Serial Pendekar Gila bab 03 Dendam Bidadari Bercadar

Serial Pendekar Gila bab 03 Dendam Bidadari Bercadar
Firman Raharja
-------------------------------
----------------------------

Serial Pendekar Gila bab 03 Dendam Bidadari Bercadar

SATU

Malam tergelincir dari peraduannya. Gelap me-nyelimuti bumi. Suasana di Desa Randu Pitu kelihatan sunyi dan lengang. Tidak seperti kemarin, saat pesta pernikahan dua remaja yang berlangsung meriah. Kini suasananya kembali sepi. Tak ada orang berlalu lalang. Hanya desah angin malam yang terasa mencekam, ditambah rasa dingin yang menggigit.

Malam itu, merupakan malam pertama yang indah bagi sepasang pengantin baru. Malam untuk menentukan segalanya. Di mana malam pertama adalah malam awal bagi keduanya untuk mengarungi ke-hidupan baru. Dari masa remaja yang manis, memasuki masa dewasa yang penuh tantangan.

Wulandari duduk di tempat tidur dengan kepala tertunduk malu, tangannya membuka satu persatu pakaiannya.

Lelaki muda tampan dengan pakaian putih lengan panjang berdiri di hadapannya. Di bibir lelaki muda yang bernama Selo, tersungging senyuman. Matanya menatap lekat sang istri yang tengah membuka pakaiannya.

"Kangmas...," desis Wulandari. Perlahan wajahnya ditengadahkan, lalu memandang penuh harap pada sang Suami. Di bibirnya tersungging senyuman pula.

"Diajeng...," ucap Selo seraya melangkah untuk mendekati istrinya.

Sementara itu, sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam rumah mereka yang cukup besar.

Ketika orang yang menyelinap itu melanggar kursi

bambu di ruang depan, keduanya tersentak.

"Siapa itu?" bentak Selo sambil berlari keluar kamar mengejar bayangan tadi.

Belum juga Selo menemukan orang yang me-

nyelinap ke dalam rumahnya, tiba-tiba dari luar terdengar bentakan keras....

"Selo, keluar kau..."

Selo tersentak kaget. Dengan hati bertanya-tanya, kakinya melangkah keluar untuk melihat siapa yang datang.

"Oh, rupanya kalian," kata Selo dengan bibir tersenyum ramah, setelah tahu siapa yang datang.

Tiga orang berwajah angker yang dikenal Selo dengan julukan Tiga Barka Kembar itu berdiri dengan sikap angkuh di depan rumahnya. Ketiganya mengenakan rompi hitam dengan ikat pinggang merah.

Di kepala masing-masing terdapat ikat kepala batik.

"Ada apa Kisanak bertiga datang ke tempatku?"

tanya Selo.

"Masih juga berpura-pura tidak tahu" dengus Barka Sulung dengan mata melotot.

"Rupanya diam-diam kau menyembunyikan Pendekar Gila, Selo Di mana dia sekarang...?"

bentak Barka Panengah. Kemudian tanpa menghiraukan Selo, Barka Penengah dan Barka Bungsu berkelebat masuk ke dalam. Namun tidak lama kemudian, keduanya telah keluar kembali.

"Di mana kau sembunyikan, Selo?" hardik Barka Bungsu seraya tangannya menampar wajah Selo.

Tubuh lelaki muda itu pun sempoyongan lalu jatuh.

"Katakan, di mana kau sembunyikan pemuda gila itu, heh?" kini Barkah Sulung ganti menghardik.

"Pendekar Gila...? Bagaimana mungkin dia ke rumahku?" tanya Selo dengan tangan menyeka darah

yang keluar dari sela bibirnya. Tubuhnya beringsut bangkit.

Plak

Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Selo.

"Aduh..." pekik Selo. Tubuhnya sempoyongan kembali. Sementara tangannya memegangi pipi yang terasa panas. Darah meleleh lagi di sela bibirnya.

"Cepat katakan, di mana lelaki muda bertopeng itu?" bentak Barka Sulung dengan mata melotot.

Sedangkan kedua adiknya mengelilingi rumah Selo untuk mencari orang yang mereka maksudkan. Tidak lama kemudian, keduanya kembali dengan wajah menggambarkan kejengkelan hebat.

"Tak ada juga Rasanya memang bersembunyi di dalam rumah. Atau mungkin disembunyikan oleh dia"

lapor Barka Panengah, membuat kakaknya semakin bertambah marah.

"Seret dia Kalau sampai di tempat kita belum juga mau mengaku, dia akan tahu akibatnya" dengus Barka Sulung.

"Ayo..."

Barka Penengah segera menendang pantat Selo, membuat lelaki muda itu tersuruk mencium tanah.

Namun tiga orang kasar itu tak peduli, kaki mereka terus menendang.

"Jalan cepat..."

"Jangan siksa aku. Sungguh aku tidak tahu," ratap Selo berusaha mengambil hati Tiga Barka Kembar.

Namun nampaknya mereka tidak peduli dengan ucapan Selo. Bahkan mereka semakin beringas.

"Kau tahu apa yang telah dilakukan oleh pendekar berkedok itu, heh?" bentak Barka Sulung. "Dia telah merebut seorang perempuan dari kami. Dan membunuhnya setelah terlebih dahulu diperkosa"

Mata Selo membelalak saat mendengar penuturan Barka Sulung barusan. Padahal dia sering dengar kalau Pendekar Gila tidak pemah melakukan hal-hal tercela.

"Pendekar Gila...?" gumam Selo seakan tidak percaya.

"Ya Sekarang tunjukkan, di mana dia" hardik Barka Sulung.

"Sungguh, aku tidak tahu. Kalau kutahu, sudah dari tadi kukatakan pada kalian," kata Selo berusaha meyakinkan mereka.

""Huh... Masih juga kau menyembunyikannya

Hih..."

Sebuah tamparan keras kembali mendarat telak di pipi Selo. Lelaki muda itu kembali mengeluh kesakitan.

"Sungguh, aku tidak tahu," ratap Selo, hampir menangis karena rasa sakit yang luar biasa di pipinya.

Rupanya jawaban Selo tidak membuat Tiga Barka Kembar percaya begitu saja. Mereka malah semakin marah dan langsung menendang serta memukul lelaki muda itu.

Mendengar ribut-ribut di luar, Wulandari yang masih belum mengenakan seluruh pakaiannya ber-anjak bangun. Dikenakannya kain sebatas dada, kemudian kakinya melangkah keluar untuk melihat keadaan suaminya.

Matanya membelalak ketika menyaksikan suaminya diseret tiga lelaki yang meninggalkan tempat itu.

Rasa kaget yang datang tiba-tiba membuat tangannya mendekap mulut yang memekik tertahan.

"Lepaskan suamiku..." seru Wulandari untuk menghentikan ketiga lelaki yang semakin jauh menyeret tubuh suaminya.

Wanita muda yang cantik itu segera mengejar.

Namun langkah mereka terlalu cepat buatnya.

Sedangkan Wulandari yang gemetaran karena takut suaminya akan mendapatkan celaka, jadi tersendat-sendat dalam mengejar ketiga orang yang menyeret suaminya.

"Tolong... Tolooong..." jerit Wulandari sambil tetap mengejar ketiga orang yang tengah menyeret suaminya.

Beberapa warga Desa Randu Pitu yang mendengar jeritan Wulandari, bergegas keluar dari rumahnya.

Mereka ingin tahu apa yang terjadi pada pasangan pengantin baru itu.

"Ada apa, Wulandari?" tanya kepala desa dengan napas memburu.

"Kakang Selo, Ki... Kakang Selo dibawa oleh tiga lelaki itu," tutur Wulandari terbata-bata.

"Ke mana mereka...?" tanya Kepala Desa Randu Pitu lagi dengan wajah tegang.

"Ke sana. Tolonglah suamiku...," ratap Wulandari sambil menunjuk arah kepergian orang-orang yang membawa suaminya.

Warga Desa Randu Pitu dengan kepala desanya segera mengejar ke arah yang ditunjukkan Wulandari.

Tak lama kemudian, mereka dapat melihat tiga orang yang dimaksud Wulandari.

"Hai, tunggu..." seru kepala desa sambil terus mengejar ketiga orang itu bersama beberapa warga desa. Namun tiba-tiba mereka memekik, manakala puluhan senjata rahasia menderu cepat ke arah mereka.

Zwing, zwing, zwing...

Jlep, jlep, jlep...

"Aaakh..."

Pekikan-pekikan kematian, seketika terdengar membelah kesunyian malam. Diikuti gelak tawa Tiga Barka Kembar yang semakin pongah.

Wulandari ikut memekik menyaksikan kepala desa dan beberapa orang warga yang mengejar telah bergelimpangan jadi mayat. Tapi rasa cinta terhadap suaminya mampu mengalahkan kengerian yang muncul di hatinya. Dengan nekat, kakinya melangkah untuk mengejar kembali.

"Jangan... Lepaskan suamiku Lepaskan..." jerit Wulandari sambil terus berlari.

Wanita muda itu sudah tak peduli pada apa pun.

Tidak peduli pada ketakutannya menyaksikan pembantaian keji di depan matanya. Tak pedulikan resiko kematian yang bisa menimpanya. Bahkan dia tak peduli lagi pada pakaiannya yang yang tidak karuan.

Tangannya menggapai-gapai, berusaha menghentikan tiga orang lelaki berpakaian rompi hitam yang terus menyeret suaminya.

Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam dengan ikat pingang berwarna merah serta ikat kepala batik, tak mempedulikan wanita itu. Ketiganya terus melangkah sambil menyeret tubuh Selo yang mengerang kesakitan.

"Lepaskan aku... Sungguh, aku tak tahu," ratap lelaki muda itu dengan meneteskan air mata. Selo berusaha mengambil hati ketiga lelaki bertampang garang dengan kumis tebal melintang di atas mulutnya.

"Tutup bacotmu, Selo Katakan, di mana Pendekar Gila? Aku yakin, kau tahu di mana dia" desak Barka Sulung.

"Ya Katakan saja, di mana Pendekar Gila "

sambung Barka Bungsu.

"Sungguh, aku tak tahu sama sekali di mana dia...," jawab Selo dengan mimik muka memelas untuk meyakinkan ketiga lelaki yang terkenal kejam itu. "Kunyuk Apa kau kira kami mau dibohongi olehmu, heh? Kami tahu, kalau pendekar muda dan gila itu baru saja bertandang ke rumahmu" hardik Barka Panengah dengan mata melotot. Lalu dengan bengis, kakinya menendang iga Selo.

Dugk

"Aduh..." pekik Selo kesakitan. Tulang iganya serasa remuk akibat tendangan Barka Panengah.

Belum juga hilang rasa sakit di tulang iganya, tangan Barka Sulung telah mencengkeram rambutnya.

"Katakan, di mana Pendekar Gila, heh?" sentak Brka Sulung sambil menjenggut rambut Selo hingga wajahnya terangkat dan memandang ke arah Barka Sulung sambil meringis.

Sementara, di belakang mereka istri Selo terus berlari menuju Tiga Barka Kembar dan suaminya berada. Wanita itu tak menghiraukan keadaan dirinya, sampai-sampai tak menggubris kain penutup tubuhnya yang agak merosot.

Ketika Tiga Barka Kembar melihat hal itu, mata mereka langsung terbelalak. Ketiganya menelan ludah, dengan napas yang mulai turun-naik.

"Ck, ck, ck..."

Tiga Barka Kembar berdecak kagum menyaksikan tubuh istri Selo yang mulus menantang dengan penutup yang sudah tidak karuan.

"Wulan, cepat pergi dari sini…" seru Selo kepada istrinya.

Wulandari yang mengkhawatirkan keadaan suaminya tak mempedulikan seruan sang Suami. Dia terus

berlari menuju tempat itu.

"Lepaskan suamiku Lepaskan..." serunya.

Tiga Barka Kembar yang masih terpesona

menyaksikan tubuh Wulandari, tak menghiraukan jeritan wanita muda yang cantik itu. Ketiganya masih berdecak kagum. Sedangkan kepala mereka menggeleng-geleng.

"He he he... Rupanya istrimu montok sekali, Selo...," ujar Barka Sulung sambil memandang tiada henti pada tubuh Wulandari. "Sungguh kau lelaki yang pintar, Selo."

"Ya Kau pintar sekali menyuguhi kami, Selo,"

sambung Barka Panengah. Dia pun tak henti-hentinya berdecak kagum.

"Ayo, Kakang. Mengapa kita harus menunggu?"

ajak Barka Bungsu pada kedua kakaknya untuk segera memburu mangsa empuk yang akan membawa mereka ke puncak kenikmatan.

"Kalian berdua tangkap kelinci manis itu. Biar aku yang menangani si Selo," kata Barka Sulung pada kedua adiknya.

Tanpa diperintah dua kali, Barka Bungsu dan Barka Panengah segera meninggalkan sang Kakak untuk memburu Wulandari yang masih berlari ke arah mereka.

"Ayo, Kakang. Kita berlomba Siapa cepat, dia yang akan mendapatkan bagian lebih dahulu..." tantang Barka Bungsu seraya menggenjot kaki dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya.

"Ayo... Heaaa..."

"Hiyaaa..."

Kedua Barka bersaudara itu memacu larinya, berusaha saling mendahului. Keduanya sampai di depan Wulandari bersamaan, kemudian dengan

cepat tangan mereka meraih tangan kanan dan kiri Wulandari.

"Lepaskan... Kalian bajingan Lepaskan..."

Wulandari terus berusaha melepaskan cengkeraman tangan kedua lelaki yang kini tertawa tergelak-gelak.

Tangan kedua lelaki itu bergerak nakal, menjamah tubuh Wulandari dengan semena-mena.

"Auh... Kurang ajar..." maki Wulandari penuh kebencian. Matanya memandang penuh amarah ke arah dua lelaki yang kurang ajar itu.

***

"Ha ha ha... Kau semakin menyenangkan jika marah, Manis," goda Barka Panengah. Tangannya kembali bergerak nakal.

"Tidak Kakang, tolooong..." teriak Wulandari sambil terus memberontak. Sesekali tangannya memukul tangan kedua lelaki kasar itu.

"Lepaskan Jangan ganggu istriku" seru Selo, mengharap kedua Barka bersaudara itu tidak meneruskan tindakan mereka. Namun keduanya bahkan semakin menjadi-jadi. Selo hendak lari, tapi sebuah hantaman keras membuatnya limbung dan jatuh.

Degk

"Ukh..." keluh Selo.

"Mau lari ke mana kau?" ujar Barka Sulung sinis.

Sementara, Barka Bungsu dan Barka Panengah yang sudah tidak tahan melihat tubuh Wulandari, tidak mau membuang-buang waktu lagi. Barka Panengah berkelebat cepat. Di tangannya tergenggam dua butir pil. Tangan kirinya mencengkeram keras tangan Wulandari.

"Auh..." pekik Wulandari. Pada saat itu, dengan cepat tangan kanan Barka Sulung menyumbat mulutnya, membuat pil yang ada di tangannya tertelan Wulandari.

"Auh, tidak"

Barka Sulung dan Barka Panengah tergelak-gelak, menyaksikan Wulandari sempoyongan. Pandangan wanita cantik itu berkunang-kunang.

"Oh..." keluh Wulandari. Tangannya memegangi kepalanya yang terasa pening. Pandangan matanya mengabur dan tubuhnya terasa amat lemah. Akhirnya, tubuh wanita itu jatuh terkulai di tanah.

"Ha ha ha... Akhirnya kita dapat menunduk-kannya," kata Barka Panengah sambil tertawa-tawa bersama adiknya.

"Semuanya telah beres, Kakang Tak sabar aku rasanya...," gumam Barka Bungsu sambil melangkah hendak mendekati tubuh Wulandari yang terkulai. Dia hendak melakukan sesuatu, tapi tiba-tiba Barka Panengah mencegahnya...

"Tunggu..."

"Ada apa lagi, kakang?" tanya Barka Bungsu dengan nada tak senang. "Bukankah semuanya telah beres? Mengapa kita harus membuang-buang

waktu?"

"Aku yang pertama. Sebab aku yang men-dapatkannya"

Barka Bungsu menghela napas. Matanya

memandang tidak senang. Namun akhirnya kakinya melangkah mundur, membiarkan kakaknya mendekati tubuh Wulandari.

"Hai, tunggu..."

Belum juga Barka Panengah melakukan sesuatu, terdengar Barka Sulung membentak. Hal itu membuat

Barka Panengah mengurungkan niatnya untuk melampiaskan nafsu pada Wulandari. Dengan

bersungut-sungut, kakinya melangkah mundur.

"Aku yang tertua. Akulah yang pertama," kata Barka Sulung sambil melangkah mendekati tubuh Wulandari. Matanya memandang penuh nafsu pada tubuh yang terkulai tanpa daya itu. Kepalanya menggeleng-geleng.

"Ck, ck, ck... Tidak kusangka, di Desa Randu Pitu ini ternyata ada gadis secantik dan sebahenol ini."

Barka Sulung melangkah semakin dekat. Dia baru hendak membuka pakaiannya, ketika tiba-tiba terdengar gelak tawa menggelegar. Disusul oleh makian keras penuh ejekan.

"Ha ha ha... Sungguh tidak tahu malu Itukah orang-orang yang menamakan dirinya Tiga Barka Kembar?"

Tiga Barka Kembar tersentak mendengar suara itu.

Dengan wajah merah karena marah, ketiganya segera memandang ke asal suara. Kemudian dengan gusar, Barka Sulung yang mengurungkan niatnya memperkosa Wulandari membentak..

"Bangsat Siapa kau...?"

"Ha ha ha... Rupanya kalian masih punya nyali, berani membentakku..." kembali terdengar suara lelaki menggema. Nadanya terdengar sinis.

"Pengecut Kalau kau lelaki, tunjukkan tampangmu Hadapi kami, Tiga Barka Kembar..." seru Barka Panengah marah, mendengar ejekan sinis itu.

Matanya dengan tajam menyapu ke sekeliling tempat itu.

"Kalianlah yang pengecut Beraninya hanya dengan orang lemah Di mana nama besar kalian?"

"Bangsat Katakan, siapa kau dan tunjukkan

rupamu Kuhancurkan batok kepalamu" maki Barka Bungsu tak kalah sewot dibandingkan kedua kakaknya. Napasnya mendengus turun naik. "Kaukah yang bernama Pendekar Gila?"

"Ha ha ha... Rupanya pendengaran kalian cukup tajam Ya, akulah Pendekar Gila," sahut pemilik suara dengan nada penuh kesombongan.

"Bedebah Apakah kau kira kami takut meng-hadapimu, Pendekar Gila" tantang Barka Sulung.

"Tunjukkan tampangmu Biar korobek mulut besarmu" sambung Barka Panengah dengan tangan mengepal. Sementara gigi-giginya saling beradu, menandakan kemarahannya. Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu dengan penuh kebengisan.

"Ayo... Tunjukkan dirimu, Pemuda Sombong"

bentak Barka Bungsu, tidak tinggal diam. Seperti kedua kakaknya, dia pun merasa marah dihina begitu rupa. Napasnya mendengus dan matanya tajam menyapu ke sekelilingnya.

DUA

Suara gelak tawa menggema kembali terdengar di sekeliling tempat tersebut. Suara itu seperti berada di mana-mana. Membuat Tiga Barka Kembar

kebingungan untuk menentukan tempat orang itu berada.

"Apakah kalian sudah siap menghadapiku, Manusia-manusia Pengecut?" tanya suara itu dengan penuh kesombongan. Diikuti gelak tawa yang tiada henti-hentinya. Membuat Tiga Barka Kembar semakin marah karena merasa dihina begitu rupa.

"Kurang ajar Apakah kau kira kami takut meng-hadapimu, Pendekar Gila? Kami memang ke sini untuk mencarimu Untuk mencoba sampai di mana kehebatan ilmumu yang diagung-agungkan itu

Keluarlah Hadapi kami" tantang Barka Sulung.

Tak terdengar jawaban.

Ketiga lelaki berpakaian rompi hitam itu semakin gusar. Dengan penuh amarah, ketiganya

melancarkan pukulan jarak jauh ke sekitar tempat itu.

"Yeaaa..."

"Heaaa..."

"Yiaaa..."

Tiga sinar berwarna merah, kuning, dan biru menderu dari tangan Tiga Barka Kembar.

Glarrr

Brakkk

Duarrr

Terdengar ledakan-ledakan dan derak pepohonan yang tumbang. Namun mereka belum juga dapat

menemukan asal suara itu. Bahkan terdengar gelak tawa kembali, diikuti oleh seruan mengejek....

"Sudah kukatakan, kalian bukan apa-apa bagiku

Jangankan kalian, guru kalian si Kempala bodoh itu pun tak akan sanggup menghadapiku"

Semakin memuncak kemarahan Tiga Barka

Kembar ketika mendengar nama guru mereka di-remehkan begitu rupa. Kalau nama mereka, mungkin amarah mereka masih bisa ditahan. Tetapi pemilik suara itu telah keterlaluan dengan menghina guru mereka.

"Bedebah Tutup mulutmu Tunjukkan wujudmu, biar korobek mulutmu yang sombong itu..." bentak Barka Sulung disertai dengus kebencian, serta amarah yang meluap-luap.

"Kurang ajar Sudah kelewatan mulutmu, Pendekar Gila Tunjukkan mukamu, Monyet Jangan sampai kami hilang kesabaran" timpal Barka Panengah dengan mata membelalak marah.

"Akan kuhancurkan batok kepalamu yang sombong Ayo, jangan hanya bersembunyi Keluarlah... Hadapi Tiga Barka Kembar" sentak Barka Bungsu.

"Baik Agar kalian tak penasaran, aku akan menampakkan diriku Meski kalian tak ada artinya sama sekali bagiku Nah, bersiaplah menyambut-ku..."

Usai ucapan sombong itu terdengar, tiba-tiba terdengar suara laksana ribuan tawon terbang. Tidak lama kemudian, di hadapan Tiga Barka Kembar telah berdiri sesosok lelaki muda dengan senyum sinis mengembang di bibirnya.

Pemuda itu berbaju lengan panjang warna kuning.

Rambutnya gondrong, dengan ikat kepala warna

gading. Sedangkan ikat pinggangnya berwarna hijau daun. Wajah pemuda itu tertutup oleh sebuah topeng berhidung besar warna merah, hingga kelihatan buruk.

Mata Tiga Barka Kembar menyipit, untuk

mengawasi lelaki muda yang berdiri di hadapan mereka. Diperhatikannya dengan seksama pemuda itu dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Begitukah kelakuan seorang pendekar yang namanya akhir-akhir ini membubung tinggi?

Pengecut Tak berani menunjukkan mukanya yang buruk" ejek Barka Sulung dengan senyum sinis.

"Sudah kukatakan, tak ada gunanya kalian bagiku

Untuk apa aku harus menunjukkan mukaku...?" kata pemuda bertopeng itu, sambil bersedakap, mencerminkan keangkuhan dirinya.

Nada suaranya yang sinis dan sangat dingin, membuat Tiga Barka Kembar semakin geram. Mereka benar-benar merasa direndahkan oleh pemuda bertopeng itu.

"Kurang ajar Rupanya kau benar-benar sombong, Pendekar Gila Jangan kau kira kami takut dengan nama besarmu Baik, bersiaplah..." tantang Barka Panengah yang sudah tidak sabar lagi. Ucapan pemuda bertopeng itu dirasakan sangat menggigit perasaan dan membuat telinganya panas.

"Ha ha ha..." pemuda bertopeng yang mengaku Pendekar Gila itu tertawa bergelak. "Hm, ternyata cecurut tanah sepertimu masih berani unjuk gigi

Sobat, apakah ucapanmu telah kau pikirkan lebih dulu...?"

"Bedebah Kau boleh berkoar sesuka hati, sebelum kurobek mulutmu" dengus Barka Bungsu dengan tangan mengepal keras. Gigi-giginya saling

beradu, menimbulkan suara gemeretak keras.

"Auh, apakah kau kira mudah merobek mulutku, Sobat?" tanya pemuda bertopeng dengan suara tak berubah, sinis dan dingin serta merendahkan lawan

"Apakah tidak akan terjadi sebaliknya...?"

"Banyak omong... Serang..." seru Barka Sulung, memerintah kedua adiknya sambil menggerakkan tangan.

"Heaaa...

"Ceaaat.."

Tiga Barka Kembar yang sudah dilanda amarah, seketika melompat ke depan dan mengurung

pemuda bertopeng yang masih tertawa-tawa.

Sepertinya, dia benar-benar memandang remeh ketiga lawannya. "Mengapa tidak sekalian gurumu, si Kempala tolol itu?" ejek pemuda bertopeng itu, Untuk yang kedua kalinya, Tiga Barka Kembar tersentak mendengar nama guru mereka dilecehkan pemuda yang kini dalam kurungan mereka. Mata Tiga Barka Kembar melotot bengis pada pemuda

bertopeng yang masih tergelak-gelak.

"Bangsat Kau benar-benar mencari mampus

Heaaa..."

***

Tubuh Tiga Barka Kembar bergerak cepat.

Ketiganya berputar laksana angin puting beliung.

Tangan dan kaki mereka bergantian menyerang dengan pukulan dan tendangan.

"Ha ha ha... Jurus kuno seperti itu masih kalian pakai saja," ejek lawannya sambil melenting ke udara, untuk mengelitkan serangan Tiga Barka Kembar.

"Sombong Rupanya mulutmu memang besar,

Pendekar Gila" bentak Barka Sulung dengan dengusan penuh amarah. Mereka segera memburu ke arah pemuda bertopeng.

"Kurobek mulutmu Heaaa..."

"Patah kakimu, Pendekar Gila. Yeaaa..."

Tiga Barka Kembar terus merangsek lawan dengan jurus 'Elang Menyambar dan Mematuk Mangsa'.

Tangan mereka laksana cakar dan paruh burung elang. Menyambar dan mematuk dengan cepat dan keras.

"Heaaa..."

Pemuda bertopeng itu melenting ke angkasa, kemudian dengan cepat kedua kakinya bergerak hendak menjejak tangan ketiga lawan yang mencakar ke atas.

Melihat pemuda bertopeng hendak menjejakkan kaki ke tangan mereka, secepat kilat ketiga lelaki berpakaian rompi hitam mengubah serangan. Tangan kanan yang mencakar ke atas, dengan cepat ditarik.

Disusul satu sabetan tangan kiri menebas dada lawan.

"Yeaaat.."

Tiga tangan menyabet bersamaan. Kalau saja pemuda bertopeng itu tidak segera melompat kembali ke atas, sudah tentu kakinya akan patah terhantam ketiga tangan berisi tenaga dalam itu.

"Hebat Rupanya jurus 'Elang Menyambar dan Mematuk Mangsa' yang kalian miliki cukup

sempurna Namun kalian jangan bangga dulu...

Sebab jurus yang baru saja kalian keluarkan, sama sekali bukan jurus yang berarti bagiku" ejek pemuda bertopeng.

"Jangan banyak omong Hiaaat..." bentak Barka bungsu sambil merangsek maju. Sepasang tangannya

bergerak bergantian. Tangan kanan mencakar, disusul tangan kiri yang menyabet.

Melihat adiknya terus menyerang, Barka Sulung dan Barka Panengah tak mau tinggal diam. Keduanya segera bantu menyerang dengan jurus yang sama.

Hingga lawan yang diserang harus menguras tenaga untuk bersalto dan melompat mengelakkan serangan ketiganya yang keras dan cepat

"Hm, sayang sekali.... Sayang sekali kalian berhadapan denganku," gumam pemuda bertopeng dengan nada sinis. "Kalau saja kalian menghadapi lawan ingusan, tentunya kalian sudah menang. Tapi aku bukanlah bocah ingusan, Kawan. Tak ada artinya jurus yang kalian keluarkan"

Sombong benar kata-kata pemuda bertopeng itu.

Sepertinya ketiga lawan yang tengah menyerangnya, tidak berarti baginya. Padahal Tiga Barka Kembar adalah nama yang cukup disegani di rimba persilatan.

Ilmu mereka pun bukan ilmu rendahan. Mereka telah membuktikannya dengan sejumlah korban yang tewas di tangan mereka.

Tapi pemuda bertopeng itu hanya memandang sebelah mata pada Tiga Barka Kembar. Dengan seenaknya menghina jurus-jurus ketiga lelaki berompi hitam yang menyerangnya. Malah dia sengaja hanya mengelak, tidak mau balik menyerang.

Dengan penuh kemarahan, Tiga Barka Kembar tanpa banyak kata lagi terus melancarkan serangan-serangan pada lawan. Mereka secepatnya berusaha menjatuhkan pemuda itu. Dan kalau perlu, mencabik-cabik mulutnya yang sombong dan lancang menghina mereka.

"Hiaaat.."

"Jebol perutmu, Pemuda Sombong..." hardik Barka

Panengah sambil mencakar ke perut lawan.

"Uts... Kurang tepat, Kawan"

Kembali pemuda bertopeng itu mengejek.

Tubuhnya mengelit ke samping. Kemudian tangan kirinya menepis serangan lawan. Sedangkan tangan kanannya menghantam ke muka lawannya.

Serangan yang dilakukan pemuda bertopeng itu sangat cepat, membuat Barka Panengah terkejut mendapat serangan yang tak terduga itu. Cepat-cepat tubuhnya dirundukkan ke bawah, mengelakkan serangan cepat yang dilancarkan lawannya.

"Gila..." pekiknya seraya menunduk rendah.

Pukulan tangan lawan menderu beberapa rambut di atas punggungnya.

Melihat lawannya dapat mengelakkan pukulannya, pemuda bertopeng tak berhenti sampai di situ. Kaki kanannya kini menendang dengan cepat dan keras.

"Heaaa..."

"Celaka..." desis Barka Sulung dan Barka Bungsu hampir bersamaan. Mereka terkejut menyaksikan saudaranya terdesak hebat oleh serangan yang dilancarkan pemuda bertopeng.

"Kakang, kita harus membantunya..." seru Barka Bungsu seraya melesat ke arah pemuda bertopeng.

Tujuannya untuk menyelamatkan kakaknya yang kini dalam bahaya dengan memancing pemuda bertopeng agar perhatiannya beralih ke arahnya. Sehingga sang Kakak dapat terbebas dari serangan lawan.

Apa yang diusahakannya mendapatkan hasil. Kini, perhatian pemuda bertopeng beralih padanya.

Termasuk mengalihkan serangannya pada Barka Bungsu.

"Rupanya kau dulu yang ingin kuhajar" bentak pemuda bertopeng seraya mempercepaat serangan.

"Heaaa..."

Tubuh pemuda bertopeng itu melesat ke atas, kemudian menukik ke bawah setelah mencapai ketinggian yang cukup. Sepasang tangannya bergerak lincah. Satu menyerang dengan pukulan, yang lain menyambar dengan sabetan yang keras. Gerakan kedua tangan itu sangat cepat, hingga merepotkan Barka Bungsu yang membelalakkan mata.

"Celaka... Kakang, bantu aku..." seru Barka Bungsu sambil berusaha mengelakkan serangan-serangan lawan yang cepat, keras dan bertubi-tubi.

"Kau harus kulumpuhkan Heaaat.."

Pemuda bertopeng dengan cepat menghantamkan tangannya ke dada lawan. Sehingga, Barka Bungsu yang terdesak tak mampu lagi mengelak.

Degk

"Ukh..."

Barka Bungsu mengeluh tertahan. Tubuhnya

seketika sempoyongan ke belakang. Tangannya memegangi dada yang terasa sakit akibat pukulan telak itu. Dari bibirnya meleleh darah kental.

"Bungsu..." pekik Barka Sulung sambil memburu ke arah tubuh adiknya yang terpelanting ke tanah dengan luka dalam.

***

Melihat adiknya terluka dalam, Barka Sulung dan Barka Panengah semakin marah. Mata keduanya melotot penuh kebencian pada pemuda bertopeng yang masih tertawa penuh kemenangan.

"Bangsat Kau telah melukai adikku Kubunuh kau, Pendekar Gila Heaaat.."

Barka Sulung berteriak melengking, tubuhnya

kembali berkelebat cepat menyerang pemuda bertopeng itu.

"Percuma kalian melawan" kata pemuda itu seraya mengelak. Kemudian pemuda berbaju kuning itu balas melakukan serangan yang kencang dan cepat. Angin pukulannya menderu keras, menyentakkan Barka Sulung.

Melihat kakaknya dalam ancaman, Barka

Panengah tidak tinggal diam.

"Kakang, cepat menyingkir Biar kuhancurkan dia

Yeaaa..."

Barka Panengah menghantamkan pukulan

saktinya ke arah pemuda bertopeng. Namun dengan cepat, lawannya berkelit. Kemudian setelah lolos dari serangan tadi, dia balik menyerang dengan pukulan-pukulan cepat ke arah Barka Panengah.

"Yeaaa..."

Barka Panengah tersentak kaget, ketika melihat tangan lawan membara laksana api dan bergerak cepat ke arahnya.

Menghadapi keadaan genting seperti itu, Barka Panengah segera mencabut senjatanya dari balik rompi. Di tangannya kini tergenggam sebilah trisula.

Barka Panengah dengan cepat berusaha menusukkan trisulanya, namun tangan lawan ternyata lebih cepat menangkap tangannya.

Tap

Krak

"Akh..." Barka Panengah memekik keras, ketika tangannya dipatahkan. Matanya membelalak dan mulutnya meringis menahan rasa sakit. Wajahnya pucat pasi laksana tak berdarah.

"Apa kataku? Kalian tidak lebih cecurut tanah

Cepat minggat dari hadapanku, sebelum kesabaran-

ku hilang" bentak pemuda bertopeng mengancam.

Tiga Barka Kembar merasa kalau mereka tak akan mampu menghadapi pemuda yang disangka

Pendekar Gila itu. Dan dengan beringsut, mereka meninggalkan tempat itu disertai ancaman....

"Pendekar Gila, kali ini kami memang kalah Tapi nanti kami akan mengadakan perhitungan denganmu"

Pemuda bertopeng tertawa gelak mendengar

ancaman mereka. Lalu pandangannya beralih ke arah Wulandari yang terduduk lemas dan mata yang memandang penuh harap akan pertolongan pemuda itu.

Pemuda bertopeng tertawa, kemudian kakinya melangkah ke arah Wulandari yang masih terduduk lemas. Dibukanya topeng penutup mukanya. Kini nampaklah seraut wajah tampan namun penuh kebengisan.

Wulandari mengerutkan kening lalu menyurut mundur, manakala tangan pemuda itu membelai dagunya.

"Kau cantik sekali, Nyi. Hm...."

Pemuda tampan itu dengan cepat merengkuh

tubuh Wulandari yang seketika berteriak...

"Lepaskan aku Oh, lepaskan..."

Bagaikan kehausan, pemuda tampan itu tak

menghiraukan teriakan Wulandari. Bahkan teriakan wanita itu dianggapnya sebagai ungkapan memohon.

Pemuda itu terus menggeluti tubuh Wulandari, melampiaskan gejolak nafsu binatangnya. Begitulah kenyataan hidup. Seringkali muncul orang-orang bermuka dua. Suatu saat mengumpat kekotoran yang dilakukan orang lain. Dan pada saat lain, dia berpesta pora dengan kekotoran dirinya.

Ketika semuanya terjadi, Wulandari hanya

menangis, sedangkan pemuda tampan itu tersenyum sambil mengenakan pakaiannya kembali.

"Seharusnya kau gembira berkenalan denganku, Pendekar Gila yang namanya tersohor."

Usai berkata begitu, pemuda yang mengaku

sebagai Pendekar Gila itu melesat pergi setelah menghantamkan pukulan dahsyat ke tubuh Selo hingga hancur.

"Kakang..." pekik Wulandari, menyaksikan suaminya menggeletak tanpa nyawa.

Wulandari langsung menghampiri tubuh suaminya yang hancur terhantam pukulan maut pemuda mengaku sebagai Pendekar Gila. Wanita muda dan cantik tapi malang itu menangisi kematian suaminya yang mengenaskan.

"Pendekar Gila keparat" makinya penuh dendam di antara isak tangis.

Tak ada lagi keindahan yang dapat dibayangkan dari pernikahannya. Bulan madu yang seharusnya begitu berkesan, kini hilang sudah. Bahkan keperawanannya telah direnggut oleh manusia laknat tak berperasaan. Mungkin tindakan Tiga Barka Kembar bisa agak dimaklumi, karena mereka memang orang-orang sesat. Tapi perbuatan Pendekar Gila yang katanya selalu membela orang lemah, sangat sulit dilupakannya.

Kebenciannya pada para pendekar, terutama pada Pendekar Gila, tercermin pada matanya yang membara berlinang air mata. Tangannya mengepal, kemudian memukul-mukul tanah yang ada di

hadapannya sambil berteriak sejadi-jadinya.

"Kakang, izinkanlah aku membalas semuanya

Akan kutaklukkan semua pendekar Akan kutakluk-

kan mereka, terutama Pendekar Gila Akan kucabut jantung dan kemaluan mereka, kuremas hancur seperti tubuhmu. Akan kupersembahkan semua untukmu"

Usai bersumpah begitu, Wulandari bangun dari sujudnya. Melangkah tertatih-tatih dengan tubuh letih, meninggalkan tempat itu.

Fajar menyingsing di ufuk timur, mengiringi kepergian wanita yang di dadanya tersimpan dendam membara. Dendam pada orang-orang persilatan, terutama Pendekar Gila yang telah menghancurkan hidup dan masa depannya.

TIGA

Pagi masih belum begitu terang. Cahaya matahari baru saja menyingsing, mengabarkan pada makhluk malam bahwa hari baru telah datang lagi. Hewan-hewan mendendangkan tembangnya masing-masing, menciptakan kedamaian kecil dalam dunia yang hingar-bingar.

Seorang wanita dengan wajah pucat dan terlihat letih, berjalan tertatih. Sesekali langkahnya terhenti bersama erangan menahan sakit. Wanita muda berpakaian kebaya layaknya wanita desa itu adalah Wulandari. Sejenak matanya memandang nanar ke arah matahari terbit di ufuk timur.

"Kakang, mampukah aku mengalahkan mereka?

Mampukah aku mengalahkan Pendekar Gila?"

keluhnya sambil menyapu keringat yang membasahi keningnya. Dihelanya napas panjang-panjang.

Kemudian dengan mencoba menguatkan langkahnya, Wulandari kembali meneruskan perjalanannya.

Baru beberapa tindak Wulandari melangkah, tubuhnya terkulai pingsan. Dia masih terlalu lemah setelah menjadi korban nafsu pemuda yang mengaku Pendekar Gila.

Tak berapa lama kemudian, dari arah timur tampak seorang wanita tua dengan tubuh terbungkuk berjalan menuju tempat Wulandari pingsan.

Wanita tua yang bungkuk itu terus melangkah.

Tiba-tiba langkahnya berhenti. Matanya yang keriput, semakin menyipit menyaksikan sesuatu tergeletak di jalanan. Diamatinya dengan seksama apa yang

tergeletak di jalanan itu.

"Weleh, rupanya seorang wanita muda. Heh, kenapa dia?" tanyanya terheran-heran. Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk wanita tua itu mendekati tubuh Wulandari yang tergeletak pingsan.

Diamatinya kembali tubuh wanita muda itu dengan seksama.

"Hm, kasihan.... Sepertinya dia tengah menghadapi tekanan batin," gumamnya prihatin. Lalu wanita itu jongkok. Telapak tangannya diulurkan untuk meraba dada wanita muda itu. "Masih hidup. Dia hanya pingsan."

Dibolak-baliknya tubuh wanita muda yang pingsan itu beberapa kali. Sepertinya dia berusaha mengetahui sesuatu pada tubuh Wulandari.

Kepalanya mengangguk-angguk. Sedangkan mulutnya tersenyum. Dia seakan senang terhadap wanita muda itu.

"Hm, tak ada jeleknya dia kuangkat menjadi murid.

Ah, biarlah masalah Pendekar Gila itu. Toh antara aku dan dia tak ada apa-apa. Tak ada silang sengketa."

Diangkatnya tubuh Wulandari dengan mudah, bagai mengangkat gulungan kapas. Nenek itu kini berlari kembali ke arah timur dengan memanggul tubuh Wulandari.

Nenek itu semakin cepat berlari. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah jauh meninggalkan tempat semula.

Wanita tua itu bernama Nyi Kendil. Dia terus berlari dengan membawa tubuh Wulandari

menerobos hutan. Larinya sangat kencang, sangat tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya yang bungkuk dan tampak renta. Begitu kencangnya dia berlari, sampai-sampai tubuhnya laksana terbang, dan kedua

kakinya bagai tak menjejak tanah.

Nyi Kendil baru berhenti berlari ketika tiba pada sebuah gua di lereng bukit yang dikelilingi pepohonan lebat. Sesaat matanya menyapu ke sekeliling, berusaha memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya.

Setelah yakin kalau di sekelilingnya tak ada orang lain, wanita tua itu melesat menuju mulut gua.

Kemudian hanya dengan menggunakan tangan kiri, didorongnya pintu gua dari batu yang ditumbuhi lumut dan rerumputan hingga sekilas tak tampak kalau di situ ada gua. Hal itu menunjukkan tingkat tenaga dalam Nyi Kendil yang sangat tinggi.

Kaki Nyi Kendil melangkah masuk lalu menyusuri lorong gua itu. Akhirnya tubuhnya berhenti di depan sebuah dinding gua. Tangan kirinya ditempelkan ke dinding itu, lalu mendorongnya....

Srrrt

Dinding gua yang semula nampak tak bercelah, kini bergerak membuka. Ternyata di baliknya ada sebuah kamar lebar dengan sebuah tempat tidur dari batu datar sepanjang dua depa dan selebar satu depa. Di tempat itulah tubuh Wulandari dibaringkan.

Dipandanginya tubuh Wulandari yang masih dalam keadaan pingsan dengan kepala mengangguk-angguk. Entah mengapa, wanita tua bungkuk yang sudah berpuluh tahun menghilang dari dunia persilatan itu keluar lagi dari persembunyiannya.

Kemudian, kakinya melangkah ke arah dinding gua sebelahnya yang ada di depan ruangan di mana Wulandari tiba.

Tangannya kembali menekan dinding gua itu. Lalu nampak dinding gua bergerak membuka,

menimbulkan gemuruh halus. Sesaat kemudian,

nampak sebuah ruangan lebar dengan perabotan terbuat dari bebatuan. Nampaknya di ruangan itu si nenek menaruh ramuan-ramuan obat yang diracik sendiri.

Dengan tubuh terbungkuk, si nenek melangkah masuk. Matanya memandangi peralatan yang terbuat dari batu, berupa mangkuk dan kendi-kendi kecil.

Lama mata nenek itu beredar ke sekeliling tempat itu, sepertinya mencari obat yang cocok.

"Hm, mungkin ini yang cocok untuknya," gumam si nenek. Diambilnya sebuah mangkuk berisi serbuk ramuan obat. Kemudian diambilnya air dan

dituangkan ke mangkuk. Nampak asap mengepul dari dalam mangkuk ketika air itu bercampur dengan serbuk.

Nyi Kendil tertawa senang, lalu berlalu dari ruangan itu dan kembali ke ruangan di mana Wulandari terbaring.

Dibukanya seluruh pakaian Wulandari, lalu dioleskan ramuan itu ke sekujur tubuh wanita muda itu. Seketika mulut Wulandari menjerit keras.

"Akh... Panas..."

Tubuh Wulandari menggeliat kepanasan. Namun Nyi Kendil bagai tak mengenal kasihan. Tangannya terus membaluri ramuan ke sekujur tubuh Wulandari, dari ujung kaki hingga ke wajah. Mulut Wulandari semakin keras mengerang. Sedangkan tubuhnya menggeliat-geliat tak beda dengan cacing yang tersiram air panas.

"Panas... Oh, panas..." pekiknya berusaha menghentikan Nyi Kendil agar tidak terus membaluri sekujur tubuhnya dengan ramuan yang sangat panas itu. Namun nenek itu tak mau peduli. Tetap saja tubuh Wulandari dibaluri dengan ramuan itu. Hingga

tak sejengkal pun yang terlewatkan.

Tubuh Wulandari yang telah dibaluri ramuan itu, seketika mengepulkan asap, dibarengi keluhan dan pekikan wanita muda itu.

"O, panas... Aduh, panas..."

"He he he... Sebentar, Nak.... Hanya sebentar panasnya. Setelah itu, kau akan merasakan tubuhmu segar," kata Nyi Kendil dengan mulut terkekeh.

Wulandari merasa sekujur tubuhnya bagai

membara. Panasnya semakin menyengat tak

tertahankan. Didahului pekikan, tubuh Wulandari kembali terkulai pingsan.

Nyi Kendil terkekeh sambil mengangguk-

anggukkan kepala. Dipandanginya tubuh Wulandari yang kini bagai membara. Setelah itu, dia berlalu dari tempat itu dengan senyum menghiasi bibirnya.

Kaki Nyi Kendil melangkah menuju sebuah tempat yang lebar. Di tempat itu terdapat sebuah batu berbentuk persegi. Lalu dengan duduk bersila, nenek itu melakukan semadi.

Tidak begitu lama kemudian, Wulandari kembali siuman. Badannya yang semula linu dan terasa sakit, kini telah menjadi segar. Matanya memandang ke sekeliling tempat itu dengan tatapan heran.

Seingatnya, dia berada di jalanan ketika pingsan. Tapi kini, dia berada di sebuah ruangan batu.

"Di mana aku?" tanyanya lirih. Kemudian dia memandang tubuhnya. Seketika matanya

membelalak. "O, siapa yang telah menelanjangiku?"

Wanita muda itu benar-benar marah mendapatkan tubuhnya dalam keadaan telanjang. Dengan cepat, diambilnya pakaian yang berserakan. Setelah mengenakannya kembali, Wulandari bergegas keluar dari ruangan itu untuk mencari orang yang telah

berani menelanjanginya.

"Kurang ajar Akan kuremukkan batok kepalanya"

dengus Wulandari sengit. Langkahnya lebar, seakan tak sabar lagi untuk menemukan orang yang telah menelanjanginya. Wulandari hendak melangkah ke arah barat, ketika terdengar suara seorang wanita tua berkata....

"Mau ke mana, Anak Bodoh?"

Wulandari tersentak. Matanya menyapu ke dalam gua, berusaha mencari pemilik suara yang tadi berkata. Napasnya mendengus penuh amarah.

Setelah merasa yakin kalau suara itu datang dari arah belakang, Wulandari segera melangkah ke sana.

"Di manakah kau, Wanita Kurang Ajar?" bentak Wulandari, nadanya sama sekali tidak menunjukkan rasa takut. Dia benar-benar telah nekat. Dendamnya pada orang-orang persilatan, menjadikan hatinya gelap. Tak ada pilihan lain, kecuali bertarung dengan orang persilatan, meski dia akan mati.

"Aku di sini, Anak Bodoh"

Terdengar jawaban dari arah depan. Suara itu milik seorang wanita tua.

Wulandari mempercepat langkahnya. Kakinya berhenti, ketika sampai di sebuah ruangan luas tempat wanita tua renta itu duduk. Dengan wajah menggambarkan kemarahan, Wulandari membentak keras....

"Kaukah yang kurang ajar telah menelanjangiku, heh?"

"Benar, memang akulah yang menelanjangi tubuhmu. Sungguh mulus sekali. Lelaki mana pun sudah tentu akan berusaha mendapatkan tubuhmu,"

ujar Nyi Kendil seraya tersenyum. "Kalau saja aku lelaki, sudah dari tadi tubuhmu kugeluti...."

"Cabul Kurang ajar Kubunuh kau Heaaa..."

Dengan penuh amarah, Wulandari menyerang

nenek itu. Tangannya bergerak untuk memukul kepala Nyi Kendil.

Mendapat serangan dari Wulandari, Nyi Kendil terkekeh dan tak bergeming dari duduknya. Ketika tangan wanita muda itu melesat ke muka, si nenek hanya menekuk lehernya ke samping. Hingga serangan Wulandari menemui tempat kosong.

Merasa serangan pertama gagal, Wulandari

semakin gusar. Dia kembali menyerang dengan tendangan ke tubuh Nyi Kendil. Namun nenek itu dengan enteng bergeser ke samping.

"Hi hi hi.... Gerakan kaku seperti itu kau gunakan untuk menyerangku? Anak bodoh" bentak wanita tua itu. Kemudian dia duduk kembali di atas batu tadi.

"Sombong Kuremukkan tubuhmu, Nenek Cabul

Heaaa..."

Tangan dan kaki Wulandari kembali menyerang.

Namun lagi-lagi Nyi Kendil dengan mudah berkelit Serangan Wulandari seakan tak berarti sama sekali.

Malah nenek itu semakin seru tertawa.

"Anak bodoh Keluarkan semua tenaga dan kebiasaanmu yang tiada guna itu" ejek Nyi Kendil.

Wulandari mendengus. Dia kembali menyerang dengan kemarahan memuncak. Tangannya memukul sembarangan ke seluruh Nyi Kendil. Namun, lagi-lagi wanita tua itu berkelit dengan sambil terkekeh-terkekeh.

"Dasar anak tolol Rupanya kau tak becus ilmu silat Huh, tolol"

Wulandari semakin marah diledek begitu. Dia memang tidak tahu apa-apa tentang ilmu silat, namun dia tidak sudi dikatakan tolol. Kembali dengan

teriakan nyaring Wulandari menyerang.

"Heaaa..."

***

Dengan menguras seluruh tenaganya, Wulandari terus menyerang Nyi Kendil. Namun serangan yang tak dilandasi ilmu silat itu menjadi mentah. Nenek itu memang bukan wanita tua biasa. Dia adalah seorang nenek sakti yang di masa mudanya pernah malang-melintang di dunia persilatan,

Menghadapi serangan Wulandari yang tidak berarti dan tidak didasari ilmu silat, Nyi Kendil bagai mendapat permainan yang menyenangkan. Tubuhnya bagai menari-nari, membuat Wulandari merasa dipermainkan. Wajahnya bertambah geram dan gerakannya makin membabi buta. Tapi mulut Nyi Kendil malah makin sering menghina. Kian memancing amarah wanita muda itu.

"Heaaa..."

"Hi hi hi.... Lucu sekali gerakanmu, Anak Tolol

Gerakanmu seperti pelepah pisang. Kaku..." ejek Nyi Kendil sambil terkekeh. Lalu kakinya diangkat ke atas, manakala kaki Wulandari menyapu. Kemudian dengan melenting ke atas, si nenek menotok punggung Wulandari.

Tuk

"Ukh..."

Terdengar Wulandari mengeluh, kemudian tubuhnya mematung tanpa dapat digerakkan. Hanya matanya saja yang memandang penuh kebencian.

"Lepaskan aku, Pengecut.." bentaknya sengit. Nyi Kendil tertawa terkekeh. Tangannya bertolak pinggang. Setelah puas tertawa, kakinya melangkah

menuju tubuh Wulandari yang masih mematung.

"Kau kutemukan di jalanan dalam keadaan pingsan. Lalu kubawa ke tempat ini. Kalau tadi aku mempreteli bajumu, itu karena aku hendak me-mulihkan tubuhmu yang terlalu lemah. Kau

mengerti?" urai Nyi Kendil tepat di hadapan Wulandari. Setelah itu, tangannya bergerak untuk membebaskan totokan pada tubuh Wulandari.

Tuk

Wulandari terkulai jatuh dengan keadaan terduduk serta kepala menunduk di depan Nyi Kendil.

"Maafkan aku, Nek. Ampuni aku.... sungguh, aku tidak tahu kalau kau menolongku...," ratap Wulandari sambil bersujud.

Nyi Kendil terkekeh.

"Sudahlah. Ayo bangun.... Tidak perlu berbuat begitu."

Kemudian Nyi Kendil membimbing Wulandari

bangun, dan mengajak wanita muda itu ke tempatnya duduk tadi. Nyi Kendil bersila, di atas batu persegi.

Sedangkan Wulandari kini bersila di hadapannya.

"Nenek, terimalah aku sebagai muridmu.

Kumohon, terimalah aku sebgai muridmu," pints Wulandari.

Nyi Kendil kembali terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala mendengar rengekan wanita muda depannya.

"Bocah, mengapa kau tiba-tiba meminta aku menjadi gurumu?"

Wulandari menangis. Tanpa diminta dia pun menceritakan kejadian yang telah menimpa dirinya.

Diceritakan tentang awal mula kejadian itu. Dia dan Selo baru saja menikah, ketika tiga orang yang mengaku bernama Tiga Barka Kembar datang ke

rumah mereka. Ketiga orang itu mencari Pendekar Gila.

"Pendekar Gila...?" tanya Nyi Kendil.

"Benar, Nek."

"Hm, untuk apa mereka mencari pendekar muda sakti itu? Apakah mau mengadu ilmu...?" tanya Nyi Kendil lagi. Keningnya masih berkerut dalam.

"Begitulah, Nek," jawab Wulandari.

"Hm...," gumam Nyi Kendil.

Tangan kanan wanita tua itu memegang dan

mengelus dagunya yang berlipat. Kepalanya mengangguk-angguk, entah apa yang dipikirkannya.

"Teruskan ceritamu," pinta Nyi Kendil, agar Wulandari meneruskan ceritanya.

Karena merasa tidak menyembunyikan Pendekar Gila, Selo pun tidak mengakui tuduhan ketiga lelaki bertampang kasar itu. Hal itu membuat Tiga Barka Kembar marah. Mereka menangkap Selo dan

menyeretnya. Dengan cara menyiksa, ketiga orang itu berusaha mengetahui di mana Pendekar Gila berada.

"Tidak masuk akal..." ujar Nyi Kendil tiba-tiba, membuat Wulandari menghentikan ceritanya.

Matanya memandang tak mengerti ke arah wanita tua itu.

"Kenapa, Nek?" tanya Wulandari.

"Tidak masuk akal, kalau pendekar kesohor bersembunyi...," gumam Nyi Kendil. "Jelas Tiga Barka Kembar hanya mencari-cari alasan untuk menyiksa suamimu. Hm, apakah antara suamimu dan

ketiganya pernah saling bersengketa?"

Wulandari menggelengkan kepala.

"Aku tidak tahu, Nek."

"Hm, baiklah.... Ceritakan selanjutnya."

Wulandari pun meneruskan ceritanya.

Setelah tak juga mendapatkan jawaban dari Selo, ketiganya bermaksud memperkosa Wulandari.

Bahkan salah seorang dari Tiga Barka Kembar hampir saja merenggut kehormatannya. Lalu datang pemuda bertopeng yang mengaku berjuluk Pendekar Gila.

Mereka pun bertarung. Namun rupanya orang yang mengaku sebagai Pendekar Gila jauh lebih lihai dari mereka. Dengan mudah ketiganya dapat dikalahkan.

Setelah Tiga Barka Kembar pergi, pemuda bertopeng yang memiliki wajah tampan itu memperkosa Wulandari. Bukan hanya itu saja, pemuda bertopeng yang mengaku berjuluk Pendekar Gila membunuh suaminya dengan pukulan maut. Hingga tubuh suaminya hancur berantakan.

"Aku dendam pada orang-orang persilatan Aku ingin membalas mereka, terutama Pendekar Gila"

dengus Wulandari mengakhiri ceritanya.

"Membalas dendam?" tanya Nyi Kendil sambil tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Wulandari mengerutkan kening, tak mengerti mengapa si nenek mentertawakannya.

"Mengapa Nenek tertawa? Apakah ada yang lucu?"

tanya Wulandari tak mengerti.

"Ya. Kau lucu sekali, Bocah. Eh, siapakah namamu?"

"Wulandari, Nek," jawab Wulandari. "Tapi lebih sering dipanggil Wulan saja."

"Wulan, bagaimana kau mau membalas dendam?

Orang-orang rimba persilatan bukanlah manusia-manusia lemah. Terutama Pendekar Gila. Mereka memiliki ilmu kesaktian dan ilmu silat yang tinggi.

Nah, bagaimana kau dapat mengalahkan mereka tanpa memiliki kemampuan?"

Wulandari terdiam dengan kepala tertunduk.

Memang benar apa yang dikatakan wanita tua itu.

Jika dia tidak memiliki apa-apa, tak mungkin dendamnya dapat terbalaskan.

"Kalau begitu aku memohon pada Nenek, sudilah kiranya Nenek memberikan pelajaran ilmu silat pada aku yang lemah ini. Aku berjanji, akan mentaati semua peraturan yang Nenek berikan. Tolonglah, Nek. Aku akan mengabdi padamu."

Nyi Kendil terkekeh-kekeh kembali dengan

mengangguk-angguk. Kemudian tawanya terhenti.

Ditatapnya wajah Wulandari dalam-dalam. Nenek itu sepertinya dapat mengetahui kalau Wulandari mau berbuat apa saja demi dendamnya. Itu yang menjadikan wanita muda itu menyanggupi untuk mentaati semua syarat-syarat yang diberikan si nenek. Wanita tua itu merasa iba melihat keadaan Wulandari.

"Hm, aku tahu semangatmu sungguh besar, Wulan. Baiklah, tapi kau harus mau menerima ujian berat dariku. Dan kau harus patuh menjalankan semua perintahku, jika kau memang ingin cepat mendapatkan ilmu silat yang handal. Dan ingat, jangan coba-coba kau bermalas-malasan..." ucap Nyi Kendil akhirnya.

Wulandari yang mendengar tutur kata si nenek jadi tersenyum. Segera tubuhnya bersujud penuh hormat.

"Terima kasih. Nek.., hm, Guru.... Ujian dan perintah Guru akan kujalankan dengan senang hati...."

EMPAT

Pagi cerah dengan udara yang sejuk. Angin berhembus semilir, mengusik dedaunan pada pucuk pohon. Hembusannya juga membuat beberapa daun kering menari-nari di udara.

Seorang pemuda tampan mengenakan rompi kulit ular sanca, menggeliat perlahan. Pemuda itu terjaga dari tidurnya ketika sinar matahari menerpa wajahnya yang tampan.

Pemuda yang tak lain Sena Manggala atau

Pendekar Gila itu menguap lebar. Tangannya mengucek-ucek mata yang menyipit karena silaunya sinar matahari.

"O, sudah pagi...," gumamnya perlahan.

Sena duduk di atas cabang pohon yang

digunakannya untuk tidur. Matanya memandang ke sekeliling. Tak lama kemudian, dengan enteng tubuhnya melesat turun dari atas pohon besar itu.

"Hm, cacing-cacing di dalam perutku sepertinya sudah tidak sabar lagi," gumam Sena sambil menepuk-nepuk perutnya. Tiada angin, tiada hujan tiba-tiba dia tertawa tergelak-gelak, seperti ada yang lucu. Tangannya menggaruk-garuk kepala sambil melompat-lompat, layaknya seorang bocah kecil yang kegirangan.

Suasana pagi yang tenang, seketika dipecahkan gelak tawa ceria Pendekar Gila. Menjadikan burung-burung yang sedang bertengger seketika beterbagan karena kaget.

Sena masih tertawa-tawa. Dan dengan menyanyi-nyanyi, kakinya melangkah untuk pergi dari tempat itu. Perutnya terasa semakin lapar. Menuntut untuk diisi.

"Sabar, perutku...," gumam Sena seorang diri.

Tangan kirinya kembali menepuk-nepuk perut yang dirasakan sangat lapar.

Kakinya terus melangkah, meninggalkan hutan belantara tempatnya tidur semalam. Masih dengan tingkah seperti orang gila, Sena terus menyelusuri lembah yang dihimpit bukit.

Tengah kakinya melangkah, nampak sebuah

pedati yang dikendarai seorang lelaki tua berbaju serba putih. Kepalanya diikat oleh kulit rusa. Wajah lelaki tua itu tampak tenang, mencerminkan suatu

kemantapan jiwanya.

Melihat tingkah aneh pemuda tampan berpakaian kulit ular, seketika lelaki tua itu menghentikan pedatinya. Matanya memandangi pemuda itu dengan seksama. Kemudian terdengar gumaman dari

mulutnya....

"Mungkinkah pemuda ini yang dinamakan Pendekar Gila dari Gua Setan itu?" tanyanya pada diri sendiri.

Dipandanginya pemuda tampan yang melintas berapa tombak di depannya. Kemudian lelaki berbaju putih yang dikenal sebagai Ki Martanu segera turun dari pedatinya. Dihampirinya Sena. Hatinya yakin kalau pemuda yang kini ditemuinya adalah pendekar muda yang disebut Pendekar Gila.

"Ya Aku yakin, dialah Pendekar Gila. Tentunya orang gila biasa tidak mungkin memiliki pakaian seperti pemuda itu. Apalagi suling itu. Hei, bukankah itu Suling Naga Sakti?" gumam Ki Martanu sambil mengerutkan kening. Matanya semakin lekat, memperhatikan pemuda itu. Sementara kakinya terus melangkah.

Ki Martanu semakin mendekat Dan ketika Sena telah di depannya, badannya dibungkukkan untuk menjura.

"Ah, rupanya hari ini aku sangat beruntung, bisa bertemu denganmu, Pendekar Gila. Terimalah salam hormatku," sapa Ki Martanu.

Pendekar Gila yang tengah tertawa-tawa, seketika menghentikan tawanya. Matanya menyipit dan keningnya berkerut. Dipandanginya lekat-lekat lelaki setengah tua berbaju putih yang menjura di depannya.

"Ah ah ah, mengapa kau menjura begitu, Ki? Dan

siapakah engkau?" tanya Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Keningnya tetap berkerut.

"Aku Martanu, orang tua yang tiada gunanya.

Orang menjulukiku Sabit Kembar dari Timur," sahut Ki Martanu, memperkenalkan diri.

"Aha, akulah yang beruntung bisa bertemu denganmu, Ki Akulah yang harus menghormatimu,"

kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya membungkuk, untuk menjura hormat pada Ki

Martanu.

"Ah, sudahlah Tuan Pendekar jangan merendah begitu. Siapa yang tidak kenal denganmu. Sungguh beruntung sekali, aku yang tua dan lapuk ini bisa berjumpa denganmu sebelum mati," tutur Ki Martanu.

Kalau boleh aku tahu, hendak ke mana tujuanmu?"

Pendekar Gila tersenyum-senyum. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Kemudian wajahnya ditengadahkan, memandang langit yang biru.

"Aku hendak mencari kedai, Ki. Perutku ini sudah tidak tahan lagi," jawab Sena sambil menepuk-nepuk perutnya dengan tangan kanan. Tingkah lakunya sangat lucu, membuat Ki Martanu hampir tertawa dibuatnya. Beruntung orang tua itu tahu, siapa pemuda di hadapannya. Jadi dia berusaha menahan tawanya menyaksikan tingkah laku Sena yang lucu.

"Kalau kau tidak keberatan, bagaimana jika jalan bersamaku? Sungguh suatu kehormatan bagiku yang tua ini, jika kau berkenan naik di pedatiku," ajak Ki Martanu.

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.

Kemudian terdengar tawanya lepas.

"Ah ah ah, sungguh baik sekali kau, Ki. Tak dapat aku menolak ajakanmu," jawab Sena, membuat Ki Martanu tersenyum senang.

"Mari, Tuan," ajak Ki Martanu sambil mengiringi Pendekar Gila ke pedatinya.

Pendekar Gila segera naik ke pedati itu, lalu duduk di samping Ki Martanu. Kemudian lelaki tua itu menjalankan pedatinya, meninggalkan tempat itu.

"Hendak ke manakah tujuanmu, Ki?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu pada deretan bukit menjulang di sekelilingnya.

"Aku hendak pulang, Tuan. Baru saja aku bertandang ke rumah Kanjeng Tumenggung Pandan Laras," jawab Ki Martanu yang dikenal dengan julukan Sabit Kembar dari Timur.

"Aha, ada apa gerangan di sana, Ki?"

Ki Martanu tersenyum.

"Tidak ada apa-apa, Tuan Pendekar. Aku diundang karena Kanjeng Tumenggung meminta anak mantu-nya diboyong ke ketemenggungan."

"Jadi, kini kau menjadi besan Kanjeng Tumenggung, Ki?"

"Ya, begitulah," jawab Ki Martanu.

"Aha.... Kuucapkan selamat, Ki," ujar Sena seraya menyatukan kedua tangannya di depan dada.

"Terima kasih," jawab Ki Martanu, seraya melakukan hal yang sama.

"Maaf, aku tidak bisa datang di hari pemikahan putramu, Ki. Karena aku tidak tahu," sesal Sena.

"Akulah yang harus meminta maaf, sebab lalai tidak mengundangmu, Tuan Pendekar. Entah karena apa, aku melupakan Tuan yang memiliki nama besar."

"Ah ah ah, jangan terlalu menyanjungku, Ki. Aku belum seberapa jika dibandingkan dengan nama besarmu," elak Pendekar Gila seraya menggaruk-garuk kepala.

Tanpa terasa, mereka telah memasuki per-

kampungan. Ki Martanu memperlambat laju pedatinya, sebab banyak orang berlalu-lalang di jalan perkampungan itu.

"Ah, rupanya kita sudah sampai, Ki. Aku harus turun untuk mencari kedai," ucap Sena. Kemudian dia menyatukan kedua tangan di depan dada. Lalu kepalanya dirundukkan, sebagai tanda hormat.

Ki Martanu membalas dengan melakukan hal yang sama.

"Jika ada waktu, bertandanglah ke perguruanku, Tuan," ujarnya.

"Jika Hyang Widhi mengizinkan, aku akan bertandang, Ki. Sekali lagi, terima kasih." Setelah berkata demikian, Pendekar Gila berkelebat meninggalkan tempat itu.

"Ck, ck, ck... Sungguh bukan pendekar sembarangan. Beruntung sekali aku berkenalan dengannya. Ah, kalau saja aku punya waktu panjang, rasanya ingin sekali bisa berjalan bersamanya sambil berguru barang beberapa ilmu dan budi pekerti,"

gumam Ki Martanu setelah berdecak kagum.

Matanya masih memandang ke arah Pendekar Gila berkelebat pergi.

***

Sena Manggala melangkah masuk ke dalam kedai dengan tingkah lakunya yang lucu. Pagi itu, kedai masih kelihatan sepi. Hanya ada empat lelaki yang tengah duduk sambil menyantap makanan.

Melihat seorang pemuda tampan berpakaian

rompi kulit ular, pemilik kedai segera menemuinya.

Orang tua setengah baya itu menjura hormat. Dia memang sudah tahu siapa pemuda itu. Cerita tentang

diri Sena sering didengarnya dari percakapan orang-orang persilatan yang singgah di kedainya.

"Selamat datang di kedaiku, Tuan. Silakan duduk.

Apakah yang bisa saya bantu, Tuan?" sambutnya dengan penuh hormat.

Sena menggaruk-garuk kepalanya ketika mendapatkan penghormatan begitu rupa.

"Ki, bisakah aku meminta sepiring nasi dan lauknya?" pinta Sena dengan bibir cengar-cengir.

Orang tua pemilik kedai tersenyum.

"Dengan senang hati, Tuan...."

Kemudian pemilik kedai segera berlalu me-

ninggalkan Pendekar Gila. Tak lama kemudian, seora gadis cantik jelita anak pemilik kedai keluar dengan membawakan sepiring nasi dan sepotong ayam bakar.

"Silakan, Tuan," kata gadis cantik itu mem-persilakan.

"Ah, mengapa ayam bakar? Padahal uangku tidak cukup untuk membayarnya. Untuk arak saja, rasanya masih kurang," gumam Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala.

Pemilik kedai tersenyum. Kemudian menghampiri Sena.

"Untuk Tuan, tidak bayar pun tak apa," katanya, membuat kening Sena berkerut. Dipandanginya wajah pemilik kedai dan putrinya yang tersenyum manis. Keduanya menganggukkan kepala dengan bibir terhias senyum.

"O, tidak bisa begitu, Ki. Bagaimanapun juga, kau berdagang. Tentu aku harus membayarnya. Ah, aku ada uang hanya segini," Sena mengeluarkan tiga keping uang emasnya, membuat mata pemilik kedai membelalak. "Bagaimana, Ki? Cukup...?"

"Ah, mengapa Tuan repot-repot? Saya memberinya dengan rela," kata pemilik kedai, berusaha menolak bayaran yang besar itu.

Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala.

Bibirnya tersenyum.

"Tidak, Ki. Siapa pun harus membayar kalau makan di kedaimu. Terimalah...."

Pemilik kedai akhirnya menerima juga pembayaran itu. Sedangkan Sena dengan lahap menyantap makanannya.

Saat itu, tiga lelaki berpakaian rompi hitam masuk ke kedai. Di pinggang mereka terselip trisula. Mereka adalah Tiga Barka Kembar. Ketiganya melangkah penuh kesombongan, dengan mata memandang

tajam ke sekeliling tempat itu.

"Aha, rupanya di sini ada bunganya juga, Kakang,"

kata Barka Bungsu ketika melihat seorang anak gadis pemilik kedai. Tangannya mengelus-elus dagunya yang kasar. Matanya memandang tajam dan nakal pada gadis itu.

Mata gadis itu memandang dengan takut-takut seraya merapat pada tubuh ayahnya. Begitu pula dengan pemilik kedai, setelah tahu siapa yang datang ke kedai mereka.

"Tiga Barka Kembar," desis pemilik kedai tegang.

"Hm.... Rupanya gadis itu anakmu, Ki?" tanya Barka Panengah.

Sedangkan Barka Sulung menghampiri pemuda berpakaian rompi kulit ular yang gerak-geriknya lucu.

"Bagaimana kalau anakmu untukku, Ki?" lanjut Barka Panengah, lancang.

Barka Panengah dan Barka Sulung tertawa tergelak-gelak saat menyaksikan pemilik kedai dan putrinya ketakutan. Lalu dengan mata berbinar nakal,

Barka Bungsu mendekati pemilik kedai dan anak gadisnya. Tangannya membelai dagu gadis cantik itu.

"Cantik sekali kau, Cah Ayu...."

"Ah... Kurang ajar..." maki gadis cantik itu takut-takut.

"Jangan takut, Cah Ayu... Kalau kau menurut maka kau akan kujadikan istriku. Kedai ayahmu, akan kami bangun menjadi kedai paling besar di wilayah ini.

Bukan begitu, Kakang?" kata Barka Bungsu pada kedua kakaknya. Tangannya semakin nakal, bergerak ke arah dada gadis itu.

"Kurang ajar Tuan, tolong..." seru gadis itu ketakutan.

"Eh, siapa yang kau panggil tuan? Pemuda tolol itukah? Ah, mana berani dia pada kami, Cah Ayu.

Siapa nama anakmu, Ki?" tanya Barka Panengah.

"Milah, Tuan...," jawab pemilik kedai, masih ketakutan. "Jangan ganggu anakku, Tuan."

Kedua kakak beradik kembar itu tertawa bergelak-gelak. Semakin membuat pemilik kedai dan anaknya ketakutan. Begitu juga dengan empat pengunjung kedai. Satu persatu mereka meninggalkan tempat itu.

"Aku tak akan mengganggu, Ki. Asal kau berikan anakmu padaku untuk kujadikan istri," kata Barka Panengah seenak perut.

Sementara, Pendekar Gila tampak mendengus.

Jelas, hatinya tak senang melihat tingkah ketiga orang itu.

"Rupanya ada tiga ekor lalat yang mengganggu makanku, Ki? Mengapa tidak kau usir saja?"

Tersentak Tiga Barka Kembar mendengar gerutuan pemuda berpakaian rompi kulit ular yang ditujukan pada mereka.

"Kurang ajar Siapa kau? Berani benar kau

berkata lancang pada Tiga Barka Kembar, heh?"

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak. Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala.

"Aha, rupanya tiga lalat itu semakin brengsek

Huh..." Pendekar Gila menyentak piring makannya.

seketika, benda itu melayang deras ke arah Barka Panengah dan Barka Bungsu yang dekat dengan pemilik kedai.

Zwing

Mata Tiga Barka Kembar terbelalak menyaksikan hal itu. Cepat-cepat Barka Panengah dan Barka Bungsu memiringkan tubuh ke belakang untuk mengelakkan serangan piring yang dihentakkan oleh Pendekar Gila.

Jlep

Piring itu menancap telak di bangku penyangga kedai, membuat Tiga Barka Kembar semakin membelalakkan mata.

"Kurang ajar Kurencah tubuhmu, Pemuda Sombong" maki Barka Sulung.

"Dia perlu dihajar, Kakang" tambah Barka Bungsu.

Pendekar Gila tertawa tergelak-elak. Tuak yang ada di atas meja ditenggaknya, kemudian sebelum ketiganya menyerang, disemburkannya tuak itu arah mereka.

"Cuihhh..."

Semburan tuak itu menghantam wajah mereka, membuat Tiga Barka Kembar kepedihan. Mulut mereka mencaci-maki sambil mendekap wajah.

"Setan alas Sebutkan siapa namamu, sebelum kami kirim kau ke akhirat?" bentak Barka Sulung.

Tubuhnya lalu berkelebat menyerang Sena, yang dengan cepat berkelit dengan tangan menggaruk-garuk kepala.

"Kalianlah yang harus dikirim ke akhirat, Manusia-manusia Cabul" dengus Sena. "Tapi baiklah, agar kalian tidak penasaran di neraka sana, akan ku-jelaskan siapa aku. Aku Sena Manggala. Orang-orang sering menyebutku Pendekar Gila dari Gua Setan"

"Kurang ajar Rupanya kau... Heaaa..."

Tiga Barka Kembar menyerang serempak. Mereka tidak tanggung-tanggung untuk mengeluarkan jurus-jurus andalan. Namun Pendekar Gila dengan enteng mengelakkan serangan mereka. Jurus-jurusnya yang aneh, membuat Tiga Barka Kembar mengerutkan kening.

"Hai, aneh sekali jurus-jurusnya. Lalu, siapakah pemuda berbaju kuning yang kutemui waktu itu?"

gumam Barka Sulung. Dengan kaget dia melompat mundur, mengelakkan serangan-serangan Pendekar Gila yang aneh.

Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk laksana menari.

Sesekali tangannya menepuk. Gerakannya terlihat sangat lambat namun kenyataannya mampu membuat Tiga Barka Kembar terperanjat kaget.

"Jurus gila" maki Barka Panengah jengkel, ketika tangan Pendekar Gila menepuk ke arah dadanya secara tiba-tiba. Kalau saja tidak segera melompat, sudah pasti dadanya remuk terkena tepukan tangan itu.

Pendekar Gila masih bergerak. Tubuhnya meliuk-liuk mengelakkan serangan ketiga lawannya. Tangannya sesekali menepuk.

"Heaaa..."

Plak

"Ukh..." keluh Barka Sulung. Tubuhnya terlontar deras keluar, kemudian jatuh setelah menabrak orang. Yang ditabrak langsung pingsan. Sedangkan

Barka Sulung meringis dengan bibir berdarah.

Melihat Barka Sulung dalam beberapa gebrakan saja dapat dikalahkan oleh pemuda tampan yang tingkahnya seperti orang gila itu, seketika nyali Barka Panengah dan Barka Bungsu ciut. Dengan segera, keduanya berkelebat meninggalkan kedai. Mengambil tubuh kakaknya, lalu melesat pergi.

"Hai, tunggu..." seru Sena, berusaha menghentikan Tiga Barka Kembar. Namun ketiganya yang sudah ketakutan, tak mau menghiraukan seruan itu.

Mereka terus berlari.

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepalanya.

Dengan tersenyum-senyum, dihampirinya pemilik kedai dan putrinya yang juga tersenyum padanya.

"Maafkan apa yang telah kuperbuat, Ki," kata Sena, menyesali hal yang telah terjadi di kedai itu.

"Ah, tidak apa-apa, Tuan. Bahkan kami sangat berterima kasih atas pertolongan Tuan," jawab pemilik kedai.

"Sudahlah, Ki. Tak usah berkata begitu. Siapakah ketiga orang kembar itu, Ki?" tanya Sena kemudian.

"Mereka orang jahat yang cabul. Mereka bernama Tiga Barka Kembar."

"Baiklah, Ki. Aku hendak mengejar mereka. Aku mohon pamit."

Usai berkata begitu, Pendekar Gila berkelebat laksana terbang meninggalkan pemilik kedai dan anaknya yang terperangah menyaksikan bagaimana pendekar itu menghilang dengan cepat

LIMA

Waktu berlalu dengan cepat. Tidak terasa dua tahun telah berlalu. Saat itu di sebuah gua, seorang wanita muda dengan tekun mempelajari ilmu-ilmu yang diturunkan oleh gurunya. Wanita muda yang tidak lain Wulandari, dengan cepat dapat menyerap semua ilmu Nyi Kendil. Penyebabnya adalah dendam yang terus membara di hatinya, menjadikan semangatnya untuk berlatih bagaikan api yang tak pernah padam. Setiap hari dia berlatih hingga dalam waktu singkat semua ilmu si nenek dapat dikuasainya.

Wulandari yang dulu lemah, kini telah menjadi sosok wanita cantik yang memiliki ilmu tinggi.

Pakaian yang dikenakannya bukan lagi pakaian wanita desa, melainkan pakaian seorang pendekar.

Berbaju merah jambu dan celana dengan warna sama. Kepalanya juga bertudung merah jambu.

Sedangkan wajahnya tertutup secarik kain merah darah sebatas kelopak mata.

"Semua ilmu yang kumiliki, telah semuanya kau kuasai. Maka kini kau harus menggantikanku, Wulan..."

Sesaat Nyi Kendil menghentikan ucapannya.

Dihelanya napas dalam-dalam.

"Semula aku hendak turun ke rimba persilatan.

Namun kini aku urungkan, sebab aku telah mendapat pengganti. Nah, berangkatlah. Carilah musuh-musuhmu," lanjutnya.

"Terima kasih, Guru. Wulan mohon pamit..."

Nyi Kendil mengangguk, kemudian mengiringi

langkah muridnya ke pintu gua yang masih tertutup.

Ditekannya telapak tangan pada dinding gua, lalu pintu gua itu seketika terbuka.

"Pergilah dengan hati yang tetap. Ingat, jangan, kembali lagi kemari...," pesan Nyi Kendil setelah melepas muridnya yang akan turun ke rimba persilatan.

"Baik, Nek...," jawab Wulandari. Setelah menjura, Wulandari meninggalkan gua tempat gurunya dengan dendam membara di hati.

Wulandari terus berlari meninggalkan tempat itu menerobos hutan yang ada di hadapannya tanpa merasakan gentar sedikit pun.

Ketika telah berada di tengah hutan, tiba-tiba telinganya yang sudah terlatih mendengar suara gemerisiknya daun kering terinjak kaki manusia.

Wulandari cepat menghentikan larinya. Matanya yang tajam menyapu ke sekelilingnya. Telinganya dipasang tajam pula, berusaha mengetahui di arah mana suara itu berasal.

Kresek

"Hm, ada tiga orang lelaki. Nampaknya mereka

bukan bermaksud baik. Kebetulan sekali," gumam Wulandari. Matanya terus mengawasi semak-semak yang ada di sekelilingnya dengan tajam.

Benar juga dugaannya. Dari semak-semak,

berlompatan tiga orang lelaki bertampang angker mengenakan rompi hitam. Tak urung membuat wanita berpakaian merah jambu itu terkejut.

Napasnya turun naik, sedangkan matanya

memandang tajam penuh kebencian pada tiga orang itu.

"He he he... Rupanya di hutan seperti ini menemukan seorang wanita, Kakang..." seloroh

salah seorang dari ketiga lelaki bertampang kasar itu, yang tiada lain Barka Bungsu.

"Ya, kebetulan sekali.... Lama kita bersembunyi di hutan ini dari kejaran Pendekar Gila. Akhirnya kita dapat juga seorang wanita," timpal Barka Sulung sambil terkekeh, menunjukkan giginya yang kuning.

Wulandari masih diam. Hanya matanya yang tajam memperhatikan gerak-gerik ketiga lelaki yang nengingatkan kembali akan peristiwa dua tahun silam. Ketiga lelaki inilah yang telah menyiksa suaminya dan hampir saja memperkosanya.

"Hendak ke manakah kau, Nona? Mengapa mesti terburu-buru? Bukankah lebih baik bersama kami dulu...?" goda Barka Panengah dengan bibir cengengesan. Ketika tangannya hendak menjamah dada wanita itu, tiba-tiba si wanita menyentak.

Trak

"Auh..." Barka Panengah memekik, matanya melotot tegang memandang wajah wanita itu. Dia tidak nenduga kalau hentakan tangan wanita itu mampu membuat tulang tangannya terasa nyeri.

Bukan hanya Barka Panengah saja yang terbelalak menyaksikan gerakan si wanita yang begitu cepat dan keras. Kedua saudaranya juga terkejut.

"Heh, rupanya kau bukan wanita sembarangan, Nona," gumam Barka Sulung sambil mengelus dagunya. "Tapi aku lebih senang dengan wanita sepertimu."

"Kalian memang laki-laki bajingan yang harus kusingkirkan dari dunia ini Bersiaplah. Heaaa..."

Wulandari yang sudah tidak dapat menahan amarah dan dendamnya, segera melancarkan serangan.

Tubuhnya membungkuk, sementara tangan kanannya menyambar ketiga lelaki itu. Sedangkan tangan kiri

bergerak mencengkeram ke arah kemaluan mereka.

Bukan alang-kepalang terkejut ketiga lelaki berpakaian rompi hitam menyaksikan gerakan serangan wanita berpakaian merah jambu itu. Mereka tak menduga sama sekali, kalau wanita itu akan melakukan serangan yang cepat.

''Heaaa..."

Hampir saja selangkangan mereka menjadi korban cengkeraman tangan kiri wanita itu, kalau saja mereka tidak segera mengelak ke belakang. Mata mereka saling pandang, kemudian dengan cepat ketiganya balik menyerang.

"Heaaa..."

Tiga Barka Kembar merangsek Wulandari berbareng dengan melancarkan pukulan yang masih ringan. Sengaja mereka menggunakan seperempat tenaga dalam, karena menganggap lawan yang mereka hadapi bukanlah lawan berat. Apalagi mereka belum tahu kehebatan wanita itu di rimba persilatan.

Tubuh Tiga Barka Kembar bergerak memutari Wulandari yang masih diam dengan membuka kedua tangannya. Sesekali mereka menggoda. Tangan Tiga Barka Kembar serentak menjulur ke dada wanita itu, namun dengan cepat Wulandari mencelat ke atas.

Kedua tangannya direntang lebar, kemudian ditarik ke atas dan dilanjutkan dengan menghentak ke bawah.

"Heaaa..."

Serangan pembuka yang dilancarkan Tiga Barka Kembar seketika morat-marit, manakala Wulandari melakukan serangan balasan yang tak mereka duga sama sekali. Serangan yang dilakukan oleh Wulandari benar-benar mengagetkan mereka. Dengan

melompat mundur, Tiga Barka Kembar berseru

kaget...

"'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'..."

Mata Tiga Barka Kembar terbuka lebar, dan tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Setahu mereka, yang memiliki jurus seperti itu adalah seorang tokoh wanita tua yang akhir-akhir ini tak terdengar lagi rimbanya. Namun kini, tiba-tiba jurus itu kembali nampak. Tapi dimainkan oleh seorang wanita yang dilihat dari penampilannya masih muda belia.

"Nona, ada hubungan apa kau dengan Nyi Kendil?"

tanya Barka Sulung dengan mata memandang heran pada Wulandari yang tersenyum sinis.

"Apa pun hubunganku dengan wanita yang kau sebut, kau tak perlu tahu Yang jelas, nyawa kalian harus kurenggut Heaaa..."

Tanpa menunggu lawan bersiap-siap lebih dahulu, Wulandari kembali melancarkan serangan. Jurus

'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap' yang

mengejutkan Tiga Barka Kembar, kini semakin dipercepat. Lagi-lagi ketiganya tersentak kaget. Mau tak mau, mereka harus mengelakkan serangan lawan yang ganas dan mematikan.

Wulandari tak berhenti sampai di situ. Tangannya yang mengembang kian membabat gencar. Tangan kanannya menyerang ke ulu hati, sedangkan tangan kiri bergerak untuk mencengkeram selangkangan lawan. Gerakannya sangat cepat, hingga mampu membuat Tiga Barka Kembar
tersentak.

"Celaka Dia benar-benar ingin membunuh kita"

pekik Barka Bungsu sambil mengelakkan serangan lawan yang cepat dan mematikan. Sesekali Barka Bungsu menggeser ke samping, kemudian kakinya menendang ke arah dada lawan. Namun serangan

yang dilancarkannya senantiasa berantakan, sebab lawan telah mendahuluinya dengan cepat.

"Heaaa..."

Jurus yang digunakan lawan memang bukan jurus sembarangan. Kehebatan dan keganasan jurus

'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap', sudah mereka dengar sejak lama.

Barka Sulung dan Barka Panengah membantu.

Namun, kembali mereka harus melontarkan tubuh ke belakang, sebab wanita bercadar merah darah itu telah berbalik menyerang dengan cepat arah mereka.

"Heaaa..."

Tubuh Wulandari yang merunduk, bergerak cepat.

Kedua tangannya yang menyerang bergantian bantu dan susul. Hal itu membuat kedua lawannya tak memiliki kesempatan untuk balas menyerang satu kali pun.

"Celaka Wanita ini benar-benar telah menguasai semua ilmu yang dimiliki Nyi Kendil..." keluh Barka Sulung semakin kaget, saat menyaksikan ke-sempurnaan jurus-jurus yang dikeluarkan Wulandari.

Sepertinya, mereka tengah berhadapan dengan Nyi Kendil sendiri.

Wulandari yang dendamnya masih membara, tak banyak omong. Dia benar-benar berusaha membunuh ketiga lelaki itu secepat mungkin. Serangan-serangannya kian lama kian ganas. Tangannya yang mencengkeram dan menyodok, laksana dua buah senjata tajam yang digerakkan dengan tenaga dalam penuh.

Kedua tangan wanita itu bergerak laksana tiada henti. Satu ke ulu hati lawan, sedangkan yang kedua selangkangan. Bukan itu saja. Kakinya pun tidak tinggal diam. Kakinya turut bergerak, menyapu, atau

menendang ke arah selangkangan.

Barka Sulung dan Barka Panengah berusaha

mengelit, kemudian dengan cepat keduanya

menyodorkan pukulan ke dada lawan. Namun

keduanya segera mengurungkan niat, manakala secara cepat dan tiba-tiba tangan lawan telah mendahului menyerang. Kalau saja mereka meneruskan serangannya, tidak ampun lagi buah

selangkangan mereka akan hancur tercengkeram tangan Wulandari.

"Awas Panengah..." seru Barka Sulung mengingatkan adiknya. Sedangkan tubuhnya dengan cepat melompat. Sementara kakinya berusaha menepiskan tangan lawan.

Rupanya gerakan yang dilancarkan Barka Sulung dimanfaatkan Wulandari dengan baik. Wanita muda bercadar merah itu secepat kilat menarik tangan kanannya, kemudian seluruh serangannya tertuju pada Barka Panengah.

"Heaaat.."

Mendapatkan serangan cepat yang ditujukan padanya, Barka Panengah tersentak. Dia berusaha melompat mundur untuk mengelakkan serangan lawan. Tangannya melepas satu pukulan maut Tapi Wulandari menepiskan pukulan itu dengan

entengnya. Hanya dengan mengebutkan selendang-nya, pukulan maut 'Serat Sapta Geni' tingkat kelima yang dilancarkan Barka Panengah dapat dimusnahkan.

Mata Barka Panengah membelalak kaget. Sama sekali tak diduga kalau pukulan mautnya dapat dimusnahkan hanya oleh kebutan selendang. Saking terpana menyaksikan pukulan mautnya dapat dimusnahkan awan, Barka Panengah tak sempat

mengelakkan serangan susulan lawan. Hingga....

Crak

"Akh..." Barka Panengah memekik keras, ketika tangan lawan mencengkeram kemaluannya.

Seketika kemaluan laki-laki itu pecah berantakan dan menyemprotkan darah. Barka Panengah

langsung memegangi kemaluannya dengan mata membelalak. Sesaat tubuhnya meregang, kemudian ambruk ke tanah. Tewas

"Panengah..." seru kedua saudaranya dengan mata membelalak saat menyaksikan Barka Panengah mati dengan keadaan mengerikan. Kemaluannya hancur akibat cengkeraman tangan wanita bertudung merah jambu.

Melihat kedua lawan lain masih terkesiap

menyaksikan kematian saudaranya, tanpa membuang waktu lagi Wulandari kembali melancarkan serangan.

"Heaaa..."

Tangannya bergerak semakin cepat. Satu

mengancam dada lawan, sedangkan tangan yang lain arah selangkangan.

Barka Sulung dan Barka Bungsu terkejut

mendapat serangan tiba-tiba itu. Beruntung keduanya segera mengelak. Sehingga mereka tidak mengalami nasib seperti Barka Panengah. Kemudian dengan penuh amarah, keduanya balik menyerang berbareng.

"Heaaa..."

"Kubunuh kau Heaaa..." Wulandari yang memendam dendam kepada Tiga Barka Kembar, semakin ganas melancarkan serangan? Wanita bercadar merah itu, laksana seekor harimau betina yang garang. Tangannya mencakar ke arah lawan bertubi-tubi. Menjadikan serangan kedua lawannya

porak-poranda.

"Kalian harus mampus Yeaaa..."

Wulandari terus merangsek dengan cengkeraman-cengkeraman ke arah selangkangan lawan, membuat kedua lawannya semakin terdesak hebat.

Dalam keadaan di ujung tanduk itu, Barka Sulung dan Barka Bungsu segera mengeluarkan senjata masing-masing. Tangan kedua saudara kembar itu kini tergenggam trisula. Keduanya berusaha menusukkan senjatanya ke arah lawan, namun tetap saja mengalami kegagalan. Gerakan lawan terlalu cepat dan sulit diterka. Lincah laksana kupu-kupu terbang. Gesit laksana harimau betina yang mengamuk.

"Celaka..." pekik Barka Bungsu kaget dengan wajah tegang ketika serangan lawan yang cepat mengarah padanya. Tangannya berusaha membabatkan trisulanya ke tangan lawan. Ternyata dugaannya meleset.

Wulandari menarik tangannya menyerang, lalu segera mengirim tendangan telak ke selangkangan lawan. Tanpa ampun lagi, tendangan keras Wulandari tidak sempat dihindari Barka Bungsu.

Begk

"Aaakh..." Barka Bungsu memekik keras. Trisula di tangannya lepas. Tangannya kini memegangi selangkangannya yang pecah. Matanya membelalak tegang. Mulutnya hendak bersuara, namun nyawanya telah melayang. Tubuh Barka Bungsu ambruk dengan keadaan mengerikan.

"Kau...?"

Menyaksikan kedua saudaranya mati, nyali Barka Sulung ciut. Tanpa berpikir panjang, tubuhnya segera berkelebat untuk lari meninggalkan tempat itu.

Namun Wulandari tidak mau melepas lawan begitu saja.

"Mau lari ke mana kau, Bajingan? Heaaa..."

Tubuh Wulandari melesat cepat, bersalto di udara lalu tangannya bergerak cepat menghantam tubuh Barka Sulung dengan keras.

Desss

"Aaakh..." Barka Sulung memekik keras.

Kemudian, sambil membalikkan tubuh dipandanginya Wulandari dengan mata melotot. Kemudian tubuhnya ambruk dengan nyawa melayang.

"Ha ha ha... Akhirnya aku dapat membalas semuanya Kakang, lihatlah Lihatlah dari akhirat, kala istrimu akan mencabut jantung mereka"

Bagaikan orang gila, Wulandari tertawa tergelak-gelak. Kemudian dengan penuh kebengisan, tangan Wulandari bergerak menusuk dada Tiga Barka Kembar yang telah binasa.

Crakkk

Tangan Wulandari menyeruak masuk ke dalam dada Barka Sulung, kemudian tangannya mencengkeram jantung lawan. Ditariknya jantung lawan, rongga dadanya. Kemudian dengan tangan berlepota darah, Wulandari mencengkeram kemaluan lawannya dan dibetotnya sampai putus. Diangkatnya jantung dan kemaluan lawan tinggi-tinggi.

"Kakang Selo, lihatlah Ini jantung dan kemaluan mereka yang kupersembahkan padamu Semoga kau tenang di alam sana"

Wulandari kembali tertawa tergelak-gelak sambil meremas-remas jantung dan kemaluan lawan yang telah dibetot dari tubuh Barka Sulung. Setelah itu, kembali Wulandari membetot kemaluan dan jantung Barka Bungsu dan Barka Panengah dengan buas.

Diremasnya sampai hancur. Kemudian mulutnya mengumandangkan tawa bagai orang gila.

Setelah puas melakukan semuanya, Wulandari berlalu. Tempat itu kembali sepi. Tinggal tiga tubuh tergeletak mengerikan. Dada mereka berlubang dan kemaluan mereka hilang.

ENAM

Seorang pemuda berpakaian rompi kulit ular melangkah menyelusuri hutan belukar. Pemuda tampan dengan tingkah laku seperti orang gila itu tiada lain Sena Manggala yang lebih terkenal dengan sebutan Pendekar Gila dari Gua Setan. Saat itu Sena tengah memburu tiga orang yang telah lama dicari-carinya. Matanya sempat melihat mereka masuk ke dalam hutan itu.

"Ah, bodoh sekali aku ini Mengapa aku membiarkan mereka lolos begitu saja? Tolol..." Sena sambil menggaruk-garuk kepala bagai orang bodoh.

Kemudian keningnya ditepuk dengan tangan

sedangkan tangan kanannya masih menggaruk-garuk kepala. Kakinya terus melangkah untuk memasuki hutan lebat itu.

Langkah Sena tertahan kctika melihat seorang wanita berpakaian merah jambu berlari ke arahnya.

Tangan wanita bercadar merah itu berlumuran darah.

Mata Sena seketika membelalak, sedangkan

mulutnya menganga bodoh.

Hai, mengapa tangan wanita itu berlumuran darah? Apa yang telah dilakukannya...? Gumamnya, masih belum percaya pada apa yang baru saja dilihatnya. Kemudian terdengarlah gelak tawa dari mulutnya.

"Ha ha ha..." .

Sena tertawa bergelak sehingga tubuhnya turut terguncang-guncang. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan tangan kirinya mengorek

telinga. Hal itu membuat wanita yang tak lain Wulandari itu menghentikan langkahnya. Matanya memandang tajam ke arah Sena yang masih tertawa terpingkal-pingkal.

"Diam..." bentak Wulandari keras.

Sena menghentikan tawanya. Namun tangannya masih menggaruk-garuk kepala. Mulutnya

cengengesan. Kemudian terdengar dari mulutnya suara cekikikan....

"Hi hi hi..."

Mata Wulandari semakin tajam memandangi

wajah pemuda di hadapannya. Tingkah laku serta gerak-gerik pemuda itu tak ada bedanya dengan orang gila. Inikah Pendekar Gila itu? Hm, sungguh berbeda dengan pemuda yang telah memperkosa dan membunuh suamiku. Gumam Wulandari dalam hati.

Sena masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Tatapannya mengarah tak menentu.

Terkadang pada daun-daun pohon menghijau. Dan sesekali tertuju pada Wulandari. Kemudian Sena kembali tertawa tergelak-gelak, ketika matanya tertuju pada cadar yang dikenakan Wulandari.

"Lucu.... Lucu sekali dunia ini. Ah ah ah.... Rupanya dunia ini penuh kelucuan. Mengapa wanita

secantikmu menutupi wajah dengan cadar. .? Aneh....

Hi hi hi..." Sena cekikikan. Lalu tubuhnya melompat-lompat seperti kera dengan tangan menggaruk-garuk kepala.

Wulandari mengerutkan kening. Dia masih belum percaya pada apa yang kini dilihatnya. Pendekar Gila yang dulu memperkosanya dan membunuh suaminya, bukan pemuda gila yang kini berada di hadapannya.

"Siapa kau?" bentak Wulandari. "Apa urusanmu

dengan perbuatan yang kulakukan?"

Sena terus tertawa. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan menarik napas panjang ditatapnya Wulandari lekat-lekat.

"Ah, apalah artinya namaku. Hi hi hi.... Lucu..., mengapa kau menanyakan namaku? Bukankah kau tak ada urusan denganku?" kata Sena balik bertanya.

"Ah, sudahlah.... Aku tak ada waktu. Maaf, aku harus pergi."

"Tunggu..."

Sena segera menghentikan langkahnya. Tubuhnya berbalik menghadap ke arah Wulandari. Kepalanya digaruk-garuk dengan mulut memperlihatkan senyum bodoh.

"Ah, apakah ada sesuatu yang membuat kau menghentikan langkahku?" tanya Sena.

"Ya" jawab Wulandari ketus.

Sena tersenyum.

"Ah, kurasa antara kita tak pemah saling kenal.

Ada apa...?"

Wulandari tak langsung menjawab pertanyaan pemuda tampan namun bertingkah laku gila itu.

Matanya malah mengawasi Sena dari ujung rambut hingga ujung kaki. Semuanya lain dengan pemuda yang memperkosanya dan membunuh suaminya.

Pakaian pemuda itu berlengan panjang, berwarna kuning. Sedangkan pemuda bertampang gila ini mengenakan baju rompi terbuat dari kulit ular.

Wajahnya pun lain. Lebih tampan pemuda di hadapannya sekarang.

Sena yang diperhatikan begitu rupa oleh wanita yang sebagian wajahnya tertutup secarik kain merah itu kembali cengengesan sambil garuk-garuk kepala.

Wajahnya ditengadahkan, memandang ke atas.

Lama juga Wulandari ragu. Hatinya diusik

pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa secepatnya dijawab. Mungkinkah pemuda berbaju kuning yang dicarinya telah mengubah penampilan dan wajahnya menjadi pemuda yang kini di hadapannya?

Tapi dendam yang menggelegak di dadanya

membuat dia tidak ingin berpikir lebih lama. Dia menjadi yakin kalau pemuda yang kini dihadapinya adalah lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.

"Melihat tingkah lakumu, sepertinya kau orang gila.

Namun dari pakaian yang kau kenakan, tampaknya kau dari orang rimba persilatan. Maka itu, aku yakin kaulah orang yang kucari. Mesti kau berganti muka seribu kali, aku tak akan dapat kau kibuli. Hiaaat.."

Tanpa banyak kata lagi, Wulandari melabrak Sena dengan ganas. Tubuhnya membungkuk, dengan kedua tangan mengembang dan menyerang. Tangan kanannya menyambar ke ulu hati, sedangkan tangan kirinya bergerak mencengkeram ke selangkangan Sena.

Sena yang tak tahu apa-apa, terkejut menyaksikan wanita tak dikenal itu menyerangnya. Sambil menggaruk-garuk kepala serta kening berkerut, pendekar muda itu melompat ke belakang

mengelakkan serangan lawan.

"Eh, mengapa kau menyerangku, Nisanak?" tanya Sena berusaha memahami apa kesalahannya.

Namun Wulandari yang sudah yakin kalau pemuda itulah yang memperkosanya serta membunuh

suaminya tak mau berhenti. Apalagi di hatinya tersirat api dendam pada orang-orang rimba persilatan.

Wulandari terus menyerang dengan jurus 'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap' yang telah mampu membinasakan Tiga Barka Kembar. Tangannya

bergerak cepat, satu menyambar ke arah ulu hati, sedangkan yang satunya mencengkeram ke arah selangkangan Pendekar Gila. Tubuhnya membungkuk, sedangkan kaki-kakinya bergerak menyapu dan terkadang menendang.

"Hei, mengapa wanita cantik ini menyerang ke arah selangkangan?" tanya Sena heran. Dia terheran-heran menyaksikan jurus-jurus yang dilancarkan Wulandari. "Apa yang ingin dilakukannya?"

"Nisanak, tunggu... Mengapa kau menyerangku?"

tanya Pendekar Gila sambil mengelakkan serangan Wulandari dengan cara menggerakkan tubuhnya ke sana kemari dan berputar laksana menari. Kadang tubuhnya membungkuk, tengadah atau limbung ke samping.

"Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Gila Kau harus mampus di tanganku Heaaat.."

Wulandari semakin bemafsu untuk secepatnya menjatuhkan Pendekar Gila. Serangannya dilipat-gandakan. Tangannya yang menebas dan men-

cengkeram semakin cepat bergerak. Begitu juga dengan sepasang kakinya.

Pendekar Gila yang masih belum mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh wanita itu, mau tidak mau harus bergerak mengelitkan serangan-serangan lawan yang mengarah pada tempat-tempat mematikan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.

Kakinya melangkah ke belakang dan ke samping mengelakkan sambaran kaki lawan.

"Nisanak, mungkin kau salah sangka Tunggu, hentikan seranganmu" pinta Sena berusaha menyadarkan wanita berpakaian merah jambu dengan sebagian wajah tertutup kain merah.

"Pengecut Keluarkan jurus-jurus yang dulu pernah

kau tunjukkan di depanku Jangan hanya mengelak saja..." bentak Wulandari semakin berang, menyaksikan Pendekar Gila hanya mengelak dan belum berusaha menyerang.

Pendekar Gila yang kebingungan mendapatkan serangan itu hanya menggaruk-garuk kepala.

Tubuhnya terus meliuk-liuk sambil sesekali tangannya menggaruk-garuk kepala. Dia masih kebingungan dan bertanya-tanya mengapa wanita yang baru saja bertemu dengannya tiba-riba menyerang.

Sambil terus mengelakkan serangan lawan,

Pendekar Gila menguras pikirannya. Jurus-jurus aneh.

Mengapa selalu mengarah ke selangkangan? Ah, mengapa wanita secantik ini berlaku begitu?

Tanyanya dalam hati.

"Nisanak, hentikanlah Sungguh aku tak mengerti akan maksudmu..." seru Pendekar Gila sambil melompat ke belakang. Kemudian dia berdiri sambil menggaruk-garuk kepala.

Wulandari yang melihat Pendekar Gila menghindar dan melompat ke belakang, dengan cepat memburu.

Tangan dan kakinya masih bergerak menyerang. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin kebingungan.

Dia sama sekali tidak memahami keinginan wanita itu. "Nisanak, kenapa kau ini? Tak ada hujan, tak ada badai, mengapa kau menyerangku?" tanya Pendekar Gila masih berusaha menyadarkan wanita yang meyerangnya. Namun semuanya sia-sia, wanita itu tetap saja menyerangnya.

"Jangan banyak omong Keluarkan ilmumu, kalau kau tak ingin mati percuma..." sentak Wulandari sambil terus bergerak menyerang.

Pendekar Gila mengangkat kakinya tinggi-tinggi

kemudian melompat ke samping kanan mengelakkan serangan tangan kiri lawan. Sedangkan tubuhnya dicondongkan ke samping, kemudian tangannya menepis serangan tangan kanan lawan.

Desss

Benturan terjadi, membuat keduanya melangkah dua tindak ke belakang. Pendekar Gila garuk-garuk kepala. Sedangkan Wulandari melotot penuh amarah pada Sena.

"Bagus Memang itulah yang aku inginkan Jadi aku tidak percuma membunuhmu Heaaa..."

Usai berkata begitu, Wulandari kembali melancarkan serangan. Kali ini gerakannya sangat cepat.

Kedua tangannya menyerang ke arah bawah, dengan cengkeraman-cengkeraman yang mengarah ke titik kematian. Itulah jurus 'Kupu-kupu Hinggap Sambil Menghisap Madu'.

Kedua tangan Wulandari bergerak cepat saling bergantian dengan cengkeraman-cengkeraman yang mematikan ke selangkangan lawan. Tubuhnya membungkuk, kakinya menyapu dan menendang.

Kemudian kedua tangannya bergerak naik ke arah dan berakhir ke muka lawan.

Pendekar Gila yang merasakan desiran angin serangan wanita itu, dengan cepat bergerak mengelit.

Dia tidak ingin menjadi korban kesalahpahaman. Itu sebabnya, sampai sejauh itu dia belum juga melakukan serangan balasan. Pendekar Gila hanya mengelit dengan meliuk-liukkan tubuh, menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'.

***

"Keparat Rupanya kau benar-benar ingin mempermainkan aku, Pendekar Gila Jangan

salahkan kalau aku akan membunuhmu seperti membunuh anjing Heaaa..."

Dengan penuh amarah, Wulandari yang merasa dipermainkan Pendekar Gila mempercepat serangannya. Tangannya bergerak kian cepat, disambung oleh tendangan dan sapuan kakinya.

Pendekar Gila yang masih belum tahu duduk persoalannya, mengerutkan kening sambil bergerak mengelak.

"Heaaa..."

"Nisanak, tidak bisakah kau hentikan seranganmu? Kita bicara baik-baik...."

Belum juga selesai Pendekar Gila, tiba-tiba Wulandari telah merangsek kembali ke arahnya dengan serangan-serangan yang mengarah ke kemaluan. Kalau Pendekar Gila tidak cepat mengelak, niscaya kemaluannya akan tercengkeram tangan lentik tapi garang itu.

"Jangan banyak omong Heaaa..."

Wanita itu benar-benar tak dapat diajak bicara baik-baik lagi. Serangan-serangannya sangat berbahaya, disertai tenaga dalam yang cukup sempurna.

Lengah sedikit saja, celakalah Pendekar Gila. Yang lebih mengerikan, sasaran serangannya tertuju ke selangkangan, tepatnya ke arah kemaluan.

"Edan Dunia ini memang sudah gila. Hi hi hi...

Bagaimana mungkin wanita secantikmu meng-

gunakan jurus cabul...?" Sena tertawa tergelak-gelak sambil terus bergerak mengelakkan serangan yang dilancarkan oleh Wulandari. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Ketihatannya lamban, namun setiap kali Wulandari berusaha menyerang, tahu-tahu

tubuhnya telah berpindah tempat.

Mendapatkan serangannya tak mengenai sasaran, Wulandari semakin bertambah marah. Serangannya dipercepat, berusaha menjatuhkan lawan dengan cepat. Namun hasilnya tetap saja nihil.

"Kurang ajar Rupanya kau benar-benar mencari mampus Jangan harap kau akan lepas dari

tanganku Heaaa..."

Wulandari semakin penasaran mendapatkan

lawan yang aneh. Meski gerakan lawan kelihatan lemah namun senantiasa sulit diduga. Setiap kali dia menyerang, dengan cara meliuk pemuda tampan itu mengelak. Liukan tubuh Pendekar Gila terlihat lentur sekali namun tahu-tahu tubuh pemuda itu telah berpindah tempat.

"Nisanak, maaf... aku tak ada waktu lagi bercanda denganmu Heaaa..." Pendekar Gila menggerakkan tangannya ke depan dan menepuk. Sebuah rangkaian gerakan dari jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'

Gerakannya pelan dan lamban.

Wulandari yang melihat gerakan tangan lawan yang menepuk lamban, segera memapaki dengan pukulan telapak tangannya. Kedua tangan mereka saling beradu.

Desss

"Ukh..." Wulandari mengeluh tertahan.

Tubuhnya terhuyung ke belakang. Sedangkan tangannya terasa panas bagai membara. Belum juga keseimbangannya dapat dijaga, tiba-tiba Pendekar Gila telah menepuk kembali punggungnya. Hingga dalam waktu cepat, tubuh Wulandari telah tertotok.

"Nah, Nisanak Aku tak ada waktu untuk meladeimu. Antara kita tak ada silang sengketa.

Dalam waktu sebentar, totokan itu akan hilang

dengan sendirinya. Selamat tinggal."

Usai berkata begitu, sambil menggaruk-garuk kepala Pendekar Gila meninggalkan Wulandari yang masih memperlihatkan sinar penasaran pada wajahnya. Mulutnya mengumpat tak menentu.

Sedangkan Pendekar Gila meninggalkan tempat itu dengan menerobos hutan.

Pendekar Gila terus melangkah, menyelusuri hutan untuk mencari ketiga orang yang tengah diburunya.

Dia telah jauh meninggalkan Wulandari yang masih tertotok dan berdiri mematung dengan pandangan penuh amarah.

Sambil bernyanyi-nyanyi, Pendekar Gila terus melangkah. Telinganya dipasang tajam-tajam.

Matanya pun menyapu ke sekelilingnya dengan pandangan tajam. Tangannya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

Kakinya terus melangkah, semakin bertambah jauh meninggalkan Wulandari. Sejauh itu, belum juga Pendekar Gila menemukan tanda-tanda ketiga lelaki yang dikejarnya.

"Ah, bodoh sekali aku ini" seru Sena tiba-tiba sambil menepuk keningnya. "Mengapa aku tidak menanyakan pada wanita itu, apakah dia melihat tiga lelaki berompi hitam? Huh, tolol... tolol sekali.

Sesaat Sena menghentikan langkahnya. Dan

berdiri tegak dengan kening berkerut Tangannya menggaruk-garuk kepala. Sementara wajahnya nampak cengengesan seperti orang bodoh. Kemudian kepalanya digeleng-gelengkan. Lalu perjalanannya dilanjutkan mencari ketiga orang itu.

"Ah, biarlah... Akan kucari sendiri. Aku yakin mereka masuk ke dalam hutan ini," gumamnya seperti orang bodoh sambil melangkah menyelusuri

jalan setapak di dalam hutan.

Baru beberapa langkah Pendekar Gila melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba matanya melihat tiga sosok tubuh tergeletak berpencar.

"Hei, bukankah tiga orang itu yang kucari?'

tanyanya pada diri sendiri.

Pendekar Gila mempercepat langkahnya agar segera sampai di tempat ketiga tubuh itu tergeletak.

Sesampainya di tempat itu, betapa terkejut Pendekar Gila menyaksikan pemandangan yang mengerikan.

Sampai-sampai matanya membelalak dengan mulut menganga. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan wajah terlihat bodoh. Dari mulutnya keluar gumaman setengah mengeluh....

"Wuah..., mengapa jadi begini? Ah, rupanya aku telah didahului orang lain...."

Pendekar Gila memandangi ketiga mayat yang keadaannya mengerikan.

"Ah, benar" ujarnya seketika. "Ini pasti perbuatan wanita bercadar merah itu. Ck ck ck..., keji Sungguh keji sekali Hm, ternyata dia bukan wanita sembarangan. Dia berbahaya... Tapi, siapa dia sebenarnya...? "

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan menggunakan ilmu larinya, pemuda tampan itu melesat meninggalkan ketiga mayat Tiga Barka Kembar menuju tempat Wulandari tertotok.

"Aku harus menanyakan pada wanita itu, mengapa dia melakukan perbuatan keji," bisik Sena sambil mempercepat larinya, dengan harapan dapat menemukan Wulandari. Namun sesampainya di tempat itu, Pendekar Gila tidak menemukan wanita berbaju merah jambu itu lagi.

Sesaat pandangan Sena beredar ke tempat itu,

namun tidak juga ditemukan tanda-tanda kalau wanita itu masih berada di sana.

"Hei, ke mana wanita itu?" gumamnya sambil menggaruk-garuk kepala. "Huh, bodoh lagi Ah mengapa aku bodoh terus? Dia bukan wanita baik-baik. Aku harus mencarinya...."

Kemudian dengan tertawa tergelak-gelak

mengejutkan hewan penghuni hutan, Pendekar Gila me meninggalkan tempat itu untuk mengejar wanita cadar merah yang sangat telengas perbuatannya.

TUJUH

Di sebuah tempat yang jauh dari hutan di mana Pendekar Gila tengah mengejar wanita bercadar merah yang tindakannya keji, nampak dari kejauhan sebuah pedati ditarik dua ekor kuda melaju dengan pelan dan tenang. Sebagaimana ketenangan wajah laki setengah baya yang menjadi kusir pedati itu.

Mata lelaki itu memandang tajam ke depan. Sesekali menyapu ke kanan dan kirinya. Pakaiannya berwarna putih perak. Kumisnya tebal melintang di atas bibir.

Sedang kepalanya diikat dengan kulit rusa.

Melihat dari ciri-cirinya, kusir pedati itu bukanlah orang biasa. Dia tidak lain Ki Martanu, yang lebih terkenal dengan sebutan Sabit Kembar dari Timur.

Seperti julukannya, Ki Martanu bersenjatakan sepasang sabit, dan berasal dari wilayah timur.

Ki Martanu dengan tenang mengendarai

pedatinya. Sesekali mulutnya berdecak, dengan tangan menghentakkan tali kekang kuda.

"Hiya, hiya… Ayo, jalanlah dengan tenang,"

katanya pada kedua kuda yang menarik pedatinya.

Bagaikan mengerti, kedua kuda penarik pedati itu pun melangkah dengan tenang.

Di belakang pedati, berjalan lima orang murid utamanya. Pakaian mereka sama, hanya bedanya tidak berlengan. Kalau Ki Martanu mengenakan lengan panjang putih perak, kelima muridnya rompi putih perak. Di tangan kanan kelima murid utama itu terdapat peti berukir indah. Tangan kiri memegang tombak. Pedang tersandang di punggung mereka.

Wajah mereka masih muda, kuning bersih dan tampan. Mata mereka tajam memandang lurus ke depan.

Di dalam pedati, sepasang mempelai muda tengah bercanda penuh kebahagiaan. Yang lelaki, adalah anak Ki Martanu. Sedangkan perempuan cantik di sisinya adalah anak Ki Genda Aren yang menjadi tumenggung di Pandan Laras.

Kedua mempelai itu baru melangsungkan pernikahan beberapa puluh hari yang lalu. Belum sampai sebulan, atas permintaan Ki Tumenggung, mereka diboyong dari rumahnya.

Saat pedati melaju dengan tenang, tiba-tiba kuda penarik pedati itu meringkik. Kemudian kedua kuda itu ambruk dan mati. Hal itu membuat Ki Marta tersentak kaget, matanya membelalak dan dengan ringan melompat turun dari pedatinya. Tubuhnya salto, kemudian turun dengan enteng menjejak kaki di tanah.

"Keparat" maki Ki Martanu marah, manakala melihat kuda-kudanya mati karena jarum-jarum beracun yang dilontarkan seseorang. Sedangkan di Di dalam pedati, terdengar jerit ketakutan menantunya.

Mata Ki Martanu memandang tajam ke sekelilingnya. Napasnya kelihatan memburu, menunjukkan kalau lelaki setengah baya itu benar-benar marah.

Dari belakang, kelima murid utamanya berlari ke arahnya.

"Ada apa, Guru?" tanya Wikala.

"Ada yang menyerang kuda-kuda kita," dengus Ki Martanu masih menampakkan kemarahannya.

Matanya kembali menyapu ke sekelilingnya, mencari orang yang telah melontarkan jarum-jarum beracun.

"Pengecut yang telah menyerang kuda-kudaku,

keluarlah"

Didahului desingan puluhan jarum yang melesat ke arah mereka, sebuah bayangan warna merah jambu berkelebat keluar dari balik semak-semak.

Zwing Zwing...

Ki Martanu dan kelima muridnya tersentak kaget, cepat-cepat mereka melontarkan tubuh ke belakang dan bersalto untuk mengelakkan serangan jarum-jarum maut itu. Setelah kaki mereka menjejak tanah kembali, Ki Martanu dan kelima muridnya dengan gusar memandang wanita yang kini tegak di hadapan mereka dengan sikap menantang. Wanita itu berpakaian merah jambu dengan separuh wajah tertutup kain merah.

"Siapakah kau, Nisanak? Kenapa kau menyerang kami?" tanya Ki Martanu dengan suara tenang.

Matanya mengawasi wanita yang berdiri tiga tombak di depannya.

"Hi hi hi... Siapa pun aku, kau tak perlu tahu Yang jelas, kau harus menyerahkan anak lelakimu yang ada di dalam pedati" dengus Wulandari setelah tertawa cekikikan.

Mendengar jawaban tak bersahabat tadi, lima murid utama Ki Martanu merasa kalau wanita itu telah mempermainkan guru mereka. Lima murid utama itu hendak menyerang. Dengan cepat orang tua itu mencegahnya.

"Nisanak, antara kita tak ada silang sengketa.

Kuharap Nisanak sudi memberi jalan pada kami,"

kata Ki Martanu.

Wulandari kembali tertawa. Matanya kemudian memandang tajam ke arah Ki Martanu.

"Orang tua, sebelum kau menyerahkan mempelai lelaki padaku, aku tak akan membiarkan kalian

lewat"

"Kurang ajar" maki murid Ki Martanu yang bernama Aji Genter. Wajahnya seketika memerah, pertanda kemarahannya telah memuncak. "Guru, wanita ini kutampar mulutnya."

"Sabar, Genter," kata Ki Martanu tenang.

Kemudian pandangannya dialihkan pada wanita di hadapannya. "Nisanak, untuk apa kau meminta anakku? Antara kau dan anakku tak ada silang sengketa juga, kan?"

"Ya" jawab Wulandari ketus.

"Lalu, untuk apa kau memintanya? Sedar anakku sudah beristri?"

Wulandari tertawa melengking, membuat Ki

Martanu dan kelima muridnya mengerutkan kening.

Mereka tak mengerti dengan sikap wanita itu.

"Untuk apa? Hi hi hi.... Jelas untuk kujadikan budak yang akan memuaskan keinginanku" Wulandari seenaknya sambil tertawa cekikikan.

"Wanita jalang" maki murid Ki Martanu yang bernama Abiyani. Ketika pemuda itu hendak menyerang wanita di depannya, Ki Martanu cepat mencegahnya dengan merentangkan tangan.

"Nisanak, kalau itu yang kau inginkan, dengan menyesal aku tak dapat mengabulkan...."

Bibir Wulandari tersenyum sinis mendengar jawaban orang tua setengah baya itu.

"Kalau begitu, kalian harus mampus Heaaa…"

bentaknya tiba-tiba.

Wanita berpakaian merah jambu dengan sebagian wajah ditutupi oleh kain merah darah itu dengan cepat melakukan serangan. Kedua tangannya mengembang, kemudian bergerak menyilang. Tangan kanan ke arah ulu hati, sedangkan tangan kiri

mencengkeram ke arah selangkangan. Sementara tubuhnya agak membungkuk, dengan kedua kaki bergerak teratur, yang terkadang melakukan tendangan.

Melihat serangan itu Ki Martanu terkejut dengan mata membelalak.

'"Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'..." desis Ki Martanu tanpa sadar.

Ada senyum angkuh di bibir Wulandari

menyaksikan Ki Martanu terkejut melihat jurusnya.

Ki Martanu yang sudah tahu kehebatan serangan lawan, cepat-cepat mengelak ke belakang. Dia bermaksud menahan kelima muridnya, namun

mereka telah melesat untuk memapaki serangan wanita itu dengan tombak.

"Heaaa..."

Dengan tombak di tangan, kelima murid utama Ki Martanu berusaha merangsek lawan. Mereka

melakukan gerakan mengurung. Tombak di tangan mereka menusuk serentak ke tubuh lawan yang membungkuk.

Mendapat serangan kelima lawannya, dengan cepat Wulandari melenting ke atas. Kemudian turun dengan enteng di luar kurungan mereka.

Melihat lawan telah lolos dari kurungan, cepat-cepat kelima murid utama Ki Martanu bergerak mengurung kembali. Tombak di tangan mereka kembali menusuk dengan ganas.

"Tembus... Heaaa…"

Sebatang tombak mengancam tubuh Wulandari.

Dengan cepat Wulandari memiringkan tubuh ke samping. Hingga tombak itu melesat di sampingnya.

Kemudian dengan cepat Wulandari melompat ke atas lalu tubuhnya hinggap di tombak itu bagai seekor

cicak.

Melihat wanita muda itu berada di atas tombak temannya, murid utama Ki Martanu yang berada belakang bergerak menyerang. Tombaknya ditusuk-kan ke arah tubuh lawan. Namun dengan cepat Wulandari kembali melompat ke atas. Tak ampun lagi tombak itu menusuk dada temannya sendiri.

Jrab

"Akh..."

Murid Ki Martanu yang bernama Lanang Jingga memekik. Tangannya melepaskan golok yang

digenggamnya. Kini kedua tangannya memegangi tombak yang menembus dadanya.

Sedangkan rekannya yang bernama Seta Gawe terperangah. Dia tidak menyangka kalau tombaknya akan menusuk teman sendiri. Wulandari tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kakinya yang masih mengambang di udara, direntangkan untuk menendang wajah Seta Gawe.

Dugk

"Ukh..." Seta Gawe memekik. Tubuhnya terhuyung ke belakang dengan tangan menutupi wajahnya yang terasa sangat sakit dan perih.

Menyaksikan kedua temannya jatuh, ketiga murid lainnya kembali menyerang dengan ganas. Tombak di tangan mereka berkelebat menusuk dan membabat ke arah lawan. Namun Wulandari dengan mudah mengelakkannya. Kemudian wanita berpakaian merah jambu itu balik menyerang dengan jurus 'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap'.

Sepasang tangannya bergerak cepat. Yang kanan menusuk ke arah ulu hati Abiyani. Sedangkan tangan kirinya, bergerak mencengkeram ke arah selangkangan Rudali. Dibarengi tendangan ke belakang,

kaki kanannya mengancam Sengkapi.

"Heaaa..."

Mendapat serangan balik yang begitu cepat, ketiga murid utama Ki Martanu yang belum siap menjadi terkejut. Dengan cepat tangan mereka memutar tombak di depan tubuh, berusaha menangkis serangan lawan.

"Heaaa..."

Tombak di tangan mereka berputar cepat laksana baling-baling, hingga tak lagi terlihat. Yang nampak hanyalah warna gading bulat yang melindungi tubuh ketiganya.

Melihat ketiga lawannya memerisai diri dengan tombaknya, Wulandari tidak kehilangan akal. Cepat-cepat serangannya ditarik, kemudian dengan cepat tubuhnya melenting ke udara. Lalu menukik ke bawah, tepat di belakang salah seorang dari mereka.

Tangan kanannya langsung menyerang arah

punggung, sedangkan tangan kirinya mengarah kemaluan lawan.

Menyadari ada bahaya, pemuda itu membalikkan tubuh. Namun tiba-tiba sebuah tendangan cepat melesat ke wajahnya.

Pemuda itu berusaha menepiskan tendangan

wanita muda itu dengan membabatkan tombak di depan wajahnya. Tapi serangan itu rupanya hanya sebuah pancingan Wulandari belaka. Ketika pemuda itu memutar tombak di depan wajahnya, secepat itu pula Wulandari menarik tendangannya. Sedangkan tangan kirinya yang bebas, segera bergerak mencengkeram kemaluan lawan.

Crak

"Akh..."

Pemuda itu menjerit, ketika terdengar suara

pecahnya alat kemaluannya. Matanya seketika melotot tegang, dan tubuhnya meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa. Darah mengalir dari selangkangannya.

Mata Ki Martanu terbelalak menyaksikan perbuatan keji wanita muda itu.

"Keji Biadab..." makinya gusar.

***

Wanita bercadar merah itu tersenyum sinis.

Matanya melotot menunjukkan kebengisan. Sepertinya tak gentar sedikit pun menghadapi lelaki setengah baya yang namanya cukup kondang itu.

Bahkan dengan suara sinis dan sombong, wanita itu bertanya...

"Bagaimana, Ki? Apakah kau mau menyerahkan anakmu?"

"Bedebah Jangan kau kira semudah itu, Betina"

maki Ki Martanu gusar.

Kesabaran lelaki setengah baya itu sudah habis.

Napasnya turun-naik dengan rahang terkatup rapat.

Matanya yang tajam, semakin bertambah tajam memandang ke arah wanita bercadar yang masih tersenyum sinis.

"Jadi kau menolaknya, Ki?" tanya wanita itu tengah mengancam.

"Kurang ajar Langkahi dulu mayatku Heaaa..."

Ki Martanu yang sudah tak dapat menahan

amarah segera melabrak Wulandari yang tertawa mengejek.

Melihat Ki Martanu mulai menyerang, kedua muridnya yang masih hidup segera membantu.

Hingga Wulandari harus kembali menghadapi

keroyokan tiga orang.

"Heaaa..."

Meski dikeroyok tiga orang, tidak menjadikan nyali Wulandari ciut. Dengan tenang wanita itu mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Ki Martanu dan kedua muridnya. Bahkan sesekali Wulandari balik menyerang dengan jurus 'Kupu-kupu Emas Merentang Sayap' yang telah mampu

menjatuhkan tiga murid Ki Martanu.

Ki Martanu yang mengetahui ilmu lawan setingkat dengannya, tidak mau gegabah dalam menyerang.

Dengan menggunakan jurus 'Rusa Melompat

Menyeruduk', Ki Martanu bergerak menyerang.

Kakinya melangkah lebar dengan kaki di depan ditekuk. Tangannya memukul ke arah dada.

Sedangkan tangan kirinya membuat pertahanan dengan membentuk siku.

"Heaaa..."

Kedua muridnya yang turut menyerang tak tinggal diam. Keduanya pun segera menusukkan tombaknya ke arah lawan dari samping kiri dan kanan. Seakan hendak memanggang wanita itu hidup-hidup. Melihat serangan serentak yang dilancarkan oleh Ki Martanu dan kedua muridnya, dengan cepat Wulandari merundukkan tubuh sambil menggeser
kaki dua tindak ke belakang. Sedangkan tangannya bergerak menyambar ke samping. Tombak di tangan murid-murid Ki Martanu melewati beberapa rambut di atas punggungnya. Sedangkan pukulan yang dilancarkan Ki Martanu mengenai tempat kosong beberapa jengkal di depan tubuhnya.

Setelah berhasil mengelakkan serangan ketiga penyerangnya, Wulandari kembali menggebrak. Kini, tangannya yang membentang digerakkan menyilang.

Tangan kanan ke atas, mengarah ke dada lawan di sebelah kiri. Dan tangan kirinya mengarah ke selangkangan lawan di sebelah kanan. Sedangkan tubuhnya masih merunduk, dengan kaki kiri menendang ke depan.

Ki Martanu tersuruk mundur sambil mengebaskan tangan kirinya ke arah kaki lawan. Sedangkan kedua muridnya berusaha memagari tubuh yang menjadi sasaran dengan tombaknya.

Melihat kenyataan itu, cepat-cepat Wulandari menarik semua serangannya. Kemudian dengan berguling ke tanah, Wulandari memusatkan serangan pada lawan di samping kanannya. Tangannya bergerak cepat. Mencengkeram dan menghantam ke perut serta selangkangan lawan.

"Heaaa..."

Lawan yang diserang terkejut Dia berusaha melindungi tubuh dengan tebasan tombaknya.

Namun gerakannya kalah cepat. Tangan kiri Wulandari telah lebih dulu meremas selangkangannya dengan keras.

Crak

"Akh..."

Pemuda itu memekik. Tangannya yang memegang tombak, seketika beralih memegangi kemaluannya yang pecah. Matanya melotot, tubuhnya menegang.

Kemudian ambruk ke tanah dengan darah meleleh dari selangkangannya.

Menyaksikan hal itu, Ki Martanu semakin bertambah marah. Orang tua separuh baya itu dengan garang kembali melancarkan serangannya.

"Aku akan mengadu jiwa denganmu, Perempuan iblis Heaaa..."

Dengan pukulan dan tendangan keras dan

beruntun, Ki Martanu terus berusaha merangsek lawannya. Sepertinya lelaki setengah baya itu tak mau membeikan kesempatan sedikit pun pada lawan untuk mengembangkan serangan.

Wulandari yang mendapatkan serangan beruntun seperti itu, tidak nampak gentar. Tubuhnya meliuk-liuk bagai menari. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri mengelakkan pukulan dan tusukan tangan lawan.

Kakinya pun bergerak lincah, terkadang melebar dan menutup untuk menghindari sambaran-sambaran kaki lawan.

Untuk sementara Ki Martanu mampu mendesak lawan. Hingga lawannya kini hanya mengelak dan menghindar dari serangan serangan yang dilancarkannya.

"Kau harus mampus, Wanita Iblis Heaaa..."

"Apakah tidak sebaliknya, Ki? Heiiit..." ejek Wulandari sambil berkelit ke samping untuk mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan cepat dia balas menyerang. Tangannya bergerak membuka. Tangan kanan ke arah pinggang lawan, sedangkan tangan kiri mengarah ke selangkangan lawan.

Ki Martanu yang sudah melihat kehebatan

serangan itu, dengan cepat menarik mundur kakinya, berusaha mengelakkan serangan itu. Kemudian tangannya meluncur ke dada lawan.

"Jebol dadamu, Iblis Heaaa..."

"Uts..."

Wulandari menarik tangan kanan yang menyerang ke pinggang lawannya. Kemudian dengan cepat menangkis tangan lawan yang memukul ke arah dada. Sedangkan tangan kiri dan kaki kanannya masih melancarkan serangan.

Melihat lawan menangkis, Ki Martanu segera menarik pukulan tangan kanannya. Kemudian disusul dengan tendangan kaki kanan ke arah lawan.

Pertarungan terus berlangsung dengan serunya.

Puluhan jurus telah mereka keluarkan untuk dapat menjatuhkan lawan. Sejauh itu, nampaknya belum ada yang akan memenangkan pertarungan itu.

Keduanya masih sama-sama gesit dan lincah.

Ki Martanu terus berusaha merangsek dengan serangan-serangannya. Namun wanita berpakaian merah jambu pun tak mau kalah. Setelah berhasil mengelakkan serangan lawan, dengan cepat

Wulandari balas menyerang.

Tubuh Wulandari kini melenting ke angkasa, kemudian menukik ke bawah dengan tangan siap meremukkan tubuh Ki Martanu.

"Heaaa..."

Ki Martanu yang melihat jurus lawan, segera memapakinya dengan memukulkan kedua tangan ke atas. Tanpa dapat dicegah, bentrokan tangan mereka pun terjadi.

Degkh

Tubuh Wulandari terlontar kembali ke angkasa, sedangkan kaki Ki Martanu terpendam sebatas betis ke dalam tanah. Rupanya ketika terjadi bentrokan tadi, keduanya sama-sama mengerahkan tenaga dalam penuh.

Wulandari terhuyung ke belakang beberapa tindak.

Mulutnya melelehkan darah. Matanya masih

memandang tajam ke arah Ki Martanu yang juga melelehkan darah dari mulutnya.

"Heaaa..."

Murid utama Ki Martanu yang masih hidup

melesat untuk menyerang lawan yang belum siap.

Namun belum juga tubuhnya sampai, Wulandari telah mengebutkan lengan bajunya. Dan dari dalam bajunya, mendesing ratusan jarum maut ke arah pemuda itu.

Si pemuda tersentak dengan mata melotot. Dia tak mampu lagi mengelakkan serangan jarum itu. Tanpa ampun lagi, jarum-jarum itu menghunjam sekujur tubuhnya.

Jlep, jlep, jlep

"Aaakh..."

Murid Ki Martanu memekik. Sesaat tubuhnya meregang dengan warna biru, kemudian ambruk ke tanah tanpa nyawa.

Menyaksikan muridnya mati, Ki Martanu memekik keras. Tubuhnya melesat cepat ke arah Wulandari yang saat itu ikut memekik sambil bergerak ke arah lelaki setengah baya itu.

"Heaaa..."

"Yiaaat.."

Keduanya siap dengan pukulan maut di tangan masing-masing. Tangan mereka kelihatan membara bagai sinar bintang, melesat di udara. Kemudian dengan sama-sama menggunakan tenaga dalam penuh, keduanya kembali bertarung. Pukulan-pukulan maut tangan mereka, bergerak mencari sasaran.

Desss

"Ukh..." Wulandari mengeluh. Tubuhnya terdorong mundur.

"Akh..." mulut Ki Martanu memekik keras.

Tubuhnya juga terdorong mundur beberapa langkah.

Namun keadaan lelaki setengah baya itu nampak parah. Di dadanya terhunjam puluhan jarum maut.

Mata Ki Martanu melotot. Dari mulutnya semakin banyak darah berwarna hitam mengalir.

"Kau.... Li..., cik.... Akh..." ujar Ki Martai terbata.

Kemudian, tubuhnya ambruk dengan warna biru.

Menyaksikan lawan-lawannya telah binasa,

Wulandari tersenyum sinis. Kemudian dengan cepat tubuhnya bergerak ke dalam pedati di mana sepasang mempelai berada. Tidak begitu lama, terdengar jeritan seorang wanita. Disusul oleh pekik kematian yang menyayat.

Ternyata Wulandari telah membunuh mempelai wanita, sedangkan mempelai lelaki, kini dalam keadaan tertotok. Dibopongnya tubuh mempelai lelaki itu pergi. Tinggallah tempat pembantaian yang kembali sepi, dengan gelimpangan mayat-mayat bermandi darah.

Di angkasa, burung-burung pemakan bangkai berteriak girang, melihat mayat-mayat yang menunggu disantap.

DELAPAN

Seorang pemuda tampan berompi kulit ular sanca tampak berlari sambil tertawa tergelak-gelak seperti orang gila. Terkadang sambil melompat, pemuda itu menepuk-nepuk pantat atau menggaruk-garuk kepalanya. Pemuda tampan bertampang gila itu tiada lain Sena Manggala atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Gila dari Gua Setan. Dia tengah mencari seorang wanita berpakaian merah jambu dengan sebagian wajah tertutup cadar merah.

"Celaka..., celaka... Mengapa aku begitu tolol?"

gumam Sena berulang-ulang, menyesali diri yang dianggapnya telah melakukan ketololan. Bagaimana mungkin dia melepas begitu saja seorang wanita yang sepak terjangnya terlalu telengas dan keji?

Sena terus berlari, berusaha memburu Wulandari.

Namun sampai sejauh itu, belum juga ditemukan tanda-tanda akan bertemu dengan wanita itu.

"Weleh, kalau begini terus, tidak ubahnya main petak umpet. He he he..." Sena kembali tertawa sambil garuk-garuk kepala. Kemudian pemuda itu melangkah biasa. Kepalanya menggeleng-geleng lemah.

Ketika kakinya hendak meneruskan langkah, tiba-tiba matanya yang tajam melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Seketika langkahnya berHenti.

Dari ke-jauhan tampak sosok-sosok tergeletak.

Sepertinya telah terjadi sesuatu di tempat itu.

"Heh, seperti habis terjadi pertarungan. Ah, benar...."

Sena segera melangkah ke tempat itu.

Sesampainya di sana, ditemukannya beberapa sosok tubuh tergeletak tanpa nyawa dan dua ekor kuda yang juga telah mati dengan tubuh membiru.

Diamatinya mayat-mayat itu dengan seksama.

Wajahnya menjadi tegang dengan mata membelalak, manakala melihat sesuatu yang mengerikan di selangkangan beberapa mayat.

"Ah, rupanya dia telah datang di tempat ini...,"

gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.

Kemudian matanya menyapu ke sekeliling, berusaha meyakinkan kalau-kalau wanita itu sudah tidak ada di di sekitar tempat itu.

Setelah merasa yakin tak ada wanita bercadar merah di sekitar tempat itu, Sena memperhatikan kembali mayat-mayat yang tergeletak mengerikan.

"Hm, wanita itu benar-benar keji...," gumamnya lirih dengan mata masih memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan. Ada empat mayat lelaki muda dan seorang lelaki tua berpakaian putih perak. Juga seorang wanita tanpa nyawa dalam sebuah pedati dengan kuda-kuda yang mati.

Lama Sena memperhatikan mayat lelaki setengah baya yang ada di tempat itu. Sepertinya pemuda tampan itu berusaha mengingat-ingat sesuatu. Hal itu terlihat dari keningnya yang agak berkerut.

"Ah..." pekiknya sambil menepuk kening dengan tangan kiri. "Bukankah orang tua ini Ki Martanu? Ada urusan apa wanita liar itu dengannya?"

Sena kembali menggaruk-garuk kepala. Dia

semakin tak mengerti dengan tingkah laku wanita bergaun merah jambu itu. Kemarin Tiga Barka Kembar dari aliran sesat dibantai. Kini Ki Martanu dan keempat muridnya terbantai. Padahal mereka

dari aliran lurus.

"Wah, kacau kalau begini.... Huh, mengapa kejadiannya begini rumit?"

Kembali Sena bergumam sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan tangan kanan. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk kening.

"Siapa dia sebenarnya? Ini tidak boleh dibiarkan"

gumamnya kemudian.

Ketika Sena masih memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan dengan keadaan mengerikan, tiba-tiba terdengar suara seruan dari arah belakang pedati

"Itu dia orangnya"

"Serang..."

"Cincang manusia keji itu..."

Pendekar Gila tersentak kaget, manakala matanya melihat puluhan orang dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Martanu.

Pendekar Gila berusaha memberi tahu bahwa dia bukan pelakunya. Namun belum sempat dia berkata, murid-murid Ki Martanu yang sudah kalap menyerang serentak dengan pedangnya.

"Cincang dia"

"Jangan biarkan hidup..."

"Heaaa..."

Pendekar Gila benar-benar tidak diberi

kesempatan sedikit pun untuk berkata. Mereka benar-benar kalap, menyaksikan mayat gurunya dan juga saudara-saudara seperguruannya yang sangat mengerikan.

"Celaka Mengapa jadi begini...?" keluh Pendekar Gila sambil mengelitkan serangan-serangan yang dilancarkan murid-murid Ki Martanu yang beringas.

Pedang-pedang di tangan mereka bergerak cepat, membabat dan menusuk ke arah Pendekar Gila.

Hingga pemuda tampan itu harus berjumpalitan untuk mengelakkan setiap serangan yang datang ke arahnya, kalau tidak ingin tubuhnya menjadi sasaran pedang-pedang itu.

"Tunggu... Beri aku kesempatan untuk bicara"

pinta Sena sambil bersalto menjauhi mereka. Namun rupanya murid-murid Ki Martanu sudah tak mau peduli.

"Jangan biarkan bangsat itu lolos"

"Cincang saja"

"Heaaat.."

Semua murid Ki Martanu yang dilanda oleh

amarah dan dendam atas kematian saudara-saudara seperguruan dan gurunya, kembali melesat ke arah Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka kembali berkelebat, menyerang dengan sabetan dan tusukan ke tubuh pendekar muda itu.

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala. Dia benar-benar bingung dan tak tahu harus berbuat apa.

Orang-orang yang mengeroyoknya kini, semata-mata karena salah paham belaka. Mereka tak tahu apa-apa. Jelas tidak mungkin baginya menurunkan tangan kasar. Terpaksa Pendekar Gila mengelak ke sana kemari dengan ilmu meringankan tubuhnya.

"Heaaa..."

"Tembus tubuhmu, Iblis Yeaaat..."

"Remuk kepalamu Hiaaat..."

Puluhan pedang menghujani tubuhnya dengan babatan, tusukan, dan sabetan. Kalau saja bukan Pendekar Gila yang dikeroyok begitu rupa oleh mereka, sudah barang tentu akan mengalami celaka.

Serangan mereka yang didasari dendam, benar-benar beringas dan ganas. Sepertinya nyawa orang tak ada artinya bagi mereka, yang penting membalas

kematian guru dan saudara-saudara seperguruan mereka dapat terbalas.

"Pemuda iblis, keluarkan ilmumu yang keji Hadapi kami..."

"Ya, jangan hanya bisa mengelit saja Apakah kau pengecut?"

Caci maki terus terdengar, keluar dari mulut murid-murid Ki Martanu yang dilanda amarah. Pedang-pedang di tangan mereka turut bicara, berusaha menyerang ke arah lawan.

Pendekar Gila benar-benar dibuat kebingungan.

Bukannya dia takut menghadapi keroyokan puluhan orang. Namun masalah sebenarnya memang belum jelas. Mereka belum mengerti apa yang terjadi, dan dia hanya ketiban sial. Orang lain yang melakukan kejahatan, sedangkan dia yang baru sampai menjadi tempat tuduhan.

"Kisanak sekalian, sabarlah Hentikan dulu serangan kalian..." seru Sena sambil terus berjumpalitan berusaha mengelakkan serangan-

serangan lawan. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.

Rupanya gerakan menghindar Pendekar Gila

begitu lincah dan cepat, membuat murid-murid Ki Martanu semakin penasaran. Mereka semakin yakin, pemuda itulah yang telah melakukan tindakan terhadap guru dan saudara-saudara seperguruan mereka.

"Lihat, Teman-teman. Memang pemuda orangnya"

seru salah seorang dari mereka, membuat teman-temannya bertambah yakin.

"Ya Buktinya dia seperti orang gila Hanya orang gila yang tega berbuat sekeji itu" sambung lainnya.

"Sudah, jangan banyak kata lagi... Serang dan

cincang dia"

Pendekar Gila tersentak, dengan cepat tubuhnya bergerak untuk mengelitkan serangan-serangan lawan dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk tak ubahnya seorang penari.

"Sabarlah, Kawan... Uts..."

Hampir saja Pendekar Gila menjadi rencahan senjata lawan-lawannya, ketika dia bermaksud menyadarkan mereka. Cepat-cepat tubuhnya

melenting, bersalto lalu menjejakkan kakinya pada sebatang pohon yang tidak terlalu tinggi.

"Serbu terus..."

Serentak semua menyerbu ke arah pohon yang dijejaki Pendekar Gila. Pedang di tangan mereka berkelebat cepat, membabat ke tubuh Sena.

"Uts... Rupanya kalian benar-benar mau men-cincangku, Sobat. Hup..."

Pendekar Gila mencelat dari pohon, lalu bersalto di udara untuk mengelakkan tebasan-tebasan pedang lawan. Setelah bersalto di udara beberapa saat, tubuhnya turun dengan tenang. Mulutnya nyengir, sedangkan kepalanya menggeleng-geleng dengan tangan menggaruk-garuk.

"Itu dia..."

"Wah wah wah..., ruwet sudah Mereka benar-benar tak bisa diajak kompromi," gumam Sena sambil menepuk-nepuk pantatnya. Sedangkan mulutnya masih nyengir dengan kepala menggeleng-geleng. "Ck ck ck.... Sungguh mengerikan jika orang sudah gelap mata."

"Serang dia..." perintah seseorang, yang dengan segera dipatuhi teman-temannya. Mereka kembali menyerbu Pendekar Gila.

"Heaaat.."

Puluhan pedang kembali bergerak bareng,

berusaha menusuk dan membabat ke tubuh

Pendekar Gila. Dengan cepat Pendekar Gila mengelit ke samping. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.

Hal ini tak dapat dibiarkan. Kalau begini terus, bisa-bisa aku menjadi korban. Gumam Sena dalam hati. Aku harus berbuat sesuatu Tapi.... Ah, seandainya aku memukul mati, tentunya mereka semakin yakin kalau akulah yang melakukan semuanya. Biarlah aku hanya menjatuhkan mereka saja....

Usai berpikir demikian, Pendekar Gila berusaha mendobrak pertahanan lawan-lawannya sambil berkelit dari serangan mereka. Tubuhnya terus meliuk-liuk laksana menari. Kemudian disusul oleh tepukan-tepukan aneh.

Lawan-lawannya tersentak menyaksikan gerakan aneh yang dilancarkan pemuda bertampang gila itu.

Gerakan-gerakannya laksana menari dengan sesekali menepuk. Kelihatannya lambat, namun kenyataannya mampu menghasilkan angin pukulan yang keras dan menyentak.

"Hai, seperti orang main-main gerakannya,"

gumam salah seorang dari mereka.

"Lihat Bukankah itu gerakan main-main?"

sambung yang lainnya.

"Dia benar-benar ingin mempermainkan kita

Serang..." seru orang pertama yang dengan cepat ditanggapi oleh teman-temannya.

Kembali Pendekar Gila harus menghadapi

serangan-serangan yang dilancarkan lawan-lawannya.

Puluhan pedang mengarah ke tubuhnya, menusuk, dan membabat. Hal itu memaksanya harus

menggunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'

dengan sepenuhnya, agar tubuhnya tidak terjangkau oleh tusukan dan sabetan pedang.

"Hiaaat.."

"Maaf, tidurlah dulu, Sobat" Sambil berseru begitu, Pendekar Gila menepuk pelan di dada sebelah kiri lawan.

Tukkk

"Hukh..."

Satu orang kena tertotok. Tubuhnya seketika kaku, dengan mata melotot. Sena menggaruk-garuk kepala sambil terus meliuk-liukkan tubuh, berusaha mengelakkan serangan pedang lawan.

Serangan-serangan gencar terus dilancarkan oleh murid-murid Ki Martanu. Mereka bagai tidak mau peduli dengan salah seorang temannya yang tertotok.

Pedang di tangan mereka berkelebat cepat, menusuk dan menebas.

Pendekar Gila terus meliuk-liukkan tubuhnya, dan sesekali melompat ke sana kemari. Kemudian dengan gerakan aneh, kembali ditepuknya seorang lawan yang dekat dengan jangkauannya.

"Kini kau yang tidur, Sobat Maaf..."

Tukkk

Orang itu seketika mematung dengan mata

melotot.

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak sambil menepuk-nepuk pantat. Kemudian dengan cepat tubuhnya dilemparkan ke samping, mengelakkan serangan yang kembali datang mendera ke arahnya.

"Pemuda ini benar-benar harus mampus

Heaaa..."

"Jangan biarkan lolos"

"Hiaaat.."

Puluhan pedang terus menyerbu ke arah Pendekar Gila yang meliuk-liukkan tubuhnya sambil menggaruk-garuk kepala. Gerakannya yang kelihatan lamban, membuat lawan bertambah penasaran. Hingga lawan-lawannya kian bernafsu untuk segera menjatuhkannya.

"Wah, gawat kalau begini... Bisa-bisa korban semakin bertambah banyak," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan bergerak untuk mengelakkan serangan lawan-lawannya.

Tubuh Pendekar Gila segera mencelat ke samping, bersalto di udara dan hinggap di cabang pohon randu sambil tertawa tergelak-gelak. Tangannya tak henti-henti menggaruk kepala dan menepuk pantat.

"Ha ha ha... Hoi.... Aku di sini..." serunya memanggil para penyerang yang mencari-carinya.

Setelah mereka melihat, dengan tingkah konyol dan kocak Sena menunggingkan pantatnya.

"Nih..."

Pendekar Gila kembali tergelak-gelak. Sedangkan murid-murid Ki Martanu yang merasa dipermainkan semakin marah. Mereka serentak mengejar ke arah pohon di mana Sena berada. Ada yang berusaha naik, Ada pula yang mencoba menebang pohonnya.

Sementara, Pendekar Gila masih tergelak-gelak sambil menggaruk-garuk kepala.

"Ha ha ha... Kalian semua lucu Ayo, kita main panjat pinang Ha ha ha..."

Murid-murid Ki Martanu terus berusaha menebang pohon randu di mana Pendekar Gila berada. Sedikit demi sedikit pohon itu akhirnya dapat ditebang.

Namun ketika pohon itu hampir roboh, dengan cepat tubuh Sena bersalto menjauh. Kini tinggallah murid-murid Ki Martanu yang ketakutan, sebab pohon besar

itu tumbang ke arah mereka.

"Awas, pohon tumbang..." seru Pendekar Gila sambil tertawa terpingkal-pingkal, hingga tubuhnya terguncang-guncang. Tangannya menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat.

Semua murid Ki Martanu kocar-kacir mencari selamat. Namun tak urung, dua atau tiga orang tersambar ranting pohon itu. Mereka menjerit-jerit minta tolong.

Pendekar Gila semakin terpingkal-pingkal

menyaksikan kejadian di depannya. Kepalanya menggeleng-geleng, membuat murid Ki Martanu yang lain semakin jengkel.

"Pemuda edan Serang dia..."

Mereka kembali bergerak untuk menyerang

Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Sena yang tidak mau berurusan dengan mereka, kembali melompat lalu bertengger di cabang pohon randu lainnya.

"Ke mana dia...?"

"Hilang.."

Mereka celingukan mencari-cari ke mana perginya pemuda bertingkah laku gila itu. Namun mereka tidak juga dapat menemukannya.

Pendekar Gila tertawa keras di atas pohon membuat pengeroyok seketika mendongak. Mata mereka melihat pemuda itu berada di atas cabang paling atas pohon itu. Dilihat dari cabang kecil yang dijadikan tumpangan berpijak, seharusnya mereka sadar kalau pemuda bertampang gila itu bukan pemuda sembarangan.

Kalau seorang berilmu tanggung, tidak mungkin dapat berdiri sambil tertawa tergelak-gelak di atas sebuah cabang pohon sebesar jari tangan orang dewasa. Namun mereka tak peduli. Kegelapan mata

mereka membuat mereka terus berusaha memburu.

"Awasi terus, jangan sampai dia pergi"

"Ha ha ha... Kenapa kalian tidak tebang lagi pohon ini?" ledek Sena sambil tertawa terpingkal-pingkal dengan tangan sesekali menepuk-nepuk pantat.

"Hentikan..."

Tiba-tiba dari arah pedati muncul tiga lelaki berpakaian sama dengan orang-orang yang

mengeroyok Pendekar Gila. Pengeroyok yang tengah memutar pohon seketika menjura hormat pada ketiganya.

"Tuan pendekar, turunlah" seru salah satu dari ketiga orang yang baru datang. Lelaki itu berpakaian jubah. Wajahnya terhias kerutan pertanda usianya sudah cukup tua, dengan kumis dan jenggot putih yang memanjang.

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak, kemudian dengan ringan melompat ke bawah. Tahu-tahu pemuda tampan itu telah berdiri di hadapan ketiga orang yang baru datang, yang langsung menjura ke arahnya.

Hal itu membuat murid-murid Ki Martanu yang tadi mengeroyoknya mengerutkan dahi.

"Eyang, bukankah pemuda ini yang membunuh guru dan saudara-saudara kami?" tanya salah seorang dari mereka, memberanikan diri.

Lelaki yang dipanggil eyang menggelengkan kepala.

"Toh Gendis, ceritakan pada mereka, siapa pendekar muda ini," ujarnya seraya menatap salah satu dari dua orang yang bersamanya.

Toh Gendis yang merupakan adik seperguruan Ki Martanu dengan singkat menceritakan siapa pemuda yang bertampang gila itu. Mendengar penuturan Toh

Gendis, murid-murid Ki Martanu yang tadi menyerang Pendekar Gila melotot dan langsung memberi penghormatan.

"Sudahlah..., sudahlah.... Mengapa kalian membesar-besarkan julukanku? Ah ah ah, terlalu lama dan bertele-tele. Baiklah, aku harus mem-beritahukan pada kalian, bahwa mungkin ada kesalahpahaman yang terjadi antara kita," kata Sena sambil cengengesan. "Aku harus pergi untuk mengejar pembunuh yang telah membantai guru dan saudara seperguruan kalian dengan keji. Kalau tidak, bahaya besar akan terus terjadi. Nah, aku mohon pamit..."

Pendekar Gila menjura, kemudian dengan cepat berkelebat meninggalkan mereka yang berdecak kagum menyaksikan bagaimana anak semuda itu memiliki ilmu yang tinggi, namun tidak sombong.

"Ck ck ck.... Sungguh bukan sembarang pendekar,"

gumam lelaki tua yang dipanggil eyang sambil menggeleng-geleng kepala. Sedangkan matanya masih mengikuti Pendekar Gila yang berlari menembus hutan.

SEMBILAN

Pendekar Gila yang sedang mencari Wulandari terus berlari menerobos hutan dan sungai. Sepertinya tiada rasa lelah sedikit pun baginya. Pikirannya hanya satu, secepatnya mendapatkan wanita yang tindak-tanduknya terlalu telengas itu.

Mentari tepat berada di atas ubun-ubun, ketika Sena melintas di jalan yang lengang. Angin siang menghembuskan debu, hingga beterbangan dan menghempas ke tubuhnya. Mau tak mau, Sena harus menghentikan larinya. Kini dia hanya berjalan pelan dengan tangan menutupi wajahnya agar tak terkena serbuan debu.

"Debu sialan Huh, terlambat lagi..." rutuknya sambil terus menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Kakinya terus melangkah, berusaha melawan angin badai yang menerbangkan debu-debu itu.

Setelah angin mereda, Sena membersihkan

pakaiannya yang penuh debu. Tiba-tiba dari arah samping terdengar seruan....

"Anak muda, berhenti..."

Sena tersentak. Tubuhnya langsung dibalikkan ke arah asal suara itu. Nampak seorang lelaki berkepala botak di bagian atas. Rambutnya hanya tumbuh di bagian samping serta belakang kepala. Lelaki itu berlari ke arahnya. Tubuhnya tinggi besar dengan wajah dihiasi cambang bauk lebat. Hidungnya yang besar, menambah angker penampilannya. Sedangkan matanya lebar, bagai burung hantu.

Lelaki itu mengenakan pakaian berwarna hitam

berbentuk rompi. Dadanya menonjol dan berotot. Di pinggangnya terselip sepasang senjata berbentuk trisula besar.

Senjata dan pakaian yang dikenakan lelaki setengah baya itu mengingatkan Sena pada tiga orang kembar yang dikejarnya namun kedapatan mati dengan keadaan mengerikan. Ya, pakaian dan senjata orang itu sama dengan pakaian dan senjata Tiga Barka Kembar.

Bibir Sena cengengesan. Matanya memandang dengan seksama lelaki tinggi besar yang masih berlari ke arahnya.

"Anak muda, apakah kau yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya lelaki setengah baya berwajah seram itu dengan mata tajam.

Sena tertawa tergelak-gelak. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya menepuk-nepuk pantat. Tingkahnya sangat aneh, mirip seekor kera gila. Lelaki tinggi besar itu jadi mengerutkan kening dan menyipitkan mata. Kesal juga hatinya menyaksikan tingkah laku pemuda di depannya.

"Anak muda, apakah kau tak punya sopan santun, heh?" bentak lelaki setengah baya itu. "Apakah kau tak tahu sedang berhadapan dengan siapa, Bocah Edan? Akulah Ki Kempala atau Trisula Setan, guru dari Tiga Barka Kembar"

"Aha... Rupanya aku bertemu dengan seorang tokoh hitam yang tersohor. Ah, terimalah hormatku.

Sungguh aku yang bodoh telah berlaku kurang sopan," kata Sena, seraya menjura hormat Kemudian setelah berkata begitu, Sena kembali tertawa tergelak-gelak, membuat Ki Kempala semakin gusar.

"Bocah edan Kaukah Pendekar Gila dari Gua Setan itu?"

Sena menghentikan tawanya. Matanya me-

mandang tajam ke arah Ki Kempala. Kemudian kembali tawanya diteruskan. Tingkahnya membuat kemarahan lelaki setengah baya itu semakin memuncak.

"Anak muda, cepat katakan, di mana aku harus menemui pendekar itu?" bentaknya keras dengan mata melotot penuh kemarahan.

"Kisanak, untuk apa kau mencarinya?" tanya Sena dengan kata sopan. Sepertinya dia berbicara sungguh-sungguh.

"Membunuhnya" tegas Ki Kempala.

"Membunuhnya?" ulang Sena.

"Ya"

"Ah, mengapa pula kau hendak membunuhnya?"

tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan wajah cengengesan.

"Karena dia telah membunuh ketiga muridku"

Masih keras dan kasar suara Ki Kempala.

Wajahnya yang beringas semakin menyeramkan untuk dipandang. "Hei, apakah kau Pendekar Gila dari Gua Setan itu?"

Sena tak langsung menjawab. Kembali tangannya menggaruk-garuk kepala dengan nyengir kuda.

"Apakah kau punya bukti menuduh Pendekar Gila melakukan pembunuhan terhadap ketiga muridmu?"

"Kalaupun bukan dia, aku tetap akan me-nantangnya bertempur. Sebab, aku memang berniat untuk menjajaki ilmunya, yang katanya tinggi dan dijadikan buah bibir orang-orang rimba persilatan"

jawab Ki Kempala, masih menunjukkan keangkeran dan ketegasannya.

"Ah, sungguh picik sekali. Mengapa ilmu manusia yang belum seberapa dibandingkan ilmu Hyang Widhi harus dijajal? Ah ah ah..., sungguh menyedihkan,"

gumam Sena, membuat Ki Kempala semakin naik pitam. Dianggapnya pemuda ingusan itu telah berani menggurui.

"Lancang sekali mulutmu, Anak Muda? Apakah kau yang berjuluk Pendekar Gila itu, heh?" bentaknya sengit

"Ya, memang aku orangnya, Ki...," jawab Sena tenang.

"Kalau begitu, kau harus mampus Heaaat..."

Tanpa banyak kata lagi, Ki Kempala langsung membuka serangan. Kedua tangannya membentang ke atas. Kemudian tangan kanannya dengan cepat mencakar ke arah Pendekar Gila, sedangkan tangan kiri membentuk siku.

Mendapatkan serangan yang tiba-tiba, Pendekar Gila yang sudah waspada segera memiringkan tubuh ke samping. Tangannya bergerak menangkis.

Kemudian dengan cepat, tubuhnya sedikit dirundukkan ke depan, sedangkan kedua kakinya melangkah ke belakang dengan teratur.

Mendapatkan serangan permulaannya gagal, Ki Kempala kembali melakukan serangan susulan.

Tangan kanannya diangkat ke atas, kemudian dengan jari-jari membentuk cakar, segera menyerang ke dada Pendekar Gila. Sedangkan tangan kirinya kini menggenggam, kemudian menghentak ke muka lawan.

"Hiaaat.."

"Uts..."

Pendekar Gila tidak mau tinggal diam. Dia tahu, tentunya lelaki tinggi besar itu tidak main-main dan bukan orang sembarangan. Dengan menggunakan

jurus 'Kera Gila Melempar Batu', dibalasnya serangan lawan. Tangannya bergerak cepat ke bawah seperti mengambil sesuatu, kemudian bergerak ke depan layaknya melempar.

Sedangkan tangan kirinya turut bergerak dan sesekali menggaruk-garuk kepala. Terkadang ditekuk ke dalam, kemudian menjentik ke depan. Kakinya pun tak tinggal diam, menyambar dan menendang ke arah perut lawan.

Melihat gerakan aneh yang dilancarkan lawan, Kempala sesaat mengerutkan kening. Namun

menyaksikan gerakan Pendekar Gila yang kelihatan lamban Ki Kempala kembali merangsek. Kedua tangannya menyerang bergantian. Kedua kakinya secara bergantian turut bergerak menendang. Namun semuanya tak menghasilkan apa-apa. Serangan-serangannya pupus tertiup angin. Setiap kali dia melancarkan serangan, tiba-tiba Pendekar Gila telah menjauh atau berkelit ke samping.

"Edan Jurus edan..." makinya marah.

Cepat-cepat Ki Kempala mengejar tubuh pemuda itu, disusul oleh tendangan kakinya yang panjang dan cepat ke arah tubuh Pendekar Gila yang kelihatan bergerak lambat. Tapi lagi-lagi tak berhasil. Pemuda gila itu tahu-tahu telah berada di sampingnya.

Ki Kempala kembali bergerak untuk menyerang ke arah samping. Tangan kirinya lurus memukul, sedangkan tangan kanannya berada di atas kepala.

Setelah serangan pertama tak berhasil, dengan cepat Kempala memutar tubuh. Tangan kanannya yang semula di atas kepala, kini memukul ke arah lawan.

"Pecah batok kepalamu Heaaa..."

"Uts Masih lemah, Ki."

Sambil berkata begitu, dengan cepat Pendekar

Gila berguling ke bawah. Lalu kembali melakukan serangan seperti melempar. Ki Kempala mau tak mau harus menyurutkan tubuh ke belakang. Kakinya digeser ke samping, seraya memiringkan tubuhnya.

"Meskipun ilmumu tinggi, namun aku tak akan kalah olehmu Hiaaat.."

Ki Kempala kembali menghentak dengan

serangan-serangan bawah. Kedua kakinya menendang bergantian, dan terkadang menyapu ke tubuh Pendekar Gila yang terus berguling.

Pendekar Gila terus melakukan gaya kera

berguling sambil mencakar. Dengan berguling tangannya sesekali mencakar ke arah kaki lawan yang menendang. Atau kakinya menjejak ke arah kaki lawan. Hal itu memaksa Ki Kempala untuk menarik mundur serangannya.

Hm, kalau begini terus, sulit bagiku untuk menyerangnya. Gumam hati Ki Kempala. Dengan cepat dia merubah jurusnya. Kali ini digunakannya jurus 'Musang Berguling Menangkap Mangsa'.

"Heaaa..."

Tubuh Ki Kempala berguling, sejajar dengan tubuh Pendekar Gila. Sementara keduanya berguling di tanah, mereka terus bergerak saling menyerang.

Tangan dan kaki mereka saling mencakar dan menendang.

Pertarungan dengan cara berguling itu berlangsung lama. Tangan dan kaki mereka terus saling cakar dan menendang. Namun sejauh itu, Pendekar Gila belum berusaha melancarkan serangan yang mematikan. Dia masih mencoba mengukur sampai sejauh mana ilmu lawan. Padahal Ki Kempala telah mengerahkan hampir tiga perempat ilmunya untuk dapat mengalahkan pemuda itu, sekaligus mem-

bunuhnya.

"Hiaaat.."

"Hup Heaaa..."

Ki Kempala terus mengikuti cara bertarung lawannya dengan berguling. Tanpa terasa, mereka telah jauh meninggalkan tempat semula. Tangan Ki Kempala terus mencakar ke arah wajah dan dada lawan. Namun Pendekar Gila dengan cepat selalu dapat berkelit. Tangannya menyilang, kemudian membuat gerakan melempar yang mau tak mau harus dielakkan Ki Kempala.

Setelah beberapa jurus mereka kerahkan untuk melakukan pertarungan dengan cara berguling, tiba-tiba tangan mereka berbenturan keras. Diikuti pekikan menggelegar, kedua tubuh itu melompat ke atas dahan laksana terbang.

"Heaaat.."

"Hup, heaaa..."

Dua tubuh itu berkelebat ke atas, kemudian salto ke belakang. Wajah Ki Kempala nampak pucat menandakan betapa kagetnya dia. Sama sekali tidak diduganya kalau lawan yang masih muda memiliki tenaga dalam yang sempurna, hingga mampu

melontarkan tubuhnya jauh.

"Hm, rupanya dia bukan pemuda sembarangan.

Pantas namanya saat ini melambung. Tapi aku tidak akan mundur. Heaaa..."

Tubuh Ki Kempala yang baru saja menjejak tanah, kini telah berkelebat lagi untuk melakukan serangan.

Dicabutnya kedua senjata kembarnya yang berbentuk trisula.

Melihat lawan telah menggenjot kakinya untuk menyerang, Pendekar Gila tak mau tinggal diam.

Tanpa mengeluarkan senjatanya, Pendekar Gila

memapaki serangan lawan.

"Heaaa..."

Ki Kempala menyodokkan ujung trisula di tangan kanannya ke dada lawan. Sedangkan trisula di tangan kirinya menyabet ke arah kepala.

Pendekar Gila dengan cepat meliukkan tubuh ke samping. Sedangkan kepalanya ditundukkan dalam-dalam. Tangan kanannya melakukan hentakan ke dada lawan dengan tepi telapak tangan. Sedangkan tangan kirinya menghentak ke dagu lawan dengan telapak tangan.

"Hiaaat.."

Ki Kempala tersentak kaget Dia tidak menduga sama sekali akan mendapatkan serangan yang begitu cepat. Dengan cepat Ki Kempala menarik

serangannya. Tangan kirinya ditebaskan di depan dadanya. Sedangkan tangan kanannya melakukan tusukan ke dada lawan.

Mendapatkan lawan melakukan tangkisan,

Pendekar Gila menarik serangannya. Dengan cepat tubuhnya memutar ke samping tubuh Ki Kempala.

Dan dengan cepat pula, lutut kaki kanannya menyodok ke arah pinggang Ki Kempala.

"Uts... Celaka..." pekik Ki Kempala dengan mata melotot kaget. Cepat-cepat tubuhnya diegoskan, mengelakkan sodokan lutut lawan. Kemudian kembali trisulanya ditebaskan ke kaki lawan.

Pendekar Gila menarik lututnya ke belakang.

Dengan kaki kanan masih mengambang di udara, tangan kirinya menyerang ke dagu lawan. Sedangkan tangan yang kanan, memukul ke perut lawan.

"Akh... Gila Benar-benar gila..." seru Ki Kempala, kaget menyaksikan gerakan yang dilancarkan Pendekar Gila. Kelihatannya sangat lambat pemuda

itu melakukan serangan, namun tahu-tahu tangannya yang menyentak ke dagu dan perut telah tepat pada sasaran.

Ki Kempala memiringkan tubuh ke belakang

hingga agak mendongak. Kemudian kembali tubuhnya dimiringkan ke samping kanan. Dilanjutkan dengan tendangan ke selangkangan lawan.

Cepat-cepat Pendekar Gila mengelit ke samping kiri, sedangkan kaki kanannya yang masih

mengambang dengan cepat menendang ke pinggang lawan.

"Hiaaat.."

Ki Kempala terkejut bukan kepalang. Cepat-cepat dia mencelat ke belakang untuk mengelak. Kalau terlambat, pinggangnya tentu sudah remuk terkena tendangan kaki lawan. Sambil berdiri, matanya memandang tegang ke arah Pendekar Gila yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.

"Kurang ajar Jangan dikira aku akan kalah olehmu, Gila"

Usai membentak begitu, Ki Kempala segera

menjatuhkan diri ke tanah, kemudian dengan cara berbaring dia melakukan serangan ke arah lawan.

"Heaaa..."

Tangan Ki Kempala yang menggenggam trisula bergerak menusuk dan membabat, membuat

Pendekar Gila berlompatan ke sana kemari

mengelakkan sabetan senjata lawan. Dengan jurus

'Kera Gila Menari Menggoda Ular' Pendekar Gila terus bergerak. Kedua kakinya berirama menari-nari, dengan tangan tak ketinggalan melakukan gerakan menghempas ke bawah.

Repot juga Ki Kempala menghadapi jurus yang dimainkan Pendekar Gila. Tangan kanannya harus

bisa menangkis serangan-serangan yang dilancarkan lawannya. Sedangkan tangan kirinya terus berusaha menyerang.

Ki Kempala menyilangkan kedua tangannya ke atas, manakala tangan Pendekar Gila
menyerang.

Hingga kedua tangan mereka saling beradu. Lalu Ki Kempala menendang ke wajah Pendekar Gila, yang dengan cepat memiringkan tubuh ke samping.

Kemudian balas menyerang dengan dupakan kaki kanannya.

"Hiyaaat.."

"Yeaaat.."

Kedua tangan itu masih menyatu, ketika Pendekar Gila menyentakkan tubuh ke atas. Sehingga tubuh Ki Kempala turut tersentak melesat ke atas.

Saat tubuh mereka melayang di atas, keduanya kembali saling menyerang. Tangan mereka yang semula menyatu, kini saling menghantam dan menangkis. Sedangkan kaki mereka turut bergerak menyerang.

"Heaaat.."

"Hup Heaaa..."

Keduanya memapaki serangan dengan telapak tangan masing-masing, sehingga kedua telapak tangan mereka beradu keras.

Degkh

"Ukh..."

"Hhh..."

Tubuh keduanya mencelat ke belakang, bersalto di atas kemudian menjejakkan kakinya di tanah. Tubuh Ki Kempala terhuyung ke belakang dua langkah.

Mulutnya melelehkan darah. Sementara Pendekar Gila tersenyum acuh sambil garuk-garuk kepala.

"Ki Kempala, kurasa tak ada gunanya pertarungan

ini. Lebih baik kita sudahi saja. Aku masih banyak urusan," ucapnya sambil mengorek-ngorek telinga.

"Tidak Aku tak akan membiarkan kau pergi Huh jangan kira aku telah kalah olehmu Hiaaa..."

Pendekar Gila tersentak kaget. Tidak diduganya kalau lawan benar-benar hendak mengadu nyawa.

Telinganya terasa agak berdengung mendengar teriakan yang menggelegar tadi. Pendekar Gila berusaha menahan getaran teriakan itu dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Kemudian dengan cepat dicabut Suling Naga Sakti dari pinggangnya.

"Heaaa..."

Dengan melompat untuk menghindari serangan lawan, Pendekar Gila meniup sulingnya. Suara tiupan suling itu berubah melengking. Sekaligus menghancurkan teriakan Ki Kempala yang menggelegar.

Hingga lelaki tinggi besar itu tersentak dan menghentikan teriakannya.

Melihat Ki Kempala telah menghentikan teriakan, Pendekar Gila pun menghentikan tiupan sulingnya.

Setelah itu tubuh keduanya kembali melesat untuk saling menyerang.

Dengan tangan menggenggam senjata masing-

masing, keduanya bergerak menyerang. Ki Kempala menusukkan trisulanya ke dada lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila membabatkan Suling Naga Sakti ke arah senjata lawan. Dan terjadilah benturan keras yang memekakkan telinga.

Trang

Ki Kempala tersentak kaget. Tubuhnya melompat mundur dengan mata membelalak lebar. Tangannya kesemutan dan terasa sangat panas. Napasnya mendengus semakin marah. Lalu dengan segenap tenaga dalamnya, Ki Kempala kembali menyerang

dengan memekik dahsyat.

"Hiyaaat.."

"Heit.."

Ki Kempala kembali berusaha menusukkan

trisulanya ke tubuh Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila membabatkan sulingnya untuk mementahkan tusukan itu. Sedangkan tangan kirinya memukul dengan telapak tangan ke dada lawan yang kosong.

Ki Kempala tersentak kaget. Dia berusaha

menutupi dadanya dengan tangan kiri. Namun gerakannya kurang cepat, hingga pukulan telapak tangan Pendekar Gila menghajar dadanya.

Degk

"Akh..." Ki Kempala memekik keras. Tubuhnya terlontar jauh ke belakang, melayang dengan dada gosong. Kemudian tubuh itu membentur bukit cadas hingga terdengar suara patahnya tulang punggung dan pecahnya tulang kepala.

Krak

Pendekar Gila terpaku diam sambil menggaruk-garuk kepala.

"Sungguh kau seorang lelaki yang perkasa, Seharusnya tak perlu terjadi hal seperti ini kalau saja kau tidak memaksa...," desah Pendekar Gila sambil memandangi tubuh Ki Kempala yang tewas secara mengerikan. Kemudian dengan cepat kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.

SEPULUH

Seorang wanita cantik bertubuh kuning langsat tengah menggeluti tubuh seorang lelaki muda tampan. Wanita itu adalah Wulandari, sedangkan lelaki tak berdaya dalam pelukannya adalah putra Ki Martanu yang berhasil dibawanya.

"Ayo, Sayang...." desis Wulandari sambil menggeluti tubuh pemuda itu.

Sementara itu, lelaki di pelukannya hanya diam.

Matanya memandang hampa, seakan-akan tidak ada gairah sama sekali. Benaknya terus terbayang pada istrinya yang dibunuh oleh Wulandari dua hari yang lalu.

Namun, lelaki tetap lelaki. Menghadapi godaan wanita secantik Wulandari, akhirnya pupus juga bayangan tentang kematian istri tercinta di benaknya.

Perlahan-lahan pemuda itu terbawa anus birahi yang mulai tercipta oleh iblis dalam dadanya.

Hingga pemuda itu mulai membalas kecabulan yang diberbuat Wulandari. Dan keduanya terhanyut di tengah gelombang nafsu laknat.

Saat keduanya hendak mencapai puncak

kenikmatan duniawi, tiba-tiba....

Jlep, jlep, jlep

"Aaa..." si pemuda menjerit. Tubuhnya meregang dengan kepala mendongak. Matanya melotot

mengerikan, membuat Wulandari tersentak kaget.

Lalu tubuh pemuda itu ambruk ke samping. Di punggungnya tertancap tiga bilah pisau beracun.

"Kurang ajar Siapa cecunguk yang telah berani

mengganggu kesenanganku?" maki Wulandari.

Dengan cepat dia mengenakan pakaiannya kembali, kemudian berkelebat ke luar.

Di luar telah berdiri sesosok tubuh dengan wajah bertopeng. Seorang lelaki muda berpakaian kuning, yang mengingatkan Wulandari pada lelaki yang telah memperkosanya. Lelaki muda bertopeng itu tertawa ngakak.

"Mengapa kau harus susah-susah mencari kepuasan? Bukankah aku telah siap? Bagaimana dulu? Nikmat bukan?" tanyanya sambil meneruskan gelak tawa.

Mara Wulandari melotot penuh kebencian.

Pemuda ini yang dicari-carinya. Kini dia telah datang kembali, tanpa harus susah-susah mencarinya.

"Rupanya kau yang dulu mengaku Pendekar Gila?

Hm, kau harus mampus, Bajingan Hiaaat..."

Dengan penuh kemarahan, Wulandari menyerang pemuda bertopeng yang memang dicarinya. Serangan yang dilakukannya tidak tanggung-tanggung. Jurus-jurus maut yang didapatinya dari Nyi Kendil kini dikeluarkannya untuk menggempur pemuda

bertopeng yang mengaku sebagai Pendekar Gila.

Mendapat serangan cepat dan keras dari

Wulandari, pemuda bertopeng itu malah tertawa.

Kemudian dengan pongah dan sombong pemuda itu berkata...

"Percuma kau melawanku, Perempuan Tolol.

Pendekar Gila bukanlah tandinganmu"

Sambil berkata begitu, pemuda bertopeng yang mengaku-ngaku sebagai Pendekar Gila itu berkelit mengelakkan serangan Wulandari yang bertubi-tubi

"Bedebah Kau kira aku akan percaya kalau kau Pendekar Gila? Kau salah besar Aku telah

berhadapan langsung dengan Pendekar Gila yang sesungguhnya. Dan dia tidak bejat seperti kau

Heaaat.."

Wulandari yang dendamnya terus membara tak mau banyak omong lagi. Tangannya yang membentuk sayap kupu-kupu terus menyambar. Sedangkan kakinya menendang dan menyapu.

"Ha ha ha... Rupanya kau tak percaya, kalau aku Pendekar Gila Hm, baiklah Kau lihatlah buktinya."

Usai berkata begitu, pemuda bertopeng itu melakukan gerakan yang aneh. Tubuhnya meliuk-liuk bagai menari. Namun gerakannya kasar dan keras, tidak seperti gerakan yang dilakukan Sena untuk mengelak.

"Pembohong Iblis... Jangan kira aku tak tahu siapa Pendekar Gila Heaaa..."

Wulandari yang merasa telah ditipu mentah-mentah oleh pemuda itu, terus melancarkan serangan. Pukulan dan sambaran maut dilancarkannya. Namun pemuda bertopeng itu dengan mudah mengelakkan setiap sambaran dan pukulan lawan.

Wulandari terus merangsek dengan serangan-serangannya. Namun setiap kali melakukan

serangan, secepat itu pula lawan dapat me-matahkannya. Hal itu membuat Wulandari semakin marah dan penasaran.

"Aku belum puas sebelum membetot kemaluanmu, Iblis Heaaa..."

Kini Wulandari membuka serangan baru dengan jurus yang lebih keras dan dahsyat. Jurus 'Kupu-kupu Hinggap Sambil Menghisap Madu'. Kakinya yang mengambang, sedikit ditekuk. Sedangkan kedua tangannya bergerak membuka dan menyambar

dengan cepat.

"Hiaaat.."

Pemuda bertopeng itu kembali tertawa. Tubuhnya melompat ke sana kemari untuk mengelakkan setiap serangan lawan.

"Sudah kukatakan, percuma saja kau melawan Pendekar Gila" katanya lagi.

"Bedebah Jangan kira mulutmu tak dapat kurobek Heaaat.."

Saat keduanya bertarung seru, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa membahana. Bersamaan dengan itu, seorang lelaki berpakaian rompi kulit ular sanca telah hinggap di atas sebuah ranting pohon di hutan itu, Gerak-geriknya seperti orang gila. Tangannya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

"Ha ha ha... Jadi inikah orang yang mengaku sebagai Pendekar Gila?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk

membuat kedua orang yang tengah bertarung seketika menghentikan pertarungannya.

"Siapa kau? Berani benar kau berkata begitu di depan Pendekar Gila, heh?" bentak pemuda bertopeng.

Sena kembali tertawa tergelak-gelak. Tangannya menggaruk-garuk kepala dan menepuk pantat kemudian dengan cengengesan sambil menggelengkan kepala, Sena menjawab....

"Aku...? Ha ha ha.... Entahlah. Maaf, aku berlaku tak sopan di depan lelaki busuk yang ngaku-ngaku sebagai Pendekar Gila" usai berkata Sena melompat ke bawah dan menjejakkan kakinya di depan kedua orang tadi. "Hm, rupanya ini orang yang membuat cemar nama Pendekar Gila. Ah ah.... Mengapa Pendekar Gila harus bertopeng?"

"Kurang ajar Siapa kau sebenarnya?" bentak

pemuda bertopeng.

"Siapa pun aku, yang jelas aku ingin menangkap-mu, Manusia Busuk Ha ha ha... Enak sekali kau mengaku-ngaku Pendekar Gila," ancam Sena.

"Bedebah Rupanya kau mencari mampus, berani kurang ajar pada Pendekar Gila. Heaaa..."

Pemuda bertopeng bergerak menyerang ke arah Sena yang masih tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat. Gerak-geriknya persis orang gila, membuat Wulandari terpaku di tempat.

Wulandari benar-benar bingung. Dilihatnya kedua orang lelaki muda yang sama-sama tampan. Yang satu mengenakan baju rompi terbuat dari kulit ular sanca. Sedangkan yang satunya berbaju lengan panjang warna kuning dengan wajah bertopeng.

Kalau dilihat dari gerak-geriknya, tentunya pemuda yang mengenakan rompi kulit ular sanca adalah Pendekar Gila, pikir Wulandari.

Pemuda bertopeng terus melancarkan serangan.

Tangannya bergerak menyambar dada lawan.

Sedangkan tangan yang lain memukul ke arah muka.

Kedua kakinya tak tinggal diam, menyapu dan menendang ke arah kaki Pendekar Gila.

Mendapat serangan cepat dan bertubi-rubi, tidak membuat Pendekar Gila gentar. Dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', dielakkannya serangan lawan.

Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Sementara tangannya terkadang menepuk. Gerakan meliuk dan menepuknya kelihatan sangat pelan dan lamban. Hal itu membuat pemuda bertopeng semakin yakin kalau dalam beberapa gebrakan saja pemuda yang

bertingkah seperti orang gila itu akan dapat

dijatuhkannya.

Pemuda bertopeng semakin mempercepat

serangan. Tangannya mengembang ke samping dengan satu kaki menekuk. Itulah jurus 'Belalang Mencakar'.

Dengan cepat tangannya membentuk kaki-kaki belalang yang mencakar dan menjentik ganas ke arah Pendekar Gila. Sedangkan kakinya turut menendang dan menyapu.

Menghadapi serangan yang begitu gencar, sambil menggaruk-garuk kepala Pendekar Gila terus berkelit.

Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Lucu sekali gerakan yang dilakukannya, sampai-sampai

Wulandari yang menyaksikannya jadi terkesima dan tak dapat berbuat apa-apa.

"Heaaat.."

"Yeaaat.."

Tangan pemuda bertopeng itu terus bergerak mencakar dan menyentuh ke dada dan wajah

Pendekar Gila. Namun dengan cepat Pendekar Gila berkelit. Tubuhnya dimiringkan ke samping untuk mengelak kemudian tangannya bergerak menyambar topeng pemuda itu.

"Heaaa..."

***

Breeet

Topeng yang dikenakan pemuda berbaju itu

terlepas dari wajahnya. Dan nampaknya seraut wajah tampan.

"Hm... Tidak kusangka lelaki setampan dia harus menyembunyikan wajah di balik topeng. Tentunya kau bermaksud buruk...?" gumam Pendekar Gila.

Melihat lawannya lengah, dengan cepat pemuda berbaju kuning mengirimkan tendangan cepat.

Pendekar Gila tersentak kaget. Dia berusaha mengelak, namun terlambat. Tendangan pemuda itu begitu cepat dan tiba-tiba. Tanpa ampun lagi, dadanya terhantam tendangan lawan.

Degk

"Hukh..."

Pendekar Gila terhuyung ke belakang dengan mata melotot kaget. Kepalanya digeleng-gelengkan untuk mengusir rasa mual yang sampai ke kepala. Mulutnya menyeringai, kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala.

Pemuda berbaju kuning yang mengira Pendekar Gila terkena luka dalam akibat tendangannya, kembali menyerang dengan gabungan pukulan dan tendangan. Gerakannya cepat dan mematikan.

Nampaknya pemuda berbaju kuning itu merasa yakin kalau dia akan dapat menjatuhkan Pendekar Gila.

"Hiaaat.."

"Celaka Pemuda itu dalam bahaya..." seru Wulandari tersadar dari keterpakuan.

Bagai ada yang mendorong, Wulandari dengan cepat berkelebat menghadang serangan pemuda berbaju kuning. Pendekar Gila yang tidak menduga kalau Wulandari berbuat nekat, tersentak kaget. Dia berusaha mencegah, namun wanita itu telah melesat cepat.

"Heaaa..."

"Yeaaat..."

Kedua tubuh itu melesat cepat menuju satu tirik.

Rasanya sulit bagi Pendekar Gila untuk meng-halanginya. Akhirnya Pendekar Gila hanya mampu menonton apa yang akan terjadi.

Jlegar

"Aaakh..."

"Aaa..."

Keduanya memekik dengan tubuh terlontar

beberapa tombak ke belakang. Tubuh Wulandari terhuyung-huyung ke belakang dengan tangan memegangi dada. Dari mulutnya meleleh darah segar, membasahi bibir dan dagunya.

Sementara itu, pemuda berbaju kuning pun

mengalami hal yang sama. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata memandang

tegang. Sepertinya dia tidak percaya kalau wanita yang dulu lemah dan dapat diperkosanya dengan mudah, kini telah memiliki tenaga dalam yang seimbang dengannya.

Pendekar Gila hanya dapat memandangi kedua orang yang kini sama-sama terhuyung. Dia tak tahu harus berbuat apa. Pantang baginya menyerang orang yang lemah dan tidak mampu menyerang lagi.

Pemuda berbaju kuning mendengus marah. Tanpa diduga oleh Pendekar Gila, dia kembali menyerang ke arahnya. Pendekar Gila tersentak, karena sama sekali tak menduga diserang oleh pemuda itu.

"Hiaaat.."

"Uts... Hampir saja..." ucapnya sambil bergerak mengelitkan serangan lawan yang tiba-tiba dan cepat.

Tubuhnya dimiringkan ke samping, kemudian dengan cepat balas menyerang dengan tepukan tangan ke dada lawan.

Mendapatkan serangan balasan yang kelihatannya lemah namun tahu-tahu telah dekat ke dadanya, pemuda berpakaian kuning tersentak. Cepat-cepat serangannya ditarik mundur dengan menggeser kaki ke belakang dua langkah. Setelah itu, pemuda

berpakaian kuning ini kembali melancarkan serangan.

"Hiaaat.."

Jurus 'Ular Kobra Mematuk' dilancarkan pemuda berbaju kuning itu. Gerakan tangannya yang mematuk begitu cepat, dibarengi oleh sabetan-sabetan tangan yang lain. Kakinya laksana ekor ular kobra yang turut menyerang.

Melihat serangan lawan tidak main-main lagi, Pendekar Gila segera mengubah jurusnya. Dengan jurus 'Kera Gila Menari dan Mencengkeram', dihadapinya jurus lawan. Kakinya bergerak tak ubahnya seperti kaki kera. Sedangkan tangannya sesekali mencengkeram ke lengan lawan yang mematuk seperti ular kobra.

Pertarungan itu tidak ubahnya pertarungan sengit antara seekor kera gila yang menari-nari melawan seekor ular kobra ganas.

"Heaaat..."

"Yeaaat..."

Pendekar Gila dengan sesekali menggaruk-garuk Kepalanya, terus meladeni jurus ular yang dilancarkan pemuda berbaju kuning itu. Tangannya mencengkeram ke tangan lawan yang tak ubahnya kepala kobra yang mendesis-desis berusaha mematuk.

Jurus keras yang dilancarkan lawan, kini dihadapi oleh gerakan-gerakan lucu seperti seekor kera.

Tangan lawan kembali mematuk ke arah dada, disusul dengan tebasan tangan yang lain. Namun dengan cepat Pendekar Gila mencengkeramkan tagan kanannya ke arah tangan lawan. Sedangkan tangan kirinya menepis serangan. Kakinya berjingkat-jingkat mengelakkan sambaran kaki lawan.

Pertarungan itu masih berjalan dengan seru.

Masing-masing berusaha menjatuhkan. Pemuda berpakaian kuning semakin bernafsu untuk segera menjatuhkan Pendekar Gila. Namun dengan gerakan-gerakan aneh dan lucu, Pendekar Gila dengan mudah mematahkan serangan lawan. Bahkan ketika melihat ada bagian yang lowong, tangannya ditepuk ke dada lawan. Sedangkan tangan lain mencakar ke arah wajah.

Degk Bret

"Ukh..."

Tubuh pemuda berbaju kuning itu terlontar ke belakang dengan deras, laksana terdorong kekuatan yang maha dahsyat. Tubuhnya terus meluncur menuju sebatang pohon besar.

Pemuda berbaju kuning menjerit keras ketika tubuhnya hampir membentur pohon besar yang akan meremukkan tubuhnya. Tapi tiba-tiba sebuah bayangan hitam berkelebat cepat menyambar tubuhnya sambil berseru....

"Pendekar Gila, kutunggu kau purnama yang ketiga di Puncak Lawu"

Pendekar Gila tersentak. Segera tubuhnya

berkelebat, berusaha mengejar lelaki yang membawa tubuh pemuda berpakaian kuning itu.

"Tunggu Jangan lari..." cegah Sena sambil mengejar dengan mengerahkan ilmu larinya. Namun lelaki berpakaian jubah hitam berambut putih itu ternyata telah melesat cepat meninggalkannya.

"Huh, orang aneh.... Mengapa dia menyuruhku datang ke Puncak Lawu? Dan mengapa pula harus purnama ketiga yang berarti tiga bulan lebih? Ah, mengapa aku pikirkan? Aku harus kembali untuk menemui wanita itu"

Pendekar Gila kembali melesat dengan ilmu larinya menuju tempat Wulandari. Namun

sesampainya di sana, wanita muda itu telah tiada.

Sena hanya menemukan sebaris tulisan yang digurat di sebatang pohon besar.

Sena mengerutkan kening, sambil menggaruk-garuk kepala. Didekatinya pohon besar itu, kemudian dibacanya tulisan yang kelihatannya masih baru, sehingga getahnya nampak masih menetes.

Tuan Pendekar, maaf aku telah salah menuduh.

Izinkanlah aku menebus kesalahan yang telah kuperbuat selama ini. Namun aku tak akan diam, sebelum pemuda keparat itu kudapatkan. Dialah yang telah menghancurkan masa depanku.

Merenggut kehormatanku, serta membunuh suamiku.

Sena kembali menggaruk-garuk kepalanya sesaat Kemudian dia kembali membaca lanjutan tulisan Wulandari.

Mulanya aku percaya kalau pemuda laknat itu adalah Pendekar Gila dari Gua Setan, yang sebenarnya Tuan sendiri orangnya. Itu sebabnya aku dendam pada orang-orang persilatan. Hal itu kulakukan, semata-mata untuk melampiaskan kebencianku pada Pendekar Gila. Sebab kutahu kalau Pendekar Gila bukan orang sembarangan.

Sekali lagi, maafkan aku. Sampai ketemu di Puncak Lawu tiga pumama yang akan datang.

Sena menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan lesu melangkah memasuki gubuk yang berada di dalam hutan itu. Hati Sena terkesiap saat melihat

sesosok mayat lelaki muda tanpa pakaian berada di dalam gubuk itu.

"Tentunya ini perbuatannya. Huh, semoga dia benar-benar sadar," gumam Sena lirih, lalu kembali melangkah keluar sambil menutup pintu gubuk itu.

Sesaat wajahnya ditengadahkan, kemudian tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu.

Siapakah pemuda berpakaian kuning itu sesungguhnya? Dan, siapa lelaki tua berpakaian jubah hitam yang menolong pemuda berpakaian kuning itu? Untuk apa lelaki tua itu mengundang Pendekar Gila ke Puncak Lawu? Lalu bagaimana nasib Wulandari selanjutnya? Sadarkah dia akan perbuatannya selama ini? Siapa pula pemuda berpakaian kuning?

Untuk dapat menjawabnya, silakan ikuti kisah Pendekar Gila selanjutnya dalam episode "Duel di Puncak Lawu".

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar