-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 29 Syair Maut Lelaki Buntung
1
Pagi nampak cerah dengan
langit biru bening, tanpa sedikit mega. Angin berhembus perlahan, membawa
kesejukan yang alami. Namun keheningan pagi itu dirobek oleh suara gelak tawa dari
tiga sosok yang tengah menelusuri jalan terjal di Bukit Jatira. Ketiga sosok
itu tampaknya tengah dilanda kegirangan. Suara tawa mereka bergema, bagai
dikerahkan dengan kekuatan tenaga dalam.
Satu di antara ketiga sosok
lelaki itu memiliki wajah angker dan bengis. Matanya tampak kemerahan, dengan
sepasang alis tebal yang saling bertautan. Bajunya yang hitam legam dibiarkan
terbuka di bagian dada. Ikat kepalanya yang hitam bergaris putih melingkar
mengikat rambutnya yang panjang.
Lelaki berusia setengah baya
itu terus melangkah sambil tertawa-tawa, diikuti dua kawannya yang berpakaian
rompi abu-abu.
"Ha ha ha... Sepuluh
tahun terakhir ini aku merasa bebas. Bebas berbuat sesuka hatiku.
Karena Perguruan Gunung Talang
yang kita bumihanguskan itu sudah terkubur, bersama si Tua Bangka, Damar
Kiwangi," ucap lelaki berpakaian serba hitam itu seraya terus mengumbar
tawanya. Kakinya terus melangkah tanpa menghiraukan keadaan sekitarnya.
"Benar, Kakang Kala
Hitam.... Kini kita bisa memiliki penghasilan yang tak akan ada habishabisnya.
Hasil bumi dan berbagai upeti dari penduduk terus mengalir, Tak seorang pun
berani menentang kita. Orang-orang Kadipaten Galih Putih pun tampaknya segan
terhadap kita. Ha ha ha..." timpal Kebo Kluwuk salah seorang teman lelaki
berpakaian hitam yang ternyata bernama Kala Hitam.
"Benar Orang-orang
kadipaten diam setelah kita sumpel mulut dan perut mereka dengan sebagian
penghasilan kita. Dan tampaknya mereka akan tetap membiarkan kita selama kita
tetap menyediakan perempuan-perempuan untuk mereka. Ha ha ha..." tambah
Rodoprana, juga sambil memperdengarkan tawanya.
Ketiga lelaki itu memiliki
ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Begitu cepat ketiganya berlari hingga dalam
waktu singkat mereka sudah me-nempuh jarak ratusan tombak. Suara gelak tawa mereka
terus terdengar di sepanjang perjalanan.
Namun dari kejauhan tiba-tiba
muncul sesosok bayangan melesat memburu ketiga lelaki berwajah beringas itu.
Sosok bayangan itu pun tampaknya mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah
mencapai tingkat tinggi.
Kala Hitam yang mempunyai
pendengaran tajam bagai serigala, cepat menghentikan larinya.
Hal itu membuat kedua temannya
keheranan dengan mengerutkan kening, lalu menghentikan lari dan berhenti. Kebo
Kluwuk dan Rodoprana saling pandang.
"Hmmm Rupanya ada yang
mengikuti kita," gumam Kala Hitam. Matanya menyelidik sekeliling Lembah
Bulak Rawa, "Ha ha ha.... Pagi ini kita akan bermain-main kawan..." Kebo
Kluwuk dan Rodoprana tampaknya belum mengerti. Namun kemudian kedua lelaki bertubuh
gagah itu cepat menangkap ucapan Kala Hitam. Maka keduanya langsung tertawa terbahak-bahak
sambil menggeser keris yang terselip di pinggang mereka.
"Kala Hitam Pagi ini kau
kelihatan sangat gembira. Begitu bebas dengan sepak terjangmu.
Kau lupa bahwa di balik tawamu
yang memecah kesunyian pagi indah ini, akan berubah menjadi malapetaka bagi
dirimu, juga kedua temanmu itu" Terdengar suara yang tanpa terlihat siapa
pemiliknya. Kala Hitam mengerutkan kening.
Dengan perasaan geram, matanya
jelakitan mencari dari mana asal suara itu. Namun tetap tak diketemukannya
pemilik suara yang terdengar jelas itu. Kebo Kluwuk dan Rodoprana pun melakukan
hal yang sama. Tak satu pun yang dapat melihat sosok seseorang yang menyapa
Kala Hitam. "Bangsat Setan alas Dedemit apa kau? Keluar..." sera Kala
Hitam marah. "Tunjukkan wujudmu, kalau memang kau ingin mencoba ilmuku
Ayo, keluar... Keluar..." Tantang Kala Hitam penuh amarah sambil mondar-mandir.
Dikerahkan penglihatannya untuk mengawasi sekitar tempat itu. Namun tetap saja
tak menemukan apa yang dicarinya.
"Hhh... Bedebah" "Ha
ha ha... Kala Hitam Kau memang manusia berhati iblis Memfitnah dan merampas harta,
serta membunuh orang yang tak bersalah. Tapi kau lupa, salah seorang dari
keluarga yang kau bunuh, masih hidup Dan kini akan menuntut balas padamu Kala
Hitam. Bersiaplah untuk mati" Terdengar lagi suara bergema. Kali ini lebih
keras hingga membuat Kala Hitam tersentak kaget. Mendadak dirinya merasa tegang
dan cemas.
Belum sempat Kala Hitam
mengingat, siapa yang dimaksud suara itu. Tiba-tiba terdengar lan-tunan sebuah
syair....
Kidung Kehidupan Pertama Kali
Dia Hadir Tetesan Darah Akan Tiba Hutang Budi Dibayar Budi Hutang Nyawa Dibayar
Nyawa Hutang Pati Dibayar Pati....
Kala Hitam semakin tegang.
Seketika keringat dingin membasahi kening dan wajahnya yang angker itu. Namun
kali ini kegarangannya sedikit berkurang. Tak ada lagi gelak tawa seperti
semula. Yang ada ketegangan dan kecemasan bersampur jadi satu di benak lelaki
itu.
"Siapa kau sebenarnya Aku
tak ada urusan denganmu. Keluar..." seru Kala Hitam keras sambil mencabut
kerisnya. "Ayo, lawan aku, Setan Belang... Tunjukkan keberanianmu, ayo
Ayo, hadapi Kala Hitam..." Begitu suara Kala Hitam berhenti, tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat menyerang mereka bertiga. Seketika Kebo Kluwuk dan
Rodoprana menjerit setinggi langit. Tangan mereka yang memegang keris, menutupi
wajah yang mengucurkan darah. Sesaat kemudian keduanya yang mengenakan rompi
hitam ambruk tanpa nyawa.
"Kurang ajar.'" maki
Kala Hitam geram, "Siapa kau, manusia atau setan?" Belum habis Kala
Hitam menenangkan hati dari ketegangan muncul sesosok tubuh lelaki tanpa kaki,
alias buntung. Wajah lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu tak begitu
jelas, karena tertutup rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai tak karuan.
Acak-acakan Lelaki itu berdiri dengan lututnya, yang terbungkus kain hitam.
Meskipun tanpa kaki tubuhnya dapat berdiri tegak. Wajahnya sinis menatap Kala
Hitam yang masih bertanya-tanya dalam hati.
Sejauh itu Kala Hitam bisa
mengenali siapa sebenarnya lelaki buntung itu. Matanya tak berkedip, terus
mengawasi sosok berpakaian merah di depannya.
"Kala Hitam, kau belum
terlalu tua untuk mengenali siapa aku adanya," tukas lelaki berkaki
buntung itu. Senyum sinis terus mengembang di bibirnya. Kemudian lelaki itu
kembali bersyair seperti tadi.
"Hentikan syair bututmu,
Tua Bangka Keparat" maki Kala Hitam sengit. Namun lelaki buntung itu
bagaikan tak peduli mulutnya terus menyuarakan syair, membuat Kala Hitam yang mendengarkan
tampak kian marah.
"Hhh... Kau nampak lebih
muda dari usiamu, Kala Hitam. Aku salut padamu Tapi aku benci kelicikanmu,
tindakanmu membunuh orang yang tak bersalah, bersama keempat temanmu.
Hasratmu terlalu besar ingin
menguasai rimba persilatan di Kadipaten Galih Putih yang saat itu sedang goyah.
Para senapati dan orang-orang kadipaten telah rusak. Moral mereka telah bejat
karena hasutan dan kelicikanmu. Kau memang pintar Kala Hitam" lelaki
berkaki buntung itu lalu menggeser kecapinya ke depan dada. "Dan kau
tentunya masih ingat dengan adik dari Ki Damar Kiwangi yang kau buntungi
kakinya, lalu kau buang ke Jurang Mager Wadas. Aku percaya kau ingat ini Sebab,
kau murka, ketika aku menghalangimu memperkosa istriku" Kala Hitam tersentak
kaget. Tiba-tiba diingatnya peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Namun cepat-cepat
dia coba menyembunyikan rasa kagetnya sambil berkata, "Ahhh Kau jangan
mengada-ada Kau hanya hantu Tak mungkin kau bisa hidup lagi Semua orang tahu,
Mager Wadas merupakan jurang iblis... Pergi Atau aku mengusir arwahmu dengan
keris pusakaku ini...?" Kala Hitam segera mengibaskan kerisnya dengan
gerakan yang aneh dan cepat Lelaki buntung hanya diam. Wajahnya yang tertutup
rambut tetap tenang menghadapi Kala Hitam yang nampak gusar dan tegang itu.
Lelaki buntung itu mulai
memetik dawai-dawai kecapinya. Seketika terdengar suara irama petikan kecapi
itu yang melengking tinggi. Ketika Ka-la Hitam melesat cepat melancarkan
serangan, secepat itu pula lelaki buntung itu menghentakkan kecapinya ke depan.
"Heaaa..." Wrt Cras
Cras Cras Begitu cepat lelaki buntung itu mendahului gerakan Kala Hitam. Sekali
gebrak, wajah Kala Hitam dan kedua kawannya berantakan, terkena sentakan senar
kecapi yang seperti sengaja diputuskan dari tempatnya. Senar-senar itu bagaikan
hidup, menyabet wajah Kala Hitam hingga mengalami luka parah. Darah meleleh
dari kulit wajah dan sepasang matanya yang tertusuk senar kecapi.
"Aaauuuwww...
Waaaa..." Kala Hitam menjerit-jerit dengan tubuh berputar-putar
sempoyongan. Kedua tangannya tetap menutup wajah yang berdarah ketika tubuh Kala
Hitam ambruk ke tanah. Sesaat kemudian sekujur kulit tubuhnya membiru, lalu
tewas.
Lelaki buntung itu tersenyum.
Matanya yang tajam menatap tubuh Kala Hitam sudah tak bernyawa lagi "Aku
puas... Satu dari lima anggota Partai Panca Siwara sudah kubunuh. Ha ha
ha..."
***
Tak lama setelah kepergian si Penyair Maut,
dari arah barat muncul dua sosok lelaki.
Dari kejauhan tampak pakaian
yang mereka kenakan adalah seragam prajurit kerajaan. Keduanya terus melangkah
ke timur semakin dekat dengan Lembah Bulak Rawa. Tiba-tiba lelaki gagah yang
mengenakan pakaian kuning kemerahan menghentikan langkahnya. Matanya yang tajam
menatap lurus ke depan. Seperti ada sesuatu yang tengah diperhatikan.
"Kebo Jampe Aku melihat
sesosok mayat..," ujar lelaki berkumis tipis itu seraya mengernyitkan
keningnya.
"Ah, Kakang Wiryapaksi
salah lihat barangkali," sahut lelaki berpakaian lengan panjang warna
abu-abu, yang dipanggil Kebo Jampe.
"Hmh..., percuma aku
seorang senapati kalau melihat hal yang mencurigakan tidak awas" tukas
lelaki berpakaian kuning kemerahan yang ternyata Senapati Wiryapaksi. Seorang
panglima perang yang paling disegani di Kadipaten Galih Putih. Tanpa menanggapi
ucapan Senapati Wiryapaksi, Kebo Jampe langsung berlari mendahului, karena
hatinya membenarkan apa yang telah dilihat di depan mereka. Adipati Wiryapaksi
pun langsung melesat "Hah? Tak mungkin" sentak Senapati Wiryapaksi
dengan mata terbelalak. "Tak mungkin dia mati Pasti orang yang membunuhnya
memiliki ilmu sangat tinggi," ujar Senapati Wiryapaksi tak percaya.
"Ya Kita tahu siapa Kala
Hitam. Dia memiliki ilmu yang cukup tinggi. Apalagi dengan Keris Pencabut Nyawa
yang ampuh itu," sahut Kebo Jampe dengan mata menatap mayat Kala Hitam.
"Hanya Pendekar Gila yang
bisa mengalahkannya. Tapi mungkinkah Pendekar Gila murid Singo Edan yang
melakukan...?" Senapati Wiryapaksi lalu mengedarkan pandangan ke
sekeliling Lembah Bulak Rawa yang sunyi dan sepi. Tak ada tanda-tanda adanya orang
lain, selain dirinya dan Kebo Jampe. Angin kencang berhembus menerpa wajah
Senapati Wiryapaksi yang dihiasi kumis tipis di atas bibirnya.
Hidung yang mancung mirip
paruh burung betet tampak kembang-kempis. Dan matanya yang besar menatap tajam
ke sekelilingnya, terus mengawasi dengan sikap waspada.
"Nampaknya belum berapa
lama kematian Kala Hitam. Aku merasa orang yang membunuh Kala Hitam belum jauh
dari tempat ini," ujar Panglima Perang Kadipaten Galih Putin yang memang berkomplot
dengan kelompok yang dipimpin Kala Hitam. "Hm...," gumam Kebo Jampe
yang juga nampak tegang. Karena merasakan suasana di Lembah Bulak Rawa yang
luas itu mulai terasa mencekam. Matanya terus menyapu sekeliling tempat itu.
"Sebaiknya kita pergi ke
timur. Orang itu pasti belum jauh...," usul Senapati Wiryapaksi, la-lu
melesat ke timur diikuti Kebo Jampe. Dengan memakai ilmu meringankan tubuh yang
cukup tinggi, keduanya meninggalkan tempat mayat Kala Hitam dan temannya
tergeletak Langkah kedua prajurit kadipaten ini tampak seperti terbang. Cepat,
hingga terlihat hanya bayangan kekuningan melesat bagai angin.
Tak lama kemudian Senapati
Wiryapaksi dan Kebo Jampe menghentikan larinya, setelah lepas dari Lembah Bulak
Rawa. Cukup jauh keduanya meninggalkan tempat semula.
Senapati Wiryapaksi menghela
napas panjang, matanya menyapu tempat itu. Ternyata mereka berdua berada di
suatu tempat yang belum pernah diinjak. Keduanya tampak keheranan dan merasa
asing.
"Kau tahu apa nama tempat
ini Kebo Jampe?" tanya Senapati Wiryapaksi dengan suara berat. Matanya
terus menyelidik sekeliling tempat yang masih asing baginya. Sunyi, sepi, dan
berke-san angker. Tempat itu mirip sebuah hutan kecil.
Namun pepohonannya tampak
kering dan meranggas.
Kebo Jampe tampak agak
tertegun ketika matanya melihat sebuah kuburan tua di sebelah kanan tempat
keduanya berdiri. Anehnya pula ada asap putih mengepul.
"Aku pun belum pernah
tahu tempat ini.
Mungkin kita salah arah,"
jawab Kebo Jampe, setelah beberapa saat berpikir. Matanya jelakitan memandangi
tempat yang nampak angker itu.
Ketika Kebo Jampe menoleh ke
sebelah kanan. "Hah" gumamnya keras. Matanya terbelalak lebar
memandang ke satu arah.
"Ada apa Kebo
Jampe...?" tanya Senapati Wiryapaksi dengan kening berkerut Kebo Jampe tak
menjawab, dia hanya menunjuk ke sebelah kanannya. Senapati Wiryapaksi pun
tersentak kaget dengan mata membelalak lebar. Ternyata di dekat sebuah batu
nisan kuburan tua itu samar-samar terlihat bayangan kemerahan berbentuk
manusia. Asap putih yang menyelimuti tempat itu membuat mata Senapati Wiryapaksi
dan Kebo Jampe tak dapat memperjelas pandangan mereka.
Kedua prajurit kadipaten itu
saling pandang. Lalu kembali menoleh ke sosok yang berdiri dekat batu nisan
kuburan tua tadi.
Tiba-tiba terdengar bunyi
petikan kecapi mengiringi alunan syair. Alunan itu ternyata keluar dari mulut
sesosok manusia berukuran pendek yang berdiri di dekat nisan kuburan tua itu.
Senapati Wiryapaksi dan Kebo
Jampe tersentak kaget serta merasa tegang, mendengar alunan syair itu. Disertai
petikan kecapinya.
Kidung Kehidupan Pertama Kali
Dia Hadir Tetesan Darah Akan Tiba Hutang Budi Dibayar Budi Hutang Nyawa Dibayar
Nyawa Hutang Pati Harus Dibayar Pati....
Dalam suasana hati diliputi
ketegangan kedua prajurit kadipaten itu mencabut keris yang terselip di
pinggang masing-masing "Hei Siapa kau? Manusia atau hantu...?" seru
Senapati Wiryapaksi dengan menghunuskan kerisnya. "Mendekatlah, kalau kau
memang manusia" Namun sosok bertubuh pendek berpakaian hitam itu tetap
saja bungkam. Dan terus memainkan kecapinya. Bunyi kecapi semakin lama semakin
keras dan melengking nyaring tinggi.
Memekakkan telinga. Bersamaan
dengan itu angin menderu begitu kencang.
Wesss...
"Ha ha ha... Hai,
Senapati pembawa kemaksiatan, kekejaman, kemurkaan Hari ini akan kucabut
nyawamu.... Bersiaplah" Suara itu terdengar keras menggelegar. Senapati
Wiryapaksi dan Kebo Jampe semakin tak mengerti dan tegang.
"Setan alas... Siapa kau
sebenarnya... Bagaimana kau bisa mengenaliku?" teriak Senapati Wiryapaksi
dengan geram.
"Hei, Manusia Durhaka
Rupanya kau lupa peristiwa sepuluh tahun silam di Padepokan Gunung Talang
Kurasa kau belum terlalu tua untuk mengingatnya, Senapati Wiryapaksi...." "Hah,
Padepokan Gunung Talang...?" Senapati Wiryapaksi bergumam lirih sambil
mengerutkan kening. Belum sempat dia dapat mengingat sesuatu. Tiba-tiba....
Wut Wut Wut...
Wrt Cras Cras Begitu cepat
bayangan itu berkelebat menyerang, hingga Senapati Wiryapaksi dari Kebo Jampe
tak dapat mengelak. Seketika itu pula keduanya menjerit setinggi langit.
Senapati Wiryapaksi yang masih bisa menangkis serangan sebisanya juga terluka
di tangan kiri. Sedangkan Kebo Jampe yang sangat terkejut terkena sambaran di
wajahnya. Sambil meraung-raung kesakitan lelaki berpakaian abu-abu itu menutupi
wajahnya dengan telapak tangan.
Senapati Wiryapaksi mengerang
kesakitan dan menjerit-jerit, sambil memegangi tangan kirinya yang ternyata
putus.
Belum sempat laki-laki gagah
itu memulihkan tenaga dalamnya, sosok laki-laki buntung yang ternyata si
Penyair Maut itu melesat cepat melancarkan serangan susulan, sambil bergerak cepat
tangannya menyentakkan senar-senar kecapi yang seperti sengaja diputuskan dari
tempatnya. Senar-senar itu bagaikan hidup, menghantam wajah Senapati Wiryapaksi
tercabik-cabik tak karuan. Seperti halnya wajah Kebo Jampe yang kini sudah
tewas dengan tubuh berubah membiru.
"Aaawww..." Senapati
Wiryapaksi menjerit-jerit sambil menutupi wajahnya yang rusak. Matanya pun tertancap
senar kecapi, hingga berlubang. Darah bercucuran keluar dari lubang mata.
Begitu pun dari wajahnya yang tercabik-cabik senar maut itu.
Tubuh Panglima Perang
Kadipaten Galih Putih itu kelojotan lalu ambruk dengan keras ke tanah.
Si Penyair Maut tampak belum
puas melihat Senapati Wiryapaksi belum mati. Dengan melompat dan mengangkat
kecapinya, lelaki buntung itu kembali melakukan serangan.
"Hieaaa..." Jlep
Jlep "Aaakh..." Senapati Wiryapaksi kembali menjerit panjang.
Tubuhnya tertancap ujung kecapi hingga tembus. Lalu lelaki buntung itu mencabut
kembali kecapinya seraya tersenyum puas. Wajahnya yang tak nampak jelas, karena
selain tempat itu diliputi asap, juga tertutup rambut panjang sebatas bahu.
Pakaiannya yang serba merah dan kumal itu menandakan, kalau lelaki buntung itu seakan
tak pernah membersihkan badan.
"Ha ha ha... Tinggal tiga
lagi. Cepat atau lambat aku harus bunuh mereka," lelaki buntung itu
tertawa terbahak-bahak. Lalu dibersihkannya ujung kecapi yang penuh darah
dengan ujung bajunya. Kemudian, lelaki buntung itu melesat pergi meninggalkan
kedua mayat. Dan menghilang begitu cepat. Hal itu menandakan kalau ilmu yang dimiliki
lelaki si Penyair Maut itu sangat tinggi.
Hanya suara tawanya yang
menggelegar bagai memecah bumi terdengar di kejauhan, hingga perlahan-lahan
menghilang.
Saat itu mendung menyelimuti
bumi. Angin bertiup sangat kencang, seakan hendak merobohkan pepohonan atau apa
saja yang ada di tempat itu. Petir mulai menyambar-nyambar. Dan bunyi guntur
menggelegar, menjadikan suasana mencekam dan keruh. Hujan pun turun dengan deras.
Tempat yang semula angker dan menakutkan, kini semakin mengerikan. Bagai
suasana alam gaib, tempat segala hantu dan dedemit.
Tempat itu ternyata tempat
semadi lelaki buntung itu. Karena di situlah kuburan Ki Damar Kiwangi, kakak
kandung si Penyair Maut berada.
Tak seorang pun tahu di tempat
itu terletak makam Ki Damar Kiwangi. Tokoh aliran putih itu dibunuh secara keji
oleh kawanan Gerombolan Partai Panca Siwara. Kelompok tokoh golongan hitam yang
anggotanya, Kala Hitam, Senapati Wiryapaksi, Kidang Pangarsura, Warik Kala, dan
Beruk Singgala.
Kelima tokoh itu sama memiliki
ilmu tinggi.
Namun mereka kejam dan
durjana. Beruk Singgala seorang tokoh aliran hitam dari Pulau Andalas.
Dia memiliki ilmu sesat, yaitu
ilmu sihir yang sangat menakutkan. Pangeran Sasanadipa tak luput dari ilmu
sihirnya. Hingga lupa ingatan.
Minuman yang diramu Beruk
Singgala dengan jampi-jampinya sempat membuat pangeran dari Kadipaten Galih
Putih itu mudah dipengaruhi oleh kelompok sesat yang dipimpin Kala Hitam.
Begitu pula yang dilakukan
terhadap para pejabat di Kadipaten Galih Putih. Gerombolan yang dipimpin Kala
Hitam telah banyak mempengaruhi orang-orang dalam pemerintahan dengan berbagai
macam hasutan. Lebih parah lagi, ketika para pembesar pemerintah kadipaten itu
berhasil dicekoki dengan perawan-perawan cantik yang diculik dari desa-desa.
Siasat sepak terjang yang keji
dilakukan oleh Kala Hitam dan para anak buahnya. Yang menjadi korban keganasan
mereka tak lain rakyat jelata. Mereka memeras rakyat dengan berbagai macam
pajak dan upeti. Hasil bumi yang dikerjakan rakyat pun tak luput dari gangguan
orangorang Partai Panca Siwara.
Namun sayang, sejauh itu tak
satu pun para pendekar dan prajurit kadipaten yang berhasil membekuk Kala Hitam
dan para begundalnya.
Apalagi keadaan di dalam
kadipaten sendiri semakin dikacaukan oleh hasutan tokoh-tokoh sesat itu. Hanya
si Penyair Maut yang telah memulai Sepak terjangnya berkitar belakang dendam kesumat
Lelaki buntung itu terus berlari meninggalkan tempatnya bersemadi. Hujan deras
mengguyur tubuhnya yang pendek tanpa kaki.
2
Para pejabat di Kadipaten
Galih Putih sangat terkejut ketika mendengar senapati yang paling ditakuti dan
berilmu tinggi terbunuh secara mengenaskan. Para senapati lain merasa cemas.
Sementara itu Pangeran
Sasanadipa justru sedang asyik berpesta pora dengan para selirnya, sambil
menonton tarian dibawakan gadis-gadis penari istana. Suasana meriah pesta yang
diselenggarakan oleh Pangeran Sasanadipa sangat bertolak belakang dengan
perasaan duka dan cemas yang melanda para prajurit. Seolah-olah tak pernah
terjadi peristiwa mengenaskan itu. Bagai terlupakan sama sekali kematian
seorang panglima yang sangat ditakuti itu di benak sang Pangeran. Namun itulah
yang sangat diinginkan sang Pangeran yang moralnya telah dibuat bejat oleh ilmu
sihir Beruk Singgala. Salah seorang dari Partai Panca Siwara yang berniat dapat
menguasai kadipaten dan seluruh desa untuk dijadikan alat menimbun kekayaan dan
kekuasaan.
Kidang Pangarsura dan Warik
Kala yang saat itu berada di kadipaten sangat terkejut mendengar berita, Kala
Hitam dan Senapati Wiryapaksi terbunuh secara tiba-tiba dalam hari yang sama.
"Aku belum percaya kalau belum melihat mayat Kala Hitam dan Senapati
Wiryapaksi..." ujar Kidang Pangarsura dengan geram sambil mengancam seorang
senapati kadipaten yang hendak melapor pada Pangeran Sasanadipa.
"Apa kau sudah lupa,
bahwa pangeran pun tak akan menanggapi laporanmu. Dia saat ini sedang
bersenang-senang. Kau ini seperti orang baru saja di kadipaten ini?"
bentak Warik Kala pada senapati yang bernama Bantlik Sampit, "Apa kau juga
lupa bahwa di kadipaten ini yang berkuasa Partai Panca Siwara. Sana
pergi..." Warik Kala mendorong tubuh Senapati Bantlik Sampit. Lelaki tua
berpakaian lurik itu sudah mabuk karena terlalu banyak minum tuak dan sihir
Beruk Singgala.
"Sebaiknya kematian Kala
Hitam dan Senapati Wiryapaksi kita selidiki. Aku tak yakin Ka-la Hitam yang
memiliki ilmu setaraf dengan kita, bahkan lebih tinggi bisa mati segampang
itu" bantah Kidang Pangarsuara masih belum percaya. Dipukul-pukulkan
kepalan tangan kanannya ke telapak tangan kiri. Lalu mulutnya mendengus sambil
menggertakkan gigi, seakan-akan ada kegeraman yang ditahan dalam hatinya.
"Kalau memang benar,
orang yang membunuh kedua kawan kita itu pasti bukan tokoh sembarangan,"
tukas Warik Kala cemas sambil mengerutkan kening. Sepertinya dia sedang
berpikir keras, mencari jawaban siapa yang membunuh kedua sahabatnya itu.
Sementara itu di ruang pesta,
nampak suasana semakin bertambah gila. Mata sang Pangeran yang terpengaruh
sihir Beruk Singgala tampak membelalak lebar. Lalu disuruhnya salah seorang
penari paling depan dan cantik datang ke tempatnya.
Tanpa lama-lama lagi penari
yang ditunjuk Pangeran Sasanadipa itu mendekat sambil tersenyum-senyum manja.
Begitu berada di hadapannya
sang Pangeran langsung memeluknya. Tangannya menggeluti penari cantik bertubuh
sintal itu. Para selirnya hanya tersenyum-senyum dan bahkan nampak senang.
Akhirnya sang Pangeran membawa
penari ini ke kamarnya, sambil terus menciumi seluruh tubuhnya. Dan keempat
wanita selirnya mengikuti sang Pangeran yang menggandeng penari itu ke dalam
kamarnya.
Begitu Pangeran Sasanadipa
menghilang masuk ke kamarnya, para pengawal, senapati, dan orang-orang penting
kadipaten, langsung mengambil pesanan para penari lainnya. Para penari yang
masih muda-muda itu tak menolak, justru nampak bergembira. Tubuh mereka diciumi
dan dirangkul oleh para pengawal dan senapati.
Kemudian mereka bergumul di
ruangan pesta itu sesuka hati, tanpa ada rasa malu satu sama lainnya. Kadipaten
Galih Putih yang dulu terkenal dan disegani, telah berubah menjadi tempat maksiat.
Setelah dikuasai Partai Panca Siwara yang sengaja membuat hancur kekuatan
kadipaten itu.
"Kita harus cepat memberi
tahu Danur Saka dan Beruk Singgala, sebelum menyelidiki, siapa pembunuh Kala
Hitam dan Senapati Wiryapaksi" ujar Warik Kala mendesak Kidang Pangarsura.
"Benar. Tapi di mana mereka sekarang berada? Terutama Beruk Singgala. Aku
khawatir dia pulang ke Pulau Andalas" tukas Kidang Pangarsura cemas.
Lelaki yang bertubuh besar dan berkumis tebal, memperlihatkan perasaan tak tenang.
Matanya yang merah menatap ke sana kemari karena gelisah.
"Kita cari saja. Atau
kita temukan Danur Saka dulu. Siapa tahu Danur Saka menerima pesan dari Beruk
Singgala, di mana harus mencarinya," ujar Warik Kala memutuskan.
Kidang Pangarsura
manggut-manggut, membenarkan usul Warik Kala.
"Benar. Ayo, kita
berangkat Biar saja pangeran edan itu sibuk dengan perempuanperempuan
gundiknya" jawab Kidang Pangarsu-ra. Yang kemudian mengajak Warik Kala
pergi dari Kadipaten Galih Putih.
Kedua anggota Partai Panca
Siwara tak mempedulikan Pangeran Sasanadipa yang tengah bercumbu dengan seorang
penari ditemani keempat selirnya.
Tak lama kemudian Kidang
Pangarsura dan Warik Kala sudah sampai di luar lingkungan kadipaten. Keduanya
menggebah kuda tunggangan mereka meninggalkan Kadipaten Galih Putih.
"Aku penasaran Siapa yang
berani membunuh Kala Hitam..." sungut Kidang Pangarsura sambil terus
melangkah cepat "Aku juga ingin tahu bagaimana muka orang yang mampu
menghabisi nyawa Kala Hitam. Benar-benar berilmu tinggi orang itu...,"
sahut Warik Kala bernada geram "Kalau begitu kita harus mempercepat langkah,
agar segera sampai di tempat Danur Saka. Ayo, heps..." "Heaaa..."
***
Siang itu cuaca begitu terik. Sang Surya memancarkan
sinarnya bagai membakar kulit sepasang muda-mudi yang tengah berjalan memasuki
Lembah Bulak Rawa. Angin berhembus kencang menerpa keduanya. Namun hawa tetap
terasa sangat panas.
"Kakang Sena, sebaiknya
kita cepat mencari desa terdekat. Aku haus," ujar gadis cantik berpakaian
putih dengan pedang tersampir di punggungnya. "Heran, panas sekali udara
siang ini." Gadis itu mengeluh sambil menyeka keringat di keningnya.
Pemuda tampan berpakaian rompi
dari kulit ular yang dipanggil Sena cengengesan. Tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala sambil mengedarkan pandangan ke sekitar tempat itu.
"Hah?" pemuda
berambut gondrong yang ternyata Sena Manggala terkejut ketika tiba-tiba
pandangannya membentur sesuatu.
"Ada apa, Kakang?"
tanya gadis cantik itu sambil mengerutkan kening.
"Lihat sana, Mei..,"
sahut Sena sambil menunjuk ke satu arah. Lalu kembali menggarukgaruk kepala
sambil mulutnya cengengesan, mirip orang tidak waras.
"Hah? Mayat...?" Mei
Lie memandang ke tempat yang ditunjuk Sena.
Lalu tanpa banyak bicara Sena
melangkah menghampiri sosok mayat yang tergeletak sekitar sepuluh tombak di
depannya. Diikuti oleh Mei Lie.
Dengan tangan menggaruk-garuk
kepala dan mulut cengengesan Sena memperhatikan sosok mayat berpakaian hitam di
hadapannya. Kemudian dua tombak jaraknya dari tempat Sena, Mei Lie melihat dua,
sosok mayat terbalut pakaian rompi abu-abu.
"Wajah ketiga mayat itu
hancur. Lihat mata mereka seperti diculik Hhh..., benar-benar tindakan
keji" gumam Mei Lie seraya menggelenggelengkan kepala.
Sena pun menggeleng-geleng,
lalu cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Aku tak mengenal
mayat-mayat itu. Tapi kalau dilihat dari pakaian mayat yang di sebelah
sana," Sena menunjuk mayat di sebelah kirinya yang mengenakan pakaian
prajurit warna abu-abu. "Kalau aku tak salah, orang-orang yang mati ini
dari Kadipaten Galih Putih." "Lalu siapa yang membunuh mereka
ini?" tanya Mei lie.
"Ah ah ah..., mana aku
tahu. Tapi rasanya keadaan Kadipaten Galih Putih sedang menghadapi
kehancuran..,," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana Kakang Sena
tahu?" "Pernah kudengar dari seorang saudagar yang biasa mengantarkan
pesanan pakaian ke kadipaten. Kau ingat, ketika bermalam di penginapan di Desa
Watu Congot kemarin?" tutur Sena dengan mulut cengengesan persis orang
gila. Namun Mei Lie tetap menanggapi dengan sungguh.
Dirinya telah memahami benar
bagaimana kebiasaan kekasihnya.
"Kakang yakin dengan
berita itu...?" Sena hanya cengar-cengir dana menggaruk-garuk kepala.
"Sebaiknya kita kubur
mayat-mayat ini.
Kasihan..." kata Sena.
Lalu segera Sena dan Mei Lie
melakukan penguburan ketiga mayat itu "Semoga arwah mereka lebih tenang di
dalam kubur..." gumam Sena setelah selesai mengubur mayat Kala Hitam, Kebo
Kluwuk dan Rodoprana Terik matahari masih saja menyengat kulit kedua muda-mudi
itu. Keduanya meneruskan perjalanan ke sekitar.
"Mudah-mudahan ada desa
di sebelah sekitar lembah ini...,'' gumam Sena.
Pada saat yang bersamaan,
Kidang Pangarsura dan Watik Kala sedang dalam perjalanan mencari Danur Saka.
Tanpa menghiraukan jalanan terjal berbatu mereka terus menggebah kuda masing-masing
agar segera sampai ke tempat tujuan. Seakan tak ingin kehilangan waktu sedikit pun.
Derap kaki kuda begitu keras menapaki jalan yang berkelok dan naik turun itu.
Dan ketika kuda-kuda mereka melewati Lembah Bulak Rawa.
Kidang Pangarsura dan Warik
Kala segera menghela tali kendali. Kuda pun berhenti.
"Heaaah Herrr..." "Mungkin
itu mayat Kala Hitam dikuburkan di sana" ujar Kidang Pangarsura sambil
menunjuk gundukan tanah, menyerupai kuburan yang masih baru.
"Mungkin," sahut
Warik Kala. Lalu mereka menjalankan kuda menuju tempat mayat Kala Hitam dan
kedua temannya dikuburkan.
Kidang Pangarsura dan Warik
Kala segera melompat turun dari kudanya. Langsung memeriksa kuburan baru itu.
"Perasaanku mengatakan
benar ini pasti kuburan Kala Hitam Ayo, kita bongkar" kata Kidang
Pangarsura.
"Tunggu dulu Ini ada tiga
kuburan. Yang mana kira-kira mayat Kala Hitam…?" cegah Warik Kala.
"Ahhh Bongkar saja semuanya Kita kan ingin kenyataan. Apakah benar kawan
kita itu benar telah mati" sergah Kidang Pangarsura.
Lalu dengan menggunakan tenaga
dalam mereka, tak memakan waktu lama, kuburankuburan itu telah terbongkar.
"Aneh Rasanya tak
mungkin. Kala Hitam yang memiliki ilmu cukup tinggi benar-benar man" gumam
Warik Kala. Setelah melihat mayat Kala Hitam yang mukanya rusak. Mengerikan.
"Kurang ajar Siapa pun
yang melakukannya, akan kubalas" dengus Kidang Pangarsura dengan geram.
Matanya membelalak lebar. Giginya beradu, menimbulkan gemeretak.
Matanya liar menyapu
sekeliling tempat itu. Lalu pandangannya terhenti pada satu arah.
"Warik Kala, kau lihat
bekas telapak kaki yang menuju ke sekitan. Mungkin orang itu yang membunuh
kawan kita. Ayo kita kejar..." kata Kidang Pangarsura dengan nada geram.
Segera keduanya melompat ke
atas punggung kuda. Dan mereka memacu kudanya dengan cepat ke sekitan.
"Hea Hea..."
***
Sena dan Mei Lie baru saja keluar dari sebuah
kedai, habis istirahat dan sekadar mengisi perut. Tiba-tiba para penduduk Desa
Serangan dikejutkan oleh dua orang berkuda yang tak lain Kidang Pangarsura dan
Warik Kala. Derap kaki kuda yang keras dan kencang membuat orangorang yang
sedang berlalu lalang di jalan utama desa itu panik dan berlarian menghindar.
Apalagi mereka yang mengenali
kedua orang-orang itu nampak mencibir dengan hati diliputi rasa cemas. Karena
mereka tahu bahwa orang berkuda itu dari
aliran hitam yang menguasai
Kadipaten Galih Putih dengan cara licik dan kotor. "Herrr, herrr..." Kidang
Pangarsura menarik tali kekang kudanya agar berhenti. Begitupun yang dilakukan Warik
Kala. Sambil memandang sekeliling desa yang dilewati, mereka membiarkan kuda
berjalan pelan. Mata Kidang Pangarsura dan Warik Kala terus menyapu ke kiri dan
kanan dengan pandangan tajam dan bengis. Para penduduk desa nampak acuh dan
menghindar.
Mei Lie yang melihat situasi
demikian, hanya tersenyum sinis. Sena menggaruk-garuk kepala sambil
cengai-cengir memandangi Kidang Pangarsura dan Warik Kala.
"Hei... Siapa yang merasa
menguburkan mayat sahabatku yang mati di Lembah Bulak Rawa?" seru Kidang
Pangarsura dengan suara penuh geram. Matanya jelakitan ke sana kemari.
Para penduduk desa yang
mendengar merasa heran dan aneh dengan pertanyaan Kidang Pangarsura itu. Mereka
saling pandang dan mengangkat bahu. Ada pula yang menggeleng kepala.
Sebagian lagi tampak tak
peduli dengan ocehan Kidang Pangarsura.
"Hei Kau berhenti"
bentak Kidang Pangarsuara yang melihat seorang lelaki setengah baya dengan tak
peduli ngeloyor pergi.
Lelaki setengah baya yang
ternyata Ki Suko Kusumo, Kepala Desa Serangan, menghentikan langkahnya. Lalu
membalik perlahan seraya menatap Kidang Pangarsura dan Warik Kala, dengan menyipitkan
kedua matanya.
"Ada apa,
Kisanak...?" tanya Ki Lurah Suko Kusumo.
"Bangsat Ditanya malah
kau bertanya" Kidang Pangarsura marah. Kemudian bergerak hendak menghajar
Ki Lurah Suko Kusumo dengan cambuknya. Namun cambuk itu belum sempat menyentuh
tubuh Ki Lurah Suko Kusumo.
Karena mendadak sesosok wanita
muda melompat, dan....
"Yeaaa..." Prattts "Hah?"
Kidang Pangarsura tersentak kaget, melihat cambuknya terlepas.
Belum sempat Kidang Pangarsura
dan Warik Kala mengenali siapa penyerangnya, wanita berambut panjang itu sudah
membentaknya.
"Hei Jangan sembarangan
main cambuk orang yang tak tahu apa-apa tentang mayat sahabatmu itu Akulah yang
menguburkan mayat sahabatmu itu. Sekarang kau mau apa...?" Gadis itu
bahkan berani menantang Kidang Pangarsura dan Warik Kala. Matanya yang bening dan
lembut menatap wajah kedua lelaki yang duduk di punggung kuda itu.
"Bedebah Siapa kau,
Wanita Bawel...
Kaukah yang membunuh Kala
Hitam?" bentak Kidang Pangarsura dengan geram. Lalu melompat dari atas
punggung kudanya, disusul oleh Warik Kala. Keduanya berdiri tegap di hadapan
Mei Lie "Ha ha ha... Rupanya kalian orang-orang picik dan rendah"
maki Mei Lie sambil mencabut pedang yang tersampir di punggungnya.
"Hah?" Kidang
Pangarsura dan Warik Kala tersentak kaget ketika melihat Pedang Bidadari yang
digenggam tangan kanan Mei Lie. Mereka tahu kalau pedang yang memancarkan sinar
kuning kemerah-merahan itu Pedang Bidadari. Dan hanya si Bidadari Pencabut
Nyawa kekasih Pendekar Gila yang memiliki "Pedang Bidadari...?" desis
Kidang Pangarsura dan Warik Kala lagi dengan mata terbelalak seakan tak percaya
pada apa yang dilihatnya. Ki Lurah Suko Kusumo dan para warga Desa Serangan
yang berada di tempat itu tampak kaget menyaksikan pedang Mei Lie yang bersinar
kuning kemerahan-merahan.
"Hi hi hi... Lucu, kalian
berdua ini lucu. Hi hi hi... mau apa kalian, Badut?" celetuk Sena yang
melangkah maju sambil menggaruk-garuk kepala mengejek Kidang Pangarsura dan
Warik Kala. Kedua orang itu semakin terkejut Wajah mereka saling tatap diliputi
ketegangan ketika mengenali siapa pemuda yang bertingkah laku seperti orang
gila itu. Sementara itu Ki Lurah Suko Kusumo yang rupanya juga telah mengenali
pemuda berompi dari kulit ular itu, tampak tersenyum lega.
"Pendekar Gila...?"
pekik Kidang Pangarsura. Wajahnya yang semula garang dan bengis berubah
seketika. Tersungging senyum kecut di bibirnya. "Hei Sekarang kau sudah
berhadapan dengan orang yang menguburkan mayat sahabatmu. Jawab, apa
maumu..." ujar Mei Lie ketus, sambil menuding Kidang Pangarsura dengan
Pedang Bidadari-nya.
"Hm..., mak..., maksud
kami hanya ingin tahu siapa yang membunuh sahabatku itu...," jawab Kidang
Pangarsura bimbang.
"Hi hi hi... Lucu Kalau
hanya itu, kenapa kau berbuat kasar sama orang yang tak tahumenahu soal mayat
sahabatmu itu? Aku kurang suka dengan tindakanmu itu, Kisanak.... Terus terang
aku tersinggung...," ucap Sena dengan cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala.
Kidang Pangarsura dan Warik
Kala saling pandang. Mukanya memerah. Marah. Namun Warik Kala yang lebih
memakai otak, dari pada otot segera menjawab.
"Maaf... Kami tak ingin
bentrok dengan, Kisanak. Kami berdua hanya ingin mencari pembunuh sahabat kami.
Terima kasih atas kerelaan pendekar mau mengubur mayat Kala Hitam sahabat kami
itu...." "Hm... Baiklah, kalau memang kalian berdua mengerti bahwa
aku dan Kang Sena bukan pembunuh yang kau cari. Sekarang cepat kalian tinggalkan
desa ini Aku paling tak suka melihat orang-orang Desa Sarangan ini ketakutan
dan cemas" kata Mei Lie ketus.
Kidang Pangarsura menahan
marah. Giginya gemeretak beradu. Warik Kala menenangkan, seraya berkata lirih, "Tenang,
Kawan. Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa bukan pembunuh Kala Hitam.
Sebaiknya kita cepat pergi dari desa ini. Tujuan kita mencari pembunuh itu.
Urusan sakit hati pada Pendekar Gila dan wanita itu kita atur
selanjutnya...." Kidang Pangarsura memaksakan diri untuk tersenyum
mengangguk.
"Maafkan kami... Ayo
pergi" kata Kidang Pangarsura dengan mengajak Warik Kala untuk segera
pergi dari tempat itu.
"Her, her..." "Hea
Heaaa..." Kedua kuda yang ditunggangi Kidang Pangarsura dan Warik Kala
dengan cepat meninggalkan Desa Sarangan. Pendekar Gila dan Mei Lie memandangi
dari belakang. Pendekar muda itu terus tertawa-tawa cekikikan sambil mengorek kupingnya
dengan bulu burung yang selalu disimpan di dalam ikat pinggangnya.
"Terima kasih, Tuan
Pendekar.... Juga Nini...," ucap Ki Lurah Sumo Kusumo sambil menjura.
Begitu juga para penduduk desa yang merasa senang dengan kehadiran sepasang
pendekar muda itu di desa mereka.
"Sama-sama, Ki. Sudah
kewajiban kami berdua untuk menolong orang-orang lemah," jawab Sena seraya
tersenyum. "Tapi siapa sebenarnya kedua orang tadi, Ki?" tanya Sena
kemudian.
"Mungkin Ki Lurah bisa
menjelaskan...," tambah Mei Lie menyela ucapan Pendekar Gila.
Ki Lurah Sumo Kusumo
manggut-manggut seraya menatap dengan senyum pada Sena dan Mei Lie.
"Hm..., sebaiknya Tuan
berdua singgah dulu ke rumah kami Nanti saya ceritakan sedikit tentang kedua
orang tadi...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo kalem.
Pendekar Gila melirik wajah
Mei Lie, sambil terus mengorek telinganya dengan bulu burung.
Seakan dirinya meminta
pertimbangan pada Mei Lie. Ternyata gadis itu menganggukkan kepala, tanda
setuju.
"Baiklah...," jawab
Sena dengan mulut cengengesan.
"Kalau begitu mari,
silakan..." kata Ki Lurah Sumo Kusumo memberi jalan pada Sena dan Mei Lie
dengan ramah. Begitu juga dengan penduduk desa. Tampaknya mereka telah mengetahui
tentang keberadaan Pendekar Gila dan kekasihnya, si Bidadari Pencabut Nyawa.
Hal itu tak mengherankan, karena sepak terjang Pendekar Gila sebagai pendekar
penegak keadilan telah dikenal tidak hanya oleh kalangan rimba persilatan.
***
Ki Lurah Sumo Kusumo menceritakan secara
singkat pada Pendekar Gila dan Mei Lie.
Bahwa kedua orang berkuda itu
anggota Partai Panca Siwara yang kini menguasai Kadipaten Galih Putih.
"Aha Lalu siapa pembunuh
kawan orangorang sesat itu, Ki?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Mulut masih juga cengengesan.
"Ya" sela Mei Lie,
sebelum Ki Lurah Sumo Kusumo menjawab. "Tadi Ki Lurah bilang bahwa Ki
Damar Kiwangi punya adik kandung. Apa dia juga mati dibunuh Partai Panca
Siwara...?" "Saya belum tahu pasti karena cerita yang tersiar simpang
siur. Ada yang menceritakan bahwa adik Ki Damar Kiwangi yang bernama Anjang
Kawiwangi mati setelah dilempar ke jurang.
Tapi ada pula yang mengatakan
bahwa Anjang menghilang begitu saja...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo
menjelaskan. Kepala lelaki setengah baya itu menggeleng-geleng seakan tidak
yakin pada apa yang diceritakannya sendiri.
Pendekar Gila manggut-manggut,
kemudian menggaruk-garuk kepalanya. Mei Lie mengerutkan kening. Ditatapnya
wajah Ki Lurah Sumo Kusumo sejenak lalu tanyanya, "Kalau saya boleh tahu
apa Ki Lurah tahu, siapa kira-kira pembunuh tokoh Partai Panca Siwara
itu?" "Hm..." gumam Kepala Desa Sarangan itu sambil mengerutkan
kening. Sejenak lelaki setengah baya itu mengingat-ingat sesuatu. "Ya.
Kami dengar dari orang-orang yang pernah melihat, bahwa ada seorang lelaki
berkaki buntung yang tiba-tiba muncul di wilayah ini. Diduga keras lelaki
buntung itulah pelaku pembunuhan terhadap Senapati Wiryapaksi dan Kala
Hitam..." "Lelaki buntung...?" gumam Mei Lie dengan kening
berkerut, kaget Sementara Pendekar Gila seakan tak peduli dengan lelaki buntung
yang disebut Ki Lurah Sumo Kusumo. Dia tetap dengan tingkahnya yang lucu.
Cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Sena kemudian melirik sebentar
pada MeiLie. Dan Mei Lie mengerti maksud lirikan Sena itu. "Mungkinkah
lelaki buntung itu ada hubungannya dengan adik Ki Damar Kiwangi, yang belum
jelas mati atau... masih hidup?" gumam Mei Lie pelan sekali seperti bicara
pada diri sendiri.
Ki Lurah Sumo Kusumo tampaknya
mendengar gumaman Mei Lie.
"Mungkin juga adik Ki
Damar Kiwangi masih hidup. Ah, tapi tak mungkin Kelima tokoh sesat itu telah
melemparkannya ke jurang Mager Wadas setelah dihajar sampai setengah mati....
Dan nyatanya hingga sekarang
tak pernah terdengar lagi nama Anjang Kawiwangi" Mei Lie menyipitkan kedua
matanya, seolah-olah tengah berusaha memecah dan memahami penjelasan Kepala
Desa Sarangan itu.
"Apa Ki Lurah menyaksikan
kejadian itu...?" tanya Sena tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan Sena itu,
Ki Lurah Sumo Kusumo mengerutkan kening. Sejenak dia menghela napas panjang.
"Ya, sepuluh tahun yang
lalu. Sebab saya sendiri termasuk murid dari Padepokan Gunung Talang. Bahkan
hampir semua penduduk Desa Sarangan ini mengabdi pada Ki Damar Kiwangi yang
bijaksana dan pembela kaum lemah. Seperti Tuan Pendekar saat ini," Ki
Lurah Sumo Kusumo menghentikan ucapannya sebentar dan menghela napas.
"Namun sejak Padepokan Gunung Talang dihancurkan Partai Panca Siwara
keadaan kian memburuk. Penduduk desa yang sebelumnya hidup aman dan sentosa,
kini selalu merasa dicekam ketakutan. Pemerasan, pemaksaan, pembunuhan, bahkan
penculikan terjadi di mana-mana.
Tidak hanya di Desa Sarangan
ini. Hampir semua desa yang masih dalam lingkungan Kadipaten Galih Putih
menjadi cengkeraman Partai Panca Siwara." Mendengar cerita Ki Lurah Suko
Kusumo Pendekar Gila dan Mei Lie mengangguk-anggukkan kepala. Sena kemudian
menggarukgaruk kepala lagi.
"Ki Lurah, kalau saya
boleh tahu, di manakah letak Padepokan Gunung Talang?" tanya Mei Lie
kemudian. Mendengar itu Sena menoleh kepada Mei Lie.
"Tak Jauh dari Lembah
Bulak Rawa. Tepatnya di sebelah utara lembah itu. Tempatnya dulu cukup nyaman,
tapi sekarang menjadi serem dan angker. Orang-orang Desa Sarangan tak pernah
datang ke sana...," kata Ki Lurah Sumo Kusumo dengan wajah keruh.
Sena dan Mei Lie saling
pandang. Lalu berucap terima kasih pada kepala desa itu. Mereka tak lagi
bicara. Suasana seketika berubah hening.
Sementara di luar matahari
semakin condong ke barat. Sinarnya pun mulai keemasan.
3
Dalam perjalanan menuju
kediaman Danur Saka, Kidang Pangarsura dan Warik Kala terus dilanda rasa cemas.
Kegalauan tergambar jelas di wajah kedua lelaki bertampang bringas itu.
Kuda-kuda itu dipacu kencang
menelusuri tepian sungai yang airnya cukup deras. Kudakuda itu terus dipacu
untuk menyeberangi sungai yang ternyata dangkal. Bebatuan tampak tersembul di
sana-sini, memecah arus menjadi beriakriak. Sampai di seberang, tiba-tiba
Kidang Pangarsura berkata agak kesal pada Warik Kala.
"Seharusnya kemarin kita
coba ilmu Pendekar Gila dan gadis Cina itu Aku merasa diremehkan..."
Kidang Pangarsura tak menyembunyikan wajahnya yang bersungut-sungut karena kesal.
"Sebenarnya aku pun merasa ingin menjaj-al kesaktian Pendekar Gila. Tapi
tujuan kita yang pertama harus dituntaskan terlebih dahulu. Kita harus
bersiasat. Orang seperti Pendekar Gila harus dilawan dengan tipu muslihat"
tukas Warik Kala coba meredakan dengan kata-katanya.
"Pintar juga kau, Warik
Ha ha ha... Herrr Heaaa..." Kidang Pangarsura langsung menggebah kudanya,
disusul Warik Kala.
Tanpa diketahui oleh mereka
sesosok bayangan berkelebat menguntit dari belakang. Ketika memasuki Hutan
Roban. Sosok bayangan itu bagai seekor kera, melompat-lompat dari pohon satu ke
pohon lain. Begitu cepat gerakannya, sehingga yang tampak hanya bayang-bayang
kehijauan seperti melayang terbawa angin.
"Ho..." Kidang
Pangarsura mendadak menghentikan lari kudanya. Hal itu membuat Warik Kala agak
kaget dan cepat menarik tali kekang kudanya. Hingga kuda itu meringkik.
"Hiiieee..." "Ho,
hop Ada apa...?" tanya Warik Kala tak mampu menutupi keheranannya.
"Apa telingamu tak
mendengar suara aneh? Kita diikuti orang" jawab Kidang Pangarsura setengah
berbisik.
Warik Kala menelengkan kepala
seakan berusaha mendengar. Matanya liar menyapu sekeliling Hutan Roban yang
terkenal angker. Dan menurut kabar, banyak makhluk halus menghuni hutan itu.
"Aku menduga rasanya dia
bukan manusia. Mungkin hantu atau makhluk halus.." gumam Warik Kala dengan
suara agak tertahan.
"Hi hi hi... Hi hi hi...
Kau manusiamanusia buruk mau ke mana? Hi hi hi..." Tiba-tiba terdengar
suara seorang wanita tertawa nyaring. Suaranya seperti tawa kuntilanak.
"Hah?" sentak Kidang Pangarsura. Belum sempat kedua lelaki bermuka
bringas itu dapat menguasai keadaan. Tiba-tiba...
Swing Swing Swing...
Beberapa senjata rahasia
berupa tusuk kode beracun meluncur bagai anak panah ke arah kedua lelaki itu.
Kidang Pangarsura dan Warik Kala cepat mengelak dengan menjatuhkan diri ke
tanah, lalu bergulingan. Secepat itu pula mereka mencabut senjata
masing-masing. Kidang Pangarsura dengan senjata pedang, sedangkan Warik Kala
dengan golok.
Keduanya menangkis tusukan
konde beracun itu.
Trang Trang Trang...
Dar Darrr...
Tusukan konde yang tertangkis
dan menghantam pohon-pohon yang ada di hutan itu menimbulkan ledakan dahsyat.
Beberapa pohon tumbang setelah terbakar.
Kidang Pangarsura dan Warik
Kala tersentak kaget, melihat keampuhan tusukan konde itu.
"Hi hi hi... Ini baru
permainan kecil. Baru pembukaan, Manusia-manusia Kotor... Ha ha ha... Hi hi
hi..." kembali suara tanpa wujud itu menggelegar keras bagai memecah
kesunyian Hutan Roban.
"Benar Bukan manusia yang
kita hadapi, Warik Mungkin dedemit Hutan Roban ini..." gumam Kidang
Pangarsura. Wajahnya kini tampak berkeringat. Karena satu tusukan konde, hampir
saja menjebol perutnya yang besar. Kalau saja ta-di dia tidak cepat menangkis
sambil bergulingan, remuk redamlah tubuhnya meledak seperti pohon-pohon itu.
"Si... siapa kau? Manusia
atau hantu...?" tanya Warik Kala dengan suara sedikit tertahan.
"Hei... Kalau kau
manusia, Perempuan Sejati, keluarlah Hadapi aku..." seru Kidang Pangarsura
yang cepat emosi dan tak bisa menguasai diri itu.
Baru saja Kidang Pangarsura
selesai berseru, tiba-tiba.....
Srakkk...
Seorang wanita berparas cantik
muncul di hadapan mereka.
"Kau
memanggilku...?" tanya wanita itu dengan senyum genit. Matanya bening dan
memiliki daya tarik. Bibirnya yang merah tampak tipis dan indah. Ditambah lagi
tubuhnya yang padat, sintal, terbalut kulit berwarna kuning langsat Kedua
lelaki beringas hanya bisa melongo memandangi wanita itu. Tubuh wanita itu
hanya ditutupi kain warna hijau sampai di dada, seperti kemben. Sedang bagian
bawah memakai kain hitam, sedikit di atas lutut. Sehingga jika wanita itu
sedikit saja mengangkat kaki akan terlihat jelas pahanya yang mulus.
"Hei Kenapa kau diam
seperti orang bisu...?" tanya wanita itu dengan diiringi senyum genit.
"Si... siapa kau? Manusia atau hantu...?" tanya Warik Kala dengan
suara sedikit tertahan.
"Kalian ini memang
manusia-manusia buta Kalau aku hantu, lantas kalian mau apa? Dan kalau aku
manusia seperti kalian...?" jawab wanita itu dengan suara nyaring.
Kidang Pangarsura yang sejak
tadi terkesima menyaksikan kemolekan tubuh dan paras cantik wanita itu,
menyelak, "Kalau kau manusia biasa, aku ingin mengawinimu..." "Apa
kau tak salah? Dan aku ingin tahu apa ucapanmu itu bisa dipercaya...?"
tukas wanita aneh itu dengan genit. Tangannya yang kiri perlahan dengan sengaja
mengangkat ke atas kainnya. Hingga hampir pangkal paha. Mendadak mata kedua
lelaki itu berbinar-binar. Dan menelan ludah.
Kidang Pangarsura yang buas
dengan wanita, tak pikir panjang lagi, segera ia menubruk dan memeluk wanita
itu dengan penuh nafsu.
Anehnya wanita itu tak
berusaha menolak.
Bahkan mendesah dan tertawa
cekikikan. Warik Kala yang melihat keanehan dari tawa wanita itu mulai
merasakan bulu kuduknya berdiri. Merinding. Ingin dia memberi tahu Kidang
Pangarsura, tapi mulutnya terasa kelu, tak dapat dibuka. Padahal telah
dikerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Aneh sekali. Entah ilmu apa
yang dipakai wanita cantik itu.
Pada saat Kidang Pangarsura
semakin lupa daratan, perlahan-lahan wajah wanita yang tadinya cantik itu,
berubah sangat menyeramkan.
Keriput dan pucat. Warik Kala
terbelalak kaget Mulutnya ternganga lebar seperti hendak berteriak, tapi sulit.
"Hah? Hantu...?"
pekiknya lirih. Lalu segera berlari sekuat tenaga meninggalkan Kidang Pangarsura
yang masih mendekap tubuh wanita itu sambil menciumi buah dadanya.
Warik Kala melompat ke
punggung kuda dan cepat melarikannya. Tanpa menoleh lagi Warik Kala
meninggalkan Hutan Roban.
Sementara itu, Kidang
Pangarsura mulai merasakan keanehan. Tubuh wanita itu tiba-tiba terasa dingin
sekali. Dan menyusul segera Kidang Pangarsura mengangkat mukanya yang sejak
tadi menyusup di dada wanita itu.
"Hah...? Aaa... Han...
hantuuu..." Kidang Pangarsura terkejut bukan main. Dia berusaha lari.
Namun aneh ada kekuatan membelenggu hingga tak bisa mengangkat kakinya.
"Hi hi hi... Jawab
pertanyaanku, sebelum ajalmu tiba Apa kau dari Partai Panca Siwara?" tanya
wanita yang wajahnya sudah berubah menyeramkan itu.
Kidang Pangarsura tak berani
berbohong.
Sekujur tubuhnya yang sudah
bermandi keringat gemetaran. Dan mukanya pucat pasi.
"Kau memang manusia
rendah dan licik Ternyata ilmumu tak kuasa menandingiku. Hi hi hi... Dan kini
terimalah ajalmu Grrr..." "Aaauwww..." Kidang Pangarsura
menjerit-jerit dan mendadak suaranya berhenti. Jiwa Kidang Pangarsura melayang.
Rupanya wanita itu mencekik
dengan kuku-kukunya yang tiba-tiba memanjang dan runcing. Lalu mencucup
ubun-ubun Kidang Pangarsura. "Hi hi hi... Kakang Brajasukmana, aku telah
membalaskan dendammu. Hi hi hi...." Wanita itu kemudian nampak puas, darah
menetes dan membasahi tangannya. Perlahanlahan wajahnya kembali berubah seperti
semula.
Cantik dan sensual. Itulah
ilmu ‘Perubah Raga’, milik wanita yang dikenal dengan nama Dewi Sukmalelana.
"Sebaiknya mayat ini
kukirim ke kadipaten sekarang juga," gumamnya lirih. Setelah berpikir,
Dewi Sukmalelana melesat bagai terbang, sambil membopong mayat Kidang
Pangarsura.
***
Ketika Dewi Sukmalelana sedang berlari kencang
sambil membopong mayat Kidang Pangarsura, tiba-tiba berpapasan dengan sepasang muda-mudi
yang sedang menuju arah berlawanan. Mereka tak lain Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Berhenti..." seru
Mei Lie sambil mengangkat tangan kirinya ke depan. Sedang Pendekar Gila hanya
cengengesan menatap Dewi Sukmalelana yang nampak tenang-tenang saja. Tak ada
rasa kesal atau marah.
"Hi hi hi... Ada perlu
apa kalian menghentikanku...?" tanya Dewi Sukmalelana dengan senyum genit.
Matanya melirik wajah Sena, membuat Mei Lie melebarkan mata, cemburu.
"Hei... Aku yang bicara,
bukan dia" seru Mei Lie ketus.
"Hi hi hi... Oooh rupanya
pemuda tampan dan gagah itu kekasihmu. Maafkan aku Bukan maksudku membuatmu
cemburu. Tapi jujur saja, pemuda pendampingmu itu membuatku terpesona...,"
ujar Dewi Sukmalelana tanpa rasa malu sedikit pun.
"Huh Mulutmu terlalu
bawel. Perlu dikasih pelajaran..." Selesai berkata begitu, Mei Lie segera
bergerak hendak menyerang. Namun Dewi Sukmalelana segera berkata, memohon maaf.
"Tunggu, sabar Sekali
lagi maafkan aku.
Bukankah kalian berdua
Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa? Sepasang pendekar yang sangat
kesohor di bumi Jawa Dwipa ini...?" kata Dewi Sukmalelana dengan nada
bersahabat. Mulutnya tersenyum manis.
Mei Lie dan Sena saling
pandang.
"Ah ah ah... Jangan sebut
kami pendekar Kita berdua hanya manusia biasa. Seperti kamu.
Tapi bagaimana kau bisa
mengenal kami...?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan dan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Hhh..., tak terlalu
sulit untuk mengenalimu, Pendekar. Pertama, tingkahmu yang aneh.
Kedua, aku melihat suling
berkepala naga terselip di ikat pinggangmu...," jawab Dewi Sukmalelana
bangga. Lalu matanya berkerling pada Sena.
Membuat Mei Lie bertambah kesal
dan cemberut "Sungguh jeli matamu...," puji Sena sambil
menggaruk-garuk kepala. "Tentunya kau bukan perempuan sembarangan. Dan
kalau aku boleh tahu, untuk apa kau membawa orang itu...?" "Ya. Tentu
kau telah melakukan kejahatan.
Telah membunuh orang
itu...," tukas Mei Lie langsung dengan nada ketus.
"Benar. Aku telah
membunuh orang itu...," jawab Dewi Sukmalelana dengan tegas dan mantap.
Mei Lie mengerutkan kening.
"Kalau begitu kau yang
membunuh partai...." Belum sempat Mei Lie meneruskan kata-katanya, Dewi
Sukmalelana cepat menyelak.
"Partai Panca Siwara,
maksudmu...?" "Ya" jawab Mei Lie singkat "Lantas, kenapa
kau bunuh orang itu...?" tanya Sena sambil cengengesan dan menggarukgaruk
kepala.
"Maaf Mungkin lain kali
aku dapat menjawab pertanyaanmu. Aku harus segera pergi..." ujar Dewi
Sukmalelana, "Kumohon jangan ganggu aku Aku tak ingin bentrok dengan
kalian. Permi-si" Selesai berkata begitu, Dewi Sukmalelana melesat cepat
bagai terbang, meninggalkan Pendekar Gila dan kekasihnya. Mei Lie yang sejak
ta-di merasa kesal dan sedikit cemburu dengan tingkah laku, serta ucapan Dewi
Sukmalelana, ingin mengejarnya. Namun Sena mencegah.
"Sabar, Mei Jangan turuti
perasaanmu Rencana kita untuk menyelidiki siapa si buntung itu bisa gagal.
Kalau kau tak dapat menguasai di-ri...," cegah Sena dengan lemah lembut,
sambil memanggul kekasihnya.
"Aku sebel mendengar
suaranya. Apalagi matanya selalu tertuju padamu. Perempuan genit" sungut
Mei Lie dengan wajah cemberut.
"Kau semakin cantik dan
memikat, kalau cemberut, Mei...." Sena coba menyenangkan hati kekasihnya.
Mei Lie yang dipuji jadi
memerah mukanya. Kemudian tangannya mencubit pinggang sang Kekasih. Sena
melepas rangkulannya, lalu menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
Pasangan pendekar muda itu
kemudian meneruskan perjalanan. Namun baru beberapa langkah, Mei Lie berhenti.
"Kakang...," tegur
Mei Lie.
"Hm...?" "Mungkinkah
perempuan genit tadi ada hubungan dengan lelaki buntung itu? Dan mayat siapa
yang dibawa tadi...?" tanya Mei Lie.
"Dugaanmu mungkin saja
benar. Tapi kita belum bisa menuduhnya. Selama dia tak menyakiti kita, aku rasa
tak perlu terlalu ikut campur urusan orang." "Tapi Kakang, perempuan
itu telah membunuh. Apa itu dibenarkan? Semestinya tadi aku cepat
menghajarnya" ujar Mei Lie dengan kesal dan cemberut.
"Sabar, sabarlah sedikit,
Mei Percayalah, kesabaran dan ketenangan mampu mendukung usaha kita...,"
kata Sena kembali mengingatkan Mei Lie yang mulai gampang marah.
Mei Lie tampaknya bisa
mengerti. Gadis cantik itu menghela napas panjang, lalu melangkah meninggalkan
Sena yang masih menggarukgaruk kepala memandangi kekasihnya yang sedang kesal.
Lalu memburu Mei Lie, dan berjalan di samping Mei Le.
***
Sementara itu Dewi Sukmalelana telah sampai di
depan Kadipaten Galih Putih. Namun ketika langkahnya baru memasuki pintu
gerbang, tiba-tiba....
Zing Zing Zing...
Berpuluh-puluh anak panah dan
tombak meluncur memburu Dewi Sukmalelana. Perempuan cantik itu dengan cepat
memindahkan mayat Kidang Pangarsura ke dada, untuk tameng.
Beberapa anak panah dan tombak
menancap di tubuh Kidang Pangarsura yang telah jadi mayat itu. "Hi hi
hi... Manusia-manusia bodoh Rasakan ini, heaaa..." Dewi Sukmalelana
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika dari telapak tangannya
keluar semburan api melesat ke arah para prajurit kadipaten yang dipimpin Warik
Kala dan para pengawal kadipaten.
Wurrrs...
"Aaa..." "Wuaaakh..."
Para prajurit menjerit ketika tubuh mereka tersambar semburan api yang keluar
dari telapak tangan Dewi Sukmalelana. Belasan prajurit tewas seketika, terlalap
semburan api ganas itu. Mereka yang masih hidup berlarian tunggang-langgang menginjak
mayat-mayat prajurit yang telah mati terbakar.
"Kurung perempuan iblis
itu..." seru Warik Kala memerintahkan para prajurit dan pengawal kadipaten.
Serentak para prajurit dan
pengawal kadipaten mengurung Dewi Sukmalelana dengan bersenjata tombak, golok,
dan pedang.
"Hi hi hi... Aku senang
dengan permainan ini. Hi hi hi..." Dewi Sukmalelana dengan cepat
menggerakkan kedua tangannya ke depan dada.
Disusul dengan kaki kirinya
terangkat ke atas la-lu ditekuk, kemudian dengan keras dihentakkan ke tanah.
Akibatnya tanah yang diinjak berguncang, seperti dilanda gempa. Para prajurit
dan pengawal kadipaten tersentak kaget dan hanya bisa melongo, ketika tiba-tiba
bumi berguncang hebat "Hi hi hi..." Dewi Sukmalelana tertawa
terkekeh-kekeh. Suara tawanya berubah menjadi menyeramkan. Seperti tawa makhluk
gaib. Keras, melengking, dan memekakkan telinga.
"Ilmu apa yang dia
gunakan...?" gumam Warik Kala yang mulai kecut dan ciut nyalinya.
Namun dia segera mencabut
goloknya.
Belum habis rasa ketakutan dan
keheranan para prajurit dan pengawal, Dewi Sukmalelana tiba-tiba mengibaskan
rambutnya, sambil memutar kepala. Dan rambut yang tadi panjangnya hanya
melewati bahu, kini berubah memanjang. Memanjang terus bagaikan hidup, memburu dan
menghantami orang-orang yang mengurungnya. Wrrrt Prats Prats "Aaakh..."
Bagai kena tamparan yang keras dan panas, para prajurit dan pengawal menjerit
panjang.
Lalu roboh ke tanah, tak
bernyawa lagi. Kepala ataupun tubuh mereka hancur tersambar rambut Dewi
Sukmalelana yang menjadi panjang bagai ular raksasa.
"Hah" Warik Kala
memekik tertahan. Matanya terbelalak lebar seperti hendak keluar dari
kelopaknya. Sekujur tubuhnya mendadak gemetaran, sedangkan pandangannya buram
tak jelas.
Entah kenapa.
"Oh mataku..." keluh
Warik Kala.
Rupanya Dewi Sukmalelana
menyemburkan serbuk beracun dari mulutnya.
"Aaakh...,
mataku..." teriak Warik Kala sambil mengucek matanya.
"Hi hi hi... Itu hadiah
orang yang lari dariku... Kini, tak lama lagi kau akan menyusul temanmu ke
akherat Heh..." Dewi Sukmalelana melompat bagai macan kumbang, menerkam
Warik Kala. Meskipun dalam keadaan tak karuan, Warik Kala masih sempat mengelak
dengan menjatuhkan diri ke tanah.
Mengetahui hal itu, dengan
cepat Dewi Sukmalelana menginjakkan kaki kanannya ke tubuh Warik Kala yang
masih berada di tanah.
Krakkk "Aaakh..." Warik
Kala menjerit, ketika dirasakan dadanya remuk. Sesaat kemudian lelaki berwajah beringas
itu tewas dengan mata membelalak.
Para prajurit kadipaten,
segera berlarian tunggang-langgang. Mereka tampaknya tak ada yang berani
menghadapi Dewi Sukmalelana. Wanita dan anak-anak yang tinggal di lingkungan kadipaten
pun ketakutan. Mereka kalang kabut berusaha bersembunyi.
"Hi hi hi..." Dewi
Sukmalelana terus tertawa-tawa nyaring. Suaranya sampai di telinga Pangeran Sasanadipa
yang sedang asyik bercumbu dengan para selirnya di kamar pribadi. Namun hatinya
yang telah tertutup nafsu birahi membuat suara kacau dan hiruk-pikuk di luar
bagai tak terdengar. Sang Pangeran tak mempedulikannya.
"Gusti Pangeran... Gusti
Pangeran..." teriak seorang pengawal dari luar kamar. Namun karena tak ada
sahutan dari dalam, pengawal kadipaten itu terpaksa mendobrak pintu kamar.
Brakkk..
"Aaa…" para selir
yang sedang melayani sang Pangeran menjerit. Sambil menutupi tubuh mereka yang
tanpa pakaian, mereka berlarian karena terkejut "Ooo..., pengawal Ada apa?
Kenapa kau berani merusak pintu kamarku?" kata Pangeran Sasandipa dengan
mata masih layu dan wajahnya berkeringat "Ampun, Gusti Pangeran... Ada,
ada hantu perempuan ngamuk... Semua orang dibunuhnya.
Juga Warik Kala" lapor
pengawal itu.
"Warik Kala mati?"
tanya sang Pangeran lemah.
"Benar, Gusti..."
pengawal itu menjura hormat "Ayo, antar aku Bagaimana rupa perempuan
itu..." ajak sang Pangeran yang pikirannya sudah setengah tak waras itu.
Setelah turun dari ranjangnya, para selir segera memakaikan pakaian Pangeran
Sasanadipa. Juga pusakanya, sebuah keris.
Pangeran Sasanadipa yang
nampak seperti orang mabuk itu melangkah gontai keluar dari kamar, diikuti
pengawal tadi.
Sementara di luar, orang-orang
kadipaten masih panik dan berlarian menyelamatkan diri.
"Orang-orang bodoh
Mengapa takut padaku...? Aku tak akan menyakiti kalian Aku hanya bunuh manusia-manusia
yang kuinginkan. Kalian semua telah kena ilmu sihir Beruk Singgala.
Termasuk pangeran kalian
itu..." seru Dewi Sukmalelana.
Pada saat itu, muncul Pangeran
Sasanadipa dengan langkah gontai menuju pekitaran kadipaten. Melihat pangeran
muncul dan mendekatinya, Dewi Sukmalelana tersenyum pahit "Hei, Wanita
Cantik. Ada urusan apa kau membunuh orang-orangku...?" tegur Pangeran
Sasanadipa. Matanya yang merah dan sayu menatap wajah Dewi Sukmalelana.
"Hi hi hi... Panjang
ceritanya, Pangeran.
Tapi aku tak ingin bermusuhan
denganmu. Maaf, aku telah membuatmu gusar" tutur Dewi Sukmalelana mantap.
"Wajahmu cantik dan
menggiurkan.... Siapa namamu? Aku pikir kau lebih baik jadi selirku, Cah
Ayu...," kata Pangeran Sasanadipa sudah berpikiran kurang waras itu.
"Kasihan pangeran ini Dia
dulu orang yang bijaksana, gagah berani, dan pengasih. Kini jadi seperti orang
lupa ingatan.... Ini semua gara-gara Partai Panca Siwara itu Beruk Singgala
penyihir itu..." gumam Dewi Sukmalelana pelan. Seperti bicara pada diri
sendiri.
"Kenapa kau diam dan tak
menyerangku atau membunuhku, Cah Ayu?" seru Pangeran Sasanadipa sambil
mendekati Dewi Sukmalelana yang masih menatapnya dengan pandangan sayu dan iba.
Dewi Sukmalelana tiba-tiba
tertegun. Pikirannya menerawang jauh ke masa silam. Masa sepuluh tahun lalu,
ketika dirinya ikut menjadi korban keganasan Partai Panca Siwara. Setelah diperkosa
dan diperdaya dirinya yang bernama asli Saraswati itu dicampakkan begitu saja
dalam keadaan sekarat. Namun Yang Maha Kuasa ternyata masih memberi kehidupan
kepadanya. Seorang perempuan tua, nenek sakti, menolong jiwanya dari renggutan
maut yang mengerikan.
Nenek sakti mengganti namanya
menjadi Dewi Sukmalelana, setelah digembleng dan dididik ilmu kesaktian. Bahkan
menurut nenek sakti, Saraswati yang telah meninggal diselamatkan dengan menggunakan
'Bunga Bangkai'. Sehingga Saraswati dapat bertahan sampai saat ini Saraswati dapat
hidup kembali. Bahkan memiliki kekuatan dan kemampuan yang sakti.
"Oooh...?" pekik
Dewi Sukmalelana tersentak dari lamunannya. Matanya menatap Pangeran Sasanadipa
yang sudah satu tombak di depannya. "Maaf Pangeran, aku harus
pergi..." Selesai berkata demikian, cepat Dewi Sukmalelana yang sebenarnya
bernama Saraswati melesat dan menghilang dari pandangan sang Pangeran.
"Aneh, perempuan secantik
itu
jadi pembunuh Tapi, kenapa dia
tak melukaiku sedikit pun...?" gumam Pangeran Sasanadipa keheranan.
Matanya yang layu memandang ke depan.
Para pengawal dan orang-orang
kadipaten yang masih selamat pun merasa heran, melihat sang Pangeran ternyata
selamat. Tak diusik sedikit pun oleh perempuan yang mereka anggap perempuan iblis
itu.
4
Angin senja bertiup sejuk.
Udara sangat cerah dengan langit tembaga di sebelah barat. Sebentar lagi sang
Raja Siang akan tenggelam, kemudian hadir kegelapan yang membawa suasana mencekam.
Tampak para petani pulang dari sawah dengan perakitan terpanggul di pundak mereka.
Burung-burung beterbangan pulang ke sarang dengan suara yang bersahut-sahutan.
Dua sosok tubuh manusia tampak
melangkah dalam keremangan senja. Kedua sosok yang ternyata sepasang muda-mudi
itu tiba-tiba berhenti. Si gadis yang berkulit kuning langsat dan bermata agak
sipit itu, mengenakan pakaian putih panjang. Rambut digelung satu di atas, dan
sisanya dibiarkan tergerai lurus. Sedang di sam-pingnya, pemuda tampan
mengenakan rompi dari kulit ular. Siapa lagi mereka kalau bukan Pendekar Gila
dan Mei Lie.
"Nampaknya desa ini
sedang tertimpa bencana, Kakang," ujar Mei Lie seraya mengedarkan
pandangan ke sekeliling tempat itu.
Seakan-akan tak mendengar
ucapan kekasihnya, Pendekar Gila hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala seolah-olah merasa gatal. Namun kemudian keningnya bekernyit. Seperti halnya
yang dilakukan Mei Lie, Sena menghela napas beberapa kali. Ternyata keduanya
menangkap bau anyir, yang tak sedap.
"Bau ini busuk sekali,
Kakang. Seperti bau mayat." gumam Mei Lie sambil menutup hidung dengan
jari tangan kiri.
Benar. Di sana sini, di jalan
memasuki Desa Lindung Rawa bergelimpangan mayat-mayat penduduk desa. Tua-muda,
wanita dan anakanak. Dengan leher tersobek dan wajah pucat membiru.
"Ya Hyang Batara... Siapa
yang melakukan perbuatan keji ini?" gumam Pendekar Gila sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya tampak cengengesan sambil memandangi
mayat-mayat itu. "Biadab... Tak salah lagi ini pasti perbuatan perempuan
genit itu Atau mungkin lelaki buntung yang kita cari, Kakang," tukas Mei
Lie yang telah mencabut Pedang Bidadarinya.
"Mungkin...," jawab
Sena pelan. Kepalanya manggut-manggut. Lucu Baru saja kedua pasang pendekar itu
meneruskan langkah pendek memasuki Desa Lindung Rawa, tiba-tiba....
"Aaakh... Tolooong...
Manusia iblis... Tolooong" Seorang wanita muda tampak berlari ketakutan
sambil menjerit-jerit minta tolong. Pakaiannya sudah tak karuan. Sebagian
tubuhnya sudah tak tertutup kain. Hingga buah dadanya yang masih ranum dan
mulus itu terlihat jelas di balik pakaiannya yang tercabik-cabik. Di bagian pipi
dan leher ada goresan, seperti cakaran kuku.
Melihat itu Mei Lie segera
melompat dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.
Tubuh si Bidadari Pencabut
Nyawa itu melayang bagai seekor burung elang. Kemudian kakinya mendarat mulus.
Dengan cepat tangan Mei Lie menyambar tangan wanita muda yang ketakutan itu.
Lalu membawanya bersembunyi di balik pepohonan.
"Ssst.." Tuk Tuk Ketika
wanita muda itu hendak berteriak karena ketakutan, dengan cepat Mei Lie menotok
tubuhnya.
"Ukh..." Seketika
wanita muda itu melenguh lalu jatuh terkulai bagai mati. Dan Mei Lie segera membaringkan
di tanah yang berumput itu.
Sementara itu, Pendekar Gila
hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, memandangi tingkah laku
kekasihnya.
Tak berapa lama kemudian,
muncul sesosok tubuh melayang dan disertai kepulan asap.
Ternyata sesosok manusia
bertubuh tinggi besar dengan bertelanjang dada. Di kanan dan kiri lengannya
melingkar gelang dari kulit ular. Alisnya menyatu tanpa batas menghiasi matanya
yang besar, tajam dan galak. Wajahnya yang persegi tampak bengis. Badannya
hampir rata ditumbuhi bulu-bulu lebat. Mirip manusia purba.
"Makhluk apa ini? Manusia
apa jin" gumam Mei Lie, begitu melihat sosok makhluk yang menyeramkan itu.
"Grrr..., grrr..."
makhluk mirip manusia purba itu mengerang. Seperti harimau, giginya nampak
besar-besar dan runcing. Mengerikan.
Pendekar Gila yang melihat
manusia tinggi besar bagai raksasa itu mengerutkan kening, sambil
menggaruk-garuk kepalanya kembali.
"Ah ah ah... Aku harus
berbuat sesuatu.
Aku tak ingin Mei Lie mendapat
bahaya...," gumam Sena.
"Heaaa..." Tiba-tiba
Pendekar Gila melesat sambil bersalto beberapa kali di udara. Lalu kakinya
bergerak cepat melancarkan tendangan.
Wut Blugk Blugk Namun
tendangan Pendekar Gila seperti tak dirasa oleh manusia raksasa itu. Bahkan hanya
dengan ayunan tangan kirinya yang sebesar paha, mampu menghantam Pendekar Gila.
"Ukh.." Sena
terpekik. Tubuhnya terlempar lima tombak dan membentur dinding rumah penduduk
desa. Dinding dari bilik itu pun roboh. Kalau saja bukan Pendekar Gila,
tentunya sudah pasti tewas.
Melihat kekasihnya tak
berhasil, tak tanggung-tanggung Mei Lie melesat melakukan serangan dengan
membabatkan Pedang Bidadari dalam jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
"Yeaaa..." Cras Cras
Cras "Grrr..." Manusia raksasa itu mengerang. Kulitnya hanya
terkupas. Namun anehnya, tak mengeluarkan darah. Dan ketika angin meniupnya,
tak ada tanda-tanda bahwa manusia raksasa berbulu itu akan roboh lalu jadi
tepung. Seperti lawan-lawan Mei Lie yang tersambar jurus maut itu.
"Aneh...? Manusia atau
jin" gumam Mei Lie keheranan. Keningnya berkerut tajam. Namun kemudian
kembali mempersiapkan serangan susulan. Sementara itu Pendekar Gila tampak
telah berdiri dan mengerahkan tenaga dalamnya. Kedua telapaknya tampak saling
bertempelan dan ditarik ke depan dada.
"Mei, kita tak boleh
main-main dengan makhluk ini Jangan gegabah..." saran Sena sambil menoleh
ke arah Mei Lie.
Kali ini rupanya Pendekar Gila
tak ingin sembarangan bertindak. Dan tingkahnya yang biasanya konyol dan
seperti orang gila agak berkurang. Walaupun mulutnya masih tetap cengengesan
dan tertawa-tawa sendiri dengan tangan menggaruk kepala.
Pendekar Gila lalu
mengeluarkan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Tangannya dipersatukan di
depan dada. Kemudian setelah menarik napas dalam-dalam, perlahan tangannya dibuka
ke samping. Ditarik ke belakang membentuk siku. Lalu dengan telapak tangan
terbuka, melakukan pukulan jarak jauh secara cepat dan beruntun.
"Heaaa..." Wut..
Dari pukulannya, keluar
kekuatan yang luar biasa melesat ke tubuh manusia raksasa itu.
Glar Glar "Aung...
Grrr..." Manusia raksasa itu mengerang dan tubuhnya terhuyung. Kepalanya
yang besar retak.
Melihat itu, Mei Lie tak
tinggal diam. Gadis itu melompat sambil bersalto dan membabatkan Pedang
Bidadari-nya ke tubuh manusia raksasa itu.
Cras Cras Cras...
"Aaaung.... Grrr..."
Kembali manusia raksasa itu mengerang.
Sesaat kemudian tubuhnya roboh
dengan kepala terpisah. Namun anehnya, tubuh itu tiba-tiba menyatu kembali.
Seperti semula.
"Ilmu Panca Sona..."
pekik Pendekar Gila dan Mei Lie terkejut. Lalu saling pandang. Ilmu 'Panca
Sona' memang ampuh. Bila salah satu raga, kepala, kaki, atau bagian badan tak
segera di-pisahkan jauh dari bagian tubuhnya yang lain mereka dapat menyatu
kembali.
"Aneh Pedang Bidadari-ku
tak mampu menghancurkan manusia raksasa itu..." keluh Mei Lie cemas.
Pendekar Gila segera
mengeluarkan jurus 'Tamparan Sukma'. Sebuah ilmu yang menggunakan sukma atau
jiwa. Sangat dahsyat dan mampu membinasakan makhluk siluman.
"Grrr..." Jgarrr Sinar
keperakan menghantam makhluk aneh itu. Seketika sosok manusia raksasa itu
terbakar. Kemudian menjadi asap, lalu hilang. Bersamaan dengan lenyapnya
manusia aneh itu, suasana di sekitarnya pun berubah sama sekali.
Bukan lagi sebuah desa melainkan
suatu tempat yang asing bagi Sena dan Mei Lie. Angker dan menyeramkan Wanita
yang tadi ditolong Mei Lie pun lenyap.
"Kita rupanya telah masuk
ke alam gaib, Kakang.... Kita telah terjebak" ujar Mei Lie. Matanya
menyapu ke sekeliling dengan tajam.
"Hi hi hi... Mungkin kau
benar, Mei," sahut Sena dengan cekikikan. Pemuda itu nampak tenang, tak
sedikit pun merasa tegang atau takut.
Matanya menatap tajam
sekeliling. Pendengarannya yang sangat peka dipasang untuk menangkap suara-suara
aneh dan gaib.
Mei Lie memutar tubuhnya
membelakangi Pendekar Gila dengan Pedang Bidadari masih tergenggam di tangan.
Matanya tiba-tiba menangkap sesosok manusia nampak seperti duduk di tempat agak
jauh memandangi mereka.
"Kakang...," panggil
Mei Lie perlahan Sena membalik, lalu menghadap ke arah sama dengan Mei Lie.
Mata Sena yang mampu menembus segala cuaca, tampak terbelalak lebar.
Asap putih tampak mengepul di
sekitar tempat itu. Dan suara-suara aneh mulai bermunculan, menambah suasana
kian mencekam. Kalau saja yang datang di tempat itu bukan Pendekar Gila dan Mei
Lie, mungkin sudah mati kaku ketakutan.
"Pendekar Gila Dan kau,
Bidadari Pencabut Nyawa... Jangan ikut campur urusanku Aku tak ingin ada orang
ikut campur dengan urusanku. Akan kutantang siapa pun yang mau tahu urusanku.
Kuharap kalian berdua tak lagi menyelidiki lelaki buntung itu..." Setelah
suara itu hilang, tiba-tiba muncul lelaki buntung. Berdiri dengan kakinya yang
buntung, enam tombak di hadapan Sena dan Mei Lie.
"Kau...?" gumam Mei
Lie tersentak kaget.
Setelah jelas bahwa yang di
hadapannya tak lain lelaki buntung yang dicari.
"Hi hi hi... Kisanak, aku
tak bermaksud mencampuri urusanmu. Tapi kenapa kau membunuh orang-orang itu?
Apa ada hubungannya dengan peristiwa yang menimpa Ki Damar Kiwangi...?"
tanya Sena ingin tahu.
"Grrr..." Pertanyaan
Pendekar Gila rupanya membuat lelaki buntung itu marah.
"Kau terlalu ingin tahu
Pendekar Gila Aku tak suka. Dan kuperingatkan sekali lagi, jangan ikut campur
Dan sekarang sebaiknya kalian cepat meninggalkan tempat ini..., sebelum aku berubah
pikiran...," perintah lelaki buntung dengan geram. "Kau, rupanya
orang yang keras kepala.
Aku tahu dendam membara memang
tak dapat dibendung. Tapi dengan terjadinya pertumpahan darah di mana-mana,
rakyat selalu ketakutan menjadi korban orang-orang yang hanya memikirkan diri
sendiri. Seperti Kisanak..," tukas Sena sambil cengengesan menyindir
lelaki buntung itu.
"Bicaramu seperti tahu
segalanya tentang aku, Pendekar Gila Dan membuatku muak mendengar ocehanmu itu.
Terpaksa aku harus melawanmu..." Selesai berkata begitu, si Penyair Maut
itu melesat menyerang Pendekar Gila dan Mei Lie.
Dengan melompat, seperti macan
kumbang kedua tangan lelaki buntung mencakar dan memburu wajah Mei Lie dan
Pendekar Gila.
Kuku-kuku yang panjang serta
runcing, bagai mengandung hawa panas dan berbahaya.
Pendekar Gila dan Mei Lie
mengelak dengan merundukkan kepala, sambil sesekali menangkis.
Jurus-jurus aneh dikeluarkan
oleh si Penyair Maut itu.
"Mei, mundur Biar aku
hadapi dia..." seru Sena pada Mei Lie yang akan mengeluarkan jurus Pedang
Bidadari Pencabut Nyawa. Mei Lie menurut. Bagi seorang pendekar bertarung
secara keroyokan dianggap kurang terpuji dan tidak jujur. Itulah sebabnya Mei
Lie mundur, namun tetap berwaspada, menjaga segala kemungkinan.
"Heaaa..." "Grrr..."
Pertarungan Pendekar Gila dengan lelaki buntung tak terelakkan. Tangan mereka
beradu saling pukul dan tangkis. Lelaki buntung itu rupanya memiliki ilmu yang
cukup tinggi. Selama sepuluh jurus pertama tokoh itu masih memperlihatkan
kecepatan geraknya. Bahkan kini mampu mendesak pendekar Gila, dengan
jurus-jurus anehnya.
Si Penyair Maut itu kemudian
menggeser kecapinya yang tersampir di punggungnya. Kemudian setelah membuat
gerakan aneh, sambil memutar kecapi maut-nya, dengan cepat menyerang Pendekar
Gila.
Wut Wut "Aits
Heaaa..." Namun Pendekar Gila dengan cepat dapat mengelak. Tubuhnya
melenting ke atas dan balik menyerang dengan tendangan kaki kanan ke dada lawan.
Namun lelaki buntung itu begitu cepat tanggap terhadap serangan Pendekar Gila.
Prak Lelaki buntung menangkis
dengan kecapinya. Hingga tendangan Pendekar Gila hanya menghantam kecapi. Namun
kecapi itu ternyata sangat kuat. Sedikit pun tak tampak kerusakan, apalagi
pecah. Padahal jelas, tak mungkin Pendekar Gila meremehkan serangan itu.
Pendekar Gila agak heran, dia
mendaratkan kakinya di tanah dan cepat membuka jurus 'Si Gila Mencengkeram
Mangsa'. Tubuhnya agak membungkuk ke bawah, meliuk-liuk sambil tangannya
mencengkeram ke tubuh lawan. Kakinya menyapu kaki lelaki buntung itu. Namun si Penyair
Maut itu cepat melompat dan balik menyerang dengan menghantam kecapinya ke kepala
Pendekar Gila yang masih merunduk. Untung Pendekar Gila segera menangkis dengan
tangan kanannya.
"Hiaaa" Prak Prak Tangan
Pendekar Gila beradu dengan kecapi. Menimbulkan suara keras seperti beradunya dua
kayu Kemudian lelaki buntung itu nampak penasaran, digeser kembali kecapi
mautnya ke belakang. Lalu secepat kilat bergerak dengan lincah, melancarkan
serangan susulan pada Pendekar Gila dengan jurus 'Angin Manik'. Kedua tangannya
bergerak mencengkeram. Kuku-kukunya yang panjang bagai kuku serigala,
mengeluarkan asap beracun.
Melihat hal itu, Pendekar Gila
segera mencabut Suling Naga Sakti-nya. Dan dengan cepat pula dia memutar suling
itu, hingga mengeluarkan sinar hijau yang bergulung laksana banteng untuk
menangkal asap beracun yang keluar dari kuku-kuku si Penyair Maut itu.
"Hah?" lelaki
buntung terkejut Matanya terbelalak melihat Suling Naga Sakti yang telah tergenggam
di tangan kanan Pendekar Gila.
Lelaki buntung itu kemudian
melompat mundur empat tombak. Lalu mengumpulkan tenaga dalamnya, disusul dengan
menepukkan telapak tangannya dua kali.
Plak Plak "Heaaa..."
Si Penyair Maut melesat menyerang dengan menghantarkan pukulan tangan kanan,
yang mengeluarkan api....
Wesss Glarrr Pukulan itu tak
mengenai sasaran, tapi menghantam batang pohon. Suara ledakan keras terdengar
mengiringi robohnya pohon besar itu.
Begitu dahsyat pukulan si
Penyair Maut. Kalau yang terhantam tubuh manusia, niscaya hancur berkeping-keping.
Melihat serangannya gagal, lelaki berpakaian serba merah itu tak tinggal diam,
justru semakin ganas melakukan serangan. Seakan tak ingin memberikan kesempatan
pada lawan untuk sedikit pun mengeluarkan jurus andalannya. Kini kedua tokoh
berilmu tinggi itu sudah berubah jadi bayangan yang menggulung-gulung, karena
kecepatan gerak yang mereka lakukan.
Keduanya langsung menangkis
dan menghantam dengan gerakan yang sulit diikuti mata biasa.
"Heaaa..." "Glarrr..."
Suara menggelegar terdengar, karena beradunya dua kekuatan tenaga dalam. Baik
tubuh Pendekar Gila maupun si Penyair Maut terlempar ke belakang. Namun
sama-sama mendarat ke tanah dengan mulus dan siap dengan kuda-kuda masing-masing.
Pendekar Gila nyengir, sambil
menyelipkan kembali suling Naga Saktinya, namun tetap waspada. Dirinya tak
ingin cepat-cepat menaklukkan lelaki buntung itu dengan senjata andalannya.
Ternyata Sena memang tak ingin
melukai lelaki berambut panjang tanpa kaki itu.
Si Penyair Maut tampaknya
merasa penasaran. Dengan cepat tubuhnya melompat bagai macan kumbang menerkam
mangsa, menyerang pemuda tampan di depannya.
Namun Pendekar Gila telah
siap. Dengan jurus ‘Inti Bayu’, pendekar muda itu menghentakkan tangan kanannya
yang mengeluarkan deru angin kencang laksana badai. Suatu kekuatan yang mampu
menerbangkan batu sebesar gajah sekali pun. Maka ketika angin itu melesat dan menerjang
ke arah lawan, lelaki buntung itu terlontar deras ke belakang dua puluh tombak,
lalu jatuh membentur batang-batang pepohonan yang tampak meranggas tanpa daun.
Brakkk "Ukh..."
lelaki buntung memekik tertahan, "Kalau aku teruskan akan membawa bencana
ba-gi diriku sendiri. Aku tak ingin mati, sebelum berhasil membunuh Beruk
Singgala...," gumamnya sambil merasakan sakit di dadanya.
Pendekar Gila cepat bergerak
mendekati.
Namun begitu sampai, lelaki
buntung telah hilang, entah sejak kapan. Pendekar Gila, cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. Mei Lie yang sejak tadi terpesona melihat pertarungan kekasihnya
melawan lelaki buntung itu, segera menghampiri Sena yang masih tak mengerti. Ke
mana lelaki buntung itu tadi.
"Aneh Begitu cepat dia
pergi,..," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ke mana dia,
Kakang?" tanya Mei Lie sambil matanya menyapu sekeliling tempat angker
itu. Tak terlihat tanda-tanda adanya lelaki buntung tadi.
"Kenapa dia tak mau
meneruskan pertarungan...? Aneh" kata Sena lagi tak mengerti. Kepalanya
menggeleng-geleng dengan mulut cengarcengir.
"Mungkin dia merasa tak
mampu menghadapi Kakang. Sebaiknya kita pergi dari tempat terkutuk dan
menyeramkan ini, Kakang" ajak Mei Lie. Gadis cantik itu membalikkan tubuh,
tangannya menggapai lengan Sena. Dan keduanya melangkah meninggalkan tempat
yang bagai alam gaib itu.
***
Pendekar Gila dan Mei Lie terus melakukan perjalanan
menyelidiki, siapa sesungguhnya lelaki buntung itu. Dan apa hubungannya dengan
Dewi Sukmalelana yang pernah mereka temui. Dari desa satu ke desa lainnya,
pasangan muda-mudi itu mencari tahu.
"Kakang, apakah tak
sebaiknya kita menuju bekas Padepokan Gunung Talang saja?" usul Mei Lie
tiba-tiba.
"Hm?" gumam Sena
sambil menggarukgaruk kepala, "Boleh juga gagasanmu. Tapi lebih baik kita
melihat dulu keadaan Kadipaten Galih Putih. Aku sudah bosan ke tempat-tempat
yang belum jelas dan angker...," jawab Sena seenaknya. Mulutnya
cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
Mei Lie hanya bisa mengangkat
kedua bahunya, lalu menghela napas panjang. Keduanya terus melangkah melewati
jalan setapak di tepi sebuah sungai yang cukup besar dan panjang serta
berliku-liku.
Ternyata di halaman Kadipaten
Galih Putih sedang diadakan pergelaran Tayub, semacam tarian ronggeng. Pangeran
Sasanadipa dan para prajurit menyaksikan, dengan melingkari halaman kadipaten.
Suasana tampak meriah sekali.
Seorang penari Tayub yang
cantik dan bertubuh menggairahkan sedang menari mengikuti alunan gamelan yang
dimainkan para penabuhnya.
Di antara beberapa wanita
penari Tayub, nampak satu yang tampil berbeda. Wajahnya yang cantik dengan
tubuh sintal dan menggairahkan, membuat para penonton lebih tertarik pada
wanita itu. Tak terkecuali sang Pangeran yang tampak kagum menyaksikan lenggaklenggok
penari berkebaya merah jambu itu.
Gamelan terus mengalun,
gendang pun bersahutan dan menghentak-hentak keras mengimbangi bunyi gamelan
lain. Penari semakin semangat bergoyang pinggul. Membuat Pangeran Sasanadipa
tersenyum-senyum dan bertepuk tangan. Para pengawal dan prajurit tak tahan
untuk turun ikut menari. Gaya mereka beraneka ragam dan lucu.
"Baru kali ini aku
melihat penari Tayub secantik itu..." gumam Pangeran Sasanadipa sambil
menggeleng kepala. Para selir yang mengapitnya mencibir dan cemberut, mendengar
gumam sang Pangeran.
Malam semakin larut, tayuban
terus berlangsung. Sebagian prajurit dan pengawal sudah mulai mabuk, karena
arak. Demikian pula dengan sang Pangeran.
Pada saat itu Pendekar Gila
dan Mei Lie telah sampai. Keduanya pun berbaur dengan para prajurit dan
penduduk kadipaten. Sena dan Mei Lie mengamati orang-orang yang menari dengan penari
Tayub. Pendekar Gila nampak tertawatawa sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu berdecak
kagum.
"Ck, ck, ck..." "Huuu..."
Mei Lie yang melihat kekasihnya merasa kagum dan berdecak, jadi cemberut dan kesal.
Namun, kemudian matanya menatap tajam salah seorang penari Tayub yang
sepertinya dia kenal. "Hah? Perempuan itu...?" gumam Mei Lie, begitu
melihat penari Tayub paling cantik. "Kakang... Coba, apa kau masih ingat.
Lihat penari yang memakai baju merah jambu itu" ujar Mei Lie pada Sena.
Pendekar Gila yang masih
menggarukgaruk kepala dan cengengesan segera memalingkan pandangan ke penari
yang berkebaya merah jambu. Wanita itu sedang berlenggak-lenggok di depan
Pangeran Sasanadipa yang terpesona.
"Hi hi hi..." Sena
hanya tertawa-tawa. Lalu menoleh ke wajah Mei Lie sambil mengangguk. Menandakan
bahwa dia masih mengenali wanita itu.
"Perempuan yang kita
pergoki beberapa hari lalu. Siapa dia sebenarnya...?" tanya Mei Lie pelan.
Matanya terus mengawasi penari berkebaya merah jambu itu. Wajahnya menyiratkan
rasa mendendam terhadap wanita itu. Karena wanita itu pernah dibiarkan pergi
oleh Sena.
Sementara itu para penabuh
gamelan semakin bersemangat, ketika Pangeran Sasanadipa turun menari bersama
penari berkebaya merah jambu itu, yang ternyata Dewi Sukmalelana. Pangeran
Sasanadipa yang sudah setengah mabuk, menari dengan sedikit sempoyongan dan
selalu ingin memeluk penari Tayub itu. Gaya sang Pangeran membuat semua orang
tertawa geli, melihat pangerannya yang terkadang hampir jatuh. Namun, si penari
segera menahan sambil memeluknya. Pangeran nampak senang. Para selir yang melihat
itu mencibir cemburu.
Pada saat suasana penuh tawa
riang itu berlangsung, tiba-tiba berubah menjadi ketegangan yang luar biasa,
ketika dua orang lelaki muncul di tengah-tengah arena. Kedatangan mereka yang
bagai makhluk halus muncul secara tibatiba. Hal itu menunjukkan bawah kedua
lelaki itu memiliki ilmu yang sangat tinggi "Ha ha ha... Pangeran edan Dia
malah senang-senang berpesta pora. Padahal ketiga temanku mati..." seru
lelaki bertubuh tinggi agak kurus dan berhidung mancung ke bawah, seperti paruh
betet. Pakaiannya yang berbentuk jubah panjang berwarna hitam legam. Rambutnya
yang hitam dibiarkan terurai panjang. Dengan tatapan mata tajam yang merah
memandang setiap orang yang ada di tempat itu. Dialah Beruk Singgala Seketika
gamelan berhenti. Para penari pun ketakutan lari bersembunyi di antara penonton.
Hanya satu penari berbaju merah jambu yang nampak tak merasa takut. Bahkan
matanya menatap tajam kedua tokoh sesat itu.
Sedangkan sang Pangeran yang
sudah setengah mabuk, hanya bisa diam dan tak berani berucap sepatah kata pun.
"Pangeran yang gila
perempuan ini sebaiknya kita bereskan saja, Kakang Beruk. Sudah tak ada gunanya
lagi. Bukankah rencana kita memang untuk menguasai kadipaten dan seluruh kekuasaannya?"
seru Danur Saka dengan suara lantang sambil memegang leher Pangeran Sasanadipa.
"Edan Benar-benar edan
Seorang pangeran bisa dipermainkan orang-orang macam itu..." gumam Mei Lie
dengan geram, "Siapa mereka itu, Kakang...?" tanya Mei Lie kemudian.
"Hi hi hi... lucu Dunia
memang sudah terbalik. Seorang pangeran bisa dipermainkan' Sena tak menjawab
pertanyaan Mei Lie. Mulutnya bergumam sendiri sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kakang, sebaiknya kita
turun tangan Aku muak melihat ada orang yang sok jago" tukas Mei Lie geram.
"Tenang, Mei Kedua lelaki
itu aku rasa kawanan Partai Panca Siwara. Kita harus hatihati Sebab kita tak
punya urusan atau pertikaian dengan mereka..." cegah Sena.
Sementara itu, Danur Saka
mendekati penari berkebaya merah jambu yang tak lain Dewi Sukmalelana. Lelaki
setengah baya bertelanjang dada itu dengan seenaknya memeluk dan meraba-raba
dada Dewi Sukmalelana sambil tertawatawa. Semua orang tak berani berbuat
sesuatu.
Mereka semua diam terpaku
bagai patung.
"Ha ha ha... Kau penari
Tayub tercantik dan menarik yang pernah kutemui, Cah Ayu. Ha ha ha... Aku ingin
kau layani aku, Manis. Ayo, main gamelan dan gendang" perintah Danur Sa-ka.
Sementara Beruk Singgala telah
duduk di kursi sang Pangeran, bersama para selir pangeran. Sedangkan pangeran
sendiri sudah tak kuasa menahan pusing di kepalanya. Karena terlalu banyak
menenggak arak.
Gamelan mulai mengalun lagi.
Danur Saka dengan penuh bersemangat menari bersama Dewi Sukmalelana. Tarian
yang dilakukan Danur Saka tampak konyol dan kurang ajar. Namun Dewi Sukmalelana
yang sebenarnya telah menahan dendam tampak masih sempat tersenyumsenyum manis.
Dan bahkan dengan berani, mengimbangi Danur Saka yang bertingkah konyol dan kotor
itu. Danur Saka semakin menggila. Hatinya larut dalam keasyikan.
"Aneh Kenapa perempuan
itu malah meladeninya...?" gumam Mei Lie lirih.
"Ssst.., tenang
Perhatikan gerakan perempuan itu Bukan lagi gerakan tari Tayub, melainkan
gerakan silat yang terselubung Sukar dilihat dengan mata biasa…" ujar Sena
sambil menggaruk-garuk kepala cengengesan.
Mei Lie mengerutkan kening.
Lalu mengangguk karena telah mengerti.
Benar, gerakan tari Dewi
Sukmalelana sesekali telah berubah dengan gerakan silat yang begitu halus.
Hingga tak dirasakan oleh Danur Saka yang sudah tergiur kecantikan dan kemolekan
tubuh Dewi Sukmalelana.
Plak Plak Dua tamparan tangan
kanan Dewi Sukmalelana mendarat tepat ke wajah Danur Saka. Tidak terlalu keras.
"Eits He he he... ooo...
ha ha ha Kau nak-al, Cah Ayu..." gumam Danur Saka masih belum mengerti
gelagat Dewi Sukmalelana. Lelaki berpe-rut buncit bertelanjang dada itu malah
mendekatkan wajah serta menempelkan badan ke perempuan itu.
Gamelan terus terdengar semakin
semangat Danur Saka benar-benar lupa diri, hingga tak menyadari kalau penari
pasangannya tengah me-nunggu waktu tepat untuk membunuhnya. Dan tiba-tiba....
"Ukh..." Danur Saka
terpekik sambil memegangi dada. Tubuhnya terhuyung ke belakang lima tombak.
Rupanya Dewi Sukmalelana yang
sudah tak tahan menahan dendamnya, telah bertindak dengan gerakan yang tak
tertangkap mata siapa pun. Beruk Singgala yang sedang asyik menggantikan
kedudukan pangeran yang bercumbu dengan para selir, kaget melihat Danur Saka
terhuyung. Lelaki berjubah hitam itu serta-merta bangkit berdiri. Matanya
menyipit memandangi Dewi Sukmalelana.
Perempuan cantik yang pandai
menyamar itu dengan cepat menghajar Danur Saka yang belum pulih dari rasa sakit
di dadanya. Dengan gerakan seperti menari, Dewi Sukmalelana meliukliuk lalu
melompat dan menendang dengan kaki kanannya ke kepala Danur Saka.
"Heaaat.." "Aaaukh…"
Danur Saka menjerit keras. Tubuhnya melintir, kena tendangan kaki Dewi
Sukmalelana.
Beruk Singgala yang melihat
itu segera melenting ke udara untuk menghadang serangan Dewi Sukmalelana yang
akan disarangkan ke tubuh kawannya.
"Heaaa..." "Heaaa..."
Glar Pukulan jarak jauh Dewi Sukmalelana beradu dengan telapak tangan Beruk
Singgala, menimbulkan percikan sinar perak dan kemerahan.
Baik Beruk Singgala maupun
Dewi Sukmalelana terpental ke belakang. Namun sama-sama tak tergoyahkan
keduanya berdiri tegap. Sementara itu Danur Saka yang sudah mulai pulih dengan
geram ingin menyerang Dewi Sukmalelana.
Namun Beruk Singgala
menahannya.
"Sabar Kita harus tahu
siapa perempuan itu sebenarnya. Dan kenapa ingin membunuhmu," ujar Beruk
Singgalang.
"Hi hi hi... Kalian
manusia-manusia terkutuk..." maki Dewi Sukmalelana sinis sambil menuding
Beruk Singgala dan Danur Saka.
Sementara itu para prajurit
serta penonton mulai ketakutan dan menyebar. Ada pula yang lari, menjauhi
tempat itu. Sedangkan Pangeran Sasanadipa pingsan karena mabuk. Para selir pun berhamburan
pergi masuk ke kadipaten. Hanya sebagian prajurit dan pengawal kadipaten yang masih
berada di halaman itu.
"Hm... Perempuan cantik
ini ternyata sangat cerdik. Menyamar sebagai penari Tayub. Lalu ingin membunuh.
Siapa kau sebenarnya, Perempuan Jalang?" seru Beruk Singgala geram.
"Tak perlu kau tahu siapa
aku Yang pasti aku ingin melenyapkan kalian berdua sekarang juga" Selesai
berkata demikian, Dewi Sukmalelana segera mengeluarkan jurus pembuka. Namun Beruk
Singgala dengan cepat pula mengerahkan ilmu sihirnya. Setelah ditepukkan tiga
kali, telapak tangannya dihentakkan dengan keras ke depan. Seketika muncullah
makhluk-makhluk kecil seperti tuyul dari tubuhnya. Makhluk kecil yang berjumlah
puluhan itu mempunyai taring dan bertelinga panjang.
Dewi Sukmalelana tampak kaget
melihat hal itu. Namun dengan cepat dia mengeluarkan ilmu perubah raga.
Seketika wajahnya berubah menyeramkan dan tubuhnya tiba-tiba berubah membesar.
Bagai raksasa perempuan.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang
menyaksikan hal itu hanya geleng-geleng kepala. Makhlukmakhluk kecil seperti
tuyul dan bertaring itu menyerang Dewi Sukmalelana yang bertubuh raksasa.
Seperti haus darah makhluk-makhluk kecil berkepala botak itu menggigit tubuh
mangsanya.
Namun Dewi Sukmalelana masih
dapat menahannya. Dan bahkan satu persatu tuyul-tuyul berkuping panjang itu
dapat dibunuhnya. Walaupun tubuhnya sebagian sudah kena gigitan hingga tampak
tercabik-cabik.
Namun karena jumlahnya puluhan
dan seperti tak pernah habis tubuh Dewi Sukmalelana mulai terseret, seperti tak
mampu mempertahankan diri. Apalagi sudah banyak darah yang terhisap serta
berceceran dari luka-luka di tubuhnya.
Tanah di pekitaran kadipaten
itu seketika dipenuhi bercak-bercak darah yang terus menetes dari tubuh Dewi
Sukmalelana. Orang-orang yang menyaksikan kejadian aneh itu tampak merinding dan
ketakutan. Ada yang berlari. Ada pula yang bertahan sambil menutupi kedua mata.
"Ayo anak-anakku, serap
dia, lemahkan ilmunya Habisi dia..." seru Beruk Singgala sambil terus
membaca mantera sihirnya. Kedua tangannya dihentakkan ke depan.
"Kik kik kik..." Suara
makhluk-makhluk aneh itu terdengar menyebalkan Dewi Sukmalelana. Semakin lama
suara mengikik itu semakin ramai. Orangorang menutup telinga sambil memejamkan
mata, tak tahan menyaksikan kejadian menggiriskan itu. "Kurang ajar ilmu
sihir apa ini Begitu tangguh. Oooh..., Kakang, tolonglah aku, Kakang Brajasukmana..."
keluh Dewi Sukmalelana sambil terus bertahan. Membanting dan menendang tuyul-tuyul
penghisap darah yang terus menyerangnya. Kini makhluk-makhluk itu seperti tak kunjung
habis. Terus mengurung Dewi Sukmalelana. Lalu tiba-tiba secara bersama-sama,
puluhan makhluk-makhluk botak itu melompat menyerang Dewi Sukmalelana.
"Kik kik kik…" "Ooo...
Aaauuuwww..." Gigitan dan cakaran mereka terus merusak tubuh Dewi
Sukmalelana. Hingga tubuh raksasa wanita itu mulai goyah karena tenaganya terus
terkuras. Darah mengucur hampir dari seluruh tubuhnya. Namun anehnya, darah itu
berwarna kuning. Hal itu tentu saja membuat Beruk Singgala mengerutkan kening
keheranan.
"Hah? Edan Perempuan itu
bukan manusia.... Apa mataku tak salah lihat? Darah itu...
kuning..." gumam Beruk
Singgala dengan mata terbelalak.
Tiba-tiba Dewi Sukmalelana
seperti mendapat tenaga dari luar. Dia berteriak keras, sambil menghentakkan
kedua tangannya. Dan puluhan makhluk yang menyerangnya terlempar dan kemudian
diinjak-injaknya satu persatu.
Melihat itu Beruk Singgala
semakin kaget Dengan cepat dia mengeluarkan ilmu sihirnya yang lebih dahsyat.
Dari kukunya keluar serbuk beracun. Namun Dewi Sukmalelana sudah siap.
Wanita bertubuh raksasa itu
segera melawan dengan rambutnya yang menjulur panjang tak terbatas. Rambut itu
memapaki serbuk yang mengandung racun kematian. Ketika rambutnya yang memanjang
dikibaskan serbuk itu terhempas. Namun kemudian bergulung-gulung seakanakan
tengah bertarung melawan rambut Dewi Sukmalelana yang menyambar ke sana kemari Brets
Brets "Aaakh..." Wut Wut Wut...
Rambut Dewi Sukmalelana kini
menghantam kedua tokoh sesat itu. Teriakan dan jeritan terdengar dari Beruk
Singgala dan Danur Saka yang terhantam rambut wanita itu. Namun hal itu tampaknya
tak membahayakan kedua anggota Partai
Panca Siwara. Dalam sekejap,
Beruk Singgala balik menyerang dengan mengeluarkan kembali makhluk aneh dengan
ilmu sihirnya.
Dimulai dengan datangnya angin
kencang, terdengar suara tawa aneh dan mendesis-desis.
Disusul kepulan asap hitam
bercampur ungu, bergulung-gulung, lalu menjelma menjadi sesosok makhluk aneh,
dari kepala sampai batas pinggang berwujud perempuan, dengan mata menyala merah
dan mulut bertaring. Sedangkan dari pinggang ke bawah berwujud badan ular naga.
Mulutnya terdengar mendesis-desis.
Dewi Sukmalelana nampak mulai
mengerahkan seluruh kekuatan. Sama-sama menggunakan ilmu gaib.
Namun, rupanya ada orang yang
tak ingin pertarungan ilmu sihir itu berlanjut. Tiba-tiba dua sosok manusia
melenting ke udara dan dengan cepat mendarat di antara kedua makhluk itu.
Mereka ternyata Pendekar Gila
dan Mei Lie. Setelah mendarat Pendekar Gila segera mengeluarkan aji ‘Tamparan
Sukma’. Sebuah ilmu yang mampu menghancurkan ilmu sihir dan bangsa siluman.
"Heaaa..." Wut Glarrr
Glarrr...
Pukulan Pendekar Gila ke arah
kedua siluman itu menimbulkan ledakan dan bias cahaya keperakan. Seketika dua
makhluk aneh jelmaan Dewi Sukmalelana dan makhluk ciptaan ilmu sihir Beruk
Singgala, hancur lalu lenyap bersama ledakan itu.
Sedangkan Mei Lie siap dengan
Pedang Bidadari-nya untuk menyambut serangan Beruk Singgala atau Danur Saka.
Keadaan semakin kacau balau.
Para prajurit yang melihat kejadian itu ketakutan dan lari untuk menyelamatkan
diri masing-masing.
Dugaan Mei Lie benar. Beruk
Singgala dan Danur Saka yang kurang senang dengan ikut campurnya Pendekar Gila
menjadi marah. Sementara itu Dewi Sukmalelana cepat menghilang, ketika tahu
kalau Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa datang membelanya. Sebab Dewi Sukmalelana
tak ingin kedua pendekar mengetahui siapa dia sebenarnya.
"Kau rupanya Pendekar
Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa Kalian telah menghalangi usahaku untuk
membunuh perempuan iblis itu Heaaa..." Beruk Singgala langsung menyerang
Mei lie dengan serbuk beracun yang dikeluarkan dari kuku-kuku runcingnya. Namun
gadis cantik itu cepat mengelak dengan melenting ke atas dan bersalto beberapa
kali. Setelah melewati kepala Beruk Singgala, dengan mulus Mei Lie mendarat di
tanah. Kemudian langsung membuka jurus pamungkas ‘Pedang Tebasan Batin’. Sebuah
jurus sakti yang sangat dahsyat. Orang yang terkena babatan pedangnya akan
mengalami keanehan.
Tubuhnya tak menampakkan luka.
Namun jika tertiup angin, maka langsung hancur menjadi debu.
Beruk Singgala dan Danur Saka
tersentak menyaksikan jurus yang aneh dan terkenal itu.
Keduanya tampak tegang
menyaksikan jurus yang diperagakan Bidadari Pancabut Nyawa. Namun karena yakin
ilmu sihirnya. Beruk Singgala kembali memejamkan mata untuk memusatkan diri dan
membaca mantera, mencipta sihir.
Pendekar Gila yang sejak tadi
hanya memperhatikan kekasihnya, bergerak mulai ikut campur. Dengan cepat
dirinya mengeluarkan ilmu ‘Tamparan Sukma’ Tamparan itu mengerahkan kekuatan
sukma atau jiwa. Gerakannya nampak lambat, namun hasilnya sangat dahsyat.
"Heaaa..." Jlgarrr...
"Aaa..." Beruk
Singgala yang belum sempat berhasil mengeluarkan sihirnya, menjerit keras. Tubuhnya
melintir bagai terbakar. Dan Danur Saka, yang melihat itu, tersentak kaget.
Wajahnya yang beringas berubah pucat. Kemudian tanpa menghiraukan kawannya,
segera lari meninggalkan pertempuran.
"Tak mungkin aku mampu
menghadapi Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa...," gumam Danur Saka
sambil terus melesat karena ketakutan.
Sementara Beruk Singgala masih
menjeritjerit. Ketika Mei Lie akan membabatkan Pedang Bidadari-nya, lelaki tua
berjubah hitam itu tiba-tiba menghilang.
"Hah...?" Mei Lie
mendengus kesal. Namun tetap waspada dengan pedang saktinya. "Aneh Ke mana
manusia itu?" "Hi hi hi.." Sena hanya tertawa cekikikan dan
menggaruk-garuk kepala.
"Kenapa Kakang
tertawa...?" kata Mei Lie kesal. "Biarlah dia pergi Cepat atau lambat
dia akan menemui ajalnya," kata Sena memberi tahu Mei Lie.
Mei Lie hanya cemberut.
Hatinya benarbenar kesal karena tak berhasil membunuh tokoh-tokoh sesat itu.
"Sudahlah, sebaiknya kita
pulihkan pikiran dan tubuh Kanjeng Pangeran. Setuju?" Mei Lie hanya
mengangguk. Lalu melangkah mengikuti Sena menuju bangunan besar dan megah,
tempat kediaman Pangeran Sasanadipa.
Orang-orang ternyata menyambut
Sena dan Mei Lie dengan penuh hormat.
5
Di sebuah rumah tua yang
terletak di tengah Hutan Palasari, terdengar suara seorang lela-ki yang sedang
marah-marah.
"Kau terlalu ceroboh
Kenapa kau bertindak tanpa memberi tahu, atau minta izinku...? Kau telah
mengacaukan rencanaku. Sekarang Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa pasti
akan terus mencari tahu siapa kita sebenarnya.
Aku tak mau hal itu terjadi.
Biar Pendekar Gila tahu siapa kita, setelah kita dapat memusnahkan orang-orang
yang pernah menghancurkan kita..." Suara itu ternyata keluar dari mulut
sesosok lelaki berambut panjang dan berpakaian serba merah. Tangannya mendekap
sebuah kecapi.
Lelaki bertubuh gagah, tapi
tanpa kaki itu tak lain si Penyair Maut Wajahnya tampak lebih jelas karena
rambut yang biasanya menutupi, kini agak teratur. Raut wajahnya menyiratkan
perasaan duka yang mendalam. Tak tampak sedikit pun gambaran bahwa lelaki
berpakaian serba merah itu seorang yang berhati keras atau jahat "Maafkan
aku, Kakang Tapi maksudku agar Kakang tidak terlalu repot-repot lagi. Aku tak mau
Kakang mendapat celaka...," jawab wanita cantik berkain penutup dada warna
hijau.
"Aku mengerti. Tapi kau
terlalu ceroboh Dan karena kecerobohanmu itu, aku sempat bentrok dengan
Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa. Karena ulahmu, kedua pendekar muda itu
kini menyelidiki kita... Itu yang membuat aku marah dan kesal," tambah
Brajasukmana, lelaki buntung itu.
Kemudian, lelaki buntung itu
duduk di sebuah kursi tua, terbuat dari kayu jati. Disandarkan kepalanya ke
sandaran kursi dan menghela napas dalam-dalam.
"Kakang, aku kira
Pendekar Gila tidak bermaksud buruk terhadap kita. Tadi aku sempat ditolongnya.
Kenapa Kakang mesti cemas...?" tukas wanita muda yang ternyata Dewi
Sukmalelana.
"Sudah kukatakan. Aku
tidak mau orang lain ikut campur dengan urusan kita. Urusanku Bila Pendekar
Gila masih saja mau menyelidiki ki-ta, aku terpaksa melawannya. Tapi sebelumnya,
aku akan membunuh Beruk Singgala dan Danur Saka itu terlebih dulu. Kepalang
basah Bila perlu Kadipaten Galih Putih kuhancurkan" Brajasukmana nampak
sangat kesal dan murka. Sikapnya yang sebenarnya tenang mendadak berubah. Dewi
Sukmalelana heran dan kaget mendengar ucapan lelaki buntung itu.
"Kakang, apa ucapanmu itu
benar-benar akan kau wujudkan? Atau hanya menutupi kemarahanmu padaku...?"
tanya Dewi Sukmalelana.
"Akan kubuktikan
ucapanku, jika memang keadaan memungkinkan bagi kita," jawab Brajasukmana
dengan mantap.
Dewi Sukmalelana hanya
menghela napas panjang, memandangi suaminya dengan tatapan mata sendu.
Sesaat keduanya diam. Tak
sepatah kata pun terdengar suara mereka. Seakan keduanya hanya bicara pada diri
masing-masing.
"Aku minta biar dalam
keadaan bagaimanapun, jangan kau membuka rahasia kita, Dewi Yang penting kita
sekarang harus cepat membunuh Beruk Singgala dan Danur Saka, agar dendam kita
terbalas dengan tuntas. Urusan Pendekar Gila dan Kadipaten Galih Putih nomor
dua Ayo, kita berangkat mencari Beruk Singgala dan Danur Saka Aku sudah tak
sabar lagi, ingin menghisap darahnya" kata si Penyair Maut dengan geram.
Lalu bangkit dari duduknya dan melesat keluar dari rumah tua itu. Diikuti Dewi
Sukmalelana yang nampak kurang bersemangat.
***
Di markas Beruk Singgala, nampak Danur Saka
sedang bicara dengan Beruk Singgala.
Ruangan itu dipenuhi dengan
tengkoraktengkorak manusia dan macam-macam binatang.
Bau kemenyan dan dupa
menyengat hidung.
Beruk Singgala duduk bersila,
menghadapi tempat kemenyan. Mulutnya komat-kamit, seperti membaca mantera. Asap
dari pendupaan itu mengepulkan asap putih.
"Kita tidak boleh
mendiamkan keadaan seperti ini lebih lama lagi, Kakang Beruk. Kita harus segera
kembali ke kadipaten, sebelum Pendekar Gila mempengaruhi pangeran. Bisa kacau
rencana kita Apa pun yang terjadi, aku sudah siap sekarang. Demi kawan-kawan
kita yang telah binasa, dibunuh orang yang belum jelas bagi kita," ka-ta
Danur Saka dengan nada geram.
"Ya. Kau benar. Kita
harus mengadakan perhitungan dengan Pendekar Gila dan kekasihnya. Aku ingin
mencicipi tubuh gadis Cina itu.
Pasti lezat He he he..."
sahut Beruk Singgala.
"Kau bicara soal
perempuan saja. Kali ini kita tak boleh meremehkan siapa pun. Apalagi Pendekar
Gila. Kau nanti bisa celaka sendiri, Kakang Beruk," tukas Danur Saka
mengingatkan Beruk Singgala.
"Ha ha ha... Kau benar,
Kawan. Tapi akan kubikin gadis itu tunduk padaku. Dengan mantera pengasihan
ini, gadis mana pun akan selalu tertarik kepadaku. Ha ha ha..." Beruk
Singgala nampak yakin, bahwa dirinya akan dapat memanggil Mei Lie, dengan ilmu sihir
dan peletnya. Dia terus memasukkan kemenyan ke dalam dupa. Asap pun kembali
mengepul ke udara.
Danur Saka nampak kurang suka,
sebab ada firasat yang tak enak dirasakan dalam hatinya. Dirinya tahu bahwa
Pendekar Gila maupun Mei Lie, memiliki ilmu yang mampu menangkal sihir atau teluh.
Maka itu dia tak yakin pada usaha Beruk Singgala.
Benar. Belum sempat Beruk
Singgala berhasil mendatangkan Mei Lie dengan manteramantera setannya,
tiba-tiba markasnya berguncang. Bagai kena gempa bumi. Lalu disusul suara ledakan
menggetegar.
Brakkk Glarrr...
Beruk Singgala tersentak
kaget. Pikirannya yang terpusat mengerahkan ilmu sihir, terganggu.
Wajahnya merah dengan mata
membelalak karena marah.
"Ada apa di
luar...?" tanyanya pada Danur Saka yang juga memasang telinga.
"Aku tak tahu Yang jelas
ada orang asing mendekati markas kita. Sebaiknya hentikan itu.
Ayo kita keluar" sahut
Danur Saka lalu bangkit.
Beruk Singgala berpikir
sejenak dengan wajah kesal dan geram. Lalu bangkit dari duduknya, sambil
membanting kemenyan di tangan kanannya.
"Huh" Sementara di
luar mendung tebal menutup langit. Awan hitam berarak-arak. Angin kencang bertiup,
seakan hendak menghempaskan apa saja yang ada. Menambah sore hari itu semakin
mencekam. Sepi dan sunyi.
"Hah? Pohon di sebelah
sana roboh dan terlempar. Aneh..." sentak Danur Saka sambil mengerutkan
kening. Matanya segera menyapu sekeliling tempat itu dengan tatapan tajam.
Beruk Singgala memilin
kumisnya dengan tangan kiri. Matanya yang bagai mata elang dengan tajam
memandang dan melirik ke kiri dan kanannya.
"Hm... Ada apa kiranya?
Perasaanku tibatiba kurang enak." Beruk Singgala melangkah mendekati pohon
yang roboh itu.
Tiba-tiba terdengar alunan
syair dari mulut seseorang. Suara itu terdengar dari tempat yang tak jauh.
Namun tak tahu siapa yang mengucapkannya. Hal itu membuat Beruk Singgala dan Danur
Saka tersentak kaget bukan main. Keduanya saling pandang, lalu segera
berpencar, mencari tempat asal suara syair itu.
Kidung Kehidupan Pertama Kali
Dia Hadir Tetesan Darah Akan Tiba Hitung Budi Dibayar Budi Hutang Nyawa Dibayar
Nyawa Hutang Pati Harus Dibayar Pati...
Mendengar syair maut itu Danur
Saka merasa kaget. Sedangkan Beruk Singgala berusaha untuk mengumpulkan ilmu
sihirnya. Sesaat kemudian terdengar suara petikan kecapi melengking nyaring,
sampai memekakkan telinga. Nadanya sangat mengenaskan, membuat Beruk Singgala
dan Danur Saka terperangah. Suara kecapi itu semakin lama semakin keras.
Mendung pun semakin gelap menambah suasana tercekam. "Aneh" gumam
Beruk Singgala heran, "Aku tak dapat menggunakan ilmuku..." Beruk
Singgala dan Danur Saka memasang telinga dan matanya tajam. Mencari siapa yang telah
membawakan syair tersebut. Namun belum sempat Danur Saka dan Beruk Singgala
tahu, tiba-tiba sesosok bayangan merah berkelebat begitu cepat laksana terbang.
Dan....
Wrt Cras Cras "Aaakh..."
Begitu cepat bayangan itu melesat melancarkan serangan terhadap Danur Saka dan
Beruk Singgala. Sehingga keduanya tak sempat menangkis atau mengelak. Seketika
itu pula, keduanya menjerit setinggi langit. Tangan mereka menutupi wajah yang
mengucurkan darah. Tubuh Danur Saka seketika ambruk tanpa nyawa. Sedangkan
Beruk Singgala masih beruntung, hanya terluka bagian dadanya. Dengan gerak
cepat Beruk Singgala mengumpulkan tenaga dalam-nya.
"Kurang ajar" maki
Beruk Singgala, "Siapa kau, manusia atau hantu...?" "Beruk
Singgala, kau manusia paling busuk di dunia Sekarang bersiaplah berangkat ke akherat.."
ujar lelaki berpakaian merah yang tak lain Brajasukmana. Senyum sinis
mengembang di bibir lelaki buntung itu. Kemudian kembali bersyair. Kali ini
bersahut-sahutan dengan Dewi Sukmalelana yang tiba-tiba muncul di belakang Beruk
Singgala.
"Hah...?" Beruk
Singgala kaget, ketika menoleh ke belakang, melihat Dewi Sukmalelana menyeringai
seram. Giginya bertaring. Wajahnya tidak secantik ketika menjadi penari Tayub.
Keringat dingin mulai
membasahi seluruh tubuh Beruk Singgala. Napasnya naik turun dengan cepat,
menandakan rasa takut yang tak terkira.
"Kau, Perempuan Iblis...?
Jadi kau memang sudah merencanakan untuk membunuhku..." seru Beruk
Singgala coba berkata keras, untuk menutupi ketakutannya.
"Hi hi hi... Ya, Manusia
Terkutuk Kini ajalmu tinggal hampir tiba. Hi hi hi... Kakang, tua bangka ini
sebaiknya kuserahkan pada Kakang saja. Aku ingin menyaksikan dia mati di tanganmu,
Hi hi hi..." Selesai berkata begitu Dewi Sukmalelana menghilang. Hanya
tawanya yang masih terdengar, mengerikan. Sekujur tubuh Beruk Singgala semakin
basah oleh keringatnya, karena menahan rasa takut yang amat sangat.
"He he he.., Beruk
Singgala Orang macam kau tak perlu cepat-cepat kumatikan. Aku ingin mengajak
kau main-main dulu. Kalau aku mau membunuhmu, sudah dari tadi kau mampus...
He he he...," ujar si
Penyair Maut sambil terkekeh sinis. Beruk Singgala tertegun sesaat. Hatinya menimbang-nimbang,
untuk tidak melawan. Namun kesombongan dan karena merasa malu kalau lari dari
lelaki buntung itu, memaksanya mengambil keputusan untuk bentrok dengan lelaki
buntung. Walaupun dia sadar tak akan mudah mengalahkan lelaki buntung itu.
Tiba-tiba Brajasukmana atau si
Penyair Maut mendengus. Matanya menatap garang pada Beruk Singgala. Kedua
lutut, buntungnya terangkat ke atas bagai terbang. Sepasang tangannya yang tadi
di dada perlahan-lahan bergerak turun.
Beruk Singgala bersurut mundur.
"Heaaat.." Lelaki
buntung membentak buas lalu hantamankan tangan kanannya ke tubuh lawan. Serangkum
angin deras melesat menerjang Beruk Singgala. Namun lelaki berjubah hitam itu
cepat menyingkir.
"Aku akan ladeni
mainanmu, Orang Buntung..." Wuts "Heaaat.." Kembali serangkum
angin menyapu ganas.
Kali ini datang dari samping.
Untuk kedua kalinya Beruk Singgala melompat dan berhasil selamatkan diri.
"He he he..., bagus kau
masih bisa mengelak seranganku, Manusia Terkutuk Kau boleh senang-senang
dulu.... Ini baru permainan pembuka...," seru lelaki buntung dengan sinis,
"Dewi, keluarlah Mari kita beri pelajaran manusia terkutuk ini Biar tambah
ramai..." Dewi Sukmalelana seketika muncul, dalam bentuk seperti biasa,
cantik dan tersenyum lebar.
"Aku juga ingin perminan
lebih seru, Kakang. Hi hi hi..." Bersama Dewi Sukmalelana lelaki buntung atau
si Penyair Maut itu menyerbu Beruk Singgala. Menghadapi satu saja belum tentu
dapat mengalahkan, apalagi kini menghadapi dua sekaligus.
Terpaksalah Beruk Singgala
bertindak cepat dan berhati-hati. Sekali salah gerakan atau salah langkah, tak
ampun lagi, serangan lawan pasti akan mencelakakannya. Bahkan nyawanya melayang
"Kalian curang..." seru Beruk Singgala sambil berkelebat mengelak
tiada hentinya. Melenting ke sana kemari. Berguling di tanah dan melompat ke
atas pohon.
"He he he Hebat juga si
monyet ini... Aku rasanya sudah tak sabar ingin menghisap darahnya. Mencincangnya,
Dewi".
6
Dua kali pukulan keras lelaki
buntung bersarang di tubuh Beruk Singgala. Lalu satu jotosan Dewi Sukmalelana
menghantam rusuknya pula.
Beruk Singgala tampak
terhuyung-huyung. Mulutnya meringis menahan rasa sakit yang berat.
Salah satu pukulan lelaki
buntung tadi telah membuat tubuhnya terluka dalam.
Jika dia bertahan terus, cepat
atau lambat, maut pasti akan merenggut nyawanya. Karenanya Beruk Singgala
sedapat mungkin harus berusaha mengintai kelengahan lawan, agar dapat menerobos
keluar dari kurungan mereka lalu melarikan diri.
"Heaaat.." Tiba-tiba
Beruk Singgala melepaskan pukulan tangan kosong yang dahsyat ke arah kedua lawannya.
Lalu disusul dengan serangan senjata rahasianya.
Slats Slats Brajasukmana dan
Dewi Sukmalelana melompat jauh untuk mengelakkan pukulan. Sedang untuk
menangkis senjata rahasia itu, si Penyair Maut menggunakan kecapinya. Dewi
Sukmalelana menggunakan rambutnya yang tiba-tiba berubah memanjang, menghalau
senjata rahasia yang berbentuk bintang.
Gerakan-gerakan lawan inilah
yang memang ditunggu Beruk Singgala. Melihat adanya kesempatan, tanpa
membuang-buang waktu, Beruk Singgala dengan cepat memutar tubuh dan kabur.
"Kurang ajar Rupanya keparat busuk itu tak boleh dikasih hati Sekarang
saatnya kita harus lenyapkan dia" seru si Penyair Maut dengan geram.
Keduanya cepat melesat memburu Beruk Singgala. Seketika Beruk Singgala
tersentak kaget. Dirinya tak menyangka, kedua lawannya akan mampu mengejar.
Karena merasa sudah kepalang basah, Beruk Singgala yang penasaran segera
melepas pukulan ke arah kepala lelaki buntung. Sambil mendengus si Penyair Maut
menangkis dengan kecapinya, lantas dengan cepat membalas dengan pukulan. Dua
kepalan beradu hingga mengeluarkan suara keras. Beruk Singgala terpekik,
tubuhnya terdorong sampai enam tombak ke belakang. Dan ketika diperhatikan tiga
jari tangan kanannya telah hancur. Di depannya, ketika Beruk Singgala
mengangkat muka, sudah berdiri tegak si Penyair Maut yang bertolak pinggang dan
menyeringai, mengejek.
"He he he... Apa kau
masih berdoa untuk minta ampun pada Hyang Widhi? Supaya dosadosamu
berkurang?" tukas lelaki buntung sinis.
Beruk Singgala tak menjawab,
bibirnya gemetaran. Wajahnya kaku. Matanya mulai menyipit, menahan rasa sakit,
karena jari tangannya hancur. Dan mendadak Beruk Singgala mencabut keris dari
dalam bajunya. Dengan gerakan cepat langsung menyerang lelaki buntung dengan menusukkan
keris pusakanya.
Sinar kebiruan yang disertai
angin panas, menyembur dari keris itu "Heaaat..." Namun, si Penyair
Maut dan Dewi Sukmalelana cepat tanggap. Keduanya melompat mundur sambil
menangkis dengan kecapi. Dewi Sukmalelana melepaskan ikat pinggangnya, yang ternyata
berubah jadi amat panjang. Ikat pinggang dari kain warna merah hati itu melilit
kedua tangan Beruk Singgala. Lalu Dewi Sukmalelana memutar-mutarnya dengan
cepat, hingga tubuh Beruk Singgala berputar-putar seperti kipas.
"Aaauwww...
Aaauuuwww..." Beruk Singgala menjerit-jerit. Namun Dewi Sukmalelana
semakin cepat memutarnya. Dan lelaki buntung yang sejak tadi sudah tak dapat menahan
dendam dan amarah. Maka, dengan cepat menyentakkan senar-senar kecapi.
Senar-senar itu bagai hidup, menghantam wajah Beruk Singgala sampai berantakan,
tak karuan. Beruk Singgala terus menjerit-jerit kesakitan.
"Habisi saja sekarang,
Kakang" seru Dewi Sukmalelana, lalu tertawa terbahak-bahak.
Si Penyair Maut kemudian
menghantamkan kecapinya ke kepala Beruk Singgala. Kepala Beruk Singgala hancur.
Belum cukup puas sampai di situ, lelaki buntung dan Dewi Sukmalelana menyayat
seluruh tubuh Beruk Singgala dengan pisau "Aku kini puas, puas Ha ha ha...
Kini gili-ranku untuk menikmati kekuasaan," lelaki buntung itu kini
berubah total perangainya. Mungkin karena menghisap darah dan memakan daging Beruk
Singgala, manusia berilmu sihir yang disegani itu. Wajah lelaki buntung juga
seketika berubah menyeramkan.
"Kakang, dendam kita
sudah terbalas.
Mengapa harus menyakiti
orang-orang yang tak ada dalam catatan kita? Lebih baik kita pergi jauh dari
Kadipaten Galih Putih" ujar Dewi Sukmalelana kurang setuju dengan rencana
Brajasukmana.
"Hm... Kau mulai jadi
pengecut, Dewi. Aku benci orang pengecut Kau tahu kita telah menderita cukup
lama? Dan kita sudah alami siksaan batin menjadi orang yang selalu mengalah dan
jujur. Kita diinjak-injak mereka yang jahat dan berkuasa. Mereka menghalalkan
segala cara. Sampai kehancuran melanda Padepokan Gunung Talang Apa kau sudah
lupa...?" tutur Brajasukmana.
Dewi Sukmalelana diam tak
menjawab.
Hanya matanya yang bicara.
Memandangi peringai suaminya, yang kini telah berubah.
"Kini aku ingin berkuasa.
Dengan caraku.
Kalau kau mau ikut aku senang.
Tapi kalau kau menolak, aku pun tak memaksa. Aku akan menantang siapa pun,
termasuk Pendekar Gila. Jika dia menghalangi keinginanku. Ha ha ha.... Dan aku
harus dapat kuasai Kadipaten Galih Putih" tutur Brajasukmana dengan penuh
keyakinan.
Lalu si Penyair Maut
tertawa-tawa sambil melangkah meninggalkan tempat itu. Mayat Beruk Singgala
dipanggulnya. Walaupun tubuhnya tidak normal, tapi Brajasukmana tak ada kesulitan
memanggul mayat Beruk Singgala yang sudah tak utuh itu. Lalu melesat dan
menghilang. Dewi Sukmalelana hanya memandangi dari belakang.
Lalu setelah berpikir, baru
Dewi Sukmalelana juga melesat menyusul Brajasukmana, si Penyair Maut
***
Prajurit Kadipaten Galih Putih dikejutkan oleh
sesosok mayat yang tergeletak di pelataran pintu masuk kadipaten. Membuat
suasana jadi ribut "Ada mayat... Mayat... Mayat.." teriak pa-ra
prajurit dan beberapa orang yang melihatnya.
Mereka mengerumuni mayat yang
wajahnya rusak dan sebagian tubuhnya luka-luka gigitan.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang
baru saja akan meninggalkan kadipaten, setelah menyembuhkan Pangeran
Sasanadipa, terkejut mendengar teriakan itu. Segera keduanya kembali ke kadipaten.
"Aneh, tadi kita tak
melihat mayat di pelataran itu...?" gumam Mei Lie dengan mengerutkan
kening.
Para pengawal dan pangeran pun
keluar.
Nampak wajah Pangeran
Sasanadipa yang telah disembuhkan oleh Sena dengan menyalurkan tenaga dalam ke
tubuh pangeran serta ajian ‘Pemulih Saraf’. Pangeran Sasanadipa kini telah
sembuh dari segala macam pengaruh ilmu sihir.
"Minggir..., pangeran
akan lewat" seru Adhitia, pengawal yang setia pada pangeran.
Semua orang memberi jalan pada
sang Pangeran. Sementara Sena dan Mei Lie pun telah sampai ke tempat itu.
"Oh, Sena, kukira kalian
berdua sudah pergi..." tegur sang Pangeran dengan ramah.
"Baru saja kami hendak
pergi, tapi kami mendengar teriakan mereka, jadi kami kembali untuk melihat
mayat ini, "jawab Sena, lalu menggaruk-garuk kepala. Matanya segera
memperhatikan mayat yang tergeletak di depannya.
"Hah?" gumam
Pangeran Sasanadipa keti-ka melihat mayat itu, "Beruk Singgala Aku masih
mengenal pakaiannya dan gelang bahar berkepala ular di tangan kirinya" Pendekar
Gila segera berjongkok dan memeriksanya. Keningnya tiba-tiba berkernyit, "Jangan
ada yang menyentuh mayat ini" seru Sena.
"Kenapa?" tanya
Pangeran Sasanadipa ingin tahu.
"Mayat ini mengandung
racun. Siapa yang memegangnya akan mati dalam sekejap," jawab Sena
cengengesan.
"Jadi, bagaimana untuk
memindahkan mayat ini, Sena?" tanya Pangeran Sasanadipa cemas. "Hi hi
hi... Biar saya saja yang memindahkan jauh dari kadipaten ini. Tenang sajalah,
Pangeran" kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Selesai berkata begitu,
Pendekar Gila segera menarik napas dalam-dalam. Dia nampak mengumpulkan tenaga
dalam lalu segera mengangkat mayat Beruk Singgala. Dalam sekejap tubuhnya
melesat bagai anak panah, meninggalkan halaman kadipaten.
Semua yang melihatnya merasa
kagum dan bergeleng kepala. Begitu juga Pangeran Sasanadipa.
"Sungguh menakjubkan.
Sena benar-benar pendekar yang paling sederhana dan sempurna.
Perkasa, jujur, dan berbudi
luhur...," gumam Pangeran Sasanadipa.
Mei Lie hanya tersenyum
mendengar pujian sang Pangeran untuk kekasihnya.
Tak berapa lama, Sena pun
sudah kembali dengan cangar-cengir dan menggaruk-garuk kepala. "Terima
kasih, Sena Kau telah banyak menyelamatkan jiwa prajuritku. Juga jiwa dan pikiranku.
Kalau kau tak keberatan, sudilah kiranya kau dan Mei Lie tinggal beberapa hari
lagi di kadipaten...," kata Pangeran Sasanadipa.
"He he he... Maaf,
Pangeran. Maksud Kanjeng Pangeran sangat kami hargai. Tapi masih ada tugas yang
menanti kami. Kami berjanji akan kembali, untuk menjenguk Pangeran...,"
kata Se-na seraya menjura.
"Benar, Pangeran.
Percayalah..." tambah Mei Lie dengan diiringi senyum manis.
"Baiklah, kalau itu yang
kalian inginkan.
Kami akan selalu menerima
kalian dengan senang hati. Selamat Sena, Mei Lie Hati-hati..." ucap
Pangeran Sasanadipa, lalu menjabat tangan Sena dan Mei Lie.
"Pesan kami harap waspada
setiap saat Perintahkan para prajurit berjaga-jaga" ujar Sena mengingatkan
Pangeran Sasanadipa.
"Terima kasih, Sena Aku
akan selalu waspada..." jawab Pangeran Sasanadipa dengan ramah. Pendekar
Gila dan Mei Lie lalu melangkah meninggalkan halaman Kadipaten Galih Putih.
Sementara itu para prajurit
dan orangorang mulai bubar. Pangeran pun kembali masuk ke kadipaten.
***
Pendekar Gila dan Mei Lie menelusuri jalan di
sekitar Hutan Jati. Keduanya merencanakan untuk mencari lelaki buntung dan Dewi
Sukmalelana. Ingin menyelidiki, siapa sebenarnya sepasang manusia aneh itu.
"Kakang, aku yakin lelaki
buntung itu yang membunuh Beruk Singgala. Jelas kini, antara mereka ada latar
belakang yang sangat buruk" ujar Mei Lie mencoba menyampaikan gagasannya.
"Hi hi hi... Kau benar,
Mei. Aku punya firasat, si buntung itu akan jadi murka setelah dapat membunuh
orang-orang yang dianggap telah merusak dan menyakiti dirinya. Mungkin saja dia
berubah sifat dan tindak-tanduknya, hingga membahayakan kita semua," kata
Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana Kakang bisa
menduga demikian?" tanya Mei Lie.
"Ah, sudahlah Kita lihat
nanti. Mungkin kita nanti juga menjadi orang yang diincar si buntung itu,"
jawab Sena lagi.
"Apa Kakang takut
menghadapi orang macam itu?" tanya Mei Lie dengan mengerutkan kening.
"He he he... takut? Bagi orang yang benar tak ada istilah takut. Tujuan
kita kan baik," jawab Sena, lalu tertawa-tawa.
"Huh..." gumam Mei
Lie dengan cemberut.
Tak terasa keduanya telah
sampai di depan sebuah rumah tua yang menyeramkan.
"Hah? Kenapa kita bisa
sampai di tempat sesunyi ini, Kakang? Bukankah kita akan ke Desa Sarangan?"
Sena mengisyaratkan agar Mei Lie tak berbicara lagi. Lalu dengan
mengendap-endap, Pendekar Gila mendekati rumah tua yang sunyi dan nampak angker
itu. Mei Lie mengikuti di belakang. Matanya segera menyapu ke sekeliling tempat
itu. "Bau amis, Kakang...," bisik Mei Lie sambil menutupi hidung
dengan tangan kirinya.
"Ssst.." Pendekar
Gila memberi isyarat agar Mei Lie diam.
Dengan ilmu meringankan tubuh
yang sangat sempurna, Pendekar Gila melompat memasuki rumah angker itu. Sepi
dan tak ada siapasiapa. Gelap dan pengap, Pendekar Gila segera menyapu seisi
rumah tua itu dengan pandangannya. Namun tak ada tanda-tanda bahwa rumah tua
itu berpenghuni.
Hanya ada sebuah kursi yang
sudah kotor terbuat dari kayu jati. Dan kaca berukuran besar berbingkai ukiran.
Kaca itu sudah retak.
Mei Lie mendekati kaca itu.
Ketika tangannya hendak memegang, tiba-tiba terasa hawa panas keluar dari kaca
itu. Dan seakan mata Mai Lie melihat sosok wajah manusia menyeringai menakutkan
dari kaca. Dengan cepat gadis itu mundur dua langkah sambil mencabut Pedang Bidadari-nya.
"Huh..." dengus Mei
Lie sambil menghunus pedangnya.
"Ada apa, Mei?"
tanya Sena sambil menoleh dan cepat mendekati kekasihnya.
"Aku merasakan alam gaib,
Kakang. Dari kaca itu ada hawa panas menerpa wajahku. Dan sosok makhluk muncul
dari kaca itu. Menyeramkan" tutur Mei Lie. Matanya tak berkedip dan terus
mengawasi kaca kuno itu.
Brak Brak Tiba-tiba pintu
rumah tua itu tertutup dengan keras. Disusul pintu dan jendela yang lain dari
rumah itu.
Pendekar Gila bukannya takut.
Mulutnya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Lalu tertawa-tawa. Membuat Mei
Lie kesal.
"Hi hi hi... lucu Ada
yang mengajak kita main-main, seperti anak kecil, Mei," kata Sena yang
terus bertingkah seperti orang gila.
"Kakang... Jangan
bercanda Kita dalam bahaya," bisik Mei Lie begitu dekat dengan Sena.
Pendekar Gila hanya
tertawa-tawa terus, seakan tak peduli akan ucapan Mei Lie. Gadis Cina itu
cemberut dan makin kesal melihat ulah kekasihnya.
"Tenang, Mei Ketenangan
akan membawa hasil yang baik. Hi hi hi... Hei, siapa pun kau adanya, keluar
Jangan main sembunyi-sembunyi Kami datang untuk damai. Bukan menjadi musuh atau
jahat," seru Sena sambil terus menggaruk-garuk kepalanya.
Tak ada jawaban. Makin sepi
dan mencekam. Tiba-tiba angin berhembus kencang sekali.
Daun-daun jendela terbuka dan
tertutup lagi berulang-ulang. Seperti ada yang menutupi dan membuka. Kemudian
berhenti sendiri, keadaan kembali sunyi dan sepi.
"Aneh Benar-benar rumah
hantu" gumam Mei Lie kesal.
"Cit, cit, cit.." Tiba-tiba
seekor kelelawar terbang menyambar Mei Lie. Namun dengan cepat gadis itu membabatkan
pedangnya.
Cras Cras Kelelawar itu mati
seketika. Namun, setelah jatuh ke lantai rumah, kelelawar itu hilang.
Hanya asap mengepul di bekas
jatuhnya kelelawar. Sungguh-sungguh ajaib. Pikir Mei Lie tak mengerti.
"Kakang, sebaiknya kita
segera pergi dari rumah hantu ini Aku muak dengan keadaan di sini" kata
Mei Lie geram. Lalu segera dia melesat keluar dari rumah tua yang angker itu.
Rumah itu tak lain tempat tinggal si Penyair Maut dan Dewi Sukmalelana.
Pendekar Gila tertawa-tawa
sambil menggaruk-garuk kepala. Dia masih berada didalam rumah tua itu. Baru
setelah merasa yakin tak ada yang muncul, Sena segera keluar.
Ternyata di luar Mei Lie tak
ada. Sena mencarinya.
"Mei...? Mei Lie...? Di
mana kamu, Mei...?" Pendekar Gila nampak heran. Segera dia mencari ke
dalam rumah lagi, namun tak ada.
Cepat Sena keluar lagi, lalu
melangkah ke belakang rumah tua itu. Dan, ternyata Mei Lie terperangkap
jebakan. Jala Mei Lie tergantung dalam jala berduri. Dia berusaha untuk keluar
dengan membabatkan pedangnya, namun sulit, karena duri-duri menusuk-nusuk ke
tubuhnya bila bergerak. "Akh, ukh..." keluh Mei Lie. Yang tubuhnya
mulai terluka.
"Mei...?" Sena
segera mengeluarkan ajian ‘Inti Brahma’ Digosok-gosok telapak tangannya sambil mengerahkan
tenaga dalam. Maka dari telapak tangan tiba-tiba keluar api. Bergulung-gulung membentuk
bola-bola api.
"Heaaa..." Pendekar
Gila menghentakkan telapak tangan ke jala berduri itu. Bola-bola api meluncur dan
membakar jala berduri itu. Mei Lie cepat melompat turun, begitu jala itu mulai
terbakar dan terbuka. Setelah itu jala duri pun terbakar habis.
"Ooo..." Mei Lie
mengeluh. Memegangi lengannya yang terkena duri.
"Duri-duri itu beracun.
Jangan banyak bergerak Tahan napas, Mei" kata Sena. Yang segera mengobati
Mei Lie yang terluka oleh duri beracun. Wajah gadis itu mulai berkeringat dan
lemas. Sena terus berusaha menyatukan tenaga dalamnya ke
tubuh Mei Lie. Getaran kuat
terjadi di tubuh gadis itu, karena mengalirnya tenaga dalam Pendekar Gila yang
mulai menyatu.
"Ukh..." Mei Lie
memekik pendek, lalu tubuhnya lemas dan pingsan. Sena nampak lega. Karena ternyata
kekasihnya dapat diselamatkan dari bahaya. Napas Sena pun naik turun dengan cepat.
Keletihan akibat mengeluarkan
tenaga dalam.
"Kau telah lolos dari
bahaya, Mei..." gumam Sena sambil terus memegangi tubuh kekasihnya. Mei
Lie tak sadarkan diri beberapa saat.
Namun setelah itu tubuhnya
berangsur kembali pulih. "Ohhh..., Kakang...?" terdengar suara Mei
Lie yang lemah.
"Tenang, kau sudah dapat
melawan racun itu. Semua ini karena, Hyang Widhi masih memberikan kasih dan
sayang padamu, Mei...," kata Sena menghibur Mei Lie.
Mei Lie bangun dari
rebahannya, memijit keningnya sejenak, dan berucap lemah.
"Kita cepat tinggalkan
tempat ini, Kakang.... Aku tak ingin mati konyol" Sena menggaruk-garuk
kepala dan manggut-manggut. Segera sepasang pendekar itu melesat meninggalkan
rumah tua.
Dari kegelapan, sepasang mata
merah mengamati kedua pendekar yang pergi meninggalkan rumah tua itu.
"Hi hi hi... Ternyata
ilmu Pendekar Gila boleh juga. Tapi si Bidadari Pencabut Nyawa tak sehebat
Pendekar Gila..." terdengar suara dari seorang yang tak lain lelaki
buntung.... Dia muncul setelah Pendekar Gila dan Mei Lie pergi.
"Kenapa Kakang berbuat
begitu pada Bidadari Pencabut Nyawa. Mereka bukan musuh kita, Kakang. Kau
menyimpang dengan rencana kita semula...," tukas Dewi Sukmalelana yang
kemudian muncul tiba-tiba.
"Diam kau Jangan ikut
campur Aku sudah katakan saat inilah aku harus bertindak dan memporak-porandakan
Kadipaten Galih Putih lalu menguasainya Ha ha ha..." bentak lelaki buntung
atau si Penyair Maut "Perlahan-lahan Pendekar Gila dan kekasihnya itu aku
bunuh. Baru aku benar-benar aman... Ha ha ha..." Lalu lelaki buntung itu
melesat pergi sambil tertawa-tawa. Dewi Sukmalelana kesal dan menghela napas
dalam-dalam.
"Kalau kau bertindak
ceroboh, kau akan menanggung akibatnya, Kakang...," gumam Dewi Sukmalelana
bicara pada dirinya sendiri.
7
Sepak terjang si Penyair Maut
kian hari kian merajalela. Lelaki buntung itu tanpa belas kasihan membakar dan
membantai siapa saja yang ditemuinya. Tak peduli orang dari kalangan persilatan
maupun rakyat jelata yang berani menentang atau melawan kehendaknya, harus mati
secara mengerikan. Tampaknya hal itu sengaja dilakukan untuk mendukung hasrat
dan citacitanya menjadi orang yang paling ditakuti.
Akhirnya kabar tentang sepak
terjangnya itu sampai terdengar di kadipaten meresahkan pikiran Pangeran
Sasanadipa.
"Siapa lelaki buntung itu
sebenarnya...? Aku merasa tak pernah punya urusan atau bermusuhan dengannya.
Pengawal, lipat gandakan penjagaan Di semua sudut, kerahkan semua prajurit.."
perintah sang Pangeran pada Adhitia, yang kini menjabat senapati. Diangkat oleh
sang Pangeran karena kesetiaannya.
Suasana di kadipaten malam ini
tampak sunyi. Hawa dingin menusuk tulang sumsum mulai merambat, menambah
suasana kian mencekam. Padahal pada malam-malam biasa masih ada beberapa
hilir-mudik di sekitar lingkungan kadipaten. Namun malam ini Kadipaten Galih Putih
terlihat lengang dan mencekam.
Pangeran Sasanadipa pun sudah
siap dengan keris pusakanya. Diselipkannya keris itu di pinggang. Kemudian
Pangeran Sasanadipa mengatur seluruh prajurit dibantu para pengawal dan
senapati.
"Jangan ada yang
bertindak, sebelum ada perintah dariku..," pesan Pangeran Sasanadipa pada
para penjaga. Setelah itu dia kembali ke ruangan khusus.
"Apakah manusia itu akan
muncul malam ini...?" tanya salah seorang prajurit pada teman jaganya.
"Mungkin. Perasaanku
mengatakan demikian...," jawab temannya lirih.
Malam semakin sepi, tak ada
tanda-tanda adanya malapetaka akan datang. Namun di kejauhan tiba-tiba
terdengar suara petikan kecapi melengking memecahkan kesunyian.
Para penjaga dan pengawal
tersentak kaget Demikian juga Pangeran Sasanadipa. Suara lengkingan nyaring
dari kecapi semakin keras terdengar seakan ingin memecahkan telinga. Alunan kecapi
itu membuat suasana semakin mencekam.
Karena suara itu sangat
mengundang rasa takut "Siapa yang memainkan kecapi itu? Sungguh
menyakitkan telingaku..." tukas Pangeran Sasanadipa seraya bangkit
berdiri. Kemudian melangkah keluar.
"Semua siaga dan serang
bila melihat yang mencurigakan..." seru Pangeran Sasanadipa sambil terus
melangkah keluar.
Suara kecapi terus terdengar dan
semakin keras membuat semua orang menutup telinga.
Dan kemudian disusul suara
tawa yang menggelegar tanpa terlihat pemitiknya.
Pangeran Sasanadipa kini sudah
berdiri dikawal empat senapannya.
"Hei Kau manusia atau
dedemit, keluarlah Apa maksudmu mengacau malam-malam begini? Dan siapa kau.
Tunjukkan wujudmu, jika kau memang manusia" seru Pangeran Sasanadipa dengan
lantang dan berwibawa.
"Ha ha ha... Pangeran,
kini rupanya kau sudah pulih. Bagus. Ha ha ha... Aku datang untuk merampas
kadipaten ini. Sebaiknya kau dan orang-orangmu menyingkir saja, sebelum aku bertindak....
Ha ha ha..." terdengar suara jawaban yang menggema. Bagai suara raksasa.
Para prajurit dan pengawal
kadipaten sudah siap untuk meringkus, jika manusia itu muncul.
"Edan Kurang ajar... Kau
pikir aku tak mampu mengalahkanmu. Ayo keluarlah kalau kau ingin
menantangku" kembali Pangeran Sasanadipa berseru, sambil melangkah
beberapa tindak ke depan.
"He he he... Kau kini
bertambah gagah dan berani, setelah bersekutu dengan Pendekar Gila.... Ha ha
ha... Bagus, bagus..., tapi kau harus ingat, kau sebenarnya tak mungkin mampu menghadapiku,
Pangeran. Ha ha ha..." Suara tawa terdengar begitu keras dan menggetarkan.
Sementara alunan kecapi pun terdengar melengking nyaring dipetik lebih cepat, hingga
suaranya kacau tak beraturan. Semakin membuat telinga sakit Suara petikan
melengking itu seakan berasal dari beberapa kecapi. Satu persatu prajurit yang
tak tahan kesakitan sambil menekap telinga.
Mereka sempoyongan lalu roboh.
Satu persatu para prajurit yang tak memiliki ilmu yang cukup tinggi roboh
dengan telinga mengeluarkan darah.
Melihat hal itu Pangeran
Sasanadipa marah, lalu mencabut keris pusakanya. Lalu mengangkatnya
tinggi-tinggi ke atas dan berseru.
"Hei Setan belang,
keluarlah Jangan membunuh orang yang tak berdosa Kalau kau berani hadapi
aku..." "Ha ha ha... hebat, hebat Jangan menyesal jika aku membuatmu
menangis dan merengek minta ampun, Pangeran Dungu" Bersamaan dengan itu,
muncul sesosok bayangan hitam berkelebat di hadapan Pangeran Sasanadipa. Sosok
manusia berkaki buntung "Hah...?" gumam Pangeran Sasanadipa melihat
sosok yang berdiri di hadapannya.
"He he he... kau heran
melihat keadaanku yang ganjil ini? He he he.... Sekarang, cepat kita mulai Aku
sudah tak tahan lagi ingin merasakan kursi singgasanamu, Pangeran.... Ha ha
ha..." ujar lelaki Penyair Maut dengan nada ngejek.
"Baik, bersiaplah kau,
kalau itu yang kau inginkan...," jawab Pangeran Sasanadipa.
Selesai berkata begitu,
Pangeran Sasanadipa membuka jurus 'Naga Geni'. Pangeran menggerakkan keris di
tangan kanannya bagai seekor ular naga mencari mangsanya, meliuk-liuk dengan
cepat Kaki kirinya ditekuk dan diangkat, sedangkan tangan kirinya merentang ke
samping.
Lalu cepat kaki kirinya
diturunkan dengan hentakan keras, hingga menimbulkan getaran hebat di tanah.
Sementara Senapati Adhitia dan
para prajurit mulai bergerak membuat lingkaran dengan jarak empat tombak.
"Heaaa..." Pangeran
Sasanadipa menyerang dengan menusuk dan membabatkan kerisnya. Sinar putih yang
disertai angin panas menyembur dari ujung keris sang Pangeran.
Namun si Penyair Maut dengan
tenang mengelak sambil menangkis dengan kecapinya, kemudian melompat keluar.
Lalu menukik sambil melakukan serangan yang cukup dahsyat Pangeran sempat
tersentak kaget melihat serangan balik yang cepat itu. Untung dia masih bisa
menghindari serangan lelaki buntung itu dengan merundukkan kepala, lalu
berguling di tanah. Namun tubuhnya segera bangkit dan memasang kuda-kuda mantap.
"He he he... Boleh juga
kau, Pangeran. Tapi kini terimalah ini Heaaa..." pekikan keras mengiringi
tendangan Iblis Penyair Maut Kedua kakinya yang buntung itu seakan utuh, begitu
cepat dan sangat dahsyat Wuttt Wuttt Pangeran sempat terbelalak kaget menyaksikan
kaki buntung itu dengan cepat menendang ke muka dan dadanya. Seperti layaknya
kaki yang utuh. "Edan" gumam Pangeran Sasanadipa sambil mengelak
dengan menjatuhkan badan ke belakang, tubuhnya melakukan salto beberapa kali.
Dan ketika telah berdiri pada
kedudukan cukup mantap. Pangeran mengantarkan pukulan jarak jauh sambil
melompat memburu lawan.
"Heaaa..." Jglarrr...
Selarik sinar perak terpercik
ketika pukulan jarak jauh Pangeran Sasanadipa beradu dengan kecapi si Penyair
Maut. Kini kedua orang berilmu tinggi itu, bertarung di udara. Kecepatan gerak
mereka membuat tubuh masing-masing tampak seperti bayangan, saling berkelebat
menyerang dan menangkis.
Orang-orang yang menyaksikan
nampak kagum. Namun tetap waspada terhadap keadaan sang Pangeran. Mereka semua
telah siap untuk menangkap lelaki buntung itu.
Bret Lengan baju Pangeran
Sasanadipa robek terenggut kuku lelaki buntung yang runcing panjang itu Sang
Pangeran tersentak kaget. Kalau saja tubuhnya tak cepat mengelak, tentu kulit lengannya
robek dan kena racun kuku lelaki buntung itu.
"Edan Gerakannya sulit
kuatasi....'" gumam Pangeran Sasanadipa sambil terus mengawasi setiap
gerakan lawan.
Lelaki buntung yang melihat
Pangeran Sasanadipa nampak kaget dan membelalak kaget, tertawa mengejek.
"Ha ha ha... Ayo,
Pangeran, maju Atau kau mau menyerah? He he he..." "Bangsat.. Jangan
kelewat sombong kau" teriak Pangeran Sasanadipa. "Terimalah pukulan-ku
ini" Habis berkata begitu, Pangeran Sasanadipa menghantamkan tangan
kanannya ke depan. Angin laksana bagai menyerbu ke arah lelaki buntung.
"Heaaa..." Wusss...
Ketika merasa tubuhnya
tergetar hebat bahkan hampir roboh terdorong angin pukulan Pangeran Sasanadipa,
si Penyair Maut sertamerta mengibaskan kecapinya lalu diputar cepat.
Sangat dahsyat Angin pukulan
Pangeran Sasanadipa seketika musnah Pangeran Sasanadipa kembali mengerutkan
kening, keheranan menyaksikan kejadian itu. Pukulan yang baru saja dilepaskan
menggunakan jurus 'Naga Geni Mematuk'. Salah satu jurus yang sangat
diandalkannya. Pangeran Sasanadipa sudah yakin ilmu pukulan 'Naga Geni Mematuk'
yang sudah lama tak digunakan mampu melumpuhkan lelaki buntung itu. Namun ternyata
dapat dimentahkan hanya dengan tangkisan kecapi Menyadari kehebatan ilmu lawan,
Pangeran Sasanadipa segera memerintahkan senapati dan para prajurit agar
menyerang lelaki buntung itu. "Serang... Tangkap penjahat itu..." Dengan
cepat Senapati Adhitia merangsek maju dengan keris di tangan, menyerang si Penyair
Maut, diikuti para pengawal dan prajurit Sementara itu, Pangeran Sasanadipa
cepat masuk ke kadipaten untuk mengambil tombak pusakanya.
Di luar pertarungan semakin
seru. Si Penyair Maut dikeroyok belasan prajurit dan pengawal kadipaten. Namun
lelaki buntung itu dengan mudah menghabisi satu persatu lawanlawannya. Sudah
banyak prajurit yang mati di tangan lelaki buntung itu. Kini sampai pada Senapati
Adhitia yang bertarung sengit menghadapi keganasan Penyair Maut Lelaki buntung
itu menghantamkan kecapinya ke rusuk kiri Senapati Adhitia. Namun senapati itu
masih bisa menangkis dengan kerisnya sambil menjatuhkan diri ke samping. Gagal
serangan pertama si Penyair Maut terus mencecar Senapati Adhitia yang jadi
kewalahan.
Tiba-tiba lelaki buntung itu
dengan cepat membalikkan tubuh. Disusul dengan sabetan kecapinya ke kepala
Senapati Adhitia yang belum sempat mengatur keseimbangan.
"Heaaa..." Prak Prak
"Aukh..." Kecapi menghantam kepala Senapati Adhitia, hingga pecah.
Darah segar pun muncrat. Seketika nyawa Senapati Adhitia melayang. Tubuhnya
ambruk mencium tanah.
Para prajurit dan pengawal
kadipaten lainnya tercengang, melihat Senapati Adhitia yang mati dengan sangat
mengerikan. Mereka mulai merasa kecut dan gentar. Namun karena terdorong rasa
setia pada Pangeran Sasanadipa, para prajurit dan pengawal pantang mundur.
Mereka pertaruhkan nyawa untuk mengusir, menangkap atau bila bisa membunuh
lelaki buntung itu.
"Seraaang...
Tangkaaap..." seru salah satu pengawal yang berbadan besar, bernama
Haryosasono.
Semangat para prajurit kembali
berkobar.
Mereka segera menyerbu si
Penyair Maut dan mengepungnya. Rupanya keadaan seperti itu justru membuat
lelaki buntung semakin kesetanan.
Dia lebih ganas membunuh siapa
saja yang mendekat menyerangnya.
"Heaaat.." Dengan
teriakan keras membahana lelaki buntung itu melesat dengan memutar dan mengibaskan
senjatanya.
Cras Cras Prak Prak "Aaa..."
"Wuaaa..." Jerit dan teriakan kematian bagai bersahutan terdengar.
Tak berapa lama sudah puluhan mayat bergelimpangan di pelataran kadipaten.
Darah berceceran di tanah.
Keadaan kadipaten semakin kacau dan mengerikan. Jeritan kematian menyayat,
memilukan.
Hiruk-pikuk pertarungan itu
sampai ke telinga Dewi Sukmalelana yang kurang setuju dengan tindakan
Brajasukmana, suaminya. Hal itu juga karena Dewi Sukmalelana sangat menghormati
dan kagum pada Pangeran Sasanadipa sejak sebelum terjadinya malapetaka yang
menimpa Padepokan Gunung Talang.
Dewi Sukmalelana cepat melesat
untuk mencegah Brajasukmana yang membabi buta membunuh para prajurit dan
orang-orang tak berdosa.
"Yeaaat.." Dewi
Sukmalelana melenting dan bersalto di udara, lalu mendarat di tengah-tengah
arena pertarungan. Si Penyair Maut terkejut melihat kedatangan istrinya di
tempat pertarungan.
"Hah? Dewi, minggir
Jangan halangi aku Atau kau kini menantangku...?" bentak lelaki buntung
itu dengan geram.
"Tindakanmu tak sesuai
dengan rencana kita, Kakang Aku terpaksa menentangmu..." jawab Dewi
Sukmalelana dengan sinis.
"Kurang ajar Aku mengerti
sekarang, rupanya kau sudah tergoda oleh pangeran bodoh itu Terserah apa maumu
Heaaa..." Kini pertarungan semakin seru. Si Penyair Maut bertarung dengan
Dewi Sukmalelana, istrinya sendiri. Keduanya sama-sama tangguh. Para prajurit
dan pengawal, serentak mundur, dan tetap membuat lingkaran sambil berjaga-jaga.
"Aneh, perempuan itu kini
memihak kita..." ujar salah seorang prajurit "Ya. Untung perempuan
itu segera datang kalau tidak, kita lebih banyak yang korban Mudah-mudahan
perempuan itu dapat mengalahkannya. Apalagi mampu membunuhnya," sahut yang
lain.
"Diam kalian, tetap
waspada, siapa tahu ini cuma siasat kedua manusia asing itu" bentak
Haryosasono, pengawal pangeran.
Pertarungan Dewi Sukmalelana
dan lelaki buntung cukup seru. Keduanya bergerak begitu cepat bagai
bayang-bayang berkelebat ke sana kemari. Saling pukul dan tangkis.
"Heaaa..."
8
Dewi Sukmalelana mengibaskan
rambut saktinya. Seketika rambut itu berubah memanjang dan menyerang suaminya.
Membuat lelaki buntung itu harus melenting ke udara sambil bersalto dan
akhirnya mendaratkan kaki di pagar benteng kadipaten. Dewi Sukmalelana terus memburu
dengan menghentakkan kedua telapak tangan ke depan.
"Yeaaat.." Jlegarrr...
Dua larik api keluar dari
telapak tangan Dewi Sukmalelana. Menghantam ke tubuh si Penyair Maut yang
berdiri di atas tembok kadipaten.
Namun lelaki buntung melompat
untuk menghindari serangan dahsyat itu. Hingga tembok kadipaten hancur. Ledakan
itu terdengar oleh Pangeran Sasanadipa yang berada di dalam bersama dua pengawalnya.
"Suara apa itu? Seperti
ledakan" seru Pangeran Sasanadipa dengan mengerutkan kening. Tangan
kanannya sudah menggenggam sebatang tombak berukuran satu lengan. Kepala tombak
terbuat dari kuningan. Batangnya hitam legam. Lalu pangeran segera melangkah ke
pintu keluar. Diikuti dua pengawalnya.
Sampai di luar, Pangeran
Sasanadipa sangat terkejut, melihat yang bertarung kini Dewi Sukmalelana dan
lelaki buntung itu.
"Siapa perempuan itu
sebenarnya...? Mengapa dia memihak kita. Tapi rasanya aku pernah melihat wajah
perempuan itu...," gumam Pangeran Sasanadipa lirih.
"Ya, saya pun pernah
mengenalnya, Kanjeng Pangeran," pengawal mengingat-ingat, lalu....
"Saya ingat, Kanjeng
Pangeran, perempuan itu kalau tak salah penari Tayub tempo hari. Yang juga
melawan Danur Saka dan Beruk Singgala, sebelum Pendekar Gila
membantunya...." Pangeran manggut-manggut, lalu menghela napas dalam-dalam.
"Ya, ya... betul aku agak
lupa. Tapi mungkin kau benar...." Dewi Sukmalelana terkesiap. Serangan yang
dilancarkannya tadi memang hanya merupakan satu tipuan. Tapi bagaimana suaminya
itu bisa membaca? Dewi Sukmalelana mulai sadar, bahwa ilmunya sudah melekat
pada diri lelaki buntung itu. Lagi pula jurus mereka hampir sama, serupa. Hanya
saja si Penyair Maut berada lebih tinggi di atasnya.
Setelah mementahkan serangan
Dewi Sukmalelana, Brajasukmana menerjang ke depan.
Kecapinya berkelebat
bertubi-tubi ke wajah dan kepala istrinya. Untung Dewi Sukmalelana memiliki
ilmu meringankan tubuh yang tinggi, hingga dapat mengelakkan semua serangan si
Penyair Maut Brajasukmana atau si lelaki buntung memutar kecapinya dengan
cepat, hingga sinar kebiruan tampak bertabur bergulung-gulung. Dia coba
merangsek ke depan untuk membuyarkan serangan Dewi Sukmalelana yang
mengandalkan rambut panjang tak terbatas itu.
Rambut itu kini terpegang
tangan kiri si Penyair Maut, lalu dengan cepat pula dililitkan di kecapi
saktinya. Kemudian lelaki buntung itu menghentaknya dengan keras. Sehingga Dewi
Sukmalelana memekik kesakitan, dan coba melemparkan diri dari cengkeraman
Brajasukmana.
"Kau perempuan laknat Perlu
dikasih pelajaran Aku masih sayang padamu Dewi, sekarang pergi dan jangan
ganggu aku lagi..." bentak lelaki buntung marah dan kemudian dia memotong rambut
yang panjang itu dengan tangannya yang setajam pisau. Lalu menghentakkannya
kuatkuat tubuh Dewi Sukmalelana.
"Ukh..." Dewi
Sukmalelana memekik, tubuhnya terdorong ke belakang dan jatuh ke tanah.
Pangeran Sasanadipa yang melihat itu segera maju sambil berteriak.
"Kau lelaki biadab
Tangkap dia..." Kembali prajurit dan orang-orang kadipaten menyerang
lelaki buntung. Pangeran kali ini sudah kehilangan kesabaran menghadapi si
Penyair Maut Pertarungan kembali terjadi dengan seru.
Sampai akhirnya pangeran yang
bermaksud menyelamatkan Dewi Sukmalelana, kini menjadi bulan-bulanan lelaki
buntung itu. Tombak pusakanya pun tak mampu mengalahkan kehebatan ilmu si
Penyair Maut Bahkan kemudian terlepas dari genggamannya.
Dewi Sukmalelana yang melihat
Pangeran Sasanadipa, segera melesat untuk membela. Walaupun kekuatannya sudah
berkurang, karena rambut saktinya dipotong oleh Brajasukmana.
"Yeaaat.." Plak Plak
"Heaaa..." Dewi Sukmalelana mendesak si Penyair Maut dengan
jurus-jurus mautnya. Dilancarkan serangan dengan tendangan tanpa wujud, yang membuat
suaminya sempat terdesak dan kewalahan. Disusul dengan semburan api yang keluar
dari telapak tangan.
Wusss...
Glarrr...
Lelaki buntung itu terlontar
ke belakang ketika serangan Dewi Sukmalelana yang bertubitubi menghantamnya.
Namun, si Penyair Maut itu bukan tokoh sembarangan, dia tak mengalami luka
sedikit pun, bahkan tertawa-tawa.
"Dewi, rupanya kau sudah
tak bisa lagi kusayangi. Dan aku pun tak ingin rencanaku untuk menguasai
kadipaten ini gagal, terpaksa aku harus membunuhmu.... Heaaa..." Selesai
berkata demikian, secepat kilat si Penyair Maut melesat dan menghentakhentakkan
senar kecapinya sambil membuat gerakan aneh.
Pangeran Sasanadipa
terperangah menyaksikan gerakan si Penyair Maut yang tak pernah ia saksikan.
Tubuh lelaki buntung itu bersalto dengan cepat di udara, hingga seperti
gumpalan hitam saja. Lalu senar-senar kecapi itu dengan ganas, dihentakkan.
Bagai hidup senar-senar itu pun menghantam ke arah Pangeran Sasanadipa dan Dewi
Sukmalelana.
Srakkk Trakkk...
Swing Swing "Fit..."
Dewi Sukmalelana mencoba menangkis dengan mengibaskan ikat pinggangnya.
Senar-senar itu melilit ikat
pinggang Dewi Sukmalelana. Dengan cepat si Penyair Maut menghantamkan kecapinya
ke dada sang Istri yang tertarik oleh kekuatan gaib yang dikeluarkannya.
Pada saat kecapi itu diayunkan
ke atas, hendak menghantam kepala Dewi Sukmalelana, tibatiba.... Berkelebat
sosok bayangan di udara. Dengan cepat bayangan itu menghajar kepala lelaki buntung
yang hendak menghantamkan kecapi itu ke kepala Dewi Sukmalelana.
"Heaaa..." Plak Plak
"Aaa..." Si Penyair Muat memekik dan terhuyunghuyung ke belakang.
"Bangsat kau, Pendekar
Gila..." bentak si Penyair Maut, ketika tahu kalau yang menghalangi
maksudnya ternyata Sena.
Pangeran Sasanadipa merasa
lega, dengan kedatangan Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa. "Aku
sebenarnya tak ingin ikut campur urusanmu. Tapi rupanya kau keterlaluan,
Kisanak..," ujar Pendekar Gila dengan tenang sambil menggaruk-garuk kepala
dan cengengesan.
"Itu urusanku Aku pun tak
suka kau selalu campur tangan. Aku telah berubah pikiran.
Bahwa aku akan membunuhmu
sekarang. Hhh… aku akan berkuasa di jagad ini.... Ha ha ha...
Bersiaplah kau, Pendekar
Gila... Heaaa..." Brajasukmana melesat cepat menyerang Pendekar Gila
dengan pukulan berantai, yang mengeluarkan jarum-jarum beracun.
Pendekar Gila dengan tenang
mengelak dan melenting ke udara.
"Awas..." seru Mei
Lie mengingatkan Pangeran Sasanadipa agar menyingkir. Sambil menangkis
jarum-jarum beracun yang sebagian meluncur ke tubuhnya, dengan Pedang Bidadarinya.
Sementara itu Dewi Sukmalelana cepat mendekati Pangeran Sasanadipa dan
mengajaknya menghindar dari tempat itu. Mei Lie yang melihat itu merasa curiga.
Kemudian cepat mendekati Dewi Sukmalelana dan Pangeran Sasanadipa yang tengah
terluka itu.
"Mau kau bawa ke mana
pangeran? Jangan coba-coba macam-macam..." tegur Mei Lie, sambil
menghunuskan Pedang Bidadari-nya ke arah Dewi Sukmalelana.
"Aku tidak bermaksud
buruk terhadap pangeran, percayalah Aku memang istri lelaki buntung itu, tapi
aku tak setuju dengan rencananya yang buruk itu.... Aku datang karena ingin
menyelamatkan pangeran. Kau boleh tanya pada pangeran sendiri...," tutur
Dewi Sukmalelana polos.
"Benar, Mei Lie. Kalau
saja perempuan ini terlambat datang, mungkin aku sudah dikuasai lelaki buntung
itu...," jawab Pangeran Sasanadipa dengan menahan sakit.
"Kalau kau tak keberatan,
maukah membantuku untuk mengobati luka pangeran?" pinta Dewi Sukmalelana
pada Mei Lie kemudian.
Mei Lie berpikir sejenak, lalu
menganggukkan kepala.
"Ayo, cepat kita obati
pangeran..." ajak Mei Lie kemudian. Dewi Sukmalelana nampak senang. Segera
kedua perempuan muda itu memapah tubuh Pangeran Sasanadipa masuk ke kadipaten.
"Pendekar Gila, rupanya kau pun ingin mencari mampus Kau telah berani
mencampuri urusanku Kau harus mati di tanganku" Pendekar Gila tertawa
terkekeh-kekeh.
"He he he... Ocehanmu
seperti si buntung yang ingin naik gunung saja Ah ah ah... Sungguh sombong kau,
Kisanak..." sindir Sena.
"Kurang ajar
Heaaa..." Dengan jurus ‘Iblis Membelah Samudera’, si Penyair Maut segera
menyerang. Kedua tangannya bergerak membelah ke muka Pendekar Gila,
mengeluarkan racun ganas. Gerakannya ingin mencakar wajah dan dada Pendekar
Gila.
"Eits He he he... leherku
terlalu licin, Kisanak" Pendekar Gila segera meliukkan tubuhnya dengan
menggunakan jurus ‘Si Gila Menari Menepuk Lalat’. Lalu dengan cepat Suling Naga
Sakti diambilnya, dan langsung disodokkan ke tubuh lawan. "Ini bagianmu,
Kisanak.. Heits..." Lelaki buntung itu tersentak kaget melihat gerakan
Pendekar Gila yang sangat aneh. Sepintas nampak pelan dan lemah. Tapi
sesungguhnya sangat dahsyat. Bahkan mampu menjangkau pinggangnya yang pendek.
Dengan cepat dibabatkan kecapinya memapak serangan itu.
"Haits..." Prak Glarrr...
Ledakan keras terdengar
diikuti melompatnya kedua orang itu. Sesaat keduanya terdiam berhadap-hadapan.
Kemudian si Penyair Maut segera mengerahkan jurus 'Iblis Menusuk Gunung',
lelaki buntung itu menyatukan jari telunjuk kuat-kuat. Kuku-kukunya yang
runcing dan panjang mengarah ke Pendekar Gila.
Melihat itu Pendekar Gila
hanya senyumsenyum dan menepuk-nepuk pantat, lalu membuka jurus 'Si Gila
Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergerak laksana melepas lilitan tali. Berputar
begitu cepat. "Heaaa..." Jari-jari tangan lelaki buntung itu bergerak
cepat menyerang dengan tusukan ke bagian dada Pendekar Gila, disusul ke samping
kanan dan kiri. Gerakannya sangat cepat dan lincah.
Pendekar Gila tersenyum-senyum
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian, Suling Naga Sakti di tangan
kanan diputarnya, lalu digerakkan lurus ke atas.
"Yiaaa. .." "He
he he.... Edan Galak benar si buntung ini..."
***
Didahului pekikan menggelegar, keduanya kembali
melakukan serangan. Tangan dan jarijari lelaki buntung bergerak cepat. Menusuk
ke depan, menghantam ke samping. Diteruskan dengan cakaran dari atas ke bawah,
kemudian disambung dengan sambaran dari kiri ke kanan.
Saking cepatnya, gerakan
tangan itu, seperti hilang. Yang nampak hanya bayangan hitam berkelebat. Tak
sampai di situ, si Penyair Maut menyentakkan senar-senar kecapinya ke arah Pendekar
Gila.
"Heaaa..." Crak Crak
Namun serangan itu tak mengenai sasaran.
Senar-senar itu dapat
dipatahkan oleh tangkisan Suling Naga Sakti milik Pendekar Gila. Bahkan senar-senar
itu berbalik menguasai pemiliknya.
"Ukh... Bangsat"
umpat si Penyair Maut sambil memekik kesakitan. Senjata makan tuan.
Lelaki buntung segera membuat
gerakan cepat dan sangat berbahaya. "Heaaa..." Melihat jurus lawan
yang cepat dan sangat sulit ditembus dengan jurus biasa, Pendekar Gila segera
mengerahkan jurus andalannya, 'Si Gila Menembus Badai'.
"Heaaa..." "Haittt.."
Wut Blak Prak Kecapi dan Suling Naga Sakti beradu. Pijaran api keluar dari
benturan kedua benda itu.
Asap putih keperakan dan
beracun terus bergulung-gulung menyerang Pendekar Gila. Kalau tidak pernah
meminum 'Darah Ular Putih', pasti Pendekar Gila telah tewas Namun dia kebal
dari segala macam racun (Untuk jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila
dalam episode "Titisan Dewi Kwan Im").
Agak kaget juga lelaki buntung
menyaksikan Pendekar Gila tidak mempan racun yang keluar dari kuku-kukunya.
Gerakan tangannya semakin dipercepat, berusaha menghancurkan Suling Naga Sakti
di tangan Pendekar Gila.
Wut Prak Prak "Heaaa..."
Saling tangkis dan pukul terus berlangsung antara kedua orang sakti itu. Mereka
berusaha untuk mengalahkan satu sama lainnya.
Namun sejauh itu, belum tampak
ada yang kalah.
Pendekar Gila terus
menyodokkan sulingnya dengan masih menggunakan jurus 'Si Gila Menembus Badai'.
Sesekali sulingnya disabetkan ke tubuh lawan, atau didongakkan ke atas berusaha
membuka tangkisan lawan yang cukup tangguh itu.
"Heaaa..." "Uts..."
Lelaki buntung cepat-cepat membuang muka ke samping. Lalu dengan cepat menghantamkan
kecapinya ke tubuh Pendekar Gila dengan jurus 'Sapuan Badai Neraka'.
Wut Melihat kecapi menderu ke
arahnya, dengan cepat Pendekar Gila menarik serangan. Lalu memutar sulingnya
hingga setengah lingkaran.
Dipapaknya hantaman kecapi
dengan jurus 'Si Gila Menipu Lawan Memukul Karang'.
"Hih..." Prak Keduanya
melompat ke belakang. Berdiri saling berhadapan. Kemudian kembali saling menyerang
dengan didahului pekikan menggelegar.
"Heaaa..." "Yeaaat.."
Tubuh keduanya melesat cepat. Sampai di udara, mereka berusaha saling
menyerang. Suling Naga Sakti menyodok ke wajah lawan. Sedangkan kecapi yang
terbuat dari perak itu menghantam ke kepala Pendekar Gila.
Wrets "Hups" Wut Pendekar
Gila berguling ke samping, mengelakkan hantaman kecapi lawan. Kemudian dengan
cepat, sulingnya disodokkan kembali ke wajah lawan. Namun lawan tak pernah
lengah sedikit pun. Dengan cepat lelaki buntung itu menarik kepalanya ke
belakang.
Melihat lelaki buntung itu
mampu menghindari serangannya, Pendekar Gila menurunkan tangan agak ke bawah.
Kali ini sulingnya disodokkan ke dada lawan.
"Heaaa..." "Heh?"
Lelaki buntung itu tersentak kaget mendapatkan serangan cepat itu. Lalu
berusaha menangkis dengan mengebutkan kecapinya ke tubuh Pendekar Gila.
"Hop Yeaaa..." Melihat
hantaman itu, Sena cepat-cepat menekuk lutut ke bawah, lalu meliuk ke samping.
Setelah kecapi lawan menderu,
kakinya bergerak cepat menendang kecapi dengan jurus ‘Si Gila Menyapu Bumi’.
Plak "Heaaa..." Tubuh
si Penyair Maut terhuyung ke samping, terkena dorongan tenaga dalam pada kecapinya.
Sementara Pendekar Gila yang menyaksikan lawan terhuyung, segera menyodokkan
Suling Naga Sakti ke dada lawan yang tak mampu mengelak lagi.
Dugkh "Hukh..." Blukkk
Lelaki buntung itu terdorong ke belakang, lalu jatuh ke tanah dengan
menimbulkan suara keras. "Bangsat Akan kuremukkan tubuhmu Pendekar
Gila..." dengus si Penyair Maut "Ha ha ha... Aku ingin lihat, siapa
yang lebih dulu mati, kau apa aku" sahut Pendekar Gila sambil tertawa dan
menggaruk-garuk kepala.
Keduanya bergerak cepat Kecapi
perak dipegang dengan dua tangan menderu keras menyambar Pendekar Gila. Asap
tebal berwarna putih keperakan semakin banyak keluar.
Para prajurit dan orang-orang
yang menyaksikan, mundur bahkan ada yang lari ketakutan. Karena tahu asap itu
beracun. Hingga keadaan di halaman Kadipaten Galih Putin semakin riuh dan kacau.
Mei Lie dan Dewi Sukmalelana
yang baru saja keluar dari kadipaten menyaksikan pertarungan itu, Dewi
Sukmalelana yang tahu kedahsyatan asap pukulan itu, cepat melangkah mundur lima
tombak Wajahnya menggambarkan kecemasan, takut kalau-kalau Pendekar Gila akan terkena
racun ganas itu.
"Celaka racun itu
Pendekar Gila akan lemas terkena racun itu...," gumam Dewi Sukmalelana.
"Jangan khawatir Sena dapat menangkal-nya," sahut Mei Lie dengan
bangga. Karena dirinya tahu Pendekar Gila telah kebal dengan sega-la macam
racun.
Pendekar Gila memang nampak
tak terpengaruh sedikit pun terhadap racun itu.
"Heaaa..." Prang Keduanya
terus bergerak cepat, saling menyerang dan menangkis. Kini bukan hanya senjata
mereka yang bertemu, tapi kaki mereka pun saling berusaha menyapu dan menendang
lawan.
Si Penyair Maut yang tak memiliki
kaki sempurna menggunakan ‘Ilmu Tendangan Iblis‘ Seakan dia memiliki kaki utuh.
Pendekar Gila sempat tersentak kaget, karena tendangan itu tak berwujud.
Namun Sena dapat menguasai
keadaan.
Sudah puluhan jurus yang
mereka keluarkan, tapi keduanya sama-sama kuat. Mereka terus bertarung bagai
tak mengenal telah.
Malam semakin larut, suasana
di halaman kadipaten itu masih terdengar hiruk-pikuk pertarungan.
Pekikan-pekikan keras ditingkahi benturan kecapi dan suling terus terdengar.
"Hiaaa..." Kecapi di
tangan si Penyair Maut bergerak cepat memburu dan membabat lawan. Melihat serangan
lawan, Pendekar Gila segera mengegos ke samping. Kemudian menghantamkan Suling
Naga Sakti-nya ke dada lawan.
"Heaaa..." Dugkh "Hukh..."
Tubuh lelaki jangkung itu terhuyunghuyung ke belakang. Darah tampak meleleh membasahi
wajahnya. Melihat itu, Pendekar Gila tidak menyia-nyiakannya. Dengan cepat,
dihantamkannya pukulan sakti ‘Inti Brahma’ ke tubuh si Penyair Maut.
"Terimalah kematianmu
Heaaa..." Dari telapak tangan Pendekar Gila melesat larikan api yang
menyala-nyala memburu tubuh si Penyair Maut. Tanpa ampun lagi, api pun membakar
tubuh lelaki buntung itu.
Wusss...
Blab "Wuaaa..." Si
Penyair Maut menjerit-jerit. Tubuhnya berguling-guling, berusaha memadamkan api
yang melahap tubuhnya. Namun api itu sulit dipadamkan. Lelaki buntung
berpakaian itu berkelojotan terbakar. Kecapi perak di tangannya terlepas. Saat
itu juga Pendekar Gila meniup Suling Naga Saktinya dengan suara mendayu.
Rupanya, Sena berusaha menyempurnakan kematian lelaki buntung itu.
"Wuaaa.... Tobat"
pekik si Penyair Maut dengan tubuh masih berkelojotan. Telinga dan hi-dungnya
mengeluarkan darah. Tak lama kemudian, gerakannya pun berhenti, menandakan ajal
telah menjemputnya.
Sena menghentikan tiupan
Suling Naga Sakti-nya. Dengan menghela napas panjang, Sena kemudian nampak
merasa lega.
"Kakang..." teriak
Dewi Sukmalelana menghambur menghampiri mayat suaminya yang hangus. Mei Lie
memburunya dan coba menenangkan.
"Bukankah kau tadi juga
ingin melawan dan membunuh dia...? Dia pantas mendapatkan ganjaran. Tapi kalau
aku boleh tahu, siapa kalian sebenarnya...?" tanya Mei Lie kemudian Ingin
ta-hu. Dewi Sukmalelana tak langsung menjawab.
Matanya masih memandang sedih
mayat lelaki buntung itu.
Pendekar Gila lalu
menghampirinya, begitu juga Pangeran Sasanadipa yang dibantu dua pengawalnya.
"Maafkan aku Aku terpaksa
membunuhnya, demi ketenteraman dunia persilatan dan kadipaten ini.... Makilah
aku, jika kau anggap aku terlalu kejam terhadap lelaki buntung itu" ujar
Sena dengan polos. Lalu menggaruk-garuk kepala.
"Tidak Kau tak bersalah
Pendekar Gila.
Kau telah berbuat benar.
Kakang memang harus menerima kenyataan ini.... Namun yang aku sedihkan, kenapa
sifat dan tindak-tanduknya berubah, setelah kami berhasil membunuh Beruk Singgala
dan Danur Saka. Dia jadi murka. Ingin menguasai kadipaten dan menantangmu,
Pendekar Gila...," tutur Dewi Sukmalelana sedih.
"Sudahlah, tapi aku masih
ingin tahu siapakah kau sebenarnya? Kenapa kelima orang dari partai sesat Panca
Siwara yang menjadi sasaran utama...?" tanya Pangeran Sasanadipa pada Dewi
Sukmalelana.
"Panjang ceritanya,
Kanjeng Pangeran....
Kami sebenarnya dari aliran
putih. Dulu kami menempati Padepokan Gunung Talang yang dipimpin kakak iparku,
Ki Damar Kiwangi... Mungkin Pangeran sendiri masih ingat, keadaan sepuluh tahun
yang silam...," tutur Dewi Sukmalelana menjelaskan.
Pangeran Sasanadipa
mengerutkan kening, lalu memegangi keningnya. Nampak berusaha mengingat sesuatu.
"Ya, ya aku ingat
sekarang. Ki Damar Kiwangi adalah seorang yang bijaksana dan bersekutu dengan
kami. Lalu apa hubunganmu dengan lelaki buntung itu?" "Lelaki buntung
ini, suamiku. Dan nama sebenarnya Anjang Kawiwangi. Adik dari Ki Damar Kiwangi
satu-satunya...," tutur Dewi Sukmalelana. "Dan aku sendiri
Saraswati...." Pangeran manggut-manggut, merasa telah jelas semuanya.
Begitu juga Sena dan Mei Lie.
"Lalu kenapa tiba-tiba
melawan suamimu sendiri setelah orang-orang yang pernah menyakitimu
terbunuh...?" tanya Mei Lie menyelidik.
"Kau rupanya masih ragu
dengan ceritaku, Nini. Baiklah akan kujelaskan. Aku dan Kakang Anjang sudah
sepakat untuk membalas dendam setelah selamat dari kematian. Namun aku sendiri
heran, setelah berhasil membunuh Beruk Singgala yang memiliki ilmu sihir,
Kakang berubah perangainya. Aku tak ingin Pangeran Sasanadipa yang telah
menderita cukup lama karena ulah Beruk Singgala dan teman-temannya harus mengalami
kesengsaraan lagi. Karena aku masih ingat, pada masa sepuluh tahun lalu,
Pangeran Sasanadipa begitu bijaksana dan baik budi terhadap keluarga Ki Damar
Kiwangi, termasuk aku. Itulah sebabnya aku menantang suamiku sendiri, walaupun
aku tahu nyawaku akan melayang di tangannya. Aku rela, demi keadilan semua.
Hanya itulah yang dapat kujelaskan.... Aku sudah lelah sekali hidup di dunia
persilatan yang penuh segala macam peristiwa yang sangat menakutkan, iri, dengki,
dan tipu muslihat terus berlanjut...," tutur Dewi Sukmalelana atau
Saraswati mengakhiri penjelasannya.
Pendekar Gila dan Mei Lie
menghela napas panjang, keduanya terharu mendengar tutur kata Dewi Sukmalelana.
Begitu juga Pangeran Sasanadipa. "Maafkan aku, yang telah mencurigaimu,
Saraswati..." kata Mei Lie dengan tulus, lalu memeluk Dewi Sukmalelana.
Penuh persahabatan.
"Aku dapat memaklumi,
Nini. Tak apalah..., kalian juga telah menyelamatkan jiwaku...," sahut
Saraswati lemah.
Pendekar Gila menggaruk-garuk
kepala dan cengar-cengir melihat kedua perempuan yang saling berpelukan itu.
Pangeran pun merasa lega, wajahnya nampak cerah.
"Tak usah disedihkan lagi
Saraswati Aku tak keberatan bila kau ingin tinggal di kadipaten.
Pintu selalu terbuka
untukmu...," saran Pangeran Sasanadipa penuh kasih.
"Terima kasih,
Pangeran.... Hamba sudah lelah hidup dan lagi pula, hamba telah berjanji akan
hidup dan mati bersama Kakang Anjang Kawiwangi...." Selesai berkata
begitu, Saraswati atau Dewi Sukmalelana segera mencabut keris dari balik ikat
pinggangnya lalu cepat menusukkan keris itu ke dadanya.
Cras Cras "Ukh..." Seketika
tubuh perempuan malang itu kejang-kejang, lalu kaku. Mati Mei Lie memeluknya
dengan penuh keharuan. Demikian juga Sena dan Pangeran Sasanadipa. Mereka
merasa haru melihat kenyataan mengenaskan itu. Namun mereka tak kuasa berbuat
apa-apa. Karena Dewi Sukmalelana atau Saraswati telah mengambil jalan demikian,
demi cinta dan janji setianya pada Anjang Kawiwangi, si lelaki buntung itu.
SELESAI