-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 24: 7 Tumbal Perawan
1
Sore yang indah melingkupi
bumi. Cahaya merah tembaga di kaki langit sebelah barat menandakan bahwa sang
Raja Siang belum sampai di
peraduannya. Bekas
perjalanannya masih jelas membias dalam bentuk lembayung.
Sementara itu di Desa Karang
Bale pun suasana tampak cerah. Desa yang subur dan makmur itu terletak di
antara Pegunungan Sarangan dan Bukit Kundang. Sehingga wajar kalau tak jauh di
sebelah selatan desa itu terdapat telaga yang sangat bening airnya. Apalagi
pada suasana senja yang cerah seperti sekarang ini. Ketika langit membiaskan
cahaya merah lembayung, air telaga tampak begitu indah. Berkilauan karena
tertiup angin yang menimbulkan riak-riak kecil di tengahnya.
Seperti biasanya, di suasana senja
seperti itu gadis-gadis Desa Karang Bale menikmati air telaga.
Mereka mandi dan mencuci
sambil bercanda ria, sesuka hati. Sore itu tampak lima orang gadis berusia dua
puluh tahunan tengah mandi sambil bersenda gurau di air telaga.
Lima gadis desa yang tengah
mandi itu, tak menduga kalau tingkah laku mereka dalam
pengawasan sepasang mata
tajam. Sepasang mata milik sesosok tubuh yang bersembunyi di balik semak-semak
tak jauh dari telaga itu.
“Hm.... Rupanya di sini
gadis-gadis mandi,”
gumam pemilik sepasang mata
merah yang terus mengawasi tingkah laku kelima gadis itu. Di bibir lelaki
berbadan tinggi besar dan berwajah garang itu tersungging senyuman. “Hm... Akan
tercapai cita-citaku menjadi orang tersakti di rimba persilatan He he he...”
Lelaki berwajah garang dengan
cambang bauk lebat itu terus bersembunyi sambil mengawasi kelima gadis yang
sedang asyik mandi di telaga. Matanya kini tertuju pada gadis yang sedang asyik
mandi di telaga.
Matanya kini tertuju pada
seorang gadis berkain warna hijau daun. Gadis itu tampak cantik sekali.
“Sss...,” lelaki bertubuh
kekar berpakaian jubah abu-abu itu mendesis. Seakan-akan desakan nafsu yang
menggebu-gebu, menyaksikan kemolekan tubuh gadis berkain hijau itu. Beberapa
kali lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang sosoknya masih gagah itu
menelan ludah, berusaha menahan gejolak birahinya. “Sungguh menggairahkan...”
Kelima gadis Desa Karang Bale
itu masih mandi dengan tenang, tak tahu kalau mereka dalam pengawasan sepasang
mata tajam. Apalagi gadis berkain hijau yang menjadi tatapan utama lelaki
garang itu, nampak sangat riang. Senyumnya yang indah, tersumbar lepas.
“Wirani, kau tak pulang?”
tanya gadis berkain lurik merah yang tampak sudah naik ke darat. Gadis itu
segera membuka kainnya yang basah tanpa canggung-canggung. Dia tak menduga
kalau ada sepasang mata dan balik semak-semak belukar, yang memandang dengan
melotot penuh nafsu.
“Nanti saja Aku masih ingin
mandi...,” sahut gadis berkain hijau yang dipanggil Wirani. Dia masih berendam
di telaga bersama tiga orang temannya.
“Kalau begitu, aku pulang
dulu,” ujar gadis berkain lurik merah, lalu melangkah meninggalkan keempat
temannya yang masih mandi.
“Hati-hati, Watiri...” seru
Wirani mengingatkan sambil tertawa riang.
“Memangnya ada apa...?” tanya
gadis yang
dipanggil Watiri.
“Siapa tahu ada genderuwo yang
suka jahil...”
ambut gadis berkain biru.
Kemudian keempat gadis itu tertawa lepas, ketika melihat Watiri melotot.
Watiri terus melangkah
meninggalkan telaga.
Hatinya agak cemas setelah mendengar
godaan keempat temannya. Bagaimanapun juga, dia hanya seorang diri, berjalan di
senja dan harus melintasi ladang yang penuh dengan pepohonan.
Watiri melangkah tergesa-gesa.
Hatinya tiba-tiba berubah takut atas ucapan teman-temannya.
Matanya memandang ke
sekeliling yang sepi, karena sebentar lagi suasana akan gelap. Dengan
langkah-langkah cepat, Watiri terus berjalan melintasi ladang yang di
sekitarnya ditumbuhi pepohonan besar.
Ucapan keempat temannya
dirasakan seperti sebuah peringatan baginya. Hatinya semakin tercekam, ketika
tiba-tiba nalurinya mengatakan ada seseorang yang menguntit di belakang.
Watiri menengok ke belakang.
Namun matanya tak melihat siapa pun. Sepi sekali. Keadaan di sekelilingnya
semakin meremang gelap, karena tertutup rimbun pepohonan. Berkali-kali matanya
mengawasi ke sekeliling dan memberanikan diri menengok ke belakang dengan
perasaan takut.
“Oh, mengapa bulu kudukku
meremang?” keluh Watiri sambil memegangi tengkuknya yang terasa sangat dingin.
Matanya masih menyapu ke sekeliling yang gelap dan sepi. Rasa takut pun semakin
mencekam.
Angin senja berhembus
perlahan, membawa
hawa dingin yang menusuk ke
kulit. Namun tubuh Watiri justru mengeluarkan keringat, bercampur air telaga
yang belum kering benar dari kulitnya.
Langkahnya kembali terhenti,
ketika merasakan ada seseorang yang mengikuti. Kembali dia menyapukan
pandangannya ke sekeliling tempat itu. Namun tetap tak dilihatnya orang atau
apa saja yang menguntit di belakang. Hanya kesunyian dengan hembusan angin yang
semakin membuat Watiri bertambah tercekam rasa takut. Gadis itu tidak berlari.
Seakan hatinya menuntut agar tetap berada di tempat itu, untuk mengetahui siapa
yang sejak tadi menguntitnya.
“Mungkinkah teman-teman yang
sedang meng-
goda dan menakut-nakutiku?”
tanya Watiri dalam hati menduga-duga. Matanya kembali memandang ke sekeliling,
berusaha meyakinkan diri kalau di sekitar tempat itu memang tidak ada apa-apa.
Watiri hendak melanjutkan
langkahnya pulang.
Namun tiba-tiba terdengar
suara gemeresak, seperti kaki seseorang yang menginjak daun kering.
Kresek
Watiri tersentak. Langkahnya
langsung terhenti.
Kemudian kepalanya menoleh ke
belakang. Lagi-lagi tak ada siapa-siapa di belakangnya. Sepi Tak ada seorang
manusia pun di tempat itu selain dirinya.
Perasaan takut semakin
mencekam jiwa gadis itu.
Tanpa berteriak atau berlari,
Watiri membalikkan tubuh ke belakang, lalu berdiri mematung sambil mengawasi
tempat asal suara tadi. Dia tahu pasti, kalau kebun karet itu tak ada
apa-apanya. Hampir setiap sore selama bertahun-tahun dilewatinya tempat itu.
Tak pernah terjadi sesuatu yang aneh dan menakutkan.
“Ah, mungkin hanya angin atau
binatang,” gumam Watiri berusaha menghibur diri. Gadis itu kemudian melanjutkan
langkah kakinya. Namun tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat muncul dari balik
pohon karet besar. Watiri tersentak kaget. Dia hendak menjerit tapi sosok
bayangan besar itu telah mendahului menotok tubuh Watiri.
Tuk Tuk
“Ukh”
Keluhan kecil terdengar dari
mulut Watiri.
Kemudian tubuh gadis berkain
lurik merah itu terkulai pingsan tak sadarkan diri. Secepat itu pula, sosok
tubuh besar menyambar tubuh Watiri dan membawa pergi menuju selatan. ***
Empat gadis cantik warga Desa
Karang Bale yang masih di telaga bergerak naik, ketika suasana mulai menggelap.
Tanpa menaruh curiga, kalau ada orang yang mengintip, mereka langsung membuka
kain basahan. Kemudian segera berganti dengan gaun mereka.
“Kita pulang, yuk” ajak gadis
bergaun jingga.
“Ayo Sebentar lagi gelap,”
timpal gadis bergaun biru.
Dengan diselingi canda ria,
keempat gadis itu meninggalkan telaga untuk kembali ke rumah masing-masing.
Tentu saja mereka pun melintasi jalan di ladang Kemudian masuk ke perkebunan
karet, sama dengan yang dilewati Watiri. Karena hanya jalan itulah yang
terdekat sampai di kampung mereka.
Suasana sudah mulai gelap.
Apalagi di dalam perkebunan karet itu, cahaya lembayung di langit barat
benar-benar tertutup rimbun dedaunan karet.
“Tentunya Wati ketakutan
mendengar gurauan kita, Wirani,” ujar gadis bergaun coklat.
“Hi hi hi..., kasihan dia,
ya?” sahut Wirani, sepertinya merasa bersalah telah menakut-nakuti temannya.
“Ah, tapi kau tak ada
apa-apa,” selak gadis bergaun kuning.
“Ya. Memangnya ada apa? Setiap
hari kita lewat sini, tak ada gendaruwo seperti yang kamu katakan.”
Keempat gadis itu terus
melangkah sambil
bercanda ria penuh
kebahagiaan, melintasi kebun karet yang telah mulai gelap dan sepi.
“Sebentar lagi gelap. Kita
harus segera sampai di rumah,” ajak Wirani pada ketiga temannya. Mereka pun
melangkah semakin cepat, sampai akhirnya tiba di kampung. Keempatnya saling
berpisah untuk menuju rumah masing-masing. ***
Kegelisahan seketika melanda
kedua orang tua Watiri, setelah sejak sore menanti, anaknya belum juga pulang.
Padahal biasanya Watiri telah pulang sejak sore tadi. Bahkan gadis itu biasanya
sudah tidur.
“Kang, kenapa anak kita belum
pulang?” tanya seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun dengan wajah
cemas, sambil melangkah mendekati sang Suami yang sedang duduk di dipan ruang
tamu rumahnya. Lelaki setengah baya itu pun, nampaknya sedang menunggu anaknya.
Hari telah malam.
Biasanya saat seperti ini
Watiri sudah tidur di kamarnya.
“Iya, ya? Ke mana tuh anak?”
gumam lelaki
berusia sekitar empat puluh
lima tahun dengan wajah gelisah. Nampaknya lelaki ini sangat mencemaskan
k-selamatan putrinya.
“Apa tidak sebaiknya kau
tanyakan pada Wirani atau Rumi, Kang?” saran istrinya.
Ayah Watiri diam. Ditariknya
napas dalam-dalam seakan berusaha membuang perasaan yang meng-gelisahkan
jiwanya. Betapa tidak Malam telah semakin larut. Suasana kian sepi, tapi
Watiri, anaknya belum juga sampai di rumah.
“Baiklah. Aku akan menanyakan
pada anak Ki Lurah Sentana,” ujar ayah Watiri.
“Hati-hati di rumah, Rah Aku
pergi dulu untuk mencari Watiri.”
“Hati-hati, Kang Sebaiknya kau
bawa golok,” ujar Nyi Samirah menyarankan. “Meskipun Desa Karang Bale aman,
hal-hal yang tak terpikirkan, bisa saja terjadi. Bisa saja ada binatang malam
yang ganas.
Bukankah dengan membawa
senjata bisa jaga diri?”
pikir ibu Watiri. Itu sebabnya
perempuan itu menyarankan suaminya agar membawa golok.
“Ya ya, kau benar. Tolong
ambilkan goloknya”
pinta lelaki kurus dengan
tubuh jangkung itu.
Nyi Sumirah bergegas
mengambilkan golok
suaminya. Tak lama kemudian
telah keluar dengan membawa golok. “Ini, Kang.”
Dimasukkan golok itu ke ikat
pinggangnya.
Kemudian lelaki setengah baya
berpakaian coklat itu melangkah meninggalkan rumah untuk mencari tahu, di mana
anaknya berada.
Dengan langkah tergesa-gesa,
ayah Watiri menuju rumah Ki Lurah Sentana. Saat itu di rumah Kepala Desa Karang
Bale tampak masih terang. Sepertinya di rumah Ki Lurah Sentana sedang
kedatangan tamu.
“Selamat malam...” sapa ayah
Watiri pada kedua penjaga rumah Ki Lurah Sentana.
“Selamat malam,” sahut kedua
penjaga itu
hampir bersamaan.
“Ada apa, Ki Pardi?” tanya
salah seorang dari kedua penjaga yang berbadan tegak tinggi dengan alis mata
tebal. “Sepertinya ada keperluan penting, Ki. Tak seperti biasanya malam-malam
begini kau datang.”
“Ah, tidak, Ki Barman. Aku
hanya ingin bertemu Ki Lurah,” jawab ayah Watiri yang ternyata bernama Pardi.
“Sebentar, aku sampaikan pada
Ki Lurah,” jawab Ki Barman. Kemudian lelaki berusia lima puluh tahun berpakaian
loreng itu melangkah meninggalkan serambi rumah, untuk menemui Ki Lurah Sentana.
“Suruh dia masuk, Barman” dari
dalam terdengar suara Ki Lurah Sentana memerintah centeng itu.
Ki Barman melangkah keluar
untuk menemui
tamu Ki Lurah itu. Ki Pardi
mengangguk dengan mulut mengurai senyum, karena tadi mendengar suara Ki Lurah Sentana
dari dalam rumahnya.
“Ki Pardi, kau disuruh masuk,”
ujar Ki Barman.
“Terima kasih,” jawab Ki
Pardi. Kemudian setelah memberi hormat pada kedua jawara penjaga rumah Ki Lurah
Sentana lelaki setengah baya itu masuk.
Di dalam rumah Kepala Desa
Sentana saat itu ada seorang tamu yang tak lain adik Ki Lurah Sentana sendiri.
Kedua kakak beradik itu tengah berbincang-bincang. Seketika mereka menghentikan
obrolan, ketika Ki Pardi masuk.
“Selamat malam, Ki Lurah” sapa
Ki Pardi sambil menjura hormat pada Ki Lurah Sentana dan adiknya, Ki Tunjung
Melur atau yang dikenal dengan sebutan Pendekar Kali Bengawan. Lelaki bertubuh
tegap itu mengurai senyum menerima kedatangan penduduk desa itu.
“Selamat malam,” jawab Ki
Lurah Sentana.
“Silakan duduk, Ki”
Ki Pardi pun menurut duduk.
“Ada apa malam-malam begini
kau datang, Ki?”
tanya Kepala Desa Karang Bale
itu.
“Maaf, Ki Lurah Apakah Nini
Wirani sudah
pulang?” Ki Pardi balik
bertanya.
Mendengar pertanyaan aneh itu
Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur mengerutkan kening. Ki Lurah Sentana
langsung menatap lekat wajah Ki Pardi yang menunduk, sepertinya merasa
keheranan dan tak mengerti apa sebenarnya yang terjadi.
“Sudah. Ada apa, Ki?” tanya
lelaki berusia sekitar enam puluh tahun dengan wajah nampak tenang penuh
wibawa. Mata Ki Lurah Sentana tetap menatap wajah Ki Pardi, seakan ingin
menyelidik apa yang sesungguhnya terjadi.
“Anak saya belum pulang, Ki,”
ujar Ki Pardi, menjawab pertanyaan Ki Lurah Sentana.
“Hah? Anakmu, Watiri belum
pulang?” ulang Ki Lurah Sentana. Matanya terbelalak kaget mendengar
pemberitahuan Ki Pardi.
“Benar, Ki,” jawab Ki Pardi
sambil meng-
anggukkan kepala. Tidak hanya
Ki Lurah Sentana, adiknya Ki Tunjung Melur pun membelalakkan mata karena
terkejut.
“Kau tak bergurau, Ki Pardi?”
tanya Ki Lurah Sentana.
“Mana mungkin saya berani
bercanda padamu, Ki Lurah?”
“Hm,” gumam Ki Lurah Sentana.
Wajahnya
seketika berubah kelabu.
“Sebentar, kupanggil Wirani dulu..., Wirani...”
“Saya, Ayah...” sahut Wirani
dari dalam.
“Kemari sebentar” perintah Ki
Lurah Sentana.
Dari dalam, muncul Wirani dan
ibunya. Keduanya mendekat dan duduk di kursi yang masih kosong.
“Ada apa, Ayah?” tanya Wirani
dengan kening mengerut, melihat ayah Watiri ada di rumahnya.
Gadis itu tak tahu apa yang
sebenarnya telah terjadi.
“Apakah kau tadi mandi bersama
Watiri?” tanya Ki Lurah Sentana seraya menatap wajah putrinya.
“Benar, Ayah.” Wirani
mengangguk seraya
menoleh ke wajah Ki Pardi.
“Pulangnya...? Apa kau bersama
dia?”
“Tidak, Ayah. Watiri lebih
dahulu pulang,” jawab Wirani, “Memangnya ada apa, Ayah?”
“Dia belum pulang,” sahut Ki
Lurah Sentana.
“Hah?”
Wirani tersentak kaget,
mendengar jawaban
ayahnya. “Bagaimana mungkin?”
pikir Warani.
“Bukankah Watiri pulang lebih
dahulu? Bahkan hari belum begitu petang. Masa dia tersesat?”
“Kau tahu ke mana dia,
Wirani?”
“Tidak, Ayah. Kami semua tahu
kalau dia telah pulang lebih dahulu. Dan kami pikir Watiri telah sampai di
rumah, ketika kami naik dari telaga,” tutur Wirani masih dengan kening
mengerut. Gadis itu seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Mungkinkah ucapanku yang
hanya bergurau
benar terjadi?” tanya Wirani
dalam hati. “Apakah benar ada. gendruwo yang suka menculik gadis? Ah, aneh
sekali... Ke mana Watiri sebenarnya?”
Semua yang ada di dalam
terdiam dengan
perasaan yang masih bergelut
di hati masing-masing.
Mereka heran, mengapa Watiri
yang pulang lebih awal justru belum sampai di rumah? Mungkinkah Watiri
tersesat? Rasanya aneh, kalau sampai tersesat. Karena Watiri sejak kecil hidup
di Desa Karang Bale. Seperti gadis-gadis desa atau warga yang lain, telah
belasan tahun lamanya Watiri memahami benar daerah sekitar telaga. Sejak umur
lima atau tujuh tahun mereka telah akrab dengan tempat itu. Sungguh aneh dan
tak masuk akal kalau Watiri tersesat
“Apakah Ki Pardi telah mencari
ke rumah
tetangga terdekat?” tanya Ki
Tunjung Melur memecahkan kesunyian.
“Belum,” sahut Ki Pardi.
“Cobalah Ki Pardi Kalau memang
tak ada dan belum juga pulang, tabuhlah kentongan dua kali.
Kami akan segera ke rumah Ki
Pardi,” saran Ki Tunjung Melur.
“Baiklah kalau begitu, saya
mohon diri”
“Silakan” sahut Ki Lurah
Sentana.
“Selamat malam...”
“Selamat malam” sahut Ki Lurah
Sentana dan keluarganya.
Ki Pardi pun segera melangkah
keluar dengan perasaan yang semakin tak menentu. Hatinya gelisah dan diliputi
kecemasan, karena tak tahu ke mana anak gadisnya hingga malam begini belum juga
pulang. Apa lagi setelah mendengar penuturan Wirani bahwa anaknya telah pulang
lebih dulu daripada teman-temannya.
“Jangan-jangan, anakku
diculik,” pikir Ki Pardi semakin gelisah. Langkah kakinya semakin cepat, seakan
tak sabar untuk segera sampai di rumah.
Hatinya berharap benar sampai
di rumah Watiri telah kembali.
Malam yang gelap, semakin
terasa mencekam
jiwanya yang sedang dilanda
kegelisahan. Langkah-langkah kaki Ki Pardi semakin cepat, bahkan kini mulai
berlari. Hatinya berharap segera sampai di rumah dan menemukan anaknya pulang.
Ki Pardi sampai di rumah
dengan napas terengah-engah dan tubuh basah berkeringat setelah menghela napas
agar tak tersengal-sengal, tangannya mengetuk pintu.
“Siapa...?” terdengar Nyi
Sumirah dari dalam bertanya.
“Aku...,” sahut Ki Pardi.
Tak lama kemudian, pintu sudah
terbuka. Dari dalam muncul istrinya.
“Bagaimana, Kang?” tanya Nyi
Sumirah penuh harap.
“Hh, Nini Wirani telah pulang.
Katanya anak kita malah pulang lebih awal,” desah Ki Pardi seraya menghempaskan
napas panjang-panjang.
“Ke mana anak kita ya, Kang?”
“Itulah yang tak kumengerti.
Jangan-jangan...”
“Jangan-jangan kenapa, Kang?”
tanya Nyi
Sumirah semakin bertambah
cemas.
“Anak kita diculik, Rah.”
“Kang...,” desis Nyi Sumirah
semakin cemas.
Ki Pardi segera berjalan
mendekati kentongan di depan rumahnya. Segera dipukulnya kentongan itu.
Terdengar bunyi keras kentongan
sebanyak dua kali.
Tong Tong...
Tak lama kemudian, Ki Lurah
Sentana dan adiknya serta Ki Barman, salah seorang jawara penjaga rumah Ki
Lurah telah datang.
“Bagaimana, Ki, apakah sudah
kau temukan?”
tanya Ki Lurah Sentana.
“Belum, Ki Lurah. Saya
menduga, anak saya
diculik,” ujar Ki Pardi.
“Jangan menduga yang tak baik,
Ki Sebaiknya kita panggil warga untuk mencari Watiri,” ujar Ki Lurah Sentana.
“Barman, kau tabuh tiga kali kentongan agar warga keluar”
“Baik, Ki Lurah.”
Tong Tong Tong...
Ki Barman menabuh kentongan
sebanyak tiga
kali, sesaat kemudian
terdengar suara kentongan lain saling menyambut. Warga Desa Karang Bale
bergegas keluar dan langsung menuju rumah Ki Pardi, tempat awal kentongan
pertama terdengar. Wajah warga Desa Karang Bale diselimuti ketidakmengertian,
untuk apa Ki Pardi memanggil mereka.
“Ada apa, Ki Lurah?” tanya
warga ingin tahu.
“Saudara-saudaraku, anak Ki
Pardi belum pulang
Untuk itu, sebagai saudara
sedesa, kita patut membantu mencarinya” seru Ki Lurah Sentana.
“Siapkan obor, kita akan
mencari anak Ki Pardi”
Tanpa diperintah dua kali,
warga Desa Karang Bale pun segera menjalankan perintah kepala desa.
Tidak lama kemudian, warga
desa yang dipimpin langsung kepala desa berusaha mencari Watiri.
Mereka mengelilingi Desa
Karang Bale dengan membawa obor. Namun setelah seluruh penjuru desa
dikelilingi, mereka tak menemukan gadis itu.
“Mungkin diculik gendruwo, Ki
Lurah” seru salah seorang warga nyeletuk.
“Ngawur” bentak Ki Lurah
Sentana. “Kita ke telaga Siapa tahu dia kembali ke telaga.”
Mereka pun segera berjalan
menuju telaga
tempat tadi sore Watiri dan
teman-temannya mandi.
Namun, sampai di sana, mereka
tak menemukan siapa-siapa.
“Tak ada siapa-siapa, Ki
Lurah,” lapor salah seorang warga.
“Hm, apa benar diculik
gendruwo?” gumam Ki Lurah Sentana setengah percaya, setengah tidak.
Rasanya aneh, kalau gendruwo
menculik gadis. Lagi pula, kalau memang ada gendruwo, bukankah sejak dulu ada
kejadian seperti sekarang ini?
“Bagaimana, Ki Lurah? Apa kita
akan terus
mencari?” tanya warga desa.
“Tidak Kita pulang saja” jawab
Ki Lurah Sentana.
Dengan tanpa hasil, warga desa
dan Ki Lurah Sentana kembali ke desa. Malam semakin kelam, menjadikan suasana
kian mencekam.
*** 2
Watiri menggeliat. Tubuhnya
dirasakan lemas seperti tak bertulang, setelah semalaman pingsan karena keadaan
tertotok. Mata gadis itu perlahan-lahan membuka, memandang ke sekelilingnya
yang terasa sangat asing. Di sekelilingnya hanya dinding-dinding batu cadas.
Dingin dan lembab.
“Uh...” Watiri melenguh ketika
dirasakan tangan dan kakinya tak dapat digerakkan. Ternyata tangan dan kakinya
diikat pada ujung-ujung sebuah meja batu. “Oh, di mana aku? Mengapa tangan dan
kakiku diikat?”
Watiri kembali memandang ke
sekeliling tempat itu, berusaha mengetahui di mana dirinya berada.
Matanya hanya melihat
dinding-dinding batu cadas.
“Goa...? Oh, mengapa aku
berada di dalam goa?”
keluh Watiri dengan perasaan
cemas dan takut, karena suasana yang sangat sunyi di goa itu. Apalagi ketika
Watiri menengadahkan kepala, tubuhnya bergidik. Di atas kepalanya, tampak
sebuah golok besar dan tajam. Golok itu terletak di atas dua buah batu,
menghadap ke kepala Watiri.
“Oh, untuk apa golok itu?”
pikir Watiri, semakin dilanda kecemasan. “Mungkinkah aku akan disembelih? Oh,
tidak... Aku tak mau, disembelih”
Watiri semakin dicekam
perasaan takut, ketika terlintas dalam benaknya bahwa mungkin dirinya akan
dijadikan korban persembahan. Dia tak tahu, siapa orang yang telah membawanya
ke goa itu. Yang sempat diingatnya hanya sesosok tubuh tinggi dan besar yang
melesat mendekati tubuhnya. Namun setelah itu tak ingat apa-apa lagi karena
tubuhnya tertotok.
Tiba-tiba dari dalam goa
muncul seorang laki-laki tinggi besar berpakaian abu-abu. Matanya yang tajam
memandang penuh nafsu. Dengan bibir mengurai senyum menyeringai, lelaki
bertubuh tinggi besar itu melangkah menghampiri Watiri yang semakin
ketakutan.
“Siapa kau, Ki?” tanya Watiri
dengan ketakutan, memandang tajam wajah lelaki berusia sekitar enam puluh tahun
yang tampak masih gagah.
“He he he... Sungguh
menggiurkan Kau memang seorang gadis yang sangat menggiurkan. Aku Datuk Raja
Beracun.... He he he” ujar lelaki tua itu sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Matanya tak berkedip merayapi tubuh Watiri yang dalam keadaan setengah telanjang.
Watiri kian ketakutan melihat
kebuasan yang tersirat dalam tatapan tajam lelaki bernama Datuk Raja Beracun
itu.
“Siapa kau? Kenapa kau ikat
aku seperti ini?”
bentak Watiri dengan suara
bergemetar. Matanya yang bening melotot penuh kebencian setelah dapat menduga
kalau lelaki tua berpakaian abu-abu itu tentu hendak berbuat jahat terhadapnya.
“Kembalikan aku pada orangtuaku”
“He he he..., nanti akan
kukembalikan, Manis.
Tenanglah dahulu Kita akan
menikmati sesuatu yang belum pernah kau alami,” ujar Datuk Raja Beracun sambil
tertawa terkekeh. Kemudian tanpa menghiraukan Watiri yang meronta-ronta,
berusaha melepaskan diri, Datuk Raja Beracun berlalu meninggalkan tempat itu.
Sambil tertawa terbahak- bahak lelaki tua itu terus melangkah ke ruangan dalam.
Watiri semakin tegang dan
gelisah, setelah mendengar kata-kata yang baru saja diucapkan Datuk Raja
huracun. Hatinya semakin benci
bercampur marah dan ketakutan.
Ucapan lelaki tua itu dianggapnya sangat menjijikkan. Namun
bagaimana harus menghindarinya.
Dirinya tak sudi melayani nafsu datuk tua itu. Sementara tangan dan kaki
terbelenggu di meja batu. Untuk bergerak saja sulit, apalagi melepaskan diri.
Jelas tak mungkin.
Berapa besar kekuatan seorang
wanita seperti dirinya. Rasa putus asa pun mulai menjalar di hati gadis cantik
itu.
“Hyang Widi, lindungilah
hambamu ini” seru Watiri dengan suara lirih. Ditengadahkan wajahnya, memandang
langit-langit goa. Tidak terasa air matanya meleleh. Watiri merasa sedih, cemas
dan takut saat itu. Apalagi setelah mendengar ucapan lelaki tua yang sama
sekali belum pernah dikenalnya itu.
Sementara itu, di dalam goa
Datuk Raja Beracun nampak tengah duduk bersila. Di hadapannya, terdapat sebuah
perapian yang mengepulkan asap lebat. Rupanya sang Datuk tengah melakukan upacara,
memanggil arwah yang menjadi sesem-bahannya.
Matanya terpejam. Bibirnya
bergerak, mengucapkan mantera-mantera yang sulit untuk diikuti. Sesaat kemudian
dari perapian mengepul asap yang
semakin lama semakin tebal,
seiring dengan kecepatan mantera yang dirapalkan Datuk Raja Beracun. Dari
kepulan asap tebal itu samar-samar muncul sebuah bayangan. Lama kelamaan
bayangan itu semakin membesar dan membentuk sosok
manusia. Namun bukan sosok
manusia biasa.
Melainkan manusia berkepala
serigala.
Dan anehnya lagi di kepala
terdapat tiga buah tanduk. Dua tanduk di sisi kanan dan kiri, sedangkan sebuah
lagi di atas.
“Auuu...”
“Ada apa kau memanggilku, Raja
Beracun?”
suara keras bergetar dan parau
terdengar dari mulut manusia serigala itu. Kepala yang hitam dengan sorot mata
tajam tampak menatap Datuk Raja Beracun yang tengah menyembah.
“Ampun, Guru Sengaja saya
mengundang Guru, semata-mata karena hendak melakukan
penyempurnaan ajian 'Walik
Akal',” jawab Datuk Raja Beracun penuh hormat
“Hua ha ha... Jadi kau ingin
memiliki ajian itu, Raja Beracun...? Bukankah kau telah memiliki ajian
'Serigala Hitam'? Masih belum
cukupkah?” tanya manusia berkepala serigala sambil tertawa terbahak-bahak.
Suaranya bergema keras memenuhi ruangan dalam goa itu.
Datuk Raja Beracun hanya mampu
menundukkan kepala. Sepertinya lelaki tinggi besar bermuka garang dihiasi
cambang bauk tebal itu tersindir oleh ucapan makhluk berkepala serigala.
“Itu kalau Guru berkenan,”
desah Raja Beracun lirih dengan kepala masih tertunduk.
“Hua ha ha... Aku sebagai
gurumu, tentu saja mendukung keinginanmu...,” ujar manusia berkepala serigala.
“'Tapi, apa sebenarnya maksudmu mem-pelajari ajian 'Walik Akal'? He he he...
Apa yang sedang kau cita-citakan, Raja Beracun?”
Datuk Raja Beracun terdiam. Namun
kepalanya tampak terangguk-angguk.
“Hm, katakanlah”
“Sebenarnya, saya ingin
menjadi orang yang paling sakti di rimba persilatan, Guru,” jawab Datuk Raja
Beracun.
“Hanya itu?” tanya manusia
berkepala serigala.
Sesaat Datuk Raja Beracun
terdiam. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan ingin membuang
perasaan di dalam hatinya yang
bergejolak. Ada keinginan lain yang sebenarnya tersembunyi di hati kecilnya.
Dirinya ingin menjadi pimpinan para pendekar, sekaligus orang yang ditakuti
setaraf dengan raja, baik oleh para pendekar maupun orang biasa.
“Ada lagi, Guru.”
“Katakan, apa lagi?” tanya
manusia berkepala serigala.
“Saya ingin menjadi pimpinan
di rimba
persilatan,” jawab Raja
Beracun.
“Hua ha ha... Sebenarnya,
tanpa ajian 'Walik Akal'
pun, kau akan mampu melakukan
semua yang kau inginkan,” tutur manusia berkepala serigala.
“Belum, Guru. Karena masih
banyak pendekar aliran lurus yang memiliki ilmu tinggi. Mereka tak mudah untuk
ditaklukkan,” ujar Datuk Raja Beracun tetap dengan kepala tertunduk, tak berani
beradu pandang dengan manusia serigala di hadapannya.
“Auuu... Jadi kau tetap
bertekad mendalami ajian itu, Raja Beracun?” tanya manusia berkepala serigala.
“Benar, Guru.”
“Hm... Apakah kau tahu, apa
yang harus
dilakukan untuk menyempumakan
ajianmu?” tanya manusia serigala itu dengan suara menggeram keras. “Tahu,
Guru.”
“Tujuh gadis tumbal.
Sanggupkah kau men-
dapatkan gadis-gadis itu?”
Tampaknya manusia berkepala
serigala pun
merasa khawatir kalau-kalau
muridnya, Datuk Raja Beracun akan mengalami kesulitan. Menculik tujuh perawan
bukanlah pekerjaan mudah.
“Sanggup, Guru.”
“Hm, kalau begitu, aku tak
bisa menolak
permintaanmu. Siapkanlah tujuh
orang perawan. Dan yang harus kau ingat, jangan mengambil gadis yang lahir pada
malam satu Sura,” ujar manusia berkepala serigala mengingatkan, menjadikan
Datuk Raja Beracun tersentak dan mengerutkan kening.
“Kenapa, Guru?” tanya Datuk
Raja Beracun.
“Ketahuilah olehmu Kalau kau
menggeluti gadis yang lahir malam satu Sura, maka bukan ilmu 'Walik Akal' yang
kau dapatkan Malah kau akan kehilangan segala-galanya,” kata manusia berkepala
serigala menjelaskan. “Bukan itu saja. Penguasa alam kegelapan akan murka
sekali.”
“Baik, Guru. Segala petuah
yang Guru berikan, akan saya ingat selalu,” jawab Datuk Raja Beracun.
“Nanti malam, tepat Bintang
Pari berada di tengah-tengah, lakukanlah pengorbanan itu,”
perintah manusia berkepala
serigala. “Sekarang aku pergi. Ingat baik-baik pesanku tadi...”
Datuk Raja Beracun
mengangguk-angguk tanda menyetujui persyaratan yang diajukan gurunya.
Manusia berkepala serigala itu
pun perlahan-lahan berubah samar-samar, kemudian menyatu dengan asap perapian
yang tebal.
Datuk Raja Beracun melakukan
sembah,
kemudian bangun dan segera
melangkah dari ruangan pemujaan, menuju tempat Watiri berada.
Gadis itu nampak semakin
ketakutan, menyaksikan lelaki bertubuh besar itu mendekatinya. Apalagi melihat
senyum menyeringai di bibir sang Datuk, membuat Watiri semakin gemetar tak
karuan.
“Lepaskan aku Kembalikan aku
pada orang
tuaku,” pinta Watiri setengah
mengiba dengan lelehan air mata membasahi kedua pipinya. Gadis itu tampak
berusaha meronta, tetapi tak mampu karena kedua tangan dan kakinya diikat.
“He he he... Sabar, Cah Ayu
Besok, kau akan kembali. He he he” Datuk Raja Beracun melangkah mendekati tubuh
Watiri yang hanya terbungkus kain lurik merah sampai ke dada. Matanya merah
penuh nafsu, memandang lekat tubuh Watiri yang mulus itu.
Jakunnya turun naik. Beberapa
kali lelaki tua berwajah beringas itu, menelan ludah. Tampaknya tak mampu
menahan gejolak birahi yang menggebu-gebu.
Perlahan-lahan, tangan sang
Datuk menjulur ke dada Watiri yang menonjol. Kemudian dengan nakal, meraba
kedua buah dada gadis itu.
“Iblis Lepaskan aku...” Watiri
berteriak-teriak memaki. Namun Datuk Raja Beracun tak meng-hiraukannya. Dengan
bibir masih mengurai senyum, tangannya terus menjamah tubuh gadis itu.
Diremas-remasnya kedua buah dada Watiri. Gadis itu tampak kian marah. Wajahnya
memerah. Namun seketika itu juga, tiba-tiba dirasakan ada suatu hawa aneh
menjalar di dalam tubuhnya. Napasnya memburu.
Sedangkan kepalanya terasa
pening dengan
pandangan berkunang-kunang.
Semakin lama tubuhnya semakin tegang, gemetaran, dan bergairah.
“He he he...” Datuk Raja
Beracun yang terus meremasi buah dada Watiri, sambil terkekeh senang.
Ternyata Racun Birahi yang
disalurkan melalui telapak tangannya, telah bekerja sebagaimana yang
diharapkan. Terbukti gadis montok itu kini mendesis dengan mata
mengerjap-ngerjap. Bahkan kini tak terdengar caci-maki dari mulutnya. Gadis itu
seperti dilanda nafsu birahi yang bergejolak hebat. “Aaah...
Oh,..”
Hanya lenguhan dan desisan
yang keluar dari mulut Watiri, yang membuat nafsu Datuk Raja Beracun semakin
menggebu-gebu. Bergejolak, laksana api yang membakar tubuhnya. Tangan Datuk
Raja Beracun merobek kain yang masih menutupi tubuh Watiri.
Bret
Kini tubuh Watiri polos, tak
tertutup sehelai benang pun. Gadis itu semakin mendesis keras, dengan mata
terpejam.
“Oh, Ki...”
“He he he Sabar, Cah Ayu Belum
saatnya kita melakukan apa yang kau harapkan. Tunggulah nanti malam” ujar Daluk
Raja Beracun sambil terkekeh-kekeh. Dan tiba-tiba lelaki tua itu melepaskan
remasan tangannya, kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Tinggal Watiri
yang tersiksa dengan gejolak birahi yang membakar jiwanya. ***
Malam yang dinantikan oleh
Datuk Raja Beracun akhirnya datang. Berarti upacara tumbal perawan sebagai
syarat utama untuk mendapatkan ajian Walik Akal sebentar lagi akan berlangsung,
saat Bintang Pari tepat berada di atas kepala. “Auuu... Auuu...”
Lolongan anjing hutan
terdengar bersahut-
sahutan. Seakan
binatang-binatang itu merasakan adanya sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu
kejadian yang sangat mengerikan. Anjing-anjing itu seperti tengah memberi
peringatan kepada manusia. Suara-suara lolongan itu terasa mampu membuat
merinding tubuh orang yang mendengarnya.
Begitu pula dengan Watiri yang
kini terkapar di atas altar batu. Gadis itu semakin ketakutan. Namun hatinya
telah pasrah karena tak mampu berbuat apa-apa.
Watiri merasakan hawa dingin
yang menggigilkan.
Bulu kuduknya semakin meremang
berdiri,
mendengar lolongan anjing
hutan. Apalagi suasana di dalam goa itu sangat sepi, tak ada siapa-siapa. Hanya
dirinya sendiri, dengan tangan dan kaki terbelenggu pada meja batu.
“Oh Hyang Widi, apa yang akan
terjadi pada diriku?” keluh Watiri dengan suara bergetar karena kedinginan dan
rasa takut. Sementara itu lolongan anjing terdengar semakin bersahutan.
Sepertinya binatang-binatang itu memberi tahu akan terjadi sesuatu pada
dirinya. Air mata gadis itu meleleh, sedih, dan takut beraduk menjadi satu di
dalam dadanya. Matanya yang menangis, memandang ke atas, pada langit-langit goa
yang gelap. Tangisnya semakin berderai keras, merasakan takut yang tiada
terkira.
Malam semakin larut, dengan
hawa dingin yang terasa menusuk tulang sumsum. Suasana di dalam goa tempat
Watiri berada, semakin mencekam. Gadis itu pun semakin merasakan ketakutan.
Tangisnya semakin keras, terdengar. Gemanya berputar-putar dipantulkan dinding
goa.
“He he he...”
Dari dalam goa, muncul Datuk
Raja Beracun.
Matanya yang merah, menatap
penuh nafsu pada gadis yang semakin bertambah ketakutan itu. Lelaki tua
bertubuh tinggi itu, melangkah mendekati Watiri yang terbaring dan terikat di
atas batu.
“Tidak Jangan dekati aku...
Lepaskan ikatan ini”
teriak Watiri sambil berusaha
membuka. Namun tangan dan kakinya yang terikat, membuat tubuhnya tak mampu
bergerak apalagi bangkit dari ter-baringnya. Semakin keras dia meronta, semakin
terasa sakit pergelangan tangan dan kakinya yang terikat.
“He he he... Percuma kau
meronta-ronta, Cah Ayu” ujar Datuk Raja Beracun sambil melangkah mendekati batu
besar itu. Matanya yang merah, tak berkedip menatap tubuh Watiri yang dalam
keadaan telanjang bulat.
Perlahan-lahan Datuk Raja
Beracun membuka
pakaiannya. Kemudian dengan
bibir mengurai senyum, mendekati tubuh Watiri yang telanjang.
“Tidak Jangaaan...” teriak
Watiri berusaha menolak apa yang akan dilakukan Datuk Raja Beracun terhadap
dirinya. Dilempar-lemparkan kepalanya, berusaha menolak perbuatan lelaki tua
itu. Namun percuma saja melakukan itu, karena Datuk Raja Beracun bagaikan tak
peduli. Lelaki berusia enam puluh tahun yang masih gagah itu, kini tampak
semakin buas. Tubuhnya yang juga telanjang, menindih tubuh Watiri.
“He he he... Sebentar lagi,
kau akan merasa kenikmatan, Cah Ayu,” desisnya sambil terus merayap naik.
“Lepaskan... Oh.... Ah... Sss...” Watiri kini benar-benar merasakan gejolak
birahi yang menggebu-gebu.
Rupanya Racun Birahi yang
dilancarkan Datuk Raja Beracun melalui remasan dan usapan tangan pada buah
dadanya telah bekerja. Hal itu yang membuat Watiri mulai terseret ke dalam
gelombang nafsu meluap-luap. Tak ada lagi perasaan marah yang melekat dalam
hatinya. Yang ada hanyalah perasaan nafsu yang menggebu-gebu.
Datuk Raja Beracun semakin
menjadi-jadi,
merasa Racun Birahi yang
dijalankan lewat usapan dan remasan tangannya telah mempengaruhi Watiri.
Kini dengan penuh kebuasan,
lelaki tua berwajah beringas itu menggumuli tubuh Watiri. Gadis itu kian
menggerinjang dengan desahan-desahan lirih.
“Ah... Oh... Sss...”
Datuk Raja
Beracun kian cepat bergerak.
Matanya yang merah, semakin
membara penuh
birahi. Sementara Watiri dalam
keadaan tak sadar, menerima perbuatan Datuk Raja Beracun. Matanya
mengerjap-ngerjap, dengan desisan-desisan penuh kepuasan.
“Ukh...”
“Ahk...”
Keduanya mengejang dengan mata
membeliak,
lalu terkulai penuh kepuasan.
Setelah pingsan beberapa saat,
terdengar isak tangis dari mulut Watiri. Kemudian perlahan-lahan matanya
membuka jalang. Dari mulutnya keluar pekikan keras, menyesali apa yang telah
terjadi terhadap dirinya. Kehormatannya telah direnggut lelaki berbadan tinggi
besar yang kini tersenyum menyeringai.
“Tidak... Bajingan Lebih baik
aku mati” teriak Watiri sambil berusaha bunuh diri dengan
membantingkan kepala, namun
karena kaki dan tangannya terikat, gerakannya sangat sulit Gadis itu
benar-benar merasa putus asa, setelah menyadari kalau keperawanannya telah
terenggut
Sementara Datuk Raja Beracun
yang telah mendapatkan semuanya, terkekeh senang. Perlahan bangun dari
duduknya. Dikenakan kembali pakaiannya.
“He he he... Bagaimana, Cah
Ayu?”
“Kurang ajar Iblis...
Laknat...” maki Watiri di sela isak tangisnya. Namun Datuk Raja Beracun tak
marah meski dicaci maki begitu rupa. Bahkan, lelaki tinggi besar bermuka garang
itu semakin tertawa terkekeh.
Kemudian, tanpa menghiraukan
Watiri yang
menangis penuh penyesalan,
Datuk Raja Beracun berlalu meninggalkan ruangan itu menuju keluar goa untuk
melihat Bintang Pari.
Datuk Raja Beracun berdiri di
depan pintu goa.
Wajahnya menengadah ke langit
yang bening.
Bintang-gemintang tampak
berkerlap-kerlip. Bintang Pari yang dijadikan pedoman, nampak telah berada di
atas kepalanya. Berarti dirinya harus segera menjalankan upacara persembahan
itu.
“He he he... Akulah yang akan
menjadi orang nomor satu di rimba persilatan,” ujar Datuk Raja Beracun sambil
tertawa terbahak-bahak. Datuk Raja Beracun melangkah ke dalam goa. Sesaat
berhenti di dekat altar batu, tempat Watiri masih menangis sambil mencaci maki.
“Iblis Lepaskan aku Atau
bunuhlah aku...” teriak Watiri kalap. Dia berusaha meronta sekuat tenaga-nya,
dengan kepala dicobanya untuk dibenturkan pada alas altar. Namun tak juga
sampai, karena kaki dan tangannya terpentang.
“He he he... Sabar, Cah Ayu
Sebentar lagi kau akan pulang,” ujar Datuk Raja Beracun sambil melangkah menuju
dua batu tinggi, tempat sebuah golok besar tergantung. Diambilnya golok itu.
Mulutnya menyeringai seperti
mengejek Watiri.
Ditimang-timangnya golok besar
dan tajam itu. “He he he...”
Mata Watiri membuka lebar
menyaksikan golok besar dan tajam kini telah terangkat di tangan Datuk Kaja
Beracun. Golok itu tampak mengerikan, seakan-akan menyimpan hawa pembunuhan.
“Tidak...” jerit Watiri dengan
mata membeliak ketakutan, menyaksikan golok besar dan tajam terayun ke
lehernya. Watiri berusaha mengelak, tapi karena tangan dan kakinya diikat dan
direntang, sulit baginya untuk mengelak. Hingga....
Wrt
“Aaa...”
Crak
Watiri hanya sempat berteriak
pendek, karena golok itu telah menebas lehernya. Seketika kepalanya lepas dan
menggelinding di lantai goa. Darah muncrat dari leher gadis itu. Dengan mata
terpicing, Datuk Raja Beracun mendekati tubuh Watiri yang sudah tak berkepala
lagi. Diraupnya darah yang tergenang di sekitar rubuh gadis itu, lalu digunakan
untuk mencuci wajahnya. Bahkan kemudian diminumnya darah yang masih mengalir
lewat leher yang buntung itu.
“Nyem nyem... Hua ha ha...
Akulah yang akan menjadi orang paling sakti di rimba persilatan ini”
Datuk Raja Beracun tak puas
hanya sampai di situ. Dengan kuku-kukunya yang panjang, dibelahnya dada Watiri.
Kemudian bagaikan tak mengenal belas kasih, dicopotnya jantung Watiri, lalu
dimakan sampai habis.
Bersamaan dengan habisnya
jantung Watiri,
tubuh Datuk Raja Beracun
nampak merah membara.
Mulutnya menyeringai penuh
kepuasan. Matanya yang merah, semakin membara, menatap sosok mayat Watiri yang
terkapar bersimbah darah.
“Hua ha ha...”
Datuk Raja Beracun tertawa
terbahak-bahak
bagaikan orang tak waras.
Kemudian dibukanya ikatan di tangan dan kaki mayat Watiri. Lalu diangkatnya
tubuh Watiri. Setelah mengambil kepalanya yang tadi menggelinding, Datuk Raja
Beracun melesat meninggalkan goa tempatnya berdiam diri.
Angin malam menghembuskan hawa
dingin
diikuti dengan lolongan anjing
hutan yang mampu membuat bulu kuduk berdiri. Datuk Raja Beracun terus
berkelebat pergi menembus kegelapan malam sambil memanggul mayat Watiri.
Sedangkan tangan kiri menenteng kepala gadis itu yang matanya membelalak.
“Hua ha ha...”
Dengan tertawa-tawa bagaikan
orang gila, Datuk Raja Beracun terus berlari menuruni lereng Gunung Welirang.
Larinya yang begitu cepat, menunjukkan kalau Datuk Raja Beracun pun menguasai
ilmu silat yang cukup tinggi. Hal itu dapat dilihat dari betapa ringan kakinya
menuruni lereng pegunungan sambil memanggul tubuh Watiri.
Datuk Raja Racun terus berlari
ke utara, menuju Desa Karang Bale. Malam semakin mencekam,
dengan hawa dingin yang terasa
menusuk tulang sum-sum. 3
Pagi-pagi sekali, warga Desa
Karang Bale tiba-tiba digegerkan dengan ditemukannya mayat Watiri di depan
rumahnya. Kepala mayat itu tergeletak di samping tubuhnya. Dan yang lebih
mengerikan, dada gadis itu berlubang dengan jantung sudah tak ada lagi. Darah
kering berserakan di tubuhnya.
Nyi Sumirah menjerit sejadi-jadinya,
ketika mendapati anaknya sudah menjadi bangkai dengan keadaan yang sangat
mengenaskan. Sedangkan Ki Pardi hanya dapat meneteskan air mata duka.
“Benar-benar perbuatan biadab”
pikirnya dengan hati kesal.
Ki Lurah Sentana ketika
mendengar kabar
tentang peristiwa itu,
langsung berangkat menuju rumah Ki Pardi. Adiknya, Ki Tunjung Melur pun tak mau
ketinggalan, segera mengikuti, berangkat ke rumah ayah Watiri. Mereka sebagai
orang-orang yang dipercaya untuk memimpin Desa Karang Bale, merasa bertanggung
jawab atas kejadian yang menimpa warganya.
“Biadab” dengus Ki Sentana
dengan mata
membeliak, menyaksikan keadaan
mayat Watiri.
“Jelas ini bukan tindakan
dedemit atau iblis. Ini tindakan manusia yang sangat biadab”
“Kakang, nampaknya sebelum
dibunuh, Watiri di-perkosa dahulu,” ujar Ki Tunjung Melur, ketika matanya
menyaksikan sesuatu kerusakan pada kemaluan Watiri. Napas Ki Tunjung Melur
terasa berat. Bagaimana pun sebagai adik Ki Sentana, Kepala Desa Karang Bale,
dirinya merasa ber-kewajiban membantu dalam keamanan desa itu.
Ki Sentana mencoba membuktikan
dugaan
adiknya. Dan memang benar,
matanya dapat melihat ada bekas-bekas tindak perkosaan. Hal itu membuat Ki
Lurah Sentana semakin bertambah geram
terhadap pelaku yang sampai
saat ini belum diketahui orangnya.
“Bedebah Ini benar-benar
penghinaan bagi kita
Rupanya ada orang yang hendak
menggunting dalam lipatan,” ujar Ki Sentana dengan wajah memerah marah. Namun,
dirinya tak dapat berbuat apa-apa, karena tak tahu orang yang harus dicurigai.
Kepala desa itu pun tak tahu siapa sebenarnya pelaku pembunuhan secara keji
itu. Peristiwa itu telah membuat gempar warga desa. Desa Karang Bale yang
selama ini tenang dan damai, tiba-tiba saja dikejutkan dengan adanya pembunuhan
keji itu.
“Apakah kita tak pantas
mencurigai seseorang, Ki?” tanya Ki Pardi. Sebagai seorang ayah, dirinya
benar-benar sedih, melihat kejadian yang menimpa anaknya.
Ki Sentana terdiam dengan
mengulum bibir.
Pandangan matanya kosong
sepertinya tengah berpikir dan mencoba mereka-reka siapa yang pantas untuk
dicurigai. Dihelanya napas dalam-dalam, berusaha melonggarkan dada yang terasa
bergemuruh.
“Sepuluh tahun sudah peristiwa
seperti ini berlalu. Ketika Ki Boleng menghilang, kejadian semacam ini pun ikut
hilang. Namun kini, tiba-tiba peristiwa yang pernah terjadi, kembali muncul,”
gumam Ki Sentana dengan suara
berat. “Mungkinkah Ki Boleng muncul kembali, Kang?”
tanya Ki Tunjung Melur.
“Entahlah,” sahut Ki Sentana.
“Menurut kabar, Ki Boleng telah mati di tangan Singo Edan, si Pendekar Gila
dari Goa Setan.”
Ki Tunjung Melur dan Ki Pardi
yang mendengar Ki Boleng telah mati mengerutkan kening, “Kalau Ki Boleng
penganut ilmu setan dengan cara
mengorbankan gadis telah mati,
lalu siapa yang kini melakukan pembunuhan ini?” pikir hati mereka bertanya-tanya
heran.
“Mungkin muridnya, Kang?”
tanya Ki Tunjung Melur mencoba mereka-reka.
“Tidak,” sahut Ki Lurah
Sentana.
“Kenapa, Kakang? Bukankah
mungkin saja sang Murid mewarisi ilmu gurunya...?” tanya Ki Tunjung Melur.
“Ki Boleng tak punya murid,”
sahut Ki Sentana.
Ki Tunjung Melur dan Ki Pardi
terdiam mendengar ucapan Ki Sentana. Kalau benar Ki Boleng tak memiliki murid,
lalu siapa lagi yang melakukan kekejian itu? Hati mereka diliputi
ketidakmengertian.
Jelas orang-orang yang
mengorbankan perawan untuk tumbal, pasti orang-orang yang menganut aliran
seperti Ki Boleng.
“Atau mungkin saudara
seperguruannya, Kang,”
ujar Ki Tunjung Melur.
Ki Sentana terdiam. Keningnya
berkerut, seolah-olah, tengah mencoba berpikir. Kalau memang saudara seperguruan
Ki Boleng, jelas hal itu bisa saja terjadi. Tetapi, siapa saudara seperguruan
Ki Boleng?
Selama mi, Ki Sentana tak
pernah mendengar kalau Ki Boleng memiliki saudara seperguruan. “Kurasa Ki
Boleng tak memiliki saudara
seperguruan,” desah Ki
Sentana. “Ki Boleng murid tunggal Ki Persasi, seorang resi sakti. Ki Persasi
sebenarnya berhaluan lurus, itu sebabnya dirinya sangat murka ketika mengetahui
sang Murid berlaku sesat. Bahkan muridnya melebihi iblis. Dan oleh karena itu
pula, Ki Persasi akhirnya meminta tolong pada Singo Edan, Pendekar Gila dari
Goa Setan untuk menghentikan sepak terjang sang Murid. Dan setelah muridnya
binasa, Ki Persasi pun menghilang entah ke mana.”
Secara singkat dan jelas, Ki
Sentana menuturkan kisah tentang Ki Boleng, tokoh yang sepuluh tahun silam
pernah menggemparkan Desa Karang Bale dengan perbuatannya yang keji. Kini,
setelah sepuluh tahun tokoh sesat itu binasa di tangan Singo Edan, muncul lagi
kejadian yang hampir sama.
“Mungkinkah arwahnya bangkit
kembali?” tanya Ki Tunjung Melur semakin penasaran. Karena kejadian itu sama
persis dengan tindakan Ki Boleng.
“Bisa jadi,” gumam Ki Sentana.
“Tapi...”
“Tapi apa, Kang?”
“Apa mungkin?” tanya Ki
Sentana seperti tak percaya kalau semua kejadian yang dialami Watiri merupakan
perbuatan arwah Ki Boleng.
“Mengapa Kakang berkata
begitu?” tanya Ki
Tunjung Melur dengan kening
mengerut. Matanya menatap wajah Ki Sentana, seakan-akan ingin mengetahui apa
yang sebenarnya tersimpan dalam benak kakaknya.
“Kurasa arwah tak akan
memperkosa,” sahut Ki Sentana, membuat Ki Tunjung Melur dan Ki Pardi
manggut-manggut. Apa yang dikatakan kepala desa itu tidak salah. Arwah
merupakan makhluk gaib tak mungkin melakukan perkosaan. Apalagi terhadap
manusia. Namun seandainya benar yang melakukan arwah, mungkin kemaluan Watiri
tak akan sampai hancur seperti itu.
Semua terdiam, tak ada yang
bisa menjawab
keganjilan itu.
Sementara itu, warga Desa
Karang Bale nampak mulai berdatangan ke rumah Ki Pardi untuk melayat.
Di wajah mereka tercermin iba
bercampur takut, terhadap kejadian aneh itu. Apalagi para warga yang memiliki
anak gadis, lebih merasa cemas dan ketakutan. Mereka khawatir kalau-kalau anak
perawan mereka menjadi korban selanjutnya dari perbuatan penculik gelap itu.
***
Siang yang panas, cahaya matahari
terasa sangat menyengat. Angin yang berhembus pun meniupkan hawa yang kurang
nyaman di kulit. Dari arah utara tampak sesosok lelaki muda berambut gondrong
tengah melangkah memasuki mulut Desa Karang Bale. Pemuda tampan berpakaian
rompi terbuat dari kulit ular itu bertingkah laku seperti orang gila.
Mulutnya tampak cengengesan.
Lalu terdengar bernyanyi-nyanyi sendirian sambil berjingkrak-jingkrakan.
Sebentar kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala seperti kegatalan. Mulutnya
terus cengar-cengir. Tingkah lakunya yang aneh itu tentu saja membuat setiap
orang yang melihat atau berpapasan merasa heran. Atau bahkan mungkin ada pula
yang menaruh rasa curiga terhadap tingkah lakunya yang konyol itu. “Pemuda
gila...,” gumam salah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan
tubuh tinggi tegap. “Kasihan, pemuda setampan dia harus gila “Iya, ya? Sayang
sekali, pemuda tampan begitu jiwanya tak waras” sambung rekannya. Lelaki
berusia sekitar lima puluh tahun berbadan tinggi kurus dengan kumis panjang.
Kedua lelaki setengah baya itu tak henti-hentinya menatap pemuda gila yang tak
lain Sena Manggala atau lebih terkenal dengan julukan Pendekar Gila.
“Ah ah ah, panas sekali” gumam
Sena dengan mulut cengengesan.
Sejenak Pendekar Gila
menghentikan langkahnya.
Memandang dengan mata menyipit
dan mulut nyengir ke sekelilingnya. Seakan-akan tengah mencari tempat untuk
berteduh dari panasnya mentari.
Kedua orang lelaki setengah
baya itu masih memperhatikan tingkah laku Pendekar Gila yang lucu.
Bahkan tingkah lakunya semakin
lucu dan konyol ketika hendak menghindar dari panas matahari.
“Aha, Kisanak sekalian, di
manakah ada kedai sekitar sini...?” tanya Sena setelah menyadari sejak tadi
dirinya menjadi perhatian kedua lelaki setengah baya itu. Tangannya
menggaruk-garuk kepala, mulutnya cengengesan. Kemudian kakinya melangkah
mendekati kedua lelaki tua itu, yang tersentak kaget dan berlari terbirit-birit
ketakutan.
“Orang gila itu mengejar kita”
“Cepat lari”
Kedua orang tua itu lari
tunggang-langgang, takut kalau-kalau pemuda bertingkah laku gila akan mengamuk.
Biasanya memang mereka melihat orang gila mengamuk jika diperhatikan. Itu
sebabnya mereka langsung kabur ketika Pendekar Gila menghampiri.
Pendekar Gila tertawa
cekikikan menyaksikan kejadian lucu itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala
dengan mulut cengengesan.
“Ah ah ah, lucu sekali Aneh
memang dunia ini.
Kadangkala, orang gila menjadi
sasaran tuduhan. Hi hi hi...” gumamnya sambil menggeleng-geleng kepala.
Setelah memperhatikan kedua
orang tua yang lari terbirit-birit, dengan masih cengengesan sambil
bernyanyi-nyanyi Pendekar Gila meneruskan
langkahnya. ***
Pendekar Gila yang sedang
mencari sebuah kedai untuk beristirahat, seketika menghentikan langkah ketika
lima orang lelaki bermuka garang berdiri menghadang di hadapannya. Kelima
lelaki berpakaian sama dan bersenjata golok terselip di pinggang itu, menatap
tajam wajahnya. Satu orang yang berkumis tebal dengan rambut terurai lurus,
melangkah maju.
“Desa ini sedang tak aman,
siapa kau?” bentak lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan tegas.
Matanya yang lebar, menatap tajam pada Pendekar Gila penuh selidik.
“Hi hi hi..., lucu sekali”
gumam Sena seperti tak menghiraukan pertanyaan lelaki ini. Mulutnya
cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat lelaki
berpakaian biru mengkilap seperti beludru itu semakin gusar. “Bocah Gila,
katakan siapa kau sebenarnya?”
bentak Walang Kejer dengan
gusar, karena merasa pertanyaannya tak dihiraukan.
“Hi hi hi..a Gila...? Aha,
memang aku gila. Tetapi aku tidak segila kau, yang main bentak pada orang,”
sahut Sena disertai tawa
cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala, yang
membuat Walang Kejer berserta keempat walang lainnya bertambah geram.
“Bocah Edan Ditanya malah
cengengesan”
sentak Walang Kerik.
Nampaknya lelaki bertubuh
kurus dengan kumis tipis itu, tak sabar melihat tingkah laku Pendekar Gila yang
konyol. Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu, melangkah maju sambil
tangannya meraba gagang golok.
“Aha, beginikah sambutan
pendekar Desa Karang Bale?” gumam Sena dengan cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang
Walang Kerik yang sedang
meraba gagang golok. “Ah ah ah Kurasa tak sepantasnya kalian berbuat seperti
itu. Bukankah warga Desa Karang Bale terkenal dengan keramahannya?”
Kelima Walang Sakti itu saling
pandang,
mendengar ucapan Pendekar
Gila.
“Ah, aku mendengar warga Desa
Karang Bale
sangat menghormati tamunya.
Mengapa kini kulihat lain?” tanya Pendekar Gila seperti bergumam.
Kemudian dengan mulut
cengengesan, digeleng-gelengkan kepalanya.
“Bocah Gila, katakan siapa kau
sebenarnya dan ada maksud apa kau datang ke desa ini?” tanya Walang Kejer.
Amarahnya agak mereda, setelah memperhatikan gerak-gerik dan penuturan Pendekar
Gila, nampaknya Walang Kejer mengetahui suatu kekuatan yang dimiliki diri
pemuda bertingkah laku gila itu.
“Aha, aku hanya seorang pemuda
gila yang tak tentu arah. Kemana pikiran gilaku mengajak, ke sana aku
melangkah,” tutur Pendekar Gila setengah berfilsafat yang menjadikan Walang
Kejer semakin mengerutkan kening. Pikirannya semakin ber-sungguh-sungguh
menyelidik Pendekar Gila yang nampak masih cengengesan.
“Kau petualang?” tanya Walang
Kejer me-
mastikan.
“Hi hi hi... Kau tahu dari
mana, Kisanak?” tanya Sena sambil cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
“Dasar bocah gila Bukankah
tadi kau yang
mengatakannya?” bentak Walang
Kerik dengan geram. Matanya melotot memandang penuh
kebencian pada Pendekar Gila.
“Aha, kau nampaknya pemarah,
Kisanak? Ah ah ah, sangat berbahaya Kurasa, tak sepantasnya kau marah. Sebagai
pendekar desa kau haruslah sabar dan berjiwa besar,” ujar Pendekar Gila bernada
menggurui.
Mendengar ucapan Pendekar Gila
barusan,
kelima Walang Sakti tersentak
marah. Mereka sepertinya merasa tersinggung.
“Kurang ajar Lancang sekali
kau mengguruiku, Bocah Gila” dengus Walang Kerik seraya melangkah maju dengan
tangan kanan siap mencabut golok.
Namun dengan cepat, Walang
Kejer sebagai orang tertua di dalam Lima Walang Sakti segera
mencegahnya.
“Sabar Apa yang dikatakannya
memang benar. Kita tak boleh sembarangan mencurigai seseorang.”
“Tapi nampaknya dia perlu kita
curigai, Kang,”
kilah Walang Kerik.
“Hm, kurasa memang begitu,
karena dia orang asing di Desa Karang Bale ini. Namun, keramah-tamahan dan
sikap sopan santun yang sudah dikenal banyak orang tak boleh kita lupakan.
Sabarlah dulu”
usai menenangkan adiknya,
Walang Kejer mendekati Pendekar Gila yang masih cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
“Hi hi hi... Aneh..., aneh... Dunia
ini memang aneh,” gumam Pendekar Gila. Kemudian tanpa menghiraukan kelima
Walang Sakti, dia bernyanyi-nyanyi sendiri. Sambil mendongak, memandang langit
biru Pendekar Gila melolos Suling Naga Sakti yang terselip diikat pinggangnya.
Lalu dengan enaknya ditiupnya suling itu, mengalunkan nyanyian yang merdu.
Lima Walang Sakti hanya bisa
bengong
menyaksikan tingkah laku
Pendekar Gila. Walang Kerik yang paling tak suka tampak geram dengan wajah
merah. Hatinya benar-benar jengkel melihat tingkah laku Pendekar Gila yang
baginya menyebal-kan. Ditanya benar-benar justru dengan enak-enakan bernyanyi
sambil meniup sulingnya.
“Bocah Edan Hentikan tiupan
sulingmu yang sumbang itu” bentak Walang Kerik.
Pendekar Gila menghentikan
tiupan sulingnya.
Matanya menoleh ke wajah
Walang Kerik. Mulutnya cengengesan. Kemudian setelah menyelipkan Suling Naga
Sakti ke ikat pinggang, tangannya menggaruk-garuk kepala.
“Aha, rupanya kau tak suka
bernyanyi, Kisanak?
Pantas..., pantas kalau kau
pemarah,” sindir Pendekar Gila dengan tingkahnya yang konyol. Hal itu tentu
saja membuat Walang Kerik semakin marah.
“Kurang ajar Dia memang perlu
dihajar, Kakang
Biarkan aku menghajarnya”
dengus Walang Kerik sambil mencelat maju dengan tangan menarik gagang golok.
Srt
“Kuhajar kau, Bocah Gila
Hea...” tangan Walang Kerik membabatkan goloknya dengan gerakan
melengkung.
Wrt
Mendapat serangan begitu
cepat, Pendekar Gila segera berkelit dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat'. Ditundukkan tubuhnya ke bawah, kemudian meliuk-liuk ke kanan dan ke
kiri dengan gerakan lemah gemulai.
Wut
Golok yang dibabatkan Walang
Kerik menderu hanya beberapa jari di sebelah kanannya. Dengan cepat, Pendekar
Gila mengibaskan kaki kanannya menendang kaki kiri Walang Kerik yang menekuk
dan berada di depan.
“Hea”
Wrt
Dengan cepat Walang Kerik
bergerak sambil
membabatkan goloknya.
namun....
Plak Bugk
“Aduh”
Walang Kerik terpekik keras.
Tubuhnya yang belum mantap setelah menyerang, tanpa ampun lagi harus
terjengkang jatuh karena sambaran kaki Pendekar Gila. Walang Kerik meringis,
ketika dirasakan tulang mata kakinya sakit. Sedangkan Pendekar Gila kini
berjingkrakan sambil terkikik nyaring dengan tangan menggaruk-garuk kepala,
persis seekor kera kegirangan.
Keempat Walang Sakti lainnya
yang menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila, terperangah kagum bercampur
keheranan. Mereka tak menyangka kalau dalam satu jurus saja, pemuda bertingkah
gila itu dapat menjatuhkan Walang Kerik.
“Kurang ajar Jangan kau girang
dulu, Bocah Gila
Aku akan mengadu nyawa
denganmu” dengus
Walang Kerik semakin marah,
karena merasa diejek begitu rupa di depan keempat saudaranya. Tubuhnya segera
bangkit berdiri. Kemudian dengan cepat mengatur kedudukan kuda-kudanya. Matanya
menatap penuh amarah pada
Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Tahan” tiba-tiba dari arah
barat, terdengar suara seseorang berseru. Bentakan keras itu membuat Walang
Kerik yang hendak menyerang, seketika menghentikan geraknya. Serentak mereka
semua menoleh ke tempat asal suara tadi.
Seorang lelaki berusia sekitar
enam puluh tahun dengan pakaian warna merah bata lengan panjang melangkah
menghampiri Lima Walang Sakti yang seketika menjura memberi hormat. Di
belakangnya lelaki berwajah tenang dan berwibawa berjalan mengiringi.
“Ampun, Ki Lurah Ada seorang
pemuda berpura-pura gila hendak membuat onar di Desa Karang Bale ini,” tutur
Walang Kerik sambil menjura pada Ki Lurah Sentana yang datang bersama adiknya
Ki Tunjung Melur.
Ki Lurah Sentana dan Ki
Tunjung Melur seketika memperhatikan tingkah laku Pendekar Gila. Kening
keduanya mengerut, apalagi setelah melihat Suling Naga Sakti terselip di ikat
pinggang pemuda berompi kulit ular itu. Tanpa disadari mata Ki Lurah Sentana
terbelalak. Begitu pun Ki Tunjung Melur yang seolah telah mengenal betul jati
diri pemuda gila itu. Dengan suara lirih Kepala Desa Karang Bale itu berdesis.
“Suling Naga Sakti...”
Kelima Walang Sakti yang belum
mengetahui
siapa pemuda gila itu pun
turut terperanjat mendengar nama suling milik pemuda gila
berpakaian rompi kulit ular
itu.
“Kisanak, ada hubungan apa kau
dengan Singo Edan, Pendekar Gila dari Goa Setan?” tanya Ki Lurah Sentana dengan
mata memperhatikan tingkah laku Pendekar Gila yang konyol.
“Hi hi hi..., lucu sekali
Dunia ini memang aneh.
Atau memang sudah menjadi
peradatan, kalau yang masih muda akan bertingkah ugal-ugalan?” gumam Sena,
seakan tak menghiraukan pertanyaan yang dilontarkan kepala desa itu. Namun
nampaknya Ki Sentana memahami tutur kata Pendekar Gila. Hal itu terlihat dari tatapan
mata lelaki tua itu pada Lima Walang Sakti yang serentak menundukkan kepala.
Mereka berlima seolah-olah
merasa bersalah.
“Maafkan atas kesalahan
mereka, Kisanak
Mereka hanya menjalankan
tugas, menjaga
keamanan desa ni yang baru
saja tertimpa
kemalangan,” ujar Ki Sentana
membuka percakapan.
Suaranya begitu tenang ian
berwibawa. “Kalau boleh kami tahu, ada hubungan apa Kisanak dengan Singo Edan
sahabat kami?”
“Aha, aku murid tunggalnya,
Ki,” jawab Sena dengan tingkah laku yang masih konyol. Tangannya kembali
manggaruk-garuk kepala.
“Heh...?” Tersentak Ki Sentana
dan Ki Tunjung Melur
setelah tahu kalau pemuda
bertingkah gila itu murid Singo Edan. Pantas kalau pemuda ini memiliki Suling
Naga Sakti, senjata sakti yang sampai saat ini belum ada tandingannya.
“Oh, maafkan kami, Tuan
Pendekar Kalau begitu, Tuanlah yang bergelar Pendekar Gila,” ujar Ki Sentana
sambil menjura hormat pada Pendekar Gila.
“Ah ah ah, mengapa kau panggil
aku Tuan
Pendekar? Lucu sekali Sangat
lucu...” gumam Sena sambil cengengesan dengan kepala menggeleng.
“Kalau kau dan guruku
bersahabat, maka tak sepantasnya menyebut diriku Tuan Pendekar.
Namaku Sena Manggala.”
Ki Lurah Sentana dan Ki
Tunjung Melur, serta Lima Walang Sakti terperangah mendengar jawaban Pendekar
Gila. Pemuda gila itu ternyata memiliki budi pekerti yang luhur.
“Baiklah, Sena. Kuanggap
kebetulan sekali, kau datang ke desa kami,” kata Ki Sentana sambil menarik
napas dalam-dalam. Wajahnya seketika berubah muram, membuat Pendekar Gila
mengerutkan kening dan memandang keheranan.
“Aha, kalau boleh aku tahu,
apa sebenarnya yang telah menimpa desa ini?” tanya Pendekar GUa ingin tahu.
“Kalau kau berkenan,
singgahlah dulu di rumahku. Nanti akan kuceritakan apa yang telah terjadi...,”
ajak Ki Lurah Sentana.
“Aha, baiklah. Aku pun
sebenarnya ingin melepas lelah,” jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala, yang membuat Walang Kerik tampak jengkel. Hal itu
terlihat dari tatapan mata yang sinis, penuh kebencian. “Huh, bertingkah”
sungut Walang Kerik dalam hati. “Siapa pun kau, aku tak suka Hm, tunggu saja
saatnya.”
Pendekar Gila pun melangkah,
mengikuti Ki
Sentana dan Ki Tunjung Melur
meninggalkan mulut desa tempat Lima Walang Sakti masih berdiri.
*** 4
Siang itu Ki Lurah Sentana mengajak
Pendekar Gila untuk bersantap di rumahnya. Sambil menyantap makanan, kepala
desa itu pun menceritakan
peristiwa yang baru saja
dialami di desanya.
Diceritakan bahwa setelah
hampir sepuluh tahun Ki Boleng mati di tangan guru Pendekar Gila, peristiwa
penculikan dan pembunuhan terhadap perawan-perawan desa tak ada lagi. Namun
tiba-tiba hari ini, Desa Karang Bale dikejutkan dengan kematian Watiri secara
mengerikan.
Pendekar Gila menggaruk-garuk
kepala dengan tangan kiri. Mulutnya nyengir, seakan ada sesuatu yang sedang
dipikirkan. Setelah itu kembali mengunyah makanan yang baru saja dimasukkannya
ke dalam mulut.
“Aha, aneh sekali,” gumam Sena
dengan mulut nyengir. “Apakah kau tak mencurigai seseorang, Ki?”
“Itulah yang sulit, Sena. Kami
tak pernah
mencurigai seseorang, karena
sejak dulu kami berusaha menunjukkan keramahan dan itikad baik pada siapa pun
yang datang ke desa ini,” sahut Ki Sentana setengah menyesal.
Pendekar Gila sesaat terdiam.
Tangan kirinya kembali menggaruk-garuk kepala. Kemudian nampak mulutnya yang
nyengir, seperti orang tolol sedang kebingungan.
“Bagaimana menurut pendapatmu,
Sena?” tanya Ki Tunjung Melur.
Mendengar pertanyaan itu
Pendekar Gila semakin cengengesan dengan tangan kian cepat menggaruk.
Dirinya pun sedang bingung
untuk mencari jejak pertama guna memperkirakan siapa sebenarnya pelaku dari
kejadian yang dialami anak Ki Pardi.
“Huh, tolol sekali aku ini”
gumam Pendekar Gila sambil menepuk-nepuk keningnya dengan tangan kiri.
“Ah, kenapa aku bodoh? Hm...,
sulit amat...”
Ki Lurah Sentana dan adiknya
tampak tersenyum keheranan melihat tingkah laku pemuda di hadapan mereka.
“Apakah kau tak memiliki
pandangan, Sena?”
tanya Ki Sentana.
Pendekar Gila tercenung diam.
Keningnya
mengerut, kemudian mulutnya
cengengesan.
“Pandangan? Aha, kau benar
kita memang harus memiliki pandangan,” sahut Sena. Kemudian nampak dirinya
kembali tercenung, lalu cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Ki Sentana
dan Ki Tunjung Melur hampir tertawa melihat tingkah laku Pendekar Gila. Kalau
saja mereka tak segera sadar bahwa tamunya Pendekar Gila, mungkin Ki Lurah pun
sudah meninggalkan pemuda yang bertingkah konyol itu.
Pendekar Gila tak meneruskan
kata-katanya, melainkan terus menyantap makanannya dengan lahap. Hal itu
membuat Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur tersenyum-senyum. Mereka senang
menyaksikan Pendekar Gila lahap menyantap hidangan yang telah disajikan.
“Aha, aku ada akal” seru Sena
tiba-tiba dengan mulut masih mengunyah makanannya. Suara keras itu membuat Ki
Sentana dan Ki Tunjung Melur tersentak kaget.
Ki Tunjung Melur dan Ki
Sentana kembali
tersenyum sambil menarik napas
dalam-dalam. “Apa itu, Sena?” tanya Ki Sentana.
“Ya, katakanlah Kami memang
sangat meng-
harapkan buah pikirmu, juga
bantuanmu,” tambah Ki Tunjung Melur.
“Ah ah ah, tanpa kalian minta
pun, aku akan berusaha membantu kalian,” sahut Sena, “Kalian teman-teman
guruku. Sudah sepantasnya kalau aku turut membantu.”
“Terima kasih atas
kesediaanmu, Sena,” ujar Ki Lurah Sentana.
“Ah, sudahlah, Ki Kini kita
harus berpikir mencari jalan, bagaimana untuk dapat mengetahui siapa sebenarnya
pelaku dari pembunuhan keji itu,” usul Pendekar Gila sambil menyantap makanan.
“Ya ya, kau benar,” sahut Ki
Tunjung Melur, “Kita memang harus secepatnya membekuk pelaku keji itu.
Sebelum ada korban lain yang
jatuh ke tangannya.”
“Aha, tepat sekali. Kurasa,
aku harus menyelidiki semuanya,” kata Pendekar Gila.
“Kau akan pergi?” tanya Ki
Sentana, kaget.
“Begitulah,” sahut Pendekar
Gila.
“Mengapa harus pergi? Bukankah
lebih baik kau tinggal di rumahku?” saran kepala desa itu berusaha mencegah
agar Pendekar Gila tak meninggalkan Desa Karang Bale.
“Ah, terlalu merepotkan, Ki,”
sahut Pendekar Gila.
“Biarlah aku menyelidiki
semuanya dari jauh
Maksudku agar gerak-gerikku
labih bebas.”
Ki Sentana terdiam beberapa
saat, berusaha mencerna ucapan Pendekar Gila. Memang benar apa yang dikatakan
pemuda itu. Dengan kehadiran Pendekar Gila di Desa Karang Bale, pelaku
pembunuhan itu tentu akan
menahan diri, jika ada rencana untuk berbuat lagi. Sebab bukan tak mungkin
kalau pelaku itu telah mengenal siapa Pendekar Gila sebenarnya. Seorang tokoh
muda yang namanya telah kesohor di kalangan rimba persilatan.
“Benar katamu, Sena. Kurasa
kalau kau berada di sini terus, penjahat itu akan tahu,” tukas Ki Tunjung
Melur.
“Ya ya, kau benar. Tetapi,
kuharap kau tidak melepaskan begitu saja, Sena,” harap Ki Sentana.
“Aha, aku akan berusaha, Ki.
Ah ah ah, kenyang sekali perutku Wah, bisa-bisa aku ketiduran, Ki,” ujar Sena
berseloroh sambil mengelus-elus perutnya yang terasa kenyang, setelah menyantap
makannya.
“Kalau memang kau ngantuk,
tidurlah di sini, Sena” ujar Ki Sentana menawarkan.
“Aha, terima kasih, Ki. Kau
telah berbaik hati padaku. Izinkanlah aku meneruskan perjalananku dulu,” sahut
Sena.
“Kau jadi pergi juga, Sena?”
tanya Ki Sentana dengan kening mengerut, seakan tak percaya kalau Pendekar Gila
akan meneruskan perjalanannya.
Padahal Desa Karang Bale
sedang membutuhkan Pendekar Gila.
“Aha, jangan khawatir, Ki
Kurasa kalian mengerti maksudku,” ujar Pendekar Gila. Kemudian setelah bangun
dan memberi hormat pada Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur, Pendekar Gila
melangkah keluar untuk meneruskan perjalanannya.
“Jangan lupa, Sena”
“Aha, akan kuingat” sahut
Pendekar Gila sambil menoleh pada Ki Sentana.
“Titip salam pada gurumu,”
ujar Tunjung Melur pura-pura sambil melambaikan tangan, yang dibalas Pendekar
Gila dengan lambaian tangan pula.
Pendekar Gila terus melangkah,
seakan tak tahu ada sepasang mata mengikuti langkah kakinya dengan pandangan
penuh kebencian. Di bibir orang itu, tersungging senyum sinis dan dendam.
“Tunggulah saatnya, Pendekar
Gila” dengus pemilik senyum bengis dengan tatapan tajam penuh dendam. Sekejap
kemudian sesosok bayangan
berkelebat meninggalkan semak
belukar tempat dirinya mengintip Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang sebenarnya
tahu hanya
tersenyum-senyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Dengan tangan menggaruk-garuk kepala, dirinya
terus melangkah meninggalkan Desa Karang Bale.
“Aha, kurasa orang itu bukan
orang baik-baik. Hm, kulihat saja nanti,” gumam Pendekar Gila sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Kakinya melangkah
cepat, seakan-akan ingin segera meninggalkan Desa Karang Bale. ***
Mentari mulai condong ke
barat, menandakan bahwa hari menjelang senja. Empat orang gadis berusia sekitar
dua puluh tahunan tampak melintasi hutan karet. Sambil bercanda ria mereka
berjalan menuju telaga yang terletak di selatan Desa Karang Bale. Nampaknya
mereka hendak mandi sore. Di perbatasan desa, mereka bertemu dengan dua jawara
pengawal Ki Sentana.
“Mau ke mana, Den Putri?” sapa
Ki Barman pada Wirani, anak Ki Lurah Sentana yang berjalan bersama ketiga gadis
temannya.
“Mau ke telaga, Paman,” sahut
Wirani.
“Hati-hati, Den Putri Kalau
ada apa-apa di telaga, berteriaklah agar kami cepat mendengar” saran Ki Sobrah.
“Memangnya kenapa, Paman?”
“Tidak apa-apa. Bukankah Den
Putri melihat sendiri kejadian yang dialami anak Ki Pardi?” tanya Ki Barman
setengah mengingatkan.
“Baiklah, Paman. Saya pergi
dulu”
“Ya ya, hati-hati...,” kata Ki
Sobrah kembali mengingatkan.
Keempat gadis itu
menganggukkan kepala,
kemudian meneruskan perjalanan
ke telaga.
Sementara Ki Barman dan Ki
Sobrah masih
memperhatikan keempatnya yang
terus melangkah.
Sepertinya ada sesuatu yang
dikhawatirkan kedua jawara desa itu.
Keempat gadis itu terus
melangkah sambil terus berbincang-bincang.
“Kasihan ya Watiri? Aku tak
menyangka, kalau dia akan mengalami hal semacam itu,” ujar Wirani membuka
percakapan. Wajahnya kini menggambarkan kesedihan. Antara dia dan Watiri memang
sangat akrab.
“Iya ya?” sambung gadis
berkain kuning. “Coba saja kalau waktu itu dia tak pulang dahulu, tentunya tak
akan terjadi hal seperti itu.”
“Namanya saja sudah suratan
takdir,” selak gadis berpakaian coklat. “Bagaimanapun juga, kalau yang kuasa
menghendaki, kita tak bisa lepas.”
“Tapi nampaknya itu bukan
kehendak Hyang Widi, Serani. Hyang Widi tak akan setega itu, melepaskan nyawa
manusia dengan menghancurkan raganya,”
bantah Wirani tak setuju
dengan pendapat temannya yang mengatakan kematian Watiri karena sudah kehendak
Hyang Widi. “Bukankah kita diciptakan untuk berusaha?”
“Ya ya ya, kau benar, Wirani.
Ah, sudahlah Jadi merinding bulu kudukku,” tukas Serani berusaha mengakhiri
pembicaraan mereka terhadap Watiri.
Ketiga temannya tertawa,
melihat Serani takut.
Namun keempatnya menurut diam.
Mereka pun terus berjalan. Kini mereka telah semakin dekat dengan telaga.
Sambil bercanda ria, keempat
gadis itu segera menceburkan di ke telaga. Pecahlah suara tawa mereka. Bermain
siram-siraman sambil menikmati hangatnya air telaga yang bening itu.
Sementara mentari sore
mengawasi gadis-gadis cantik itu bahkan menjilati kulit tubuh-tubuh mulus itu.
Mereka tak mempedulikan keadaan di sekitar telaga yang tampak sunyi. Mereka tak
tahu kalau dari balik semak-semak di sekitar telaga ternyata ada sepasang mata
durjana tengah mengawasi. Sepasang mata merah, karena menahan nafsu yang
bergejolak di hatinya.
“Hm, sangat menggairahkan anak
Ki Lurah itu,”
gumam pemilik sepasang mata merah
membara
sambil terus memandangi tubuh
Wirani yang mulus dan menggiurkan.
“Aha, rupanya ada buaya yang
mengintai gadis-gadis mandi”
Tiba-tiba terdengar seruan
yang cukup mengejut-kan pemilik sepasang mata merah itu. Seketika sesosok tubuh
melesat meninggalkan semak-semak di tepian telaga.
“Aaa...”
Bukan hanya lelaki bertubuh
tinggi besar yang kaget, tetapi keempat gadis yang tengah bersendau gurau di
telaga pun terperanjat. Mereka tak menyangka sejak tadi ada yang mengawasi.
“Tolong... Tolooong...” teriak
keempat gadis itu.
“Hai, jangan lari” teriak
Pendekar Gila sambil melesat cepat memburu sesosok tubuh tinggi besar
berpakaian abu-abu. ***
Pendekar Gila menduga orang
bertubuh tinggi besar dan berpakaian abu-abu itu pasti punya maksud jahat terhadap
gadis-gadis yang sedang mandi. Itulah sebabnya pendekar muda itu terus
mengejarnya.
“Aha, mau lari ke mana kau,
Buaya?” teriak Pendekar Gila sambil terus mengejar sosok tinggi besar
berpakaian abu-abu yang terus melesat meninggalkan telaga.
Kejar-mengejar antara Pendekar
Gila dengan lelaki tinggi besar berpakaian abu-abu pun terus berlangsung. Sena
hampir saja mampu mencapai lelaki itu. Namun tiba-tiba lelaki berambut putin
terurai panjang itu melemparkan sesuatu dari tangannya.
Wusss
Glaaar...
Ledakan keras terdengar,
disusul kepulan asap tebal berwarna hijau. Melihat asap tebal itu mengepung
dirinya, Pendekar Gila terkejut. Dengan gerakan cepat tubuhnya melompat
menghindar dari sergapan asap beracun itu. Namun ketika terbebas dari kepungan
asap, Pendekar Gila sudah tak melihat lagi lelaki berpakaian abu-abu yang
dikejarnya.
“Ah, tolol sekali aku ini”
gumam Pendekar Gila dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari ke mana lelaki
berbadan tinggi besar lari. Namun tetap tak ditemukannya lelaki berambut putih
panjang tadi.
Dipasangnya mata dan telinga
dengan sikap waspada penuh. Dipusatkan seluruh kemampuan untuk mengawasi tempat
itu. Namun ternyata tak ada suara apapun, kecuali desau angin menerpa dedaunan
dan beberapa kicau burung pulang ke sarangnya.
“Aha, kurasa ada baiknya aku
menyelidiki di dalam hutan ini. Siapa tahu ada yang mencurigakan,”
pikir Sena. Kakinya segera
melangkah masuk ke hutan. Mata dan telinganya dipasang tajam-tajam dan waspada.
Swing
Tiba-tiba, sebuah belati kecil
melesat kencang ke arah kepalanya.
“Aits” dengan cepat Pendekar
Gila memiringkan tubuh ke samping kiri, mengelakkan sambaran pisau itu.
Sehingga benda itu hanya beberapa jari melesat di samping kanan kepalanya.
Jrabs
Pisau itu menancap di batang
pohon tak jauh dari tempat Pendekar Gila.
“Edan Hi hi hi... Rupanya kau
mau main-main, Setan Belang” teriak Pendekar Gila seraya melesat ke tempat asal
pisau itu. Tubuhnya melesat cepat.
Namun baru beberapa langkah
dia berlari, seketika langkahnya terhenti. Di hadapannya berdiri dengan garang
sesosok serigala hitam bertubuh sangat besar. Serigala itu luar biasa besarnya.
Matanya yang merah kehitaman mencorong tajam memperlihatkan kebuasan.
“Auuu... Grrr... Aaauuung...”
Pendekar Gila kaget dan keheranan melihat
kehadiran serigala besar yang
secara tiba-tiba.
Dengan kening berkerut dan
mata terus mengawasi makhluk aneh itu, Pendekar Gila melangkah mundur beberapa
tindak. Hatinya kembali tersentak kaget ketika serigala hitam itu mengeluarkan
suara keras menggelegar dan memekakkan telinga. Tampak gigi-giginya yang
runcing ketika moncongnya terbuka.
“Aauuu... Grrr.. Aaauuu...”
“Aha rupanya kau hendak
main-main denganku, Raja Hutan? Hi hi hi...” Pendekar Gila cekikikan dengan
kaki masih melangkah mundur. Matanya masih menatap tajam kepada serigala itu.
Binatang buas itu terus membuka mulutnya yang mengeluarkan cairan bening,
lidahnya menjulur-julur seolah-olah menjanjikan kematian bagi siapa pun yang
berani melawannya.
Merasa mendapat tantangan dari
Pendekar Gila, binatang itu tampak kian marah. Kepalanya yang besar
digetar-getarkan, hingga air liur dari mulutnya terciprat ke rerumputan.
Kemudian, dengan cepat tiba-tiba serigala hitam itu melompat menyerang Pendekar
Gila. Kedua kaki depan, dengan kuku-kukunya yang tajam siap menerkam kepala
pemuda itu. Dan moncongnya pun membuka lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang
runcing.
“Aits Hea...”
Dengan cepat Pendekar Gila
melompat ke
samping. Dilebarkan kaki
kirinya, sementara kaki kanannya ditekuk. Lalu dengan cepat, tangan kanannya
menghantam perut serigala yang melompat di samping tubuhnya.
“Hih...”
Begk “Auuu Grrr...”
Serigala besar itu menggeram
sengit. Tubuhnya terpental ke depan, karena terkena hantaman tangan Pendekar
Gila. Setelah bergulingan, dengan penuh amarah serigala besar itu kembali
berdiri siap menerkam. Mulutnya dibuka, menunjukkan gigi-giginya yang runcing.
Sedang sepasang matanya yang merah kehitaman menyorot tajam mangsanya.
“Auuu Grrr... Aauuu...”
“Aha, rupanya kau kuat juga,
Kawan Hi hi hi...
Baiklah kalau kau mau
main-main denganku,”
gumam Sena sambil cengengsan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Dengan cepat Pendekar Gila membuka
jurusnya yang bernama 'Kera Gila Menari Mencengkeram Mangsa'. Gerak-gerik
tubuhnya seperti seekor kera
gila, menari-nari dengan kedua tangan bergerak mencengkeram dan
mencakar.
“Auuu Grrr.. Aaauuu...”
Dengan penuh amarah, serigala
besar itu kembali melompat. Namun dengan gerakan aneh, Pendekar Gila segera
meliukkan tubuh. Tingkah lakunya persis seperti seekor kera.
“Hi hi hi... Nguk.... Nguk”
Sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat, Pendekar Gila mengejek
lawannya. Hal itu membuat serigala besar itu bertambah marah. Dengan menggeram
keras, binatang itu melompat hendak mencengkeram Pendekar Gila.
“Auuu... Grrr Auuu...”
Wrrr
“Aits Hi hi hi... Tak kena,
Binatang Tolol” ejek Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang konyol.
Mulutnya cengengesan,
tangannya bergerak-gerak seperti seekor kera yang kegirangan dengan kaki
berjingkrakan.
Serigala besar itu tampaknya
sangat marah
melihat tingkah laku Pendekar
Gila. Sepertinya binatang buas itu, ada yang memerintah atau dalam pengaruh
sihir. Hal itu dapat dilihat dari sikap dan gerak-geriknya yang mirip makhluk
berakal. Binatang itu seakan menaruh dendam dan rasa benci terhadap Pendekar
Gila.
“Aha, kurasa ada yang menyuruh
kau, Binatang Tolol Baiklah, aku akan meladenimu,” tantang Pendekar Gila sambil
membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.
“Grrr... Auuu...”
Binatang besar itu melompat
dengan cakaran kuku-kukunya yang tajam. Namun dengan cepat, Pendekar Gila
melompat pula ke samping. Tangannya bergerak menepuk ke kepala binatang besar
dan ganas itu.
“Heaaa”
Plak
“Auuu... Grrr”
Serigala itu seketika melolong
keras kesakitan.
Tubuhnya terpental ke
belakang. Kepalanya hancur, terhantam telapak tangan Pendekar Gila. Binatang
itu terus melayang, dan baru berhenti ketika menghantam pohon, dan jaruh dengan
menimbulkan suara gedebum yang sangat keras.
Buggg
Pendekar Gila menarik napas
dalam-dalam.
Kepalanya digeleng-gelengkan.
Seakan dirinya merasa tak tega untuk membunuh binatang itu.
Namun jika tak dibunuh, dialah
yang menjadi mangsa binatang buas itu. “Ah, kasihan sekali kau, Binatang malang
Tuanmu memang jahat,
menyuruhmu menghantar nyawa. Ah ah ah, tuanmu itu pengecut sekali,”
gumam Sena. Matanya menatap
bangkai serigala yang tubuhnya hancur. Kemudian dengan
menggeleng kepala, Pendekar
Gila segera melangkah meninggalkan tempat itu.
Mentari telah tenggelam di
bumi sebelah barat, menjadikan keadaan di sekitar Desa Karang Bale gelap. Di
telaga yang tadi tampak beberapa gadis-gadis Desa Karang Bale, kini telah sepi.
Hanya air telaga yang masih mengerucuk dari pancuran.
*** 5
Malam terus merayap dengan
kegelapan yang
menyelimuti bumi. Suasana Desa
Karang Bale nampak sepi. Pintu rumah-rumah penduduk sudah tertutup. Warga Desa
Karang Bale dicekam rasa takut. Terutama mereka yang memiliki anak perawan.
Mereka takut kalau anaknya
diculik seperti yang terjadi pada Watiri, anak Ki Pardi. Namun meski
rumah-rumah penduduk nampak sepi, di pos-pos ronda, beberapa warga desa nampak
melakukan penjagaan.
Setiap gardu, nampak lima
orang berjaga-jaga.
Kegiatan itu memang diperintah
kepala desa mereka, agar tak terulang kembali kejadian yang menimpa keluarga Ki
Pardi. Bahkan anak-anak gadis, sejak sore telah dilarang keluar dari rumah.
Malam semakin larut, dengan
hawa dingin yang terasa menusuk tulang. Rasa kantuk pun mulai menyerang para
petugas ronda. Namun mereka tetap berusaha untuk melek, agar tidak tertidur
dalam nienjalankan ronda.
“Huah, kenapa mataku ngantuk
sekali?” keluh Walang Keket.
“Ya, aku pun merasakan hal
itu,” sambung
Walang Kadut.
Kelima Walang Sakti seketika
merasakan hawa kantuk yang tak terkira. Namun salah seorang di antara mereka,
ada yang nampaknya berpura-pura mengantuk. Walang Kerik memang berpura-pura
mengantuk. Sebenarnya lelaki itu belum mengantuk sama sekali, nampaknya ada
sesuatu yang hendak
direncanakannya.
Satu persatu, keempat saudara
seperguruannya pun tertidur lelap tak tahan diserang kantuk. Walang Kerik
tampak tersenyum penuh kemenangan. Dengan tenang, dirinya melangkah
meninggalkan gardu tempat keempat saudara seperguruannya tertidur.
“Pendekar Gila, kini terimalah
pembalasanku”
dengus Walang Kerik penuh
dendam. Rupanya
kejadian siang tadi, masih
terus melekat di dalam dadanya. Dirinya merasa dipermalukan di depan orang oleh
Pendekar Gila.
Dengan langkah mantap, Walang
Kerik menuju sebuah rumah seorang saudagar. Matanya
memandang ke sekelilingnya,
berusaha meyakinkan diri kalau malam itu tak seorang pun yang melihat
perbuatannya.
Sesaat Walang Kerik menyelinap
di semak-
semak. Matanya terus
memperhatikan rumah
Juragan Kanca. Kemudian
setelah tak nampak tanda-tanda adanya tanggapan pemilik rumah, Walang Kerik
keluar. Kemudian dengan menggunakan golok, dicongkelnya pintu rumah Juragan
Kanca.
Ternyata tadi Walang Kerik
melemparkan tanah yang telah dijampi-jampi dengan ilmu sirep 'Siti Silem'
yang membuat penghuni rumah
terlelap dalam tidurnya. Dengan bebas, Walang Kerik pun segera bergerak
menggasak harta milik Juragan Kanca tanpa ada seorang pun yang memergoki. ***
Sementara itu, sesosok bayangan tinggi besar berkelebat cepat dengan tenangnya.
Bayangan abu-abu itu, sepertinya tak mengalami kesulitan sedikit pun untuk
masuk ke Desa Karang Bale. Bahkan sambil tertawa terbahak-bahak terus melangkah
menuju sebuah rumah penduduk.
“Hua ha ha... Orang-orang
bodoh Mereka kira Datuk Raja Beracun tak akan mampu masuk ke Desa Karang Bale,”
ujar sosok bayangan itu yang ternyata Datuk Raja Beracun. Langkah kakinya
lebar-lebar, menuju rumah Ki Palongan.
Desa Karang Bale bagaikan
tertidur. Tak ada seorang pun yang masih terjaga. Semua warga desa terkena
ajian sirep yang dilancarkan Datuk Raja Beracun. Bahkan Walang Kerik yang
semula hendak bermaksud jahat terhadap Pendekar Gila, kini nampak tertidur
pulas di bawah sebatang pohon asam yang tumbuh di tepi jalan.
Datuk Raja Beracun terus
melangkah menyelusuri jalanan Desa Karang Bale dengan aman. Di bibirnya
tersungging senyum, ketika melihat seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh
lima tahun dengan pakaian seorang pesilat berwarna biru mengkilap tertidur
pulas. Di sampingnya tergeletak barang-barang berharga.
“Maling tolol” gumam Datuk
Raja Beracun. “Hm, tapi kurasa dia orang Desa Karang Bale juga. Biar lebih baik
nanti kubawa saja.”
Setelah memperhatikan Walang
Kerik sesaat, lelaki bertubuh tinggi besar itu meneruskan langkahnya. Tak lama
kemudian, Datuk Raja Beracun telah sampai di rumah yang dituju. Perlahan Datuk
Raja Beracun mengintai lewat celah bilik rumah itu.
Bibirnya tersenyum,
menyaksikan seorang gadis tertidur dengan pakaian tersingkap. Sehingga pahanya
nampak terbuka, mengundang rangsang kelelakiannya.
“Hm,” gumam Datuk Raja Beracun
tersenyum.
Perlahan-lahan kuku jarinya
yang panjang, men-congkel daun jendela kamar itu. Kemudian dengan tenang, Datuk
Raja Beracun melangkahi jendela kamar Serani. Sementara gadis itu masih
tertidur dengan pulas. Pahanya yang terbuka, menjadikan mata Datuk Raja Beracun
yang merah melotot tak berkedip. Beberapa kali lelaki berusia sekitar enam
puluh tahun itu harus menelan ludah.
Dengan senyum terulas di
bibir, perlahan-lahan Datuk Raja Beracun mengangkat tubuh Serani.
Kemudian dengan cepat, melesat
meninggalkan rumah Ki Palongan. Namun tiba-tiba....
“Aha, rupanya kau iblisnya”
terdengar suara sapaan keras dari arah barat. Bersamaan dengan itu, muncul
seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tingkah lakunya seperti orang
gila. Mulutnya cengengesan, sedangkan tangannya menggaruk-garuk kepala.
Datuk Raja Beracun tersentak
kaget. Matanya yang merah, menatap dengan tajam pada Pendekar Gila. “Bocah
Gila, kau selalu ikut campur urusanku”
bentak Datuk Raja Beracun
geram. Gigi-giginya saling bergemeratukan menahan marah. Matanya yang merah
membara, tampak semakin garang bagaikan mengandung bara api.
“Hi hi hi..., lucu sekali
Bagaimana aku tak ikut campur, Iblis Cabul? Tentunya kaulah yang telah membunuh
salah seorang gadis desa ini serta memperkosanya,” tukas Pendekar Gila dengan
mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Kurang ajar Apa urusanmu”
bentak Datuk Raja Beracun sengit.
“Aha ha ha, bukankah sudah
kukatakan, aku tak suka dengan perbuatanmu” balas Sena tak mau kalah.
“Hm, kalau begitu kau harus
mampus Hea...”
dengan penuh amarah, Datuk
Raja Beracun segera menyerang Pendekar Gila. Dirinya menyangka kalau Pendekar
Gila, tak ubahnya orang-orang gila yang sering dilihatnya. Itu sebabnya Datuk
Raja Beracun menyerang dengan tak sepenuhnya.
Melihat lawan melakukan
serangan, dengan
cepat Pendekar Gila bergerak
menghindar. Diguna-kannya jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya
meliuk-liuk laksana menari, kemudian setelah lepas dari serangan lawan,
Pendekar Gila menepuk-kan tangannya.
“Hats He...”
Wrt
“Heh?” Datuk Raja Beracun
tersentak kaget dengan mata semakin melebar. Kumisnya yang tebal, tampak naik
turun karena keheranan bercampur geram menyaksikan kejadian aneh. Gerakan
liukan dan tepukan yang dilakukan pemuda gila itu, kelihatan pelan dan lemah.
Namun kalau saja Datuk Raja Beracun tak segera melompat, niscaya dadanya akan
jebol terkena tepukan itu.
“Hm, rupanya pemuda ini bukan
sembarangan
gila. Dari gerak-geriknya,
mengingatkan aku pada seorang pendekar yang puluhan tahun pernah
malang-melintang tak terkalahkan. Hm, ada
hubungan apa dia dengan
Pendekar Gila dari Goa Setan itu?” tanya Datuk Raja Beracun dalam hati dengan
tatapan mata tajam pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
“Bocah Gila, siapa gurumu”
bentak Datuk Raja Beracun.
“Hi hi hi... Lucu sekali kau,
Ki. Mengapa kau mesti bertanya tentang guruku? Hm, kalau guruku yang melihat
perbuatanmu, maka guruku tak akan mengampunimu” balas Pendekar Gila membentak
keras. Namun tingkahnya masih tetap gila.
Cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
“Sombong Kau kira gurumu akan
berani meng-hadapiku” dengus Datuk Raja Beracun pongah. “Tak ada yang berani
menghadapi Datuk Raja Beracun di rimba persilatan”
“Aha, kurasa kaulah orang yang
paling sombong, Datuk Iblis Baiklah, kukatakan padamu bahwa aku murid Singo
Edan atau cucu murid Pendekar Gila dari Goa Setan” ujar Sena tegas. Hal itu
membuat mata Datuk Raja Beracun membelalak kaget. Perlahan kakinya melangkah
mundur beberapa tindak, setelah mendengar siapa sebenarnya pemuda gila di
hadapannya.
“Heh? Kau...?”
“Hua ha ha... Kurasa kau harus
segera sadar, Datuk Iblis Lepaskan gadis itu, lalu ikut aku” ajak Pendekar
Gila.
“Cuih Walau kau cucu murid
Pendekar Gila dari Goa Setan, aku Datuk Raja Beracun tak akan mundur Hea...”
Dengan masih memanggul tubuh
Serani, Datuk Raja Beracun menyerang Pendekar Gila. Tangannya yang berkuku
panjang hitam mengandung racun, bergerak mencakar dan menusuk dada serta wajah
Pendekar Gila. Wrt
“Uts Aha, kau memang manusia
jorok, Datuk Iblis Sampai kuku-kuku saja tak kau urus” ledek Pendekar Gila
dengan harapan Datuk Raja Beracun akan marah sekali, sehingga dia akan terus
mengulur waktu sampai semua warga Desa Karang Bale
terjaga.
“Cuih Jangan banyak mulut
Terimalah jurus
'Sengatan Kala'ku ini Hea...”
meski dengan tangan satu, Datuk Raja Beracun terus bergerak menyerang Pendekar
Gila. Namun dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Pendekar Gila terus
bergerak meliuk ke sana ke mari menghindari serangan kemarahan Datuk Raja
Beracun.
“Cuih Sayang aku tak ada waktu
untukmu, Bocah Gila Terimalah ini” bersamaan dengan habisnya kata-kata itu,
tangan Datuk Raja Beracun melemparkan tiga buah benda ke arah Pendekar Gila.
Wrt Wrt Wrt
“Uts”
Dengan cepat Pendekar Gila
melompat dan ber-jumpalitan beberapa kali ke belakang menghindari serangan
rahasia itu itu.
Dar Dar
Glarrr
Ledakan dahsyat menggelegar
terdengar. Dan seketika di sekitar tempat Pendekar Gila berada tertutup asap
merah yang pekat dan mengandung racun.
“Uh Hea...” Pendekar Gila
segera menarik napas dalam-dalam, kemudian diangkatnya kedua tangan ke atas.
Lalu ditarik dan diletakkan di pinggang.
Kemudian dengan cepat,
didorongkan kedua telapak tangan mengerahkan ajian 'Inti Bayu' ke arah kabut
tebal yang menyelimuti sekelilingnya.
Wus
Angin kencang bergulung-gulung
seketika keluar dari kedua telapak tangannya. Dalam sekejap kabut merah beracun
telah tersapu bersih. Namun kembali Pendekar Gila tak menemukan Datuk Raja
Beracun.
“Ah, setan Dia lepas lagi”
geram Sena. Dua kali dia mengalami kegagalan mengejar Datuk Raja Beracun. “Hi
hi hi..., tolol sekali aku ini”
Dengan cengengesan sambil
menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila
melangkah meninggalkan tempat itu. Namun baru saja dia melangkah, dia bertemu
dengan Ki Tunjung Melur dan Ki Lurah Sentana.
“Oh, kau rupanya, Sena. Tadi
kudengar ada
pertarungan. Kaukah yang
bertarung?” tanya Ki Sentana.
“Aha, aku memang bodoh, Ki.
Aku tak dapat
menangkap pelakunya. Dia
berhasil lolos,” geram Sena. Namun mulutnya masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Hanya sorot mata yang memperlihatkan kalau dirinya
sedang kesal dan marah.
“Jadi...?” tanya Ki Tunjung
Melur. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam. Kemudian kembali pada tingkah
lakunya yang konyol. Bibirnya tersenyum-senyum, dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
“Kalian kenal Datuk Raja
Beracun?” tanya Sena.
“Datuk Raja Beracun?” desis Ki
Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur hampir bersamaan. Mata keduanya membelalak
lebar, sepertinya kaget mendengar sebutan itu.
“Aha, benar. Apakah kalian
kenal?” tanya Sena menegaskan.
“Tidak. Selama ini, kami tak
pernah mendengar seorang datuk berada di desa ini,” jawab Ki Lurah Sentana yang
menjadikan Pendekar Gila nyengir dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Ah ah ah, sulit. Bagaimanapun
aku harus bisa menangkapnya. Mungkin kalau tertangkap, kalian akan
mengenalnya,” ujar Sena dengan nada agak menyesal.
“Tapi kau harus hati-hati,
Sena. Datuk bukanlah orang sembarangan,” ujar Ki Tunjung Melur mengingatkan.
“Aha, benar. Tetapi sehebat
apa pun seorang datuk, jika melangkah di jalan sesat, Hyang Widi tak akan
merestui,” ujar Sena setengah berfilsafat
“Ya ya, kau benar,” sahut Ki
Sentana. “Oh ya, apakah dia juga membawa gadis?”
“Benar, Ki. Gadis anak pemilik
rumah itu,” jawab Sena sambil menunjuk rumah keluarga Ki Palongan.
“Hah?”
Ki Sentana dan Ki Tunjung
Melur terbelalak.
“Ayo kita ke sana” ajak Ki
Sentana.
Mereka pun segera berlari ke
rumah Ki Palongan.
Di situ Ki Sentana menemukan
bekas ledakan. Hal itu terlihat dari semburatan tanah. Namun mereka tahu,
tentunya bekas ledakan itu dilakukan Datuk Raja Beracun untuk menghindar dari
kejaran Pendekar Gila.
Malam itu pula, Desa Karang
Bale gempar
dengan hilangnya Serani. Warga
desa yang baru terjaga akibat ajian sirep 'Mega Mendung' yang ditebarkan Datuk
Raja Beracun, berbondong-bondong datang ke tempat kejadian. ***
Esok paginya, belum juga
selesai masalah
hilangnya Serani, mereka
digemparkan dengan diketemukannya Walang Kerik mencuri di rumah Juragan Kanca.
Hal itu menjadikan Ki Sentana, Ki Tunjung Melur dan Pendekar Gila tersentak
kaget.
Mereka yang mendapat laporan
dari warga segera berangkat ke balai desa. Sementara Walang Kerik telah berada
di sana bersama beberapa warga yang membawanya.
Betapa gusar dan marahnya Ki
Lurah Sentana, merasa nama baiknya sebagai Kepala Desa Karang Bale dicemarkan
oleh Walang Kerik.
“Kau tahu, apa akibat dari
perbuatanmu, Walang Kerik?” bentak Ki Lurah Sentana di balai desa.
Walang Kerik tidak menyahut.
Dirinya hanya menundukkan kepala, tak berani bertatap mata dengan Ki Lurah
Sentana dan Ki Tunjung Melur.
“Dengan tindakanmu, seorang
gadis hilang. Dan kau sudah tahu, apa yang bakal terjadi” bentak Ki Tunjung
Melur geram. Matanya menatap tajam pada Walang Kerik yang masih menunduk, tak
berani beradu pandang.
“Memalukan” dengus Ki Lurah
Sentana.
“Maafkan saya, Ki. Sebenarnya
bukan maksud saya melakukan hal tercela itu,” ujar Walang Kerik penuh rasa
sesal. Kepalanya masih menunduk dalam.
“Hm, apa sebenarnya alasanmu
melakukan
tindakan tercela itu, Walang
Kerik?” bentak Ki Tunjung Melur ingin tahu, mengapa anak buahnya tiba-tiba
berlaku pengecut dan melakukan tindakan tak terpuji. Lama Walang Kerik tak
menyahuti pertanyaan Ki Tunjung Melur. Perlahan-lahan wajahnya ditengadahkan,
kemudian melirik wajah Pendekar Gila yang berdiri di samping Ki Sentana.
“Saya..., saya ingin
mencelakakan Pendekar Gila.
Dengan mencuri, lalu
mengatakan bahwa Pendekar Gila yang melakukannya...,” jawab Walang Kerik yang
membuat Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur serta keempat saudara seperguruannya
terbelalak kaget.
Bahkan Walang Kejer dengan
mendengus,
melangkah maju mendekati adik
seperguruannya itu.
Tangannya meraba gagang golok.
“Daripada hidup, lebih baik
kau mati saja, Walang Kerik Kurasa kau pun telah meracuni kami semalam,
sehingga kami tertidur”
Srt
“Tunggu” tiba-tiba Pendekar
Gila berseru, menghentikan apa yang hendak dilakukan Walang Kejer. “Kurasa tak
baik jika kita saling bantai.
Bukankah kita sedang
menghadapi masalah yang cukup berat?”
“Tapi dia benar-benar telah
membuat muka kami tercoreng, Tuan Pendekar,” kilah Walang Kejer.
“Aha, tidak juga, Kisanak.
Kalau Hyang Widi mau mengampuni hambanya yang bersalah, mengapa kita sebagai
sesama manusia tidak?” ujar Pendekar Gila yang menjadikan semua orang yang ada
di balai desa bengong.
Mereka tak percaya kalau
pemuda gila itu mampu berpikir jernih bahkan mengandung filsafat. Seakan pemuda
itu bukan pemuda gila. Mereka semua mulai sadar, bahwa pemuda itu berilmu
tinggi. Berpikiran bijaksana dan sopan sikapnya. Meskipun kadangkala tampak
menjengkelkan. Pendekar Gila melangkah mendekati Walang
Kerik. Dengan bibir masih
cengengesan, dipegangnya pundak Walang Kerik.
“Aha, kau tak bersalah,
Kisanak. Hawa nafsu telah mempengaruhimu,” tutur Sena dengan
perasaan penuh persahabatan.
Hal itu menjadikan Walang Kerik terkesima, tak percaya kalau Pendekar Gila akan
sebaik itu.
“Kau mau memaafkan aku, Tuan
Pendekar?”
tanya Walang Kerik.
“Aha, mengapa tidak? Sebagai
hamba Hyang
Widi, sepantasnyalah kita
saling memaafkan,” sahut Sena seraya menepuk-nepuk pundak Walang Kerik.
Di bibirnya masih mengurai
senyum, berusaha meyakinkan Walang Kerik.
Dengan malu-malu, Walang Kerik
menjura hormat pada Pendekar Gila.
“Kau sungguh baik, Tuan.
Betapa kerdilnya aku ini, yang tak mau melihat kedamaian di hadapanku,”
desah Walang Kerik sambil
memeluk Pendekar Gila.
“Sekiranya aku harus dihukum,
aku siap.”
“Aha, tak perlu itu terjadi.
Bukankah milik Juragan Kanca masih utuh?” tanya Sena.
“Masih. Memang aku tak
bermaksud mencuri,”
jawab Walang Kerik.
“Aha, kalau begitu tak ada
masalah. Kini tinggal meminta maaf pada Juragan Kanca.”
Nampaknya Juragan Kanca yang
berada di balai desa, memaafkan tindakan Walang Kerik. Sehingga Walang Kerik
pun dibebaskan.
“Kita kini menghadapi masalah
yang rumit. Maka itu, kita harus menggalang persatuan dan
berwaspada” kata Ki Lurah
Sentana menegaskan.
Pendekar Gila memang telah
tahu siapa pelakunya, tapi di mana tempatnya kita belum tahu.”
“Kita cari saja” seru warga
desa.
“Ke mana...?” tanya Ki Tunjung
Melur.
Semua warga diam. Mereka tak
tahu, harus dari mana mencari Datuk Raja Beracun. Sedangkan kalau ketemu pun,
mereka tak mungkin dapat mengalahkan Datuk Raja Beracun. Tentunya Datuk itu
bergelar Raja Beracun, karena memiliki ilmu racun yang sangat hebat
“Aha, biarlah aku yang akan
berusaha mencarinya” Sena mengusulkan. “Kurasa, kini tinggal bagaimana
memperkuat keamanan Desa Karang Bale ini. “
“Baiklah kalau begitu. Memang
kita harus bisa secepatnya menghentikan sepak terjang Datuk Raja Beracun,”
sambut Ki Lurah Sentana.
“Aha, kalau begitu aku mohon
pamit.”
“Hati-hati, Sena Kami berdoa
untukmu. Semoga kau selalu dalam lindungan Hyang Widi, sehingga kita bisa
bertemu lagi,” ucap Ki Tunjung Melur.
Pendekar Gila tampak menjura
hormat pada
kepala desa dan seluruh warga
yang ada di balai desa itu kemudian melangkah keluar. Setelah sampai di halaman
balai desa, tiba-tiba secepat kilat Pendekar Gila melesat meninggalkan tempat
itu.
Mata orang-orang yang berada
di balai desa terbelalak kaget menyaksikan kepergian pemuda itu.
Mereka menggeleng-geleng
kepala karena kagum.
Sebagian dari mereka bahkan
ada yang tak sempat melihat gerakan Pendekar Gila.
“Hah Gila Manusia apa dia?”
gumam yang lain.
“Wuah, dia manusia atau
siluman?” tanya yang lain.
“Malaikat kali tuh,” sahut
rekannya.
Semua benar-benar terperangah,
menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah gila itu melesat bagaikan angin.
Sehingga dalam sekejap saja telah menghilang. Bukan hanya para warga, tetapi Ki
Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur serta Lima Walang Sakti turut
menggeleng-gelengkan kepala.
“Benar-benar bukan pendekar
sembarangan,”
gumam Ki Sentana dengan
terkagum-kagum.
“Untung dia mau memaafkanmu,
Walang Kerik.
Kalau saja dia tak mau, entah
sudah menjadi apa kau,” jumam Ki Tunjung Melur seraya menarik napas
dalam-dalam.
“Saudara-saudara, seperti apa
yang dikatakan Pendekar Gila, kita harus meningkatkan keamanan desa kita” kata
Ki Lurah Sentana. “Kita harus meningkatkan kewaspadaan”
“Setuju...” sahut Warga.
“Kita juga harus menyelidiki
orang-orang yang pantas kita curigai,” kata Ki Tunjung Melur menambahkan.
“Setuju...” seru warga penuh
semangat
*** 6
Pagi dengan sinar mataharinya
yang terasa hangat, menyelimuti Desa Serotan. Kicau burung yang riang, menambah
keindahan suasana pagi. Ditingkahi pula desiran angin yang meniup dedaunan,
menghembuskan hawa sejuk.
Pagi itu, Pendekar Gila nampak
sedang me-
langkah di jalan utama Desa
Serotan untuk meneruskan perjalanan dalam rangka mencari Datuk Raja Beracun.
Sambil bersenandung kecil, Sena terus melangkahkan kakinya.
“Ah, ke mana aku mencari datuk
iblis itu?”
gumam Sena dengan mulut
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Dua hari sudah dia berusaha mencari
tempat persembunyian Datuk Raja Beracun. Tetapi tak juga dapat menemukannya.
Padahal hampir semua bukit dan
pegunungan telah didaki. Beberapa desa telah dilalui sambil bertanya pada
kepala desa mengenai Datuk Raja Beracun.
Namun anehnya semua tak ada
yang mengenai.
Pagi ini, dia telah sampai di
Desa Serotan, desa kelima yang menjadi persinggahannya, selama mencari Datuk
Raja Beracun. Kalau di Desa Serotan dia tak menemukan persembunyian Datuk Raja
Beracun, entah di mana lagi harus mencari.
Pendekar Gila terus melangkah
menyelusuri
jalanan yang membelah Desa
Serotan, ketika tiba-tiba matanya melihat orang-orang berkerumun. Nampaknya ada
sesuatu yang menjadi perhatian orang-orang itu. “Heh, ada apa di sana?” gumam
Sena dengan
kening mengerut. Matanya
menyipit, memperhatikan kerumunan orang yang tampaknya tengah melihat sesuatu.
Hatinya tertarik untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.
Pendekar Gila bergegas
melangkah mendekati kerumunan orang di bawah sebatang pohon ara di depan sebuah
kedai.
“Aha, Kisanak. Kalau boleh
kutahu, ada apa gerangan?” tanya Sena pada seorang lelaki muda berpakaian
petani yang baru saja keluar dari kerumunan.
“Seorang gadis diketemukan
mati dengan
keadaan mengerikan,” sahut
lelaki muda petani dengan wajah meringis, setelah melihat keadaan gadis yang
disebutnya.
“Maksud Kisanak?” tanya Sena
ingin tahu.
“Ada seseorang yang telah
menculik gadis desa ini, lalu menaruh mayat seorang gadis dari desa lain yang
keadaannya sangat mengerikan,” tutur lelaki muda berusia sekitar tiga puluh
tahun itu dengan tubuh bergidik.
“Aha, terima kasih.”
Setelah mengangguk, Pendekar
Gila pun segera menuju tempat kerumunan. Dengan menyeruak di sela-sela
kerumunan orang, dia berusaha
membuktikan sendiri.
“Hah?”
Mata Pendekar Gila membeliak
dengan mulut
ternganga lebar, setelah
mengetahui siapa mayat itu.
Meskipun dadanya berantakan
dan kepalanya
terpisah dari leher, Pendekar
Gila masih mampu mengenalinya. Mayat itu ternyata gadis Desa Karang Bale yang
tak lain Serani. “Ah ah ah, benar-benar biadab Iblis keparat..”
Sena memaki-maki sendiri. Hal
itu menarik perhatian orang-orang yang tengah ramai melihat mayatnya.
Orang-orang Desa Serotan
mengerutkan kening, menyaksikan tingkah laku aneh pemuda itu.
“Pemuda gila, mau apa dia?”
sungut seorang lelaki berbadan tinggi tegap dengan muka garang.
Sepertinya lelaki berusia
sekitar lima puluh tahun ini, tak suka dengan tutur kata Pendekar Gila dan
sikapnya.
“Bocah gila, pergi sana”
bentak teman lelaki tinggi tegap itu mengusir Pendekar Gila yang justru tertawa
cekikikan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.
“Aha, galak sekali kau, Ki,”
ujar Pendekar Gila masih cengengesan.
“Huh, kau tak ada gunanya”
Lelaki berusia sekitar empat
puluh lima tahun dengan tubuh gempal serta kepala botak itu berusaha mendorong
tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Sena menggeser kakinya melebar ke
samping. Sehingga dorongan tangan orang itu hanya mengenai angin.
Lelaki berpakaian kuning itu
terhuyung hampir jatuh karena dorongannya tak mengenai sasaran.
Betapa marahnya dia karena
melihat pemuda itu mampu menghindari dorongannya.
“Kurang ajar Rupanya kau bukan
orang gila sembarangan” bentak lelaki tinggi besar marah, melihat pemuda gila
itu mampu mempermainkan temannya. “Rupanya kau datang ke Desa Serotan mau
membuat keributan”
“Aha, kurasa sebaliknya, Ki.
Kalian berdualah yang hendak mengail di air keruh,” tukas Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Hal itu membuat
kemarahan kedua lelaki berwajah jarang itu semakin memuncak.
“Kurang ajar Rupanya kau harus
berkenalan dulu dengan Sepasang Banteng Kuning” dengus lelaki tinggi tegap
beralis tebal.
“Aha, cocok sekali nama kalian
banteng. Ah ah ah, tak tahunya kalian memang seperti banteng dungu,” ejek Sena
sengaja memancing kemarahan kedua orang yang mengaku sebagai Sepasang
Banteng Kuning. Mulutnya masih
cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Kurang ajar Kau memang harus
dihajar, Bocah Gila” geram lelaki berbadan gempal dan agak pendek. Matanya
membelalak marah. Sambil
mendengus keras, giginya
saling beradu karena menahan amarah.
“Aha, kurasa justru kalian
yang perlu dihajar,”
sahut Sena seraya tertawa
cekikikan, yang membuat Sepasang Banteng Kuning bertambah marah.
“Bedebah Kuremukkan kepalamu,
Bocah Gila”
Lelaki tinggi besar itu
melesat menyerang dengan menghantamkan pukulan yang dinamakan 'Banteng
Menanduk'.
“Remuk kepalamu Heaaa...”
“Uts Hi hi hi... Belum,
Banteng Tolol” sahut Sena sambil berkelit dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk
Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, diikuti gerakan kedua kakinya yang
kadang melebar, menekuk, atau menyilang dengan tubuh agak
merendah. Sementara tangannya
tak tinggal diam, melakukan tamparan dengan telapak tangan ke dada lawan.
Wrt “Heh?”
Lelaki bertubuh tinggi besar
itu tersentak kaget bukan kepalang menghadapi serangan aneh yang dilakukan
lawannya. Matanya terbelalak keheranan seakan tak percaya pada gerakan lawan
yang baru saja dilihatnya. Gerakan meliuk dan menepuk yang dilakukan Pendekar
Gila, nampaknya sangat pelan dan lemah. Namun pukulan-pukulan itu ternyata
mengandung kekuatan dahsyat yang berbahaya.
“Ilmu gila” seru lelaki
berbadan gempal yang juga terkejut bukan main menyaksikan jurus-jurus yang
dilakukan Pendekar Gila. Belum pernah ditemukannya jurus aneh seperti yang
sekarang disaksikan.
“Celaka Dia bukan orang
sembarangan, Wungul,”
ujar lelaki tinggi besar pada
temannya.
“Ya. Gerakannya nampak aneh.
Sepintas
kelihatan pelan dan tak
bertenaga, Pulut,” sahut Wungul. “Kita harus berhati-hati Siapa tahu dia yang
dimaksud oleh datuk.”
“Maksudmu Pendekar Gila?”
tanya Pulut.
“Ya. Kulihat dari tadi
gerak-geraiknya sama dengan yang dikatakan datuk,” jawab Wungul berbisik.
Sedangkan matanya masih memperhatikan gerak-gerik Pendekar Gila yang konyol,
sepertinya hendak menyelidiki pemuda itu.
“Kau benar, Wungul. Hm, kita
harus segera pergi.
Pemuda itu menurut datuk,
bukan lawan kita,” bisik Pulut mengingatkan temannya.
“Tapi...”
“Ayolah” ajak Pulut.
“Celaka kalau kita pergi,
karena pemuda gila ini tentu mengikuti kita. Bahaya, ini tak boleh terjadi.
Datuk sudah berpesan tak
seorang pun boleh tahu tempat persembunyiannya....” “Lalu apa yang harus kita
lakukan?” tanya Pulut
“Tak ada lain,
menyingkirkannya atau kita yang tersingkir dari dunia,” sahut Wungul yang
membuat Pulut menghela napas berat. Dia menyadari, menghadapi pemuda gila itu
bukan hal yang mudah.
Mungkin ilmu mereka masih jauh
di bawah lawan yang masih muda belia itu.
“Itu gila” rungut Pulut. “Ilmu
kita tak sebanding dengan ilmunya”
“Tapi tak ada jalan lain.”
“Itu sama saja kita bunuh
diri,” Pulut masih bersungut-sungut, tak setuju dengan apa yang diusulkan
temannya. Bagaimanapun dia merasa kalau ilmu mereka tak berarti jika
dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Pendekar Gila. Jangankan mereka, Datuk
Raja Beracun pun mungkin harus berpikir tujuh kali untuk menghadapi pemuda gila
ini.
“Ya, kau memang benar. Tapi
tak ada cara lain.”
“Bodoh Pakai otakmu, Wungul
Lebih baik kita pergi ke mana saja, asal pemuda ini tak mengejar kita. Meskipun
mengejar, dia tak akan tahu di mana datuk berada,” kata Pulut.
“Baiklah. Ayo kita pergi” ajak
Wungul.
Tanpa menghiraukan bagaimana
tanggapan
orang-orang yang ada di tempat
itu, Wungul dan Pulut segera melesat kabur meninggalkan Pendekar Gila.
“Aha, kedua orang itu sangat
mencurigakan,”
gumam Sena. “Kudengar tadi
mereka menyebut datuk. Hm, kurasa Datuk Raja Beracun yang
disebutnya.”
Pendekar Gila yang tadi
menggunakan ajian
'Penyadap Rungu', tahu apa
yang mereka bisikkan.
Namun mulutnya sejak tadi
hanya cengengesan, berpura-pura tak tahu apa yang mereka bicarakan. “Aha, aku
harus mengejar mereka,” gumam Sena, kemudian secepat kilat tubuhnya melesat
meninggalkan Desa Serotan
menuju selatan, arah yang dituju Sepasang Banteng Kuning. ***
Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu',
dalam sekejap saja Pendekar Gila dapat memburu kedua orang suruhan Datuk Raja
Beracun. Bahkan mampu mendahului di depan mereka.
Sepasang Banteng Kuning terus
berlari. Namun tiba-tiba
keduanya tersentak dan berhenti, ketika di hadapan mereka telah berdiri
Pendekar Gila. Pemuda berpakaian rompi dari kulit ular itu berdiri membelakangi
Sepasang Banteng Kuning.
“Heh?”
“Hah...?”
Sepasang Banteng Kuning
tersentak kaget dan saling pandang. Keduanya sungguh tak mengira, kalau Pendekar
Gila telah sampai di tempat itu.
Padahal Hutan Barok telah jauh
dari Desa Serotan.
Bagaimana mungkin pemuda gila
ini tahu-tahu telah berada di Hutan Barok? Pikir keduanya keheranan.
Padahal mereka telah
mengerahkan tenaga dalam-nya untuk berlari secepat mungkin.
“Hua ha ha... Selamat bertemu
kembali,
Kisanak” sapa Pendekar Gila
sambil membalikkan tubuh dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Mulutnya cengengesan, semakin
membuat Sepasang Banteng Kuning membelalakkan mata.
“Ah?”
“Uh...?”
“Aha, mengapa wajah kalian
pucat? Apa kalian sedang sakit? Ah ah ah, kasihan...” seloroh Pendekar Gila
sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Sepasang Banteng Kuning tampak
semakin
tegang menghadapi Pendekar
Gila. Keduanya tahu ilmu yang dimiliki pemuda itu jauh lebih tinggi dari
mereka. dari ilmu meringankan tubuh yang
dikerahkan untuk mengejar,
kedua lelaki berpakaian serba kuning itu dapat mengetahui kehebatan lawan.
Betapa tidak Mereka tak
melihat pemuda itu mengejar. Namun tiba-tiba saja telah menghadang di hadapan
mereka.
“Bagaimana, Wungul?” tanya
Pulut berbisik.
“Tak ada jalan lain,” sahut
Wungul dengan suara mendesis.
“Kita lawan dia?” tanya Pulut
memasukan.
“Ya Tapi kita harus memanggil
teman-teman kita.
Yang jelas kita tak akan mampu
menghadapinya,”
usul Wungul. Kemudian
tiba-tiba Wungul mengeluarkan suara mirip lolongan serigala. Begitu juga dengan
Pulut.
“Auuu..”
“Auuu...”
Pendekar Gila tersentak kaget
mendengar
lolongan keras yang keluar
dari mulut Sepasang Banteng Kuning. Namun kemudian kembali bertingkah konyol.
Mulutnya cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Ah ah ah, baru kali ini
kulihat kerbau bisa melolong seperti serigala,” gumam Pendekar Gila yang
tertawa-tawa, merasa lucu melihat tingkah kedua orang itu.
“Auuu...”
Srakkk
Dari dalam hutan, tiba-tiba
muncul lima ekor serigala besar menuju tempat Sepasang Banteng Kuning dan
Pendekar Gila berada. Pendekar Gila terkejut, tak menyangka kalau lolongan
kedua lelaki tinggi besar itu dapat mengundang lima ekor serigala besar.
“Aha, rupanya kalian bangsa
binatang juga. Hi hi hi...” ejek Sena sambil tertawa cekikikan.
“Auuu Serang dia...”
Tiba-tiba Pulut berseru sambil
mengarahkan telunjuknya menuding Pendekar Gila. Seketika itu pula, kelima
serigala itu berlompatan mengepung Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Kaki-kaki kelima serigala itu mencakar-cakar tanah
rerumputan, dengan lidah terjulur. Cairan bening pun menetes dari mulut mereka.
“Aha, rupanya kalian
binatang-binatang tolol yang mau diperdaya manusia-manusia durjana,” gumam
Pendekar Gila sambil cengengesan.
“Auuu Grrr...”
Lima serigala besar-besar itu
terus mengerubungi Pendekar Gila. Mata kelima binatang buas itu, sepertinya
menaruh kebencian pada calon mangsa mereka. Namun pemuda berompi kulit ular itu
tampak masih tenang. Bahkan mulutnya terus cengengesan.
“Hi hi hi... Nguk, nguk”
Pendekar Gila mulai meledek dengan tingkah lakunya yang seperti kera.
“Bunuh dia...” seru Wungul
sambil menuding Pendekar Gila.
“Ghrrr...”
“Auuu...”
Kelima binatang buas itu
dengan ganas dan
penuh amarah bergerak
menyerang. Namun dengan cepat Pendekar Gila melenting ke atas, mengelakkan
serangan kelima serigala itu.
Wsss
“Hop” dengan enaknya, Pendekar
Gila langsung hinggap di atas cabang sebatang pohon. “Hi hi hi...
Ayo, siapa yang mau
mengejarku, naiklah”
“Auuu...”
Kelima serigala itu nampak
kebingungan. Mereka tampak semakin garang. Suara lolongan dan erangan keras
terdengar bersahut-sahutan. Serigala-serigala itu melompat-lompat dan memutari
pohon tempat Pendekar Gila bertengger. Dengan lidah terjulur dan mengeluarkan
cairan, mereka meraung-raung dan melolong keras. Seakan-akan tak sabar untuk
segera memangsa Pendekar Gila.
“Pengecut Turun kau, Pendekar
Gila?” teriak Pulut menantang.
“Aha, baiklah”
Dengan cepat Pendekar Gila
melompat turun.
Namun tubuhnya langsung
melayang ke tempat Pulut dan Wungul. Dicabutnya Suling Naga Sakti dan langsung
dikibaskan ke kepala Sepasang Banteng Kuning.
Wrt
“Heh?”
“Hah?”
Sepasang Banteng Kuning
tersentak kaget, ketika Suling Naga Sakti dikibaskan ke arah mereka. Dalam
pandangan mereka, suling itu berbentuk seekor ular naga besar yang menyeramkan.
Mulutnya menganga lebar, siap memangsa kedua lelaki berpakaian kuning
“Wua, tidaaak...” Sepasang
Banteng Kuning menjerit ketakutan dengan mata membeliak. Keduanya lari
tunggang-langgang sambil menjerit-jerit. Hal itu membuat Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. Kelima serigala besar itu pun
langsung kabur setelah kedua tuannya pergi.
“Ah ah ah..., dunia ini
semakin aneh saja”
gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan
kepala dan melangkah meninggalkan Hutan Barok untuk mengikuti kedua orang yang
diduga utusan Datuk Raja Beracun.
*** 7
Malam berselimut dengan sepi.
Kegelapan
bagaikan sebuah kelambu hitam
raksasa yang mengurung bumi. Lolongan anjing hutan beberapa kali terdengar dari
kejauhan, semakin mencekam suasana malam. Sementara angin yang berhembus
meniupkan hawa dingin menusuk tulang sumsum.
Di sebuah goa, yang terletak
di Gunung Welirang, saat itu nampak seorang gadis cantik terbaring di atas sebuah
batu persegi berukuran lebar satu depa dengan panjang dua depa. Tubuh gadis itu
dalam keadaan setengah telanjang. Tangan dan kakinya terbentang, dan
masing-masing terikat pada sudut batu besar itu. Di atas kepala gadis berambut
panjang itu tergantung sebilah golok besar dan tajam.
Cahaya yang berasal dari api
obor membuat mata golok besar itu berkilauan.
Gadis cantik itu kelihatan
masih dalam keadaan pingsan. Tubuhnya masih terbelenggu oleh totokan Datuk Raja
Beracun yang menculiknya.
“Uhhh...”
Terdengar keluhan lirih dari
mulut gadis cantik itu.
Perlahan-lahan matanya
membuka.
“Oh, di mana aku? Mengapa
kedua tangan dan kakiku diikat begini?”
Gadis cantik berusia dua puluh
tahun itu
mengerjapkan mata, lalu
memperhatikan ke
sekeliling ruangan goa itu.
Matanya semakin membelalak, setelah menyadari kalau dirinya kini berada di
dalam sebuah goa yang sangat asing baginya. Goa itu sepi, bagaikan tak ada
penghuninya. “Siapa yang membawaku ke tempat ini?” tanya gadis cantik itu
mencoba mengingat-ingat apa yang telah dialaminya. Pikirannya hanya ingat kalau
sore itu dia sedang mandi, ketika tiba-tiba seseorang menotok bagian tubuhnya.
Setelah itu, dia tak ingat apa-apa lagi. Dan kini tahu-tahu, tubuhnya telah
berada di dalam sebuah goa, yang sangat sepi dan menyeramkan.
Gadis cantik anak Desa Serotan
itu masih
berusaha mengenali goa tempat
dirinya berada saat ini. Namun tetap tak tahu, di mana dia berada.
“Oh, mungkinkah Kang Salim
yang membawaku
kemari?” gumam gadis itu
mencoba menerka-nerka.
“Mungkin Kang Salim sengaja
membawaku pergi, agar kedua orangtuaku merestui hubungan kami.”
Gadis cantik bernama Jariah
itu kembali teringat akan kata-kata kekasihnya. Salim mengatakan akan
membawanya pergi, kalau kedua orangtua Jariah tak mengizinkan hubungan mereka.
Itu pula yang membuat Jariah menduga-duga kalau Salim-lah yang telah membawanya
ke goa itu. Namun, mengapa Salim mesti mengikat tangan dan kakinya begitu rupa?
Dan golok itu? Golok di atas kepalanya yang sangat tajam itu, untuk apa...?
Bulu kuduk Jariah bergidik
merasa takut
menyaksikan golok tajam di
atas kepalanya. Dia tak tahu untuk apa golok itu. Siapa sebenarnya yang
membawanya ke goa yang sangat sepi dan nampak menyeramkan itu.
Belum juga Jariah mengerti apa
yang sebenarnya terjadi pada dirinya, tiba-tiba dari dalam goa terdengar suara
gelak tawa yang membuatnya tersentak. Gadis itu seketika memandang ke arah asal
suara tawa itu. “Hua ha ha...” Dari dalam goa, muncul sesosok tubuh lelaki
bermuka garang berusia sekitar enam puluh tahun.
Mata lelaki tinggi besar
berpakaian abu-abu itu berwarna merah, menatap tajam tubuh Jariah yang tengah
menggeliat-geliat ketakutan.
“Siapa kau, Ki? Oh, di mana
aku?” keluh Jariah dengan mata membeliak tegang memandang dengan penuh rasa
takut pada lelaki tinggi besar itu, yang wajahnya dihiasi cambang bauk tebal.
Sehingga keadaannya sangat menyeramkan. Terlebih dalam keadaan gelap seperti
itu. Karena ruangan goa itu hanya diterangi cahaya obor yang terpancang pada
dindingnya.
“Hua ha ha... Tenang, Anak
Manis Kau berada di tempatku. Kau akan menjadi tumbal ketigaku. Hua ha ha...”
“Tidak... Aku tidak mau...”
teriak Jariah ketakutan, mendengar dirinya akan dijadikan tumbal.
Sudah terlintas dalam
bayangan, bagaimana
nasibnya jika dijadikan
korban.
“Hua ha ha... Percuma kau
berteriak-teriak seperti itu, Manis Tak ada orang yang
mendengarnya,” ujar Datuk Raja
Beracun sambil tertawa-tawa.
Kemudian lelaki tua berambut
panjang itu
melangkah mendekati Jariah
yang kian ketakutan.
Apalagi sorot mata Datuk Raja
Beracun yang berselimut hawa nafsu, tak berkedip merayapi tubuhnya. Seakan-akan
hendak menelan bulat-bulat tubuhnya yang sudah dalam keadaan setengah telanjang
itu.
“Oh, tidak... Aku tak mau...”
teriak Jariah sambil berusaha meronta. Namun karena kaki dan tangan terikat,
menyebabkan dirinya tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya yang terpentang begitu
rupa, sulit untuk berontak. Bahkan semakin Jariah berusaha berontak, membuat
tubuhnya yang montok tampak lebih menggairahkan. Hal itu semakin membuat mata
Datuk Raja Beracun melebar. Jakunnya turun naik, menahan gejolak birahi yang
meletup-letup di dalam dadanya.
Datuk Raja Beracun duduk di
tepi altar batu tempat tubuh Jariah telentang. Bibirnya menyeringai.
Tangannya bergerak merayap ke
paha gadis itu.
Jariah tersentak kaget.
Matanya membelalak ngeri. Ingin sekali muka lelaki bertubuh besar itu
diludahinya. Namun karena kedua tangan dan kakinya terikat sehingga membuatnya
tak mampu untuk mengangkat kepalanya.
“Kurang ajar Lepaskan aku..”
teriak Jariah berusaha berontak. Namun Datuk Raja Beracun tak peduli. Bahkan di
bibirnya semakin tersungging senyum lebar. Dari usapan tangannya, keluar sinar
kuning. Rupanya Datuk Raja Beracun menggunakan
'Racun Birahi' yang mampu
membangkitkan nafsu birah seorang wanita.
“He he he... Kau sekarang bisa
memaki, Anak Manis. Tunggulah sesaat lagi,” ujar Datuk Raja Beracun sambil
terus membelai-belai paha Jariah.
Benar Tidak lama kemudian,
mata Jariah yang semula garang dan penuh amarah, seketika
meredup. Mulutnya mendesis,
dengan mata
mengerjap-ngerjap. Sedang
tubuhnya mulai menggeliat halus. Tak ada caci maki keluar dari mulutnya.
Yang terdengar hanya desah dan
erangan lirih.
“He he he...”
Sambil tertawa terkekeh-kekeh,
Datuk Raja
Beracun terus membelai-belai
paha Jariah. Semakin banyak belaian yang dilakukan Datuk Raja Beracun, semakin
keras desisan yang keluar dari mulut Jariah.
“Oh.... Uh...”
“He he he... Sabar, Manis
Sebentar lagi, kau pasti akan mendapatkan semuanya,” ujar Datuk Raja Beracun.
Kemudian tangannya bergerak merenggut sisa pakaian yang dikenakan gadis itu.
Bret
“Oh Cepatlah, Ki...” rintih
Jariah seakan tak kuat lagi menanggung nafsu yang menggebu-gebu.
Tubuhnya menggeliat-geliat,
bagaikan cacing kepanasan.
Datuk Raja Beracun terkekeh
senang, merasa
'Racun Birahi'nya telah
bekerja dengan baik. Segera pakaiannya dibuka. Kemudian dengan senyum
melekat dibibir, tubuh Datuk
Raja Beracun merayap di atas tubuh telanjang Jariah yang masih mendesis dan
menggeliat-geliat.
Dalam sekejap saja, pergulatan
kedua manusia yang dilanda nafsu itu pun terjadi. Keduanya saling berpacu untuk
mencapai puncak birahi.
Jariah benar-benar tak sadar
kalau dirinya kini dalam cengkeraman maut. Yang ada dalam pikiran-nya, hanyalah
nafsu menggebu-gebu yang
ditumbuhkan oleh Datuk Raja
Beracun. Meski tangan dan kakinya terikat, tidak menghalangi gadis itu untuk
membalas setiap pacuan Datuk Raja Beracun.
Tubuhnya menggeliat-geliat,
seakan tak merasakan sakit akibat tangan dan kakinya diikat. Bahkan gerakan
tubuhnya semakin lama semakin bertambah kencang, disertai rintihan-rintihan
kenikmatan.
Ssampai akhirnya, tubuh Jariah
mengejang disertai jeritan keras. Ada sesuatu yang dirasakan gadis itu, ketika
Datuk Raja Beracun menghentakkan tubuhnya ke bawah.
Sementara di luar goa, mulai
terdengar lolongan anjing-anjing hutan. Seakan-akan binatang-binatang itu turut
menyambut atau mengejek kehadiran Jariah di goa itu.
***
Datuk Raja Beracun melangkah
ke luar,
meninggalkan Jariah yang
terkulai pingsan. Di bibir lelaki tua itu tampak terulas senyum. Langkahnya
yang lebar, kini menuju ke luar. Sesampainya di luar, wajahnya ditengadahkan
memandang ke langit.
“Hua ha ha... Sesaat lagi, aku
akan menjadi orang yang paling sakti di dunia Tak akan ada yang mampu
mengalahkanku” seru Datuk Raja Beracun, seakan hendak menunjukkan ke seluruh
alam kalau dirinya orang yang paling sakti dan tak tertandingi.
Malam yang diam membisu,
sepertinya tak peduli pada keangkuhan Datuk Raja Beracun. Malam pun sepertinya
enggan pada lelaki tua durjana itu. Hanya untuk memenuhi hasratnya yang sesat
dan durjana tega melakukan kekejaman. Memperkosa gadis-gadis, kemudian
membunuhnya. Bukan itu saja, darah dan jantung gadis yang dibunuhnya dijadikan
pencuci muka dan pelepas dahaganya.
Bintang Pari yang menjadi
pedoman bagi Datuk Raja Beracun, nampak telah berada di atas ubun-ubun. Hal itu
menandakan kalau dia harus melakukan pengorbanan. Tumbal perawan harus segera
dipersembahkan.
“Tiga tumbal telah kudapat,
empat lagi aku akan menjadi tokoh maha sakti. Hua ha ha...”
Dengan tertawa terbahak-bahak,
Datuk Raja Beracun melangkah masuk ke goa untuk melakukan persembahan dengan
mengorbankan seorang gadis.
Datuk Raja Beracun melangkah
mendekati tubuh Jariah yang masih terkulai pingsan. Di bibirnya nampak senyum
kepuasan. Datuk Raja Beracun memang puas akan segala-galanya. Di samping bisa
mendapatkan keperawanan gadis yang hendak
dijadikan korbannya, dia pun
akan mendapatkan ajian maha sakti yang bernama 'Walik Akal'. Tak seorang pun
tokoh yang pernah mendalami ajian kesaktian itu. Jangankan bangsa manusia,
bangsa siluman pun belum ada yang dapat melakukannya.
Hanya bangsa manusia yang
separo siluman akan mampu melakukannya. Dan di antaranya, Datuk Raja Beracun,
murid Siluman Serigala.
“Hua ha ha... Datuk Raja
Beracun akan menjadi orang paling sakti di rimba persilatan Tak akan ada yang
menandingiku” seru Datuk Raja Beracun. Suara keras dan bergema itu membuat
Jariah terbangun dari pingsannya.
“Bajingan Iblis... Kau
benar-benar iblis” maki Jariah penuh amarah, setelah menyadari dirinya telah
terpedaya 'Racun Birahi' yang dikeluarkan Datuk Raja Beracun lewat usapan
tangannya.
Datuk Raja Beracun
menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang kuning kecoklatan. Matanya yang
merah, menatap tajam sosok tubuh telanjang di hadapannya. Kemudian dengan
tenang tanpa
menanggapi caci maki Jariah,
lelaki tua itu mendekati tempat golok besar tajam tergantung.
Mata Jariah semakin membeliak,
melihat tangan Datuk Raja Beracun kini mengangkat golok besar dan tajam itu.
Rasa takut semakin menjadi-jadi, tergambar dari raut wajahnya yang pucat pasi.
“Tidak...” teriak Jariah, sambil menggeleng-gelengkan kepala, seakan menghiba
pada Datuk Raja Beracun agar mengurungkan niatnya. “Tidak...
Jangan...”
“He he he...”
Datuk Raja Beracun terkekeh. Matanya
yang
merah masih menatap tajam
sosok tubuh Jariah yang masih telentang tanpa penutup. Gadis cantik itu kini
semakin ketakutan, membayangkan bagaimana golok besar dan tajam akan memenggal
kepalanya.
“Kau adalah tumbal ilmuku yang
ketiga. Hua ha ha... Setelah tujuh gadis, aku akan menjadi orang tersakti di
rimba persilatan. Tak akan ada seorang manusia atau siluman yang dapat
mengalahkanku
Hua ha ha...
Tawa Datuk Raja Beracun
menggema di dinding goa, menjadikan suasana di dalam goa itu semakin menyeramkan.
Rasa takut Jariah pun semakin menjadi-jadi. Keringat dingin mengucur deras
membasahi sekujur tubuhnya. Mata gadis cantik itu membelalak tegang, melihat
golok besar yang kini berada di tangan kanan lelaki tinggi besar itu.
“Tidaaak... Aku tidak mau...”
ratap Jariah menghiba, berusaha meminta belas kasihan dari Datuk Raja Beracun.
Namun sepertinya ratapan gadis itu tiada guna. Datuk Raja Beracun nampaknya
tetap akan menjadikan Jariah sebagai tumbal. Hal itu karena akan melancarkan
jalan untuk mendapatkan ajian yang sangat didambakannya. Ajian maha sakti, yang
selama ini tak seorang pun dapat memilikinya.
“Hua ha ha... Kau tak dapat
membujukku, Manis
Terimalah nasibmu Kau
merupakan pelancar bagi jalanku untuk mendapatkan ajian itu....”
Sambil tertawa terbahak-bahak,
Datuk Raja Beracun mengangkat kedua tangannya yang
menggenggam gagang golok besar
itu. Matanya yang merah, semakin berkilat membara dan kelihatan sangat buas.
“Tidaaak...” Jariah menjerit
sekuat tenaga. Rasa takut kian mendera jiwanya. Matanya yang lentik itu,
membuka lebar ketakutan, menatap mata golok besar dan tajam yang telah
terangkat.
“Hua ha ha...”
Dengan tertawa terbahak-bahak,
Datuk Raja
Beracun mengayunkan golok
besarnya.
Wut
“Tidak Jangan...” teriak
Jariah menghiba dengan menggeleng-gelengkan kepala. Namun golok besar di tangan
Datuk Raja Beracun telah melesat cepat.
Dan...
Crab
“Akh...”
Kepala gadis cantik itu
seketika terpenggal putus dari lehernya. Darah segar mengalir membasahi altar
batu. Kepalanya terpental dan jatuh di lantai goa.
Tanpa merasa jijik ataupun
iba, Datuk Raja Beracun segera membasuh wajah dengan darah yang keluar dari
leher Jariah.
“Hua ha ha... Guru, terimalah
persembahanku
Ini adalah tumbal yang ketiga.
Empat kali lagi, maka aku akan menjadi orang yang sangat sakti, tak tertandingi
oleh siapa pun Hua ha ha...”
Sambil tertawa-tawa seperti
orang gila, Datuk Raja Beracun terus membasuh wajahnya dengan darah Jariah.
Setelah itu dengan bengis lelaki tua itu menghujamkan jemarinya yang berkuku
tajam ke dada korbannya.
“Hih...” Crab
Bagaikan terbuat dari baja,
jari-jari tangan Datuk Raja Beracun mampu merobek dada mayat itu.
Kemudian tanpa belas kasihan,
dicabik-cabiknya dada Jariah. Dan ketika tampak jantungnya, dengan buas
dicabutnya.
“Hih...”
Bret
“Hua ha ha...”
Sambil tertawa-tawa,
dimakannya jantung segar gadis itu dengan lahap.
“Nyem..., nyem... Hua ha
ha...”
Bagaikan orang gila, Datuk
Raja Beracun tertawa-tawa. Seolah-olah hatinya merasa senang atas apa yang
habis diperbuatnya. Jantung gadis itu habis tak tersisa sedikit pun, dimakan
dengan sangat lahapnya.
Setelah selesai melampiaskan
kepuasannya,
Datuk Raja Beracun segera
mengambil potongan kepala Jariah. Kemudian dengan cepat membuka ikatan di kedua
tangan dan kaki gadis itu. Setelah ikatan lepas, tanpa mengenai jijik dan iba,
dipanggulnya mayat gadis malang itu.
“Hua ha ha...”
Sambil masih tertawa-tawa,
Datuk Raja Beracun segera melesat meninggalkan goa tempatnya
bersembunyi. Lelaki tua itu
terus berlari menuruni Gunung Welirang, menembus kegelapan malam.
*** 8
Desa Karang Bale kembali
digemparkan dengan hilangnya seorang gadis. Kali ini tidak tanggung-tanggung
lagi, anak Ki Lurah Sentana yang menjadi korban penculikan. Hal itu membuat
Kepala Desa Karang Bale semakin bertambah marah. Selain penculikan itu yang
membuat Ki Lurah Sentana merasa terhina ketika di depan rumahnya tergeletak
sesosok mayat perempuan yang tak dikenal. Keadaan mayat itu sangat mengerikan.
Dadanya tercabik-cabik dan kepalanya terpisah dari tubuh. Namun jelas mayat itu
bukan warga Desa Karang Bale.
“Biadab Datuk Raja Beracun
benar-benar biadab
Kita tak bisa berdiam diri
dengan kejadian-kejadian seperti ini” maki Ki Lurah Sentana geram.
“Kita harus mencarinya, Kakang
Biarlah aku dan Lima Walang Sakti yang akan mencari datuk keparat itu” Ki
Tunjung Melur pun kelihatan sangat gusar.
Bagaimanapun Wirani
kemenakannya sendiri. Kemenakan tidak ubahnya anak. Siapa pun orangnya, akan
marah jika kemenakan atau anaknya diculik, apalagi dijadikan korban secara
biadab.
“Licik Dia benar-benar licik.
Tentunya dia sengaja menaruh mayat gadis ini di rumahku, dengan harapan kita
dapat diadu domba” gerutu Ki Lurah Sentana. Gigi-giginya saling gemerutukkan
menahan amarah. Tangannya mengepal, kemudian meninju-ninju telapak tangan
kirinya.
“Kakang, aku akan mencarinya,”
ujar Ki Tunjung Melur. “Benar, Ki Lurah. Izinkan kami mencari datuk keparat
itu” geram Walang Kejer, selaku orang tertua di antara Lima Walang Sakti.
“Tapi, Pendekar Gila sedang
mencarinya.”
“Kita tidak bisa hanya
menunggu Pendekar Gila, Kakang. Datuk Raja Beracun bukanlah orang
sembarangan. Siapa tahu
Pendekar Gila mengalami kematian di tangannya,” selak Tunjung Melur.
Kelihatannya kepercayaan
Tunjung Melur pada Pendekar Gila agak menyusut. Hal itu dikarenakan kemarahan
yang tak terbendung lagi, setelah kemenakannya diculik.
“Jangan berkata begitu, Adi
Tunjung Melur”
bentak Ki Lurah Sentana.
Kepala desa itu, tampaknya tak senang kalau adiknya merendahkan dan tak
mempercayai itikad baik Pendekar Gila. “Aku tahu gurunya.”
“Apakah guru dan murid selalu
sama, Kakang?”
bantah Tunjung Melur sambil
menggeleng-gelengkan kepala. “Mungkin Singo Edan memang orang yang mementingkan
darma. Tetapi muridnya, kita belum tahu pasti.”
“Diam Tak sepantasnya kau menuduh
murid
Singo Edan seperti itu,
Tunjung Melur” sentak Ki Lurah Sentana tak senang. Matanya menatap tajam wajah
adiknya yang seketika menundukkan kepala, tak berani mengadu pandang dengan
kakaknya.
Sesaat mereka diam, tak
seorang pun yang berani membuat mulut. Mereka terdiam dengan pikiran
masing-masing. Tunjung Melur tampak gelisah. Entah apa yang menjadikan hatinya
tak tenang. Bahkan sekilas kelihatannya merasa cemas. Seakan ada sesuatu yang
mengganjal perasaannya. Seperti ada suatu rahasia tersimpan di hatinya, yang
tak seorang pun tahu.
“Datuk Raja Beracun keparat..
Kubunuh kau jika kutemui” geram Ki Tunjung Melur dalam hati.
Dihelanya napas dalam-dalam.
Gigi-giginya saling beradu menahan kemarahan.
“Kakang, izinkan kami mencari
Datuk Raja
Beracun” pinta Ki Tunjung
Melur setengah
mendesak. Hati lelaki setengah
baya itu sudah tak sabar ingin segera berangkat bersama Lima Walang Sakti untuk
menyelamatkan Wirani.
Ki Lurah Sentana terdiam.
Hatinya merasa
bimbang untuk memutuskan
permintaan adiknya.
Bagaimanapun Datuk Raja
Beracun bukanlah tokoh sembarangan. Dia mendapat gelar datuk, tentu karena
berilmu tinggi. Mungkinkah Tunjung Melur dan Lima Walang Sakti mampu menghadapi
Datuk Raja Beracun? Tanya Ki Lurah Sentana dalam hati, khawatir kalau-kalau
adiknya dan Lima Walang Sakti yang menyokong kekuatan dan keamanan desa akan
kalah. Bukankah itu merupakan usaha sia-sia?
“Kalau memang mau mencarinya,
bawa beberapa warga,” ujar Ki Lurah Sentana menyarankan. “Jika terjadi apa-apa
pada kalian, usahakan salah satu bisa menyelamatkan diri untuk melapor padaku.”
“Baiklah, Kakang.”
Setelah mempersiapkan segala
sesuatu, Ki
Tunjung Melur bersama Lima
Walang Sakti dan sepuluh warga desa pergi meninggalkan Desa Karang Bale. ***
Sementara itu, Pendekar Gila
yang mengejar Sepasang Banteng Kuning, kini telah sampai di sebelah selatan
Desa Gegeran. Dilihatnya tadi kedua orang utusan Datuk Raja Beracun itu berlari
ke selatan melalui Desa Gegeran.
Sinar mentari pagi terasa
mulai menghangatkan.
Dan angin berhembus membelai
rambut Pendekar Gila yang terikat kulit ular. Pemuda tampan berambut gondrong
itu tampak menggaruk-garuk kepala.
Sementara mulutnya terdengar
menyenandungkan nyanyian riang, sambil sekali cengengesan. Sebentar kemudian
wajahnya mendongak, memandang langit biru. “Ah ah ah, mengapa aku begitu tolol?
Mengejar dua ekor tikus saja tak becus,” gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Kakinya terus menelusuri jalan utama Desa Gegeran yang cukup ramai
orang hilir mudik berjalan kaki. Semua orang yang berpapasan dengan Pendekar
Gila, seketika menghentikan langkah dan memperhatikan dengan kening berkerut
Banyak di antara mereka yang iba melihat pemuda gila itu yang bernyanyi-nyanyi
dan cengengesan di jalanan. Namun ada juga yang tertawa merasa lucu menyaksikan
tingkah laku Sena yang konyol, persis orang gila.
“Kasihan ya, pemuda setampan
dia harus gila.”
Salah seorang bergumam dengan
mata
memandang tak berkedip penuh
iba pada Pendekar Gila yang terus cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Iya ya? Kasihan sekali. Kalau
saja tak gila, aku mau menjadi orangtuanya,” sahut temannya yang bertubuh gemuk
dengan pakaian seperti seorang juragan. Kepala lelaki gemuk dan agak pendek itu
menggeleng-geleng.
Pendekar Gila yang mendengar
pembicaraan kedua lelaki itu hanya tersenyum. Kakinya terus melangkah
menyelusuri jalanan di Desa Gegeran untuk mencari kedai, guna mengisi perutnya
yang lapar.
Tak lama kemudian, Pendekar
Gila menemukan sebuah kedai yang pagi itu nampak sudah ramai.
Matanya tiba-tiba tertumbuk
pada dua lelaki berpakaian kuning lengan panjang dengan punggung tersandang
pedang.
“Aha, rupanya mereka ada di
sini,” gumam Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Kemudian dengan tingkah lakunya yang konyol, Sena melangkah menuju pintu kedai.
Dua orang lelaki yang tak lain
Banteng Kuning, masih tenang ngobrol. Keduanya tak menduga kalau Pendekar Gila
yang mengejar mereka telah sampai di Desa Gegeran.
“Hi hi hi... Lucu sekali
kalian Mengapa kalian ada di sini?” tanya Sena sambil cekikikan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Pertanyaan lucu Pendekar Gila itu membuat para
pengunjung kedai, termasuk Sepasang Banteng Kuning menoleh ke pintu kedai.
“Pendekar Gila...” pekik
Sepasang Banteng Kuning hampir bersamaan. Mata mereka terbelalak kaget, tak
menyangka kalau Pendekar Gila telah sampai di kedai itu.
“Apa? Dia Pendekar Gila...”
Suara ramai para pengunjung
kedai terkejut setelah tahu kalau pemuda bertingkah laku konyol dan persis
orang gila itu, ternyata Pendekar Gila.
Orang-orang memang sering
mendengar sebutan pemuda itu. Namun tak akan pernah menyangka, kalau mereka
bakal melihat tampang Pendekar Gila yang sesungguh nya.
“Hi hi hi... Kuharap semuanya
tenang. Aku hanya ingin menangkap kedua tikus tolol itu,” ujar Sena berusaha menenangkan
pengunjung kedai yang riuh setelah tahu kehadirannya.
“Cuih Jangan kau kira mudah
menangkap kami, Pendekar Gila Kami bukan bocah yang gampang digertak olehmu”
dengus Pulut sengit.
“Aha, kurasa memang kalian
bukan anak kecil.
Tetapi tikus-tikus tolol,”
ledek Pendekar Gila sambil tertawa terbahak-bahak yang menjadikan Sepasang
Banteng Kuning semakin geram dan marah.
“Kurang ajar Kuremukkan
kepalamu, Pendekar Gila”
“Kusobek mulutmu yang besar
itu, Bocah Edan”
Sepasang Banteng Kuning
seketika melesat
menyerang Pendekar Gila.
Keduanya dengan cepat mencabut pedang dan langsung menggempur dengan tusukan
dan babatan dalam jurus 'Sepasang Tanduk Merobek Gunung'.
“Hea...”
Srt
Wrt
“Haits Hea...”
Dengan cepat Pendekar Gila
mencelat keluar, mengelakkan tusukan pedang kedua lawannya yang masih memburu.
Nampaknya Sepasang Banteng
Kuning, tak mau membuang-buang
waktu percuma.
Mereka berusaha secepatnya
membereskan
Pendekar Gila. Hal itu tampak
jelas dari serangan keduanya yang langsung menggebrak dengan jurus-jurus
andalan.
“Hea”
Wret Wret “Mau lari ke mana
kau, Bocah Edan” sentak Pulut sambil terus memburu tubuh Pendekar Gila dengan
sabetan dan tusukan pedangnya.
“Hi hi hi... Kurasa justru
akulah yang bertanya pada kalian. Hendak lari ke mana lagi setelah seharian
kalian kabur?” sahut Pendekar Gila sambil melompat ke sana kemari menghindari
tebasan pedang lawan.
“Kurang ajar Hea...”
Sepasang Banteng Kuning segera
menambah
kecepatan babatan pedang
mereka dari dua arah.
Namun dengan gerakan aneh,
Pendekar Gila mampu mengelak dari serangan. Tubuhnya dibungkukkan ke bawah
serendah mungkin. Kemudian kedua
tangannya yang terlepas
dihantamkan ke kanan dan ke kiri, mencoba membalas serangan lawan.
Wrt
Degk
“Ukh” Sepasang Banteng Kuning
melenguh
tertahan. Kedua lelaki
berpakaian kuning itu menyurut mundur tiga tindak, setelah terkena pukulan
Pendekar Gila. Perut mereka terasa sangat mual. Mata tajam mereka menatap nanar
pada Pendekar Gila yang berjingkrakan seperti kera sambil tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan tangan
kanannya menggaruk-garuk
kepala.
“Hua ha ha... Lucu sekali...
Lucu sekali kalian”
gumam Sena sambil terus
menggaruk-garuk kepala.
“Kurang ajar” dengus Pulut
sengit.
“Kubunuh kau, Bocah Edan” maki
Wungul.
“Hea”
Sepasang Banteng Kuning
kembali menggebrak dengan ganas. Pedang mereka kembali bergerak membabat dan
menusuk dari dua arah. Pulut menyerang dari depan, sedangkan Wungul dari
belakang.
“Hi hi hi...”
Dengan cekikikan, Sena segera
membuka
jurusnya yang dinamakan 'Kera
Gila Meledek Ular'.
Gerakannya persis seekor kera
gila. Kedua tangannya menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat.
Mulutnya dimonyong-monyongkan,
yang membuat kemarahan kedua lawan semakin menggelegak.
“Hea”
Dengan penuh amarah, Sepasang
Banteng
Kuning bergerak cepat
menyerang dengan sabetan dan tusukan pedang, Namun dengan gerakan yang konyol,
Pendekar Gila menghindari serangan itu.
Bahkan dengan cepat kaki
kanannya menyapu
berputar sambil jongkok.
“Hea”
Wrt
Sepasang Banteng Kuning yang
tak menduga
sama sekali akan mendapat
serangan dengan
gerakan seperti itu, tersentak
kaget. Keduanya berusaha mengelak dari sambaran kaki lawan.
Namun ternyata sambaran kaki
Pendekar Gila lebih cepat. Tanpa ampun lagi...,
Wret Bruk Bluk
“Aduh...” kedua lelaki
berpakaian kuning terpekik kesakitan. Tubuh mereka langsung jatuh tertunduk
dengan mulut meringis. Sedangkan Pendekar Gila kembali berjingkrakan sambil
tertawa cekikikan.
Semua orang yang menyaksikan
pertarungan itu, keheranan melihat tingkah laku Pendekar Gila.
Mereka hampir tak percaya,
kalau jurus-jurus Pendekar yang seperti bercanda dan main-main, ternyata mampu
menjatuhkan kedua lawan dalam sekali gebrakan saja.
“Ck ck ck... Hebat sekali”
gumam pemilik kedai.
“Ya Ternyata nama Pendekar
Gila bukan nama kosong,” sambut seorang pengunjung kedai sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya kagum menyaksikan kehebatan ilmu silat
Pendekar Gila.
Pendekar Gila masih
cengengesan dengan
tingkah lakunya yang konyol.
Dengan langkah perlahan Pendekar Gila menghampiri kedua lelaki berpakaian
kuning yang masih meringis-ringis kesakitan. Pulut dan Wungul merasa ketakutan
ketika lawannya mendatangi mereka.
“Ampun, jangan bunuh kami”
ratap Pulut
mengiba.
“Benar. Ampunilah selembar
nyawa kami ini”
tambah Wungul penuh harap.
“Aha, mengapa kalian seperti
bocah kecil?
Bukankah tadi kalian
mengatakan bukan bocah lagi?”
tanya Sena dengan cengengesan.
Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
Matanya memandang tajam wajah Sepasang Banteng Kuning, yang semakin ketakutan
melihat tingkah laku Pendekar Gila.
“Ampunilah kami” pinta Pulut
“Hi hi hi... Baiklah, kalian
kuampuni, asal katakan siapa yang menyuruh kalian? Lalu apa yang
sebenarnya kalian lakukan?”
tanya Pendekar Gila.
Kedua lelaki berpakaian kuning
itu, saling pandang seperti kebingungan. Ada sesuatu yang ditakutkan oleh
mereka.
Pendekar Gila yang melihat
keduanya nampak enggan menjawab pertanyaannya, dengan keras membentak.
“Katakan Atau kalian kukirim
ke neraka, heh?”
“Ampun..., jangan Ba... baik,
akan kami katakan,” jawab Pulut dengan kedua telapak tangan di letakkan di
kepala, Wajahnya masih menggambarkan rasa takut. “Kami sebenarnya bukan
diperintah Datuk Raja Beracun.”
“Aha, rupanya kalian bosan
hidup. Hi hi hi...
Kalian mau membohongiku.
Bukankah kalian
menyebut sendiri nama Datuk
Raja Beracun ketika di Desa Serotan?” tanya Sena tegas.
“Sungguh, kami tidak
berbohong. Semua kami lakukan hanya untuk memancing Tuan Pendekar,”
tutur Wungul. “Kami sebenarnya
diperintah oleh Tunju...”
Belum juga selesai ucapan
Wungul, tiba-tiba....
Swing Swing
Beberapa senjata rahasia
berbentuk bintang melesat dari kejauhan. Desingan keras terdengar.
Dengan cepat Pendekar Gila
melentingkan tubuh ke atas sambil menjulurkan tangan.
“Hea”
Trep Trep
Pendekar Gila selamat dari
terjangan senjata rahasia itu. Bahkan tangannya berhasil menangkap empat buah.
Namun, Sepasang Banteng Kuning tampaknya tak mampu bergerak menghindar. Di
samping luncuran senjata rahasia itu begitu cepat tubuh mereka yang tertendang
Pendekar Gila terasa masih sakit. Sehingga sulit untuk bergerak. Maka...
Jlep Jlep
“Akh...”
Pendekar Gila tersentak kaget,
mendengar jeritan kematian itu. Namun dirinya tetap tak sempat menolong. Tubuh
keduanya seketika ambruk, dengan darah hitam meleleh dari mulut. Namun, sebelum
mati, Pulut masih sempat berbisik menyebutkan nama seseorang.
“Tunjung... Me... Lur. Akh...”
“Tunjung Melur...?” gumam Sena
dengan mulut nyengir sedangkan tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya tak
mengerti, mengapa Sepasang Banteng Kuning menyebut nama adik Kepala Desa Karang
Bale.
“Hm, apa sebenarnya yang
dikehendaki Ki
Tunjung Melur, sehingga dia
memerintah Sepasang Banteng Kuning dengan menyebarkan Datuk Raja Beracun?”
gumam Sena bertanya-tanya dalam hati.
Pendekar Gila segera melesat
meninggalkan
Desa Gegeran. Orang-orang di
depan kedai itu tersentak keheranan melihat gerakan Pendekar Gila.
Beberapa orang bahkan ada yang
mengusap-usap mata, seakan tak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Dalam
sekejap saja mata mereka sudah tak mampu melihat sosok tubuh Pendekar Gila.
Nampaknya Pendekar Gila
sengaja tak mengejar orang yang telah membunuh Sepasang Banteng Kuning. Dia
sengaja lari menuju Desa Karang Bale, untuk menanyakan pada Ki Lurah Sentana
tentang Ki Tunjung Melur.
*** 8
Pendekar Gila yang berlari
menuju Desa Karang Bale kini tengah melewati kaki Gunung Welirang. Tiba-tiba
langkahnya terhenti, ketika sayup-sayup terdengar suara rintihan seorang gadis
yang entah berasal dari mana. Dengan menggunakan ajian 'Pembeda Rungu'
Pendekar Gila berusaha
memperjelas pendengarannya terhadap suara rintihan itu. Suara itu tampaknya
memang jauh dari tempatnya kini berdiri.
“Ayah..., di mana aku...? Hu
hu hu...”
“Aha, suara manusiakah?” tanya
Sena tertegun, setelah jelas sekali suara seorang wanita menangis.
Keningnya berkerut. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. “Dari mana suara itu berasal?”
“Hu hu
hu... Ayah, Wirani takut....”
Suara itu kembali terdengar.
Kini menyebut namanya yang menjadikan Pendekar Gila membelalakkan mata.
“Wirani...?” gumamnya lirih.
“Ah, bukankah gadis itu anak Ki Lurah Sentana?”
Pendekar Gila yang semula
hendak pergi ke Desa Karang Bale, kini mengurungkan niatnya. Dia kini berusaha
mencari asal suara tangisan gadis yang menyebut dirinya Wirani. Sekeliling
Gunung Welirang dijelajahi, sampai akhirnya Pendekar Gila melihat sebuah goa.
Sesaat Pendekar Gila bimbang.
Dipasang
pendengarannya dengan tajam.
Dari dalam, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. “Manusia lancang mana
yang berani datang ke tempatku?”
“Hua ha ha... Dari suaramu,
tentunya kau Datuk Raja Beracun. Aha, kebetulan sekali” sahut Pendekar Gila
berseru. “Kebetulan sekali. Datuk dungu, keluar kau”
Mendengar seruan Pendekar
Gila, Datuk Raja Beracun seketika melesat ke luar. Matanya
membelalak, ketika tahu siapa
yang datang ke tempatnya.
“Kau?”
“Hi hi hi... Kenapa kau kaget,
Datuk Iblis?
Dosamu sungguh tak terampuni”
dengus Pendekar Gila. Mulutnya masih cengengesan, tapi dilihat dari sorot
matanya yang tajam, jelas Pendekar Gila saat itu benar-benar marah.
“Cuih Berani sekali kau
berkata begitu di hadapan Datuk Raja Beracun, Bocah Edan” bentak Datuk Raja
Beracun dengan geram, karena merasa Pendekar Gila selalu ikut campur dengan
urusannya.
“Hua ha ha... Lucu sekali kau,
Datuk Tolol
Mengapa tak berani? Jangankan
aku, kebo-kebo dungu saja berani mengentutimu. Hua ha ha...”
Sena tertawa terbahak-bahak
sambil menggaruk-garuk kepalanya. Mulutnya dimonyongkan ke depan.
Dan....
“Brut... Hua ha ha...”
Terdengar suara seperti bunyi
kentut dari mulut Pendekar Gila.
Datuk Raja Beracun marah bukan
main diejek begitu rupa. Matanya yang merah, semakin membara, menatap tajam
penuh kebencian pada Pendekar Gila.
Gigi-giginya saling gemerutuk
menahan amarah yang ditahan. “Kurang ajar Lancang sekali mulutmu, Bocah Edan
Kuremukkan batok kepalamu Heaaa...”
Dengan penuh ancaman, Datuk
Raja Beracun
melesat melakukan serangan
dengan jurus 'Kala Hitam Menyengat'. Jari-jari tangannya yang berkuku panjang
dan mengandung racun, bergerak
mencengkeram dan menusuk ke
dada Pendekar Gila.
Dari gerakan kedua tangannya,
keluar asap hitam yang mengandung racun.
Wrt Wrrrt
“Uts He he he...”
Dengan mulut cengengesan,
Pendekar Gila
segera merenggangkan kaki
kanannya sambil
membungkuk. Kemudian dengan
jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat', diladeninya serangan Datuk Raja Beracun.
Tubuh Pendekar Gila yang
meliuk-liuk, kelihatan sangat pelan dan lambat. Namun serangan-serangan maut
yang dilancarkan Datuk Raja Beracun, tak mampu mengenai sasarannya. Hal itu
menjadikan Datuk Raja Beracun semakin bertambah penasaran, menyangka kalau
dengan gerakan seperti itu Pendekar Gila tak akan mampu lepas dari
serangannya.
“Kau akan mampus, Bocah Edan
Hea...”
Datuk Raja Beracun merasa akan
dapat
mengalahkan Pendekar Gila jika
menambah
kecepatan serangannya. Maka
segera dirinya bergerak semakin cepat. Tangannya susul-menyusul mencengkeram ke
tubuh Pendekar Gila. Namun setiap kali serangan datang, dengan gerakan aneh
Pendekar Gila berkelit. Serangan Datuk Raja Beracun pun dapat dielakkannya. Hal
itu tentu saja membuat Datuk Raja Beracun semakin penasaran. “Kurang ajar
Rupanya kau bukan bocah
sembarangan Tapi, kau tak akan
lepas dari Datuk Raja Beracun Terimalah seranganku ini, 'Lipan Melentik Racun'.
Heaaa...”
“Aha, kurasa jurusmu masih
kurang lincah, Datuk Iblis” ejek Pendekar Gila dengan maksud membakar amarah
lawan. Dan rupanya Datuk Raja Beracun terpancing. Serangannya semakin bertambah
dahsyat dan cepat. Bukan hanya tangannya yang bergerak menyerang, tetapi kedua
kakinya pun turut bergerak menyapu dan menendang.
Menghadapi serangan gencar dan
mematikan
seperti itu, Pendekar Gila tak
kelihatan gugup atau ketakutan. Bahkan dengan cengengesan, pemuda itu segera
merubah jurus. Kini dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan', Pendekar Gila
mengelakkan serangan lawan. Tubuhnya bergerak memutar, menangkis serangan
lawan. Gerakan itu sangat aneh.
Meski kelihatannya Pendekar
Gila tak melihat gerakan jurus lawannya, tetapi setiap gerakan lawan menyerang
dapat ditangkap.
“Heaaa...”
Datuk Raja Beracun mengibaskan
kaki kanannya, menendang punggung lawan. Namun dengan tubuh masih berputar,
Pendekar Gila dengan cepat menggerakkan tangan kiri ke belakang. Lalu tubuhnya
berbalik, disusul dengan tepukan telapak tangan kanan ke dada Datuk Raja
Beracun
“Yeaaa...”
Wuuut
“Heh?”
Datuk Raja Beracun tersentak
kaget, tak
menyangka kalau dirinya akan
mendapat serangan balasan. Dengan cepat ditangkisnya serangan itu dengan tangan
kiri.
Plak
“Ukh”
Datuk Raja Beracun terpekik
kaget. Tubuhnya terdorong tiga langkah ke belakang. Matanya terbelalak kaget,
tak percaya kalau tenaga dalam bocah gila yang menjadi lawannya sangat tinggi.
Tangannya yang berbenturan
dengan telapak tangan Pendekar Gila, dirasakan berdenyut-denyut sakit.
Bahkan sepertinya tulang
pergelangan tangannya retak.
“Hi hi hi...”
Pendekar Gila tertawa
cekikikan, tangannya menggaruk-garuk kepala. Nampaknya pemuda itu tak mengalami
luka. Melihat sikap lawannya, Datuk Raja Beracun semakin keheranan. Padahal
serangan yang dilancarkan tadi disertai dengan pengerahan kekuatan racun
'Menjangan Merah', salah satu racun dahsyat. Namun pemuda gila itu tak
mengalami kesakitan. Sepertinya Pendekar Gila kebal terhadap segala macam jenis
racun.
Datuk Raja Beracun tak tahu,
kalau Pendekar Gila memang kebal terhadap segala macam jenis racun.
Hal itu disebabkan Racun Kabut
Ungu dan Darah Ular Putih yang telah menyatu di dalam tubuhnya. Dua racun itu,
selama ini belum ada tandingannya. Kedua racun itu pun melindungi Pendekar Gila
dari segala macam racun yang menyerang (Mengenai kedua racun itu, silakan baca
serial Pendekar Gila dalam episode “Suling Naga Sakti” dan “Titisan Dewi Kwan
Im”).
“Heh? Kau kebal terhadap
racunku...?” desis Datuk Raja Beracun dengan mata terbelalak, menyaksikan
Pendekar Gila tak mempan racun ganasnya.
“Hi hi hi... Lucu sekali kau,
Datuk Iblis Kurasa kau tak pantas bergelar Datuk Raja Beracun. Kau lebih cocok
bergelar Datuk Raja Tolol” ejek Sena terus berusaha membangkitkan amarah Datuk
Raja Beracun.
“Cuih Jangan kira kau telah
menang, Bocah Edan Kau kebal terhadap racun, tapi belum tentu mampu
mengalahkanku” dengus Datuk Raja
Beracun sengit. Matanya
semakin merah membara.
Kakinya melangkah dua tindak
ke belakang,
kemudian membuka jurus baru
yang bernama
'Kelabang Petir'.
“Hi hi hi...”
Dengan tertawa cekikikan
sambil menggaruk-
garuk kepala, Pendekar Gila
pun segera membuka jurus 'Kera Gila Meledek Ular'. Gerakannya seperti seekor
kera yang sedang menggoda ular, dengan harapan ular yang diledeknya akan marah.
Pantatnya ditunggingkan ke depan Datuk Raja Beracun, sambil dielus-elus dengan
tangan kiri. Kemudian dari mulutnya terdengar suara. “Duuut... Hua ha ha...”
Datuk Raja Beracun benar-benar
bertambah
marah diperlakukan seperti
itu. Dengan menggeram laksana seekor harimau, Datuk Raja Beracun melompat
menyerang.
“Ghrrr Heaaa...”
Kaki Datuk Raja Beracun
berjingkat-jingkat aneh.
Namun jingkrakannya sangat
cepat. Kemudian tanpa diduga, tiba-tiba tangannya hampir mencakar wajah
Pendekar Gila.
“Uts Hampir saja He he he...”
Dengan cepat Pendekar Gila berguling di tanah mengelakkan serangan pertama.
Namun kaki Datuk Raja Beracun tiba-tiba telah menendang ke tubuhnya yang
berguling.
“Remuk igamu Heaaa...”
Wrt
“Celaka”
Pendekar Gila kaget, tak
menyangka serangan kedua akan datang begitu cepat. Tubuhnya segera berguling ke
samping kiri dan tangannya bergerak menangkap kaki kanan sang Datuk yang hendak
menendang iganya.
Trep
“Hih”
Datuk Raja Beracun berusaha
menekan kakinya agar dapat menginjak dada lawan. Namun dengan cepat kaki kiri
Pendekar Gila bergerak menendang ke perut Datuk Raja Beracun.
“Yeaaa...”
“Haits Hih...” Datuk Raja
Beracun memiringkan tubuh ke samping. Kemudian tangannya bergerak hendak
menangkap kaki kiri lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila menarik kaki
kirinya ke belakang. Disusul dengan tendangan kaki kanan.
Wrt
Datuk Raja Beracun yang sudah
mata gelap, tak dapat mengelakkan serangan itu. Dengan cepat tangan kanannya
dihantamkan untuk menangkis kaki Sena.
Wrt
Plak
“Ukh”
Kembali Datuk Raja Beracun
terpekik lirih.
Sekujur tangannya dirasakan
gemetaran dan nyeri.
Seperti menghantam logam yang
sangat kuat. “Hih”
Datuk Raja Beracun berusaha
melepaskan kaki kanannya dari cengkeraman tangan Pendekar Gila.
Sementara tangannya bergerak
mengambil sesuatu dari balik pakaiannya, kemudian ditebarkan ke muka Pendekar
Gila.
“Aits Hih...”
Dengan cepat Pendekar Gila
melepaskan
cengkeraman tangannya, sambil
berguling ke samping. Lalu dengan cepat bangkit berdiri dan melenting ke atas.
Setelah bersalto beberapa kali di udara, dengan menggunakan jurus 'Si Gila
Terbang Menyambar Mangsa' Pendekar Gila melancarkan serangan cepat pada Datuk
Raja Beracun.
“Heaaa...”
Wusss
Tendangan Pendekar Gila
menerobos asap merah yang ditebarkan Datuk Raja Beracun. Tak dapat dielakkan,
tendangan itu menghantam dada Datuk Raja Beracun.
Wreeet Dugk
“Ukh...”
Tubuh Datuk Raja Beracun
terhuyung-huyung ke belakang. Dari sela bibirnya, meleleh darah segar.
Matanya yang tajam menatap
garang pada Pendekar Gila. ***
Pendekar Gila cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara Datuk Raja Beracun hanya mampu menatap
dengan hati jengkel. Dadanya tampak turun naik menahan kemarahan. Dibiarkan
saja darah yang terus mengalir lewat bibirnya. Gigi- giginya saling beradu dan
napasnya mendengus keras.
“Hi hi hi...”
Pendekar Gila tertawa
cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala.
Tubuhnya melompat-
lompat, seperti seekor kera
yang kegirangan. Hal itu membuat kemarahan Datuk Raja Beracun semakin
menggelegak. Dan tiba-tiba, dari mulut lelaki tua berpakaian abu-abu itu keluar
suara keras mirip lolongan anjing hutan.
“Ghrrr Auuu...”
Bersamaan dengan suara
lolongan itu, Datuk Raja Beracun menjatuhkan tubuh lalu bergulingan ke
belakang. Dan saat itu pula, wujudnya berubah menjadi sesosok serigala besar
berwarna hitam. Mata binatang itu tampak menyala buas, menatap tajam wajah
Pendekar Gila yang masih diliputi perasaan terkejut.
“Heh?”
Pendekar Gila menyurut mundur
dua tindak.
Matanya membelalak kaget.
Namun kemudian
muncul sikap khasnya yang
konyol.
“Hi hi hi... Lucu sekali
Kenapa kau mau
menakut-nakuti aku dengan
barongan seperti itu?”
“Ghrrr Auuu...”
Lolongan keras serigala hitam
jelmaan Datuk Raja Beracun itu terasa menggetarkan. Bahkan dedaunan di sekitar
tempat itu bergetar hebat. Dan pada saat itu pula, dari dalam goa muncul lima
orang lelaki gagah. Semua menatap wajah Pendekar Gila yang cengengesan.
“Heh?” Pendekar Gila tersentak
kaget Matanya terbelalak dengan mulut melongo. Lima lelaki berpakaian biru
mengkilap itu ternyata Lima Walang Sakti “Kalian? Ah ah ah, aneh sekali Kurasa
ada yang tak beres.”
“Tutup mulutmu, Pendekar Gila
Kau benar-benar telah turut campur dengan urusan kami” suara parau itu
terdengar dan mulut serigala hitam itu. “Bunuh dia Dia telah tahu semua tentang
kita”
“Aha, kurasa kini kalianlah
yang telah membuka kedok kalian sendiri. Rupanya di balik kebaikan kalian,
tersembunyi sifat tamak dan keji” ujar Pendekar Gila sambil tertawa-tawa, tak
merasa takut sedikit pun menghadapi Lima Walang Sakti dan serigala jejadian
itu.
“Kurang ajar Bungkam mulutnya”
Kembali
serigala jejadian itu berseru
memerintah, yang dengan segera dikerjakan Lima Walang Sakti.
“Heaaa...”
Dengan jurus 'Paduan Walang
Merambah Hutan'
Lima Walang Sakti langsung
merangsek Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka bergerak cepat, membabat, dan
menusuk tubuh Pendekar Gila
dengan cepat dari segala arah.
“Heaaa...”
Wrt Wut
Dengan menggunakan jurus 'Si
Gila Menari
Menepuk Lalat' Pendekar Gila
bergerak mengelakkan serangan kelima lawannya. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan
menari, sambil sesekali menyerang dengan telapak tangannya ke tubuh lawan.
“Heaaa...”
“Hea...”
Lima Walang Sakti ternyata
bukan orang
sembarangan. Apalagi di tangan
mereka tergenggam pedang. Hal itu cukup membuat Pendekar Gila harus menguras
tenaga. Tubuhnya terus bergerak meliuk- liuk, mengelakkan serangan yang
datangnya susul-menyusul.
“Aha, kalau aku begini terus,
kurasa sia-sia tenagaku,” gumam Sena sambil terus bergerak merundukkan tubuh,
ketika pedang lawan berkelebat cepat membabat ke kepalanya. Namun segera
mendoyongkan tubuh ke samping,
ketika serangan susulan datang dari depan.
Pendekar Gila yang tak ingin
menganggap remeh lawan-lawannya, kini segera mencabut senjata saktinya yang
berupa suling berkepala naga. Apalagi ketika melihat serigala jejadian itu
melompat masuk ke dalam goa. Dengan cepat Sena melemparkan Suling Naga
Saktinya.
“Aha, mau ke mana kau,
Serigala Tolol? Hih...”
Wsss
Suling Naga Sakti melesat ke
udara, kemudian jatuh tepat di depan mulut goa. Saat itu pula, dari Suling Naga
Sakti keluar asap tebal berwarna putih.
Kemudian samar-samar muncul
sesosok bayangan dari kepulan asap. Setelah asap putih itu hilang, nampaklah
sosok ular naga besar berwarna kuning emas.
Wsss
“Ghrrr...”
Serigala jejadian tersentak
kaget. Binatang itu mengurungkan langkahnya masuk, karena pintu goa tertutup
sosok tubuh panjang dan besar. Mata serigala bertubuh besar itu memandang penuh
amarah. Naga Sakti pun melakukan hal sama. Dari mulut keduanya keluar desisan
keras dan lolongan menggelegar membahana.
Serigala jejadian itu segera
melesat menubruk ke Naga Sakti. Pertarungan kedua binatang sakti itu tak
terelakkan. Keduanya saling gulat dan cakar, berusaha membunuh satu sama lain.
Melihat Naga Sakti kini telah
menghadapi serigala hitam jelmaan Datuk Raja Beracun, Pendekar Gila pun dengan
tertawa terbahak-bahak terus meladeni Lima Walang Sakti. Dengan jurus 'Si Gila
Terbang Mencengkeram Mangsa' tubuh Pendekar Gila
berkelebat di udara,
mengelitkan babatan dan tusukan pedang lawan. Kakinya turut bergerak, menjejak
dan menendang kepala lawan.
“Aha, lucu sekali kepala
kalian” seru Sena sambil menjejakkan kakinya ke kepala Walang Kerik, yang
menyerangnya dengan penuh nafsu.
Degk
“Waduh...”
Walang Kerik menjerit
kesakitan. Kepalanya yang dijejak, bagaikan ditindih batu seberat tubuhnya.
Sehingga kepalanya terasa
sangat pening. Tubuh Walang Kerik, nampak sempoyongan seperti
menahan beban yang sangat
berat. kemudian
tubuhnya ambruk pingsan.
Pendekar Gila tertawa
cekikikan. Tubuhnya yang baru saja mendarat, langsung berjingkrak-jingkrak
sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Walang Sakti yang lain semakin
marah, merasa diledek dan diremehkan.
“Kurang ajar Kubunuh kau,
Pendekar Gila”
dengus Walang Kejer. Kemudian
dengan meng-
gerakkan tangan memerintah
ketiga adik
seperguruannya, melakukan
serangan serentak pada Pendekar Gila dari empat arah.
“Heaaa...”
“Yeaaa... Mampus kau, Pendekar
Gila...” Melihat keempat lawan dengan ganas
menyerang, Pendekar Gila
segera melompat ke atas.
Kemudian dengan enaknya
hinggap di atas dahan pohon sambil tertawa terbahak-bahak.
“Hua ha ha... Aku di sini,
mengapa kalian seperti orang kebingungan?” seru Sena ketika melihat keempat
lawan yang tengah mencari-cari dirinya.
“Kurang ajar Pengecut Turun
kau?” bentak Walang Keket sambil melesat melakukan serangan.
Tubuhnya melesat terbang
bagaikan seekor belalang.
Pedang di tangannya siap
membabat Pendekar Gila.
Namun dengan cepat, Pendekar
Gila melompat sambil bersalto meninggalkan cabang pohon ara itu dan hinggap di
pohon lain. Hal itu membuat Walang Keket kehilangan keseimbangan, sehingga
menabrak cabang pohon.
Srak Brak
“Ukh”
Tubuh Walang Keket melayang ke
bawah,
kemudian jatuh di tanah.
Dadanya bolong tertancap sebatang tonggak kayu. Kejadian itu membuat ketiga
Walang Sakti semakin marah.
“Pengecut Kalau kau benar
seorang pendekar, turun dan hadapi kami” tantang Walang Kejer.
“Aha, kurasa kalianlah yang
pengecut. Kejarlah aku. Hi hi hi...”
Sambil tertawa cekikikan,
Pendekar Gila menari-nari di atas sebatang cabang pohon besar. Lidahnya
dijulur-julurkan, kemudian pantatnya ditepuk-tepuk meledek ketiga lawan agar
marah. *** Sementara itu, pertarungan antara Naga Sakti melawan serigala
jejadian masih berlangsung seru Kedua binatang itu saling serang. Naga Sakti
mulai dapat membelit tubuh lawan, yang terus berusaha mencakar dan menggigit.
Naga Sakti pun tak mau kalah, kaki-kakinya yang juga berkuku tajam mencakar
muka dan tubuh serigala siluman.
Tubuhnya berguling-guling dan
meliuk sambil terus membelit serigala.
“Auuu... Hrrr”
Serigala besar itu
meraung-raung keras seakan-akan merasa kesakitan karena belitan ular naga.
Namun binatang jelmaan Datuk
Raja Beracun itu tak peduli, terus berusaha mencakar dan menggigit tubuh Naga
Sakti yang terus meringkus tubuhnya.
Sambil mendesis-desis keras,
Naga Sakti pun berusaha mencakar dengan kuku-kukunya yang tajam dan kuat.
Tampaknya tak sia-sia yang
dilakukan Naga Sakti.
Serigala bertubuh besar itu
melolong keras ketika cakaran Naga Sakti mencabik wajah dan perutnya.
Darah tampak mengalir dari
atas matanya yang menyala. Kedua binatang jelmaan itu terus bergulat mencakar,
menggigit, dan bergulingan.
Keduanya terus berguling ke
bawah, semakin jauh dari goa tempat pertarungan Pendekar Gila melawan Walang
Sakti. Sementara itu, dari arah barat terdengar suara teriakan-teriakan orang
penuh amarah.
“Itu mereka, Ki Lurah...”
“Tangkap
pengkhianat-pengkhianat itu...” seru seorang lelaki berusia sekitar enam puluh
tahun yang ternyata Ki Lurah Sentana. Tiga Walang Sakti yang sedang menunggu
Pendekar Gila turun, kini
nampak kebingungan.
Mereka hendak lari ke timur,
tetapi tiba-tiba Pendekar Gila berteriak dengan suara keras menggelegar.
“Hua ha ha... Mau lari ke
mana, Tikus-Tikus Busuk?”
Tiga Walang Sakti tersentak
kaget. Mereka
semakin ketakutan, tak tahu
harus berbuat apa.
Apalagi dari arah barat
teriakan-teriakan warga Desa Karang Bale yang menyertai kepala desa tampak
semakin dekat
“Tangkap
pengkhianat-pengkhianat itu...”
perintah Ki Lurah Sentana
penuh amarah.
Warga Desa Karang Bale yang
sudah marah
karena tahu kalau semua
kekacauan di desa mereka akibat tindakan Walang Sakti serta orang yang mengaku
bernama Datuk Raja Beracun, segera mengepung ketiga Walang Sakti.
Dalam keadaan terpepet, Tiga
Walang Sakti tak dapat berbuat banyak menghadapi puluhan warga yang dibantu
oleh Pendekar Gila. Dalam sekejap saja, Tiga Walang Sakti dapat dibantai oleh
warga Desa Karang Bale.
Sementara itu, jauh di bawah
sana, dua makhluk jelmaan masih terus bertarung. Namun nampaknya serigala
jejadian itu mulai kehabisan tenaga, karena belitan kuat Naga Sakti.
Tulang-tulang tubuhnya, remuk oleh belitan itu.
“Auuu...”
Terdengar suara keras meraung,
bersamaan
dengan melayangnya nyawa serigala
besar itu. Sesaat kemudian, Naga Sakti kembali berubah menjadi sebuah suling
emas dan melesat ke tempat Pendekar Gila berada. Wusss
“Aha, terima kasih”
Pendekar Gila segera menangkap
Suling Naga Saktinya, kemudian diselipkan ke ikat pinggang.
Sementara warga desa dan Ki
Lurah Sentana yang tadi mendengar raungan keras, segera lari ke tempat asal
suara itu, untuk melihat apa sebenarnya yang terjadi.
Di bawah, di hutan yang
mengelilingi kaki Gunung Welirang, tergeletak sesosok tubuh lelaki yang mengaku
Datuk Raja Beracun. Warga desa langsung berlarian mendekati sosok tubuh
berpakaian abu-abu itu. Tanpa ragu-ragu orang-orang segera mengangkat tubuh
Datuk Raja Beracun untuk dibawa naik.
Setelah dibaringkan di tanah,
Ki Lurah Sentana segera menghampiri mayat Datuk Raja Beracun.
Tangannya tiba-tiba bergerak
merenggut wajah mayat itu. Dengan keras, Kepala Desa itu menyentakkan kulit
wajah mayat Datuk Raja Beracun.
Bret
“Hah?”
Pendekar Gila terkejut ketika
melihat wajah Datuk Raja Beracun yang ternyata tertutup kedok kulit.
Matanya semakin terbelalak
setelah tahu siapa sebenarnya datuk itu.
“Ah ah ah, mengapa jadi
begini?”
Ki Lurah Sentana tersenyum.
Dipegangnya
pundak Pendekar Gila perlahan.
“Aku pun tak pernah menduga,
Sena. Namun
salah seorang wargaku yang
kutugaskan untuk menguntit gerak-gerik mereka akhirnya melapor, kalau Datuk
Raja Beracun tiada lain Tunjung Melur.
Dia bukan adikku, dia
sebenarnya pembunuh keji.” “Ah, pusing sekali, Ki. Kalau begitu, siapa dia
sebenarnya?” tanya Sena kebingungan.
“Dia anak Ki Boleng, orang
sesat yang sepuluh tahun silam pernah menggemparkan Desa Karang Bale dengan
perbuatan kejinya,” jawab Ki Lurah Sentana.
“Ah ah ah, aku masih bingung,
Ki,” sahut Sena.
“Baiklah...”
“Ayah”
Belum sempat Ki Lurah Sentana
bertutur, tiba-tiba dari dalam goa terdengar suara berseru.
“Hei, Anakku...” Ki Lurah
Sentana langsung memburu ke dalam diikuti Pendekar Gila. Dan mereka melihat
Wirani dengan tubuh setengah telanjang, terikat pada batu besar. Pendekar Gila
segera membantu membuka ikatan pada tangan Wirani. “Oh, syukurlah Kau masih
dilindungi Hyang Widi.”
Wirani langsung memeluk
ayahnya dan menangis.
“Hampir saja paman
memperkosaku, Ayah,” ujar Wirani di sela isak tangisnya. “Kalau saja tak segera
datang Kakang Sena, entah aku sudah bagaimana.”
“Sudahlah, Anakku Kau harus
berterima kasih pada Sena. Dan perlu kau ketahui, kalau manusia iblis itu bukan
pamanmu. Dia anak Ki Boleng,” ujar Ki Lurah Sentana menjelaskan.
“Bagaimana Ayah tahu?” tanya
Wirani. “Nanti di rumah aku ceritakan,” jawab Ki Lurah Sentana sambil
membimbing anaknya keluar dari dalam goa.
Jubahnya dibuka, kemudian
dikenakan ke tubuh Wirani. “Sena, kuharap kau tak menolak untuk menginap di
rumah Akan kuceritakan siapa
sebenarnya Datuk Raja Beracun
yang mengaku Ki Tunjung Melur.” “Aha, baiklah, Ki. Rasanya aku pun tak bisa
menolak ajakanmu,” jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Dan ketika matanya melirik Wirani, gadis cantik anak Ki Lurah Sentana
itu pun tengah memandang wajahnya. Bibir gadis itu tersenyum kepada Pendekar
Gila. Namun dengan cepat Sena berbisik dalam hati.
“Ingat, Sena Mei Lie adalah
segala-galanya bagimu. Jangan main api, nanti akan membakar hatimu Mei Lie
menanti dirimu, cintamu, serta kasih sayang yang tulus darimu.”
Sena tertawa terbahak-bahak,
kemudian
menggaruk-garuk kepala. Semua
warga Desa Karang Bale yang tengah melangkah di kaki Gunung Welirang ter-sentak
kaget. Mereka langsung menoleh ke wajah Pendekar Gila. Namun kemudian semua
turut tertawa terbahak-bahak, memecah keheningan malam.
Wirani tersipu-sipu. Pipinya
merah merona.
Sesampainya di rumah, Ki Lurah
Sentana mengajak Pendekar Gila dan anak gadisnya duduk-duduk di serambi depan.
Kemudian kepala desa itu pun mulai bercerita tentang siapa sebenarnya Tunjung
Melur.
“Suatu hari, tiga purnama yang
lalu kami
kedatangan seorang yang
mengaku sebagai adikku,”
kata Ki Lurah Sentana memulai
cerita. “Karena aku memang mempunyai adik yang berpisah semenjak kecil, aku
percaya kalau dia memang adikku.”
Ki Lurah Sentana menarik
napas. Sementara
Pendekar Gila dan Wirani masih
diam mendengar penuturan Ki Lurah Sentana.
“Semenjak kedatangan Tunjung
Melur, Desa
Karang Bale memang semakin
bertambah tenang.
Namun rupanya di balik semua
kebaikan Tunjung Melur, tersembunyi dendam. Dendam karena ayah- nya, Ki Boleng
mati oleh Pendekar Gila dari Goa Setan yang tak lain Singo Edan. Juga dendam
terhadap warga Desa Karang Bale, yang telah membantu Singo Edan menyingkirkan
ayahnya.
Suatu hari, Tunjung Melur
pergi. Pulangnya membawa Lima Walang Sakti yang katanya teman-teman Tunjung
Melur. Katanya, mereka ingin bekerja.
Ternyata Lima Walang Sakti
itu, teman-teman Tunjung Melur yang juga hendak membuat kekacauan di Desa
Karang Bale. Bahkan Tunjung Melur ingin meng-gulingkan diriku sebagai lurah di
desa ini.
“Aku semula tak tahu maksud
jahat Tunjung
Melur. Sampai akhirnya,
semenjak anak Ki Pardi ditemukan mati, aku mulai menyuruh Ki Sobrah untuk
menyelidiki secara bersembunyi. Akhirnya diketahui, kalau dalang kejadian-kejadian
ini tak lain Tunjung Melur. Lewat teman-teman Ki Sobrah, akhirnya didapat
keterangan kalau Tunjung Melur ternyata anak Ki Boleng.
Karena merasa khawatir, kami
segera memburu ke arah yang dituju Tunjung Melur. Dia katanya hendak mencari
Datuk Raja Beracun. Akhirnya, kami pun menemukannya.”
Begitulah kisah yang
diceritakan kepala desa itu tentang Datuk Raja Beracun kepada Pendekar Gila.
“Ah ah ah, aku kini tahu. Hm,
beruntung sekali kau masih dilindungi Hyang Widi, Wirani. Hi hi hi...
Kalau tidak, tentunya kau
sudah menjadi makanan empuk datuk cabul itu,” goda Pendekar Gila, yang membuat
wajah Wirani bersemu merah. Mata gadis itu melirik wajah Pendekar Gila,
kemudian tersipu malu sambil menundukkan kepala.
Ki Lurah Sentana turut
tersenyum. Kemudian secara diam-diam kepala desa itu meninggalkan serambi
rumah. Membiarkan Pendekar Gila dan anaknya berdua dalam kebisuan. Sampai
akhirnya Pendekar Gila dan Wirani tersenyum, setelah menyadari kalau Ki Lurah
Sentana sengaja
meninggalkan mereka berdua.
SELESAI