Legenda Bunga Persik Jilid 01

 
Satu malam di musim semi. Malam turun hujan. Hujan musim semi di Jiangnan (nama daerah di selatan sungai Yangzi), sering menimbulkan perasaan sedih orang, terlebih

bagi orang-orang yang sudah lama dan jauh meninggalkan kampung halamannya.

Malam telah larut sekali, banyak orang telah tidur dan bermimpi, namun didalam sebuah gang sempit yang becek, ternyata masih ada sebuah lentera yang bersinar redup.

Sebuah lentera yang menjadi kuning karena sering kena asap, tergantung di atas sebuah tenda bambu yang sederhana, menerangi sebuah kedai mie, beberapa meja dan kursi, serta dua orang yang bermuram durja.

Malam hujan yang demikian mengenaskan, gang kecil demikian terpencil, siapakah yang akan membeli mie mereka?

Kerutan di wajah kedua suami istri penjual mie itu menjadi makin dalam. Tak terduga, dari gang sempit itu tiba-tiba terdengar bunyi langkah kaki,

ternyata ada seorang berbaju hijau berjalan sendirian di dalam hujan rintik- rintik dan angin dingin, wajahnya pucat ke kuning-kuningan, tampak seperti seorang yang sudah lama menderita sakit parah, yang seharusnya minum obat dengan berbaring di ranjang sambil diselimuti.

Tetapi dia berkata kepada si pemilik kedai mie itu: “Aku mau makan mie, tiga mangkok mie, tiga mangkok yang besar”.

Orang yang macamnya begini ternyata punya selera makan yang besar.

Tidak heran si pemilik kedai dan istrinya memandang dia dengan pandangan curiga, dan bertanya: “Tuan mau makan mie apa?”

Si nyonya pemilik, yang walaupun usianya sudah 30-an, tetap bertubuh langsing, bertanya: “Mau mie sawi putih? Mie abon? Atau mie kaki babi?”

“Semuanya aku tidak mau”, si orang berbaju hijau berkata dengan nada rendah yang parau: “Aku mau dua mangkok bunga emas, satu mangkok bunga perak, dan satu mangkok bunga mutiara”.

Tetapi sedikit tanda keherananpun tidak terlihat di wajah kedua suami istri itu, cuma bertanya dengan sikap tak acuh:

“Apakah engkau punya kemampuan untuk memakannya?”

Si orang berbaju hijau pun berkata dengan sikap tak acuh: “Akan ku coba”.

Tiba-tiba, sinar dingin berkelebat, sebilah pedang panjang muncul seperti ular berbisa dari sisi tangan si orang berbaju hijau, menikam seperti ular berbisa ke arah uluhati si pemilik kedai yang tampaknya lamban itu, gerakannya lebih cepat dan lebih ganas dari ular berbisa!

Si pemilik kedai sedikit memutar badan, sebuah sumpit bambu besar dipakai sebagai senjata penotok jalan darah, menotok ke arah jalan darah di bahu lawan.

Pergelangan tangan si orang berbaju hijau sedikit bergetar, sinar dingin makin terang, ujung pedang telah mengenai uluhati si pemilik kedai, namun berbunyi “ting” sekali, seolah-olah menikam sebuah papan besi!

Ujung pedang berkelebat lagi, lalu pedang masuk sarung pedang, si orang berbaju hijau ternyata tidak mengejar lagi, hanya dengan sikap yang tenang memandangi kedua suami istri itu.

Si nyonya pemilik mulai tersenyum, sebuah wajah yang biasa-biasa saja, namun karena senyuman, ternyata memiliki daya pikat yang cukup besar!

“Bagus! Ilmu pedang yang bagus! “Dia berkata sambil mengeluarkan sebuah kursi dari tenda bambu, “silahkan duduk dan makan mie”.

Si orang berbaju hijau duduk tanpa bersuara, semangkok mie yang masih mengepulkan uap panas segera diantarkan.

Didalam mangkok itu tidak ada sawi putih, abon maupun kaki babi, bahkan mie pun tidak ada, namun ada sebutir mutiara kemilau yang sebesar buah lengkeng!

Di kedai kecil dalam gang sempit dan jelek itu, yang dijual ternyata adalah mie semacam ini! Dan orang yang mampu makan mie semacam ini sungguh tidak banyak, tetapi orang ini ternyata bukanlah satu-satunya orang yang mampu.

Dia baru saja duduk, datanglah orang kedua, seorang pemuda yang kelihatannya amat tahu aturan, juga mau makan tiga mangkok mie, juga berkata: “mau satu mangkok bunga emas, satu mangkok perak, dan satu mangkok bunga mutiara”.

Si pemilik kedai tentu saja mau menguji dia, ”punyakah kemampuan untuk memakannya?”

Dia mempunyainya.

Ilmu pedang si pemuda, meskipun sama tahu aturan dengan orangnya, namun sangat cepat, tepat dan efektif, bahkan jurus-jurusnya saling bersambungan, sekali pedang digerakkan, pasti tiga jurus susul-menyusul, tidak lebih banyak, juga tidak lebih sedikit.

Sinar pedang berkelebat, “ting-ting-ting” tiga kali bunyi, uluhati si pemilik kedai sudah kena pedang tiga kali ilmu pedang yang digunakan si pemuda tahu aturan ini, ternyata lebih cepat tiga kali dari dugaan siapapun!

Si pemilik kedai air mukanya berubah, tetapi istrinya tersenyum gembira. Ketika si pemuda melihat senyumannya, tiba-tiba sinar matanya memancarkan nafsu birahi yang tak seharusnya dimiliki orang yang tahu aturan.

Si nyonya tersenyum makin memikat. Dia senang ada pria muda yang memandangnya dengan sinar mata demikian, tapi tiba-tiba saja senyumannya membeku di wajah.

Sorot mata si pemuda juga jadi dingin, seolah-olah merasakan ada hawa dingin yang menghimpit.

Pedangnya sudah disarungkan, namun telapak tangannya masih menggenggam gagang pedang dengan erat, memutar badan dengan pelan, lalu melihat ada seorang berlengan satu, yang walaupun tubuhnya kurus seperti galah bambu, namun memiliki bahu yang luar biasa lebarnya, sedang berdiri didalam hujan yang rintik-rintik, dipunggungnya memanggul dengan miring sebuah galah bambu, sebuah capil anyaman bambu dipakai sampai dibawah alis, yang kelihatan cuma setengah mata kiri, yang memandang tajam ke si pemuda, dan bertanya dengan sebuah kata demi sebuah kata: “Apakah kamu adalah muridnya Fang Zheng “Si Pedang Besi?”

“Ya”.

“Kalau begitu datanglah ke sini.” “Mengapa aku mesti kesana? Untuk apa?” “Ke sini agar aku membunuh mu.”

Tiba-tiba capil terbang masuk ke kejauhan yang gelap, sehingga sinar lentera yang redup menerangi wajah si orang berlengan satu, sebuah wajah yang penuh dengan bekas luka, di mata kanannya pun ada sebuah bekas luka berbentuk ‘+’, yang membuat keseluruhan mata ini tertutup rapat, malahan membuat sorot mata di mata yang lain menjadi tambah tajam.

Telapak tangan si pemuda yang memegang pedang sudah keluar keringat dingin. Sudah teringat olehnya siapakah orang ini!

Dia juga tahu bekas luka yang berbentuk “+” itu terjadi karena ilmu pedang apa!

Si orang berlengan satu sudah menjulurkan tangan yang besar namun sangat kurus dan kelihatan ototnya, untuk mengambil galah bambu hitam gelap yang ada di belakang bahunya.

Tetapi tiba-tiba si nyonya pemilik melewati kedai mie dan berjalan kedepannya, sepasang lengan yang lembut, seperti ular saja telah melingkari lehernya si pria berlengan satu, dan

sambil berjinjit, kedua bibirnya ditempelkan ketelinganya, dan berkata dengan lirih: “sekarang anda tidak boleh mengusik dia, dia juga adalah orang yang sengaja ku cari, seorang yang amat berguna. Setelah urusan ini selesai, anda boleh melakukan apa saja kepadanya, toh ia tidak bisa lari kemana-mana”.

Suaranya dan sikapnya persis seperti bisikan kekasih, suaminya dianggap seperti orang mati saja! Namun si suami juga seolah-olah tidak kelihatan apa-apa. Si orang berlengan satu menatap si nyonya, mendadak mencekeram baju depannya, mengangkat si nyonya seperti mengangkat seekor ayam kecil, dan berjalan masuk ke kedai, lalu menurunkanya dengan perlahan, serta berbicara dengan kata demi kata: “Aku mau makan mie, tiga mangkok mie, tiga mangkok besar”.

Si nyonya tersenyum, senyumnya seperti bunga dimusim semi, dan berkata: “Ini adalah sandi yang kutetapkan dengan orang lain, tujuannya agar bisa memastikan apakah mereka sungguh adalah orang yang kuundang, tetapi anda beda, sekalipun anda terbakar jadi abu, akupun tak bisa salah mengenal anda, lalu mengapa anda mengucapkan kata-kata yang bodoh ini?”

Si orang berlengan satu tidak berkata apa-apa lagi, bahkan tidak pernah lagi melihat ke si pemuda, seolah-olah sudah menganggapnya sebagai orang mati.

Tepat pada saat itu, mereka melihat ada seorang lagi berjalan masuk ke gang jelek ini dengan amat santainya.

Seorang yang belum pernah mereka jumpai, dan seorang yang belum pernah mereka bayangkan.

Rupa orang ini sebenarnya tidak aneh, bahkan dapat dikatakan tidak ada sedikitpun yang aneh.

Dia kelihatannya lebih tinggi sedikit dari orang-orang pada umumnya, barangkali lebih tinggi sedikit dari tinggi badannya yang sebenarnya, sebab dia memakai sepasang bakiak tinggi

model kuno, walaupun berjalan didalam gang sempit yang becek, tidak ada sedikitpun lumpur kotor menciprati sepasang kaos kaki putih yang dipakainya.

Pakaiannya meskipun tidak mewah, namun mutu bahan pakaian dan pembuatannya amat bagus, kombinasi warnanya juga membikin orang merasa nyaman.

Dia tidak membawa pedang juga tidak membawa senjata yang lain, tapi membawa sebuah payung kertas minyak yang amat baru. Namun, ketika ia masuk ke gang jelek yang remang-remang ini dengan menerjang hujan gerimis, sepertinya berjalan didalam taman bunga kekaisaran yang sinar mataharinya cerah sekali dan semua bunga sedang mekar.

Kapan saja, dimana saja, rupanya tak akan berubah, sebab dia adalah orang yang demikian, bahkan didalam situasi sangat sulit dan bahaya pun juga tak akan berubah.

Makanya diwajahnya sepertinya selalu ada senyuman, sekalipun dia tidak tersenyum, orang lain juga akan merasakan ‘sedang’ tersenyum.

Barangkali inilah satu-satunya keanehan orang ini. 000

Sinar lentera yang redup juga menerangi wajah orang ini, sebuah wajah yang bukan sekali pandang langsung membikin para gadis menjadi tergila-gila, namun juga bukan wajah yang menyebalkan.

Selain mie, wajan, sendok, sumpit, kecap, minyak wijen dan irisan bawang, kedai ini tidak berbeda dengan kedai mie yang lain, juga ada sebuah nampan kayu besar, yang diatasnya ditaruh daging sapi-sosis, tahu kering dan telur rebus kecap.

Orang ini sepertinya punya minat yang besar terhadap setiap barang. “Setiap barang aku mau sedikit, khususnya beri tahu kering lebih banyak sedikit” dia berkata: “Selain itu berilah dua guci arak, arak apapun juga boleh”.

“Kalau mie?” Si pemilik kedai bertanya dengan tujuan selidik: “anda mau makan mie apa? Mau berapa mangkok?”

“Setengah mangkok pun aku tidak mau”, dia menjawab sambil bersenyum: “Aku cuma ingin minum arak sedikit, tidak ingin makan mie”.

000

Orang ini ternyata datang bukan untuk makan mie.

Air muka dari tiga orang yang datang untuk makan mie menjadi berubah, di tangan besar yang kurus dari si orang berlengan satu sudah ada otot hijau yang timbul, si pemilik sudah memegang sumpit panjang pengaduk mie.

Tetapi kakinya diinjak oleh istrinya.

“Tempat kami tidak menyediakan arak yang baik, namun tahu kering memang betul- betul lumayan”. Si nyonya berkata sambil tersenyum ‘mengambil hati’: “Tuan silahkan masuk dan duduk, arak dan makanan akan segera aku antarkan”.

000

Didalam tenda yang sederhana dan jelek itu cuma ada tiga buah meja, dan telah ditempati oleh tiga orang yang datang duluan.

Untunglah sebuah meja biasanya bukan cuma boleh dipakai satu orang saja, sebuah meja biasanya akan dipasangkan dengan dua sampai tiga buah kursi, persis seperti sebuah teko teh umumnya dipasangkan dengan beberapa cangkir.

Karena itu orang ini akhirnya juga bisa dapat tempat duduknya.

Tempat yang dia pilih pas berhadapan dengan si orang berbaju hijau yang datang nomor satu, sebab tempat ini paling dekat.

Orang ini sepertinya malas sekali, bisa berjalan sedikit ya akan berjalan sedikit, bisa duduk yang tidak akan berdiri.

Dia bukan saja malas, sepertinya juga agak bodoh, perasaannya juga agak tumpul, sebab ia sama sekali tidak merasakan adanya rasa permusuhan dari orang lain.

Masih belum duduk, sudah bertanya kepada si orang berbaju hijau:

“Langit dan bumi demikian besar, namun manusia demikian kecil, kita berdua bisa menempati meja yang sama, nampaknya sangat berjodoh ya! Aku mau mengundang anda minum secangkir arak, baikkah?”.

“Tidak baik”, sikapnya si orang berbaju hijau tidak dapat dibilang kasar sekali: “Aku tidak minum arak”.

Orang ini meraba hidungnya, sepertinya dia kecewa sekali.

Tetapi ketika arak dan makanan sudah diantarkan, ia jadi gembira lagi, dan berkata: “Meskipun minum arak sendirian tidak menarik, namun sedikit lebih baik daripada tidak ada arak untuk diminum”.

Dia baru saja selesai mengucapkan kalimat ini, lalu terdengar ada orang yang bertepuk tangan.

“Ini adalah kata-kata mutiara yang berlaku untuk selama-lamanya!” Ada seorang bertepuk tangan sambil tertawa keras, seraya berkata: “Hanya karena kalimat ini, sudah pantas minum arak sampai mabuk”.

Suara tertawanya nyaring dan penuh semangat, ketika berjalan pinggangnya tegak sekali, pakaianya baru dan rapi sekali, dipinggangnya terselip sebuah pedang panjang dengan sarung hitam, gagang dan sarung pedang digosok sampai berkilauan.

Supaya orang lain mempunyai kesan yang baik terhadapnya, ia betul-betul telah berusaha.

Sayangnya ini semua tidak dapat menutupi kesusahan, kekuyuan dan keletihannya, walaupun ia berharap orang lain tidak menyadarinya.

“Sayang saat ini aku tidak bisa menemani anda minum arak, aku mau makan mie dulu”. Dia berjalan cepat ke kedai dan berkata: “Aku mau tiga mangkok mie, tiga mangkok besar”.

Si pemilik mendelik padanya, sepertinya ingin sekali mencekik lehernya, dan menanyainya kenapa tidak bisa melihat ada seorang yang datang bukan untuk makan mie, menanyainya kenapa sama sekali tidak mengerti hal ini?

Si pria paruh baya yang datang terakhir itu juga balas mendelik, tiba-tiba berkata sambil tertawa dingin: “Mengapa kamu tidak membuka mulut? Apa maksudnya ini? Apakah kau menganggap aku Jiao Lin sudah tua, sehingga tidak mampu makan mie kalian?” Suaranya menjadi parau karena marah:

“Makan atau tidak makan mie juga tidak apa-apa, tapi aku harus membuat kamu tahu bahwa apakah aku masih memiliki kemampuan atau tidak!”

Dia telah menghunus pedangnya.

Caranya menghunus pedangnya sudah bagus dan tepat, tetapi tangannya sudah tidak begitu mantap.

Sepasang sumpit bambu dari si pemilik kedai tiba-tiba sudah bergerak, menikam dengan sangat cepat ke arah kedua mata dari si pria paruh baya!

Pedangnya masih belum tiba diuluhati lawan, sumpit lawan sudah hampir mengenai bulu matanya!

Dia terpaksa mundur.

Baru mundur satu langkah, sumpit mendadak memukul kebawah, dan mengenai tulang pergelangan tangannya, dengan berbunyi ‘tang’ pedang jatuh ke tanah.

Bersamaan dengan jatuhnya pedang, Jiao Lin seolah jatuh dari loteng yang tinggi, dan jatuh masuk ke jurang yang teramat dalam!

Hanya dalam waktu yang sekejap ini, semua kelemahan yang berusaha ditutupinya telah kelihatan semua, ketuaan dan kemelaratannya, kedua tangan yang sudah tidak bisa dikendalikan kemantapannya, bahkan robekan yang terdapat di kerah baju dan ujung lengan baju, juga terlihat jelas sekali.

Tetapi sudah tidak ada lagi yang mau melihatnya!

Dia dengan pelan-pelan membungkuk, dengan pelan-pelan mengambil pedang yang terpukul jatuh ke tanah, lalu mundur selangkah demi selangkah, matanya terus menatap sumpit dari si pemilik.

Tangannya bergemetaran, sorot matanya penuh dengan keputus-asaan dan ketakutan, seolah-olah tahu bahwa setiap kali mundur satu langkah adalah lebih dekat satu langkah dari kematian!

Orang yang sedang minum arak itu tiba-tiba berdiri, mengeluarkan sekeping uang perak dan meletakkannya di atas meja, lalu membuka payung, berjalan menghampiri Jiao Lin dan memapahnya.

“Aku tahu bahwa kecanduan arakmu sudah kambuh.” Dia berkata sambil tersenyum: “Tahu kering di tempat ini memang lumayan, namun araknya terlalu masam, mari kita cari tempat lain untuk minum arak”.

000

Bakiak tinggi kuno berjalan di atas lumpur, payung kertas minyak yang masih baru menahan hujan gerimis, tangan yang lain memapah Jiao Lin, keduanya dengan pelan- pelan berjalan keluar dari gang.

Si orang berlengan satu menatap mereka, mata tunggalnya telah mengeluarkan hawa pembunuhan, si orang berbaju hijau

sudah berdiri, si pemuda sudah menggenggam pedangnya, si pemilik kedai juga sudah siap melayang untuk mengejar.

“Jangan bergerak”!

Si nyonya pemilik tiba-tiba menggebrak meja, dan berkata: “Siapapun tidak boleh bergerak, siapa yang bergerak akan mati!”

Air muka si pemilik jadi berubah

“Kali ini aku tidak bisa menuruti kamu, kita tidak boleh membiarkan Jiao Lin hidup,” suaranya dilirihkan: “Urusan ini resikonya terlalu besar, Jiao Lin sedikit banyak sudah mengetahuinya, sekalipun orang seprofesi dia cukup bisa dipercaya, kita juga tidak bisa menempuh resiko.”

“Justru karena kita tidak bisa menempuh resiko, maka kita tidak boleh bergerak,” Si nyonya berkata: “Begitu kita bergerak, maka urusan ini pasti gagal.”

“Masa kamu takut kepada Jiao Lin? Masa kamu tidak melihat dia sudah habis?”

“Yang aku takuti bukan dia,” si nyonya berkata: “Sepuluh orang Jiao Lin pun tidak bisa menandingi satu jari tangan dari orang itu!”

“Orang itu?” Si pemilik bertanya: “Masa yang kau takuti adalah si setan arak yang berdandan ala playboy itu?”

“Sedikitpun tidak salah, yang kutakuti adalah dia!” Si nyonya berkata: “Tadinya aku berniat membunuhnya, untung tiba-tiba aku mengenalinya, kalau tidak, mungkin saat ini kita sudah habis.” Tiba-tiba si orang berlengan satu berkata sambil tertawa dingin: “Sudahkah kamu mengenali aku adalah siapa? Apakah kamu sudah melupakan aku?”

Si nyonya mendesah dengan lirih, dan berkata: “Aku tahu anda adalah orang yang tak takut kepada siapapun, aku juga tahu sejak kalah satu kali di Bashan, selama empat tahun ini

bertanding dengan 13 jagoan dari tujuh perkumpulan besar, semuanya menang! Bahkan pada bulan yang lalu, hanya dalam satu jurus saja, anda telah membunuh Zhuo Fei dari Diancang dengan pedang!”

Si orang berlengan satu berkata dengan dingin: “Yang aku bunuh dalam satu jurus bukan hanya Zhuo Fei seorang saja!”

Satu jurus saja sudah merenggut nyawa lawan, ilmu pedang ini alangkah kejam dan dahsyatnya!

“Tetapi anda pasti tidak bisa membunuhnya hanya dengan satu jurus saja,” si nyonya berkata: “Dibawah kolong langit ini tidak ada satu orang pun yang bisa dalam satu jurus saja membunuhnya, juga tak ada satu orang pun yang bisa membunuhnya dalam seratus sampai seribu bahkan sepuluh ribu jurus sekalipun!”

Dia dengan suara lirih melanjutkan kata-katanya: “Sebab seingatku seumur hidupnya sepertinya tidak pernah kalah!”

Si pria berlengan satu terkesiap dan bertanya: “Sebenarnya dia siapa?”

Si nyonya akhirnya mengucapkan namanya orang itu, nama ini seolah-olah adalah semacam mantra, yang punya kekuatan yang luar biasa, yang menyebabkan setiap orang berubah air mukanya dan terdiam!

000

Nama yang terucap adalah: ‘Chu Liuxiang’. 000

01. Bulan Sabit di Saputangan Sutra Murni Tembok yang tinggi, rumah yang luas, pekarangan yang besar.

Chu Liuxiang membawa Jiao Lin ke sebuah pintu kecil di belakang rumah, dan berkata kepadanya "Tunggulah di sini, jangan pergi ya!"

Jiao Lin menjadi termangu-mangu.

Karena si orang aneh yang asing itu begitu selesai berkata, langsung seperti elang dibawa angin masuk ke belakang tembok tinggi itu, dan segera tidak kelihatan!

Cara kerja orang ini sepertinya berbeda sama sekali dengan orang lain, Jiao Lin sama sekali tidak bisa memahaminya, bahkan namanya saja tidak tahu.

Tetapi Jiao Lin mempercayainya.

Sejak dulu Jiao Lin tidak percaya kepada siapapun, tapi bisa percaya kepadanya, sampai-sampai Jiao Lin sendiri pun tidak mengerti mengapa ia begitu mempercayainya.

000

Malam hampir berlalu, hujan telah berhenti.

Jiao Lin tidak menunggu lama, pintu kecil itu terbuka, keluar 2 orang anak kecil yang tampan, menenteng lampion, dan mempersilahkan tamu masuk.

Jiao Lin mengikuti mereka masuk.

Pekarangan itu dalam sekali, dengan sinar lampion yang tak begitu terang, masih bisa melihat adanya bunga-bunga, batu-batu dan gazebo yang indah sekali.

Chu Liuxiang menunggu di luar pintu dari sebuah halaman kecil, senyuman cerah tersungging di wajahnya; sinar lampu rumah terang benderang, di atas meja telah disediakan arak, semua hal ini mendatangkan kebanggaan di hati si pengembara yang melarat ini.

Jiao Lin bukan orang yang bawel, namun pada saat ini mesti bertanya: "Tempat apakah ini?"

"Tempat yang boleh kau tinggal tiga bulan", Chu Liuxiang menjawab sambil tersenyum: "Sebenarnya mau tinggal lebih lama pun boleh, tapi aku tahu dimana pun kau tinggal tak akan melebihi tiga bulan."

"Mengapa aku mesti tinggal tiga bulan di sini?"

"Sebab tidak ada orang yang bisa menduga kau dapat tinggal di sini, juga tak akan ada orang yang datang mengganggu. Setelah tiga bulan, keadaan akan berubah, saat itu sudah tak ada lagi orang yang buru-buru mau menemukanmu". Chu Liuxiang berkata: "Setiap orang nyawanya cuma satu, orang yang tak bernyawa tidak bisa minum arak".

Jiao Lin mulai minum arak, arak yang panas mulai memanasi darahnya yang dingin.

"Aku hanya seorang pengembara yang melarat, tanganku sudah tidak mantap, cita- citaku juga sudah sirna, hari ini kalau tidak ada anda, mungkin aku sudah dibunuh orang", Jiao Lin berkata dengan sedih: "Boleh dikata aku orang ini sudah habis, lalu kenapa anda berlaku demikian kepadaku?"

"Tidak tahu ya", Chu Liuxiang berkata: "Aku melakukan sesuatu umumnya tidak ada alasan yang terlalu baik".

"Apakah anda tahu kedua suami istri penjual mie itu siapa?

Tahukah kenapa malam ini mereka mau mengumpulkan orang-orang macam kami ini?" "Aku tidak tahu, juga tidak ingin tahu".

"Mengapa?"

"Sebab kerepotanku sudah cukup banyak", Chu Liuxiang berkata sambil tersenyum pahit: "Aku bisa jamin, kau pergilah mencari delapan sampai sembilan orang secara acak, jumlahkanlah kerepotan mereka, juga tak akan mencapai setengahku!"

"Tetapi anda telah menambahkan satu kerepotan lagi".  "Oh?"

"Orang-orang yang tadi duduk di dalam kedai untuk makan mie itu, kecepatan dalam membunuh, tuntutan harga yang tinggi, sekarang ini sudah jarang ada orang yang bisa menyamai mereka, orang yang mampu membayar mereka juga tidak banyak". Jiao Lin berkata: "Anda seharusnya dapat menduga bahwa yang dikerjakan mereka pasti adalah sebuah urusan rahasia yang amat besar".

"Aku sedikit banyak dapat menduganya".

"Orang yang dapat menduga sedikit saja, tentu tak akan mereka lepaskan! Mereka tak akan keberatan kalau membunuh 1 orang lebih".

Chu Liuxiang tersenyum dan berkata: "Hal ini juga terpikir olehku, namun mereka pasti sedikit sungkan kepadaku, sedikit banyak pasti memberi muka kepadaku".

"Mengapa"?

"Sebab diantara mereka rupanya ada seorang yang mengenaliku".

Jiao Lin selama ini terus menundukkan kepala, dan memandangi arak didalam cangkir, mendengar perkataan ini baru mengangkat kepalanya.

"Sekarang aku baru paham kenapa mereka bisa membiarkanku pergi!" Matanya yang kuyu dan tak bersemangat itu mendadak berbinar-binar: "Galah bambu hitam yang panj ang, tidak ada korban yang hidup! (pujian dari orang-orang dunia persilatan untuk si orang berlengan satu) Bahkan ia pun tidak mengapa-apakan aku!"

Dia mengangkat cangkir dan minum arak sampai habis, tertawa keras sambil berkata: "Sekarang aku baru paham siapa yang ditakuti oleh mereka! Aku orang yang demikian sial, siapa sangka masih punya keberuntungan bisa bertemu anda!"

Dia berturut-turut minum habis 3 cangkir arak, dan jadi agak mabuk.

"Asalnya aku memang ingin mendapatkan pekerjaan itu, sebab ku tahu harga yang ditawarkan mereka tentu tidak rendah, paling sedikit bisa membuat aku bernikmat- nikmat selama 1-2 tahun! Aku juga tahu siapa yang mau dibunuh mereka, ia memang pantas mati, "Jiao Lin berkata: "Walaupun kedua tanganku berlumuran darah, namun tidak pernah mengambil sepeserpun uang yang tidak benar. Aku menginginkan pekerjaan itu, cuma karena tidak mau mati kelaparan. "Dia tertawa keras lagi: "Tetapi hari ini aku dapat bertemu dengan Pendekar Harum Chu yang sangat kesohor itu, maka mati pun aku sudah tidak menyesal!"

"Engkau tidak akan mati", Chu Liuxiang berkata: "Seorang yang belum saatnya mati, mau mati pun tidak begitu mudah".

Tiba-tiba ia mulai meraba hidungnya: "Aku punya seorang kawan yang tidak mati- mati, setiap kali orang mengira dia akan mati, tapi akhirnya tidak mati juga".

Begitu menyinggung kawan ini, sepertinya dia tak dapat menahan diri untuk tidak meraba-raba hidung, dan berkata sambil menghela napas: "Sudah bertahun-tahun aku tidak berjumpa dengannya, tak disangka tiba-tiba ada kabarnya".

"Kabar apa?"

"Ia mau aku pergi mencarinya, mencari dia di atas sebuah pohon". "Sebuah pohon?" Jiao Lin berusaha menutupi keterkejutannya: "Maksud anda semacam pohon yang ada ranting dan daunnya?" "Betul"

"Kawan anda berada di atas sebuah pohon dan menunggu anda pergi mencari dia?"

"Mungkin ia sudah menunggu lama sekali di sana, mungkin ia sudah menunggu 10-20 hari".

"Terus menunggu di atas pohon?"

 "Mungkin iya".

"Aku tidak mengerti, betul-betul tidak mengerti".

Jiao Lin tersenyum pahit: "Kadang-kadang aku juga suka duduk-duduk di atas pohon, sambil minum arak atau memetik buah-buah untuk dimakan. Tapi kalau aku menunggu orang, siapapun juga, aku tak akan menunggu demikian lama di atas pohon'.

Tetapi Chu Liuxiang hanya bertanya satu kalimat, dia segera mengerti. "Bagaimana kalau kamu tidak dapat turun dari pohon itu?"

"Kawan anda itu sedang menghadapi bahaya, makanya bersembunyi di atas pohon itu, menunggu anda pergi menyelamatkannya." Jiao Lin berkata: "Kalian tentunya adalah kawan lama, pohon itu pasti adalah tempat yang dulunya sering kalian datangi, diantara kalian pasti sudah menetapkan semacam sandi minta tolong pada waktu darurat, sehingga meskipun anda tidak ada di dekatnya, teman-teman anda setelah melihatnya pasti berusaha memberitahu anda".

Dia melanjutkannya: "Pendekar Harum Chu mempunyai pergaulan yang amat luas, dimana pun juga punya kawan, tuan rumah di sini pasti juga adalah kawan anda, jika tidak bagaimana bisa menerimaku?"

Selesai berkata, Jiao Lin dengan cepat minum secangkir arak lagi, karena ia tiba-tiba tahu bahwa ia tidak saja tidak mabuk, otaknya masih "encer" sekali, bahkan lebih "encer"

dari kebanyakan orang.

Chu Liuxiang tersenyum dan berkata: "Engkau menjelaskannya sepertinya lebih jelas dari aku sendiri yang menjelaskannya, maka sekarang aku akan mengucapkan dua kata kepadamu".

"Dua kata yang mana?" "Sampai jumpa!"

000

`Sampai jumpa' adalah dua kata yang amat sederhana, namun maknanya terkadang amat rumit, kadang berarti: "Ingin sekali berjumpa lagi", kadang berarti: "Segera akan berjumpa lagi", tapi kadang mungkin berarti: "Selama-lamanya tidak mau berjumpa lagi!"

Namun ada satu hal yang tidak berubah: ketika anda mengucapkan kedua kata ini, jika tidak pada ketika anda sendiri mau pergi, ya pada ketika anda ingin orang lain pergi.

Chu Liuxiang tidak ingin Jiao Lin pergi, dia sendiri mau pergi.

Biasanya dia bilang pergi ya pergi, namun kali Jiao Lin bisa menahannya, hanya dengan lima kata: "Anda pergi, aku juga pergi".

Melihat badan Chu Liuxiang yang hampir pergi dibawa angin jadi berhenti, Jiao lin berkata: "Aku tahu kawan yang akan anda cari itu pastilah Hu Tiehua, aku juga tahu demi dia, anda dapat mengesampingkan semua hal, tetapi aku juga mau mencari satu orang, hubungan aku dengan orang ini, jauh lebih dalam dari hubungan anda dengan Hu Tiehua".

"Siapakah dia?"

"Anak perempuanku, anak kandungku," Jiao Lin berkata:

"Walaupun aku tidak tahu dimanakah dia, tetap saja akan kucari". "Anakmu ada dimana kau sendiri pun tidak tahu?"

Chu Liuxiang mengelus lagi hidungnya, lama sekali baru berkata: "Kamu boleh tidak pergi".

Selama ini dia bukanlah orang yang semena-mena, namun kalimat ini kedengarannya tidak logis, tentu saja Jiao Lin bertanya: "Mengapa"?

"Sebab barusan aku menyelamatkanmu, dan aku benar-benar tidak ingin kamu mati. Apalagi kau sendiri tidak tahu anakmu ada dimana, bagaimana mau mencarinya"?

"Aku punya caranya".

"Asalkan kamu memberitahukan caramu padaku, aku bisa bantu mencarinya, makanya kau boleh tidak pergi. Jika aku saja tidak bisa menemukannya, kamu juga pasti tidak bisa menemukannya".

Tidak ada orang yang bisa menyangkal kata-kata ini, Chu Liuxiang memang bukan orang yang semena-mena.

Sinar mata Jiao Lin segera terang lagi, segera mengeluarkan sebuah saputangan sutra murni.

Saputangan sutra yang putih itu telah menjadi kekuningkuningan, di atasnya tersulam sebuah bulan sabit yang melengkung dengan benang sutra merah.

"Sebelum dia lahir ibunya telah berpisah denganku, aku hanya tahu bahwa di bawah lehernya ada sebuah toh, bentuknya sepertibulan sabit yang tersulam di saputangan ini".

Jiao Lin berkata: "Sayangnya aku juga tidak tahu ibunya pergi kemana sejak berpisah denganku, karena, itu adalah hal yang terjadi pada 18 tahun yang lalu".

000

Sebuah saputangan, sebuah toh yang terletak di bawah leher, `di bawah leher' biasanya berarti: di atas payudara!

Seorang gadis yang berusia tahun, sekalipun seorang idiot, juga tidak mungkin dengan sembarangan memperlihatkan bagian ini kepada orang.

Chu Liuxiang menjadi terkesima. Ketika ia melihat ekspresi wajah Jiao Lin, serta menerima saputangan segera sadar bahwa seolah-olah naik lagi. ke sebuah kapal perampok, dan ia menaikinya dengan sangat suka rela!

Jiao Lin berkata lagi: "Tentu aku tahu bahwa sungguh tidak mudah pergi mencarinya, untungnya aku juga tahu bahwa selama ini belum ada hal yang tidak bisa dilakukan oleh Chu Liuxiang, makanya hatiku lega sekali".

Tentu saja hatinya lega sekali, karena kesulitan yang tak mampu diatasinya ini telah dilemparkan kepada orang lain laksana sebuah ubi jalar yang panas!

Melemparkan kepada satu-satunya orang di dunia ini yang mau menerimanya!

Chu Liuxiang lama sekali memandang dia, tiba-tiba tertawa dan berkata: "Kamu si rubah tua ini, mengapa kamu tidak sekalian saja menyuruh aku memetik rembulan di langit untukmu?"

000

Tetapi sekarang yang paling menguatirkan Chu Liuxiang bukanlah "bulan sabit" yang keberadaannya tidak diketahui, melainkan adalah sebuah "kandang anjing" di atas sebuah pohon besar, yang ada di pedalaman bukit tidak jauh dari sini, serta seorang yang bersembunyi di "kandang anjing".

Sebuah pohon yang amat besar dan amat tinggi .

Pada saat itu ia dan Hu Tiehua masih anak kecil, mereka membangun sebuah rumah kayu kecil diantara ranting pohon yang paling lebat daunnya, dengan bahan kayu yang sama warnanya dengan pohon itu, sedikit lebih besar dari sarang burung, ya hampir sebesar sebuah rumah orang zaman purba yang tujuannya untuk melindungi diri dari serangan binatang buas.

Saat itu mereka cuma karena kesenangan saja dalam pembuatan rumah kayu macam ini.

Hu Tiehua berusul: "Bagaimana kalau kita menamakan tempat ini sebagaìkandang anjing'?"

"Kenapa kasih namàkandang anjing'?" Chu Liuxiang tidak setuju: "Hanyalah elang dan rajawali yang bisa membangun sarang di tempat ini; kita kan bukan anjing, dan anjing juga tidak bisa naik pohon, kenapa mesti menamakan tempat ini kandang anjing'?"

"Sebab aku menyukai anjing". Jawaban Hu Tiehua sering membuat Chu Liuxiang mengelus hidung. Siapa tahu bahwa pada suatu hari kita akan dikejar-kejar orang seperti anjing-anjing liar yang tidak punya tempat persembunyiannya, pada saat itulah kita dapat bersembunyi di sini".

Maka tempat itu ditetapkan namanya sebagai "kandang anjing".

Walaupun mereka tidak pernah dikejar-kejar seperti anjing liar, tetap saja pernah ke sana, seraya membawa seguci arak, memetik beberapa buah untuk dimakan, memanjat pohon setelah mabuk, lalu pergi setelah mengeluarkan semua perkataan yang tidak mau, tidak bisa dan tidak berani dikatakan kepada orang lain. Pada perpisahan yang terakhir mereka berjanji: "Jikalau kita ada bahaya, akan bersembunyi kemari, tidak peduli siapa yang datang duluan, maka yang satunya harus datang menolongnya".

Hu Tiehua masih berkata: `Kalau aku yang datang, aku pasti menuliskan 2 kata "kandang anjing", di setiap tempat yang sering kau datangi, orang lain tidak dapat mengerti apa artinya, namun engkau pasti dapat mengerti. Pada saat itu keadaannku pasti gawat sekali, maka begitu melihat harus buruan datang, jika datang terlambat sedikit, mungkin kamu harus beli peti mati untukku".

000

Chu Liuxiang telah melihat kedua kata itu, tertulis dengan kapur putih, dan terlihat di banyak tempat.

Ketika melihat kedua kata itu, kapurnya sudah hampir terkelupas, menurut perkiraannya, dari Hu Tiehua menulis sampai terlihat olehnya, paling sedikit sudah 15-20 hari.

Meskipun belakangan ini ia sering berada di Jiangnan, namun daerah ini amatlah luas, jika ia dalam waktu 20 hari bisa menemukan kedua kata yang dijanjikan pada

10 tahun

yang lalu, maka boleh dikata nasibnya Hu Tiehua cukup bagus.

Tetapi waktu 20 hari adalah waktu yang tidak pendek, jumlah orang yang mati dalam kurun waktu ini mungkin lebih banyak dari jumlah semut yang dapat dilihat orang sepanjang hidupnya, boleh jadi Hu Tiehua adalah salah satunya.

000

Hu Tiehua tidak mati, malahan Chu Liuxiang yang hampir mati karena marah!

Ketika Chu Liuxiang menemukan dia, bukan saja dia sedikit pun tidak dalam bahaya, bahkan lagi asyik-asyiknya bersenang-senang dengan wanita!

000

Gunung masih tetap gunung itu, pohon juga masih tetap pohon itu.

Gunung yang menghijau dan terselubung oleh kabut itu, sepertinya tidak berubah apa-apa.

Tetapi 'kandang anjing' yang di atas pohon itu telah berubah.

Bentuk luarnya mungkin belum berubah, karena dibangun oleh bahan kayu terbaik dan dua pasang tangan yang terampil, sehingga meskipun dilanda angin dan hujan bertahun-tahun, masih tetap kokoh.

Tetapi bagian dalamnya telah berubah.

Di dalam dunia ini sudah tidak ada seorang pun yang akan menganggap tempat ini adalah "kandang anjing"!

Karena tempat ini lebih layak disebut sebagaìTempat Firdaus' ataùTempat Dewa- Dewi!'

Rupanya Hu Tiehua sama sekali tidak mirip dengan anjing liar yang diburu-buru! Tempat ini sebenarnya cuma ada: 1 meja kayu kecil, 2 tikar yang robek, dan beberapa guci kosong.

Namun sekarang semuanya telah berubah. Seolah-olah ada seorang dewa yang pernah datang ke sini, dengan sebuah jari tangan yang bisa merubah besi jadi emas, semua benda yang terdapat di tempat ini disentuh sedikit.

Maka dua tikar robek itu tiba-tiba berubah menjadi permadani bulu dan kulit hewan yang paling empuk, paling hangat dan paling mahal!

Maka guci kosong yang terbuat dari lumpur kering, tiba-tiba berubah menjadi

guci-guci yang terbuat dari giok putih atau emas kuning, dan isinya adalah arak- arak terbaik yang didatangkan dari berbagai tempat.

Maka Hu Tiehua yang berkumis dan berjenggot, seorang pengembara yang melarat, juga berubah menjadi 5 orang 1

pria dan 4 wanita!

000

Yang wanita tentu saja adalah gadis-gadis yang bisa membuat para pria mabuk kepayang, gadis-gadis yang bisa membuat para pria sulit tidur: yang satu mungil dan manis, yang satu lemah-lembut, yang satu sehat dan kekar, yang satu sangat langsing.

Yang pria tentu saja adalah orang yang pantas bagi gadis-gadis cantik ini: tinggi tegap dan matang, rambut tersisir rapi, kumis dan jenggot tercukur bersih. Dibandingkan dengan Hu Tiehua yang dulunya dalam 1 bulan tidak pernah mandi, cuci muka dan cukur kumis dan jenggot, benar-benar adalah 2

orang yang berbeda sama sekali!

Yang tidak berutung adalah: begitu melihat, Chu Liuxiang segera tahu bahwa 2 orang yang berbeda ini sebenarnya adalah 1 orang!

Sekalipun Hu Tiehua dibakar jadi abu, tetap saja Chu Liuxiang bisa segera mengenalinya.

 000

Mengapa Orang ini bisa berubah? Mengapa tempat ini bisa berubah? Chu Liuxiang tidak dapat mengerti.

Seandainya ada 1 dewa yang turun ke dunia ini, dan seandainya ada 1 jari tangan yang dapat menciptakan mujizat, maka dia ingin sekali meminjam jari tangan ini, menyentuh Hu Tiehua yang telah berubah ini, merubahnya menjadi seekor babi!

02. Penyayang Wanita Cantik Manusia tidak akan berubah menjadi babi, tapi seandainya Hu Tiehua berubah menjadi babi, juga tidak akan membuat Chu Liuxiang jadi tambah heran!

Sampai bermimpi pun ia tidak pernah menduga Hu Tiehua berubah menjadi demikian.

Hu Tiehua juga sedang memandangnya, ekspresi wajahnya persis seperti baru pertama kali melihatnya, dan di wajah orang ini bertumbuh setangkai bunga trompet!

"Apakah kamu salah minum obat?" Hu Tiehua bertanya:

"atau ekormu terinjak orang?"

"Orang ini mempunyai ekor?" Seorang gadis mendelikkan matanya yang memang besar, dan berkata: "kenapa aku tidak bisa melihat ekornya ada dimana?"

"Seorang kalau sudah berubah menjadi seekor rubah tua, sekalipun berekor juga tak akan terlihat orang". Hu Tiehua berkata dengan mimik serius: "Tapi coba lihat, bukankah rupanya agak aneh? Mirip tidak dengan orang yang baru saja menelan seekor kutu busuk yang besar dan gemuk?"

Para gadis mulai tertawa cekikikan, bunyi tertawa mereka sangat memikat seperti orangnya.

Chu Liuxiang memandangi tangannya, ingin sekali tangannya dikepal dan dipukulkan ke arah hidung Hu Tiehua, agar hidungnya patah jadi dua. Seseorang kalau hidungnya patah jadi dua, pasti tidak akan berkata seperti orang kentut!

Cuma sayangnya Chu Liuxiang tidak punya kebiasaan memukul hidung kawannya, maka terpaksa tangannya dipakai untuk mengelus-elus hidung.

Para gadis tertawanya tambah senang, tiba-tiba ia ikut tertawa, bahkan tertawanya lebih senang dari mereka.

"Asyik, asyik, sungguh-sungguh mengasyikkan"! ia bertanya kepada Hu Tiehua: "Sejak kapan kamu berubah jadi orang yang mengasyikan? Kenapa sedikit pun aku tidak tahu?"

"Masa' kamu tidak merasa asik?" Hu Tiehua berkedip dan berkata: "Masa' kamu mendongkol gara-gara aku?"

Ia berkata bagaikan orang yang merasa dirinya benar sekali: "Masa' kamu baru senang, kalau aku dipukul sampai babak belur, dan bersembunyi di sini seperti anjing liar?"

Diatas meja kecil penuh dengan buah-buah, manisan, roti dan daging, serta 2 guci arak.

Dia bertanya lagi kepada Chu Liuxiang: "Apakah kau tahu ini arak apa? Yang ini adalah arak nuerhong yang berusia 30

tahun: Yang itu adalah arak Luzhoudagu yang terbaik".

(Nuerhong dan Luzhoudagu adalah jenis arak yang terkenal dan mahal).

Dia merangkul seorang gadis yang berpinggang ramping dan berkaki panjang, yang berada disisinya, dan berkata:

"Walaupun hidungmu kurang berfungsi, tapi matamu tajam sekali, tentu saja bisa tahu beberapa nona ini, setiap orang cantiknya 18 x lipat dari gadis-gadis yang pernah kita ketemu".

Hu Tiehua menggeleng-geleng kepala sambil menghela napas: "Seseorang kalau mempunyai arak yang demikian bagus dan gadis-gadis yang demikian cantik, ternyata tidak lupa memanggil kawannya datang untuk menikmati bersama, maka orang ini adalah kawan yang luar biasa! Andaikata aku punya kawan yang demikian baik ini, aku pasti berlutut dan mencium kakinya sambil menangis".

Chu Liuxiang tertawa, kali ini betul-betul tertawa. Jikalau anda punya kawan begini, anda mau apakan dia? Menggigitnya?

Gadis yang bermata besar itu berkata sambil tertawa:

"Tenang, dia tidak sungguh-sungguh menginginkan anda mencium kakinya kok, dia cuma rindu setengah mati kepada anda, makanya anda dipanggil kemari dengan sedikit tipu daya, tujuannya cuma mau anda menemaninya minum arak saja".

Dia berlutut di depan meja kecil itu, menuangkan arak nuerhong ke sebuah cawan giok putih sampai penuh; sepasang tangannya lebih putih dari giok putih, ditangannya memakai sebuah cincin zamrud hijau.

Chu Liuxiang mulai duduk dan memandangi tangan gadis itu, gayanya seperti bandot tua!

"Siapa namamu?"

Si gadis tambah manis tertawanya, cawan arak itu diberikan kepada dia sambil berkata: "Habiskan arak ini dulu, baru kuberitahu anda".

"Tidak bisa, minum 1 cawan tidak cukup". Chu Liuxiang berkata: "Paling sedikit aku harus minum 18 cawan".

Dia mengulurkan tangan, bukan untuk menerima cawan, malahan memegang sepasang tangan si gadis yang putih mulus!

Si gadis tertawa manja: "Anda jahat, anda sungguh adalah orang jahat!"

"Aku memang orang jahat". Chu Liuxiang tersenyum licik:

"Aku bisa jamin, aku lebih jahat l0x lipat dari yang kamu sangka".

Terdengar bunyi "kletak", sepasang tangan yang seperti giok putih dari si gadis telah diplintir sampai patah!

Cawan giok putih di tangannya dilempar oleh Chu Liuxiang dan dengan tepat menghantam pinggang gadis yang berpinggang ramping itu.

Cincin zamrud si gadis telah dilepas oleh Chu Liuxiang, dijentik dengan 2 jari dan tepat mengenai jalan darah di bahu kiri dari gadis yang satunya lagi.

Ketika si gadis bermata besar itu memekik kesakitan, mereka sudah tidak bisa bergerak! Ketiga gadis itu terkejut sampai termangu-mangu.

Sampai bermimpi pun mereka tidak pernah menduga bahwa orang yang kelihatannya penyayang wanita cantik, ternyata bisa berbuat demikian terhadap mereka.

Gadis terakhir yang kelihatannya paling lemah paling lembut dan paling mungil, mendadak mengeluarkan sebilah pisau pendek yang berkilau, dan ditodongkan ke tenggorokannya Hu Tiehua!

"Chu Liuxiang, aku kagum kepadamu, kau betul-betul hebat! Aku sungguh tidak mengerti kenapa kau dapat melihat ada ketidakberesan di tempat ini". Dia berkata dengan nada benci: "Namun jika kau bergerak lagi, akan ku penggal kepalanya!"

Siapapun bisa melihat bahwa dia bukan sekedar gertak sambal!

Di dunia ini memang ada semacam gadis, yang biasanya kelihatan lebih jinak dari kucing kecil, namun jika gelagatnya tidak baik, ia akan mengeluarkan kuku-kuku tajamnya, bukan saja mencakar anda sampai bercucuran darah, bahkan

mencakar anda sampai mati pun dia tidak akan berkedip matanya! Tidak salah lagi, gadis ini adalah orang yang demikian.

Hu Tiehua meskipun masih tersenyum, namun wajahnya mulai pucat sekali; tetapi Chu Liuxiang tidak ambil pusing.

"Penggallah, cepatlah penggal, terserah mau pakai cara apa". Dia tersenyum dan berkata: "Kepala itu kan bukan kepalaku, kamu penggal tidak akan menyakitkanku".

Dia ternyata duduk lagi, seperti ingin nonton sandiwara saja, dengan ekspresi wajah mau menikmati tontonan!

"Kau penggal, aku tonton", Chu Liuxiang makin tersenyum gembira: "Menonton kau yang demikian cantik ini memenggal kepala orang, pastilah menarik!"

Hu Tiehua berterika: "Menarik? Kau masih bilang ini menarik? Kawan macam apakah kau ini?"

Chu Liuxiang tersenyum santai: "Kawan macam aku ini memang langka, mau ketemu satu pun tidak mudah, hari ini kalian sudah melihatnya, ini sungguh rejeki kalian".

Gadis yang mau memenggal kepala orang itu mulai panik, sepasang mata yang mulanya penuh niat membunuh itu mulai menunjukkan tanda ketakutan!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar