Legenda Pulau Kelelawar Bab 06: Menguak Rahasia

Bab 06: Menguak Rahasia

"Ya, sebab rahasia-rahasia itu selain memang bernilai sangat tinggi jgua sangat besar dan penting sangkut pautnya, maka penguasa di tempat itu setiap setahun sekali pasti mengundang sementara orang yang bersangkutan agar berkunjung ke sana untuk membeli rahasia-rahasia yang berhasil mereka kumpulkan. Terkadang sebuah rahasia diperebutkan orang untuk membelinya, karena itulah lantas diadakan lelang, harga penawaran tertinggi yang mendapatkan rahasia itu."

"Ehm, umpamanya.... Jing-hong-cap-sah-sik Hoa-san-pay, begitu?" kata Coh Liu-hiang.

Kembali Kim Leng-ci mengigit bibir, jawabnya, "Betul, rahasia Jing-hong-cap-sah-sik itu memang kubeli dari mereka. Sebab seorang murid Hoa-san-pay pernah menghina diriku, yang digunakannya tiada lain adalah ilmu pedang Jing-hong-cap-sah-sik, maka dengan segala daya upaya akupun berusaha membeli ilmu pedang itu, akan kubalas dendam supaya orang Hoa-san-pay itu juga terjungkal oleh ilmu pedang yang sama."

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Tapi penguasa Siau-kim-kut itupun pernah memperingatkan padaku agar ilmu pedang yang kubeli ini jangan sekali-sekali dipertunjukkan di depan umum, jika larangan itu kulanggar, maka ilmu pedang ini akan ditarik kembali."

Thio Sam mengerut kening, katanya, "Ilmu pedang yang sudah dipelajari dengan baik, cara bagaimana dicabut kembali?"

Sudah tentu mereka mem... mempunyai cara sendiri," kata Kim Leng-ci. Sampai di sini, nona yang biasanya tidak takut pada langit dan tidak gentar pada bumi, sorot matanya menampilkan rasa jeri. Jelas dia cukup kenal cara bagaimana orang itu memperlakukan orang lain yang dianggap bersalah.

"Tempo hari, karena kau marah, tanpa sadar kau mainkan Jing-hong-cap-sah-sik dan kebetulan dilihat Ting Hong, maka kau diancam olehnya dan terpaksa melakukan sesuatu perbuatan di luar kehendakmu, begitu bukan?" tanya Coh Liu-hiang.

Kim Leng-ci mengangguk, matanya tampak agak merah.

Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Jika begitu, jadi nona Kim pernah mendatangi tempat itu?"

"Ehm," si nona mengangguk.

"Sesungguhnya bagaimana bentuk pemimpin tempat itu?" tanya Coh Liu-hiang pula.

"Entah, aku sendiri tidak pernah melihatnya, siapa pun tidak dapat melihatnya," jawab Kim Leng-ci.

"Sebab apa tak dapat melihatnya? Apakah dia dapat menghilang?" saking tak tahan, akhirnya Oh Thi-hoa bertanya.

Kim Leng-ci melorotinya sekejap, jengeknya, "Setiba di sana, kau tentu akan tahu sendiri apa sebabnya."

OH Thi-hoa menghela napas, ucapnya, "Melihat gelagat sekarang ini, mungkin selamanya kita takkan datang ke sana, mengapa tidak kau ceritakan saja sekarang?"

"Aku tidak suka bercerita," jawab Kim Leng-ci ketus.

Oh Thi-hoa ingin tanya pula, tapi Coh Liu-hiang tahu bilamana anak perempuan seperti Kim Leng-ci sudah bilang 'tidak suka', maka biarpun menyembah padanya dan membujuknya hingga mulut robek juga tidak dapat mengubah pendiriannya. Sebab itu ia tahu bula tak dapat menanyai dia, tentu akan marah, dan dia justru menghendaki kemarahannya.

"Dan sekarang mungkin sudah tiba waktunya mereka melelang rahasia," kata Coh Liu-hiang. "Tentu Ting Hong adalah orang yang ditugaskan menyambut kedatangan para undangan. Sedangkan tamu-tamu yang tidak diundang seperti kita ini tentu saja tidak akan disambutnya dengan baik."

"Dia juga khawatir kalau kita pun akan mencari ke sana, maka jalan paling baik adlaah mencari akal untuk mengumpulkan orang-orang yang tidak disukai mereka pada suatu tempat, kemudian membunuhnya satu per satu," kata Oh Thi-hoa.

"Dan tempat yang paling ideal adalah di atas kapal," tukas Thio Sam. "Di atas kapal, naik ke langit tak bisa, menyusup ke bumi tak mungkin, ingin lari juga tiada tempat berpijak, terkecuali terjun ke laut sebagai umpan ikan hiu."

"Tapi mengapa dia sengaja memasang beberapa peti mati di sini?" kata Oh Thi-hoa pula. "Apakah karena khawatir ktia terlalu meremehkan dia, maka sengaja pamer kekuatan agar kita berjaga-jaga sebelumnya?"

"Sudah tentu bukan begitu maksudnya," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Bukan begitu maksudnya, lalu apa maksudnya? Sungguh aku tidak mengerti," kata OH Thi-hoa.

"Dia bertindak begini, tujuannya agar kita saling curiga, bila kita tidak saling percaya, tentu kesempatan akan lebih terbuka baginya untuk turun tangan," tutur Coh Liu-hiang. "Apalagi kalau seseorang sudah menaruh curiga terhadap sesuatu urusan, maka segala apa pun akan dicurigainya, reaksinya akan menjadi lamban, pikiran juga kacau."

"Betul, inilah siasat berdasarkan ilmu jiwa, yaitu bikin bingung lawan, dengan begitu jadi mudah turun tangan," tukas Eng Ban-li sambil manggut-manggut. Dia tertawa, lalu menyambung pula, "Cuma sayang, dia tetap salah hitung satu hal."

"Salah hitung hal apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Dia menilai rendah Coh-hiangswe, dia belum mahir memahami pihak lawan dan tidak tahu kekuatan sendiri," jawab Eng Ban-li. "Dia mengira segala sesuatunya telah diaturnya dengan rapi, tak tersangka tetap ada kelemahannya dan dapat diketahui oleh Coh-hiangswe."

"Rupanya dia menyadari ada hal-hal yang tak dapat mengelabui orang lain, maka dia lantas bertindak lebih dulu dengan pura-pura mati," kata Thio Sam. "Dia mengira tiada seorang pun akan menyangka bahwa orang mati adalah si pembunuhnya."

"Tindakan ini memang sangat lihai," kata Coh Liu-hiang. "Semula aku memang mencurigai dia, tapi begitu dia mati, aku menjadi bingung juga."

"Waktu itu mengapa tidak kau pikirkan mengapa dia meninggalkan pesan padaku agar membawa pulang abu tulangnya kepada ibunya?" kata Coh Liu-hiang dengan menyesal.

"Dia meninggalkan pesan begitu, sebab ia tidak mati sungguh-sungguh, dia cuma khawatir kalau mayatnya akan dibuang ke laut," jengek Oh Thi-hoa.

"Tapi dalam sehari di kapal ini telah mati beberapa orang, apalagi semua orag tahu selekasnya akan menyusul orang mati pula, maka ketika dia mati mendadak, orang lain tidak menyangka dia cuma mati pura-pura saja, sebab menurut ilmu jiwa, setiap orang pasti mempunyai sifat kebiasaan."

"Sifat kebiasaan bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa.

"Sifat kebiasaan, yakni karena sesuatu yagn sudah terbiasa," tutur Coh Liu-hiang. "Umpamanya segerombolan domba terkurung di suatu kandang, apabila kawanan domba itu akan keluar kandang, pintu kandang dipalang dengan sepotong kayu, maka domba-domba itu akan melompati palang kayu untuk keluar. Bil;a domba pertama sudah melompat, domba kedua juga melompat dan begitu seterusnya hingga domba keduapuluh juga sudah melompati palang itu, bila mendadak palang itu disingkirkan, meski sudah jelas pintu kandang tiada perintang lagi, namun domba yang kedua puluh satu tetap akan main lompat, seperti juga kawan-kawannya yang lebih dulu...."

Oh Thi-hoa menjadi dongkol, omelnya, "Tapi kita kan manusia dan bukan domba."

"Inilah yang dinamai sifat kebiasaan, bukan hanya domba yang punya sifat demikian, manusia juga," kata Coh Liu-hiang.

Sampai lama Oh Thi-hoa meraba hidungnya ala Coh Liu-hiang, ia menggeleng dan bergumam, "Apa yang diucapkan orang ini terkadang sukar dipahami oleh siapa pun, tapi lebih sering ucapannya memang masuk di akal, mengapa bisa terjadi begini?"

Coh Liu-hiang tertawa, katanya pula, "Ting Hong memang sudah memperhitungkan dengan baik setiap urusan, cuma sayang, pada akhirnya dia salah hitung lagi seseuatu."

"Salah hitung dalam hal apa?" tanya Thio Sam.

"Dia menilai rendah Oh Thi-hoa, dia mengira sekali Siau Oh jatuh mabuk, maka segalanya menjadi lupa daratan, maka kesempatan itu akan digunakannya untuk membereskan Siau Oh. Tak terduga orang yang sering mabuk, bila siuman, jauh lebih cepat daripada orang lain."

"Betul, cepat mabuk tentu juga cepat sadar kembali," tukas Thio Sam dengan tertawa.

"Karena usahanya membunuh Siau Oh gagal, dengan sendirinya ia cepat melarikan diri melalui lorong di balik tempat tidur yang dapat menjeplak itu, namun wajahnya keburu dikenali Siau Oh, meski belum pasti kita mengetahui rahasianya pura-pura mati itu, tapi orang macam Ting Hong itu tak mau menanggung resiko, terpaksa ia gunakan cara terakhir, yaitu kabur."

"Betul, apapun juga yang diperbuatnya selalu disertai dengan jalan mundur teratur," kata Eng Ban-li. "Pura-pura mati juga jalan mundurnya yang pertama, ketika jalan ini pun buntu, terpaksa ia ganti jalan lain."

"Mungkin dia sudah berunding dengan Kau Cu-tiang, bila keadaan gawat, Kau Cu-tiang disuruh memancing menyingkirkan kita, dengan begitu ada kesempatan baginya untuk kabur."

"Lautan seluas ini, dia dapat kabur kemana?" ujar Pek Lak.

"Di atas geladak semula ada sebuah sampan, yaitu sampan pertolongan darurat bila terjadi kecelakaan," kata Coh Liu-hiang. "Waktu naik ke geladak tadi, kulihat sampan itu sudah tidak ada lagi pada tempatnya."

"Sampan macam begitu bisa meluncur berapa jauh di lautan lepas ebgini, sedikit gelombang besar saja dapat menelannya," ujar Pek Lak.

"Kalau melihat cara kerja Ting Hong yang rapi, kukira di sekitar sini pasti ada kapal mereka yang siap memberi bantuan padanya," ujar Eng Ban-li.

Pek Lak terdiam sejenak, tiba-tiba tertawa dan berkata, "Akhirnya dia sendiri kabur dan tetap tak bisa membunuh kita."

Mendadak Eng Ban-li tidak bersuara lagi.

Coh Liu-hiang tersenyum getir, katanya, "Dia meninggalkan kita, justru lantaran tahu kita tak dapat hidup lama lagi."

***

Dalam keadaan yang betapa buruknya, Coh Liu-hiang senantiasa optimis dan penuh harapan. Dia seperti tidak pernah kenal apa artinya putus harapan.

Akan tetapi kata-kata "tak dapat hidup lama" kini justru keluar dari mulutnya.

"Tak dapat hidup lama? Mengapa tak dapat hidup lama?" tanya Pek Lak dengan terkesiap.

"Lautan seluas ini, kita tak memiliki peralatan apa pun, tidak punya peta, tidak ada kompas. Entah dimana ada pulau dan dimana letak daratan," kata Coh Liu-hiang.

"Sebelum dia meninggalkan kapal ini, lebih dahulu dia membinasakan semua kelasi, tujuannya untuk membuat kita menghadapi jalan buntu."

"Tapi kita kan dapat putar haluan kembali ke arah semula," ujar Oh Thi-hoa.

"Kapal ini cukup besar," kata Coh Liu-hiang dengan menyesal, "Meski Thio Sam mahir ilmu pelayaran, sedikit banyak aku pun paham, tapi dengan tenaga kami berdua betapapun sulit untuk mengendalikan kapal sebesar ini apalagi...."

"Apalagi apa?" sela Oh Thi-hoa.

"Persoalan yang paling gawat adalah air minum dan perbekalan.. "

"Itu tidak menjadi soal," sela Oh Thi-hoa sebelum lanjut ucapan Coh Liu-hiang. "Tadi sudah kuperiksa di bagian dapur sana, air dan makanan tersedia cukup."

"Jika tidak salah dugaanku. Ting Hong pasti tidak meninggalkan barang-barang itu," ucap Coh Liu-hiang.

Oh Thi-hoa jadi melengak, segera ia memutar tubuh dan berkata, "Akan kulihat lagi ke sana. bisa jadi dia lupa...."

"Tidak perlu dilihat lagi. dia tidak lupa," seru Eng Ban-li.

Seketika Oh Thi-hoa mematung di tempat seperti terpaku.

"Waktu mencari orang." tutur Eng Ban-li sambil menghela napas panjang, "Kulihat gentong air di sana sudah dihancurkan
seluruhnya, satu cangkir pun tidak ketinggalan."

"Dan makanannya?" tanya Oh Thi-hoa.

"Makanan memang masih utuh, sebab dia tahu mati kehausan jauh lebih cepat mati daripada mati kelaparan, malahan jauh lebih menderita," kata Eng Ban-li.

"Apa alangannya jika tidak ada air minum?" tiba-tiba Kim Leng-ci ikut bicara. "Air laut begini banyak, diminum selama hidup juga takkan habis,"

Nona ini benar-benar masih hijau dan sama sekali tidak paham seluk beluk orang hidup, tentu saja semua orang merasa
geli, hampir saja Oh Thi-hoa terbahak-bahak.

Sebaliknya Kim Leng-ci lantas mendelik, omelnya, "Apa yang kau gelikan? Memangnya aku salah omong?"

Oh Thi-hoa menahan ketawanya dan menjawab. "Omonganmu memang benar, sangat benar,"

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Dahulu ada seorang raja yang sangat arif. suatu hari beliau melakukan inspeksi kota, dilihatnya sebagian besar penduduk kota hampir mati kelaparan, beliau menjadi heran dan bertanya apa yang terjadi? Maka pembesar setempat lantas melapor bahwa karena musim kemarau yang panjang, panen terganggu, maka rakyat tak dapat makan nasi. Sang raja bertambah heran dan bertanya jika tak ada nasi, mengapa tidak makan daging babi atau daging sapi?"

Dalam keadaan demikian masih ada orang sempat mendongeng. kecuali Oh Thi-hoa mungkin sukar dicari orang kedua.

Kim Leng-ci tampak terbelalak mendengar cerita Oh Thi-hoa itu, agaknya dia belum lagi paham kiasan ceritanya.

Melihat Kim Leng-ci sedemikian polos, dengan tersenyum Eng Ban-li menjelaskan. "Air laut terlalu asin dan tak dapat diminum, jika diminum bisa jadi akan tumpah-tumpah dan juga menjangkitkan penyakit lain."

Muka Kim Leng-ci menjadi merah, ia mengigit bibir dengan rasa malu, baru sekarang ia menyadari kedangkalan pengetahuan umumnya. Mendadak ia berteriak, "He, lihat, apa itu?"

Waktu semua orang memandang ke arah yang ditunjuk, kiranya di pojok sana ada sebuah kopor warna hitam.

Itulah kopor milik Kau Cu-tiang yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi.

Oh Thi-hoa mendahului memburu ke sana, koper itu terus dijinjing dan diperiksanya dengan teliti, katanya kemudian. "Betul, inilah koper Kau Cu-tiang."

"Koper itu tidak pernah lepas dari tangannya dan dipandang lebih penting daripada nyawanya, mengapa sekarang ditinggalkan di sini?" ujar Thio Sam.

"Jangan-jangan koper itu sudah kosong?" kata Pek Lak.

Oh Thi-hoa mengangkat koper itu dan berkata. "Tidak kosong, berat sekali rasanya. sedikitnya ada ratusan kati."

"Pertama kali kulihat dia, memang sudah timbul rasa heranku. apa isi koper yang selalu dibawanya kian kemari ini? Mengapa dia pandang koper ini sedemikian penting dan berharga?" Thio Sam tertawa, lalu melanjutkan, "Tapi sekarang tanpa membuka kopernya juga dapat kuterka apa sebabnya."

"O, bilakah kau pun berubah pintar?" tanya Oh Thi-hoa.

Thio Sam tidak menghiraukan ejekan Oh Thi-hoa, ia berkata pula, "Isi koper ini pasti barang berharga hasil rampokannya, makanya dia pandang koper ini sedemikian penting."

Seketika mata Pek Lak terbeliak, segera ia pun menjulurkan tangan hendak memegang koper itu.

Tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa dan berkata, "Mungkin kau salah terka."

"Masa salah terka?" tanya Thio Sam.

"Jika koper ini berisi harta benda yang tak ternilai, biarpun Kau Cu-tiang lupa membawanya kabur, tentu Ting Hong takkan lupa," ujar Coh Liu-hiang.

"Betul, jika tidak membawa harta benda itu hakikatnya dia tidak memenuhi syarat untuk berkunjung ke sarang emas sana," kata Eng Ban-li.

Perlahan-lahan Pek Lak menarik kembali tangannya, mukanya menjadi rada merah.

Oh Thi-hoa melirik Thio Sam sekejap, katanya tertawa. "Huh, kukira kau sudah pintar, rupanya masih tetap goblok."

Thio Sam balas melototinya dan menjawab, "Baik, coba kau terka, apa isi koper ini?"

"Aku tidak dapat menerkanya, juga tidak perlu terka," jawab Oh Thi-hoa. "Koper berada di tanganku, asalkan kubuka kan lantas tahu segalanya?"

Koper itu ada gemboknya, gembok yang kuat dan indah buatannya.

Oh Thi-hoa bergumam, "Jika koper saja ditinggalkan di sini, mengapa kuncinya tidak ditinggalkan sekalian?"

Segera ia bermaksud membuka gemboknya, tapi mendadak berhenti. ucapnya dengan tertawa, "Kan ada seorang panglimanya tukang copet. untuk apa aku bersusah payah?"

Coh Liu-hiang tahu dirinya yang dimaksudkan Oh Thi-hoa. ia tertawa, koper diterimanya, lalu diperiksanya dengan teliti. Sejenak kemudian barulah ia berkata, "gembok ini buatan Tio Moa-cu di gang Kunci di Pakkhia, aku pun belum tentu sanggup membukanya."

"Bolehkah aku coba membukanya?" tiba-tiba Pek Lak berkata, Betapapun dia merasa sangsi jika koper itu diserahkan kepada orang lain.

"Hendaklah engkau hati-hati sedikit." kata Coh Liu-hiang, "Ada sementara koper yang dipasang pegas dan alat rahasia lain yang dapat membidikkan panah beracun, asap berbisa dan sebagainya. Pada hematku, kalau bisa janganlah membukanya."

Pek Lak tertawa. katanya, "Toh kita sudah menghadapi jalan buntu, apa alangannya kalau menyerempet bahaya sedikit?"

Dengan tangan kiri memegang koper, tangan kanan segera melolos sebilah belati mengkilap dari laras sepatunya, sekali pandang saja orang akan tahu belati ini pasti senjata maha tajam.

Oh Thi-hoa yang pertama tidak tahan dan berseru memuji, "Pisau bagus!"

Pek Lak tampak bangga, ucapnya. "Ini hadiah dari Him tayciangkun. konon adalah benda berumur ribuan tahun."

Selagi ia hendak memotong gembok dengan belatinya, sekonyong-konyong sikunya diangkat orang perlahan, tahu-tahu koper itu sudah berpindah ke tangan Coh Liu-hiang.

Air muka Pek Lak berubah. katanya. "Apa Hiangswe...."

"Biasanya Hiangswe sangat hati-hati dalam setiap urusan, turuti kata-katanya, pasti tidak salah," demikian Eng Ban-li memotong ucapan Pek Lak.

Maka Pek Lak tidak berkata lagi. namun sikapnya jelas kelihatan penasaran.

Coh Liu-hiang lantas berkata pula. "Kukira tidak mungkin mereka meninggalkan koper ini tanpa sebab, karena itulah. sekalipun kita ingin melihat isi koper. juga perlu berhati-hati."

Sembari bicara ia menaruh koper itu di pojok kejauhan sana.

"Apakah Coh-hiangswe mahir bermain sulap dan dapat membuka koper dan jarak jauh?" jengek Pek Lak.

Coh Liu-hiang tersenyum, katanya, "Bolehkah kupinjam pisaumu itu?"

Pek Lak tampak ragu-ragu, tapi akhirnya belati itupun disodorkan kepada Coh Liu-hiang.

Perlahan Coh Liu-hiang meraba mata belati itu. ucapnya dengan gegetun, "Benar-benar senjata pusaka yang maha tajam."

Begitu kata-kata terakhir terucapkan. belati itupun disambitkan.

Sinar perak berkelebat "krek", gembok di atas koper dengan tepat terpotong putus.

Terkesiap juga Pek Lak, serunya tanpa terasa. "Bagus......."

Baru saja dia berucap satu kata. mendadak terdengar pula suara letusan yang menggelegar. seluruh kabin tergetar hingga bergoyang-goyang. Koper hitam itu ternyata sudah meledak.

Badan kapal seketika berlubang karena ledakan itu. air laut segera pula membanjir masuk.

Pek Lak melongo kaget. keringat dingin memenuhi dahinya. Coba kalau tadi dia membuka koper itu. saat ini tubuhnya pasti sudah hancur lebur menjadi abu.

Dengan gemas Oh Thi-hoa memaki, "Keparat, jahanam. apakah dia khawatir kematian kita tidak cukup cepat?"

Dia ingin memaki pula, tapi sekarang waktu untuk memaki orang pun tiada lagi. air laut telah menggenangi tempat mereka berdiri hingga batas dengkul, bahkan masih terus naik.

"Lekas mundur, naik ke geladak," seru Eng Ban-li.

"Dalam waktu singkat, kapal ini akan tenggelam ke dasar laut, apa gunanya ke geladak?" Ujar Thio Sam menyengir.

"Keji amat hati keparat itu, maki Oh Thi-hoa pula dengan gemas. "Sampai-sampai. sampan itu dibawanya kabur."

"Tampaknya dia lari dengan menumpang sampan, itupun termasuk dalam rencananya," ujar Thio Sam dengan gegetun.

"Ya, perhitungan orang itu boleh dikata sangat rapi, sungguh membuat orang merasa kagum," kata Eng Ban-li gegetun.

Sesudah koper itu meledak. Coh Liu-hiang hanya berdiri saja di situ seperti juga melenggong. kini mendadak ia berkata. "Tapi dia tetap salah hitung sesuatu."

"Salah hitung apa?" tanya Oh Thi-hoa cepat.

"Peti mati!" jawab Coh Liu-hiang.

oooo0000oooo

Memang betul. peti mati itu mirip sebuah sampan.

Dengan cepat keenam peti mati itu digotong ke atas geladak, lalu diturunkan ke laut kebetulan enam orang. enam peti mati. terbagi dengan rata.

Berduduk di dalam peti mati dan menyaksikan kapal itu tenggelam dengan perlahan-lahan. Perasaan demikian kecuali mengalami sendiri mungkin sukar dirasakan orang lain.

Maka tidak lama kemudian, lautan lepas sejauh pandang
mata tak bertepi itu hanya tersisa enam peti mati dengan penumpangnya saja. Pemandangan ini bila tidak dsaksikan. dengan mata kepala sendiri mungkin sukar dibayangkan siapapun.

Mendadak Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Keenam peti mati ini sebenarnya hendak digunakan untuk mengakhiri kematian kiita, siapa tahu sekarang malah menyelamatkan jiwa kita."

Thio sam juga tertawa, katanya. "Anehnya dia seperti khawatir kita berjubelan, maka setiap orang disediakan sebuah."

"Ya, mimpipun dia tidak pernah membayangkan hal ini," seru Oh Thi-hoa dengan tertawa.

"Kuharap kelak akan bertemu lagi dengannya. dan akan kuberitahukan apa yang terjadi ini. ingin kulihat bagaimana perubahan air mukanya," kata Thio Sam.

"Tidak perlu lihat juga dapat kubayangkan air mukanya pasti sangat lucu. seperti menyengir dan juga seperti menangis," tukas Oh Thi-hoa.

Pek Lak memandangi mereka dengan melenggong.

Laut seluas ini dan tidak dapat membedakan arah. kapal sudah tenggelam makan minum tiada lagi. jalan satu-satunya sekarang cuma menanti ajal di dalam peti mati, Tapi kedua orang itu ternvata masih dapat bersenda gurau dan tertawa, seakan-akan apa yang terjadi ini sangat lucu bagi mereka.

Pek Lak benar-benar rada bingung, Ia tidak tahu bahwa seseorang asalkan masih dapat tertawa. ini tandanya dia masih mempunyai semangat dan gairah.

Seseorang kalau masih punya semangat dan gairah, maka dia pasti dapat hidup terus.

Di sinilah letaknya kekuatan mereka. inilah keunggulan mereka dari orang lain.

Mendadak Coh Liu-hiang mengangkat beberapa ikat tali dari peti mati dan berseru. "Jika kalian sudah cukup bergurau. sekarang lekas berdaya mengikat keenam peti mati menjadi satu. Lautan seluas ini. betapapun kita tak boleh terpencar."

"Hah, sempat juga kau membawa talinya, sungguh rapi pemikiranmu," jawab Oh Thi-hoa dengan tertawa.

"Tapi apa pula gunanya tutup peti mati ini? Mengapa kita harus membawanya?" tanya Thio Sam.

"Lewat lohor nanti, sinar matahari sangat terik. kita tidak punya air minum, bila kepanasan, mana tahan lagi?" kata Coh Liu-hiang. "Maka tutup peti mati, dapatlah kita tutupkan dan tidurlah kita di dalam peti mati."

Mau tak mau Pek Lak menghela napas gegetun, ucapnya, "Cara berpikir hiangswe benar-benar sangat rapi dan sukar dibandingi orang lain. Sekalipun Ting Hong berhati keji dan pintar mengatur perangkap, tapi masih selisih satu tingkat jika dibandingkan dengan Hiangswe."

Sampai di sini barulah dia mengagumi Coh Liu-hiang.

"Kutu busuk tua ini memang bukan manusia, sampai aku pun rada-rada kagum," Oh Thi-hoa juga merasa gegetun.

Tak peduli siapa pun Juga, lambat atau cepat, akhirnya pasti akan kagum kepada COh Liu-hiang.

"Dalam keadaan luar biasa baru dapat dilihat keluarbiasaan Coh-hiangswe," Eng Ban-li ikut bicara, "Pada detik yang paling gawat antara mati dan hidup. barulab diketahui bahwa Coh-hiangswe tetap Coh-hiangswe, betapapun tak dapat ditandingi oleh siapa pun juga."

Coh Liu-hiang sendiri hanya duduk termenung saja. apa yang dikatakan mereka seolah-olah tak didengarnya.

Hanya satu hal yang sedang dipikir Coh Liu-hiang, yaitu cara bagaimana dapat menginjak daratan lagu dengan hidup?

oooo000oooo

Lautan seakan bersambung dengan ujung langit. siapa pula yang tahu dimana letak daratan yang diharapkan.

Sang surya baru saja menyingsing di ufuk timur sana, air laut berkilauan karena sinar matahari yang gemilang itu.

Oh Thi-hoa kucek-kucek matanya, ucapnya sambil menyengir, "Tampaknva jiwa kita tidak perlu diserahkan kepada air laut. Nasibku biasanya tidak jelek. bisa jadi air laut akan membawa kita ke daratan."

Thio Sam menghela napas, katanya, "Coba kalian lihat, orang ini belum lagi tidur, sudah mimpi lebih dahulu."

"Mimpi?" Oh Thi-hoa jadi mendelik, "Memangnya tidak mungkin terjadi?"

"Sudah tentu tidak mungkin" kata Thio Sam.

"Sebab apa?" tanya Oh Thi-hoa. Pertanyaannya itu secara tidak langsung ditujukan pada Coh Liu-hiang, sebab ia tahu Thio Sam takkan memberi jawaban, paling-paling memakinya lagi.

Maka berkatalah Coh Liu-hiang. "Air laut tidak sama dengan air sungai. tidak mengalir ke suatu jurusan tertentu, sebab itulah bila kita cuma berduduk saja tanpa bergerak. biarpun tiga bulan lagi kita tetap akan terapung di sekitai sini."

Untuk sejenak Oh Thi-hoa melenggong, katanya kemudian. "Lalu, apa yang harus kita lakukan?"

"Air laut tidak bergerak. terpaksa kita sendiri yang harus bergerak," ujar Coh Liu-hiang.

"Bergerak cara bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Tutup peti mati ini masih ada gunanya, yakni dapat kita manfaatkan sebagai pengayuh." kata Coh Liu-hiang.

"Selain nona Kim, sekarang kita berlima harus bekerja keras."

"Mengapa aku harus dikecualikan?" teriak Kim Leng-ci.

Coh Liu-hiang tertawa dan tidak menjawab.

Oh Thi-hoa tidak tahan. ia berkata. "Sebab kaum perempuan, terhadap perempuan dia suka memberi servis istimewa."

Kim Leng-ci melototinya sekejap. tanpa bicara lagi ia mendahului angkat tutup peti mati terus mulai mendayung.

Oh Thi-hoa melirik Coh Liu-hiang sekejap, katanya dengan tertawa. "Haha, tampaknya sekali ini kau telah salah jilat. Ada sementara perempuan merasa dirinya terlebih unggul dari lelaki, maka seharusnya kau perlakukan dia seperti lelaki. Cuma saja..." Dengan hambar ia menyambung. "Jika ada orang disuruh hidup nikmat dan tidak mau, maka sekalipun orangnya mengaku pintar pasti juga sangat terbatas."

Tampak Kim Leng-ci hendak meraung pula. Pek Lak menyela, "Nona Kim adalah ksatrianya kaum wanita. tidaklah pantas jika kita pandang dia sebagai perempuan biasa."

"Baiklah jika demikian. kita berenam dapat dibagi menjadi dua regu," kata Coh Liu-hiang. "Nona Kim, Pek-heng dan Eng-losiansing satu regu, kemudian aku, Thio Sam dan Siau Oh akan menggantikan kalian."

"Mendayung ke arah mana?" tanya Pek Lak.

Coh Liu-hiang berpikir sejenak, lalu katanya, "Tenggara!"

Pek Lak merasa heran, tanyanya pula, "Arah tenggara ini akan menyongsong sinar matahari, sangat silau, mengapa tidak menuju barat laut saja? Apalagi kita kan datang dari arah sana, di sebelah sana pasti ada daratan."

"Tapi kapal kita sudah berlayar dua hari dan baru sampai di sini," jawab Coh Liu-hiang. "Dengan kekuatan kita sekarang jelas tidak mampu mendayung pulang ke sana."

"Tapi tenggara..."

Belum lanjut ucapan Pek Lak, cepat Coh Liu-hiang memotong. "Konon di daerah tenggara sana banyak terdapat pulau-pulau kecil yang tak dikenali namanya, apalagi jurusan ini banyak dilalui kapal dagang yang menuju ke negeri timur sana (kepulauan Okinawa Jepang sekarang). Apabila kita bisa bertemu dengan sebuah kapal atau mendarat di suatu pulau kecil. tertolonglah kita."

Pek Lak berpikir sejenak, ucapnya kemudian dengan menyesal, "Ya. Coh-hiangswe memang jauh lebih cerdik daripadaku, kembali aku tunduk dan kagum padamu."

Tutup peti mati itu sudah tentu sangat berat dan sangat makan tenaga, mestinya tidak cocok digunakan sebagai pengayuh. Syukur mereka adalah tokoh kelas tinggi dunia persilatan. tenaga mereka pun jauh lebih kuat dan orang biasa.

Serentak tiga orang mendayung sekuatnya 'rakit' yang terbuat dan enam buah peti mati itu, ternyata dapat laju dengan cukup pesat.

Yang paling giat mendayung adalah Kim Leng-ci. Nyata dia sengaja hendak memperlihatkan bukti kepada Oh Thi-hoa bahwa perempuan bukanlah kaum lemah seperti disangkanya.

Pandangan Pek Lak tidak pernah meninggalkan diri si nona dengan tertawa ia berkata, "Tampaknya dalam segala hal nona Kim tidak kalah daripada kaum lelaki, bahkan boleh dikata lebih unggul."

Oh Thi-hoa berbaring di dalam peti mati dengan memejamkan matanya dengan santai. "Dia memang cekatan, cuma.... perempuan yang tak becus, jelas membuat pusing kepala kaum lelaki perempuan yang terlalu cekatan juga sama memusingkan bagi lelaki."

Ucapan Oh Thi-hoa ini beralasan.

Pada umumnya, lelaki memang suka menonjolkan diri di depan kaum wanita sebagai 'pelindung' dan selalu 'kaum kuat'. Terkadang meski di mulut mereka mengomeli kaum perempuan dan dikatakan tak becus. padahal di dalam hati, diam-diam mereka senang.

Sebab itulah. perempuan yang pintar selalu akan berlagak lemah di depon kaum lelaki, dengan demikian segala sesuatu biar dikerjakan saja oleh kaum lelaki.

Sekali ini ternyata Kim Leng-ci tak mendelik dan muring-muring, Maklum ia sedang kepayahan, tenaga untuk muring-muring saja rasanya tidak ada lagi.

Tangannya sampai melepuh, sakitnya tak terkatakan. lengannya juga kemeng dan pegal, kaku rasanya Meski dia tetap mendayung dengan menggreget. tapi gerakannya jelas sudah mulai lambat.

Sungguh malang si nona jelita ini. biasanya di rumah disanjung puji. makan-minum selalu diladeni. bilakah dia pernah bekerja keras seperti sekarang ini?

Sejak tadi Oh Thi-hoa selalu melirik pada si nona. sekarang mendadak ia melompat bangun. katanya, "Sudah waktunya bergilir bukan?"

Pek Lak melirik Kim Leng~ci sekejap, ucapnya tertawa, "Baiklah, memang sudah waktunya bergilir. aku sudah lelah." Eng Ban-1i memandang Pek Lak, lalu dipandangnya Kim Leng-ci, sorot matanya menampilkan senyuman tapi rada sedih. Sebagai orang tua yang sudah kenyang asam garam kehidupan manusia, matanya sudah terlalu banyak melihat, tentu saja ia dapat meraba hati para muda-mudi ini.

Yang menggirangkan dia adalah pandangan Pek Lak selamanya sangat tinggi, tak tersangka sekarang dia dapat jatuh hati. Yang dikhawatirkannya ialah hasrat Pek Lak ini akhirnya mungkin akan menemui kegagalan. Sebab ia melihat juga, biarpun Kim Leng-ci sedang marah-marah dan mendeliki Oh Thi-hoa, tapi sorot matanya itu sangat berbeda daripada waktu memandang orang lain.

Ia paham, benci, dan cinta perempuan sukar dipisahkan.

oooo0000oooo

Setelah bergilir, tutup peti mati yang berada di tangan Coh Liu-hiang. Oh Thi-hoa dan Thio Sam itu lantas banyak berbeda. Seketika rakit gabungan enam peti mati itu meluncur dengan cepat laksana sebuah perahu gesit.

Kim Leng-ci duduk dengan kepala tertunduk, dipandangnya tangan kiri yang putih halus itu kini berubah menjadi merah melepuh. Pandang punya pandang air matanya lantas berlinang.

Tapi siksaan ini adalah kehendak sendiri, siapa yang mesti disesali? Terpaksa ia harus menelan kembali air matanya.

Oh Thi-hoa seperti tidak memperhatikan si nona, ia bergumam, "Perempuan tetap perempuan dan tetap berbeda daripada lelaki. Paling tidak. tangan pasti lebih halus daripada tangan lelaki. makanya kalau seorang perempuan menganggap dirinya sama seperti lelaki. itu berarti dia mencari penyakit sendiri."

Mendadak Pek Lak melonjak bangun, serunya sambil melototi Oh Thi-hoa. "Bicara kan juga sangat makan tenaga. mengapa Oh-heng tidak hemat tenaga untuk mendayung?"

Oh Thi-hioa hanya tersenvum hambar sama sekali, ia tidak menggubrisnya.

Pek Lak menjadi kikuk sendiri, makanya menjadi merah, ia berpaling dan berkata kepada Kim Leng-ci, "Janganlah nona marah, ocehan orang sebaiknya jangan kau gubris."

Ucapan Pek Lak ini sebenarnya bertujuan baik, siapa tahu Kim Leng-ci mendelik, teriaknya dengan bengis, "Kugubris ocehan orang atau tidak, peduli apa denganmu? Kenapa kau ikut campur urusan orang lain?"

Pek Lak jadi melengak, mukanya merah seperti kepiting rebus, malunya tidak kepalang.

Eng Ban-li berdehem beberapa kali, ucapnya dengan tertawa, "Wah, terik sekali sinar matahari, tiada air minum lagi, dalam keadaan demikian setiap orang tentu akan gopoh dan sedikit-sedikit suka marah. Kukira lebih baik kita tutup saja peti mati dan tidur, ada persoalan apa boleh kita bicarakan petang nanti."

Coh Liu-hiang menjilat bibirnya yang kering dan pecah-pecah itu, katanya, "Betul, jika kita terus begini, mungkin aku pun tidak tahan lagi."

"Blang," Kim Leng-ci yang pertama-tama merebahkan diri dan menutup peti matinya.

Segera Eng Ban-li menarik Pek Lak berbaring, katanya, "Jangan terlalu rapat, beri peluang sedikit agar tembus cahaya."

Thio Sam menguap ngantuk, gumamnya, "Jika sekarang aku diberi semangkuk air, wah, biarpun aku harus menjual diri lagi juga tidak soal."

Oh Thi-hoa juga menjilat bibirnya, omelnya dengan tertawa, "Jangan lupa, kau sudah pernah terjual satu kali."

"Terjual satu kali atau dua kali kan sama saja," jawab Thio Sam dengan melotot. "Yang penting barang baik, kualitas tinggi, dijual berapa kali juga tetap laku."

Oh Thi-hoa menghela napas, ucapnya, "Syukurlah kau bukan perempuan..."

Berbaring dalam peti mati sebenarnya tidak seenak seperti yang dibayangkan. Meski cahaya matahari tidak langsung menyinari. tapi rasanya seperti dipanggang, jauh lebih tersiksa.

Oh Thi-hoa benar-benar tidak tahan lagi, ia mendorong tutup peti mati dan berduduk. Dilihatnya Thio Sam sudah lebih dulu berduduk di sana dengan telanjang dada, sedang mengipasi tubuhnya dengan baju yang ditanggalkan.

"Kiranya kau pun tak tahan," kata Oh Thi-hoa tertawa.

Thio Sam menghela napas, lalu katanya sambil menyengir, "Ya, aku benar-benar tidak tahan lagi, hampir saja kukira diriku telah berubah menjadi ikan panggang."

OH Thi-hoa tertawa, katanya, "Orang yang suka memanggang terkadang juga perlu dipanggang, sudah terlalu banyak kau memanggang ikan, kau memang perlu mencicipi sendiri bagaimana rasanya kalau dipanggang." Mendadak ia celingukan dan bertanya, "He, dimanakah si kutu busuk tua itu?"

"Mungkin sudah tidur," jawab Thio Sam.

"Selain orang mati, jika ada orang hidup yang dapat tidur dalam peti mati, maka orang itu tiada lain pasti si kutu busuk adanya," kata Oh Thi-hoa.

Thio Sam tertawa geli, katanya, "Betul, biarpun di dalam kakus juga orang ini dapat tidur dengan nyenyak."

Oh Thi-hoa memandang sekelilingnya, namun tiada setitik bayangan daratan yang terlihat.

Sinar matahari mulai suram, hari menjelang petang.

Tiba-tiba Thio Sam berkata pula, "Waktu berbaring di dalam peti mati tadi, kurenungkan apa yang telah terjadi, rasanya ada sesuatu yang tak kupahami."

"Urusan apa? Coba katakan, biar kuberi petunjuk kepadamu," ujar Oh Thi-hoa.

"Bahwa Ting Hong hendak membunuh kita masih dapat dimengerti, tapi mengapa Hay Koa-thian juga dibunuhnya?" kata Thio Sam. "Bukankah Hay Koa-thian komplotannya?"

Oh Thi-hoa meraba hidungnya dan berkata dengan sungguh-sungguh, "Bisa jadi tengah malam Hay Koa-thian telah memperkosanya, maka Ting Hong dendam kepadanya."

"Kentut makmu, apa ini namanya petunjuk?" damprat Thio Sam dengan tertawa.

"Awas, jika mulutmu tidak disikat lebih bersih, sekali tempo bisa kugunakan sebagai pispot tadah air kencingku," Oh Thi-hoa juga mengomel.

Mendadak seseorang menimbrung, "Dua buah mulut busuk bergabung menjadi satu tentu saja lebih berbau daripada jamban, mana aku bisa tidur nyenyak lagi?" Maka Coh Liu-hiang lantas membuka tutup peti mati dan berduduk juga.

"Telinga orang ini benar-benar lebih panjang daripada kelinci, harus hati-hati jika kau hendak mencaci-maki dia," ujar Oh Thi-hoa dengan tertawa.

Coh Liu-hiang meraup air laut dan disiramkan ke tubuh sendiri, tiba-tiba ia berkata pula, "Sebabnya Ting Hong membunuh Hay Koa-thian, hanya ada satu alasan."

"Alasan apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Setiap tahun sekali mereka mengundang dan mengantar tamu, dengan sendirinya memerlukan kendaraan air yang cukup," tutur Coh Liu-hiang. "Biarpun Hay Koa-thian sudah dibeli dan menjadi antek mereka, tapi apa pun juga kan lebih bebas jika mereka mengendarai kapal sendiri."

Thio Sam manggut-manggut, katanya, "Betul. Setelah Hay Koa-thian dibunuh, beberapa puluh kapal Ci-keng-pang akan berubah menjadi milik sendiri."

"Sedang Hiang Thian-hui adalah sahabat karib Hay Koa-thian, jika ingin membunuh Hay Koat-hian, harus membunuh Hiang Thian-hui dulu."

Oh Thi-hoa juga manggut-manggut, katanya, "Betul, masuk diakal."

"Tapi daerah operasi Ci-keng-pang berada di lautan, sedangkan tamu udnangan mereka kebanyakan datang dari daratan, untuk pergi ke lautan harus melalui Tiangkang."

"Betul juga," kata Thio Sam.

"Dan untuk melalui Tiangkang kan harus mengerahkan kapal-kapal di bawah pimpinan Bu Wi-yang dan In Ciong-liong," sambung Coh Liu-hiang. "Makanya sebelum membunuh Hay Koa-thian, lebih dulu kedua tokoh bajak yang malang melintang di sungai Panjang (Tiangkang) itupun harus dibinasakan."

Oh Thi-hoa merasa tidak paham, tanyanya, "Tapi Bu Wi-yang kian tidak mati, bahkan merangkap menjadi pemimpin kedua Pang besar di sungai itu?"

"Siapa bilang Bu Wi-yang tidak mati?" tanya Coh Liu-hiang.

"Bukankah tempo hari kita saksikan Bu Wi-yang membunuh In Ciong-liong di restoran itu?" kata Oh Thi-hoa.

"Orang itu adalah Bu Wi-yang palsu," kata Coh Liu-hiang.

"Palsu?" Oh Thi-hoa menegas dengan melengak.

"Ya, sebelumnya Ting Hong membunuh Bu Wi-yang lebih dulu, lalu mencari seorang yang mirip gembong bajak itu untuk menyamar," Coh Liu-hiang merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Mereka sengaja menggunakan panah Bu Wi-yang untuk membunuh kedua orang di tepi sungai, tujuannya supaya kita pun mengira Bu Wi-yang belum mati."

Oh Thi-hoa meraba hidung pula, katanya, "Tapi aku tidak mengerti."

"Tempo hari waktu di restoran itu, kita tidak tahu bahwa Bu Wi-yang itu palsu, sebab kita memang tidak berhubungan akrab dengannya, tapi seseorang telah mengenali kepalsuannya."

"Oo, siapa dia?" tanya Oh Thi-hoa.

"In Ciong-liong," jawab Coh Liu-hiang. "Justru lantaran dia tahu Bu Wi-yang itu palsu, maka dia tampak terperanjat."

"Tapi... tapi kita tak dapat mengetahuinya, masa dia malah tahu?" kata Oh Thi-hoa.

"Sebab berita yang tersiar di Kangouw memang tidak salah, selama beberapa tahun terakhir ini In Ciong-liong dan Bu Wi-yang, dari lawan telah berubah menjadi kawan, sebab itulah dalam surat wasiat In Ciong-liong disebutkan, kedudukan Pangcu diwariskan kepada Bu Wi-yang. Inipun suatu tanda bahwa hubungan In Ciong-liong dan Bu Wi-yang sangat baik, bahkan percaya penuh kepadanya."

Oh Thi-hoa meraba hidung pula, ucapnya sambil menyengir, "Bukan saja aku tidak mengerti, bahkan semakin bertambah bingung."

"Mungkin In Ciong-liong sudah tahu Ting Hong dan komplotannyaberm aksud membunuhnya, maka sebelumnya dia telah meninggalkan surat wasiat," tutur Coh Liu-hiang. "Kedua orang yang mati terpanah di tepi sungai itu memang betul anak buah In Ciong-liong, tapi lantaran dia dan Bu Wi-yang sudah menjadi kawan baik, maka anak buahnya memang betul diperbantukan ke tempat Bu Wi-yang."

"Maksudmu... Bu Wi-yang tahu kedua orang itu anak buah In Ciong-liong?" tanya Oh Thi-hoa.

"Betul, sebab itulah saat di restoran sana Bu Wi-yang palsu menuduh mereka sengaja diselundupkan ke tempatnya, maka In Ciong-liong tambah yakin akan kepalsuannya."

"Coba uraikan lebih jelas lagi," pinta Oh Thi-hoa.

"Karena selama beberapa tahun terakhir ini In Ciong-lionmg sering bertemu Bu Wi-yang, maka begitu berhadapan, segera In Ciong-liong melihat adanya kelainan pada Bu Wi-yang palsu it. Maklumlah, ilmu rias sangat sukar mengelabui kenalan dekat."

"Tapi penyamaran Eng Ban-li dapat mengelabui kau?" ujar Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Soalnya dia menyamar sebagai orang yang tidak kita kenal, pula bentuknya sangat aneh. Apabila dia menyamar sebagai dirimu, sekali pandang saja dapat kukenali dia."

"Jika demikian, bukankah ilmu rias tiada gunanya lagi?"

"Kegunaan ilmu rias hanya untuk menutupi wajah aslinya sendiri agar orang lain tidak dapat mengenalinya, tapi sama sekali tak dapat membuatnya berubah menjadi orang lain."

"Jika In Ciong-liong tahu Bu Wi-yang itu palsu, mengapa tidak dia bongkar saja waktu itu?" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Sebab waktu itu Ting Hong berada di sampingnya, hakikatnya dia tak mendapat kesempatan untuk berbicara, cuma...."

"Cuma apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Akhirnya In Ciong-liong sempat memberi isyarat kepada kita, sayang, waktu itu kalian sama sekali tak menaruh perhatian."

"Cara bagaimana dia memberi isyarat?" tanya Oh Thi-hoa.

"Dia sengaja mencukil mata ikan sehingga mata ikan itu jatuh ke piringku, maksudnya supaya kita tahu bahwa Bu Wi-yang itu adalah 'Hi-bok-kun-cu' (mata ikan dicampurkan dalam mutiara), kiasan orang palsu."

Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, ucapnya dengtan tertawa, "Meski isyarat itu sangat bagus daan cerdik, tapi terlalu sulit untuk dipahami."

"Jika mudah dipahami, tidak terhitung isyarat lagi," ujar Coh Liu-hiang. "Setelah mengetahui Bu Wi-yang itu palsu, maka sebelum bertempur, In Ciong-liong merasa dirinya pasti tak terhindar dari kematian, sebab itulah dia memberi isyarat agar kita tahu bahwa kematiannya sedikit banyak ada harganya."

"Pantas waktu dia melangkah keluar, tampaknya dia sangat penasaran dan masgul," kata Thio Sam.

"Ya, aku pun heran, padahal ilmu silat In Ciong-liong tidak banyak berselisih dengan Bu Wi-yang, mana bisa sekali gebrak Bu Wi-yang membunuhnya?" kata Oh Thi-hoa.

"Ting Hong memperalat Bu Wi-yang palsu untuk membunuh In Ciong-liong, lalu membiarkan Bu Wi-yang palsu memimpin Sin-liong-pang, selanjutnya Hong-bwe-pang dan Sin-liong-0pang akan bergabung. Semua kapal milik kedua Pang itu akan dapat dikuasai dan digunakan sesukanya, seluruh lembah perairan Tiangkang juga akan berada di bawah pengaruh mereka..."

"Jika demikian Ting Hong benar-benar seorang tokoh yang maha lihai, akal 'sekali tembak dua burung' berlangsung dengan sangat lancar dan juga keji," kata Thio Sam dengan menyesal.

Coh Liu-hiang berpikir sejenak, katanya kemudian, "Jika tidak salah perkiraanku, mungkin Ting Hong tidak selihai itu, di belakang layar pasti masih ada pengemudinya yang jauh lebih lihai dan menakutkan."

"Tak peduli siapa orang ini, yang jelas kita tak dapat lagi melihatnya," ujar Oh Thi-hoa dengan menyengir.

"Masih ada satu hal yang tidak kupahami," tiba-tiba Thio Sam berkata pula.

"Hal apa?" tanya Coh Liu-hiang.

"Jika In Ciong-liong saja dapat mengenali penyamaran Bu Wi-yang palsu itu, anak buah Hong-bwe-pang sendiri yang senantiasa berdampingan dengan sang ketua, masa tak dapat mengenalinya malah? Bukankah rahasia penyamarannya cepat atau lambat pasti juga akan ketahuan?"

"Kau salah," kata Coh Liu-hiang. "Pribadi Bu Wi-yang terkenal sangat kereng dan disiplin, setiap anak buah Hong-bwe-pang sangat patuh dan setia padanya, di samping rasa hormat dan segan, siapa nyang berani mengawasi dia dengan cermat?"

"Betul juga," kata Thio Sam setelah berpikir. "Urusan yang membingungkan, biloa diserahkan kepadamu, semuanya akan berubah menjadi jelas dan beralasan."

Coh Liu-hiang menghela napas gegetun, katanya, "Urusan ini sebenarnya sangat ruwet dan juga misterius, sedikitnya menyangkut tujuh atau delapan persoalan, bila sedikit kurang cermat saja pasti suka memecahkannya."

"Sungguh aku tidak tahu cara bagaimana kau memecahkan persoalan ini? Apakah bentuk otakmu berbeda dengan orang lain?" kata Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Sebenarnya ada juga beberapa bagian yang tak dapat kupecahkan, tapi setelah kurenungkan ketika berbaring di dalam peti mati tadi, sedikit demi sedikit dapatlah kugabung lalu kupecahkan seluruhnya."

"Kiranya peti mati ini mendatangkan inspirasi bagimu," kata Oh Thi-hoa dengan tertawa.

"Inipun ada betulnya," ujar Coh Liu-hiang sungguh-sungguh. "Jika orang ingin mencari sesuatu tempat tenang untuk memikirkan sesuatu, maka di dalam peti mati adalah tempat yang paling ideal."

"O, masa?" kata Oh Thi-hoa.

"Sebab seseorang bila sudah membujur dalam peti mati, maka akan terasa dirinya terputus hubungan sama sekali dengan dunia ramai, akan berubah tenang tenteram, banyak hal yang tak pernah terpikir akan timbul pada saat demikian. Banyak urusan yang mestinya sudah terlupakan akan terbayang semuanya."

"Jika demikian, seharusnya Siau Oh sepanjangm hari berbaring di dalam peti mati saja, sebab yangf dia minum sesungguhnya terlalu banyak dan yang dipikirkannya terlalu sedikit."

Oh Thi-hoa melotot sekajap, katanya sambil mengerut kening, "Memang ada suatu hal yang belum dapat kupecahkan."

"Apakah mengenai peta itu?" tanya Coh Liu-hiang.

"Betul, sebelum ajalnya In Ciong-liong diam-diam memberikan peta ituj kepadamu, kuyakin peta itu pasti menyangkut suatu urusan maha penting. Betul tidak?"

"Betul," jawab Coh Liu-hiang.

"Akan tetapi yang terlukis di peta itu hanya gambar kalong melulu," ujar Oh Thi-hoa dengan menghela napas.

"Kukira pada gambar kalong itulah terletak kunci rahasianya, pasti mengandung arti yagn sangat dalam, ucap Coh Liu-hiang setelah berpikir.

"Dan sudah dapat kau pikirkan belum?" tanya Oh Thi-hoa.

"Belum," jawab Coh Liu-hiang cepat dan tegas.

Maka tertawalah OPh Thi-hoa, tampaknya dia hendak berolok-olok pula.

Mendadak terdengar seseorang berseru, "Kutahu arti gambar kalong itu."

Waktu semua menoleh, yang bicara kirianya adalah Kim Leng-ci.

Thio Sam tertawa, bisiknya, "Kiranya telinganya juga cukup panjang."

"Anggota badan perempuan memang ada dua yang lebih panjang daripada lelaki, satu di antaranya adalah telinga," kata Oh Thi-hoa.

"Dan yang satu lagi," tanya Thio Sam.

"Lidah," jawab Oh Thi-hoa.

Dia berkata dengan suara tertahan, sebab waktu itu Kim Leng-ci sudah bangun berduduk dari peti matinya. Sejak nona itu bersikap kasar kepada Pek Lak. Aneh, sikap Oh Thi-hoa terhadap nona itu menjadi jauh lebih halus.

"Nona Kim tahu arti yang terkandung pada gambar kalong itu?" tanya Coh Liu-hiang.

"Ehm." Kini Leng-ci mengangguk. Matanya kelihatan rada bendol seperti habis menangis.

"Gambar kalong itu apakah melambangkan satu orang?" tanya Coh Liu-hiang pula.

"Bukan, tapi melambangkan tempat." jawab Kim Leng-ci.

"Tempat?" Coh Liu-hiang menegas, "Tempat apa itu?"

"Pian-hok-to (Pulau Kalong), dimana terletak gua emas itulah namanya Pian-hok-to," tutur Kim Leng-ci.

Terbeliak mata Coh Liu-hiang. serunya. "Jika begitu, garis-garis melengkung pada peta itu melambangkan air laut. .."

"Dan lingkaran itu melambangkan matahari, menunjukkan arah ke Pulau Kalong itu." tukas Thio Sam.

Oh Thi-hoa juga lantas berseru, "Kalau begitu, asalkan kita mengikuti arahnya, kita akan menemukan Pulau Kalong itu dan asalkan dapat menemukan pulau itu. segala persoalan pun akan dapat dipecahkan."

"Tapi mungkin setiba di pulau itu, persoalan dirimu juga sudah dapat dibereskan seluruhnya!" jengek Kim Leng-ci.

"Apa artinya ucapanmu?" tanya Oh Thi-hoa.

Tapi si nona diam saja tanpa menggubrisnya.

"Kalau orang sudah mati. tentu segala persoalan menjadi beres...... begitu bukan maksud nona Kim?" kata Coh Liu-hiang.

Akhirnya Kim Leng-ci mengangguk juga, katanya, "Dahulu setelah berada di lautan lepas, selama lima enam hari berlayar baru kucapai Pulau Kalong. Sekarang biarpun kita menumpang kapal yang lebih besar. sedikitnya juga perlu berlayar selama tiga empat hari. apalagi......" Sampai di sini dia tidak melanjutkan lagi, akan tetapi bagaimana maksud ucapannya itu cukup jelas.

Maklumlah, sekarang mereka hanya berakitkan peti mati, seumpama dapat berlayar dengan lancar, tiada hujan tiada badai,
juga tak kehilangan arah, sekalipun mereka berenam orang baja dan sanggup mendayung terus menerus.... katakanlah mereka dapat menempuh perjalanan dengan kecepatan maksimal, paling sedikit juga diperlukan waktu tujuh delapan hari.

Padahal masih harus disoalkan makanan dan minum air, dapatkah mereka bertahan selama tujuh delapan hari?

Oh Thi-hoa kucek-kucek hidungnya dan berkata. "Tujuh delapan hari tanpa makan mungkin masih tahan, tapi tanpa minum. siapa pun pasti tak sanggup."

"Jangankan bertahan tujuh delapan hari. sekarang pun aku sudah kehausan setengah mati," ujar Thio Sam menyengir.

"Mungkin disebabkan mulutmu terlalu banyak bergerak, maka juga cepat haus," jengek Oh Thi-hoa.

Thio Sam menarik muka. jawabnya. "Mati kehausan adalah urusan kecil, mati konyol membikin penasaran Biarpun mati kehausan, mulut tetap harus kugunakan untuk bicara."

Saat itu Eng Ban-li sedang memandangi langit, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, "Mungkin kita takkan mati kehausan."

"Sebab apa?" tanya Oh Thi-hoa.

Eng Ban-li tersenyum, senyuman kecut, katanya perlahan, "Langit seperti makin rendah, mungkin selekasnya akan hujan angin."

Langit memang terasa sangat rendah, awan tebal seakan-akan hendak menindih di atas kepala mereka Mendadak mereka merasa hawa udara sangat menyesakkan hingga hampir tak dapat bernapas.

Thio Sam menengadah memandang cuaca, alisnya berkerut rapat, katanya, "Ya, tampaknya seperti mau hujan angin."

"Hujan angin atau hujan badai," tanya Oh Thi-hoa. "Baik hujan angin biasa atau hujan badai, kita tetap sangat sukar bertahan." jawab Thio Sam menunduk.

Semua orang termenung, tanpa terasa sama menunduk memandangi peti mati yang diduduki itu.

Peti mati terbuat dari kayu jati, buatannya sangat kukuh, sebab itulah sampai sekarang tiada yang bocor.

Tapi peti mati tetap peti mati dan bukan kapal. Bilamana terjadi angin badai, keenam peti mati itu pasti akan terdampar berantakan oleh gelombang laut.

Tiba-tiba Oh Thi-hoa tertawa, katanya. "Kita kan punya seorang ahli pikir di sini, urusan apapun pasti dapat dihadapinya, kenapa kita mesti khawatir?"

Dia berharap orang lain akan ikut tertawa, tapi ternyata tiada seorang pun yang tertawa.

Dalam keadaan demikian, biarpun dia adalah seorang badut yang paling jempolan, barangkali tiada seorang pun yang mau menikmati lawakannya. Lawakannya itu tiada sesuatu yang menggelikan.

Sebab setiap orang tahu Coh Liu-hiang bukan dewa. menghadapi manusia mungkin bisa selalu menang, tapi menghadapi Thian, menghadapi alam sama saja. ia pun tidak berdaya sama sekali.

Sang surya entah sejak kapan sudah tertelan oleh samudera raya, cuaca menjadi gelap gulita. Hanya sepasang mata Coh Liu-hiang saja yang masih berkelip-kelip

Oh Thi-hoa tidak tahan, ia buka suara pula, "Apakah sekarang kau sudah mempunyai sesuatu jalan keluar?"

"Sekarang aku memang punya suatu gagasan." jawab Coh Liu-hiang dengan tenang.

Tentu saja Oh Thi-hoa kegirangan, cepat ia berseru, "Bagus, lekas katakan, bagaimana gagasanmu, supaya semua tahu." "Tunggu," kata Coh Liu-hiang singkat. Oh Thi-hoa melengak. segera ia berteriak pula, "Tunggu! Inikah gagasanmu?"

Coh Liu-hiang menghela napas gegetun, ucapnya, "Ya, hanya inilah gagasanku."

"Betul, tiada jalan lain, terpaksa kita hanya dapat menunggu saja," tukas Eng Ban-li. "Dalam keadaan demikian memangnya siapa yang mampu mengemukakan gagasan lain?"

"Habis apa yang hendak ditunggu?" teriak Oh Thi-hoa, "Tunggu kematian?"

Coh Liu-hiang dan Eng Ban-li diam saja. Biasanya kalau diam berarti membenarkan.

Oh Thi-hoa jadi melengak sendiri, tiba-tiba «ia merebahkan diri dan bergumam, "baiklah, jika harus tunggu kematian, paling sedikit kita harus menunggu dengan rileks. Nah, kenapa kalian tidak berbaring saja.... Rasanya orang menunggu kematian tidak dapat dialami oleh setiap orang."

oooo0000oooo

Menunggu kematian memang tidak enak rasanya Baik cara menunggunya itu dengan berdiri, berduduk atau berbaring.

Tapi terpaksa mereka harus menunggu, sebab selam menunggu memang tiada jalan lain.

Selama hidup Coh Liu-hiang, entah sudah berapa banyak menghadapi lawan yang menakutkan, tapi siapa pun juga yang dihadapi dan urusan apapun, tak pernah ia kehilangan keberanian dan tidak pernah putus asa.

Semakin menakutkan musuh yang dihadapinya, semakin besar pula keberaniannya, otaknya juga bekerja terlebih cepat dan tajam, ia yakin segala persoalan di dunia ini pasti dapai dipecahkannya.

Hanya sekali ini. otaknya seperti kosong blong, apapun tak dapat dipikirnya.

Angin semakin kencang, ombak pun semakin tinggi. Rakit peti mati mereka itu terlempar naik turun, selain memegangnya erat-erat, apapun tak dapat dilakukan oleh mereka. Malahan kalau kurang erat berpegangan, bisa jadi akan terlempar ke laut.

Tapi kalau benar-benar bisa terlempar ke laut, mungkin akan terasa puas malah. 'Mati' sendiri tidak menyakitkan, yang menyiksa adalah detik sebelum mati itulah.

Seseorang kalau masih dapat berontak, masih dapat berjuang masih dapat melawan, maka takkan takut menghadapi persoalan apa pun iuga. Tapi jika apa yang bisa dilakukannya tiada lain kecuali menunggu saja, inilah yang sangat menakutkan.

Hanya dalam keadaan mencekam beginilah akan kentara betapa keberanian seseorang

Meski wajah Coh Liu-hiang juga pucat, tapi masih tetap tenang dan sabar, hampir tiada berbeda seperti biasanya.

Dan Oh Thi-hoa ternyata benar-benar telah tidur, malahan kelihatan sangat nyenyak.

Eng Ban-li lagi menunduk. Kim Leng-ci menggigit bibir, Thio Sam berkomat-kamit seperti lagi bergumam sendiri, seperti juga sedang berdendang.

Hanya Pek Lak saja. dia tetap berduduk di tempatnya dengan membusungkan dada, dengan mata terbelalak ia pandang Kim Leng-ci butiran keringat memenuhi dahinya.

Entah sudah berapa lama, sekonyong-konyong Pek Lak berbangkit ditatapnya Kim Leng-ci. katanya, "Nona Kim, aku berangkat lebih dahulu, aku., aku.. " Belum habis ucapannya ia terus melompat seperti hendak terjun ke laut.

Kim Leng-ci menjerit, tapi tangan Coh Liu-hiang secepat kilat dapat meraih ikat pinggang Pek Lak.

Pada saat itu juga mendadak Thio Sam juga berteriak, "He, apakah itu?"

Di permukaan laut yang gelap gulita itu. tiba-tiba muncul setitik sinar.

Kalau hujan badai sudah hampir tiba, darimana bisa ada kerlipan bintang?

Oh Thi-hoa kegirangan dan berteriak teriak. "Aha, itulah lampu."

Tempat yang ada lampunya kalau bukan daratan tentulah di atas kapal. Kerlipan sinar lampu itu memang betul bintang, bintang penolong.

Mereka berusaha mendayung sekuatnya ke arah kerlipan lampu. Meski angin meniup kencang dan gelombang ombak sangat besar, tapi semua itu bukan apa-apa lagi bagi mereka.

Sinar lampu itu semakin terang dan semakin jelas.

Mereka mendayung dengan terlebih cepat, lambat laun suara orang di kapal sana sudah dapat terdengar.

Coh Liu-hiang melirik Pek Lak sekejap, ucapnya dengan tegas, "Seseorang asalkan tidak mati, dalam keadaan apapun juga harus tahan uji. Kukira inilah pokok dasar kehidupan manusia."

"Betul," tukas Eng Ban-li. "Ada ucapan Coh-hiangswe yang paling tepat, yaitu manusia tidak berhak membunuh orang lain, tapi juga tidak berhak membunuh diri sendiri."

Kapal itu sangat besar, setiap orang yang berada di kapal itupun sangat sopan, halus tingkah lakunya, cara bicaranya juga lemah lembut.

Ketika Coh Liu-hiang sudah berada di atas kapal, segera ia merasakan kapal ini sangat istimewa.

Menurut pengalaman mereka, kelasi kapal kebanyakan kasar dan kotor. Maklum, di tengah lautan, air tawar jauh lebih berharga daripada arak yang paling enak. dengan sendirinya kesempatan mandi mereka tidak banyak.

Meski hujan badai sudah hampir tiba, setiap orang di kapal itu tetap tenang, terhadap Coh Liu-hiang dan kawan-kawan iuga sangat sopan santun.

Siapa pun dapat melihat bahwa kelasi-kelasi kapal ini pasti mengalami latihan yang sangat baik, dari gerak-gerik mereka dapat diketahui juragan kapal ini pasti luar biasa.

Dan dengan cepat sekali Coh Liu-hiang sudah dapat membuktikan kebenaran dugaannya itu.

Cuma juragan kapal ini jauh lebih muda daripada dugaannya, seorang pemuda yang dan lembut, berpakaian perlente, tapi tidak berlebihan.

Terdengar suara kecapi yang merdu sayup-sayup terbawa angin.

Dari kejauhan melalui jendela kabin. Coh Liu-hiang dapat melihat pemuda itu sedang memetik kecapi. Tapi ketika mereka hampir mendekati kabin, suara kecapi itu lantas berhenti. Tahu-tahu pemuda itu muncul menyambut kedatangan mereka dengan tersenyum simpul.

Senyuman pemuda itu sangat simpatik, tapi sepasang matanya menampilkan perasaan hampa dan kesepian. Dia menjura kepada Coh Liu-hiang dan kawan-kawannya, ucapnya dengan tersenyum, "Maaf jika kedatangan para tamu terhormat tidak dilakukan sambutan selayaknya."

"Ah, berkat pertolongan anda sehingga kami terhindar dari malapetaka, kalau bisa berteduh sekedarnya, mana berani kami mengharapkan apa-apa lagi. jika tuan rumah sungkan-sungkan begitu, sungguh kami menjadi bingung malah," demikian Coh Liu-hiang balas menjura.

"Ah, bilamana dapat membantu sesuatu, beruntunglah bagiku, jika anda juga sungkan-sungkan begini. Cayhe sendiri pun merasa rikuh," kata pemuda ini dengan ramah.

"Tadi kami mendengar petikan kecapi yang merdu, maaf jika kedatangan kami justru mengganggu keasyikan anda," kata Coh Liu-hiang.

"Dari ucapan anda ini, agaknya anda seorang ahli seni musik, sebentar akan kumohon petunjuk." ujar pemuda itu tertawa.

Dalam pada itu Oh Thi-hoa menjadi tidak sabar Dia sudah lelah, lapar dan haus, diliriknya poci arak yang tertaruh di atas meja sana. sungguh kalau bisa poci itu akan ditubruknya terus ditenggak sepuas-puasnya.

Tapi Coh Liu-hiang justru melayani pemuda itu bicara tetek bengek, tentu saja ia merasa sebal, segera ia berseru, "Aha, bagus, di samping kecapi ada arak, memetik kecapi sambil minum arak sungguh asyik dan menyenangkan. Apabila bisa mendengarkan suara kecapi anda. sungguh menyenangkan."

Padahal yang diincar araknya, tapi dia justru omong tentang kecapi segala. Tentu orang lain dapat meraba isi hatinya.

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kawanku ini bukan saja mahir mengenai seni suara, juga ahli arak...."

Oh Thi-hoa melototinya dan memotong, "Terus terang meski telingaku sekarang tak mendengarkan suara kecapi, tapi di mataku sudah terlihat adanya arak."

Pemuda itu tertawa, katanya. "Dari nadanya, masa tak dapat dibedakan maksud tujuannya? Bahwasanya Oh-tayhiap adalah jago minum arak, hal ini sudah lama kudengar."

Baru Oh Thi-hoa mau tertawa, seketika ia jadi melengak. katanya, "He, kau kenal diriku?"

"Maaf, belum pernah kenal," jawab pemuda itu.

"Lalu darimana kau tahu aku she Oh?" tanya Oh Thi-hoa.

"Kupu-kupu terbang menari, harum bunga memabukkan. Orang yang dapat selalu berdampingan dengan Coh-hiangswe, siapa lagi kecuali 'Oh-tiap-hoa' (si kupu kembang, julukan Oh Thi-hoa) Oh-tay-hiap?"

Coh Liu Hiang jadi melengak juga.

"Kiranya yang kau kenal bukan diriku melainkan si ku... Coh Liu-hiang." kata Oh Thi-hoa.

"Nama kebesaran Coh-hiangswe sudah kukagumi. cuma sayang selama ini belum pernah berjumpa." kata pemuda itu.

Kembali Oh Thi-hoa melenggong. katanya. "Jika kau tidak pernah melihat dia. darimana kau tahu dia ini Coh Liu-hiang?"

Pemuda itu tidak langsung menjawab pertanyaan ini, dia tersenyum dan bertanya pula. "Angin kencang dan ombak besar, air laut bergolak, berdiri kalian tentunya tidak anteng, sedangkan tinggi geladak kapal ini kira-kira dua tombak dari permukaan air, bila naik ke sini dengan melompat, waktu hinggap di atas geladak tentu akan menimbulkan suara."

"Betul, jika di daratan lompatan setinggi dua tombak bukan soal di atas air memang lain halnya," ujar Oh Thi-hoa.

"Tapi waktu kalian berenam melompat ke sini, cayhe hanya mendengar suara kaki lima orang. Sekali lompat dua tombak di atas air dan tidak menimbulkan suara ketika hinggap ke bawah, betapa tinggi Ginkangnya ini. sungguh tiada bandingannya di dunia ini."

Dia tertawa, lalu menyambung pula, "Ginkang Coh-hiangswe benar-benar tiada taranya, sungguh Cayhe tunduk dan kagum lahir batin."

"Tapi cara bagaimana pula kau tahu orang keenam yang melompat ke atas kapal tanpa menimbulkan suara itu ialah dia dan dia ini pula Coh Liu-hiang?" tanya Oh Thi-hoa penasaran.

Pemuda itu tertawa pula. jawabnya, "Perahu terombang-ambing di tengah laut yang bergolak, hujan badai sudah hampir tiba, setelah mengalami bencana tapi masih sanggup bicara dan tertawa sewajarnya seperti tak terjadi apa-apa. pandanglah ke seluruh dunia ini, kecuali Coh-hiangswe ada berapa orang lagi?"

Lalu dia berpaling kepada Coh Liu-hiang dan berkata, "Sebab itulah Cayhe berani mengenali Coh-hiangswe. jika tindakanku ini agak semberono, mohon dimaafkan."

Oh Thi-hoa melongo dan tak sanggup buka suara lagi. Pemuda itu benar-benar seorang tokoh yang luar biasa, jauh lebih hebat daripada sangkaannya.

oooo0000ooooo

Arak pun disuguhkan. Arak pilihan, arak sedap.

Untuk menghibur hati yang kesal, biasanya tiga cawan arak enak sudah cukup membuat orang lupa daratan.

Kini, Oh Thi-hoa sudah menghabiskan lima cawan, sedikit banyak ia rada mabuk, karena itu kata-katanya mulai banyak.

Seseorang kalau dalam keadaan lelah dan lapar, daya tahan minum araknya sudah tentu jauh lebih lemah daripada biasanya.

Sementara itu, masing-masing sudah saling memperkenalkan nama. Hanya Eng Ban-li saja tetap menggunakan nama samaran, yakni "Kongsun Jiat-ih",

Maklum, puluhan tahun jadi opas, rasa curiganya terhadap orang lain selalu timbul, terutama terhadap orang yang baru dikenalnya.

Dengan tertawa pemuda itu berkata pula. "Kiranya anda adalah orang ternama semua, kehadiran kalian sungguh menambah semarak suasana di kapalku, sungguh sangat beruntung."

"Bila orang sepertimu mengaku sebagai orang tak terkenal, akulah orang pertama yang tidak percaya," seru Oh Thi-hoa.

Cepat Eng Ban-li bertanya dengan tertawa. "Betul, kami pun ingin mohon diberitahu nama tuan rumah yang mulia."

"Cayhe she Goan bernama Sui-hun," jawab si pemuda.

"Jarang sekali ada orang she begini." ujar Oh Thi-hoa dengan tertawa.

"Dan entah dimanakah kediaman anda?" tanya Eng Ban-li.

"Kwantiong," jawab Goan Sui-hun.

Gemerdep sinar mata Eng Ban-li, katanya. "Keluarga Goan dari Kwantiong memang termashur, nama Bu-ceng-san-ceng begitu terkenal, keluarga terhormat nomor satu di dunia persilatan. Entah apa hubungan antara Goan-kongcu dengan Goan-locengcu Goan Tong-wan dari Bu-ceng-san-ceng sekarang?"

"Beliau adalah ayahku." jawab Goan Sui-hun.

Keterangan ini membuat semua orang tercengang. Bahkan Coh Liu-hiang juga merasa tertegun, seperti mendengar sesuatu berita yang aneh dan mengejutkan.

Bu-ceng-san-ceng atau perkampungan tanpa sengketa' dibangun di Goan-jing-kok di barat kota Thaygoan pada tiga ratus tahun yang lalu. Nama 'Bu-ceng tanpa sengketa alias damai itu bukan dicetuskan oleh pendiri perkampungan itu. tapi pemberian para ksatria dunia persilatan.

Sebab pada waktu itu. boleh dikata nada seorang pun di dunia ini yang mampu melawan penguasa perkampungan itu.

Sejak itu Bu-ceng-san-ceng selalu melahirkan pendekar ternama dan banyak melakukan hal-hal yang menggemparkan dan mengagumkan di dunia Kangouw.

Selama lima puluh tahun terakhir ini memang tidak ada kejutan yang dilakukan orang Bu-ceng-san-ceng. tapi wibawa selama tiga ratus tahun masih tetap bertahan, bila orang Bu-lim menyebut 'Bu-ceng-san-ceng' akan tetap merasa segan dan menghormat.

Penguasa Bu-ceng-san-ceng sekarang, yaitu Goan Tong-wan, berwatak tak acuh terhadap dunia Kangouw. Jarang muncul di dunia persilatan dan juga tak pernah bergebrak dengan orang. Meski ada kabar yang mengatakan dia sengaja menyimpan kepandaian ilmu silatnya yang sangat tinggi dan sukar dijajagi. Tapi ada juga orang bilang Goan Tong-wan bertubuh lemah, tidak mahir ilmu silat, hanya seorang sekolahan yang terpelajar dan cuma gemar minum arak dan mengarang syair saja.

Tapi apapun juga, kedudukan dan nama Goan-locengcu di dunia Kangouw masih tetap tinggi dan terhormat, perselisihan betapa besarnya, bilamana Goan-locengcu sudi memberi satu kata keputusan saja. maka segala persoalan dapat diselesaikan Sampai-sampai Sih Ih-jin yang terkenal sebagai jago pedang nomor satu di dunia itupun tidak berani mengusik Bu-ceng-san-ceng. sekalipun pada masa jaya-jayanya Sih Ih-jin.

Goan Tong-wan hidup sampai lebih lima puluh tahun, baru mendapatkan seorang anak lelaki, karena itulah sayangnya terhadap putera tunggalnya itu tidak perlu diterangkan lagi.

Goan-siaucengcu (juragan muda Goan) itupun tak mengecewakan harapan orang tua. Setiap orang Kangouw tahu Goan Sui-hun, Goan-siaucengcu, adalah anak ajaib, sesudah dewasa bahkan tambah pintar, baik Bun maupun Bu (sastra maupun silat). Malahan tingkah lakunya sopan santun dan berbudi halus.

Bilamana para tokoh dunia Kangouw menyinggung tentang Goan-siaucengcu ini, selain di mulut mereka tidak habis-habisnya memberi pujian, dalam hati mereka pun sangat menyesal bersimpati kepadanya. Sebabnya. Goan Sui-hun yang cakap dan sopan itu sejak menderita sakit keras pada usia tiga tahun akhirnya menjadi buta.

Jadi Goan Sui-hun adalah seorang buta. Orang yang sekali pandang mengenali Coh Liu-hiang ternyata seorang buta.

Keruan semua orang jadi melenggong. Mereka semua punya mata, mata vang sehat dan tajam, tapi setelah berbicara sekian lama, bukan saja tiada seorang pun yang tahu lawan bicaranya itu buta. bahkan terpikir pun tidak. Maklum, gerak-gerik pemuda itu sedemikian tenang dan wajar jalannya juga begitu mantap, waktu menuangkan arak bagi tetamunya juga tak tercecer setetes pun. malahan asal-usul tetamunya dapat diketahuinya dengan jelas.

Coba, siapakah yang pernah membayangkan bahwa pemuda demikian adalah seorang buta?

Baru sekarang semua orang tahu apa sebabnya sorot mata pemuda itu tampak sedemikian hampa dan kesepian.

Di samping merasa menyesal, tanpa terasa semua orang menjadi kasihan pula.

Pemuda ini sedemikian ganteng, sedemikian cakap, berasal dari keluarga Bu-lim terpuja pula, boleh dikata putera kebanggaan zaman, hidupnya pasti tidak kekurangan apapun. Tetapi Thian justru menjadikan dia seorang buta.

Apakah Thian juga iri terhadap manusia dan tidak ingin melihat lelaki yang sempurna tanpa cacat?

Tanpa terasa Oh Thi-hoa menenggak tiga cawan arak lagi. Dia menenggak sebanyaknya pada wakru hati gembira, pada saat hati masgul pun suka minum lebih banyak.

Dengan tertawa hambar kemudian Goan Sui-hun berkata, "Kini para hadirin tentu dapat memaafkan penyambutanku yang kurang baik tadi.

Meski cuma basa basi saja ucapan ini tapi membuat orang merasa terharu dan sukar menanggapinya.

Tiba-tiba Oh Thi-hoa berkata, "Caramu membedakan kejadian tadi apakah hasil pendengaran telingamu seluruhnya?"

"Betul," jawab Goan Sui-hun.

Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, katanya, "Meski indera penglihatan Goan-kongcu kurang baik, tapi jauh lebih tajam daripada kami yang mempunyai telinga lengkap ini."

Sambil omong, kembali ia habiskan tiga cawan arak pula. Mendadak Eng Ban-li juga berkata, "Tadinya kukira indera pendengaran Eng Ban-li, itu opas kotaraja terkenal, sukar ditandingi siapa pun juga, setelah berjumpa dengan Goan-kongcu sekarang, baru kutahu di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai."

"Ah, terima kasih atas pujianmu," jawab Goan Sui-hun. "Jangan-jangan anda juga kenal Eng-locianpwe?"

Eng Ban-li tenang-tenang saja, jawabnya, "Hanya pernah bertemu beberapa kali saja."

Goan Sui-hun tertawa, katanya pula, "Pek-ih-sin-ni Eng-locianpwe boleh dikata tiada bandingannya sejak dulu hingga sekarang, memang sudah lama ingin kutemui beliau untuk minta pengajaran. Kelak bila ada kesempatan masih berharap anda sudi memperkenalkan diriku kepada beliau."

Gemerdep sinar mata Eng Ban-li. dengan perlahan ia menjawab, "Baik. bila kelak ada kesempatan, pasti akan kupenuhi kehendakmu."

Tanya jawab ini nampaknya cuma basa-basi belaka tanpa mengandung arti, seperti sengaja dilakukan Eng Ban-li untuk menutupi asal-usul dirinya saja. Tapi entah mengapa, Coh Liu-hiang merasa di balik persoalan ini seperti mengandung pertentangan dan maksud tertentu dan kedua orang yang bicara ini.

Cuma apa maksud tujuan mereka, seketika tak dapat diterka oleh Coh Liu-hiang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar