-------------------------------
----------------------------
Bab 13. Pertempuran di dalam air
Tekanan air dalam almari
semakin besar dan berat, walau sekelilingnya serba gelap apapun tak terlihat
olehnya, namun dia merasakan bahwa almari ini sudah hampir tenggelam ke dasar
dan berada ditengah tengah danau, namun entah mengapa, tekanan air terasa mulai
enteng dan berkurang, disusul air mulai mengalir keluar pula dari dalam almari,
ternyata almari ini digotong lagi ke dalam kamar tidur Induk Air.
Terdengar suara Induk Air
memerintahkan murid muridnya:
“Letakkan saja di sini, kalian
keluar semua”
“Blang” almari batu tadi itu
kembali menyentuh lantai, kontan badan Coh Liu-hiang bergetar dan tergoncang
keras, namun lekas sekali sudah tenang dan kokoh baru pertama kali ini pula
betapa senang hati seseorang bila kaki menyentuh bumi kembali.
Setelah murid-murid Sin
Cui-kiong mengundurkan diri, suasana hening lelap, lama kelamaan terdengar
olehnya deru napas Induk Air yang semakin memburu seperti gelisah, terang orang
sudah tak dapat mengendalikan emosinya lagi.
Coh Liu-hiang tertawa katanya
keras: “Memangnya aku tahu kau pasti akan merubah niatmu, jikalau aku terbenam
mampus, selamanya kau tak akan tahu dimana sebenarnya Hiong niocu sekarang
berada?”
Tak tahan Im Ki bertanya:
“Dimana dia?”
“Mungkin sudah mati, atau
masih hidup, mungkin jauh di ujung langit, kemungkinan dekat matamu, jikalau
kau ingin aku memberitahu kepadamu, hanya ada satu cara saja.”
“Agaknya kau ingin supaya aku
membebaskan kau?”
“Meski aku ini bukan orang
dagang, tapi aku toh tahu untuk berdagang harus adil walau berita ini amat
tinggi nilainya, tapi cukup setimpal untuk menebus jiwa seorang Coh Liu-hiang
sekali kali aku tidak akan menawarkan harga terlalu tinggi, supaya pembelinya
tak usah tawar menawar.”
“Kalau kau sudah paham, apa
pula yang kau inginkan?”
“Aku hanya ingin kau bebaskan
aku, marilah beri kesempatan untuk bertanding secara terbuka dan adil.”
“Kalau demikian jiwamu pasti
melayang.”
“Kau kira aku takut mati? Aku
cuma merasa kematian seperti caraku hari ini, sungguh keterlaluan dan
penasaran, hidupku riang gembira, maka akupun ingin mati dengan suka rela
dengan hati lapang.”
Lama Im Ki bungkam, Coh
Liu-hiang menunggu jawabannya.
“Tapi jikalau kau memang tidak
berani bertanding dengan aku, akupun tidak memaksa, jikalau aku jadi kau,
mungkin akupun tidak akan membebaskan Coh Liu-hiang begitu saja."
Im Ki tetap tidak bersuara,
tapi dari luar almari terdengar suara “klik” yang lirih, lalu disusul dengan
suara Im Ki berkata dengan nada dingin: “Almari sudah kubuka, silahkan keluar,
tapi kau harus ingin betul-betul, setelah kau keluar, bukan saja kematianmu
bakal lebih cepat, malah kematianmu teramat mengerikan.”
Coh Liu-hiang menghirup napas
panjang mulutnya menggumam: “Terima kasih kepada langit dan bumi, berapapun kau
ini adalah perempuan juga, belum sampai tidak punya sedikit pun daya tarik
terhadap sesuatu yang ingin kau ketahui, jikalau seorang perempuan tidak lagi
mau tahu dimana jejak kekasihnya, mungkin dunia ini bakal selalu geger.”
“Sebetulnya dia sudah mati
atau masih hidup? Dimana dia sekarang?”
“Kau mengharap supaya dia
sudah meninggal? Atau masih berdoa supaya dia masih tetap hidup”sembari bicara
pelan-pelan dia mendorong pintu almari terus melangkah keluar. Bicara sampai
detik itu mendadak mulutnya merandek dan menjublek di tempatnya, karena
dilihatnya Im Ki yang berdiri dihadapannya sekarang ternyata sudah tidak mirip
dengan Induk Air Im Ki yang pernah dilihatnya tadi.
“Kau… ”
Induk air Im Ki yang
dilihatnya tadi adalah Sin Cui Kiong-cu yang menggetarkan bulim, setiap gerak
geriknya yang dan polahnya mengandung kewibawaan dan keyakinan yang besar dan
tepat, sehingga orang yang berhadapan dengannya tak berani kurang ajar atau
bertingkah laku kurang hormat.”
Tapi Im Ki yang dihadapinya
ini adalah perempuan lazimnya yang sering dia lihat di dunia ramai, pada
sepasang matanya yang bening terang kini sudah diliputi rasa bingung dan kalut,
wajahnya yang semula berwibawa dan angker tenang itu kini berubah gugup
gelisah, haru dan terlalu emosi, pakaiannya yang inipun sudah kucal, sampaipun
kedua jari jari tangannyapun sudah mulai gemetar.
Sungguh mimpipun Coh Liu-hiang
tak pernah menduga seseorang bisa mengalami perubahan lahiriah dan batiniah
secepat itu dalam waktu sependek ini, Sin-cui-kiong cu yang menggetarkan
sanubari setiap insan persilatan sekonyong-konyong menjadi perempuan awam yang
tak ubahnya dengan perempuan kebanyakan perempuan.
Perubahan ini sungguh luar
biasa, susah dibayangkan oleh siapapun, didalam waktu sesingkat ini tekanan
derita dan siksaan batin yang dialami mungkin takkan bisa dialami dan dapat
dibayangkan oleh orang lain.
Coh Liu-hiang menjadi tak
tega, katanya setelah menghela napas: “Sungguh tak nyana cintamu terhadapnya
ternyata sedemikian besar sedalam lautan setinggi gunung, jikalau dia bisa tahu
sejak sebelum peristiwa ini terjadi, segala kejadianpun takkan berubah begitu
cepat, sayang sekali selamanya dia takkan bisa mengetahui lagi.”
Dengan kencang Im Ki merenggut
dan menggenggam kedua tangannya kencang-kencang, suaranya serak gemetar: “Dia..
dia selamanya sudah…” “Jikalau dia masih tahu dalam dunia ini masih ada orang
yang mencintainya ke pati-pati, mungkin sekarang belum lagi ajal jiwanya, namun
demikian, seorang laki-laki bisa-bisa mendapat kecintaan seperti dirimu kukira
diapun takkan mati penasaran, semoga tentramlah arwahnya dialam baka.
Bergetar sekujur badan Im Ki,
tiba-tiba dia tertawa dingin, katanya: “Apakah kau hendak membuat kalut pikiran
dan gundah hatiku dengan cerita obrolanmu ini, sehingga aku tak kuasa bergebrak
dengan kau?”
“Sebetulnya aku memang punya
maksud demikian, apa boleh buat selamanya aku ini tidak tega menipu perempuan
yang sedang dirundung kesedihan” “Apakah kau yang membunuhnya?" bentak Im
Ki beringasan.
“Siapakah sebetulnya yang
membunuhnya? Apa sampai sekarang kau masih belum mengerti?”
Kembali badan Im Ki bergetar,
seolah-olah berdiripun tak kuat lagi. Didalam sekejap ini seakan akan dia
bertambah tua puluhan tahun katanya seorang diri dengan suara pilu: “Anak bodoh
kenapa kau harus berbuat demikian? “Kenapa dia harus berbuat demikian tentunya
kaupun sudah maklum”
Tangan Im Ki bergetar,
tangannya menggepar-gepar seperti hendak mencari sesuatu benda untuk mempertahankan
dirinya kecuali cinta atauasmara , pukulan batin apa pula yang kuasa membuat
sanubarinya serasa dilukai sampai parah dan tak tertolong lagi? Pengalaman yang
tragis ini memang patut dikasihani, tapi permainan perasaan cinta seperti yang
dilakukan sungguh terlalu brutal. Coh Liu-hiang sendiri bingung dan tak tahu
apa sebenarnya dia ini pantas dikasihani? Atau harus dibenci? Mungkin pula
menggelikan?
Kata Coh Liu-hiang menghela
napas: “Sebetulnya aku tak ingin membuat kalut pikiranmu tapi, sekarang kau
memang tidak leluasa dan bukan saatnya untuk bergebrak dengan orang, aku
sendiripun tidak sudi menarik keuntungan disaat orang mengalami kesulitan.”
Tiba tiba setegak tombak kayu
badan Im Ki yang gemetar sudah berdiri lagi, katanya dingin: “Membunuh orang
tidak perlu harus menunggu bila hati merasa senang atau tentram, silahkan kau
turun tangan lebih dulu.”
“Apa benar kau sekarang mampu
bergebrak?”
“Tak kau kuatirkan diriku,
lebih kalau kau pikirkan nasibmu sendiri, Asal kau mampu melawan sepuluh jurus
seranganku, tidak sia sia kau sebesar ini kau mempelajari ilmu silat dari
Ya-te.”
“Agaknya kau memang terlalu
congkak dan takabur.” ujar Coh Liu-hiang tertawa. Lenyap suaranya laksana kilat
tiba-tiba badannya menubruk ke arah Im Ki.
Soalnya dia maklum jalan satu
satunya untuk merobohkan lawan tangguh ini, hanya menggunakan “Kecepatan” untuk
menyergapnya. Oleh karena itu sedapat mungkin dia bergerak dengan menggunakan
“cepat” asal sejurus dia kuasai memegang inisiatif penyerangan, kemungkinan dia
punya harapan untuk menang dalam pertarungan jiwa ini.
Memang kecepatan gerak
serangan Coh Liu-hiang tak bisa dilukiskan, lebih cepat dari angin puyuh, lebih
hebat dan dahsyat dari sambaran kilat. Siapa nyana baru saja dia bergerak,
telapak tangan Im Ki berbareng bergerak, kontan dia rasakan adanya selapis
tembok tak kelihatan dari tenaga dalam dari ayunan tangan orang membendung
dirinya, lebih celaka lagi karena kekuatan bendungan ini laksana gelombang
ombak samudra yang bergulung tak putus-putus.
Jangan kata Coh Liu-hiang,
hakekatnya tak berhasil merebut kesempatan bahwasanya dia pun tak berhasil
mendekati lawan. Semula dia mengira Induk Air tak ubahnya dengan Ciok Koan im,
ilmu silat orang mengutamakan permainan aneh dengan gerakan ajaib seperti orang
main sulapan dengan jurus jurusnya yang lincah itu, maka dia sangka mungkin
dirinya masih kuasa menghadapi segala perubahan itu dengan kecerdikan otaknya
untuk mengatasi dan mendahului lawan. Begitulah pertempurannya dengan Ciok koan
im dulu.
Di luar tahunya ilmu silat
pelajaran Induk Air Im Ki justru jauh berlainan golongan dari aliran silat di
dunia ini, ternyata ilmu silat Induk Air sama dengan julukan ini dapat dari
gemblengan dari dalam air pula.
Demikian pula kekuatannya
seperti juga dengan air, meski kelihatannya halus dan tenang bahwasanya justru
kuat atau melentur tak kenal putus, tiada barang yang kuat membendungnya kalau
setitik air dapat melobangi batu maka air bah setidaknya bisa membikin gunung
jebol dan berubah bentuk, kontan hanyut tersapu bersih sejak dahulu kala, tiada
sesuatu benda di alam dunia ini yang kuasa melawan kekuatan air.
Baru sekarang Coh Liu-hiang
yang bisa tidur didalam air ini menyadari benar bahwa airlah kenyataan yang
paling menakutkan di dalam jagat ini. Air yang tak kenal kasihan. Tapi cara
turun tangan Induk Air justru lebih tidak kenal kasihan lagi, tidak kelihatan
gayanya berubah, pukulan telapak tangan yang dahsyat laksana amukan ombak
samudra tahu-tahu sudah menindih tiba sehingga Coh Liu-hiang merasa sesak napas
dan tak kuat bernapas lagi.
Beruntun mengandal kegesitan
dan kelincahan badannya dia sudah merubah berapa kali gerak perubahan, tapi
setiap kali Induk Air mengayun sebelah tangannya, seluruh serangannya lantas
kandas ditengah jalan, bahwa serangan sehebat dan selihay itu sedikitpun tidak
menimbulkan suatu tekanan sekecil mungkin bagi Im Ki.
Akhirnya Coh Liu-hiang
menghela napas, katanya: “Tak heran orang-orang Kangouw sama takut kepadamu,
karena siapapun yang bergebrak dengan kau, memang tiada harapan mereka bisa
mengalahkan kau.”
Mulut bicara sementara
gerakannya kembali berubah tujuh delapan jurus pula.
Walau dia insyaf perduli
serangan jurus apapun yang dia lancarkan hanyalah sia sia belaka, tapi gerak
serangan secepat kilat itu masih terus berlangsung dan tetap berubah tak
kunjung padam, soalnya begitu gerakannya sedikit lamban atau berhenti, mungkin
badannya bisa tergencet menjadi dendeng oleh tekanan kekuatan yang hebat itu.
Terdengar Induk Air berkata
dingin: “Aku sudah mengalah empat puluh tujuh jurus kepadamu apa kau sudah
merasa cukup?”
“Cukup, cukup, lebih dari
cukup, silahkan kau membalas!”
“Berapa jurus kau mampu
melawan seranganku?”
“Kukira sukar ditentukan,
mungkin sejuruspun tak kuat melawan, namun mungkin pula aku mampu melayani
tujuh ratus jurus.”
“Dengan bekal kepandaianmu
sekarang. bila kau mampu melawan tujuh delapan jurus kupersilahkan kau pergi.”
“Kau tidak akan menyesal?”
“Bocah sombong” hardik Induk
Air murka. “Coba dulu kau sambut sejurus seranganku ini.” ditengah bentakannya,
tahu tahu serangannya sudah bergerak menyongsong dengan tepukan ke muka Coh
Liu-hiang.
Letak kelihaian dari pukulan
telapak tangannya ini, yaitu bukan saja lawan tak mampu menangkis, tidak bisa
berkelit atau mundur, seumpama seseorang yang sudah kecemplung didalam air bah,
kau hanya sekuatnya meronta dan berenang menanjak keatas, mungkin kau masih
mempunyai setitik harapan, sebaliknya jikalau kau ingin mundur untuk ganti
napas, maka kau akan hancur terbawa oleh air bah, mati tanpa bisa terkubur
secara layak.
Coh Liu-hiang ahli berenang
dan tahu akan sifat air, sudah tentu dia cukup maklum akan pengertian teori
ini. Akan tetapi begitu Induk Air tepukan telapak tangannya, dia toh tetap
mundur ke belakang. Kelihatannya sudah dia sudah kecewa, dan putus harapan, maka
dia tak berusaha untuk melawan, tiada keberanian untuk meronta dan berjuang
ditengah gelombang air bah untuk menyelamatkan diri didalam keadaan yang gawat
ini, terpaksa dia pasrah nasib dan menunggu ajal saja untuk mengurangi derita.
Kontan seperti layang-layang
putus benangnya badan Coh Liu-haing lantas terpentang sungsang sumbel terhanyut
oleh kekuatan angin pukulan Induk Air.
Agaknya Induk Air sendiripun
melengak merasa di luar dugaannya.
Bagi tokoh silat yang latihan
ilmunya sudah setaraf kepandaiannya sekarang mirip juga dengan ahli catur yang
sedang main asal lawan bergerak satu langkah, dia lantas sudah dapat
memperhitungkan tujuh delapan langkah susulan selanjutnya.
Begitu Coh Liu-hiang turun
tangan, Induk Air lantas dapat mengukur dan paham sampai dimana taraf
kepandaian ilmu silat Coh Liu-hiang seperti dia paham menghitung jari jarinya
sendiri.
Menurut perhitungannya paling
Coh Liu-hiang hanya mampu melawan tujuh jurus, siapa kira baru jurus pertama,
Coh Liu-hiang sudah dipukulnya mencelat terbang, maka langkah-langkah susulan
dari serangan simpanan yang sudah dia siapkan jadi sukar dia teruskan. Bukan
saja hal ini membuat dia merasa di luar dugaan, juga membuat dia terperanjat
dan kecewa, sungguh dia tidak habis mengerti kenapa penilaian bisa meleset dan
salah besar?
Namun meski mengelak dan jalan
pikirannya sedikit terpencar, kekuatan pukulannya masih belum sirna juga, kalau
orang lain begitu dirinya terbelenggu didalam kekuatan pukulan tangannya,
jangan harap kau dapat meloloskan diri. Cuma berapa tinggi ilmu Ginkang Coh
Liu-hiang memang benar-benar tak pernah terpikir olehnya.
“Byuuur!” ternyata Coh
Liu-hiang berhasil lolos dari belenggu kekuatan pukulannya dan menerjunkan diri
ke dalam empang, selincah dan selicin ikan sekali berkelebat badannya lantas
lenyap tak kelihatan lagi.
Im Ki tertawa dingin, sekali
berkelebat sebat sekali diapun menyusul terjun ke dalam air.
Dilihatnya gerak gerik badan
Coh Liu-hiang didalam air jauh lebih lincah dan cepat serta tangkas dari pada
dia berada ditengah udara. Tapi Im Ki sendiri juluki Induk Air, betapa pandai
dan ahlinya dalam berenang, sudah tentu jarang ada orang yang bisa
menandinginya. Apalagi diwaktu berenang atau bergerak didalam air, sekujur
anggota badannya lantas ikut bergerak dan kerja sama secara sempurna.
Gerakan kedua kaki terutama
yang paling penting, jikalau mengenakan sepatu, betapapun kau pandai berenang
gerak kecepatanmu pasti terpengaruh. Umpama di belakang ekor ikan kau tambah
sirip lagi, maka ikan itu takkan berenang lebih cepat.
Begitulah keadaan Coh
Liu-hiang, terasa olehnya sepasang sepatu di kakinya tiba-tiba menjadi berat
seperti bandulan ribuan kati. tapi dia tidak menjadi gugup atau keripuhan
karena dia toh tahu dirinya takkan bisa melarikan diri. Bahwasanya dia memang
tidak ingin pergi, maksudnya hanya ingin perang tanding dengan Im Ki didalam
air.
Di daratan jelas dia bukan
tandingan Im Ki, tapi didalam air, walau kekuatan pukulan telapak tangan Im Ki
masih kuasa dikembangkan betapapun jauh lebih berkurang dengan kekuatannya
dibandingkan di daratan. Memangnya hanya air dalam dunia ini yang mampu
memunahkan kekuatan air itu pula.
Danau yang semula tenang itu,
tiba-tiba beriak gelombang laksana kawah gunung yang mendidih seolah-olah dalam
cuaca cerah matahari bersinar di pinggir laut tiba-tiba terbit angin badai,
angin sedang mengamuk air lautan sedang murka.
Seperti pula di dasar danau
itu tiba-tiba muncul dua naga raksasa dari jaman purba sedang bergelut mati
matian, dua naga sedang berhantam, maka airpun bergolak dan berhantam pula.
Murid-murid Sin Cui-kiong sama
berlarian keluar menonton dengan kejut dan jantung berdebar debar, air danau
yang biasanya tenang dan jernih memangnya merupakan danau suci dimata pandangan
mereka, kenapa tiba tiba dapat berubah menjadi danau iblis.
Lama kelamaan air danau malah
muncrat tinggi dan bergolak dengan dahsyatnya, di bawah tingkah sinar matahari
yang baru terbit, kelihatannya reflek sinar matahari sehingga mata silau dan
tak terlihat jelas apa sebenarnya yang sedang terjadi dalam air.
Tampak air danau tiba-tiba
tegak ke atas seperti dinding kaca itu cepat sekali sudah lenyap, permukaan air
timbul gelembung-gelembung air besar seperti ada banyak siluman-siluman air
sedang pesta pora menyalakan api iblis sehingga air danau mendidih dan
bergolak. Pemandangan yang aneh, hebat dan menakjubkan ini seolah olah terasa
membawa bawa situasi yang tidak normal bagi pernapasan manusia, sehingga orang
yang melihatnya bukan saja merasa berkunang kunang, bulu kudukpun merinding.
Murid-murid Sin cui kong
kebanyakan sejak kecil sudah didik masuk oleh Induk Air mereka tumbuh dewasa
didalam suasana seperti yang telah digambarkan dimuka, sehingga dalam hati
kecil masing-masing timbul rasa tinggi hati dan merasa harga diri mereka jauh
lebih suci dan agung dari orang lain, seakan akan kehidupan mereka dalam
Sin-cui-kiong mirip kehidupan dewata itu jauh sekali dibanding kehidupan
masyarakat besar di dunia pada umumnya, maka tidaklah pantas bila merekapun
mempunyai perasaan biasa seperti manusia umumnya, oleh karena itu meraka tak
tahu apakah itu sebenarnya “cinta”,
Selamanya tak tahu pula apa
pula yang diartikan “benci” Terutama “Ketakutan” adalah merupakan suatu hal
yang mereka rasa paling lucu dan menggelikan.
Akan tetapi hari ini mau tak
mau timbul rasa kaget dan keheranan luar biasa yang tak mungkin mereka resapi
sebelum ini, mereka merasa seakan akan bakal datang semua bencana yang takkan
terlawan akan menerpa atas badan mereka. Malah ada diantara yang menyangka
dunia kehidupan mereka indah selama ini sudah runtuh dan porak poranda.
Kionglan Yan juga ikut memburu
keluar matanya berkaca kaca berlinang ait mata, tapi melihat keadaan yang aneh
dan luar biasa pada permukaan air danau yang bergolak itu, rasa pedih hanya
seketika sirna diganti rasa kaget dan takut.
Melihat kedatangannya,
serempak orang-orang yang lain sama merubung maju semua sama bertanya: “Apa
yang telah terjadi?”
Walau hati Kionglam Yan
seperti juga keadaan mereka, kaget dan heran tapi melihat kelakuan yang
ketakutan dan tergopoh itu, terpaksa sedapat mungkin dia mengendalikan diri,
maka dia lantas membujuk mereka malah: “Tak menjadi soal, mungkin ada angin.”
“tapi sekarang tiada angin!”
“Suhu,” ada orang yang meratap
malah
“lekas kau turun melihatnya,
lebih baik kau pergi tanya kepada suhu.”
“mana sam-ci?” tanya Kionglam
Yan ragu-ragu.
Seseorang segera menjawab:
“Samci dan Kin-moay mengompres keterangan ketiga tawanan itu”
Kionglam Yan menggigit bibir,
akhirnya dia ambil putusan, selincah burung camar tiba-tiba badannya melejit ke
pinggir danau, tapi belum lagi dia terjun ke air, tiba-tiba segulung gelombang
ombak besar menerpa ke arahnya, Belum lagi dia sempat berdiri tegak, kontan dia
terdorong mundur sempoyongan oleh gelombang ombak.
Sekian lamanya dia berdiri
menjublek saking kaget, tiba-tiba dia putar badan lari masuk ke lotengnya
sendiri, hanya dari tempat tinggalnya saja dari bagian luar yang bisa memasuki
istana di bawah air.
Empat gadis yang bertugas
didalam istana di bawah air sudah pucat pias ketakutan dari tadi, meski mereka
tidak melihat bergolaknya permukaan air danau yang begitu hebat, tapi getaran
air yang menerjang dinding gunung kedengarannya laksana gugur gunung,
seolah-olah sampan kecil yang terkepung didalam gelombang pasang di lautan
samudra raya, suara keras laksana gempa bumi yang dahsyat itu malah lebih
menciutkan nyali orang lagi, sehingga terasa bumi seperti kiamat dan merekah.
Begitu berlari masuk Kionglam
Yan lantas membentak dengan suara bengis: “Dimana suhu?”
Gadis-gadis itu geleng-geleng kepala,
sahutnya gemetar: “Entah dimana”
“Sejak tadi kaliankan berada
di sini, kenapa bisa tidak tahu?”
“Semula beliau suruh kami
gotong almari pakaian itu ke dasar danau, tapi tiba-tiba pula suruh
mengembalikan ke tempat semula, terus suruh kami menyingkir keluar, waktu kami
mendengar suara gaduh ini dan memburu kemari, beliau sudah tak kelihatan lagi
bayangannya.”
Kionglam Yan mengerut kening,
setelah berpikir tiba-tiba dia bertanya: “Apakah ada orang lain yang masuk
kemari tadi?”
“Ti… tiada” sahut salah
seorang gadis. Sebetulnya dialah salah satu gadis yang tertekuk oleh tutukan
Coh Liu-hiang serta dikompes keterangannya itu, Hiat-to mereka adalah Im Ki
sendiri yang membebaskan. Dalam waktu dan situasi seperti ini mana dia berani
banyak bicara.
Setelah membanting banting
kaki tanpa ragu Kionglam Yan segera terjun diri ke dalam air, suara yang
kumandang di lorong bawah tanah semakin dahsyat, soalnya dinding kedua
sampingnya menimbulkan gema suara yang mendengung dalam air.
Belum lagi Kionglam Yan keluar
dari lorong didalam air itu, dari kejauhan sudah dilihatnya dua orang tengah
bergelut laksana dua ekor naga ditengah danau, betapa cepat gerakan kedua orang
didalam air itu jelas tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Luas danau ini ada puluhan
tombak, kedua orang yang sedang berhantam ini seolah-olah sudah menduduki
seluruh luas danau kecil ini, pertama kali Kionglam Yan melihat pertempuran
mereka, keduanya masih berada di sebelah kanan, tapi kejap lain tahu-tahu sudah
berada di danau sebelah kiri.
Lantaran gerakan mereka
terlalu cepat, maka gerakan badan dan tipu tipu serangan mereka jadi tak begitu
jelas dan seperti tak mengandung perubahan yang menakjubkan, gelombang pasang
yang terjadi didalam danau bukan lantaran gerak perubahan silat, yang dilandasi
kekuatan hawa murni, kebanyakan adalah karena kecepatan gerak badan mereka yang
terjang sana terjang sini, semakin cepat tenaga pembawaan dari luncuran badan
mereka semakin besar pula tenaganya.
Kalau mereka bertempur di atas
daratan perbawa pertempuran ini tentu tak sedahsyat ini, karena orang yang
menerjang air dan air menerjang air pula, setitik tenaga saling terjang menjadi
puluhan tenaga demikian seterusnya dari kecil bertambah besar.
Dan lantaran air itu sendiri
bergerak tak henti hentinya, maka gerakan badan mereka yang memang cepat
menjadi didorong semakin cepat pula, pertempuran dalam keadaan seperti itu,
bukan saja harus menggunakan setiap titik tenaganya sendiri, kaupun harus bisa
memanfaatkan setiap tenaga gerakan air itu sendiri, ada saat orangnya terdampar
oleh kekuatan gelombang air, sehingga permainan silat dengan tipu-tipunya yang
lihay sudah tak bisa terkendali dan terkontrol pula.
Pertempuran dahsyat itu bukan
saja merupakan pertempuran yang tiada taranya di seluruh jagat sungguh merupakan
perkelahian yang menakjubkan setiap insan manusia yang bisa menyaksikannya,
kecuali mereka yang mengalami sendiri pertempuran ini, siapapun takkan bisa
meresapi kedahsyatan yang nyata.
Demikian keadaan Kionglam Yan,
ia berdiri menjublak dalam air, air danau serasa menyumbat tenggorokannya,
namun dia seperti tak merasakan sungguh tak pernah terbayang didalam benaknya
tokoh siapa yang mampu bergebrak melawan Induk Air Im ki, lebih tak nyana lagi
setelah bertempur sekian lamanya, lawan masih belum kelihatan terdesak di bawah
angin.
Didalam pusaran air yang
begitu cepat hakekatnya ia sukar membedakan lagi wajah dan gerakan badan Coh
Liu-hiang, cuma didalam matanya lapat-lapat sudah terbayangkan orang macam apa
sebenarnya Coh Liu-hiang itu.
Maka terbayang olehnya
senyuman gagah seorang laki-laki yang memabukkan kalbu, serta tingkah lakunya
yang bermalas-malas itu. “Coh Liu-hiang” pasti Coh Liu-hiang adanya, “Kecuali
Coh Liu-hiang tokoh macam apa lagi yang mampu bertanding dengan Induk Air
sampai demikian? Sebetulnya tatkala itu keadaan Coh Liu-hiang sudah payah bukan
main dia sudah mengeluh dalam hati, kalau bukan karena bekal kecerdikannya
dalam setiap menghadapi perubahan sehingga dengan sepenuh hati dia berhasil
mempergunakan kekuatan pusaran air, mungkin sejak tadi dia sudah terkubur di
dasar danau.
Terasa tekanan yang harus
dipikulnya semakin lama semakin berat, seluruh urat nadi dan jalan darah dalam
tubuhnya seolah-olah hampir meledak, malah darah sudah mulai merembes dari
kedua lubang hidungnya.
Baru sekarang benar-benar dia
sadari, bergebrak didalam air, sedikitpun dirinya tetap tak punya harapan untuk
mencari jalan hidup.
Memangnya ilmu pukulan Induk
iar pasti gemblengan didalam air, kalau pukulan orang lain tidak bisa
menunjukkan perbawanya didalam air, sebaliknya pukulannya paling hanya sedikit
berkurang saja kekuatannya.
Terasa olah Coh Liu-hiang air
yang menghimpit dadanya di seluruh badannya semakin kencang dan rapat, menjadi
keras dan kental seperti air darah, lambat laun gerak-geriknya menjadi lamban
dan kaku semakin lama tak bisa bergerak dan bergeser.
Posisinya sudah terdesak ke
pinggir jurang kematian.
Siapa tahu gerak gerik
permainan silat Induk Air Im Ki ternyata juga menjadi lamban serupa angkat
tangan atau menggerakkan kaki lambat laun sudah menunjukkan tenaga tidak
memadai keinginan hati pula.
Sudah tentu girang Coh
Liu-hiang bukan kepalang, memangnya dia tak habis mengerti karena Lwekang Induk
Air yang besar dan kuat serta semangatnya yang bergairah tadi bisa begitu cepat
terkuras menjadi lemas, tapi cepat sekali diapun sudah paham akan duduk
persoalannya.
Bahwasanya Im Ki bukan
kehabisan tenaga, tapi adalah patah semangatnya karena lambat laun kehabisan
pernapasan.. Seperti diketahui Coh Liu-haing berhasil meyakinkan semacam pernapasan
yang serba misterius dan tak mungkin dimengerti orang lain, di dalam air boleh
dikata dia seperti pula berada di daratan, bebas dan aktif tapi orang lain
justru tidak bisa memadai, keadaan dirinya ini. Apalagi didalam menghadapi
suatu pertempuran dahsyat orang memerlukan pernapasan segar, memang di sini
pula letak kunci kalah atau menang seseorang didalam menghadapi pertandingan
sengit dan lama.
Hawa yang bertahan didalam
tubuh Induk Air dengan cepatnya terkuras keluar, saat mana napasnya sudah
hampir berhenti dan amat lemah, dalam badannya sudah terasakan lelah dan
kecapaian yang tak bisa tertahankan lagi, malah serasa hampir pingsan dan
kepala pun sudah pusing tujuh keliling.
Coh Liu-hiang cukup tahu bila
dia memberi kesempatan kepada orang untuk menongolkan kepalanya ke permukaan
air menghirup napas, maka dirinya tentu akan kalah total, karena hawa atau
pernapasan bisa berganti namun tenaga atau kekuatan tak mungkin dibangkitkan
pula dengan adanya pergantian napas ini. Maka betapapun dia tidak akan membiarkan
orang ganti napas.
Tampak badan Induk Air
tiba-tiba terbalik, badan bagian atasnya celentang, punggung kakinya terjulur
lempang didalam waktu yang amat singkat beruntun dia sudah melancarkan sembilan
kali tendangan maut meski tendangan kakinya tak mengenai Coh Liu-hiang tapi
hasilnya menimbulkan buih-buih air yang bergulung gulung disekitar badannya dan
mumbul naik ke atas buih air semuanya mengandung kekuatan hawa murni yang hebat
laksana pelor besi menerjang kepada Coh Liu-hiang.
Untuk meluputkan diri dari
serangan tendangan buih-buih air ini sebetulnya bukan soal sulit bagi Coh
Liu-hiang, tapi bila dia mundur, badan Im Ki akan berkesempatan meminjam tenaga
jejakkan kakinya didalam air untuk melesat naik menerjang ke permukaan air.
Begitulah kenyataannya seperti pelor secara otomatis saja buih-buih air itu
berbondong bondong menyerang ke depan sementara badannya laksana roket meluncur
ke atas.
Kelihatannya Coh Liu-hiang
sudah tak kuasa merintangi aksi orang tapi dalam gugupnya tahu-tahu tanpa hiraukan
segala akibatnya sebat sekali dia menubruk maju malah memeluk kencang kedua
paha orang.
Sudah tentu pimpinan Im Ki
tidak pernah membayangkan Coh Liu-hiang bakal melakukan perbuatan yang rendah
dan tidak tahu malu ini untuk menyerempet bahaya, didalam waktu sesaat karena
kebingungan dia tak tahu cara bagaimana dia harus membebaskan diri, tahu-tahu
badannya malah sudah terseret turun pula ke dasar danau. Saking gusar, kaget
dan malunya, kontan telapak tangannya terayun menepuk ke batok kepala Coh Liu-hiang.
Dengan kedua tangan memeluk
kedua paha orang, bukan saja Coh Liu-hiang tidak bisa menangkis atau berkelit,
diapun tak bisa melepaskan orang, karena begitu tangannya lepaskan pelukannya,
maka kaki Im Ki akan menendang tepat di alat fitalnya. Jalan satu satunya dia
hanya sundulkan kepalanya dengan sekuat tenaga ke perut Im Ki, sehingga badan
orang tersunduk mundur bergerak ke belakang sudah tentu tepukan tangan pun tak
mengenai sasaran.
Permainan Coh Liu-hiang memang
terlalu brutal, saking marah Im Ki rasakan sekujur badannya menjadi linu
mengejang. Kecuali Hiong-niocu selama hidupnya boleh dikata belum pernah
badannya dipeluk laki-laki lain, entah karena memang pernapasannya yang sudah
sesak, badannya seketika menjadi lemah gemulai, sedikitpun tenaga tak mampu
dikerahkan lagi.
Sudah tentu Coh Liu-hiang
sendiri maklum perbuatan yang dia lakukan sungguh amat memalukan, tapi bila
seorang sedang meronta dalam bergelut dengan mara bahaya demi menyelamatkan
jiwa, masakan dia harus pikirkan soal malu segala. Betapapun dengan badan Im Ki
terjengkang ke belakang karena sundulan kepalanya tadi, segera dia menerjang
naik ke atas kedua tangan orang dengan badannya dia dekap, sementara kedua
kakinya memegang paha orang.
Mirip dengan ikan gurita
dengan kencang seluruh badan Im Ki dia belit kencang sampai tak kuasa meronta
lagi. Dilihatnya kedua bole mata Im Ki sudah terbalik dan semakin memutih,
buih-buih hawa mulai merembes keluar dari ujung mulutnya, tak berselang lama
lagi orang pasti akan mampus kehabisan napas didalam air.
Terang kemenangan bakal
diperoleh pasti oleh Coh Liu-hiang, meski cara kemenangan yang ditempuhnya kali
ini tak boleh dibanggakan, betapapun menang tetap menang, peduli kemenangan
macam apapun, yang jelas jauh lebih baik dari pada menderita kalah.
Tak Nyana pada saat itu pula,
tiba-tiba rasakan adanya segulung kekuatan besar yang menerjang naik dari bawah
badannya sehingga mereka berdua ke terjang mumbul ke atas. Kiranya tanpa
disadari mereka berdua tepat danau persis diatas batu bundar dimana terdapat
mulut semburan air besar itu. Kionglam Yan segera menekan tombol maka air
mancur ditengah danau itu segera menyemprotkan tenaga semburan airnya ke atas.
Kontan Coh Liu-hiang bersama Im Ki sudah keterjang naik mumbul ke permukaan
air.
Coh Liu-hiang tahu asal Im Ki
diberi kesempatan menghirup hawa berganti napas, dia takkan kuat memiting dan
menyekapnya lagi, tapi betapapun kedua kaki tangannya tak boleh lepas atau
kendor pelukannya. Tiba-tiba pandangan matanya menjadi terang, ternyata mereka sudah
mumbul ke permukaan air.
Coh Liu-hiang tidak lagi
memikirkan segala sebab dan akibat, mendadak dia turunkan kepalanya ke dekat
muka Im Ki, dengan mulutnya dia lumat bibir Im Ki, sementara dengan hidungnya
dia sumbat pernapasan Im Ki pula. Apapun yang bakal terjadi, sekali kali dia
pantang memberi kesempatan kepada Im Ki untuk menghirup udara segar.
Murid-murid Sin cui kiong
sebetulnya tersebar dimana-mana ada yang di bawah pohon, ada yang berjajar di
pinggir danau, tapi sekarang tanpa mereka sadari mereka sudah kumpul bersama
dalam satu kelompok. Gadis-gadis remaja yang kesepian dan sebatang kara ini
hanya merasa perlu bantuan orang bila mereka dijalari rasa kaget dan ketakutan,
memang kumpul bersama bisa membuat orang-orang menjadi riang gembira. Dan mungkin
di situ pula kenapa kebanyakan manusia sama merasa hidupnya kurang
menyenangkan.
Disaat mereka melihat gejolak
air danau mulai mereda, tanpa disadari pula lambat laun mereka yang berduaan
bersyukur bahwa mara bahaya yang mereka takutkan akhirnya sudah berlalu. Siapa
nyana pada saat itu pula air mancur ditengah danau tiba-tiba menyemprot pula.
Biasanya bila Induk Air Im Ki
mau unjukkan diri baru air mancur ini menyemprot keluar, sudah tentu tidak
pernah terbayang oleh mereka bila di pucuk semburan air mancur itu kali ini
sekaligus muncul bayangan dua orang. Kecuali Induk Air, ternyata masih ada lagi
satu orang laki-laki. Lebih aneh lagi karena lelaki itu sama berpelukan dan
berciuman dengan Induk Air, seolah-olah mereka sedang bermain mesra di atas ranjang.
Saking heran, takjub dan
mengkirik seluruh murid-murid Sin cui kiong itu sama menjublek di tempatnya,
umpama dunia kiamat, gunung gugur dan air laut tumpah, merekapun takkan
terkejut seperti ini. Induk Air yang biasanya amat membenci laki-laki, dan
sebagai perempuan suci dan agung yang tak boleh tersentuh oleh tangan lelaki
siapapun, bagaimana mungkin bisa bermain cinta semesra itu dengan lelaki? Siapa
pula lelaki itu?
Mata mereka sama terbelalak.
Ciuman memang nikmat dan
meninggalkan kesan mendalam, apalagi ciuman pertama. Tapi berciuman di bawah
sorot pandangan berpuluh puluh pasang mata, sungguh merupakan suatu hal yang
risi dan tak enak dirasakan apalagi ciuman ini hakekatnya memang tidak
mempunyai rasa nikmat, tak semanis madu. Kalau tak mau dikatakan sebagai ciuman
maut, ciuman kematian.
Adasemacam keindahan seni
dalam suatu kekejaman, kekuatan kekejaman yang tak terasakan oleh rabaan
tangan. Jikalau kau sendiri tak mengalaminya siapapun takkan bisa meresapi
betapa derita serta berat siksaan kalbu ini, tapi umpama selaksa manusia siapa
pula yang pernah mengalami hal demikian?
Memangnya demi meronta dari
renggutan elmaut dan untuk menyelamatkan jiwa baru terpaksa Coh Liu-hiang
melakukan perbuatannya itu, tapi saat mana entah mengapa, dalam kalbunya yang
paling dalam tiba-tiba timbul suatu perasaan aneh yang tak mungkin bisa dia
lukiskan dengan kata-kata.
Semburan air yang mengenai
badannya laksana semprotan bara. Sebaliknya badan Im Ki benar-benar sudah lemas
lunglai. Selama raut mukanya sudah jengah dan merah padam, kini lambat laun
berubah menjadi pucat.
Coh Liu-hiang tak berani
pejamkan mata, setiap gerakan kulit daging dimuka Im Ki menjadi perhatian yang
serius bagi Coh Liu-hiang. Setiap detak jantungnya dapat terdengar pula oleh
Coh Liu-hiang dengan jelas. Terasa oleh Coh Liu-hiang bahwa Im Ki memang
seorang perempuan yang punya keyakinan maupun bisa mengendalikan diri sendiri.
Tapi sekarang dia dan dia
berjarak begitu dekat, sekonyong-konyong terasakan olehnya perempuan dalam
pelukannya ini berubah menjadi begitu lembut dan harus dikasihani, tak ubahnya
dengan perempuan awam umumnya.
Betapapun agung dan suci
perempuan itu, bila berada didalam pelukan laki-laki maka dia akan menjadi
kerdil dan tak berarti lagi.
Sejak dahulu kala pengertian
ini seolah-olah sudah menjadi dalil sepanjang masa, suatu persoalan yang selalu
menjadi bahan bicara laki-laki yang paling menarik, jikalau bukan begitu,
mungkin dalam dunia ini takkan ada peluang bagi laki-laki untuk menguasainya.
Coh Liu-hiang tidak tega
melihat orang ajal didalam pelukannya, tapi bila dia lepaskan belenggu kaki
tangannya, itu berarti jiwanya sendiri yang bakal melayang.
Jikalau jalan pernapasan Im Ki
yang sudah tertutup tiba-tiba terbuka dan lancar pula, betapa besar kekuatannya
jelas dengan kekuatan laki-laki seperti Coh Liu-hiang takkan kuasa membendung
atau melawannya, bukan mustahil dia bakal tergetar hancur seluruh raganya
menjadi berkeping-keping.
Memangnya antara mati dan
hidup mereka berdua seolah-olah sudah tiada jaraknya lagi.
Dengan nanar Im Kipun sedang
mengawasi Coh Liu-hiang.
Semula sorot matanya diliputi
kebencian dan dendam yang menyala-nyala, tapi rasa kematian lambat laun sudah
membuatnya lumpuh sama sekali, untuk membencipun sudah tak kuasa lagi. Akhirnya
terunjuk rasa duka dan pilu yang harus dikasihani. Tiba-tiba terlihat oleh Coh
Liu-hiang setitik air mata bergelimang pergi datang di atas kulit mukanya.
Kematian adalah adil, di
hadapan kematian, manusia besar yang terpandangpun dia akan berubah menjadi
manusia biasa.
Pelukan kaki tangan Coh
Liu-hiang lambat laun mulai lemas dan kendor. Kalau mau sebetulnya dia bisa
lancarkan serangan Jing-jiu-hoat untuk menutuk dulu Hiat-tonya, karena boleh
dikata Im Ki sudah kehilangan daya tahan dan perlawanannya sama sekali.
Tapi Coh Liu-hiang tak berbuat
demikian sungguh bahwa takkan tega melakukan hal itu terhadap seorang perempuan
yang sedang mengucurkan air mata di hadapannya, selama hidupnya memang tak
pernah dia melakukan perbuatan serendah itu. Bahwasanya Coh Liu-hiang bukanlah
seorang lelaki yang tak kenal kasihan dan kejam seperti yang tersiar diluaran,
tapi diapun tak sepintar seperti yang diagulkan dan dikultuskan dalam cerita
dan dongeng orang-orang Kang-ouw, malah boleh dikata ada kalanya dia melakukan
perbuatan yang paling goblok.
Tapi pada saat itu pula
semburan air mancur yang menyanggah badan mereka tiba-tiba lenyap dan berhenti,
kontan badan Coh Liu-hiang dan Im Ki anjlok dan jatuh kembali dalam danau.
“Byuurr” air muncrat kemana-mana.
Seakan-akan dia sudah lupa
dirinya berada dimana, maka sedikitpun dia tidak siaga akan keadaan di
sekelilingnya, sekonyong-konyong terasa bergetar hebat dan hampir saja dia
jatuh semaput oleh getaran badan yang tercebur ke dalam air dari ketinggian dua
tiga tombak, badan Im Ki pun sampai terpental lepas dari pelukannya.
Maka terasa pula sebuah tangan
tiba-tiba terulur datang, tahu-tahu Hiat-tonya sudah tertotok.
Sekilas sebelum dia jatuh
semaput, tiba-tiba dia sadar dan ingat akan sepatah kata, sudah terlupakan
olehnya siapa sebetulnya yang mengucapkan kata-kata ini, tapi setiap patah
kata-katanya dia masih ingat dengan baik “Air mata perempuan, selamanya adalah
senjata terampuh dan pasti berhasil untuk menghadapi setiap lelaki.”