Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 12. Kesaktian Induk air Im Ki

Peristiwa Burung Kenari (Hua Mei Niao) Bab 12. Kesaktian Induk air Im Ki
Peristiwa Burung Kenari
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------

Bab 12. Kesaktian Induk air Im Ki

Gadis-gadis baju putih serempak mengundurkan diri, Oh Thi Hoa, Cay Tok Hing dan Ui Loh Ce sama menengadah mengawasi orang yang duduk di atas pancuran air itu, walau mereka luas pengalaman dan pengetahuan kini merasa merinding dan sesak napasnya, serasa terbang arwahnya ke awang-awang.

Sementara itu Kionglam Yan-pun sudah mencelat naik ke daratan, sorot matanya bagai kilat dengan air muka dingin menyapu pandang pada tiga orang dihadapannya. Katanya dingin: “Badan suci Kiongcu sudah muncul. tidak lekas kalian berlutut dihadap kepada beliau?”

Oh Thi Hoa lantas tertawa. Dalam suasana seperti ini ternyata dia masih berani tertawa sungguh tak kecil nyalinya, sampai Kionglam Yan sendiri mengunjuk rasa kaget dan heran.

Terdengar Oh Thi hoa berkata dengan tertawa besar: “Badan suci? Menyembah? Memangnya kau kira dirimu dewi atau malaikat?”

“Siapa kau orang kurang ajar ini?!” bentak Kionglam Yan.

Kiu Moay segera tampil ke muka dengan menjura. “Orang ini bernama Oh Thi Hoa yang datang bersama dia adalah Kung cu Kiam Ui Loh Ce dan Cay Tok hing dari Kaypang.”

Kionglam Yan tertawa dingin: “Kalian mengagulkan diri berkepandaian tinggi berani sembarang keluyuran ditempat terlarang ini?”

Cay Tok hing bergelak tawa sambil menengadah, ujarnya “Walau kepandaian cayhe bertiga tak mengejutkan orang, tapi cukup lumayan juga untuk dinilai.”

“Murid siapa orang ini?” tiba-tiba Induk Air Im Ki bertanya. Pertanyaannya tidak ditunjukkan kepada Cay Tok Hing malah bertanya kepada Kionglam Yan seolah-olah dia tak sudi bicara langsung dengan laki-laki, tak urung Cay Tok hing tertawa pula katanya: “Waktu aku orang tua kelana mencari pengalaman, entah dia malah berada dimana? Kau tanya dia memangnya dia tahu riwayat dan asal usul hidupku?”

Kionglam Yan menunggu setelah dia pas tertawa baru berkata dengan dingin: “Semula orang ini adalah begal besar yang biasa beroperasi dengan mengganas di dua sungai besar setelah tiga puluh tahun baru bertobat dan menuju jalan lurus, menjadi murid kaypang, resminya adalah murid Lu Lam Kaypang Pangcu waktu itu, yang terang Cu Bing murid Lu Lam yang terbesar yang mewakili gurunya mengajar silat kepadanya oleh karena itu meski dia terlambat masuk perguruan, kedudukannya dan tingkatannya di dalam Kaypang cukup tinggi.”

“Apa ilmu silatnya sudah mendapat didikan murni dari seluruh kepandaian Cu Bing?” tanya Indu Air Im Ki pula.

“Cu Bing bergelar Kangkun thi ciang “kepalan baja telapak besi” betapa kuat tenaga dalam dan ilmu pukulannya di kalangan Kaypang mereka tiada bandingannya, mana bisa orang ini menandinginya? Cuma semula dia memangnya seorang begal tunggal, maka ilmu ginkangnya setingkat lebih tinggi dari Cu Bing, dan karena gaman yang dia pakai semula adalah pedang, maka didalam permainan ilmu tongkatnya dikombinasikan dengan tujuh kali tujuh empat puluh sembilan jurus Wi-hong bu hu-kiam serta perubahan-perubahannya. Didalam Kaypang jaman ini, boleh terhitung tokoh nomor satu.”

Ternyata asal-usul dan ilmu silat Cay Tok Hing seperti menghapal pelajaran saja dengan nyerocos dibeber secara terbuka karuan Cay Tok Hing tak bisa tertawa lagi, batinnya: “Murid-murid Sin cui-kiong biasanya tidak bergaul dengan orang luar, tak kira mereka murid-murid terpelajar tak keluar pintu, tapi tahu segala urusan dan kejadian di dunia luar, gelarnya Sin cui-kiong memang luar biasa.”

Terdengar Induk Air Im Ki tertawa dingin: “Walau Cu Bing sendiri selama hidupnya tak berani sembarangan menginjak daerah terlarang Sin cui kiong, tak nyana besar benar nyali orang ini, agaknya melibih Cu Bing keberaniannya. “Berhenti sementara lalu Induk Air menuding Oh Thi hoa, tanya; “Dan orang ini?”

Dengan mendelik Oh Thi-hoa menatap Kionglam Yan, dalam hati membatin: “Jikalau riwayat hidup dan asal usul ilmu silatku kau ketahui aku benar-benar tunduk dan kagum padamu.”

Kionglam Yan menepekur sebentar seperti mengingat-ingat, katanya kemudian lebih kalem: “Orang ini seperti pula Coh Lui-hiang, orang-orang Kangouw dikata tiada orang yang tahu asal usul ilmu silat mereka, yang diketahui hanya bahwa mereka semua dari keturunan keluarga besar yang turun temurun dari kakek moyangnya malah sejak kecil hobinya berlatih silat, maka didalam rumahnya menggandeng banyak sekali guru-guru silat, tapi karena kepandaian silat asli yang mereka bekal sekarang terang bukan hasil didikan guru-guru silat di rumahnya itu.”

Oh Thi hoa tersenyum sambil angguk kepala katanya: “Ya, sedikitpun tidak salah.”

“Oleh karena itu waktu itu banyak orang curiga bahwa didalam keluarga mereka ada seorang tokoh silat yang amat lihay sembunyi dirumahnya dan secara rahasia mendidik dan mengajar ilmu silat kepada mereka. Tapi ada pula yang curiga bahwa secara kebetulan mereka menemukan buku pelajaran silat peninggalan entah Cianpwe yang mana.”

Oh Thi hoa tetap tertawa, ujarnya: “Kau bisa tahu begini banyak, terhitung bukan mudah kau bisa mendapat bahan-bahannya.”

Kionglam Yan tidak hiraukan ocehannya, katanya lebih lanjut: “Akan tetapi, meski dia dibesarkan bersama Coh Lui hiang, ilmu silat mereka justru jauh berbeda, ilmu silat yang dipelajarinya mengutamakan kekerasan, agaknya mirip dengan ilmu silat dari Thi-tiat-tay-ki-bun masa lalu.”

Kini Oh Thi hoa tidak bisa tertawa lagi kulit mukanya terasa kaku dan mulutpun melongo keheranan.

Tapi melirikpun tidak kepadanya, Kionglam Yan meneruskan uraiannya: “Dulu setelah Thi tiong siang menegakkan perguruan Thi tiat tay bun ki pula, Ya-te ayah beranak lantas pesiar keluar lautan dengan seorang cianpwe yang bernama Ji cu han, mereka pernah lewat di kampung kelahiran orang ini maka menurut dugaan teccu ilmu silat yang dipelajari Coh Lui hiang mendapat didikan langsung dari Ya-te “kaisar malam” sementara Ji-cu-han menerima orang ini sebagai muridnya.”

Oh Thi hoa menghela napas, katanya seperti mengigau: “Tebakanmu mesti tak tepat juga meleset tak terlalu jauh dari kebenarannya, tak heran orang-orang Kangouw sama gentar terhadap kalian, agaknya kalian memang punya kebolehan yang lebih unggul dari orang lain.”

Mendengar nama-nama Ya-te dan Thi kiat tay ki bun disebut-sebut sampaipun Induk Air Im Ki mengunjuk rasa kaget dan haru, sesaat dia termenung, lalu katanya: “untuk apa tiga orang ini meluruk datang?”

Kiu moay lekas menjura pula, sahutnya: “Teccu sudah beritahu kepada mereka dalam lembah ini pasti takkan ada orang luar, tapi mereka tetap tidak mau percaya.”

Induk Air Im Ki menjengek hina, katanya: “Memangnya mereka ingin apa?”

“Apa kalian ingin kami bicara terus terang?” seru Oh Thi-hoa.

“Katakan!” sentak Kionglam Yan.

Oh Thi hoa tertawa-tawa dulu, katanya. “Sebetulnya kami kemari hendak cari orang, kalau orang yang dicari tidak ada di sini, sekarang hendak pergi saja.”

Kionglam Yan tertawa dingin, ejeknya: “Agaknya kau memang orang pintar, sayang sekali selamanya tempat suci ini boleh didatangi tak boleh pergi lagi, kau sudah masuk dan tiada orang yang merintangi, jikalau kau hendak keluar lebih sukar dari pada kau manjat ke langit.”

Tiba-tiba Induk Air berkata pula: “Beritahu mereka, perduli cara apa yang mereka gunakan bila mereka mampu mendorong aku jatuh dari altar teratai air suci ini, mereka boleh berlalu dengan selamat.”

“Asal kalian…”

“Kami bukan orang tuli.” tukas Oh Thi hoa dengan tertawa besar, “apa yang diucapkan, kami sudah dengar, tak perlu kau ulangi sekali lagi.”

“Tapi harus dicari ketegasan dulu apa ucapannya boleh dipercaya?” sela Cay Tok hing.

Kionglam Yan membesi muka, katanya: “Perintah Kiongcu sekokoh gunung, apa yang pernah beliau ucapakan tak pernah dirobah dan ditarik kembali.”

Oh Thi hoa dan Cay Tok hing beradu pandang, roman mukanya menampilkan rasa girang.

Tampak olehnya Induk Air duduk angker di pucuk pancuran kembang air yang muncrat ke sekelilingnya, tenang sekokoh gunung, maka mereka insaf bukan saja ginkang orang sudah mencapai taraf yang tiada taranya, Khikang-nyapun sudah amat mendalam, memang mereka bertiga belum tentu kuasa melawan dan menjadi tandingannya, jikalau mereka menantang, dengan tingkat dan kedudukan mereka tidak bisa menolak tantangan ini, malu juga bila satu lawan tiga, kalau demikian gelagatnya hari ini mereka memang tak mungkin bisa keluar dari Sin cui kiong dengan masih hidup. Akan tetapi Induk Air ternyata begitu takabur, situasi seratus persen berubah dan agaknya bakal menguntungkan pihak mereka bertiga. Maklumlah dengan gabungan kekuatan mereka bertiga yang merupakan tokoh Kangouw kelas wahid, jikalau tidak mampu mendorong jatuh dari tempat duduk di puncak pancuran air yang kelihatannya tidak kuat itu, sungguh merupakan peristiwa lucu dan aneh yang pernah mereka alami selama hidup.

Kuatir orang merubah putusan semula, sengaja Oh Thi hoa tertawa dingin: “Kalau orang memang demikian keinginannya apa boleh buat kita tinggal menurut saja bukan?”

“Benar,” sela Cay Tok Hing. “Itulah yang dinamakan sang tamu mengiringi saja keinginan tuan rumah.”

Berputar biji mata Oh Thi hoa. katanya: “Tapi kita perlu berunding dulu, entah boleh tidak?”

Induk air mengulap tangan, Kionglam Yan segera menjengek dingin: “Yang terang kalian berunding juga takkan berguna, baik silahkan.”

Lekas Oh Thi hoa menarik Ui Loh-ce dan Cay Tok hing ke samping, tak terasa dia tertawa, katanya: “Agaknya Induk Air hari ini pasti akan kecundang ditangan kita bersama.”

Ui Loh-ce sebaliknya mengerut kening. katanya: “Tapi, kalaupun dia berani sesumbar, ini bukan mustahil diapun akan mengalahkan kita.”

Cay tok Hing tertawa ujarnya: “Kau tak usah mengecil artikan perlawanan kita dengan mengagulkan kekuatan musuh, dengan kekuatan gabungan kita bertiga sekali terjang berbareng umpama kata tonggak air dan dia orang itu terbuat dari besi, memangnya kita tidak kuasa menumbuknya roboh?”

Ui Loh-ce pikir pergi datang, memang dia tak habis mengerti dengan cara apa Induk Air akan melayani terjangan kekuatan mereka bertiga, tapi dasar wataknya halus dan suka berpikir cermat serta hati-hati maka katanya dengan nada khawatir: “Manusia besi berani mati dia orang justru orang hidup yang dapat bekerja dan berdaya upaya, kita bertiga menerjang dengan segala kekuatan, jikalau dia berhasil menyingkir itu waktu kita sama-sama terapung ditengah udara, ke atas ke samping ke bawah tidak ada tempat untuk berpijak, bukan mustahil kita sendiri bakal terjeblos jatuh ke dalam danau, umpama tak sampai teringkus hidup-hidup oleh mereka, rasanya malu untuk mengulangi kedua kali dengan cara lain.”

Tak urung Cay Tok hing mengerut alis pula, katanya: “Memang uraianmu masuk akal.”

“Oleh karena itu menurut pendapatku yang bodoh,” kata Ui Loh-ce lebih lanjut, “kita bertiga jangan bergerak dan turun tangan bersama, karena kalau bertiga sama sama maju, meski kekuatannya berlipat ganda, tapi bila sekali serang tak mengenai sasaran, tenaga bantuan yang diperlukan belakangan menjadi putus.

“Tapi bila kita bertiga bergerak sendiri-sendiri, bukankah pembawaannya jauh lebih asor?” Cay Toh hing utarakan pendapatnya.

Jawab Ui Loh ce “Biar aku dengan gerakan “Tiong hong goan jit” menerjangnya lebih dulu kalian boleh awasi cara bagaimana dia melayani atau berkelit, Oh-heng harus mengikuti aku dengan ketat, begitu serangan luput Oh-heng segera susulkan seranganmu kala itu gerakannya sudah berubah sekali, betapapun kekuatannya sudah berkurang, dengan sendirinya gerak perubahan selanjutnya menjadi rada kendur, umpama serangan Oh-hengpun menemui kegagalan, dikala Cay-loyacu menyerang dengan gelombang ketiga, dia sendiri sudah kehabisan kekuatan, kukira tidak sulit untuk Cay loyacu merobohkan dia.”

Cay Tok hing tepuk tangan serunya: “Benar, cara ini memang amat tepat dan baik.”

Oh Thi-hoa sebaliknya geleng-geleng kepala katanya: “Cara ini kurang baik.”

“Kenapa kurang baik?” Cay Tok hing menegas. “Yang terang tenaga murninya jauh lebih unggul dari kekuatan kita, apalagi disaat kita menyerang dia, badan harus terapung ke udara tiada tempat untuk kita mengerahkan seluruh kekuatan, sebaliknya duduk di pucuk pancuran air, betapapun dia jauh lebih kalah kedudukannya, oleh karena itu bila kita harus menyerang secara bergelombang, bukan mustahil bisa dipukul jatuh satu persatu oleh kekuatan pukulan telapak tangannya.”

Berubah air muka Ui Loh Ce, katanya: “Benar juga, hakekatnya dia tidak perlu merubah gerakan, cukup asal duduk di atas dengan kokoh, dengan siap memancing dan menyerang kita, betapapun kita takkan kuat melawannya.”

Cay Toh Hing mengawasi Oh Thi-hoa, katanya tertawa: “Kalau kau bisa berkata demikian, tentunya kau punya cara dan akal yang lebih bagus.”

Oh Thi-hoa merendahkan suara, katanya: “Cara yang paling baik tetap kita bertiga menerjang bersama, tapi aku tidak akan menyerang langsung kepadanya, bagian badanku terapung di tengah udara seketika aku akan mengalihkan arah membabat ke tonggak air di bawahnya, tidak ada ruginya kalau pura-pura menerjang dengan nekad dan siapkan tenaga untuk melindungi dan menutupi gerak-gerikku, sudah tentu kalian bergebrak benar-benar dengan dia.” sampai di sini dia tertawa lalu meneruskan: “Asal tonggak air itu keterjang bubar dan terputus di tengah-tengah apa dia masih bisa duduk tenang di tempatnya?”

Begitu mendengar cara yang di usulkan Oh Thi-hoa, seketika Ui Loh Ce mengunjuk kegirangan. Sementara Cay Tok-Hing menarik tangan Oh Thi-hoa, Katanya tertawa:” Sudah puluhan tahun aku mengembara di kangouw tak nyana otakku sudah tumpul dan tidak secerdik kau bocah anak ini malah.” Ui Loh-ce berkata, “Oh-heng memang cerdik dan berani, serba pintar sukar ditandingi orang lain.”

“Itulah yang dinamakan, hendak menjatuhkan orang harus memanah kudanya lebih dulu.” kata Cay Tok-hing riang, “kalau kudanya roboh memangnya orangnya masih bisa bercokol terus dipunggungnya?”

Semakin dipikir dan semakin dibicarakan, mereka merasa cara ini amat bagus dan tepat umpama Induk Air Im Ki punya kepandaian setinggi langit kalau pancuran air itu diputuskan, betapapun dia akan terjungkal roboh.

Kata Oh Thi-hoa dengan tertawa: “Akal seburuk ini sebetulnya tak bisa kupikirkan, cuma selama dua bulan terakhir ini aku setiap hari bergaul bersama si Ulat busuk itu, lambat laun aku jadi ketularan sifatnya yang buruk itu.”

Ui Loh-ce tertegun, tanyanya: “Siapa itu Ulat busuk?”

Cay Tok hing tertawa tertahan, katanya: “Apakah orang itu amat busuk maka dia diberi julukan sejelek itu?”

“Ulat busuk yang lain memang berbau busuk.” ujar Oh Thi-hoa tertawa, “sebaliknya ulat busuk yang satu ini malah berbau wangi.”

xxx

Setelah Kionglam Yan ikut mencelat naik ke daratan, Coh Liu-hiang menunggu sekian lamanya lagi, baru perlahan-lahan dua mendorong sedikit batu raksasa disampingnya tergeser, lalu separuh badannya melongok keluar. Tampak di belakang batu itu memang ada sebuah jalan rahasia, arus air yang mengalir dari jalan rahasia sama dengan air yang berada didalam danau, sama jernih dan bening laksana kaca, selepas mata memandang, tak kelihatan bayangan seorang manusiapun.

Meski Coh Liu-hiang amat menguatirkan keselamatan Oh Thi-hoa bertiga tapi kesempatan yang paling baik ini tidak boleh disia-siakan, agar dirinya berhasil menemukan rahasia Induk Air Im Ki, dengan gampang dia akan menolong mereka. kalau tidak, sekarangpun bila dia keluar juga tak ada gunanya.
Jalan rahasia ini merupakan sebuah lorong panjang yang kedua sampingnya diapit batu marmer, arus air yang mengalir kelihatannya perlahan, selicin ikan berenang Coh Liu-hiang meluncur ke dalam, belum jauh dia bergerak segera dia mendapat firasat jelek. Baru sekarang teringat olehnya tadi Kionglam Yan ada memberi tanda ulapan tangan ke arah sini, maka air lancar menyemprot keluar dengan deras dan kuatnya, maka di belakang pintu dari jalan air ini, terang ada orang yang mengendalikan kunci rahasia dari semprotan air mancur itu.
Sayang sekali dikala Coh Liu-hiang menyadari akan hal ini, dia sudah terlambat untuk bergerak. Sebuah tombak trisula tahu-tahu sudah meluncur tiba menusuk ke perutnya.

Sudah tentu serangan ini takkan bisa melukai dia, tapi celakanya, bila jejaknya sudah konangan oleh salah satu murid Sin-cui-kiong bukan saja seluruh rencana kerjanya bakal gagal total, nyonya baju putih setengah umur itupun akan terembet perkara, umpama dia berhasil membekuk atau membunuh orang yang menyerangnya ini, betapun jejaknya sudah bocor.

Selama ini dia amat hati-hati dengan gerak geriknya, sungguh tak nyana disaat dirinya hampir mencapai hasil yang gemilang, toh tanpa disadarinya dia berbuat suatu kesalahan besar yang akibatnya amat fatal, suatu kesalahan yang mungkin menamatkan nyawanya.

Induk air tetap duduk angker dan tenang di pucuk pancuran air, bergemingpun tidak, seolah-olah dia kuasa duduk tiga sampailima hari di tempatnya itu dengan tenang dan kokoh laksana gunung.

Kionglam Yan sebaliknya sudah tidak sabar lagi, katanya dengan mengerut kening: “Sudah selesai belum kalian berunding?”

“Ya, sudah selesai” sahut Oh Thi-hoa tertawa.

Berkilat sorot mata Kionglam Yan katanya tertawa dingin: “Hanya mengandal kalian bertiga memangnya bisa merundingkan akal licik apa yang menguntungkan?” kata-katanya dia tujukan kepada Ui Loh-ce.

Betul juga Ui Loh-ce lantas menjawab: “Cayhe bertiga membicarakan…” gelagatnya dia hendak menjelaskan terus terang, tanpa berjanji Cay Tok-hing dan Oh Thi-hoa segera menukas dengan keras: “Bukan waktunya untuk ngobrol lagi, hayolah turun tangan saja!”

Mereka sudah berjanji dengan gerakan tangan masing-masing, maka begitu Oh Thi-hoa ulapkan tangan, serempak mereka bertiga lantas melesat maju berjajar adu pundak, sinar golok bersama cahaya pedang berubah laksana lembayung, melintang miring menyisir permukaan air danau. Perlu diketahui tonggak air pancuran yang diduduki Induk Air tingginya ada tiga tombak, sementara letak tonggak air yang ditengah-tengah danau itu berjarak sekitar enam tombak dari pinggir danau, umpama ilmu Ginkang Cay Tok-hing bertiga memang teramat tinggi sulit juga dalam sekali lompat bisa mencapai sasaran sejauh enam tombak.

Akan tetapi mereka menggunakan batu loncatan pada sebuah batu besar di pinggir danau untuk melompat kedepan, kebetulan batu raksasa ini menongol keluar di atas permukaan air. jaraknya dengan Induk Air kira-kira tinggal tiga tombak. Untuk melompat dengan kekuatan Ginkang sejauh tiga tombak bagi mereka bukan soal sulit.

Waktu itu mereka sudah yakin benar pasti menang dan berhasil sesuai dengan rencana, sudah tentu semangat tempur mereka menyala-nyala, maka masing-masing tumplek seluruh kekuatan dan memboyong seluruh kepandaian silatnya yang paling diandalkan, dipandang dari kejauhan tampak ketiga orang ini laksana tiga malaikat yang membawa cahaya bianglala melesat terbang diangkasa, sampaipun murid-murid Sin cui kiong yang melihat perbawa kekuatan mereka bertiga sama terbelalak dan mulut melongo.

Induk air sebaliknya tetap duduk bersimpuh tak bergerak. Terang jarak luncuran ketiga orang sudah mendekat tinggal kira-kira delapan tombak, sekonyong-konyong Oh Thi-hoa bersiul panjang memberi aba-aba, sigap sekali selincah burung walet gerakannya tiba-tiba berubah, goloknya terayun membacok ke tonggak air dari pancuran yang menopang badan Induk Air. Tapi mendadak tepat pada saat yang bersamaan badan Induk Air mendadak anjlok turun ke bawah, kedua tangannya menekan ke tonggak air di bawahnya, tonggak air itu segera terpecah tiga cabang pancuran air yang lain laksana anak panah menyemprot keluar memapak ke arah mereka masing-masing.

Semprotan air pancuran itu sendiri sebetulnya sudah cukup keras, kini di bawah tekanan tenaga dalam Induk Air yang luar biasa besarnya, panah air yang menyemprot keluar ini dilandasi kekuatan bagai air bah dan kecepatan kilat menyambar, sudah tentu perbawanya bukan olah-olah dahsyatnya.

Memangnya Oh Thi-hoa bertiga sedang menerjang ke depan dengan seluruh kekuatan mereka, untuk berkelit sudah tentu tidak sempat lagi, tampak semprotan cahaya perak tahu-tahu sudah menyongsong tiba ke depan mata, kontan dada terasa ditumbuk sesuatu yang teramat keras dan dahsyat dan belum pernah dialami selama hidup ini, seolah-olah puncak gunung di empat penjuru sama runtuh dan menindih mereka.

Gerak-gerik badan Coh Liu-hiang justru jauh lebih gesit dan lincah berada didalam air daripada di daratan, cukup meluncur dengan miringkan badan, dengan mudah dia meluputkan diri dari tusukan tombak trisula itu. Tetapi kepandaian gadis yang menyerangnya itupun tidak lemah, memangnya murid-murid Sin cui kiong masing-masing ada digembleng untuk bersilat dengan ajaran tunggal perguruan mereka didalam air, tombak trisula, memang salah satu senjata tunggal mereka untuk bergebrak di dasar air.

Cukup tangan ditekan dan ditekuk dengan lincah gadis itu tiba-tiba sudah merubah arah sasaran tusukannya. Tapi kali ini belum lagi jurus serangannya sempat dilancarkan, tahu-tahu dari Ki-ti-hiat dibagian sikunya terasa rasa linu pegal yang terus merangsang seluruh badannya sehingga tak bisa berkutik lagi. Sungguh tak pernah terpikir olehnya lawan dapat melancarkan ilmu tutuk didalam air dengan begitu hebat dan lincah, saking kejutnya, mulutnya sudah terpentang hendak berteriak, namun begitu mulut terbuka air segera masuk ke dalam tenggorokan.

Dengan kedua tangannya Coh Liu-hiang memapah badan orang, sementara kedua kakinya bergerak-gerak, naik turun cepat dia berenang masuk menyusuri jalan rahasia itu. Gadis ini tiba-tiba lenyap kalau Induk Air Im Ki kembali tentu akan menyadari akan hal ini, maka orang akan segera menyadari bahwa istananya sudah kemasukan musuh, maka jejak Coh Liu-hiang dengan sendirinya bakal konangan.

Akan tetapi waktu Coh Liu-hiang menyadari akan hal ini, terpaksa dia harus untung-untungan dan tetap menyerempet bahaya, apalagi tiada sesuatu pilihan lain yang harus dia laksanakan. Maka sebelum Induk Air Im Ki kembali ke sarangnya, maka dia harus lekas menemukan letak rahasia dan titik kelemahannya maka diapun berharap semoga Oh Thi-hoa bertiga sedapat mungkin bisa bertahan cukup lama untuk melibat orang dalam pertempuran sengit.

Dalam waktu segenting ini, sedikitpun waktu tidak boleh dihamburkan dan disia-siakan. Meski cukup panjang lorong air ini, tapi cepat sekali Coh Liu-hiang sudah menyusuri tiga kali belokan, akhirnya ia tiba di ujung sebelahsana , dari bawah air tampak dipermukaan air ada sorot sinar api yang menyorot berkilauan.

Coh Liu-hiang sudah menduga di sebelah atas pasti ada orang yang menjaga, sedikitpun dia tidak membuang-buang waktu untuk berpikir, lekas dia jinjing gadis yang tertutuk lemas ini ke atas kepala terus didorong ke atas permukaan air.

Kaum persilatan umumnya sama menaruh berbagai macam bayangan dan perkiraan terhadap istana terlarang kediaman Induk Air itu lantaran siapapun belum pernah ada yang memasuki tempat itu, maka Sin cui kiong didalam mulut-mulut pembicaraan mereka menjadi semakin misterius. Malah ada orang didalam dongengnya membayangkan Sin Cui kiong sebagai istana langit. Bahwasanya tempat kediaman Induk Air tak lebih hanyalah sebuah kamar di bawah tanah yang berdinding batu-batu Tayli yang besar-besar, jadi tiada pajangan atau perabotan yang serba mewah dan mentereng.

Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa Induk Air Im Ki bukanlah seorang yang mengutamakan hidup mewah dan foya-foya, paling dia hanya mempertahankan kebersihan dan kerapian tempat kediamannya saja, di pojok manapun didalam kamarnya itu kau takkan bisa menemukan debu sedikitpun. Oleh karena itu batu-batu Tayli di sekeliling kamar itu seolah-olah batu jade raksasa yang berkilauan hidup tidak menyegarkan.

Mulut jalan rahasia yang terdapat didalam kamar ini merupakan sebuah empang kecil yang terbuat dari titian batu, batu-batu yang menggarisi empang membundar itupun tidak diukir secara berlebihan, garis-garisnya yang sederhana kelihatannya malah menyolok dan menyejukkan pandangan.

Tatkala itu dua gadis yang sama ayu sedang duduk di pinggir empang sedang sibuk memintal benang sebagai bahan pembuatan pakaian mereka. Waktu mendadak mereka melihat salah satu saudara mereka terapung di permukaan air, rona mukanya sama menampilkan rasa kaget dan keheranan, tersipu-sipu mereka sudah biasa hidup didalam suasana yang tawar sunyi dan tentram, maka begitu dia menghadapi suatu urusan atau kejadian di luar dugaan sering kelihatan tak tahu bagaimana harus mengatasi atau menghadapinya, sudah tentu tak pernah terpikir oleh mereka gahwa didalam air masih ada orang yang mengintai gerak-geriknya.

Dengan gampang tanpa banyak membuang tenaga Coh Liu-hiang berhasil menutuk Hiato mereka, lalu dia jinjing mereka keluar dari empang, tampak tiga roman muka mereka sama menampilkan rasa penasaran dan kejut-kejut heran, Coh Liu-hiang segera bersoja dan berkata dengan tertawa: “Sekali-kali aku tak bermaksud melukai kalian, cukup asal kalian istirahat sebentar saja.”

Senyumannya simpatik dan hangat, kalau mau dikata ada orang laki-laki dalam dunia ini yang senyumannya dapat membikin hati seorang gadis yang kaget dan bingung menjadi tentram, maka orang itu adalah Coh Liu-hiang. Memang air muka ketiga gadis ayu ini pucat namun sedikitnya mereka lambat laun kelihatan tenang dan lega, walau mereka tidak tahu siapa laki-laki ganteng yang cakap di hadapan mereka ini, namun terasa setiap patah kata yang diucapkan dapat dipercaya seluruhnya, memang Coh Liu-hiang mempunyai semacam wibawa aneh yang dapat menyedot semangat orang, selalu dia dapat menenteramkan hati siapapun yang dipandangnya sehingga gadis-gadis inipun merasa dia adalah laki-laki yang dapat dipercaya. Memang selama itu Coh Liu-hiang tidak pernah mengecewakan harapan mereka.

Didalam kamar batu ini hanya terdapat sebuah ranjang, sebuah meja, sebuah almari pakaian yang tidak begitu besar, serta kamran bundar yang berserakan di atas lantai, kecuali keperluan-keperluan sederhana didalam suatu kehidupan yang paling minim ini, setiap benda lain yang berada didalam kamar seolah-olah menjadi berlebihan malah, maka dapatlah dimengerti bukan saja Induk Air Im Ki menyempitkan ruang gerak hidupnya, malah boleh dikata teramat sederhana amat keras membatasi diri akan segala tetek bengek. Terang lebih berbeda dengan Induk Air Im Ki yang pernah dibayangkan oleh orang-orang persilatan mengenai kehidupan dan rahasia Sin cui kiong itu.

Orang seperti ini, masakah bisa memiliki sesuatu rahasia dan titik kelemahan?
Coh Liu-hiang jadi kebingungan sendiri karena tak menemukan suatu tempat untuk menyembunyikan tiga gadis yang ditutuknya ini setelah merenung sebentar, tiba-tiba dia buka tutukan Hiat-to salah satu gadis, katanya tersenyum: “Tahukah kau ditempat mana aku harus menyembunyikan kalian sementara?”

Kalau orang lain yang menanyakan hal ini sampai matipun gadis ini pasti takkan mau menjawab. Tapi sikap dan tutur kata Coh Liu-hiang, sungguh seperti mengetuk kalbu, begitu mesra dan simpatik lagi, sehingga dia merasa seperti sahabat lama saja yang sedang ajak dia mengobrol. Terasakan pertanyaan orang seolah-olah sedang memperhatikan dirinya, demi kebaikannya pula, sungguh suatu pertanyaan yang tak mungkin ditolak untuk dijawab oleh anak perempuan manapun. Dengan tersenyum gadis itu mengawasinya, seperti tidak disadari dia menjawab “Apa kau lihat lentera di atas dinding di depan itu?”

“Lentera disamping almari pakaian itu maksudmu” tanya Coh Liu-hiang.

“Benar, asal lentera itu kau geser ke kiri, akan muncul sebuah pintu rahasia, kalau kau sembunyikan kami kesana, tidak akan ada orang yang tahu.”

Coh Liu-hiang menepekur sebentar, tanyanya pula dengan suara lembut: “Apakah tempat itu aman?”

“Jarang ada orang yang dapat masuk kesana.” sahut si gadis.

Coh Liu-hiang tertawa ujarnya: “Terima kasih, kelak bila kau meninggalkan Sin cui kiong, boleh kau mencariku, pasti kuajak kau ke tempat-tempat tamasya yang permai.”

Tak tahan tersenyum lebar gadis itu, mukanyapun menjadi merah,
katanya: “Terima kasih.”

Baru saja sempat dia mengucapkan “terima”, tahu-tahu Hiat-tonya sudah tertutuk lagi.

Benar juga dengan gampang Coh Liu-hiang menemukan pintu rahasia itu, dan satu persatu dia jinjing ketiga gadis itu dan disembunyikan disana .

Sebetulnya dia bisa mengajukan banyak pertanyaan kepada ketiga gadis ini, tapi dia tahu bila mereka bicara terlalu banyak, bilamana diketahui Induk Air Im Ki, akibatnya tentu susah dibayangkan. Biasanya dia tidak tega menyakiti hati seseorang yang menaruh kepercayaan penuh kepada dirinya. Apalagi diapun tahu jikalau terlalu banyak pertanyaan yang dia ajukan, mereka juga akan sadar dan waspada akhirnya, lambat-laun luntur dan hilanglah kepercayaan terhadap dirinya. Selamanya diapun tidak suka merusak kesan baik seorang gadis terhadap dirinya.

Meja pendek yang sederhana tak menimbulkan kesan luar biasa hanya sebuah poci air teh dari batu jade saja yang terletak di atas meja dengan bertatakan batu porselin, tempat duduknya dialasi dengan anyaman rumput ekor kuda. Umumnya perempuan suka menyembunyikan sesuatu rahasia pribadinya di bawah seprei tapi apapun yang terlihat sekarang agaknya Induk Air Im Ki bukan perempuan macam begituan, ranjangnya tak begitu besar ini tetap sederhana tak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Maka hanya almari pakaian di pojoksana itulah satu-satunya tempat menyimpan sesuatu rahasia yang berada didalam kamar batu ini.

Coh Liu-hiang menggumam seorang diri: “Sungguh harus dimaafkan, bukan tujuanku hendak menyelidiki rahasiamu, soalnya aku harus menolong jiwaku sendiri, semoga didalam almari itu aku tak menemukan sesuatu benda yang membuat mukaku merah malu.”

Memang segala benda yang tersimpan dalam almari boleh dibeber dijalan raya untuk diperlihatkan kepada umum. Kecuali pakaian yang serba sederhana pula di dalam tiada tersimpan barang apa-apa dan anehnya diantara pakaian-pakaian sebanyak itu terdapat pula seperangkat pakaian lelaki.

Waktu itu Coh Liu-hiang tengah menenteng sepotong celana pendek dari kain katun, bagaimanapun dia pikir hatinya tak habis mengerti bahwa di dunia ini ada perempuan yang menggunakan celana pendek dari kain katun seperti ini, soalnya celana pendek, celana kolor yang dipegangnya ini tak ubahnya seperti celana kolor yang dipakainya sendiri.

Memangnya di Sin cui kiong juga disembunyikan seorang lelaki? Apakah disinilah letak dari rahasia pribadi Induk Air Im Ki? Sungguh Coh Liu-hiang tak berani percaya akan kepercayaan yang dilihatnya ini, tapi mau tidak mau dia harus percaya.

Tapi siapakah laki-laki itu? Sekarang dimana?

Disaat Coh Liu-hiang ragu-ragu dan menimang-nimang, tiba-tiba dilihatnya air didalam empang berbatu itu beriak dan bergelombang pelan-pelan, meski didalam keadaan yang bagaimanapun, Coh Liu-hiang tidak pernah lena terhadap sesuatu yang terjadi di sekelilingnya.

Cepat sekali dia sudah menduga pasti Induk Air Im Ki telah kembali, tatkala itu sudah tiada tempat lain untuk menyembunyikan diri, terpaksa dia menyelinap masuk sembunyi didalam almari pakaian. Tapi dia tidak sempat lagi menutup rapat pintu almari seperti keadaan semula.

Kejap lain Induk Air Im Ki memang sudah muncul dari empang kecil itu, langkah kakinya seperti diganduli sesuatu barang berat, pelan-pelan badannya mumbul dan keluar dari dalam air, Lwekang sehebat itu, Coh Liu-hiang yang mengintip dari tempat sembunyinya pun sampai tersirap kaget dibuatnya.

Cukup melihat langkah orang saja, Coh Liu-hiang sudah tahu bahwa ilmu silat Induk Air Im Ki memang masih lebih tinggi dari Ciok-koan-im, sudah tentu dirinya terang bukan tandingannya.

Bila saat itu juga dia menyadari tiga orang murid-muridnya hilang, pasti akan segera mencari dan memeriksa, bagaimana juga dia pasti tidak ketinggalan memeriksa almari ini. Karena hakekatnya tiada tempat lain kecuali almari ini yang bisa untuk sembunyi.

Begitu dia menemukan jejak Coh Liu-hiang maka jiwanya pasti melayang, karena hanya ada seper-selaksa persen saja kesempatan dirinya untuk bisa mengalahkan Induk Air Im Ki. Saking tegang jantung Coh Liu-hiang serasa hampir berhenti.

Tak nyana Induk Air Im Ki bahwasanya tidak memperlihatkan bahwa tiga orang muridnya seolah-olah sudah lenyap ditelan bumi, seolah-olah hatinya dirundung sesuatu persoalan besar yang menindih sanubarinya, maka dia tak sempat memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

Dari celah-celah pintu almari yang tak dirapatkan Coh Liu-hiang mengintip keluar, tampak kedua alis orang bertaut kencang, roman mukanya menunjuk rasa gusar, sorot matanya lurus mengawasi langit-langit kamar, entah pikiran apa yang sedang berkecamuk didalam benaknya, bahwasanya sejak masuk sampai sekarang melirikpun dia tak pernah kearah almari pakaiannya.

Bahaya yang dikuatirkan Coh Liu-hiang kali ini boleh dikata sudah lalu, tapi segera dia teringat akan keselamatan jiwa Oh Thi-hoa bertiga, mau tak mau dirinya mendelu dan sedih, gugup lagi. Kalau toh Induk Air sudah kembali, Oh Thi-hoa bertiga kemungkinan besar sudah terjungkal roboh dan bukan mustahil sudah ajal.

Coh Liu-hiang sendiri sudah tidak jauh lagi dari renggutan elmaut, sembunyi di dalam almari bukan saja tak bisa maju, mundurpun sulit, cepat atau lambat jejaknya akan konangan juga. Kalau orang lain mungkin sudah menjadi gila saking gugup dan gelisah. Tapi setelah kepepet dalam keadaan yang menegangkan ini, Coh Liu-hiang malah tak gugup lagi karena dia menyadari gelisahpun tiada gunanya, yang terang sikap demikian malah menghilangkan ketenangan hati, mengganggu pikiran dinginnya.

Sekarang dia perlu tenang dan berpikir dengan kepala dingin, sabar dan bersiaga menunggu kesempatan dan siap menghadapi segala kemungkinan. Sayang sekali kesempatan yang dia nanti-nantikan ini teramat minim dan sulit tercapai.
Tak lama kemudian Kionglam Yan pun sudah kembali.

Murid perguruan dimanapun dikolong langit ini bisa memasuki kamar tidur gurunya pasti harus mengetuk pintu atau melaporkan dulu kedatangannya, serta menyapa atau bertanya akan kesehatannya, meski kaum Bulim tak mementingkan adat istiadat, tapi sopan santun dan tata kehormatan antara murid terhadap guru masih tetap dipertahankan dan tak boleh dilanggar begitu saja, apalagi tata tertib Sin cui kiong yang sudah lama tersiar di dunia luar adalah begitu keras.

Aneh dan luar biasa, bahwa Kionglam Yan ternyata boleh sembarangan melangkah masuk begitu saja, tak ubahnya seperti seorang istri memasuki kamar tidur suaminya sendiri, malah langsung dia maju mendekat dan duduk di pinggir ranjang.

Im Ki masih tetap rebah tak bergerak, sedikitpun tak memberi reaksi akan kedatangan muridnya yang kurang ajar ini. Terdengar Kionglam Yan buka suara: “Tiga orang itu sudah disekap, setelah mereka siuman, Sam-ci akan segera mengompres keterangannya.”

Diam-diam Coh Liu-hiang mengelus dada dan merasa lega, meski keadaan Oh Thi-hoa bertiga amat berbahaya, betapapun jiwa mereka belum ajal, asal belum mati, ada kesempatan untuk meloloskan diri.

Terdengar Kionglam Yan berkata lebih lanjut: “Tapi Kiu-moay justru berpendapat kurang tepat jikalau suruh Sam-ci pergi mengompas keterangan mereka.”

“Tidak tepat!” Induk Air Im Ki menegas.

“Dia berpendapat apa yang dikatakan ketiga orang itu memang tidak bohong, mereka kemari hendak mencari orang, karena memang benar disini pernah didatangi orang.”

“O.” Induk Air Im Ki hanya bersuara dalam mulut.

“Katanya tadi dia pernah melihat sesosok bayangan orang di depan kuil, tapi Sam-ci yang berjaga didalam kuil malah mengatakan tidak pernah ada orang disana , maka dia kira di belakang persoalan ini pasti ada apa-apanya yang ganjil.”

Im Ki hanya tertawa dingin sekali, tidak memberi tanggapan apa-apa.

Coh Liu-hiang semakin kuatir, jikalau Im Ki curigai Sam-ci itu ada sekongkol dengan pihak luar, keselamatan dirinya memang amat menguatirkan, betapapun Coh Liu-hiang tak tega bila orang sampai kerembet dan kena perkara gara-gara dirinya.

Sesaat kemudian baru Im Ki buka suara: “Menurut pendapatmu siapa orang yang mereka cari?”

Kionglam Yan berpikir sebentar, sahutnya: “Mereka sudah lama kelana di Kang-ouw, temannya tentu banyak, darimana aku bisa tahu siapa yang sedang mereka cari?”

“Kau tidak kenal Ui Loh-ce itu?”

“Bagaimana aku bisa kenal dia?”

“Tapi dia agaknya seperti sudah mengenalmu?”

“O?”

“Memangnya kau tidak tahu Ui Loh-ce adalah sahabat baiknya selama hidup, dialah sahabat satu-satunya.”

Kionglam Yan menggigit bibir katanya tertawa-tawa dingin: “Darimana aku bisa tahu, diakan bukan kekasihku, memangnya dia mau memberitahu hal-hal ini kepadaku?”

Tiba-tiba Im Ki berjingkrak bangun seraya merenggut rambutnya, katanya dengan suara bengis: “Aku tahu kau pasti mengelabui banyak urusan kepadaku, benar tidak?”

Dengan kencang Kionglam Yan gigit bibirnya tak bersuara.

“Kemarin malam setelah kau berhadapan sama dia, sebetulnya apakah yang terjadi? Kenapa sampai pagi hari kau baru pulang?”

Jari-jarinya bergerak-gerak rambut panjang Kionglam Yan dia gubat di atas tangannya, saking kesakitan hampir saja Kionglam Yan mengucurkan air mata, tapi ujung mulutnya malah mengulum senyuman manis katanya: “Kau sedang cemburu agaknya!”

“Aku cemburu apa?” sentak Im Ki.

“Bukankah kau kuatir aku sudah mempunyai hubungan rahasia sama dia, oleh itulah kau mencemburui aku.”

Im Ki tertawa, tawa yang kurang wajar, katanya: “Dengan dia masakah kau punya hubungan apa?”

“Kenapa tidak bisa?” berkedip-kedip mata Kionglam Yan, “Dia itu laki-laki, aku ini perempuan, kalau laki-laki berduaan dengan perempuan bukankah suatu kejadian biasa akan berlangsung?”

Tangan Im Ki terasa mulai bergetar, rambut orang yang direnggutnya pelan-pelan dilepaskan, suaranya gemetar: “Tapi kau pasti tidak akan melakukan hal itu, bukan?”

Kionglam Yan kipatkan rambutnya yang terurai ke depan mukanya, pelan-pelan dielusnya dengan kasih sayang, mulutnya menggumam: “Dia memang seorang laki-laki yang amat aneh dan menyenangkan, tak heran bila kau tak pernah melupakan dia.” lambat laun timbul warna merah pada raut mukanya, seolah ada aliran panas yang mulai timbul dari relung hatinya yang sangat dalam.

Im Ki amat kaget, sambil mengawasi suaranya tergagap: “Kau… apa benar kau…”
Kionglam Yan memicingkan mata seperti sedang menikmati sesuatu yang luar biasa, suaranya halus lembut dan mesra: “Dan anehnya gerakan yang dia lakukan terhadapku ternyata sama dan tiada bedanya dengan gerakan yang kau lakukan terhadapku, dikala jari-jarinya mengelus dan meraba-raba badanku, semula kusangka adalah kau, tapi dia terang lebih…”

“Plak” tangan Im Ki tiba-tiba menggampar mukanya, serunya gusar: “Ku larang kau mengoceh di hadapanku.”

Dengan tangan mendekap pipi, Kionglam Yan tiba-tiba tertawa geli, katanya: “Kau sedang cemburu, memang aku tahu kau sedang cemburu.” tahu-tahu dia pentang kedua tangan memeluk leher Im Ki, dengan giginya dia lumat kuping Im Ki pelan-pelan, katanya lembut: “Aku senang melihat kau cemburu, asal kaupun sudi cemburu terhadapku, umpama aku harus segera mati lantaran kau, akupun tak akan menyesal.”

Im Ki duduk kaku mematung, kelopak matanya berkaca-kaca, mulutnya mengigau, “Kenapa harus berbuat demikian? Kenapa?”

“Karena aku tak tahan lagi, aku sudah hampir gila kau buat, aku harus balas dendam.”

“Balas dendam?”

“Setiap kali kau ajak aku bergaul, aku lantas berpikir, apakah lantaran aku mirip sama dia baru kau bersikap baik terhadapku? Setiap kali kau memelukku, aku lantas berpikir, apakah dia pernah menggunakan cara yang sama memelukmu, maka kaupun gunakan cara itu memelukku? Dikala memelukku, bukankah hatimu selalu memikirkan dia?”

“Kau… terlalu banyak yang kau pikirkan.”

“Bukan saja aku harus menuntut balas bagi diriku sendiri, akupun harus menuntut balas bagi kau.”

“Bagi aku?” suara Im Ki kedengaran gemetar.

“Karena dia meninggalkan kau, tapi kau justru tak bisa melupakan dia, kau mencintainya, dia malah kemari hendak memeras dan mengancam kau, mendesakmu supaya kau membiarkan dia pergi… “

Im Ki tak bersuara lagi, namun air mata sudah berderai membasahi kedua pipi.
Sungguh mimpipun Coh Liu-hiang tak habis mengerti, Induk Air Im Ki yang namanya disegani di Bulim ternyata juga terlibat dalam cintaasmara , malah menjadi korban cinta lagi, karena cinta sampai dia berjiwa eksentrik, lebih tak terduga lagi karena cinta itu pula sehingga jalan pikirannya tak normal.
Betapapun akhirnya Coh Liu-hiang sudah tahu dan dapat menyimpulkan apakah sebenarnya yang telah terjadi didalam Sin cui kiong yang oleh orang-orang luar dipandang tempat agung dan suci.

Memang Im Ki sendiri sebetulnya perempuan yang tidak normal, napsu birahinya terlalu berkobar dan suka bermain lesbian, dia membenci laki-laki, namun malah biarkan birahinya yang menyala nyala itu atas diri muridnya yang berjenis sama. Oleh karena itu dia menerima banyak murid-murid perempuan yang cantik-cantik, malah dibangunnya pula jalan-jalan rahasia di bawah tanah yang semua bisa tembus ke dalam kamar murid muridnya.

Bahwa nyonya setengah tua atau bibi Soh Yong-yong itu pernah memberi peringatan kepadanya, waktu dia berkunjung kepada bibinya ini supaya jangan sembarang keluyuran, agaknya dia kuatir bila Induk Air Im Ki sampai melihat wajah Soh Yong Yong yang cantik molek itu, mungkin timbul juga rasa cinta dengan nafsu birahi yang berkelebihan itu. Memangnya kalau hal itu sampai terjadi sungguh merupakan bencana yang tak terperikan dan menakutkan.
Dulu waktu Hiong niocu masuk ke Sin cui-kiong, merekapun mempunyai hubungan yang gelap yang tak diketahui orang lain, diwaktu Induk Air Im Ki mengetahui bahwa Hiong niocu bahwasanya bukan perempuan tulen, namun hubungan mereka sudah berlarut mendalam, dan segalanya sudah terlambat.

Tapi hiong nicou mempunyai kelebihan yang luar biasa, bukan saja mempunyai sifat sifat dan polah genit sebagai perempuan, diapun punya watak keras sebagai laki-laki jantan, akhirnya Induk Air sampai jatuh cinta kepadanya, malah belakangan dia sendiri tidak bisa membebaskan diri dari belenggu asmara yang tak normal dan hanya didasari nafsu belaka.

Maka, buah dari hasil hubungan gelap ini lahirlah Sun-ouw King.
A
kan tetapi dasar manusia bergajul Hiong Niocu tak betah selalu rebah didalam pelukan Induk Air Im Ki, lama kelamaan timbul rasa bosannya dan ingin sekali keluntungan di luar pula beroperasi sebagai Maling pemetik bunga yang durjana, maka dia berkukuh hendak tinggal pergi, sudah tentu Im Ki amat berat dan tidak mau ditinggal pergi, namun Hiong niocu justru mengancamnya hendak membeberkan hubungan rahasia ini kepadanya.

Sudah tentu Induk Air malu bila orang lain tahu jikalau dirinya adalah perempuan aneh yang berjiwa eksentrik, terpaksa dia lepas orang pergi. Malah selamanya melarang orang kembali ke tempat itu. Akan tetapi dia toh tak bisa melupakan cintanya, karena orang yang mempunyai kombinasi dua jenis sifat yang berlawanan dari manusia seperti Hiong niocu tiada orang keduanya lagi di dunia ini.

Oleh sebab itu, maka Im Ki lantas penujui Kionglam Yang yang perawakan dan raut wajahnya hampir mirip dengan Hion Niocu, murid perempuan ini menjadi penghibur lara sebagai pengganti Hiong niocu, sekaligus untuk menambal kekosongan hatinya.

Dan lantaran hubungan gelap yang dilahirkan dari jiwa yang tak normal inilah, maka timbul pula berbagai kejadian aneh dan ganjil.
Sekarang terhitung Coh Liu-hiang sudah maklum dan bisa menyelami rahasia pribadi Induk Air Im Ki.

Tapi pula manfaatnya bagi dirinya setelah dia tahu rahasia ini? apa pula yang bisa dilakukan? Yang jelas dirinya bukan Hiong-niocu dan tak bisa meniru perbuatan Hiong-niocu menggunakan rahasia untuk mengancam Im Ki, betapapun keadaannya tetap berbahaya. Harapan hidup jiwanya mungkin hanya satu seper-seratus persen saja.

Dengan lidahnya pelan-pelan, Kionglam Yan menjilati air mata yang membasahi muka Im Ki, dengan dadanya yang montok kenyal untuk menggosok dada Im Ki yang tidak kalah montoknya, lambat laun tenggorokannya mengeluarkan rintihan halus serta dengan napas yang memburu.

Tapi Im Ki segera mendorongnya pergi, katanya: “Aku ingin istirahat seorang diri supaya tenang, kau menyingkirlah.”

Kionglam Yan menggigit bibir, katanya: “aku… kau… tak mau… “

“Perasaan hatiku sekarang sedang tak karuan, apapun aku tidak inginkan.”
Kionglam Yan menepekur sebentar, mendadak dia putar tubuh terus berlari kesana menerjunkan diri ke dalam empang itu.

Setelah air empang itu tenang kembali, tiba tiba Im Ki turun dari ranjang langsung menghampiri almari pakaiannya, agaknya dia hendak menanggalkan pakaian dan ganti pakaian untuk tidur.

Napas coh Liu-hiang seolah olah hampir berhenti. Tapi setiba didepan almari Im Ki tidak segera membuka pintunya, sekian saat dia menjublek didepan almari, entah apa yang tengah dipikirkan, lama kemudian dia malah menutup rapat pintu lamari serta menguncinya dari luar.

Almari ini terbuat pula dari batu pualam yang tebal, siapapun yang terkurung didalamnya jangan harap bisa membobol dindingnya meloloskan diri, kontan hati Coh Liu-hiang seakan akan tenggelam ke dasar lautan.

Apakah Im Ki sudah tahu bahwa didalam almari pakaiannya ada sembunyi orang? kenapa dia tak suruh dirinya keluar, toh malah dikuncinya dari luar.

Untungnya bagian atas dari almari ini ada lubang-lubang bikinan yang mendekuk sehingga orang yang terkurung didalamnya tak sampai mati kehabisan napas, namun demikian hukuman yang lain dari lain ini sungguh tak enak rasanya.

Jikalau Im Ki tak mengambil pakaian, Coh Liu-hiang akan selamanya terkurung didalam almari bagai terkurung didalam penjara batu yang gelap, sebaliknya kalau Im Ki membuka almari mengambil pakaian, maka jejaknya bakal konangan.

Disaat Coh Liu-hiang kebingungan tiba-tiba didengarnya Im Ki berkata: “Kalau toh kau sudah bersumpah takkan kembali ke Sin-cui-kiong, kenapa sekarang kau kemari lagi? nada suaranya kedengaran penuh diresapi kebencian, semula Coh Liu-hiang melengak dan kaget, namun cepat sekali dia sudah maklum ternyata dia sangka yang terkunci didalam lemari ini adalah Hiong niocu.

Memang Im Ki tak tahu, yang terkunci dalam almari bukan Hiong-niocu karena dia berpendapat kecuali Hiang niocu, dalam dunia ini pasti takkan ada orang kedua yang mampu menyelundup masuk kedalam kamar tidurnya.

Coh Liu-hiang sendiri tak tahu apa perlu dirinya memecahkan teka teki ini, maka dalam waktu dekat dia mandah tutup mulut saja.

“Ternyata kau sudah tahu” demikian Im Ki berkata lebih lanjut. “Aku tak akan sudi melihatmu lagi.”

Coh Liu-hiang membatin “Tak heran” begitu dia tahu dalam almari ada orang dia lantas menguncinya dari luar, kiranya karena dia sudah tidak mau berhadapan lagi dengan Hiong Nio-cu.”

Im Ki berkata lebih lanjut:
“Tahukah kau kenapa aku suruh Kionglam Yan melihatmu, dia masih bocah kenapa kau harus menodai dia? Memangnya kau hanya mencelakai dia? Memangnya belum cukup kau menelantarkan dan membuat aku kapiran?”

Coh Liu-hiang tidak berani bicara, namun dia hanya menghela napas.
“Tak perlu kau menghela napas jangan pula bermain main mulut untuk menipuku selamanya aku takkan memaafkan kau, tentunya kau sendiripun maklum.” sampai di sini tiba-tiba suaranya berubah beringas

“Kalau kau sudah melanggar sumpahmu sendiri, berani datang kemari pula, maka akupun tidak perlu menghargai hubungan kita masa lalu.”

Coh Liu-hiang sedang mengingat ingat suara dan nada bicara Hiong Niocu, akhirnya dia berkata meniru logat orang:
“Kau ingin aku mati didalam sini?” dia tahu tiruannya belum tentu mirip, tapi Im Ki sudah beberapa tahun tak bertemu dengan Hiong-nicou suara bicara orang kadang kala bisa berubah mengikuti tumbuhnya usia seseorang. Maka ia mengharapkan Im Ki tak bisa membedakan akan tiruan suaranya.

Benar juga Im Ki seperti tidak memperhatikan, katanya dengan tertawa dinging:

“Memangnya kau kira aku akan melepasmu pergi begitu saja seperti dulu itu?”

“Tapi… tapi tentunya kau masih sudi memberi kesempatan supaya aku dapat melihatmu untuk penghabisan kali.”

Im Ki menepekur lama, katanya kemudian: “Kenapa kau masih ingin melihatku?”

“Karena aku …”

“Tak usah kau omong lagi.” damprat Im Ki bengis

“Apapun yang kau katakan aku takkan percaya.”

“Apakah kau tahu setelah berhadapan dengan aku, maka kau takkan tega membunuhku?” setiap patah kata yang diucapkan telah dia pertimbangkan lebih dulu, tak berani dia mengucapkan sepatah katapun yang keliru. tahu untuk memancing keinginan Im Ki untuk melihat dirinya, Im Ki semakin tak mau menemuinya.

Betul juga Im Ki segera menjawab: “Apapun yang kau katakan, aku sudah berjanji takkan mau menemuimu.”

“Paling tidak kau memberitahu kepadaku. cara bagaimana kematian anak King.”
Kembali Im Ki termenung agak lama, sahutnya rawan: “Selama ini dia tetap tak tahu bila aku ini adalah ibu kandungnya.”

“Sudah tentu kau takkan membeber rahasia ini karena kau adalah perempuan suci, perempuan suci mana bisa punya anak? Sebaliknya demi menepati sumpahku dulu, terpaksa aku ngapusi dia katakan bahwa ibunya sudah lama meninggal.”

“Justru karena sikap kita terlalu berkelebihan terhadapnya, mungkin dia mengira ibunya terbunuh oleh aku, maka dia berusaha untuk menuntut balas.”

“Anak yang harus dikasihani, memangnya tidak tahu bahwa selamanya dia tidak akan punya kesempatan?”

“Maka dia harus mencari kesempatan” ujar Im Ki, “Sampai Bu Hoa si padri laknat itu kemari, dia tahu Bu Hoa adalah murid siaulim yang punya kepandaian tinggi, pergaulannya di dunia persilatanpun amat luas, maka dia ingin pinjam kekuatan Bu Hoa untuk menghadapi aku, maka tanpa segan-segan dengan kebenciannya dia telah menjual diri kepada Bu Hoa.”

Baru sekarang Coh Liu-hiang paham seluruhnya. Memangnya dia sedang heran, Sutow King paling-paling adalah gadis yang masih hijau, meski sudah menanjak dewasa dan mekar asmaranya, belum tentu sampai secabul itu, dengan suka rela dia memasrahkan nasib dirinya menyerahkan kesuciannya ke dalam pelukan Bu Hoa si gundul itu.

Baru sekarang Coh Liu-hiang tahu ternyata Sutouw King rela menyerahkan kesuciannya kepada Bu Hoa, memang mempunyai maksud tertentu, jadi keduanya memang sedang memperalat diri masing-masing untuk keuntungan sendiri, keduanya tak mempunyai maksud yang baik.

Berkata Im Ki pula: “Siapa nyana Bu Hoa ternyata hendak memperalat dia untuk mencuri Thian-it-sin-cui, setelah berhasil lantas meninggalkan dia begitu saja, waktu dia sudah bunting, takut aku akan menghukumnya dengan tata tertib perguruan, akhirnya dia nekat bunuh diri.” sampai di sini suaranya sudah sesenggukan katanya lebih lanjut lebih pedih: “Dia justru tak tahu apapun yang telah terjadi, aku tak akan membunuhnya, sampai menjelang ajalnya dia… dia masih belum tahu bahwa aku adalah ibu kandungnya sendiri.

Tragedi yang menyedihkan dalam Sin-cui-kiong dan tak diketahui orang luar ini, sampai sekarang terhitung sudah terbeber dengan jelas dan gamblang.

Coh Liu-hiang menghela napas katanya: “Kalau demikian, jadi kau sejak mula sudah tahu akan latar belakang kejadian ini.”
“Sudah tentu aku tahu.”

“Lalu kenapa kau harus mencurigai orang lain yang mencuri Thian-it-sin-cui?”

“Bahwasanya aku tak pernah mencurigai orang lain, cuma rahasia dari kejadian ini sendiri sekali kali pantang diketahui orang luar, maka terpaksa aku harus mencari orang lain untuk kujadikan kambing hitam”

“Lalu siapa yang kau cari?” sengaja Coh liu-hiang ujar bertanya.

Im Ki menjawab: “Coh Liu-hiang!”

“Memang tepat orang yang kau cari.” Coh Liu-hiang tertawa getir.

“memangnya hanya dia satu satunya pilihan, karena hanya orang seperti dia yang mampu melakukan hal itu, kalau aku mencari orang lain, orang orang Kangouw mana mau percaya". Nadanya kedengarannya tak merasa menyesal malah anggap tindakannya itu cukup memuaskan hatinya.

Tak tertahan Coh Liu-hiang bertanya: “Demi mempertahankan gengsi dan kesucian Sin-cui kiong tanpa segan-segan kau menjadikan orang lain sebagai korbannya?” “Demi gengsi dan kesucian nama Sin-cui-kiong, perbuatan apapun tak segan segannya kulakukan! Tiba-tiba suaranya yang beringas merandek dan berubah pilu dan menghela napas; “Apa lagi kecuali kau laki laki lain didalam pandanganku tak ubahnya seperti anjing buduk, jangan katakan hanya satu Coh Liu-hiang yang menjadi korban, umpama seratus atau seribu apa pula halangannya?”

Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: “Kalau begitu jadi bukan lantaran dia ingatkan janji maka kau ingin membunuhnya?”

“Benar ia tak datang terang akan mati, apalagi kalau kemari jiwanya takkan terampunkan lagi.”

Lama Coh Liu-hiang menerawang tiba-tiba dia bertanya: “Kau masih ingat seorang gadis yang bernama Liu Bu bi?”

“Sudah tentu aku masih ingat, dia murid Ciok-koan-im.” Suaranya tiba-tiba beringas seperti memburu: “Cara bagaimana kau bisa kenal dia?”

Coh Liu-hiang tertawa: “Tak usah kau merasa cemburu, aku sih tak kenal dia, soalnya belakangan ini dia telah melakukan suatu peristiwa besar yang menggemparkan dunia, karena peristiwa itulah aku mendengar namanya.”

“Peristiwa yang menggemparkan? Peristiwa apa?” Im Ki menegas “Karena dia minta kau memunahkan racun dalam badannya, maka dia membunuh Coh Liu-hiang.”

“Memunahkan racun di badannya? Dia terkena racun apa?” “Memangnya kau tidak tahu?” Coh Liu-hiang melengak. “Yang terang aku tahu dia tidak terkena racun apa-apa !”

Kini Coh Liu-hiang betul-betul menjublek. Kiranya semua ini hanya merupakan tipu muslihat Liu Bu-bi sendiri, supaya dirinya kemari masuk perangkap, ternyata terkaannya memang tidak melesat, Liu Bu bi memang murid Ciok Koan-im yan diutus ke Tionggoan untuk menjadi mata matanya, saking naik pitam serasa hampir meledak dan tumpah darah dibuatnya, semula dia terlalu yakin akan diri sendiri selama hidup ini takkan pernah tertipu oleh perempuan, sungguh tidak nyana kali ini dirinya benar benar menjadi korban secara konyol malah.

Tiba tiba Im Ki berkata pula: “Tahukah kau cara bagaimana aku hendak menghadapimu?” Coh Liu-hiang tertawa getir, sahutnya “Semoga saja kau tidak tenggelamkan almari ini di dasar danau.” “Kau memang orang yang cerdik, sayang sekali orang pinter sering kebelinger oleh kepintarannya sendiri sehingga melakukan perbuatan yang paling bodoh.”

“Memangnya kau benar-benar sudah bertekad tidak mau melihatku lagi untuk penghabisan kali?”

Lama Im Ki termenung lagi, akhirnya dia tertawa dingin, jengeknya: “Coh Liu-hiang tak perlu kau main-main lagi, setelah kau tahu semua rahasiaku, coba pikir apakah aku bisa melepasmu pulang dengan jiwa masih hidup?”

Sekujur badan Coh Liu-hiang seketika menjadi dingin, perutnya terasa kecut, katanya menghela napas: “Ternyata kau sudah tahu.”

“Sebetulnya kau memang sudah menipu aku, tapi tidak seharusnya kau katakan bahwa Coh Liu-hiang sudah dibuat mati oleh Liu Bu-bi sudah membunuh Coh Liu-hiang, meski tak dengan tangannya sendiri, hal ini takkan berarti dia siarkan sampai diketahui orang luar. Coh Liu-hiang memang bukan orang baik-baik tapi temannya banyak, memangnya Liu Bu bi tak takut teman temannya itu menuntut balas kepadanya?”

“Memangnya aku selalu rendah menilai dirimu, kau jauh lebih cerdik dan pintar dari apa yang pernah kubayangkan.

“Tapi sebaliknya tak menilaimu terlalu rendah, memangnya aku tahu hanya mengandalkan kekuatan Liu Bu-bi takkan mampu membunuh kau.”

Coh Liu-hiang tiba tiba tertawa besar: “Tak heran kau tak berani melepas aku keluar untuk bertanding sampai mati.”

“Tak perlu kau membakar kemarahanku, untuk membunuh kau segampang aku membalik tangan, tapi buat apa aku harus mengotori tanganku.”

“Tapi jikalau kau tidak melepaskan aku keluar ada sebuah urusan selama hidup takkan bisa kau ketahui lagi.”

“Urusan apa?” tak tertahan Im Ki bertanya, agaknya dia ketarik.

“Kalau Hiong niocu tidak berasa didalam almari ini, lalu dimanakah dia? Kecuali aku tiada orang lain tahu akan rahasia ini.” kedengarannya dia berkata acuh tak acuh, seperti adem-ayem, sebetulnya kedua telapak tangannya sudah berkeringat dingin.

Memangnya hanya hal inilah satu satunya kesempatannya terakhir, dia mengharap seperti pula perempuan lain Im Ki sama menaruh rasa ketarik dan ingin tahu, maka orang akan memaksa dirinya mengatakan rahasia itu.

Asal Im Ki mau melepas dirinya keluar paling tidak dia masih mempunyai setitik harapan, kalau tidak dia bakal terkurung mampus didalam almari ini, selamanya takkan bisa melihat cahaya matahari lagi.

Tak nyana bukan saja Im Ki tidak bertanya, malah mulutnya terkancing rapat, sesaat kemudian didengarnya suara alat rahasia berbunyi, agaknya Im Ki sedang membuka salah satu pintu rahasia, disusul terdengar suaranya yang kereng berkata: “Lekas gotong keluar almari itu, tenggelamkan ke dasar danau.”

Sungguh sebuah perintah yang aneh: “Kenapa dia menenggelamkan almari pakaiannya sendiri ke dasar danau?” meski curiga murid muridnya tiada yang berani tanya.

Cepat Im Ki mendebarkan: “Suara apapun yang terdengar dari dalam almari, kalian boleh anggap tidak mendengar, tahu tidak?”
Murid muridnya sama mengiakan saja.

Coh Liu-hiang terpaksa tutup mulut dan tak mau bicara lagi. Karena diapun tahu perintah Induk Air harus diperhatikan dan segera dilaksanakan, apapun yang dia katakan, memprotes atau mencak-mencakpun tak berguna. Dia hanya menyesali nasibnya sendiri yang kurang mujur hari ini.

Perempuan yang tak punya daya tarik atau tak mau mengetahui sesuatu dalam dunia ini jarang ada, ada kalanya seorang lelaki umpama menghabiskan masa hidupnya juga sukar menemukan perempuan macam itu, namun hari ini Coh Liu-hiang justru menemukan.

Almari sudah digotong secara gotong royong oleh murid-murid Induk Air. Tak lama kemudian air mulai merembes masuk ke dalam almari, lambat laun seluruh badan Coh Liu-hiangpun sudah terendam didalam air. tapi kali ini air tak membawakan rasa segar dan nyaman bagi dia, karena dia sudah insaf tak makan waktu terlalu lama, air ini bakal menamatkan riwayatnya, kulit dagingnya akan membusuk dan tulang tulangnya akan keropos dimakan kutu air. Sejak saat ini Coh Liu-hiang yang terkenal itu bakal lenyap dari percaturan dunia persilatan tenggelam didalam air danau bening ini.

Tak tertahan dia berkeluh kesah dalam hati: “Saudara air, saudara air, selamanya tak pernah aku berbuat sesuatu yang mengecewakan kau, tapi kenapa hari ini kau hendak menyalahi diriku?”

Sampai detik ini selamanya belum pernah dia meresapi apa itu yang di katakan kecewa dan putus asa. Nah pada detik-detik menjelang ajalnyapun baru dia benar-benar maklum.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar