-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 22 Kutukan Berdarah
1
Padepokan Goa Naga yang
terletak di lereng Gunung Bromo, meskipun cukup besar, bentuk bangunannya
tampak sederhana. Dindingnya terbuat dari kayu, yang mungkin berasal dari
pepohonan di sekitar lereng gunung itu.
Padepokan itu hanya dihuni dua
orang, guru dan murid. Sang Guru yang bernama Ki Pramanu berusia sekitar tujuh
puluh tahun. Sedangkan murid satu-satunya berusia sekitar dua puluh lima tahun,
bernama Sugali.
Saat itu, di dalam padepokan,
Ki Pramanu tengah duduk menjalani semadi. Lelaki tua berkumis dan berjenggot
panjang itu, nampak duduk bersila di atas sebuah batu datar. Matanya terpejam
rapat Tampaknya kakek berjubah merah itu, benar-benar memusatkan hati dan
pikirannya. Hikmat dan begitu tenang.
Ketika Ki Pramanu sedang
khusyuk semadi, Sugali masuk. Kedatangan sang Murid membuat Ki Pramanu
menghentikan semadinya.
"Ada apa, Gali? Kulihat
wajahmu gelisah. Aku tahu hatimu tak tenang," gumam Ki Pramanu seraya
menatap wajah Sugali.
"Hhh... Aku akan mencari
Pendekar Gila, Guru," jawab Sugali dengan dada naik turun, seperti tengah
menahan kemarahan. Dendamnya pada Pendekar Gila berkobar-kobar laksana api.
Dendam seorang anak yang ingin menunjukkan bakti kepada kedua orang-tuanya. Tak
mampu dilupakan kematian orangtuanya di tangan seorang pendekar pembela
kebenaran dan keadilan yang tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.
Ki Pramanu masih terdiam,
belum memberi tanggapan. Matanya memperhatikan wajah Sugali yang gelisah.
"Dia telah membunuh kedua orangtua ku." "Hm... aku tahu, Sugali.
Namun apa kau telah tahu masalah sebenarnya...?" tanya Ki Pramanu. Lelaki
tua itu seakan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana sang Murid.
Dirinya tahu benar siapa Sena Manggala sebenarnya. Lebih dari itu, Ki Pramanu
tahu benar apa sebenarnya yang telah terjadi pada kedua orangtua Sugali.
"Sudah, Guru,"
dengus Sugali penuh amarah, yang membuat Ki Pramanu hanya mampu mendesah
panjang.
Sebenarnya sang Guru tak
menghendaki murid satu-satunya itu harus bermusuhan dengan Pendekar Gila. Namun
nampaknya keadaan menghendaki lain.
Sugali memang anak sepasang
tokoh beraliran sesat.
Ayahnya bernama Prikada.
Sedangkan sang Ibu yang juga sealiran dengan suaminya bernama Dripadi.
"Tapi kedua orangtua mu
yang salah dalam hal ini, Sugali." "Memang kedua orangtua ku yang
salah," Suga-li menghela napas berat "Nah, mengapa engkau mesti
memperuncing permasalahan...?" tanya Ki Pramanu.
"Sebagai seorang anak
yang berbakti, tentunya aku harus membela kedua orangtua ku," ujar Sugali
masih dengan perasaan marah.
"Walau itu tindakan yang
salah?" tanya Ki Pramanu. "Ya" tegas Sugali.
"Oooh..." sang Guru
mendesah panjang. Digelengkan kepala, seakan hendak membuang beban berat dalam
benaknya. "Sungguh kau tak memikirkan akibatnya, Gali" ujar Ki
Pramanu.
"Aku sudah memikirkannya,
Guru," sahut Sugali ketus. "Aku sudah mempersiapkan segala akibatnya
yang bakal terjadi...." "Heh, kau memang pemberani Tetapi
keberanianmu tidak pada tempatnya," gumam Ki Pramanu.
"Seharusnya kau bersyukur,
ayah dan ibumu dapat mati dengan sempurna. Kalau tanpa bantuan Pendekar Gila,
kedua orangtua mu akan menjadi hamba setan untuk selamanya" "Guru
membela dia?" tanya Sugali dengan nada tak suka.
Ki Pramanu kembali menarik
napas panjang.
Ucapan sang Murid seakan
menusuk tajam, menghujam di lubuk hatinya. Kini lelaki tua itu, merasa seperti
dalam keadaan yang serba salah. Padahal dirinya memperingatkan sang Murid,
karena tak ingin Sugali menjadi korban Pendekar Gila. Cukup kedua orangtuanya
saja yang menjadi korban.
Sebenarnya Ki Pramanu pun
menyimpan dendam terhadap Pendekar Gila. Namun bila dirasa, dendam tak akan
pernah habis. Dendam kesumat seperti itu hanya akan menyebabkan pertumpahan
darah. Bila ingat dan sadar akan hal itu, maka lelaki tua itu pun segera
menguburkannya dalam-dalam.
Kini, Ki Pramanu kembali
diingatkan pada masalah adik seperguruannya, yang mati di tangan Pendekar Gila.
Namun, seperti kedua orangtua Sugali, adiknya pun merupakan tokoh aliran sesat.
Ya, Datuk Raja Beracun adalah orang sesat. Maka sewajarnyalah kalau Pendekar
Gila menumpasnya.
Bukan dirinya merasa takut
terhadap pendekar muda itu, tapi percuma saja. Bukan kemenangan yang akan
diperolehnya, melainkan kebinasaan yang sia-sia.
Ilmu pendekar itu sangat
tinggi. Jangankan tokoh seperti dirinya. Para datuk dan siluman pun akan
bingung bila harus menghadapi Pendekar Gila, apalagi kalau pendekar yang
bertingkah laku seperti orang gila itu telah mengeluarkan senjatanya, berupa
suling.
"Aku bukan membelanya,
Gali," ujar Ki Prama-nu dengan suara lemah. Dirinya sadar kalau Sugali
bukan anak-anak lagi. Muridnya kini telah dewasa.
Berhak menentukan sendiri
jalan hidupnya. Namun, bila sang Murid salah melangkah, apakah harus berdiam
diri begitu saja? Guru macam apakah dia? "Aku hanya ingin mengingatkan
padamu, siapa sebenarnya Pendekar Gila." Sugali terdiam mendengar ucapan
Ki Pramanu.
Seakan ucapan sang Guru
menyentakkan dirinya untuk kembali berpikir. Memang kalau dipikir benarbenar,
kedua orangtuanya yang salah dalam hal ini.
Kedua orangtuanya yang telah
menyebabkan Pendekar Gila melakukan tindakan itu. Karena bila tidak, bencana
akan mengancam kehidupan manusia.
Kedua orangtuanya telah
bersekutu dengan Buto Ijo, iblis yang mampu memberi kehidupan. Buto Ijo itu
dapat memberi kekayaan untuk mencukupi bagi kehidupan pemujanya.
Sebuah persekutuan dengan
iblis yang saling keterkaitan. Kedudukan orangtua Sugali harus selalu
menyediakan korban yang disebut tumbal untuk sang Buto. Sementara orangtuanya
pun mendapatkan imbalan berupa harta kekayaan yang datang sendiri bila telah
mempersembahkan tumbal.
Bila hal itu berjalan
terus-menerus, kekayaan orangtua Sugali makin menumpuk. Sementara manusia akan
makin berkurang, dibunuh sebagai tumbal persembahan bagi Buto Ijo.
Kalau saja Sugali berpikir
jauh, bukankah adiknya sendiri telah dijadikan tumbal pertama? Tumbal untuk
menentukan kuat tidaknya Prikada dan Dripadi menghadapi ujian. Tumbal inilah
yang akhirnya menyebabkan kedua orangtua Sugali itu kuat dan tahan terhadap
jeritan kematian para tetangga atau anak-anaknya ketika dimangsa sang Buto Ijo.
Bila mengingat itu semua,
seketika Sugali menangis. Menangis meratapi kesesatan yang dilakukan
orangtuanya, "Tapi mereka melakukan juga karena aku," gumam Sugali
dalam hati. "Ya, karena akulah kedua orangtua ku harus menyimpang dari
keadaan sebenarnya. Aku memang yang menginginkan kedua orangtua ku kaya. Aku
malu, bila mendengar segala cemooh dari tetangga yang tak menginginkan diriku
main dengan anak-anaknya karena aku miskin.
Oooh..." "Sepertinya
engkau mengenang sesuatu, Gali?" tanya sang Guru yang melihat perubahan di
wajah muridnya. "Apa yang tengah engkau pikirkan?" Sugali tersentak
kaget. Dengan secara tak sengaja matanya menatap wajah tua di hadapannya. Wajah
lelaki tua yang seakan mengandung ribuan goresan pengalaman hidup, baik yang
senang maupun susah.
Seraut wajah gurunya, yang
terselubung dengan kemisteriusan.
Sampai sekarang pun sebenarnya
Sugali belum mengenal siapa dan dari mana Ki Pramanu. Nama sang Guru, seakan
tiada melekat. Aneh memang. Selama lima tahun dirinya berguru pada lelaki tua
renta berambut serba putih itu, tapi tak pernah sekalipun mengetahui siapa
sebenarnya sang Guru. Sepertinya sang Guru sengaja selalu menyembunyikan jati
dirinya. Atau barangkali Ki Pramanu menyimpan rasa takut sehingga
menyembunyikan jati dirinya. Namun, takut pada siapa gurunya? Bukankah lelaki
tua itu berilmu tinggi? "Guru, apakah aku bersalah jika membela orangtua
ku?" tanya Sugali. "Apakah salah jika aku mendendam pada orang yang
telah membinasakan kedua orangtua ku?" Ki Pramanu kembali tercenung diam.
Hatinya menjerit, mendengar pertanyaan Sugali. Dirinya mendadak merasa
bersalah, telah mengangkat manusia pendendam dan picik sebagai murid. Seorang
anak yang telah tega menjerumuskan kedua orangtuanya, untuk melangkah di jalan
yang salah. Jalan yang sesat. Manusia angkuh yang hanya mementingkan diri
sendiri, walaupun harus mengorbankan saudaranya sendiri. "Ooo..."
keluh Ki Pramanu dalam hati. Tak dis-adari, wajahnya kini nampak muram. Segala ingatan
pada Datuk Raja Beracun kembali melintas, menguak kalbu untuk mengenang kembali
kejadian yang menimpa adik seperguruannya itu.
Adik seperguruannya pun sesat,
karena menuruti hasratnya. Datuk Raja Beracun, akhirnya mati di tangan Pendekar
Gila setelah malang-melintang di rimba persilatan, sebagai datuk sesat yang
banyak membuat keonaran.
"Ya, kau memang salah.
Kesalahan pada tindakanmu yang hanya menuruti nafsu setan belaka," ujar Ki
Pramanu dengan tegas. "Kalau saja dulu kau tak merengek-rengek agar kedua
orangtua mu kaya, tentu keadaannya tak seperti ini. Hhh... Nasi sudah menjadi
bubur. Segalanya kini kuserahkan kepadamu. Kaulah yang berhak menentukan. Aku
tak bisa membantumu." Sugali terpaku diam, tak dapat berkata apa-apa.
Harapan agar sang Guru bersedia membela dan membantunya menghadapi Pendekar
Gila, seketika pupus. Meski begitu Sugali bertekad harus menghadapi Pendekar
Gila. Dirinya harus membalas dendam terhadap Pendekar Gila yang telah membunuh
kedua orangtuanya.
***
Lama guru dan murid itu terdiam dengan pikiran
masing-masing. Sugali masih berusaha merenungkan kata-kata yang tadi diucapkan
Ki Pramanu. Hatinya masih bertanya-tanya, "Mungkinkah sang Guru akan
membiarkan diriku bertarung dengan Pendekar Gila? Nampaknya Ki Pramanu sendiri
enggan, bahkan ada rasa takut untuk berhadapan dengan Pendekar Gila."
"Mengapa guru sepertinya takut pada Pendekar Gila?" tanya Sugali
dalam hati, merasa heran karena gurunya seperti takut pada Pendekar Gila.
"Apakah Guru mengizinkan
ku mencari dia?" tanya Sugali.
"Apakah Guru mengizinkan
aku menuntut balas terhadap Pendekar Gila?" ulang Sugali menegaskan.
"Tidak" sahut Ki Pramanu tegas.
"Kenapa...?" Sugali
menatap wajah lelaki tua itu penuh keheranan.
Untuk sekian kalinya, Ki
Pramanu menarik napas panjang. Berat rasanya untuk menjawab pertanyaan sang
Murid. Dirinya serba terjepit. Ke mana ia melangkah, jelas akan mendapatkan
kesalahan. Membela muridnya, jelas dan pasti akan menghadapi kesalahan besar
yang berbuntut harus berhadapan dengan Pendekar Gila. Bila diam saja, apa
artinya seorang guru yang membiarkan sang Murid harus menghadapi segala masalah
hidupnya sendiri.
"Bagaimana, Guru?"
desak Sugali.
"Apakah tak ada jalan
lain, Sugali?" "Tidak ada." "Hm..." gumam Ki Pramanu.
"Rupanya kau hanya berpikir pada satu jalan, Muridku. Aku kira, ada jalan
lain agar kita tak harus bentrok dengannya." "Yang Guru maksudkan,
kita damai?" tukas Sugali. "Ya" jawab Ki Pramanu.
"Ah..."
"Kenapa, Gali?" "Tidak Aku tidak mau" "Lalu apa yang
kau mau, Gali?" "Kematian Dia atau aku yang harus mati," Sugali
menyeringai, seolah-olah tengah memberikan tanda pada sang Guru, bahwa dirinya
telah siap menanggung akibat.
"Ah..." pekik Ki
Pramanu kaget.
"Rupanya Guru takut
menghadapinya," sindir Sugali dengan nada sinis. "Hm, tak kusangka
kalau guruku sepengecut itu" "Sugali Lancang kau bicara" bentak
Ki Pramanu marah.
Sugali hanya mencibirkan
mulut, seakan memang benar-benar ingin mengejek gurunya yang penakut. Sugali
sungguh tak menyangka kalau gurunya sepengecut itu. Ki Pramanu yang telah
dianggapnya orang paling sakti, ternyata takut menghadapi Pendekar Gila.
"Aku bicara benar, Guru
Kalau Guru memang tak mau dianggap pengecut, tentunya Guru mau
membantuku." "Bukankah selama lima tahun aku telah membantumu?"
bentak Ki Pramanu geram.
"Mendidik maksudmu?"
Sugali kembali mencibir.
"Ya..." "Itu
sudah kewajiban. Seorang guru wajib mendidik muridnya" Sugali nampak
ngotot bicara, tak mempedulikan dengan siapa dirinya berbicara.
Ki Pramanu tersentak kaget
mendengar ucapan muridnya yang sangat keterlaluan. Hatinya kini terbakar amarah
yang dinyalakan muridnya. Mata lelaki itu menatap tajam wajah Sugali,
seakan-akan hendak menelan bulat-bulat tubuh sang Murid. Nafasnya mendesah
berat, terasa sesak di dalam dada. Sebagai seorang guru, jelas dirinya tak mau
menerima hinaan seperti itu dari sang Murid "Bagaimana? Apa engkau masih
memungkiri?" tanya Sugali, dengan senyum sinis.
Makin terasa menyesak dada Ki
Pramanu mendengar ucapan Sugali.
"Murid celaka Kau tak
ubahnya seperti iblis" dengus Ki Pramanu marah.
"Kaulah yang celaka,
Orang Tua" bentak Sugali tak mau kalah.
"Sekali lagi kau berkata
begitu, maka tak segan-segan aku menghajarmu, Gali" ancam Ki Prama-nu.
Ki Pramanu benar-benar marah
mendengar ucapan muridnya yang dirasa sangat menjengkelkan.
"Kalau engkau mau
menghajarku, lakukanlah bila berani" tentang Sugali.
"Iblis" rutuk Ki
Pramanu semakin marah.
"Hm, kau tak berani
bukan?" ujar Sugali sinis, melihat gurunya yang sudah mengangkat tangan
namun diurungkan.
"Bedebah Kau berani
menentangku, Gali?" "Huh, kaulah yang mendahului." Ki Pramanu
tak mampu menahan amarah. Nafasnya makin memburu. Marah dan kesal melanda
hatinya. Mata tuanya kini nampak memerah, seakan hendak menghujam ke dalam
kalbu Sugali "Minggat kau dari sini" seru Ki Pramanu, melihat Sugali
masih tersenyum mencibirkan bibir.
"Kau yang harus
minggat" Tak kalah geram, Sugali membentak Ki Pramanu. Kini, kedua murid
dan guru itu telah sama-sama berdiri. Di wajah mereka tergambar ketegangan.
Mata ke-duanya saling menatap tajam, seakan tak seorang pun yang mau mengalah
untuk mengakhiri perselisihan itu. Sugali merasa dirinya telah mampu dan
menjadi seorang pendekar. Kini berani merendahkan gurunya yang telah lima tahun
mendidik dan membimbingnya sebagai anak dan murid.
"Apa hakmu, Anak
Iblis" bentak Ki Pramanu geram. "Kalau tak minggat secepatnya, jangan
salahkan aku menghajarmu, Orang Tua" ancam Sugali.
Gusar dan marah hati Ki
Pramanu mendengar ucapan muridnya yang kurang ajar itu. Sebagai seorang guru,
apalagi sebagai orang tua, jelas dirinya tak mau diperlakukan sekasar itu.
Perlakuan yang dirasakan telah menginjak-injak kehormatan sekaligus harga
dirinya. "Setan Kalau aku tak mau, kau mau apa, Murid Durhaka?"
Sugali tersenyum sinis. Matanya yang merah menatap tajam Ki Pramanu.
"Tua bangka cerewet Kalau
kau tetap tak mau, maka kematian untukmu" Tersentak Ki Pramanu ketika
melihat Sugali mencabut pedang yang tergantung di dinding padepokan. Pedang
Dewa Naga miliknya yang merupakan pedang pusaka itu, kini tengah ditimang-timbang
di tangan Sugali.
"Kau..." pekik Ki
Pramanu dengan mata membelalak kaget, melihat muridnya telah memegang Pedang
Dewa Naga.
"Ya Kau boleh memilih,
menurut denganku atau selembar nyawa tuamu harus melayang dari ragamu yang
telah bau tanah?" ancam Sugali dengan tersenyum sinis.
Ki Pramanu menyurut mundur,
ketika Pedang Dewa Naga diacungkan ke tubuhnya. Matanya nampak membeliak. Mata
tua itu sepertinya menyiratkan rasa takut yang teramat sangat. Bayang-bayang
kematian akibat Pedang Dewa Naga kembali tergambar di pelupuk matanya. Kalau
sudah keluar dari warangkanya, Pedang Dewa Naga itu mau tak mau harus merenggut
nyawa. Ki Pramanu terus menyurut mundur, ketika Pedang Dewa Naga di tangan
Sugali semakin diarahkan ke tubuhnya. Di telinganya terdengar seruan seorang
lelaki tua yang jelas-jelas dikenalnya. Suara itu seperti mengejeknya. Pemilik
suara itu tak lain Daeng Susukan, Pendekar Tanah Toraja. Seorang daeng aliran
lurus, yang dibunuhnya ketika dirinya masih beraliran sesat "Pramanu, bukankah
pembalasan itu akhirnya datang? Beruntung kini engkau telah lurus. Kalau tidak,
niscaya engkau akan menjadi orang celaka di alam kematian. Alam tempatku kini
berada. Terimalah segalanya Pramanu. Karena semua harus berjalan dengan
semestinya. Hukum karma akan selalu berbicara. Dulu aku mati di Pedang Dewa
Naga milikku. Kini kau pun mengalami hal yang serupa," suara itu terus
terngiang-ngiang di telinga Ki Pramanu. Ucapan Daeng Susukan itu telah
mengingatkan kembali tentang hukum karma di dunia ini.
Ki Pramanu makin ketakutan.
Dia semakin mundur, setapak demi setapak menjauhi Pedang Dewa Naga di tangan
Sugali. Kemudian, setelah sampai di pintu, dengan cepat lelaki tua itu melompat
dan berlari keluar dari padepokannya.
"Mau lari ke mana, Tua
Bangka?" seru Sugali.
Dengan Pedang Dewa Naga masih
di tangan, Sugali terus mengejar gurunya. "Ke mana pun kau lari aku akan
mengejarmu" Ki Pramanu terus berlari tanpa menghiraukan ucapan Sugali.
Rasa takut terus membayang di wajahnya. Apalagi suara Daeng Susukan terus
terngiangngiang di telinganya. Pendekar dari Tanah Toraja itu seakan-akan terus
mengejarnya. Karena rasa takut itu, Ki Pramanu tak memperhatikan di depannya.
Sebuah batu sebesar kepala terbentur kakinya. Seketika tubuh lelaki tua
berjubah merah itu tersuruk dan jatuh.
Blukkk "Aduh..."
"Hua ha ha... Kini kematianmu sudah di ambang pintu, Tua Bangka" seru
Sugali sambil tertawa terbahak-bahak.
Sugali melangkah mendekati
tubuh Ki Pramanu yang masih tergeletak di tanah. Di bibirnya masih tersungging
senyum sinis. Pedang Dewa Naga diangkat tinggi-tinggi, siap menghujam ke tubuh
Ki Pramanu.
Namun, pedang itu terus
menggantung, seakan ada sesuatu kebimbangan di hati Sugali.
"Jangan lakukan,
Gali" seru sebuah suara yang ada di dalam hatinya, "Kau akan menyesal
jika melakukannya Dia gurumu, yang telah berjasa padamu" "Bodoh, jika
kau tak melakukannya" seru suara lain. "Kalau dia masih hidup,
senantiasa akan menjadi penghalang niatmu Lakukanlah agar kau bebas dari-nya
Dengan Pedang Dewa Naga, kau akan menjadi tokoh sakti" Sugali nampak masih
bimbang. Terlebih ketika menyaksikan gurunya ketakutan, meratap agar dirinya
tak melakukan pembunuhan terhadapnya. Namun bisikan iblis untuk membunuh, terus
menggelitik batin Sugali. Melihat muridnya masih dalam kebimbangan, Ki Pramanu
tak menyia-nyiakan kesempatan. Lelaki tua berjenggot putih itu segera bangkit
berdiri, kemudian dengan cepat bergerak menyerang Sugali.
"Mampuslah, Murid Durhaka
Hea..." Sugali yang tak menyangka kalau gurunya akan menyerang, tersentak
kaget. Dirinya berusaha berkelit dari serangan Ki Pramanu. Namun gerakannya
terlambat. Tanpa ampun lagi, sebuah pukulan keras yang dilancarkan lelaki tua
berjubah merah itu mendarat telak di bawah pundak sebelah kirinya.
Degk "Ukh..." keluh
Sugali dengan tubuh terhuyung-huyung mundur. Mulutnya meringis kesakitan.
Matanya terbelalak menatap Ki Pramanu. Dari sela bibirnya, meleleh darah segar.
"Keparat Kubunuh kau, Tua Bangka Keparat Hea..." Dengan amarah yang
meluap-luap, Sugali segera membabatkan Pedang Dewa Naga ke tubuh Ki Pramanu.
Wrt "Aits Heg..." Dengan cepat Ki Pramanu melompat ke belakang,
mengelakkan sabetan pedang di tangan muridnya. Kaki kanannya ditekuk, sedangkan
kaki kiri bergerak cepat menendang ke dada Sugali.
Wrt "Yeaaa..."
Melihat gurunya menyerang, Sugali yang sudah marah segera merangsek. Pedang
Dewa Naga di tangannya bergerak menusuk, kemudian membabat. Sementara tangan
kiri dan kaki kanannya pun tak tinggal diam, turut melakukan serangan dengan
pukulan dan tendangan.
"Hea" Pertarungan
antara guru dan murid itu semakin seru. Keduanya tak ingin menyia-nyiakan
waktu.
Mereka saling mengeluarkan
jurus-jurus andalan, yang bernama 'Belitan Naga'.
"Hea"
"Yea" Jika sama-sama bertangan kosong, Ki Pramanu mampu mengimbangi
serangan muridnya. Bahkan mungkin dapat mengalahkannya dalam waktu tak terlalu
lama. Namun kini Sugali memegang Pedang Dewa Naga, yang memiliki kekuatan
tersendiri bagi pemegangnya. Pedang itu seakan mampu menambah kekuatan daya
serang pemegangnya. Terbukti Ki Pramanu kelihatan mulai terdesak, karena
tebasan dan tusukan yang dilancarkan Sugali.
"Hea" "Celaka
Dia benar-benar ingin membunuhku," keluh Ki Pramanu sambil berusaha
mengelitkan sabetan-sabetan Pedang Dewa Naga yang mampu mengeluarkan hawa
panas.
Wrt Wuttt "Aits" Ki
Pramanu melompat mundur, mengelakkan serangan yang dilancarkan Sugali. Kemudian
dengan sebisanya, Ki Pramanu balas menyerang lewat tendangan kaki kanannya ke
dada lawan, "Hea" "Mampuslah, Tua Bangka Keparat Hea..."
setelah berhasil mengelitkan tendangan gurunya, dengan beringas dan diliputi
hawa membunuh, Sugali kembali menyerang. Pedang Dewa Naga di tangan kanannya
menyambar-nyambar laksana seekor ular naga yang berusaha mematuk mangsanya.
Dari setiap sambarannya, keluar angin panas yang menderu-deru.
"Hah? Celaka..." Ki
Pramanu kembali dikejutkan serangan beruntun dan cepat, yang dilancarkan
muridnya. Dirinya berusaha menghindari sabetan dan tusukan pedang Sugali. Namun
ke mana tubuhnya bergerak mengelak, Sugali terus memburunya. Seakan pemuda itu
tak ingin melepaskan gurunya begitu saja.
"Mampuslah kau, Orang Tua
Tolol Hea..." Sugali dengan segenap tenaganya memburu tubuh Ki Pramanu.
Pedang di tangannya bergerak cepat, menebas dan menusuk.
"Aits Hyang Widi,
haruskah aku mati di tangan murid durhaka ini?" desis Ki Pramanu sambil
terus berusaha mengelakkan babatan pedang Sugali yang memburu cepat ke
tubuhnya.
"Hea" Wuttt Wrt
Sugali terus merangsek dengan jurus 'Naga Mengamuk Mengarungi Samudera'. Pedang
di tangannya bergerak cepat, memburu dengan babatan dan tusukan maut.
Kedahsyatan serangan itu membuat hati Ki Pramanu semakin bertambah kecut.
Apalagi pikiran-nya terus dibayangi suara Daeng Susukan, yang seperti tertawa
kegirangan menyaksikan kutukannya bakal terjadi.
"Pramanu... Kini tiba
saatnya bagimu, menerima hukuman atas perbuatanmu dulu" terdengar suara
Daeng Susukan yang membuat Ki Pramanu bertambah tegang. "Hea" Sugali
terus memburu dengan pedangnya, mendesak ke tubuh Ki Pramanu. Hal itu membuat
lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun itu kian terjepit. Sehingga ketika
Sugali kembali melancarkan serangan, Ki Pramanu telah terpojok. Tubuhnya
membentur tebing batu tinggi yang ada di tempat itu.
"Uuuh, matilah
aku..."'keluh Ki Pramanu dengan menatap ngeri Pedang Dewa Naga yang
melesat ke tubuhnya.
"Mampuslah kau, Orang Tua
Hea..." Tidak... Jangan..." Bagaikan kesetanan, Sugali terus memburu
dengan tusukan pedangnya ke tubuh Ki Pramanu yang terkulai ke bawah ketakutan.
Dan....
Wrt Crab "Akh..." Ki
Pramanu menjerit setinggi langit, ketika Pedang Dewa Naga menghujam
punggungnya, tembus sampai ke dada. Darah menyembur keluar, ketika Sugali
mencabut pedang itu. "Kau..., kau benar-benar iblis, Sugali Kelak kau akan
menyesal Mukamu akan hancur oleh Pendekar Gila... Kau..., kau akan hidup dengan
muka yang hancur. Sampai akhirnya, kau akan mati di tangan seorang wanita jago
pedang...." Tubuh Ki Pramanu terkulai dengan nyawa melayang. Darah yang
keluar dari dadanya membasahi jubah merah lelaki tua itu.
Sugali sesaat terdiam,
memandangi tubuh gurunya yang telah binasa. Kemudian disekanya darah yang
membasahi Pedang Dewa Naga dengan pakaian gurunya. Lalu setelah memasukkan
pedang itu ke warangka, pemuda bengis berpakaian merah lengan panjang itu
melangkah meninggalkan mayat gurunya. Tujuannya hanya satu, mencari teman guna
melawan Pendekar Gila.
***
2
Selang beberapa waktu
kemudian, dari arah timur nampak dua sosok manusia melangkah menuju tempat
tubuh Ki Pramanu tergeletak. Sepasang anak muda itu, tak lain Sena Manggala
atau Pendekar Gila dengan kekasihnya, Mei Lie yang juga berjuluk Bidadari
Pencabut Nyawa. Keduanya melewati tempat itu, dalam perjalanan menuju Goa Setan
tempat kediaman guru Pendekar Gila.
Pendekar Gila hendak
menyerahkan Kitab Ajian Dewa yang telah didapatnya kembali, setelah puluhan
tahun berada di tangan Kerto Pati. Kitab itu telah dijadikan rebutan kaum rimba
persilatan yang tergabung dalam Partai Kera Hitam. (Untuk lebih jelasnya, Ikuti
serial Pendekar Gila dalam episode: "Kitab Ajian De-wa").
"Kakang, lihat..." seru Mei Lie tiba-tiba sambil menunjuk ke tempat
sesosok tubuh tua berjubah merah tergeletak.
Pendekar Gila mengarahkan
pandangan matanya ke tempat yang ditunjuk Mei Lie. Sikapnya yang semula
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala seketika berhenti. Keningnya
mengerut, matanya memandang tajam ke arah yang ditunjuk Mei Lie.
"Orang tua itu sepertinya
mati terbunuh, Kakang," tutur Mei Lie.
"Aha, benar, Mei Lie. Ayo
kita dekati" ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie untuk mendekat ke
tempat tubuh lelaki tua yang di sekitarnya terdapat genangan darah. "Hyang
Jagat Dewa Batara, dia benar-benar terbunuh" "Ya Kejam sekali orang
yang membunuhnya, Kakang," ujar Mei Lie agak geram, turut merasa sedih
menyaksikan orang tua terbunuh dengan punggung tembus.
Kening Pendekar Gila terkerut.
Lalu segera membalikkan tubuh orang tua itu. Seketika matanya terbelalak kaget,
setelah mengenali siapa sebenarnya orang tua itu.
"Ki Pramanu..."
desis Sena kaget sambil memperhatikan wajah mayat itu.
"Kau kenal dengannya,
Kakang?" tanya Mei Lie ingin tahu.
"Ya" jawab Sena
sambil menggaruk-garuk kepala. "Dia adalah kakak seperguruan Datuk Raja
Beracun." "Siapa Datuk Raja Beracun, Kakang?" tanya Mei Lie
semakin ingin tahu.
"Aha, seorang datuk sesat
yang kejam," tutur Sena. Kemudian pemuda berpakaian rompi dari kulit ular
itu bercerita tentang petualangannya ketika meninggalkan Mei Lie, bahwa ia
pernah bertemu dengan Datuk Raja Beracun. Datuk yang sangat kejam dan bengis.
Datuk itu suka menculik anak perawan, yang katanya untuk menambah kesaktiannya.
Datuk Raja Beracun dendam pada sang Guru, yang telah mengalahkannya. Dengan
darah tujuh perawan, Datuk Raja Beracun akan sakti. Dan setelah sakti nanti,
dia akan mencari Pendekar dari Goa Setan.
Akhirnya Pendekar Gila bertemu
dengan Datuk Raja Beracun. Keduanya bertarung, sampai akhirnya Datuk Raja
Beracun kalah. Namun dasar Datuk Raja Beracun pengkhianat. Dirinya mengingkari
janji. Datuk itu kembali membuat onar, menculik anak gadis.
Hasratnya untuk mendapatkan
tujuh gadis hampir terlaksana. Namun, ketika gadis terakhir hendak
dipersembahkan sebagai korban, Pendekar Gila datang. Keduanya kembali bertarung
sampai akhirnya Datuk Raja Beracun mati.
"Begitu ceritanya, Mei
Lie," ujar Sena mengakhiri ceritanya, tentang Datuk Raja Beracun yang juga
adik Ki Pramanu serta pernah bertarung melawan Pendekar Gila. Datuk sesat itu
bercita-cita ingin menjadi penguasa rimba persilatan. Dan untuk memenuhi
hasratnya, Datuk Raja Beracun menculik gadis untuk tumbal ilmunya yang sesat.
Mei Lie terdiam, mendengar
penuturan Sena.
Matanya masih memandangi mayat
Ki Pramanu yang keadaannya sangat menyedihkan. Pikirannya menduga, "Pasti
orang tua itu dibunuh dengan pedang, karena lukanya sampai tembus ke dada.
Lukanya pun selebar mata pedang." "Hm.... Siapa yang telah begitu
tega membunuhnya?" gumam Mei Lie bertanya.
Pendekar Gila masih terdiam.
Mulutnya cengengesan dengan mata memandangi mayat lelaki tua itu. Tangannya
menggaruk-garuk kepala, seakan ingin berusaha memahami apa yang sebenarnya
telah menimpa pemilik Pedang Dewa Naga itu.
"Entahlah, Mei Lie,"
desah Sena lemah. Diten-gadahkan wajahnya memandang langit, seakan ingin
bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. "Hidup, mati, jodoh, dan
rizki ada di tangan Hyang Widi. Hi hi hi... Semua orang akan mendapatkan semuanya,
termasuk kau dan aku, Mei," jawabnya kemudian dengan wajah tampak
bersungguh-sungguh.
Mei Lie terpaku diam,
mendengar penuturan kekasihnya. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam, seakan
tengah menghayati ucapan Sena. Memang apa yang dikatakan pendekar itu benar
adanya.
"Ah ah ah, manusia memang
aneh" gumam Sena. "Kadang kala, manusia itu seperti orang gila. Hi hi
hi.. Mereka yang mengaku sehat, berlaku tak waras. Membunuh, memperkosa,
mencuri, dan sebagainya." "Apa maksudmu, Kakang?" tanya Mei Lie
ingin tahu ungkapan yang baru saja diucapkan Pendekar Gila. Mata gadis Cina
yang sipit itu, memandang dengan penuh arti ke wajah pemuda tampan namun
bertingkah laku seperti orang gila di depannya. Pemuda yang senantiasa mengisi
lubuk hatinya paling dalam.
Pemuda yang sangat
dicintainya, pemuda yang akan membuat tenang jika berada di sampingnya.
"Hi hi hi., ya, lucu Lucu
sekali perilaku manusia di dunia ini," gumam Sena sambil cengengesan
dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. Pandangannya kini menyapu ke sekeliling
Padepokan Dewa Naga yang tampak sepi. Kemudian matanya tertuju lekat ke
bangunan yang terbuat dari kayu itu. Sepertinya ada sesuatu yang menarik hati
Pendekar Gila dari bangunan tersebut Mei Lie turut mengarahkan pandangannya ke
bangunan dari kayu itu. Keningnya mengerut, memandang bangunan padepokan yang
seakan turut merasakan kesedihan atas kematian Ki Pramanu....
"Apa yang kau perhatikan,
Kakang?" tanyanya.
"Aha, mungkin di dalam
padepokan itu, kita dapat menemukan petunjuk," jawab Sena seraya melangkah
menuju bangunan padepokan, diikuti Mei lie yang belum mengerti maksud
kekasihnya.
Pendekar Gila membuka pintu
padepokan yang tak terkunci. Matanya menyapu ke dalam padepokan yang sunyi dan
sepi. Hanya sebuah batu persegi ada di dalam bangunan itu, dengan sebuah benda
terbuat da-ri kayu berbentuk kotak. Tak ada sesuatu baginya untuk dapat
menemukan jejak kematian Ki Pramanu.
"Bagaimana, Kakang? Apa
kau menemukan sesuatu yang mencurigakan?" tanya Mei Lie dengan kening
mengerut, menyaksikan Sena yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Matanya masih memandangi sekitar ruangan yang sepi itu.
"Aha, rupanya Ki Pramanu
habis ribut, Mei Lie.
Ada seseorang yang datang ke
ruangan ini," tutur Sena setelah melihat keadaan ruangan yang agak teracak,
sepertinya di ruangan itu awal dari keributan.
Pendekar Gila melangkah
mendekati peti kayu yang panjang dan lebarnya sedepa, serta tinggi setengah
lengan. Dengan kening mengerut, Sena mengawasi kotak itu. Lalu membukanya. Di
dalam peti kayu itu, hanya terdapat benda-benda terbuat dari kain. Tentunya
pakaian. Sena mengaduk-aduk pakaian itu. Seketika matanya membeliak, melihat
selembar daun lontar. Pendekar Gila mengambil daun lontar itu. Ternyata
terdapat tulisan berisi pesan yang keras. Nampaknya ketika menulis, orang itu
dalam amarah yang meluap-luap.
Mei Lie segera mendekat,
kemudian turut membaca tulisan pada lontar yang kini dipaparkan oleh Sena.
"Ayah dan Ibu Aku tahu
dan telah mendengar, bahwa kematian kalian oleh Pendekar Gila. Mesti Ayah dan
Ibu yang salah, sebagai anak aku tak akan tinggal diam. Aku akan menuntut balas
terhadap Pendekar Gi-la. Nampaknya guru tak merestui, bahkan guru seperti
membela Pendekar Gila. Kalau sampai benar guru membelanya, aku tak akan
segan-segan menyingkirkan dia Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa Hutang
pati, harus dibayar dengan pati Tunggulah pembalasanku, Pendekar Gila
Tunggulah..." Anakmu, Sugali Pendekar Gila dan Mei Lie tercengang, membaca
surat itu. Keduanya saling pandang. Kini keduanya tahu siapa pembunuh Ki
Pramanu. Mereka tak habis pikir, "Mengapa murid Ki Pramanu sampai hati
membunuh gurunya. Pendekar Gila pun tak tahu, siapa sebenarnya Sugali dan
mengapa mendendam padanya?" "Kakang kenal dengan Sugali?" tanya
Mei Lie.
"Hi hi hi... Lucu
sekali... Mendengar namanya saja baru kali ini," ujar Sena sambil
menggaruk-garuk kepala. "Ah ah ah, dendam.... Dendam adalah setan.
Dendam akan menyeret manusia
ke dalam kenistaan." "Cobalah Kakang ingat siapa yang dimaksud oleh
Sugali dengan orangtuanya..." ujar Mei Lie, berusaha mengingatkan Sena
pada kejadian yang kini berbuntut dengan dendam.
Pendekar Gila terdiam sambil
mengerutkan kening. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya berusaha
mengingat-ingat kejadian apa yang pernah dialaminya, hingga menyebabkan seorang
anak bernama Sugali mendendam padanya. Namun pikirannya tetap tak ingat dengan
kejadian itu. Hatinya juga merasa tak pernah bentrok dengan Sugali.
"Hi hi hi.. Lucu... lucu
sekali Dendam membabi-buta Ah ah ah, sudahlah... Kita kebumikan saja, Ki Pramanu.
Setelah itu kita kembali meneruskan perjalanan," ujar Sena pada Mei Lie.
Kemudian keduanya kembali
melangkah keluar untuk mengubur mayat Ki Pramanu.
Setelah mengubur mayat Ki
Pramanu, Pendekar Gila dan Mei Lie memberi penghormatan pada orang tua itu. Ki
Pramanu sendiri pernah menjadi orang sesat. Namun, sebelum ajalnya tiba dirinya
telah menjadi orang lurus dan bahkan berusaha mengarahkan sang Murid. Itu
sebabnya Pendekar Gila dan Mei Lie merasa perlu memberi penghormatan pada orang
tua malang itu.
Pendekar Gila dan Mei Lie baru
saja hendak melangkah meninggalkan makam Ki Pramanu, ketika tiba-tiba terdengar
suara tua memanggil namanya.
"Sena... Pendekar
Gila..." Pendekar Gila menghentikan langkahnya, kemudian membalikkan
tubuh, ke tempat asal suara itu.
Matanya seketika membelalak,
menyaksikan dari kuburan Ki Pramanu muncul sebuah bayangan lelaki tua itu.
"Ki Pramanu..."
desis kedua pendekar muda itu hampir bersamaan.
Kedua pendekar itu segera
menjura hormat, menyaksikan arwah Ki Pramanu.
"Terima kasih, kalian
telah mengubur ragaku.
Aku hanya ingin memberi pesan
pada kalian," tutur arwah Ki Pramanu dengan suara datar dan pelan.
"Aha, pesan apakah itu,
Ki?" tanya Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang konyol. Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan. Sedangkan Mei Lie,
terdiam dengan mata menatap bayangan arwah Ki Pramanu.
"Hati-hatilah Ku restui
kalian sebagai pasangan yang diberkati oleh Hyang Widi," ujar Ki Pramanu
sambil mengangkat tangan kanannya dengan telapak terbuka. "Pendekar Gila,
masih ingatkah kau pada dua orang suami-istri yang bersekutu dengan Buto
Ijo?" Pendekar Gila terdiam dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Keningnya mengerut, berusaha mengingat-ingat kejadian yang pernah dialami
dengan sepasang suami-istri yang memuja Buto Ijo.
"Aha, yang kau maksud Ki
Prikada dan Nyi Dripadi?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan,
setelah ingat tentang kedua orang tua itu.
"Benar, Pendekar
Gila," sahut Ki Pramanu. "Ki-ni anak mereka mencarimu." Pendekar
Gila terdiam. Ingatannya kembali menerawang pada kejadian yang menghubungkan
dengan apa yang dikatakan arwah Ki Pramanu.
Tiga bulan yang lalu, dia
memang pernah bentrok dengan Ki Prikada dan istrinya, Nyi Dripadi. Kedua
suami-istri itu, telah banyak memakan korban untuk tumbal persembahan. Banyak
anak-anak kecil yang dijadikan korban. Mendengar berita itu, Pendekar Gila
akhirnya datang ke Desa Tambak Sari. Dan dirinya pun bentrok dengan
raksasa-raksasa siluman milik Ki Prikada dan istrinya. Dengan Suling Naga
Sak-ti, Pendekar Gila mampu memusnahkan siluman Buto Ijo. Namun, sebagai
akibatnya yang mati justru kedua orangtua Sugali.
"Aha, jadi Sugali itu
anak mereka, Ki?" tanya Sena ingin memastikan.
"Benar, Pendekar Gila.
Hati-hatilah, Pendekar Semoga kalian senantiasa dilindungi oleh Hyang
Widi" usai berkata begitu, arwah Ki Pramanu menghilang.
Pendekar Gila dan Mei Lie
kembali menyembah, lalu keduanya meninggalkan Padepokan Dewa Naga.
Angin sore berhembus, menerpa
dedaunan yang gemerisik. Mentari merangkak turun untuk kembali keperaduannya.
***
Suasana malam melingkupi bumi, dengan angin
dinginnya yang berhembus pelan. Seorang lelaki muda berwajah tampan tapi
matanya mencerminkan kebengisan, melangkah melintasi Hutan Parang Pasisir.
Pemuda berbadan tegap dengan dada bidang itu, bagaikan tak takut melangkah di
kegelapan malam dalam hutan yang kelihatan angker. Matanya yang tajam, menatap
lurus ke depan.
Krek "Hm, ada juga kecoa
busuk yang berani menggangguku" geram Sugali dalam hati. Langkahnya
berhenti, kemudian mengawasi tempat ke sekeliling dengan tajam. Telinganya pun
di pasang dengan tajam, sehingga suara sekecil apa pun akan didengarnya.
Pemuda berpakaian lengan
panjang warna merah itu, terus mengawasi sekelilingnya dengan mata tajam.
Telinganya yang tadi mendengar suara ranting kering patah, terus dipasang,
berusaha mendengar suara di sekelilingnya yang sepi.
"Hm, mungkinkah binatang
hutan?" tanya Sugali dalam hati dengan mata dan telinga masih dipasang
tajam. "Kurasa bukan. Jelas itu suara kaki manusia menginjak ranting
kering. Tak mungkin binatang berbuat begitu. Kalau binatang tak akan berhenti
begi-tu saja. Tapi ini tidak. Jelas ini manusia" Kresek Kresek Suara itu
kembali terdengar dari kanan dan kirinya. Hal itu membuat Sugali semakin yakin,
kalau yang sedang mengintainya pasti manusia. Tangannya segera meraba gagang
Pedang Dewa Naga. Pedang bergagang kepala naga itu, seakan memberi keyakinan
padanya dan rasa percaya diri.
Srt "Kalau kalian
manusia, keluarlah" seru Sugali menantang. Pedang Dewa Naga yang
mengeluarkan sinar hijau, kini telah tergenggam di tangannya. Dari mata pedang
itu, keluar sinar hijau yang menerangi sekelilingnya.
"Hea..."
"Yea..." Dari balik rimbun pepohonan dan semaksemak, tiba-tiba
berlompatan lima sosok tubuh. Wajah sosok-sosok bertubuh tinggi dan tegap itu
ditutup kedok warna-warni. Pakaian mereka masing-masing berbeda. "Siapa
kalian?" bentak Sugali dengan mata memandangi satu persatu kelima orang
yang berdiri ti-ga tombak di hadapannya.
Lelaki yang berkedok hitam melangkah
dua tindak ke depan. Lalu terdengar suara tawa membahana keluar dari mulutnya
yang tertutup kedok.
"Seharusnya kami yang
bertanya, bukan kau, Tikus" bentak lelaki berkedok hitam dengan mata tajam
menatap Sugali yang tersenyum kecut. "Siapa kau? Dan untuk apa kau masuk
Hutan Parang Pasisir ini?" "Namaku Sugali. Aku ingin lewat untuk
menuju pulau karang," sahut Sugali dengan tanpa rasa takut sedikit pun.
Dengan Pedang Dewa Naga di tangannya, Sugali merasa percaya diri. Pedang di tangannya
bukanlah pedang sembarangan, melainkan pedang pusaka. Hal itu dapat dirasakan
dari getarannya. Getaran yang menuntutnya untuk membunuh.
"Untuk apa kau ke pulau
karang?" tanya Kedok Biru.
"Itu urusanku. Bukan
urusan kalian" sahut Sugali gusar. Matanya merah membara, terpengaruh
kekuatan Pedang Dewa Naga yang tergenggam di tangan. "Kurang ajar Berani
kau lancang di daerah kekuasaan kami, Anak Muda?" bentak Kedok Coklat
marah. "Rupanya kau belum kenal dengan Lima Hantu Berkedok" "Huh
Kalian kira aku anak kecil, yang bisa digertak?" bentak Sugali sengit.
"Jangankan hanya kalian, Pendekar Gila pun aku tak takut"
"Sombong Aku ingin tahu, sampai di mana ucapanmu, Anak Sombong"
dengus Kedok Ungu. "Serang dia..." "Hea..." Kelima Hantu
Berkedok serentak mencabut senjata mereka yang beraneka ragam. Kedok Hitam
memegang senjata berupa ranting kayu kecil dengan ujung bercabang tiga. Kedok
Biru bersenjatakan sebuah gading gajah yang aneh. Gading gajah itu juga
bercabang dua. Kedok Coklat dengan senjatanya berupa bulatan gerigi yang diikat
dengan sebuah tali panjang. Kedok Ungu dan Kedok Kuning, bersenjatakan pedang
bergerigi dan golok bercabang dua.
"Hea..." Dari lima
arah, mereka menggebrak Sugali dengan senjata masing-masing. Nampaknya Lima
Hantu Berkedok merupakan orang-orang yang haus darah.
Sehingga tak segan-segan
menyerang dengan ganas.
Sugali merundukkan kepala
dengan cepat. Kemudian secara cepat tangannya memutar Pedang Dewa Naga dengan
jurus 'Dewa Naga Menebar Maut' "Hea" Pedang Dewa Naga di tangan
Sugali berputar begitu cepat memapaki senjata kelima lawannya, yang menderu ke
tubuhnya.
Wrt Trang Trang Trang...
Prak Prak Prak...
Suara berdentang dan
bergemeretak terdengar keras ketika Pedang Dewa Naga membentur senjatasenjata
Lima Hantu Berkedok.
"Heh?"
"Heh?" Kelima Hantu Berkedok tersentak kaget sambil melompat mundur,
ketika dirasakan senjata mereka patah terbabat pedang di tangan Sugali. Mata
kelima lelaki bertubuh tegap itu terbelalak kaget, tak percaya pada apa yang
telah terjadi. Selama ini, senjata mereka belum pernah dapat dipatahkan seperti
sekarang ini.
Bahkan dengan senjata tajam
apa pun. Baru kali ini, mereka merasa bertemu senjata yang memiliki kekuatan
luar biasa.
"Hua ha ha... Sudah
kukatakan, jangankan kalian. Pendekar Gila pun belum tentu dapat mengalahkan
aku" seru Sugali sombong.
Kelima lawannya terdiam.
Mereka sating pandang dengan perasaan takut menyaksikan kehebatan pedang di
tangan Sugali.
"Kini, bersiaplah kalian
untuk mati" dengus Sugali, yang membuat Lima Hantu Berkedok tersentak
kaget. Keringat dingin keluar dari kening mereka.
"Ampun..., ampunilah kami
Kami siap mengabdi padamu," pinta mereka sambil berlutut mencium tanah.
Mereka mengaku kalah, meratap ketakutan.
Hal itu membuat Sugali yang
memang tengah mencari kawan untuk melawan Pendekar Gila tersenyum senang.
"Bagus Memang aku ingin teman seperti kalian Sejak saat ini, kalian harus
memanggilku Ketua Mengerti?" bentak Sugali sambil menyarungkan kembali
Pedang Dewa Naganya.
"Kami mengerti...,"
sahut kelimanya bersama.
"Hm, bagus Kalian dengar
baik-baik Mulai sekarang hutan ini menjadi markas kita. Dan aku adalah pimpinan
kalian" "Baik, Ketua," sahut kelimanya serentak.
"Di mana tempat
kalian?" tanya Sugali semakin bertambah pongah, setelah dapat mengalahkan
dan menaklukkan Lima Hantu Berkedok.
"Mari, kami
tunjukkan..." kata Kedok Hitam sambil melangkah mengajak Sugali yang kini
menjadi ketua mereka. Sugali pun menurut, mengikuti kelima anak buahnya yang
baru. Di hatinya, semakin tertanam dendam pada Pendekar Gila.
Tidak lama kemudian, Sugali
dan anak buahnya telah sampai di markas Lima Hantu Berkedok. Sebuah bangunan
terbuat dari papan, dengan keadaan yang agak kotor. Nampaknya selama itu, Lima
Hantu Berkedok tak mengurus tempat tersebut "Ini tempat kami, Ketua,"
kata Kedok Hitam.
"Hm" gumam Sugali
dengan mata memperhatikan bangunan dari papan. Kepalanya menganggukangguk,
seakan merasa senang. "Bagus Tapi besok, kuperintahkan pada kalian untuk
membersihkannya.
Aku akan mencari Datuk Raja
Karang. Dia akan kuajak bekerja sama." "Baik, Ketua..." jawab
kelimanya serentak.
Sugali dengan diikuti kelima
anak buahnya yang baru kini melangkah memasuki bangunan markas itu. Seketika
dari dalam, muncul lima orang gadis cantik jelita. Hal itu membuat Sugali
mengerutkan kening. Wajahnya menoleh pada kelima anak buahnya.
"Siapa mereka?"
tanyanya.
"Ampun, Ketua Mereka
pelayan kami," jawab Kedok Hitam.
"Pelayan...?" tanya
Sugali keheranan. "Pelayan secantik mereka? Hai, katakan siapa
mereka?" "Ampun Ketua, mereka...." Belum habis ucapan Kedok Hitam,
Sugali telah memotongnya.
"Aku tahu. Tentunya
mereka pemuas nafsu kalian" "Benar, Ketua...," sahut kelimanya
takut-takut "Bagus Mulai sekarang, kalian jangan berani mengganggu mereka.
Kini mereka menjadi pelayanku, mengerti?" bentak Sugali tegas.
"Mengerti, Ketua,"
sahut kelimanya bareng.
Sugali tertawa terbahak-bahak.
Kemudian tangannya direntangkan. Diajaknya kelima gadis cantik yang hanya
memakai kain sebatas dada itu ke dalam sebuah kamar. Kemudian dengan keras
ditutupnya pintu kamar. Tinggallah Lima Hantu Berkedok yang hanya saling
pandang dengan wajah menggambarkan kejengkelan. Namun untuk melawan, mereka tak
berani. Kelima lelaki berkedok itu hanya bisa memejamkan mata, ketika terdengar
rintih dan erangan dari dalam kamar.
***
3
Angin pagi menghembuskan hawa
sejuk, menerpa dedaunan. Ombak laut pun turut bergerak, menggulung dan
menepiskan sampah yang ada di Laut Selatan. Pagi itu, Sugali nampak melangkah
ke selatan menuju tempat kediaman Datuk Raja Karang. Di Pulau Karang Sundulan,
Datuk Raja Karang bersembunyi dari keramaian setelah terjadinya peristiwa di
Lembah Lamur. (Untuk lebih jelasnya, ikuti serial Pendekar Gi-la dalam episode:
"Titisan Dewi Kawan Im").
Saat itu Sugali sampai di Desa
Gedang Gajah yang terletak di tepi Laut Selatan. Sejenak matanya memandang ke
laut yang membentang luas, berusaha mencari Pulau Karang Sundulan yang dihuni
Datuk Raja Karang. Namun dia tak melihat adanya pulau karang di laut itu.
"Hm, di manakah tempat
Datuk Raja Karang?" gumam Sugali sambil terus memandang ke lautan.
Namun tetap dirinya tak
melihat pulau karang yang dijadikan markas Datuk Raja Karang.
Sugali terus menyapukan
pandangannya ke laut, berusaha mencari pulau karang yang dimaksud
orang-orangnya sebagai tempat persembunyian Datuk Raja Karang. Kini
pandangannya diarahkan ke arah barat daya. Tiba-tiba mulutnya tersenyum, ketika
matanya melihat sebuah pulau karang di tengah-tengah lautan. "Hm, tentunya
pulau itu tempatnya," gumam Sugali. Kemudian dia pun berlari ke barat.
Sesaat Sugali terdiam. Dirinya nampak bingung untuk menyeberangi lautan yang
luas itu. "Hm, bagaimana aku harus menyeberangi lautan yang luas
ini?" Belum juga Sugali menemukan cara untuk menyeberangi laut, tiba-tiba
dari Pulau Karang Sundulan terdengar suara gelak tawa membahana. Gelak tawa
itu, mampu menimbulkan angin yang kencang dan terasa memekakkan telinga.
"Hua ha ha... Hua ha
ha..." Sugali tersentak kaget ketika dirasakan telinganya sakit dan
berdenyut keras. Sungguh tak disangka, kalau suara tawa itu akan mampu membuat gendang
telinganya terasa sakit. Bahkan pohon kelapa yang tumbuh di sekitar pesisir,
bagaikan diterpa angin badai. Banyak buah kelapa yang berjatuhan. Daun-daunnya
berserakan, berterbangan tertiup angin yang ditimbulkan suara tawa penghuni
Pulau Karang Sundulan itu.
"Ukh" Sugali
memekik. Dirinya berusaha bertahan dari suara tawa yang terus mendesak gendang
telinganya. Dikerahkan tenaga dalamnya, untuk melindungi suara menggelegar itu.
Namun suara tawa itu ternyata lebih kuat dari tenaga dalamnya.
"Eh Uh..." "Hua
ha ha... Bagaimana, Anak Muda? Masihkah kau belum percaya kehebatanku?"
terdengar suara Datuk Raja Karang berseru dari kejauhan. Rupanya Datuk Raja
Karang telah mengetahui kedatangan Sugali. Bahkan maksud kedatangannya.
"Aku percaya" sahut
Sugali. "Itu sebabnya aku datang, untuk mengajakmu bersama-sama menghadapi
Pendekar Gila" "Hua ha ha... Bagus Memang itu yang kuharapkan. Kau
memang pemberani, Anak Muda Tidak seperti gurumu yang pengecut" seru Datuk
Raja Karang dari tempat kediamannya. "Gurumu memang tia-da gunanya. Dia
memang pantas kau singkirkan" "Seperti dirinya tak pengecut
saja," rutuk Sugali dalam hati, setelah mendengar kata-kata Datuk Raja
Karang. "Buktinya kau bersembunyi dari kejaran Pendekar Gila"
"Anak muda, kenapa kau masih di situ? Kemarilah..." seru Datuk Raja
Karang.
"Aku tak tahu bagaimana
untuk menyeberang ke tempatmu" seru Sugali.
"Hua ha ha... Tolol Kau
memang pemberani, tetapi tolol Gunakan otakmu Cari ranting kayu Bukankah kau
memiliki tenaga dalam? Atau gunakan pedang di punggungmu" seru Datuk Raja
Karang memberitahukan bagaimana caranya untuk dapat mengarungi lautan yang luas
itu.
Kening Sugali mengerut,
mendengar seruan Datuk Raja Karang. Kemudian tangannya menarik Pedang Dewa
Naga. Dipandangi pedang itu sesaat. Namun belum mengerti, bagaimana caranya
menggunakan pedang pusaka itu untuk menyeberangi lautan.
"Anak muda, kau pemberani
tapi tolol. Mengapa kau hanya memandangi pedang pusaka itu? Lemparkan pedang
pusakamu ke laut, maka kau akan dapat menyeberangi lautan ini" seru Datuk
Raja Karang memberitahukan kegunaan pedang itu.
Sugali menurut Dilemparkan
Pedang Dewa Naga ke lautan. Seketika itu pula, terjadi sebuah keanehan. Air
laut bagaikan membeku. Seakan-akan berubah menjadi daratan yang terbuat dari
air.
"Heh?" Sugali
terperangah menyaksikan kejadian aneh itu. Tak pernah dirinya menyangka kalau
Pedang Dewa Naga ternyata sehebat itu. Lama sekali Sugali terkesima,
menyaksikan keanehan itu. Hatinya baru tersentak sadar, ketika terdengar seruan
Datuk Raja Karang.
"Bocah tolol Jangan hanya
mematung di situ, kemarilah cepat" serunya. "Waktumu hanya sebentar.
Seperminum teh, air itu akan
kembali cair" Mendengar seruan itu, Sugali segera mengambil pedangnya.
Kemudian dengan menggunakan ilmu larinya yang bernama 'Turangga Sekti', Sugali
melesat menuju Pulau Karang Sundulan. Tidak lama kemudian, pemuda berpakaian
merah itu telah sampai di tepi pulau karang. Tiba-tiba....
Srt Srt Srt Puluhan senjata
rahasia melesat dari dalam tanah, menyerang Sugali.
"Heh?" dengan masih
kaget, Sugali segera melenting dan bersalto di udara, mengelakkan serangan
senjata-senjata maut itu. Pedang Dewa Naga dibabatkan memapak puluhan senjata
rahasia yang hendak menyerangnya. "Hea..." Wrt wrt wrttt..
Trak Trak Trak Puluhan senjata
rahasia terpotong-potong, terkena sambaran Pedang Dewa Naga. Senjata-senjata
rahasia itu berpentalan ke tanah.
"Hebat Hebat.." seru
Datuk Raja Karang yang tahu-tahu telah berada di hadapan Sugali. Lelaki tua
berjubah hitam dengan rambut terurai lepas berwarna hitam keputihan itu
bertepuk tangan. Dari mulutnya terdengar suara tawanya yang lepas.
Sugali segera bersalto,
kemudian mendarat dengan ringan tiga tombak di hadapan lelaki tua bermuka
garang dan bercambang bauk tebal itu. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun
itu, tersenyumsenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala.
"Terimalah hormatku,
Datuk" ujar Sugali sambil menjura.
"Tak usah pakai
peradatan, Anak Muda Katakan, apa maksudmu yang sebenarnya" pinta Datuk
Raja Karang.
"Bukankah Datuk sudah
tahu?" tanya Sugali sambil menyarungkan pedang pusakanya ke warangka.
"He he he... Jadi kau
benar-benar ingin membalas kematian kedua orangtua mu pada Pendekar Gila?"
tanya Datuk Raja Karang.
"Begitulah"
"Hm, bagus Itu baru seorang anak yang baik.
Lalu apa keperluanmu datang ke
tempatku?" tanya sang Datuk lagi, seakan merasa belum jelas.
"Aku memerlukan
bantuanmu, untuk menghadapi Pendekar Gila," sahut Sugali dengan wajah
penuh dendam. Matanya berkilat tajam, seakan menyimpan bara api. Tangannya
mengepal, seakan hendak meremukkan kepala Pendekar Gila.
"He he he... Bagus...,
bagus Kau memang tepat datang ke tempatku. Baiklah kalau itu keinginanmu, Anak
Muda. Aku memang mengharapkan bisa menghadapi Pendekar Gila. Selama ini, aku
telah memperdalam ilmu-ilmuku, yang sengaja kupersiapkan untuk
menghadapinya," dengus Datuk Raja Karang dengan senyum sinis. "Dengan
ajian 'Betara Karang', Pendekar Gila tak akan mampu mengalahkan aku" Datuk
Raja Karang menggeram. Tangannya mengepal keras. Kemudian terdengar suara
tawanya yang membahana. Diikuti oleh Sugali. Sehingga Pulau Karang Sundulan
yang biasanya sepi, seketika bagaikan hendak pecah karena suara tawa kedua
tokoh itu.
"Anak Muda, kau harus
tahu. Selama kau menjalin persahabatan denganku, kau harus mengikuti apa yang
kukatakan...," ujar Datuk Raja Karang setelah diam dari tawanya.
"Apa itu, Datuk?"
"Pertama, kau harus mencarikan aku wanita." "Akan ku
carikan," jawab Sugali.
"Kedua, kau harus membuat
keonaran dengan merampok. Dengan cara itu, kita memancing Pendekar Gila, sekaligus
dapat menumpuk kekayaan. Kelak akan kita gunakan kekayaan itu untuk mendirikan
suatu perkumpulan besar. Perkumpulan yang tak akan terkalahkan siapa
pun...," ujar Datuk Raja Karang menyampaikan gagasan cita-citanya.
"Akan kulakukan,"
sahut Sugali.
"Dan yang terakhir. Jika
Pendekar Gila telah dapat kita binasakan, aku menjadi Raja Diraja. Kau harus
mengakui, kalau aku rajamu. Raja rimba persilatan" lanjut Datuk Raja
Karang dengan tegas.
"Baik, aku akan
menuruti," tegas pula jawaban Sugali. "Kapan akan kita mulai?"
"Hari ini juga Siapkan gadis itu..." perintah Datuk Raja Karang. Mata
Sugali membelalak. Bagaimana mungkin dia harus mempersiapkan permintaan sang
Datuk dalam waktu singkat, hanya sehari? Rasanya tak masuk di akal. Mencari
seorang gadis, bukanlah pekerjaan yang enteng. Lebih enteng merampok atau
membunuh manusia. "Bagaimana, Anak Muda? Apa kau sanggup?" "Aku
sanggup" jawab Sugali.
"Bagus Laksanakan segera
Kemudian bawalah gadis itu kemari" perintah Datuk Raja Karang.
"Baiklah." Usai menjura,
Sugali pun melangkah meninggalkan Datuk Raja Karang. Dilemparkan pedangnya ke
air laut yang seketika membeku diam. Kemudian setelah mengambil Pedang Dewa
Naga, tubuhnya melesat meninggalkan Pulau Karang Sundulan, diikuti tatapan mata
Datuk Raja Karang. Lelaki tua berjubah hitam itu menyunggingkan senyum penuh
kepuasan.
***
Siang panasnya terasa sangat menyengat.
Matahari yang terik seakan hendak membakar bumi. Angin berhembus kencang,
seakan-akan hendak menyapu semua yang ada di bumi ini. Daun-daun kering
berguguran, turut berterbangan terkena tiupan angin siang itu. Sepasang
muda-mudi yang tengah melangkah melintasi Desa Keligisan harus menutupkan
tangannya di wajah, agar terhindar dari terpaan debu dan daun kering yang
berterbangan ditiup angin.
"Aha, sebentar lagi akan
musim penghujan," gumam Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang konyol.
Tangan kanannya menutupi muka, sedangkan tangan kiri menggaruk-garuk kepala.
Gadis cantik yang sikapnya
tenang namun agak galak di sampingnya hanya memandangi dedaunan kering
berterbangan ditiup angin. Kemudian pandangannya beralih ke wajah pemuda
bertingkah laku aneh yang tak lain Pendekar Gila.
"Dari mana Kakang
tahu...?" tanya Mei Lie sambil menatap wajah kekasihnya.
"Aha, itu sudah kebiasaan
orang-orang Jawa.
Mereka menghitung musim dari
angin. Hi hi hi..." Se-na tertawa cekikikan. Tangannya masih
menggarukgaruk kepala. Sedangkan matanya memandang wajah Mei Lie. Gadis itu
tersenyum-senyum melihat tingkah laku kekasihnya yang kadang menggemaskan dan
konyol. "Bagaimana caranya, Kakang?" tanya Mei Lie tertarik ingin
tahu.
"Hi hi hi... Kau ingin
tahu...?" goda Sena sambil cengengesan dengan tangan masih menggarukgaruk
kepala. Hal itu menjadikan Mei Lie kembali gemas melihatnya. "Aha, semakin
kau cemberut, semakin bertambah cantik saja...." Mei Lie yang semula
hendak cemberut, seketika mengurungkan niatnya setelah mendengar selorohan
Sena. Kini di bibirnya tampak terurai senyum yang begitu manis. Senyum yang
mampu membuat hati Pendekar Gila senantiasa ingin terus bersama gadis Cina itu.
Sambil melangkah menyelusuri
Desa Keligisan, kedua pendekar sejoli itu bercengkerama. Kadang bercanda ria,
ngobrol, dan bermanja-manja. Sepertinya mereka tak ingin membuang kesempatan
pertemuan itu begitu saja. Karena setelah keduanya sampai di Goa Setan, maka
Mei Lie akan dititipkan pada Eyang Guru Singo Edan. Sekaligus agar Mei Lie
dapat mendalami ilmu-ilmu silat dengan tenang, tanpa harus terganggu suasana
dunia persilatan.
"Ayolah, katanya mau
menceritakan tentang bagaimana orang Jawa menghitung musim dengan berpedoman
pada angin," desak Mei Lie Sena masih cengengesan dengan tangan kiri
menggaruk-garuk kepala. Ditatapnya wajah gadis Cina yang menjadi kekasihnya
itu, Mei Lie pun memandang wajahnya dengan muka cemberut, merasa digoda oleh
Pendekar Gila.
"Aha, baiklah akan
kuceritakan," sahut Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan masih
menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandang wajah Mei Lie yang masih
menunjukkan cemberutnya.
"Ayo, mau ceritakan
tidak...?" desak Mei Lie setengah merengek, menjadikan Sena semakin
cengengesan dengan tangan kian keras menggaruk-garuk kepala. "Aha, baiklah
akan kuceritakan, tetapi kita harus mencari kedai dahulu, karena perutku sudah
minta diisi. Hi hi hi..." Tanpa membantah, Mei Lie pun menurut melangkah
seiring dengan kekasihnya untuk mencari sebuah kedai. Di samping perut mereka
memang lapar, keduanya juga ingin meneduh agar terhindar dari rasa panas yang
menyengat. Debu yang berterbangan pun terasa sangat mengganggu perjalanan mereka.
***
Setelah makan, Pendekar Gila dan Mei Lie
beristirahat sambil melepas lelah. Suasana siang itu masih terasa panas. Terik
matahari sepertinya tak mengenal ampun. Angin siang yang berhembus pun bagaikan
tak ada artinya sama sekali. Meskipun berhembus kencang tak mampu mengusir hawa
panas yang terasa menyengat tubuh.
"Ouw..." Sena
menguap karena serangan rasa kantuk yang disebabkan terik matahari bercampur
hembusan angin.
Mei Lie yang duduk di samping
Pendekar Gila hanya mampu memperhatikan tingkah laku kekasihnya yang konyol.
Gadis itu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kakang, masih jauhkah
Goa Setan dari sini...?" tanya Mei Lie. Matanya memandang ke luar kedai.
Di sekitar kedai itu pepohonan menghijau nampak sangat subur. Gemerisik angin
yang menerpa dedaunan terdengar sampai dalam kedai.
"Aha, rupanya kau sudah
ingin bertemu dengan eyang. Hi hi hi... Lucu sekali Eyang galak sekali, Mei
Lie," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Di bibirnya masih tersenyum
cengengesan.
"Ah, kurasa eyang tak
sekonyol dirimu, Kakang...," desah Mei Lie dengan mata masih memandang
keluar kedai.
"Tolong...
Tolong..." Tiba-tiba terdengar suara jeritan seorang wanita.
"Heh...?"
"Heh" Mei Lie dan Pendekar Gila yang sedang istirahat, tersentak kaget.
Keduanya langsung bangun dari tempat duduk. Mata mereka memandang keluar.
Kemudian Pendekar Gila telah melangkah keluar diikuti Mei Lie.
"Tolong..." dari arah timur, nampak lima orang lelaki berkedok sedang
menyeret dan memaksa seorang gadis agar ikut bersama mereka. Gadis itu
meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari lelaki berkedok hitam yang
membopong tubuhnya. Namun tenaganya yang tidak kuat, membuat dirinya tak mampu
lepas dari tangan lelaki berkedok hitam.
"Aha, rupanya ada lima
tikus pemalu yang mau menculik seorang gadis. Hi hi hi..., lucu sekali,"
gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala.
Hal itu membuat kelima lelaki
berkedok yang membawa tubuh gadis cantik jelita berambut panjang, seketi-ka
menghentikan langkah mereka.
"Siapa kau...?"
bentak lelaki berkedok hitam.
"Aha, siapa pun aku, yang
pasti aku tak suka dengan perbuatan kalian" sahut Pendekar Gila sambil
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan Mei Lie nampak masih tenang. Namun, sorot
matanya sangat tajam, menatap penuh kebengisan.
"Kurang ajar Apa kau tak
tahu kalau tingkah lakumu yang seperti orang gila itu akan membuatmu
menderita?" bentak Kedok Merah dengan nada tajam dan keras.
"Gila...? Aha, memang
dunia ini sudah gila. Di mana-mana orang bertingkah laku aneh-aneh" ujar Sena
dengan tingkah lakunya yang seperti orang gila.
Mulutnya cengengesan, dengan
tangan masih menggaruk-garuk kepala.
"Pemuda gila, minggirlah
Jangan sampai hilang kesabaran kami" bentak Kedok Hitam dengan garang.
"Enak saja kalian
ngomong" bentak Mei Lie yang sudah tak dapat lagi menahan amarah,
mendengar kelima lelaki berkedok itu meremehkan Pendekar Gila. "Kami mau
minggir, asalkan kalian turunkan gadis itu." Kelima lelaki berkedok itu
saling pandang, mendengar ucapan Mei Lie. Mereka tak menyangka, kalau gadis
Cina yang di punggungnya tersandang pedang itu akan berani membentak begitu
tajam dan ketus.
"Siapa kau, Nini? Berani
benar kau pada kami," dengus Kedok Ungu geram. Belum pernah ada seorang
wanita berani membentaknya seperti itu.
Mei Lie tersenyum sinis,
mendengar ucapan lelaki berkedok ungu. Begitu juga dengan Pendekar Gila,
mulutnya tampak cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
"Aha, kenapa kalian tak
menculik temanku saja? Bukankah temanku lebih cantik? Hi hi hi.." ujar
Sena dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat
kelima lelaki berkedok semakin bertambah marah. Sedangkan Mei Lie kini nampak
melototkan mata, membuat Sena semakin keras menggaruk-garuk kepala dengan mulut
nyengir.
"Pemuda gila Lancang
sekali mulutmu" dengus Kedok Hitam gusar, sambil menggerakkan tangan kiri
memerintah keempat temannya. "Bereskan mereka..." Keempat lelaki
berkedok lainnya segera maju mengepung Mei Lie dan Pendekar Gila yang telah
siap menghadapi serangan lawan.
"Hi hi hi... Mei Lie,
rupanya kita akan mainmain dengan para cecunguk itu," ujar Sena sambil
menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang dengan sudut mata, seperti orang
bermata jereng. Sedangkan mulutnya masih cengengesan. "Aha, apa kau telah
siap, Mei...?" "Untuk cecunguk macam mereka, aku siap, Kakang,"
sahut Mei Lie dengan mata menatap tajam pada keempat lawannya yang telah siap
untuk menyerang. "Heaaa..." dua orang menggebrak Mei Lie dengan
tebasan pedang dan golok. Namun secara cepat Mei Lie berkelit dengan membuka kaki
kiri ke samping.
Tubuhnya dirundukkan sambil
kepalanya bergerak cepat. Serangan mereka meleset, hanya beberapa jari dari
kepala Mei Lie.
Rupanya semenjak senjata
mereka yang berbentuk ranting bercabang, patah terbabat Pedang Dewa Naga, kini
mengganti senjata mereka dengan pedang dan golok. Hal itu karena mereka
menyesuaikan diri dengan senjata milik sang Pemimpin, Sugali yang menggunakan
ilmu pedang. Tampaknya Sugali pun sebagai pemimpin telah mulai menurunkan ilmu
pedangnya kepada kelima anak buah.
"Heaaa..." dengan
cepat Mei Lie menarik kaki kanan ditekuk ke atas, lalu dengan tendangan
'Bidadari Menyapu Awan', gadis itu menendang kedua lawannya dengan cepat. Hal
itu membuat kedua lawannya tersentak kaget "Heh? Awas..." seru Kedok
Ungu berusaha memperingatkan temannya, agar mengelak dari serangan lawan.
"Hah?" Kedok Merah
tersentak kaget. Dirinya berusaha menghindar dengan cara menyurutkan kaki kanan
ke belakang. Sementara tubuhnya dimiringkan ke kiri. "Heaaa..." Mei
Lie terus menggebrak, masih dengan mengandalkan tangan kosong. Namun begitu,
serangan Mei Lie yang menggunakan jurus-jurus 'Bidadari Sakti' mampu membuat
kedua lawan yang menyerang nampak kewalahan. Mereka harus menguras tenaga, agar
dapat mengelakkan serangan-serangan yang cepat dan sangat berbahaya itu.
"Uts Celaka Ternyata
gadis ini bukan gadis sembarangan," gumam Kedok Merah setengah mengeluh,
sambil terus berusaha mengelakkan seranganserangan yang dilakukan Mei Lie. Mata
Kedok Merah membelalak, hampir tak percaya melihat gebrakan yang dilancarkan
Bidadari Pencabut Nyawa yang sangat cepat dan berbahaya.
"Kedok Merah, rupanya
kita menghadapi wanita bukan sembarangan," ujar Kedok" Ungu yang juga
merasa kaget, menyaksikan serangan Mei Lie. Dengan pedang di tangan, dirinya
tak mampu mendesak Mei Lie yang hanya menggunakan tangan kosong. Gadis itu
sangat gesit dalam mengelak maupun melakukan serangan. "Heaaa..."
Tangan Mei Lie dengan jurus 'Bidadari Melepas Himpitan Karang' bergerak
menyerang. Tangan kanan bergerak memukul ke tubuh Kedok Ungu, sementara tangan
kiri direntangkan ke atas, lalu memukul Kedok Merah. Wrt Kedok Ungu dan Kedok
Merah benar-benar kewalahan menghadapi serangan yang dilakukan Mei Lie.
Keduanya terus berusaha
mengelak dan balas menyerang. Namun rupanya Mei Lie tak mudah untuk didesak.
Bahkan keduanya yang terpaksa harus berjumpalitan mengelakkan serangan gencar
yang dilancarkan Mei Lie.
***
4
"Heaaa..." Mei Lie
terus menggebrak dengan pukulan dan tendangan yang mengandung tenaga dalam.
"Aits Celaka... Dia benar-benar bukan gadis sembarangan," keluh Kedok
Ungu sambil mengibaskan tangannya, berusaha menangkis serangan Mei Lie yang
cepat dan sangat membahayakan. Kedok Ungu segera melakukan salto ke udara,
kemudian dengan masih melayang Kedok Ungu berusaha menyerang Mei Lie dengan
sabetan goloknya.
Wrt "Haits..."
Dengan merundukkan tubuh, Mei Lie mengelak dari babatan golok lawan. Kemudian
dengan cepat, tangan kanannya meraba gagang pedang yang bertengger di pundak.
Srt Wrt Secepat kilat Bidadari
Pencabut Nyawa mengibaskan pedang, memapak serangan lawan.
Trang Prak "Ikh..."
Kedok Ungu tersentak kaget, dengan tubuh melompat ke belakang. Matanya
membelalak kaget, tak percaya kalau goloknya
patah terbabat pedang yang
mengeluarkan sinar kuning kemerahan di tangan gadis itu. "Celaka, dia
bukan gadis sembarangan Gila..." Kedok Merah yang juga melihat kenyataan
itu, agak ciut juga nyalinya. Dirinya sungguh tak menduga, kalau gadis Cina itu
memiliki ilmu silat yang tinggi.
"Heaaa..." Mei Lie
kembali menyerang dengan jurus 'Bidadari Merentang Selendang'. Kedua tangannya
bagaikan sepasang selendang, mengibas-ngibas memburu Kedok Merah. Bukan hanya
tangannya yang melakukan serangan. Kakinya juga turut bergerak cepat menyerang
dengan sapuan dan tendangan keras.
"Aits" Kedok Merah
segera melompat sambil berjumpalitan mengelak dari serangan yang dilancarkan
Mei Lie. Hampir saja sambaran kaki dan tangan Mei Lie mendarat di dada dan
wajah Kedok Merah, kalau saja Kedok Ungu tak segera membantunya. Serangan
bantuan Kedok Ungu membuat Mei Lie harus mengalihkan perhatian kepadanya.
Sementara itu, Pendekar Gila
yang sedang menghadapi dua orang berkedok lainnya pun nampak masih bertarung.
Dengan mulut cengengesan, Sena melayani dengan menggunakan jurus yang dirasa
aneh bagi kedua lawannya. Dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' Sena terus
berkelebat mengelakkan serangan. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari disertai
dengan tepukan-tepukan tangannya yang aneh. Meski pukulan telapak tangannya
kelihatan pelan, tenaga yang keluar sangat menyentakkan kedua lawannya.
Plak "Aits..."
"Heh?" Kedua lawannya langsung berlompatan mundur, mengelakkan
serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Mata keduanya membelalak kaget,
mendapatkan serangan yang sangat aneh itu. Mereka seakanakan tak percaya dengan
jurus yang dilancarkan lawan. Jurus itu sepertinya hanya main-main. Namun
ternyata sangat berbahaya. Pukulan telapak tangan yang kelihatan pelan,
tahu-tahu mampu mengeluarkan tenaga dalam yang sangat kuat "Hi hi hi..
Kalian lucu sekali Tentunya kalian bermuka buruk, sehingga harus bersembunyi di
balik kedok. Hi hi hi..." Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan tingkah laku seperti seekor kera,
Pendekar Gila kemba-li bergerak menyerang kedua lawannya yang masih keheranan.
"Awas, Kedok
Biru..." seru Kedok Kuning mengingatkan temannya, yang dengan segera
melompat ke samping mengelak dari serangan Pendekar Gila. Lalu dengan cepat
Kedok Biru dan Kedok Kuning balas menyerang. Pedang dan golok mereka berkelebat
cepat memburu Pendekar Gila.
"Heaaa..."
"Yeaaa..." Pedang dan golok kedua lawannya menderu cepat Namun dengan
tak kalah cepat Pendekar Gila segera berkelit. Dirundukkan tubuh, lalu sambil
meliuk ditepukkan tangan kanannya ke samping. Sedangkan tangan kirinya, ditepukkan
ke depan.
"Heaaa..." Wrt
"Hah Celaka..." pekik Kedok Kuning kaget, sambil menggeser kaki ke
kiri. Kemudian dengan memutar tubuh setengah lingkaran, Kedok Kuning
membabatkan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila.
"Yeaaa..." Wrt
Merasa ada desiran angin babatan pedang lawan, Pendekar Gila yang sedang
menyerang Kedok Biru, cepat menjatuhkan tubuh ke tanah. Sementara tangannya
bergerak menyambar kaki Kedok Biru, kaki-nya menendang ke dada Kedok Kuning.
"Heaaa..." Wrt
Blukkk Plakkk Tanpa ampun lagi, Kedok Biru yang kakinya disambar, langsung
jatuh terlentang. Sedangkan Kedok Kuning yang terkena tendangan, tampak
terhuyung ke belakang dengan mata melotot. Dari selasela bibirnya, melelehkan
darah.
"Ukh..." keluh Kedok
Kuning sambil memegan-gi dadanya yang sakit, akibat tendangan kaki Pendekar
Gila. Nafasnya tersengal-sengal. Matanya menatap tajam Pendekar Gila yang
cengengesan. Sepertinya Kedok Kuning tengah berusaha meyakinkan hatinya, dengan
siapa dia kini berhadapan.
"Hi hi hi... Lucu...,
lucu sekali kalian Mengapa kalian seperti orang-orang yang habis sakit?"
tanya Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala. Di bibirnya masih
tersungging senyuman.
Tangannya kembali
menggaruk-garuk kepala yang mendongak menatap langit biru.
Kedua lawannya yang
menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila semakin mengernyitkan kening keheranan.
"Pemuda gila, aneh" gumam Kedok Kuning sambil terus memegangi dadanya
yang terasa sakit, akibat tendangan kaki kiri Pendekar Gila. Kedok Kuning masih
belum mengerti, siapa sebenarnya pemuda tampan bertingkah laku gila tapi
berilmu tinggi itu.
"Hati-hati, Kedok Kuning.
Dia bukan pemuda gila sembarangan," ujar Kedok Biru mengingatkan temannya
yang nampak terkesima melihat tingkah laku Pendekar Gila.
"Hm, kau benar, Kedok
Biru. Dia memang bukan sembarangan pemuda seperti apa yang sering kita
temui," sahut Kedok Kuning sambil terus mengawasi tingkah Pendekar Gila,
yang persis orang gila. Tertawa-tawa dan cengengesan sendiri. Kemudian
menggarukgaruk kepala dengan tangan, atau mengambil sebuah bulu burung di
pinggangnya, lalu mengorek kuping dengan mulut cengar-cengir.
"Pemuda gila, kami harap
jangan turut campur dengan urusan kami..." seru Kedok Hitam yang juga
kaget, menyaksikan dalam sekali gebrak saja kedua rekannya dapat dijatuhkan.
Kedok Hitam sempat melihat bagaimana Pendekar Gila melakukan serangan.
Kalau Pendekar Gila mau, dalam
sekali gebrak saja mereka akan dibuat tak bernyawa lagi. Alias mati "Aha,
bagaimana aku tak ikut campur, Kedok Hitam. Hi hi hi..., lucu sekali kau Enak
sekali kau me-larangku ikut campur. Sedangkan kau telah mencampuri ketenangan
keluarga gadis yang kau culik itu," tutur Sena dengan tingkah laku yang
semakin bertambah konyol. Tatapannya tampak tak acuh, memandang ke langit
lepas. Sepertinya Pendekar Gila, tak peduli dengan lawan-lawannya.
"Bocah edan, tak tahu
diuntung" bentak Kedok Hitam gusar, mereka telah gagal mengajak Pendekar
Gila damai.
"Hi hi hi.., Lucu sekali
kau Kurasa bukan aku yang tak tahu diuntung, melainkan kalian" tukas Se-na
seenaknya sambil memonyongkan mulutnya, membuat Kedok Hitam menggeram.
"Kurang ajar" dengan
gusar Kedok Hitam sege-ra melepas tubuh gadis yang diculiknya. Kemudian dengan
cepat, tanpa berkata-kata, tangan Kedok Hitam bergerak cepat melempar beberapa
senjata rahasia ke tubuh Pendekar Gila. "Ini untukmu, Bocah Edan
Hih..." Swing Swing...
Puluhan senjata rahasia
menderu ke tubuh Pendekar Gila, dengan suaranya yang membisingkan telinga.
"Aha, beginikah tindakan seorang pengecut?" ejek Pendekar Gila sambil
melentingkan tubuh ke atas.
Kemudian dengan cepat,
dikebutkan Suling Naga Sakti memapak puluhan senjata rahasia yang memburu
tubuhnya.
Wrt Trang Trang Trang Puluhan
senjata rahasia yang dilemparkan Kedok Hitam, terbabat habis Suling Naga Sakti.
Senjatasenjata rahasia itu langsung berpentalan jatuh ke bumi dan berpatahan.
Hal itu tentu saja membuat Kedok.
Hitam dan kedua rekannya
membelalakkan mata, tak percaya dengan apa yang dilihat. Hanya sebuah suling,
mampu menghancurkan senjata-senjata rahasia yang terbuat dari logam murni.
"Hi hi hi... Masih adakah
mainanmu?" ejek Se-na sambil memasukkan Suling Naga Sakti ke ikat
pinggang. Kemudian sambil menggaruk-garuk kepala, Sena tertawa terbahak-bahak.
Sepertinya ada hal yang lucu, dan menggelikan. Sikap Pendekar Gila membuat
Kedok Hitam dan kedua rekannya kembali membelalak.
"Heaaa..." Sebelum
ketiga lawannya sempat berbuat sesuatu, dengan cepat Pendekar Gila melompat
mendekati gadis yang tadi diculik Kedok Hitam. Lalu dengan gerakan cepat, jari
telunjuk Sena membuka totokan pada bagian tubuh gadis itu.
Tuk Tuk Tuk Gadis itu pun
lepas dari belenggu totokan.
Dengan bergerak perlahan dia
bersembunyi di belakang Pendekar Gila. Merasa kalau pemuda bertingkah laku
seperti orang gila itu dapat menolongnya.
"Tuan, tolonglah
saya" pinta gadis itu dengan mata penuh harap menatap wajah Pendekar Gila
yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, tenanglah, Dik
Kurasa mereka hanya kecoa-kecoa yang suka mengganggu. Hi hi hi..." Sena
kembali tertawa cekikikan dan dengan seenaknya ber-celoteh. Hal itu membuat
ketiga lawannya semakin bertambah berang.
"Bocah gila, kurang ajar
Kuremukkan batok kepalamu" dengus Kedok Hitam. Tanpa banyak kata, lelaki
berpakaian hitam disertai kedua temannya langsung menggebrak Pendekar Gila.
Ketiganya menyerang dari tiga arah.
"Heaaa..."
"Yeaaa..." Kedok Hitam dengan senjatanya yang berupa ranting
bercabang, menyerang dari depan. Sedangkan Kedok Kuning bersiap menggebrak dari
belakang. Dan Kedok Biru menyerang dari samping kiri.
Mendapatkan serangan serentak
dari tiga orang lawan, tak membuat Pendekar Gila kebingungan. Bahkan dengan
masih bertingkah laku konyol sambil cengengesan, Pendekar Gila mengelakkan
serangan ketiga lawan dengan lincah. Meski gerakan meliuknya nampak lamban,
Pendekar Gila mampu mengelakkan serangan cepat yang dilancarkan ketiga
lawannya. Bahkan ketiganya tersentak kaget, ketika tiba-tiba tangan Pendekar
Gila bergerak menepuk ke tubuh mereka.
"Hea..." Wuttt
"Gila" seru Kedok Hitam sambil menarik mundur serangannya, lalu
melompat ke belakang dengan tubuh agak gontai. Matanya semakin membelalak, tak
percaya kalau tepukan yang tampak pelan bagaikan tak bertenaga itu, mampu
menyentakkannya. Hampir saja tubuhnya terkena tepukan Pendekar Gila, kalau tak
segera melompat ke belakang. "Hm, siapa pemuda gila ini?" Kedok Biru
dan Kedok Kuning kini nampak kewalahan menghadapi serangan-serangan yang
dilancarkan Pendekar Gila. Hal itu menjadikan Kedok Hitam semakin yakin, kalau
pemuda gila itu bukan lawan sembarangan. Di sisi lain, matanya melihat Kedok
Merah dan Kedok Ungu pun nampaknya terdesak hebat menghadapi gadis Cina yang
jelita itu. Pedangnya mengeluarkan sinar kuning kemerahan.
"Celaka kalau
dibiarkan" gumam Kedok Hitam, merasa khawatir terhadap keempat rekannya
yang kini dalam desakan kedua anak muda, yang berilmu berada di atas mereka.
"Tak ada pilihan lain, kecuali harus meninggalkan tempat ini.
Mundur..." Mendengar seruan Kedok Hitam, serentak keempat rekannya yang
dalam keadaan terpepet, langsung ambil langkah seribu. Mereka tak memikirkan
gadis yang mereka culik, lari tunggang-langgang. Hal itu menjadikan Pendekar
Gila yang konyol berteriak menyoraki.
"Hea haaa... Hi hi
hi.." Sena tertawa-tawa sambil menggeleng-gelengkan kepala, menyaksikan
kelima manusia berkedok itu lari tunggang-langgang ketakutan.
Mei Lie melangkah mendekati
Pendekar Gila, setelah kedua lawannya turut kabur. Dimasukkan Pedang Bidadari
ke dalam sarungnya. Bibirnya mengurai senyum, melihat kelakuan sang Kekasih
yang persis orang gila. Meski begitu, hatinya sangat mencintai Pendekar Gila.
"Terima kasih, Tuan
Pendekar Terima kasih" ucap gadis cantik berusia sekitar dua puluh empat
tahun yang tadi diculik kelima lelaki berkedok. Gadis itu berlutut di hadapan
Pendekar Gila dan Bidadari Pencabut Nyawa.
"Aha, kurasa kami bukan
Dewa, Dik," kata Se-na.
"Benar, Diajeng.
Bangunlah, jangan berlaku seperti itu pada kami. Kami bukanlah Dewa yang patut
disembah. Kami manusia biasa," sambut Mei Lie sambil membangunkan gadis
itu, agar tidak melakukan sembah.
"Tapi..., tapi Tuan
berdua telah menolong saya," ujar gadis itu masih berusaha menyembah.
"Eee..., sudahlah, tak
perlu kau risaukan masalah itu Saling menolong merupakan kewajiban setiap
manusia. Oh ya, siapa namamu...?" tanya Sena.
"Nama saya, Sulandri.
Saya berasal dari desa ini, saya anak Ki Lurah Riwanda," tutur gadis itu
menjelaskan dirinya.
"O, rupanya kau anak Ki
Lurah. Hm, pulanglah Kau telah bebas. Berhati-hatilah" ujar Mei Lie sambil
memegang pundak Sulandri sebelah kiri. Mei Lie berusaha menenangkan hati gadis
itu.
Sulandri menatap kedua
penolongnya. Sementara Pendekar Gila dan Mei Lie tersenyum sambil menganggukkan
kepala.
"Sekali lagi, saya
ucapkan terima kasih," ujar Sulandri sambil menjura hormat pada kedua
pendekar muda itu.
Sulandri dengan berat hati berlari-lari
kecil meninggalkan Pendekar Gila dan Mei Lie yang tetap tersenyum, memandang
Sulandri yang sebentarsebentar menoleh. Sulandri melambaikan tangan
tinggi-tinggi. Mei Lie menyambutnya dengan senyum "Aha Mari kita teruskan
perjalanan kita" ajak Sena kemudian.
"Kau belum menjelaskan
bagaimana orang Jawa memperhitungkan musim dengan patokan angin, Kakang,"
desak Mei Lie.
"Aha, sudahlah Bukankah
hal itu tak menjadi persoalan bagimu?" sahut Sena sambil menggandeng
tangan Mei Lie, melangkah meninggalkan tempat itu.
***
Lima Hantu Berkedok yang dikalahkan Pendekar
Gila dan Mei Lie kini masih berlari memasuki Hutan Parang Pesisir tempat markas
mereka. Mereka berlima tahu, Sugali sang Pemimpin tengah menunggu kedatangan
kelima anak buahnya. Akhirnya Lima Hantu Berkedok sampai di markas.
Dari dalam sebuah bangunan
yang terbuat dari papan kayu keluar seorang pemuda berwajah tampan, tapi agak
bengis. Mata pemuda berpakaian merah itu, memandang ke Lima Hantu Berkedok yang
berlari-lari tanpa membawa seorang gadis.
"Mana gadis itu, Kedok
Hitam?" bentak Sugali keras dengan mata menyorot tajam ke wajah lima anak
buahnya yang langsung terdiam dengan kepala tertunduk. "Kedok Hitam, mana
gadis itu, heh? Apakah kau sudah bisu?" "Ampun, Ketua Sesungguhnya
kami telah mendapatkan gadis yang Ketua kehendaki," tutur Kedok Hitam
dengan kepala masih menunduk.
"Lalu...?" tanya
Sugali. Nadanya masih menunjukkan kemarahan. Sedang matanya menatap tajam wajah
Kedok Hitam. "Hei, jawab...?" "Ampun, Ketua Sesungguhnya, kami
memang telah mendapatkan gadis yang Ketua kehendaki. Namun di tengah jalan,
kami dihadang Pendekar Gila," jawab Kedok Ungu dengan suara bergetar. Ada
perasaan takut di hatinya.
"Apa? Pendekar
Gila...?" membelalak mata Sugali mendengar anak buahnya mengatakan telah
bertemu dengan Pendekar Gila. Wajah Sugali seketika berubah membara. Tangan
kanannya mengepal, memukuli telapak tangan yang kiri.
"Benar, Ketua,"
timpal Kedok Merah, "Karena Pendekar Gila dan kekasihnya, sehingga kami
gagal membawa gadis itu ke hadapan Ketua." Sugali mengangguk-anggukkan
kepala dengan wajah masih menunjukkan kegarangan. Gigi-giginya saling beradu.
Telah lama dirinya mencari-cari Pendekar Gila. Kini tak ada pilihan lain,
kecuali mencari pendekar itu, untuk menuntut balas atas kematian kedua
orangtuanya.
"Pendekar Gila, tunggulah
pembalasanku" dengus Sugali marah, ketika tiba-tiba teringat kembali kedua
orangtuanya yang mati di tangan pendekar itu.
"Aku akan mengadu nyawa
denganmu" Kelima anak buahnya hanya diam, tak ada yang berani menanggapi
ucapan Sugali. Kelima Hantu Berkedok hanya saling mencuri pandang, mendengar
ancaman ketua mereka. Hati mereka bertanya-tanya.
Mampukah pimpinan mereka
menghadapi Pendekar Gila yang sakti, karena mereka telah merasakan sendiri
kehebatannya. Belum lagi menghadapi gadis Cina yang memiliki pedang sakti itu.
Pedangnya mampu mengeluarkan sinar kuning kemerahan yang mampu membuat jantung
setiap lawan berdebar keras. Pedang itu seakan memiliki kekuatan gaib, yang
mampu membuat lawan bergetar ketakutan serta merasa dibayang-bayangi malaikat
pencabut nyawa.
"Kalian nanti malam ikut
aku Kita harus mencari gadis yang diminta Datuk Raja Karang. Kalau kita bertemu
dengan Pendekar Gila, akulah yang akan menghadapinya," ujar Sugali dengan
tegas. Matanya membelalak dan memerah karena marah.
"Baik, Ketua..."
sahut kelima anak buahnya sambil menjura. Tak seorang pun berani beradu pandang
dengan sang Ketua mereka.
"Sekarang kalian boleh
pergi Ingat, malam nanti kita harus mencari seorang gadis" tegas Sugali
mengingatkan pada kelima anak buahnya.
"Baik, Ketua," sahut
Lima Hantu Berkedok sambil menjura. Kemudian kelimanya segera meninggalkan
markas, untuk mencari makanan. Tampak mereka membuka kedok masing-masing.
Seketika terlihatlah wajah-wajah yang sebenarnya. Lima Hantu Berkedok ternyata
lima lelaki berwajah buruk. Wajah mereka buruk seperti bekas luka bakar yang
daging wajah mereka gosong dan terkelupas. Mengerikan
***
5
Mentari di ufuk barat tampak
merangkak turun dengan perlahan. Sebentar lagi, malam akan tiba membawa
kegelapan. Dua orang muda-mudi nampak tengah menyelusuri jalanan yang membelah
Desa Jati Sanga. Kedua remaja yang ternyata Pendekar Gila dan kekasihnya Mei
Lie atau Bidadari Pencabut Nyawa, tengah berusaha mencari tempat untuk
bermalam.
Meski Mei Lie cukup lama hidup
di hutan, Pendekar Gila tak ingin kekasihnya harus tidur menggelantung di
pepohonan atau kedinginan diterpa angin malam.
Itu sebabnya Sena berusaha
mencari penginapan.
"Kakang, kita teruskan
saja perjalanan" usul Mei Lie. Sena mengerutkan kening dan menghentikan
langkahnya. Ditatapnya Mei Lie dalam-dalam. Kemudian dengan bibir tersenyum,
pemuda berambut gondrong itu, menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak, Mei Udara malam
terlalu jahat untukmu. Kau harus istirahat, karena perjalanan menuju Goa Setan
masih jauh. Kita memerlukan waktu sekitar tiga sampai empat hari," ujar
Sena menjelaskan, berusaha memberi pengertian pada kekasihnya.
"Tapi aku kuat,
Kakang." "Aku tahu. Tapi kau perlu istirahat," tukas Sena. Mei
Lie hanya diam, dita-tapnya wajah Pendekar Gila yang tampan. Gadis itu terasa
damai jika berada di sampingnya. Sebenarnya dia tak ingin berpisah dengan
pemuda tampan yang seperti orang gila ini. Namun dirinya tetap harus sabar
menunggu sampai habis pengembaraan Pendekar Gila untuk menjalin sebuah rumah
tangga yang dicitacitakan.
"Ayo, Mei Kita harus
segera mencari penginapan," ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie.
Gadis itu pun menurut.
Keduanya kembali melangkah, menyelusuri Desa Jati Sanga untuk mencari
penginapan. Setelah beberapa lama berjalan menyusuri jalan desa, akhirnya Sena
menemukan sebuah penginapan yang sederhana. Penginapan itu tak terlalu ramai
dan besar. Hanya seukuran rumah biasa, kamarnya pun hanya lima buah. Di
sampingnya ada sebuah kedai yang juga tak seberapa luas.
Seorang lelaki berusia
setengah baya bertubuh gemuk datang menghampiri Pendekar Gila dan Mei Lie.
Dengan tatapan menyelidik,
dipandangi kedua orang tamunya. Seakan lelaki gemuk berkumis tebal itu, tak
percaya dengan Pendekar Gila yang cengengesan dengan tingkah laku seperti orang
gila.
"Aha, sepertinya kau
meragukan kami, Ki," tukas Sena sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat pemilik kedai dan penginapan semakin
menajamkan matanya penuh selidik. "Kalian mau menginap?" tanyanya
dengan nada tak percaya.
"Benar," sahut Mei
Lie mendahului. Mulutnya yang tipis tersenyum manis.
"Hm, apakah kalian bawa
uang?" Mata Mei Lie membelalak kesal, mendengar pertanyaan yang
dilontarkan pemilik penginapan. Dirinya merasa seperti dihina. Mata Mei Lie
melotot menentang mata pemilik penginapan yang menatap mereka dengan sikap
merendahkan.
"Kau minta berapa?"
tanya Mei Lie dengan suara tajam, membuat pemilik penginapan tersentak. Dirinya
tak menyangka, kalau gadis Cina itu berani membentak.
"Kau?" tergagap
ucapan pemilik kedai.
"Ya Jangan sembarangan,
Ki Berapa pun kau minta, bila perlu penginapan ini kubeli, aku sanggup"
ujar Mei Lie ketus. Ucapan gadis cantik itu membuat pemilik penginapan
bertambah kaget "Sombong sekali kau, Nisanak Lancang benar mulutmu"
bentak pemilik penginapan. Kemudian tangannya bertepuk dua kali. Dari dalam,
muncul dua orang lelaki bertelanjang dada dengan tubuh kekar.
Nampaknya kedua lelaki
bertampang beringas itu tukang pukul si pemilik penginapan.
"Hi hi hi... Lucu sekali
Mengapa kau suruh dua ekor kerbau dungu untuk melayani kami?" tanya Sena
sambil cengengesan dengan kepala menggeleng-geleng. Sementara tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Bocah gila Kuharap kau
dan gadis Cina ini segera pergi, atau kedua tukang pukul ku akan menendang
kalian sampai keluar" ancam Ki Gendo sambil mengerlingkan mata pada dua
orang tukang pukulnya.
Kedua lelaki beringas itu
menyeringai, seakan meremehkan Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Aha, sambutanmu tak
pantas, Ki. Inikah sambutan pemilik penginapan pada tamunya?" ejek Sena
dengan masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Sedangkan Mei Lie kini
nampak memasang wajah bengis, kemarahannya sudah memuncak. Nampaknya Mei Lie
benar-benar tersinggung mendengar ucapan Ki Gendo.
"Orang tua tak tahu
diri" dengus Mei Lie, "Rupanya kau benar-benar mencari penyakit"
"Oh..., kau jauh lebih galak daripada pemuda gila temanmu ini, Nisanak Hm,
aku semakin tertarik, apakah di tempat tidur pun kau akan segalak ini?"
sahut Ki Gendo dengan senyum sinis mengembang di bibirnya. Matanya memandang
nakal ke wajah Mei Lie, membuat gadis cantik itu bertambah geram.
"Orang tua, mulanya aku
hendak menghormatimu. Tetapi, rupanya kau lelaki tak tahu malu" bentak Mei
Lie keras dengan mata melotot "Sorpa dan Jawir, kau hadapi dan bereskan
pemuda gila itu Biar aku bisa bermesraan dengan gadis ini," perintah Ki
Gendo sambil menatap penuh nafsu pada Mei Lie. Gadis itu tampak tenang dengan
mata tajam mengawasi gerak-gerik lelaki gendut yang mata keranjang itu.
"Baik, Juragan"
sahut keduanya. Kemudian dengan mulut menyeringai, Sorpa dan Jawir melangkah
mendekati Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... Dua kerbau
dungu ini, mengapa kau suruh melayani aku, Ki?" tanya Sena sambil tertawa
cekikikan dan menggaruk-garuk kepala.
Betapa marah Sorpa dan Jawir
dikatakan kerbau dungu. Napas mereka mendengus. Lalu masingmasing merentangkan
tangan ke atas dengan jari-jari siap mencengkeram.
"Grrr Kubunuh kau, Bocah
Edan" dengus Sorpa dengan mata menatap garang pada Pendekar Gila. Kemudian
dengan mengerahkan tenaga dalam, Sorpa bergerak maju. Kedua tangannya yang
sudah direntangkan, kini siap menghantam ke tubuh Pendekar Gila. "Remuk
kepalamu Heaaa..." Wrt "Aits..." Dengan cepat Pendekar Gila
merundukkan tubuh. Sehingga pukulan kedua tangan Sorpa melintas di atas
kepalanya. Kemudian dengan cepat pula, Pendekar Gila langsung menyerudukkan
kepalanya ke perut Sorpa.
Dukg "Ukh" tubuh
Sorpa langsung terhuyunghuyung ke belakang terkena serudukan Pendekar Gila.
Matanya membelalak, melotot
semakin garang.
"Kurang ajar Kubunuh kau,
Pemuda Gila" bentak Jawir sambil melangkah maju. Tangannya diluruskan ke
depan, kemudian ditarik dengan jari-jarinya.
Lalu setelah diletakkan di pinggang,
Jawir langsung menghentakkan pukulan kedua tangannya ke tubuh Pendekar Gila,
"Heaaa..." Dengan cepat Pendekar Gila berkelit ke samping, sambil
mengangkat kaki kanan. Kemudian dengan cepat disertai setengah tenaga dalam,
ditendangnya perut Jawir. Seketika tubuhnya doyong ke depan.
"Hea" Begk
"Ukh..." keluh Jawir sambil terhuyung mundur. Perutnya terasa mual
akibat tendangan Pendekar Gila "Hoak Hoak.." "Hi hi hi... Lucu
sekali, ada dua kerbau dungu sedang mabuk," ujar Sena sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala.
Sementara Mei Lie nampak.
masih berusaha berkelit dari Ki Gendo yang berusaha merenggut tubuhnya. Bahkan
kini lelaki setengah baya berperut gendut itu tampak jatuh tersungkur, mencium
tanah karena tak dapat memeluk Mei Lie.
Brak "Hi hi hi.."
Mei Lie tertawa cekikikan, menyaksikan Ki Gendo terjatuh karena dia mengelit
ketika lelaki itu hendak memeluknya. Hal itu menjadikan Ki Gendo semakin
penasaran. Lelaki gendut mengenakan pakaian kuning itu, langsung bangun.
Kemudian dengan masih beringas, Ki Gendo segera merangsek tubuh Mei Lie,
berusaha memeluk Mei Lie.
"Ayo, tangkaplah
aku" tantang Mei Lie dengan senyum meledek di bibirnya. Ki Gendo bertambah
nafsu untuk dapat menangkap Mei Lie.
"He he he... Rupanya kau
bukan gadis sembarangan, Nisanak Aku semakin penasaran," ujar Ki Gendo
sambil melangkah mendekati tubuh Mei Lie.
Kedua tangannya mengembang,
siap untuk memeluk Mei Lie. "Ayo, Ki Tangkaplah aku" tantang Mei Lie
dengan senyum masih mengembang di bibirnya. Wajah gadis Cina itu bertambah
cantik "Heaaa..." Ki Gendo langsung menubruk tubuh Mei Lie.
Namun dengan cepat gadis itu
berkelit ke samping kiri.
Hal itu membuat tubuh Ki Gendo
terhuyung karena meleset tubrukannya. Saat itu pula, Mei Lie mendorong tubuh
lelaki setengah baya itu dengan keras dan cepat Tubuh Ki Gendo semakin cepat
menyeruduk. Sehingga, karena tak mampu mengatasi dorongan tangan Mei Lie,
tubuhnya yang gendut itu menabrak dinding kamar depan penginapannya.
"Aaa..." Brak
Dinding kayu kamar itu ambruk. Seketika itu pula tampaklah pemandangan di dalam
kamar itu. Mata Pendekar Gila dan Mei Lie terbelalak kaget. Di dalam kamar itu,
ada lima gadis cantik dalam keadaan telanjang. Kelima gadis cantik yang
ditampung di dalam kamar itu, nampaknya sangat tertekan dan ketakutan.
"Aha. Rupanya penginapan
ini hanya kedok bagi kalian," ujar Pendekar Gila sambil berkelit
mengelakkan serangan kedua orang tukang pukul Ki Gendo.
Kemudian dengan cepat, kedua
tangannya bergerak menghantam tubuh kedua lawan.
Degk "Akh..." kedua
orang tukang pukul Ki Gendo langsung menjerit, terkena pukulan dan tendangan
Pendekar Gila. Tubuh keduanya yang mirip dua ekor kerbau, langsung terpelanting
dan menabrak dinding papan rumah penginapan itu.
Brak Suara berderak seketika
terdengar disusul hiruk-pikuk orang-orang yang berlarian dari dalam kamar.
Beberapa pasang lelaki-perempuan tampak kaget dan berhamburan keluar hanya
dengan mengenakan pakaian dalam. Nampaknya mereka tengah melangsungkan
perbuatan maksiat di kamar-kamar penginapan itu. "Aha, rupanya penginapan
ini tempat terlak-nat..." gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk
kepala. Matanya agak terpicing karena keheranan menyaksikan apa yang terjadi di
dalam rumah penginapan itu. Dia tidak menyangka, kalau Ki Gendo rupanya seorang
germo. Seorang penyelenggara tempat percabulan. Melihat kedua tukang pukulnya
dapat dikalahkan oleh Pendekar Gila. Ki Gendo seketika berlutut meminta ampun.
Wajahnya pucat-pasi ketakutan, mengharap ampunan dari kedua pendekar muda itu.
"Ampuni nyawaku"
ratap Ki Gendo.
"Aha, kau benar-benar
manusia keji, Ki Menjual kehormatan dan harga diri wanita. Hi hi hi... Semua
terserah pada Mei Lie. Bagaimana, Mei?" tanya Sena. "Lelaki seperti
ini tak dapat diampuni, Kakang.
Kalaupun kita mengampuni,
setelah kita pergi tentu dia akan tetap seperti ini. Dia akan melakukan hal
seperti ini juga," jawab Mei Lie dengan senyum sinis.
Mendengar jawaban itu, Ki
Gendo tampak semakin ketakutan.
"Ampun, Nisanak Sungguh
aku akan sadar," ratap Ki Gendo sambil terisak. Hatinya benar-benar merasa
takut, mendengar ucapan Mei Lie. Bagaimana pun Ki Gendo telah tahu kehebatan
kedua anak muda di hadapannya.
"Aha, benarkah ucapanmu
bisa kami pegang, Ki?" tanya Sena dengan tingkah laku masih seperti orang
gila. Mulutnya cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Sungguh, Tuan. Saya akan
sadar." "Hi hi hi... Lucu sekali. Kau tadi seperti raksa-sa yang
punya taring. Kini kau seperti seekor kerbau yang kehilangan tanduk," ujar
Pendekar Gila dengan menggeleng-geleng kepala. Dipandangnya Mei lie,
"Bagaimana, Mei?" "Baik. Untuk kali ini kuampuni. Tetapi, jika
kelak kudengar kau masih memperdagangkan kehormatan kaumku dengan cara seperti
ini, aku tak akan memberi ampun bagimu" tegas Mei Lie.
"Terima kasih, Nisanak.
Terima kasih..." Ki Gendo hendak bersujud, tetapi Pendekar Gila dengan
cepat melarangnya.
"Ah ah ah, sudahlah, Ki
Kau manusia seperti kami Tak pantas manusia menyembah manusia," kata
Pendekar Gila sambil menyuruh Ki Gendo untuk bangun, "Bangunlah, Ki"
Dengan hati masih dilanda ketakutan, Ki Gendo menurut bangun. Kini lelaki
setengah baya yang semula sinis itu, hanya mampu menundukkan kepala.
Ki Gendo tak berani beradu
pandang dengan kedua pendekar muda itu.
"Baiklah, Ki. Kurasa kami
harus pergi," kata Sena, yang membuat Ki Gendo membelalakkan mata.
"Kenapa tak menginap
saja, Tuan? Sungguh, kami ingin menimba ilmu dan budi pekerti dari Tuan
Pendekar," ucap Ki Gendo penuh harap.
"Aha, ilmu dan akal budi,
sesungguhnya ada pada setiap manusia, Ki. Kau pun sebenarnya telah bisa, tinggal
bagaimana kau melakukannya," jawab Pendekar Gila seraya tersenyum.
"Camkanlah itu, Ki Jika kau selalu ingat itu, kau akan tetap pada jalur
hidup yang benar." "Baiklah, Tuan. Segala apa yang Tuan katakan akan
saya ingat," sahut Ki Gendo seraya menggaruk-garuk kepala, tanpa menatap
wajah Pendekar Gila.
"Aha, kurasa aku dan
temanku harus segera pergi, Ki. Ayo, Mei Lie" ajak Sena.
"Ayo, Kakang" Kedua
pendekar muda itu pun segera beranjak meninggalkan penginapan Ki Gendo yang
sekaligus tempat mesum itu. Ki Gendo mengiringi Pendekar Gila dan Mei Lie
sampai depan pagar halaman penginapannya. Tatapan mata lelaki setengah baya itu
nampak menyiratkan rasa kagum pada kedua pendekar muda itu. Hati Ki Gendo
menyesali tindakannya, juga sifatnya. Seharusnya dirinya yang sudah tua,
menyadari kalau perbuatannya selama ini merupakan suatu kesesatan.
***
"Tolong Tolong Tolooong..." Malam
yang sunyi dan sepi, seketika dipecahkan oleh suara jeritan seseorang wanita
meminta tolong.
Jeritan keras itu membuat para
penduduk Desa Suluh Pring terbangun. Mereka berlarian dari rumah masing-masing
membawa obor, ingin tahu apa yang sedang terjadi. Suara kentongan pun
bersahutsahutan, mengisyaratkan kalau malam ini terjadi penculikan di Desa
Suluh Pring.
"Tolong... Culik.."
seorang wanita setengah baya berteriak-teriak, ditingkahi hiruk-pikuk dan bunyi
kentongan di kegelapan malam.
"Ada apa, Nyai?"
tanya seorang lelaki berbadan sedang dengan wajah nampak penuh wibawa. Lelaki
berusia lima puluh tahun yang ternyata Kepala Desa Suluh Pring itu diapit dua
pengawalnya.
"Anak saya, Ki
Lurah," jawab wanita setengah baya itu terbata di sela tangisnya.
"Kenapa dengan anakmu,
Nyai?" "Santini diculik orang-orang berkedok, Ki," sahut wanita
itu masih dengan tangisnya.
"Ke mana mereka
pergi?" tanya Ki Lurah Sanu-si.
"Ke sana, Ki."
"Rojak, Sali, kejar mereka Warga semua, ikut aku" ajak Ki Lurah
Sanusi. Seketika itu pula, Ki Lurah Sanusi dan kedua tangan kanannya serta
warga desa memburu ke barat yang ditunjuk wanita setengah baya tadi. Dalam kegelapan
malam, Ki Lurah Sanusi melihat enam lelaki berjalan ke barat Salah seorang
lelaki memanggul wanita yang tentunya Santini, anak Nyi Darmi. Gadis itu nampak
meronta, berusaha melepaskan diri dari lelaki muda yang memanggulnya.
"Berhenti kalian"
bentak Ki Lurah Sanusi dengan keras. Keenam lelaki berkedok itu seketika
berhen-ti. Mereka serentak menoleh, memandang tajam pada Lurah Sanusi dan
beberapa warga desa yang mengejar mereka.
"Hm, rupanya ada juga
orang yang berani menghentikan langkahku," geram salah seorang di antara
keenam lelaki yang tak berkedok. Mata lelaki berpakaian merah itu menatap tajam
pada Ki Lurah Sanusi dan kedua tangan kanannya.
"Penculik biadab Lepaskan
gadis itu" bentak Ki Lurah Sanusi tegas, tak takut menghadapi keenam
begundal yang telah menculik salah seorang gadis warganya.
"He he he..., berani juga
kau membentakku, Ki," gumam Sugali sambil tertawa terkekeh. "Rupanya
kau sudah bosan hidup, berani menentangku." "Cuih" Ki Lurah
Sanusi meludah. "Menghadapi iblis macam kalian, mengapa aku harus
takut" "Oooh, bagus Dengan begitu, kami tak akan segan-segan mencabut
nyawa kalian," ujar Sugali dengan senyum sinis masih melekat di bibirnya.
Kemudian dengan menggerakkan tangan, Sugali memerintahkan pada Lima Hantu Berkedok
agar menyerang.
"Heaaa..." Kelima
Hantu Berkedok segera melompat ke depan. Mereka dengan beringas langsung
melakukan serangan pada Ki Lurah Sanusi dan tangan kanannya yang dibantu para
warga desa.
"Tangkap mereka..."
perintah Ki Lurah Sanusi pada kedua tangan kanannya. Rojak dan Sali diikuti
para warga Desa Suluh Pring langsung menghadapi serangan Lima Hantu Berkedok
"Heaaa..." "Heaaa..." "Tangkap... Serang..."
Dengan penuh kemarahan, warga desa dibantu kedua tangan kanan Ki Lurah Sanusi
langsung menghadang kelima manusia berkedok. Dengan senjata yang berupa golok,
parang, dan lain-lainnya, mereka langsung menggebrak Warga desa bagaikan tak
mengenal takut, membabatkan golok dan parang mereka menyerang kelima lelaki
berkedok "Hea" "Yea" Serangan warga Desa Suluh Pring tampak
menggebu-gebu. Namun karena tidak dilandasi ilmu silat, serangan mereka
bagaikan tiada arti. Dengan mudah, serangan warga desa dapat dipatahkan kelima
manusia berkedok "Hea..." Dukkk Plakkk "Aaakh..." Sekali
kelima manusia berkedok menggebrak dengan pukulan dan tendangan, beberapa orang
warga memekik terkena tendangan dan pukulan mereka.
"Heaaa..." Wrettt
Trang "Heaaa..." Walau telah banyak korban berjatuhan di pihak warga
Desa Suluh Pring, nampaknya mereka tak merasa gentar barang sedikit pun. Pertarungan
itu semakin seru. Kemarahan warga Desa Suluh Pring bertemu dengan kejengkelan
Lima Hantu Berkedok karena merasa terhalangi niat mereka. Namun tiba-tiba....
"Hua ha ha... Rupanya
para kecoa itu ada di sini, Mei" Suara tawa menggelegar terdengar dari
arah selatan. Para warga dan Lima Hantu Berkedok sempat tersentak kaget
"Pendekar Gila..." pekik Lima Hantu Berkedok dengan mata membelalak,
setelah tahu siapa pemilik suara tawa itu. Sementara Sugali yang masih
memanggul gadis culikannya, seketika menaruh tubuh gadis itu ke tanah. Matanya
langsung memandang ke asal suara tawa itu.
***
6
Benar, dari arah selatan,
muncul dua sosok manusia. Seorang wanita dengan pakaian hijau, sedangkan di
sampingnya seorang lelaki bertingkah laku seperti orang gila. Pemuda berpakaian
rompi kulit ular itu cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya
menatap tajam Lima Hantu Berkedok yang tampak menyurut mundur, melihat kedua
pendekar muda itu.
"Siapa mereka, Kedok
Hitam?" tanya Sugali.
"Dia Pendekar Gila,
Ketua," jawab Kedok Hitam dengan mata nanar menatap Pendekar Gila. Dirinya
kecut karena pernah bentrok dengan pemuda gila itu.
"Hm, kebetulan Memang
dialah yang kucari selama ini," ujar Sugali sambil melangkah maju. Tatapan
matanya memancarkan api dendam kepada Pendekar Gila. Nafasnya mendengus keras,
bagaikan menyimpan amarah di dadanya. Hal itu karena tiba-tiba teringat
orangtuanya mati di tangan pemuda gila itu. "Pendekar Gila, aku memang
sengaja mencarimu" Pendekar Gila yang belum kenal siapa pemuda sebayanya
yang mengatakan mencarinya, mengerutkan kening. Dipandangi Sugali dengan penuh
selidik. Kemudian mulutnya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, ada keperluan apa
kau mencariku, Kisanak?" tanya Sena masih dengan mata memandang penuh selidik,
mengawasi Sugali dari ujung kaki sampai ke ujung rambut.
"Cuih Kau masih tak mau
menyadari kesalahanmu, Pendekar Gila" dengus Sugali setelah meludah ke
tanah. Matanya bagaikan terbakar, menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aha, kurasa aku tak
pernah kenal denganmu," gumam Sena. Tingkah lakunya tampak makin konyol.
Jari telunjuknya memegang
kening seakan tengah memikirkan sesuatu. Namun mulutnya cengengesan Sementara
itu, Mei Lie tampak tengah membantu warga Desa Suluh Pring menghadapi Lima
Hantu Berkedok. Dengan kehadiran Mei Lie, warga desa yang semula terdesak mulai
bertambah semangat. Bahkan mereka tampak mulai dapat mendesak Lima Hantu
Berkedok.
"Jangan banyak omong,
Pendekar Gila Masih ingatkah kau dengan suami-istri yang kau bantai tiga
purnama yang silam di Desa Babakan?" bentak Sugali sengit. Hatinya tampak
jengkel mendengar dan melihat kekonyolan Pendekar Gila.
"Aha, aku ingat. Hi hi
hi... Jadi kau anak mereka?" tanya Pendekar Gila sambil tertawa-tawa lucu.
"Benar Dan aku hendak
menuntut balas atas kematian kedua orangtua ku" ujar Sugali semakin
membara amarahnya. Seakan dendam di dadanya tak akan padam, sebelum dapat
membunuh Pendekar Gila yang telah membunuh kedua orangtuanya.
"Aha, kebetulan sekali.
Hi hi hi... Kurasa aku pun sedang mencarimu, Kisanak," sahut Pendekar Gila
sambil cengengesan. "Kau murid yang paling durhaka, Kisanak Baik pada
gurumu yang kau bunuh, maupun pada kedua orangtua mu." "Kurang ajar
Lancang sekali mulutmu, Pendekar Gila Bersiaplah untuk mati" dengus
Sugali.
Srang Pedang Dewa Naga dicabut
dari warangkanya.
Nampaknya Sugali tak mau
menyia-nyiakan pertemuan ini. Pemuda itu, sepertinya hendak menghabisi nyawa
Pendekar Gila secepatnya. Pedang yang mengeluarkan sinar hijau bagaikan haus
darah.
"Aha, di samping durhaka,
kau pun ternyata pencuri, Kisanak," ujar Pendekar Gila yang membuat Sugali
bertambah marah. Matanya menatap semakin tajam pada Pendekar Gila.
"Setan alas Kubunuh kau,
Pendekar Gila Heaaa..." dengan menggunakan jurus 'Naga Mengarungi
Samudera' Sugali langsung menggebrak Pendekar Gila. Pedang di tangannya
bergerak cepat, membabat dan menusuk tubuh lawan.
Wrt Wuttt Mendapat serangan
begitu cepat, Pendekar Gila tak tampak keder atau kewalahan. Bahkan sambil
masih cengengesan, tubuhnya bergerak mengelak. Kali ini gerakannya seperti
orang mabuk. Itulah jurus 'Dewa Mabuk Menjerat Sukma' yang membuat lawan
penasaran dan ingin terus memburu. Hal itu karena gerakan Pendekar Gila tampak
terhuyung-huyung, seperti tak memiliki keseimbangan.
"Heaaa..." Sugali
kembali membabatkan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila yang masih seperti orang
gila. Namun dengan gerakan aneh Pendekar Gila mengelitkan serangan lawan.
Sehingga babatan pedang Sugali melesat beberapa rambut di samping tubuh
Pendekar Gila.
Wrt "Aha, pedangmu hasil
curian, sehingga kau tak becus menggunakannya, Kisanak," ejek Pendekar
Gila dengan tingkah laku seperti orang gila. Mulutnya cengengesan dengan tangan
sesekali menggaruk-garuk kepala. Lalu tertawa cekikikan, yang membuat kemarahan
Sugali semakin menjadi-jadi.
"Bedebah Kubunuh kau,
Pendekar Gila Heaaa..." Dengan menggunakan jurus 'Naga Menggeliat Mengulur
Raga', Sugali melakukan serangan cepat Pedang Dewa Naga di tangannya bergerak
cepat, menusuk, dan membabat. Direntangkan kedua tangan, sehingga jangkauan
tusukan dan babatan pedang bertambah dekat dengan sasaran.
"Hi hi hi.." sambil
tertawa cekikikan, Pendekar Gila segera berkelit menggunakan jurus 'Gila Menari
Menepuk Lalat. Tubuhnya meliuk-liuk dengan lincah bagaikan menari. Sepintas
gerakan tariannya sangat pelan dan lemah, tetapi Sugali tak juga mampu
menyarangkan serangannya ke tubuh Pendekar Gila.
Bahkan dirinya semakin dibuat
penasaran. Pemuda berpakaian merah itu telah mengerahkan setengah lebih
tenaganya untuk memburu Pendekar Gila, tapi gerakan Pendekar Gila yang aneh tak
mampu dikejar.
"Hih..." Dengan
masih bergerak seperti orang menari, Pendekar Gila melepaskan tepukan tangannya
ke tubuh lawan. Tubuhnya agak dibungkukkan dan agak mendoyong ke depan. Gerakan
menepuk yang dilakukan Pendekar Gila kelihatan lamban dan lemah, tetapi cukup
menyentakkan Sugali.
Plak "Heh?" Dengan
cepat Sugali menarik serangannya. Dilentingkan tubuhnya ke atas, berusaha
mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun ketika kakinya baru
saja hendak mendarat di tanah, Pendekar Gila telah memburunya.
"Gila Dasar gila..."
Sugali mencaci-maki sendiri, karena tepukantepukan tangan Pendekar Gila yang
nampaknya tak memiliki tenaga dapat memburu gerakan tubuhnya.
Bukan itu saja, tepukan tangan
Pendekar Gila yang tampak pelan, ternyata mampu menimbulkan desiran angin yang
sangat keras. Hampir saja Sugali terkena pukulan telapak tangan Pendekar Gila,
kalau saja tak segera menarik serangannya dan melentingkan tubuh mengelakkan
tepukan itu.
Sugali terus berusaha
mengelakkan pukulan telapak tangan Pendekar Gila yang memburunya. Pemuda itu
telah berusaha mengeluarkan segenap tenaga untuk mengelak. Namun serangan yang
dilancarkan lawan ternyata begitu cepat, walau kelihatannya sangat lambat.
"Hea" Sugali
berusaha membabatkan pedang ke tangan lawan yang melesat ke tubuhnya. Namun
dengan gerakan aneh, Pendekar Gila menarik serangannya.
Tubuhnya berputar ke arah kiri
lalu dengan cepat kakinya menendang. Itulah jurus 'Gila Melepas Lilitan
Benang'.
"Hea" Wusss
"Heh?" Sugali tersentak kaget. Dirinya tak menyangka kalau lawan akan
mampu membalas serangan dengan begitu cepat Sugali berusaha mengelak ke
samping.
Namun tangan kiri Pendekar
Gila dengan cepat memapaki tubuhnya. Dan....
Degk "Akh..." Sugali
menjerit. Tubuhnya terpental ke samping kanan. Dari sela-sela bibirnya,
mengalir darah merah. Matanya memandang penuh kemarahan pada Pendekar Gila yang
tampak hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Saat itu, tiba-tiba sesosok
bayangan merah melesat menuju tempat pertempuran. Ternyata sesosok lelaki tua
dengan jenggot putih yang telah begitu dike-nali oleh Sugali. Bayangan lelaki
berpakaian mirip resi dengan rambut digelung ke atas yang tak lain Ki Pramanu tersenyum
sinis menatap Sugali. Tentu saja pemuda itu terbelalak kaget melihat sosok
bayangan gurunya muncul di depan mata.
"Hukum pertama akan
segera tiba, Gali. Kutuk-ku yang pertama, akan menyambutmu," suara itu
terdengar dari mulut bayangan Ki Pramanu. "Kau tentu masih ingat,
bukan...?" "Tidak Aku tak akan kalah di tangan Pendekar Gila Hhh...,
dialah yang akan mati di tanganku" dengus Sugali sengit. Matanya yang
merah membara menghujam tajam ke wajah bayangan Ki Pramanu yang masih tersenyum.
"He he he... Kau tak
dapat menentang suratan, Gali. Kau tak akan bisa lepas dari kutuk orang yang
mengucapkan dalam keadaan sekarat," ujar bayangan Ki Pramanu yang semakin
membuat Sugali kalap.
"Orang tua keparat
Minggir Jangan banyak bacot Tempatmu bukan di dunia, tetapi di neraka"
dengus Sugali sambil membabatkan pedang memburu Ki Pramanu yang seketika itu
pula menghilang dari pandangan.
Lenyapnya bayangan Ki Pramanu,
menambah kemarahan Sugali. Kini Pendekar Gila jadi sasaran serangannya. Dengan
cepat Pendekar Gila bergerak mengelakkan serangan yang dilancarkan Sugali.
Direnggangkan kaki kirinya ke samping sambil mendoyongkan tubuh. Pedang Sugali
pun meleset menderu di samping kanan.
"Hea" Dengan cepat
Pendekar Gila menarik kaki kanan, lalu diangkatnya ke atas. Sehingga tepat
menghantam perut Sugali.
Degk "Ukh..." Sugali
memekik tertahan. Tubuhnya terpental ke depan dan bergulingan dengan mulut
meringis. Perutnya yang terkena lutut Pendekar Gila dirasakan mulas. Namun
cepat-cepat Sugali bangkit berdiri. Matanya yang merah menatap tajam pada
Pendekar Gila penuh kebencian. Sementara Pendekar Gila justru cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
Di pihak lain, Mei Lie yang
dibantu Ki Lurah Sanusi dan dua tangan kanannya serta warga desa telah mampu
mendesak Lima Hantu Berkedok. Kelima Hantu Berkedok kini hanya dapat bertahan
dari gempuran-gempuran yang dilakukan Mei Lie dan Ki Lurah Sanusi serta warga
desa.
Kalau saja tak ada Mei Lie, Ki
Lurah Sanusi dan warganya mungkin tak akan sanggup mendesak kelima manusia berkedok.
Ilmu yang dimiliki Lima Hantu Berkedok ternyata tak bisa dianggap remeh. Jelas
jauh lebih tinggi jika dibanding Ki Lurah Sanusi serta kedua orang tangan
kanannya.
"Hea..." dengan
jurus-jurus 'Bidadari'-nya Mei Lie terus bergerak menggempur Lima Hantu
Berkedok yang kian terjepit. Kelimanya terus berusaha bertahan dari gempuran si
Bidadari Pencabut Nyawa bersama warga desa. Namun rupanya serangan Mei Lie dan
Ki Lurah Sanusi serta kedua tangan kanannya cukup dahsyat. Sampai akhirnya....
"Hea..." Cras
"Akh..." Kedok Biru menjerit keras, ketika pedang milik Ki Lurah
Sanusi membabat tangan kanannya, yang seketika buntung. Darah deras keluar dari
tangannya yang terpotong.
"Bunuh semuanya..."
seru Ki Lurah Sanusi memerintah pada warga desa serta kedua tangan kanannya.
"Hea" "Cincang
mereka..." Seketika terdengar suara hiruk-pikuk, jeritan, dan teriakan
kemarahan memecah suasana malam.
Para warga Desa Suluh Pring
yang telah marah tampaknya tak mampu lagi menahan kemarahan. Mereka langsung
menyerbu Lima Hantu Berkedok. Dengan senjata berupa golok, parang, dan arit
para warga menggebrak lawan yang tampak mulai kendor dalam melakukan serangan
dan pertahanan.
Wrt wrt wrt..
Jrabs "Akh..." Kedok
Kuning menjerit, ketika golok di tangan salah seorang penduduk desa menghujam
ke perutnya. Sesaat tubuhnya menggelepar, kemudian ambruk bersimbah darah.
Kini Lima Hantu Berkedok
tinggal empat orang.
Dengan tewasnya Kedok Kuning
jelas mengurangi kekuatan mereka. Namun untuk kabur mereka tak berani, karena
warga Desa Suluh Pring telah mengepung.
"Mampus kalian"
dengus Ki Lurah Sanusi sambil menusukkan pedangnya ke dada Kedok Merah.
Sementara dari belakang,
penduduk desa pun menyerang dengan membabatkan golok serta arit mereka.
"Hea" Jrabs
"Akh..." Kedok Merah menjerit ketika pedang Ki Lurah Sanusi menembus
dadanya. Darah menyembur keluar, ketika pedang itu dicabut. Belum juga pedang
Ki Lurah Sanusi tercabut, dari samping kanan dan kiri Kedok Merah, golok dan
sabit warga desa berkelebat membabat "Hih..." Bret Wrt Tubuh Kedok
Merah menggelepar dengan perut hampir putus terbabat golok dan arit warga desa.
Sekejap kemudian tubuh terbalut pakaian merah itu telah tewas.
Semakin bertambah ketakutan
tiga orang berkedok itu. Apalagi Kedok Hitam kini sudah mulai lemah, karena
banyak mengeluarkan darah. Sementara serangan dari Mei Lie yang dibantu warga
desa; semakin bertambah cepat dan garang. Sehingga ketiga Hantu Berkedok kian
terjepit. Sampai akhirnya....
"Hea" Wrt Pedang di
tangan Mei Lie yang digerakkan dengan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung'
membabat leher Kedok Ungu.
Cras "Akh..." Kedok
Ungu memekik ketika Pedang Bidadari Mei Lie menyambar lehernya, hingga hampir
putus.
Kini semakin bertambah ciut
nyali Hantu Berkedok yang tinggal dua orang. Kedok Biru benar-benar terdesak
hebat, sedangkan Kedok Hitam kini menjadi bulan-bulanan kemarahan warga. Mei
Lie yang sudah menunjukkan siapa dirinya, terus menyerang Kedok Biru dengan
jurus 'Tebasan Bidadari Batin'. Sebuah jurus pamungkas yang sangat dahsyat
"Hea" Wrt Cras "Akh..." Kedok Biru memekik, ketika pedang
si Bidadari Pencabut Nyawa Iblis membabat lehernya.
Namun keanehan terjadi Leher
Kedok Biru tetap utuh.
Dan beberapa saat kemudian,
ternyata tubuh Kedok Biru hancur menjadi debu.
***
Sementara itu, Pendekar Gila masih terus
meladeni serangan-serangan yang dilancarkan Sugali.
Dengan masih cengengesan,
Pendekar Gila berkelit.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana
menari, sambil sesekali tangannya menepuk ke tubuh lawan.
"Hea..."
"Yea..." Pertarungan Pendekar Gila melawan Sugali berlangsung seru.
Sampai saat itu, dirinya masih mengandalkan tangan kosong. Hal itu menjadikan
Sugali tampak bertambah nafsu untuk menyerang dengan tebasan dan tusukan Pedang
Dewa Naga-nya.
Dengan jurus 'Naga Merangkak
Gunung', Sugali terus bergerak begitu cepat laksana terbang sambil membabatkan
pedangnya memburu lawan. Pedang di tangannya, diarahkan untuk membabat dada dan
leher Pendekar Gila.
Namun dengan menggunakan jurus
'Gila Menari Menepuk Lalat', Sena terus bergerak mengelitkan setiap serangan
lawan. Tubuhnya yang meliuk-liuk laksana menari, ternyata mampu mengelakkan
serangan gencar pedang lawan yang sangat cepat dan mematikan. Padahal sepintas
gerakan meliuk yang dilakukan Pendekar Gila, kelihatan lamban dan lemah. Hal
itu membuat Sugali semakin bertambah nafsu, ingin segera mengakhiri pertarungan
itu.
"Hea" "Uts He
he he..." dengan tertawa terkekeh, Pendekar Gila berkelit dari tusukan
pedang lawan. Tubuhnya merunduk, kemudian dengan cepat tangannya bergerak
menepuk lurus ke dada lawan.
Wrt "Heh?" Sugali
kaget mendapat serangan secepat itu. Dengan mata membelalak, pemuda itu
melompat ke samping. Namun dengan cepat pula, Pendekar Gila memburu.
Mei Lie dan warga desa yang
sudah mengakhiri pertarungan mereka melawan Lima Hantu Berkedok, kini membuat
lingkaran menyaksikan pertarungan Pendekar Gila melawan Sugali.
"Hea" Sugali yang
sudah dapat lepas dari kejaran Pendekar Gila, langsung melancarkan serangan.
Pedang Dewa Naga di tangan kanannya, menusuk dan membabat dengan jurus 'Naga
Hitam Mengibas Ekor'.
Sedangkan tangan kirinya, kini
berada di pinggang sebelah kiri dengan jari-jari terbuka siap menyerang.
"Yea" Sugali
menusukkan pedangnya ke dada lawan.
Namun dengan cepat Pendekar
Gila mendoyongkan tubuh ke samping. Namun rupanya tusukan itu hanya sebagai
pancingan semata. Ketika tubuh Pendekar Gila miring ke kiri, dengan cepat kaki
kanan Sugali bergerak menendang ke muka.
"Hea" Degk
"Ukh..." Sena memekik tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung tiga tindak
ke belakang. Dari bibirnya keluar darah. "Cuih" Setelah meludah,
membuang darah yang meleleh. Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga
Saktinya. Kemudian dengan cepat, melesat melakukan serangan. "Hea"
Dengan Suling Naga Sakti di tangannya, Pendekar Gila mengembangkan jurus 'Gila
Terbang Mencengkeram Mangsa'. Tubuhnya melayang ke atas. Kemudian dengan cepat
menukik sambil memukulkan Suling Naga Sakti ke kepala Sugali.
Wrt Melihat Pendekar Gila
memukulkan Suling Naga Sakti-nya, dengan cepat Sugali mengangkat Pedang Dewa
Naga untuk memapaki serangan lawan.
Wuttt Trang "Ukh"
Sugali memekik tertahan. Tangannya tergetar hebat, dirasakan seperti dialiri
hawa panas.
Pedang Dewa Naga yang
tergenggam di tangannya, terpental jauh. Setelah berbenturan dengan Suling Naga
Sakti. Hal itu membuat Sugali terkejut dan ketakutan.
Wajahnya seketika berubah
pucat-pasi. Sementara itu di telinga terdengar suara gurunya, Ki Pramanu yang
telah dibunuhnya.
"Kini saatnya, Sugali
Terimalah kutukku yang pertama" Bersamaan dengan lenyapnya suara Ki Pramanu,
Pendekar Gila tiba-tiba bergerak menyerang dengan pukulan 'Gila Melebur Gunung
Karang'.
"Hea" Sugali yang
tersentak kaget, dengan cepat merundukkan tubuhnya untuk mengelak. Namun
ternyata pukulan yang dahsyat itu harus mengena bagian mukanya. Tanpa ampun
lagi....
Jret "Akh..." Sugali
menjerit setinggi langit. Wajahnya hancur berantakan. Darah menetes keluar dari
wajahnya yang hancur. Bagaikan kesetanan, Sugali melompat menubruk tubuh
Pendekar Gila melakukan serangan.
Namun dengan cepat, Pendekar
Gila bergerak mengelak. Kemudian, tangan kanannya bergerak cepat dengan telapak
tangan memukul ke punggung Sugali.
"Hea" Degk
"Akh..." kembali Sugali menjerit Tubuhnya bergulingan ke tanah dengan
cepat bagaikan didorong suatu tenaga yang sangat kuat. Tubuh berpakaian merah
itu terus berguling hingga belasan tombak jauhnya.
Namun di luar dugaan,
tiba-tiba ada sesosok bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh Sugali dan
membawanya pergi.
"Datuk Keparat
Tunggu..." teriak Pendekar Gi-la sambil melesat untuk mengejar. Namun
sosok berjubah hitam yang ternyata Datuk Raja Karang, telah melemparkan sesuatu
ke tempat Pendekar Gila berdiri.
Slats Glarrr...
Suara ledakan keras terdengar.
Bersamaan dengan itu, keluar asap mengepul yang menutupi pandangan Pendekar Gila.
Dan ketika asap itu lenyap, Datuk Raja Karang telah tak ada di tempat itu.
Tampaknya ketika mata Pendekar Gila terhalangi asap tebal tokoh penolong Sugali
telah melesat kabur dari tempat pertarungan.
"Licik" maki Sena
gusar.
"Kita harus mengejarnya,
Kakang. Bukankah datuk itu yang telah membunuh Mbakyu Bangil?" desak Mei
Lie tak sabar.
"Aha, kau benar, Mei Lie.
Dialah yang menjadi sumber petaka di Lembah Lamur," sahut Sena. "Hhh,
rupanya selama ini dia bersembunyi." "Kita cari dia, Kakang"
ajak Mei Lie.
"Ya," jawab Sena,
"Ki Lurah, kurasa kami harus segera pergi dari desamu ini." "O,
mengapa tergesa-gesa, Tuan Pendekar? Sebenarnya kami ingin menjamu kalian
barang dua atau tiga hari," jawab Ki Lurah Sanusi.
"Ah, terima kasih Gampang
lain waktu, Ki," sahut Mei Lie.
Ki Lurah Sanusi tak dapat
memaksa keduanya.
Dirinya menyadari kalau mereka
pendekar yang dibutuhkan banyak manusia.
"Kalau memang begitu,
kami tak dapat memaksa. Kami atas warga Dewa Suluh Pring, hanya mampu
mengucapkan terima kasih pada kalian," ujar Ki Lurah Sanusi. "Aha,
tak perlu kau berkata begitu, Ki Izinkan kami pergi" ujar Pendekar Gila
seraya tersenyum.
"Semoga kalian dalam
lindungan Hyang Widi." Pendekar Gila dan Mei Lie pun segera pergi dari
tempat itu untuk mengejar Datuk Raja Karang yang selama ini juga tengah
dicari-cari oleh mereka. (Untuk mengetahui siapa Datuk Raja Karang, silakan
ikuti serial Pendekar Gila dalam episode: 'Titisan Dewi Kwan Im'). Pagi telah
datang, tak lama setelah Pendekar Gila dan Mei Lie meninggalkan Desa Suluh
Pring.
***
7
Datuk Raja Karang yang membawa
tubuh Sugali kini telah sampai di tepi Laut Selatan. Sugali yang berada di
pundak kanan lelaki berusia tujuh puluh tahun itu, terdengar merintih-rintih
menahan sakit. Wajahnya yang hancur, terus mengeluarkan darah bagaikan tak akan
mengering. Kutukan sang Guru, Ki Pramanu benar-benar terbukti. Sugali tak mati
terkena hantaman pukulan jurus 'Gila Melebur Gunung Karang'. Hanya wajahnya
yang hancur. Namun jelas luka itu merupakan siksaan yang sangat perih sekali.
"Tenanglah, Anak Muda Aku
akan berusaha menolongmu," ujar Datuk Raja Karang berusaha menghibur
Sugali yang terus merintih kesakitan.
"Datuk, aku tak
berhasil," keluh Sugali.
"Tak perlu kau pikirkan
itu Kini yang harus kau pikirkan, bagaimana membalas semuanya pada Pendekar
Gila," sahut Datuk Raja Karang terus berusaha membesarkan hati pemuda itu.
"Dia memang hebat Namun kelak kita akan bahu-membahu mengalahkannya."
Lelaki tua berjubah hitam itu dengan ringan melangkah di permukaan air. Aneh Air
laut yang diinjaknya seketika berubah membeku. Sehingga permukaan air bagaikan
daratan.
"Kita akan mencari dia,
jika kau telah sembuh dari lukamu," kata Datuk Raja Karang.
"Mungkinkah kita mampu
menghadapinya, Datuk?" tanya Sugali. Nadanya kurang yakin akan ke-mampuan
dirinya, setelah kini mengalami kekalahan yang menyakitkan.
"Jangan berkata begitu,
Tolol Apakah kau akan putus asa dan membiarkan arwah kedua orangtua mu
penasaran?" bentak Datuk Raja Karang. "Dengan persekutuan kita, maka
tak akan ada pendekar yang mampu mengalahkan kita." "Benarkah itu,
Datuk?" tanya Sugali masih belum percaya.
"Ya Kau telah mewarisi
ilmu Ki Pramanu. Sebenarnya ilmu gurumu bukan ilmu sembarangan.
Sayang kau tak dapat
menggunakannya dengan baik.
Kalau saja kau dapat menggunakannya
dengan baik, kurasa Pendekar Gila tak akan mudah mengalahkanmu," sanjung
Datuk Raja Karang, berusaha memulihkan semangat Sugali yang mulai ciut setelah
kekalahan ini.
Sugali hanya diam. Rasa sakit
akibat wajahnya yang hancur dan terus mengeluarkan darah, semakin terasa
menyiksa. Dendamnya pada Pendekar Gila semakin membara. Dia harus dapat
membalas semua yang dialami olehnya. Juga dendam atas kematian kedua
orangtuanya oleh Pendekar Gila.
Datuk Raja Karang telah sampai
di tepian pulau karang, tempat persembunyiannya selama ini dari kejaran
Pendekar Gila semenjak kejadian di Lembah Lamur. Lelaki berusia sekitar tujuh
puluh tahun yang merupakan tokoh sesat itu, nampak melangkah dengan ringan
sambil memanggul tubuh Sugali. Datuk Raja Karang kemudian masuk ke sebuah goa
yang ada di pulau karang itu.
Goa karang itu cukup besar. Di
dalamnya tak tampak kegelapan sebagaimana layaknya goa, melainkan gemerlapan
seperti mengandung emas dan mutiara. Di bagian tengah ruangan goa tampak ada
sebuah baru besar berbentuk datar dan panjang. Tampaknya batu itu memang bisa
digunakan untuk pembaringan.
Datuk Raja Karang meletakkan
Sugali di atas batu datar itu. Setelah membaringkan tubuh Sugali, dan menotok
beberapa urat nadi di tubuhnya. Datuk Raja Karang pun melangkah menuju sebuah
ruangan lain dalam goa itu. Matanya memandangi satu persatu tabung bambu yang
tergantung di dinding goa. Sepertinya tengah mencari sesuatu obat, untuk
menghilangkan rasa sakit yang diderita Sugali.
"Hm, ini dia," gumam
Datuk Raja Karang sambil mengambil tabung yang berisikan serbuk kunyit ireng.
Dibawanya tabung itu keluar. Kemudian Datuk Raja Karang menuju batu datar
tempat Sugali masih terbaring dengan rintihan-rintihan kesakitannya.
"Datuk.. o, sakit
sekali," rintih Sugali. Darah terus keluar dari luka wajahnya, seakan-akan
tak dapat mengering. Sehingga tampak keadaan wajah Sugali semakin bertambah
mengerikan.
"Sabar, Anak Muda Ini
sebuah bukti, bahwa Pendekar Gila benar-benar menghinamu," ujar Datuk Raja
Karang berusaha menumbuhkan dendam di hati Sugali. "Tidak, Datuk Ini
sebuah kutukan guruku." "Hua ha ha..." Datuk Raja Karang tertawa
terbahak-bahak. "Kutuk? Hm, kau kira gurumu itu orang suci yang bisa
mengutuk. Ini bukan kutuk, Sugali. Ini hinaan dari Pendekar Gila. Bukankah dengan
keadaan seperti sekarang ini, kau dapat dikucilkan dari pergau-lan?"
Sugali menarik napas dalam-dalam. Seakan dirinya berusaha mencerna kata-kata
Datuk Raja Karang. Dendamnya pada Pendekar Gila semakin menjadi-jadi. Hati
Sugali membenarkan kata-kata lelaki tua yang telah menolongnya itu.
"Pendekar Gila, tunggulah
pembalasanku Kalau kau bisa menghancurkan mukaku, maka aku akan menghancurkan
tubuhmu" dengus Sugali dalam hati.
Matanya yang tertutup darah,
mengerjap-ngerjap.
"Bagaimana? Apa masih
percaya kalau semua yang kau alami merupakan kutukan?" tanya Datuk Raja
Karang dengan senyum kecut menghias bibirnya.
"Aku percaya dengan
ucapanmu, Datuk. Akan kubalas semua hinaan ini Akan kuhancurkan dia..."
teriak Sugali dengan keras penuh dendam. Tangan kanannya mengepalkan tinju ke
atas, sepertinya bersumpah.
"Hua ha ha..." Datuk
Raja Karang tertawa senang. "Bagus Memang itulah yang harus kita lakukan.
Kita harus menyingkirkan
Pendekar Gila" "Tapi, Datuk..." "Apa lagi?" tanya
Datuk Raja Karang.
"Ilmuku belum
seberapa." "Itu masalah mudah. Setelah kau pulih, aku akan
mengajarkan padamu sebuah ilmu silat yang maha sakti," ujar Datuk Raja
Karang dengan disertai gelak tawa.
"Terima kasih,
Datuk" "Kini, gunakan hawa murnimu Aku akan mencoba mengobati luka di
wajahmu," perintah Datuk Raja Karang. Sugali segera menurut. Disalurkan
hawa murni ke mukanya, agar bisa menahan rasa sakit.
Melihat Sugali sudah
menyalurkan hawa murni, Datuk Raja Karang pun segera menaburkan bubuk kunyit
ireng.
"Aaaouw... Aaakh... Sakit..
sakit" Sugali meraung-raung kesakitan, ketika bubuk kunyit itu menempel di
lukanya.
"Tenang, Sugali Hanya
dengan kunyit ireng ini, kau akan terbebas dari rasa sakit," ujar Datuk
Raja Karang sambil terus menaburkan bubuk kunyit ireng ke luka di wajah Sugali.
Hal itu membuat pemuda itu semakin memekik keras. Rasa perih dan sakit, terasa
semakin hebat mendera di wajahnya. Dari wajahnya yang ditaburi obat tampak
mengepulkan asap.
"Akh..." Sugali
menggelepar-gelepar bagaikan sekarat.
Dari wajahnya semakin
bertambah banyak asap hitam mengepul. Sedangkan darah yang mengalir, belum juga
mau berhenti, terus keluar dari lukanya.
"Oh, apa aku salah
mengambil obat?" tanya Datuk Raja Karang dalam hati bimbang dan cemas,
menyaksikan bagaimana keadaan Sugali saat itu. Bubuk kunyit ireng yang
seharusnya mampu menghentikan aliran darah, ternyata tak berguna sama sekali
bagi luka yang dialami Sugali Datuk Raja Karang memperhatikan tabung bambu yang
dipegangnya. Namun hatinya merasa yakin, kalau tabung itu memang berisikan
bubuk kunyit ireng. "Obat ini benar. Hai, kenapa kunyit ireng tak
berguna?" gumam Datuk Raja Karang nampak cemas, karena Sugali semakin
sekarat Beberapa kali Datuk Raja Karang memandangi bergantian ke tabung dan
wajah Sugali. Wajahnya menggambarkan kecemasan. Keningnya mengerut,
berlipat-lipat. Hatinya masih tak mengerti, mengapa darah yang keluar dari luka
di muka Sugali tetap mengalir. Padahal seharusnya mengering setelah ditaburi
serbuk kunyit ireng.
"Akh... Tobat..."
Sugali terus menjerit-jerit, merasakan sakit yang hebat. Tubuhnya
menggelepar-gelepar, bagaikan seekor ayam yang disembelih. Jemari tangannya
menggenggam, sepertinya berusaha mencari pegangan dan kekuatan. Kemudian diam
membisu.
"Mati...?" tanya
Datuk Raja Karang dengan kening mengerut. Dirabanya dada Sugali. "Ah,
masih hidup" Datuk Raja Karang segera meninggalkan tempat itu, untuk
melakukan semadi. Dia melangkah menuju sebuah ruangan lain yang tertutup. Di
tempat itulah, Datuk Raja Karang melakukan semadi, meminta kekuatan pada arwah-arwah
yang dipujanya.
Tangan Datuk Raja Karang
bergerak ke kanan dan ke kiri. Seketika itu, pintu batu bergeser membuka. Dan
kini nampaklah sebuah ruangan yang cukup luas. Ada sebuah perapian besar, yang
di atasnya terdapat sebuah arca berbentuk manusia buaya.
Datuk Raja Karang melangkah
mendekat. Pintu kembali bergerak menutup. Sang Datuk kini duduk bersila di
dekat perapian, menghadap arca manusia buaya berada. Mulut sang Datuk
komat-kamit membaca mantera. Matanya terpejam, dengan kepala agak tertunduk Wesss
Dari arca manusia buaya, keluar asap hitam bergulung-gulung. Perlahan-lahan,
dari asap keluar sosok bayangan samar-samar. Lama-kelamaan, terlihat jelas
sosok itu. Sosok wanita berkepala buaya.
"Hik hik hik.. Ada apa
kau mengundangku, Raja Karang?" terdengar suara wanita. Ucapan itu keluar
dari mulut manusia buaya.
"Ampun, Sri Ratu sembahan
hamba Hamba memohon pertolongan darimu." "Tentang apa?"
"Hamba mempunyai masalah." "Dengan Pendekar Gila?"
"Itu yang pertama, Sri Ratu." "Ada lagi...?" "Benar,
Sri Ratu." "Katakan, apa." "Hamba memiliki teman yang habis
bertarung dengan Pendekar Gila. Dia terluka di wajahnya. Tetapi anehnya, darah
terus mengalir. Apa yang sebenarnya terjadi, Sri Ratu?" tanya Datuk Raja
Karang meminta petunjuk "Dia mendapat kutuk berdarah dari gurunya.
Dia memang tak akan mati
ketika bertarung untuk pertama kali melawan Pendekar Gila. Dia akan mati, oleh
kekasih Pendekar Gila," tutur Ratu Siluman Buaya. "Ampun, Sri Ratu
Lalu bagaimana untuk menghadapi Pendekar Gila dengan kekasihnya?" tanya
Datuk Raja Karang.
"Aku akan
membantumu." "Terima kasih, terima kasih, Sri Ratu." "Ada
lagi, Raja Karang?" tanya Ratu Siluman Buaya. "Bagaimana dengan
pemuda itu?" "Raganya akan kugunakan. Dengan begitu, tak akan ada
yang tahu kalau aku hadir ke dunia," ujar Ratu Siluman Buaya. "Kapan
kau akan mencari Pendekar Gila?" "Jika Sri Ratu berkenan,
secepatnya" "Aku telah siap. Beri penutup di mukanya. Agar tak
diketahui orang," perintah Ratu Siluman Buaya.
"Baik, Sri Ratu."
Setelah memberi perintah, Ratu Siluman Buaya pun menghilang. Asap tebal kembali
bergulung. Kemudian perlahan-lahan asap itu masuk ke arca manusia buaya yang
ada di atas perapian.
Datuk Raja Karang kembali
menyembah. Kemudian bangkit dari duduk bersilanya. Kakinya melangkah menuju
pintu keluar. Tangannya digerakkan.
Kali ini gerakannya dari kiri
ke kanan. Saat itu pula, pintu penutup terbuka. Datuk Raja Karang segera keluar
melangkah menuju tempat tubuh Sugali yang nampak bergerak-gerak. Sepertinya
Sugali telah sadar.
"Raja Karang, carikan
kain penutup wajah" perintah Sugali yang kini suaranya telah berubah.
Bukan suara lelaki, melainkan suara Ratu Siluman Buaya.
"Daulat, Sri Ratu,"
jawab Datuk Raja Karang.
Kemudian Datuk Raja Karang
bergegas mencari kain yang diminta Ratu Siluman Buaya yang sudah merasuk ke
tubuh Sugali. Tak lama kemudian, Datuk Raja Karang telah kembali dengan membawa
secarik kain hitam yang cukup lebar dan mampu menutupi seluruh wajah.
"Ikatkan ke kepala,"
perintah Sri Ratu Siluman Buaya. Tanpa membantah, Datuk Raja Karang segera
mengikatkan ujung kain hitam itu ke kepala Sugali.
Seketika wajah menyeramkan
yang terus mengalirkan darah itu, tertutup kain hitam. Namun darah tetap saja
mengalir, keluar dari luka-luka di wajahnya. Sebentar saja kain hitam itu telah
basah
darah yang terus mengalir.
"Bagus Dengan begini,
kita akan bebas bergerak," ujar Ratu Siluman Buaya.
"Tetapi, darah masih
keluar. Dan bau amis masih tercium, Sri Ratu,." sahut Datuk Raja Karang
mengingatkan.
"Itu bukan masalah, Raja
Karang. Aku akan mengeluarkan ajian 'Raga Wangi', agar bau amis darah akan
hilang." Setelah berkata begitu, Ratu Siluman Buaya yang menyusup ke dalam
raga Sugali, nampak bersidekap. Tak lama kemudian, bau wangi bunga cendana,
menyebar keluar dari segenap tubuhnya.
Dan benar juga, bau amis dan
anyir darah hilang. Kini yang tercium hanyalah bau wangi bunga cendana.
"Bagaimana, Raja
Karang?" "Sri Ratu benar-benar sakti. Bau anyir darah, kini telah
hilang. Yang tercium, kini bau wangi kembang. Tapi, mengapa mesti bunga
cendana? Apakah nanti tak akan membuat orang ketakutan di malam hari, mencium
bau seperti ini?" tanya Datuk Raja Karang. "Tak menjadi masalah. Ayo
kita berangkat" ajak Ratu Siluman Buaya.
"Baik, Sri Ratu."
Datuk Raja Karang pun segera mengiringi langkah Ratu Siluman Buaya yang telah
menyusup ke raga Sugali. Keduanya melangkah keluar meninggalkan goa karang.
Dengan entengnya, keduanya melangkah menapaki air lautan.
***
Kehadiran Datuk Raja Karang dengan lelaki
bercadar hitam yang basah oleh darah, seketika menjadi bahan pembicaraan setiap
orang. Baik di kedai, maupun di sawah. Juga di tempat-tempat orang berkumpul
lainnya. Sepak-terjang mereka benar-benar mengerikan. Mereka membuat keonaran
di setiap tempat yang disinggahi.
Sore itu, Datuk Raja Karang
dan lelaki berselubung kain hitam yang dari tubuhnya mengeluarkan aroma wangi
nampak melangkah melintasi Desa Alu Lanang.
Kehadiran kedua manusia
berilmu tinggi itu, telah membuat resah warga Desa Alu Lanang. Warga desa
segera berdatangan ke rumah kepala desanya, melaporkan kedatangan dua tokoh
sakti itu.
"Ki Lurah, dua orang yang
menurut kabar adalah orang-orang jahat dan kejam telah sampai di desa
kita," lapor seorang warga berusia sekitar empat puluh tahun. Nafasnya
tersengal-sengal, setelah berlari-lari.
"Maksudmu, San?"
tanya Ki Lurah Pare Gobang belum mengerti.
"Dua orang tokoh sakti,
Ki Lurah. Yang satu berusia sekitar tujuh puluh tahun dengan jubah hitam, dan
seorang pemuda yang wajahnya tertutup kain hitam berlumuran darah," Kasan
menjelaskan.
"Hm, mau apa mereka ke
desa kita?" gumam KI Lurah Pare Gobang sambil mengelus-elus jenggotnya
yang telah memutih. Kemudian diliriknya dua orang tangan kanannya, "Depa
dan kau Suka Selidiki, mau apa mereka Kalau bisa, tangkap mereka" "Baik,
Ki Lurah," sahut kedua lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan
tubuh tegap itu. Kemudian dengan diikuti beberapa warga yang melapor, Depa dan
Suka melangkah meninggalkan rumah Kepala Desa Alu Lanang itu. Namun belum juga
mereka melangkah jauh, tiba-tiba dihadang dua orang manusia yang disebutkan
Kasan tadi.
"Tak perlu kalian mencari
kami. Kami telah datang, untuk menemui lurah kalian" sentak Datuk Raja
Karang, yang membuat Depa dan Suka serta warga de-sa tersentak kaget dengan
mata membelalak "Siapa kalian? Dan mau apa datang ke desa kami?"
bentak Depa berusaha menunjukkan keberaniannya sebagai seorang jawara di Desa
Alu Lanang.
Matanya tajam, menatap penuh
selidik pada lelaki tua berjubah hitam dan pemuda dengan muka tertutup kain
hitam berbercak darah. Kumis Depa yang lebat, bergerak turun naik Sedang
matanya yang tajam terus menatap kedua tamu desa itu.
"Pertanyaan yang bodoh
Kami datang tentunya untuk memerintahkan pada lurahmu agar menyembah dan takluk
di bawah kekuasaan kami" dengus Datuk Raja Karang.
"Kurang ajar Lancang
sekali mulutmu, Orang Tua Jangan harap kami akan membiarkan kalian melakukan
hal itu" dengus Suka tak kalah garang.
"Hm, kau mencari
penyakit, Orang Tolol Sebaiknya katakan saja pada lurahmu, kalau kami
memerintahkan padanya agar memberikan upeti" perintah Datuk Raja Karang.
"Enak sekali mulutmu
bicara, Orang Tua Cuih Langkahi mayat kami, sebelum kau bertemu dengan Ki
Lurah" tantang Depa.
"He he he... Rupanya
kalian mencari mati.
Baik, bersiaplah untuk
mati" "Kami telah siap Hea..." Depa dengan dibantu Suka serta
sepuluh warga desa, serentak bergerak menyerang dengan senjata di tangan
masing-masing.
"Hea" "Cuih
Kecoa-kecoa busuk macam kalian, berani menantang Datuk Raja Karang" dengus
Datuk Raja Karang sambil menggerakkan tangan kanannya ke arah orang-orang yang
hendak menyerangnya. Seketika itu pula, kedua belas lawannya terpelanting
berjatuhan bagaikan dibanting.
Bugk "Aaakh..."
"Aduh" Kedua belas lawannya menjerit dan meringisringis kesakitan.
Namun Suka dan Depa cepat segera bangun. Lalu dengan penuh amarah, kedua jawara
desa itu langsung menyerang dengan goloknya.
"Hea"
"Yea" Melihat kedua orang jawara itu hendak kembali menyerang, Datuk
Raja Karang tertawa terkekeh. Dimiringkan tubuhnya ke samping, kemudian dengan
cepat mencekal kedua tangan lawan yang memegang golok. Trep "Hea"
bagaikan mengangkat kapas, Datuk Raja Karang langsung mengangkat tubuh kedua
jawara de-sa. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, Datuk Raja Karang
langsung membanting kedua jawara itu dengan keras.
"Heaaa..." Brug Breg
"Akh" keduanya menjerit Tubuh kedua jawara desa itu seketika meregang
sekarat dengan darah muncrat dari mulut Sesaat kemudian, tubuh kedua jawara itu
diam, mati Melihat kedua jawara desa mati dalam sekali gebrak saja, nyali para
warga desa seketika menciut Kesepuluh warga desa itu hendak lari, namun dengan
cepat lelaki muda yang wajahnya tertutup kain hitam langsung mengirimkan sebuah
pukulan jarak jauh.
"Hea" Zrttt Jret
Jret Jret "Akh..." lolongan kematian kembali menggema, memecah
kesunyian sore menjelang malam. Kesepuluh warga desa yang terkena hantaman itu,
langsung ambruk dengan tubuh menghitam gosong.
Dengan sinis, Datuk Raja
Karang memandangi mayat-mayat warga desa yang bergeletakan di tanah rerumputan.
Kemudian dengan menendang tubuh salah seorang dari warga desa, Datuk Raja
Karang kembali melangkah diikuti manusia yang wajahnya tertutup kain hitam.
Langkah keduanya kini menuju rumah Ki Lurah Pare Gobang.
Ki Lurah Pare Gobang yang
menyaksikan bagaimana kedua manusia sesat itu membunuh kedua tangan kanannya
dan sepuluh warga desa, semakin takut. Apalagi kini kedua orang sesat dan kejam
itu menuju rumahnya. Cepat-cepat Ki Lurah Pare Gobang mengunci pintu rumahnya
rapat-rapat. Dirinya tak ingin bertemu dengan kedua manusia jahat dan kejam
itu.
"Celaka Mereka bukan
orang sembarangan," gumam Ki Lurah Pare Gobang sambil menyandarkan
tubuhnya di pintu yang telah dikunci. Keringat dingin keluar deras membasahi
keningnya. Ki Lurah Pare Gobang yang memang tak memiliki ilmu silat gemetaran.
Matanya memandang ke
sekelilingnya dengan tegang.
Belum juga rasa takut hilang
dari hati Ki Lurah Pare Gobang, tiba-tiba....
"Ki Lurah, keluar kau
Jangan bersembunyi macam tikus tanah yang ketakutan" terdengar dari luar
seruan seseorang lelaki tua tapi tegas dan keras, yang membuat tubuh Ki Lurah
Pare Gobang bertambah menggigil ketakutan.
"Celakalah aku"
keluh Ki Lurah Pare Gobang hampir menangis. Matanya berkaca-kaca. Tubuhnya
semakin gemetaran dilanda perasaan takut yang mendera jiwanya.
"Ki Lurah, keluarlah Atau
ku dobrak pintu rumahmu" kembali dari luar terdengar suara Datuk Raja
Karang berseru, yang semakin membuat Ki Lurah Pare Gobang bertambah ketakutan.
Keringat dingin semakin deras bercucuran membasahi tubuhnya.
***
8
Dengan masih ketakutan, Ki
Lurah Pare Gobang membuka kunci pintu rumahnya yang terbuat dari palang kayu.
Tangannya tampak gemetar tak mampu menahan rasa takut, yang membuat pintu itu
turut bergetar. Keringat dingin semakin membasahi sekujur tubuh Ki Lurah Pare
Gobang. Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun itu merasa tak mampu berbuat
apa-apa. Perlahan-lahan Ki Pare Gobang membuka daun pintu rumahnya. Mengintip
keluar. Di halaman rumah Kepala Desa Alu Lanang, tampak berdiri tubuh Sugali
yang mengenakan pakaian merah dan tertutup kain hitam di wajahnya. Di
sampingnya Datuk Raja Karang yang mengenakan jubah hitam.
"Ki Lurah, cepat keluar
Atau kami terpaksa menghancurkanmu beserta rumah..." ancam Datuk Raja
Karang.
"Hua ha ha... Lucu
sekali. Pucuk dicinta, ulam tiba. Lama sekali kucari kau. Akhirnya kau
kutemukan sedang gembar-gembor di sini" Tiba-tiba dari arah timur
terdengar suara seorang pemuda, diikuti tawa yang keras dan bergema.
Suara tawa itu menyentakkan
Datuk Raja Karang, sampai-sampai tanpa sadar dari mulutnya terucap nama gelar
pemuda itu.
"Pendekar Gila"
"Diakah pendekar itu, Raja Karang?" tanya Ra-tu Siluman Buaya yang
telah merasuk ke tubuh Sugali.
"Benar, Sri Ratu. Itu
suaranya." "Kebetulan," gumam Ratu Siluman Buaya.
"Hi hi hi... Mei Lie,
rupanya datuk bangkong ini ada di sini." Suara itu kembali terdengar.
Sekejap kemudian, muncul satu sosok lelaki muda berompi kulit ular. Di samping
seorang gadis cantik berpakaian hijau. Melihat kedatangan kedua sosok itu mata
Datuk Raja Karang terbelalak kaget "Siapa gadis itu, Raja Karang?"
tanya Ratu Siluman Buaya.
"Dia Titisan Dewi Kwan
Im, yang bergelar Bidadari Pencabut Nyawa," tutur Datuk Raja Karang
menjelaskan. "Kau takut pada mereka, Raja Karang?" "Tidak,"
sahut Datuk Raja Karang.
Pendekar Gila yang kini berdiri
lima tombak di hadapan Datuk Raja Karang dan Ratu Siluman Buaya, masih
cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Diambilnya Suling Naga Sakti
dari ikat pinggangnya, kemudian dengan acuh ditiupnya.
Suara Suling Naga Sakti
mengalun dengan lembut, mendendangkan syair yang menceritakan tentang
perjalanan hidup manusia. Hal itu menjadikan Datuk Raja Karang dan Ratu Siluman
Buaya tersentak.
"Pendekar Gila, apa
maksudmu menyindirku?" bentak Datuk Raja Karang keras. Matanya menatap
tajam wajah Pendekar Gila yang seketika menghentikan tiupan Suling Naga
Saktinya. Pendekar Gila menoleh ke wajah Mei Lie dengan mulut masih
cengengesan.
Disimpannya Suling Naga Sakti
di ikat pinggang, diganti dengan mengambil bulu burung. Kemudian dikorek
telinganya dengan bulu burung itu. Seketika mulutnya cengar-cengir kegelian.
"Hi hi hi... aneh Aneh
sekali... Kadang orang menyadari kekeliruannya. Tetapi orang itu tak mau
mengakui kesalahannya. Hi hi hi... lucu" gumam Pendekar Gila sambil terus
mengorek telinganya dengan bulu burung.
"Pendekar Gila, rupanya
kau benar-benar harus kami singkirkan" ancam Datuk Raja Karang.
"Aha, hebat Hebat sekali
ucapanmu, Datuk Bangkong Hi hi hi... Mei Lie, kurasa kita tak akan membiarkan
dia melakukannya, bukan?" tanya Pendekar Gila dengan masih cengengesan.
"Bukan kita yang akan
tersingkir, tetapi datuk keparat itu yang akan kusingkirkan" dengus Mei
Lie dengan ketus. Matanya menatap penuh kebencian pa-da Datuk Raja Karang,
kemudian berganti pada lelaki bercadar hitam.
"Cuih Meski kau bergelar
Bidadari Pencabut Nyawa, aku Datuk Raja Karang tak takut padamu" dengus
Datuk Raja Karang setengah menggeram. Sementara lelaki yang wajahnya tertutup
kain hitam, nampak masih tenang.
"Hm, begitu...?"
gumam Mei Lie dengan senyum sinis mengembang di bibirnya. "Ingat Datuk
Raja Karang, kau telah membunuh saudara-saudaraku di Lembah Lamur.
Bagaimanapun, aku mencarimu untuk menagih hutang itu." "Wuah, jangan
sombong, Bidadari Pencabut Nyawa Meski nama julukanmu mampu menggetarkan rimba persilatan,
tetapi Datuk Raja Karang tak takut padamu" "Bagus kalau begitu,"
sahut Mei Lie. "Bersiaplah" "He he he... Mari kita main-main
Hea..." "Yea..." Datuk Raja Karang melesat dengan tangan kanan
siap memukul. Begitu pula dengan Mei Lie, tubuhnya melesat memapaki serangan
yang dilancarkan Datuk Raja Karang. Kedua tangan Mei Lie terentang dengan tubuh
agak miring. Kemudian kedua tangannya digerakkan turun naik, bagaikan
kepakankepakan selendang.
"Hea" Mei Lie kini
membuka jurus 'Selendang Bidadari Mengusir Kabut'. Dari kepakan kedua
tangannya, menderu angin kencang. Hal itu membuat Datuk Raja Karang tersentak
kaget. Dirinya tak menyangka, kalau gadis Cina ini memiliki ilmu silat yang
tinggi.
"Yea" Dengan
menggunakan jurus 'Buana Graha' Datuk Raja Karang segera bergerak mengelakkan
serangan yang dilakukan Mei Lie. Kemudian dengan cepat, bergerak menyerang.
Tangannya yang mengepal, bergerak memukul dari bawah ke atas. Susul-menyusul,
yang dilanjutkan dengan gerakan hantaman gencar telapak tangannya. Kaki-kakinya
pun tak tinggal diam, bergerak menyapu dan menendang ke kaki Mei Lie.
"Hea"
"Yea" Dengan jurus-jurus andalan, mereka terus berkelebat untuk
berusaha saling menjatuhkan lawan.
Gerakan keduanya sama-sama
lincah dan cepat.
Memburu laksana seekor
rajawali dan harimau, dari mengelak laksana burung seriti dan trenggiling.
Sementara itu, Pendekar Gila
yang masih mengorek telinga, matanya mengawasi sosok yang wajahnya tertutup
kain hitam. Mulutnya masih cengengesan, dengan tangan kiri sesekali
menggaruk-garuk kepala. "Hi hi hi... Kenapa kau tutupi mukamu?" tanya
Pendekar Gila. "Aha, tapi bagaimanapun, kau tak bisa menyembunyikan siapa
dirimu sebenarnya, Murid Durhaka." "Hhh" Hanya dengus kecil
keluar dari wajah tertutup kain hitam, yang ternoda darah. Sepertinya sosok Sugali
tak mau berkata-kata. Ada sesuatu yang tersembunyi. Hal itu membuat Pendekar
Gila mengerutkan kening. Kemudian dengan melakukan semadi berdiri, dirinya
berusaha melihat keanehan itu.
"Aha, kau rupanya Siluman
Buaya," desah Sena. "Ah ah ah Meski kau menutup wajah barumu, kau tak
bisa menyembunyikan batinmu, Siluman" Tersentak kaget Sugali yang memang
dirasuki Ratu Siluman Buaya mendengar seruan Pendekar Gila.
Ratu Siluman Buaya sama sekali
tak menyangka, kalau Pendekar Gila akan dapat mengetahui siapa dia sebenarnya.
"Hi hi hi... Untuk apa
kau main sembunyisembunyian, Siluman?" tanya Pendekar Gila dengan tertawa
cekikikan. Tangannya menutupi mulut. Dige-leng-gelengkan kepala, sepertinya
melihat hal lucu.
"Keluarlah dari
sembunyimu di raga Sugali" "Hm, ternyata nama besarmu bukan nama
kosong, Pendekar Gila Karena kau telah tahu siapa aku, maka kini tak ada alasan
lain bagiku. Aku memang ingin membantu pemuda yang raganya kupakai, untuk
membalas dendam padamu. Bersiaplah, Pendekar Gila Hea..." dengan melompat
laksana seekor harimau, Ra-tu Siluman Buaya yang menghuni raga Sugali menyerang
Pendekar Gila. Tangan-tangannya bergerak mencengkeram dan mencakar ke tubuh
Pendekar Gila dengan jurus 'Cakar Buaya Merayap'. Gerakan kedua tangannya
bergerak susul-menyusul dari bawah ke atas. "Hi hi hi.. Hea..."
dengan masih cengengesan, Pendekar Gila bergerak cepat mengelak. Dengan
menggunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' tubuh Pendekar Gila bergerak
meliuk-liuk laksana menari, diselingi tepukan-tepukan tangannya yang membuat
Ratu Siluman Buaya tersentak kaget Prak "Heh?" Ratu Siluman Buaya
segera menggeser kaki kirinya ke samping. Kemudian dengan memiringkan tubuh ke
kiri, tangannya bergerak memapaki tepukan tangan Pendekar Gila.
"Yea..." Plak
"Aaakh..." Dua tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam itu
saling beradu. Tubuh keduanya terdorong mundur ke belakang. Pendekar Gila
mundur dua tindak ke belakang. Wajahnya cengengesan. Tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala, sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk pantatnya.
Sementara Ratu Siluman Buaya
terhuyung lima langkah ke belakang. Tubuhnya agak tergetar, seakan tak mampu
menahan getaran kekuatan yang keluar dari telapak tangan Pendekar Gila.
"Kau memang hebat,
Pendekar Gila. Tetapi aku tak mungkin kalah olehmu" dengus Ratu Siluman
Buaya geram. Hatinya marah karena ternyata serangannya dapat ditahan Pendekar
Gila. Bahkan dadanya terasa sakit akibat benturan keras tadi.
"Hua ha ha... Kurasa,
masalah menang dan kalah dalam bertarung bukan kuasa seseorang, Siluman. Ah ah
ah Aku hanya heran, mengapa kau ikut campur dalam urusan manusia," gumam
Pendekar Gila sambil cengengesan.
"Itu urusanku."
"Aha, baik Kalau memang itu yang kau kehendaki." "Cuih Kau kira
kau akan menang, Pendekar Gila Terimalah jurus 'Buaya Mengibas Ekor'.
Hea..." dengan tenaga dalam penuh, Ratu Siluman Buaya kembali bergerak
menyerang. Tangan dan kakinya bergerak memukul dan menyerampang. Namun dengan
cepat Pendekar Gila melompat menghindarkan serangan lawan.
"Hea" Dengan
menggunakan jurus 'Gila Terbang Mencengkeram Mangsa' Pendekar Gila berkelebat
menyerang. Tubuhnya mencelat ke udara laksana terbang. Kemudian dengan cepat
menukik dengan tangan membuat cengkeraman memburu lawan.
"Yea" Melihat
Pendekar Gila menyerang dari atas, Ratu Siluman Buaya segera mencelat ke atas.
Kemudian dengan cepat ditangkisnya serangan yang dilancarkan Pendekar Gila
dengan kedua tangan yang digerakkan dari pinggang, menyatu dan membelah ke
atas.
"Hea" Trak
"Hea" dengan cepat Pendekar Gila menarik ka-ki kanannya ke depan,
diikuti dengan tangan kanan ditarik ke belakang. Kemudian dengan tubuh bergerak
memutar, kaki kirinya menendang lurus ke tubuh Sugali itu. "Yea" Plak
"Hih?" dengan cepat Ratu Siluman Buaya yang menghuni raga Sugali
bergerak merunduk. Kemudian tangan kanannya memukul ke selangkangan Pendekar
Gila. "Hea..." "Uts Hih..." Pendekar Gila segera
melemparkan tubuh ke belakang, dan bersalto di udara beberapa kali. Kemudian
dengan kembali bersalto, Sena kembali menyerang dengan cengkeraman tangan dan
tendangan kaki kanannya.
"Yea"
"Hea" Pertarungan antara Pendekar Gila melawan Ratu Siluman Buaya
yang menghuni raga Sugali semakin berjalan seru. Keduanya sama-sama lincah dan
gesit dalam menyerang maupun mengelak. Tubuh keduanya bergerak cepat, sehingga
kini yang nampak hanya kelebatan bayangan merah dan kekuningan saling kejar di
udara.
***
Sementara itu, Mei Lie yang menghadapi Datuk
Raja Karang pun masih terus bergerak menyerang dengan jurus 'Tarian Bidadari
Merayu Dewa'. Tubuhnya meliuk-liuk, disertai gerakan-gerakan tangannya yang
lemah gemulai. Namun dari gerakan-gerakan kedua tangannya itu, keluar angin
besar menderu-deru, menyentakkan Datuk Raja Karang.
"Hebat Tak percuma kau
menyandang gelar Bidadari Pencabut Nyawa" seru Datuk Raja Karang sambil bergerak
mengelitkan serangan Mei Lie. "Tapi untuk menghadapi Datuk Raja Karang,
ilmumu belum seberapa. Hea..." "Jangan banyak omong, Datuk Setan
Hea..." Keduanya kembali berkelebat cepat untuk menyerang. Tangan dan kaki
keduanya turut bergerak, saling pukul dan tendang. Sementara tangan dan kaki
yang lain bergerak menangkis serangan dan sapuan kaki dan tangan lawan.
"Hea"
"Yea" Trak Setelah terjadi benturan tenaga, keduanya melentingkan
tubuh ke belakang. Berjumpalitan di udara beberapa kali, kemudian turun dengan
enteng ke atas tanah. Mata keduanya saling pandang, berusaha menjajaki sampai
seberapa ilmu lawan.
"Bagaimana, Bidadari? Apa
akan kita teruskan dengan senjata?" tanya Datuk Raja Karang menantang.
"Terserah" sahut Mei
Lie dengan suara dingin.
"He he he... Kali ini kau
akan kukirim ke akherat Bersiap-siaplah" Srrt Datuk Raja Karang mencabut
senjatanya yang berbentuk arit bermata dua sehingga membentuk hurup Y.
Digerakkan senjata itu dengan cepat. Dari mata arit mengeluarkan gulungan asap
merah yang mengandung racun.
"Hm...," gumam Mei
Lie dengan mata menatap tajam, menyaksikan senjata lawan yang mengeluarkan asap
merah. Tangan kanannya bergerak meraba gagang Pedang Bidadari. Kemudian
perlahan-lahan ditariknya pedang sakti itu.
Srt Pedang Bidadari kini telah
berada di tangannya.
Seketika sinar kuning
kemerahan keluar dari pedang itu. Sementara itu dari rumahnya, Ki Lurah Pare
Gobang terbelalak menyaksikan sinar dari pedang Mei Lie.
"Ck ck ck.. Bukan senjata
sembarangan," gumam Ki Lurah Pare Gobang sambil menggelenggelengkan
kepala. Matanya membuka lebar, memandang pedang di tangan Mei Lie. Hatinya
berharap, semoga kedua pendekar muda itu mampu mengalahkan lawan-lawannya yang
terkenal kejam dan biadab.
Suasana di pekarangan rumah Ki
Lurah Pare Gobang yang semula sunyi, seketika berubah menjadi riuh. Penduduk
desa tampak berdatangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mereka
segera mengepung halaman rumah kepala desa.
Seperti halnya Ki Lurah Pare
Gobang yang mengintip dengan harap-harap cemas, penduduk Desa Alu Lanang pun
mengharapkan hal yang serupa. Mereka berharap Pendekar Gila dan Mei Lie akan
memenangkan pertarungan itu.
Mei Lie kini telah
mengeluarkan pedang sakti, yang sampai saat ini belum ada tandingannya setelah
Suling Naga Sakti. Matanya menatap tajam Datuk Raja Karang, bagaikan sepasang
mata Pencabut Nyawa.
Dan kini Mei Lie benar-benar
telah menjadi Bidadari Pencabut Nyawa, yang siap menyabut nyawa iblis macam apa
pun.
Hati Datuk Raja Karang
tergetar, menyaksikan Pedang Bidadari. Sepertinya sinar kuning kemerahan yang
keluar dari pedang itu, menyentakkan hati Datuk Raja Karang. Matanya masih
terbelalak.
"Hm, pedang itu bukan
pedang sembarangan.
Sinarnya mampu menggetarkan
sukmaku," gumam Datuk Raja Karang dalam hati dengan mata menatap tajam Mei
Lie yang sedang memegang Pedang Bidadarinya di depan wajahnya.
"Bagaimana, Datuk
Iblis?" tanya Mei Lie.
"Hm, jangan kira dengan
pedang itu, kau akan mampu mengalahkanku?" dengus Datuk Raja Karang sambil
terus menggerakkan arit bermata dua yang semakin bertambah banyak mengeluarkan
asap merah.
Asap itu bergulung-gulung,
semakin banyak. "Hea..." Melihat Datuk Raja Karang melesat menyerang,
Mei Lie pun tak mau diam. Dengan menggunakan jurus 'Tebasan Bidadari Batin',
Mei Lie melesat menyerang, memapaki serangan Datuk Raja Karang. Matanya
terpejam. Gerakan pedangnya tampak teratur dan berirama.
"Hea" Tubuh keduanya
melesat ke udara, saling menggerakkan senjata masing-masing.
"Hea"
"Yea" Wrt Wrt Keduanya serentak menggerakkan senjata mereka
masing-masing, berusaha membabat tubuh lawan. Kedua senjata di tangan mereka
bergerak cepat Trang Prak Bret "Akh..." jeritan keras membumbung
tinggi terdengar dari mulut Datuk Raja Karang ketika Pedang Bidadari di tangan
Mei Lie membabat tubuhnya. Semua orang yang melihat membelalakkan mata. Pedang
Bidadari di tangan Mei Lie benar-benar membabat pinggang Datuk Raja Karang dari
kanan sampai keluar ke kiri. Namun tubuh Datuk Raja Karang tak terpenggal.
Tubuh sang Datuk tetap utuh. Terluka pun tidak "Heh?"
"Hah?" Semua warga Desa Alu Lanang keheranan. Mereka tak percaya
dengan apa yang terjadi. Rasa tegang menyelimuti hati warga desa, termasuk Ki
Lurah Pare Gobang. Mereka mengira kalau Datuk Raja Karang benar-benar sakti,
sehingga dibabat pedang Mei Lie pun tak mempan. Namun sesaat kemudian mereka
kembali tersentak kaget dan keheranan.
"Heh?"
"Hah?" Tubuh Datuk Raja Karang yang semula utuh, seketika hancur
menjadi debu. Hal itu pula yang membuat semua warga Desa Alu Lanang dan Ki
Lurah Pare Gobang membelalakkan mata, bercampur dengan suka cita dan rasa kagum
pada Mei Lie.
"Ck ck ck.. Benarkah apa
yang kulihat?" gumam Ki Lurah Pare Gobang dengan mata hampir keluar,
menyaksikan kejadian yang dilihatnya. Hatinya benar-benar tak percaya, melihat
kenyataan yang ada.
Tubuh Datuk Raja Karang yang
semula utuh, dalam seperempat minum teh saja telah hancur menjadi debu.
Mei Lie segera melangkah
mendekat ke tempat pertarungan Pendekar Gila melawan manusia dengan wajah
tertutup kain hitam.
"Kakang, apakah aku perlu
maju?" tanya Mei Lie.
"Aha, kurasa tak perlu,
Mei. Hanya aku pinjam pedangmu. Karena hanya dengan pedangmu, siluman ini dapat
dibinasakan" seru Pendekar Gila.
"Terimalah ini,
Kakang" Mei Lie segera melemparkan Pedang Bidadari pada Pendekar Gila yang
dengan cepat melenting ke atas, kemudian dengan cepat menyambar pedang itu.
Trep "Aha, masihkah kau
tetap bertahan, Siluman? Hea..." dengan menggunakan Pedang Bidadari,
Pendekar Gila segera menggebrak Ratu Siluman Buaya yang bercokol di dalam raga
Sugali.
"Heh?" Ratu Siluman
Buaya tersentak, menyaksikan pedang bersinar kuning kemerahan di tangan
Pendekar Gila. Sepertinya ada sesuatu yang menyentakkannya. Wrt Bret
"Akh..." terdengar pekikan menyayat. Namun pekikan itu suara lelaki.
Suara Sugali sebenarnya.
Saat itu juga, tubuh Sugali
lebur. Kini tinggal sesosok tubuh manusia buaya yang menyeramkan.
"Grrr Kubunuh kau,
Pendekar Gila" dengus Ratu Siluman Buaya yang telah keluar dari raga
Sugali yang hancur menjadi debu. Dengan penuh amarah, Ratu Siluman Buaya
menyerang.
Pendekar Gila tak mau tinggal
diam, segera dilemparkan Pedang Bidadari kembali kepada Mei Lie.
Lalu dengan cepat tubuhnya
bergerak mengelakkan serangan-serangan Ratu Siluman Buaya yang dahsyat.
Tampaknya Ratu Siluman Buaya
telah menggunakan jurus-jurus andalannya. Jurus-jurus pamungkas 'Siluman
Buaya'.
"Yea Grrr..."
"Aha, rupanya kau pun harus segera pulang ke asalmu, Siluman" Usai
berkata, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Sakti-nya. Kemudian setelah
melompat, segera ditiupnya suling itu. Suara suling mulanya mengalun lembut dan
mendayu, yang membuat Ratu Siluman Buaya terkesima diam. Matanya menatap sayu
pada Pendekar Gila.
Namun alunan Suling Naga Sakti
semakin lama semakin keras, melengking. Dan kemudian, dari sepasang mata kepala
naga keluar sinar merah. Lankan sinar merah itu, melesat memburu tubuh Ratu
Siluman Buaya. Status Glarrr...
"Wua..." Ratu
Siluman Buaya menjerit. Tubuhnya terbungkus api yang menyala-nyala. Kemudian
sosok berbentuk manusia buaya itu hilang tanpa bekas.
"Hidup Pendekar
Gila" "Hidup Bidadari Pencabut Nyawa..." Sorak-sorai warga Desa
Alu Lanang terdengar, menyambut kemenangan Pendekar Gila dan Mei Lie.
Mereka serentak mengerubungi
kedua pendekar muda itu.
"Hi hi hi..."
Pendekar Gila tertawa cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Aha, sebentar lagi pagi, Mei Tuan-tuan, izinkan kami meneruskan
perjalanan." "Apa tak sebaiknya singgah di rumahku dulu, Tuan?"
tanya Ki Lurah Pare Gobang.
"Hi hi hi.. Aha, terima
kasih, Ki. Sebenarnya aku senang sekali kalau dapat menuruti ajakanmu.
Namun kami harus segera
meneruskan perjalanan," kata Pendekar Gila. "Ayo, Mei"
"Baiklah kalau memang begitu. Terima kasih atas pertolongan kalian."
"Ah, tak perlu kau pikirkan. Ini sudah menjadi kewajiban setiap manusia,"
sambut Mei Lie.
Kedua pendekar sejoli itu
menjura, kemudian melangkah meninggalkan Desa Alu Lanang diikuti tatapan kagum
Ki Lurah Pare Gobang dan warga desanya. "Benar-benar pendekar utama,"
gumam Ki Lurah Pare Gobang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Matanya memandang penuh
kekaguman pada Pendekar Gila dan Mei Lie yang terus melangkah semakin jauh
menuju selatan. Sampai akhirnya keduanya menghilang. "Semoga kalian
senantiasa dalam lindungan Hyang Widi" Ki Lurah Pare Gobang pun
meninggalkan tempat itu, diikuti warganya.
SELESAI