-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 27 Ular Kobra Dari Utara
1
Pagi itu keadaan sangat cerah.
Langit biru bening, tanpa setitik mega.
Dari kejauhan nampak seorang
lelaki
menunggang kuda putih, dengan
pakaian seperti orang dari India. Kepalanya diikat dengan sorban warna merah
hati, layaknya orang-orang India. Lelaki itu memacu kudanya memasuki Desa
Kanginan. Desa itu biasa sebagai persinggahan orang-orang dari luar daerah.
Atau orang jauh. Karena desa itu cukup ramai dan makmur, subur.
Matanya menatap lurus ke arah
desa yang
nampak mulai ramai oleh
kesibukan para penduduk maupun pendatang. Setelah puas mengawasi
keadaan, lelaki dari India
yang dikenal dengan Sankher atau 'Ular Kobra dari Utara' kembali menggerakkan
kudanya yang besar dan kekar itu memasuki Desa Kanginan.
Di sepanjang jalan utama,
Sankher terus
memasang matanya memandangi
sekeliling keadaan desa dengan tajam. Tampaknya ada sesuatu yang dicari.
Kemudian dihentikan kudanya di depan sebuah kedai. Lelaki berjubah hitam itu
segera melompat turun lalu melangkah menghampiri salah seorang yang baru saja keluar
dari kedai itu.
Lelaki berpakaian lurik dan
mengenakan
blangkon itu berhenti ketika
Sankher mencegat langkahnya.
“Tentunya Tuan dari jauh. Ada
yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan,
dan bertubuh agak gemuk itu.
Bibirnya tersenyum dengan mata
masih
memperhatikan wajah Sankher.
“Hm...,” Sankher yang berikat
kepala sorban merah menggumam. Matanya yang tajam,
memandangi lelaki di
hadapannya. Kemudian dengan suara kaku bertanya, “Di mana Perguruan Bintang
Mas? Ke arah mana aku harus pergi?”
Lelaki berpakaian lurik coklat
tua itu mengerutkan kening, mendengar pertanyaan lelaki India itu.
Ditatapnya wajah lelaki gagah
di hadapannya, berusaha mengetahui apa maksud lelaki dari India itu. Kemudian
tampak lelaki berblangkon itu menghela napas.
“Tak begitu jauh lagi dari
sini, Tuan. Di balik lembah itu,” ujar lelaki Jawa itu sambil menunjuk,
“Tapi kalau boleh aku tahu,
untuk apa Tuan menanyakan Perguruan Bintang Mas?”
“Itu bukan urusanmu Kuminta
jangan banyak tanya lagi” sahut Sankher seraya menatap tajam wajah lelaki
berpakaian lurik itu.
“Aku hanya tanya, apa
salahnya?” ujar lelaki Jawa itu dengan nada rendah dan tersenyum ramah.
Srrrttt
Tiba-tiba dengan geram,
Sankher menarik tongkat berkepala ular kobra dan mengarahkan pada lelaki Jawa
itu.
Lelaki berpakaian lurik itu
tersentak kaget, karena tak menduga orang yang semula bertanya itu hendak
menyerangnya. Dengan cepat lelaki Jawa itu menghindarkan serangan Sankher.
Namun tongkat itu bergerak lebih cepat. Hingga...,
Pletakkk
“Akh...” lelaki berpakaian
lurik coklat itu memekik keras, ketika tongkat berkepala ular kobra menghantam
keningnya. Sesaat matanya melotot kemudian ambruk tanpa nyawa.
Seketika ramailah suasana di
depan kedai itu.
Para pengunjung yang tengah
bersantap, ber-hamburan keluar. Dengan penuh amarah para warga desa yang
mengetahui bahwa Ki Sarepan tewas langsung menyerbu lelaki India itu. Namun
tampaknya lelaki berjubah hitam itu bukan orang sembarangan. Dalam beberapa
gebrakan saja para warga dan anak buah Ki Sarepan telah tewas dengan kepala
retak oleh pukulan tongkat berkepala ular.
“Hhh...,” Sankher mendengus.
Matanya menatap tajam ke sekeliling. Tampak orang-orang Desa Kanginan telah
berkumpul menatap dirinya penuh kebencian. Namun nampaknya tak seorang pun dari
mereka yang berani melawan, atau maju. Mereka tak ingin mati sia-sia seperti Ki
Sarepan, kepala ronda Desa Kanginan itu.
Dengan tenang Sankher
melangkah meninggalkan orang-orang itu. Tanpa menghiraukan sama sekali tatapan
kebencian warga desa, lelaki berjubah hitam itu langsung melompat ke punggung
kuda, lalu menggebahnya. Kuda besar dan kekar itu pun melesat meninggalkan
kerumunan orang di depan kedai.
Seketika warga Desa Kanginan
gempar, setelah mendengar kematian Ki Sarepan dan delapan anak buahnya di depan
kedai.
“Hm..., ilmu orang itu cukup
hebat” gumam salah seorang penduduk desa.
“Benar Tongkatnya kurasa bukan
sembarangan tongkat. Tongkat sakti.”
“Kita tak bisa berdiam saja.
Kita harus segera memberitahu pada Kanjeng Adipati.”
Dengan masih membicarakan
tentang lelaki
misterius itu, mereka
mengurusi mayat-mayat yang bergelimpangan di depan kedai.
***
Seluruh penduduk desa ramai
membicarakan
kematian Ki Sarepan dan
delapan anak buahnya di tangan lelaki dari India. Dari arah timur tampak
sesosok tubuh berjalan memasuki batas Desa Kanginan.
“Sepertinya ada kejadian di
sana. Ah, aku ingin melihatnya,” ujar pemuda berpakaian terbuat dari rompi
kulit ular, yang tak lain Sena Manggala. Sambil menggaruk-garuk kepala kakinya
melangkah dengan cepat menuju tempat para warga tengah sibuk mengangkati
mayat-mayat itu.
Sena Manggala yang juga
dikenal dengan julukan Pendekar Gila mengerutkan kening sambil menggaruk-garuk
kepala. Matanya memandangi orang-orang di depan kedai itu. Kepalanya tampak
menggeleng-geleng sambil cengengesan.
“Ah ah ah... Kisanak, apa yang
telah terjadi?”
tanya Sena dengan kening masih
mengerut. Matanya memandangi sembilan mayat yang sama keadaan-nya, retak di
bagian kening.
“Baru saja terjadi malapetaka
mengerikan.
Seorang lelaki aneh berjubah
hitam membunuh mereka,” sahut salah seorang penduduk desa.
“Lelaki dari India itu seperti
orang gila” sambung yang lainnya.
“Orang gila...?” tanya Sena
mengerutkan kening.
Tangannya menggaruk-garuk
kepala, “Mengapa Kisanak mengatakan seperti orang gila?”
“Bagaimana tidak?” tukas
lelaki yang berkumis tebal dan bertubuh kekar sambil melangkah maju,
“Orang asing itu, tiba-tiba
menghantamkan tongkat saktinya ke kepala Ki Sarepan dan kedelapan anak buahnya
Hingga mereka tewas seperti itu...”
Pendekar Gila semakin
mengerutkan kening
mendengar penuturan orang-orang
desa, yang menceritakan tentang lelaki berjubah hitam.
“Lelaki dari India?” gumam
Sena. Tangannya menggaruk-garuk kepala sedangkan matanya tak henti memandangi
para penduduk yang mengangkati mayat-mayat itu.
“Ah ah ah... Mengapa lelaki
aneh dari India itu membunuh Ki Sarepan?” tanya Sena seraya
menggaruk-garuk kepala,
“Apakah antara keduanya telah terjadi keributan?”
Lelaki berbadan agak kekar
berkumis tebal itu menggelengkan kepala, lalu menghela napas panjang seraya
memandangi wajah Sena.
“Yang kulihat Ki Sarepan
menegur lelaki asing itu dengan ramah,” sahut lelaki berbadan tegap dan
berkumis tebal itu.
“Mungkin Kisanak mendengar,
apa yang
ditanyakan orang asing itu?”
Lelaki berbadan tegap itu
menatap Sena lagi, sepertinya menyelidik, siapa Sena sebenarnya. Lelaki itu
mula-mula ragu menjelaskan duduk persoalannya.
Namun setelah Sena mendesak,
lelaki berbadan tegap itu mulai menceritakan semua, dari saat kedatangan lelaki
berkuda putih, berpakaian khas orang India, sampai Ki Sarepan menanyakan
tujuan-nya. Hingga akhirnya, lelaki aneh dari India itu bertanya tentang
Perguruan Bintang Mas. “Aha... Perguruan Bintang Mas...?” Sena cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. Sikapnya itu tentu saja membuat orang-orang
heran.
“Ya. Itulah yang aku dengar.”
Mendengar keterangan itu Sena
hanya
cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
Keningnya berkerut
“Ah ah ah..., ada maksud apa
lelaki itu menanyakan Perguruan Bintang Mas. Dan mengapa ia seenaknya membunuh
orang-orang tak bersalah...”
gumam Sena pelahan. Dihelanya
napas panjang, lalu wajahnya memandang jauh ke depan.
“Aku harus segera mencegahnya.
Tak boleh
dibiarkan ia bertindak
sesukanya. Dilihat dari caranya membunuh, nampaknya dia bukan orang
sembarangan,” gumam Sena lagi.
Tangan Sena menggaruk-garuk
kepala. Matanya masih memandang ke depan. Lalu cengengesan.
Membuat orang-orang di
dekatnya mengerutkan kening dan saling pandang. Mereka heran melihat tingkah
Sena yang seperti orang gila itu. Namun mereka tak berani berucap apa-apa.
“Baiklah, Kisanak. Terima
kasih” ucap Sena sambil menjura. Lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu,
diiringi pandangan mata orang-orang desa, yang penuh tanda tanya melihat
tingkah laku Sena yang seperti orang gila itu.
“Apakah pemuda itu yang disebut
Pendekar Gila dari Goa Setan?” gumam salah seorang warga desa.
“Mungkin juga,” sahut lelaki
bertubuh tegap.
“Kalau memang pemuda itu
Pendekar Gila, aku merasa senang. Karena aku yakin, pendekar itu akan mencari
dan melenyapkan lelaki asing yang tak mengenal perikemanusiaan itu” “Ya
Mudah-mudahan lelaki asing itu mati oleh Pendekar Gila” sambung salah seorang
lelaki berkumis tipis, yang berada di sisi kiri lelaki berbadan tegap. Semua
orang mengutuk lelaki asing dan India itu.
Lalu mereka bubar, kembali ke
tempatnya.
*** 2
Siang itu di Perguruan Bintang
Mas tampak lima orang pemuda sedang berlatih tanding. Mereka rupanya para
penerus Perguruan Bintang Mas, yang dulu dipimpin Dewi Pandagu. (Untuk lebih
jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
“Singa Jantan dari Cina”).
Seorang laki-laki berusia lima
puluh tahunan memperhatikan kelima pemuda itu berlatih tanding.
Wajahnya yang agak kurus
dihiasi jenggot hitam lebat, serta kumis tipis. Dilihat dari bentuk tubuh dan
ketenangannya, lelaki itu memiliki ilmu silat yang tak dapat diremehkan.
Pancaran matanya tajam dan penuh wibawa.
Lelaki itu
mengangguk-anggukkan kepala seraya tersenyum. Hatinya merasa puas melihat
kelima murid andalannya yang mulai matang. Lelaki yang dikenal dengan nama
Guntala itu terus mengangguk-anggukkan kepala. Tak lama kemudian dirinya segera
memberi isyarat dengan bertepuk tiga kali.
Plok Plok Plok
Kelima muridnya seketika
menghentikan latih tanding mereka. Keringat membasahi seluruh tubuh kelima
pemuda gagah itu. Mereka berlatih selama setengah hari penuh, sejak hari masih
pagi. Namun di wajah kelima pemuda yang bertelanjang dada, dengan ikat kepala
warna hitam itu tak memperlihatkan keletihan. Kelima pemuda itu lalu menjura
bersama di depan Guntala.
“Bagus. Aku bangga dan puas
melihat kalian semakin hari bertambah semangat. Tapi masih perlu waktu lama
kalian melatih diri. Sebab dengan hanya beberapa bulan, tak cukup ilmu kalian
untuk melawan Pendekar Gila. Aku memang berniat melawannya. Tapi aku butuh
kalian.”
Guntala sejenak menghentikan
kata-katanya.
Dipandanginya dengan tajam
kelima murid itu.
Kemudian menghela napas
dalam-dalam.
“Memang kematian Dewi Pandagu
bukan
Pendekar Gila yang
membunuhnya. Namun karena dialah Dewi Pandagu, yang kemenakanku sendiri mati di
tangan orang-orang licik seperti Kerto Songo dan Kebo Pengawon” Guntala nampak
geram. Giginya gemeretak, menahan marah. “Sayang, sampai saat ini aku merasa
belum mampu menghadapi Pendekar Gila. Aku perlu orang berilmu setaraf dengan
Pendekar Gila... untuk membuat perhitungan dengannya....”
Baru saja Guntala selesai
bicara, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda menuju tempat Perguruan
Bintang Mas. Guntala segera menoleh ke pintu gerbang. Demikian juga kelima
muridnya.
Guntala segera menoleh ke pintu
gerbang. Demikian juga kelima muridnya. Guntala membelalak kaget, ketika
dilihat ada seorang lelaki berpakaian jubah hitam menghentikan kudanya empat
tombak di hadapannya.
Lelaki asing yang tak lain
Sankher itu menatap tajam Guntala dan kelima muridnya, yang telah siap siaga.
Mereka langsung mengepung lelaki yang duduk di punggung kuda itu. Sankher
tersenyum sinis. Lalu dengan gerakan yang sangat ringan, tubuhnya melompat
turun dari punggung kuda. Kemudian melangkah mantap menghampiri Guntara yang masih
terkesima, memandangi tamu tak diundang itu. Mata keduanya saling pandang,
ketika Sankher menghentikan langkahnya, dan berhenti di depan Guntala.
“Kau...?” gumam Guntala
setelah melihat lebih jelas. Dan mulai mengenali wajah tamunya itu,
“Sankher...?”
Sankher hanya tersenyum sinis.
Matanya masih menatap tajam wajah Guntala yang kemudian menghambur ke tubuhnya.
Guntala memegang erat bahu Sankher.
“Tak kusangka kau datang ke
negeri Jawadwipa ini...” seru Guntala dengan sangat gembira. Namun Sankher
tampak tersenyum hambar. Hal itu membuat Guntala mengerutkan kening, tak
mengerti.
Sejenak suasana hening. Hanya
mata kedua
lelaki itu kini yang bicara.
Kelima murid Guntala telah siap siaga, kalau-kalau akan terjadi perkelahian.
Karena mereka tidak mengenal,
siapa lelaki berpakaian jubah seperti orang India itu.
“Sankher, sebaiknya kita
bicara di dalam. Mari, silakan...” ajak Guntala sambil bergerak ke samping
memberikan jalan pada Sankher. Lelaki berjubah hitam itu diam saja, tapi lalu
melangkah menuju bangunan utama Perguruan Bintang Mas. Sementara Guntala
memberi isyarat pada salah seorang muridnya untuk mengurus kuda Sankher.
***
“Kematian Dewi Pandagu,
membuat aku sedih
dan sakit,” ujar Guntala
dengan wajah sedih. Duduk berhadapan dengan Sankher yang sejak tadi hanya diam
mendengar cerita Gundala. “Semua ini salahku.
Karena aku terlalu percaya
akan kekuatan ilmu kemenakanku itu. Dan kebetulan beberapa bulan sebelum
kejadian, aku bertengkar mulut dengan Dewi Pandagu. Karena aku tak setuju, Dewi
Pandagu dekat dengan Pendekar Gila...”
Mendengar nama Pendekar Gila,
Sankher tersentak. Matanya membelalak lebar.
“Siapa Pendekar Gila itu?”
tanya Sankher dengan suara berat.
“Pendekar yang sangat disegani
dan berilmu tinggi. Tak ada pendekar lain, baik dari aliran putih maupun hitam,
yang mampu menandingi ilmunya,”
jawab Guntala tegas.
“Huh...” dengus Sankher dengan
geram. Telapak tangannya mengepal kuat-kuat. Giginya beradu, gemeretak,
menandakan hatinya sangat marah.
“Aku sudah lama menunggu saat
yang baik untuk melawan Pendekar Gila dari Goa Setan itu. Namun sampai saat ini
aku merasa belum mampu melawannya,” kata Guntala dengan suara penuh kesal.
“Paman Guntala bisa membantu
aku mencari
orang gila itu?”
Suara Sankher berat dan
sedikit bergetar, menandakan kemarahan dan dendam di hatinya.
Cerita Guntala sengaja
memanasi hati Sankher yang tak lain tunangan Dewi Pandagu. Dan ternyata
berhasil.
Guntala mengatakan, bahwa
kematian Dewi
Pandagu tak lain gara-gara
Pendekar Gila yang berusaha mendekati Dewi Pandagu. Guntala sengaja agar
Sankher yang diketahui memiliki ilmu tinggi, dan mempunyai senjata sakti bernama
'Tongkat
Berkepala Kobra' akan binasa
mengalahkan
Pendekar Gila. Dan niat
Guntala sebenarnya, jika Pendekar Gila bisa dimusnahkan, dirinya akan membuat
siasat lagi untuk membunuh Sankher.
Karena Guntala mempunyai
cita-cita akan menguasai dunia persilatan di Jawadwipa ini.
“Aku sangat senang dan
berterima kasih pada Hyang Widhi. Kau benar-benar akan membantu membalas
dendamku yang sudah lama pada
Pendekar Gila...,” ucap
Guntala sambil menepuk-nepuk bahu Sankher, “Kapan kita akan mulai?”
“Lebih cepat lebih baik,”
jawab Sankher singkat dan tegas.
Guntala mengangguk-anggukkan
kepala sambil tertawa puas dan memegangi jenggotnya.
“Aku setuju dengan caramu.
Kalau begitu nanti kita atur semuanya. Aku punya rencana yang tepat untuk
memancing Pendekar Gila agar memburu kita...,” ujar Guntala kemudian.
“Akan kucari Pendekar Gila itu
dengan caraku.
Paman jangan ikut campur
Kematian Dewi Pandagu menjadi tanggung jawabku. Dan aku datang kemari memang
untuk membalas dendam atas kematian kekasihku itu,” kata Sankher dengan suara
agak serak dan berat.
Mendengar ucapan Sankher,
Guntala mengerutkan kening. Dirinya nampak kurang senang mendengarnya. Namun
tak berani berucap, ia hanya bisa menghela napas panjang. Nampak kekecewaan
ter-gambar di wajahnya yang sudah mulai berkerut.
Menunduk lesu. Karena
sebenarnya Guntala kurang senang dengan kehadiran Sankher. Takut rencana
buruknya, untuk menguasai Perguruan Bintang Mas akan diketahui Sankher.
Sankher melihat itu. Lelaki
bertubuh tinggi itu bangkit dari duduknya, lalu melangkah pergi dari padepokan
itu. Guntala hanya bisa memandangi kepergian Sankher yang bekas kekasih Dewi
Pandagu, Sankher tetap mencintai wanita itu. Hal itu bisa dibuktikan pada
sikapnya yang selalu marah jika ada lelaki yang melukai hatinya. Apalagi ketika
mendengar berita tentang kematian Pemimpin Perguruan Bintang Mas itu dari
Guntala.
Sankher meninggalkan Perguruan
Bintang Mas dengan hati penuh dendam. Si Ular Kobra dari Utara itu melarikan
kudanya dengan cepat ke selatan.
Sepeninggal Sankher, Guntala
tampak melangkah ke serambi rumahnya. Matanya memandang jauh ke depan.
“Sankher..., ternyata keangkuhanmu belum juga berubah. Hhh... Masih sama
seperti yang dulu.”
***
Sankher terus menggebah
kudanya, seakan ada
sesuatu yang dikejar. Sampai
di sebuah perbukitan lelaki berjubah hitam itu menghentikan lari kudanya.
Dari atas bukit matanya dengan
liar memandang ke bawah. Di kejauhan nampak Desa Babakan. Sankher atau Ular
Kobra dari Utara tersenyum sinis. Lalu kembali memacu kudanya menuruni bukit
menuju desa itu. Kuda putih yang ditunggangi nampak begitu lincah dan cekatan
menyusuri jalan terjal berbatu.
Sore itu Desa Babakan nampak
seperti biasa.
Para penduduknya sibuk dengan
urusan mereka masing-masing. Ketika kuda putih yang ditunggangi lelaki
berpakaian seperti orang India memasuki mulut desa para warga tak begitu
menghiraukan. Hanya beberapa lelaki yang bergerombol di sebuah rumah memandangi
sambil berbisik-bisik.
Langkah kaki kuda semakin
pelahan menyusuri jalan utama Desa Babakan. Langkah-langkah kaki kuda itu
seakan berirama. Apalagi penunggangnya yang berbadan tinggi, gagah dengan
hidung mancung, menatap lurus ke depan, seperti tak menghiraukan keadaan.
Sesekali matanya menyapu ke sekelilingnya.
Lelaki berjubah hitam
bersenjata tongkat berkepala ular kobra itu menghentikan kudanya di depan
sebuah kedai. Siang itu dikedai milik Ki Lambang ramai oleh pengunjung. Si Ular
Kobra dari Utara itu sejenak mengamati keadaan di dalam kedai. Bau asap rokok
kaung sampai keluar, dan sampai pula ke hidung lelaki berjubah hitam itu.
“Huh...” dengus Sankher.
Sankher melompat turun dengan ringannya. Di tangan kanannya memegang sebuah
tongkat berkepala ular kobra.
Dengan langkah mantap lelaki
gagah bercambang tipis itu memasuki kedai Ki Lambang.
Sankher mengambil tempat duduk
yang di tengah ruangan. Dengan kasar tangannya menarik kursi, membuat orang di
sekelilingnya terkejut. Seketika mata para pengunjung kedai menoleh.
Ki Lambang mengerutkan kening.
Lelaki setengah baya itu melangkah mendekati tamunya yang baru datang.
“Tuan mau pesan apa?” tanya Ki
Lambang,
berusaha tersenyum ramah.
Sankher tak menjawab. Hanya
matanya yang
melirik Ki Lambang. Kedua
tangannya ditaruh di atas meja. Dan napasnya ditarik dalam-dalam.
“Cepat buatkan aku makanan
yang paling enak”
pinta Sankher, dengan ucapan
yang terdengar kaku.
Wajahnya tanpa menoleh sedikit
pun pada Ki Lambang.
“Baik, Tuan.” Namun ketika Ki
Lambang hendak melangkah
untuk mengambil makanan,
pundaknya ditahan oleh Sankher.
“Tunggu...”
“Ada apa, Tuan...?” tanya Ki
Lambang agak gugup.
“Di mana tempat Pendekar Gila?
Aku harap kau mau menjawab dengan benar”
Ki Lambang mengerutkan kening.
Pertanyaan itu tak segera dijawabnya. Hatinya malah bertanya heran. Ada
hubungan apa antara lelaki asing yang misterius ini dengan Pendekar Gila? Teman
atau lawan? Bermaksud jahat, atau baik?”
“Hei... Apa kau tuli? Jawab
pertanyaanku”
bentak Sankher dengan mata
melotot. Nadanya sangat marah, karena merasa pertanyaannya tak digubris.
“Maaf, maaf, Tuan Ada
keperluan apa Tuan mencari Pendekar Gila?”
Ki Lambang balik bertanya.
Keningnya masih berkerut, tak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki lelaki
asing itu. Sankher tampak makin kesal, matanya melotot lebar.
“Huh Jangan banyak tanya”
bentak Sankher, bengis. Tangannya yang kekar mencengkeram lengan Ki Lambang.
“Jangan banyak mulut, jawab pertanyaanku”
Namun Ki Lambang tetap tak
mampu menjawab.
Mulutnya seakan terkunci.
Lelaki setengah baya itu masih ketakutan dan heran dengan pertanyaan-pertanyaan
tamunya. Dirinya memang tidak tahu di mana Pendekar Gila berada. Sebab dia
sendiri hanya dengar nama Pendekar Gila yang sangat kesohor dan disegani itu.
Namun belum pemah ketemu sekali pun dengan pendekar muda yang sepak terjangnya
sangat dikagumi baik oleh kalangan rimba persilatan maupun rakyat biasa.
“Heh... Kau sengaja memancing
kamarahanku, Orang Tua” bentak Sankher dengan kasar. Tangannya mendorong tubuh
Ki Lambang dengan keras, hingga terjatuh ke lantai. Kepalanya mem-bentur kaki
kursi yang ada di belakangnya.
Brakkk
“Aduh...” pekik Ki Lambang.
Orang-orang yang tengah makan
di sampingnya tersentak dengan mata melotot. Mereka marah karena makanannya
berantakan, dan merasa
terganggu.
“Bangsat Siapa yang berani
berbuat kasar pada Ki Lambang?” maki lelaki berbadan tegap dan kumis melintang
dengan pakaian biru tua lengan panjang. Di pinggangnya terselip sebatang golok.
Lelaki yang berambut panjang
sebatas bahu, dengan blangkon batik warna coklat bangkit dari duduknya. Tangan
kanannya menarik golok yang terselip di pinggangnya.
Srattt
“Sontoloyo ini perlu dikasih
pelajaran Yeaaa...”
Lelaki berbadan tegap berkumis
melintang yang bernama Subadra membabatkan goloknya ke tubuh Sankher. Namun
dengan gerak cepat yang sulit diikuti mata, lelaki dari India itu tahu-tahu
telah menghantamkan tongkatnya.
Wuttt
Bukkk
“Aaakh...”
Subadra memekik, ketika
punggungnya terpukul tongkat Sankher. Subadra mundur satu tombak ke belakang,
kemudian dengan cepat kembali
menyerang lawan yang masih
duduk dengan tenang di tempatnya.
“Heaaa...”
Wuttt
Krakkk
“Aaakh...” Subadra memekik.
Matanya mem-
belalak lebar. Sesaat tubuhnya
mengejang, lalu ambruk dengan keadaan mengerikan. Keningnya pecah kena pukulan
tongkat sakti berkepala kobra itu. Darah segar bercampur lendir kuning mengalir
dari kepalanya.
Menyaksikan kejadian itu, para
pengunjung kedai seketika bertambah benci pada Sankher, orang asing dari India
itu. Mereka memandang penuh kemarahan.
“Kurang ajar Hei orang
asing... Biadab Jangan kau pikir bisa bertindak sesukamu” bentak Parta, lelaki
berumur tiga puluh lima tahunan yang telah mencabut goloknya, diikuti lima
orang lelaki lain.
Srattt
Srattt
“Serang...” seru Parta yang
berpakaian seperti pesilat warna hitam lengan panjang. Dadanya yang tak
tertutup tampak bidang.
“Heaaa...”
“Habisi orang keparat itu
Bunuh”
Lima orang temannya melesat
maju. Mereka
berbadan tegap dan berkumis
tipis. Tiga di antara mereka berjenggot lebat.
Dengan golok yang berkilat
seperti meminta guyuran darah, mereka membabat lelaki asing itu.
Namun belum juga bisa
menyarangkan serangan, Sankher bergerak secepat kilat. Tongkat di tangannya
berkelebat tanpa dapat diikuti mata. Wuttt
Prak Prak Prakkk
“Aaa...”'
Dalam sekali gebrak jeritan
kematian memecah suasana siang itu. Tiga orang dengan kening dibasahi darah,
kini meregang nyawa. Mata mereka melotot, menahan rasa sakit yang tiada
terkira. Gigi-gigi mereka saling beradu. Kemudian tubuh ketiga lelaki itu
ambruk bersamaan. Kepala mereka retak.
Mengerikan
Melihat kenyataan tersebut
wajah Parta seketika memucat. Kumisnya yang tebal, kini tiada artinya lagi.
Matanya membelalak tegang.
Tubuhnya gemetaran diguncang rasa takut. Begitu pun dua temannya yang masih
hidup. Mereka gemetaran tak mampu
menyembunyikan rasa takut.
Sementara pengunjung lain yang
masih duduk di kursi masing-masing bergegas meninggalkan kedai, setelah
meninggalkan uang bayaran di meja. Mereka merasa ngeri menyaksikan tindakan
lelaki misterius itu. Hanya dengan sekali gebrak, orang-orang persilatan itu
tak mampu berkutik. Padahal keempat korbannya merupakan orang-orang yang
ditakuti di Kadipaten Bantulan.
Sankher tersenyum sinis.
Tangan kanannya masih memegang tongkat saktinya yang berlumuran darah.
Disekanya darah itu dengan
tangan kiri. Kemudian didekati ketiga lawannya yang ketakutan.
“Katakan, di mana Pendekar
Gila berada?”
bentaknya garang.
“Kami... kami tak tahu di mana
Pendekar Gila kini berada, Tuan. Betul, Tuan... Ampuni kami” jawab Parta dengan
suara gemetaran, sambil menundukkan kepala. “Kau rupanya juga ingin bernasib
seperti
temanmu itu, ya?” bentak
Sankher lebih keras.
“Sekali lagi aku tanya, di
mana Pendekar Gila itu berada?”
“Tuan...” salah seorang lelaki
kurus dengan hidung mancung betet berseru sambil mendekat ke depan. Sankher
menoleh dan memandang tajam wajah lelaki mengenakan blangkon hitam, tanpa
memakai baju.
“Tuan..., kalau Tuan mau cari
Pendekar Gila, sebaiknya Tuan bisa datang ke Perguruan Elang Sakti.”
“Hm Di mana tempat perguruan
itu?” tanya Sankher mengangguk sinis.
“Di balik lembah sana, Tuan,”
jawab lelaki yang bernama Widura sambil menunjuk arah barat.
“Kalau kau membohongiku,
nyawamu melayang”
ancam Sankher sambil
menjulurkan tongkat saktinya ke leher Widura.
Sankher tak banyak bicara.
Kakinya melangkah meninggalkan kedai itu. Langkahnya mantap dan nampak tenang,
seakan tak pernah berbuat
kesalahan, atau melakukan
sesuatu.
Parta dan kedua temannya hanya
memandangi kepergian lelaki itu, dengan perasaan kesal dan malu.
“Kenapa kau beri tahu pada
orang asing itu?
Apakah kau tahu kalau Pendekar
Gila berada di Perguruan Elang Sakti?” tanya Parta dengan mata melotot.
“Aku, aku hanya.... Hm, aku
hanya bermaksud agar lelaki asing itu cepat pergi dari sini,” jawab Widura
dengan gemetaran.
“Gila kamu Nanti kalau kebohonganmu
itu
terbukti, desa ini akan
dibumihanguskan Ia akan murka Bodoh...” bentak Parta dengan geram lalu
menggeleng-gelengkan kepala.
Widura hanya menunduk dengan
mata lembab.
Lelaki kurus dengan kumis
tipis dan mata cekung itu masih gemetaran. Seakan-akan hatinya menyesal dengan
kebohongannya pada Sankher.
“Kalau Desa Babakan ini
diobrak-abrik lelaki asing itu, kau harus menanggung akibatnya” kata Parta lagi
dengan marah.
Selesai berkata begitu, Parta
dan kedua
temannya keluar dari kedai
itu.
*** 3
Sore itu juga Sankher telah
sampai di Perguruan Elang Sakti. Ki Putih Maesaireng terkejut, ketika beberapa
anak buahnya berlarian di halaman perguruan dengan wajah ketakutan, disertai
teriakan.
Lelaki berusia enam puluh
tahunan itu melompat ke luar dari dalam padepokannya, diikuti dua orang
kepercayaannya, Kanta dan Satya.
Belum sempat Ki Putih
Maesaireng dan kedua murid utamanya mencapai halaman padepokan, telah terdengar
jeritan kematian.
“Aaakh...”
Wuttt
Prak Prakkk
Beberapa orang murid Perguruan
Elang Sakti tergeletak berlumuran darah. Tongkat sakti berkepala ular kobra
milik Sankher menghantam mereka yang berusaha menghalanginya. Jerit kesakitan
dan kematian ada di sana sini.
“Hei orang asing Apa urusanmu
menyakiti murid-muridku...?” teriak Ki Putih Maesaireng marah. Lelaki tua itu
telah menghadang kuda putih yang
ditunggangi Sankher. Ketika
memasuki halaman Perguruan Elang Sakti.
Si Ular Kobra dari Utara hanya
mendengus sinis.
Matanya menatap tajam Ki Putih
Maesaireng dan kedua pengawalnya. “Aku datang untuk mencari Pendekar Gila dan
akan mencincangnya...”
Ki Putih Maesaireng
mengerutkan kening, sambil menoleh ke Kanta. Kemudian kembali menatap Sankher
dengan tajam.
“Apa urusanmu ingin bertemu
dengan Pendekar Gila?” tanya Ki Putih Maesaireng penuh selidik.
“Jangan banyak tanya Serahkan
Pendekar Gila padaku...” bentak Sankher.
Mendengar bentakan itu Ki
Putih Maesaireng marah. Begitu pula Kanta dan Satya. Kedua orang andalan
Perguruan Elang Sakti itu segera mengeluarkan keris berukuran panjang.
Si Ular Kobra dari Utara
melihat itu hanya tersenyum sinis. Dengan tongkat saktinya lelaki berjubah
hitam itu menuding Ki Putih Maesaireng.
“Kau lebih baik serahkan
Pendekar Gila itu, atau nyawamu kucabik-cabik dengan tongkatku ini”
“Kurang ajar Kalau saja
Pendekar Gila ada di sini, kau akan menerima nasib yang sama dengan orang-orang
yang kau bunuh itu” kata Ki Putih Maesaireng geram. “Serang...”
“Heaaa...”
Secepat angin Kanta dan Satya
melesat terbang bagai burung elang. Kemudian menukik ke tubuh Sankher yang
masih duduk di punggung kudanya.
Melihat dua lelaki berpakaian
serba kuning dengan ikat pinggang hitam itu menyerang, Sankher tidak tinggal
diam. Lelaki berjubah seperti orang India itu dengan tenang menyambut serangan
Kanta dan Satya.
“Heaaa...”
Wuttt
Trak Trakkk
Tongkat berkepala ular kobra
di tangan Sankher memapak keris kedua murid utama Ki Putih
Maesaireng.
“Heaaa...” Dugk Dugk
“Aaah...”
Terdengar pekikan Kanta dan
Satya. Rupanya ketika kedua orang andalan Ki Putih Maesaireng itu menusukkan
keris ke arah kepala lawan, dengan gerakan cepat, yang sukar dilihat dengan
mata biasa Sankher telah mendahului dengan serangan balik.
Tak pelak lagi pinggang Kanta
dan Satya terkena pukulan tongkat sakti lelaki asing itu.
Tubuh Kanta dan Satya
terguling di tanah. Namun kedua lelaki andalan Ki Putih Maesaireng itu kembali
bangkit, walaupun sambil memegangi pinggang masing-masing.
Kemudian keduanya langsung
mempersiapkan
jurus andalannya, 'Elang
Mengejar Mangsa'. Sankher melompat dari atas kudanya, lalu dengan tenang
menghadapi kedua lawannya.
“Heaaa...”
Kanta dan Satya serentak
melakukan serangan dengan jurus andalannya. Namun lelaki dari daratan India itu
dengan gesit mengelakkan, semua serangan yang dilancarkan kedua lawan.
Tongkat di tangan Sankher
bergerak cepat, memburu kepala lawan.
“Heaaa...”
Wuttt
Plak Plakkk
“Aaakh...”
“Aaakh...”
Pekikan kematian terdengar
dari kedua orang andalan Ki Putih Maesaireng. Kedua lelaki berpakaian kuning
itu ambruk dan tertelungkup ke tanah. Darah segar mengalir keluar dari kepala
mereka. “Hah...?”
Ki Putih Maesaireng marah
melihat kedua orang andalannya dikalahkan oleh lelaki berkuda putih itu dalam
beberapa gebrakan. Padahal ilmu silat yang dimiliki Kanta dan Satya cukup
handal. Dengan diliputi kemarahan, pimpinan Perguruan Elang Sakti itu melesat
melakukan serangan.
“Heaaa...”
Lelaki tua berjenggot putih
itu merentangkan kedua tangan, membentuk sebuah sayap lebar.
Kemudian dengan cepat tangan
kanannya menghantam ke dada lawan. Disusul pula sambaran tangan kiri ke kepala
lawan. Sedangkan sepasang kakinya bergerak cepat secara bergantian, mencecar
kaki lawan.
Melihat serangan lawan yang
begitu cepat, Sankher tak mau menganggap enteng. “Hm..., lumayan juga ilmu
silat lelaki tua ini,” gumamnya dalam hati.
Tongkat di tangannya diputar
cepat, membentuk baling-baling. Begitu cepatnya putaran itu hingga yang nampak
hanyalah warna hitam yang membungkus tubuh Ki Putih Maesaireng.
Melihat Ki Putih Maesaireng
tampak kesulitan menghadapi orang asing itu, maka tanpa diperintah, tujuh belas
murid Perguruan Elang Sakti langsung bergerak maju. Dengan golok terhunus,
mereka mengepung kedua orang yang masih bertarung itu.
Sankher dan Ki Putih
Maesaireng terus bertarung.
Keduanya saling menunjukkan
ilmu silat yang mereka miliki. Tak percuma Ki Putih Maesaireng mendapat
kepercayaan memangku jabatan sebagai Pemimpin perguruan Elang Sakti. Terbukti
lebih dari sepuluh jurus lelaki berjubah hijau itu masih mampu menghadapi Ular
Kobra dari Utara. Sejauh itu pun pertarungan masih tampak seimbang. Baik Ki
Putih Maesaireng maupun lelaki berjubah hitam ini masih memperlihatkan
ketangguhan masing-masing.
Namun belakangan Ki Putih
Maesaireng semakin kesal, setelah mendapati serangannya selalu dapat
dikandaskan oleh Ular Kobra dari Utara. Tangannya kembali merentang, kemudian
diangkat lurus, dilanjutkan dengan menekuknya di samping dada.
Itulah jurus 'Elang Sakti',
salah satu jurus andalan Ki Putih Maesaireng.
Tangan kirinya dihentakkan ke
depan, sedangkan tangan kanan bergerak menyapu. Kedua kakinya tak tinggal diam.
Kaki kanan menendang ke arah pinggang lawan, disusul kaki kiri bergerak menyapu
kaki lawan. Itulah jurus 'Elang Sakti Menyambar Mangsa', yang terkenal ganas
dan mematikan.
“Hiaaat...”
Sankher tersentak melihat
jurus yang dilancarkan Ki Putih Maesaireng. Gerakan lelaki tua berjenggot dan
berambut putih itu sangat cepat. Rasanya sulit baginya untuk mengelak. Namun si
Ular Kobra dari Utara itu bukanlah tokoh sembarangan. Percuma jauh-jauh dari
negeri asalnya datang ke Jawadwipa, kalau dengan mudah dapat dipencundangi
Pemimpin Perguruan Elang Sakti.
Sankher menggeser kakinya dua
langkah ke
samping. Kemudian dengan cepat
tongkat berkepala ular di tangannya dikebutkan ke tubuh Ki Putih Maesaireng.
Sementara itu tangan kirinya menepuk keras ke tulang rusuk lawan. Namun Ki
Putih Maesaireng masih bisa mengelak ke samping kiri.
Sankher memburu dengan menyapu
kaki lawannya.
Ki Putih Maesaireng melompat
dan bersalto ke udara. Sankher dengan cepat menebaskan tongkatnya, ketika tubuh
lawan kembali mendarat. Hingga....
“Heyaaa..”
Prakkk
“Aaakh...”
Pekik panjang keluar dari
mulut Ki Putih
Maesaireng, ketika pukulan
senjata lawan mendarat telak di tubuhnya. Sambil kesakitan tubuhnya yang
terbalut pakaian hijau melintir lalu ambruk dengan keadaan mengerikan. Tubuh
lelaki tua itu terbelah dua. Darah segar seketika bercucuran membasahi tanah di
halaman Perguruan Elang Sakti.
“Seraaang...” teriak beberapa
murid yang merasa tak tega melihat sang Guru terkapar berlumur darah.
“Heaaa...”
“Serang...”
Tujuh belas murid Perguruan
Elang Sakti
menyerbu dan mengurung si Ular
Kobra dari Utara.
Namun dengan cepat dan gesit
lelaki berjubah hitam itu bergerak memapaki serangan. Dalam beberapa gebrakan
saja lima pengeroyoknya tewas dengan kepala pecah. Bagai kesetanan si Ular
Kobra dari Utara menghabisi murid-murid Perguruan Elang Sakti.
Sampai akhirnya, tinggal tiga
orang yang masih hidup. Sankher sengaja tak membunuh mereka.
“Katakan pada Pendekar Gila
dan semua
pendekar di Jawadwipa ini,
bahwa aku Ular Kobra dari Utara menantang dan ingin membunuh mereka...”
seru Sankher dengan suara
bergema, mantap.
Selesai berkata begitu,
kakinya melangkah meninggalkan Perguruan Elang Sakti. Dengan tenang ia memacu
kuda putihnya menginjak-injak mayat yang berserakan di halaman perguruan itu.
Setelah kepergian 'tamu'
berpakaian ala India itu, ketiga orang yang masih hidup mendekati mayat Ki
Putih Maesaireng. Mereka bermaksud membawa mayat sang Pemimpin ke dalam. Namun,
tiba-tiba mereka dikejutkan munculnya seorang pemuda berpakaian rompi kulit
ular. Ketiga murid Perguruan Bang Sakti saling mengerutkan kening, melihat
sikap pemuda tampan berambut gondrong itu.
Pemuda tampan berpakaian rompi
dari kulit ular yang tak lain Sena Manggala tampak cengegesan sambil tangannya
menggaruk-garuk kepala.
“Ada malapetaka apa gerangan,
Kisanak...?”
tanya
Sena begitu dekat dengan
ketiga orang yang berjongkok di dekat mayat Ki Putih Maesaireng.
“Seorang lelaki aneh telah
membunuh Ki Putih Maesaireng dan kedua orang pengawalnya, serta lima belas
teman kami,” ujar lelaki muda yang bernama Kasnan.
“Betul, Tuan. Lelaki yang
mengaku sebagai si Ular Kobra dari Utara itu dengan ganas membunuh orang-orang
perguruan kami. Tanpa mengenal belas kasihan” tambah pemuda yang ada di samping
kiri Kasnan. Lelaki ini sama dengan teman-temannya yang lain mengenakan pakaian
hijau.
“Ah ah ah... Apa urusannya...,
eh... apa dia orang gila?” tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
“Kami kurang begitu jelas.
Tapi kami dengar, lelaki yang bersenjata tongkat ular itu menentang
pendekar-pendekar tanah Jawadwipa ini. Bahkan juga bersumpah ingin membunuh
Pendekar Gila...,” ujar Kasnan menegaskan.
Mendengar namanya disebut,
Sena mengerutkan kening dan makin menggaruk-garuk kepala.
Kemudian tertawa-tawa sendiri,
seperti orang kurang waras. “Aneh? Salah apa aku pada orang aneh itu?
Bertemu pun belum pernah...?
Kenapa dia ingin menantangku...?” Sena bertanya-tanya dalam hati.
“Apakah Kisanak mengenal
lelaki aneh itu?”
tanya Kasnan lagi.
Sena hanya menggelengkan
kepala, dan terus cengegesan.
“Setelah Desa Kanginan dan
Babakan. Kini
Perguruan Elang Sakti. Aku
harus cepat memburu manusia gila itu” gumam Sena lirih.
Sena lalu berjongkok,
membalikkan tubuh Ki Putih Maesaireng. Diusapnya wajah lelaki tua itu yang
penuh dengan darah. Pemuda berambut gondrong yang lebih kesohor dengan julukan
si Pendekar Gila itu tampak menyesali dirinya. Sena tahu bahwa Ki Putih
Maesaireng merupakan tokoh lurus beraliran putih.
“Sebaiknya kita cepat
menguburkan Ki Putih Maesaireng dan yang lainnya” saran Sena pada Kasnan dan
kedua temannya.
Sena dengan ketiga orang itu
mulai
mengumpulkan mayat-mayat itu,
untuk dikuburkan.
***
Sena pagi itu masih berada di
Perguruan Elang Sakti, karena malam tadi menginap di perguruan itu.
Maksudnya ingin menunggu
kedatangan si Ular Kobra dari Utara. Karena Sena memperkirakan pembunuh
berdarah dingin itu akan kembali. Namun ternyata tidak.
“Aha Sebaiknya kalian bertiga
jaga perguruan ini.
Jangan ditinggalkan Mungkin
sewaktu-waktu aku datang, untuk melihat keadaan di sini,” ujar Sena sebelum
pergi.
“Tapi, siapakah Tuan
sebenarnya?” tanya Kasnan ingin tahu.
“Ah ah ah... Tak perlu tahu.
Yang jelas aku akan mencari lelaki pembunuh keji itu sampai dapat. Aku hanya
orang biasa seperti kalian,” tutur Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala
dan cengegesan.
“Terima kasih, Tuan...,” kata
Kasnan sambil menjura, diikuti kedua temannya. Ketiga murid Perguruan Elang
Sakti itu tampaknya dapat membaca penampilan Sena sebagai seorang pendekar.
Sena tertawa-tawa sambil
menggaruk-garuk
kepalanya. Lalu melangkah
pergi meninggalkan Perguruan Elang Sakti.
Kasnan dan kedua temannya
memandangi
kepergian Sena dengan berbagai
perasaan.
“Pemuda gagah itu tingkahnya
seperti orang gila.
Apakah dia yang bernama
Pendekar Gila dari Goa Setan itu...?” gumam Kasnan.
Hembusan angin pagi bertiup
sejuk, diwarnai nyanyian riang burung menyambut kehadiran matahari menyinari
bumi mayapada. Embun-embun belum semuanya pupus dari rerumputan dan daun pohon.
Namun tiba-tiba....
“Heaaat...”
“Ceaaat...”
Tampak sepasang muda-mudi
tengah terlibat pertarungan. Yang seorang lelaki berusia dua puluh lima
tahunan. Rambutnya yang panjang melewati bahu diikat Tubuhnya yang kekar dan
berisi terbungkus pakaian silat warna putih dengan ikat pinggang merah. Sedang
yang satu lagi seorang gadis yang usianya tak jauh berpaut. Pakaiannya yang
merah delima sangat serasi dengan kulitnya yang kuning langsat.
Kedua muda-mudi itu tampak
melesat dengan ringan ke atas. Kemudian tubuh keduanya saling bersalto.
Sesekali menyerang dan menangkis serangan lawan, diiringi teriakan-teriakan
melengking memecah suasana pagi di sekitar air terjun itu.
Wuttt, wuttt
Trangngng
“Hiaaa...”
“Yeaaat..”
Setelah saling menyerang,
dengan cepat mereka melontarkan tubuh ke belakang. Tubuh keduanya berjumpalitan
di udara beberapa kali, sebelum akhirnya mendarat di atas sebuah batu licin.
Trap
Keduanya saling pandang.
Pedang di tangan mereka disilangkan di depan dada. Secara
bersamaan tangan kiri mereka
digerakkan ke depan, membuka suatu jurus. Sedangkan kaki yang menginjak batu,
digeser sedikit ke samping. Menjadikan tubuh mereka kini dalam posisi miring.
“Kau sudah semakin cepat
menggunakan
pedangmu, Sundari...,” seru
sang Pemuda memuji gadis cantik berpakaian merah delima yang ternyata bernama
Sundari.
“Tapi aku masih belum puas,
Kakang. Aku ingin teruskan latihan ini sampai aku betul-betul puas...”
sahut Sundari sambil
memandangi Sawung Rana, kekasihnya.
“Heaaat..”
Sundari menebaskan pedangnya
ke arah Sawung Rana. Pemuda itu cepat melompat dan bersalto dua kali, kemudian
mendaratkan kaki jauh di hadapan Sundari. Di tepi air terjun. Sundari melompat
mem- buru Sawung Rana. Keduanya kini kembali saling serang dan tangkis.
Tubuh Sundari melesat sambil
bersalto di udara laksana seekor burung elang kelaparan. Tangan kirinya
bergerak lincah melakukan pukulan dan tangkisan. Sedangkan tangan kanan
menebaskan pedang dengan cepat.
“Hiaaat...”
Wuttt Wuttt
Srat Srattt
Pedang di tangan Sundari
menebas air terjun di sampingnya. Namun air itu masih saja terpercik, pertanda
gerakannya belum sempurna.
“Heaaat...” Sawung Rana pun
melesat, lalu bersalto di udara dengan tangan kiri memukul ke depan. Kemudian
disusul dengan tebasan pedang ke air terjun itu.
Wuttt.. Prattt
Air terjun masih terpercik,
menandakan gerakannya pun belum sempurna. Namun Sawung Rana tak puas begitu
saja. Setelah bersalto mundur di udara, tubuhnya kembali mencelat dan
membabatkan pedang ke air terjun.
“Heaaa...”
Wuttt
Kali ini air terjun itu tidak
terpercik sedikit pun, membuat mata Sundari membelalak. Mulutnya menganga tanpa
sadar, menyaksikan hasil yang telah diperoleh sang Kekasih.
Tubuh Sawung Rana bersalto ke
belakang sambil memukulkan tangan kirinya ke depan. Kemudian kakinya kembali
hinggap di atas batu di kolam air terjun itu. Dengan tersenyum pedangnya
kembali dimasukkan ke dalam sarung. “Kau telah berhasil, Kakang...” seru
Sundari ikut gembira.
“Ya. Kau pun sudah mulai
berhasil, Dimas,” sahut Sawung Rana dengan napas sedikit terengah-engah.
“Bagaimana? Apakah Dimas mau
melanjutkan...?”
Sundari menggelengkan kepala.
Lalu melompat mendekati Sawung Rana.
“Kalau begitu kita kembali ke
pondok. Kau nampak kelelahan,” ujar Sawung Rana kemudian. Ia mengajak Sundari
pergi dari tempat itu.
Tiba-tiba wajah Sundari nampak
berubah sedih.
Sawung Rana heran. Melihat
kekasihnya tiba-tiba saja menampakkan kesedihan.
“Ada apa kiranya, Dimas? Apa
yang sedang Dimas risaukan...?” tanya Sawung Rana ingin tahu.
“Entahlah, Kakang. Tiba-tiba
aku teringat pamanku Ki Putih Maesaireng,” jawab Sundari lemah.
“Mungkin pamanmu juga sedang
teringat
padamu, Dimas,” sahut Sawung
Rana coba
menyenangkan hati kekasihnya.
“Kalau perlu besok kita bisa menjenguk pamanmu. Bagaimana...?”
Sundari menatap Sawung Rana,
hatinya merasa lega dengan ajakan sang Kekasih.
“Apa kau benar-benar akan
mengajakku, Kang?”
tanya Sundari dengan senyum manis.
Sawung Rana merangkul
kekasihnya dengan
lembut. Keduanya kemudian
meneruskan langkah menuju pondok mereka, yang ada di atas bukit dekat air
terjun itu.
Baru saja kedua muda-mudi itu
sampai di
pelataran pondok yang terbuat
dari daun pandan kering, tiba-tiba terdengar teriakan orang minta tolong.
“Tolooong...” Seketika Sawung
Rana dan Sundari menoleh ke belakang dan memandang ke asal suara teriakan itu.
Seorang lelaki berpakaian
rompi hijau berlari menyongsong mereka, tapi jatuh tersandung batu.
Sawung Rana cepat menghampiri
lelaki itu. Ternyata Kasnan, murid Perguruan Elang Sakti.
“Kang Kasnan...?” pekik
Sundari setelah
mengenali lelaki itu.
“Ada apa, Kang?” tanya Sawung
Rana sambil memegangi Kasnan.
“Orang itu membakar Perguruan
Elang Sakti.... la kembali membunuh orang-orang perguruan
lainnya...” tutur Kasnan
dengan napas tersengal-sengal.
“Siapa orang yang kau maksud
itu, Kang...?”
tanya Sawung Rana, penuh
harap.
“Siapa? Apa yang telah terjadi
dengan Paman Putih Maesaireng...?” tambah Sundari cemas sekali.
“Ampun... Saya terlambat
memberitahukan berita ini,” kata Kasnan dengan tersendat-sendat.
“Berita apa?” tanya Sundari
makin cemas.
“Ki Putih mati. Dibunuh lelaki
aneh itu...,” kata Kasnan menjelaskan.
“Hah? Oh... Paman...”
Sundari sangat terpukul
hatinya mendengar berita itu. Dirinya semakin sedih dan menangis.
“Ternyata firasatku benar,
Kakang,” ucap Sundari sambul menangis. Lalu Sundari bergerak ingin pergi.
Sawung Rana cepat mencegahnya.
“Dimas.... Sabarlah Mari kita
rundingkan bersama. Aku yakin orang aneh itu memiliki ilmu silat yang cukup
tinggi,” ujar Sawung Rana coba meredakan amarah kekasihnya.
“Bagaimana mungkin aku harus
bersabar, Kakang? Belum sempat aku membalas jasa-jasa paman yang telah
merawatku, sejak kedua orang tuaku meninggal. Aku merasa berdosa...,” ucap
Sundari denga nada sedih.
“Aku mengerti, Dimas. Tapi
kita harus berpikir panjang. Sebab yang akan kita hadapi tentunya bukan orang
sembarangan. Buktinya, pamanmu yang memiliki ilmu silat yang di atas kita,
dapat ditaklukkan,” Sawung Rana coba mengingatkan Sundari.
“Benar,” sambung Kasnan,
“Lelaki aneh itu juga menantang semua pendekar yang ada di Jawadwipa ini.
Termasuk Pendekar Gila dari Goa Setan.”
“Hah?” Sawung Rana tersentak.
Mengerutkan kening. Demikian pula dengan Sundari. Keduanya saling pandang.
“Setelah kematian Ki Putih
Maesaireng, datang seorang pendekar muda, yang tingkahnya seperti orang gila.
Pemuda itu menolong kami menguburkan mayat-mayat, termasuk jasad Ki Putih
Maesaireng...,”
jelas Kasnan kemudian. “Apakah
Tuan mengenal pemuda yang bertingkah seperti orang gila itu?”
tanyanya penasaran.
“Ya.... Dialah Pendekar Gila
dari Goa Setan,”
jawab Sawung Rana sambil
menganggukkan kepala.
“Sudah aku duga...,” gumam
Kasnan lirih.
Sawung Rana berpikir sejenak
sambil memegangi kening. Ia lalu menoleh ke wajah Sundari yang masih bersedih.
“Dimas, sebaiknya kita cari
Pendekar Gila, untuk melawan laki-laki aneh itu. Kita berdua tak mungkin dapat
mengalahkannya. Tapi kalau memang kita bertemu dengan lelaki itu. Apa boleh
buat,” ucap Sawung Kana. “Terserah Kakang,” jawab Sundari lemah.
“O, ya. Tadi Kang Kasnan
tampak ketakutan. Apa lelaki itu mengejarmu, Kang?” tanya Sawung Rana kemudian.
“Betul, Tuan. Tapi sempat
dihadang oleh orang-orang Desa Babakan yang marah. Karena
terbunuhnya orang-orang desa
itu,” tutur Kasnan.
“Kalau tidak mungkin saya
sudah mati....”
“Hmmm”
Sawung Rana menghela napas
panjang, lalu
berpaling ke arah Sundari yang
ada di sebelah kirinya.
“Dimas, sebaiknya kita cepat
pergi. Sebelum orang itu menemukan kita di sini.”
Lalu Sawung Rana mengajak
Sundari pergi dari pondok itu.
“Kang Kasnan sebaiknya tinggal
saja di pondok kami” kata Sawung Rana sebelum pergi.
“Baik, Tuan.”
Sawung Rana dan Sundari
melesat pergi
meninggalkan pondok itu.
Keduanya seperti sepasang elang melesat bagai terbang menuju perbukitan.
*** 4
Semilir angin pagi menerpa
dedaunan di Bukit Lawa.
Tampak sepasang muda-mudi yang
tak lain Sawung Rana dan Sundari tengah melesat melintasi jalan tanah di antara
perbukitan hijau. Dilihat dari gerakan mereka yang cepat dan gesit, jelas
keduanya sama-sama mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Mereka bagai dua ekor kijang
melompat-lompat di atas batu dan tanah keras. Tak lama kemudian keduanya
berhenti di puncak bukit Mata mereka memandang ke perbukitan itu. Seakan merasa
khawatir kalau-kalau ada orang yang mengikuti mereka.
Sawung Rana dan Sundari hendak
menuju
Perguruan Elang Sakti untuk
melihat keadaan perguruan yang telah diporak-porandakan si Ular Kobra dari
Utara.
“Kita tak jauh lagi dari
Perguruan Elang Sakti, Dimas. Waspadalah” kata Sawung Rana sambil terus
melangkah di samping Sundari.
Sundari hanya menganggukkan
kepala pelahan.
Matanya memandangi sekeliling
tempat itu dengan tajam. Pendengarannya pun dipasang untuk
menangkap suara apa saja di
sekitar tempat itu.
“Kakang, aku merasakan sesuatu
di belakang kita,” bisik Sundari sambil menoleh ke wajah Sawung Rana.
“Hm...” Sawung Rana hanya
bergumam pendek.
Suasana di perbukitan itu
memang sunyi dan sepi.
Yang terdengar hanya suara
desah angin dan kicau burung. Pasangan muda-mudi itu terus melangkah menuruni
jalan terjal berbatu-batu. Dan ketika sampai di sebuah tempat datar
tiba-tiba....
“Kisanak, tunggu...”
Tiba-tiba terdengar seruan
yang membuat
langkah Sawung Rana dan
Sundari terhenti.
Kemudian perlahan tubuh mereka
berbalik,
menghadap ke orang yang
menegurnya.
Empat orang lelaki telah
berdiri di belakang pasangan muda-mudi yang berpakaian putih dan merah delima
itu.
Satu dari keempat lelaki itu
tak lain Guntala, Pemimpin Perguruan Bintang Mas yang diam-diam mengikuti sepak
terjang Sankher. Dengan sinis Guntala memandang tajam wajah Sawung Rana dan
Sundari.
“Ada keperluan apa, Kisanak
menghentikan
langkah kami?” tanya Sawung
Rana. Tangan kanannya tampak memegang pedang.
“Ha ha ha...” Guntala tertawa,
“Kalian tentu ingin mencari orang asing yang aneh itu, bukan?”
Sawung Rana dan Sundari
mengerutkan kening, keduanya lalu saling pandang. Keduanya heran, karena lelaki
yang tak dikenalnya mengetahui tujuan mereka.
“Bagaimana Kisanak bisa tahu?”
tanya Sawung Rana menyeledik.
“Ha ha ha... Aku orang serba
tahu. Mungkin aku bisa membantu kalian berdua, untuk menemukan orang asing itu.
Ha ha ha...” Guntala tertawa sambil mengelus-elus jenggotnya yang hitam lebat.
Matanya melirik nakal ke arah buah dada Sundari yang nampak menonjol di balik
pakaian silatnya.
Sundari membelalakkan mata,
ketika tahu dadanya sedikit terbuka. Gadis itu cepat merapikan pakaiannya,
“Bajingan Lelaki tua tak tahu diri, huh”
rungut Sundari dalam hati.
“Tapi kami belum pernah
mengenalmu, Kisanak.
Bagaimana kami mempercayaimu?”
sahut Sawung Rana tegas. “Lagi pula aku tak membutuhkan bantuanmu. Maaf...”
“He he he Kalian akan
menyesal. Kau berdua akan mati seperti pendekar-pendekar lainnya. Sayang kalau
kalian yang masih muda-muda ini harus mati begitu cepat,” ujar Guntala mencoba
membujuk Sawung Rana dan Sundari.
Sawung Rana mengerutkan
kening, lalu saling pandang dengan Sundari. Keduanya nampak berpikir dan
menimbang kebenaran ucapan Guntala.
“Kenapa Kisanak mau
membantuku?” tanya
Sawung Rana agak mendesak.
“Hm.... Bukankah kita hidup
harus saling
menolong? Dan kau harus tahu,
bahwa aku juga ingin melenyapkan lelaki aneh itu,” kata Guntala mencoba
meyakinkan Sawung Rana.
Sawung Rana
mengangguk-anggukkan kepala.
Seakan hatinya membenarkan
ucapan Guntala.
Namun, Sundari merasakan
ketidakberesan lelaki tua di hadapannya itu. Perasaan kewanitaannya lebih
tajam.
“Kakang...” seru Sundari.
“Ada apa, Dimas?”
“Sebaiknya Kakang tidak
menerima bantuan
lelaki itu. Aku...”
Ucapan Sundari yang pelan,
seperti berbisik itu tak berlanjut, karena Sawung Rana cepat menukas.
“Kisanak, aku sangat berterima
kasih atas maksud baikmu. Namun, aku belum bisa mem- percayaimu.”
Sundari merasa lega mendengar
ucapan
kekasihnya. Gadis itu menghela
napas panjang.
“He he he... Aku tak dapat
memaksa kalian. Tapi, ingat Kalian akan menyesal. Lelaki si Ular Kobra itu akan
menghabisi kalian” ujar Guntala dengan suara ditekan berat. “Dan, kalau kalian
bertemu dengan Pendekar Gila, tolong sampaikan pesanku. Paman Dewi Pandagu
kirim salam”
Mendengar ucapan Guntala yang
seakan menjadi sahabat Pendekar Gila, membuat Sawung Rana dan Sundari jadi
mengerutkan kening. Keduanya saling pandang.
“Hm, maaf Kisanak Apa Pendekar
Gila pernah menemuimu...?” tanya Sawung Rana, yang mulai termakan tipu muslihat
Guntala. Dan pemuda yang masih hijau dalam dunia persilatan itu, memang masih
labil dan mudah percaya. Apalagi dirinya belum paham benar tentang hubungan
Pendekar Gila dan Dewi Pandaku. Hanya Sundari yang sedikit pernah mendengar berita
tentang bekas Pemimpin
Perguruan Bintang Mas itu dari
pamannya, Ki Putih Maesaireng. Itu pun hanya sedikit.
“Terus terang saja, sebenarnya
aku ingin bertemu Pendekar Gila dari Goa Setan, untuk menangkap dan segera
melenyapkan si Ular Kobra dari Utara”
tambah Guntala dengan wajah
menggambarkan kecemasan.
Sawung Rana dan Sundari makin
termakan tipu muslihat Guntala. Sundari yang semula mencurigai maksud buruk
Guntala, kini justru meminta maaf.
“Kisanak, maafkan kalau tadi
kami kurang ramah, pada Kisanak...,” ucap Sundari kemudian. Tentu saja dengan
senyum tersungging di wajahnya. “Tak apa-apa. Wajar kalau wanita seperti kau
mempunyai kecurigaan demikian terhadap orang seperti aku ini,” jawab Guntala
diiringi senyum yang dibuat-buat.
Sejenak mereka diam. Hanya
perasaan masing-masing yang sedang bergolak.
“Kisanak, sebaiknya kita tak
perlu lama-lama lagi.
Kalau Kisanak berdua tak
keberatan, bagaimana kalau kita rundingkan rencana melenyapkan si Ular Kobra
dari Utara itu di pondok kami,” ajak Guntala tiba-tiba memecah keheningan.
“Baiklah...,” wajab Sawung
Rana setelah minta persetujuan Sundari.
Maka mereka segera pergi
meninggalkan Bukit Lawa yang angker itu. Sawung Rana dan Sundari berjalan
paling depan. Di samping Sundari tampak Guntala yang sejak tadi tergiur
kemontokan tubuh gadis itu. Sedangkan tiga orang anak buah Guntala mengiringi
di belakang. Ketiganya mengenakan pakaian serba hitam dengan dada terbuka. Ikat
kepala mereka pun sama, hitam. Wajah mereka tidak menampakkan kebengisan.
Biasa-biasa saja. Hanya kumis tebal melintang di atas bibir mereka.
“Tak jauh lagi. Di balik
lembah itu pondok kami...,”
ujar Guntala dengan suara agak
serak. Matanya terus melirik ke dada Sundari yang montok.
Pimpinan Perguruan Bintang Mas
itu sengaja tidak membawa Sawung Rana dan Sundari ke tempat perguruannya,
karena takut diketahui siapa dia sebenarnya. Karena itu Guntala membawa Sundari
dan Sawung Rana ke pondok yang biasa
digunakannya sebagai
persembunyian, bila
menghadapi sesuatu masalah.
Seperti ketika dirinya meninggalkan Dewi Pandagu, setelah bertengkar pendapat
dengan keponakannya itu.
Guntala memang mempunyai sifat
buruk. Senang mempermainkan wanita, bahkan pernah bermaksud menguasai Perguruan
Bintang Mas, yang dipimpin Dewi Pandagu.
“Masih jauh, Kisanak...?”
tanya Sundari mulai cemas.
“Tidak, tidak jauh lagi.
Setelah kita menuruni lembah, sudah tak jauh,” jawab Guntala diiringi senyum
hambar. Matanya tak henti-henti melirik buah dada Sundari. Tampaknya gadis itu
belum merasakan kalau dirinya sedang diperhatikan.
Jalanan yang dilalui semakin
sunyi dan terasa angker. Jauh dari pemukiman penduduk. Batu-batu cadas tampak
di sana-sini. Hati Sundari semakin cemas. Sejenak gadis berpakaian merah delima
itu menghentikan langkah.
“Ada apa, Dimas?” tanya Sawung
Rana heran.
Sundari tak menjawab. Gadis
cantik itu hanya menghela napas panjang.
“Ada sesuatu Kisanak...?”
tanya Guntala berpura-pura merasa khawatir.
“Tidak. Hanya...,” Sundari tak
meneruskan ucapannya. Kemudian kembali melangkahkan
kakinya.
Ketika sampai di suatu dataran
yang sekelilingnya ditumbuhi pepohonan rindang dan besar, tiba-tiba....
“Heaaa...”
“Aist... Heh?”
Salah seorang anak buah
Guntala menyerang Sawung Rana secara membokong. Namun pemuda tampan itu
tampaknya telah merasakan ketidakberesan itu. Hingga dengan cepat menjatuhkan
diri lalu bergulingan di tanah. “He he he...”
Sementara Sundari pun mendapat
perlakuan
kurang sopan dari Guntala.
Lelaki setengah tua itu, dengan gerakan cepat menarik lengan Sundari disusul
dengan remasan tangan kanannya ke buah dada gadis cantik itu.
“Akh...” pekik Sundari sambil
menepiskan tangan Guntala. Lalu cepat menjauhi lelaki tua keladi itu, sambil
memasang kuda-kuda.
“He he he... Ck ck ck... Kau
membuat
kelelakianku tergoda, Cah Ayu.
He he he...” Guntala dengan mata liar memandangi keindahan tubuh Sundari yang
sintal dan sangat menggairahkan itu.
Lidahnya menjulur keluar,
membasahi bibirnya sendiri.
“Tua bangka tak tahu diri...”
sungut Sundari dengan muka merah. Mata Sundari menatap tajam Guntala yang
melangkah mendekatinya. Sementara tangan dan kakinya sudah mengatur kedudukan,
memasang kuda-kuda.
“He he he... Cah Ayu, kau tak
usah marah
Menurutlah, sebelum kau
menyesal...,” bujuk Guntala, sambil mengusap-usapkan dadanya.
Matanya terus menatap dengan
nakal tubuh Sundari.
“Dasar laki-laki cabul...
Heaaat...”
Sundari yang sudah tak sabar
lagi, langsung menyerang Guntala. Dibabatkan pedangnya ke ulu hati lelaki
setengah baya itu. Namun Pemimpin Perguruan Bintang Mas itu berilmu silat yang
cukup tinggi. Terbukti dengan mudah mengelakkan serangan lawan. Dimiringkan
tubuhnya ke samping kiri dan kanan. Lalu melompat mundur.
“He he he..., eits Sabar, Cah
Ayu Kau tampak cantik dan membuatku semakin bernafsu, jika marah begitu....
Ayolah”
Guntala terus meledek, bahkan
sekan tak peduli dengan pedang Sundari yang terus mencecarnya.
Dengan merebahkan tubuh dan
berguling ke tanah, Guntala mengelakkan serangan gadis berpakaian merah delima
itu.
“Heaaattt...”
“Eit... Heaaa...”
Guntala mulai beraksi. Dengan
lincah lelaki tua itu menangkis dan melancarkan serangan balik ke tubuh lawan.
Sundari tersentak melihat serangan balik Guntala yang cepat. Membuat ia menarik
pedangnya ke depan dada. Kemudian menarik napas sejenak dan kembali membuka
serangan.
“Heaaat...”
“Heits Hih...”
Degk Degk
“Aaakh...”
Sundari memekik kesakitan,
ketika pukulan Guntala bersarang telak di tengkuk dan punggungnya.
Tubuhnya terhuyung-huyung
sambil memegangi tengkuknya. Wajah gadis cantik itu memerah karena marah.
“He he he... Menyerah sajalah
kau, Cah Ayu. He he he...” ejek Guntala sambil mendekati Sundari yang masih
kesakitan. Namun ketika lelaki setengah baya itu berada satu tombak di
depannya, tanpa diduga Sundari dengan cepat membabatkan pedangnya. Lelaki tua
yang memiliki ilmu silat dua tingkat dari lawannya, dengan cepat merebahkan
badan ke belakang. Sedangkan tangannya coba menangkis serangan Sundari.
“Heaaat...” Wuttt
“Aits Hea...” Guntala
berjumpalitan ke belakang, ketika Sundari mencecarnya. Lalu kakinya hinggap
pada sebuah batu besar. Dan selamatlah lelaki tua keladi itu. “Hi hi hi...
Percuma kau melawanku, Manis. Hi hi hi...”
Guntala mengejek Sundari
sambil mengusap-
usap jenggotnya dengan tangan
kanan, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.
Sundari yang kini berada di
bawah, memandang lelaki itu dengan penuh kebencian.
Sementara itu Sawung Rana
masih bertarung sengit melawan tiga anak buah Guntala.
“Kurung dia...” seru salah
seorang dari ketiga anak buah Guntala.
“Heaaa...”
“Yeaaat...”
Trang Trang
Pedang Sawung Rana dan golok
ketiga lawannya beradu. Mengeluarkan percikan sinar api. Dengan gesit dan
cepat, Sawung Rana menyerang dan menangkis serangan lawan. Ketiga lawannya
sempat tersentak, ketika babatan pedang pemuda berpakaian putih itu sempat
melukai lengan salah seorang dari mereka.
“Heaaa...”
Wuttt
Crasss
“Aaakh...”
Pekik Barkala, satu dari
ketiga anak buah Guntala.
“Hah...? Boleh juga ilmu
pedang pemuda itu...,”
gumam Wiraksa yang berbadan
paling besar.
Matanya membelalak lebar. “Serang...”
seru Darkapala, orang yang paling tua di antara ketiga anak buah Guntala.
Kumisnya yang tebal menyatu dengan cambang bawuk di pipi.
Melihat lawannya berkelebat
menyerang, Sawung Kana pun tak mau tinggal diam. Secepat itu pula pemuda tampan
itu melompat sambil menjulurkan pedang ke depan, memapaki serangan lawan. Tak
terhindarkan, pertarungan semakin seru dan sengit.
Ketiga anak buah Guntala
nampak penuh semangat ingin segera menjatuhkan Sawung Rana. Apalagi Barkala
sudah terluka.
“Heaaa... Mampus kau Anak
Muda...” seru Darkapala sambil membabatkan golok ke kepala lawan yang sempat
lengah. Namun, Sawung Rana masih bisa menangkis dengan pedang, sebisanya sambil
berguling ke samping, menjauhi lawan-lawannya.
Mata Darkapala membelalak,
ketika serangannya dapat ditangkis. Hatinya semakin kesal dan marah.
Mukanya merah. Lalu dengan
cepat kembali
menyerang Sawung Rana yang
sudah kembali siap menghadapi mereka.
Kini Darkapala dan Wiraksa
menyerang ber-
samaan dari dua arah. Keduanya
melompat sambil berteriak. Sawung Rana pun melompat memapaki serangan itu.
“Heaaa...”
“Yeaaat...”
Trang Trang Wuttt Wuttt
Pekikan keras dan denting
senjata saling beradu terus terdengar semakin riuh. Dengan sekuat kemampuannya
Sawung Rana terus berusaha
bertahan dari gempuran
serangan kedua lawannya yang menyerang secara serentak. Namun Sawung Rana yang
memang ilmu pedangnya belum
sempurna, dan masih satu
tingkat di bawah anak buah Guntala tetap menunjukkan kekerasan hati untuk
bertahan. Namun, tiba-tiba....
Swing Swing
“Hah? Aaakh...”
Tanpa diduga sama sekali,
Durkapala dan
Wiraksa mengeluarkan senjata
rahasia. Beberapa pisau kecil melesat memburu tubuh Sawung Rana.
Bahkan satu di antaranya
mengenai tangan kanan Sawung Rana. Pemuda itu memekik keras. Tubuhnya jatuh
bersamaan dengan pedangnya yang terlepas.
Melihat Sawung Rana jatuh dan
mulai melemah fisiknya, Darkapala, Wiraksa, dan Barkala serentak hendak
menghabisi nyawanya. Namun tiba-tiba....
“Aaakh...”
Sesosok bayangan melesat
begitu cepat. Bagai seekor elang menyambar mangsa, melancarkan serangan kilat.
Kontan ketiga anak buah Guntala terpekik. Tubuh mereka terpental lima tombak
dari tempatnya, karena terkena serangan cepat dari sosok bayangan tadi.
“Aha, rupanya ada
manusia-manusia kotor di sini.
Hi hi hi...” ejek seorang
pemuda berpakaian rompi kulit ular, yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar
Gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
“Hukh Huekh...”
Ketiga anak buah Guntala muntah
darah dan tak mampu bangkit lagi. Dada mereka membekas telapak tangan kebiruan.
Tak jauh dari situ, Sundari
telah berada di tangan Guntala. Tampaknya tubuh gadis berpakaian merah delima
itu tertotok jalan darahnya, hingga terkulai lemas. Guntala tak membuang
kesempatan baik itu.
Segera lelaki tua yang mata
keranjang itu menggeluti tubuh Sundari yang sudah tak berdaya kena totokannya.
Guntala baru saja hendak
melepaskan
pakaiannya untuk menggeluti
Sundari ketika terdengar suara gelak tawa menggelegar yang seakan hendak
menggetar bumi.
“Hua ha ha... Hi hi hi...
Rupanya masih ada lagi tikus tua mau melalap laun muda... Lucu, lucu sekali tua
bangka ini...” ejek Pendekar Gila sambil bertingkah seperti orang gila.
“Hah...? Kurang ajar... Siapa
kau, Pemuda Sinting” bentak Guntala sambil memberesi celananya. Matanya
terbelalak kaget melihat kedatangan pemuda bertingkah laku gila yang begitu
tiba-tiba.
“Ah ah ah Untuk apa mengetahui
siapa aku. Yang jelas aku bukan hantu, atau seperti kau, Tua Bangka...” sahut
Sena dengan nada mengejek sambil menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila cepat melesat
mendekati Sundari lalu cepat membawanya menjauh dari Guntala yang masih nampak
gugup. Dan setelah berada cukup jauh dari Guntala segera ditotoknya tubuh gadis
itu agar terbebas aliran darahnya.
Tuk Tuk
“O..., hah? Siapa kau?” tanya
Sundari setelah sadar, melihat Sena yang cengengesan. Lalu menoleh ke arah
Guntala yang siap mau menyerang Sena.
“Cepat, selamatkan kawanmu di
sana” kata Sena, “Nanti baru kita bicara. Akan kubereskan tua bangka ini.”
Seperti tanpa sengaja Sundari
menganggukkan kepala, lalu melesat menuju tempat Sawung Rana yang kesakitan.
Tangannya mengucurkan darah.
“Kau...? Rupanya kau Pendekar
Gila Kebetulan, aku sedang mencari-carimu, Pemuda Gila...” dengus Guntala marah
melihat Pendekar Gila yang telah menghalangi niatnya.
“Aha, hi hi hi..., lucu sekali
kau ini, Tua Bangka
Otak kotormu itu perlu dicuci.
Ah..., untuk apa kau mencariku...?” tanya Pendekar Gila sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala.
“Aku mencarimu hanya akan
memberi tahu,
bahwa kau tak lama lagi akan
mampus oleh tokoh yang berjuluk Ular Kobra dari Utara itu Ha ha ha...
Dan aku telah mengatakan,
bahwa kaulah yang membunuh keponakanku, Dewi Pandagu. Ha ha ha...”
Guntala tertawa
terbahak-bahak. Hatinya merasa yakin kalau Pendekar Gila pasti akan mati di
tangan Sankher. Namun Sena yang mendengar itu justru bertingkah seperti monyet,
melompat-lompat, sambil menepuk-nepuk pantatnya. Lalu menggaruk-garuk kepala
sambil tertawa-tawa.
“Hi hi hi... Lucu, lucu sekali
Kau memang tua bangka yang sudah pikun dan bosan hidup...” tukas Sena dengan
cekikikan.
“Kurang ajar Heaaattt...”
Guntala yang sudah tak tahan
mendengar ejekan Sena, langsung menyerang. Namun sebelum Sena bertindak.
Tiba-tiba....
“Yeaaattt...”
Sundari yang benar-benar tak
mampu menahan amarah mendahului, menyerang Guntala.
Melihat serangan cepat yang
dilakukan gadis berpakaian merah delima itu Guntala nampak tersentak kaget.
Namun dengan gerak cepat lelaki setengah baya itu mengelakkan serangan pedang
Sundari.
Namun serangan cepat Sundari
yang disertai amarah dan nafsu itu hanya sia-sia belaka. Tampaknya Guntala yang
berilmu lebih tinggi beberapa tingkat mampu membaca kemampuan lawan.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
“Aits Hea...”
Beberapa kali serangan Sundari
dapat dielakkan oleh Guntala dengan melompat ke kanan dan kiri.
Atau sesekali melenting ke
atas.
“Heaaa...”
Wuttt
“Heh? Hea...”
Dugk
“Aaakh...”
Pekikan tertahan terdengar
dari mulut gadis cantik berambut panjang itu ketika pukulan tangan kanan
Guntala mendarat di tengkuknya. Tubuhnya tersungkur ke depan lalu jatuh mencium
tanah.
Melihat Sundari jatuh,
Pendekar Gila langsung melenting melakukan serangan. Dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat' tubuhnya meliuk-liuk laksana menari dengan tangan
sesekali menepuk ke tubuh lawan. Gerakannya kelihatan lamban dan lemah gemulai,
bagaikan tak mengandung tenaga sama sekali.
Hal itu membuat Guntala
menganggap remeh
lawan. Lelaki setengah baya
itu segera melancarkan serangan dengan membabatkan pedangnya. Dirinya menyangka
gerakan Pendekar Gila yang lamban dan lemah itu tak akan mampu mengelakkan
sabetan pedangnya. Namun betapa terkejut hatinya ketika menyaksikan apa yang
terjadi.
Dugaan Guntala meleset. Pemuda
berambut
gondrong dan bertingkah laku
seperti orang gila itu sangat mengagumkan. Meski gerakan Pendekar Gila
kelihatan lamban dan lemah, ternyata justru dengan mudahnya mengelak. Hanya
dengan menggeser kaki ke samping dan melenturkan tubuh dengan membungkuk dan mendongak,
semua serangan lawan dapat dielakkannya. Bahkan tiba-tiba....
“Hih...”
Wuttt
Hampir saja pukulan telapak
tangan Pendekar Gila menghantam dada Guntala, kalau tak segera melompat ke
belakang. Betapa terkejutnya Guntala ketika tiba-tiba tangan Pendekar Gila yang
seperti menari itu telah dekat ke tubuhnya. Padahal dirinya telah menguras ilmu
meringankan tubuh, namun tetap saja pendekar muda itu mampu mengejarnya.
“Hah? Jurus gila...” pekik
Guntala, kaget.
Wajahnya mendadak pucat.
Menyaksikan jurus aneh yang dikeluarkan Sena. Namun sebagai orang yang telah
banyak pengalaman, Guntala tak ingin mengalah begitu saja. Tubuhnya segera
melenting untuk mengelakkan serangan lawan, kemudian dengan cepat dibukanya
jurus andalan yang dinama-kan 'Cakar Naga Merah'.
Karena gerakan yang sangat
cepat, tangan
Guntala berubah menjadi
banyak. Kuku-kukunya yang panjang dan runcing membentuk cakar naga, bergerak
cepat mengcengkeram dan mencabik ke tubuh Pendekar Gila. Ke mana Sena bergerak,
tangan Guntala terus mengejarnya dengan cakaran-cakaran maut.
“Heaaattt...” Wrertt Wrettt
Masih dalam jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'
Pendekar Gila meliuk-liuk ke
sana kemari mengelakkan serangan 'Cakar Naga Merah' Guntala.
Mulutnya kadang-kadang
cekikikan, atau
cengengesan mengejek lawan.
Melihat tingkah laku konyol
pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu Guntala tampak ternganga.
Karena marah dan kesal,
serangannya tak terarah, mulai ngawur. Mengetahui keadaan lawan itu Pendekar
Gila cepat melancarkan serangan.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana
menari sambil melontarkan pukulan dengan telapak tangan.
“Heaaa...”
Plak Plakkk
“Aaakh...” Guntala memekik
keras, ketika tepukan tangan Pendekar Gila yang tampak lemah dan tak bertenaga
mendarat telak di dadanya. Matanya terbelalak heran, hampir tak percaya dengan
apa yang barusan dialami. Tubuhnya terlontar deras ke belakang lalu jatuh
bergulingan.
“Huekh...”
Dari mulut Guntala keluar
darah segar. Tampaknya pukulan Pendekar Gila telah menimbulkan luka dalam.
“Hi hi hi... Kenapa kau, Ki?
Ah, itu imbalan bagi orang tua usil...” mulutnya cengengesan lalu tertawa
cekikikan.
“Kenapa tak kau bunuh, Tuan
Pendekar...?” tanya Sundari yang telah berdiri di samping kanan Sena.
“Aha, aku tak bisa membunuh
lawan yang sudah terluka,” jawab Sena masih menggaruk-garuk kepala dan mulut
cengengesan.
Sundari semakin heran melihat
tingkah Sena. Gadis itu, tanpa sengaja melihat Suling Naga Sakti yang terselip
di pinggang Sena.
“Heh?” desis Sundari dengan
membelalak,
“Kisanak..., apakah kau
Pendekar Gila itu...?”
Belum sempat Sena memberikan
jawaban
terdengar suara seperti
mengerang dari mulut Guntala.
“Pendekar Gila, bunuh saja aku
Bunuhlah... huk, huk, huk”
“O..., jadi kaulah Pendekar
Gila yang kucari itu.
Alangkah bahagia aku dan
Kakang Sawung Rana...”
ujar Sundari dengan tersenyum,
penuh rasa gembira,
“Kakang Sawung Rana...”
Sundari berlari menuju
kekasihnya yang masih duduk menahan sakit yang mulai reda. Sementara Sena
tampak menggeleng-gelengkan kepala sambil cengengesan.
Sundari memberi tahu Sawung
Rana, kalau yang menyelamatkan mereka, tak lain Pendekar Gila.
Sawung Rana tampak nampak
gembira.
“Pemuda Gila bunuh saja
aku...,” rintih Guntala lagi.
“Hi hi hi... Tidak, aku malah
akan menyembuh-kanmu. Tapi dengan syarat, cepat pergi dari tempat ini bersama
anak buahmu. Dan jangan coba-coba ganggu atau ikut campur urusanku dengan
lelaki aneh itu” ujar Sena sambil mengangkat tubuh Guntala yang mengalami luka
dalam akibat pukulan-nya.
Guntala yang mendengar dan
melihat Pendekar Gila berlaku begitu pada dirinya, merasa malu.
Karena kejahatannya dibalas
dengan rasa belas kasih.
“Cepat perintahkan anak buahmu
pergi. Juga kau” kata Sena lagi, sambil menggaruk-garuk kepala.
“Baik, baik,” jawab Guntala
sambil membungkuk ketakutan “Hei Darkapala, Wiraksa, dan Kau Barkala Ayo pergi”
perintahnya pada ketiga anak buahnya.
Sambil menahan rasa sakit
ketiga anak buah Guntala mengikuti pimpinannya meninggalkan tempat itu.
“Tuan Pendekar..., kami berdua
mengucapkan terima kasih. Kalau Tuan Pendekar tidak menolong kami, entah
bagaimana nasib kami,” ucap Sawung Rana dengan lemah. Matanya menatap wajah
Pendekar Gila.
“Benar. Mungkin lelaki tua itu
akan dapat merenggut kegadisanku...,” tambah Sundari dengan nada sedih dan
cemas.
“Aha, sudahlah, jangan kalian
pikirkan Aku memang wajib menolong orang yang lemah,” jawab Sena sambil
menggaruk-garuk kepala. “O, ya... bagaimana ceritanya sampai kalian diperdaya
mereka?”
tanyanya kemudian.
Sawung Rana kemudian
menceritakan semuanya dari awal. Dari mulai seorang murid Perguruan Elang Sakti
memberi tahu kalau Ki Putih Maesaireng, paman Sundari dibunuh lelaki yang
mengaku sebagai Ular Kobra dari Utara. Sampai akhirnya mereka ingin mencari Pendekar
Gila untuk minta bantuan. Namun di tengah jalan mereka bertemu dengan Guntala
dan anak buahnya yang mengaku juga mencari Pendekar Gila, guna menangkap
penjahat bersenjata tongkat berkepala ular.
“Aha, lucu sekali Tapi kalian
tak usah
memanggilku dengan sebutan
Tuan Pendekar. Aku orang biasa seperti kalian. Panggil saja aku Sena” kata Sena
menggaruk-garuk kepala.
Sawung Rana dan Sundari
tersenyum. Lalu saling pandang.
“Sekarang kami berdua makin
lega dan tak
merasa cemas. Tapi kenapa
lelaki itu kau lepas begitu saja?”
“Bagaimana kalau mereka
kembali melakukan perbuatan buruk? Atau mungkin mereka mempunyai siasat untuk
menjebak kita...?” tambah Sundari kemudian.
“Hi hi hi... Aku tak peduli.
Itu terserah mereka,”
jawab Sena dengan acuh.
Kemudian menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Sawung Rana dan Sundari
bergeleng kepala, kemudian menghela napas panjang. Keduanya merasa heran
melihat ketenangan Pendekar Gila. Tak ada rasa khawatir atau takut.
“Sekarang cepat kita pergi,
mencari lelaki aneh itu” ajak Sena pada Sundari dan Sawung Rana.
“Hm... Sena Bagaimana kalau
kita melihat keadaan perguruan pamanku dulu? Siapa tahu di sana kita
mendapatkan petunjuk,” ucap Sundari dengan nada memohon.
Sena menggaruk-garuk kepala.
Ia berpikir
sejenak, lalu dipandanginya
Sundari dan Sawung Rana.
“Sebenarnya aku sudah datang
ke tempat
Perguruan Elang Sakti. Aku
telah menguburkan Ki Putih Maesaireng. Maafkan, aku datang terlambat, ketika si
Ular Kobra telah membunuhnya,” kata Sena menjelaskan pada Sundari.
Sundari mengerutkan kening dan
menghela
napas panjang.
“Terima kasih, kau telah
mengurus dan mengubur pamanku. Tapi aku tetap ingin melihatnya. Rasanya aku
merasa berdosa, jika tak melihat makamnya....
Kini aku sudah tak punya
siapa-siapa lagi. Paman Putih Maesaireng adalah satu-satunya harapanku...,”
tutur Sundari dengan nada
sedih. Tanpa terasa, air mata menetes membasahi pipinya yang halus.
Sena menggaruk-garuk kepala,
lalu mengangguk-angguk memahami perasaan gadis itu. Sawung Rana memegangi bahu
kekasihnya yang masih terisak dengan tangisnya.
“Baiklah, aku akan mengantar
kalian...,” kata Sena kemudian.
Sundari merasa lega dan
senang. Pergilah
mereka meninggalkan tempat
itu, menuju Perguruan Elang Sakti.
*** 5
Banyak tokoh dari kalangan
persilatan yang marah dan bersumpah akan membunuh Sankher si Ular Kobra dari
Utara, karena telah banyak memakan korban. Selain itu tokoh dari India itu
menantang dan menghina para pendekar di Jawadwipa.
Pendekar Gila merupakan tokoh
yang menjadi incaran utama si Ular Kobra dari Utara. Siang itu Sena dan dua
kawan barunya, Sawung Rana dan Sundari hendak meninggalkan Perguruan Elang
Sakti, setelah mengunjungi kuburan Ki Putih Maesaireng. Namun ketika ketiganya
sampai di pintu keluar perguruan, dari jauh terlihat empat orang lelaki
berjalan menuju mereka, keempat orang itu nampak terburu-buru.
Sena, Sundari, dan Sawung Rana
saling pandang.
Mereka merasa cemas melihat
kedatangan tiga lelaki yang tampaknya para pendekar. Hal itu terlihat dari
pakaian mereka.
“Sena..., kami beruntung dapat
menemukan kau di sini” seru lelaki berjubah putih, dengan pakaian dalam warna
kuning. Rambutnya ditutupi blangkon warna putih pula. Ki Rahsewu dari Perguruan
Cempaka Ungu.
“Dan kami juga punya tujuan
akan melihat
keadaan Ki Putih Maesaireng,
yang dikabarkan telah mati dibunuh si Ular Kobra dari Utara itu...,” kata
Suryawijaya kemudian. Lelaki berambut putih panjang, dengan kain pengikat yang
menutupi kepalanya.
“Sebaiknya kita merundingkan
maksud kita secepatnya...,” sela Ki Kuncara, orang yang paling tua di antara
keempat pendekar aliran putih itu. “Apa Kisanak tak keberatan, kami meminjam
tempat ini, untuk kami...?” tanya Ki Kuncara pada Sundari.
“Tidak, Ki. Saya malah merasa
senang. Mari, silakan..., mari...” jawab Sundari dengan ramah.
Mereka kembali melangkah
menuju teras
Perguruan Elang Sakti.
Tampaknya ada sesuatu hal yang penting harus dibicarakan. Yang jelas mereka
ingin membicarakan soal Sankher atau si Ular Kobra dari Utara yang membabi
buta, membunuh orang-orang tak berdosa, serta menantang semua pendekar yang ada
di Jawadwipa ini.
Mereka duduk di lantai
beralaskan tikar, di teras rumah Ki Putih Maesaireng. Sundari dan Sawung Rana
pun ikut berkumpul mendengarkan
perundingan itu.
Ki Kuncara, mulai membuka
permasalahannya.
Lelaki tua itu memberikan
pendapat dan rencana, serta kehebatan ilmu silat si Ular Kobra dari Utara.
Sena yang mendengar cerita Ki
Kuncara hanya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengar-cengir.
“Tokoh aneh itu kalau
lama-lama kita biarkan, akan semakin ganas. Menurut hemat saya, kita harus
menangkap dan bila perlu membunuhnya. Setimpal dengan perbuatan kejinya. Dia
telah menginjak-injak wibawa dan harga diri para pendekar di tanah Jawadwipa
ini. Termasuk, kau, Sena...,” kata Ki Kuncara menegaskan. Wajahnya yang sedikit
keriput memperlihatkan perasaan bencinya terhadap Sankher.
Semua terdiam, tapi
mengangguk-anggukkan
kepala. Sepertinya mereka
setuju dengan pendapat Ki Kuncara. Sena sendiri masih menggaruk-garuk kepala
dan cengengesan.
“Ah ah ah..., tak ada masalah
bagiku, Ki. Hi hi...
akan kuhadapi orang itu. Hanya
kuharap kalian berhati-hati jangan gegabah menghadapinya,” ujar Sena kemudian.
Mulutnya cengengesan sambil memandangi wajah keempat pendekar itu.
“Kenapa, Sena...?”
“Aku dengar ia membunuh lawan
dengan
tongkatnya. Kurasa tongkat itu
tidak sembarangan.
Senjata itu memiliki kekuatan
yang luar biasa.
Mungkin juga tongkat itu bisa
berubah menjadi senjata yang lebih hebat...,” tutur Sena menjelaskan.
“Bagaimana kau tahu...?”
“Ah..., itu hanya firasatku
saja. Terserah pada kalian, percaya atau tidak...,” jawab Sena. Kemudian
menggaruk-garuk kepala, sambil cengar-cengir.
“Aku sependapat dengan apa
yang dikatakan Sena. Kita memang harus menyusun kekuatan, merencanakan dengan
tepat, untuk menaklukkan dan menangkap orang itu,” usul Rahsewu dengan penuh
semangat.
“Ya Kita semua bertanggung
jawab atas semua ini. Maka dari itu, saya harap kita bisa bersatu,”
tambah Ki Kuncara.
“Biarlah aku sendiri yang
melaksanakan tugas ini.
Karena si Ular Kobra dari
Utara itu mencari dan menantangku secara pribadi,” sela Sena dengan tegas.
Kemudian menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.
Semua nampak lega mendengar
jawaban Sena.
Kemudian mereka semua saling
berjabat tangan.
Tangan-tangan mereka menjadi
satu, saling jabat dengan erat. Melambangkan kesatuan dan kebersamaan.
“Kalau kalian tidak keberatan,
kami berdua juga ingin bergabung untuk menangkap lelaki itu...,” kata Sawung
Rana tiba-tiba, setelah mereka selesai berjabat tangan.
“Hm...,” Ki Kuncara
manggut-manggut sambil mengusap-usap jenggotnya. “Kami sangat senang
mendengarnya. Tapi ingat, jangan ceroboh. Sebaiknya kalian berdua bergabung
dengan aku dan lainnya”
“Terima kasih, Ki...,” jawab
Sawung Rana sambil menjura. Ia nampak senang. “Kami berdua rela mati.
Dan kami mengakuinya, bahwa
ilmu silat yang kami miliki masih belum sempurna...”
Dengan jujur Sawung Rana
mengutarakan
keadaan dirinya. Mereka yang
mendengar merasa haru. Namun juga bangga mendengar kejujuran pemuda seperti
Sawung Rana itu.
***
Di siang yang panas dengan
matahari menyinari daerah perbukitan tampak seorang lelaki bertubuh gagah
berjubah hitam dengan kepala tertutup kain sorban wama merah hati. Lelaki yang
tak lain Sankher atau si Ular Kobra dari Utara melangkah ringan di atas jalan
terjal berbatu-batu.
Sankher terus menyusuri jalan
terjal perbukitan itu. Tongkat di tangan kanannya yang telah banyak memakan
korban terlihat angker. Sebuah tongkat sakti yang mempunyai keampuhan yang luar
biasa.
Siapa pun yang terkena, dalam
sesaat akan mengalami kematian secara mengerikan. Kepala pecah dan seketika
membiru sekujur tubuhnya.
Matanya dengan tajam mengawasi
sekeliling daerah yang dilewati. Langkahnya mantap dan pasti.
Tangan kanannya yang
menggenggam tongkat terayu mantap, mengiringi langkah kakinya.
“Hei, kau. Tunggu...”
Tiba-tiba terdengar seruan
yang membuat
langkah Sankher terhenti.
Kemudian perlahan tubuhnya berbalik, menghadap ke pemilik suara.
Mata Sankher menatap tajam dan
galak pada pemilik suara yang ternyata seorang lelaki berambut putih, panjang.
Tubuhnya yang tinggi dan agak kurus terbalut pakaian longgar wama hijau muda.
Dan di kepalanya terikat kain hitam.
Lelaki itu tak lain Suryawijaya.
Lelaki berusia empat puluh tahunan ini tidak sendirian. Dari arah lain muncul
dua orang murid utamanya, yang berpakaian serba merah. Keduanya merupakan
Kembar Juling. Karena mata mereka juling.
“Hm...” Sankher mendengus
sinis menatap
ketiga orang yang
menghadangnya. “Siapa kalian?
Berani menghentikan
langkahku?” tanya Sankher kemudian dengan suara berat
“Ha ha ha... Orang sinting,
kaukah Ular Kobra dari Utara...?” tanya Suryawijaya dengan nada sinis.
Sankher tak langsung menjawab.
Hanya matanya yang bicara. Menatap tajam wajah Suryawijaya dan kedua Kembar
Juling. Tangannya masih bersedekap di depan dada.
“Hei... Apakah kau bisu?
Jawab...” bentak Suryawijaya yang sudah tak tahan menahan marah.
Karena ia yakin benar, lelaki
yang saat ini berhadapan dengannya, adalah orang yang dicari.
“Kalau benar, kalian mau
apa...?” Sankher balas bertanya, “Aku tak ada urusan dengan kalian.”
“Benar. Tapi aku ditugaskan
untuk menghentikan sepak terjangmu yang tak terpuji itu. Membunuh seenaknya
orang-orang dan para pendekar tanah Jawadwipa ini.”
“Hm... Kau bicara seenaknya.
Kalau aku tak mau, kalian mau apa?” sahut Sankher lalu tertawa.
Mata Suryawijaya membelalak
mendengar
ucapan Sankher yang mengejek
dan meremeh-
kannya. Begitu pun kedua
Kembar Juling, ikut marah.
Mata mereka menatap tajam
lelaki asing di hadapannya.
“Kau sungguh sombong Kisanak.
Aku minta sekali lagi, kau mau meninggalkan tanah Jawadwipa ini.
Sebelum kami menangkapmu...”
kata Suryawijaya dengan geram.
“Sebelum aku mencincang
Pendekar Gila aku tak akan pergi...” jawab Sankher tegas.
Usai berkata begitu, Sankher
membalikkan tubuh tanpa menghiraukan Suryawijaya dan kedua muridnya. Kemudian
dengan seenaknya melangkah
meninggalkan tempat itu, sambil
tertawa-tawa mengejek.
Bukan main geram dan marahnya
Suryawijaya dan Kembar Juling, melihat tindakan Sankher yang sama sekali tidak
menggubris mereka.
“Kurang ajar Berhenti kau,
Pembunuh...” bentak Suryawijaya.
Sankher tak mau berhenti.
Kakinya terus
melangkah dengan mantap.
Seakan benar-benar tak menghiraukan kemarahan ketiga orang tadi.
“Orang ini perlu dikasih
pelajaran Hei... Kau kira kami takut denganmu? Heaaa...”
Suryawijaya melesat cepat
untuk mengejar
Sankher, diikuti kedua murid
utamanya.
“Heaaa...” “Yeaaa...”
Tubuh ketiganya langsung
menghadang ke depan si Ular Kobra dari Utara, yang masih tenang. Matanya yang
bagai mata elang saat itu memandang tajam wajah Suryawijaya dan kedua anak
buahnya.
“Ha ha ha... Kalian
orang-orang bodoh” dengus Sankher dengan geram.
“Hei, Orang Asing Berhenti...”
bentak
Suryawijaya. Matanya menatap
semakin tajam, penuh kebencian pada lelaki aneh yang ada di hadapannya.
“Kalian mau menghalangiku...?
Lebih baik minggir. Percuma kalian menentangku. Tak usah kalian ikut campur
urusanku. Sebaiknya, kalian ikut membantuku untuk menemukan Pendekar Gila,”
ujar Sankher setengah mengejek dan sinis.
“Bangsat kau” maki Suryawijaya
marah. Gigi-giginya saling beradu, mengeluarkan suara ber-gemeretak.
Sankher hanya tersenyum sinis.
Matanya yang tajam memandangi ketiga lelaki di depannya. Tangan kanannya yang
menggenggam tongkat maut
diturunkan pelahan, ke
samping. Rupanya Sankher menanggapi tantangan Suryawijaya.
“Hm..., bagus Kita adu
kekuatan,” gumam
Suryawijaya geram, “Juling,
kalian menyingkirlah dulu
Biar aku hajar lelaki sombong
ini Yeaaat...”
Suryawijaya langsung melakukan
serangan. Kipas pusaka yang menjadi senjata andalannya diputar hingga
menimbulkan deru angin deras.
Wut Wut
Swing Swing
“Heit...”
Senjata sebesar jarum keluar
dari kipas pusaka Suryawijaya. Menghunjam ke tubuh Sankher. Lelaki yang
dijuluki Ular Kobra dari Utara itu segera melompat ke atas, sambil bersalto
mengelakkan senjata rahasia sebesar jarum yang jumlahnya ada sepuluh biji itu.
Hanya dengan tangan sebelah kiri, Sankher menangkis senjata-senjata itu.
“Heaaa... Ayo lawan aku orang
sombong... Mana senjata andalanmu Heaaa...”
Serangan Suryawijaya semakin
gencar. Bahkan lelaki asing itu ditantang agar menggunakan tongkatnya. Kipas
pusaka di tangan kanannya kembali menderu keras ke arah lawan.
Wuttt Wuttt
Swing Swing
“Hea...”
Sankher mengelak dari serangan
lawan. Kali ini ditangkis dengan tongkat saktinya. Dan jarum-jarum beracun itu
mental kembali ke arah Suryawijaya.
Lelaki itu membelalak lebar...
“Hah?” Suryawijaya tersentak.
Tubuhnya
melenting ke atas sambil
menangkis jarum beracun yang berbalik ke arahnya. Sankher tertawa
terbahak-bahak. Melihat Suryawijaya kerepotan sendiri, mengelakkan senjata
rahasianya sendiri. Yang tadi dibalik-kan oleh Sankher, dengan tongkat
saktinya.
“Ha ha ha...”
Hal itu membuat Suryawijaya bertambah
marah.
Hatinya malu, karena merasa
dilecehkan dan dihina oleh Sankher.
“Bangsat... Heaaa...”
Dengan marah Suryawijaya
kembali menggebrak dengan kibasan-kibasan kipasnya. Dia berusaha menekan
lawannya agar tidak dapat balas
menyerang. Namun Sankher
dengan mudah mengelakkan serangannya. “Huh...” gerakan Sankher sangat gesit,
meski tak menggunakan senjata. Serangan yang dilancarkan Suryawijaya yang keras
dan cepat, bagai tak ada artinya, selalu menemui tempat kosong.
Serangan Suryawijaya kian
sengit. Kibasan kipas pusakanya menderu, menyapu, dan menghantam Sankher.
Wuttt Wuttt
Swing Swing
Kembali jarum-jarum beracun
melesat cepat, bagai anak panah yang terlepas dari busurnya.
Menghujami tubuh Sankher.
Namun si Ular Kobra dari Utara itu dengan cepat tubuhnya melenting ke atas,
berjumpalitan. Kemudian tangan dan kakinya balas menyerang. Gerakan ilmu
silatnya begitu cepat dan keras, seakan memiliki kelincahan yang sulit diterka.
“Kau benar-benar ingin mampus”
Sankher atau Ular Kobra dari
Utara itu
menggerakkan tangan kanan yang
menggenggam tongkat saktinya. Dan....
Wrettt Wrettt
Bukan main terkejutnya
Suryawijaya menyaksikan lelaki asing itu memainkan tongkatnya. Baru saja lawan
mempermainkan tongkatnya, seperti ada kekuatan yang menyebar. Apalagi jika
lawan telah melakukan serangan dengan tongkatnya.
“Hah? Gawat Celaka... Biar aku
yang
menghadapinya, Guru...” seru
salah satu dari Kembar Juling.
“Ha ha ha... Kenapa tak
sekalian, kalian bertiga melawanku...?” tantang Sankher dengan nada sombong.
Tongkat sakti berkepala ular kobra telah diletakkan di depan dadanya.
“Kurang ajar Yeaaa...” Suryawijaya
cepat menyerang. Kini keduanya kembali bertarung. Ia melancarkan kibasan
kipasnya ke tubuh lawan. Suara menggelegar seketika terdengar dari kibasan itu.
Wrettt
Gletarrr
“Heit...”
Tubuh Sankher melenting dan
bersalto beberapa kali di udara mengelakkan serangan senjata lawan.
Seketika itu pula tongkat
saktinya dengan cepat dibabatkan, menyapu ke tubuh lawan. Gerakan tongkat itu
sangat cepat, sulit sekali diikuti mata biasa. Suryawijaya tersentak kaget Sama
sekali ia tidak menduga, kalau gerakan yang dilancarkan lawan begitu cepat.
Namun dengan cepat kipasnya dikibaskan untuk memapaki serangan lawan.
“Haits Heaa....”
Wrets
Jglarrr
“Heh?”
Kipas Suryawijaya hancur
berantakan, ketika beradu dengan tongkat Sankher. Kejadian itu membuat mata Suryawijaya
membelalak tegang.
Terlebih ketika tongkat lawan
semakin cepat memburu dirinya.
Wuttt
“Heaaa...?”
Suryawijaya berusaha
mengelakkan serangan tongkat lawan, namun terlambat. Hantaman tongkat Sankher
yang mengarah ke wajahnya jauh lebih cepat. Hingga...,
Wut
Plaakk
“Aaakh...” Suryawijaya memekik
keras dengan mata melotot lebar. Tubuhya terhuyung-huyung berlumuran darah dari
kepalanya yang pecah. Mulutnya terdengar mengerang-erang kesakitan. Namun
kemudian lelaki berambut putih itu ambruk dan tewas.
“Heh?”
“Guru...” seru Kembar Juling
bersamaan. Lalu kedua lelaki bermata juling itu, menatap dengan penuh dendam
dan kebencian pada Sankher.
Namun Sankher yang dipandang
demikian
dengan tenang menyeka darah di
kepala tongkatnya.
Matanya melirik kedua anak
buah Suryawijaya yan tampak begitu marah.
“Babi, Kau... Heaaat...”
Kembar Juling dengan cepat melancarkan
seranan. Keduanya serentak merangsek lawan, berusaha membalas kematian sang
Guru.
“Heaaa...”
“Kalian rupanya sudah bosan
hidup Heaaa...”
“Kau tak akan lolos dari kami,
Manusia Iblis
Heaaa...”
Kembar Juling terus
melancarkan serangan
dengan senjata tombak.
Keduanya sudah kalap dan menyerang dengan membabi buta.
Si Ular Kobra dari Utara
melompat memutar tongkatnya.
“Heaaa...”
Wuttt
Plak
“Aaakh...”
Juling Bawuk memekik keras,
dengan mata
melolot lebar. Tubuhnya
terpental dengan keadaan yang mengerikan. Kepalanya pecah dan berlumuran darah.
Sesaat lelaki berpakaian serba merah itu berkelojotan di tanah, kemudian diam
tak bergerak.
Mati
Menyaksikan saudaranya tewas,
Juling Wulung semakin kalap. Dengan mata gelap tombaknya kembali disodorkan ke
dada lawan. Lalu secepat kilat tombaknya dipukulkan ke berbagai bagian tubuh
Sankher.
“Mampus kau Hea... Heaaa...”
Wuttt Wuttt
“Aits... Heaaat...”
Sankher kembali mencelat ke
udara, kemudian tongkat di tangannya cepat digerakkan. Ketika tubuhnya melayang
ke bawah, Juling Wulung dengan cepat menyodokkan tombak ke tubuhnya.
“Heaaa... Jebol perutmu”
Wuttt
Dugaan Juling Wulung ternyata
meleset. Lelaki tinggi berjubah hitam itu dengan cepat kembali melompat ke
atas. Sebelum Juling Wulung sempat melakukan serangan lagi, tongkat berkepala
ular kobra itu telah melesat memukul kepala lawan.
Wut
Takkk
“Ukh”
Juling Wulung terpekik pendek.
Tangannya
memegang luka pukulan di
kening. Beberapa saat matanya melotot. Tubuhnya menegang, kemudian ambruk. Mati
Sankher menghela napas
panjang. Lalu menyeka darah di ujung tongkatnya. Tongkat hitam itu diciumnya
tiga kali, lalu diangkat tinggi-tinggi di atas kepala.
Diturunkan kembali dengan
perlahan. Kembali menghela napas panjang, sambil memandangi mayat ketiga
lawannya. Sesaat kemudian dengan tenang kakinya melangkah meninggalkan tempat
itu.
Bersamaan dengan itu angin
bertiup kencang sekali. Ular Kobra dari Utara itu terus melangkah makin jauh,
meneruskan petualangannya mencari Pendekar Gila.
***
Angin sore yang berhembus
kencang menerobos
belukar, pucuk pepohonan, dan
rerumputan. Semak alang-alang merunduk-runduk tanpa daya, ditam derasnya angin.
Di saat suasana sore seperti
itu, tampak seorang pemuda berwajah tampan berpakaian rompi kulit ular tengah
menyusuri jalan yang sepi. Kakinya melangkah ke barat dengan tenang, seakan tak
menghiraukan kencangnya angin sore itu. Pemuda tampan berambut godrong yang tak
lain si Pendekar Gila itu cengengesan sendirian. Sesekali tangannya tampak
menggaruk garuk kepala.
Dengan langkah mantap Pendekar
Gila menyusuri jalan di perbukitan, terus menuju sebuah hutan.
Sejenak dihentikan langkahnya
sambil mengamati sekeliling tempat itu. Mulutnya cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan.
Kemudian kembali mengayunkan
kaki dengan
seenaknya meninggalkan bukit
itu.
Ketika Sena menuruni Bukit
Krakas, di kejauhan terlihat tiga mayat tergeletak. Pemuda berambut gondrong
itu langsung melesat menggunakan ilmu
'Sapta Kayu'-nya.
“Aha? Suryawijaya...” gumam
Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu menggeleng-geleng.
Wajahnya nampak bingung dan
menyesal. “Aku terlambat lagi”
Mata Sena mengawasi ke
sekeliling. Kemudian dihadapkan wajahnya ke barat sambil memusatkan pikiran.
Indra keenamnya coba digunakan. Telinganya bergerak-gerak, seakan mendengar
suara-suara kaki yang melangkah, ke tempatnya. Kedua tangannya perlahan
bersedekap di dada. Matanya dipejamkan.
Beberapa saat kemudian
wajahnya tampak terkejut.
Lalu matanya kembali memandang
jauh, seakan telah melihat suatu kejadian di tempat lain.
“Celaka” gumam Sena. Lalu
tubuhnya melesat dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'-nya. Dalam sekejap saja tubuhnya
telah berada puluhan tombak meninggalkan Bukit Krakas.
Benar, ternyata di Perguruan
Elang Sakti telah terjadi pertarungan. Bekas rumah Ki Putih Maesaireng hancur,
porak-poranda. Sena yang baru saja tiba di depan Perguruan Elang Sakti, tampak
tercengang menyaksikan pamandangan itu. Namun kemudian mulutnya cengengesan
sambil tangannya menggaruk-garuk kepala.
“Heh, seperti habis terjadi
pertarungan. Ah...
benar... Mengapa aku begitu
tolol?” gumam Sena berulang-ulang, menyesali diri, telah meninggalkan begitu
saja Sundari dan Sawung Rana.
Sena melangkah ke samping
pendopo perguruan yang telah hancur. Sesampainya di situ, ditemu-kannya
beberapa sosok tubuh tergeletak tanpa nyawa dan salah satunya dia kenal, yaitu
Sugalingga.
“Ah ah ah... apa yang telah
terjadi, Kisanak?”
tanya Sena sambil memegangi
kepala Sugalingga yang sudah sekarat. Lelaki itu tak bisa berkata apa-apa hanya
dengan berat ia mengangkat tangan, menunjuk ke barat. Lalu setelah itu matanya
ter- pejam dan menghembuskan napas terakhir.
Sena menghela napas
dalam-dalam. Perlahan ditaruhnya kepala Sugalingga di tanah. Lalu Sena segera
melesat pergi ke arah barat.
“Auuu..., tolong”
“He he he... Kau mau lari ke
mana, Anak manis?”
Brettt
“Aaakh...”
Sundari berteriak tertahan,
ketika tangan Darkapala melesat cepat di dadanya. Gadis itu tak sempat
mengelitkan serangan, sehingga dadanya berhasil dijamah.
“Kurang ajar...”
Belum habis rasa ketakutannya,
tiba-tiba seorang lelaki menghadangnya.
“He he he... Kini kau tak akan
lolos lagi dariku, Cah Ayu...,” kata lelaki setengah baya yang tak lain
Guntala.
“Kau...?” pekik Sundari
ketakutan.
“Hmmm... Ayolah, kau akan
merasakan
nikmatnya surga dunia, Cah
Ayu. He he he...”
Selesai berkata begitu,
Guntala mengisyaratkan pada Darkapala, dengan mengedipkan mata.
Darkapala segera menangkap
Sundari yang
bersandar di batang pohon.
Dipeganginya tangan gadis itu. Sundari pun tampaknya tak mampu berbuat banyak.
“Aaakh... Jangan Tolong...
Aaa...” teriak Sundari sejadi-jadinya.
“Diam...” bentak Guntala
dengan geram. Bret
Brettt
Guntala merobek pakaian
Sundari lebih lebar.
Kemudian tangannya segera
memeluk tubuh gadis cantik yang tampak meronta-ronta itu. Namun karena kedua
tangan Sundari dipegangi oleh Darkapala, jelas sulit baginya untuk mampu
menolak perlakuan keji Guntala.
Darkapala terus memegangi
tangan Sundari.
Tubuh gadis berpakaian merah
delima kini telah tergeletak dengan tangan direntang secara paksa.
“Terus pegang yang kuat,
jangan sampai lepas...”
ujar Guntala dengan suara
hampir tak terdengar, karena menahan nafsu yang menggebu-gebu. Dengan cepat
tangannya memaksa Sundari agar merenggang-kan kedua pahanya. Namun ketika
Guntala hendak melaksanakan perbuatan kejinya, tiba-tiba....
“Heaaa...”
Plakkk Bugk
“Aaa...”
Sesosok bayangan melesat dan
langsung
melancarkan serangan cepat.
Tubuh Guntala dan Darkapala seketika terjungkal dengan mulut meringis menahan
rasa sakit.
“Ah ah ah..., kau memang babi
tua yang tak tahu diri Rupanya kau mencari mampus...,” suara tawa itu ternyata
keluar dari mulut seorang pemuda berompi dari kulit ular. Siapa lagi kalau
bukan Sena Manggala, Pendekar Gila.
“Hah...? Kau...?”
Guntala kaget, dengan cepat
dibetulkan
celananya yang sudah terlepas
sebagian. Sena memandanginya dengan tajam. Tampaknya kali ini Pendekar Gila
benar-benar kesal. Meskipun wajahnya sesekali cengengesan seraya
menggaruk-garuk kepala, ucapannya tak bisa dianggap bergurau atau main-main.
“Kau memang Iblis berkedok
manusia... Tua bangka Keparat...” ujar Pendekar Gila geram, sambil nencabut
Suling Naga Sakti. “Terimalah ganjaran ini, babi Tua...”
Wajah Guntala semakin pucat.
Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya. Namun lelaki selengah baya
itu berusaha membuka jurus. Namun Pendekar Gila lebih cepat bergerak, melesat
sambil bersalto dan menghantamkan Suling Naga Sakti-nya ke kepala Guntala.
“Heaaa...”
Krakkk
“Aaakh...”
Guntala tak sempat mengelak.
Mulutnya terpekik keras ketika suling Pendekar Gila menghantam tubuhnya. Tubuh
pimpinan Perguruan Elang Emas itu terpental dan jatuh ke tanah dengan keadaan
mengerikan. Dan tewas seketika.
Darkapala yang melihat Guntala
mati secara mengerikan, hendak lari. Namun Pendekar Gila lebih cepat melesat,
menghadangnya.
“Hi hi hi..., hendak lari ke
mana kau, Cecurut Kudisan?”
Pendekar Gila tertawa
cekikikan sambil
menimang-nimang Suling Naga
Sakti di tangan kirinya.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
Dengan cepat Darkapala melesat
menyerang
dengan golok panjangnya.
“Aits He he he... Kau rupanya
senang bermain-main juga, Cecurut” ejek Sena sambil meliukkan tubuh menghindari
babatan golok Darkapala.
“Ah ah ah... Kau masih harus
banyak berlatih, Kisanak”
“Huh Jangan kau kira aku
takut, Pendekar Gila. Heaaa...”
Darkapala tampaknya tak
menyadari siapa yang dihadapi saat itu. Mungkin karena merasa malu untuk
menyerah begitu saja, atau karena sangat marah melihat gurunya tewas. Tubuhnya
melesat melakukan serangan dengan goloknya.
“Ah ah ah... Sombong juga kau
ini, Kisanak.
Terimalah ini Heaaa...”
Sambil meliukkan tubuhnya,
dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila melancar pukulan
telapak tangan.
Wuttt
“Aaakh...”
Darkapala terpekik keras
ketika tepukan telapak tangan Pendekar Gila mendarat di dadanya.
Tubuhnya tidak
terhuyung-huyung melainkan terlontar deras ke belakang, kemudian jatuh dan
bergulingan di tanah. Sesaat Darkapala menggeliat kemudian diam tak berkutik.
Tewas.
Sena menghela napas puas. Lalu
ia menolong Sundari yang pingsan. Karena ketakutan dan lemah.
Dibopongnya tubuh gadis itu
setelah dirapikan pakaiannya. Sena mencari tempat yang agak bersih dan teduh.
Dibaringkan tubuh gadis yang malang itu di atas rerumputan. Kemudian, perlahan
tangannya ditempelkan di punggung Sundari yang masih pingsan. Matanya terpejam
sambil menyalurkan hawa murni. Tak lama setelah itu Sundari tampak menggeliat.
“Uh... Hah...?” suaranya masih
lemah. Dengan malu Sundari menutupi bagian dada dengan kedua telapak tangannya.
Sena membalikkan badan,
membelakangi
Sundari. “Bagaimana ini bisa
terjadi? Di mana Sawung Rana...?” tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Dirinya tetap membelakangi
Sundari.
“Kejadiannya begitu cepat.
Sehingga tak ada kesempatan bagiku untuk melawan. Si Ular Kobra dari Utara
tiba-tiba datang. Dia membunuh Sugalingga dan tiga murid Perguruan Elang Sakti.
Kemudian....”
Sundari tak meneruskan
ucapannya, karena terus nenangis. “Hm... Lalu bagaimana Guntala bisa sampai di
sini...?” tanya Sena ingin tahu.
“Aku tak dapat mengingatnya
lagi. Mungkin Guntala di balik semua ini..:. Oh...,” tutur Sundari di sela
suara tangisnya.
Sena diam. Kepalanya tampak
menggeleng-
geleng lalu menghela napas
dalam-dalam sambil cengengesan.
“Aha, kalau begitu ikut aku
mencari Sawung Rana, Ki Kuncara, dan Ki Rah Sewu Mudah-mudahan mereka masih
hidup. Dan aku harus segera mencari si Ular Kobra itu...” ajak Sena dengan
mulut cengengesan.
“Terima kasih. Kau telah
menolong, menyelamat-kanku untuk kedua kalinya...”
Suara Sundari serak, disertai
isak tangisnya.
Sena hanya menggaruk-garuk
kepala, “Sudahlah, ayo rapikan pakaianmu”
Selesai berkata begitu, Sena
lalu melangkah.
Sundari sambil menutupi
dadanya dengan kedua tangannya, mengikuti di belakang.
*** 6
Dunia persilatan benar-benar
kacau-balau, dengan kehadiran Sankher atau si Ular Kobra dari Utara itu.
Di mana-mana terjadi
pembantaian. Sementara itu banyak tokoh dari aliran hitam yang memanfaatkan
keadaan itu. Sehingga banyak tokoh putih yang bingung dan serba salah.
Kian hari sepak-terjang yang
dilakukan si Ular Kobra dari Utara itu kian merejalela. Tak satu pun tokoh
persilatan golongan putih yang mampu menghadapinya. Siapa pun akan tewas dengan
keadaan mengerikan kalau berani menghalangi atau
menantang lelaki yang berasal
dari India itu.
Seperti siang itu, ketika
angin kencang
menerbangkan debu-debu dan
dedaunan di Lembah Merawan, tampak Sankher tengah menghadapi Ki Kuncara,
Pimpinan Perguruan Panca Purba.
“Kisanak..., sebaiknya
perbuatanmu itu
dihentikan. Kalau kau pendekar
sejati, tak akan membunuh dengan keji. Dan kalau kau tak mau mendengar saranku,
baiklah,” ujar Ki Kuncara.
Matanya mengawasi dengan tajam
setiap gerakan si Ular Kobra dari Utara.
Namun Sankher tak menjawab.
Hanya matanya yang terus menatap tajam lelaki berusia sekitar lima puluh lima
tahun di hadapannya.
“Kenapa kau diam? Apakah kau
tuli? Bisu...?”
bentak Ki Kuncara mulai geram.
“Aku tak punya urusan
denganmu. Aku akan
pergi, jika kau mau
menunjukkan di mana Pendekar Gila berada” jawab Sankher tenang sambil
menggerakkan tangan kanannya yang memegang tongkat.
“Hm..., lalu untuk apa kau
mencarinya? Dia sahabatku,” kata Ki Kuncara menjawab dengan tegas.
“Bagus Sampaikan, aku ingin
membunuhnya Dia harus mati di tanganku”
Membelalak mata Ki Kuncara
mendengar ucapan sombong Sankher. Hatinya seketika bertambah marah terhadap si
Ular Kobra dari Utara itu.
“Kau memang tak tahu sopan
santun Hei orang asing, kau tak akan dapat melawannya, sebelum melangkahi
mayatku. Ayo, keluarkan seluruh ilmumu...” tantang Ki Kuncara sengit.
Usai berkata begitu, Ki
Kuncara segera menarik kaki kirinya dua langkah ke belakang. Toya panjang di
tangan kanannya diputar dengan cepat. Sedangkan tangan kirinya, dengan
jari-jari menyatu menghentak ke depan. Telapak tangannya memukul ke tubuh
Sankher.
Sementara itu, Sankher seperti
tak menghiraukan gerakan yang dilakukan Ki Kuncara. Dirinya tetap tenang
memandangi Ki Kuncara yang siap
menyerang.
“Hm...” dengus Sankher.
Kemudian tangannya yang memegang tongkat direntangkan ke samping kanan, lalu
ditekuknya ke dada.
Wuttt Wuttt
Tongkat yang telah merenggut
banyak korban itu digerakkannya. Dari ujungnya yang berbentuk kepala ular
memancar sinar kemerahan menyala. Setelah digerakkan ke samping tongkat sakti
itu diputar-putar dengan kecepatan tinggi. Itulah jurus 'Tongkat Iblis', sebuah
jurus yang sangat berbahaya dan mematikan Ki Kuncara yang sudah mengetahui
sepak terjang Sankher, tak mau gegabah. Gerakannya yang cepat mengubah toya itu
menjadi baling-baling yang membentengi tubuhnya. Kemudian dengan pekikan
menggelegar, lelaki tua itu menyerang dengan jurus yang tak kalah hebat,
bernama 'Toya Sakti Pelebur Jiwa'.
Wuttt Wuttt
“Hiaaa...”
Sankher segera menggerakkan
tongkatnya
dengan cepat, menghantam ke
depan dan ke
samping. Sementara tangan
kirinya diletakkan di depan dada.
“Hiaaa...”
Wrettt
Ki Kuncara mulai melabrak.
Toya yang kedua ujungnya runcing berdesing memburu tubuh lawan.
Wrettt Trakkk
Dengan cepat Sankher
menyabetkan tongkat
memapak serangan lawan.
Kemudian segera balas menyerang dengan sabetan dari atas ke bawah.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
Ki Kuncara segera melompat
cepat ke belakang.
Kemudian meliukkan tubuh
dengan cepat, sambil menyapukan toyanya ke tubuh Sankher dengan jurus
'Sapuan Toya Membelah Karang'.
Wuttt
Trakkk
Deru angin yang ditimbulkan
kedua senjata berbentuk tongkat itu terdengar ditingkahi oleh suara benturan
keras. Suasana sunyi di Lembah Merawan seketika berubah riuh. Teriakan-teriakan
keras saling bersahutan mengiringi serangan yang mereka lakukan. Ki Kuncara
tampaknya tak dapat dianggap tokoh sembarangan. Dalam beberapa gebrakan,
jurus-jurus nya mampu menandingi si Ular Kobra dari Utara. Bahkan tampaknya
lelaki tua itu berusaha terus menggempur, dengan maksud tak ingin lawannya
membalas serangan.
Keduanya terus berkelebat
serta saling
membabat dan menusukkan
senjata masing-masing.
Ki Kuncara yang tak ingin mati
konyol, berusaha mengimbangi serangan Sankher. Toya yang kedua ujungnya runcing
dan beracun itu terus digerakkan dengan cepat.
Wut Wut
Trak Trak
“Huh Heaaa...”
Ki Kuncara telah berusaha
sekuat tenaga untuk dapat mengimbangi serangan Sankher. Namun tongkat Sankher
yang berhawa maut lebih ganas, membuat lelaki tua itu tampak mulai lemah.
Serangan-serangannya pun mulai
mengendor.
Tubuhnya yang terbalut jubah
kuning mulai basah oleh peluh.
“Celaka” pekik Ki Kuncara
dengan mata membelalak lebar. Dikerahkan tenaga dalam untuk mencoba mengatasi
rasa pening yang muncul di kepalanya. Dan dengan cepat Ki Kuncara menekan
sesuatu di toyanya. Hingga....
Srrrttt...
Tiba-tiba ujung toya meluncur
begitu cepat bagai anak panah lepas dari busurnya.
Swing Swing
“Hah...? Heaaa...”
Sankher tersentak kaget.
Tubuhnya melompat mundur sambil bersalto di udara. Kalau saja gerakannya
terlambat, tentu perutnya akan tertembus mata toya yang tiba-tiba melesat
mem-burunya.
Melihat kekagetan lawannya, Ki
Kuncara tak menyia-nyiakan kesempatan. Setelah menarik toyanya ke depan dada,
dia kembali menghentakkan toyanya ke depan sambil menekan sesuatu pada batang
toyanya.
Srttt
Mata toyanya kembali melesat
cepat memburu tubuh lawan.
Dengan cepat Sankher melenting ke atas, mengelakkan senjata rahasia itu.
Kemudian, dengan ringan kedua kakinya hinggap pada toya Ki Kuncara yang masih
terentang.
“Hah...?”
Ki Kuncara yang tak menduga
Sankher akan
berbuat demikian, tersentak
kaget. Dirinya berusaha menarik toya namun Sankher telah mendahului.
“Heaaa...”
Wrettt
Si Ular Kobra dari Utara telah
bersalto di udara.
Tongkat di tangannya bergerak
cepat ke wajah Ketua Perguruan Panca Purba itu.
Ki Kuncara berusaha
mengelakkan tebasan
tongkat Sankher. Namun gerakan
lelaki berjubah hitam itu jauh lebih cepat dibanding gerakan meng-elaknya.
“Heaaa...”
Wuttt
Plakkk
“Aaakh...”
Ki Kuncara memekik keras
dengan mata
terbelalak lebar. Keningnya
retak. Tubuhnya yang berpakaian kuning langsung berlumuran darah. Sebelum jatuh
terjerembab tubuhnya tampak sempoyongan dengan mulut mengerang kesakitan.
“Huh...”
Sankher menghela napas puas.
Tangan kirinya menyeka darah yang meleleh di tongkatnya.
Kemudian tongkat itu
diciumnya. Setelah
memandang mayat Ki Kuncara
lelaki berjubah hitam itu melangkah meninggalkan tempat itu.
Sedangkan dua orang murid Ki
Kuncara
sebelumnya telah lari
ketakutan, ketika melihat sang Guru tewas mengenaskan.
***
“Gila” gumam Sena, ketika
menyaksikan mayat lelaki yang telah menjadi koban Sankher.
“Ki Kuncara, sungguh malang
nasibmu”
Sundari menutup wajahnya
sambil membalikkan badan, karena ngeri melihat Ki Kuncara yang mati
mengenaskan.
Sena berjongkok di dekat tubuh
Ki Kuncara yang sudah tak bernyawa itu. Anehnya, meskipun dalam keadaan seperti
itu, wajahnya masih cengengesan sambil memandangi wajah Ki Kuncara yang
tertutup darah.
“Bagaimana nasib Kakang Sawung
Rana? Di
mana dia sekarang...?” gumam
Sundari dengan suara bergetar.
“Ah..., terlambat lagi.
Sungguh aku tak mengerti.
Begitu cepat si Ular Kobra itu
bertindak,” gumam Sena lirih, wajahnya nampak sedih bercampur kesal.
Setelah lama memandangi tubuh
Ki Kuncara, Sena berdiri. Matanya mengawasi ke sekelilingnya seolah berusaha
mencari jejak pelaku pembunuhan itu.
“Mudah-mudahan Sawung Rana dan
Ki Rah Sewu masih selamat. Hhh... ke mana perginya si Ular Kobra itu...?”
gerutu Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Sekali lagi matanya menyapu ke
sekeliling tempat itu, namun tetap saja tak menemukan tanda-tanda, atau jejak
Sankher.
“Hi hi hi..., lucu, lucu
sekali” geram Sena cengengesan. “Bagaimana mungkin tidak ada jejak sedikit
pun?”
Sundari nampak hanya bisa diam
diri, tak
bergerak dari tempatnya.
Matanya pun memandangi sekeliling tempat itu. Kedua tangannya tetap menutupi
bagian dada.
“Oh, Kakang Sawung Rana di
mana kau,
Kakang...?” keluh Sundari
tiba-tiba.
Sena semakin cemas dan terus
menggaruk-garuk kepala makin cepat. Matanya kembali memandangi mayat Ki Kuncara
yang telah kaku.
Tiba-tiba dari arah timur
nampak empat sosok lelaki berlarian ke arahnya. Ternyata Sawung Rana bersama
Rah Sewu dan dua orang muridnya.
“Hah..., Ki Kuncara...” pekik
Ki Rah Sewu dengan wajah sedih.
Sesaat mereka diam. Hanya
perasaan masing-masing yang berbicara.
Sawung Rana yang tadi begitu
melihat Sundari, langsung menghampiri dan memeluknya, kini tampak tegang,
matanya memandangi mayat Ki Kuncara.
“Kisanak, aku tak bisa
lama-lama di tempat ini.
Sebaiknya, kalian jangan
tinggalkan tempat ini.
Sawung Rana, jaga Sundari
Jangan kau
meninggalkannya lagi” kata
Sena tegas. Tubuhnya kemudian melesat bagai terbang, meninggalkan tempat itu.
Ki Rah Sewu, Sawung Rana, dan
Sundari
memandangi kepergian Sena
dengan perasaan cemas.
***
Dunia persilatan semakin
tercekam. Keadaan
rimba persilatan tengah
terancam mara bahaya. Apa lagi dengan adanya berita tentang pembunuhan Ki
Kuncara, Suryawijaya, dan Sugalingga dari aliran putih yang berilmu cukup
tinggi.
Kini harapan para tokoh-tokoh
persilatan hanya Pendekar Gila. Pendekar muda itu kini memang merasa
bertanggung jawab untuk menangkap dan menghentikan kejahatan Sankher. Hal itu
terutama karena si Ular Kobra dari Utara itu menantang dirinya.
Siang itu ketika matahari
bersinar cerah tampak Sena tengah berlari cepat menggunakan ilmu 'Sapta
Bayu'-nya. Meskipun jalan yang dilalui berupa jalan terjal, sesekali harus
melompat tebing dan batu-batu kali, dengan tubuhnya terus melesat. Namun ketika
baru saja melompati sebuah sungai kecil tiba-tiba Sena dikejutkan adanya
sesosok bayangan berkelebat di depannya.
Sena sangat kaget bercampur
gembira, ketika mengetahui orang yang telah ada di hadapannya.
“Mei Lie... Kau ada di sini?”
gumam Sena sepertinya tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Kenapa Kakang kelihatan agak
murung?” tanya Mei Lie sambil memeluk tubuh Sena, kekasihnya.
Sena hanya cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap gadis berparas Cina itu.
“Apakah kau tak mendengar,
saat ini rimba persilatan sedang tercekam? Seorang tokoh asing berjuluk Si Ular
Kobra dari Utara' telah membunuh orang-orang persilatan...,” tutur Sena.
“Aku telah mendengar semua
itu, Kakang. Justru karena itu aku mencarimu. Aku juga mendengar berita bahwa
lelaki asing itu menantang Kakang.
Kenapa dia ingin
membunuhmu...?”
Sena hanya menggaruk-garuk
kepala dan
cengengesan, Mei Lie jadi
kesal melihat tingkah kekasihnya itu. Namun gadis itu bisa mengerti. Lalu
kembali memeluk Sena dengan lembut. “Kang, aku tak ingin kau sedih. Aku ingin
kita dapat menangkap penjahat itu. Kalau perlu membunuhnya,” kata Mei Lie
tegas.
“Hi hi hi... Kau memang benar.
Tapi kita tak boleh gegabah menghadapi lelaki itu. Aku yakin ilmu yang dimiliki
cukup tinggi,” jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Setelah agak lama mereka
berpelukan, tiba-tiba Sena melepas pelukannya. Mei Lie mengerutkan kening.
“Ada apa, Kang?”
“Sebaiknya kita pergi ke
selatan. Aku menduga lelaki itu menuju selatan. Ayo...”
Sena segera melesat, diikuti
Mei Lie. Kedua pendekar muda-mudi itu pun sekejap menghilang dari tempat itu.
Kini hanya dua bayangan putih dan coklat yang nampak. Keduanya menggunakan ilmu
lari
'Sapta Bayu' tingkat tinggi.
Ketika Sena dan Mei Lie
berlari melintasi jalan menurun dan berbatu, pendengaran mereka yang tajam
tiba-tiba menangkap suara benturan pedang yang ditingkahi teriakan-teriakan
pertarungan.
“Sssttt... Sepertinya ada
orang yang bertarung,” kata Sena ketika berhenti. Kepalanya ditelengkan
seakan-akan ingin memperjelas pendengarannya.
“Aha, tak salah dugaanku.
Pasti si Ular Kobra kembali akan merenggut nyawa,” gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepala. Kemudian kakinya dilangkahkan dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, agar tak terdengar orang lain.
Setelah suara orang yang
bertarung semakin dekat, Sena dan Mei Lie melompat ke atas pohon.
Pandangan keduanya langsung
tertuju pada sebuah tempat dataran yang agak luas di dekat Hutan Praganis.
Tampak dua sosok lelaki tengah bertarung.
Sena terbelalak ketika
mengetahui siapa kedua sosok yang tengah terlibat dalam pertarungan sengit itu.
“Ki Rah Sewu...” desis Sena
sambil menggaruk-garuk kepala.
“Kau mengenalnya, Kakang?”
tanya Mei Lie
sambil menoleh ke wajah Sena.
Sena hanya
mengangguk. Kemudian tubuhnya
melesat turun dari pohon itu. Dengan cepat tangannya mencabut Suling Naga
Sakti. Disusul Mei Lie yang juga berbuat sama, mencabut Pedang Bidadari-nya.
Selagi tubuhnya melayang di
udara, Pendekar Gila menghantamkan Suling Naga Sakti ke tongkat Sankher yang
tengah menyerang Ki Rah Sewu.
Trakkk
“Ukh...”
Sankher tersentak kaget.
Lelaki berjubah hitam itu menyurut mundur sambil menarik tongkatnya.
Begitu pula yang dilakukan Ki
Rah Sewu.
“Sena...” seru Ki Rah Sewu
setelah melihat Pendekar Gila.
Mendengar Ki Rah Sewu menyebut
nama Sena, Sankher mengerutkan kening. Seakan ia tahu siapa lelaki muda
berpakaian rompi kulit ular itu.
Sementara Mei Lie telah
bersiap dengan Pedang Bidadari-nya, menjaga kemungkinan.
Melihat Sena dan Ki Rah Sewu,
tak mem-
perhatikannya, Sankher dengan
cepat bergerak, berusaha mencekal Mei Lie. Namun Mei Lie sudah mengetahui.
Dengan cepat gadis itu memapaki serangan Sankher.
“Heaaa...”
Trakkk
Pedang Mei Lie beradu dengan
tongkat Sankher.
Percikan sinar api terlihat.
Sena segera melenting ke atas dan dengan cepat menukik. Tangan kanannya yang
menggenggam Suling Naga Sakti menjulur ke kepala Sankher.
“Hah...?” Sankher
membelalakkan mata. Dengan cepat ia mengelak, dengan melemparkan tubuh ke
belakang sambil bersalto, menjauhi Sena dan Mei Lie.
Namun Mei Lie terus mencecar,
membuat Sankher harus bersalto, berjumpalitan beberapa kali, guna mengelakkan
serangan pedang lawan.
Sankher akhirnya berhasil
menghindari serangan sepasang pendekar muda itu. Kakinya mendarat di atas batu
besar.
“Mei Lie, kau jaga Ki Rah
Sewu. Biar aku menghadapi si Ular Burik itu...” seru Sena pada kekasihnya. Mei
Lie hanya menganggukkan kepala, lalu bergerak mendekati Ki Rah Sewu yang
berdiri di pohon besar.
“Aha Kau rupanya si Ular Hitam
Burik itu...?”
tanya Sena sambil
menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. “Hi hi hi..., kutemui juga...”
Sankher mengerutkan kening,
seakan mengingat- ingat sesuatu. Namun belum sempat ia menemukan jawaban,
tiba-tiba Pendekar Gila melenting ke atas, menyerang Sankher. Dengan cepat
dipukulan Suling Naga Sakti-nya.
“Heaaa...”
Wuttt
Tangan kanan Pendekar Gila
yang memegang
Suling Naga Sakti, kembali
memukul dan membabat ke tubuh lawan. Sedangkan tangan kirinya menepuk.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana
menari. Itulah jurus 'Si Gila Menepuk Lalat', sebuah pembuka dalam rangkaian
jurus-jurus gila.
Namun begitu, Sankher yang
dihadapinya juga tak mau mengalah begitu saja. Dengan tongkat sakti di
tangannya Sankher terus bergerak mengelakkan setiap babatan Suling Naga Sakti
dan tepukan tangan Pendekar Gila. Bahkan sesekali balas menyerang dengan
sabetan tongkatnya.
“Heaaa... Terima ini, heh”
Dengan diiringi teriakan, Sena
membabatkan Suling Naga Sakti ke arah Sankher. Kemudian disusul dengan tepukan
tangan kiri. Sementara kedua kakinya tak mau tinggal diam, bergerak menyapu dan
menendang kaki lawan.
“Aits Hea...”
Sankher yang dikenal sebagai
Ular Kobra dari Utara dengan cepat melompat ke belakang. Lalu sambil mendengus,
dibalasnya dengan hantaman tongkat ke tubuh Pendekar Gila. Sedangkan tangan
kirinya, membentuk cakar dengan jari-jari yang kaku.
Disusul dengan gerakan melilit
dan mematuk, seperti ular kobra menyerang mangsa.
“Hiaaa...”
Wuttt “Aits He he he.... Hebat
juga seranganmu, Ular Burik”
Pendekar Gila segera
meliuk-liukkan tubuh, mengelakkan hantaman tongkat Sankher. Kemudian setelah
mampu mengelakkan pukulan tongkat, Pendekar Gila kembali membalas menyerang
dengan sabetan Suling Naga Sakti.
“Heaaa...”
Prakkk
“Hehhh...”
Keduanya terdorong ke belakang
beberapa
tindak. Sesaat mereka saling
pandang, berusaha mengamati gerak-gerik lawan masing-masing.
Pendekar Gila menyeringai
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Sedangkan Sankher terus memperhatikan
dengan seksama tingkah laku Pendekar Gila.
“Hm... Kau tentu orang yang
kucari, Bocah Gila...” kata Sankher dengan suara berat, sambil menuding Sena
yang masih menggaruk-garuk kepala.
Pendekar Gila, terus
cengengesan dan bertingkah seperti orang gila.
“Hi hi hi..., kau pun si Ular
Burik yang sedang kucari. Kau telah banyak membunuh orang tak bersalah,
termasuk para pendekar?” tukas Pendekar Gila sambil cekikikan.
“He he he..., benar”
“Hi hi hi... lucu, lucu sekali
Kau tentu tahu, aku ingin menghentikan sepak terjangmu, Ular Burik”
Pendekar Gila terus mengejek,
memancing
kemarahan lawan. Tampak
sulingnya ditudingkan lurus ke wajah Sankher.
“Hua ha ha... Bicaramu seperti
orang yang benar-benar hebat Justru aku yang akan mencincang tubuhmu, Pendekar
Gila”
“Hua ha ha... Hua ha ha...”
Pendekar Gila membalas dengan suara tertawa keras dan terbahak-bahak, lebih
keras dan panjang dari suara Sankher.
Mendengar suara tawa dan
tingkah laku Sena, lelaki berjubah hitam itu mengerutkan kening.
“Hi hi hi... Lucu sekali Aku
belum mengerti, kenapa kau ingin membunuhku...? Ah ah ah... aku belum pernah
punya urusan denganmu”
“Huh Kau hutang nyawa padaku
Kau telah
membunuh orang yang
kukasihi...” tukas Sankher dengan geram sambil menuding Pendekar Gila.
Matanya tajam menunjukkan
kebencian.
“Hah? Membunuh kekasihmu...?
Hi hi hi... lucu, lucu sekali...” jawab Sena dengan cekikikan dan cengengesan.
Sementara Mei Lie yang
mendengar keterangan Sankher merasa terkejut. Gadis Cina itu pun merasa
bingung. Keningnya berkerut keheranan. “Siapa yang dimaksud Sankher?” tanyanya
dalam hati.
“Hei... Aku belum mengerti
siapa yang kau maksud? Ah... aku belum pernah mengenalmu, apalagi kekasihmu...”
seru Sena kemudian.
“Jangan banyak mulut Kini
terimalah ini Heaaa...”
Sankher menggerakkan
tongkatnya ke samping kanan, dengan gerakan membuka. Kemudian
digerakkan kembali ke depan,
dilanjutkan ke samping kiri. Dengan perlahan kemudian tangannya mencabut
tongkat itu. Ternyata sebuah pedang keluar dari tongkat sakti berkepala ular
itu. Rupanya tongkat berwarna hitam itu merupakan warangka dari sebuah pedang.
Pendekar Gila mengerutkan
kening, melihat pedang di tangan Sankher. Pedang itu mengkilat mengeluarkan
cahaya keperakan yang menyilaukan mata. Selain itu di bagian ujungnya bergerigi
seperti gergaji.
Mei Lie yang melihat itu, tak
sabar ingin menjajal keampuhan pedang Sankher dengan Pedang
Bidadarinya. Namun Pendekar
Gila melarangnya.
Sehingga gadis Cina itu
merengut, kesal.
“Sabar...” ujar Ki Rah Sewu
pada Mei Lie, “Kita tunggu saat yang tepat.”
Tongkat yang telah berubah
menjadi pedang itu diputar cepat. Didahului pekikan menggelegar, Sankher
kembali melakukan serangan dengan jurus
'Ular Kobra Mematuk Mangsa'.
Pedangnya bergerak cepat ke atas, kemudian bagai Ular Kobra menebas ke sana
kemari.
Wuttt Wuttt
“Heaaa...”
Menyaksikan lawan telah
menyerang dengan
jurus lain, Pendekar Gila tak
tinggal diam. Dirinya segera membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'
diteruskan dengan jurus 'Si
Gila Membelah Awan'.
“Ciaaattt...”
Wut Wuttt
***
Pedang di tangan Sankher terus
memburu tubuh lawan. Pendekar Gila pun dengan cepat meliukkan tubuh ke samping.
Lalu sambil memiringkan tubuh ke depan, tangannya menyodokkan Suling Naga Sakti
ke tubuh lawan.
“Heaaa...”
Tubuh Pendekar Gila terus
meliuk cepat, gerakannya seperti orang menari. Sesekali tangan kanannya yang
memegang Suling Naga Sakti, menyodok ke dada atau perut lawan. Disusul dengan
pukulan telapak tangan kirinya.
Mendapat serangan aneh begitu
rupa, Sankher segera melangkah dua tindak ke belakang. Kemudian dengan cepat
tangan kanannya membabatkan
pedang ke tubuh Pendekar Gila.
“Heaaat...”
Wut Wut
“Aits He he he... Meleset
babatanmu, Ular Buduk”
Pendekar Gila terus mengejek
lawan, meskipun tak ada maksud untuk meremehkan kemampuan si Ular Kobra dari
Utara itu. Tujuannya hanya ingin lawan bertambah marah.
“Heaaa...”
Wuttt
“Uts...”
Dengan gerakan yang seakan tak
bertenaga dan sangat lamban, Pendekar Gila melancarkan serangan balasan. Hal
itu membuat Sankher sempat kaget.
Sankher rupanya mengerti apa
yang hendak
dilakukan Pendekar Gila.
Dengan cepat tubuhnya menyurut ke belakang untuk mengelakkan tamparan tangan
Pendekar Gila. Kemudian secara cepat lelaki berjubah hitam itu menyerang dengan
tusukkan pedang ke dada Pendekar Gila.
“Eits Hi hi hi...” Sena kaget,
saat merasakan hawa dingin yang keluar dari tusukan pedang Sankher.
Kalau saja Pendekar Gila tidak
segera mengelak, sudah pasti dadanya akan tertembus pedang beracun itu.
Meskipun racun yang ada pada pedang lawan akan membuatnya tewas, tapi tusukan
pedang itu tentu saja berbahaya.
Pendekar Gila bersalto ke
samping. Kemudian dengan cepat Suling Naga Sakti-nya dibabatkan ke tubuh
Sankher yang terus mencecar dengan pedang yang tangkainya berkepala ular kobra.
“Hih...”
Trang
Dua senjata sakti saling
bentur hingga men-ciptakan percikan api. Kemudian tubuh keduanya melompat ke
belakang, dengan senjata siap kembali di depan dada.
Mata keduanya saling pandang.
Kaki mereka bergerak dengan aturan-aturan yang telah mereka pelajari. Pendekar
Gila merentangkan kaki kanan ke samping. Kaki kirinya agak ditekuk. Sementara
Suling Naga Sakti disilangkan di depan dada. Dengan jari-jari merapat, tangan
kirinya ditempelkan ke ulu hati.
Sankher menarik mundur kaki
kanannya.
Sedangkan kaki kirinya ditekuk
membentuk siku.
Pedang di tangan kanannya
digerakkan ke samping kanan. Sedangkan tangan kirinya yang membentuk cakar,
diletakkan di dada sebelah kiri. Pedangnya diputar-putar dengan cepat, lalu
ditusukkan ke depan.
“Yeaaa...”
“Heaaa...”
Pendekar Gila dan Sankher
kembali melesat untuk melakukan serangan, dengan senjata saling menusuk dan
membabat. Sedangkan tangan kiri mereka bergerak memukul dan menangkis. Kaki
mereka pun tak tinggal diam, menyapu dan
menendang ke tubuh lawan.
Dua senjata sakti itu kembali
berkelebat, saling berusaha mengincar satu sama lain.
“Ck ck ck.... Luar biasa”
gumam Ki Rah Sewu penuh kekaguman sambil menggelengkan kepala berulang-ulang.
Sedangkan Mei Lie terus
mengawasi gerak
Sankher, dengan perasaan cemas
dan geram.
Si Ular Kobra dari Utara
membabatkan pedang ke tubuh Pendekar Gila. Tubuhnya mencelat ke atas, kedua
kakinya menendang keras ke dada Pendekar Gila.
Wuttt
“Heaaa...”
Mendapat serangan cepat dan
membahayakan, Pendekar Gila memutar Suling Naga Sakti-nya untuk menangkis
babatan pedang Sankher. Kemudian dengan mendoyongkan tubuh ke samping kanan,
tangan kirinya memukul Sankher.
Trang
“Heaaa...”
Wuttt Trang...
Dua senjata sakti itu kerap
kali beradu, sehingga menimbulkan percikan api dan dentang suara keras.
Kedua tokoh itu bagai
kesetanan. Semakin lama gerakan mereka kian cepat. Nampaknya mereka telah
mengerahkan tenaga dalam dan
menyalurkannya pada tangan
kanan masing-masing.
“Heaaa...”
Dua sosok tubuh dengan senjata
sakti terus berkelebat. Dan tampaknya kedua orang itu seimbang.
Sama-sama gesit dan lincah.
Tubuh mereka
berkelebat laksana menghilang.
Wrettt Trakkk
Kembali mereka melesat. Tangan
kanannya yang memegang senjata bergerak cepat. Keduanya berusaha untuk
memenangkan pertarungan tersebut.
Wuttt
Trakkk
Tak ada lagi kata-kata yang
mereka keluarkan.
Mulut mereka bagai terkunci
rapat. Yang terdengar kini hanya pekikan saat melakukan serangan yang diikuti
gerakan jurus silat tingkat tinggi.
Sekeliling arena pertarungan
itu rusak karena babatan dan tebasan senjata keduanya. Banyak pohon yang
tumbang, atau hancur terkena pukulan dan babatan senjata mereka yang terus
bertukar serangan.
Pendekar Gila dengan
mengerahkan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang', bergerak cepat. Tangan
kirinya bertubi-tubi menghantam lawan, dan sesekali berusaha menyambar kepala
Sankher.
Sankher pun tak tinggal diam.
Dengan cepat pedangnya bergerak, menutup gerakan tangan Pendekar Gila yang
hendak menghantam kepalanya.
Disusul dengan hantaman tangan
dan tendangan kakinya. Bahkan pedangnya berkelebat dengan cepat
“Hati-hati, Kakang Sena...”
seru Mei Lie mengingatkan Pendekar Gila.
Gadis Cina yang juga berjuluk
Bidadari Pencabut Nyawa itu tampak tak tenang dan khawatir terhadap kekasihnya.
Karena dilihatnya si Ular Kobra dari Utara itu memiliki ilmu yang hampir setara
dengan Pendekar Gila.
Pertarungan berlangsung
semakin seru dan
ganas. Pekikan dan teriakan
terdengar silih berganti.
Kini Pendekar Gila kembali
menggunakan jurus
'Si Gila Melebur Gunung
Karang'.
“Heaaa...”
“Heh Aits...” Sankher
tersentak, namun sempat bergerak
cepat mengelakkan pukulan
Pendekar Gila.
Kemudian dengan cepat balas
menyerang dengan jotosan ke dada lawan.
Pertarungan berlanjut terus.
Kini Pendekar Gila bergerak aneh. Gerakannya tampak lamban dan lemah. Namun
ternyata sangat berbahaya meskipun hanya menggunakan telapak tangannya. Kedua
belah tangannya diletakkan bersilangan di dada, kemudian direntang dan dihentak
keras ke depan.
“Heaaa...”
Sankher yang diserang begitu
cepat, melompat untuk menghindar. Kemudian dengan jari-jari tangan membentuk
cakar, dirinya balas menyerang dengan jurus 'Ular Kobra Mematuk Mangsa'.
“Heaaa...”
Tangannya mencakar dan mematuk
bagai ular kobra.
Agak terkejut Pendekar Gila
menyaksikan jurus ular yang dikeluarkan lawan. Tubuhnya segera melenting ringan
ke udara, hingga serangan Sankher luput dari sasaran. Namun belum sempat
Pendekar Gila mengatur napas, si Ular Kobra dari Utara sudah membabatkan pedangnya
ke pelipis Sena.
Wuttt
“Uts Heaaa. .”
Pendekar Gila berjumpalitan di
udara. Babatan pedang lawan bagai putaran angin puting beliung.
Sedikit pun Pendekar Gila tak
diberi kesempatan untuk balas menyerang. Agaknya Sankher benar-benar ingin
segera menghabisi lawannya.
Kalau saja lawan yang dihadapi
Sankher bukan Pendekar Gila mungkin sudah sejak awal dirinya telah memenangkan
pertarungan. Setelah berputaran beberapa kali di udara, Pendekar Gila dengan
ringan dan bagai gerakan menari mendarat di tanah.
“Hi hi hi... Lucu. Lucu sekali
jurus cacingmu, Kawan Ha ha ha...” Sena tertawa terbahak-bahak sambil
berjingkrak-jingkrak. Tangan kanannya kembali menggaruk-garuk kepala. Sedangkan
tangan kirinya menepuk-nepuk pantat. “Ayo, mana lagi jurus cacingmu?”
Mendengar ucapan Pendekar Gila
yang sangat meremehkannya, Sankher semakin kalap. Apalagi jurus andalannya
ternyata dengan mudah dapat dipatahkan. Dengan geram kembali dikebutkan
pedangnya.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
“Utsss. Heaaa...”
Plakkk
Kali ini Pendekar Gila tak
berusaha mengelak.
Dengan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat'
dipapakinya serangan lawan.
Tubuhnya berputar, meliuk terlihat lamban seperti gerakan orang menari.
Tiba-tiba tangannya menepuk
tepat di pergelangan tangan Sankher yang memegang pedang. Sankher kaget, tak
menyangka lawan akan nekat memapak serangannya. Akibatnya hampir saja pedang di
tangannya terlepas.
Walau gerakan Pendekar Gila
kelihatan lamban dan seperti tak bertenaga, ternyata akibatnya sungguh di luar
dugaan. Sankher agak pucat wajahnya merasakan kekuatan yang terkandung dalam
tepukan tangan dari jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang baru dilancarkan
pemuda berangkah seperti orang gila ini. Sena tak mau berhenti sampai disitu,
terus bergerak menyerang dengan garang. Tingkah lakunya yang seperti orang
gila, dipadu dengan pukulan-pukulan maut yang dahsyat.
Tangan dan kaki Pendekar Gila
bergerak cepat.
Kedua tangannya menghantam ke
bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Pukulannya disertai angin topan,
walau terlihat lamban dan seperti gerakan orang menari.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
Glarrr...
Dua senjata sakti saling
beradu, ketika Suling Naga Sakti meluruk memukul tongkat pedang Sankher yang
dihentakkan memapak. Benturan itu menimbulkan suara mengelegar dan
percikan-percikan bunga api. Keduanya terlontar beberapa langkah ke belakang.
Nampaknya mereka kembali mengerahkan tenaga dalam masing-masing, disalurkan
melalui tangan kanan yang sama-sama
memegang senjata sakti.
“Luar biasa, ck ck ck...” Ki
Rah Sewu mendecak kagum. Lelaki ini dari tadi terkesima menyaksikan pertarungan
dahsyat yang baru sekali ini dilihatnya.
Sementara, Mei Lie yang dari
tadi mulai merasa cemas hanya terpaku di tempat agak jauh. Kekasih Pendekar Gila
ini khawatir Sena tak dapat mengimbangi lawan, ketika menyaksikan Sankher mulai
mengerahkan jurus-jurus ular kobra yang sangat ganas dan dahsyat.
Ingin sekali dirinya membantu
untuk mengeroyok lawan, tetapi sebagai pendekar kesatria, hal seperti ini tentu
saja bukan tindakan yang jujur. Kecuali jika Pendekar Gila benar-benar sudah
terdesak dan tak berdaya menghadapi lawan.
Sementara, dua tokoh itu terus
bertarung seru.
Masing-masing mengerahkan
ilmu-ilmu silat dan jurus-jurus sakti dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai taraf kesempurnaan.
“Szzzt, szzzt, szzzt...”
Wuttt
Tiba-tiba mulut Sankher
mendesis persis suara ular. Dan tiba-tiba saja pedang di tangannya meluruk
dengan gerakan mematuk bagai ular. Sementara tubuhnya pun melompat menerjang
kepala Pendekar Gila. Inilah jurus 'Kobra Mematuk Menyebar Racun'.
Jurus yang sangat berbahaya
dipadu dengan ilmu pedang tingkat tinggi. Tubuhnya meliuk sambil mendesis
sementara pedangnya mengeluarkan hawa beracun yang sangat mematikan.
“Heaaa...”
Wuttt Wuttt
“Hi hi hi... Ada ular lapar
mencari kodok”
Sambil tertawa-tawa Sena
melompat ringan ke samping kanan. Sambil melompat menghindari serangan Sankher
dikibaskan Suling Naga Sakti-nya memukul ke kepala lawan yang meliuk-liuk
menjulur bagai gerakan ular kobra ganas. Mulutnya masih cengengesan dan tertawa-tawa.
Tapi sinar matanya terlihat memerah saga pertanda kegeraman melihat keganasan
lawan yang kembali menyerang dengan jurus-jurus kobranya. Sankher yang bergerak
bagai ular itu tiba-tiba menarik tubuhnya menghindari pukulan Suling Naga Sakti
di tangan Pendekar Gila.
“Hi hi hi... Ular Buduk, kalau
hendak mencari kodok, mengapa jauh-jauh datang kemari? Bukankah di sawah banyak
kodok? Ha ha ha...” sambil tertawa cengengesan Sena kembali menggaruk-garuk
kepala. Sementara tangan kirinya menepuk-nepuk pantat
“Pendekar Gila, hari ini
adalah hari akhir dalam hidupmu Bersiaplah” ancam Sankher lantang.
Mukanya merah padam mendengar
kata-kata
Pendekar Gila yang sangat
menghina.
“Aha... Benar umurku hanya
sampai di sini? Lucu sekali omonganmu, Kisanak Kau bukan Hyang Widhi, mengapa
berani menentukan hidup matinya
seseorang? Ha ha ha... Dasar
ular buduk, hi hi hi...”
“Bedebah Aku akan
membuktikannya, Pendekar Gila”
“Heaaa Szzz...”
Wuttt
Tiba-tiba Sankher melejit
sambil mengarahkan pedangnya dengan suara mendesis keras. Kali ini yang dituju
tepat ubun-ubun Pendekar Gila. Ketika tubuhnya berjarak satu tombak dari
Pendekar Gila, pedangnya dikebutkan dengan ganas bagai gerakan ular kobra mematuk.
Pendekar Gila berguling ke samping, lalu dengan cepat dikirimkannya sebuah
pukulan keras.
“Heaaa...” Plakkk
Pukulan Pendekar Gila
menghantam telak tangan kanan Sankher. Namun pukulan itu bagai tak berarti.
Lawannya hanya terdorong dua
tombak ke belakang.
Bahkan Sankher dengan
jurus-jurus ular kobranya semakin beringas menyerang.
“Wuszzz...”
Sankher melesat ke atas persis
gerakan kobra menerkam mangsa. Tak lama kemudian meluruk cepat melancarkan
serangan susulan.
“Heh, pukulan 'Kera Gila
Melempar Batu' tak ada artinya?” dengus Pendekar Gila dalam hati.
Mei Lie yang terus mengikuti
pertarungan kedua tokoh sakti ini juga tak kalah kaget. Wajahnya semakin cemas
melihat keganasan Sankher.
Kekhawatirannya sedikit
berkurang melihat kekasihnya kembali tenang tak sedikit pun terlihat gentar
menghadapi serangan-serangan dahsyat si Ular Kobra dari Utara itu.
Kini tubuh Pendekar Gila
berputar cepat dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan' yang mengelak dari
serangan lawan yang kian dahsyat dan ganas.
Setelah dapat mengelakkan
serangan, Pendekar Gila segera menghantamkan pukulan dengan
mengerahkan jurus 'Si Gila
Membelah Awan'.
“Heaaa...”
Wuttt
Degk
Telak sekali pukulan itu
menghantam dada
lawannya. Namun mata Pendekar
Gila kembali membelalak kaget, Sankher yang terkenal dengan julukan Ular Kobra
dari Utara itu ternyata tak mempan pukulan 'Si Gila Membelah Awan'.
Sankher melesat ke udara.
Setelah berputar sesaat, tubuhnya kembali meluncur memburu Pendekar Gila.
“Wszzzt..”
“Heaaa...” tubuh Pendekar Gila
turut melesat, berusaha memapak serangan yang dilancarkan lawan.
Tubuhnya melesat cepat.
Sementara Ular Kobra dari Utara menukik dengan sebelah tangan bergerak mematuk
ke dada Pendekar Gila.
Plakkk
Glarrr...
Saat kedua tangan mereka
bertemu, terdengar lagi ledakan dahsyat yang memekakkan telinga. Bunga api
berpendaran ke sekitarnya. Kedua tangan yang bertemu bagai dua logam baja yang
sangat keras. Menimbulkan tiupan angin berhembus hebat menyapu sekitar
pertarungan. Daun-daun pepohonan dan rumput di sekitar arena pertarungan gugur
tersapu angin pukulan sakti yang saling bertemu di udara.
Tubuh Pendekar Gila
terpelanting ke bawah, sedangkan Ular Kobra dari Utara bagai tak mengalami
sesuatu apa pun. Padahal pukulan yang baru saja dilontarkan Pendekar Gila
merupakan pukulan utama dari sekian jurus saktinya.
“Ukh...”
Pendekar Gila mengeluh pendek.
“Setan Siluman ini benar-benar
setan”
Belum juga Pendekar Gila siap,
lawannya telah menukik siap menghancurkan tubuhnya. Pendekar Gila yang baru
saja hendak bangkit kontan terkejut.
Tak ada waktu lagi untuk
berkelit. Dengan nekat dihantamnya tubuh si Ular Kobra dari Utara itu dengan
salah satu pukulan saktinya, 'Si Gila Membelah Karang'.
Angin seketika keluar
bergulug-gulung dari telapak tangan Pendekar Gila. Untuk sementara tubuh si
Ular Kobra dari Utara tertahan.
Pukulan ini sebenarnya mampu
menghancurkan batu karang sekalipun. Namun Sankher seperti tak mengalami
kesulitan berarti. Tubuhnya alot dengan kulit sangat kenyal bagai karet yang
sangat tebal, membuat pukulan sakti Pendekar Gila bagai melenting seperti
membentur bola saja.
Kini Pendekar Gila merasa
sangat penasaran.
Belum pernah dia bertemu lawan
tangguh seperti yang dihadapinya sekarang. Entah sudah berapa puluh jurus
pertarungan berlangsung. Namun keduanya belum menunjukkan tanda-tanda akan
kalah. Bahkan mereka kini masih saling mengerahkan pukulan-pukulan sakti yang
semakin menggiriskan.
“Heaaa...”
Tiba-tiba Sena melompat sambil
membabatkan Suling Naga Sakti di tangan kanannya. Gerakannya sangat ringan.
Tangan kirinya bertumpu di bumi lalu melejit sambil arahkan tepukan ke kepala
Ular Kobra dari Utara.
“Uszzz Hup”
“Weszzz...”
Ular Kobra dari Utara menunduk
dan segera menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Sehingga serangan yang dilancarkan
Pendekar Gila meleset dari sasaran.
Begitu serangan Pendekar Gila
luput, tiba-tiba kedua kakinya memutar dahsyat sejajar bumi persis sambaran
ekor ular dengan mengerahkan jurus
'Sapuan Kobra Memangsa
Kijang'.
Pendekar Gila segera melompat
ke udara, hingga serangan Ular Kobra dari Utara luput dari sasaran.
“Uszzz”
Wettt Wettt
Tiba-tiba pedang tongkat sakti
Ular Kobra dari Utara berkelebat mencecar tubuh Pendekar Gila yang melenting di
udara.
“Hop Heaaa...”
Tubuh Pendekar Gila terpaksa
bersalto beberapa kali di udara. Dengan gerakan ringan bagai kapas segera
berbalik dengan tangan memukul ke dada Ular Kobra dari Utara.
Wuttt
Degkh... Kali ini tanpa dapat
mengelak, pukulan 'Si Gila Menyibak Awan' dari jurus gila berhasil mengenai
punggung Ular Kobra dari Utara.
Sankher memang agak lengah
setelah
serangannya tadi berhasil
dielakkan Pendekar Gila.
Tubuhnya terlontar sekitar
tiga tombak ke belakang dengan terhuyung-huyung.
“Hi hi hi... Baru terasa
kue..., heh?”
Pendekar Gila yang tertawa
cengengesan kaget.
Belum selesai ocehan konyolnya
ketika tiba-tiba...
Desss...
Ular Kobra dari Utara yang
begitu dapat
menguasai keseimbangan tubuhnya
menusukkan ujung pedangnya ke tanah. Kontan di sekitar tempatnya berdiri
dipenuhi asap hitam tebal membumbung bagai keluar dari tanah. Seketika itu juga
tubuhnya pun raib bagai ditelan bumi.
Bukan saja Pendekar Gila yang
terkejut
menyaksikan kejadian yang
sangat cepat itu. Mei Lie dan Ki Rah Sewu yang sejak tadi mengikuti jalannya
pertarungan pun merasa heran melihat sosok Ular Kobra dari Utara yang tiba-tiba
raib.
Belum hilang rasa kaget
mereka, tiba-tiba....
“Jangan dulu merasa menang,
Pendekar Gila Aku belum kalah” terdengar suara yang bergema entah dari mana
sumbernya. Disusul suara ringkikan kuda yang digebah dan melaju menjauhi arena
pertarungan yang kini telah
porak poranda bagai terlan amukan gerombolan gajah.
“Aha, lucu Hi hi hi...
Ternyata ular buduk itu takut juga dilempari kue apem” Sena cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala dan tangan yang sebelah menepuk-nepuk pantatnya.
Ki Rah Sewu merasa geli
memandang tingkah laku Pendekar Gila yang sangat aneh sedikit pun tak
menampakkan kelelahan. Mei Lie hanya menatap dengan tersenyum kecil memaklumi
sifat kekasihnya yang memang sudah terbiasa.
“Apa tindakan kita sekarang,
Kakang?” Mei Lie membuka suara sambil melangkah mendekati
Pendekar Gila.
“Aha Oh ya. Mari kita segera
ke Lembah Merawan. Ayo, Ki” Sena berseru pada Ki Rah Sewu.
“Aku khawatir Ular Kobra dari
Utara seperti menyimpan suatu siasat licik di balik ancamannya tadi,” sambung
Pendekar Gila.
*** 7
Siang berselimut mendung.
Mentari berkabung, enggan menampakkan sinarnya yang hangat. Semilir angin
bertiup sepoi-sepoi basah, bertanda hujan akan turun menumpahkan airnya ke
bumi.
Lembah Merawan dengan
pepohonan yang
tumbuh lebat di sekelilingnya,
bagai menambah asri kehijauan alam di lembah itu. Padepokan Panca Purba seperti
terselimut mendung. Ki Kuncara Ketua Perguruan Panca Purba memang belum lama
terbunuh oleh kekejaman Ular
Kobra dari Utara.
Di dalam padepokan, ada empat
sosok tubuh yang masing-masing menyiratkan duka akibat kematian sang Guru, Ki
Kuncara yang belum lama mereka kuburkan di sebelah padepokan.
Mereka tak lain Sundari,
Sawung Rana, dan kedua murid Ki Kuncara. Mereka juga harap-harap cemas menunggu
Ki Rah Sewu yang pergi mencari Ular Kobra dari Utara.
“Ha ha ha... Tikus-tikus busuk
Sebentar lagi kalian akan kubuat jadi bangkai santapan cacing-cacing tanah”
Brakkk
Tiba-tiba terdengar suara tawa
disusul bunyi derak pintu padepokan yang terdobrak hancur berkeping-keping.
Sawung Rana, Sundari, dan
kedua murid Ki
Kuncara kaget setengah mati
dengan muka pias ketakutan.
Sedikit pun tak ada yang
menduga jika Ular Kobra dari Utara akan menyatroni mereka ke tempat itu
kembali.
“Bukankah Pendekar Gila tengah
mencari-
carinya? Apakah dia tak
berhasil menemukannya, atau apakah mungkin pemuda bertingkah laku seperti orang
gila itu berhasil pula ditaklukkannya?”
dalam ketakutannya, terselip
kebingungan di benak Sundari, juga Sawung Rana.
Tetapi kebingungan mereka tak
berlangsung lama. Tiba-tiba saja Sankher kembali membentak sambil menudingkan
tongkat saktinya ke leher Sawung Rana.
“Hei, Bangsat Ke sini kau”
Wajah Sawung Rana kontan pucat
pias ketakutan dengan tubuh menggigil gemetaran. Demikian juga Sundari serta
kedua murid Ki Kuncara. Tubuh mereka persis kucing kedinginan. Mengkeret tak
dapat membayangkan kengerian.
Percuma saja mereka melawan.
Tokoh-tokoh
sakti setingkat guru mereka
telah tewas menjadi korban keganasan Ular Kobra
dari Utara ini. Apalagi mereka
yang memiliki ilmu silat jauh di bawahnya.
Namun dengan nekat Sawung Rana
maju
melabrak Ular Kobra dari
Utara. Melawan atau tidak baginya sama saja. Pasti Sankher akan membunuhnya
juga.
Memang Ular Kobra dari Utara
ini sangat geram karena merasa tidak mampu menaklukkan Pendekar Gila, sehingga
melampiaskannya pada mereka.
“Hm, rupanya masih punya nyali
juga kamu Tikus Comberan Hih”
Wuttt
Tiba-tiba Sankher mengecutkan
tongkatnya ke leher Sawung Rana dengan dahsyatnya. Sawung Rana segera
menjatuhkan tubuh, hingga kebutan tongkat Sankher melesat beberapa jengkal di
atas tubuhnya. Sundari pun siap menyerang.
Sundari dan kedua murid Ki
Kuncara segera bangkit semangatnya. Mereka rupanya sama-sama bertekad
mempertahankan nyawa, walau apa pun akibat yang akan terjadi. Keberanian Sawung
Rana membangkitkan semangat mereka untuk
mempertahankan selembar nyawa.
“Ha ha ha... Majulah kalian
bersama-sama Agar mudah kucincang jadi santapan tongkatku”
Keempatnya bangkit serentak
menerjang, tak peduli ucapan menghina Ular Kobra dari Utara.
Masing-masing bagai
diperintah, serentak membabatkan pedangnya ke bagian tubuh lawan yang
mematikan.
Namun tentu saja tak sulit
bagi Sankher
mengelakkan serangan mereka.
Ilmu silat mereka masih jauh di bawah Ular Kobra dari Utara. Hanya dengan
mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping, maka serangan mereka luput jauh dari
sasaran.
Tiba-tiba....
Srettt
“Heaaa...”
Wuttt
Crakkk
Crasss
Tubuh kedua murid Ki Kuncara
sudah terjatuh limbung dengan leher terbabat hampir putus. Darah memuncrat
membasahi ruangan, tanpa jeritan sedikit pun.
Begitu cepat kejadiannya. Yang
terlihat kini hanya pedang yang berlumuran darah yang juga merupakan tongkat
jika disarungkan. Sawung Rana dan Sundari terbeliak kaget. Wajah keduanya pucat
pasi bagai tak dialiri darah, membayangkan kengerian teramat sangat.
“Kubunuh kau, Biadab” Sawung
Rana yang
segera sadar menerjang secara
membabi buta. Tak lagi memikirkan keselamatan dirinya.
Dengan ganas diayunkan
pedangnya sambil
melompat meluruk ke tubuh
Sankher yang
memandangnya dengan tersenyum
sinis.
Begitu serangan pedang Sawung
Rana hampir mencapai tubuhnya, dengan tenang diulurkan tangannya.
Tap
Degkh
“Aaakh...”
Tepat ketika tangannya
menangkap pergelangan tangan Sawung Rana yang tengah menghunus
pedang, langsung dikirimkan
satu tendangan kilat ke selangkangan lawan sambil ditariknya kuat tangan Sawung
Rana. Tentu saja Sawung Rana tak menduga, lawannya akan bertindak begitu.
Tubuhnya pun doyong tertarik kuat ke depan. Pedangnya terlepas karena kuatnya
tenaga cekalan lawan.
Saat itulah tendangan kaki
Sankher mendarat telak di selangkangannya. Maka tak ampun lagi Sawung Rana
terjungkal seiring pekik kematian.
Tubuhnya lalu ambruk ke tanah,
sesaat meregang kemudian mengejang kaku. Tewas
“Setan laknat Kubunuh kau Kau
harus mem-bayar mahal atas kebiadabanmu ini”
Sundari berteriak kalap,
matanya merah
menyiratkan dendam kesumat
membara melihat kematian sang Kekasih.
“Hiaaattt...” Wuttt Wuttt
Pedang di tangan Sundari
menebas ke tubuh Ular Kobra dari Utara dengan ganas.
“Hiyaaa...”
Tuk Tuk
Ular Kobra dari Utara pun
melesat, lalu bersalto di udara dengan tangan kiri mengirimkan dua totokan
tepat di ubun-ubun Sundari.
Gadis itu kontan terkulai
lemas tak mampu menggerakkan sekujur tubuhnya. Seluruh urat geraknya tiba-tiba
tak berfungsi sama sekali.
Kini dirinya hanya dapat
memaki dengan sinar mata kalap. Wajahnya membayangkan kengerian akan tindakan
Sankher selanjutnya.
“He he he... Cah Ayu, sudah
kubilang tak ada gunanya melawan ular kobra. Tenanglah Mari kita
bersenang-senang sejenak Sungguh sayang tubuhmu yang bahenol ini harus
mengalami seperti temanmu itu”
“Tidak, jangaaan” Sundari
hanya dapat menjerit dalam hati. Mukanya semakin pucat, menyadari tubuhnya
sudah tertotok tak dapat digerakkan lagi.
“He he he...” Sabar, Cah Ayu,
kau tambah cantik dan membuatku semakin bernafsu. Jika marah begitu. Ayolah...”
Sankher segera meringkus
Sundari lalu
menggelutinya. Sementara,
Sundari hanya dapat menjerit dalam hati, tak berdaya karena sudah terkena
totokan Ular Kobra dari Utara yang kini tengah dirasuki nafsu bejatnya. Apalagi
ketika melihat kemontokan tubuh Sundari.
“Ja... jangaaan Tidak,
lepaskan Kurang ajar
Binatang kau” batin Sundari
menjerit-jerit pilu tak mampu melepaskan diri dari kebuasan nafsu Sankher yang
semakin menggelegak.
Maka dengan rakus Sankher
menciumi, meraba, dan meremas seluruh tubuh Sundari.
Baru saja Sankher hendak
menindih tubuh gadis malang itu, tiba-tiba....
“Biadab Lepaskan perempuan
itu”
Entah dari mana datangnya di
tempat itu telah melesat sesosok tubuh berjubah hitam. Rambutnya sudah putih
dengan jenggot sudah memutih pula. Di tangannya tergenggam sebilah arit.
“Hm, kiranya masih ada yang
suka usil meng-hantarkan nyawa Hei, Tua Bangka Apa urusanmu dengan perempuan
ini, atau kau juga berminat padanya?” dengus Sankher dengan mata terbelalak
marah.
“Keparat, kau sangka aku sama
denganmu,
Binatang?”
Sosok berjubah putih dengan
tubuh kurus itu membentak murka karena dituduh yang bukan-bukan. Lelaki tua itu
segera menerjang dan membabatkan aritnya.
Wuttt Wuttt
“Mampuslah kau, Binatang”
lelaki itu ternyata Resi Bemala yang dikenal dengan julukan 'Arit Sambar
Nyawa'.
“Kurang ajar Heaaat...”
Sankher yang merasa terganggu
langsung
melompat ke atas. Sambil
mengebut tongkat tubuhnya bergerak menerjang, setelah berhasil mematahkan
serangan lelaki tua berjubah putih itu.
Wuttt Wuttt
Ular Kobra dari Utara kembali
menggerakkan tongkatnya. Kemudian dengan penuh amarah
tubuhnya melesat memburu
lawan. Namun dengan cepat Arit Sambar Nyawa menghadangnya dengan membabatkan
aritnya ke tongkat lawan.
Trang
Kemarahan Ular Kobra dari
Utara semakin
memuncak ketika mengetahui
lelaki tua itu memapaki serangannya. Matanya berkilat tajam.
Didahului desisan aneh bagai
ular kobra, tongkatnya disilangkan di atas kepala. Perlahan tangan kirinya
memegang ujung tongkat agak ke tengah. Dan....
“Szzz...”
Srets
Tangan kanannya yang memegang
tongkat tiba-tiba bergerak ke bawah. Kini terlihat tongkat tadi menjadi dua.
Yang satu di tangan kiri ternyata berupa sarung sebuah pedang. Sedangkan di
tangan kanan kini tergenggam sebuah pedang berkilat tajam memancarkan sinar
maut berhawa racun.
“Yeaaa...”
“Keluarkan semua ilmu arit
bututmu” tantang Sankher seraya mengelakkan tebasan dan babatan arit lawan.
Kemudian dengan cepat tangannya menggerakkan pedang. Seketika pedangnya melesat
mematuk bagai ular kobra bersama tubuhnya menerjang dengan dahsyat
“Heaaa...”
“Wusz, Wuszzz...”
Trang Trang
Dentingan beradunya dua
senjata itu terdengar susul-menyusul. Diikuti gerakan keduanya yang menyerang
secara gencar dan cepat.
Sementara, Sundari yang masih
heran siapa sebenarnya lelaki tua itu hanya terpana. Hatinya penuh kebingungan
melihat pertarungan yang tiba-tiba pecah dengan dahsyat antara dua tokoh sakti
di hadapannya.
Lelaki berjubah putih yang
ternyata kakak Ki Kuncara tiba-tiba melompat tiga tombak ke belakang.
Kemudian kedua tangannya
bergerak menggenggam arit dan menyilangkan di depan dada. Perlahan senjata itu
diangkat ke atas kepala sambil memusatkan diri sejenak. Tiba-tiba....
“Hiyaaa...”
Werrr Wusss
Tubuh Arit Sambar Nyawa
melenting dan berputar bagai baling-baling. Aritnya bergerak cepat menyambar
leher Ular Kobra dari Utara. Tetapi....
“Uszzz Heaaa...”
Blukkk
Sankher menunduk dan
menjatuhkan tubuh ke tanah. Dan begitu tubuh Arit Sambar Nyawa berada tepat di
atasnya tangan kirinya mematuk cepat. Tepat mengenai arit yang turut berputar
di tangan lawannya.
“Hea”
Prakkk
Sungguh hebat akibat patukan
dari jurus 'Kobra Mematuk Karang' ini. Arit di tangan lawannya kontan patah
membuat Resi Bemala kaget setengah mati.
Tangannya yang memegang arit
terasa panas bagai memegang bara. Bahkan sekujur tubuhnya terasa linu hingga
aritnya yang sudah patah jatuh dari tangannya.
Ternyata Ular Kobra dari Utara
tidak
menghentikan serangan sampai
di situ. Sambil bersalto tiba-tiba tubuhnya melejit menghentakkan pedang dari
atas mengarah ke tubuh lawan.
Arit Sambar Nyawa yang belum
dapat mengatur kedudukan berusaha mengelak sebisanya ke arah kiri. Namun
gerakannya sedikit terlambat. Maka. “Wuszzz”
Crasss
“Aaa...”
Pedang di tangan Sankher tak
urung memapas bahu kanan Arit Sambar Nyawa. Kontan lelaki tua berjubah putih
ini menjerit. Tangannya putus sebatas bahu. Darah memancar tiada henti dan
tubuhnya pun limbung hendak jatuh.
“Heaaa Wuszzz...”
Wuttt
Trakkk
“Hei?”
Si ular Kobra bermaksud
menghabisi Arit Sambar Nyawa. Namun mendadak hatinya terasa kaget melihat
sesosok bayangan berkelebat memapak serangannya dengan suling.
Si Ular Kobra dari Utara
tersentak kaget dengan mata membelalak. Segera ditarik pedangnya, lalu membuat
gerakan membuka sebuah jurus.
“Hm...” gumam Sankher. Begitu
melihat
Pendekar Gila muncul kembali
dengan tiba-tiba, “Kali ini kau tak akan hidup lebih lama, Pendekar Gila...”
Selesai bicara begitu, Sankher
langsung
menyerang Pendekar Gila dengan
membabatkan pedang.
Namun Pendekar Gila dengan
cepat mengelak, melompat ke atas. Sementara itu tangan kanannya yang memegang
Suling Naga Sakti balik menyerang.
Wuttt Wuttt
Trang
Senjata mereka beradu hingga
menimbulkan
suara nyaring dan percikan
bunga api. Tubuh Sankher terpental dua tombak ke belakang. Sedangkan Pendekar
Gila hanya beberapa langkah. Sankher merasakan sesak dadanya, karena tanpa
diduga, tangan kiri Pendekar Gila telah mendaratkan pukulan yang disertai
tenaga dalam yang kuat.
“Ukh...”
Pendekar Gila cengengesan dan
terus mengamati gerak-gerik lawannya. Suling Naga Sakti-nya kini diputar di
atas kepala. Lalu diturunkan, kakinya membuat kuda-kuda. Menanti serangan
lawan.
Sankher geram lalu mengeluarkan
jurus 'Kobra Mematuk Mangsa'. Direntangkan kedua tangannya lebar-lebar. Lalu
menghentakkan ke depan.
“Heh Heaaa...”
Sankher melompat secara
zik-zak. Pendekar Gila yang melihat itu cepat menggerakkan Suling Naga
Sakti-nya, memapaki serangan Sankher.
“Yeaaa...”
Trang
Degk
“Heit..”
Kedua pendekar itu kini
bertarung di udara.
Saling pukul dan tangkis.
Menimbulkan suara ledakan, dan percikan sinar api yang menerangi tempat itu.
Jglarrr
Pada saat Sankher lengah,
karena merasakan tangannya terasa panas, Pendekar Gila berhasil memasukkan
pukulan dengan tangan kiri ke dada.
“Hukkk...”
Sankher memekik keras. Lalu
tubuhnya melayang jatuh ke bawah. Rupanya keadaan lelaki dari utara itu sudah mulai
melemah. Sehingga dengan mudah Pendekar Gila yang masih kelihatan kuat
memanfaatkannya.
Sankher bergulingan di tanah.
Lalu kembali bangkit dan membuka kembali jurus-jurusnya.
Pendekar Gila menggaruk-garuk
kepala sambil cengar-cengir. Seperti meledek. Dengan tenang pendekar muda ini
menggerakkan Suling Naga Sakti ke kanan ke kiri. Matanya tak berkedip sedikit
pun menatap lawannya.
“Kau kali ini benar-benar akan
kukirim ke akherat...” dengus Sankher dengan geram.
“Heaaa...”
Sankher dengan penuh amarah
menyerang
Pendekar Gila yang nampak
begitu tenang. Namun serangannya mulai kurang ganas dan mengendor.
Pendekar Gila hanya mengelak
ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Meliuk-liuk bagai orang menari. Sambil
sesekali tangan kanannya yang memegang Suling Naga Sakti menangkis dan
menghantam lawan.
Namun Sankher pun tak mau
menerima begitu saja serangan balik Pendekar Gila. Dengan cepat membabat kaki
Pendekar Gila, lalu disusul patukan tangan kirinya.
“Wesss... Zzz...”
“Bts...”
Pendekar Gila mengelak sambil
merobohkan
tubuhnya ke belakang, lalu
bersalto tiga kali ke belakang. Kemudian kakinya mendarat pada sebuah batu.
Sankher memburu dengan
melompat bagai
terbang sambil menusukkan
pedangnya ke dada lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat
merunduk. Karena cepat dan
derasnya, tubuh Sankher melayang di atas kepala Pendekar Gila.
Melihat itu Pendekar Gila tak
menyia-nyiakan kesempatan. “Yeaaa...”
Degk Plakkk
“Aaakh...”
Sankher memekik keras, karena
rusuknya kena pukulan Pendekar Gila.
Tubuh Sankher tersuruk di
tanah dengan wajah terlebih dulu. Hingga wajahnya membentur bebatuan di tempat
itu.
“Akh...” pekiknya lagi.
Pendekar Gila tertawa-tawa
sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dia tak mau langsung menyerang.
Sepertinya pemuda gondrong itu
memberi
kesempatan pada lawan untuk
bangun dan kembali bertarung secara jantan. Itu memang sifat Pendekar Gila,
sebagai pendekar yang berbudi serta menjunjung jiwa kesatria.
“Grrr.... Zzz...” Sankher
mendesis, seperti ular.
Lidahnya menjulur panjang
bercabang dua, seperti ular. Lidah itu beracun. Bila mengenai tubuh lawan, maka
akan mati seketika.
Pendekar Gila yang melihat itu
mengerutkan kening. Lalu kemudian cengengesan. Suling Naga Saktinya ditaruh di
depan dada. Tangan kirinya juga depan dada dengan menggenggam. Lalu sulingnya
dihentakkan ke depan dua kali, sedang tangan kirinya membuat gerakan silat.
“Zzz...”
Sankher nampak terus mendesis
seperti ular, sambil merundukkan kepala. Tubuhnya meliuk-liuk bagai ular hendak
menyerang lawan. Kedua
tangannya terus bergerak aneh.
Sementara, pedang di tangan kanannya memancarkan sinar api
membara kemerahan.
Hawa panas yang luar biasa
menyambar tubuh Pendekar Gila, disertai angin kencang. Pendekar Gila segera
mengeluarkan ajian 'Inti Salju' untuk melawan hawa panas itu. Mendadak hawa
panas berubah menjadi dingin sekali.
Keduanya mulai bertarung
dengan tenaga dalam.
Sankher yang merasa yakin
dapat menaklukkan Pendekar Gila, dengan ilmu 'Api Beracun', hatinya merasa
kaget ketika sekejap hawa panas yang ditujukan kepada Pendekar Gila, berbalik
ke arahnya menjadi dingin bagai es
“Hah...?” gumam Sankher membelalakkan
matanya dengan tubuh merasa
kedinginan.
Arit Sambar Nyawa yang tangan
kanannya sudah putus, tersambar pedang Sankher tadi merasa kagum, melihat ilmu
Pendekar Gila. Kepalanya bergeleng-geleng. Dan mulutnya berdecak kagum.
“Ck ck ck.... Baru aku
saksikan...” gumamnya lirih, sambil memegangi tangan yang putus. Sundari
berlari menghampiri Arit Sambar Nyawa. Untuk membungkus tangan yang putus itu.
“Ki, biarlah lukamu aku
balut..” ujar Sundari sambil menyobek ujung pakaiannya.
Arit Sambar Nyawa hanya bisa
tersenyum dan mengerang menahan rasa sakit.
***
Kembali ke arena pertarungan
antara Pendekar Gila dengan Sankher, si Ular Kobra dari Utara.
Sankher nampak tak dapat
menghilangkan dingin pada tubuhnya. Hatinya marah, lalu dengan tenaga dalamnya
berusaha melepas salju yang membalut seluruh tubuh. Pendekar Gila tertawa-tawa,
sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu ia menghentakkan Suling Naga Sakti-nya.
“Hah...”
Wesss
Seketika salju yang mengurung
tubuh Sankher mencair. Sankher bukannya berterima kasih, melainkan justru makin
geram, karena merasa malu.
Segera Sankher berteriak
keras, sambil
menggerakkan kedua tangan
dengan cepat bagai kipas. Pendekar Gila tetap tenang, dan siap menghadapi
serangan lawan.
Tubuh Sankher terbang, bagai
seekor ular yang ingin menyerang mangsanya, dengan gerakan zik-zak dan cepat.
Lalu menukik, dengan kedua tangannya membabat ke kepala lawan. Pendekar Gila
yang sudah mengetahui, dengan cepat melompat ke samping kiri, lalu disusul
dengan salto ke belakang.
Menjauhi lawan.
Sankher yang merasa
serangannya dapat dielakkan makin geram dan marah. Dengan sebisanya ia
membabatkan pedang ke tubuh Pendekar Gila yang juga balik menyerang dengan
melompat. Suling Naga Sakti-nya yang tergenggam di tangan kanan, bergerak cepat
menangkis dan menyerang.
Sankher kewalahan. Karena
serangan yang
dihantarkan Pendekar Gila
sangat cepat dan sukar diatasi. Akibatnya Sankher mundur beberapa tindak.
Namun sebelum sempat membuka
jurus baru,
Pendekar Gila yang sudah tak
sabar ingin menghabisi tokoh yang membunuh banyak pendekar Jawadwipa dan
orang-orang tak bersalah, melompat cepat. Dan ketika tubuhnya masih di udara,
mendadak menukik cepat, sukar ditangkap dengan mata biasa. Dan....
“Aaakh...”
Sankher memekik keras dan
panjang, sambil memegangi kepalanya. Tubuhnya melintir bagai gangsing. Pedangnya
jatuh. Namun berusaha sekuat tenaga untuk menyerang Pendekar Gila yang sudah
mendaratkan kakinya di tanah.
“Heaaa...”
Degk
“Aaakh...”
Kembali Sankher berteriak
kesakitan. Kali ini nampak telinganya mengeluarkan darah segar. Juga matanya.
Kemudian disusul dengan tubuhnya yang terbelah dua. Karena pukulan Suling Naga
Sakti Tubuh Sankher menggelepar-gelepar di tanah.
Lalu tewas
Pendekar Gila merasa puas.
Diselipkan lagi Suling Naga Sakti-nya ke pinggang.
Sundari yang melihat kejadian
itu ikut senang.
Gadis itu menghambur ke arah
Sena. Sedangkan Arit Sambar Nyawa masih terduduk di bawah pohon besar. Wajahnya
tersenyum getir, memandangi Sundari yang berlari menuju Pendekar Gila.
“Aku ikut senang, kau telah
dapat membunuh manusia keji itu...,” kata Sundari begitu sampai di dekat Sena.
Sena hanya menghela napas
panjang. Matanya masih memandangi mayat Sankher, yang telah membiru. Lalu
menoleh ke arah Sundari.
“Semua ini kehendak Hyang
Widhi. Aku hanya melaksanakan. Orang macam dia memang pantas dimusnahkan...,”
kata Sena seakan bicara pada diri sendiri.
“Aku sangat berterima kasih,
karena kau telah membalaskan dendamku atas kematian paman dan Kakang Sawung
Rana.... Sungguh aku sangat ber-hutang budi padamu, Sena,” ujar Sundari lagi. “Aha,
jangan bicara begitu Sudah menjadi tugasku untuk menolong sesama kita. Apalagi,
orang seperti itu,” Sena menunjuk ke mayat Sankher.
“Memang harus mati. Menerima
ganjaran. Aku tak mau membunuh lawan kalau tak ada masalah. Tapi aku masih
merasa heran kenapa dia mau
membunuhku?”
Sesaat kemudian diam. Lalu
tampak mulut Sena cengengesan sambil menggaruk-garukkan kepala.
“Ayo, kita bawa orang yang
terluka itu ke tempatmu...,” ajak Sena. Yang kemudian melangkah pergi. Sundari
mengikutinya tanpa menjawab.
***
Di Perguruan Elang Sakti pagi
itu nampak sudah ramai, suasana tenang. Dari dalam rumah perguruan yang bekas
milik Ki Putih Maesaireng, muncul Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Di kanan
kirinya tampak Sundari dan Resi Bemala.
Wajah mereka nampak cerah dengan
senyum
tersungging di bibir. Begitu
juga beberapa orang sisa murid Perguruan Elang Sakti yang masih hidup.
Mereka menundukkan kepala
memberi hormat pada Pendekar Gila yang melewati para murid itu.
“Sena, sangat berat aku
berpisah denganmu. Aku tak bisa memaksamu untuk berlama tinggal di sini.
Aku mengerti. Tapi kuminta,
bila kau lewat di sini, mampirlah Biar hatiku senang...,” ujar Sundari dengan
lemah lembut.
Pendekar Gila hanya
menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Matanya melirik ke Arit Samber Nyawa.
“Ya. Aku pun merasa kehilangan
seorang sahabat dan pendekar yang kukagumi. Maksudku, sama dengan Sundari.
Kalau ada waktu, datanglah kemari”
tambah Arit Sambar Nyawa.
“Mudah-mudahan. Baiklah aku
mohon pamit...,”
kata Sena, lalu menjabat tangan
Arit Sambar Nyawa.
Kemudian dipegangnya bahu
Sundari seraya berkata,
“Jaga dirimu baik-baik
Berlatihlah ilmu silat dengan tekun. Tentunya Arit Sambar Nyawa akan memberikan
sedikit ilmunya padamu....”
Selesai berkata begitu, Sena
pun meninggalkan Perguruan Elang Sakti sambil melambaikan tangan kanannya. Para
murid perguruan itu melepas kepergian Pendekar Gila yang sangat mereka kagumi
dengan tatapan haru. Begitu pula Sundari. Gadis cantik itu seakan tak rela.
Namun semua maklum, bahwa tugas Sena sebagai pendekar penegak kebenaran dan
keadilan menuntutnya harus terus melanglang buana.
SELESAI