Legenda Pulau Kelelawar Bab 01: Kehidupan di Atas Air

Bab 01: Kehidupan di Atas Air

Senja, sang surya yang hampir terbenam masih menyinari air sungai yang mendampar. Di teluk sungai itu berlabuh lima kapal layar, di atas kapal tampak mengepul asap dapur sehingga suasana mirip sebuah perkampungan kecil di atas sungai.

Di antara kapal-kapal layar itu ada sebuah yang bukan cuma lantaran kapal ini masih baru, tapi karena pada jendela kapal itu terpasang kerai lidi yang setengah tergulung hingga sinar matahari senja itu dapat menembus ke dalam kabin. tertampak seorang nenek beruban duduk tenang di dalam kabin.

Air muka si nenek tiada menampilkan sesuatu perasaan, tetapi berduduk dengan tenang dan tidak bergerak. Dipandang dan jauh kelihatannya seperti patung.

Perawakannya kurus kecil, tapi kelihatan keren. Siapa pun kalau berhadapan dengannya. bicara saja pasti tak berani keras.

Nenek itu sudah cukup menarik perhatian orang, apalagi di sampingnya ada dua anak perempuan yang sangat cantik, seorang lemah lembut dan selalu menundukkan kepala seperti malu melihat orang yang tak dikenalnya. Seorang lagi tampak gagah, jika orang lain memandangnya sekejap, sedikitnya dia akan melototi orang dua kejap.

Kapal yang baru, nenek yang buruk rupa, gadis yang cantik... semua mi sangat menonjol. Dari jauh Coh Liu-hiang sudah dapai melihatnya.

Waktu ia ingin lebih mendekat lagi, cepat Oh Thi-hoa menariknya sambil berkata. "Apakah kau pernah melihat Koh-bwe Taysu?"

"Empat tahun yang lalu pernah kulihat dia satu kali," jawab Coh Liu-hiang. "Waktu itu aku mengiringi Thiam-ji (salah seorang pacarnya) pesiar ke Hoa-san dan kulihat dari kejauhan."

"Dan kau masih ingat mukanya?"

"Kan sudah kukatakan sendiri, barang siapa pernah kulihat satu kali, selama hidup pasti takkan lupa " kata Coh Liu-hiang.

"Jika begitu, coba kau pandang lagi lebih cermat, yang duduk di haluan kapal itu dia atau bukan?"

Coh Liu-hiang meraba hidung, katanya sambil menyengir, "Wah, aku menjadi sangsi terhadap mataku sendiri."

"Hidungmu ada cirinya, apa sekarang matamu juga ada cirinya? Jika betul demikian, kabar baik juga bagiku." kata Oh Thi-hoa berseloroh demi melihat Coh Liu-hiang hanya memandang saja ke arah kapal baru itu tanpa memberi komentar apa-apa.

Bahwa hidung Coh Liu-hiang memang ciri, yakni selalu buntu seperti orang pilek, hal ini selalu menjadi bulan-bulanan Oh Thi-hoa bilamana mereka saling mencemoohkan. Sebab bagi Oh Thi-hoa sedikitnya ia merasa dirinya masih ada sesuatu yang lebih unggul daripada Coh Liu-hiang.

Coh Liu-hiang tampak termenung, lalu katanya. "Kukira Koh-bwe-Taysu belum pasti benar-benar Hoan-siok, bisa jadi dia cuma ingin mengelabui mata telinga orang saja."

"Untuk apa mengelabui mata telinga orang?" tanya Oh Thi hoa.

"Bahwa Koh-bwe Taysu turun gunung, ini jelas karena ada urusan penting. Padahal kau pun tahu watak Koh-bwe Taysu, selama hidup pernahkah dia takut kepada siapa pun? Dia tidak seperti kau, seperti malu dilihat orang,"

Coh Liu-hiang tidak dapat bicara lagi. Dia pandang pula kapal baru itu, dilihatnya gadis jelita di samping si nenek tadi.

Hah, tidak tersangka Ko A-lam tetap seperti dulu, belum tambah tua, malahan kelihatan lebih muda, agaknya orang yang selalu riang gembira memang lebih awet muda."

"Dalam pandanganku, hakikatnya dia mirip seorang nenek. kukira matamu benar-benar sudah cacat," ujar Oh Thi-hoa.

"Tapi hidungku sekarang menjadi tajam rupanya, sebab terendus olehku ada bau cuka di sini," demikian Coh Liu-hiang balas berolok-olok.

Pada saat itulah, tiba-tiba terlihat sebuah perahu cepat meluncur tiba. Di atas perahu ada empat orang, dua orang mendayung, dua orang lagi berdiri di haluan perahu. Meski cuma dua orang yang mendayung, namun perahu itu laju secepat terbang. Hanya sekejap saja sudah meluncur masuk teluk sungai itu.

Si nenek tadi masih duduk di tempatnya, tangan kanan memegang tongkat. tangan kiri tersembunyi di balik lengan baju. Wajahnya yang kurus itu penuh codet, sebelah kupingnya juga hilang sebagian, matanya juga buta sebelah, sisa satu mata tampak setengah meram setengah melek, sinar matanya mencorong tajam sehingga siapa pun tak berani beradu pandang dengannya.

Salah seorang lelaki di perahu itu cepat memberi hormat, lalu melompat ke atas kapal Koh-bwe Taysu.

Meski hidung Coh Liu-hiang kurang tajam, namun Thian cukup adil, sebagai kompensasi hidungnya itu, Thian mengaruniakan dia sepasang mata dan sepasang telinga yang tajam.

Biarpun dia berdiri di kejauhan tapi dapat dilihatnya muka lelaki itu. ada tanda-tanda orang yang senantiasa hidup di air, dia dapat berdiri dengan enteng di atas perahu yang naik turun terdampar ombak, apalagi setelah melihat lompatannva yang enteng, jelas Ginkangnya cukup kuat.

Coh Liu-hiang juga dapat mendengar ucapan lelaki itu setelah melompat ke atas kapal. katanya, "Apakah kedatangan Lo-thay-thay (nyonya tua) ini atas undangan, kami mendapat perintah agar menyambut di sini...." Sambil bicara, ia pun melangkah ke ruangan kabin, tapi baru saja dia berucap "sini". mendadak tongkat Koh-bwe-Taysu menutul pelan. kontan tubuh lelaki itu mencelat ke belakang dan kecebur ke sungai.

Ketiga orang yang masih berada di perahu tadi sama pucat, salah seorang yang mendayung serentak berdiri. Lelaki satunya lagi yang berdiri di haluan lantas berucap, "Kami diperintahkan menyambut kedatangan kalian, masa kami salah sasaran?"

Belum habis ucapannya. sekonyong-konyong setitik sinar berkelebat. kupingnya terasa sakit, ia coba meraba telinganya, seketika mukanya tambah pucat. Kiranya daun kupingnya telah hilang, hanya dalam sekelebatan sinar pedang. Tiada nampak seorang pun di depannya kecuali si nona baju hijau di atas kapal seperti baru saja memasukkan pedang ke sarungnya, malahan kedengaran pula dia menjengek pelan.

Koh-bwe Taysu juga tetap duduk tenang di tempatnya, si nona baju ungu di sebelahnya juga sedang membaca kitab dengan menunduk. mengangkat kepala saja sama sekali tidak.

Di atas kapal. asap dupa wangi tampak mengepul tenang seperti tak pernah terjadi apapun. Sedangkan perahu tadi sudah meluncur pergi terlebih cepat daripada datangnya, agaknya penumpangnya menjadi ketakutan.

Oh Thi-hoa menggeleng, gumamnya. "Sudah lanjut usia masih begitu keras."

"Ini namanya watak jahe. makin tua makin pedas," ujar Coh Liu-hiang dengan tersenyum.

"Tapi berlabuhnya kapal Koh-bwe Taysu di sini jelas karena sudah ada janji dengan orang-orang berbaju hitam itu." kata Oh thi-hoa.

"Ehm. tampaknya begitu." Coh Liu-hiang mengangguk. "Orang datang menyambut, kenapa malah melabraknya?"

"Tentu disebabkan orang-orang itu tidak cukuP menghormatinya," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Meski seorang beribadat tinggi, tapi Kow-Bwe-taysu paling tidak tahan bila orang kurang hormat padanya."

Setiap orang Kangouw kenal watak Koh-bwe Taysu yang keras itu, tapi orang-orang itu justru sengaja mencari penyakit."

"Ini pun disebabkan mereka tidak tahu bahwa orang yang mereka temui itu ialah Koh-bwe Taysu."

"Aneh, jika orang-orang itu tidak tahu dengan siapa mereka berhadapan, mengapa mereka bisa mengadakan janji pertemuan di sini?"

"Aku kan bukan malaikat dewata. juga bukan cacing pita di perut orang, darimana kutahu urusan mereka. Kau tanya padaku. lalu harus kutanya siapa?"

Oh Thi-hoa mencibir. katanya. "Orang suka bilang Coh Liu-hiang serba tahu. Kiranya ada juga yang tidak diketahui."

Coh Liu-hiang pura-pura tidak mendengar omelan itu. katanya kemudian dengan pelan, "Beberapa tahun tidak bertemu. tak tersangka Ko A-lam sudah bertambah cantik, ilmu pedangnya juga tambah tinggi. Beruntunglah siapa yang dapat memperistri anak perempuan yang baik ini."

Mendadak Oh Thi-hoa menarik muka, katanya. "Jika kau suka padanya, biarlah kuberikan padamu saja"

"Ech, memangnya dia milikmu? Hahaha. kiranya kau...." ucapan Coh Liu-hiang berhenti mendadak. Sebab diketahuinya perahu tadi kini telah meluncur pula secepat panah.

Di haluan itu berdiri seorang pemuda jangkung. perahu itu meluncur melawan arus, tapi dia dapat berdiri dengan tegak seperti terpaku di haluan, bergerak sedikit saja tidak.

"Kiranya mereka lari pergi minta bala bantuan." kata Oh Thi-hoa. "Tampaknya tidak lemah kekuatan kaki orang ini."

Sementara itu kecepatan perahu tadi sudah dikurangi, karena jaraknya sudah dekat.

Terlihat pemuda ini berbaju tipis dengan lengan baju komprang, sikapnya gagah, muka juga tampan, senyum selalu menghiasi mukanya. dari jauh ia memberi hormat sambil berseru, "Apakah Na-thayhujin (nyonya besar Na) berada di kapal ini?"

Suaranya tidak keras, tapi cukup nyaring, sehingga Coh Liu-hiang dapat mendengarnya dengan jelas. Koh-bwe Taysu masih tetap duduk tenang di kursinya, dia hanya memberi isyarat sedikit kepada Ko A-lam yang berbaju hijau ketat itu. Lalu Ko A-lam berjalan pelan ke haluan kapal dan mengamat-amati pemuda itu sejenak, lalu berkata dengan ketus, "Siapa kau? Mau apa?"

"Teecu Ting Hong." jawab pemuda tadi dengan mengiring tawa. "Khusus datang menyambut tamu. Tadi bawahan berlaku kurang sopan, mohon Na-thayhujin dan kedua nona suka memberi maaf".

Bukan saja cara bicaranya sopan, juga sikapnya ramah Mau tak mau sikap Ko A-lam berubah menjadi halus juga.

Pemuda yang mengaku bernama Ting Hong itu lantas bicara pula beberapa kata dan dijawab oleh Ko A-lam. Cuma percakapan mereka ini dilakukan dengan suara rendah sehingga tak terdengar oleh Coh Liu-hiang.

Lalu Ting Hong tampak naik ke atas kapal dan memberi hormat kepada Koh-bwe Taysu. Nikoh tua itu tampak mengangguk-angguk. kapal itu lantas mengangkat sauh dan mulai berlayar pergi.

"Heran. mengapa Koh-bwe Taysu bisa berubah menjadi Na-thayhujin, sungguh aneh." gumam Oh Thi-hoa sambil ketuk-ketuk hidung sendiri dengan ujung jari.

Coh Liu-hiang termenung, katanya, "Melihat gelagatnya, orang-orang berbaju hitam itu memang sudah berjanji dengan Na-thayhujin. tapi entah mengapa Koh-bwe Taysu memalsukan nama Na-thayhujin dan datang memenuhi janji pertemuan ini."

"Untuk apa Koh-bwe Taysu menyamar sebagai orang lain, memangnya nama sendiri kurang cemerlang?" ujar Oh thi-hoa.

Bisa jadi lantaran namanya terlau tenar, makanya dia perlu memalsukan nama orang lain," kata Coh Liu-hiang. Tapi kalau menurut watak Koh-bwe-Taysu hingga dia sudi memalsukan nama orang lain, maka dapat dibayangkan persoalan ini pasti lain daripada yang lain."

"Sungguh aku tidak paham ada urusan besar apakah dia?" ucap Oh Thi-hoa sambil berkerut kening.

Sinar mata Coh Liu-hiang gemerlap, tiba-tiba ia tertawa katanya, "Mungkin kedatangannya ini adalah untuk mencari jodoh bagi Ko A-lam. Kau lihat Ting-kongcu tadi gagah dan cakap, ilmu silatnya juga tidak lemah, kan setimpal mendapatkan istri pendekar pedang seperti Ko A-lam?"

Mendadak Oh Thi-hoa menarik muka. ucapnya dengan menyengir, "Hehe, lucu, sungguh lucu, kau keparat kutu busuk ini memang lucu!"

Kehidupan di atas air juga ada tata caranya sendiri. Malam adalah waktunya mereka istirahat. minum arak. mengobrol dan menambal jala, asalkan serba kecukupan. jarang ada yang mau berlayar di waktu malam, sebab itulah agak sukar menyewa perahu bila hari sudah gelap.

Akan tetapi Coh Liu-hiang tentu mempunyai cara sendiri Baginya hampir tiada sesuatu yang sukar di dunia ini. apalagi cuma menyewa sebuah perahu.

Waktu Coh Liu-hiang menyewa sebuah perahu itulah. dengan gerak cepat Oh Thi-hoa pergi membeli satu poci arak.

Bagi Oh Thi-hoa, boleh tidak punya rumah. tidak perlu duit. tidak punya pacar. bahkan tidak punya baju juga tak menjadi soal, tapi sekali-kali tidak boleh tidak punya sahabat dan tidak punya arak.

Malam ini sangat sunyi.juga sangat gelap.

Cuaca di permukaan sungai tampak remang-remang, entah asap, entah kabut. Dipandang dari jauh kapal yang ditumpangi Koh-Bwe Taysu itu hanya bayangan layarnya. Namun kapal itu tetap melaju pesat, perahu sewaan Coh Liu-hiang harus menggunakan kecepatan penuh barulah dapat mengikuti jejaknya.

Oh Thi-hoa nongkrong di haluan perahu, tanpa berkedip ia mengawasi kapal layar di depan sambil menenggak arak, sudah cukup lama ia tidak bersuara.

Lama juga Coh Liu-hiang memperhatikan kawannya ini. tiba-tiba ia bergumam, "Sungguh aneh. orang yang biasanya suka omong. mengapa sekarang satu patah kata saja tidak terdengar? Jangan-jangan menanggung pikiran apa-apa ?"

Oh Thi-hoa pura-pura tidak mendengar. tapi akhinya tidak tahan. serunya. "Aku sangat gembira, siapa bilang aku menanggung pikiran apa-apa."

"Kalau tidak menanggung sesuatu pikiran. mengapa diam saja tanpa bicara?"

"Mulutku lagi sibuk minum arak. mana ada peluang untuk bicara. masa kau tidak lihat?" Lalu ia menenggak seteguk arak-nya dan bergumam pula, "Aneh juga, orang ini biasanya kalau melihat arak lantas ditubruknya, tapi sekarang satu teguk saja tidak minum, jangan-jangan dia menanggung suatu penyakit."

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Kan mulutku lagi sibuk bicara, darimana ada peluang untuk minum arak?"

Mendadak Oh Thi-hoa menaruh poci araknya, ia menoleh dan melototi Coh Liu-hiang. katanya kemudian, "Sesungguhnya kau ingin omong apa? Bicaralah!"

"Suatu hari, kau mendapatkan dua guci arak simpanan lama, lalu kau pergi mencari si jaring kilat Thio Sam, sebab ikan panggangnya paling sedap. paling cocok untuk teman minum arak.... begitu bukan?"

"Ya,"jawab Oh Thi-hoa

"Lalu kalian duduk di haluan perahu sambil makan ikan panggang dan minum arak. Tiba-tiba sebuah kapal meluncur lewat dengan cepat, ada tiga penumpang kapal itu. seorang di antaranya sangat hapal bagimu. betul tidak?"

"Ya," kembali Oh Thi-hoa menjawab singkat.

"Orang yang kau kenal itu ternyata Ko A-lam adanya, sudah lama sekali kau tidak melihatnya, maka kau ingin menyapanya, siapa tahu dia sama sekali tidak menggubris dirimu kau menggapainya, dia juga pura-pura tidak melihat hendak menyusulnya untuk menanyai dia. tapi kau juga tidak berani. sebab kau lihat Koh-bwe Taysu juga berada di kapal itu. Kau tidak takut pada langit. tidak gentar pada bumi, tapi Koh bwe Taysu cukup membuat ciut nyalimu.... betul tidak?"

Sekali ini kata "ya" saja malas diucapkan Oh Thi-hoa, hanya menenggak arak.

"Padahal sudah lebih 20 tahun Koh-bwe Taysu tidak per-nah keluar, sekali ini dia turun gunung, bahkan berdandan sebagai orang preman, hal ini telah membuat kau terkejut. makanya cepat-cepat kau mencari aku..,. begitu bukan?"

Mendadak Oh Thi-hoa melonjak bangun, teriaknya sambil mendelik. "Semua ini aku yang bercerita padamu, betul tidak?"

"Betul." jawab Coh Liu-hiang.

"Jika betul, kenapa kau tanya lagi? Kau brengsek, bukan?"

Coh Liu-hiang tertawa, ucapnya, "Kuulangi lagi ceritamu itu, maksudku hanya ingin mengingatkan beberapa hal padamu."

"Hal apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Waktu Ko A-lam ingin kawin denganmu, apapun juga kau menolaknya. Sekarang dia tidak menggubrismu. Ini kan setimpal dan adil? hanya saja...."

"Hanya saja lelaki memang tidak tahu diri. Oh Thi-hoa lebih-lebih seorang yang tidak punya harga diri. selalu menganggap perempuan yang sukar dimiliki adalah perempuan yang paling baik.... begitu bukan maksudmu?"

"Ya, memang begitulah," sahut Coh Liu-hiang tertawa.

Oh Thi-hoa menarik muka pula, katanya. "Kata-kata demikian entah sudah berapa puluh kali kudengar dari mulutmu. aku sudah bosan dan tidak perlu kau ingatkan lagi."

"Tapi yang ingin kuingatkan padamu bukanlah hal ini," ujar Coh Liu-hiang

"Ooo.... memangnya hal apa?" tanya Oh Thi-hoa.

"Meski kau ini lelaki bernilai rendah, Namun Ko A-lam tetap suka padamu, sebabnya dia tidak mau gubris padamu adalah karena sekarang dia harus melakukan sesuatu urusan yang sangat berbahaya, dia tidak ingin kau mengetahuinya."

"Sebab apa? tanya Oh Thi-hoa.

"Sebab meski kau tak memahami dia, tapi dia cukup memaklumi dirimu. Jika kau tahu dia terancam bahaya, dengan sendirinva kau akan tampil ke muka membelanya, makanya dia lebih suka dimarahi daripada kau menyerempet bahaya baginya "

Oh thi-hoa melenggong, katanya kemudian dengan tergagap, "Jadi... jadi sikapnya itu adalah demi kebaikanku?"

"Sudah tentu karena untuk kebaikanmu." jawab Coh liu-hiang.

"Sebaliknya bagaimana denganmu? Apa yang telah kau lakukan baginya?"

Ia mendengus. lalu menyambung pula, "Hm... kau hanya suka marah padanya, hanya bisa duduk di sini minum arak sendiri, kau berharap lekas mabuk hingga lupa daratan. lalu tidak perlu tahu lagi apa yang terjadi atas dirinya."

Mendadak Oh Thi-hoa melompat bangun. kontan ia gampar muka sendiri satu kali, poci arak lantas dibuangnya ke sungai dengan muka merah ia berteriak. "Betul, ucapanmu si kutu busuk tua ini memang betul. Akulah yang salah, hakikatnya aku ini memang telur busuk. Sudah tahu bakal terjadi peristiwa besar di depan mata, biarpun tenggorokanku kering dan mati kehausan juga tidak boleh minum arak."

"Nah, beginilah baru anak yang baik." ucap Coh Liu-hiang dengan tersenyum. "Pantas Ko A-lam suka padamu. jika dia tahu sekarang kau anti arak. tentu dia akan kegirangan."

"Siapa bilang aku anti arak?" teriak Oh Thi-hoa dengan mendelik. "Aku cuma bilang. selama beberapa hari ini akan kukurangi minum arak dan tak pernah menyatakan anti arak..... kepalaku boleh dipenggal, darahku boleh mengalir. tapi arak tetap harus kuminum."

"Haha, kau ini meski malas lagi kotor, juga gemar minum arak dan suka berkelahi, tapi kau tetap orang yang menyenangkan. Bila aku perempuan, tentu aku pun suka padamu."

Oh Thi-hoa tertawa, katanya, "Jika kau perempuan dan penujui diriku, sudah, tentu aku sudah lari terbirit-birit sejak tadi, mana bisa duduk minum arak di sini?"

Selama hidup ini. entah sudah berapa kali Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa bersama-sama menghadapi bahaya maut.

Setiap kali mereka mengetahui bakal terjadi urusan besar, pasti mereka berusaha mempertahankan kejernihan pikiran. sedapatnya mereka rileks dan bergembira.

Bahwa mereka dapat hidup langgeng hingga sekarang. bisa jadi lantaran mereka senantiasa hidup gembira ria. setiap saat pun dapat tertawa.

Entah sejak kapan, laju kapal layar di depan mulai lambat jarak kedua kapal semakin dekat, kabut juga tambah tebal, bentuk kapal besar itu samar-samar sudah kelihatan.

Apakah penumpang kapal itupun dapat melihat perahu kecil ini?

Selagi Coh Liu-hiang hendak menyuruh tukang perahu memperlambat laju perahunya agar jarak keduanya ditarik lebih jauh, tiba-tiba kapal di depan mendadak berhenti, bahkan tampaknya seperti mulai tenggelam ke bawah.

Jelas Oh Thi-hoa juga melihatnya. katanya cepat, "He, mengapa lampu di kapal sana semakin rendah ke bawah? Apakah kapalnya tenggelam?"

"Tampaknya memang begitu." jawab Coh Liu-hiang.

Sementara itu jarak dengan kapal itu tinggal lima-enam tombak saja jauhnya, sekali lompat dan melayang ke depan, Coh Liu-hiang sudah berada di haluan kapal itu. Badan kapal sudah hilang dan miring, kabin kapal sudah kemasukan air.

Suasana di atas kapal sunyi senyap. Koh-bwe Taysu Ko A-lam dan teman gadisnya yang malu-malu itu, si pemuda baju hitam Ting Hong serta beberapa pendayung perahu tadi, semua sudah menghilang entah kemana.

"Kapal ini jelas masih baru, mengapa bisa tenggelam mendadak?" ujar Oh Thi-hoa. "Lantas kemanakah orang-orang tadi? Memangnya sudah ditelan setan air seluruhnya?"

Maksudnya ingin berkelakar, tapi belum habis ucapannya ia sendiri merasa merinding, tanpa terasa keringat dingin pun membasahi tangannya.

Ia menarik napas dalam. tiba-tiba dirasakan di antara angin sungai yang meniup semilir itu membawa semacam bau sengak yang aneh. Ia menjadi heran dan bertanya, "He. bau apakah ini? Apakah kau......."

Hakikatnya Coh Liu-hiang tak mencium bau apa-apa, maklum hidungnya memang kurang tajam. Tapi segera dilihatnya dari hulu sungai sana mengambang tiba selapis cairan kehitam-hitaman yang mengkilap, dalam waktu singkat saja cairan hitam yang mengambang di permukaan air sungai itu telah mengurung rapat perahu serta layar yang sedang tenggelam.

Suara ucapan Oh Thi-hoa tadipun terputus oleh bunyi mendesing anak panah yang memecah angkasa, tertampak sinar api berkelebat. sebatang panah berapi terbidik dari jauh terus menyemplung ke tengah sungai.

Menyusul lantas terdengarlah suara "blung" yang keras, seketika seluruh permukaan sungai terjilat api dan berkobar dengan hebat.

Hanya dalam sekejap saja Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa bersama perahunya sudah ditelan oleh lautan api.

Air terasa panas, Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa terendam di dalam air, dahi mereka penuh butiran keringat. Mereka tidak merasa susah, sebaliknya merasa segar.

Sebab, tempat mereka berada bukanlah sungai yang terbakar melainkan di sebuah bak mandi yang besar. Rupanya mereka sedang mandi uap.

Oh Thi-hoa membasahi handuknya. setelah diperas kering, handuk lantas dikerudungkan di atas kepala, lalu ia memejamkan mata dan menghela napas, gumamnya. "Ehmm, sama-sama berendam, jelas rasanya berbeda. berendam di situ memang berlainan dengan berendam di sungai. Sama halnya dengan manusia, sama-sama manusia, tapi ada yang pintar dan ada yang bodoh."

Coh Liu-hiang juga sedang memejamkan mata dengan rileks. Ia bertanya, "Siapa yang bodoh?"

"Kau pintar, aku bodoh," kata Oh Thi-hoa.

"Eh, mengapa kau jadi rendah hati?" ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa.

"Sebenarnya aku pun tidak mau mengaku bodoh. tapi apa daya, kenyataan memang demikian." kata Oh Thi-hoa dengan menyengir.

"Coba, kalau tiada kau, mungkin aku sudah terbakar menjadi abu, mana bisa menikmati mandi uap yang menyenangkan ini. Cuma sayang, tidak ada gadis pijatnya."

Sejenak kemudian ia menghela napas dan menyambung, "Terus terang, waktu itu aku benar-benar bingung, aku tidak habis mengerti, mengapa air sungai bisa terbakar, lebih-lebih tak terpikir olehku bahwa di bawah api masih ada air sungai kalau tidak ditarik olehmu, sungguh aku tidak berani terjun ke bawah."

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Sebelum api berkobar, bukankah kau mengendus scmacam bau sengak yang aneh?"

"Betul," kata Oh Thi-hoa. "Waktu itu kulupa hidungmu kurang tajam, malahan kutanya padamu. waktu kuingat pertanyaan itu hakikatnya percuma, tahu-tahu api sudah berkobar."

"Apakah kau tahu bau apakah itu?"

"Jika tahu, orang yang punya hidung malahan tanya kepa-da orang vang tak punya hidung. sungguh aneh, sungguh lucu."

Oh Thi-hoa tertawa, katanya. "Tadi kau telah menyelamatkan aku sehingga tidak mati terbakar. tapi aku tidak berterimakasih padamu. Betapa sering kau menyelamatkan aku, toh tetap akan kuhajar kau. Supaya aku, tidak penasaran. kau harus memberitahukan padaku bau apakah tadi?"

"Darimana kutahu bau apa?" uJar Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Cuma meski aku tak dapat mencium baunya, namun sudah kulihat jelas."

"Melihat apa?" tanya Oh Thi-hoa. "Minyak," jawab Coh Liu-hiang.

"Minyak? Minyak apa?" tanya Oh Thi-hoa pula.

"Minyak apa, aku sendiri pun tidak jelas. cuma pernah kudengar cerita orang bahwa di sekitar daerah Tibet, di bawah tanah terdapat semacam air hitam yang sangat mudah menyala (minyak bumi zaman ini). Sekali terbakar sukar dipadamkan."

"Ya, betul, aku pun merasa bau itu memang berbau sengaknya minyak," kata Oh Thi-hoa.

"Tapi di Sungai Panjang (Tiangkang) ini masa terdapat minyak hitam begitu?"

"Sudah tentu minyak itu tidak muncul sendiri, tapi dituang oleh orang," kata Coh Liu-hiang.

"Barang cair hitam itu memang aneh, bila dituang ke dalam air, pasti tetap mengambang di atas permukaan air maka tetap dapat dinyalakan Tapi mereka lupa kalau minyak mengambang di permukaan air dan terbakar, air di bawahnya tidak ikut terbakar, asalkan kau berani terjun ke tengah lautan api. tentu pula kau dapat selulup ke dalam air."

"Wah. tidaklah mudah bila orang ingin membakar mati kutu busuk tua macam kau ini." kata Oh Thi-hoa dengan tertawa.

"Tapi orang-orang ini dapat mengangkut minyak hitam jauh dari Tibet sana ke sini serta berani menyalakan api di sungai, suatu tanda mereka bukan orang biasa, tapi punya organisasi yang rapi, besar tenaga dan dananya. pula sangat berani."

"Tapi pada diri bocah she Ting itu tidak kulihat adanya tanda-tanda sebesar itu kepandaiannya." kata Oh Thi-hoa.

"Orang yang membakar mungkin ialah Ting Hong, tapi jelas dia bukan pemimpin komplotan rahasia ini.... mengenai siapa pemimpin mereka, kau pun tidak perlu tanya padaku, sebab aku pun tidak tahu."

Oh Thi hoa tersenyum sejenak, katanya kemudian, "Mereka telah mengetahui kita sedang menguntitnya, maka mereka tidak sayang menenggelamkan kapal yang masih baru itu, tidak segan-segan menyalakan api di sungai untuk membakar mati kita.... sesungguhnya apa kehendak orang-orang ini?"

"Kan sudah kukatakan sejak tadi, ini pasti menyangkut urusan besar yang sangat mengejutkan."

"Namun...... namun Koh-bwe Taysu dan Ko A-lam, apakah mereka pun akan mengalami nasib yang malang?"

"Pasti tidak akan terjadi," kata Coh Liu-hiang.

"Jika demikian, apakah tujuan mereka hanya ingin membawa pergi Koh-bwe Taysu dan Ko A-lam?"

"Ehm. kukira memang demikian."

"Sungguh aneh. Kalau mereka bermaksud jahat terhadap Koh-bwe Taysu, mana bisa Nikoh tua itu ikut pergi bersama mereKa begitu saja? Sebaliknya jika mereka tiada maksud jahat kepada Koh-bwe Taysu, tentunya mereka tidak perlu bertindak misterius ini."

Habis ucapannya ini. lalu ia memejamkan mata seolah tak ingin mendengar lagi tanggapan Coh Liu-hiang. Sebab ia tahu urusan ini tidak mungkin dapat dijawab oleh siapa pun juga.

***

Tempat mandi dimana Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa berendam ini bernama "Siau-yau-ti' (kolam serba nikmat) sebuah tempat mandi uap umum, tarip mandinya tidak murah. tapi berendam di dalam bak mandi besar yang panas memang mempunyai cita rasa tersendiri. Sambil mandi dapat pula mengobrol dengan teman. sebab itulah kaum lelaki di daerah Kangsoh dan Ciatkang, baik kaya maupun miskin, bila sudah makan siang sorenya mereka suka berendam satu dua jam di tempat mandi uap.

Yang berendam di bak mandi raksasa itu tentu saja tidak cuma mereka berdua saja, namun karena panasnya air sehingga uapnya cukup tebal, berhadapan saja hampir-hampir tidak dapat melihat jelas muka masing-masing.

Di pojok bak mandi sebelah sana masih ada dua-tiga orang yang sedang mencuci kaki dan menggosok punggung. Selain itu ada pula seorang yang sudah cukup berendam dan kini sedang mengguyur badan dengan air dingin di tepi sana.

Beberapa orang itu tidak memperhatikan Coh Liu-hiang. sebaliknya Coh Liu-hiang juga tidak memperhatikan mereka.

Di tempat mandi umum begini semuanya buka baju dan telanjang bulat, dalam keadaan bugil demikian tiada perbedaan kelas lagi, apakah keluarga kerajaan, pembesar negeri atau orang ternama, bahkan dengan kaum kuli sekalipun.

Coh Liu-hiang suka berkunjung ke tempat ini, dia merasa, seorang yang telanjang bulat dan berendam di dalam air barulah dapat seluruhnya memahami dirinya sendiri dan mamandang jelas dirinya sendiri.

Banyak juga saudagar besar yang suka berkunjung ke tempat mandi uap begini sambil berunding soal bisnis, sebab mereka pun merasakan bila kedua pihak bertemu dalam keadaan bugil, maka sifat kecurangannya tentu akan banyak berkurang.

Di pojok bak mandi sana ada dua orang sedang bicara deugan bisik-bisik. entah apa yang sedang dipersoalkan. Tapi seorang di antaranya rasanya Coh Liu-hiang sudah pernah kenal cuma seketika tidak ingat siapa dia.

Orang yang mandi air dingin di tepi bak sana sudah selesai, sambil memeras handuknya dia terus keluar. Kedua kaki orang ini sangat panjang dan halus, tapi tubuh bagian atas jelas sangat kencang bahunya juga bidang. Waktu berjalan tampak sempoyongan seakan-akan setiap saat bisa terjatuh.

Tapi sekali pandang saja Coh Liu-hiang lantas tahu Ginkang orang ini sangat tinggi, senjata yang dipakainya tentu juga berbobot berat, jelas orang ini pun seorang tokoh persilatan. Padahal orang yang punya ginkang tinggi. kebanyakan memakai senjata ringan yang mudah dibawa. Malahan ada yang, cuma menggunakan Amgi (senjata rahasia) saja. Orang yang punya ginkang tinggi dan memakai senjata yang berat memang tidak banyak.

Coh Liu-hiang lantas tersenyum, agaknya dia sudah dapat menerka siapakah gerangan orang tadi. Berendam di bak mandi sembari mengawasi gerak-gerik orang lain, menganalisa asal-usul serta menerka kedudukan setiap orang juga salah satu kesenangan bagi orang yang suka berkunjung ke tempat mandi uap ini.

Waktu si kaki panjang tadi baru sampai di ambang pintu mendadak dari luar menerjang masuk satu orang.

Orang yang lari masuk ini kelihatan gugup, seperti diburu setan saja, begitu masuk segera ia terjun ke dalam kolam mandi.

Tentu saja air muncrat dan membasahi muka Oh Thi-hoa. Baru saja Oh Thi-hoa mendelik dan hendak memaki, tiba-tiba ia melihat jelas orang itu, rasa gusarnya seketika berubah gembira, omelnya segera. "Setan alas. kau tidak menjaring ikan di sungai mengapa lari ke sini? Memangnya kau pun ingin menangkap ikan di dalam kolam yang keruh ini?"

"Ya, kukira kau harus hati-hati, jangan sampai ke sana dijaring oleh jaring kilatnya," kata Coh Liu-hiang dengan tertawa.

Kiranya orang yang menerjang masuk itu bukan lain 'si jaring kilat' Thio Sam yang baru saja mereka bicarakan itu.

Thio Sam selain terkenal mahir berenang dan pintar memanggang ikan, pula sangat cerdik dan pandai bicara, pengalaman luas dan kawannya banyak, dengan sendirinya ia pun sangat setia kawan.

Orang yang serba baik ini hanya mempunyai suatu kelemahan. yaitu suka pada mutiara. Bila melihat mutiara yang bagus. maka tangannya lantas gatal. dengan segala daya upaya tentu dia akan berusaha mendapatkannya. Benda-benda berharga lain, seperti emas, perak, batu permata lain tiada sesuatu yang menarik baginya.

Kesukaannya hanya pada mutiara, bila melihat mutiara, sama halnya Oh Thi-hoa melihat arak. Tapi sekarang ketika dia melihat Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa juga berada di situ, rasanya jauh lebih gembira daripada melihat mutiara yang paling bagus. Ia menghela napas lega dan berkata, "O, syukur rupanya rezekiku besar, dimana-mana selalu kutemukan penolong."

Dengan tertawa Oh Thi-hoa mengomel, "Setan alas, melihat tingkahmu ini, jangan-jangan kau bertemu setan?'

Si jaring kilat Thio Sam menghela napas dan menyengir, jawabnya, "Ketemu setan mungkin akan lebih baik, tapi orang yang kutemukan ini terlebih buas daripada setan." "Hah, siapakah dia, bisa lebih buas daripada setan ? Aku jadi ingin melihatnya," ujar Oh Thi-hoa.

"Masa kau...." belum Thio Sam buka suara, mendadak di luar terdengar suara ribut-ribut. Si kaki panjang tadi sudah melangkah keluar pintu. kini mendadak mundur ke dalam lagi.

Terdengar suara serak seorang lelaki sedang berseru, "He, nona, tempat ini tidak pantas didatangi engkau."

"Orang lain boleh datang, mengapa aku tidak boleh? Berdasarkan apa aku tidak boleh datang?" teriak seorang lagi. Suaranya cepat seperti bunyi mitraliur, nyaring dan merdu, seperti seorang perempuan muda.

Terdengar lelaki tadi berkata pula dengan gugup, "Tapi.... tapi tempat ini adalah tempat mandi kaum lelaki, nona mana boleh masuk ke situ?"

"Kau bilang tidak boleh aku justru mau masuk ke sana. harus," kata si nona. Dia mendengus lalu berteriak pula, "Pencuri brengsek, kau lari ke sini dan mengira nona tak berani mengejar? Hm, supaya kau tahu, biarpun kau lari ke neraka juga akan kubekuk kau dari depan Giamlo-ong (raja akhirat)."

Oh Thi-hoa melelet lidah. katanya dengan tertawa, "Wah, nona cilik ini benar-benar sangat buas...." Dia melirik Thio Sam, dilihatnya wajah Thio Sam pucat ketakutan, mendadak si jaring kilat terjun ke dalam kolam mandi terus selulup ke bawah tanpa menghiraukan airnya yang panas mengepul itu.

"Haha, kan ada kami di sini, apa yang kau takuti?" ujar Oh Thi-hoa dengan tertawa. "Tapi kau ternyata lebih suka minum air cuci badan orang banyak."

Coh Liu-hiang tertawa geli, selamanya dia suka bertemu dengan orang yang menarik. Nona cilik di luar itu juga sangat menarik, ia berharap si nona akan menerjang ke dalam.

Tapi masa ada perempuan yang berani menerobos ke kamar mandi yang khusus hanya disediakan untuk kaum lelaki?

Terdengar suara ribut di luar sana semakin keras, si pengurus tempat mandi sedang berteriak-teriak pula, "Jangan, tidak boleh masuk, tidak boleh...."

Belum habis ucapannya. "plak". agaknva orang itu telah digampar satu kali sehingga mulutnya bungkam seketika.

Lalu dari luar menerjang masuk dua orang perempuan.

Sudah tentu suasana menjadi panik. Siapa pun tidak menyangka ada perempuan yang benar-benar berani menerobos ke kamar mandi kaum lelaki. Si kaki panjang tadi segera melompat lagi ke dalam kolam dan berjongkok di situ.

Tertampak usia perempuan pemberani ini masih muda juga sangat cantik, hidungnya mancung. mulutnya kecil. matanya besar dan berkelip-kelip, mungkin bintang-bintang di langit juga tidak seterang kerlipan matanya. Berbaju merah ketat.

Yang hebat ialah kopiahnya yang berwarna keemasan berbentuk mirip mahkota, memakai sabuk emas pula. dipandang sepintas mirip seorang pangeran yang baru pulang dari berburu.

Yang ikut masuk bersama dia adalah seorang genduk berusia empat-lima belas tahun, bermuka bundar. cukup manis bila tertawa.

Coh Liu-hiang saling pandang sekejap dengan Oh Thi-hoa. dalam hati merasa geli. Sebab mereka sudah melihat pada kopiah emas itu tadinya pasti terbingkai satu biji mutiara besar, tapi sekarang mutiara itu sudah hilang. hanya kelihatan bekasnya saja pada kopiah si nona.

Kemanakah mutiaranya? JeIas telah disambar si jaring kilat Thio Sam. Tentu penyakitnya kumat lagi demi melihat mutiara orang yang besar lagi bagus itu.

Padahal si jaring kilat Thio Sam ini tidak cuma mahir berenang dan selulup saja, kungfunya juga tidak lemah. Ginkang dan Am-gi juga terhitung lumayan, tapi mengapa dia ketakutan terhadap si nona cilik ini?

Kedua mata si nona nampak mengerling kesana kemari .setiap lelaki yang berendam di dalam bak dipelototinya, lebih-lebih Oh Thi-hoa, risi dia. Bayangkan, bagaimana rasanya bila seorang lelaki telanjang bulat berendam di dalam air dan dipandang seorang nona cantik....

Air muka si genduk cilik tadi juga berubah merah, ia sembunyi di belakang si nona baju merah. tidak berani memandang ke luar, tapi terkadang ia pun melirik ke arah Coh Liu-hiang.

Tentu saja Coh Liu-hiang merasa senang oleh peristiwa yang aneh dan lucu ini.

Tiba-tiba si nona baju merah berseru. "He, barusan ada seorang lelaki mirip monyet masuk ke sini, apa kau melihatnya?" Semua orang diam saja, tidak ada yang menjawab. Nona baju merah itu melotot katanya pula, "Asalkan kalian memberitahu, tentu akan kuberi hadiah, jika dusta, awas!"

Oh Thi hoa berkedip-kedip. tiba-tiba menanggapi, "Yang nona katakan Apakah orang yang rada-rada mirip monyet?" "Ya, betul, kau melihatnya?" jawab si nona.

Jika orang macam begitu, aku memang melihatnya," ujar Oh Thi-hoa dengan tenang.

Thio Sam yang masih selulup dalam air menjadi berdebar-debar, sungguh ia geregetan, bila mungkin dia akan menjahit mulut Oh

Thi-hoa agar selamanya tak dapat minum arak lagi. Coh Liu-hiang juga merasa geli. Sudah tentu ia tahu Oh Thi-hoa bukan orang yang suka menjual kawan, paling-paling cuma sengaja hendak membikin kapok Thio Sam saja agar berubah sedikit penyakitnya itu.

Tampak mata si nona tadi terbeliak, katanya, "Dimana orangnya? Lekas katakan, akan kuberi persen."

"Persen apa?" tanya Oh Thi-hoa.

Si nona mendengus, mendadak ia melemparkan sepotong benda ke dalam air. Mata Coh Liu-hiang sangat tajam, sekilas dia sudah dapat melihat benda itu adalah sepotong emas. Sungguh bodoh nona cilik ini, sekali lempar lantas memberi persen sepotong emas, jelas asal-usulnya pasti lain daripada yang lain.

Segera OH Thi-hoa menggagapi emas itu dalam air, seperti tak percaya jika emas itu tulen, sengaja mengamati sekian lama, habis itu baru berkata dengan tertawa. 'Terima kasih nona."

"Lantas dimana orangnya?" tanya si nona.

Oh Thi-hoa meraba hidung, jawabnya pelan, "Orangnya ...."

Ia pun tahu saat ini pandangan setiap orang sama tertuju ke arahnya. Setiap orang sama bersikap menghina padanya. demi mendapat persen sepotong emas lantas menjual kawan. betapa rendah perbuatannya ini.

Namun Oh Thi-hoa tetap tenang saja, mukanya tidak merah, hatinya tidak gelisah, perlahan-lahan ia menjulurkan tangan dan menunjuk hidung Coh Liu-hiang sambil berkata dengan tertawa. "Orangnya ialah ini. masa nona tidak melihatnya?"

Tindakan Oh Thi-hoa ini benar-benar di luar dugaan siapa pun juga. Ada yang melengak, ada yang tertawa geli Tentu saja Coh Liu-hiang sendiri menjadi serba runyam.

Si nona baju merah tampak gusar, segera ia membentak. "Kurangajar kau.... kau berani bergurau denganku?"

"Mana Cayhe berani bergurau dengan nona," kata Oh Thi-hoa tertawa. "Nah. silakan nona melihat lebih teliti, orang ini bukankah mirip seekor monyet?.... masa orang yang nona cari bukan dia?"

Si nona memelototi Coh Liu-hiang sekejap. melihat sikapnya yang serba susah itu, tanpa tarasa timbul juga rasa gelinya. Si genduk cilik tadi sudah tidak tahan geli. sambil mendekap mulut, ia tertawa cekikikan.

Oh Thi-hoa tambah gembira. katanya pula dengan tertawa. "Di sini hanya dia saja yang mirip monyet, jika yang dicari nona bukan dia, maka cayhe tak tau lagi siapa orang yang kau cari."

Si nona baju merah menarik muka, seketika ia menjadi bingung juga entah cara bagaimana harus bertindak terhadap orang ini. Betapa pun ia masih muda belia, lelaki yang berkulit muka setebal ini belum pernah dilihatnya.

Si genduk cilik tadi melirik sekejap pula ke arah Coh Liu-hiang, tiba-tiba ia berkata sambil menahan tawa, "Siocia, mari kita pergi saja." "Mendadak si nona mendengus, teriaknya, "Mengapa aku harus pergi. mengapa harus pergi?"

Cara bicaranya kesusu dan cepat pula sehingga satu kalimat diucapkan dua kali, seolah-olah khawatir orang lain tidak jelas mendengar ucapannya.

"Pencopet itu sepertinya tidak berada di sini." kata si genduk cilik tadi.

Kembali Si nona baju merah menjengek, katanya, "Sebenarnya aku pun tidak benar-benar hendak mencari dia ke sini. soalnya tempat apa pun di dunia ini sudah pernah kulihat. hanya tempat mandi begini belum pernah kudatangi, maka aku sengaja masuk ke sini."

"Betul," sambut Oh Thi-hoa sambil berkeplok tertawa. "Orang hidup baru berarti jika seperti nona. Sungguh Cayhe sangat kagum terhadap orang seperti nona ini."

Si nona hanya mendengus saja.

Segera Oh Thi-hoa berkata pula, "Cuma sayang, nona masih tetap kurang berani."

"Apa katamu?" teriak si nona sambil mendelik.

"Kubilang nona tetap kurang berani," sahut Oh Thi-hoa dengan tertawa. "Apabila nona juga berani terjun ke dalam kolam mandi ini, barulah kau benar-benar pemberani dan lihai."

Merah padam muka si nona saking gusarnya, mendadak tangannya sudah ada sebatang pedang panjang yang bercahaya kemilau.

Pedang ini tipis dan sempit, lemas terbut dari baja pilihan, biasanya melilit di pinggang sebagai sabuk, bila dilepas dan disendal, seketika terjulur, dan jadilah pedang yang tajam.

Pedang yang lemas dan keras hanya dapat dimainkan oleh orang yang sudah ahli dan terlatih dengan baik.

Tentu saja orang-orang yang berendam dalam kolam mandi sama terkesiap, sungguh tak tersangka oleh mereka bahwa nona cilik galak ini mahir menggunakan pedang lemas begini. Sementara itu si nona telah melompat ke tepi kolam, sekali sabet, segera pedangnya menebas ke kepala Oh Thi-hoa, gerak pedangnya sedemikian cepat, jitu lagi ganas.

Oh Thi-hoa menjerit terus selulup ke dalam air. Orang lain mengira dia telah terkena tebasan pedang si nona. Tak tahunya, sejenak kemudian, tahu-tahu kepalanya menongol keluar pula dari dalam air.

Katanya sambil tertawa, "Ai., aku cuma mengambil sepotong emas nona. masa nona lantas mengambil jiwaku."

Saking gemas, mata si nona seperti berapi, dampratnya dengan bengis. "Jika kau benar-benar lelaki sejati hayo lekas naik, lekas naik kemari!"

"Sudah tentu aku lelaki sejati" sahut Oh Thi-hoa sambil cengar cengir. "Cuma sayang. aku tidak memakai celana. mana boleh kunaik ke atas begini saja?"

Si nona baju merah tambah geregetan, teriaknya sambil menggentak kaki. "Baik. akan kutunggu kau di luar. masa kau mampu kabur!"

Betapapun dia adalah perempuan, mukanya merah juga habis bicara segera ia melangkah ke luar.

Si genduk cilik tadi melirik sekejap pula pada Coh Liu-hiang, katanva dengan tersenyum, "Kawanmu ini sudah berkelebihan kelakarnya, sebaiknya kau bersiap membereskan jenazahnya."

Habis berkata, dengan prihatin ia pun melangkah keluar.

Coh Liu-hiang menghela napas, gumamnya, "Tampaknya genduk cilik ini tidak bergurau padamu, terpaksa aku harus keluar biaya untuk membeli peti mati."

"Tidak perlu peti mati," ujar Oh Thi-hoa dengan tertawa.

"Bakar saja mayatku menjadi abu dan masukkan guci terus dibuang ke laut."

Setelah berkedip-kedip. Oh Thi-hoa berkata pula "Sebenarnya tiada niatku hendak mempermainkan, si nona, soalnya dia galak, suka mentang-mentang. sedikit-sedikit hendak membunuh orang. kalau tidak kuajar adat padanya, kelak tambah runyam."

"Hah, mungkin kau tidak mampu mengajar adat padanya, sebaliknya dia yang akan mengajar adat kau," ucap Coh Liu-hiang dengan tak acuh.

Tiba-tiba kepala si jaring kilat Thio Sam menongol keluar dan mendesis pada Oh Thi-hoa. "Betul, kukira Iekas kau lari."

"Lari? Mengapa harus lari? Memangnya kau kira aku jeri pada nona cilik itu?" ucap Oh Thi-hoa dengan melotot.

"Apakah kau tahu siapa dia?" tanya Thio Sam.

"Memangnya siapa dia? Apakah dia puteri maharaja?" kata Oh Thi-hoa. "Kalau melibat ilmu pedangnya memang betul pernah mendapatkan didikan yang baik, gerak serangannya juga sangat cepat. Tapi kalau dengan beberapa jurus pedangnya saja lantas mau malang melintang. kukira dia masih selisih jauh."

"Dia mungkin bukan soal, tapi neneknya, betapa pun kau tak dapat memusuhinya," tutur Thio Sam.

"Neneknya? Siapakah neneknya itu?" tanya Oh Thi-hoa. "Neneknya cukup termasyhur, yaitu Kim-thay Hujin dari Ban-siu-wan (taman panjang umur). Nona tadi adalah cucu perempuan ke-39 Kim-tayhujin, namanya Kim Leng-ci dan berjuluk Hwe-hong-hong (phoenix berapi)."

Seketika Oh Thi-hoa melengak demi mendengar keterangan Thio Sam.

Biasanya Oh Thi-hoa tidak kenal takut dan tidak mau tunduk kepada siapa pun juga. Tapi Kim-tayhujin atau nyonya besar Kim ini tidak bisa dibuat main-main. Bukan saja dia tidak berani memusuhinya, hakikatnya juga tiada orang lain yang berani memusuhi dia.

Bicara ilmu silat, memang Kim-tayhujin belum tergolong top, tapi jika bicara besarnya pengaruh, maka tiada seorang di dunia Kangouw ini yang mampu menandingi Kim-tayhujin.

Seluruhnya Kim-tayhujin punya sepuluh anak laki-laki dan sembilan anak perempuan, delapan orang menantu laki=laki dan 39 cucu lelaki dan perempuan, ditambah lagi 28 cucu luar.

Anak dan menantunya terdiri dari macam-macam kalangan dan profesi, ada yuang menjabat Ciangbunjin suatu aliran persilatan, ada Congpiauthau (pemimpin perusahaan pengawalan), Congpothau (kepala opas), ada yang menjadi Pangcu (pemimpin perserikatan), boleh dikata semuanya adalah jago kelas tinggi dunia Kangouw.

Selain itu ada seorang anak lelakinya tidak belajar silat. tapi belajar sastra, kini menjadi pembesar di kotaraja. Seorang lagi masuk dinas militer, kini adalah panglima kepercayaan kerajaan yang disegani.

Kim-tayhujin mempunyai sembilan anak perempuan. tetapi cuma delapan orang menantu, soalnya salah seorang anak perempuannya telah cukur rambut dan menjadi Nikon, kini menjabat ketua Go-bi-pay.

Cucu-cucunya, baik cucu dalam maupun cucu luar semua juga sudah dewasa dan cukup terkenal di dunia Kangouw. Hwe-hong-hong Kim Leng-ci adalah cucunya yang terkecil juga cucu yang paling disayang Kim-tayhujin.

Yang paling penting adalah cara mendidik Kim-tayhujin yang sangat keras, anak murid keluarga Kim semuanya menempuh jalan yang baik, tidak ada yang rusak dan menyeleweng. Sebab itulah bila orang Kangouw menyebut Kim-tayhujin. maka past i memberi salut dan memperlihatkan ibu jari.

Nah, coba bayangkan, tokoh besar macam begitu apakah dapat dimusuhi?

Karena itulah Oh Thi-hoa jadi melengak, katanya kemudian sambil menatap Thio Sam, "Jadi sebelumnya kau pun sudah tahu dia adalah cucu perempuan Kim- tayhujin?"

"Ehm," Thio Sam mengangguk.

"Dan kau tetap mencuri mutiaranya. Apakah kau sudah keblinger atau sudah gila?"

"Sebenarnya aku pun tidak berani mengincarnya," tutur Thio Sam dengan menyengir. "Tapi mutiaranya itu... Ai, mutiaranva itu menggapai-gapai membangkitkan selera. Hanya sekali pandang aku lantas tergila-gila dan tanpa terasa aku lantas turun tangan. Sungguh tak kusangka dia berani mengejar diriku ke kamar mandi lelaki ini."

Dalam pada itu terdengar Hwe-hong-hong Kim Leng-ci sedang berteriak. "Hayo keluar. lekas! Masa kau dapat kabur?"

Oh Thi-hoa mengerut kening, katanya, "Watak nona ini ternyata tidak tahan sabar." Mendadak ia tepuk-tepuk pundak Coh Liu-hiang dan membujuknya, "Kutahu caramu menghadapi perempuan lain daripada yang lain, rasanya cuma kau saja yang dapat melayani nona ini, terpaksa harus kuminta bantuanmu."

Coh Lan-hiang tertawa, ucapnya dengan tak acuh, "Tidak, aku tak sanggup. Kan rupaku mirip monyet, mana bisa disukai perempuan."

Oh Thi-hoa menyengir, jawabnya. "Siapa bilang kau mirip monyet? Siapa bilang? Pasti orang itu bermata juling, masa dia tak tahu bahwa kau inilah lelaki paling cakap, lelaki paling ganteng di dunia?"

Coh Liu-hiang tutup mulut dan tidak menanggapi. Dengan mengiring tawa, Oh Thi-hoa membujuk pula "Padahal ini pun kesempatan yang baik bagimu. Bisa jadi nanti kau akan dipungut menjadi cucu menantu Kim-lothaythay, sebagai kawanmu kan kita pun akan ikut gembira dan bahagia." Coh Liu-hiang malah memejamkan mata dan tidak menggubrisnya.

Tiba-tiba Thio Sam membisikinya, "Jalan paling selamat adalah lari, kukira lebih baik kau..."

Mendadak Oh Thi-hoa melompat keluar kolam sambil berseru, "Tidak, tak perduli apakah dia cucu Kim-lothay-thay atau bukan, betapapun anak perempuan harus tahu aturan, jika dia tidak tahu aturan dan bersikap kasar, aku pun bisa bertindak lebih kasar daripada dia."

Baru sekarang Coh Liu-hiang membuka mata, ucapnya dengan suara pelan. "Selama ini tiada orang bilang kau ini suka bicara tentang aturan."

Namun Oh Thi-hoa tidak bicara pula, ia bungkus pinggangnya dengan handuk, lalu menerjang keluar.

Serentak orang-orang yang berendam di bak mandi juga melompat keluar. Memangnya siapa yang tidak ingin menonton pertunjukan menarik itu.

Si kaki panjang tadi juga ikut melangkah keluar, waktu lewat di depan Coh Liu-hiang. tiba-tiba ia tertawa padanya. Coh Liu-hiang membalasnya dengan tertawa pula.

"Jika tidak salah terkaanku," demikian si kaki panjang berkata. "Tuan ini kan....." Ia pandang ke belakangnya dan tak meneruskan ucapannya, tapi melangkah keluar dengan tersenyum.

Orang yang berjalan di belakang si kaki panjang adalah orang yang seperti sudah dikenal oleh Coh Liu-hiang tadi.

Muka orang ini merah seperti kepiting rebus, entah karena terlalu lama berendam air panas atau memang pembawaan sejak dilahirkan, atau berubah merah ketika melihat Coh Liu-hiang?

Yang jelas, sejak awal hingga akhir dia tidak pernah memandang Coh Liu-hiang, hanya orang yang berjalan bersama dia itulah yang melirik sekejap. tapi ketika Coh Liu-hiang memandangnya, cepat ia menunduk dan buru-buru melangkah keluar.

"Tampaknya kedua orang ini bukan manusia baik-baik, rasanya seperti pernah kulihat mereka, cuma lupa entah dimana," bisik si jaring kilat Thio Sam.

Coh Liu-hiang seperti sedang mengingat sesuatu, jawabnya sekenanya, "Ehm. aku pun seperti pernah melihat mereka." "Orang berkaki panjang itu pasti juga sangat tinggi Ginkangnya, lagaknya angkuh, tentu seorang yang mempunyai asal-usul, tetapi selama ini belum pernah kulihat dia," setelah tertawa lalu Thio Sam menyambung, "Orang yang belum pernah kulihat, pasti orang yang jarang bergerak di dunia Kangouw."

"Ehm," Coh Liu-hiang hanya mengangguk saja.

"Meski tempat ini sebuah kota bandar, tapi biasanya jarang ada kaum persilatan datang kemari, mengapa sekarang bisa muncul orang sebanvak ini, aku menjadi rada heran."

Tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa, katanya. "Kau mengoceh terus menerus, tujuanmu cuma ingin menahanku di sini untuk mengawanimu, betul tidak?"

Muka Thio Sam menjadi merah karena isi hatinya dengan tepat kena dibongkar.

"Padahal orang berkelahi di luar demi membela kau, sedikitnya kau mesti keluar melihatnya," ujar Coh Liu-hiang.

"Baiklah, mau keluar boleh keluar. kemana pun aku berani bila berada bersamamu," ucap Thio Sam.

"Sebelum keluar. jangan lupa membawa mutiara yang kau sembunyikan di dasar kolam," ujar Coh Liu-hiang.

Muka Thio Sam bertambah merah, katanya sambil menggeleng gegetun, "Aneh. apapun yang kukerjakan selalu tak dapat mengelabui kau..,."

***

Pintu rumah mandi uap "serba nikmat" itu tidak besar. Pada umumnya pintu rumah mandi begini memang tidak besar, bahkan pasti diberi tirai yang tebal, tujuannya agar angin dingin dari luar tidak meniup ke dalam dan hawa panas di dalam tidak merembes keluar. Sekarang tirai pintu entah telah digulung oleh siapa, di luar sana sudah berkerumun orang-orang ingin menonton keramaian.

Maklum, ada seorang nona cantik berani masuk ke rumah mandi khusus lelaki, jelas ini berita besar dan luar biasa, apalagi si nona cantik ini menghunus pedang ingin membunuh orang.

Saat itu Oh Thi-hoa sedang mengenakan pakaiannya dengan perlahan-lahan.

Hwe hong-hong Kim Lneg-ci tampaknya sekali ini dapat bersabar, dia berdiri di situ dengan muka bersungut, bila ada orang berani memandangnya, segera ia balas peloloti orang itu. "Apakah dia benar-benar menghendaki nyawaku?" tanya Oh Thi-hoa kemudian sambil membetulkan kancing bajunya.

Si nona hanya mendengus saja tanpa menjawab. "Ai, nona kecil masih muda belia, mengapa sedikit-sedikit lantas membunuh orang?" kata Oh Thi-hoa dengan menyesal.

Kim Leng-ci mendelik, jawabnya. "Orang yang pantas dibunuh tentu kubunuh, untuk apa dibiarkan hidup? Untuk apa? Hanya bikin berjubel dunia saja."

"Seluruhnya sudah berapa banyak orang yang kau bunuh?" tanya Oh Thi-hoa.

"Seratus, seribu, mungkin lebih, peduli apa denganmu? Peduli apa?"

"Jika tak dapat kau bunuh diriku, lalu bagaimana?" tanya pula Oh Thi-hoa.

"Jika tak dapat kubunuh kau. biar kuberikan kepalaku!"

"Ah. untuk apa kuminta kepalamu?" ujar Oh Thi-hoa sambil menggeleng. "Begini saja. Jika kau tak dapat membunuh diriku, kuharap seterusnya jangan lagi kau bunuh orang. Orang yang pantas mati di dunia ini sesungguhnya tidaklah banyak."

"Baik...." hanya satu kata saja disuarakan si nona. kontan sinar pedangnya menyambar ke depan dan menusuk tenggorokan Oh Thi-hoa.

Ilmu pedang si nona tidak saja cepat. tapi juga keji. sekali serang segera mengincar tempat yang mematikan.

Lekas Oh Thi-hoa berkelit, dengan mudah serangan si nona dapat dihindarinya.

Kini Leng-ci tambah gemas, serangannya tambah gencar, hanya sekejap saja belasan kali dia menusuk.

Pada umumnya ilmu pedang yang dilatih kaum perempuan mengutumakan enteng dan gesit, Tapi ilmu pedang Kim Leng-ci ternyata mengutamakan 'keras', terdengar suara sambaran angin pedang yang tajam sehingga orang yang berkerumun sama menyingkir.

Ruangan tempat mereka bergebrak ini sebenamya adalah tempat tukar pakaian tetamu yang mandi uap, ruangannya tidak luas, di mana ujung pedang Kim Leng-ci menyambar boleh dikatakan sudah tiada peluang lagi untuk mengelak.

Jika orang lain, mustahil tubuhnya tidak tertusuk belasan lubang oleh serangan lihai si nona, cuma sayang, lawannya sekarang adalah Oh Thi-hoa.

Dalam urusan lain, Oh Thi-hoa memang tidak tahan sabar. tapi bila bertarung dengan orang, sifatnya yang berangasan bisa lantas berubah sabar. Sebab pengalaman tempurnya sesungguhnya memang sangat banyak. hakikatnya jarang ada yang dapat membandingi dia. Biasanya orang yang berkelahi tentu akan merasa tegang, tapi bila Oh Thi-hoa berkelahi seperti makan sehari-hari saja. Sekalipun ketemu lawan yang berilmu silat lebih tinggi juga takkan membuatnya tegang. Sebab itulah sesuatu perubahan yang tak diketahui orang lain, pasti akan diketahui oleh Oh Thi-hoa, jurus serangan yang tak dapat dihindarkan orang lain pasti dapat dielakkannya.

Begitulah kelihaian Oh Thi-hoa terus menggeser ke sana dan meluncur ke sini, semakin cepat serangan Kim Leng-ci, semakin cepat pula caranya menghindar.

Waktu Kim Leng-ci menusuk untuk ke-21 kalinya, mendadak ia tarik kembali pedangnya setengah jalan, katanya dengan mendelik, "Mengapa kau cuma menghindar saja dan tidak balas menyerang?"

Oh Thi-hoa tertawa, jawabnya, "Kan kau yang ingin membunuhku. aku sendiri tidak bermaksud membunuhmu.,,

Kim Leng-ci menggentak kaki, dengan mendongkol ia berkata, "Baik. akan kulihat akhirnya kau balas menyerang tidak? Balas menyerang atau tidak?"

Mendadak ia menusuk pula, sekarang permainan pedangnya telah berubah.

Sejauh ini meski ilmu pedangnya sangat cepat dan keji. tapi tiada gerak serangan yang aneh dan luar biasa. Baru sekarang,

setelah permainannya berubah. tertampak sinar pedang yang bergulung-gulung memburu seperti air hujan. bukan saja aneh jurus serangannya, bahkan tidak nampak ada lubang kelemahan.

Seumpama orang yang sama sekali tidak kenal ilmu pedang pasti juga akan terkesima dan yakin akan permainan pedang si nona pasti lain daripada yang lain.

Si jaring kilat Thio Sam sedang mengintip dari balik pintu. diam-diam ia membisiki Coh Liu-hiang, "Ini kan Liu-ji-kiam-hoat dari Go-bi-pay?"

"Betul," jawab Coh Liu-hiang.

"Bibinya yang ketujuh adalah pejabat ketua Go-bi-pay, ilmu pedang ini dipelajarinya dari sang bibi," kata Thio Sam pula.

Coh Liu-hiang mengangguk. belum dia bicara lagi tiba-tiba terdengar Kim Leng-ci membentak. "Bagus, masa kau masih tidak balas menyerang.... kau memang hebat jika tidak balas menyerang!"

Di tengah bentakan itu kembali gaya permainan pedangnya berubah pula. Sinar pedang yang bergulung-gulung dan memburu tadi, kini berubah menjadi lambat dan jarang-jarang. Hawa pedang tajam memenuhi udara tadi kini pun lenyap.

Tertampak si nona mengangkat tangan kiri ke atas pundak. pedang tangan kanan terus menebas miring ke depan, sinar pedangnya seperti ada. juga seperti tidak ada, gerak serangannya seperti cepat tapi juga seperti lambat. jalan pedangnya juga seperti lurus ke depan tapi juga seperti setiap saat bisa berubah.

Orang awam sekali ini pasli tidak melihat sesuatu yang hebat pada ilmu pedang si nona. Malahan orang pasti akan menyangka si nona mulai jeri, mulai kehabisan tenaga. maka serangannya menjadi lamban dan lemah.

Coh Liu-hiang lantas terkesiap demi menyaksikan gerak serangan si nona. Sebab dikenalnya jurus serangan Kim Leng-ci ini adalah jurus 'Jing-hong-ji-lay' (angin meniup silir-semilir), jurus pertama 'Jing-hong-cap-sah-sik' (tiga belas jurus ilmu pedang angin meniup), yaitu ilmu pedang pusaka Hoa-san-pay.

Hendaklah diketahui bahwa di dunia persilatan ada tujuh aliran besar yang paling termasyhur, yakni Siau-lim-pay, Bu-tong-pay, Tiam-jong-pay, Go-bi-pay, Kun-lun-pay, Hay-lam-pay dan Hoa-san-pay.

Biasanya orang suka menonjolkan Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sebagai dua aliran top yang terkenal dengan Gwakang dan Lwekangnya. Padahal Hoa-san-pay, Kun -lun-pay dan lain-lain juga mempunyai keunggulan masing -masing. sebab itulah ketujuh Pay ini satu sama lain saling menghormati, sama -sama segan, tapi juga tidak mau saling mengalah.

Kalau bicara tentang ilmu pedang, maka aliran manapun tak berani bersaing dengan Hoa -san-pay. karena ilmu pedang Hoa-san-pay yang terkenal dengan Jing -hong-cap-sah-sik itu memang sangat lihai.

Keistimewaan Jing-hong-kiam-hoat adalah gayanya yang lamban seperti tiupan angin silir. Yang diutamakan adalah gerakan seperti ada isi dan tidak berisi, seperti sunguh -sungguh tapi mendadak berubah tidak ada. Hakikatnya sukar diraba kemana serangan lawan mengincar dan juga tidak tahu cara bagai mana harus menghindar.

Ko A-lam, bekas pacar Oh Thi -hoa yang terkenal sebagai pendekar pedang dari Hoa-san-pay itupun sangat dikagumi Coh Liu-hiang tapi ia pun tidak pernah lengkap mempelajari ketiga belas jurus ilmu pedang lihai itu, hanya sembilan jurus saja yang dikuasainya.

Selain kepada Ko A-lam, hakikatnya Koh-bwe-taysu tidak pernah mengajarkan Jing-hong-kiam-hoat kepada murid mana

pun juga, dengan sendirinya orang luar Hoa-san-pay lebih-lebih tidak dapat mempelajarinya.

Tapi kini Kim Leng-ci ternyata dapat memainkan jurus Jing-hong ji-lay, jurus pertama ketiga belas jurus ilmu pedang pusaka Hoa-san-pay itu. Tentu saja Coh Liu-hiang terkesiap, bahkan Oh Thi-hoa juga terperanjat.

"Bret," terdengar suara robeknya kain, lengan Oh Thi-hoa tergores robek, ujung pedang yang tajam menyerempet lewat di atas kulit dagingnya, hampir saja melukainya.

Dengan kepandaian Oh Thi-hoa sebenarnya tidak sukar baginya untuk menghindari jurus serangan Kim Leng-ci sebab dia pernah melihat Ko A-lam memainkan ilmu pedang lihai ini. Malahan ia sendiri pun dapat meniru permainan jurus serangan itu, hanya intisari ilmu pedang itulah yang sukar dipelajarinya.

Dengan sendirinya Ko A-lam juga tidak nanti mengajarkan ilmu pedang pusaka perguruannya kepada Oh Thi-hoa, sebab peraturan Hoa-san-pay cukup keras. siapa pun tidak berani melanggar dan diam-diam mengajarkan ilmu pedang kebanggaan perguruan sendiri kepada orang luar.

Tapi sekarang Kim Leng-ci ternyata mahir memainkan jurus serangan lihai itu, bahkan seperti dimainkan sewajarnya. tanpa canggung atau kaku sedikit pun, tampaknya dia benar-benar mendapat pelajaran intisari ilmu pedang Hoa-san-pay itu.

Jika orang lain yang tidak kenal kehebatan Hoa-san-kiam-hoat itu mungkin tidak menjadi soal, tapi Oh Thi-hoa cukup kenal kelihaiannya, dengan sendirinya ia terkejut. Dan karena terkejut, hampir saja dia celaka.

Setelab jurus pertama berhasil membikin lawan kelabakan segera jurus kedua dilancarkan lagi oleh Kim Leng-ci. Terlihat gerakannya lamban. bergerak pelan, seperti orang mengebas daun bunga atau mengusap tangkai pohon, gayanya indah, tapi jelas sangat lihai. Nyata inilah salah satu jurus lain Jing-hong-cap-sah-sik yang disebut Jing-hong-hut-liu atau angin sejuk mengusap pohon liu.

Di luar dugaan, pada saat genting itu. mendadak bayangan orang berkelebat. tahu-tahu pergelangan tangan Kim Leng-ci telah dipegang orang.

Kedatangan orang ini sungguh teramat cepat dan hampir-hampir sukar dibayangkan kecepatannya. Baru saja sekilas Kim Leng-ci mengetahui datangnya orang, tahu-tahu urat nadi pergelangan tangannya sudah tercengkeram.

Cengkeraman orang itu tidak keras, tapi entah mengapa begitu tangan terpegang, sekujur badan Kim Leng-ci lantas lemas tak bertenaga, keruan ia terkejut dan cepat menoleh, baru sekarang diketahuinya orang yang mencengkeram tangannya ini adalah lelaki yang dimaki sebagai monyet dan juga berendam di kolam mandi tadi. Wajah orang mengulum senyum seperti tadi.

Memang sejak tadi Kim Leng-ci juga merasa senyuman orang ini tidak menjemukan. bahkan juga menggemaskan. Segera ia berteriak, "Kau mau apa? Ingin dua mengeroyok satu? Huh, tidak tahu malu. tidak tahu malu!"

Coh Liu-hiang tenang-tenang saja. ia tunggu si nona habis memaki barulah menjawab dengan tersenyum. "Aku cuma ingin tanya sesuatu pada nona."

"Hakikatnya aku tidak kenal kau, berdasarkan apa kau hendak tanya padaku?" teriak Kim Leng-ci.

"Jika begitu, tak apalah tak jadi kutanya," ucap Coh Liu-hiang dengan tak acuh. "Cuma...." Sampai di sini tiba-tiba ia tak melanjutkan, sesuai ucapannya, ia benar-benar tak jadi bertanya.

Kim Leng-ci berdiam sejenak, akhirnya ia sendiri yang tak tahan, tanyanya, "Cuma apa maksudmu?"

Coh Liu-hiang tertawa, katanya, "Apa vang ingin kutanyakan bisa jadi nona pun ingin tahu."

"Apa yang hendak kau tanyakan?" kata-kata ini terus tercetus dari mulut si nona tanpa pikir.

Diam-diam Oh Thi-hoa merasa geli dan mengakui 'kutu busuk tua' ini memang mempunyai beberapa jurus simpanan terhadap anak perempuan. Coh Liu-hiang pernah berkata, "Anak perempuan dapat diibaratkan seperti bayangan manusia, jika kau mengejarnya, maka dia akan selalu berada di depanmu, tapi begitu kau membalik tubuh, dia yang berbalik akan lengket mengikuti." Tampaknya kata-kata ini memang tidak salah sedikit pun.

Terdengar Coh Liu-hiang berkata dengan suara tertahan, "Aku hanya ingin bertanya, ilmu pedang Jing-hong-cap-sah-sik yang dimainkan nona tadi dipelajari darimana?"

Air muka Kim Leng-ci seketika berubah, serunya "Jing-hong-cap-sah-sik apa? Bilakah pernah kumainkan ilmu pedang begitu? Ah. kau salah lihat, kukira matamu kurang beres dan perlu berobat."

Cara Kim Leng-ci menjawab ini seperti anak kecil yang mencuri permen dan tertangkap tangan, ketika ditegur orang tua si anak terpaksa menyangkal, padahal mulutnya penuh permen. namun tetap menyangkal bilang tidak mencuri.

Coh Liu-hiang hanya tertawa dan tidak mendesak lagi. Dengan melotot Kim Leng-ci berteriak pula, "Ingin kutanya. apa kerjamu? Kukira kau ini komplotan pencopet tadi, bisa jadi kau inilah tukang tadahnya. Jika kau tahu gelagat lekas kau kembalikan mutiaraku."

Orang tidak bertanya lebih lanjut padanya, sekarang dia berbalik menanyai orang lain, Pada umumnya orang yang merasa bersalah memang suka bersikap demikian.

Coh Liu-hiang tetap tenang saja. katanya dengan tertawa, "Tukang tadah memang betul ada, cuma....cuma bukan aku." "Bukan kau? Habis siapa?" tanya Kim Leng-ci.

"Ialah...." kata Coh Liu-hiang sambil menjulurkan tangannya ke depan. pelan ia berputar sehingga jarinya ikut bergerak. ujung jarinya seakan-akan hendak berhenti di depan hidung setiap orang. Waktu jarinya menuding sampai di depan Oh Thi-hoa, diam-diam Oh Thi-hoa mengeluh.

Maklum. tadi ia sengaja berolok-olok dan bilang Coh Liu-hiang mirip monyet, ia mengira sekali ini Coh Liu-hiang pasti akan membalasnya. Tak terduga ternyata jari Coh Liu-hiang tidak berhenti di depan hidungnya tapi masih terus menggeser.

Lelaki bermuka merah seperti kepiting rebus tadi kini pun Sudah berpakaian. Yang dipakainya jubah warna ungu bersulam bunga, pada pinggangnya terbelit sabuk kemala yang indah.

Perawakan orang bermuka merah ini memang kekar, waktu telanjang dan berendam di kolam mandi tadi tidak terlalu menarik. Kini, sesudah berpakaian, jubah warna ungu berpadu dengan air mukanya yang merah tampak menjadi tambah gagah

dan keren, berpuluh orang yang memadati rumah mandi uap ini boleh dikata tiada seorang pun yang dapat membandingi dia.

Tadi sebenarnya dia bermaksud pergi. namun di depan pintll ada orang berkelahi, jalan keluar terhalang, terpaksa ia ikut berdiri di samping untuk rmenyaksikan ramai-ramai itu.

Ia seperti jeri terhadap Coh Liu-hiang, maka sejak tadi belum pernah dia memandang ke arah Coh Liu-hiang. sekarang didengarnya Coh Liu-hiang telah menarik ucapan "Ialah...." hingga panjang sekali ketika jarinya sampai di depan hidung si muka merah, barulah ia menyambung ucapannya, "....dia ini."

Ketika melihat pandangan orang banyak tertuju kepadanya dengan rasa heran, si muka merah sendiri jadi heran juga, dengan sendirinya ia pun ingin tahu siapa yang ditunjuk jari Coh Liu-hiang itu.

Sungguh tak terduga olehnya ketika diketahuinya jari Coh Liu-hiang dengan tepat lagi menuding di depan hidungnya,

Terdengar Coh Liu-hiang berkata tenang, "Dia bukan cuma tukang tadah, mutiara itu justru disembunyikan di tubuhnya."

Seketika muka orang itu bertambah merah. sedapatnya ia memperlihatkan senyum. katanya dengan suara terputus-putus "Ah, saha.... sahabat ini tampaknya suka berkelakar."

Tapi Coh Liu-hiang menarik muka. katanya dengan serius "Urusan ini sama sekali tidak boleh berkelakar."

Orang itu tertawa, katanya, "Padahal mutiara nona bagaimana bentuknya, apakah bulat atau persegi, belum pernah Cayhe melihatnya, lalu apa kehendakmu kalau bukan hendak berkelakar denganku?"

Jelas orang ini pun sudah kawakan Kangouw, meski terkejut, gerak-geriknya tidak menjadi kikuk, tapi segera ia dapat menenangkan diri.

Coh Liu-hiang memandang para hadirin, serunya, "Adakah di antara para hadirin melihat mutiara yang berbentuk persegi...? Nah, kalau sahabat ini bilang mutiara berbentuk bundar saja tidak pernah melihatnya. bukankah dia sengaja berkelakar jika tidak mau dikatakan hendak menipu anak kecil?"

Melihat sikap orang banyak seperti setuju dengan ucapan Coh Liu-hiang, si muka merah menjadi rada gugup, betapapun sabarnya, akhirnya ia menjadi gemas juga, segera ia menjengek. "Sebenarnya apa maksudmu memfitnah diriku? Untunglah kenyataannya memang demikian, rasanya aku pun tak pernah membantah dan banyak omong,.." Sembari berkata ia melangkah keluar, seakan orang yang kelewat gusar. lalu hendak tinggal pergi.

Coh Liu-hiang tidak mencegah kepergian orang. hanya pegangannya pada tangan Kim Leng-ci segera dilepaskan.

Maka berkelebatlah sinar pedang. tahu-tahu Kim Leng-ci sudah menghadang di depan lelaki itu dan menuding hidungnya dengan ujung pedang sambil menjengek, "Hm, kau ingin kabur ya? Mau kabur kemana kau?"

Orang itu serba susah karena sikap Kim Leng-ci yang garang ini, terpaksa ia menjawab dengan menyengir. "Ai, masa nona benar-benar percaya pada ocehannya?"

"Aku cuma ingin tanya padamu. benarkan kau yang mencuri mutiaraku?" tanya si nona.

Orang itu melirik Coh Liu-hiang sekejap, lalu menjawab, "Jika kubilang orang inilah yang mencuri mutiaranya, apakah nona percaya?"

Coh Liu-hiang menanggapi dengan tak acuh. katanya. "Bila mutiara itu berada padaku. sekarang sekalipun aku dianggap mencuri juga tidak menjadi soal."

Orang tadi seperti menjadi lebih mantap, segera ia menjengek pula. "Jika demikian, memangnya kau anggap mutiaranya berada padaku?"

"Kukira memang begitulah," jawab Coh Liu-hiang. Mendadak orang ini menengadah dan bergelak tertawa katanya, "Haha, sungguh lucu, sungguh menggelikan."

"Bilamana mutiaranya dapat digeledah dari badanmu, tentu tak jadi lucu lagi," kata Coh Liu-hiang.
(…ada bagian yg hilang)

"Padahal yang tahu rahasia ilmu pedang pusaka itu hanya koh-bwe Taysu dan Ko A-lam, Koh-bwe Taysu sendiri jelas tidak mungkin membocorkan rahasia ini..."

"Ko A-lam juga pasti tidak!" tukas Oh Thi-hoa tegas.

"Sudah tentu dia juga tidak, sebab itulah dalam hal ini hanya ada kemungkinan," ujar Coh Liu-hiang.

"Kemungkinan bagaimana?" tanya Oh Thi-hoa.

"Kitab pusaka ajaran Jing-hong-cap-sah-sik telah dicuri orang," jawab Coh Liu-hiang.

Oh Thi-hoa menghela napas panjang. katanya, "Betul, kecuali hal ini, tidak nanti Koh-bwe Taysu turun gunung."

"Bila Jing-hong-cap-sah-sik adalah ilmu pusaka Hoa-san-pay yang tak boleh diketahui orang luar, tentu Koh-bwe Taysu akan menyimpan kitab pusakanya di tempat tersembunyi..."

"Orang yang mampu mencurinya mungkin cuma si 'pencuri bagus' Coh Liu-hiang," cepat Oh Thi-hoa menukas.

"Tidak, aku pun tidak mempunyai kemampuan begitu." jawab Coh Liu-hiang sambil menyengir.

"Peristiwa ini rasanya mirip benar dengan peristiwa tercurinya air sakti' Sin-cui-kiong (istana air sakti) dahulu," ujar Oh Thi-hoa. (Baca Maling Romantis - Gan KH).

Dipandang sepintas lalu, kedua peristiwa ini memang rada mirip, padahal sama sekali berbeda," ujar Coh Liu-hiang. "Dimana letak perbedaannya?" tanya Oh Thi-hoa.

"Kau tahu anak murid Sin-cui-kong sangat banyak dan juga berasal dari berbagai unsur, sedangkan Hoa-san-pay terkenal sangat ketat dalam hal memilih murid. Murid Koh-bwe taysu sendiri seluruhnya juga tidak lebih dari tujuh orang."

"Betul," kata Oh Thi-hoa.

"Selain itu, air sakti Sin-cui-kiong hanya dijaga oleh anak muridnya, sedangkan kitab pusaka Hoa-san-pay langsung disimpan oleh Koh-bwe Taysu..."

"Betul juga, mencuri kitab pusaka Hoa-san-pay memang jauh lebih sulit daripada mencuri air sakti Sin-cui-kiong."

"Dari sini dapat diketahui bahwa si pencuri kitab pusaka pasti Juga jauh lebih lihai daripada Bu-hoa Hwesio yang mencuri air sakti itu."

"Apa kau kira pencuri ini.... Ting Hong atau bukan?" tanya Oh Thi-hoa.

"Andaikan bukan, tentu juga ada sangkut paut dengannya," kata Coh Liu-hiang, lalu menyambung pula, "Mungkin sekali Koh-bwe Taysu Sudah berhasil menemukan petunjuk hilangnya kitab pusaka, maka dia sengaja menyamar sebagai Na-thayhujin untuk bertemu di sini dengan Ting Hong."

"Kalau begitu, asalkan dia berhasil menawan Ting Hong, kan segala persoalannya dapat terpecahkan?" seru Oh Thi-hoa.

"Sudah tentu Koh-bwe Taysu takkan bertindak seceroboh itu," ujar Coh Liu-hiang dengan tertawa. "Dengan sendirinya ia pun tahu Ting Hong hanya seekor ular kecil saja, di belakangnya tentu masih ada ular besar...."

"Siapa itu ular besarnya?" tanya Oh Thi-hoa.

"Sampai sekarang ular besar itu masih bersembunyi dalam semak-semak rumput, hanya dengan membekuk ular besar ini. baru rahasia di balik persoalan ini dapat dibongkar, kalau cuma menangkap ular kecil saja jelas tiada gunanya."

Oh Thi-hoa mengangguk dan berpikir sejenak, katanya kemudian, "Yang dikerjakan Koh-bwe Taysu sekarang mungkin juga ingin mengusut sesungguhnya di semak rumput mana ular besar itu bersembunyi. maka dia tak mau bertindak ceroboh.

"Kita pun tak boleh ceroboh dan sembarangan bertindak." tukas Coh Liu-hiang. "Sebab urusan ini bukan saja menyangkut Koh-bwe Taysu dari Hoa-san-pay, tapi juga menyangkut beberapa tokoh lain."

"Oooo?" Oh Thi-hoa berseru heran pula.

"Kecuali Koh-bwe Taysu, kuyakin pasti banyak juga rahasia orang lain yang jatuh ke tangan ular besar ini, orang yang tersangkut kasus ini pasti tokoh yang punya kedudukan tinggi."

"Ai, kasus ini memang lebih misterius daripada pencurian 'air sakti' dahulu, ujar Oh Thi-hoa gegetun.

"Yang lebih penting lagi, maksud tujuan Bu-hoa Hwesio mencuri 'air sakti' adalah digunakan untuk keperluan pribadinya, sedangkan tujuan ular besar ini mencuri rahasia orang lain adalah untuk dijual!"

"Dijual?" Oh Thi-hoa menegas dengan heran.

"Ya," jawab Coh Liu-hiang. "Coba kau pikir, cara bagaimana Kim Leng-ci bisa memperoleh rahasia ilmu pedang pusaka Hoa-san-pay?"

"O, jadi dia membelinya dari Ting Hong?"

"Ya, memang begitu," jawab Coh Liu-hiang. "Jual beli ini tentu juga sangat dirahasiakan, mungkin sebelumnya Ting Hong sudah memperingatkan dia agar jangan memperlihatkan ilmu pedang ini di depan umum, tapi tadi karena gugupnya nona itu telah mengeluarkannya."

"Dan bagaimana dengan Ting Hong, apakah dia terlebih lihai daripada Sih Ih-jin, Ciok-koan-im dan sebagainya?"

"Ting Hong tidak perlu ditakuti. tapi ular besar itu..."

"Mengapa kau membesarkan kelihaian orang lain dan merendahkan pamor sendiri? Memangnya kenapa dengan ular besar itu? Masakah dia mampu menelan kita?"

"Coba kau pikir, jika seseorang mampu memahami berbagai ilmu silat dari aliran yang berbeda-beda, apalagi kalau sampai belasan macam banyaknya, apakah orang begini tidak lebih menakutkan daripada Ciok-koan-im dan lain-lain?"

Oh Thi-hoa hanya mendengus, tampaknya tak sependapat.

Coh Liu-hiang lantas menyambung pula, "Apalagi, orang yang mampu mempelajari ilmu silat sebanyak itu sekaligus, maka dapat dibayangkan betapa hebat bakat orang ini. Dari sini pula dapat diperkirakan betapa licik dan licin orang itu."

"Orang licik dan licin juga sudah cukup banyak kulihat," jengek Oh Thi-hoa.

"Ya, sebab ada seorang kawanku selalu bicara tentang Coh-hiangswe di depanku," tutur Kau Cu-tiang. "Katanya, biarpun aku berlatih sampai tua, Ginkangku takkan mencapai setengahnya Coh-hiangswe."

"Ah, kawanmu sengaja membual," ujar Oh Thi-hoa. "Kawanku itu sering menyatakan bahwa dia berhutang budi pada Coh-haingswe, keberangkatanku ke sini juga mendapat titip pesan kawanku itu agar menyampaikan salam hormatnya kepada Coh-hiangswe, khawatir aku tak kenal Coh-hiangswe, maka sebelum berangkat, dia telah menceritakan padaku secara terperinci bagaimana bentuk dan wajah Coh-hiangswe.

Ia tertawa, lalu menyambung pula, "Tapi ketika bertemu Coh-hiangswe, tetap tak dapat kukenali dengan segera, sebab...."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar