Serial Pendekar Gila episode 27 Ular Kobra Dari Utara

Serial Pendekar Gila episode 27 Ular Kobra Dari Utara
Firman Raharja
-------------------------------
----------------------------

Serial Pendekar Gila episode 27 Ular Kobra Dari Utara

1

Pagi itu keadaan sangat cerah. Langit biru bening, tanpa setitik mega.

Dari kejauhan nampak seorang lelaki

menunggang kuda putih, dengan pakaian seperti orang dari India. Kepalanya diikat dengan sorban warna merah hati, layaknya orang-orang India. Lelaki itu memacu kudanya memasuki Desa Kanginan. Desa itu biasa sebagai persinggahan orang-orang dari luar daerah. Atau orang jauh. Karena desa itu cukup ramai dan makmur, subur.

Matanya menatap lurus ke arah desa yang

nampak mulai ramai oleh kesibukan para penduduk maupun pendatang. Setelah puas mengawasi

keadaan, lelaki dari India yang dikenal dengan Sankher atau 'Ular Kobra dari Utara' kembali menggerakkan kudanya yang besar dan kekar itu memasuki Desa Kanginan.

Di sepanjang jalan utama, Sankher terus

memasang matanya memandangi sekeliling keadaan desa dengan tajam. Tampaknya ada sesuatu yang dicari. Kemudian dihentikan kudanya di depan sebuah kedai. Lelaki berjubah hitam itu segera melompat turun lalu melangkah menghampiri salah seorang yang baru saja keluar dari kedai itu.

Lelaki berpakaian lurik dan mengenakan

blangkon itu berhenti ketika Sankher mencegat langkahnya.

“Tentunya Tuan dari jauh. Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya lelaki berusia sekitar empat puluh tahunan, dan bertubuh agak gemuk itu.

Bibirnya tersenyum dengan mata masih

memperhatikan wajah Sankher.

“Hm...,” Sankher yang berikat kepala sorban merah menggumam. Matanya yang tajam,

memandangi lelaki di hadapannya. Kemudian dengan suara kaku bertanya, “Di mana Perguruan Bintang Mas? Ke arah mana aku harus pergi?”

Lelaki berpakaian lurik coklat tua itu mengerutkan kening, mendengar pertanyaan lelaki India itu.

Ditatapnya wajah lelaki gagah di hadapannya, berusaha mengetahui apa maksud lelaki dari India itu. Kemudian tampak lelaki berblangkon itu menghela napas.

“Tak begitu jauh lagi dari sini, Tuan. Di balik lembah itu,” ujar lelaki Jawa itu sambil menunjuk,

“Tapi kalau boleh aku tahu, untuk apa Tuan menanyakan Perguruan Bintang Mas?”

“Itu bukan urusanmu Kuminta jangan banyak tanya lagi” sahut Sankher seraya menatap tajam wajah lelaki berpakaian lurik itu.

“Aku hanya tanya, apa salahnya?” ujar lelaki Jawa itu dengan nada rendah dan tersenyum ramah.

Srrrttt

Tiba-tiba dengan geram, Sankher menarik tongkat berkepala ular kobra dan mengarahkan pada lelaki Jawa itu.

Lelaki berpakaian lurik itu tersentak kaget, karena tak menduga orang yang semula bertanya itu hendak menyerangnya. Dengan cepat lelaki Jawa itu menghindarkan serangan Sankher. Namun tongkat itu bergerak lebih cepat. Hingga...,

Pletakkk

“Akh...” lelaki berpakaian lurik coklat itu memekik keras, ketika tongkat berkepala ular kobra menghantam keningnya. Sesaat matanya melotot kemudian ambruk tanpa nyawa.

Seketika ramailah suasana di depan kedai itu.

Para pengunjung yang tengah bersantap, ber-hamburan keluar. Dengan penuh amarah para warga desa yang mengetahui bahwa Ki Sarepan tewas langsung menyerbu lelaki India itu. Namun tampaknya lelaki berjubah hitam itu bukan orang sembarangan. Dalam beberapa gebrakan saja para warga dan anak buah Ki Sarepan telah tewas dengan kepala retak oleh pukulan tongkat berkepala ular.

“Hhh...,” Sankher mendengus. Matanya menatap tajam ke sekeliling. Tampak orang-orang Desa Kanginan telah berkumpul menatap dirinya penuh kebencian. Namun nampaknya tak seorang pun dari mereka yang berani melawan, atau maju. Mereka tak ingin mati sia-sia seperti Ki Sarepan, kepala ronda Desa Kanginan itu.

Dengan tenang Sankher melangkah meninggalkan orang-orang itu. Tanpa menghiraukan sama sekali tatapan kebencian warga desa, lelaki berjubah hitam itu langsung melompat ke punggung kuda, lalu menggebahnya. Kuda besar dan kekar itu pun melesat meninggalkan kerumunan orang di depan kedai.

Seketika warga Desa Kanginan gempar, setelah mendengar kematian Ki Sarepan dan delapan anak buahnya di depan kedai.

“Hm..., ilmu orang itu cukup hebat” gumam salah seorang penduduk desa.

“Benar Tongkatnya kurasa bukan sembarangan tongkat. Tongkat sakti.”

“Kita tak bisa berdiam saja. Kita harus segera memberitahu pada Kanjeng Adipati.”

Dengan masih membicarakan tentang lelaki

misterius itu, mereka mengurusi mayat-mayat yang bergelimpangan di depan kedai.

***

Seluruh penduduk desa ramai membicarakan

kematian Ki Sarepan dan delapan anak buahnya di tangan lelaki dari India. Dari arah timur tampak sesosok tubuh berjalan memasuki batas Desa Kanginan.

“Sepertinya ada kejadian di sana. Ah, aku ingin melihatnya,” ujar pemuda berpakaian terbuat dari rompi kulit ular, yang tak lain Sena Manggala. Sambil menggaruk-garuk kepala kakinya melangkah dengan cepat menuju tempat para warga tengah sibuk mengangkati mayat-mayat itu.

Sena Manggala yang juga dikenal dengan julukan Pendekar Gila mengerutkan kening sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya memandangi orang-orang di depan kedai itu. Kepalanya tampak menggeleng-geleng sambil cengengesan.

“Ah ah ah... Kisanak, apa yang telah terjadi?”

tanya Sena dengan kening masih mengerut. Matanya memandangi sembilan mayat yang sama keadaan-nya, retak di bagian kening.

“Baru saja terjadi malapetaka mengerikan.

Seorang lelaki aneh berjubah hitam membunuh mereka,” sahut salah seorang penduduk desa.

“Lelaki dari India itu seperti orang gila” sambung yang lainnya.

“Orang gila...?” tanya Sena mengerutkan kening.

Tangannya menggaruk-garuk kepala, “Mengapa Kisanak mengatakan seperti orang gila?”

“Bagaimana tidak?” tukas lelaki yang berkumis tebal dan bertubuh kekar sambil melangkah maju,

“Orang asing itu, tiba-tiba menghantamkan tongkat saktinya ke kepala Ki Sarepan dan kedelapan anak buahnya Hingga mereka tewas seperti itu...”

Pendekar Gila semakin mengerutkan kening

mendengar penuturan orang-orang desa, yang menceritakan tentang lelaki berjubah hitam.

“Lelaki dari India?” gumam Sena. Tangannya menggaruk-garuk kepala sedangkan matanya tak henti memandangi para penduduk yang mengangkati mayat-mayat itu.

“Ah ah ah... Mengapa lelaki aneh dari India itu membunuh Ki Sarepan?” tanya Sena seraya

menggaruk-garuk kepala, “Apakah antara keduanya telah terjadi keributan?”

Lelaki berbadan agak kekar berkumis tebal itu menggelengkan kepala, lalu menghela napas panjang seraya memandangi wajah Sena.

“Yang kulihat Ki Sarepan menegur lelaki asing itu dengan ramah,” sahut lelaki berbadan tegap dan berkumis tebal itu.

“Mungkin Kisanak mendengar, apa yang

ditanyakan orang asing itu?”

Lelaki berbadan tegap itu menatap Sena lagi, sepertinya menyelidik, siapa Sena sebenarnya. Lelaki itu mula-mula ragu menjelaskan duduk persoalannya.

Namun setelah Sena mendesak, lelaki berbadan tegap itu mulai menceritakan semua, dari saat kedatangan lelaki berkuda putih, berpakaian khas orang India, sampai Ki Sarepan menanyakan tujuan-nya. Hingga akhirnya, lelaki aneh dari India itu bertanya tentang Perguruan Bintang Mas. “Aha... Perguruan Bintang Mas...?” Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Sikapnya itu tentu saja membuat orang-orang heran.

“Ya. Itulah yang aku dengar.”

Mendengar keterangan itu Sena hanya

cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.

Keningnya berkerut

“Ah ah ah..., ada maksud apa lelaki itu menanyakan Perguruan Bintang Mas. Dan mengapa ia seenaknya membunuh orang-orang tak bersalah...”

gumam Sena pelahan. Dihelanya napas panjang, lalu wajahnya memandang jauh ke depan.

“Aku harus segera mencegahnya. Tak boleh

dibiarkan ia bertindak sesukanya. Dilihat dari caranya membunuh, nampaknya dia bukan orang sembarangan,” gumam Sena lagi.

Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandang ke depan. Lalu cengengesan.

Membuat orang-orang di dekatnya mengerutkan kening dan saling pandang. Mereka heran melihat tingkah Sena yang seperti orang gila itu. Namun mereka tak berani berucap apa-apa.

“Baiklah, Kisanak. Terima kasih” ucap Sena sambil menjura. Lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu, diiringi pandangan mata orang-orang desa, yang penuh tanda tanya melihat tingkah laku Sena yang seperti orang gila itu.

“Apakah pemuda itu yang disebut Pendekar Gila dari Goa Setan?” gumam salah seorang warga desa.

“Mungkin juga,” sahut lelaki bertubuh tegap.

“Kalau memang pemuda itu Pendekar Gila, aku merasa senang. Karena aku yakin, pendekar itu akan mencari dan melenyapkan lelaki asing yang tak mengenal perikemanusiaan itu” “Ya Mudah-mudahan lelaki asing itu mati oleh Pendekar Gila” sambung salah seorang lelaki berkumis tipis, yang berada di sisi kiri lelaki berbadan tegap. Semua orang mengutuk lelaki asing dan India itu.

Lalu mereka bubar, kembali ke tempatnya.

*** 2

Siang itu di Perguruan Bintang Mas tampak lima orang pemuda sedang berlatih tanding. Mereka rupanya para penerus Perguruan Bintang Mas, yang dulu dipimpin Dewi Pandagu. (Untuk lebih jelasnya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode

“Singa Jantan dari Cina”).

Seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan memperhatikan kelima pemuda itu berlatih tanding.

Wajahnya yang agak kurus dihiasi jenggot hitam lebat, serta kumis tipis. Dilihat dari bentuk tubuh dan ketenangannya, lelaki itu memiliki ilmu silat yang tak dapat diremehkan. Pancaran matanya tajam dan penuh wibawa.

Lelaki itu mengangguk-anggukkan kepala seraya tersenyum. Hatinya merasa puas melihat kelima murid andalannya yang mulai matang. Lelaki yang dikenal dengan nama Guntala itu terus mengangguk-anggukkan kepala. Tak lama kemudian dirinya segera memberi isyarat dengan bertepuk tiga kali.

Plok Plok Plok

Kelima muridnya seketika menghentikan latih tanding mereka. Keringat membasahi seluruh tubuh kelima pemuda gagah itu. Mereka berlatih selama setengah hari penuh, sejak hari masih pagi. Namun di wajah kelima pemuda yang bertelanjang dada, dengan ikat kepala warna hitam itu tak memperlihatkan keletihan. Kelima pemuda itu lalu menjura bersama di depan Guntala.

“Bagus. Aku bangga dan puas melihat kalian semakin hari bertambah semangat. Tapi masih perlu waktu lama kalian melatih diri. Sebab dengan hanya beberapa bulan, tak cukup ilmu kalian untuk melawan Pendekar Gila. Aku memang berniat melawannya. Tapi aku butuh kalian.”

Guntala sejenak menghentikan kata-katanya.

Dipandanginya dengan tajam kelima murid itu.

Kemudian menghela napas dalam-dalam.

“Memang kematian Dewi Pandagu bukan

Pendekar Gila yang membunuhnya. Namun karena dialah Dewi Pandagu, yang kemenakanku sendiri mati di tangan orang-orang licik seperti Kerto Songo dan Kebo Pengawon” Guntala nampak geram. Giginya gemeretak, menahan marah. “Sayang, sampai saat ini aku merasa belum mampu menghadapi Pendekar Gila. Aku perlu orang berilmu setaraf dengan Pendekar Gila... untuk membuat perhitungan dengannya....”

Baru saja Guntala selesai bicara, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda menuju tempat Perguruan Bintang Mas. Guntala segera menoleh ke pintu gerbang. Demikian juga kelima muridnya.

Guntala segera menoleh ke pintu gerbang. Demikian juga kelima muridnya. Guntala membelalak kaget, ketika dilihat ada seorang lelaki berpakaian jubah hitam menghentikan kudanya empat tombak di hadapannya.

Lelaki asing yang tak lain Sankher itu menatap tajam Guntala dan kelima muridnya, yang telah siap siaga. Mereka langsung mengepung lelaki yang duduk di punggung kuda itu. Sankher tersenyum sinis. Lalu dengan gerakan yang sangat ringan, tubuhnya melompat turun dari punggung kuda. Kemudian melangkah mantap menghampiri Guntara yang masih terkesima, memandangi tamu tak diundang itu. Mata keduanya saling pandang, ketika Sankher menghentikan langkahnya, dan berhenti di depan Guntala.

“Kau...?” gumam Guntala setelah melihat lebih jelas. Dan mulai mengenali wajah tamunya itu,

“Sankher...?”

Sankher hanya tersenyum sinis. Matanya masih menatap tajam wajah Guntala yang kemudian menghambur ke tubuhnya. Guntala memegang erat bahu Sankher.

“Tak kusangka kau datang ke negeri Jawadwipa ini...” seru Guntala dengan sangat gembira. Namun Sankher tampak tersenyum hambar. Hal itu membuat Guntala mengerutkan kening, tak mengerti.

Sejenak suasana hening. Hanya mata kedua

lelaki itu kini yang bicara. Kelima murid Guntala telah siap siaga, kalau-kalau akan terjadi perkelahian.

Karena mereka tidak mengenal, siapa lelaki berpakaian jubah seperti orang India itu.

“Sankher, sebaiknya kita bicara di dalam. Mari, silakan...” ajak Guntala sambil bergerak ke samping memberikan jalan pada Sankher. Lelaki berjubah hitam itu diam saja, tapi lalu melangkah menuju bangunan utama Perguruan Bintang Mas. Sementara Guntala memberi isyarat pada salah seorang muridnya untuk mengurus kuda Sankher.

***

“Kematian Dewi Pandagu, membuat aku sedih

dan sakit,” ujar Guntala dengan wajah sedih. Duduk berhadapan dengan Sankher yang sejak tadi hanya diam mendengar cerita Gundala. “Semua ini salahku.

Karena aku terlalu percaya akan kekuatan ilmu kemenakanku itu. Dan kebetulan beberapa bulan sebelum kejadian, aku bertengkar mulut dengan Dewi Pandagu. Karena aku tak setuju, Dewi Pandagu dekat dengan Pendekar Gila...”

Mendengar nama Pendekar Gila, Sankher tersentak. Matanya membelalak lebar.

“Siapa Pendekar Gila itu?” tanya Sankher dengan suara berat.

“Pendekar yang sangat disegani dan berilmu tinggi. Tak ada pendekar lain, baik dari aliran putih maupun hitam, yang mampu menandingi ilmunya,”

jawab Guntala tegas.

“Huh...” dengus Sankher dengan geram. Telapak tangannya mengepal kuat-kuat. Giginya beradu, gemeretak, menandakan hatinya sangat marah.

“Aku sudah lama menunggu saat yang baik untuk melawan Pendekar Gila dari Goa Setan itu. Namun sampai saat ini aku merasa belum mampu melawannya,” kata Guntala dengan suara penuh kesal.

“Paman Guntala bisa membantu aku mencari

orang gila itu?”

Suara Sankher berat dan sedikit bergetar, menandakan kemarahan dan dendam di hatinya.

Cerita Guntala sengaja memanasi hati Sankher yang tak lain tunangan Dewi Pandagu. Dan ternyata berhasil.

Guntala mengatakan, bahwa kematian Dewi

Pandagu tak lain gara-gara Pendekar Gila yang berusaha mendekati Dewi Pandagu. Guntala sengaja agar Sankher yang diketahui memiliki ilmu tinggi, dan mempunyai senjata sakti bernama 'Tongkat

Berkepala Kobra' akan binasa mengalahkan

Pendekar Gila. Dan niat Guntala sebenarnya, jika Pendekar Gila bisa dimusnahkan, dirinya akan membuat siasat lagi untuk membunuh Sankher.

Karena Guntala mempunyai cita-cita akan menguasai dunia persilatan di Jawadwipa ini.

“Aku sangat senang dan berterima kasih pada Hyang Widhi. Kau benar-benar akan membantu membalas dendamku yang sudah lama pada

Pendekar Gila...,” ucap Guntala sambil menepuk-nepuk bahu Sankher, “Kapan kita akan mulai?”

“Lebih cepat lebih baik,” jawab Sankher singkat dan tegas.

Guntala mengangguk-anggukkan kepala sambil tertawa puas dan memegangi jenggotnya.

“Aku setuju dengan caramu. Kalau begitu nanti kita atur semuanya. Aku punya rencana yang tepat untuk memancing Pendekar Gila agar memburu kita...,” ujar Guntala kemudian.

“Akan kucari Pendekar Gila itu dengan caraku.

Paman jangan ikut campur Kematian Dewi Pandagu menjadi tanggung jawabku. Dan aku datang kemari memang untuk membalas dendam atas kematian kekasihku itu,” kata Sankher dengan suara agak serak dan berat.

Mendengar ucapan Sankher, Guntala mengerutkan kening. Dirinya nampak kurang senang mendengarnya. Namun tak berani berucap, ia hanya bisa menghela napas panjang. Nampak kekecewaan ter-gambar di wajahnya yang sudah mulai berkerut.

Menunduk lesu. Karena sebenarnya Guntala kurang senang dengan kehadiran Sankher. Takut rencana buruknya, untuk menguasai Perguruan Bintang Mas akan diketahui Sankher.

Sankher melihat itu. Lelaki bertubuh tinggi itu bangkit dari duduknya, lalu melangkah pergi dari padepokan itu. Guntala hanya bisa memandangi kepergian Sankher yang bekas kekasih Dewi Pandagu, Sankher tetap mencintai wanita itu. Hal itu bisa dibuktikan pada sikapnya yang selalu marah jika ada lelaki yang melukai hatinya. Apalagi ketika mendengar berita tentang kematian Pemimpin Perguruan Bintang Mas itu dari Guntala.

Sankher meninggalkan Perguruan Bintang Mas dengan hati penuh dendam. Si Ular Kobra dari Utara itu melarikan kudanya dengan cepat ke selatan.

Sepeninggal Sankher, Guntala tampak melangkah ke serambi rumahnya. Matanya memandang jauh ke depan. “Sankher..., ternyata keangkuhanmu belum juga berubah. Hhh... Masih sama seperti yang dulu.”

***

Sankher terus menggebah kudanya, seakan ada

sesuatu yang dikejar. Sampai di sebuah perbukitan lelaki berjubah hitam itu menghentikan lari kudanya.

Dari atas bukit matanya dengan liar memandang ke bawah. Di kejauhan nampak Desa Babakan. Sankher atau Ular Kobra dari Utara tersenyum sinis. Lalu kembali memacu kudanya menuruni bukit menuju desa itu. Kuda putih yang ditunggangi nampak begitu lincah dan cekatan menyusuri jalan terjal berbatu.

Sore itu Desa Babakan nampak seperti biasa.

Para penduduknya sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Ketika kuda putih yang ditunggangi lelaki berpakaian seperti orang India memasuki mulut desa para warga tak begitu menghiraukan. Hanya beberapa lelaki yang bergerombol di sebuah rumah memandangi sambil berbisik-bisik.

Langkah kaki kuda semakin pelahan menyusuri jalan utama Desa Babakan. Langkah-langkah kaki kuda itu seakan berirama. Apalagi penunggangnya yang berbadan tinggi, gagah dengan hidung mancung, menatap lurus ke depan, seperti tak menghiraukan keadaan. Sesekali matanya menyapu ke sekelilingnya.

Lelaki berjubah hitam bersenjata tongkat berkepala ular kobra itu menghentikan kudanya di depan sebuah kedai. Siang itu dikedai milik Ki Lambang ramai oleh pengunjung. Si Ular Kobra dari Utara itu sejenak mengamati keadaan di dalam kedai. Bau asap rokok kaung sampai keluar, dan sampai pula ke hidung lelaki berjubah hitam itu.

“Huh...” dengus Sankher. Sankher melompat turun dengan ringannya. Di tangan kanannya memegang sebuah tongkat berkepala ular kobra.

Dengan langkah mantap lelaki gagah bercambang tipis itu memasuki kedai Ki Lambang.

Sankher mengambil tempat duduk yang di tengah ruangan. Dengan kasar tangannya menarik kursi, membuat orang di sekelilingnya terkejut. Seketika mata para pengunjung kedai menoleh.

Ki Lambang mengerutkan kening. Lelaki setengah baya itu melangkah mendekati tamunya yang baru datang.

“Tuan mau pesan apa?” tanya Ki Lambang,

berusaha tersenyum ramah.

Sankher tak menjawab. Hanya matanya yang

melirik Ki Lambang. Kedua tangannya ditaruh di atas meja. Dan napasnya ditarik dalam-dalam.

“Cepat buatkan aku makanan yang paling enak”

pinta Sankher, dengan ucapan yang terdengar kaku.

Wajahnya tanpa menoleh sedikit pun pada Ki Lambang.

“Baik, Tuan.” Namun ketika Ki Lambang hendak melangkah

untuk mengambil makanan, pundaknya ditahan oleh Sankher.

“Tunggu...”

“Ada apa, Tuan...?” tanya Ki Lambang agak gugup.

“Di mana tempat Pendekar Gila? Aku harap kau mau menjawab dengan benar”

Ki Lambang mengerutkan kening. Pertanyaan itu tak segera dijawabnya. Hatinya malah bertanya heran. Ada hubungan apa antara lelaki asing yang misterius ini dengan Pendekar Gila? Teman atau lawan? Bermaksud jahat, atau baik?”

“Hei... Apa kau tuli? Jawab pertanyaanku”

bentak Sankher dengan mata melotot. Nadanya sangat marah, karena merasa pertanyaannya tak digubris.

“Maaf, maaf, Tuan Ada keperluan apa Tuan mencari Pendekar Gila?”

Ki Lambang balik bertanya. Keningnya masih berkerut, tak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki lelaki asing itu. Sankher tampak makin kesal, matanya melotot lebar.

“Huh Jangan banyak tanya” bentak Sankher, bengis. Tangannya yang kekar mencengkeram lengan Ki Lambang. “Jangan banyak mulut, jawab pertanyaanku”

Namun Ki Lambang tetap tak mampu menjawab.

Mulutnya seakan terkunci. Lelaki setengah baya itu masih ketakutan dan heran dengan pertanyaan-pertanyaan tamunya. Dirinya memang tidak tahu di mana Pendekar Gila berada. Sebab dia sendiri hanya dengar nama Pendekar Gila yang sangat kesohor dan disegani itu. Namun belum pemah ketemu sekali pun dengan pendekar muda yang sepak terjangnya sangat dikagumi baik oleh kalangan rimba persilatan maupun rakyat biasa.

“Heh... Kau sengaja memancing kamarahanku, Orang Tua” bentak Sankher dengan kasar. Tangannya mendorong tubuh Ki Lambang dengan keras, hingga terjatuh ke lantai. Kepalanya mem-bentur kaki kursi yang ada di belakangnya.

Brakkk

“Aduh...” pekik Ki Lambang.

Orang-orang yang tengah makan di sampingnya tersentak dengan mata melotot. Mereka marah karena makanannya berantakan, dan merasa

terganggu.

“Bangsat Siapa yang berani berbuat kasar pada Ki Lambang?” maki lelaki berbadan tegap dan kumis melintang dengan pakaian biru tua lengan panjang. Di pinggangnya terselip sebatang golok.

Lelaki yang berambut panjang sebatas bahu, dengan blangkon batik warna coklat bangkit dari duduknya. Tangan kanannya menarik golok yang terselip di pinggangnya.

Srattt

“Sontoloyo ini perlu dikasih pelajaran Yeaaa...”

Lelaki berbadan tegap berkumis melintang yang bernama Subadra membabatkan goloknya ke tubuh Sankher. Namun dengan gerak cepat yang sulit diikuti mata, lelaki dari India itu tahu-tahu telah menghantamkan tongkatnya.

Wuttt

Bukkk

“Aaakh...”

Subadra memekik, ketika punggungnya terpukul tongkat Sankher. Subadra mundur satu tombak ke belakang, kemudian dengan cepat kembali

menyerang lawan yang masih duduk dengan tenang di tempatnya.

“Heaaa...”

Wuttt

Krakkk

“Aaakh...” Subadra memekik. Matanya mem-

belalak lebar. Sesaat tubuhnya mengejang, lalu ambruk dengan keadaan mengerikan. Keningnya pecah kena pukulan tongkat sakti berkepala kobra itu. Darah segar bercampur lendir kuning mengalir dari kepalanya.

Menyaksikan kejadian itu, para pengunjung kedai seketika bertambah benci pada Sankher, orang asing dari India itu. Mereka memandang penuh kemarahan.

“Kurang ajar Hei orang asing... Biadab Jangan kau pikir bisa bertindak sesukamu” bentak Parta, lelaki berumur tiga puluh lima tahunan yang telah mencabut goloknya, diikuti lima orang lelaki lain.

Srattt

Srattt

“Serang...” seru Parta yang berpakaian seperti pesilat warna hitam lengan panjang. Dadanya yang tak tertutup tampak bidang.

“Heaaa...”

“Habisi orang keparat itu Bunuh”

Lima orang temannya melesat maju. Mereka

berbadan tegap dan berkumis tipis. Tiga di antara mereka berjenggot lebat.

Dengan golok yang berkilat seperti meminta guyuran darah, mereka membabat lelaki asing itu.

Namun belum juga bisa menyarangkan serangan, Sankher bergerak secepat kilat. Tongkat di tangannya berkelebat tanpa dapat diikuti mata. Wuttt

Prak Prak Prakkk

“Aaa...”'

Dalam sekali gebrak jeritan kematian memecah suasana siang itu. Tiga orang dengan kening dibasahi darah, kini meregang nyawa. Mata mereka melotot, menahan rasa sakit yang tiada terkira. Gigi-gigi mereka saling beradu. Kemudian tubuh ketiga lelaki itu ambruk bersamaan. Kepala mereka retak.

Mengerikan

Melihat kenyataan tersebut wajah Parta seketika memucat. Kumisnya yang tebal, kini tiada artinya lagi.

Matanya membelalak tegang. Tubuhnya gemetaran diguncang rasa takut. Begitu pun dua temannya yang masih hidup. Mereka gemetaran tak mampu

menyembunyikan rasa takut.

Sementara pengunjung lain yang masih duduk di kursi masing-masing bergegas meninggalkan kedai, setelah meninggalkan uang bayaran di meja. Mereka merasa ngeri menyaksikan tindakan lelaki misterius itu. Hanya dengan sekali gebrak, orang-orang persilatan itu tak mampu berkutik. Padahal keempat korbannya merupakan orang-orang yang ditakuti di Kadipaten Bantulan.

Sankher tersenyum sinis. Tangan kanannya masih memegang tongkat saktinya yang berlumuran darah.

Disekanya darah itu dengan tangan kiri. Kemudian didekati ketiga lawannya yang ketakutan.

“Katakan, di mana Pendekar Gila berada?”

bentaknya garang.

“Kami... kami tak tahu di mana Pendekar Gila kini berada, Tuan. Betul, Tuan... Ampuni kami” jawab Parta dengan suara gemetaran, sambil menundukkan kepala. “Kau rupanya juga ingin bernasib seperti

temanmu itu, ya?” bentak Sankher lebih keras.

“Sekali lagi aku tanya, di mana Pendekar Gila itu berada?”

“Tuan...” salah seorang lelaki kurus dengan hidung mancung betet berseru sambil mendekat ke depan. Sankher menoleh dan memandang tajam wajah lelaki mengenakan blangkon hitam, tanpa memakai baju.

“Tuan..., kalau Tuan mau cari Pendekar Gila, sebaiknya Tuan bisa datang ke Perguruan Elang Sakti.”

“Hm Di mana tempat perguruan itu?” tanya Sankher mengangguk sinis.

“Di balik lembah sana, Tuan,” jawab lelaki yang bernama Widura sambil menunjuk arah barat.

“Kalau kau membohongiku, nyawamu melayang”

ancam Sankher sambil menjulurkan tongkat saktinya ke leher Widura.

Sankher tak banyak bicara. Kakinya melangkah meninggalkan kedai itu. Langkahnya mantap dan nampak tenang, seakan tak pernah berbuat

kesalahan, atau melakukan sesuatu.

Parta dan kedua temannya hanya memandangi kepergian lelaki itu, dengan perasaan kesal dan malu.

“Kenapa kau beri tahu pada orang asing itu?

Apakah kau tahu kalau Pendekar Gila berada di Perguruan Elang Sakti?” tanya Parta dengan mata melotot.

“Aku, aku hanya.... Hm, aku hanya bermaksud agar lelaki asing itu cepat pergi dari sini,” jawab Widura dengan gemetaran.

“Gila kamu Nanti kalau kebohonganmu itu

terbukti, desa ini akan dibumihanguskan Ia akan murka Bodoh...” bentak Parta dengan geram lalu menggeleng-gelengkan kepala.

Widura hanya menunduk dengan mata lembab.

Lelaki kurus dengan kumis tipis dan mata cekung itu masih gemetaran. Seakan-akan hatinya menyesal dengan kebohongannya pada Sankher.

“Kalau Desa Babakan ini diobrak-abrik lelaki asing itu, kau harus menanggung akibatnya” kata Parta lagi dengan marah.

Selesai berkata begitu, Parta dan kedua

temannya keluar dari kedai itu.

*** 3

Sore itu juga Sankher telah sampai di Perguruan Elang Sakti. Ki Putih Maesaireng terkejut, ketika beberapa anak buahnya berlarian di halaman perguruan dengan wajah ketakutan, disertai teriakan.

Lelaki berusia enam puluh tahunan itu melompat ke luar dari dalam padepokannya, diikuti dua orang kepercayaannya, Kanta dan Satya.

Belum sempat Ki Putih Maesaireng dan kedua murid utamanya mencapai halaman padepokan, telah terdengar jeritan kematian.

“Aaakh...”

Wuttt

Prak Prakkk

Beberapa orang murid Perguruan Elang Sakti tergeletak berlumuran darah. Tongkat sakti berkepala ular kobra milik Sankher menghantam mereka yang berusaha menghalanginya. Jerit kesakitan dan kematian ada di sana sini.

“Hei orang asing Apa urusanmu menyakiti murid-muridku...?” teriak Ki Putih Maesaireng marah. Lelaki tua itu telah menghadang kuda putih yang

ditunggangi Sankher. Ketika memasuki halaman Perguruan Elang Sakti.

Si Ular Kobra dari Utara hanya mendengus sinis.

Matanya menatap tajam Ki Putih Maesaireng dan kedua pengawalnya. “Aku datang untuk mencari Pendekar Gila dan akan mencincangnya...”

Ki Putih Maesaireng mengerutkan kening, sambil menoleh ke Kanta. Kemudian kembali menatap Sankher dengan tajam.

“Apa urusanmu ingin bertemu dengan Pendekar Gila?” tanya Ki Putih Maesaireng penuh selidik.

“Jangan banyak tanya Serahkan Pendekar Gila padaku...” bentak Sankher.

Mendengar bentakan itu Ki Putih Maesaireng marah. Begitu pula Kanta dan Satya. Kedua orang andalan Perguruan Elang Sakti itu segera mengeluarkan keris berukuran panjang.

Si Ular Kobra dari Utara melihat itu hanya tersenyum sinis. Dengan tongkat saktinya lelaki berjubah hitam itu menuding Ki Putih Maesaireng.

“Kau lebih baik serahkan Pendekar Gila itu, atau nyawamu kucabik-cabik dengan tongkatku ini”

“Kurang ajar Kalau saja Pendekar Gila ada di sini, kau akan menerima nasib yang sama dengan orang-orang yang kau bunuh itu” kata Ki Putih Maesaireng geram. “Serang...”

“Heaaa...”

Secepat angin Kanta dan Satya melesat terbang bagai burung elang. Kemudian menukik ke tubuh Sankher yang masih duduk di punggung kudanya.

Melihat dua lelaki berpakaian serba kuning dengan ikat pinggang hitam itu menyerang, Sankher tidak tinggal diam. Lelaki berjubah seperti orang India itu dengan tenang menyambut serangan Kanta dan Satya.

“Heaaa...”

Wuttt

Trak Trakkk

Tongkat berkepala ular kobra di tangan Sankher memapak keris kedua murid utama Ki Putih

Maesaireng.

“Heaaa...” Dugk Dugk

“Aaah...”

Terdengar pekikan Kanta dan Satya. Rupanya ketika kedua orang andalan Ki Putih Maesaireng itu menusukkan keris ke arah kepala lawan, dengan gerakan cepat, yang sukar dilihat dengan mata biasa Sankher telah mendahului dengan serangan balik.

Tak pelak lagi pinggang Kanta dan Satya terkena pukulan tongkat sakti lelaki asing itu.

Tubuh Kanta dan Satya terguling di tanah. Namun kedua lelaki andalan Ki Putih Maesaireng itu kembali bangkit, walaupun sambil memegangi pinggang masing-masing.

Kemudian keduanya langsung mempersiapkan

jurus andalannya, 'Elang Mengejar Mangsa'. Sankher melompat dari atas kudanya, lalu dengan tenang menghadapi kedua lawannya.

“Heaaa...”

Kanta dan Satya serentak melakukan serangan dengan jurus andalannya. Namun lelaki dari daratan India itu dengan gesit mengelakkan, semua serangan yang dilancarkan kedua lawan.

Tongkat di tangan Sankher bergerak cepat, memburu kepala lawan.

“Heaaa...”

Wuttt

Plak Plakkk

“Aaakh...”

“Aaakh...”

Pekikan kematian terdengar dari kedua orang andalan Ki Putih Maesaireng. Kedua lelaki berpakaian kuning itu ambruk dan tertelungkup ke tanah. Darah segar mengalir keluar dari kepala mereka. “Hah...?”

Ki Putih Maesaireng marah melihat kedua orang andalannya dikalahkan oleh lelaki berkuda putih itu dalam beberapa gebrakan. Padahal ilmu silat yang dimiliki Kanta dan Satya cukup handal. Dengan diliputi kemarahan, pimpinan Perguruan Elang Sakti itu melesat melakukan serangan.

“Heaaa...”

Lelaki tua berjenggot putih itu merentangkan kedua tangan, membentuk sebuah sayap lebar.

Kemudian dengan cepat tangan kanannya menghantam ke dada lawan. Disusul pula sambaran tangan kiri ke kepala lawan. Sedangkan sepasang kakinya bergerak cepat secara bergantian, mencecar kaki lawan.

Melihat serangan lawan yang begitu cepat, Sankher tak mau menganggap enteng. “Hm..., lumayan juga ilmu silat lelaki tua ini,” gumamnya dalam hati.

Tongkat di tangannya diputar cepat, membentuk baling-baling. Begitu cepatnya putaran itu hingga yang nampak hanyalah warna hitam yang membungkus tubuh Ki Putih Maesaireng.

Melihat Ki Putih Maesaireng tampak kesulitan menghadapi orang asing itu, maka tanpa diperintah, tujuh belas murid Perguruan Elang Sakti langsung bergerak maju. Dengan golok terhunus, mereka mengepung kedua orang yang masih bertarung itu.

Sankher dan Ki Putih Maesaireng terus bertarung.

Keduanya saling menunjukkan ilmu silat yang mereka miliki. Tak percuma Ki Putih Maesaireng mendapat kepercayaan memangku jabatan sebagai Pemimpin perguruan Elang Sakti. Terbukti lebih dari sepuluh jurus lelaki berjubah hijau itu masih mampu menghadapi Ular Kobra dari Utara. Sejauh itu pun pertarungan masih tampak seimbang. Baik Ki Putih Maesaireng maupun lelaki berjubah hitam ini masih memperlihatkan ketangguhan masing-masing.

Namun belakangan Ki Putih Maesaireng semakin kesal, setelah mendapati serangannya selalu dapat dikandaskan oleh Ular Kobra dari Utara. Tangannya kembali merentang, kemudian diangkat lurus, dilanjutkan dengan menekuknya di samping dada.

Itulah jurus 'Elang Sakti', salah satu jurus andalan Ki Putih Maesaireng.

Tangan kirinya dihentakkan ke depan, sedangkan tangan kanan bergerak menyapu. Kedua kakinya tak tinggal diam. Kaki kanan menendang ke arah pinggang lawan, disusul kaki kiri bergerak menyapu kaki lawan. Itulah jurus 'Elang Sakti Menyambar Mangsa', yang terkenal ganas dan mematikan.

“Hiaaat...”

Sankher tersentak melihat jurus yang dilancarkan Ki Putih Maesaireng. Gerakan lelaki tua berjenggot dan berambut putih itu sangat cepat. Rasanya sulit baginya untuk mengelak. Namun si Ular Kobra dari Utara itu bukanlah tokoh sembarangan. Percuma jauh-jauh dari negeri asalnya datang ke Jawadwipa, kalau dengan mudah dapat dipencundangi Pemimpin Perguruan Elang Sakti.

Sankher menggeser kakinya dua langkah ke

samping. Kemudian dengan cepat tongkat berkepala ular di tangannya dikebutkan ke tubuh Ki Putih Maesaireng. Sementara itu tangan kirinya menepuk keras ke tulang rusuk lawan. Namun Ki Putih Maesaireng masih bisa mengelak ke samping kiri.

Sankher memburu dengan menyapu kaki lawannya.

Ki Putih Maesaireng melompat dan bersalto ke udara. Sankher dengan cepat menebaskan tongkatnya, ketika tubuh lawan kembali mendarat. Hingga....

“Heyaaa..”

Prakkk

“Aaakh...”

Pekik panjang keluar dari mulut Ki Putih

Maesaireng, ketika pukulan senjata lawan mendarat telak di tubuhnya. Sambil kesakitan tubuhnya yang terbalut pakaian hijau melintir lalu ambruk dengan keadaan mengerikan. Tubuh lelaki tua itu terbelah dua. Darah segar seketika bercucuran membasahi tanah di halaman Perguruan Elang Sakti.

“Seraaang...” teriak beberapa murid yang merasa tak tega melihat sang Guru terkapar berlumur darah.

“Heaaa...”

“Serang...”

Tujuh belas murid Perguruan Elang Sakti

menyerbu dan mengurung si Ular Kobra dari Utara.

Namun dengan cepat dan gesit lelaki berjubah hitam itu bergerak memapaki serangan. Dalam beberapa gebrakan saja lima pengeroyoknya tewas dengan kepala pecah. Bagai kesetanan si Ular Kobra dari Utara menghabisi murid-murid Perguruan Elang Sakti.

Sampai akhirnya, tinggal tiga orang yang masih hidup. Sankher sengaja tak membunuh mereka.

“Katakan pada Pendekar Gila dan semua

pendekar di Jawadwipa ini, bahwa aku Ular Kobra dari Utara menantang dan ingin membunuh mereka...”

seru Sankher dengan suara bergema, mantap.

Selesai berkata begitu, kakinya melangkah meninggalkan Perguruan Elang Sakti. Dengan tenang ia memacu kuda putihnya menginjak-injak mayat yang berserakan di halaman perguruan itu.

Setelah kepergian 'tamu' berpakaian ala India itu, ketiga orang yang masih hidup mendekati mayat Ki Putih Maesaireng. Mereka bermaksud membawa mayat sang Pemimpin ke dalam. Namun, tiba-tiba mereka dikejutkan munculnya seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular. Ketiga murid Perguruan Bang Sakti saling mengerutkan kening, melihat sikap pemuda tampan berambut gondrong itu.

Pemuda tampan berpakaian rompi dari kulit ular yang tak lain Sena Manggala tampak cengegesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala.

“Ada malapetaka apa gerangan, Kisanak...?”

tanya
Sena begitu dekat dengan ketiga orang yang berjongkok di dekat mayat Ki Putih Maesaireng.

“Seorang lelaki aneh telah membunuh Ki Putih Maesaireng dan kedua orang pengawalnya, serta lima belas teman kami,” ujar lelaki muda yang bernama Kasnan.

“Betul, Tuan. Lelaki yang mengaku sebagai si Ular Kobra dari Utara itu dengan ganas membunuh orang-orang perguruan kami. Tanpa mengenal belas kasihan” tambah pemuda yang ada di samping kiri Kasnan. Lelaki ini sama dengan teman-temannya yang lain mengenakan pakaian hijau.

“Ah ah ah... Apa urusannya..., eh... apa dia orang gila?” tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

“Kami kurang begitu jelas. Tapi kami dengar, lelaki yang bersenjata tongkat ular itu menentang pendekar-pendekar tanah Jawadwipa ini. Bahkan juga bersumpah ingin membunuh Pendekar Gila...,” ujar Kasnan menegaskan.

Mendengar namanya disebut, Sena mengerutkan kening dan makin menggaruk-garuk kepala.

Kemudian tertawa-tawa sendiri, seperti orang kurang waras. “Aneh? Salah apa aku pada orang aneh itu?

Bertemu pun belum pernah...? Kenapa dia ingin menantangku...?” Sena bertanya-tanya dalam hati.

“Apakah Kisanak mengenal lelaki aneh itu?”

tanya Kasnan lagi.

Sena hanya menggelengkan kepala, dan terus cengegesan.

“Setelah Desa Kanginan dan Babakan. Kini

Perguruan Elang Sakti. Aku harus cepat memburu manusia gila itu” gumam Sena lirih.

Sena lalu berjongkok, membalikkan tubuh Ki Putih Maesaireng. Diusapnya wajah lelaki tua itu yang penuh dengan darah. Pemuda berambut gondrong yang lebih kesohor dengan julukan si Pendekar Gila itu tampak menyesali dirinya. Sena tahu bahwa Ki Putih Maesaireng merupakan tokoh lurus beraliran putih.

“Sebaiknya kita cepat menguburkan Ki Putih Maesaireng dan yang lainnya” saran Sena pada Kasnan dan kedua temannya.

Sena dengan ketiga orang itu mulai

mengumpulkan mayat-mayat itu, untuk dikuburkan.

***

Sena pagi itu masih berada di Perguruan Elang Sakti, karena malam tadi menginap di perguruan itu.

Maksudnya ingin menunggu kedatangan si Ular Kobra dari Utara. Karena Sena memperkirakan pembunuh berdarah dingin itu akan kembali. Namun ternyata tidak.

“Aha Sebaiknya kalian bertiga jaga perguruan ini.

Jangan ditinggalkan Mungkin sewaktu-waktu aku datang, untuk melihat keadaan di sini,” ujar Sena sebelum pergi.

“Tapi, siapakah Tuan sebenarnya?” tanya Kasnan ingin tahu.

“Ah ah ah... Tak perlu tahu. Yang jelas aku akan mencari lelaki pembunuh keji itu sampai dapat. Aku hanya orang biasa seperti kalian,” tutur Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala dan cengegesan.

“Terima kasih, Tuan...,” kata Kasnan sambil menjura, diikuti kedua temannya. Ketiga murid Perguruan Elang Sakti itu tampaknya dapat membaca penampilan Sena sebagai seorang pendekar.

Sena tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk

kepalanya. Lalu melangkah pergi meninggalkan Perguruan Elang Sakti.

Kasnan dan kedua temannya memandangi

kepergian Sena dengan berbagai perasaan.

“Pemuda gagah itu tingkahnya seperti orang gila.

Apakah dia yang bernama Pendekar Gila dari Goa Setan itu...?” gumam Kasnan.

Hembusan angin pagi bertiup sejuk, diwarnai nyanyian riang burung menyambut kehadiran matahari menyinari bumi mayapada. Embun-embun belum semuanya pupus dari rerumputan dan daun pohon. Namun tiba-tiba....

“Heaaat...”

“Ceaaat...”

Tampak sepasang muda-mudi tengah terlibat pertarungan. Yang seorang lelaki berusia dua puluh lima tahunan. Rambutnya yang panjang melewati bahu diikat Tubuhnya yang kekar dan berisi terbungkus pakaian silat warna putih dengan ikat pinggang merah. Sedang yang satu lagi seorang gadis yang usianya tak jauh berpaut. Pakaiannya yang merah delima sangat serasi dengan kulitnya yang kuning langsat.

Kedua muda-mudi itu tampak melesat dengan ringan ke atas. Kemudian tubuh keduanya saling bersalto. Sesekali menyerang dan menangkis serangan lawan, diiringi teriakan-teriakan melengking memecah suasana pagi di sekitar air terjun itu.

Wuttt, wuttt

Trangngng

“Hiaaa...”

“Yeaaat..”

Setelah saling menyerang, dengan cepat mereka melontarkan tubuh ke belakang. Tubuh keduanya berjumpalitan di udara beberapa kali, sebelum akhirnya mendarat di atas sebuah batu licin.

Trap

Keduanya saling pandang. Pedang di tangan mereka disilangkan di depan dada. Secara

bersamaan tangan kiri mereka digerakkan ke depan, membuka suatu jurus. Sedangkan kaki yang menginjak batu, digeser sedikit ke samping. Menjadikan tubuh mereka kini dalam posisi miring.

“Kau sudah semakin cepat menggunakan

pedangmu, Sundari...,” seru sang Pemuda memuji gadis cantik berpakaian merah delima yang ternyata bernama Sundari.

“Tapi aku masih belum puas, Kakang. Aku ingin teruskan latihan ini sampai aku betul-betul puas...”

sahut Sundari sambil memandangi Sawung Rana, kekasihnya.

“Heaaat..”

Sundari menebaskan pedangnya ke arah Sawung Rana. Pemuda itu cepat melompat dan bersalto dua kali, kemudian mendaratkan kaki jauh di hadapan Sundari. Di tepi air terjun. Sundari melompat mem- buru Sawung Rana. Keduanya kini kembali saling serang dan tangkis.

Tubuh Sundari melesat sambil bersalto di udara laksana seekor burung elang kelaparan. Tangan kirinya bergerak lincah melakukan pukulan dan tangkisan. Sedangkan tangan kanan menebaskan pedang dengan cepat.

“Hiaaat...”

Wuttt Wuttt

Srat Srattt

Pedang di tangan Sundari menebas air terjun di sampingnya. Namun air itu masih saja terpercik, pertanda gerakannya belum sempurna.

“Heaaat...” Sawung Rana pun melesat, lalu bersalto di udara dengan tangan kiri memukul ke depan. Kemudian disusul dengan tebasan pedang ke air terjun itu.

Wuttt.. Prattt

Air terjun masih terpercik, menandakan gerakannya pun belum sempurna. Namun Sawung Rana tak puas begitu saja. Setelah bersalto mundur di udara, tubuhnya kembali mencelat dan membabatkan pedang ke air terjun.

“Heaaa...”

Wuttt

Kali ini air terjun itu tidak terpercik sedikit pun, membuat mata Sundari membelalak. Mulutnya menganga tanpa sadar, menyaksikan hasil yang telah diperoleh sang Kekasih.

Tubuh Sawung Rana bersalto ke belakang sambil memukulkan tangan kirinya ke depan. Kemudian kakinya kembali hinggap di atas batu di kolam air terjun itu. Dengan tersenyum pedangnya kembali dimasukkan ke dalam sarung. “Kau telah berhasil, Kakang...” seru Sundari ikut gembira.

“Ya. Kau pun sudah mulai berhasil, Dimas,” sahut Sawung Rana dengan napas sedikit terengah-engah.

“Bagaimana? Apakah Dimas mau melanjutkan...?”

Sundari menggelengkan kepala. Lalu melompat mendekati Sawung Rana.

“Kalau begitu kita kembali ke pondok. Kau nampak kelelahan,” ujar Sawung Rana kemudian. Ia mengajak Sundari pergi dari tempat itu.

Tiba-tiba wajah Sundari nampak berubah sedih.

Sawung Rana heran. Melihat kekasihnya tiba-tiba saja menampakkan kesedihan.

“Ada apa kiranya, Dimas? Apa yang sedang Dimas risaukan...?” tanya Sawung Rana ingin tahu.

“Entahlah, Kakang. Tiba-tiba aku teringat pamanku Ki Putih Maesaireng,” jawab Sundari lemah.

“Mungkin pamanmu juga sedang teringat

padamu, Dimas,” sahut Sawung Rana coba

menyenangkan hati kekasihnya. “Kalau perlu besok kita bisa menjenguk pamanmu. Bagaimana...?”

Sundari menatap Sawung Rana, hatinya merasa lega dengan ajakan sang Kekasih.

“Apa kau benar-benar akan mengajakku, Kang?”

tanya Sundari dengan senyum manis.

Sawung Rana merangkul kekasihnya dengan

lembut. Keduanya kemudian meneruskan langkah menuju pondok mereka, yang ada di atas bukit dekat air terjun itu.

Baru saja kedua muda-mudi itu sampai di

pelataran pondok yang terbuat dari daun pandan kering, tiba-tiba terdengar teriakan orang minta tolong.

“Tolooong...” Seketika Sawung Rana dan Sundari menoleh ke belakang dan memandang ke asal suara teriakan itu.

Seorang lelaki berpakaian rompi hijau berlari menyongsong mereka, tapi jatuh tersandung batu.

Sawung Rana cepat menghampiri lelaki itu. Ternyata Kasnan, murid Perguruan Elang Sakti.

“Kang Kasnan...?” pekik Sundari setelah

mengenali lelaki itu.

“Ada apa, Kang?” tanya Sawung Rana sambil memegangi Kasnan.

“Orang itu membakar Perguruan Elang Sakti.... la kembali membunuh orang-orang perguruan

lainnya...” tutur Kasnan dengan napas tersengal-sengal.

“Siapa orang yang kau maksud itu, Kang...?”

tanya Sawung Rana, penuh harap.

“Siapa? Apa yang telah terjadi dengan Paman Putih Maesaireng...?” tambah Sundari cemas sekali.

“Ampun... Saya terlambat memberitahukan berita ini,” kata Kasnan dengan tersendat-sendat.

“Berita apa?” tanya Sundari makin cemas.

“Ki Putih mati. Dibunuh lelaki aneh itu...,” kata Kasnan menjelaskan.

“Hah? Oh... Paman...”

Sundari sangat terpukul hatinya mendengar berita itu. Dirinya semakin sedih dan menangis.

“Ternyata firasatku benar, Kakang,” ucap Sundari sambul menangis. Lalu Sundari bergerak ingin pergi.

Sawung Rana cepat mencegahnya.

“Dimas.... Sabarlah Mari kita rundingkan bersama. Aku yakin orang aneh itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi,” ujar Sawung Rana coba meredakan amarah kekasihnya.

“Bagaimana mungkin aku harus bersabar, Kakang? Belum sempat aku membalas jasa-jasa paman yang telah merawatku, sejak kedua orang tuaku meninggal. Aku merasa berdosa...,” ucap Sundari denga nada sedih.

“Aku mengerti, Dimas. Tapi kita harus berpikir panjang. Sebab yang akan kita hadapi tentunya bukan orang sembarangan. Buktinya, pamanmu yang memiliki ilmu silat yang di atas kita, dapat ditaklukkan,” Sawung Rana coba mengingatkan Sundari.

“Benar,” sambung Kasnan, “Lelaki aneh itu juga menantang semua pendekar yang ada di Jawadwipa ini. Termasuk Pendekar Gila dari Goa Setan.”

“Hah?” Sawung Rana tersentak. Mengerutkan kening. Demikian pula dengan Sundari. Keduanya saling pandang.

“Setelah kematian Ki Putih Maesaireng, datang seorang pendekar muda, yang tingkahnya seperti orang gila. Pemuda itu menolong kami menguburkan mayat-mayat, termasuk jasad Ki Putih Maesaireng...,”

jelas Kasnan kemudian. “Apakah Tuan mengenal pemuda yang bertingkah seperti orang gila itu?”

tanyanya penasaran.

“Ya.... Dialah Pendekar Gila dari Goa Setan,”

jawab Sawung Rana sambil menganggukkan kepala.

“Sudah aku duga...,” gumam Kasnan lirih.

Sawung Rana berpikir sejenak sambil memegangi kening. Ia lalu menoleh ke wajah Sundari yang masih bersedih.

“Dimas, sebaiknya kita cari Pendekar Gila, untuk melawan laki-laki aneh itu. Kita berdua tak mungkin dapat mengalahkannya. Tapi kalau memang kita bertemu dengan lelaki itu. Apa boleh buat,” ucap Sawung Kana. “Terserah Kakang,” jawab Sundari lemah.

“O, ya. Tadi Kang Kasnan tampak ketakutan. Apa lelaki itu mengejarmu, Kang?” tanya Sawung Rana kemudian.

“Betul, Tuan. Tapi sempat dihadang oleh orang-orang Desa Babakan yang marah. Karena

terbunuhnya orang-orang desa itu,” tutur Kasnan.

“Kalau tidak mungkin saya sudah mati....”

“Hmmm”

Sawung Rana menghela napas panjang, lalu

berpaling ke arah Sundari yang ada di sebelah kirinya.

“Dimas, sebaiknya kita cepat pergi. Sebelum orang itu menemukan kita di sini.”

Lalu Sawung Rana mengajak Sundari pergi dari pondok itu.

“Kang Kasnan sebaiknya tinggal saja di pondok kami” kata Sawung Rana sebelum pergi.

“Baik, Tuan.”

Sawung Rana dan Sundari melesat pergi

meninggalkan pondok itu. Keduanya seperti sepasang elang melesat bagai terbang menuju perbukitan.

*** 4

Semilir angin pagi menerpa dedaunan di Bukit Lawa.

Tampak sepasang muda-mudi yang tak lain Sawung Rana dan Sundari tengah melesat melintasi jalan tanah di antara perbukitan hijau. Dilihat dari gerakan mereka yang cepat dan gesit, jelas keduanya sama-sama mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Mereka bagai dua ekor kijang melompat-lompat di atas batu dan tanah keras. Tak lama kemudian keduanya berhenti di puncak bukit Mata mereka memandang ke perbukitan itu. Seakan merasa khawatir kalau-kalau ada orang yang mengikuti mereka.

Sawung Rana dan Sundari hendak menuju

Perguruan Elang Sakti untuk melihat keadaan perguruan yang telah diporak-porandakan si Ular Kobra dari Utara.

“Kita tak jauh lagi dari Perguruan Elang Sakti, Dimas. Waspadalah” kata Sawung Rana sambil terus melangkah di samping Sundari.

Sundari hanya menganggukkan kepala pelahan.

Matanya memandangi sekeliling tempat itu dengan tajam. Pendengarannya pun dipasang untuk

menangkap suara apa saja di sekitar tempat itu.

“Kakang, aku merasakan sesuatu di belakang kita,” bisik Sundari sambil menoleh ke wajah Sawung Rana.

“Hm...” Sawung Rana hanya bergumam pendek.

Suasana di perbukitan itu memang sunyi dan sepi.

Yang terdengar hanya suara desah angin dan kicau burung. Pasangan muda-mudi itu terus melangkah menuruni jalan terjal berbatu-batu. Dan ketika sampai di sebuah tempat datar tiba-tiba....

“Kisanak, tunggu...”

Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat

langkah Sawung Rana dan Sundari terhenti.

Kemudian perlahan tubuh mereka berbalik,

menghadap ke orang yang menegurnya.

Empat orang lelaki telah berdiri di belakang pasangan muda-mudi yang berpakaian putih dan merah delima itu.

Satu dari keempat lelaki itu tak lain Guntala, Pemimpin Perguruan Bintang Mas yang diam-diam mengikuti sepak terjang Sankher. Dengan sinis Guntala memandang tajam wajah Sawung Rana dan Sundari.

“Ada keperluan apa, Kisanak menghentikan

langkah kami?” tanya Sawung Rana. Tangan kanannya tampak memegang pedang.

“Ha ha ha...” Guntala tertawa, “Kalian tentu ingin mencari orang asing yang aneh itu, bukan?”

Sawung Rana dan Sundari mengerutkan kening, keduanya lalu saling pandang. Keduanya heran, karena lelaki yang tak dikenalnya mengetahui tujuan mereka.

“Bagaimana Kisanak bisa tahu?” tanya Sawung Rana menyeledik.

“Ha ha ha... Aku orang serba tahu. Mungkin aku bisa membantu kalian berdua, untuk menemukan orang asing itu. Ha ha ha...” Guntala tertawa sambil mengelus-elus jenggotnya yang hitam lebat. Matanya melirik nakal ke arah buah dada Sundari yang nampak menonjol di balik pakaian silatnya.

Sundari membelalakkan mata, ketika tahu dadanya sedikit terbuka. Gadis itu cepat merapikan pakaiannya, “Bajingan Lelaki tua tak tahu diri, huh”

rungut Sundari dalam hati.

“Tapi kami belum pernah mengenalmu, Kisanak.

Bagaimana kami mempercayaimu?” sahut Sawung Rana tegas. “Lagi pula aku tak membutuhkan bantuanmu. Maaf...”

“He he he Kalian akan menyesal. Kau berdua akan mati seperti pendekar-pendekar lainnya. Sayang kalau kalian yang masih muda-muda ini harus mati begitu cepat,” ujar Guntala mencoba membujuk Sawung Rana dan Sundari.

Sawung Rana mengerutkan kening, lalu saling pandang dengan Sundari. Keduanya nampak berpikir dan menimbang kebenaran ucapan Guntala.

“Kenapa Kisanak mau membantuku?” tanya

Sawung Rana agak mendesak.

“Hm.... Bukankah kita hidup harus saling

menolong? Dan kau harus tahu, bahwa aku juga ingin melenyapkan lelaki aneh itu,” kata Guntala mencoba meyakinkan Sawung Rana.

Sawung Rana mengangguk-anggukkan kepala.

Seakan hatinya membenarkan ucapan Guntala.

Namun, Sundari merasakan ketidakberesan lelaki tua di hadapannya itu. Perasaan kewanitaannya lebih tajam.

“Kakang...” seru Sundari.

“Ada apa, Dimas?”

“Sebaiknya Kakang tidak menerima bantuan

lelaki itu. Aku...”

Ucapan Sundari yang pelan, seperti berbisik itu tak berlanjut, karena Sawung Rana cepat menukas.

“Kisanak, aku sangat berterima kasih atas maksud baikmu. Namun, aku belum bisa mem- percayaimu.”

Sundari merasa lega mendengar ucapan

kekasihnya. Gadis itu menghela napas panjang.

“He he he... Aku tak dapat memaksa kalian. Tapi, ingat Kalian akan menyesal. Lelaki si Ular Kobra itu akan menghabisi kalian” ujar Guntala dengan suara ditekan berat. “Dan, kalau kalian bertemu dengan Pendekar Gila, tolong sampaikan pesanku. Paman Dewi Pandagu kirim salam”

Mendengar ucapan Guntala yang seakan menjadi sahabat Pendekar Gila, membuat Sawung Rana dan Sundari jadi mengerutkan kening. Keduanya saling pandang.

“Hm, maaf Kisanak Apa Pendekar Gila pernah menemuimu...?” tanya Sawung Rana, yang mulai termakan tipu muslihat Guntala. Dan pemuda yang masih hijau dalam dunia persilatan itu, memang masih labil dan mudah percaya. Apalagi dirinya belum paham benar tentang hubungan Pendekar Gila dan Dewi Pandaku. Hanya Sundari yang sedikit pernah mendengar berita tentang bekas Pemimpin

Perguruan Bintang Mas itu dari pamannya, Ki Putih Maesaireng. Itu pun hanya sedikit.

“Terus terang saja, sebenarnya aku ingin bertemu Pendekar Gila dari Goa Setan, untuk menangkap dan segera melenyapkan si Ular Kobra dari Utara”

tambah Guntala dengan wajah menggambarkan kecemasan.

Sawung Rana dan Sundari makin termakan tipu muslihat Guntala. Sundari yang semula mencurigai maksud buruk Guntala, kini justru meminta maaf.

“Kisanak, maafkan kalau tadi kami kurang ramah, pada Kisanak...,” ucap Sundari kemudian. Tentu saja dengan senyum tersungging di wajahnya. “Tak apa-apa. Wajar kalau wanita seperti kau mempunyai kecurigaan demikian terhadap orang seperti aku ini,” jawab Guntala diiringi senyum yang dibuat-buat.

Sejenak mereka diam. Hanya perasaan masing-masing yang sedang bergolak.

“Kisanak, sebaiknya kita tak perlu lama-lama lagi.

Kalau Kisanak berdua tak keberatan, bagaimana kalau kita rundingkan rencana melenyapkan si Ular Kobra dari Utara itu di pondok kami,” ajak Guntala tiba-tiba memecah keheningan.

“Baiklah...,” wajab Sawung Rana setelah minta persetujuan Sundari.

Maka mereka segera pergi meninggalkan Bukit Lawa yang angker itu. Sawung Rana dan Sundari berjalan paling depan. Di samping Sundari tampak Guntala yang sejak tadi tergiur kemontokan tubuh gadis itu. Sedangkan tiga orang anak buah Guntala mengiringi di belakang. Ketiganya mengenakan pakaian serba hitam dengan dada terbuka. Ikat kepala mereka pun sama, hitam. Wajah mereka tidak menampakkan kebengisan. Biasa-biasa saja. Hanya kumis tebal melintang di atas bibir mereka.

“Tak jauh lagi. Di balik lembah itu pondok kami...,”

ujar Guntala dengan suara agak serak. Matanya terus melirik ke dada Sundari yang montok.

Pimpinan Perguruan Bintang Mas itu sengaja tidak membawa Sawung Rana dan Sundari ke tempat perguruannya, karena takut diketahui siapa dia sebenarnya. Karena itu Guntala membawa Sundari dan Sawung Rana ke pondok yang biasa

digunakannya sebagai persembunyian, bila

menghadapi sesuatu masalah. Seperti ketika dirinya meninggalkan Dewi Pandagu, setelah bertengkar pendapat dengan keponakannya itu.

Guntala memang mempunyai sifat buruk. Senang mempermainkan wanita, bahkan pernah bermaksud menguasai Perguruan Bintang Mas, yang dipimpin Dewi Pandagu.

“Masih jauh, Kisanak...?” tanya Sundari mulai cemas.

“Tidak, tidak jauh lagi. Setelah kita menuruni lembah, sudah tak jauh,” jawab Guntala diiringi senyum hambar. Matanya tak henti-henti melirik buah dada Sundari. Tampaknya gadis itu belum merasakan kalau dirinya sedang diperhatikan.

Jalanan yang dilalui semakin sunyi dan terasa angker. Jauh dari pemukiman penduduk. Batu-batu cadas tampak di sana-sini. Hati Sundari semakin cemas. Sejenak gadis berpakaian merah delima itu menghentikan langkah.

“Ada apa, Dimas?” tanya Sawung Rana heran.

Sundari tak menjawab. Gadis cantik itu hanya menghela napas panjang.

“Ada sesuatu Kisanak...?” tanya Guntala berpura-pura merasa khawatir.

“Tidak. Hanya...,” Sundari tak meneruskan ucapannya. Kemudian kembali melangkahkan

kakinya.

Ketika sampai di suatu dataran yang sekelilingnya ditumbuhi pepohonan rindang dan besar, tiba-tiba....

“Heaaa...”

“Aist... Heh?”

Salah seorang anak buah Guntala menyerang Sawung Rana secara membokong. Namun pemuda tampan itu tampaknya telah merasakan ketidakberesan itu. Hingga dengan cepat menjatuhkan diri lalu bergulingan di tanah. “He he he...”

Sementara Sundari pun mendapat perlakuan

kurang sopan dari Guntala. Lelaki setengah tua itu, dengan gerakan cepat menarik lengan Sundari disusul dengan remasan tangan kanannya ke buah dada gadis cantik itu.

“Akh...” pekik Sundari sambil menepiskan tangan Guntala. Lalu cepat menjauhi lelaki tua keladi itu, sambil memasang kuda-kuda.

“He he he... Ck ck ck... Kau membuat

kelelakianku tergoda, Cah Ayu. He he he...” Guntala dengan mata liar memandangi keindahan tubuh Sundari yang sintal dan sangat menggairahkan itu.

Lidahnya menjulur keluar, membasahi bibirnya sendiri.

“Tua bangka tak tahu diri...” sungut Sundari dengan muka merah. Mata Sundari menatap tajam Guntala yang melangkah mendekatinya. Sementara tangan dan kakinya sudah mengatur kedudukan, memasang kuda-kuda.

“He he he... Cah Ayu, kau tak usah marah

Menurutlah, sebelum kau menyesal...,” bujuk Guntala, sambil mengusap-usapkan dadanya.

Matanya terus menatap dengan nakal tubuh Sundari.

“Dasar laki-laki cabul... Heaaat...”

Sundari yang sudah tak sabar lagi, langsung menyerang Guntala. Dibabatkan pedangnya ke ulu hati lelaki setengah baya itu. Namun Pemimpin Perguruan Bintang Mas itu berilmu silat yang cukup tinggi. Terbukti dengan mudah mengelakkan serangan lawan. Dimiringkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan. Lalu melompat mundur.

“He he he..., eits Sabar, Cah Ayu Kau tampak cantik dan membuatku semakin bernafsu, jika marah begitu.... Ayolah”

Guntala terus meledek, bahkan sekan tak peduli dengan pedang Sundari yang terus mencecarnya.

Dengan merebahkan tubuh dan berguling ke tanah, Guntala mengelakkan serangan gadis berpakaian merah delima itu.

“Heaaattt...”

“Eit... Heaaa...”

Guntala mulai beraksi. Dengan lincah lelaki tua itu menangkis dan melancarkan serangan balik ke tubuh lawan. Sundari tersentak melihat serangan balik Guntala yang cepat. Membuat ia menarik pedangnya ke depan dada. Kemudian menarik napas sejenak dan kembali membuka serangan.

“Heaaat...”

“Heits Hih...”

Degk Degk

“Aaakh...”

Sundari memekik kesakitan, ketika pukulan Guntala bersarang telak di tengkuk dan punggungnya.

Tubuhnya terhuyung-huyung sambil memegangi tengkuknya. Wajah gadis cantik itu memerah karena marah.

“He he he... Menyerah sajalah kau, Cah Ayu. He he he...” ejek Guntala sambil mendekati Sundari yang masih kesakitan. Namun ketika lelaki setengah baya itu berada satu tombak di depannya, tanpa diduga Sundari dengan cepat membabatkan pedangnya. Lelaki tua yang memiliki ilmu silat dua tingkat dari lawannya, dengan cepat merebahkan badan ke belakang. Sedangkan tangannya coba menangkis serangan Sundari.

“Heaaat...” Wuttt

“Aits Hea...” Guntala berjumpalitan ke belakang, ketika Sundari mencecarnya. Lalu kakinya hinggap pada sebuah batu besar. Dan selamatlah lelaki tua keladi itu. “Hi hi hi... Percuma kau melawanku, Manis. Hi hi hi...”

Guntala mengejek Sundari sambil mengusap-

usap jenggotnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang.

Sundari yang kini berada di bawah, memandang lelaki itu dengan penuh kebencian.

Sementara itu Sawung Rana masih bertarung sengit melawan tiga anak buah Guntala.

“Kurung dia...” seru salah seorang dari ketiga anak buah Guntala.

“Heaaa...”

“Yeaaat...”

Trang Trang

Pedang Sawung Rana dan golok ketiga lawannya beradu. Mengeluarkan percikan sinar api. Dengan gesit dan cepat, Sawung Rana menyerang dan menangkis serangan lawan. Ketiga lawannya sempat tersentak, ketika babatan pedang pemuda berpakaian putih itu sempat melukai lengan salah seorang dari mereka.

“Heaaa...”

Wuttt

Crasss

“Aaakh...”

Pekik Barkala, satu dari ketiga anak buah Guntala.

“Hah...? Boleh juga ilmu pedang pemuda itu...,”

gumam Wiraksa yang berbadan paling besar.

Matanya membelalak lebar. “Serang...” seru Darkapala, orang yang paling tua di antara ketiga anak buah Guntala. Kumisnya yang tebal menyatu dengan cambang bawuk di pipi.

Melihat lawannya berkelebat menyerang, Sawung Kana pun tak mau tinggal diam. Secepat itu pula pemuda tampan itu melompat sambil menjulurkan pedang ke depan, memapaki serangan lawan. Tak terhindarkan, pertarungan semakin seru dan sengit.

Ketiga anak buah Guntala nampak penuh semangat ingin segera menjatuhkan Sawung Rana. Apalagi Barkala sudah terluka.

“Heaaa... Mampus kau Anak Muda...” seru Darkapala sambil membabatkan golok ke kepala lawan yang sempat lengah. Namun, Sawung Rana masih bisa menangkis dengan pedang, sebisanya sambil berguling ke samping, menjauhi lawan-lawannya.

Mata Darkapala membelalak, ketika serangannya dapat ditangkis. Hatinya semakin kesal dan marah.

Mukanya merah. Lalu dengan cepat kembali

menyerang Sawung Rana yang sudah kembali siap menghadapi mereka.

Kini Darkapala dan Wiraksa menyerang ber-

samaan dari dua arah. Keduanya melompat sambil berteriak. Sawung Rana pun melompat memapaki serangan itu.

“Heaaa...”

“Yeaaat...”

Trang Trang Wuttt Wuttt

Pekikan keras dan denting senjata saling beradu terus terdengar semakin riuh. Dengan sekuat kemampuannya Sawung Rana terus berusaha

bertahan dari gempuran serangan kedua lawannya yang menyerang secara serentak. Namun Sawung Rana yang memang ilmu pedangnya belum

sempurna, dan masih satu tingkat di bawah anak buah Guntala tetap menunjukkan kekerasan hati untuk bertahan. Namun, tiba-tiba....

Swing Swing

“Hah? Aaakh...”

Tanpa diduga sama sekali, Durkapala dan

Wiraksa mengeluarkan senjata rahasia. Beberapa pisau kecil melesat memburu tubuh Sawung Rana.

Bahkan satu di antaranya mengenai tangan kanan Sawung Rana. Pemuda itu memekik keras. Tubuhnya jatuh bersamaan dengan pedangnya yang terlepas.

Melihat Sawung Rana jatuh dan mulai melemah fisiknya, Darkapala, Wiraksa, dan Barkala serentak hendak menghabisi nyawanya. Namun tiba-tiba....

“Aaakh...”

Sesosok bayangan melesat begitu cepat. Bagai seekor elang menyambar mangsa, melancarkan serangan kilat. Kontan ketiga anak buah Guntala terpekik. Tubuh mereka terpental lima tombak dari tempatnya, karena terkena serangan cepat dari sosok bayangan tadi.

“Aha, rupanya ada manusia-manusia kotor di sini.

Hi hi hi...” ejek seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular, yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.

“Hukh Huekh...”

Ketiga anak buah Guntala muntah darah dan tak mampu bangkit lagi. Dada mereka membekas telapak tangan kebiruan.

Tak jauh dari situ, Sundari telah berada di tangan Guntala. Tampaknya tubuh gadis berpakaian merah delima itu tertotok jalan darahnya, hingga terkulai lemas. Guntala tak membuang kesempatan baik itu.

Segera lelaki tua yang mata keranjang itu menggeluti tubuh Sundari yang sudah tak berdaya kena totokannya.

Guntala baru saja hendak melepaskan

pakaiannya untuk menggeluti Sundari ketika terdengar suara gelak tawa menggelegar yang seakan hendak menggetar bumi.

“Hua ha ha... Hi hi hi... Rupanya masih ada lagi tikus tua mau melalap laun muda... Lucu, lucu sekali tua bangka ini...” ejek Pendekar Gila sambil bertingkah seperti orang gila.

“Hah...? Kurang ajar... Siapa kau, Pemuda Sinting” bentak Guntala sambil memberesi celananya. Matanya terbelalak kaget melihat kedatangan pemuda bertingkah laku gila yang begitu tiba-tiba.

“Ah ah ah Untuk apa mengetahui siapa aku. Yang jelas aku bukan hantu, atau seperti kau, Tua Bangka...” sahut Sena dengan nada mengejek sambil menggaruk-garuk kepala.

Pendekar Gila cepat melesat mendekati Sundari lalu cepat membawanya menjauh dari Guntala yang masih nampak gugup. Dan setelah berada cukup jauh dari Guntala segera ditotoknya tubuh gadis itu agar terbebas aliran darahnya.

Tuk Tuk

“O..., hah? Siapa kau?” tanya Sundari setelah sadar, melihat Sena yang cengengesan. Lalu menoleh ke arah Guntala yang siap mau menyerang Sena.

“Cepat, selamatkan kawanmu di sana” kata Sena, “Nanti baru kita bicara. Akan kubereskan tua bangka ini.”

Seperti tanpa sengaja Sundari menganggukkan kepala, lalu melesat menuju tempat Sawung Rana yang kesakitan. Tangannya mengucurkan darah.

“Kau...? Rupanya kau Pendekar Gila Kebetulan, aku sedang mencari-carimu, Pemuda Gila...” dengus Guntala marah melihat Pendekar Gila yang telah menghalangi niatnya.

“Aha, hi hi hi..., lucu sekali kau ini, Tua Bangka

Otak kotormu itu perlu dicuci. Ah..., untuk apa kau mencariku...?” tanya Pendekar Gila sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.

“Aku mencarimu hanya akan memberi tahu,

bahwa kau tak lama lagi akan mampus oleh tokoh yang berjuluk Ular Kobra dari Utara itu Ha ha ha...

Dan aku telah mengatakan, bahwa kaulah yang membunuh keponakanku, Dewi Pandagu. Ha ha ha...”

Guntala tertawa terbahak-bahak. Hatinya merasa yakin kalau Pendekar Gila pasti akan mati di tangan Sankher. Namun Sena yang mendengar itu justru bertingkah seperti monyet, melompat-lompat, sambil menepuk-nepuk pantatnya. Lalu menggaruk-garuk kepala sambil tertawa-tawa.

“Hi hi hi... Lucu, lucu sekali Kau memang tua bangka yang sudah pikun dan bosan hidup...” tukas Sena dengan cekikikan.

“Kurang ajar Heaaattt...”

Guntala yang sudah tak tahan mendengar ejekan Sena, langsung menyerang. Namun sebelum Sena bertindak. Tiba-tiba....

“Yeaaattt...”

Sundari yang benar-benar tak mampu menahan amarah mendahului, menyerang Guntala.

Melihat serangan cepat yang dilakukan gadis berpakaian merah delima itu Guntala nampak tersentak kaget. Namun dengan gerak cepat lelaki setengah baya itu mengelakkan serangan pedang Sundari.

Namun serangan cepat Sundari yang disertai amarah dan nafsu itu hanya sia-sia belaka. Tampaknya Guntala yang berilmu lebih tinggi beberapa tingkat mampu membaca kemampuan lawan.

“Heaaa...”

Wuttt Wuttt

“Aits Hea...”

Beberapa kali serangan Sundari dapat dielakkan oleh Guntala dengan melompat ke kanan dan kiri.

Atau sesekali melenting ke atas.

“Heaaa...”

Wuttt

“Heh? Hea...”

Dugk

“Aaakh...”

Pekikan tertahan terdengar dari mulut gadis cantik berambut panjang itu ketika pukulan tangan kanan Guntala mendarat di tengkuknya. Tubuhnya tersungkur ke depan lalu jatuh mencium tanah.

Melihat Sundari jatuh, Pendekar Gila langsung melenting melakukan serangan. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' tubuhnya meliuk-liuk laksana menari dengan tangan sesekali menepuk ke tubuh lawan. Gerakannya kelihatan lamban dan lemah gemulai, bagaikan tak mengandung tenaga sama sekali.

Hal itu membuat Guntala menganggap remeh

lawan. Lelaki setengah baya itu segera melancarkan serangan dengan membabatkan pedangnya. Dirinya menyangka gerakan Pendekar Gila yang lamban dan lemah itu tak akan mampu mengelakkan sabetan pedangnya. Namun betapa terkejut hatinya ketika menyaksikan apa yang terjadi.

Dugaan Guntala meleset. Pemuda berambut

gondrong dan bertingkah laku seperti orang gila itu sangat mengagumkan. Meski gerakan Pendekar Gila kelihatan lamban dan lemah, ternyata justru dengan mudahnya mengelak. Hanya dengan menggeser kaki ke samping dan melenturkan tubuh dengan membungkuk dan mendongak, semua serangan lawan dapat dielakkannya. Bahkan tiba-tiba....

“Hih...”

Wuttt

Hampir saja pukulan telapak tangan Pendekar Gila menghantam dada Guntala, kalau tak segera melompat ke belakang. Betapa terkejutnya Guntala ketika tiba-tiba tangan Pendekar Gila yang seperti menari itu telah dekat ke tubuhnya. Padahal dirinya telah menguras ilmu meringankan tubuh, namun tetap saja pendekar muda itu mampu mengejarnya.

“Hah? Jurus gila...” pekik Guntala, kaget.

Wajahnya mendadak pucat. Menyaksikan jurus aneh yang dikeluarkan Sena. Namun sebagai orang yang telah banyak pengalaman, Guntala tak ingin mengalah begitu saja. Tubuhnya segera melenting untuk mengelakkan serangan lawan, kemudian dengan cepat dibukanya jurus andalan yang dinama-kan 'Cakar Naga Merah'.

Karena gerakan yang sangat cepat, tangan

Guntala berubah menjadi banyak. Kuku-kukunya yang panjang dan runcing membentuk cakar naga, bergerak cepat mengcengkeram dan mencabik ke tubuh Pendekar Gila. Ke mana Sena bergerak, tangan Guntala terus mengejarnya dengan cakaran-cakaran maut.

“Heaaattt...” Wrertt Wrettt

Masih dalam jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'

Pendekar Gila meliuk-liuk ke sana kemari mengelakkan serangan 'Cakar Naga Merah' Guntala.

Mulutnya kadang-kadang cekikikan, atau

cengengesan mengejek lawan.

Melihat tingkah laku konyol pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu Guntala tampak ternganga.

Karena marah dan kesal, serangannya tak terarah, mulai ngawur. Mengetahui keadaan lawan itu Pendekar Gila cepat melancarkan serangan.

Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari sambil melontarkan pukulan dengan telapak tangan.

“Heaaa...”

Plak Plakkk

“Aaakh...” Guntala memekik keras, ketika tepukan tangan Pendekar Gila yang tampak lemah dan tak bertenaga mendarat telak di dadanya. Matanya terbelalak heran, hampir tak percaya dengan apa yang barusan dialami. Tubuhnya terlontar deras ke belakang lalu jatuh bergulingan.

“Huekh...”

Dari mulut Guntala keluar darah segar. Tampaknya pukulan Pendekar Gila telah menimbulkan luka dalam.

“Hi hi hi... Kenapa kau, Ki? Ah, itu imbalan bagi orang tua usil...” mulutnya cengengesan lalu tertawa cekikikan.

“Kenapa tak kau bunuh, Tuan Pendekar...?” tanya Sundari yang telah berdiri di samping kanan Sena.

“Aha, aku tak bisa membunuh lawan yang sudah terluka,” jawab Sena masih menggaruk-garuk kepala dan mulut cengengesan.

Sundari semakin heran melihat tingkah Sena. Gadis itu, tanpa sengaja melihat Suling Naga Sakti yang terselip di pinggang Sena.

“Heh?” desis Sundari dengan membelalak,

“Kisanak..., apakah kau Pendekar Gila itu...?”

Belum sempat Sena memberikan jawaban

terdengar suara seperti mengerang dari mulut Guntala.

“Pendekar Gila, bunuh saja aku Bunuhlah... huk, huk, huk”

“O..., jadi kaulah Pendekar Gila yang kucari itu.

Alangkah bahagia aku dan Kakang Sawung Rana...”

ujar Sundari dengan tersenyum, penuh rasa gembira,

“Kakang Sawung Rana...”

Sundari berlari menuju kekasihnya yang masih duduk menahan sakit yang mulai reda. Sementara Sena tampak menggeleng-gelengkan kepala sambil cengengesan.

Sundari memberi tahu Sawung Rana, kalau yang menyelamatkan mereka, tak lain Pendekar Gila.

Sawung Rana tampak nampak gembira.

“Pemuda Gila bunuh saja aku...,” rintih Guntala lagi.

“Hi hi hi... Tidak, aku malah akan menyembuh-kanmu. Tapi dengan syarat, cepat pergi dari tempat ini bersama anak buahmu. Dan jangan coba-coba ganggu atau ikut campur urusanku dengan lelaki aneh itu” ujar Sena sambil mengangkat tubuh Guntala yang mengalami luka dalam akibat pukulan-nya.

Guntala yang mendengar dan melihat Pendekar Gila berlaku begitu pada dirinya, merasa malu.

Karena kejahatannya dibalas dengan rasa belas kasih.

“Cepat perintahkan anak buahmu pergi. Juga kau” kata Sena lagi, sambil menggaruk-garuk kepala.

“Baik, baik,” jawab Guntala sambil membungkuk ketakutan “Hei Darkapala, Wiraksa, dan Kau Barkala Ayo pergi” perintahnya pada ketiga anak buahnya.

Sambil menahan rasa sakit ketiga anak buah Guntala mengikuti pimpinannya meninggalkan tempat itu.

“Tuan Pendekar..., kami berdua mengucapkan terima kasih. Kalau Tuan Pendekar tidak menolong kami, entah bagaimana nasib kami,” ucap Sawung Rana dengan lemah. Matanya menatap wajah

Pendekar Gila.

“Benar. Mungkin lelaki tua itu akan dapat merenggut kegadisanku...,” tambah Sundari dengan nada sedih dan cemas.

“Aha, sudahlah, jangan kalian pikirkan Aku memang wajib menolong orang yang lemah,” jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala. “O, ya... bagaimana ceritanya sampai kalian diperdaya mereka?”

tanyanya kemudian.

Sawung Rana kemudian menceritakan semuanya dari awal. Dari mulai seorang murid Perguruan Elang Sakti memberi tahu kalau Ki Putih Maesaireng, paman Sundari dibunuh lelaki yang mengaku sebagai Ular Kobra dari Utara. Sampai akhirnya mereka ingin mencari Pendekar Gila untuk minta bantuan. Namun di tengah jalan mereka bertemu dengan Guntala dan anak buahnya yang mengaku juga mencari Pendekar Gila, guna menangkap penjahat bersenjata tongkat berkepala ular.

“Aha, lucu sekali Tapi kalian tak usah

memanggilku dengan sebutan Tuan Pendekar. Aku orang biasa seperti kalian. Panggil saja aku Sena” kata Sena menggaruk-garuk kepala.

Sawung Rana dan Sundari tersenyum. Lalu saling pandang.

“Sekarang kami berdua makin lega dan tak

merasa cemas. Tapi kenapa lelaki itu kau lepas begitu saja?”

“Bagaimana kalau mereka kembali melakukan perbuatan buruk? Atau mungkin mereka mempunyai siasat untuk menjebak kita...?” tambah Sundari kemudian.

“Hi hi hi... Aku tak peduli. Itu terserah mereka,”

jawab Sena dengan acuh. Kemudian menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.

Sawung Rana dan Sundari bergeleng kepala, kemudian menghela napas panjang. Keduanya merasa heran melihat ketenangan Pendekar Gila. Tak ada rasa khawatir atau takut.

“Sekarang cepat kita pergi, mencari lelaki aneh itu” ajak Sena pada Sundari dan Sawung Rana.

“Hm... Sena Bagaimana kalau kita melihat keadaan perguruan pamanku dulu? Siapa tahu di sana kita mendapatkan petunjuk,” ucap Sundari dengan nada memohon.

Sena menggaruk-garuk kepala. Ia berpikir

sejenak, lalu dipandanginya Sundari dan Sawung Rana.

“Sebenarnya aku sudah datang ke tempat

Perguruan Elang Sakti. Aku telah menguburkan Ki Putih Maesaireng. Maafkan, aku datang terlambat, ketika si Ular Kobra telah membunuhnya,” kata Sena menjelaskan pada Sundari.

Sundari mengerutkan kening dan menghela

napas panjang.

“Terima kasih, kau telah mengurus dan mengubur pamanku. Tapi aku tetap ingin melihatnya. Rasanya aku merasa berdosa, jika tak melihat makamnya....

Kini aku sudah tak punya siapa-siapa lagi. Paman Putih Maesaireng adalah satu-satunya harapanku...,”

tutur Sundari dengan nada sedih. Tanpa terasa, air mata menetes membasahi pipinya yang halus.

Sena menggaruk-garuk kepala, lalu mengangguk-angguk memahami perasaan gadis itu. Sawung Rana memegangi bahu kekasihnya yang masih terisak dengan tangisnya.

“Baiklah, aku akan mengantar kalian...,” kata Sena kemudian.

Sundari merasa lega dan senang. Pergilah

mereka meninggalkan tempat itu, menuju Perguruan Elang Sakti.

*** 5

Banyak tokoh dari kalangan persilatan yang marah dan bersumpah akan membunuh Sankher si Ular Kobra dari Utara, karena telah banyak memakan korban. Selain itu tokoh dari India itu menantang dan menghina para pendekar di Jawadwipa.

Pendekar Gila merupakan tokoh yang menjadi incaran utama si Ular Kobra dari Utara. Siang itu Sena dan dua kawan barunya, Sawung Rana dan Sundari hendak meninggalkan Perguruan Elang Sakti, setelah mengunjungi kuburan Ki Putih Maesaireng. Namun ketika ketiganya sampai di pintu keluar perguruan, dari jauh terlihat empat orang lelaki berjalan menuju mereka, keempat orang itu nampak terburu-buru.

Sena, Sundari, dan Sawung Rana saling pandang.

Mereka merasa cemas melihat kedatangan tiga lelaki yang tampaknya para pendekar. Hal itu terlihat dari pakaian mereka.

“Sena..., kami beruntung dapat menemukan kau di sini” seru lelaki berjubah putih, dengan pakaian dalam warna kuning. Rambutnya ditutupi blangkon warna putih pula. Ki Rahsewu dari Perguruan Cempaka Ungu.

“Dan kami juga punya tujuan akan melihat

keadaan Ki Putih Maesaireng, yang dikabarkan telah mati dibunuh si Ular Kobra dari Utara itu...,” kata Suryawijaya kemudian. Lelaki berambut putih panjang, dengan kain pengikat yang menutupi kepalanya.

“Sebaiknya kita merundingkan maksud kita secepatnya...,” sela Ki Kuncara, orang yang paling tua di antara keempat pendekar aliran putih itu. “Apa Kisanak tak keberatan, kami meminjam tempat ini, untuk kami...?” tanya Ki Kuncara pada Sundari.

“Tidak, Ki. Saya malah merasa senang. Mari, silakan..., mari...” jawab Sundari dengan ramah.

Mereka kembali melangkah menuju teras

Perguruan Elang Sakti. Tampaknya ada sesuatu hal yang penting harus dibicarakan. Yang jelas mereka ingin membicarakan soal Sankher atau si Ular Kobra dari Utara yang membabi buta, membunuh orang-orang tak berdosa, serta menantang semua pendekar yang ada di Jawadwipa ini.

Mereka duduk di lantai beralaskan tikar, di teras rumah Ki Putih Maesaireng. Sundari dan Sawung Rana pun ikut berkumpul mendengarkan

perundingan itu.

Ki Kuncara, mulai membuka permasalahannya.

Lelaki tua itu memberikan pendapat dan rencana, serta kehebatan ilmu silat si Ular Kobra dari Utara.

Sena yang mendengar cerita Ki Kuncara hanya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengar-cengir.

“Tokoh aneh itu kalau lama-lama kita biarkan, akan semakin ganas. Menurut hemat saya, kita harus menangkap dan bila perlu membunuhnya. Setimpal dengan perbuatan kejinya. Dia telah menginjak-injak wibawa dan harga diri para pendekar di tanah Jawadwipa ini. Termasuk, kau, Sena...,” kata Ki Kuncara menegaskan. Wajahnya yang sedikit keriput memperlihatkan perasaan bencinya terhadap Sankher.

Semua terdiam, tapi mengangguk-anggukkan

kepala. Sepertinya mereka setuju dengan pendapat Ki Kuncara. Sena sendiri masih menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.

“Ah ah ah..., tak ada masalah bagiku, Ki. Hi hi...

akan kuhadapi orang itu. Hanya kuharap kalian berhati-hati jangan gegabah menghadapinya,” ujar Sena kemudian. Mulutnya cengengesan sambil memandangi wajah keempat pendekar itu.

“Kenapa, Sena...?”

“Aku dengar ia membunuh lawan dengan

tongkatnya. Kurasa tongkat itu tidak sembarangan.

Senjata itu memiliki kekuatan yang luar biasa.

Mungkin juga tongkat itu bisa berubah menjadi senjata yang lebih hebat...,” tutur Sena menjelaskan.

“Bagaimana kau tahu...?”

“Ah..., itu hanya firasatku saja. Terserah pada kalian, percaya atau tidak...,” jawab Sena. Kemudian menggaruk-garuk kepala, sambil cengar-cengir.

“Aku sependapat dengan apa yang dikatakan Sena. Kita memang harus menyusun kekuatan, merencanakan dengan tepat, untuk menaklukkan dan menangkap orang itu,” usul Rahsewu dengan penuh semangat.

“Ya Kita semua bertanggung jawab atas semua ini. Maka dari itu, saya harap kita bisa bersatu,”

tambah Ki Kuncara.

“Biarlah aku sendiri yang melaksanakan tugas ini.

Karena si Ular Kobra dari Utara itu mencari dan menantangku secara pribadi,” sela Sena dengan tegas. Kemudian menggaruk-garuk kepala dan cengengesan.

Semua nampak lega mendengar jawaban Sena.

Kemudian mereka semua saling berjabat tangan.

Tangan-tangan mereka menjadi satu, saling jabat dengan erat. Melambangkan kesatuan dan kebersamaan.

“Kalau kalian tidak keberatan, kami berdua juga ingin bergabung untuk menangkap lelaki itu...,” kata Sawung Rana tiba-tiba, setelah mereka selesai berjabat tangan.

“Hm...,” Ki Kuncara manggut-manggut sambil mengusap-usap jenggotnya. “Kami sangat senang mendengarnya. Tapi ingat, jangan ceroboh. Sebaiknya kalian berdua bergabung dengan aku dan lainnya”

“Terima kasih, Ki...,” jawab Sawung Rana sambil menjura. Ia nampak senang. “Kami berdua rela mati.

Dan kami mengakuinya, bahwa ilmu silat yang kami miliki masih belum sempurna...”

Dengan jujur Sawung Rana mengutarakan

keadaan dirinya. Mereka yang mendengar merasa haru. Namun juga bangga mendengar kejujuran pemuda seperti Sawung Rana itu.

***

Di siang yang panas dengan matahari menyinari daerah perbukitan tampak seorang lelaki bertubuh gagah berjubah hitam dengan kepala tertutup kain sorban wama merah hati. Lelaki yang tak lain Sankher atau si Ular Kobra dari Utara melangkah ringan di atas jalan terjal berbatu-batu.

Sankher terus menyusuri jalan terjal perbukitan itu. Tongkat di tangan kanannya yang telah banyak memakan korban terlihat angker. Sebuah tongkat sakti yang mempunyai keampuhan yang luar biasa.

Siapa pun yang terkena, dalam sesaat akan mengalami kematian secara mengerikan. Kepala pecah dan seketika membiru sekujur tubuhnya.

Matanya dengan tajam mengawasi sekeliling daerah yang dilewati. Langkahnya mantap dan pasti.

Tangan kanannya yang menggenggam tongkat terayu mantap, mengiringi langkah kakinya.

“Hei, kau. Tunggu...”

Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat

langkah Sankher terhenti. Kemudian perlahan tubuhnya berbalik, menghadap ke pemilik suara.

Mata Sankher menatap tajam dan galak pada pemilik suara yang ternyata seorang lelaki berambut putih, panjang. Tubuhnya yang tinggi dan agak kurus terbalut pakaian longgar wama hijau muda. Dan di kepalanya terikat kain hitam.

Lelaki itu tak lain Suryawijaya. Lelaki berusia empat puluh tahunan ini tidak sendirian. Dari arah lain muncul dua orang murid utamanya, yang berpakaian serba merah. Keduanya merupakan Kembar Juling. Karena mata mereka juling.

“Hm...” Sankher mendengus sinis menatap

ketiga orang yang menghadangnya. “Siapa kalian?

Berani menghentikan langkahku?” tanya Sankher kemudian dengan suara berat

“Ha ha ha... Orang sinting, kaukah Ular Kobra dari Utara...?” tanya Suryawijaya dengan nada sinis.

Sankher tak langsung menjawab. Hanya matanya yang bicara. Menatap tajam wajah Suryawijaya dan kedua Kembar Juling. Tangannya masih bersedekap di depan dada.

“Hei... Apakah kau bisu? Jawab...” bentak Suryawijaya yang sudah tak tahan menahan marah.

Karena ia yakin benar, lelaki yang saat ini berhadapan dengannya, adalah orang yang dicari.

“Kalau benar, kalian mau apa...?” Sankher balas bertanya, “Aku tak ada urusan dengan kalian.”

“Benar. Tapi aku ditugaskan untuk menghentikan sepak terjangmu yang tak terpuji itu. Membunuh seenaknya orang-orang dan para pendekar tanah Jawadwipa ini.”

“Hm... Kau bicara seenaknya. Kalau aku tak mau, kalian mau apa?” sahut Sankher lalu tertawa.

Mata Suryawijaya membelalak mendengar

ucapan Sankher yang mengejek dan meremeh-

kannya. Begitu pun kedua Kembar Juling, ikut marah.

Mata mereka menatap tajam lelaki asing di hadapannya.

“Kau sungguh sombong Kisanak. Aku minta sekali lagi, kau mau meninggalkan tanah Jawadwipa ini.

Sebelum kami menangkapmu...” kata Suryawijaya dengan geram.

“Sebelum aku mencincang Pendekar Gila aku tak akan pergi...” jawab Sankher tegas.

Usai berkata begitu, Sankher membalikkan tubuh tanpa menghiraukan Suryawijaya dan kedua muridnya. Kemudian dengan seenaknya melangkah

meninggalkan tempat itu, sambil tertawa-tawa mengejek.

Bukan main geram dan marahnya Suryawijaya dan Kembar Juling, melihat tindakan Sankher yang sama sekali tidak menggubris mereka.

“Kurang ajar Berhenti kau, Pembunuh...” bentak Suryawijaya.

Sankher tak mau berhenti. Kakinya terus

melangkah dengan mantap. Seakan benar-benar tak menghiraukan kemarahan ketiga orang tadi.

“Orang ini perlu dikasih pelajaran Hei... Kau kira kami takut denganmu? Heaaa...”

Suryawijaya melesat cepat untuk mengejar

Sankher, diikuti kedua murid utamanya.

“Heaaa...” “Yeaaa...”

Tubuh ketiganya langsung menghadang ke depan si Ular Kobra dari Utara, yang masih tenang. Matanya yang bagai mata elang saat itu memandang tajam wajah Suryawijaya dan kedua anak buahnya.

“Ha ha ha... Kalian orang-orang bodoh” dengus Sankher dengan geram.

“Hei, Orang Asing Berhenti...” bentak

Suryawijaya. Matanya menatap semakin tajam, penuh kebencian pada lelaki aneh yang ada di hadapannya.

“Kalian mau menghalangiku...? Lebih baik minggir. Percuma kalian menentangku. Tak usah kalian ikut campur urusanku. Sebaiknya, kalian ikut membantuku untuk menemukan Pendekar Gila,” ujar Sankher setengah mengejek dan sinis.

“Bangsat kau” maki Suryawijaya marah. Gigi-giginya saling beradu, mengeluarkan suara ber-gemeretak.

Sankher hanya tersenyum sinis. Matanya yang tajam memandangi ketiga lelaki di depannya. Tangan kanannya yang menggenggam tongkat maut

diturunkan pelahan, ke samping. Rupanya Sankher menanggapi tantangan Suryawijaya.

“Hm..., bagus Kita adu kekuatan,” gumam

Suryawijaya geram, “Juling, kalian menyingkirlah dulu

Biar aku hajar lelaki sombong ini Yeaaat...”

Suryawijaya langsung melakukan serangan. Kipas pusaka yang menjadi senjata andalannya diputar hingga menimbulkan deru angin deras.

Wut Wut

Swing Swing

“Heit...”

Senjata sebesar jarum keluar dari kipas pusaka Suryawijaya. Menghunjam ke tubuh Sankher. Lelaki yang dijuluki Ular Kobra dari Utara itu segera melompat ke atas, sambil bersalto mengelakkan senjata rahasia sebesar jarum yang jumlahnya ada sepuluh biji itu. Hanya dengan tangan sebelah kiri, Sankher menangkis senjata-senjata itu.

“Heaaa... Ayo lawan aku orang sombong... Mana senjata andalanmu Heaaa...”

Serangan Suryawijaya semakin gencar. Bahkan lelaki asing itu ditantang agar menggunakan tongkatnya. Kipas pusaka di tangan kanannya kembali menderu keras ke arah lawan.

Wuttt Wuttt

Swing Swing

“Hea...”

Sankher mengelak dari serangan lawan. Kali ini ditangkis dengan tongkat saktinya. Dan jarum-jarum beracun itu mental kembali ke arah Suryawijaya.

Lelaki itu membelalak lebar...

“Hah?” Suryawijaya tersentak. Tubuhnya

melenting ke atas sambil menangkis jarum beracun yang berbalik ke arahnya. Sankher tertawa terbahak-bahak. Melihat Suryawijaya kerepotan sendiri, mengelakkan senjata rahasianya sendiri. Yang tadi dibalik-kan oleh Sankher, dengan tongkat saktinya.

“Ha ha ha...”

Hal itu membuat Suryawijaya bertambah marah.

Hatinya malu, karena merasa dilecehkan dan dihina oleh Sankher.

“Bangsat... Heaaa...”

Dengan marah Suryawijaya kembali menggebrak dengan kibasan-kibasan kipasnya. Dia berusaha menekan lawannya agar tidak dapat balas

menyerang. Namun Sankher dengan mudah mengelakkan serangannya. “Huh...” gerakan Sankher sangat gesit, meski tak menggunakan senjata. Serangan yang dilancarkan Suryawijaya yang keras dan cepat, bagai tak ada artinya, selalu menemui tempat kosong.

Serangan Suryawijaya kian sengit. Kibasan kipas pusakanya menderu, menyapu, dan menghantam Sankher.

Wuttt Wuttt

Swing Swing

Kembali jarum-jarum beracun melesat cepat, bagai anak panah yang terlepas dari busurnya.

Menghujami tubuh Sankher. Namun si Ular Kobra dari Utara itu dengan cepat tubuhnya melenting ke atas, berjumpalitan. Kemudian tangan dan kakinya balas menyerang. Gerakan ilmu silatnya begitu cepat dan keras, seakan memiliki kelincahan yang sulit diterka.

“Kau benar-benar ingin mampus”

Sankher atau Ular Kobra dari Utara itu

menggerakkan tangan kanan yang menggenggam tongkat saktinya. Dan....

Wrettt Wrettt

Bukan main terkejutnya Suryawijaya menyaksikan lelaki asing itu memainkan tongkatnya. Baru saja lawan mempermainkan tongkatnya, seperti ada kekuatan yang menyebar. Apalagi jika lawan telah melakukan serangan dengan tongkatnya.

“Hah? Gawat Celaka... Biar aku yang

menghadapinya, Guru...” seru salah satu dari Kembar Juling.

“Ha ha ha... Kenapa tak sekalian, kalian bertiga melawanku...?” tantang Sankher dengan nada sombong. Tongkat sakti berkepala ular kobra telah diletakkan di depan dadanya.

“Kurang ajar Yeaaa...” Suryawijaya cepat menyerang. Kini keduanya kembali bertarung. Ia melancarkan kibasan kipasnya ke tubuh lawan. Suara menggelegar seketika terdengar dari kibasan itu.

Wrettt

Gletarrr

“Heit...”

Tubuh Sankher melenting dan bersalto beberapa kali di udara mengelakkan serangan senjata lawan.

Seketika itu pula tongkat saktinya dengan cepat dibabatkan, menyapu ke tubuh lawan. Gerakan tongkat itu sangat cepat, sulit sekali diikuti mata biasa. Suryawijaya tersentak kaget Sama sekali ia tidak menduga, kalau gerakan yang dilancarkan lawan begitu cepat. Namun dengan cepat kipasnya dikibaskan untuk memapaki serangan lawan.

“Haits Heaa....”

Wrets

Jglarrr

“Heh?”

Kipas Suryawijaya hancur berantakan, ketika beradu dengan tongkat Sankher. Kejadian itu membuat mata Suryawijaya membelalak tegang.

Terlebih ketika tongkat lawan semakin cepat memburu dirinya.

Wuttt

“Heaaa...?”

Suryawijaya berusaha mengelakkan serangan tongkat lawan, namun terlambat. Hantaman tongkat Sankher yang mengarah ke wajahnya jauh lebih cepat. Hingga...,

Wut

Plaakk

“Aaakh...” Suryawijaya memekik keras dengan mata melotot lebar. Tubuhya terhuyung-huyung berlumuran darah dari kepalanya yang pecah. Mulutnya terdengar mengerang-erang kesakitan. Namun kemudian lelaki berambut putih itu ambruk dan tewas.

“Heh?”

“Guru...” seru Kembar Juling bersamaan. Lalu kedua lelaki bermata juling itu, menatap dengan penuh dendam dan kebencian pada Sankher.

Namun Sankher yang dipandang demikian

dengan tenang menyeka darah di kepala tongkatnya.

Matanya melirik kedua anak buah Suryawijaya yan tampak begitu marah.

“Babi, Kau... Heaaat...”

Kembar Juling dengan cepat melancarkan seranan. Keduanya serentak merangsek lawan, berusaha membalas kematian sang Guru.

“Heaaa...”

“Kalian rupanya sudah bosan hidup Heaaa...”

“Kau tak akan lolos dari kami, Manusia Iblis

Heaaa...”

Kembar Juling terus melancarkan serangan

dengan senjata tombak. Keduanya sudah kalap dan menyerang dengan membabi buta.

Si Ular Kobra dari Utara melompat memutar tongkatnya.

“Heaaa...”

Wuttt

Plak

“Aaakh...”

Juling Bawuk memekik keras, dengan mata

melolot lebar. Tubuhnya terpental dengan keadaan yang mengerikan. Kepalanya pecah dan berlumuran darah. Sesaat lelaki berpakaian serba merah itu berkelojotan di tanah, kemudian diam tak bergerak.

Mati

Menyaksikan saudaranya tewas, Juling Wulung semakin kalap. Dengan mata gelap tombaknya kembali disodorkan ke dada lawan. Lalu secepat kilat tombaknya dipukulkan ke berbagai bagian tubuh Sankher.

“Mampus kau Hea... Heaaa...”

Wuttt Wuttt

“Aits... Heaaat...”

Sankher kembali mencelat ke udara, kemudian tongkat di tangannya cepat digerakkan. Ketika tubuhnya melayang ke bawah, Juling Wulung dengan cepat menyodokkan tombak ke tubuhnya.

“Heaaa... Jebol perutmu”

Wuttt

Dugaan Juling Wulung ternyata meleset. Lelaki tinggi berjubah hitam itu dengan cepat kembali melompat ke atas. Sebelum Juling Wulung sempat melakukan serangan lagi, tongkat berkepala ular kobra itu telah melesat memukul kepala lawan.

Wut

Takkk

“Ukh”

Juling Wulung terpekik pendek. Tangannya

memegang luka pukulan di kening. Beberapa saat matanya melotot. Tubuhnya menegang, kemudian ambruk. Mati

Sankher menghela napas panjang. Lalu menyeka darah di ujung tongkatnya. Tongkat hitam itu diciumnya tiga kali, lalu diangkat tinggi-tinggi di atas kepala.

Diturunkan kembali dengan perlahan. Kembali menghela napas panjang, sambil memandangi mayat ketiga lawannya. Sesaat kemudian dengan tenang kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.

Bersamaan dengan itu angin bertiup kencang sekali. Ular Kobra dari Utara itu terus melangkah makin jauh, meneruskan petualangannya mencari Pendekar Gila.

***

Angin sore yang berhembus kencang menerobos

belukar, pucuk pepohonan, dan rerumputan. Semak alang-alang merunduk-runduk tanpa daya, ditam derasnya angin.

Di saat suasana sore seperti itu, tampak seorang pemuda berwajah tampan berpakaian rompi kulit ular tengah menyusuri jalan yang sepi. Kakinya melangkah ke barat dengan tenang, seakan tak menghiraukan kencangnya angin sore itu. Pemuda tampan berambut godrong yang tak lain si Pendekar Gila itu cengengesan sendirian. Sesekali tangannya tampak menggaruk garuk kepala.

Dengan langkah mantap Pendekar Gila menyusuri jalan di perbukitan, terus menuju sebuah hutan.

Sejenak dihentikan langkahnya sambil mengamati sekeliling tempat itu. Mulutnya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan.

Kemudian kembali mengayunkan kaki dengan

seenaknya meninggalkan bukit itu.

Ketika Sena menuruni Bukit Krakas, di kejauhan terlihat tiga mayat tergeletak. Pemuda berambut gondrong itu langsung melesat menggunakan ilmu

'Sapta Kayu'-nya.

“Aha? Suryawijaya...” gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu menggeleng-geleng.

Wajahnya nampak bingung dan menyesal. “Aku terlambat lagi”

Mata Sena mengawasi ke sekeliling. Kemudian dihadapkan wajahnya ke barat sambil memusatkan pikiran. Indra keenamnya coba digunakan. Telinganya bergerak-gerak, seakan mendengar suara-suara kaki yang melangkah, ke tempatnya. Kedua tangannya perlahan bersedekap di dada. Matanya dipejamkan.

Beberapa saat kemudian wajahnya tampak terkejut.

Lalu matanya kembali memandang jauh, seakan telah melihat suatu kejadian di tempat lain.

“Celaka” gumam Sena. Lalu tubuhnya melesat dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'-nya. Dalam sekejap saja tubuhnya telah berada puluhan tombak meninggalkan Bukit Krakas.

Benar, ternyata di Perguruan Elang Sakti telah terjadi pertarungan. Bekas rumah Ki Putih Maesaireng hancur, porak-poranda. Sena yang baru saja tiba di depan Perguruan Elang Sakti, tampak tercengang menyaksikan pamandangan itu. Namun kemudian mulutnya cengengesan sambil tangannya menggaruk-garuk kepala.

“Heh, seperti habis terjadi pertarungan. Ah...

benar... Mengapa aku begitu tolol?” gumam Sena berulang-ulang, menyesali diri, telah meninggalkan begitu saja Sundari dan Sawung Rana.

Sena melangkah ke samping pendopo perguruan yang telah hancur. Sesampainya di situ, ditemu-kannya beberapa sosok tubuh tergeletak tanpa nyawa dan salah satunya dia kenal, yaitu Sugalingga.

“Ah ah ah... apa yang telah terjadi, Kisanak?”

tanya Sena sambil memegangi kepala Sugalingga yang sudah sekarat. Lelaki itu tak bisa berkata apa-apa hanya dengan berat ia mengangkat tangan, menunjuk ke barat. Lalu setelah itu matanya ter- pejam dan menghembuskan napas terakhir.

Sena menghela napas dalam-dalam. Perlahan ditaruhnya kepala Sugalingga di tanah. Lalu Sena segera melesat pergi ke arah barat.

“Auuu..., tolong”

“He he he... Kau mau lari ke mana, Anak manis?”

Brettt

“Aaakh...”

Sundari berteriak tertahan, ketika tangan Darkapala melesat cepat di dadanya. Gadis itu tak sempat mengelitkan serangan, sehingga dadanya berhasil dijamah.

“Kurang ajar...”

Belum habis rasa ketakutannya, tiba-tiba seorang lelaki menghadangnya.

“He he he... Kini kau tak akan lolos lagi dariku, Cah Ayu...,” kata lelaki setengah baya yang tak lain Guntala.

“Kau...?” pekik Sundari ketakutan.

“Hmmm... Ayolah, kau akan merasakan

nikmatnya surga dunia, Cah Ayu. He he he...”

Selesai berkata begitu, Guntala mengisyaratkan pada Darkapala, dengan mengedipkan mata.

Darkapala segera menangkap Sundari yang

bersandar di batang pohon. Dipeganginya tangan gadis itu. Sundari pun tampaknya tak mampu berbuat banyak.

“Aaakh... Jangan Tolong... Aaa...” teriak Sundari sejadi-jadinya.

“Diam...” bentak Guntala dengan geram. Bret

Brettt

Guntala merobek pakaian Sundari lebih lebar.

Kemudian tangannya segera memeluk tubuh gadis cantik yang tampak meronta-ronta itu. Namun karena kedua tangan Sundari dipegangi oleh Darkapala, jelas sulit baginya untuk mampu menolak perlakuan keji Guntala.

Darkapala terus memegangi tangan Sundari.

Tubuh gadis berpakaian merah delima kini telah tergeletak dengan tangan direntang secara paksa.

“Terus pegang yang kuat, jangan sampai lepas...”

ujar Guntala dengan suara hampir tak terdengar, karena menahan nafsu yang menggebu-gebu. Dengan cepat tangannya memaksa Sundari agar merenggang-kan kedua pahanya. Namun ketika Guntala hendak melaksanakan perbuatan kejinya, tiba-tiba....

“Heaaa...”

Plakkk Bugk

“Aaa...”

Sesosok bayangan melesat dan langsung

melancarkan serangan cepat. Tubuh Guntala dan Darkapala seketika terjungkal dengan mulut meringis menahan rasa sakit.

“Ah ah ah..., kau memang babi tua yang tak tahu diri Rupanya kau mencari mampus...,” suara tawa itu ternyata keluar dari mulut seorang pemuda berompi dari kulit ular. Siapa lagi kalau bukan Sena Manggala, Pendekar Gila.

“Hah...? Kau...?”

Guntala kaget, dengan cepat dibetulkan

celananya yang sudah terlepas sebagian. Sena memandanginya dengan tajam. Tampaknya kali ini Pendekar Gila benar-benar kesal. Meskipun wajahnya sesekali cengengesan seraya menggaruk-garuk kepala, ucapannya tak bisa dianggap bergurau atau main-main.

“Kau memang Iblis berkedok manusia... Tua bangka Keparat...” ujar Pendekar Gila geram, sambil nencabut Suling Naga Sakti. “Terimalah ganjaran ini, babi Tua...”

Wajah Guntala semakin pucat. Keringat dingin mulai membasahi seluruh tubuhnya. Namun lelaki selengah baya itu berusaha membuka jurus. Namun Pendekar Gila lebih cepat bergerak, melesat sambil bersalto dan menghantamkan Suling Naga Sakti-nya ke kepala Guntala.

“Heaaa...”

Krakkk

“Aaakh...”

Guntala tak sempat mengelak. Mulutnya terpekik keras ketika suling Pendekar Gila menghantam tubuhnya. Tubuh pimpinan Perguruan Elang Emas itu terpental dan jatuh ke tanah dengan keadaan mengerikan. Dan tewas seketika.

Darkapala yang melihat Guntala mati secara mengerikan, hendak lari. Namun Pendekar Gila lebih cepat melesat, menghadangnya.

“Hi hi hi..., hendak lari ke mana kau, Cecurut Kudisan?”

Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil

menimang-nimang Suling Naga Sakti di tangan kirinya.

“Heaaa...”

Wuttt Wuttt

Dengan cepat Darkapala melesat menyerang

dengan golok panjangnya.

“Aits He he he... Kau rupanya senang bermain-main juga, Cecurut” ejek Sena sambil meliukkan tubuh menghindari babatan golok Darkapala.

“Ah ah ah... Kau masih harus banyak berlatih, Kisanak”

“Huh Jangan kau kira aku takut, Pendekar Gila. Heaaa...”

Darkapala tampaknya tak menyadari siapa yang dihadapi saat itu. Mungkin karena merasa malu untuk menyerah begitu saja, atau karena sangat marah melihat gurunya tewas. Tubuhnya melesat melakukan serangan dengan goloknya.

“Ah ah ah... Sombong juga kau ini, Kisanak.

Terimalah ini Heaaa...”

Sambil meliukkan tubuhnya, dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila melancar pukulan telapak tangan.

Wuttt

“Aaakh...”

Darkapala terpekik keras ketika tepukan telapak tangan Pendekar Gila mendarat di dadanya.

Tubuhnya tidak terhuyung-huyung melainkan terlontar deras ke belakang, kemudian jatuh dan bergulingan di tanah. Sesaat Darkapala menggeliat kemudian diam tak berkutik. Tewas.

Sena menghela napas puas. Lalu ia menolong Sundari yang pingsan. Karena ketakutan dan lemah.

Dibopongnya tubuh gadis itu setelah dirapikan pakaiannya. Sena mencari tempat yang agak bersih dan teduh. Dibaringkan tubuh gadis yang malang itu di atas rerumputan. Kemudian, perlahan tangannya ditempelkan di punggung Sundari yang masih pingsan. Matanya terpejam sambil menyalurkan hawa murni. Tak lama setelah itu Sundari tampak menggeliat.

“Uh... Hah...?” suaranya masih lemah. Dengan malu Sundari menutupi bagian dada dengan kedua telapak tangannya.

Sena membalikkan badan, membelakangi

Sundari. “Bagaimana ini bisa terjadi? Di mana Sawung Rana...?” tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

Dirinya tetap membelakangi Sundari.

“Kejadiannya begitu cepat. Sehingga tak ada kesempatan bagiku untuk melawan. Si Ular Kobra dari Utara tiba-tiba datang. Dia membunuh Sugalingga dan tiga murid Perguruan Elang Sakti.

Kemudian....”

Sundari tak meneruskan ucapannya, karena terus nenangis. “Hm... Lalu bagaimana Guntala bisa sampai di sini...?” tanya Sena ingin tahu.

“Aku tak dapat mengingatnya lagi. Mungkin Guntala di balik semua ini..:. Oh...,” tutur Sundari di sela suara tangisnya.

Sena diam. Kepalanya tampak menggeleng-

geleng lalu menghela napas dalam-dalam sambil cengengesan.

“Aha, kalau begitu ikut aku mencari Sawung Rana, Ki Kuncara, dan Ki Rah Sewu Mudah-mudahan mereka masih hidup. Dan aku harus segera mencari si Ular Kobra itu...” ajak Sena dengan mulut cengengesan.

“Terima kasih. Kau telah menolong, menyelamat-kanku untuk kedua kalinya...”

Suara Sundari serak, disertai isak tangisnya.

Sena hanya menggaruk-garuk kepala, “Sudahlah, ayo rapikan pakaianmu”

Selesai berkata begitu, Sena lalu melangkah.

Sundari sambil menutupi dadanya dengan kedua tangannya, mengikuti di belakang.

*** 6

Dunia persilatan benar-benar kacau-balau, dengan kehadiran Sankher atau si Ular Kobra dari Utara itu.

Di mana-mana terjadi pembantaian. Sementara itu banyak tokoh dari aliran hitam yang memanfaatkan keadaan itu. Sehingga banyak tokoh putih yang bingung dan serba salah.

Kian hari sepak-terjang yang dilakukan si Ular Kobra dari Utara itu kian merejalela. Tak satu pun tokoh persilatan golongan putih yang mampu menghadapinya. Siapa pun akan tewas dengan keadaan mengerikan kalau berani menghalangi atau

menantang lelaki yang berasal dari India itu.

Seperti siang itu, ketika angin kencang

menerbangkan debu-debu dan dedaunan di Lembah Merawan, tampak Sankher tengah menghadapi Ki Kuncara, Pimpinan Perguruan Panca Purba.

“Kisanak..., sebaiknya perbuatanmu itu

dihentikan. Kalau kau pendekar sejati, tak akan membunuh dengan keji. Dan kalau kau tak mau mendengar saranku, baiklah,” ujar Ki Kuncara.

Matanya mengawasi dengan tajam setiap gerakan si Ular Kobra dari Utara.

Namun Sankher tak menjawab. Hanya matanya yang terus menatap tajam lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun di hadapannya.

“Kenapa kau diam? Apakah kau tuli? Bisu...?”

bentak Ki Kuncara mulai geram.

“Aku tak punya urusan denganmu. Aku akan

pergi, jika kau mau menunjukkan di mana Pendekar Gila berada” jawab Sankher tenang sambil menggerakkan tangan kanannya yang memegang tongkat.

“Hm..., lalu untuk apa kau mencarinya? Dia sahabatku,” kata Ki Kuncara menjawab dengan tegas.

“Bagus Sampaikan, aku ingin membunuhnya Dia harus mati di tanganku”

Membelalak mata Ki Kuncara mendengar ucapan sombong Sankher. Hatinya seketika bertambah marah terhadap si Ular Kobra dari Utara itu.

“Kau memang tak tahu sopan santun Hei orang asing, kau tak akan dapat melawannya, sebelum melangkahi mayatku. Ayo, keluarkan seluruh ilmumu...” tantang Ki Kuncara sengit.

Usai berkata begitu, Ki Kuncara segera menarik kaki kirinya dua langkah ke belakang. Toya panjang di tangan kanannya diputar dengan cepat. Sedangkan tangan kirinya, dengan jari-jari menyatu menghentak ke depan. Telapak tangannya memukul ke tubuh Sankher.

Sementara itu, Sankher seperti tak menghiraukan gerakan yang dilakukan Ki Kuncara. Dirinya tetap tenang memandangi Ki Kuncara yang siap

menyerang.

“Hm...” dengus Sankher. Kemudian tangannya yang memegang tongkat direntangkan ke samping kanan, lalu ditekuknya ke dada.

Wuttt Wuttt

Tongkat yang telah merenggut banyak korban itu digerakkannya. Dari ujungnya yang berbentuk kepala ular memancar sinar kemerahan menyala. Setelah digerakkan ke samping tongkat sakti itu diputar-putar dengan kecepatan tinggi. Itulah jurus 'Tongkat Iblis', sebuah jurus yang sangat berbahaya dan mematikan Ki Kuncara yang sudah mengetahui sepak terjang Sankher, tak mau gegabah. Gerakannya yang cepat mengubah toya itu menjadi baling-baling yang membentengi tubuhnya. Kemudian dengan pekikan menggelegar, lelaki tua itu menyerang dengan jurus yang tak kalah hebat, bernama 'Toya Sakti Pelebur Jiwa'.

Wuttt Wuttt

“Hiaaa...”

Sankher segera menggerakkan tongkatnya

dengan cepat, menghantam ke depan dan ke

samping. Sementara tangan kirinya diletakkan di depan dada.

“Hiaaa...”

Wrettt

Ki Kuncara mulai melabrak. Toya yang kedua ujungnya runcing berdesing memburu tubuh lawan.

Wrettt Trakkk

Dengan cepat Sankher menyabetkan tongkat

memapak serangan lawan. Kemudian segera balas menyerang dengan sabetan dari atas ke bawah.

“Heaaa...”

Wuttt Wuttt

Ki Kuncara segera melompat cepat ke belakang.

Kemudian meliukkan tubuh dengan cepat, sambil menyapukan toyanya ke tubuh Sankher dengan jurus

'Sapuan Toya Membelah Karang'.

Wuttt

Trakkk

Deru angin yang ditimbulkan kedua senjata berbentuk tongkat itu terdengar ditingkahi oleh suara benturan keras. Suasana sunyi di Lembah Merawan seketika berubah riuh. Teriakan-teriakan keras saling bersahutan mengiringi serangan yang mereka lakukan. Ki Kuncara tampaknya tak dapat dianggap tokoh sembarangan. Dalam beberapa gebrakan, jurus-jurus nya mampu menandingi si Ular Kobra dari Utara. Bahkan tampaknya lelaki tua itu berusaha terus menggempur, dengan maksud tak ingin lawannya membalas serangan.

Keduanya terus berkelebat serta saling

membabat dan menusukkan senjata masing-masing.

Ki Kuncara yang tak ingin mati konyol, berusaha mengimbangi serangan Sankher. Toya yang kedua ujungnya runcing dan beracun itu terus digerakkan dengan cepat.

Wut Wut

Trak Trak

“Huh Heaaa...”

Ki Kuncara telah berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengimbangi serangan Sankher. Namun tongkat Sankher yang berhawa maut lebih ganas, membuat lelaki tua itu tampak mulai lemah.

Serangan-serangannya pun mulai mengendor.

Tubuhnya yang terbalut jubah kuning mulai basah oleh peluh.

“Celaka” pekik Ki Kuncara dengan mata membelalak lebar. Dikerahkan tenaga dalam untuk mencoba mengatasi rasa pening yang muncul di kepalanya. Dan dengan cepat Ki Kuncara menekan sesuatu di toyanya. Hingga....

Srrrttt...

Tiba-tiba ujung toya meluncur begitu cepat bagai anak panah lepas dari busurnya.

Swing Swing

“Hah...? Heaaa...”

Sankher tersentak kaget. Tubuhnya melompat mundur sambil bersalto di udara. Kalau saja gerakannya terlambat, tentu perutnya akan tertembus mata toya yang tiba-tiba melesat mem-burunya.

Melihat kekagetan lawannya, Ki Kuncara tak menyia-nyiakan kesempatan. Setelah menarik toyanya ke depan dada, dia kembali menghentakkan toyanya ke depan sambil menekan sesuatu pada batang toyanya.

Srttt

Mata toyanya kembali melesat
cepat memburu tubuh lawan. Dengan cepat Sankher melenting ke atas, mengelakkan senjata rahasia itu. Kemudian, dengan ringan kedua kakinya hinggap pada toya Ki Kuncara yang masih terentang.

“Hah...?”

Ki Kuncara yang tak menduga Sankher akan

berbuat demikian, tersentak kaget. Dirinya berusaha menarik toya namun Sankher telah mendahului.

“Heaaa...”

Wrettt

Si Ular Kobra dari Utara telah bersalto di udara.

Tongkat di tangannya bergerak cepat ke wajah Ketua Perguruan Panca Purba itu.

Ki Kuncara berusaha mengelakkan tebasan

tongkat Sankher. Namun gerakan lelaki berjubah hitam itu jauh lebih cepat dibanding gerakan meng-elaknya.

“Heaaa...”

Wuttt

Plakkk

“Aaakh...”

Ki Kuncara memekik keras dengan mata

terbelalak lebar. Keningnya retak. Tubuhnya yang berpakaian kuning langsung berlumuran darah. Sebelum jatuh terjerembab tubuhnya tampak sempoyongan dengan mulut mengerang kesakitan.

“Huh...”

Sankher menghela napas puas. Tangan kirinya menyeka darah yang meleleh di tongkatnya.

Kemudian tongkat itu diciumnya. Setelah

memandang mayat Ki Kuncara lelaki berjubah hitam itu melangkah meninggalkan tempat itu.

Sedangkan dua orang murid Ki Kuncara

sebelumnya telah lari ketakutan, ketika melihat sang Guru tewas mengenaskan.

***

“Gila” gumam Sena, ketika menyaksikan mayat lelaki yang telah menjadi koban Sankher.

“Ki Kuncara, sungguh malang nasibmu”

Sundari menutup wajahnya sambil membalikkan badan, karena ngeri melihat Ki Kuncara yang mati mengenaskan.

Sena berjongkok di dekat tubuh Ki Kuncara yang sudah tak bernyawa itu. Anehnya, meskipun dalam keadaan seperti itu, wajahnya masih cengengesan sambil memandangi wajah Ki Kuncara yang tertutup darah.

“Bagaimana nasib Kakang Sawung Rana? Di

mana dia sekarang...?” gumam Sundari dengan suara bergetar.

“Ah..., terlambat lagi. Sungguh aku tak mengerti.

Begitu cepat si Ular Kobra itu bertindak,” gumam Sena lirih, wajahnya nampak sedih bercampur kesal.

Setelah lama memandangi tubuh Ki Kuncara, Sena berdiri. Matanya mengawasi ke sekelilingnya seolah berusaha mencari jejak pelaku pembunuhan itu.

“Mudah-mudahan Sawung Rana dan Ki Rah Sewu masih selamat. Hhh... ke mana perginya si Ular Kobra itu...?” gerutu Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

Sekali lagi matanya menyapu ke sekeliling tempat itu, namun tetap saja tak menemukan tanda-tanda, atau jejak Sankher.

“Hi hi hi..., lucu, lucu sekali” geram Sena cengengesan. “Bagaimana mungkin tidak ada jejak sedikit pun?”

Sundari nampak hanya bisa diam diri, tak

bergerak dari tempatnya. Matanya pun memandangi sekeliling tempat itu. Kedua tangannya tetap menutupi bagian dada.

“Oh, Kakang Sawung Rana di mana kau,

Kakang...?” keluh Sundari tiba-tiba.

Sena semakin cemas dan terus menggaruk-garuk kepala makin cepat. Matanya kembali memandangi mayat Ki Kuncara yang telah kaku.

Tiba-tiba dari arah timur nampak empat sosok lelaki berlarian ke arahnya. Ternyata Sawung Rana bersama Rah Sewu dan dua orang muridnya.

“Hah..., Ki Kuncara...” pekik Ki Rah Sewu dengan wajah sedih.

Sesaat mereka diam. Hanya perasaan masing-masing yang berbicara.

Sawung Rana yang tadi begitu melihat Sundari, langsung menghampiri dan memeluknya, kini tampak tegang, matanya memandangi mayat Ki Kuncara.

“Kisanak, aku tak bisa lama-lama di tempat ini.

Sebaiknya, kalian jangan tinggalkan tempat ini.

Sawung Rana, jaga Sundari Jangan kau

meninggalkannya lagi” kata Sena tegas. Tubuhnya kemudian melesat bagai terbang, meninggalkan tempat itu.

Ki Rah Sewu, Sawung Rana, dan Sundari

memandangi kepergian Sena dengan perasaan cemas.

***

Dunia persilatan semakin tercekam. Keadaan

rimba persilatan tengah terancam mara bahaya. Apa lagi dengan adanya berita tentang pembunuhan Ki Kuncara, Suryawijaya, dan Sugalingga dari aliran putih yang berilmu cukup tinggi.

Kini harapan para tokoh-tokoh persilatan hanya Pendekar Gila. Pendekar muda itu kini memang merasa bertanggung jawab untuk menangkap dan menghentikan kejahatan Sankher. Hal itu terutama karena si Ular Kobra dari Utara itu menantang dirinya.

Siang itu ketika matahari bersinar cerah tampak Sena tengah berlari cepat menggunakan ilmu 'Sapta Bayu'-nya. Meskipun jalan yang dilalui berupa jalan terjal, sesekali harus melompat tebing dan batu-batu kali, dengan tubuhnya terus melesat. Namun ketika baru saja melompati sebuah sungai kecil tiba-tiba Sena dikejutkan adanya sesosok bayangan berkelebat di depannya.

Sena sangat kaget bercampur gembira, ketika mengetahui orang yang telah ada di hadapannya.

“Mei Lie... Kau ada di sini?” gumam Sena sepertinya tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Kenapa Kakang kelihatan agak murung?” tanya Mei Lie sambil memeluk tubuh Sena, kekasihnya.

Sena hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap gadis berparas Cina itu.

“Apakah kau tak mendengar, saat ini rimba persilatan sedang tercekam? Seorang tokoh asing berjuluk Si Ular Kobra dari Utara' telah membunuh orang-orang persilatan...,” tutur Sena.

“Aku telah mendengar semua itu, Kakang. Justru karena itu aku mencarimu. Aku juga mendengar berita bahwa lelaki asing itu menantang Kakang.

Kenapa dia ingin membunuhmu...?”

Sena hanya menggaruk-garuk kepala dan

cengengesan, Mei Lie jadi kesal melihat tingkah kekasihnya itu. Namun gadis itu bisa mengerti. Lalu kembali memeluk Sena dengan lembut. “Kang, aku tak ingin kau sedih. Aku ingin kita dapat menangkap penjahat itu. Kalau perlu membunuhnya,” kata Mei Lie tegas.

“Hi hi hi... Kau memang benar. Tapi kita tak boleh gegabah menghadapi lelaki itu. Aku yakin ilmu yang dimiliki cukup tinggi,” jawab Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

Setelah agak lama mereka berpelukan, tiba-tiba Sena melepas pelukannya. Mei Lie mengerutkan kening.

“Ada apa, Kang?”

“Sebaiknya kita pergi ke selatan. Aku menduga lelaki itu menuju selatan. Ayo...”

Sena segera melesat, diikuti Mei Lie. Kedua pendekar muda-mudi itu pun sekejap menghilang dari tempat itu. Kini hanya dua bayangan putih dan coklat yang nampak. Keduanya menggunakan ilmu lari

'Sapta Bayu' tingkat tinggi.

Ketika Sena dan Mei Lie berlari melintasi jalan menurun dan berbatu, pendengaran mereka yang tajam tiba-tiba menangkap suara benturan pedang yang ditingkahi teriakan-teriakan pertarungan.

“Sssttt... Sepertinya ada orang yang bertarung,” kata Sena ketika berhenti. Kepalanya ditelengkan seakan-akan ingin memperjelas pendengarannya.

“Aha, tak salah dugaanku. Pasti si Ular Kobra kembali akan merenggut nyawa,” gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian kakinya dilangkahkan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, agar tak terdengar orang lain.

Setelah suara orang yang bertarung semakin dekat, Sena dan Mei Lie melompat ke atas pohon.

Pandangan keduanya langsung tertuju pada sebuah tempat dataran yang agak luas di dekat Hutan Praganis. Tampak dua sosok lelaki tengah bertarung.

Sena terbelalak ketika mengetahui siapa kedua sosok yang tengah terlibat dalam pertarungan sengit itu.

“Ki Rah Sewu...” desis Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

“Kau mengenalnya, Kakang?” tanya Mei Lie

sambil menoleh ke wajah Sena. Sena hanya

mengangguk. Kemudian tubuhnya melesat turun dari pohon itu. Dengan cepat tangannya mencabut Suling Naga Sakti. Disusul Mei Lie yang juga berbuat sama, mencabut Pedang Bidadari-nya.

Selagi tubuhnya melayang di udara, Pendekar Gila menghantamkan Suling Naga Sakti ke tongkat Sankher yang tengah menyerang Ki Rah Sewu.

Trakkk

“Ukh...”

Sankher tersentak kaget. Lelaki berjubah hitam itu menyurut mundur sambil menarik tongkatnya.

Begitu pula yang dilakukan Ki Rah Sewu.

“Sena...” seru Ki Rah Sewu setelah melihat Pendekar Gila.

Mendengar Ki Rah Sewu menyebut nama Sena, Sankher mengerutkan kening. Seakan ia tahu siapa lelaki muda berpakaian rompi kulit ular itu.

Sementara Mei Lie telah bersiap dengan Pedang Bidadari-nya, menjaga kemungkinan.

Melihat Sena dan Ki Rah Sewu, tak mem-

perhatikannya, Sankher dengan cepat bergerak, berusaha mencekal Mei Lie. Namun Mei Lie sudah mengetahui. Dengan cepat gadis itu memapaki serangan Sankher.

“Heaaa...”

Trakkk

Pedang Mei Lie beradu dengan tongkat Sankher.

Percikan sinar api terlihat. Sena segera melenting ke atas dan dengan cepat menukik. Tangan kanannya yang menggenggam Suling Naga Sakti menjulur ke kepala Sankher.

“Hah...?” Sankher membelalakkan mata. Dengan cepat ia mengelak, dengan melemparkan tubuh ke belakang sambil bersalto, menjauhi Sena dan Mei Lie.

Namun Mei Lie terus mencecar, membuat Sankher harus bersalto, berjumpalitan beberapa kali, guna mengelakkan serangan pedang lawan.

Sankher akhirnya berhasil menghindari serangan sepasang pendekar muda itu. Kakinya mendarat di atas batu besar.

“Mei Lie, kau jaga Ki Rah Sewu. Biar aku menghadapi si Ular Burik itu...” seru Sena pada kekasihnya. Mei Lie hanya menganggukkan kepala, lalu bergerak mendekati Ki Rah Sewu yang berdiri di pohon besar.

“Aha Kau rupanya si Ular Hitam Burik itu...?”

tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. “Hi hi hi..., kutemui juga...”

Sankher mengerutkan kening, seakan mengingat- ingat sesuatu. Namun belum sempat ia menemukan jawaban, tiba-tiba Pendekar Gila melenting ke atas, menyerang Sankher. Dengan cepat dipukulan Suling Naga Sakti-nya.

“Heaaa...”

Wuttt

Tangan kanan Pendekar Gila yang memegang

Suling Naga Sakti, kembali memukul dan membabat ke tubuh lawan. Sedangkan tangan kirinya menepuk.

Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Itulah jurus 'Si Gila Menepuk Lalat', sebuah pembuka dalam rangkaian jurus-jurus gila.

Namun begitu, Sankher yang dihadapinya juga tak mau mengalah begitu saja. Dengan tongkat sakti di tangannya Sankher terus bergerak mengelakkan setiap babatan Suling Naga Sakti dan tepukan tangan Pendekar Gila. Bahkan sesekali balas menyerang dengan sabetan tongkatnya.

“Heaaa... Terima ini, heh”

Dengan diiringi teriakan, Sena membabatkan Suling Naga Sakti ke arah Sankher. Kemudian disusul dengan tepukan tangan kiri. Sementara kedua kakinya tak mau tinggal diam, bergerak menyapu dan menendang kaki lawan.

“Aits Hea...”

Sankher yang dikenal sebagai Ular Kobra dari Utara dengan cepat melompat ke belakang. Lalu sambil mendengus, dibalasnya dengan hantaman tongkat ke tubuh Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya, membentuk cakar dengan jari-jari yang kaku.

Disusul dengan gerakan melilit dan mematuk, seperti ular kobra menyerang mangsa.

“Hiaaa...”

Wuttt “Aits He he he.... Hebat juga seranganmu, Ular Burik”

Pendekar Gila segera meliuk-liukkan tubuh, mengelakkan hantaman tongkat Sankher. Kemudian setelah mampu mengelakkan pukulan tongkat, Pendekar Gila kembali membalas menyerang dengan sabetan Suling Naga Sakti.

“Heaaa...”

Prakkk

“Hehhh...”

Keduanya terdorong ke belakang beberapa

tindak. Sesaat mereka saling pandang, berusaha mengamati gerak-gerik lawan masing-masing.

Pendekar Gila menyeringai dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Sedangkan Sankher terus memperhatikan dengan seksama tingkah laku Pendekar Gila.

“Hm... Kau tentu orang yang kucari, Bocah Gila...” kata Sankher dengan suara berat, sambil menuding Sena yang masih menggaruk-garuk kepala.

Pendekar Gila, terus cengengesan dan bertingkah seperti orang gila.

“Hi hi hi..., kau pun si Ular Burik yang sedang kucari. Kau telah banyak membunuh orang tak bersalah, termasuk para pendekar?” tukas Pendekar Gila sambil cekikikan.

“He he he..., benar”

“Hi hi hi... lucu, lucu sekali Kau tentu tahu, aku ingin menghentikan sepak terjangmu, Ular Burik”

Pendekar Gila terus mengejek, memancing

kemarahan lawan. Tampak sulingnya ditudingkan lurus ke wajah Sankher.

“Hua ha ha... Bicaramu seperti orang yang benar-benar hebat Justru aku yang akan mencincang tubuhmu, Pendekar Gila”

“Hua ha ha... Hua ha ha...” Pendekar Gila membalas dengan suara tertawa keras dan terbahak-bahak, lebih keras dan panjang dari suara Sankher.

Mendengar suara tawa dan tingkah laku Sena, lelaki berjubah hitam itu mengerutkan kening.

“Hi hi hi... Lucu sekali Aku belum mengerti, kenapa kau ingin membunuhku...? Ah ah ah... aku belum pernah punya urusan denganmu”

“Huh Kau hutang nyawa padaku Kau telah

membunuh orang yang kukasihi...” tukas Sankher dengan geram sambil menuding Pendekar Gila.

Matanya tajam menunjukkan kebencian.

“Hah? Membunuh kekasihmu...? Hi hi hi... lucu, lucu sekali...” jawab Sena dengan cekikikan dan cengengesan.

Sementara Mei Lie yang mendengar keterangan Sankher merasa terkejut. Gadis Cina itu pun merasa bingung. Keningnya berkerut keheranan. “Siapa yang dimaksud Sankher?” tanyanya dalam hati.

“Hei... Aku belum mengerti siapa yang kau maksud? Ah... aku belum pernah mengenalmu, apalagi kekasihmu...” seru Sena kemudian.

“Jangan banyak mulut Kini terimalah ini Heaaa...”

Sankher menggerakkan tongkatnya ke samping kanan, dengan gerakan membuka. Kemudian

digerakkan kembali ke depan, dilanjutkan ke samping kiri. Dengan perlahan kemudian tangannya mencabut tongkat itu. Ternyata sebuah pedang keluar dari tongkat sakti berkepala ular itu. Rupanya tongkat berwarna hitam itu merupakan warangka dari sebuah pedang.

Pendekar Gila mengerutkan kening, melihat pedang di tangan Sankher. Pedang itu mengkilat mengeluarkan cahaya keperakan yang menyilaukan mata. Selain itu di bagian ujungnya bergerigi seperti gergaji.

Mei Lie yang melihat itu, tak sabar ingin menjajal keampuhan pedang Sankher dengan Pedang

Bidadarinya. Namun Pendekar Gila melarangnya.

Sehingga gadis Cina itu merengut, kesal.

“Sabar...” ujar Ki Rah Sewu pada Mei Lie, “Kita tunggu saat yang tepat.”

Tongkat yang telah berubah menjadi pedang itu diputar cepat. Didahului pekikan menggelegar, Sankher kembali melakukan serangan dengan jurus

'Ular Kobra Mematuk Mangsa'. Pedangnya bergerak cepat ke atas, kemudian bagai Ular Kobra menebas ke sana kemari.

Wuttt Wuttt

“Heaaa...”

Menyaksikan lawan telah menyerang dengan

jurus lain, Pendekar Gila tak tinggal diam. Dirinya segera membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'

diteruskan dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'.

“Ciaaattt...”

Wut Wuttt

***

Pedang di tangan Sankher terus memburu tubuh lawan. Pendekar Gila pun dengan cepat meliukkan tubuh ke samping. Lalu sambil memiringkan tubuh ke depan, tangannya menyodokkan Suling Naga Sakti ke tubuh lawan.

“Heaaa...”

Tubuh Pendekar Gila terus meliuk cepat, gerakannya seperti orang menari. Sesekali tangan kanannya yang memegang Suling Naga Sakti, menyodok ke dada atau perut lawan. Disusul dengan pukulan telapak tangan kirinya.

Mendapat serangan aneh begitu rupa, Sankher segera melangkah dua tindak ke belakang. Kemudian dengan cepat tangan kanannya membabatkan

pedang ke tubuh Pendekar Gila.

“Heaaat...”

Wut Wut

“Aits He he he... Meleset babatanmu, Ular Buduk”

Pendekar Gila terus mengejek lawan, meskipun tak ada maksud untuk meremehkan kemampuan si Ular Kobra dari Utara itu. Tujuannya hanya ingin lawan bertambah marah.

“Heaaa...”

Wuttt

“Uts...”

Dengan gerakan yang seakan tak bertenaga dan sangat lamban, Pendekar Gila melancarkan serangan balasan. Hal itu membuat Sankher sempat kaget.

Sankher rupanya mengerti apa yang hendak

dilakukan Pendekar Gila. Dengan cepat tubuhnya menyurut ke belakang untuk mengelakkan tamparan tangan Pendekar Gila. Kemudian secara cepat lelaki berjubah hitam itu menyerang dengan tusukkan pedang ke dada Pendekar Gila.

“Eits Hi hi hi...” Sena kaget, saat merasakan hawa dingin yang keluar dari tusukan pedang Sankher.

Kalau saja Pendekar Gila tidak segera mengelak, sudah pasti dadanya akan tertembus pedang beracun itu. Meskipun racun yang ada pada pedang lawan akan membuatnya tewas, tapi tusukan pedang itu tentu saja berbahaya.

Pendekar Gila bersalto ke samping. Kemudian dengan cepat Suling Naga Sakti-nya dibabatkan ke tubuh Sankher yang terus mencecar dengan pedang yang tangkainya berkepala ular kobra.

“Hih...”

Trang

Dua senjata sakti saling bentur hingga men-ciptakan percikan api. Kemudian tubuh keduanya melompat ke belakang, dengan senjata siap kembali di depan dada.

Mata keduanya saling pandang. Kaki mereka bergerak dengan aturan-aturan yang telah mereka pelajari. Pendekar Gila merentangkan kaki kanan ke samping. Kaki kirinya agak ditekuk. Sementara Suling Naga Sakti disilangkan di depan dada. Dengan jari-jari merapat, tangan kirinya ditempelkan ke ulu hati.

Sankher menarik mundur kaki kanannya.

Sedangkan kaki kirinya ditekuk membentuk siku.

Pedang di tangan kanannya digerakkan ke samping kanan. Sedangkan tangan kirinya yang membentuk cakar, diletakkan di dada sebelah kiri. Pedangnya diputar-putar dengan cepat, lalu ditusukkan ke depan.

“Yeaaa...”

“Heaaa...”

Pendekar Gila dan Sankher kembali melesat untuk melakukan serangan, dengan senjata saling menusuk dan membabat. Sedangkan tangan kiri mereka bergerak memukul dan menangkis. Kaki mereka pun tak tinggal diam, menyapu dan

menendang ke tubuh lawan.

Dua senjata sakti itu kembali berkelebat, saling berusaha mengincar satu sama lain.

“Ck ck ck.... Luar biasa” gumam Ki Rah Sewu penuh kekaguman sambil menggelengkan kepala berulang-ulang.

Sedangkan Mei Lie terus mengawasi gerak

Sankher, dengan perasaan cemas dan geram.

Si Ular Kobra dari Utara membabatkan pedang ke tubuh Pendekar Gila. Tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya menendang keras ke dada Pendekar Gila.

Wuttt

“Heaaa...”

Mendapat serangan cepat dan membahayakan, Pendekar Gila memutar Suling Naga Sakti-nya untuk menangkis babatan pedang Sankher. Kemudian dengan mendoyongkan tubuh ke samping kanan, tangan kirinya memukul Sankher.

Trang

“Heaaa...”

Wuttt Trang...

Dua senjata sakti itu kerap kali beradu, sehingga menimbulkan percikan api dan dentang suara keras.

Kedua tokoh itu bagai kesetanan. Semakin lama gerakan mereka kian cepat. Nampaknya mereka telah mengerahkan tenaga dalam dan

menyalurkannya pada tangan kanan masing-masing.

“Heaaa...”

Dua sosok tubuh dengan senjata sakti terus berkelebat. Dan tampaknya kedua orang itu seimbang.

Sama-sama gesit dan lincah. Tubuh mereka

berkelebat laksana menghilang.

Wrettt Trakkk

Kembali mereka melesat. Tangan kanannya yang memegang senjata bergerak cepat. Keduanya berusaha untuk memenangkan pertarungan tersebut.

Wuttt

Trakkk

Tak ada lagi kata-kata yang mereka keluarkan.

Mulut mereka bagai terkunci rapat. Yang terdengar kini hanya pekikan saat melakukan serangan yang diikuti gerakan jurus silat tingkat tinggi.

Sekeliling arena pertarungan itu rusak karena babatan dan tebasan senjata keduanya. Banyak pohon yang tumbang, atau hancur terkena pukulan dan babatan senjata mereka yang terus bertukar serangan.

Pendekar Gila dengan mengerahkan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang', bergerak cepat. Tangan kirinya bertubi-tubi menghantam lawan, dan sesekali berusaha menyambar kepala Sankher.

Sankher pun tak tinggal diam. Dengan cepat pedangnya bergerak, menutup gerakan tangan Pendekar Gila yang hendak menghantam kepalanya.

Disusul dengan hantaman tangan dan tendangan kakinya. Bahkan pedangnya berkelebat dengan cepat

“Hati-hati, Kakang Sena...” seru Mei Lie mengingatkan Pendekar Gila.

Gadis Cina yang juga berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa itu tampak tak tenang dan khawatir terhadap kekasihnya. Karena dilihatnya si Ular Kobra dari Utara itu memiliki ilmu yang hampir setara dengan Pendekar Gila.

Pertarungan berlangsung semakin seru dan

ganas. Pekikan dan teriakan terdengar silih berganti.

Kini Pendekar Gila kembali menggunakan jurus

'Si Gila Melebur Gunung Karang'.

“Heaaa...”

“Heh Aits...” Sankher tersentak, namun sempat bergerak

cepat mengelakkan pukulan Pendekar Gila.

Kemudian dengan cepat balas menyerang dengan jotosan ke dada lawan.

Pertarungan berlanjut terus. Kini Pendekar Gila bergerak aneh. Gerakannya tampak lamban dan lemah. Namun ternyata sangat berbahaya meskipun hanya menggunakan telapak tangannya. Kedua belah tangannya diletakkan bersilangan di dada, kemudian direntang dan dihentak keras ke depan.

“Heaaa...”

Sankher yang diserang begitu cepat, melompat untuk menghindar. Kemudian dengan jari-jari tangan membentuk cakar, dirinya balas menyerang dengan jurus 'Ular Kobra Mematuk Mangsa'.

“Heaaa...”

Tangannya mencakar dan mematuk bagai ular kobra.

Agak terkejut Pendekar Gila menyaksikan jurus ular yang dikeluarkan lawan. Tubuhnya segera melenting ringan ke udara, hingga serangan Sankher luput dari sasaran. Namun belum sempat Pendekar Gila mengatur napas, si Ular Kobra dari Utara sudah membabatkan pedangnya ke pelipis Sena.

Wuttt

“Uts Heaaa. .”

Pendekar Gila berjumpalitan di udara. Babatan pedang lawan bagai putaran angin puting beliung.

Sedikit pun Pendekar Gila tak diberi kesempatan untuk balas menyerang. Agaknya Sankher benar-benar ingin segera menghabisi lawannya.

Kalau saja lawan yang dihadapi Sankher bukan Pendekar Gila mungkin sudah sejak awal dirinya telah memenangkan pertarungan. Setelah berputaran beberapa kali di udara, Pendekar Gila dengan ringan dan bagai gerakan menari mendarat di tanah.

“Hi hi hi... Lucu. Lucu sekali jurus cacingmu, Kawan Ha ha ha...” Sena tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak-jingkrak. Tangan kanannya kembali menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk pantat. “Ayo, mana lagi jurus cacingmu?”

Mendengar ucapan Pendekar Gila yang sangat meremehkannya, Sankher semakin kalap. Apalagi jurus andalannya ternyata dengan mudah dapat dipatahkan. Dengan geram kembali dikebutkan pedangnya.

“Heaaa...”

Wuttt Wuttt

“Utsss. Heaaa...”

Plakkk

Kali ini Pendekar Gila tak berusaha mengelak.

Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'

dipapakinya serangan lawan. Tubuhnya berputar, meliuk terlihat lamban seperti gerakan orang menari.

Tiba-tiba tangannya menepuk tepat di pergelangan tangan Sankher yang memegang pedang. Sankher kaget, tak menyangka lawan akan nekat memapak serangannya. Akibatnya hampir saja pedang di tangannya terlepas.

Walau gerakan Pendekar Gila kelihatan lamban dan seperti tak bertenaga, ternyata akibatnya sungguh di luar dugaan. Sankher agak pucat wajahnya merasakan kekuatan yang terkandung dalam tepukan tangan dari jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang baru dilancarkan pemuda berangkah seperti orang gila ini. Sena tak mau berhenti sampai disitu, terus bergerak menyerang dengan garang. Tingkah lakunya yang seperti orang gila, dipadu dengan pukulan-pukulan maut yang dahsyat.

Tangan dan kaki Pendekar Gila bergerak cepat.

Kedua tangannya menghantam ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Pukulannya disertai angin topan, walau terlihat lamban dan seperti gerakan orang menari.

“Heaaa...”

Wuttt Wuttt

Glarrr...

Dua senjata sakti saling beradu, ketika Suling Naga Sakti meluruk memukul tongkat pedang Sankher yang dihentakkan memapak. Benturan itu menimbulkan suara mengelegar dan percikan-percikan bunga api. Keduanya terlontar beberapa langkah ke belakang. Nampaknya mereka kembali mengerahkan tenaga dalam masing-masing, disalurkan melalui tangan kanan yang sama-sama

memegang senjata sakti.

“Luar biasa, ck ck ck...” Ki Rah Sewu mendecak kagum. Lelaki ini dari tadi terkesima menyaksikan pertarungan dahsyat yang baru sekali ini dilihatnya.

Sementara, Mei Lie yang dari tadi mulai merasa cemas hanya terpaku di tempat agak jauh. Kekasih Pendekar Gila ini khawatir Sena tak dapat mengimbangi lawan, ketika menyaksikan Sankher mulai mengerahkan jurus-jurus ular kobra yang sangat ganas dan dahsyat.

Ingin sekali dirinya membantu untuk mengeroyok lawan, tetapi sebagai pendekar kesatria, hal seperti ini tentu saja bukan tindakan yang jujur. Kecuali jika Pendekar Gila benar-benar sudah terdesak dan tak berdaya menghadapi lawan.

Sementara, dua tokoh itu terus bertarung seru.

Masing-masing mengerahkan ilmu-ilmu silat dan jurus-jurus sakti dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai taraf kesempurnaan.

“Szzzt, szzzt, szzzt...”

Wuttt

Tiba-tiba mulut Sankher mendesis persis suara ular. Dan tiba-tiba saja pedang di tangannya meluruk dengan gerakan mematuk bagai ular. Sementara tubuhnya pun melompat menerjang kepala Pendekar Gila. Inilah jurus 'Kobra Mematuk Menyebar Racun'.

Jurus yang sangat berbahaya dipadu dengan ilmu pedang tingkat tinggi. Tubuhnya meliuk sambil mendesis sementara pedangnya mengeluarkan hawa beracun yang sangat mematikan.

“Heaaa...”

Wuttt Wuttt

“Hi hi hi... Ada ular lapar mencari kodok”

Sambil tertawa-tawa Sena melompat ringan ke samping kanan. Sambil melompat menghindari serangan Sankher dikibaskan Suling Naga Sakti-nya memukul ke kepala lawan yang meliuk-liuk menjulur bagai gerakan ular kobra ganas. Mulutnya masih cengengesan dan tertawa-tawa. Tapi sinar matanya terlihat memerah saga pertanda kegeraman melihat keganasan lawan yang kembali menyerang dengan jurus-jurus kobranya. Sankher yang bergerak bagai ular itu tiba-tiba menarik tubuhnya menghindari pukulan Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila.

“Hi hi hi... Ular Buduk, kalau hendak mencari kodok, mengapa jauh-jauh datang kemari? Bukankah di sawah banyak kodok? Ha ha ha...” sambil tertawa cengengesan Sena kembali menggaruk-garuk kepala. Sementara tangan kirinya menepuk-nepuk pantat

“Pendekar Gila, hari ini adalah hari akhir dalam hidupmu Bersiaplah” ancam Sankher lantang.

Mukanya merah padam mendengar kata-kata

Pendekar Gila yang sangat menghina.

“Aha... Benar umurku hanya sampai di sini? Lucu sekali omonganmu, Kisanak Kau bukan Hyang Widhi, mengapa berani menentukan hidup matinya

seseorang? Ha ha ha... Dasar ular buduk, hi hi hi...”

“Bedebah Aku akan membuktikannya, Pendekar Gila”

“Heaaa Szzz...”

Wuttt

Tiba-tiba Sankher melejit sambil mengarahkan pedangnya dengan suara mendesis keras. Kali ini yang dituju tepat ubun-ubun Pendekar Gila. Ketika tubuhnya berjarak satu tombak dari Pendekar Gila, pedangnya dikebutkan dengan ganas bagai gerakan ular kobra mematuk. Pendekar Gila berguling ke samping, lalu dengan cepat dikirimkannya sebuah pukulan keras.

“Heaaa...” Plakkk

Pukulan Pendekar Gila menghantam telak tangan kanan Sankher. Namun pukulan itu bagai tak berarti.

Lawannya hanya terdorong dua tombak ke belakang.

Bahkan Sankher dengan jurus-jurus ular kobranya semakin beringas menyerang.

“Wuszzz...”

Sankher melesat ke atas persis gerakan kobra menerkam mangsa. Tak lama kemudian meluruk cepat melancarkan serangan susulan.

“Heh, pukulan 'Kera Gila Melempar Batu' tak ada artinya?” dengus Pendekar Gila dalam hati.

Mei Lie yang terus mengikuti pertarungan kedua tokoh sakti ini juga tak kalah kaget. Wajahnya semakin cemas melihat keganasan Sankher.

Kekhawatirannya sedikit berkurang melihat kekasihnya kembali tenang tak sedikit pun terlihat gentar menghadapi serangan-serangan dahsyat si Ular Kobra dari Utara itu.

Kini tubuh Pendekar Gila berputar cepat dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan' yang mengelak dari serangan lawan yang kian dahsyat dan ganas.

Setelah dapat mengelakkan serangan, Pendekar Gila segera menghantamkan pukulan dengan

mengerahkan jurus 'Si Gila Membelah Awan'.

“Heaaa...”

Wuttt

Degk

Telak sekali pukulan itu menghantam dada

lawannya. Namun mata Pendekar Gila kembali membelalak kaget, Sankher yang terkenal dengan julukan Ular Kobra dari Utara itu ternyata tak mempan pukulan 'Si Gila Membelah Awan'.

Sankher melesat ke udara. Setelah berputar sesaat, tubuhnya kembali meluncur memburu Pendekar Gila.

“Wszzzt..”

“Heaaa...” tubuh Pendekar Gila turut melesat, berusaha memapak serangan yang dilancarkan lawan.

Tubuhnya melesat cepat. Sementara Ular Kobra dari Utara menukik dengan sebelah tangan bergerak mematuk ke dada Pendekar Gila.

Plakkk

Glarrr...

Saat kedua tangan mereka bertemu, terdengar lagi ledakan dahsyat yang memekakkan telinga. Bunga api berpendaran ke sekitarnya. Kedua tangan yang bertemu bagai dua logam baja yang sangat keras. Menimbulkan tiupan angin berhembus hebat menyapu sekitar pertarungan. Daun-daun pepohonan dan rumput di sekitar arena pertarungan gugur tersapu angin pukulan sakti yang saling bertemu di udara.

Tubuh Pendekar Gila terpelanting ke bawah, sedangkan Ular Kobra dari Utara bagai tak mengalami sesuatu apa pun. Padahal pukulan yang baru saja dilontarkan Pendekar Gila merupakan pukulan utama dari sekian jurus saktinya.

“Ukh...”

Pendekar Gila mengeluh pendek.

“Setan Siluman ini benar-benar setan”

Belum juga Pendekar Gila siap, lawannya telah menukik siap menghancurkan tubuhnya. Pendekar Gila yang baru saja hendak bangkit kontan terkejut.

Tak ada waktu lagi untuk berkelit. Dengan nekat dihantamnya tubuh si Ular Kobra dari Utara itu dengan salah satu pukulan saktinya, 'Si Gila Membelah Karang'.

Angin seketika keluar bergulug-gulung dari telapak tangan Pendekar Gila. Untuk sementara tubuh si Ular Kobra dari Utara tertahan.

Pukulan ini sebenarnya mampu menghancurkan batu karang sekalipun. Namun Sankher seperti tak mengalami kesulitan berarti. Tubuhnya alot dengan kulit sangat kenyal bagai karet yang sangat tebal, membuat pukulan sakti Pendekar Gila bagai melenting seperti membentur bola saja.

Kini Pendekar Gila merasa sangat penasaran.

Belum pernah dia bertemu lawan tangguh seperti yang dihadapinya sekarang. Entah sudah berapa puluh jurus pertarungan berlangsung. Namun keduanya belum menunjukkan tanda-tanda akan kalah. Bahkan mereka kini masih saling mengerahkan pukulan-pukulan sakti yang semakin menggiriskan.

“Heaaa...”

Tiba-tiba Sena melompat sambil membabatkan Suling Naga Sakti di tangan kanannya. Gerakannya sangat ringan. Tangan kirinya bertumpu di bumi lalu melejit sambil arahkan tepukan ke kepala Ular Kobra dari Utara.

“Uszzz Hup”

“Weszzz...”

Ular Kobra dari Utara menunduk dan segera menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Sehingga serangan yang dilancarkan Pendekar Gila meleset dari sasaran.

Begitu serangan Pendekar Gila luput, tiba-tiba kedua kakinya memutar dahsyat sejajar bumi persis sambaran ekor ular dengan mengerahkan jurus

'Sapuan Kobra Memangsa Kijang'.

Pendekar Gila segera melompat ke udara, hingga serangan Ular Kobra dari Utara luput dari sasaran.

“Uszzz”

Wettt Wettt

Tiba-tiba pedang tongkat sakti Ular Kobra dari Utara berkelebat mencecar tubuh Pendekar Gila yang melenting di udara.

“Hop Heaaa...”

Tubuh Pendekar Gila terpaksa bersalto beberapa kali di udara. Dengan gerakan ringan bagai kapas segera berbalik dengan tangan memukul ke dada Ular Kobra dari Utara.

Wuttt

Degkh... Kali ini tanpa dapat mengelak, pukulan 'Si Gila Menyibak Awan' dari jurus gila berhasil mengenai punggung Ular Kobra dari Utara.

Sankher memang agak lengah setelah

serangannya tadi berhasil dielakkan Pendekar Gila.

Tubuhnya terlontar sekitar tiga tombak ke belakang dengan terhuyung-huyung.

“Hi hi hi... Baru terasa kue..., heh?”

Pendekar Gila yang tertawa cengengesan kaget.

Belum selesai ocehan konyolnya ketika tiba-tiba...

Desss...

Ular Kobra dari Utara yang begitu dapat

menguasai keseimbangan tubuhnya menusukkan ujung pedangnya ke tanah. Kontan di sekitar tempatnya berdiri dipenuhi asap hitam tebal membumbung bagai keluar dari tanah. Seketika itu juga tubuhnya pun raib bagai ditelan bumi.

Bukan saja Pendekar Gila yang terkejut

menyaksikan kejadian yang sangat cepat itu. Mei Lie dan Ki Rah Sewu yang sejak tadi mengikuti jalannya pertarungan pun merasa heran melihat sosok Ular Kobra dari Utara yang tiba-tiba raib.

Belum hilang rasa kaget mereka, tiba-tiba....

“Jangan dulu merasa menang, Pendekar Gila Aku belum kalah” terdengar suara yang bergema entah dari mana sumbernya. Disusul suara ringkikan kuda yang digebah dan melaju menjauhi arena

pertarungan yang kini telah porak poranda bagai terlan amukan gerombolan gajah.

“Aha, lucu Hi hi hi... Ternyata ular buduk itu takut juga dilempari kue apem” Sena cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala dan tangan yang sebelah menepuk-nepuk pantatnya.

Ki Rah Sewu merasa geli memandang tingkah laku Pendekar Gila yang sangat aneh sedikit pun tak menampakkan kelelahan. Mei Lie hanya menatap dengan tersenyum kecil memaklumi sifat kekasihnya yang memang sudah terbiasa.

“Apa tindakan kita sekarang, Kakang?” Mei Lie membuka suara sambil melangkah mendekati

Pendekar Gila.

“Aha Oh ya. Mari kita segera ke Lembah Merawan. Ayo, Ki” Sena berseru pada Ki Rah Sewu.

“Aku khawatir Ular Kobra dari Utara seperti menyimpan suatu siasat licik di balik ancamannya tadi,” sambung Pendekar Gila.

*** 7

Siang berselimut mendung. Mentari berkabung, enggan menampakkan sinarnya yang hangat. Semilir angin bertiup sepoi-sepoi basah, bertanda hujan akan turun menumpahkan airnya ke bumi.

Lembah Merawan dengan pepohonan yang

tumbuh lebat di sekelilingnya, bagai menambah asri kehijauan alam di lembah itu. Padepokan Panca Purba seperti terselimut mendung. Ki Kuncara Ketua Perguruan Panca Purba memang belum lama

terbunuh oleh kekejaman Ular Kobra dari Utara.

Di dalam padepokan, ada empat sosok tubuh yang masing-masing menyiratkan duka akibat kematian sang Guru, Ki Kuncara yang belum lama mereka kuburkan di sebelah padepokan.

Mereka tak lain Sundari, Sawung Rana, dan kedua murid Ki Kuncara. Mereka juga harap-harap cemas menunggu Ki Rah Sewu yang pergi mencari Ular Kobra dari Utara.

“Ha ha ha... Tikus-tikus busuk Sebentar lagi kalian akan kubuat jadi bangkai santapan cacing-cacing tanah”

Brakkk

Tiba-tiba terdengar suara tawa disusul bunyi derak pintu padepokan yang terdobrak hancur berkeping-keping.

Sawung Rana, Sundari, dan kedua murid Ki

Kuncara kaget setengah mati dengan muka pias ketakutan.

Sedikit pun tak ada yang menduga jika Ular Kobra dari Utara akan menyatroni mereka ke tempat itu kembali.

“Bukankah Pendekar Gila tengah mencari-

carinya? Apakah dia tak berhasil menemukannya, atau apakah mungkin pemuda bertingkah laku seperti orang gila itu berhasil pula ditaklukkannya?”

dalam ketakutannya, terselip kebingungan di benak Sundari, juga Sawung Rana.

Tetapi kebingungan mereka tak berlangsung lama. Tiba-tiba saja Sankher kembali membentak sambil menudingkan tongkat saktinya ke leher Sawung Rana.

“Hei, Bangsat Ke sini kau”

Wajah Sawung Rana kontan pucat pias ketakutan dengan tubuh menggigil gemetaran. Demikian juga Sundari serta kedua murid Ki Kuncara. Tubuh mereka persis kucing kedinginan. Mengkeret tak dapat membayangkan kengerian.

Percuma saja mereka melawan. Tokoh-tokoh

sakti setingkat guru mereka telah tewas menjadi korban keganasan Ular Kobra
dari Utara ini. Apalagi mereka yang memiliki ilmu silat jauh di bawahnya.

Namun dengan nekat Sawung Rana maju

melabrak Ular Kobra dari Utara. Melawan atau tidak baginya sama saja. Pasti Sankher akan membunuhnya juga.

Memang Ular Kobra dari Utara ini sangat geram karena merasa tidak mampu menaklukkan Pendekar Gila, sehingga melampiaskannya pada mereka.

“Hm, rupanya masih punya nyali juga kamu Tikus Comberan Hih”

Wuttt

Tiba-tiba Sankher mengecutkan tongkatnya ke leher Sawung Rana dengan dahsyatnya. Sawung Rana segera menjatuhkan tubuh, hingga kebutan tongkat Sankher melesat beberapa jengkal di atas tubuhnya. Sundari pun siap menyerang.

Sundari dan kedua murid Ki Kuncara segera bangkit semangatnya. Mereka rupanya sama-sama bertekad mempertahankan nyawa, walau apa pun akibat yang akan terjadi. Keberanian Sawung Rana membangkitkan semangat mereka untuk

mempertahankan selembar nyawa.

“Ha ha ha... Majulah kalian bersama-sama Agar mudah kucincang jadi santapan tongkatku”

Keempatnya bangkit serentak menerjang, tak peduli ucapan menghina Ular Kobra dari Utara.

Masing-masing bagai diperintah, serentak membabatkan pedangnya ke bagian tubuh lawan yang mematikan.

Namun tentu saja tak sulit bagi Sankher

mengelakkan serangan mereka. Ilmu silat mereka masih jauh di bawah Ular Kobra dari Utara. Hanya dengan mengegoskan tubuhnya sedikit ke samping, maka serangan mereka luput jauh dari sasaran.

Tiba-tiba....

Srettt

“Heaaa...”

Wuttt

Crakkk

Crasss

Tubuh kedua murid Ki Kuncara sudah terjatuh limbung dengan leher terbabat hampir putus. Darah memuncrat membasahi ruangan, tanpa jeritan sedikit pun.

Begitu cepat kejadiannya. Yang terlihat kini hanya pedang yang berlumuran darah yang juga merupakan tongkat jika disarungkan. Sawung Rana dan Sundari terbeliak kaget. Wajah keduanya pucat pasi bagai tak dialiri darah, membayangkan kengerian teramat sangat.

“Kubunuh kau, Biadab” Sawung Rana yang

segera sadar menerjang secara membabi buta. Tak lagi memikirkan keselamatan dirinya.

Dengan ganas diayunkan pedangnya sambil

melompat meluruk ke tubuh Sankher yang

memandangnya dengan tersenyum sinis.

Begitu serangan pedang Sawung Rana hampir mencapai tubuhnya, dengan tenang diulurkan tangannya.

Tap

Degkh

“Aaakh...”

Tepat ketika tangannya menangkap pergelangan tangan Sawung Rana yang tengah menghunus

pedang, langsung dikirimkan satu tendangan kilat ke selangkangan lawan sambil ditariknya kuat tangan Sawung Rana. Tentu saja Sawung Rana tak menduga, lawannya akan bertindak begitu. Tubuhnya pun doyong tertarik kuat ke depan. Pedangnya terlepas karena kuatnya tenaga cekalan lawan.

Saat itulah tendangan kaki Sankher mendarat telak di selangkangannya. Maka tak ampun lagi Sawung Rana terjungkal seiring pekik kematian.

Tubuhnya lalu ambruk ke tanah, sesaat meregang kemudian mengejang kaku. Tewas

“Setan laknat Kubunuh kau Kau harus mem-bayar mahal atas kebiadabanmu ini”

Sundari berteriak kalap, matanya merah

menyiratkan dendam kesumat membara melihat kematian sang Kekasih.

“Hiaaattt...” Wuttt Wuttt

Pedang di tangan Sundari menebas ke tubuh Ular Kobra dari Utara dengan ganas.

“Hiyaaa...”

Tuk Tuk

Ular Kobra dari Utara pun melesat, lalu bersalto di udara dengan tangan kiri mengirimkan dua totokan tepat di ubun-ubun Sundari.

Gadis itu kontan terkulai lemas tak mampu menggerakkan sekujur tubuhnya. Seluruh urat geraknya tiba-tiba tak berfungsi sama sekali.

Kini dirinya hanya dapat memaki dengan sinar mata kalap. Wajahnya membayangkan kengerian akan tindakan Sankher selanjutnya.

“He he he... Cah Ayu, sudah kubilang tak ada gunanya melawan ular kobra. Tenanglah Mari kita bersenang-senang sejenak Sungguh sayang tubuhmu yang bahenol ini harus mengalami seperti temanmu itu”

“Tidak, jangaaan” Sundari hanya dapat menjerit dalam hati. Mukanya semakin pucat, menyadari tubuhnya sudah tertotok tak dapat digerakkan lagi.

“He he he...” Sabar, Cah Ayu, kau tambah cantik dan membuatku semakin bernafsu. Jika marah begitu. Ayolah...”

Sankher segera meringkus Sundari lalu

menggelutinya. Sementara, Sundari hanya dapat menjerit dalam hati, tak berdaya karena sudah terkena totokan Ular Kobra dari Utara yang kini tengah dirasuki nafsu bejatnya. Apalagi ketika melihat kemontokan tubuh Sundari.

“Ja... jangaaan Tidak, lepaskan Kurang ajar

Binatang kau” batin Sundari menjerit-jerit pilu tak mampu melepaskan diri dari kebuasan nafsu Sankher yang semakin menggelegak.

Maka dengan rakus Sankher menciumi, meraba, dan meremas seluruh tubuh Sundari.

Baru saja Sankher hendak menindih tubuh gadis malang itu, tiba-tiba....

“Biadab Lepaskan perempuan itu”

Entah dari mana datangnya di tempat itu telah melesat sesosok tubuh berjubah hitam. Rambutnya sudah putih dengan jenggot sudah memutih pula. Di tangannya tergenggam sebilah arit.

“Hm, kiranya masih ada yang suka usil meng-hantarkan nyawa Hei, Tua Bangka Apa urusanmu dengan perempuan ini, atau kau juga berminat padanya?” dengus Sankher dengan mata terbelalak marah.

“Keparat, kau sangka aku sama denganmu,

Binatang?”

Sosok berjubah putih dengan tubuh kurus itu membentak murka karena dituduh yang bukan-bukan. Lelaki tua itu segera menerjang dan membabatkan aritnya.

Wuttt Wuttt

“Mampuslah kau, Binatang” lelaki itu ternyata Resi Bemala yang dikenal dengan julukan 'Arit Sambar Nyawa'.

“Kurang ajar Heaaat...”

Sankher yang merasa terganggu langsung

melompat ke atas. Sambil mengebut tongkat tubuhnya bergerak menerjang, setelah berhasil mematahkan serangan lelaki tua berjubah putih itu.

Wuttt Wuttt

Ular Kobra dari Utara kembali menggerakkan tongkatnya. Kemudian dengan penuh amarah

tubuhnya melesat memburu lawan. Namun dengan cepat Arit Sambar Nyawa menghadangnya dengan membabatkan aritnya ke tongkat lawan.

Trang

Kemarahan Ular Kobra dari Utara semakin

memuncak ketika mengetahui lelaki tua itu memapaki serangannya. Matanya berkilat tajam.

Didahului desisan aneh bagai ular kobra, tongkatnya disilangkan di atas kepala. Perlahan tangan kirinya memegang ujung tongkat agak ke tengah. Dan....

“Szzz...”

Srets

Tangan kanannya yang memegang tongkat tiba-tiba bergerak ke bawah. Kini terlihat tongkat tadi menjadi dua. Yang satu di tangan kiri ternyata berupa sarung sebuah pedang. Sedangkan di tangan kanan kini tergenggam sebuah pedang berkilat tajam memancarkan sinar maut berhawa racun.

“Yeaaa...”

“Keluarkan semua ilmu arit bututmu” tantang Sankher seraya mengelakkan tebasan dan babatan arit lawan. Kemudian dengan cepat tangannya menggerakkan pedang. Seketika pedangnya melesat mematuk bagai ular kobra bersama tubuhnya menerjang dengan dahsyat

“Heaaa...”

“Wusz, Wuszzz...”

Trang Trang

Dentingan beradunya dua senjata itu terdengar susul-menyusul. Diikuti gerakan keduanya yang menyerang secara gencar dan cepat.

Sementara, Sundari yang masih heran siapa sebenarnya lelaki tua itu hanya terpana. Hatinya penuh kebingungan melihat pertarungan yang tiba-tiba pecah dengan dahsyat antara dua tokoh sakti di hadapannya.

Lelaki berjubah putih yang ternyata kakak Ki Kuncara tiba-tiba melompat tiga tombak ke belakang.

Kemudian kedua tangannya bergerak menggenggam arit dan menyilangkan di depan dada. Perlahan senjata itu diangkat ke atas kepala sambil memusatkan diri sejenak. Tiba-tiba....

“Hiyaaa...”

Werrr Wusss

Tubuh Arit Sambar Nyawa melenting dan berputar bagai baling-baling. Aritnya bergerak cepat menyambar leher Ular Kobra dari Utara. Tetapi....

“Uszzz Heaaa...”

Blukkk

Sankher menunduk dan menjatuhkan tubuh ke tanah. Dan begitu tubuh Arit Sambar Nyawa berada tepat di atasnya tangan kirinya mematuk cepat. Tepat mengenai arit yang turut berputar di tangan lawannya.

“Hea”

Prakkk

Sungguh hebat akibat patukan dari jurus 'Kobra Mematuk Karang' ini. Arit di tangan lawannya kontan patah membuat Resi Bemala kaget setengah mati.

Tangannya yang memegang arit terasa panas bagai memegang bara. Bahkan sekujur tubuhnya terasa linu hingga aritnya yang sudah patah jatuh dari tangannya.

Ternyata Ular Kobra dari Utara tidak

menghentikan serangan sampai di situ. Sambil bersalto tiba-tiba tubuhnya melejit menghentakkan pedang dari atas mengarah ke tubuh lawan.

Arit Sambar Nyawa yang belum dapat mengatur kedudukan berusaha mengelak sebisanya ke arah kiri. Namun gerakannya sedikit terlambat. Maka. “Wuszzz”

Crasss

“Aaa...”

Pedang di tangan Sankher tak urung memapas bahu kanan Arit Sambar Nyawa. Kontan lelaki tua berjubah putih ini menjerit. Tangannya putus sebatas bahu. Darah memancar tiada henti dan tubuhnya pun limbung hendak jatuh.

“Heaaa Wuszzz...”

Wuttt

Trakkk

“Hei?”

Si ular Kobra bermaksud menghabisi Arit Sambar Nyawa. Namun mendadak hatinya terasa kaget melihat sesosok bayangan berkelebat memapak serangannya dengan suling.

Si Ular Kobra dari Utara tersentak kaget dengan mata membelalak. Segera ditarik pedangnya, lalu membuat gerakan membuka sebuah jurus.

“Hm...” gumam Sankher. Begitu melihat

Pendekar Gila muncul kembali dengan tiba-tiba, “Kali ini kau tak akan hidup lebih lama, Pendekar Gila...”

Selesai bicara begitu, Sankher langsung

menyerang Pendekar Gila dengan membabatkan pedang.

Namun Pendekar Gila dengan cepat mengelak, melompat ke atas. Sementara itu tangan kanannya yang memegang Suling Naga Sakti balik menyerang.

Wuttt Wuttt

Trang

Senjata mereka beradu hingga menimbulkan

suara nyaring dan percikan bunga api. Tubuh Sankher terpental dua tombak ke belakang. Sedangkan Pendekar Gila hanya beberapa langkah. Sankher merasakan sesak dadanya, karena tanpa diduga, tangan kiri Pendekar Gila telah mendaratkan pukulan yang disertai tenaga dalam yang kuat.

“Ukh...”

Pendekar Gila cengengesan dan terus mengamati gerak-gerik lawannya. Suling Naga Sakti-nya kini diputar di atas kepala. Lalu diturunkan, kakinya membuat kuda-kuda. Menanti serangan lawan.

Sankher geram lalu mengeluarkan jurus 'Kobra Mematuk Mangsa'. Direntangkan kedua tangannya lebar-lebar. Lalu menghentakkan ke depan.

“Heh Heaaa...”

Sankher melompat secara zik-zak. Pendekar Gila yang melihat itu cepat menggerakkan Suling Naga Sakti-nya, memapaki serangan Sankher.

“Yeaaa...”

Trang

Degk

“Heit..”

Kedua pendekar itu kini bertarung di udara.

Saling pukul dan tangkis. Menimbulkan suara ledakan, dan percikan sinar api yang menerangi tempat itu.

Jglarrr

Pada saat Sankher lengah, karena merasakan tangannya terasa panas, Pendekar Gila berhasil memasukkan pukulan dengan tangan kiri ke dada.

“Hukkk...”

Sankher memekik keras. Lalu tubuhnya melayang jatuh ke bawah. Rupanya keadaan lelaki dari utara itu sudah mulai melemah. Sehingga dengan mudah Pendekar Gila yang masih kelihatan kuat

memanfaatkannya.

Sankher bergulingan di tanah. Lalu kembali bangkit dan membuka kembali jurus-jurusnya.

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir. Seperti meledek. Dengan tenang pendekar muda ini menggerakkan Suling Naga Sakti ke kanan ke kiri. Matanya tak berkedip sedikit pun menatap lawannya.

“Kau kali ini benar-benar akan kukirim ke akherat...” dengus Sankher dengan geram.

“Heaaa...”

Sankher dengan penuh amarah menyerang

Pendekar Gila yang nampak begitu tenang. Namun serangannya mulai kurang ganas dan mengendor.

Pendekar Gila hanya mengelak ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Meliuk-liuk bagai orang menari. Sambil sesekali tangan kanannya yang memegang Suling Naga Sakti menangkis dan

menghantam lawan.

Namun Sankher pun tak mau menerima begitu saja serangan balik Pendekar Gila. Dengan cepat membabat kaki Pendekar Gila, lalu disusul patukan tangan kirinya.

“Wesss... Zzz...”

“Bts...”

Pendekar Gila mengelak sambil merobohkan

tubuhnya ke belakang, lalu bersalto tiga kali ke belakang. Kemudian kakinya mendarat pada sebuah batu.

Sankher memburu dengan melompat bagai

terbang sambil menusukkan pedangnya ke dada lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat

merunduk. Karena cepat dan derasnya, tubuh Sankher melayang di atas kepala Pendekar Gila.

Melihat itu Pendekar Gila tak menyia-nyiakan kesempatan. “Yeaaa...”

Degk Plakkk

“Aaakh...”

Sankher memekik keras, karena rusuknya kena pukulan Pendekar Gila.

Tubuh Sankher tersuruk di tanah dengan wajah terlebih dulu. Hingga wajahnya membentur bebatuan di tempat itu.

“Akh...” pekiknya lagi.

Pendekar Gila tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dia tak mau langsung menyerang.

Sepertinya pemuda gondrong itu memberi

kesempatan pada lawan untuk bangun dan kembali bertarung secara jantan. Itu memang sifat Pendekar Gila, sebagai pendekar yang berbudi serta menjunjung jiwa kesatria.

“Grrr.... Zzz...” Sankher mendesis, seperti ular.

Lidahnya menjulur panjang bercabang dua, seperti ular. Lidah itu beracun. Bila mengenai tubuh lawan, maka akan mati seketika.

Pendekar Gila yang melihat itu mengerutkan kening. Lalu kemudian cengengesan. Suling Naga Saktinya ditaruh di depan dada. Tangan kirinya juga depan dada dengan menggenggam. Lalu sulingnya dihentakkan ke depan dua kali, sedang tangan kirinya membuat gerakan silat.

“Zzz...”

Sankher nampak terus mendesis seperti ular, sambil merundukkan kepala. Tubuhnya meliuk-liuk bagai ular hendak menyerang lawan. Kedua

tangannya terus bergerak aneh. Sementara, pedang di tangan kanannya memancarkan sinar api

membara kemerahan.

Hawa panas yang luar biasa menyambar tubuh Pendekar Gila, disertai angin kencang. Pendekar Gila segera mengeluarkan ajian 'Inti Salju' untuk melawan hawa panas itu. Mendadak hawa panas berubah menjadi dingin sekali.

Keduanya mulai bertarung dengan tenaga dalam.

Sankher yang merasa yakin dapat menaklukkan Pendekar Gila, dengan ilmu 'Api Beracun', hatinya merasa kaget ketika sekejap hawa panas yang ditujukan kepada Pendekar Gila, berbalik ke arahnya menjadi dingin bagai es

“Hah...?” gumam Sankher membelalakkan

matanya dengan tubuh merasa kedinginan.

Arit Sambar Nyawa yang tangan kanannya sudah putus, tersambar pedang Sankher tadi merasa kagum, melihat ilmu Pendekar Gila. Kepalanya bergeleng-geleng. Dan mulutnya berdecak kagum.

“Ck ck ck.... Baru aku saksikan...” gumamnya lirih, sambil memegangi tangan yang putus. Sundari berlari menghampiri Arit Sambar Nyawa. Untuk membungkus tangan yang putus itu.

“Ki, biarlah lukamu aku balut..” ujar Sundari sambil menyobek ujung pakaiannya.

Arit Sambar Nyawa hanya bisa tersenyum dan mengerang menahan rasa sakit.

***

Kembali ke arena pertarungan antara Pendekar Gila dengan Sankher, si Ular Kobra dari Utara.

Sankher nampak tak dapat menghilangkan dingin pada tubuhnya. Hatinya marah, lalu dengan tenaga dalamnya berusaha melepas salju yang membalut seluruh tubuh. Pendekar Gila tertawa-tawa, sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu ia menghentakkan Suling Naga Sakti-nya.

“Hah...”

Wesss

Seketika salju yang mengurung tubuh Sankher mencair. Sankher bukannya berterima kasih, melainkan justru makin geram, karena merasa malu.

Segera Sankher berteriak keras, sambil

menggerakkan kedua tangan dengan cepat bagai kipas. Pendekar Gila tetap tenang, dan siap menghadapi serangan lawan.

Tubuh Sankher terbang, bagai seekor ular yang ingin menyerang mangsanya, dengan gerakan zik-zak dan cepat. Lalu menukik, dengan kedua tangannya membabat ke kepala lawan. Pendekar Gila yang sudah mengetahui, dengan cepat melompat ke samping kiri, lalu disusul dengan salto ke belakang.

Menjauhi lawan.

Sankher yang merasa serangannya dapat dielakkan makin geram dan marah. Dengan sebisanya ia membabatkan pedang ke tubuh Pendekar Gila yang juga balik menyerang dengan melompat. Suling Naga Sakti-nya yang tergenggam di tangan kanan, bergerak cepat menangkis dan menyerang.

Sankher kewalahan. Karena serangan yang

dihantarkan Pendekar Gila sangat cepat dan sukar diatasi. Akibatnya Sankher mundur beberapa tindak.

Namun sebelum sempat membuka jurus baru,

Pendekar Gila yang sudah tak sabar ingin menghabisi tokoh yang membunuh banyak pendekar Jawadwipa dan orang-orang tak bersalah, melompat cepat. Dan ketika tubuhnya masih di udara, mendadak menukik cepat, sukar ditangkap dengan mata biasa. Dan....

“Aaakh...”

Sankher memekik keras dan panjang, sambil memegangi kepalanya. Tubuhnya melintir bagai gangsing. Pedangnya jatuh. Namun berusaha sekuat tenaga untuk menyerang Pendekar Gila yang sudah mendaratkan kakinya di tanah.

“Heaaa...”

Degk

“Aaakh...”

Kembali Sankher berteriak kesakitan. Kali ini nampak telinganya mengeluarkan darah segar. Juga matanya. Kemudian disusul dengan tubuhnya yang terbelah dua. Karena pukulan Suling Naga Sakti Tubuh Sankher menggelepar-gelepar di tanah.

Lalu tewas

Pendekar Gila merasa puas. Diselipkan lagi Suling Naga Sakti-nya ke pinggang.

Sundari yang melihat kejadian itu ikut senang.

Gadis itu menghambur ke arah Sena. Sedangkan Arit Sambar Nyawa masih terduduk di bawah pohon besar. Wajahnya tersenyum getir, memandangi Sundari yang berlari menuju Pendekar Gila.

“Aku ikut senang, kau telah dapat membunuh manusia keji itu...,” kata Sundari begitu sampai di dekat Sena.

Sena hanya menghela napas panjang. Matanya masih memandangi mayat Sankher, yang telah membiru. Lalu menoleh ke arah Sundari.

“Semua ini kehendak Hyang Widhi. Aku hanya melaksanakan. Orang macam dia memang pantas dimusnahkan...,” kata Sena seakan bicara pada diri sendiri.

“Aku sangat berterima kasih, karena kau telah membalaskan dendamku atas kematian paman dan Kakang Sawung Rana.... Sungguh aku sangat ber-hutang budi padamu, Sena,” ujar Sundari lagi. “Aha, jangan bicara begitu Sudah menjadi tugasku untuk menolong sesama kita. Apalagi, orang seperti itu,” Sena menunjuk ke mayat Sankher.

“Memang harus mati. Menerima ganjaran. Aku tak mau membunuh lawan kalau tak ada masalah. Tapi aku masih merasa heran kenapa dia mau

membunuhku?”

Sesaat kemudian diam. Lalu tampak mulut Sena cengengesan sambil menggaruk-garukkan kepala.

“Ayo, kita bawa orang yang terluka itu ke tempatmu...,” ajak Sena. Yang kemudian melangkah pergi. Sundari mengikutinya tanpa menjawab.

***

Di Perguruan Elang Sakti pagi itu nampak sudah ramai, suasana tenang. Dari dalam rumah perguruan yang bekas milik Ki Putih Maesaireng, muncul Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Di kanan kirinya tampak Sundari dan Resi Bemala.

Wajah mereka nampak cerah dengan senyum

tersungging di bibir. Begitu juga beberapa orang sisa murid Perguruan Elang Sakti yang masih hidup.

Mereka menundukkan kepala memberi hormat pada Pendekar Gila yang melewati para murid itu.

“Sena, sangat berat aku berpisah denganmu. Aku tak bisa memaksamu untuk berlama tinggal di sini.

Aku mengerti. Tapi kuminta, bila kau lewat di sini, mampirlah Biar hatiku senang...,” ujar Sundari dengan lemah lembut.

Pendekar Gila hanya menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. Matanya melirik ke Arit Samber Nyawa.

“Ya. Aku pun merasa kehilangan seorang sahabat dan pendekar yang kukagumi. Maksudku, sama dengan Sundari. Kalau ada waktu, datanglah kemari”

tambah Arit Sambar Nyawa.

“Mudah-mudahan. Baiklah aku mohon pamit...,”

kata Sena, lalu menjabat tangan Arit Sambar Nyawa.

Kemudian dipegangnya bahu Sundari seraya berkata,

“Jaga dirimu baik-baik Berlatihlah ilmu silat dengan tekun. Tentunya Arit Sambar Nyawa akan memberikan sedikit ilmunya padamu....”

Selesai berkata begitu, Sena pun meninggalkan Perguruan Elang Sakti sambil melambaikan tangan kanannya. Para murid perguruan itu melepas kepergian Pendekar Gila yang sangat mereka kagumi dengan tatapan haru. Begitu pula Sundari. Gadis cantik itu seakan tak rela. Namun semua maklum, bahwa tugas Sena sebagai pendekar penegak kebenaran dan keadilan menuntutnya harus terus melanglang buana.

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar