-------------------------------
----------------------------
Bab 14. Penjaga pintu rahasia
Waktu Coh Liu-hiang membuka
mata pula, dilihatnya Kionglam Yan sedang mengawasinya sambil tersenyum.
Ternyata dia terbawa kembali ke kamar tidur Induk Air. Im Ki pun sudah
bersimpuh duduk dihadapannya.
Roman mukanya tak menampilkan
sesuatu perasaan hatinya, seolah kini kembali ke sikap yang semula, dingin,
kaku tegas dan berwibawa.
Kionglam Yan berkata dengan
suara dingin: “Sudah pernah kuberi tahu kepadamu tak ada orang yang mampu
mengambil keuntungan dari pihak Sin cui kiong, demikian pula Coh Liu-hiang yang
tak pernah terkalahkan dimedan lagapun tak terkecuali.” dengan tajam ditatapnya
Coh Liu-hiang, sambungnya dengan suara lebih tandas: “Sekarang kau sudah mau
mengakui bila kau sudah kalah, bukan?”
Coh Liu-hiang menghela napas
ujarnya: “Agaknya aku memang harus mengakui.”
“Apa pula yang masih ingin kau
utarakan?”
“Apa pulah yang harus
kukatakan? Tiada lagi.”
Kionglam Yan tertawa bangga,
katanya berpaling kepada Im Ki: “Coba katakan bagaimana kita harus menghukumnya?”
Sebentar Im Ki berpikir, lalu
katanya kalem: “Orang ini kaulah yang menawannya, sudah pantas kalau terserah
kau mau apakan dia.”
Terpancar cahaya sadis dalam
biji mata Kionglam Yan, ujarnya: “Begitu pun baik, biar serahkan saja dia
kepadaku.”
Baru saja dia beranjak
kehadapan Coh Liu-hiang, tiba-tiba Im Ki bersuara lagi: “Apakah kau hendak
menghadapinya seperti kau menghadapi Hiong nio cu?”
Kionglam Yan tertegun
sebentar, lama kemudian air mukanya berubah, katanya setelah menghirup napas
panjang: “Apakah dia yang memberitahukan kepadamu?”
Tidak menjawab, Im Ki malah
bertanya terlebih jauh: “Apakah kau tak pernah menduga bila dia bisa melihat
perbuatan rahasiamu?”
Kionglam Yan tidak menjawab,
namun dengan jelas Coh Liu-hiang bisa melihat jari-jari tangan orang mulai
gemetar, lalu pelan-pelan tergenggam kencang, kuku jarinya sampai memutih
saking kencang genggamannya. Sesaat kemudian tiba-tiba dia berkata beringas:
“Benar, memang akulah yang membunuh orang itu, jikalau aku salah membunuhnya,
tiada halangannya aku menebus dengan jiwaku, tapi orang yang mencuri lihat
rahasia orang lain, diapun harus mampus.” jari-jarinya tiba-tiba terulur
lempeng dan kaku, telapak tangannya tegak berdiri laksana golok, tiba menebas
ke tenggorokan Coh Liu-hiang.
Tapi sebelum telapak tangan
ini menyentuh badan Coh Liu-hiang, tiba-tiba badannya sendiri mencelat terbang,
entah kapan tahu-tahu Im Ki sudah mencelat bangun, roman mukanya tak
menampilkan mimik perasaan hatinya.
“Blang” badan Kionglam Yan
yang ramping montok itu menumbuk dinding, lalu perlahan-lahan melorot ke tanah
dengan mata terbelalak kaget dia mengawasi Im Ki, sorot matanya penuh diliputi
tanda tanya dan keheranan, katanya dengan suara gemetar: “Kau…”
“Aku…” Im Ki tak kuasa
bersuara.
Tiba-tiba bercucuran airmata
Kionglam Yan, katanya: “Kenapa kau… begitu tega turun tangan terhadapku?”
“Kenapa pula kau tega turun
tangan terhadapnya?” balas tanya Im Ki.
“Dia? Siapa? Coh Liu-hiang?
ataukah Hiong-nio cu?”
Im Ki tertunduk diam, Coh
Liu-hiang juga, membuat jari-jari orang mulai gemetar.
Suara Kionglam Yan seperti
meratap gusar: “Ternyata kau masih mencintai dia. Ternyata aku hanya duplikat
yang kau peralat demi kepuasan dirimu, kau tega membunuhku untuk menuntut balas
kematiannya, tapi tahukah kau kenapa aku harus membunuhnya?”
Im Ki menghela napas,
sahutnya: “Aku tahu.”
“Kalau begitu kenapa kau
masih…. masih….”
“Kalau kau tidak membunuhnya,
mungkin aku sendiri yang akan membunuhnya, tapi jikalau kau membunuhnya, maka
aku harus menuntut balas kematiannya, siapapun yang membunuh dia, akupun akan
menuntut balas kepadanya.”
Kionglam Yan berdiam sebentar,
katanya kemudian dengan masgul: “Maksudmu aku sudah mengerti seluruhnya.”
Maksudnya tidak sukar
dimengerti, umpamanya seorang bocah yang melakukan perbuatan nakal, ayah
bundanya sudah jelas bakal menghukum atau menghajarnya, tapi jikalau orang lain
yang memukulnya, orang yang jadi ayah bunda pasti merasa sakit hati, bukan
mustahil ia akan menuntut balas dan adu jiwa kepada orang itu, itulah yang
dinamakan cinta kasih, cinta yang selamanya tak bisa diraba oleh manusia, tapi
siapapun tak berani menyangkal akan kehadirannya dalam kehidupan manusia.
Im Ki menghela napas, ujarnya:
“Baik sekali kalau kau sudah mengetahui, memang aku pun mengharap kau
mengerti.”
“Tapi jangan kau lupa, kalau
bukan aku, kau…”
“Aku tahu kau sudah
menolongku, tapi menolong dan membunuh adalah dua persoalan yang berlainan dan
tidak boleh dicampur aduk dalam satu persoalan, aku berjanji akan perlakukan
kau baik-baik dalam penguburan dirimu.”
Kembali Kionglam Yan termenung
lama baru akhirnya tertawa getir, katanya: “Sekarang benar-benar aku mengerti
lantaran apa kau sampai tega membunuhku pula.”
“O!” Im Ki bersuara dalam
mulut.
“Kau membunuhku karena aku
telah menolong kau.”
“O!”
“Setelah aku meninggal, maka
selamanya takkan ada orang yang tahu bahwa kau pernah kecundang ditangan Coh
Liu-hiang, takkan ada orang lain yang tahu pula bahwa aku pernah menolongmu,
selamanya kau tak sudi menerima kegagalan dan kekalahan yang memalukan itu,
maka kau harus membunuhku.”
Im Ki menarik napas, ujarnya:
“Biasanya kau memang pintar, mungkin terlalu pandai.”
Kionglam Yan melengak,
mulutnya seperti mengigau: “Sebetulnya aku ini pintar atau bodoh, aku
sendiripun tidak tahu.” akhirnya dia menutup mata tidak bicara lagi, memang dia
takkan bisa bicara lagi.
Hening lelap. Kesunyian yang
mencekam sanubari sehingga napas terasa sesak. Coh Liu-hiang pun tidak tega
memecahkan keheningan ini atau mungkin dia tidak berani.
Lama juga Im Ki menatap Coh
Liu-hiang, katanya: “Apakah kau beranggapan lantaran dia memang menolongku maka
aku lantas membunuhnya?”
“Kukira kau bukan orang macam
begituan.” sahut Coh Liu-hiang hati-hati.
“Masakah dia tidak lebih jelas
mengetahui karakterku dari apa yang kau ketahui?”
“Itulah karena dia memang
orang macam itu, maka diapun pandang dan anggap kau seperti dia pula.”
Pandangan hambar dan kosong Im
Ki menatap ke tempat jauh, mulutnya menggumam: “Benar, oleh karena kau bukan
orang seperti itu, maka kaupun mengatakan aku bukan, jikalau kau orang-orang
macam begituan, mungkin dia takkan punya kesempatan untuk menolong aku.”
Memang kalau Coh Liu-hiang
seorang culas dan keji, jiwanya mungkin sejak tadi sudah terenggut ditangan Coh
Liu-hiang, tapi tidak pernah terpikir oleh Coh Liu-hiang bahwa dia sendiri
sebetulnya memang sudah tahu juga.
Sudah tentu dia mengharapkan
Im Ki bukan seorang seperti itu, karena kalau Im Ki benar orang yang dikatakan
Kionglam Yan, maka sekarang orang bakal menghabisi jiwanya untuk menutup
mulutnya. Tapi apakah benar Im Ki orang seperti itu? Coh Liu-hiang tak tahu,
dia hanya tahu bahwa mati hidup jiwanya sekarang berada digenggaman tangan Im
Ki. Dia pun sudah merasakan betapa asin rasa keringat dinginnya sendiri.
Beberapa kejap pula, tiba-tiba
Im Ki bertanya: “Tahukah kau kenapa kali ini bisa kalah?”
“Apa pula bedanya bila aku
tahu dan tak tahu?”
“Kau harus tahu kekalahanmu
kali ini, adalah karena hatimu terlalu lembek.”
“Dan kau? Mengapa hatimu
selamanya tidak pernah lembut?”
Lama Im Ki menerawang
perkataan ini, tiba-tiba dia tertawa dingin, katanya: “Hatiku! Kau kira aku
masih punya hati?”
Coh Liu-hiang geleng-geleng
sambil menghela napas, hatinya serasa mencelos. Dia kira kini dirinya
betul-betul tiada harapan sama sekali. Tak nyana Im Ki melanjutkan dengan suara
rawan: “Lantaran aku sendiri sudah tidak memiliki apa-apa lagi, oleh karena itu
mati hidupmu sekarang sudah tiada sangkut pautnya pula dengan diriku, aku malah
sudah malas untuk membunuhmu.” tiba-tiba dia balikan telapak tangan menepuk badan
Coh Liu-hiang membebaskan tutukan Hiat-tonya.
Keruan Coh Liu-hiang tertegun,
sekian lama mulutnya megap-megap: “Kau apakah, kau sudah…”
Tiba-tiba berubah bengis sikap
Im Ki, bentaknya: “Apapun yang kupikir tiada sangkut pautnya lagi denganku,
lekas kau pergi saja, jangan kau tunggu aku merubah maksudku semula.” lalu
dipanggilnya seorang muridnya yang bingung dan ketakutan, katanya: “Bawa orang
ini dan dari Sam-cimu, suruh dia bebaskan sekalian ketiga orang yang ditawannya
itu.”
Bergegas Coh Liu-hiang
merapikan pakaiannya, segera dia menjura: “Terima kasih Kiong-cu.”
Waktu itu seperti paderi tua
yang sudah semedi dan kehilangan kesadarannya, Im Ki duduk di tempatnya,
seolah-olah selamanya dia orang sudah tak mau bangun lagi.
Pintu baru mulai merapat dan
akhirnya tertutup, lambat laun mengalingi pandangan Coh Liu-hiang, maka Induk
Air sekarang sudah terkunci didalam pintu batu itu. Bukan saja dia sudah
terasing dari keramaian dunia, diapun sudah berpisah dengan jiwa raganya. Tapi
pintu itu justru hasil karyanya sendiri.
Coh Liu-hiang menghela napas,
dia tahu mungkin selanjutnya takkan ada orang yang bisa menemuinya lagi,
jikalau selamanya dia tak pernah berhadapan dan melihat Im Ki pasti sedikitpun
dia takkan merasa hambar dan menyesal seperti kehilangan sesuatu. Tapi sekarang
entah mengapa, relung hatinya terasa rada pilu dan sendu.
Berdiri disamping di samping
murid Sin cui kiong itu, kelihatannya heran dan kaget namun juga ketarik dan
ingin tahu, agaknya dia masing bingung dan belum mengerti apa sebenarnya
hubungan lelaki ganteng dihadapannya ini dengan gurunya.
“Marilah kita pergi!” akhirnya
Coh Liu-hiang membuka suara sambil putar badan lebih dulu. Kembali tak pernah
terbayang olehnya, belum lagi ucapannya berakhir, maka dilihatnya Oh Thi-hoa, Ui
Loh-ce dan Cay Tok-hing sudah beruntun mendatangi dengan langkah terburu-buru.
Begitu melihat Coh Liu-hiang, agaknya merekapun amat kaget.
“Ulat busuk.” tak tertahan Oh
Thi-hoa berteriak lebih dulu: “Cara bagaimana kau lari keluar?”
Coh Liu-hiang berteriak tak
tertahan: “Cara bagaimana pula kalian bisa lari kemari?”
Kedua pihak hampir
bersama-sama mengajukan pertanyaan, tak tertahan mereka tertawa geli, apapun
yang telah terjadi sekarang kembali bersua dan kumpul bersama, sudah tentu
bukan kepalang senang hati mereka.
“Boleh kau bicara dulu,
pengalamanmu pasti jauh lebih menarik untuk diceritakan, sebaliknya cerita
pengalaman kami sungguh rada kurang menyenangkan.”
“Biarlah kau saja yang cerita
duluan, ceritaku teramat panjang untuk diceritakan.”
Sekilas Oh Thi-hoa mengerling
ke arah Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing, lalu katanya dengan tawa getir: “Kalau
dikatakan memang memalukan, kami bertiga ternyata tetap bukan tandingan Induk
Air seorang, jikalau bibi Yong-ji tidak welas asih dan menaruh belas kasihan
mungkin kami takkan bertemu lagi dengan kau.”
“Dia melepas kalian keluar?”
Coh Liu-hiang menegas.
“Benar.” tutur Oh Thi-hoa,
“bersama seorang gadis yang dipanggil Kiu moay mereka mengompres keterangan
kami, sudah tentu kami membangkang dan tutup mulut tapi budak yang dipanggil
Kiu moay itu memang cewek galak, dia gunakan siksaan hendak mengompres kami,
untung bibi Yong-ji bilang kita ini tokoh-tokoh yang punya kedudukan, adalah
pantas kalau melayaninya dengan sopan santun, tak nyana cewek galak itu malah
marah-marah, dia menuduh bibi Yong-ji sebelumnya sudah sekongkol dengan kami.”
dengan dongkol dia menyambung: “Cewek itu galak mulut, galak pula orangnya,
banyak kata-kata kotor yang dia ucapkan lagi, saking tak sabar lagi dan gemas
bibi Yong-ji tiba-tiba menutuk Hiat-tonya.”
“Dia… mana boleh nekad, masa
tidak berbahaya?”
“Sudah tentu apa yang dia
lakukan membuat kami terperanjat, karena tata tertib perguruan Sin-cui-kiong
amat keras hal ini diketahui setiap insan persilatan, perbuatannya secara tidak
langsung sudah mengakui bahwa dia memang ada sekongkol dengan kami durhaka
kepada guru dan sekongkol sama musuh sudah tentu dosa kesalahan yang tidak
ringan hukumannya, tapi setelah dia turun tangan, sikapnya malah tenang, cuma
dia suruh kami lekas keluar mencari kau, katanya mungkin kau sudah terbelenggu
ditangan Induk Air, mungkin… mungkin sudah celaka.”
“Dan dia sendiri bagaimana?”
“Dia… agaknya dia sudah
berkeputusan, dia sudah pasrah nasib dan tak ingat akan selamatkan jiwa, namun
dia memberitahu kepada kami, Nikoh bisu tuli didalam Bo dhi am hu sebenarnya
adalah Toa-sucinya, karena melanggar undang-undang perguruan maka akhirnya dia
ketiban hukuman yang mengenaskan, dia harap bila ada kesempatan meminta kami
untuk sekedar memberi pertolongan padanya.”
Coh Liu-hiang membanting kaki,
katanya: “Kalau begitu agaknya diapun takut mengalami nasib seperti Toa-sucinya
itu, maka dia bertekad untuk gugur saja…”
“Mungkin demikian setelah kami
keluar dia lantas menutup pintu penjara itu dari dalam, dirinya terkurung
didalam penjara batu, waktu kami menyadari hal itu, dan menggedornya minta
pintu dibuka, bagaimanapun dia tidak mau membuka lagi, hakikatnya dia sudah anggap
tak dengar seruan kami, tak mau menjawab pertanyaan kami.”
“Sungguh tak nyana Induk Air
dan muridnya punya watak yang angkuh sampaipun orang lainpun pantang melihat
kematian mereka, memangnya mereka ingin selamanya hidup didalam sanubari orang
lain?”
Oh thi-hoa tidak mengerti
seluruhnya apa yang dimaksud ucapan Coh Liu-hiang, karena betapapun dia takkan
menduga bahwa Induk Air Im Ki ternyata mempunyai cara kematian yang mirip. Maka
katanya dengan menyengir sedih: “Bagaimana juga, selamanya kita memang harus
berterima-kasih dan hutang budi kepadanya”
Tanya Coh Liu-hiang kemudian:
“Bagaimana kalian bisa datang kemari? Apakah akhirnya Yoong Ji berhasil
memberitahu jalan rahasia yang menembus ke Sin-cui-kiong ini kepada kalian?”
“Setelah kau berlalu, kami
lantas minta dia memberitahu, semula dia tidak mau, tapi sedari kemudian diapun
mulai mengisahkan kepadamu.”
“Jadi dia ikut kalian datang?”
“Dia kuatir bila ikut kami
bisa kurang leluasa”
“Lalu dimana dia sekarang?”
“Katanya dia hendak menyusul
ke Bo dhi am untuk kumpul bersama Tuian-ji lainnya lalu melihat gelagat apakah
bisa dari sama menyuruh masuk kemari, semula aku hendak membujuknya supaya tak
usah gelisah, tak nyana malah dia sudah menghibur aku ” sampai di sini Oh
Thi-hoa tertawa geli, katanya lebih lanjut: “Dia amat yakin dan percaya penuh
terhadap kau, katanya berapapun mara bahaya yang kau hadapi, pasti kau punya
cara dan akal untuk meloloskan diri.”
Cay Tok-hiang menimbrung
dengan tertawa: “Agaknya dia malah rada menguatirkan kami bertiga, dia pesan
wanti-wanti kepada kami supaya jangan sembarangan turun tangan, tapi begitu
kami sampai di sini, semua pesannya sudah terlupakan semua.”
Ui Loh ce juga mendekat,
selanya: “Siapa sebenarnya temanku itu, Maling Romantis tentu sudah tahu, perbuatannya
dulu memang takkan menimbulkan simpatik malah membuat hati orang dendam tapi
belakangan ini dia berubah dan benar sudah bertobat, sudah mengubah kelakuan
buruknya dan kembali ke jalan lurus”
“Semua urusannya sudah
kuketahui, akupun simpatik kepadanya, cuma sayang dia…”
Berubah air muka Ui Loh-ce
tanyanya: “Dia… apakah sudah menemui ajal?” Coh Liu-hiang menghela napas
panjang tak menjawab.
Ui Loh-ce berkata: “Dinilai
dari perbuatannya dulu, memang pantas kalau dia harus menebus dengan
kematiannya, akan tetapi… tetapi Cayhe masih ingin tahu… sebenarnya siapakah
yang membunuhnya?”
“Orang yang membunuh diapun
sudah terbunuh, malah Sin-cui-kiong-cu sendiri yang menuntut balas kematiannya
kini mereka bertiga satu keluarga pasti sudah berkumpul dialam baka, buat apa
Cianpwe bersedih bagi dirinya.”
Ui Loh-ce geleng-geleng kepala
lalu terduduk, gumamnya: “Benar dengan dosa-dosanya yang kelewat takaran itu,
Yang kuasa terhitung memberi keadilan yang setimpal kepadanya.” dimulut dia
berkata demikian, api tak terasa air mata berkaca kaca di kelopak matanya.
Oh Thi-hoa menepuk pundak Coh
Liu-hiang katanya: “Dan kau? cara bagaimana kau bisa lolos dari cengkeraman
Induk Air? Apa kau… ” dia tertawa penuh arti menghentikan ucapannya.
Coh Liu-hiang melotot sekali
kepadanya, katanya: “Kalau aku toh sudah lolos, tak perlu kau menguatirkan aku
lagi, justru Yong-ji dan lain-lain itu sampai sekarang belum kunjung tiba,
memangnya mereka mengalami sesuatu?” Tiba tiba dia berputar menghadapi gadis
murid Sin-cui-kiong itu tanyanya dengan tersenyum: “Bolehkah aku mengetahui
nama harum nona yang mulia?”
Sebetulnya gadis itu sedang
mendengar dengan mata mencelong, mau pergi tidak berani menyingkir, kini
tiba-tiba ditanya karuan terperanjat sahutnya malu-malu: “aku bernama Lam Pin.”
Suara Coh Liu-hiang lemah
lembut: “Kami ingin keluar Bo-dhi-am untuk mencari orang entah sudikah nona Lam
Pin membawa kami keluar?”
Sebentar Lam Pin mengawasi
pintu batu yang tertutup kencang itu, katanya: “Suhu tak suruh aku membawa
kalian keluar, aku sendiripun tak berani ambil putusan.”
“Nona tak usah kuatir, kau
tunjukkan jalannya, beliau tak akan salahkan kau.”
Lam Pin menggigit bibir,
agaknya tak tahu apa yang harus dia lakukan.
Pelan-pelan Coh Liu-hiang
menarik tangannya, katanya: “Hayolah sekarang, berangkat.” Merah muka Lam Pin,
ingin meronta dan melepaskan tangannya, namun kepalanya malah tertunduk, mau
bicara tak tahu apa yang harus dia ucapkan, akhirnya seperti orang linglung
saja dia mandah diseret pergi.
Oh Thi-hoa menghela napas, ujarnya
geleng-geleng: “Perempuan yang galak seperti serigala lapar, setiap berhadapan
dengan ulat busuk, seolah-olah dia menjadi mati kutu dan tak bisa berbuat
apa-apa, aku sungguh tak mengerti kenapa bisa begitu?”
“Lute” ujar Cay Tok-hiang.
“Masakan pengertian yang sepele saja kau tak tahu?”
“Memangnya dia punya daya
iblis untuk memelet gadis, kenapa aku tidak melihatnya sedikitpun?”
“Kalau kaupun bisa melihatnya,
wah celaka dua belas.”
Air terjun tumpah ke dalam
danau, air danau lalu mengalir keluar pula, bila air terjun tidak berhenti, air
danaupun tak berhenti mengalir, begitulah sambung menyambung tiada putus,
disinilah letak keajaiban alam yang besar dan jaya.
Coh Liu-hiang beramai ramai
menyelusuri aliran air bawah tanah terus beranjak ke depan terasa letak lorong
panjang ini semakin tinggi, pada ujung lorongsana terdapat undakan batu, di
atas undakan batu itulah ujung keluarnya.
Lam Pin berkata: “Di atas ini
adalah Bo-dhi am, merupakan salah satu pintu keluar istana kami, dari sinilah
cara yang paling gampang karena kelihatannya Suci amat galak, sebetulnya dia
welas asih dan penuh kasih sayang kalau orang meratap tangis dan minta
pertolongannya, jarang dia tega menolak permintaan orang.”
Setelah menelusuri lorong
panjang di bawah tanah itu, agaknya hubungannya dengan Coh Liu-hiang semakin
intim, bukan saja tidak malu dan takut, sebelah tangannya malah dia biarkan
digandeng oleh Coh Liu-hiang, tidak berusaha meronta lagi.
Tapi Coh Liu-hiang sendiri
menjadi gelisah kalau toh Toa sucinya itu orang welas asih kenapa sudah sampai
sekarang Li Ang-siu beramai belum kelihatan batang hidungnya?
Terdengar Oh Thi-hoa berkata:
“Khabarnya orang-orang yang masuk dari sini, harus dimasukkan ke dalam
keranjang, apa benar?”
“Benar” sahut Lam Pin, “Karena
Toa-suci tidak boleh meninggalkan Bo dhi am, terpaksa dia lepas orang kedalam
keranjang, supaya keranjang air itu mengalir terbawa arus kedalam.”
Oh Thi-hoa awasi Coh
Liu-hiang, katanya: “Agaknya dalam hal ini Liu Bu-bi memang tidak berbohong.”
Coh Liu-hiang hanya tertawa
getir. Sekarang dia lebih yakin lagi bahwa Liu Bu-bi sebenarnya perempuan yang
pandai bohong. Karena hanya orang-orang demikian saja yang tahu didalam
ucapan-ucapannya kebohongan dibumbui dengan kenyataan, cara itu akan jauh lebih
gampang untuk menipu orang.
Lam Pin berkata: “Lobang
keluarnya kebetulan terletak di bawah kasur bundar tempat duduk Suci, biasanya
kami jarang kemari karena sejak Toa suci berbuat salah dan dihukum, Suhu lantas
larang kami berhubungan sama dia.”
Tak tahan Oh Thi-hoa bertanya:
“Sebenarnya kesalahan apa yang dia lakukan?”
“Ini… aku sendiri kurang
jelas!” agaknya Lam Pin tidak mau membicarakan hal itu lagi, dengan langkah
terburu-buru dia naiki undakan batu, lalu mengetok dinding dengan bundaran
gelang besi yang gemandul di sana, terdengar suara Ting-ting amat keras itu
menggema didalam lorong sampai lama, kedengarannya seperti naga berpekik.
Lam Pin menerangkan pula:
“Karena kerja Suci sehari-hari hanya duduk semedi di atas kasuran itu, jarang
sekali bergerak, maka asal kami mengetuk gelang besi ini, dia lantas tahu akan
kedatangan kami.”
Oh Thi-hoa tidak berbincang
lagi, betapapun hatinya rada tegang, dia harap pintu rahasianya lekas muncul
dan terbuka, supaya mereka lekas bertemu dengan Song Thiam-ji dan lainnya, ingin
dia tahu apa sebenarnya yang terjadi atas diri mereka.
Tak nyana setelah ditunggu
sekian lamanya, dari atas tetap tidak kedengaran reaksi apa-apa.
Lam Pin mengerut alis,
katanya: “Aneh, apa mungkin Toa-suci kebetulan tidak berada di atas?”
Meski gelisah Coh Liu-hiang
malah menghiburnya: “Mungkin kebetulan dia tengah keluar melemaskan kaki
tangan,kan biasa bagi manusia normal?”
“Yang terang dia pasti takkan
meninggalkan Bo dhi am, tempat di atas tak begitu luas, asal gelangan ini
berbunyi, seharusnya dia sudah mendengarnya, kecuali di atas terjadi sesuatu.”
Sudah tentu hati Coh Liu-hiang
lebih gelisah, karena dia… kalau Liu Bu-bi sudah tahu bila mereka berhasil
masuk ke dalam Sin cui kiong, maka bualannya bakal terbongkar, sudah tentu
dengan berbagai akal dia akan berusaha merintangi mereka.
Memang pengetahuan Li Ang-sui
cukup luas, karena membaca catatan buku itu, tapi otaknya kurang cerdik dan tak
bisa berakal. Song Thiam-ji lebih lincah dan suka bermain sedikitpun tak tahu
keculasan hati manusia umumnya. Apalagi kedua orang ini sama simpati akan
pengalaman Liu Bu-bi maka bila Liu Bu-bi mau mencelakai jiwa mereka, sungguh
segampang membalikkan telapak tangan.
Terdengar Oh Thi-hoa
menggerutu: “Kalau pintu di atas tak terbuka, apa kita tidak ada cara lain
untuk keluar dari sini?”
“Tak ada jalan keluar lainnya,
pintu keluar di lorong bawah tanah ini hanya bisa dibuka dari atas, soalnya
Suhu kuatir kita menyelundup keluar secara diam-diam.”
Tiba-tiba Oh Thi-hoa bertepuk
tangan katanya tertawa tertahan: “Aku lupa satu hal, tak nyana kaupun
melupakannya.”
“Lupa apa?” tanya Coh
Liu-hiang mengelak.
“Toa-sucimu itu bisu dan tuli,
hanya duduk di atas kasuran baru bisa merasakan getaran dari ketokan gelang
besi ini, kalau dia memang sedang menyingkir mana dia bisa mendengar suara
ketokan ini.”
Lam Pin berkata dengan tegas:
“Dia dapat mendengar.”
“Kenapa? Memangnya dia tak
bisu atau tuli, hanya pura-pura demikian saja?” Oh Thi-hoa menegas.
Tak kira Lam Pin malah
geleng-geleng, sahutnya: “Bahwasanya dia memang bisu dan tuli, sedikitpun tidak
salah.”
Kali ini Oh Thi-hoa yang
tertegun melongo, katanya: “Kalau dia benar bisu dan tuli, cara bagaimana dia
bisa mendengar suara?”
Lam Pin tertawa, ujarnya:
“Setelah kau berhadapan dengan dia pasti akan tahu apa sebabnya bisa begitu.”
Oh Thi-hoa menjublek sekian
lama, akhirnya seperti sadar, katanya: “Ya, aku paham sekarang.”
“O? Paham bagaimana?” tanya
Lam Pin.
“Ada orang asal dia mendengar
bibir orang bergerak, maka dia lantas meraba apa yang dikatakan oleh orang itu,
tentu Sucimu mempunyai kelebihan demikian.”
Lam Pin menghela napas dengan
masgul, katanya: “Dia bukan saja bisu dan tuli, malah… malah matanyapun tak
bisa digunakan lagi.”
Kembali Oh Thi-hoa melotot,
katanya kaget: “Jadi diapun buta?”
“Ya.” Lam Pin mengiakan.
Saking gugup Oh Thi-hoa
menggosok-gosok hidung, dengan tertawa dia menggerutu: “Seorang bisu, tuli dan
buta, namun bisa mendengar ratap tangis dan permintaan orang lain yang harus
dikasihani, malah bisa mendengar suara ketokan pintu, ulat busuk biasanya serba
pandai, kali ini tanggung kaupun kebingungan dibuatnya.”
Terdengar suara ketokan gelang
besi itu kumandang pula. Kali ini ketokan Lam Pin lebih keras. Tapi setelah
ditunggu sekian lamanya dari atas tetap sunyi tak terdengar reaksi apa-apa.
Tak tahan Coh Liu-hiang maju
mendekat menempelkan telinga ke dinding batu.
“Kau mendengar suara apa?”
dengan gelisah Oh Thi-hoa bertanya.
Coh Liu-hiang mengerut kening,
sahutnya: “Tidak begitu jelas, kedengarannya seperti ada suara sesuatu.”
Oh Thi-hoa banting-banting
kaki katanya mengomel: “Hidungmu sudah tak manjur, memangnya kupingmu juga
tidak berguna juga?”
Tiba-tiba Cay Tok-hing
menanggalkan karung yang tergantung di pinggangnya mengeluarkan sebuah mangkok
besi, katanya “Dengan mangkok besi ditempelkan ke dinding, kau akan bisa
mendengar lebih jelas.”
“Apa benar?” tanya Oh Thi-hoa
heran dan tidak percaya.
“Orang-orang Kangouw tahu
murid-murid Kaypang paling wahid dalam pekerjaan mencari ayam menangkap anjing,
memangnya kau belum pernah dengar?” kelakar Cay Tok-hing.
Dengan tersenyum Coh Liu-hiang
terima mangkok besi itu terus di tempatkan ke dinding lalu dia tempelkan pula
kupingnya ditengah mangkok, lama kelamaan sorot matanya semakin menyala, tapi
kedua alisnya sebaliknya bertaut semakin kencang.
“Sudah mendengar suara apa?”
“Ya, ada suara!”
“Suara apa?”
“Agaknya ada orang sedang
bicara.”
Oh Thi-hoa menggosok hidung,
katanya geli: “Orang bisu mana bisa bicara?”
Ingin tertawa namun Lam Pin
tak bisa tertawa, katanya mengerut alis: “Yang terang pasti bukan Toa suciku
yang bicara, dia tak bisa bicara.”
“Mungkin Thiam-ji dan
lain-lain sedang minta-minta kepadanya.”
“Bukan… entah suara laki-laki,
tapi suaranya serak, tak mirip suara Li Giok-ham.”
“Laki-laki?” Lam Pin
berjingkrak kaget, ada laki-laki yang sedang bicara?”
“Laki-laki juga adalah
manusia, ada kalanya seperti juga perempuan suka cerewet, kenapa nona harus
kaget begitu rupa?”
“Tapi beberapa tahun lamanya
tak ada lelaki yang berani berkunjung ke Bo-dhi am, orang-orang Kang-ouw
hakekatnya jarang ada yang tahu akan letak Bo dhi-am ini.
“Sin cui kiong saja sudah
didatangi laki-laki, apalagi Bo dhi am ini?”
Berobah pula roman muka Lam
Pin, debatnya: “Tapi orang yang mengunjungi Sin cui kiong pasti mempunyai
urusan penting, maka berani menempuh bahaya, Bo-dhi am tak lebih hanya kuil
kecil yang tak terawat dan sepi tiada sesuatu yang bakal menarik orang datang,
Toa-suci pasti tidak akan bermusuhan dengan siapapun, untuk apa pula mereka
berdatangan ke tempat ini?”
“Mungkin mereka ingin
menyelundup masuk ke Sin cui kiong dengan diam-diam lewat tempat ini?”
“Menurut pendapatku mungkin
mereka meluruk kemari lantaran teman-teman kalian itu.”
Oh Thi-hoa mengerut alis, lalu
diapun dekatkan kupingnya ke pinggir mangkok besi, tanyanya: “Kau dengar tidak
apa yang sedang mereka bicarakan?”
“Tak terdengar.” sahut Coh Liu
Hiang tertawa getir, “Sekarang mereka tak bersuara lagi.”
Berdiam diri, ada kalanya
memang jauh berharga dari pada tutur kata panjang lebar, kesunyian ada kalanya
jauh lebih menakutkan daripada berbagai suara apapun, keadaan Bo dhi-am saat
itu laksana tiada kehidupan insan berjiwa lagi, sunyi senyap, sedikit suarapun
tak terdengar, memangnya didalam waktu sekejap ini orang-orang di atas sudah
mampus seluruhnya? Kalau tidak kenapa mendadak menjadi hening lelap?
Tanpa terasa telapak tangan
Coh Liu Hiang sudah berkeringat dingin. Setiap orang sedang menunggu dengan
hati tegang, lama juga tak tahan Oh Thi-hoa membuka kesunyian pula: “Masih tak
ada suara?”
“Tidak.”
“Mungkin… mungkin Toa-suci
sudah menggebah mundur orang-orang pendatang itu.
“Lalu kenapa dia tidak segera
membuka pintu?”
Lam Pin melongo, keringat
sudah membasahi ujung hidungnya.
Oh Thi-hoa tidak sabar lagi,
katanya: “Aku yakin Thiam-ji dan lain-lain pasti sedang menghadapi sesuatu,
kalau tidak masakah sekian lamanya mereka tidak bersuara, terutama Thiam-ji
menyuruh dia tutup mulut biasanya paling sukar.”
Cay Tok-hing batuk-batuk dua
kali, timbrungnya: “Mungkin mereka masih belum tiba disini.”
Tiba-tiba Coh Liu-hiang
berkata: “Sekarang juga kita mundur kembali, dari sebelah luar menyusul ke Bo
dhi-am memerlukan berapa lama?”
“Wah harus putar satu
lingkaran besar.”
“Berapa besar kita harus
memutar?”
“Benar sekali, Ginkang orang
yang paling tinggi sedikitnya memerlukan tiga empat jam.”
“Wah berat juga, bagaimana
baiknya?” ujar Oh Thi-hoa membanting kaki, “Bikin orang gugup setengah gila,
ulat busuk, memangnya kaupun tak bisa mencari akal.”
Coh Liu-hiang berpikir,
tiba-tiba dia bertanya pula: “Kalau Toa sucimu melulusi permintaan orang dan
sebelum mengantarnya, masuk ke Sin cui kiong, sebelumnya memberi mereka minum
air teh yang dicampur obat bius, supaya mereka tidak tahu jalan menuju kedalam
Sin cui kiong?”
“Ya, memang begitu.”
“Thiam-ji dan lain-lain sudah
tahu akan hal ini, maka meski mereka tahu air teh itu mengandung obat bius,
dengan suka hati mereka meminumnya juga.”
“Benar, setelah mereka tahu
dengan minum air teh bius itu mereka bakal sampai di Sin cui kiong, maka
terpaksa mereka harus meminumnya juga.” Ujar Oh Thi-hoa.
“Setelah mereka minum terus
jatuh pingsan, sudah tentu takkan bisa bicara lagi, maka selama ini kita tidak
mendengar suara percakapan mereka.”
Oh Thi-hoa tepuk tangan: “Ya,
masuk akal.”
“Tapi sebelum Toa-sucimu itu
membawa mereka ke lorong yang menembus ke Sin Cui kiong ini, Bo dhi am keburu
didatangi musuh, mungkin orang-orang itu meluruk datang lantaran Thiam-ji dan
lain-lain, maka mereka minta Toa-suci menyerahkan mereka kepadanya.”
“Toa suci pasti takkan
menyerahkan.” tukas Lam Pin tegas. “Mereka sudah berada di Bo-dhi am, itu
berarti tamu-tamu Toa-suci, bagaimana juga Toa-suci tidak akan menyerahkan
mereka kepada orang.”
“Maka orang-orang itu harus
berunding dan tawar-menawar dengan Toa-suci, sebelum pembicaraan gagal total,
merekapun tidak akan sembarangan turun tangan terhadap murid-murid Sin cui
kiong.”
“Masuk akal juga, tapi kenapa
mereka sekarang tak membicarakan lebih lanjut.”
“Mungkin karena mereka memberi
batas waktu tertentu kepada Toa sucimu untuk mempertimbangkan syarat yang
mereka ajukan, lalu memberi jawaban.”
“Kalau begitu berarti
keadaannya sedang kepepet dan berbahaya.”
“Sudah tentu, kalau orang yang
meluruk datang itu bukan tandingannya, merekapun tidak perlu tawar menawar.”
“Kalau begitu kenapa tidak
lekas dia buka pintu rahasia di bawah ini, supaya kita keluar membantunya?”
“Dia sendiri tengah menghadapi
musuh-musuh tangguh, memangnya dia berani sembarangan memperlihatkan pintu
rahasia yang menembus ke Sin cui kiong?” kata Coh Liu-hiang menghela napas.
Lam Pin mengawasi Coh
Liu-hiang, sorot matanya amat kagum dan penuh simpatik. Walau dia tak bicara
apapun tapi kalau seorang gadis mekar mengawasi lelaki dengan sorot pandangan
seperti itu, sesungguhnya jauh lebih menyenangkan daripada dia mengutarakan isi
hatinya dengan kata-kata yang panjang lebar.
Mengucek-ngucek hidung, Coh
Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: “Ini hanya rekaanku belaka bagaimana
sesungguhnya belum tentu seperti apa yang ku utarakan, siapapun sukar
berkeputusan.”
Lam Pin segera berkata dengan
lembutnya: “Tapi aku berani pastikan bahwa rekaanmu terang tidak salah, karena
kecuali adanya kejadian seperti itu, hakekatnya tak mungkin ada peristiwa lain
terjadi di atas.”
“Tapi aku justru mengharap
rekaanmu salah sama sekali", timbrung Oh Thi-hoa! "Kalau tidak
Thiam-ji dan lain-lain sedang pingsan tak sadarkan diri, Toa-sucimu tak berani
membuka pintu lagi, kitapun tak bisa menyusul kesana tepat pada waktunya…
bukankah keadaan seperti ini bakal membuat mereka celaka?”
Mengingat keadaan mereka
memang amat berbahaya, semua hanya mencak-mencak kebingungan seperti semut
didalam kuali panas. Tapi kecuali gugup dan mencak-mencak mereka tak putus akal
tak bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba Lam Pin berkata
dengan tertawa: “Sebetulnya kalian tidak perlu gugup, bahwa Toa-suci memiliki
ilmu silat paling tinggi diantara para saudara kita, meski dia sudah cacat
indranya, ilmu silatnya malah lebih hebat, aku yakin dia pasti bisa pukul
mundur orang-orang itu.”
Oh Thi-hoa geleng-geleng,
katanya; “Kalau dia yakin dapat mengalahkan orang-orang itu, sejak tadi pasti
dia sudah gebah mereka lari, buat apa ditunggu sampai sekarang?”
“Tapi… tapi Suhuku sering
bilang, ilmu silat Toa suci terang takkan lebih asor dari sepuluh tokoh-tokoh
silat terkosen didalam Bulim pada jaman ini, memangnya kepandaian silat
orang-orang itu lebih tinggi dari dia?”
Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya:
“Tokoh yang berani mencari gara-gara terhadap Maling Romantis sudah tentu dia
punya kepandaian yang diandalkan.”
“Maling Romantis sendiri masa
tidak bisa mengira-ngira siapa kiranya mereka itu?” tanya Cay Tok-hing.
“Umpama aku bisa mengira-ngira
siapa mereka sebenarnya, apa pula untungnya bagi kita dalam keadaan seperti
ini?” Sebetulnya diapun sudah mengira orang-orang itu pasti tokoh-tokoh silat
undangan Liu Bu-bi, apa yang dia rancang ini bukan saja dapat memutus jalan
mundur Coh Liu-hiang, malah Thiam-ji dan lain-lain bisa ditawannya sebagai
sandra, sekaligus untuk mengancam Coh Liu-hiang bilamana dia bisa meloloskan
diri dari Sin cui kiong, supaya tak bisa membocorkan rahasia pribadinya.
Coh Liu-hiang yakin semua ini
adalah tipu daya Liu Bu-bi yang memang sudah dirancangnya dengan matang. Maka
sahutnya menghela napas: “Sekarang aku hanya mengharap semoga Toa-sucimu sudah
menginsyafi bahwa ilmu silatnya sendiri sekali-kali bukan tandingan orang-orang
yang meluruk datang itu.”
“Kenapa demikian?” Lam Pin
mengerut kening.
“Karena bila dia sudah kepepet
dan tiada jalan lain, terpaksa membuka pintu rahasia ini.”
“Benar.” Cay Tok-hing tepuk
tangan. “Inilah yang dinamakan dari pada mati kepepet terpaksa mencari jalan
mundur untuk hidup.”
“Kalau orang lain disaat
menghadapi jalan buntu, mungkin bisa berbuat demikian tapi Toa-suci lebih baik
mati betapapun dia takkan melakukan hal itu lagi.”
“Kenapa?” Cay Tok-hing
mengerut kening juga.
“Karena secara tidak sengaja
Toa suci pernah membocorkan jalan rahasia untuk musuh ke Sin cui kiong, maka
dia menerima ganjarannya yang berat itu. Memangnya sekarang dia bakal melakukan
kesalahan yag menjadikan dia tanpa daksa.?”
Agaknya titik harapan yang
amat minim inipun tumbang dan terputus pula, keruan semua orang sama putus asa
dan gelisah setengah mati.
Tiba-tiba dengan mata beringas
Oh Thi-hoa memburu maju, dengan tangannya dia ketok gelang besi di atas dinding
itu dengan sekeras-kerasnya, dinding sekelilingnya sampai mendengung
menimbulkan gema suara yang keras sampai kuping mereka terasa pekak.
“Apa yang kau lakukan?” teriak
Lam Pin kebingungan.
“Inilah yang dinamakan
daripada mati kepepet terpaksa mencari jalan mundur untuk hidup.”
“Betul.” teriak Cay Tok-hing,
“bila orang-orang itu mendengar suara ini, maka mereka pun tahu dimana
kira-kira pintu rahasia yang menembus ke Sin cui kiong, jikalau mereka sudah
tahu dimana letak pintu rahasia untuk masuk ke Sin cui kiong, Toa-sucimu tak
perlu lagi merahasiakan serta mempertahankannya mati-matian, jikalau dia tidak
punya kekuatiran apa-apa, mungkin segera membuka pintu rahasia ini.”
Oh Thi-hoa tertawa geli,
katanya: “Aku ini orang goblok, terpaksa menyimpulkan akal yang goblok pula.”
Coh Liu-hiang ikut berseri
girang katanya: “Dikala orang-orang pintar sudah kehabisan akal, maka akal yang
disimpulkan orang goblok pasti amat berguna sekali.” baru saja kata-katanya
habis diucapkan, selarik sinar terang segera menyorot dari atas.
Cahaya di ruang sembahyang
sebetulnya tak begitu terang, sinar matahari teraling oleh rimbunan pepohonan
yang tumbuh disekitar kuil kecil ini seolah-olah sejak mula sinar matahari
memang tak sampai menyorot ke dalam kuil kecil ini, sehingga suasana dan hawa
didalam ruangan pemujaan ini terasa dingin dan seram.
Kain gordyn menutupi altar
pemujaan sehingga tak diketahui patung pemujaan apa yang disembah didalam biara
bobrok ini, keadaan di sini serba luntur dan rusak. Seorang nikoh tua berbadan
kurus kering berjubah hijau dengan mata cekung alis lentik bersimpuh di atas
kasuran, meski sedang berduduk namun dapat dibayangkan berapa tinggi perawakan
badannya.
Kulit mukanya yang kuning kuyu
sudah tak kelihatan membungkus daging, dua tulang pelipisnya menonjol keluar,
sehingga raut mukanya kelihatan lebih tua, tapi lebih kaku dingin dan kejam
pula.
Di hadapan dan kanan kirinya
masih terdapat kasuran bundar, dua kasur bundaran di sebelah kirinya juga duduk
bersila dua gadis remaja, kepalanya tertunduk dalam di depan dari padanya,
agaknya tengah tertidur pulas. Kedua orang ini adalah Li Ang-siu dan Song
Thiam-ji.
Kasuran di sebelah kanan
masing-masing duduk seorang laki-laki dan seorang perempuan tapi terang bukan
Li Giok-ham suami istri, yang laki bermuka pucat seperti mengenakan kedok muka
tapi pakaian hijau di depan dada dan sekujur badannya berlepotan darah, seakan
malah terluka berat juga. Dia kertak gigi, mata terpejam rapat seakan-akan
sedang menahan kesakitan yang amat menyiksa badannya, malah dudukpun hampir tak
kuat lagi.
Yang perempuan mengenakan
cadar, yang kelihatan hanya sepasang matanya, namun sepasang matanya mengandung
rasa ketakutan, gusar dan penasaran.
Didalam ruangan sembahyang ini
sebetulnya terdengar suara bentrokan senjata keras, suaranya kedengaran bergema
dari bawah tanah tapi saat itu tiba-tiba semuanya mendadak sirap dan sunyi.
Kasur bundar di bawah tempat duduk Nikoh jubah hijau pelan-pelan tergeser ke
samping, dari bawah kasur tampak sebuah lobang yang membesar, tak lama kemudian
beruntun beberapa bayangan orang menerobos keluar selincah kelinci.
Dua orang yang mendahului
menerobos keluar bukan lain adalah Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang.
Melihat kedua orang ini,
perempuan berkedok seketika menampilkan sorot kegirangan, sebaliknya sepasang
mata Nikoh jubah hijau seketika memancarkan cahaya berkilat yang lebih tajam
dari kilauan sebilah golok tajam. Dimana tangan bajunya terkembang, nampak
sinar hitam berkelebatan membawa deru angin tajam langsung menggulung ke arah
Coh Liu-hiang.
Hanya kebutan angin pukulan
lengan bajunya yang mendampar dasyat saja sudah bukan olah-olah perbawanya,
apalagi ditengah deru angin keras itu diselingi senjata rahasia pihak Sin
cui-kiong yang dibubuhi racun jahat mematikan.
Sementara itu, tiba-tiba Oh
Thi-hoa pun merasa segulung angin dingin menyambuk ke mukanya teramat cepat dan
mendadak sekali kejadian berlangsung sehingga tahu-tahu dia merasa napas sesak.
Saking terperanjat sigap sekali badannya mengkeret, berbareng kaki menutul bumi
badannya bersalto ditengah udara, “Blang” badannya menumbuk daun jendela dan
terlempar keluar, terasa alas sepatunya rada tergetar, dengan kecepatan gerak
refleknya yang tangkas itu, ternyata masih tak luput dari bokongan orang,
untunglah sejak kembali dari padang pasir sampai sekarang belum lagi mengganti
sepatunya yang dipakainya tetap sepatu tinggi dan tebal pemberian Ki Ping-yan
yang terbuat dari kulit kerbau.
Meski kekuatan sambitan
senjata itu amat pesat dan besar, namun tak bisa menembus kulit kerbau di alas
kakinya. Kalau tidak umpama dia tidak mampus, kakinya itu terang bakal cacat
seumur hidup.
Belum lagi badannya menyentuh
bumi, keringat dingin sudah gemerobyos. Di luar jendela tumbuh pohon raksasa
yang rindang dengan daun-daunnya yang rapat, baru saja dia berniat melejit naik
ke atas pohon, siapa tahu pada saat itu pula tiba-tiba “Sret” sebuah suara
samberan lirih. Dimana kilat berkelebat, tahu-tahu sebilah pedang laksana lidah
ular yang terjulur keluar menusuk ke arah dirinya dari celah-celah dedaunan
pohon yang rapat itu, betapa cepat keji dan hebat serangan ini, agaknya tak
lebih berbahaya dari serangan senjata gelap tokoh jubah hijau tadi.
Tusukan pedang ini jauh tak
terduga pula olehnya, hawa murni yang dia kerahkan kebetulan sudah berakhir,
badan masih terapung ditengah udara, umpama dia memiliki kepandaian setinggi
gunung juga takkan bisa meluputkan diri dari tusukan pedang ini.
Baru saja tersembur keluar air
liur getir dari mulut Oh Thi-hoa, dia sudah siap pasrah nasib untuk menerima tusukan
pedang ini, tiba-tiba dilihatnya segulung benda hitam melesat terbang dari
dalam jendela menyongsong ke arah samberan sinar kilat. Maka terdengar pula
suara “Cres” sinar pedang tembus segulungan hitam yang ternyata bukan lain
adalah sebuah kasur tempat duduk, tapi Oh Thi-hoa sendiri belum sempat melihat
benda apa yang telah menolong jiwanya, begitu kakinya menyentuh tanah, sigap
sekali badannya melejit masuk pula ke dalam jendela.
Dilihatnya Coh Liu-hiang tetap
berdiri di tempatnya, seolah-olah tak pernah bergerak, dan deru angin tajam
dari serangan senjata rahasia tadi, entah cara bagaimana dia meluputkan diri.
Di sebelahsana dilihatnya Lam
Pin pun sudah melompat keluar dan sedang menarik tangan Nikoh setengah baya itu
entah apa yang sedang mereka bicarakan, yang terang dia sedang menjelaskan
duduk persoalan dan mintakan ampun bagi Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menyeka keringat
dingin di atas jidatnya, katanya: “Ulat busuk, agaknya aku berhutang jiwa lagi
terhadapmu.”
Coh Liu-hiang tertawa,
ujarnya: “Yang menolong jiwamu kali ini bukan aku.”
“Siapa?” tanya Oh Thi-hoa
tertegun. Mulut bertanya sementara badannya sudah berputar, baru sekarang dia
lihat perempuan berkedok itu kini sudah berdiri, kasur tempat duduk di bawahnya
sudah tiada lagi.
Memegangi hidungnya, Oh
Thi-hoa berkata: “Nona menolong jiwaku, aku malah berterima kasih kepada orang
lain, sungguh tidak enak rasanya, tapi nona harap tidak berkecil hati, meski
aku ini bodoh, tapi masih bisa membedakan baik buruk, kelak nona ingin aku
melakukan apa saja, ingin aku terjun ke lautan api tidak akan kutolak.”
Bersinar terang biji mata
perempuan berkedok ini, agaknya hendak mengatakan sesuatu, tapi waktu itu Lam
Pin sudah berdiri, katanya: “Toa suciku ingin menanyakan asal-usul kalian, apa
pula hubungan dengan istana kami…” dia berdiri membelakangi Nikoh jubah hijau
itu, tiba-tiba dia kedip-kedipkan matanya kepada Coh Liu-hiang, lalu
menyambung: “Aku tahu kalian pasti punya hubungan erat dengan pihak kami, kalau
tidak Suhu pasti takkan suruh kalian kemari lebih baik kalian berterus terang
kepada Toa suci.”
Sebetulnya tak perlu dia main
kedip-kedip mata, Coh Liu-hiang sudah paham akan juntrungannya, meski dia
membawa mereka kemari, namun hatinya masih ketakutan setengah mati. Sudah tentu
Coh Liu-hiang tidak tega membikin orang memikul tanggung jawab ini, maka
katanya dengan suara berat: “Duduk persoalannya sulit kujelaskan dalam waktu
singkat, setelah nona bertemu dengan gurumu tentu akan mendapat penjelasan
secukupnya, sekarang lebih penting kita selesaikan dulu persoalan disini.”
“Benar.” sela Oh Thi-hoa: “Aku
hanya ingin tahu siapa yang bertindak begitu rendah main bokong secara
menggelap? Bagaimanapun aku harus beri hajaran kepadanya.”
Walau sorot Nikoh tua
berkilat-kilat, tapi matanya hampir memutih, seolah-olah sekeping es batu yang
mengambang di atas air beku, sementara kulit mukanya laksana air danau yang
membeku mati, dingin menampilkan ketenangan yang aneh pula.
Tak tahan Oh Thi-hoa akan
mengucek-ngucek hidung pula, katanya getir: “Kau, apakah Taysu benar-benar tak
bisa bicara?”
Nikoh jubah hijau
manggut-manggut.
Oh Thi-hoa melengong, tanyanya
pula: “Terang kau mendengar ucapanku, kenapa mengakui tidak mendengar suaraku?”
“Toa suciku memang tidak bisa
mendengar!” Lam Pin mewakili beri penjelasan.
“Kalau tidak mendengar,
bagaimana dia bisa manggut kepala?”
Sekilas Lam Pin berpaling ke
arah Nikoh jubah hijau, mulutnya sudah terbuka namun batal bicara.
“Kuminta lekaslah kalian
jelaskan, tak usah main teka-teki, hampir saja aku dibikin gila saking
gelisah.”
Agaknya rekaan Coh Liu-hiang
tidak meleset, Li Giok-ham suami istri tak berada di sini, orang-orang di luar
mungkin memang undangan mereka yang disuruh menghadapi Li Ang-siu dan Song
Thiam-ji.
Tapi siapakah sebenarnya
orang-orang itu? Dilihat dari serangan pedang yang keji dan telengas itu,
betapa tinggi ilmu pedang mereka agaknya tidak lebih asor dibanding Ui Loh ce.
Dari mana pula Liu Bu-bi bisa mengundang tokoh-tokoh silat tinggi sebanyak itu?
Dan lagi, siapa pula lelaki
dan perempuan berkedok itu? Kenapa sikap mereka begitu misterius? Sungguh hati
Oh Thi-hoa dirundung berbagai pertanyaan yang tidak terjawab, justru dia harus
menghadapi seorang bisu, apalagi Li Ang-siu dan Song Thiam-ji agaknya sama tak
sadarkan diri. Siapapun yang menghadapi keadaan seperti ini, malah lucu kalau
tidak dibikin gila.