnya akan kugunakan diriku sendiri sebagai kelinci percobaan. tapi aku pun kelinci percobaan, tapi aku pun tidak ingin mati konyol di sini, sekalipun benar-benar berubah jadi kalong juga tiada artinya bagiku." Sejenak Oh Thi-hoa menatap Thio Sam tajam-tajam. akhirnya ia bertanya. "Apakah maksudmu hendak bilang tempat ini adalah Pulau Kalong?"

"Jika pulau ini bukan Pulau Kalong, maka aku pun bukan Thio Sam. tapi Thio sialan," kata Thio Sam.

"Kalau betul tempat ini Pulau Kalong, lalu kemanakah perginya orang-orang itu?"

"Di dalam gua." jawab Thio Sam.

"Aha, betul juga." seru Oh Thi-hoa dengan terbeliak. "Di antara batu karang ini pasti ada gua rahasianya, penghuni Pulau Kalong ini pasti bertempat tinggal di dalam gua, makanya tidak kelihatan sinar lampu apa pun."

Mendadak ia gaplok keras-keras pundak Thio Sam. lalu berkata pula dengan tertawa, "Hahaha, kau keparat ini memang lebih pintar daripada bapakmu ini. mau tak mau aku mengaku kalah dan kagum padamu."

"Sudahlah. lebih baik kau tidak kagum saja padaku," ujar Thio Sam sambil meringis kesakitan dan setengah berjongkok karena gaplokan keras Oh Thi-hoa itu. "Jika kau tambah kagum lagi. bukan mustahil tulangku akan rontok seluruhnya."

"Eh. dimanakah Eng-siansing," tiba-tiba Coh Liu-hiang menyela.

"Eng-siansing? Eng Ban-li maksudmu?" tanya Oh Thi-hoa. "Ya rasanya sudah cukup lama tidak kulihat orang ini."

"Bisa jadi ia berada di bawah dan sedang bertukar pakaian," ujar Thio Sam.

Seperti tidak ada di sana, waktu kunaik kembali ke sini, kulihat pintu kamarnya terbuka," tutur Oh Thi-hoa. Dengan tertawa lalu ia menyambung pula, "Orang tua kebanyakan tidak tahan lapar, mungkin dia ke dapur mencari makanan."

"Di dapur juga tidak ada," kata Thio Sam "Waktu kuambil garam tadi, di dapur tiada seorang pun."

Para kelasi kapal berkumpul di buritan, ada yang sedang berunding ada juga yang termenung bingung Dalam keadaan demikian, tiada seorang pun yang berpikir soal makanan lagi.

"Terakhir kalinya kalian melihat dia dimana?" tanya Coh Liu-hiang dengan mengernyitkan dahi.

"Jika tidak salah, semalam waktu makan." jawab Oh Thi-hoa.

"Tidak setelah kapal kandas. kulihat dia juga berada di geladak," ujar Thio Sam.

"Lalu?" tanya Coh Liu-hiang.

"Selanjutnya tak kuperhatikan lagi." jawab Thio Sam.

Waktu itu suasana sedang kacau-balau, tentu saja tiada yang sempat memperhatikan orang lain.

Coh Liu-hiang tampak tambah prihatin, mendadak ia berkata pula, "Asalkan dia masih berada di kapal ini, tentu takkan hilang. Mari kita mencarinya."

Tapi baru saja mereka bertiga berlari sampai di pintu kabin. terlihat Kim Leng-ci berdiri di sana dan mengalangi jalan.

"Nona Kim sudilah kau memberi jalan, kami harus mencari orang." pinta Thio Sam sambil tertawa.

"Mencari siapa?" tanya si nona. Tanpa menunggu jawaban. dengan hambar ia menambahkan. "Jika Eng Ban-li yang akan kalian cari, kukira tidak perlu dicari lagi."

"Tidak perlu? Mengapa tidak perlu?" tanya Oh Thi-hoa tercengang.

Tapi Kim Leng-ci sama sekali tidak menggubrisnya.

Dengan mengiring tawa Thio Sam lantas berkata, "Jangan-jangan nona Kim mengetahui dia berada dimana?"

"Dimana dia berada aku malah tidak tahu. namun jelas kutahu dia tidak lagi berada di atas kapal ini."

"Jadi ia sudah angkat kaki?!" teriak Oh Thi-hoa pula. "Kapan dia pergi. mengapa aku tidak tahu?"

Tetap Kim Leng-ci tidak menggubrisnya. Dalam pandangannya sekarang, di dunia ini seolah-olah tiada terdapat lagi orang macam Oh Thi-hoa ini.

Kim Leng-ci menjengek, katanya, "Hm, aku kan tidak punya kelebihan mata, mengapa aku melihatnya, sebaliknya kalian tidak?"

Setelah melampiaskan rasa gemasnya, kemudian dia menyambung. "Waktu Goan Sui-hun dijemput orang Pian-hok-to, pada saat itulah diam-diam ia memberosot turun melalui samping kapal. Waktu ini aku pun berdiri di atas geladak, sebelum pergi malah titip pesan padaku agar disampaikan kepada kalian, katanya dia telah menemukan sesuatu dan harus cepat-cepat menguntitnya. Sesudah de Pian-hok-to nanti, dia akan berusaha menemui kalian."

Oh Thi-hoa menghela napas gegetun. ucapnya sambil menyengir, "Bagus, sungguh pemberani. tampaknya nyali orang tua ini jauh lebih besar daripada kita."

Coh Liu-hiang berpikir sejenak, katanya kemudian, "Eng-siansing adalah detektif terkenal nomor satu di dunia ini, ketajaman indera pendengarannya bahkan tiada bandingannya. Ada sementara urusan yang bisa dikerjakan olehnya tapi tidak mungkin dapat dikerjakan oleh kita."

"Betul. Seperti suasana semalam, betapapun tajam penglihatanmu juga tidak ada gunanya. sebab lampu memang sama sekali tidak dapat dinyalakan, maka segala urusan harus didengarkan dengan telinga.

"Apalagi dia terkenal sebagai detektif paling terkenal. caranya mengusut dengan sendirinya lain daripada yang lain," ujar Oh Thi-hoa. "Cuma sayang, apapun yang didengarnya sekarang tak dapat diberitahukan kepada kita."

"Sekarang kita akan pergi ke pulau sana atau menunggu dijemput orang?" tanya Thio Sam.

"Kita sudah menunggu satu malam, menunggu lebih lama lagi juga tidak soal. supaya tidak diperhatikan orang. Eh, betul tidak, kutu busuk tua?" kata Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang seperti tidak mendengar pertanyaannya, sebaliknya ia malah bertanya, "Mana saudara Pek kita?"

"Eh, ya. rasanya sudah lama tidak kulihat dia...." seru Oh Thi-hoa dengan melenggong. "Jangan-jangan dia ikut berangkat bersama Eng Ban-li."

"Waktu kapal kandas, ia seperti tidak berada di geladak," kata Thio Sam.

"Betul, Eng Ban-li memang berangkat sendirian." tukas Kim Leng-ci.

"Habis kemana dia? Masa sembunyi?" ujar Oh Thi-hoa sambil mengernyitkan dahi.

"Mari kita cari dia, tak peduli kemana dia. kita harus menemukan dia." ajak Thio Sam.

Beramai-ramai mereka lantas turun ke kabin. kamar pertama di sebelah kiri adalah tempat tinggal Goan Sui-hun. Di situ sudah kosong, tiada seorang pun.

Dengan sendirinya kamar ini cukup indah dan resik. tapi warnanya boleh dikatakan kacau-balau dan membikin pusing kepala orang yang memandangnya.

Kamar orang buta memang tidak memerlukan perpaduan warna yang serasi, orang buta tak dapat melihat, cukup diraba dengan tangan saja, asalkan terasa halus lunak sudah merupakan kenikmatan baginya.

Kamar kedua adalah tempat tinggal Coh Liu-hiang bertiga. Dengan sendirinya sekarang juga kosong. Di kamar Kim Leng-ci dan Eng Ban-li tentu saja juga tidak terdapat siapa-siapa. Waktu mereka mendatangi kamar pojok kanan. kamar terakhir. pintu ternyata masih dipalang dari dalam.

"Tentunya Kau Cu-tiang tinggal di sini, mungkinkah dia yang membunuh Pek Lak. lalu mayatnya disembunyikan di kolong ranjang?" kata Thio Sam, seakan-akan hal itu telah terjadi dan dilihatnya sendiri.

Air muka Oh Thi-hoa rada berubah. cepat ia mendobrak pintu sekuatnya. Pintu terbuka, tapi di dalam kosong melompong, apapun tidak ada sampai tempat tidur juga tidak ada.

Dengan mendongkol Oh Thi-hoa melototi Thio Sam. terpaksa Thio Sam pura-pura tidak tahu.

Kamar tidur Ko A-lam dan Hoa Cin-cin terasa masih berbau harum, cuma penghuninya juga sudah pergi. Kamar sebelahnya adalah tempat kecelakaan Koh-bwe Taysu.

Setiba di depan pintu, Thio Sam lantas mengkirik. katanya. "Kukira kamar ini tidak perlu diperiksa." "Kenapa tidak?" tanya Oh Thi-hoa. "Sejak beliau mengalami kecelakaan. kamar ini sudah dicuci bersih. siapa yang berani masuk ke sini?"

"Mengapa tidak berani?" tanya pula Oh Thi-hoa. "Koh-bwe Taysu mati penasanan. arwah beliau tentu masih menunggu di dalam dan ingin menuntut balas," kata Thio Sam pula dengan tertawa. Sampai di sini kembali ia merinding lagi.

Orang yang suka menakut-nakuti orang, sering-sering akan ketakutan sendiri malah Apalagi kalau terbayang betapa lihainya ketika Koh-bwe Taysu masih hidup, setelah mati tentu juga akan menjadi setan yang bengis.

Air muka Kim Leng-ci tampak rada pucat, dengan menggigit bibir ia berkata, "Kamar ini janganlah diperiksa."

Sebenarnya Oh Thi-hoa juga rada merinding, bisa jadi dia akan lewatkan kamar ini bila si nona tidak menambahkan ucapannya itu. Tapi lantaran Kim Leng-ci menganjurkan jangan memeriksa kamar itu, Oh Thi-hoa jadi sengaja mau memeriksanya. Pintu kamar itu tertampak digembok dari luar.

Thio Sam bergumam pula, "Kalau kamar tergembok dari luar, orang lain mana bisa masuk ke situ?"

Belum habis ucapannya, sekali puntir, Oh Thi-hoa telah patahkan gemboknya dan menolak daun pintu.

Sekonyong-konyong terdengar suara ciat ciut yang menyeramkan. Apakah ini suara setan?

Baru saja Oh Thi-hoa hendak mundur keluar, tahu-tahu sepotong benda hitam menyambar ke mukanya.

Secara otomatis Oh Thi-hoa menyampuk dengan tangannya, kontan benda hitam itu jatuh ke lantai sambil mengeluarkan suara mencicit.

Kelelawar, kalong! Yang terpukul jatuh ke lantai itu kiranya cuma seekor kelelawar saja.

Tapi saat ini, bagi pandangannya di dunia ini mungkin tiada makhluk lain yang lebih menakutkan daripada kelelawar, seketika ia merasa seluruh ruas tulang tubuhnya seakan-akan linu.

Darimana datangnya kelelawar ini, datang dari neraka? Bisa jadi kamar ini pun sudah berubah menjadi neraka Kalau tidak, mengapa kamar ini masih berbau anyir darah, padahal sudah tercuci bersih?

Mendadak Thio Sam menjerit "He, darah... lihatlah di tubuh kelelawar ini ada darahnya!"

Kelelawar yang hitam itu tampak berlumuran darah merah.

"Kupukul mati dia, tentu saja berdarah," Oh Thi-hoa berusaha menjelaskan. tapi tidak urung suaranya menjadi rada keder.

Thio Sam menggeleng, katanya. "Kelelawar sekecil ini. mana bisa mengeluarkan darah sebanyak ini? Konon.... konon kelelawar suka mengisap darah manusia!" Sambil bicara ia jadi menggigil sendiri.

Muka Kim Leng-ci berubah pucat dan menyurut mundur.

Mendadak Coh Liu-hiang mengalangi si nona dan berkata dengan suara tertahan. 'Tampaknya di kapal ini masih penuh bahaya, kita sama sekali tidak boleh terpencar."

"Tapi... tapi kelelawar... darimana.... darimana datangnya darah?" kata Kim Leng-ci dengan parau dan terputus-putus.

"Coba kuperiksa ke dalam kamar," kata Coh Liu-hiang.

Dipelopori Coh Liu-hiang, barulah semua orang berani masuk. Di dalam kamar sangat gelap. bau darah bertambah menusuk hidung.

Pek Lak tampak menggeletak di tempat matinya Koh-bwe Taysu kemarin itu. bahkan gaya membujurnya juga serupa. Cuma pada dadanya bertambah sebuah cap tangan dan darah tampaknya masih mengalir.

Kim Leng-ci merasa mual, cepat dia memmutar tubuh dan tumpah-tumpah di pojok kamar.

Satu-satunva orang yang masih sanggup bersuara mungkin cuma Coh Liu-hiang. Ia tercengang agak lama, kemudian baru berkata, "Ti-sim-jiu ... Dia juga mati oleh serangan Ti-sim-jiu."

"Siapa. siapa yang membunuhnya? Dan apa sebabnya?" gumam Thio Sam.

Mendadak Oh Thi-hoa membalik tubuh dan menghadap Kim Leng-ci, mukanya tampak pucat dan kelihatan menakutkan, sekata demi sekata ia tegur nona itu, "Coba julurkan tanganmu!"

Kalau tadi Kim Leng-ci tidak menggubrisnya. sekarang dia menjawab dengan suara rada gemetar, "Untuk.. untuk apa?" "Aku ingin melihat tanganmu." kata Oh Thi-hoa.

Tapi Kim Leng-ci malah menyembunyikan tangannya ke belakang. jawabnva sambit menggigit bibir, "Tanganku tidak menarik, silakan kau lihat tangan orang lain saja."

"Orang lain sudah pergi semua, mana bisa menjadi pembunuh di sini!" jengek Oh Thi-hoa.

Seketika Kim Leng-ci menjerit. "Apa maksudmu? Kau kira akulah yang membunuh dia?"

"Siapa lagi kalau bukan kau?" jawab Oh Thi-hoa bengis. Suara teriakan Kim Leng-ci tambah keras, tidak kalah kerasnya daripada suara Oh Thi-hoa. "Berdasarkan apa kau tuduh aku sebagai pembunuhnya?"

"Lebih dulu kau mengadang kami di sana, kemudian menyuruh kami jangan masuk kamar ini, jelas lantaran kau kuatir kami menemukan mayatnya. betul tidak?" tanpa menunggu jawaban si nona, segera Oh Thi-hoa menyambung pula, "Apalagi sekarang Koh-bwe Taysu sudah meninggal, Ko A-lam dan Hoa Cin-cin juga sudah pergi, orang yang mahir Ti-sim-jiu di kapal ini hanya tinggal kau saja."

Sekujur badan Kim Leng-ci tampak gemetar saking menahan emosinya, serunya terputus-putus. "Kau.... kau bilang aku mahir Ti-sim-jiu?"

"Jika kau dapat memainkan Jing-hong-cap-sah-sik kebanggaan Hoa-san-pay tentu kau pun dapat belajar Ti-sim-jiu."

Saking gemasnya, sampai bibir Kim Leng-ci berubah putih, jengeknya, "Hm. anjing bisa kentut, kau pun pintar kentut, apakah itu berarti kau pun anjing?"

Oh Thi-hoa melengak, agak lama melototi si nona, tiba-tiba ia menghela napas katanya, "Boleh terserah padamu, mau maki atau mau pukul diriku, betapapun kita adalah sahabat. Cuma, sahabat tinggal sahabat, keadilan tinggal keadilan. apapun juga aku harus menuntut keadilan bagi yang sudah mati."

Kim Leng-ci juga mendelik padanya. air mata tampak berlinang-linang dan merembes keluar, meleleh di pipinya yang putih lalu menetes di leher bajunya yang berwarna ungu muda.

Pedih juga Oh Thi-hoa, tapi terpaksa ia keraskan hati dan pura-pura tidak tahu.

Kim Leng-ci membiarkan air matanya bercucuran tanpa mengusapnya, dia masih melototi Oh Thi-hoa, katanya dengan tegas, "Jika kau yakin aku adalah pembunuhnya, apa pula yang dapat kukatakan. terserah padamu...." Belum habis ucapannya, pecahlah tangisnya, ia mendekap muka dan tergerung-gerung.

Oh Thi-hoa mengepal tinjunya erat-crat, termangu-mangu sejenak. lalu membalik tubuh perlahan.

Coh Liu-hiang masih berjongkok di samping mayat Pek Lak, entah apa yang dilihatnya.

Oh Thi hoa menggreget dongkol. serunya. "He. menurut kau. cara bagaimana harus kulakukan padanya."

Tanpa menoleh Coh Liu-hiang menjawab. "Kukira lekas kau minta maaf padanya. lebih cepat lebih baik."

"Apa? Minta maaf? Kau suruh aku minta maaf?" Oh Thi-hoa menegas dengan heran.

"Ya bahkan tidak cukup minta maaf saja, kau masih harus katakan padanya bahwa kau ini memang brengsek, si tolol yang sok pintar, habis itu gamparlah pipimu sendiri beberapa kali."

Oh Thi-hoa jadi melenggong, katanya sambil meraba hidung. "Kau benar-benar menghendaki aku berbuat demikian?"

Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Sekalipun hal ini sudah kau lakukan. belum tentu nona Kim memaafkanmu."

"Masa kau anggap dia bukan pembunuhnya?" tanya Oh Thi-hoa ragu-ragu.

"Sudah tentu bukan," jawab Coh Liu-hiang. "Berdasarkan apa kau berkata demikian?" "Pertama, mayat Pek Lak sudah dingin dan kaku, darahnya juga sudah lama membeku. kuku jarinya saja sudah biru hitam."

"Hal inipun sudah kulihat, setiap orang mati mempunyai tanda-tanda begitu."

"Tapi seorang mati sedikitnya harus tiga jam kemudian baru akan berubah begitu."

"Tiga jam.... maksudmu dia mati sebelum tengah malam?"

"Betul. saat itu kapal membentur karang dan kandas, nona Kim juga berada di atas geladak. bahkan berdiam di sana hingga lama, mana mungkin turun kemari membunuh orang?"

Oh Thi-hoa jadi melongo tak bisa omong lagi.

"Selain itu, dengan ilmu silat Pek Lak. sekalipun Koh-bwe Taysu hidup kembali juga tak bisa membunuhnya dengan sekali pukul. kecuali dia cuma berdiri melenggong dan lupa melawan."

"Bisa jadi dia tidak tidak mengira orang itu akan membunuhnya, maka dia sama sekali tidak berjaga-jaga." kata Oh Thi-hoa ragu-ragu.

"Tapi sampai sekarang wajah Pek Lak masih kelihatan menampilkan rasa terkejut dan seram, jelas sebelum mati dia melihat seseorang atau melihat sesuatu kejadian yang amat menakutkan," setelah tertawa lalu Coh Liu-hiang melanjutkan. "Dan setiap orang, tentu takkan merasakan nona Kim adalah orang yang menakutkan, betul tidak?"

Oh Thi-hoa melenggong pula, mendadak ia membalik tubuh dan menjura kepada Kim Leng-ci, ucapnya, "Ya, aku.... aku bersalah. akulah yang kentut, harap engkau jangan marah lagi dan sudi memaafkan diriku." Kim Leng-ci melengos ke sana dan menangis lebih sedih.

"Ya, aku memang berengsek, orang tolol yang sok pintar,"gumam Oh Thi-hoa menyengir. "Aku memang pantas mampus, kepalaku dipenggal seratus dua puluh kali juga pantas."

Mendadak Kim Leng-ci berpaling dan bertanva. "Kau bicara setulus hati?"

"Sudah tentu setulus hati," jawab Oh Thi-hoa. "Aku tidak ingin memenggal kepalamu, aku cuma ingin memotong lidahmu saja agar selanjutnya kau tidak dapat sembarangan omong," ucap Kim Leng-ci. "Sret, ia melolos belatinya dan berkata pula dengan melotot. "Nah. berani tidak kau memberikan lidahmu?"

"Bisa menyelamatkan kepala sudah puas bagiku. cuma sebuah lidah saja apa artinya, masa kutolak?" ujar Oh Thi-hoa sambil menyengir.

"Baik, julurkan lidahmu!" seru Kim Leng-ci.

Oh Thi-hoa benar-benar memejamkan mata dan menjulurkan lidahnya.

"Julurkan panjangan sedikit," kata si nona. Ingin bicara. tapi lidah terjulur. tentu saja tidak mampu bersuara, terpaksa Oh Thi-hoa hanya menyengir saja.

Dengan tertawa Thio Sam menambahkan, "Nona Kim, jika mau potong lidahnya harus dipotong sebatas bongkot, agar nanti jika kita kehabisan makanan, lidah ini dapat dibuat bistik."

"Kurasa lidahnya tidak cukup panjang. lebih baik kalau ditambah lagi kedua daun telinganya," ujar Thio Sam.

"Boleh ditambah pula batang hidungnya, toh cepat atau lambat hidungnya pasti akan terlepas dikucek-kucek sendiri olehnya," sela Coh Liu-hiang tiba-tiba.

Serentak Oh Thi-hoa berteriak. "He. kalian anggap diriku ini apa? Babi panggang?"

Mendadak Kim Leng-ci tertawa meski air mata masih meleleh di wajahnya.

Perempuan yang menangis sambil tertawa memang jauh lebih mempesona, mirip setangkai bunga yang mekar dihiasi butiran embun.

Seketika Oh Thi-hoa terkesima memandang si nona. Tiba-tiba ia merasa perempuan yang paling disukainya tetap Kim Leng-ci.

Nona ini tidak sok berlagak, tidak aleman dan juga tidak genit-genitan. Tidak sirikan juga tidak suka dendam. Suka terus terang, polos dan jujur.

Dalam keadaan betapa buruk, dia masih dapat bergurau untuk melonggarkan perasaan sendiri yang tertekan, berbareng juga untuk menghibur orang lain.

Perangainya yang suka marah-marah cepat datangnya, tapi lenyapnya juga cepat. Sifat ini mirip benar dengan dirinya.

Singkat kata, Oh Thi-hoa merasa kebaikan si nona terlalu banyak untuk dihitung satu per satu. Jika anak perempuan sebaik ini dikesampingkan begitu saja, kemana lagi akan mencarinya?

Maka diam-diam Oh Thi-hoa bertekad, selanjutnya akan baik-baik kepada si nona, tidak akan membuatnya marah lagi.

Dengan termangu-mangu Oh Thi-hoa memandangi Kim Leng-ci dan melupakan orang lain yang berada di sekitarnya. Thio Sam menghela napas, katanya sambil menggeleng, "Nona Kim tidak jadi memotong lidahnya. tapi tampaknya sukmanya suda kepotong."

"Bukan saja sukmaku, hatiku pun ikut terpotong," gumam Oh Thi-hoa.

Dengan pelahan, Kim Leng-ci mengetuk kepala Oh Thi-hoa dengan punggung belatinya sambil mengomel dengan tertawa. "Maa kau masih punya hati? Kukira hatimu sudah lama dimakan anjing!?"

Tawa anak gadis sesudah menangis memang mirip cahaya matahari sesudah hujan gerimis. Hal ini membuat 'plong' juga perasaan semua orang yang semula sangat tertekan.

Tapi ketika Kim Leng-ci melihat mayat Pek Lak. seketika lenyap pula tertawanya, katanya, "Mengerikan sekali kematiannya, siapa.... siapakah yang turun tangan sekeji ini?"

"Semalam ketika kapal menubruk karang dan kandas, rasanya setiap orang berada di geladak," ujar Thio Sam.

"Waktu itu kuketahui Pek-siansing tidak... tidak ikut hadir di sana, tadinya kukira dia tidak„.. tidak berani bertemu denganku, maka..,. maka sengaja tinggal di kamarnya. Kalau..„ kalau dia tak menghindari diriku, mungkin.....mungkin dia tak kan terbunuh," kata Kim Leng-ci dengan mata merah dan pedih.

"Ini bukan salahmu," seru Oh Thi-hoa. "Yang membunuh dia kalau bukan Kau Cu-tiang pasti Ting Hong. Sebab hanya Kau Cu-tiang saja yang punya alasan untuk membunuhnya. Ketika dia mengetahui mereka juga berada di kapal ini, tentu saja dia terkejut dan takut, maka berusaha membunuhnya."

"Memang beralasan," sela Thio Sam. "Cuma sayang. waktu itu Kau Cu-tiang sudah pergi sebelumnya."

Oh Thi-hoa terkesiap, katanya pula dengan nada gelagapan. "Bisa jadi.... bisajadi mereka kabur setelah membunuh, kita kan tidak dapat memastikan kapan matinya Pek Lak, betul tidak?"

"Tapi Kau Cu-tiang dan Ting Hong jelas tak dapat menggunakan Ti-sim-jiu," ujarCoh Liu-hiang.

"Darimana kau tahu?" tanya Oh Thi-hoa.

"Sebab Ti-sim-jiu yang diyakinkan Koh-bwe Taysu ini justru khusus digunakan untuk menghadapi orang di Pian-hok-to ini," tutur Coh Liu-hiang. "Inipun membuktikan bahwa Ti-sim-jiu yang lihai itu tidak sampai bocor keluar."

"Betul," kata Oh Thi-hoa. Setelah berpikir. "Menurut keterangan nona Hoa, katanya Koh-bwe Taysu juga baru saja berhasil meyakinkan Ti-sim-jiu."

"Jika demikian. orang yang mahir Ti-sim-jiu kan ada tiga orang?" kata Thio Sam.

"Memang betul ada tiga orang." sahut Oh Thi-hoa.

"Tidak, tinggal dua saja, sebab Koh-bwe Taysu sudah mati," tukas Coh Liu-hiang.

"Aku berani menjamin pembunuhnya pasti bukan Ko A-lam sebab semalam dia berada bersamaku. tak mungkin bisa pergi membunuh orang," kata Oh Thi-hoa pula.

Kim Leng-ci seperti ingin ngomong apa-apa. tapi urung setelah memandangi Coh Liu-hiang sekejap.

Thio Sam lantas berteriak, "Aha. betul. semalam nona Hoa orang terakhir yang naik ke geladak, waktu dia datang, kebetulan kulihat dia, waktu itupun kulihat sikapnya rada-rada tak beres." Oh Thi-hoa melotot. tanyanya.

"Maksudmu Hoa Cin-cin?"

"Siapa lagi kalau bukan dia?" jawab Thio Sam.

"Tak mungkin," ujar Oh Thi-hoa sambil menggeleng. "Jika kalian menuduh dia sebagai pembunuhnya. aku tidak percaya."

Kim Leng-ci meliriknya sambil mendengus, "Hm. kau cuma percaya aku saja yang dapat membunuh orang?"

"Terkadang aku pun bisa pingsan bila melihat darah," kata Thio Sam. "Untuk mati mungkin sangat sulit, kalau ingin pingsan memang sangat mudah."

"Apapun juga, aku tidak percaya nona cilik selembut itu dapat membunuh orang," kata Oh Thi-hoa. "Jika benar dia menjadi pembunuh. kukira ada orang akan sedih setengah mati," Ia melirik Coh Liu-hiang sekejap, lalu bertanya. "Betul tidak, kutu busuk tua?"

Tapi Coh Liu-hiang tidak memberi komentar apapun. Tiba-tiba Kun Leng-ci menghela napas dan berkata. "Terus terang melihat kelembutan nona Hoa itu, aku pun tidak percaya dia sanggup membunuh Pek Lak."

"Benar, jangan lupa ilmu silat Pek Lak tergolong Jago kelas satu, bahkan Ko A-lam mungkin juga bukan tandingannya. Sedangkan Hoa Cin-cin masih muda belia, ilmu silatnya tak nanti lebih tinggi daripada Ko A-lam, mana bisa dia membunuh jagoan sehebat Pek Lak?"

Thio Sam melenggong juga, ucapnya kemudian, "Sebenarnya aku pun tidak bilang nona Hoa itu pembunuhnya, aku cuma merasa ada kemungkinan begitu."

"Tapi aku merasa sama sekali tiada kemungkinan begitu," ujar Oh Thi-hoa.

"Jika bukan dia, lalu siapa? Masa arwah Koh-bwe Taysu gentayangan mencari korban?" gumam Thio Sam.

Kim Leng-ci jadi pucat dan takut lagi, ia tarik Oh Thi-hoa dan membisikinya, "Tempat ini terasa seram, kalau mau bicara marilah bicara di atas saja."

"Betul, orang Pian-hok-to mungkin sudah datang menjemput kita," kata Oh Thi-hoa.

Setelah mereka keluar semua, mendadak Coh Liu-hiang berjongkok dan mengorek sesuatu di lantai dengan kuku jarinya lalu dibungkusnya dengan secarik kertas kecil dengan hati-hati.

Memangnya apa pula yang diketemukannya?

ooooo00000ooooo
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar