Legenda Pulau Kelelawar Bab 05: Seluk Beluk Kangouw

Bab 05: Seluk Beluk Kangouw
Sementara itu semua orang telah berkumpul lengkap.

Dengan suara lantang Oh Thi-hoa lantas berkata, "Aku dapat menjadi saksi, sejak tadi Kau Cu-tiang terus berbicara denganku, tidak nanti dia keluar untuk membunuh orang."

"Bagaimana dengan Kongsun-siansing," tanya Ting Hong.

"Kami guru dan murid juga berada dalam kamar, hal ini pun diketahui oleh Oh-heng," jawab Kongsun Jiat-ih.

Oh Thi-hoa menjengek, katanya, "Betul, aku memang berbicara denganmu dari balik dinding kamar, tapi sesudah itu lalu bagaimana'"

"Sesudah itu kami tetap berada dalam kamar," kata Kongsun-Jiat-ih

"Kemudian datang nona Kim mencari kami. . "

"Betul, waktu kucarimemang betul berada di kamarnya," tutur Km Leng-ci

"Tapi kemana perginya kalian pada waktu setelah aku berbicara denganmu dan sebelum nona Kim datang ke kamarmu?" tanya Oh Thi-hoa. "Waktu luang itu kukira cukup bagimu untuk membunuh beberapa orang."

"Hakikatnya seharian kami guru dan murid tidak keluar satu langkah pun," kata Kongsun Jiat-ih

"Tapi Kau-heng jelas melihat kalian kaluar, lalu cara bagaimana kau akan menjelaskan?" jengek Oh Thi-hoa

Dengan sorot mata tajam Kongsun Jiat-ih menatap Kau Cu-tiang, tanyanya sekata demi sekata, "Bilakah kau pernah melihat kami guru dan murid keluar kamar?"

Air muka Kau Cu-tiang tampak berubah, jawabnya, "Kudengar di luar ada suara tindakan orang, maka aku lantas melongok keluar, kebetulan dapat kulihat ada seorang sedang mendaki tangga maka kukira Kongsn-siansing adanya."

"Kiranya kau hanya 'mengira' saja dan tidak benar-benar melihat diriku," dengus Kongsun Jiat-ih.

Kau Cu-tiang menyengir, katanya pula, "Waktu itu orangnya sudah hampir sampai di atas geladak, aku cuma sempat melihat kakinya, sehingga tidak dapat memastikan siapa dia."

Oh Thi-hoa melototi sekejap, terpaksa ia pun tutup mulut.

Semua orang bungkam, tiada yang bicara sehingga suasana dalam kabin mirip pekuburan.

Tiba-tiba terdengar suara "plung" sekali di luar, sejenak kemudian terdengar pula suara yang sama.

Semua orang sama paham suara apa itu. Jelas para kelasi sedang mengubur para kawannya yang meninggal itu ke lautan, suara "plung-plung" itu meski kedengarannya sangat biasa, tapi penuh rasa seram dan mengerikan laksana suara genta neraka yang sedang memanggil calon penghuni baru.

Belum lagi lewat satu hari, di atas kepal penumpang itu sudah mati sembilan orang. Lantas sisanya dapat hidup berapa lama lagi? Giliran siapa berikutnya yang akan direnggut jiwanya?

Si pembunuh sudah jelas berada di dalam kabin kapal ini, tapi semua orang justru tidak tahu siapa dia.

Mestinya Coli Liu-hiang berharap akan mendapatkan sedikit petunjuk yang berharga bilamana si pembunuh melakukan terornya lagi. siapa tahu cara kerja si pembunuh ternyata sangat licin dan bersih, kejadian berikutnya ternyata tidak meninggalkan bekas apapun juga.

Semua orang sama termangu-mangu, siapa pun tidak berani memandang orang lain, setiap orang sama was-was, khawatir kalau dituduh sebagai pembunuh, juga seolah-olah takut akan dijadikan sasaran berikutnya oleh si pembunuh.

Entah sejak kapan di atas meja sudah tersedia hidangan, ta pi tiada seorang pun yang angkat sumpit dan mulai makan.

Selang agak lama, tiba-tiba Oh Thi-hoa berkata, "Seorang kalau belum mati, maka dia harus makan nasi...."

Dan baru saja mereka mengangkat sumpit hendak dahar, mendadak Thio Sam menjengek, "Tetapi sesudah makan, sukar diduga siapa yang akan mati dan siapa yang tetap hidup."

Seketika Oh Thi-hoa menaruh kembali sumpitnya.

Maklum, siapa pun tidak berani menjamin bahwa di dalam santapan itu tiada diberi racun.

Coh Liu-hiang tersenyum hambar, ucapnya, "Tapi kalau tidak makan tentu akan mati kelaparan, mati kelaparan tentu tidak enak, mati keracunan kukira akan lebih baik daripada mati kelaparan." Tanpa ragu-ragu lagi segera ia angkat sumpit dan benar-benar mulai mencicipi semua santapan yang tersedia, lalu arak diminumnya pula seteguk.

"Bagus, Coh-hiangswe memang benar-benar gagah perkasa dan tidak bernama kosong," puji Kau Cu-tiang.

Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Jika kau kira dia berani mati, maka keliru besar kau. Dia hanya mempunyai semacam kepandaian khas, yakni dapat membedakan di dalam makanan ada racunnya atau tidak, malahan aku pun tahu darimana dia mendapatkan kepandaiannya khas itu."

Kongsun Jiat-ih menghela napas gegetun, katanya, "Bisa berada bersama Coh-hiangswe, sungguh sangat beruntung. "

"Jika kau pembunuhnya, mungkin takkan merasa beruntung lagi, tapi akan merasa sial," jengek Oh Thi-hoa.

Kongsun Jiat-ih tidak menggubris, dia angkat cawan arak sendiri dan menegaknya hingga habis

Siapa pun tidak tahu mengapa hari in, Oh Thi-hoa selalu mencari perkara kepada Kongsun Jiat-ih. Tapi setelah menghabiskan beberapa cawan arak, perasaan setiap orang telah bertambah lebih tenang.

Tiba-tiba Ting Hong berkata, "Keadaan luar biasa, kukira kita jangan minum terlalu banyak, meski nona Kim dan Oh-heng sudah berjanji akan adu minum arak, kukira lebih baik ditunda pula sementara, apabila salah seorang di antara kalian sampai mabuk, urusan mungkin bisa runyam."

Mendingan kalau dia tidak menyinggung soal ini, begitu dikemukakan, seketika Kim Leng-ci tidak tahan, segera ia menjengek, "Minum sekarang atau ditunda tidak menjadi soal bagiku, yang pasti, yang bakal mabuk pasti bukan diriku."

Tentu saja Oh Thi-hoa penasaran, ia pun mendengus, "Memangnya aku yang bakal mabuk?"

Kim Leng-ci tidak omong lagi, segera ia berteriak, "Bawakan poci arak...."

00ooo00

Orang yang sudah beberapa tahun berkecimpung di dunia Kangouw tentu tahu beberapa macam orang yang paling sulit dilayani, kalau bisa menyingkir sejauh-jauhnya.

Orang-orang yang dimaksud, pertama ialah kaum Su-seng atau orang sekolahan yang kelihatan lemah lembut. Kedua, kaum Hwesio atau Tosu. Ketiga, kaum kakek-kakek berusia lanjut.

Masih ada lagi yang paling sulit dihadapi ialah perempuan.

Beberapa macam orang itu, bilamana berani berkecimpung di dunia Kangouw, tentu mempunyai kepandaian andalan.

Pengalaman tempur Oh Thi-hoa sangat luas, sudah tentu ia cukup tahu apa yang disebut tadi.

Akan tetapi dalam hal minum arak memang lain, betapapun kuatnya orang minum, jika sudah berusia lanjut, kekuatan minumnya pasti akan mundur. Apalagi perempuan, karena fisik dan juga kondisi lain, kekuatan minum araknya tentu tak dapat dibandingkan dengan lelaki.

Pengalaman minum arak Oh Thi-hoa juga sangat banyak, tentu ia paham segala seluk-beluk minum arak, dia tidak gentar berlomba minum arak dengan perempuan atau kakek-kakek. Tapi urusan apapun di dunia kadang ada kecualinya. Seperti adu minum arak sekarang, begitu Kim Leng-ci baru menghabiskan cawan arak pertama, segera Oh Thi-hoa menyadari dirinya telah terperangkap.

Di dunia Kangouw terkenal pameo yang mengatakan, 'Sekali seorang ahli begerak, segera akan diketahui berisi atau tidak'. Pameo inipun cocok untuk melukiskan orang minum arak.

Bagi orang yang sudah berpengalaman, cukup melihat caranya memegang cawan arak dapat dinilai kuat dan tidaknya minum arak. Seorang yang kuat minum, caranya memegang cawan sedemikian luwesnya dan enteng. Sebaliknya orang yang tidak sanggup minum, memegang cawan arak kecil saja rasanya seperti memegang benda beratus kati beratnya.

Cuma apapun juga Kim Leng-ci tetap seoang perempuan, caranya minum arak tetap juga menggunakan cawan. Berbeda dengan Oh Thi-hoa, dia tidak sehalus itu. Dia angkat poci arak, corong poci menghadap mulut terus dituang begitu saja.

Di depan perempuan, mati pun Oh Thi-hoa tak mau unjuk kelemahan. Belum lagi Kim Leng-ci menghabiskan isi poci pertama, Oh Thi-hoa sudah menghabiskan dua poci arak.

Kau Cu-tiang berkeplok tertawa, "Kekuatan minum Oh-heng benar-benar hebat, melulu soal kecepatan saja sukar ditandingi oleh siapa pun juga."

Air muka Oh thi-hoa tak berubah sedikitpun, ia melirik Kim Leng-ci sekejap, lalu bergelak tertawa, katanya, "Mengadu minum arak harus juga dilakukan dengan cepat, jika cara perlahan-lahan, satu poci baru habis selama tiga hari tiga malam, cara demikian biarpun anak kecil umur tiga juga bisa."

Kim Leng-ci balas menjengek, "Hm, apa gunanya cepat, jika akhirnya toh mabuk, apakah terhitung hebat? Kalau mengadu mabuk, setiap orang pun mampu menenggak beberapa poci.....Betul tidak, Thio Sam?"

"Betul, sangat betul," jawab Thio Sam cepat..."Ada sementara orang orang sebenarnya tidak kuat minum, yang ada padanya cuma keberanian untuk mabuk. Kalau toh harus mabuk, biarpun menenggak sepuluh poci juga tidak soal. Padahal orang kalau sudah hampir mabuk, arak yang masuk mulutnya akan terasa cemplang seperti air putih, sedikitpun tiada rasanya. Maka minum banyak tidak terhitung kepandaian sejati, yang hebat ialah banyak minum tapi tidak mabuk."

"Hm, kalau benar aku sampai mabuk, maka kau yang pertama-tama harus hati-hati," kata Oh Thi-hoa menarik muka.

"Aku perlu hati-hati apa?" jawab Thio Sam.

"Bila penyakit gila arakku sudah kumat, maka aku menjadi benci kepada kaum penjilat pantat seperti halnya kalau kulihat kutu busuk, satu per satu pasti akan kupites hingga mampus," kata Oh Thi-hoa. Tiba-tiba ia tertawa terhadap Coh Liu-hiang dan menambahkan, "Tapi kau tidak perlu khawatir, meski kau ini kutu busuk tua, tapi kau tidak pintar menjilat."

Coh Liu-hiang sedang bicara dengan Ting Hong, sama sekali ia tidak memperhatikan apa yang dikatakan Oh Thi-hoa.

Thio Sam menghela napas, gumamnya, "Wah, orang ini belum lagi mabuk, tapi sudah sembarangan menggigit orang seperti anjing gila. Jika benar mabuk, semua orang perlu hati-hati sedikit."

00ooo00

Saat itu Ting Hong berduduk di samping Coh Liu-hiang dan sedang membisikinya, "Apa yang dikatakan nona Kim itu memang beralasan. Cara minum seperti Oh-heng itu sesungguhnya sukar terhindar dari mabuk."

Coh Liu-hiang tersenyum, katanya, "Tidak heran jika dia mabuk, kalau tidak mabuk barulah mengherankan."

"Tapi sekarang kan bukan waktunya minum arak, mengapa Coh-heng tidak menasehati dia?" kata Ting Hong.

"Apabila sudah minum arak, orang ini lupa daratan, tidak kenal sanak tidak peduli kadang, siapa pula yang dapat menasehati dia?" ujar Coh Liu-hiang menyesal. Lalu ia tertawa dan menatap Ting Hong, katanya, "Apalagi kebanyakan orang di sini kan sedang menunggu dan ingin melihat bagaimana keadaannya sesudah mabuk, untuk apa kunasehati dia?"

Ting Hong terdiam sejenak, katanya kemudian, "Jangan-jangan Coh-heng juga menganggap aku sedang menunggu dirinya mabuk?"

Coh Liu-hiang menjawab dengan hambar, "Jika tadi Ting-heng tidak menyinggung hal janji mereka, tentu sekarang mereka tidak perlu berlomba minum arak segala. Dan kalau sudah mengadu minum, mana bisa tidak mabuk?"

"Tapi.... tapi maksudku tadi kan menasehati mereka agar menunda janji mereka..."

"Mending bila Ting-heng tidak menasehati mereka, sekali menyinggung malah mengingatkan mereka," kata Coh Liu-hiang tertawa. "Ting-heng sudah dua-tiga hari bergaul dengannya, masa belum tahu wataknya yang kepala batu dan bandel seperti keledai, ditarik tidak mau jalan, dihalau malah mundur."

Ting Hong terdiam sejenak, ia menghela napas panjang, katanya dengan tersenyum getir, "Mungkin sampai saat ini Coh-heng masih salah sangka pada diriku, tapi cepat atau lambat pada akhirnya Coh-hengpasti paham akan kepribadianku....." Mendadak Coh Liu-hiang memotong ucapannya, serunya, "Hey, Thio Sam, mengapa benda itu tidak kau perlihatkan kepada Ting-heng?"

"Ya, kurena asyik menyaksikan mereka berlomba minum

hingga hampir kulupakan urusan yang lebih penting," kata Thio Sam dengan tertawa. Sembari bicara ia terus menuju ke kamar kabin sana.

Gemerdep sinar mata Ting Hong, ia coba bertanya "Coh heng ingin memperlihatkan benda apa padaku'"'

"Barang ini memang sangat hebat, siapa saja yang menerimanya seketika rahasia hatinya akan diketahui oleh orang lain," jawab Coh Liu-hiang.

Ting Hong tertawa, katanya, "Wah, jika begitu, jangan-jangan barang ini punya daya tarik sebangsa kekuatan gaib?"

"Ya, memang rada-rada gaib," jawab Coh Liu-hiang.

Meski Ting Hong masih berlagak tertawa, tapi tertawanya tampak sangat dipaksakan.

Sementara itu Thio Sam muncul kembali dengan membawa sebuah bungkusan, tidak diserahkan kepada Ting Hong, tapi kepada Coh Liu-hiang.

Sambil memegang bungkusan itu, dengan tajam Coh Liu-hiang menatapTing Hong, katanya sekata demi sekata, "Apabila Ting-heng merasa mempunyai sesuatu isi hati yang tidak ingin diketahui orang lain, kukira lebih baik jangan menerima bungkusan ini."

Ting Hong tersenyum, katanya, "Dengan ucapan Coh-heng ini, apakah diriku dianggap mempunyai sesuatu rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain?"

Coh Liu-hiang hanya tersenyum saja tanpa menjawab, pelahan ia menyodorkan bungkusan itu kepada Ting Hong.

Tadinya semua orang tertarik pada adu minum arak antara Kim Leng-ci melawan Oh Thi-hoa, tapi sekarang pandangan semua orang lantas beralih ke sebelah sini, terkecuali Kim Leng-ci dan Oh Thi-hoa berdua. Mereka sudah terpengaruh alkohol, kini selain arak, tiada urusan lain yang bisa menarik bagi mereka.

Akhirnya Ting Hong menerima bungkusan yang disodorkan oleh Cdh Liu-hiang. Ia pun menjulurkan tangannya dengan sangat perlahan, seakan akan khawatir dari dalam bungkusan itu mendadak menerobos keluar seekor ular berbisa dan memagut tangannya.

Semua orang juga heran dan sangat tertarik, tiada yang tahu apa isi bungkusan itu dan misteri apa yang terkandung di dalamnya. Padahal tidak ada sesuatu keanehan yang terdapat pada bungkusan ini.

Setelah memegang bungkusan itu, Ting Hong tertawa, katanya, "Sekarang apakah Coh-heng telah dapat melihat sesuatu

rahasia pada diriku?"

"Sedikit banyak sudah kulihat," jawab Coh Liu-hiang.

"Oo?Apa yang terlihat olehmu?" tanya Ting Hong.

Mencorong terang sinar mata Coh Liu-hiang, jawabnya, "Sudah kulihat sekarang bahwa Ting-heng biasa menggunakan tangan kiri."

Ting Hong tetap tenang-tenang saja, jawabnya dengan tertawa, "Betul, waktu masih kecil, aku memang kidal, makan atau menulis suka pakai tangan kiri, sebab itulah sering aku dimarahi ayahku. Sesudah dewasa barulah kebiasaan itu agak berubah, tapi masih sering juga tanpa terasa kugunakan tangan kiri."

"Jika demkian, tangan kiri Ting-heng sama lincahnya dengan tangan kananmu?" tanya Coh Liu-hiang pula.

"Mungkin malah lebih lincah daripada tangan kanan," ujar Ting Hong.

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Seharusnya rahasia ini tidak pantas Ting-heng katakan."

"Ini kan bukan suatu rahasia yang maha penting, kenapa tidak boleh kukatakan?"

"Tapi menurut pendapatku, rahasia ini sangat penting," kata Coh Liu-hiang sungguh-sungguh.

"Oo? Penting bagaimana?" tanya Ting Hong. "Coba, bila orang lain tahu tangan kiri Ting-heng terlebih lincah dari pada tangan kanan, kelak jika bergebrak degan Ting-heng, tentu orang itu akan berhati-hati terhada tangan kirimu,"ujar Coh l.iu-hiang.

"Pendapat Coh-heng memang benar,"kata Ting Hong.

“Untung Cayhe tiada maksud bergebrak dengan kalian, kalau tidak Cayhe bisa benar-benar rugi."

"Itupun belum tentu " tiba-tiba Thio Sam menyela. "Kalau Ting-kongcu juga dapat membinasakan orang dengan tangan kanan, bila orang lain hanya berhati-hati terhadap tangan kiri Ting-kongcu, kan sama saja?"

Air muka Ting Hong tetap tidak berubah, ia tertawa dan berkata, "Apakah Thio-heng menganggap Cayhe telah benyak membunuh orang?"

"Hm, maksudku adalah membunuh orang dengan dua tangan kan jauh lebih leluasa daripada satu tangan dan juga lebih cepat," jengek Thio Sam.

Dengan tersenyum Ting Hong menjawab, "Jika demikian orang yang bertiga tangan kan lebih leluasa membunuh orang?"

Seketika Thio Sam tidak sanggup menjawab lagi. 'Orang bertiga tangan' artinya pencopet atau pencuri.

Sekalipun Thio Sam tahu Ting Hong sengaja memakinya sebagai 'pencopet', terpaksa ia cuma dapat mendengarkan saja. Maklum, seorang bila pernah berbuat sesuatu yang memalukan, biarpun dicaci maki selama hidup terpaksa hanya dapat mendengarkan saja dan tidak berani menjawab.

Untung Ting Hong tidak berolok-olok lebih lanjut, sambil memegangi bungkusan itu, ia bertanya, "Apakah Coh-heng melihat sesuatu rahasia lain lagi pada diriku?"

"Ada satu lagi, yakni terletak pada isi bungkusan ini, mengapa Ting-heng tidak membukanya?" jawab Coh Liu-hiang.

"Baik, Cayhe memang berniat membuka," kata Ting Hong.

Sesudah bungkusan dibuka, air muka Ting Hong berubah.

Isi bungkusan itu adalah baju berlepotan darah yang ditemukan Kim Leng-ci. .

Sorot mata CohLiu-hiang tidak pernah meninggalkan muka Ting Hong. Dengan suara berat ia lantas bertanya, "Apakah Ting-heng tahu baju ini milik siapa?"

"Sudah tentu tahu, baju ini milikku," jawab Ting Hong. "Darah yang mengotori baju ini, juga darah Ting-heng?" "Cayhe tidak terluka, darimana bisa mengucurkan darah?"

jawab Ting Hong.

Kau Cu-tiang mendengus, katanya, "Hm, darah orang lain mana bisa mengotori baju Ting-heng, ini benar-benar aneh?"

"Apakah bukan Kau-heng sendiri yang kurang pengetahuan dan banyak heran?" jengek Ting Hong.

"Kurang pengetahuan dan banyak heran apa?" Kau Cu-tiang menegas.

"Jika ada orang ingin menfitnah diriku, lalu mencuri bajuku dan digunakan untuk membunuh orang, kejadian ini kan biasa, mengapa mesti diherankan? Apalagi...." Ting Hong mendengus, lalu menyambung pula, "Bila orang itu bertempat tinggal satu kamar denganku apa sukarnya jika mau mencuri pakaianku? Kan seperti mengambil barang di saku sendiri dan sama sekali tidak perlu diherankan."

Kau Cu-tiang menjadi gusar, jawabnya, "Kau berbuat sendiri, tapi malah memfitnah orag lain?"

"Yang memfitnah mungkin bukan diriku, tapi anda sendiri," jawab Ting Hong.

Serentak Kau Cu-tiang berbangkit, sorot matanya membara saking murkanya.

Namun Ting Hong tetap tenang, jengeknya pula, "Apakah kau juga bermaksud mengotori baju ini dengan darahku?"

Sekonyong-konyong Kongsun Jiat-ih menyela dengan tertawa, "Ah, kukira Ting-kongcu terlalu jauh berprasangka, Kau-heng berdiri karena ingin menyuguh satu cawan arak kepada Ting-kongcu." Dia memandang Kau Cu-tiang dengan melotot dan berkata pula, "Begitu bukan?"

Kau Cu-tiang menatap tajam pada Kongsun Jiat-ih dengan muka sebentar pucat sebentar hijau, mendadak ia mengakak dua tiga kali dan berkata, "Haha, betul, memang begitu maksudku, tak tersangka Kongsun-siansing sudah tahu isi hatiku "

Lalu ia benar-benar ia mengangkat cawan kepada Ting Hong dan berkata, "Mari silakan!"

Gemerdep sinar mata tajam Ting Hong memandang Kongsun Jiat-ih, lalu pandang Kau-Cu-tiang, akhirnya ia pun angkat cawan dan menenggaknya hingga habis, ucapnya dengan tersenyum, "Padahal darah yang mengotori baju ini juga belum pasti darah Hiang Thian-hui, bisa jadi darah babi atau anjing untuk apa kita mesti merecoki hal yang belum pasti dan merusak persahabatan sendiri?" Bicara sampai di sini, mendadak tubuhnya bergetar, kulit mukanya tampak berkerut-kerut

"He, ada apa?" tanya Coh Liu-hiang khawatir.

Sekujur badan Ting Hong tampak menggigil, ucapnya dengan parau, “Di.... di dalam arak ber.... ber...." Belum lagi kata "beracun" terucapkan, tahu-tahu ia sudah roboh terkapar.

Hanya dalam sekejap, muka Ting Hong dari pucat berubah menjadi kehijau-hijauan, lalu berubah lagi jadi kehitam-hitaman, darah pun merembes dari mulutnya, darah berwarna hitam.

Terlihat sorot matanya yang penuh rasa dendam dan benci, ia mendelik kepada Kau Cu-tiang dan berteriak dengan bengis, "Kau.... kau kejam amat!"

Kau Cu-tiang jadi terkesima, saking kagetnya sehingga tidak sanggup bersuara.

Cepat Coh Liu-hiang menutuk beberapa Hiat-to penting di sekitar jantung Ting Hong, katanya, "Sabar Ting-heng, asalkan racun tidak menyerang jantung, pasti akan tertolong."

Ting Hong menggeleng, ia tersenyum pedih, ucapnya, "Ter .... terlambat, sudah.... sudah terlambat, meski kutahu peristiwa ini cepat atau lambat akan terjadi, tak tersangka tetap sukar ter-hindar dari kekejiannya..." Suaranya mulai samar, setelah ganti napas, ia menyambung pula, "Budi luhur Hiangswe terkenal di seluruh dunia, ku.... kumohon Coh-hiangswe suka

"Jangan khawatir Ting-heng," kata Coh Liu-hiang. ''Kalau pembunuh itu jelas berada di kapal ini, tidak nanti kubiarkan dia lolos dari tuntutan keadilan."

"Ini bukan soal," ujar Ting Hong dengan sedih. "Seorang kalau sudah dekat ajal, terhadap urusan apapun akan dipandang hambar. Hanya saja.... hanya saja di rumah aku masih punya ibu yang sudah lanjut usia, aku tak dapat menunaikan baktiku lagi kepada orangtua, maka kumohon Coh-heng sudi membawa abu tulangku ke rumah...."

Sampai di sini tenggorokan terasa tersumbat dan tak sanggup meneruskan lagi.

Coh Liu-hiang menjadi terharu dan ikut berduka, katanya, "Maksudmu sudah kupahami, pesanmu pasti kulaksanakan."

Ting Hong mengangguk perlahan, seperti mau tertawa, tapi belum lagi tersimpul terpejamlah matanya, senyum yang simpatik itu takkan terlihat lagi untuk selamanya.

Coh Liu-hiang termenung sejenak, perlahan-lahan sorot matanya beralih ke arah Kau Cu-tiang.

Pandangan setiap orang sekarang sama tertuju kepada si jangkung itu. Muka Kau Cu-tiang tampak pucat seperti mayat, keringat membasahi jidatnya. Mendadak ia berteriak histeris, "Bukan aku, yang meracuni dia bukan diriku!"

"Tiada orang yang mengatakan kau yang meracuni dia," jengek Kongsun Jiat-ih.

"Aku pun tidak ingin menyuguh arak padanya, tapi kau yang menghendaki kusuguh arak padanya," kata Kau Cu-tiang

Kembali Kongsun Jiat-ih menjengek. "Dia sudah minum beberapa cawan dan tidak keracunan, biarpun tanganku bertambah panjang juga tak dapat menaruh racun dalam cawannya."

"Habis, apakah aku yang menaruh racun di cawannya?" kata Kau-Cu-tiang. "Sekian banyak orang menyaksikan sendiri, mungkinkah kutaruh racun di cawannya? Dia snediri kan juga bukan orang bura?"

Coh Liu-hiang mengambil cawan arak Ting Hong itu, tiba-tiba ia menghela napas, katanya, "Kalian sama-sama tidak menaruh racun, sebab memang tiada seorang pun dapat menaruh racun di cawan ini."

"Tapi arak di dalam poci kan juga tidak beracun, kalau beracun, tentu kita pun sudah mampus keracunan," kata Thio Sam.

"Betul, hanya arak secawan terakhir yang diminumnya ini yang beracun, tapi racun tidak tertaruh di dalam arak," ujar Coh Liu-hiang.

"Tidak di dalam arak? Habis tertaruh dimana racunnya?"tanya Thio Sam.

"Pada cawannya," tutur Coh Liu-hiang. Perlahan-lahan ia menaruh kembali cawan itu, lalu menyambung. "Ada orang memoles racun yang sangat keras di dalam cawan ini. Sebabnya Ting Hong tidak keracunan meski sudah minum beberapa cawan arak, soalnya waktu itu cairan racunnya belum lagi larut."

Baru sekarang Kau Cu-tiang menghela napas lega, gumamnya, "Untung Coh-hiangswe hadir di sini, memang mujur benar dapat berada bersama Coh Liu-hiang."

"Tapi, apapun juga kan ada seorang yang menaruh racun," kata Kongsun Jiat-ih. "Nah, siapakah gerangan orang ini?"

"Setiap orang tahu cawan arak berada di dapur, siapa pun takkan menaruh perhatian pada cawan arak kosong." tutur Coh Liu-hiang. "Adalah sangat mudah bagi siapa pun yang ingin memoles racun di cawan arak."

"Akan tetapi.... dari.... darimana si pembunuh itu tahu cawan arak beracun ini pasti akan dipakai oleh Ting Hong?" tanya Kau Cu-tiang.

"Dia memang tidak tahu, dia juga tidak peduli.... cawan arak beracun ini akan digunakan siapa pun, bagi si pembunuh itu sama saja," kata Coh Liu-hiang.

Kau Cu-tiang berpikir sejenak, ucapnya kemudian dengan menyengir, "Ya, memang betul, menurut pandangannya kita ini cepat atau lambat toh harus mati semua, siapa yang akan mati lebih dahulu tiada bedanya baginya."

Thio Sam jemput baju berdarah itu dan ditutupkan pada muka Ting Hong, gumamnya, "Sepuluh orang menumpang ka pal, sekarang telah mati tiga, berikutnya entah giliran siapa?"

Sekonyong-konyong terdengar suara "bluk", tahu-tahu Oh Thi-hoa jatuh terkulai berikut kursinya. Namun robohnya bukan karena mati keracunan melainkan cuma mabuk saja.

00ooo00

Beberapa orang yang mati lebih dahulu itu jelas terkena pukulan Cu-seh-ciang, dan orang yang paling mungkin pernah berlatih Cu-seh-ciang adalah Ting Hong.

Orang yang sekaligus dapat menggunakan tangan kanan dan kiri dengan sama lincahnya ialah Ting Hong.

Orang yang mempunyai kesempatan paling banyak untuk membunuh orang ialah Ting Hong.

Baju berdarah itupun milik Ting Hong.

Si pembunuh itu hakikatnya tiada lain ialah Ting Hong.

Tapi sekarang Ting Hong justru mati keracunan....

00ooo00

Oh Thi-hoa berbaring di tempat tidur seperti babi mampus.

Satu-satunya perbedaan dengan babi mampus adalah babi tidak mengorok, sedangkan suara ngoroknya justru menggelegar seperti bunyi guntur dan dapat terdengar dari jarak jauh.

Thio Sam kucek-kucek telinganya sambil menggeleng, katanya dengan tertawa, "Waktu orang ini ambruk tadi, kukira dia yang menjadi giliran berikutnya, sungguh aku terkejut."

Coh Liu-hiang tertawa, ucapnya, "Sudah kuketahui sebelumnya dia takkan mati. Orang baik tidak panjang umur, kejahatan hidup sepanjang masa, masa kau tak pernah dengar pameo ini?"

Thio Sam tertawa, katanya, "Meski tak terpikir olehku dia takkan mati, tapi juga tak terpikir olehku dia akan mabuk secepat ini, lebih-lebih tak terpikir olehku bahwa cara minum arak nona Kim itu memang hebat."

"Apakah kau kira dia tidak mabuk?" tanya Coh Liu hiang. "Sampai nyawa Ting Hong amblas tak diketahuinya, malahan dia berulang-ulang menanyakan Ting Hong dan menyuruhnya menjadi juri."

"Sungguh bukan waktu yang tepat mabuknya kedua orang ini," ujar Thio Sam dengan gegetun

"Hah, keliru kau," kata Coh Liu-hiang. "Justru sangat tepat yang dia pilih untuk mabuk ini."

"Memangnya kenapa?" tanya Thio Sam.

"Karena dia mabuk, maka urusan apapun tidak perlu dirisaukan lagi, si pembunuh juga pasti takkan mencari dia, sebab dia tahu kita pasti akan berjaga di sampingnya."

"Hahaha, betul juga," Thio Sam jadi tertawa geli. "Kukira dia ini orang tolol, padahal sebenarnya dia jauh lebih pintar dari siapa pun."

"Anehnya, orang yang pantas mati justru tidak mati, orang yang tidak seharusnya mati justru malah mati."

"Maksudnya Ting Hong tidak seharusnya mati?"

"Setelah kurenungkan, hanya dia saja yang harus dicurigai, pula cuma dia saja yang punya alasan untuk membunuh orang."

"Alasan? Alasan bagaimana?" tanya Thio Sam.

"Tanpa alasan, tentu tidak perlu membunuh orang,"

"Habis, apa alasan Ting Hong?"

"Dia tidak ingin kita menemukan gua emas di lautan sana."

"Jika dia tidak ingin begitu, mengapa mengundang orang-orang ini ke atas kapal?"

"Sebab dia tahu, orang-orang ada kemungkinan dapat menemukan tempat itu, maka dia sengaja mengumpulkan mereka di suatu tempat begini, lalu satu per satu dibereskan olehnya."

"Dan sekarang dia sendiri malah mati lebih dulu," kata Thio Sam.

"Makanya, kubilang apa yang kita percakapkan ini sama dengan kentut, omong kosong belaka."

Thio Sam termenung sejenak, katanya kemudian, "Selain Ting Hong. apakah tidak ada orang lain yang mempunyai alasan membunuh?"

"Alasan membunuh orang ada beberapa macam, kebanyak an terdorong karena cinta, harta, dendam, ada juga yang sengaja membunuh untuk melenyapkan saksi. Kukira alasan Ting Hong adalah jenis yang terakhir ini," Coh Liu-hiang merandek sejenak, lalu menyambung pula, "Sekarang Ting Hong sudah mati, dasar ini tidak dapat digunakan lagi. Sebab orang-orang ini tidak saling kenal satu sama lain, siapa pun tidak tahu rahasia orang lain, ini suatu bukti tujuan si pembunuh pasti bukan untuk menghilangkan saksi."

"Habis, apa tujuannya? Karena cinta? Ini tidak mungkin, orang-orang ini kan tidak pernah merebut kekasih orang lain. Demi harta, inipun tidak mungkin, selain Kongsun Jiat-ih, yang lain jelas orang miskin."

Setelah berpikir sejenak, lalu dia menyambung pula, "Meski Kim Leng-ci dan Hay Koa-thian terhitung orang kaya, tapi mereka kan tidak selalu membawa harta benda, umpama mereka dibunuh, apa pula yang bisa diperoleh si pembunuh?"

"Betul, Setelah kupikirkan, kecuali Ting Hong, hakikatnya tiada seorang pun yang mempunyai alasan membunuh orang, maka Ting Hong kupastikan sebagai pembunuhnya," kata Coh Liu-hiang.

"Dan bagaimana dengan Kongsun Jiat-ih? Sampai sekarang tetap kuragukan asal-usul orang ini," ujar Thio Sam.

Coh Liu-hiang berpikir sejenak, lalu berkata, "Di antara kesepuluh orang, bisa jadi ada satu-dua orang di antaranya yang bermusuhan dengannya, tapi sama sekali tiada alasan baginya untuk membunuh orang-orang ini."

"Namun bukti terpampang jelas, si pembunuhnya jika bukan dia tentulah Kau Cu-tiang, malahan dia harus lebih dicurigai daripada Kongsun Jiat-ih," kata Thio Sam.

Saat pintu dibuka, yang muncul ternyala Kongsun Jiat-ih.

Dalam kamar sudah dinyalakan 1ampu, sinar mata Kongsun Jiat-ih seperti membawa semacam senyuman yang aneh, dia pandang Coh Liu-hiang dan berkata, "Ada suatu urusan yang akan kubicarakan dengan Coh-hiangswe "

"Oo? Urusan apa?" tanya Coh Liu-hiang

"Kedatanganku ke Kanglam ini kecuali ingin mencari gua emas di luar lautan, tujuanku juga ingin mencari satu orang," tutur Kongsun Jiat-ih.

"Oo?" kembali Coh Liu-hiang bersuara singkat Sebelum paham tujuan pembicaraan pihak lawan, biasanya Coh Liu-hiang memang tidak suka banyak omong.

"Sudah cukup lama kuselidiki orang ini dan sebegitu jauh tiada mendapatkan sesuatu keterangan, baru kemarin kuketahui dia berada di atas kapal ini," tutur Kongsun Jiat-ih pula.

Setelah berpikir sejenak, Coh Liu-hiang berkata, "Yang kau maksudkan jangan-jangan Kau Cu-tiang?"

"Betul, memang dia," kata Kongsun Jiat-ih.

"Sebenarnya dia itu orang macam apa? Apakah ada permusuhan lama denganmu?" sela Thio Sam.

"Sebelum ini, Cayhe sendiri tidak pernah melihat dia. darimana bisa ada permusuhan segala?" jawab Kongsun Jiat-ih.

"Habis untuk apa engkau mencari dia dengan susah payah?" tanya Thio Sam.

Kongsun Jiat-ih tertawa, sikapnya tampak sangat senang, katanya, "Sampai saat ini, apakah Hiangswe belum lagi dapat mengenali diriku?"

Coh Liu-hiang memandangnya lekat-lekat perlahan matanya bercahaya, katanya, "Jangan-jangan engkau ini....." Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri di luar, itulah suara Kau Cu-tiang. ritan ngeri di luar, itulah suara Kau Cu-tiang.

Kongsun Jiat-ih segera mendahului menerjang keluar.

Kau Cu-tiang tampak berdiri di bawah tangga sana dengan penuh rasa terkejut, lengan kirinya berlumuran darah, malahan sebilah belati menancap di bahunya.

"Cara bagaimana Kau-heng bisa terluka?" tanya Coh Liu-hiang sambil mengerut dahi.

Tangan kanan Kau Cu-tiang tetap membawa koper hitam itu dengan napas agak memburu ia menjawab, "Baru saja aku turun sampai di sini, tiba-tiba belati ini menyambar, cepat lagi jitu. Untung cukup cepat aku berkelit kalau tidak, mungkin tengorokanku sudah tertembus oleh belati ini..."

"Siapa penyerangnya? Kau-heng melihatnya? tanya Coh Liu-hiang.

"Karena serangan tidak terduga. aku terkejut, kulihat bayangan orang berkelebat, ingin mengejar sudah tidak keburu lagi," jawab Kau Cu-tiang.

"Ke arah mana larinya orang itu?" tanya Coh Liu-hiang.

Kau Cu-tiang melirik Kongsun Jiat-ih sekejap dan tidak menjawab.

Padahal dia memang tidak perlu menjelaskan. Sebab orang yang berdiri di kapal sekarang, kecuali Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa, yang mampu melukai dia hanya Pek-lak-cek saja.

Kongsun Jiat-ih lantas mendengus, katanya. "Memangnya kau lihat sendiri orang itu berlari masuk ke kamarku?"

"Sep... seperti begitulah. tapi tidak. ,. tidak begitu jelas." jawab Kau Cu-tiang.

Kongsun Jiat-ih tak bicara lagi, ia melangkah ke pintu kamarnya dan menolak daun pintu. Ternyata kamarnya kosong melompong tiada seorang pun.

Kau Cu-tiang jadi melenggong.

Dengan ketus Kongsun Jiat-ih lantas berkata, "Pek-lak-cek adalah anak tolol, sifatnya juga aneh, seharusnya dia memang tinggal di dalam kamar, dengan demikian sukarlah baginya untuk menghindari tuduhan orang lain."

"Dan sekarang dia berada dimana?" tanya Thio Sam.

"Setelah nona Kim mabuk, dia selalu menjaga di sampingnya," tutur Kongsun Jiat-ih.

"Tapi karena tidak pantas lelaki dan perempuan berada sendirian di dalam kamar, untuk menghindari
prasangka jelek, maka sengaja kucari seorang lagi untuk menemani mereka."

Apa yang dikatakan Kongsun Jiat-ih memang betul, sejauh itu Pek lak-cek memang berjaga di samping Kim Leng-ci. hal ini diperkuat kesaksian kelasi yang menemani mereka. Satu langkah pun Pek-lak-cek tidak pernah meninggalkan kamar Kim Leng-ci.

Thio Sam mengerut kening. katanya, "Nona Kim dan Siau Oh sama-sama mabuk hingga lupa daratan. Kongsun Jiat-ih berada bersama kita pula, lalu siapakah gerangan yang menyerang Kau-heng ini?" Tiba-tiba air mukanya berubah, katanya dengan was-was, "Jangan-jangan selain kita bertujuh ini, di atas kapal masih ada orang kedelapan lagi? Mungkin si pembunuh ini adalah iblis yang dapat menghilang?"

***

Padahal di atas kapal memang tidak cuma mereka bertujuh.

Selain Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa. Kau Cu-tiang, Kim Leng-ci, Kongsun Jiat-ih, Pek-lak-cek dan Thio Sam. masih ada belasan kelasi kapal.

Apakah mungkin salah satu kelasi itulah pembunuhnya?

Belum lagi Coh Liu-hiang, Kau Cu-tiang, Kongsun Jiat-ih dan Thio Sam melangkah keluar kamar Kim Leng-cu mendadak terdengar suara teriakan keras. Suara teriakan itu jelas suara Oh Thi-hoa.

Keruan kejut Thio Sam tidak kepalang, serunya dengan muka pucat, "Wah, celaka Siau Oh dalam keadaan mabuk, tidak seharusnya kita meninggalkan dia sendirian di sana." Belum habis ucapannya, segera ia memburu kembali ke kamarnya.

Terlihat Oh Thi-hoa sedang berduduk di atas tempat tidurnya dengan napas terengah. Matanya terbelalak lebar penuh garis merah, tangannya mencengkeram sebuah topeng, topeng buatan dari kertas, sudah diremasnya hingga hancur.

Melihat Oh Thi-hoa masih hidup tanpa kekurangan sesuatu apa pun, seketika Thio Sam menjadi kheki malah, dampratnya,
"Apa yang kau teriakkan? Apakah kumat penyakit gilamu?"

Pandangan Oh Thi-hoa tampak kaku melototi dinding di depannya, seakan-akan di situ tumbuh beraneka warna bunga, meski Thio Sam berteriak keras, ternyata tak digubrisnya.

Thio Sam menjengek pula, "Hm, banyak minum beberapa cawan arak saja lantas mabuk sedemikian rupa, kukira selanjutnya jangan sok pamer lagi. jangan menantang minum arak lagi dengan orang lain."

Oh Thi-hoa tetap seperti tidak mendengar ucapannya, setelah termangu-mangu sekian lama, mendadak ia berjumpalitan di tempat tidur, lalu berkeplok tertawa dan berseru, "Hahaha, si pengganas itu ternyata betul bocah ini. Hahaha, memang sudah kuduga pada suatu hari dia pasti akan kubekuk."

"Kau bilang siapa pengganasnya?" tanya Thio Sam.

"Ting Hong!" jawab Oh Thi-hoa sambil mendelik.

"Sudah tentu Ting Hong, siapa lagi kalau bukan dia."

Thio Sam memandangnya dari atas ke bawah, sedikitnya berulang tujuh kali, akhirnya ia menghela napas, katanya, "Memang sudah kuduga bocah ini pasti belum sadar dari mabuknya, kalau tidak masakah bisa melihat setan?"

Seketika Oh Thi-hoa berjingkrak gusar, teriaknya. "Kau sendiri melihat setan, setan alas!"

Gemerdep sinar mata Coh Liu-hiang. ia termenung sejenak, lalu bertanya, "Apa benar barusan kau melihat Ting Hong?"

"Sudah tentu benar," jawab Oh Thi-hoa.

"Dimana kau melihatnya?" tanya Coh Liu-hiang pula.

"Di sini, di dalam kamar ini," kata Oh Thi-hoa.

Thio Sam lantas menjengek. "Tadi sudah jelas kau tertidur seperti babi mampus, cara bagaimana kau dapat melihat orang?"

"Bisa jadi lantaran aku terlalu banyak minum sehingga rasanya tidak enak, mendadak aku merasa mual dan ingin muntah, seketika aku tersadar, tetapi rasanya masih pusing, pula tenaga untuk merangkak bangun saja rasanya tidak ada."

Orang yang tidak sepenuhnya mabuk memang dapat tidur dengan sangat lelap, tapi bila mabuk, rasanya menjadi sukar untuk tidur dengan nyenyak.

Coh Liu-hiang mengangguk, sebab ia sendiri juga mempunyai pengalaman begitu.

"Pada waktu aku berbaring. dalam keadaan samar-samar itulah mendadak kurasakan ada seorang berada di kamar ini dan mendekati tempat tidurku, sayup-sayup orang ini seperfi memanggilku sekali."

"Kau membuka mata tidak?" tanya Coh Liu-hiang.

"Mataku memang setengah terpicing, maka dapat kulihat seraut wajah yang pucat. tak jelas siapa dia. waktu memanggil. aku pun malas untuk menjawab. Siapa tahu mendadak ia hendak mencekik leherku." tangan Oh Thi-hoa meraba leher sendiri, ia menghela napas panjang, lalu menyambung, "Kuat sekali tangannya, aku tidak mampu melepaskan diri, ingin menjerit juga sukar, maka sekenanya tanganku mencakar mukanya."

"Dan mukanya lantas kena kau cakar lepas, begitu bukan?" tanya Coh Liu-hiang sambil menatap topeng yang dipegang Oh Thi-hoa.

"Betul, memang begitulah," kata Oh Thi-hoa. "Waktu itu dapat kulihat jelas orang itu ternyata Ting Hong adanya. Dia sendiri juga terkejut karena topengnya dapat kucengkeram lepas, kesempatan ini segera kugunakan untuk menggenjot perutnya."

Dia tertawa lalu melanjutkan, "Kau tahu kepalanku ini cukup keras, jarang yang sanggup menahan genjotanku."

"Lalu mana orangnya?" tanya Coh Liu-hiang.

"Setelah kena kupukul perutnya, cekikannya. Lantas terlepas, ia jatuh di tempat tidur depan situ, tapi waktu aku melompat bangun hendak membekuknya. dia sudah menghilang."

Thio Sam tertawa, katanya. "Apakah kau tahu mengapa bisa terjadi begitu?"

"Ya, aku memang tidak habis mengerti mengapa dia bisa menghilang mendadak," jawab Oh Thi-hoa.

"Mau kuberitahukan kepadamu?" kata Thio Sam.

"Kau tahu?" tanya Oh Thi-hoa.

"Coba jelaskan."

"Sebab apa yang kau katakan itu tidak lebih hanya dalam impian belaka," kata Thio Sam. "Orang dalam mimpi sudah tentu bisa datang dan hilang mendadak..."

Belum habis ucapannya, serentak Oh Thi-hoa melompat bangun dan mencengkeram dada bajunya sambil berteriak murka, "Masa kau tidak percaya pada ceritaku ini? Berdasarkan apa kau tidak percaya?"

Hampir-hampir Thio Sam tak dapat bernapas karena cengkeraman Oh Thi-hoa, dengan suara serak ia menjawab. "Jika kau tidak mimpi. mana bisa kau melihat Ting Hong?"

"Mengapa aku tidak dapat melihat Ting Hong?"

"Karena Ting Hong sudah mati," ujar Thio Sam.

Baru sekarang Oh Thi-hoa terkejut tanyanya cepat, "Apa? Ting Hong sudah mati? Kapan dia mati?"

"Sedikitnya sudah ada tiga-empat jam." jawab Thio Sam.

"Apa betul?" Oh Thi-hoa menegas. "Sudah tentu betul, bahkan aku dan Kau Cu-tiang yang menggotongnya ke dalam peti mati," jawab Thio Sam.

Perlahan Oh Thi-hoa berpaling dan menatap Kau Cu-tiang, Orang jangkung itu mengangguk, katanya, "Betul, mayatnya masih berada di dalam peti mati, sedikitpun tidak dusta."

Air muka Oh 'Thi-hoa menjadi rada pucat, cengkeramannya lantas dikendurkan, gumamnya, "Habis siapa orang tadi kalau bukan Ting Hong?.... Apa betul aku memang melihat setan?"

Melihat ketakuan Oh Thi-hoa yang bingung itu, Thio Sam menjadi tidak tega. katanya dengan suara halus, "Seorang kalau banyak minum, mata memang suka kabur, mimpi buruk juga sering terjadi. Pernah satu kali dalam keadaan mabuk aku pun merasa bertemu dengan Kau-ce-thian dan Ti-pat kay, kau percaya tidak?"

Sekali ini Oh Thi-hoa tidak dapat omong lagi, ia menjatuhkankan diri di tempat tidur dan menutup mukanya dengan bantal.

"Lebih baik begini," ujar Thio Sam tertawa. "Sehabis minum arak. urusan apapun tak lebih menyenangkan dan tidur."

Mendadak Kau Cu-tiang berseru, "Kutahu tempat sembunyi si pembunuh!"

"Oo? Kau tahu?" Coh Liu-hiang merasa heran.

"Pembunuh itu tentu menyamar sebagai kelasi dan bercampur di antara mereka." jawab Kau Cu-tiang. "Sayang sebelumnya kita tidak pernah berpikir tentang ini, makanya kita menjadi saling curiga. Kalau tidak, mungkin si pembunuh takkan mudah melakukan aksi terornya."

Coh Liu-hiang menganguk perlahan, katanya, "Ya. ini pun mungkin terjadi."

'Bukan cuma mungkin. hakikatnya pasti demikian," kata Kau Cu-tiang, dengan bernapsu lantas menyambung pula, "Coba kau pikir. siapakah yang paling banyak kesempatan berdekatan dengan cawan arak?"

"Kelasi yang berdinas di dapur," jawab Coh Liu-hiang.

"Betul," seru Kau Cu-tiang. "Ada lagi, justru lantaran menyamar sebagai kelasi, maka Hay Koa-thian dan Hiang Thian-hui tidak curiga sedikitpun"

"Ya, memang masuk akal," kata Thio Sam. "Mumpung urusan belum kasip (terlanjur), mari sekarang juga kita menyelidikinya." kata Kau Cu-tiang.

"Cara bagaimana menyelidikinya?" tanya Thio Sam.

Kau Cu-Tiang berpikir sejenak, katanya kemudian, kelasi kapal ini pasti terdaftar namanya. lebih dulu kita periksa buku daftar nama mereka, lalu kita tanya satu per satu. akhinya pasti dapat kita temukan orangnya."

Gagasan ini memang boleh juga, cuma kurang tenaga. Terpaksa semua orang berbagi kerja dan melaksanakan tugas masing-masing.

Thio Sam tetap tinggal untuk menjaga Oh Thi-hoa.

Pek-lak-cek juga tetap menjaga Kim Leng-ci.

Pintu kedua kamar itu sama terbuka, bila perlu kedua pihak dapat saling memberi bantuan.

Kelasi yang menemani Pek-lak-cek itu bernama Tan Tay-tiong, seorang yang jujur. ia tahu daftar nama para kelasi tersimpan di kamar Kim Leng-ci ini. Sebab kamar ini terhitung paling baik, di sinilah Hay Koa-thian tinggal sebagai nakhoda.

Setelah menemukan daftar nama itu di almari. Kau Cu-tiang lantas mengajukan usul, "Sekarang Aku dan Coh-hiangswe serta Kongsun-siansing menuju ke arah masing-masing untuk mencari para kelasi dan mengumpulkan mereka di sini. Paling lambat dalam setengah jam kita harus bertemu pula di sini."

Gagasan ini pun sangat baik, hakikatnya memang juga tiada gagasan yang lain.

Dek kapal tempat tinggal para kelasi itu sangat suram, hanya sebuah pelita saja menerangi ruangan yang sumpek itu.

Agaknya para kelasi sudah tertidur nyenyak. Coh Liu-hiang berseru memanggil. tapi tiada jawaban. ia coba menarik tangan salah seorang kelasi itu, ternyata tangan itu sudah dingin dan kaku.

Rupanya semua kelasi yang berada di dek situ telah menjadi mayat seluruhnya.

Tanda luka yang mematikan para kelasi itupun bekas pukulan Cu-seh-ciang.

Tangan Coh Liu-hiang menjadi rada dingin juga. Ia melangkah mundur keluar dek, lalu memutar tubuh dan cepat berlalu ke atas geladak.

Di atas geladak terdapat empat orang. tapi semuanya juga sudah mati.

Bintang tampak berkedap-kedip di langit, angin laut meniup berdesir, kapal sedang berputar perlahan di tengah lautan. Maklum kapal tanpa juru-mudi. sebab juru-mudinya juga mati. Di bagian dada ada tanda bekas pukulan warna merah.

Kemanakah Kau Cu-tiang yang mendapat tugas memanggil kelasi? Mengapa Kau Cu-tiang juga menghilang?

Jarang sekali Coh Liu-hiang gemetar.

Pernah satu kali dia dan Oh Thi-hoa mencuri arak simpanan orang, jika mereka tidak sembunyi di dalam guci arak raksasa, hampir saja mereka kepergok, waktu itu hawa sangat dingin sehingga arak di dalam gentong itu seakan-akan menjadi es. Dia menggigil entah karena kedinginan atau karena ketakutan, yang jelas dia benar-benar menggigil.

Tapi itu adalah kejadian lebih dua puluh tahun yang lalu. Waktu itu dia baru berumur tujuh tahun.

Sejak kejadian itu, dia tidak pernah menggigil lagi, hingga sekarang... Sekarang ia menggigil pula tiada hentinya, sebab untuk pertama kalinya ia merasakan betapa luasnya dunia ini dan betapa kecilnya diri sendiri. Untuk pertama kalinya ia merasakan betapa misteriusnya kejadian di dunia ini dan terbatasnya kecerdikan manusia.

Dia merapatkan leher bajunya, kemudian melangkah turun ke kabin.

Kongsun Jiat-ih sudah kembali. Melihat air mukanya dapat diduga, dia tidak dapat menemukan seorang pun yang hidup.

Pertanyaan pertama yang diajukan Coh Liu-hiang adalah, "Dimana Kau Cu-tiang? Sudah kembali ke sini belum?"

"Bukankah dia pergi mencari kawanan kelasi di atas geladak bersama Tan Tay-tiong?" kata Thio Sam.

Coh Liu-hiang menghela napas. katanya, "Tidak ada. dia tidak berada di sana."

"Jangan-jangan ia pun mengalami nasib malang seperti yang lain?" kata Thio Sam dengan was-was.

Namun Coh Liu-hiang tidak menanggapi pertanyaannya.

Dia memang tidak perlu memberi jawaban.

Seketika Kongsun Jiat-ih berubah sikap, katanya, "Orang ini...."

Belum lanjut ucapannya, mendadak Oh Thi-hoa melompat bangun dan mencengkeram leher bajunya sambil membentak, "Jika Kau Cu-tiang mati pembunuhnya pasti dirimu dan bukan orang lain."

Sikap Kongsun Jiat-ih berubah pula, katanya sambil menyengir, "Jangan-jangan mabuk Oh-heng belum lagi sembuh."

Cepat Thio Sam memburu maju dan menarik Oh Thi-hoa sambil berkata, "Sekarang bukan waktunya kau bermain gila, lekas lepaskan tanganmu!"

Oh Thi-hoa menjadi gusar, teriaknya, "Kau suruh aku melepaskan dia? Apakah kau tahu siapa dia? Tahukah kau bagaimana asal-usulnya?"

"Kau sendiri tahu?" tanya Thio Sam.

"Sudah tentu kutahu." jawab Oh Thi-hoa dengan suara lantang.

"Dia adalah bandit yang sekaligus membinasakan ratusan prajurit pengawal di Khay-hong-hu, sedangkan Kau Cu-tiang adalah utusan rahasia yang dikirim Him-ciangkun dari Kwan-gwa untuk mengusut peristiwa itu. Karena menyadari perbuatannya bakal ketahuan, maka lebih dahulu dia bunuh Kau Cu-tiang untuk menghilangkan jejak."

Sekali ini Thio Sam benar-benar melengak.

Coh Liu-hiang juga merasa rada di luar dugaan.

Pek-lak-cek sudah memburu tiba, demi mendengar ucapan Oh Thi-hoa itu ia lantas berhenti di tempatnya malah.

Yang paling aneh ialah Kongsun Jiat-ih, tidak gusar atau takut, sebaliknya malah tertawa.

"Kau tertawa apa?" jengek Oh Thi-hoa dengan gusar. "Biarpun tertawa|juga tiada gunanya, paling baik kau mengaku terus terang saja."

Dengan tetap tertawa, Kongsun Jiat-ih menjawab, "Untung Coh-hiangswe kenal diriku, juga dapat menjadi saksi bagiku, kalau tidak, urusan bisa runyam."

Sembari bicaraa ia terus menarik rambut panjang yang menutupi kepalanya sehingga kelihatanlah kepalanya yang botak dan telinganya sepasang daun kuping palsu buatan dari sejenis logam yang peka.

Jadi tidak cuma rambutnya saja palsu, daun kupingnya juga palsu. rambut palsu tidaklah mengherankan. telinga palsu yang jarang terlihat.

"He, Pek-ih-sin-ni (Si baju putih bertelinga sakti)!" seru Oh Thi-hoa. (Baca Maling Romantis)

Segera Thio Sam menukas, "Jangan-jangan yang terkenal sebagai Pohthao (opas) nomor satu di dunia, Sin-eng Eng-loenghiong?"

"Ah, tak berani, Cayhe memang betul Eng Ban-li adanya," jawab 'Kongsun Jiat-ih' dengan tertawa. Jelaslah sekarang bahwa nama Kongsun Jiat-ih juga nama palsu.

"Aha, sekali ini benar-benar telah salah wesel, opas terkenal keliru dianggap bandit," seru Thio Sam dengan tertawa.

Muka Oh Thi-hoa menjadi merah, katanya, "Hal ini tak dapat menyalahkan diriku. tapi si kutu busuk tua inilah yang salah. Sudah sejak mula dia kenal Eng-losiansing, tapi dia justru tutup mulut dan tidak mau memberitahukan kepada kita."

Coh Liu-hiang tersenyum kecut. katanya, "Padahal. hal ini pun tak dapat menyalahkan diriku. yang harus disalahkan adalah ilmu penyamaran Eng-losiansing sang teramat tinggi sehingga orang yang berpengalaman seperti diriku juga dapat dikelabui."

"Ah, mana Cayhe mempunyai kepandaian setinggi ini." ucap Eng Ban-li.

Lalu ia menyambung pula dengan tertawa, "Justru lantaran ingin menyamar. maka jauh-jauh kudatang ke tempat ahli rias nomor satu di dunia ini- WaJahku yang hebat ini adalah hasil karyanya."

"Ahli Rias nomor satu? Jangan-jangan......" Thio Sam melirik Coh Liu hiang sekejap dan belum lagi menyambung, tiba-tiba Oh Thi-hoa menyela dengan tertawa, "Orang lain mengira Coh Liu-hiang ahli rias nomor satu di dunia, kutahu bukan dia."

"Bukan dia, habis siapa ?" tanya Thio Sam.

"Ialah seorang nona cilik yang sangat cantik. kutu busuk tua ini tidak lebih hanya muridnya saja," kata Oh Thi-hoa.

"Ah ingattah aku sekarang," seru Thio Sam.

"Orang sering bilang Coh Liu-hiang mempunyai tiga teman cantik, yang satu berpengetahuan luas dan berdaya ingat kuat, seorang lagi mahir memasak. orang ketiga mahir merias, jangan-jangan yang kalian maksudkan ialah dia?"

"Betul, sedikitpun tidak salah, ialah nona So, So Yong-yong," seru Oh Thi-hoa.

Tanpa terasa Coh Liu-hiang meraba hidungnya. katanya, "O, jadi Eng-losiansing telah bertemu dengan Yong ji?"

"Sebenarnya maksud Cayhe hendak minta petunjuk kepada Coh-hiangswe." jawab Eng Ban-li. "Tak tahunya Coh-hiangswe tidak di tempat. yang kujumpai hanya nona So. nona Song dan nona Li di sana, tapi perjalananku tidak sia-sia."

Dia tertawa, lalu menyambung pula, "Sesudah nona So merias wajahku, dia bilang bukan saja orang lain tidak dapat mengenali diriku lagi. bahkan Coh-hiangswe sendiri juga pasti akan pangling."

"Tangan perempuan memang lebih gesit daripada tangan lelaki," kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Hati perempuan juga lebih lembut, makanya senjata rahasia sebangsa jarum serta ilmu merias dan sebagainya, selain kaum perempuan lebih berhasil menguasainya daripada kaum lelaki."

Dengan gemas Oh Thi-hoa berkata, "Semula kukira Kau Cu-tiang orang baik-baik. siapa tahu caranya berdusta ternyata lebih licin daripada perempuan."

"Sudah sering kau tertipu oleh perempuan, kan pantas jika sekali tempo tertipu oleh lelaki," ujar Thio Sam dengan tertawa.

Oh Thi-hoa melototinya sekejap, lalu berpaling dan berkata kepada Eng Ban-li, "Biarpun Coh Liu-hiang pangling padamu, seharusnya kan mesti kau katakan padanya."

Eng Ban-li menghela napas gegetun, katanya, "Soalnya Cayhe khawatir kalau Kau Cu-tiang sudah bersekongkol dengan Hay Koa-thian dan Ting Hong, makanya tidak berani kukatakan terus terang di depan orang banyak. kupikir akan mengadakan kontak dengan Coh-hiangswe secara diam-diam."

"Ah. pahamlah aku sekarang." ujar Oh Thi-hoa. "Pantas Kim Cu-tiang selalu mengalangi pertemuanmu dengan kami, kiranya ia khawatir rahasianya dibongkar olehmu..."

"Jika demikian, bahunya yang terluka itu tentu juga cuma pura-pura dan dilakukannya sendiri," kata Thio Sam. "Tujuannya hendak memancing keluar kita agar Eng-losiansmg tidak sempat bicara sendiri dengan Coh Liu-hiang."

"Betul, tatkala mana sudah kupikirkan hal ini," kata Eng Ban-li. "Cuma seketika belum dapat kubuktikan maksudnya itu. Apalagi kedatanganku ini tidak cuma hendak menangkap malingnya, tapi juga ingin mencari barang curiannya, sebab itulah aku tidak berani bertindak secara gegabah."

"Dan siapakah Pek-heng ini?" tanya Coh Liu-hiang.

"Cayhe Pek Lak," kata Pek-lak-cek.

"Pek-heng inilah tokoh utama yang sesungguhnva di bawah Him-tayciangkun, Kun-goan-tong-cu-kang adalah ilmu andalannya, kekuatan Lwekangnya tiada bandingannya di daerah Kwan-gwa," tukas Eng Ban-li.

"Jangankan Kwan-gwa, di daerah Kwan-lwe (dalam wilayah tembok besar) mungkin juga jarang ada bandingannya," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Ah, mana berani," kata Pek Lak dengan rendah hati.

Bisa jadi lantaran sudah lama berdiam di tengah pasukan yang berdisiplin keras, terutama di bawah Him-tayciangkun yang terkenal keren, atau mungkin karenawajahnya juga sudah dirias, maka apa pun yang diucapkannya tetap tanpa memperlihatkan sesuatu tanda perasaan.

"Sebelumnya tidak tahu, baru kami ketahui setelah berada di atas kapal," jawab Pek Lak.

"Tadinya kukira Kau Cu-tiang sudah kabur keluar lautan," tukas Eng Ban-li.

"Karena mencari Coh-hiangswe juga tidak bertemu. pula sudah lama kudengar nama kebesaran Thio-heng, maka kami lantas berkunjung kemari, tak tersangka secara kebetulan dapat menumpang di kapal ini."

"Cara bagaimana kalian mengenalinya? Apakah sebelumnya kalian sudah pernah melihatnya?" tanya Coh Liu-hiang.

"Meski tak pernah melihatnya, tapi sudah pernah mendengar suaranya," jawab Eng Ban-li.

"Waktu dia mengganas di tempat bermalam Tin-wan Ciangkun di Khay-hong-hu, kan tersisa seorang yang tak terbunuh olehnya."

"O, apakah gundik Ciangkun itu?" tanya Oh Thi-hoa.

"Betul, nona itu dahulunya adalah bunga penghibur di kota Kiuseng yang serba pintar, selain mahir memetik alat musik, juga pandai menyanyi, selain itu dia juga mempunyai semacam kepandaian khas."

"Kepandaian khas apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Yaitu menirukan suara orang," tutur Eng Ban-li.

"Siapa pun asalkan suaranya pernah didengarnya satu kali saja, maka dapat ditirunya dengan persis. Konon bila dia menirukan suara bicara Him-tayciangkun sampai-sampai nyonya Him juga tak dapat membedakannya."

"O, jangan-jangan waktu Kau Cu-tiang melakukan keganasan, percakapannya didengar oleh dia?" tanya Oh Thi-hoa.

"Betul, justru lantaran itu, maka Him-tayciangkun memberi tugas sulit ini kepada tua bangka sialan seperti diriku ini." ucap Eng Ban-li dengan menyengir.

"Mungkin kalian belum tahu bahwa ketajaman pendengaran Eng-losiansing tiada tandingannya di dunia ini," kata Coh Liu-hiang dengan tertawa, "Kalau ada orang yang sekali pandang takkan lupa lagi, maka Eng-losiansing adalah sekali dengar takkan pernah lupa lagi."

"Sekali mendengar takkan lupa?" Oh Thi-hoa menegas.

"Ya, siapa pun asalkan percakapannya didengar oleh Eng-losiansing maka selanjutnya sekalipun orang itu menyamar dalam bentuk apa pun juga pasti akan dikenali kembali oleh Eng-losiansing bila dia membuka suara."

"O, pahamlah aku sekarang," kata Oh Thi-hoa. "Jadi nona kesayangan Tin-wan ciangkun itu telah menirukan suara ucapan Kau Cu-tiang dan diperdengarkan kepada Eng-losiansing, berdasarkan ciri suara yang didengarnya ini Eng-losiansing dapat mengenali Kau Cu-tiang di sini."

"Betul, kukira demikian adanya," ujar Coh Liu-hiang.

Oh Thi-hoa menghela napas gegetun, katanya, "Bila urusan ini tak kualami sendiri, betapapun orang bercerita kepadaku pasti tak kupercaya. Tampaknya orang she Kau itu lagi sial, makanya bertemu dengan seorang ahli menirukan suara dan seorang lagi ahli membedakan suara."

"Ini namanya dosa tak berampun kejahatan pasti mendapatkan ganjaran yang setimpal," kata Eng Ban-li.

"Bisa jadi Kau Cu-tiang memang seorang bandit ulung, tapi dia pasli bukan si pembunuh yang melakukan teror di sini," kata Oh Thi-hoa pula setelah berpikir.

"O, apa dasarnya?" tanya Coh Liu-hiang.

"Ada beberapa hal dapat membuktikan dia pasti bukam si pembunuh," tutur Oh Thi-hoa.

"Pertama, waktu dia dan kalian berada di luar, memang betul ada seorang yang masuk kamar kita hendak membunuhku. orang itu jelas bukan setan."

"Jika demikian, jadi di kapal ini masih ada orang kedelapan?" kata Eng Ban-li sambil mengerutkan kening.

"Kedua, bila dia adalah pembunuhnya, sekarang dia pasti takkan terbunuh," kata Oh Thi-hoa pula.

Siapa pun tidak melihat mayatnya, dari mana diketahui dia sudah mati atau masih hidup," ujar Coh Liu-hiang.

"Bisa Jadi dia merasa berdosa dan telah kabur," tiba-tiba Pek Lak menyela.

"Lautan seluas ini, dia mampu lari kemana?" kata Oh Thi-hoa. "Jika dia berada di kapal ini, kemana pula dia akan bersembunyi? Apalagi dia kan tak mahir Cu-seh-ciang, juga tidak mampu menggunakan lengan kanan dan kiri sekaligus, mutiara yang kita temukan di tubuh mayat korban juga bukan miliknya..."

"Mutiara itu milikku!" tiba-tiba seorang mendengus.

Jelas suara Kim Leng-ci. Air muka si nona masih kelihatan sisa-sisa habis mabuk, namun ucapannya itu cukup tegas dan jelas tampaknya pikirannya sudah lebih jernih daripada Oh Thi -hoa.

Oh Thi hoa menghela napas panjang. lalu berkata, "Mutiaramu mengapa bisa berada di tubuh orang mati? Memangnya orang mati juga bisa mencuri?"

Namun Kim Leng-ci tidak menggubris, bahkan meliriknya saja tidak. perlahan ia berkata pula, "Malam kemarin, karena tak dapat tidur, mestinya kuingin naik ke geladak atas untuk cari angin. Tapi baru saja keluar pintu kamar, segera kulihat seorang sedang menuruni tangga dengan berjinjit seperti maling khawatir kepergok. Aku jadii heran dan tertarik, segera kubuntuti dia."

"Penyakit terbesar perempuan adalah segala urusan ingin tahu," gumam Oh Thi-hoa.

Kim Leng-ci tetap tidak menggubrisnya.

Ia menutur pula, "Waktu kuturun ke bawah, kulihat dua orang yang biasanya bertugas jaga di luar gudang telah mati terbunuh, sedangkan orang tadi sudah tidak kelihatan bayangannya."

"Masa begitu cepat menghilangnya?" kata Oh Thi-hoa.

"Siapa pun kalau habis membunuh orang, tidak nanti dia berjalan perlahan " jengek si nona.

"Kau tidak melihat jelas siapa dia?" tanya Oh Thi-hoa.

"Sudah tentu aku ti.... tidak melihatnya," jawab si nona.

"Waktu itu pintu gudang tertutup rapat, mestinya aku hendak masuk ke sana, tapi segera kudengar suara bentakan Hay Koa-thian, khawatir menimbulkan salah paham, terpaksa kutinggal pergi, mengenai mutiara itu....." Dia pelototi Thio Sam sekejap, lalu menyambung lagi, "Sejak pernah dicuri orang satu kali, seterusnya tidak pernah tersimpan dengan baik. makanya dapat jatuh di tubuh kedua mayat itu. Kehilangan ini baru kuketahui setelah kukembali ke kamar."

"Bisa jadi lantaran waktu itu hatimu bingung dan pikiranmu kacau maka kehilangan mutiara tidak lantas diketahui," ucap Oh Thi-hoa dengan tak acuh.

Kim Leng-ci menjadi gusar, serunya, "Yang membunuh kan bukan diriku, mengapa aku merasa bingung segala?"

"Meski pembunuhnya bukan kau. tapi kau kan rmelihat siapa si pembunuh itu," ujar Oh Thi-hoa, "Cuma ada sesuatu kelemahanmu tergenggam di tangan orang, makanya kau tidak berani bicara terus terang."

Muka Kim Leng-ci menjadi merah dan tidak sanggup bersuara lagi.

"Tapi sekarang Ting Hong kan sudah mati, mengapa kau juga masih tidak berani bicara?" ujar Oh Thi-hoa pula.

Kim Leng-ci menggreget. ucapnya kemudian, "Kalau dia bisa mati. ini menandakan si pembunuh pasti bukan dia, untuk apa pula kukatakan?"

Oh Thi-hoa berpikir sejenak. lalu berkata gegetun, "Ucapanmu beralasan juga, paling sedikit si pembunuh pasti bukan
orang mati, orang mati tak mungkin bisa menjadi pembunuh."

"Bila pembunuhnya bukan Ting Hong, juga bukau Kau Cu-tiang, pasti bukan Hay Koa-thian dan Hiang Thian-hui, juga
bukan Eng-losiansiang atau Pek Siauhiap, lebih-lebih bukan nona Kim atau Coh Liu-hiang," kata Thio Sam.

Dia menghela napas lalu berkata pula kepada Oh Thi-hoa dengan menyengir, "Wah, tampaknya si pembunuh itu kalau bukan kau tentulah aku."

"Jelas kau belum mempunyai kemampuan sebesar ini," jengek Oh Thi-hoa.

"Seumpama kau mampu jadi pembunuhnya. apakah kau merasa gembira?" tanya Thio Sam. Maka bungkamlah Oh Thi-hoa.

"Sekarang isi kapal ini hanya tertinggal kita berenam, dengan sendirinya kita bukan si pembunuh, lalu siapakah gerangan si pembunuh itu?" kata Eng Ban-li.

Tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Selain kita, di kapal ini memang betul masih ada seorang lagi."

"Kau tahu siapa dia?" tanya Eng Ban-li.

"Ehmm," Coh Liu-hiang mengangguk.

Mendingan Eng Ban-li masih cukup sabar, tapi Oh Thi-hoa sudah tidak tahan lagi, serentak ia berjingkrak dan berteriak, "Kau tahu dia berada di mana?"

Coh Liu Hiang tertawa tak acuh, katanya, "Jika kau tidak tahu tentu takkan kukatakan."

oooo000oooo

Untuk membuktikan ucapannya, C oh Liu-hiang mulai dari kamarnya sendiri. Kedua tempat tidur di kamarnya itu, satu di antaranya ternyata 'hidup'.

Tanpa susah payah Coh Liu-hiang dapat menemukan pegas yuang dapat memutar tempat tidur itu, di balik tempat tidur ternyata ada sebuah jalan rahasia.

Oh Thi-hoa jadi terbelalak, serunya, "Sialan! Pantas dalam sekejap orang itu lantas menghilang setelah jatuh di tempat tidur, kiranya dia merat melalui lorong rahasia ini."

"Kebanyakan kapal memang ada jalan rahasia dan dinding rangkap, hal ini mungkin sudah terpikir juga oleh Thio Sam," kata Coh Liu-hiang.

Muka Thio Sam tampak rada merah, segera ia berkata, "Tapi aku tidak paham lorong rahasia ini menuju kemana."

"Gudang barang di dek bawah," kata Coh Liu-hiang.

Beramai-ramai menujulah mereka ke dek dasar kapal. Suasana di situ tetap suram dan seram, bau apek menyesakkan napas. Enam peti mati masih tetap berjajar di situ.

Eng Ban-li menghela napas gegetun, katanya, "Dugaan Coh-hiangswe ternyata sangat tepat, lorong rahasia ini memang betul menembus ke gudang sini."

"Cuma sayang di sini tiada bayangan seorang pun, bahkan bayangan setan juga tidak nampak," kata Oh Thi-hoa.

"Orang memang tidak ada, tapi setan paling sedikit ada satu," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

Mencorong terang sorot mata Oh Thi-hoa, serunya, "He, apakah kau maksudkan Ting Hong?"

"Tapi Ting Hong kan cuma orang mati saja dan belum jadi setan, dengan tanganku sendiri kumasukkan dia ke dalam peti mati ini...." Thio Sam berdiri di samping peti mati pertama, bicara sampai di sini ia sendiri jadi merinding, tanyanya, "Apakah... apakah maksudmu dia hidup kembali?"

Coh Liu-hiang menghela napas, jawabnya, "Orang mati hidup kembali sebenarnya sudah bukan hal baru bagiku..."

"Betul," tukas Oh Thi-hoa. "Misalnya si Paderi Sakti Bu-hoa, dia juga pernah mati dan kemudian hidup kembali."

"Orang mati benar-benar dapat hidup kembali?" saking heran Pek Lak ikut bertanya.

Maklum, dia seorang polos, lugu, sejak kecil hidup terpencil di tengah istana panglima perang, terhadap seluk beluk dan lika-liku dunia Kangouw, tentu saja kurang pengalaman.

"Bila benar-benar seseorang sudah mati, dengan sendirinya tidak dapat hidup kembali," tutur Coh Liu-hiang, "Tapi ada sementara orang bisa pura-pura mati dengan macam-macam akal."

"Pura-pura mati? Akal bagaimana pula?" tanya Pek Lak.

"Begini," tutur Coh Luiu-hiang. "Lwekang seseorang kalau sudah terlatih sampai satu tingkatan tertentu, maka dia mampu menahan pernapasan sendiri sekian lamanya, bahkan bisa menghentikan denyut jantung dan menutup urat nadi yang mengalir sehingga tubuh menjadi kaku dan dingin seperti mayat. Cuma cara inipun tak tahan terlalu lama, paling-paling juga cuma setengah jam saja. Pula, orang Kangouw yang ebrpengalaman juga akan segera mengetahui bahwa dia cuma pura-pura mati saja."

"Selain itu apakah masih ada cara lain?" tanya Pek Lak.

"Konon di dunia ini ada tiga macam obat ajaib, bila obat itu diminum, maka akan menghentikan seluruh aktivitas organis si tubuh manusia, seperti halnya ular yang tidur di musim dingin."

"Betul," tukas Eng Ban-li. "Kutahu satu di antaranya adalah sejenis kacang polong yang berasal dari sebuah pulau kecil di sektiar lautan antara negeri Hindu dan Persi."

"Tapi salah satu di antaranya yang paling terkenal adalah arak yang disebut 'arak pelarian cinta'," kata Coh Liu-hiang.

"Arak pelarian cinta? Aneh juga nama ini," kata Pek Lak.

"Soalnya si pencipta arak obat ini memang seorang petualang cinta," tutur Coh Liu-hiang. Ia tertawa, lalu menyambung pula, "Mengenai arak pelarian cinta ini, juga ada ceritanya yang menarik."

"Silahkan Coh-hiangswe menjelaskan," pinta Pek Lak.

"Konon petulang cinta ini memang sangat cakap dan pandai merayu, dimana-mana terdapat kekasihnya, tapi akhirnya datang juga kesukarannya."

"Kesukaran apa?" tanya Pek Lak.

"Kehidupan manusia ini sebenarnya sama saja antara lelaki dan perempuan, kalau perempuan takut tergoda oleh lelaki, sebenarnya lelaki juga khawatir tergoda oleh perempuan, lebih-lebih petualang cinta yang sudah biasa hidup bebas, baginya yang paling menyenangkan ialah ' sekali pakai, lalu tinggal'," Coh Liu-hiang tertawa, sambungnya kemudian, "Tapi akhirnya ia menjadi rada kelabakan, karena ada tiga perempuan yang terus lengket padanya dan tidak mau terlepas, kemana dia lari, ke situ juga ketiga perempuan itu mengejar. Dia sendiri adalah seorang Su-seng (sastrawan) lemah, sebaliknya ketiga perempuan itu justru memiliki Kungfu, berkelahi terang kalah, ingin lari juga tidak dapat, ia hampir gila karena tak dapat melepaskan diri."

Thio Sam mengerling sekejap ke arah Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa, katanya tertawa, "Ini namanya kualat. Orang yang suka makan nangka harus berani kena getahnya."

"Untung orang itu sangat luas pengetahuannya, bacaannya sangat banyak, ia masih ingat macam-macam catatan tentang obat racun dalam kitab-kitab kuno, karena sudah kepepet, dia lantas menuruti suatu resep kuno dan membuat semacam obat arak, setelah diminum, orangnya akan menggeletak seperti orang mati, betapapun kesengsemnya ketiga nona itu, orang mati tentu saja tidak menarik lagi bagi mereka. Akhirnya dia lolos dari godaan mereka dan dapat hidup dengan bebas dan tenteram."

Ia berhenti sejenak, lalu menyambung lagi dengan tersenyum, "Maka arak itulah disebut Arak Pelarian Cinta."

Dengan tertawa Oh Thi-hoa berkata, "Tampaknya kau pun perlu sedia sedikit arak begituan dan selalu harus kau bawa."

Sinar mata Eng Ban-li tampak gemerdep, katanya, "Jangan-jangan Coh-hiangswe menganggap kematian TIng Hong juga cuma pura-pura saja."

Coh Liu-hiang tidak menjawab, tapi ia lantas mengangkat tutup peti mati itu.

Dimana ada mayat Ting Hong yang dikatakan sudah mati itu? Dia memang betul sudah 'hidup kembali'!

Malahan di dalam peti mati kini tertulis sepuluh huruf besar, entah ditulis dengan darah atau tinda, bunyi tulisan ini adalah sebagai berikut : Coh Liu-hiang, tempat ini kuberikan padamu!

Dengan mendongkol Oh Thi-hoa segera membongkar pula tutup peti mati myang lain, pada tiap-tiap peti mati itupun ada tulisan, semuanya nama orang, yakni Oh Thi-hoa, Kim Leng-ci, Eng Ban-li, Pek Lak dan Thio Sam.

"Bukan saja dia telah membagi rata peti mati ini kepada kita, bahkan sebelum ini dia juga sudah tahu jelas tentang asal-usul diri kita," kata Eng Ban-li dengan menyengir.

Coh Liu-hiang berpikir sejenak, katanya kemudian, "Dia sendiri tidak tahu, Kau Cu-tiang yang memberitahu padanya."

"Hiangswe menganggap Kau Cu-tiang juga bersekongkol dengannya?" tanya Eng Ban-li.

"Kau Cu-tiang berkepentingan dan ingin mohon bantuannya, dengan sendirinya dia harus berkomplot dengannya," tutur Coh Liu-hiang. "Setelah Ting Hong tahu rahasia Kau Cu-tiang, kebetulan baginya untuk memperalat titik kelemahan Kau Cu-tiang agar orang she Kau itu bekerja baginya."

OH Thi-hoa meraba hidung, katanya, "Meski urusan ini samar-samar dapat kupahami, tapi masih tetap belum jelas."

"Jika ingin tahu jelas duduk perkaranya harus diceritakan mulai awal," ujar COh Liu-hiang.

"Baiklah, coba ceritakan," pinta Oh Thi-hoa.

"Urusan yang begini ruwet dan penuh misterius, sebelum kubikin jelas persoalannya, tentu aku tak dapat tidur dengan nyenyak," kata OH Thi-hoa dengan tertawa. "Maka, sekalipun ceritamu akan berlanjut selama tiga tahun juga akan kudengarkan dengan asyik."

"Kunci persoalan ini terletak pada gua emas di laut lepas sana," tutur Coh Liu-hiang. Tiba-tiba ia tertawa pada Kim Leng-ci dan berkata pula. "Keadaan tempat yang dimaksudkan itu rasanya nona Kim pasti tahu lebih banyak daripada orang lain."

Kim Leng-ci menunduk, setelah lama berpikir akhirnya ia menjawab dengan mengigit bibir, "Betul, di laut lepas sana memang ada suatu tempat begitu, tapi di sana tidak ada tetumbuhan, juga tiada arak dan daging segala."

"Habis apa yang ada di sana?" tanya Coh Liu-hiang.

"Di sana memang ada macam-macam, macam-macam rahasia yang sukar dibayangkan orang, bahkan setiap rahasia akan dijual menurut harga penawaran tertinggi," tutur Kim Leng-ci.

"Dijual menurut harga penawaran tertinggi?" Coh Liu-hiang mengulang keterangan itu dengan mengernyitkan kening.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar