-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 20 Tragedi Berdarah
1
Pertunjukan Reog Ponorogo itu
nampak meriah sekali. Sore itu, Desa Ponorogo kelihatan temaram indah. Mentari
telah menyusup di balik rimbun pepohonan, dan tak lama lagi akan segera
tenggelam di ufuk barat. Di depan rumah Warok Gandu Pala, suasana nampak ramai.
Hal itu karena di pelataran luas rumah besar itu tengah berlangsung pagelaran
reog, di bawah asuhan Warok Gandu Pala sendiri
Warok Gandu Pala sengaja
menggelar hiburan, dengan maksud menarik perhatian seluruh warga, berhubungan
dengan pencalonan dirinya sebagai kepala desa. Sejak tiga bulan yang lalu Desa
Ponorogo memang kosong kekuasaan, setelah kepala desa yang lama diketemukan
mati terbunuh
Penonton berjubel-jubel
menyaksikan pagelaran itu. Macan Barong, yang menjadi tokoh utama dalam reog,
tampak meliuk-liuk mengepakkan bulu-bulu merak yang lebar dan indah. Anak-anak
kecil berlari menyingkir karena ketakutan, ketika Macan Barong menggerakkan
kepalanya ke bawah. Diiringi suara gemelan yang menghentak-hentak dan
bersemangat mengiringi para pemain reog terus menari, bagaikan tak menghiraukan
senja yang semakin merayap
Seorang lelaki berbadan tinggi
tegap dengan wajah ditumbuhi kumis tebal, melangkah ke tengah arena mendekati
Macan Barong yang tengah meliukliuk. Di tangan lelaki berusia sekitar lima
puluh lima tahun itu, tergenggam sebuah cambuk besar berwarna hitam. Cletar
Tiba-tiba suara lecutan cambuk terdengar keras menggelegar dan memekakkan
telinga, ketika lelaki berpakaian serba hitam itu melecutkan cambuknya
Sebuah lecutan yang luar
biasa. Tampaknya lelaki berikat kepala kain hitam itu begitu mahir memainkan
cambuk yang digenggamnya
"Ayo Macan Barong,
tunjukkan kebolehan mu" seru lelaki bermuka garang itu sambil melecutkan
kembali cambuk di dekat kaki-kaki penari yang mengenakan topeng
Cletar Cletar..
Macan Barong kembali meliukkan
kepala dengan kuat dan berirama. Sehingga bulu-bulu merah di atas kepala meriap
memantulkan cahaya matahari senja. Begitu indah gemulai tarian Macan Barong yang
disertai jurus-jurus silat. Penari Macan Barong yang memikul topeng kepala
macan dan rangkaian bulu-bulu merak itu seakan-akan tak merasakan beban sedikit
pun
"Bagus Tunjukkan lagi
kebolehan mu" lelaki berkumis yang memegang cambuk hitam kembali memerintahkan
Macan Barong agar terus menari. Cambuk hitam besar dan panjang di tangannya,
sesekali dilecutkan ke sekitar kaki penari Macan Barong
Cletar Lecutan keras itu
seakan-akan membelah alunan gamelan. Tiupan terompet dan pukulan gendang yang
menghentak-hentak penuh semangat terus terdengar, mengiringi tarian Macan
Barong
Sementara itu di antara para
penonton, nampak seorang pemuda berambut gondrong dengan pakaian rompi kulit
ular, turut menyaksikan reog itu
Pemuda tampan itu tak lain
Sena Manggala atau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila. Sena nampak
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala
Sesekali tangan dan kakinya
turut bergerak, mengikuti alunan gamelan yang menghentak dan bersemangat
Sesaat kemudian terdengar
suara tawa cekikikan dari mulutnya yang mengundang perhatian penonton lain
"Hi hi hi... Lucu... Ha
ha ha..." Sena tertawa-tawa sambil tangan dan kakinya terus
bergerak-gerak, mengikuti gerakan Macan Barong
Cletar Cletarrr..
Terdengar kembali suara
lecutan cambuk, seakan memecah suasana senja temaram, di antara alunan gamelan.
Namun, perhatian para penonton, kini tidak semua tertuju pada pagelaran reog.
Mereka tiba-tiba saja beralih pada Pendekar Gila yang bertingkah laku seperti
orang gila, tertawa-tawa sendiri sambil mengikuti gerak-gerik silat Macan
Barong
"Aha, ternyata kau
menggerakkan jurus silat" gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk
kepala. Mulutnya cengengesan, lalu tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala.
Tingkah lakunya yang konyol itu menyebabkan perhatian sebagian besar penonton
dan kebanyakan anak kecil tertuju pada dirinya
"Hai, orang gila Sana
pergi..." bentak lelaki pemegang cambuk besar hitam dengan mata melotot
menatap Pendekar Gila. Lelaki yang ternyata Warok Gandu Pala merasa jengkel
atas tingkah laku Pendekar Gila, karena menyebabkan perhatian sebagian penonton
beralih dari pertunjukan reog
"Hi hi hi... Kenapa kau
marah, Ki? Apakah tak boleh aku menonton...?" tanya Pendekar Gila sambil
tertawa cekikikan dan menggaruk-garuk kepalanya
"Kukatakan pergi
Cepat.." bentak Warok Gandu Pala semakin garang dengan mata melotot
"Hi hi hi... Ah ah ah, galak sekali kau, Ki Bukankah kau mengadakan
pertunjukan untuk ditonton?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan
"Kurang ajar Sudah
kukatakan, cepat pergi Hiburan ini bukan untuk orang gila sepertimu"
bentak Warok Gandu Pala semakin marah, karena Pendekar Gila tak segera beranjak
dari tempat itu. Malah kini tertawa terbahak-bahak
"Ah ah ah, galak sekali
kau, Ki Aneh..., kau menggelar hiburan tapi tak boleh ditonton," gumam
Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepalanya
"Sinting... Hi hi hi...
Gila kau, Ki." "Bedebah Masih juga kau membandel, Pemuda Gila Cepat
pergi, sebelum hilang kesabaranku" bentak Warok Gandu Pala sengit
"Aha, baiklah. Kurasa,
kau menyimpan sesuatu, Ki...," tukas Pendekar Gila seraya mengeloyor
meninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba terdengar sua-ra seorang wanita
memanggilnya
"Hai, tunggu..."
Karena merasa ada yang memanggil, Pendekar Gila seketika menghentikan langkah.
Sambil menggaruk-garuk kepala, dibalikkan tubuhnya. Mulutnya tersenyum dengan
cengengesan, ketika dilihatnya seorang gadis cantik berambut terurai panjang
dengan ikat kepala kain merah melangkah menghampiri
"Aha, kau memanggilku, Ni
Sanak?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan dan tangan kanannya
menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap tajam wajah gadis dua puluh dua tahunan
itu. Kemudian Sena mengerutkan kening, ketika melihat cara jalan gadis itu.
Kaki agak terbuka, sehingga langkahnya agak menegang
"Ya," jawab gadis
cantik bermuka bulat telur dan berhidung mancung. Mata gadis berpakaian kuning
itu menatap wajah Pendekar Gila, kemudian merayap turun sampai ke kaki. Gadis
itu sepertinya hendak menilai Pendekar Gila
Melihat sikap gadis di
hadapannya, Sena nyengir. Keningnya semakin berkerut, tak mengerti apa yang
dicari gadis itu pada dirinya
"Aha, ada apa kau
memandangi ku begitu, Ni Sanak?" tanya Sena seolah merasa risi. Tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala. Dengan kening berkerut karena heran, Pendekar Gila
menatap wajah gadis cantik itu yang juga tengah menatap dirinya
Gadis cantik berambut panjang
itu tersenyum manis, membuat Pendekar Gila semakin tak mengerti apa arti senyum
sang Gadis. Senyum itu seperti menyimpan misteri, yang terasa sulit untuk dibuka
"Tak ada apa-apa,"
sahut gadis cantik itu, yang membuat Sena bertambah heran, tak mengerti maksud
sebenarnya gadis itu. "Aku hanya ingin tahu, benarkah kau yang bernama
Sena Manggala atau Pendekar Gila?" Pendekar Gila tersenyum cengengesan
sambil kembali menggaruk-garuk kepala, semakin heran dengan tingkah laku gadis
itu
"Aha, memang namaku Sena
Manggala. Ada apa gerangan?" tanya Sena ingin tahu
"Ah, tidak. Terima
kasih," usai berkata begitu gadis cantik berpakaian kuning muda itu
melangkah meninggalkan Pendekar Gila yang semakin bertambah heran. Dirinya
benar-benar tak tahu, mengapa gadis cantik itu hanya ingin tahu namanya, lalu
pergi lagi
"Ah ah ah, dunia ini
semakin aneh..." gumam Pendekar Gila sambil masih cengengesan. Kemudian
digeleng-gelengkan kepalanya, merasa heran melihat tingkah laku gadis tadi.
Dengan masih cengengesan, Sena kembali melanjutkan langkahnya
Mentari semakin condong ke
barat, tapi pagelaran Reog Ponorogo masih berlanjut Penonton bahkan bertambah
banyak berdatangan memadati pelataran depan rumah Warok Gandu Pala. Pagelaran
reog tampak semakin bertambah seru. Warok Gandu Pala berteriak-teriak,
memerintahkan Macan Barong untuk menari dan meliuk-liukkan bulu merah yang
dipanggulnya. Seirama dengan suara gamelan yang terus mengalun. Para penabuh
gamelan pun nampak begitu bersemangat sambil bertepuk tangan menimbulkan irama
khas reog ditingkahi teriakan-teriakan mulut mereka
Cletar "Oe...a Oe...a
Oe...a Cambuk hitam besar di tangan Warok Gandu Pala terus menggelegar,
memecahkan suasana senja
Diikuti liukan-liukan tubuh
Macan Barong dan teriakan-teriakan para penabuh gamelan yang disebut panjak
"Ayo, Barong Tunjukkan kebolehan mu" seru Warok Gandu Pala sambil
memutar cambuk dan menghentak-hentakkan kaki ikut menari. Sementara itu terdengar
pula sorak-sorai dan tepuk tangan para penonton memberi semangat para pemain
reog. Suasana senja benar-benar hanyut dalam kegembiraan
Sementara itu pula, gadis
berpakaian kuning yang tadi memanggil Pendekar Gila, tampak menghampiri Warok
Gandu Pala. Kemudian dengan perlahan gadis itu membisikkan sesuatu pada Warok
Gandu Pala
"Jadi dia Pendekar
Gila...?" tanya Warok Gandu Pala dengan suara setengah berbisik. Di
wajahnya ada gambaran rasa terkejut "Benar, Paman," sahut gadis
cantik itu
"Hm, celaka Bisa
berantakan rencana kita, Sekati." "Apa yang harus kita lakukan,
Paman?" tanya gadis yang ternyata bernama Sekati. Matanya menatap tajam
pada Warok Gandu Pala yang dipanggilnya dengan sebutan paman
Warok Gandu Pala terdiam
sejenak, seolah-olah tengah memikirkan, apa yang hendak dilakukan agar bisa
berhasil rencananya
"Kita singkirkan Pendekar
Gila itu," ujar Warok Gandu Pala setengah mendengus. "Dia akan
mempersulit kita." "Tapi dia bukan orang sembarangan, Paman,"
tukas Sekati "Aku tahu. Maksudku, kita tidak menghadapinya secara
terang-terangan, Kati." "Lalu...?" tanya Sekati ingin tahu
"Lihat saja, nanti
malam" sahut Warok Gandu Pala. Sekati hanya diam, ketika pamannya kembali
masuk ke arena untuk melanjutkan pagelaran itu. Gadis cantik itu menghela napas
panjang-panjang. Kemudian berlalu meninggalkan tempat itu
***
Malam telah datang, membawa kegelapan yang
mencekam. Suasana Desa Ponorogo dan sekitarnya nampak sunyi dan sepi.
Rumah-rumah penduduk telah tertutup rapat, mungkin penghuninya telah terlelap
dalam tidurnya
Dari arah selatan Desa
Ponorogo, muncul sepuluh sosok lelaki yang semuanya bertubuh tinggi tegap dan
berwajah garang. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan berikat kepala kain
hitam pula. Mata mereka menatap garang dan begitu liar mengawasi ke sekeliling
desa yang sunyi dan sepi
"Kita harus hati-hati.
Ingat baik-baik, jika kepergok tak ada pilihan lain kecuali membunuh" ujar
seorang lelaki bermuka persegi dengan rambut gondrong, memperingatkan
rekan-rekannya
"Baik" "Kita
juga harus ingat apa yang diperintahkan kepada kita. Juga tentang tulisan
itu" tambah lelaki berkumis tebal bernama Sumogiri. Dialah pimpinan
kesembilan lelaki berpakaian serba hitam itu
Kesembilan anak buahnya
menanggapi dengan anggukan kepala. Mereka terus melangkah menembus gelap malam
"Kita harus tetap pada
kesepakatan bersama
Bahwa kita harus memilih orang
itu sebagai pimpinan di Ponorogo ini. Jika dia berhasil menjadi lurah, kita
akan jaya," sambung Sumogiri sambil mengurai senyum. "Benar Kalau dia
berhasil menjadi lurah, kita akan bebas berkeliaran. Kita akan jaya dan
disegani seluruh warga Desa Ponorogo," tambah Sumogara, adik dari
Sumogiri. Keduanya menamakan diri dengan julukan 'Sepasang Walet Merah'
"Ayo kita mulai Ingat,
malam ini kita menyatroni Ki Renu Jalna" ujar Sumogiri sambil menggerakkan
tangan, memerintahkan rekan-rekannya agar segera bergerak
Kesepuluh lelaki berpakaian
hitam terus melangkah memasuki Desa Ponorogo. Mata mereka yang tajam, memandang
ke sekelilingnya. Tak lama kemudian kawanan berpakaian hitam itu telah sampai
di depan rumah Ki Renu Jalna
"Mungkin ini
rumahnya," ujar Sumogiri seraya memperhatikan sebuah rumah besar menghadap
selatan. Sumogara dan rekan-rekannya mengangguk. Kemudian melangkah mendekati
pintu depan rumah Ki Renu Jalna, salah seorang yang juga mencalonkan diri
sebagai Lurah Desa Ponorogo
Sumogiri berdiri paling depan.
Matanya mengawasi ke sekeliling rumah yang nampak sepi itu
Sudah merupakan kebiasaan
orang-orang zaman dulu, kalau mau menjadi lurah pasti akan membawa jawara atau
centeng untuk menjaga rumahnya
Namun, Ki Renu Jalna nampaknya
tak melakukan hal itu. Rumah besar itu tampak sepi tanpa penjagaan
Sepertinya Ki Renu Jalna
merasa tenang-tenang saja, tak takut terhadap bahaya yang setiap saat dapat
mengancam jiwa atau kedudukannya sebagai seorang calon lurah
Mungkin karena Ki Renu Jalna
menganggap pemilihan lurah masih cukup lama. Sehingga baginya terlalu dini
untuk mengadakan penjagaan di rumah
Apalagi dirinya sangat
disenangi warga Desa Ponorogo
Tak ada masalah baginya.
Bahkan mungkin Ki Renu Jalna merasa yakin, dialah yang bakal memenangkan
pemilihan lurah. Hal itu karena hampir semua warga mendukung dirinya sebagai
calon lurah. Sementara para saingannya, seperti Ki Randu Paksa, Ki Banjar
Guling, dan Warok Gandu Pala hanya mendapat pendukung sedikit. Nampaknya mereka
tak banyak memiliki harapan untuk menang dalam pemilihan lurah kali ini
Di samping mendapat dukungan
yang besar dari warga Desa Ponorogo, Ki Renu Jalna juga didorong terus oleh
para sesepuh Desa Ponorogo. Di antara sesepuh desa, terdapat tiga warok sakti,
yang cukup ditakuti dan disegani penduduk Ponorogo. Ketiga warok itu adalah
Warok Singa Lodra, Warok Sura Pati, dan Warok Sito Kuta
Tok, tok, tok Sumogiri
mengetuk pintu rumah Ki Renu Jalna. Kemudian memerintahkan rekan-rekannya agar
segera menutupi wajah mereka dengan kain hitam yang telah disiapkan
"Siapa?" dari dalam
terdengar suara Ki Renu Jalna. Kemudian disusul suara langkah-langkah kaki
mendekati pintu depan
"Aku, Ki," sahut Sumogiri
"Aku siapa?" tanya
Ki Renu Jalna
"Aku warga Desa
Ponorogo." "Ada apa, malam-malam begini datang?" tanya Ki Renu
Jalna masih di dalam, belum membukakan pintu. Tampaknya lelaki tua itu sudah
agak curiga, sehingga merasa bimbang untuk membuka pintu rumahnya
"Perlu penting, Ki.
Bukalah pintunya..." pinta Sumogiri, berusaha mempengaruhi Ki Renu Jalna
agar membukakan pintu
Kreeek Pintu terbuka. Saat itu
juga, muncul lelaki setengah baya bertubuh kurus dengan wajah menggambarkan
kesabaran dan ketenangan. Dialah Ki Renu Jalna, calon Lurah Desa Ponorogo
"Siapa kalian?"
bentak Ki Renu Jalna dengan mata membelalak, ketika melihat sosok-sosok
berpakaian hitam dengan wajah setengah tertutup. Dilihat dari sorot mata,
kesepuluh lelaki itu jelas tidak bermaksud baik. Hal itu terbaca jelas dalam
batin Ki Renu Jalna. "Siapa pun kami, yang jelas harus menyingkirkan
mu," dengus Sumogiri sambil mencabut golok lalu mengarahkannya ke depan Ki
Renu Jalna
"He, apa alasannya?"
sentak Ki Renu Jalna sambil mundur dua langkah. Matanya menatap tajam pada
sepuluh lelaki bermata garang yang kini telah masuk ke rumahnya dengan tangan
memegang golok "Kau tak pantas menjadi lurah di Ponorogo," sahut
Sumogiri
Terbelalak mata Ki Renu Jalna,
mendengar ucapan Sumogiri. Sambil menatap tajam wajah lelaki bersenjata golok
di depannya Ki Renu Jalna mendengus, karena tiba-tiba menyadari, bahwa ada di
antara para saingan yang tidak senang kalau dirinya menjadi lurah. "Cuih
Lancang sekali mulut kalian Semua warga Desa Ponorogo menghendaki aku menjadi
lurah" bentak Ki Renu Jalna sengit dengan mata semakin tajam, menatap
penuh kemarahan kepada kesepuluh lelaki berpakaian hitam yang telah berada di
rumahnya
"Hua ha ha... Mereka
boleh saja mempercayaimu untuk menjadi Kepala Desa Ponorogo. Tapi bagi kami,
kau tak ada artinya dan harus disingkirkan," sahut Sumogiri dengan suara
tawanya yang sinis. Matanya semakin tajam, menatap wajah Ki Renu Jalna. Dari
dalam muncul Nyi Tumirah, istri Ki Renu Jalna. Wanita berusia sekitar empat
puluh lima tahun itu kaget mendengar suara ribut di ruang depan. Nyi Tumirah
membeliak, melihat suaminya dalam ancaman orang-orang bercadar hitam. Apalagi
ketika melihat golok-golok tajam di tangan mereka
"Ki, siapa
mereka...?" tanya Nyi Tumirah dengan kening mengerut karena rasa takut,
melihat para lelaki berwajah garang itu. Dihampirinya sang Suami yang tengah
menyurut mundur dengan mata menatap tajam pada kesepuluh lelaki bersenjata
golok yang juga menatapnya
"Entah, Nyi. Mereka
bermaksud jahat terhadap kita," bisik Ki Renu Jalna
"Jangan banyak omong, Ki
Tangkap dia..." perintah Sumogiri sambil memberi isyarat dengan tangan.
Kesepuluh anak buahnya langsung melangkah maju, bermaksud menangkap
"Cuh Jangan seenaknya
kalian bertingkah di rumahku, Bajingan" bentak Ki Renu Jalna geram.
Dicabutnya keris yang terselip di pinggang belakang, kemudian dengan mata
garang menghadang kesepuluh lelaki garang yang hendak menangkapnya
"Ki Renu, Jangan ladeni
mereka Biar kita mengalah, daripada mati, Ki" saran Nyi Tumirah yang semakin
ketakutan, menyaksikan suaminya dalam ancaman maut "Hm, begitu memang
baik, Ki. Turutilah apa kata istrimu Menyerahlah, jangan sampai kami menurunkan
tangan jahat padamu" dengus Sumogiri setengah mengancam. Tangan kirinya
diangkat, memberi isyarat pada rekan-rekannya agar berhenti
Sumogiri kemudian melangkah
maju, mendekati Ki Renu Jalna yang masih menatap tajam wajahnya
Mata lelaki garang itu pun
menghujam ke wajah Ki Renu Jalna
"Kuharap kau menurut, Ki
Di belakang kami, Pendekar Gila. Siapa yang berani dengannya?" ancam
Sumogiri
Mendengar ucapan Sumogiri Ki
Renu Jalna tersentak kaget. Hatinya hampir tak percaya nama Pendekar Gila
disebut sebagai dalang dari tindakan sekawanan berpakaian hitam itu
"Bohong Aku tahu siapa
Pendekar Gila. Dia tak mungkin berteman dengan kalian, Bangsa Bajingan"
dengus Ki Renu Jalna seraya membelalakkan mata garang. Keris di tangannya
ditudingkan ke muka Sumogiri, yang semakin dekat
"Terserah padamu Mau
percaya atau tidak, yang pasti kami diperintah Pendekar Gila untuk
menangkapmu," tegas Sumogiri
Ki Renu Jalna tercengang.
Hatinya benar-benar tak percaya, kalau semua ini tindakan yang dilakukan
Pendekar Gila. Baginya tak masuk akal kalau pendekar yang namanya begitu
tersohor dan sangat disegani itu akan berbuat sekeji ini
"Kuharap kau jangan
melawan, Ki Kalau kau melawan kematianlah yang akan kau dapatkan," ancam
Sumogiri
"Ya Ikutlah kami"
sambung Sumogara
Ki Renu Jalna nampak masih
bimbang. Hatinya antara percaya dan tidak. Bagaimanapun, setahunya Pendekar
Gila tak pernah melakukan hal-hal yang keji
Jangankan menangkap orang
semena-mena, berlaku tak senonoh terhadap orang yang tak salah pun, Pendekar
Gila tak pernah. Namun kini, tiba-tiba ada orang yang mengaku utusan Pendekar
Gila untuk meringkus dirinya. "Benarkah pendekar yang berbudi luhur dan
pembela kebenaran serta keadilan memerintah mereka?" tanya Ki Renu Jalna
dalam hati. "Apa salahku? Hm, kurasa aku tak melakukan kesalahan. Atau
mungkin ini gurauan pendekar itu. Biasanya dia memang suka bercanda."
"Bagaimana, Ki? Apakah kau akan menuruti kata-kata kami?" tanya
Sumogiri mendesak. Ki Renu Jalna tersentak bimbang. Dirinya belum mengerti,
mengapa Pendekar Gila berbuat aneh-aneh, tidak sesuai dengan kebiasaannya
"Jangan terlalu lama
berpikir, Ki Pendekar Gila sudah tak sabar menunggumu" sentak Sumagara
"Kang, ikuti saja"
saran istrinya
"Baiklah, aku ikut
kalian," akhirnya Ki Renu Jalna menurut. Dirinya ingin tahu, apakah benar
Pendekar Gila yang memerintahkan mereka untuk menangkapnya? "Lalu kalau
memang benar, ada maksud apa Pendekar Gila berbuat begitu?" pikir Ki Renu
Jalna masih diliputi kebimbangan
"Hua ha ha... Bagus
Memang itulah yang baik
Bawa dia..." perintah
Sumogiri pada rekan-rekannya yang segera maju menangkap Ki Renu Jalna
"Aku ikut" Nyi Tumirah
memegangi tangan Ki Renu Jalna
"Tak perlu, Nyi Tak lama
aku akan kembali," ujar Ki Renu Jalna
"Tidak, Ki. Aku
ikut" ujar Nyi Tumirah memaksa
"Bawa dia sekalian"
perintah Sumogiri. Para anak buah menurut dan langsung menarik kedua
suami-istri itu. Setelah mengikat tangan serta menutup mata dan mulut Ki Renu
Jalna dan istrinya, mereka segera membawa suami-istri itu meninggalkan rumah
***
2
Kawanan berpakaian serba hitam
di bawah pimpinan Sumogiri terus membawa Ki Renu Jalna dari istrinya. Mulut kedua
suami-istri itu masih disumbat
Tampak kedua suami-istri itu
terus berusaha berontak, karena merasa diperlakukan sewenang-wenang
Namun mereka tak dapat berbuat
banyak, karena di samping tangan terikat, mata, dan mulut keduanya ditutup
rapat Entah akan dibawa ke mana, Ki Renu Jalna dan istrinya tak tahu jalan yang
ditempuh. Yang jelas kawanan yang mengaku diutus Pendekar Gila berjalan ke
selatan, menjauh dari Desa Ponorogo. Setelah cukup lama berjalan mereka sampai
di tengah Hutan Palapiring. Kemudian, tampak gerombolan berpakaian serba hitam
itu berjalan menuju sebuah rumah di tengah hutan. Rumah itu terbuat dari bilik.
Letaknya yang sangat tersembunyi mempersulit orang biasa menemukan rumah
tersebut
"Masuk" terdengar
suara dari dalam rumah
Orang yang berada di dalam
rumah bilik itu sepertinya tahu kalau di luar ada orang
Gret Pintu terbuka. Ki Renu
Jalna dan istrinya belum sempat melihat orang yang berada di dalam, ketika
tubuh mereka telah didorong dari belakang. Keduanya jatuh terjerembab di lantai
tanah. Di hadapan mereka tampak berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi dan
tegap. Pakaiannya serba hitam, dengan ikat kepala mirip blangkon dari kain
hitam. Tampak bibirnya tersenyum sambil mencibir penuh kebencian
"Buka tutup mata
mereka" perintah lelaki itu pada Sumogiri. Pimpinan gerombolan itu pun
segera membuka dengan kasar penyumbat mulut dan mata Ki Renu Jalna
"Hah... Kau?" desis
Ki Renu Jalna, begitu terkejut ketika melihat lelaki yang di depannya ternyata
Warok Gandu Pala
"Hua ha ha... Ya, aku.
Selamat datang di tempatku, Renu Jalna..." sapa Warok Gandu Pala sambil
tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan. Senyum sinis di bibir menyempurnakan
gambaran keangkuhan di wajahnya
"Kau...? Apa
maksudmu...?" tanya Ki Renu Jalna dengan mata terbelalak marah dan heran.
Dirinya merasa telah dibohongi dan diperdaya kesepuluh lelaki yang ternyata
utusan Warok Gandu Pala. Menyaksikan kebingungan Ki Renu Jalna, kesepuluh
lelaki itu tertawa terbahak-bahak
"Hua ha ha... Mengapa kau
tanyakan hal itu, Ki?" Warok Gandu Pala balik bertanya dengan senyum
sinis. "Seharusnya tak perlu kau tanyakan hal itu, karena kau tahu siapa
aku bukan?" "Cuih Iblis keparat Licik..." maki Ki Renu Jalna
dengan sengit, menyadari kenapa dirinya diculik
"Hua ha ha... Memakilah
sepuasmu, Ki Kau boleh mengutukku dengan sesuka hatimu, sebelum masuk ke
penjara bawah tanah. Dengan hilangnya kau dari Ponorogo, maka tak akan ada lagi
yang bisa menghalangiku menjadi lurah. Hua ha ha..." Warok Gandu Pala
tertawa terbahak-bahak bagaikan telah memenangkan pertandingan yang
menggembirakan
Satu saingan berat telah dapat
disingkirkan. Dirinya menganggap Ki Renu Jalna sebagai saingan terberat dan
selalu menjadi penghalang untuk menduduki kursi lurah
"Iblis pengecut
Terkutuklah kau" dengus Ki Renu Jalna sambil mencabut kerisnya. Karena
telah terbebas dari ikatan tangan dan mulut serta mata, dirinya berusaha
melawan. Namun belum sempat tubuhnya bangun, Sumogara telah menendangnya,
Duggg..
"Ukh" Ki Renu Jalna
memekik, tubuhnya kembali jatuh tersungkur mencium tanah
"Iblis Jangan siksa
suamiku" bentak Nyi Tumirah. Wanita setengah baya itu menatap penuh
kebencian pada Sumogara
"Kau tak perlu galak
seperti itu, Nyai Jangan sampai tanganku menampar mulutmu" bentak
Sumogara. "Huh, apa dikira aku takut, Bajingan" bentak Nyi Tumirah
kesal dan marah. Matanya terbelalak menatap tajam wajah Sumogara
"Wanita lancang Kurobek
mulutmu" Sumogara hendak memukul mulut Nyi Tumirah ketika Warok Gandu Pala
mencegah dengan mengangkat tangan kanannya, yang membuat Sumogara menghentikan
niatnya. Lelaki berusia tiga puluh lima tahun, bermuka garang itu menyurut
mundur. Lalu Warok Gandu Pala melangkah mendekati Ki Renu Jalna dan istrinya
"Kini kalian ada dalam
kekuasaanku. Sekali kuperintahkan, anak buahku akan menghabisi nyawa
kalian" tutur Warok Gandu Pala sambil mencibirkan bibir mengejek Ki Renu
Jalna. "Pikirkan baik-baik Kalian kuberi kesempatan hidup, asal bersedia
mendukungku menjadi lurah." "Cuih Lebih baik bunuh saja aku, Warok
Keparat" bentak Ki Renu Jalna bagaikan tak takut sedikit pun menghadapi
ancaman Warok Gandu Pala
"Hm, begitu...?"
tanya Warok Gandu Pala
"Huh Jangan kira kami
takut mati, Warok Sesat Kalau sampai Paman Warok Singo Lodra tahu, kau tak akan
mendapat ampun" dengus Nyi Tumirah sengit. Matanya menatap tajam dan
garang pada wajah Warok Gandu Pala yang tertawa terbahak-bahak "Hua ha
ha... Ki Singo Lodra, tak akan pernah menyangka akulah pelakunya, Nyai. Ki
Singo Lodra, akan menuduh Pendekar Gila pelaku semua ini...," ujar Warok
Gandu Pala sambil tersenyum penuh kemenangan
"Pengecut Fitnah
keji..." dengus Ki Renu Jalna. Matanya kian membara, menatap tajam. Warok
Gandu Pala yang tengah terbahak-bahak "Hua ha ha... Memakilah sesukamu,
karena sebentar lagi kau tak akan dapat memaki lagi" ejek Warok Gandu Pala.
Lelaki gagah itu kemudian menggerakkan kepala memberi perintah kepada anak
buahnya, membawa Ki Renu Jalna pergi dari tempat itu
"Lepaskan..." sentak
Ki Renu Jalna sengit sambil memberontak. Namun kesepuluh anak buah Warok Gandu
Pala tak peduli. Mereka semakin kencang men-cengkeram kedua suami-istri itu,
meskipun terus meronta-ronta
"Lepaskan aku..."
"Jangan melawan" bentak Sumogiri dengan mendengus. Sikutnya
dihentakkan ke tubuh Ki Renu Jalna, yang membuat lelaki setengah baya itu
tersentak lalu sempoyongan dan jatuh berlutut di tanah
"Bangsat Mengapa kau
menyiksa suamiku" dengus Nyi Tumirah dengan mata melotot sengit. Wanita
setengah baya ini pun nampaknya tak merasa takut. "Bunuhlah kami
sekalian" "He he he... Sabar, Nyai Sabar sedikit Kalian memang akan
mati," sahut Warok Gandu Pala dengan senyum mencibir sinis
Mendengar ucapan Warok Gandu
Pala, mata Ki Renu Jalna memerah karena marah. Nafasnya tersengal-sengal
menahan perasaan yang menggelegak di rongga dada
"Pengecut Kita bertarung
satu lawan satu" tantang Ki Renu Jalna dengan garang. Dicabutnya keris
yang terselip di pinggang belakang. Matanya garang menatap tajam wajah Warok
Gandu Pala
Kesepuluh anak buah hendak
meringkus Ki Renu Jalna, tapi Warok Gandu Pala mengisyaratkan agar mereka
membiarkan saja
"Tampaknya kau tak sabar
untuk mati, Ki" ujar Warok Gandu Pala dengan senyum mengejek
Dengan tenang, kakinya
melangkah mendekati Ki Renu Jalna. Matanya yang lebar dan merah menatap tajam
wajah Ki Renu Jalna yang juga membalasnya dengan tajam pula
"Huh Kau kira aku takut
padamu, Warok Keparat" bentak Ki Renu Jalna geram. Keris di tangannya
telah diacungkan ke muka Warok Gandu Pala. Matanya semakin garang, menatap
penuh kebengisan dan marah terhadap Warok Gandu Pala
"Hm, begitu? Lakukanlah
jika kau berani" tantang Warok Gandu Pala
"Kurang ajar Hea..."
Ki Renu Jalna langsung menyerang Warok Gandu Pala dengan tusukan kerisnya ke
dada lawan. Namun hanya dengan menggeser kaki kiri sambil menarik tubuh, Warok
Gandu Pala berhasil mengelakkan serangan
Sementara itu pula dengan
cepat tangannya menghantam punggung Ki Renu Jalna
"Hih" Degk
"Ukh" Ki Renu Jalna terpekik. Tubuhnya sempoyongan, kemudian ambruk
mencium tanah. Hal itu membuat Nyi Tumirah menggeram marah. Dicabut tusuk
kondenya, kemudian sambil mendengus wanita itu bergerak menyerang
"Hea" Nyi Tumirah
menyambar dengan tusuk konde ke tubuh lawan, tetapi dengan cepat Warok Gandu
Pala berkelit. Lalu dengan cepat tangannya menampar wajah wanita itu
Plak "Akh..." pekik
Nyi Tumirah dengan tubuh sempoyongan. Tangannya memegangi pipi yang terkena
tamparan. Wanita itu terjatuh ke samping, "Ki..., kenapa kita harus
begini?" Ki Renu Jalna mendengus marah. Matanya semakin garang menatap
tajam wajah Warok Gandu Pala yang masih tertawa penuh ejekan
"Bagaimana, Ki? Kau masih
ingin meneruskan?" tanya Warok Gandu Pala sambil mencibir penuh
kesombongan. Matanya tak memandang sebelah mata pun kepada Ki Renu Jalna
"Cuh Aku belum
kalah" bentak Ki Renu Jalna
"Hea..." Bagaikan
macan marah kelaparan, Ki Renu Jalna langsung bangkit berdiri. Tangannya yang
menggenggam keris, digerakkan menyabet dan menusuk ke tubuh Warok Gandu Pala.
Namun Warok Gandu Pala dengan tenang sambil tertawa-tawa bergerak mengelakkan
serangan itu. Kemudian tangannya bergerak menangkap tangan Ki Renu Jalna. Lalu
dengan cepat pula ditekuknya ke arah perut lawan
"Hih" Trep Crab
"Akh..." jerit kematian terdengar, ketika keris Ki Renu Jalna
menghujam ke perutnya sendiri. Mata lelaki setengah baya berpakaian adat Jawa
warna putih itu membelalak. Tampak darah segar menyembur
"Ki..." pekik Nyi
Tumirah sambil memburu tubuh suaminya yang sekarat. Kemudian tangannya bergerak
menusukkan tusuk konde ke tubuh Warok Gandu Pala. "Iblis Kubunuh
kau..." Wrt "Eit" Warok Gandu Pala berkelit Kemudian dengan cepat
kaki kanannya menendang ke punggung Nyi Tumirah
Degk "Ukh" Nyi
Tumirah terpekik. Tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, kemudian ambruk
mencium tanah. Namun wanita separo baya itu bagaikan seekor macan betina,
dengan cepat bangun dari jatuhnya. Lalu dengan menggeram marah, tubuhnya
melesat bergerak menyerang. "Kubunuh kau, Warok Iblis Hea..." Wrt Wrt
Tusuk konde di tangan Nyi Tumirah bergerak cepat menusuk dan menyabet ke tubuh
Warok Gandu Pala. Namun dengan cepat dan enteng lelaki berpakaian serba hitam
itu berkelit sambil melancarkan pukulan keras ke tubuh wanita itu
"Hih" Prak
"Akh,.." Nyi Tumirah menjerit keras. Tulang punggungnya dirasakan
remuk terhantam pukulan Warok Gandu Pala. "Kau...? Kau..., Akh..."
Nyi Tumirah pun tergeletak mati dengan mulut melelehkan darah. Matanya melotot
"Seret mayat mereka
Kembalikan ke rumahnya lagi. Ingat, beri tulisan kalau yang melakukan Pendekar
Gila" perintah Warok Gandu Pala
"Baik, Ki," sahut
Sumogiri
Dengan menggerakkan tangan,
Sumogiri memerintahkan pada rekan-rekannya agar menyeret tubuh Ki Renu Jalna
dan istrinya menuju Desa Ponorogo
***
Keesokan harinya, semua warga Desa Ponorogo
gempar. Ki Renu Jalna dan istrinya ditemukan tewas di rumahnya dalam keadaan
mengenaskan. Namun yang lebih membuat semua warga terkejut, adanya tulisan di
samping kedua mayat yang berbunyi: Siapa pun yang berani ikut campur dengan
kematian kedua orang ini. Maka akan berurusan dengan Pendekar Gila
Pendekar Gila
"Kurang ajar Jelas, ini
penghinaan bagi kita" dengus Warok Sura Pati geram. Nafasnya turun naik,
karena didesak kemarahan yang menggelegak. Matanya yang tajam menatap nanar
pada kedua mayat Ki Renu Jalna dan istrinya. "Jelas, ini sebuah tantangan
bagi kita, Ki." Ki Warok Singo Lodra dan Ki Warok Sito Kuta menarik napas dalam-dalam.
Sesaat keduanya saling pandang, kemudian menatap kembali ke wajah Warok Sura
Pati. Sepertinya kedua warok itu belum yakin, kalau kejahatan itu dilakukan
Pendekar Gila
"Kita tak boleh gegabah,
Sura. Aku tahu, siapa Pendekar Gila. Mungkin ini bukan perbuatannya. Ada orang
yang hendak mengadu domba kita dengan Pendekar Gila," tutur Warok Singo
Lodra
"Benar. Kita harus
menyelidiki lebih dahulu," sambung Warok Sito Kuta. Kedua orang tua
berwajah tenang dengan cambang bawuk menghias pipi itu dengan sabar berusaha
menyabarkan Warok Sura Pati
"Tapi, Ki...," ujar
Warok Sura Pati terputus
"Aku tahu maksudmu. Tapi
kau tentu melihat tulisan itu, bukan?" sela Warok Singo Lodra
"Benar, Ki," sahut
Warok Sura Pati. Lelaki kurus, berpakaian abu-abu ini mengangguk-angguk.
Matanya yang cekung menatap Warok Singo
Lodra
Warok Singo Lodra tersenyum
menggelenggelengkan kepala, seakan-akan hendak berusaha menyadarkan rekannya
agar tidak sembarangan berprasangka buruk
"Kau harus ingat, Sura
Sebagai warok, kita merupakan orang-orang yang terhormat. Kita telah dikenal
sebagai orang bijak. Janganlah sembarangan menuduh," tuturnya dengan penuh
wibawa
"Maafkan aku Bukan aku
bermaksud menuduh. Tetapi kejadian ini sungguh di luar pikiran kita,"
gumam Warok Sura Pati sambil membelai-belai jenggot
Lelaki berusia sekitar enam
puluh tahun ini, memang masih ada hubungan kerabat dengan Nyi Tumirah. Sudah
sepantasnya kalau dirinya begitu marah, mengetahui saudaranya terbunuh
"Apa tidak mungkin ada
orang telah memperalat Pendekar Gila?" tanya Warok Sura Pati kembali.
Pikirannya masih diliputi kegelisahan dan berprasangka terhadap Pendekar Gila
Warok Singo Lodra dan Warok
Sito Kuta mengerutkan kening, mendengar pertanyaan itu. Keduanya seakan
berusaha memikirkan hal itu. Sambil mengelus-elus jenggot, keduanya memandang
ke arah lain
"Mungkin juga,"
gumam Warok Sito Kuta dengan kepala manggut-manggut. Matanya yang bulat dan
lebar itu memperhatikan kedua mayat yang di sampingnya tergeletak selembar daun
lontar tertera nama Pendekar Gila
"Kurasa, kita tidak boleh
asal menuduh," tukas Warok Singo Lodra sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tahu persis siapa Pendekar Gila. Dia akan bertindak, jika orang sudah
tak dapat disadarkan dari perbuatan dosanya." "Tapi dia juga manusia,
Ki," sela Warok Sura Pati. "Ya," sambung Warok Sito Kuto
Warok Singo Lodra tersenyum
"Memang, dia manusia
seperti kita. Namun selama ini, kita belum pernah mendengar kalau Pendekar Gila
melakukan perbuatan keji seperti sekarang ini," ujar Warok Singo Lodra
tenang. "Bukannya kita takut menghadapinya. Tetapi yang perlu kita
pikirkan, benarkah dia pelakunya?" Kedua warok rekannya terdiam. Hati
mereka pun sebenarnya masih ragu menjatuhkan tuduhan bahwa Pendekar Gila adalah
pelaku kejahatan ini. Hati mereka masih bertanya-tanya. Untuk apa Pendekar
Gi-la membunuh Renu Jalna dan istrinya? Mungkinkah Ki Renu Jalna mempunyai
kesalahan yang tak dapat diampuni, sehingga Pendekar Gila membunuhnya? Sulit
bagi ketiga warok menjawab pertanyaan itu. Mereka tahu siapa sebenarnya
Pendekar Gila Semua orang pun tahu Pendekar Gila berhaluan lurus
Bah-kan telah mendapat sebutan
Pendekar Penegak Kebenaran dan Keadilan. Namun di lain sisi, kenyataan
membukakan siapa pelaku pembantaian calon lurah itu. Di samping mayat Ki Renu Jalna
dan istrinya, ter-dapat tulisan yang tertera nama Pendekar Gila. Hal itu
sebagai bukti, kalau Pendekar Gila pelaku atau yang mengutus orang membunuh Ki
Renu Jalna
"Kurasa tak mungkin
Pendekar Gila berbuat sepengecut itu. Menyuruh orang untuk membunuh,"
gumam Warok Singo Lodra dalam hati, merasa tak yakin kalau Pendekar Gila pelaku
pembunuhan keji yang menimpa Ki Renu Jalna
"Aku tak percaya, kalau
pendekar yang berbudi luhur itu melakukan kekejian ini" gumam hati Warok
Sito Kuta dengan kepala mengangguk-angguk. "Mungkin ada orang yang hendak
menghancurkan nama baik Pendekar Gila." "Kalau benar Pendekar Gila
yang melakukannya, untuk apa? Kurasa Ki Renu Jalna tak pernah bersengketa
dengan Pendekar Gila," gumam Warok Sura Pati dalam hati. Tampaknya lelaki
tua ini mulai menyadari. Matanya masih memperhatikan dengan teliti kedua mayat
kemenakannya. Keris Ki Renu Jalna, menghujam di perutnya sendiri. Sedangkan Nyi
Tumirah tulang punggungnya remuk, seperti bekas terkena hantaman
"Jelas Ki Renu Jalna dan
Nyi Tumirah menghadapi lawan yang bukan orang sembarangan. Hm..
Siapa sebenarnya dalang
kejahatan ini?" Ketiga warok ini masih terdiam membisu belum mengerti apa
penyebab malapetaka yang menimpa Ki Renu Jalna. Calon kepala desa yang sudah
dipastikan akan menduduki jabatan lurah Ponorogo itu diketemukan mati persis
sepekan menjelang pemilihan lurah. "Lalu apa yang harus kita lakukan
sekarang, Ki?" tanya Warok Sito Kuta pada Warok Singo Lodra, yang dianggap
tertua dan sangat dihormati penduduk dan warok-warok di Desa Ponorogo
Warok Singo Lodra menghela
napas dalamdalam, merasa bimbang dengan apa yang mesti dilakukan. Dirinya belum
tahu cara apa yang harus diperbuat untuk menanggulangi agar kejadian ini tak
terulang pada calon lurah yang lain
"Sebaiknya kita selidiki,
apakah benar semua ini dilakukan Pendekar Gila...?" usul Warok Singo Lodra
dengan diikuti desahan nafasnya yang gelisah. Dirinya tak habis pikir, mengapa
calon kepala desa yang menurutnya baik, diketemukan mati. Sepertinya ada
semacam tindakan yang sengaja merintangi cita-cita Ki Renu Jalna menjadi kepala
desa di Desa Ponorogo
"Baiklah kalau itu cara
yang baik, Ki. Tetapi ki-ta mesti ingat, kalau pemilihan kepala desa hanya ada
waktu tujuh hari lagi," sambut Warok Sura Pati
"Benar. Kurasa, kita mulai
dari sini," tukas Warok Sito Kuta menambahkan, "Jago kita telah mati
Sebaiknya, untuk mengetahui
pelaku yang membunuh Ki Renu Jalna, kita harus menjagokan satu orang
lagi." Warok Singo Lodra sesaat terdiam. Kemudian diangguk-anggukkan
kepalanya, tanda menyetujui apa yang direncanakan kedua rekannya
"Bagaimana, Ki...?"
tanya Warok Sito Kuta
"Pendapat yang
bagus," gumam Warok Singo Lodra seraya membelai-belai jenggotnya yang
panjang
Kepalanya diangguk-anggukkan
dengan bibir mengurai senyum. "Kita akan menjebak pelaku dengan cara
mengangkat calon yang bakal menang. Aku yakin, tentunya si pelaku akan
menyingkirkan jago kita." Kedua warok lainnya manggut-manggut dengan
senyum mengembang di, bibir mereka
***
3
Pagi itu Pendekar Gila tengah
menyelusuri pesisir pantai, sekaligus menikmati udara pagi yang terasa sangat
sejuk. Sejak kemarin, ketika bertemu dengan gadis cantik di tempat pagelaran
Reog Ponorogo, dirinya masih diliputi rasa ketidak mengertian. Pertanyaan gadis
itu sangat aneh. Karena tampaknya hanya ingin meyakinkan kalau dialah Pendekar
Gila
"Ah, aneh Dunia semakin
lama menjadi semakin aneh...," gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk
kepala, merasa tak mengerti dengan semua yang dialami kemarin. Bukan gadis
cantik bergaun kuning saja yang aneh. Baginya Pimpinan Reog Ponorogo pun aneh.
Sang Pimpinan Reog tampak tak suka akan kehadirannya menonton
Pendekar Gila terus melangkah
sambil cengengesan. Matanya memandang ke langit, seakan ada sesuatu yang dicari
di atas sana. Dia terus melangkah, menyelusuri tepian pesisir selatan
Saat itu Pendekar Gila tengah
berada di Desa Wanacaya, berjalan menuju Desa Ngadireja dalam usahanya menuju
tempat Mei Lie berada. Hatinya sudah kangen, ingin bertemu dengan gadis itu,
setelah sekian lama mereka berpisah
"Ah, Mei Lie. Sedang apa
kau di sana?" gumam Pendekar Gila dengan menghela napas dalam-dalam,
ketika kembali teringat Mei Lie. Gadis yang senantiasa berada di dalam hati,
meski kini jauh di mata
Sebuah pohon kelapa yang telah
tumbang, melintang di hadapan Pendekar Gila. Nampaknya pohon itu rapuh dimakan
usia, atau mungkin karena dihempaskan angin kencang. Tampak akar-akarnya turut
ter-cabut ke atas
Sena seketika berkeinginan
untuk duduk di atas pohon yang tumbang itu. Kakinya segera mempercepat langkah kemudian
duduk di batang pohon itu. Kemudian diambilnya Suling Naga Sakti dan ditiupnya
dengan lembut, mengalunkan suara yang merdu. Pendekar Gila terus meniup Suling
Naga Saktinya, seolah-olah hendak mencurahkan perasaan rindu pada sang Gadis
yang jauh di mata. Suara suling yang mendayu, seakan-akan membuat alam
sekelilingnya seketika berubah sendu. Burung-burung yang semula bernyanyi
riang, tiba-tiba diam. Seakan-akan turut merasakan kerinduan yang dialami
Pendekar Gila
Angin pagi bertiap lembut,
turut mengiringi alunan suling. Debur ombak laut selatan yang biasanya besar,
seketika mereda. Yang ada hanya riakriak kecil, menghempaskan busa putih ke
tepi pantai
Pendekar Gila masih menikmati
tiupan sulingnya, ketika matanya melihat dua sosok bayangan berkelebat melintas
di hadapannya. Kedua sosok bayangan itu ternyata sepasang muda-mudi yang tengah
bercanda ria sambil berkejaran. Sebenarnya bukan karena keduanya tengah asyik
memadu kasih yang membuat mata Pendekar Gila terbelalak, melainkan karena
melihat gadis itu. Dirinya hampir tak percaya dengan yang dilihat. Seketika
dihentikan tiupan sulingnya. "Hai, bukankah itu gadis yang kemarin
mene-gurku?" gumam Sena dengan kening berkerut, berusaha mengingat-ingat
gadis cantik berpakaian kuning itu
Gadis cantik bertubuh semampai
yang tiada lain Sekati tampak semakin menunjukkan kemesraannya ketika melihat
Pendekar Gila memandang mereka
Sekati seakan-akan bermaksud
menggoda, agar pemuda tampan bertingkah laku seperti orang gila itu
memperhatikan dirinya yang sedang bermesraan dengan pemudanya
"Hi hi hi... Ah ah ah,
mengapa kalian berpacaran di tempat seperti ini?" tanya Pendekar Gila
sambil memain-mainkan sulingnya sebelum dimasukkan ke balik ikat pinggang.
Kemudian dengan menggelenggelengkan kepala, dirinya turun dari batang kelapa
"Hi hi hi... Kau ingin,
Pendekar Gila?" tanya Sekati sambil mempererat pelukannya di pinggang
pemuda berkumis tipis di hadapannya. Wajah pemuda bertubuh tegap itu tersenyum
memandang wajah Pendekar Gila, seakan hendak mengejek
Melihat tingkah kedua sejoli
itu Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian digeleng-gelengkan kepala, seolah-olah merasa lucu dengan apa yang
dilihatnya
"Ah ah ah, mengapa aku
harus ingin? Hi hi hi... Lucu sekali kalian" gumam Pendekar Gila seraya
melangkah, hendak meninggalkan tempat itu. Tetapi Sekati segera mengejarnya
"Pendekar Gila,
tunggu..." "Ahe, mengapa kau memanggilku, Nisanak? Bukankah kau akan
bermesraan? Ah ah ah, kurasa tak enak orang berpacaran harus diganggu, bukan...?"
tanya Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang konyol. Mulutnya cengengesan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala
"Kau tak ingin berduaan
denganku...?" rayu Sekati sambil melangkah mendekati Pendekar Gila
Kemudian dengan nakal
tangannya membelai janggut Pendekar Gila. Matanya yang lentik, menatap tajam
wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala
"Aha, kurasa kau salah,
Nisanak. Aku tak seperti pemudamu itu," tukas Pendekar Gila sambil menepis
tangan Sekati yang hendak menggayut di lehernya. "Aha, aku pamit, karena
harus pergi. Kurasa kalau aku di sini terus, kenikmatan kalian akan
tergang-gu." Dengan cengengesan sambil menggelenggelengkan kepala Pendekar
Gila melangkah meninggalkan tempat itu. Namun, tiba-tiba sesosok tubuh
berkelebat menghadang langkahnya. Ternyata pemuda tampan berkumis tipis kekasih
Sekati. Pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu, tersenyum sinis. Dan
matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila
"Jangan seenaknya saja
kau pergi, Pendekar Gila..." bentak Caraka Wanda dengan tatapan tajam,
sepertinya hendak menghunjam dada Pendekar Gila
"Aha, bukankah tadi aku
pamit?" Sena balik bertanya. Tingkah lakunya masih seperti orang gila
Mulutnya cengengesan, tapi
matanya memandang ke langit yang biru. Seakan-akan tak peduli dengan pemuda di
hadapannya
"Aku tak peduli dengan
pamitmu. Kalau aku tak mengizinkan yang jelas kau tak akan bisa pergi"
ancam Caraka Wanda tegas
"Hua ha ha... Lucu sekali
kau, Ki Sanak Kau bukan penguasa di sini. Mengapa kau berlagak seperti
penguasa? Ah ah ah, tingkahmu malah seperti seekor tikus sawah, Ki Sanak. Hi hi
hi..." Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggeleng-gelengkan kepala
dengan tangan kanan menutupi mulutnya yang tertawa-tawa. Hal itu membuat Caraka
Wanda mendengus sengit. Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila penuh api
amarah
"Pendekar Gila, rupanya
kau belum tahu siapa aku?" bentak Caraka Wanda sengit
"Hi hi hi... Bukankah kau
tikus sawah itu, Ki Sanak? Masih kau bertanya. Hi hi hi... Lucu sekali
kau," ejek Pendekar Gila dengan cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk
kepala, kemudian mulutnya dimonyongkan mengejek Caraka Wanda
"Kurang ajar Sombong kau,
Pendekar Gila" bentak Caraka Wanda sengit. Matanya semakin tajam menatap
penuh kebencian pada Pendekar Gila yang masih cengar-cengir seperti kera.
"Meski namamu tersohor. Tetapi Caraka Wanda, anak Warok Sito Kuta tak akan
takut padamu" Mendengar nama Warok Sito Kuta disebut, Pendekar Gila
bukannya takut. Tetapi justru terbahak-bahak tawanya sambil berjingkrakan
seperti kera
Tangannya menggaruk-garuk
kepala. Mulutnya nyengir, matanya memandang ke atas. Seolah ada yang menarik
perhatian di atas sana
"Hua ha ha... Sungguh tak
pantas. Tak pantas sekali. Anak seorang warok, bertingkah seperti cecurut bau. Ah...,
bahkan seperti tikus sawah" ujar Pendekar Gila dengan kepala
menggeleng-geleng
Semakin geram Caraka Wanda
mendengar ucapan Pendekar Gila. Nafasnya mendengus keras. Matanya memandang
tajam tak berkedip, seakan hendak menusuk jantung Pendekar Gila. Sementara itu
Sekati hanya tersenyum-senyum, menyaksikan dua pemuda tampan saling bertengkar.
Gadis cantik itu merasa senang menyaksikan pertengkaran keduanya. Dirinya
merasa jadi rebutan kedua pemuda itu
"Kurang ajar Kau berani
menghina ayahku, Pendekar Gila" dengus Caraka Wanda
Pendekar Gila semakin tertawa
terbahak-bahak dengan kepala menggeleng-geleng mendengar ucapan Caraka Wanda.
Sambil cengengesan tangannya menggaruk-garuk kepala. Dihelanya napas
dalam-dalam, seakan-akan berusaha menenangkan perasaan
"Ah ah ah... Pintar
sekali kau berkata, Ki Sanak. Kaulah yang menghina persatuan warok, karena kau
anak warok, tetapi tingkah lakumu tak mencerminkan sifat ksatria...,"
tutur Pendekar Gila masih dengan cengengesan dan kepala menggeleng-geleng
Sepertinya dirinya tak habis
pikir, kenapa anak seorang warok yang disegani dan dihormati bertingkah la-ku
seperti Caraka Wanda
"Cuih Jangan banyak
omong, Pendekar Gila" bentak Caraka Wanda sambil membuang ludah ke tanah.
Matanya masih menatap garang ke wajah Pendekar Gila. "Jangan bawa-bawa
ayahku" Pendekar Gila kembali tertawa terbahak-bahak sambil
menggeleng-gelengkan kepala, mendengar ucapan Caraka Wanda
"Hua ha ha... Lucu sekali
kau, Ki Sanak Bukankah yang membawa-bawa ayahmu kau sendiri? Ah, dasar tikus
pikun," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan masih
menggaruk-garuk kepala. Mendengar ucapan itu tentu saja Caraka Wanda bertambah
marah
"Kurang ajar Kau harus
dihajar, Pendekar Gila" "Sudahlah, mengapa kalian mesti
bertengkar...?" Sekati dengan bibir mengurai senyum, berusaha mencegah
keduanya agar tidak bertengkar
"Tapi dia perlu dihajar,
Sekati," sahut Caraka Wanda. Matanya masih menatap garang pada Pendekar
Gila yang masih cengengesan sambil mendongak ke atas. Tingkahnya sangat konyol
dan lucu. Namun, bagi Caraka Wanda yang sudah marah, tingkah laku Pendekar Gila
justru membuatnya bertambah marah
"Sudahlah, Caraka Toh dia
tak bermaksud jahat terhadap kita," ujar Sekati dengan bibir mengurai
senyum pada Pendekar Gila yang masih cengengesan
Namun pandangan Pendekar Gila
tetap mengarah ke langit, dengan tangan menggaruk-garuk kepala
Caraka Wanda hanya mendengus,
kemudian dengan sinis meninggalkan tempat itu diikuti Sekati
Pendekar Gila hanya mampu
menggeleng-gelengkan kepala, merasa heran melihat tingkah laku Caraka Wanda
yang aneh. Tak ada angin dan tak ada hujan, pemuda berkumis tipis itu tiba-tiba
memusuhinya
"Ah ah ah... dunia ini
semakin lucu Manusia kian aneh. Tak ada sebab pasti tiba-tiba memusuhi orang
lain. Hanya masalah cemburu. Hi hi hi..." Pendekar Gila
menggeleng-gelengkan kepala sambil cengengesan. Kemudian dilangkahkan kakinya,
berlalu meninggalkan pesisir itu ke arah timur
Sepeninggal Pendekar Gila,
Sekati nampak masih memperhatikan ke mana pendekar itu pergi
"Ingat, kita harus terus
mengikutinya," ujar Sekati pada Caraka Wanda
"Ya Kita memang harus
mengikutinya," sahut Caraka Wanda
"Ayo" ajak Sekati
Keduanya segera berlalu
meninggalkan pesisir, untuk mengikuti Pendekar Gila. Tujuan mereka hendak
membuktikan kalau Pendekar Gila benar-benar tidak ke Ponorogo lagi
***
Pendekar Gila masih melangkah, menyusuri
jalanan di Desa Gemeng, yang terletak di sebelah utara Desa Ngadirejo. Siang
yang panas, cahaya matahari memanggang bumi, sehingga beberapa kali Pendekar
Gila harus meniup nafasnya untuk menghilangkan rasa panasnya. Mulutnya masih
cengengesan, dengan tangan mengorek kuping yang sebelah kanan
"Ah, panas sekali siang
ini" gumam Pendekar Gila sambil mengorek telinga dengan bulu burung yang
memang senantiasa dia selipkan di ikat pinggang sebelah kanan. Karena di ikat
pinggang sebelah kiri, terselip Suling Naga Sakti
Pendekar Gila terus melangkah,
untuk mencari sebuah kedai. Siang itu perutnya terasa sangat lapar, minta
diisi. Akhirnya sampai di sebuah kedai yang saat itu nampak masih sepi. Padahal
biasanya di siang hari kedai banyak pengunjungnya. Seorang lelaki tua
terbungkuk-bungkuk sedang menata meja dan kursikursinya. Nampak susah-payah
sekali orang tua itu menata meja kursinya. Hal itu membuat Pendekar Gila merasa
iba melihatnya
"Aha, bolehkah saya
bantu, Pak?" tanya Pendekar Gila menawarkan jasa. Suara itu mengejutkan
lelaki tua itu, sehingga segera berhenti dari pekerjaannya. Matanya menatap
tajam wajah Pendekar Gila
Perlahan mata tua itu menyipit
seakan hendak mempertegas pandangannya yang sudah agak kabur
"Siapakah engkau, Anak
Muda?" tanya Pak Tua itu dengan suaranya yang berat. Lelaki berusia tujuh
puluh tahunan itu, nampak masih memperhatikan Pendekar Gila dengan seksama
"Aha, siapa diriku, itu
tak penting, Ki. Yang jelas aku ingin sekali menolongmu, kalau boleh,"
kata Pendekar Gila sambil mengorek telinganya dengan bulu burung. Mulutnya
masih cengengesan, dengan mata memandang ke langit "Benarkah kau mau
menolongku, Anak Muda?" "Aha, kau nampak masih ragu, Ki. Lucu
sekali... Tapi, aku memang ingin menolongmu," ujar Pendekar Gila sambil
menyelipkan bulu burung ke ikat pinggangnya. Kemudian dengan cengengesan,
kakinya melangkah masuk, mendekati orang tua pemilik kedai
"Kau ingin kubayar, Anak
Muda?" "Hi hi hi... Lucu sekali kau, Ki. Ah ah ah, mana mungkin aku
tega meminta bayaran padamu? Kedaimu saja masih sepi. Sudahlah, aku ingin
menata kursi-kursi ini. Setelah itu, tolong ambilkan sapu." Tanpa menunggu
Pak Tua itu berkata, Pendekar Gila langsung bekerja dengan cepat. Tubuhnya
berkelebat dengan tangan bergerak cepat bekerja. Dalam beberapa saat saja semua
kursi panjang dan mejameja telah tertata rapi
Pak Tua pemilik kedai
membeliakkan mata, menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah laku seperti orang
gila itu bekerja. Hatinya hampir tak percaya, menyaksikan Pendekar Gila bekerja
dengan cepat. Seakan tubuhnya terdiri dari puluhan orang, yang seketika
bergerak bersama menata ruangan kedai. Sehingga dalam sekejap saja ruangan
kedai sudah rapi
"Ck ck ck... Benarkah apa
yang kulihat?" terdengar decak kagum dari mulut pemilik kedai, menyaksikan
cara kerja Pendekar Gila yang sangat cepat itu. "Siapa sebenarnya pemuda
ini? Silumankah...?" "Aha, mengapa masih diam, Ki? Cepat ambilkan
sapu, biar kusapu tempat ini. Ah, pantas kalau kedai ini tak ada yang
mengunjungi. Hi hi hi... kotor sekali Seperti pasar saja, Ki," gumam
Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir tersenyumsenyum,
menyaksikan keadaan kedai yang kotor sekali. Sampah berserakan di sana-sini
"Eh, tunggu
sebentar" dengan tertatih-tatih dan terbungkuk-bungkuk Pak Tua segera
meninggalkan ruangan kedai, untuk mencari sapu lidi. Tidak begitu lama
kemudian, Pak Tua telah kembali membawa sapu lidi yang diminta Pendekar Gila
"Aha, terima kasih,
Ki." Sena kembali tak banyak kata. Sambil bernyanyi-nyanyi sesuka hati,
tangannya langsung bekerja membersihkan seluruh ruangan kedai. Bahkan sampai ke
balai-balai dan sisi kanan kiri kedai yang juga kotor. Dikumpulkan sampah itu
di belakang kedai, kemudian dibakarnya
"Ck ck ck... Kalau
begitu, dia bukan pemuda gila sembarangan. Sayang sekali dia gila" gumam
Pak Tua itu sambil menggeleng-gelengkan kepala, menyaksikan cara kerja Pendekar
Gila
"Hi hi hi... Bagaimana,
Ki Bukankah kalau bersih seperti ini sangat enak dipandang? Aha, kurasa nanti
banyak orang yang datang," ujar Pendekar Gila sambil cengengesan dan
menggaruk-garuk kepala. Di-taruhnya sapu di sudut ruangan kedai, kemudian
dengan masih cengengesan segera duduk di sebuah bangku. Tingkah lakunya yang
persis orang gila, membuat Pak Tua pemilik kedai menggeleng-gelengkan kepala
merasa heran
Pak Tua pemilik kedai
melangkah menghampiri Sena. Matanya yang tertutup alis mata putih panjang,
memperhatikan Pendekar Gila yang cengengesan duduk tenang sambil menggaruk-garuk
kepala
"Kau tentu lapar, Anak
Muda?" tanya Pak Tua
"Aha, kau benar, Ki.
Apakah kau sudah memasak..?" tanya Pendekar Gila
Wajah Pak Tua itu seketika
berubah sedih, mendengar pertanyaan tamunya. Ada penderitaan yang menggurat di
wajah tuanya. Hal itu membuat Pendekar Gila mengerutkan kening. Lalu, tangannya
kembali menggaruk-garuk kepala
"Ah ah ah, maafkan
kelancanganku, Ki Tak kusangka, kalau pertanyaanku akan membuatmu sedih,"
ujar Pendekar Gila sambil menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap tajam
wajah Pak Tua yang kini nampak mengibakan
"Oh, tidak apa-apa.
Hanya...," Pak Tua pemilik kedai tak meneruskan ucapannya. Sepertinya ada
ke-raguan yang menekan jiwanya. Wajahnya pun tampak bertambah muram, dan
semakin menunjukkan kesedihan. Pendekar Gila merasa tambah heran, menyaksikan
wajah Pak Tua yang semakin murung. Diperhatikannya dengan seksama wajah pemilik
kedai seakan ingin menyelami jiwanya. Ingin tahu, apa yang menyebabkan lelaki
tua itu ragu untuk menuturkan sesuatu padanya
"Aha, kau sepertinya
menyimpan sesuatu, Ki? Katakanlah, tak usah kau ragu Mungkin aku bisa
menolongmu," pinta Sena sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan mulut
nyengir kuda
Pak Tua itu terdiam. Dihelanya
napas dalamdalam. Sepertinya ada yang masih mengganjal dalam batin. Matanya
menatap ke sekeliling kedai. Seakanakan ada yang dikhawatirkan kalau ada yang
mendengarnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin mengerutkan kening, tak
tahu apa yang membuat Pak Tua itu ketakutan
"Hi hi hi... Kau seperti
ketakutan, Ki. Ah ah ah, ada apa gerangan, Ki?" tanya Sena semakin
penasaran, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga, pemilik kedai itu
tampak begitu ketakutan untuk menceritakan
Diam-diam Pendekar Gila
mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Namun tak dilihatnya
seorang manusia pun yang patut dicurigai
Memang banyak orang yang
lalu-lalang di depan kedai, tetapi tak ada orang yang perlu dicurigai
"Aneh Pak Tua ini. Dia
seperti ketakutan. Siapa yang ditakutkan olehnya?" tanya Pendekar Gila
dalam hati. Dirinya belum mengerti mengapa pemilik kedai itu tampak ketakutan.
Kembali matanya mengawasi ke sekeliling kedai, tapi tetap tak melihat hal yang
mencurigakan
"Aha, tak ada yang perlu
kau takutkan. Mengapa kau mesti cemas, Ki...?" tanya Pendekar Gila dengan
mulut nyengir sambil menggaruk-garuk kepala
"Bukan hanya aku yang
takut, Anak Muda
Hampir semua penduduk Desa
Ngadireja ini, setiap purnama dicekam rasa takut. Itu pula yang membuatku tak
memasak untuk jualan," tutur pemilik kedai
Mendengar penuturan itu
Pendekar Gila mengerutkan kening
"Kenapa begitu, Ki?"
tanya Pendekar Gila
"Panggil saja namaku yang
tua renta ini, Lampit," sela lelaki tua yang ternyata bernama Lampit
dengan menghela napas dalam-dalam. Matanya masih mengawasi dengan cemas ke
sekelilingnya. Seolah-olah masih ada yang ditakutkan. Entah apa yang membuat Ki
Lampit ketakutan, bagaikan ada mata-mata yang mengintainya
"Ah, baiklah Ki Lampit.
Sebenarnya ada apa di desa ini?" tanya Sena semakin ingin tahu
Ki Lampit tak langsung menjawab.
Kembali dia menghela napas dalam-dalam. Seakan orang tua itu tengah memikul
beban penderitaan yang sangat berat
Kemudian dengan lirih dan
suara berat, Ki Lampit menceritakan apa yang sebenarnya menimpa Desa Ngadireja
ini
"Kejadian ini, terjadi
tiga purnama yang lalu...," tutur Ki Lampit membuka cerita. Sementara Sena
mendengarkan dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. "Bermula
dengan gegernya kabar akan diadakan pemilihan Kepala Desa Ponorogo."
Pendekar Gila mengerutkan kening menggarukgaruk kepala. Namun pikirannya nampak
mulai memperhatikan dengan seksama apa yang bakal diceritakan Ki Lampit
"Ki Lurah Ponorogo suatu
hari diketemukan mati. Di dadanya, tertembus sebatang tombak. Entah siapa yang
membunuh Ki Lurah Pandarsuna. Menurut kabar, Pendekar Gila yang membunuhnya.
Hal itu membuat warok di Desa Ponorogo berusaha menyelidikinya. Antara para
warok itu terjadi pertengkaran sengit. Sebagian berpendapat kalau Pendekar Gila
yang melakukannya. Sebagian lagi menentangnya." Pendekar Gila tersentak
kaget mendengar cerita Ki Lampit
"Aneh... lucu sekali
Semua orang sudah gila
Mengapa aku menjadi sasaran
fitnah keji itu?" gumam Pendekar Gila dalam hati sambil
menggeleng-gelengkan kepala
"Lalu apa yang kemudian
terjadi, Ki?" tanya Pendekar Gila semakin ingin tahu
"Akhirnya berkat
kecerdikan Warok Singo Lodra, pelaku dapat ditangkap. Tetapi pelaku mengaku
kalau dia diutus Pendekar Gila untuk membunuh Ki Lurah." "Atas dasar
apa...?" tanya Pendekar Gila dengan kening berkerut
"Entahlah. Yang jelas,
masalahnya kabur lalu tak terdengar lagi. Tetapi akhir-akhir ini, gerombolan
anak buah Pendekar Gila menjarah di desa ini," tutur Ki Lampit
"Gerombolan Pendekar
Gila?" tanya Pendekar Gila kaget dengan mata membeliak
"Ya" sahut Ki
Lampit, "Kau kenal, Anak Muda?" Dengan cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila menggelengkan kepala. Hatinya benar-benar
marah, merasa nama baiknya telah dicemar. "Kurang ajar Hm, siapakah yang
telah berani memfitnahku?" gumam Pendekar Gila dalam hati. Dirinya tak
habis pikir, mengapa julukannya dijadikan alat penakut bagi warga desa.
"Hi hi hi... Dunia ini semakin gila. Nama gelar seseorang dijadikan alat
penakut. Lucu sekali..." Lelaki tua pemilik kedai diam. Matanya menatap
tajam Pendekar Gila yang tampak cengengesan dan cekikikan sendiri
"Aha, jadi kau takut
dengan gerombolan tengik yang mengaku anak buah Pendekar Gila, Ki?" tanya
Pendekar Gila. Hatinya masih penasaran ingin tahu apa alasan warga Desa
Ngadireja menakuti gerombolan itu
"Anak Muda, sebenarnya
kami tak takut terhadap gerombolan itu. Yang kami takutkan, kalau-kalau
pemimpin mereka, Pendekar Gila datang. Tentunya kau pun yang sama-sama gila
tahu, siapa Pendekar Gila sebenarnya. Pendekar yang cukup disegani kawan maupun
lawan." Pendekar Gila tertawa cekikikan, mendengar penuturan Ki Lampit.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. "Ah ah ah, aku semakin tertarik, ingin
tahu seperti apa tampang anak buah Pendekar Gila," gumam Pendekar Gila
sambil masih menunjukkan tingkahnya yang seperti orang gila, "Bolehkah aku
ikut menginap di kedaimu, Ki?" "Kau seperti bukan pemuda sembarangan.
Dan kau seperti orang gila yang juga bukan sembarangan
Siapa kau sebenarnya, Anak
Muda?" tanya Ki Lampit dengan kening berkerut, serta mata menyipit
memandang wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan
"Hi hi hi... Bukankah
sudah kukatakan, siapa diriku tidak penting. Yang jelas, aku ingin melihat
seperti apa kecoa-kecoa busuk yang mengaku anak buah Pendekar Gila," kata
Pendekar Gila dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala
"Baiklah, Anak Muda. Aku
pun tak menolak
Kau boleh istirahat di
kedaiku," jawab Ki Lampit "Aha, terima kasih, Ki Berapa satu malam
harus kubayar?" "Tidak usah, Anak Muda. Aku senang, kalau kau mau
menginap di kedai buruk ini," kata Ki Lampit "Aha, terima kasih Kalau
begitu, biarlah aku akan memasak nasi untuk kau jual. Kebetulan sekali, aku pun
bisa memasak." Ki Lampit tersenyum senang, mendengar ucapan pemuda yang
mirip orang gila itu. Pendekar Gila, langsung memasak nasi dan lauk-pauknya
Begitu cepat tangannya bekerja. Dalam sekejap saja, semua telah selesai
***
4
Malam datang menggantikan
siang. Sinar matahari yang semula menyinari bumi, telah menghilang di ufuk
barat Kegelapan pun datang menyelimuti bumi, membuat suasana Desa Ponorogo
nampak sepi
Namun di antara kesepian itu.
Ada empat rumah yang masih nampak ramai dan terang-benderang
Mereka masih banyak menerima
tamu sehubungan dengan pemilihan lurah pekan depan. Keempat rumah itu tak lain
rumah Warok Gandu Pala, Ki Renda Paksa, Ki Banjar Guling, dan Ki Jali. Nama
terakhir ini yang menggantikan Ki Renu Jalna sebagai calon lurah. Dirinya
merupakan calon yang dijagokan oleh Tiga Warok Bercambuk Sakti, sesepuh Desa
Ponorogo. Hal itu dilakukan, untuk menjebak pelaku pembunuhan terhadap Ki Renu
Jalna
Rumah Ki Jali dijaga ketat
beberapa jawara, hal itu dimaksudkan agar kejadian yang dialami Ki Renu Jalna
tidak terulang lagi. Para tamu yang berkunjung ke rumah calon kepala desa ini
pun nampak banyak, melebihi calon lurah lain
Sementara itu di rumah Warok
Gandu Pala, juga diselenggarakan suatu jamuan untuk mengundang orang-orang yang
mendukung dirinya. Banyak juga orang yang datang. Namun kebanyakan hanya
berpura-pura, karena sebenarnya mereka sebenarnya para kepeng, dari Ki Jali
Warok Gandu Pala malam itu
kedatangan Tiga Warok Bercambuk Sakti. Mereka tak lain Warok Singo Lodra, Warok
Sura Pati, dan Warok Sito Kuta. Sebagai sesama warok, mereka memang masih ada
ikatan. Sehingga tak akan berusaha memecahkan satu sama lain. Juga tak mau
saling menyingkirkan, walaupun sebenarnya mereka bertiga tak suka dengan Warok
Gandu Pala
"O, sungguh suatu
penghormatan besar, kalian sudi datang ke rumahku" ujar Warok Gandu Pala,
ketika menyambut ketiga rekannya sesama warok. Di bibirnya mengurai senyum,
meski di dalam hati terpendam kebencian
"Ah, rupanya Kakang Warok
yang datang," Nyai Rukimah, istri Warok Gandu Pala turut menyambut
kedatangan ketiga tamu, yang dianggap sebagai saudara tua dari suaminya. Di
situlah letak ikatan para warok. Mereka menganggap satu sama lain masih ada
ikatan kekerabatan
"Ah, bisa saja Dimas dan
Diajeng. Bukankah setiap saat kita sering bertemu?" sela Warok Singo Lodra
dengan bibir tersenyum ramah, setelah memberi penghormatan pada tuan rumah
"Benar apa dikatakan Ki
Singo. Bukankah setiap saat kita memang sering bertemu?" sambung Warok
Sura Pati juga dengan tersenyum, berusaha menunjukkan rasa gembira, karena bisa
memberikan sedikit arti bagi sesama warok
Semua tertawa lepas, seperti
tak memikul beban pikiran. Keakraban tergambar saat itu, meski dalam hati Warok
Gandu Pala, warok yang paling muda di antara mereka, tersimpan dendam dan
perasaan benci terhadap ketiga warok lainnya
Warok Gandu Pala tahu kalau,
ketiga warok itu sebenarnya tidak menjagokan diri. Bahkan mereka berusaha
menghalangi niatnya untuk menjadi Kepala Desa Ponorogo. Padahal mereka bertiga
merupakan tokoh yang banyak pengikutnya. Mereka dihormati dan disegani sebagai
sesepuh Desa Ponorogo. Berbeda dengannya yang hanya pimpinan perkumpulan Reog
Ponorogo. Perasaan rendah diri itulah yang membuat Warok Gandu Pala semakin
berambisi menjadi kepala desa. Padahal ketiga warok yang juga dianggap sesepuh
desa itu tidak pernah menaruh curiga seperti itu. Ketiganya menganggap Warok
Gandu Pala sama dengan mereka. Tak ada rasa saling merendahkan satu sama lain
"Silakan duduk, Kakang
Warok" ajak Warok Gandu Pala mempersilakan ketiga tamunya untuk mengambil
tempat duduk yang telah disiapkan
"Ah, terima kasih,"
sahut ketiganya. Kemudian mereka duduk, ditemani tuan rumah, Warok Gandu Pala.
"Sungguhkah engkau ingin menjadi kepala de-sa, Adi Gandu Pala?" tanya
Warok Singo Lodra setelah duduk. Matanya menatap dengan tersenyum pada Warok
Gandu Pala, yang juga tersenyum-senyum
"Begitulah, Kakang
Singo." "Hm," gumam Warok Singo Lodra tak jelas. Kemudian
dihelanya napas dalam-dalam, seakan hendak membuang kegelisahan
"Apakah ini menyalahi
aturan, Kakang?" tanya Warok Gandu Pala dengan mata menatap tajam pada
Warok Singo Lodra yang tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala
"Tidak, Adi Gandu. Tetapi,
apakah tidak ada niat yang lain? Misalnya mendirikan padepokan...?" tanya
Warok Singo Lodra
"Benar, Adi Gandu.
Mungkin dengan mendirikan padepokan, bisa membuatmu akan merasa tenang,"
tambah Warok Sito Kuta
"Apakah Kakang-Kakang
Warok melihat, selama ini aku tak tenang...?" tanya Warok Gandu Pala
dengan kening mengerut, mendengar ucapan Warok Sito Kuta. "Kurasa selama
ini aku pun tenang, Kakang Sito. Hanya saja, ingin sekali aku bisa memberikan
arti bagi Desa Ponorogo. Aku ingin Ponorogo yang kita cin-tai ini, maju dan
bisa terpandang. Bahkan kalau mungkin, bisa menjadi sebuah ketemanggungan"
Ketiga warok itu saling pandang, mendengar cita-cita Warok Gandu Pala yang
terlalu tinggi bagi mereka. Belum juga dirinya jadi kepala desa di Ponorogo, sudah
berkhayal setinggi langit "Gandu Pala, janganlah suka menjadi pungguk yang
merindukan bulan Kalau memang tercapai citacitamu, kami akan merasa senang.
Tetapi jika gagal, kami takut kau akan kecewa," tutur Warok Singo Lodra
dengan bijaksana. "Kalau hanya kecewa dan dapat kau kendalikan, itu tak
menjadi masalah. Yang kuta-kutkan, kau akan melampiaskan kekecewaanmu dalam
kesesatan. Itu yang tidak kami harapkan. Kau tahu kita sebagai warok. Orang
yang menjadi panutan bagi warga. Kau harus ingat itu, Gandu Pala."
"Aku akan selalu ingat, Kakang Singo. Tadi aku hanya berkhayal," ujar
Warok Gandu Pala disertai senyum. "Ah, silakan dicicipi makanannya."
"Terima kasih." Ketiga warok itu pun segera mencicipi makanan yang
dihidangkan Nyi Rakimah
"Hm, lezat sekali, Gandu.
Siapa yang membuat..?" tanya Warok Singo Lodra sambil mengangguk-anggukkan
kepala, merasa nikmatnya makanan yang dihidangkan Warok Gandu Pala
"Adikmu Rakimah,
Kakang," jawab Warok Gandu Pala
"Diajeng Rakimah pintar
juga memasak," selo-roh Warok Sito Kuta yang membuat Nyi Rakimah
tersenyum-senyum. Matanya memandang wajah suaminya yang juga tersenyum
"Bukan aku saja yang
membuat, Kakang Sito
Tetapi anak Kakang Singo Lodra
pun turut serta," kata Nyi Rakimah
"Sekati di sini...?"
tanya Warok Singo Lodra dengan kening mengerut
"Benar, Kakang,"
jawab Warok Gandu Pala, "Juga Caraka Wanda, dan Surotama, turut membantu
di sini." Ketiga warok itu saling pandang mendengar anak-anak mereka
berada di rumah Warok Gandu Pala. Kening ketiganya mengerut, sepertinya merasa
heran kalau anak-anak mereka justru mendukung Warok Gandu Pala untuk menjadi
kepala desa
"Syukurlah kalau memang
mereka turut membantu. Ah, semoga jalinan antar warok semakin erat
Sehingga Ponorogo tak akan
dapat diremehkan" ujar Warok Singo Lodra sambil tersenyum. "Kami
titip anak-anak kami padamu, Gandu." "Akan kami perhatikan,
Kakang," jawab Warok Gandu Pala. "Oh ya, Kakang Singo. Saya mengharap
dukunganmu, agar saya bisa menjadi kepala desa di Ponorogo ini." "Aku
dan kedua saudara warok mendukungmu, Adi Gandu. Tetapi, jadi atau tidaknya
seseorang menjadi kepala desa, semua terserah warga desa. Merekalah yang
memilihnya, Gandu," jawab Warok Singo Lodra berpura-pura mendukung Warok
Gandu Pala, meskipun dirinya telah memiliki jago sendiri, Ki Jali
Karena menurut pandangan
ketiga warok itu Ki Jali lebih pantas menjadi kepala desa. Hal itu didasar-kan
pada tindak-tanduknya yang ramah, baik, dan mudah bergaul dengan siapa saja
"Aku tahu, Kang. Tetapi paling tidak, jika Kakang Warok bertiga mendukungku,
niscaya aku akan menang. Karena hampir semua penduduk Desa Ponorogo menghormati
kalian," ujar Warok Gandu Pala
Ketiga warok itu sesaat
terdiam. Mereka saling menarik napas dalam-dalam mendengar ucapan Warok Gandu
Pala. Bagaimanapun, apa yang baru saja dikatakan Warok Gandu Pala merupakan
suatu beban. Ketiganya tak mau menekan warga, agar mau memilih Warok Gandu
Pala. Mereka bukan raja yang dalam setiap sabdanya akan ditaati warga,
melainkan warga biasa. Hanya saja, warga Ponorogo, menaruh hormat dan segan
terhadap mereka, terutama Warok Singo Lodra
"Maafkan aku Kalau aku
disuruh memaksakan kehendak, aku tak bisa Gandu. Hak seseorang, tak mungkin
dapat ditekan. Karena itu hak mendasar manusia, yang diberikan Hyang
Widhi," kata Warok Singo Lodra berusaha memberi pengertian pada Warok
Gandu Pala
"Dengan kata lain, Kakang
Warok tak mau mendukungku?" tanya Warok Gandu Pala
"Jangan salah sangka, Adi
Gandu Pala" Warok Sura Pati yang dari tadi diam angkat bicara, melihat
Warok Gandu Pala nampak agak kecewa. "Kami mendukungmu. Tetapi, apa yang
dikatakan Warok Singo Lodra benar. Hak hidup manusia, tak mungkin kita paksa.
Karena, itu menyalahi aturan Hyang Widhi. Biarlah para warga memilih dengan
kemauan mereka
Jika kau dipercaya warga tentu
mereka akan memilihmu sebagai kepala desa" Warok Gandu Pala terdiam.
Begitu pula dengan istrinya. Dalam hatinya memaki sengit pada ketiga warok
tamunya. Tampaknya Warok Gandu Pala tahu kalau mereka bertiga tidak menghendaki
dirinya menjabat kepala desa. Padahal dirinya telah berusaha menarik perhatian
warga, dengan cara membuat nama Pendekar Gila sebagai pelaku pembunuhan
terhadap calon lurah yang dijagokan warga Desa Ponorogo
Hal itu dilakukan, karena
semua warga Ponorogo tahu, kalau Pendekar Gila penegak kebenaran dan keadilan.
Dengan membunuh Ki Renu Jalna, Warok Gandu Pala berharap warga akan berbalik
mendukungnya. Karena warga menyangka Ki Renu Jalna orang tak baik, hingga
Pendekar Gila membunuhnya
"Gandu Pala, jangan kau
berkecil hati Kami akan mendukungmu. Kuharap, kau akan senantiasa tenang dalam
menghadapi hal ini," ujar Warok Singo Lodra berusaha menasihati
"Benar, Dimas. Dalam
keadaan seperti ini, banyak orang yang menggunakan kesempatan dalam
kesempitan...," sambut Warok Sura Pati. "Pandai-pandailah menjaga
diri dan waspada Jangan sampai seperti Ki Renu Jalna." "Ya. Ki Renu
Jalna kurang waspada, sehingga orang yang tak suka padanya, dapat dengan mudah
membunuhnya," tambah Warok Sito Kuta
"Bukankah Pendekar Gila
yang melakukannya?" tanya Warok Gandu Pala pura-pura kaget. Keningnya
mengerut dengan mata menyipit. Sepertinya dia merasa kaget, mendengar kabar
akan kematian Ki Renu Jalna
"Entahlah. Memang kami
menemukan surat yang tertera Pendekar Gila. Tetapi kami belum yakin
Tentunya kau masih ingat
dengan kejadian yang menimpa Ki Lurah Pandarsuna. Ternyata yang membunuh bukan
Pendekar Gila, tetapi Maling Kalabendana," desah Warok Sito Kuta seraya
menarik napas dalamdalam. Seakan ingin membuang perasaan pahit, yang terjadi
tiga purnama silam, ketika Ki Lurah Pandarsu-na ditemukan mati di dalam
kamarnya bersama sang Istri. Juga kedua pengawalnya
Warok Gandu Pala terdiam
dengan wajah nampak sedih mendengar berita yang telah lama terjadi
Seakan dirinya merasa berduka,
atas kematian Ki Lurah Pandarsuna
"Baiklah, Gandu Pala.
Kami mohon pamit, karena malam sudah larut," ujar Warok Singo Lodra
me-wakili kedua rekannya minta diri
Dengan diantar Warok Gandu
Pala dan istrinya ketiga warok meninggalkan rumah besar itu. Warok Gandu Pala
tersenyum sambil menarik napas dalamdalam. Kemudian dengan menggeleng-gelengkan
kepala, kakinya melangkah masuk bersama istrinya
***
Malam semakin gelap, seakan hendak menaburkan
mimpi-mimpi bagi mereka yang telah tidur
Dari arah selatan tampak
segerombolan lelaki berpakaian serba hitam bergerak memasuki Desa Ponorogo.
Mereka tampak tergesa-gesa melangkah, sepertinya tidak sabar untuk segera
sampai ke tempat tujuan. Sesekali gerombolan serba hitam itu bergerak cepat
menyelinap di balik pepohonan ketika terlihat dua orang petugas ronda malam melangkah
mendekat ke arah mereka
"Pala Ageng dan kau, Asta
Dawa, bereskan petugas ronda itu" perintah pimpinan, yang ternyata
Sumogiri pada kedua rekannya
"Baik," sahut kedua
lelaki bertubuh tegap dan tinggi. Keduanya langsung melesat menuju ke tempat ke
dua peronda yang masih melangkah semakin dekat
"Kau yang gemuk, Pala
Ageng." "Beres. Kau yang ceking. Ingat, jangan sampai mengeluarkan
suara" ujar Pala Ageng mengingatkan Asta Dawa
"Beres."
"Mereka semakin dekat." "Ya." "Kita mulai" Pala
Ageng dan Asta Dawa berkelebat bagaikan seekor burung hantu menyambar mangsa.
Kedua petugas ronda tersentak kaget. Mereka bermaksud menjerit, tetapi dengan
cepat mulut keduanya telah dis-ekap. Belum sempat peronda itu menyadari apa
yang terjadi tiba-tiba..
Jlep Jlep Dua bilah belati
telah menghunjam dada keduanya tepat di hati dan jantung
"Ukh"
"Akh" Kedua petugas ronda yang malang itu, dalam sekejap menggeliat
sekarat. Mereka tak dapat berteriak atau berontak. Hanya mata mereka yang
melotot, untuk selanjutnya terkulai tewas
"Bagus Kalian telah
menjalankan tugas dengan baik," ujar Sumogiri tersenyum. "Kita harus
berpencar Ingat, kita harus bisa menyingkirkan Ki Renda Peksa tanpa
mengeluarkan suara" "Baik," sahut para anak buah
"Ayo kita jalan"
perintah Sumogiri
Kesepuluh lelaki bertampang
garang yang mengenakan pakaian rompi hitam dan rata-rata tubuh kekar itu
kembali meneruskan perjalanan. Tujuan mereka hanya satu, menyingkirkan Ki Renda
Peksa
Gerombolan itu kini berpencar
menjadi dua bagian. Satu dari arah barat, sedangkan yang lain dari arah timur.
Mereka sama-sama menuju rumah Ki Renda Peksa
Rumah Ki Renda Peksa ternyata
tidak seperti rumah Ki Renu Jalna. Setelah kematian Ki Renu Jalna, Ki Renda
Peksa pun membayar jawara untuk berjaga-jaga di rumahnya. Hal itu karena untuk
menjaga kemungkinan bakal terjadinya petaka seperti yang dialami Ki Renu Jalna
Empat orang lelaki berbadan
tegar dengan kumis melintang berusia tiga puluh tahunan nampak mondar-mandir di
sekitar rumah Ki Renda Peksa
Keempat lelaki berpakaian
hijau lengan panjang dengan ikat kepala terbuat dari kain batik membentuk
blangkon itu, di pinggangnya terselip golok. Tangan mereka memakai gelang
terbuat dari akar bahar
Bagai burung hantu, para
jawara itu mengawasi dengan waspada penuh, ke sekelilingnya. Mereka memeriksa
sekeliling rumah secara bergantian. Dua orang bertugas di depan. Sedangkan yang
lain di belakang rumah
Tanpa sepengetahuan mereka,
sepuluh pasang mata tengah mengawasi mereka dari balik semaksemak. Gerombolan
serba hitam itu menatap garang dan penuh nafsu membunuh
"Cakala dan Cikili,
bereskan dua orang di depan Sedangkan Julaga dan Juligi, bereskan yang di
belakang" perintah Sumogiri sambil menggerakkan tangan kanannya, memberi
isyarat keempat anak buah segera bertindak
"Baik" sahut mereka.
Kemudian dengan cepat, keempatnya meraba sesuatu dari balik rompi. Empat buah
pisau kecil, kini telah berada di tangan mereka
Dan..., Swing Swing..
Empat pisau maut itu melesat
begitu cepat, laksana anak panah yang dilepas dari busurnya
"Heh?"
"Hah?" Kedua orang yang berjaga di depan rumah tersentak kaget.
Mereka hendak berkelit, tetapi pisaupisau beracun itu lebih cepat. Sehingga...
Jlep Jlep "Hekkk..."
"Ukh..." Kedua orang jawara memekik tertahan. Tenggorokan mereka
terhunjam pisau-pisau kecil. Dengan mata melotot, tubuh keduanya mengejang,
kemudian ambruk dan tewas
Mendengar suara berisik. Kedua
jawara yang sedang memeriksa ke belakang rumah tersentak kaget
Keduanya hendak membalikkan
tubuh bermaksud lari ke depan. Tetapi..., Swing Swing Jlep Crab "Ukh"
"Akh" Kedua jawara itu memekik tertahan, karena tenggorokan mereka
terhunjam pisau. Dengan mata mendelik, mereka menatap penuh amarah pada dua
orang yang menyerangnya
Srt Srt Kedua jawara itu
mencabut golok mereka. Namun dengan cepat Julaga dan Juligi telah mendahului
Dengan pedang tajam, keduanya
membabat kedua jawara yang telah dalam keadaan sekarat itu
Wrt Bret Cras "Ukh
Keduanya kembali memekik tertahan dengan perut koyak akibat babatan pedang.
Kemudian ambruk bergelimpangan berlumuran darah
Melihat keempat jawara itu
ambruk, Sumogiri segera memerintahkan semua anak buah agar keluar dari
persembunyian. Mereka langsung mendekat ke pintu rumah Ki Renda Peksa
Tok Tok Tok Sumogiri mengetuk
pintu rumah Ki Renda Peksa. Matanya mengawasi ke sekelilingnya, berusaha
meyakinkan kalau keadaan memang telah sepi. Kemudian Sumogiri mengisyaratkan
pada semua anak buah agar segera menutup wajah mereka
"Siapa...?" dari
dalam terdengar suara berat orang lelaki
"Saya, Ki," sahut
Sumogiri
"Ada apa, Gunta?
Mengganggu orang tidur saja" omel Ki Renda Peksa. Lelaki itu menyangka
kalau yang mengetuk pintu Gunta, salah seorang jawara yang disewanya
"Ada tamu, Ki,"
sahut Sumogiri
"Sebentar."
Terdengar suara kaki melangkah menuju pintunya rumah. Sumogiri segera memberi
isyarat pada para anak buah agar siap
Grrrettt.
Pintu terbuka, seketika itu
dari dalam muncul seraut wajah lelaki berusia lima puluh tahunan. Mata lelaki
setengah baya itu membelalak, ketika melihat orang-orang bercadar kain hitam
telah mengepung di depan pintu
"Siapa kalian?"
"Kami anak buah Pendekar Gila Kami diutus untuk membunuhmu" sahut
Sumogiri. "Bersiaplah" Crab "Akh..." Ki Renda Peksa memekik
keras, ketika pedang Sumogiri membabat dadanya. Lelaki setengah baya itu
terhuyung ke belakang dengan darah berhamburan. Secepat itu pula, Sumogiri
melemparkan selembar daun lontar ke samping kiri tubuh Ki Renda Peksa yang
masih sekarat
"Kita pergi" ajak
Sumogiri pada anak buahnya
Kesepuluh lelaki bermuka
garang itu pun berlalu meninggalkan rumah Ki Renda Peksa, menembus kegelapan
malam. Sedangkan Ki Renda Peksa nampak masih sekarat Tangannya berusaha
mengapai-gapai mencari pegangan, hingga akhirnya mampu meraih kaki kursi
Brak Kursi itu jatuh
terguling. Suara itu membuat istri Ki Renda Peksa terbangun. Wanita berusia
sekitar empat puluh tahun yang masih kelihatan cantik itu, bergegas lari menuju
ruang depan. Seketika Nyi Selasih menjerit, saat melihat tubuh suaminya
tergeletak berlumuran darah
"Kakang..." Nyi
Selasih langsung memeluk tubuh Ki Renda Peksa yang sudah tak bernyawa. Wanita
itu menangis sejadi-jadinya, seakan tak rela sang Suami harus mati
Mendengar jeritan Nyi Selasih,
para tetangga yang tengah tidur langsung terbangun. Mereka serentak berdatangan
ingin tahu, apa yang terjadi. Mata mereka membelalak, setelah tahu kejadian
yang menimpa Ki Renda Peksa
***
5
"Ini tidak bisa
dibiarkan, Kakang" dengus Warok Sito Kuta yang ditujukan pada kedua warok
lainnya, yang saat itu telah berada di rumah Ki Renda Peksa, calon lurah yang juga
menjadi korban pembunuhan. Sama dengan yang terjadi pada Ki Renu Jalna, Ki
Renda Peksa pun di sampingnya terdapat tulisan selarik kalimat yang cukup
membuat ketiga warok itu menarik napas dalam-dalam. Tulisan setengah mengancam
itu atas nama Pendekar Gila. Tokoh muda yang akhir-akhir ini namanya sangat
kesohor dan menjadi buah bibir setiap orang. Pendekar yang disegani dan
ditakuti lawan maupun kawan
Tulisan itu berbunyi : Jangan
sekali-kali berani menentangku Pendekar Gila
Warok Singo Lodra dan Warok
Sura Pati menarik napas dalam-dalam. Tampaknya kedua warok itu, berusaha
memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dua calon lurah telah jadi korban.
Keduanya mati di tangan Pendekar Gila
"Benarkah semua ini
Pendekar Gila yang melakukan?" desis Warok Singo Lodra dalam hati. Dirinya
tetap merasa belum yakin kalau semua kejadian itu Pendekar Gila yang melakukan
"Kita harus mencari dia,
Kakang," kembali Warok Sito Kuta berkata. Dari suaranya, hatinya nampak
tak sabar untuk mencari Pendekar Gila. Ingin rasanya dia bisa bertarung dengan
Pendekar Gila yang kini tidak mencerminkan sikap kependekarannya. Pendekar yang
telah membuat keonaran, dengan membunuh para calon kepala desa
"Sabar dulu, Adi Sito
Bagaimanapun, kita belum ada bukti untuk menangkapnya," ujar Warok Singo
Lodra berusaha menyabarkan rekannya. Kembali dihelanya napas dalam-dalam. Lalu
tangannya memungut daun lontar yang tergeletak di tanah. Kembali dibacanya.
Tulisan itu setengah menantang pada semua warga Ponorogo dan mengancam, agar
warga Desa Ponorogo tidak ikut campur dalam urusan ini
"Bukankah surat itu
buktinya, Kakang?" tanya Warok Sura Pati dengan kening berkerut. Hatinya
pun sudah tak sabar. Ingin secepatnya dapat menghajar Pendekar Gila yang
lancang dan telah menyimpang dari alirannya yang lurus
"Kalian jangan
terpengaruh dengan surat ini, Adi Sura. Kita mesti ingat kejadian tiga bulan
lalu, ketika Ki Lurah Pandarsuna mati. Di samping tubuh Ki Lurah, juga terdapat
tulisan yang mengatakan Pendekar Gila pelakunya. Tetapi kenyataannya, bukan Pendekar
Gila," ujar Warok Singo Lodra, berusaha menyabarkan kedua rekannya agar
tidak diburu nafsu. Karena, jika asal bertindak tanpa disadari bukti nyata,
bi-sa-bisa mereka sendiri yang akan disalahkan kaum rimba persilatan. Karena
Pendekar Gila merupakan tokoh yang sangat dihormati dan disegani siapa pun
"Tapi kalau kita biarkan
terus menerus, si pelaku akan semakin menginjak kita, Kang," kata Warok
Sito Kuta tak sabar melihat kematian demi kematian dilakukan orang yang sama.
Sebagai seorang warok di Ponorogo, dirinya merasa telah ditantang
"Kau benar," ujar
Warok Singo Lodra, "Tetapi kita tak boleh asal menuduh. Harus mampu
membuktikan dengan mata kepala kita, kalau pelakunya benar Pendekar Gila."
Mendengar penjelasan Warok Singo Lodra, kedua rekannya terdiam. Bagaimanapun,
mereka menghargai semua yang menjadi buah pikir orang tua berusia tujuh puluh
tahun yang memang pimpinan para warok di Ponorogo
Mereka masih bercakap-cakap,
ketika dari arah timur nampak seorang lelaki bertubuh tinggi tegap dengan cambang
bawuk lebat. Lelaki itu memegang cambuk hitam besar di tangannya. Lelaki itu
tak lain Warok Gandu Pala
"Ada apa, Kakang
Warok?" tanya Warok Gandu Pala, melihat ketiganya berkumpul di rumah Ki
Renda Peksa. Matanya menyipit, ketika melihat mayat-mayat bergelimpangan di
rumah Ki Renda Peksa. "Sepertinya telah terjadi sesuatu di sini, Kakang
Warok?" "Benar. Ki Renda Peksa dan empat jawaranya mati," jawab
Warok Singo Lodra
"Siapa pelakunya,
Kakang?" tanya Warok Gandu Pala ingin tahu
Warok Singo Lodra menyodorkan
selembar daun lontar yang tergeletak di samping mayat Ki Renda Peksa. Warok
Gandu Pala segera membacanya
"Kurang ajar Berani benar
dia mengancam kita, Kakang" dengus Warok Gandu Pala marah. Matanya menatap
tajam mayat-mayat yang bergelimpangan. "Jelas ini tak bisa dibiarkan,
Kakang. Aku akan mencari dia." "Tunggu Gandu Jangan gegabah
terhadapnya" cegah Warok Singo Lodra. Warok Gandu Pala yang hendak pergi
meninggalkan rumah Ki Renda Peksa segera menghentikan langkahnya
"Ada apa, Kakang
Warok?" "Sabar dulu, Gandu Pala Kita tak boleh bertindak sembarangan.
Kita sebagai warok, harus dapat menunjukkan jiwa kewarokan kita yang menjadi
panutan warga," tutur Warok Singo Lodra
"Lalu apa yang harus kita
lakukan, Kakang? Jelas sudah Pendekar Gila yang melakukan semuanya
Hm, rupanya seminggu yang lalu
dia di sini, ada maksud tertentu...," gumam Warok Gandu Pala
Warok Singo Lodra
mengeleng-gelengkan kepala, sepertinya tidak setuju dengan tuduhan yang
dilontarkan Warok Gandu Pala. Bibirnya menyungging senyum. Kemudian dihelanya
napas dalam-dalam, seakan hendak membuang perasaan gundahnya yang bergayut di
dalam hati. Pikirannya masih diliputi keti-dakmengertian, siapa sebenarnya
pelaku pembunuhan dua calon lurah itu
"Nanti malam kita bagi
tugas. Kau, Gandu Pala, berjaga di sebelah timur Ponorogo. Sito, berjaga dan
awasi di sebelah selatan. Suro, awasi daerah barat de-sa. Sedangkan aku, akan
mengawasi di sebelah utara desa," kata Warok Singo Lodra membagi tugas
pada ketiga warok lainnya
"Baik" sahut
ketiganya bersamaan
"Tangkap orang yang
mencurigakan." "Baik, Kakang" sahut ketiganya
"Kakang, apakah tidak
sebaiknya kita juga menanyakan pada Pendekar Gila...?" tanya Warok Sito
Kuta. Dirinya tetap belum yakin kalau Pendekar Gila tidak melakukan semuanya. Bagaimanapun
pendekar itu gila. Dan orang gila biasanya bertingkah yang sulit diterima akal
sehat "Benar, Kakang. Kita harus ingat, kalau pendekar muda itu orang
gila. Dan biasanya, orang gila akan berbuat di luar perhitungan manusia
waras," sambung Warok Gandu Pala
"Kita tunggu saja Jika
nanti malam tidak terja-di apa-apa, kita akan mencari Pendekar Gila. Aku akan
mengutus Bari dan Sentir untuk mencari pendekar itu," ujar Warok Singo
Lodra, yang membuat mata Warok Gandu Pala membelalak kaget. Sungguh tak menyangka
kalau Warok Singo Lodra hanya mengutus dua orang tangan kanannya. Sekaligus di
dalam benak Warok Gandu Pala bersyukur, karena dengan mudah dia akan dapat
menyingkirkan kedua utusan itu
Warok Singo Lodra yang melihat
perubahan roman muka Warok Gandu Pala mengerutkan kening
Diperhatikan dengan seksama
wajah Warok Gandu Pala seakan ingin mengorek isi hatinya
"Ada apa, Gandu
Pala?" tanyanya kemudian
"Ah, tidak apa-apa,
Kakang. Tetapi, mengapa hanya mengutus dua orang? Bukankah dengan begitu Pendekar
Gila akan mudah membunuh mereka?" tanya Warok Gandu Pala sepertinya tak
setuju dengan rencana yang akan dilakukan Warok Singo Lodra
Warok Singo Lodra tersenyum
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tangan kanannya membelaibelai jenggot yang
panjang sudah memutih. Kemudian dihelanya napas dalam-dalam, seakan hendak
menenangkan jiwanya
"Kalau hal itu memang
terjadi, aku dan kedua dimas warok akan mencarinya. Karena jika kedua utusanku
dibunuhnya juga, berarti dia benar-benar menantangku. Walau dirinya seorang
pendekar yang telah kesohor kedigdayaannya, Warok Singo Lodra tak akan
gentar" ujar Warok Singo Lodra setengah bergumam
Matanya yang tua, memandang ke
atas, seakan mengharapkan kesaksian langit biru pada janji dan tekadnya. Ketiga
warok lainnya terdiam mendengar ucapan Warok Singo Lodra. Bagaimanapun ilmu
mereka masih di bawah Warok Singo Lodra. Mereka juga menganggap kalau pimpinan
para warok itu yang harus dituakan karena memang dirinya orang pertama dan
paling tua di kalangan warok Ponorogo
"Kini tak ada persoalan
lagi. Kita harus menguburkan mayat-mayat itu" ujar Warok Singo Lodra.
"Ki-ta sebagai orang-orang tua dan dihormati yang menjadi panutan harus
memberi contoh baik. Ayo bantu warga" Tanpa membantah, ketiga warok lain
segera mengikuti Warok Singo Lodra mengurusi mayat-mayat di rumah Ki Renda
Peksa
***
Malam kembali bergayut menyelimuti bumi
Desa Ngadireja pun sepi,
bagaikan desa yang mati
Warga Desa Ngadireja tengah
dilanda perasaan berkabung, duka yang dalam. Selama tiga purnama belakangan
ini, desa mereka dijarah gerombolan pengacau yang mengaku diperintah Pendekar
Gila
Sementara itu, Pendekar Gila
nampak sedang terbaring di atas dipan. Matanya belum terpejam. Sejak kemarin
dirinya berada di Desa Ngadireja, menginap di kedai Ki Lampit. Malam kemarin
dilalui dengan tenang, tak ada tanda-tanda kemunculan gerombolan yang mengaku
anak buahnya. Seakan mereka tahu, kalau Pendekar Gila berada di desa itu
Di samping Pendekar Gila di
sebuah dipan lain tampak Ki Lampit tengah berbaring pula. Orang tua itu pun
belum tidur. Malam itu Ki Lampit masih bertanya-tanya dalam hati. Siapa
sebenarnya pemuda bertingkah laku gila yang kerjanya cepat dan tengah
membantunya dalam pekerjaan di kedainya. Semua pekerjaan diambil alih pemuda
bertingkah laku gila itu
Kadang kala Ki Lampit ingin
tertawa, jika melihat tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu
Namun dirinya selalu
menahannya, takut kalau-kalau pemuda bertingkah laku gila itu akan tersinggung.
Ji-ka hal itu terjadi, dia akan kerepotan seperti kemarin lusa. Padahal
semenjak Pendekar Gila bersamanya, pekerjaan menjadi ringan
"Dua hari kita bersama,
tetapi selama ini aku belum tahu siapa kau sebenarnya," gumam Ki Lampit
dengan tarikan nafasnya yang berat. "Semenjak kau berada di sini, aku merasa
aneh." "Aha, apa yang kau anggap aneh, Ki?" tanya Sena seraya
bangun dari pembaringan. Mulutnya cengengesan. Lalu tangannya mengambil bulu
burung di ikat pinggangnya. Kemudian dikorek telinga kanannya dengan bulu
burung itu. Mulut nyengir merasa kenikmatan. "Gerombolan itu, biasanya
datang tujuh hari sekali. Tetapi semenjak kau datang, mereka tidak datang.
Sepertinya, kehadiranmu membuat mereka takut" Pendekar Gila tertawa
mendengar penuturan Ki Lampit yang dianggapnya terlalu mengada-ada. Bagaimana
mungkin orang tahu dirinya di Desa Ngadireja. Lagi pula, mengapa gerombolan itu
harus takut terhadapnya. Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala, dengan
tangan kiri menggaruk-garuk kepala
"Hi hi hi... Lucu sekali
kau, Ki. Bagaimana mungkin mereka takut pada orang gila sepertiku? Ah ah ah,
aneh sekali Lagi pula, apa yang harus ditakutkan atas diriku?" tanya
Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala
Ki Lampit terdiam. Mata tuanya
yang tertutup alis mata panjang, menatap dalam keremangan cahaya lampu pelita
ke arah Pendekar Gila yang kembali mengorek telinga dengan bulu burung
"Mungkinkah kau Pendekar
Gila itu, Anak Muda?" tanya Ki Lampit setengah menerka. Dari suara tampak
keragu-raguan pertanyaan itu diucapkan. Matanya tetap memperhatikan pemuda di sampingnya
yang tengah cengengesan
"Aha, terlalu tinggi
sebutan itu untukku, Ki
Aku hanyalah pemuda gila yang
hidup sebatang kara
Kerjaku mengembara tak tentu
arah. Hanya orangorang saja yang menganggapku begitu," sahut Pendekar
Gila. Mendengar jawaban itu Ki Lampit tersentak kaget. Matanya terbelalak,
menggambarkan rasa takut yang mendadak muncul
"Jadi?" "Kau
tak perlu takut, Ki Memang orang menyebutku Pendekar Gila. Tetapi aku bukanlah
pimpinan kecoa-kecoa busuk yang kau ceritakan," tutur Sena berusaha
meyakinkan Ki Lampit "Jadi benar kau yang bergelar Pendekar Gila, Anak
Muda?" "Aha, begitulah. Sekali lagi, kau tak usah takut Ki Aku memang
sengaja menginap di tempatmu, karena ingin tahu macam apa kecoa-kecoa yang
telah membuat namaku cemar," ujar Pendekar Gila dengan setengah mendengus.
Dirinya merasa marah atas tindakan para begundal yang telah mengaku-aku sebagai
anak buahnya
"Jadi kau tak punya anak
buah, Pendekar?" "Aha, Untuk apa, Ki? Aku bukanlah pimpinan
Dan kurasa, aku tak pantas
jadi seorang pemimpin
Lucu sekali..., dunia ini
semakin lucu dan aneh," gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Di bibirnya terurai senyum dan cengengesan. Sedangkan tangan kirinya
menggaruk-garuk kepala
Ki Lampit turut menghela
napas, mendengar penuturan Pendekar Gila. Hatinya merasa kagum atas budi
pekerti luhur Pendekar Gila
"Benar juga apa yang
dikatakan. Aneh Tingkah lakunya seperti orang gila, tetapi tutur katanya
seperti orang yang berpendidikan," gumam Ki Lampit dalam hati.
Diperhatikan lagi dengan seksama pemuda bertingkah laku aneh di hadapannya.
Tetap saja tak terlihat adanya kekejaman di wajah pemuda gila itu
"Pendekar Gila, apa kau
belum mendengar kabar tadi pagi?" "Aha, tentang apa gerangan,
Ki?" "Desa Ponorogo, kini dilanda bencana," tutur Ki Lampit.
"Bencana? Ah ah ah... Bencana macam apa, Ki?" tanya Pendekar Gila
ingin tahu. Wajahnya yang semula cengengesan nampak berubah serius
memperhatikan wajah Ki Lampit
Ki Lampit menarik napas
dalam-dalam, sebelum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di Ponorogo.
Matanya masih menatap ke wajah Pendekar Gila, yang kini nampak
bersungguh-sungguh memperhatikannya. Sepertinya Pendekar Gila ingin tahu, apa
yang akan diceritakan
"Calon-calon kepala desa,
satu persatu diketemukan mati. Dan yang membuat semua warga desa Ponorogo
membuka mata, karena di samping mayat terdapat tulisan pada selembar daun
lontar yang mengatasnamakan Pendekar Gila," tutur Ki Lampit Pendekar Gila
tersentak mendengar cerita Ki Lampit Bahwa namanya dijadikan sebagai biang keladi
pembunuhan itu. Kemudian sambil cengengesan, ditariknya napas dalam-dalam. Ada
perasaan marah dan jengkel dalam hatinya
"Hi hi hi..., lucu sekali
Mengapa orang-orang semakin suka melakukan hal-hal aneh? Lucu sekali..."
gumam Pendekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dirinya merasa tak
habis pikir mengapa penjahat lebih suka menggunakan gelarnya untuk melakukan
aksi kejahatannya
"Kau tak takut,
Pendekar?" tanya Ki Lampit
"Hi hi hi..., takut?
Mengapa harus takut? Hyang Widhi akan senantiasa melindungi orang yang benar,
Ki. Kalau kita tak salah, mengapa harus takut?" Sena balik bertanya dengan
masih cengengesan
"Ah, kau memang sangat
bijaksana, Pendekar
Sungguh jahat orang-orang yang
telah mencemarkan nama baikmu. Mereka tidak ubahnya iblis" dengus Ki
Lampit, sepertinya turut jengkel mendengar berita Pendekar Gila dijadikan kedok
kejahatan
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala, seakan-akan melihat kelucuan.
Namun dilihat dari sinar matanya, jelas hatinya benar-benar marah. Merasa telah
dipermainkan seenaknya oleh para durjana
"Ini tidak bisa
didiamkan. Para warok pun tentu menuduh aku pelakunya," gumam Pendekar
Gila dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala
"Ah, sudahlah, Ki Malam
telah larut. Tidurlah dahulu, nanti kau sakit" ujar Sena kepada Ki Lampit
agar segera tidur. Dirinya tak ingin orang tua sebatang kara itu akan mengalami
sakit
"Kau...?" "Hi
hi hi..., nanti aku pun tidur," sahut Pendekar Gila
Ki Lampit pun segera
merebahkan tubuh. Perlahan-lahan dipejamkan matanya. Dan tidak lama kemudian,
lelaki tua itu telah pulas dalam tertidur. Sedangkan Pendekar Gila nampak masih
duduk sambil menyandarkan tubuh pada dinding. Mulutnya masih cengengesan,
dengan tangan menggaruk-garuk kepala
Benaknya masih memikirkan
tentang semua kejadian yang mengaitkan julukannya
Pendekar Gila menengadahkan
wajah ke atas, seakan hendak mencari sesuatu. Dihelanya napas dalam-dalam,
berusaha menenangkan perasaannya
"Hyang Jagat Dewa Batara,
semoga Engkau memberi kekuatan pada hambamu ini" desahnya lirih, sambil
memejamkan mata perlahan
Malam semakin larut suasana
pun bertambah sepi. Tiba-tiba dari arah barat terdengar suara jeritan memecah
keheningan malam. Disusul suara gelak ta-wa
"Tolong...
Rampok..." "Hua ha ha... Jangan melawan Kami anak buah Pendekar Gila.
Percuma kalian melawan..." Sena yang mendengar gelarnya disebut tersentak
kaget. Dengan bibir tersenyum, tubuhnya melesat cepat meninggalkan kamar bilik
di kedai Ki Lampit "Hi hi hi... Pucuk dicinta ulam tiba. Rupanya apa yang
dikatakan Ki Lampit benar. Aha, malam ini aku akan berburu kecoa-kecoa
busuk" dengus Pendekar Gila sambil terus melesat menuju tempat asal
jeritan
***
6
Segerombolan lelaki dengan
wajah separo tertutup kain merah nampak sedang melakukan gerakannya, membuat
keonaran di rumah penduduk Desa Ngadireja. Hiruk-pikuk memecah kesunyian malam
Jeritan ketakutan terus
terdengar kian jelas, disusul pekik kematian yang menyayat hati
"Aaakh..."
"Tolong... Tolong..." Seorang wanita muda dengan hanya memakai angkin
penutup dada nampak berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan dua lelaki
berpakaian serba hitam. Wanita muda dan cantik itu, terus berusaha
meronta-ronta. Namun, kedua lelaki bermata garang itu tak menghiraukannya.
Keduanya terus menyeret wanita berusia sekitar dua puluh dua tahun itu
"Lepaskan Tolong..."
"Percuma saja kau menjerit, Ayu Wuni Ayahmu yang lurah pun takkan mampu
menolongmu. Salah seorang dari keduanya yang berambut pendek dengan ikat kepala
warna jingga membentak. Matanya yang tajam dan beringas, menatap penuh nafsu
pada gadis cantik yang memakai angkin hijau pupus itu
"Lepaskan, Bajingan
Lepaskan aku..." gadis cantik yang ternyata bernama Ayu Wuni itu terus
berteriak dan memberontak. Kedua lelaki itu terus membawanya ke tempat semak-semak
di bawah pohon bambu yang sepi
"He he he... Di sini kita
akan berpesta, Manis
Ayolah Jabil, pegangi
dia" perintah lelaki berambut panjang terurai. Kepalanya diikat dengan
kain batik yang membentuk segi tiga ke bawah di kening
"Beres. He he he..."
Jabil segera memegangi tangan gadis cantik yang terus meronta-ronta dari
pegangan keduanya
Lelaki berpakaian hitam dan
berambut panjang terurai itu segera membuka kain yang menutup wajahnya. Kini
nampaklah seraut wajah tampan dengan kumis tipis menghias di wajahnya. Namun,
matanya yang menyimpan bara nafsu, menatap beringas gadis cantik itu
"Lepaskan Tidak...
Tolong..." "He he he... Jangan harap ada yang berani menghalangi anak
buah Pendekar Gila, Anak Manis Ayolah..." pemuda tampan berkumis tipis yang
ternyata Caraka Wanda terus mendekatkan tubuhnya. Kemudian dengan disertai
nafsu birahi yang menggebugebu, direnggutnya pakaian yang menutupi tubuh gadis
malang itu
Bret "Auh Tidak...
Tolong..." anak Kepala Desa Ngadireja itu terus berteriak-teriak. Sementara
di per-kampungan, terdengar hiruk-pikuk orang-orang berlarian ketakutan.
Sementara gerombolan manusia durjana yang mengaku anak buah Pendekar Gila,
dengan ganas terus membantai penduduk desa yang melawan
Crab "Akh..."
"Jangan kalian berani menentang kami Kalian tak akan mampu menghadapi
Pendekar Gila" terdengar ancaman seseorang dari anggota-gerombolan
Nampaknya masih ada warga desa
yang berani menentang, sehingga kembali terdengar suara tebasan pedang yang
disusul dengan jerit kematian
"Heaaa" Crab
"Akh..." Sementara warga desa masih hiruk-pikuk ketakutan ditingkahi
dengan suara jerit kematian, di tempat yang sepi Caraka Wanda nampak semakin
beringas. Matanya menyala-nyala menatap tubuh gadis cantik yang kini setengah
telanjang
"Lepaskan aku Tolooong..."
"He he he... Jangan takut, Manis Kita akan menikmati indahnya malam
ini," ujar Caraka Wanda sambil berusaha menggeluti tubuh gadis cantik
kem-bang Desa Ngadireja. Namun tiba-tiba..., "Hua ha ha... Begitukah
tingkah anak buah Pendekar Gila? Ah ah ah, lucu sekali. Kecoa-kecoa busuk
mengaku anak buah Pendekar Gila..." dari kegelapan, terdengar suara tawa
susul menyusul, Pendekar Gila. Caraka Wanda dan Jabil tersentak kaget. Keduanya
langsung menoleh ke tempat datangnya suara pemuda itu. Mata mereka membelalak
tegang. Apalagi Caraka Wanda yang telah kenal siapa pemilik suara itu
"Pendekar Gila...?"
desis Caraka Wanda dengan mata membelalak tegang
"Dia ada di sini?"
tanya Jabil tak kalah kaget dan tegang, setelah tahu siapa yang tertawa itu
"Aha, apa kabar, Ki
Sanak...?" tahu-tahu Pendekar Gila telah berdiri berjarak satu tombak di
samping mereka. Hal itu semakin membuat keduanya terlonjak kaget karena tak
tahu kapan dan dari mana datangnya. Gadis yang hendak diperkosa bangkit dan
langsung berlari ke belakang Pendekar Gila. Tetapi Ayu Wuni pun kelihatannya
masih takut, setelah tahu siapa pemuda bertingkah laku gila itu
"Kau...? Kau Pendekar
Gila...?" tanyanya dengan mata terbelalak ketakutan
"Hua ha ha... Jangan
takut, Ni Sanak Aku memang Pendekar Gila, tetapi bukan pimpinan para kecoa
busuk itu Hi hi hi... Lucu sekali. Rupanya kecoa-kecoa busuk kini pada
bertingkah," gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala
Ditatapnya kedua lelaki
bermata jalang itu dengan tajam. Kemudian dengan cengengesan, tangannya
menggaruk-garuk kepala. Lalu dipandangi gadis cantik yang berpakaian telah
compang-camping akibat reng-gutan tangan Caraka Wanda
"Aha, tak kusangka, kalau
anak seorang warok berbuat sekeji ini. Hi hi hi... lucu sekali. Dunia ini
memang semakin lama semakin bertambah gila," gumam Pendekar Gila dengan
mulut masih cengengesan
Sedangkan tangannya tetap
menggaruk-garuk kepala
Lalu diambil Suling Naga
Sakti. Ditiupkan dengan merdu, mendendangkan nyanyian tentang seekor anak domba
yang berusaha menjadi serigala. Anak domba itu terus berusaha agar bisa jadi
serigala. Sampai akhirnya, anak si domba membabi buta
"Cuih Lancang sekali kau,
Pendekar Gila" bentak Cakra Wanda dengan napas mendengus, "Jangan
kira aku tak mengerti nyanyian sulingmu" "Hi hi hi... Ah, baguslah
kalau kau mengerti
Rupanya kau anak warok yang
pintar. Sayang..., sayang sekali perbuatanmu tak sesuai dengan pribadi
orang-tuamu," ujar Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dengan kepala
menggeleng-geleng, seakan sangat menyesalkan atas perbuatan Caraka Wanda
"Cuih" Caraka Wanda
membuang ludah jengkel
Kemudian matanya menatap tajam
wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Sesekali Pendekar Gila menengok ke belakang, tempat gadis cantik itu berada.
"Jangan kau gurui aku, Pendekar Gila Ayahku adalah ayahku, sedangkan aku
tetap saja aku" Pendekar Gila kembali tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala. Ditimang-timangnya Suling Naga Sakti lalu dipukul-pukulkan
ke telapak tangan kirinya. Kemudian masih dengan cengengesan, diselipkan
kembali Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya
"Ah ah ah, hebat Hebat
sekali..." gumamnya lirih dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala
"Sayang, kepribadianmu
tak lebih dari seekor domba buta. Sehingga membuat dirimu melangkah di jalan
yang salah." "Bedebah Sudah kukatakan, jangan menggurui aku"
bentak Caraka Wanda semakin marah dan sengit, merasa Pendekar Gila telah banyak
berbicara hing-ga membuatnya marah. Matanya yang tajam dan marah menatap wajah
Pendekar Gila yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala
"Aha, aku tidak
mengguruimu, Domba Malang
Aku hanya ingin
mengingatkanmu, kalau kau telah salah jalan," sahut Pendekar Gila diikuti
suara tawanya, yang membuat Caraka Wanda semakin marah
"Kurang ajar... Kubunuh
kau Pendekar Gila Serang dia..." perintah Caraka Wanda dengan sengit
Dengan cepat tangannya
mencabut pedang di punggungnya
Srt "Hea..."
disertai pekikan menggelegar, Caraka Wanda dan Jabil melesat menyerang Pendekar
Gila
Pedang di tangan mereka
berkelebat cepat, membabat dan menusuk ke tubuh Pendekar Gila
Wrt "Yea..."
"Hi hi hi..." sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila segera bergerak
cepat menarik tubuh untuk mengelakkan serangan kedua lawannya yang gencar
dengan babatan pedang. Kemudian dengan memonyongkan mulut, dirinya mengejek
setelah berhasil mengelakkan serangan kedua lawan
"He he he... We..."
"Kurang ajar Kubunuh kau..., Gila Serang..." Caraka Wanda kembali
berteriak memerintah temannya untuk terus menyerang. Kemudian dengan jurus
'Satuan Pedang Memanggang' mereka bergerak cepat menyerang dari dua arah.
Caraka Wanda menyerang dari kanan, sedangkan Jabil dari kiri
"Hea"
"Yea" "Hi hi hi..." Pendekar Gila masih cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala, seakan tak takut menghadapi serangan yang gencar dan
cepat itu. Dengan membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' tubuhnya
meliuk-liuk laksana penari, dengan sesekali menepuk ke arah lawan. Setelah
mengetahui gerakan yang dilakukan Pendekar Gila, Ayu Wuni sedikit merasa agak
tenang
Hatinya mengatakan kalau
pemuda bertingkah gila itu ternyata bukan pemuda jahat dan sembarangan. Hatinya
mengharap, semoga Pendekar Gila dapat memenangkan pertarungan itu. Bahkan Ayu
Wuni mengharap, Pendekar Gila mau menumpas para penjahat itu, agar Desa
Ngadireja aman
Mata Ayu Wuni terus
memperhatikan pertarungan itu dengan harap-harap cemas. Takut kalau-kalau
pemuda tampan bertingkah gila kalah
"Heaaa..." Wret Wret
Pedang di tangan Caraka Wanda dan Jabil menderu dengan cepat ke tubuh Pendekar
Gila. Tetapi dengan cepat pula, Pendekar Gila mundurkan kaki kanan. Kemudian
menggeser kaki kiri agak merentang sambil meliukkan tubuh
"Celaka..." pekik
kedua lawannya kaget, karena pedang mereka tetap belum berhasil bersarang di
tubuh lawan. Bahkan pedang itu kini melesat ke tubuh temannya. Mata keduanya
terbelalak tegang, menyadari gerakan masing-masing yang kacau
Melihat kedua lawannya dalam
keadaan mati langkah, sambil menggaruk-garuk kepala Pendekar Gila menendangkan
kaki kanan ke tubuh Jabil. Sementara tangan kiri, menghantam tubuh Caraka Wanda
"Hi hi hi... Hea..."
Caraka Wanda dan Jabil yang mati langkah, tersentak kaget. Keduanya
kebingungan. Kalau meneruskan membabatkan pedang dapat membahayakan kawannya.
Sedang kalau berhenti jelas gerakan Pendekar Gila akan lebih leluasa menyerang
"Hea" Dalam
kebingungan dan kagetnya, Caraka Wanda melentingkan tubuh ke belakang untuk
mengelak. Sehingga Jabil yang terlambat, tak ampun lagi menjadi sasaran
tendangan kaki Pendekar Gila
Begk "Akh..." Jabil
memekik keras. Tubuhnya terlon-tar deras ke belakang, bagaikan didorong sebuah
kekuatan yang dahsyat. Tubuh itu baru berhenti, ketika menghantam pepohonan
bambu
Gosrak "Akh" Tanpa
ampun lagi, Jabil terjepit batang-batang bambu. Sesaat Jabil meregang, kemudian
terkulai mati
Menyaksikan temannya tewas,
Caraka Wanda bertambah beringas. Dengan napas mendengus keras, lelaki muda itu
kembali bergerak menyerang. Jurus, 'Semilir Angin Meniup Daun Kering' segera
dikeluarkan. Nampaknya Caraka Wanda sudah tak sabar lagi untuk membinasakan
Pendekar Gila
"Heaaa..." Wrt Wrt..
Pedang di tangan Caraka Wanda
bergerak laksana angin yang bertiup semilir. Kelebatannya sangat halus dan
pelan. Hal itu karena Caraka Wanda menggunakan tenaga dalam yang cukup tinggi,
juga pengerahan batin yang sempurna. Kakinya melangkah secara beraturan,
seperti memakai hitungan-hitungan tertentu. Melihat jurus yang dilakukan Caraka
Wanda, seketika Pendekar Gila mengerutkan kening. Dengan memandang lewat sudut
mata sambil nyengir, pikirannya berusaha mengingat-ingat gerakan yang dilakukan
Caraka Wanda
"Hm, bukankah itu gerakan
Macan Barong yang kulihat di Ponorogo?" tanya Pendekar Gila dalam hati
berusaha mengingat-ingat gerakan-gerakan yang dilakukan Caraka Wanda.
"Aha, benar Itu gerakan yang dilakukan Macan Barong. Hm, kalau begitu yang
menjadi Macan Barong tentunya pemuda ini." "Pendekar Gila, kau harus
mampus Bersiaplah" dengus Caraka Wanda
"Hua ha ha... Hi hi hi...
Lucu sekali. Bukankah itu tarian Macan Barong Lucu sekali..." ejek Pendekar
Gila dengan tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala
"Kurang ajar Hea... Kau
harus mati dengan jurus 'Semilir Angin Meniup Daun Kering'
Tubuh Caraka Wanda bergerak
cepat. Pedang di tangannya pun semakin lama bergerak semakin cepat. Sehingga
pedang di tangan Caraka Wanda lenyap bentuk aslinya. Kini yang tampak hanya
sebuah bayangan putih, berkelebat begitu cepat memburu tubuh Pendekar Gila
Melihat lawan telah
mengeluarkan jurus pemungkas yang sangat berbahaya jika dihadapi dengan tangan
kosong, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Saktinya
Srttt "Heaaa"
***
Dengan memegang Suling Naga Sakti, Pendekar
Gila melesat memapaki serangan lawan. Jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' segera
dikeluarkan, untuk mengelakkan serangan lawan. Sedangkan tepukan tangannya,
diganti dengan Suling Naga Saktinya
"Yea"
"Heaaa..." Keduanya berkelebat laksana terbang. Caraka Wanda
membabatkan pedangnya ke leher lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila
merundukkan tubuh diikuti dengan sabetan Suling Naga Saktinya ke atas
Trang Auh..." Caraka
Wanda tersentak kaget, pedangnya beradu dengan Suling Naga Sakti di tangan
Pendekar Gila. Tangannya terasa gemetar kesemutan
Tubuhnya melayang dan bersalto
di udara, kemudian meluncur ke bawah. Bibirnya tampak menyungging senyum sinis
Dari arah perumahan penduduk
segerombolan lelaki berpakaian merah seperti yang dipakai Caraka Wanda
memburu-tempat pertempuran itu
"Caraka, kau
terluka...?" tanya seorang pemuda berwajah agak pucat dan berambut panjang
terurai diikat kain batik "Dia Pendekar Gila, Dimas Surotama," tutur
Caraka Wanda sambil meringis menahan sakit di tangan. Sementara Pendekar Gila
tampak tengah cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Suling Naga Sakti
dipukul-pukulkan ke telapak tangan kiri, lalu mulutnya menyeringai seperti
seekor kera
"Jadi pemuda edan ini
yang dijuluki Pendekar Gila?" tanya pemuda yang dipanggil Surotama.
Matanya menatap tajam pada Pendekar Gila yang masih bertingkah laku persis
orang gila. Wajahnya menggambar-kan kesadisan
"Benar, Dimas.
Hati-hati..." "Hm, bunuh dia..." perintah Surotama tiba-tiba,
dengan menggerakkan tangan kanan. Seketika itu pula, gerombolan berpakaian
rompi merah menyerang Pendekar Gib. Pedang dan golok tampak berkilatan
diacungkan ke atas siap merejam lawan
"Hea" "Hi he
he... Rupanya kalian kecoa-kecoa busuk yang bodoh Lucu sekali..." gumam
Pendekar Gib. Kemudian dengan masih cengengesan, ditunggingkan pantatnya ke
arah kesembilan lawannya yang menyerang. "Bocah Edan Kubunuh kau Hea..."
seorang anak buah Surotama membabatkan golok ke tubuh lawan yang sedang
menungging. Namun dengan jurus 'Gila Mabuk Mencabut Rumput' Pendekar Gila
segera bergerak mengelit. Tubuhnya seperti orang gila yang sedang mabuk.
Jempalitan ke sana kemari, dengan tangan bergerak mencengkeram dan memukul.
Sedangkan kedua kakinya bergerak melakukan serangan dengan lutut dan tendangan
"Hi hi hi Heaaa..."
Dugk "Ukh..." orang yang berada di belakang ter-jengkang, karena
terkena tendangan kaki kiri Pendekar Gila. Mulutnya meringis kesakitan dan
tampak darah mengalir dari sela bibir. Tangannya memegangi dada yang terasa
nyeri hebat. Bahkan dirasakan pukulan keras tadi meremukkan tulang rusuknya
Pertarungan semakin seru.
Gerombolan itu langsung mengeroyok Pendekar Gila
"Hea" Wuttt
"Uts He he he..." Pendekar Gila tertawa terkekeh sambil terus
bergerak dengan jurus 'Gila Mabuk Mencabut Rumput' digabung dengan jurus 'Gila
Menari Menepuk Lalat'. Suling Naga Sakti di tangannya, bergerak dengan cepat
menangkis serangan lawan. Dilanjutkan dengan memukul ke dada, dan punggung
lawan yang terdekat
"Mampus kau, Pendekar
Gila Hea..." Wuttt "Uts He he he... Ini bagianmu, Kecoa Tolol"
Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan dengan meliuk ke samping. Kemudian
bergerak ke belakang tubuh lawan dengan cepat sambil memukulkan Suling Naga
Sakti ke punggung lawan
Begk "Akh..."
pekikan tertahan terdengar ketika seorang lawan terpukul Suling Naga Sakti.
Tulang punggungnya dirasakan remuk. Mulutnya meringis. Dari sela bibirnya
meleleh darah. Kemudian tubuh orang itu ambruk ke tanah
Pertarungan semakin seru.
Sepertinya gerombolan Caraka Wanda dan Surotama tak takut sedikit pun. Mereka
terus menyerang dengan sabetan dan tusukan pedang serta golok "Hea"
Wuttt Wuttt "Haiiit.." Dengan cepat Pendekar Gila mengelit dengan merundukkan
tubuh. Kemudian dengan cepat pula dipukulkan Suling Naga Saktinya ke tubuh
lawan
Wuttt "Heh?" orang
itu tersentak kaget dengan mata membeliak. Dirinya berusaha menghindar tetapi
gerak yang dilancarkan Pendekar Gila sangat cepat. Sehing-ga, Begk "Wua..."
Korban kembali jatuh dengan tulang iga remuk akibat gebukan Suling Naga Sakti.
Kenyataan itu membuat Caraka Wanda dan Surotama bertambah marah dan beringas
"Kubunuh kau, Pendekar
Gila..." Surotama melompat ke depan. Dengan jurus ‘Serimpi Kipasan Maut’
Surotama membabatkan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila
Wuttt Wuttt "Uts He he
he..." sambil tertawa, Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan. Tubuhnya
meliuk ke samping dengan gemulai. Kemudian tangan kirinya dengan jari-jari
terbuka menyambar rusuk kanan lawan. Sedangkan Suling Naga Sakti di tangan
kanannya, memukul ke punggung Surotama
"Heh?" Surotama
tersentak kaget Lalu segera bergerak membalikkan tubuh disertai tendangan ke
tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila menarik pukulan tangan
kirinya, sedangkan Suling Naga Sakti terus disabetkan ke tubuh lawan
Wrt Trakkk Krakkk
"Ukh..." Surotama terpekik. Tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke
belakang. Tangan dan kakinya yang terpukul Suling Naga Sakti dirasakan remuk.
Di pergelangan tangan dan di tulang kering ka-ki kanannya, melembung dan terasa
berdenyut-denyut "Dimas Surotama" seru Caraka Wanda dengan mata
terbelalak, menyaksikan Surotama nampak kesakitan dengan wajah yang semakin
pucat. "Pendekar Gila Keparat Kubunuh kau Hea..." Caraka Wanda yang
sudah marah, dengan beringas kembali mengeluarkan jurus pemungkasnya 'Semilir
Angin Meniup Daun Kering'. Bagaikan tak meng-hiraukan kalau dirinya dalam
keadaan terluka, Caraka Wanda menyerang membabi buta. Hal itu membuat Pendekar
Gila semakin enak saja bergerak dengan jurus ‘Gila Menari Menepuk Lalat’.
Tubuhnya meliuk-liuk lemah gemulai, kemudian dengan cepat ditepukkan tangan
kiri ke dada lawan "Hih" Degk "Akh..." tubuh Caraka Wanda
terpental deras ke belakang, ketika pukulan telapak tangan kiri Pendekar Gila
mendarat di dadanya. Tubuhnya terus melayang, dan baru berhenti ketika
menghantam sebatang pohon
Brak "Akh" Caraka
Wanda terbanting ke tanah dengan kepala hancur terbentur pohon. Dari mulutnya
menyembur darah segar. Sesaat tubuhnya menggelepar-gelepar lalu diam tak
berkutik
"Kurang ajar
Kupertaruhkan nyawaku untuk membunuhmu, Gila Hea..." Dengan kemarahan yang
memuncak, Surotama melakukan serangan. Hatinya yang telah terbakar kini kalap.
Menyaksikan Caraka Wanda tewas. Pedangnya diayun-ayunkan cepat membabat ke
tubuh lawan
Tampak keenam kawannya turut
membantu mengeroyok Pendekar Gila
Wrt "Hea" "Hi
hi hi..." sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila bergerak ke sana kemari
mengelakkan serangan lawan-lawannya. Sedangkan tangan kanan yang memegang
Suling Naga Sakti berkelebat menangkis senjata lawan yang menyerang
Trang "Hih"
"Ukh..." Pertarungan semakin seru. Semak belukar di sebelah barat
Desa Ngadireja tampak hancur berantakan. Beberapa batang pohon bambu pun
tumbang terhantam oleh babatan pedang. Malam yang dingin dan sepi, terpecah
hiruk-pikuk pertarungan dan jeritanjeritan kematian
Warga Desa Ngadireja yang
semula merasa takut, akhirnya mendatangi tempat pertarungan menyertai kepala
desa. Mereka langsung membantu Pendekar Gila yang dianggap telah menyelamatkan
desa mereka
Gerombolan penjahat yang
menjarah Desa Ngadireja akhirnya terjepit. Bahkan kini, Pendekar Gila dengan
cepat menggebukkan Suling Naga Sakti ke punggung Surotama
Bukkk "Akh...
Ukh..." Tubuh Surotama menggeliat-geliat karena punggungnya remuk
terhantam Suling Naga Sakti. Dari mulutnya muncrat darah segar. Sesaat lamanya
mulut lelaki muda itu mengerang-erang sebelum akhirnya mati. Melihat pimpinan
mereka mati, keenam anggota gerombolan yang masih hidup, semakin panik. Dalam
sekejap mata, mereka dapat didesak para warga Desa Ngadireja
"Mampuslah kalian
Hea..." Jrab Jrabs "Akh..." lengkingan kematian, seketika
terdengar susul-menyusul. Dengan ganas karena marah para warga Desa Ngadireja
membantai habis anggota gerombolan yang mengatasnamakan Pendekar Gila sebagai
pimpinan
Ki Lampit tertatih-tatih
mendekati Pendekar Gila. Di bibirnya tersungging senyuman. Orang tua yang
sebenarnya Kepala Desa Ngadireja itu merasa senang atas kemenangan mereka
"Kau, Ki?" Pendekar
Gila terkejut melihat Ki Lampit yang semula tua renta kini tampak wajah
aslinya, setelah membuka kedok. Ki Lampit ternyata seorang lelaki bertubuh
tegap, berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya cukup tampan terhias jenggot
dan kumis tipis
"Terima kasih atas pertolonganmu,
Tuan Pendekar" "Aku tak mengerti, siapa kau sebenarnya, Ki?"
tanya Pendekar Gila dengan mulut nyengir serta tangan menggaruk-garuk kepala
Ki Lampit memegang pundak
Pendekar Gila, lalu sambil melangkah lelaki setengah baya itu menceritakan siapa
dirinya. Diceritakan, mengapa harus menyamar, karena dirinya takut kepergok
Pendekar Gila yang kabarnya menjadi pimpinan gerombolan itu. Ki Lampit merasa
tak akan mampu menghadapi Pendekar Gila yang kesohor dengan kesaktiannya
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi tiba-tiba tawanya terhenti, ketika
matanya melihat sesosok bayangan kuning berkelebat mencurigakan. Mata yang lain
mungkin tak melihat karena suasana gelap
"Hai, tunggu..."
teriak Pendekar Gila. Kemudian dengan menggunakan ilmu larinya segera mengejar
sosok bayangan kuning itu. Dalam sekejap saja Pendekar Gila telah berhasil
menghadang orang itu
"Aha, mau lari ke mana
kau? Hi hi hi..." "Ampun, jangan bunuh saya" ratap lelaki mu-da
berpakaian kuning sambil bersujud di depan Pendekar Gila. "Saya hanya
diperintah tiga warok Ponorogo." "Kau juga anggota mereka?"
tanya Pendekar Gi-la
"Be... benar."
"Jadi kalian diperintah tiga warok Ponorogo untuk membuat keonaran di desa
ini?" tanya Pendekar Gila tegas, walau mulutnya masih cengengesan
"Be..., benar."
"Katakan pada ketiga warok yang mengutus mu Aku, Sena Manggala akan
menemui mereka," ujar Pendekar Gila tegas. "Tak kusangka, ketiga
warok Ponorogo yang seharusnya menjadi panutan malah berbuat kejam"
"Ba... baik, Tuan Pendekar. Akan saya sampaikan pada Warok Singo Lodra dan
kedua rekannya," sahut pemuda bertubuh agak pendek itu
"Pergilah sekarang
Katakan, aku akan menemui mereka," perintah Pendekar Gila. Seketika itu
pu-la, lelaki muda berpakaian rompi kuning melesat meninggalkan Desa Ngadireja
Pendekar Gila menghela napas,
sementara itu tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya merasa tak habis pikir
mengapa Warok Singo Lodra, Warok Sura Pati, dan Warok Sito Kuta berbuat kejam.
Kemudian sambil cengengesan kakinya melangkah mendekati Ki Lampit dan para
warga Desa Ngadireja
***
7
Betapa gusar dan marah ketiga warok sesepuh
Ngadireja, setelah mendengar kabar tentang dua orang anak mereka yang mati di
tangan Pendekar Gila. Bahkan Ranukoya, lelaki muda berpakaian rompi kuning yang
menjadi utusan Warok Gandu Pala melebihlebihkan ceritanya. Dikatakan, kalau
Pendekar Gila menantang mereka untuk bertarung
"Apakah kau tak berdusta,
Ranukoya?" bentak Warok Singo Lodra geram. Matanya menatap tajam Ranukoya
yang duduk bersila dengan menundukkan kepala. "Ampun Ki Warok. Mana berani
saya berdusta?" kata Ranukoya dengan kepala masih menunduk
"Bahkan, Pendekar Gila
mengatakan jangankan hanya tiga warok Ponorogo. Seluruh warga Desa Ponorogo pun
dia tak akan gentar." "Cuh Setan Laknat" dengus Warok Sura Pati
sengit sambil meludah ke tanah. "Kurang ajar Pendekar Gila keparat Dia
telah berani membunuh anakku
Bahkan lancang
menantangku" "Hhh Akan kuremukkan batok kepalanya, sebagai balasan
atas tindakannya" Warok Sito Kuta pun tak kalah sengitnya menggeram.
Tangan kanannya mengepal. Dan matanya memandang lepas ke depan
Warok Singo Lodra tercenung
diam. Pikirannya kira benar-benar kacau. Baru kemarin putrinya, Sekati
kedapatan hamil, Sekati muntah-muntah ngidam. Ketika ditanya siapa yang telah
menghamili, Sekati mengaku Pendekar Gila yang melakukannya
Perlahan-lahan, bayangan
kejadian kemarin tergambar kembali dalam benak Warok Singo Lodra
Dirinya baru saja pulang dari
kebun, ketika langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya mendengar suara
Sekati muntah-muntah. Dengan kening mengerut, Warok Singo Lodra melangkah
mendekati anaknya yang sedang muntah di samping rumah
"Sekati, kenapa
kau?" Sekati tersentak kaget. Dengan mata memandang takut, gadis itu
bangun dari jongkoknya. Lalu kakinya melangkah mundur dengan wajah pucat karena
takut
"Anakku, kau tak perlu
takut pada ayah. Katakan, apa yang sebenarnya terjadi...?" tanya Warok
Singo Lodra dengan suara pelan, berusaha menenangkan sang Anak
Sekati langsung menangis. Dipeluknya
erat-erat tubuh sang Ayah. Hal itu membuat hati Warok Singo Lodra terenyuh dan
luluh. Dengan lembut, dibelaibelainya rambut Sekati
"Anakku, ceritakanlah apa
yang telah terjadi" pinta Warok Singo Lodra dengan tangan masih
membelai-belai rambut anaknya
Perlahan-lahan Sekati
mendongak. Ditatapnya dalam-dalam wajah sang Ayah. Tangisnya masih berderai,
bahkan semakin sesenggukan. Hati Warok Singo Lodra pun luluh-lantak dan merasa
kasihan. Dibimbingnya sang Anak masuk ke rumah. Kemudian diajaknya duduk
"Ceritakanlah,
Anakku" "Apakah Ayah tak akan marah?" tanya Sekati takut. Warok
Singo Lodra berusaha tersenyum. Digeleng-gelengkan kepalanya, berusaha
meyakinkan sang Anak agar mau menceritakan apa sebenarnya yang terjadi.
"Sekati hamil, Ayah." "Apa?" bagaikan disengat kalajengking
Warok Singo Lodra terbelalak kaget. Lelaki tua itu tersentak bangkit dari
duduknya. Dengan napas tersengal menahan perasaan marah dan terkejut mata Warok
Singo Lodra menatap tajam anaknya. Sementara Sekati hanya mampu menangis dengan
menundukkan kepala dalam-dalam. "Siapa yang menghamili mu, Sekati? Akan
kulabrak dia" "Pendekar Gila, Ayah" "Hah?" semakin
membelalak mata Warok Singo Lodra, mendengar jawaban anaknya. Dihelanya napas
dalam-dalam lalu dihembuskan dengan kuat. Kedua tangannya mengepal keras sambil
menggemeretakkan gigi menahan geram
Warok Singo Lodra melangkah
bimbang dengan hati dilanda amarah. Tangan kanannya masih mengepal. Matanya
memandang tajam pada anaknya yang masih menangis sambil menundukkan kepala
"Kapan hal itu
terjadi?" tanya Warok Singo Lodra
"Tiga bulan yang lalu,
Ayah," jawab Sekati dengan masih menangis sambil menundukkan kepala
"Kurang ajar Pendekar
Gila keparat" maid Warok Singo Lodra geram. Napas tuanya kian memburu,
bagaikan harimau marah. Matanya semakin memerah karena marah, "Sekati, kau
tidak berbohong?" "Sungguh, Ayah. Sekati rela mati, jika
berdusta," jawab gadis cantik berbaju kuning muda itu sambil terisak-isak
"Pendekar Gila, telah
cukup aku menahan amarah. Ternyata kau menggunakan nama besarmu untuk perbuatan
terkutuk Tak akan kubiarkan kau mempermainkan wanita Kau harus bertanggung
jawab atas semuanya" dengus Warok Singo Lodra geram. Warok Singo Lodra
menarik napas dalamdalam. Bayangan tentang anaknya yang dihamili Pendekar Gila,
bagaikan mencambuk amarahnya. Matanya memerah bagaikan mengandung api. Helaan
nafasnya sangat keras, menandakan hatinya tengah dilanda amarah yang
meluap-luap
"Ki Singo, apa kita akan
tinggal diam terusmenerus?" tanya Warok Sura Pati geram. "Anakku
dibunuhnya. Bukan itu saja, Pendekar Gila kini mengacau Desa Ngadireja. Warga
desa kini dilanda ketakutan. Dan menurut kabar, Pendekar Gila telah mencoreng
nama baik warok." "Hm, benar Kita harus segera mencarinya" sahut
Warok Singo Lodra
"Kita harus memberi
pelajaran padanya, Ki" ujar Warok Sito Kuta
"Ya Jangan kira hanya dia
yang sakti Meskipun dia sakti setinggi langit. Warok Singo Lodra tak akan
gentar menghadapinya. Dia harus diberi pelajaran" dengus Warok Singo
Lodra. Matanya yang membara penuh amarah, memandang lepas ke depan
Warok Singo Lodra menarik
napas dalamdalam, berusaha menenangkan perasaan yang gundah dilanda amarah.
Jika ingat semua yang terjadi, hatinya semakin geram saja. Selama ini dirinya
berusaha menahan sabar, tetapi Pendekar Gila semakin melunjak dan bertambah
nekat. Rasa percayanya pada Pendekar Gila sebagai pendekar pembela kebenaran
dan keadilan, pudar sudah. Kini yang tumbuh dalam jiwanya, sebuah kemarahan dan
dendam kesumat. Apalagi kini mendengar anak-anak rekannya terbunuh di tangan
Pendekar Gila. Semakin bertambah menggelegak kemarahannya
"Kita cari Pendekar Gila
sampai ketemu" dengus Warok Singo Lodra semakin marah dan sengit
"Kapan kita berangkat,
Ki?" tanya Warok Sito Kuta. "Secepatnya," sahut Warok Singo
Lodra
"Baik, Ki. Kami akan
mempersiapkan segalanya," ujar kedua warok lainnya
"Ranukoya, kau boleh
pergi" perintah Warok Singo Lodra
Ranukoya yang dengan segera
menjura hormat, kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. Sedangkan Warok
Singo Lodra nampak masih mengulum bibir, berusaha menenangkan pikirannya yang
tengah diliputi kemarahan
***
Sementara di Hutan Palapiring, tempat Warok
Gandu Pala dan para pengikutnya berada, siang itu nampak semua berkumpul. Di
rumah bilik yang berada di dalam Hutan Palapiring, Warok Gandu Pala nampak
gelisah dan marah. Kakinya melangkah mondar-mandir dengan tangan mengepal
seperti menahan geram. Para anak buahnya duduk dengan kepala menunduk, tak
seorang pun berani membuka mulut. Semuanya terdiam tanpa kata, membiarkan Warok
Gandu Pala yang tengah dilanda perasaan gelisah
"Kurang ajar Pendekar
Gila telah membuat anggota kita semakin berkurang" dengus Warok Gandu Pala
sengit. Kemudian kakinya melangkah menuju kursi rotan yang ada di ruangan itu.
"Ah, tapi biarlah Bukankah dengan begitu, ketiga warok tua bangka itu akan
memusuhi bahkan membunuh Pendekar Gila?" Warok Gandu Pala tertawa
terkekeh-kekeh, merasa senang setelah mendengar ketiga warok tua yang juga
sesepuh di Desa Ponorogo itu akhirnya dapat juga diadu domba
Semua anak buahnya mengerutkan
kening, tak mengerti mengapa Warok Gandu Pala tertawa-tawa
Padahal banyak anak buahnya
yang mati di tangan Pendekar Gila. Nampaknya para pengikutnya tidak memahami
jalan pikiran yang telah direncanakan sang Ketua. "Nanti malam, kita
kembali mengadakan gerakan. Bunuh kedua calon lurah yang masih ada"
perintah Warok Gandu Pala sambil tertawa terbahak-bahak
"Kalau mereka sudah
lenyap semua, bukankah aku yang akan menduduki kursi kepala desa?" Semua
anak buahnya yang tersisa lima belas orang itu tertawa mengikuti pimpinannya
yang juga tertawa terbahak-bahak
"Benar, Ketua Kalau Ketua
menjadi Kepala Desa Ponorogo, kita akan enak...," ujar Sumogiri,
"Bukan begitu teman-teman?" "Benar" sahut keempat belas
rekannya, terma-suk Sekati yang juga berada di tempat itu. Gadis itu nampak
lebih banyak diam, semenjak hamil. Hal itu mungkin karena hatinya merasa
berdosa, telah membohongi sang Ayah. Juga terhadap Pendekar Gila yang telah
difitnahnya
Hati nurani Sekati mulai
tergugah. Batinnya yang semula tertutup, kini terbuka. Dirinya merasa, semua
tindakannya selama ini suatu perbuatan yang salah. Begitu berani menentang sang
Ayah. Juga Paman Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta
"O, mengapa aku seperti
ini? Mengapa harus menuruti setiap ucapan Paman Warok Gandu Pala?" keluh
Sekati dalam hati, merasakan kesalahannya selama ini. Kini dirinya bagaikan
baru terbuka mata hatinya yang selama ini tertutup kabut gelap. Selama ini,
Sekati terpengaruh janji-janji muluk dan rayuan gom-bal Warok Gandu Pala.
Sampai akhirnya, peristiwa itu terjadi. Ketika semua anak buah tengah
menjalankan perintah tinggallah mereka berdua. Warok Gandu Pala menggagahinya.
Mulanya Sekati berusaha melawan, tetapi ketika matanya beradu dengan mata Warok
Gandu Pala, tiba-tiba hatinya luluh. Dibiarkan tubuhnya digeluti orang yang
mengaku sebagai pamannya sendiri. Semenjak itu, Warok Gandu Pala selalu
berusaha mendapatkan kepuasan dari Sekati. Dan anehnya, gadis itu bagaikan tak
mampu melawan. Sekati pasrah, membiarkan kehormatannya direnggut. Membiarkan
tubuhnya dijadikan pelampiasan nafsu lelaki yang dianggap sebagai paman
sendiri, karena sesama warok seperti ayahnya
Sampai akhirnya, Sekati hamil.
Semula hatinya sangat takut, lalu mengadukan kehamilannya pada Warok Gandu
Pala. Namun tanggapan Warok Gandu Pala justru membuat hatinya sakit Warok Gandu
Pala menyuruhnya untuk memfitnah Pendekar Gila dan mengadukan pada ayahnya,
kalau kehamilan itu perbuatan Pendekar Gila
"O, kasihan Pendekar
Gila. Dia tak tahu apaapa, terlalu polos, dan tak mengerti apa yang
terjadi," keluh Sekati dalam hati. Lamunannya terus mengalir, teringat
akan Pendekar Gila yang bertingkah laku konyol dan persis orang gila.
"Mengapa harus dia yang menjadi korban fitnah? Tentunya ayah tak akan
membiarkan pemuda itu. Ayah pasti akan melabrak Pendekar Gila." Sekati tak
mempedulikan pertemuan yang tengah berlangsung. Benaknya terus hanyut dalam
lamunan, memikirkan apa yang bakal terjadi terhadap Pendekar Gila. Sementara,
di sini, Warok Gandu Pala tertawa dengan kemenangannya. Sudah dapat
dibayangkan, kalau Pendekar Gila akan bertarung dengan ketiga warok itu. Mereka
sama-sama sakti. Mereka samasama disegani
Tiga warok itu bersenjata
cambuk yang sakti
Cambuk mereka mampu
mengeluarkan api, halilintar, dan angin yang membadai
Mustahil kalau Pendekar Gila
akan mampu menandingi ketiga warok sakti itu
Pikiran Sekati terus
bergejolak, seakan tak dapat melupakan apa yang bakal terjadi. Pertarungan antara
Pendekar Gila melawan ayah serta kedua pamannya, tentu akan berakhir dengan
kematian. Mungkin mereka mati semua, atau mungkin ayah dan pamannya yang mati.
Atau juga Pendekar Gila yang akan mati
Sekati merasakan kepalanya
sakit sekali. Otaknya berdenyut-denyut memikirkan apa yang bakal menimpa
Pendekar Gila atau ayah dan kedua pamannya
Mereka orang-orang sakti. Jika
mereka bertempur, ten-tu harus ada yang mati
"Tidaaakkk..."
tiba-tiba Sekati memekik keras dengan tangan memegangi kepalanya yang terasa
pening. Tubuhnya limbung, kemudian ambruk. Hal itu membuat semua mata langsung
menoleh pada Sekati
Warok Gandu Pala segera
membopong tubuh Sekati, membawanya masuk ke sebuah kamar. Sementara para anak
buahnya, hanya mampu terbengong-bengong tak mengerti apa yang dialami Sekati
Warok Gandu Pala pun nampak
kebingungan, tak mengerti apa yang dialami Sekati. Dirinya berusa-ha
menyadarkan Sekati dari pingsannya, tetapi tak mampu. Gadis itu masih saja
pingsan. Keringat mengalir deras dari tubuh Sekati, sehingga pakaian gadis itu
basah kuyup. Hal itu menyebabkan lekuk tubuh gadis itu nampak jelas menantang
Warok Gandu Pala menelan ludah
berkali-kali, melihat pemandangan menggiurkan dan membuat nafsunya terbangkit.
Nafasnya memburu liar, bagaikan habis berlari menempuh jarak yang sangat jauh
"Hm, semakin menggiurkan
saja kau, Manis," gumam Warok Gandu Pala. Matanya tak berkedip, menatap
lekat tubuh Sekati yang masih terkulai pingsan
Warok Gandu Pala benar-benar
tak tahan melihat tubuh Sekati. Tubuh yang hamil muda itu, semakin menggiurkan.
Lekuk tubuhnya begitu jelas, semakin menambah gairah kelelakiannya
Tangan Warok Gandu Pala
perlahan-lahan mulai merayap meraba-raba sekujur tubuh Sekati. Namun tiba-tiba
gadis itu tersentak bangun. Matanya menatap tajam wajah Warok Gandu Pala,
seakan memendam kebencian yang dalam
"He he he... Mari kita
nikmati sore yang indah ini, Manis Bukankah sebentar lagi kau akan menjadi
istri Lurah Gandu Pala. He he he..." Warok Gandu Pa-la terkekeh-kekeh,
sambil tangannya terus merayapi sekujur tubuh Sekati
"Huh" Sekati
menepiskan tangan Warok Gandu Pala dengan kasar. Matanya semakin tajam menatap
wajah Warok Gandu Pala. Lelaki setengah baya itu tersentak kaget, tak menyangka
kalau Sekati akan berani berbuat kasar padanya
"Kenapa kau, Manis?
Mengapa kau galak..?" tanya Warok Gandu Pala masih berusaha tersenyum
Tangannya hendak kembali
membelai tubuh Sekati, tetapi lagi-lagi gadis itu menyentakkan tangan dengan
kasar. "Kau...? Kau benar-benar lelaki tak tahu diri" dengus Sekati
geram. Kemudian gadis itu bangkit dari pembaringan. Matanya masih menatap kian
garang wajah Warok Gandu Pala. Lelaki bertubuh gagah itu mengernyitkan kening,
tak mengerti mengapa tiba-tiba Sekati berubah garang. Padahal ketika pertama
kali mereka melakukan persetubuhan, gadis itu sangat binal dan sepertinya
menerima dengan senang hati
Bahkan perbuatan-perbuatan
selanjutnya, Sekatilah yang memintanya
"Sekati, kenapa
kau?" bentak Warok Gandu Pala seraya menatap tajam wajah Sekati
"Huh, Lelaki bejat Lelaki
tak tahu diri Kau adu ayahku dengan Pendekar Gila Pengkhianat Licik.."
maki Sekati sengit. Mendengar makian Sekati, Warok Gandu Pala tentu saja tak
dapat menahan amarahnya
"Kurang ajar Lancang
sekali kau berkata begitu, Sekati" bentak Warok Gandu Pala sengit. Tangannya
diangkat tinggi-tinggi, siap menampar pipi Sekati
"Lakukan Ayo
lakukan..." tantang Sekati bagaikan tak takut sedikit pun. Bahkan kini
diajukan mukanya dan menyuruh agar Warok Gandu Pala menamparnya. Matanya yang
semakin garang menatap penuh kebencian ke wajah Warok Gandu Pala yang tertegun,
tak menyangka kalau Sekati akan berani begitu. "Hhh, kalau saja aku tak
ingat siapa kau. Kurobek mulutmu" dengus Warok Gandu Pala geram.
Di-tariknya napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak amarahnya yang
meluap-luap dalam dada. Selama ini, belum pernah ada seorang wanita pun yang
begitu berani menantangnya
"Robek Ayo
lakukan..." tantang Sekati semakin garang, dengan mata tajam menatap wajah
Warok Gandu Pala
Warok Gandu Pala mendengus,
kemudian tanpa menghiraukan Sekati, segera melangkah ke luar meninggalkan gadis
itu yang seketika menangis. Sekati sepertinya menyesali semua yang telah
terjadi atas dirinya. Malam datang dengan kegelapan yang menyelimuti Desa
Ponorogo. Suasana sunyi dan sepi terasa mencekam. Apalagi kini ketiga warok
yang ditakuti dan disegani di Desa Ponorogo pergi mencari Pendekar Gi-la
Rumah Ki Banjar Guling dan Ki
Jali, nampak sepi. Mereka sepertinya tak berani mengadakan keramaian di malam
hari, setelah mengetahui kalau ketiga warok sedang mencari Pendekar Gila.
Mereka tak mau menanggung beban, kalau-kalau Pendekar Gila akan datang dan
membuat keonaran
Sementara itu segerombolan
lelaki berpakaian serba hitam tampak bergerak dari arah selatan. Mereka terdiri
dari tiga belas orang. Tujuh membelok ke arah barat, sedangkan enam orang lagi
membelok ke arah timur. Nampaknya mereka hendak menuju rumah Ki Banjar Guling
dan Ki Jali
Tujuh orang dipimpin Sumogara
sedangkan enam orang dipimpin Sumogiri. Mereka seperti biasanya, mendapatkan
tugas dari Warok Gandu Pala, untuk menyingkirkan calon kepala desa yang kini
tinggal dua orang lagi
Pemilihan kepala desa tinggal
dua hari lagi, sangat mendesak Kalau kedua orang itu tidak segera dihabisi dan
disingkirkan, tentunya akan merepotkan Warok Gandu Pala dan akan mempersulitnya
untuk menjadi kepala desa
Enam orang yang dipimpin
Sumogiri telah mendekat ke rumah Ki Jali. Begitu sampai mereka segera mengepung
rumah itu. Sementara itu Sumogiri telah berdiri di depan pintu
Tok Tok Tok "Ki Jali...
Buka pintu..." seru Sumogiri berusaha membangunkan Ki Jali dari tidurnya
Tak ada jawaban. Rupanya
penghuni rumah itu telah terlelap dalam tidur. Bahkan lampu di dalam rumah tak
menyala, mungkin sengaja dimatikan
"Ki Jali, buka
pintu" kembali Sumogiri berusaha membangunkan penghuni rumah. Namun
ternyata tak juga ada sahutan dari dalam rumah. Keadaan di rumah itu masih
tetap sepi, tak ada suara jawaban da-ri dalam
Sumogiri mendengus geram,
karena belum juga ada jawaban dari dalam rumah
"Kurang ajar Rupanya kau
minta dikasari, Ki" dengan geram didobraknya pintu rumah Ki Jali
Brak Sumogiri segera masuk.
Tetapi baru saja dia melangkah tiga langkah, sebuah pukulan keras menghantam
dadanya. Seketika tubuh Sumogiri terpental deras ke belakang hingga keluar
rumah
"Hukkk" Tubuh
Sumogiri terbanting ke tanah, menjadikan kelima rekannya seketika berlarian ke
arah Sumogiri. Mereka membelalak kaget, melihat pimpinannya terjatuh bagaikan
dilemparkan dari dalam rumah
"Kenapa, Giri?"
tanya salah seorang rekannya dengan kening mengerut, menyaksikan pimpinannya
terjatuh
"Kurang ajar Rupanya di
dalam ada orang yang mau menjual lagak di depan anak buah Pendekar Gila"
dengus Sumogiri seraya bangun dari jatuhnya
"Hua ha ha... Lucu...
lucu sekali. Ada juga kecoa busuk yang mengaku-aku sebagai anak buah Pendekar
Gila. Aha, hebat sekali ucapanmu, Kecoa Busuk" bentak seorang pemuda dari
dalam rumah Ki Jali sambil tertawa terbahak-bahak. Kemudian dari dalam, nampak
sesosok tubuh pemuda berpakaian rompi kulit ular dengan mulut cengengesan.
Tangan pemuda tampan berambut gondrong agak ikal itu menggarukgaruk kepala
"Pendekar Gila..."
pekik keenam orang anak buah Warok Gandu Pala dengan mata membelalak kaget,
setelah melihat siapa pemuda itu
***
8
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak dengan tingkah lakunya yang masih seperti orang gila. Tangannya
menggaruk-garuk kepala, dengan mulut cengengesan. Hal itu membuat keenam orang
anak buah Warok Gandu Pala semakin membelalakkan mata, tak percaya kalau
Pendekar Gila yang sedang dicari-cari Warok Singo Lodra dan kedua warok lainnya
berada di rumah Ki Jali
"Hi hi hi... Lucu sekali,
ada kecoa-kecoa busuk macam kalian yang mengaku anak buah Pendekar Gi-la,"
gumam Pendekar Gila sambil melangkah mendekati keenam kawanan berpakaian hitam
yang telah mencabut pedang. Mereka kini siaga, sepertinya siap untuk melakukan
penyerangan
"Pendekar Gila, kuharap
kau jangan ikut campur dengan urusan kami" bentak Sumogiri dengan mata
garang, menatap tajam pada Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepalanya. "Aha, sayang sekali Sayang sekali kalau itu permintaan kalian.
Bagaimanapun, kalian telah mencemarkan nama baikku. Ah ah ah, siapa sebenarnya
yang memerintah kalian berbuat seperti itu?" tanya Pendekar Gila dengan
masih cengengesan sambil menggeleng-gelengkan kepala
"Cuih Jangan bertingkah
di Ponorogo, Pendekar Gila Apa kau tak tahu, kalau kau akan menghadapi Tiga
Warok Sakti dari Ponorogo jika berani turut campur dengan urusan kami"
sentak Sumogiri. Dirinya pun telah siap dengan pedang di tangan, untuk
menyerang Pendekar Gila
"Aha, benarkah tiga warok
yang mengutus kalian?" tanya Pendekar Gila sepertinya belum yakin
"Ya Maka itu, kuharap kau
jangan jual lagak di sini" dengus Sumogiri sengit. Matanya menatap semakin
tajam pada Pendekar Gila
"Hi hi hi... Lucu sekali.
Hi hi hi... Tadi kalian mengaku anak buahku. Mengapa sekarang kalian mengaku
sebagai anak buah Tiga Warok Sakti dari Ponorogo?" gumam Sena sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya masih cengengesan kemudian tangannya
menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya semakin konyol dan gila
"Jangan banyak omong
Serang dia..." perintah Sumogiri sambil menggerakkan tangannya, memerintah
pada kelima temannya untuk menyerang
"Yea"
"Hea" Tanpa diperintah kedua kalinya, kelima anak buah Sumogiri
langsung merangsek dan menyerang Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka,
bergerak cepat. Mereka langsung mengepung Pendekar Gila, dengan
serangan-serangan tusukan dan tebasan pedang mereka
Wrt Wrt "Hi hi
hi..." sambil tertawa cekikikan, Pendekar Gila segera merundukkan tubuh
untuk mengelak. Kemudian bergerak meliuk-liuk seperti penari. Lalu disusul
dengan tepukan telapak tangan kiri ke dada lawan, dibarengi kaki kanannya
menendang ke belakang dan samping
Dengan jurus 'Gila Menari
Menepuk Lalat' Pendekar Gila bergerak laksana menari. Tubuhnya meliukliuk,
diikuti dengan tendangan kaki dan tepukan tangannya lurus ke dada lawan. Hal
itu membuat keenam lawannya tersentak kaget, karena tak menyangka kalau gerakan
lemah lembut dan gemulai yang dilakukan Pendekar Gila mampu mengelitkan
serangan mereka
Bahkan tepukan tangan yang
kelihatan main-main cukup menyentakkan keenam lawannya
"Heh? Ilmu
siluman..." pekik Sumogiri dengan mata membelalak kaget, menyaksikan
bagaimana Pendekar Gila bergerak seperti orang menari. Dirinya berusaha
merangsek dengan tebasan pedangnya. Namun, dengan enaknya Pendekar Gila
bergerak menghindar. Kemudian tangannya menepuk ke salah seorang anak buahnya
yang ada di depan. Sedangkan kaki kirinya, menendang ke belakang
Plak "Akh..." lawan
yang terkena pukulan telapak tangan Pendekar Gila, seketika mencelat ke
belakang
Tubuhnya bagaikan didorong
dengan keras, hingga melesat cepat Brak "Akh..." tubuh orang itu
membentur gapura di depan rumah Ki Jali. Gapura itu roboh, bersamaan dengan
remuknya kepala orang tersebut "Kurang ajar Kubunuh kau, Pendekar Gila Kau
berani menantang pimpinan-pimpinan kami, Tiga Warok dari Ponorogo" dengus
Sumogiri sambil meng-gebrak serangan dengan babatan pedang ke arah kepala.
Namun dengan cepat Pendekar Gila meliukkan tubuh mengelak. Sedangkan kakinya
menjejak ke arah dada lawan yang ada di sampingnya sambil melakukan serangan ke
tubuh lawan
"Hi hi hi... Ini
bagianmu, Kecoa Busuk Hea..." Gerakan yang dilakukan Pendekar Gila membuat
lawan yang diserang tersentak kaget. Lelaki berpakaian hitam itu berusaha
membabatkan pedang guna menangkis tendangan lawan, tetapi ternyata kaki
Pendekar Gila lebih dulu menghantam dadanya
Degk "Wua..."
pekikan keras terdengar ketika lelaki berpakaian hitam itu terhantam tendangan
Pendekar Gila. Tubuhnya terpental deras ke belakang. Dari mulutnya menyemburkan
darah segar hingga penutup kepalanya lepas. Tubuh itu menghantam jendela rumah
Ki Jati hingga menerobos masuk, lalu terbanting di tanah dan tewas. Kemudian
ambruk tanpa nyawa
Menyaksikan dua orang kawannya
mati dalam keadaan mengerikan Sumogiri bertambah marah. Padahal Pendekar Gila
bam mengeluarkan satu jurus, belum jurus-jurus gila lainnya yang lebih dahsyat
"Bunuh dia..." teriak Sumogiri, sepertinya tak peduli lagi kalau
keadaan seperti itu akan dapat mengundang warga Desa Ponorogo jika mendengar
seruannya
"Hea" ketiga anak
buah Sumogiri bergerak terus menyerang Pendekar Gila dengan tebasan-tebasan
pedangnya, dibantu Sumogiri sendiri yang semakin beringas melakukan serangan
dengan tusukan dan babatan pedang
"Hi hi hi..." Dengan
masih tertawa tawa, Pendekar Gila kembali berkelebat mengelakkan
serangan-serangan keempat lawannya yang ganas. Kini tubuhnya berputar cepat ke
arah kiri. Dengan menggunakan jurus 'Gila Melepas Lilitan Benang' Pendekar Gila
bergerak menyerang keempat lawannya
"Hi hi hi... Kenapa
kalian bengong? Ini hadiah untuk kalian" Wrt Plak Plak "Akh" Dua
kali tamparan keras mendarat di wajah dua orang yang seketika mental ke
belakang. Kepala mereka bagaikan dipelintir. Dari mulut keduanya menyemburkan
darah segar. Sesaat kedua tubuh berputar cepat, kemudian ambruk tanpa nyawa
Sumogiri semakin geram.
Dirinya dan seorang temannya terus membabatkan pedangnya itu ke tubuh Pendekar
Gila yang masih berputar cepat laksana gasing, dengan tangannya turut bergerak
menampar dan menghantam
Sulit bagi Sumogiri dan
seorang rekannya untuk dapat menyerang, karena tubuh lawan bagai menghilang.
Keduanya hanya terbengong-bengong, menyaksikan gerakan lawan yang aneh. Sehingga
ketika Pendekar Gila kembali menampar, Sumogiri dan rekannya tak dapat
mengelakkan serangannya
Plak Plak "Akh..."
"Wua..." Sumogiri dan rekannya memekik, ketika tamparan keras
menghantam wajah mereka. Tubuh keduanya berputar cepat dengan mulut menyemburkan
darah. Mata mereka melotot, kemudian ambruk dan mati
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak, menyaksikan keenam lawannya telah mati. Tingkah lakunya yang
seperti gila, semakin menjadi-jadi. Diambilnya bulu burung yang diselipkan di
ikat pinggang, kemudian dengan tenang mengorek telinga. Mulutnya cengengesan,
merasa geli
"Hi hi hi... Ha ha
ha..." Lalu sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila meninggalkan rumah Ki Jali.
Dari dalam rumah, Ki Jali dan istri muncul. Keduanya hanya terperangah, tak
tahu apa yang telah terjadi. Keduanya tak menyangka, kalau ucapan pemuda gila
itu benar. Bahwa rumahnya akan didatangi para begundal
"Nyi, lihat Bukankah itu
mayat warga Desa Ponorogo?" tanya Ki Jali seakan belum percaya dengan
penglihatannya
"Benar, Ki. O, rupanya
ada orang yang sengaja memerintah mereka membunuh calon kepala desa, Ki
Beruntung pemuda gila itu
memberi tahu pada kita, " gumam istri Ki Jali
"Siapa pemuda gila itu
ya, Nyi?" tanya Ki Jali berusaha mereka-reka, "Mungkinkah dia yang
disebut Pendekar Gila?" "Mungkin, Ki." "Kalau begitu,
orang-orang ini tentu bukan utusannya. O, tak kusangka, ada orang yang tega
menyebar fitnah padanya. Padahal dia pemuda baik
Sayang dia gila..." gumam
Ki Jali sambil menggeleng-gelengkan kepala. Dihelanya napas dalam-dalam, seakan
ingin membuang beban jiwanya. "Kalau saja tak ada Pendekar Gila, tentunya
kita sudah mati seperti calon kepala desa lainnya, Nyi." "Benar, Ki.
O, kasihan sekali Pendekar Gila
Tentunya dia akan berhadapan
dengan Ketiga Warok Sakti, " keluh Nyi Jali seakan menyesali kejadian yang
telah membuat nama Pendekar Gila tercemar. Sehingga Tiga Warok Sati itu kini
mencarinya
"Kita ikuti dia,
Nyai...," ajak Ki Jali, "Bagaimanapun, kita harus mencegah terjadinya
pertarungan antara ketiga warok itu dengan Pendekar Gila." "Tapi ke
mana kita harus mencarinya, Ki?" Ki Jali hanya mampu mematung diam, tanpa
tahu harus berbuat apa. Di wajahnya, tergambar bagaimana nantinya kalau
Pendekar Gila sampai bertemu dengan Tiga Warok Sakti dari Ponorogo yang sedang
mencarinya
"Semoga saja orang yang
telah menyebar fitnah cepat tertangkap Sehingga Tiga Warok Sakti tak jadi
bertarung dengan Pendekar Gila," gumam Ki Jali
"Aku pun berharap begitu,
Ki. Kasihan Pendekar Gila Dia sangat baik. Kalau dia jahat, mana mau menasihati
kita agar bersembunyi?" gumam Nyi Jali sambil menggeleng-gelengkan kepala
Kedua suami istri calon lurah
itu, hanya mampu memandang ke timur, arah yang dituju Pendekar Gila. Ada
perasaan kasihan dan iba membayang di wajah keduanya, jika teringat bagaimana
kalau sampai antara ketiga warok itu bertemu dengan Pendekar Gila
Mereka tak habis pikir dan
bertanya-tanya dalam hati. Apa mungkin, pendekar yang baik hati dan suka
menolong itu menghamili anak Warok Singo Lodra? Rasanya tak masuk akal. Namun,
keduanya tak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya rakyat biasa, yang tak mampu
mencegah pertarungan orang-orang sakti itu
***
Pendekar Gila masih menyelusuri jalanan yang
membelah Desa Ponorogo, ketika dari arah timur nampak tiga orang warok
melangkah dengan tergesa-gesa
Di wajah mereka, tergambar
kemarahan. Rupanya ketiganya pun baru saja membantai tujuh orang anak buah
Warok Gandu Pala yang telah membunuh Ki Banjar Guling
Tiga lelaki tua sakti dengan
senjata cambuk yang kini masih di tangannya, melangkah semakin cepat.
Sepertinya mereka tak sabar lagi, untuk segera bertemu dengan Pendekar Gila
"Hua ha ha... Aha, kalian
nampaknya tergesagesa. Seakan ada sesuatu yang ingin kalian lakukan..."
seru Pendekar Gila sambil tertawa terbahak-bahak. Dengan jari kelingking,
mengorek telinga sebelah kiri, seraya menggetar-getarkan kepalanya karena geli.
Ketiga Warok Sakti tersentak, mendengar se-ruan itu. Mata mereka membelalak
lebar, antara kaget dan marah setelah tahu siapa yang telah menghadang mereka
"Kebetulan sekali.
Akhirnya kau yang kami tunggu muncul juga, Pendekar Gila" dengus Warok
Singo Lodra dengan muka mencerminkan kemarahan
Matanya yang tua dan tertutup
alis putih, menatap tajam ke wajah Pendekar Gila
"Aha, begitu pula
denganku. Kebetulan sekali, akhirnya aku dapat bertemu dengan kalian"
balas Pendekar Gila masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala
Ketiga Warok Sakti itu
mengerutkan kening, mendengar ucapan Pendekar Gila. Sepertinya Pendekar Gila
juga tengah mencari mereka
"Pendekar Gila, kau harus
bertanggung jawab atas hamilnya anakku" seru Warok Singo Lodra dengan
geram. Cambuk di tangan kanannya, dimainmainkan ke telapak tangan kirinya.
Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Namun tiba-tiba Pendekar Gila terdiam dengan mata
mendelik kaget, mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan Warok Singo Lodra
"Kau benar-benar
terkutuk, Pendekar Gila Kau bunuh anakku. Kau kotori nama baik warok"
dengus Warok Sura Pati tak kalah marahnya
"Ya Kau bunuh calon
kepala desa. Kau benarbenar laknat Telah lancang dan berani memakai nama warok
untuk perbuatan-perbuatan burukmu" sambut Warok Sito Kuta
"Mungkin kalau hanya
hamilnya anakku dan kematian kedua anak rekanku, belum seberapa. Tetapi
pembunuhan terhadap calon kepala desa dan merampok di Desa Ngadireja, sungguh
perbuatan yang memalukan Begitukah perbuatan seorang pendekar yang dikenal
sebagai penegak kebenaran dan keadilan?" bentak Warok Singo Lodra.
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening. Dirinya baru saja hendak menuduh
ketiga warok itu dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan ketiganya
"Hi hi hi... Kalian lucu
sekali. Mengapa kalian orang-orang tua bertingkah aneh? Seharusnya akulah yang
menuduh kalian telah melakukan kekejian itu?" ujar Pendekar Gila
menggeleng-gelengkan kepala dengan tertawa cekikikan
"Cuih Jangan berlagak
bodoh, Pendekar Gila" dengus Warok Singo Lodra geram, semakin bertambah
marah mendengar ucapan Pendekar Gila
"Telah banyak bukti, yang
menunjukkan kalau semua perbuatan terkutuk itu kau pelakunya" "Hua ha
ha... hi hi hi... Lucu sekali. Kalian menuduhku begitu. Apakah kalian kira aku
pun tak punya bukti, yang memberatkan kalian?" tanya Pendekar Gila dengan
tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala
"Kurang ajar Kau kira
mudah untuk lari dari tanggung jawabmu, Pendekar Gila" bentak Warok Su-ra
Pati semakin marah, mendengar ucapan Pendekar Gila. "Aha, kalian pun
jangan kira akan mudah melempar batu sembunyi tangan. Baru saja di rumah Ki
Jali gerombolan kalian hampir membunuh Ki Jali
Apakah kalian mau
mungkir...?" tanya Pendekar Gila sambil cengengesan. Ucapan itu membuat
mata ketiga warok semakin membelalak kaget. Ketiganya saling pandang dengan
kening mengerut, sepertinya tak percaya kalau di rumah Ki Jali pun terjadi hal
yang seru-pa dengan kejadian di rumah Ki Banjar Guling
"Rupanya di rumah Ki Jali
pun habis terjadi pembunuhan, Sura," bisik Warok Singo Lodra
"Hm, apakah tidak mungkin
memang dia pelakunya?" tanya Warok Sura Pati berbisik "Mungkin juga.
Hm, kita tak boleh lengah. Dia bukan pemuda gila sembarangan," gumam Warok
Sin-go Lodra mengingatkan kedua temannya
"Pendekar Gila, kami kira
tak ada lagi ampunan bagimu. Kau telah banyak berbuat dosa," kata Warok
Sito Kuta sambil melepas 'Cambuk Braja Indra' di tangan kirinya. Begitu juga
dengan kedua rekannya. Keti-ga Warok Sakti itu, tak ingin gegabah menghadapi
Pendekar Gila
"Bersiaplah untuk mati,
Pendekar Gila" dengus Warok Sura Pati
"Hi hi hi... Rupanya
kalian memang pelakupelaku utama dari semuanya. Aha, kukira dengan begini,
kalian ingin lepas dari tanggung jawab Baik, untuk kebenaran dan keadilan, aku
layani tantangan kalian," sambut Pendekar Gila sambil melolos Suling Na-ga
Saktinya dari ikat pinggang
Wuttt Wuttt Tiga Warok
Bercambuk Sakti kini memutar cambuk mereka ke atas, siap melakukan serangan
Sedangkan Pendekar Gila, kini
dengan tenang meniup Suling Naga Saktinya. Suara Suling Naga Sakti, mengalun
merdu. Namun sebenarnya alunan suara suling itu hanya ditujukan untuk menangkal
suara putaran cambuk yang sangat memekakkan telinga
"Hea" "Remuk
tubuhmu, Pendekar Gila" seru Warok Singo Lodra sambil melecutkan 'Cambuk
Braja Ge-ni'nya yang seketika berubah menjadi api
Cletar "Uts He he
he..." Pendekar Gila segera melompat ke samping, mengelakkan cambuk Warok
Singo Lodra dengan jurus 'Dewa Mabuk Membelenggu Sukma'. Gerakannya yang
seperti orang mabuk, membuat ketiga lawannya merasa yakin akan dapat mencambuk
tubuhnya. Dari arah kiri, Warok Sura Pati menyabetkan cambuknya yang bernama
'Cambuk Braja Bayu'. Wsss Cletar Angin menderu kencang laksana membadai,
menyerang ke tubuh lawan. Dengan cepat, Pendekar Gila bersalto. Kemudian segera
berputar sambil memusatkan 'Inti Bayu'-nya ke kedua telapak tangan. La-lu
dengan tenaga dalam kuat, dihempaskan kedua telapak tangan ke arah angin yang
menderu
"Hea" Wsss Jlegar
Ledakan dahsyat terdengar, membuat suasana di tempat itu bagaikan diguncang
gempa. Pepohonan bertumbangan terhempas angin kencang. Tanah berhamburan dan
beterbangan terhantam dua kekuatan angin yang dahsyat. Baik Pendekar Gila
maupun Warok Sura Pati, melompat dua tombak ke belakang. Mata mereka saling
pandang dengan tajam. Lalu Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, sedangkan
Warok Sura Pati menggumam sengit "Kini giliranku, Pendekar Gila Hea..."
Warok Sura Pati memutar 'Cambuk Braja Indra'-nya. Seketika suara menggelegar
laksana petir disertai kilatan-kilatan keluar dari cambuk itu
Melihat serangan lawan, dengan
cepat Pendekar Gila kembali meniup Suling Naga Saktinya. Kini suara suling itu
bukan lagi mengalun merdu, melainkan melengking keras. Sepasang mata Suling
Naga Sakti, di arahkan ke ujung cambuk Warok Sito Kuta
Dari sepasang mata Naga Sakti,
melesat sepasang sinar merah memapaki kilatan petir dari ujung cambuk Slats Srt
Crak Jlegar..
Ledakan kembali terdengar,
diikuti suasana malam yang berubah menjadi panas membara. Dedaunan layu. Angin
malam laksana terhenti. Warok Sito Kuta terdorong mundur dengan mata membelalak
tegang, menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih nyengir sambil menggaruk-garuk
kepala
"Kurang ajar Kau memang
hebat, Pendekar Gila Tetapi kau tak akan kami biarkan. Hadapi kami
sekaligus" dengus Warok Singo Lodra geram sambil memutar cambuknya
Hampir saja pertarungan itu
terjadi, tetapi dari arah selatan Desa Ponorogo terdengar teriakan seorang
wanita yang membuat ketiga warok itu menghentikan putaran cambuk mereka
"Hentikan... Jangan
teruskan..." Baik Pendekar Gila dan Ketiga Warok Sakti, seketika menoleh
ke arah datangnya suara wanita itu
Mata mereka membelalak,
setelah tahu siapa yang datang. Terlebih-lebih Ketiga Warok Sakti
"Sekati... Dari mana
kau?" tanya Warok Singo Lodra kaget, setelah melihat anaknya yang datang
sambil menangis
"Jangan teruskan, Ayah.
Maafkan Sekati. Sebenarnya bukan Pendekar Gila yang melakukan semuanya, "
ujar Sekati sambil menangis. Mendengar ucapan Sekati itu, Tiga Warok Sakti
semakin membelalakan mata. Mereka semakin bingung, apa sebenarnya yang telah
terjadi pada Sekati
"Apa maksudmu,
Sekati?" bentak Warok Singo Lodra. "Jangan kau membuatku marah"
"Maafkan Sekati, Ayah. Selama ini, Sekati telah gelap mata. Selama ini,
Sekati telah terpengaruh Paman Gandu Pala," desah Sekati di sela isak
tangisnya
Ketiga Warok Sakti itu kembali
saling pandang tak mengerti. Kemudian ketiganya menatap wajah Pendekar Gila
yang masih cengengesan sambil menggarukgaruk kepala
"Katakan apa yang
terjadi, Sekati" bentak Warok Singo Lodra geram, tak sabar lagi untuk
segera mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Ponorogo
Dengan masih menangis,
akhirnya Sekati menceritakan semuanya. Tentang kehamilannya yang sesungguhnya
atas perbuatan Warok Gandu Pala. Juga tentang rencana Warok Gandu Pala mengadu
domba antara Pendekar Gila dengan Tiga Warok Sakti itu, ser-ta
pembunuhan-pembunuhan terhadap calon kepala desa "Semua, Paman Gandu Pala
yang merencanakan, Ayah. Oh, Sekati tak tahu, mengapa Sekati begitu
terpengaruh. Aku pasrah, waktu Paman Gandu Pala merenggut semua milikku,"
tangis gadis itu semakin mengisak sedih. "Bunuhlah aku, Ayah Bunuhlah
anakmu yang tiada arti lagi ini" Warok Singo Lodra dan kedua rekannya
hanya mampu menggeram sengit, setelah tahu siapa sebenarnya dalang malapetaka
ini. Ketiganya benar-benar merasa malu pada Pendekar Gila, yang telah mereka
tuduh dengan keji
"Gandu Pala, Keparat
Kuhancurkan kepalamu" dengus Warok Singo Lodra seraya mengepalkan tangan
kirinya ke atas. Kemudian tanpa menghiraukan semuanya, Warok Singo Lodra
melangkah ke selatan ke tempat yang ditunjukkan anaknya
Melihat Warok Singo Lodra
melangkah pergi, kedua warok lainnya dan Pendekar Gila serta Sekati
mengikutinya
***
9
Saat menjelang pagi suasana di
Hutan Palapiring masih remang-remang. Dari kejauhan suara kokok ayam jantan
terdengar. Angin malam menjelang pagi, menghembuskan hawa dingin sekali, hingga
terasa menusuk tulang sumsum. Di sebuah rumah terbuat dari bilik, nampak Warok
Gandu Pala dengan ditemani seorang pengawal tengah kebingungan. Hal itu karena
sampai menjelang pagi, Sumogiri dan Sumogara serta rekan-rekannya belum ada
yang pulang. Ditambah lagi, dengan lolosnya Sekati dari tempat itu, semakin
membuat hatinya cemas
"Bagaimana menurut
pendapatmu, Ranukoya Apa Pendekar Gila dapat mengalahkan ketiga warok
itu?" tanya Warok Gandu Pala pada Ranukoya yang masih duduk bersila,
menunggu perintah dari pimpinannya
"Kurasa, mereka akan
mati, Ketua," jawab Ranukoya
"Hua ha ha... Bagus Itu
yang kuharapkan Kalau mereka mati, bukankah kita akan...," belum juga
habis ucapan Warok Gandu Pala, tiba-tiba dari luar terdengar suara gelak tawa
menggelegar yang sangat dikenali Warok Gandu Pala
"Hua ha ha... Sayang
sekali, keinginanmu tak tercapai, Warok Keparat" seru Pendekar Gila dari
luar
Warok Gandu Pala tersentak
kaget dengan mata terbelalak. Sedang Ranukoya terjingkat dari duduknya dengan
mata membeliak pula
"Pendekar Gila..." pekik
keduanya hampir bersamaan
"Dia masih hidup,"
desis Warok Gandu Pala
"Hi hi hi., ha ha ha...
Bukan hanya aku yang masih hidup, Gandu Pala. Warok Singo Lodra, Warok Sura
Pati, dan Warok Sito Kuta, semua dalam keadaan selamat. Aha, keluarlah Kedokmu
telah terbongkar..." seru Pendekar Gila. Suaranya menggema seperti
berputar-putar di sekitarnya
"Gandu Pala Keparat
Keluar kau..." teriak Warok Singo Lodra geram tak sabar lagi ingin
melabrak Warok Gandu Pala yang telah mengotori nama warok
Apalagi jika ingat kehamilan
anaknya yang karena perbuatan Warok Gandu Pala, semakin marah Warok Singo Lodra
"Gandu Pala, keluar kau,
Bajingan Atau 'Cambuk Braja Bayu'-ku akan menyapu hutan ini" ancam Warok
Sura Pati. Cambuk di tangan kanannya diputar dengan cepat ke udara, menimbulkan
angin puting beliung membadai yang menjadikan dedaunan beterbangan
"Kau telah terkepung,
Gandu Pala Kami harap kau menyerah" seru Warok Sito Kuta. Tangannya pun
telah memutar 'Cambuk Braja India'-nya, yang menjadikan petir menggelegar disertai
kilatan-kilatan cahaya perak. "Aha, apakah kau ingin dipanggang
hidup-hidup di dalam gubuk itu, Warok Murtad" seru Pendekar Gila.
Tangannya memegang Suling Naga Sakti
Suling itu dimain-mainkan di
tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya, menggaruk-garuk kepala
Rumah gubuk dari bilik, tempat
Warok Gandu Pala berada memang telah terkepung dari empat penjuru. Pendekar
Gila berada di belakang rumah dengan jarak sepuluh tombak Warok Singo Lodra di
depan, sedangkan Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta masing-masing di samping
rumah
Nampaknya tak ada lagi jalan
bagi Warok Gandu Pala untuk dapat lari dari rumah itu. Semua arah telah
dikepung keempat orang sakti yang telah siap dengan senjata masing-masing
"Gandu Pala, keluar
kau" Warok Sito Kuta kembali berseru. Namun nampaknya Warok Gandu Pala tak
menggubrisnya. Dirinya masih berada di dalam gubuk. "Gandu Pala, kalau kau
tak segera keluar. Jangan salahkan kalau kami menghancurkan gubuk bersama
tubuhmu" Tak ada sahutan. Sehingga Ketiga Warok Sakti menjadi geram.
Dengan cepat, mereka menghantamkan cambuk saktinya ke gubuk
Cletar Cletar
"Akh..." dari dalam gubuk terdengar jeritan seseorang. Gubuk pun
seketika terbakar, kemudian tersapu angin puting beliung setelah hancur menjadi
debu akibat hantaman 'Cambuk Braja Indra'
"Hua ha ha... Apakah
kalian kira mudah membunuhku?" ejek suara Warok Gandu Pala yang belum
tampak sosoknya. Hal itu membuat keempat orang yang mengepungnya tersentak.
Mereka mengira kalau suara kematian tadi, terdengar dari mulut Warok Gandu
Pala. Tetapi kini nampaknya Warok Gandu Pala masih hidup
"Dia masih hidup. Hm, di
mana dia...?" gumam Warok Singo Lodra agak kaget, karena tak menyangka
Warok Gandu Pala akan kebal terhadap hantaman ketiga cambuk sakti mereka
"Hi hi hi... Ilmu iblis?
Aha, kiranya kau bukan manusia, Gandu Pala," gumam Pendekar Gila sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala
Meski yang ada di hadapannya
hanya asap hitam bergulung, tetapi melalui bisikan batin yang diterima dari
Naga Sakti, dirinya tahu kalau asap hitam itu merupakan wujud Warok Gandu Pala
Ketiga Warok Sakti dengan
cambuk saktinya, tersentak kaget mendengar ucapan Pendekar Gila. Mereka sama
sekali tak tahu, kalau Warok Gandu Pala masih ada di tempat itu. Karena yang
mereka lihat, hanyalah asap hitam bergulung bekas bakaran gubuk
"Aha, meski kau rubah
wujudmu menjadi asap sekalipun, tetap saja percuma, Gandu Pala. Hi hi
hi:.." Pendekar Gila kembali tertawa cekikikan. "Kau memang harus
dimusnahkan, Gandu Pala. Hi hi hi..." "Pendekar Gila, kuharap kau
jangan ikut campur urusan ini, kalau kau tak ingin nyawamu kucabut" bentak
Warok Gandu Pala mengancam, yang menjadikan Pendekar Gila semakin tertawa
terbahakbahak. Menganggap ucapan Warok Gandu Pala sangat lucu. "Hua ha
ha... Lucu sekali ucapanmu, Gandu Pala Kau bukanlah Hyang Widhi yang bisa
menentu-kan hidup dan matinya seseorang. Ah ah ah, lucu sekali..." gumam
Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala
Ketiga Warok Sakti hanya mampu
bengong. Mereka benar-benar kaget, menyaksikan Warok Gandu Pala telah
menghilang dan kini berubah menjadi asap hitam. "Bedebah Kalian memang
harus mati Hea..." Wsss Asap hitam jelmaan Warok Gandu Pala bergulung
cepat laksana gasing, serta menebarkan bau busuk bangkai yang menyengat. Asap
itu semakin membesar. Makin lama, semakin besar. Dari dalam asap hitam itu,
keluar
ribuan tangan-tangan
menyeramkan yang menyerang keempat lawannya
Prak "Akh..." Warok
Singo Lodra dan kedua orang rekannya tersentak kaget. Tubuh mereka
terhuyung-huyung, terkena tamparan tangan-tangan menyeramkan yang keluar dari
asap hitam itu. Mata mereka membelalak lebar, tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Dari se-la bibir mereka, meleleh darah
"Hi hi hi... Kau semakin
bertambah lucu, Gandu Pala Hanya bocah cilik saja yang takut pada permainan
sihirmu Hea..." dengan jurus 'Gila Terbang Me-nyambar Mangsa' Pendekar
Gila melesat mengelakkan serangan lawan. Kemudian sambil menukik tangannya
menyodokkan Suling Naga Sakti ke bawah
Wrt Wsss Warok Gandu Pala
segera mempercepat putaran tubuhnya yang masih berbentuk asap hitam, berusaha
mengelakkan sodokan Suling Naga Sakti. Tetapi suling itu tiba-tiba bagaikan
hidup. Suling Naga Sakti memanjang lalu meliuk-liuk dengan kepala naga besar
yang terus memburu lawan
Crak Bret Suara keras disertai
percikan cahaya terdengar, ketika kepala Naga Sakti menghantam sesuatu dalam
gulungan asap hitam. Saat itu pula, sesosok tubuh mencelat keluar dari gulungan
asap hitam. Tubuh itu langsung menempel di pohon, lalu bergerak naik dengan
punggungnya. Melihat kejadian itu ketiga warok terbelalak keheranan bercampur
kagum
"Pendekar Gila, kau
memang hebat Tapi aku belum kalah Tunggulah pembalasanku" ancam Warok
Gandu Pala sambil terus merayap naik ke atas dengan punggungnya. Kemudian
sampai di atas, Warok Gandu Pala hendak melesat pergi, tapi Warok Singo Lodra
secepat kilat bersama kedua rekannya melecutkan cambuk mereka ke tubuh Warok
Gandu Pala yang melayang. Jlegar Jlegar "Akh..." Warok Gandu Pala
terpekik keras ketika tiga cambuk sakti menghantam tubuhnya yang tengah
melayang. Sekejap saja tubuh Warok Gandu Pala terbanting di tanah dan hancur
berantakan. Ketiga Warok Bercambuk Sakti tersenyum, melihat tubuh Warok Gandu
Pala hancur berantakan. Namun tibatiba mereka tersentak dengan mata terbelalak,
ketika tubuh Warok Gandu Pala yang hancur tiba-tiba bergerak berkumpul satu
sama lainnya. Lalu sempalansempal-an tubuh itu, kembali membentuk wujud Warok
Gandu Pala
"Hua ha ha... Warok Gandu
Pala tak akan mati Hua ha ha..." seru Warok Gandu Pala sambil melompat
bangun. Kemudian bergerak menyerang dengan pukulan ke arah tiga warok yang tadi
menyerangnya
"Hea..." Wusss
Ketiga Warok Bercambuk Sakti yang tak menduga akan mendapat serangan begitu
cepat, tersentak kaget. Selarik sinar ungu yang keluar dari telapak tangan
Warok Gandu Pala, melesat begitu cepat, "Celaka" pekik Warok Singo
Lodra dengan mata membelalak tegang, menyaksikan sinar ungu meluncur cepat
memburu mereka. "Awas... Hea..." Ketiganya segera bersalto ke
samping, sedangkan Warok Singo Lodra melompat ke atas
Jlegar Tanah yang terhantam
sinar ungu, hancur dan berhamburan ke atas. Pepohonan tumbang, bahkan hampir
saja menjatuhi tubuh ketiga warok itu
Melihat ketiga lawannya dapat
lolos dari serangannya, Warok Gandu Pala semakin beringas. Dirinya kembali
menyerang dengan ajian 'Seketi Iblis Neraka'
Sinar ungu terus melesat
menggempur Tiga Warok Bercambuk Sakti, yang kewalahan menghindar ke sana kemari
"Mampus kalian
Hea..." Wusss Jlegar "Hua ha ha... Lucu sekali... Ah ah ah, permainan
anak-anak kau tunjukan, Gandu Pala Hi hi hi..
Permainan kentut busuk"
ejek Pendekar Gila sambil menunggingkan pantatnya, menggoda Warok Gandu Pala.
Kemudian dari mulutnya terdengar suara kentut, "Brut.. Hua ha ha"
Melihat tingkah laku konyol Pendekar Gila, hilanglah kesabaran Warok Gandu
Pala. Meskipun dirinya tahu siapa sebenarnya tokoh muda yang gila itu
Namun kemarahan yang memuncak
telah membuatnya mata gelap. Dengan menggeram keras, Warok Gandu Pala
menghantamkan ajiannya menyerang Pendekar Gila yang masih nungging meledeknya
"Mampuslah kau, Pendekar
Gila Hea..." Wusss "He he he..." sambil terkekeh, Pendekar Gila
segera berdiri dan langsung mengerahkan pukulan tenaga dalamnya dengan ajian
'Inti Bayu'. Seketika selarik sinar ungu, yang melesat memburunya, dihadang
angin kencang membadai dari pukulan 'Inti Bayu'
Namun Pendekar Gila tersentak
kaget, ketika pukulan 'Inti Bayu'-nya ternyata tak mampu mengatasi sinar biru
dari Warok Gandu Pala
"Eit Celaka..."
dengan cepat Pendekar Gila bersalto ke samping kanan mengelakkan serangan itu
Sehingga..
Glarrr..
Brakkk..
Ledakan keras menggelegar
terdengar memekakkan telinga, ketika beberapa batang pohon besar terhantam
sinar biru itu. Pohon-pohon itu tumbang dan hangus bagai terbakar
Suasana Hutan Palapiring di pagi
buta itu menjadi riuh. Keadaan morat-marit karena beberapa pohon hancur dan
bertumbangan. Binatang-binatang liar penghuni hutan itu berlarian karena
ketakutan
"Hi hi hi... Belum, Gandu
Pala. Aku belum mati," ledek Pendekar Gila dengan cengengesan sambil
tangannya menggaruk-garuk kepala. Tentu saja Warok Gandu Pala bertambah marah
bukan kepalang
"Cuih Kali ini kau harus
mati Hea..." "Hi hi hi" sambil tertawa cekikikan, Pendekar Gila
segera memasang kuda-kuda yang kokoh. Kemudian dengan cepat ditiupnya Suling
Naga Sakti, lalu dihadapkan kepala Naga Sakti dengan sinar ungu yang melesat ke
tubuhnya. Dari tiupan yang melengking itu, keluarlah sinar merah membara yang
besar dari mulut Naga Sakti. Sinar merah itu langsung menerjang sinar ungu yang
dilancarkan Warok Gandu Pala
Wusss Srt Sinar merah yang
keluar dari mulut Naga Sakti, terus mendorong sinar ungu. Menggiring sinar ungu
balik ke asalnya. Hal itu membuat Warok Gandu Pala terbelalak kaget
"Celaka" pekik Warok
Gandu Pala. Kemudian dengan cepat tubuhnya melompat ke samping mengelakkan
serangan balik itu. Namun bersamaan dengan itu, Tiga Warok Bercambuk Sakti
menghantamkan cambuk secara bergantian
Jlegar Jlegarrr..
"Akh..." Warok Gandu
Pala memekik. Tubuhnya hancur lebur menjadi debu. Namun keanehan kembali
terjadi. Debu itu tiba-tiba menyatu, lalu membentuk sosok tubuh manusia
"Heh?" sentak Warok
Singo Lodra dengan mata terbelalak "Hah?" "Ilmu Iblis Kita hajar
lagi" ajak Warok Sito Ku-ta sambil menghantamkan cambuknya ke tubuh Warok
Gandu Pala yang hendak membentuk lagi, diikuti oleh kedua rekannya
Wrt Wrertt Jlegar Berkali-kali
Tiga Warok Bercambuk Sakti menghantamkan cambuk. Beberapa kali pula tubuh Warok
Gandu Pala hancur menjadi debu. Namun kembali utuh seperti sedia kala. Sampai
akhirnya, Ketiga Warok Sakti itu kelelahan karena tenaga dalam mereka terkuras
habis
"Hua ha ha... Tak akan
mungkin kalian mampu membunuhku Hua ha ha..." ujar Warok Gandu Pala sambil
tertawa terbahak-bahak
"Hi hi hi... Ha ha
ha..." Pendekar Gila turut tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk
kepala, "Lucu sekali... Kau memang pintar melucu, Gandu Pala. Hi hi
hi..." "Kurang ajar... Kubunuh kau, Pendekar Gila Hea..." dengan
penuh amarah, Warok Gandu Pala menyerang Pendekar Gila. Dibiarkannya Tiga Warok
Bercambuk Sakti yang kehabisan tenaga setelah berkalikali menyerangnya.
Tujuannya kini menghabisi Pendekar Gila, karena jika tokoh ini masih hidup,
dirinya akan sulit untuk membunuh Tiga Warok Bercambuk Sakti. Tetapi jika
Pendekar Gila sudah dapat dibinasakan, maka untuk membunuh ketiga warok tua itu
bagaikan membalik telapak tangan belaka
Dengan ajian 'Kapila Putung'
tubuh Warok Gandu Pala melesat laksana terbang. Tangannya sebatas siku, membara
merah. Wajahnya pun memerah bagaikan terbakar api. Sehingga di tengah gelapnya
malam menjelang subuh itu tubuh Warok Gandu Pala tampak seperti gumpalan bara
api melayang di udara
Melihat lawan telah
mengeluarkan ajian pemungkasnya, Pendekar Gila tak tinggal diam. Menggunakan
Suling Naga Sakti yang dipadukan dengan jurus pamungkas 'Tamparan Sukma'.
Tubuhnya melesat ke atas memapaki serangan lawan. Ditiupnya Suling Naga Sakti
dengan suara melengking. Kemudian ketika tubuhnya telah berada dekat dengan
Warok Gandu Pala, dengan cepat Pendekar Gila melakukan sebuah tamparan pelan
"Hea"
"Yea" "Jlegar" "Akh..." lolongan panjang
terdengar dari mulut Warok Gandu Pala. Tubuhnya terpecah menjadi dua, bagaikan
dibelah golok tajam
Melihat tubuh Warok Gandu Pala
melayang ke bawah, dengan cepat Pendekar Gila melesat mengejar
Tangannya segera menangkap
belahan tubuh Warok Gandu Pala yang sebelah kiri, sedangkan yang sebelah kanan
dibiarkan jatuh ke tanah
"Ki Singo, cepat kalian
kubur belahan itu Yang ini biar kubawa" seru Pendekar Gila sambil
menyelipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya
Tiga Warok Bercambuk Sakti
yang belum pulih benar kekuatan tubuh mereka, tidak segera beranjak melakukan
perintah itu. Mereka seperti belum mengerti maksud Pendekar Gila
"Aha, masihkah kalian
belum sadar, kalau dia memiliki ajian 'Panca Sena'? Ajian yang dimiliki
Rah-wana, jika tubuhnya menyentuh tanah, akan hidup lagi," ujar Pendekar
Gila yang memahami kebingungan mereka bertiga. Tangan terus memegangi bagian
tubuh Warok Gandu Pala sebelah kiri
Ketiga Warok Bercambuk Sakti
membelalakkan mata. Kemudian tanpa diperintah lagi, Warok Sito Kuta melecutkan
cambuknya ke tanah. Seketika itu, lubang besar terbentuk dari hantaman cambuk
itu. Kemudian ketiga warok itu dengan cepat memendam bagian tubuh Warok Gandu
Pala
"Aha, kurasa aku pun
harus segera membuang bangkai ini ke laut, Ki. Semoga Desa Ponorogo menjadi
tenang dan damai. Pilihlah kepala desa yang baik" usai berkata begitu
Pendekar Gila melesat meninggalkan Ketiga Warok Bercambuk Sakti. Ketiganya diam
mematung menyaksikan kepergian Pendekar Gila
"Pendekar Gila,
tunggu..." Sekati yang sejak tadi bersembunyi, berusaha mengejar. Namun
Pendekar Gila telah melesat cepat meninggalkannya. "Sebenarnya, aku ingin
minta maaf padanya, Ayah," "Sudahlah, Anakku. Bagaimanapun kita memang
harus bersyukur karena semuanya telah berakhir. Biarlah bayi yang kau kandung
itu tumbuh. Kelak dia jika lahir, didiklah dengan baik Kalau mungkin, biarlah
Pendekar Gila yang mendidiknya," tutur Warok Singo Lodra
"Ayah..." Sekati
menangis sambil memeluk tubuh ayahnya
Pagi telah datang. Sinar
matahari menerobos di balik rimbun pepohonan. Tiga Warok Bercambuk Sakti dan
Sekati melangkah meninggalkan Hutan Palapiring
Mereka menuju utara, kembali
ke Desa Ponorogo
SELESAI