-------------------------------
----------------------------
Serial Pendekar Gila episode 11 Perjalanan Ke Akhirat
1
Angin pagi berhembus tidak
seperti biasanya. Pagi ini, di sekitar Danau Sambak Neraka angin bertiup sangat
keras. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi.
Angin tiba-tiba bagaikan
mengamuk, menerbangkan debu dan dedaunan kering.
Danau Sambak Neraka yang
terletak di sebelah selatan Desa Krasak, pagi itu masih tertutup kabut tebal
yang dingin. Namun, tidak seperti biasanya angin bertiup sangat kencang seperti
ini. Biasanya angin bertiup tenang, menghembuskan hawa pagi yang sejuk dan
segar, yang akan menambah
kenyamanan suasana pagi.
Pagi yang biasanya cerah
tiba-tiba berubah menjadi suasana yang mencekam dan menakutkan.
Suasana aneh yang rasanya
laksana berada di dalam kematian alam akherat.
Sementara itu, dari arah timur
nampak sesosok tubuh wanita membopong seorang bayi yang masih merah. Wanita
yang nampaknya habis melahirkan itu berlari-lari seperti ada sesuatu yang
dicarinya.
Wajahnya nampak pucat. Seperti
memendam
ketakutan. Sesekali menoleh ke
belakang, memandang ke arah timur. Seakan ada sesuatu yang dikhawatirkannya.
Air mata wanita yang
mengenakan pakaian hijau lumut berparas cantik dengan rambut diikat ekor kuda
itu, meleleh di kedua pipinya.
“Kakang Anjasmara, bagaimana
nasibmu,
Kakang?” keluh wanita cantik
yang bernama Sambi,
sambil terus berlari dengan
tangan masih menggendong bayi. Sementara bayi di gendongannya terdengar
menjerit-jerit tiada henti.
“Oaaa... Oaaa...”
“Cup, Sayang... Cup...” Sambi
berusaha me-nenangkan bayinya yang terus menangis. Bayi itu seperti mengerti
kalau ayah dan ibunya dalam keadaan menderita. Sesaat tangisnya berhenti.
Namun kemudian terdengar
kembali menjerit-jerit, seperti ikut merasakan cekaman rasa takut ibunya.
Sementara itu pula, dari
kejauhan nampak seorang lelaki bertubuh tinggi tegap dengan rambut terurai
panjang, tengah menghadapi sepuluh orang berpakaian kembar warna ungu yang
mengeroyoknya dengan senjata berupa toya.
Lelaki tinggi tegap berwajah
tampan itu tiada lain Anjasmara. Sedangkan kesepuluh lelaki dengan pakaian ungu
dan berkepala botak itu, ternyata Dasa Toya Kuil Merak. Mereka merupakan para
resi dari Kuil Merak.
“Menyerahlah, Anjasmara Kau
harus memper-tanggungjawabkan tindakanmu” seru resi pertama, bernama Kopayana.
Orang itu bertubuh tinggi kurus dan agak bungkuk. Matanya tajam, berhidung
mancung seperti paruh betet, dan berjanggut panjang.
“Ya Kau harus bertanggung
jawab pada Ki
Badawi, karena kau telah
melarikan anaknya”
sambut Resi Udayana, lelaki
bertubuh pendek dengan perut gendut. Wajahnya panjang seperti ular, dengan alis
mata tebal. Hidungnya tidak terlalu mancung seperti resi pertama.
“Itu bukan urusan kalian”
sahut Anjasmara. “Aku bukan menculik Sambi. Kami saling mencintai”
“Tak peduli Yang jelas kau
telah merebut Sambi dari calon suaminya Kau harus bertanggung jawab atas
perbuatanmu” bantah Resi Sadayana, lelaki berbadan besar dengan wajah garang
ditumbuhi kumis tebal melintang.
“Cuh Enak saja kalian bicara
Sumantri-lah yang telah merebut Sambi dari tanganku” sentak Anjasmara sengit,
dituduh kalau dirinya merebut Sambi dari Sumantri. Padahal antara dirinya dan
Sambi telah terjalin ikatan cinta semenjak sama-sama di Perguruan Pedang Darah.
Pertarungan Anjasmara melawan
kesepuluh resi yang bergelar Dasa Toya Kuil Merak nampak seru.
Meski menghadapi sepuluh orang
yang berilmu lumayan, Anjasmara yang merupakan murid kedua dari Perguruan
Pedang Darah nampak tak mengalami desakan yang berarti. Bahkan
serangan-serangan yang dilancarkannya cukup mengejutkan kesepuluh resi berbaju
ungu itu.
Baiklah, untuk mengetahui
siapa sebenarnya Anjasmara, Sumantri, dan Sambi, mari kita kembali pada
kejadian sepuluh tahun yang silam Ketika itu ketiganya masih menjadi satu dalam
didikan seorang tokoh rimba persilatan yang bernama Ki Badawi atau Dewa Pedang.
Sumantri, Anjasmara, dan Sambi
merupakan
kakak beradik pada Perguruan
Pedang Darah.
Ketiganya dididik dan
digembleng oleh guru sekaligus orangtua angkat mereka yang bernama Ki Badawi.
Ki Badawi merupakan orang tua
yang paling sayang terhadap anak-anak telantar. Ki Badawi menemukan Sumantri
dan Anjasmara ketika tengah berlanglang buana. Dua bocah kecil tampan yang
entah anak siapa, berada di tengah hutan. Karena
kasihan, dibawanya pulang.
Kemudian dirawat.
Selang beberapa hari kemudian,
ketika Ki Badawi kembali dari bepergian, dia menemukan seorang bocah perempuan
kecil tengah menangis di tengah-tengah amukan api.
Ki Badawi yang melihat bocah
kecil menangis di antara gelimpangan mayat warga Desa Pasuruhan, segera
mengambil anak itu. Kemudian membawanya pula ke perguruan yang berada di Bukit
Cagar Buana.
Dididik dan diasuhnya ketiga
anak itu dengan penuh kasih sayang. Sehingga tumbuhlah ketiganya menjadi
dewasa. Mereka menjadi pemuda-pemudi yang tampan dan cantik jelita. Yang lelaki
diberi nama Sumantri dan Anjasmara. Sedang yang perempuan bernama Sambi.
Semenjak kecil, di antara
mereka memang
senantiasa terjadi
perselisihan. Dari dulu, Sumantri yang memiliki watak ingin menang sendiri,
selalu berusaha mengalahkan Anjasmara. Namun
Anjasmara tidak bisa
dikalahkan begitu saja.
Sikap ingin menang sendiri
selalu ditunjukkan Sumantri, baik di setiap latihan, maupun ketika melakukan
kegiatan sehari-hari. Mulanya Ki Badawi menganggap persaingan itu hal yang
biasa saja, karena mereka masih anak-anak. Biasanya anak-anak kecil memiliki
sikap ingin menunjukkan keunggulan dirinya.
Persaingan antara Sumantri dan
Anjasmara berlangsung terus-menerus tiada henti. Sampai mereka sama-sama tumbuh
menjadi pemuda. Pemuda
dewasa yang gagah dan tampan,
persaingan terus terjadi.
Pada masa ini, kedua pemuda
tampan itu tidak lagi bersaing untuk membuktikan ketinggian ilmu
mereka. Sumantri menyadari
kalau ilmu yang dikuasainya tidak sehebat milik saudara angkatnya itu. Karena
Sumantri memang tidak setekun Anjasmara. Dirinya sering kurang giat dalam
berlatih.
Di samping sering merasa manja
dan besar kepala karena Ki Badawi memang lebih menyayangi dirinya ketimbang
terhadap Anjasmara maupun Sambi.
Kini Sumantri berusaha hendak
mendapatkan adik angkatnya yang cantik jelita itu. Beberapa kali Sumantri
berusaha mendekati Sambi, tapi gadis cantik yang juga memiliki ilmu pedang itu
terus berusaha menolaknya.
Sampai pada suatu hari, ketika
Sambi tengah mandi di sebuah pancuran, diam-diam Sumantri mengikutinya.
Sambi yang tidak menduga kalau
Sumantri
mengikutinya, tanpa
segan-segan membuka
pakaiannya. Kemudian dengan
bernyanyi-nyanyi tubuhnya dicemlungkan ke kubangan air pancuran.
Menyaksikan pemandangan yang
menggiurkan, darah lelaki bertubuh tinggi tegap dengan kumis menghias di atas
bibirnya itu seketika bergolak laksana air pancuran. Lelaki muda berpakaian
abu-abu tanpa lengan dan berambut panjang dengan ikat kepala kulit macan tutul
itu, merasakan getaran yang dahsyat dalam jiwanya.
Hampir saja dia melakukan
sesuatu yang tercela.
Namun tiba-tiba Sumantri ingat
akan segala petuah gurunya.
“Jika kau mencintai seseorang,
katakanlah dengan kejujuranmu Aku akan bangga, memiliki anak yang menjunjung
tinggi kehormatan kaum yang lemah.”
Sumantri tersentak dan
mengurungkan niatnya memperkosa Sambi. Bergegas dia pulang ke
perguruan. Ketika dilihatnya
Anjasmara sedang bekerja membelah kayu, Sumantri tersenyum sinis.
Namun Anjasmara tak
menggubrisnya, dia tetap membelahi kayu-kayu yang akan digunakan untuk memasak.
Namun ketika Sumantri masuk ke rumah gubuk tempat gurunya berada, seketika perasaan
lelaki berpakaian rompi dari kulit rusa ini berubah.
Pemuda tampan berhidung
mancung dengan
kumis tipis menghias di atas
bibirnya, dan bermata tajam laksana mata burung elang itu menghentikan
pekerjaannya. Kening Anjasmara berkerut seperti ada sesuatu yang tengah
dipikirkan. Entah mengapa, seketika dia ingin tahu apa yang sedang diadukan
Sumantri pada Ki Badawi.
Dengan hati-hati, Anjasmara
berusaha mendengar aduan yang tengah disampaikan Sumantri pada guru mereka.
Matanya terbelalak, ketika mendengar apa yang tengah diadukan Sumantri pada Ki
Badawi.
“Guru, terus terang aku
mencintai Sambi. Kuharap Guru sudi menjodohkan kami, karena kami sama-sama
mencintai,” kata Sumantri berdusta.
Anjasmara menarik napas
dalam-dalam. Seketika perasaannya bergemuruh riuh tidak karuan.
Benarkah Sambi juga mencintai
Sumantri? Tanya Anjasmara dalam hati. Sungguh wanita murahan jika dia membagi
cintanya untuk Sumantri dan diriku.
Anjasmara kembali memusatkan
perhatiannya pada pembicaraan gurunya dan Sumantri.
“Apa kau tak salah ngomong,
Mantri?” tanya Ki Badawi.
“Tidak, Guru. Aku yakin kalau
Sambi mencintaiku.”
“Kau sudah mengatakan
padanya?”
“Sudah, Guru. Bahkan jika Guru
merestui, Sambi bersedia menikah secepatnya,” jawab Sumantri
berbohong, berusaha meyakinkan
gurunya.
Dari dalam terdengar helaan
napas Ki Badawi.
Sepertinya orang tua berambut
digelung seperti para resi dengan pakaian jubah putih itu dalam keadaan
bingung. Bagaimanapun juga, Ki Badawi sering melihat Sambi bersama Anjasmara
ngobrol. Itu yang meyakinkan Ki Badawi kalau Sambi mencintai Anjasmara, bukan
Sumantri Tapi kini, tiba-tiba Sumantri mengatakan kalau dirinya dan Sambi telah
sepakat untuk menjadi suami istri.
Kurang ajar kau, Sumantri
Dengus Anjasmara dalam hati. Celaka kalau guru sudah membicara-kannya pada
Sambi. Gadis itu tentu akan menurut apa kata Guru
Karena dihinggapi rasa takut
kalau Sambi akan menurut kata-kata guru mereka, Anjasmara yang tahu bahwa Sambi
sedang mandi, segera berlari ke pancuran. Dia tidak ingin Sambi dimiliki oleh
Sumantri. Dari dulu dirinya selalu mengalah terhadap Sumantri. Haruskah kini
dia juga mengalah? Padahal masalah ini sangat penting, karena menyangkut harga
diri. Pikir Anjasmara yang hatinya semakin kalut.
“Kakang, ada apa kau menyusul
ke sini?” tanya Sambi ketika melihat Anjasmara menyusul dirinya saat mandi di
pancuran.
“Cepatlah naik, Sambi Aku
ingin bicara denganmu,” sahut Anjasmara buru-buru.
“Nampaknya kau tak sabar,
Kakang. Kenapa...?”
tanya Sambil masih belum
memahami apa yang membuat pemuda tampan kekasihnya itu tampak tak sabar, tidak
seperti biasanya. Biasanya Anjasmara nampak tenang dan sabar. Dan karena
sikapnya yang tenang itu, Sambi memilih Anjasmara menjadi
kekasihnya.
“Naiklah, Sambi” perintah
Anjasmara semakin tak tenang.
Dengan wajah diliputi perasaan
heran, Sambi pun menurut. Sampai-sampai ia lupa kalau tubuhnya dalam keadaan
telanjang.
“Ada apa, Kakang?” tanya
Sambi.
“Pakailah pakaianmu dulu”
sahut Anjasmara setelah terpaku memandangi keadaan tubuh
kekasihnya yang mulus dan
kuning langsat.
“Heh... Oh I... iya. Aku
sampai lupa.”
Sambi agak kaget dan malu.
Lalu cepat-cepat menutup bagian terlarang di tubuhnya dengan tangan. Kemudian,
kakinya melangkah untuk mengambil pakaiannya yang tergeletak di atas batu yang
permukaannya datar. Dan dengan terburu-buru pakaiannya segera dikenakan.
“Ada apa?” tanya Sambi setelah
mengenakan pakaiannya. Matanya memandang penuh keheranan pada pujaan hatinya
yang kelihatan gelisah. “Kau tampak gelisah, Kakang. Katakanlah Apa yang
terjadi?”
Anjasmara menghela napas
panjang.
“Benarkah kau telah bersepakat
akan menikah dengan Sumantri?”
“Hah? Apa...?” Sambi terkejut
mendengar pertanyaan kekasihnya. Keningnya berkerut, matanya memandang tak
berkedip ke wajah Anjasmara.
“Siapa yang berkata begitu,
Kakang?”
“Sumantri. Dia mengadu pada
guru dan meng-inginkan agar guru merestui pernikahannya denganmu,” sahut
Anjasmara agak marah.
“Oh Mengapa Kakang Sumantri
berbuat itu?
Tidak, Kakang Cintaku hanya
untukmu. Ke mana pun
kau bawa, aku akan menurut.
Aku hanya ingin mengabdi padamu,” keluh Sambi berusaha meyakinkan kekasihnya.
“Kalau begitu, sebelum guru
dan Sumantri
melakukan semuanya, sebaiknya
kita minggat dari sini” ajak Anjasmara.
Sambi pun setuju dengan tekad
itu. Tanpa
sepengetahuan Ki Badawi dan
Sumantri keduanya meninggalkan Bukit Cagar Buana yang berada di sisi Hutan
Prajawelerang.
Waktu berlalu. Keduanya
menjadi satu dalam hidup. Sampai akhirnya pasangan Anjasmara dan Sambi
dikaruniai seorang bayi laki-laki mungil.
Sementara, kabar tentang
Sumantri dan Ki Badawi tak pernah terdengar di telinga mereka berdua.
Sampai pada akhirnya, entah
dari mana sumbernya, banyak para tokoh persilatan mencari Anjasmara dan Sambi.
Mereka mengaku diperintah Ki Badawi untuk menangkap Anjasmara dan Sambi. Hingga
Anjasmara dan Sambi yang baru memiliki seorang bayi kecil itu harus lari untuk
menyelamatkan diri, meninggalkan Hutan Semar Kembar tempat keduanya bersembunyi
selama ini.
***
Pertarungan Anjasmara yang
bersenjatakan
pedang melawan Dasa Toya Kuil
Merak masih berjalan seru. Nampaknya murid dan anak angkat Ki Badawi bukanlah
lawan yang enteng bagi kesepuluh resi dari Kuil Merak itu. Bahkan beberapa kali
Anjasmara mampu membuat kewalahan kesepuluh lawan-lawannya.
Dengan jurus 'Lingkaran Pedang
Sinar' Anjasmara
mampu membuat kesepuluh resi
yang berusaha menangkapnya kalang-kabut. Dan mau tak mau mereka harus melompat
ke belakang mengelakkan dan menjauhi serangan pedangnya.
“Heaaa...”
“Setan” maki Resi Narayana
kaget sambil
melompat mundur, mengelakkan
babatan pedang lawan yang cepat, sehingga mampu membuat
gerakan memutar membentuk
lingkaran. Namun....
Wuttt
Brettt
“Uts Setan gundul...” maki
Narayana sengit, ketika pakaian resinya sobek terkena sabetan pedang Anjasmara.
Lelaki botak dengan hidung pesek itu mengumpat dan mencaci-maki dengan kesal.
Kalau saja dia terlambat mengelak, sudah pasti perutnya yang agak buncit itu
terkena sabetan pedang Anjasmara.
“Bedebah Rupanya tikus ini
minta mampus”
dengus Andayana sengit,
menyaksikan kemampuan lawan. Toya di tangannya diputar cepat dengan jurus
'Toya Dewa Mengundang Bayu'.
Dari putaran toyanya, keluar angin kencang yang dahsyat.
Menyaksikan Andayana telah
memutar tongkatnya dengan jurus 'Toya Dewa Mengundang Bayu', kesembilan resi
lainnya serentak melakukan hal yang sama.
“Kuremukkan batok kepalamu,
Tikus Busuk”
dengus Resi Dupayana.
“Heaaa...”
Lelaki botak bertubuh kurus
dan jangkung dengan mata juling itu menggebrak ke arah lawan, diikuti oleh
rekan-rekannya menyerang Anjasmara dengan jurus
'Toya Dewa Mengundang Bayu'.
“Hiaaat...”
Wuttt
“Heaaa...”
Teriakan-teriakan nyaring
mengawali serangan Dasa Toya Kuil Merak memburu lawan.
“Yeaaa...” Anjasmara yang
merasakan angin keluar dari toya mereka, dengan cepat mengubah jurus pedangnya.
Kali ini dengan jurus 'Sapuan Angin Menerjang Belantara', dia menghadang
serangan kesepuluh lawannya.
Siiing... Siiing...
Pertempuran kembali berjalan
dengan seru.
Dengan jurus andalan, para
resi itu berusaha mendesak Anjasmara. Toya di tangan Dasa Toya Kuil Merak
bergerak cepat, hingga menimbulkan angin yang keras dan menyentak.
Wuttt Wuttt
Wusss...
Dasa Toya Kuil Merak nampaknya
tidak mau
mengalami kekacauan serangan
mereka seperti tadi.
Kesepuluh resi itu terus
bergerak dengan kompak.
Satu menyerang, yang lainnya
bergerak melindungi dan ganti menyerang. Gerakan mereka begitu serasi dan susul
menyusul dengan jurus 'Dasa Merak Terbang dan Hinggap Sambil Mematuk'.
Seorang dari Dasa Toya Kuil
Merak menyerang dengan cepat, kemudian dengan cepat pula tubuhnya merunduk.
Dari belakang melesat di atas tubuh rekannya, lalu menyerang ke tubuh
Anjasmara. Begitu seterusnya susul-menyusul. Siapa yang telah menyerang, segera
merundukkan tubuh untuk dilompati rekannya untuk menyerang lawan.
“Hiaaat...”
Wuttt Wuttt
Hebat juga jurus 'Dasa Merak
Terbang dan
Hinggap Sambil Mematuk'.
Dengan jurus itu, kesepuluh resi dari Kuil Merak mampu mendesak Anjasmara.
Sehingga pendekar pedang dari
Perguruan Pedang Darah itu
harus menguras tenaga untuk dapat mengelakkan serangan beruntun dan
susul-menyusul yang di lancarkan kesepuluh resi itu.
“Uts Celaka... Ilmu apa yang
digunakan
kesepuluh resi ini?” tanya
Anjasmara setengah mengeluh lirih sambil bergerak mengelakkan pentungan toya
kesepuluh resi berkepala botak itu.
Dia tidak diberi kesempatan
sedikit pun untuk balas menyerang ke arah lawan-lawannya.
Dasa Toya Kuil Merak tak
pernah berhenti
menyerang. Satu menyerang,
yang lainnya menyusul dengan serangan yang sama dan cepat. Hal itu cukup
merepotkan Anjasmara yang hanya seorang diri.
Terlebih tenaganya terkuras
dalam pertarungan yang berjalan lama.
“Menyerahlah, Tikus Busuk”
seru Resi Indrayana sambil menggerakkan toyanya menyerang.
Wuttt
“Benar Menyerahlah, agar kau
tak mati percuma”
sambung Resi Trijayana seraya
melompat meng-gantikan kedudukan Indrayana. Lelaki berusia sekitar tiga puluh
lima tahun dengan kumis tebal melintang, serta badan gendut itu terus merangsek
ke arah Anjasmara.
“Cuh Kalianlah yang busuk
Kalian telah berlaku tidak selayaknya sebagai para resi. Hanya karena tergiur
hadiah dan imbalan yang diberikan Sumantri keparat itu, kalian rela melepas
kedudukan sebagai resi” dengus Anjasmara tak mau kalah.
“Kurang ajar Lancang sekali
mulutmu, Bocah”
bentak Resi Warayana. Mata
lelaki bertubuh kaku ini
nampak garang. Hidungnya yang
besar kembang-kempis, dengan napas mendengus marah.
“Kupecahkan batok kepalamu,
Setan” sambung Resi Ragayana. Bergantian dengan Resi Warayana, Resi Ragayana
menyerang ke arah Anjasmara.
Serangan mereka semakin gencar
dan dahsyat, mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Ketika petarungan masih berjalan
sengit, dan Anjasmara dalam keadaan terdesak, tiba-tiba angin badai berhembus
dahsyat menggulung tempat pertempuran.
Wusss...
“Wuaaa...”
Kesepuluh resi itu berusaha
mengelakkan
terjangan angin yang datangnya
sangat kencang, namun gerakan mereka terlambat. Akibatnya, tubuh berpakaian
ungu itu tersapu badai dahsyat. Tubuh mereka mencelat ke belakang laksana
terbang.
Anjasmara tersentak kaget.
Matanya terbelalak ketika tiba-tiba di dalam gulungan angin yang membentuk
pusaran itu terlihat sosok wanita yang sudah sangat dikenalnya.
“Sambi...” seru Anjasmara
sambil berlari memburu angin besar yang berpusar dan bergerak mengelilingi
Sambi yang menggendong bayinya.
“Ka..., Kakang...”
“Sambi...”
Anjasmara terus berlari dengan
wajah cemas, menyaksikan istri dan anaknya dalam kekuasaan angin besar yang
terus menggulung keduanya.
Dengan nekat, Anjasmara segera
menerobos masuk ke putaran angin kencang itu.
“Sambi...”
Seketika tubuh Anjasmara
ditelan pusaran angin
besar di mana istri dan
bayinya berada. Angin besar bergulung-gulung itu terus berputar. Tapi anehnya,
setelah Anjasmara masuk di dalamnya, tiba-tiba angin itu bergerak meninggalkan
tepian Danau Sambak Neraka. Angin itu terus bergerak ke arah air danau yang
sangat dalam.
Byurrr Byurrr...
Tubuh Sambi dan Anjasmara
jatuh ke dalam air Danau Sambak Neraka. Bayi dalam pelukan Sambi pun tetap
dibawanya. Tidak terdengar sedikit pun suara tangisnya. Mereka terus dibawa ke
tengah danau yang sangat luas itu. Baik Sambi maupun Anjasmara, tak mengerti
akan dibawa ke mana diri mereka.
Ternyata angin bergulung dan
berputar-putar itu terus mengusung mereka ke Pulau Karang Api yang berada di
tengah-tengah Danau Sambak Neraka.
Semakin dekat tampaklah pulau
itu menyala merah laksana api. Dan karena itulah pulau itu dinamakan Pulau
Karang Api.
Sementara itu, tubuh Anjasmara
dan Sambi yang tercebur ke Danau Sambak Neraka seketika mengalami perubahan.
Tubuh mereka memanjang. Wajah mereka kini pun berubah, dengan mulut moncong ke
depan. Lalu mata mereka menyipit dan kepala mereka tumbuh tanduk. Tubuh yang
memanjang perlahan-lalian ditumbuhi sisik. Keduanya kini berubah menjadi dua
ekor naga berwarna merah dengan mata yang membara bagaikan mengandung api
“Ssszzzt...”
Kedua sosok yang telah berubah
menjadi naga itu menggeliat. Matanya tajam memandang ke daratan.
Kemudian dari mulut dan mata
keduanya
menyemburkan api yang membara
ke arah sepuluh resi yang tengah berlari ke arah Danau Sambak Neraka.
Wurrrs...
“Wuaaa...”
Kesepuluh resi yang tak
menyangka akan
mendapat serangan berupa
semburan api dari tengah danau itu terkejut bukan main. Tiada ampun lagi, tubuh
mereka terbakar hangus.
Saat itu, tiba-tiba terdengar
suara keras dan bergema di sekitar Danau Sambak Neraka. Tampaknya suara itu
milik seorang lelaki.
“Kalian telah menjadi wargaku
Kalian berdua telah menjadi anak-anakku. Biarlah anak kalian kudidik Kelak, dia
akan menjadi pemuda perkasa
Hua ha ha...”
Kedua naga berwarna merah itu
terdiam,
kemudian dengan gerakan yang
lamban, mereka menyelam ke kedalaman air Danau Sambak Neraka.
***
Sepuluh tahun sudah peristiwa
di Danau Sambak Neraka berlalu. Sumantri masih berpikir tentang Anjasmara dan
Sambi, yang raib entah ke mana. Dia juga masih berpikir, siapa yang telah
menewaskan kesepuluh resi dari Kuil Merak di tepi Danau Sambak Neraka.
Suasana pagi yang cerah nampak
melingkupi di sekitar Danau Sambak Neraka. Matahari yang baru saja muncul di
ufuk timur bersinar merah tembaga.
Nampak seorang lelaki berusia
sekitar tiga puluh lima tahun dengan kumis tebal dan jenggot pendek, berpakaian
khas saudagar tengah melangkah
menyusuri tepian Danau Sambak
Neraka.
Lelaki tampan dengan rambut
terurai panjang berbaju jubah abu-abu itu ternyata Sumantri. Dia tampak tengah
mengawasi sekitar Danau Sambak Neraka. Pikirannya masih belum menerima
peristiwa aneh sepuluh tahun silam di tepi danau itu.
“Aneh,” gumam Sumantri lirih
sambil matanya memandang ke sekeliling Danau Sambak Neraka.
“Bagaimana mungkin Anjasmara
dan Sambi
menghilang?”
Selama sepuluh tahun terakhir
ini, Sumantri telah beberapa kali membayar orang-orang rimba persilatan untuk
mencari kedua orang yang raib bagai ditelan bumi itu. Tapi selalu saja
mengalami kegagalan. Tak satu pun orang-orang suruhannya yang menemukan jejak
Anjasmara dan Sambi.
“Mungkinkah mereka benar-benar
menghilang?”
tanyanya pada diri sendiri.
“Ah, tidak mungkin Guru tak pernah mengajari Anjasmara dan Sambi ilmu
menghilang....”
Sumantri terus berdiri di tepi
Danau Sambak Neraka. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika memandang arah Pulau
Karang Api di tengah-tengah danau.
“Heh Apakah aku tak salah
lihat?” gumam Sumantri terkejut, ketika matanya melihat seorang bocah berusia
sekitar sepuluh tahun berbadan penuh sisik tengah berlari-lari kecil.
Bocah bertubuh penuh sisik itu
tampaknya merasa ada yang memperhatikan. Wajahnya memandang ke arah Sumantri.
“Ah Bocah atau setan?”
Kembali Sumantri terkejut,
menyaksikan mata bocah itu berwarna merah membara laksana api,
menyorot tajam wajahnya. Bukan
hanya itu yang membuat Sumantri tersentak kaget. Ternyata gigi bocah kecil itu
bertaring menyeramkan, ketika menyeringai memandangnya.
“Ghrrr...
Terdengar suara keras
menggelegar, ketika bocah kecil penghuni Pulau Karang Api itu menyeringai.
Bersamaan dengan itu, seketika
hawa panas menyelubungi sekitar danau, membuat Sumantri tersentak.
“Uh, celaka Apa yang dilakukan
bocah setan itu?”
keluh Sumantri. Tubuhnya kini
menggeliat-geliat bagaikan dipanggang di atas bara api yang sangat panas.
“Wuaaa... Aaa...”
Sumantri menjerit-jerit
merasakan hawa panas yang tiada terkira menyengat tubuhnya. Dirasakan tubuhnya
seperti dikelilingi api yang membara.
“Aaa...”
Pekikan keras kembali
terdengar dari mulut Sumantri yang terus berusaha mempertahankan tubuhnya agar
tidak mati lemas oleh hawa panas.
Namun, semakin mengerahkan
tenaga dalam untuk melawan pengaruh panas yang menyengat tubuhnya, hawa panas
terasa semakin menjadi-jadi.
“Celaka Aku bisa mati terbakar
kalau terus-menerus di sini,” keluh Sumantri.
Sumantri berusaha menjauh dari
tepi danau.
Nampaknya dia berhasil. Dengan
cara beringsut menggunakan lututnya yang tertekuk, Sumantri berusah menggeser
kedudukannya semakin menjauh dari tempat itu.
“Bocah setan Bagaimana mungkin
bocah sekecil itu memiliki kekuatan api yang kuat, sampai mampu
menyerangku?” umpat Sumantri
lirih sambil terus beringsut menjauh.
Wusss...
Angin menderu kencang ke arah
tubuh Sumantri.
Seketika itu pula, tubuhnya
melayang terbawa angin kencang itu.
“Wuaaa...”
Sumantri menjerit ketakutan
ketika tubuhnya diterbangkan angin dahsyat itu dan terlempar sekitar seratus
tombak jauhnya dari tepian danau.
Brukkk
“Aduh... Angin setan” maki
Sumantri yang tampak marah.
Wusss...
Tiba-tiba angin dahsyat itu
berhembus ke arahnya.
Angin badai itu seakan-akan
tahu ucapan Sumantri barusan. Mata lelaki itu terbelalak kaget dan ketakutan.
Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya.
“Oh Tidaaak... Ampun,
jangan....” pekik Sumantri ketakutan.
Dan anehnya lagi, angin itu
bagaikan mengerti apa yang diminta Sumantri. Seketika angin itu bergulung dan
berputar-putar di depan tubuhnya. Seolah-olah mengatakan sesuatu dan mengancam
Sumantri.
Sesaat kemudian angin besar
itu bergerak cepat kembali ke Danau Sambak Neraka.
“Aneh” gumam Sumantri
keheranan tak mengerti.
“Bagaimana mungkin angin bisa
mengerti ucapan-ku?”
Sumantri masih terduduk
terbengong-bengong keheranan terhadap kejadian yang baru saja dialaminya.
“Aneh Benar-benar ada yang
aneh di Pulau
Karang Api itu. Aku yakin,
pulau itu ada penghuninya,”
kata Sumantri sambil berlari
meninggalkan tempat yang bernama Lembah Akherat ini.
Bergidik juga hati Sumantri
jika teringat kejadian yang baru saja dialaminya. Rasanya sangat tak masuk
akal. Bagaimana mungkin bocah kecil berusia sepuluh tahun berbadan penuh sisik
mampu
mengeluarkan kekuatan
sedahsyat itu? Bocah bertubuh penuh sisik dengan mata merah laksana api itu
mampu mengeluarkan hawa panas. Juga mampu mengerahkan angin aneh.
“Bocah itu tentunya bocah
sakti. Ah, kalau saja aku bisa mendapatkannya, tentu aku akan menjadi orang
yang tak tertandingi di rimba persilatan. Bocah kecil itu dapat kumanfaakan.
Hua ha ha... Sumantri akan menjadi orang yang ditakuti Aku harus mendapatkan
bocah itu...” gumam Sumantri sambil terus berlari meninggalkan Lembah Akherat.
***
2
Setelah menitipkan Mei Lie
pada Ki Gede Mantingan, Sena melanjutkan pengembaraannya untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Karena itu merupakan tanggung
jawabnya sebagai pendekar. Selain itu, batinnya tidak suka melihat penderitaan
dan kesengsaraan orang lemah ditindas dan disiksa oleh yang kuat dan durjana.
Setelah menghancurkan Istana
Tengkorak Merah, Sena dan Mei Lie diajak Ki Gede Mantingan singgah di
padepokannya yang bernama Padepokan Karang Tinalang. Letak padepokan itu berada
di sebelah selatan Desa Karapan dan Desa Sala Kapitu.
Tepatnya di Bukit Singgala
Putri (Mengenai Ki Gede Mantingan, silakan baca serial Pendekar Gila dalam
episode “Tengkorak Darah”).
Setelah tiba di Padepokan
Karang Tinalang, akhirnya Sena menitipkan Mei Lie pada orang tua yang baik itu.
Mulanya Mei Lie menolak, tetap setelah Ki Gede Mantingan turut menasihati,
akhirnya gadis itu pun menurut. Terlebih Ki Gede Mantingan telah menganggap Mei
Lie sebagai anaknya sendiri, karena orang tua itu tidak dikarunai anak.
Masih teringat di benak Sena
ucapan Mei Lie ketika hendak melepas kepergiannya.
“Kakang, jangan lupakan aku
Aku akan selalu menunggumu. Aku akan tetap menunggu dan
mencintaimu,” bisik Mei Lie
sambil merebahkan kepalanya di dada Sena.
Rasa haru dan syahdu beraduk
menjadi satu dada.
Sena mendengar kata-kata Mei
Lie. Dengan lembut tangannya membelai rambut gadis itu.
“Aku akan mengingatmu, Mei
Lie.”
“Terima kasih, Kakang Aku akan
setia
menunggumu. Menunggu
janjimu....”
Sena tersenyum seraya memeluk
Mei Lie penuh kasih sayang. Kemudian dengan perasaan syahdu, kakinya melangkah
meninggalkan gadisnya yang nampak melambaikan tangan dengan mata berkaca-kaca
Bayangan perpisahannya dengan
Mei Lie seketika hilang, ketika tiba-tiba telinganya mendengar jeritan seorang
wanita di tengah Hutan Dadap Wangi tempat dirinya berada kini.
“Tolong... Tidak...”
“Hei.... Kudengar ada seorang
wanita meminta tolong,” gumam Sena dengan kening berkerut.
Kemudian dapasangnya telinga
tajam-tajam, berusaha mendengar suara jeritan tadi.
“Tolong... Lepaskan aku,
Biadab” suara wanita itu kembali terdengar, diikuti oleh caci-makinya.
“Hm, ada juga manusia durjana
yang masih
senang iseng,” kata Sena
sambil cengengesan.
Tangannya menggaruk-garuk
kepala. Kemudian tertawa cekikikan. “Hi hi hi... Lucu sekali Aha, coba
kulihat.”
Sena segera melompat ke atas
cabang sebatang pohon yang tinggi, agar bisa melihat ke sekeliling tempat di
tengah Hutan Dadap Wangi.
“Hop Ya...”
Tap
Kedua kakinya hinggap begitu
ringan di cabang pohon jati yang banyak tumbuh di hutan itu.
Kemudian dengan cengengesan
matanya me-
mandang ke sekeliling tempat
itu.
“Tolong Bajingan, lepaskan...”
suara wanita itu kembali terdengar, tapi belum nampak di mata Sena.
“Tak akan ada yang menolongmu
Kau harus
menyerahkan tubuhmu pada kami”
kini terdengar suara seorang lelaki mengancam.
Pendekar Gila nyengir sambil
pandangannya beredar ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari dari mana asal
suara tadi. Dan seketika matanya melihat serumpun semak belukar
bergoyang-goyang.
“Aha, itu dia” ujar Sena
seraya melompat ke semak-semak yang bergoyang. “Hop Ya”
Dua orang lelaki berpakaian
merah kecoklatan tiba-tiba tersentak kaget begitu di samping mereka telah berdiri
seorang pemuda berpakaian kulit rompi ular yang cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
“Hua ha ha... Kenapa kalian
kaget?” tanya Sena masih bertingkah laku seperti orang gila. “Ah ah ah...
Kupanya kalian sedang asyik
berpesta Kenapa tak mengundangku? Hi hi hi...”
“Siapa kau?” bentak lelaki
berwajah garang dengan rambut kaku seperti landak.
“Ha ha ha... Aku...?” balik
Sena bertanya.
Kemudian mulutnya nyengir
kuda. Matanya menatap sosok wanita muda yang pakaiannya morat-marit tak karuan.
“Ah, aku tak ingat namaku. Hi hi hi... Siapa kalian berdua?”
Membelalak mata kedua lelaki
berwajah garang itu, mendengar kata-kata Sena yang persis orang gila.
“Pemuda gila dari mana dia?”
gumam lelaki berkumis tebal dengan mata lebar. Rambutnya juga kasar berdiri
seperti landak.
“Hei, Bocah Gila
Ketahuilah...,” ujar lelaki bertubuh tinggi dan beralis tebal. “Aku Cakal
Genala”
“Dan aku, Cakil Gering”
sambung rekannya yang bertubuh agak kurus, berkumis tebal melintang di bibir
tebal. “Ha ha ha... Kami bergelar Dua Landak Hutan Dadap Wangi. Kamilah
penguasa dan penghuni hutan ini”
“Hua ha ha... Gila... Hi hi
hi... Kalianlah yang gila” balik Pendekar Gila sambil berjingkrak-jingkrak
seperti monyet. Sementara tangan kanannya menggaruk-garuk kepala dan tangan
kiri menepuk-nepuk pantat
“Bocah gendeng Pergi sana
Jangan ganggu kami” bentak Cakil Gering dengan mata melotot.
Rambutnya yang berdiri seperti
bulu landak, kian meregang kaku.
Dibentak begitu rupa, bukan
membuat Sena takut atau lari. Malah dengan sengaja tingkahnya dibuat konyol.
Dengan tenangnya dia melangkah menghampiri gadis cantik yang gaun kuningnya
sudah awut-awutan. Dara cantik itu ketakutan melihat Sena menghampiri. Kemudian
dengan tenang Sena
memegang tangan kiri gadis
itu.
“Aha, boleh juga Bagaimana
kalau gadis ini untukku?” tanya Sena pada Dua Landak Hutan Dadap Wangi, yang
semakin bertambah marah melihat kelancangan dan kekonyolan pemuda itu.
“Kurang ajar Minggat kau dari
sini” dengus Cakal Genala sambil melepaskan jotosan ke arah Pendekar Gila
dengan jurus 'Serudukan Landak'.
“Eits Ah, galak amat kau, Ki?
Mengapa kau tidak mau membagi aku? Aduh kepalaku...” seru Sena sambil bergerak
cepat memnduk, mengelakkan serangan Cakal Genala. Tubuhnya bergerak meliuk ke
bawah dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'.
“Hi hi hi... Rupanya kau belum
pernah ditampar singa, Ki. Nih...”
Dengan tangan menepuk ke arah
dada lawan, Sena bergerak meliuk. Gerakannya sangat lambat, membuat lawan
menyangka kalau serangan Sena lemah dan tak perlu ditakuti. Hingga....
Bukkk
“Aaakh...” Cakal Genala
terpekik kesakitan.
Lelaki berhidung bulat itu
sungguh tak menduga kalau pukulan lawan yang tampak pelan itu ternyata begitu
keras. Soalnya gerakan Pendekar Gila tampak lamban dan lemah sekali. Tubuh
lelaki berambut kaku itu terlempar deras ke belakang, bagaikan terdorong
kekuatan yang dahsyat. Tubuh Cakal Genala baru berhenti, ketika membentur pohon
dadap berduri.
Brak
Crab
“Wuaaa...” kembali Cakal
Genala memekik
kesakitan. Punggungnya
tertancap duri-duri pohon dadap.
“Hi hi hi... Lucu.. Kenapa
kau, Ki? Kalau lari, jangan mundur Itulah akibat orang lengah” kata Sena ambil
berjingkrak-jingkrak seperti orang gila.
Mulutnya nyengir.
“Bocah edan Kuremukkan
kepalamu Heaaa...”
Cakil Gering yang merasa
saudaranya
dipermainkan begitu rupa oleh
pemuda tampan berbaju rompi kulit ular, segera melancarkan serangan dengan
pukulan tangan kirinya menggunakan juris 'Landak Mengais'.
“Heaaa” tangan Cakil Gering
melakukan gerakan menyibak cepat, lalu memukul keras ke perut
Pendekar Gila yang masih
tampak cengengesan.
Melihat lawan menyerang,
dengan cepat Sena menarik kakinya ke belakang. Diangkatnya kaki agak tinggi,
kemudian dengan cepat didengkulnya kepala lawan yang agak merunduk.
“Hi hi hi... Kau rupanya
mencari sesuatu, Ki. Aha, kuberi sop lututku Hih...”
Cakil Gering tersentak melihat
gerakan Pendekar Gila. Segera ditariknya kembali serangan tadi. Tubuhnya
didongakkan, lalu bergerak ke samping.
Kemudian dengan cepat bersalto
ke samping, ketika melihat tangan Pendekar Gila kembali menepuk.
“Uts Ilmu edan” makinya yang
telah tahu bagaimana hasil tepukan tangan Sena. Meski kelihatannya lamban dan
lemah, ternyata tepukan itu begitu dahsyat dirasakan. Dengan tepukan itu,
Pendekar Gila telah mampu mendorong tubuh Cakal Genala begitu keras. Sehingga
tubuh lelaki itu terkulai pingsan setelah menerjang pohon berduri.
Mata Cakil Gering terbelalak,
setelah merasakan angin keras dari tepukan tangan Pendekar Gila.
“Edan Jurus apa yang
digunakannya?” gumam Cakil Gering masih tak mengerti dan heran. “Padahal
gerakannya sangat lamban dan lemah. Tapi dari anginnya saja, mampu menyentakkan
tubuhku.”
Pendekar Gila tertawa
tergelak-gelak. Tingkah lakunya persis seekor monyet. Hal itu semakin membuat
Cakil Gering mengerutkan kening, berusaha mereka-reka siapa sebenarnya pemuda
yang bertingkah seperti orang gila itu.
“Mungkinkah dia yang berjuluk
Pendekar Gila? Ah, dilihat dari tingkah lakunya, semua persis dengan ciri-ciri
pendekar muda itu. Mungkin dia orangnya,”
gumam Cakil Gering.
“Hi hi hi... Kenapa melongo,
Ki? Nanti kau kerasukan setan,” ujar Sena sambil cengengesan.
“Pergilah Jangan sampai aku
memberimu hadiah”
Cakil Gering yang merasa tidak
unggulan menghadapi pemuda itu segera mundur. Dia semakin yakin dengan
dugaannya kalau pemuda di hadapannya pastilah Pendekar Gila.
“Ayo pergi Jangan ganggu aku
bermesraan
dengan gadis ini Ayo pergi”
bentak Sena dengan garang.
“Baik... Baik, aku akan
pergi,” sahut Cakil Gering ketakutan.
“Hua ha ha... Bawa sekalian
tikus itu”
Cakil Gering merangkak
mendekati saudaranya yang masih terkulai pingsan. Kemudian dengan mata menatap
tegang pada Pendekar Gila, Cakil Gering segera memondong tubuh saudaranya.
Kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dengan cepat tempat itu ditinggalkannya.
Sepeninggal Cakil Gering dan
saudaranya, Sena kembali tertawa bergelak. Tingkah lakunya yang seperti orang
gila, membuat gadis cantik itu ketakutan bukan kepalang. Gadis berkulit kuning
langsat itu mundur beringsut dengan tangan kanan masih memegangi pakaiannya
yang terbuka. Matanya menatap ketakutan pada Pendekar Gila yang menggaruk-garuk
kepala.
“Jangan Jangan lakukan itu…”
ratap gadis itu mengiba.
“Aha, jangan takut, Nisanak
Aku bukanlah manusia seperti kedua cecurut itu.”
Gadis yang bernama Saka Wuri
itu memperhatikan Pendekar Gila penuh seksama. Sepertinya berusaha meyakinkan
dirinya kalau pemuda tampan bertingkah
seperti orang gila itu
benar-benar hendak menolongnya.
Benarkah omongannya? Tanya
Saka Wuri dalam hati. Tingkah lakunya seperti orang gila. Tapi, pakaiannya
bagus mirip seorang pendekar.
Mungkinkah dia pendekar yang
sering disebut-sebut sebagai Pendeka Gila?
“Aha, mengapa diam saja? Ayo,
biar kuantar sampai ke rumahmu” ujar Sena menawarkan jasa.
Pendekar Gila tidak ingin gadis
itu kembali mengalami musibah, diseret dan hendak diperkosa seperti yang baru
saja dialami gadis itu. Kalau saja dirinya tidak segera datang, entah bagaimana
nasib gadis itu
“Tuankah yang sering disebut
Pendekar Gila?”
tanya Saka Wuri.
“Aha, terlalu tinggi julukan
itu, Nisanak. Sudahlah yang jelas kau harus pulang Apakah kau ingin kedua
cecurut tadi datang lagi dan memperkosamu?”
Saka Wuri segera bangun dari
duduknya,
kemudian dengan malu-malu
melangkah diiringi Pendeka Gila. Mereka menuju ke Desa Kalasan, tempat Saka
Wuri tinggal.
Setelah sampai di rumah, Saka
Wuri pun menceritakan pada Pendekar Gila dan ayahnya mengapa dirinya sampai
hendak diperkosa Dua Landak Hutan Dadap Wangi. Saka Wuri pagi itu hendak mandi
di pancuran seperti biasanya. Tiba-tiba dari belakang orang menyekap mulutnya.
Dia hendak berteriak, namun kedua orang itu telah membawanya pergi sebelum
terlebih dahulu menotoknya.
Sesampainya di Hutan Dadap Wangi,
keduanya lalu membuka totokan di tubuh Saka Wuri dan berusaha menggagahi
dirinya. Beruntung sebelum
perkosaan terjadi, Pendekar
Gila telah datang.
Setelah mendengar penuturan
Saka Wuri,
Pendekar Gila pun bermaksud
pamit untuk
meneruskan pengembaraannya.
“Mengapa tidak menginap dulu
di sini, Tuan?” kata Saka Wuri berusaha mencegah Pendekar Gila agar tidak
segera meninggalkan rumahnya. Dia ingin bisa ngobrol lama dengan pemuda tampan
bertingkah laku seperti orang gila itu.
“Benar, Tuan. Kenapa tidak
menginap barang satu malam. Kami ingin mengenalmu lebih dekat,”
sambung Ki Kalaban. Lelaki tua
berpakaian adat Jawa Timur itu tampak senang atas telah kembalinya anak
gadisnya. Dia merasa hutang budi pada pemuda tampan yang telah diketahuinya
sebagai Pendekar Gila.
“Ah ah ah.... Terima kasih, Ki
Sebenarnya aku pun ingin menginap di sini. Desa Kalasan sangat damai dan
nyaman. Tapi, kurasa masih banyak lagi yang memerlukan pertolongan dariku...,”
ujar Sena menolak dengan halus.
“Hendak ke manakah tujuan
Tuan?” tanya Ki Kalaban. Kepala Desa Kalasan yang sangat berterima kasih pada
Pendekar Gila, berusaha membalas jasa kebaikan Pendekar Gila.
“Ah Entahlah, Ki. Kurasa
langkah kaki tergantung hasrat hati melangkah. Di mana kemauan berkata, di sana
aku melangkah,” jawab Pendekar Gila.
Ki Kalaban terdiam. Sulit
baginya untuk berusaha membalas jasa atas kebaikan pendekar muda itu.
Sementara Saka Wuri masih
memperhatikan pemuda tampan yang telah menolongnya. Tak jemu-jemunya gadis cantik
bergaun kuning dengan rambut diikat ekor kuda itu memandangi wajah Pendekar
Gila. Ada
perasaan aneh yang terselip di
relung hatinya.
Perasaan yang selama ini belum
pernah muncul dalam hati.
“Tuan Kalau boleh, izinkanlah
aku berbakti padamu” ujar Saka Wuri memohon.
Pendekar Gila tertawa bergelak
sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian pemuda tampan itu nyengir sambil
menggeleng-geleng kepala.
“Ah Tak usah berlaku begitu,
Dik Wuri Kini, aku mohon pamit,” kata Sena.
Kemudian setelah menjura,
Pendekar Gila segera meninggalkan rumah Kepala Desa Kalasan untuk meneruskan
pengembaraannya. Menegakkan
kebenaran dan keadilan di atas
muka bumi ini.
***
3
Desa Pasut Piring yang
terletak di sebelah selatan Bukit Selaparang, nampak tenang malam itu. Sebuah
bangunan rumah yang cukup besar untuk ukuran rumah biasa, berdiri megah di
bagian timur desa.
Rumah besar dan megah yang
semuanya diukir indah itu milik Sumantri. Dia dikenal sebagai juragan yang
paling kaya di desa itu.
Saat itu, malam yang sunyi
menyelimuti bumi. Di ruang tengah rumah yang dijaga ketat empat orang
bersenjatakan tombak, tengah duduk seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh
lima tahun. Lelaki yang tak lain Sumantri, malam itu masih merenungkan apa yang
kemarin dialaminya.
Di hadapannya duduk empat
orang dari rimba persilatan. Tiga lelaki berwajah garang dan satu lagi seorang
wanita cantik berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Keempat orang rimba
persilatan itu merupakan tangan kanan, sekaligus pengawal pribadi Sumantri.
Orang yang pertama berusia
sekitar lima puluh tahun. Berambut gondrong awut-awutan dan kepalanya terikat
kain warna hijau tua. Matanya tajam dan garang. Hidungnya besar dan beralis
mata lebat.
Kumis tebal yang menghiasi
bibirnya semakin menunjukkan kegarangannya. Lelaki berpakaian hijau tua lengan
panjang itu bernama Jalna Kumilang atau Hantu Hijau dari Gunung Bangau.
Orang kedua memiliki rambut
dibuat ekor kuda.
Alis mata tebal dengan hidung
pesek menyerupai
kera dengan cambang bauk
lebat. Tubuhnya agak gemuk dan pendek. Pakaian yang dikenakan berwarna merah.
Dia bernama Sugatra.
Di sampingnya merupakan adik
seperguruan
Sugatra yang bernama Sugatri.
Lelaki berusia sebaya dengan Sugatra sekitar tiga puluh lima tahun itu,
memiliki pakaian dan rambut yang sama seperti kakaknya, pesek hampir menyerupai
hidung kera.
Tubuhnya tidak terlalu gemuk
seperti Sugatra.
Di punggung kedua lelaki
berpakaian merah itu tersampir senjata berupa golok. Mereka berdua berjuluk
Sepasang Kera Bergolok Biru. Hal itu karena golok mereka dapat mengeluarkan
sinar biru.
Sedangkan yang terakhir
seorang wanita muda dan cantik. Berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.
Bergaun merah hati dengan
rambut dikepang dua.
Dia nampak tidak memegang
senjata, karena senjata yang digunakannya berupa selendang warna ungu yang
terikat di pinggangnya. Itu sebabnya dia lebih dikenal dengan julukan Iblis
Selendang Ungu.
“Tuan Sumantri, kami lihat
sejak tadi Tuan nampak termenung. Kalau boleh kami tahu, apa gerangan yang
telah membebani pikiran Tuan...?” tanya Jalna Kumilang. Orang paling tua di
antara keempat tangan kanan Sumantri.
“Benar, Tuan. Mengapa Tuan
bermuram durja.
Sepertinya, setelah pulang
dari Danau Sambak Neraka ada sesuatu yang Tuan pikirkan. Adakah sesuatu yang
mengganjal pikiran dan hati Tuan?”
sambung Sugatra.
Sumantri menarik napas
dalam-dalam. Dihempas-kan napasnya panjang-panjang. Tatapan matanya menerawang
ke atas, memandang ke genteng
rumahnya.
“Hhh” desah Sumantri. “Apa
yang kalian duga memang benar.”
Keempat tangan kanan Sumantri
saling pandang.
Namun mereka masih diam,
karena memang belum tahu apa yang membuat majikan mereka kelihatan murung
terus. Hanya hati mereka saja yang bertanya-tanya. Mungkinkah majikan mereka
melihat
Anjasmara dan Sambi?
“Tuan, kalau boleh kami tahu.
Hal apakah yang membuat Tuan bermuram durja?” tanya Sugatri memberanikan diri,
setelah lama terdiam.
“Apakah Tuan Sumantri melihat
Anjasmara dan Sambi?” sambung Iblis Selendang Ungu dengan senyum menggoda.
“Bukan masalah Anjasmara dan
Sambi yang
membuatku gelisah dan terus
berpikir,” sahut Sumantri seraya bangkit dari duduknya, berjalan ke pintu
rumahnya yang terbuka. Dia berdiri di ambang pintu, memandang lepas ke luar.
“Lalu apa yang menjadikan Tuan
nampak
murung?” tanya Jalna Kumilang
seraya menatap majikannya yang masih diam berdiri di ambang pintu.
Sumantri menghela napas
dalam-dalam, berbalik ke arah meja. Keempat tangan kanannya tampak masih duduk
di kursi masing-masing. Sumantri kembali duduk.
“Kemarin aku melihat sesuatu
di Pulau Karang Api.
Seorang bocah bertubuh penuh
sisik dengan lidah bercabang. Sebelumnya aku bermimpi, kalau bocah itu
merupakan bocah sakti. Siapa pun yang mendapatkan bocah itu, akan merajai dunia
persilatan.
Nah, aku ingin mendapatkan
bocah itu. Siapa pun yang mendapatkannya, akan kuberi separo dari harta
kekayaanku. Untuk itu, kuperintahkan kalian
menyebar sayembara” kata
Sumantri menerangkan.
“Kalau memang itu yang Tuan
inginkan, kami siap melaksanakannya,” sahut Iblis Selendang Ungu.
“Ya Malam ini juga, kami
laksanakan,” sambut Sugatra.
Sumantri tersenyum mendengar
kesanggupan
empat anak buahnya, yang
menunjukkan kesetiaan mereka terhadapnya. Kepalanya diangguk-anggukkar dengan
bibir masih tersenyum.
“Tidak usah terburu-buru
Kalian bisa melakukannya besok. Malam ini, kalian tulis isi sayembara itu,”
perintah Sumantri.
“Apa yang mesti kami tulis?”
tanya Jalna Kumilang.
“Barang siapa yang bisa
mendapatkan bocah bertubuh penuh sisik, akan diberi hadiah sebagian dari
hartaku,” kata Sumantri menjelaskan isi sayembara yang hendak ditulis anak
buahnya itu.
“Baiklah, kami akan segera
membuatnya,” kata Jalna Kumilang.
Setelah semuanya disepakati,
Sumantri dan keempat anak buahnya pun meninggalkan ruang pertemuan untuk
melakukan apa yang hendak mereka lakukan.
Sumantri masuk ke kamarnya. Di
dalam kamar itu, seorang gadis cantik berkebaya merah muda tengah terbaring di
tempat tidur. Gadis cantik yang wajahnya nampak masih menggambarkan kepolosan
itu tengah menangis. Seketika dia tersentak bangun ketika pintu kamar dibuka.
Matanya menatap ketakutan, ber-campur rasa benci pada Sumantri.
“Cah ayu, kenapa kau masih
bersikap dingin?
Ayolah, malam ini aku ingin
sekali menikmati tubuhmu,” ujar Sumantri sambil melangkah mendekat.
Gadis itu pun tampak semakin
ketakutan.
“Tidak Aku tidak mau...” seru
gadis cantik itu dengan wajah ketakutan. “Bajingan Kau benar-benar bajingan
Kembalikan aku ke desaku...”
Sumantri tersenyum sinis
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kakinya melangkah mendekat ke tempat tidur.
Gadis yang mengingatkannya pada Sambi, semakin bertambah ketakutan. Tubuhnya
beringsut ke sudut tempat tidur. Matanya menatap ketakutan ke wajah Sumantri
yang masih tersenyum.
“Tidak mungkin, Cah Ayu. Kau
harus menjadi istriku,” kata Sumantri. Kemudian dengan penuh nafsu, Sumantri
segera menubruk gadis cantik yang wajahnya memang mirip dengan Sambi.
“Auw Tidak...” teriak gadis
cantik berkebaya merah muda yang bernama Delimasari, berusaha mengelak. Matanya
semakin ketakutan. Namun, Sumantri yang sudah bernafsu sekali tak hanya diam
sampai di situ. Bahkan dengan mengelaknya Delimasari, semakin bertambah nafsu
lelaki bertubuh kekar itu.
“Mau lari ke mana, Cah Ayu? He
he he...”
Sumantri yang sudah dibakar
nafsu iblis, terus mendekap tubuh Delimasari yang terus berontak dan
meronta-ronta. Namun, semakin keras dia berontak, semakin bertambah menggelegak
nafsu Sumantri.
Bret
“Auw” Delimasari terpekik,
ketika kebaya merah mudanya direnggut hingga sobek. Tampaklah pundak kuning
mulus gadis itu. Mata Sumantri terbelalak penuh nafsu. Apalagi ketika kebaya
gadis itu terlepas karena tetap ditarik tangan Sumantri.
“He he he...” Sumantri tertawa
terkekeh.
Kemudian kembali menubruk
tubuh Delimasari.
Gulatan antara keduanya pun
terjadi. Akhirnya
Sumantri yang sudah bernafsu,
mampu menguasai tubuh Delimasari yang lemah. Meskipun meronta-ronta sekuat
tenaga gadis itu tak kuasa menghadapi nafsu iblis Sumantri.
Delimasari hanya mampu
menangis, meratapi nasibnya yang buruk. Kekecewaan, dendam, dan marah beraduk
menjadi satu di hatinya. Keterlaluan sekali kedua orangtuanya, yang telah
menyerahkan dirinya pada lelaki bajingan seperti Sumantri.
Padahal Delimasari telah
memiliki pemuda pujaan hatinya yang saling mencintai. Namun dengan kedatangan
Sumantri meminangnya, tak mungkin cinta mereka dilanjutkan. Itulah yang
menjadikan Delimasa merasa nasibnya buruk. Meski Sumantri gagah, namun
Delimasari tidak suka dengan perbuatan lelaki itu yang selalu ingin menang
sendiri.
***
Sayembara yang diadakan Sumantri
ternyata
ditanggapi orang-orang dari
kalangan persilatan.
Mereka sebagian tertarik
dengan hadiah yang ditawarkan Sumantri. Namun ada juga yang merasa tertarik
dengan berita tentang bocah aneh bertubuh penuh sisik dan memiliki kesaktian.
Barang siapa menguasai anak ini akan dapat menjadi orang sakti
Dua orang muda berparas elok
dengan pedang di pundak melangkah menyelusuri jalan menuju Lembah Neraka. Yang
pemuda berwajah tampan dengan rambut terurai panjang. Sosok tubuhnya tegap dan
tinggi. Wajahnya bersih, dengan hidung mancung. Kumis tipis menghias di atas
bibirnya. Dia bernama Sarawendo.
Seorang lagi, wanita muda dan
cantik. Rambutnya
berombak dengan hidung mancung
dan dagu
berbentuk indah. Dia bernama
Saraswati. Keduanya memakai pakaian biru yang panjangnya sampai ke lutut.
Mereka adalah sepasang suami istri yang terkenal dengan julukan Dewa-Dewi Paras
Elok.
Wajah mereka memang tampan dan
cantik jelita, mirip dengan dewa dan dewi dari kahyangan. Bukan hanya
kecantikan dan ketampanan mereka saja yang membuat orang kalangan persilatan
merasa kagum.
Ilmu pedang keduanya juga
sangat tersohor.
Terutama dengan jurus
'Sepasang Pedang Memburu Hati', yang merupakan jurus pamungkas bagi mereka.
Sulit bagi lawan-lawan mereka
untuk melepaskan diri dari serangan keduanya.
Dewa-Dewi Paras Elok melangkah
menuju Lembah Akherat sehubungan dengan keikutsertaan mereka dalam sayembara
yang diadakan Sumantri. Sebenarnya tujuan mereka bukan mencari kekayaan. Mereka
hanya ingin membuktikan kebenaran yang mereka baca dari pengumuman seyembara
itu.
Sebagai pendekar, keduanya
memang selalu ingin membuktikan kebenaran suatu berita. Apalagi berita yang
dianggap aneh. Keduanya ingin senantiasa menguji sampai di mana ilmu mereka. Di
samping berusaha menegakkan kebenaran dan keadilan, keduanya juga ingin menimba
pengalaman yang lebih banyak di rimba persilatan.
“Kakang, apa benar jalan yang
sedang kita tuju?”
tanya Saraswati.
“Entahlah Aku juga kurang
begitu paham daerah sekitar tempat ini,” jawab Sarawendo sambil mengedarkan
pandangannya ke sekeliling daerah itu.
Sejauh mata memandang, yang
terlihat hanya hamparan petak-petak sawah.
Saat itu, keduanya tengah
memasuki wilayah Desa Tarub, yang sepertiga bagian wilayahnya merupakan
petak-petak sawah. Penduduk Desa Tarub memang sebagian besar bercocok tanam,
karena letak desa mereka tidak memenuhi syarat untuk niaga atau nelayan. Karena
tak ada aliran sungai, maupun tempat berjualan yang ramai. Hanya ada pasar
kecil di Desa Tarub yang ramainya hanya pada waktu-waktu tertentu.
“Bagaimana kita bisa sampai ke
Lembah
Akherat?” gumam Saraswati agak
cemas. Meski mereka tidak bertujuan mendapatkan salah satu kemungkinan antara
harta dan anak sakti itu, keduanya merasa penasaran dan ingin melihat seperti
apa bocah sakti yang telah mengundang banyak tokoh rimba persilatan berdatangan
untuk mendapatkannya.
Sarawendo menghela napas
panjang. Matanya memandang ke sekelilingnya yang masih merupakan hamparan
persawahan. Dia berusaha mencari salah seorang petani yang dapat memberi
petunjuk arah.
“Nah Itu ada dua orang petani
Bagaimana kalau kita tanyakan pada mereka...?” ajak Sarawendo.
“Ayolah,” jawab Saraswati.
Langkah keduanya segera dipercepat untuk dapat mengejar kedua petani yang
berjalan di depan. Sesaat kemudian, keduanya sudah berada di dekat kedua petani
itu.
“Sampurasun...” sapa sepasang
suami istri itu dengan ramah, yang menjadikan kedua petani itu menghentikan
langkahnya. Keduanya membalikkan tubuh memandang ke arah sepasang pendekar
cantik dan tampan.
“Rampes...” sahut kedua petani
itu berusaha ramah.
“Ada apa gerangan kalian
berdua mengejar kami?”
tanya lelaki berusia sekitar
lima puluh lima tahun dengan wajah tampak sabar. Kumis yang memutih menghias di
atas bibirnya. Matanya menatap tajam sepasang pendekar itu.
“Maaf, Ki” kata Sarawendo.
“Namaku Sarawendo dan ini istriku Saraswati. Kami ingin bertanya, ke arah mana
kami harus melangkah agar sampai ke Lembah Akherat?”
“Benar, Ki. Kami hendak ke
sana,” Saraswati menimpali sambil tersenyum.
Kedua petani itu seketika
mengerutkan kening, mendengar pertanyaan yang dilontarkan pasangan muda
berparas elok itu. Kedua petani itu seperti tak percaya, kalau pasangan muda
berwajah elok itu bertujuan ke tempat yang sangat dikeramatkan penduduk desa-desa
sekitar Danau Sambak Neraka.
Tak seorang pun yang berani
pergi ke Danau Sambak. Tapi kini tiba-tiba ada sepasang pendekar yang bermaksud
pergi ke Danau Sambak Neraka.
Meski keduanya tidak
menyebutkan nama Danau Sambak Neraka, kedua petani itu telah maklum kalau
sebenarnya yang hendak dituju keduanya tidak lain Danau Sambak Neraka. Hal itu
dapat diketahui karena danau itu berada di wilayah Lembah Akherat.
Seperti apa tempat itu? Siapa
pun yang akan datang ke tempat itu niscaya bagaikan hendak menuju ke akherat
saja.
“Ke Lembah Akherat?” tanya
petani yang berusia di bawah petani yang satunya. Petani ini berambut hitam.
Wajahnya bersih dari kumis. Hidungnya pesek matanya lebar. Mulutnya agak lebar
dengan bibir tebal.
“Benar. Ada apakah hingga
Kisanak nampak
kaget?” tanya Saraswati dengan
kening berkerut, menyaksikan tanggapan kedua petani itu ketika menceritakan
tentang tujuannya.
“Aduh, kami harap kalian
jangan ke sana Lebih baik kalian pulang saja” saran petani yang lebih tua.
Hal itu membuat Dewa-Dewi
Paras Elok semakin mengerutkan keningnya.
“Memangnya kenapa, Ki?” tanya
Saraswati ingin tahu.
“Kami mengharap, urungkan saja
niat kalian ke Lembah Akherat” tegas lelaki berkumis putih itu.
Dewa-Dewi Paras Elok saling
pandang dengan kening berkerut. Mereka semakin tidak memahami apa maksud kedua
petani itu melarang mereka.
Belum juga keduanya sempat
bertanya, petani yang lebih muda malah menambahkan.
“Kasihan kalau kalian yang
tampan dan cantik harus menerima kemalangan”
“Kemalangan? Maksudmu, Ki?”
tanya Sarawendo masih belum memahami kata-kata petani itu.
Matanya menatap tajam petani
muda itu.
“Ya Sangat berbahaya jika
kalian ke tempat itu.
selama ini, tak seorang pun
yang berani pergi ke Danau Sambak Neraka. Bukankah kalian hendak ke sana...?”
balik tanya petani tua yang bernama Ki Maeskarya.
“Benar, Ki?” sahut Saraswati
“Ah, urungkanlah niat kalian
Sia-sia saja kalian ke tempat itu,” ujar Ki Wadul, petani yang lebih muda.
“Terima kasih atas nasihat
kalian Tapi kami tetap hendak ke tempat itu. Kalau kalian tahu jalannya,
sudilah kiranya kalian memberitahukan pada kami,”
pinta Sarawendo.
Kedua petani itu kembali
saling berpandangan
dengan kening berkerut. Mereka
tidak menyangka, kalau kedua pasangan muda ini akan nekat ke tempat itu.
“Apakah telah kalian pikirkan
semuanya?” tanya Ki Maeskarya.
“Sudah, Ki,” jawab Dewa Dewi
Paras Elok
bersamaan.
Ki Maeskarya dan Ki Wadul
menghela napas berat.
Sepertinya kedua orang petani
itu merasa sayang jika kedua pasangan berwajah elok itu harus menemui ajal
sia-sia di tempat itu. Namun apa hendak dikata, rupanya kedua sejoli itu telah
membulatkan tekad untuk datang ke tempat yang sangat keramat dan paling ditakuti
penduduk di sana. Bahkan mungkin para dewa pun akan segan ke tempat itu.
Meski mereka tidak pernah tahu
siapa sebenarnya penghuni Pulau Karang Api yang ada di tengah-tengah Danau
Sambak Neraka, selama turun-temurun mereka tak pernah berani menjarah tempat
tersebut.
“Baiklah, kalau memang itu
yang kalian kehendaki.
Berjalanlah ke selatan. Di
sana, sekitar setengah hari perjalanan, kalian akan mendapatkan lembah yang
dikelilingi hutan bakau. Itulah Lembah Akherat.
Kemudian sekitar seratus
tombak dari Lembah Akhirat itu, kalian akan melihat Danau Sambak Neraka.
Hati-hatilah” kata Ki Maeskarya mengingatkan.
“Terima kasih atas petunjukmu,
Ki,” kata
Sarawendo.
Kemudian setelah menjura
kepada kedua petani yang telah memberi petunjuk dan peringatan, Dewa Dewi Paras
Elok segera melesat cepat menuju ke Lembah Akherat tempat Danau Sambak Neraka
berada.
“Hah?” Ki Maeskarya terkejut
dan menggeleng-gelengkan kepala melihat gerakan mereka.
“Dilihat dari gerakan, pakaian
dan senjata yang disandang mereka, tampaknya kedua orang itu pendekar, Ki,”
gumam Ki Wadul seraya menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya” desah Ki Maeskarya. “Tapi
aku belum yakin, apakah mereka akan selamat di Danau Sambak Neraka.”
Sesaat keduanya terdiam. Mata
keduanya mata memperhatikan kedua sejoli yang berlari begitu cepat menuju ke
arah Lembah Akherat yang bagi mereka sangat mengerikan. Nampaknya kedua
pendekar itu menggunakan ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi, sehingga dalam
sekejap saja keduanya telah berada jauh sekali. Bahkan sesaat kemudian telah
sampai di Lembah Akherat. Keduanya segera mencabut pedang dari warangka
masing-masing.
Sret Sret
“Kita telah sampai, Dinda.
Mungkin inilah yang dinamakan Danau Sambak Neraka. Dan pulau yang menyala itu,
tentu Pulau Karang Api. Kabarnya pulau itu dihuni bocah sakti itu,” ujar
Sarawendo.
“Ya Kita harus hati-hati,
Kakang,” sahut Saraswati.
Dewa-Dewi Paras Elok kini
melangkah perlahan.
Setapak demi setapak kaki
mereka melangkah, meyusuri Lembah Akherat yang sepi dan mencekam.
Meski lembah itu terang karena
tak ada pepohonan, namun jika ingat akan kematian mengerikan sepuluh resi dari
Kuil Merak, mau tak mau Dewa-Dewi Paras elok harus waspada.
Baru beberapa langkah kaki
mereka maju, tiba-tiba angin bertiup dengan kencang laksana membadai. Angin itu
menuju ke arah mereka, berusaha
menerbangkan tubuh keduanya.
“Awas, Dinda Ini serangan
pertama..” seru Sarawendo mengingatkan Istrinya. “Kita satukan pedang kita
dengan aji 'Sirep Buana'. Heaaa...”
“Mari Kakang Heaaa…
Trang
Dengan menyilangkan kedua
pedang, keduanya berusaha menahan serangan dahsyat berupa angin yang tiba-tiba
berhembus kencang itu. Dari kedua pedang yang menyilang, keluar sinar pelangi
bergulung-gulung dan membesar. Sinar pelangi itu seketika mendesak angin yang
membadai dahsyat itu.
“Heaaa...”
Wusss
Angin yang membadai seketika
lenyap dengan sendirinya. Sedangkan sinar pelangi itu tampak masih
bergulung-gulung di udara tak tentu arah.
“Arahkan ke Pulau Karang Api
itu, Kakang” ajak Saraswati.
“Bagaimana kalau sinar itu
membunuh bocah yang kita cari?” tanya Sarawendo.
Saraswati terdiam. Apa yang
dikatakan suaminya memang beralasan. Mereka datang ke tempat itu semata-mata
untuk membuktikan kebenaran ucapan para tokoh persilatan, juga berita sayembara
Sumantri.
Setelah mendapatkan serangan
pertama, mereka merasa yakin kalau apa yang diceritakan Sumantri tentu ada
benarnya.
“Kita tarik saja dulu, Dinda.”
“Baiklah,” sahut Saraswati.
Baru saja keduanya hendak
menarik mundur
serangannya, tiba-tiba
serangkum sinar melesat
cepat ke arah mereka. Secepat
itu pula, mereka merasa hembusan hawa panas membakar tubuh.
Mereka berusaha sekuat tenaga
mempertahankan diri, tapi tiba-tiba serangkum sinar itu bergerak menyambar ke
dada mereka dengan cepat.
Slats...
Cras Cras
“Aaa...”
Tubuh Dewa-Dewi Paras Elok
terjungkal dengan dada tergores penuh luka. Puluhan jarum beracun menancap di
dada mereka. Tanpa ampun, mereka langsung meregang nyawa dan mati
Lembah Akherat kembali sepi.
Hanya serangkum sinar membara yang bergerak seperti cambuk itu yang masih
melesat cepat ke arah Pulau Karang Api, kemudian menghilang di sana.
***
4
Siang itu udara terasa sangat
panas. Langit bersih tanpa awan. Terik matahari terasa menyengat.
Beruntung sesekali angin
bertiup semilir, membuat suasana agak terasa sejuk. Apalagi jika berada di
bawah pohon yang rindang. Mata akan terasa ngantuk.
Hutan Kawi-kawi yang berada di
sebelah barat Pegunungan Punakawan juga tertimpa teriknya mentari siang itu.
Sebatang pohon beringin yang sangat rindang, tumbuh di tepi Hutan Kawi-kawi. Di
bawah pohon beringin itu, duduk seorang pemuda tampan, berpakaian rompi kulit
ular.
Pemuda tampan yang tidak lain
Pendekar Gila, siang itu tampaknya tengah menikmati semilirnya angin yang sejuk
sambil menyuarakan tiupan merdu Suling Naga Sakti. Mendendangkan lagu-lagu
pujaan pada alam yang ada di sekitarnya.
Semilir angin terus
mengimbangi suasana teriknya mentari yang semakin menggarang. Sementara itu
dari dalam hutan, tampak berkelebat sesosok bayangan merah berlari dengan
cepat. Bayangan merah itu melintas sekitar dua batang tombak jauhnya di sebelah
kiri Sena. Seketika sosok bayangan merah itu berhenti ketika matanya melihat
Sena tengah duduk sambil meniup sulingnya.
Bayangan merah itu tak lain
Serigala Merah. Lelaki berbadan tinggi tegap dengan senjata sepasang golok
besar itu mengerutkan kening dan menghampiri
Pendekar Gila.
“O, rupanya kita bertemu lagi,
Sena. Apa kabar?”
sapanya ramah sambil melangkah
mendekat. Setelah dekat, Serigala Merah menjura hormat.
Sena yang tengah meniup
sulingnya, segera menghentikan tiupannya, ketika melihat Serigala Merah
menjura. Dia segera bangun dari duduknya, kemudian balas menjura pada Serigala
Merah.
“Aha, ada apa gerangan sampai
kau berlari-lari seperti itu, Serigala Merah?” tanya Sena sambil menyelipkan
Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya.
Serigala Merah tidak segera
menjawab. Keningnya berkerut dan matanya menatap heran pada Pendekar Gila.
“Apakah kau belum mendengar
tentang
sayembara berhadiah besar,
Sena?”
“Ah ah ah... Rupanya ada
sayembara lagi,” gumam Sena sambil nyengir dan menggaruk-garuk kepala.
“Benar. Kali ini hadiahnya
sangat menarik, Sena.”
“Benarkah?”
“Ya” sahut Serigala Merah.
“Aha, kalau boleh aku tahu,
hadiah macam apakah yang dijanjikan? Dan sayembara macam apa yang tengah
dilaksanakan itu?” tanya Sena sambil cengengesan. Pandangannya menyapu ke
sekeliling pinggiran hutan. Sebentar kemudian mendongak ke langit, yang nampak biru
dan bersih tak bernoda.
Dari arah utara, nampak
sekawanan burung
pemakan bangkai berkaok keras
membelah angkasa bim. Burung-burung itu terbang mengepakkan sayapnya ke
selatan, sepertinya di sana ada makanan yang sangat memuaskan.
“Kau tertarik, Sena?” Serigala
Merah balik tanya.
Sena nyengir sambil
menggaruk-garuk kepala.
Kemudian dengan cengengesan
kepalanya
mengangguk, walau sebenarnya
bukan karena hadiah yang inginkan. Dia hanya ingin tahu sayembara macam apa
yang diceritakan Serigala Merah.
“Ah, dari tadi tidak kulihat
Bidadari Pencabut Nyawa. Ke manakah...?” tanya Serigala Merah.
Matanya mencari-cari ke
sekeliling tempat itu, tapi dia tidak juga menemukan Mei Lie. “Bukankah
Bidadari Pencabut Nyawa selalu bersamamu, Pendekar Gila?”
Sena tertawa terbahak-bahak.
Tingkah laku yang seperti kera kembali muncul. Berjingkrak sambil menggaruk
kepala dan menepuk-nepuk pantat
“Aha, rupanya pandanganmu
cermat sekali, Srigala Merah” ujarnya bergumam. “Dia memang tidak ikut”
“Hm, kenapa? Apakah dia
sakit?” tanya Serigala Merah.
“Ah, tidak. Aku ingin berjalan
seorang diri sepertimu. Oh, mengapa pembicaraan kita jadi melantur, Serigala
Merah?” sahut Sena.
“Ah, benar. Apa yang tadi kau
tanyakan padaku...?”
tanya Serigala Merah.
“Mengenai sayembara dan
hadiahnya,” jawab Pendekar Gila. “Ah, mengapa kau jadi pikun begitu Serigala
Merah? Hi hi hi... Lucu, kau lebih tepat menjadi Serigala Pikun dan Tua.”
Serigala Merah yang sudah tahu
tabiat dan watak Pendekar Gila malah tertawa mendengar ejekan Pendekar Gila
barusan.
“Ya ya, kau benar, Sena.
Memang lebih pantas kalau julukanku Serigala Tua Pikun. Ha ha ha...”
Seketika tepian Hutan
Kawi-kawi yang semula sepi menjadi riuh oleh suara gelak tawa dari keduanya.
Sampai-sampai burung yang
sedang bertengger di ranting-ranting pohon beterbangan, karena kaget.
“Ah, jangan terlalu
bertele-tele, Serigala Tua Hi hi hi... Ayo, katakanlah sayembara macam apa dan
apa hadiahnya?” tanya Pendekar Gila setelah tawanya berhenti.
Serigala Merah tersenyum.
Kemudian segera menceritakan semua yang didengar dan dibacanya pada selebaran
yang dipasang di beberapa tempat.
Selebaran yang dikeluarkan
oleh Saudagar Sumantri itu berisikan tentang sayembara besar dengan hadiah yang
sangat menggiurkan.
“Saudagar Sumantri menawarkan
pada semua
pendekar baik dari aliran
putih maupun hitam hadiah yang cukup besar. Dia memberikan separo harta
kekayaannya jika ada yang bisa mendapatkan bocah sakti yang ada di Pulau Karang
Api,” tutur Serigala Merah mengakhiri ceritanya.
“Aha, sebuah berita yang
menarik” seru Sena.
“Kau tertarik, Sena?”
“Tertarik Ah... ya ya Aku
tertarik. Tapi aku tidak suka dengan hadiahnya. Aku hanya tertarik ingin tahu
kebenaran berita tentang bocah sakti itu,” jawab Sena.
“Bagaimana kalau kita ke
sana?” ajak Serigala Merah.
Pendekar Gila
tersenyum-senyum. Tangannya menggaruk-garuk kepala, seperti merasakan sesuatu.
“Ah, kurasa aku belum ingin ke
sana, Serigala Merah. Kalau kau ingin ke sana, berangkatlah Nanti jika aku telah
berpikir ke sana, aku akan segera menyusulmu. Di mana kau berada nanti?” tanya
Sena
“Entah. Tapi mungkin aku akan
berada di daerah terdekat dengan tempat bocah sakti itu berada.”
Setelah saling menjura,
Serigala Merah segera meninggalkan tepian Hutan Kawi-kawi, berlari ke arah
tenggara menuju tempat yang
tadi dikatakannya.
Pendekar Gila nampak masih
berdiri di bawah pohon beringin yang rindang. Wajahnya nampak nyengir,
memandang ke angkasa. Matahari bersinar dengan teriknya, seperti hendak
memanggang bumi.
“Aha, mengapa aku diam di
sini?” gumam Sena mengalihkan pandangannya ke selatan. Di sana tampak Gunung
Petruk menjulang tinggi. Sena masih pikir-pikir, hendak ke arah manakah kakinya
berjalan.
Apakah hendak berjalan ke arah
tenggara menyusul Serigala Merah? Atau hendak ke selatan, ke Gunung Petruk?
Belum juga Sena sempat
menentukan tujuan
nampak dari arah barat tiga
orang lelaki berjalan menuju arahnya. Tiga lelaki berpakaian kuning itu tampak
berjalan tergesa-gesa. Sepertinya ada sesuatu yang mendorong mereka mempercepat
langkah.
Pendekar Gila mengerutkan
keningnya, melihat ketiga lelaki berpakaian kuning itu. Apalagi ketika tahu
kalau ketiga lelaki itu berasal dari perkumpulan orang-orang sesat.
“Hm, ada apa kiranya?
Nampaknya Tri Pakit Palimping juga hendak menuju ke arah yang tadi dituju
Serigala Merah,” gumam Sena.
Apa yang diduganya benar juga.
Tri Pakit
Palimpingkini dengan
terburu-buru dan mempercepat langkah kaki mereka setelah melihat Pendekar Gila
berjalan menuju arah tenggara. Ketiga lelaki berpakaian kuning itu tampak segan
jika bertemu dengan Pendekear Gila. Itu sebabnya mereka bergegas meninggalkan
tempat itu dengan setengah berlari.
Sena tertawa-tawa menyaksikan
ketiganya yang
tampak segan padanya.
Kepalanya digeleng-
gelengkan dengan bibir masih
tersenyum-senyum.
“Sebaiknya aku ke sana, agar
bisa melihat apa yang terjadi...,” kata Sena. Kemudian dia pun melangkah
meninggalkan tempat itu, menuju arah tenggara menyusul Serigala Merah dan Tri
Pakit Palimping.
Angin siang berhembus
perlahan, menambah rasa kantuk semakin menyekat. Gemerisik daun kering
terdengar, ketika angin bertiup. Daun-daun kering itu beterbangan, dihembus
angin yang cukup kencang.
Kegagalan Dewa-Dewi Paras Elok
akhirnya
terdengar. Keduanya dikabarkan
telah binasa di Lembah Akherat. Hal itu cukup mengejutkan para pendekar yang
hendak menuju ke lembah tersebut.
Mereka kini berpikir lagi.
Sepertinya mereka tidak ingin mengalami nasib yang dialami Dewa-Dewi Paras
Elok.
Di sebuah kedai yang terletak
di sebelah barat Desa Kalimas, nampak berkumpul para pendekar, baik dari aliran
lurus maupun sesat. Kedai itu cukup besar, sekitar sepuluh tombak di samping
kedai itu, ada sebuah penginapan yang cukup luas. Sehingga bagi mereka yang
hendak menginap, tinggal berjalan beberapa langkah saja. Beberapa orang pendekar
pun telah berada di penginapan itu.
Di kedai itu, nampak Serigala
Merah, Tujuh Iblis dari Sarang Hantu, Nyi Rawit Abang dan Ki Braga Kumba, Tri
Pakit Palimping, serta pendekar-pendekar lainnya.
“Kurasa pekerjaan ini tidak
bisa dilakukan sendiri-sendiri,” kata Serigala Merah.
“Memang benar,” sahut Nyi
Rawit Abang. “Kurasa kita harus bersatu untuk mendapatkan Bocah Sakti
itu.”
“Tidak bisa” bantah lelaki
berbadan besar dengan kepala botak di atasnya. Dia salah seorang dari Tiga
Pakit Palimping. “Kami bertiga, mengapa harus takut menghadapi Penghuni Pulau
Karang Api?”
“Aha, benar juga katamu,
Kisanak. Kami bertujuh mengapa mesti takut pada penghuni Pulau Karang Api?”
timpal lelaki tinggi tegap berpakaian merah. Dia adalah salah satu anggota Tujuh
Iblis dari Sarang Hantu. Ketujuh tokoh sesat itu memang memakai pakaian
berbeda.
Orang pertama yang tadi
berbicara bernama Sadra. Berbadan tegap dengan wajah bengis dihiasi cambang
bauk lebat. Rambutnya ikal, tapi tidak terlalu panjang. Hidungnya besar dengan
mata lebar.
Orang kedua yang memakai
pakaian merah muda bernama Saka Gulu. Tubuhnya tinggi, gagah, dan tegap,
hidungnya kecil, namun tidak mancung.
Rambutnya lurus dengan ikat
kepala merah muda.
Begitu juga dengan yang
lainnya, memiliki ciri tersendiri dengan keadaan yang lain. Namun watak mereka
sesuai dengan julukan itu, seperti iblis yang datang dari sarang hantu.
Serigala Merah mendengus,
begitu juga dengan Ki Rawit Abang serta Ki Braga Kumba. Kemudian setelah
membayar semua yang dia pesan, Serigala Merah pun meninggalkan kedai untuk
meneruskan perjalanannya menuju Lembah Akherat yang sudah tak begitu jauh dari
Desa Kalimas.
Panas matahari memanggang
bumi, namun
Serigala Merah bagaikan tidak
menghiraukannya.
Kakinya terus melangkah di
jalan berdebu yang menghubungkan Desa Kalimas dengan Lembah
Akherat.
“Huh Jauh juga jarak Desa
Kalimas dengan Lembah Akherat,” dengus Serigala Merah sambil menyeka keringat
yang bercucuran karena terik matahari yang menyengat.
Serigala Merah sesaat
menghentikan langkahnya.
Matanya menatap ke
sekelilingnya yang sepi. Hanya hamparan tanah kering berpasir yang tampak
sesekali terhembus angin, hingga debu pun mengepul ke udara.
“Hm, mengapa aku harus lewat
dari arah sini?”
keluh Serigala Merah, merasa
bahwa jalan yang dilaluinya ternyata salah. Kini dia harus mengarungi hamparan
pasir yang sangat panas, apalagi dengan teriknya matahari siang.
Beberapa kali disekanya
keringat yang terus mengalir di dahi, leher dan wajahnya, sambil terus
melanjutkan langkahnya. Serigala Merah tak ingin putus asa dengan apa yang
sedang dilakukannya. Dia harus mendapatkan kemenangan dalam sayembara itu.
Terbayang dalam angannya, dia menjadi orang kaya.
“Seandainya aku dapat
memenangkan sayembara itu, aku akan menjadi orang kaya. Hhh..., akan kubangun
rumah yang megah untuk hidupku yang telah lelah ini. Akan kucari istri yang
cantik lalu aku dapat hidup tenang...,” ujar Serigala Merah saja terus
membayangkan dirinya menjadi orang kaya setelah memenangkan sayembara.
Serigala Merah memang telah
merasa jenuh hidup mengembara menjadi pendekar. Tak pernah ada urusan duniawi
yang dipikirkannya. Kini dia berhasrat sekali dapat
menikmati sisa hidupnya dalam
ketenangan jiwa. Dia ingin hidup berkeluarga, dapat bersanding bersama istri
yang cantik, dengan rumah
yang megah dan mewah.
“Persetan dengan apa yang akan
dikatakan
pendekar lain dan orang-orang
rimba persilatan,”
gumam Serigala Merah yang
merasa selama ini pengembaraannya tak ada artinya. Pertarungan demi pertarungan
telah dialami. Itu pula yang menyebab-kan dirinya merasa jemu dengan
pengembaraan. Dia ingin menikmati sisa hidupnya dengan tenang dan berkecukupan.
Dan itu pula yang menjadikan dia selama ini senantiasa berusaha mencari sayembara
(Mengenai Serigala Merah, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode
“Tengkorak Darah”).
Bayangan dapat hidup tenang
sebagai orang kaya itulah yang seketika memacu semangatnya. Semula hatinya
mulai lemah dan hampir putus asa akibat rasa panas yang menyengat. Kini kembali
bergairah.
Langkah-langkahnya yang tadi
pendek, kini panjang-panjang dan lebih cepat. Hatinya berharap segera sampai di
tempat tujuan, agar bisa mendapatkan apa yang dibayangkan.
“Ha ha ha Serigala Merah akan
menjadi orang kaya...” seru Serigala Merah sambil tertawa-tawa.
Kakinya terus melangkah penuh
semangat,
menyelusuri jalanan berpasir
yang panasnya terasa sangat menyengat. Namun Serigala Merah tidak peduli, terus
melangkah tanpa mengenal lelah.
Ketika matahari agak condong
ke arah barat, Serigala Merah sampai di tempat yang dituju. Lembah Akherat yang
membentang luas telah ada di hadapannya.
“Ah, akhirnya aku sampai juga
ke tempat yang kutuju. Hm, tentunya danau itulah yang dimaksud Danau Sambak
Neraka...,” gumam Serigala Merah berbicara pada diri sendiri.
Serigala Merah kembali
melangkah dengan penuh semangat, berusaha mencapai Danau Sambak
Neraka. Namun tiba-tiba
matanya terbelalak ketika melihat dua ekor naga berwarna merah. Naga itu secara
tiba-tiba muncul di permukaan danau. Tampak matanya merah laksana api yang
membara.
“Ghrrrmh... Ghrrrmh...”
Suara menggelegar terdengar
dari mulut kedua naga berwarna merah itu.
“Hah? Tidak salahkah
penglihatanku?” tanya Serigala Merah dengan mata membelalak, menyaksikan
pemandangan yang sangat mengejutkan. Dua ekor naga berwarna merah membara
laksana
diselimuti api. Kini naga itu
memandang ke arahnya dengan tajam.
“Ghrrrrrh... Ghrrrrrrh...''
Kedua naga itu
menggeliat-geliat seperti
menampakkan kemarahan.
Kepalanya bergerak ke sana ke mari seperti berusaha mengusir Serigala Merah
dari tempat itu. Dari mulutnya menyembur api yang terasa sangat panas.
“Ghrrrmh...”
Slarts...
“Hah? Ular setan...” maki
Serigala Merah sambil melompat mengelakkan hantaman sinar yang keluar dari
kedua naga itu.
Blarrr...
Ledakan dahsyat menggelegar
seketika terdengar, ketika sinar merah yang keluar dari mulut kedua naga itu
menghantam tanah berpasir. Seketika pasir berhamburan, membubung tinggi sampai
sekitar lima puluh tombak tingginya.
“Astaga... Sinar itu bukan
sembarangan” gumam Serigala Merah dengan mata membelalak. Tangannya
yang semula bersidekap segera
menarik sepasang golok, kemudian dengan cepat disilangkan di depan dada ketika
sinar merah kembali melesat dari mulut kedua naga itu.
“Ghrrrmh...”
Slarts Slarts
Dua larik sinar merah
menyembur dari mulut naga yang tampak murka itu.
“Heaaa...”
Wut Trang...
Terdengar suara benturan yang
sangat keras, diikuti oleh pekikan kaget Serigala Merah. Sinar merah yang
meluncur cepat ke arahnya membentur goloknya.
“Akh...”
Serigala Merah segera melepas
goloknya yang membara merah bagai terbakar api. Seketika tangannya dirasakan
begitu panas, bahkan seperti melepuh.
Rasa panas itu juga dirasakan
di seluruh tubuhnya.
“Edan Binatang sinting” maki
Serigala Merah dengan mata melotot garang. “Kalian harus kuhajar Heaaat...”
Serigala Merah segera
mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi.
Kemudian disilangkan di atas kepala dengan telapak tangan membuka. Setelah itu,
kedua tangannya ditarik seraya menyedot napas dalam dalam. Lalu....
“'Brajamukti' Heaaa...”
Dengan mengeluarkan suara
keras, Serigala Merah segera menghantamkan pukulan saktinya yang bernama
'Brajamukti'. Kedua telapak tangannya menghentak keras ke arah kedua naga yang
tampak masih bergerak-gerak di tengah Danau Sambak Neraka.
Wut...
Putaran api yang
bergerigi-gerigi melesat dari pukulan dahsyat Serigala Merah. Putaran api itu
melesat ke arah kedua naga merah. Tampaknya kedua naga itu mengerti. Sebelum
kedua gulungan sinar itu mengenai tubuh mereka, seketika kedua binatang itu
menyelam ke dalam air. Hal itu menjadikan sinar merah bergulung melesat ke Pulau
Karang Api, membentur bagian pulau itu.
Glarrr...
Sisi sebelah timur Pulau
Karang Api runtuh, terkena hantaman aji 'Brajamukti' yang dilancarkan Serigala
Merah. Hal itu membuat penghuni Pulau Karang Api yang belum diketahui siapa
adanya, marah dan dengan gusar terdengar suaranya membentak.
“Kurang ajar Ada manusia yang
mencari mati rupanya Terimalah kematianmu...”
Sesaat setelah ucapan itu
selesai, dari Pulau Karang Api berhembus angin bergulung-gulung ke arah
Serigala Merah. Lelaki berpakaian merah itu tersentak kaget. Baru kali ini
dilihatnya sesuatu yang mengerikkan. Angin membadai itu, tiba-tiba datang dari
balik Pulau Karang Api.
'“Inti Bayu'...” pekik
Serigala Merah ketika mengenali ilmu yang kini mengarah ke arahnya.
“Hei? Bukankah itu ilmu
Pendekar Gila?”
Serigala Merah tertegun tak
mengerti dengan semua kejadian di tempat itu. Hatinya benar-benar heran, mengapa
ajian 'Inti Bayu' milik Pendekar Gila kini datang dari Pulau Karang Api.
Wusss...
“Heaaa...”
Dengan teriakan keras,
Serigala Merah bersalto
mengelakkan serangan yang
dilancarkan oleh entah siapa berupa angin membadai.
“Tidak mungkin Ilmu ini milik
Pendekar Gila,”
gumamnya terheran-heran.
Merasa serangan pertama gagal,
sesuatu yang berada di balik Pulau Karang Api kembali melakukan serangan dengan
ajian lainnya Serigala Merah kembali terkejut. Ajian yang kini keluar dan
menyerangnya merupakan ajian yang dahsyat dan dikenalnya pula.
“Inti Brahma'...?” Serigala
Merah terpekik kaget, setelah tahu pukulan yang kini menyerangnya. Tubuhnya
dirasa sangat panas bagaikan dipanggang di bara api yang membara.
“Pendekar Gila yang
menyerangku?”
Serigala Merah berusaha
bertahan dari serangan hawa panas yang menyengat. Hawa panas itu ditimbulkan
oleh pukulan 'Inti Brahma' yang entah siapa pelakunya. Serigala Merah menyangka
kalau Pendekar Gila pelaku semuanya.
“Tobat, Sena Jangan kau
lakukan ini...” ratap Serigala Merah merasakan siksaan yang tak ter-bendung.
Tubuhnya bagaikan dipanggang di atas bara api yang membara. Terasa begitu
panas, melebihi panas matahari yang siang tadi
memanggangnya. Malah jauh
lebih panas. Sampai-sampai tubuhnya terasa mulai melepuh.
Belum juga hawa panas itu
menghilang, seketika dari balik Pulau Karang Api melesat selarik sinar laksana
cambuk meluncur ke arah Serigala Merah.
Wuuut...
Clat
“Tobaaat...” Serigala Merah
melolong tinggi.
Tubuhnya sesaat mengejang,
kemudian ambruk
dengan tubuh gosong. Di
dadanya terdapat luka-luka bagai digores pedang. Puluhan jarum beracun menancap
di wajah dan dadanya. Sungguh tragis kematian Serigala Merah. Harapannya untuk
menjadi orang kaya melayang bersama nyawanya.
Senja yang cerah tampak begitu
indah menyelimuti suasana di sekitar Danau Sambak Neraka. Suasana itu sangat
berbeda dengan keadaan nasib yang diterima Serigala Merah. Baru saja benaknya
di-penuhi angan-angan menjadi orang kaya, sorenya tewas mengenaskan di Lembah Akherat.
Matahari seperti tidak menghiraukan kejadian itu, terus menyusup di dua
gumpalan awan putih di sebelah barat. Senja pun semakin tua mengantar kepergian
nyawa Serigala Merah.
***
5
“Bagaimana kabar para pendekar
yang mengikuti sayembaraku...?” tanya Sumantri pada keempat anak buahnya yang
saat itu tengah menghadapnya.
“Nampaknya mereka mengalami
kesulitan, Tuan,”
jawab Jalna Kumilang.
“Hm...,” gumam Sumantri tak
jelas.
Nampaknya lelaki berusia tiga
puluh lima tahun ini merasa prihatin mendengar kegagalan para pendekar yang
mengikuti sayembaranya. Pikirannya semakin bertanya-tanya, siapa sebenarnya
bocah bersisik dan penghuni Pulau Karang Api yang berada di tengah Danau Sambak
Neraka.
“Kabar terakhir yang kami
dengar, Tri Pakit Palimping juga didapatkan telah tewas dengan keadaan yang
sama dengan korban-korban sebelum-nya,” sambung Sugatra sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
“Sepertinya, mereka mati oleh
cambuk berapi dan puluhan jarum-jarum beracun,” tambah Sugatri.
Sumantri menghela napas
panjang, mendengar penuturan tangan kanannya. Dia semakin tidak habis pikir,
siapa sebenarnya bocah bertubuh penuh sisik dan juga siapa penghuni Pulau
Karang Api yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu?
“Apakah belum ada yang mampu
menundukkan
penghuni Pulau Karang Api...?”
tanya Sumantri.
“Kami rasa belum, Tuan,” jawab
Jalna Kumilang.
“Hm...,” gumam Sumantri sambil
bertopang dagu
dengan jari-jari tangan
kanannya. Matanya memandang lepas ke pintu rumahnya. Di sana empat orang
penjaga lengkap dengan senjata tombak berada.
Sumantri berdiri dari
duduknya, kemudian
melangkah menuju ke pintu.
Dihelanya napas panjang-panjang, kemudian dengan tubuh mem-belakangi keempat
anak buahnya dia mendesah gelisah.
“Selama ini, aku belum juga
mengerti. Ke mana hilangnya Anjasmara dan Sambi? Mereka bagaikan ditelan bumi,”
gumam Sumantri lirih. Kemudian perlahan membalikkan tubuh, memandang keempat anak
buahnya.
“Apa Tuan yakin mereka masih
hidup?” tanya Iblis Selendang Ungu.
“Entahlah. Mungkin mereka
masih hidup,”
Sumantri menarik napas
dalam-dalam. Sesaat ucapannya berhenti. “Menurut cerita, siapa pun yang datang
ke Lembah Akherat, akan mati. Aneh, kalau mati mengapa tak ada bangkainya...?”
Keempat anak buah juragan kaya
itu terdiam.
Mereka tampaknya turut
berpikir mengenai pendapat Sumantri. Memang rasanya aneh kalau orang mati
selama puluhan tahun belum juga ditemukan kerangkanya.
“Apakah tidak mungkin mereka
memiliki ilmu menghilang?” tanya Iblis Selendang Ungu memecah kesunyian.
“Ilmu menghilang? Dari mana
mereka mendapatkannya? Guru kami tak pernah mengajari ilmu itu.
Lagi pula, ilmu itu hanya
berguna sebentar. Tidak ada orang yang menggunakan ilmu menghilang sampai
puluhan tahun?” tanya Sumantri sambil tersenyum
kecut.
Kembali semuanya terdiam, tak
ada yang dapat menjawab kemisteriusan semua perisriwa yang terjadi. Baik
penghuni Pulau Karang Api, maupun lenyapnya suami istri Anjasmara dan Sambi
yang belum diketahui bagaimana nasib mereka sebenarnya.
“Coba kalian pikir” tiba-tiba
Sumantri angkat bicara setelah lama terdiam. Hal itu membuat keempat anak
buahnya tersentak. “Aku punya pendapat mungkin bocah itu anak Anjasmara dan
Sambi.”
Seketika keempat anak buahnya
tersentak kaget.
Mata mereka terbelalak
mendengar penuturan Sumantri. Kemudian keempatnya saling berpandangan.
“Bagaimana mungkin, Tuan?”
Tanya Jalna
Kumilang merasa heran dan tak
mengerti.
“Ya Bagaimana mungkin manusia
bisa punya turunan bocah ular?” sambung Sugatra.
Sumantri tersenyum kecut.
“Aku baru ingat sekarang.
Mereka pasti mendapat kutuk penghuni Pulau Karang Api. Puluhan tahun lamanya,
tak seorang manusia pun yang berani ke tempat itu. Tiba-tiba muncul sepasang
suami istri, kedua adik seperguruanku itu,” jawab Sumantri, yang semakin
menyentakkan semua anak buahnya. Kini mereka baru tahu, kalau Pulau Karang Api
bukanlah pulau sembarangan.
“Jadi, siapa pun yang ke
Lembah Akherat akan mengalami kematian. Begitu...?” tanya Jalna Kumilang
menegaskan maksud Sumantri.
“Benar Mereka telah menjadi
mangsa penunggu danau keramat itu” sahut Sumantri.
“Lalu mengapa Tuan membuat
sayembara?”
“Hua ha ha... Kau cerdas juga,
Jalna. Sebenarnya aku ingin menjadi orang yang paling sakti dan nomor satu di
rimba persilatan. Di samping itu, aku ingin meyakinkan kalau Anjasmara dan
Sambi telah tewas.
Sejak aku pergi ke Lembah
Akherat, aku sudah menduga bahwa tak ada seorang pun yang sanggup datang ke
tempat itu....”
“Ada...”
Tiba-tiba dari luar terdengar
sahutan keras, diikuti oleh tawa menggelegar yang disertai pengerahan tenaga
dalam. Tidak begitu lama kemudian, berkelebat masuk sesosok tubuh pemuda tampan
berambut gondrong dengan ikat kepala terbuat dari kulit ular. Tingkah laku
pemuda itu seperti orang gila, cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Baik
Sumantri maupun keempat anak buahnya tersentak kaget bukan kepalang.
“He he he... Mengapa mesti berputus
asa? Tidak baik manusia cepat putus asa,” ujar pemuda tampan yang ternyata
Pendekar Gila.
Sumantri dan keempat anak
buahnya mengerutkan kening, menyaksikan tingkah laku pemuda yang baru datang
itu. Tingkah lakunya persis orang gila.
“Siapakah kau, Kisanak?” tanya
Sumantri.
“Aha, lucu sekali. Mengapa
mesti bertanya siapa diriku? Yang pasti, aku akan ke Lembah Akherat yang kau
katakan tadi, Ki.”
“Jadi kau ingin mengikuti
sayembara?” tanya Sumantri.
“Sayembara...? Ha ha ha...
Lucu sekali omonganmu. Kurasa aku tidak ikut sayembaramu,”
jawab Sena seenaknya, membuat
semua orang yang ada di tempat itu semakin mengerutkan keningnya.
Agak marah juga mereka
mendengar perkataan Sena dan tingkah lakunya yang persis orang gila.
“Bocah edan Kalau tidak ikut
sayembara, untuk apa kau datang kemari?” bentak Sumantri gusar.
“Aha, mengapa mesti marah?
Tidak bolehkah aku ikut ngobrol bersama kalian?” tanya Sena masih dengan ucapan
seenaknya. Kemudian dengan acuh kakinya melangkah ke kursi yang tadi diduduki
Sumantri, dan langsung duduk di sana.
“Bocah edan Jangan sembarangan
kau di sini. Ini bukan tempat nenek moyangmu Pergi dari sini”
dengus Jalna Kumilang seraya
menyambarkan tangannya ke kepala Pendekar Gila.
Wut
“Uts Galak sekali kau, Ki Eh,
meleset He he...”
ujar Sena sambil merundukkan
kepala sehingga serangan lelaki setengah baya itu melesat beberapa jari di atas
kepalanya.
Merasa serangannya gagal,
Jalna Kumilang bertambah marah. Dia hendak kembali menyerang, tapi....
“Tunggu....” ujar Sumantri,
mencegah tindakan Jalna Kumilang.
“Tuan, biar kuhajar bocah gila
ini” dengus Jalna Kumilang marah dan malu, karena serangannya yang menjadi
andalan jurus silatnya dengan mudah dielakkan lawan.
“Sabar, Ki,” kata Sumantri
seraya melangkah mendekati Sena. “Anak muda, katakan... siapa sebenarnya dirimu
Lalu, apa perlumu datang ke tempat ini tanpa permisi?”
“Permisi? Ha ha ha... Untuk
apa permisi? Kalian saja kalau berbuat sesuatu tanpa permisi. Lucu sekali…”
Semakin bertambah berang saja
keempat anak buah Sumantri mendengar ucapan pemuda yang konyol itu. Mata mereka
membelalak penuh amarah.
“Bocah edan ini memang harus
dihajar, Tuan”
kata Sugatra yang nampaknya
sudah muak dengan tingkah laku Pendekar Gila yang konyol.
“Sabar, Sugatra” cegah
Sumantri. “Anak muda, apa maksud kata-katamu?” tanyanya pada Sena.
Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
“Aha, masih juga kalian lupa?
Kalian telah mengadakan sayembara tanpa mengundang orang-orang persilatan untuk
berembuk. Juga kalian tidak mengundang pihak Kadipaten Lumajang dan
Kerajaan Pahulu.”
Terbelalak mata Sumantri dan
keempat anak buahnya. Mereka semakin bertambah marah dan begitu tersinggung
dengan ucapan pemuda yang bertingkah laku gila itu.
“Bocah gila Apa urusanmu?”
bentak Sumantri yang semakin gusar. “Kalau kau mau ikut sayembaraku, tak perlu
banyak tanya. Ikuti saja Kalau kau menang, dan dapat mengambil bocah bersisik
ular, kau akan kuberi hadiah separo hartaku”
“Aha, tawaran yang sangat
menggiurkan. Hm....
Baiklah. Aku hendak mengikuti
sayembaramu. Nah, kini katakan, ke mana aku harus pergi agar sampai di tempat
yang kau maksudkan,” kata Sena sambil masih cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala.
“Berjalanlah lurus ke arah
selatan. Kira-kira setengah hari perjalanan, kau akan sampai,” kata Sumantri
menjelaskan, berusaha menahan amarah atas tingkah laku pemuda yang seperti
orang gila itu.
“Aha, terima kasih. Sediakan
hadiahnya, aku akan
segera kembali kemari” ujar
Sena seenaknya.
Tentu saja tingkah pemuda itu
membuat kaget keempat anak buah Sumantri. Mata mereka langsung melotot. Namun
Sumantri segera mengangkat tangan memerintah agar mereka tidak keburu nafsu.
Kemudian didekatinya Jalna
Kumilang sambil berbisik.
“Biarkan saja pemuda edan ini
mati di sana.
Bukankah dengan begitu kita
tidak perlu turun tangan?”
Sumantri tertawa
terbahak-bahak. Begitu juga Jalna Kumilang dan lainnya setelah mendengar
bisikan Sumantri. Pendekar Gila yang diam-diam mendengar bisikan Sumantri,
turut tertawa tergelak-gelak. Hal itu membuat semuanya tersentak dan diam.
Mereka tidak menyangka kalau Pendekar Gila mendengar bisik-bisik mereka.
Pendengaran Sena yang sudah terlatih tajam dan dengan ilmu 'Penajam Rungu'nya
tentu saja dapat mendengar suara sekecil apa pun jika menggunakan ilmu itu.
“Kenapa diam? Ha ha ha... Enak
sekali tertawa di malam hari begini, Kisanak. Ayo, kita tertawa, ha ha...” kata
Sena sambil tertawa terbahak-bahak.
Bahkan kini berjingkrak-jingkrak
tidak ubahnya seperti seekor kera yang kegirangan.
Kelima orang yang ada di
tempat itu semakin membelalakkan mata, menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila
yang semakin menjadi-jadi kekonyolan-nya.
“Aha, kenapa kalian seperti
patung? Hi hi hi...
Ayolah, kita senang-senang
merayakan kemenangan-ku” katanya dengan tingkah laku konyol. Tubuhnya
berjingkrak-jingkrak masih seperti seekor monyet
***
Melihat kelima lelaki itu
masih terdiam, tawa Pendekar Gila semakin keras dan tergelak-gelak.
Tingkah lakunya semakin
bertambah konyol, dianggapnya ruangan rumah Sumantri sebagai arena untuk
tertawa-tawa dan berjingkrak-jingkrak.
“He he he... Lucu sekali
kalian. Jika begitu, kalian mirip dengan patung-patung bloon. Ha ha ha...”
“Kurang ajar” maki Sugatra.
“Bocah sinting ini tidak bisa didiamkan, Tuan”
“Ya Bisa-bisa kurang ajar”
tambah Sugatri.
“Hm...,” Sumantri bergumam
lirih. Matanya tak lepas memandangi pemuda bertingkah gila di hadapannya yang
masih berjingkrakan sambil tertawa-tawa.
Hal serupa juga dilakukan
Iblis Selendang Ungu.
Gadis cantik yang sifarnya
buruk itu, pandangan matanya tak lepas menatap Pendekar Gila. Keningnya
berkerut, rasa kesal dan tertarik pada ketampanan serta tingkah laku pemuda itu
beraduk menjadi satu di dadanya.
Siapakah pemuda gila ini?
Tanya Iblis Selendang Ungu dalam hati. Matanya masih menatap tajam pada
Pendekar Gila yang tertawa-tawa sambil berjingkrak-jingkrak.
Tingkah lakunya, mengingatkan
aku pada
pendekar yang namanya sedang
menjadi bahan pembicaraan orang-orang rimba persilatan Gumam Suma dalam hati
dengan mata tak lepas merayapi tubuh Pendekar Gila. Mungkinkah pemuda ini
orangnya?
“Hua ha ha... Kenapa kalian
masih diam?
Bukankah kalian tadi mengajakku
tertawa? Hi hi
hi...” masih terus
tertawa-tawa sambil berjingkrakan.
kali tangannya menggaruk-garuk
kepala, lalu menepuk-nepuk pantat.
“Anak muda, kami rasa tak ada
salahnya sebelum kau mengikuti sayembaraku, kita berkenalan lebih dulu,” ujar
Sumantri berusaha ramah sambil mengulurkan tangannya ke arah Pendekar Gila.
Sena malah tertawa
tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala. Dipandanginya tangan Sumantri
kemudian tatapannya merayap ke wajah saudagar kaya itu. Lalu dengan mulut masih
cengengesan, dijabatnya tangan Sumantri. Namun mendadak Sumantri terbelalak
kaget, karena jabatan tangan Pendekar Gila begitu keras dan dialiri tenaga
dalam yang amat kuat.
“Aku Sena,” ujar Pendekar Gila
cengengesan melihat Sumantri meringis-ringis dengan mata membelalak. Hal itu
membuat keempat anak
buahnya semakin marah.
“Bocah edan Rupanya kau ingin
menunjukkan kebolehanmu Hadapi aku Jalna Kumilang” bentak Jalna Kumilang sambil
bergerak menyerang Pendekar Gila yang cengengesan.
Sementara Sumantri yang meringis-ringis,
berusaha mengerahkan tenaga
dalamnya untuk mengimbangi tenaga lawan.
“Yeaaa...”
Dengan jurus 'Landung Sangkul'
Jalna Kumila bergerak menusuk ke wajah Pendekar Gila.
“Heits Galak sekali kau, Ki”
Hanya dengan mendoyongkan
tubuh ke belakang, Pendekar Gila berhasil mengelakkan serangan Jalna Kumilang.
Kemudian dengan melepaskan tangannya dari genggaman tangan Sumantri, Pendekar
Gila
bergerak dengan jurus 'Si Gila
Menari Menepuk Lalat'.
Tubuh Pendekar Gila
meliuk-liuk laksana menari, bergerak maju dengan kaki yang terlihat pelan dan
aneh. Namun ternyata mampu mengejar tubuh Jalna Kumilang.
“Heaaa...”
Tangan Pendekar Gila bergerak
menepuk ke dada lawan. Jalna Kumilang tersentak kaget dengan mata terbelelak.
Sungguh tidak disangkanya kalau tangan pemuda itu bergerak begitu cepat.
Padahal gerakan Pendekar Gila tampak pelan dan lemah sekali.
“Celaka Jurus siluman” pekik
Jalna Kumilang dengan mata tegang, merasa gerakannya kini mati langkah. Hampir saja
tangan Pendekar Gila menghantam dada Jalna Kumilang, ketika tiba-tiba sebuah
pukulan yang keras menghadangnya.
“Heaaa..”
Sebuah teriakan mengiringi
serangan Sugatra.
Dan....
Plak
“Ugkh...”
Sugatra mengeluh. Dirasakan
tangannya kesakitan akibat benturan keras dengan Pendekar Gila. Dia segera
melompat dengan mulut menyeringai
kesakitan, memandang Sena yang
tampak tengah cengengesan menggaruk-garuk kepala, serta menepuk pantat seperti
kera.
Melihat tangan kakaknya
terluka, Sugatri dengan mendengus langsung merangsek Pendekar Gila.
Tidak tanggung-tanggung lagi,
dia segera mencabut senjatanya yang berupa golok mengeluarkan sinar biru.
“Kuhancurkan kepalamu
Heaaa...”
Wut Wut
Golok bersinar biru berkelebat
membabat kepala Pendekar Gila. Namun dengan cepat Sena meng-egoskan tubuh ke
samping. Disertai tingkah lakunya yang konyol seperti seekor kera. Sena
bergerak menyerang dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'.
Tubuhnya bergerak seperti melepas
lilitan yang mengikatnya, berputar ke kiri. Hal itu membuat jurus
'Gerak Kala Mengatup' yang
dilancarkan Sugatri tak menemui sasaran.
Setiap serangan datang, dengan
cepat Pendekar Gila bergerak menghindar. Tubuhnya berputar, kemudian berbalik
menyerang lawan dengan pukulan dan tendangan. Meski sepinras gerakannya
terlihat lamban tapi ternyata elakan dan serangan yang dilakukannya mampu
melebih kecepatan gerakan lawan.
“Hiaaat..”
Diiringi pekikan keras,
Sugatri melompat cepat.
Hatinya semakin bernafsu
menyerang Sena, karena merasa serangan andalannya tidak berhasil. Meskipun
Sugatri telah melancarkan serangan dengan cepat. Kini dia mulai menambah
kecepatan ber-geraknya dengan mengubah jurus 'Sengatan Kala Merah Beracun'.
Wut Wut...
Golok di tangan Sugatri terus
bergerak cepat dengan tebasan dan sodokan ke bagian tubuh yang mematikan lawan.
Namun dengan mudah Pendekar Gila mampu mengelakkan setiap serangan dengan
gerakan-gerakan yang tampak lamban.
“Uts He he he... Kurang cepat,
Ki Coba kau terima ini” sambil berkata begitu, dengan cepat Pendekar Gila
melayangkan jotosan ke wajah lawannya.
“Hih...”
Sugatri tersentak mendapatkan
serangan yang kelihatan lambat namun tahu-tahu berkelebat di depannya. Sugatri
berusaha mengelak, tapi rupanya gerakan Pendekar Gila tak dapat diimbanginya.
Maka....
Bugkh
“Wuaaa...” pekik Sugatri.
Tubuh lelaki berpakaian merah itu terlontar ke belakang dan terbanting ke meja
tempat mereka tadi berkumpul. Tubuh salah seorang dari Sepasang Kera Bergolok
Biru itu melorot keras, kemudian jatuh menimpa kursi sampai berantakan.
Semakin bertambah marah
semuanya melihat
tingkah laku pemuda bertampang
gila yang telah mampu mempecundangi Sugatri, bahkan membuatnya terluka
“Kurang ajar Rupanya kau
benar-benar ingin merasakan pukulanku” dengus Jalna Kumilang marah. “Tuan,
izinkan aku menghajar bocah sombong ini”
“Sombong...? Hi hi hi...
Kalianlah yang sombong, ada pesta tidak mengundang-undang aku,” sahut Sena
sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
“Huh Dasar bocah gila Rupanya
kau harus dihajar” maki Jalna Kumilang. Wajahnya membara oleh amarah. Namun
karena Sumantri nampaknya belum mengizinkan, Jalna Kumilang masih berusaha
menahan kesabaran.
“Sabar, Ki” kata Sumantri.
Didekatinya Jalna Kumilang, kemudian dengan berbisik Sumantri mengatakan
sesuatu pada lelaki setengah baya itu.
“Kalian tak akan mampu
menghadapinya, Ki.”
“Kenapa?”
“Dia bukan pemuda gila
sembarangan. Kurasa dialah Pendekar Gila yang akhir-akhir ini namanya sedang
membubung tinggi,” bisik Sumantri menjelaskan.
Terbelalak mata Jalna Kumilang
setelah tahu siapa pemuda bertampang dan bertingkah laku seperti orang gila
itu. Matanya memandang tak berkedip pada Pendekar Gila. Sepertinya Jalna Kumilang
baru menyadari siapa sesungguhnya pemuda tampan itu.
Sumantri dengan bibir masih
tersenyum, melangkah mendekati Pendekar Gila.
“Tuan Pendekar, kami harap
Tuan sudilah me-maafkan kami” kata Sumantri berusaha membujuk Pendekar Gila
agar tak meneruskan pertarungan itu.
Sumantri nampaknya menyadari,
bagaimanapun dia dan keempat anak buahnya tak mungkin mampu mengalahkan pemuda
yang bertingkah gila itu.
“Aha, kenapa tidak sejak tadi?
Lucu sekali kalian,”
sahut Sena dengan tingkah laku
yang tak luput dari cengengesan dan berjingkrak-jingkrak seperti monyet.
“Untuk itulah, kami minta
maaf. Dan kalau memang Tuan bermaksud mengikuti sayembara yang ku adakan,
silakan Tuan datang ke Lembah Akherat.
Kalau Tuan mampu menangkap
bocah bersisik itu, kami akan memberikan sebagian harta kami,” tutur Sumantri.
“Aha, menyenangkan Baiklah
kalau memang
begitu, aku akan segera ke
sana. Permisi...”
Usai berkata begitu, Pendekar
Gila segera melesat meninggalkan Sumantri dan keempat anak buahnya yang masih
menyimpan amarah.
“Jadi dia Pendekar Gila,
Tuan?” tanya Iblis Selendang Ungu.
“Ya Percuma saja kita
berurusan dengannya. Yang pasti, kita harus mempersiapkan penyambutannya.
Cepat atau lambat, tentunya dia
akan datang ke tempat ini. Untuk itulah, kuharapkan kalian mencari teman
sebanyak mungkin guna menghadapinya”
kata Sumantri.
“Apakah Tuan tak percaya
kemampuan kami?”
tanya Sugatra merasa kurang
senang.
“Bukan aku tak percaya pada
kalian. Tapi
percayalah, guruku saja
mungkin tak akan sanggup menghadapinya. Dan aku sendiri besok akan memanggil
guruku,” ujar Sumantri meyakinkan.
Keempat anak uahnya itu
akhirnya menerima juga pendapat majikan mereka. “Hei, ke mana para penjaga?”
Mereka serentak keluar untuk
melihat apa yang terjadi. Mata mereka membelalak, ketika menyaksikan delapan
penjaga dalam keadaan tertotok.
“Tentunya sebelum masuk
Pendekar Gila telah menotok mereka lebih dahulu,” gumam Sumantri.
“Pantas dari tadi mereka tak
muncul” sambung Iblis Selendang Ungu.
Mereka segera bergerak
membebaskan totokan di tubuh delapan penjaga keamanan di rumah saudagar kaya
itu.
***
6
Pagi teramat dingin. Embun pun
masih menempel di dedaunan dan membasahi tanah. Mentari belum juga muncul ke permukaan
bumi. Hanya bias merah di ufuk timur yang terlihat, pertanda kalau sang Raja
Siang siap bangkit dari peraduannya. Burung-burung pun berkicau riang,
seakan-akan hendak menikmati indahnya suasana pagi.
Desa Kalimas yang merupakan
desa terdekat jaraknya dengan Lembah Akherat, pagi itu masih sepi.
Belum ada seorang manusia pun
yang keluar dari rumahnya. Meskipun mungkin mereka sudah bangun.
Saat itu, tampak dua sosok
manusia berjalan menyusuri jalan Desa Kalimas. Mereka adalah seorang lelaki dan
perempuan berusia sekitar lima puluh tahun. Kedua orang yang berpakaian hijau
muda merah itu tampak berjalan begitu intim menembus suasana pagi yang dingin
dan sunyi itu.
Yang wanita berambut diikat ke
atas kepala, dengan ujungnya terurai ke bawah. Bibirnya yang keriput,
menyunggingkan senyum. Dialah Nyi Rawi Abang. Tubuhnya kecil dan tidak begitu
tinggi, kelincahannya dalam bergerak sangat mengagum-kan. Itu sebabnya
perempuan tua ini mendapat julukan si Kijang Emas.
Sedang lelaki tua yang
berjalan di sampingnya berambut lurus tergerai. Tingginya lebih sekepala
dibandingkan dengan Nyi Rawit Abang. Pembawaan-nya tenang. Tubuhnya agak
bungkuk, dengan jenggot
dan kumis menghias di
wajahnya. Hidungnya mancung, dan matanya agak menyipit. Dialah Ki Braga Kumba.
Keduanya bermaksud berangkat
ke Lembah
Akherat, atau tepatnya menuju
Danau Sambak Neraka. Keduanya seperti pendekar dan tokoh persilatan lainnya,
yang tertarik dengan kabar mengenai munculnya bocah bersisik di Pulau Karang
Api. Hal pertama yang menjadi tujuan mereka adalah mendapatkan bocah itu, untuk
selanjutnya diserahkan pada Sumantri. Kedua, mereka juga ingin membuktikan
benar tidaknya kabar itu, serta ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di Pulau
Karang Api yang selama ini belum seorang tokoh pun mampu menjarah tempat itu.
“Masih jauhkah jarak yang
harus kita tempuh, Ki?”
tanya Nyi Rawit Abang.
“Kurasa tidak, Nyi. Sebab
kalau kita sudah melewati Desa Kalimas, tinggal seperempat hari dengan berjalan
biasa, kita akan segera sampai,”
jawab Ki Braga Kumba berusaha
menghibur hati kekasihnya.
“Aku tak mengerti. Bagaimana
mereka yang ke Lembah Akherat benar-benar sampai ke akherat?
Mereka tidak pernah pulang,”
gumam Nyi Rawit Abang.
Ki Braga Kumba tersenyum kecut
mendengar kata-kata Nyi Rawit Abang. Keduanya memang bukan suami istri, hanya
merupakan sepasang kekasih.
Entah mengapa dari dulu mereka
tidak juga menikah.
Mereka hanya menjalin hubungan
kasih, sampai keduanya sama-sama tua.
“Siapa sebenarnya penghuni
Lembah Akherat?
Sampai-sampai tempat itu
sangat ditakuti?” kembali
Nyi Rawit Abang bertanya,
karena penasaran tentang tempat keramat yang kini hendak mereka tuju.
“Mana aku tahu? Kalau tahu,
sudah dari dulu ingin ke tempat itu. Tentu penghuninya bukan
sembarangan. Buktinya tak
seorang pun yang berani datang ke tempat itu,” tutur Ki Braga Kumba.
“Hhh...,” Nyi Rawit Abang
mendesah manja.
Matanya melotot nakal, menatap
kekasihnya yang hanya tersenyum cengengesan.
“Ngambek ya?” tanya Ki Braga
Kumba.
“Huh”
“Lho lho, kok marah?”
“Makanya, jelaskan” sahut Nyi
Rawit Abang dengan suara manja.
Ki Braga Kumba semakin
melebarkan senyum,
“Nampaknya kau semakin cantik
jika merengut begitu, Nyi.”
Kini Nyi Rawit Abang tersipu,
mendengar rayuan kekasihnya. Sifatnya yang seperti gadis belasan tahun jelas
masih terlihat, manja dan akan tersipu-sipu genit jika disanjung sang Kekasih.
Tingkah laku keduanya memang sering nampak lucu, tidak ubahnya sepasang remaja
yang dimabuk asmara.
“Bisa saja kau, Ki.”
“Sungguh.”
Kembali Nyi Rawit Abang
tersipu-sipu malu, semakin bertambah keriput wajahnya. Tapi itulah yang membuat
Ki Braga Kumba semakin bertambah senang. Buktinya hampir tiga puluh tahun
mereka menjalin hubungan, tapi selama itu belum pernah terjadi perselisihan.
Keduanya selalu intim. Di mana ada Braga Kumba, di situ ada Nyi Rawit Abang.
Saking lengketnya, pasangan
campuran dari golongan hitam dan putih itu terkenal dengan
sebutan Pengantin Tua. Nyi
Rawit Abang dari aliran hitam, sedangkan Ki Braga Kumba berasal dari aliran
putih. Namun keduanya tak pernah bentrok. Justru satu sama lain saling
membantu.
Langkah mereka semakin
mendekati tempat yang dituju. Kini keduanya telah berada di luar batas Desa
Kalimas. Sebentar lagi akan memasuki hutan yang menjadi pemisah antara Desa
Kalimas dengan wilayah Lembah Akherat
Mereka sedang melangkah
memasuki Hutan Kawi-kawi ketika tiba-tiba dikejutkan suara bentakan keras yang
disertai munculnya tujuh orang lelaki yang sudah mereka kenali.
“Berhenti...”
“Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
Ada apa kalian menghadang perjalanan kami?” tanya Ki Braga Kumba dengan mata
tajam menatap satu persatu wajah Tujuh Iblis dari Sarang Hantu yang rata-rata
memiliki sifat yang kasar dan bengis.
“Hm.... Apakah kalian lupa
dengan kejadian dua hari yang lalu di kedai?” bentak Sadra, orang pertama dari
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
“He he he Jelas kami ingat,”
sahut Nyi Rawit Abang. “Ada apa dengan kalian?”
“Jangan berpura-pura tak
mengerti, Nyi Jelas Kami menghendaki nyawa kalian berdua Kami tak ingin kalian
ikut campur dengan urusan ini” tukas Saka Gulu, orang kedua dari Tujuh Iblis
dari Sarang Hantu.
“Kurang ajar” dengus Ki Braga
Kumba. “Kalian kira kami dapat digertak oleh iblis-iblis cacingan macam kalian,
heh?”
“Bedebah Lancang mulutmu, Tua
Bangka
Kurobek mulutmu”
Usai berkata begitu, Sadra
menggerakkan tangan
kanannya, sebagai isyarat pada
keenam rekannya untuk menyerang.
“Heaaa...”
Melihat kekasihnya diserang,
Nyi Rawit Abang tak tinggal diam. Sambil mendengus marah, ditariknya Cambuk
Rambut Seribu yang menjadi senjatanya.
Kemudian dengan jurus 'Lecutan
Kilat Cambuk Seribu' Nyi Rawit Abang menyerang.
“Kalian rupanya mencari mampus
Berani menghadang Pengantin Tua Heaaa...”
Ctar Ctar Ctar...
Ribuan rambut di ujung cambuk
bergerak
menyerang ke arah tujuh
lawannya. Rambut-rambut di ujung cambuk itu laksana hidup, meliuk-liuk ke sana
kemari memburu mangsa.
Mendapatkan serangan seperti
itu, Tujuh Iblis Sarang Hantu segera melompat ke belakang.
Kemudian setelah memberi
isyarat, mereka segera membentuk sebuah lingkaran memutari kedua lawannya
dengan jurus 'Untaian Rantai Iblis Menjerat'.
Tubuh Tujuh Iblis dari Sarang
Hantu bergerak dalam bentuk lingkaran. Tangan mereka bergerak menyerang ke arah
kedua lawannya yang berada di tengah-tengah lingkaran. Gerakan itu pun membuat
Nyi Rawit Abang dan Ki Braga Kumba pening menghadapinya.
“Hhh... Kita harus bisa
menembusnya, Nyi”
gumam Ki Braga Kumba.
“Ya Mari kita gunakan jurus
'Badai Menyapu Karang'.”
“Mari Heaaa...”
“Hiaaa...”
Kedua tokoh tua itu segera
mengeluarkan jurus
'Badai Menyapu Karang'.
Gerakan tubuh keduanya
sangat cepat, menimbulkan
angin yang keras.
Wusss...
Melihat lawan berusaha
mendobrak pertahanan, Tujuh Iblis dari Sarang Hantu segera mempercepat
gerakannya dengan jurus yang lain. Dengan jurus
'Putaran Kincir Menyapu Badai'
mereka bergerak begitu cepat. Tangan dan kaki mereka tidak tinggal diam,
bergerak memukul dan menendang ke arah lawan.
“Heaaat...”
“Hiaaa...”
Teriakan-teriakan keras
menggelegar mengiringi gerakan mereka menyerang dengan cepat
Wut...
Prak
“Ugkh”
Nyi Rawit Abang mengeluh,
ketika tangannya berbenturan dengan tangan beberapa orang dari Tujuh Iblis dari
Sarang Hantu. Hal serupa juga dialami oleh Ki Braga Kumba. Keduanya meringis
merasakan sakit akibat benturan tangan tadi.
Namun bukan hanya kedua orang
itu yang
merasakan sakit linu akibat
benturan yang terjadi.
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
juga tersentak dengan mata melotot, mendapatkan serangan mereka berantakan.
Tangan mereka dirasakan ngilu.
Mata menatap tajam pada
Pengantin Tua yang juga beberapa langkah terhuyung mundur. Kini keduanya sudah
tidak lagi berada dalam kepungan Tujuh Iblis Sarang Hantu.
“Bedebah Kalian rupanya masih
sanggup menghadapi kami” dengus Saka Gulu.
“Huh Apa susahnya menghadapi
iblis-iblis cacingan macam
kalian?” ejek Ki Braga Kumba
seraya mencibir, membuat Tujuh
Iblis dari Sarang Hantu bertambah marah.
“Kurang ajar Rupanya kalian
mencari mampus”
maki Sadra, marah.
“Kalianlah yang mencari
mampus” bentak Nyi Rawit Abang dengan mata melotot, merasa tidak senang
kekasihnya dibentak begitu rupa. “Kalau kalian tak segera minggat, tak
segan-segan kami membunuh kalian”
“Ha ha ha...” Tujuh Iblis dari
Sarang Hantu tertawa bergelak-gelak mendengar ancaman Nyi Rawit Abang.
“Apakah tidak terbalik,
Perempuan Lacur Seharusnya kau minta ampun, karena telah membela pihak lawan”
bentak lelaki berbadan gendut dengan rambut dikuncir di atas kepala. Lelaki itu
orang ketiga dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
“Cuh Apa peduli kalian?”
bentak Nyi Rawit Abang tak mau kalah. “Rupanya kalian ngiri ya?”
“Huh Apa dikira kau wanita
yang paling cantik?”
dengus lelaki berhidung besar
dengan kumis menempel di ujung bibir. Dia orang keempat dari Tujuh Iblis dari
Sarang Hantu.
“Kurang ajar Kubunuh kalian
Heaaa...”
Nyi Rawit Abang yang marah,
kembali bergerak menggempur lawan-lawannya dengan cambuk.
Rambut-rambut di ujung
cambuknya bergerak lagi menyapu ke wajah lawan dengan jurus 'Sapu Buana Mekti'.
“Heaaa”
Wut
Melihat serangan itu, dengan
cepat Tujuh Iblis dari Sarang Hantu tidak tinggal diam. Mereka segera mencabut
senjata yang berupa sabit. Kemudian setelah mengelakkan serangan lawan, mereka
berbalik menyerang dengan
jurus 'Sabit Maut Mencari Jantung'.
Wut Wut Wut...
“Heit..”
Nyi Rawit Abang bergerak
mengelak ke samping, menghindari serangan yang mengarah ke bagian tubuhnya yang
mematikan.
Menyaksikan kekasihnya dalam
desakan ketujuh lawan, Ki Braga Kumba segera mencabut ikat pinggangnya yang
bernama Sabuk Sasra Geni.
Kemudian dengan jurus 'Sasra
Geni' tingkat ketiga, Ki Braga Kumba merangsek ke arah lawan.
“Heaaa...”
Ki Braga Kumba dengan cepat
terus memutar Sabuk Sasra Geni di tangannya. Dan seketika sekeliling tempat itu
berubah menjadi panas membara. Hal itu membuat Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
tersentak kaget Mereka segera melompat mundur, menghindari sabetan sabuk lawan
yang dahsyat.
“Hah? Celaka... Rupanya dia
memiliki Sabuk Sasra Geni” pekik Sadra kaget dengan mata membelalak. “Cepat
kalian lakukan aji 'Penutup Sukma'.”
Mendengar perintah Sadra,
seketika keenam rekan-rekannya merapalkan ajian 'Penutup Sukma'
Lalu setelah merapalkan ajian
tersebut, ketujuhnya kembali bergerak menyerang lawan.
“Heaaa...”
“Yeaaat..”
Pertarungan seru kembali
terjadi. Masing-masing pihak kini telah mengeluarkan jurus dan senjata andalan
masing-masing. Beberapa jurus telah mereka keluarkan untuk mengalahkan lawan,
namun sejauh itu belum juga nampak siapa yang bakal menang dan
siapa yang bakal kalah.
“Heaaat...”
“Yeaaah...”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
kembali melancarkan serangan dahsyat mereka, menggempur pertahanan lawan. Dua
orang tua dikeroyok oleh tujuh lelaki yang bergelar Tujuh Iblis dari Sarang
Hantu nampaknya sama-sama tangguh. Kedua orang tua itu bagaikan sepasang kijang
yang melompat dengan lincah, bergerak ke sana kemari mengelakkan serangan
lawan. Kemudian dengan cepat pula melancarkan serangan balasan yang tak kalah
dahsyat.
Ki Braga Kumba dengan Sabuk
Sasra Geninya yang melecut-lecut menimbulkan hawa panas, telah mengerahkan
jurus yang ketujuh. Sedangkan Rawit Abang dengan Cambuk Rambut Seribunya juga
tidak mau ketinggalan. Cambuk di tangannya dengan jurus
'Sapuan Prahara Menghancur
Karang' bergerak menyerang dan berputar-putar memburu serangan lawan.
Gabungan serangan kedua orang
tua itu sangat cepat dan lincah. Mereka bergantian menyerang ke arah lawan,
kemudian bergantian menutup per-tahanannya.
“Heaaa...”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
yang belum juga dapat membuahkan hasil serangannya, semakin bertambah
penasaran. Mereka semakin mempercepat serangan. Namun lawan tampaknya sangat
alot untuk dikalahkan.
Ketika pertarungan itu
berlangsung sengit, tiba-tiba terdengar suara bentakan keras yang mengejutkan.
Sehingga seketika mereka menghentikan pertarungan.
“Orang-orang sinting Apa yang
kalian perbuat di sini?”
Bersamaan dengan habisnya
bentakan itu, berkelebat sesosok bayangan. Dalam sekejap mata sosok itu telah
berdiri di antara mereka. Ternyata dia seorang lelaki tua yang wajahnya nampak
begitu tenang. Di pundaknya tersampir sebilah pedang.
Lelaki tua berusia sekitar
tujuh puluh tahun dengan jenggot purih panjang dan berambut digelung ke atas
itu tidak lain Ki Badawi, guru Sumantri. Tubuhnya yang tampak tua terbalut
jubah panjang berwarna putih.
Semua yang ada di Hutan
Kawi-kawi seketika menundukkan kepala, setelah tahu siapa lelaki tua yang baru
datang itu. Nama Ki Badawi bukanlah nama yang asing bagi mereka, terutama dari
golongan tua. Mereka telah mengenal Ki Badawi sebagai Dewa Pedang. Hal itu
karena kehebatan ilmu pedangnya, yang sampai saat ini belum tertandingi.
“Kalian hanya saling bantai
Apakah kalian tak ingat kalau masih ada hal yang lebih penting?” tanya Ki
Badawi.
Mereka masih terdiam, tak
seorang pun yang berani menentang kata-kata lelaki tua itu. Meski mereka merasa
belum tentu dapat dengan mudah dikalah oleh orang tua itu. Namun mereka merasa
segan jika bertarung dengan Dewa Pedang yang begitu tersohor dengan Pedang
Darahnya.
“Sekarang dunia persilatan
tengah kacau, dengan kehadiran bocah edan yang telah membunuh para pendekar”
tukas Ki Badawi.
Ki Braga Kumba tersentak
mendengar nama
bocah edan yang tentunya
Pendekar Gila. Orang tua berusia sekitar lima puluh lima tahun yang semula
diam itu angkat bicara.
“Kurasa kau salah duga, Ki.”
Ki Badawi menoleh dan menatap
pada Ki Braga Kumba.
“Apa yang kau katakan, Kumba”
bentaknya keras.
“Maaf Kurasa Ki Badawi telah
salah tuduh.
Pemuda gila yang kau
maksudkan, tentunya
Pendekar Gila, bukan?”
“Benar”
“Salah Kau salah besar jika
menuduh dia
pengacau, Ki.”
“Jangan menggurui aku, Kumba”
bentak Ki
Badawi gusar. Matanya semakin
membelalak marah, merasa ucapannya telah ditentang oleh Ki Braga Kumba. Entah
mengapa, lelaki yang semula arif dan penyabar itu kini nampak tak sabar dan
cepat marah.
Ki Braga Kumba mengerutkan
kening. Dia merasa aneh dan tak mengerti dengan perubahan yang dialami Ki
Badawi. Mungkinkah karena usianya yang telah tua, sehingga dia berubah? Tanya
Ki Braga Kumba dalam hati. Ah, kurasa bukan karena usia.
Tapi kurasa ada penyebar
fitnah, yang menjadikan nama Pendekar Gila sebagai pembunuh keji.
“Maaf, Ki. Kalau boleh aku
jelaskan, Pendekar Gila itu bukanlah pengacau. Dia seorang pendekar yang
melangkah di jalan kebenaran dan keadilan. Jadi kalau kau menuduhnya sebagai
pengacau, jelas itu salah besar” kata Ki Braga Kumba berusaha meluruskan
tanggapan Ki Badawi.
“Cuih Kau tahu apa, Kumba”
bentak Ki Badawi semakin gusar, merasa omongannya telah ditentang Ki Braga
Kumba. “Rupanya kau berpihak pada iblis muda itu, heh?”
Merasa dibentak-bentak begitu,
Ki Braga Kumba
yang semula menaruh rasa segan
akhirnya marah juga. Terlebih tahu dirinya berada di pihak yang benar.
“Bukannya aku yang berpihak
pada iblis, Ki Tapi Kaulah yang telah tersesat” balas Ki Braga Kumba tak kalah
geramnya. “Kaulah yang telah salah menuduh”
“Kurang ajar Lancang sekali
mulutmu, Kumba”
bentak Ki Badawi semakin gusar
melihat keberanian Ki Braga Kumba.
“Kenapa tidak Kau yang
dihormati para pendekar, rupanya telah pikun Kau sesatkan kebenaran.
Sedangkan kau benarkan yang
sesat”
“Setan Tutup bacotmu”
Ki Braga Kumba tersenyum
sinis.
“Aku akan menutup mulut, jika
kau pun membuka mata” jawab Ki Braga Kumba.
Napas Ki Badawi mendengus
pertanda marah.
Matanya membelalak lebar,
menatap tajam wajah Ki Braga Kumba yang tampak masih tenang. Sedang Tujuh Iblis
dari Sarang Hantu kini menyurut mundur.
Mereka tidak ingin terlibat
dengan urusan itu, karena mereka tidak ingin Ki Badawi sampai tahu mereka dari
aliran sesat.
Dengan perlahan-lahan, Tujuh
Iblis dari Sarang Hantu meninggalkan tempat itu untuk meneruskan perjalanan
mereka menuju Lembah Akherat.
“Kau telah berani menantangku,
Kumba Jangan salahkan kalau pedangku akan bicara” ancam Ki Badawi.
Ki Braga Kumba semakin
melebarkan senyum.
Wajahnya masih penuh
ketenangan. Tak gentar sedikit pun dia menghadapi orang tua di hadapannya yang
namanya sangat tersohor. Baginya, lebih baik
mati untuk membela kebenaran,
daripada hidup sesat
“Meski aku harus mati di
tanganmu, aku tak akan memihak kesesatanmu” sahut Ki Braga Kumba.
“Kurang ajar Kubunuh kau,
Kumba”
Srat Cring...
Ki Badawi menarik Pedang
Darah. Seketika sinar merah darah membersit dari pedang itu. Bau amis darah
tercium oleh hidung Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang.
Pedang Darah kini telah keluar
dari warangkanya berarti harus mendapatkan darah. Jika tidak, maka nyawa
pemiliknyalah yang akan menjadi korban.
Bergidik juga Ki Braga Kumba
dan Nyi Rawit Abang menyaksikan pedang di tangan Ki Badawi. Namun mereka berada
di pihak yang benar, tak seharusnya mereka takut menghadapi kematian. Semua
pendekar tentu senantiasa
harus mati.
“Bersiaplah, Kumba”
“Aku telah siap” jawab Ki
Braga Kumba.
“Begitu juga denganku” sambut
Nyi Rawit Abang.
“Rupanya kalian mencari
penyakit” dengus Ki Badawi.
“Kaulah yang mencari gara-gara,
Orang Tua Pikun” bentak Nyi Rawit Abang gusar, merasa kekasihnya dalam keadaan
bahaya. Bagaimanapun juga dia harus membela Ki Braga Kumba.
“Kurang ajar Kubunuh kalian
Heaaa...” Ki Badawi yang mata gelap segera berkelebat menyerang ke arah
keduanya dengan membabatkan Pedang Darah.
Keduanya berusaha mengelakkan
serangan. Tapi kekuatan tarikan Pedang Darah di tangan Ki Badawi, menjadikan
langkah mereka tersendat. Dahsyat sekali kekuatan tarikan pedang itu, dan....
Wut...
Cras Cras
Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit
Abang seketika nemekik keras, ketika pedang di tangan Ki Badawi menebas leher
mereka.
“Pendekar Gila Ke mana pun kau
pergi, aku akan mencarimu” seru Ki Badawi sambil mengacungkan Pedang Darahnya
ke atas. Setelah puas dengan perbuatannya, Ki Badawi segera memasukkan
pedangnya dan berlari meninggalkan tempat itu.
***
7
Selang beberapa waktu
kemudian, nampak seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular melintasi Hutan
Kawi-kawi, tempat tubuh Ki Braga Kumba dan Nyi Rawit Abang tergeletak
berlumuran darah dengan leher hampir putus.
“Groook...”
Pendekar Gila tersentak,
ketika telinganya mendengar suara dengkuran keras dari arah kanan jalan yang
dilaluinya. Seketika langkahnya terhenti, kemudian dengan kening berkerut kepalanya
di-telengkan berusaha mencari-cari suara tadi.
“Grok...”
Suara itu kembali terdengar,
begitu jelas. Sepertinya sangat dekat dengan temparnya.
“Hm, suara apakah itu?” tanya
Sena berusaha mencari asal suara yang berada di sebelah kanannya.
Kakinya terus melangkah. Dan
tiba-tiba hatinya tersentak kaget menyaksikan dua tubuh tergeletak berlumur
darah.
Dengan rasa penasaran, Sena
melangkah perlahan-lahan. Wajahnya meringis menahan perasaan hatinya. Dan dia
semakin tersentak, manakala melihat gerakan tangan lemah lelaki tua yang belum
dikenalnya.
Tangan lelaki tua yang
bergerak lemah itu, menuliskan serangkaian kata-kata di atas tanah yang
ditujukan kepadanya. Dengan kening mengerut dan mata menyipit pemuda berompi
kulit ular mem-
bacanya.
Saudara Pendekar Gila,
Kami baru saja bertemu dengan
Dewa Pedang Dia mencarimu, untuk membunuhmu karena kau dianggap sebagai
pengacau rimba persilatan.
Hati-hatilah
Ki Braga Kumba
Usai menulis kata-kata itu,
tangan Ki Braga Kumba terkulai lemas. Napasnya yang semula ada, kini telah
melayang meninggalkan raga.
“Oh, sungguh baik budimu, Ki
Kau dalam keadaan sekarat masih berusaha mengingatkan aku,” gumam Sena dengan
wajah sedih. “Tentunya kau telah membela nama baikku.”
Mata Sena berkaca-kaca, tak
mampu mem-
bendung kesedihan dan rasa
haru melihat Ki Braga Kumba yang dalam keadaan sekarat masih berusaha
memberitahukan adanya bahaya yang kini
mengancam dirinya.
“Terima kasih atas kebaikanmu,
Ki Kudoakan, semoga Hyang Widhi menerima arwahmu,” gumam Sena perlahan.
Dihelanya napas dalam-dalam.
Kemudian perlahan kepalanya ditundukkan untuk memberi peng-hormatan pada kedua
mayat yang telah berjasa padanya. Meski dia belum tahu siapa sebenarnya Dewa
Pedang, tapi tentunya orang yang hendak mati tak mungkin dusta.
Wajahnya ditengadahkan ke
atas, menyapu ke dedaunan pohon yang tumbuh di Hutan Kawi-kawi.
“Siapakah Dewa Pedang itu?”
gumam Sena
bertanya pada diri sendiri.
“Ah, entahlah Mengapa aku harus berpikir jauh. Aku tidak mencari lawan.
Tapi lawan telah berada di
hadapanku, apa salahnya meladeninya.”
Usai memandangi kedua mayat
itu, Pendekar segera menggali lubang untuk menguburkan kedua mayat itu. Dengan
mengerahkan pukulan 'Inti Bayu'
dibuatnya lubang di tempat
itu. Kemudian setelah menaruh kedua mayat ke dalam lubang, kembali Sena
mengerahkan pukulan 'Inti Bayu' untuk menyapu gundukan tanah yang seketika
menutupi kuburan itu.
“Hyang Jagat Dewa Batara,
kiranya keduanya dapat Kau terima di swargaloka,” desis Sena memanjatkan doa.
Angin siang semilir, seperti
turut berduka atas kematian kedua tokoh tua itu.
Aku tak tahu, siapa sebenarnya
Dewa Pedang.
Mengapa dia mencariku? Rasanya
antara dia dan aku tak ada sangkut paut apa-apa. Pikir Pendekar Gila merasa
heran dan penasaran.
Lama Pendekar Gila termenung,
mencoba
menerka-nerka siapa sebenarnya
Dewa Pedang.
Namun tidak juga dia
mendapatkan jawaban. Selama ini, dia belum pernah mendengar nama Dewa Pedang.
“Hi hi hi...” Sena tertawa.
“Lucu sekali aku ini Mengapa aku harus memikirkannya?”
Dengan tertawa-tawa sambil
menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila kembali meneruskan perjalanannya.
***
Sementara itu, di Lembah
Akherat nampak Tujuh Iblis dari Sarang Hantu telah sampai. Ketujuh tokoh sesat
itu kini telah siap untuk menghadapi ancaman penghuni Pulau Karang Api yang
telah memakan banyak korban.
“Wahai penghuni Pulau Karang
Api, keluarlah”
seru Sadra menantang. “Jangan
hanya berani bersembunyi Hadapi Tujuh Iblis dari Sarang Hantu”
Seketika air Danau Sambak
Neraka bergolak hebat Saat itu juga, dari dalam danau muncul dua ekor naga
berwarna merah. Mata kedua naga itu membara merah, penuh amarah.
“Ghrrr... Hosss...”
Tanpa banyak tingkah, kedua
naga merah yang berada di Danau Sambak Neraka langsung
menyerang ke arah mereka
dengan semburan api dari mata dan mulutnya.
“Awas...” seru Sadra
mengingatkan pada keenam rekannya.
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
langsung
berlompatan, berusaha
mengelakkan serangan kedua naga itu. Dengan bersalto, mereka berlompatan dan
melakukan serangan balasan.
“'Cakra Lingga' Yeaaa...”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
dengan cepat melepaskan pukulan sakti mereka. Dari tangan mereka tiba-tiba
keluar sebuah sinar merah bersegi seperti cakra. Sinar berbentuk cakar itu
melesat begitu cepat menuju kedua naga yang masih bergerak menyerang.
Wusss Wusss...
Sinar merah berbentuk cakra
itu terus melesat.
Kedua naga itu pun
menggerakkan kepala, mengelakkan serangan lawan. Namun tak urung, salah
satu dari naga itu harus
merasakan pukulan 'Cakra Lingga' Tubuh naga api yang berada di sebelah barat
terhantam pukulan itu.
Busss
“Ghrrr Hoaaah...”
Semakin bertambah marah kedua
naga itu melihat salah satu dari mereka terkena pukulan. Kepala mereka yang
bertanduk kini melayang ke angkasa, kemudian dengan cepat menyerang ke arah
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
“Awas serangan” kembali Sadra
berseru.
“Heaaat...”
Tujuh Iblis dari Sarang Hantu
kembali berlompatan mengelakkan serangan kedua naga itu. Nampaknya kedua
binatang itu tidak berhenti sampai di situ.
Keduanya terus bergerak
melabrak ke arah Tujuh Iblis dari Sarang Hantu dengan patukan dan serudukan
kepalanya. Ditambah lagi serangan api yang keluar dari mulut dan mata kedua
ular raksasa itu terus menyembur.
“Wosss Wosss...
Lidah api kembali melesat
keluar dari mulut kedua naga itu, menyerang Tujuh Iblis dari Sarang Hantu.
Mereka pun kembali berlompatan
menjauhi
semburan api yang semakin
besar dan panas.
Pertarungan antara dua
binatang raksasa dengan Tujuh Iblis dari Sarang Hantu berlangsung dengan seru.
Nampaknya Tujuh Iblis dari Sarang Hantu bukanlah lawan sembarangan bagi kedua
naga itu.
Mereka mampu mengimbangi
serangan-serangan yang dilancarkan oleh kedua naga merah itu.
“Heaaa...”
“Wosss...”
Teriakan-teriakan melengking
keras terus
terdengar dari mulut Tujuh
Iblis dari Sarang Hantu, bersamaan dengan suara deburan air danau dan semburan
api.
Kepala kedua naga bergerak
cepat, menyambar dan menyeruduk ke arah lawan-lawannya. Sesekali dari mulut dan
mata kedua binatang itu menyemburkan api yang menyala, berusaha membakar tubuh
ketujuh lawannya.
“Uts Hop Hampir saja...” pekik
Saka Gulu sambil melompat mengelak.
Hampir saja tubuh orang kedua
dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu itu terkena hantaman kepala salah seorang
naga yang menyerang mereka. Kemudian setelah luput dari hantaman kepala naga
itu, Saka Gulu balik menyerang dengan senjatanya yang berupa sabit
“Heaaa...”
Tubuh Saka Gulu melesat ke
atas, kemudian dengan cepat senjatanya diayunkan ke kepala naga yang
menyerangnya.
“Mampuslah kau, Naga Dungu”
Wut...
Kepala naga itu bergerak
mengelak dengan cepat, seakan mengerti serangan yang datang. Kemudian dengan
cepat sebelum Saka Gulu mampu menjaga k-seimbangan setelah menyerang, naga
berwarna merah itu menyodokkan kepala ke dadanya.
Wusss...
Dugk
“Aaakh...”
Saka Gulu terpekik keras.
Dadanya bagaikan dihantam batu sebesar gajah. Napasnya terasa sangat sesak dan
tubuhnya terpental deras ke belakang. Tubuh itu terhenti, ketika menerjang
pepohonan di Hutan Kawi-kawi.
Hanya sejenak dia mampu mengerang lalu diam tak berkutik lagi. Mati
Menyaksikan Saka Gulu tewas,
keenam rekannya semakin marah. Mereka menyerang bersama-sama dengan
pukulan-pukulan yang mematikan. Dengan pengerahan ajian-ajian sakti sepert
'Geti Ireng' dan
'Jambang Kalageni' keenam
tokoh sesat itu berusaha membunuh naga api yang semakin garang
menyerang mereka.
Kini kedua naga yang semula
berada di tengah Danau Sambak Neraka, telah keluar dan memburu keenam lawannya.
Mereka pun bergerak mundur sambil tetap melakukan gerakan-gerakan untuk menyerang.
Lembah Akherat yang semula
sepi, seketika berubah menjadi riuh oleh suara pekikan dan geraman mereka.
Tanah berpasir di Lembah Akherat, beterbangan menutupi tempat itu, ketika
kaki-kaki mereka bergerak menyerang dan hembusan api naga itu.
Pertarungan antara enam
anggota Tujuh Iblis dari Sarang Hantu melawan kedua naga api dari Danau Sambak
Neraka masih berlangsung seru. Sementara itu, tiba-tiba dari Pulau Karang Api,
muncul sesosok tubuh kecil bersisik dengan mata menyala merah.
“Ghrrr...”
Bocah kecil dengan tubuh
bersisik itu nampaknya marah. Tubuhnya dengan ringan sekali berlari di atas air
membuat enam dari Tujuh Iblis dari Sarang Hantu terbelalak heran
menyaksikannya.
“Lihat Bocah sakti itu keluar”
seru Sadra.
Semua mata kini memandang
bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang tubuhnya penuh sisik.
Matanya merah laksana
mengandung api. Tubuh
bocah itu melayang, lalu
menukik dengan kecepatan tinggi menyerang keenam lawan naga-naga api.
“Ghrrr...”
“Tangkap bocah itu...” seru
Sadra.
Mereka berusaha menangkap
bocah sakti yang tubuhnya penuh sisik, tapi belum juga sampai, kedua naga itu
telah menghalangi mereka dengan mengulurkan kepalanya.
“Wosss Ghrrr...”
Semburan api dari mulut kedua
naga api, seketika menghentikan mereka untuk mengejar. Kini enam dari Tujuh
Iblis dari Sarang Hantu itu berlompatan mengelak dari semburan api yang
dahsyat. Lalu dengan cepat mereka balik menyerang.
Bocah kecil bertubuh penuh
sisik itu tak mau tinggal diam, tubuhnya melenting ke udara.
Kemudian dengan cepat mendarat
pada salah seorang dari keenam orang itu. Lalu dengan gerak cepat, bocah
bersisik itu menggigit leher lawannya.
Crat
“Wuaaa...”
Lelaki berkepala botak itu
menjerit kesakitan.
tubuhnya sesaat mengejang,
matanya melotot.
Lubang besar kini nampak di
lehernya. Sesaat tubuhnya sekarat, kemudian ambruk dengan tubuh berwarna merah.
“Bocah setan Kubunuh kau”
dengus Sadra
geram, menyaksikan bocah
bersisik dan berlidah ular itu menyerang ganas. Segera Sadra melesat bermaksud
menyerang bocah itu dengan jurus
pamungkasnya, 'Kelabang Geni.
“Heaaa...”
Sadra mengebutkan bungkusan
yang diambil dari balik bajunya. Saat itu, ribuan binatang berbisa, panjang,
dan berkaki banyak melesat ke arah bocah
bersisik ular itu.
“Mampuslah kau, Bocah Setan”
seru Sadra.
Binatang-binatang berbisa itu
melesat cepat memburu bocah bersisik dan berlidah ular. Namun bocah itu nampak
tenang menghadapi ratusan kelabang yanng hendak menyerangnya. Matanya semakin
berkilau merah, kemudian dari matanya keluar larikan sinar merah menghantam
kelabang-kelabang itu.
Clarts...
Brups
Seketika kelabang-kelabang itu
terpanggang jadi debu, dan jatuh berhamburan ke tanah berpasir.
Terbelalak mata Sadra
menyaksikan kehebatan bocah lelaki bersisik dan berlidah seperti ular itu.
Saking terkejutnya, Sadra
tidak menyadari kalau di belakangnya seekor naga menyerangnya. Maka....
Dugkh
“Aaa...”
Tubuh Sadra terlempar ke
depan, dan melayang ke angkasa lalu jatuh ke air Danau Sambak Neraka.
Tubuh Sadra
menggelepar-gelepar, ketika ratusan ikan pemakan daging muncul dan memangsa
tubuhnya.
Melihat kematian Sadra,
keempat kawannya berusaha membalas. Namun rupanya kematian Sadra dan Saka Gulu
mempengaruhi jiwa mereka.
Keempat tokoh sesat itu kini
serba canggung dalam menyerang. Namun begitu, mereka sepertinya pantang untuk
menyerah. Kini keempatnya terbagi enjadi dua bagian. Dua menyerang ke arah
bocah cilik bersisik dan berlidah ular, dua lainnya menyerang kedua naga
raksasa itu.
Pertarungan itu berjalan seru.
Tapi serangan-
seragan empat dari Tujuh Iblis
dari Sarang Hantu tidak banyak berarti seperti ketika mereka masih utuh tujuh
orang. Dan tiba-tiba....
Dugkh
“Wuaaa...”
Satu orang lagi terkena
serudukan kepala naga api. Tubuh orang itu melayang deras, melambung ke angkasa
dengan dada remuk bagaikan dihantam batu besar. Tanpa suara teriakan lagi,
tubuh lelaki itu terjatuh di Hutan Kawi-kawi.
Kini semakin bertambah melemah
serangan tiga orang itu. Mereka semakin bertambah ciut nyalinya.
Melihat keadaan lawan yang
semakin terdesak, kedua naga dan bocah bersisik ular malah semakin ganas dalam
menyerang.
Tanpa mengalami kesulitan yang
berarti, kedua naga dan bocah penghuni Danau Sambak Neraka itu dapat
mengalahkan lawan-lawannya. Lembah Akherat yang semula ramai kembali hening dan
sepi. Hanya dua naga dan bocah kecil bersisik dan berlidah ular yang masih ada.
Wusss
“Zssst...”
Kedua naga itu merendahkan
kepalanya, men-ciumi tubuh bocah kecil itu. Kemudian setelah bocah kecil itu
naik di atas kepalanya, kedua ular itu kembali melata dan mencebur ke dalam
Danau Sambak Neraka.
Bocah kecil itu tertawa-tawa
senang, sepertinya mengerti kalau kedua naga itu adalah ayah dan ibunya.
***
8
Matahari semakin condong ke
arah barat, pertandaa senja hampir tiba. Angin siang menginjak sore berhembus
semilir, membuat suasana Lembah Akherat nampak sangat tenang. Padahal di tempat
itu bergelimpangan mayat penuh luka dan berdarah.
Burung-burung pemakan bangkai
beterbangan di tempat itu, berputar-putar kemudian menukik.
Seorang pemuda tampan berambut
gondrong
dengan kulit bersih, berbaju
rompi kulit ular melangkah menyelusuri Lembah Akherat yang sepi.
Matanya memandang penuh
kekagetan, menyaksikan mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Hm, benar-benar Lembah
Akherat,” gumam
Pendekar Gila dengan mulut
nyengir, menyaksikan banyak sekali mayat-mayat bergelimpangan. “Seperti ada
sesuatu yang membantai orang-orang ini.”
Sena mengedarkan matanya ke
sekeliling tempat yang sangat sepi itu. Matanya seketika tertuju ke arah pulau.
Dilihatnya di tengah danau itu terdapat pulau yang memijarkan warna merah,
sepertinya pulau itulah yang merupakan pulau yang berapi.
“Aha, itu kiranya Pulau Karang
Api,” gumam Pendekar Gila sambil mengarahkan pandangannya ke Pulau Karang Api.
Kaki Pendekar Gila melangkah
menyelusuri
Lembah Akherat dengan pelan
dan hati-hati.
Nampaknya dia memasang
kewaspadaan, tidak mau gegabah dalam melakukan tindakan. Bagaimana pun,
dia tidak ingin mati sia-sia
di tempat itu.
“Ah, aneh sekali...” gumam
Sena. “Di sini nampaknya tak ada tanda-tanda kehidupan. Lalu, siapa yang telah
membantai mereka?”
Belum juga habis
ketidakmengertian Pendekar Gila akan semua yang terjadi, seketika hatinya
dikejutkan adanya suara bergemuruh dari Danau Sambak Neraka.
“Ghrrr...”
“Wosss...”
Pendekar Gila segera memandang
ke Danau
Sambak Neraka. Saat itu, dari
dalam air danau muncul dua sosok berwarna merah menyala. Mata kedua binatang
raksasa itu menyala laksana api, menatap tajam pada Pendekar Gila.
“Wah Rupanya kedua binatang
inilah yang membantai mereka” gumam Sena sambil nyengir kuda.
Tangannya menggaruk-garuk
kepala.
“Wosss...”
Kedua naga itu sepertinya
marah dengan
kehadiran Pendekar Gila di
Lembah Akherat. Mata kedua binatang itu merah menyala, menatap tajam pada
Pendekar Gila yang masih berjingkrakan seperti kera. Kepala kedua naga itu
bergerak-gerak. Sebentar tegak ke atas, kemudian ke bawah. Sepertinya berusaha
mengusir Pendekar Gila.
“Aha, kalian ingin mengusirku
Ah, kurasa kalianlah yang harus pergi” seru Sena masih berjingkrakan.
Tangannya menggaruk-garuk ke
tubuh dan mulutnya yang nyengir.
“Wosss...”
Kedua naga itu kembali
menggerak-gerakkan kepalanya, kemudian dengan mata merah membara kedua naga itu
naik.
“Aha, rupanya kalian
benar-benar mengusirku”
seru Sena seraya melangkah
maju. Bukannya mundur menjauh, Sena justru mendekat. Hal itu membuat kedua naga
itu bertambah marah.
“Wosss Ghrrr...”
Tiba-tiba kepala naga itu berdiri
tegak, kemudian dari mulutnya menyembur api menyala ke arah Pendekar Gila.
“Heits Hi hi hi...”
Dengan cengengesan, Pendekar
Gila segera
mengelakkan serangan kedua
naga itu. Kemudian dengan cepat dia berbalik menyerang dengan jurus
'Si Gila Terbang Menyambar
Ayam'. Tubuhnya melesat laksana terbang, kemudian tangannya bergerak memukul ke
arah kedua lawannya.
“Wosss...”
Kedua naga itu seakan mengerti
lawan
menyerang. Keduanya segera
mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila dengan cara meliuk-kan
kepala. Hal itu membuat serangan Pendekar Gila luput dari sasaran.
“Aha, rupanya kalian bisa
silat juga” gumam Pendekar Gila sambil terus melesat terbang, kemudian kembali
menyerang dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Jurus itu sengaja
digunakannya, semata-mata untuk dapat mengelakkan
serangan lawan. Kemudian
dengan mengerahkan seperempat tenaga dalamnya, Pendekar Gila menghantamkan
pukulan keras dengan telapak tangan ke arah kedua naga itu.
Wuttt..
Tubuh kedua naga itu terus
bergerak, mengelakkan serangan yang dilakukan Pendekar Gila.
Kemudian keduanya balas
menyerang dengan
menyemburkan api dari mulut
dan mata.
“Wosss Wosss...”
Api menyala-nyala menyerang
Pendekar Gila.
Dengan cepat Pendekar Gila
berkelit mengelak.
Kemudian dengan cepat pula
pemuda berbaju rompi ular itu balas menyerang dengan serangkaian pukulan yang
cepat ke arah tubuh kedua binatang itu.
“Heaaa...”
Pekikan keras mengiringi
serangan Pendekar Gila.
Bugk Dugk
“Wosss Ghrrr...”
Serangkaian pukulan yang
dilancarkan Pendekar Gila rupanya mengenai tubuh kedua binatang itu.
Kedua binatang itu seketika
mengerang marah, dan dengan sengit balas menyerang. Kepalanya bergerak
meliuk-liuk, kemudian menyeruduk ke arah Pendekar Gila.
“Ghrrr”
Wusss... Wut
Kedua naga yang tampak mulai
marah itu terus menyerang Pendekar Gila dengan serudukan dan sabetan kepala
serta ekor mereka. Namun dengan gesit dan cepat, Pendekar Gila mampu
mengelakkan serangan kedua binatang raksasa itu.
“Aha, kalian nampaknya marah,
Sobat Hi hi hi...”
Dengan masih cengengesan,
Pendekar Gila terus bergerak menyerang. Kali ini dengan jurus 'Si Gila Melebur
Gunung Karang', Sena menyerang ke arah kedua lawannya.
Tangannya disatukan, kemudian
direntangkan ke atas. Lalu kedua tangannya ditarik dengan menarik napas
panjang. Setelah itu, dengan tenaga dalam, telapak tangannya dihantamkan ke
arah kedua binatang raksasa itu.
“Heaaa...”
Wut, wut...
Dugk Dugk
“Wosss Ghrrrm...”
Erangan kesakitan seketika
terdengar dari mulut kedua binatang itu. Tubuh mereka menggelepar-gelepar,
berguling-guling seperti kesakitan. Tubuh kedua binatang itu terus berguling,
sampai akhirnya nyebur kembali ke Danau Sambak Neraka.
Byurrr Byurrr...
“Ghrrrmh....”
Kedua naga itu tampaknya
sangat marah, merasakan sakit di tubuh mereka. Tubuh mereka
menggelepar-gelepar, membuat air di danau itu bergolak.
Suasana riuh semakin bertambah
riuh di Lembah Akherat. Suara erangan mulut kedua naga yang marah dan suara air
akibat menggelepar-geleparnya kedua naga berwarna merah itu.
Pendekar Gila tertawa
tergelak-gelak sambil berjingkrakan seperti kera. Dengan tangan menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila bagaikan kegirangan menyaksikan kedua binatang itu
mengelepar-gelepar kesakitan. Namun ternyata kedua binatang itu memiliki
kekuatan hebat. Kalau tidak, mungkin keduanya telah hancur lebur menjadi debu
terkena pukulan Pendekar Gila dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'
“Ghrrrmh... Hosss Hosss...”
“Hua ha ha... Menarilah kalian
semua” Pendekar Gila sambil tertawa-tawa menyaksikan kedua binatang itu masih
bergolak dengan raungan yang menggelegar.
***
Pendekar Gila masih
berjingkrakan seperti seekor kera yang kegirangan sambil tertawa
tergelak-gelak, ketika tiba-tiba terdengar dari arah Pulau Karang Api sebuah
bentakan keras menggelegar.
“Manusia sombong Kau telah
berani membuat keonaran di tempat ini Kau harus mampus.
Heaaat...”
Wusss...
Angin kencang bergulung-gulung
melesat dari Pulau Karang Api. Sejenak Pendekar Gila tersentak kaget. Namun,
sesaat kemudian dengan
cengengesan tubuhnya
direbahkan ke bumi. Matanya membelalak ketika tahu pukulan apa yang dilontarkan
penghuni Pulau Karang Api yang belum dia ketahui siapa benarnya.
Pendekar Gila terkejut
menyaksikan ajian berupa angin bergulung membadai. Ajian yang sama seperti yang
dimilikinya.
“Hei, 'Inti Bayu'? Siapa yang
telah menyerangku dengan ajian itu...?” gumam Sena sambil mengerutkan kening.
Wusss...
Angin kencang bergulung-gulung
kembali keluar dari Pulau Karang Api, meluncur ke arah Pendekar Gila. Tapi kini
Sena telah mempersiapkan
penyambutan serangan yang
kedua. Dengan menarik napas dalam-dalam, kedua tangannya diangkat ke atas, lalu
ditariknya ke dalam. Setelah angin itu mendekat, Pendekar Gila segera
menghantamkan ajian 'Inti Bayu' nya.
“Yeaaa...”
Wusss
Wusss...
Dua angin yang berasal dari
satu kekuatan itu
bertemu, bergulung-gulung
saling berusaha mengalahkan.
“Kurang ajar Dari mana kau
menyadap ajianku?”
dari Pulau Karang Api
terdengar suara bentakan keras menggelegar.
Sena tersentak, namun segera
dia tertawa tergelak-gelak.
“Hua ha ha... Kau lucu sekali,
hai orang yang belum menampakkan diri Enak sekali kau bicara
Kau-lah yang telah mencuri dan
menyadap ajianku”
balas Sena dengan suara keras.
“Kurang ajar Lancang sekali
mulutmu, Bocah Manusia”
“Aha, kurasa kau bukan
manusia” tukas Sena masih cengengesan. “Aha, mungkin kau sebangsa siluman Atau
dedemit. Hi hi hi...”
“Kurang ajar Kaulah iblis”
dengus suara itu membentak. “Kau telah membuat keonaran di tempat ini”
Habis ucapan itu, seketika
dari balik Pulau Karang Api melesat selarik sinar menyerang Pendekar Gila.
“Heit”
Sena segera bersalto ke
samping, kemudian dengan cepat balas menyerang dengan pukulan 'Si Gila Melebur
Gunung Karang'.
“Heaaa...”
Glarrr
“Ugkh” Sena mengeluh,
merasakan dadanya, agak sakit akibat benturan itu.
“Ha ha ha... Hebat juga ilmu
'Si Gila Melebur Gunung Karang'mu, Manusia...”
Terdengar suara menyebut nama
jurus yang baru saja dikerahkan Pendekar Gila. Hal itu tentu saja membuat Sena
terbelalak kaget. Heran dan bertanya-
tanya siapa sebenarnya orang
atau makhluk yang bersembunyi di balik Pulau Karang Api itu? Jurus-jurus ilmu
ajiannya hampir sama dengan ilmu yang dimiliki olehnya.
“Hei, Siluman Hi hi hi... Dari
mana kau tahu nama jurus pukulanku...?” seru Sena seraya bangkit berdiri.
“Ha ha ha... Pukulanmu itu
adalah ilmu-ilmuku Manusia Dari mana kau mencurinya, heh?” bentak makhluk yang
masih belum menampakkan wujudnya.
“Weiii... Enak sekali kau
menuduh Hi hi hi. Lucu
Lucu sekali kau”
“Terimalah ini, Manusia”
Wusss
Suasana di Lembah Akherat
seketika berubah.
Langit tertutup warna merah
membara laksana api.
Saat itu pula, Pendekar Gila
tersentak. Dirasakan hawa panas menyengat tubuhnya. Sekelilingnya kini
dirasakan sangat panas. Seakan dirinya tengah terpanggang di atas bara api.
“Ugkh...” Sena mengeluh,
merasakan hawa panas yang membakar sekujur tubuhnya.
“Ha ha ha... Tentunya kau
belum memiliki ilmuku yang ini Mampuslah kau, Bocah Manusia” seru suara yang
berasal dari balik Pulau Karang Api di tengah-tengah Danau Sambak Neraka.
“Ukh Aaakh...”
Sena mengeluh dan menjerit
kesakitan. Badannya bagaikan dipanggang di atas api yang membara.
Bayang-bayang kematian
seketika melekat di benaknya. Pendekar Gila segera mengerahkan ajian
'Inti Salju' untuk melindungi
tubuhnya dari panas yang membara.
“Hhh Hop...”
Sena menarik napas
dalam-dalam, kemudian
tangannya digerakkan ke atas
dan menyatu. Lalu kedua tangannya direntangkan ke samping, dan ditariknya
dalam-dalam. Setelah itu disatukan lagi di depan dada.
'“Inti Salju'. Hop...”
Rasa panas yang semula
menyengat bagaikan memanggang tubuhnya, seketika menghilang oleh hawa dingin
yang telah dikerahkan Pendekar Gila.
“Hebat Rupanya kau telah
menguasa 'Inti Salju', Bocah Manusia Kau telah mencuri banyak ilmu-ilmuku
Terimalah ini...”
Bersamaan dengan habisnya
suara itu, seketika suasana di sekitar Pendekar Gila berubah. Suasana yang
semula sangat panas membakar, kini tiba-tiba dingin. Bahkan pepohonan yang ada
di tempat itu, seketika kembali segar setelah layu oleh panas.
Namun justru hal itu membuat
Sena kian menggigil.
Rupanya makhluk yang
bersembunyi di balik Pulau Karang Api itu
mengerahkan ajian 'Inti
Salju', semakin membuat suasana di tempat itu terasa dingin. Apalagi saat itu
Pendekar Gila masih dalam lindungan 'Inti Salju'. Rasa dingin menjadi berlipat
ganda.
“Sssh” tubuh Pendekar Gila
menggigil kedinginan.
Wajahnya pucat pasi. “Bhrrr
Ah, rupanya dia mengerahkan 'Inti Salju.”
“Ha ha ha... Kau akan mampus,
Manusia” suara dari balik Pulau Karang Api.
“Hhh Ilmu iblis” dengus Sena.
Perlahan napasnya ditarik dalam-dalam, kemudian dengan suara menggelegar,
Pendekar Gila mengerahkan ajian 'Inti Bayu'.
“Heaaa...”
Wuttt...
Angin kembali menderu kencang,
menyapu ke sekeliling tempat itu. Tangan Sena yang mengeluar-
kan angin keras, bergerak
cepat. Dan bersamaan putaran tangannya, angin badai pun keluar dengan begitu
cepat, menyapu hawa dingin yang menyelimuti sekitar tempat itu.
“Hebat Kau memang hebat,
Manusia Tapi kau belum tentu bisa selamat dari ini Terimalah...”
Cletar...
Suara gemeletar nyaring
mengiringi melesatnya benda berkilat. Kilatan benda terbungkus api itu mengarah
ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat, Sena mencabut Suling Naga Sakti, kemudian
dengan disertai pekikan menggelegar, melompat memapaki kilatan cambuk api yang
menyerang ke arahnya dengan Suling Naga Sakti.
“Heaaa...”
Wuttt... Prat
Dua senjata sakti itu beradu
keras, membuat suasana di sekitar tempat itu menggelora panas.
Kilatan api yang membentuk
cambuk melesat kembali ke Pulau Karang Api, sedangkan Pendekar Gila berusaha
memburunya. Suling Naga Sakti melesat terbang, membawa tubuh Pendekar Gila ke
Pulau Karang Api.
“Hiaaat... Hop”
Pendekar Gila tersentak,
ketika dari dalam goa besar itu terdengar suara desisan keras. Belum hilang
rasa terkejutnya, sebuah semburan api besar menerjang ke arahnya.
“Hop”
Dengan cepat Sena melompat ke
samping. Lalu dengan cepat pula melakukan serangan balasan ke dalam goa dengan
pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
“Yeaaa...”
Wut...
Bugk...
Terdengar suara pukulan
mengenai sasaran.
Bersamaan dengan itu, dari
dalam goa muncul seorang bocah berkulit penuh sisik diikuti seekor naga yang
tubuhnya terselimut api yang menyala-nyala.
“Kurang ajar Berani benar kau
ke tempat ini, Manusia” bentak Naga Brahma dengan gusar. Naga yang kepalanya
mengenakan mahkota itu menatap tajam pada Pendekar Gila yang menyurut mundur.
Kaget juga Pendekar Gila
melihat makhluk ular itu bicara seperti manusia.
“Aha, rupanya kaulah penghuni
Pulau Karang ini
Apa maksudmu membantai
manusia?” tanya Sena sambil berjingkrakan dan tertawa-tawa, membuat Naga Brahma
semakin membelalakkan matanya.
“Manusia Apa hubunganmu dengan
kakakku,
hingga kau memiliki ilmu-ilmu
warisan kakakku Naga Sakti?” bentak Naga Brahma.
Belum juga Pendekar Gila
menjawab, Suling Naga Sakti yang tergenggam di tangannya bergerak dan jatuh ke
tanah. Saat itu pula, asap tebal mengepul dari Suling Naga Sakti, membuat
Pendekar Gila tersentak kaget dan melompat mundur.
“Ssszt...”
Terdengar desisan keras ketika
asap tebal yang keluar dari Suling Naga Sakti berubah. Dengan cepat asap itu
membentuk wujud sesosok binatang berwarna merah dengan tubuh diselimuti api.
Binatang yang berupa seekor
naga keemasan dengan kepala bermahkota itu terbentuk dari Suling Naga Sakti.
Hal itu semakin membuat Pendekar Gila terkejut bukan kepalang, tak menyangka
kalau Suling
Naga Sakti yang menjadi
senjatanya ternyata jelmaan dari seekor Naga besar. Malah besarnya dua kali
lipat dari Naga Brahma.
“Kakang Naga Sakti...” seru
Naga Brahma melihat sosok naga di hadapannya.
“Ada apa kau menggangguku,
Adik Naga Brahma?”
“Oh... Tak kusangka, kalau aku
akan kembali bertemu denganmu, Kakang.”
“Hm...,” gumam Naga Sakti.
“Aku pun begitu Dik.
Lama sudah kita berpisah.”
Kedua naga itu saling
menitikkan air mata.
Kemudian keduanya bercerita
sejak keduanya dikutuk oleh ayah mereka sampai akhirnya mereka kembali bertemu.
Naga Sakti bersumpah mengabdi pada pendekar yang berbudi luhur untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan. Begitu pula dengan Naga Brahma, dia pun bersumpah akan
menjaga orang yang benar, dari ancaman orang-orang sesat.
Kemudian Naga Brahma
menceritakan tentang peristiwa sepuluh tahun lalu di Danau Sambak Neraka.
“Dua orang manusia dengan
membawa bayi
merah berlari-lari dikejar
oleh manusia-manusia durjana. Keduanya kuselamatkan, sedangkan kesepuluh resi
yang wataknya bukan menunjukkan resi, kubunuh. Pasangan suami istri muda itu,
kuubah wujudnya sepertiku untuk menghilangkan pengejaran orang-orang jahat...,”
tutur Naga Brahma mengenai siapa sebenarnya kedua naga yang ada di Danau Sambak
Neraka. “Jelasnya, mereka terkena fitnah keji yang disebarkan Sumantri. Bahkan
kini guru mereka memihak pada Sumantri.”
“Hm, keterlaluan” dengus Naga
Sakti. “Jelas ini tidak bisa dibiarkan Biarlah semua ini kita serahkan
pada Pendekar Gila dan anak
angkatmu. Siapa nama anak angkatmu itu, Dik?”
“Supit Songong, Kakang.”
“Ya Biarlah anak Anjasmara
menuntut balas atas perbuatan paman gurunya yang biadab” kata Naga Sakti.
“Kalau memang begitu, aku pun
menitipkan Supit Songong padamu selama di rimba persilatan, Pendekar Gila Meski
dia sama memiliki ilmu sepertimu, tapi pengalamannya tentu belum seperti
dirimu,” kata Naga Brahma pada Sena. “Supit, ambillah lidahku. cabutlah...”
Supit Songong, bocah bersisik
dan berlidah ular itu tanpa rasa takut mendekati mulut orangtua angkatnya yang
menganga lebar. Kemudian ditariknya lidah Naga Brahma. Seketika itu, berubahlah
lidah sang Naga menjadi sebuah cambuk yang jika dilecutkan menjadi cambuk api.
Itulah Cambuk Api Lidah Naga.
“Aku titipkan dia padamu,
Pendekar Gila,” kata Naga Brahma dengan suara dalamnya.
“Aku akan berusaha, Paman,”
sahut Pendekar Gila.
“Baiklah, Dik. Aku harus pergi
bersama Pendekar Gila,” usai berkata begitu, Naga Sakti kembali mengecil dan
lenyap berubah ke wujud Suling Naga Sakti.
“Kita pergi, Supit,” ajak
Sena. Keduanya melesat meninggalkan Pulau Karang Api, tempat tinggal Naga
Brahma.
***
9
Malam dengan kegelapannya
telah datang. Seluruh makhluk Tuhan seketika terkurung di dalam gelap-nya.
Pepohonan membisu, begitu juga dengan binatang. Hanya suara burung hantu yang
masih terdengar, bersuara menyeramkan, ditingkahi suara jangkrik yang bersahut-sahutan.
Dua sosok tubuh berlari-lari
ke arah Desa Pasut Piring tempat kediaman Sumantri. Kedua sosok tubuh itu,
satunya tinggi tegap dan satu lagi kecil. Keduanya tidak lain Pendekar Gila dan
Supit Songong, bocah ular yang dirawat dan dididik oleh Naga Brahma.
“Sebentar lagi sampai, Supit.
Hati-hatilah, mereka kebanyakan licik,” tutur Sena ketika melihat gerak tangan
Supit Songong yang berkata dengan bahasa isyarat. Sebenarnya Supit Songong
tidak bisu, namun sepertinya bocah kecil itu tidak mau berkata-kata karena
suaranya akan membuat seisi desa ter-banguan. Tidak berapa lama kemudian,
keduanya sampai di depan rumah Sumantri.
“Siapa kalian?” bentak salah
seorang penjaga rumah Sumantri. Namun belum juga para penjaga itu mampu
bergerak, Pendekar Gila telah menotok dengan pukulan jarak jauh.
Tuk, tuk
“Ukh” keluh para penjaga itu.
Seketika tubuh mereka terkulai lemas.
“Sumantri, aku datang dengan
apa yang kau inginkan” seru Sena.
Seketika puluhan senjata
rahasia melesat dari balik pepohonan ke arah Pendekar Gila dan Supit Songong
yang berdiri di halaman depan rumah Sumantri.
Swing Swing
“Supit, Awas...” seru Sena
mengingatkan sambil berjumpalitan mengelakkan serangan gelap lawan.
Kemudian dengan geram, pukulan
tenaga dalamnya dihantamkan untuk menghalau senjata beracun itu.
Wusss
Swing Swing
Senjata-senjata rahasia
beracun itu seketika berbalik. Bersamaan dengan itu, dari balik rerimbunan
pohon terdengar suara hujaman senjata-senjata rahasia dan jeritan-jeritan
kematian.
Jlep Jlep
“Wuaaa...”
“Aaa...”
Sena dan Supit Songong tertawa
tergelak-gelak kegirangan. Tubuh mereka berjingkrak-jingkrak.
Tingkah laku keduanya seperti
orang gila.
“Seraaang...”
Terdengar seruan Sumantri dari
balik rerimbunan pohon. Bersamaan dengan itu, dari balik rerimbunan pohon
berlompatan beberapa orang mengepung Pendekar Gila dan Supit Songong. Di antara
mereka nampak Jalna Kumilang, Sugatra, Sugatri, Iblis Selendang Ungu, Cakal
Genala dan Cakil Gering, serta tiga orang dari rimba hitam lainnya.
“Pendekar Gila Akhirnya malam
ini kau harus mampus” dengus Jalna Kumilang. Sorot matanya tajam, menunjukkan
dendam pada pemuda tampan itu. Sementara Sena masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
“Aha, kau rupanya belum kapok,
Ki? Baiklah, malam ini aku pun ingin mengirimmu ke neraka”
sahut Sena tenang.
“Kurang ajar Terimalah
kematianmu Heaaa...”
Jalna Kumilang yang sudah
marah, segera maju menyerang ke arah Pendekar Gila, diikuti yang lainnya. Kini
dalam sekejap Pendekar Gila dan Supit Songong telah dikeroyok para tokoh
persilatan aliran sesat.
“Heaaat...”
Melihat keroyokan itu,
Pendekar Gila tak mau tanggung-tanggung lagi. Segera ditariknya Suling Naga
Sakti dari ikat pinggang. Sementara Supit Songong melolos cambuknya yang
bernama Cambuk Api Lidah Naga.
“Yeaaa...”
Cletar Cletar...
Cambuk Api Lidah Naga di
tangan Supit Songong bergelemetar nyaring ketika dilecutkan. Saat itu juga
cambuk itu berubah menjadi cambuk api yang menyala terang.
“Heaaa...”
Pendekar Gila dengan jurus 'Si
Gila Melebur Gunung Karang' bergerak menyerang lawan. Sedangkan Supit Songong
kini menggebrak dengan lecutan-lecutan cambuknya yang dahsyat.
Cletar Cletar
Pertarungan dahsyat itu
seketika terjadi dengan serunya. Mereka tidak segan-segan lagi mengeluarkan
jurus-jurus dan pukulan-pukulan saktinya.
Sena dengan Suling Naga Sakti
bergerak seperti orang gila, berjumpalitan dengan seruan-seruan konyolnya
menyerang. Setiap tebasan sulingnya, menimbulkan desiran yang sangat panas. Hal
itu
cukup menyentakkan lawan yang
bermaksud
menyerang ke arahnya.
“Supit, cepat kau cari
Sumantri” perintah Sena sambil berusaha melindungi Supit Songong dengan jurus
'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya berputar cepat, dengan Suling Naga Sakti
menderu ke arah lawan-lawannya.
Supit Songong segera melesat
meninggalkan tempat itu untuk mencari Sumantri. Berkat pen-ciumannya yang
tajam, Supit Songong akhirnya dengan mudah menemukan Sumantri yang tersentak
kaget melihat kehadiran bocah bersisik dan berlidah ular itu.
“Kau? Kau bocah setan itu?”
pekik Sumantri, matanya membelalak.
“Aku bukan bocah setan,
Sumantri” bentak Supit Songong.
“Kau? Kau tahu namaku?”
semakin kaget
Sumantri mendengar bocah
bersisik ular itu mengenal namanya.
“Siapa yang tak kenal dengan
manusia licik serta penjilat macam kau? Kau memang pamanku, tapi tindakanmu
membuat kedua orangtuaku sengsara”
dengus Supit Songong.
“Siapa kau sebenarnya?”
“Aku Supit Songong, anak
Anjasmara dan Sambi.
Keduanya kini menjadi Naga
Api. Karena tindakanmu kami menderita, Sumantri”
“Tidak mungkin Kau bocah
setan”
“Terserah kau, Sumantri Yang
jelas aku datang untuk menyingkirkanmu dari muka bumi Heaaat...”
Dengan suara menggelegar,
Supit Songong bergerak menyerang Sumantri. Terjangannya begitu keras dengan
jurus 'Terjangan Kaki Naga'.
Melihat bocah bersisik ular
itu menyerang, Sumantri yang tidak ingin mati sia-sia segera mengelakkan
serangan Supit Songong. Kemudian dengan cepat pedangnya dicabut. Lalu dengan
jurus 'Pedang Darah Menghampar Buana' Sumantri berusaha merangsek lawan.
“Heaaa..”
“Yeaaa...”
Pertarungan antara Sumantri
dan Supit Songong berlangsung dengan seru. Namun dilihat dari pertarungan itu,
nampaknya Supit Songong mampu menguasai keadaan. Meski belum banyak
pengalaman, ilmu silat Supit
Songong lebih tinggi di atas Sumantri. Apalagi dia merupakan pewaris tunggal
ilmu-ilmu Naga Brahma yang hampir sama dengan ilmu-ilmu Pendekar Gila. Hanya, kalau
Naga Brahma menggunakan nama jurus dengan sebutan naga, sedangkan Pendekar Gila
menggunakan jurus dengan sebutan Gila.
Tubuh Supit Songong laksana
seekor naga yang ganas, bergerak garang menyerang. Tangannya yang berkuku tajam
beberapa kali menyambar ke wajah Sumantri.
“Heaaa...”
Wut
“Heit... Hop”
Sumantri dengan cepat bergerak
mengelakkan serangan cakar lawan yang menggunakan jurus
'Cakar Kuku Naga' Hampir saja
wajahnya berantakan terobek cakaran kuku-kuku Supit Songong yang tajam dan
mengerikan, kalau saja dia tidak segera mengelak.
“Ghrrr Heaaa...”
Merasa serangannya gagal,
Supit Songong meng-
geram marah. Kembali dengan
penuh amarah, bocah yang kulit tubuhnya bersisik ini menggebrak lawan dengan
cepat.
Sumantri benar-benar dibuat
kalang-kabut oleh gerakan kaki bocah itu. Apalagi pada awal mulanya dia sudah
dihinggapi perasaan takut dan terlalu meninggikan bocah itu, yang membuat
gerakannya menjadi kacau dan serba canggung.
“Heaaat...”
Supit Songong melayang laksana
naga terbang, kemudian dengan cakarannya, dia menyerang wajah Sumantri.
Wuttt
Sumantri berusaha berkelit,
kemudian membabatkan pedangnya ke tangan bocah itu dengan cepat.
Hal itu membuat Supit Songong
menarik cepet serangannya. Namun disusul dengan serangan berikutnya yang tak
kalah cepat dengan jurus 'Naga Brahma Melebur Gunung Karang'.
“Heaaa”
Dugk
“Ukh...”
Sumantri mengeluh, merasakan
dadanya terasa sesak akibat hantaman pukulan lawan. Wajahnya pucat pasi,
tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Matanya membelalak,
gigi-giginya beradu menahan marah.
“Bocah setan Kubunuh kau
Heaaa...”
Dengan mengerahkan segenap
tenaga dalamnya, Sumantri menyerang ke arah Supit Songong. Pedangnya berkelebat
cepat, membuat jurus yang dinamakan 'Baling-baling Pencabut Nyawa'.
Melihat lawan telah
mengeluarkan jurus
pamungkasnya, Supit Songong
tidak tinggal diam. Dia
segera melolos Cambuk Api
Lidah Naga. Kemudian, ketika tubuh Sumantri melesat ke arahnya, tak segan-segan
lagi Supit Songong melecutkan cambuknya ke arah lawan.
“Ayah, ibu Semoga kalian
tenang Heaaa...”
Cletar
“Wuaaa...”
Sumantri menjerit keras dan
melengking ketika Cambuk Api Lidah Naga melecut ke tubuhnya.
Cambuk yang telah berubah
menjadi cambuk api itu membelit dan membakar sekujur tubuhnya.
Kemudian dengan sekali
hentakan, Supit Songong melemparkan tubuh Sumantri dengan cara menggerakkan
Cambuk Api Lidah Naga ke luar.
“Heaaa...”
Tubuh Sumantri yang sudah
hangus itu terlempar dan jatuh di tengah-tengah pertempuran Pendekar Gila
melawan anak buah Sumantri. Mereka terkejut menyaksikan tuannya telah tewas
dengan tubuh gosong menjadi arang.
“Bocah setan itu telah
membunuh Tuan Sumantri”
seru Jalna Kumilang
membelalakkan mata tegang.
Semua tokoh hitam yang
mengeroyok Pendekar Gila seketika terpaku dengan nyali yang menciut.
Sumantri yang mereka takuti
dan segani dengan mudah dapat dibinasakan.
Sementara itu pula, Supit
Songong melesat ke luar. Langsung menggebrak dengan Cambuk Api Lidah Naganya.
Cletar Cletar...
Prat Prat...
“Wuaaa”
“Aaakh...”
Pekikan kematian seketika
terdengar susul-
menyusul, membelah keheningan
malam. Pendekar Gila hanya terlongong bengong, menyaksikan kehebatan Cambuk Api
Lidah Naga di tangan Supit Songong. Dalam sekejap saja, tujuh orang anak buah
Sumantri dapat dibinasakan dengan dua kali lecutan.
“Semuanya telah usai, Supit,”
kata Sena.
“Benar, Kakang,” sahut bocah
berusia sepuluh tahun itu. “Kini semua telah terbalaskan. Semoga tak ada lagi
kejahatan.”
Sena tertawa sambil
menggeleng-gelengkan
kepala, membuat Supit Songong
mengerutkan kening tak mengerti.
“Supit, selama dunia masih
berputar, kejahatan akan selalu ada. Di mana-mana, setan akan berusaha
mengalahkan manusia dan memperbudak manusia.
Di saat itu pula, kejahatan
akan hadir,” tutur Sena.
“Kalau begitu, aku ingin ikut
Kakang untuk turut serta menumpas kejahatan,” kata Supit Songong berapi-api,
sebagaimana layaknya bocah kecil.
Sena tertawa tergelak-gelak
sambil menggaruk garuk kepala.
“Tidak mungkin, Supit Kau
masih kecil. Belum waktunya kau mengembara di rimba persilatan. Kau harus
kembali ke ayah angkatmu. Ayo, kuantar ke sana,” ajak Sena.
“Tapi, Kakang....”
“Sudahlah, kau harus kembali
dulu ke Paman Naga Brahma. Nanti terserah bagaimana Paman Naga Brahma
memutuskan, ayo” ajak Sena sambil menggandeng tangan Supit Songong meninggalkan
tempat itu. Keduanya berlari dengan cepat, meninggalkan rumah Sumatri yang sepi
dan senyap, dan hanya tinggal mayat-mayat yang bergelimpangan.
Selang beberapa waktu
kemudian, nampak
seorang lelaki tua berjubah
putih dengan rambut putih di gelung serta jenggot panjang datang ke rumah
Sumantri. Lelaki tua yang di punggungnya bertengger sebuah pedang, tiada lain
Dewa Pedang.
Mata Ki Badawi membelalak,
menyaksikan murid dan orang-orangnya mati mengenaskan.
“Kurang ajar Pendekar Gila, ke
mana pun kau pergi, aku akan mencarimu Kubunuh kau, Pendekar Gila...” serunya
lantang penuh amarah. Kemudian dengan masih diliputi rasa marah, Dewa Pedang
berlari meninggalkan tempat itu.
Bagaimana dengan ancaman Dewa
Pedang pada Pendekar Gila? Apakah Dewa Pedang benar-benar akan membunuh
Pendekar Gila? Mungkinkah salah paham antara Dewa Pedang dan Pendekar Gila
diluruskan. Untuk jelasnya, ikuti serial Pendekar Gila selanjutnya dalam judul
“Pembalasan Dewa Pedang”,
SELESAI