Legenda Pulau Kelelawar Bab 04: Sang Saksi

Bab 04: Sang Saksi
Tiba-tiba Coh Liu-hiang berkata, "Jika ada orang di sebelah juga mencuri dengar pembicaraan kita, inilah baru menarik. Dia pasti mengira aku mengurung dua ekor anjing gila di dalam kamar dan sekarang sedang terjadi anjing menggigit anjing."

"Jika aku ini anjing gila, lalu kau sendiri apa? Srigala?" jawab Oh Thi-hoa.

"Kukira srigala juga lebih baik daripada anjing gila, srigala paling-paling juga cuma menggigit perempuan, kalau anjing gila menggigit setiap orang, baik perempuan maupun lelaki tanpa pandang bulu," kata Thio Sam.

Selagi Oh Thi-hoa mendelik dan hendak mendamprat, sekonyong-konyong ada orang bersuara di luar pintu, "He, apakah di dalam kamar kalian ada srigala dan juga anjing? Ai, kan aneh, padahal sebelumnya kamar sudah kusuruh bersihkan."

Jelas itu suara Hay Koa-thian.

Coh Liu-hiang memberi isyarat kepada Oh Thi-hoa dan Thio Sam, habis itu barulah dia membuka pintu dengan tertawa, "Eh, kiranya Hay-pangcu belum tidur?"

Hay Koa-thian tidak menjawab, tapi lantas ia melongok ke dalam kamar, lalu bergumam, "Mana srigalanya? Dan mana anjingnya? Mengapa tidak kelihatan?"

Coh Liu-hiang tak tahu apakah orang memang bodoh atau pura-pura bodoh, dengan tertawa ia menjawab, "Kalau Hay-pangcu sudah datang, biarpun gerombolan srigala juga akan lari terbirit-birit."

Hay Koa-thian tertawa, cuma sekarang tampaknya dia sedang menanggung pikiran, air mukanya juga kurang cerah, walaupun tertawa, tapi tertawanya sangat dipaksakan, pula sinar matanya tampak gemerdap dan berulang-ulang celingikan kian kemari, tiba-tiba ia merapatkan pintu kamar dengan sikap gugup.

Sudah tentu Coh Liu-hiang menjadi rada bingung, ia tidak tahu orang hendak main gila apa, terpaksa ia mengikuti setiap gerak-gerik orang.

Setelah memasang palang pintu, barulah Hay Koa-thian menghela napas lega, desisnya kemudian, "Apakah ada sesuatu gerakan di kamar sebelah?"

"Tidak ada," jawab Oh Thi-hoa. "Sehabis makan minum kenyang, tentunya sudah tidur."

Hay Koa-thian tampak berpikir sejenak, lalu berkata pula dengan mengernyitkan dahi, "Coh-hiangswe sudah menjelajah setiap pelosok dunia, pergaulan juga sangat luas, entah sebelum ini apakah pernah melihat mereka?"

"Belum pernah," jawab Coh Liu-hiang.

"Coba silakan Hiangswe mengingatnya lagi...."

"Siapa pun juga, asalkan pernah kulihat satu kali, rasanya pasti takkan kulupakan," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

Hay Koa-thian manggut-manggut, katanya dengan menyesal, "Soalnya bukan Cayhe suka curiga, tapi lantaran gerak-gerik kedua orang ini terlalu aneh, lebih-lebih si murid, tampaknya seperti tidak waras, tapi ilmu silatnya justru begitu tinggi, sebaliknya sang guru malahan kelihatan sangat lemah. Semula kukira mereka sengaja menyimpan kepandaian, tapi setelah kuteliti lagi, tampaknya juga tidak begitu."

"Betul, seumpama mereka pandai berpura-pura, masa bisa mengelabui mata orang banyak?" tukas Oh Thi-hoa.

"Ya, makanya menurut pendapatku, mereka pasti bukan guru dan murid." Kata Hay Koa-thian.

Habis apa hubungannya kalau bukan antar guru dan murid?" tanya Oh Thi-hoa.

"Kukira Pek-lak-cek pasti tokoh Bu-lim yang diundang Kongsun Jiat-ih untuk mengawalnya, demi mengelabui mata setiap orang, dia berlagak bodoh dan pura-pura jadi muridnya."

Coh Liu-hiang meraba hidung, katanya, "Maksu Hay-pangcu.... nama Pek-lak-cek itu juga nama palsu, begitu?"

"Nama Kongsun Jiat-ih pasti juga palsu," ucap Hay Koa-thian. "Orang ini pasti mempunyai kedudukan tinggi serta orang berada, kalau tidak mana mungkin dapat mengundang tokoh besar seperti Pek-lak-cek untuk melindunginya, pula.... mukanya pasti juga tidak aneh begitu, dia sengaja menyamar dengan wajah buruk, tujuannya agar orang lain merasa mual dan tidak memandangnya, dengan demikian kelemahan penyamarannya juga takkan ketahuan."

"Pandangan Hay-pangcu sungguh tajam, caramu menganalisa sangat jelas, sungguh mengagumkan," puji Coh Liu-hiang.

Pandangan Hay Koa-thian ternyata tidak banyak berbeda daripada pendapatnya, apa yang dikatakannya itu bukan umpakan belaka.

"Lalu apa maksud tujuan mereka datang kemari dengan susah payah begitu?" tanya Oh Thi-hoa.

"Ini memang sangat mencurigakan," kata Hay Koa-thian dengan tersenyum, tiba-tiba ia menahan suaranya dan menyambung pula dengan lirih, "Cayhe akan memperlihatkan sesuatu kepada kalian bertiga untuk bantu memecahkan persoalan ini."

"Barang apa? Tampaknya rahasia?" kata Oh Thi-hoa.

Belum lagi Hay Koa-thian menjawab, mendadak terdengar pintu diketuk orang. Air mukanya berubah seketika, cepat ia pasang kuping di daun pintu dan mendengarkan dengan cermat sampai lama sekali, barulah membuka pintu dengan pelan, lalu ia melongok keluar, kemudian desisnya, "Mari ikut aku, segera kalian akan jelas bila sudah melihatnya."

Di luar kamar kabin itu ada sebuah jalan lorong yang sempit, pada ujung lorong sana ada sebuah tangga kecil yang menembus ke dek bawah. Hay Koa-thian mendahului turun ke sana, jalannya sangat enteng dan sangat hati-hati seolah khawatir didengar orang.

Di bagian bawah adalah dek yang sepanjang tahun tak tertembus sinar matahar, gelap dan lembab, begitu menuruni tangga, sayup-sayup terdengar suara ngorok para kelasi yang sedang tidur nyenyak.

Ketujuh belas kelasi bergiliran bekerja tanpa membedakan siang dan malam, saking kecapaian, dengan sendirinya tidur mereka sangat lelap. Pada umumnya orang yang bekerja berat, bilamana sudah tertidur akan akan sukar untuk dibangunkan.

Gudang perbekalan terletak di kaki tangga, pintu gudang tergembok rapat, dua orang berjaga di situ dengan muka pucat dan siap memegang golok yang tergantung di pinggang, sorot mata mereka menampilkan rasa cemas dan khawatir.

Hay Koa-thian mendahului mendekati mereka dan menegur, "Sesudah kupergi, apakah ada orang lain datang ke mari?"

Kedua orang itu memberi hormat dan menjawab bersama, "Tidak ada."

"Baiklah, buka pintu!" kata Hay Koa-thian pula. "Tidak peduli siapa pun yang datang lagi, jangan diperbolehkan masuk kemari."

Setelah pintu terbuka, segera Hay Koa-thian mengendus semacam bau yang aneh, bau amis dan busuk, seperti bau ikan asin yang bacin, juga mirip bau sayur yang mulai layu, pula seperti bau mayat yang mulai membusuk.

Thio Sam mengerut kening, diliriknya kaki Oh Thi-hoa yang telanjang itu, dilihatnya pula sikap Hay Koa-thian yang misterius itu, dia juga lupa mengenakan sepatu waktu keluar.

"Apa yang kau lirik?" semprot Oh Thi-hoa dengan melotot. "Betapapun, kakiku tidak berbau sebusuk ini."

"Ini adalah bau khas yang cuma ada di gudang kapal," kata Hay Koa-thian dengan menyengir. "Tapi bahan makanan dan air minum tersimpan di gudang kecil di samping dapur sana."

Oh Thi-hoa menghela napas lega, katanya, "O syukurlah, kalau tidak, selanjutnya bisa jadi aku tidak berani makan nasi."

"Tapi arak kan tersimpan di sini, apakah selanjutnya kau pun tidak berani minum arak lagi?" tanya Thio Sam.

Di gudang memang bertumpuk macam-macam barang, diantaranya memang betul ada beberapa ratus guci arak. Di tengah gudang mestinya ada tempat luang, tetapi sekarang juga tertimbun sederet barang yang tertutup kain minyak.

Belum lagi Oh Thi-hoa menanggapi olok-olok Thio Sam tadi, mendadak Hay Koa-thian menyingkap kain minyak penutup itu dan berseru, "Coba kalian lihat, barang apakah ini?"

Ternyata yang ditutup itu adalah enam peti mati.

Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Sudah banyak peti mati yang kulihat, tapi Hay-pangcu sengaja mengundang kami ke sini, apakah juga cuma untuk melihat peti mati belaka?"

Dengan air muka prihatin Hay Koa-thian berkata, "Di kapal yang biasa berlayar, sebenarnya tidak nanti ada peti mati."

"Oo? Kenapa? Memangnya kapal berlayar tidak pernah mengubur kematian orang?" tanya Oh Thi-hoa.

"Orang yang hidup di lautan, umpama mati juga akan dikubur di dalam laut, hakikatnya tidak perlu pakai peti mati segala." kata Hay Koa-thian.

"Jika begitu, darimana datangnya beberapa peti mati ini?" tanya Oh Thi-hoa.

"Pertanyaan yang menarik, sebab memang tiada yang tahu darimana datangnya peti mati ini!" kata Hay Koa-thian.

"Masa tiada seorang pun yang melihat waktu keenam peti mati ini dimuat ke atas kapal?" tanya Oh Thi-hoa pula dengan melenggong.

"Ya, tidak ada, " jawab Hay Koa-thian dengan prihatin lalu ia menyambung pula, "Setiap kali sebelum berlayar, seperti biasa aku pasti mengadakan pemeriksaan segala apa yang perlu, sebab itulah ketika kalian masuk kamar, segera kudatang ke sini "

"Pada waktu itulah baru kau temukan keenam peti mati ini?" tanya Oh Thi-hoa.

"Ya, maka aku lantas menegur petugas gudang, tapi tiada yang tahu siapa pengirimnya, dan kapan peti mati ini diantar kesini. Dua orang pengurus gudang sudah cukup lama bekerja padaku, selama ini bekerja dengan jujur, tidak pernah berdusta."

"Jika bukan orang yang dapat dipercaya, tentu Pangcu takkan menyuruh mereka menjaga gudang," kata Coh Liu-hiang setelah berpikir sejenak.

"Memang betul," kata Hay Koa-thian.

"Seumpama betul peti mati ini dimuat ke kapal tanpa permisi, kukira juga tidak menjadi soal, melihat bahan kayu peti mati yang baik ini, sedikitnya dapat ditukarkan beberapa arak yang enak," ujar Oh Thi-hoa

"Dasar pemabuk asal buka mulut pasti tidak lupa menyebut arak, "omel Thio Sam. "Kenapa tidak kau pikirkan kapal penumpang Hay-pangcu ini apakah boleh didatangi orang sesuka hati, apalagi membawa enam peti mati di luar tahu siapa pun. Dan untuk apa dengan susah payah keenam peti mati ini diantar ke sini jika tiada tujuan tertentu."

"Coba katakan, apa tujuan mereka?" tanya Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang tampak sedang meraba hidung, mendadak bertanya, "Tahukah kau yang menumpang kapal ini bersama kita seluruhnya ada berapa orang?"

Sejak Oh Thi-hoa meniru caranya meraba hidung, sudah jarang Coh Liu-hiang meraba hidung lagi, tapi sekarang penyakit lama itu kambuh lagi, jelas dia sedang menghadapi sesuatu persoalan yang sangat sulit dipecahkan.

Setelah berpikir sejenak, Oh Thi-hoa menjawab, "Kau, aku, Thio Sam, Kim Leng-ci, Kau Cu-tiang, Ting Hong, Kongsun Jiat-ih, Pek-lak-cek, ditambah lagi Hay-pangcu dan Hiang Thian-hui, seluruhnya tepat sepuluh bulat."

Mendadak ia seperti ingat apa-apa, air mukanya rada berubah dan bergumam pula. "Sepuluh penumpang, tapi di sini hanya ada enam peti mati, apakah ini enam di antara kesepuluh orang akan matii di sini?"

"Tampaknya pengantar peti mati inipun berhati baik," kata Thio Sam. "Dia tahu kita dibesarkan di daratan, mati juga mesti ditanam dalam tanah, maka sengaja mengirimkan enam peti mati."

Ia melirik Hay Koa-thian sekejap, lalu menyambung, "Hay-pangcu dan Hiang Thian-hui adalah yang hidup di lautan, dengan sendirinya tidak perlu pakai peti mati."

"O, jadi maksudnya, di antara kita sepuluh orang, sedikit nya harus mati delapan orang, aku dan Hiang Thian-hui jelas pasti akan mati?" tukas Hay Koa-thian dengan rada cemas.

"Jika begitu, di antara kita bersepuluh, sedikitnya ada dua orang yang akan hidup, lalu siapa mereka?" tanya Oh Thi-hoa.

"Yang hidup, dengan sendirinya ialah pembunuh kedelapan orang yang lain," ucap Hay Koa-thian sekata demi sekata.

Thio Sam memandangi keenam peti mati itu dan bergumam, "Aku seperti melihat enam orang berbaring dalam peti."

"Enam orang siapa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Seorang ialah Coh Liu-hiang, yang kedua ialah Oh Thi-hoa, seorang lagi seperti perempuan...." Thio Sam bicara dengan lambat dan perlahan, sinar matanya menatap peti mati dengan lekat sehingga menimbulkan suasana seram.

Meski tahu orang hanya mengacau saja, tidak urung Oh Thi-hoa merinding juga, segera ia menambahkan, "Dan seorang lagi ialah kau sendiri, bukan?"

Thio Sam menghela napas panjang, katanya, "Betul, memang tidak salah, aku sendiri pun seperti rebah dalam peti mati, yang ini!"

Dia menuding ke depan, seketika jantung semua orang ikut berdetak keras, tanpa terasa Thio Sam ikut mengkirik.

Wajah Hay Koa-thian menjadi pucat, ucapnya dengan parau, "Siapa lagi yang dua orang? Dapatkah kau mengenalnya?"

"Wah, samar-samar, sukar dikenali," kata Thio Sam menyengir sambil mengusap keringat.

"'Apakah Hay-pangcu ada curiga Kongsun Jiat-ih dan Pek-Lak-cek adalah pembunuhnya?" tanya Coh Liu-hiang.

Hay Koa-thian diam saja tanpa menjawab. Gemerdap sinar mata Coh Liu-hiang, katanya, "Hubungan Ting-kongcu cukup erat dengan Hay-pangcu, kenapa Hay-pangcu tidak merundingkan hal ini dengannya?"

Hay Koa-thian termangu-mangu sejenak, akhirnya menghela napas panjang dan berkata, "Yang dilihat Thio-heng ini memang tidak salah, Cayhe juga merasa kalian bertiga dan nona Kim pasti bukan orang yang bermaksud jahat, makanya kudatang berunding dengan kalian."

"Masa Hay-pangcu juga menaruh curiga terhadap Ting-kongcu?" tanya Coh Liu-hiang.

Kembali Hay Koa-thian diam saja, butiran keringat dingin tampak menghiasi jidatnya.

Segera Coh Liu-hiang mendesak pula, "Tampaknya Hay-pangcu sudah cukup lama berhubungan dengan Ting-kongcu."

Hay Koa-thian tampak ragu-ragu untuk menjawab akhirnya ia mengangguk.

Terbeliak mata Coh Liu-hiang, segera ia mendesak lagi, "Jika demikian, seharusnya Hay-pangcu kenal baik asal-usul dan seluk-beluk Ting-kongcu?"

Kulit daging ujung mata Hay Koa-thian tampak kedutan, katanya, "Aku tidak mencurigai dia, cuma.... cuma ...." Kulit daging mulutnya juga mengejang hingga tak sanggup bicara lagi.

Oh Thi-hoa menjadi tak tahan, tanyanya, "Cuma apa?"

Hay Koa-thian seperti tidak mendengar apa yang dikatakan Oh Thi-hoa, ia memandang kesima ke depan, agak lama barulah ia berkata perlahan, "Entah mengapa, sejak In Ciong-liong, In-pangcu meninggal, sering aku merasa berdebar dan kedutan, inilah alamat tidak enak, seakan-akan ajalku sudah dekat."

Mata Coh Liu-hiang mencorong terang, tanyanya, "Kematian In-pangcu ada sangkut-paut apa dengan Hay-pang-cu?"

"Aku.... aku cuma merasa matinya rada-rada aneh," kata Hay Koa-thian.

"Aneh?" tukas Oh Thi-hoa dengan mengernyitkan dahi. "Apanya yang aneh?"

"Kita tahu Bu Wi-yang. Bu-pangcu berjuluk panah sakti, kemahirannya memanah boleh dikata tiada bandingan, tapi kalau bicara tentang ilmu silat sejati, rasanya tak seberapa lebih tinggi dari In-pangcu."

"Betul," sela Thio Sam. "Setahuku, ilmu silat mereka setingkat, hanya dalam hal main panah Bu-pangcu memang lebih tinggi, sebaliknya In-pangcu lebih unggul di dalam air."

"Waktu di Sam-ho-lau semalam, ketika Bu-pangcu bertanding dengan In-pangcu, kalian berdua kan juga hadir di sana," tutur Hay Koa-thian pula dengan suara tertahan. "Pertarungan mereka hanya berlangsung sebentar saja, rasanya tidak lebih dari sepuluh gebrakan, lalu In-pangcu tewas di bawah pukulan Bu-pangcu.... Bukankah kematiannya itu sangat aneh dan juga terlalu cepat?"

Oh Thi-hoa termenung sambil melirik Coh Liu-hiang sekejap, lalu katanya. "Jangan-jangan Bu-pangcu juga serupa Kim Leng-ci, telah berhasil meyakinkan semacam ilmu silat yang sangat lihai?"

"Ya, memang bisa jadi demikian," jawab Coh Liu-hiang. "Namun Bu-pangcu sudah lanjut usia, sekalipun masih gagah dan kuat, jelas otot tulangnya tidak setangkas orang muda, daya ingatan juga sudah berkurang, kalau belajar ilmu juga tidak secepat orang muda, sebab itulah belajar ilmu apapun harus dimulai selagi muda." Dia menghela napas, lalu menyambung, "Dan inilah susahnya orang tua, siapa pun tak kuasa."

"Hal ini pun sudah pernah kupikirkan," kata Hay Koa-thian. "Aku pun anggap tidak mungkin mendadak Bu-pangcu berhasil meyakinkan semacam Kungfu maha lihai yang dapat membinasakan In-pangcu hanya dalam sepuluh jurus."

"Jika begitu, bagaimana duduk perkaranya menurut pendapatmu?" tanya Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang saling pandang sekejap dengan Hay Koa-thian, sinar mata kedua orang ini sama-sama menampilkan perasaan aneh, seakan kedua orang inimempunyai pikiran yang mengerikan, cuma tak berani diutarakan. Habis saling pandang, kedua orang pun bungkam.

Oh Thi-hoa berpikir sejenak, katanya, "In Ciong-liong dan Bu Wi-yang sudah sering saling labrak dan tidak cuma satu kali saja, dengan sendirinya tinggi rendah, dengan sendirinya tinggi rendah ilmu silat masing-masing cukup jelas bagi pihak lain.”

"Betul, mungkin tiada orang ketiga yang lebih jelas daripada mereka sendiri," tukas Thio Sam.

"Tapi malam kemarin waktu di Sam-ho-lau, sebelum mereka bergebrak, sikap dan gerak-gerik In Ciong-liong kelihatan sangat aneh," ujar Oh Thi-hoa.

"Aneh bagaimana?" tanya Thio Sam

"Sebelumnya dia seperti sudah tahu bilamana dia keluar pintu bersama Bu Wi-yang, maka untuk seterusnya takkan melangkah pulang lagi," tutur Oh Thi-hoa. "Apakah mungkin disebabkan dia tahu Kungfu Bu Wi-yang sekarang sudah lain daripada biasanya?"

"Kendatipun Bu Wi-yang sudah berhasil meyakinkan semacam Kungfu khas dan siap melayani In Ciong-liong, selayaknya ini kan dirahasiakan, lalu darimana In Ciong-liong bisa mengetahuinya?" tanya Thio Sam.

"Betul, mengapa pula In Ciong-liong merasa dirinya pasti akan mati? Jangan-jangan mendadak dia menemukan sesuatu rahasia?" ujar Oh Thi-hoa dengan mengerut kening. "Lalu rahasia apa yang ditemukannya itu?"

Mendadak ia ingat sesuatu, cepat ia berpaling dan tanya Coh Liu-hiang, "Waktu dia akan keluar bersama Bu Wi-yang, bukankah In Ciong-liong minta kau mewakilkannya minum satu cawan arak, ingat tidak?"

"Ehmm," Coh Liu-hiang mengangguk.

"Kukira kalau cuma satu cawan arak saja dia masih sanggup menghabiskan, tapi dia sengaja minta kau minum baginya, tindakan itu pasti punya tujuan tertentu." kata Oh Thi-hoa.

"Tujuan apa?" tanya Coh Liu-hiang.

"Cawan arak yang dia serahkan padamu seperti ada sesuatu benda, masa tidak kau perhatikan?"

"Begitu dia menyerahkan cawan arak itu, segera kutenggak habis, aku tidak melihat sesuatu benda apapun," jawab Coh Liu-hiang. Dia tertawa, lalu menyambung, "Selamanya aku minum arak dengan mulut dan bukan dengan mata."

"Akhir-akhir ini matamu semakin lamur tampaknya," kata Oh Thi-hoa menyesal. "Selanjutnya lebih baik kau menjauhi perempuan, kalau tidak, dua tiga tahun lagi mungkin kau akan berubah menjadi kakek tuli dan buta."

"Kukira itu tidak menjadi soal," ujar Thio Sam dengan tertawa. "Ada sementara orang perempuan justru menyukai kakek, sebab kakek-kakek pada umumnya jauh lebih tahu cara bagaimana harus sayang pada istri muda, bahkan orang tua juga lebih banyak uang daripada orang muda."

"Perempuan yang suka pada orang tua juga serupa kau, berjiwa budak," jengek Oh Thi-hoa.

Sejak tadi Hay Koa-thian hanya termangu-mangu saja, entah apa yang sedang dipikirkannya. Tapi dari air mukanya yang menampilkan rasa susah itu, jelas yang dipikir sesuatu persoalan yang sangat sulit diselesaikan.

Sampai sekarang barulah ia menghela napas panjang, lalu berkata dengan tertawa, "Sungguh beruntung bagiku dapat berkenalan dengan anda bertiga, Cayhe hanya ingin.... ingin mohon sesuatu kepada kalian."

Meski dia menyebut "kalian" dan "anda bertiga", tapi yang dipandang hanya Coh Liu-hiang seorang saja.

"Asalkan dapat dilaksanakan oleh tenagaku, pasti takkan kutolak,” jawab Coh Liu-hiang.

Jika ucapan ini keluar dari mulut orang lain, paling-paling hanya dapat dianggap sebagai basa-basi antar kawan saja. Tapi kata-kata yang keluar dari mulut Coh Liu-hiang jelas berbeda dan cukup berbobot. Setiap orang Kangouw tahu, setipa kata Coh Liu-hiang sama dengan emas.

Hay Koa-thian menghela napas lega, air mukanya tampak jauh lebih cerah, katanya, "Apabila Cayhe mengalami sesuatu yang tak terduga, kumohon Coh-hiangswe suka...." Sembari bicara ia mengeluarkan sebuah kotak kecil.

Tapi baru bicara sampai di sini, mendadak terdengar suara “klotak", seperti ada orang mengetuk pintu dengan keras.

Air muka Hay Koa-thian berubah pucat, cepat ia simpan kembali kotak kecil tadi, sekali lompat ia mendekati pintu sambil membentak tertahan, "Siapa itu?"

Pintu dipalang dari dalam, dari luar ternyata sunyi senyap. Dengan suara bengis Hay Koa-thian membentak, "Ong Tek-ci, Li Tek-piau, siapa itu yang di luar?"

Ong Tek-ci dan Li Tek-piau adalah kedua penjaga tadi, tapi entah mengapa, juga tiada suara jawaban kedua orang ini.

Air muka Hay Koa-thian berubah hebat, cepat ia menarik palang pintu, segera ia menerobos keluar.

Waktu Coh Liu-hiang ikut keluar, dilihatnya wajah Hay Koa-thian pucat pasi seperti mayat dan berdiri mematung di sana dengan keringat dingin memenuhi dahinya.

Kedua penjaga menggeletak, sudah menjadi mayat.

Tiada kelihatan noda darah pada kedua mayat itu. Air mukanya juga kelihatan biasa saja, agaknya waktu mati tetap dalam keadaan tenang, tidak mengalami sesuatu penderitaan.

Cepat Hay Koa-thian membuka baju mereka dan diperiksa, ditemukan ada bekas telapak tangan merah tepat di punggung kedua korban. Jelas sekali hantam urat nadi jantung kedua orang itu lantas tergetar putus dan binasa seketika.

"Lihai amat tenaga pukulannya," seru Oh Thi-hoa sambil menjulurkan lidah.

Bekas telapak tangan pada punggung kedua korban itu terdiri dari tangan kanan dan kiri, jelas penyerangnya satu orang dan dilakukan sekaligus.

"Tampaknya pukulan ini Kungfu sejenis Cu-seh-ciang (ilmu pukulan pasir merah)," kata Coh Liu-hiang.

"Betul, pukulan Cu-seh-ciang memang meninggalkan bekas merah begini," kata Oh Thi-hoa.

"Nama Cu-seh-ciang dikenal setiap orang, padahal cara berlatihnya sudah lama lenyap," ujar Coh Liu-hiang. "Selama dua tiga puluh tahun terakhir ini, hampir tidak pernah lagi terdengar ada tokoh ahli Cu-seh-ciang yang menonjol di dunia Kangouw."

"Pernah kudengar ada seorang 'Tan-ciang-tui-hun' (pukulan pemburu nyawa) Lim Bun, yang dilatihnya adalah Cu-seh-ciang," tutur Oh Thi-hoa. "Tapi itu pun sudah lama berselang, kini Lim Bun sudah mati dan tak diketahui apakah dia mempunyai keturunan atau tidak?"

"Betul Tan-ciang-tui-hun Lim Bun terkenal sebagai ahli Cu-seh-ciang," kata Coh Liu-hiang. "Tapi yang dilatihnya juga cuma satu tangan saja. Sedangkan orang ini dapat menggunakan kedua tangan sekaligus, bahkan sudah terlatih sehebat ini, sungguh jarang ada."

"Konon orang yang berlatih Cu-seh-ciang akan dapat diketahui dari tangannya," tiba-tiba Hay Koa-thian berkata.

"Waktu mula-mula berlatih memang telapak tangan akan bersemu merah," kata Coh Liu-hiang. "Tapi bila sudah sempurna, warna merah itu akan lenyap, hanya waktu melancarkan pukulan akan kelihatan telapak tangannya bersemu merah, dalam keadaan biasa takkan kelihatan sesuatu ciri apa-apa."

"Jika demikian, kecuali kita berempat yang berada di sini, orang selebihnya ada kemungkinan pembunuh mereka ini," kata Hay Koa-thian dengan menghela napas.

"Kecuali seorang saja yang tak mungkin," ujar Thio Sam.

"Oo?? Siapa?" tanya Hay Koa-thian.

"Kim Leng-ci," jawab Thio Sam.

"Apa dasarnya?" tanya Hay Koa-thian pula.

"Coba kau lihat, bekas telapak tangan ini sangat besar, tidak mungkin tangan perempuan," kata Thio Sam.

"Hm, dasar budak tetap budak," jengek Oh Thi-hoa mendadak. "Tampaknya Kim Leng-ci tidak sia-sia membuang uang membeli seorang budak seperti kau ini."

"Tapi tangan orang perempuan kan juga ada yang besar," ujar Hay Koa-thian. "Menurut ilmu nujum, perempuan yang bertangan besar pasti kaya dan jaya, bukankah nona Kim juga dari keluarga kaya dan jaya?"

"Hah, rupanya Hay-pangcu juga mahir menujum?" jengek Thio Sam. "Konon air muka pembunuh juga ada tanda-tanda pembunuh, ini pun menurut ilmu nujum, entah Hay-pangcu dapat melihatnya atau tidak?"

Belum lag, Hay Koa-thian menanggapi, tiba-tiba terdengar jeritan ngeri. Suara ini seperti datang dari geladak di atas sana, meski kedengaran sangat jauh, tapi suaranya tajam menyeramkan dan terdengar jelas.

Air muka Hay Koa-thian berubah pula, ia membalik tubuh terus menerobos ke atas.

Oh Thi-hoa menghela napas, katanya, "Ai, tampaknya kapal ini tidak membawa kemujuran, banyak halangan dan rintangan, jika ingin meninggalkan kapal dengan hidup rasanya tidaklah mudah!"

Mendadak Coh Liu-hiang mengeluarkan sesuatu dari balik baju Ong Tek-ci, katanya tertahan, "He, lihat, apa ini?"

Yang dipegang adalah satu biji mutiara sebesar gundu.

Air muka Thio Sam berubah seketika, serunya. "He, inilah mutiara yang pernah kucuri dari nona Kim itu."

"Kau tidak keliru?" tanya Coh Liu-hiang.

"Tidak, pasti tidak, aku kan ahli mutiara," jawab Thio Sam tegas. Dia mengusap keringat dahinya, lalu berkata pula, "Mengapa mutiara nona Kim bisa ada di tubuh orang mati ini?"

"Mungkin dia kurang hati-hati dan terjatuh di sini," kata Coh Liu-hiang.

"Jika demikian, apakah Kim Leng-ci adalah pembunuhnya?" tanya Thio Sam dengan terkesima.

Coh Liu-hiang tak menjawab, dia sedang berpikir, dengan hati-hati ia menyimpan mutiara itu lalu melangkah ke geladak.

Oh Thi-hoa menepuk pundak Thio Sam, katanya, "Kalau sang majikan adalah pembunuh, budaknya juga dapat dituduh sebagai pembantu pembunuh, kau harus hati-hati."

Waktu Oh Thi-hoa dan Thio Sam naik ke geladak, di buritan tampak berkerumun orang banyak, Kim Leng-ci, Ting Hong, Kau Cu-tiang, Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek, semua berada di situ.

Hiang Thian-hui yang tadi pegang kemudi di situ, sekarang sudah lenyap, hanya di geladak kapal bertambah secomot darah yang masih segar.

"Darah Hiang Thian-hui!" seru Oh Thi-hoa. "Apakah dia terbunuh? Dimana mayatnya?"

Mata Hay-Koa-thian tampak merah, mendadak ia berteriak bengis, "Ci Hong, Loh Kiat, apakah hari ini kalian yang dinas pegang kemudi?" Di tengah kerumunan tampil dua orang dan memberi hormat, mereka mengiakan bersama.

"Kemana kalian tadi?" tanya Hay Koa-thian dengan gusar.

"Hiang-jiya yang menyuruh menyingkir, kami tidak mau pergi, Hiang-jiya lantas mendelik dan mau memukul, terpaksa kami pergi," tutur orang yang bernama Ci Hong dengan gemetar.

Segera yang bernama Loh Kiat menambahkan, "Kami pun tidak berani pergi jauh tapi membantu Sim-losam menggulung tambang di sebelah sana."

"Tadi apakah kalian mendengar sesuatu suara?" tanya Hay Koa-thian.

"Ketika mendengar suara jeritan, segera kami memburu kemari," tutur Ci Hong. "Tapi sebelum tiba di sini, kami mendengar suara "plung" satu kali, waktu kami pandang Hiang-jiya, beliau ternyata sudah lenyap."

Semua orang saling pandang sekejap, mereka tahu suara "plung" itu tentu karena mayat Hiang Thian-hui tercebur ke sungai. Sekarang mereka yakin orang she Hiang itu pasti banyak celaka daripada selamat.

Hay Koa thian sudah bersahabat cukup lama dengan Hiang Thian-hui, air matanya lantas berlinang, ucapnya dengan suara parau, "O, jite, akulah yang membikin celaka dirimu, tidak seharusnya kuajak kau ke sini..."

"Kan belum lama mayatnya kecebur, biar aku menyelam ke bawah, mungkin dapat ditemukan," kata Thio Sam.

Waktu itu kapal sudah mendekati muara laut, ombak bergulung-gulung. Tapi tanpa pikir Thio Sam lantas terjun ke bawah mirip seekor ikan raksasa.

Segera Hay Koa-thian berteriak, "Kurangi kecepatan, kapal berhenti! Adakan penghitungan orang."

Di tengah suara teriakannya itu, para kelasi lantas berpencar, anak buah Ci-keng-pang memang sudah terlatih dan sangat disiplin, meski terjadi peristiwa gawat, semuanya tetap tenang. Dalam waktu singkat kapal berhenti, segera terdengar suara mengabsen bergema susul-menyusul.

Selang sejenak, orang yang bernama Ci Hong berlari datang dan memberi hormat kepada Hay Koa-thian serta melapor, "Kecuali Ong Tek-ci dan Li Tek-piau, yang lain masih ada."

Kalau orang lain masih ada, yang mati dengan sendirinya ialah Hiang Thian-hui.

Mendadak Hay Koa-thian berlutut di depan genangan darah itu.

Gemerdap sinar mata Ting Hong, ucapnya dengan suara tertahan, "Betapa tinggi ilmu silat Hiang-jiya cukup kukenal, aku justru tak percaya dia dikerjai orang begitu saja, sebab orang Kangouw yang mampu membunuhnya juga sangat terbatas."

Waktu berkata demikian, sorot matanya menyapu muka para hadirin, dimulai dari Kau Cu-tiang, Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa dan Pek-lak-cek, tapi Kongsun Jiat-ih dan Kim Leng-ci tak dipandangnya sama sekali. Jelas maksudnya orang yang mampu membunuh Hiang Thian-hui hanya keempat orang itu saja.

Oh Thi-hoa lantas menjengek, "Betapa tinggi ilmu silat Ting-kongcu, bukan saja cukup kukenal, bahkan semua orang pun cukup jelas. Waktu peristiwa ini terjadi, entah Ting-kongcu berada dimana tadi?"

Maksud ucapannya ini sangat gamblang, hakikatnya dia hendak bilang Ting Hong adalah pembunuhnya.

Tapi Ting Hong tenang-tenang saja, jawabnya dengan tak acuh. "Pada waktu itu Cayhe sedang berbaring di ranjang."

"Kau-heng kan satu kamar dengannya, tentu kau melihatnya?" tanya Oh Thi-hoa.

Sikap Kau Cu-tiang seperti agak susah, jawabnya dengan tergagap, "Waktu itu aku sendiri sedang.... sedang pergi buang air, tidak berada di kamar."

Mendadak Coh Liu-hiang berkata, "Padahal orang yang membunuh Hiang-jiya-tidak perlu ilmu silatnya lebih tinggi dari Hiang-jiya."

"Bila tidak lebih tinggi ilmu silatnya, apakah mampu membunuhnya?" ujar Oh Thi-hoa.

"Bisa jadi lantaran Hiang-jiya tidak menyangka orang itu akan membunuhnya, maka dia sama sekali tidak berjaga-jaga sehingga orang itu berhasil menyerangnya."

Hay Koa-thian menengadah, katanya dengan gemas, "Betul, kalau tidak, waktu mereka bergebrak tentu akan menimbul kan suara, Ci Hong berdua tentu akan mendengar, tapi lantaran orang itu menyerang secara diam-diam, maka tidak terdengar sesuatu suara."

"Begitulah, makanya setiap orang yang berada di kapal ini mungkin adalah pembunuh Hiang-jiya," kata Coh Liu-hiang.

"Tapi orang lain kan tiada permusuhan apa-apa dengan Hiang-jiya mengapa turun tangan keji kepadanya?" jengek Ting Hong sambil melototi Kau Cu-tiang.

"Untuk apa mendelik padaku? Memangnya aku bermusuhan dengannya?" tanya Kau Cu-tiang dengan gusar.

"Waktu Kau-heng bertengkar dengan Hiang-jiya di Sam-ho-lau, kukira hampir semua orang ikut menyaksikan, bukan cuma aku sendiri," jawab Ting Hong dengan tak acuh.

Seketika pandangan Hay Koa-thian beralih ke arah Kau-Cu-tiang, sorot matanya penuh rasa benci seakan-akan Kau Cu-tiang telah dianggap sebagai pembunuhnya.

Dengan muka merah Kau Cu-tiang berseru, "Waktu itu aku cuma bilang ingin mencoba kepandaiannya dan tidak menyatakan akan mencabut nyawanya."

"Apakah Kau-heng hendak mencabut nyawanya atau tidak hanya Kau-heng sendiri yang tahu," jengek Ting Hong pula. "Apalagi setahuku, waktu Hiang-jiya terbunuh, Kau-heng sendiri entah pergi kemana?"

"Kan sudah kukatakan, waktu itu aku sedang buang air....."

"Buang air dimana?" tanya Ting Hong.

"Sudah tentu di kakus, masa boleh kukencing di hadapanmu?" jawab Kau Cu-tiang.

"Memangnya siapa yang melihat kau pergi ke kakus?" kata Ting Hong pula.

"Tidak ada, waktu itu tiada seorang pun yang berada di kakus," jawab Kau Cu-tiang.

"Hm, masa begitu kebetulan, tidak cepat, tidak lambat, ketika Hiang-jiya terbunuh dan Kau-heng kebetulan ingin buang air, pula kebetulan di kakus juga tiada orang lain lagi.... hehehe, semua ini sungguh sangat kebetulan, serba kebetulan," demikian jengek Ting Hong.

Seketika Kau Cu-tiang meraung murka, "Persetan kau! Darimana aku tahu air kencingku akan keluar mendadak dan cara bagaimana pula kutahu di kakus tidak ada orang."

"Jangan gelisah, Kau-heng," tiba-tiba Coh Liu-hiang menyela. "Bukti nyata dan lengkap, jelas Kau-heng bukan pembunuhnya."

"Bukti nyata? Dimana?" tanya Ting Hong.

"Bila pembunuhan ini dilakukan secara diam-diam, jarak si pembunuh dan Hiang-jiya pasti sangat dekat," tutur Coh Liu-hiang. "Padahal Kau-heng dan Hiang-jiya jelas tidak akur mana mungkin Hiang-jiya membiarkan Kau-heng mendekatinya.

"Betul, jika dia melihat aku mendekat, mungkin dia akan segera melonjak," tukas Kau Cu-tiang.

"Coba lihat noda darah di lantai ini." kata C oh Liu-hiang.

"Darah Hiang-jiya yang mengalir keluar amat banyak, jika pembunuh itu melakukan keganasannya dari dekat, tentu bajunya akan terciprat darah." Dia pandang Kau Cu-tiang sekejap, lalu menyambung, "Baju Kau-heng kering dan bersih, pakaian cukup rajin, bila dia habis membunuh lalu berganti pakaian, kukira juga takkan terjadi secepat ini."

"Betul, begitu mendengar jeritan, segera kuburu ke sini, mana sempat berganti pakaian segala," tukas Kau Cu-tiang.

"Untuk ini aku dapat menjadi saksi," tiba-tiba Kim Leng-ci menambahi. "Waktu kudatang, dia sudah berada di sini."

"Dalam hal ini, siapa pun pembunuhnya jelas tidak keburu berganti pakaian," kata Coh Liu-hiang pula. "Yang bisa dilakukan dalam waktu sesingkat ini hanya menanggalkan baju yang berlepotan darah, lalu dilemparkan ke laut atau disembunyikan."

"Jika demikian, saat ini pakaian si pembunuh pasti masih rapi dan bersih?" jengek Ting Hong sambil melototi Kau Cu-tiang. Yang dikenakan Kau Cu-tiang sekarang hanya pakaian dalam dan tidak memakai baju luar.

Namun Kau Cu-tiang tetap tenang, ucapnya, "Cayhe memang tidak biasa tidur dengan memakai baju panjang."

"Betul, tidak mungkin orang tidur dengan pakaian rapi " kata Kim Leng-ci. "Waktu kudengar suara jeritan tadi, segera kulari ke sini, aku pun tidak memakai baju luar, memangnya aku pun dianggap sebagai pembunuhnya?"

Si nona memang betul cuma memakai pakaian dalam saja, tidak memakai kaos kaki, sehingga kedua kakinya tampak putih mulus.

Segera pandangan Oh Thi-hoa beralih ke arah kaki yang putih itu, katanya pelahan, "Sebelum pembunuhnya diketahui, setiap orang tak terhindar dari sangkaan, sekalipun orang kaya juga tak terkecuali. Orang kaya tidak pasti bukan pembunuh, bukankah begitu nona Kim?"

Sebenarnya Kim Leng-ci hendak meraung, tapi demi melihat mata Oh Thi-hoa yang melotot mengincar kakinya yang mulus itu, seketika mukanya menjadi merah dan tanpa terasa ia menyurut mundur hingga lupa membuka suara.

Sementara itu Thio Sam telah menongol di permukaan air dan berseru "Tidak ada, tidak kutemukan apapun, gelombang air cukup keras, ikan mati saja tiada, apalagi orang mati."

Segera Hay Koa-thian melempar seutas tambang, serunya, "Apapun Thio-heng sudah berusaha sedapatnya, aku dan Hiang-jite merasa berterima kasih. Lekas Thio-heng naik ke atas."

Hari sudah terang, sekembalinya di kamar, segera Oh Thi-hoa menjambret leher baju Coh Liu-hiang dan berkata. "Breng sek, sekarang kau pun tidak jujur lagi padaku. Memangnya kau

kira dapat menipu tuan Oh ini?"

"Siapa yang menipu kau? Apakah penyakit gilamu sudah kumat?" tanya Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Masa kau tidak dusta padaku?" seru Oh Thi-hoa dengan mendelik. "Sebelum mati In Ciong-liong minta kau mewakilkan dia minum araknya, dalam cawan itu jelas ada semacam benda, mengapa kau bilang tidak ada apa-apa?"

Sementara Thio Sam sudah ganti pakaian kering pemberian Hay Koa-thian dan sedang berbaring di tempat tidur, dengan tertawa ia menyela, "Orang sering bilang Oh Thi-hoa adalah manusia yang paling goblok, tadinya aku tidak percaya, tapi sekarang baru kutahu olok-olok itu memang tidak salah."

"Kentut makmu," demikian damprat Oh Thi-hoa dengan gusar. "Kau tahu apa?" .

"Dan kau? Kau tahu apa?" jawab Thio Sam. "Tahu kentut. Tadi dia tidak bicara sejujurnya adalah karena Hay Koa-thian juga hadir di sana, kenapa kau jadi marah-marah begini?"

"Kenapa kalau Hay Koa-thian hadir di sana?” kata Oh Thi-hoa penasaran. "Kukira dia bukan orang busuk, pula dia berdiri satu garis di pihak kita, mengapa kita harus mengelabui kita?"

Thio Sam menghela napas gegetun, katanya, "Tadinya kukira kau cuma tahu kentut, hakikatnya kentut saja kau tidak tahu. Padahal Hay Koa-thian hanya membawa kau ke gudangnya yang menyimpan beberapa guci arak dan kau lantas menganggap dia sebagai sahabatmu yang sejati."

"Hm, masa aku serupa kalian, selalu curiga kepada siapa pun," jengek Oh Thi-hoa. "Jika menuruti jalan pikiran kalian, di dunia ini mana ada orang yang dapat kalian percayai?"

"Tidak ada, memang tidak ada," kata Thio Sam. "Terkadang pada diri sendiripun aku tak percaya, apalagi orang lain."

"Paling sedikit kau masih suka berterus terang, tidak seperti si kutu busuk ini," jengek Oh Thi-hoa.

"Kau benar-benar percaya penuh kepada Hay Koa-thian?" tanya Thio Sam.

"Dia kan sudah bicara segalanya, sedikitpun tidak meraha siakan apa-apa...."

"Hm, hendak memancing ikan harus pakai umpan, darimana kau tahu ucapan Hay Koa-thian itu bukan umpan?"

"Umpan? Maksudmu dia hendak memancing? Memangnya apa yang hendak dipancing?" tanya Oh Thi-hoa.

"Dia hendak memancing keterangan kita, tentu saja dia harus bicara dulu untuk menarik perhatian kita. Padahal apa yang diucapkannya itu tidak lebih hanya dugaan saja, kalau dia dapat menduga tentu orang lain juga bisa, jadi uraiannya yang panjang lebar itu hakikatnya sama dengan nol besar,” tanpa menunggu tanggapan Oh Thi-hoa, segera Thio Sam menyambung, "Mengenai keenam peti mati itu, tiada yang tahu siapa yang mengirim, bukan mustahil perbuatan Hay Koa-thian sendiri."

Tangan Oh Thi-hoa yang mencengkeram leher baju Coh Liu-hiang lantas dikendurkan, baru sekarang Coh Liu-hiang berkata dengan tertawa, "Betul, penumpang kapal ini kan tidak tuli dan buta, jika dikatakan ada orang membawa keenam peti itu ke atas kapal tanpa diketahui siapa pun juga, rasanya hal ini tidak mungkin terjadi, hanya dia sendiri...."

"Paling tidak dia bukan pembunuh Hiang Thian-hui." Seru Oh Thi-hoa penasaran. "Waktu Hiang Thian-hui mati, jelas dia berada bersama kita, betul tidak?"

"Ehmm,"'Coh Liu-hiang mengangguk.

"Menurut pendapatku, kalau Kau-Cu-tiang bukan pembunuhnya, maka yang paling mencurigakan ialah Kim Leng-ci, Ting Hong dan Kongsun Jiat-ih."'

"Betul," kata Coh Liu-hiang pula.

"Untuk mengangkut peti mati ke atas kapal di luar tahu orang memang tidak mudah, ketiga orang itu kan punya uang dan berpengaruh. Kata orang 'setan juga doyan duit'. Asalkan punya uang, segala apapun dapat diperbuat,"

"Tapi selain ketiga orang itu, masih ada dua orang lagi yang harus dicurigai," kata Coh Liu-hiang.

"O, siapa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Yaitu Loh Kiat dan Ci Hong yang memegang kemudi kapal," kata Coh Liu-hiang.

"Dengan kepandaian mereka itu, masa mampu membunuh Hiang Thian-hui?"

"Jika hari ini mereka yang dinas kerja dan mereka berada di samping sana tentu tidak dicurigai Hiang Thian-hui, apalagi orang yang angkuh seperti Hiang Thian-hui itu pasti tidak me naruh perhatian terhadap mereka. Jika hendak membunuh Hiang Thian-hui secara diam-diam, hanya mereka itulah yang punya kesempatan dan peluang terbesar."

"Ya, lantaran mereka bukan orang penting sehingga tiada orang yang memperhatikan mereka, maka setelah melakukan keganasan, dengan leluasa mereka dapat berganti pakaian dengan waktu yang cukup singkat," kata Thio Sam.

"Waktu itu Hay Koa-thian kebetulan berada bersama kita, bukan mustahil tujuannya hendak menyuruh kita menjadi saksi bahwa waktu Hiang Thian-hui terbunuh, dia tak berada di tempat, dengan demikian akan terbukti dia bukan pembunuhnya."

"Tapi inipun tak dapat membuktikan ia tak pernah menyuruh orang lain membunuh Hiang Thian-hui," kata Thio Sam.

"Jika demikian, kau anggap Hay Koa-thian adalah pembunuhnya?" tanya Oh Thi-hoa.

"Aku tidak menuduh dia adalah pembunuhnya, aku Cuma bilang dia juga harus dicurigai," jawab Thio Sam.

"Menurut pendapatku, orang yang paling mencurigakan ialah Kim Leng-ci," jengek Oh Thi-hoa.

"Sebab apa?" tanya Thio Sam.

"Jika dia bukan pembunuh, mengapa mutiara besar miliknya itu bisa berada di mayat Li Tek-piau?" kata Oh Thi-hoa.

"Setiap orang patut dicurigai, kukira terlalu dini bila menentukan siapa pembunuhnya sekarang," ujar Coh Liu-hiang.

"Memangnya harus menunggu sampai kapan kalau tidak sekarang?" kata Oh Thi-hoa.

"Siapa pun pembunuhnya, membunuh orang pasti ada tujuannya," kata Coh Liu-hiang. "Maka kita harus mencari tahu lebih dahulu apa maksud tujuan si pembunuh itu."

"Ehm, betul juga," ujar Oh Thi-hoa.

"Betapapun lihainya sang pelaku, setelah membunuh, sedikit banyak akan meninggalkan jejak dan tanda-tanda, maka kita menunggu sampai dia sendiri memperlihatkan ciri-cirinya itu."

"Maksudmu, petunjuk yang ada sekarang belum cukup dan masih harus menunggu dia membunuh beberapa orang lagi, begitu?" jengek Oh Thi-hoa.

Coh Liu-hiang menghela napas, katanya, "Aku cuma berharap dia hendak membunuh pula, semoga kita dapat mendahului dan membekuknya."

"Bila selanjutnya dia tidak membunuh lagi, kan kita pun tak dapat membekuk dia?"

"Jangan lupa peti mati itu masih banyak yang kosong, sebelum peti mati itu terisi penuh, tidak nanti, dia berhenti bekerja," kata Coh Liu- hiang dengan tersenyum.

Oh Thi-hoa berpikir sejenak, katanya, "Jika demikian, menurut perkiraanmu, siapa sasaran kedua yang akan diincarnya?"

"Ini sukar dikatakan..., bisa jadi kau, mungkin pula aku."

"Kalau begitu, sebelum mati lekaslah kau perlihatkan padaku barang yang kau simpan itu?”

Coh Liu-hiang tertawa, katanva, "Paling tidak orang ini punya mata maling yang tajam. Dalam cawan arak yang kuterima dari In Ciong-liong memang betul ada sesuatu benda."

"Gambar apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Sudah kuperiksa hingga setengah harian dan tetap tidak tahu apa arti gambar itu," jawab Coh Liu-hiang sambil mengeluarkan secarik kertas.

Di atas kertas itu terlukis seekor kelelawar atau kalong di sekitar kalong ada garis melengkung, banyak pula titik-titik hitam, lalu di pojok kiri atas dilukis satu lingkaran yang bergaris-garis seperti sinar.

"Garis-garis yang melengkung ini agaknya tanda air," ujar Coh Liu-hiang.

"Ehm, benar," kata Thio Sam.

"Dan lingkaran ini seperti tanda matahari," kata Coh Liu-hiang pula.

"Betul," tukas Thio Sam.

"Dan tanda apa titik-titik hitam besar dan kecil ini?" tanya Oh Thi-hoa.

"Bisa jadi.... bisa jadi sebagai tanda batu karang di tengah air...."

“Matahari, air, batu karang, adalagi seekor kalong.... apa artinya semua ini?" tanya Oh Thi-hoa.

"Dengan sendirinya gambar ini mengandung arti yang sangat mendalam, dengan sendirinya juga suatu rahasia yang maha besar, kalau tidak, masakah sebelum ajal In Ciong-liong menyerahkannya padaku dengan cara misterius?"

"Mengapa tidak dia katakan terus terang saja, malah main teka-teki begini?" ujar Oh Thi-hoa.

"Waktu itu tiada peluang untuk bicara baginya..."

"Betul," sela Oh Tht-hoa. "Waktu di Sam-ho-lau, aku pun merasa cara bicara In Ciong-liong agak gelagapan dan tidak pantas sebagai seorang tokoh pimpinan suatu organisasi besar...."

Belum habis ucapannya, mendadak Coh Liu-hiang melompat ke pintu, dengan cepat ia menarik daun pintu. Dan di depan pintu ternyata berdiri satu orang.

Ternyata Kim Leng-ci adanya.

Begitu Coh Liu-hiang membuka pintu, seketika muka si nona menjadi merah, kedua tangan disembunyikan di belakang, entah apa yang dipegang, tampaknya hendak bicara, tapi urung.

Segera Oh Thi-hoa berolok-olok, "Kita asyik mengobrol di sini, tak tersangka nona Kim telah menjadi penjaga pintu bagi kita, sungguh kita harus berterima kasih kepadanya."

Kim Leng-ci menggigit bibir, ia melengos dan melangkah pergi dengan dongkol. Tapi baru dua-tiga tindak, mendadak ia menoleh dan berseru, "Kemari kau, Thio Sam!"

Thio Sam mengiakan sambil melompat turun dari tempat tidur. "Ada pesan apa nona?" tanyanya dengan mengiring tawa.

"Budak ini sungguh penurut, jika nona Kim menyuruhnya membunuh pasti akan dilaksanakannya," jengek Oh Thi-hoa.

Kim Leng-ci tidak menggubris ocehannya, ia mengeluarkan sebungkus barang yang disembunyikan di belakang punggung dan berkata pula, "Bungkusan ini hendaklah kau simpan dan jaga dengan baik."

Thio Sam menerimanya sambil mengiakan.

“Bungkusan barang ini baru kutemukan, boleh kau buka di periksa isinya, tetapi awas jangan sampai hilang, akan kupenggal kepalamu sebagai gantinya," kata si nona.

"Jangan khawatir nona," jawab Thio Sam pula dengan tertawa "Barang apapun, jika sudah berada padaku, biarpun maling sakti nomor satu di dunia juga jangan harap dapat mencurinya."

Kim Leng-ci mendengus, segera ia melangkah menuju kamar depan, "blang", dengan keras ia gabrukkan pintu kamarnya.

"Di kamar kita ini memang ada seorang maling sakti nomer satu di dunia," kata Oh Thi-hoa. "Maka kau harus simpan baik-baik barang itu, awas jika kepalamu terpaksa dijadikan gantinya, kan bisa konyol."

Belum habis ucapannya, mendadak daun pintu kamar yang satu lagi terbuka, Ting Hong tampak melongok keluar, sorot matanya seperti tidak sengaja melirik sekejap pada bungkusan yang dipegang Thio Sam, lalu menyapa dengan tertawa, "Kalian belum tidur?"

"Ting-kongcu mungkin juga seperti kami, sukar pulas bila berada di tempat baru," kata Coh Liu-hiang.

Mata Ting Hong tampak berkedip-kedip, lalu mendesis, "Ada sedikit urusan yang ingin kubicarakan dengan Coh-hiangswe, entah sekarang boleh tidak?"

Belum lagi Coh Liu-hiang menjawab, pintu kamar sebelah juga mendadak terbuka, yang melangkah keluar ternyata bukan Pek-lak-cek, juga bukan Kongsun Jiat-ih, tapi Kau Cu-tiang.

Air muka Kau Cu-tiang tampak pucat kehijau-hijauan, sinar matanya buram, koper hitam tetap dibawanya. Ketika melihat Coh Liu-hiang dan lain-lain sama berdiri di luar pintu, seketika ia melenggong kaget.

"Kukira Kau-heng lagi pergi buang air, sedang kupikirkan akan memperkenalkan seorang tabib sakti untuk memeriksa penyakit ginjalmu," kata Ting Hong.

Muka Kau Cu-tiang sebentar pucat sebentar merah, jawabnya dengan tergagap, "Aku memang pergi buang air, waktu lewat sini, tiba-tiba timbul keinginanku untuk mengobrol."

"O, kiranya Kau-heng memang kenal mereka, sungguh tak terduga olehku," kata Ting Hong sambil menatap orang dengan tajam. Lalu ia melirik Coh Liu-hiang sekejap dan berkata dengan tertawa, "Mungkin tidak tersangka oleh Coh-hiangswe bukan?"

Kau Cu-tiang berdehem beberapa kali, jawabnya, "Aku dan mereka pernah bertemu sekali dua kali saja, tidak.... tidak terlalu karib...." sambil bicara ia terus menyelinap masuk kamar.

"Bila Ting-heng ingin memberi petunjuk, silakan kemari saja," kata Coh Liu-hiang kemudian.

Ting Hong berpikir sejenak, katanya, "Rasanya kita sudah lelah dan perlu istirahat, kita bicarakan malam nanti saja." Segera ia menyurut ke dalam dan menutup pintu.

Pintu kamar satunya juga sudah tertutup, tapi sejauh itu Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek sama sekali tidak menongol.

Oh Thi-hoa sudah tidak tahan, belum lagi Coh Liu-hiang merapatkan pintu kamarnya segera ia menggerutu, "Zaman ini hati manusia memang sukar diraba, tak tersangka orang macam Kau Cu-tiang juga bisa berdusta. Jelas dia kenal Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek, tapi waktu naik kapal, mereka berlagak seperti tidak saling kenal."

"Ya, dia mengaku belum pernah mengembara di dunia Kangouw, kecuali Coh Liu-hiang. tiada yang dikenalnya, kiranya semua itu dusta belaka. Orang yang dia kenal jauh lebih banyak daripada kita," demikian Thio Sam menggerutu.

"Semula kukira dia benar-benar masih hijau dan tidak paham seluk-beluk dunia Kangouw, bicaranya blak-blakan, tindakannya terang-terangan, siapa tahu semua ini kedok belaka," demikian Oh Thi-hoa menambahkan.

"Apa yang diperbuatnya itu sengaja diperlihatkan agar kita menaruh curiga padanya, padahal bisa jadi sebelumnya sudah bersokongkol dengan Kongsun Jiat-ih."

"He, tidak, tidak betul, harus kuperiksa ke sana," seru Oh Thi-hoa sambil melonjak bangun.

"Apa yang tidak betul? Periksa apa?" tanya Thio Sam.

"Bukan mustahil dia pembunuhnya, Kongsun Jiat-ih dan Pek-lak-cek adalah sasaran yang kedua, bisa jadi sekarang kedua orang itu sudah mati."

Sejak tadi Coh Liu-hiang termenung, baru sekarang ia mengangguk dan buka suara, "Sesudah Kau Cu-tiang keluar tadi, pintu kamar lantas ditutup orang dari dalam, jika orang mati apakah dapat menutup pintu?"

"Oh Thi-hoa jadi melengak mau tak mau ia pun manggut-manggut dan bergumam, "Tampaknya akupun ketularan kalian, jadi suka curiga." Diapandang Thio Sam sekejap, lalu berkata pula, "Mengapa tidak kau buka bungkusannya,"

"Untuk apa mesti dibuka?" jawab Thio Sam.

"Dia bilang sendiri, kau boleh membuka dan melihat isinya," kata Oh Thi-hoa.

"Dan kalau aku tidak mau?"

"Masa kau tidak ingin tahu apa isi bungkusan itu?"

"Akan kubuka nanti bila kau telah tidur," kata Thio Sam tak acuh.

Kembali Oh Thi-hoa melengak, ia tertunduk dan terdiam sejenak, mendadak dengan gerakan kilat, ia rampas bungkusan yang dipegang Thio Sam itu, serunya sambil tertawa, "Aku bukan Coh Liu-hiang, tidak dapat mencuri, tapi dapat kurebut...."

Dengan cepat ia membuka bungkusan itu, tapi suara tertawanya lantas berhenti seketika setelah melihat isi bungkusan itu.

Kiranya cuma berisi sepotong baju. Baju panjang belepotan darah.

Warna baju itu hijau muda, kainnya dari kwalitas yang baik, halus dan enteng, kalau dipakai tentu sangat enak. Tapi di bagian dada baju itu banyak terciprat darah.

"Kupernah melihat baju ini," kata Oh Thi-hoa.

"Dimana?" tanya Thio Sam.

"Tempo hari, waktu Ting Hong menyambut kedatangan Koh-bwe Taysu, baju inilah yang dipakai," jawab Oh Thi-hoa.

Seketika air muka Thio Sam berubah, ucapnya, "Dan bagaimana dengan darah ini? Apakah darah Hiang Thian-hui? Masa Ting Hong adalah pembunuhnya?"

"Sejak mula memang sudah kucurigai dia," kata Oh Thi-hoa dengan gemas. "Tapi Kim Leng-ci sangat penurut pada setiap ucapan Ting Hong, mengapa dia sengaja mengantarkan baju berdarah ini ke tempat kita?"

Thio Sam berpikir sejenak, katanya kemudian, "Bisa jadi dia belum tahu baju ini milik Ting Hong, mungkin...."

"Mungkin Kim Leng-ci sengaja hendak mengirim bukti," tiba-tiba Oh Thi-hoa menyela.

"Mengirim bukti apa?" tanya Thio Sam.

"Dia tahu kita menemukan mutiara di mayat itu dan tahu pula kita mencurigainya, maka sengaja mencuri pakaian Ting Hong serta dikotori dengan darah, dengan demikian perhatian kita dapat dialihkan pada baju berdarah ini," setelah mendengus, Oh Thi-hoa menyambung pula, "Padahal seumpama kau membunuh orang dengan memakai bajuku, apa aku pembunuhnya?"

"Tapi dalam soal ini masih ada dua hal yang mencurigakan," kata Coh Liu-hiang.

"Dua hal apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Pertama, Kim Leng-ci adalah seorang puteri keluarga terhormat, kalau disuruh membunuh orang, memang dia juga bisa membunuh, tapi jika disuruh mencuri baju orang lain, mungkin dia takkan mampu mencurinya."

"Betul, darimana dia tahu dimana baju Ting Hong disimpan dan begitu saja dapat dicurinya?" cepat Thio Sam menukas.

"Kedua," kata Coh Liu-hiang pula. "Jika dia ingin mengalihkan perhatian kita, dia tak akan mengantar sendiri baju ini. Orang yang menjadi pencuri, betapapun khawatir konangan."

"Apa kau kira baju ini sengaja ditaruh di tempat yang mudah terlihat oleh Kim Leng-ci, dengan begitu si nona akan menemukannya dan diantar kepada kita?" kata Thio Sam.

"Inipun mungkin, tapi Ting Hong juga bisa jadi pembunuhnya, setelah membunuh, karena waktunya sangat mendesak maka dia tidak sempat menyembunyikan baju berdarah ini...."

"Kau Cu-tiang kan tinggal sekamar dengan Ting Hong" sambung Thio Sam. "Jika dia mau mencuri pakaian Ting Hong, kukira dapat dilakukannya dengan mudah, sebab itulah si jangkung itu semakin mencurigakan bagiku."

"Mengapa tidak kau tanya pada majikanmu darimana dia mendapatkan baju ini?" ujar Oh Thi-hoa.

Thio Sam menggeleng, katanya, "Aku tidak berani,bisa jadi aku akan didamprat. Jika kau kau ingin tanya boleh silakan kau tanya sendiri, masa kau tidak berani?"

Serentak Oh Thi-hoa melompat bangun, jengeknya, "Mengapa aku tidak berani? Masa dia akan mengigitku?" Segera ia pun menerobos keluar dan mendekati pintu kamar Kim Leng-ci.

Tapi waktu tangannya terangkat dan hendak menggedor pintu mendadak keberaniannya lenyap. Bila membayangkan betapa Kim Leng-ci akan mendelik padanya dengan bertolak pinggang, mau tak mau ia menjadi merinding.

"Mungkin dia sudah tidur, jika aku ribut dan dia terjaga bangun, adalah pantas jika dia marah padaku, sama halnya bila orang mengacau tidurku, tentu aku pun akan marah," demikian Oh Thi-hoa menimang-nimang.

Untuk mengetuk pintu kamar perempuan juga diperlukan pengetahuan yang luas, selain ada tehniknya, juga diperlukan ke-beranian.

Akhirnya Oh Thi-hoa menghela napas, gumamnya. "Ah, toh malam nanti semua orang akan bertemu, biarlah nanti saja kutanyai dia."

Kebanyakan lelaki juga mempunyai ciri khas, yakni bilamana mereka tidak berani berbuat sesuatu, maka selalu dapat mengemukakan sesuatu alasan yang tepat, tidak nanti mengakui dirinya tak punya keberanian.

Karena itulah, akhirnya Oh Thi-hoa melangkah kembali kekamarnya.

Di dalam kamar hanya ada dua tempat tidur, karena mereka tinggal bertiga, maka ditambah tikar lagi di lantai. Waktu Oh Thi-hoa masuk kembali ke kamarnya, kedua tempat tidur itu sudah terisi penuh.

Thia Sam tampak berbaring dengan bertumpu kaki dan sedang bergumam, "Sungguh aneh, mengapa tak kudengar suara ketukan pintu? Jangan-jangan nyali tuan Oh kita tidal lebih besar dari pada orang lain, hanya mulutnya saja yang omong besar, pada waktunya ternyata tidak berani mengetuk pintu.

Dengan mendongkol Oh Thi-hoa lantas berteriak, "Ini tempat tidurku, mengapa kau berada di situ?"

"Tempat tidurmu?" Thio Sam menegas dengan terbelalak. "Siapa yang menentukan tempat tidur ini bagimu? Apakah gubernur jenderal yang menentukan?"

Oh Thi-hoa menjadi gregetan, tapi apa daya, orang berbaring seenaknya di situ. Segera ia menjengek, "Ah, tempat tidur kabin kapal hakikatnya seperti tempat tidur anak kecil, pendek lagi sempit, lelaki gagah kekar seperti diriku ini kan lebih enak tidur di lantai."

Tapi baru saja membaringkan diri, mendadak ia melompat bangun dan berseru, "He, kau memang terlalu, diberi satu minta dua, dikasih hati minta ampela, kenapa kau ambil bantalku?"

"Tidur di lantai kan lebih leluasa dan lebih enak, lantaran kau khawatir tak mau bangun lagi saking enaknya tidur di lantai, maka Hay Koa-thian sengaja tidak menyediakan bantal bagimu," kata Thio Sam dengan tertawa.

Oh Thi-hoa tambah gregetan, tiba-tiba ia mendapat akal, mendadak ia berseru dengan tertawa, "Hahaha, kiranya kau pun serupa si kutu busuk ini, hidungmu buntu sehingga tidak mengendus bau sedap."

"Bau sedap apa?" tanya Thio Sam.

"Tadi aku kan duduk di atas bantal dan aku telah kentut...." Belum habis ucapan Oh Thi-hoa, serentak Thio Sam melemparkan bantal itu ke arah Oh Thi-hoa.

"Hahaha, kiranya kau mudah kena tipu," seru Oh Thi-hoa dengan tergelak-gelak.

"Jika kau omong urusan lain, mungkin aku takkan percaya," kata Thio Sam. "Tapi bicara tentang kentut, kau memang nomor satu d, dunia, kentut seratus orang mungkin tidak sebanyak kentutmu."

00ooo00

Peristiwa yang terjadi selama dua hari ini sesungguhnya teralu banyak dan dan terlalu menakutkan, pula tidak diketahui akan terjadi peristiwa ngeri apalagi.

Malam ini, Oh Thi-hoa mengira dirinya tidak dapat tidur

Dia pernah mendengar cerita, orang yang sukar pulas, obat paling mujarab adalah berhitung, hitunglah sebanyak-banyaknya dan akhirnya akan tertidur tanpa terasa.

Karena itu Oh Thi-hoa siap berhitung seribu atau selaksa, jika tetap tak dapat pulas, maka dia akan keluar minum arak. Siapa tahu, baru saja dia berhitung sampai dua puluh tujuh sudah tertidur nyenyak.

Entah sudah berselang berapa lama, ketika mendadak Oh Thi-hoa terjaga bangun oleh suara ketukan pintu yang riuh.

Suara ketukan itu sangat pelan, "tuk-tuk-tuk", terus berbunyi, agaknya sudah terketuk agak lama.

Serentak Oh Thi-hoa merangkak bangun, kepala terasa pusing dan mata sepat, sekuatnya ia membuka pintu, rasa dongkolnya akan dilampiaskan kepada orang yang mengetuk pintu.

Tak tahunya, begitu pintu terbuka, ternyata tiada bayangan setan pun, apalagi bayangan manusia.

Akan tetapi suara "tuk-uk-tuk" itu masih terdengar.

Setelah menenangkan diri baru diketahui Oh Thi-hoa bahwa suara itu bukanlah suara ketukan pintu, tapi dinding papan kamar sebelah yang sedang diketuk-ketuk orang.

"Brengsek," gerutu Thi-hoa. "Entah apa yang sedang dilakukan keparat itu? Apa sengaja hendak mengacau tidur orang?"

Segera ia pun mengetuk papan dinding dengan keras dan berteriak, "Siapa itu?"

Penghuni kamar sebelah adalah Kongsun Jiat-ih danPek-lak-cek, maka yang mengetuk dinding itu pasti salah seorang diantaranya

Benar juga, segera ada suara orang di kamar sebelah, Oh Thi-hoa menempelkan telinganya ke dinding barulah dapat didengarnya suara orang yaitu Kongsun Jiat-ih.

Dengan suara tertahan, Kongsun Jiat-ih sedang bertanya, "Apakah Coh Liu-hiang di situ? Bagaimana kalau kemari untuk bicara sebentar?"

Kiranya Kongsun Jiat-ih mengetuk papan dinding hanya karena ingin mencari Coh Liu-hiang. Selama dua hari ini setiap orang seakan-akan ingin mencari dirinya.

Tentu saja Oh Thi-hoa sangat mendongkol, selagi hendak mengomel, sekilas dilihatnya kedua tempat tidur sudah kosong, Coh Liu-hiang dan Thio Sam entah sudah mengeluyur kemana.

Dalam pada itu orang di sebelah sedang berkata pula dengan suara tertahan, "Bisa jadi Coh Liu-hiang belum tahu siapa Cayhe, tapi...."

"Tidak perlu kau katakan juga kutahu siapa kau," seru Oh Thi-hoa dongkol. "Saat ini Coh Liu-hiang tidak berada di sini."

"Oo, kemanakah dia?" tanya orang di sebelah.

"Orang ini shio Tho (kelinci, lambang kelahiran), karena itulah dia suka kelayapan kian kemari, saat ini dia entah berada dimana," jawab Oh Thi-hoa.

"Dan anda...."

"Aku she Oh," kata Oh Thi-hoa. "Ada urusan apa kau cari Coh Liu-hiang? Katakan saja padaku, kukira sama saja."

"Oo!" hanya suara itu saja yang terdengar, lalu tidak ada lanjutan lagi.

Oh Thi-hoa menunggu pula sampai sekian lama, makin dipikir semakin merasa urusan ini agak ganjil.

Kongsun Jiat-ih dan Coh Liu-hiang jelas tiada sangkut-paut apa-apa, untuk apa mendadak ia mencari Coh Liu-hiang, pula tak mau mencarinya secara terang-terangan, tapi main sembunyi seperti maling takut konangan?

Sesunguhnya ada urunan rahasia apakah yang hendak dikatakannya kepada Coh Liu-hiang.

Teringat kepada Coh Liu-hiang, Oh Thi-hoa jadi mendongkol, omelnya ,"Kutu busuk tua ini makin lama makin brengsek. Diam-diam mengeluyur pergi tanpa memberitahu padaku."

00ooo00

Sementara itu Coh Liu-hiang dan Thio Sam lagi bersandar memandangi sinar sang surya di waktu senja yang gilang gemilang.

"Sebelum kujelajahi lautan, bagiku pemandangan di sungai sudah cukup mempesona, sesudah berada di lautan lepas, barulah kutahu betapa kecilnya sungai, aku menjadi tidak ingin pulang ke sana lagi," kata Thio Sam dengan gegetun.

Coh Liu-hiang tersenyum, selagi ia hendak menanggapi, tiba-tiba dilihatnya Ting Hong sedang melangkah kemari dari haluan sana dengan sikap cemas, belum lagi dekat sudah berseru, "Apakah hari ini kalian melihat Hay-pangcu?"

"Sejak berpisah tadi pagi, sampai saat ini belum berjumpa lagi," jawab Coh Liu-hiang sambil mengerut kening.

"Sudah lelah seharian, bisa jadi dia kepulasan, mengapa Ting-kongcu tidak mencarinya ke kabin bawah?" ujar Thio Sam.

"Sudah kucari ke sana," jawab Ting Hong. "Tempat tidurnya masih rapi dan bersih, jelas belum pernah ditiduri orang

"Apakah orang lain juga tiada yang melihat?" tanya Coh Liu-hiang, mau tak mau ia menjadi tertarik juga.

Air muka Ting Hong tampak pucat.senyum yang ramah itu lenyap, dengan suara berat ia berkata, "Sudah kucari kemana-mana, orang terakhir yang melihat Hay-pangcu ialah Ci Hong."

"Ci Hong?" Coh Liu-hiang menegas sambil mengernyitkan dahi.

"Ya, menurut cerita Ci Hong, katanya waktu lohor ia meli hat Hay-pangcu berdiri sendirian di haluan kapal, memandang jauh ke lautan lepas sana dengan kesima, berulang-ulang mulutnya menyebut nama-Hiang-j iya. Ci Hong menyilakan dia dahar siang juga tidak digubris. Sejak itu tiada seorang pun yang melihat dia lagi."

"Apa waktu itu tiada orang lain di atas?" tanya Coh Liu-hiang.

"Tatkala itu kebanyakan kelasi kapal sedang makan siang di kamar masing-masing, hanya di buritan ada dua pengemudi, tiga orang sedang pasang mata," setelah menghela napas, lalu Ting Hong menyambung, "Keenam orang inipun tidak melihat Hay-pangeu di haluan kapal."

"Jangan-jangan Ci Hong berdusta." ujar Thio Sam.

"Kukira tiada alasan baginya untuk berdusta," kata Ting Hong. "Bisa jadi orang lain lagi sibuk sehingga tidak memperhatikan Hay-pangcu naik ke geladak, waktu Hay-pangcu berdiri di haluan kapal juga tidak lama."

"Habis, kemanakah dia? Apakah mungkin terjun ke laut?" ujar Thio Sam.

"Aku pun khawatir, jangan-jangan Hay-pangcu terlalu berduka atas kematian Hiang-jiya, karena pikiran cupet, akhirnya dia bunuh diri," kata Ting Hong dengan muram.

"Tapi Hay-pangcu bukan orang yang mau bertindak demikian," kata Coh Liu-hiang tegas. "Dimana Ci Hong, ingin kutanya dia?"

"Hari ini dia tidak bertugas, saat ini sedang istirahat di dek bawah," jawab Ting Hong.

"Mari kita cari dia," ajak Coh Liu-hiang.

00ooo00

Dek kapal itu tidak terlalu luas, belasan orang berjubel di suatu ruanngan,dengan sendirinya keadaannya kacau balau tidak teratur kotor dan berbau.

Tempat tidur C i Hong adalah ruangan ketiga pada deretan sebelah kanan, orangnya sedang berbaring di situ, selimut menutupi kepalanya, tapi kedua kaki terjulur keluar, malahan sepatunya juga tidak dibuka, sungguh aneh cara tidurnya ini. Agaknya saking lelahnya, begitu menjatuhkan diri di ranjang terus terpulas sehingga sepatu pun tidak keburu dilepas.

Loh Kiat juga berdiri di situ dan tidak tidur, demi mendengar Ci Hong yang dicari, segera ia berteriak untuk membangunkan kawannya itu.

Sampai sekian lama Ci Hong tetap diam saja, Loh Kiat menjadi gregetan, ia lantas mengguncang-guncang badan sang kawan, tapi sebegitu jauh tidur Ci Hong nyenyak sekali.

Loh Kiat menyengir, katanya, "Kalau sudah minum arak, tidur orang ini lantas seperti babi mampus."

Thio Sam melirik Coh Liu-hiang sekejap, katanya dengan tertawa, "Penyakit orang ini rupanya tidak banyak berbeda dengan Siau Oh."

Tapi tertawanya mendadak jadi membeku ketika Loh Kiat menyingkap selimut yang menutupi kepala Ci Hong.

Tampak Ci Hong telentang di tempat tidur dengan sangat tenang, namun air mukanya sangat menakutkan. Keadaannya serupa dengan mayat yang mereka temui di depan pintu kabin.

Kaki Loh Kiat terasa lemas dan tidak sangup berdiri lagi,"bruk", ia jatuh terduduk.

Siapa pun dapat melihat bahwa orang yang telentang di tempat tidur itu bukan lagi orang hidup.

Cepat Coh Liu-hiang melompat maju, segera ia menyingkap leher baju Ci Hong. benar saja, di depan dadanya terdapat sebuah cap tangan warna merah.

Bekas telapak tangan kiri.

Jelas Ci Hong juga telah terbunuh, menjadi korban pukulan maut pembunuh gelap itu.

"Inilah Cu-seh-ciang!" seru Ting Hong.

Thio Sam meliriknya sekejap dan menjengek, "Tajam be nar padangan Ting-kongcu, agaknya engkau juga pernah berlatih

Cu-seh-ciang."

Sinar mata Coh Liu-hiang tampak gemerdep. katanya kemudian, "Entah siapakah yang datang ke sini tadi?"

Loh Kiat tampak berkeringat dingin, jawabnya gemetar, "Aku.... aku baru saja turun ke sini, waktu itu Ci Hong sudah.... sudah berada di sini dan tidur. Orang yang bekerja kasar seperti kami, bila sudah terpulas memang sukar dibangunkan."

Apa yang dikatakan Loh Kiat memang benar, Thio Sam membangunkan kesembilan orang lain yang tidur nyenyak dan ditanyai, ternyata tiada seorang pun yang tahu ada orang luar masuk ke situ.

"Tapi baru saja kan Ting-kongcu datang ke sini untuk menanyai Ci Hong, masa kalian juga tidak melihatnya?" tanya Coh Liu-hiang dengan hambar.

Namun para kelasi itu hanya menggeleng kepala. Sikap Ting Hong tetap tenang, katanya, "Tadi aku memang pernah datang kemari, tapi waktu itu Ci Hong masih hidup, ketika kutanyai dia. nona Kim juga hadir di sini, dia bisa menjadi saksi." Lalu ia menyambung pula, "Habis itu lantas aku menuju ke kamar makan untuk menanyai keenam orang yang pagi tadi bertugas di geladak, barulah kucari Coh-hiangswe dan Thio-heng, semua ini berlangsung tidak lebih dari setengah jam. "

"Dan dimanakah nona Kim sekarang?" tanya Thio Sam. "Nona Kim berpisah denganku di tangga geladak sana, dia ingin mencari Oh-heng, Kau-heng dan Kongsun-siansing, entah sudah bertemu belum?" tutur Ting Hong.

Coh Liu-hiang berpikir sejenak, katanya kemudian, "Dimanakah letak kamar makanitu?"

00ooo00

Kamar makan yang dimaksud, terletak di samping dapur, tidak luas, hanya dua meja saja sudah hampir memenuhi ruangan itu. Rupanya tidak cuma soal tidur saja sangat sederhana, cara makan kaum kelasi juga sangat bersahaja.

Di atas meja makan tampak tiga buah mangkuk besar, satu mangkuk berisi Ang-sio-bak, daging babi masak saus kecap. Semangkuk lagi adalah ikan goreng sayur, mangkuk yang ketiga adalah kuah yang warnanya mirip air cuci piring.

Gentong nasinya sangat besar. Rupanya soal makan di kapal memang tiada pembatasan. Maklum memerlukan tenaga kasar yang bekerja keras, maka syarat utama harus memberi makan sekenyang-kenyangnya.

Sekarang isi mangkuk, yaitu lauk-pauknya, hanya tersisa sebagian saja, isi gentong nasi juga hampir kosong.

Keenam orang yang sedang makan, dua mendekap di meja, dua lagi rebah di samping kursi, dua orang yang lain menggeletak di dekat pintu, semuanya sudah menjadi mayat!

Luka yang mengakibatkan kematian mereka pun serupa, yaitu bekas telapak tangan warna merah.

Kembali korban Cu-seh-ciang!

Kedua orang yang mendekap di meja mati paling dulu, dua orang lagi tampaknya baru saja berdiri lantas dipukul terkapar di samping kursi, dua orang terakhir sempat berlari ke pintu, tapi sebelum keluar mereka pun terpukul binasa.

Keenam orang ini terbunuh dalam waktu sekejap saja.

Thio Sam menggreget, ucupnya gemas, "Cepat amat kerja pembunuh ini."

"Jika demikian, tampaknya Hay-pangcu juga lebih banyak celaka dari pada selamatnya," ujar Coh Liu-hiang dengan menghela napas menyesal.

Ting Hong juga menghela napas panjang, ucapnya, "Betul, saat Hay-pangcu diserang, bisa jadi Ci Hong dan keenam orang ini menyaksikan, pembunuh ini terpaksa harus membunuh mereka pula untuk menghapus saksi." Dia menggeleng, lalu berkata pula dengan pedih, "Bilamana tadi mau menceritakan rahasianya mungkin mereka takkan mengalami nasib malang begini. Entah cara bagaimana si pembunuh itu dapat membuat orang-orang ini tutup mulut rapat?"

"Mungkin mereka tidak sempat berbicara," dengus Thio Sam sambil melirik Ting Hong, lalu katanya pula, "Begitu Ting-heng menanyai mereka segera terbunuh, apakah tidak sangat kebetulan sekali?"

Namun Ting Hong tetap tenang saja, ucapnya dengan sedih, "Ya, jika aku tidak menanyai mereka, mungkin takkan mati secepat ini... apa yang terjadi ini hanya berlangsung kurang dari setengah jam, dalam waktu sesingkat ini, siapa gerangan yang mampu rurun tangan keji secepat ini?"

"Hm, kukira setiap orang dapat berbuat," jengek Thio Sam.

Gemerdep sinar mata Ting Hong, katanya, "Dalam waktu setengah jam ini, apakah kalian pernah melihat Kongsun Jiat-ih

dan Kau Cu-tiang?

00ooo00
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar