Legenda Pulau Kelelawar Bab 07: Upacara Pemakaman

Bab 07: Upacara Pemakaman
Tiba-tiba Goan Sui-hun mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya, "Bahwasanya Thio-heng adalah jago berlayar, konon C oh-hiangswe juga berpengalaman mengarungi samudera raya, dengan kemahiran kalian berdua masa sampai mengalami bencana di lautan?"

Belum lagi Thio Sam dan Coh Liu-hiang menjawab, cepat Oh Thi-hoa menyela, "Jika kapalnya mau tenggelam, mereka berdua mampu berbuat apa?"

"Dua tiga hari ini kan tiada badai. mengapa kapal penumpang kalian bisa tenggelam mendadak?" tanva Goan Sui-hun.

Oh Thi-hoa kucek-kucek hidungnya dan berkata, "Jika kami tahu sebab apa kapal itu tenggelam, tentu takkan kami biarkan kapal itu tenggelam."

Jawaban ini cukup diplomatis, menjawab seperti halnya tidak menjawab, kecuali Oh Thi-hoa, barangkali tiada orang yang mampu berkata demikian.

Maka tertawalah Goan Sui-hun, ia mengangguk dan berkata pula, "Betul juga. datangnya bencana seringkali secara mendadak dan di luar dugaan, siapa pun tidak dapat meramalkan sebelumnya,"

Mendadak Oh Thi-hoa merasa pemuda tuna netra ini ada suatu kebaikan, yaitu apapun yang dikatakan orang lain. selalu disetujui olehnya.

Tidak lama kemudian, kapal sudah mulai berguncang, jelas hujan badai sudah hampir tiba.

Mendadak Eng Ban-li bertanya. "Goan-kongcu sudah lama berdiam di Kwantiong, mengapa pergi ke lautan lepas sini?"

Goan Sui-hun termenung sejenak, lalu jawabnya, "Terhadap orang lain tentu akan kukatakan tujuanku hanya untuk pesiar saja, tapi di depan kalian, mana Cayhe berani berdusta."

"Ya, Goan-kongcu adalah seorang ksatria yang polos. hal ini sudah dapat kami lihat," kata Oh Thi-hoa.

"Ah terima kasih atas pujianmu," kata Goan Sui-hun.

"Bicara terus terang, maksud tujuan perjalananku mi mungkin juga serupa dengan kalian."

"O, apakah Goan-kongcu sudah tahu kami hendak pergi kemana?" tanya Eng Ban-li.

Goan Sui-hun tertawa, katanya, "Selama beberapa hari ini banyak berkumpul beberapa tokoh terkemuka di sekitar lautan sini, kemana tempat tujuan para ksatria itu. mungkin juga sama seperti kita sekarang."

Gemerdep sinar mata Eng Ban-li. tanyanya, "Tempat mana yang dimaksudkan Goan-kongcu?"

"Kita tahu sama tahu, masakah anda mesti menghendaki kukatakan terus terang?" ujar Goan Sui-hun dengan tertawa.

Oh Thi-hoa menyela pula, "Tempat yang Kongcu maksud apakah Pian-hok-to yang disebut juga gua emas di lautan sana?"

"Aha, betapapun juga, Oh-tayhiap tetap orang yang suka berterus terang," seru Goan Sui-hun sambil berkeplok.

"Bagus, bagus sekali jika demikian," kata Oh Thi-hoa dengan girang. "Kebetulan kita dapat menumpang kapal Goan-kongcu, hemat waktu dan tenaga tentunya."

Thio Sam melototinya dan mendengus, "Hm, jangan keburu gembira dulu, apakah Goan-kongcu mengizinkan kita menumpang kapalnva atau tidak, kan belum pasti?"

"Kukira Goan kongcu seorang yang suka terima tamu, tidak nanti kita dihalau pergi dari kapalnya," kata Oh Thi-hoa.

Goan Sui-hun bergelak tertawa, katanya. "Haha, padahal kita baru saja kenal di tengah perjalanan, tak tersangka dapat bertemu dengan kawan setia dan simpatik seperti Oh-tayhiap." Segera ia angkat cawan pula dan mengajak minum. "Hayolah. silakan habiskan satu cawan lagi "

oooo000oooo

Kapal Goan Sui-hun mi bukan saja jauh lebih mewah, pelayanannya juga jauh lebih lengkap.

Dalam kamar sudah tersedia pakaian kering, juga ada arak. Sambil berbaring di tempat tidurnya. Oh Thi-hoa menghela napas gegetun dan berkata, "Betapapun putera keluarga ternama tetap terhormat, tetap lain daripada yang lain."

"Apa yang lain? Memangnya hidungnya tumbuh di bawah telinganya?" tanya Thio Sam.

"Biarpun tak punya hidung juga tetap cocok dengan seleraku," jawab Oh Thi-hoa. "Lihat saja, tutur katanya sopan, sikapnya jujur, lima kali lebih baik daripadamu." "Buaya bersua biawak, tentu cocok." Jengek Thio Sam.

Oh Thi-hoa menggeleng-geleng, katanya, "Bocah ini barangkali rada miring nada bicaranya selalu menusuk perasaan, memangnya dalam hal apa orang menyinggungnya?"

"Sudah tentu dia tak menyinggung diriku, hanya aku yang merasa muak kepadanya," ujar Thio Sam.

"Muak?" Oh Thi-hoa berjingkrak gusar. "Kau muak padanya? Dalam hal apa dia memuakkan?"

"Cara bicaranya yang sok lemah lembut dan sopan santun seperti katamu itu," jawab Thio Sam "Pokoknya aku muak, merasa cara bicaranya tidak jujur."

"Dalam hal apa dia telah menipu kita? Coba katakan?" kata Oh Thi-hoa dengan mendelik.

"Aku memang tidak dapat menerangkan," kata Thio Sam.

Mata Oh Thi-hoa seperti telur ayam besarnya, setelah melotot sekian lama. mendadak ia tertawa dan berkata pula sambil menggeleng. "Coba lihat kutu busuk tua, orang ini bukankah sedang sakit, bahkan sakit parah?"

Setiap kali bilamana Thio Sam dan Oh Thi-hoa ribut mulut, selalu Coh Liu-hiang berlagak tuli dan tidak mau ikut bicara.

Tapi sekarang ia berkata dengan tertawa, "Goan-kongcu memang memiliki segi-segi yang tak dapat dibandingi orang lain. Jika dia tidak cacat fisik, mungkin tokoh Kangouw sekarang tiada seorang pun yang mampu menandingi dia."

Oh Thi-hoa melirik Thio Sam sekejap, jengeknya. "Nah, kau dengar tidak?"

"Aku tak mempersoalkan kepandaiannya." ujar Thio Sam "Yang kumaksud adalah sikapnya yang kelewat simpatik dan kelewat jujur itu."

"Memangnya apa jeleknya simpatik dan jujur?" tanya Oh Thi-hoa.

"Baiknya memang baik, tapi kalau keterlaluan kan berubah munafik jadinya?" tanpa memberi kesempatan bicara pada Oh Thi-hoa, cepat Thio Sam menyambung pula,"Orang semacam dia seharusnya dapat berpikir panjang, tidak layak dia bicara secara blak-blakan begitu terhadap orang yang baru dikenalnya. Apalagi perjalanannya ini kan sangat dirahasiakan."

"Itu kan tandanya dia menghargai kita dan memandang kita sebagai kawan." teriak Oh Thi-hoa. "Memangnya kau kira setiap orang di dunia ini serupa kau, tidak dapat membedakan baik dan jelek, juga tidak tahu hitam dan putih."

"Paling sedikit aku tidak sama denganmu," jengek Thio Sam. "Baru diberi minum beberapa cawan arak dan disanjung puji sedikit, kontan kau lantas menganggapnya kawan baik dan percaya penuh padanya."

Oh Thi-hoa seperti marah, katanya, "Antara kawan harus bicara secara jujur dan setia. Hanya orang berjiwa kerdil macam kau saja yang suka mengukur orang lain dengan bajumu sendiri. Padahal, menipu orang kan harus ada maksud tujuan, lantas untuk apa dia menipu kita? Bicara tentang asal-usul keluarga, bicara tentang kedudukan dan nama baik adakah setitik saja kita dapat membandingi dia? Lalu apa yang diincarnya?"

"Bisa jadi... bisa jadi dia memusuhi salah seorang di antara kita," kata Thio Sam.

"Hakikatnya dia tak pernah berkecimpung di dunia Kang-ouw, seorang pun tidak pernah dikenalnya, memangnya dia memusuhi siapa?"

Maka Thio Sam lantas meraba hidung juga. Agaknya penyakit meraba hidung ala Coh Liu-hiang telah mulai menular juga atas diri Thio Sam.

"Sekalipun hidungmu kau kucek hingga pecah juga tak dapat kau katakan suatu alasan pun, betul tidak kutu busuk?" kata Oh Thi-hoa dengan tertawa.

"Betul, memang betul," ujar Coh Liu-hiang. "Cuma apa yang dikatakan Thio Sam juga tidak salah. Kita habis lolos dari bencana, ada baiknya jika berlaku waspada sedikit."

Tiba-tiba Thio Sam berkata pula, "Kapal ini ternyata cukup mulus, tiada jalan rahasia, juga tiada dinding rangkap. Sudah kuperiksa dengan betul."

"Akhirnya bocah ini bicara juga menurut Hati nurani," kata Oh Thi- hoa dengan tertawa.

"Tapi, masih ada yang kuherankan," sambung Thio Sam.

"Urusan apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Bangun setiap kapal biasanya tidak banyak berbeda, cuma kapal ini agak besaran, maka kamar kabinnya ada delapan seluruhnya," tutur Thio Sam.

"Ya. betul," kata Oh Thi-hoa.

"Sekarang nona Kim mendiami sebuah, Eng-lothau dan bocah she Pek itu satu kamar, kita bertiga berjubal dalam satu kamar."

"Bicara bocah ini mulai bertele-tele."

"Coba dengarkan lagi. Jika ada delapan kamar, seharusnya Goan Sui-hun menyilakan kita masing-masing ambil satu kamar agar bisa lebih nikmat, tapi mengapa dia sengaja mengumpulkan kita bertiga?"

"Bisa jadi....... bisa jadi dia tahu kita bertiga ini biasanya tidak dapat dipisahkan," kata Oh Thi-hoa.

"Akan tetapi..."

"Inipun membuktikan bahwa dia tidak bermaksud jahat kepada kita," sela Oh Thi-hoa. "Sebab kalau kita terpisah, kan lebih mudah untuk dikerjai. Tentunya kau belum lupa cara Ting Hong melayani kita?"

"Akan tetapi, sisa kelima kamar itu dihuni oleh siapa?" tanya Thio Sam.

"Dengan sendirinya digunakan dia," jawab Oh Thi-hoa.

"Dia cuma sendirian, masa dia sekaligus menggunakan lima kamar?"

"Keempat kamar lainnya mungkin kosong."

"Sama sekali tidak kosong," kata Thio Sam.

"Mengapa tidak bisa kosong' Sebelum kita datang, ketiga kamar yang terpakai sekarang kan juga kosong?"

"Yang tiga ini mungkin betul kosong, tapi yang empat itu pasti tidak," jawab Thio Sam.

"Memangnya kenapa?" tanya Oh Thi-hoa. "Tadi sudah kuperhatikan, pintu keempat kamar itu dipalang dari dalam."

"Sekalipun benar ada penghuninya, lantas kenapa lagi? Kamar harus ditinggali manusia, apanya yang mengherankan?"

"Akan tetapi penghuni keempat kamar itu sebegitu jauh belum penuh unjuk muka. seakan-akan tidak mau bertemu dengan orang lain."

Oh Thi-hoa berkedip-kedip, katanya kemudian. "Bisa jadi penghuni kamar-kamar itu perempuan, lantaran tahu kapal ini baru saja kedatangan beberapa ekor serigala. dengan sendirinya mereka menutup pintu kamar agar tidak kemasukan serigala."

"Goan Suii-hun adalah seorang lelaki sejati, seorang Kuncu, mana bisa menyembunyikan perempuan?" kala Thio Sam.

"Memangnya kenapa kalau Kuncu? kuncu kan juga manusia yang mesti minum arak dan perlu wanita?" kata Oh Thi-hoa dengan tertawa

Thio Sam juga tertawa, omelnya. "Makanya kau pun merasa dirimu juga seorang Kuncu. begitu bukan?"

"Ya, tuan Oh ini memang seorang Kuncu tulen," jawab Oh Thi-hoa tertawa. "Si kutu busuk inipun....." Tapi waktu dia berpaling ke sana, dilihatnya Coh Liu-hiang sudah tertidur.

00ooo00

Kecuali mabuk, biasanya Oh Thi-hoa tidur paling lambat. Terkadang dia malah sukar pulas sepanjang malam, sebab itulah sering dia bangun tengah malam untuk minum arak. Jika orang lain bilang dia setan arak. dia hanya tertawa saja, Orang katakan dia petualang, ia pun tertawa pula.

"Melihat dia sepanjang hari hanya tertawa dan omong kosong melulu. orang mengira dia adalah manusia paling gembira, paling iseng, tidak menanggung sesuatu pikiran apapun. Padahal isi hatinya hanya diketahui Oh Thi-hoa sendiri.

Dengan segala daya upaya dia telah melepaskan diri dari keterikatannya pada Ko A-Lam, lalu bebaslah dia berkelana kian kemari, bertualang sesuka hatinya, terutama dalam hal main perempuan, orang lain sama menganggap dia 'ahli', ia sendiri pun merasa bangga.

Akan tetapi hatinya masih tetap kosong dan hampa. Lebih-lebih bila malam telah tiba dalam keadaan sunyi senyap, dia benar-benar merasakan kesepian yang mencekam

Ia pun ingin mencari teman yang sekiranya dapat diajak bicara, yang bisa saling memahami, lalu saling menghibur. Akan tetapi sebegitu jauh ia belum berani menyerahkan cintanya kepada siapa pun juga. Sebaliknya ia sendiri telah membuat suatu dinding yang cukup kuat di luar hatinya sehingga cinta orang lain hakikatnya tak dapat menembusnya!

Jadi terpaksa ia tetap bertualang ke sana sini, masih tetap mencari-cari.

Sesungguhnya apa yang dicari? Ia sendiri pun tidak tahu.

Dia sering menyesal, menyesali dirinya sendiri. mengapa bersikap sekejam itu terhadap Ko A-lam.

Bisa jadi sebegitu jauh dia masih tetap cinta kepada Ko A-lam. Akan tetapi ia tidak mau mengakui kebenarannya.

"Mengapa pada umumnya manusia tak dapat menyayangi cinta yang telah didapatkan, tapi baru menyesal apabila sudah kehilangan dia?"

Penderitaan demikian bisa jadi cuma Coh Liu-hiang saja yang paham. Sebab Coh Liu-hiang punya penderitaan serupa, cuma saja dia lebih dapat mengekang diri daripada Oh Thi-hoa. Tapi semakin dikekang semakin keras pula rontaannya.

Diam-diam Oh Thi-hoa memberitahu diri sendiri, "Aku memang sudah letih, bahkan sudah rada mabuk, seharusnya lekas kutidur saja."

Penderitaan batin memang menimbulkan macam-macam kesukaran lain, terutama dalam hal tidur. Semakin ingin cepat pulas, seringkali malah sebaliknya, tidak dapat tidur.

Thio Sam sudah tidur nyenyak, malah sudah mulai ngorok.

Diam-diam Oh Thi hoa turun dari pembaringan, ia bawa sebotol arak, mestinya ia ingin membangunkan Thio Sam agar mengiringi dia minum tapi pada saat itu juga, tiba-tiba didengarnya di luar ada langkah kaki orang

Suara itu sangat perlahan sehingga membuat mengkirik.

Sudah jauh malam siapakah yang berjalan di luar? Jangan-jangan seorang yang tak dapat tidur seperti Oh Thi-hoa? Tapi entah apakah orang itupun suka minum arak seperti Oh Thi-hoa?

Minum arak serupa juga berjudi, makin banyak orang semakin baik. Terkadang orang yang belum dikenal juga tidak menjadi alangan, asalkan arak sudah masuk perut, orang tak diKenal akan segera menjadi kenalan.

"Peduli siapa dia biar kucari dia untuk minum bersama."

Baru timbul pikiran ini. segera terpikir oleh Oh Thi-hoa kepada apa yang terjadi di kapal Hay Koa-thian serta apa yang dikatakan Thio Sam tadi.

"Jangan-jangan di kapal ini benar bersembunyi orang yang tidak bermaksud baik terhadap kita?" Berpikir sampai di sini, segera Oh I hi-hoa membuka pintu terus menyelinap keluar.

Tiada bayangan seorang pun di lorong kabin, langkah kaki tadipun tak terdengar lagi. Keempat kamar di depan sana memang ada penghuninya seperti apa yang dikatakan Thio Sam, hal ini terbukti dan sinar lampu yang terlihat dan celah bawah pintu.

Kalau bisa sungguh Oh Thi hoa ingin mendobrak ke dalam kamar-kamar Itu agar diketahui siapa penghuninya tapi kalau yang tinggal di kamar-kamar itu adalah anggota keluarga Goan Sui-hun. istrinya atau gundiknya, kan bisa runyam urusannya? Berpikir demikian, tangan Oh Thi hoa yang sudah diangkat hendak mengetuk pintu segera ditariknya kembali.

Ia merasa langkah orang tadi seperti menuju ke atas geladak, maka ia lantas menyusul ke sana.

00ooo00

Hujan badai ternyata tidak sehebat dugaan mereka, syukur sekarang sudah berlalu, cuaca sudah baik. bintang-bintang bertaburan di langit, laut tenang dan angin meniup sejuk, kerlip bintang kelihatan membayang di permukaan laut yang kelam.

Di pagar geladak kapal tampak berdiri seorang dengan termangu-mangu, seakan-akan sedang menghitung bayangan bintang di dalam laut. Angin meniup semilir mengusap rambutnya yang bertebaran terurai di pundak.

Aneh. siapakah dia? Jauh malam begini berdiri melamun?

Perlahan-lahan Oh Thi-hoa mendekatinya, setiba di belakang orang barulah ia berdehem

Orang itu membalik tubuh. Kiranya Kim Leng-ci adanya.

Kerlipan bintang menyinari mukanya, juga memantulkan cahaya air mata yang mengembeng di bola matanya.

Kiranya si nona sedang menangis.

Nona yang berwatak keras, nona yang dianggap lebih gagah daripada kaum pria ini ternyata diam-diam mencucurkan air mata di tengah malam buta begini.

Oh Thi-hoa jadi melengak heran.

Dalam pada itu Kim Leng-ci telah membalik ke sana lagi sambil mengomel dengan suara bengis. "'Kau ini mengapa selalu gentayangan seperti setan, tengah malam buta tidak tidur, tapi keliaran ke sini untuk apa?"

Meski suaranya masih tetap galak seperti biasa tapi sekarang ia tidak dapat menakutkan Oh Thi-hoa lagi.

Oh Thi-hoa tertawa dan menjawab, "Engkau sendiri mengapa juga tiak tidur dan berada di sini?"

"Urusanku sendiri tidak perlu kau ikut urus. pergi sana!" bentak Kim Leng-ci.

Tapi kaki Oh Thi-hoa sebaliknya seperti terpaku di geladak situ, selangkah pun tidak menggeser.

"Apa yang kau tunggu di sini?" omel lagi Kim Leng-ci.

Oh Thi-hoa menghela napas, katanya, "Aku pun tidak dapat tidur seperti engkau dan ingin mencari seorang teman ngobrol."

"Aku.... aku tiada yang dapat diobrolkan denganmu," jawab si nona.

Sambil memandang botol arak yang dibawa Oh Thi-hoa, ia berkata pula. "Sekalipun tiada yang dapat diobrolkan, minum dua cawan kiranya dapat bukan?"

Mendadak Kim leng-ci berdiam, selang agak lama ia berpaling dan berkata. "Baik, minum juga boleh"

oooo0000oooo

Kerlipan bintang terasa semakin terang, hembusan angin pun semakin kencang.

Tapi Oh Thi-hoa merasa bertambah hangat malah, walau pun tiada separah kata pun sang diucapkan kedua orang ini. Dengan cepat isi satu botol arak pun habis. Baru sekajang Oh Thi-hoa membuka suara, "Apakah masih berminat minum lagi?"

Sambil memandang jauh ke depan sana, Kim Leng-ci menjawab. "Ambil lagi, akan kuminum nanti."

Kepandaian Oh Thi-hoa mencari arak sungguh jauh lebih besar dan cara kucing mencari tikus. Sekali ini dia membawa tiga botol sekaligus.

Waktu isi botol kedua sudah habis, kerlingan mata Kim Leng-ci tampak mulai buram laksana bayangan bintang yang bergerak-gerak di lautan.

Mendadak si nona berkata. "Urusan sekarang ini jangan kau katakan kepada orang lain " Oh Thi-hoa berkedip, katanya, "Urusan apa? Cerita apa?" Si nona menggigit bibir, jawabnya kemudian. "Aku mempunyai keluarga yang terhormat, mempunyai saudara yang tidak sedikit, kehidupunku selama ini sangat tenteram, orang lainpun menganggap hidupku sangat senang, betul tidak?"

"Ehmm." Oh Thi hoa mengangguk.

"Nah. maka aku ingin selalu dianggap bahagia oleh orang lain, tentunya kau paham sekarang?"

"Ya, aku paham." jawah Oh Thi-hoa manggut-manggut. "Tadi kau cuma sedang memandang bintang yang bertaburan di langit, hakikatnya tidak pernah meneteskan air mata."

Kim Leng-ci melengos ke sana, katanya, "Baiklah, asalkan kau tahu saja."

Oh Thi-hoa menghela napas panjang, katanya pula, "Aku pun berharap orang lain akan menganggap aku sangat gembira dan bahagia, tapi apa pula artinya bahagia?"

"Masa kau tidak.... tidak bahagia?" tanya si nona.

Oh Thi-hoa tertawa, tawa yang hampa dan pedih, ucapnya perlahan, "Aku cuma tahu, orang yang lahirnya kelihatan sangat bahagia, sering justru sangat kesepian hidupnya."

Mendadak Kim Leng-ci berpaling ke sini pula dan menatapnya lekat-lekat. Sorot matanya tampak buram, tapi juga dalam dan sukar dijajaki. Dia seperti baru pertama kali kenal orang yang bernama Oh Thi-hoa ini

Oh Thi-hoa juga seperti baru melihat jelas nona yang bernama Kim Leng-ci ini. baru sekarang ia merasa nona ini adalah seorang perempuan sungguh-sungguh, perempuan yang cantik

Rupanya di buritan kapal ada orang yang sedang memutar roda kemudi, haluan kapal mendadak berubah, badan kapal terasa rada miring.

Dengan sendirinya tubuh Kim Leng-ci juga ikut mendoyong, ia menjulurkan tangan hendak memegang pagar geladak, tapi yang terpegang adalah tangan Oh Thi-hoa.

Sekarang sinar bintang pun tampak rada buram, kerlipan bintang yang buram, bayangan orang yang buram pula. Tiada orang lain. tiada suara lain, yang terdengar cuma suara napas yang halus.

Segala apa memang tidak perlu lagi diucapkan sekarang, apapun yang hendak dikatakan hanya akan berlebihan saja.....

Entah sudah berapa lama akhirnya Kim Leng-ci bersuara rawan, "Sebegitu jauh kukira kau sangat..... sangat jemu padaku."

"Aku pun mengira kau muak padaku," ujar Oh Thi-hoa.

Pandangan kedua orang beradu, keduanya sama-sama tertawa, tawa yang penuh arti.

Cahaya bintang yang berkerlipan di tengah cakrawala itu seakan-akan sudah terlebur seluruhnya ke dalam tertawa mereka.

Perlahan-lahan Kim Leng-ci mengangkat botol arak dan menuangnya ke laut.

Kalau sudah ada cinta, untuk apa pula arak?

"Kutuang arakmu, kau menyesal tidak?" tanya Kim Leng-ci sambil berkedip-kedip.

"Apakah kau kira aku ini setan arak benar-benar?" jawab Oh Thi-hoa.

"Kutahu, bilamana seseorang benar-benar emrasa bahagia, tentu saja tidak mau dianggap sebagai setan arak," ujar Kim Leng-ci dengan suara lembut.

Oh Thi-hoa memandangnya lekat-lekat, tiba-tiba ia tertawa katanya, "Si kutu busuk tua itu sok anggap dirinya mengetahui segala hal dan orang lainpun tidak dapat mengelabui dia, tapi ada sementara urusan pasti takkan terpikir olehnya."

"Urusan apa?" tanya Kim Leng-ci.

Semakin erat genggaman Oh Thi-hoa, jawabnya dengan suara halus, "Dia pasti tidak menyangka engkau dapat berubah selembut ini."

"Dia tentu menganggap aku ini macan betina," ucap si nona sambil mengigit bibir. "Padahal...." mendadak ia menghela napas, lalu menyambung dengan rawan. "Jika seorang benar-benar merasa bahagia, siapa pun tak suka jadi macan betina."

Pada saat itulah sekonyong-konyong seseorang menjengek, "Hm, macan betina mendapatkan setan arak, sungguh pasangan yang setimpal."

Daun pintu kabin terbuka ke bagian luar, kini di balik pintu tampak ada sesosok bayangan orang dan suara jengekan itu justru keluar dari bayangan di balik pintu itu.

Dengan cepat Kim Leng-ci membalik tubuh, sekali ayun tangan, botol arak yang sudah kosong itu terus disambitkan.

Mendadak dari balik tempat gelap, terjulur sebuah tangan, hanya sekali mraup saja botol arak itu telah ditangkapnya.

Di bawah sinar bintang yang remang-remang kelihatan tangan itu pun sangat putih dengan jari yang lentik. Gerakannya juga sangat cepat dan lincah.

Seperti burung terbang saja, segera Oh Thi-hoa menubruk ke sana. Tapi mendadak botol arak disambitkan kembali, langsung mengarah muka Oh Thi-hoa.

"Brak," sekali sampuk, Oh Thi-hoa hancurkan botol arak itu, dia masih terus menubruk ke sana. Maka berkelebatlah sesosok bayangan orang dari tempat gelap itu.

Mestinya Oh Thi-hoa dapat mencegatnya, tapi entah mengapa, mendadak ia seperti tgercengang. Hanya sekejap saja bayangan orang itu pun berkelebat lagi terus menghilang.

Cepat Kim Leng-ci memburu ke sana, dilihatnya Oh Thi-hoa masih mematung di sana dengan mata terbelalak ke depan penuh rasa kaget dan heran, seperti mendadak melihat setan dan tidak percaya kepada pandangan sendiri.

Kim Leng-ci terus memburu ke belakang sana. Tapi kelasi yang dinas menjaga kemudi di buritan sana tiada melihat siapa pun juga. Lalu kemanakah bayangan orang tadi? Jangan-jangan menyusup dan bersembunyi di kabin kapal?

Setelah memutar satu keliling, lalu Kim Leng-ci balik ke tempat tadi, dilihatnya Oh Thi-hoa masih termangu-mangu di situ tanpa bergerak sedikit pun.

"He, kau melihat orang itu, bukan?" tanya Kim Leng-ci.

"Ehmmm," akhirnya Oh Thi-hoa mengangguk.

"Siapakah dia?" tanya si nona pula.

Tapi Oh Thi-hoa menggeleng saja.

"Kau kenal dia bukan?" tanya Kim Leng-ci.

"Seperti.... seperti..." hanya sepatah kata ucapannya, segera ia ubah haluan. "Aku tidak melihat jelas."

Kim Leng-ci melototinya hingga lama sekali, lalu katanya hambar, "Suaranya terasa merdu juga. cuma sayang kata-katanya itu tidak seharusnya diucapkan orang perempuan."

"O, masa?" ucap Oh Thi-hoa.

"Hm," jengek Kim Leng-ci. "Ada sementara orang memang sangat hebat, kemana pun dia pergi selalu bertemu dengan kenalan lama. Orang begini kalau mengaku hidupnya juga kesepian, hm. setan yang mau percaya!"

Belum habis ucapannya, segera ia melengos dan tinggal pergi ke dalam kabin.

Oh Thi-hoa ingin menyusul, tapi urung. Ia mengerut kening dan bergumam, "Apakah betul dia?... Kenapa ada di sini?"

00ooo00

Pagi sudah tiba. hari sudah terang.

Tapi keempat kamar kabin itu masih tetap tertutup. tiada orang masuk. juga tiada orang keluar, pula tiada terdengar suara percakapan orang.

Oh Thi-hoa masih terus duduk di ujung tangga dan mengincar keempat daun pintu kamar itu. Dia seperti berubah linglung, terkadang tersenyum sendiri seakan-akan teringat kepada hal-hal yang menggelikan, lain saat berkerut kening dan bergumam sendiri. "Mungkinkah dia?..... Apa yang telah dilihatnya?" Orang pertama yang keluar dari kamar ialah Thio Sam. Orang yang hidup di perairan sama seperti ikan, lebih banyak waktu bergerak daripada istirahat. maka juga lebih dini bangun tidur daripada orang lain.

Ketika melihat Oh Thi-hoa duduk di anak tangga sana. Thio Sam tercengang. dengan tertawa ia menegur. "Kukira kau pergi mencuri arak dan jatuh mabuk, tak tersangka kau duduk di sini dengan pikiran jernih, sungguh jarang terjadi."

"Hmk," Oh Thi-hoa hanya mendengus saja.

"Kau melamun apa di sini?" tanya Thio Sam.

Memangnya sedang mendongkol, hampir saja Oh Thi-hoa meraung gusar.

===== missing =========

Padahal jarang Oh Thi-hoa bertingkah misterius begini.

Dengan heran Coh Liu-hiang bertanya, "Sesungguhnya kejadian apa yang kau lihat semalam?"

"Aku tidak melihat apa-apa, hanya melihat bayangan setan saja." jawab Oh Thi-hoa sambil menghela napas. Melihat sikapnya yang limbung itu mirip orang yang melihat setan.

Coh Liu-hiang jadi heran, tanyanya. "Setan? Setan apa?"

"Setan kepala besar, setan perempuan....."

Tanpa terasa Coh Liu-hiang meraba hidung. ucapnya dengan menyengir, "Ai, tampaknya setiap dua hari sekali kau selalu kepergok setan perempuan agaknya tidak sedikit setan perempuan yang terpikat olehmu."

"Tapi setan perempuan yang kupergoki sekali ini, biarpun pecah kepalamu juga tak dapat menerkanya," ujar Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang termenung sejenak, lalu katanya, "Oo. apa setan perempuan itupun pernah kukenal?"

"Sudah tentu kau kenal, bahkan sahabat lama," kata Oh Thi-hoa.

"Oo, memangnya Ko A-lam maksudmu?"

"Betul, memang Ko A-lam," kata Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang jadi melengak, gumamnya, "Betul dia? Mengapa dia berada di kapal ini? Kau tidak salah lihat?"

Oh Thi-hoa berteriak, "Mana bisa kusalah lihat? Orang lain mungkin bisa salah. tapi dia..... biarpun dia terbakar jadi abu, juga kukenali dia."

Sejenak Coh Liu-hiang termenung, katanya kemudian, "Jika betul dia berada di kapal ini, Koh bwe Taysu pasti juga berada di sini."

"Ya, sudah tentu kupikirkan hal ini. aku pun merasa hal ini sangat mungkin sebab kapal mereka pun tenggelam. bisa Jadi mereka ditolong Goan Sui-hun."

"Watak si tua itu sangat aneh, maka sepanjang hari pintu kamar selalu tertutup dan tidak mau menemui siapa pun juga."

Coh Liu-hiang mengangguk perlahan sebagai tanda sependapat.

"Mungkin Goan Sui-hun juga sudah tahu penyakit si tua ini, maka dia tidak memperkenalkan kita kepadanya."

"He...... ketika melihatmu. dia bicara sesuatu tidak?" tanya Coh Liu-hiang tiba-tiba.

"Tak bicara apapun......... dia cuma omong satu kalimat."

"Omong apa?" tanya Coh Liu-hiang.

Wajah Oh Thi-hoa menjadi rada merah. katanya, "Dia bilang macan betina mendapatkan setan arak memang pasangan yang setimpal."

Kembali Coh Liu-hiang melengak, tanyanya, "Macan betina?.... siapa macan betina?"

"Terserah kau, siapa yang kau anggap mirip macan betina maka dia itulah macan betina," kata Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang tambah tercengang. ucapnya, "Masa yang dimaksud Kim Leng-ci?"

Oh Thi-hoa menghela napas, katanya kemudian. "Sebenarnya ia pun bukan macan betina sungguh-sungguh, bila dia mau lemah lembut, mungkin sukar kau bayangkan selamanya."

Coh Liu-hiang menatapnya tajam, katanya. "Apakah semalam kau berada bersama dia? Apa yang kalian lakukan?"

"Tidak melakukan apa-apa, hanya kepergok Ko A-lam," jawab Oh Thi-hoa gegetun.

"Wah. hebat juga kau." kata Coh Liu-hiang dengan tertawa sambil menggeleng.

"Kutahu kau pasti akan cemburu," ujar Oh Thi-hoa.

"Yang cemburu mungkin bukan diriku. tapi orang lain."

Oh Thi-hoa berkedip, tanyanya. "Maksudmu di.... dia?"

"Masa bau cuka dari ucapannya tak tercium olehmu?" ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

Oh Thi-hoa meraba hidungnya lagi.

"Jika dia masih cemburu padamu, itu tandanya dia belum pernah melupakan dirimu," kata Coh Liu-hiang.

Oh Thi-hoa menghela napas panjang. katanya, "Bicara terus terang, aku pun tidak pernah melupakan dia."

Coh Liu-hiang meliriknya sekejap. ucapnya dengan hambar. "Dia juga seekor macan betina, pasangan yang setimpal juga denganmu. cuma saja......" Dia menghela napas. lalu menyambung, "Bilamana seorang lelaki sekaligus menghadapi dua ekor harimau betina, kalau dia masih meninggalkan beberapa kerat tulangnya, maka untunglah dia."

Oh Thi-hoa menjadi dongkol, katanya, "Sialan. maksudku hendak berunding denganmu, tapi kau malah berolok-olok."

"Bicara sesungguhnya, aku memang ingin melihat cara bagaimana berakhirnya sandiwara yang kalian lakonkan ini."

Oh Thi-hoa berdiam sejenak tiba-tiba ia berkata, "Apapun juga, aku harus menemui dia satu kali."

"Untuk apa menemui dia?" tanya Coh Liu-hiang.

"Memberi penjelasan kepadanya."

"Cara bagaimana akan kau jelaskan?" Oh Thi-hoa jadi melengak dan tak dapat menjawab.

"Urusan begini, makin dibicarakan makin ruwet, semakin kau jelaskan duduk perkaranya, semakin marah dia."

Oh Thi-hoa manggut-manggut, gumamnya, "Betul, pada dasarnya perempuan memang sukar diyakinkan, sedangkan kepandaianku berdusta tak lebih mahir daripadamu. maka kukira .... kukira kau saja yang memberi penjelasan padanya."

"Sekali ini tidak nanti aku mau menjadi sasaran dampratan bagimu," jawab Coh Liu-hiaung. "Apalagi saat ini Koh-bwe taysu pasti tidak ingin memperlihatkan asal usulnva. jika kita ingin menemui dia, kan malah melanggar sirikannya. Kau tahu terhadap Nikoh tua ini aku pun kewalahan."

Hidung Oh Thi-hoa menjadi merah dikucek-kucek. katanya dengan menyesal, "Wah. lantas bagaimana baiknya?"

"Coba jawab, yang kau sukai sesungguhnya siapa? Nona Kim atau nona Ko?"

"Aku tak dapat menjawab, aku sendiri pun tidak tahu." Coh Liu-hiang jadi geli dan rnendongkol, katanya pula, "Jika demikian, aku tak berdaya dan tak sanggup ikut campur."

"Tidak, betapapun kau mesti ikut campur." segera Oh Thi-hoa menariknya pula.

"Cara bagaimana aku ikut campur? Aku kan bukan bapakmu? Masa aku harus memilihkan bini bagimu?" jawab Coh Liu-hiang dengan menyengir.

"Habis bagaimana... habis bagaimana? Kau kira mereka akan berbuat apa terhadapku?" tanya Oh Thi-hoa dengan muka murung.

"Jangan kuatir." kata Coh Liu-hiang geli, "Mereka bukan macan betina sungguh-sungguh, kau takkan dicaplok mereka."

"Namun.... namun mereka takkan gubris lagi padaku." "Sekarang tentu mereka takkan gubris padamu, tapi kalau kau dapat bersabar dan tak gubris mereka juga, akhirnya mereka pasti akan mencarimu," setelah tertawa, Coh Liu-hiang menyambung pula. "ltulah sifat perempuan yang sebenarnya. bila dapat kau raba sifat mereka, betapapun garangnya perempuan. akan mudah kau layani."

00ooo00

Saat itu Goan Sui-hun lagi berdiri di atas tangga sana.

Di luar kabin terdengar kumandang suara yang sangai lirih dan samar-samar. tiada seorang pun yang mampu rnendengar dengan jelas suara percakapan yang begitu lirih.

Akan tetapi Goan Sui-hun justru sedang pasang telinga dan mendengarkan dengan cermat.

Apakah pemuda tuna netra ini mempunyai kelebihan daripada orang lain? Apakah dia dapat mendengar sesuatu dengan jelas, sesuatu yang tidak mungkin dapat didengar orang lain?

oooo0000oooo

Dugaan Coh Liu-hiang memang tidak salah. Oh Thi-hoa ternyata cukup tahu diri.

Bukan saja tidak menggubrisnya, bahkan Kim Leng-ci sama sekali tidak memandangnya barang sekejap, dianggapnya di dunia ini seakan tiada Oh Thi-hoa lagi.

Waktu makan, sengaja si nona berduduk di samping Pek Lak, malahan memberi senyum manis padanya. Keruan sukma Pek Lak serasa terbang ke awang-awang.

Ketika Oh Thi-hoa muncul, Kim Leng-ci sengaja berkata kepada Pek Lak dengan tersenyum, "Kerang ini sangat lezat, maukah kuambilkan sedikit, coba cicipi."

Tentu saja mau. sekalipun yang diberikan Kim Leng-ci sekarang adalah sepotong batu, pasti akan ditelan mentah-mentah oleh Pek Lak.

Si nona benar-benar menyumpitkan kerang rebus padanya, hampir saja Pek Lak menelannya bulat-bulat bersama kulitnya.

Bilamana perempuan ingin membuat cemburu lelaki, segala daya upaya dapat dilakukannya. Padahal inipun menandakan si perempuan lagi cemburu pada lelaki itu.

Hal ini cukup dipahami Oh Thi-hoa. Maka meski di dalam hati merasa sangat penasaran karena tingkah laku Kim Leng-ci itu, lahirnya tetap tenang saja tanpa memperlihatkan cemburu sedikitpun.

Sandiwara Kim Leng-ci itupun tak dapat berlangsung lagi.

Ketika Pek Lak balas menghormati dengan sepotong telur pindang. mendadak si nona berteriak. "Sekalipun kau bermaksud baik menyuguh orang. paling tidak harus kau gunakan sumpitmu yang belum terpakai. Kau tidak tahu kebersihan? Apakah orang lain harus ikut-ikutan jorok? Masa kau tidak tahu aturan ini?"

Belum habis ucapannya, serentak ia berbangkit terus melangkah pergi tanpa berpaling lagi.

Keruan Pek Lak melenggong. mukanya menjadi lebih merah daripada kepiting rebus yang berada di atas meja. Diam-diam Oh Thi-hoa merasa geli.

Pada saat itu juga, sekonyong-konyong dari atas geladak sana berkumandang suara sorak gembira orang banyak. Kiranya ada pawai ikan.

Berbondong-bondong orang berkerumun di pagar geladak kapal. Air laut di bawah cahaya sang surya di waktu pagi tampak hijau jernih, serombongan ikan yang tak terhitung jumlahnya berpawai dari utara menuju selatan. Kapal mereka tepat menyusur di tengah-tengah pawai ikan itu.

Oh Thi-hoa tercengang menyaksikan jumlah ikan yang sukar dihitung itu, gumamnya, "Ikan yang pernah kulihat selama hidup tiada separohnya dari yang kulihat sekarang ini. Apakah ikan ini sudah gila. untuk apa berpawai ramai-ramai begini?"

"Pindah rumah!" ujar Thio Sam.

Tentu saja Oh Thi-hoa tambah heran, tanyanya. "Pindah rumah? Ikan juga tahu pindah rumah segala? Pindah kemana?"

"Katanya kau pintar, kenapa sekarang jadi goblok?" dengan tertawa Thio Sam berolok-olok. "Ikan juga takut dingin seperti manusia, maka bilamana musim dingin akan tiba. mereka lantas boyong ke selatan, ke daerah tropik. Bisa jadi gerombolan ikan ini sudah berenang beribu mil jauhnya. Maka daging ikan ini pasti lebih keras dan lezat, kaum nelayan biasanya menantikan panen ikan pada musim boyongan ikan begini."

Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, katanya, "Ai, banyak juga pengetahuanmu mengenai perikanan. cuma sayang. pengetahuanmu mengenai kemanusiaan terlalu sedikit."

Sejak tadi Goan Sui-hun berdiri jauh di sana dengan senyum selalu dikulum. kini mendadak ia berkata, "Sudah lama jaring kilat Thio-siansing terkenal dan tiada bandingannya, entah sekarang sudilah engkau mempertontonkan kemahiranmu untuk menambah pengetahuan dan pengalaman kami?"

Meski dia tidak dapat melihat apapun tapi membikin gembira orang lain, dianggapnya seperti kegembiraan sendiri.

Thio Sam ragu-ragu. tapi segera ada orang membawakan jaring baginya.

Menjaring, menangkap ikan, tampaknya pekerjaan sederhana, tidak memerlukan kepintaran, apalagi soal teknis segala. Padahal letak kegesitan orang mungkin hanya dapat dirasakan oleh ikan sendiri.

Seperti halnya ilmu silat. jelas cuma satu jurus Poat-cau-sun-coa' (menyingkap rumput mencari ular) yang sangat sederhana dan jamak, bila dimainkan sementara orang takkan mendapatkan hasil apa-apa. tapi orang lain bisa memainkan jurus yang sama dengan sangat lihai dan dapat mematikan lawan.

Letak perbedaan ini adalah karena orang itu dapat menguasai dengan tepat, baik waktu maupun kecepatannya. jadi tidak melewatkan setiap kesempatan yang terbuka.

Kesempatan akan lenyap dalam sekejap. sebab itulah kesempatan harus digunakan tepat pada waktunya, harus cepat.

Dalam pada itu, unsur 'mujur' atau 'hok-khi' juga tidak boleh dikesampingkan. Untuk berbuat sesuatu urusan agar berhasil dengan baik diperlukan juga sedikit kemujuran.

Tapi kemujuran juga tidak jatuh dengan sendirinya dari langit, bilamana orang selalu dapat mempergunakan kesempatan yang terbuka baginya dengan cepat dan tepat. maka kemujuran akan selalu berada bersamanya.

Laju kapal terasa mulai lambat.

Di buritan ada suara orang berteriak. "Turunkan layar....!" Kapal lantas melambat dan berhenti perlahan-lahan. Sekonyong-konyong jaring di tangan Thio Sam ditebarkan bagai segumpal awan.

"Jaring kilat yang hebat," kata Goan Sui-hun tertawa. "Manusia saja tidak mampu menghindar, apalagi ikan."

Rupanya dari deru suara anginnya, dapatlah dia memperkirakan betapa cepat gerak tangan orang itu.

Thio Sam sendiri berdiri tegak, kakinya seperti terpantek di geladak kapal, kukuh tak tergoyahkan sedikitpun. Sinar matanya gemerdep penuh daya tarik, seseorang yang sebenarnya sangat jamak itu kini mendadak seperti penuh daya tarik dan ebrjaya, seperti berubah jadi seorang Thio Sam yang lain.

Oh Thi-hoa menghela napas, gumamnya, "Sungguh aku tidak paham, mengapa setiap kali Thio Sam menebarkan jaring, rasanya menjadi jauh lebih menyenangkan daripada biasanya."

"Ini sama halnya seperti Ong Ging," ujar Coh Liu-hiang dengan tersenyum.

"Siapa itu Ong Ging?" tanya Oh Thi-hoa.

"Seorang pendekar pedang yang sangat termashur di masa lalu. tapi tidak banyak orang Kangouw yang tahu namanya."

"Sebab apa? Apa sangkut-pautnya dengan Thio Sam?"

"Orang ini kotor lagi malas, juga sangat miskin. bahkan cacat badaniah, sebab itulah dia tidak suka menemui orang lain. hanya bila terpaksa. baru dia mau melolos pedang."

"Memangnya kenapa kalau sudah melolos pedang?" tanya Oh Thi-hoa.

"Asalkan pedangnya terlolos, maka orangnya seakan berubah sama sekali. berubah menjadi bersemangat dan gagah perkasa, dalam keadaan begitu orang takkan merasa dia kotor lagi dan juga melupakan dia cacat badan."

Oh Thi-hoa berpikir sejenak, katanya sambil mengangguk. "Ya, pahamlah aku sekarang, sebab hidupnya itu lantaran pedang, dia telah mencurahkan segenap jiwanya pada pedangnya. pedang sama dengan kehidupannya."

"Penjelasanmu ini tidak terlalu tepat, tapi sudah mendekati," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

Dalam pada itu pernapasan Thio Sam tampak memburu, telapak kakinya berkeriutan bergesekan dengan geladak, urat hijau pada telapak tangannya juga tampak menonjol, nyata dia sedang mengerahkan tenaga untuk menarik jaringnya yang kelihatan tidak ringan.

Dengan tertawa Goan Sui-hun berkata, "Wah, kepandaian jaring Thio-siansing memang luar biasa, jaringan pertama saja sudah berhasil sangat memuaskan."

"Hayo, kubantu!" seru Oh Thi-hoa mendekati Thio Sam.

Ketika jaring ditarik sekuatnya, terdengar suara gemerasak muncratnya air. jaring meninggalkan air laut dan melayang ke atas kapal. "blang" dengan keras jaring yang padat isinya itu jatuh di atas geladak.

Seketika semua tercengang ketika diketahui di dalam jaring tidak terdapat satu ikan pun, yang ada cuma empat sosok tubuh perempuan, semua telanjang bulat.

Empat sosok tubuh perempuan yang bernas dan penuh daya tarik. Mcski meringkuk di dalam jaring. namun jaring ikan yang tipis dan renggang itu tak dapat menutupi keindahan badan mereka yang menggiurkan. malah menambah daya tariknya.

Setiap lelaki yang berada di atas kapal berdebar keras jantungnya. sudah tentu terkecuali orang yang tak dapat melihat.

Dengan tersenyum Goan Sui-hun lantas bertanya, "Ikan apakah yang berhasil dijaring?"

Oh Thi-hoa meraba hidung. jawabnya, "ikan manusia."

"Hah. ikan manusia? Ikan duyung maksudmu?" terkejut juga Goan Sui-hun. "Sungguh tidak tersangka di dunia benar-benar ada ikan manusia."

"Bukan ikan manusia, tapi manusia ikan.... manusia perempuan." kata Coh Liu-hiang.

"Perempuan? Hidup atau mati?" tanya Goan Sui-hun pula.

"Tentu hidup. di dunia pasti tiada orang mati sebagus ini." kata Oh Thi-hoa sambil bicara segera ia hendak membuka jaring ikan itu, tapi mendadak urung sebab tiba-tiba dilihatnya Kim Leng-ci sedang melototinya di sebelah sana.

Kalau ada lelaki tidak suka memandangi wanita bugil. maka lelaki itu tentu mempunyai kelainan jiwa. Namun begitu, untuk menjaga gengsi, tiada seorang pun yang berani mendahului mendekati keempat sosok tubuh yang menggiurkan ini. Malahan ada di antaranya berpaling ke arah lain, merasa kikuk sendiri.

Dengan tertawa Coh Liu-hiang berkata , "Goan-kongcu, tampaknya kita berdua yang harus kerja bakti."

"Betul, kalau Cayhe buta mata mengenai perempuan, maka Coh-hiangswe buta hati terhadap perempuan," ujar Goan Sui-hun dengan tersenyum. "Mari, silakan."

Meski matanya buta, tapi gerakan Goan Sui-hun tidak lebih lambat daripada Coh Liu-hiang. Begitu tangan kedua orang menggentak. seketika jaring ikan mengendur dan terbuka.

Pandangan setiap orang jadi terbelalak, orang yang sudah berpaling ke sana tanpa terasa menoleh pula ke sini.

Keempat sosok tubuh itu kelihatan sehalus sutera tersorot oleh sinar matahari. Halus, kenyal dan mengkilap.

Kulit tubuhnya tidak terlalu putih, kecoklatan karena dijemur sinar matahari, mempunyai daya khas. cukup untuk membakar hati kebanyakan lelaki.

Sehat juga tergolong salah satu di antara kecantikan. Apalagi tubuh mereka hampir tiada cirinya, kaki panjang keras, dada padat indah, pinggang ramping, setiap bagian tubuh membawa daya pikat yang cukup memikat sukma setiap lelaki.

Tapi Goan Sui-hun lantas menghela napas gegetun, katanya, "Sudah mati semua."

Oh Thi-hoa tidak tahan. katanya. "Perempuan sebagus ini sulit dicari. kalau mereka mati kurela biji mataku dicungkil."

"Mereka benar-benar sudah mati, sudah putus napas," kata Goan Sui-hun pula.

Oh Thi-hoa berkerut kening dan segera bermaksud mendekati. Tapi Kim Leng-ci lantas memburu maju, seperti tidak sengaja ia mengadang di depan Oh Thi-hoa, lalu ia meraba dada keempat tubuh perempuan itu.

"Bagaimana?" tanya Coh Liu-hiang. "Memang betul, sudah putus napas, tapi jantungnya masih berdenyut," jawab Kim Leng-ci.

"Apa masih dapat ditolong?" tanya Coh Liu-hiang pula.

"Jika jantung masih berdenyut tentu dapat diselamatkan," seru Oh Thi-hoa.

Tapi Kim Leng-ci melototinya dan berteriak, "Apa kau tahu mereka terluka atau mati sakit? Kau yakin bisa menolong?"

Oh Thi-hoa kucek-kucek hidungnya dan tak bicara lagi. Sejak tadi Thio Sam hanya melenggong saja, baru sekarang ia bergumam, "Sungguh aneh, darimanakah datangnva mereka? Mengapa bisa menyusup ke dalam jaringku, padahal ketika kutebarkan jaring jelas-jelas yang kulihat adalah ikan."

"Persoalan ini boleh kita perbincangkan nanti, yang paling penting sekarang adalah menolong orang," ujar Coh Liu-hiang.

"Apakah Hiangswe dapat mengetahui sebab apa pernapasan mereka berhenti?" tanya Kongsun Jiat-ih alias Eng Ban-li.

"Napas berhenti, tapi jantung berdenyut. keadaan demikian belum pernah kutemui sebelum ini," ujar Coh Liu-hiang sambil menggeleng.

"Bisa.... bisa jadi mereka sengaja menahan napas?" kata Kongsun Jiat-ih setelah berpikir sejenak.

"Rasanya mereka tidak perlu berbuat demikian," ujar Goan Sui-hun dengan hambar. "Pula. keempat nona ini pasti tidak memiliki Lwekang sehebat itu. tidak nanti sanggup menahan napas sedemikian lama."

"Kalau sebab musabab penyakit mereka tak dapat diketahui, lalu cara bagaimana menolong mereka?" kata Kongsun Jiat-ih sambil mengerut kening.

"Mungkin hanya ada satu orang yang dapat menolong mereka," ujar Goan Sui-hun.

"O, dimana orang itu?" cepat Oh Thi-hoa bertanya.

"Syukur, dia berada di kapal ini," jawab Goan Sui-hun.

"Siapa?" taya Oh Thi-hoa pula.

"Na-lohujin," jawab Goan Sui-hun.

Oh Thi-hoa melenggong, sejenak kemudian baru ia bertanya pula, "Siapakah Na-lohujin ini?"

Padahal ia tahu Na-lohujin (nyonya tua Na) yang dimaksud tentu Koh-bwe Taysu.

"Keluarga Na di Kangcoh terkenal ilmu pertabibannya, tentu kalian pernah mendengar namanya," tutur Goan Sui-hun. "Tapi Na-locianpwe konon sudah lama meninggal, kabarnya juga tidak punya keturunan." kata Kongsun Jiat-ih.

Goan Sui-hun tertawa. tuturnya pula. "Ilmu pertabiban keluarga Na biasanya cuma diturunkan kepada anak menantu dan tidak kepada anak perempuannya, Na-lohujin satu-satunya ahli waris ilmu pertabiban keluarga Na yang masih ada di zaman ini. cuma...." Dia menghela napas. lalu menyambung pula, "Entah beliau sudi memberi pertolongan atau tidak?"

Oh Thi-hoa teringat pada Koh-bwe Taysu yang juga memiliki ilmu pertabiban tinggi, segera ia menukas, "Biar kita memohon beramai-ramai. kukira beliau sungkan untuk menolak."

Pada saat itulah tiba-tiba seseorang berkata dengan perlahan, "Kejadian ini sudah diketahui guruku, silakan kalian membawa keempat nona ini ke bawah."

Oh Thi-hoa melengak. yang bicara ternyata Ko A-lam.

Kim Leng-ci melirik si nona yang bicara ini. lalu melototi Oh Thi-hoa, habis itu melengos ke sana dan memandangi laut.

00ooo00

Akhirnya keempat 'manusia ikan' mulus itu dibawa ke bawah. Kamar kabin yang berderet menjadi dua sisi itu hampir sama besarnya.

Tapi kamar kabin ini terasa lebih dingin. siapa pun yang melihat Koh-bwe Tavsu. pasti akan timbul perasaan seram. lebih-lebih Oh Thi-hoa, hampir ia tak berani masuk ke kamar itu.

Meski yang dikenakan Koh-bwe Taysu sekarang dandanan preman. cukup mewah dan juga kereng. sorot matanya yang tajam dingin membuat orang tidak berani menatapnya.

Waktu pandangannya menyapu lewat muka Oh Thi-hoa, tanpa terasa Oh Thi-hoa merinding.

Syukurlah keempat 'manusia ikan' itu kini sudah dibalut selapis selimut dan terbaring di depan Koh-bwe Taysu. Dengan sendirinya kamar kabin tidak dapat memuat orang sebanyak itu. Oh Thi-hoa merasa kebetulan dan ebrdiri saja di luar pintu, tapi juga merasa berat untuk tinggal pergi.

Hakikatnya Ko A-lam tidak memandang sekejap kepadanya, tapi sering Oh Thi-hoa melirik si nona. Apalagi dalam kamar masih ada empat 'ikan duyung' yang menggiurkan dan misterius, Darimanakah datangnya mereka?

Apakah muncul dan dasar laut? Apakah dasar laut adalah istana raja naga seperti dalam dongeng? Apakah mereka penduduk pulau sekitar sini. mungkin sedang menyelam dan tanpa sengaja terjaring?

Asalkan lelaki. tentu akan tertarik oleh kejadian aneh ini. Dengan sendirinya Oh Thi-hoa merasa berat tinggal pergi. Kalau tak mau pergi dan tak berani masuk. terpaksa ia cuma mengintip saja dan luar pintu.

Di dalam kamar kabin tetap sunyi, tiada seorang pun berani buka suara.

Mendadak seorang berbisik di belakangnya, "Tampaknya kau sangat berminat terhadap kejadian ini?"

Tanpa menoleh juga Oh Thi-hoa tahu yang bicara itu Kim Leng-ci, sambil menyengir ia menjawab, "Aku memang orang yang sangat simpatik."

"Tapi kalau yang terjaring itu lelaki, tentunya kau takkan simpatik?" jengek si nona.

Tiba-tiba Oh Thi-hoa teringat pada ucapan Coh Liu-hiang, "Asalkan kau bisa bersabar, cepat atau lambat mereka pasti mencari dirimu. Asalkan kau dapat meraba watak perempuan, betapapun garangnya perempuan itu pasti mudah dihadapi".

Teringat kepada petuah yang diucapkan Coh Liu-hiang itu, seketika tegaklah cara berdiri Oh Thi-hoa. ia pun lantas menjengek,"Hm, jika kau pandang aku sebagai lelaki demikian, untuk apa kau cari aku?"

Kim Leng-ci menggigit bibir dan termenung sejenak, tiba-tiba ia berkata, "Malam nanti, di tempat dan waktu yang sama......" Ia tidak menuuggu jawaban Oh Thi-hoa, juga tidak memberi kesempatan padanya untuk menolak, belum habis ucapannya segera ia tinggal pergi.

Waktu Oh Thi-hoa menoleh, si nona sudah tak tampak pula. Ia menghela napas dan bergumam. "Perempuan, o perempuan. Tanpa perempuan. sunyi senyap, bila ada perempuan, porak poranda. Tampaknya ujar-ujar orang tua ini tidak salah....."

00ooo00

Di kamar kabin yang sunyi dan dingin itu, yang terasa hangat hanyalah seorang nona cilik yang berdiri di pojok.

Sejak melihatnya sekali dari kejauhan tempo hari, selama ini pula Coh Liu-hiang tak lupa Meski nona cilik ini tertunduk. tapi jelas sedang melirik ke arah Coh Liu-hiang ketika beradu dengan sorot mata Coh Liu-hiang, muka nona cilik itu menjadi merah dan kepalanya menunduk terlebih rendah.

Coh Liu-hiang berharap nona itu akan mengangkat kepalanya lagi. Tapi sayang. Koh-bwe Taysu telah berkata dengan dingin dan ketus, "Semua lelaki hendaklah keluar."

Setiap ucapan Koh-bwe Taysu selalu sederhana. pula tidak pernah memberi penjelasan apa alasannya. Apa yang dikatakannya sama dengan perintah.

"Blang", pintu ditutup, hampir saja hidung Oh Thi-hoa terbentur daun pintu.

Diam-diam Thio Sam tertawa geli. bisiknya, "Seumpama ingin mengintip, kan tidak perlu berdiri sedekat itu. jika hidung terbentur peyot, kan rugi sendiri."

Tampaknya kedua orang akan ribut mulut lagi, cepat Coh Liu-hiang menyela, "Goan-kongcu. apakahjarak Pian-hok-to dari sini sudah dekat?"

Goan Sui-hun berpikir sejenak, jawabnya kemudian, "Hanya juru mudi saja yang tahu arah pelayaran ini, menurut keterangannya, diperlukan satu dua hari baru bisa sampai di sana."

"Jika demikian apakah di sekitar sini tiada sesuatu pulau?" tanya Coh Liu-hiang pula.

"Kapal ini berada di tengah samudera, di sekitar sini tiada sesuatu pulau," jawab Goan Sui-hun.

"Menurut dugaan Kongcu, darimana datangnya keempat nona tadi?" tanya Coh l.iu-hiang.

"Hal ini memang membingungkanku," pemuda tuna netra itu menghela napas, lalu menyambung. "Menurut dongeng kuno, di lautan lepas begini memang banyak hal misterius dan kejadian yang sukar dijeaskan akal sehat."

Oh Thi-hoa menghela napas katanya "Jika begitu, jangan-jangan kita ketemu setan lagi, malahan setan perempuan pula."

"Jika mereka benar setan perempuan. tentu kau yang dicari," kata Thio Sam.

Oh Thi-hoa mendelik. belum lagi dia bicara, sekonyong-konyong dari dalam kamar tadi berkumandang suara jeritan.

Jeritan itu sangat singkat, melengking tajam penuh rasa takut dan seram.

Seketika berubah air muka setiap orang.

"Seperti suara si nona yang naik ke geladak kapal tadi," ujar Eng Ban-li.

"Betul," tukas Goan Sui-hun.

Betapapun pendengaran kedua orang ini tidak nanti keliru.

Nona yang naik ke geladak tadi ialah Ko A-lam. mengapa dia mengeluarkan jeritan setajam itu, padahal dia bukan seorang nona yang suka berteriak-teriak begitu. Oh Thi-hoa juga tidak pernah mendengar jeritannya yang begitu seram.

Apa yang terjadi di dalam kamar? Apakah keempat nona telanjang tadi memang betul siluman yang datang dari dasar laut dan sekarang hendak merenggut nyawa orang?

Oh Thi-hoa orang pertama yang tidak tahan, ia menggedor pintu sekuatnya dan berteriak, "Ada apa? Lekas buka pintu!"

Tapi tiada jawaban apapun, malahan yang terdengar suara orang menangis.

Air muka Oh Thi-hoa berubah pula, serunya, "Itulah suara Ko A-lam, dia sedang menangis."

Mengapa Ko A-lam menangis, lalu bagaimana orang lainh yang juga berada di dalam kamar?

Oh Thi-hoa tak sabar lag,i segera ia mendobrak pintu ,daun pintu terpentang, berbareng ia pun menerjang ke dalam.

Tapi ia segera berdiri tegak seperti patung seakan-akan berubah seketika. *^ -

Napas setiap orang juga seperti berhenti melihat keadaan di dalam kamar. Siapa pun tak dapat membayangkan apa sesungguhnya yang terjadi? Siapa pun tidak dapat melukiskan betapa seramnya di dalam kamar ini.

Darah!!! Dimana-mana darah melulu.

Yang rebah bergelimang darah ternyata Koh-bweTaysu.

Ko A-lam sedang menangis sedih mendekap tubuh sang gurur seorang nona lain tampak ketakutan sehingga jatuh pingsan. maka tidak terdengar suaranya.

"Manusia ikan tadi semula dibaringkan sejajar tapi sekarang sudah terpencar. garis tubuh yang menggiurkan itu kini rusak, kedelapan lengan telah putus semua. Yang paling menakutkan adalah pada dada masing-masing telah bertambah sebuah lubang. Lubang berdarah!

Tangan Koh-bww Taysu yang kurus juga berlumur darah.

Mendadak Kim Leng-ci membalik tubuh terus berlari pergi, belum tiba di geladak sudah muntah-muntah.

Air muka Goan Sui-hun juga berubah. gumamnya, "Apa yang terjadi di sini? Mengapa begitu terasa bau anyirnya darah?"

Tiada seorang pun yang dapat menjawab pertanyaannya. Perubahan ini sungguh terlalu mengejutkan dan mengerikan, siapa pun tidak pernah membayangkannya. Padahal ilmu silat Koh-bwe Taysu jarang ada bandingannya, mana bisa terbunuh mendadak secara mengerikan begini? Lalu siapakah pembunuhnya?

Goan sui-hun berkata. "Mana Na-lohujin? Apakah dia...."

Mendadak Ko A-lam mendongak dan melotot padanya, teriaknya dengan parau, "Kau yang mencelakai beliau, pasti kau!"

"Aku?" Goan Sui-hun melongo.

"Ya," terak Ko A-lam. "Sejak awal hingga akhir, semua ini adalah muslihatmu, perangkapmu."

Mata si nona sebenarnya sangat indah, tapi sekarang menjadi merah bendul karena menangis, bahkan penuh rasa benci dan dendam, tampaknya sangat menakutkan tapi sayang. Goan Sui-hun tak dapat melihatnya. Pemuda tuna netra ini tetap tenang, satu kata pun tidak membantah.

Apakah diam berarti mengakui?

Dengan menggreget Ko A-lam lantas berteriak pula, "Ganti jiwamu!" Baru habis ucapannya, serentak dia menubruk maju dengan kalap. Kelima jarinya terpentang laksana cakar terus mencengkeram ke hulu hati Goan Sui-hun.

Serangan ini sangat aneh dan ganas, mengerikan bagi yang menyaksikan.

Padahal setiap orang Kangouw tahu, permainan silat Hoa-san-pay mengutamakan kelincahan dan kebersihan, siapa pun tidak menduga si nona akan mengeluarkan jurus serangan maut yang ganas dan keji begini. Jurus serangan ini jelas tidak sama dengan jurus serangan Hoa-san-pay yang lain.

"Jangan-jangan cara beginilah Koh-bwe Taysu mengorek keluar ulu hati keempat manusia ikan tadi!?" demikian semua orang membatin. Yang jelas Ko A-lam tampaknya juga ingin mengorek hulu hati Goan Sui-hun dengan serangan mautnya itu.

Tapi Goan Sui-hun masih tetap berdiri tenang di tempat, seakan tidak pernah merasakan betapa lihainya serangan itu.

Apapun juga dia buta, tentu tak menguntungkan jika bertempur dengan orang, bila Ko A-lam tak kelewat benci, tidak nanti melancarkan serangan maut terhadap seorang tuna netra.

Oh Thi-hoa merasa tidak tega, cepat ia berteriak, "Jangan, tunggu belum habis ucapannya, tahu-tahu Ko A-lam sendiri telah mencelat ke sana.

Hanya perlahan Goan Sui-hun mengebaskan lengan bajunya dan Ko A-lam telah tersengkelit mencelat, tampaknya si nona akan menumbuk dinding dan bisa jadi akan patah tulang. Siapa tahu baru saja tubuhnya menyentuh dinding seketika tenaga sengkelitan itupun punah, maka dengan perlahan ia terperosot ke bawah.

Rupanya tenaga kebasan lengan baju Goan Sui-hun dapat dilakukan dengan sempurna, perlahan atau keras dapat dilakukan sesuka hatinya. gerakannya juga sedemikian wajar, sikapnva tetap tenang dan luwes, sedikitpun tidak nampak marah.

Nyata biarpun ilmu kebasan lengan baju "Liu-in-siu" yang paling terkenal dari Bu-tong-pay, juga tak selihai kebasan Goan Sui-hun ini.

Tapi setelah tubuhnya terperosot ke bawah, Ko A-lam tidak berdiri lagi, rupanya dia jatuh pingsan.

Keruan Oh Thi-hoa kuatir, segera ia memburu maju dan memeriksa keadaan denyut nadinya.

"Jangan kuatir Oh-heng." kata Goan Sui-hun, "Nona ini jatuh pingsan karena cemas dan sedihnya. Cayhe sendiri sama sekali tidak melukainya."

Mendadak Oh Thi-hoa membalik tubuh dan berteriak bengis. "Sebenarnya tipu muslihatmu atau bukan?"

Goan Sui-hun menghela napas panjang, jawabnya, "Sampai saat ini Cayhe belum lagi tahu apa yang terjadi di sini."

"Tapi tadi mengapa kau diam-diam mengakui?" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Cayhe tidak diam-diam mengakui. hanya tak ingin membantahnya saja." jawab pemuda tuna netra itu.

"Mengapa tidak ingin membantah?" tanva Oh Thi-hoa.

"Bila lelaki berdebat dengan perempuan, kau cuma mencari susah sendiri?" ujar Goan Sui-hun dengan tersenyum hambar.

Agaknya ia pun cukup paham jiwa perempuan.

Apabila seorang perempuan menganggap benar suatu urusan. biarpun punya seribu alasan juga jangan harap dapat mengubah pendiriannya.

Maka Oh Thi-hoa tidak bertanya pula. sebab ia pun sangat paham akan hal ini.

Dalam pada itu, nona cilik yang pingsan di pojok sana sudah mulai berkeluh. Coh Liu-hiang menarik kedua tangannya dan menyalurkan tenaga dalamnya. Seketika denyut jantung si nona itu bertambah kuat.

Lalu dia membuka mata saat melihat Coh Liu-hiang. mendadak ia memekik perlahan terus menubruk ke dalam pelukan Coh Liu-hiang. Tubuhnya tampak menggidik ucapnya dengan suara gemetar. "Aku.,., aku takut.,, sangat takut..."

Perlahan Coh Liu-hiang menepuk pundak si nona dan berkata. "Jangan takut, kejadian yang menakutkan sudah berlalu."

Suara Coh Liu-hiang seperti mengandung tenaga penenang, meski cuma satu-dua kalimat saja, tapi guncangan perasaan si nona sudah dapat ditenangkan.

"Sesungguhnya apa yang terjadi?" tanya Coh Liu-hiang.

Pertanyaan ini memang ingin diketahui setiap orang, sudah sejak tadi mereka menantikan penjelasan.

Dengan suara gemetar si nona menjawab, "Orang ... orang-orang perempuan tadi........." Mendadak ia terguguk sehingga sukar melanjutkan ucapannya.

"Kenapa orang-orang perempuan tadi?" tanya Oh Thi-hoa.

Nona itu kelihatan ngeri, tuturnya dengan terputus-putus, "Semula mereka tampak sudah mati dan... dan terbaring di lantai. Suhu ingin menolong mereka, selagi beliau memeriksa penyakit mereka, siapa tahu.....siapa tahu mendadak............. " Sampai di sini, kembali ia menangis tergerung-gerung pula.

Jika perempuan sudah menangis, maka sama halnya turun hujan, siapa pun tak dapat mencegah.

Terpaksa semua menunggunya. Tapi lapat-lapat dalam hati sudah dapat menerkan apa yang terjadi.

Muka si nona masih terbenam di dada Coh Liu-hiang, bajunya basah oleh cucuran air mata. Dadanya terasa hangat, bidang dan kuat. Tapi air mata anak gadis terlebih harus disayangi daripada mestika Mutiara.

Seorang lelaki kalau dadanya tidak pernah dibasahi air mata anak gadis, mungkin dia belum dapat dianggap sebagai lelaki tulen, sebab dada orang lelaki adalah tempat pelipur hati yang paling baik bilamana anak gadis sedang menangis.

Suara tangisan anak dara tadi perlahan-lahan mereda.

Selang sejenak, barulah ia bercerita pula dengan terguguk, "Siapa tahu. mereka itu hakikatnya tidak sakit apapun, haru saja Suhu meraba nadi mereka, tiba-tiba mereka melompat bangun, empat orang serentak menyerang sekaligus, laksana ikan gurita, keempat orang itu terus memegang Suhu erat-erat."

Goan Sui-hun berkerut kening, katanya. "Dengan ilmu silat Na-lohujin. seumpama dia dipegang orang, kan juga sangat mudah untuk melepaskan diri. Apalagi keempat orang itu pasti tidak mempunyai tenaga yang kuat."

"Tapi tenaga mereka justru sangat mengejutkan, pula tubuh mereka sangat licin seperti dilumuri minyak, aku ingin menarik mereka, tapi memegangnya saja sukar," tutur si nona pula.

"Jadi mereka hendak mencelakai gurumu, mengapa tidak kau bunuh mereka lebih dahulu?" tanya Oh Thi-hoa.

"Sudah tidak keburu lagi." jawab si nona.

"Tidak keburu?" Oh Thi-hoa menegas.

"Ya. sebab mereka seperti sudah mengalami latihan yang sangat keras, mereka dapat bekerja sama dengan sangat rapi, begitu keempat orang itu menerjang maju, ada yang menindih, ada yang menghimpit, dalam sekejap saja ruas tulang Suhu seakan retak dan patah semua." Sampai di sini, tubuh si nona menggigil lagi, seperti ngeri membayangkan ruas tulang gurunya diremukkan waktu itu. Suara itu memang sukar dilupakan siapa pun yang pernah mendengarkannya.

Goan Sui-hun menghela napas, katanya, "Kejadian ini tak pernah dibayangkan oleh siapa pun. pantas tokoh seperti gurumu juga kena disergap mereka."

"Tapi mereka pun jangan harap bisa hidup," ujar si nona gemas. "Sebelum ajal, suhu membalas sakit hatinya sendiri."

"Oo?!" Goan Sui-hun bersuara heran.

"Setelah berhasil mengerjai Suhu, segera mereka bermaksud kabur, tak tersangka akhir-akhir ini Suhu berhasil meyakinkan ilmu Ti-sim-jiu (tangan mengorek hati)," tutur si nona. "Ti-sim-jiu?" Goan Sui-hun mengulang nama itu. "Ya, Ti-sim-jiu." kata si nona. "Suhu merasa orang jahat di dunia Kangouw makin lama makin merajalela, beliau meyakinkan ilmu sakti ini khusus untuk menghadapi kawanan penjahat."

"Konon Ti-sim-jiu adalah ciptaan Hoa Khing-hong, ketua Hoa-san-pay angkatan keempat, setelah lanjut usia, dia merasa Kungfunya terlalu keji, maka anak muridnya dilarang melatihnya. Sejak itu ilmu sakti itu putus keturunan. Entah cara bagaimana gurumu bisa memperoleh rahasia ilmu itu?"

Nona cilik itu seperti menyadari telah kelepasan omong, ia lantas tutup mulut.

Tapi Oh Thi-hoa menyambungnya, "Konon Na-lohujin sahabat karib Koh-bwe Taysu. masa Goan Sui-hun tidak tahu?"

Ternyata Oh Thi-hoa juga bisa berdusta bagi orang lain, cuma caranya berdusta mi tidak terlalu pintar.

Sejak kecil Koh-bwe Taysu sudah cukur rambut dan menjadi Nikoh, wataknya dingin menyendiri, bicara saja sungkan, terkadang malah sepanjang hari tidak buka mulut, mana bisa dia bersahabat dengan Na-lohujin yang tempat tinggalnya berjauhan.

Apalagi peraturan Hoa-san-pay amat keras, Koh-bwe Taysu juga terkenal sangat disiplin dan memegang teguh hukum perguruan, adil tanpa pilih kasih, mana mungkin dia mengajarkan ilmu sakti perguruan sendiri kepada orang luar.

Untung Goan Sui-hun tidak bertanya lebih lanjut Agaknya putera keluarga penilaian yang terkenal ini jarang bergerak di dunia Kangouw. maka pengetahuannya terhadap seluk-beluk dunia persilatan tidaklah banyak.

Dia hanya manggut-manggut saja, lalu berkata. "Ilmu Ti-sim-jiu ini memang keji, tapi kalau digunakan terhadap kaum durjana dunia Kangouw kiranya juga sangat tepat..... Orang yang biasa berbuat jahat dan keji harus dibalas dengan sama kejinya."

Coh Liu-hiang menghela napas gegetun, katanya, "Jika beliau tak memiliki ilmu sakti ini, mungkin keempat manusia itu akan sempat melarikan diri."

"Memangnya kenapa? Apakah dengan Kungfu jenis lain tak mampu membinasakan mereka?" tanya Oh Thi-hoa.

"Ilmu lain kebanyakan berdasarkan tenaga dalam yang kuat baru dapat memperlihatkan daya serangannya," tutur Coh Liu-hiang. "Dalam keadaan seluruh ruas tulang tercerai berai, cara bagaimana beliau sanggup mengerahkan tenaga murni pula?"

"Betul," kata Goan Sui-hun.

"Ti-sim-jiu adalah semacam Kungfu khas yang mengutamakan tenaga luar, intisarinya terletak pada gerakan yang tepat, makanya pada saat terakhir beliau sempat membinasakan mereka dengan sekali serang."

"Pengetahuan Hiangswe yang luas benar-benar sangat mengagumkan," ujar Goan Sui-hun.

'Walaupun begitu, andaikan mereka mau lari juga tidak mungkin." ujar Oh Thi-hoa.

"Oo? Dasarnya?" tanya Coh Liu-hiang.

"Kita kan bukan orang mampus, masa kita menyaksikan mereka kabur begitu saja?" jengek Oh Thi-hoa.

"Betul juga," kata Coh Liu-hiang. "Tapi mereka telanjang bulat tanpa sehelai benang pun d. tubuhnya, jika empat perempuan bugil menerjang keluar mendadak, siapa yang mampu menahan mereka? Apalagi, seperti cerita nona tadi, tubuh mereka licin berminyak, andaikan dipegang juga belum tentu kena."

"Tidak dapat memegangnya, sedikitnya dapat menahan lari mereka," jengek Oh Thi-hoa pula.

"Tapi bilamana mereka menerjang keluar mendadak, sebelum kita tahu apa yang terjadi, masa kita akan membunuh mereka begitu saja? Apalagi kamar ini kan tidak cuma ada sebuah pintu saja."

Kamar kabin ini memang betul ada dua pintu, sebuah sebuah pintu menembus ke kamar sebelah, yaitu kamar tempat tinggal Ko A-lam, sudah tentu sekarang di kamar itu tiada seorang pun.

Oh Thi-hoa tak dapat bicara pula, terpaksa tutup mulut. "Dari situ dapat diketahui bahwa peristiwa ini sejak awal hingga akhir memang telah direncanakan dengan rapi," kata Coh Liu-hiang pula. "Malahan bertelanjang bulat juga termasuk sebagian rencana mereka."

"Ya, mereka sengaja menyusup ke dalam jaring agar diseret ke atas, sejak semula mereka sudah menggunakan cara yang mengejutkan sehingga sukar diraba, malah sengaja telanjang bulat sehingga orang tidak berani memandang mereka dengan cermat, lebih-lebih tidak berani menjamah mereka," Goan Sui-hun menghela napas gegetun, lalu melanjutkan, "Perencanaan mereka bukan saja sangat rapi. bahkan sangat aneh. misterius, lucu dan sukar dibayangkan."

"Hanya satu hal yang tidak dapat kuselami hingga sekarang," tiba-tiba Eng Ban-li menyela. "Hal apa?" tanya Coh Liu-hiang.

"Aku melihat Lwekang mereka tidak tinggi, tapi mengapa bisa menahan napas selama itu di dalam laut," kata Eng Ban-li.

Selagi Coh Liu-hiang berpikir, tiba-tiba Goan Sui-hun berkata, "Hal ini mungkin dapat kujelaskan."

"Silakan," kata Eng Ban-li.

"Konon di lautan selatan sana, banyak penghuni pulau yang mahir menyelam dan ada gadis-gadis pencuri mutiara yang terlatih sejak kecil, sekali menyelam sanggup bertahan cukup lama tanpa ganti napas. Oleh karena tenaga badan harus banyak digunakan waktu menyelam, maka rata-rata tubuh gadis pencari mutiara itu sangat kekar dan kuat."

"Jika demikian, keempat nona telanjang itu pasti gadis pencari mutiara di lautan selatan sana?" ujar Eng Ban-li.

"Bila Goan-kongcu mengetahui di dunia ada orang macam begitu, tak kau katakan sejak tadi?"kata Oh Thi-hoa.

"Soalnya urusan ini sukar untuk dibayangkan, sebelum ini aku pun tidak pernah memikirkannya," jawab Goan Sui-hun.

"Tapi kau bilang di sekitar sini tiada sesuatu pulau, lalu darimana datangnya mereka?" tanya Eng Ban-li.

"Dan darimana pula mereka mengetahui Na-lohujin berada di kapal ini, darimana pula mereka tahu Na-lohujin mau menyembuhkan mereka?" tukas Thio Sam.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar