-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 25 Sepasang Maling Budiman
1
Pagi dengan sinar mentarinya
yang hangat menerangi alam persada. Mentari baru saja naik dari peraduannya.
Namun para kuli yang bekerja pada pembuatan jalan tampak telah mulai bekerja.
Di antara puluhan kuli berdiri belasan lelaki bertampang beringas tengah
mengawasi. Dari tampang mereka tampak ke tidak relaan jika para kuli itu
bekerja lamban, apalagi beristirahat sebelum waktunya.
Tidak jauh dari tempat itu,
tampak seorang lelaki tua tengah tertatih-tatih membawa bongkahan batu yang tak
seimbang dengan keadaan tubuhnya.
Meskipun suasana masih pagi,
tubuh kurus lelaki tua itu bercucuran keringat. Sesekali langkahnya terhenti.
Napas tuanya tersengal-sengal.
Lalu setelah meletakkan batu yang dibawa ke tanah, tangannya menyeka keringat
yang hampir mengalir ke mata. Ditelan air lu-dahnya guna membasahi kerongkongan
yang basah kehausan. Kepalanya menggeleng-geleng, seolah hendak mengatakan
bahwa dirinya tak mampu.
Namun orang-orang berpakaian
rompi hitam yang bertugas sebagai pengawas itu tampaknya tak peduli. Mereka
bagaikan iblis-iblis kejam. Tak ada belas kasihan sama sekali terhadap para
pekerja yang sudah dibayar oleh juragan yang menangani pembuatan jalan. Siapa
yang berani membangkang, akan mendapat siksa yang berat "Uhhh..."
lelaki tua bertubuh kurus itu melen-guh lirih dengan mulut meringis. Tubuhnya
tampak gemetaran, seakan menggambarkan betapa berat beban yang tengah dijalani.
Begitupun guratan-guratan di wajah lelaki tua itu menyiratkan derita hidup yang
telah menghimpit jiwanya.
"Hyang Widhi Oh...,
sampai kapan penderitaan ini berakhir? Sampai kapan derita yang harus
ditanggung warga Desa Kaliamba ini...?" keluh lelaki tua hampir tak
berdaya. Wajahnya yang berpeluh menengadah, memandang ke langit. Seakan-akan
tengah mengadukan nasibnya kepada Yang Maha Kuasa.
Baru beberapa kali tarikan
napas lelaki itu termenung, tiba-tiba dari belakang seorang lelaki berusia
sekitar tiga puluh tahun bermuka beringas menghampiri. Tanpa banyak bicara, lelaki
beringas yang ternya-ta penjaga para pekerja menendang tubuh lelaki tua itu.
Dugkh "Tua bangka tak
tahu diri Sudah dibayar masih malas-malasan kau?" hardiknya dengan mata
melotot. Lelaki tua renta yang ditendang, terjungkal. Beruntung batu yang
dibawa terlontar agak jauh, tak mengenai tubuhnya. Dengan tertatih-tatih,
lelaki tua renta itu berusaha bangun. Wajahnya memandang mengiba, berusaha
meminta belas kasihan.
"Saya..., saya sakit,
Den," ujar lelaki tua itu dengan suara gemetar.
"Ah..., alasan lagi Cepat
bangun dan kerja Jangan sampai hilang kesabaranku" hardik si penjaga
dengan muka semakin menampakkan kegarangan.
Kakinya dengan enteng, kembali
menendang pantat lelaki tua itu.
Dugkh "Aduh Ampun,
Den" Lelaki tua renta itu terjungkal dengan muka mencium tanah. Namun,
sepertinya si penjaga tak merasa kasihan sedikit pun. Bahkan dengan angkuhnya,
lelaki muda bermuka garang itu tersenyum sinis.
Orang-orang yang sedang
bekerja, hendak membantu lelaki tua malang itu. Namun tiba-tiba....
"Jangan turut campur Atau
kalian akan mendapatkan hal serupa dengan orang tua yang hampir mampus
itu?" terdengar suara keras membentak. Sehingga pekerja paksa itu
mengurungkan niat mereka.
Namun mata para pekerja paksa
itu memandang penuh kebencian pada lelaki berpakaian hijau sepanjang lutut yang
dirangkapi pakaian dalam warna kuning.
Lelaki berperut buncit dan
bermuka bengis itu, tak lain juragan yang menangani pekerjaan pembuatan jalan.
Dia bernama Durka Pela, warga desa yang terkenal pelit dan kikir. Namun karena
pintar mengambil hati para pembesar, dirinya dipercaya untuk menangani masalah
pembebasan tanah dan pengerjaan pembuatan jalan.
Pertentangan antara Juragan
Durka Pela dengan warga Desa Kaliamba mengenai pembebasan tanah dan upah yang
sangat kecil, sudah sering terjadi.
Namun selama ini, warga selalu
kalah. Hal itu karena Juragan Durka Pela beserta para centengnya melakukan
penekanan dan penyiksaan, yang membuat warga semakin menderita.
"Kalian telah tahu, apa
yang akan kalian dapatkan, jika berani menentangku" bentak Juragan Durka
Pela dengan tingkah sombong. Kedua tangannya bertolak pinggang. Matanya
memandang penuh kebengisan pada para pekerja yang seketika mengurungkan niat
mereka untuk melakukan pemberontakan. Juragan Durka Pela tersenyum sinis.
Keangkuhannya semakin menjadi-jadi. Matanya disapukan ke sekeliling tempat
pembuatan jalan dengan tajam, yang membuat semua pekerja semakin ketakutan.
"Ayo, kalian kerja
lagi" seru Juragan Durka Pe-la pada para pekerja paksa yang masih diam,
memandang penuh kebencian kepadanya. Namun Juragan Durka Pela tak peduli.
Dengan angkuh, juragan kikir ini bertolak pinggang. Kepalanya digerakkan,
memberi perintah pada anak buah agar menangani para pekerja. Kemudian dengan
tanpa mempedulikan para pekerja. Juragan Durka Pela beranjak meninggalkan
tempat itu diikuti dua orang pengawalnya.
Para penjaga yang bertugas
mengawasi para pekerja, kembali berlaku kasar. Siapa saja yang malas-malas
mereka siksa dengan tendangan dan pukulan.
Sehingga para pekerja tak ada
yang berani membangkang. Meski merasa tertekan dan tersiksa, mereka terpaksa
bekerja. Meski keringat bercucuran membasahi tubuh, mereka tetap bekerja.
Mentari terus merangkak naik
dengan sinarnya yang semakin panas. Para pekerja tetap bekerja, tanpa ada waktu
beristirahat. Apalagi para penjaga tampak semakin beringas dan kejam setiap
menghadapi pekerja yang mencoba melawan. Para penjaga tak memandang bulu pada
siapa saja. Tak peduli pada orang tua, ataupun anak muda. Sekali saja kedapatan
beristirahat atau malas, siksa hukuman akan menimpa dirinya.
***
Kereta yang ditarik dua ekor kuda nampak
melaju meninggalkan tempat pembuatan jalan. Di dalam kereta itu, duduk seorang
lelaki gemuk berperut buncit. Di kanan kirinya, dua orang centeng dengan mata
tajam mengawasi sekelilingnya. Lagak mereka seperti seorang pendekar sakti,
yang setiap saat siap menyelamatkan sang Juragan dari ancaman orang-orang yang
merasa tidak suka.
"He he he... Semakin lama
pekerjaan itu, akan semakin banyak uang yang masuk ke kantongku," gumam
Juragan Durka Pela sambil tertawa terkekeh.
Kedua orang centeng turut
tertawa senang, karena mereka juga akan mendapatkan cipratan uang dari
juragannya. Ketika mereka melintasi jalanan berbukit, tiba-tiba dari arah yang
berlawanan berkelebat sesosok bayangan biru di depan kuda-kuda itu.
"Hiiieeeh...
Hiiieeehhh..." Kedua kuda penarik kereta langsung meringkik, dengan
kaki-kaki terangkat ke atas. Hal itu membuat orang-orang yang berada di dalam
kereta terkejut "Ada apa, Kusir?" sentak Juragan Durka Pela bertanya.
"Ampun Juragan Ada orang
menghadang kita" sahut sang Kusir.
"Huh Cecunguk macam apa
lagi yang berani menghadang perjalanan kita?" dengus Juragan Durka Pela.
"Barda dan kau Gopal, bereskan dia Mengganggu saja" "Beres,
Gan," jawab kedua centeng yang langsung melompat keluar untuk melihat
orang yang berani menghadang perjalanan juragannya.
Seorang lelaki berpakaian biru
tua nampak berdiri tegap. Matanya menatap tajam dua orang centeng Juragan Durka
Pela. Lelaki bercadar biru itu seakan mengejek kedua centeng yang telah banyak
membuat penderitaan warga Desa Kaliamba.
"Siapa kau? Untuk apa kau
menghadang perjalanan kami?" bentak centeng yang berkepala botak.
Matanya yang juling menatap
wajah lelaki yang terhalang kain biru itu. Dari sikapnya seperti dibuat-buat,
centeng yang bernama Barda itu jelas memperlihatkan sifat penjilat. Lagaknya
seperti seorang jagoan yang tak tertandingi siapa pun.
"Siapa diriku, kalian tak
perlu tahu Aku ingin bertemu dengan juragan kalian," sahut lelaki bercadar
biru tegas. Matanya menentang tatapan kedua centeng yang garang. Sepertinya
lelaki berpakaian biru panjang sampai selutut itu tak merasa takut sedikit pun.
"Untuk apa kau ingin
bertemu juragan kami?" bentak Gopal. Hidungnya yang besar tampak
berkembang kempis.
"Aku tak butuh kalian
Mana juragan kalian?" bentak lelaki bercadar biru tak kalah kerasnya. Hal
itu membuat kedua centeng Juragan Durka Pela tersentak kaget. Barda dan Gopal
tak menyangka kalau lelaki bercadar biru akan berani membalas bentakan mereka.
"Cepat suruh juragan kalian keluar" "Kurang ajar Lancang sekali
kau Nih..., hadapi dulu kedua centengnya" bentak Barda. Kepalanya yang
botak manggut-manggut "Hua ha ha... Untuk menghadapi kalian, kurasa tak
ada artinya" tiba-tiba lelaki bercadar biru tertawa keras terbahak-bahak,
mengejek kedua centeng yang semakin bertambah geram.
"Kurang ajar Sombong kau
Heaaa..." "Kuremukan kepalamu" Barda dan Gopal segera mencabut
golok mereka.
Kemudian dengan pekikan
menggelepar, kedua centeng itu langsung merangsek lawan yang tampak masih
berdiri tegap di depan kereta kuda Juragan Durka Pela.
"Hea"
"Yea" Golok di tangan kedua centeng itu membabat cepat. Namun dengan
ringan lelaki bercadar biru segera bergerak mengelak. Kaki kanannya ditarik ke
belakang, sedang kaki kiri ditekuk membentuk kuda-kuda.
Lalu dengan gerak cepat, kedua
tangannya menghantam pundak kanan dan kiri kedua lawannya setelah serangan
mereka lepas.
Degkh Degkh "Ukh"
"Akh" Kedua centeng itu seketika terhuyung-huyung ke belakang,
terkena hantaman tangan lelaki bercadar.
Mata keduanya membelalak
sedangkan dari mulut mereka melelehkan darah. Barda dan Gopal merasakan sesak
dan nyeri di dada mereka.
"Hua ha ha..."
lelaki bercadar biru tertawa terbahak-bahak, sehingga tubuhnya tampak
terguncang.
Kemudian setelah mendengus,
lelaki yang belum dikenal itu berkata, "Kalau aku mau tak sulit mengirim
nyawa kalian ke neraka" Ucapan lelaki bercadar biru tidak menyadarkan
kedua centeng Juragan Durka Pela. Mereka justru bertambah marah karena merasa
diremehkan.
"Cuih..." Barda
membuang ludah ke tanah.
Kemudian disekanya dengan
telapak tangan, darah yang meleleh di bibirnya. Matanya menatap penuh
kebengisan, "Kau kira mudah menakuti kami? Huh, jangan kira kami akan
takluk di tanganmu" "Hm, begitu? Rupanya kalian memang hams
kusingkirkan dari dunia ini Bersiaplah... Heaaa..." dengan lompatan cepat,
seperti terbang, lelaki bercadar biru membuka serangan. Kedua tangannya telah
siap menghajar kedua centeng Juragan Durka Pela.
Kedua centeng Juragan Durka
Pela tersentak, menyaksikan jurus silat yang sangat cepat dan seperti
mengandung tenaga dalam yang kuat. Sesaat lagi, serangan lelaki bercadar biru
itu akan menghantam tubuh kedua centeng itu. Namun tiba-tiba....
"Hentikan" dari
dalam kereta muncul Juragan Durka Pela. Sehingga lelaki bercadar biru seketika
menghentikan gerakannya.
"Bagus Rupanya kau tahu
diri, Durka Pela Kalau saja kau tak segera keluar, kedua kunyuk jelekmu ini
sudah kukirim ke neraka" dengus lelaki bercadar sengit "Apa maumu?
Kau telah kenal namaku, tetapi aku tak mengenalmu," ujar Juragan Durka
Kepala dengan mata terus menyelidik, siapa adanya lelaki gagah yang sebagian
wajahnya ditutup cadar. Sekilas Juragan Durka Pela mengenal sosok tubuh lelaki
itu.
Namun hatinya ragu, karena tak
melihat jelas wajah lelaki itu "Hm, tak banyak," sahut lelaki
bercadar biru.
"Katakan, apa?"
Lelaki bercadar biru tak langsung menjawab.
Matanya menatap tajam wajah
Juragan Durka Pela.
Seolah-olah hendak menyelidik,
apakah Juragan Durka Pela benar-benar akan memenuhi permintaannya.
Atau sebaliknya, dengan
kelicikan akan menipu dirinya. "Baik, aku minta kau bersedia menyerahkan
potongan gaji kuli-kuli itu" Membelalak mata Juragan Durka Pela, mendengar
permintaan lelaki bercadar. Kedua centengnya pun tersentak kaget, sekaligus
marah karena lelaki bercadar biru dianggap telah berani turut campur dalam
urusan mereka.
"Huh? Lancang sekali
mulutmu" dengus Barda geram. Centeng botak itu hendak maju, tetapi Juragan
Durka Pela melarangnya.
"Tenang" "Dia
terlalu kurang ajar, Juragan," ujar Barda sengit "Tenang..., tenang
saja Jangan kira aku akan menuruti permintaan itu" bisik Juragan Durka
Pela pada kedua centengnya dengan bibir tersenyum sinis.
"Bagaimana, Durka
Pela?" tanya lelaki bercadar biru.
"Mereka telah kubayar
sesuai dengan perjanjian," jawab Juragan Durka Pela.
"Hm, jangan kira aku tak
tahu, kalau kau telah memaksa mereka agar mau menerima tiga kali Bukan itu
saja, kau juga telah menekan pemilik tanah yang terkena jalur pembuatan jalan
dengan harga semurah mungkin" ujar lelaki bercadar biru. Hal itu membuat
muka Durka Pela seketika merah membara.
"Kurang ajar Lancang
sekali mulutmu, hai...
Lelaki Bercadar" dengus
Barda geram. Tubuhnya seketika melesat seraya mengayunkan golok menyerang.
"Mampus kau Hih..."
Wrt "Uts Kurasa kaulah yang harus mampus Hea..." usai berkelit lelaki
bercadar biru segera menghantamkan telapak tangan kanannya ke dada Barda.
Barda yang tubuhnya doyong ke
depan setelah gagal menyerang, tersentak kaget. Dirinya berusaha berkelit
sambil membabatkan golok ke tubuh lelaki bercadar.
"Heaaa" Wrt Lelaki
bercadar menarik mundur serangannya, kemudian sambil memutar tubuh, kaki
kanannya menendang punggung Barda dengan keras.
Degkh "Akh..." Tubuh
Barda terhuyung-huyung ke depan. Dari mulutnya memuncratkan darah segar.
Matanya melotot lebar. Sesaat tubuhnya meregang, berbalik memandang lelaki
bercadar.
"Kau...." Belum
habis ucapan Barda, seketika tubuhnya ambruk dengan mata masih membelalak.
Nyawanya melayang. Hal itu semakin membuat Gopal dan Juragan Durka Pela
membelalakkan mata marah.
"Kurang ajar Kau telah
berani membunuh temanku Kau harus mampus Heaaa..." Gopal seketika melesat
dengan goloknya, membabat dan memburu lawan. Namun dengan cepat lelaki bercadar
biru mengelitkan serangan-serangan gencar dan keras yang dilancarkan Gopal.
"Hea" Dengan
melompat ke sana kemari lelaki bercadar biru terus mengelitkan serangan gencar
yang dilancarkan Gopal. Sesekali lelaki bercadar biru itu balik menyerang
dengan pukulan dan tendangan. Namun ternyata serangan balasan itu tak bisa
dianggap remeh. Buktinya Gopal tampak kelabakan dibuatnya.
Gopal harus berjuang
mati-matian agar bisa lepas dari serangan lawan.
"Yea" Lelaki
bercadar berkelit dengan tubuh memutar ke belakang. Kemudian dengan cepat dan
beruntun tangan dan kakinya menghantam punggung dan kepala Gopal.
"Hea" Degkh Degkh
"Ukh Akh..." Tubuh Gopal terhuyung-huyung cepat ke depan. Dari
mulutnya muncrat darah segar. Kemudian, diiringi serangan keras tubuhnya ambruk
ke tanah.
Dan tewas seketika.
Melihat kedua centengnya mati,
Juragan Durka Pela hendak lari ke kereta. Namun dengan cepat, lelaki bercadar
biru telah melesat menghadangnya.
"Mau lari ke mana, Durka
Pela?" bentak lelaki bercadar biru dengan suara geram. Mendengar ancaman
yang tampak dari sikap lelaki itu Juragan Durka Pela gemetar ketakutan.
Keringat dingin mengucur deras mulai membasahi sekujur tubuhnya.
"Ampun, jangan bunuh
aku" pinta Juragan Durka Pela sambil menyembah-nyembah.
"Aku akan mengampunimu,
asalkan kau mengembalikan uang potongan gaji pekerja. Kembalikan pula uang
pembebasan tanah yang juga telah kau potong" perintah lelaki bercadar biru
mengancam.
"Tapi... tapi...."
"Tapi apa?" bentak lelaki bercadar keras, "Kau akan mengatakan
uangmu habis untuk mengumpul-kan gundik dan membeli rumah-rumah mewah. Begitu,
kan?" Juragan Durka Pela menundukkan kepala sambil mengangguk, membenarkan
apa yang dituduhkan lelaki bercadar biru. Lelaki berperut gendut itu tak mampu
menahan rasa takutnya, sehingga sampai ter-kencing-kencing.
"Baiklah kalau memang
hari ini tak ada. Kutunggu sampai tiga hari. Kuminta kau menyerahkannya di
Bukit Kucing" perintah lelaki bercadar. Kemudian tanpa menghiraukan
Juragan Durka Pela, lelaki bercadar biru melesat meninggalkan tempat ini.
Dengan sempoyongan dan gemetaran
Juragan Durka Pela melangkah menghampiri keretanya. Wajahnya menggambarkan
kepanikan dan bingung. Lelaki bercadar biru, bukanlah orang sembarangan.
Terbukti dua orang centengnya dalam sekali gebrak saja dapat dibinasakan.
"Bagaimana aku akan memberi
permintaannya," keluh Juragan Durka Pela sambil melangkah ke keretanya.
Kemudian tanpa bicara, lelaki gemuk berperut buncit itu naik ke keretanya,
"Jalan" Sang Kusir menurut, menjalankan keretanya.
***
2
Waktu yang dijanjikan lelaki
bercadar biru hampir tiba. Besok, Juragan Durka Pela harus menyerahkan uang
sisa pemotongan gaji dan pembebasan tanah warga. Namun uang yang diminta,
benar-benar tak ada. Keadaan ini membuat Juragan Durka Pela nampak kebingungan.
Melaporkan kepada para pejabat kerajaan, rasanya tak mungkin. Kalau hal itu
dilakukan, hanya akan mempermalukan dirinya karena para pembesar istana telah
menyerahkan pembuatan jalan itu kepadanya. Apapun yang terjadi, semua tanggung
jawabnya.
Di samping itu, pembesar
istana sebenarnya telah membayar semua pembiayaan. Ada pun pembayaran terhadap
para kuli dan pembebasan tanah, semua di tangan Juragan Durka Pela. Dirinya
pula yang memotong bayaran setengah lebih dari jumlah yang harus dibayarkan.
Malam ini, Juragan Durka Pela
merasa bingung. Matanya tak dapat diajak tidur. Benaknya terus gelisah,
memikirkan lelaki bercadar biru yang telah membunuh dua orang centengnya hanya
dengan sekali gebrak. Juga mengingat tuntutan lelaki bercadar biru, yang
menyuruhnya membawakan uang pemotongan pembayaran pembebasan tanah serta uang
kuli.
"Dari mana aku
mendapatkan uang sebanyak itu?" gumam Juragan Durka Pela masih
kebingungan.
Kakinya melangkah hilir mudik.
Otaknya terus bekerja, diperas untuk mendapatkan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya.
Kebingungan masih melanda
pikiran Juragan Durka Pela, ketika delapan orang wanita cantik yang menjadi
gundik-gundiknya masuk. Kedelapan gadis cantik berpakaian seronok mendekati
Juragan Durka Pela. Ada yang melenggak-lenggokkan tubuhnya. Ada yang langsung
membuka pakaiannya sehingga telanjang bulat. Juga ada yang langsung memberi
ciuman dan rangsangan pada juragan berperut gendut itu.
"Kenapa Kakang nampak
kebingungan?" seorang gadis berpakaian merah jambu yang masih muda sekali,
berusia sekitar delapan belas tahun, mencoba bertanya.
"Ah, tidak apa-apa,"
jawab Juragan Durka Pela sambil membalas semua yang dilakukan kedelapan wanita
cantik yang dijadikan gundiknya.
Meski pikirannya sedang kusut
oleh masalah yang sedang dihadapinya, Juragan Durka Pela berusaha
menghilangkannya. Direngkuhnya kedelapan wanita cantik itu. Kemudian dengan
tertawa-tawa, mereka meladeni Juragan Durka Pela.
Ada yang ditindih, ada yang
memijit dan segala macam tingkah laku yang menjijikkan. Semua mereka lakukan
dengan keadaan tubuh tak tertutup sehelai benang pun. Juragan Durka Pela tidak
ubahnya buaya darat yang sangat rakus. Meski usianya sudah setengah abad,
lelaki gendut itu nampak masih sanggup meladeni kedelapan gundiknya. Dengan
penuh nafsu, Juragan Durka Pela terus menggumuli kedelapan gundiknya secara
bergantian.
Hilang sudah pikirannya yang
pusing, memikirkan lelaki bercadar biru yang menuntut uang pemotongan gaji dan
pembebasan tanah. Seakan Juragan Durka Pela melupakan apa yang akan terjadi,
jika besok dia tidak dapat memenuhi permintaan lelaki bercadar biru itu.
"Persetan dengan lelaki
bercadar itu" maki Juragan Durka Pela dalam hati sambil terus menggeluti
kedelapan gundiknya bergantian, yang tertawa-tawa senang. Kedelapan gundik
Juragan Durka Pela, merasa senang dengan perbuatannya.
Tengah Juragan Durka Pela
melampiaskan nafsunya pada kedelapan gundik, tiba-tiba....
Brak Dinding papan rumahnya
dijebol dua sosok lelaki yang mengenakan cadar biru dan ungu. Mata kedua lelaki
berpakaian seperti cadar, memandang tajam wajah Juragan Durka Pela dan
kedelapan gundiknya yang terkejut. Sehingga mereka langsung berlarian sambil
mengenakan kain masing-masing.
"Siapa kalian? Lancang
sekali masuk tanpa izinku" bentak juragan Durka Pela sengit seraya
membetulkan pakaiannya.
"Hhh..., tak jadi soal
siapa kami berdua Sekarang juga, kuminta serahkan hartamu Cepat.." bentak
lelaki bercadar ungu. Matanya menatap tajam pada Juragan Durka Pela. Sebilah
pedang telah ditudingkan ke muka Juragan Durka Pela yang masih tampak terkejut
tak mampu berbicara.
"Kami harap jangan
melawan" sambung lelaki bercadar biru.
"Kau?" kaget Juragan
Durka Pela, mengenali suara lelaki bercadar biru yang dikenalnya. Ya. Orang itu
tak lain lelaki yang telah menghadangnya kemarin.
"Ya Sengaja aku datang ke
rumahmu, karena kurasa kau tak akan memberikan apa yang kuminta.
Manusia licik sepertimu, tak
dapat dipercaya," sahut lelaki bercadar biru sambil menghunus pedangnya.
"Bu..., bukankah kau
minta besok?" tanya Juragan Durka Pela dengan tubuh gemetaran. "Besok
aku akan menyerahkan padamu." "Hm, begitu?" "Ya."
"Kau kira aku percaya pada bualanmu, Durka Pela?" bentak lelaki
bercadar biru, "Aku tak sebodoh itu Sekarang serahkan sisa uang yang kau
potong dari gaji para kuli dan pembebasan tanah" "Tapi.., tapi..."
"Jangan membantah, Durka Pela" bentak lelaki bercadar ungu seraya
mendekatkan ujung pedangnya ke leher Juragan Durka Pela, yang menjadikan lelaki
berperut gendut itu semakin ketakutan. Namun pada saat itu pula, dari luar
masuk anak buah Juragan Durka Pela berjumlah sepuluh orang.
"Ada apa, Juragan?"
"Bunuh mereka" teriak Juragan Durka Pela.
Seketika terbangkit
keberaniannya, setelah melihat kedatangan sepuluh anak buahnya.
Mendengar perintah juragannya,
sepuluh lelaki berpakaian rompi hitam dan berwajah bengis itu langsung
menjalankan perintah. Mereka langsung mengurung kedua lelaki gagah yang
mengenakan cadar.
"Heaaa..."
"Kalian mencari mampus" dengus lelaki bercadar biru. Kemudian dengan
cepat tangan kanannya bergerak, membabat dan menusukkan pedang memapak serangan
lawan-lawannya.
"Huh Jangan banyak bicara
Pergi saja kalian dengan tenang, atau terpaksa kami tak segan-segan
membinasakan kalian berdua" bentak lelaki berbadan tinggi besar dengan
kumis tebal. Tampaknya orang ini pimpinan dari kesepuluh orang berompi hitam,
yang merupakan centeng bayaran Juragan Durka Pela.
"Hm, kalian juga
penghisap darah rakyat kecil Kalian bersuka ria di atas penderitaan orang
miskin Jangan harap kami membiarkan kalian hidup Heaaa..." lelaki bercadar
ungu mendengus marah sambil memutar pedang dengan cepat memapaki serangan lima
orang lawannya.
Trang Trang...
"Heaaa" Dentangan
nyaring pun terdengar ketika beberapa pedang saling bentur. Lelaki bercadar
ungu terus membabatkan pedang, tak ingin serangan lawan mendahului. Hingga....
Bret Crab "Aaakh..."
dua orang lawan menjerit, ketika dadanya terbabat pedang lelaki bercadar ungu.
Tubuh kedua centeng Juragan Durka Pela itu meregang mendongak dengan dada
mengucurkan darah. Kemudian keduanya ambruk dan tewas.
Melihat kedua temannya mati,
tiga orang lainnya bukan takut. Mereka justru bertambah beringas dan marah.
Dengan ganas ketiganya langsung melakukan serangan secara serentak.
Berkelebatan pedang mereka menusuk dan membabat tubuh lelaki bercadar ungu.
"Heaaa... Mampuslah kau, Pengacau" dengus salah seorang dari
ketiganya sambil membabatkan pedang. Namun babatan pedang lelaki bercambang
lebat itu dengan mudah dapat dielakkan lelaki bercadar ungu, yang kemudian
melakukan serangan balasan ke tubuh lelaki brewok itu.
"Yeaaa..." Wrt Cras
"Akh..." lelaki bercambang bauk itu menjerit.
Tubuhnya terlempar ke belakang
dengan perut robek akibat babatan pedang lelaki bercadar ungu. Sesaat tubuhnya
masih mampu bertahan. Namun kemudian ambruk dan tewas dengan darah membanjir
membasahi sekujur tubuh.
Di sisi lain, lelaki bercadar
biru pun tak kalah hebat dalam menghadapi lawan-lawannya. Pedang di tangannya
bergerak sangat cepat. Sehingga yang tampak hanya kelebatan-kelebatan cahaya
putih, disertai suara berdecit terus memapak dan menyerang lima orang lawannya.
"Heaaa..." Wrt Wrt
Pedang di tangan lelaki bercadar biru itu laksana sebuah baling-baling yang
kuat dan cepat. Kelima lawannya membelalakkan mata kaget tak menyangka kalau
ilmu pedang lawan begitu tinggi. Namun mereka tetap berusaha menghalau serangan
lelaki bercadar biru dengan sambutan pedang mereka.
"Heaaa..." Serentak
kelima lelaki berpakaian rompi hitam membabatkan pedang ke tubuh lelaki
bercadar biru, sehingga pedang mereka saling bertemu dan beradu.
Trang Trang Trang...
Prak Prak Prak...
Suara berdentang dan gemeretak
keras terdengar.
Seperti ada benda-benda keras
patah oleh tebasan pedang.
"Heh?"
"Hah?" Kelima centeng Juragan Durka Pela langsung melompat ke
belakang dengan mulut ternganga lebar.
Lima lelaki berompi hitam itu
terkejut ketika melihat pedang mereka patah terbabat pedang lawan. Mata mereka
saling berpandangan, penuh keheranan. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka
menjerit "Awaaas..." "Heaaa..." Lelaki bercadar biru
rupanya telah kembali menyerang dengan babatan pedangnya yang cepat dan
mematikan. Hal itu membuat kelima lawannya yang masih diliputi rasa kaget
tersentak kaget. Cepat-cepat mereka berusaha mengelak. Akan tetapi....
Crab Crab...
"Aaakh..."
"Aaakh..." Bagaikan baling-baling yang tajam, pedang di tangan lelaki
bercadar biru membabatkan perut lawanlawannya dengan cepat. Sehingga kelima
lelaki berompi hitam itu tak berhasil mengelakkan tubuh mereka dari sambaran
pedang lawan. Seketika tubuh mereka sempoyongan sambil memegangi perut yang terkoyak
lebar. Darah mengucur dari sobekan perut kelima centeng Juragan Durka Pela.
Tubuh mereka gemetar, dengan mulut meringis menahan sakit. Karena darah terlalu
banyak keluar, mereka tak mampu bertahan lama. Kelima lelaki berompi hitam
ambruk mencium tanah. Sementara itu, lelaki bercadar ungu masih berusaha keras
menghadapi lawan-lawannya. Di lain tempat dua orang lawannya terpental dengan
keadaan tak kalah mengerikannya. Leher dan dada mereka terkoyak mengucurkan
darah.
"Kau..., kkk...,
Aaakh..." kedua orang lawannya seketika ambruk dan tak mampu bangun lagi.
"Hm, mana bajingan
itu?" tanya lelaki bercadar biru pada temannya.
"Nampaknya dia lari,
Kanjeng Pangeran," sahut lelaki bercadar ungu.
"Ssst Jangan kau panggil
itu," bisik lelaki bercadar biru "Baik, Cadar Biru." "Kita
harus mencari hartanya," ujar lelaki bercadar biru yang ternyata Pangeran
Prapanca. "Ayo, kita harus segera membagikan harta Juragan Durka Pela pada
rakyat yang menderita." "Mari" Pangeran Prapanca dan rekannya
Pranala segera melesat meninggalkan kamar itu. Keduanya langsung
mengobrak-abrik rumah Juragan Durka Pela mencari harta milik juragan kejam itu.
Tidak lama kemudian keduanya telah melesat keluar dari rumah Juragan Durka Pela
membawa dua karung barang berharga. Malam terus merangkak perlahan, membawa
hawa dingin yang menusuk tulang sumsum. Kedua pendekar bercadar itu terus
melesat menembus kegelapan malam.
***
Malam semakin terasa mencekam, merambat
perlahan menutupi bumi dengan kegelapannya. Angin bertiup menghembuskan hawa dingin
yang menusuk tulang sumsum. Langit kelabu. Tak ada bintang maupun rembulan.
Padahal mestinya bulan hampir purnama. Keadaan Desa Kaliamba pun nampak sunyi
dan sepi, bagaikan tak ada tanda-tanda kehidupan. Semua warga telah terlelap
dalam tidurnya.
"Ayo, kita harus cepat,
Pranala" ajak Pangeran Prapanca.
Pranala segera mempercepat
larinya, agar dapat mengimbangi kecepatan lari Pangeran Prapanca. Kemudian
keduanya saling berpencar. Pangeran Prapanca menuju arah timur, sedangkan
Pranala ke arah barat.
Keduanya membagi-bagikan
barang berharga yang mereka bawa, dengan cara melemparkan dari atas. Sehingga
orang di dalam rumah mengira kalau barang berharga itu diturunkan Hyang Widhi
dari langit.
Tidak begitu lama, keduanya
telah menyelesaikan pekerjaannya itu. Mereka tersenyum puas sambil melangkah
dengan tenang meninggalkan Desa Kaliamba yang seketika heboh karena para
penduduk kejatuhan rejeki dari langit Warga Desa Kaliamba berbondong-bondong
keluar dari rumah mereka. Kemudian semua warga berkumpul di tengah lapangan.
Dipimpin oleh seorang tetua kampung, warga desa memanjatkan doa syukuran atas
pemberian rejeki pada mereka.
"Hyang Jagad Dewa Batara,
terimalah sembah kami... Kau telah mengutus malaikat-malaikat-Mu, untuk memberi
rejeki pada kami," seru tetua kampung sambil menengadahkan wajah ke
langit. Sedang kedua tangannya kini terbuka. Begitu pun yang dilakukan para
warga desa lain, yang rupanya juga menerima anugerah yang sama malam itu.
Warga Desa Kaliamba
benar-benar mengira kalau yang memberi rejeki itu malaikat-malaikat utusan
Hyang Widhi. Itu sebabnya mereka melakukan upacara pemanjatan doa syukuran,
karena merasa telah terbebas dari penderitaan dan kemiskinan yang selama ini
mereka terima. Semenjak Juragan Durka Pela berkuasa dan mendapat kepercayaan
dalam pembuatan jalan dari para pembesar istana, kehidupan warga Desa Kaliamba
semakin buruk.
Warga desa dipaksa pindah dari
tanah pekarangan yang mereka tempati. Mereka juga dipaksa bekerja dengan upah
kecil, serta tindakan penindasan lainnya yang membuat warga desa semakin
sengsara.
Sementara para kepala desa di
sekitar Desa Kaliamba pun tak berdaya menghadapi tindakan itu. Karena pada
umumnya mereka dihukum dan terus ditakutitakuti oleh para anak buah Juragan
Durka Pela.
Malam semakin dingin, ketika
warga Desa Kaliamba satu persatu meninggalkan tanah lapang di tengah-tengah
desa. Sampai akhirnya lapangan di tengah desa itu sepi. Hanya asap bekas
perapian untuk memanjatkan doa yang masih mengepul. Asap itu membubung tinggi
ke angkasa.
Cahaya rembulan yang redup,
semakin meredup. Rembulan perlahan-lahan bergerak ke barat, pertanda kalau hari
menjelang pagi.
***
Pagi baru saja datang, ketika seorang lelaki
berperut buncit nampak berlari-lari di jalan terjal per-bukitan di sebelah
selatan Desa Kaliamba. Lelaki berpakaian hijau dan panjang sampai ke lutut itu
tak lain Juragan Durka Pela. Nampaknya lelaki setengah baya ini berlari
terburu-buru, setelah semalam mengalami kejadian menakutkan yang hampir saja
merenggut nyawanya.
"Hhh... Biadab Mereka benar-benar
biadab" gerutu Juragan Durka Pela dengan napas terengahengah. Masih
terbayang dalam ingatan, bagaimana semalam rumahnya disatroni, dua lelaki
bercadar yang merampok dan membunuh para centeng, "Tunggulah pembalasanku,
Manusia-manusia Keparat" Juragan Durka Pela berlari bagaikan tidak
mengenal lelah, meski keringat bercucuran dan nafasnya tersengal-sengal.
Dendamnya pada kedua lelaki bercadar yang telah memporak-porandakan rumahnya,
serta mengambil harta benda miliknya membuat lelaki gemuk berperut gendut ini
marah. Semangatnya terpacu untuk segera sampai di tempat kediaman orang biasa
dimintai pertolongan. Orang tua itu tak lain Ki Jalna Wangga atau si Pukulan
Petir.
Antara Juragan Durka Pela dan
Ki Jalna Wangga memang tak ada hubungan apapun. Namun telah terikat dalam
kesepakatan yang dibuat oleh guru dari Ki Jalna Wangga dan orangtua Juragan
Durka Pela.
Sebelum meninggal, guru Ki
Jalna Wangga pernah berpesan pada ayah Juragan Durka Pela bahwa antara Juragan
Durka Pela dengan si Pukulan Petir
akan selalu memiliki kaitan
erat. Ki Jalna Wangga harus mau menolong Juragan Durka Pela, jika Juragan Durka
Pela membutuhkan pertolongan. Itu sebabnya guru Ki Jalna Wangga memberi batu
mustika biru pada ayah Juragan Durka Pela, agar setiap waktu jika anaknya
membutuhkan, bisa diminta tolong pada Ki Jalna Wangga.
Matahari belum tinggi ketika
Juragan Durka Pela sampai di sebuah bangunan tua yang terletak di puncak Bukit
Pawean. Bangunan itulah tempat tinggal Ki Jalna Wangga setelah beberapa tahun
lalu meninggalkan dunia persilatan. Lelaki berjuluk si Pukulan Petir itu
sengaja mengasingkan diri dari keramaian rimba persilatan yang telah lama
digelutinya.
"Siapa di luar?"
terdengar suara serak dan berat bertanya dari dalam bangunan menyerupai pura.
Ditilik dari suaranya, tentu
pemiliknya lelaki berusia enam puluh tahunan.
"Aku, Durka Pela"
sahut Juragan Durka Pela dengan napas tersengal-sengal.
"Masuk" terdengar
perintah Ki Jalna Wangga.
Juragan Durka Pela menurut.
Kakinya perlahan melangkah menaiki tangga kayu yang menuju serambi rumah
panggung itu. Berulang kali Juragan Durka Pela menarik napas dalam-dalam,
berusaha mengatur agar tidak tersengal-sengal. Kakinya terus melangkah ke pintu
yang telah terbuka.
"Masuklah" Juragan
Durka Pela menapakkan kakinya melangkahi pintu. Tampaklah seorang lelaki
bertubuh tinggi tegar berdiri membelakanginya. Dialah Ki Jalna Wangga atau si
Pukulan Petir. Rambutnya yang panjang terurai diikat kain hijau.
"Ada apa kau datang ke
tempatku?" tanya lelaki berpakaian mirip jubah warna coklat itu masih
dengan tubuh membelakangi. Seakan lelaki ini enggan untuk membalikkan tubuh.
Belum juga Juragan Durka Pela menjawab, Ki Jalna Wangga kembali memerintah,
"Duduklah" Juragan Durka Pela cukup tergetar juga menghadapi lelaki aneh
ini. Jantungnya dirasakan berdebar keras. Dengan perlahan-lahan, Juragan Durka
Pela menurut duduk. Juragan Durka Pela terdiam dengan muka menunduk. Lidahnya
terasa sangat kelu untuk memulai berkata.
"Mengapa kau diam?"
tanya Ki Jalna Wangga.
Kemudian perlahan-lahan lelaki
tinggi besar berambut terurai panjang itu membalikkan tubuhnya. Dan kini nampak
sesosok lelaki bermuka garang namun tenang.
"Aku mendapatkan
kesulitan, Saudaraku," kata Juragan Durka Pela setelah lama terdiam.
"Hm, kesulitan
apa...?" "Rumahku diobrak-abrik lelaki bercadar biru."
"Lalu apa maumu?" "Aku ingin kau membunuhnya, Jalna."
"Apakah kau kira mudah membunuh?" tanya Ki Jalna Wangga sinis.
"Aku yakin, kau
mampu." "Hm," Ki Jalna Wangga menggumam tak jelas.
Matanya menatap tajam Juragan
Durka Pela. Yang dipandang hanya menundukkan kepala. Ki Jalna Wangga menarik
napas dalam. "Kalau saja antara guruku dan orangtuamu tak ada hubungan
baik, sudah dari tadi kusingkirkan kau, Durka Bukankah sudah kuperingatkan
padamu, jangan serakah. Tetapi kau tak pernah menghiraukan peringatanku. Dan
kini, kau datang memintaku untuk membunuh orang yang melakukan tindak kebajikan
itu. Hm, permainan macam apa ini?" "Dari mana kau tahu mereka baik,
Jalna?" tanya Juragan Durka Pela agak terkejut.
"Hhh..., aku telah
mendengar tentang sepak terjang mereka. Mereka memang pencuri. Tetapi, bukan
untuk mereka sendiri. Mereka mencuri untuk rakyat yang kau tindas" tukas
Ki Jalna Wangga, yang membuat Juragan Durka Pela terdiam. "Bagaimana,
Durka?" "Itu terserahmu, Jalna. Kau boleh menolak, namun batu mustika
biru akan tetap kupegang," ancam Juragan Durka Pela.
Mendengar ucapan Juragan Durka
Pela mata Ki Jalna Wangga membeliak. Selama mustika biru ada di tangan Juragan
Durka Pela, maka dirinya tak akan bisa lepas dari ikatan timbal balik yang
telah dirintis kedua orangtua mereka. Itu sama saja dengan menjerumuskan
dirinya ke lembah sesat "Bagaimana, Jalna?" tanya Juragan Durka Pela
mulai berani menatap wajah, Ki Jalna Wangga.
"Hm, licik sekali kau,
Durka. Tapi baiklah, kalau benar setelah kupenuhi permintaanmu kau kembalikan
mustika itu, aku akan melakukan tugas ini Ingat, jika kau berbohong, tak
segan-segan aku membunuhmu" ancam Ki Jalna Wangga. Wajahnya memerah merasa
terpaksa terhadap permintaan Juragan Durka Pela.
"Jangan khawatir Selama
ini, aku tak pernah menyusahkanmu, bukan?" jawab Juragan Durka Pela dengan
senyum mengembang di bibir. Sepertinya juragan berperut gendut itu merasa
yakin, kalau Ki Jalna Wangga akan dapat menyingkirkan lelaki bercadar biru
"Pulanglah Jika aku telah menjalankan tugas, maka aku akan ke
rumahmu," ujar Ki Jalna Wangga.
"Baik Kutunggu."
Juragan Durka Pela tersenyum puas, kemudian bangkit dari duduknya. Setelah
menjura, lelaki berperut gendut itu melangkah keluar meninggalkan tempat
peristirahatan si Pukulan Petir.
Ki Jalna Wangga terpaku
berdiri dengan mata memandang kosong. Nafasnya mendesah, seakan ada sesuatu
yang menjadi beban pikirannya. Kemudian dengan menarik napas lagi, lelaki
berambut panjang itu melangkah masuk. Ditutupnya pintu pesanggrahannya.
"Aku tak tahu, sampai
kapan manusia licik itu akan mengadu domba diriku dengan para pendekar,"
gumamnya sambil melangkah masuk.
***
3
Pagi cerah dengan langit biru
membentang, melingkupi Desa Kaliamba. Burung-burung berlompatan dan berkicau
riang di pepohonan. Suasana Desa Kaliamba yang biasanya sepi, kini ramai.
Penduduk bersuka ria dan ramai membicarakan rejeki yang datang dari langit
Pembicaraan masalah harta benda yang datang sekonyong-konyong dari langit
menyebar, tak hanya di wilayah Desa Kaliamba. Hampir semua penduduk
membicarakan masalah rejeki itu. Sampai-sampai, penduduk Desa Kaliamba tak ada
yang mau bekerja.
Mereka masih diliputi
kebahagiaan.
Di pagi yang cerah itu, dari
arah timur nampak seorang remaja melangkah memasuki mulut Desa Kaliamba. Yang
satu pemuda berpakaian rompi kulit ular. Tingkah lakunya lucu. Mulutnya tampak
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan. Pemuda tampan
berambut gondrong itu tak lain Sena Manggala atau lebih dikenal dengan julukan
Pendekar Gila. Tingkah lakunya yang konyol membuat setiap orang yang melihat
tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Berjalan di sampingnya dengan
senyum menawan, seorang gadis berparas elok laksana Dewi Kwan Im. Pakaiannya
yang hijau berlengan panjang tampak mencolok dengan warna kulitnya yang putih.
Dipundaknya tersandang sebilah pedang. Gadis cantik berparas Cina itu, tiada
lain Bidadari Pencabut Nyawa, atau Mei Lei.
Keduanya tengah melanjutkan
perjalanan menuju tempat kediaman guru Sena, di Goa Setan.
"Kakang, sepertinya ada
pembuatan jalan baru di desa ini," ujar Mei Lie sambil memandangi tempat
yang kelihatan banyak bebatuan menumpuk. Sebagian lagi, sudah menjadi hamparan
yang rata.
"Eh, benar juga. Tapi,
mengapa sepi?" tanya Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Ah
ah ah, padahal belum selesai. Ah, kurasa ada sesuatu yang menjadikan pembuatan
jalan jadi terhenti." "Sesuatu apa, Kakang?" tanya Mei Lie
dengan kening berkerut, ingin tahu apa yang dimaksudkan Pendekar Gila. Matanya
memandang lekat wajah Pendekar Gila yang menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan.
Pendekar Gila tak langsung
menjawab. Sambil cengengesan, tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
Dipandanginya bebatuan menumpuk di kanan kiri tanah yang akan dibuat jalan. Sebagian
jalanan sudah tertutup bebatuan sebesar kepalan. Pepohonan pun banyak yang
ditebangi, potongan-potongan kayu tertumpuk di pinggir tanah yang telah terbuka
untuk jalan. "Entahlah, Mei. Tapi.... Ah, apakah kau tak ingat, Mei?
Bukankah di perjalanan kita mendengar kalau Baginda Awangga sedang membuat
jalan yang akan menghubungkan antara Kerajaan Surya Langit dengan Kerajaan Bayu
Bumi?" tutur Sena menjelaskan. "Untuk apa, Kakang? Bukankah menurut
kabar, dua kerajaan itu selama ini saling bermusuhan? Keduanya saling
memperebutkan Desa Kaliamba ini...?" tanya Mei Lie semakin ingin tahu.
"Tapi, mengapa kini kedua kerajaan itu bisa rukun. Bahkan tampaknya
berusaha saling mempererat hubungan. Buktinya mereka membuat jalan di sekitar
perbatasan kedua kerajaan. Ah..., mungkin ada sebab-sebab tertentu,
Kakang," lanjut Mei Lie sambil memandangi jalan yang tampak masih
berserakan itu.
"Entahlah, Mei. Kau kira
aku ini dewa, yang tahu semua kehidupan di Mayapada ini? Hi hi hi..." Sena
tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Mei Lie
melototkan mata. Gadis itu gemas sekali melihat tingkah laku kekasihnya.
Kemudian dengan pelan dicubitnya pinggang Sena. "Nakal" "Aduh...
Bisa sobek kulit pinggangku," rungut Sena sambil cengengesan.
"Kakang sih, nakal,"
gerutu Mei Lie manja. Matanya nampak meredup, membuat Pendekar Gila semakin
merasa senang. Semakin cemberut, kecantikan gadis itu semakin tampak jelas.
"Hua ha ha..."
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, Mei Lie pun kembali melotot. Namun kemudian
turut tersenyum. Tangannya dengan manja menggelayut di pundak kekasihnya. Kedua
pendekar itu kembali melangkah beriringan meneruskan perjalanan. Keduanya
saling bercanda ria.
***
Dari arah barat, nampak seorang lelaki
bertubuh tinggi tegap melangkah menuju ke arah Bukit Yuyu. Wajah lelaki ini
kelihatan keras. Namun dilihat dari sorot matanya lelaki berusia sekitar enam
puluh tahun berpakaian jubah coklat itu tampaknya orang berbudi baik. Lelaki
ini yang tiada lain Jalna Wangga, nampaknya sedang mencari lelaki bercadar
biru, yang diceritakan Juragan Durka Pela.
Jalna Wangga sebenarnya tak
ingin menjalankan perintah itu, karena sudah tak mau turut campur dalam urusan
rimba persilatan. Namun karena ikatan persaudaraan yang dibina gurunya dengan
ayah Jalna Wangga, menyebabkan dirinya terpaksa harus melaksanakannya. Hal yang
kedua, karena Juragan Durka Pela telah berjanji akan menyerahkan batu mustika
biru, jika Jalna Wangga menjalankan permintaan tersebut "Hm, ke mana aku
harus mencari lelaki bercadar biru?" tanya Jalna Wangga bergumam sendiri.
Di rimba persilatan banyak manusia memakai cadar untuk menyembunyikan wajahnya.
Sulit bagi si Pukulan Petir itu mencari orang yang dimaksudkan Juragan Durka
Pela.
Jalna Wangga terus melangkah,
menelusuri Bukit Yuyu yang membentang panjang dari barat sampai ke timur.
Tiba-tiba dari kejauhan matanya melihat sepasang muda-mudi tengah melangkah
berlawanan arah dengannya. Tak lama kemudian kedua mudamudi itu telah sampai di
depannya.
"Kisanak dan Nisanak,
dilihat dari pakaian dan senjata yang disandang Nisanak, tentunya kalian dari
rimba persilatan, bukan?" sapa Jalna Wangga atau si Pukulan Petir.
Mei Lie mengerutkan kening,
lalu menoleh ke wajah kekasihnya. Kemudian Pendekar Gila tersenyum-senyum
sambil menggaruk-garuk kepala. Mata Jalna Wangga terbelalak, merasa heran
menyaksikan tingkah laku pemuda di hadapannya.
Tingkah laku pemuda di
hadapannya yang seperti orang gila, mengingatkan Jalna Wangga pada seseorang
yang sangat dikaguminya. Orang gila yang kesaktiannya belum tertandingi hingga
saat ini. Namun Jalna Wangga sepertinya belum yakin, karena pernah didengarnya
kalau Pendekar Gila dari Goa Setan sangat aneh. Dia tak pernah mengambil murid.
"Siapa pemuda gila
ini?" gumam Jalna Wangga dalam hati, "Dilihat dari gerak-geriknya,
sama persis dengan Pendekar Gila dari Goa Setan. Tapi, apa benar dia
muridnya?" "Kisanak, kau memang benar. Kami memang dari persilatan.
Ada apa gerangan...?" tanya Mei Lie mendahului Pendekar Gila yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, rupanya
penglihatanku masih waras," gumam Jalna Wangga. Kemudian dengan mata masih
memandang Pendekar Gila, lelaki berjubah coklat itu bertanya, "Kalau
memang mataku yang tua ini benar-benar belum rabun, apakah benar Kisanak ada
hubungan dengan Pendekar Gila dari Goa Setan?" Mei Lie menoleh ke wajah
Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, dari mana kau tahu,
Ki?" tanya Sena memandang dengan mata terpicing.
"Dari tingkah lakumu,
Anak Muda." "Aha... Bagaimana mungkin kau yakin aku seorang pendekar?
Ah, aku hanya pemuda gila," jawab Sena, "Bagaimana mungkin aku dapat
dihubungkan dengan Pendekar Gila dari Goa Setan?" Jalna Wangga tersenyum.
Hatinya merasa tak ragu, kalau pemuda ini bukan pemuda gila sembarangan. Atau
memang ada hubungannya dengan Pendekar Gila dari Goa Setan yang pernah
menggemparkan rimba persilatan puluhan tahun yang silam. Apalagi ketika Jalna
Wangga melihat suling yang terselip di ikat pinggang pemuda gila itu. Matanya
seketika membelalak, hampir tak percaya pada penglihatannya.
"Suling Naga Sakti
Kau...? Kau Pendekar Gila dari Goa Setan?" tanya Jalna Wangga dengan mata
masih membelalak. Hatinya hampir tak percaya, kalau kini sedang berhadapan
dengan pendekar yang sangat kesohor itu. Namun Jalna Wangga tiba-tiba kembali
ragu, karena menurutnya, tentu Pendekar Gila sudah berusia lebih dari tujuh
puluh tahun. Sedangkan pendekar yang memegang Suling Naga Sakti ini, baru dua
puluh empat tahunan.
"Ah ah ah... Kau mungkin
salah, Ki. Sudah kukatakan, aku hanya pemuda gila biasa yang tiada arti.
Bagaimana mungkin kau mengatakan aku Pendekar Gila dari Goa Setan? Lucu
sekali..." gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya
cengengesan, sementara tangannya menggaruk-garuk kepala. "Tapi aku tak
dapat kau bohongi, Pendekar.
Suling Naga Sakti ada di
tanganmu. Namun, benarkah kau Singo Edan? Seharusnya pendekar sakti itu sudah
berusia tujuh puluh tahun lebih," ujar Jalna Wangga masih belum yakin
dengan penglihatannya.
"Hi hi hi... Kau kira ada
orang seperti Dewa, yang bisa mengubah usia? Lucu sekali kau, Ki," gumam
Sena masih cengengesan dengan kepala menggeleng-geleng.
"Kisanak, sebenarnya
temanku bukanlah Pendekar Gila dari Goa Setan. Namun dia adalah murid
tunggalnya," tutur Mei Lie menjelaskan.
Semakin membelalak kaget mata
Jalna Wangga mendengar penuturan Mei Lie. Hatinya tak menyangka, kalau Singo
Edan ternyata memiliki seorang murid.
Kalau gurunya saja selama ini
belum ada yang menandingi, muridnya tentu memiliki ilmu-ilmu gila yang lebih
dahsyat. Pikir Jalna Wangga.
"Oh, terimalah salah
hormatku, Tuan Pendekar" ujar Jalna Wangga sambil menjura hormat.
"Aha, kurasa tak
semestinya kau berlaku begitu, Ki. Seharusnya kami yang muda, melakukan hal
itu. Ah, sudahlah, kami tak punya waktu banyak.
Maaf, kami harus segera
meneruskan perjalanan untuk menemui guru," kata Sena mohon diri.
"Jadi Tuan Pendekar
hendak menemui guru Tuan?" tanya Jalna Wangga.
"Begitulah. Ada
apa?" tanya Sena.
"Sampaikan salam hormatku
pada guru Tuan," pinta Jalna Wangga. "Sampaikan pada guru Tuan, Jalna
Wangga menghaturkan hormat" "Baik, Ki. Akan kusampaikan. Kami mohon
diri," ujar Sena sambil menjura. Begitu pula yang dilakukan Mei Lie. Namun
ketika mereka hendak melangkah, tiba-tiba Jalna Wangga berseru. "Tuan Pendekar,
tunggu" "Aha, ada apa lagi, Ki?" tanya Sena dengan kening
mengerut Mei Lie menghela napas. Sepertinya gadis itu tak suka dengan Jalna
Wangga, yang menghentikan langkah mereka kembali. Seakan-akan Mei Lie melihat
kalau orang tua ini tak mempercayai mereka. Bahkan tampaknya hendak menyelidiki
Pendekar Gila dan dirinya. "Maaf, saya kembali mengganggu"
"Cepat katakan Kami tak ada waktu lagi," desak Mei Lie tak sabar.
"Kalau boleh ku tahu,
apakah Tuan berdua melihat lelaki bercadar biru?" tanya Jalna Wangga.
"Tidak" sahut Mei
Lie cepat, "Sudah tak ada la-gi?" "Terima kasih," jawab
Jalna Wangga. Kemudian setelah menjura hormat Si Pukulan Petir meninggalkan
kedua pendekar yang kembali melanjutkan perjalanan ke barat "Orang tua
aneh. Untuk apa dia mencari lelaki bercadar biru?" tanya Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Sudahlah, Kakang Mengapa
kita memikirkan orang tua itu? Ayo kita teruskan" ajak Mei Lie sambil
menggandeng tangan Pendekar Gila untuk meneruskan perjalanan.
"Tapi, Mei. Kurasa ada
sesuatu yang menarik di desa itu," kata Sena dengan mata menyapu ke
sekeliling Bukit Yuyu. Kemudian ditolehkan kembali wajahnya ke Desa Kaliamba.
Ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Apalagi setelah bertemu Jalna Wangga
yang bertanya tentang lelaki bercadar biru.
"Ah, kau ini ada-ada
saja, Kakang. Sudahlah, kita pergi" ajak Mei Lie.
"Tunggu, Mei Aku yakin,
orang tua itu ada hubungannya dengan kemacetan pembuatan jalan. Ah, kurasa ada
yang kurang beres di Desa Kaliamba itu.
Apakah tak sebaiknya kita
singgah dulu di desa ini?" ajak Sena sambil nyengir dengan mata memandang
penuh harap pada Mei Lie. Sedangkan tangannya menggaruk-garuk kepala, yang
menjadikan tingkahnya nampak semakin bertambah lucu.
"Hhh..." Mei Lie
menghela napas pelan. "Baiklah, aku setuju." "Hua ha ha..."
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Sementara Mei Lie justru cemberut.
Kemudian dengan nakal, Mei Lie mencubit pinggang Sena. Lalu keduanya
berlari-lari menuruni Bukit Yuyu, menuju Desa Kaliamba.
Desa yang juga dituju Jalna
Wangga
***
Jalna Wangga kini melangkah memasuki sebuah
kedai yang nampaknya baru dibuka, setelah sekian lama tertutup. Semenjak
Juragan Durka Pela dipercaya pihak kerajaan menangani pembuatan jalan dan
pembebasan tanah kedai itu pun tutup. Karena para warga diwajibkan ikut bekerja
dalam pembuatan jalan baru.
Namun semenjak peristiwa yang
terjadi di rumah Juragan Durka Pela beberapa hari lalu, warga desa mulai merasa
agak bebas. Para centeng bayaran juragan itu telah dibunuh habis oleh dua lelaki
bercadar yang belum dikenal. Kedai di ujung desa itu pun mulai buka kembali.
Para pengunjung kedai, nampak
sedang membicarakan masalah dua orang bercadar yang telah merampok rumah
Juragan Durka Pela dan membagikan harta rampokannya kepada penduduk.
"Wah, kalau begitu,
berarti mereka yang memberi pada kita," kata lelaki bertubuh kurus dengan
jenggot panjang.
"Ya Baik sekali mereka.
Baru kali ini, ada maling yang membagi-bagikan barang colongannya pada warga
desa," sambung yang lainnya.
Jalna Wangga yang mendengar
pembicaraan orang-orang di kedai seketika tergetar hatinya. Kalau benar apa
yang diceritakan orang-orang tentang dua maling budiman itu, berarti mereka
berbuat demi kemanusiaan.
"Hm, pantaskah aku
mengabulkan permintaan Durka? Kalau sebenarnya kedua lelaki bercadar itu
bertujuan baik?" gumam Jalna Wangga. Hatinya mas-gul, setelah mendengar
cerita warga Desa Kaliamba di kedai ini.
Ketika semua orang
membicarakan tentang dua orang lelaki bercadar yang membagi-bagikan rejeki,
da-ri luar masuk dua orang lelaki yang sedang mereka bicarakan. Sepontan semua
yang ada di kedai membungkuk memberi hormat. Hal itu menjadikan kedua orang
bercadar biru dan ungu mengerutkan keningnya. "Hai, mengapa kalian memberi
hormat padaku?" tanya lelaki bercadar biru, "Aku bukan siapa-siapa.
Aku manusia seperti kalian. Kedatangan kami kemari, semata-mata ingin meminta
makan." Mendengar permintaan manusia bercadar biru, dengan tergopoh-gopoh
pemilik kedai segera menghampiri. Kemudian segera menjura hormat "Silakan,
Tuan-tuan..." sambutnya penuh ramah. "Terima kasih, Ki. Kami lapar,
ingin makan," pinta lelaki bercadar ungu.
Pemilik kedai segera
memerintah pelayannya agar membawakan makanan yang lezat-lezat. Tidak lama
kemudian, makanan pun datang. Hal itu membuat kedua manusia bercadar terkejut,
tak menyangka akan dihidangkan makanan yang lezat-lezat dan tentu sangat mahal
harganya.
"Ki, tentunya makanan
selezat ini sangat mahal harganya. Bagaimana aku akan membayarnya?" tanya
lelaki bercadar biru, tak mengerti mengapa pemilik kedai memberi mereka makanan
yang lezat-lezat. Padahal mereka belum memesan makanan apapun.
"Ah, untuk Tuan berdua,
kami tak meminta bayar. Kami telah tahu, siapa Tuan berdua," jawab pemilik
kedai sambil membungkuk hormat. Di bibir lelaki berusia sekitar enam puluh lima
tahun dan bertubuh kurus itu menyunggingkan senyum ramah. Senyum yang tulus,
tanpa dibuat-buat "Tapi, Ki" Lelaki bercadar ungu hendak menolak,
namun pemilik kedai telah mendahului.
"Ah, sudahlah Betapa kami
warga Desa Kaliamba sangat berterima kasih atas pertolongan Tuantuan,"
sahut pemilik kedai, yang semakin membuat kedua lelaki bercadar saling pandang.
"Aku tak mengerti,
Ki," kata manusia bercadar ungu. "Sudahlah, Tuan Jika memang harus
bayar, biar kami yang membayarnya," salah seorang warga Desa Kaliamba yang
ada di kedai menyahuti. "Tuan berdua telah menolong kami. Sudah
sepantasnya kami membalas Tuan berdua." Kedua lelaki bercadar itu tak
berkata lagi. Sesaat keduanya saling pandang. Kemudian lelaki bercadar biru
memandangi pemilik kedai yang masih tersenyum penuh hormat "Baiklah kalau
begitu. Tolong kau bungkuskan" "Dengan senang hati, Tuan. Pelayan
tolong bungkus" perintah pemilik kedai dengan gembira, karena pemberiannya
tidak ditolak kedua manusia bercadar itu.
Setelah mendapat dua
bungkusan, kedua manusia bercadar itu segera melesat keluar meninggalkan kedai.
Namun tanpa mereka ketahui, seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun
dengan jubah coklat mengikuti mereka dari belakang.
Pendekar Gila dan Mei Lie
sejak tadi mengawasi gerak-gerik kedua manusia bercadar yang kini dikejar Jalna
Wangga. Kedua pendekar muda-mudi itu kemudian menguntit ketiganya.
"Kita harus tahu, Mei.
Ah, jelas ini suatu keganjilan," ujar Pendekar Gila sambil terus berlari
ke selatan membuntuti Jalna Wangga.
"Kalau begitu, kedua
manusia bercadar itu orang baik, Kakang?" tukas Mei Lie.
"Mungkin, Mei,"
sahut Sena. "Kita tak tahu apa maksud mereka sesungguhnya." "Ya,
kuharap mereka benar-benar bermaksud baik," gumam Mei Lie sambil terus
mengikuti Pendekar Gila mengikuti Jalna Wangga yang tengah mengejar kedua
manusia bercadar.
Sampai di Hutan Jabara, pada
sebuah tanah lapang yang sepi Jalna Wangga berhasil mengejar kedua manusia
bercadar. Sementara itu, Pendekar Gila dan Mei Lie segera menyelinap
bersembunyi di balik semak belukar yang lebat, mengintai apa yang akan terjadi.
"Kisanak, sedari tadi kami perhatikan kau menguntit kami, ada apa?"
tanya lelaki bercadar biru setelah menghentikan langkahnya.
"Kalian kenal dengan
Durka Pela, bukan?" tanya Jalna Wangga.
"Ya Ada apa?" tanya
lelaki bercadar ungu.
"Kutunggu kalian di Bukit
Yuyu nanti malam, untuk menyelesaikan apa yang berhubungan antara kalian dan
saudaraku" usai berkata begitu, tanpa menghiraukan kedua manusia bercadar
lelaki tua berjuluk si Pukulan Petir itu melesat pergi.
"Manusia aneh,"
gumam lelaki bercadar ungu, "Apakah Kanjeng Pangeran akan
melayaninya?" "Ya Bagaimanapun, aku harus bertanggung jawab, Pranala.
Meski nyawaku sebagai taruhannya.
Demi rakyat yang menderita aku
siap berkorban," jawab Pangeran Prapanca.
"Kalau begitu, aku harus
ikut, Kanjeng." "Baiklah, kita hilangkan pikiran itu. Ayo..."
ajak Pangeran Prapanca. Keduanya pun seketika melesat meninggalkan Hutan
Jabara, tanpa tahu dua orang yang sejak tadi mengawasi mereka. Ya, Pendekar
Gila dan Mei Lie yang tampak kebingungan karena belum mengerti.
"Aku semakin tertarik,
Mei. Kurasa, lebih baik kita melihat apa yang terjadi nanti malam," ujar
Sena sambil cengengesan dengan kepala menggeleng-geleng.
"Terserah kau saja, Kakang,"
sahut Mei Lie.
"Ayo kita ke kedai
Perutku sudah lapar. Hi hi hi..." Dengan tertawa cekikikan, Pendekar Gila
melangkah meninggalkan Hutan Jabara.
4
Malam perlahan-lahan turun. Di
sebelah timur, bulan kelihatan merambat naik perlahan. Sinarnya yang redup,
memancar menerangi bumi walau remangremang. Dua sosok bayangan yang tak lain
Pendekar Gila dan Mei Lie, berkelebat cepat menuju Bukit Yuyu.
Sampai sejauh itu kedua
pendekar muda itu belum mengerti penyelesaian macam apa yang diinginkan Ki
Jalna Wangga.
Setelah sampai di Bukit Yuyu
yang masih sepi, Pendekar Gila segera mengajak Mei Lie bersembunyi di balik
semak-semak yang cukup rimbun. Hal itu dimaksudkan agar kehadiran mereka tak
diketahui Ki Jalna Wangga maupun kedua lelaki bercadar.
"Ingat, Kakang. Kau
jangan cekikikan" ujar Mei Lie mengingatkan Pendekar Gila. Sebab kebiasaan
konyol kekasihnya akan menyebabkan persembunyian mereka diketahui.
"Aha, tenanglah, Mei aku
akan berusaha," sahut Sena sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Lihat, dua lelaki
bercadar itu datang," bisik Mei Lie. "Aha, kau benar. Kurasa, malam
ini akan terjadi pertarungan yang seru, Mei," kata Sena masih dengan mulut
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Dari arah barat, melesat dua sosok
tubuh menuju tanah lapang yang ada di Bukit Yuyu. Tidak lama kemudian, dari
arah selatan melesat pula sesosok tubuh tinggi besar. Ketiganya pun bertemu,
saling pandang satu sama lain.
Pendekar Gila dan Mei Lie
ingin tahu apa sebenarnya yang akan terjadi. Keduanya berusaha tenang di
persembunyian. Mata mereka memandang tajam ke tanah lapang tempat tiga orang
lelaki saling berhadapan. "Kau telah siap, Cadar Biru?" tanya Ki
Jalna Wangga.
"Aku siap. Apapun yang
hendak kau lakukan, aku telah siap menghadapinya," jawab Pangeran Prapanca
tegas.
"Bagus Tapi terlebih
dahulu kukatakan, bahwa aku hanya menjalankan tugas yang diperintahkan Durka
Pela," tutur Ki Jalna Wangga.
"Aku tahu," jawab
Pangeran Prapanca yang mengenakan cadar biru.
"Baik, bersiaplah
Heaaa..." Ki Jalna Wangga melesat dengan serangan pertamanya yang bernama
'Pukulan Gempa'. Kedua tangannya direntangkan dengan jari-jari mengepal. Tangan
kiri ditaruh di bawah siku tangan kanan. Sedangkan tangan kanan digerakkan ke
samping, yang diteruskan ke depan lurus.
"Mundurlah, Cadar
Ungu" perintah Cadar Biru tak menyebut nama rekannya. Setelah Pranala
mundur, Pangeran Prapanca pun segera membuka jurusnya. Kaki kanannya digeser
agak ke depan setengah ditekuk. Kedua tangannya menyatu di depan dada. Lalu tangan
kanan membuka dan ditarik ke atas, diikuti dengan tangan kiri diangkat ke atas
kepala. Itulah jurus pembuka 'Bangau Merentang Sayap' diteruskan dengan jurus
'Kepakan Sayap Bangau'.
"Hea"
"Yea" Tubuh keduanya melesat ke depan. Tidak hanya tangan yang
bergerak menyerang, kedua kaki mereka pun turut menendang dan menyapu. Dalam
sekejap saja, keduanya telah terlibat pertarungan yang seru. "Jaga igamu,
Cadar Biru" seru Ki Jalna Wangga. Kemudian dihantamkan pukulan tangan
kanannya ke dada sebelah kiri lawan. Namun dengan cepat Pangeran Prapanca
berkelit, sehingga pukulan lawan hanya mendesir beberapa jari di samping
tubuhnya.
Setelah lepas dari serangan
lawan, dengan cepat Pangeran Prapanca memutar tubuhnya setengah lingkaran.
Kemudian dengan gerakan ringan, lelaki bercadar biru itu mengibaskan telapak
tangan kirinya ke tulang rusuk sebelah kanan lawan.
"Rusukmu, Ki Hea..."
Wrt "Hait" Dengan berguling, Ki Jalna Wangga mengelitkan serangan
lawan. Sambil berguling pula, lelaki tua itu melancarkan tendangan dengan jurus
'Kaki Jengkrik Menjentik'.
"Hea..." Pangeran
Prapanca mencelat ke belakang, mengelakkan tendangan kaki lawan. Melihat lawan
melompat, dengan cepat Ki Jalna Wangga melakukan salto. Kemudian dilentingkan
tubuhnya ke atas, sambil bergerak melakukan serangan. Kaki kanan menendang
tubuh lawan dalam keadaan masih melayang.
"Heaaa" Melihat
lawan menyerang dengan tendangan, Pangeran Prapanca segera memiringkan tubuh ke
samping kanan lalu merunduk. Kemudian dengan jarijari terbuka tangan kanannya
dikibaskan ke tubuh Ki Jalna Wangga.
"Yea" Wrt
"Heh?" Ki Jalna Wangga kaget bukan kepalang karena tak menyangka
lawan akan menyerang begitu cepat. Dengan cepat lelaki berambut panjang itu
menarik serangan. Tubuhnya dilontarkan ke atas. Setelah berjumpalitan di udara
dengan ringan kakinya mendarat sambil tertawa-tawa.
"Hua ha ha... Hebat Kau
benar-benar hebat Cadar Biru. Tapi itu baru pemula, bukan? Kini kau yang
menyerang" seru Ki Jalna Wangga.
"Baik Bersiaplah"
"Aku telah siap," jawab Ki Jalna Wangga.
Pangeran Prapanca segera
menarik kaki kanan ke belakang. Kaki kiri agak ditekuk. Tangannya menyilang ke
bawah, kemudian digerakkan ke atas. Itulah jurus 'Bangau Menyibak Air'. Sebuah
jurus pembuka yang cukup berbahaya. Sasarannya dada dan jantung lawan.
"Yea" "Hea" Kedua tubuh melesat ke udara. Pangeran Prapanca
mengembangkan kedua tangan ke samping.
Kemudian dengan cepat tangan
kanannya memburu ke depan. Disusul dengan tangan kiri untuk menangkis.
"Hea" Ki Jalna
Wangga pun nampaknya tak mau kalah. Tangannya dijotoskan ke muka, disusul
dengan tangkisan tangan kirinya. Mereka terus bertarung di udara laksana burung
terbang.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang
menyaksikan pertarungan itu terkesiap kaget Mata keduanya membelakak, takut
kalau-kalau salah seorang di antara keduanya akan menjadi korban. Namun untuk
ikut campur dalam urusan itu, Sena tak mau. Dirinya belum tahu apa sebenarnya
yang terjadi.
"Kakang, apa kita akan
tinggal diam?" tanya Mei Lie berbisik lirih, sepertinya khawatir
menyaksikan pertarungan itu.
"Aha, rupanya kau yang
cerewet, Mei. Bukankah kau tadi melarangku berbicara?" sahut Pendekar Gila
dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tapi, aku khawatir salah
satu mati percuma, Kakang." "Aha, kau semakin cerewet saja seperti
seorang nenek, Mei." "Tapi, Kakang...." "Aha, sudahlah.
Rimba persilatan memang begitu, Mei. Kita lihat saja. Bukankah kita tak tahu
apaapa?" ujar Sena berusaha mengingatkan kekasihnya yang kelihatan tak
sabar.
"Tapi kelihatannya mereka
orang baik-baik. Rasanya tak pantas sealiran harus bertarung," tukas Mei
Lie masih berusaha mengajak Pendekar Gila agar melerai pertarungan itu.
Tampak kini keduanya bertarung
sambil bergulingan ke bawah. Mereka masih saling pukul dan tendang. "Kau
harus ingat, Mei. Ini pelajaran untukmu.
Dalam urusan pribadi, kita tak
bisa ikut campur," ujar Sena berusaha menjelaskan pada kekasihnya.
"Aha, bukankah lebih baik kita melihat?" Mei Lie pun menurut diam.
Dengan cemas gadis itu menyaksikan pertarungan yang semakin seru.
Kini tubuh keduanya masih
bergulingan di tanah. Namun begitu, keduanya bagaikan dua ekor kucing.
Meski dengan tubuh
menggelinding dari atas bukit itu, keduanya tetap berusaha saling menyerang.
"Hea"
"Yea" Tangan mereka terus bergerak, memukul dan menangkis. Begitu
pula dengan kedua kaki mereka, saling kait dan tendang. Sebuah perkelahian yang
sangat seru. Tampaknya kedua orang itu memiliki ilmu setaraf. Trak
"Heaaa..." Trep Tangan Pangeran Prapanca menyerang. Namun dengan
cepat tangan kiri Ki Jalna Wangga menangkis dan menangkapnya. Lelaki bercadar
biru itu berusaha menarik tangannya. Disodokkan sikunya menyerang, tetapi
kembali Ki Jalna Wangga menangkis dengan siku tangan kiri.
"Hea" Trak Keduanya
saling dorong dan tarik. Sampai akhirnya, mereka berada di bawah. Keduanya masih
saja saling dorong dan tarik, kemudian tiba-tiba telapak tangan dan jotosan
mereka beradu.
Plakkk "Hea"
"Yea" Pangeran Prapanca melenting ke atas, dengan tubuh jumpalitan.
Kemudian dengan ringan mendaratkan kaki di atas bukit. Begitu juga dengan Ki Jalna
Wangga. Lelaki tua itu pun melakukan hal yang serupa. Setelah berjumpalitan
mencelat ke atas, dengan ringan kedua kakinya mendarat di atas bukit. Seketika
pertarungan mereka berlanjut. Mata mereka saling pandang seakan berusaha
mengukur ilmu masingmasing. "Bagaimana, Cadar Biru? Apakah akan
diteruskan?" tanya Ki Jalna Wangga, "Sengaja aku tidak mengeluarkan
jurus andalanku yang bernama jurus 'Pukulan Petir'. Karena jika aku keluarkan
jurus itu, maka kau akan mengalami kematian." Diam-diam di hati Cadar Biru
tersirat rasa kagum pada lelaki setengah baya itu. Dia pun menyadari, kalau
lelaki bermuka garang itu mau, maka dalam beberapa gebrakan saja dia akan
kalah. Tetapi rupanya lelaki berjubah coklat itu hanya menjajal sampai seberapa
ilmunya.
"Hm, kita teruskan,"
sahut Cadar Biru yang ju-ga ingin melihat sampai sejauh mana kepandaian lelaki
bermuka garang namun matanya mencerminkan ketenangan dan persahabatan ini.
"Cadar Biru, biar aku
yang meneruskan, karena aku pun terlibat di
dalamnya," tiba-tiba Cadar
Ungu yang tak lain Pranala berseru.
"Hm, dua-duanya pun
boleh" sela Ki Jalna Wangga, yang membuat kedua lelaki bercadar saling
pandang sesaat. Napas keduanya memburu, terlebihlebih Pangeran Prapanca yang
merasa diremehkan.
Mata di balik cadar biru itu menyorot
tajam ke wajah Ki Jalna Wangga. Seakan tak mampu lagi ditahan kemarahannya yang
bergayut dalam hati. Hal itu karena dirinya merasa lelaki tua itu telah ikut
campur urusannya terhadap Juragan Durka Pela.
"Kita teruskan Biar aku
yang menghadapimu" tantang Pangeran Prapanca, "Mari kita gunakan
senjata kita" "Hm, begitu? Baiklah." Ki Jalna Wangga tersenyum
sinis seraya memicingkan mata memandang wajah Cadar Biru.
Sret Pangeran Prapanca menarik
pedang dari warangkanya. Begitupula yang dilakukan Ki Jalna Wangga. Lelaki tua
itu mencabut golok panjangnya dari warangka. Keduanya mundur dua tindak dengan
mata saling menatap tajam.
"Hai... Mereka
benar-benar hendak saling membunuh, Kakang," kata Mei Lie berbisik.
"Aha, biarkan saja Inilah
rimba persilatan, Mei.
Kadang kala, manusia tak
lebihnya seperti hewan. Tak mengenal belas kasihan terhadap sesamanya,"
gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "Kita lihat saja, Mei" Mei
Lie kembali diam sambil memperhatikan kedua orang yang siap melakukan pertarungan
maut.
Keduanya sama-sama telah
mengeluarkan senjata. Satu bersenjata pedang, sedangkan yang satunya
bersenjatakan golok panjang bergerigi.
***
Pangeran Prapanca dengan mata tajam menatap
wajah Ki Jalna Wangga. Diletakkan pedangnya ke depan wajah. Sementara tangan
kirinya, kini diletakkan di pinggang dengan jari-jari terbuka. Kakinya bergerak
teratur, melangkah membentuk siku.
"Yea" Dengan jurus
'Bangau Terbang', Pangeran Prapanca membuka serangan. Pedang di tangan kanannya
digerakkan dengan cepat. Mulanya ke bawah, kemudian dengan cepat diangkat dan
dibabatkan sambil melesat ke depan. Sedang tangan kirinya tak mau ketinggalan,
bergerak memukul dengan telapak terbuka.
"Hea" Menyaksikan
lawan telah membuka serangan, Ki Jalna Wangga pun dengan cepat membuka jurus
'Simpul Golok Maut'. Golok di tangannya digerakkan naik turun, lalu dilanjutkan
dengan babatan mendatar. Disertai pekikan menggelegar, membuat suasana sepi di
Bukit Yuyu berubah riuh, Ki Jalna Wangga melesat menyerang.
"Yeaaa..." Wrt Dua
tubuh berkelebat cepat dengan senjata siap membantai satu sama lain. Pedang dan
golok tampak berkelebat begitu cepat. Sehingga kedua senjata itu bagaikan
menghilang. Yang kelihatan hanya sinar yang berkeredep, keluar dari gerakan
kedua senjata.
Wrt Trang Golok dan pedang
tajam itu beradu, mengeluarkan pijaran api. Ki Jalna Wangga dan Pangeran
Prapanca tampak saling melompat ke belakang. Namun sebentar kemudian, dengan
pekikan menggelegar, keduanya kembali melesat maju.
"Hea" Wut Wut
"Yeaaa..." Keduanya kembali menyerang, menggerakkan senjata
masing-masing untuk membabat dan menusuk ke tubuh lawan. Namun kedua-duanya
sama-sama lincah dan gesit Tubuh mereka berkelebat-kelebat dalam mengelitkan
dan menangkis serangan lawan.
Wrt Trang Dengan memutar cepat
pedangnya, Pangeran Prapanca berusaha mendesak lawan. Pedangnya membabat dan
menusuk ke bagian atas tubuh Ki Jalna Wangga. Namun orang tua berambut panjang
itu nampak tak mengalami kesulitan menghadapi seranganserangan lawan. Dengan
melompat ke sana kemari Ki Jalna Wangga menangkis dan mengelak.
"Hea" Trang
"Hih" Pangeran Prapanca menarik pedangnya, lalu melancarkan pukulan
ke dada. Namun dengan cepat Ki Jalna Wangga merundukkan tubuh. Digeser kaki
kiri ke samping, diikuti dengan tubuhnya yang doyong.
Sehingga serangan Pangeran
Prapanca hanya mengenai tempat kosong. Ki Jalna Wangga segera membalas serangan
dengan tubuh masih agak membungkuk. Di tusukkan goloknya ke perut lawan.
"Jaga perutmu, Cadar Biru
Heaaa..." Wrt "Aits Hebat..." teriak Pangeran Prapanca tak sadar,
karena kaget mendapatkan serangan yang tiba-tiba itu. Dengan cepat lelaki
bercadar biru itu melompat ke belakang. Kemudian bersamaan dengan itu
diputarnya pedang ke bawah menangkis serangan lawan. "Hea" Trang Mei
Lie yang ahli bermain pedang menggelenggelengkan kepala, menyaksikan
pertarungan lelaki bercadar biru melawan Ki Jalna Wangga. Sebenarnya menurut
pandangan Mei Lie, Ki Jalna Wangga dapat dengan mudah mengalahkan lawannya. Mei
Lie melihat titik lemah lelaki bercadar biru itu. Namun nampaknya Ki Jalna
Wangga masih berusaha menjajaki sampai seberapa ilmu pedang lelaki bercadar
biru itu, sehingga orang tua bermuka garang itu nampaknya tak bermaksud
menyudahi pertarungan dengan cepat.
"Kakang, kulihat orang
tua itu bertarung tak sungguh-sungguh," bisik Mei Lie pada Pendekar Gila.
"Aha, kau benar, Mei.
Nampaknya Ki Jalna Wangga memang sedang mendalami sampai seberapa ilmu lelaki
bercadar biru," sahut Sena dengan wajah meringis sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Tak kusangka, orang tua
bermuka garang itu, ternyata memiliki hati yang baik juga," gumam Mei Lie
sambil terus memperhatikan jalannya pertarungan yang masih berlangsung seru.
Kini nampak dengan gerakan
cepat mereka saling menyerang. Tubuh keduanya berkelebat saling menghindar dan
menangkis. Golok dan pedang pun terdengar terus berbenturan. Suaranya memecah
keheningan malam.
Trang "Heaaa..."
Pangeran Prapanca dan Ki Jalna Wangga terus bergerak melangkah ke samping
sambil saling menangkis serangan. Sungguh sebuah gerakan silat yang sangat
indah ditonton.
Pranala yang ilmunya memang
berada di bawah ilmu Pangeran Prapanca, hanya terbengong kagum.
Hatinya hampir tak percaya,
kalau Pangeran Prapanca akan dapat mengeluarkan jurus silat yang indah dan
cepat Selama ini, keduanya memang bersama-sama.
Namun Pranala belum pernah
melihat Pangeran Prapanca mengeluarkan jurus ‘Angin Meniup Daun’.
Tubuh keduanya terus bergerak
ke samping dengan masih diiringi benturan senjata saling serang.
Kaki-kaki mereka bergerak
dengan teratur, kadang menyilang dan kadang merentang. Sedangkan tangan kiri
keduanya, bergerak mengepak-ngepak atau terkadang menekan ke belakang dan
samping. Sepertinya tangan kiri itu sengaja digunakan untuk menjaga
keseimbangan tubuh mereka dalam menyerang.
Trang Trang Senjata mereka
terus beradu. Namun pada suatu kesempatan, Pangeran Prapanca berhasil menarik
golok di tangan Ki Jalna Wangga.
"Hea" Wrt Trakkk
"Akh..." Ki Jalna Wangga tersentak kaget dengan mata terbelalak.
Dirinya tak menyangka kalau lawan akan dapat membuang senjatanya. Kini Ki Jalna
Wangga nampak pasrah, ketika Pangeran Prapanca menempelkan ujung pedangnya ke
leher. "Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah" "Hm, membunuhmu
mudah saja. Tapi aku tak pernah sembarang membunuh orang. Dan untuk itu
sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat ini, sebelum pikiranku berubah"
perintah Pangeran Prapanca.
Ki Jalna Wangga hanya diam
saja tak berkata apa-apa. Dirinya hanya bergumam dalam hati. "Kalau saja
aku tak tahu siapa kau sebenarnya, hhh..., tak segan aku membunuhmu. Tapi aku
tahu siapa kau sebenarnya. Aku bersalah jika membunuh atau
menangkapmu...." Kemudian Ki Jalna Wangga cepat pergi meninggalkan tempat
itu, Pangeran Prapanca mengikutinya dengan pandangan tajam. Pranala yang
melihat Pangeran Prapanca cemas segera menghampiri.
"Kenapa orang itu dilepas
begitu saja, Pangeran?" tanya Pranala agak gusar.
"Biarlah. Kita tak perlu
membunuh orang seperti dia. Tujuan kita bukan itu," jawab Pangeran
Prapanca. "Ah, sudahlah Mari kita pergi" Keduanya pun melesat pergi
meninggalkan Bukit Yuyu yang kembali sepi.
Sementara itu Pendekar Gila
dan Mei Lie pun keluar dari tempat sembunyi.
"Orang tua aneh,"
gumam Mei Lie.
"Hi hi hi.... Kau benar,
Mei. Tapi yang ku herankan, siapa sebenarnya lelaki bercadar biru? Rekannya
tadi memanggil dengan sebutan 'pangeran'. Ah ah ah... aneh sekali" gumam
Sena dengan cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hm, memang aneh, Kakang.
Kalau dia seorang pangeran, dari kerajaan mana? Lalu untuk apa dia memakai
cadar dan merampok?" tanya Mei Lie turut heran. "Aha, kurasa kita
akan tertunda di sini, Mei. Ini benar-benar keanehan. Hi hi hi..." kata
Sena sambil cekikikan, membuat mata Mei Lie melotot gemas. Namun gadis itu tak
mencubit pinggang, kekasihnya bahkan kini merapatkan diri ke tubuh Pendekar
Gila.
Pendekar Gila dan Mei Lie pun
segera meninggalkan Bukit Yuyu yang kembali sepi. Bulan kelabu mengiringi
perjalanan kedua pendekar muda itu.
***
5
Malam yang disinari bulan
kelabu terus menyelimuti bumi. Membawa para penghuni bumi terlelap dalam tidur.
Begitu pula dengan keadaan lingkungan Kadipaten Wungkalan yang masih termasuk
dalam wilayah Kerajaan Surya Langit, nampak sepi. Hanya ada empat orang
prajurit yang belum tertidur. Mereka sedang melakukan tugas, menjaga keamanan
lingkungan kadipaten Malam semakin larut, ketika dari luar benteng kadipaten
melesat dua sosok bayangan melompati tembok tinggi yang mengelilingi lingkungan
kadipaten.
"Hop" Kedua sosok
itu kini berdiri di atas tembok.
Mata mereka yang sebagian
wajahnya tertutup cadar biru dan ungu mengawasi sekeliling bangunan kadipaten
itu. "Hati-hati, kita harus bergerak cepat" ujar Pangeran Prapanca
mengingatkan pada Pranala.
"Apa tak sebaiknya kita
lumpuhkan keempat penjaga ini, Pangeran?" ucap Pranala.
"Kurasa tak perlu. Kalau
kepergok apa boleh buat," jawab Pangeran Prapanca. "Ayo, kita
beraksi" Kedua lelaki bercadar itu melesat turun. Dengan ringan tanpa
menimbulkan suara, keduanya mendarat di pekarangan sebelah barat kadipaten.
"Hop" "Ya Hm,
kita harus cepat beraksi," ujar Pangeran Prapanca dengan mata memanjang
tajam ke sekelilingnya.
"Pangeran, lihat"
bisik Pranala sambil menunjuk ke salah sebuah kamar yang nampak masih terang.
Dari bayangan di dalam kamar itu, menunjukkan masih banyak orang yang belum
tidur. "Nampaknya mereka belum tidur, Pangeran." "Hm, benar.
Tapi...," Pangeran Prapanca mena-jamkan pandangannya. Nampak bukan
bayangan lelaki melainkan ada lima orang wanita di dalam kamar itu.
"Kurasa mereka perempuan, Pranala. Hanya satu lelaki. "Mungkinkah
wanita simpanan adipati cabul itu, Pangeran?" tanya Pranala.
"Bisa jadi. Dasar adipati
keparat Tak memperhatikan rakyatnya yang menderita, malah enakenakan bersama
wanita-wanita simpanannya," dengus Pangeran Prapanca geram. Matanya
membelalak semakin lebar, "Ayo..." Kedua sosok itu melesat cepat
menuju kamar tempat bercengkerama itu. Keduanya mendekat, kemudian
perlahan-lahan mengintip apa yang terjadi di dalam kamar itu lewat celah
jendela.
Membelalak mata Pangeran
Prapanca dan Pranala melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Keduanya terkejut.
Di dalam kamar itu, Adipati Jata Sura sedang asyik bercumbu bersama kelima
gundiknya yang masih muda-muda.
"Adipati keparat"
dengus Pangeran Prapanca dalam hati. Kemudian segera menggerakkan kepala
memberi isyarat kepada Pranala agar masuk.
Brak Suara berderak keras
terdengar. Adipati Jata Sura dan kelima gundiknya yang masih dalam keadaan
telanjang tersentak kaget. Serentak mereka menjerit melihat jendela kamar telah
jebol. Mereka hendak lari, namun Pranala telah menghadang di pintu kamar.
Srang "Jangan lari
Serahkan hartamu, Adipati Atau nyawamu yang akan melayang" ancam Pangeran
Prapanca sambil mengacungkan pedang ke arah leher Kanjeng Adipati Jata Sura
yang ketakutan. Sehingga wajahnya kelihatan sangat pucat. Tubuh gemetaran.
Begitu pula dengan kelima
wanita cantik yang masih dalam keadaan telanjang bulat mereka menggigil
ketakutan. "Cepat katakan, di mana hartamu?" "Ampun..., jangan
bunuh kami" ratap Adipati Jata Sura mengiba dengan keringat dingin
bercucuran, "Ambillah semua hartaku Asal jangan kalian apa-apa-kan
aku" "Baik Cepat katakan" bentak Pangeran Prapanca semakin
menempelkan pedangnya ke leher sang Adipati. "Ayo, tunjukkan di mana kau
menyimpannya." Dengan ketakutan, Adipati Jata Sura pun menurut Kakinya
melangkah di bawah ancaman pedang Pangeran Prapanca. Sedangkan Pranala menahan
kelima wanita gundik yang semakin ketakutan. Mereka berdiri mengumpul di sudut
kamar itu, sambil menutupi tubuh mereka.
Adipati Jata Sura terus
melangkah menuju kamar lain Sedangkan Pangeran Prapanca terus menodongkan
pedangnya di leher sang Adipati. Namun tak terduga, tiba-tiba Adipati Jata Sura
memberontak sampai lepas. Kemudian lari keluar.
"Prajurit
Maliiing..." teriak Adipati Jata Sura membuat para prajuritnya yang tidur
seketika terban-gun. Mereka serentak lari menghampiri.
"Ada apa, Kanjeng
Adipati?" "Tolol Mengapa kalian tak tahu kalau ada dua orang maling
masuk?" bentak Adipati Jata Sura, "Tangkap mereka"
Prajurit-prajurit kadipaten yang berjumlah sepuluh orang langsung menyerbu ke
dalam.
"Tangkap maling"
"Celaka, Pangeran, kita tak bisa apa-apa lagi," bisik Pranala.
"Apa boleh buat. Kita
layani" Dua lelaki bercadar itu segera melesat memapaki serangan kesepuluh
prajurit kadipaten yang memburu ke tempat mereka. Pedang di tangan Pangeran
Prapanca dan Pranala bergerak cepat memapaki serangan pedang dan tombak lawan.
"Hea" Wrt Wrt Trang
Trang Pangeran Prapanca dan Pranala nampaknya tak ingin berlama-lama menghadapi
kesepuluh prajurit kadipaten. Keduanya langsung mengeluarkan jurus silat
andalan. Pedang mereka bergerak semakin cepat, berputar laksana baling-baling.
Dari putaran pedang itu keluar deru angin yang menyentak.
"Kita tak ada waktu,
Cadar Ungu Tumpas saja" perintah Pangeran Prapanca.
"Baik, Cadar Biru
Heaaa..." "Yea" Suara riuh rendah, teriakan dan dentang senjata
seketika memecah kesunyian malam di lingkungan kadipaten itu.
"Tangkap mereka..."
seru Adipati Jata Sura merasa berani karena para prajuritnya kini menghadang
kedua maling itu.
Para prajurit berusaha
merangsek kedua lawannya. Namun dengan cepat keduanya memutar pedang. Lalu
tubuh keduanya turut berputar, mengikuti gerakan pedang. Kejadian itu sangat
cepat, dan....
Wrt Wrt Cras Cras
"Akh..." Tiga orang prajurit menjerit. Perut mereka terbabat pedang
Pranala. Begitu juga dengan yang dilakukan Pangeran Prapanca. Tiga orang yang
mengeroyoknya, harus rela melepaskan nyawa mereka. Dada dan muka mereka
terbabat pedang. Darah pun seketika berceceran di tempat pertarungan itu.
Melihat teman-temannya mati,
keempat prajurit yang masih hidup seketika merasa kecut. Mereka menyurut mundur
dengan tubuh gemetaran. Namun terdengar Adipati Jata Sura berteriak, memerintah
mereka agar menyerang....
"Seraaang Bunuh saja
kedua maling itu..." Mau tak mau, keempat prajurit kadipaten itu kembali
bergerak menyerang. Namun dengan keadaan tekanan jiwa, menjadikan keempat
prajurit itu kaku dan kewalahan menghadapi serangan lawan. Tanpa kesulitan
Pangeran Prapanca dan Pranala membabatkan pedang mereka menghalau para prajurit
itu.
Wrt Cras Cras
"Akh..," Keempat prajurit kadipaten langsung mendongak sekarat,
dengan tangan memegangi perut yang terbabat pedang. Kemudian dengan mendelik,
mereka ambruk ke tanah dan tewas. Kejadian itu tentu saja membuat Adipati Jata
Sura kembali membelalakkan mata. Tubuhnya gemetaran. Terlebih lagi ketika
Pangeran Prapanca mendekati dirinya dengan pedang berlumuran darah.
"Kau mau seperti mereka,
Adipati?" ancam Pangeran Prapanca sambil mengajukan pedangnya.
"Ampun..., tidak.
Ambillah semua hartaku, asal jangan kalian bunuh aku" ratap Adipati Jata
Sura dengan tubuh semakin gemetaran.
"Cadar Ungu,"
Pangeran Prapanca memberi isyarat pada Pranala agar mengikat tangan dan kaki
Kanjeng Adipati Jata Sura.
Setelah menyumbat mulut
Adipati Jata Sura, Pranala segera membantu Pangeran Prapanca menguras habis
harta milik Adipati Jata Sura.
Dua karung harta berharga
mereka bawa, kemudian dengan cepat meninggalkan kadipaten.
"Ayo, kita harus cepat
Waktu tak ada lagi," ajak Pangeran Prapanca sambil melompati pagar tembok
kadipaten, diikuti Pranala.
"Hop" Dengan ringan
kedua lelaki bercadar itu melompat dan hinggap di pagar tembok. Kemudian
langsung melompat keluar dari lingkungan kadipaten. Keduanya berlari
meninggalkan lingkungan Kadipaten Wungkalan, menembus gelapnya malam.
Tidak lama kemudian, kelima
gundik Adipati Jata Sura ribut. Hal itu mengundang perhatian warga yang dekat
dengan kadipaten, juga orang-orang yang bekerja pada kadipaten. Malam itu juga,
gempar. Kadipaten telah didatangi maling.
Sementara Pangeran Prapanca
dan Pranala seperti biasanya, langsung membagikan hasil curian kepada
orang-orang miskin yang membutuhkan.
Kini mereka berada di Desa
Kuniran yang masih termasuk wilayah Kadipaten Wungkalan. Keduanya langsung
meletakkan barang-barang berharga di depan pintu rumah mereka. Setelah selesai
membagi-bagikan hasil curian, mereka kembali melesat pergi menuju ke barat,
tempat Hutan Aseman berada. Mereka pun menghilang di dalam hutan itu.
***
Kejadian yang menimpa Adipati Jata Sura bukan
hanya mengejutkan para pembesar kerajaan. Juragan Durka Pela yang menyangka
kedua lelaki bercadar itu sudah mati di tangan Ki Jalna Wangga pun kaget.
Bagaimana mungkin orang-orang yang sudah mati bisa melakukan kejahatan lagi?
Juragan Durka Pela tak habis pikir, mendengar berita tentang dua lelaki
bercadar menjarah Kadipaten Wungkalan.
Satu pihak, mengutuk perbuatan
kedua maling budiman. Pihak ini tentunya berasal dari kalangan orang-orang
besar, para pejabat kerajaan. Namun di pihak lain, terutama rakyat yang
menderita merasa bersyukur dengan kehadiran kedua maling budiman yang banyak
menolong mereka.
Pagi itu, di ruang pertemuan
Istana Kerajaan Surya Langit nampak hadir seluruh pembesar istana.
Perdana Menteri Giri Gantra,
Panglima Utama Rawa Sekti, sesepuh kerajaan yang terdiri dari lima orang dan
Baginda Raja sendiri, Prabu Awangga telah hadir di balai pertemuan.
Sementara dari luar istana,
telah datang para adipati. Di situ juga hadir Juragan Durka Pela, serta
beberapa tokoh rimba persilatan yang sengaja diundang baginda raja. Di antara
tokoh rimba persilatan, nampak Tirta Kayonan atau yang lebih terkenal dengan
sebutan Pisau Maut. Buto Gege, seorang tokoh persilatan aliran sesat yang
tubuhnya tinggi bagaikan raksasa. Bermuka menyeramkan dan telanjang dada.
Senjata yang digunakan sebuah
martil besar bernama Martil Dewa.
Selain kedua tokoh itu, hadir
pula lima orang tokoh rimba persilatan lainnya. Di antara mereka terdapat Ki
Naga Wilis, Nyi Rara Cenil serta sepasang pendekar muda bergelar Sepasang Jalak
Sakti dari Desa Kumbar. Sedangkan seorang lagi, tak lain seorang resi gemuk
berkepala botak dengan senjata tasbih besar dari Perguruan Kuil Perak.
"Saudara-saudara
sekalian, tentunya kalian saya undang kemari telah mengerti apa yang akan kita
bicarakan," ujar Baginda Prabu Awangga, membuka pertemuan itu.
Semua menganggukkan kepala.
"Akhir-akhir ini, wilayah
kita dihebohkan adanya dua orang maling yang oleh rakyat dianggap maling
budiman. Padahal, sebulan lagi putriku akan me-langsungkan pernikahan dengan
pangeran dari Kerajaan Bayu Bumi. Kalau sampai masanya suasana belum juga
tenang, bagaimana tanggapan Kerajaan Bayu Bumi terhadap kita? Untuk itulah,
kuharap secepatnya bereskan kedua maling itu," perintah Baginda Awangga
menekankan.
"Daulat, Baginda..."
jawab semua para undangan. "Saya tak tahu, apa kedua maling itu dari
kerajaan kita, atau dari kerajaan lain yang sengaja disusupkan kemari,"
kembali baginda berkata, setelah menarik napas dalam-dalam. "Selama ini,
kerajaan ki-ta aman. Namun entah mengapa, tiba-tiba kini ketika putriku hendak
melangsungkan perkawinan, muncul kekacauan. Bagaimana menurutmu, Paman Perdana
Menteri?" Perdana Menteri Giri Gantra menjura dengan menganggukkan kepala.
Wajah lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun ini, nampak menggambarkan
kelicikan dan keserakahan.
"Ampun, Baginda Apa yang
Baginda titahkan memang sudah sepantasnya. Karena kalau dibiarkan kerajaan kita
bisa buruk di mata kerajaan lain," ujar Perdana Menteri Giri Gantra,
nadanya menjilat.
"Lalu, bagaimana
rencanamu, Paman?" tanya Baginda Raja ingin tahu, apa rencana yang ada
dalam pemikiran Perdana Menteri Giri Gantra.
"Menurut hamba, kita
sebar sayembara. Barang siapa bisa mendapatkan kedua maling itu, maka padanya
akan kita berikan kedudukan di istana sekaligus harta," tutur lelaki penjilat
ini sambil menganggukkan kepala. Matanya yang mengandung kelicikan, melirik
pada Buto Gege yang menyeringai.
"Aku setuju. Bahkan bila
perlu, aku rela memberi putriku yang kedua untuk istrinya, jika dia memang
lelaki. Tapi jika wanita, maka akan kujadikan permaisuriku." Baginda
Awangga bagaikan tanpa sadar mengucapkan perintah itu.
"Ampun, Baginda Apakah
Baginda sadar bersabda begitu?" tanya Ki Samaika, salah seorang sesepuh
istana yang dianggap paling tua serta sangat dihormati.
"Memangnya kenapa, Ki
Resi? Apakah salah jika aku bersabda begitu?" tanya Baginda Awangga belum
menyadari.
"Ampun, Baginda Memang
sabda seorang raja tak salah. Tetapi, mungkin ada kekeliruan yang harus
dibenahi atau dipertimbangkan kembali," ujar Ki Samaika berusaha mengingatkan.
"Tidak bisa, Ki Kau
jangan menentang Baginda" hardik Perdana Menteri Giri Gantra, "Sabda
Baginda berarti hukum Dan sabda seorang raja, disaksikan serta diperintahkan
para dewata. Adalah hal yang tidak benar, jika seorang raja menarik sabda yang
telah diucapkan." Ki Samaika terdiam. Nampaknya orang tua berusia sekitar
tujuh puluh lima tahun ini, tak mau ber-debat dengan perdana menteri kerajaan.
Itu pula yang membuat Ki Samaika hanya mengalah diam.
"Ampun Baginda Yang Mulia
Bukan maksud hamba melancangi titah Baginda," kata Perdana Menteri Giri
Gantra sambil menyembah.
"Tidak apa, Paman. Memang
apa yang kau katakan benar adanya. Sabda seorang raja, tidak boleh ditarik
kembali. Maka itu, besok perintahkan sebar sayembara itu. Siapa pun orangnya,
berhak mengikuti sayembara ini" titah Baginda Prabu Awangga. Semua
terdiam, tak ada yang dapat lagi berkata-kata, termasuk Ki Samaika. Walau dalam
hati orang tua itu menyesalkan sabda Baginda Raja, tetapi sebagai seorang
penasihat dirinya tak mungkin menentang keputusan saja. Keputusan seorang raja,
merupakan hukum kuat yang harus dijalankan semua orang yang menjadi rakyat
kerajaan.
"Daulat, Baginda Segala
titah Baginda, akan segera hamba laksanakan," jawab Perdana Menteri Giri
Gantra sambil menyembah. Senyum tipis mengembang di bibirnya.
"Kurasa tak ada masalah
lagi. Maka itu, pertemuan saya tutup" kata Baginda Raja, kemudian berlalu
meninggalkan ruang pertemuan.
Satu persatu semuanya pergi,
kini di dalam ruang pertemuan tinggal lima orang sesepuh kerajaan yang masih
termenung. Mereka nampaknya masih memikirkan tentang keputusan baginda. Mulut
mereka bungkam. Hanya mata mereka yang dihias alis putih tampak saling
berpandangan satu sama lain.
***
6
Empat orang prajurit Kerajaan
Surya Langit nampak memacu kuda mereka yang berlari ke arah barat, menuju Desa
Kaliamba. Di tangan salah seorang prajurit yang paling depan, tergenggam
selembar gulungan kain. Keempatnya berhenti tepat di depan sebuah kedai.
Setelah menambatkan kuda, mereka langsung memasang gulungan kain yang
bertuliskan pengumuman pada pohon mangga di depan kedai itu Setelah memasang
pengumuman itu, keempat prajurit kerajaan segera meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang ada di kedai,
termasuk Pendekar Gila dan Mei Lie, keluar ingin tahu apa isi pengumuman itu.
"Kakang, nampaknya pihak
kerajaan tak suka dengan kedua lelaki bercadar itu," kata Mei Lie setelah
membaca isi pengumuman sayembara itu.
"Aha, kau benar.
Nampaknya kedua orang itu kini menjadi perhatian pihak kerajaan," gumam
Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Lalu, apa
yang harus kita lakukan, Kakang?" tanya Mei Lie.
"Kita?" gumam Sena
sambil mengerutkan kening. Kemudian terdengar tawanya yang lepas sambil
menggaruk-garuk kepala. Hal itu menjadikan Mei Lie cemberut "Lucu
sekali... Hi hi hi... Untuk apa kita mesti pusing-pusing? Kita belum jelas
masalahnya, Mei Lie." "Tapi, pihak kerajaan nampaknya sangat
membutuhkan pertolongan kita," tukas Mei Lie.
Pendekar Gila tak langsung
menjawab. Sesaat wajahnya nampak tercenung. Namun, kemudian kembali terdengar
suara tawanya yang nyaring. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat
semua orang yang melihat tingkah lakunya, memandang heran pada Pendekar Gila.
Namun Sena tak menghiraukannya. Mulutnya masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Ah, dunia ini memang
sulit...," gumamnya setengah mengeluh. "Kadang kala, orang benar
disalahkan. Tetapi, orang salah dibenarkan. Seperti hukum rimba. Kalau yang
kuat akan semakin di atas. Sedangkan yang lemah, akan semakin di bawah bahkan
terinjak." "Apa maksudmu, Kakang?" tanya Mei Lie belum memahami
ungkapan yang baru saja dikatakan Sena.
Mata gadis Cina yang cantik
itu, memandang lekat wajah kekasihnya yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala "Ah ah ah..., kadang aku bingung, atau memang aku
yang sudah gila? Hi hi hi... Lucu sekali" gumam Sena lagi sambil tertawa
cekikikan, "Gila...? Ah, memang aku ini gila Namun kurasa masih banyak
orang yang melebihi aku gilanya." "Aku tak mengerti, Kakang,"
keluh Mei Lie dengan kening masih mengerut, menyaksikan tingkah laku Pendekar
Gila. Tingkah laku dan ucapannya. Semakin aneh bagi Mei Lie. Kadang kala, mimik
muka Pendekar Gila tercenung. Tetapi sebentar kemudian tersenyum cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. "Inikah kehidupan yang beradab...?"
tanya Se-na, seperti bertanya pada diri sendiri. "Ah ah ah, sangat lucu
sekali Kadang orang menutupi kejahatan dengan kebaikan. Lucu... Hi hi
hi..." Mei Lie semakin tak mengerti dengan kata-kata yang diucapkan
Pendekar Gila. Dirinya memang belum begitu dalam menghayati kehidupan. Tidak
seperti Sena, yang telah lama menghayati kehidupan dengan berkelana. Perasaan
mereka pun berbeda. Mei Lie senantiasa cepat emosi dan tersinggung. Sebaliknya
Sena nampak tenang dan selalu berusaha memahami kejadian di sekitarnya dengan
pikiran tenang. Bahkan sekilas seperti bercanda. Cekikikan, cengengesan,
tertawa terbahak-bahak atau tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Mei Lie, kau baca sekali
lagi isi pengumuman itu Lalu resapilah maksudnya," ujar Sena seraya
menunjuk pengumuman sayembara itu.
Mei Lie menurut, dengan lafal
terputus-putus bahasanya dia membaca isi pengumuman itu.
Barang siapa yang dapat
menangkap hidup atau mati, penjahat-penjahat kerajaan yang telah membuat keonaran
dengan mencuri dan merampok beberapa orang pembesar kerajaan, maka akan
mendapat ganjaran dari Baginda Raja. Jika yang berhasil menangkap kedua maling
lelaki, akan dinikahkan dengan putri baginda yang kedua, Putri Dyah Ayu
Pitasari, adik Putri Dyah Sari Sekar Arum.
Kedua penjahat itu sangat
berbahaya jika dibiarkan. Terbukti sejak kemunculannya, telah meng-hambat
pembangunan jalan. Hal itu karena adanya kejadian yang menimpa Ki Durka Pela
dan Adipati Jata Sura yang bertanggung jawab dalam pembuatan jalan tersebut.
Baginda Raja Sutya Langit.
Prabu Awangga.
"Aha, bagaimana
menurutmu, Mei?" tanya Sena setelah melihat Mei Lie selesai membaca.
Mei Lie menggeleng-gelengkan
kepala. Pendekar Gila tersenyum cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Aku tak mengerti,
Kakang. Kurasa, pihak kerajaan benar," sahut Mei Lie, yang membuat
Pendekar Gila tertawa. Sepertinya ucapan Mei Lie lucu sekali.
"Hua ha ha..." Mei
Lie yang merasa ditertawakan merengut, Pendekar Gila menghentikan tawanya.
Kemudian dengan masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, Sena berujar.
"Ah ah ah..., kurasa kau
tak bisa menyalahkan dan membenarkan salah satu pihak, tanpa lebih dahulu
mengetahui masalah yang sebenarnya, Mei." "Lalu, apa yang harus kita
lakukan, Kakang?" tanya Mei Lie meminta saran, "Kalau kita hanya diam
kurasa pihak kerajaan akan menuduh kita bersekong-kol dengan mereka."
Pendekar Gila tidak langsung menjawab. Tangannya mencabut bulu burung yang
terselip di ikat pinggangnya. Kemudian dikoreknya telinga dengan bulu burung
itu. Mulutnya cengengesan, sedang matanya memandang ke atas.
"Ah ah ah, sulit...,
sulit memang Tapi kita harus bisa bertemu dengan kedua maling itu," ujar
Sena.
"Untuk apa, Kakang?"
"Aha, kurasa mereka melakukan pencurian dan membagi-bagikan harta hasil
curian pada penduduk, karena ada alasan tertentu, Mei," ujar Sena berusaha
menjelaskan. "Ah, lebih baik kita masuk ke kedai, daripada di sini terkena
terik matahari." Mei Lie pun menurut, melangkah seiring bersama kekasihnya
kembali ke dalam kedai. Keduanya baru saja hendak masuk, ketika dari arah timur
nampak dua orang lelaki satu menunggang kuda dan satunya lagi berjalan menuju
kedai.
Pendekar Gila dan Mei Lie tak
peduli dengan kedatangan kedua orang berwajah garang itu. Orang yang berjalan,
bertubuh tinggi besar seperti raksasa.
Dadanya berbulu lebat. Matanya
garang. Orang ini tak lain Buto Gege. Sedangkan orang yang naik kuda, meski
badannya besar, tetap tak sebesar dan setinggi manusia raksasa itu.
Penunggang kuda itu kalau dilihat
dari pakaiannya terbentuk jubah tentu seorang resi. Kepalanya botak plontos. Di
lehernya tergantung sebuah kalung tasbih besar. Dialah Resi Wisangkara, dari
Kuil Perak. Kuda yang ditungganginya terus melangkah ringan, seakan tak membawa
beban sama sekali.
Kedua tokoh hitam itu terus
menuju kedai di ujung Desa Kaliamba. Pendekar Gila dan Mei Lie nampak telah
berada di dalam kedai, seakan tak mempedulikan kedatangan dua lelaki bertubuh
besar itu.
Namun baru saja Pendekar Gila
dan Mei Lie hendak duduk, tiba-tiba keduanya disentakkan oleh suara keras dan
menggelegar laksana guruh.
"Di mana maling pengecut
itu? Hai..., katakan Di mana maling-maling tolol itu? Atau Buto Gege akan
memangsa kalian?" bentak Buto Gege sambil menyeringai, menunjukkan gigi-giginya
yang coklat menyeramkan. Matanya yang lebar, melotot menatap ke kedai.
Pendekar Gila karena terkejut,
mengurungkan niatnya untuk duduk. Matanya memandang keluar.
Terdengar suara tawa nyaring
dari mulutnya ketika melihat dua manusia besar itu membentak-bentak orang-orang
di kedai.
"Hua ha ha... Kau lihat
sendiri, Mei? Lucu sekali mereka itu. Mereka tak ubahnya cecurut besar yang
suka menjilat kotoran. Hua ha ha..." seru Sena sambil tertawa
terbahak-bahak. Hal itu tentu saja membuat kedua manusia besar di luar
tersentak kaget.
Seketika mata keduanya
memperhatikan ke dalam kedai, seakan ingin membuktikan orang yang berani
mentertawai mereka.
"Bocah gila Sinting...
Lancang sekali mulutmu Rupanya kau teman kedua maling tolol itu?" bentak
Resi Wisangkara dengan suara keras dan parau.
Hatinya marah mendengar ejekan
Pendekar Gila.
Sementara itu orang-orang yang
berada di dalam kedai tampak bingung dan serba salah. Mereka ketakutan dan
cemas menyaksikan kedua manusia bertubuh besar yang masih berada di luar kedai.
Namun untuk turut campur jelas tak ada yang berani.
Mata mereka silih berganti
memperhatikan pemuda gila yang berada di dalam kedai, lalu menoleh pada kedua
lelaki yang sedang marah-marah itu.
Para pengunjung kedai itu
merasa heran pula melihat keberanian pemuda gila mengejek Buto Gege dan Resi
Wisangkara. Namun semua hanya diam membisu, ketakutan. Tak ada yang menyahuti
katakata kedua orang besar itu.
"Hua ha ha... Lihat Mei
Lie, kurasa merekalah yang tolol Karena mereka menjilati kotoran. Hi hi
hi..." teriak Sena sambil tertawa-tawa dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Sikapnya yang konyol membuat Buto Gege dan Resi Wisangkara terbelalak
karena begitu marah. Hati mereka benar-benar tersinggung mendengar ucapan
seenaknya dari mulut pemuda bertingkah laku mirip orang gila itu.
"Grrr Keluarlah kau,
Bocah Sinting?" geram Buto Gege sambil mengayunkan martilnya yang besar
hingga menimbulkan angin. Lalu dengan kuat dihantamkan martil raksasa itu ke
kedai.
Wuttt Brakkk Kedai itu
porak-poranda terhantam Martil Dewa di tangan Buto Gege. Orang-orang di dalam
kedai berteriak-teriak ketakutan. Ada di antara mereka yang ter-luka, tertimpa
kayu bangunan. Bagi mereka yang telah lebih dulu lari menghindar tentu saja
selamat dari ke-jatuhan dinding kayu kedai itu. Sementara Pendekar Gila dan Mei
Lie yang telah melompat keluar tak terke-na hantaman Martil Dewa itu.
"Hua ha ha... Dasar
raksasa tolol" seru Sena sambil cengengesan. Kini tubuhnya telah berada
sepuluh tombak dari kedai yang hancur. "Ah ah ah, kurasa binatang hutan
ini harus dijinakkan, Mei?" "Kakang, apakah Kakang akan diam dan
menimbang-nimbang lagi jika sudah begini?" tanya Mei Lie nampak sudah tak
sabar. Matanya menatap tajam ke arah dua manusia besar yang kini melangkah menuju
ke arah mereka.
"Aha, kurasa tidak, Mei.
Jelas mereka mengajak kita main-main," jawab Sena sambil cengengesan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Aku juga muak melihat
kedua manusia sombong itu," rungut Mei Lie dengan pandangan penuh
kebencian terhadap dua manusia besar yang kelihatan angkuh. Seakan, keduanya
hendak menyombongkan diri, sehingga melangkah pun dengan cara membusungkan
dada.
"Aha, kurasa mereka
memang tikus-tikus sombong. Badan mereka saja yang besar, tetapi berotak
kerbau" ujar Pendekar Gila sambil tertawa-tawa. Hal itu sengaja untuk
memancing kemarahan kedua manusia besar itu.
"Kurang ajar Bocah gila,
jika kau ingin selamat, cepat katakan, di mana kedua maling itu berada?"
bentak Resi Wisangkara dengan menggeram marah. Tasbih besar yang tadi dikalungkan
di leher, kini telah berada di tangan kanannya. Setelah melompat dari kuda,
kakinya perlahan-lahan melangkah mendekati Pendekar Gila dan Mei Lie yang
berada di sebelah barat sepuluh tombak dari kedua lelaki besar itu.
"Hm... Grrr Rupanya
tulang tubuhmu minta kuremukkan, Bocah Edan" bentak Buto Gege marah merasa
dihina sebagai kerbau dungu. Martil Dewa di tangannya diputar dengan cepat
hingga mengeluarkan suara menderu-deru disertai angin.
Werrr Werrr
***
Buto Gege terus memutar Martil Dewa semakin
kencang. Angin yang keluar laksana topan. Orangorang yang terkena sambaran
angin dari Martil Dewa di tangan Buto Gege, seketika terpental seperti
dihem-paskan suatu kekuatan dahsyat. Kedai yang ambruk, turut tersapu angin
besar itu.
Werrr Werrr Srakkk Srakkk
"Hua ha ha...." Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak seperti merasa
ada sesuatu yang lucu. Tangannya terus menggaruk-garuk kepala. Buto Gege yang
merasa ditertawakan seperti itu meledaklah kemarahannya. Serta merta dipercepat
gerakan tangannya memutar Martil Dewa.
Werrr Werrr Angin pun menderu
bertambah kencang. Para pengunjung kedai sudah tak berani berada di dekat
kedai. Namun Pendekar Gila masih berdiri dengan suara tawanya yang semakin
keras. Seakan-akan angin besar itu tak berarti sama sekali baginya. Sementara
itu, Mei Lie tampak telah menggenggam erat-erat Pedang Bidadarinya, berusaha
menahan serangan kekuatan dahsyat dari Martil Dewa.
"Hua ha ha Lucu sekali
kau, Buto Tolol?" ejek Sena sambil terus tertawa terbahak-bahak dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Bahkan sesekali mulutnya terdengar
bernyanyi-nyanyi. Matanya memejam-mejam seperti hendak tidur. "Ah, segar
sekali Mengapa tak dari kemarin kau mengipas tubuhku ini? Hua ha ha... Hua ha
ha... Terus, putar terus kipasmu..." Buto Gege dan Resi Wisangkara
tersentak kaget menyaksikan Pendekar Gila tak terpengaruh sama sekali. Mata
mereka membelalak seakan tak percaya dengan apa yang mereka saksikan. Bagi
kedua manusia besar itu sungguh tak masuk akal. Tubuh pemuda berompi kulit ular
itu ternyata mampu bertahan terhadap serangan angin besar yang keluar dari
putaran Martil Dewa di tangan Buto Gege. Bahkan pemuda gila itu tertawa semakin
keras sambil memejam-mejamkan mata. "Bocah sombong Rupanya kau mencari
mampus, berani menghina Buto Gege" dengus Buto Gege sambil menghantamkan
martil raksasanya ke tubuh Pendekar Gila. "Remuk tubuhmu Heaaa..."
"Mei Lie, awaaas" teriak Sena mengingatkan kekasihnya yang langsung
melompat ke samping. Sementara dia sendiri langsung melenting ke atas.
Wuttt Glarrr...
Ledakan dahsyat menggelegar
terdengar, ketika Martil Dewa menghantam tanah. Tanah yang terkena hantaman
martil itu, hancur berhamburan menganga dan cukup dalam.
"Hua ha ha... Kau
benar-benar tolol, Buto? Kenapa tanah kosong kau hantam?" ejek Sena yang
telah bertengger di atas sebatang cabang pohon sambil masih terdengar pula
suara tawanya. Tingkah lakunya mirip seekor kera. Tangannya menggaruk-garuk
kepala. Sedangkan tubuhnya berjingkrak-jingkrakan. Sehingga dedaunan pohon itu
tampak bergetar.
"Kurang ajar"
"Kau hadapi dia, Buto Biar aku meringkus gadis cantik itu," seru Resi
Wisangkara sambil menatap Mei Lie. "Baik Tapi kalau berhasil, akulah yang
lebih dahulu" sahut Buto Gege sambil menolehkan kepala kepada Mei Lie yang
masih menggenggam erat pedangnya.
"Baik," sahut Resi
Wisangkara sambil tersenyum, kemudian dia segera melangkah ke arah Mei Lie yang
nampaknya sudah siap dengan sambutannya.
Mei Lie segera menggerakkan
Pedang Bidadarinya dengan jurus 'Tarian Bidadari'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana
menari.
"Hea" "He he
he... Nisanak lebih baik menyerah Kau akan kujadikan istriku yang ketiga kalau
kau mau menyerah," ujar Resi Wisangkara sambil terkekeh, merendahkan siapa
gadis yang hendak dihadapinya.
Bahkan resi dari Kuil Perak
itu nampak tenang, menganggap Mei Lie bukan lawan yang perlu ditakuti
"Huh, kalau memang aku kalah, aku rela mati di tanganmu" dengus Mei
Lie dengan sengit. Kemudian dengan masih bergerak menari, gadis itu mulai
melakukan serangan pada Resi Wisangkara.
"Heaaa..." Wut Wuttt
Pedang Bidadari yang mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan semakin mendekat
ke tubuh lawan. Lelaki tua berkepala botak itu tiba-tiba tersentak kaget.
"Heh?" Dengan mata terbelalak kaget, Resi Wisangkara melompat ke
belakang. Matanya memandang tajam, hampir tak percaya pada apa yang dialaminya
barusan. Dirinya tak menyangka, kalau gadis Cina di hadapannya ternyata bukan
gadis sembarangan. Terbukti dengan serangan yang hampir saja merenggut
nyawanya. Kalau saja kakinya tak segera melompat ke belakang, pedang Mei Lei
yang mampu menghancurkan tubuh lawan itu pasti membabatnya.
"Hm, rupanya kau bukan
gadis sembarangan, Nisanak? Baik, aku pun tak segan-segan meladenimu,"
kata Resi Wisangkara sambil memutar tasbih be-sarnya yang berwarna hijau.
Wrt Srakkk...
"Hm, memang itulah yang
kuinginkan, Resi Cabul Heaaa..." "Yea" Mei Lie segera melesat
dengan jurus 'Bidadari Menyentak Selendang'. Tangannya bergerak merentang dan
kaki kanannya diajukan. Kemudian dengan cepat, kedua tangannya yang merentang
bergerak menyerang. Pedang Bidadari di tangan kanannya terus berkelebat memburu
sasaran. Dari gerakan pedang itu keluar hawa panas.
Wuttt Wuttt "Aits"
Dengan cepat Resi Wisangkara merundukkan tubuh sambil menggeser kedudukan
kakinya tiga langkah ke kanan. Lalu dengan jurus 'Musang Menyelimut Tubuh',
lelaki tua berkepala botak itu membalas serangan. Dikibaskan dan diputar-putar
tasbihnya menyerang Mei Lie.
Wert Crakkk...
Cletarrr...
"Haits... Hea..."
Dengan memiringkan tubuh, Mei Lie mengelakkan sambaran tasbih hijau itu. Lalu
setelah berhasil lolos dari serangan lawan, dengan cepat Mei Lie melancarkan
tendangan kaki kiri ke dada lawan.
Melihat lawan menendang, Resi
Wisangkara segera memapakinya dengan pukulan tangan kiri. Namun, ternyata
tendangan yang dilakukan Mei Lie hanya se-bagai gerak tipu. Ketika lawan
menangkis, dengan cepat Mei Lie menarik serangan. Lalu tanpa diduga gadis
cantik berpakaian hijau itu melancarkan sebuah pukulan dahsyat.
"Hea" Wuttt
"Heh?" Resi Wisangkara yang tak menduga akan diserang begitu cepat,
berusaha mengelak. Namun gerakan tangan Mei Lie yang disertai pengerahan tenaga
dalam, datang lebih cepat. Tak ada kesempatan bagi lelaki berkepala botak itu
untuk mengelak. Yang dapat dilakukan hanya balas menyerang dengan tasbih
be-sarnya. Tanpa sungkan lagi, Resi Wisangkara segera mengibaskan tasbihnya ke
tangan Mei Lie.
"Hea" Melihat lawan
hendak menyerang dengan tasbihnya, Mei Lie segera menarik pukulan tangannya.
Kemudian sambil mengelit ke
samping dengan cepat dibabatkan Pedang Bidadari, memapak tasbih yang menderu di
atas kepalanya.
Jletarrr Prakkk Ledakan keras
memekakkan telinga terdengar ketika pedang Mei Lie berhasil menyambar tasbih
lawan. Prelll "Hah..." Mata Resi Wisangkara terbelalak kaget. Lelaki
besar berkepala botak dan bermuka bengis itu, melompat ke belakang. Matanya
memandangi tasbihnya yang hancur berantakan, terbabat pedang Mei Lie.
"Celaka Dia bukan gadis
biasa" gumam Resi Wisangkara dengan wajah menampakkan ketegangan.
Dia benar-benar tak menyangka
kalau tasbihnya yang merupakan senjata sakti dan terbuat dari batu-batu pualam
rontok terbabat pedang lawan.
Merasa tak unggulan menghadapi
gadis Cina itu, tanpa membuang waktu lagi Resi Wisangkara melesat kabur.
Wajahnya begitu pucat, setelah menyadari kalau lawan menghendaki biasa saja
menghabisi nyawanya. "Mungkinkah dia yang bernama Bidadari Pencabut
Nyawa?" gumam Resi Wisangkara sambil terus berlari, meninggalkan Mei Lie
yang tampak tersenyum.
"Celakalah aku kalau dia
benar-benar Bidadari Pencabut Nyawa" Sementara, Pendekar Gila yang
menghadapi Buto Gege masih bergerak ke sana kemari, mengelakkan
hantaman-hantaman Martil Dewa. Buto Gege tampaknya tak ingin lawan dapat
melakukan serangan balasan. Diserangnya terus Pendekar Gila tanpa henti.
Wrt Wrt Glarrr...
Brakkk Martil Dewa kembali
menghantam pohon, hingga hancur berantakan. Sedangkan Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... Aku di sini,
Buto Tolol" seru Sena sambil tertawa-tawa.
"Grrr Kurang ajar Remuk
tubuhmu" Buto Gege kembali menghantamkan Martil Dewa ke pohon tempat
Pendekar Gila bertengger. Namun dengan cepat pemuda itu melompat berpindah ke
pohon lain.
Wrt Brakkk "Hua ha ha...
Matamu buta, Raksasa Tolol.
Mengapa pohon kau
hantam?" ejek Sena sambil terta-wa. Tanpa diketahui tiba-tiba tubuhnya
telah bertengger di cabang pohon yang lain. "Ah ah ah... Tempatmu di
hutan. Tetapi, mengapa kau merusak pepohonan?" "Kurang ajar Kali ini
tak akan luput dari Martil Dewaku, Bocah Gila Hm... Hiaaa..." Buto Gege
yang marah karena sejak tadi diledek oleh Pendekar Gila, segera memutar Martil
Dewanya. Angin menderu-deru keras dan menggetarkan disertai hawa panas yang
menyengat. Semakin cepat Martil Dewa diputar, nampak martil itu mengalami
perubahan. Dari Martil itu, keluar lidah api.
"Heaaa" Wusss...
Melihat Buto Gege mengarahkan
lidah api yang keluar dari kepala martil dengan cepat Pendekar Gila
mengeluarkan ajian 'Inti Bayu'nya.
"Heaaa" Wusss
Wusss...
Besss...
Dua kekuatan sakti saling
bertemu. Api yang semula hendak menyerang ke tubuh Pendekar Gila, seketika
padam terhempas hawa dingin dari angin yang keluar dari ajian 'Inti Bayu'.
Disertai amarah meledak-ledak
Buto Gege memutar Martil Dewa dengan kekuatan tenaga dalam yang luar biasa.
Dari putaran senjata itu muncul angin dahsyat yang menghembuskan hawa dingin.
Orang-orang yang berada di sekitar tempat pertarungan merasa menggigil
kedinginan.
"Hi hi hi... Enak sekali
kipasmu," kata Sena sambil tertawa cekikikan "Ah, membuatku mengantuk
sekali." Dengan mata memejam-mejam seperti orang mengantuk, Pendekar Gila
mengerahkan tenaga in-tinya ke seluruh tubuh. Sehingga tubuhnya tidak merasa
dingin. Yang dirasakan hanya hawa sejuk.
"Kurang ajar Kuremukkan
tubuhmu, Bocah Gila" Buto Gege kini mengangkat martilnya tinggi-tinggi.
Kemudian dengan kuat dihantamkan martil besar itu ke tubuh lawan. Namun sebelum
senjata lawan sempat menerjang, dengan cepat Pendekar Gila mencabut Suling Naga
Saktinya. Dan secepat kilat pula disabetkan suling itu untuk menangkis Martil
Dewa.
Wrt Srt Trakkk
"Heh?" Membelalak mata Buto Gege, melihat suling di tangan Pendekar
Gila. Mulutnya menganga dan tubuhnya seketika menggigil bagai kedinginan,
"Kau? Kau Pendekar Gila...?" "Aha, kenapa tubuhmu Buto
Gege?" tanya Sena dengan mulut cengengesan Sedangkan tangannya masih menangkiskan
Suling Naga Sakti ke senjata lawan yang semakin lama semakin melemah.
"Tidak Ampuuun..."
teriak Buto Gege sambil menarik senjatanya. Kemudian manusia raksasa itu
berlutut, sambil melakukan sembah. Keadaan itu membuat Pendekar Gila dan Mei
Lie mengerutkan kening, tak mengerti mengapa manusia raksasa itu berbuat
begitu.
"Aha, kenapa kau seperti
dikejar setan, Raksasa?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya
menatap keheranan pada Buto Gege yang masih bersujud sambil meraung-raung bagaikan
ketakutan.
"Ampun, Tuan... Ampun...
Hukumlah hambamu yang bodoh dan dungu ini" Buto Gege terus meraung-raung
minta ampun sambil bersujud di depan Pendekar Gila. Seolah akan diterimanya
apapun hukuman dari Pendekar Gila.
Namun Pendekar Gila dan Mei Lie
masih tak mengerti, mengapa Buto Gege berlaku begitu.
"Ah ah ah, kau aneh
sekali, Raksasa? Aku..., aku tak mengerti dengan tingkahmu. Hi hi hi..."
Sena cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kenapa dia,
Kakang?" tanya Mei Lie yang juga heran melihat keganasan Buto Gege yang
tiba-tiba hilang. "Aha, mana aku tahu?" sahut Sena sambil cengengesan
dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. "Aha, bangunlah, dan ceritakan
mengapa kau ini" Dengan perlahan Buto Gege bangun. Kepalanya tertunduk,
tak berani memandang Pendekar Gila. Hal itu membuat Sena semakin tak mengerti.
Mulutnya semakin cengengesan.
"Aha, kenapa kau,
Raksasa?" tanya Sena.
Buto Gege sejenak melakukan
sembah sambil berdiri, kemudian dengan suara berat dan besar Buto Gege pun
menceritakan siapa dia sebenarnya. Dikatakan, bahwa dirinya saudara dari
Kemuning Wangi.
Kemuning Wangi adalah kekasih
dari Pendekar Gila.
Puluhan tahun yang silam,
keduanya menjalin cinta.
Keduanya saling menyayangi.
Namun cinta mereka kandas, setelah kehadiran Buto Gege.
"Aha, mengapa kau salah,
Raksasa. Aku bukan Pendekar Gila yang kau maksudkan. Aku hanyalah
muridnya," ujar Sena menjelaskan.
"Jadi, kau murid Kakang
Singo Edan?" tanya Buto Gege.
"Aha, benar" jawab
Sena.
"Oh, syukurlah kalau
begitu Walau kau muridnya, aku tetap mau meminta maaf padanya lewat kau. Aku
merasa bersalah. Karena semenjak kehadiranku, mengakibatkan kakakku menderita.
Sampaisampai kakakku tak mau melihat dunia lagi," tutur Buto Gege.
"Maksudmu?" tanya
Mei Lie menyala.
"Siapa dia, Pendekar...?"
tanya Buto Gege, seraya menoleh pada Mei Lie.
"Dia temanku, namanya Mei
Lie. Dan aku Sena Manggala," jawab Pendekar Gila memperkenalkan diri.
Buto Gege yang semula ganas,
kini menjura hormat pada Mei Lie dengan cara menganggukkan kepala. Kedua
telapak tangannya menyembah di depan dada. "Terimalah hormatku,
Nisanak" "Terima kasih," jawab Mei Lie.
Buto Gege pun menceritakan
peristiwa yang dialami puluhan tahun silam. Kejadian yang menyebabkan hubungan
Kemuning Wangi dengan Singo Edan putus. Ketika Buto Gege datang menemui
Kemuning Wangi, sang Kakak merasa malu memiliki adik seorang raksasa. Namun
Singo Edan berusaha meyakinkan Kemuning Wangi, agar mau menerima adiknya.
Kemuning Wangi mulanya hendak
menerima, namun kekerasan hatinya menolak. Apalagi setelah tahu adiknya
berhaluan sesat. Pertentangan antara Singo Edan dan Kemuning Wangi terjadi.
Sampai akhirnya Buto Gege menyangka kalau Singo Edan yang tak suka padanya.
Raksasa itu menantang Singo Edan bertarung.
Mulanya Singo Edan menolak.
Namun setelah diejek dan dituduh menyakiti hati Kemuning Wangi, akhirnya Singo
Edan menerima tantangan Buto Gege.
Mereka pun bertarung. Rupanya
ilmu Singo Edan jauh lebih tinggi daripada ilmu Buto Gege. Sehingga Buto Gege
dapat dikalahkan. Buto Gege dilemparkan ke Gunung Gelangan.
Sejak kejadian itu, Kemuning
Wangi justru menuduh Singo Edan tak punya perasaan dan tega melemparkan
adiknya. Kemuning Wangi pun akhirnya meninggalkan Singo Edan, untuk mencari
sang Adik.
"Kami benar-benar
menyesal, karena merasa benar sendiri. Penyesalan kami, benar-benar tak dapat
tuntas sebelum meminta ampun pada Kakang Singo Edan. Walau kakakku telah
membutakan matanya.
untuk tidak melihat dunia
lagi," kata Buto Gege mengakhiri ceritanya. Wajahnya nampak sedih.
Kepalanya ditundukkan dalam-dalam.
"Aha, kurasa guru pun
akan mengampuni kalian," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Terima kasih. Ku mohon
padamu, jika sampai di tempat gurumu, sampaikan permintaan maaf kami"
pinta Buto Gege penuh harap, "Kami benar-benar merasa tak akan pernah
tenang, sebelum Kakang Singo Edan memaafkan tindakan kami." Mei Lie yang
mendengar cerita Buto Gege, matanya tampak membasah. Hatinya turut iba, setelah
tahu bagaimana nasib manusia raksasa itu. Sementara Pendekar Gila kini nampak
mengulum bibir dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Sepertinya Pendekar Gila
pun turut merasa prihatin dengan nasib Buto Gege dan kekasih gurunya, Kemuning
Wangi.
"Itukah sebabnya Eyang
Guru tak menikah...?" tanya Sena dalam hati.
"Sena, aku harus segera
pergi. Hati-hatilah" ujar Buto Gege.
Setelah menjura, manusia
raksasa itu pun melangkah meninggalkan Pendekar Gila dan Mei Lie yang masih
terpaku memperhatikan sosok raksasa itu.
Langkah kaki Buto Gege, lima
kali langkah mereka.
Namun di balik tubuhnya yang besar,
tersembunyi duka dan kesedihan serta keburukan nasibnya.
Pendekar Gila
menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum cengengesan. Dimasukkan Suling
Naga Sakti ke ikat pinggangnya. Lalu dipandang wajah Mei Lie yang tersenyum,
sepertinya merasa tenang ada bersama sang Kekasih.
Keduanya saling pandang. Di
bibir mereka, mengurai senyum.
***
Malam kembali hadir dengan kegelapannya.
Suasana sunyi memperjelas
suara lolongan anjinganjing hutan yang semakin mencekam malam di Desa Sawangan
dan sekitarnya. Sehingga suasana mirip pedesaan yang mati. Seperti desa yang
tak berpenghuni.
Apalagi angin yang berhembus
agak kencang meniupkan hawa dingin. Dinginnya terasa menusuk ke tulang sumsum.
Sementara itu langit tampak mendung.
Kilat pun sesekali menyambar,
dengan sinarnya yang hanya sekejap menerangi bumi. Sesaat kemudian, terdengar
suara guruh di langit.
Hujan rintik-rintik mulai
membasahi bumi, bagaikan tangis Dewi Malam yang sedang dirundung duka. Angin
semakin kencang berhembus. Dan orangorang yang tidur, semakin terlelap dalam
mimpinya.
Di bawah rintik hujan gerimis,
dua sosok tubuh berlari-lari kecil berusaha mencari tempat berteduh.
Kedua orang itu, tak lain
Pendekar Gila dan Mei Lie.
Keduanya terus berlari-lari,
untuk mencari tempat berteduh. "Hujan sialan Dingin sekali, Kakang,"
keluh Mei Lie sambil berlari-lari mengikuti Pendekar Gila yang hanya tertawa
cekikikan.
"Aha, kenapa kau
memaki-maki hujan? Hi hi hi... Bagaimana kalau kita cari pohon saja yang
rindang?" ajak Sena sambil terus berlari ke timur, karena di sana nampak
banyak pepohonan besar.
Mei Lie tak menyahuti, kakinya
terus lari mengikuti langkah kaki Pendekar Gila. Keduanya sampai di bawah
sebatang pohon beringin yang besar.
"Bagaimana, Mei?"
tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ah, kenapa kau harus
kedinginan seperti ini?" "Aku tak apa-apa, Kakang. Bahkan kini merasa
lebih dekat dengan alam," sahut Mei Lie sambil mere-bahkan kepalanya di
pundak sang Kekasih.
Pendekar Gila dengan penuh
kasih sayang membelai rambut dan memeluk tubuh Mei Lie, berusaha agar gadis itu
tak merasa kedinginan. Suasana malam di bawah rinai gerimis dan hawa dingin
dirasakan begitu indah oleh Pendekar Gila dan Mei Lie. Paduan kasih sayang yang
mereka bina selama ini, kian menyentuh dan terasa di dalam alunan jiwa yang
bersih dan suci.
Pendekar Gila masih berdiri di
bawah pohon beringin besar itu, ketika dari arah timur nampak dua sosok
bayangan berlari-lari. Keduanya ternyata dua sosok tubuh. Di pundak mereka
terpanggul dua karung besar yang terus dibawa lari ke selatan.
"Kakang, lihat...
Bukankah itu orang yang dicari-cari pihak kerajaan?" ujar Mei Lie sambil
menunjuk dua orang bercadar yang di pundaknya memanggul kantung.
"Aha, kurasa benar, Mei.
Ayo, kita kejar mereka" ajak Sena.
Keduanya segera melesat
meninggalkan pohon beringin, memburu kedua lelaki bercadar yang membawa kantung
di pundak. Dengan mengerahkan ilmu lari, dalam sekejap mereka dapat menghadang
kedua lelaki bercadar.
"Berhenti" seru Mei
Lie, yang membuat kedua lelaki bercadar menghentikan langkah mereka. Mata kedua
maling budiman yang tiada lain Pangeran Prapanca dan temannya, Pranala
memandang tajam pada Mei Lie dan Pendekar Gila.
"Ada apa kalian
menghadangku?" tanya Pangeran Prapanca.
"Benarkah kalian yang
sering disebut maling budiman?" tanya Mei Lie.
"Ah, kurasa kami bukan
maling budiman. Kami hanya ingin membantu penduduk desa yang miskin, yang
haknya diambil oleh orang-orang kaya dan para pembesar," sahut Pangeran
Prapanca yang bercadar biru. "Apapun alasannya, kerajaan memerintahkan
untuk menangkap kalian," kata Mei Lie.
Kedua maling budiman saling
padang. Kemudian Pangeran Prapanca memandang lekat wajah Pendekar Gila yang
bertingkah laku aneh, membuatnya mengerutkan kening. Sepertinya Pangeran Prapanca
berusaha mengingat-ingat akan sesuatu.
"Jadi, kalian yang
disebut sebagai penegak kebenaran dan keadilan pun hendak menangkap kami?"
tanya Pangeran Prapanca setengah mengejek.
"Aha, lucu sekali
ucapanmu, Maling Budiman Meski kau mengatakan bertujuan baik, bagaimana mungkin
kami akan percaya dengan omongan kalian, jika sebagian muka kalian
ditutupi," ujar Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
"Cadar Biru, tak ada
waktu lagi untuk berteletele" ujar Pranala mengingatkan Pangeran Prapanca.
"Benar Kalian mau
apa?" tanya Pangeran Prapanca dengan tegas, "Apakah kalian pun akan
menangkap kami untuk mendapatkan hadiah dari Baginda Awangga? Silakan kalau
mampu" "Hm, begitu? Ah, sungguh lucu sekali Hi hi hi... Kisanak, kami
bukan atas dasar sayembara itu hendak menangkap kalian. Tetapi atas dasar
keadilan dan keamanan saja yang mendorong kami untuk menangkap kalian,"
ujar Sena berusaha menjelaskan apa yang menyebabkan dia turut berusaha
menangkap Sepasang Maling Budiman.
"Keadilan...? Hua ha
ha... Keamanan...?" Pangeran Prapanca tertawa terbahak-bahak, mendengar
Pendekar Gila menyebut keadilan dan keamanan. Diliriknya Pranala yang juga
tertawa.
"Hua ha ha..." Sena
tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat kedua maling budiman terdiam.
Keduanya kembali saling pandang, kemudian menatap wajah Pendekar Gila yang
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kisanak, kalau kau
mengatakan keadilan dan keamanan, keadilan macam apa? Keamanan macam apa?"
tanya Pangeran Prapanca.
"Ah ah ah, kenapa kau
tanyakan hal itu padaku?" tanya Sena. Tingkahnya masih cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. "Seharusnya, kalian tanyakan hal itu pada warga
yang merasa terganggu dengan perbuatan kalian." Pangeran Prapanca dan
Pranala kembali saling pandang, lalu kembali keduanya tertawa terbahakbahak.
Hal itu menjadikan Pendekar Gila turut tertawa keras sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Kisanak, tingkah lakumu
seperti orang gila.
Namun tutur katamu, sangat
pintar. Hm, meski aku belum kenal siapa kalian, tetapi kurasa kalian pendekar
yang berjiwa besar," tukas Pangeran Prapanca, "Kalau kau tidak
bertanya, maka kini aku ingin mengajukan pertanyaan pada kalian."
"Aha, kau lucu sekali, Kisanak," kata Sena sambil cengengesan.
"Tapi kalau memang itu maumu, katakanlah" "Kita terlalu
bertele-tele, Kakang. Mereka sudah ketahuan mencuri, mengapa kita masih
membiarkan?" kata Mei Lie tak sabar.
"Aha, tenanglah,
Mei," sahut Sena masih cengengesan. "Nah, Kisanak, katakanlah apa
yang akan kau tanyakan pada kami" Pangeran Prapanca sesaat terdiam.
Dipandangi tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu.
Bahkan dapat mengundang tawa.
Ditariknya napas dalam-dalam, lalu dengan masih memandang lekat pada wajah Sena
berkata.
"Kisanak, jika seandainya
Kisanak benar orang yang menjunjung kebenaran dan keadilan, kemudian melihat
ada yang tidak benar, bagaimana? Di sebuah kerajaan, rakyatnya menderita,
sementara orang-orang besar semakin sewenang-wenang, memperlakukan mereka.
Bahkan, rakyat dianggap sebagai manusiamanusia yang tak punya arti, apa
tindakanmu?" tanpa Pangeran Prapanca, yang menjadikan Pendekar Gila
mengerutkan kening. Dipandanginya Mei Lie yang juga terdiam. Kemudian nampak
mulutnya cengengesan lagi dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah... Jadi rupanya
kalian hendak berkedok dengan hal yang kalian katakan tadi? Kulihat rakyat di
sini tak menderita seperti yang kau katakan, Kisanak," sahut Sena
membantah penuturan Pangeran Prapanca.
"Itu karena kau tak
melihat kenyataannya, Kisanak. Kau tak melihat, bagaimana rakyat dipaksa
meninggalkan sawah atau pekarangan Kalian juga tidak melihat, bagaimana para
kuli dipaksa untuk menerima bayaran yang sangat rendah. Padahal menurut
perjanjian, para kuli dibayar sepuluh tail," tutur Pangeran Prapanca
dengan suara berapi-api, "Kalau kalian masih tidak percaya, kini kami siap
menghadapi kalian" "Alasan" dengus Mei Lie.
"Terserah apa yang kau
katakan, Nisanak" sahut Pangeran Prapanca.
"Baik, bersiaplah kalian
untuk kami tangkap" kata Mei Lie sambil bergerak menyerang Pangeran
Prapanca dan Pranala yang tersentak kaget.
Dengan cepat kedua lelaki
bercadar bergerak ke samping. Namun rupanya serangan Mei Lie tak berhenti
sampai di situ. Mei Lie kembali bergerak menyerang. "Tunggu Hentikan,
Mei" seru Sena yang membuat Mei Lie menghentikan serangan. Namun nampaknya
wajah gadis itu tak senang, kekasihnya melerai pertarungan.
"Ada apa lagi, Kakang?
Bukankah kedua maling ini sudah ketahuan belangnya?" tanya Mei Lie dengan
wajah bersungut.
"Aha, sabarlah sedikit,
Mei" Pendekar Gila kembali melangkahkan kakinya mendekati Pangeran
Prapanca. Tingkah lakunya masih kelihatan konyol, cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. "Aha, pertarungan tak akan membawa sebuah
persoalan menjadi selesai. Bahkan sebaliknya akan membuat masalah semakin
panjang" gumam Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Matanya memandang Pangeran
Prapanca dan Pranala, yang tertegun sejenak. Mereka tak menyangka, kalau pemuda
gila di hadapannya dapat bertutur kata dengan baik. Bahkan berbicara dengan
menggunakan filsafat. "Kisanak, didengar dari tutur katamu, kau orang yang
bijaksana," ujar Pangeran Prapanca polos.
"Namun, mengapa kau
sepertinya hendak menghalangi kami? Kami melakukan semua ini, untuk menolong
orang yang menderita. Kami mencuri pun bukan pada sembarang orang. Kamu mencuri
pada orang-orang yang kaya namun kikir. Atau pada pembesar yang culas, yang
suka memakan uang rakyat." "Aku tak percaya" seru Mei Lie.
"Itu terserah kalian. Mau
percaya atau tidak pada kami, tetapi Hyang Widhi-lah yang tahu semuanya,"
jawab Pangeran Prapanca tenang.
"Nisanak, kau dan
kekasihmu boleh mengikuti kami, jika belum juga percaya," Pranala yang
sedari tadi diam, kini angkat bicara.
"Benar Jika belum juga
yakin apa yang kami katakan, kalian boleh mengikuti kami Itu pun kalau kalian
benar-benar orang bijaksana, yang senantiasa mementingkan keadilan dan
kebenaran," sambung Pangeran Prapanca, setelah yakin kalau kedua pendekar
itu tak bermaksud menangkap mereka atas perintah kerajaan. Terbukti Pendekar
Gila malah mencegah Mei Lie meneruskan pertarungan.
"Aha, kalian jangan takut
Kami bukanlah orang-orang yang berkepala dua," ujar Sena sambil masih
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Hm, baik. Mari ikut
kami, untuk membuktikan kalau kami bukanlah berbuat atas dasar
keserakahan" ajak Pangeran Prapanca. Kemudian dengan diikuti Pendekar Gila
dan Mei Lie. Pangeran Prapanca dan Pranala pun melesat menuju Desa Sawangan.
Mereka segera menaruh harta curian di depan pintu rumah semua penduduk Desa
Sawangan.
***
Pendekar Gila dan Mei Lie yang sudah melihat
dengan mata kepala bagaimana sebenarnya Sepasang Maling Budiman itu, kini
percaya. Setelah selesai menaruh semua harta curian, mereka pun berlalu
meninggalkan Desa Sawangan. Keempatnya baru saja meninggalkan batas Desa
Sawangan, ketika tiba-tiba terdengar derap kaki kuda menuju tempat mereka. Pada
saat itu pula.
"Berhenti..."
Keempat orang itu seketika berhenti, membalikkan tubuh memandang ke tempat asal
suara. Nampak sepuluh orang berkuda mendekati mereka. Tiga di antara mereka,
merupakan orang-orang persilatan.
Tentunya mereka diutus Baginda
Raja Awangga untuk menangkap kedua maling budiman.
Tiga orang penunggang kuda
itu, satu di antaranya seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
Wajahnya masih cantik, matanya memandang dengan genit pada Pendekar Gila. Hal
itu membuat Mei Lie cemberut, cemburu, dan jengkel atas tingkah laku wanita
genit itu.
"Rupanya kita akan
menemukan kedua maling ini, Kakang Gagak Selo," ujar Gagak Praja, dengan
bibir mengurai senyum kecut senyum merendahkan kedua lelaki bercadar yang
diketahui sebagai maling budiman. "Benar, Adik. Rupanya keberuntungan ada
di tangan kita," sahut lelaki beralis naik dengan mata lebar. "Nyi
Roro Cenil kau kenalkah dengan kedua pemuda itu?" "Tidak Lagi pula,
kita tak punya urusan dengan mereka. Kita hanya akan menangkap kedua maling
itu," ujar Nyi Roro Cenil dengan senyum merekah di bibirnya. Matanya masih
memandang dengan genit Pendekar Gila yang cengengesan sambil menggarukgaruk
kepala.
"Hua ha ha... Lucu sekali
kalian semua. Bagaimanapun kami ini teman kedua Maling Budiman.
Kalau kalian mau menangkap
keduanya, bukankah itu sama saja kalian berurusan dengan kami?" ujar
Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya
melirik Mei Lie yang kelihatannya sudah jengkel atas tingkah laku Nyi Roro
Cenil yang genit dan nampaknya senang pada Pendekar Gila.
"Benar Dan kalau kalian
hendak menangkap keduanya, berarti kalian tak punya perasaan dan hanya mementingkan
diri sendiri" dengus Mei Lie sengit. Matanya kini memandang tajam penuh
kebencian pada Nyi Roro Cenil yang genit. Mei Lie benar-benar tak suka pada
wanita yang genit, karena khawatir kekasihnya akan dapat dirayu wanita genit
itu.
"Tapi, Kisanak. Kalian
tak tahu apa-apa. Kami yang berbuat," selak Pangeran Prapanca seakan-akan
menolak maksud Pendekar Gila.
"Aha, kau keliru,
Kisanak. Bukankah dengan menunjukkan apa yang kalian lakukan, berarti secara
tak langsung kalian telah percaya pada kami?" sahut Sena sambil masih
cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap wajah Pangeran
Prapanca dan Pranala.
"Bagus Jadi kalian pun
rupanya sama-sama maling yang harus ditangkap juga," bentak Gagak Selo.
"Prajurit, tangkap
mereka..." Mendengar perintah Gagak Pelo, tujuh orang prajurit langsung
mengurung keempat orang pendekar.
Serentak mereka menyerang
dengan pedang dan tombak yang menjadi senjata mereka.
"Heaaa..."
"Heaaa..." Mendapat serangan dari tujuh orang prajurit itu, keempat
pendekar itu tak mengalami kewalahan.
Meski masih mengandalkan
tangan kosong, mereka dapat menghadapi ketujuh orang lawannya yang bersenjata.
"Hea Hea..." "Hi hi hi..." Dengan tertawa cekikikan
Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan para prajurit. Tubuhnya meliuk-liuk
bagaikan menari, kemudian tangannya menepuk dengan pelahan ke tubuh lawan.
"Aha, kura-sa kalian harus istirahat, Kisanak
Tidurlah..." Dengan
gerakan aneh, Pendekar Gila menepukkan kedua tangannya ke dada kedua orang
prajurit kerajaan. Kedua orang prajurit tersentak. Mereka berusaha mengelak,
tetapi gerakan aneh yang dilakukan Pendekar Gila ternyata datang begitu cepat.
Padahal mereka baru saja melihat gerakan Pendekar Gila itu sangat pelan.
Plak Plak "Ukh"
Kedua prajurit terpekik, kemudian terdiam mematung tak mampu bergerak sedikit
pun. Sementara Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak dengan tingkah lakunya yang
konyol, menggelitik.
"Kurang ajar Rupanya
bocah gila itu bukan sembarangan, Kakang Kita harus menangkapnya," ka-ta
Gagak Sura. Kemudian kakinya melompat dari kuda, langsung menghadang dan
menyerang Pendekar Gila. "Heaaa..." Mendapat serangan dari Gagak
Sura, Pendekar Gila dengan cepat berkelit ke samping. Kemudian dengan masih
cengengesan, dibalas dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya
meliuk-liuk laksana menari sambil sesekali menyodokkan telapak tangan.
Gerakan tarian dan tepukan
tangannya nampak pelan, lemah, dan seperti tak bertenaga. Namun kenyataannya,
cukup membuat Gagak Sura tersentak kaget bukan kepalang.
"Gila..." pekik
Gagak Sura sambil melompat mundur. Matanya membelalak, hampir tak percaya
dengan apa yang baru saja hampir terjadi. Tepukan tangan Pendekar Gila nampak
pelan dan lemah, tetapi mampu mengeluarkan angin keras yang hampir menerjangnya.
"Celaka Dia bukan pemuda
gila biasa..." gumam lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan
muka garang. Matanya mengerut, dengan alis terjungkit ke atas.
"Hi hi hi..."
Pendekar Gila cekikikan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang
bertambah konyol, menjadikan lawan semakin mengerutkan kening. "Aha, kau
sangat lucu, Kisanak. Mu-kamu pucat seperti mayat" Diejek begitu rupa,
Gagak Sura menggeram marah. Kemudian dengan geram, dicabutnya pedang yang
bertengger di punggungnya.
Srattt "Bocah gila,
jangan kira kau mampu mengalahkanku Cabut senjatamu" tantang Gagak Sura
dengan penuh kemarahan, membuat Pendekar Gila kian tertawa terbahak-bahak.
"Hua ha ha... Senjata?
Ah, kedua tanganku adalah senjata. Kurasa kedua tangan dan kakiku, mampu
menghadapimu," sahut Sena sengaja berusaha terus memancing kemarahan
lawan.
"Sombong Jangan salahkan
kalau nyawa gilamu tercabut oleh pedangku" dengus Gagak Sura sengit.
Kemudian dengan cepat bergerak menyerang Pendekar Gila dengan pedangnya.
"Hi hi hi..." Sambil
tertawa cekikikan Pendekar Gila segera mengelitkan serangan pedang Gagak Sura.
Tubuhnya melenting ke atas, kemudian menyambar ke bawah sambil menukik. Itulah
jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', sebuah jurus yang menggunakan ilmu
meringankan tubuh sempurna, disertai tenaga dalam yang tinggi. Kalau tidak,
maka tubuhnya akan menukik dan jatuh ke tanah.
Semakin tersentak kaget Gagak
Sura, mendapatkan serangan yang sangat aneh itu. Hampir saja tubuhnya terkena
sambaran tangan dan jejakkan kaki Pendekar Gila, kalau tidak cepat melompat ke
belakang. "Gila Benar-benar jurus gila" rutuk Gagak Su-ra sambil
berjumpalitan beberapa kali, mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar
Gila. Namun ternyata jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', sangat cepat. Di
mata lawan gerakan itu tampak lamban dan lemah. Hingga....
Degkh "Ukh" Gagak
Sura memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata
terbelalak.
Dari mulutnya, menyembur darah
segar pertanda mengalami luka dalam. Dadanya yang terkena jejakkan kaki
Pendekar Gila terasa sangat sesak.
"Kau.... Hkkk....
Ukh" Gagak Sura ambruk pingsan.
Sementara itu, di pihak
Pangeran Prapanca dan Pranala yang dibantu Mei Lie pun dengan mudah mengalahkan
lawan-lawannya. Lima orang prajurit dan Gagak Selo serta Nyi Roro Cenil dapat
didesak. Bahkan lima orang prajurit, kini telah mengalami luka dalam akibat
pukulan dan hantaman ketiga orang pendekar.
Gagak Selo dan Nyi Roro Cenil
yang merasa tak mungkin menandingi, segera meninggalkan tempat itu.
Keduanya membiarkan
teman-temannya berjatuhan.
Digebah kuda mereka dengan
cepat, berusaha secepatnya meninggalkan tempat tersebut.
"Aha, kurasa kita harus
segera pergi dari sini," ajak Sena setelah kepergian dua orang kerajaan,
yang dapat mereka kalahkan. "Mereka pasti akan mengundang bala
bantuan." "Lalu, bagaimana dengan para prajurit ini, Kakang?"
tanya Mei Lie.
"Ah ah ah, biarkan saja
Ayo kita pergi" ajak Sena yang segera diikuti Mei Lie dan Pangeran
Prapanca serta Pranala. Mereka lari ke arah barat, menembus kegelapan malam
***
8
Pagi nampak sangat cerah,
dengan sinar matahari yang terasa hangat di kulit. Di sebuah bangunan bilik
yang terletak di tengah hutan bambu, nampak empat orang sedang duduk-duduk
bersila beralaskan tikar pandan. Keempat orang itu, tiga lelaki dan seorang
lagi wanita. Mereka tak lain Pangeran Prapanca, Pranala, dan Pendekar Gila
serta si Bidadari Pencabut Nyawa. Keempat pendekar itu, nampaknya tengah
mengadakan pembicaraan yang serius. Pangeran Prapanca sepertinya sedang
menuturkan sesuatu pada Pendekar Gila. Cadar yang biasa dikenakan, kini telah
terbuka. Sehingga nampaklah seraut wajah tampan, dengan hiasan kumis tipis.
Wajahnya yang bersih, menunjukkan kalau Pangeran Prapanca bukanlah orang
kebanyakan.
Di samping Pangeran Prapanca,
duduk Pranala.
Lelaki muda yang berusia
sekitar dua puluh empat tahun ini pun berwajah tampan. Hidungnya mancung,
dengan lesung pipit pada kedua pipinya. Senyumnya menawan. Namun nampak
ketegasan dari sorot matanya. "Kami merupakan kawan akrab sejak kecil,
yang juga saudara seperguruan," kata Pangeran Prapanca membuka
pembicaraan, setelah Pendekar Gila dan Mei Lie bertanya siapa mereka
sebenarnya, "Lima belas tahun yang lalu, ketika ayahku masih bertahta
sebagai raja, aku dititipkan pada Resi Sureng Pari untuk dididik dari diajarkan
ilmu." Pangeran Prapanca pun dengan nada sendu, akhirnya menceritakan
semua yang terjadi dan mengapa dirinya bersama Pranala melakukan tindakan yang
telah diketahui Pendekar Gila.
Hari demi hari Pangeran
Prapanca dan Pranala dididik dan digembleng oleh Resi Sureng Pari. Semua ilmu
yang dimiliki Resi Sureng Pari, diturunkan pada Pangeran Prapanca dan Pranala.
Baik ilmu bela diri, ilmu tata negara, maupun ilmu kesusastraan.
Sampai pada suatu hari, ketika
Resi Sureng Pari pulang dari Kota Praja, wajahnya tampak bermuram durja.
Keadaan yang tak seperti biasanya itu membuat Pangeran Prapanca heran. Kemudian
dengan penuh hormat, pemuda itu memberanikan diri bertanya kepada sang Guru.
"Ampun, Guru Jika Guru
berkenan, aku hendak bertanya." Resi Sureng Pari memandang dengan tatapan
iba pada muridnya yang sudah berusia dua puluh tahun. Dihelanya napas
dalam-dalam. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala, sepertinya sang Resi sangat
berat untuk menuturkan apa yang sebenarnya terjadi.
"Guru, kalau pertanyaanku
membuat Guru sedih, aku siap dihukum," kata Pangeran Prapanca sambil
menyembah, menunjukkan betapa hormat Pangeran Prapanca terhadap Resi Sureng
Pari.
"Tidak, Anakku. Bangunlah
dan duduklah" ka-ta Resi Sureng Pari sambil memegang pundak Pangeran
Prapanca dan membantu pemuda itu duduk di hadapannya.
"Guru, apa sebenarnya
yang terjadi?" tanya Pangeran Prapanca semakin ingin tahu, mengapa gurunya
yang baru datang dari Kota Praja tiba-tiba bermuram durja. Sepertinya ada
berita buruk yang dibawanya dari kota.
"Anakku tabahkanlah
hatimu" hanya kata itu yang terucap dari mulut Resi Sureng Pari. Mata
lelaki tua berjenggot panjang itu tampak mulai berkaca-kaca, berusaha menahan
tangis.
"Guru, katakanlah, apa
yang sebenarnya terjadi" pinta Pangeran Prapanca semakin penasaran ingin
tahu, apa yang terpendam dalam hati gurunya.
Resi Sureng Pad membelai-belai
jenggotnya.
Kemudian dipegangnya pundak
Pangeran Prapanca, seraya menarik napas dalam-dalam, seakan hendak membuang
kegundahan di hatinya. Matanya yang bening menatap lurus ke depan, menyiratkan
kebimbangan di hatinya. Bibirnya bergerak-gerak, sepertinya hendak berbicara.
Namun nampaknya sulit. Seakan ada ganjalan yang menyumbat mulutnya untuk
membuka kata.
Pangeran Prapanca yang
menyaksikan kesedihan di wajah gurunya, hanya mampu diam membisu.
Matanya memandang lekat ke
wajah gurunya. Ingin sekali Pangeran Prapanca bertanya. Namun dirinya pun
merasa tak kuasa. Hatinya melarang untuk bertanya. Hatinya memerintahkan agar
diam, menunggu apa yang akan dikatakan sang Guru.
Lama Pangeran Prapanca
menunggu apa yang bakal dikatakan Resi Sureng Pari. Suasana hening menyelimuti
kedua guru dan murid itu.
"Anakku, kuharap kau
tabah mendengar berita yang baru saja kuterima di Kota Praja," kata Resi Sureng
Pari masih dengan wajah duka. Hal itu membuat Pangeran Prapanca mengerutkan
kening, tak mengerti mengapa dengan gurunya. Dan bertanya apa yang disampaikan
sang Guru padanya.
"Guru, kalau boleh aku
tahu, berita apa yang Guru terima? Apakah mengenai ayahanda? Atau ibunda dan
adik-adik di istana?" tanya Pangeran Prapanca tak sabar ingin segera tahu.
Resi Sureng Pati menganggukkan
kepala. "Kenapa mereka, Guru?" desak Pangeran Prapanca ingin tahu.
"Anakku, di kerajaan telah terjadi pemberontakan oleh orang-orang yang tak
suka terhadap kepemimpinan ayahandamu. Menurut kabar, keluargamu mati semua.
Beruntung pamanmu dapat segera menangani kakacauan itu. Pamanmu dengan dibantu
Perdana Menteri Giri Gantra, segera melakukan penumpasan terhadap para pemberontak.
Maka dalam waktu singkat pemerintah dapat diambil alih dari para
pemberontak," tutur Resi Sureng Pari dengan sedih.
"Jadi...," Pangeran
Prapanca belum selesai berbicara, ketika Resi Sureng Pari telah mendahuluinya.
"Benar, Anakku,"
selak Resi Sureng Pari, "Namun, aku merasa belum yakin dengan berita yang
disampaikan Perdana Menteri Giri Gantra itu." "Mengapa, Guru?"
tanya Pangeran Prapanca ingin tahu. Ditatapnya wajah sang Guru dengan penuh
harap, agar mau menceritakan segalanya secara gamblang. Pangeran Prapanca
mengharap, gurunya mau membuka tabir rahasia yang nampaknya tengah menyelimuti
Kerajaan Surya Langit Kalau memang sang Ayah masih hidup, dia akan berusaha
mencarinya.
Namun jika telah mati, maka
dia pun harus melihat kuburannya.
"Ada keanehannya,"
gumam Resi Sureng Pari.
"Maksud Guru?"
"Makam keluargamu tak ada." "Apakah paman tak mengetahui mayat
keluargaku?" "Entahlah, Anakku. Itulah yang kumaksudkan.
Semuanya sangat aneh dan tak
masuk akal. Kulihat, keadaan Kota Praja masih seperti dulu, tenang. Rasanya
sangat sulit, kita bayangkan kalau telah terjadi pemberontakan," gumam
Resi Sureng Pari sambil membelai-belai jenggotnya yang panjang.
"Lalu apa yang meski
kulakukan, Guru?" Resi Sureng Pari sesaat terdiam. Sepertinya sang Resi
sedang memikirkan bagaimana untuk mencari jalan guna menyingkap rahasia yang
menyelimuti Kerajaan Surya Langit.
"Anakku...," desis
Resi Sureng Pari.
"Saya, Guru."
"Sebagai putra mahkota, kau tak boleh tinggal diam mendengar kejadian ini.
Kau harus berusaha mencari tahu, apa sebenarnya yang terjadi. Namun, kurasa kau
akan mengalami kesulitan. Maka itu, jika kau hendak turun gunung dan berusaha
mencari bukti, kau harus hati-hati. Menyamarlah Bantulah rakyatmu yang kau
lihat sangat menderita." "Menderita?" pekik Pangeran Prapanca
tanpa sadar dengan mata membelalak, seakan tak percaya dengan apa yang baru
saja dikatakan gurunya. Wajahnya seketika membara. Matanya berlinang-linang
sedih.
"Ya, menderita."
"Bagaimana mungkin, Guru? Ketika ayahanda masih bertahta, rakyat sangat
makmur. Kemiskinan dapat diberantas. Mengapa sekarang justru sebaliknya?"
tanya Pangeran Prapanca sambil berlinang air mata. Kepalanya menggeleng-geleng,
seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Begitulah keadaannya,
Anakku. Aku pun tak tahu, mengapa begitu," gumam Resi Sureng Pari setengah
mengeluh, diikuti desah nafasnya yang berat.
"Hhh... Kasihan"
gumam Pangeran Prapanca lirih. "Bukan hanya kasihan, Anakku. Tetapi sangat
menyedihkan," kata Resi Sureng Pari dengan suara lirih pula. "Kini rakyat
sangat mengharapkan kehadiran penolongnya." "Apa yang sebenarnya
telah terjadi, Guru?" "Penyiksaan. Penindasan terhadap rakyat,"
jawab Resi Sureng Pari masih dengan mata berkacakaca. Orang tua berjubah putih
ala resi ini, tak sanggup menyaksikan penderitaan rakyat Kerajaan Surya Langit,
"Memang sepintas orang akan melihat bahwa kerajaan makmur, karena
banyaknya pembangunan.
Tetapi kenyataannya, rakyatlah
yang menderita. Mereka dipaksa untuk menjual tanahnya dengan harga yang
serendah mungkin. Rakyat diperintah untuk hidup hemat, sementara orang-orang
besar hidup bermewah-mewah. Bahkan mereka bersenang-senang di atas penderitaan
rakyat. Mereka memelihara gunduk bukan hanya satu, tetapi empat atau
lima." Pangeran Prapanca tanpa sadar mengepalkan tinjunya. Jiwanya
menggelora, setelah mendengar penuturan sang Guru. Hatinya benar-benar marah.
Kalau saja hanya keluarganya yang menjadi korban, mungkin tidaklah seperti itu
kemarahannya. Namun ini rakyat, yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban.
Keji Sangat keji perbuatan itu. Di atas penderitaan rakyat, orang-orang yang
mengaku sebagai pemimpin, dan orang pintar, justru berpesta-pora.
Menghambur-hamburkan uang mereka, untuk bersenangsenang dengan gundik-gundik
jelita.
"Guru, izinkanlah aku
turun Bagaimanapun aku tak tega jika rakyat harus menderita seperti itu.
Ini harus dihentikan,
Guru" "Aku tahu, Anakku. Tetapi, kita tak mungkin melakukan seorang
diri. Kita lemah," desah sedih Resi Sureng Pari, "Kalau kau memang
mau turun gunung, aku merestui. Tolonglah rakyat Kerajaan Surya Langit yang
menderita. Tegakan kebenaran dan keadilan. Satu hal yang harus kau ingat,
jangan kau menampakkan diri. Karena hal itu akan membahayakan dirimu."
"Kenapa, Guru?" tanya Pangeran Prapanca ingin tahu.
"Dengan kehadiranmu, rakyat
tentu sangat mengharapkan kau mau menjadi raja. Ketika itu bukan tak mungkin
ada orang yang menginginkan kematianmu, Anakku," kata Resi Sureng Pari
menasihati sang Murid.
"Baiklah, Guru. Muridmu
akan selalu ingat." "Satu hal lagi yang harus kau perhatikan,
Anakku." "Kalau aku boleh tahu, apa itu, Guru?" tanya Pangeran
Prapanca.
"Menurut kabar yang
kudengar, sekarang telah muncul seorang pendekar yang usianya sebaya dengan
usiamu, Anakku. Dia terkenal dengan sebutan Pendekar Gila. Dia penegak kebenaran
dan keadilan. Selain itu, ada seorang wanita yang mungkin usianya sebaya
denganmu dan dia merupakan kekasih dari Pendekar Gila. Dia bernama Mei Lie,
atau lebih dikenal dengan sebutan Bidadari Pencabut Nyawa. Kalau kau bertemu
dengan mereka, usahakan jangan sampai bentrok. Karena ilmu mereka sangat
tinggi. Bahkan aku pun belum apa-apa dibandingkan dengan mereka. Mintalah
bantuan mereka Kuharap mereka akan mau membantumu." "Baiklah, Guru.
Semua petuah yang Guru berikan, akan aku ingat" Keesokkan harinya, Pangeran
Prapanca bermaksud meninggalkan perguruan. Saat itu, Pranala yang melihat kakak
seperguruannya hendak pergi, meminta pada Resi Sureng Pari agar diizinkan ikut
ser-ta.
"Guru, izinkanlah murid
menemani Kakang Prapanca" "Kalau memang itu kehendakmu, ikutlah
Temani kakakmu dalam suka dan duka," pesan Resi Sureng Pari.
"Baik, Guru." Hari
itu, kedua kakak beradik seperguruan pun melakukan perjalanan untuk melihat apa
yang sebenarnya tengah terjadi di Kerajaan Surya Langit "Apa yang
dikatakan guru, ternyata benar," desah Pangeran Prapanca mengakhiri
ceritanya. "Penindasan, dan kesewenang-wenangan terjadi di sana sini.
Akhirnya, kami bersepakat
mencuri, lalu hasilnya kami bagikan pada rakyat yang menderita." Pendekar
Gila menarik napas dalam-dalam.
Ada perasaan sedih di
wajahnya. Namun tingkah lakunya yang konyol, kembali muncul. Mulutnya
cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan Mei Lie, kini
kelihatannya terhanyut dalam cerita yang tadi disampaikan Pangeran Prapanca.
"Aha, jadi kalian murid
Resi Sureng Pari?" tanya Pendekar Gila, dengan tingkah lakunya yang masih
konyol. Mulutnya cengengesan, sedangkan jari tangannya menyentil-nyentil
serabut tikar yang mencuat ke atas.
"Begitulah, Tuan,"
jawab Pangeran Prapanca.
"Ah ah ah, jangan kau sebut
aku 'tuan'. Namaku Sena," sahut Pendekar Gila memperkenalkan diri.
"Oh, sudah kuduga, kalau
Tuan-lah Pendekar Gila yang dimaksudkan guru. Dan tentunya, Nisanak ini pasti
Mei Lie atau Bidadari Pencabut Nyawa," kata Pangeran Prapanca.
"Hi hi hi... Dan
tentunya, kau Pangeran Prapanca, bukan?" tebak Sena.
"Pranala. Hua ha
ha..." lanjutnya sambil menuding Pranala.
Betapa senangnya Pangeran
Prapanca, setelah tahu kalau kini sedang berhadap-hadapan dengan Pendekar Gila.
Tak terkira rasa terharu, di dalam hati putra mahkota itu. Dipeluknya Pendekar
Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tuan Pendekar, tolonglah
rakyatku" harap Pangeran Prapanca.
"Ah ah ah, mengapa kau
seperti anak kecil, Pangeran? Bangunlah Lucu sekali, kalau seorang pendekar
menangis seperti anak kecil. Tak layak, meratap memelas meminta
dikasihani," ujar Pendekar Gi-la sambil berusaha membantu Pangeran
Prapanca bangun. "Pangeran, kebenaran dan keadilan, senantiasa dalam
lingkungan Hyang Widhi. Aku, dan Mei Lie akan membantumu. Kau tetaplah
berjuang, membantu rakyat yang menderita Kami berdua, akan turut di belakangmu.
Kita bangkitkan semangat rakyat" "Oh, terima kasih, Tuan."
"Sena," sahut Pendekar Gila.
"Terima kasih, Sena, Mei
Lie. Sungguh tak terkira bahagianya hatiku, mendengar kalian bersedia
membantuku," ujar Pangeran Prapanca sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Matanya menatap penuh persahabatan pada Pendekar Gila dan Mei Lie, yang
tersenyum saling pandang.
"Kurasa, bukan kami
berdua saja yang akan membantumu, Pangeran. Buto Gege pun, akan kuminta
bantuannya. Kuharap dia bersedia membantu kita Mei Lie dan aku, akan berusaha
menghimpun para pendekar," ujar Sena.
"Terima kasih..., terima
kasih...." "Eh eh eh, aku bukanlah raja yang harus disembah,"
kata Sena sambil membangunkan Pangeran Prapanca dan Pranala yang hendak
menyembah. "Sebagai kawan, sepantasnya aku berjuang demi rakyat kerajaan
mu, tanpa pamrih," ujarnya kemudian.
Pangeran Prapanca dan Pranala
terpaku mendengar penuturan Pendekar Gila. Mata mereka memandang pemuda
bertingkah seperti orang gila itu.
Sedangkan mulut mereka melongo
bengong. Tak menyangka, kalau mereka akan mendengar petuah yang begitu
bijaksana dari seorang pemuda sebayanya yang bertingkah laku gila.
"Oh, kau benar-benar
seorang kawan sejati, Sena. Betapa kecil dan tak berartinya diriku,
dibandingkan dengan kalian," kata Pangeran Prapanca dengan senyum
mengembang di bibirnya.
"Ah..., tidak
Pangeran," kilah Mei Lie yang sedari tadi masih diam dengan senyum
mengembang, yang menjadikannya semakin bertambah cantik. "Semua manusia
sama, ada kelebihan dan ada kekurangannya." "Benar apa yang kau
katakan, Mei Lie. Sungguh beruntung sekali, aku menemukan kawan-kawan yang
berjiwa besar," gumam Pangeran Prapanca sambil melirik pada Pranala yang juga
tersenyum. "Kurasa, ki-ta harus merayakan pertemuan ini. Pranala, apakah
arak masih ada?" "Masih, Kakang," jawab Pranala.
"Ambillah Kita rayakan
persahabatan ini," perintah Pangeran Prapanca pada saudara seperguruannya
yang juga merupakan sahabat sejak kecil itu.
"Baik, Kakang."
Pranala pun segera berlalu meninggalkan mereka untuk mengambil guci-guci arak.
Tidak lama kemudian, Pranala
telah keluar membawa empat guci yang berisi arak. Ditaruhnya keempat guci itu
di atas tikar daun pandan.
"Mari, saudara Sena dan
Mei Lie Sebagai tanda persaudaraan kita, kita rayakan dengan meminum arak"
ajak Pangeran Prapanca.
"Mari" jawab Mei Lie
dan Sena bareng.
Namun tiba-tiba dari luar
terdengar bentakan keras, yang menyebabkan mereka mengurungkan meminum arak.
"Orang-orang pengacau
Keluar kalian Tempat kalian telah kami kepung..." "Heh?" Sena
tersentak.
"Hah?"
***
Keempat pendekar itu segera menaruh guci arak
di atas tikar. Mata mereka terbelalak saling pandang. Pendekar Gila cengengesan
sambil menggarukgaruk kepala. Sepertinya pemuda itu tak merasa takut sedikit
pun. Bahkan kini terdengar gelak tawanya memecah keheningan.
"Hua ha ha... Orang-orang
tolol yang ada di luar. Kalau kalian mau ikut pesta, masuklah" seru Sena
sambil memberi kode pada ketiga orang temannya yang mengangguk mengerti.
"Cuih Bocah gila dari
mana yang berani berkoar?" terdengar suara mendengus marah.
"Prajurit, serang mereka" Sena cengengesan dengan tangan
menggarukgaruk kepala.
"Aha, kita akan berpesta
besar, Kawan. Bersiaplah menyambut lalat-lalat sombong itu" ujar Sena.
Srt Srt Pangeran Prapanca dan
Pranala segera mencabut pedang mereka. Sementara Pendekar Gila dan Mei Lie
nampak masih tenang, mengintai keluar. Nampak sepuluh prajurit dengan senjata
siap di tangan, berlari ke gubuk tempat keempat pendekar muda berada.
"Seraaang..."
Terdengar seruan dari luar, memerintah pada prajurit untuk melakukan serangan.
"Aha, kita akan mulai
pesta, Kawan" Dengan cepat Pendekar Gila membuka pintu itu. Kemudian
dengan cepat pula dihantamkan pukulan jarak jauh. Begitu pula dengan Mei Lie,
langsung menghantamkan pukulan jarak jauhnya yang tak kalah dahsyat.
"Hea"
"Yea" Angin kencang melesat cepat memburu sepuluh prajurit yang
hendak menyerang ke gubuk. Angin itu, keluar dari pukulan yang dilontarkan
Pendekar Gila.
Dibarengi larikan sinar merah
kuning yang panas, yang keluar dari hantaman tangan Mei Lie.
Zrt Srt Prattts
"Akh..." sepuluh orang prajurit langsung memekik. Ada yang terpental
ke belakang kemudian membentur pepohonan. Ada yang terbakar dan hangus. Dalam
sekejap saja, tubuh mereka berhamburan tak menentu arah. Hal itu membuat
Perdana Menteri Giri Gantra yang memimpin langsung penyerbuan dengan dibantu
beberapa tokoh hitam, semakin bertambah marah.
"Kurang ajar
Seraaang..." teriak Perdana Menteri Giri Gantra sambil menggerakkan
tangan. Seketika para prajurit kerajaan yang berjumlah dua puluh orang
melakukan serangan susulan.
Kedua puluh orang prajurit
itu, langsung menyerbu dengan senjata diayun-ayunkan. Sementara Perdana Menteri
Giri Gantra, dengan senyum sinis seperti yakin akan menang duduk di atas kuda
dengan angkuhnya. Di samping kanan dan kirinya, duduk di punggung kuda dua
tokoh aliran hitam. Keduanya tak lain Ki Naga Wilis dan Panglima Utama Rawa
Sekti.
Di belakang mereka, juga menunggang
kuda empat tokoh dunia persilatan. Mereka tak lain, Nyi Ro-ro Cenil, Tirta
Kayonan atau si Pisau Maut, Gagak Selo, dan Resi Wisangkara. Sementara Buto
Gege tak nampak bersama mereka. Nampaknya sejak pertemuan dengan Pendekar Gila,
manusia raksasa itu tak mau lagi membantu pihak kerajaan. Karena dirinya tahu,
akan berhadapan dengan Pendekar Gila yang ilmu kesaktiannya tentu sama dengan
kesaktian gurunya, Singo Edan.
Sementara Pendekar Gila yang
melihat dua puluh prajurit menyerang, tak mau diam begitu saja. Segera
dicabutnya Suling Naga Sakti. Begitu juga dengan Mei Lie. Gadis itu segera
mencabut Pedang Bidadarinya. "Aha, mendekatlah, Tikus-tikus Tolol Kita
pesta bersama" seru Sena.
"Kita harus menghadang
mereka, Kakang" ujar Mei Lie. "Kau takut?" tanya Sena.
"Tidak" jawab Mei
Lie.
"Aha, bagus Sebagai calon
istriku, kau tak boleh takut," kata Sena yang membuat pipi Mei Lie me-rona
merah karena malu. Sebab di situ ada Pangeran Prapanca dan Pranala, yang tampak
tersenyumsenyum mendengar ucapan Pendekar Gila.
"Sena, mereka semakin
dekat" seru Pangeran Prapanca mengingatkan.
"Aha, kita ladeni
mereka" sahut Pendekar Gila dengan cengengesan dan tangan menggaruk-garuk
kepala. Kemudian dengan berjingkrak seperti seekor kera Pendekar Gila,
melangkah keluar diikuti Mei Lie dan Pangeran Prapanca dan Pranala.
"Heaaa..." Trang
Trang Prakkk Pertarungan seru antara keempat pendekar melawan para prajurit
kerajaan pun tak terelakkan. Dalam sekejap saja, mereka telah terlibat dalam
pertempuran sengit. Suasana hutan bambu yang semula sepi, seketika berubah
hiruk-pikuk. Suara jeritan dan pekikan keras terdengar ditingkahi pula
dentangan nyaring pedang dan golok atau tombak saling beradu. Pepohonan bambu
morat-marit bertumbangan terterjang dan terbabat senjata yang saling dikerahkan
dengan tenaga dalam. "Heaaa..." "Hi hi hi... Kurasa pesta akan
semakin meriah, Kawan," kata Pendekar Gila sambil cengengesan. Tangannya
yang memegang Suling Naga Sakti, tak hentihentinya menyambar ke tubuh lawan.
Ucapannya ditujukan pada Pangeran Prapanca yang sudah mengenakan kembali cadar
birunya, sehingga tidak dapat dikenali. Pendekar Gila dengan jurus 'Gila
Terbang Menyambar Mangsa', melesat ke sana kemari sambil membabatkan sulingnya.
Sebentar kemudian tampak tubuhnya telah berayun-ayun di pohon-pohon bambu,
mirip kera. Sementara tak henti-henti sulingnya dipukulkan ke kepala lawan yang
berusaha menyerang.
Mulutnya terus tertawa
terbahak-bahak jika melihat lawan terpental lalu pingsan tersambar senjatanya
yang terus berkelebat.
"Hi hi hi... Kawan,
puaskan hatimu berpesta" seru Sena pada Pangeran Prapanca dan Pranala yang
menyerang lawan-lawannya tak kalah ganas. Pedang di tangan mereka, bergerak
cepat membabat Setiap babatan pedang mereka, membuat nyawa prajurit melayang.
"Hea" Wrt Crab
"Akh..." dua orang prajurit terjungkal terbabat pedang di tangan
Pangeran Prapanca dan Pranala.
Mei Lie pun yang dekat dengan
Pendekar Gila, bagaikan harimau betina yang garang. Julukannya sebagai Bidadari
Pencabut Nyawa ternyata bukan julukan kosong. Sekali tangannya bergerak
menggunakan jurus 'Tebasan Bidadari Menyapu Jagad' sangat dahsyat. Sekali
pedangnya bergerak, lima prajurit terpekik keras dengan tubuh berlumuran darah.
"Hea" Wrt Cras Cras
Crasss...
"Okh?" Lima prajurit
seketika ambruk, Pangeran Prapanca dan Pranala terbelalak kaget. Mereka baru
melihat sebuah jurus ilmu pedang yang sangat dahsyat.
Sekali gerak, lima prajurit
terbabat perutnya.
"Hah... Siapa perempuan
itu...?" Bahkan bukan hanya Pangeran Prapanca dan Pranala saja yang
membelalakkan mata, menyaksikan kehebatan jurus pedang Mei Lie. Semua yang ada
di hutan bambu terbelalak kaget. Hanya Pendekar Gila yang masih cengengesan
dengan tubuh berayun-ayun tak ubahnya seekor kera sambil cengengesan dan terus
menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya kau sedang
haus darah, Mei Hi hi hi...' Resi Wisangkara yang sudah menjajaki ilmu pedang
Mei Lie, nampak bergidik menyaksikan bagaimana dahsyatnya ilmu pedang gadis
Cina itu. Dia tak dapat membayangkan kalau beberapa waktu lalu ketika mereka bertarung,
Mei Lie melakukan hal serupa.
Tentu tubuhnya yang gemuk dan
tinggi besar itu akan hancur. Mengerikan Melihat banyak prajuritnya mati, bukan
membuat Perdana Menteri Giri Gantra menyadari kalau lawan tidak enteng. Bahkan
Perdana Menteri Giri Gantra semakin marah. Hatinya semakin penasaran, ingin
melihat sampai sejauh mana keempat pendekar menghadapi anak buahnya.
"Roro Cenil, Gagak Selo,
Tirta Kayon, dan Resi Wisangkara, pimpinan prajurit Tangkap mereka..."
perintah Perdana Menteri Giri Gantra semakin bertambah gusar, menyaksikan kedua
puluh prajuritnya kocar-kacir dan banyak yang mati. Kini tinggal empat orang
prajurit Itu pun sudah kelihatan tak bakal hidup lagi, mengingat keempat
pendekar bukanlah lawan yang enteng.
"Baik" jawab Tirta
Kayon, merasa yakin akan menang menghadapi keempat pendekar. Sementara Gagak
Selo, Nyi Roro Cenil, dan Resi Wisangkara yang sudah pernah bentrok dengan
mereka kelihatan agak ciut nyalinya. Mereka tak berani sesumbar. Keempat tokoh
persilatan itu segera melesat dengan diikuti dua puluh orang prajurit lagi
untuk menggempur Pendekar Gila dan teman-temannya.
"Seraaang..." teriak
Tirta Kayon memerintah.
"Aha, bagus Semakin besar
pestanya, Kawan" seru Sena sekaligus sebagai isyarat perintah bagi
Pangeran Prapanca dan Pranala serta Mei Lie untuk memapaki serangan prajurit
kerajaan yang dibantu keempat tokoh persilatan.
Pertarungan seru berlangsung
lagi. Kini Pendekar Gila yang melihat keempat orang persilatan turut serta, tak
mau menganggap remeh. Dengan jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', Pendekar
Gila bergerak menyerang lawan-lawannya. Suling Naga Sakti di tangan kanannya,
bergerak menghantam kepala para prajurit yang mengurungnya.
Tuk Tuk Tukkk...
"Aduh"
"Wuaaa..." Lima orang prajurit yang terkena patukan kepala Suling
Naga Sakti, seketika berputar-putar sempoyongan. Pandangan mereka
berkunang-kunang. Kepala mereka berdenyut-denyut sakit, kemudian ambruk ke
tanah dan pingsan.
Melihat kelima anak buahnya
dalam sekali gebrak dapat dirobohkan oleh Pendekar Gila, si Pisau Maut segera
melemparkan puluhan pisau kecil yang menghias di dadanya.
"Hea" Swing Swing
Lima pisau kecil beracun melesat ke tubuh Pendekar Gila, namun dengan cepat
Pendekar Gila mengelak. Tubuhnya melejit ke atas, kemudian dengan gerakan
ringan tangannya mengibaskan Suling Naga Sakti memapak pisau-pisau itu.
Trang Trang Pluk Pluk
Pisau-pisau itu berpentalan jatuh dan patah karena tersambar Suling Naga Sakti.
Hal itu membuat Tirta Kayon tersentak kaget dengan mata terbelalak.
Sepertinya tak percaya, kalau
pisau-pisau mautnya yang terkenal tak pernah luput memburu lawan, kini dengan
sekali kibas saja berguguran ke tanah.
"Heh?" "Hua ha
ha... Pisaumu terlalu tumpul, Kawan" ejek Pendekar Gila dengan tawanya
yang nyaring, berusaha membangkitkan amarah lawan. Namun Tirta Kayon yang
menyadari kalau pemuda gila itu bukan lawan sembarangan, kini nampak hati-hati.
"Hm, pemuda ini bukan
pemuda sembarangan.
Meski tingkah lakunya persis
orang gila, ilmunya sangat tinggi. Apalagi suling berkepala naga itu," gumam
Tirta Kayon dalam hari. Matanya memandang tajam menyelidik Pendekar Gila yang
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
***
Sementara itu, Mei Lie yang menghadapi Nyi
Roro Cenil dan kelima prajurit, nampak bergerak dengan cepat. Pedang Bidadari
di tangannya, bagaikan pencabut nyawa. Setiap kelebatan mengeluarkan hawa panas
yang menyentakkan Nyi Roro Cenil.
"Hea" Wrt Wrt
"Uhhh..." keluh Nyi Roro Cenil sambil melompat ke belakang dengan
mata membelalak. Dirasakan serangan lawan begitu membahayakan dan mengeluarkan
hawa panas. Namun baru saja melompat, terdengar olehnya pekikan kematian kelima
prajuritnya yang terbabat pedang Mei Lie.
Cras Cras Crasss...
"Akh..." Mei Lie
yang sudah menyelesaikan kelima prajurit, segera memburu Nyi Roro Cenil. Dengan
jurus 'Tebasan Bidadari Memenggali Gunung', gadis itu terus menyerang Nyi Roro
Cenil yang tampak kelabakan.
"Hea" Wrt Wrt
"Celaka" pekik Nyi Roro Cenil sambil berusaha mengelakkan serangan
pedang lawan. Tangannya yang memegang pedang, dengan cepat dibabatkan memapak
pedang lawan yang hendak menyerang. "Tak ada jalan lain. Heaaa..."
Wrt Trang Prak "Hah?" Nyi Roro Cenil mendelik, mendapatkan pedangnya
dapat dibabat pedang lawan. Pedangnya kini patah menjadi dua. Belum juga Nyi Roro
Cenil hilang rasa kagetnya, tiba-tiba Mei Lie telah kembali membabatkan Pedang
Bidadari-nya yang mengeluarkan sinar kuning keemasan-emasan.
"Hea" Wrt Nyi Roro
Cenil yang tersentak kaget, dengan cepat berkelit ke samping kanan. Namun
gerakan pedang Mei Lie, ternyata jauh lebih cepat. Sehingga....
Cras "Akh...
Tobat.." Nyi Roro Cenil memekik, ketika bahu tangan kirinya terbabat
Pedang Bidadari. Seketika itu pula, tangan kin Nyi Roro Cenil putus dan jatuh
ke tanah dengan darah menyembur keluar. Perempuan setengah baya itu menjerit
kemudian lari meninggalkan pertarungan sambil mencaci-maki.
"Tunggulah pembalasanku,
Bidadari...," Nyi
Roro Cenil terus melesat
semakin jauh.
Tak menghiraukan ancaman Nyi
Roro Cenil yang terus lari meninggalkan hutan bambu, Mei Lie yang melihat Pranala
dalam keadaan terjepit diserang Gagak Selo segera membantu. Namun belum juga
Mei Lie menyerang, lima prajurit Gagak Selo telah menghadangnya. Sedangkan
Gagak Selo kini terus menyerang Pranala, bahkan....
"Heaaa" Wrt
"Ukh..." Pranala tersentak, ketika cadarnya terbuka. Seketika semua
orang yang melihat tersentak kaget, tak urung Perdana Menteri Giri Gantra
sendiri "Kau?" mata Perdana Menteri Giri Gantra membelalak, setelah
mengenali siapa lelaki bercadar ungu. Gagak Selo yang terkesiap setelah tahu
siapa maling budiman, tak dapat mengelitkan sebuah pukulan telak yang
dilancarkan Pranala. Dan....
Degkh "Ukh Hoakh..."
Gagak Selo memuntahkan darah segar, kemudian ambruk pingsan dengan luka dalam.
Para prajurit pun mati dengan perut terbabat pedang di tangan Mei Lie.
Sementara Pangeran Prapanca
yang bertarung menghadapi Resi Wisangkara, nampak masih terus berusaha
melepaskan diri dari desakan lelaki tinggi besar itu, yang terus mencecar
dengan cakaran tangannya.
"Hea" kembali Resi
Wisangkara mencakar ke wajah lawan. Gerakannya sangat cepat, membuat Pangeran
Prapanca tersentak kaget. Pangeran muda itu, berusaha menghindar ke samping
sambil membabatkan pedangnya. Namun ternyata serangan Resi Wisangkara itu hanya
pancingan. Ketika pedang lawan, membabat tangan kanannya, dengan cepat Resi
Wisangkara menarik serangannya. Kemudian dengan cepat menggerakkan tangan kiri,
mencakar ke wajah lawan dan merenggut cadar biru yang menutupinya.
"Hih..." Bret
"Hah...?" Semua mata terbelalak, menyaksikan siapa sebenarnya maling
budiman itu. Bahkan Resi Wisangkara sampai melototkan mata hampir keluar,
setelah tahu siapa lawannya. Sedangkan Perdana Menteri Giri Gantra terpaku di
punggung kudanya, memandang bagai tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Nah, bagaimana kelanjutan dari
kisah "Sepasang Maling Budiman" ini? Apakah akan tertangkap?
Bagaimana pula dengan Pendekar Gila dan Mei Lie? Apakah mereka dapat membantu
Pangeran Prapanca untuk mendapatkan haknya, atas Kerajaan Surya Langit? Untuk
lebih jelasnya, ikuti serial Pendekar Gila dalam episode: "Undangan
Maut".
SELESAI