-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 30 Dewi Ratu Maksiat
1
Malam itu angin berhembus
kencang dan menderu-deru, seolah suatu pertanda bakal datang badai besar. Hawa
dingin terasa semakin menusuk tulang sum-sum. Dan mendung tebal yang sejak sore
bergayut di langit telah berubah menjadi hujan, menambah suasana kian mencekam.
Desa Tumpang nampak sepi. Tak satu pun orang yang berada di luar rumah, kecuali
tiga lelaki yang sedang menjalankan tugas ronda. Karena hujan kian deras,
ketiganya hanya duduk ngobrol di gardu sambil mengisap rokok kawung.
"Huh..., tidak biasanya
malam seperti ini," gumam Bondan mengeluh. Matanya sesekali memandang ke
luar gardu yang tampak gelap gulita.
Tak ada suara apa pun kecuali
deru angin yang bercampur rintik hujan.
"Iya, aneh. Padahal saat
ini musim kemarau," sambut Busran. "Mestinya belum ada hujan."
"Namanya alam. Siapa yang bisa memasti-kan.... Tapi, kurasa hujan ini
memang aneh," tukas Pardi. "Terus terang, sejak tadi aku merinding.
Jangan-jangan...." Pardi tak meneruskan kata-katanya. Matanya memandang
dengan tegang ke sekeliling gardu yang nampak sepi dan gelap, semakin membuat
bulu kuduknya berdiri.
"Jangan-jangan kenapa,
Di?" tanya Busran penasaran karena temannya tidak meneruskan kata-katanya.
"Ah, tidak. Tidak
apa-apa," jawab Pardi.
"Setan maksudmu?"
terka Bondan.
Pardi hanya mengangguk kecil.
Matanya masih membelalak tegang, memandang ke sekeliling yang dirasakan kian
mencekam. Apalagi angin semakin kencang menderu. Bulu kuduknya semakin meremang.
Bondan tertawa kecil. Suaranya
terdengar sumbang dan bergetar, karena diliputi perasaan tercekam. Dia pun
merasakan bulu kuduknya meremang, namun tetap berusaha menekan rasa takutnya.
"Di.... Pardi. Kamu ini
kayak anak kecil saja," gumam Bondan sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya, "Sudah tua kok masih takut dengan setan." "Bukan
begitu. Sejak tadi hatiku memang tak enak rasanya. Dan..., heh... bau kemenyan,
Bon" tubuh Pardi bergidik ketika hidungnya mencium bau kemenyan yang
menyengat. Sepertinya ada orang yang membakar dupa.
Bondan dan Pardi
mengendus-endus, berusaha mencium bau kemenyan. Seketika keduanya merinding di
sekujur tubuh, ketika hidung mereka pun mencium bau kemenyan yang menyengat.
Bahkan kemudian bercampur aroma wangi bunga kenanga, yang mengingatkan mereka
pada kematian.
"Benar, Di. Bau kemenyan
dan bunga kenanga...," kata Busran dengan mata membelalak.
"Hiii..." Bondan
semakin bergidik, wajahnya memucat. Rasa takut itu tak hanya melanda hati lelaki
muda itu. Kedua temannya pun semakin merasa tercekam deh suasana gelap, sunyi,
dan hawa dingin yang dihembuskan angin. Ketiga peronda itu sebenarnya ingin
sekali meninggalkan gardu. Namun keadaan di luar membuat mereka takut Sesaat
tak satu pun yang mengeluarkan suara. Kini yang terdengar hanya rintik hujan
dan deru angin kencang.
Wuss Krak Ketiga peronda
tersentak kaget ketika dari luar terdengar suara hembusan hawa aneh disertai
retaknya tanah. Mereka terpaku di tempat duduk masing-masing, seakan tak mampu
berbuat sesuatu.
Wuss Krak Suara itu kembali
terdengar. Tiba-tiba dari dalam tanah di depan gardu, keluar asap tebal.
Tidak hanya satu kepulan. Ada
delapan tempat yang tanahnya merekah dan mengepulkan asap putih. Sementara itu
getaran-getaran pun mulai terasa di sekitar gardu ronda.
Mata ketiga peronda itu
terbelalak, menatap penuh ketegangan kepulan asap yang keluar dari retakan
tanah. Tubuh mereka menggigil ketakutan.
Asap putih kehijau-hijauan itu
perlahanlahan berubah warna. Semakin lama, kepulankepulan asap itu membentuk
warna merah darah.
Lalu membentuk sosok makhluk
yang mengerikan. Sosok manusia berwajah tengkorak dengan memakai jubah warna
merah darah hingga menutup kepala. Sosok-sosok manusia berjubah dan tudung
merah itu seperti mayat hidup. Mata mereka tampak menyorot merah. Dan mulut
mereka bergigi taring.
"Mayat hidup" sentak
Pardi yang telah gu-gup. Matanya semakin membelalak tegang, menyaksikan
makhluk-makhluk aneh itu.
"Se... se...
setan..." pekik Busran dengan suara menggeragap.
"Ma... ma... mayat
hidup..." jerit Bondan.
Ketiga peronda itu kini saling
merapat ketakutan. Tak ada yang berani berlari, karena makhluk-makhluk itu
berada di depan mereka.
Bahkan kini makhluk-makhluk
aneh itu bergerak mendekat. Sepertinya mereka hendak melakukan sesuatu terhadap
ketiga peronda itu, yang semakin ketakutan.
Delapan mayat hidup itu
mengelilingi gardu ronda, membuat ketiga peronda itu bertambah ketakutan.
Terlebih jika memandang ke wajah manusia-manusia bermuka tengkorak yang berlumuran
darah.
"Tolong...
Tolooong..." "To... tolong..." ketiga peronda mulai
berteriak-teriak. Mereka saling rapat satu sama lain, dengan mata membelalak
ketakutan memandang kedelapan manusia bermuka tengkorak yang menyeringai dengan
suara-suara yang aneh pula.
Makhluk-makhluk itu tampaknya
berbicara dalam bahasa mereka. Kemudian salah satu dari mereka menunjuk ke arah
Busran yang paling tampan di antara ketiga peronda itu. Sedangkan yang di
sampingnya mengangguk-anggukkan kepala, seakan menyetujui apa yang dikatakan kawannya.
Makhluk bermuka tengkorak yang mengangguk-anggukkan kepala memerintahkan kepada
anak buahnya untuk menangkap Busran.
"Tidak Jangan..."
pekik Busran berusaha menolak, ketika dua mayat hidup maju mendeka-tinya dan
siap menangkap.
Kedua makhluk aneh itu seperti
tak peduli dengan teriakan Busran. Mereka terus memegang tangan Busran dan
menyeretnya agar ikut "Jangan..." teriak Busran meronta-ronta
ketakutan. "Tolong..." Bondan dan Pardi hanya kebingungan. Keduanya
tak tahu harus berbuat apa untuk menolong Busran. Mereka merasa tak tahan
melihat wajah makhluk-makhluk aneh yang berlumuran darah itu. Tubuh kedua
peronda itu menggigil.
Tak ada yang berani melangkah
untuk menolong Busran, karena manusia-manusia bermuka tengkorak itu masih
menjaga mereka.
Saking takutnya, Bondan dan
Pardi tak sadar terkencing di celana. Wajah mereka pucat pasi. Tubuh mereka
sudah lemas dan basah oleh keringat dingin yang keluar karena rasa takut yang
tak terkira.
Wass Mendadak makhluk-makhluk
aneh itu lenyap seketika, kembali menjadi asap. Lalu terdengar suara gemuruh
pecahnya tanah di sekeliling gardu. Bersamaan dengan itu, kepulan asap jelmaan
makhluk-makhluk aneh itu lenyap.
"Hah?" kedua peronda
yang ketakutan itu membelalakkan matanya semakin tegang menyaksikan kejadian
yang aneh itu. Mereka tak tahu Busran dibawa ke mana oleh makhlukmakhluk aneh
itu.
"Tolong...
Setan-setan" Keduanya lari terbirit-birit sambil berteriak-teriak.
"Tolong Tolong ada mayat
hidup..." Warga Desa Tumpang yang mendengar suara teriakan para petugas
ronda langsung keluar, ingin tahu apa yang terjadi. Bahkan Kepala Desa Tumpang
turut keluar.
"Ada apa, Pardi, Bondan?
Seperti orang dikejar setan saja kalian. Jejeritan di malam begini?" tanya
Ki Kuswara, lelaki kurus tinggi dengan pakaian warna abu-abu tua lengan
panjang. Berwajah angker dengan kumis tebal melintang. Lelaki berusia sekitar
lima puluh lima tahun ini, merupakan Kepala Desa Tumpang.
"Setan, Ki. Setan-setan
itu membawa Busran," jawab Bondan.
Mendengar laporan Bondan, para
warga yang ada di tempat itu terbelalak kaget. Namun Kepala Desa Tumpang seakan
tak percaya dengan cerita itu.
"Jangan main-main kau,
Bondan?" bentak Ki Kuswara dengan mata melotot.
"Benar, Ki," timpal
Pardi, "Lihat, kami benar-benar ketakutan Bahkan aku... aku sampai kencing
di celana." Pardi menunjuk ke selangkangannya. Celana kolor panjangnya
yang berwarna kuning terang basah kuyup dan bau pesing. Bondan pun berusaha
meyakinkan Ki Kuswara dengan merenggangkan selangkangan yang basah.
Semua warga yang melihat kedua
peronda itu ngompol, seketika tertawa terbahak-bahak Kesunyian malam yang
semula tegang, seketika berubah menjadi riuh oleh gelak tawa mereka. Namun
tiba-tiba....
"Tolong Tolong..." Suara
jeritan itu ternyata dari rumah Ki Kuswara. Para warga desa yang mendengar jeritan
menantu Ki Kuswara seketika berlarian menuju rumah kepala desa itu.
"Hantu..., hantu..."
"Setan Mayat hidup..." Para warga yang telah sampai di rumah Ki Lurah
Kuswara langsung berteriak-teriak ketakutan. Mereka melihat makhluk-makhluk
aneh bergigi taring dan berlumuran darah tengah berusaha menyeret anak lelaki
Ki Lurah Kuswara.
Menyaksikan hal itu, Ki
Kuswara yang tidak ingin putranya dibawa kabur oleh makhlukmakhluk aneh itu
segera bertindak. Lelaki setengah baya itu melompat dan menghadang mayatmayat
hidup itu.
"Berhenti Lepaskan
anakku" bentak Ki Kuswara dengan keras, seperti tak takut sama sekali
terhadap makhluk-makhluk aneh yang menatapnya dengan wajah mengerikan.
Salah satu dari mayat hidup
itu menggerakkan tangan, seperti memerintah pada anak buahnya untuk membereskan
Ki Kuswara.
"Hng..." Tiga mayat
bermuka pucat dan bergigi taring maju menghadapi Ki Kuswara yang masih berdiri
dengan mata menatap tajam. Sepertinya Ki Kuswara belum yakin, kalau sosok-sosok
makhluk aneh yang menyeramkan itu setan.
"Jangan kira aku takut
menghadapi kalian" dengus Ki Kuswara pada tiga mayat hidup yang
menghampirinya. Tapi ketiganya tak juga mau membuka kedoknya, justru terdengar
suara menggereng dari mulut mereka.
"Hnghh..." Ketiga
mayat hidup dengan berang menyerang Ki Kuswara. Tangan mereka yang hanya tulang-belulang
berkuku panjang dan runcing, menyambar dengan cakaran ke tubuh kepala desa itu.
Seketika itu pula Ki Kuswara tersentak kaget melihat bahwa manusia-manusia itu
ternyata tengkorak.
"Mayat hidup...?"
tanya Ki Kuswara, seraya mengelakkan serangan ketiga lawannya. Matanya masih
membelalak tegang, ngeri menyaksikan kenyataan yang ada.
Warga Desa Tumpang yang
melihat tangan manusia-manusia yang menyeramkan itu hanya tulang-belulang,
seketika menjerit ketakutan. Serentak mereka pun lari terbirit-birit. Terlebihlebih
kedua peronda yang telah melihat sebelumnya, langsung lari tunggang-langgang.
'Tolong Mayat hidup
Tolong..." Hiruk-pikuk jeritan warga seketika menggema, memecahkan
kesunyian malam. Tak seorang pun warga yang berani membantu kepala desanya,
setelah tahu kalau makhluk itu bukan manusia.
Ki Kuswara terpaksa harus
bertarung melawan ketiga mayat hidup seorang diri. Dia telah telanjur
menghadapi ketiga makhluk aneh yang tentunya siluman itu. Dicabutnya keris yang
sejak tadi terselip di pinggang. Segera dikerahkan jurus 'Sambar Nyawa' dengan
Keris Lekuk Pitu yang mengeluarkan sinar hijau.
"Hea" Keris Lekuk
Pitu di tangan Ki Kuswara bergerak cepat, menusuk ke dada salah satu makhluk
siluman. Kilatan cahaya keris itu, terus menyeruak masuk berusaha menekan
ketiga lawannya. Sementara itu, makhluk aneh yang tadi membawa anak Ki Kuswara
kini telah raib entah ke mana. Ki Kuswara hanya sempat menyaksikan ketika
makhluk itu berubah menjadi asap di tanah retak. Hal itu semakin membuat mata
kepala desa itu membelalak tegang dan merasa kebingungan. Kejadian itu rasanya
tak masuk akal baginya yang hanya tahu ilmu olah kanuragan semata, tanpa
mengerti ilmu gaib.
Tusukan keras dan cepat Keris
Lekuk Pitu di tangan Ki Kuswara tak dihiraukan oleh lawannya. Jlep Keris Lekuk
Pitu menghunjam ke dada manusia bermuka tengkorak darah. Keris itu terus
menancap ke dalam, seperti disedot suatu kekuatan gaib. Ki Kuswara kembali
tersentak kaget merasakan kejadian yang sangat aneh itu.
"Akh Kerisku tertarik ke
dalam?" pekik Ki Kuswara kaget. Dia berusaha mencabut kembali kerisnya
dari dada mayat hidup. Namun justru tubuhnya sendiri tertarik oleh kekuatan
tubuh makhluk aneh itu. Keadaan ini membuat Ki Kuswara semakin tegang. Apalagi
ketika sekujur tubuhnya tiba-tiba tersengat hawa panas, bagaikan ada api yang
menjalar begitu cepat "Akh" jerit Ki Kuswara.
"Hngh..." Mayat-mayat
hidup itu menggeram keras.
Pada saat itu, tubuh manusia
siluman yang tertusuk Keris Lekuk Pitu milik Ki Kuswara tiba-tiba bersinar
hijau. Sinar itu terus membesar, menyelimuti sekujur makhluk itu. Kemudian
menjalar ke tangan Ki Kuswara.
"Wua..." Ki Kuswara
menjerit setinggi langit, ketika tubuhnya tersengat sinar hijau yang keluar
dari tubuh manusia siluman. Bagaikan arus listrik yang kuat, menyambar tubuhnya.
Ki Kuswara berusaha melepaskan
cekalannya pada keris yang menancap dada lawan. Namun tangannya dirasakan telah
melekat kuat pada keris itu. Sehingga sangat sulit baginya untuk dapat
melepaskan tangannya. Bahkan semakin kuat berontak, semakin lengket tangannya
pada gagang keris. Semakin kuat pula tenaga tarikan makhluk aneh itu.
"Hng" "Heik-heik"
"Wuk wek-wek" Ketiga mayat hidup itu berbicara dengan bahasa mereka
yang tak dimengerti Ki Kuswara.
Kepala desa itu terus berusaha
melepaskan pegangan tangannya pada gagang keris. Dia berusaha mengerahkan
tenaga dalamnya, namun tetap tak mampu melepaskan tangan yang melekat pada
gagang keris.
"Ukh" Ki Kuswara
melenguh lirih. Wajahnya semakin pucat pasi, setelah tenaga dalam terkuras
habis. Matanya membelalak tegang sekarat "Wua..." Diiringi jeritan
tertahan. Ki Kuswara akhirnya terkulai lemas. Nyawanya melayang dengan keadaan
tubuh mengerikan. Sekujur wajah dan tubuhnya pucat pasi bagaikan tak berdarah.
Matanya melotot.
"Zzsst Zzsst" Kedua
mayat hidup lainnya menganggukanggukkan kepala. "Hng" Usai melepaskan
tubuh Ki Kuswara, ketiga mayat hidup menjatuhkan sesuatu dari tangannya tepat
di muka kepala desa itu. Ternyata sebuah benda berupa gambar makhluk aneh bermata
merah darah Ketiga makhluk aneh menghilang, bersama asap yang menyelimuti
mereka. Mereka masuk ke tanah, setelah berubah menjadi asap tebal kemerahan.
2
Sore telah datang, mentari
menggelincir di ufuk barat. Sebentar lagi raja siang itu akan tenggelam,
kemudian hadir kegelapan yang membawa suasana mencekam. Para petani pulang dari
sawah dengan peralatan terpanggul di pundak.
Burung-burung pun berterbangan
pulang ke sarang masing-masing dengan suara bersahutsahutan. Cahaya merah
tembaga membias di kaki langit sebelah barat, seakan ingin menyongsong malam
yang hampir tiba. Desir angin senja hari menghembuskan hawa dingin, seperti
datang bersama kegelisahan.
Dua sosok bayangan nampak
melangkah perlahan di keremangan senja. Kedua muda-mudi itu saling
bersenda-gurau dengan riangnya, menikmati suasana senja yang indah.
"Kakang, nampaknya desa
ini tengah berduka," kata gadis cantik berpakaian putih dengan rambut
digelung dua di atas. Kulit gadis itu kuning langsat, hidungnya tidak terlalu
mancung.
Matanya agak sipit, dihiasi
bulu-bulu lentik.
"Hm," gumam pemuda
berpakaian rompi kulit ular, berambut gondrong agak berombak.
Kulit pemuda itu bersih,
wajahnya tampan.
Sangat serasi pasangan
muda-mudi itu.
Yang lelaki tampan dan gagah,
sedangkan yang perempuan cantik dan elok. Di pundak gadis cantik yang
berpakaian Cina, tersandang sebilah pedang. Sedangkan pemuda itu, nampak di
pinggangnya terselip sebuah suling berkepala naga.
Dilihat dari senjata dan
pakaian yang disandang, kedua sejoli itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar
Gila dengan kekasihnya, Mei Lie atau Bidadari Pencabut Nyawa. Pedang di pundaknya
tentu Pedang Bidadari.
Pendekar Gila meringis sambil
tangannya menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang ke sekeliling yang nampak
sunyi dan sepi. Ada panji-panji atau benda berwarna hitam terpancang di pintu
masuk desa, yang menandakan bahwa desa tengah berkabung. "Aha, mungkin kematian
biasa, Mei Lie." "Tapi, Kakang...," potong Mei Lie. "Aha,
kau begitu nakal, Mei Lie Ayolah, kita cepat pergi Sebentar lagi malam tiba.
Kita harus segera mencari tempat untuk menginap," ajak Sena sambil meng-gandeng
tangan kekasihnya. Namun gadis cantik itu menolak.
"Tunggu, Kakang Firasatku
mengatakan, pasti telah terjadi sesuatu di sini." Sena tertawa-tawa
mendengar penuturan Mei Lie. Tubuhnya berjingkrak-jingkrak seperti monyet. Hal
itu membuat Mei Lie merengut.
Pendekar Gila langsung
menghentikan tingkahnya yang persis orang gila itu, setelah melihat sang
Kekasihnya cemberut. Dengan masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, Sena
menghela napas panjang.
"Hih hi hi Nakalmu
semakin jadi, Mei Lie.
Ah ah ah, tentunya di desa ini
memang telah terjadi sesuatu. Kematian, bukan?" goda Sena, semakin membuat
Mei Lie bertambah merengut.
Matanya mendelik ke arah
Pendekar Gila yang masih cengengesan.
"Uuh, Kakang" keluh
Mei Lie cemberut "Aku bersungguh-sungguh, Kakang." "Aha, apa aku
tidak, Mei Lie?" sahut Sena masih saja menggoda, semakin membuat Mei Lie bertambah
mendelik kesal. "Ah ah ah, gawat kalau begini. Sudahlah, Mei Lie Sebentar
lagi malam, kita harus segera mencari penginapan." Sena kembali mengajak
Mei Lie meninggalkan tempat itu. Akhirnya gadis itu pun menurut Keduanya
melangkah meninggalkan mulut desa itu. Namun baru beberapa langkah,
tiba-tiba....
"Berhenti" Sena dan
Mei Lie terkejut. Namun keduanya segera membalikkan tubuh, melihat siapa yang
telah menyuruh mereka berhenti. Nampak seorang lelaki berbadan kurus dengan
kumis panjang melintang, berdiri dengan pandangan penuh rasa curiga kepada
mereka. Di belakang lelaki itu berdiri beberapa orang warga desa. Wajah mereka pun
menyiratkan kecurigaan terhadap kedua orang yang itu.
Tiba-tiba Sena tertawa
terbahak-bahak.
Tingkah lakunya yang konyol
muncul. Dia cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian tangannya
menepuk-nepuk pantat Menyaksikan tingkah laku pemuda berpakaian rompi kulit
ular, seketika lelaki yang berdiri paling depan mengerutkan kening keheranan.
"Rasa-rasanya aku pernah
mendengar tentang pemuda ini. Ah, benarkah dia Pendekar Gila?" tanya
lelaki itu dalam hati. Keningnya mengerut, memperhatikan penuh selidik pada
Pendekar Gila dan Mei Lie. "Dan kalau tak salah, gadis ini yang bergelar
Bidadari Pencabut Nyawa. Benarkah mereka...?" "Hi hi hi... Kalian ini
aneh. Tiba-tiba menghentikan langkah kami? Hi hi hi..." Sena masih konyol,
menepuk-nepuk pantat sambil berjingkrak-jingkrak. Sedangkan Mei Lie nampak waspada,
khawatir kalau orang-orang yang menghadangnya hendak bermaksud jahat "Siapa
kalian?" tanya lelaki bernama Rapuji itu ingin membuktikan dugaannya.
"Hi hi hi... Lucu, lucu
sekali kau, Kawan." Pendekar Gila semakin cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. "Aha, kalian ingin tahu siapa kami. Baiklah, kami sepasang
muda-mudi yang sedang bertualang mengikuti langkah kaki.
Nah, apakah belum jelas?"
"Apa kalian Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa?" tanya Rapuji
berusaha memas-tikan. "Ya" sahut Mei Lie menyela. "Ada apa
kalian menghadang kami?" "O, maafkanlah tindakan kami yang lancang
Kalau benar kalian Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa, kami mengharap
sudilah kalian mampir dan singgah ke rumah kami," pin-ta Rapuji.
"Hm, untuk apa?"
tanya Mei Lie tegas.
"Aha, jangan galak
begitu, Mei Lie Bagaimana kalau kita ikuti saja permintaannya? Bukankah kita di
sini merupakan tamu?" tanya Pendekar Gila berusaha menenangkan kekasihnya yang
garang. Nampaknya Mei Lie masih ingat kejadian di Lembah Lamur, di mana
orang-orang yang dekat dengannya kedapatan mati. Itu sebabnya dia tak mudah
percaya dengan orang lain.
(Mengenai trauma Mei Lie,
silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode: "Titisan Dewi Kwan
Im"). "Baiklah Tapi jangan sekali-kali bermaksud jahat Aku tak
segan-segan membunuh kalian Bahkan seluruh penduduk desa ini akan kumusnahkan"
ancam Mei Lie.
"Baiklah, Nini
Pendekar," sahut Rapuji penuh hormat.
"Aha, ayolah" ajak
Pendekar Gila.
Keduanya melangkah mengikuti
Rapuji dan warga desa. Sementara langit di sebelah barat sudah tak menampakkan
bias cahaya matahari.
Dan malam pun telah turun.
Rumah Rapuji nampak terang-benderang.
Lampu pelita besar dan lampu
gantung yang biasanya tidak dipasang, malam itu dinyalakan semua. Sehingga
suasana di dalam rumah itu, khususnya di beranda, terang-benderang. Tiga orang tampak
duduk di kursi rotan, sementara yang lain duduk bersila di lantai. Nampaknya
para warga tengah berkumpul, setelah kematian lurah mereka.
Yang duduk di atas bangku,
Sena, Mei Lie, dan Rapuji. Ketiganya tengah membicarakan perihal yang melanda
Desa Tumpang yang baru saja dilanda malapetaka.
Kepada Pendekar Gila dan Mei
Lie, Rapuji menceritakan peristiwa aneh yang terjadi kemarin di Desa Tumpang.
Dengan tenang Mei Lie mendengarkan cerita itu. Sementara, Pendekar Gila tak
henti-henti cengengesan sambil menggarukgaruk kepala selama Rapuji bercerita.
Tentu saja sikapnya yang aneh dan lucu itu membuat para warga yang melihat
tersenyum-senyum keheranan. "Hm," Pendekar Gila bergumam. Sedangkan
Mei Lie nampak terus memperhatikan dengan seksama setiap cerita yang dipaparkan
Rapuji.
"Aneh, mayat-mayat dari
mana?" "Itulah yang kami pikirkan. Keris sakti milik Ki Lurah Kuswara
yang bernama Lekuk Pitu hilang entah ke mana. Menurut orang yang melihat, keris
itu masuk ke dada salah satu mayat hidup itu...." "Heh?" Sena
tersentak dengan mata membelalak kaget.
"Hhh," desah Mei
Lie. Wajahnya kelihatan geram mendengar cerita yang dituturkan Rapuji.
"Kurasa ada yang
mendalanginya" "Entahlah. Ada atau tidak, kami rasa hal ini harus
dicegah...," tandas Rapuji dengan suara geram. "Hm," lagi-lagi
Pendekar Gila bergumam tak jelas. Sambil cengengesan tangannya menggaruk-garuk
kepala.
"Apa mereka kalau keluar
selalu malam hari?" tanya Mei Lie.
"Baru kali ini terjadi,
Nini. Jadi...," "Hm, ada yang tahu persis? Bagaimana mula mereka
keluar?" tanya Mei Lie.
"Saya, Nini
Pendekar," sahut seorang lelaki setengah baya yang ternyata Pardi.
"Bisa, Bapak
menjelaskan?" pinta Mei Lie yang disambut anggukan oleh Pardi.
Secara singkat dan jelas,
Pardi pun menceritakan apa yang telah dialami bersama kedua peronda lainnya,
yang salah satunya menjadi korban mayat-mayat hidup.
Selama Pardi bercerita Mei Lie
memperhatikan dengan seksama. Sesekali mulutnya menggumam. Sedangkan Pendekar
Gila tampak cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya ada juga
bangsa siluman yang ingin turut campur dengan urusan manusia.
Hi hi hi... Lucu sekali,"
Sena tertawa cekikikan.
Tingkah lakunya semakin
konyol, membuat semua orang yang ada di situ tersenyum-senyum melihatnya.
"Siluman...?" tanya
Rapuji dengan mata membelalak.
"He he he... Begitulah
menurut dugaanku," jawab Sena sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Semua terdiam. Mereka
merasakan ketegangan setelah mendengar penuturan Pendekar Gila. Hati mereka
bertanya-tanya, dari mana siluman-siluman itu datang? Lalu hendak bermaksud apa
mereka datang ke alam manusia? "Hm, kalau benar mereka bangsa siluman, bagaimana
kita harus menghadapi makhluk itu...?" tanya Rapuji nampak kebingungan.
Jelas akan sulit sekali manusia biasa sepertinya dan warga desa untuk
menghadapi makhluk-makhluk siluman. Hanya orang-orang yang menguasai ilmu gaib
mampu menghadapi makhluk-makhluk dari alam gaib seperti itu.
Pendekar Gila nyengir.
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepalanya. Dia pun belum bisa memutuskan
untuk berbuat sesuatu atau mengambil kesimpulan. Sebab dia sendiri belum tahu seperti
apa makhluk-makhluk siluman itu.
"Aha, sulit juga
rasanya," gumam Sena ti-ba-tiba, menyentakkan semua orang yang ada di situ.
Tak terkecuali Mei Lie yang seketika membelalakkan matanya. Hal itu membuat
Pendekar Gila nyengir, lalu sambil garuk-garuk kepala melanjutkan, "Hi hi
hi... Kurasa, ada baiknya kita membicarakan masalah ini." "Justru
karena itulah, kami mengundang, Tuan Pendekar singgah di rumahku," sahut
Rapuji. "Bagaimana, Mei?" tanya Sena.
Mei Lie tak menyahut, hanya
menganggukangguk kepala tanda setuju.
"Baiklah kalau begitu.
Hm, hari hampir larut, kurasa kita harus secepatnya menyelesaikan pembicaraan.
Bagaimana kalau kita berpencarpencar?" tanya Sena.
"Maksudmu?" tanya
Mei Lie belum mengerti.
"Mungkin makhluk-makhluk
siluman itu malam ini akan kembali datang. Dan..., kurasa ada sesuatu di desa
ini. Bagaimana kalau kita menyelidikinya?" usul Pendekar Gila.
"Hm, aku setuju. Apa yang
sekiranya menurut Tuan Pendekar baik, aku setuju saja," jawab Rapuji.
Mei Lie kembali hanya
menganggukanggukkan kepala, menanggapi usul kekasihnya.
"Bagaimana dengan yang
lain?" tanya Sena.
"Kami setuju," sahut
warga yang berada di rumah Rapuji.
"Aha, bagus Kuminta
beberapa orang untuk meronda. Kalau kalian melihat makhluk itu datang lagi,
segera bunyikan kentongan sebanyak lima kali. Dengan begitu, aku dan Mei Lie
akan segera datang," ujar Sena memberi saran.
"Gagasan yang
bagus," puji Rapuji.
"Sementara yang lainnya,
tolong ikuti Ki Rapuji untuk memeriksa desa ini. Aku dan Mei Lie akan berada di
sebelah barat desa. Kita akan bertemu jika kita mendengar salah seorang membunyikan
kentongan" papar Sena menjelaskan.
"Baiklah, kalau begitu
malam ini juga kita mulai," kata Rapuji.
Setelah mengatur rencana
sebaik mungkin, mereka pun segera menjalankan keputusan itu.
Pendekar Gila dan Mei Lie
melesat ke arah barat.
Sedangkan Rapuji dan warga
desa berjalan ke timur. Lima orang warga nampak masih berada di rumah Rapuji
berjaga-jaga dengan kentongan siap di tangan.
"Tolong..." Baru
saja mereka berpencar, tiba-tiba terdengar suara jeritan.
"Tolong Gendruwo
Setan..." Seorang wanita muda menjerit-jerit sambil berlari ketakutan.
Mungkin karena takutnya, wanita cantik itu tak sadar kalau tubuhnya dalam keadaan
setengah telanjang. Hanya kain yang menutup bagian bawah tubuhnya. Mendengar suara
jeritan itu, Rapuji yang belum begitu jauh dari rumahnya langsung berbalik
arah, diikuti beberapa warga yang menyertainya. Begitu pula yang dilakukan
Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Ada apa, Sukarti?"
tanya Rapuji mendapa-ti anaknya nampak ketakutan.
"Ada setan, Ayah Setan
itu membawa pergi Kangmas Anggoro" ujar Roro Sukarti sambil menangis
ketakutan.
"Hah Anggoro, menantuku
diculik?" Rapuji tersentak, matanya membelalak tegang mendengar penuturan
anaknya.
Anggoro dan Roro Sukarti baru
saja menikah seminggu yang lalu. Kini tiba-tiba muncul mayat-mayat hidup
menculik Anggoro.
Semua belum hilang dari
kekagetan, tibatiba.... "Setan..." "Gendruwo..." Terdengar
teriakan-teriakan para penduduk sambil berlarian ketakutan.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak melihat para penduduk berteriak-teriak ketakutan.
Tingkahnya yang konyol,
membuat Mei Lie melotot. Hal itu menjadikan Sena langsung diam.
Meski begitu Pendekar Gila
tetap cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ada apa? Ada apa
ini?" tanya Rapuji kepada para warga.
"Rumah kami
dirampok" "Anak kami yang masih perjaka diculik" "Suami
saya dibawa. Padahal kami baru menikah bareng dengan Den Sukaiti," seorang
gadis muda berkulit kuning langsat dan manis menangis tersedu-sedu.
Rapuji semakin melongo
bengong. Dia tidak tahu harus berbuat apa menghadapi para warga beramai-ramai
melaporkan kejadian di rumah mereka. Lelaki setengah baya yang menjabat sebagai
Ketua Desa Tumpang setelah tewasnya Ki Lurah Kuswara itu tampak kebingungan.
Dirinya tak habis pikir untuk apa para lelaki muda diculik oleh makhluk-makhluk
aneh itu.
Belum tuntas Rapuji dan Pendekar Gila mendengar
keterangan dari para warga yang telah dilanda malapetaka itu, tiba-tiba datang
pula beberapa orang dari arah selatan. Mereka melaporkan baru saja mendengar
kejadian serupa di Desa Kaliwalang. Mendengar laporan itu, Rapuji disertai
Pendekar Gila, Mei Lie, dan para warga langsung berlari menuju Desa Kaliwalang
yang merupakan desa terdekat dengan Desa Tumpang.
"Ada apa, Ki
Rapuji...?" tanya Ki Lurah Rejasa menyambut Rapuji dan beberapa warga Desa
Tumpang.
Rapuji menceritakan semua yang
terjadi.
Hal itu menjadikan mata Ki
Lurah Rejasa membelalak. "Sama dengan kejadian kemarin," gumam Ki
Lurah Rejasa. "Aku heran, untuk apa lelaki-lelaki muda dan tampan dibawa
pergi? Kemudian keesokan harinya mereka telah menjadi mayat dengan keadaan
mengerikan sekali. Bukankah warga desa sini juga melihatnya?" Para warga
semua terdiam, tak ada yang berkata. Semua tengah berpikir, bertanya-tanya dalam
hati, apa sebenarnya yang terjadi di desa mereka ini. Dan apa yang dikehendaki
manusiamanusia siluman itu.
Hanya Pendekar Gila yang masih
tersenyum-senyum. Malah bersiul-siul. Wajahnya memandang ke langit yang
gemerlapan.
"Em... kalau aku boleh
tahu, apakah orang-orang yang diculik pernah melakukan sesuatu pelanggaran.
Berbuat jahat misalnya?" Mei Lie menyelidik. Gadis itu masih memegangi
Pedang Bidadari-nya yang mampu mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan.
Kedua pimpinan desa itu
terdiam, berusaha mengingat-ingat apa yang pernah dilakukan warganya yang
hilang diculik.
"Kami rasa tidak,"
sahut Rapuji.
"Tapi anehnya,
mayat-mayat hidup itu memilih para lelaki muda yang gagah dan berwajah
tampan...," sambut Ki Lurah Rejasa.
"Hm, aneh. Untuk apa
lelaki-lelaki itu?" gumam Mei Lie sambil memasukkan pedang ke dalam warangkanya.
Seketika suasana di sekitar tempat itu menjadi gelap gulita.
Warga desa baru tersentak
kaget. Mereka semua baru sadar kalau yang membuat suasana di tempat itu terang,
ternyata berasal dari pedang Mei Lie. Dengan mata terbelalak, mereka berde-cak
kagum. Tak henti-hentinya mereka memandang wajah Mei Lie, lalu beralih ke
Pendekar Gila yang masih acuh dan cengengesan.
"Kalau boleh kami tahu,
apakah kalian?" tanya Ki Lurah Rejasa pada Sena dan Mei Lie, dengan
menyipitkan kedua matanya.
Melihat Ki Lurah Rejasa dan
para warga Desa Kaliwalang tertegun keheranan terhadap Pendekar Gila dan Mei
Lie, Rapuji tampak tersenyum. Lalu menoleh ke arah kedua pendekar muda itu.
"Mereka adalah Pendekar
Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa," ujar Rapuji memberitahukan.
Seketika Ki Lurah Kaliwalang
dan warganya tersentak kaget. Mereka memang sering mendengar nama keduanya,
tapi baru kali ini melihat orangnya.
"O, terimalah salam
hormat kami" Ki Lurah Rejasa langsung menjura hormat di hadapan Pendekar
Gila dan Mei Lie. Begitu pun para warga Desa Kaliwalang, mereka membungkuk
memberi hormat tanpa diperintah.
"Aha, sudahlah Tak perlu
kalian berlaku begitu Yang penting sekarang bagaimana kita berusaha mencari
kesepuluh penduduk yang hilang," kata Sena mengalihkan pada masalah pokok
Semua terdiam, tak seorang pun yang dapat menjawab pertanyaan itu. Mereka tak
tahu dari mana manusia-manusia siluman itu muncul.
Apalagi untuk mengetahui di mana
markas mereka berada.
"Bagaimana kalau kita
mencarinya di sekeliling desa?" tanya Mei Lie menyarankan.
"Setuju saja Tapi, apakah
mungkin berada di sekitar desa ini?" tanya
Ki Lurah Rejasa.
"Mengenai itu aku tak
tahu. Yang pasti, kita harus berusaha mencarinya," tukas Mei Lie.
"Aha, benar juga
pendapatmu, Mei Lie.
Nah, bagaimana?" sambung
Pendekar Gila.
""Kalau begitu,
sebaiknya memang segera bertindak," tambah Rapuji.
"Aha, tidakkah kita harus
memakai obor? Siapkanlah obor," kata Pendekar Gila.
Para penduduk bergegas mencari
obor.
Kemudian setelah semuanya
selesai, mereka pun dipecah menjadi empat bagian. Masing-masing bergerak ke
utara, timur, selatan, dan barat. Suasana di dua desa itu seketika menjadi
ramai. Di sana-sini obor menyala, menerangi suasana gelapnya malam. Suara
kentongan pun sahutmenyahut, semakin membuat suasana kedua desa bertambah riuh.
Namun setelah seluruh pelosok
desa dikelilingi, tidak juga mereka menemukan tanda-tanda adanya tempat yang
mencurigakan. Hal itu menjadikan semuanya terheran-heran dan bingung, harus
bagaimana lagi untuk dapat menemukan beberapa warga desa yang hilang.
"Hhh..., bagaikan mencari
jejak di dalam air. Tak mudah bagi orang-orang macam kita memburu makhluk
siluman yang tak meninggalkan jejak," gumam salah seorang warga Desa Tumpang.
"Hi hi hi... Lucu sekali.
Kita seperti main petak umpet dengan para siluman," gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
Mei Lie menyapukan
pandangannya ke sekeliling tempat mereka berada. Namun sama seperti para warga,
tak menemukan tanda-tanda kalau di tempat itu ada yang mencurigakan. Sementara
malam kian larut. Namun di sana-sini masih terdengar suara kentongan dipukul
oleh para warga yang masih bersemangat mencari.
Dan tiba-tiba....
"Ingat Pendekar Gila dan
kau Bidadari Penyabut Nyawa Kalian telah ikut campur dalam urusan ini Kalian
akan menyesal..." Terdengar suara keras dan berkumandang mengancam
Pendekar Gila dan Mei Lie. Suara itu seolah-olah berasal dari langit. Dan dari
jenis suaranya, ancaman itu sepertinya diucapkan oleh seorang wanita.
Orang-orang tersentak kaget
mendengar suara tanpa wujud pemiliknya. Mereka kebingungan mencari-cari suara
itu dengan mendongakkan kepala ke langit yang hanya tampak gelap gulita.
Sementara itu, Pendekar Gila justru tertawa terbahak-bahak, sepertinya tak
takut sama sekali dengan ancaman yang baru saja didengarnya. Bahkan dengan
suara lantang Sena balas, "Ha ha ha... Siluman jelek Jangan kira aku takut
menghadapimu Ayo, keluarlah Biar kujitak pan-tatmu Hua ha ha..." tubuh
Sena turut bergetar, karena tawanya yang terpingkal-pingkal. Kemudian dengan
konyol Pendekar Gila menunggingkan pantat ke atas sambil berseru, "Nih,
kentut busukku Bruut.." Pendekar Gila kembali tertawa-tawa sambil berjingkrakan
tak ubahnya seperti monyet. Hal itu menjadikan semua penduduk yang ada di tempat
itu terbengong-bengong. Heran bercampur kagum atas keberanian Pendekar Gila.
"Kurang ajar Tunggulah
saatnya nanti, Bocah Gila" suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih
kuat dan menggelegar, seakan diucapkan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat.
"Hua ha ha Lucu sekali
kau, Siluman Seharusnya akulah yang mengancammu. Karena kau telah berani
melanggar ketentuan Hyang Widhi. Kau telah berani melanggar garis alam" dengus
Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Lalu setelah berjingkrak-jingkrak kembali,
ditunggingan pantatnya, "Nih kentutku. Brutt..." Suasana tegang yang
menyelimuti warga desa, seketika berubah oleh tingkah laku Pendekar Gila yang
konyol dan lucu.
Wuuss...
Tiba-tiba angin bertiup
kencang laksana badai, menjadikan semua warga desa tersentak kaget. Angin besar
itu datang dari arah selatan.
"Aha, rupanya kau mau
bercanda denganku, Siluman Jelek? Baik. Ayo, kita main-main petak umpet"
Sena melangkah mundur, tangannya bergerak memerintahkan pada semua warga agar bertiarap.
"Kalian mundur semua Mei Lie, jaga mereka" "Baiklah, Kakang...."
Setelah para penduduk mundur, Sena segera menyatukan telapak tangan di depan
dada, kemudian diangkatnya lurus ke atas kepala. Lalu digerakkan melebar ke
samping. Dan setelah menarik napas dalam-dalam...
"’Inti Bayu’.
Hea..." diiringi teriakan keras, dihempaskan tenaga dalamnya lewat kedua
telapak tangan. Seketika itu pula serangkum angin dahsyat laksana prahara
menderu kencang. Angin 'Inti Bayu' bergerak kencang, menerjang angin badai yang
entah dari mana datangnya.
Wss Jlegar Ledakan dahsyat pun
terdengar, ketika dua angin besar laksana badai saling bertabrakan di udara.
Akibat dari ledakan menggelegar itu, tanah di bawahnya hancur berhamburan,
hingga membentuk sebuah lubang besar dan dalam.
Sesaat kemudian suasana
kembali sepi, tak terdengar suara angin maupun ancaman.
"Hm," gumam Sena tak
jelas. Kepalanya mendongak melihat ke atas, tempat suara ancaman tadi
terdengar. "Malam ini, kurasa dia agak sedikit kapok" Namun tiba-tiba
Sena sangat terkejut, ketika dilihatnya di antara kerumunan penduduk tak tampak
Mei Lie. Sena menggaruk-garuk kepala.
"Mei Lie? Kau lihat Mei
Lie, Ki Rapuji...?" tanya Sena pada Rapuji. Matanya terus mencaricari Mei
Lie.
Srak Wess Sesosok bayangan
merah berkelebat cepat membopong sosok tubuh berpakaian putih. "Mei
Lie?" Sena tersentak kaget melihat sosok bayangan itu membawa kekasihnya.
Pendekar Gila cepat
mengejarnya. Namun sosok yang membawa Mei Lie sudah menghilang.
Pemuda itu nampak cemas dan
menggaruk-garuk kepala. "Bodoh sekali aku ini" gumam Pendekar Gila
kesal.
3
Sesosok bayangan kemerahan
melesat begitu cepat menembus kegelapan malam. Bagaikan tak menghiraukan
dinginnya hawa yang menusuk ke tulang sumsum, sosok bayangan yang ternyata seorang
lelaki tua itu terus berkelebat. Di pundaknya tampak sesosok tubuh wanita
berpakaian putih, terkulai lemas seperti mati. Lesatan cepat yang dilakukan
lelaki tua berjubah merah itu menandakan bahwa ilmunya tak dapat dianggap remeh.
Gerakannya yang secepat kilat tak dapat dilihat mata biasa.
Lelaki tua bercambang panjang
dan lebat itu tiba-tiba menghentikan langkahnya. Matanya yang tajam menatap
liar ke sekeliling tempat itu.
Kini jelas, sosok berpakaian
putih yang dipanggulnya tak lain Mei Lie. Kekasih Pendekar Gila.
Rupanya sewaktu Pendekar Gila
tengah mengerahkan ajian 'Inti Bayu', menggempur serangan angin badai, lelaki
tua berjubah merah itu mendapatkan saat yang tepat untuk menotok Mei Lie. Mei
lie pun lengah dan tak menduga kalau ada orang yang tengah mengintainya.
"Ha ha ha... Aku akan
berkuasa Aku akan dapat menguasai Jawa Dwipa ini. Ha ha ha..." lelaki tua
itu tertawa terbahak-bahak. "Ternyata Pendekar Gila hanya seorang pendekar
bodoh..." kemudian tubuhnya melesat kembali meninggalkan tempat itu.
Lelaki itu berharap impiannya
untuk menguasai semua tokoh persilatan di Jawa Dwipa akan menjadi kenyataan. Ia
masih teringat wangsit yang diturunkan untuk dirinya. Wangsit itu mengatakan: "Siapa
yang dapat memperistri seorang gadis bergelar Bidadari Pencabut Nyawa atau
Titisan Dewi Kwan Im, maka kelak akan menjadi tokoh sakti. Selain itu akan
menguasai tanah Jawa Dwipa dan Andalas, serta menurunkan raja-raja di Pulau
Andalas".
Lelaki tua itu terus berlari
semakin cepat, seakan tak ingin ada orang lain melihatnya. Namun ketika
melintasi sebuah hutan kecil yang tak seberapa luas, tiba-tiba....
"Datuk Tambureh,
tunggu..." Lelaki berjubah merah darah tak menghiraukan seruan itu.
Hatinya sudah menduga siapa orang yang memanggilnya. Lelaki tua yang dipanggil
Datuk Tambureh itu terus berlari. Hal itu karena hatinya telah menaruh rasa
curiga terhadap tokoh-tokoh persilatan di Tanah Jawa.
Ternyata lelaki berjubah merah
yang bernama Datuk Tambureh inilah tokoh sesat yang akhir-akhir ini sering
membuat keonaran. Lelaki tua itu mampu membangunkan mayat-mayat orang jahat
dari dalam kubur. Demi tujuan dan cita-cita yang telah lama didambakannya.
Suatu wangsit telah turun atas
dirinya melalui Dewi Ratu Maksiat, yang juga ibu angkatnya.
Datuk Tambureh melakukan
penculikan terhadap para lelaki muda dan tampan untuk dipersembahkan kepada
ibunya yang menganut ilmu pembuat awet muda. Dengan bersetubuh dan meminum
darah para pemuda tampan Dewi Ratu Maksiat bisa terus awet muda.
"Datuk... Datuk Tambureh,
tunggu..." Orang itu kembali berseru sambil berlari mengejar lelaki tua
berjubah merah. Dalam sekejap saja, tubuh orang itu berkelebat cepat menyusul
Datuk Tambureh, bahkan tiba-tiba telah menghadangnya.
"Berhenti" "Apa
urusanmu, Orang Usil" bentak Datuk Tambureh geram.
Lelaki bercadar biru itu
tersenyum mengejek. "Datuk, rupanya kau pun menghendaki gadis itu. Hem,
aku pun jadi ingin merebutnya dari tanganmu." "Bedebah Jangan,
bermimpi" "Kenapa tidak, Datuk..." tiba-tiba terdengar suara
orang lain membentaknya, menjadikan sang Datuk tersentak kaget dan memalingkan
wajah ke arah suara bentakan itu.
"Hm... Rupanya kalian
bersekongkol hendak merebut gadis itu. Heh..., jangan kira kalian akan mampu
merebutnya. Langkahi dulu mayatku" "Begitu?" tanya orang yang
baru datang dengan sinis. Lelaki berpakaian serba hitam itu ternyata Bulus
Wulung yang telah mengejar Datuk Tambureh setelah mendengarkan keterangan dari
ketiga pengusung. Seperti Datuk Tambureh, kedua orang yang mengejarnya pun
telah mengira siapa adanya Putri Kumala Dewi yang menurut wangsit kelak akan
menurunkan raja-raja di Pulau Andalas. Karena berpegang pada wangsit itulah,
ketiga orang tersebut segera memburunya.
Kini putri tersebut berada di
tangan Datuk Tambureh, sehingga kedua orang pengejar itu pun mau tak mau harus
menghadang lelaki berjubah merah. "Ya, begitu, tak ada jalan lain,"
jawab Datuk Tambureh sinis.
"Hem, kita bertiga,"
gumam Bulus Wulung yang mengenakan pakaian serba hitam dengan kedok hitam.
"Tak apa. Yang penting
salah seorang di antara kita harus dapat menjadi pemenangnya," orang
bercadar biru menyarankan, "Bagaimana kalau kita langsung saling
menyerang?" "Tak mungkin. Pasti ada kecurangannya," sela Datuk
Tambureh.
"Kau rupanya takut,
Datuk" "Bedebah Jangan kira aku takut menghadapi kalian berdua. Ayo,
kalian maju bareng mengeroyokku Datuk Tambureh tak akan mundur menghadapi orang
macam kalian," habis berkata begitu, serta-merta Datuk Tambureh
mengibaskan tangannya. Dari kibasan tangan, keluar ratusan jarum berwarna ungu,
melesat ke arah kedua orang tersebut.
"Awas serangan"
pekik Bulus Wulung memperingatkan pada rekannya yang dengan segera berkelebat
sambil mengibaskan lengan bajunya. "Datuk edan Rupanya kau memang ingin
segera mampus" bentak orang bercadar biru. Napasnya mendengus bagaikan
memendam kekesalan yang hendak ditumpahkan pada Datuk Tambureh. "Terimalah
pembalasan dariku Hiat..." orang bercadar biru itu menghantamkan tangan kanannya
ke arah Datuk Tambureh. Sang Datuk terkesiap kaget, melihat larikan sinar putih
melesat dari telapak tangan lawan.
"Hah... Kaukah Barong
Culla?" Datuk Tambureh terkejut setelah tahu siapa adanya orang bercadar
biru itu. "Kenapa kau ikut campur dalam urusan ini, Barong Culla" "Hua
ha ha... Ternyata matamu belum begitu rabun, Datuk? Nah, bila sudah tahu siapa aku,
mestinya kau menyembah dan rela memberikan gadis itu, padaku...," kata
lelaki bercadar biru yang ternyata bernama Barong Culla.
"Enak saja kau ngomong
Aku bersusahpayah menculiknya, tiba-tiba kau menginginkan hasil jerih
payahku?" bentak Datuk Tambureh.
"Walaupun namamu sudah
setinggi langit, Datuk Tambureh tak gentar sedikit pun menghadapimu.
Apalagi menghadapi Bulus
Wulung kere macam temanmu itu" "Setan Rupanya kau memang harus kuhajar"
bentak Bulus Wulung marah, karena ucapan Datuk Tambureh dirasakan sangat
menganggap remeh dirinya. Betapapun Bulus Wulung merupakan anggota Panca
Leluhur Sakti yang tidak dapat dipandang remeh. Mendengar ucapan Datuk
Tambureh, darahnya seketika mendidih.
"Jangan sombong, Datuk
Kalau kau memang jantan, hadapilah aku" Sang Datuk yang telah siap-siap
akan menghadapi dua orang sekaligus, tak mau kalah berkata lantang.
"Majulah kalian berdua sekaligus, jangan tanggung-tanggung Biar lebih
cepat selesai" Tak dapat lagi dibayangkan kemarahan dua orang tokoh dari
Pulau Jawa dengan ejekan lawan. Serta-merta keduanya berkelebat menyerang Datuk
Tambureh. Serangan kedua tokoh persilatan yang berbeda perguruan itu tampak begitu
kompak. Keduanya berganti-ganti melancarkan serangan cepat. Namun begitu, sang
Datuk bagaikan tak merasa sedikit pun. Meskipun lelaki tua itu memanggul tubuh
Mei Lie, gerakannya tetap lincah.
Jurus demi jurus berlangsung
cepat. Ketiganya seperti tak mengenai lelah, saling gempur dengan jurus-jurus
yang mereka miliki. Entah berapa puluh jurus yang dikeluarkan. Karena begitu cepat
pertarungan yang mereka lakukan, ketiganya telah terlibat dalam pertarungan
sengit dengan jurus andalan masing-masing.
"Celaka" Datuk
Tambureh tersentak kaget, ketika menyadari dirinya kini telah sampai di tepi
jurang, terdesak oleh kedua lawan yang nampak makin beringas. "Kalau
begini terus-menerus, akulah yang akan kalah. Aku harus mencari ak-al." Bulus
Wulung dan Barong Culla kurang waspada memperhatikan gerak-gerik sang Datuk.
Keduanya terjebak oleh
serangan-serangan yang mereka lancarkan.
Melihat musuhnya mendesak ke
pinggir jurang, serta-merta Datuk Tambureh memekik keras. Lalu setelah berbuat
begitu, tiba-tiba tubuhnya melenting bersamaan dengan serangan yang dilancarkan
Bulus Wulung dan Barong Culla.
Tanpa dapat dihindari, kedua
orang bertutup muka itu meluncur deras ke jurang.
"Akh..." "Hua
ha ha... Terjunlah kalian Selamat berpisah, dan bahagialah kalian di akherat
sana" Setelah sesaat memandang ke dasar jurang, Datuk Tambureh dengan
masih tertawatawa berkelebat meninggalkan tempat itu dengan memanggul tubuh Mei
Lie.
Walau dalam keadaan tertotok,
saat itu ternyata Mei Lie telah siuman dari pingsannya.
Sehingga ia pun dapat
menyaksikan betapa kedua orang bercadar itu menemui ajalnya dengan tragis.
"Siapa sebenarnya orang ini? Sangat licik dan berilmu tinggi," tanya
Mei Lie dalam hati. Gadis itu merasa cemas, karena lelaki berjubah merah itu
merupakan orang bam dalam penglihatannya.
"Anak manis, kau akan
kubawa ke pulau tempatku tinggal. Di sana tak seperti di Jawa ini yang serba
keras. He he he..." Setelah berkata kepada Mei Lie yang masih dalam
keadaan tertotok, Datuk Tambureh melesat meninggalkan tempat itu.
Tak lama setelah Datuk Tambureh pergi, nampak
Pendekar Gila di dekat Jurang Wadas Parang. Wajahnya nampak murung, kakinya
terus melangkah menuju ke tepi jurang itu. Sesaat Sena berhenti. Berdiri sambil
memandang sekeliling tempat itu. Mulutnya cengar-cengir sendirian. Sedangkan
tangannya terus menggaruk-garuk kepala.
Mata Pendekar Gila tiba-tiba
membelalak, ketika melihat beberapa tapak kaki yang masih jelas membekas di
tanah agak basah.
"Ah, rupanya baru saja
ada pertarungan di sini," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Sena
segera menyelusuri jejak-jejak kaki itu. Hatinya merasa heran ketika mengetahui
bahwa telapak-telapak kaki itu ternyata membawanya ke tepi jurang. Seketika
mata Pendekar Gila semakin menyipit, tatkala dilihatnya jejak-jejak kaki itu
hilang tepat di bibir jurang.
"Tak salah" gumam
Sena sambil memandang ke dasar jurang yang nampak gelap gulita.
"Heh, benar" Sena
memekik setelah mena-jamkan pendengarnya.
Tiba-tiba terdengar suara
orang dari dalam jurang. Namun belum nampak orangnya. "Hai, Kisanak yang
berada di atas, dapatkah menolong kami?" "Hi hi hi... Ternyata di
bawah sana bukan hanya seorang," gumam Pendekar Gila sedikit kaget Sejenak
Pendekar Gila berpikir, akan ditolong atau tidak kedua orang itu. Sebab dia
belum tahu yang di dalam jurang itu orang jahat atau baik. Tampak tangannya
mulai menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
"Hai... Kawan yang di
atas, apakah kau tak mendengar seruan kami ini?" terdengar kembali seruan
seorang yang berada di bawah. Pendekar Gila kembali berpikir sambil
menggaruk-garuk kepala. "Aku harus menolong kedua orang di bawah sana.
Siapa tahu mereka bisa memberi keterangan padaku. Mungkin mereka melihat orang yang
membawa Mei Lie," kata Sena dalam hati.
Sesaat lamanya suasana kembali
sunyi, tak terdengar lagi teriakan orang dari dalam jurang. "Hai... Aku
akan menolongmu. Tap kalian harus mau menjawab pertanyaanku dengan
ju-jur...." Kedua orang di bawah jurang, Bulus Wulung dan Barong Culla
nampak saling pandang.
Keduanya terluka di bagian
kepala dan punggung.
"Apa yang akan kau
tanyakan, Kawan..?" seru Barong Culla sambil mendongak ke atas.
"Apa kalian tadi melihat
seseorang lewat di sini memanggul seorang wanita...?" Pendekar Gi-la
menengok ke bawah seakan-akan ingin melihat kedua orang itu. Namun suasana
gelap gulita dan kedalaman jurang membuatnya tak mampu melihat "Hah?"
gumam Bulus Wulung mengerutkan kening, "Yang dimaksud mungkin datuk keparat
itu..." "Ya. Sebaiknya kita beritahu saja, siapa tahu kita peralat
orang itu. Untuk menangkap Datuk Tambureh. Bagaimana?" usul Barong Culla
pada Bulus Wulung.
"Hai kalian yang di
bawah, kenapa diam? Maukah kalian? Atau ragu terhadapku..., baiklah aku
pergi..." seru Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tunggu... Kami setuju,
sekarang cepat tolong kami" seru Barong Culla.
"Hi hi hi... Lucu
orang-orang itu," gumam Pendekar Gila, "Baiklah, sebelum aku menolong
kalian, cepat jawab pertanyaanku tadi Nanti aku akan menolong kalian"
serunya kemudian.
"Hah?" gumam Bulus
Wulung sambil mengerutkan kening. Lalu menatap wajah Barong Culla,
"Bagaimana...?" "Apakah mulutmu bisa kami percaya?" tanya
Barong Culla.
"Ah ah ah Kalian ternyata
orang-orang yang terlalu banyak mulut Aku sudah tak ada waktu lagi, selamat
tinggal..." Selesai bicara begitu Pendekar Gila segera melesat pergi
meninggalkan jurang itu.
"Hai Kawan, tunggu"
seru Bulus Wulung dengan kesal dan cemas.
"Siapa orang di atas
tadi...? Kurang ajar..." dengus Barong Culla sambil memukul telapak
tangannya.
Barong Culla dan Bulus Wulung
orangorang yang memiliki ilmu tinggi. Dengan tenaga dalam atau ilmu merusak
tubuh, mereka dapat keluar dari jurang itu. Hanya saja keduanya mempunyai
maksud jahat pada Pendekar Gila.
Dan itu diketahui oleh Sena
yang mempunyai perasaan sangat peka.
4
Di kediaman Dewi Ratu Maksiat
malah sedang diadakan suatu pesta untuk menyambut keberhasilan Datuk Tambureh,
anak angkatnya Dewi Ratu Maksiat yang bernama Asri Srintil Arum. Ruangan cukup
luas di sebuah goa yang terletak di kaki Gunung Kelud, suasana tampak semarak.
Dewi Ratu Maksiat dikelilingi empat lelaki muda yang telah menjadi abdinya
sebagai pemuas nafsu. Pelampiasan nafsu kepada para lelaki muda itu merupakan
syarat utama untuk menciptakan ilmu kekebalan dan awet muda yang dimiliki Dewi
Ratu Maksiat "Hi hi hi... Putraku Tambureh, kau telah melaksanakan tugas
dengan baik, untuk ibumu...," kata Dewi Ratu Maksiat seraya tersenyum bangga.
Mata wanita cantik itu menatap lembut Datuk Tambureh. Pakaiannya yang tipis
terbuat dari sutera merah, hanya menutupi bagian dada dan bagian bawah sampai
perut.
"Terima kasih,
Bu...," sambut Datuk Tambureh sambil menundukkan kepalanya.
"Dan kau telah berhasil
menculik si Bidadari Pencabut Nyawa. Aku bangga mempunyai putra seperti kau. He
he he... Aku akan menguasai dunia ini. Dan putra angkatku, Datuk Tambureh akan
menjadi orang yang paling sakti dan ditakuti oleh tokoh-tokoh persilatan di
Jawa Dwipa ini. Hi hi hi..." ujar Dewi Ratu Maksiat diiringi tawanya yang
cekikikan. "Tapi ingat, kau harus segera pergi dari tanah Jawa Dwipa ini
Dan bawa gadis Cina itu ke Pulau Andalas" lanjutnya.
"Baik, Bu...," jawab
Datuk Tambureh patuh. "Tapi, bagaimana kalau Pendekar Gila mengetahui hal
ini...?" lelaki berjubah merah itu tak mampu menyembunyikan rasa cemasnya.
Sejenak Dewi Ratu Maksiat
mengerutkan kening, tak langsung menjawab pertanyaan Datuk Tambureh. Kemudian
ditariknya seorang lelaki yang ada di sisi kirinya, lalu memerintahkan agar
menciumi dada dan seluruh tubuhnya. Lelaki yang telah menjadi budak nafsu
wanita itu menyanggupi.
"Jangan pikirkan itu,
Tambureh Aku bisa mengatasi Pendekar Gila dengan caraku Apa kau lupa, aku
memiliki seribu cara dan tipu muslihat? Percayalah pada ilmu ini, Tambureh...
He he he.... Aaahhh" Dewi Ratu Maksiat lalu mendesah merasakan raba dan
ciuman lelaki yang menjadi budak nafsunya.
Datuk Tambureh hanya menghela
napas dan menggeleng kepala, melihat tingkah laku ibu angkatnya itu. Namun dia
bisa memaklumi, lalu tersenyum-senyum.
"Besok, pagi-pagi buta
kau harus segera berangkat, Tambureh. Mengerti?" kata Dewi Ratu Maksiat
sambil membuka penutup dadanya. Lalu didekapnya kepala lelaki yang menjadi
budak nafsunya ke dalam dadanya yang bagus dan agak besar itu.
Dewi Ratu Maksiat mendesah dan
merintih merasakan nikmatnya permainan itu.
Datuk Tambureh lalu melangkah
pergi meninggalkan ruangan itu dengan menggelenggelengkan kepala.
Ketika sampai di satu ruangan
lain. Datuk Tambureh nampak seperti memikirkan sesuatu.
Dia mondar-mandir di ruangan
yang nampak sepi dan gelap itu.
"Kenapa aku mesti pergi
ke Pulau Andalas? Tidak Aku tak mau dikatakan oleh Pendekar Gila sebagai
pengecut, karena telah melarikan kekasihnya. Tidak" sentak Datuk Tambureh
lirih, seolah bicara pada diri sendiri.
Kembali Datuk Tambureh
berpikir sambil memegangi keningnya. Sejenak dia memandang ke sebuah pintu
ruangan yang ada di sebelah kirinya. "Tapi, kalau ibuku tahu aku tak
berangkat, dia akan murka... Aku harus mencari akal. Aku tak ingin kembali ke
Pulau Andalas, sebelum bisa menuntaskan urusanku dengan Pendekar Gila.
Aku akan berterus terang pada
Pendekar Gila, bahwa aku mencintai kekasihnya dan akan mengawininya," kata
Datuk Tambureh dalam hati.
Setelah berkata begitu, Datuk
Tambureh melangkah menuju kamar itu dan masuk. Lalu buru-buru ditutup pintunya.
Di dalam kamar itu ternyata
ada seorang gadis berpakaian silat warna putih dengan rambut panjang. Matanya
yang bening dan bulu mata lentik. Wajahnya yang pucat, menatap sinis Datuk
Tambureh yang memandangnya.
"Kenapa kau memandangku
demikian rupa...? Kau benci padaku, Nini Mei Lie?" tanya Datuk Tambureh
dengan suara berat "Huh..." gumam Mei Lie, lalu melengos.
"Heh he he... Kau tambah
cantik kalau cemberut Nini Mei Lie. Aku suka...," kata Datuk Tambureh
sambil melangkah mendekati Mei Lie yang membelakanginya. Lalu Datuk Tambureh memegangi
bahu kanan gadis itu. Namun dengan cepat Mei Lie menepiskan tangan Datuk Tambureh,
lalu disusul dengan tamparan tangan kanannya. Plak Plak Datuk Tambureh hanya
senyum. Matanya menatap tajam wajah Mei Lie. Tatapannya seperti mengandung
hipnotis. Seketika Mei Lie terdiam, lalu kembali melengos, membuang muka. Si Bidadari
Pencabut Nyawa itu takut jika menatap terus mata lelaki tua itu, dia akan
terkena ilmu si-hirnya. "Kalau kau memang merasa paling jago, kembalikan
pedangku Dan kita adu ilmu..." kata Mei Lie dengan nada penuh emosi.
"Ha ha ha.... Hebat Aku
paling suka dengan wanita seperti kamu ini. Tak salah kalau Pendekar Gila
memilihmu, Anak Manis. Ha ha ha... Asal kau tahu saja, keinginanmu tak akan pernah
terpenuhi. Dan perlu kau ingat, Pendekar Gila umurnya tak akan lama. Aku akan
menghancurkannya... Ha ha ha..." kata Datuk Tambureh memanas-manasi Mei
Lie.
Lalu Datuk Tambureh berbalik
dan melangkah pergi sambil tertawa-tawa. Mei Lie yang merasa diremehkan,
menjadi marah. Tanpa pikir panjang, kekasih Pendekar Gila itu, segera berbalik
lalu....
"Yeaaa...." Sambil
memekik keras Mei Lie melancarkan serangan. Namun Datuk Tambureh bukan orang
biasa. Serangan dengan menggunakan pukulan jarak jauh itu dapat dimentahkan,
karena Datuk Tambureh dengan cepat mengibaskan tangan kanan dan menghentakkan
ke arah Mei Lie, tanpa menoleh sedikit pun. Kibasan tangan kanan Datuk Tambureh
mengeluarkan angin kencang dan mengeluarkan hawa panas. Mei Lie tersentak
kaget. Dan seketika tubuh gadis itu terdorong ke belakang dan jatuh membentur
dinding. "Ukh..." Mei Lie memekik tertahan.
"Kuperingatkan, jangan
kau ulangi tindakanmu ini Aku bisa membunuhmu. Tapi itu tak akan aku lakukan.
Karena sebentar lagi kau akan menjadi istriku..." tutur Datuk Tambureh
bangga. Lalu kembali tertawa terbahak-bahak dan keluar dari kamar itu.
Kembali kepada Dewi Ratu Maksiat yang sedang
bercumbu dengan para budak pemuas nafsunya di atas pembaringan. Desah dan rintihan
terus terdengar. Dewi Ratu Maksiat yang mempunyai kekuatan iblis sanggup
melayani tiga sampai lima lelaki sekaligus. Semua itu dilakukan demi umurnya
yang mampu mempertahankan usia mudanya.
"Oooh.... Aaah...
benar-benar nikmat..," desah Dewi Ratu Maksiat Seluruh tubuhnya sudah basah
kuyup bagai disiram dengan air.
Lalu, Dewi Ratu Maksiat
beranjak bangun, seraya menggapai kain sutera warna kuning untuk menutupi
tubuhnya yang tanpa pakaian. Begitu indah dan menggairahkan tubuh wanita yang sebenarnya
sudah berumur hampir sembilan puluh tahun itu.
Dewi Ratu Maksiat kemudian
bertepuk tangan. Sesaat kemudian muncul seorang wanita muda berambut panjang
terurai. Dengan pakaian bagian atas hanya berupa kemben, kain penutup bagian
dada. Dan kain sarung lurik pula warna coklat. Wajah wanita itu cukup cantik "Ada
tugas apa untuk hamba, Tuan Putri..?" tanya wanita muda itu sambil menjura.
"Aku kali ini memberi
tugas untuk melenyapkan Pendekar Gila. Untuk itu aku perlu merubah wajahmu.
Agar Pendekar Gila kebingungan. Ingat, bila kau merasa sukar untuk melakukannya,
pakai cara yang biasa kita lakukan. Lelaki tak akan kuat jiwanya, jika kita
terus mendesak dan membangkitkan kelakiannya. Tak terkecuali dengan Pendekar
Gila. Sama saja Ha ha ha... hi hi hi... Sekarang ikut aku ke ruang semadi. Ayo,
cepat" kata Dewi Ratu Maksiat "Baiklah, Tuan Putri...," jawab
wanita itu sambil menjura. Lalu melangkah mengikuti Dewi Ratu Maksiat menuju
sebuah ruangan. Keduanya sampai di sebuah pintu yang terbuat dari batu gunung.
Dewi Ratu Maksiat menempelkan
telapak tangannya ke batu itu, seketika pintu itu terbuka sendiri. Wanita
cantik itu melangkah masuk diikuti anak buahnya tadi. Pintu tertutup kembali.
Di dalam ruangan yang penuh
dengan asap dupa dan kemenyan nampak menyeramkan.
Hanya diterangi dua obor yang
tergantung di dinding batu itu. Di tengah ruangan ada sebuah batu besar,
berbentuk bundar dan datar. Di depannya ada sebuah cawan berukuran besar, berisi
tulang-tulang manusia dan darah. Air dalam cawan raksasa itu mendidih.
Dewi Ratu Maksiat kemudian
membaca mantera, setelah duduk bersila di atas batu itu.
Kedua tangannya diangkat ke
atas kepalanya sambil menengadah.
Sedangkan wanita muda tadi
duduk di seberang cawan raksasa itu. Juga bersila sambil menatap Dewi Ratu
Maksiat. Beberapa saat kemudian, Dewi Ratu Maksiat berdiri mendekati wanita
muda itu. Lalu telapak tangannya ditaruh di atas kepala wanita itu. Seketika
tubuh wanita itu berasap. Kemudian Dewi Ratu Maksiat melepas telapak tangannya
dari atas kepala wanita itu. Seperti kena hipnotis, wanita muda itu berdi-ri,
lalu membuka seluruh pakaiannya, hingga polos. Lalu melangkah dan menceburkan
diri ke dalam cawan besar. Tubuhnya terus direndam di dalam cawan raksasa itu.
Aneh, tak sedikit pun kulitnya terkupas oleh air yang mendidih itu. Malah
perlahan-lahan wajahnya berubah, menjadi Mei Lie.
Kemudian, wanita yang kini
berubah menjadi Mei Lie, melompat turun dari cawan raksasa itu. "Ha ha
ha... Kali ini akan kupermainkan Pendekar Gila. Ha ha ha... Hi hi hi... Jika
Pendekar Gila mampus, datuk putraku akan menjadi orang yang paling disegani di
rimba persilatan"
"Ha ha ha... hi hi hi... Kali ini
Pendekar Gi-la tak akan bisa menaklukkanku. Aku akan permainkan pendekar tampan
itu. Dan sudah lama aku menginginkan keperkasaannya, untuk memuaskanku
sepanjang malam. Hi hi hi..." Dewi Ratu Maksiat terus tertawa-tawa.
Wanita yang deh kalangan tokoh
persilatan juga dijuluki Wanita Iblis dari Andalas itu tampaknya benar-benar
yakin akan mampu memperdaya Pendekar Gila.
Lalu Dewi Ratu Maksiat,
menarik lengan wanita jelmaan itu merapat ke tubuhnya. Dipeluknya erat-erat,
hingga menyatu benar dengan tubuh Dewi Ratu Maksiat. Hal itu dimaksudkan untuk
memberi kekuatan tenaga dalam pada wanita yang menjadi abdinya. Mendadak tubuh
Mei Lie samaran itu berasap, ketika Dewi Ratu Maksiat mendekapnya rapat-rapat "Kau
akan kuat dan memiliki ilmu silat yang sama sepertiku, Cah Ayu. Hi hi hi....
Jangan sampai gagal, jangan ceroboh Kalau gagal, nya-wamu sebagai pengganti
darah Pendekar Gila" suara Dewi Ratu Maksiat terdengar mendesis, bagai
suara roh halus. Kemudian perlahan-lahan wanita iblis itu melepaskan
pelukannya. Lalu mengusap-usap lembut buah dada wanita mirip Mei Lie itu.
"Kau memiliki dada yang
bagus, seperti aku pula, Cah Ayu..., hi hi hi.... Aku berhasil mengubah dirimu dengan
sempurna...," gumam Dewi Ratu Maksiat lirih.
Kemudian si Wanita Iblis dari
Andalas itu melangkah ke satu sudut. Dia mendekati sebuah peti besar berukiran
indah. Dibukanya kotak kuno terbuat dari kayu jati itu. Di dalamnya ada
sepasang pakaian silat warna kuning, dengan penutup wajah juga kuning. Dewi
Ratu Maksiat segera mengambilnya, dan membawa ke tempat wanita mirip Mei Lie
yang masih dalam keadaan tanpa pakaian.
"Pakai ini Pakaian ini
pernah kupakai sewaktu aku seumurmu. Ketika aku masih tinggal di Pulau
Andalas," ujar Dewi Ratu Maksiat, sambil memberikan pakaian itu pada Mei
Lie samaran. Wanita itu menerimanya, "Cepat kau pakai..." Lalu Dewi
Ratu Maksiat melangkah ke tempat batu besar, tempat duduknya. Dia duduk dengan
bersila. Lalu menarik napas panjang sambil mengawasi wanita abdinya yang sedang
memakai pakaian keramat tadi.
"Aku akan puas dan baru
ingin mati tenang, jika semua rencanaku berhasil. Jauh-jauh aku datang dari
Pulau Andalas kemari, demi citacita anak angkatku, Datuk Tambureh untuk mempersunting
si Bidadari Pencabut Nyawa itu.
Dia akan dapat menjadi orang
yang berilmu tinggi, menurut wangsit yang kuterima dari arwah guruku,"
kata Dewi Ratu Maksiat dalam hati. Matanya terus memandangi wanita abdinya yang
telah selesai memakai pakaian serba kuning itu.
"Kematian suamiku karena
Singo Edan.
Dan orang tua gila itu kini
telah pergi entah ke mana. Jadi aku harus membalas dendam pada muridnya. Ha ha
ha..." Sementara itu Pendekar Gila yang sudah dua hari mencari belum juga
menemukan Mei Lie.
Pemuda tampan itu tampak
sangat cemas dan kesal. Dia terus menggaruk-garuk kepala sambil sebentar-sebentar
menghentakkan kaki kanannya ke tanah dengan keras, menumpahkan rasa kekesalannya.
Pendekar Gila terus
menyelusuri jalan setapak di pinggiran sungai. "Bodoh... Benar-benar orang
goblok aku ini" gerutunya terus sambil memukuli keningnya. "Aku yakin
orang yang menculik Mei Lie itu mempunyai ilmu yang cukup tinggi," gumam
Sena yang nampak murung itu.
Langkahnya dipercepat,
terkadang pelan.
Nampak sekali pikirannya
sedang kacau. Namun dia masih dapat menguasai diri.
Tiba-tiba dia menghentikan
langkahnya.
Memandangi sekeliling tempat
itu. Sejenak dia berpikir sambil memegangi keningnya.
"Sebaiknya aku mampir di
Kadipaten Galih Marta. Siapa tahu orang-orang kadipaten bisa memberikan
keterangan padaku tentang Mei Lie," kata Sena dalam hati.
Selesai berkata begitu, Sena
segera menyeberangi sungai dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai
tingkat tinggi. Hingga dia
bisa menotol-notol di atas per-mukaan air dengan tenang. Benar-benar ilmu yang
sangat luar biasa hebatnya.
Dalam sekejap Sena sudah
sampai di seberang. Pemuda itu menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir.
Lalu dia melongok ke atas. Dilihatnya matahari sudah mulai condong ke barat Maka
Sena menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', melesat bagaikan anak panas lepas dari
busurnya.
Begitu cepat, hingga yang
nampak hanya bayangan hitam berkelebat cepat bagaikan angin.
Namun larinya tiba-tiba
terhenti, ketika terdengar suara orang menegur dengan kasar.
Sena cengengesan ketika melihat
di depan telah berdiri dua orang lelaki menghadangnya. Keduanya bertolak
pinggang dengan sikap angkuh.
"Aha, ada apa kiranya
kalian menghentikan aku...?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Tingkah lakunya yang seperti orang gila, membuat orang yang ada di depannya
bertanyatanya siapa pemuda tampan berbaju rompi kulit ular itu.
"Hm.... Mungkinkah pemuda
gila ini yang berjuluk Pendekar Gila dari Goa Setan...?" tanya orang yang
bermuka bulat dengan hidung besar.
"Ya. Dari tingkah lakunya
mungkin dia si Pendekar Gila itu, Kakang Barong Culla," bisik Bulus Wulung.
"Hai...? Kenapa kalian
berdua diam?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk
pantatnya.
"Mungkinkah dia Pendekar
Gila?" tanya Barong Culla dalam hati mencoba menebak. Dirinya memang
sering mendengar nama Pendekar Gila. Tapi melihatnya belum pernah.
"Kalian berdua rupanya
orang-orang bisu...
Kalau begitu aku akan
melanjutkan perjalanan.
Permisi..." kata Sena
sambil cengar-cengir lalu mulai melangkah.
"Hei... Tunggu, Kawan...
Kalau tidak salah, kau Pendekar Gila yang kesohor itu...?" pancing Barong
Culla dengan menatap tajam ke arah Sena yang terpaksa menghentikan langkahnya.
Lalu berbalik badan sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... lucu sekali
Kalian ini mau apa? Kalau memang aku orang yang kau sebut, lantas kalian mau
apa?" tanya Sena cengengesan.
Barong Culla dan Bulus Wulung
saling pandang, lalu saling menganggukkan kepala, kemudian tertawa-tawa.
"Begini, Kawan. Tiga hari
lalu kami berdua bentrok dengan seorang lelaki tua berjubah merah. Kami kalah
dan terperosok ke dalam jurang...," tutur Barong Culla menerangkan.
"Hah?" gumam Sena
sambil menggarukgaruk kepala, "Jadi kalian ini yang ada di dalam Jurang
Wadas Parang itu...?" tanya Sena.
"Bagaimana kau bisa
tahu?" tanya Bulus Wulung mengerutkan kening.
"Hi hi hi... Akulah orang
yang tak jadi menolong kalian. Karena aku yakin dan tahu, bahwa kalian
orang-orang yang berilmu tinggi. Sebab kalau tidak, kalian sudah mati
terperosok ke jurang seperti itu. Apalagi orang yang berjubah merah itu pasti
ilmunya lebih tinggi dari kalian berdua," ka-ta Sena sambil cengengesan.
"Oooh Jadi kaulah yang
meninggalkan kami kemarin itu. Bagus sekarang aku mau tanya, kenapa kau juga
mencari orang berjubah merah itu...?" selidik Barong Culla dengan
menyipitkan sebelah matanya. Kemudian melirik ke Bulus Wulung sejenak, lalu
kembali menatap Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Mungkin tak
jauh berbeda dengan kalian berdua. Hanya saja, aku lebih berduka dari
kalian," sahut Sena kalem, kemudian kembali menggaruk-garuk kepala.
"Apakah ada hubungannya
dengan gadis yang dibawanya itu?" pancing Barong Culla lagi.
Makin yakin kalau orang yang
dihadapi adalah Pendekar Gila, murid Singo Edan.
"Ah, sudahlah. Aku tak
ada urusan dengan kalian. Aku mau pergi," ucap Sena lalu berbalik badan
hendak pergi.
"Hai Tunggu... Aku
mungkin bisa bekerja sama untuk menangkap orang yang membawa gadismu
itu..." seru Barong Culla.
Sena mengerutkan kening,
berpikir sejenak. Lalu berbalik dan mendekati kedua lelaki itu. "Hi hi
hi... bagus Hm... tapi aku masih belum perlu bantuanmu, Kawan. Maaf aku tak ada
lagi waktu untuk bicara pada kalian" Sena melesat meninggalkan Barong
Culla dan Bulus Wulung. Kedua orang itu hanya bisa ternganga, merasa kagum
melihat kehebatan ilmu meringankan tubuh Pendekar Gila yang melesat bagaikan
angin. Sehingga dalam sekejap saja telah hilang dari pandangan.
"Edan... Benar-benar
pemuda gila Kenapa kita tidak langsung menantangnya tadi...?" tukas Barong
Culla kesal dan geram.
"Bagaimana mungkin...?
Dia bukan pendekar sembarangan. Dia dapat membaca pikiran kita. Jadi apa yang
kita ingin lakukan, dia sudah tahu terlebih dahulu," sahut Bulus Wulung
mengingatkan Barong Culla.
"Benar. Tapi kalau tadi
berhasil membujuk Pendekar Gila itu, kita akan bisa lebih cepat menaklukkan
Datuk Tambureh. Dan setelah itu, kita bawa pergi gadis Cina itu..." ujar
Barong Culla mengkhayal.
"Ah, sudahlah Kau jangan
berkhayal. Sebaiknya kita Cepat pergi dari tempat ini. Kita cari datuk keparat
itu..." ajak Bulus Wulung.
Keduanya lalu segera pergi ke
barat, arah yang dituju Pendekar Gila.
5
Datuk Tambureh yang telah
menguasai Mei Lie, nampak merasa gembira dan puas. Lelaki tua itu terus
berusaha merayu Mei Lie agar mau menjadi istrinya. Karena sesuai dengan
wangsit, bahwa siapa saja yang dapat memperistri Bidadari Pencabut Nyawa kelak
keturunannya akan menjadi raja penguasa tanah Andalas. Sudah beberapa kali sang
Datuk berusaha mempengaruhi Mei lie. Berbagai macam cara, atau ilmu hitam yang
ia miliki digunakan, tapi ternyata tak ada yang mempan sedikit pun. Karena
telah berusaha sekian lama tak mendapatkan hasil, sang Datuk hampir putus asa,
kalau pembantu setianya yang bernama Datuk Balino, tidak terus memberi semangat
"Jangan Tuan putus asa dulu, sebab bukan tak mungkin nantinya Tuanlah yang
akan mendapatkan anugerah tersebut," kata Datuk Balino memberi saran,
manakala didengarnya keluhan Datuk Tambureh, yang seperti putus asa.
"Tapi aku sudah berusaha,
Balino. Dan nyatanya, ah.... Semuanya hanya impian," keluh Datuk Tambureh.
"Bukan hanya sekali aku mencoba mempengaruhi dia, tap semuanya tak ada yang
dapat menggoyahkan tekadnya. Apakah tak lebih baik aku perkosa saja?" Tersentak
kaget Datuk Balino mendengar ucapan tuannya. Dia tak menyangka kalau tuannya
yang sangat kokoh dan ulet akan cepat putus asa. Memperkosa, berarti hubungan
yang tak selaras. Hal itu bukan tak mungkin justru akan menimbulkan sebuah
tekanan jiwa, yang nantinya berkait dengan dendam.
"Ah, mengapa Tuan begitu
cepat putus asa?" tanya Datuk Balino tercenung. "Memperkosa itu tidak
baik, Tuan." "Alasannya...?" "Maaf, hamba mungkin dalam hal
ini terlalu lancang. Sekiranya hamba yang bodoh ini dianggap sok pintar,
terlebih dahulu hamba kembali minta maaf." "Hem, katakanlah Bagiku
kau sama saja dengan diriku. Kau adalah pembantuku yang setia, yang selalu
memberikan saran-saran yang baik. Kejayaanku sebagai datuk, tak luput dari saran
yang kau berikan. Nah, katakanlah jangan kau ragu, Balino" Datuk Balino
sesaat terdiam. Kepalanya tertunduk sambil menarik napas panjang. Sesaat kemudian
ditengadahkan wajahnya, memandang pada tuannya yang menyiratkan rasa ketidakmengertian.
Setelah kembali menunduk Datuk Balino pun akhirnya membuka suara, berkata.
"Menurut hamba yang telah
tua, perkosaan itu tindakan tercela bagi diri kita. Pertama, kita akan
menanggung beban mental yang berlarut-larut, kalau sampai orang yang diperkosa
nanti membalas dendam. Kedua, hubungan kita dengan yang diperkosa dapat
menimbulkan suatu pertumpahan darah." "Ah, apa mungkin nanti
keturunan ku berani melawanku?" Datuk Tambureh mengelak seakan tak yakin
akan segala ucapan Datuk Balino. "Tak akan berani anak dengan orang
tua" "Itu pendapat Tuan. Tapi perlu Tuan ingat, bukankah anak akan
lebih dekat dengan sang Ibu?" Terangguk-angguk kepala Datuk Tambureh
mendengar keterangan pembantunya. Dirasakan-nya segala petuah Datuk Balino memang
benar adanya. Tapi dirinya juga telah berusaha untuk dapat menggugah hati si
Bidadari Pencabut Nyawa, dan ternyata segalanya tak membawa hasil.
Kalau niatnya untuk memperkosa
gadis Cina itu dilakukan, ia juga takut kalau-kalau segala ucapan Datuk Balino
akan menjadi kenyataan.
Lama Datuk Tambureh terdiam
membisu, angannya melayang pada khayalan untuk dapat menjadikan dirinya orang
yang terhormat. Orang yang bakal menurunkan raja-raja di Pulau Andalas. Hatinya
bimbang, takut kalau lama-kelamaan ada orang lain yang berilmu tinggi lebih
tinggi darinya dapat merebut Mei Lie. Apakah itu tidak mungkin terjadi? "Hem,
sungguh aku penakut. Biarlah aku mati nantinya, asalkan margakulah yang bakal menjadikan
namaku terhormat. Bukankah margaku kelak yang menjadi raja? Hh..., persetan dengan
segala balas dendam Bagiku yang utama, aku berhasil mendapatkan wanita yang
kelak bakal menurunkan raja-raja," gumam hati Datuk Tambureh.
"Baiklah, aku pura-pura menuruti apa yang dikatakan pembantuku." "Memang
benar apa yang kau katakan, Balino. Kini aku sadar, bahwa semestinya aku tak boleh
melakukan itu. Apakah kau dapat membantuku mencarikan seorang dukun yang dapat
memikat si Bidadari Pencabut Nyawa itu, Balino?" tanyanya kemudian.
Datuk Balino kembali terdiam,
pikirannya kini agak tenang. Sebenarnya di hati Datuk Balino ada rasa kasihan
melihat Mei Lie. Mei Lie itu begitu mengibakan hatinya. Gadis itu setiap hari hanya
melamun dan menangis. Makanan yang dihidangkan tak pernah disentuh, sehingga badannya
kurus kering. Pernah Datuk Balino mencoba bertanya bagaimana dengan diri Mei
Lie tersebut. Jawabannya sungguh mengejutkan, gadis Cina itu memilih lebih baik
mati daripada harus menjadi istri Datuk Tambureh yang jahat dan keji.
"Kenapa, Balino? Kenapa
kau terdiam melamun?" Tersentak Datuk Balino dari lamunannya, mendengar
pertanyaan Datuk Tambureh yang secara tiba-tiba itu.
"Am... ampun, hamba
tengah berpikir, bagaimana supaya segalanya dapat segera terselesaikan.
Baiklah, hari ini juga hamba akan berusaha mencarikan seorang dukun
pemikat" "Hua ha ha... Bagus, bagus. Kalau kelak aku mendapatkan
gadis Cina itu, maka kau akan aku beri hadiah yang cukup menarik. Kau akan kuberi
setengah dari kekuasaanku. Dan akan kujadikan Raja Datuk Balino,
bagaimana?" "Terima kasih atas segala yang bakal Tuan berikan. Tapi
untuk sekarang-sekarang ini, hamba lebih senang mengabdi pada Tuan Datuk Tambureh
yang terkenal sakti. Jiwa hamba tenang bila bersama Tuan, sebab hamba tahu
kesaktian Tuan tak dapat dianggap remeh...," berkata Datuk Balino dengan
nada menyanjung, menjadikan Datuk Tambureh kembali tertawa bangga.
Saking senangnya Datuk
Tambureh sampai-sampai melupakan apa yang sebenarnya harus ia lakukan. Hari itu
adalah hari yang sudah ditetapkan, seperti biasa Datuk Tambureh harus melakukan
semadi. Kalau semadi itu sampai ditinggalkan akan mengakibatkan berkurangnya ilmu
yang dimiliki. Bila sering melakukan kelalaian, tidak melaksanakan nyepi
seperti itu, bukan saja ilmu mempermuda usianya hilang, wajahnya pun akan berubah
kembali ke asalnya.
Tersentak Datuk Tambureh
ketika mengingat itu.
Serta-merta ia berlari
meninggalkan pembantunya yang hanya terbengong-bengong tak mengerti. Dengan
napas memburu dan keringat dingin bercucuran, Datuk Tambureh segera memusatkan
hati dan pikiran. Setelah sesaat hal itu dilakukan, dan keadaan menjadi hening
tiba-tiba....
"Auuummm...." Terdengar
suara auman seperti lolongan anjing hutan.
"Guru, ampunilah
kelalaian murid" gemetar Datuk Tambureh seperti ketakutan. Wajahnya yang
biasa tampak sadis, kini berubah pucat bagaikan tak berdarah setetes pun.
"Ampunilah kelalaian murid. Guru" kata-kata itu diulang, dan
diulangnya sampai beberapa kali.
Tak lama kemudian tampak
sesosok bayangan keluar dari balik dupa. Sosok bayangan itu ternyata tubuh
harimau besar dan tinggi. Harimau itu hampir sebesar kerbau, dengan mata lebar
dan gigi-giginya yang menyeringai menakutkan.
"Kenapa kau teledor Aku
lapar, aku lapar..." terdengar seruan dari mulut harimau itu.
Matanya yang besar menyorot
merah. Liurnya yang berbau terasa menusuk hidung. "Kau harus mencarikan
darah untukku, darah perawan" "Apakah tidak bisa ditunda. Guru?"
tanya Datuk Tambureh.
"Tidak Sekarang lakukan"
"Tapi hari masih siang, Guru?" keluh Datuk Tambureh.
Namun bagaikan tidak peduli,
harimau iblis itu menggeram, mengeluarkan aumannya yang bergemuruh dan
menggetarkan. "Jangan kau ingkar, Bureh Ingat perjanjian kita yang telah
kita lakukan Bukankah kau akan memberikan padaku sebaskom darah pada siang hari
menjelang purnama seperti ini...? Kenapa kau lupa? Apa darahmu yang harus
kuminum, hah" "Ampun, Guru Baiklah, murid akan mencarikannya. Murid
minta. Guru bersabar sesaat" jawab Datuk Tambureh menggeragap.
"Aku tunggu sebelum
matahari tenggelam" ucap harimau itu, sebelum menghilang meninggalkan
datuk yang kembali tersadar.
Dengan mengatur napasnya
sesaat dan mengucapkan mantera, Datuk Tambureh melakukan perubahan wujud,
seketika wujud sang Datuk berubah menjadi harimau hitam legam.
Tanpa menunggu-nunggu lagi
harimau hitam itu mengaum lalu berkelebat tinggalkan ruang semadi lewat lubang
di belakang.
Harimau siluman itu terus menyusup ke pekarangan
sebuah rumah di Desa Ngantap. Hidungnya digerak-gerakkan, sepertinya harimau siluman
itu tengah mencari-cari bau darah perawan. Kemudian melompat dengan tak
mengeluarkan suara sedikit pun.
Di dalam sebuah rumah bilik
tampak lampunya belum dimatikan, meskipun hari sudah larut malam dan sepi.
Terdengar dari dalam rumah itu suara tawa genit dari seorang gadis dan suara
seorang pemuda.
"Ayolah Srini, kakang
sudah tak tahan untuk menunggu lebih lama lagi..." ucap seorang pemuda
yang nampak menahan birahinya. Napasnya terdengar mendesah-desah.
"Hi hi hi... Sabar dulu,
Kang Pujo. Kan tinggal lima hari lagi," sahut Srini dengan manja lalu
menggigit bibirnya sendiri.
"Kakang tahu, Sri. Tapi
kakang tak tahan lagi. Ayolah sekali saja, ya..." rayu Pujo. Lalu pemuda
itu mencium pipi Srini. Dan tangan kanannya mengusap-usap paha gadis yang masih
perawan itu. Sedangkan tangan kirinya merangkul dengan erat "Kang....
Jangan, Kang Nanti ketahuan bapak. Sabar, Kang" pinta Srini
tersendat-sendat.
Karena Pujo yang sudah
dirasuki nafsu birahinya terus menyusupkan kepalanya ke dada Srini yang montok,
mulus, dan putih itu. Tak dipedulikan ucapan Srini.
Sampai akhirnya gadis itu pun
terangsang.
Hingga dia pun membalas
memeluk dan mencium Pujo dengan desah napas mulai memburu.
Pujo, cepat merebahkan tubuh
Srini yang calon istrinya di ranjang beralaskan tikar. Ditin-dihnya tubuh gadis
itu sambil terus mencium lehernya.
"Hooh.... Aaih...
sss..." Srini merintih dan mendesah. Pujo mulai melepas pakaian kekasihnya.
Kini Srini yang masih perawan
itu sudah tanpa pakaian. Tak sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya yang
mulus dan padat itu. Buah dadanya yang sebesar mangga, keras, dan menantang.
Membuat Pujo tak bisa lagi menahan lama-lama. Namun baru saja Pujo selesai membuka
celananya, tiba-tiba...
"Grrr..." Terdengar
suara menggereng menggetarkan. Pujo terkejut kaget menoleh ke sana kemari mencari
datangnya suara. Belum sempat pemuda itu mengetahui, seekor harimau kumbang
menerobos masuk, langsung menerkam tubuhnya dan menggigit sampai mati.
Srini menjerit, namun suaranya
tak ada.
Mata harimau siluman itu
mengeluarkan sinar hijau menatap mata Srini. Seketika gadis itu terkulai
pingsan. Sesaat kemudian harimau siluman berubah menjadi sosok manusia.
Kemudian cepat membawa Srini keluar dengan menembus dinding rumah itu.
Ayah dan ibu Srini yang
terbangun dan datang ke kamar anaknya sempat melihat sosok manusia membawa
Srini pergi. Kedua orang tua itu kaget dan makin kaget ketika melihat calon menantunya
dengan mengerikan.
"Tolong... Ada
rampok" "Tolong..." teriak ibu Srini sambil lari keluar. Ki
Rambi, ayah Srini masih berdiri kaku menatap mayat Pujo yang lehernya hampir
putus.
Tak lama kemudian para
penduduk Desa Ngantap berdatangan ke rumah Ki Rambi, karena mendengar jeritan
ibu Srini yang histeris tadi.
"Bagaimana kejadiannya,
Ki Rambi?" tanya Ki Lurah Kirjo Mulyo.
Ki Rambi hanya menggelengkan
kepala perlahan, lalu menarik napas dalam-dalam. Wajahnya nampak sedih karena
memikirkan nasib anak gadisnya yang lima hari lagi akan dinikahkan. Kini telah
hilang diculik manusia aneh.
"Ini pasti perbuatan
mayat-mayat hidup yang pernah melanda Desa Tumpang beberapa hari yang lalu, Ki
Lurah..." kata seorang lelaki berbadan tinggi besar dan berkumis tebal
geram.
"Aku rasa bukan, sebab
hal ini yang dibawa lari Srini, gadis yang masih perawan. Sedangkan kejadian di
Desa Tumpang, para perjaka yang dibawa oleh mayat-mayat hidup itu," tutur
Ki Lurah menjelaskan pada lelaki berbadan tinggi besar yang bernama Diman.
"Jadi, kalau begitu siapa
pelakunya, Ki?" tanya seorang lelaki berambut putih dengan ikat kepala
hitam.
Ki Kirjo Mulyo tak langsung
menjawab. Dia nampak berpikir sejenak. Sementara itu Nyi Rambi masih menangis
ditemani para ibu-ibu lain yang merasa iba.
"Kita sebaiknya cepat
menguburkan mayat Pujo. Nanti kita bicarakan lagi soal ini," kata Ki Lurah
Kirjo Mulyo kemudian.
Lalu orang-orang cepat
menggotong mayat Pujo untuk dikuburkan.
6
Malam datang menyelimuti bumi,
membuat suasana gelap dan dingin mencekam. Suara angin yang menerpa dedaunan,
serta suara binatang malam, seperti mengalunkan tembang-tembang aneh yang
membuat tubuh merinding. Mereka seakan membawakan syair-syair bagi jiwa-jiwa yang
tengah dilanda ketakutan. Bulan sabit pun mengintip di balik awan, seolah-olah
enggan menampakkan wujudnya.
Malam itu, Perguruan Bajing
Ireng nampak sunyi. Di luar perguruan itu nampak empat orang murid perguruan
sedang berjaga-jaga. Karena mereka sudah mendengar adanya sepak terjang Datuk
Tambureh dan Dewi Ratu Maksiat yang ingin menculik dan membunuh semua tokoh
persilatan baik aliran putih maupun hitam. Dan tibatiba.... Swing...
Jlep "Aaa..." Seorang
murid Perguruan Bajing Ireng yang sedang berjaga di pintu gerbang memekik keras.
Sebuah senjata rahasia berupa tusuk konde beracun menghunjam di dada pemuda itu.
Entah dari mana datangnya,
tiba-tiba senjata rahasia itu melesat dan menghunjam tubuhnya.
Mendengar temannya menjerit,
tiga orang murid lainnya yang juga tengah berjaga-jaga tersentak. Betapa
terkejut mereka melihat temannya terkapar tewas.
"Pembunuhan Tusuk konde
beracun..." seru ketiga murid itu berusaha mengundang perhatian
orang-orang perguruan agar terbangun dari tidurnya. Namun tiba-tiba..., "Akh..."
Belum juga habis ucapannya, orang itu sudah memekik keras. Dadanya tertancap
sekuntum tusuk konde beracun yang menembus ke dalam. Tubuhnya seketika mengejang
lalu ambruk tanpa nyawa, kemudian membiru.
Jlep Jlep "Aaakh..."
Dua orang lainnya kontan memekik keras, ketika beberapa tusuk konde menghunjam
dada.
Mata mereka melotot
menyaksikan sebuah bayangan berkelebat cepat keluar dari kegelapan.
Bayangan kuning itu laksana
angin yang berhembus. Sesaat keduanya kelojotan kemudian tewas.
Bayangan kuning itu terus
melesat menuju kamar Ketua Perguruan Bajing Ireng, yang bernama Ki Galingga.
Brak "Heh?" Ki
Galingga tersentak Swing Swing Dua tusuk konde beracun melesat cepat ke arah
tubuh Ki Galingga. Beruntung lelaki tua itu cepat membuang tubuhnya dan
berguling ke samping. Namun tak urung, istri mudanya menjadi sasarannya tusuk
konde beracun.
Jlep Jlep Tanpa mampu
berteriak, wanita muda yang usianya berbeda jauh dengan Ki Galingga itu tewas.
Dada den wajahnya tertancap tusuk konde beracun.
Ki Galingga geram menyaksikan
istrinya mati di tangan seorang wanita berbaju serba kuning. Lelaki berparas
seperti bajing berpakaian abu-abu dengan rambut tergerai kaku serta ikat kepala
berwarna biru itu mendengus. Tangannya dengan cepat menyambar senjata dari
logam yang berbentuk jari bajing.
"Siapa kau?" tanya
Ki Galingga dengan suara membentak sambil menuding senjatanya.
"Hm.... Kau lupa padaku,
Ki?" sahut wanita yang sekujur tubuhnya ditutupi kain kurung.
Termasuk wajahnya.
"Bangsat Ditanya malah
balik bertanya Katakan, siapa kau sebenarnya?" bentak Ki Galingga gusar.
"Siapa aku, kau tak perlu
tahu. Yang pasti, kau dan kelima temanmu termasuk adipati keparat itu harus
mampus di tanganku Hiaa" Ki Galingga tersentak kaget diserang begitu cepat
dan tiba-tiba. Segera kakinya melompat ke belakang, kemudian berkelit ke
samping.
"Hop Heaaa..." Ki
Galingga berusaha merangsek maju dengan cakaran kedua tangannya yang menggunakan
jurus 'Bajing Mengambil Buah'. Namun gerakan lawan begitu cepat Ki Galingga
hampir terkena sambaran tangan lawan. Tapi, orang tua berwajah seperti bajing
dengan pakaian abu-abu ini memiliki ketajaman tinggi. Kalau tidak, tubuhnya
sudah menjadi sasaran empuk pukulan lawan. "Hari ini bagianmu, Bajing
Busuk Yeaat.." Wanita berpakaian serba kuning itu terus merangsek maju
menyerang Ki Galingga. Seranganserangannya sungguh dahsyat dan mengarah pada
bagian tubuh yang mematikan.
Ki Galingga yang tak mau
menjadi korban wanita misterius itu segera berkelit ke samping.
Lalu dengan gerakan cepat,
balas menyerang lawan. Kali ini menggunakan jurus 'Bajing Menerkam Mangsa'.
Tangannya bergerak cepat merangsek ke tubuh lawan.
Wanita yang sekujur tubuhnya
terbungkus kain kuning itu terus menyerang dengan gabungan jurus 'Sembilan
Tapak Tangan Darah' dan jurus 'Tusuk Konde Pencari Sukma'. Sesekali tangannya
melemparkan sebuah tusuk konde beracun. Meskipun nampaknya tak berarti, tangan wanita
itu sangat berbahaya. Tusuk konde beracun itu mampu membunuh lawan dalam
sekejap.
Swing Swing "Aits Tusuk
Setan" maki Ki Galingga seraya mengelakkan tusuk konde yang telah membunuh
istrinya. Tubuh Ki Galingga bergerak ke sana kemari, terkadang berputar di
udara untuk mengelakkan serangan yang berbahaya itu.
"Hiaaa" "Hop
Hats" Lawan benar-benar tak memberi kesempatan pada Ketua Perguruan Bajing
Ireng itu untuk balas menyerang. Serangan-serangannya begitu cepat, disusul
lemparan-lemparan tusuk konde beracun yang tak kalah berbahaya.
Mendengar suara ribut-ribut di
dalam kamar gurunya, murid-murid Perguruan Bajing Ireng berdatangan hendak
membantu sang Guru.
Namun baru saja mereka sampai
di pintu, tibatiba... "Awas..." seru Ki Galingga mengingatkan.
"Hih..." Namun
seruan itu terlambat. Secepat kilat wanita berpakaian kuning itu melemparkan
tusuk konde beracun ke arah murid-murid Ki Galingga.
Swing Swing...
Jlep Jlep...
"Aaakh..." Tiga
orang murid yang berada di depan langsung roboh. Dada mereka tertancap tusuk konde
beracun. Darah seketika muncrat dari dada membasahi pakaian.
"Bedebah Sebelum kukirim
ke neraka, katakan siapa dirimu" bentak Ki Galingga semakin marah
menyaksikan murid-muridnya menjadi korban keganasan tusuk konde beracun.
"Jangan banyak bicara,
Bajing Keparat Pikirkanlah nanti di alam sana, siapa aku Hiaaa..." Tanpa
banyak kata lagi, wanita misterius itu langsung melemparkan tusuk konde beracun
ke arah Ki Galingga yang tersentak kaget Swing Swing...
"Hop Heaa..." Tubuh
Ki Galingga melenting ke atas, kemudian melesat ke samping kanan untuk mengelakkan
serangan lawan, dengan jurus 'Lompatan Bajing Menerkam Mangsa'.
"Hiaaa..." Wanita
berpakaian kuning itu tak membiarkan lawannya bergerak lebih jauh. Dengan cepat
pedangnya yang bersinar keperakan dicabut. Mata Ki Galingga silau oleh sinar
yang keluar dari pedang lawan.
"Pedang Perak Hei Ada
hubungan apa kau dengan Dewi Ratu Maksiat? Siapa kau...?" "Hm.... Tak
perlu tahu siapa aku, Bajing Busuk Kini terimalah ajalmu Hiaat.." Wanita
bertopeng kain kuning yang memiliki Pedang Perak milik Dewi Ratu Maksiat itu
tak mau membuang waktu lagi. Segera diserangnya Ki Galingga dengan tebasan dan
babatan Pedang Perak yang mengandung racun ganas. Kali ini, dikeluarkannya
jurus 'Sambar Nyawa'.
Wut Wuutt "Uhh..."
Ki Galingga terpekik kaget Napasnya terasa sesak oleh racun yang ditebarkan pedang
di tangan lawan. Dalam keadaan terdesak hebat, Ki Galingga masih bertanya-tanya
siapa wanita misterius itu. Kalau dia Dewi Ratu Maksiat, rasanya tak mungkin.
Karena Wanita Iblis dari
Andalas itu telah tiada sejak puluhan tahun alam.
Ki Galingga benar-benar kaget
melihat pedang di tangan lawannya. Hatinya belum yakin kalau wanita muda itu
Dewi Ratu Maksiat. Namun jurus-jurus pedangnya, sama dengan yang dimiliki Dewi
Ratu Maksiat. Begitu pula dengan senjata-senjata rahasia tadi.
Dewi Ratu Maksiat merupakan
tokoh sesat di Kadipaten Galih Marta. Selama hidupnya pernah membuat heboh
kalangan persilatan, terutama di kadipaten itu. Dewi Ratu Maksiat banyak membunuh
pendekar golongan putih karena merasa dendam pada para pendekar yang telah membunuh
ayah dan ibunya, atas perintah Adipati Seragon. Namun sepak terjang Dewi Ratu Maksiat
dapat dihentikan. Dia dikalahkan oleh Adipati Seragon, Ki Durpala, Ki Galingga,
Ki Kapusala. Mungkin dia Dewi Ratu Maksiat? Tapi..., Dewi Ratu Maksiat
mengenakan pakaian berwarna merah serta senjata berupa bunga Anggrek Hitam.
Sedangkan wanita ini mengenakan pakaian kuning seperti senjata yang
dipergunakannya. Ki Galingga terus bertanya dalam hati sambil mengelakkan
sabetan-sabetan senjata lawan. Dadanya semakin terasa sesak oleh racun pedang
lawan.
"Heaaa" Wut Wut Wut..
Pedang di tangan wanita
misterius itu terus bergerak, menyambar-nyambar dengan tebasan dan babatan ke
tubuh lawan. Sinar putih keperakan yang keluar dari Pedang Perak itu membuat napas
Ki Galingga laksana tersumbat "Uhuk... uhuk..." Ki Galingga
terbatuk-batuk. Tangan kirinya memegangi dada yang terasa sakit karena terlalu banyak
mengisap racun yang ditebarkan wanita bertutup muka kuning itu.
"Tamatlah riwayatmu,
Bajing Busuk Hiaaa..." Wanita misterius itu mengayunkan pedangnya.
Kemudian dengan cepat, menebaskan ke leher Ki Galingga yang tak mampu lagi
mengelakkan serangan lawan. Maka..., Cras Bruk Kepala Ki Galingga menggelinding
ke tanah. Tubuhnya yang berlumuran darah mengejang sesaat, kemudian ambruk
tanpa nyawa.
Wanita misterius yang tubuhnya
tertutup kain kuning segera melesat meninggalkan tempat itu. Gerakannya begitu
cepat, hingga dalam sekejap telah hilang di kegelapan malam.
Seketika suasana di rumah Ki
Galingga ramai. Murid-muridnya hanya mampu mencacimaki pembunuh keji yang telah
membunuh guru mereka. Malam itu Perguruan Bajing Ireng berkabung atas kematian
Ki Galingga.
Dua orang prajurit Kadipaten Galih Marta tampak
memacu kudanya menuju Perguruan Bajing Ireng untuk menyampaikan undangan dari Adipati
Seragon. Namun seketika mereka memperlambat lari kudanya karena melihat bendera
hitam terpasang di kanan kiri jalan masuk tak jauh dari perguruan.
"Galu, kau lihat bendera
itu?" tanya prajurit yang memegang sebuah gulungan daun lontar.
"Ya," sahut prajurit
yang dipanggil Galu.
"Sepertinya ada
kematian." "Hei, lihat Ada keramaian di Perguruan Bajing Ireng,"
ujar prajurit pertama yang bernama Warigi "Benar. Ada apa di sana?
Nampaknya banyak sekali orang berdatangan," desis Galu.
"Ayo, kita
percepat.." Kedua prajurit Kadipaten Galuh Marta itu segera mendekat
Perguruan Bajing Ireng tampak dipenuhi orang-orang peralatan dan rakyat biasa.
"Kisanak, ada
apakah?" tanya Galu pada pemuda berbaju rompi kulit ular yang tengah menggaruk-garuk
kepala.
Pemuda berambut gondrong yang
baru saja keluar dari bangunan perguruan itu mendongakkan kepala, memandang
kedua prajurit yang menegurnya.
"Ah, dunia ini semakin
tua semakin bertambah saja kejahatannya," gumam pemuda itu.
Mendengar gumaman pemuda
tampan berambut gondrong itu, Galu dan Warigi mengerutkan kening dan saling
pandang. Kemudian mata keduanya memandang lekat wajah pemuda itu, yang tampak
cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
"Anak Muda. Kami bertanya
padamu, mengapa engkau bergumam sendiri?" tanya Galu hampir tertawa
menyaksikan tingkah laku pemuda yang konyol dan lucu itu. Mirip orang gila.
Terkadang raut wajahnya sedih,
kemudian berubah riang dengan senyum lucu. Bahkan yang lebih konyol, pemuda itu
suka menggaruk-garuk kepala dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya asyik
mengorek telinga dengan bulu burung.
"Hi hi hi..." pemuda
tampan yang Sena Manggala atau Pendekar Gila itu tertawa geli.
Hingga kedua prajurit
kadipaten itu tak mampu membendung tawa mereka.
"Pemuda Gila...,"
gumam Galu. "Ayo kita ke sana" "Hi hi hi... Eh, tunggu"
Sena menghentikan mereka. Kedua prajurit kadipaten berhenti dan menengok ke
arahnya.
"Ada apa kau menghentikan
kami?" tanya Galu. "Tentu kalian prajurit kadipaten, bukan?" tanya
Sena seraya menggaruk-garuk kepala.
"Ya" sahut keduanya.
"Aha Kebetulan sekali
kalau begitu," seru Sena sambil mengorek telinganya dengan bulu burung.
"Kebetulan aku hendak ke kadipaten. Tolong Kisanak beritahu, ke arah mana
aku harus pergi?" Kedua prajurit kadipaten mengerutkan kening, mendengar
pertanyaan pemuda bertingkah laku aneh itu.
"Hm.... Untuk apa kau ke
kadipaten, Pemuda Edan?" tanya Warigi.
"Bukankah di kadipaten
ada pesta? Tentu banyak makanan di sana. Itu sebabnya aku hendak ke sana. Aku
diundang kanjeng adipati," tutur Pendekar Gila.
Galu tersenyum sambil
menggelenggelengkan kepala. Menurutnya, pemuda bertingkah laku gila itu hanya
bercanda. "Mana mungkin Adipati Seragon mengundang pemuda gila seperti ini?"
pikir Galu seraya tersenyum.
"Pemuda Gila.... Ah,
kanjeng adipati tidak mengundang pemuda gila sepertimu. Sebenarnya kanjeng
adipati mengundang para pendekar. Tak ada pesta di sana," tutur Galu.
"Sudahlah, Galu. Mengapa
kita harus meladeni pemuda gila ini?" rungut Warigi mengajak temannya
meneruskan perjalanan.
"Tunggu" kembali
Sena memanggil mereka.
Warigi menghela napas. Kesal
juga hatinya melihat tingkat laku pemuda itu.
"Pemuda gila Apa
sebenarnya yang kau inginkan, heh?" Sena tersenyum mendengar bentakan itu.
"Aha Kalian ini tolol.
Bukankah sudah kukatakan, bahwa aku hanya ingin tahu arah jalan menuju
kadipaten?" Sena tak kalah keras membentaknya.
"Untuk apa kau ke
sana?" dengus Warigi.
Pendekar Gila tersenyum.
Diambilnya gulungan daun lontar yang diberikan dua prajurit kadipaten padanya.
Galu segera menerima dan cepat membuka gulungan itu. Seketika mata keduanya
membelalak setelah membaca tulisan daun lontar itu.
"Pendekar Gila..."
seru mereka bersamaan.
"Oh... ampuni kebodohan
kami, Tuan Pendekar Sungguh kami tak tahu kalau Tuan adalah Pendekar
Gila," ujar Galu sambil turun dari kudanya dan menjura memberi hormat "Benar,
Tuan Pendekar. Jika Tuan menghendaki, hukumlah kelancangan kami ini,"
tambah Warigi.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak menyaksikan kedua prajurit itu menyembahnya.
"Sudahlah. Kalian tidak
perlu minta maaf.
Sekarang katakan, ke arah mana
aku harus berjalan?" tanya Sena, masih dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
"Ampun, Tuan Pendekar
Kalau diperkenankan, biarlah kami nanti bersama Tuan," pinta Galu.
"Oho Sangat menyesal, aku harus segera sampai di sana. Bahaya akan
mengancam kadipaten ini. Ki Galingga telah tewas di tangan seorang yang
bersenjatakan tusuk konde
beracun," tutur Pendekar Gila.
Untuk kedua kalinya, Galu dan
Warigi membelalakkan mata. Kaget mendengar Ki Galingga yang hendak didatangi
telah tewas. Tapi, yang membuat mereka sangat kaget adalah cara kematian Ki
Galingga sama dengan kematian istri Adipati Seragon dan empat orang teman
mereka.
"Kenapa kalian
kaget?" tanya Sena.
"Oh Bencana apakah yang
tengah melanda Kadipaten Galih Marta?" keluh Galu.
"Hm..., apa
maksudmu?" tanya Sena masih belum mengerti.
"Lima korban telah
dibantainya. Pertama, istri kanjeng adipati dan empat orang teman kami yang
tengah berjaga. Kini Ki Galingga sama dengan kematian istrinya kanjeng
adipati," gumam Galu setengah mengeluh. "Semuanya sama, mati oleh
tusuk konde beracun." "Hm...," Sena bergumam tak jelas.
Kedua prajurit kadipaten itu
tercengang diam. Mata mereka memandang ke arah Perguruan Bajing Ireng yang
tengah berkabung.
"Siapakah
pelakunya?" tanya Galu, seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri.
"Ayolah, kita harus
segera ke sana, menuju ke kadipaten," ajak Sena yang dituruti kedua
prajurit kadipaten. Ketiganya menempuh perjalanan menuju Kadipaten Galih Marta.
Sementara itu di Perguruan
Bajing Ireng masih banyak orang yang berdatangan untuk melihat Ki Galingga dan
anak buahnya serta istri mudanya yang tewas secara mengerikan oleh wanita
misterius.
Sena dan kedua prajurit
kadipaten telah jauh meninggalkan tempat Perguruan Bajing Ireng yang sedang
dilanda duka itu.
7
Pendekar Gila dan kedua
prajurit Kadipaten Galih Marta menyusuri jalan setapak di tengah hutan
belantara. Malam telah larut. Udara dingin terasa menggigit. Namun ketiganya
tetap terus melangkah. Kegelapan di hutan dan suarasuara binatang menambah
suasana kian mencekam. "Aha Kurasa kita harus beristirahat di dalam hutan
ini, Kisanak," kata Sena sambil menghentikan langkahnya.
"Kami terserah pada Tuan
Pendekar saja," jawab kedua prajurit hampir bersamaan.
"Baiklah kalau begitu.
Kita harus membuat api dulu." Pendekar Gila melompat ke atas pohon mencari
ranting-ranting kering. Gerakannya yang cepat tak terlihat oleh kedua prajurit
Terdengar suara ranting-ranting patah. Tidak lama berse-lang, Pendekar Gila
turun dengan membawa ranting-ranting kering.
"Buatlah api" pinta
Sena. Kedua prajurit itu kebingungan. Mereka tak tahu harus bagaimana membuat
api. Biasanya mereka menggunakan batu api. Namun, bagaimana mungkin mereka
mencari batu api dalam keadaan gelap gulita.
Pendekar Gila menggaruk-garuk
kepala. Rupanya mengerti apa yang sedang dipikirkan kedua prajurit itu. Sejenak
matanya menyapu ke segenap arah, kemudian berkelebat pergi. Tak lama berselang,
telah kembali dengan membawa dua buah batu api.
"Ini batu api yang kalian
butuhkan." Kemudian, batu api itu disodorkan pada kedua prajurit. Dengan
menggosok-gosokkan kedua batu itu, tak lama kemudian api menyalanyala.
Ketiganya segera mengelilingi api unggun yang cukup memberikan kehangatan.
"Tentu kalian lapar.
Hm.... Sebentar, akan kucarikan ayam hutan di daerah ini. Tunggulah di
sini," ujar Sena, lalu dengan cepat berkelebat menembus kerimbunan
pepohonan.
Dua prajurit kadipaten
menunggu kedatangan Pendekar Gila dengan perasaan tercekam.
Mereka takut berada di tengah
hutan lebat dan gelap seperti itu. Selama ini keduanya tidak pernah berada di
dalam hutan, bertugas di kadipaten yang ramai dan terang.
"Galu, kita harus
waspada," kata Warigi mengingatkan.
"Ya Kuharap Pendekar Gila
tidak lama." Kedua prajurit itu menarik pedang, siap menghadapi apa pun
yang akan terjadi selama Pendekar Gila pergi. Mata mereka mengawasi ke sekeliling
tempat itu dengan tajam. Baru saja keduanya mempersiapkan diri, tiba-tiba
terdengar suara mendering senjata rahasia.
"Awas, ada yang
menyerang' seru Galu, mengingatkan temannya sekaligus mengundang Pendekar Gila
agar segera datang ke tempat itu.
Swing Swing...
Entah dari mana datangnya dua
benda melesat ke arah dua orang prajurit itu. Senjata rahasia itu bergerak
begitu cepat "Celaka Tusuk konde" pekik Warigi kaget Hidungnya
mencium bau wangi bunga. Mata lelaki itu membelalak tegang dan bulu kuduknya meremang.
Saat itu, sebuah tusuk konde melesat ke arahnya. Tanpa dapat dielakkan, senjata
beracun itu menghunjam dadanya.
Jlep "Ukh" Warigi
terpekik. Tubuhnya sesaat mengejang dengan mata melotot, lalu ambruk tanpa
nyawa.
Jlep "Aaakh" Tusuk
konde yang lainnya menancap ke dada Galu yang juga tak sempat mengelak. Seperti
Warigi, Galu pun memekik kesakitan. Dan tewas setelah tubuhnya mengejang dengan
mata melotot Bersamaan dengan itu, Pendekar Gila datang dengan membawa tiga
ekor ayam hutan. Sena tersentak kaget mendapatkan kedua prajurit kadipaten itu
telah tewas. Matanya menyapu ke sekeliling. Di dalam kegelapan, tiba-tiba
melesat beberapa buah tusuk konde beracun ke arahnya.
Swing Swing...
"Kurang ajar Siapa
kau..." bentak Sena selagi bergerak menghindar. Tubuhnya berjumpalitan di
udara sambil menebaskan tangan dengan jurus ‘Si Gila Melempar Batu’. Deru angin
yang keluar dari tangan Pendekar Gila mampu menjatuhkan beberapa buah tusuk
konde yang menyerangnya.
Baru saja Pendekar Gila
berhasil merontokkan tusuk konde itu, serangan berikutnya datang. Beberapa buah
tusuk konde kembali melesat menyerangnya.
"Edan Rupanya ada orang
yang menginginkan nyawaku" dengus Sena sambil terus berjumpalitan
mengelakkan serangan yang bertubitubi itu. Dicabutnya Suling Naga Sakti,
kemudian dengan cepat digerakkan untuk membabat tusuk konde itu.
"Heaaa..." Prak Prak
Pluk Pluk Beberapa buah tusuk konde yang terkena sambaran Suling Naga Sakti
berpentalan jatuh ke tanah. "Pengecut Tunjukkan dirimu" bentak
Pendekar Gila sambil menghantamkan pukulan ke tempat asal tusuk konde itu.
Karena tak ada sahutan, Sena semakin bertambah geram, merasa dipermainkan lawan.
"Edan Rupanya ada orang
yang menginginkan nyawaku" dengus Pendekar Gila sambil mengelak.
"Kurang ajar Rupanya, mau
main petak umpet denganku. Baik Ha ha ha..." Sambil tertawa-tawa, Pendekar
Gila mengerahkan ajian 'Sapta Bayu'. Seketika tubuhnya melesat laksana angin,
memutari wilayah itu. Larinya yang begitu cepat membuat tubuhnya bagai menghilang.
Yang tampak hanya bayangan berkelebat. Beberapa kali Pendekar Gila memutari tempat
itu, namun tak ditemukannya seorang pun di sana. "Hh... Aneh. Tak ada
seorang pun di sini.
Lalu siapa yang
menyerangku?" gumam Pendekar Gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan
mulut nyengir kuda.
Pendekar Gila kembali ke
tempat perapian.
Dipandanginya kedua prajurit
kadipaten. Di dada keduanya tertancap tusuk konde beracun.
"Hm...," Sena
bergumam tak jelas. Dia segera berjongkok memperhatikan tusuk konde yang
menancap di dada Galu dan Warigi. Matanya terbelalak menyaksikan sesuatu yang
aneh.
"Ah, rupanya tusuk konde
ini bukan tusuk konde beracun biasa. Tusuk konde beracun pengisap darah,"
gumam Sena lirih.
Pendekar Gila menggosok-gosok
mata, seperti tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Ada sesuatu yang aneh,
tubuh kedua mayat itu men-gempis. Mata pecah dan kepala retak-retak. "Oh Apa
yang terjadi?" Sena semakin penasaran menyaksikan kejadian aneh itu.
Dengan perasaan ingin tahu, dicabutnya tusuk konde beracun itu.
Crab "Hah" Mata
pemuda itu membelalak tegang. Bulu kuduknya merinding. Tusuk konde beracun itu ternyata
memiliki akar panjang sampai ke batok kepala korban.
"Oh. Pantas batok kepala
mayat ini retak.
Benar-benar tusuk konde
iblis" gumam Sena sambil membuang tusuk konde itu jauh-jauh.
"Hhh..." Sena
mendesah, "Bencana apa la-gi yang akan melanda kadipaten ini?" Malam
semakin larut. Pendekar Gila melesat meninggalkan hutan itu setelah mematikan api
unggun. Ditembusnya kegelapan malam dengan menggunakan ilmu larinya yang
melebihi kecepatan angin. Lari 'Sapta Bayu'.
Pagi telah hadir menerangi persada. Seorang
pemuda tampan berbaju rompi kulit ular nampak menggeliat bangun dari tidurnya.
"Huah..." pemuda
yang tak lain Sena itu menguap. Tangannya mengucek-ngucek mata.
Sekali lompat tubuhnya
melayang turun dari pohon di Hutan Wanacala.
Tubuhnya dilemaskan dengan
menggeliat untuk menarik otot-ototnya yang kaku. Seketika matanya tertumbuk
pada sesosok bayangan berkelebat tak jauh dari tempatnya. Terdengar suara tawa
dari sosok bayangan itu. Pendekar Gila mengerutkan kening, merasa pernah
mengenal tawa itu.
"Hah...? Suara tawa itu
seperti aku kenal.
Siapa...?" Sena berpikir
sejenak sambil menggaruk-garuk kepala. "Itu persis suara tawa Mei Lie Apakah
tadi Mei Lie...?" Sena bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Lalu matanya mencari-cari,
kemudian melesat mengejar suara yang terus terdengar di kejauhan.
Pendekar Gila memasang indera
keenamnya untuk menangkap suara itu. Kemudian tubuhnya kembali melesat dengan
menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', mengejar suara itu.
"Mei Lie...?" seru
Sena ketika melihat sesosok wanita berpakaian serba kuning, dengan rambut
dibiarkan terurai.
Wanita itu membelakangi
Pendekar Gila.
Tak terdengar suara jawaban
bahkan menoleh pun tidak. Hal itu membuat Pendekar Gila penasaran.
Dengan sekali lompat, Pendekar
Gila sudah berada di dekat wanita itu. Namun, ketika Sena menyentuh pundaknya,
gadis itu cepat melesat pergi. Sena jadi heran.
"Mei Lie... Mei Lie...
Tunggu..." seru Sena sambil mengejar gadis yang memang mirip Mei Lie itu.
Namun gadis itu telah lenyap dari pandangan.
Seperti hantu saja.
"Aneh? Begitu cepat dia
menghilang. Benarkah dia Mei Lie...?" tanya Sena dalam hati.
Belum habis Sena berpikir,
tiba-tiba terdengar lagi tawa wanita itu. Bahkan kali ini memanggil Sena.
"Kakang Sena...,
kemarilah Ayo, kejar aku Hi hi hi, he he he..." "Mei Lie...
Tunggu..." Pendekar Gila cepat melesat mengejar gadis itu. Kali ini ilmu
'Sapta Bayu'-nya tetap dikerahkan. "Mei Lie.... Kenapa kau?
Sikapmu...." "Mengapa aku?" sahut gadis mirip Mei Lie itu dengan
mengulurkan kedua tangannya ke leher Pendekar Gila.
Melihat keanehan sikap Mei
Lie, kekasihnya, Sena merasa risih. Hatinya keheranan karena tak pernah Mei Lie
berbuat seperti itu. Mei Lie yang dikenal sukar dijamah, kini malah
merang-kulnya. Itulah yang membuat Pendekar Gila mulai curiga. Dengan halus dia
melepas rangkulan wanita yang mirip dengan Mei Lie itu. Lalu menatapnya sambil
menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
"Kenapa, Kakang? Adakah
yang aneh dariku...?" tanya wanita itu sambil terus berusaha merayu Sena.
Kini wanita itu lebih berani. Dibiarkan pakaian atas yang menutupi dadanya
terbuka lebar. Hingga buah dadanya yang kuning langsat terlihat jelas,
tersembul menantang. Apalagi ketika wanita itu membungkuk, mengambil tusuk kondenya
yang jatuh. Sena yang melihat tusuk konde itu, mengerutkan kening. Dia mulai
teringat sesuatu.
"Tusuk konde...? Pasti
wanita ini ada hubungannya dengan wanita misterius yang menyerangku
semalam," ujar Sena di dalam hati. Namun dia kembali ragu ketika melihat
wajah wanita yang ada di depannya benar-benar Mei Lie.
"Kenapa kau merasa jijik
denganku, Kakang Sena...?" tanya wanita yang mirip Mei Lie itu, dengan
sedih.
Pendekar Gila tak langsung
menjawab. Pemuda itu malah cengengesan dan menggarukgaruk kepala. Sifat Sena
paling tidak bisa jika melihat wanita yang bersedih. Apalagi bila yang dihadapan
Mei Lie, kekasihnya.
"Aku harus berbuat
sesuatu, agar semua yang kuhadapi saat ini jelas. Benarkah dia Mei Lie? Di mana
pedang bidadarinya? Mungkin Mei Lie mengalami gangguan jiwa, atau...." Sebelum
selesai Sena menebak dalam hati, tiba-tiba wanita itu menyerangnya. Sebuah tendangan
keras mendarat ke dada Sena yang sempat lengah.
Degk "Hukh..." Sena
terpekik. Dan belum sempat dia memulihkan tenaganya, tiba-tiba wanita itu
menggeram. Dari mulutnya pun keluar puluhan jarum, ketika menyembur ke arah
Pendekar Gila.
Jub Jub Jub "Aaakh..."
Sena menjerit, ketika jarum-jarum berbisa menghunjam ke dadanya. Tidak sampai
di situ, wanita itu tampak mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Kedua tangannya
diangkat ke atas, dengan jari-jari tangan membentuk cakar seperti hendak
mencengkeram. Lalu sambil memekik wanita itu hendak melancarkan serangan mautnya
dengan pukulan.
Wesss Degk Namun belum sempat
wanita itu menghunjamkan serangannya lagi, tiba-tiba muncul sesosok bayangan
berkelebat. Dengan cepat disambarnya tubuh Sena yang sudah tak sadarkan diri, sambil
menghantam wanita itu dengan tendangan. "Aaauuuw..." Wanita itu
memekik panjang dan bergulingan di tanah.
"Kurang ajar...
Aaakh" geram wanita itu sambil memegangi kakinya yang dirasakan seperti patah.
Tak bisa untuk berdiri.
Sementara bayangan itu sudah
hilang dari pandangannya.
"Siapa yang menyelamatkan
Pendekar Gila...?" gumam wanita yang mirip Mei Lie itu. Wajahnya mendadak
pucat dengan bibir bergetar.
Sesaat kemudian, muncul Dewi
Ratu Maksiat secara tiba-tiba bagai makhluk halus. Ditemani empat lelaki pemuas
nafsunya.
"Tuan Putri..." seru
wanita yang mirip Mei Lie ketakutan.
"Hi hi hi... Bodoh Kau
terlalu ceroboh dan bernafsu pada lelaki. Sebagai hukuman orang tolol yang
bernafsu berlebihan, kini kau harus melayani ke empat budakku ini secara
bergantian.
Ha ha ha..." Selesai
berkata begitu, Dewi Ratu Maksiat memberi isyarat pada keempat budaknya untuk segera
menggilir wanita samaran Mei Lie.
"Oooh... jangan Ampun,
Tuan Putri...," pinta wanita itu sambil menangis.
Namun keempat budak nafsu itu
sudah merenggut tubuh wanita itu. Mereka menelanjangi wanita mirip Mei Lie.
Dewi Ratu Maksiat menontonnya sambil tertawa-tawa. Sampai akhirnya wanita itu
tak tahan dan mati secara menyedihkan. Darah mengalir dari selangkangannya. Wajahnya
pun seketika berubah ke aslinya, pucat pasi, dengan mata melotot Dewi Ratu
Maksiat dan keempat budaknya meninggalkan begitu saja wanita malang itu sambil
tertawa terbahak-bahak.
8
Siang itu langit nampak
mendung. Mentari sama sekali tak menampakkan diri, karena tertutup awan hitam
yang bergulung di langit.
Lereng Gunung Merapi pun
diselimuti mendung dan hawa dingin, serta kabut tebal menutupi puncaknya.
Sesekali suara guntur menggelegar, membuat suasana kian mencekam.
Di dalam sebuah rumah gubuk
seorang lelaki tua berambut putih tengah duduk. Lelaki berjenggot panjang
sampai ke dada itu mengenakan jubah mirip pendeta Budha berwarna putih.
Jubah itu diselempangkan
begitu saja di tubuhnya. Tempat duduknya terbuat dari potongan batang pohon
kayu besar yang sengaja dibuat sedemikian rupa sebagai tempat duduknya.
Di depannya, terbujur lemas
sesosok tubuh pemuda tampan, berambut gondrong. Tubuhnya yang mengenakan
pakaian rompi dari kulit ular, terkulai di atas dipan. Mungkin pemuda itu sudah
mati? Tak bergerak sedikit pun.
Lelaki tua yang dikenal dengan
nama Ki Kinasih itu nampak membaca sebuah kitab suci.
Kedua tangannya direntangkan
ke atas dengan mulut berkomat-kamit. Sesekali dengan kedua telapak tangannya
dia mengusap tubuh pemuda itu, dari wajah sampai kaki. Hal itu dilakukannya
berulang-ulang. Sampai akhirnya, Ki Kinasih bergumam. "Oooh... Hyang
Widhi.... Berikan kuasa-Mu Sembuhkan pemuda ini Beri dia kekuatan baru. Jangan
kau bawa dia pada kematian. Sebab, dia harus meneruskan hidupnya untuk menumpas
kedurjanaan manusia... Hyang Widhi...
berilah mukjizatmu melalui
telapak tanganku ini Tolonglah hambaMu ini... Oooh... yai, yaii, yaiii..."
Tubuh Ki Kinasih tiba-tiba bergetar. Lalu bagai menyala, sekujur tubuhnya
nampak terang.
Saat itu kekuatan Dewata telah
menyusup ke tubuh Ki Kinasih. Kejadian berlangsung tak begitu lama, tampaknya
mukjizat itu telah turun atas diri lelaki tua itu.
Cahaya putih bersih keperakan
menjalar ke telapak tangan Ki Kinasih. Kemudian perlahan telapak tangannya
seperti ada yang menggerakkan, mengusap wajah pemuda di depannya sebanyak tiga
kali. Kemudian dilanjutkan mengusap seluruh tubuh pemuda itu tiga kali pula.
Seketika cahaya berupa membias dari sosok tubuh pemuda itu. Cahaya kehidupan
bagi manusia yang berbudi luhur dan kuat.
Bersamaan dengan lenyapnya
cahaya putih tadi, Ki Kinasih memekik, "Yeaaa..." Plarr Cahaya itu
kembali merambat ke sekujur tubuh pemuda yang terbaring itu. Namun kemudian
perlahan-lahan hilang. Suasana kembali tenang. Ki Kinasih nampak menarik napas
panjang.
Keringat membasahi sekujur
tubuhnya.
Pemuda yang tadi berbaring di
dipan, tampak mulai bisa menggerak-gerakkan jari tangannya, lalu seluruh
anggota tubuhnya. Matanya perlahan dibukanya, bagai orang baru terjaga dari
tidur. Pemuda berpakaian rompi kulit ular itu menggosok-gosok matanya. Dan
setelah pandangan matanya mulai jelas, pemuda itu perlahan menggeliat bangun.
Matanya terpicing ketika melihat lelaki tua duduk bersila di atas batang pohon
tengah menatap wajahnya.
"Oooh..., di mana aku?
Siapa kau, Kek...?" tanya pemuda itu sambil memegangi, kepalanya, lalu
menggaruk-garuknya. "Apakah aku bermimpi?" "Hm...," gumam
Ki Kinasih pendek, "Kau tidak bermimpi, Cucuku. Saat ini kau berada di pondokku.
Aku tahu, kau mirip Singo Edan, adik seperguruanku itu...," ujar lelaki
tua itu dengan suara menggema.
"Hah? Bagaimana Kakek
tahu...? Dan siapa nama, Kakek?" tanya pemuda tampan yang tak lain Sena
Manggala atau Pendekar Gila.
"Panjang ceritanya, Sena.
Yang jelas aku dengan Singo Edan selalu berhubungan melalui batin. Dan kini
bukan waktunya untuk bercerita padamu. Kau dalam keadaan hampir mati, ketika jarum-jarum
beracun itu menusuk dadamu. Semua ini perbuatan Dewi Ratu Maksiat yang ingin membunuhmu
dan menguasai rimba persilatan.
Selain itu, anak angkatnya
yang bernama Datuk Tambureh telah menyekap si Bidadari Pencabut Nyawa,
kekasihmu itu...," tutur Ki Kinasih.
"Hah? Mei Lie...? Di mana
aku dapat menemukannya...?" tanya Sena mendesak.
"Hm...," Ki Kinasih
memejamkan mata sejenak. Lalu perlahan membukanya kembali sambil menatap Sena
tajam. "Kau harus dapat membunuh Dewi Ratu Maksiat dahulu, jika ingin bertemu
dengan gadis itu. Dan nanti kau akan menemukan tempatnya. Namun itu tak mudah
bagimu, Sena. Kau harus lebih berhati-hati menghadapi wanita iblis itu. Sedikit
kau lengah, nya-wamu melayang... Tapi, kau harus yakin dapat mengalahkannya.
Jangan sampai terpengaruh kecantikannya Dia sangat berbisa, Sena. Juga jangan
kau tatap matanya jika berhadapan dengan dia Itu saja pesanku. Aku percaya
dengan Suling Naga Sakti, dan beberapa ilmu yang diajarkan Singo Edan, kau akan
mampu menaklukkan Wanita Iblis dari Andalas dan Datuk Tambureh, yang menculik
kekasihmu. Sekarang cepat kau pergi Aku akan melihatmu dari kejauhan," tutur
Ki Kinasih.
"Sebelum aku pergi, boleh
aku tahu nama Kakek?" tanya Sena sambil menjura hormat Ki Kinasih
tersenyum. Dia meletakkan telapak tangannya di kepala Pendekar Gila.
"Apa artinya sebuah nama.
Yang penting, jika kau kelak bertemu dengan gurumu, katakan, kakek berjenggot
panjang dari Lereng Merapi kirim salam. Itu saja. Dan sekali lagi pesanku,
jangan tatap mata lawanmu," kata Ki Kinasih memberikan wejangan pada Sena.
"Terima kasih, Kek.. eh
Eyang. Saya mohon diri..." Setelah menjura, Sena melesat pergi keluar dari
pondok itu.
Ki Kinasih memandangi dengan
senyum, sambil mengelus-elus jenggotnya yang panjang sampai dada.
Pendekar Gila yang sudah sangat marah akan
tindakan dan sepak terjang Dewi Ratu Maksiat dan Datuk Tambureh, terus melesat
dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu' menuju barat. "Aku yakin, jalan
ini akan mempertemukan ku dengan perempuan keparat itu," kata Sena dalam
hati.
Pendekar Gila terus melesat
bagai angin.
Sehingga tiba di suatu tempat
yang sepi dan sunyi. Di sekitar tempat itu pepohonan tampak kering meranggas,
bagikan dilanda musim kemarau yang sangat panjang. Padahal daerah itu merupakan
pegunungan yang mestinya subur.
"Aneh, tempat apa ini?
Aku baru lihat tempat yang semua pohon dan tanamannya kering seperti
ini...," gumam Sena dalam hati. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil
mengedarkan pandangan mengitari sekitar tempat itu.
Namun Pendekar Gila kembali
melesat meninggalkan tempat yang sunyi dan sepi itu. Tanpa sepengetahuannya,
ada sepasang mata jalang mengawasi gerak-gerik Sena sejak tadi.
"Oooh... Mei Lie, di mana
kau...? Hyang Widhi, temukan aku dengan dia Beri aku petunjuk jalan untuk
menemukan Mei Lie..." keluh Se-na sambil terus berlari menuruti nalurinya.
Bagai terbang pemuda itu
melintasi segala macam tempat. Melompati tebing, menyeberangi sungai. Dan
terakhir dia memasuki sebuah hutan yang kelihatannya masih perawan. Hutan Gombong.
Hutan itu ditumbuhi pepohonan besar.
Namun tampak di sana-sini
banyak yang bertumbangan, menghalangi jalan.
Pendekar Gila memutuskan untuk
berhenti di mulut hutan itu.
9
Angin pagi bertiup semilir,
diiringi sinar matahari yang baru saja terbit di ufuk timur. Desau angin
lembut, senandung burung, dan kokok ayam jantan, menyatu dalam satu irama
kehidupan. Dari kejauhan di dalam Hutan Gombong terdengar suara nyanyian merdu.
Nyanyian itu diselingi tiupan suling yang mendayu, seperti menikmati indahnya
pagi.
Samar-samar dari kejauhan,
tampak seorang pemuda tampan dengan suling emas berkepala naga di tangannya,
tengah melangkah sambil bernyanyi.
Pemuda tampan yang tengah
berjalan sambil bernyanyi-nyanyi itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
Didengar dari syair lagunya, tampaknya Sena sedang merasakan kerinduan pada
seorang gadis yang dicintainya. Dan gadis itu tentunya Mei Lie.
"O, permata hatiku ke
mana langkah harus menuju. Masihkah kau menikmati pagi yang indah ini. Iri
rasanya hatiku, memandang alam yang damai ini. Sementara, jiwaku telah mencari tempat
tambatan hati yang pergi belum kembali...." Setelah menumpahkan isi
hatinya, Sena pun duduk di atas sebatang pohon yang tumbang. Suling Naga Sakti
diselipkan di ikat pinggangnya. Kemudian dengan tertawa-tawa, kepalanya digaruk
sambil memandang burung yang bernyanyi riang.
"Hi hi hi... Burung, aku
iri kegembiraanmu... Aha, kau meledekku. Tak apa. Kuakui memang aku sedang
bingung...," kata Sena bicara seorang diri. "Aha Kau yang bisa
terbang, di ma-na kini Mei Lie berada?" "Cit, Cuit" Sena
melompat-lompat sambil tertawatawa mendengar kicau burung mencericit.
"Aha, rupanya kau tahu.
Di mana dia, Burung Cantik?" "Cuit, cuit.." Sena
mengangguk-angguk sambil cengengesan. Lalu dengan tetap tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepala, Sena bangkit dari duduknya. Wajahnya menengadah ke langit ketika
burung-burung pemakan bangkai berterbangan dengan pekikan yang keras.
"Oh, ada apa dengan
burung-burung itu? Bukankah mereka burung pemakan bangkai?" gumam Sena
dengan kening berkerut.
Sena masih belum sadar, kalau
gerakgeriknya diintai oleh sepasang mata, yang bersembunyi di balik pepohonan
rindang. Lalu berkelebat sosok bayangan hijau. Gerakannya begitu ringan, hingga
tak terdengar sedikit pun langkah kakinya. Tentunya sosok yang mengikuti Pendekar
Gila itu memiliki ilmu meringankan tubuh cukup handal.
Dengan mulut masih cengengesan
Sena kembali duduk. Matanya beredar ke sekeliling tempat yang ditumbuhi
pepohonan hijau menggapai cakrawala.
Kresek Bibir Sena tersenyum
ketika telinganya menangkap suara kaki menginjak daun kering.
Kemudian sambil cengengesan,
dia duduk bersila.
Tangan kanannya menopang dagu
seperti sedang merenung.
"Hi hi hi... Rupanya ada
juga tikus yang bersembunyi," ucap Sena tenang. Matanya memandang redup
dan mulutnya masih cengengesan. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk paha.
Swing Swing...
Tiba-tiba puluhan senjata
rahasia melesat ke arah Sena yang masih duduk bersila.
"Aha, ada juga tikus yang
pandai bercanda" seru Sena sambil berjumpalitan di udara.
Bersamaan dengan itu, segera
dihantamkan pukulan 'Inti Bayu' untuk menangkis senjata rahasia yang meluncur
ke arahnya. "Hi hi hi... Permainan kalian kukembalikan Hih..." Wuss Swing
Swing...
Crab Crab "Aaakh..."
Dari balik semak-semak yang jaraknya sekitar lima belas tombak terdengar
jeritan kematian. Kemudian tampak lima orang dengan wajah ditutupi kain hitam
meregang. Leher mereka tertancap senjata rahasia yang tentu milik mereka.
Kemudian tubuh mereka ambruk
dan tewas.
"Ha ha ha... Lucu sekali
Lucu..." seru Se-na sambil berjingkrak-jingkrak seperti kera kegirangan.
"Kurang ajar Serang
dia..." Dari balik semak-semak, terdengar perintah seseorang untuk
menyerang. Bersamaan dengan itu, muncul puluhan orang dengan wajah tertutup
kain hitam dan bertelanjang dada. Mereka langsung mengurung Pendekar Gila yang
masih tertawa terbahak, sambil melompat-lompat seperti kera. "Ha ha ha...
Monyet-monyet hitam Ha ha ha..." "Bedebah Bunuh dia..." seru
pemimpin orang-orang yang berpakaian serba hitam.
"Hiaaat..." "Wadauw
Mengapa ganas sekali?" seru Sena, sambil memegang kepalanya. Tubuhnya bergerak
meliuk-liuk, mengelakkan serangan lawan. "Pecah kepalamu, Pemuda
Edan" bentak pemimpin para penyerang sambil menebaskan goloknya ke kepala
Sena.
"Wadauw, aku tak
mau" teriak Sena sambil meliukkan tubuhnya dengan kaki agak merentang. Dengan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Sena mementahkan serangan yang datang ke arahnya.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana penari, dan sesekali tangannya bergerak seperti
menepuk. "Hi hi hi... Rasakan kue apemku Nih..." Tangan Sena menepuk
ke dada seorang lawan yang menyerangnya. Tubuhnya masih meliuk-liuk, dengan
sedikit membungkuk Blukk "Wuaa..." Orang yang terkena tepukan
Pendekar Gila seketika memekik. Tubuhnya terdorong kuat ke belakang, melayang
laksana terbang. Tubuh orang itu terhenti, ketika menabrak sebatang pohon besar.
Brak "Aaakh" Orang
itu menjerit. Kain penutup kepalanya bersimbah darah, Ternyata kepala orang itu
pecah akibat benturan keras dengan pohon besar tadi. Hutan yang semula tenang
dan asri, seketika terpecah oleh suara hiruk-pikuk. Banyak pohon yang tumbang
terhantam serangan mereka.
Rerumputan yang semula segar,
morat-marit dan rusak karena terinjak-injak. Binatang-binatang pun berlarian
karena ketakutan.
"Hi hi hi... Siapa lagi
yang mau kue apem...?" tanya Sena sambil bergerak seperti seekor kera
dengan tangan kiri menepuk-nepuk pantat. Tubuhnya masih meliuk-liuk laksana
menari mengelakkan serangan lawan.
"Kurang ajar Bunuh
dia..." seru pimpinan gerombolan berpakaian serba hitam yang ternyata dari
Gerombolan Macan Kumbang. Tubuh pemimpin gerombolan itu tidak terlalu besar.
Suaranya juga bukan suara lelaki, melainkan seorang wanita. "Cincang
dia" sambut anak buahnya. "Serang..." Serentak mereka kembali
menyerang dengan membabatkan golok di tangan masingmasing. Namun dengan cepat
Sena kembali bergerak mengelak. Kedua kakinya digeser dengan cepat seraya
membungkukkan badan.
"Wah Ganas sekali tikus
betina ini?" tukas Sena sambil terus bergerak mengelak. Pantatnya sengaja
ditunggingkan ke arah lawan-lawannya, hingga membuat wanita dari Gerombolan
Macan Kumbang itu marah.
"Haiiit.." Wanita
itu membabatkan goloknya ke pantat Sena.
"Wadauw Jangan, Nyi
Pantatku bisulan Hi hi hi..." Sambil berkata begitu. Sera mengelak cepat.
Kembali tangannya menepuk dua orang yang berada di depan dan sampingnya.
Plakk "Wuaaa..." "Aaa..."
Dua orang korban sasaran pukulan Pendekar Gila memekik. Tubuh mereka terpental
deras ke belakang seperti dua batang ranting kering.
Lalu menghantam pohon disertai
pekikan kematian. Tubuh keduanya ambruk dengan napas putus. "Bangsat
Minggir... Biar kuhadapi dia" seru wanita itu kalap. Pemuda itu terlalu
berbahaya untuk dihadapi anak buahnya. Bisa habis satu persatu anak buahnya di
tangan pemuda tampan yang bertingkah seperti orang gila itu.
Setelah anak buahnya mundur,
dengan cepat wanita itu melabrak maju. Matanya yang nampak dari lubang kain
penutup wajahnya, melotot garang pada Sena yang masih cengar-cengir.
"Kaukah yang berjuluk
Pendekar Gila?" bentak wanita itu.
"Hi hi hi... Dari mana
kau tahu, Tikus Betina Ha ha ha..." Sena tertawa terbahak-bahak dengan
tubuh berjingkrakan seperti kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Namamu cukup kondang,
Pendekar Gila Hm, aku datang untuk menantangmu" Sena kembali tertawa
terbahak-bahak.
"Lucu sekali Lucu sekali
omonganmu, Tikus Betina. Mengapa kau menantangku?" tanya Sena masih
bergerak-gerak seperti kera.
"Karena kau penghalang
kami" "Oh, kalau kalian bermaksud baik, aku tak akan menghalanginya.
Ah ah ah... Tentu maksud kalian jahat. Apalagi kalian menutup muka. Hi hi hi...
Atau kalian tak punya hidung?" ledek Sena yang membuat wanita itu semakin
membelalak garang.
"Bedebah Apa pun yang
akan kami lakukan, itu urusan kami Kau memang harus disingkirkan, karena kau
penghalang utama. Nah, bersiaplah" bentak wanita itu sengit Sena
menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan.
"Aha, kalau itu maumu,
baiklah. Aku akan melayanimu." "Hiaaat.." Wanita itu segera
melompat dengan terkaman tangan yang membentuk cakaran dalam jurus 'Burung
Gagak Menangkap Mangsa'. Tangannya bergerak menyilang, lalu mencengkeram lurus
ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi... Lucu sekali
gerakanmu." Pendekar Gila segera menundukkan kepala, lalu dengan cepat
tubuhnya bergerak mengelak sambil berguling. Kakinya menendang ke atas, ketika
tubuh wanita itu melompat "Hi hi hi... Ini tendangan kuda binal" Wanita
itu tersentak kaget mendapatkan serangan yang tiba-tiba itu. Bergegas serangannya
ditarik, tapi tubuhnya yang sudah melayang sangat sulit untuk dibalikkan ke
belakang. Sehingga...
Degk "Hukh" Tubuh
wanita itu terlontar ke depan, lalu tersuruk mencium tanah.
"Ha ha ha... Mengapa kau
mencium tanah, Nyi?" ejek Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Tangannya menepuk-nepuk pantat
dan menggaruk-garuk kepala sambil melompat-lompat kegirangan. Hal itu membuat
lawannya semakin marah. "Kurang ajar Bunuh monyet gila itu" perintah
wanita itu. Gerombolan Macan Kumbang langsung bergerak mengurung Pendekar Gila yang
masih melompat-lompat seperti kera.
"Heaaa..." "Cincang
tubuhnya" seru wanita itu bertambah murka, menyaksikan tingkah laku Pendekar
Gila yang kian menjengkelkan.
"Hiaaa..." "Yeaaa..."
Gerombolan itu langsung menyerbu dengan babatan dan tusukan golok ke tubuh
lawan.
Mereka nampaknya bernafsu
sekali untuk segera menghabisi Pendekar Gila.
Melihat lawan kembali
mengeroyok, Pendekar Gila bukannya takut, malah tingkahnya kian menggila.
Dengan berjingkrak-jingkrak seperti kera, Sena mengelakkan serangan orang-orang
berpakaian serba hitam itu. Tampak tubuhnya meliuk-liuk bagai menari. Kemudian
tangannya bergerak ke beberapa jurusan, menghantam dengan pukulan-pukulan yang
kelihatannya pelan dan tak bertenaga.
"Hea..." Plak "Wuaaa..."
Satu orang lagi terkena pukulan telapak tangan Pendekar Gila. Seperti tiga
temannya, tubuh orang ini pun terlontar
jauh ke belakang.
Dan baru berhenti ketika
membentur pohon hingga kepalanya pecah.
Pendekar Gila yang sudah tahu
kalau mereka para bajingan, kini tak mau diam dan membiarkan mereka lolos.
Tubuhnya bergerak cepat, meliuk dan menepuk dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat' disusul dengan jurus yang semakin membuat lawan-lawannya bertambah
kalangkabut. Wuss...
Dari kedua telapak tangan
Pendekar Gila keluar angin deras menghantam ke arah lawan.
Para pengeroyoknya seketika
terdorong ke belakang. Bahkan pakaian wanita itu terlepas. Tubuhnya kini tak
tertutup sehelai benang pun.
Ternyata dia seorang wanita
yang cantik dengan rambut terurai lepas. Hidungnya bangir dan bibirnya tipis,
menggairahkan. Hal itu membuat Sena mengerutkan kening sesaat. Wanita itu tak lain
Dewi Ratu Maksiat. Sejenak Sena terkesima.
Mata Dewi Ratu Maksiat bagai
mengandung daya tarik yang luar biasa. Hatinya hampir saja terlena oleh
kecantikan dan keindahan tubuh wanita itu.
Yang kini dalam keadaan tanpa
pakaian "Hah...?" gumam Pendekar Gila, memandang wanita yang ada di
depannya tanpa pakaian.
"Dia pasti Dewi Ratu
Maksiat itu. Rupanya dia sejak tadi mengikuti. Aku harus hati-hati...,"
batin Sena. Rupanya setelah wanita yang dia ciptakan mirip Mei Lie itu gagal
menaklukkan Pendekar Gila, Dewi Ratu Maksiat penasaran. Dia terus mencari di
mana Pendekar Gila berada, dan dengan indera keenamnya akhirnya Dewi Ratu
Maksiat dapat menemukan jejak Pendekar Gila. Jika dia dapat melumpuhkan,
menaklukkan iman Pendekar Gila, maka dia akan sangat bahagia. Karena dapat
hidup seribu tahun lagi. Menurutnya dengan bersetubuh dengan Pendekar Gila
umurnya semakin panjang. Dan bertambah sakti Dewi Ratu Maksiat berpura-pura
malu, dia menutupi auratnya dengan kedua tangan. Lalu tersenyum genit dan
menggigit bibirnya sendiri.
Sena tertegun sesaat, menatapi
tubuh yang begitu indah dan dada yang masih terlihat keras.
"Oooh...," Dewi Ratu
Maksiat mendesah lirih. "Sebaiknya kita tak usah bertarung Pendekar Gila.
Aku mengaku kalah. Sekarang lebih baik ki-ta menjadi teman. Peluklah aku,
oooh... ssstt...." Pendekar Gila seperti kena hipnotis, entah kenapa jadi
tak berkutik. Kakinya melangkah mendekati Dewi Ratu Maksiat yang tanpa pakaian itu.
Wanita cantik itu telentang di tanah, yang ditumbuhi sedikit rerumputan.
Semakin dekat Sena dengan
wanita iblis itu. Dan ketika tinggal satu tombak jaraknya, Sena tiba-tiba
memegang keningnya, dia mendengar suara mengiang-ngiang di telinganya.
"Jangan sekali-kali kau menatap mata wanita itu, Sena..., jangan menatap
matanya" Pendekar Gila tersentak, seperti orang baru bangun dari tidurnya.
Pemuda itu cepat memalingkan muka dan tetap siap waspada akan tipu muslihat
wanita itu. Hatinya telah sadar, setelah mendengar pesan Ki Kinasih.
"Perempuan iblis"
gumam Sena lirih.
Dewi Ratu Maksiat yang melihat
usahanya gagal, segera menyeringai. Matanya membelalak lebar. Dan sambil
mengerang bagai macan kumbang betina, Dewi Ratu Maksiat menggapai pakaiannya
yang terlepas tadi. Dililitkan pakaiannya di bagian pinggang. Lalu menyerang
Pendekar Gi-la, yang membelakanginya.
"Yeaaa.... grrr..." Dewi
Ratu Maksiat melesat menerkam Pendekar Gila. Namun Pendekar Gila sudah siap dengan
segala kemungkinan. Dirundukkan kepalanya ke samping, lalu disusul melancarkan
serangan balik, dengan pukulan tangan kanan ke dada lawan yang masih ngambang
di udara.
Pluk Bukk "Aaakh..."
Dewi Ratu Maksiat memekik panjang. Dadanya seketika terasa sesak. Tubuhnya
langsung roboh tertelungkup ke tanah. Dewi Ratu Maksiat yang sebenarnya memang
tak memiliki ilmu sejati mulai berkurang tenaganya.
Wanita Iblis dari Andalas itu
hanya memiliki ilmu sihir yang dapat meluluhkan setiap lelaki. Namun untuk
Pendekar Gila ilmu itu tak mempan.
Sena yang sudah merasa sangat
jijik dan marah, mulai mengeluarkan jurus-jurus mautnya untuk cepat membunuh
wanita itu. Pemuda itu tampak mulai menyatukan telapak tangannya.
Setelah menarik napas
dalam-dalam, tangannya dengan pelan membuka ke samping. Ditariknya ke belakang
membentuk aku. Lalu dengan telapak tangan terbuka, bergantian menghantam. Dari
pukulannya itu mengeluarkan kekuatan yang sanggup melebur gunung karang Itulah
jurus ‘Si Gila Melebur Gunung Karang’.
Dewi Ratu Maksiat yang melihat
itu membelalak. Matanya bagai mau keluar, merasa sudah tak sanggup melawan
Pendekar Gila.
"Jangan, ampuni aku,
Pendekar Gila Apakah kau tega membunuh perempuan semacam aku, dalam keadaan
terluka dalam? Seorang pendekar sejati sepertimu tak akan melakukan hal itu,
bukan...?" ucap Dewi Ratu Maksiat dengan suara sedih, air matanya mulai
menetes ke pipi.
Sejenak Pendekar Gila terkesima.
Tangannya yang ingin dihentakkan ke arah perempuan itu diurungkan. Matanya
memandang Dewi Ratu Maksiat. Namun cepat-cepat Sena memalingkan muka,
menghindari tatapan mata perempuan itu.
"Kalau kau tak ingin
mati, cepat pergi Sebelum aku membah pikiran..." perintah Sena dengan
lantang. Tanpa memandang Dewi Ratu Maksiat Perempuan itu melotot. Mukanya yang
cantik kini nampak galak. Dan menyeringai, tangan kirinya masih memegangi
dadanya yang terasa sakit "Hhh Siasatku gagal. Kepalang basah Aku harus
bisa menaklukkan pendekar tampan ini, Aku ingin merasakan pelukan dan
kejantanannya. Biar aku menjadi wanita yang terus awet muda..." gumam Dewi
Ratu Maksiat. Selesai bergumam, dengan sisa-sisa kekuatan, tubuhnya melompat
ingin menerkam Sena yang membelakangi dia.
"Grrr... Hiaaa..." Wut
Wut Blarrr "Aaauwww..." Dewi Ratu Maksiat menjerit tinggi melengking.
Dari mulutnya keluar darah kental, namun warnanya kuning bercampur
kehijau-hijauan.
Tubuh wanita itu
menggelepar-gelepar di tanah, dalam keadaan telanjang. Perlahan-lahan terjadi perubahan
di wajahnya. Wajah yang cantik jelita dan penuh daya tarik luar biasa, kini
kembali menjadi wajah yang menyeramkan, keriput seperti nenek-nenek. Rambutnya
putih dan bertubuh kurus bagai tengkorak. Sena kaget melihat hal itu. Dia
menghela napas dalam-dalam, lalu bergumam, "Ternyata dia seorang
nenek-nenek keriput Edan Jagad Dewa Batara... Kau telah mendapat ganjaran yang
setimpal, Nyi...." Selesai bicara begitu, Sena segera melesat meninggalkan
tempat itu.
"Aku harus menemukan Mei
Lie secepatnya. Tapi di mana?" kata Sena dalam hati sambil terus berlari
ke barat.
Sementara itu di kaki Gunung Kelud, tempat
kediaman Datuk Tambureh nampak sepi.
Hanya dalam salah satu ruangan
terdengar suara jeritan dan tawa seorang lelaki.
"Ha ha ha... mau ke mana
kau, Manis...? Sudah saatnya kini kau menjadi istriku. Ayolah..., malam ini
kita akan saling memberi cinta... he he he, ha ha ha... ayo..." Datuk
Tambureh sudah telanjang dada, hanya memakai celana panjang.
Mencoba memburu Mei Lie yang
pakaiannya sudah robek-robek oleh tangan Datuk Tambureh yang sudah kemasukan
setan itu.
"Jangan dekati aku... Aku
akan bunuh diri..." bentak Mei Lie yang nampak marah. Sambil menghindar,
dan memukul muka Datuk Tambureh dengan sekuat tenaga. Namun tanpa Pedang Bidadari
Pencabut Nyawa, Mei Lie tak bisa berbuat banyak. Apalagi tenaga dalamnya belum
pulih sepenuhnya. Gadis itu mencoba untuk tidak terkena totokan lelaki keparat.
itu. Untuk itu dia selalu berusaha menjauhi dan melawan jika Datuk Tambureh
mendekat, ingin menerkamnya.
"Jangan sampai hilang kesabaranku
Kau akan menyesal nanti. Ayolah..." ancam Datuk Tambureh. Lalu cepat
menerkam Mei Lie. Gadis itu melompat ke samping, lalu menyerang dengan tendangan
kaki kanannya ke dada Datuk Tambureh. Degk "Ukh..." Datuk Tambureh
yang sudah bernafsu itu, sempat kurang waspada. Hingga tendangan kaki kanan Mei
Lie mengenai dadanya.
"Kurang ajar Kau tak bisa
dibiarkan. Hem Heaaa..." Datuk Tambureh menyerang dengan ganas.
Mei Lie terbelalak melihat
gerakan tangan datuk yang begitu cepat. Dan tanpa diduga, tiba-tiba Datuk
Tambureh sudah dapat menangkap lengan kiri Mei Lie.
Mei Lie berusaha melepaskan
cekalan tangan kanan Datuk Tambureh. Namun sia-sia saja.
Lelaki tua itu lebih kuat,
sedangkan keadaan tenaga dalam Mei Lie belum pulih benar.
Dengan cepat Datuk Tambureh,
yang tak mau membuang-buang waktu lagi, segera menotok ke arah dada Mei Lie.
Namun si Bidadari Pencabut Nyawa bisa menangkis dengan tangan kanannya,
meskipun hal itu tak cukup untuk menggagalkan niat Datuk Tambureh. Dengan cepat
pula tangan lelaki berjubah merah itu kembali menotok dada Mei Lie.
Tuk Tuk Mei Lie seketika
terkulai lemas. Datuk Tambureh yang sudah lama ingin menikmati tubuh Mei Lie
yang menggiurkan, dan ingin menjadikan istrinya segera menggotong tubuh gadis
itu ke tempat pembaringan Datuk segera merobek penutup dada Mei Lie. Tersembul
di depan matanya, dada yang putih bersih, keras, dan kenyal menantang. Menambah
birahi Datuk Tambureh semakin tinggi. Dan ketika Datuk Tambureh mulai menindih
dan ingin mengisap buah dada Mei Lie. Tiba-tiba...
Plak Plak "Aaakh..."
Tubuh Datuk Tambureh terpental, jatuh dari tempat tidurnya. Bersamaan itu,
bayangan yang berkelebat menjebol pintu kamar itu, dengan cepat menyambar tubuh
Mei Lie. Dan menghilang dari kamar.
Datuk Tambureh murka. Dia
cepat memakai jubah dan menyelipkan kapak terbuat dari kuningan asli ke
pinggangnya.
Para penghuni tempat itu,
berhamburan keluar, ketika mendengar teriakan Datuk Tambureh yang marah itu.
"Hai... Kalian, cepat
kejar maling itu...
Bodoh" perintah Datuk
Tambureh. Setelah itu dia sendiri melesat meninggalkan tempat itu.
Sementara itu sosok bayangan
yang membawa Mei Lie telah jauh dari kediaman Datuk Tambureh. Siapa sebenarnya
yang membawa Mei Lie itu belum jelas. Namun di belakang orang itu ada seorang
lelaki lain yang mengikutinya.
"He he he, ha ha
ha..." lelaki berjubah hitam itu tertawa-tawa riang sambil terus berlari.
Diikuti kawannya yang kini
semakin dekat Sesampainya di suatu tempat yang dianggap aman, mereka berhenti.
Lalu mencari tempat yang sedikit terlindung di bawah pohon beringin besar dan
rindang. Di sekelilingnya semak-semak dan pepohonan rendah.
"Kini kita akan
bersenang-senang, Bulus," ujar lelaki bercakar hitam yang ternyata Barong Culla.
Matanya terus menatap tubuh Mei Lie yang masih belum sadarkan diri. Karena
tertotok oleh Datuk Tambureh tadi.
Barong Culla maupun Bulus
Wulung sengaja tak ingin melepas totokan itu, agar lebih le-luasa untuk
memperkosa gadis itu.
"Apakah kita tak
cepat-cepat memulai saja? Aku sudah tak tahan," kata Bulus Wulung yang air
liurnya meleleh dari mulutnya. Apalagi ketika melihat lebih dekat dada Mei Lie
yang sedikit tersembul dari balik pakaiannya yang sobek. Juga pahanya yang
mulus membuat Bulus Wulung tak dapat menahan gejolak birahinya, segera dia meremas
dada Mei Lie. Namun Barong Culla, cepat menepis dan menampar Bulus Wulung
sebelum tangannya menyentuh dada Mei Lie.
"Sabar Orang sabar itu
subur... he he he... Atau kita bertarung saja, siapa yang menang boleh lebih
dulu menikmati tubuh gadis ini. Setuju?" tantang Barong Culla.
Bulus Wulung hanya tersenyum,
sambil memegangi perutnya. Matanya tak berkedip terus memandangi dada Mei Lie
dan paha mulus yang menantang itu.
Karena tak ada jawaban dari
Bulus Wulung, Barong Culla mengetahui temannya sudah merelakan dia meniduri Mei
Lie lebih dulu. Maka, Barong Culla segera membungkuk, ingin menindih tubuh Mei
Lie yang sudah telentang.
"He he he... Hari ini aku
mendapat duren jatuh... he he he..." kata Barong Culla sambil membuka ikat
celananya. Namun tiba-tiba..., Cras Cras Crab "Ukkh..." Bulus Wulung
rupanya mempunyai siasat keji. Dia tega membunuh kawan seperjuangannya, hanya
karena ingin menguasai tubuh Mei Lie. Dengan goloknya dia menebas kepala dan menusuk
tubuh Barong Culla. Tanpa ampun nyawa Barong Culla langsung melayang "Ha
ha ha... Kini akulah yang paling bahagia. He he he... hari ini aku akan
menikmati tubuh gadis cantik ini sepuas hatiku. He he he..." Selesai
berkata begitu Bulus Wulung segera membungkuk ingin menindih tubuh Mei Lie yang
masih belum sadar. Tangan Bulus Wulung gemetaran ketika hendak menjamah dada
Mei Lie.
Tanda nafsu birahinya benar-benar
sudah memuncak.
Bugk Bugk "Aaa..." Bulus
Wulung tiba-tiba menjerit dan tubuhnya tertelungkup di tanah.
Orang yang tiba-tiba muncul
itu tak sampai di situ menghajarnya. Belum sempat Bulus Wulung melihat jelas
siapa orang yang menggagalkan niatnya, datang tendangan keras ke dada dan
kepalanya secara bertubi-tubi. Hingga lelaki berjubah biru kehitaman itu tak
bisa bangun.
Orang yang menghajarnya
mengakhiri dengan tendangan kaki kanannya yang keras ke ulu hati Bulus Wulung.
Seketika Bulus Wulung mati.
"Mei Lie... Mei Lie
Oooh... maafkan aku..." pemuda yang ternyata Pendekar Gila memeluk dan
mengusap rambut kekasihnya. Lalu segera melepas totokan yang membelenggu Mei
Lie.
Seketika Mei Lie sadar.
Perlahan matanya membuka dan kaget melihat Sena ada di depannya, lalu menangis.
Sena memeluknya erat-erat "Semuanya sudah berakhir, Mei Lie...,"
ka-ta Sena perlahan.
"Belum berakhir" Terdengar
suara seseorang lelaki dari arah belakang Pendekar Gila. Sena tersentak kaget,
juga Mei Lie. Segera mereka menoleh ke arah datangnya suara. Dan Sena cepat
berdiri menghadap orang itu. Diikuti Mei Lie, yang telah mengenai orang itu.
"Bajingan Kau
rupanya..." bentak Mei Lie tiba-tiba setelah tahu yang muncul tak lain
Datuk Tambureh.
"Siapa dia...?"
tanya Sena geram. Matanya terus menatap tajam Datuk Tambureh.
"Dialah yang menculikku,
dan ingin menodaiku, Kakang...," kata Mei Lie tegas sambil menatap tajam
lelaki tua di depannya.
"Keparat Kau harus
menerima ini...
Heaaa..." Karena marah,
Pendekar Gila langsung menggebrak dengan jurus-jurus mautnya. Jurus 'Si Gila
Membelah Mega' dicampur dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Wuss Glarr...
Ledakan hebat akibat serangan
Pendekar Gila yang tak menemui sasaran. Pohon dan bebatuan yang ada di sana.
Hancur lebur dan tumbang. Karena ternyata Datuk Tambureh telah lebih dulu
melesat cepat mengelakkan serangan dahsyat itu.
Mei Lie coba membantu dengan
serangan semampunya.
"Mei Lie, minggir. Biar
aku cincang manusia keparat itu...." Selesai berkata begitu, Pendekar Gila
segera melancarkan serangannya. Kali ini tubuhnya melenting ke udara mengejar
Datuk Tambureh yang hendak menerkam Mei Lie. Pertarungan di udara terjadi,
saling pukul dan tangkis, antara kedua orang berilmu tinggi itu. Lalu keduanya meluncur
ke bawah, dan sama-sama berdiri tegak berhadapan, berjarak lima tombak.
Sementara Mei Lie juga tetap siap dan waspada. Namun tibatiba Mei Lie tak
tampak di mata Datuk Tambureh yang jelalatan mencarinya. Saat itulah Pendekar Gila,
menghunjamkan pukulan jarak jauhnya ke arah Datuk Tambureh.
"Heaa" Wutt Brret "Aukkh..."
Datuk Tambureh memekik tertahan seraya memegangi dadanya. Namun dengan cepat
dia menggerakkan kedua tangannya, lalu mengibaskan tangan kanan ke depan. Angin
keras seketika menderu memburu Pendekar Gila. Tubuh Pendekar Gila seakan
tersedot angin itu, mendekat ke arah lawan. Pendekar Gila cepat tanggap.
"Celaka Ilmu apa ini...?"
gumam Pendekar Gila sesaat. Dia cepat mengeluarkan ajian 'Inti Salju'. Dengan
kekuatan tenaga dalam, kedua tangannya diangkat ke atas dengan cepat, lalu menghentakkan
ke arah lawan. Maka seketika tubuh Datuk Tambureh membeku, tertutup salju.
Datuk Tambureh tersentak
kaget. Tubuhnya menggigil kedinginan dan matanya terbelalak heran. Pendekar
Gila tak mau buang waktu lagi, segera dikerahkan ajian 'Tamparan Sukma'. Gerakannya
lambat, tapi hasilnya sangat dahsyat Siluman apa pun jika terkena pukulan ini
pasti hancur lebur. Namun anehnya Datuk Tambureh tak mati, bahkan tubuhnya
tetap utuh. Hanya terluka di bagian kening dan dadanya hangus.
"He he haaa... ayo,
Pendekar Gila Keluarkan kesakitanmu Kau akan mati sekarang dengan senjata
pusakaku ini...," ujar Datuk Tambureh sambil mencabut kapak yang terbuat
dari kuningan asli. Memancarkan sinar emas, menyilaukan mata Pendekar Gila.
"Hah?" gumam
Pendekar Gila sambil memperhatikan senjata yang digenggam tangan kanan lawannya.
Segera Pendekar Gila mencabut
Suling Naga Saktinya. Diangkatnya ke atas, lalu diturunkan perlahan, dan
kemudian dihentakkan ke depan bersama dengan kakinya merenggang, membuka
kuda-kuda dan jurus.
"Heaaa..." "Yaaat.."
Kedua tokoh sakti itu melompat ke udara, dan saling menyerang dengan senjata
masingmasing. Pertarungan di udara terjadi lagi dengan sem. Senjata mereka
beradu.
Trang Trang Trang Glaarrr...
Ledakan menggelegar disertai
cahaya perak dan keemasan menerangi tempat itu, akibat beradunya dua senjata
pusaka. Lalu keduanya turun dengan mulus. Datuk Tambureh yang semakin murka dan
penasaran, langsung menyerang dengan penuh amarah. Serangannya tak terkendali hingga
banyak yang tak menemui sasaran. Pendekar Gila dengan lincah menangkis dan
melakukan serangan balik yang cepat ke arah wajah dan perut Datuk Tambureh.
Wess Wess Sing Sing Datuk
Tambureh membalas serangan dengan menyodok, membabatkan kapaknya ke kepala
Pendekar Gila. Namun pemuda itu dengan cepat menangkis dengan sulingnya.
Kembali sinar perak dan keemasan terlihat. Lalu Pendekar Gila melenting ke
udara sambil salto, melewati kepala Datuk Tambureh yang menghadap ke lain arah.
Saat itu dengan cepat Pendekar
Gila yang masih ngambang di udara, melancarkan tebasan ke arah kepala Datuk
Tambureh.
Brak Brak "Aaauw..."
Datuk Tambureh memekik panjang, kepalanya terkena pukulan Suling Naga Sakti.
Tubuhnya melintir, lalu roboh sambil memegangi kepalanya. Datuk Tambureh
berusaha menahan rasa sakit dan pening, serta panas yang mendera di kepalanya,
akibat hantaman Suling Naga Sakti.
Biasanya orang akan mati dalam
beberapa saat kemudian.
Namun Datuk Tambureh rupanya
memiliki kesaktian yang hebat. Lelaki tua berjubah merah itu masih bisa
bertahan, walaupun pandangannya kini mulai kabur karena pening.
Pendekar Gila sedikit heran.
Namun dia cepat melesat ke arah Datuk Tambureh yang masih sempoyongan.
"Heaaa..." Prak Prak
Glarrr… Pendekar Gila yang sudah memuncak amarahnya, tak mampu lagi
mengendalikan diri. Dihantamkan Suling Naga Sakti-nya kembali ke kepala dan
tubuh Datuk Tambureh yang seketika menjerit Lalu tak bersuara lagi. Nyawanya melayang
Tubuhnya membiru dan kemudian terbakar, karena Suling Naga Sakti Pendekar Gila.
Pendekar Gila merasa puas. Dia
menghela napas panjang dan kemudian bergumam.
"Kau telah mendapat
pembalasan Datuk Tambureh... Terima kasih Hyang Widhi Dengan bantuanmu, aku
bisa menemukan Mei Lie dan melenyapkan manusia-manusia terkutuk itu...." Pada
saat itu Mei Lie telah muncul kembali dengan menggenggam Pedang Bidadari-nya.
"Mei Lie... Dari mana kau
tadi...?" tanya Sena keheranan melihat kekasihnya yang sempat menghilang
beberapa saat.
"Mana dia datuk keparat
itu, Kakang Sena...?" tanya Mei Lie menunjukkan kemarahannya.
"Sudah mati. Dia sudah
membayar semua dosa dan kejahatannya. Kita sekarang benarbenar telah melewati
hari-hari yang sangat menyesakkan...," kata Sena lalu memeluk Mei Lie.
Gadis itu merebahkan kepala di
dada Pendekar Gila yang mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang.
"Aku merasa ingin mati
saja, ketika sadar, bahwa aku dalam cengkeraman datuk keparat itu. Kakang...,
aku pun selalu merindukanmu," ujar Mei Lie lemah lembut "Aku pun
demikian, Mei Lie...," jawab Sena kemudian.
"Hai, Anak Muda. Jangan
kau terbawa keadaan, nanti kau terlena, lawan akan mudah meringkusmu..." Tiba-tiba
terdengar suara serak seorang lelaki dari satu arah. Sena dan Mei Lie terkejut,
dan cepat berbalik mencari-cari orang yang berkata tadi. Belum sempat kedua
muda-mudi itu menemukan, muncul seorang lelaki tua berambut putih, dengan
jenggot panjang sampai dada. Dengan pakaian seperti pendeta Budha, warna putih bersih
diselempangkan ke badan. Lelaki tua itu melangkah mendekati Pendekar Gila dan
Mei Lie.
"Kek...? Eeh, Eyang..."
seru Sena dengan wajah ceria. Lalu menarik lengan Mei Lie. Menga-jaknya
menyongsong lelaki itu. Lalu keduanya menjura.
"Hm... he he he.... Aku
merasa puas dan bangga melihat murid Singo Edan yang gagah perkasa. Bagus Sena,
ternyata gadis itu memang pantas menjadi pendampingmu...," kata Ki Kinasih
dengan tersenyum.
Lalu memegang kedua muda-mudi
itu.
"Eyang terlalu
menyanjungku. Tapi saya tak bisa melupakan jasa Eyang Jenggot..," kata
Sena sedikit berseloroh.
"He he he... Aku lupa
nama gadis ini, siapa namamu, Nak...?" tanya Ki Kinasih seraya wajahnya
menatap pada Mei Lie.
"Nama saya Mei Lie,
Eyang...," jawab Mei Lie lemah lembut "Nama yang bagus, dan cocok
sama orangnya.... Mei Lie, aku kakak seperguruan Singo Edan, guru Sena. Jadi
kapan saja kau memerlukan apa saja, jika dalam kesulitan di daerah ini,
datanglah ke pondok eyang, di Lereng Gunung Merapi sana" tutur Ki Kinasih
yang lalu merangkul Mei Lie dan Sena.
"Terima kasih,
Eyang...," kata Mei Lie sambil mengangguk.
"Ayo, sekarang hari sudah
menjelang malam. Sebaiknya kalian berdua beristirahat di pondok eyang malam
ini, bagaimana...?" kata Ki Kinasih dengan sabar.
"Ooo... dengan senang
hati, Eyang," sahut Sena dengan senang.
Lalu mereka berjalan bertiga,
Ki Kinasih di tengah, di kanan kirinya Pendekar Gila dan Mei Lie, saling
bergandeng tangan.
Pendekar Gila dan Mei Lie
tampak bahagia dan puas, karena semua cobaan dan malapetaka yang mereka hadapi
kini telah berakhir. Semua dapat diatasi dengan penuh ketabahan, keyakinan, dan
akal. Sementara itu mentari sudah semakin menyusup di kaki langit sebelah barat
dan hari pun segera akan berganti malam....
SELESAI