Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 14. Penjaga pintu rahasia

Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 14. Penjaga pintu rahasia
Peristiwa Burung Kenari
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 14. Penjaga pintu rahasia

Waktu Coh Liu-hiang membuka mata pula, dilihatnya Kionglam Yan sedang mengawasinya sambil tersenyum. Ternyata dia terbawa kembali ke kamar tidur Induk Air. Im Ki pun sudah bersimpuh duduk dihadapannya.

Roman mukanya tak menampilkan sesuatu perasaan hatinya, seolah kini kembali ke sikap yang semula, dingin, kaku tegas dan berwibawa.

Kionglam Yan berkata dengan suara dingin: “Sudah pernah kuberi tahu kepadamu tak ada orang yang mampu mengambil keuntungan dari pihak Sin cui kiong, demikian pula Coh Liu-hiang yang tak pernah terkalahkan dimedan lagapun tak terkecuali.” dengan tajam ditatapnya Coh Liu-hiang, sambungnya dengan suara lebih tandas: “Sekarang kau sudah mau mengakui bila kau sudah kalah, bukan?”

Coh Liu-hiang menghela napas ujarnya: “Agaknya aku memang harus mengakui.”

“Apa pula yang masih ingin kau utarakan?”

“Apa pulah yang harus kukatakan? Tiada lagi.”

Kionglam Yan tertawa bangga, katanya berpaling kepada Im Ki: “Coba katakan bagaimana kita harus menghukumnya?”

Sebentar Im Ki berpikir, lalu katanya kalem: “Orang ini kaulah yang menawannya, sudah pantas kalau terserah kau mau apakan dia.”

Terpancar cahaya sadis dalam biji mata Kionglam Yan, ujarnya: “Begitu pun baik, biar serahkan saja dia kepadaku.”

Baru saja dia beranjak kehadapan Coh Liu-hiang, tiba-tiba Im Ki bersuara lagi: “Apakah kau hendak menghadapinya seperti kau menghadapi Hiong nio cu?”

Kionglam Yan tertegun sebentar, lama kemudian air mukanya berubah, katanya setelah menghirup napas panjang: “Apakah dia yang memberitahukan kepadamu?”
Tidak menjawab, Im Ki malah bertanya terlebih jauh: “Apakah kau tak pernah menduga bila dia bisa melihat perbuatan rahasiamu?”

Kionglam Yan tidak menjawab, namun dengan jelas Coh Liu-hiang bisa melihat jari-jari tangan orang mulai gemetar, lalu pelan-pelan tergenggam kencang, kuku jarinya sampai memutih saking kencang genggamannya. Sesaat kemudian tiba-tiba dia berkata beringas: “Benar, memang akulah yang membunuh orang itu, jikalau aku salah membunuhnya, tiada halangannya aku menebus dengan jiwaku, tapi orang yang mencuri lihat rahasia orang lain, diapun harus mampus.” jari-jarinya tiba-tiba terulur lempeng dan kaku, telapak tangannya tegak berdiri laksana golok, tiba menebas ke tenggorokan Coh Liu-hiang.

Tapi sebelum telapak tangan ini menyentuh badan Coh Liu-hiang, tiba-tiba badannya sendiri mencelat terbang, entah kapan tahu-tahu Im Ki sudah mencelat bangun, roman mukanya tak menampilkan mimik perasaan hatinya.

“Blang” badan Kionglam Yan yang ramping montok itu menumbuk dinding, lalu perlahan-lahan melorot ke tanah dengan mata terbelalak kaget dia mengawasi Im Ki, sorot matanya penuh diliputi tanda tanya dan keheranan, katanya dengan suara gemetar: “Kau…”

“Aku…” Im Ki tak kuasa bersuara.

Tiba-tiba bercucuran airmata Kionglam Yan, katanya: “Kenapa kau… begitu tega turun tangan terhadapku?”

“Kenapa pula kau tega turun tangan terhadapnya?” balas tanya Im Ki.

“Dia? Siapa? Coh Liu-hiang? ataukah Hiong-nio cu?”

Im Ki tertunduk diam, Coh Liu-hiang juga, membuat jari-jari orang mulai gemetar.

Suara Kionglam Yan seperti meratap gusar: “Ternyata kau masih mencintai dia. Ternyata aku hanya duplikat yang kau peralat demi kepuasan dirimu, kau tega membunuhku untuk menuntut balas kematiannya, tapi tahukah kau kenapa aku harus membunuhnya?”

Im Ki menghela napas, sahutnya: “Aku tahu.”

“Kalau begitu kenapa kau masih…. masih….”

“Kalau kau tidak membunuhnya, mungkin aku sendiri yang akan membunuhnya, tapi jikalau kau membunuhnya, maka aku harus menuntut balas kematiannya, siapapun yang membunuh dia, akupun akan menuntut balas kepadanya.”

Kionglam Yan berdiam sebentar, katanya kemudian dengan masgul: “Maksudmu aku sudah mengerti seluruhnya.”

Maksudnya tidak sukar dimengerti, umpamanya seorang bocah yang melakukan perbuatan nakal, ayah bundanya sudah jelas bakal menghukum atau menghajarnya, tapi jikalau orang lain yang memukulnya, orang yang jadi ayah bunda pasti merasa sakit hati, bukan mustahil ia akan menuntut balas dan adu jiwa kepada orang itu, itulah yang dinamakan cinta kasih, cinta yang selamanya tak bisa diraba oleh manusia, tapi siapapun tak berani menyangkal akan kehadirannya dalam kehidupan manusia.

Im Ki menghela napas, ujarnya: “Baik sekali kalau kau sudah mengetahui, memang aku pun mengharap kau mengerti.”

“Tapi jangan kau lupa, kalau bukan aku, kau…”

“Aku tahu kau sudah menolongku, tapi menolong dan membunuh adalah dua persoalan yang berlainan dan tidak boleh dicampur aduk dalam satu persoalan, aku berjanji akan perlakukan kau baik-baik dalam penguburan dirimu.”

Kembali Kionglam Yan termenung lama baru akhirnya tertawa getir, katanya: “Sekarang benar-benar aku mengerti lantaran apa kau sampai tega membunuhku pula.”

“O!” Im Ki bersuara dalam mulut.

“Kau membunuhku karena aku telah menolong kau.”

“O!”

“Setelah aku meninggal, maka selamanya takkan ada orang yang tahu bahwa kau pernah kecundang ditangan Coh Liu-hiang, takkan ada orang lain yang tahu pula bahwa aku pernah menolongmu, selamanya kau tak sudi menerima kegagalan dan kekalahan yang memalukan itu, maka kau harus membunuhku.”

Im Ki menarik napas, ujarnya: “Biasanya kau memang pintar, mungkin terlalu pandai.”

Kionglam Yan melengak, mulutnya seperti mengigau: “Sebetulnya aku ini pintar atau bodoh, aku sendiripun tidak tahu.” akhirnya dia menutup mata tidak bicara lagi, memang dia takkan bisa bicara lagi.

Hening lelap. Kesunyian yang mencekam sanubari sehingga napas terasa sesak. Coh Liu-hiang pun tidak tega memecahkan keheningan ini atau mungkin dia tidak berani.

Lama juga Im Ki menatap Coh Liu-hiang, katanya: “Apakah kau beranggapan lantaran dia memang menolongku maka aku lantas membunuhnya?”

“Kukira kau bukan orang macam begituan.” sahut Coh Liu-hiang hati-hati.

“Masakah dia tidak lebih jelas mengetahui karakterku dari apa yang kau ketahui?”

“Itulah karena dia memang orang macam itu, maka diapun pandang dan anggap kau seperti dia pula.”

Pandangan hambar dan kosong Im Ki menatap ke tempat jauh, mulutnya menggumam: “Benar, oleh karena kau bukan orang seperti itu, maka kaupun mengatakan aku bukan, jikalau kau orang-orang macam begituan, mungkin dia takkan punya kesempatan untuk menolong aku.”

Memang kalau Coh Liu-hiang seorang culas dan keji, jiwanya mungkin sejak tadi sudah terenggut ditangan Coh Liu-hiang, tapi tidak pernah terpikir oleh Coh Liu-hiang bahwa dia sendiri sebetulnya memang sudah tahu juga.

Sudah tentu dia mengharapkan Im Ki bukan seorang seperti itu, karena kalau Im Ki benar orang yang dikatakan Kionglam Yan, maka sekarang orang bakal menghabisi jiwanya untuk menutup mulutnya. Tapi apakah benar Im Ki orang seperti itu? Coh Liu-hiang tak tahu, dia hanya tahu bahwa mati hidup jiwanya sekarang berada digenggaman tangan Im Ki. Dia pun sudah merasakan betapa asin rasa keringat dinginnya sendiri.

Beberapa kejap pula, tiba-tiba Im Ki bertanya: “Tahukah kau kenapa kali ini bisa kalah?”

“Apa pula bedanya bila aku tahu dan tak tahu?”

“Kau harus tahu kekalahanmu kali ini, adalah karena hatimu terlalu lembek.”

“Dan kau? Mengapa hatimu selamanya tidak pernah lembut?”

Lama Im Ki menerawang perkataan ini, tiba-tiba dia tertawa dingin, katanya: “Hatiku! Kau kira aku masih punya hati?”

Coh Liu-hiang geleng-geleng sambil menghela napas, hatinya serasa mencelos. Dia kira kini dirinya betul-betul tiada harapan sama sekali. Tak nyana Im Ki melanjutkan dengan suara rawan: “Lantaran aku sendiri sudah tidak memiliki apa-apa lagi, oleh karena itu mati hidupmu sekarang sudah tiada sangkut pautnya pula dengan diriku, aku malah sudah malas untuk membunuhmu.” tiba-tiba dia balikan telapak tangan menepuk badan Coh Liu-hiang membebaskan tutukan Hiat-tonya.

Keruan Coh Liu-hiang tertegun, sekian lama mulutnya megap-megap: “Kau apakah, kau sudah…”

Tiba-tiba berubah bengis sikap Im Ki, bentaknya: “Apapun yang kupikir tiada sangkut pautnya lagi denganku, lekas kau pergi saja, jangan kau tunggu aku merubah maksudku semula.” lalu dipanggilnya seorang muridnya yang bingung dan ketakutan, katanya: “Bawa orang ini dan dari Sam-cimu, suruh dia bebaskan sekalian ketiga orang yang ditawannya itu.”

Bergegas Coh Liu-hiang merapikan pakaiannya, segera dia menjura: “Terima kasih Kiong-cu.”

Waktu itu seperti paderi tua yang sudah semedi dan kehilangan kesadarannya, Im Ki duduk di tempatnya, seolah-olah selamanya dia orang sudah tak mau bangun lagi.

Pintu baru mulai merapat dan akhirnya tertutup, lambat laun mengalingi pandangan Coh Liu-hiang, maka Induk Air sekarang sudah terkunci didalam pintu batu itu. Bukan saja dia sudah terasing dari keramaian dunia, diapun sudah berpisah dengan jiwa raganya. Tapi pintu itu justru hasil karyanya sendiri.

Coh Liu-hiang menghela napas, dia tahu mungkin selanjutnya takkan ada orang yang bisa menemuinya lagi, jikalau selamanya dia tak pernah berhadapan dan melihat Im Ki pasti sedikitpun dia takkan merasa hambar dan menyesal seperti kehilangan sesuatu. Tapi sekarang entah mengapa, relung hatinya terasa rada pilu dan sendu.

Berdiri disamping di samping murid Sin cui kiong itu, kelihatannya heran dan kaget namun juga ketarik dan ingin tahu, agaknya dia masing bingung dan belum mengerti apa sebenarnya hubungan lelaki ganteng dihadapannya ini dengan gurunya.

“Marilah kita pergi!” akhirnya Coh Liu-hiang membuka suara sambil putar badan lebih dulu. Kembali tak pernah terbayang olehnya, belum lagi ucapannya berakhir, maka dilihatnya Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing sudah beruntun mendatangi dengan langkah terburu-buru. Begitu melihat Coh Liu-hiang, agaknya merekapun amat kaget.

“Ulat busuk.” tak tertahan Oh Thi-hoa berteriak lebih dulu: “Cara bagaimana kau lari keluar?”

Coh Liu-hiang berteriak tak tertahan: “Cara bagaimana pula kalian bisa lari kemari?”

Kedua pihak hampir bersama-sama mengajukan pertanyaan, tak tertahan mereka tertawa geli, apapun yang telah terjadi sekarang kembali bersua dan kumpul bersama, sudah tentu bukan kepalang senang hati mereka.

“Boleh kau bicara dulu, pengalamanmu pasti jauh lebih menarik untuk diceritakan, sebaliknya cerita pengalaman kami sungguh rada kurang menyenangkan.”

“Biarlah kau saja yang cerita duluan, ceritaku teramat panjang untuk diceritakan.”

Sekilas Oh Thi-hoa mengerling ke arah Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing, lalu katanya dengan tawa getir: “Kalau dikatakan memang memalukan, kami bertiga ternyata tetap bukan tandingan Induk Air seorang, jikalau bibi Yong-ji tidak welas asih dan menaruh belas kasihan mungkin kami takkan bertemu lagi dengan kau.”

“Dia melepas kalian keluar?” Coh Liu-hiang menegas.

“Benar.” tutur Oh Thi-hoa, “bersama seorang gadis yang dipanggil Kiu moay mereka mengompres keterangan kami, sudah tentu kami membangkang dan tutup mulut tapi budak yang dipanggil Kiu moay itu memang cewek galak, dia gunakan siksaan hendak mengompres kami, untung bibi Yong-ji bilang kita ini tokoh-tokoh yang punya kedudukan, adalah pantas kalau melayaninya dengan sopan santun, tak nyana cewek galak itu malah marah-marah, dia menuduh bibi Yong-ji sebelumnya sudah sekongkol dengan kami.” dengan dongkol dia menyambung: “Cewek itu galak mulut, galak pula orangnya, banyak kata-kata kotor yang dia ucapkan lagi, saking tak sabar lagi dan gemas bibi Yong-ji tiba-tiba menutuk Hiat-tonya.”

“Dia… mana boleh nekad, masa tidak berbahaya?”

“Sudah tentu apa yang dia lakukan membuat kami terperanjat, karena tata tertib perguruan Sin-cui-kiong amat keras hal ini diketahui setiap insan persilatan, perbuatannya secara tidak langsung sudah mengakui bahwa dia memang ada sekongkol dengan kami durhaka kepada guru dan sekongkol sama musuh sudah tentu dosa kesalahan yang tidak ringan hukumannya, tapi setelah dia turun tangan, sikapnya malah tenang, cuma dia suruh kami lekas keluar mencari kau, katanya mungkin kau sudah terbelenggu ditangan Induk Air, mungkin… mungkin sudah celaka.”

“Dan dia sendiri bagaimana?”

“Dia… agaknya dia sudah berkeputusan, dia sudah pasrah nasib dan tak ingat akan selamatkan jiwa, namun dia memberitahu kepada kami, Nikoh bisu tuli didalam Bo dhi am hu sebenarnya adalah Toa-sucinya, karena melanggar undang-undang perguruan maka akhirnya dia ketiban hukuman yang mengenaskan, dia harap bila ada kesempatan meminta kami untuk sekedar memberi pertolongan padanya.”

Coh Liu-hiang membanting kaki, katanya: “Kalau begitu agaknya diapun takut mengalami nasib seperti Toa-sucinya itu, maka dia bertekad untuk gugur saja…”

“Mungkin demikian setelah kami keluar dia lantas menutup pintu penjara itu dari dalam, dirinya terkurung didalam penjara batu, waktu kami menyadari hal itu, dan menggedornya minta pintu dibuka, bagaimanapun dia tidak mau membuka lagi, hakikatnya dia sudah anggap tak dengar seruan kami, tak mau menjawab pertanyaan kami.”

“Sungguh tak nyana Induk Air dan muridnya punya watak yang angkuh sampaipun orang lainpun pantang melihat kematian mereka, memangnya mereka ingin selamanya hidup didalam sanubari orang lain?”

Oh thi-hoa tidak mengerti seluruhnya apa yang dimaksud ucapan Coh Liu-hiang, karena betapapun dia takkan menduga bahwa Induk Air Im Ki ternyata mempunyai cara kematian yang mirip. Maka katanya dengan menyengir sedih: “Bagaimana juga, selamanya kita memang harus berterima-kasih dan hutang budi kepadanya”

Tanya Coh Liu-hiang kemudian: “Bagaimana kalian bisa datang kemari? Apakah akhirnya Yoong Ji berhasil memberitahu jalan rahasia yang menembus ke Sin-cui-kiong ini kepada kalian?”

“Setelah kau berlalu, kami lantas minta dia memberitahu, semula dia tidak mau, tapi sedari kemudian diapun mulai mengisahkan kepadamu.”

“Jadi dia ikut kalian datang?”

“Dia kuatir bila ikut kami bisa kurang leluasa”

“Lalu dimana dia sekarang?”

“Katanya dia hendak menyusul ke Bo dhi am untuk kumpul bersama Tuian-ji lainnya lalu melihat gelagat apakah bisa dari sama menyuruh masuk kemari, semula aku hendak membujuknya supaya tak usah gelisah, tak nyana malah dia sudah menghibur aku ” sampai di sini Oh Thi-hoa tertawa geli, katanya lebih lanjut: “Dia amat yakin dan percaya penuh terhadap kau, katanya berapapun mara bahaya yang kau hadapi, pasti kau punya cara dan akal untuk meloloskan diri.”

Cay Tok-hiang menimbrung dengan tertawa: “Agaknya dia malah rada menguatirkan kami bertiga, dia pesan wanti-wanti kepada kami supaya jangan sembarangan turun tangan, tapi begitu kami sampai di sini, semua pesannya sudah terlupakan semua.”

Ui Loh ce juga mendekat, selanya: “Siapa sebenarnya temanku itu, Maling Romantis tentu sudah tahu, perbuatannya dulu memang takkan menimbulkan simpatik malah membuat hati orang dendam tapi belakangan ini dia berubah dan benar sudah bertobat, sudah mengubah kelakuan buruknya dan kembali ke jalan lurus”

“Semua urusannya sudah kuketahui, akupun simpatik kepadanya, cuma sayang dia…”

Berubah air muka Ui Loh-ce tanyanya: “Dia… apakah sudah menemui ajal?” Coh Liu-hiang menghela napas panjang tak menjawab.

Ui Loh-ce berkata: “Dinilai dari perbuatannya dulu, memang pantas kalau dia harus menebus dengan kematiannya, akan tetapi… tetapi Cayhe masih ingin tahu… sebenarnya siapakah yang membunuhnya?”

“Orang yang membunuh diapun sudah terbunuh, malah Sin-cui-kiong-cu sendiri yang menuntut balas kematiannya kini mereka bertiga satu keluarga pasti sudah berkumpul dialam baka, buat apa Cianpwe bersedih bagi dirinya.”

Ui Loh-ce geleng-geleng kepala lalu terduduk, gumamnya: “Benar dengan dosa-dosanya yang kelewat takaran itu, Yang kuasa terhitung memberi keadilan yang setimpal kepadanya.” dimulut dia berkata demikian, api tak terasa air mata berkaca kaca di kelopak matanya.

Oh Thi-hoa menepuk pundak Coh Liu-hiang katanya: “Dan kau? cara bagaimana kau bisa lolos dari cengkeraman Induk Air? Apa kau… ” dia tertawa penuh arti menghentikan ucapannya.

Coh Liu-hiang melotot sekali kepadanya, katanya: “Kalau aku toh sudah lolos, tak perlu kau menguatirkan aku lagi, justru Yong-ji dan lain-lain itu sampai sekarang belum kunjung tiba, memangnya mereka mengalami sesuatu?” Tiba tiba dia berputar menghadapi gadis murid Sin-cui-kiong itu tanyanya dengan tersenyum: “Bolehkah aku mengetahui nama harum nona yang mulia?”

Sebetulnya gadis itu sedang mendengar dengan mata mencelong, mau pergi tidak berani menyingkir, kini tiba-tiba ditanya karuan terperanjat sahutnya malu-malu: “aku bernama Lam Pin.”

Suara Coh Liu-hiang lemah lembut: “Kami ingin keluar Bo-dhi-am untuk mencari orang entah sudikah nona Lam Pin membawa kami keluar?”

Sebentar Lam Pin mengawasi pintu batu yang tertutup kencang itu, katanya: “Suhu tak suruh aku membawa kalian keluar, aku sendiripun tak berani ambil putusan.”

“Nona tak usah kuatir, kau tunjukkan jalannya, beliau tak akan salahkan kau.”

Lam Pin menggigit bibir, agaknya tak tahu apa yang harus dia lakukan.

Pelan-pelan Coh Liu-hiang menarik tangannya, katanya: “Hayolah sekarang, berangkat.” Merah muka Lam Pin, ingin meronta dan melepaskan tangannya, namun kepalanya malah tertunduk, mau bicara tak tahu apa yang harus dia ucapkan, akhirnya seperti orang linglung saja dia mandah diseret pergi.

Oh Thi-hoa menghela napas, ujarnya geleng-geleng: “Perempuan yang galak seperti serigala lapar, setiap berhadapan dengan ulat busuk, seolah-olah dia menjadi mati kutu dan tak bisa berbuat apa-apa, aku sungguh tak mengerti kenapa bisa begitu?”

“Lute” ujar Cay Tok-hiang. “Masakan pengertian yang sepele saja kau tak tahu?”

“Memangnya dia punya daya iblis untuk memelet gadis, kenapa aku tidak melihatnya sedikitpun?”

“Kalau kaupun bisa melihatnya, wah celaka dua belas.”

Air terjun tumpah ke dalam danau, air danau lalu mengalir keluar pula, bila air terjun tidak berhenti, air danaupun tak berhenti mengalir, begitulah sambung menyambung tiada putus, disinilah letak keajaiban alam yang besar dan jaya.

Coh Liu-hiang beramai ramai menyelusuri aliran air bawah tanah terus beranjak ke depan terasa letak lorong panjang ini semakin tinggi, pada ujung lorongsana terdapat undakan batu, di atas undakan batu itulah ujung keluarnya.

Lam Pin berkata: “Di atas ini adalah Bo-dhi am, merupakan salah satu pintu keluar istana kami, dari sinilah cara yang paling gampang karena kelihatannya Suci amat galak, sebetulnya dia welas asih dan penuh kasih sayang kalau orang meratap tangis dan minta pertolongannya, jarang dia tega menolak permintaan orang.”

Setelah menelusuri lorong panjang di bawah tanah itu, agaknya hubungannya dengan Coh Liu-hiang semakin intim, bukan saja tidak malu dan takut, sebelah tangannya malah dia biarkan digandeng oleh Coh Liu-hiang, tidak berusaha meronta lagi.

Tapi Coh Liu-hiang sendiri menjadi gelisah kalau toh Toa sucinya itu orang welas asih kenapa sudah sampai sekarang Li Ang-siu beramai belum kelihatan batang hidungnya?

Terdengar Oh Thi-hoa berkata: “Khabarnya orang-orang yang masuk dari sini, harus dimasukkan ke dalam keranjang, apa benar?”

“Benar” sahut Lam Pin, “Karena Toa-suci tidak boleh meninggalkan Bo dhi am, terpaksa dia lepas orang kedalam keranjang, supaya keranjang air itu mengalir terbawa arus kedalam.”

Oh Thi-hoa awasi Coh Liu-hiang, katanya: “Agaknya dalam hal ini Liu Bu-bi memang tidak berbohong.”

Coh Liu-hiang hanya tertawa getir. Sekarang dia lebih yakin lagi bahwa Liu Bu-bi sebenarnya perempuan yang pandai bohong. Karena hanya orang-orang demikian saja yang tahu didalam ucapan-ucapannya kebohongan dibumbui dengan kenyataan, cara itu akan jauh lebih gampang untuk menipu orang.

Lam Pin berkata: “Lobang keluarnya kebetulan terletak di bawah kasur bundar tempat duduk Suci, biasanya kami jarang kemari karena sejak Toa suci berbuat salah dan dihukum, Suhu lantas larang kami berhubungan sama dia.”

Tak tahan Oh Thi-hoa bertanya: “Sebenarnya kesalahan apa yang dia lakukan?”

“Ini… aku sendiri kurang jelas!” agaknya Lam Pin tidak mau membicarakan hal itu lagi, dengan langkah terburu-buru dia naiki undakan batu, lalu mengetok dinding dengan bundaran gelang besi yang gemandul di sana, terdengar suara Ting-ting amat keras itu menggema didalam lorong sampai lama, kedengarannya seperti naga berpekik.

Lam Pin menerangkan pula: “Karena kerja Suci sehari-hari hanya duduk semedi di atas kasuran itu, jarang sekali bergerak, maka asal kami mengetuk gelang besi ini, dia lantas tahu akan kedatangan kami.”

Oh Thi-hoa tidak berbincang lagi, betapapun hatinya rada tegang, dia harap pintu rahasianya lekas muncul dan terbuka, supaya mereka lekas bertemu dengan Song Thiam-ji dan lainnya, ingin dia tahu apa sebenarnya yang terjadi atas diri mereka.

Tak nyana setelah ditunggu sekian lamanya, dari atas tetap tidak kedengaran reaksi apa-apa.

Lam Pin mengerut alis, katanya: “Aneh, apa mungkin Toa-suci kebetulan tidak berada di atas?”

Meski gelisah Coh Liu-hiang malah menghiburnya: “Mungkin kebetulan dia tengah keluar melemaskan kaki tangan,kan biasa bagi manusia normal?”

“Yang terang dia pasti takkan meninggalkan Bo dhi am, tempat di atas tak begitu luas, asal gelangan ini berbunyi, seharusnya dia sudah mendengarnya, kecuali di atas terjadi sesuatu.”

Sudah tentu hati Coh Liu-hiang lebih gelisah, karena dia… kalau Liu Bu-bi sudah tahu bila mereka berhasil masuk ke dalam Sin cui kiong, maka bualannya bakal terbongkar, sudah tentu dengan berbagai akal dia akan berusaha merintangi mereka.

Memang pengetahuan Li Ang-sui cukup luas, karena membaca catatan buku itu, tapi otaknya kurang cerdik dan tak bisa berakal. Song Thiam-ji lebih lincah dan suka bermain sedikitpun tak tahu keculasan hati manusia umumnya. Apalagi kedua orang ini sama simpati akan pengalaman Liu Bu-bi maka bila Liu Bu-bi mau mencelakai jiwa mereka, sungguh segampang membalikkan telapak tangan.

Terdengar Oh Thi-hoa menggerutu: “Kalau pintu di atas tak terbuka, apa kita tidak ada cara lain untuk keluar dari sini?”

“Tak ada jalan keluar lainnya, pintu keluar di lorong bawah tanah ini hanya bisa dibuka dari atas, soalnya Suhu kuatir kita menyelundup keluar secara diam-diam.”

Tiba-tiba Oh Thi-hoa bertepuk tangan katanya tertawa tertahan: “Aku lupa satu hal, tak nyana kaupun melupakannya.”

“Lupa apa?” tanya Coh Liu-hiang mengelak.

“Toa-sucimu itu bisu dan tuli, hanya duduk di atas kasuran baru bisa merasakan getaran dari ketokan gelang besi ini, kalau dia memang sedang menyingkir mana dia bisa mendengar suara ketokan ini.”

Lam Pin berkata dengan tegas: “Dia dapat mendengar.”

“Kenapa? Memangnya dia tak bisu atau tuli, hanya pura-pura demikian saja?” Oh Thi-hoa menegas.

Tak kira Lam Pin malah geleng-geleng, sahutnya: “Bahwasanya dia memang bisu dan tuli, sedikitpun tidak salah.”

Kali ini Oh Thi-hoa yang tertegun melongo, katanya: “Kalau dia benar bisu dan tuli, cara bagaimana dia bisa mendengar suara?”

Lam Pin tertawa, ujarnya: “Setelah kau berhadapan dengan dia pasti akan tahu apa sebabnya bisa begitu.”

Oh Thi-hoa menjublek sekian lama, akhirnya seperti sadar, katanya: “Ya, aku paham sekarang.”

“O? Paham bagaimana?” tanya Lam Pin.

“Ada orang asal dia mendengar bibir orang bergerak, maka dia lantas meraba apa yang dikatakan oleh orang itu, tentu Sucimu mempunyai kelebihan demikian.”

Lam Pin menghela napas dengan masgul, katanya: “Dia bukan saja bisu dan tuli, malah… malah matanyapun tak bisa digunakan lagi.”

Kembali Oh Thi-hoa melotot, katanya kaget: “Jadi diapun buta?”

“Ya.” Lam Pin mengiakan.

Saking gugup Oh Thi-hoa menggosok-gosok hidung, dengan tertawa dia menggerutu: “Seorang bisu, tuli dan buta, namun bisa mendengar ratap tangis dan permintaan orang lain yang harus dikasihani, malah bisa mendengar suara ketokan pintu, ulat busuk biasanya serba pandai, kali ini tanggung kaupun kebingungan dibuatnya.”

Terdengar suara ketokan gelang besi itu kumandang pula. Kali ini ketokan Lam Pin lebih keras. Tapi setelah ditunggu sekian lamanya dari atas tetap sunyi tak terdengar reaksi apa-apa.

Tak tahan Coh Liu-hiang maju mendekat menempelkan telinga ke dinding batu.

“Kau mendengar suara apa?” dengan gelisah Oh Thi-hoa bertanya.

Coh Liu-hiang mengerut kening, sahutnya: “Tidak begitu jelas, kedengarannya seperti ada suara sesuatu.”

Oh Thi-hoa banting-banting kaki katanya mengomel: “Hidungmu sudah tak manjur, memangnya kupingmu juga tidak berguna juga?”

Tiba-tiba Cay Tok-hing menanggalkan karung yang tergantung di pinggangnya mengeluarkan sebuah mangkok besi, katanya “Dengan mangkok besi ditempelkan ke dinding, kau akan bisa mendengar lebih jelas.”

“Apa benar?” tanya Oh Thi-hoa heran dan tidak percaya.

“Orang-orang Kangouw tahu murid-murid Kaypang paling wahid dalam pekerjaan mencari ayam menangkap anjing, memangnya kau belum pernah dengar?” kelakar Cay Tok-hing.

Dengan tersenyum Coh Liu-hiang terima mangkok besi itu terus di tempatkan ke dinding lalu dia tempelkan pula kupingnya ditengah mangkok, lama kelamaan sorot matanya semakin menyala, tapi kedua alisnya sebaliknya bertaut semakin kencang.

“Sudah mendengar suara apa?”

“Ya, ada suara!”

“Suara apa?”

“Agaknya ada orang sedang bicara.”

Oh Thi-hoa menggosok hidung, katanya geli: “Orang bisu mana bisa bicara?”
Ingin tertawa namun Lam Pin tak bisa tertawa, katanya mengerut alis: “Yang terang pasti bukan Toa suciku yang bicara, dia tak bisa bicara.”

“Mungkin Thiam-ji dan lain-lain sedang minta-minta kepadanya.”

“Bukan… entah suara laki-laki, tapi suaranya serak, tak mirip suara Li Giok-ham.”

“Laki-laki?” Lam Pin berjingkrak kaget, ada laki-laki yang sedang bicara?”

“Laki-laki juga adalah manusia, ada kalanya seperti juga perempuan suka cerewet, kenapa nona harus kaget begitu rupa?”

“Tapi beberapa tahun lamanya tak ada lelaki yang berani berkunjung ke Bo-dhi am, orang-orang Kang-ouw hakekatnya jarang ada yang tahu akan letak Bo dhi-am ini.

“Sin cui kiong saja sudah didatangi laki-laki, apalagi Bo dhi am ini?”

Berobah pula roman muka Lam Pin, debatnya: “Tapi orang yang mengunjungi Sin cui kiong pasti mempunyai urusan penting, maka berani menempuh bahaya, Bo-dhi am tak lebih hanya kuil kecil yang tak terawat dan sepi tiada sesuatu yang bakal menarik orang datang, Toa-suci pasti tidak akan bermusuhan dengan siapapun, untuk apa pula mereka berdatangan ke tempat ini?”

“Mungkin mereka ingin menyelundup masuk ke Sin cui kiong dengan diam-diam lewat tempat ini?”

“Menurut pendapatku mungkin mereka meluruk kemari lantaran teman-teman kalian itu.”

Oh Thi-hoa mengerut alis, lalu diapun dekatkan kupingnya ke pinggir mangkok besi, tanyanya: “Kau dengar tidak apa yang sedang mereka bicarakan?”

“Tak terdengar.” sahut Coh Liu Hiang tertawa getir, “Sekarang mereka tak bersuara lagi.”

Berdiam diri, ada kalanya memang jauh berharga dari pada tutur kata panjang lebar, kesunyian ada kalanya jauh lebih menakutkan daripada berbagai suara apapun, keadaan Bo dhi-am saat itu laksana tiada kehidupan insan berjiwa lagi, sunyi senyap, sedikit suarapun tak terdengar, memangnya didalam waktu sekejap ini orang-orang di atas sudah mampus seluruhnya? Kalau tidak kenapa mendadak menjadi hening lelap?

Tanpa terasa telapak tangan Coh Liu Hiang sudah berkeringat dingin. Setiap orang sedang menunggu dengan hati tegang, lama juga tak tahan Oh Thi-hoa membuka kesunyian pula: “Masih tak ada suara?”

“Tidak.”

“Mungkin… mungkin Toa-suci sudah menggebah mundur orang-orang pendatang itu.

“Lalu kenapa dia tidak segera membuka pintu?”

Lam Pin melongo, keringat sudah membasahi ujung hidungnya.

Oh Thi-hoa tidak sabar lagi, katanya: “Aku yakin Thiam-ji dan lain-lain pasti sedang menghadapi sesuatu, kalau tidak masakah sekian lamanya mereka tidak bersuara, terutama Thiam-ji menyuruh dia tutup mulut biasanya paling sukar.”

Cay Tok-hing batuk-batuk dua kali, timbrungnya: “Mungkin mereka masih belum tiba disini.”

Tiba-tiba Coh Liu-hiang berkata: “Sekarang juga kita mundur kembali, dari sebelah luar menyusul ke Bo dhi-am memerlukan berapa lama?”

“Wah harus putar satu lingkaran besar.”

“Berapa besar kita harus memutar?”

“Benar sekali, Ginkang orang yang paling tinggi sedikitnya memerlukan tiga empat jam.”

“Wah berat juga, bagaimana baiknya?” ujar Oh Thi-hoa membanting kaki, “Bikin orang gugup setengah gila, ulat busuk, memangnya kaupun tak bisa mencari akal.”

Coh Liu-hiang berpikir, tiba-tiba dia bertanya pula: “Kalau Toa sucimu melulusi permintaan orang dan sebelum mengantarnya, masuk ke Sin cui kiong, sebelumnya memberi mereka minum air teh yang dicampur obat bius, supaya mereka tidak tahu jalan menuju kedalam Sin cui kiong?”

“Ya, memang begitu.”

“Thiam-ji dan lain-lain sudah tahu akan hal ini, maka meski mereka tahu air teh itu mengandung obat bius, dengan suka hati mereka meminumnya juga.”

“Benar, setelah mereka tahu dengan minum air teh bius itu mereka bakal sampai di Sin cui kiong, maka terpaksa mereka harus meminumnya juga.” Ujar Oh Thi-hoa.

“Setelah mereka minum terus jatuh pingsan, sudah tentu takkan bisa bicara lagi, maka selama ini kita tidak mendengar suara percakapan mereka.”

Oh Thi-hoa tepuk tangan: “Ya, masuk akal.”

“Tapi sebelum Toa-sucimu itu membawa mereka ke lorong yang menembus ke Sin Cui kiong ini, Bo dhi am keburu didatangi musuh, mungkin orang-orang itu meluruk datang lantaran Thiam-ji dan lain-lain, maka mereka minta Toa-suci menyerahkan mereka kepadanya.”

“Toa suci pasti takkan menyerahkan.” tukas Lam Pin tegas. “Mereka sudah berada di Bo-dhi am, itu berarti tamu-tamu Toa-suci, bagaimana juga Toa-suci tidak akan menyerahkan mereka kepada orang.”

“Maka orang-orang itu harus berunding dan tawar-menawar dengan Toa-suci, sebelum pembicaraan gagal total, merekapun tidak akan sembarangan turun tangan terhadap murid-murid Sin cui kiong.”

“Masuk akal juga, tapi kenapa mereka sekarang tak membicarakan lebih lanjut.”

“Mungkin karena mereka memberi batas waktu tertentu kepada Toa sucimu untuk mempertimbangkan syarat yang mereka ajukan, lalu memberi jawaban.”

“Kalau begitu berarti keadaannya sedang kepepet dan berbahaya.”

“Sudah tentu, kalau orang yang meluruk datang itu bukan tandingannya, merekapun tidak perlu tawar menawar.”

“Kalau begitu kenapa tidak lekas dia buka pintu rahasia di bawah ini, supaya kita keluar membantunya?”

“Dia sendiri tengah menghadapi musuh-musuh tangguh, memangnya dia berani sembarangan memperlihatkan pintu rahasia yang menembus ke Sin cui kiong?” kata Coh Liu-hiang menghela napas.

Lam Pin mengawasi Coh Liu-hiang, sorot matanya amat kagum dan penuh simpatik. Walau dia tak bicara apapun tapi kalau seorang gadis mekar mengawasi lelaki dengan sorot pandangan seperti itu, sesungguhnya jauh lebih menyenangkan daripada dia mengutarakan isi hatinya dengan kata-kata yang panjang lebar.
Mengucek-ngucek hidung, Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: “Ini hanya rekaanku belaka bagaimana sesungguhnya belum tentu seperti apa yang ku utarakan, siapapun sukar berkeputusan.”

Lam Pin segera berkata dengan lembutnya: “Tapi aku berani pastikan bahwa rekaanmu terang tidak salah, karena kecuali adanya kejadian seperti itu, hakekatnya tak mungkin ada peristiwa lain terjadi di atas.”

“Tapi aku justru mengharap rekaanmu salah sama sekali", timbrung Oh Thi-hoa! "Kalau tidak Thiam-ji dan lain-lain sedang pingsan tak sadarkan diri, Toa-sucimu tak berani membuka pintu lagi, kitapun tak bisa menyusul kesana tepat pada waktunya… bukankah keadaan seperti ini bakal membuat mereka celaka?”

Mengingat keadaan mereka memang amat berbahaya, semua hanya mencak-mencak kebingungan seperti semut didalam kuali panas. Tapi kecuali gugup dan mencak-mencak mereka tak putus akal tak bisa berbuat apa-apa.

Tiba-tiba Lam Pin berkata dengan tertawa: “Sebetulnya kalian tidak perlu gugup, bahwa Toa-suci memiliki ilmu silat paling tinggi diantara para saudara kita, meski dia sudah cacat indranya, ilmu silatnya malah lebih hebat, aku yakin dia pasti bisa pukul mundur orang-orang itu.”

Oh Thi-hoa geleng-geleng, katanya; “Kalau dia yakin dapat mengalahkan orang-orang itu, sejak tadi pasti dia sudah gebah mereka lari, buat apa ditunggu sampai sekarang?”

“Tapi… tapi Suhuku sering bilang, ilmu silat Toa suci terang takkan lebih asor dari sepuluh tokoh-tokoh silat terkosen didalam Bulim pada jaman ini, memangnya kepandaian silat orang-orang itu lebih tinggi dari dia?”

Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya: “Tokoh yang berani mencari gara-gara terhadap Maling Romantis sudah tentu dia punya kepandaian yang diandalkan.”

“Maling Romantis sendiri masa tidak bisa mengira-ngira siapa kiranya mereka itu?” tanya Cay Tok-hing.

“Umpama aku bisa mengira-ngira siapa mereka sebenarnya, apa pula untungnya bagi kita dalam keadaan seperti ini?” Sebetulnya diapun sudah mengira orang-orang itu pasti tokoh-tokoh silat undangan Liu Bu-bi, apa yang dia rancang ini bukan saja dapat memutus jalan mundur Coh Liu-hiang, malah Thiam-ji dan lain-lain bisa ditawannya sebagai sandra, sekaligus untuk mengancam Coh Liu-hiang bilamana dia bisa meloloskan diri dari Sin cui kiong, supaya tak bisa membocorkan rahasia pribadinya.

Coh Liu-hiang yakin semua ini adalah tipu daya Liu Bu-bi yang memang sudah dirancangnya dengan matang. Maka sahutnya menghela napas: “Sekarang aku hanya mengharap semoga Toa-sucimu sudah menginsyafi bahwa ilmu silatnya sendiri sekali-kali bukan tandingan orang-orang yang meluruk datang itu.”

“Kenapa demikian?” Lam Pin mengerut kening.

“Karena bila dia sudah kepepet dan tiada jalan lain, terpaksa membuka pintu rahasia ini.”

“Benar.” Cay Tok-hing tepuk tangan. “Inilah yang dinamakan dari pada mati kepepet terpaksa mencari jalan mundur untuk hidup.”

“Kalau orang lain disaat menghadapi jalan buntu, mungkin bisa berbuat demikian tapi Toa-suci lebih baik mati betapapun dia takkan melakukan hal itu lagi.”

“Kenapa?” Cay Tok-hing mengerut kening juga.

“Karena secara tidak sengaja Toa suci pernah membocorkan jalan rahasia untuk musuh ke Sin cui kiong, maka dia menerima ganjarannya yang berat itu. Memangnya sekarang dia bakal melakukan kesalahan yag menjadikan dia tanpa daksa.?”

Agaknya titik harapan yang amat minim inipun tumbang dan terputus pula, keruan semua orang sama putus asa dan gelisah setengah mati.

Tiba-tiba dengan mata beringas Oh Thi-hoa memburu maju, dengan tangannya dia ketok gelang besi di atas dinding itu dengan sekeras-kerasnya, dinding sekelilingnya sampai mendengung menimbulkan gema suara yang keras sampai kuping mereka terasa pekak.

“Apa yang kau lakukan?” teriak Lam Pin kebingungan.

“Inilah yang dinamakan daripada mati kepepet terpaksa mencari jalan mundur untuk hidup.”

“Betul.” teriak Cay Tok-hing, “bila orang-orang itu mendengar suara ini, maka mereka pun tahu dimana kira-kira pintu rahasia yang menembus ke Sin cui kiong, jikalau mereka sudah tahu dimana letak pintu rahasia untuk masuk ke Sin cui kiong, Toa-sucimu tak perlu lagi merahasiakan serta mempertahankannya mati-matian, jikalau dia tidak punya kekuatiran apa-apa, mungkin segera membuka pintu rahasia ini.”

Oh Thi-hoa tertawa geli, katanya: “Aku ini orang goblok, terpaksa menyimpulkan akal yang goblok pula.”

Coh Liu-hiang ikut berseri girang katanya: “Dikala orang-orang pintar sudah kehabisan akal, maka akal yang disimpulkan orang goblok pasti amat berguna sekali.” baru saja kata-katanya habis diucapkan, selarik sinar terang segera menyorot dari atas.

Cahaya di ruang sembahyang sebetulnya tak begitu terang, sinar matahari teraling oleh rimbunan pepohonan yang tumbuh disekitar kuil kecil ini seolah-olah sejak mula sinar matahari memang tak sampai menyorot ke dalam kuil kecil ini, sehingga suasana dan hawa didalam ruangan pemujaan ini terasa dingin dan seram.

Kain gordyn menutupi altar pemujaan sehingga tak diketahui patung pemujaan apa yang disembah didalam biara bobrok ini, keadaan di sini serba luntur dan rusak. Seorang nikoh tua berbadan kurus kering berjubah hijau dengan mata cekung alis lentik bersimpuh di atas kasuran, meski sedang berduduk namun dapat dibayangkan berapa tinggi perawakan badannya.

Kulit mukanya yang kuning kuyu sudah tak kelihatan membungkus daging, dua tulang pelipisnya menonjol keluar, sehingga raut mukanya kelihatan lebih tua, tapi lebih kaku dingin dan kejam pula.

Di hadapan dan kanan kirinya masih terdapat kasuran bundar, dua kasur bundaran di sebelah kirinya juga duduk bersila dua gadis remaja, kepalanya tertunduk dalam di depan dari padanya, agaknya tengah tertidur pulas. Kedua orang ini adalah Li Ang-siu dan Song Thiam-ji.

Kasuran di sebelah kanan masing-masing duduk seorang laki-laki dan seorang perempuan tapi terang bukan Li Giok-ham suami istri, yang laki bermuka pucat seperti mengenakan kedok muka tapi pakaian hijau di depan dada dan sekujur badannya berlepotan darah, seakan malah terluka berat juga. Dia kertak gigi, mata terpejam rapat seakan-akan sedang menahan kesakitan yang amat menyiksa badannya, malah dudukpun hampir tak kuat lagi.

Yang perempuan mengenakan cadar, yang kelihatan hanya sepasang matanya, namun sepasang matanya mengandung rasa ketakutan, gusar dan penasaran.

Didalam ruangan sembahyang ini sebetulnya terdengar suara bentrokan senjata keras, suaranya kedengaran bergema dari bawah tanah tapi saat itu tiba-tiba semuanya mendadak sirap dan sunyi. Kasur bundar di bawah tempat duduk Nikoh jubah hijau pelan-pelan tergeser ke samping, dari bawah kasur tampak sebuah lobang yang membesar, tak lama kemudian beruntun beberapa bayangan orang menerobos keluar selincah kelinci.

Dua orang yang mendahului menerobos keluar bukan lain adalah Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang.

Melihat kedua orang ini, perempuan berkedok seketika menampilkan sorot kegirangan, sebaliknya sepasang mata Nikoh jubah hijau seketika memancarkan cahaya berkilat yang lebih tajam dari kilauan sebilah golok tajam. Dimana tangan bajunya terkembang, nampak sinar hitam berkelebatan membawa deru angin tajam langsung menggulung ke arah Coh Liu-hiang.

Hanya kebutan angin pukulan lengan bajunya yang mendampar dasyat saja sudah bukan olah-olah perbawanya, apalagi ditengah deru angin keras itu diselingi senjata rahasia pihak Sin cui-kiong yang dibubuhi racun jahat mematikan.

Sementara itu, tiba-tiba Oh Thi-hoa pun merasa segulung angin dingin menyambuk ke mukanya teramat cepat dan mendadak sekali kejadian berlangsung sehingga tahu-tahu dia merasa napas sesak. Saking terperanjat sigap sekali badannya mengkeret, berbareng kaki menutul bumi badannya bersalto ditengah udara, “Blang” badannya menumbuk daun jendela dan terlempar keluar, terasa alas sepatunya rada tergetar, dengan kecepatan gerak refleknya yang tangkas itu, ternyata masih tak luput dari bokongan orang, untunglah sejak kembali dari padang pasir sampai sekarang belum lagi mengganti sepatunya yang dipakainya tetap sepatu tinggi dan tebal pemberian Ki Ping-yan yang terbuat dari kulit kerbau.

Meski kekuatan sambitan senjata itu amat pesat dan besar, namun tak bisa menembus kulit kerbau di alas kakinya. Kalau tidak umpama dia tidak mampus, kakinya itu terang bakal cacat seumur hidup.

Belum lagi badannya menyentuh bumi, keringat dingin sudah gemerobyos. Di luar jendela tumbuh pohon raksasa yang rindang dengan daun-daunnya yang rapat, baru saja dia berniat melejit naik ke atas pohon, siapa tahu pada saat itu pula tiba-tiba “Sret” sebuah suara samberan lirih. Dimana kilat berkelebat, tahu-tahu sebilah pedang laksana lidah ular yang terjulur keluar menusuk ke arah dirinya dari celah-celah dedaunan pohon yang rapat itu, betapa cepat keji dan hebat serangan ini, agaknya tak lebih berbahaya dari serangan senjata gelap tokoh jubah hijau tadi.

Tusukan pedang ini jauh tak terduga pula olehnya, hawa murni yang dia kerahkan kebetulan sudah berakhir, badan masih terapung ditengah udara, umpama dia memiliki kepandaian setinggi gunung juga takkan bisa meluputkan diri dari tusukan pedang ini.

Baru saja tersembur keluar air liur getir dari mulut Oh Thi-hoa, dia sudah siap pasrah nasib untuk menerima tusukan pedang ini, tiba-tiba dilihatnya segulung benda hitam melesat terbang dari dalam jendela menyongsong ke arah samberan sinar kilat. Maka terdengar pula suara “Cres” sinar pedang tembus segulungan hitam yang ternyata bukan lain adalah sebuah kasur tempat duduk, tapi Oh Thi-hoa sendiri belum sempat melihat benda apa yang telah menolong jiwanya, begitu kakinya menyentuh tanah, sigap sekali badannya melejit masuk pula ke dalam jendela.

Dilihatnya Coh Liu-hiang tetap berdiri di tempatnya, seolah-olah tak pernah bergerak, dan deru angin tajam dari serangan senjata rahasia tadi, entah cara bagaimana dia meluputkan diri.

Di sebelahsana dilihatnya Lam Pin pun sudah melompat keluar dan sedang menarik tangan Nikoh setengah baya itu entah apa yang sedang mereka bicarakan, yang terang dia sedang menjelaskan duduk persoalan dan mintakan ampun bagi Coh Liu-hiang.

Oh Thi-hoa menyeka keringat dingin di atas jidatnya, katanya: “Ulat busuk, agaknya aku berhutang jiwa lagi terhadapmu.”

Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: “Yang menolong jiwamu kali ini bukan aku.”

“Siapa?” tanya Oh Thi-hoa tertegun. Mulut bertanya sementara badannya sudah berputar, baru sekarang dia lihat perempuan berkedok itu kini sudah berdiri, kasur tempat duduk di bawahnya sudah tiada lagi.

Memegangi hidungnya, Oh Thi-hoa berkata: “Nona menolong jiwaku, aku malah berterima kasih kepada orang lain, sungguh tidak enak rasanya, tapi nona harap tidak berkecil hati, meski aku ini bodoh, tapi masih bisa membedakan baik buruk, kelak nona ingin aku melakukan apa saja, ingin aku terjun ke lautan api tidak akan kutolak.”

Bersinar terang biji mata perempuan berkedok ini, agaknya hendak mengatakan sesuatu, tapi waktu itu Lam Pin sudah berdiri, katanya: “Toa suciku ingin menanyakan asal-usul kalian, apa pula hubungan dengan istana kami…” dia berdiri membelakangi Nikoh jubah hijau itu, tiba-tiba dia kedip-kedipkan matanya kepada Coh Liu-hiang, lalu menyambung: “Aku tahu kalian pasti punya hubungan erat dengan pihak kami, kalau tidak Suhu pasti takkan suruh kalian kemari lebih baik kalian berterus terang kepada Toa suci.”

Sebetulnya tak perlu dia main kedip-kedip mata, Coh Liu-hiang sudah paham akan juntrungannya, meski dia membawa mereka kemari, namun hatinya masih ketakutan setengah mati. Sudah tentu Coh Liu-hiang tidak tega membikin orang memikul tanggung jawab ini, maka katanya dengan suara berat: “Duduk persoalannya sulit kujelaskan dalam waktu singkat, setelah nona bertemu dengan gurumu tentu akan mendapat penjelasan secukupnya, sekarang lebih penting kita selesaikan dulu persoalan disini.”

“Benar.” sela Oh Thi-hoa: “Aku hanya ingin tahu siapa yang bertindak begitu rendah main bokong secara menggelap? Bagaimanapun aku harus beri hajaran kepadanya.”

Walau sorot Nikoh tua berkilat-kilat, tapi matanya hampir memutih, seolah-olah sekeping es batu yang mengambang di atas air beku, sementara kulit mukanya laksana air danau yang membeku mati, dingin menampilkan ketenangan yang aneh pula.

Tak tahan Oh Thi-hoa akan mengucek-ngucek hidung pula, katanya getir: “Kau, apakah Taysu benar-benar tak bisa bicara?”

Nikoh jubah hijau manggut-manggut.

Oh Thi-hoa melengong, tanyanya pula: “Terang kau mendengar ucapanku, kenapa mengakui tidak mendengar suaraku?”

“Toa suciku memang tidak bisa mendengar!” Lam Pin mewakili beri penjelasan.

“Kalau tidak mendengar, bagaimana dia bisa manggut kepala?”

Sekilas Lam Pin berpaling ke arah Nikoh jubah hijau, mulutnya sudah terbuka namun batal bicara.

“Kuminta lekaslah kalian jelaskan, tak usah main teka-teki, hampir saja aku dibikin gila saking gelisah.”

Agaknya rekaan Coh Liu-hiang tidak meleset, Li Giok-ham suami istri tak berada di sini, orang-orang di luar mungkin memang undangan mereka yang disuruh menghadapi Li Ang-siu dan Song Thiam-ji.

Tapi siapakah sebenarnya orang-orang itu? Dilihat dari serangan pedang yang keji dan telengas itu, betapa tinggi ilmu pedang mereka agaknya tidak lebih asor dibanding Ui Loh ce. Dari mana pula Liu Bu-bi bisa mengundang tokoh-tokoh silat tinggi sebanyak itu?

Dan lagi, siapa pula lelaki dan perempuan berkedok itu? Kenapa sikap mereka begitu misterius? Sungguh hati Oh Thi-hoa dirundung berbagai pertanyaan yang tidak terjawab, justru dia harus menghadapi seorang bisu, apalagi Li Ang-siu dan Song Thiam-ji agaknya sama tak sadarkan diri. Siapapun yang menghadapi keadaan seperti ini, malah lucu kalau tidak dibikin gila.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar