Serial Pendekar Gila bab 05 Kelelawar Iblis Merah

Serial Pendekar Gila bab 05 Kelelawar Iblis Merah
Firman Raharja
-------------------------------
----------------------------

Serial Pendekar Gila bab 05 Kelelawar Iblis Merah

1

Pagi masih buta. Embun masih melekat di daun-daun pepohonan. Mentari belum juga menampakkan

dirinya untuk mengedari bumi. Seorang lelaki dengan keadaan tubuh terluka parah, berlari-lari ke dalam hutan. Wajahnya yang kelihatan pucat dan tegang sesekali menengok ke belakang. Seperti berusaha meyakinkan dirinya kalau orang yang telah melukainya benar-benar sudah tidak mengejar.

Lelaki itu berpakaian merah dengan lengan

panjang yang menyerupai jubah. Wajahnya garang dengan alis mata tebal, hidung pesek serta berbibir tebal. Ditilik dari raut wajahnya, usia lelaki itu sekitar dua puluh lima tahun. Dia bernama Warak Kendra.

"Uhhh..." keluhnya, berusaha menahan sakit yang mendera dada. Warak Kendra menghentikan

langkahnya sejenak, lalu memandang ke belakang.

Kemudian kakinya digerakkan kembali untuk

meneruskan pelarian, dengan harapan orang yang telah melukainya tak dapat mengejar.

"Kidang Antikan, tunggulah pembalasanku" desisnya, mengancam seseorang.

Tak lama kemudian dari mulutnya memuntahkan darah. Wajahnya semakin pucat. Darah yang baru saja keluar dari mulutnya kelihatan agak menghitam.

Pertanda pukulan Kidang Antikan mengandung tenaga dalam yang dahsyat

Napas Warak Kendra terengah-engah. Seharian dia berlari dengan menahan luka dalam yang cukup menyakitkan. Untung saja dia kuat dan memiliki ilmu

tenaga dalam. Kalau tidak, tentunya sudah dari kemarin dia binasa.

Sebenarnya antara Warak Kendra dan Kidang

Antikan masih ada hubungan saudara perguruan. Dia adalah kakak seperguruan Kidang Antikan, orang yang telah melukainya.

Keduanya adalah murid-murid Perguruan Belibis Putih, sebuah perguruan yang berlandaskan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Warak Kendra kembali menerobos hutan

belantara. Tubuhnya yang sedang berlari, semakin lama semakin melemah. Tenaganya telah terkuras habis setelah seharian berlari. Ditambah lagi dengan luka dalam yang cukup berat, membuatnya tak tahan lagi.

"Hhh..." Warak Kendra masih berusaha berdiri tegak. Tapi pandangan matanya seketika berkunang-kunang. Kemudian semakin lama pandangannya semakin gelap. Tubuh Warak Kendra akhirnya terkulai jatuh.

Sementara itu, seorang laki-laki tua dengan kelelawar berwarna merah di atas tubuhnya menghampiri tubuh Warak Kendra yang tergolek. Lelaki yang mengenakan baju warna merah darah seperti warna kelelawarnya, memandangi tubuh Warak Kendra dengan tajam. Sepertinya ada sesuatu yang tengah diamatinya.

"Hm, kasihan dia...," gumamnya. "Rupanya dia terluka dalam."

Dengan menggunakan kakinya, lelaki tua berwajah garang dan berjenggot putih itu membalikkan tubuh Warak Kendra. Hingga tubuh yang semula tengkurap itu menjadi telentang.

Lelaki tua yang matanya tajam berkilat, kembali

mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian dengan tangan membelai-belai janggutnya dia berkata,

"Mangkara, bagaimana menurut pendapatmu?"

tanyanya pada kelelawar merah yang menyertainya.

"Ciiit.."

Kelelawar merah yang besarnya seperti seekor burung rajawali itu mencuit, sekaligus menunjukkan taringnya yang runcing. Matanya yang merah bagai mengandung bara api, memandang tajam ke tubuh Warak Kendra.

Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala

setelah mendengar suara kelelawar raksasanya.

"Jadi kau setuju kalau manusia ini kutolong?"

"Ciiit.." sahut kelelawar itu sambil mengangguk-anggukkan kepala, seakan mengerti maksud tuannya.

Sayapnya direntangkan lebar-lebar. Sayap yang panjangnya hampir dua depa itu, bagai payung yang menutupi tubuh tuannya.

"Baiklah kalau memang begitu," kata lelaki tua pemilik kelelawar merah raksasa. "Angkatlah dia.

Bawalah dia ke pondok. Aku akan mengamati daerah sekitar sini. Kalau-kalau ada orang lain."

"Cuit.."

Kelelawar merah raksasa itu mencuit, kemudian terbang dari pundak tuannya. Sayapnya bergeletar gagah, membawa tubuhnya ke udara. Beberapa saat kelelawar itu melayang-layang memutari tubuh Warak Kendra. Kemudian kelelawar itu menukik,

menyambar tubuh Warak Kendra dengan kedua

kakinya.

"Cuit.."

"Pulanglah dulu" seru lelaki tua itu sambil meng-gebahkan tangan kanannya ke atas.

"Cuit.."

Kelelawar merah raksasa bermata merah itu

kembali mencuit keras. Tubuhnya melayang-layang memutari tempat itu dengan kaki mencengkeram Warak Kendra, kemudian melesat membawa tubuh lelaki muda itu masuk ke dalam hutan yang lebat Tubuh lelaki tua berjubah merah berkelebat dari tempat itu, lalu menerobos hutan untuk memeriksa sekelilingnya. Langkahnya begitu ringan. Sampai-sampai kakinya bagai tak pernah menginjak tanah.

Tubuhnya melesat cepat laksana anak panah yang lepas dari busurnya, hingga yang terlihat hanyalah bayangan merah belaka.

Setelah sampai di perbatasan hutan, lelaki tua itu menghentikan larinya. Matanya memandang ke atas, kemudian dengan sekali hentak tubuhnya melesat dan hinggap di cabang pohon.

Mata lelaki tua yang tajam itu memandang ke sekeliling hutan. Sepertinya tengah melihat apakah ada orang lain yang mengikuti Warak Kendra.

Dari kejauhan, beberapa orang berjubah biru tua dengan pakaian dalam berwarna kuning nampak berlari-lari menuju ke arah hutan itu. Tangan orang-orang yang kelihatannya dari rimba persilatan itu menggenggam pedang dan senjata tajam lainnya.

"Dia lari ke hutan ini..." seru salah seorang dari mereka.

"Apakah kau yakin?" tanya orang di sebelahnya

"Ya"

"Mari kita kejar..." ajak seorang lelaki dengan simbol burung belibis putih di dada kirinya. Tangannya melambai, memerintah teman-temannya untuk terus berlari. Orang yang melambaikan tangan itu, tiada lain Kidang Antikan. Dialah yang melukai Warak Kendra.
Puluhan orang persilatan itu terus berlari ke arah hutan. Mereka tidak menyadari kalau gerak-gerik mereka diawasi lelaki bermata tajam semerah bara yang bertengger di cabang sebatang pohon.

"Ini tidak bisa dibiarkan Mereka akan tahu per-sembunyianku Harus dibereskan" gumam lelaki tua berjubah merah dengan mata tajam itu. Kemudian dengan ringan, tubuhnya melesat untuk menghadang orang-orang yang hendak masuk ke dalam hutan.

Puluhan orang persilatan itu tersentak kaget, melihat kehadiran lelaki tua yang tiba-tiba. Namun mereka segera menjura hormat. Salah seorang dari mereka maju dengan sikap hormat.

"Kiranya Ki Wangas Pati. Mohon dimaafkan kalau kedatangan kami mengejutkanmu, Ki."

"Hm...," gumam orang tua yang disebut sebagai Ki Wangas Pati. Matanya yang merah dan tajam, memandang lekat pada mereka. "Ada apa kalian kemari?"

Kidang Antikan melangkah maju. Sekali lagi lelaki itu menjura hormat. Kemudian dengan sopan ber-tanya.

"Maafkan kami, Ki. Kalau kedatangan kami dianggap telah mengganggumu. Kalau boleh kami tahu, apakah kau melihat seorang lelaki terluka yang berpakaian merah?"

Ki Wangas Pati mengerutkan kening. Dengan

tatapan bengis, memandang tajam pada Kidang Antikan yang berdiri di hadapannya.

"Untuk apa kalian mencari orang itu?" tanyanya dengan suara yang masih menunjukkan keangkuhan.

"Dia sangat berbahaya, Ki. Licik dan keji. Bahkan hampir saja membunuh guru kami," jawab Kidang Antikan menjelaskan. "Kalau memang mengetahui-

nya, kami berharap agar Ki Wangas Pati mau menunjukkan pada kami."

"Bagaimana kalau aku tak mau menunjukkan pada kalian?" tanya Wangas Pati dengan sikap menantang.

Mata Kidang Antikan dan teman-temannya saling bertatapan. Tapi Kidang Antikan yang sudah kenal siapa lelaki tua di hadapannya berusaha ramah.

"Maaf, Ki.... Sesungguhnya dia sangat berbahaya.

Perlu Ki Wangas Pati ketahui, percuma melindungi-nya. Dia tidak ubahnya anak macan. Saat terluka minta dirawat, tapi kalau lukanya sembuh bisa mem-bahayakan orang yang merawatnya."

"Diam Jangan mengguruiku" bentak Ki Wangas Pati dengan mata memandang bengis ke arah Kidang Antikan dan teman-temannya. "Apakah kalian kira Wangas Pati dapat diperdayai? Huh... Pergilah dari sini, sebelum kesabaranku hilang"

Kidang Antikan dan teman-temannya saling

pandang.

"Jadi, Ki Wangas Pati tahu di mana dia?" tanya Kidang Antikan, masih tetap sopan.

"Ya" jawab Ki Wangas Pati tegas.

"Maaf, Ki. Tunjukkanlah di mana dia," pinta Kidang Antikan.

"Tak akan kutunjukkan Pergilah Atau terpaksa aku harus mengusir kalian dengan kekerasan"

ancam Ki Wangas Pati. Matanya semakin tajam menghunjam, memandang Kidang Antikan yang terlihat masih tenang.

"Maaf, Ki. Sebenarnya kami yang muda sudah menghormatimu. Namun, bukan berarti kami harus tunduk pada perintahmu. Kami ditugaskan untuk menangkap Warak Kendra. Maka itu, apa pun

rintangannya akan kami hadapi...," tutur Kidang

Antikan.

"Bocah nekat Apakah kau benar-benar sudah punya nyawa cadangan, hingga berani menentangku, heh?" sentak Ki Wangas Pati dengan gusar. Matanya semakin merah membara.

"Masalah nyawa, semua orang tak mau

kehilangan, Ki. Tapi demi kebenaran dan keadilan, kami siap mati," sahut Kidang Antikan dengan gagah berani, membuat Ki Wangas Pati semakin geram.

"Kurang ajar..."

"Kami memang masih muda, tapi kami tak kurang pelajaran seperti kau, Ki...," sahut Kidang Antikan dengan nada menyindir. Hal itu membuat Ki Wangas Pati semakin bertambah marah.

"Bocah mencari mampus Jangan salahkan kalau mulutmu yang lancang kurobek Heaaa..."

***

Melihat orang tua itu telah menyerang, Kidang Antikan tidak tinggal diam. Pemuda tampan dengan rambut digelung dengan ikat pita putih serta tali kepala merah itu segera bergerak mengelakkan serangan Ki Wangas Pati

"Heaaat.."

Pedang di tangan Kidang Antikan bergerak cepat, membabat setiap serangan yang dilancarkan Ki Wangas Pati. Tubuh keduanya bergerak bagai kilat, sehingga kini tak nampak lagi tubuh mereka. Yang terlihat hanyalah dua gulungan warna yang berbaur tak menentu.

"Hiyaaa..."

Ki Wangas Pati merentangkan kedua tangannya, membentuk sebuah sayap lebar. Kemudian dengan

cepat tangan kanannya menghantam ke dada lawan.

Disusul oleh sambaran tangan kiri ke arah kepala lawan. Sedangkan sepasang kakinya bergerak cepat secara bergantian, mencecar kaki lawan.

Melihat serangan lawan yang begitu cepat, Kidang Antikan tak mau kalah. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, membentuk baling-baling di depan tubuhnya. Sesekali pedang itu membabat ke arah bawah dan atas, membuat serangan-serangan yang dilancarkan Ki Wangas Pati tak mengenai sasaran.

"Heaaat.."

"Yeaaa.."

Ki Wangas Pati yang merasa serangan awalnya gagal, dengan cepat mengembangkan serangannya lagi. Tangannya terangkat lurus ke atas, kemudian ditekuk membentuk siku. Lalu dengan jari-jari tangan mengembang, tangan kanannya menyambar dada lawan.

"Jebol dadamu, Bocah"

"Uts..."

Cepat Kidang Antikan melompat mundur. Kembali pedangnya diputar di depan tubuh. Menjadikan putaran pedang itu laksana baling-baling. Cepat dan ganas. Begitu cepatnya putaran itu hingga yang nampak hanyalah kilatan warna putih yang membungkus tubuh Kidang Antikan.

Karena mengira Kidang Antikan akan sulit menghadapi orang tua itu, tanpa diperintah lima belas temannya langsung bergerak maju. Dengan pedang di tangan, mereka mengepung kedua orang yang masih bertarung itu.

Dua orang itu terus bertarung dengan seru.

Masing-masing menunjukkan ilmu silat yang mereka miliki. Tak percuma Kidang Antikan mendapat

kepercayaan dari gurunya untuk menangkap Warak Kendra. Terbukti telah lebih dari sepuluh jurus dia masih mampu menghadapi orang tua yang terkenal aneh itu. Malah nampaknya pemuda itu bisa mengimbangi setiap serangan lawan.

Ki Wangas Pati yang serangannya selalu dapat digagalkan pemuda itu, semakin penasaran. Tangannya kembali merentang, kemudian terangkat lurus ke atas. Disambung dengan menekuknya di samping dada.

Tangan kirinya dihentakkan ke depan, sedangkan tangan kanannya bergerak menyapu. Kedua kakinya pun tak tinggal diam. Kaki kanan menendang ke arah pinggang lawan, disusul kaki kiri yang menyapu kaki lawan. Itulah jurus 'Kelelawar Membelah Kabut', sebuah jurus yang terkenal ganas dan mematikan.

"Hiaaat.."

Kidang Antikan tersentak melihat jurus yang dilancarkan orang tua itu. Gerakan orang tua itu sangat cepat, rasanya sangat sulit baginya untuk mengelak. Tapi Kidang Antikan bukanlah pemuda kemarin sore yang masih mentah dalam ilmu bela diri. Percuma dia diberi tugas yang cukup berat untuk menangkap dan membawa kakak seperguruannya agar dapat diadili.

Kidang Antikan menggeser kakinya dua langkah ke samping, kemudian tangan kanannya memukul

dengan telapak. Tangan kirinya yang memegang pedang, membabat ke arah samping. Gerakan

pedang dan pukulan tangan Kidang Antikan

serempak. Sedangkan kakinya mengelak dengan cara bergeser ke samping atau mundur.

Jurus yang digunakan Kidang Antikan, tiada lain jurus 'Belibis Melalang Mencari Mangsa', salah satu

jurus andalan dari Perguruan Belibis Putih.

Gabungan dan kembangan jurus itu sangat indah.

Tubuh orang yang memperagakannya bagai gerakan seekor belibis. Kakinya bergerak ringan. Sementara tangannya bergerak cepat, memukul dan membabatkan pedang.

Jika saja yang menjadi lawan bukan Ki Wangas Pati, sudah dari tadi dapat dikalahkan. Tapi lawannya kini adalah salah seorang tokoh persilatan yang namanya cukup kondang di kalangan rimba

persilatan.

Serangan yang cepat dan gencar dari Kidang Antikan mendapat perlawanan yang juga cepat dan gencar. Jurus-jurus yang dilancarkan Kidang Antikan hanyalah jurus-jurus pelumpuh. Maka jika mengenai sasaran, tidak akan mematikan lawan. Sebaliknya jurus-jurus yang dilancarkan Ki Wangas Pati adalah jurus-jurus mematikan. Kalau sampai lawan terkena hantaman atau tebasan tangannya, dapat dipastikan lawan akan mengalami kematian.

Ki Wangas Pati yang semakin penasaran karena sudah hampir dua puluh jurus belum juga mampu menjatuhkan lawannya, semakin bernafsu. Tangannya membentuk cakar, dengan kuku-kukunya yang panjang dan runcing. Tangan kanannya mencakar ke muka lawan, sedangkan tangan kirinya menghantam dengan telapak tangan ke dada lawan.

"Heaaa... Sobek mukamu, Bocah" bentak Ki Wangas Pati dengan penuh kegusaran. Kini gerakan tangan yang menyerang semakin bertambah cepat dan ganas. Kuku-kukunya yang panjang, akan mampu merobek kulit tubuh.

"Hup... Hiaaa..."

Kidang Antikan mendongakkan kepala dengan

cepat, ketika cakaran tangan kanan orang tua itu mengarah ke wajahnya. Kemudian dengan cepat pula, tubuhnya digeser dua langkah ke samping kanan.

Serangan Ki Wangas Pati lolos. Tangan orang tua itu meluncur deras ke arah samping, membuat orang tua itu semakin bernafsu untuk membunuh pemuda yang menjadi musuhnya. Tangannya yang mencakar semakin cepat, sampai-sampai tak nampak lagi.

"Celaka..." pekik Kidang Antikan dengan mata melotot kaget, melihat gerakan tangan orang tua itu.

"Uts... Hampir saja."

Kidang Antikan segera membuang tubuh ke

samping kiri, mengelakkan cakaran lawan.

Crab

Kuku-kuku Ki Wangas Pati menghunjam pohon

yang berada di belakang Kidang Antikan. Begitu keras dan kuatnya hunjaman kuku-kuku itu, sampai-sampai, kulit pohon yang keras bisa ditembus. Dan ketika Ki Wangas Pati menarik jari-jari tangannya, seketika pemandangan mengerikan terjadi.

Dedaunan pohon itu langsung berguguran. Malah pohon itu nampak hangus.

Mata Kidang Antikan dan orang-orangnya membelalak kaget saat menyaksikan kejadian itu. Pohon saja sampai mengalami hal yang sangat mengerikan.

Apalagi manusia?

Meski begitu, sebagai seorang pendekar, pantang bagi Kidang Antikan mundur karena ngeri menyaksikan cakaran lawan. Dia terus berusaha mengimbangi jurus-jurus lawan yang semakin lama kian buas.

Saat pertarungan berjalan seru, tiba-tiba terdengar suara cuitan nyaring di udara yang menyentakkan semua rekan Kidang Antikan. Dan ketika mereka

menengadahkan wajah ke atas, mata mereka membelalak kaget menyaksikan seekor kelelawar merah raksasa.

"Cuiiit..."

***

2

Berbeda dengan rekan-rekan Kidang Antikan yang terperanjat kaget dengan kedatangan makhluk berupa kelelawar raksasa berwarna merah, Ki Wangas Pati malah tersenyum senang. Dengan berteriak nyaring sambil mengangkat tangan, Ki Wangas Pati memanggil binatang piaraannya.

"Bagus Rupanya kau datang tepat pada waktunya, Mangkara Turunlah Singkirkan mereka, cepat..."

kata Ki Wangas Pati sambil terus menyerang kembali Kidang Antikan.

Bagaikan mengerti perintah tuannya, binatang menyeramkan itu mencuit keras. Kemudian tubuhnya menukik ke bawah sambil mengepakkan sayap, siap menyambar kelima belas orang yang mengurung tuannya.

"Cuit.."

"Awas, binatang iblis itu menyerang..." seru salah seorang dari mereka untuk mengingatkan teman-temannya.

Kelelawar merah dengan mata laksana mengandung api itu menukik cepat, kemudian sayapnya menyambar deras ke arah orang-orang yang

mengurung tuannya.

Wuuut

Cras

"Aaa..."

Salah seorang terkena sambaran sayap kelelawar itu. Wajahnya bagai terbabat oleh pedang. Luka yang mengeluarkan darah, menyilang di muka orang itu.

Sesaat tubuh orang malang itu meregang, sebelum ambruk ke tanah dengan nyawa melayang.

"Cuit.."

Kelelawar Iblis Merah membubung ke angkasa.

Lalu dengan suara keras yang memekakkan telinga, kembali tubuhnya menukik ke bawah.

"Cepat menyingkir..."

Mereka berusaha menyingkir dari tempat itu.

Namun salah seorang dari mereka rupanya nekat Dengan pedang di tangan, lelaki itu berusaha menghadapi serangan kelelawar yang siap menyerang ke arahnya.

"Kelelawar iblis Hadapi aku Yoga Prana tak akan takut padamu Yeaaat.."

Lelaki yang bernama Yoga Prana ini segera

menebaskan pedang ke tubuh kelelawar raksasa itu.

Tapi bagaikan tahu ada bahaya, kelelawar itu kembali ke angkasa. Membuat serangan Yoga Prana

mengenai tempat kosong.

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, kemudian dengan cepat kembali menukik. Sayapnya yang lebar dan tajam bagai pedang, dengan cepat mengepak ke wajah lelaki itu.

Wettt

Yoga Prana berusaha membabatkan pedangnya ke arah kelelawar, berusaha mendahului babatan sayap binatang itu. Ternyata babatan pedangnya kalah cepat. Sayap binatang raksasa itu telah menghantam kepalanya lebih dahuhi.

Prak

"Aaa..." Yoga Prana memekik keras. Kepalanya pecah, sampai-sampai otaknya terburai ke luar.

Darah meleleh dari pecahan kepalanya. Mata lelaki

malang itu melotot, lalu ambruk dengan nyawa melayang.

Menyaksikan dua orang temannya mati. Bukannya menjadikan yang lainnya takut. Malah mereka kelihatannya menjadi nekat. Didahului oleh pekikan menggelegar, ketiga belas orang rekan Kidang Antikan menyerbu.

"Bunuh kelelawar ibhs itu..."

"Serang..."

"Pakai tombak..."

Dengan menggunakan tombak, mereka siap meng-ganyang kelelawar raksasa itu. Serentak mereka melemparkan tombak saat kelelawar merah raksasa itu menukik ke bawah. Namun bagai tahu ilmu silat, kelelawar itu bergerak mengelit. Sayapnya mengepak-ngepak, menangkis Tombak-tombak yang mengarah ke tubuhnya. Kebutan sayap binatang itu

menimbulkan angin yang besar.

Tombak-tombak yang dilemparkan ketiga belas orang itu tak ada satu pun yang mengena. Malah beberapa tombak kini melesat kembali ke arah pemiliknya. Kemudian dengan tepat dan deras, menghunjam di dada lima lelaki itu, hingga tembus ke punggung.

Crab

Pekikan kematian susul-menyusul, keluar dari mulut kelima orang yang dadanya tertembus tombak.

Darah mengalir dari lubang di dada mereka yang kini bergelimpangan tanpa nyawa.

Semakin marah saja teman-teman korban

menyaksikan kejadian itu. Mereka dengan nekat segera menghunus pedang, lalu menantang

Kelelawar Iblis Merah yang masih berputar-putar di angkasa.

"Cuit..."

"Kelelawar iblis, turunlah Hadapi kami..." tantang Walas Pitu. Tangan kanannya yang memegang

pedang mengacung ke atas.

"Cuit..."

Kelelawar Iblis Merah menukik, kemudian dengan cepat menyambar ke arah mereka. Kedelapan orang itu merunduk, berusaha mengelakkan sambaran sayap binatang buas itu. Lalu dengan cepat membalas dengan tusukan dan babatan pedang.

"Hancur tubuhmu, Kelelawar Iblis..."

Berbarengan mereka membabatkan pedang ke

tubuh Kelelawar Iblis Merah yang sudah merendah.

Namun tanpa diduga, tiba-tiba binatang itu kembali mengepakkan sayap sambil melesat ke atas.

Cras

"Aaa..."

Dua orang lagi menjadi korban. Wajah mereka terkena babatan sayap binatang itu. Luka menyilang dengan darah mengucur, terlihat di wajah kedua orang yang kemudian meregang nyawa dan ambruk ke tanah. Sedangkan yang lainnya, terbelalak kaget ketika pedang mereka beradu tanpa mengenai sasaran.

Trang

"Kurang ajar Rupanya binatang iblis itu benar-benar mempermainkan kita" dengus Walas Pitu sengit

Ketika Kelelawar Iblis Merah kembali menukik ke bawah, Walas Pitu dengan cepat merunduk.

Pedangnya langsung dibabatkan ke tubuh kelelawar itu.

Sementara Kelelawar Iblis Merah yang tengah mengepakkan sayap untuk menyerang lima orang

lainnya, tak dapat mengelakkan babatan pedang Walas Pitu.

Bret

"Cuit.."

Binatang itu langsung mencuit keras, ketika merasakan sakit pada bagian tubuhnya yang terluka.

Darah hitam mengucur dari tubuhnya. Tapi binatang itu tidak menjadi takut. Malah dengan keadaannya yang terluka, dia kian ganas.

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah kembali menukik. Sayapnya mengepak dengan cepat. Sayapnya yang melebihi tajamnya pedang, bergerak liar membabi buta.

Membuat keenam orang itu kewalahan. Mereka berusaha membalas serangan binatang yang sangat ganas itu. Namun kepakan sayap binatang itu ternyata lebih cepat

Cras Bret

Dua orang lagi memekik. Yang seorang kepalanya hancur, sedangkan yang lain terpenggal. Kemudian binatang itu kembali membubung ke angkasa, berputar-putar sesaat, lalu kembali menukik untuk melakukan serangan.

"Cuit..."

Kedua sayap Kelelawar Iblis Merah mengembang lebar. Setelah dekat, dengan cepat menyambar dan memukul ke arah lawan-lawannya.

"Binatang celaka Kau harus mampus..."

Walas Pitu yang merasa telah dapat melukai binatang itu, dengan nekat merangsek ke depan. Hal itu berakibat fatal baginya. Sebelum dia sempat menusukkan pedangnya, kuku-kuku Kelelawar Iblis Merah yang panjang telah lebih dahulu mencengkeram lehernya. Bersamaan dengan kepakan

sayap binatang itu untuk menyerang lawan yang lain.

Prak

Cras

Dua orang lagi memekik keras. Pekikan kematian yang mengiringi hancurnya kepala dan muka mereka.

Sedangkan Walas Pitu yang dalam cengkeraman kaki-kaki binatang itu, kini dibawa ke atas.

"Oh, tolooong..." Walas Pitu berusaha meminta tolong pada temannya yang masih hidup. Namun mereka tak dapat berbuat apa-apa. Binatang iblis itu terus membubung tinggi. Setelah mencapai ke-tinggian yang cukup, dilepaskannya tubuh Walas Pitu.

Tanpa ampun lagi, tubuhnya melayang dengan deras ke bawah. Tidak lama kemudian, terdengar suara pecahnya batok kepala, mengakhiri jeritan menyayat Walas Pitu.

Prak

"Aaa..."

Kelelawar Iblis Merah kembali menukik, siap menyerang dua lawan yang masih hidup. Nyali mereka seketika menciut. Tanpa pikir panjang lagi, kedua orang itu segera lari tunggang-langgang.

Rupanya binatang iblis itu tak mau melepaskan mereka begitu saja. Dengan mencuit keras, binatang itu memburu keduanya. Dalam sekejap saja, mereka dapat disusul.

Sayap kelelawar itu mengembang, kemudian membabat punggung keduanya dengan deras.

Prak, prak

"Aaa..."

Kedua orang itu memekik keras. Punggung mereka langsung hancur dengan darah menyembur ke mana-mana. Sesaat tubuh keduanya meregang kemudian ambruk dengan nyawa melayang.

"Cuit.."

Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke angkasa. Mengetahui semua lawan yang dihadapinya telah bergelimpangan tanpa nyawa, binatang itu hendak membantu tuannya yang tengah bertarung.

Sambil mengepakkan sayapnya yang lebar, kelelawar raksasa itu melayang menuju arena pertarungan antara Ki Wangas Pati dan Kidang Antikan.

"Kau tak usah membantuku Dia sebentar lagi juga mampus" cegah Ki Wangas Pati pada binatang piaraannya.

Bersamaan dengan ucapannya, Ki Wangas Pati mengirimkan satu pukulan maut Pukulan 'Pemegat Nyawa' yang dahsyat itu melaju deras ke arah Kidang Antikan.

Kidang Antikan tersentak kaget. Sama sekali tidak diduganya kalau lawan akan mengeluarkan pukulan maut. Dengan berusaha sebisanya, pemuda gagah itu segera memapaki dengan pukulan sakti 'Serat Kandala'.

"Hiaaat.."

"Yeaaa..."

Seberkas sinar berwarna merah dan putih keluar dari tangan keduanya, diikuti oleh gemuruh angin laksana amukan topan. Kemudian kedua pukulan sakti itu bertemu di udara, mencintakan ledakan menggelegar yang dahsyat

Glarrr

"Ugkh..."

Tubuh Ki Wangas Pati terhuyung dua langkah ke belakang. Matanya membelalak, tak percaya kalau pukulan lawan begitu kuat. Sedangkan tubuh Kidang Antikan terlempar beberapa tombak ke belakang.

Dadanya remuk dengan luka lebar mengerikan.

Tanpa ampun lagi, maut menjemput nyawa pemuda itu.

Ki Wangas Pati menarik napas dalam-dalam.

Setelah melambaikan tangan pada Kelelawar Iblis Merah, orang tua yang berwatak angin-anginan itu berlalu dari tempat pembantaian yang menyisakan belasan mayat bersimbah darah.

Dalam sebuah gubuk di tengah Hutan Wandar, Ki Wangas Pati duduk bersila sambil mengatur per-napasannya, guna memulihkan tenaga yang terkuras habis dalam pertarungannya beberapa saat lalu.

Terlebih ketika bentrokan tenaga dalam dengan Kidang Antikan.

Sementara di biar gubuk, seekor kelelawar raksasa berwarna merah tengah menggelantung di sebuah cabang pohon besar. Matanya yang merah, tidak lagi tajam seperti semula. Kini matanya redup, merasakan sakit akibat luka di tubuhnya.

Lukanya terlihat masih meneteskan darah hitam yang membasahi rumput di bawahnya.. Tampaknya binatang raksasa itu tengah melakukan semadi seperti tuannya.

Tak berapa lama kemudian, Ki Wangas Pati keluar.

Matanya langsung memandangi kelelawar raksasa berwarna merah itu.

"Kau terluka, Mangkara?" tanya Ki Wangas Pati.

"Cuit.." sahut kelelawar itu seraya mengangguk-anggukkan kepala. Sayapnya membentang, seperti hendak menunjukkan luka-luka yang diderita pada tuannya. Memang, di dada binatang itu terdapat luka yang menganga.

"Turunlah, biar aku melihatnya..."

"Cuit..."

Tubuh kelelawar merah raksasa itu pun turun,

kemudian hinggap di sebuah batu di depan Ki Wangas Pati. Sayapnya direntang lebar-lebar, sehingga Ki Wangas Pati dapat melihat lukanya.

Sejenak Ki Wangas Pati mengamati luka di rubuh kelelawar itu. Tangannya mengusap darah yang mengalir di dada binatang peliharaannya dengan jari telunjuk, lalu didekatkannya jari itu ke hidungnya.

"Hm, untung pedang itu tidak beracun...." gumam Kl Wangas Pati. "Sebentar, Mangkara. Akan kuambil-kan obat untuk mengobati lukamu."

"Cuit.."

Ki Wangas Pati beranjak masuk ke dalam gubuknya untuk mencari obat. Tak lama kemudian, orang tua berjubah merah itu keluar kembali. Di tangannya tergenggam sebuah mangkuk terbuat dari tanah liat.

Di dalam mangkuk itu, terdapat ramuan obat untuk menyembuhkan luka.

"Hm.... Kau harus menahan sakit, Mangkara." Ki Wangas Pati segera mengoleskan ramuan obat itu ke luka di tubuh Mangkara. Bagai sedang mengalami siksaan, mulut binatang itu memekik-mekik keras.

Kepalanya bergerak-gerak liar, seolah-olah menahan rasa sakit yang tiada tara.

"Cuit, cuit.."

"Memang perih, Mangkara. Tapi hanya sebentar.

Selebihnya lukamu akan cepat kering dan sembuh,"

kata Ki Wangas Pati sambil membelai-belai kepala binatang itu.

"Cuit.."

"Baiklah, Mangkara. Aku harus menolong pemuda itu. Kau bersemadilah dulu, untuk memulihkan tenaga yang terkuras, sekaligus mempercepat kesembuhan luka di tubuhmu," kata Ki Wangas Pati sambil berlalu meninggalkan Mangkara, kembali

masuk ke dalam gubuknya.

Kaki Ki Wangas Pati melangkah ke sebuah

ruangan dalam gubuk itu, di mana Warak Kendra tergeletak bertelanjang dada. Di dada kirinya nampak bekas pukulan yang menghitam kebiru-biruan.

"Hm...," Ki Wangas Pati mengangguk-anggukkan kepala menyaksikan luka tersebut "Pantas saja dia mengalami hal seperti itu. Aku sendiri telah merasakan betapa besar tenaga dalam pemuda itu."

Ki Wangas Pati kemudian melangkah ke tempat penyimpanan obat-obatan. Dicarinya obat yang berada di tempat berbentuk tabung dari bambu.

Diambilnya salah sebuah tabung bambu. Lalu dibawanya menuju tempat Warak Kendra tergolek.

Ki Wangas Pati mengaduk serbuk obat Lulur Raga Sakti yang baru diambil dari tabung bambu itu.

Kemudian dioleskannya ke luka di dada kiri dan kanan Warak Kendra.

"Akh..."

Warak Kendra menjerit, ketika luka di dadanya diolesi ramuan obat yang diberikan Ki Wangas Pati.

Dari luka itu mengepul asap, bagaikan terbakar.

"Tahan sedikit, Anak Muda," kata Ki Wangas Pati masih terus melumuri dada pemuda itu dengan ramuan obatnya. Orang tua berjubah merah itu seperti tak menghiraukan jerit kesakitan Warak Kendra.

Setelah menggelepar-gelepar menahan rasa sakit yang tak terkirakan, tubuh Warak Kendra terdiam.

Nampaknya pemuda itu kembali jatuh pingsan.

Dadanya masih mengepulkan asap. Namun perlahan-lahan nampak warna hitam kebiru-biruan bekas pukulan telapak tangan itu menghilang. Tubuhnya yang semula membiru, kini berangsur normal seperti

sediakala.

Ki Wangas Pati naik ke atas tempat tidur di mana Warak Kendra terbaring. Tangannya disatukan di depan dada. Matanya terpejam. Kemudian telapak tangannya yang menyatu, perlahan bergerak

membuka. Lalu telapak tangan kanannya ditempelkan di dada pemuda itu. Sedangkan telapak kirinya ditempelkan di perut dengan sedikit mendorong.

"Hhh..."

Ki Wangas Pati menghempaskan napas untuk

menyalurkan tenaga dalam ke telapak tangannya.

Tubuhnya menggigil dahsyat dan mengucurkan keringat. Matanya terpejam rapat.

Tubuh Warak Kendra turut menggigil. Dibarengi dengan keluarnya keringat sebesar biji jagung. Asap mengepul keluar dari telapak tangan Ki Wangas Pati.

Begitu juga dari tubuh pemuda itu.

"Uhhh..."

Terdengar keluhan lirih dari mulut Warak Kendra.

Tubuhnya dirasakan membara laksana dibakar dalam tungku. Kemudian mendadak menjadi dingin mem-bekukan, bagai bongkahan es.

Proses penyembuhan luka di tubuh Warak Kendra berjalan cukup lama. Sampai-sampai Ki Wangas Pati kelelahan. Tenaganya bagaikan dikuras habis oleh proses penyembuhan itu.

"Oh..." Ki Wangas Pati mengeluh. Tubuhnya tergetar hebat. Dan menjelang puncak penyembuhan itu, tubuhnya terkulai lemas lalu jatuh tertidur.

Lain halnya dengan Warak Kendra. Dia malah menggeliat bangun setelah merasa tubuhnya segar kembali. Kelopak matanya perlahan-lahan membuka, lalu memandang ke sekelilingnya.

"Cuit.."

Di luar terdengar suara Kelelawar Iblis Merah, membuat kening Warak Kendra berkerut dalam.

Perlahan-lahan dia bangkit. Dan dengan agak sempoyongan, kakinya melangkah keluar untuk melihat sesuatu yang didengarnya.

"Kelelawar Iblis Merah.." gumamnya dengan mata membelalak tatkala melihat seekor binatang raksasa tengah bergelantungan di sebuah cabang pohon besar. "Kalau begitu, di sinilah tempat Mustika Pengubah Raga..."

Sekilas bibir Warak Kendra menyunggingkan

senyum. Di hatinya kini tersimpan sebuah rencana jahat. Rencana untuk mendapatkan mustika itu.

Merebutnya dari tangan Ki Wangas Pati

***
3

Matahari pagi naik sepenggalan. Angin pagi berhembus pelan, membelai dedaunan. Kicau burung terasa sangat merdu. Ditambah dengan langit yang demikian bening, membangun keindahan alam di dalam Hutan Wandar.

Seorang pemuda berwajah tampan dengan kulit kuning bersih, duduk di atas sebatang pohon tumbang di Hutan Wandar. Rambutnya panjang dengan ikat kepala dan baju rompi yang terbuat dari kulit ular sanca. Di tangan pemuda itu, tergenggam sebuah suling berkepala naga. Itulah Suling Naga Sakti. Dan tentunya pemuda itu tak lain Sena Manggala atau Pendekar Gila.

Mata pemuda itu memandang langit yang berhias bentangan warna biru bersih. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala, sedangan tangan kirinya memukul-mukulkan suling ke paha.

"Ah, betapa damainya suasana di tempat ini,"

gumam Sena sambil cengengesan.

Pemuda bertampang gila itu menghela napas.

Wajahnya masih nampak cengengesan. Tangan

kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Lalu sulingnya diletakkan di bibir.

Ditiupnya Suling Naga Sakti dengan pelan.

Nampaknya Sena hendak bersenandung, mengisi suasana yang sepi dan damai. Kemudian terdengar suara suling mengalun dengan merdunya, menebar-kan irama lagu yang penuh penghayatan.

Betapa damainya alam ini

Seakan penuh kenikmatan

Gunung menjulang tinggi membiru

Pohon tumbuh menghijau asri....

Pemuda tampan dengan pakaian rompi kulit ular itu terus berdendang dan diselingi tiupan sulingnya.

Iramanya mendayu sendu, penuh penghayatan.

Sepertinya mengajak para pendengarnya untuk menghayati alam sekitarnya. Alam yang subur dan damai.

Sayang sekali....

Mengapa keindahan ini harus rusak

Oleh tumpahnya darah

Oleh kekejian manusia....

Saat Sena berdendang sambil menikmati indahnya alam di pagi itu, tiba-tiba telinganya mendengar suara memekik keras di angkasa. Suara pekikan itu mengejutkannya, hingga kepalanya seketika mendongak ke langit.

"Cuit Cuit..."

Di kejauhan sana, dilihatnya sebuah sosok

bayangan merah raksasa tengah melayang. Semakin pemuda tampan bertampang gila itu menajamkan pandangannya, semakin jelas bentuk benda yang melayang itu.

Sena mengerutkan kening. Kembali tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Hyang Jagat Dewa Batara, binatang apakah itu,"

gumamnya tanpa sadar.

Sena bangun dari duduknya. Berdiri dengan tegap seraya memandang binatang raksasa yang masih

melayang-layang di angkasa. Tangannya menggaruk-garuk kepala tiada henti. Mulutnya nyengir.

"Ah ah ah.... Pertanda apakah binatang aneh itu keluar? Bukankah binatang itu sudah lama menghilang? Mengapa kini keluar lagi...?" gumam Sena dengan wajah tetap menengadah.

"Cuit Cuit.."

Binatang itu mencuit keras, kemudian menukik deras ke bawah. Hal itu menjadikan Sena membelalakkan mata. Mulutnya nampak menganga.

"Heh, sepertinya binatang iblis itu tengah bertarung dengan sesuatu"

Benar juga, kelelawar itu sebentar-sebentar menukik, lalu melesat naik ke atas lagi.

"Cuit Cuit.."

"Ah ah ah.... Binatang itu benar-benar tengah bertarung dengan sesuatu. Tapi bertarung dengan apa...?" tanya Sena, keheranan. Matanya sama sekali tak menangkap lawan tarung binatang raksasa itu.

Tangannya menggaruk-garuk kepala tiada henti.

Diselipkannya Suling Naga Sakti di pinggang.

Kemudian masih dengan menggaruk-garuk kepala, dipandanginya tingkah laku binatang itu.

"Cuit Cuit..."

Binatang raksasa berwarna merah itu melayang di udara. Berputar-putar dengan mengepakkan sayap.

Mulutnya memperdengamya suara yang memekakkan telinga. Kemudian dengan deras menukik ke bawah dengan sayap mengepak keras, seakan

hendak menghantam sesuatu.

"Ha ha ha... Lucu sekali binatang itu. Seperti manusia saja tingkah lakunya...."

Sena tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan. Sedangkan tangan

kirinya kini menepuk-nepuk pantat, tingkah laku kelelawar merah raksasa itu di matanya terlihat lucu.

Tak henti-hentinya Sena memandangi gerak-gerik binatang raksasa yang melayang-layang di angkasa sambil tertawa-tawa kegelian. Tangannya tak berhenti menggaruk dan menepuk pantat. Kakinya berjingkat-jingkat seperti monyet.

"Hi hi hi... Lucu sekali.... Lucu sekali binatang raksasa itu bertarung."

Tiba-tiba Sena menghentikan tawanya, juga

gerakan tangan dan kakinya. Keningnya berkerut, seakan ada yang tengah dipikirkan.

Sena kembali memandang kelelawar raksasa

merah yang masih melayang-layang. Tiba-tiba tangannya menepuk dahi sambil berseru,

"Ah, bukankah kelelawar itu yang dinamakan Kelelawar Iblis Merah? Hm, berarti cerita tentang binatang itu memang benar Aku harus segera ke sana untuk melihat apa yang dilakukannya."

Tubuh Sena segera melesat meninggalkan tempat itu. Dengan lari kencang laksana terbang, dia menuju ke tempat kelelewar itu bertarung yang masih berada di wilayah Hutan Wandar. Tawanya menggelegar, membuat burung-burung beterbangan.

Di cakrawala sebelah selatan, kelelawar itu masih terlihat. Sebentar-sebentar naik ke atas, kemudian menukik kembali ke bawah.

***

"Cuit Cuit.."

Kelelawar Iblis Merah membubung tinggi ke

angkasa. Tubuhnya berputar-putar sesaat, lalu melesat meninggalkan Hutan Wandar. Kini tinggal lima

tubuh lelaki yang bergelimpangan tak bernyawa lagi.

Wajah kelima lelaki dari dunia persilatan itu berlumuran darah yang mengalir dari luka menganga akibat sabetan ganas sayap kelelawar raksasa yang tajamnya melebihi mata pedang.

Sena terbengong-bengong setelah sampai di

tempat itu. Matanya membelalak, menyaksikan lima tubuh tergeletak mati.

"Hyang Jagat Dewa Batara, bencana apa lagi yang kini menimpa rimba persilatan?" gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari pelaku keji yang telah membantai kelima orang itu. Tapi jejak kaki orang yang mungkin menjadi algojo keji bagi lima orang naas di hadapannya tidak ditemukan.

Pendengarannya dipadang tajam-tajam, dengan harapan dapat mendengar langkah kaki sekecil apa pun. Hasilnya sama saja. Tak juga didengarnya suara langkah kaki. Berarti di tempat itu tidak ada orang lain selain dirinya.

Sena mengerutkan kening, tangannya masih

menggaruk-garuk kepala. Tiba-tiba mulutnya tertawa, ketika ingat kalau tadi dilihatnya kelelawar raksasa berwarna merah darah.

"Ha ha ha... Tolol Tolol sekali aku. Bagaimana mungkin ada orang? Bukankah yang bertarung dengan kelima pendekar ini seekor kelelawar?"

Sena menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya masih tersenyum-senyum, mencemooh ketololannya.

Tangan kanannya menepuk-nepuk kening. Kemudian dengan hati-hati, didekatinya tubuh kelima lelaki malang itu.

"Mengerikan" desis Sena.

Sena tak henti-hentinya menggelengkan kepala

ketika memeriksa satu persatu kelima mayat itu. Dari kelima mayat itu, tidak seorang pun dikenalinya.

"Keji Keji sekali binatang itu" maki Sena. "Aneh, bagaimana mungkin mereka yang membawa senjata tajam bisa dikalahkan orang seekor kelelawar?"

Sena berpikir sesaat. Namun masih saja tidak di-pahaminya kejadian itu. Mengapa kelima pendekar yang kelihatannya gagah itu menemui ajal hanya ber-hadapan dengan seekor kelelawar raksasa.

Belum juga Sena mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang menyesaki benaknya, dari kejauhan tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan riuh.

"Itu dia..."

"Tangkap manusia keji itu..."

"Cincang tubuhnya..."

Sena tersentak kaget mendengar seruan-seruan itu. Matanya membelalak ke arah puluhan orang yang berlari serabutan ke arahnya dengan senjata terhunus. Rupanya mereka adalah kawan-kawan dari para korban kekejian kelelawar tadi.

"Celaka..." pekik Sena kaget. "Bisa runyam kalau begini."

Pendekar Gila belum bisa menentukan apa yang harus dilakukannya, ketika dengan cepat puluhan orang itu telah menyerang dengan melepaskan anak panah.

Swing, swing...

"Edan Benar-benar edan..." maki Sena sambil berjumpalitan untuk mengelakkan serbuan anak panah yang menderu ke arahnya. Tubuhnya melenting ke atas, kemudian tangannya bergerak cepat, menangkap puluhan anak panah yang memangsanya.

Sedangkan kakinya kini hinggap di dua anak panah lainnya.

Mata puluhan penyerang itu tampak membelalak menyaksikan bagaimana mudah dan entengnya

pemuda itu menangkapi puluhan anak panah.

Sedangkan kakinya menjejak di atas dua anak panah yang kini melesat balik ke arah mereka.

Sena tertawa bergelak-gelak. Tubuhnya yang masih memijak anak panah itu, melesat dengan deras ke arah para penyerang. Dua anak panah yang menjadi pijakannya seakan dapat dikendalikan, sehingga menuruti gerakan pemuda itu.

"Lihat gerakan silatnya yang seperti orang gila

Pasti dia yang telah membunuh kelima teman kita"

seru lelaki bertelanjang dada dengan tubuh agak gemuk.

Tanpa diperintah, puluhan orang itu segera mem-persiapkan anak panah kembali. Kemudian dengan cepat membidikkannya ke arah Pendekar Gila yang masih tertawa-tawa di atas dua anak panah.

Swing, swing...

Puluhan anak panah kembali menderu ke arah Pendekar Gila.

"Edan Benar-benar edan Rupanya tidak main-main" maki Sena. Kemudian dengan cepat tubuhnya bersalto beberapa kali di udara. Lalu, tangannya mengibaskan beberapa anak panah.

Gerakan tangan pemuda tampan yang seperti

orang gila itu sangat cepat, mampu membuat beberapa anak panah yang terkena sambaran tangannya berbalik ke arah lawan.

"Hi hi hi... Nih, kukembalikan milik kalian"

Wettt Wusss

Puluhan anak panah melesat kembali pada tuannya. Meskipun terlihat hanya menyambar, namun laju puluhan anak panah itu tak kalah cepat dengan laju

anak panah yang dilepas dari busur. Membuat para penyerangnya membelalakkan mata lebar-lebar.

Mereka berusaha mengelakkan puluhan anak

panah pengembalian Pendekar Gila. Namun rupanya laju anak panah itu sangat cepat Beberapa orang dari mereka tak mampu lagi mengelakkannya. Tanpa ampun lagi....

Jlep Jlep...

Beberapa anak panah tepat menembus sasaran.

Menghunjam di tenggorokan setiap korbannya yang tak sempat berteriak. Hanya mata mereka saja yang melotot dengan mulut menganga. Kemudian tubuh mereka ambruk dengan nyawa melayang.

Menyaksikan beberapa rekannya mengalami

kematian, semakin marah saja pemimpin orang-orang itu yang berbadan gemuk dengan kepala botak. Lelaki berhidung besar, alis mata tebal serta bercambang bauk lebat itu bersungut-sungut

"Kurang ajar... Rupanya pemuda itu benar-benar pelakunya Serang dia..." perintah lelaki gemuk yang bernama Kerto Mandra dengan melambaikan tangan.

Seketika itu juga, puluhan anak buahnya meluruk seperti air bah ke arah Sena. Dengan golok di tangan, tampaknya mereka hendak mencincang tubuh

Pendekar Gila.

"Ambrol perutmu, bocah"

Puluhan golok menderu ke arah Pendekar Gila.

Serangan mereka benar-benar ganas. Nampaknya mereka tidak mau membuang-buang waktu lagi.

Mereka ingin segera menghabisi pemuda yang mereka anggap pelaku pembunuhan kelima rekan mereka.

"Uts... Wadauw... Kenapa kalian keji sekali?

Sampai-sampai tega hendak merencah tubuhku?"

keluh Sena sambil melentingkan tubuh, melepaskan diri dari rencahan golok mereka.

Kaki dan tangannya tak mau diam. Kakinya

menendang ke wajah lawan. Sedangkan tangannya menepak kepala lawan yang terdekat. Gerakannya sangat cepat dan sulit untuk dielakkan. Membuat orang-orang yang dijadikan sasaran tak mampu untuk mengelak. Akibatnya....

Degkh

Plak

"Aduh..."

Empat orang menjerit seketika. Tubuh mereka berputar laksana baling-baling. Kepala mereka terasa pening sekali. Kemudian keempat orang itu terhuyung kian kemari seperti orang mabuk. Mata mereka be-kedip-kedip sayu, karena kepala mereka terasa sangat berat sekari. Kemudian tubuh keempat orang itu ambruk ke tanah. Pingsan

Menyaksikan keempat lawannya itu, Sena tak dapat menahan tawanya. Pemuda tampan berompi kulit ular itu tergelak-gelak dengan satu tangan menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan lainnya menepuk-nepuk pantat

Semakin bertambah marah saja lelaki gemuk

dengan kepala botak yang menjadi pimpinan orang-orang itu, menyaksikan keempat rekannya dapat dijatuhkan dalam sekali gebrak. Malah pemuda itu kini tertawa tergelak-gelak laksana orang gila.

"Bocah gila..." makinya sengit "Jangan harap kau bisa lolos dari tangan kami Serang dia..."

"Heaaa..."

Puluhan golok kembali mengancam Pendekar Gia.

Siap merencah tubuh pemuda itu. Mata puluhan orang itu kelihatan semakin beringas, penuh

kemarahan pada Pendekar Gila.

"Remuk tubuhmu, Bocah"

Melihat serangan, dengan cepat Pendekar Gila mengeluarkan jurus gilanya. Kemudian dengan jurus

'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila bergerak mengelak. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari, mengelitkan serangan yang menderu ke arahnya.

Meski tubuh pendekar muda itu kelihatannya sangat lamban dalam mengelak, tetapi lawannya mengalami kesulitan dalam menyerangnya.

"Hiaaat.."

Salah seorang yang merasa penasaran, mem-

bacokkan golok ke arah Pendekar Gila. Dengan gerak yang kelihatannya lamban, tubuh Pendekar Gila mengelit ke samping. Kemudian tangannya menepuk ke arah dada lawan.

"Hi hi hi... Ada apa di dadamu, Sobat?"

Orang yang diserang demikian langsung kaget. Dia berusaha mengelitkan tepukan tangan pemuda itu.

Namun gerakan yang kelihatan lemah dan pelan itu nyatanya cepat sekali. Sehingga orang itu mati langkah. Dan....

Debbb

"Aaa..."

Orang itu memekik. Tubuhnya terlontar deras ke belakang, meluncur ke arah teman-temannya yang tersentak kaget. Mereka berusaha mengelak, namun tak urung ada beberapa orang yang tersapu oleh laju tubuh orang itu. Tubuh mereka sama-sama terseret deras, dan baru berhenti ketika menabrak pohon.

Jeritan kematian terdengar ketika kepala mereka membentur batang pohon. Perlahan tubuh mereka menggelosor tanpa nyawa.

Mata lelaki gemuk yang bernama Kerto Mandra membelalak kaget. Nyalinya seketika menciut, menyaksikan anak buahnya banyak yang menjadi korban.

"Pemuda gila Sinting... Kali ini Kerto Mandra mengakui kehebatanmu. Tapi kelak jika ada

kesempatan, aku akan menuntut kekalahan ini"

Kemudian dengan menggerakkan tangan, lelaki gemuk berkepala botak itu lari meninggalkan tempat ini diikuti oleh rekan-rekannya.

Sena menggeleng-geleng sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan tersenyum cengengesan tempat itu ditinggalkannya.

"Ada-ada saja.... Mengapa aku yang dijadikan sasaran?" gumam Sena.

Pendekar Gila kembari tergelak-gelak, lalu tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.

***

4

Matahari agak condong ke arah barat, pertanda hari menjelang sore. Angin sore berhembus semilir, ditemani suara riuh burung yang hendak pulang ke sarangnya.

Seorang lelaki tua nampak duduk bersila dengan mata memandang ke angkasa, di mana seekor

binatang raksasa berwarna merah dengan mata menyorot tajam melayang berputar-putar. Di hadapannya, duduk seorang lelaki muda dengan pakaian yang sama dengannya, berjubah merah darah. Pemuda itu tidak lain Warak Kendra.

Sedangkan lelaki tua yang duduk di hadapannya, tiada lain Ki Wangas Pati.

"Kau lihat, binatang itu begitu nurut padaku, bukan?" tanya Ki Wangas Pati dengan tersenyum bangga, menunjukkan pada Warak Kendra bagaimana dia mampu menundukkan binatang itu.

"Rupanya Mangkara telah selesai menjalankan tugasnya...."

"Benar, Guru. Lihatlah, di sayapnya terdapat lelehan darah," sahut Warak Kendra dengan bibir menyunggingkan senyum sinis. Sepertinya ada sesuatu yang tersimpan di hatinya.

"Mangkara... Turunlah" seru Ki Wangas Pati.

"Cutt.."

Binatang raksasa itu mencuit keras. Sementara tubuhnya berputar-putar di angkasa, seperti tengah mengamati sekelilingnya. Kemudian setelah merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan, tubuh binatang

raksasa itu menukik ke bawah.

"Dia kelihatannya pintar, Guru," puji Warak Kendra.

"Ya Sebelum turun, rupanya dia mengawasi sekelilingnya," jawab Ki Wangas Pati. Kepalanya mengangguk-angguk, sedangkan tangannya membelai-belai jenggotnya yang panjang dan berwarna putih.

"Cuit Cuit.."

Binatang itu terus menukik dan hinggap di

samping kiri Ki Wangas Pati. Kepalanya dielus-eluskan ke badan tuannya, seakan hendak

mengatakan sesuatu. Sayapnya direntang lebar-lebar, menunjukkan lelehan darah di tepi-tepinya.

"Ya, ya. Aku paham. Kau telah melakukan tugas dengan baik untuk menjaga wilayah ini dari orang-orang persilatan," gumam Ki Wangas Pati. "Kau memang abdiku yang paling setia, Mangkara."

"Cuit Cuit.."

Binatang itu mengangguk-anggukkan kepala.

Sayapnya yang direntang, dikibas-kibaskan. Nampaknya binatang itu sangat senang mendengar

sanjungan tuannya.

"Kini kau boleh beristirahat. Kalau lapar, kau boleh mencarinya," kata Ki Wangas Pati.

"Cuit, cuit.."

Binatang itu kembali menjerit nyaring, kepalanya mengangguk-angguk. Kemudian setelah mengelus-eluskan kepala di badan tuannya, binatang itu melesat terbang.

"Cuit, cuiiit..."

Kelelawar Iblis Merah mengepak-ngepakkan

sayap. Kepalanya mengangguk-angguk.

"Ya, ya.... Pergilah Carilah mangsamu sesuka hati

Tapi jika ada apa-apa, cepatlah kembali..." seru Ki

Wangas Pati sambil tersenyum serta melambaikan tangan.

Binatang raksasa itu berputaran dua kali di udara, pertanda dia mengerti. Kemudian dengan cepat terbang meninggalkan tempat itu, membubung tinggi ke angkasa.

Ki Wangas Pati tampaknya bangga sekali dengan binatang itu. Untuk mendapatkannya, dia harus bersabung nyawa dengan kakak seperguruannya.

Ingatannya kembali melayang ke masa silam, saat kakak seperguruannya masih hidup.

Ketika itu, gurunya diketemukan telah mati dibunuh oleh sekelompok orang persilatan yang menjadi lawannya. Berhubung gurunya telah mati, Ki Wangas Pati dan kakak seperguruannya Ki Wangsa Landra akhirnya sepakat untuk membagi peninggalan guru mereka.

Ki Wangas Pati mendapatkan senjata-senjata sakti, sedangkan Ki Wangas Landra mendapatkan batu mustika Pengubah Raga. Ki Wangas Pati yang merasa dicurangi, diam-diam menaruh dendam.

Ketika sedang tidur, kakak seperguruannya dibunuh.

Kemudian Ki Wangas Pati lari dari Tanah Toraja menuju ke Jawa Dwipa.

Di Jawa Dwipa, Ki Wangas Pati mencoba mustika yang didapat dari hasil mencuri milik kakak seperguruannya. Ketika ditemukannya kelelawar merah, ditangkapnya kelelawar itu. Dengan cara menggenggam batu mustika Pengubah Raga dan memusatkan pikiran membayangkan apa yang

terjadi, maka terwujudlah apa yang ada dalam pikirannya. Kelelawar merah yang semula berukuran kecil, seketika menjadi besar. Kelelawar yang semula makan buah, kini makannya darah dan daging.

"Cuit.." kelelawar itu mencuit kembali.

Ki Wangas Pati terkekeh menyaksikan kepergian binatang peliharaannya yang pintar. Kemudian dengan tangan masih membelai-belai Jenggotnya yang panjang, pandangannya dialihkan ke Warak Kendra.

"Warak, tentunya kau telah tahu semua hal yanq ada di sini. Untuk itulah, aku berharap janganlah kau membocorkan semua rahasia di sini."

"Semua perintahmu akan kupatuhi, Guru" sahut Warak Kendra dengan menundukkan kepala. Namun sesungguhnya di dalam hati pemuda itu tersimpan pertanyaan. Rahasia Rahasia apa...?

"Hhh..."

Ki Wangas Pati menghela napas. Tangannya masih membelai-belai jenggotnya yang panjang dan putih.

Wajahnya ditengadahkan ke angkasa.

"Bukannya aku mengaturmu, Warak. Tapi ketahuilah, sesungguhnya itulah hal terbaik bagi kita. Biarlah orang hanya tahu tentang Mangkara saja. Kita tak perlu terlibat langsung. Dan ketahuilah, sesungguhnya Mangkara itu berbuat hanya untuk melindungi tuannya."

Mungkinkah orang tua ini menyimpan sebuah

rahasia? Tanya Warak Kendra dalam hati. Memang dia pernah mendengar cerita tentang Kelelawar Iblis Merah itu. Sesungguhnya Mangkara itu akan patuh pada siapa pun yang memiliki batu mustika Pengubah Raga. Tapi di manakah batu mustika itu? Sampai saat ini Warak Kendra belum tahu di mana batu sakti itu.

"Warak, hari ini kelihatannya sangat cerah. Apakah kau tidak berlatih?" tanya Ki Wangas Pati seraya memandang wajah muridnya lekat-lekat "Berlatihlah dengan sungguh-sungguh. Bukankah kau hendak

membalas semua dendammu?"

"Baik, Guru..."

Warak Kendra segera bangkit dari duduknya. Dia menjura hormat pada gurunya. Diikuti oleh Ki Wangas Pati, kaki pemuda itu melangkah ke tempat latihan.

"Kemarin lusa kau telah mempelajari 'Rentangan Sayap Kelelawar', kini tinggal menambahkan kembangannya dengan jurus selanjutnya 'Kepakan Sayap Menghantam Gunung'. Setelah itu, kau tinggal mempelajari jurus terakhirnya 'Sapuan Sayap Melebur Buana'...," tutur Ki Wangas Pati.

"Baik, Guru."

"Ingat baik-baik. Jurus-jurus yang kau pelajari itu sangat berbahaya. Baik untuk lawan, maupun untuk dirimu sendiri. Jangan kau sembarangan mengguna-kannya. Sebab kalau kau bertindak gegabah, bisa-bisa kaulah yang akan celaka."

Warak Kendra tersentak mendengar penuturan Ki Wangas Pati.

"Mengapa begitu, Guru? Bukankah jurus-jurus Itu merupakan jurus dahsyat? Sulit untuk dicari tandingannya?" tanya Warak Kendra dengan kening berkerut Bibir Ki Wangas Pati tersenyum, sedang kepalanya mengangguk-angguk. Tangannya masih membelai-belai jenggotnya yang panjang.

"Kau memang benar. Jurus-jurus itu adalah jurus-jurus yang dahsyat dan sulit dicari tandingannya. Tapi bagaimanapun juga, semua ilmu silat itu ada kelemahan-kelemahannya, yang seringkali tidak diketahui oleh pemiliknya. Orang yang jeli dan pintar, akan dapat melihat kelemahannya. Kau mengerti maksudku, Warak?" tanya Ki Wangas Pati setelah menjelaskan tentang jurus-jurusnya.

"Mengerti, Guru."

"Bagus" Ki Wangas Pati kembali mengangguk-anggukan kepala. Tangannya masih membelai-belai jenggotnya yang panjang dan putih itu. "Seperti halnya dengan Mangkara, dia pun memiliki

kelemahan-kelemahan. Siapa yang memiliki batu mustika...."

Sampai di sini Ki Wangas Pati menghentikan ucapannya. Sepertinya dia baru saja menyadari ucapannya.

"Mustika apakah, Guru?" tanya Warak Kendra pura-pura tak tahu.

"Ah, tidak... tidak ada apa-apa. Sudahlah, kini kau latihan."

Usai berkata begitu, Ki Wangas Pati segera melangkah meninggalkan tempat itu. Sekaligus meninggalkan rasa penasaran dalam diri Warak Kendra.

Sementara, Warak Kendra memulai latihannya.

Sebenarnya gerakan kaki dan tangan pemuda itu ketika berlatih hanya untuk menutupi niat sebenarnya. Maka setelah gurunya masuk ke dalam gubuk tempat mereka menetap, diam-diam Warak Kendra menguntit Ki Wangas Pati. Dia merasa yakin kalau gurunya akan melihat mustika itu.

Dengan mengendap-endap, Warak Kendra pun

mengintip dari luar. Dia ingin tahu apa yang sedang dikerjakan gurunya.

Benar Juga, ternyata Ki Wangas Pati saat itu tengah mengambil sebuah kotak dari dalam tiang penyangga gubuk. Rupanya dalam tiang itu mustika Pengubah Raga disimpan, yang tentunya sengaja dibuat oleh Ki Wangas Pati agar kerahasiaan benda itu tidak diketahui orang lain

Kotak kedi itu dipandangi sesaat. Kemudian

dibukanya perlahan. Seberkas sinar terang me-mancar dari dalam kotak itu. Sinar merah menyala terang itu, rupanya keluar dari batu mustika di dalam kotak.

Hm, rupanya di tempat itu si tua bangka

menyimpannya. Pantas saja aku tak tahu. Tapi kini, aku akan mendapatkannya. Aku akan bisa menguasai kelelewar iblis merah itu. Bahkan aku akan menjadi orang yang sakti Aku akan bisa mengubah diriku menjadi makhluk apa pun juga, seperti apa yang aku kehendaki Warak Kendra bersorak girang dalam hati, melihat batu mustika yang diincarnya telah diketahui.

Dengan tersenyum puas, pemuda itu kembali menuju ke tempat latihannya semula. Kemudian terdengar suaranya berteriak-teriak sambil memperagakan jurus-jurus kelelawarnya.

"Hiaaa..."

Tangannya merentang lurus, kemudian ditarik ke atas. Dilanjutkan dengan kebatan keras ke depan dan belakang, lalu disusul dengan sentakan dan tebasan ke samping. Kedua kakinya menendang, menjadikan tubuhnya melayang laksana terbang.

"Yeaaa..."

Tubuh pemuda Itu melayang, tangannya bergerak cepat mencengkeram ke arah pohon. Sedangkan kakinya menendang ke arah pohon di samping kanan dan kirinya.

Crab

Jleg, jleg...

Akibat dari cengkeraman dan tendangannya

sungguh dahsyat. Pohon-pohon yang menjadi

sasarannya seketika berguguran daun-daunnya.

Kemudian batang pohon itu mengering bagai

terbakar.

"Hebat Hebat.. Tak percuma aku mengangkatmu sebagai murid," puji Ki Wangas Pati sambil bertepuk tangan. Kemudian kakinya melangkah mendekati muridnya.

Warak Kendra segera menekuk lututnya untuk menyembah.

"Sudahlah, bangunlah... Tak perlu peradatan seperti itu. Aku bangga memiliki murid sepertimu, Warak. Dalam waktu cepat, kau telah dapat

menguasai semua ilmu silatku. Hm, apakah masih kurang cukup ilmu silat yang kau dapat untuk membalas dendam?"

"Ampun, Guru.... Kalau Guru berkenan, biarlah saya untuk sehari dua hari di sini. Saya hendak berpikir dulu, ke arah mana saya melangkah," pinta Warak Kendra mengharap. Padahal sebenarnya ada niat lain di hatinya. Niat yang sangat keji.

Ki Wangas Pati terdiam sambil mengangguk-

anggukkan kepala. Tangannya mengelus-elus jenggotnya yang putih.

"Hm, baiklah," katanya dengan suara perlahan.

"Oh, terima kasih, Guru," Warak Kendra kembali bersujud.

"Sudahlah, bangunlah...," ajak Ki Wangas Pati sambil membantu muridnya bangun. "Kita istirahat dulu. Kau belum makan, bukan?"

Warak Kendra tersenyum, lalu bersama sang Guru keduanya melangkah meninggalkan tempat itu.

***

"Cuit, cuit.."

Di angkasa Hutan Wandar terdengar suara

binatang keras mencuit, memekakkan telinga.

Membuat seorang pemuda tersentak dan men-

dongakkan kepala. Bibirnya nyengir ketika melihat binatang raksasa itu memandang ke arahnya.

"Kelelawar edan itu lagi...," gumam pemuda tampan yang tingkah lakunya seperti orang gila dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian pemuda yang tiada lain Sena Manggala atau

Pendekar Gila dari Goa Setan itu kembali meng-gumam, "Mau apa lagi binatang itu?"

"Cuit, cuiiit.."

Di cakrawala, kelelawar merah raksasa itu

berputar-putar sambil mengeluarkan suaranya yang memekakkan telinga. Kemudian tanpa diduga oleh Pendekar Gila, binatang itu tiba-tiba menukik ke arahnya.

"Cuiiit.."

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya dengan mulut nyengir, menyaksikan binatang raksasa yang ganas itu menukik ke arahnya.

"Edan Binatang edan itu rupanya hendak memangsaku" maki Sena. Dengan cepat tubuhnya berkelit ke samping, mengelakkan serangan binatang ganas yang mengepakkan sayap ke arah kepala dan tubuhnya.

"Cuit.."

Merasa serangannya gagal, binatang raksasa itu melesat kembali ke atas. Sayapnya yang lebar dikepakkan. Beberapa saat berputar-putar di atas, kemudian kembali menukik ke bawah.

"Edan Binatang ini benar-benar hendak melabrak-ku" Sena memekik sengit Dengan cepat tubuhnya kembali berkelit. "Uts... Setan Iblis..."

Sena memaki-maki kesal. Hampir saja tubuhnya menjadi sasaran labrakan kedua sayap binatang itu,

kalau saja dia tidak segera mengelakkannya.

Brak

Kraaak...

Bummm

Pohon di samping Pendekar Gila menjadi sasaran dan seketika tumbang. Benar-benar kuat dan dahsyat kepakan dan hempasan sayap binatang raksasa itu.

Sampai-sampai pohon yang cukup besar bisa

tumbang.

"Edan..." makinya sambil berguling ke samping, mengelakkan tumbangan pohon. "Hampir saja tubuhku ringsek Setan..."

Tangan Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala. Mulutnya masih nyengir dengan kepala menggeleng-geleng.

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke angkasa setelah serangan susulannya gagal. Mata binatang itu kian tajam memandang Pendekar Gila yang masih merutuk sengit

"Kurang ajar benar binatang laknat itu" makinya sambil menggaruk-garuk kepala. "Baik Kalau memang itu maumu, Binatang Iblis Aku akan melayanimu Nah, turunlah..."

"Cuit, cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah bagaikan mengerti

tantangan Pendekar Gila. Pekikannya semakin menggelegar. Matanya yang tajam laksana mengandung bara api dari neraka, menghunjam garang. Mulutnya menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang tajam dan runcing.

"Cuiiit.."

Binatang raksasa itu berputar-putar di udara.

Sayapnya mengepak lebar, siap menyerang.

"Turunlah Ha ha ha... Rupanya kita akan main-main, Sobat..," Sena tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian dipantatinya binatang itu. "Nih..."

"Cuit.."

Suara Kelelawar Ibhs Merah semakin keras.

Sepertinya sangat marah sekali diledek begitu rupa oleh Pendekar Gila. Matanya semakin berkilat-kilat merah menyala.

Setelah mengepak-ngepakkan sayapnya yang

lebar, binatang itu kembali menukik, siap menyerang.

"Bagus Ha ha ha... Kau benar-benar ingin main-main denganku"

Pendekar Gila segera bergerak cepat, mengeluarkan jurus 'Kera Gila Melempar Batu'. Tangannya bergerak cepat untuk menyambut serangan binatang itu.

Dari tangan Pendekar Gila, keluar gemuruh angin yang deras bergelombang. Angin itu menderu ke arah Kelelawar Iblis Merah.

"Cuiiit.."

Binatang raksasa itu mencuit keras. Sayapnya digerak-gerakkan kian kemari. Nampaknya binatang, itu mengerti kalau pukulan lawan bukanlah pukulan sembarangan. Terbukti dia mampu menahan tubuhnya.

Dahsyat sekali kepakan sayap Kelelawar Iblis Merah itu. Pukulan 'Kera Gila Melempar Batu'

seketika berantakan, tersapu oleh kepakan sayap binatang raksasa buas itu.

"Cuiiit..."

Kini binatang buas itu telah bebas, sayapnya mengepak semakin keras. Kemudian dengan cepat binatang itu menukik ke arah Sena.

"Celaka... Binatang ini benar-benar bukan sembarangan binatang" maki Sena. Segera tubuhnya

dilemparkan ke belakang, mengelakkan serangan kelelawar itu.

Sayap Kelelawar Iblis Merah menderu keras, menghantam ke arah bawah. Beruntung Pendekar Gila telah mengelak jauh. Kalau tidak, tubuhnya pasti akan remuk. Dan dua pohon menjadi sasarannya.

Brak

Kraaak...

Bummm

Dua batang pohon besar tumbang, menimbulkan suara yang berdebum. Dahsyat sekali akibat dari hempasan sayap binatang raksasa itu.

"Edan" maki Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Tak kusangka serangan binatang itu begitu dahsyat"

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, membubung tinggi ke angkasa, berputar-putar sesaat, lalu melesat meninggalkan tempat itu. Sepertinya binatang itu putus asa setelah serangan-serangannya tak berhasil.

Sena menggaruk-garuk kepala sambil menggeleng-geleng. Kemudian setelah memandang ke sekelilingnya yang berantakan akibat serangan binatang raksasa itu, Pendekar Gila pun melangkah pergi.

***

5

Malam merambahi permukaan bumi. Sepi menjadi mahkota malam yang gelap. Kabut halimun dingin berarak lambat, seperti gerak iring-iringan pengantar jenazah. Menciptakan suasana malam yang men-cekam. Sayup-sayup terdengar suara burung hantu, yang meningkahi suara binatang malam.

Sesosok tubuh nampak mengendap-endap, keluar dari dalam kamar sebuah gubuk, tubuh itu bergerak menuju sebuah kamar lain. Sepertinya ada sesuatu yang hendak dilakukan orang itu di tengah malam begini. Kala sinar temaram lampu minyak kecil menerpa wajah orang itu, maka dapat diketahui siapa dia sebenarnya. Orang itu adalah Warak Kendra.

Kepala Warak Kendra sejenak menoleh ke kanan dan kiri. Sepertinya dia berusaha membuktikan bahwa tak ada seorang pun yang melihatnya. Setelah yakin kalau Ki Wangas Pati telah tidur, kakinya kembali melangkah menuju ruangan yang tadi pagi dilihatnya. Ruangan di mana Ki Wangas Pati menyimpan mustika Pengubah Raga. Sebuah mustika sakti yang menjadi dambaan setiap orang rimba persilatan.

"Syukurlah tua bangka itu telah tidur," gumam Warak Kendra perlahan.

Kaki Warak Kendra terus melangkah hati-hati. Ilmu meringankan tubuhnya digunakan, agar jejakan kakinya tidak terdengar oleh gurunya.

Sesampainya di depan pintu ruangan yang dituju, kembali Warak Kendra menghentikan langkahnya.

Matanya kembali beredar ke sekeliling tempat itu, meyakinkan diri kalau tak ada seorang pun yang melihatnya.

Warak Kendra tersenyum setelah merasa yakin kalau Ki Wangas Pati benar-benar telah tertidur.

"Tua bangka itu benar-benar tidur pulas. Rupanya ilmu 'Sirep' yang kutaburkan sore tadi akhirnya mempan juga," gumam Warak Kendra dengan bibir menyunggingkan senyum.

Perlahan-lahan tangan Warak Kendra membuka pintu ruangan itu, berusaha agar tidak terdengar suaranya. Kemudian matanya kembali menyapu ke sekelilingnya.

"Sepi... Aku akan berhasil mendapatkan mustika itu Aku akan menjadi orang nomor satu di rimba persilatan" desisnya girang.

Dengan penuh keyakinan kalau dia akan dapat mendapatkan mustika Pengubah Raga, Warak

Kendra segera masuk ke dalam ruangan itu.

Ruangan itu sangat gelap. Tak ada penerangan, meski sebuah obor kecil pun. Mau tak mau Warak Kendra harus meraba-raba untuk mencari tiang yang menjadi tempat penyimpanan mustika itu.

"Ini dia tiangnya," gumam Warak Kendra, setelah tangannya merasa menyentuh sesuatu. Kemudian dengan tetap meraba-raba, tangannya berusaha menemukan lubang penyimpanan mustika. Ditelusuri-nya tiang itu dari atas ke bawah hingga kembali ke atas lagi.

Sulit juga rupanya untuk mendapatkan mustika itu.

Hampir semua permukaan tiang itu rata, seperti tak ada lubang.

"Aneh, mengapa semuanya rata? Padahal tadi pagi kulihat sendiri mustika itu disimpan di tiang ini,"

gumam Warak Kendra sambil terus berusaha

menemukan lubang di tiang tersebut. Namun belum juga ditemukannya.

Warak Kendra benar-benar cemas dan hampir

putus asa. Karena takut kalau-kalau Ki Wangas Pati mengetahui perbuatannya, dia semakin gugup.

"Hm, bagaimana ini? Mungkinkah aku salah lihat?"

tanyanya pada diri sendiri. "Ah, rasanya tidak. Tiang inilah tempatnya. Tapi di mananya?"

Warak Kendra terus meraba-raba permukaan

tiang. Tetap saja tak ditemukannya tanda-tanda tempat lubang penyimpanan itu.

"Ah, aku baru ingat sekarang Jalan satu-satunya untuk membuka lubang itu adalah dengan mengetuk-ngetuk permukaan tiang ini."

Dengan senyum mengembang di bibir, Warak

Kendra pun mengetuk permukaan tiang dengan perlahan. Dimulai dari bawah, terus naik ke atas.

Duk, duk...

Warak Kendra tersenyum.

"Rupanya di sini tempatnya...." Kemudian dengan menggunakan tenaga dalam, ditotoknya permukaan tiang yang bunyinya lebih nyaring itu.

Benar juga. Ternyata setelah permukaan tiang itu terkuak, di dalamnya terdapat kotak kecil tempat mustika itu tersimpan. Dengan tersenyum senang, diambilnya mustika Pengubah Raga itu.

"Aku akan menjadi orang nomor satu di rimba persilatan Tak akan ada yang dapat mengalahkanku

Ha ha ha..."

Entah karena senang atau tak sadar, Warak

Kendra tertawa terbahak-bahak. Hal itu membuat Ki Wangas Pati yang tengah tidur tersentak kaget

"Siapa itu...?"

Ki Wangas Pati segera melompat bangun.

Kemudian memburu ke arah kamar rahasianya.

Brak

Terdengar suara bilik dijebol dari kamar rahasianya, membuat Ki Wangas Pati bertambah cemas. Dia sudah menduga, tentunya orang yang membuat keributan kecil itu telah mencuri mustikanya.

Dengan cepat Ki Wangas Pati memburu keluar.

Terlihatlah sebuah bayangan berkelebat dari samping gubuknya.

"Hai, berhenti..." bentaknya.

Orang yang tidak lain Warak Kendra itu berhenti. Di bibirnya tersungging senyum sinis.

"Warak Kendra, kau...?" Ki Wangas Pati kaget setelah mengetahui pencuri mustika Pengubah Raga itu. Matanya melotot marah. Sementara Warak Kendra tersenyum semakin sinis.

"Ya, aku Kini akulah pemilik mustika ini Akulah yang akan menjadi orang nomor satu di rimba persilatan Sedang kau tua bangka lebih pantas mampus Heaaat.."

Usai berkata begitu, Warak Kendra meng-

hantamkan pukulan ke arah Ki Wangas Pati.

Serangkum sinar berwarna kuning kebiru-biruan melesat ke arah tubuh orang tua yang cepat menghindar dengan mulut mencaci-maki.

"Laknat.. Rupanya benar apa yang dikatakan Kidang Antikan Kau benar-benar iblis Menyesal aku menolongmu"

"Mengumpatlah sepuas hatimu, Tua Bangka

Puaskan hatimu, sebelum kukirim ke neraka

Hiaaat..."

Ki Wangas Pati sebenarnya tak akan takut

menghadapi pemuda itu. Karena tingkat kepandaian

pemuda itu telah diketahuinya. Namun dengan mustika Pengubah Raga di tangannya, Warak Kendra bisa saja melakukan hal-hal yang sulit untuk ditang-gulangi.

Tubuh orang tua itu terus bergerak, mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan oleh Warak Kendra. Tangannya sesekali berusaha mengambil kembali kotak mustika yang ada di dalam pakaian Warak Kendra. Namun rupanya Warak Kendra tahu kalau lawan akan mengarahkan serangannya ke tempat itu. Dengan cepat Warak Kendra berkelit, lalu balas menyerang.

"Hiaaat.."

Seberkas sinar kuning kebiru-biruan kembali melesat dari telapak tangan Warak Kendra, menderu ke arah Ki Wangas Pati yang tersentak.

"Edan Dari mana pula dia memiliki pukulan 'Wisa Welang'?" rutuk Ki Wangas Pati terkejut, setelah tahu pukulan apa yang baru saja dilontarkan oleh lawan.

Orang tua itu berusaha sedapat mungkin mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan lawannya. Tubuhnya melenting ke sana kemari. Sesekali dia pun membalas serangan lawannya.

"Heaaa..."

Ki Wangas Pati balas memukul dengan pukulan sakti 'Wangas Geni'. Dari genggaman tangannya keluar seberkas sinar merah membara yang menderu ke arah Warak Kendra.

Wussss

Warak Kendra tersentak kaget. Matanya mem-

belalak menyaksikan seberkas sinar yang menderu ke arahnya. Langkahnya mati. Tubuhnya tak mampu lagi mengelakkan pukulan itu. Akibatnya....

Desss

"Aaakh..."

Warak Kendra memekik. Seketika tubuhnya

terbakar api, membuat pemuda itu panik. Dia merasa kematiannya telah dekat. Namun tiba-tiba diingatnya mustika Pengubah Raga yang berhasil dicurinya. Dari balik jubah, diambilnya mustika itu dan langsung ditelannya.

Tiba-tiba....

Crasss

Kejadian aneh terjadi. Api yang semula menelan tubuhnya, seketika padam bagai tersedot kekuatan gaib.

"Ha ha ha..." Warak Kendra tertawa terbahak-bahak penuh kesombongan.

Mata Ki Wangas Pati membelalak ketika menyaksikan kejadian itu. Dia amat tahu kesaktian mustika

'Pengubah Raga', maka saat matanya melihat mustika itu ditelan Warak Kendra, dia terkejut luar biasa. Tanpa sadar, kakinya menyurut mundur.

Matanya memandang ke arah Warak Kendra dengan sinar mata gentar.

"Wangas Pati, keluarkan semua ilmumu Aku Warak Kendra tak akan mundur Ayo, keluarkan semua ilmumu..." tantang Warak Kendra, sombong.

Tawanya menggelegar laksana halilintar malam hari.

Sedang matanya menatap tajam ke arah Ki Wangas Pati.

"Celaka Dia telah menelan mustika itu, ilmu apa pun tak akan mampu mengalahkannya" desis Ki Wangas Pati agak ciut juga. Tapi sebagai orang yang telah banyak makan asam garam rimba persilatan, Ki Wangas Pati tak mau menunjukkan keciutan nyalinya.

Didahului pekikan menggelegar, orang tua itu kembali menyerang.

"Hiaaat.."

Seberkas sinar merah membara kembali melesat mengancam tubuh Warak Kendra. Tapi tampaknya Warak Kendra tak berusaha untuk mengelak. Malah pemuda yang telah menelan mustika sakti itu mem-busungkan dada.

Desss

Pukulan sakti yang dilontarkan Ki Wangas Pati menghantam telak dada Warak Kendra. Namun....

Mata Ki Wangas Pati lagi-lagi membelalak. Benaknya tak mempercayai apa yang terjadi di depan matanya. Pukulan saktinya kini malah berbalik dengan cepat ke arahnya. Bahkan lebih cepat dibandingkan serangan tadi

"Celaka..."

Ki Wangas Pati segera membuang tubuhnya ke samping, untuk mengelakkan serangan balik pukulannya. Luput dari tubuh Ki Wangas Pari, gumpalan api itu terus menderu. Kemudian menghantam gubuknya.

Blarrr

Api seketika berkobar, menerangi malam dengan warna merahnya. Dalam sekejap, rumah
itu telah menjadi api unggun raksasa.

Kesombongan Warak Kendra semakin menjadi-jadi menyaksikan tubuhnya mampu menahan pukulan sakti Ki Wangas Pati. Bahkan pukulan itu dapat dikembalikan ke tuannya, sampai-sampai merepot-kan orang tua itu.

"Ki Wangas Pati, tak adakah ilmumu yang lain?

Keluarkan semuanya..." tantang Warak Kendra dengan nada pongah.

Ki Wangas Pati tak menanggapi tantangan Warak Kendra. Kini orang tua itu berupaya untuk mencari titik kelemahan lawan. Namun sejauh itu, dia belum

mampu menemukannya.

"Mangkara... Swuiiit.." Ki Wangas Pati bersiul, memanggil kelelawar raksasa peliharaannya.

"Cuiiit.."

Terdengar sahutan binatang itu dari pohon besar yang berada tak jauh dari kancah pertarungan. Tak lama kemudian, muncullah seekor kelelawar merah dengan mata nyalang. Suaranya memecah kesunyian malam. Kepakan sayapnya menimbulkan suara

laksana amukan angin ribut

"Bagus, kau segera datang, Mangkara Serang dia..." perintah Ki Wangas Pati pada binatang itu.

Kelelawar Iblis Merah mengangguk-anggukkan kepala, seperti mengerti perintah tuannya. Kemudian matanya yang merah laksana mengandung api, memandang ke arah Warak Kendra.

"Cuiiit.."

Binatang itu mencuit keras, membelah kesunyian malam. Sayapnya dikepakkan lebar-lebar. Lalu tubuhnya melesat ke atas, berputar-putar di angkasa untuk beberapa saat, kemudian menukik untuk melancarkan serangan.

Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tapi matanya yang tajam, tetap waspada pada serangan binatang raksasa itu.

"Kau adalah abdiku Aku tuanmu.... Kau harus menurut padaku Serang dia..." seru Warak Kendra dengan suara keras dan lantang.

Binatang buas itu kebingungan. Dia mengenali benar sosok tuannya dari dulu, yaitu orang tua yang tadi memerintahnya. Namun mata pemuda itu

menyorotkan sinar merah ke matanya, membuat matanya terasa sakit. Itulah bukti bahwa pemuda itu pemilik mustika Pengubah Raga.

"Mangkara, jangan hiraukan... Serang dia..."

Ki Wangas Pati terus berusaha mempengaruhi binatang peliharaannya.

"Mangkara, kau harus turuti perintahku Kalau kau membantah, maka kau akan kukembalikan ke asal-mu" ancam Warak Kendra.

"Cuiiit..."

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras, merasa ketakutan mendengar ancaman Warak Kendra.

Sayapnya mengepak lebar-lebar. Kepalanya digeleng-gelengkan dengan mulut mencuit keras.

"Bagus Rupanya kau mengerti Nah, serang dan bunuh tua bangka itu..." seru Warak Kendra.

"Cuit..."

Kelelawar raksasa berwarna merah itu kini mengangguk-angguk. Kemudian tatapannya beralih ke arah Ki Wangas Pati, penuh nafsu membunuh.

"Celaka..." pekik Ki Wangas Pati. Orang tua itu hendak lari, namun tiba-tiba binatang buas itu telah menghadangnya.

"Cuiiit…"

Kelelawar Iblis Merah menyerang dengan sabetan kedua sayapnya yang keras dan tajam. Kalau Ki Wangas Pati tidak segera merunduk dan berguling, sudah pasti tubuhnya akan hancur

"Edan Binatang ini benar-benar telah dipengaruhi"

maki Ki Wangas Pati sambil terus berguling untuk mengelakkan sambaran dan kepakan sayap

Kelelawar Iblis Merah.

Merasa serangan pertama gagal, kelelawar buas itu melesat ke atas diiringi teriakan keras. Tubuhnya berputar-putar sesaat di angkasa. Lalu, kembali menukik disertai pekikan membahana.

"Cuiiit..."

"Iblis"

Ki Wangas Pati kembali mengelakkan serangan binatang itu. Tubuhnya berguling ke tanah. Kemudian dengan cepat tangannya memukul ke tubuh

Kelelawar Iblis Merah.

Rupanya binatang itu mengerti kalau lawan

menyerang dengan pukulan. Sebelum lawan dapat menyarangkan pukulan, dengan cepat Kelelawar Iblis Merah mengepakkan sayapnya, lalu melesat ke angkasa sehingga serangan Ki Wangas Pati luput.

"Cuit.."

Kelelawar Iblis Merah kembali menukik. Sayapnya bergerak semakin cepat. Kali ini kakinya tak tinggal diam, mencengkeram ke tubuh lawan.

Tubuh Ki Wangas Pati segera berguling, dan sekali lagi melepaskan pukulannya ke tubuh Kelelawar Iblis Merah.

Bukkk

Pukulan itu mengena. Namun binatang raksasa itu bagai tak mengalami apa-apa. Serangannya malah semakin buas.

"Edan Kalau begini terus, tenagaku bisa habis..."

rutuk Ki Wangas Pati sambil terus mengelakkan serangan-serangan binatang itu.

"Ha ha ha... Main-mainlah dengan Mangkara, Tua Bangka"

Warak Kendra kian pongah. Mulurnya tertawa terbahak-bahak menyaksikan orang tua itu pontang-panting diserang binatang peliharaannya sendiri.

"Ayo, Mangkara. Cepat kau selesaikan tua bangka itu..."

"Cuit.."

Binatang raksasa yang buas itu seperti mengerti perintah tuannya yang baru. Didahului cuitan keras,

binatang itu berputar sebentar. Kemudian dengan deras menyerang kembali. Sayapnya menebas ke tubuh Ki Wangas Pati. Sedangkan sayap yang lain melabrak kepala orang tua itu.

Brat

Cras...

"Akh..."

Terdengar suara tebasan. Disusul oleh jeritan menyayat terlontar dari mulut K i Wangas Pati.

Ki Wangas Pati meringis. Tangan kirinya terlepas dari tubuh. Darah keluar deras dari pangkal tangan yang buntung. Dengan menahan sakit, orang tua itu berusaha lari dari tempat itu

"Mangkara, habisi dia...' seru Warak Kendra.

"Cuiiit..."

Tubuh binatang raksasa yang ganas dan buas itu melesat cepat ke arah Ki Wangas Pati. Tidak lama kemudian, terdengar lolongan kesakitan orang tua itu.

"Aaa..."

"Ha ha ha..."

Warak Kendra tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya segera melesat ke arah lolongan kesakitan orang tua malang itu. Di situ, matanya melihat bagaimana kepala Ki Wangas Pati berlumuran darah.

"Akhirnya aku berhasil menjadi orang nomor satu di rimba persilatan Ha ha ha... Mangkara, ayo kita pergi..."

"Cuiiit..."

Kelelawar Iblis Merah pun mengikuti tuannya yang baru.

***

6

Di suatu tempat yang tak jauh dari arena pertarungan Ki Wangas Pati dengan Warak Kendra, Sena

Manggala tampak melangkah ringan untuk menikmati keindahan malam.

Saat Sena memandangi cahaya bulan di cakrawala tak berbatas, matanya menangkap bayangan yang melayang di angkasa sebelah timur. Bayangan itu dirasanya pernah dikenal beberapa saat lalu. Sesaat kemudian, benaknya sudah dapat mengingat apa sebenarnya bayangan itu.

"Kelelawar Iblis Merah...," bisiknya seraya menaut-kan kedua alisnya.

Tubuh Sena segera melesat ke arah timur, berusaha mendekati wilayah terbang kelelawar itu.

Sementara kakinya bergerak cepat, bayangan Kelelawar Iblis Merah tiba-tiba menghilang. Tapi dia tidak mengurungkan niat begitu saja.

Sampai akhirnya Pendekar Gila menemukan

sesosok tubuh lelaki tua dengan keadaan menyedih-kan. Dari jubah yang dikenakannya Sena dapat mengenali lelaki tua itu

"Ki Wangas Pati...," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Heh, kenapa orang tua aneh ini? Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?"

Mata Sena terus mengamati sosok Ki Wangas Pati.

Berulangkah tangannya menggaruk-garuk kepala.

Keningnya berkerut, berusaha mengingat-ingat sesuatu.

"Ah, aku ingat sekarang" serunya tiba-tiba.

"Bukankah ini ciri dari korban Kelelawar Iblis Merah?

Ya ya ya.... Tentunya kelelawar itu yang telah membunuhnya."

Kepala Sena mengangguk-angguk perlahan. Dan mendadak keningnya ditepuk, seolah-olah benaknya ingat sesuatu kembali.

"Ah, bukankah Kelelawar Iblis Merah adalah binatang peliharaan Ki Wangas Pati...?" gumamnya kemudian. "Kalau begitu, siapa yang merebut kelelawar ganas itu dari tangannya?"

Telapak tangan pemuda tampan itu menekan

dada Ki Wangas Pati.

"Masih berdenyut Ah, masih hidup," ucapnya.

Sena berusaha menyadarkan orang tua itu dengan memijit-mijit beberapa bagian tubuh orang tua itu.

Terutama pada bagian kepala dan lengannya yang masih mengucurkan darah.

Tak berapa lama kemudian, perlahan-lahan Ki Wangas Pati tersadar. Matanya membuka dengan berat, laki memandang pemuda di sampingnya dengan tatapan sayu.

"Kaukah Pendekar Gila itu...?" tanyanya lemah.

"Benar, Ki. Apakah yang terjadi padamu, Ki?" tanya Sena sambil memangku kepala Ki Wangas Pati yang berlumur darah.

"Dia..., dia telah mencuri mustika itu..., dan kelelawar itu.... Ah, dia...."

Ki Wangas Pati tak mampu melanjutkan kata-

katanya. Kepalanya terkulai, nyawanya melayang.

Sena menarik napas dalam-dalam. Setelah

menaruh tubuh orang tua itu di tanah, Sena bangkit.

Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala, merasa bingung dengan kata-kata lelaki tua itu. Mulutnya nyengir, persis kera gila.

"Ah, aku semakin bingung," desahnya. "Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?"

Ditatapnya langit temaram yang terhias warna biru jernih. Dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala, pemuda tampan yang bertingkah laku gila itu kembali bergumam....

"Di tangan Ki Wangas Pati saja, binatang itu sangat berbahaya. Hm, apalagi kini di tangan orang lain. Dan dilihat dari kematian Ki Wangas Pati, tentu orang itu bukan orang baik-baik. Edan... Bencana apa lagi yang akan melanda rimba persilatan?"

Mata Sena masih memandangi langit. Tangan

kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Dan wajahnya cengar-cengir tak karuan.

"Dia...? Dia siapa?"

Pemuda tampan itu berusaha memahami maksud Ki Wangas Pati. Tapi rasanya sangat sulit. Dia sama sekali tidak tahu orang yang telah mencuri mustika sakti yang dikatakan Ki Wangas Pati.

Saat Sena berpikir-pikir mengenai orang yang telah melakukan pembunuhan keji terhadap Ki Wangas Pati, tiba-tiba terdengar seruan orang-orang dari Perguruan Belibis Putih.

"Tentunya dialah Ki Wangas Pati itu..."

"Ya Mari kita tanyai"

Lima belas orang dari Perguruan Belibis Putih mendekat ke arah Sena yang masih menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan.

"Ki Wangas Pati, jangan kau bertingkah seperti orang gila" bentak salah seorang dari murid Perguruan Belibis Putih, menyentakkan Pendekar Gila dari kebingungannya.

Mata Sena memandang lekat lelaki bertubuh tinggi besar dengan rambut digelung ke atas. Di tangan

orang itu tergenggam senjata berbentuk kaki belibis dengan rantai panjang.

"Ah ah ah... Rupanya kalian dari Perguruan Belibis Putih," sambut Pendekar Gila sambil cengengesan.

Tangannya tetap menggaruk-garuk kepala.

"Ya kami dari Perguruan Belibis Putih Kami datang untuk menangkapmu" bentak lelaki bertubuh tinggi besar itu

"Menangkapku...?" tanya Sena seraya mengerutkan kening. Kemudian dengan tangan menggaruk-garuk kepala, serta mulut memperdengarkan tawa, Sena kembali berkata, "Rasanya aku tak ada silang sengketa dengan perguruan kalian. Mengapa kalian hendak menangkapku?"

"Huh, Apakah kau kira kami dapat kau kelabui?

Kau telah membunuh saudara seperguruan kami sebulan yang lalu Untuk itulah, kami hendak menangkapmu"

Tawa Sena semakin meledak mendengar

penuturan lelaki bertubuh besar itu. Kesalahpahaman? Gumamnya dalam hati. Banyak sekali kesalahpahaman menimpaku. Kepalanya digeleng-gelengkan, sementara tawanya masih terdengar.

Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.

"Kisanak, mungkin kau salah paham. Aku tidak kenal kalian semua. Aku hanya mengenal perguruan kalian saja. Nah, bagaimana mungkin kalian bisa menuduhku begitu?" tanya Sena masih dengan kepala menggeleng-geleng.

"Ki Wangas Pati, jangan lempar batu sembunyi tangan Masih juga kau menutupi kekejianmu membantai saudara-saudara seperguruan kami sebulan lalu, ketika mereka mengejar seorang

saudara seperguruan kami yang berkhianat" dengus lelaki tinggi besar yang bernama Perkolo.

Sena yang memang tidak tahu sama sekali tentang masalah itu, semakin tergeiak-gelak. Kepalanya digeleng-gelengkan. Tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Kisanak, sudah kukatakan padamu, aku tidak mengenal orang yang menurut kalian telah kubunuh.

Aku hanya tahu kalau kalian dari Perguruan Belibis Putih. Itu saja. Dan perlu kalian ketahui, aku bukan Ki Wangas Pati"

Bertambah marah saja orang-orang Perguruan Belibis Putih mendengar penuturan Sena. Mereka menganggap pemuda itu berusaha lari dari tanggung jawabnya.

"Rupanya kau perlu diajar adat Serang..." perintah Perkolo sambil menggerakkan tangannya.

Tanpa diperintah untuk kedua kali, mereka segera mengurung Pendekar Gila. Sementara Pendekar Gila hanya mengerutkan kening dengan tetap bertingkah konyol.

"Celaka Benar-benar celaka Bagaimana mungkin orang-orang dari aliran lurus memiliki sikap tidak terpuji begini?"

"Bedebah Jangan bawa-bawa aliran" bentak Perkolo, gusar.

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala. Kepalanya digeleng-gelengkan perlahan.

"Ah, sudah begitu marahnya kau, Sobat."

"Diam Lebih baik pilih salah satu, menyerah untuk kami bawa ke perguruan atau kami bunuh?"

Sena masih cengengesan. Tangannya kembali

menggaruk-garuk kepala. Kemudian wajahnya

tampak tercenung, seperti tengah berpikir.

"Baiklah, aku menyerah," ujar Sena, akhirnya.

"Bagus Ikat dia..." perintah Perkolo.

Dua orang murid Perguruan Belibis Putih segera mendekati Sena yang diam, tapi masih cengengesan.

Keduanya segera mengikat tangan Pendekar Gila.

"Ayo jalan" bentak Perkolo. "Kau harus ber-tanggung jawab di depan pemimpin kami"

Sena pun menurut. Kakinya melangkah, diiringi orang-orang Perguruan Belibis Putih.

Dari kejauhan, tampak sebuah bangunan megah di lereng Gunung Pandalaras yang subur dengan hawanya sejuk. Letaknya di wilayah Desa Kapasan.

Bangunan itu adalah tempat Perguruan Belibis Putih yang dipimpin oleh Ratih Puri.

Saat itu, di sebuah ruangan lebar, seorang wanita duduk di atas kursi. Wajah wanita itu ditutupi cadar berwarna putih, seperti warna pakaiannya. Sorot mata wanita itu tajam, penuh kewibawaan. Tubuhnya ramping dan tak begitu tinggi. Sedangkan kulitnya kuning langsat. Di kanan dan kiri wanita itu duduk bersila murid-murid Perguruan Belibis Putih.

Sementara, dari luar masuk Perkolo yang hendak melaporkan hasil tugasnya pada Ratih Puri.

"Kau telah datang, Perkolo? Bagaimana hasilnya?"

tanya Ratih Puri, wanita yang duduk di atas kursi.

"Berkat doamu, kami berhasil," tutur Perkolo seraya menjura.

Mata wanita yang sebagian wajahnya tertutup kain putih itu menyipit mendengar laporan murid utamanya. Tubuhnya bangkit dari kursi lalu mendekati Perkolo.

"Apakah kau tidak berdusta, Perkolo?"

"Ampun, Guru.... Tak berani saya berdusta."

"Kau telah menangkapnya?"

"Benar, Guru."

"Bawa dia kemari" perintah Ratih Puri.

"Baik, Guru," Perkolo kembali menjura, kemudian berlalu meninggalkan ruangan itu.

Ratih Puri masih mengerutkan kening dan

menyipitkan matanya. Nampaknya dia masih belum percaya dengan laporan murid utamanya itu. Bagaimana mungkin Ki Wangas Pati yang wataknya angin-anginan itu mudah ditangkap? Tanyanya dalam hati.

Ki Wangas Pati bukanlah orang sembarangan.

Ilmunya tinggi. Di samping itu, dia memiliki piaraan seekor kelelawar merah raksasa. Ah, rasanya tidak masuk akal kalau orang itu pasrah begitu saja.

Perkolo masuk kembali bersama seorang pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular. Mata Ketua Perguruan Belibis Putih itu tiba-tiba membelalak, kemudian memandang tajam pada Perkolo yang menjura padanya.

"Ampun, Guru. Inilah Ki Wangas Pati."

"Perkolo..." bentak Ratih Puri dengan keras.

Matanya melotot tajam penuh amarah pada

muridnya. "Apakah matamu buta?"

Perkolo kebingungan. Sesaat matanya me-

mandang Pendekar Gila yang masih cengengesan.

"Ampun, Guru.... Saya rasa memang inilah Ki Wangas Pati."

Mata Ratih Puri semakin membelalak marah

mendengar ucapan muridnya. Kakinya kemudian melangkah lebih dekat ke arah Perkolo. Dengan gusar, tangannya menampar wajah lelaki tinggi besar itu.

Plak

"Tolol... Tubuhmu saja yang besar seperti kerbau

Apakah matamu benar-benar telah buta, membuat kau tak tahu siapa dia?" bentak Ratih Puri penuh kemarahan, membuat Perkolo menundukkan kepala.

Sena yang melihat wajah Perkolo merah padam, mendadak tertawa tergelak-gelak. Hal itu membuat mata Perkolo melotot secara sembunyi ke arahnya.

Namun pemuda itu bukannya diam, malah semakin tertawa keras. Menjadikan ruangan itu laksana diguncang gempa.

"Ha ha ha... Lucu.... Mengapa wajahmu yang tadi beringas kini pucat, Sobat?" celoteh Sena, membuat wajah Perkolo semakin pucat. Kemudian merah penuh amarah.

Ketua Perguruan Belibis Putih yang rupanya telah tahu dan kenal siapa pemuda berpakaian rompi kulit ular itu, membiarkan tingkah laku Sena. Dia malah mendekati pemuda tampan itu. Tangannya bergerak untuk membuka tali yang mengikat tangan pendekar muda itu.

"Kuharap kau sudi memaafkan kesalahan murid-ku. Tuan Pendekar," ujar Ratih Puri setelah melepaskan tali yang mengikat tangan Sena. Tubuhnya membungkuk untuk menjura hormat.

Sena kembali tertawa. Tangannya yang sudah tak terikat menggaruk-garuk kepala.

"Ah, memang lucu. Kesalahpahaman terkadang menjadikan manusia buta," ujar Sena sambil matanya mengerling ke arah Perkolo yang semakin pucat dan tertunduk.

Dengan tingkah aneh seperti orang gila, Sena melangkah seenaknya. Matanya memandang Ratih Puri yang tak berani menatap Sena karena malu.

"Aku memang salah, mengapa harus berada di tempat itu. Tapi sebenarnya kedatanganku ke Hutan

Wandar semata-mata hendak menemui Ki Wangas Pati," tutur Sena dengan mulut cengengesan.

Sedangkan tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. "Sayang, orang yang hendak kujumpai ternyata telah tewas."

Wajah Sena tiba-tiba murung, menggambarkan kesedihan.

"Kalau boleh kutahu, apa maksud Tuan menemui orang tua yang bersifat angin-anginan itu?" tanya Ratih Puri hormat

Sena tak langsung menjawab. Bibirnya kembali tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.

"Apakah Nini pernah mendengar tentang Kelelawar Iblis Merah?"

"Ya. Aku pernah mendengarnya," jawab Ratih Puri.

"Jadi Tuan pun hendak meminta pada Ki Wangas Pati untuk mengendalikan binatang iblis itu?"

"Tepat" seru Sena. Kemudian wajahnya kembali murung, menunjukkan kesedihan. "Sayang.... Rupanya aku terlambat Ki Wangas Pati kudapati dalam keadaan sekarat. Kepalanya retak, tangan kirinya buntung."

Ratih Puri membelalakkan mata mendengar

penuturan Sena. Rasanya aneh kalau orang tua berilmu tinggi itu bisa dikalahkan. Selama ini, hanya lelaki di hadapannya saja yang mampu meng-hadapinya.

Kalau benar Ki Wangas Pati tewas dan bukan Pendekar Gila yang melakukannya, jadi siapa yang membunuhnya? Tanya Ketua Perguruan Belibis Putih itu dalam hati.

"Tuan Pendekar. Sepengetahuan kami, hanya Tuan yang bisa menandingi ilmu Ki Wangas Pati.

Bagaimana mungkin Ki Wangas Pati bisa tewas?"

tanya Ratih Puri masih belum yakin

"Mulanya aku pun kebingungan menemukan orang tua itu sekarat. Tapi setelah kuingat-ingat, akhirnya aku memahami. Hanya Kelelawar Iblis Merah yang bisa mengalahkannya."

Ketua Perguruan Belibis Putih itu mengangguk-anggukkan kepala. Dia pun membenarkan apa yang dikatakan Sena. Memang hanya binatang peliharaannya yang dapat mengalahkan orang tua angin-anginan itu.

"Lalu, siapakah yang telah mampu menguasai binatang Iblis itu?" tanya Ratih Puri lagi.

"Entahlah," jawab Sena masih menggaruk-garuk kepala dengan tingkahnya yang aneh. "Padahal menurut kabar yang kudengar, Ki Wangas Pati hanya seorang diri di Hutan Wandar."

Tak ada yang berkata. Semua kini diam. Sepertinya tengah berpikir tentang keanehan itu. Kalau Ki Wangas Pati hanya seorang diri di Hutan Wandar, rasanya tidak mungkin binatang piaraannya

menyerang tuannya begitu saja. Binatang itu begitu patuh terhadap orang tua itu.

"Ah, aku ingat..." seru Ratih Puri, menyentakkan Sena dari keterpakuannya. "Hm, sungguh berbahaya kalau benar dia yang telah melakukannya. Tentunya dia telah mendapatkan mustika Pengubah Raga..., sebab hanya dengan mustika itulah Kelelawar Iblis Merah dapat dikendalikan."

"Siapakah yang Nini maksudkan?" tanya Sena.

"Murid murtad dari perguruan ini. Dialah yang ditolong oleh Ki Wangas Pati. Itu sebabnya aku memerintahkan Perkolo ke Hutan Wandara. Pertama menangkap Warak Kendra yang telah berkhianat dan yang kedua meminta pertanggungjawaban Ki Wangas

Pati."

"Celaka…" pekik Sena. "Ah ah, bencana apa lagi yang akan melanda rimba persilatan?"

"Kita harus mencegahnya Jangan sampai kedua iblis itu membuat petaka," desis Ratih Puri dengan mata menyipit.

"Kalau memang begitu, aku mohon pamit. Aku harus segera mencegahnya," ucap Sena.

Kemudian sambil tertawa, pendekar muda itu menjura. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya melesat dari tempat itu. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah menghilang.

Semua mata yang hadir di tempat itu membelalak lebar. Hanya Ratih Puri saja yang kelihatannya tenang. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala.

"Ck ck ck... Benar-benar luar biasa Pendekar Gila dengan ilmu yang gila"

"Jadi..." Perkolo membelalakkan mata lebar-lebar, setelah mendengar siapa pemuda bertampang gila tadi.

"Ya Dialah Pendekar Gila dari Goa Setan," tegas Ratih Puri. "Beruntung dia tidak marah."

Perkolo terdiam dengan kepala tertunduk.

"Perketat pengamanan Tentunya murid murtad itu akan melakukan pembalasan..." perintah Ratih Puri.

"Baik, Guru..." sahut semua muridnya.

***

7

Seorang lelaki berjalan menyusuri tepi sungai berarus tenang yang membelah hutan. Jubah berwarna merah darah yang dikenakannya dipermainkan angin, seperti juga rambutnya yang tergerai lurus. Kepalanya diikat kain berwarna merah pula. Sementara di atasnya tampak melayang seekor kelelawar raksasa yang juga berwarna merah. Paduan warna merah itu, membuat keduanya terlihat angker dan garang, seangker kobaran api neraka.

Lelaki itu adalah Warak Kendra, bersama

Kelelawar Ibhs Merah yang kini di bawah pengaruh-nya karena tuah mustika Pengubah Raga.

"Mangkara, sebelum aku bertemu dengan Pendekar Gila, rasanya aku belum puas," kata Warak Kendra dengan mata berapi-api, seakan menyimpan dendam.

"Cuit.."

Kelelawar raksasa dengan mata bagai nyala api itu seperti memahami hasrat tuannya. Kepalanya diangguk-anggukkan. Sementara sayapnya dikem-bangkan laki dikepak-kepakkan.

"Pendekar Gila, akan kubuktikan kalau akulah orang yang paling sakti di rimba persilatan Ha ha ha..." Warak Kendra tertawa terbahak-bahak, sampai tubuhnya berguncang-guncang.

"Cuit, cuiiit.."

Kelelawar raksasa yang selalu mengikuti di atasnya kembali mencuit dengan keras, mengem-

bangkan dan mengepak-ngepakkan sayapnya.

Kepalanya mengangguk-angguk. Mulutnya menyeringai, menunjukkan taring-taringnya yang panjang dan runcing.

Warak Kendra masih tertawa terbahak-bahak.

Kakinya terus menyelusuri tepian sungai. Matanya tajam mengawasi sekelilingnya.

"Aku lapar, Mangkara. Bagaimana kalau kita cari kedai?" tanya Warak Kendra pada Kelelawar Iblis Merah.

"Cuit.."

Kelelawar Iblis Merah mengeluarkan suara keras.

Kepalanya kembali mengangguk-angguk. Seakan menyetujui rencana tuannya.

"Hm, baiklah. Kita akan mencari kedai. Tentunya kau pun lapar, bukan...?"

"Cuit.."

Keduanya terus menyelusuri tepian Sungai

Kahanyar yang terdapat di tengah Hutan Kapuran dan membentang dari selatan ke utara. Belum jauh mereka ke hulu, tiba-tiba terdengar derap orang berlari dari arah hutan. Warak Kendra tersenyum dan segera menghentikan langkah. Pendengarannya dipasang tajam-tajam.

"Hm, rupanya mangsamu hari ini banyak juga, Mangkara."

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Dari

sayapnya, terdengar deruan angin keras. Kepalanya mengangguk-angguk, seolah-olah membenarkan ucapan tuannya.

"Coba kau lihat dari atas, Mangkara...," perintah Warak Kendra.

Kelelawar Iblis Merah menurut. Segera tubuhnya

melesat ke cakrawala lepas, membubung tinggi bagai raja langit Kepalanya ditundukkan ke bawah, matanya yang tajam memandang ke sekelilingnya.

"Cuit, cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah memekik. Kepakan sayapnya dipercepat. Setelah berputar-putar beberapa kari di udara, tubuhnya menukik diikuti ciutan yang semakin melengking.

"Cuiiit..."

Tubuh Kelelawar Iblis Merah terus menukik, namun bukan ke arah Warak Kendra. Melainkan masuk ke dalam hutan, lalu menghilang di balik rimbunan pepohonan.

Warak Kendra tersenyum, ketika telinganya

menangkap kegaduhan di kejauhan. Mulanya

terdengar kepakan sayap Mangkara, diikuti oleh suara pekikan kematian.

Prak

"Akh..."

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah itu kembali membubung ke angkasa, di kedua kakinya tercengkeram seorang lelaki dengan kepala pecah.

"Bagus... Kau memang abdiku yang setia, Mangkara..." seru Warak Kendra senang. Kekejian itu dianggapnya sekadar hiburan ringan.

"Cuit.."

Kelelawar Iblis Merah terus berputar-putar beberapa kali dengan kaki masih mencengkeram korbannya. Sayapnya dikepak-kepakkan dan kepalanya mengangguk-angguk. Sepertinya Kelelawar Iblis Merah yang bernama Mangkara itu tengah mem-beritahukan sesuatu pada Warak Kendra.

"Ya, aku mengerti Mereka memang banyak dan

tengah menuju kemari..." seru Warak Kendra.

Kemudian lelaki muda berjubah merah itu tertawa terbahak-bahak. Rupanya dia tak memandang

sebelah mata pun pada orang-orang yang akan datang untuk menyerangnya.

"Mereka itu tak ubahnya kecoa busuk,

Mangkara..." serunya kembali dengan nada pongah.

Apa yang diisyaratkan oleh Kelelawar Iblis Merah itu memang benar. Tidak lama kemudian, dari dalam hutan muncul puluhan orang dengan pedang

terhunus, dipimpin oleh seorang lelaki berkepala botak bernama Kerto Mandra yang pernah bertarung melawan Pendekar Gila.

"Ha ha ha... Rupanya hanya kecoa-kecoa busuk yang datang...," seloroh Warak Kendra untuk merendahkan Kerto Mandra yang nampak men-dengus marah.

"Iblis... Lama kucari, akhirnya kau kutemui juga

Ke neraka sekalipun kau pergi, aku akan tetap mengejarmu"

Semakin keras tawa Warak Kendra mendengar

ucapan Kerto Mandra. Dengan senyum sinis

menunjukkan kesombongan, dipandanginya wajah Kerto Mandra lekat-lekat.

"Kecoa tolol... Seharusnya kau bersembunyi, kalau kau masih ingin hidup Tapi rupanya kau nekat

Katakan, siapa namamu? Sebelum nyawa kecoamu kukirim ke neraka"

"Sombong" dengus Kerto Mandra. "Jangan kira semudah itu kau membunuhku Mungkin nyawa

iblismulah yang akan kukirim ke neraka Seraaang..."

Mendengar perintah dari pemimpinnya, puluhan orang bertelanjang dada seketika menghambur.

Pedang di tangan mereka berkelebat cepat,

membabat dan menusuk ke arah Warak Kendra.

Serangan mematikan yang cepat itu tidak membuat Warak Kendra gugup. Malah dengan tertawa keras, lelaki muda berjubah merah itu menanggapi serangan mereka.

"Rupanya kalian mencari mampus Heaaat..."

"Yeaaah..."

Dengan tangan kosong, Warak Kendra bergerak menghadang serangan lawan-lawannya yang ber-jumlah puluhan itu. Tangannya merentang lurus, kemudian diangkat tinggi-tinggi. Diteruskan dengan gerakan menyambar dan menyapu. Kakinya juga tak mau diam, bergerak menendang ke belakang dan depan. Itulah jurus 'Kelelawar Merentang Sayap Menghantam Gunung'. Sebuah jurus mematikan yang dahsyat

"Heaaa..."

"Remuk tubuhmu... Yeaaa..."

Tubuh Warak Kendra bergerak cepat dengan jurus dahsyat mematikan. Tangan kanannya menghantam ke arah wajah lawan di depan. Sedangkan tangan kirinya memukul kepala lawan yang di samping kiri.

Kedua kakinya menendang ke dada lawan di

belakang dan samping kanannya sekaligus.

Gerakan yang dilancarkan oleh Warak Kendra sangat cepat, membuat lawan-lawan yang dijadikan sasaran tak sempat lagi mengelak. Maka tanpa ampun lagi, empat orang lawan harus menerima serangan mematikan itu.

Dukkk

Desss

"Aaakh..."

Pekikan kematian menerobos kesunyian hutan.

Seorang korban melolong dengan dada terbakar.

Sedangkan yang lainnya mengalami nasib

mengenaskan dengan kepala pecah dan dada jebol oleh tendangan kaki Warak Kendra. Sementara seorang lagi sempoyongan dengan darah menyembur dari mulutnya. Kemudian mereka ambruk tanpa nyawa.

Yang lainnya tercekat menyaksikan keempat

teman mereka telah binasa dalam dua gebrakan saja.

Untuk sesaat mereka terdiam, memandang dengan tegang ke arah Warak Kendra yang tertawa tergelak-gelak.

"Sudah kukatakan, kalian hanyalah kecoa-kecoa busuk yang tiada arti" ucap Warak Kendra sombong, membuat darah Kerto Mandra bergejolak hingga ke ubun-ubun.

"Phuih... Sombong... Jangan kau kira kami takut

Serang dan cincang dia..." perintah Kerto Mandra sambil melambaikan tangan.

Segera anak buahnya yang semula diam, bergerak mengepung. Pedang di tangan mereka teracung, siap menunggu perintah selanjutnya

Melihat lawan-lawannya telah mengepung, Warak Kendra kembali tertawa bergelak gelak.

"Rupanya kalian benar-benar mencari mampus"

Usai berkata begitu, Warak Kendra kembali menggerakkan tangan dan kakinya. Tangan kanannya diangkat ke atas dengan jari-jari membentuk cakar.

Tangan kirinya direntangkan ke samping dengan telapak tangan di depan wajah. Kakinya dibuka sedemikian rupa.

"Seraaang..." Kerto Mandra kembali berseru.

"Heaaa..."

"Cincang tubuhnya..."

Puluhan pedang kembali menyerbu tubuh Warak

Kendra, siap merencah tubuh lelaki muda berjubah merah itu. Namun dengan cepat Warak Kendra memapaki serangan mereka. Tangan kanannya yang semula lurus di atas, kini mencakar ke arah wajah lawan yang ada di sebelah kanan. Tangan kirinya ditekuk, kemudian dihempaskan dengan telapak tangan menghajar lawan sebelah kiri. Kakinya menendang ke depan dan menyepak ke belakang.

Gerakan Warak Kendra benar-benar cepat,

membuat lawan-lawan yang dijadikan sasaran kembali harus menerima pukulan dan tendangannya.

Sementara tubuhnya dengan cepat mengelitkan tusukan pedang dengan cara meliuk dan melenting.

"Hiaaa..."

Degk

Crat

"Wuaaa..."

Empat orang memekik keras. Tubuh mereka

ambruk dengan nyawa melayang. Menjadi korban kesadisan serangan yang dilancarkan Warak Kendra.

***

Pertarungan semakin seru. Nampaknya orang-

orang Kerto Mandra kini benar-benar nekat.

Kematian rekan-rekannya bukan membuat mereka gentar. Bahkan mereka nampak semakin beringas.

Serangan-serangan mereka semakin garang dan penuh nafsu membunuh.

Serangan lawan-lawannya yang membabi-buta, tidak pernah membuat Warak Kendra bingung.

Apalagi takut. Justru dengan begitu, dia mampu memanfaatkan lawan-lawannya.

"Cuiiit.."

Terdengar suara Kelelawar Iblis Merah, setelah lama menghilang. Rupanya Mangkara telah

menyantap orang yang tadi dicengkeram di kedua kakinya. Setelah kenyang, kini Mangkara kembali menemui majikannya.

"Awas... Kelelawar itu jauh lebih buas... Kita bagi dua..." seru Kerto Mandra ketika melihat kelelawar itu.

Tanpa diperintah dua kali, anak buah Kerto Mandra yang jumlahnya puluhan itu menjadi dua kelompok. Separoh siap menghadapi Kelelawar Iblis Merah, sedangkan yang separoh lain berusaha terus menyerang Warak Kendra.

Warak Kendra tertawa terbahak-bahak saat

melihat kehadiran Kelelawar Iblis Merah.

"Mangkara, tumpas semua kecoa-kecoa busuk itu

Kita tidak ada waktu untuk berlama-lama di sini..."

seru Warak Kendra.

"Cuiiit..."

Kelelawar Iblis Merah bagai mengerti perintah tuannya. Dengan mengeluarkan cuitan keras, binatang buas itu mengepakkan sayapnya, berputar-putar di udara beberapa saat, lalu menukik untuk menyerang dengan sambaran kaki dan kepakan kedua sayapnya.

"Cuiiit.."

"Awas"

Orang-orang Kerto Mandra segera berusaha

mengelakkan sambaran dan tebasan sayap binatang Iblis itu. Mereka serentak merunduk, kemudian membalas dengan tebasan dan tusukan pedang.

Namun rupanya Kelelawar Iblis Merah mengerti.

Sebelum serangan lawan merencah tubuhnya,

tubuhnya telah melesat ke udara.

"Cuit.."

Kelelawar Iblis Merah kembali mengepak-

ngepakkan sayapnya, dan berputar-putar sesaat.

Kemudian kembali menukik untuk menyerang dengan sambaran kaki dan kepakan kedua sayapnya yang mampu mengeluarkan angin besar.

Wusss

Prak

Cras...

Dua orang lawan menjadi korban kepakan sayap Kelelawar Iblis Merah. Seorang dengan wajah tergores menyilang. Seorang lagi dengan kepala pecah, terpukul kepakan sayap.

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah kembali membubung ke angkasa, setelah melakukan serangan. Kemudian setelah berputar di angkasa sekali, tubuhnya menukik kembali untuk menyerang.

"Awas..."

"Serang..."

Anak buah Kerto Mandra semakin nekat Tanpa memperhitungkan baik buruknya, mereka berusaha merangsek kelelawar raksasa itu.

"Yeaaa..."

"Kusate tubuhmu, Kelelawar Iblis..."

Melihat lawan-lawannya merangsek, Kelelawar Iblis Merah bagai mengerti. Secepat kilat tubuhnya melesat ke atas. Setelah serangan mereka lolos, Mangkara menyerang kembali dengan sabetan dan kepakan sayapnya. Hal itu membuat lawan-lawannya yang belum siap harus menerima kenyataan pahit, terbabat dan terhantam sayap Mangkara.

Cras

Prak

Jerit-jerit kematian seketika terlontar susul-menyusul dari mulut mereka. Kemudian tubuh mereka ambruk tanpa nyawa.

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah semakin buas, menyaksikan darah yang keluar dari tubuh korbannya. Binatang iblis itu terus mengepakkan sayap, menghantam kian kemari. Setiap kepakan sayapnya, menghasilkan pekikan kematian dari mulut lawan.

Dalam sekejap saja, korban pun banyak ber-

jatuhan. Mereka tewas dengan keadaan mengerikan.

Wajah mereka tergores menyilang dengan darah meleleh. Ada pula yang kepalanya pecah dan tangan buntung.

Meski begitu, nampaknya pertarungan tak akan segera berakhir. Terlebih Kelelawar Iblis Merah tampak tidak sudi membiarkan seorang lawan pun lolos. Ke mana lawan pergi, kelelawar itu mem-burunya. Hal itu membuat orang-orang Kerto Mandra yang putus asa menjadi nekat. Daripada mati sebagai pengecut, lebih baik mati dalam menghadapi makhluk buas itu. Dengan menghadapi makhluk buas itu, ada kemungkinan mereka dapat mengalahkannya.

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah kembali mencuit keras.

Tubuhnya yang melayang-layang di angkasa, kini kembali menukik. Lalu dengan deras sayapnya menghantam lawan.

"Aaa..."

Kembali pekikan kematian terdengar, disusul ambruknya beberapa korban. Semakin banyak darah yang membasahi sayapnya, semakin buas saja Kelelawar Iblis Merah. Matanya yang laksana api,

kian tajam dan nyalang. Kini tidak hanya sayapnya yang menyerang. Mulutnya yang bertaring runcing pun turut ambil bagian.

Korban di pihak Kerto Mandra tak terhitung lagi.

Bahkan yang menghadapi Warak Kendra tinggal tiga orang, di antaranya Kerto Mandra sendiri.

"Mangkara... Bawa orang ini ke angkasa, lalu buang ke laut.." seru Warak Kendra sambil menunjuk Kerto Mandra. Sedangkan tangan dan kakinya bergerak menyerang dua lawan lain. Serangan cepat itu tak mampu dielakkan oleh kedua lawannya.

Dalam sekejap keduanya pun menjadi korban

serangan ganas Warak Kendra.

"Cuiiit.."

Melihat Kelelawar Iblis Merah siap mencengkeram tubuhnya, Kerto Mandra yang sengaja dibiarkan hidup oleh Warak Kendra menjadi ketakutan. Dengan muka pucat dia bermaksud melarikan diri.

"Ha ha ha... Kejar dia, Mangkara" perintah Warak Kendra sambil tertawa tawa.

"Cuiiitt..."

Tubuh gempal Kerto Mandra pun dicengkeram

kaki Mangkara.

"Tidak... Oh, ampunilah aku," rintih Kerto Mandra berusaha memohon pengampunan.

Namun Warak Kendra tak menggubrisnya. Tangannya digerakkan, menyuruh Kelelawar Iblis Merah membawa tubuh lelaki gendut dan botak itu.

"Ha ha ha... Mangkara, kutunggu kau..."

Kelelawar Iblis Merah membawa tubuh Kerto

Mandra ke udara, melesat menuju selatan.

Sedangkan Warak Kendra yang masih tertawa-tawa, meneruskan langkahnya.

8

"Tolong… Tolooong..."

Dari angkasa, terdengar suara orang berteriak meminta tolong. Saat itu Sena Manggala tengah duduk-duduk di bawah sebatang pohon rambutan sambil meniup Suling Naga Saktinya dan berdendang.

Dia terkejut mendengar lolongan memelas di angkasa. Setelah menghentikan tiupan suling, kepalanya mendongak kian kemari dengan kening berkerut Matanya yang tajam mengawasi ke

sekelilingnya. Dan tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya persis orang bodoh, dengan mulut ternganga mencari asal suara itu.

"Heh, apakah aku tidak salah dengar? Bukankah tadi telingaku mendengar suara orang meminta tolong?" gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya terus mencari ke setiap jurusan.

Namun tidak juga ditemukannya orang yang berteriak tadi.

"Tolooong..."

Jeritan menyayat itu terdengar lagi. Begitu jelas telinga Sena menangkap jeritan itu, tapi saat kepalanya menoleh ke kanan dan kirinya, orang yang menjerit itu tak ditemukannya juga. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.

"Heh, di manakah orang itu?" tanyanya bergumam.

"Cuiiit.."

Terdengar cuitan keras, menyentakkan Sena.

Seketika kepalanya didongakkati ke atas. Dan betapa kagetnya Pendekar Gila, setelah mengetahui kalau orang yang berteriak minta tolong berada dalam

cengkeraman kaki binatang iblis itu.

"Jagat Dewa Batara, rupanya binatang iblis itu kembali membuat keonaran Hm, tentunya Warak Kendra berada di sekitar tempat ini Baik, aku akan mengikuti binatang itu..."

Pendekar Gila menyelipkan Suling Naga Saktinya, kemudian dengan ilmu meringankan tubuh, dia melesat mengikuti arah binatang iblis itu terbang.

"Cuiiit..."

Kelelawar Iblis Merah masih terus terbang. Di kakinya tercengkeram Kerto Mandra yang meronta-ronta dengan wajah pucat pasi

"Tolong... Tolooong..." Kerto Mandra yang semula gagah berani, kini tak lebih dari seorang lelaki yang takut mati. Jiwa pendekarnya hilang, berganti dengan ketakutan yang kian mendera. Wajahnya bagai kehabisan darah. Sedangkan tubuhnya menggigil gemetaran.

Di bawah sana, Pendekar Gila terus berlari dengan cepat. Segenap ilmu larinya dikerahkan, berusaha menyusul binatang iblis yang membawa tubuh Kerto Mandra.

"Edan Jika dibiarkan, korban akan semakin banyak Tentunya Warak Kendra akan mengumbar nafsu Iblis akibat ambisi menguasai rimba persilatan.

Celaka..." maki Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan tetap berlari.

Suara Kerto Mandra yang ketakutan masih

terdengar. Tapi suaranya kini telah berada jauh di depan.

"Hendak dibawa ke mana orang itu?" tanya Sena masih terus berlari. Dia berusaha mempercepat ilmu larinya agar dapat menyusul. Tapi suara teriakan Kerto Mandra dan cuitan binatang itu tetap semakin

jauh.

Pendekar Gila benar-benar ditantang oleh binatang itu untuk berlomba dalam hal kecepatan. Kemudian dengan teriakan menggelegar, Pendekar Gila mengerahkan tenaga dalam untuk mempercepat larinya.

"Yeaaa..."

Kini Pendekar Gila melesat cepat laksana angin.

Kedua kakinya bagai tak menginjak rumput.

Tubuhnya melayang bagaikan terbang. Itulah ilmu lari tingkat tinggi 'Sapta Bayu'.

Dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu', tubuh Pendekar Gila melesat laksana tujuh kekuatan angin.

Tubuhnya menghilang, karena cepatnya. Dalam sekejap saja, dia telah mampu menyusul binatang itu.

"Hendak kau bawa ke mana manusia botak itu?"

dengus Pendekar Gila.

Sesaat kemudian Pendekar Gila tersentak kaget.

Cepat-cepat larinya dihentikan, ketika di depannya telah terbentang lautan lepas.

"Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu dengan membawa manusia botak ke tengah tautan?"

gumam Sena sambil memandangi Kelelawar Iblis Merah yang masih terus terbang membawa tubuh Ke-to Mandra ke tengah lautan

Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyengir, kemudian dengan gelak tawa kakinya melangkah ke arah pesisir. Dengan bersalto di udara, tubuhnya melompat ke lautan

"Yeaaa..."

Kembali Pendekar Gila mengerahkan

kemampuannya. Ketika kakinya menginjak air, dengan cepat Pendekar Gila menyentakkan tubuh ke depan dengan tenaga dalam penuh. Maka tubuhnya

pun meluncur di atas air. Kakinya berlari di permukaan air tanpa tenggelam

Pendekar Gila tersenyum-senyum sambil

menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya yang seperti orang gila, semakin lucu dengan berlari di atas air.

"Ah, apa yang hendak dilakukan binatang iblis itu dengan membawa manusia botak ke tengah lautan?

Pendekar Gila menggaruk kepalanya sejenak. Lalu....

"Yeaaa..." Pendekar Gila mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang begitu sempurna. Maka, tubuhnya mampu berlari di atas permukaan air laut dan mengejar Kelelawar Iblis Merah

"Ha ha ha... Enak juga lari di atas air," katanya sambil terus menggaruk-garuk kepala. Sedangkan matanya terus mengawasi binatang Iblis yang membawa tubuh Kerto Mandra.

"Tolooong..."

Kerto Mandra menjerit ketakutan, ketika Kelelawar Iblis Merah melepaskan cengkeramannya. Tubuhnya yang gemuk itu langsung melayang ke bawah.

"Aaa... Tolooong..."

Byurrr

Kerto Mandra gelagapan. Tubuhnya sebentar

tenggelam, sebentar muncul. Sementara binatang iblis itu berputar-putar di angkasa, kemudian kembali melesat pergi meninggalkan Kerto Mandra yang tengah berjuang mempertahankan selembar

nyawanya.

***

Pendekar Gila menghentikan larinya. Matanya

memandang ke atas, di mana binatang Iblis itu terbang.

"Hm, dia terbang ke arah timur. Baik, nanti aku akan ke sana. Tentunya manusia botak itu tahu, ke mana Kelelawar Iblis Merah itu pergi," gumam Sena.

"Tolooong..."

Tubuh Kerto Mandra yang gemuk itu masih timbul tenggelam di permukaan samudera yang hendak menelannya hidup-hidup.

Meski keduanya pernah bentrok, namun Pendekar Gila yang memiliki jiwa pendekar berusaha me-nolongnya. Dia masih ingat ucapan gurunya, Singo Edan. 'Seorang pendekar, akan berusaha menolong yang lemah. Walau musuh sekalipun'

Ketika tangan Kerto Mandra menggapai ke atas, dengan cepat Pendekar Gila menangkapnya. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalam, ditariknya tangan itu.

"Yeaaat.."

Tubuh Kerto Mandra yang berada di dalam air, seketika tertarik ke atas.

"Oh, terima kasih, Tuan.... Tuan telah menolong nyawa saya. Tanpa Tuan, tentunya saya akan mati,"

kata Kerto Mandra dengan napas tersengal.

"Sungguh saya menyesal pernah menyerang Tuan.

Izinkanlah mulai sekarang saya mengabdi pada Tuan Pendekar...."

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Tangan kirinya yang tidak memegangi tangan Kerto Mandra menggaruk-garuk kepala.

"Sudahlah, tak perlu kau pikirkan semuanya.

Sebagai manusia, sepantasnyalah aku menolongmu yang dalam kesusahan. Sekarang, berpeganglah pada tanganku," ucap Sena kemudian.

Kerto Mandra menurut, dipegangnya tangan

Pendekar Gila. Kini keduanya melesat di atas air. Hal itu membuat mata Kerto Mandra melotot heran bercampur tak percaya menyaksikan kejadian itu.

Baru kali ini dilihatnya seorang manusia berlari di atas air tanpa tenggelam

"Tuan, apakah Tuan ini dewa...?" tanya Kerto Mandra.

Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mendengar

pertanyaan lelaki gendut berkepala botak itu.

Kepalanya digeleng-gelengkan, kemudian dengan masih tersenyum berkata,

"Apakah mungkin dewa masih berbuat salah?"

"Tapi, Tuan..."

"Sudahlah. Siapa pun aku, itu tak penting. Yang pasti, kau harus selamat Hyang Widhi belum mengizinkan kau mati."

Usai berkata begitu, dengan tawa yang menggelegar Pendekar Gila kian mempercepat larinya.

Membuat tubuhnya melesat laksana camar laut Tidak lama kemudian, keduanya sampai di pesisir.

"Ki Kerto Mandra, apakah kau tahu ke mana perginya Warak Kendra dengan Kelelawar Iblis Merah itu...?" tanya Sena setelah membiarkan lelaki gendut itu mengatur napas dan melemaskan otot-ototnya.

"Ya Kudengar mereka hendak ke Perguruan Belibis Putih," jawab Kerto Mandra.

"Hm...," gumam Pendekar Gila. Kemudian dengan tersenyum, tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Tentunya Warak Kendra hendak menuntut balas."

"Sesungguhnya tujuan utama dari manusia Iblis itu bukan membalas dendam," sahut Kerto Mandra, membuat Sena mengerutkan kening.

"Heh, rupanya kau tahu banyak, Ki?"

"Ya."

"Maukah kau menceritakan semua yang kau ketahui, Ki?" pinta Sena.

"Dengan senang hati. Tuan Pendekar. Bukankah tadi sudah saya katakan, bahwa sejak saat ini saya akan mengabdi pada Tuan. Apa pun yang akan saya hadapi, jiwa raga saya akan saya serahkan pada Tuan," tutur Kerto Mandra sungguh-sungguh.

Pendekar Gila tersenyum sambil menggaruk-garuk

kepala.

"Sudahlah, Ki. Tak perlu kau permasalahkan itu.

Ada yang lebih utama, yaitu menghentikan sepak terjang Kelelawar Iblis Merah. Dan ini yang harus kita pikirkan. Nah, ceritakanlah apa yang kau ketahui"

Kerto Mandra menghela napas. Matanya

memandang ke lautan yang membentang di hadapannya. Kalau saja pendekar muda di hadapannya tak menolong, sudah pasti dia telah menjadi santapan penghuni lautan itu sebabnya, meski pendekar muda itu menolak, namun dalam hati Kerto Mandra berjanji akan mengabdi pada pendekar muda yang bertampang gila itu

Sena menunggu dengan sabar. Tangannya tiada henti menggaruk-garuk kepala, membuat Kerto Mandra semakin yakin kalau pemuda di hadapannya adalah pendekar yang namanya belakangan ini tengah melambung. Sungguh pendekar sejati. Meski ilmunya saat ini tiada tanding, tetapi sikapnya tak sedikit pun menggambarkan kesombongan.

"Tuan, sebelum saya menceritakan apa yang telah saya ketahui, bolehkah saya mengajukan satu pertanyaan?" tanya Kerto Mandra.

"Kalau aku bisa menjawabnya, akan kujawab.

Katakanlah."

"Apakah Tuan orang yang disebut sebagai Pendekar Gila?" tanya Kerto Mandra dengan sinar mata kekaguman.

"Ah, terlalu berlebihan berita itu, Ki. Apalah artinya aku yang masih bodoh ini dengan sebutan yang terlalu besar itu..."

Pendekar Gila sesaat menghela napas. Matanya memandang nanar ke laut lepas.

"Tapi baiklah, agar kau tak berprasangka yang

bukan-bukan, kujawab ya. Meski itu hanya dibesar-besarkan orang saja."

"Oh...," Kerto Mandra mendadak bersujud di hadapan Sena. "Ampunilah semua kesalahan saya, Tuan Pendekar. Sungguh beruntung saya dapat bertemu dengan Tuan."

"Ah ah ah.... Sudahlah, Ki. Itulah yang tidak kusenangi dengan nama besar. Aku bukan dewa, tak sepantasnya disembah. Nah, bangunlah. Bukankah kau hendak menceritakan segala sesuatu yang kau ketahui tentang Kelelawar Iblis Merah?"

Kerto Mandra kemudian menceritakan segala

sesuatu yang diketahuinya. Dari pertama kali dia menyelidiki tentang gegernya Kelelawar Iblis Merah yang sering memakan korban, sampai bentrokan dengan Warak Kendra.

"Begitulah.... Sebenarnya Warak Kendra hanya memiliki satu tujuan, yaitu menjadi orang nomor satu di rimba persilatan. Itu sebabnya dia membunuhi para pendekar. Dia belum puas dan belum bisa

menyatakan dirinya sebagai orang nomor satu di rimba persilatan, sebelum mengalahkan Tuan. Dan dia akan terus mencari Tuan," urai Kerto Mandra mengakhiri ceritanya.

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar penuturan Kerto Mandra. Tingkahnya yang seperti orang gila, semakin membuat Kerto Mandra bertambah yakin tentang jati diri pendekar muda itu.

Bahkan Kerto Mandra hampir tertawa, ketika melihat tubuh Sena bergerak seperti seekor monyet sambil menggaruk-garuk kepala.

Beruntung Kerto Mandra ingat, kalau pemuda bertingkah gila itu bukan pemuda sembarangan.

Nama besarnya disegani dan ditakuti. Itulah

sebabnya Kerto Mandra mampu menahan kegeliannya menyaksikan tingkah aneh Sena.

"Lucu.... Lucu sekali," gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tangannya masih menggaruk-garuk kepala. "Mengapa untuk menjadi orang nomor satu di rimba persilatan harus mengalahkan aku? Apalah artinya aku...? Ha ha ha...

Bagaimana menurutmu, Ki?"

Kerto Mandra terdiam ditanya begitu tiba-tiba. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Lelaki gemuk itu hanya mengerutkan kening, membuat mulut Sena kembali tertawa, dan bertingkah seperti seekor monyet

"Seorang pendekar, bukan mencari musuh. Tetapi mencari kawan. Bahkan kalau mungkin, lawan diajak untuk menjadi kawan. Ilmu yang kita miliki, belum seberapa dibandingkan dengan ilmu Hyang Widhi.

Mengapa kita tinggi hati?" gumam Sena.

Tanpa terasa, Kerto Mandra menitikkan air mata.

Hatinya tersentuh mendengar ucapan Sena barusan.

Sungguh kerdil dan sombongnya aku. Gumam Kerto Mandra dalam hati, mengingat segala perbuatannya selama ini.

Kerto Mandra tidak menyangka, kalau pendekar muda itu memiliki jiwa yang luhur. Mulanya dia menyangka, kalau Pendekar Gila tentunya benar-benar gila. Tak memiliki akal dan budi pekerti yang luhur.

"Ki, kita bertarung bukan untuk mencari jati diri atau pemuas dendam. Namun kita bertempur untuk membela harga diri, kebenaran serta keadilan. Sebab semua itu adalah ajaran Hyang Widhi," kata Sena menambahkan

"Apa yang Tuan katakan memang benar...," ujar

Kerto Mandra. "Betapa kerdil dan sombongnya aku selama ini. Tak tahu gunung menjulang, tak mendengar badai berhembus."

"Ah, sudahlah. Kita jangan terlalu bersesal duka.

Kita tak bisa bertopang dagu di sini, Ki. Masih banyak yang mesti kita lakukan," tukas Sena menyadarkan Kerto Mandra yang terhanyut oleh rasa sesalnya.

"Benar, Tuan Pendekar. Kita harus secepatnya ke Perguruan Belibis Putih," jawab Kerto Mandra.

"Tentunya dua Iblis itu telah ke sana."

"Ya, ya.... Tentunya Warak Kendra berusaha melampiaskan nafsu angkara murkanya. Apakah kau telah siap, Ki?" tanya Sena.

"Aku telah berjanji dalam hati, untuk menebus semua dosa dan kepicikanku selama ini."

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Seakan ucapan Kerto Mandra lucu. Tingkahnya kembali seperti orang gila.

"Sebentar lagi matahari tenggelam...," bisiknya tanpa dapat dimengerti oleh Kerto Mandra. Apa hubungannya antara malam dengan bencana yang melanda rimba persilatan dengan munculnya

Kelelawar Iblis Merah? Pikirnya dalam hati.

"Kalau malam sudah datang, lamakah pagi akan datang menerangi bumi ini?" lanjut Sena.

Kerto Mandra tak berkata apa-apa. Dia sama sekali tidak mengerti kata-kata Sena.

"Kita berangkat. Ki," ajak Sena akhirnya. Keduanya meninggalkan pesisir selatan, melangkah ke utara di mana Perguruan Belibis Putih berada. Debur ombak Laut Selatan mengiringi kepergian keduanya dengan gemuruh angin dan tembang camar di angkasa.

***

9

Malam gelap menyelimuti bumi. Tepat di angkasa Perguruan Belibis Putih terdengar suara cuitan memecah malam. Suaranya yang keras, menjadikan semua penghuni bangunan Perguruan Belibis Putih tersentak. Yang telah terbuai mimpi, terperanjat bangun.

"Kelelawar iblis itu telah datang..." seru salah seorang murid Perguruan Belibis Putih, menyentakkan penghuni perguruan.

"Siap pada tempat masing-masing..." perintah salah seorang murid utama.

Semuanya segera bergerak ke tempat pertahanan masing-masing. Rupanya penyambutan kedatangan Kelelawar Iblis Merah telah disiapkan matang-matang.

"Cuiiit.."

Prak

Stupa bangunan Perguruan Belibis Putih hancur, terhantam sayap kelelawar raksasa itu. Puing-puingnya berguguran ke bawah. Gentengnya beterbangan, laksana tersapu angin topan.

Keadaan seketika menjadi kacau. Murid-murid Perguruan Belibis Putih yang berada di bangunan utama lari serabutan untuk menyelamatkan diri.

"Tenang... Semua harus tenang..." terdengar seruan Ratih Puri, Ketua Perguruan Belibis Putih.

"Cuit..."

Binatang raksasa itu kembali mengepakkan sayap,

lalu angin yang ditimbulkan menyapu genteng bangunan utama. Disusul oleh sabetan sayapnya yang menghantam bangunan itu.

Brak

Dalam keadaan kacau, tiba-tiba terdengar gelak tawa membahana. Disusul dengan kehadiran seorang lelaki muda berjubah merah.

"Ha ha ha... Ratih Puri, kuharap kau menyerah dan mau menjadi istriku Kalau tidak, semua murid dan perguruanmu akan kuhancurkan..." ancam Warak Kendra. Kemudian tangannya bergerak meluncurkan selarik pukulan ke bangunan utama.

Wusss

Larikan sinar kuning kebiru-biruan melesat cepat menuju bangunan utama. Dan sebuah ledakan

dahsyat pun tercipta.

Glarrr

Warak Kendra kembali tergelak-gelak, menyaksikan keadaan di tempat itu.

"Serbuuu..."

Bersamaan dengan aba-aba Ratih Puri, melesat puluhan anak panah menghujani tubuh Warak

Kendra.

Swing Swing...

"Ha ha ha... Jangan kalian kira akan semudah itu mengalahkanku Hiaaa..."

Sambil berjumpalitan mengelakkan hujanan anak-anak panah, Warak Kendra mengirimkan pukulan ke arah barisan pemanah. Seketika terdengar pekikan-pekikan kematian dari balik pepohonan yang rimbun.

"Mangkara, hancurkan semuanya..." perintah Warak Kendra pada Kelelawar Iblis Merah.

"Cuiiit.."

Binatang ganas itu tampaknya mengerti perintah

tuannya. Kedua sayapnya dikepakkan, kemudian menukik ke bawah. Lalu kedua sayapnya dihantamkan ke arah bangunan perguruan.

Brak

Atap bangunan itu berantakan. Kayu-kayu

penyangganya berhamburan.

"Seraaang..."

Puluhan murid Perguruan Belibis Putih melesat dari persembunyiannya. Dengan pedang terhunus, mereka serentak menyerang Warak Kendra.

"Bagus Kalian memang harus mampus Heaaat.."

Warak Kendra menggerakkan tangannya untuk

menyerang lawan-lawannya dengan pukulan maut.

Tanpa ampun lagi, tubuh mereka tersapu pukulan itu.

Jeritan-jeritan kematian terdengar susul-menyusul.

Sedangkan di atas, binatang iblis itu terus menghantamkan kedua sayapnya ke arah bangunan.

Membuat bangunan utama hancur berantakan.

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah berputar-putar, kemudian melesat menyentakkan kedua sayapnya ke arah bangunan itu. Bangunan Perguruan Belibis Putih semakin dibuat porak-poranda.

"Cuiiit.."

Tubuh binatang raksasa itu kembali melesat terbang, lalu berputar-putar di angkasa. Kemudian dengan mengepak-ngepakkan sayap, binatang itu kembali melakukan serangan. Tiba-tiba selarik sinar merah menyala menderu dari luar perguruan ke arahnya.

Wusss

"Cuit.." Kelelawar Iblis Merah memekik keras, ketika melihat pukulan yang dilontarkan seseorang.

Niatnya segera diurungkan, lalu melesat kembali ke

angkasa. Tubuhnya berputar-putar di angkasa sambil mengepak-ngepakkan sayap. Sedangkan matanya kini memandang tajam ke arah dua lelaki yang berlari ke arah perguruan.

"Mangkara, ada apa...?" tanya Warak Kendra ketika menyaksikan binatang piaraannya berhenti menyerang.

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras. Kepalanya digerak-gerakkan. Tampaknya binatang itu hendak mengatakan sesuatu.

Belum juga Warak Kendra mengerti sesuatu yang telah terjadi, tiba-tiba dari luar pagar perguruan melenting dua lelaki. Yang seorang pemuda

berpakaian rompi kulit ular, sedangkan seorang lagi bertubuh gemuk dengan kepala botak bertelanjang dada.

"Ha ha ha... Ki, lihatlah.... Rupanya d sini tengah ada pesta. Mengapa kita tidak diundang?" seloroh pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak lain Pendekar Gila

Melihat kehadiran Pendekar Gila, Ratih Puri melompat keluar dari dalam bangunan. Lain halnya dengan Warak Kendra. Bibir lelaki telengas itu malah menyeringai.

"Hm, rupanya Pendekar Gila berada di sini

Kebetulan sekali...," desisnya senang. Kemudian mulutnya kembali mengumbar tawa menggelegar.

Pendekar Gila balas tertawa. Tawanya bahkan lebih keras. Tangannya menggaruk-garuk kepala.

Tingkahnya persis seekor kera

"Ha ha ha... Kisanak, kalau memang hendak mengadakan pesta, mengapa tidak mengundang kami?" tanya Sena masih dengan bertingkah lucu.

"Pendekar Gila, hari ini adalah hari akhir dalam hidupmu Bersiaplah untuk mampus" ancam Warak Kendra lantang, tanpa mempedulikan ucapan

Pendekar Gila.

"Ah ah ah.... Benarkah umurku hanya sampai di sini? Lucu sekali omonganmu, Kisanak. Kau bukan Hyang Widhi, mengapa berani menentukan hidup matinya seseorang? Ha ha ha..."

"Bedebah Aku akan membuktikannya, Pendekar Gila Mangkara, habisi dia..."

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah mencuit keras di udara.

Setelah berputar-putar beberapa kali, tubuhnya melesat dengan sayap mengepak siap menyerang.

"Minggirlah Kalian bantu mereka..." ujar Sena seraya mendorong tubuh Ratih Puri dan Kerto Mandra, ketika binatang buas itu siap menyerangnya.

"Cuit.."

Kelelawar Iblis Merah menukik ketika tubuhnya berjarak satu tombak dari Pendekar Gila. Kedua sayapnya dikebutkan dengan ganas. Sementara Pendekar Gila berguling ke samping, lalu dengan cepat dikirimkannya sebuah pukulan keras ke arah binatang itu.

"Heaaa..."

Begkh

Pukulan Pendekar Gila menghantam telak tubuh binatang itu. Namun pukulan itu bagai tak berarti.

Kelelawar Iblis Merah hanya terdorong beberapa tombak ke belakang. Bahkan binatang iblis itu semakin bertambah beringas.

"Cuittt.."

Kelelawar Iblis Merah kembali melesat ke

angkasa. Tak lama kemudian, menukik kembali untuk

melancarkan serangan susulan.

"Heh, pukulan 'Kera Gila Melempar Batu' tak ada artinya?" desis Sena. Kembali tubuhnya berkelebat mengelakkan serangan binatang yang semakin ganas itu.

Setelah dapat mengelakkan serangan Kelelawar Iblis Merah, Pendekar Gila menghantamkan pukulan

'Si Gila Membelah Awan'.

"Heaaat.."

Debbb

Telak sekali pukulan itu menghantam dada

Kelelawar Iblis Merah. Namun kembali mata

Pendekar Gila harus membuka lebar. Binatang itu ternyata tak mempan oleh pukulan 'Si Gila Membelah Awan'.

Binatang itu kembali melesat ke udara. Setelah berputar sesaat di udara, tubuhnya kembali meluncur ke arah Pendekar Gila.

"Cuiiit.."

"Heaaa..." tubuh Pendekar Gila kali ini turut melesat, berusaha memapak serangan binatang itu.

Tubuh keduanya melesat cepat. Yang satu

menukik dengan kedua sayap siap menyerang, sedangkan yang lain melesat naik dengan jurus saktinya.

"Cuittt.."

'"Si Gila Menggusur Karang'.... Heaaat.."

Darrr

Terdengar ledakan keras, ketika pukulan Pendekar Gila bertemu dengan sayap Kelelawar Iblis Merah, tubuh Pendekar Gila terpelanting ke bawah, sedangkan binatang itu bagai tak mengalami sesuatu apa pun. Padahal pukulan yang baru saja dilontarkan Pendekar Gila, merupakan pukulan utama dari jurus

gila.

"Uhk..." Pendekar Gila mengeluh pendek. "Setan

Binatang itu benar-benar setan"

Belum juga Pendekar Gila siap, binatang iblis itu telah menukik kembali, siap menghancurkan tubuhnya. Pendekar Gila yang baru saja hendak bangkit kontan terkejut. Tak ada waktu lagi untuk berkelit.

Dengan nekat dihantamnya tubuh Kelelawar Iblis Merah itu dengan pukulan saktinya. Pukulan tingkat tinggi yang menjadi salah satu andalannya.

"Pukulan 'Inti Bayu'... Heaaa..."

Angin seketika keluar bergulung-gulung dari telapak tangan Pendekar Gila. Untuk sementara, tubuh Kelelawar Ibhs Merah tertahan.

Pukulan itu sebenarnya mampu menerbangkan

pohon besar sekalipun. Tapi binatang itu seperti tak mengalami kesulitan berarti. Bahkan kini sayapnya dkepak-kepakkan, berusaha menghalau pukulan sakti Pendekar Gila.

"Cuiiit.."

Pendekar Gila tersentak kaget, mendapatkan pukulan saktinya seperti menghantam batu cadas.

Bahkan dapat pula dimusnahkan binatang itu. Kini binatang itu siap melabraknya lagi.

"Celaka..." pekik Pendekar Gila seraya membuang tubuhnya ketika sosok merah mengerikan itu kembali menyambarnya. Tapi binatang raksasa itu tak mau memberi kesempatan. Kepakan sayapnya terus mencecar tubuh lawannya.

Pendekar Gila berguling-guling bagai daun kering ditiup angin, berusaha mengelakkan setiap sambaran sayap binatang itu. Sampai akhirnya, tubuh pemuda itu membentur dinding benteng perguruan.

Kedudukannya kini benar-benar tersudut.

"Celaka..." pekiknya tegang. "Tak ada kesempatan untuk lepas dari serangannya. Yang kumiliki tinggal Suling Naga Sakti."

"Cuit.."

Kelelawar Iblis Merah siap menyerang kembali ke arah Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila melolos Suling Naga Saktinya. Kemudian bergegas ditiupnya tanpa sempat bangkit. Diarahkannya lubang suling ke tubuh binatang itu.

Suara suling itu mulanya merdu, namun semakin lama semakin memekakkan telinga. Dari lubang suling, melesat sinar berwarna merah yang telak menghantam tubuh binatang iblis itu.

Desss

"Cuiiit.." Kelelawar Iblis Merah memekik kesakitan.

Niatnya untuk menyerang diurungkan. Lalu tubuhnya membubung ke angkasa dan menggelepar-gelepar liar di sana.

Melihat usahanya berhasil, Pendekar Gila tak berhenti sampai di situ. Terus ditiupnya suling sakti itu. Kali ini iramanya tak tajam, melainkan mendayu-dayu hingga menyentuh perasaan.

Mendengar irama suling yang ditiup Pendekar Gila, orang-orang yang tenaga dalamnya rendah, seketika terpaku bagai kumpulan patung batu yang menitikkan air mata.

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah terus memekik. Namun pekikannya tidak sekeras semula. Suaranya semakin lama semakin melemah. Perlahan tubuh binatang yang melayang di udara itu mengecil dan terus mengecil. Sampai akhirnya terjatuh dalam wujud aslinya, kelelawar sebesar genggaman tangan

Melihat kelelawarnya dapat dikalahkan, Warak

Kendra seketika murka. Didahului pekikan menggelegar, lelaki berjubah merah itu menyerang Pendekar Gila.

"Hiaaat.."

Tangan Warak Kendra membentang ke samping, kemudian bergantian menyerang tubuh Pendekar Gila. Jari-jari tangannya berdesingan, mencakar ke arah wajah dan dada lawannya. Sedangkan kedua kakinya bergerak menendang dan menyepak.

Mendapat serangan gencar dan bertubi-tubi

seperti itu, Pendekar Gila dengan cepat berkelit.

Digunakannya jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.

Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, untuk mengelakkan serangan-serangan lawan. Meski gerakannya kelihatan lemas dan lamban, tetapi semua serangan yang dilancarkan lawan dengan mudah dapat

dielakkannya.

Merasa serangannya gagal, Warak Kendra

semakin beringas. Jurus-jurus mautnya tak sungkan-sungkan lagi dikerahkan. Tangan kanannya terangkat ke atas dengan jari jari tangan membentuk cakar.

Sedangkan tangan kirinya direntang ke samping dengan jari-jari lurus. Kemudian dengan gerak cepat, Warak Kendra kembali menyerang.

"Kau harus mampus, Pendekar Gila Yeaaa..."

Pendekar Gila tersentak kaget, melihat serangan aneh yang dilancarkan lawannya Dengan cepat dielakkannya serangan itu. Kini dikeluarkannya jurus

'Si Gila Melepas Lilitan'. Tubuhnya bergulung-gulung, dan bersalto ke sana kemari.

Warak Kendra semakin bernafsu untuk segera menjatuhkan orang yang dianggap menjadi peng-halang utama untuk mencapai ambisinya. Serangan-serangannya semakin lama semakin keras dan

gencar. Bahkan....

Degk

Sebuah hantaman tangan kiri Warak Kendra yang cepat, tak dapat dielakkan Pendekar Gila. Pukulan itu telak menghantam punggungnya.

"Ukh..." Pendekar Gila mengeluh. Tubuhnya terhuyung-huyung akibat pukulan itu. Belum lagi siap, kembali sebuah tendangan keras menghantam

punggungnya.

"Hari ini kematianmu, Pendekar Gila Heaaa..."

Begk

"Tuan Pendekar..."

Semua orang dalam kancah pertarungan yang

telah tersadar dari pengaruh Suling Naga Sakti memekik, saat menyaksikan Pendekar Gila terdorong keras akibat tendangan itu. Tubuhnya tersuruk ke depan dan hampir mencium tanah, kalau saja Pendekar Gila tidak segera menguasai keseimbangan tubuhnya.

Di sela-sela bibir Pendekar Gila meleleh darah segar. Matanya berkobar gusar. Rasa sakit yang menderanya benar-benar telah memancing amarahnya. Wajah Pendekar Gila seketika berubah

menyeramkan. Wajah itu berselubung warna merah membara. Dari ubun-ubunnya terpancar sinar ungu.

Semua mata yang ada di tempat itu membelalak lebar, menyaksikan kejadian aneh itu. Bahkan dari mulut Ratih Puri dan Kerto Mandra terdengar gumaman takjub.

"Hyang Jagat Dewa Batara, tidak salahkah penglihatanku?"

Sungguh menyeramkan sekali keadaan Pendekar Gila saat diusik rasa sakit sehingga membuatnya murka. Seakan naga yang terpendam di tubuhnya

menggeliat dengan seluruh pengerahan kekuatan kemurkaan.

"Heaaa..."

Pendekar Gila yang dalam puncak kemarahannya berteriak menggelegar, kemudian tubuhnya melesat ke arah Warak Kendra yang tersentak kaget. Namun Warak Kendra yang merasa dirinya sebagai orang paling sakti setelah menelan mustika Pengubah Raga, segera menyambuti serangan itu.

"Yeaaa..."

Warak Kendra memusatkan pikirannya dan

membayangkan tubuhnya menjadi seekor kelelawar.

Berkat kesaktian mustika yang mendekam di

tubuhnya, seketika dirinya benar-benar berubah menjadi kelelawar raksasa berwarna merah dengan mulut menyeringai, menunjukkan taringnya yang menyeramkan.

Murid-murid Perguruan Belibis Putih tersentak kaget menyaksikan kejadian itu. Mata mereka membelalak ngeri dengan kaki menyurut mundur

ketakutan

"Ilmu iblis..." pekik mereka.

"Rupanya dia benar-benar telah menjadi iblis"

desis Ratih Puri setelah tersentak kaget menyaksikan kejadian yang aneh dan mengerikan itu.

Kedua manusia yang sudah mengerahkan ilmu

pamungkas itu berkelebat. Tubuh mereka bergerak cepat, sulit sekali bagi orang-orang di tempat itu untuk mengikuti gerakan mereka.

"Cuiiit.."

"Yeaaat.."

Pendekar Gila dengan tubuh menyala melancarkan jurus 'Si Gila Menggusur Karang'. Sementara Kelelawar Iblis Merah jelmaan Warak Kendra, kini

mengepakkan kedua sayapnya lebar-lebar. Kemudian menukik untuk melakukan serangan.

Tak ada lagi usaha mereka untuk mengelak.

Keadaan mereka benar-benar dalam ledakan

amarah memuncak. Yang ada di dalam hati mereka hanyalah bertarung untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan hidup lebih lama di alam ini.

Tangan Pendekar Gila bergerak cepat. Direntang-kannya ke samping, kemudian dihantamkan lurus ke arah tubuh kelelawar jelmaan Warak Kendra.

Binatang jejadian itu tak mau kalah. Sayapnya membentang, kemudian mengepak ngepak, siap menampar tubuh lawan

Glarrr

Ledakan dahsyat terdengar. Tubuh Kelelawar Iblis Merah melesat ke atas. Sedangkan tubuh Pendekar Gila terhempas ke tanah dengan keras.

"Cuiiit.."

"Ugkh..."

Keduanya sama-sama mengeluh. Tapi akibat yang berat rupanya dialami Pendekar Gila. Darah seketika menyembur dari mulutnya. Matanya kian membara nyalang. Tubuhnya semakin membara penuh amarah.

Tingkahnya aneh dengan tubuh berguling-guling di tanah, persis seekor monyet yang tengah mabuk.

Kemudian kembali bangkit dengan keadaan yang lebih menyeramkan.

Tubuh Pendekar Gila kini benar-benar membara.

Sinar ungu yang keluar dari ubun-ubunnya semakin berpendar terang. Bahkan kini mengepulkan asap.

Hampir saja kemarahan Pendekar Gila tak

terkendalikan lagi. Tapi tiba-tiba terdengar bisikan sayup-sayup yang hanya dapat ditangkap telinganya.

"Seorang pendekar, akan mampu mengendalikan amarahnya. Berpikirlah yang tenang. Jangan mengumbar nafsu, sebab nafsu adalah iblis Jika pendekar tak mampu mengendalikan nafsunya, berarti dia telah kalah...."

"Guru, maafkan muridmu," desis Pendekar Gila, tersentak.

Dengan cepat Pendekar Gila mengerahkan hawa murni dari kedalaman batin untuk menguasai kemarahan yang membeludak. Setelah kemarahan mengerikan itu surut dalam sekejap, Pendekar Gila segera bersila. Ditariknya Suling Naga Sakti dari ikat pinggangnya.

"Cuiiit.."

Kelelawar Iblis Merah yang tadi berputar-putar di angkasa, melesat cepat ke bawah, untuk melakukan serangan ke arah Pendekar Gila.

Sementara Pendekar Gila segera meniup Suling Naga Saktinya. Diarahkan lubang suling ke tubuh Kelelawar Iblis Merah jejadian yang menukik ke arahnya.

"Cuit, cuiiit.."

Suara suling mengalun mendayu-dayu. Iramanya terasa menyentuh sukma. Menjadikan murid-murid Perguruan Belibis Putih yang ilmunya rendah, kembali menangis tanpa sadar.

Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Saktinya dengan irama mengiba. Itulah ilmu suling 'Pelayung Sukma'. Siapa pun yang mendengarnya akan merasa sedih. Bahkan bisa menangis tersedu-sedu, dan meratap-ratap penuh kesedihan.

Bintang iblis jelmaan Warak Kendra yang hendak menyerang Pendekar Gila, seketika terdiam bagai terkunci di angkasa. Pekikannya yang semula keras,

semakin lama semakin lambat. Kemudian terjadilah sesuatu....

Dari mulut binatang itu, terlontar sebuah batu mustika bersinar merah. Batu itu melesat jauh entah ke mana.

Bersamaan dengan keluarnya batu mustika

Pengubah Raga, perubahan pada Kelelawar Iblis Merah terjadi. Kelelawar itu kembali berubah menjadi sosok Warak Kendra yang tubuhnya hangus terbakar.

Lalu tubuh itu jatuh dengan deras dari atas.

Pendekar Gila menghentikan tiupan Suling Naga Saktinya. Setelah menyelipkan kembali sulingnya di pinggang, dia melakukan semadi untuk memulihkan luka dalam di tubuhnya. Tidak lama kemudian tubuhnya bangkit, lalu melangkah menghampiri Ratih Puri dan murid-muridnya serta Kerto Mandra yang tengah mengerumuni mayat Warak Kendra yang hangus.

"Ha ha ha... Rupanya pesta telah berakhir

Nisanak, saatnya aku mohon pamit. Ki Kerto, mungkin kau bisa membantu membangun kembali Perguruan Belibis Putih ini," ucap Pendekar Gila.

"Tapi, Tuan...," Kerto Mandra hendak berkata, ketika Pendekar Gila telah melesat meninggalkan tempat itu. Kerto Mandra hanya terpaku tanpa sempat melanjutkan kata-katanya.

"Semoga kalian bisa menjadi pasangan yang baik

Ha ha ha..." seru Pendekar Gila dari kejauhan.

"Dasar Pendekar Gila..." sungut Ratih Puri dengan wajah merah padam.

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar