Pendekar Slebor Episode 14 Bayang Bayang Gaib

Pendekar Slebor Episode 14 Bayang Bayang Gaib
Pijar El
-------------------------------
----------------------------

Episode 14 Bayang Bayang Gaib

1

Angkasa malam ini dikekang kemuraman. Berjuta

bintang yang biasa membagi kerdipan cahaya, kali ini sirna oleh timbunan awan hitam kelam. Sementara sinar

temaram rembulan hanya mengintip malu-malu di antara arakan awan yang merayap-rayap.

Rona langit malam seperti mati. Denyut benda-benda angkasa bagai dibungkam para makhluk gaib.

Alam tampak lengang. Detak waktu terasa begitu

lamban bagai langkah-langkah para pengantar jenazah.

Suatu saat, semua itu bagai dihancurkan satu

kelebatan cahaya menyilaukan membelah langit. Cahaya yang sanggup membutakan mata manusia, meluncur deras bagai tak berpenghalang menuju satu tempat di wajah bumi....

***

Seorang gadis cantik jelita terlihat berjalan di sebuah dataran berumput kering. Pakaiannya merah, menantang hari yang sebenarnya sudah cukup panas. Rambutnya yang hitam, memantulkan cahaya lembut. Tergerai hingga sebatas pinggang. Jika angin bertiup kecil, anak rambutnya meliuk-liuk menggemaskan. Kalau melihat busur di punggungnya, bisa diduga kalau gadis itu seorang pendekar. Apalagi bila mengamati cara berjalannya yang cukup gagah, meski kegemulaiannya sebagai wanita tak hilang. Di bagian pinggang ramping gadis itu, terbelit seutas cemeti. Sehingga penampilannya terlihat begitu angker.

Banyak tokoh dunia persilatan mengenal, siapa

pemilik cemeti itu dulu. Memang, pemilik cemeti adalah seorang tokoh kelas atas kaum sesat. Begal Ireng (Untuk mengetahui tentang tokoh ini, silakan baca episode:

"Lembah Kutukan" dan "Dendam dan Asmara").

Lalu, siapakah gadis ini? Dialah anak satu-satunya. Sifatnya sangat bertolak belakang dengan ayahnya. Begal Ireng adalah manusia berdarah dingin yang cukup tega menghirup darah manusia lain. Sedang gadis ini adalah wanita yang memiliki kelembutan hati. Meskipun sifatnya judes dan ketus dalam berbicara (Untuk mengetahui lebih jelas tentang diri gadis ini, baca episode : "Pendekar Wanita Tanah Buangan").

Anggraini, namanya. Seorang gadis berilmu tinggi yang namanya mulai merambah dunia persilatan belakangan ini, dengan julukan Pendekar Wanita Tanah Buangan.

Mata Anggraini tampak kehilangan cahaya. Akhir-akhir ini pikirannya memang sedang terganggu sesuatu masalah.

Khususnya, tentang seorang pendekar muda sakti nan tampan berkepribadian menarik, yang membuat hatinya terpesona. Pendekar itu tak lain adalah.... Pendekar Slebor.

Di samping itu, Anggraini menjadi banyak tahu,

tentang pemuda yang telah mencuri sekeping hati dari dasar lubuk hatinya. Seolah gadis ini makin dekat dengan bayangan Pendekar Slebor. Malah makin tak berdaya diombang-ambingkan cinta. Namun,

ada sebongkah

dendam bagai karat yang sulit dihilangkan. Bagaimanapun juga, Pendekar Sleborlah yang telah membuatnya tak bisa berjumpa dengan ayahnya, Begal Ireng.

Pertentangan dalam diri inilah yang membuat mata Anggraini tampak kehilangan cahaya selama ini. Gadis ini bagai disiksa dari dalam. Satu siksaan yang tak

kunjungpadam. Disatu sisi dirinya terus menuntut untuk melaksanakan hasrat dendam. Sedang di sisi lain, dia kian dilenakan oleh bayangan jejaka sakti itu.

"Berhenti kau Aku ingin tanya padamu"

Segala kemelut batin Anggraini pupus seketika, begitu tiba-tiba dari arah belakang terdengar bentakan keras, kasar, dan tak sopan. Kepalanya cepat menoleh. Tampak seorang wanita telah berdiri angkuh tak begitu jauh di belakangnya.

Untuk dikatakan tua, wanita itu tidak begitu pantas.

Baik dari perawakan ataupun wajahnya. Dilihat dari usianya sebenarnya wanita ini masih muda. Cuma,

penampilannya saja yang tak sesuai. Rambutnya dikonde kecil dengan arnel perak, seperti kebanyakan perempuan tua. Begitu juga pakaiannya. Amat tak sedap dipandang mata. Karena, biasa dikenakan wanita berusia lanjut.

Kebayanya berwarna muram dengan paduan kain wiron berwarna suram. Namun kalau menilik wajahnya. setiap lelaki pasti akan terpana tanpa kedip. Kematangan usia yang sekitar tiga puluhan, membawa kematangan pula pada wajahnya.

"Siapa kau?" tanya Anggraini setengah membentak.

Dia tak suka pada orang yang tak bersikap ramah pada orang lain.

"Ah Pakai tanya siapa aku segala Cepat kasih tahu, ke mana arah kotapraja?" balas wanita berkebaya ini.

Lagi-lagi suaranya tak sedap masuk ke telinga Anggraini.

Diperlakukan demikian, terang saja Anggraini makin panas. Bukannya lebih dulu minta maaf karena telah lancang mengusik lamunannya, eee..., kini berani pula dia berbicara kasar

Tanpa ingin menanggapi pertanyaan wanita asing di belakangnya, Anggraini melanjutkan langkahnya.

"Hey, apa kau tuli?" hardik perempuan berkebaya ini berang, merasa diacuhkan Anggraini.

Anggraini tetap saja melangkah acuh. Hardikan tadi tak dianggapnya sama sekali.

Diperlakukan semacam itu, tak ayal lagi kegusaran wanita berkebaya ini bertambah dua kali lipat. Seraya mendengus, urat-urat lehernya mengejang. Dan....

"Berhenti kau"

Terdengar

mengguntur

teriakan

wanita

cantik

berkebaya itu, saat terlepas dari kerongkongannya. Bumi bagai digebah gempa. Rerumputan kering berterbangan, seperti dibabat topan. Tak cuma itu. Batu-batu sebesar kepala manusia terangkat bersamaan ke udara. Beberapa saat seluruh batu itu melayang. Dan setelah kekuatan teriakan tadi menyusut, barulah semuanya berjatuhan kembali.

Suatu pamer kesaktian yang cukup mengagumkan.

Tapi kejadian ini sedikit pun tidak membuat nyali gadis berselempang busur di punggung ini menjadi tergetar.

Tanpa menoleh, Anggraini melecehkan perbuatan

wanita berkebaya tadi.

"Permainanmu sudah cukup hebat. Tapi, belum benar-benar hebat kalau hanya batu-batu itu yang dibuat melayang di udara...."

Selesai berkata, sebelah kaki dara cantik berpa-kaian merah itu menghentak keras ke bumi.

Dukh

Seketika, batu-batu sebesar kepala manusia yang

telah berjatuhan, kini terangkat kembali. Bahkan lebih tinggi dari semula dan lebih lama melayang di udara. Itu pun masih tambah gerakan berputar setiap batu, sehingga terlihat seperti puluhan gasing ajaib.

Sebelum batu-batu itu berjatuhan, sebelah kaki

Anggraini yang lain cepat dihentakkan lagi ke bumi.

Dukh

Tak ada sekedip mata berselang dari suara hantaman kaki Anggraini ke bumi, tubuh wanita berkebaya turut terangkat ke udara, menyusul bebatuan yang masih berputar tak karuan.

"Genderuwo perempuan keparat" maki wanita berkebaya ini. Sementara tubuhnya masih terapung.

"Jangan kau pikir aku kagum dengan permainan tengikmu ini" Selesai melepaskan makian, tangan wanita be¬kebaya ini bertepuk.

Plok

Pada tepukan pertama, seluruh batu mendadak

berhenti berputar. Semuanya diam di udara, tak beda barisan area tanpa bentuk.

Plok

Tepukan kedua terdengar.

kini,

tubuh wanita

berkebaya perlahan turun ke permukaan bumi dalam gerak berkesan wibawa.

Dua jengkal lagi, kaki wanita berkebaya ini akan menyentuh tanah. Namun tiba-tiba, kaki Anggraini untuk yang kesekian kali dihentakkan lagi ke tanah.

Dugkh Wesh

Begitu bunyi hentakan kaki terdengar, tubuh wanita berkebaya itu mencelat kembali ke atas. Bahkan lebih deras dan lebih cepat.

"Genderuwo

perempuan

siaaal"

maki

wanita

berkebaya dengan geram. Seluruh wajah cantiknya saat itu juga menjadi merah matang. Malah, lebih matang dari panggangan kambing guling Bibirnya yang berlekuk menantang, berkelok-kelok kian kemari. Agaknya dia berusaha menahan kejengkelannya pada Anggraini.

Mata berbulu hitam dan lebat milik wanita berkebaya itu terbelalak, tepat ketika tangannya bertepuk yang sarat kegeraman memuncak.

"Hih"

Tampaknya, wanita berkebaya ini tak sudi lagi

setengah-setengah dalam adu kesaktian. Seketika tiga tepukan sekaligus dibuatnya.

Plok Plok Plok

Berturut-turut bebatuan sebesar kepala yang terpaku di udara, menjadi hancur seperti diledakkan suatu kekuatan dari dalam. Butiran-butirannya berhamburan ke segenap penjuru. Begitu halus, sampai-sampai desah angin lembut pun dapat melibasnya.

Dan saat itu pula tubuh wanita berkebaya ini me-

luncur turun dengan deras, menentang kekuatan Anggraini yang tetap mencoba mengungkitnya dari bawah.

Dua tombak bisa dilalui. Selanjutnya, luncuran tubuh sintal wanita berkebaya itu tersendat.

Anggraini tampaknya tak mau mengalah begitu saja.

Tanpa kentara, tenaga dalamnya yang disalurkan ke bumi melalui kaki ditambahkan.

Kalau Anggraini tak mau kalah, wanita berkebaya itu pun semakin kalap. Maka tekanan tenaga dalamnya ditambah pula.

Akibatnya,

pengerahan yang mulai

berlebihan membuat wajahnya makin berkerut.

"Ekh.... Ekh. . Ekh.. ."

Wanita berkebaya ini terpejam-pejam, menekan

tenaga dalamnya agar bisa tiba kembali di tanah. Dahinya sudah dibanjiri butiran peluh. Rona wajahnya pun lebih matang dari semula. Bahkan mulai tampak membiru.

Kasihan dia. Sepertinya. wanita itu lebih tersiksa daripada orang yang sulit buang air besar "Ekh... ekh...

ngekh...."

Di tengah seru-serunya wanita berkebaya itu mejan di udara tanpa peduli lagi pada sekitarnya, tiba-tiba saja tenaga dorongan dari bawah Ienyap bagai ditelan dedemit rakus.

Wajah wanita berkebaya ini terkesiap. Matanya

terbuka Iebar-lebar. Sayang, kebodohannya terlambat disadari.... Gedubrak

Anggraini rupanya telah meninggalkan begitu saja wanita itu tanpa pamit lagi...."

*** 2

Panas mentari siang ini memanggang bulat-bulat

kotapraja Kerajaan Alengka. Debu jalan amat ringan.

Tatkala angin bertiup menyapu jalan, debu menjengkelkan itu berterbangan. Biar pun s uasana dikatakan tak nyaman, kotapraja tetap ramai.

Kotapraja ibarat 'lumbung gula yang mengandung

semut'. Tempat yang memiliki daya pikat berkumpulnya banyak manusia. Bagi hampir setiap orang di tempat ini, kotapraja adalah pusat kegiatan mencari penghidupan.

Berdenyut terus dengan ber-bagai usaha memburu nafsu para penghuninya. Seorang pemuda berpakaian hijau pupus tiba di sana. Rambutnya sepanjang bahu tak teratur.

Wajahnya tampan menawan. Alisnya melengkung tajam bagai kepak sayap elang. Di bawah alis, terpancar kesan tegar perkasa dari sorot matanya yang tajam. Begitu juga garis rahangnya. Sementara di bahunya tersampir kain bercorak catur.

Pemuda itu memasuki pusat kotapraja dengan

lenggangan santai. Matanya terlempar kian kemari, menikmati segala denyut kehidupan kotapraja. Sesekali bibir tipisnya mengembang. Namun sedang enak-enaknya mengagumi pemandangan disana, tiba-tiba....

"Cooopeeettt..."

Tak jauh di depan jalan tempat si pemuda berdiri, terdengar teriakan keras yang menyeruak di antara kebisingan lain. Menyusul dua orang berlari seperti dikejar setan, menyeruak keramaian tanpa peduli.

Orang yang mengejar, adalah lelaki setengah baya berpakaian perlente. Dilihat dari bahan bajunya yang terbuat dari sutera halus, serta kancing-kancing cmas berukir menandakan bahwa dia termasuk orang kaya.

Namun, wajahnya demikian berang tak tertolong. Sambil mengejar, tangannya berusaha menggapai orang yang sedang diburunya.

Sedangkan yang dikejar, adalah bocah berusia sekitar dua belas tahun. Pakaiannya lusuh dan rombeng.

Tubuhnya

kurus,

pertanda

kehidupannya

dalam

keprihatinan yang bcrlebihan. Rambutnya pun kelihatan tak terawat. Kemerahan dan panjang. Juga kotor, karena jarang dicuci. Di tangan bocah itu tergenggam erat sekantung uang milik lelaki perlente yang mungkin telah dicurinya.

"Copeeeth Copeeeth... Tangkap bocah itu Hoi, Anak Dedemit Berhenti kau..."

Kejar-kejaran makin dekat ke arah pemuda ber-baju hijau pupus yang masih saja berjalan santai dengan arah berlawanan.

Selain kedua orang yang sedang berkejaran tadi,

tentu banyak orang lain di sana. Tapi, tak ada satu pun yang peduli pada kejadian itu. Sebagian besar sibuk dengan urusan masing-masing. Bagi mereka, urusan perut sendiri lebih diutamakan meskipun ada yang teraniaya sampai kehilangan nyawa.

Sebagian dari warga kotapraja memang tahu,

keadilan di kotapraja tidak bisa diharapkan. Untuk me-nyambung hidup sehari-hari, seorang bocah lemah

mungkin harus berebut bungkusan nasi bekas dengan seekor anjing di tempat sampah. Jadi kalau suatu saat ketidak adilan harus menerima ganjarannya, bukanlah hal aneh. Maka tak heran, banyak bocah disalahkan, karena hanya butuh makan untuk hari ini. Tapi. yang sering diterima hanyalah caci maki dari para hartawan kotapraja.

Rupanya, para hartawan lebih suka memberi makan anjing peliharaan, daripada....

Pada saatnya, si bocah pencopet dengan wajah

ketakutan tiba tepat di depan pemuda ganteng berpakaian hijau pupus tadi. Dengan sigap, pemuda ini menahan laju tubuh kurusnya dengan tangan.

"Kenapa terburu-buru, Adik kecil?" tanya pemuda berbaju hijau pupus ini, pura-pura tak tahu.

"Lepaskan aku, Bang Lelaki lintah darat itu akan menginjak-injakku kalau sampai tertangkap" teriak si bocah ketakutan. Kepalanya menoleh ke belakang,

mewaspadai lelaki yang mcmburunya.

"Kena kau" sergah lelaki setengah baya berpakaian perlente, ketika tiba di dekat pemuda berbaju hijau pupus.

Tangan kirinya cepat meraih belakang baju anak kurus itu.

Tanpa peduli pada siapa pun. tangannya yang lain terangkat tinggi-tinggi. "Biar mampus kau"

Laki-laki perlente ini hendak mengirim bogem mentah ke arah bocah pencopet.

Tindakan itu membuat bocah pencopet ini merengket dalam rangkulan pemuda berpakaian hijau pupus.

Matanya dipejamkan rapat-rapat, pasrah.

"Ampun..."

Sekejap lagi tangan kasar lelaki setengah baya itu tcntu akan telak menimpa sasarannya. Namun.... Tap

Sebuah tangan menghadang tindakan

laki-laki

perlente. Memang, pemuda berbaju hijau pupus itu yang melakukannya.

Gerakannya sungguh menga-gumkan.

Begitu cepat, sehingga nyaris tak terlihat. Sementara, tangan yang lain membuat bocah pencopet kini telah berada di belakang si pemuda.

"Kenapa kau bengis sekali terhadap bocah lemah?"

tanya pemuda tampan ini dengan tatapan dingin.

Karena

tangannya

ditahan

secara

begitu

menakjubkan, lelaki setengah baya berpakaian perlente agak tergetar hatinya. Apalagi ketika matanya bertumbukan dengan tatapan dingin pemuda bermata

setajam sembilu itu.

"Sss. . siapa..., siapa kau?" tanya lelaki setengah baya gelagapan, tergebah pengaruh mata pemuda ini.

"Aku hanya seorang pengembara," jawab pemuda itu singkat dan datar. "Sekarang, jelaskan padaku. Mengapa kau hendak menghajar anak kecil ini?"

"Ddd... dia mencopet kantong uangku.... Tolong aku, Tuan Muda. Lepaskan tanganku. Biar kuhabisi anak tak berguna ini," pinta lelaki setengah baya, memelas.

Pemuda yang menjadi tempat berlindung si bocah pencopet tak sudi meluluskan begitu saja permintaan laki-laki perlente. Matanya terus saja menyelidik, bagai hendak menerobos langsung ke dalam jantung lelaki yang masih dicekalnya.

Memang terlihat kesan kebusukan pada sinar mata si lelaki setengah baya. Mungkin benar, bahwa bocah kecil ini sebagai pencopet. Namun lelaki ini justru terbiasa hidup dengan menghisap darah sesama. Kini, seenaknya saja bocah kecil ini dituding sebagai anak tak berguna. Padahal, dirinya sendiri bukan saja tak berguna. Lebih dari itu, malah bersenang-senang di atas kesengsaraan orang lain

Seraya melepas senyum sinis, pemuda itu menoleh ke arah bocah pencopet di belakang tubuhnya.

"Benar kau telah mencopet kantong uang orang ini, Adik Kecil?" tanya pemuda ini setenang telaga.

"Ya, aku memang mencopetnya. Tapi itu hasil kerjanya memerah uang rakyat Bunga dari hutang yang diberikan pada rakyat, terlalu tinggi dan mencekik leher" tukas si bocah, lugu dan jujur.

"Tutup bacotmu" hardik lelaki perlente dengan mata membesar penuh. Tangannya telah dilepas oleh si

pemuda. Itu yang membuatnya jadi mulai berani berkoar lagi.

"Asal Abang tahu, keluarga yang baru saja diperasnya baru saja mengalami kesusahan. Anaknya meninggal.

Mereka butuh uang untuk menguburkannya. Tapi orang busuk ini malah merampas uang keperluan pemakaman""

Tanpa segan-segan ataupun takut-takut, semua

kebejatan yang baru saja dilakukan lelaki lintah darat ini diutarakan si bocah.

"Tutup bacotmu Tutup bacoootmu" hardik si lelaki perlente makin kalap. Namun, dia tak berani bertindak lebih dari itu di bawah ancaman mata si pemuda.

"Kalau begitu, ayo cepat kau kembalikan" perintah si pemuda tanpa mau banyak urusan lagi. "Tapi, Bang...."

"Jangan pakai tapi-tapian segala Apa susahnya mengembalikan kantong uang orang ini?" desak si pemuda.

Dengan setengah menggerutu serta wajah tertekuk, bocah pencopet ini mau juga mengeluarkan kantong uang hasil jarahan dari balik baju rombeng-nya.

"Nih. makan biar perutmu menggelembung" umpat bocah itu seraya melempar kasar kantong uang tadi ke tanah.Si lelaki perlente mengambilnya. Matanya menusuk tajam, mengancam pada si bocah. Rupanya hatinya masih penasaran karena belum menghajar. Dan baru saja dia hendak

maju,

pemuda

berbaju

hijau

pupus

itu

mengangsurkan badannya.

"Heee... he... he Cuma bercanda kok, Tuan Mu-da"

celoteh laki-laki perlente ini memuakkan.

Tanpa permisi lagi, apalagi berterima kasih, lelaki perlente itu melewati si pemuda dan bocah pencopet tanpa permisi. Tangannya asyik menimang-nimang kantong uang hasil perasan dengan hati puas.

"Abang keterlaluan" bentak si bocah pada pemuda di dekatnya, sepeninggalan lelaki perlente tadi.

"Keterlaluan bagaimana?" tanya si pemuda, acuh tak acuh.Pemuda itu lantas melangkah perlahan. Sementara si bocah pencopet mengikutinya di belakang. Terkadang dia pindah ke sisi kiri si pemuda, terkadang pula ke kanan.

Anak tanggung itu tampak tak puas atas tindakan pemuda yang scbenarnya telah menolongnya.

"Jangan Abang pikir sudah menolong Aku sungguh tidak merasa baru ditolong. Biar mampus, aku tidak akan berterima kasih" cecar si bocah bersungut-sungut.

Kepalanya mendongak-dongak ke wajah pemuda yang

di kutinya.

"Hush Kau ini kenapa jadi seperti nenek-nenek saja"

sergah si pemuda.

"Aku tidak peduli, Abang mau bilang apa Pokoknya aku tidak terima perlakuanmu Apa Abang tahu, keluarga yang sedang berkabung itu tidak bisa mencari uang lagi dalam waktu yang begitu mendesak Eee, Abang tega-teganya menyuruhku mengembalikan uang itu Huh....

Huh" dengus si bocah, kesal.

"Sudah, tidak usah merajuk seperti itu," ujar si pemuda tenang. Lalu dikeluarkannya segenggam uang perak dari balik pakaian. "Ini ambil Pakai untuk keperluan anak keluarga yang tertimpa kemalangan itu"

Mulut si bocah mendadak terkatup. Kicauannya yang bising terhenti seketika.

"Ayo, ambil Kenapa diam?" kata si pemuda, mencoba meyakinkan

bocah itu kalau

benar-benar

hendak

memberikan uang di tangannya. "Ayo, buka tanganmu"

Meski agak ragu, si bocah membuka tangan juga.

Lantas

pemuda

berambut

gondrong itu menuang

segenggam uang perak ke tangan kurusnya.

"Terima kasih, Bang... Kukira, Abang juga berhati busuk seperti lelaki tadi." tutur si bocah, malu-malu.

"Tidak usah berterima kasih padaku...," kata pemuda ini. "Pada Tuhan?" selak bocah pencopet.

Si pemuda mengangguk.

"Lagi pula, itu bukan uangku, kok" tambahnya.

Si anak tanggung ini tentu saja jadi bingung.

"Aku tak mengerti maksud Abang? Uang ini jelas-jelas dikeluarkan dari pakaian Abang. Tapi, kenapa dibilang ini bukan uang Abang?" tanya bocah tanggung itu sambil mengangsur-angsurkan tangan yang berisi uang ke muka.

"Uang itu, ya hasil copetanmu. Aku mengambilnya dari balik bajumu. Dari kantong uang itu, kukeluarkan semua isinya. Lalu kukembalikan lagi ke balik bajumu, sebelum kau kembalikan kantong uang itu ke pemiliknya...."

Si bocah terbengong dengan mulut melompong.

Si pemuda tak begitu mengacuhkannya. Dia berjalan kembali dengan langkah tetap santai.

"Bang" panggil si bocah dari belakang. "Kenapa Abang menyuruhku mengembalikan kantong uang itu

tadi?" "Ada salahnya? Bukankah pemiliknya tadi hanya meminta kantong uang?" sahut si pemuda tampan menoleh.

"Jadi, apa isi kantong tadi itu, Bang?" tanya si bocah, penasaran.

Si pemuda tak menyahut. Hanya, tangannya me-

nunjuk ke bagian belakang seekor kambing yang kebetulan hendak dijual di sisi jalan.

Kontan saja si bocah terbahak-bahak, sampai-sampai air matanya keluar.

***

Bocah pencopet yang ditolong si pemuda tadi,

sepertinya tak punya nama. Sebagai anak terlantar di kotapraja, orang-orang biasa memanggil dengan sebutan Tompel. Julukan itu tercipta, karena tanda hitam sebesar uang logam yang menghias pelipisnya sejak lahir.

Tampang yang dekil selalu mengakrabi diri si Tompel.

Tak hanya pakaian. Tubuh, rambut, dan wajahnya pun begitu. Meski begitu, paras Tompel bisa dibilang menarik.

Matanya dalam, dengan kelopak bergaris tegas. Alis di atas matanya hitam, tumbuh rata dan teratur. Hidungnya bangir dan bibirnya tipis. Dia lebih mendekati keturunan priyayi dengan kulitnya yang putih, andai saja tak berpenampilan mengenaskan.

Sejak kejadian siang tadi, Tompel terus saja dibayang-bayangi wajah pemuda yang menolongnya. Jauh di dasar benaknya yang sudah ditimbun oleh ingatan-ingatan masa lalu, raut wajah pemuda itu serasa pernah

dikenalnya.

Siapa dia, ya? Begitu yang terus terpikir dalam benak Tompel. Terkadang pikiran itu digumamkan keluar. Setiap kali teringat, setiap kali pula seraut bayangan masa silam mengambang dalam ingatannya.

Lama Tompel duduk terdiam, berusaha menggali

seluruh ingatannya. Sampai akhirnya, dia bangkit tersentak dari duduk bertopang dagu.

"Aku ingat Sekarang aku ingat Dia itu kan. Bang Andika, yang dulu menjadi pencopet ulung di sini" seru Tompel seperti kesetanan. Sambil berseru, tubuhnya melompat-lompat tak karuan.

Bagaimana bocah itu tidak gembira? Pemuda yang

menolongnya adalah kakang angkatnya dulu, ketika sama-sama menjadi gelandangan kotapraja. Waktu itu, Tompel masih berumur delapan tahun. Sedangkan Andika yang kini tersohor dengan juluk-an Pendekar Slebor, berusia empat belas tahun.

Dengan wajah dirasuki kegembiraan meluap, Tompel berlari riang menuju pusat kotapraja. Hendak dicarinya pemuda

yang

telah

menolongnya.

Tompel

yakin,

ingatannya tidak keliru. Pemuda itu memang kakak angkatnya yang pernah bersama-sama mengarungi hidup di kotapraja beberapa tahun yang lalu.

Setibanya di pusat kotapraja, bocah kecil itu mulai bertanya pada setiap orang yang dijumpai.

"Bang, lihat orang berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur tersampir di bahu?" tanya bocah tanggung itu pada beberapa orang.

Kembali bocah itu mencari-cari.

"Pak... Mak. . Euceu.... Abah.... Mas.. . Lihat anak muda yang memakai pakaian hijau muda dengan kain catur di bahu?" tanya Tompel pula pada beberapa orang lain. Namun, tak ada satu orang pun tahu. Kebanyakan dari mereka hanya menjawab dengan gelengan kepala.

Memang, siapa yang mau peduli dengan pertanyaan

seorang anak kecil gelandangan? Meski begitu, ada juga yang mau menjawabnya sungguh-sungguh. Biasanya,

mereka sudah mengenal Tompel cukup baik. Tapi

sayangnya, mereka pun tak tahu. Sampai akhirnya, Tompel berjumpa orang asing yang tak dikenal.

"Bang, apa pernah lihat orang asing seperti Abang, mengenakan pakaian hijau dan bersampir kain catur di bahu?" tanya Tompel, pada lelaki muda berpakaian serba putih. Dari penampilannya, terlihat kalau pemuda itu seorang pertapa.

Sambil tersenyum, pemuda berkepala gundul namun

memiliki wajah teduh ini, memandang Tompel.

"Rasanya tidak, Adik Kecil," kata pemuda itu berbareng gelengan kepala yang perlahan.

Tompel melekuk bibir. Agak kecewa juga hatinya.

Setelah lama mencari dan bertanya, tapi belum sedikit pun dapat keterangan yang berarti.

Tompel lalu ngeloyor begitu saja, dibayangi kekesalan di wajah. Hingga dia lupa mengucapkan terima kasih pada pemuda berkepala gundul itu.

"Hei, Adik Kecil" tahan si pemuda gundul. "Kenapa kau jadi begitu tergesa-gesa?"

Bocah pencopet itu menahan langkah. Sementara

pemuda pertapa ini menghampiri.

"Rasanya, aku pernah kenal denganmu...," lanjut si pemuda pertapa. Sebentar saja mengingat-ingat. "Gusti...

Bukankah kau Tompel?"

Siapa pula Abang muda ini? Tompel terheran-heran.

Anak ini tercenung. Setelah menatap lamat-lamat wajah pemuda di depannya, timbul bayangan masa lalu yang lain, seperti ketika mengingat wajah pemuda berpakaian hijau-hijau."Bang Suta? Kau..., Bang Sutawijaya?" tanya Tompel ragu.Tya, ini aku. Apa kau pangling? Aku juga pangling padamu," balas pemuda yang dipanggil Sutawijaya.

Matanya langsung berbinar-binar. Terlihat baris bening di bawah kelopaknya.

Tanpa sungkan-sungkan lagi, Sutawijaya dan Tompel yang lama tak berjumpa berpelukan. Tak dipedulikan lagi keramaian orang di sekitarnya. Padahal, sekian puluh mata sedang menatap keduanya.

Memang Sutawijaya dan Tompel dulu pernah

bersama-sama sebagai gelandangan di kotapraja. Seperti Andika, lelaki muda itu pun sudah dianggap sebagai abang oleh Tompel.

Sutawijaya, Andika dan Tompel dulu pernah bersama.

Dan S utawijaya paling tua di antara ke-tiganya. Meski begitu,

Andika ternyata sanggup bersikap sebagai

pemimpin. Ini karena Andika memiliki keberanian luar biasa daripada yang lain. Dia juga memiliki sikap tegas, sebagai cermin dari keteguhan hatinya dalam menghadapi kerasnya kehidupan kotapraja. Tak hanya itu, Andika pula yang mula-mula mengusulkan membagikan hasil jarahan kepada orang-orang yang hidupnya kembang-kempis di bawah telapak kaki para penguasa dan lintah darat.

Menurut Andika, uang hasil copetan dari para orang kaya yang culas semata-mata adalah amanat yang harus disampaikan kembali kepada pemiliknya. Dengan sedikit kelakar, Sutawijaya dan si Tompel kecil yang waktu itu berusia delapan tahun, menjuluki Andika "Sang Penyampai Amanat'.

Maka suka tak suka, diterima atau tidak, ketiga bocah itu pun menjadi tiga dedemit kecil yang paling ditakuti para hartawan culas berkantong tebal.

"Bang Mimpi apa, ya aku semalam...," kata Tompel, memulai kembali.

"Memang

kenapa?'

tanya

Sutawijaya,

seraya

mengajak Tompel berjalan beriringan.

"Ya, bisa bertemu kembali dengan Abang. Kukira Abang sudah jadi makanan cacing...," kata Tompel, berseloroh.

"Hush"

"Eee, siapa tahu Abang ditangkap seorang saudagar culas yang menjadi mangsa kita dulu Habis, Abang menghilang begitu saja tanpa kabar berita...," tutur Tompel, bebas lepas.

Sutawijaya tertawa renyah.

"Tunggu, Bang" sergah Tompel tiba-tiba. "Kenapa aku jadi lupa sama Bang Andika...?"

"Apa kau bilang?" tanya Sutawijaya, begitu mendengar ucapan si bocah tanggung.

Kepala Tompel mendongak ke wajah Sutawijaya.

Matanya berbinar-binar, seperti hendak mengungkapkan suatu yang menggembirakan.

"Apa Abang tahu...?" tanya si bocah tanggung, memulai.

"Apa?" timpal Sutawijaya.

"Bang Andika tadi siang sudah tiba di sini juga"

"Sungguh?" tanggap Sutawijaya. ikut berbinar-binar.

"Maka itu aku tadi bertanya, mimpi apa semalam...."

"Di mana dia sekarang, Pel?" tanya Sutawijaya, bergegas. Rasanya S utawijaya ingin secepatnya bertemu kawan lama yang begitu lama dirindukan.

"Justru itu, tadi aku juga sedang berusaha mencari-cari. Susahnya sungguh mampus Setiap orang yang kutanya, jawabnya selalu gelengan kepala. Bang Andika seperti setan yang telat buang hajal. Tahu-tahu, hilang....

Posss"

Mendengar penuturan Tompel, Sutawijaya tak bisa

menahan geli. Kembali dia tertawa renyah, namun tak sampai memperlihatkan barisan giginya yang putih teratur.

Mungkin karena kini, Sutawijaya adalah seorang pertapa yang semua tindak-tanduknya memiliki aturan dan tata-krama sendiri.

"Jadi bagaimana tindakan kita selanjutnya. Bang?"

tanya Tompel.

"Untuk sementara, biar kita lupakan dulu soal kawan lama kita itu. Kalau Tuhan menghendaki, menjelang senja nanti pun kita sudah bakal bertemu. Sekarang, aku berniat mengajakmu makan di kedai...," kata Sutawijaya.

"Hanya berniat?" gurau Tompel.

"Segalanya, kan harus diawali niat."

"Makannya?"

"Ya Tahun kodok nanti," kelakar Sutawijaya. masih bisa bergurau meski sudah menjalani hidup sebagai orang suci. Keduanya pun kembali berjalan beriringan akrab. 3

Senja tiba. Matahari jatuh lelah di tepi buana sebelah barat. Sinarnya menguning matang, bagai terpanggang panasnya sendiri.

Sutawijaya dan Tompel baru saja keluar dari kedai makan murah. Tompel mengusap-usap perutnya yang agak membuncit karena disesaki makanan. Selama di kedai tadi, anak itu begitu rakus. Tiga piring nasi penuh dilahapnya tanpa kesulitan. Belum lagi lauk-pauk dan dua buah pisang ambon besar. Makanya tak heran setibanya di pintu keluar

kedai,

Tompel terus

saja

berdahak

berkepanjangan.

"Kalau sering-sering begini, bisa ' bengkak' aku, Bang,"

ujar Tompel

dengan mata terkatup-katup.

Karena

kekenyangan,

matanya jadi

mengantuk.

"Ngomong-

ngomong, Abang dapat uang dari mana? Apa masih

menjarah

kantong-kantong

orang-orang

kaya

yang

brengsek?"

Setelah itu Tompel berdahak seperti suara anak

kerbau.

"Jangan bicara sembarangan," tukas Sutawijaya.

"Uang itu kudapat dari hasil keringatku sendiri. Kau belum tahu ya, kalau kini aku berdagang kain. Berkcliling dari satu kota ke kota lain. Sambil berjualan, aku banyak

mempelajari sifat-sifat manusia...."

"Tapi aku kok, tidak melihat barang dagangan Abang?"

Mata Sutawijaya melirik ke satu bangunan di pinggir jalan yang tak begitu jauh dari kedai.

"Aku menginap di penginapan itu. Jadi untuk sementara, barang daganganku kutaruh di sana...," papar Sutawijaya.

"Ooo...," mulut Tompel pun membulat.

"Aku bukan seperti dulu lagi. Pel," kata Sutawijaya tanpa ditanya. "Aku berusaha untuk menjauhi kekotoran dunia...."

"Tapi tujuan kita mencopet kan, untuk menegakkan keadilan yang tidak bisa diperjuangkan dengan cara lain.

Mana mungkin anak tanggung seperti aku, bisa mencegah orang-orang yang berkuasa mengisap darah rakyat. Bisa-bisa, malah kehilangan kepala...."

"Ya Aku tidak bisa menyalahkan ataupun membenarkan. Kebenaran bagi setiap orang bisa berbeda.

Kebenaran sejati hanya datang dari Tuhan Semesta Alam.

Tapi apa pun alasannya, perbuatan itu tetap tidak baik, bukan?" kata Sutawijaya, mengungkap pendapatnya.

Tompel cuma mengangkat bahu, tanda tak punya

pendapat.

"Sekarang, bagaimana kalau kita mencari Bang Andika?" tanya Tompel.

Belum sempat Sutawijaya menjawab pertanyaan

bocah yang pernah dianggap sebagai adik angkatnya, keduanya telah diusik kerumunan orang di alun-alun.

Beberapa orang berlari-lari kecil, menambah kerumunan menjadi kian membengkak.

Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar gumaman

serempak dari kerumunan orang yang berkumpul. Sesekali terdengar gemuruh sorak yang ramai. Jelas, hal itu memancing keingintahuan Sutawijaya dan Tompel.

Sutawijaya

segcra

mengajak

Tompel

untuk

melihatnya.

"Ada apa ya. Bang?" tanya bocah kotapraja itu. saat mereka berjalan tergesa menuju alun-alun.

"Aku tak tahu. Mestinya, aku yang bcrtanya be¬gitu padamu. Kau kan selama ini tinggal di sini...," sa-hut Sutawijaya, sambil melangkah dengan gerakan kaki lebar-lebar.Sutawijaya dan Tompel akhirnya tiba di dekat kerumunan. Alun-alun makin dipadati orang-orang yang ingin tahu, apa yang terjadi di sana. Bahkan sudah hampir sepertiga luas alun-alun menjadi tempat kerumunan.

Tepat

di

tengah-tengah kerumunan,

terbentuk

semacam arena yang cukup luas. Di sana, seorang bocah berusia lebih tua dua tahun di atas Tompel sedang memainkan satu pertunjukan.

Semacam

pagelaran

hiburan rakyat sederhana. Biarpun sederhana, daya pikat permainan si bocah benar-benar bisa membuat penonton terperangah kagum.

Dari penampilannya, anak lelaki itu tak ada

istimewanya. Pakaiannya terlihat seperti gembel, compang-camping dan dekil. Rambutnya ikal tak teratur. Wajahnya menggemaskan, dengan mata bulat seperti pipi tembem.

Anak itu mengenakan celana pendek. Dan di ikat

pinggangnya terselip sebuah suling bam-bu.

Pada satu babak permainan, anak berwajah lucu itu melepas suling bambu dari ikatan pinggangnya.

"Para penonton yang kuhormati...." kata bocah itu lantang seraya mengangkat tangan tinggi-tinggi. "Aku akan menghibur kalian semua dengan satu permainan lagi."

Si bocah mengacungkan seruling miliknya ke muka.

"Suling ini bukanlah suling sakti atau pun suling ajaib.

Bukan pula suling pengamen Namun, benda tak berguna ini memiliki keistimewaan. Jika dimainkan."

Bocah itu lalu mulai berkeliling pinggiran kerumunan.

Satu persatu penonton yang berada paling depan

diperlihatkan seruling di tangannya.

"Perhatikan..., perhatikan seruling ini baik-baik

Bukankah di dalamnya tidak ada satu pun yang istimewa?"

sambung si bocah dekil, tak kalah lantang dari

sebelumnya.

Semua penonton di pinggir arena puas melihat

keadaan suling. Seperti kata pemiliknya, seruling itu memang tidak terdapat apa-apa di dalamnya. Karena itu, mereka banyak mengangguk percaya atas perkataan si bocah.

Bocah penghibur itu kembali ke tengah arena.

"Apakah saudara-saudara semua sudah siap melihat pertunjukan terakhir ini?" tanya si bocah mencoba memancing semangat penonton.

Penonton

terpancing,

gemuruh

pun

tercipta.

"Siaaap..." sambut sebagian besar dari mereka. "Baik," mulai si bocah lagi. "Kini perhatikan baik-baik...."

Bocah yang memiliki lagak dan gaya macam orang tua itu pun memulai permainannya. Lambat tapi pasti, seruling ditempelkan ke bibirnya. Mulailah terdengar lantunan irama yang merdu mendayu, mengayun-ayun sukma siapa pun pendengarnya.

Sampai sebegitu jauh,

belum tercipta

hal-hal

mengherankan, kecuali kemerduan tiupan seruling. Para hadirin mulai tak sabar menanti. Mereka memang cukup terhibur oleh permainan seruling. Tapi yang dijanjikan si bocah penghibur toh, bukan hanya itu. Jelas saja mereka menuntut janji tadi.

"Tong... Mana yang kau katakan kalau seruling itu bisa mengeluarkan sesuatu yang mengherankan? Jeee...

Kalau cuma gitu, aku juga.... bisa" tuntut salah seorang penonton.

Tya Mana?" timpal yang lain. "Iya, mana Eh Mana apanya, ya?" tanya seseorang yang baru saja datang tergopoh-gopoh.

"Mana... mana Mana jidatmu Kalau tak tahu, jangan ngomong"

"Wong aku punya mulut sendiri, kok" "Kalau begitu, ngomong sana sama bedug" Meski banyak yang berteriak-teriak, si bocah penghibur tampaknya masih tetap tenang memainkan jemarinya di atas lubang-lubang seruling.

Matanya terpejam, menikmati alunan irama dari suling.

Orang-orang makin mangkel, karena teriakan-teriakan tadi hanya dianggap pepesan kosong oleh si bocah.

Dengan mulut terungkit-ungkit, salah seorang penonton mengambil sandal dari kakinya. Biarpun pertunjukannya belum memungut bayaran, namun kalau urusan tak

memuaskan, maka bolehlah memberi sedikit pelajaran.

Kira-kira, begitu pikir orang ini tanpa mempertimbangkan akibatnya. Wuk

Seketika sebelah sandal kayu yang kelewat kotor dan bau pun melayang ke udara. Sasarannya, tepat kepala si bocah yang masih terpejam-pejam ke-asyikan.

Begitu sandal kayu nyaris tiba, dari lubang ujung seruling muncul bergumpal-gumpal asap jingga de¬ngan cepat mengejar benda yang sengaja dilempar oleh salah seorang penonton tadi. Sekejap saja, gulungan asap telah menelan sandal kayu.

Plas

Setelah itu, seluruh penonton dibuat terpana. Sandal tadi mestinya menimpa kepala si bocah. Setelah melewati gumpalan asap jingga. Ditunggu-tunggu, ternyata sandal itu tak juga muncul dari gulungan asap. Bahkan ketika asap jingga menipis dan akhirnya menghilang, sandal itu tetap tak terlihat lagi.

"E-eh Kok, gitu ya...?" seru beberapa orang.

"Iya, ya.. . Hebat juga. Sandal kok bisa hilang. Tapi, gimana nanti aku mengatakannya pada istriku? Sandal itu kan warisan mbah-nya..." gumam si pelempar sandal. Baru menyesal dia sekarang

Plok, plok, plok..

Orang-orang bertepuk tangan meriah. Janji telah

terbukti. Mereka puas. Namun begitu, ketika si bocah mengeluarkan topi pandan yang dikira untuk meminta saweran, hampir sebagian besar bubar.

"Lho..., lho? Jangan bubar dulu" cegah si bocah. "Aku tidak mau minta saweran.'

Bocah itu berusaha meralat kesalahpahaman para

penonton. Sambil mengenakan topi pandan ke kepala, anak itu memanggul buntalannya.

"Aku hanya ingin minta sedikit keterangan sebagai bayaran dari hiburan yang kupersembahkan barusan...,"

kata bocah itu lagi.

"Tak

perlu"

sergah

seseorang

tiba-tiba

dari

kerumunan.

Tak lama, munc ul seorang pemuda berpakaian hijau muda ke tengah arena. Bibirnya mengembang-kan senyum menyapa.

"Bang Andika.... Apa kabar?" sambut si bocah. Dihampirinya pemuda yang ternyata Andika atau di dunia persilatan

dikenal

sebagai

Pendekar

Slebor.

Diangsurkannya tangan, mengajak berjabatan.

Si bocah dan Andika pun berjabatan hangat, layaknya dua sahabat yang lama tak jumpa. Padahal, usia mereka terpaut cukup jauh.

"Apa kabar juga, 'Pangeran' Walet," balas Andika dengan sebuah embel-embel baru yang disepuhkan di depan nama bocah itu.

Bocah penghibur itu memang Walet. Bocah kecil yang memiliki kehebatan batin. Dengan kehebatannya, banyak orang menjulukinya Bocah Ajaib (Untuk mengetahui tentang Walet lebih jelas, baca episode: "Mustika Putri Terkutuk" dan "Cermin Alam Gaib").

Kedua kawan lama itu lalu terlibat pembicaraan. Tidak dipedulikan lagi penonton yang menggerutu.

"Kau harus hati-hati, Kang Andika...," papar Walet.

"Aku mendapat bayangan beberapa hari ini, kalau kau akan berhadapan kembali dengan salah satu musuh

lamamu yang paling berat."

"Bayangan? Bayangan apa maksudmu?" tanya Andika hcran."Seperti mimpi yang kualami, saat aku dalam keadaan sadar...."

"Aku tak paham. Setahuku, semua mimpi terjadi sewaktu seseorang tak sadar. Maksudku, saat seseorang sedang tertidur...."

"Kakang tak perlu paham, bagaimana aku men-

dapatkan 'bayangan' itu. Yang mesti diperhatikan adalah, isi 'bayangan' itu...," tukas Walet.

"Apa itu?"

"Dalam 'bayangan' itu, aku melihat satu cahaya amat menyilaukan menembus langit malam kelam. Cahaya itu jatuh ke salah satu bagian kotapraja ini...."

"Apa kira-kira kau tahu, cahaya apa itu? Apa mungkin itu hanya benda angkasa yang masuk ke bumi?" tanya Andika. Walet menggeleng mantap.

"Batinku mengatakan, kalau cahaya itu bukanlah benda langit biasa. Ada satu kekuatan gaib luar biasa yang dibawanya. Kekuatan mata batinku sendiri sulit menembus ke dalam cahaya itu," papar Walet dengan mata menyipit.

Sejurus Andika terdiam memikirkan kata-kata Walet.

"Ada hal lain yang kulihat dalam ' bayangan'ku," Walet mulai lagi.

Pendekar muda dari Lembah Kutukan di dekat-nya

menunggu.

"Aku melihat seorang gadis cantik berpakaian merah-merah ditelan cahaya menyilaukan itu, di suatu tempat yang dibatasi air sejauh mata memandang. Dan saat itu, purnama membulat penuh," lanjut Walet.

Sementara, para penonton satu persatu kembali pada urusan masing-masing. Malam sudah sempurna. Lampu-lampu minyak di pinggiran jalan kotapraja sudah menyala.

Para

pedagang

malam

pun

sudah

siap

dengan

dagangannya di beberapa tempat.

Dua orang masih tersisa. Mereka adalah S utawi¬jaya dan Tompel.

"Bukankah itu Bang Andika, Kang?" ungkap Tompel berbisik pada Sutawijaya di sampingnya.

Sutawijaya mengangguk tanda membenarkan Tompel.

Sepasang bola matanya tak lekang, menatap wajah dan sosok Andika. Rasanya memang sulit dipercaya kalau bisa bertemu kawan akrab kembali yang sudah seperti saudara kandung sendiri dalam keganasan kehidupan kotapraja dulu.

"Andika..." sapa Sutawijaya.

Andika pun menoleh. Begitu juga Walet. Namun saat itu juga bocah penjelmaan seorang pangeran yang mati ratusan tahun lalu ini segera mohon diri pada Pendekar Slebor.

"Kenapa kau terburu-buru, Walet?" tanya Pendekar Slebor.

"Masih banyak yang harus kulakukan, Kang Selamat tinggal...."

Andika tak bisa mencegah lagi, ketika Walet

melangkah pergi. Sementara, Sutawijaya dan Tompel sudah tiba di depan Pendekar Slebor.

*** 4

"Jadi, Pendekar Slebor itu ternyata kau, Andika?" kata Sutawijaya dengan mata membesar.

Saat ini, Sutawijaya, Andika, dan si pencopet kecil Tompel sedang duduk berleha-leha di kedai pinggir jalan kotapraja.

"Ini benar-benar menggelikan," ungkap Sutawijaya lagi. "Sudah begitu lama aku mendengar kabar tentang Pendekar Slebor dari berbagai penjuru dan dari mulut ke mulut. Eee, tak tahunya orang yang bikin geger orang yang sudah kukenal sejak masih ingusan Bagaimana tidak lucu?"

Sutawijaya berbicara cukup menggebu-gcbu.

"Jangan melebih-lebihkan seperti itu, Suta," sergah Andika malu hati. Diseruputinya teh kental pahit khas kotapraja.

"Kang Andika tidak berubah dari dulu," tukas Tompel ambil bagian. "Biarpun urakannya setengah modar, tapi sifat rendah hatinya tak kalah modar. Eh..., maksudku tak kalah... ya, begitulah...."

"Kalau lak bisa ngomong dengan jelas. lebih baik tidak usah bicara. Pel" gurau Andika.

"Nah,

tuh

Bang

Andika

mulai

mengalihkan

pembicaraan, kan? Coba kalau tadi tidak ada yang berbisik-bisik kalau Bang Andika adalah Pendekar Slebor yang 'wah' itu, tentu kita tak akan pernah tahu. Ya, Bang Suta?"

Sutawijaya mengangguki ucapan Tompel.

"Ah, sudahlah Kalian pikir, akan berbeda seorang yang namanya tersohor dengan orang yang tidak tersohor?

Jangan suka menilai seseorang hanya dari satu sudut saja.... Manusia kan harus dinilai dari pribadinya. Bukan

'embel-embernya" tukas Andika seraya tangannya menepis udara.

Plok, plok, plok..

Tompel bertepuk tangan. "Ini juga salah satu sifat yang kusuka dari Bang Andika. Dari dulu, sok pintarnya tidak hilang-hilang juga"

gurau si bocah pencopet dengan raut wajah meledek.

"Bocah sialan, kau" umpat Andika.

Tompel tertawa. Begitu juga Sutawijaya.

"O, iya. Andika, kau belum beritahu kami, siapa bocah kecil ajaib yang menggelar pertunjukan itu? Dia tampaknya sudah begitu mengenalmu. Tapi. kenapa cepat-cepat pergi lagi?" tanya Sutawijaya.

"Anak itu sahabat lamaku. Dia punya sedikit keperluan

denganku.

Setelah itu,

ingin melanjutkan

perjalanannya kembali," jawab

Andika,

tanpa mau

memaparkan hal sebenarnya tentang diri Walet.

Selagi mereka meneruskan obrolan ngalor-ngidul, di jalan utama kotapraja terlihat debu menga-pung pekat ke udara. Ada dua penunggang kuda berperawakan gagah mengawal satu kereta kencana mewah. Kereta itu ditarik empat ekor kuda putih jantan bertubuh menawan.

Semuanya dikendalikan seorang kusir kuda yang tak kalah gagah dibanding dua penunggang kudanya. Dari jendela kereta

kencana

terlihat

seorang

pangeran

gagah

melayangkan pan-dangan ke arah luar.

Baik wajah dua pengawal, kusir, atau pangeran dalam kereta kuda, sedikit pun tak mencerminkan kalau mereka adalah penduduk asli. Mereka memiliki hidung lebih mancung daripada penduduk setempat. Kulit mereka pun lebih hitam. kecuali sang pangeran yang berkulit putih.

Bagi mata penduduk kotapraja, wajah mereka begitu asing. Belum ada yang bisa memastikan, dari mana asal mereka. Namun menilik raut wajah dan pakaiannya, banyak yang menduga mereka adalah pendatang dari negeri seberang.

Keempat lelaki asing itu semuanya mengenakan

semacam sorban, dengan warna berbeda. Dua pe-

nunggang kuda bersorban warna merah jingga. Sang kusir berwarna hitam. Sedangkan si pangeran warna ungu. Dua penunggang kuda serta kusir memakai baju berbentuk rompi kain yang warnanya sama dengan sorban mereka.

Celana mereka lebar dan longgar serta mengetat pada bagian mata kaki. Yang terlihat agak lucu bagi mata para penduduk kotapraja adalah. sepatu mereka. Ujung sepatu keempat lelaki asing itu memanjang dan meruncing, lantas membengkok seperti tanduk.

Salah seorang penunggang kuda maju ke dekat

kerumunan. Di tangannya tergenggam gulungan kain yang tampaknya

berisi

sebuah

maklumat

yang

akan

disampaikan kepada orang-orang di kotapraja.

"Saudara-saudara yang terhormat...," si penunggang kuda tadi mulai dengan ucapan terpatah-patah dan kaku.

"Kami datang dari negeri seberang lautan. Tujuan kami ke sini adalah, hendak melaksanakan kehendak junjungan kami, Pangeran Yang Perkasa, untuk mencari seorang istri.

Beliau

telah

membuat

suatu

pengumunan.

Bunyi

pengumumannya adalah sebagai berikut:

“Kepada seluruh wanita di negeri ini Diumumkan bahwa aku hendak menc ari seorang pendamping hidup.

Sesuai dengan wangsit yang kudapat dalam mimpi, wanita yang akan ditakdirkan menjadi istriku berasal dari negeri ini. Wanita itu memiliki tanda lahir di bagian punggung kanannya berupa kembang Wijayakusuma....”

Sampai batas itu, Andika jadi terperanjat bukan main.

Tiba-tiba saja tubuhnya tersentak bangkit dari bangku kedai. Wajahnya sulit digambarkan.

Melihat sikap Andika, Sutawijaya dan Tompel tentu saja menjadi heran.

"Kenapa Bang Andika? Kok seperti orang yang baru diserobol tuyul?" usik Tompel.

"Tanda lahir berbentuk bunga Wijayakusuma di punggungnya?" desis Andika, tanpa menjawab pertanyaan ngawur Tompel.

"Kau bilang apa, Andika?" tanya Sutawijaya tak jelas mendengar gumaman sahabatnya.

Andika baru tersadar. ketika Tompel meninju perutnya cukup keras. Dugkh

"Bang Suta tanya, Abang barusan ngomong apa?"

teriak Tompel, di dekat telinga Andika.

"Ah, tak apa-apa...," kilah Andika, berusaha menutupi.

Kembali pikiran Andika menerawang jauh, menembus awang-awang. Bahkan sepertinya kedua sahabatnya tak dipedulikan.

"Siapakah sesungguhnya orang yang memiliki tanda bunga Wijayakusuma di punggung kanannya?" bisik hati Andika bcrtanya-tanya. "Apa pula hubungannya 'bayangan'

yang dilihat Walet dengan pangeran asing itu?"

Lagi-lagi si pemuda sakti buyut Pendekar Lembah

Kutukan itu tercenung sendiri. Tanpa sadar, Andika hendak menggaruk kepala karena tak mengerti teka-teki yang harus dihadapinya. Padahal, tangannya masih memegang cangkir teh.

"Aufh..."

Si pemuda bertampang ningrat namun berpe-

nampilan gelandangan itu menjadi megap-megap sendiri begitu cairan hitam pekat mengguyur wajahnya.

"Wah... minum teh tubruk saja bisa mabuk, ya Bang?"

ledek Tompel.

Andika hanya bisa mendelik dongkol.

*** 5

Di buritan sebuah kapal layar indah, seorang laki-laki tinggi tegap berhidung manc ung tengah berjalan mondar-mandir seperti menanti sesuatu. Dia adalah Pangeran Husein yang berasal dari negeri Parsi. Pangeran inilah yang baru-baru ini membuat pengumuman yang isinya ingin mencari calon istri. Di negerinya, dia mendapat gelar kehormatan Pangeran Yang Perkasa. Gelarnya, memang tak hanya sebatas sebutan. Melainkan, benar-benar tampak

pada

kepribadian

sesungguhnya.

Dengan

kegagahan dan keberanian menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam negeri yang merongrong kedaulatan ayahnya, memang tak berlebihan jika sang pangeran mendapat gelar itu. Dalam perang, dia lebih berani dan tangguh daripada panglima istana.

Beberapa waktu lalu, Pangeran Husein bermimpi

didatangi sebentuk bayangan yang menyerahkan seorang gadis cantik rupawan ke dalam pelukannya. Si gadis memiliki tanda bergambar bunga Wijayakusuma di

punggung kanan.

Tanpa hendak meminta saran dari penasihat istana, Pangeran Husein merasa yakin kalau mimpi itu semacam wangsit dari Yang Maha Tunggal. Dengan keyakinan penuh dia menafsirkan, bahwa wanita yang hadir dalam mimpinya adalah calon istrinya.

Kalaupun

Pangeran

Husein

kemudian

memaklumatkan

sebuah

pengumuman

di

tanah

Jawadwipa, penyebabnya karena akhirnya mimpi terlihat hamparan padi yang menguning sepanjang pandangan.

Untuk hal ini, sang pangeran meminta pendapat para cendikiawan

istana.

Dan

seorang

cendikiawan

menyarankan, agar dia berlayar membelah lautan Cina sampai tiba di sebuah pulau subur makmur bernama Jawa Dwipa.

Setelah beberapa hari mengarungi lautan dengan

kapal layar kerajaan yang besar, sang pangeran yang juga tampan itu segera turun ke darat. Dibawanya seorang kusir dan dua pengawal untuk menyebarkan pengumuman yang telah dibuatnya.

Kini, tiga hari telah berlalu dari saat pengumuman dibacakan di kotapraja.

Sampai saat ini, tak ada seorang wanita pun yang mendatangi kapal layar kerajaan milik Pangcan Husein.

Dan ini membuat calon pewaris tahta Kerajaan Persia itu menjadi gelisah. Menunggu dan menunggu baginya seperti siksaan berat. Keinginan untuk segera bertemu wanita yang pernah hadir dalam mimpinya itu, begitu menggebu-gebu, bagai letupan-letupan kawah gunung berapi.

Sebulan berperang, barangkali akan lebih disukai ketimbang tiga hari menanti. Itulah yang mendera perasaan Pangeran Husein belakangan ini.

Kini, Pangeran Husein berdiri menatap angkasa luas.

Angin yang sepoi-sepoi basah tak bisa menghiburnya. Tidak juga bayangan bulan yang mengapung di permukaan laut, atau kerlap-kerlip berjuta bintang di angkasa raya. Hatinya benar-benar gelisah.

Tak jauh di sebelahnya, seorang perwira berdiri

mematung. Raut wajahnya s udah dipenuhi kerutan.

Rambutnya memutih. Biarpun tampak demikian tua, tak ada kesan rapuh pada perawakannya. Dengan kumis

berwarna putih yang lebat serta mata yang agak cekung berwarna kelabu, perwira ini justru ke-lihatan berwibawa.

"Sudah berapa lama kita berlabuh di pesisir pulau ini, Paman Thariq?" cetus Pangeran Husein lamat, di antara bisikan lembut angin laut. Matanya tak kunjung lepas menatap

gerak

gemulai

bayangan

bulan

yang

dipermainkan gelombang kecil.

Perwira tua di sisinya menoleh.

"Sudah menjelang hari keempat, Pangeran," jawab sang perwira bernama Thariq, penuh rasa hormat.

Kepala pemuda gagah berpakaian kebesaran itu

menggeleng perlahan.

"Sepertinya, aku sudah menunggu berabad-abad...," desis Pangeran Husein nyaris bergumam.

"Kalau boleh tahu, ada keperluan apa sebenarnya Pangeran mendatangi negeri yang begitu jauh ini?" tanya Perwira Thariq.

Selama ini, perwira itu memang belum diberitahu

tujuan Pangeran Husein sebenarnya.

Pangeran Husein tertawa kecil. Ditariknya napas

dalam-dalam. Sementara, pandangannya beralih sejenak pada lelaki berwibawa di sebelahnya.

"Rasanya lucu jika aku memberitahukannya pada Paman, kenapa aku begitu menggebu-gebu hendak ke negeri ini...?" tutur Pangeran Husein.

"Apakah aku telah lancang menanyakannya?"

"Oh Bukan itu, Paman," kilah Pangeran Husein cepat.

"Sebenarnya aku sendiri ingin memberitahukannya pada Paman, sebelum kita berangkat dahulu. Tapi, aku

sungkan...."

Pangeran Husein menurunkan kedua tangannya ke

tepian kapal.

"Kenapa

jadi

sungkan?

Bukankah

Pangeran

menganggap kami, para perwira tua, sebagai orang-tua Pangeran juga? Dulu, Pangeran berkata begitu, bukan?"

"Ya Tentu saja aku ingat, Paman." Pangeran muda dari negeri Parsi itu menganggukkan kepala.

"Kalau begitu, silakan ceritakan.... Percayalah, Paman akan mendengarkan."

"Asal Paman tidak menertawai ceritaku...," ujar Pangeran Husein, mengajukan syarat.

"Asal Pangeran tidak bermaksud melucu...," balas Perwira Thariq, sedikit bergurau.

Kembali tawa kecil si pangeran muda tersembul.

"Begini, Paman...."

Belum lagi kalimat Pangeran Husein berlanjut,

mendadak saja selantun suara seorang wanita ber-

senandung merayapi sekitar dermaga.

Pangeran Husein menegakkan kepala. Begitu juga

Perwira Thariq. "Apa Paman mendengar senandung seorang wanita?"

tanya Pangeran Husein, bimbang pada pende-ngarannya sendiri.

"Aku rasa begitu, Pangeran," sahut sang perwira.

Merasa

yakin

kalau

memang

ada

wanita

bersenandung, Pangeran Husein berseru.

"Hei Adakah seorang wanita di sana? Kalau benar, sudikah kiranya memperlihatkan diri?"

Seruan pangeran ini tak mendapat sambutan. Bahkan tiba-tiba saja berdesir serangkum angin pukulan deras tak tampak mata dari arah timur dermaga

Wush

"Pangeran awas" Perwira Thariq memperingatkan.

Selang sekejap dari peringatan lelaki tua bersor-ban dan berpakaian merah dengan rompi kain putih itu, Pangeran Husein melenting ke udara.

Blash

Pukulan jarak jauh tadi langsung memangsa layar

yang kebetulan tersibak sebagian. Seketika itu pula, kain tebal berwarna abu-abu tersebut koyak bagai dicabik-cabik cakar seekor beruang.

"Beruang Betina Kutub Utara...," desis Pangeran Husein, begitu kakinya menjejak lantai buritan.

Pangeran

Husein

dan

Perwira

Thariq

saling

berpandangan tak mengerti. Sudah lama mereka mengenal wanita berjuluk Beruang Betina Kutub Utara. Seorang wanita berilmu tinggi yang tidak hanya sulit dimengerti, tapi juga sulit diduga kesaktiannya.

***

Dulu, Beruang Betina Kutub Utara memang pernah

muncul membuat kegemparan di negeri Parsi bersama seekor beruang kutub berwarna putih salju. Kehebatannya hanya bisa ditandingi Pangeran Husein. Biar begitu, Pangeran Husein sendiri pernah menjadi bulan-bulanan pukulan 'Cakar Beruang Salju' milik wanita aneh itu. Kala itu, kerajaan digemparkan kabar burung yang menyebar seperti wabah menular. Rakyat sampai petinggi istana banyak membicarakan tentang kemunculan seorang wanita berparas cantik bagai bidadari, namun sepucat mayat. Rambutnya panjang. Dan tak seperti orang

kebanyakan, rambutnya berwarna putih bagai warna binatang peliharaannya.

Desas-desus yang kian santer, membuat Pangeran

Husein tertarik. Dari seorang petinggi istana, pemuda calon pewaris tahta kerajaan itu mengorek keterangan tentang Beruang Betina Kutub Utara. Selang sekian waktu, setelah si petinggi menceritakan segala hal yang diketahuinya, Beruang Betina Kutub Utara mendatangi istana.

Di depan istana, wanita bermantel dari bulu beruang itu tanpa tedeng aling-aling mengungkapkan niatnya.

Melamar Pangeran Husein.

Kemarahan timbul dalam diri para prajurit istana.

Sebagai abdi setia kerajaan, mereka beranggapan bahwa wanita asing yang dikawal beruang salju itu bermaksud menghina keluarga istana.

Mereka berang. Diusirnya Beruang Betina Kutub Utara dari pelataran istana. Tapi bukannya pergi, wanita yang memiliki mata menantang ini malah melangkah menuju serambi istana tempat Pangeran Husein berdiri.

Tanpa diperintah, empat prajurit andalan istana

menghadang. Belum lagi mereka siap berdiri menghalangi, serangkum sampokan bertenaga dalam dahsyat terlepas dari punggung tangan wanita bermuka pucat berjuluk Beruang Betina Kutub Utara.

Dalam segebrakan, empat nyawa prajurit andalan itu melayang.

Kekejian Beruang Betina Kutub Utara memancing

kegusaran

para

perwira

istana.

Malah,

menyusul

ambruknya empat prajurit tadi ke bumi, dua perwira berusia muda langsung turun menghadapi kebengisannya.

Kedua perwira itu pun harus menelan bulat-bulat

akibatnya. Mereka berguguran seperti daun kering, tak beda dengan empat prajurit sebelumnya. Hanya karena kepandaian tempur mereka terbilang cukup tinggi, maka akibat yang diderita pun tak separah keempat prajurit.

Mereka hanya terluka dalam.

Sampai di situ, Pangeran Husein tak bisa lagi

mendiamkan tindakan semena-mena Beruang Betina

Kutub Utara. Setelah menoleh sebentar pada ayahanda yang berada di sisinya, pangeran muda perkasa itu melompat. Dan dia mendarat tepat dua tombak di depan wanita yang tak hanya telah lancang melamarnya, tapi juga telah berbuat semena-mena di wilayah kekuasaannya.

"Siapa kau sebenarnya,

Wanita Asing?" tanya

Pangeran Husein, tenang.

"Aku?"

Beruang Betina Kutub Utara melirik Pangeran Husein.

Tak ada kesan nakal dalam lirikannya. Namun, binar yang lahir dari setiap gerak bola matanya mengandung kekuatan memikat yang sungguh luar biasa. Kalau saja, Pangeran Husein tak memiliki kekokohan jiwa, bisa jadi langsung terpengaruh.

"Aku datang dari jauh. Dari tepi dunia ini. Aku tak punya nama. Tapi, aku lebih suka disebut Beruang Betina Kutub Utara," sambung wanita itu, menjelaskan.

"Apakah kau tahu, kalau telah berbuat kemungkaran di tempat ayahku?" sambung Pangeran Husein, datar tapi mantap.

"Aku tahu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara singkat sambil menyingkap anak rambut berwarna putih yang jatuh menutupi mata.

"Apa kau tahu pula, bahwa seorang yang telah berbuat kemungkaran akan mendapat hukuman sesuai perbuatan yang dilakukannya?"

"Aku tahu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara, dengan singkat pula.

"Kalau begitu, aku tak perlu lagi memaksamu untuk menyerahkan diri pada hukum yang berlaku di kerajaan kami. Kau harus diadili, karena telah membuang nyawa empat prajurit dan melukai dua perwira...."

"Aku juga tahu itu...," jawab Beruang Betina Kutub Utara sekali lagi. "Tapi aku tak mau...."

Setelah itu, tak ada lagi jalan yang harus ditempuh Pangeran Husein, selain menggempur wanita cantik yang berkulit wajah pucat di depannya.

Pertempuran sengit terjadi. Para perwira serta raja yang pernah melihat Pangeran berlaga di medan perang baru kali ini, melihat pertempuran paling hebat yang pernah dialami sang pangeran.

Sebagian tembok istana menjadi hancur tak karuan.

Pelataran istana sudah tak ketahuan lagi bentuknya.

Mereka bertukar jurus dalam adu keunggulan yang

mencengangkan, bahkan bagi seorang panglima berilmu tinggi sekali pun.

Seluruh istana seakan terkurung bunyi pedang sang pangeran. Belum lagi hantaman-hantaman dari setiap kibasan tangan Beruang Betina Kutub Utara.

Sampai akhirnya....

"Pangeran

Husein

Aku

menyusulmu

untuk

melamarmu kembali"

Satu seruan seorang wanita memberangus bayangan

kejadian silam dalam benak Pangeran Hu¬sein.

Di sebelah timur dermaga, di antara puluhan perahu nelayan kecil yang tertambat bisu, tampak seso-sok bayangan muncul di bawah siraman cahaya temaran

rembulan.

Tepat seperti dugaan Pangeran Husein dan Perwira Thariq.... Wanita yang baru munc ul itu memang Beruang Betina Kutub Utara. Dan itu makin nyata dari bayangan mantel bulu beruangnya.

"Untuk apa kau mengikutiku ke sini, Beruang Betina?"

tanya Pangeran Husein.

"Bukankah sudah kukatakan, aku hendak melamarmu kembali...," jawab wanita itu di kejauhan.

"Apa kau belum tahu kalau aku justru ingin

meringkusmu

kembali,

karena

kau

telah

berhasil meloloskan diri dari hukum kerajaan atas perbuatan kejimu waktu itu?" balas sang pangeran muda penuh tekanan, biarpun diucapkan dalam ketenangan.

"Apakah itu berarti kau menolak lamaranku?"

Pangeran Husein diam sesaat. Matanya yang dinaungi alis hitam lebal yang merentang jantan, menusuk

kegelapan tempat Beruang Betina Kutub Utara berdiri.

"Kalau waktu itu kau datang dengan cara baik-baik, mungkin aku bisa tertarik denganmu. Tapi, kini, di mataku kau bagaikan buronan yang mesti menjalani hukuman"

tandas Pangeran Husein dengan rahang agak mengejang.

"Mmm...," Beruang Betina Kutub Utara bergumam lepas. "Apa karena kau sudah merasa memiliki pilihan hati, seorang wanita jelita yang memiliki tanda bunga

Wijayakusuma di punggung kanannya, seperti yang

diumumkan beberapa hari lalu?" cemooh Beruang Betina Kutub Utara.

"Itu bukan urusanmu, Nona" bentak Pangeran Husein. Gagang pedang di pinggangnya diremas kuat-kuat.

Lelaki muda itu tampaknya berusaha menahan diri dari pancingan Beruang Betina Kutub Utara.

"Tentu saja itu jadi urusanku...," balas Beruang Betina Kutub Utara.

Perempuan berwajah jelita namun pucat itu me-

langkah tiga tindak, hingga lampu badai besar di atas geladak kapal menyapu wajah dan sebagian tubuhnya.

"Kau ingin tahu, kenapa?" lanjut Beruang Betina Kutub Utara dingin dan datar. "Karena wanita yang kau cari itu akan menjadi sainganku untuk mendapatkanmu.

Pangeran...."

Kalau

sang

pangeran

masih

bisa

menahan

kemarahan, lain halnya Perwira Thariq. Tampaknya kewibawaan dalam diri lelaki tua itu bukanlah jaminan bahwa dia lebih bisa menahan kegusaran.

"Perempuan tak tahu adat" hardik Perwira Thariq mengguntur. Dilompatinya pinggir buritan setinggi dada.

Tanpa kesulitan, lelaki tua itu telah tiba sekitar enam-tujuh depa dari tempat Beruang Betina Kutub Utara.

"Kali ini, aku bersumpah akan menangkapmu hidup atau mati" dengus Perwira Thariq geram.

Beruang Betina Kutub Utara hanya tersenyum tipis mencemooh.

"Kau tak akan mampu melakukannya, Perwira Tua"

Srang

Bunyi pedang berbentuk melengkung menghentak

kesenyapan dermaga. Perwira Thariq sudah melepas senjata dari sarangnya.

"Hiaaa..."

Tanpa sempat meminta persetujuan Pangeran Husein lagi, laki-laki bagai singa tua itu segera melabrak beruang wanita dengan sabetan pedang menggetarkan.

Sing...

Tebasan pertama ditujukan ke arah paha kiri Beruang Betina Kutub Utara. Dilihat dari sasaran te-basannya, tampak Perwira Thariq hanya bermaksud melumpuhkan.

Sebagai kstaria sejati, Perwira Thariq menjunjung tinggi aturan-aturan yang berlaku dikerajaan. Salah satunya adalah, memberi kesempatan pada lawan untuk menyerah, dengan melumpuhkannya saja. Di samping itu, ada

ketentuan untuk tidak bertempur dengan wanita.

Namun untuk perkara Beruang Betina Kutub Utara,

ketentuan terakhir ini tidak harus berlaku. Sebab pada kenyataannya, Beruang Betina Kutub Utara justru lebih berbahaya daripada tiga atau empat lelaki jago tempur sekalipun.

Itu pula yang menyebabkan Pangeran Husein tak

segan-segan lagi bertarung menghadapi Beruang Betina Kutub Utara.

Babatan pedang Perwira Thariq tanpa banyak

kesulitan dapat dimentahkan Beruang Betina Kutub Utara.

Tangan kiri wanita itu menyibak mantel bulu beruangnya dari dalam. Maka sekerdip mata saja, sisi tajam pedang bertumbukan dengan kibasan mantel. Drang

Satu kenyataan memaksa mata Perwira Thariq terbelalak. Bagian pedang yang bertemu mantel lawan telah sompal

Manakala lelaki tua itu tertegun, kebutan susulan mantel Beruang Betina Kutub Utara kembali menyibak udara. Drang

Bunyi keras terdengar merobek telinga. Dan akibatnya sungguh mengejutkan. Bagaimana bisa mantel bulu yang terlihat lembut itu mampu mematahkan pedang Perwira Thariq menjadi tiga bagian sama rata?

Sekali lagi, mata si lelaki tua dari negeri Parsi terpaksa terbelalak lebar. Perwira T hariq yakin, kalau wanita itu tadi hanya mengebutkan sisi mantelnya sekali saja. Tapi, hasil yang terjadi sebenarnya harus dilakukan dengan tiga gerakan.

Dalam hati, Perwira Thariq mengutuk sekaligus

memuji kehebatan gerak Beruang Betina Kutub Utara. Di negerinya, jago pedang yang paling hebat pun, belum bisa melakukannya. Bahkan kelihaian permainan pedang

Pangeran Husein yang amat ditakuti di negerinya, belum tentu mampu.

"Aku tak ingin mengotori tangan dengan mem-

bunuhmu, Perwira Tua. Lebih baik, menyingkirlah dari jalanku" gebah Beruang Betina Kutub Utara dengan tatapan menghujam.

"Kalaupun kau memiliki ilmu yang dapat membelah gunung, aku tak akan mundur," balas Perwira Thariq, sedikit pun tak kehilangan nyali, biarpun sempat terperanjat dengan kenyataan yang disaksikannya tadi.

Beruang Betina Kutub Utara mendengus nyaris tak

kentara.

"Itu artinya, kau minta aku membunuhmu...."

"Cukup, Beruang Betina" terabas Pangeran Husein melihat gelagat tak baik bakal dialami salah seorang perwira terbaiknya kalau tak segera mengambil tindakan.

Pemuda bersorban ungu itu menyusul perwiranya.

Dengan gerakan ringan, dilewatinya tepian buritan kapal.

Setelah itu, kakinya berdiri persis di tengah-tengah antara Perwira Thariq dan Beruang Betina Kutub Utara.

"Kau telah terlalu jauh, Nona...," ucap Pangeran Husein satu-satu, dipadati gelegak kegeraman.

Tatapan tajam mata sang pangeran mencorong tepat ke manik mata Beruang Betina Kutub Utara yang selalu menebar pengaruh rayu.

"Sebenarnya kedatangan ke negeri ini tidak untuk menumpahkan darah pada siapa pun. Tapi karena aku memiliki kewajiban untuk mengirimmu ke pengadilan kerajaan, terpaksa aku harus berhadapan denganmu...,"

jabar Pangeran Husein, seperti memberi peringatan pada wanita calon lawannya agar segera bersiap.

Sring

Pedang panjang milik pemuda gagah dari negeri Parsi, itu pun memperdengarkan suara menggiriskan manakala lepas dari sarungnya. Pantulan cahaya rembulan kontan bersatu dengan pantulan lampu badai di atas kapal, menjilati mata pedang sepanjang satu kaki yang

membengkok.

Wut

Pedang Pangeran Husein membuat tebasan pembuka

di udara malam, sebagai aba-aba kalau pertarungan hebat yang pernah terjadi beberapa waktu lalu di negerinya akan segera terulang kembali. Tapi sebelum masing-masing bergerak lebih lanjut....

"Hi hi hi... Jangan digubris perempuan jalang seperti dia, Pangeian Gagah...," selak seseorang, menjegal pertarungan yang baru saja hendak tersulut.

Seorang wanita lain telah hadir di dermaga itu.

Siapa dia?

Ternyata, dia adalah wanita berkebaya yang pernah berurusan dengan Anggraini. Perempuan yang tak kalah cantik dibanding Beruang Betina Kutub Utara itu rupanya telah ikut campur. Dari sebelah utara dermaga, dia muncul dengan lenggak-lenggok gemulai menggoda.

Sinar mata Beruang Betina Kutub Utara berubah

beringas begitu mendengar dirinya dikatakan wanita jalang.

"Perempuan bosan hidup dari mana yang berani menyebutku selancang itu?" geram Beruang Betina Kutub Utara."Heee..., bosan hidup?" wanita berkebaya melengak.

Bibirnya mencibir. "Bagaimana bisa dikatakan kalau aku bosan hidup, bila aku datang ke sini malah hendak memenuhi pengumuman Pangeran Yang Perkasa... "

Suara wanita berkebaya itu mendayu-dayu seraya

mengerling nakal ke arah Pangeran Husein.

Sekarang giliran pemuda dari Parsi itu yang menatap teliti wanita berkebaya.

"Wanita ini berkata kalau hendak memenuhi pe-ngumumanku?" bisik sang pangeran membatin. "Kalau benar begitu, mungkinkah wanita berkebaya ini yang muncul dalam mimpiku? Dia memang cantik. Tak kalah cantik dengan Beruang Betina Kutub Utara. Tapi wajahnya sama Sekali tidak mirip gambaran wanita dalam

mimpiku...."

"Heee.... Tak usah begitu terpana melihat kecantikan hamba Pangeran yang ‘ehm..ehm’ kalau aku nanti sudah resmi menjadi istrimu, tentu kau akan puas menikmatinya.

Bahkan lebih dari itu… hi….hi” kicau wanita berkebaya.

*** 6

Sementara itu jauh di lain tempat, seorang kakek bertudung lebar melenting ringan di antara lekuk-lekuk tebing terjal. Licin maupun kecuramannya seakan tak menjadi penghalang. Pakaiannya yang sudah tinggal koyakan-koyakan saja, menari-nari ditepis angin.

Lelaki tua renta itu mengenakan celana pendek,

memperlihatkan kakinya yang melengkung keluar dengan tempurung dengkul menonjol. Sesekali gigi tebingnya runcing dijadikan tempat menjejak. Padahal, kakinya tak beralas apa-apa.

Saat yang sama, Anggraini tengah berjalan di

bawahnya pada jalan di antara himpitan dua tebing. Cara aneh si kakek melakukan perjalanan, membuat dara jelita berkesan ketus itu menjadi tertarik.

"Ada pangeran dari negeri yang jauh mencari jodoh...,"

senandung si kakek lamat-lamat.

Tanpa mempedulikan keberadaan Anggraini, kakek ini melewati gadis itu di atas tebing.

"Seorang gadis bertanda bunga Wijayakusuma di punggung kanannya...," sambung si kakek bertudung.

merangkai senandungnya.

Mendengar link lagu terakhir, sepasang alis Anggraini segera bertautan satu sama lain. Bagaimana tidak?

Ternyata. lirik lagu yang didengarnya amat mirip sekali dengan keadaan dirinya. Pada punggung kanan Anggraini pun terdapal tanda berbentuk bunga Wijayakusuma.

"Pak Tua, tunggu" tahan Anggraini dari bawah.

Seperti tuli, kakek tua itu terus saja asyik bersenandung sambil mencelat-celat di antara tonjolan tebing menuju matahari terbenam.

Anggraini mengumpat dalam hati. Dibantingnya napas kesal."Pak Tua Kenapa kau menyanyikan lagu yang buruk itu? Telingaku pekak mcndengarnya" pancing Anggraini, agar si kakek mau berhenti. Memang, pendekar muda dari Tanah Buangan itu

yakin kalau telinga orang tua itu belum rusak.

Umpan cerdik Anggraini mengena. Rupanya untuk

orang tua itu dengan dihina lebih dulu baru membuatnya berhenti ketimbang panggilan santun.

"Bocah perempuan gendengl" hardik orang tua itu dongkol.

Di atas tonjolan batu seruncing mata pisau, si kakek berhenti. Hanya saja, kepalanya belum menoleh sedikit pun. Apalagi berbalik.

"Maaf. PakTua. Bukan maksudku menghinamu. Aku hanya ingin agar kau berhenti sejenak," hatur Anggraini dengan susunan kata demi kata yang sopan. Paling tidak, bisa membayar kekurang ajaran yang dilakukan karena terpaksa tadi.

"Kalau kau hanya ingin aku berhenti sejenak, itu artinya mau mempermainkanku. Itu lebih mendongkolkan daripada sekadar hinaan tadi" ketus si kakek, tetap tak berbalik.

"Oh Maksudku..., aku ingin bertanya padamu, Pak Tua," ralat Anggraini bcrgegas.

"Huh Kau pikir aku perlu pertanyaanmu?" Menerima gerutuan janggal si kakek, perut Anggraini seperti digelitik sekawanan tuyul. Bibirnya tersenyum-senyum menahan tawa."Jangan menertawakanku" bentak si orang tua.

Anggraini sempat dibuat terkesiap. Dia sama sekali tidak mengeluarkan suara tawa. Namun, si kakek tahu kalau gadis itu diam-diam menertawainya. Bagaimana dia tahu tanpa perlu menoleh? Anggraini jadi terkagum-kagum.

"Jus.. , jus.. ."

Anggraini jadi dibuat tergagap mengetahui kalau lelaki tua itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja

kesaktiannya yang sudah bisa dibanggakan hanya sekuku hitam dibanding ilmu si kakek.

"Bicara yang jelas Masih muda sudah seperti nenek peyot dan pikun Pakai 'jus.. jus' segala lagi" "Maksudku, justru aku yang perlu bertanya pada Pak Tua tentang lirik yang kau nyanyikan Pak T ua," lagi-lagi Anggraini merasa harus meralat ucapannya.

"Tanya"

"Bagaimana, Pak Tua?" tanya Anggraini karena tidak jelas menangkap ucapan singkat si kakek yang sampai saat itu tak sudi menoleh padanya.

"Kubilang, tanya Kau taruh otakmu di mana?"

dengus si kakek.

"Oh... eh, iya. Soal lirik lagumu tadi, Pak Tua.

Apakah...."

"Ya Memang ada pangeran dari seberang lautan hendak mencari istri" terabas si lelaki tua, sebelum Anggraini sempat menyelesaikan pertanyaannya.

"Jadi itu tadi bukan sekadar karanganmu, Pak Tua?"

tanya Anggraini lagi, merasa ingin lebih jelas.

"Huh, karanganku...," gerutu lelaki tua ini. "Sana kau datangi pesisir Biar kau bisa lebih jelas duduk perkaranya

Jangan hanya bertanya melulu"

Selesai itu, orang tua bertudung lebar melanjutkan perjalanan dengan cara aneh. Sejurus tubuhnya melenting tinggi, menjejak satu tonjolan tebing, lalu melenting lagi.

Begitu seterusnya sampai sosoknya menghilang di

kejauhan.

"Kalau benar kata orang tua itu, berarti memang ada seorang pangeran yang mengharapkan wanita yang

bertanda bunga Wijayakus uma di punggung kanannya,"

bisik Anggraini sepeninggalan lelaki tua tadi.

"Bukankah di punggung kananku juga ada tanda lahir berbentuk bunga Wijayakusuma.... Aneh Apa ini kebetulan semata? Atau...."

Sehimpun rasa ingin tahu menyelinap cepat ke dasar benak dara cantik berkesan ketus itu.

"Benar kata pak tua tadi. Aku harus mencari tahu.

Rasanya ada sesuatu yang tersembunyi di balik semua itu...," putus Anggraini akhirnya. Dia pun menggenjot tubuh.

Di luar sepengetahuan Anggraini, kakek aneh itu berhenti di sebuah tonjolan bukit batu. Berdiri diam seperti tonggak menanti cahaya rembulan di te-ngah malam.

Begitu gerombolan awan pekat lamat-lamat membuka tabirnya, terlempar tawa dari mulut kakek aneh tadi. Tawa yang bising, melengking serta menggidikkan. "Ha ha ha..."

Kejadian tak kalah menggidikkan mengekor di ujung tawanya. Seluruh kulit lelaki tua itu mengelupas. Saat yang sama dari kuakan kulitnya menggeliat-geliat puluhan ulat-ulat kecil

Tak lama berselang, tubuh lelaki itu ambruk dalam wujud kerangka busuk. Jasad halus manusia terkutuk telah merasuki lelaki tua yang sebenarnya adalah mayat dari liang lahat.

***

Dermaga di pesisir pantai tempat kapal layar

Pangeran Husein tertambat.

Wanita berkebaya dan berkain wiron yang pernah

berurusan dengan Anggraini si Pendekar Wanita Tanah Buangan, memperkenalkan namanya pada Pangeran

Husein.

"Nama hamba Kuntum Mawar, Pangeran Ganteng,"

kata wanita itu manja seraya meliuk-liukkan pinggul. "Tak perlu lagi pangeran mengurusi wanita pucat ini. Nanti hanya membuang waktu. Bukankah pangeran hendak

mencari seorang istri? Inilah aku, calon istrimu. Datang memenuhi panggilanmu.... Hi hi hi..."

"Aku mencari seorang yang memiliki tanda bunga Wijayakusuma di punggung kanannya," kata Pangeran Husein.

"Ya, aku orangnya Mau lihat buktinya? Boleh...."

Tanpa

malu-malu,

Kuntum

Mawar

melorotkan

kebayanya sebagian. Untung saja. tubuhnya masih

tertutupi pakaian dalam. Kalau tidak, Pangeran Husein bisa-bisa membuang pandangannya jauh-jauh ke tengah laut Dengan membelakangi Pangeran Husein, Kuntum Mawar memperlihatkan gambar bunga Wijayakusuma di punggung kanannya.

"Nih, lihat Benar, bukan?" tukas wanita seronokan itu.

Pangeran

Husein menggeleng-gelengkan kepala.

Memang di punggung kanan wanita itu terlihat gambar bunga Wijayakusuma. Tapi matanya tidak bisa ditipu. Itu bukan sekadar tanda scjak lahir, melainkan tatto yang sengaja dibuat dan tampaknya masih baru.

"Dasar perempuan murahan" caci Beruang Betina Kutub Utara gusar melihat si pangeran hendak dirayu wanita saingannya.

"Eee, berani-beraninya kau menghina calon istri Pangeran Yang Perkasa" bentak Kuntum Mawar. Matanya berkedip-kedip cepat karena marah.

Beruang Betina Kutub Utara mencibir.

"Jangan bodoh Pangeran tak pernah mencari wanita seperti kau.... Juga, jangan menganggap Pangeran bodoh.

Apa kau pikir dia tak tahu kalau tanda di punggungmu hanya buatan tangan?" cemooh Beruang Betina Kutub Utara dengan kalimat-kalimat datar dan dingin seperti biasa."Eee, kurang asem Mau kujambak rambut 'kain kafan'mu itu, ya?"

Dengan bibir terangkat seperti moncong serigala

betina, Kuntum Mawar menerjang Beruang Betina Kutub Utara. Kedua tangannya membentuk cakar ke depan, siap menjambak rambut lawan.

Wuk

Begitu sepasang tangan Kuntum Mawar mencoba

menyambar rambut putihnya, Beruang Betina menyambut dengan pukulan 'Cakar Beruang' nya pula.

Bret

Ada sesuatu yang terkoyak. Begitu Beruang Betina Kutub Utara tersadar, jubah bulu beruang salju kesayangan telah menganga lebar. Rupanya, kecepatan cakaran Kuntum Mawar Lebih

dahulu menge-nai

sasaran.

Sedangkan, pukulan 'Cakar Beruang' Beruang Betina Kutub Utara bagai hilang lertelan angin.

Beruang betina cepat menyadari pula kalau telah

berbuat kesalahan. Dia terlalu menganggap remeh lawan yang tampaknya selemah penari itu.

Sepasang bola mata Beruang Betina Kutub Utara

mencorong ke atas penuh dendam pada Kuntum Mawar.

Bagi Beruang Betina Kutub Utara terkoyaknya jubah bulunya seperti melukai bagian tubuh-nya sendiri.

"Tangan lancangmu harus membayarnya" ancam Beruang Betina Kutub Utara, nyaris terdengar seperti geraman seekor beruang betina.

"Maaf, aku tak punya persediaan tangan lain. Hanya ini yang aku punya," ledek Kuntum Mawar seraya mengangkat sepasang tangannya.

"Kutung tanganmu" Sekarang, giliran Beruang Betina Kutub Utara memulai serangan. Pertarungan dua wanita yang memiliki pesona wajah menarik itu pun tak bisa dihindari lagi.

***

Pada saat yang sama, Anggraini tiba pula di sekitar dermaga. Dari kejauhan, dara berpakaian merah-merah itu sudah bisa menduga ada pertarungan seru berlangsung.

Telinganya bisa menangkap angin pukulan yang berderu kencang sampai ke lempatnya. Demikian pula teriakan-teriakan penuh gejolak nafsu membunuh dari kedua wanita yang terlihat pertarungan.

Anggraini mempercepat langkahnya. Tak begitu lama kemudian. matanya sudah bisa menyaksikan medan laga di sisi dermaga timur.

Bibirnya mengembangkan senyum tipis melihat salah seorang wanita yang sedang bertarung. Si wanita

berkebaya beberapa waktu lalu, sempat dipermainkan Anggraini karena sikap pongahnya. Kalau sekarang dia sudah mendapat musuh kembali, Anggraini tidak begitu heran."Dasar perempuan usil,"bisik Anggraini mencela wanita berkebaya.

Medan laga rupanya tak begitu menguras perhatian Anggraini. Karena, ada hal lain yang membuatnya lebih tertarik. Yakni seorang pemuda perkasa bersorban dan beraut wajah tampan, namun asing.

"Itukah pangeran yang dimaksud orang tua yang kutemui?"

tanya

Anggraini,

membatin.

Tak

bisa

dibayangkan, kalau dirinya yang sedang dicari sang pangeran untuk dijadikan istri. Mungkin itu bukan lagi sekadar kejutan, namun lebih dari itu.

Apa iya, ya? Anggraini berbisik tak yakin. Seorang anak raja dari negeri di seberang lautan, tampan, perkasa, dan dari sinar matanya tampak memiliki kelembutan, mencari wanita bertanda tubuh berbentuk kembang

Wijayakusuma di punggung kanannya?"

Ketika dua bola mata lentik mcnawan milik Anggraini memperhatikan lekat-lekat Pangeran Husein, mendadak saja membersit sinar amat menyilaukan dari dalam tanah, tepat di tempat pangeran itu ber¬diri.

Slas

Sinar itu bagai bunga raksasa aneh yang meman-car ke segenap penjuru, merangsek kegelapan malam. Begitu menyilaukannya sinar itu, sampai-sampai tubuh pangeran tak tampak lagi.

Anggraini kontan mengangkat tangan ke depan wajah.

Matanya tak sanggup lagi menerima terjangan sinar tadi.

Bahkan, Beruang Betina Kutub Utara dan Kuntum Mawar yang sedang berbaku jurus pun tak luput melakukan hal yang sama. Seperti juga Perwira Thariq serta beberapa awak kapal kerajaan negeri Parsi.

Kemudian, menyusul ledakan amat gempita menerpa

seluruh kawasan dermaga....

*** 7

Malam

ini

Pendekar

Slebor

bermimpi

amat

menakutkan. Dalam mimpi, Anggraini yang sudah amat dikenalnya

ditelan

sekawanan

mambang

bersosok

menyeramkan yang keluar dari seberkas cahaya amat menyilaukan. Andika sendiri saat itu seperti berusaha menggapai-gapaikan tangannya untuk menolong Anggraini.

Seluruh tenaganya

terkuras

untuk

meraih

tangan

Anggraini. Tapi, si gadis tetap tak tergapai. Wajah jelita Anggraini memucat dan dirasuki ketakutan teramat sangat.

Mulutnya menjerit pada Andika, tanpa suara. Anggraini menggapai-gapai dalam jarak yang semakin jauh dari Andika. Sampai akhirnya, tubuhnya hilang tertelan oleh rongga mulut para mambang.

"Bang Bang, bangun Bang Andika"

Andika terjaga. Sekujur tubuhnya dibanjiri peluh.

Napasnya turun naik tak teratur, seakan baru saja menempuh perjalanan panjang melelahkan tanpa batas.

"Di mana aku?" tanya Andika, dengan tatapan nanar.

"Memang, Kakang kira ada di mana? Di sorga?

Aduh.... Sudah jadi pendekar kesohor, kok masih bisa linglung Kita kan masih di penginapan" jawab Tompel yang baru saja membangunkan Andika.

Andika membuang napas lega.

"Fhuii h.... Kukira, aku benar-benar mengalaminya...,"

ucap Andika terseret. Dia bangkit dari tempat tidur, lalu duduk di tepinya.

"Mengalami apa. Bang?”

"Mimpi itu," singkat Andika.

"Mimpi, ya mimpi.... Bukan kenyataan" sergah Tompel, sok tahu.

Andika menautkan alis. Matanya menerawang.

"Tapi mimpi yang baru saja kualami seperti

kenyataan. Pel...," kata Pendekar Slebor sungguh-sung-guh.

"Ah, sudahlah Bang Ini tengah malam. Tidur saja lagi"

Kemudian bocah tanggung yang belum lagi akil balig itu ngeloyor keluar kamar.

"Mau ke mana, kau?" tanya Andika.

"Ada pagelaran wayang semalam suntuk di alun-alun, mau ikut?" sahut Tompel acuh.

Sepeninggalan Tompel, pendekar muda dari Lembah

Kutukan itu berdiri termenung di sisi jendela kamar penginapan sederhana yang berada di sisi jalan kotapraja.

Pikiran Pendekar Slebor kembali merayapi mimpi yang baru saja dialaminya. Cahaya? Bisik hatinya. Sepertinya, dia juga pernah menyaksikan cahaya dalam mimpi.... Tapi, di mana? Dan para mambang itu, mengingatkannya pada satu hal.

Rahang Andika bergemeletuk. "Kutu buduk.... Monyel gundul Kenapa otakku jadi buntu seperti ini" Andika menyumpah-nyumpah sambil menyapu udara dengan

tangannya.

Mulailah Andika mondar-mandir seperti mandor

kehilangan pekerjaan.

"Aku harus dapat mengingatnya," desis pemuda itu berketad. "Akuyakin ini bukan sekadar mimpi kosong tak berarti. Mimpi itu pasti berhubungan erat dengan

'bayangan' yang didapat Walet"

Langkah Andika terhenti sejenak.

"Aku yakin, Anggraini dalam bahaya. Tapi... sialan

Bahaya apa yang sebenarnya mengancam gadis itu? Dan siapa pula dalang semuanya?"

Merasa yakin pengaruh mimpi itu masih membekas di alam bawah sadarnya, hingga sulit untuk memusatkan pikirannya, Andika segera memusatkan untuk melakukan semadi.

Kini Pendekar Slebor mengambil sikap semadi. Dan dia melakukannya di atas tempat tidur.

Tak begitu lama, Andika sudah membuka mata

kembali. Dia bangkit dari silanya dengan wajah lebih segar.

"Ya Sekarang aku bisa ingat.... Kapan dan di mana aku pernah melihat cahaya semacam itu. Yang ketika aku berhasil menumpas Manusia Dari Pusat Bumi beberapa waktu silam Dan mambang yang ada dalam cahaya tentu perlambang kekuatan alam kegelapan yang dimiliki Manusia Dari Pusat Bumi Kalau begitu, manusia laknat jelmaan siluman itu telah munc ul kembali"

(Untuk mengetahui lebih jelas tentang Manusia Dari Pusat Bumi, bacalah tiga episode berikut ini: "Manusia Dari Pusat Bumi, Pangadilan Perut Bumi, dan Cermin Alam Gaib").

Untuk

beberapa

lama

Andika

memutar-mutar

pikirannya. Setahu Andika, tubuh Manusia Dari Pusat Bumi telah hancur lebur terhajar kekuatan petir yang tersalur melalui tubuh Andika. Kalau begitu, tentu manusia jelmaan siluman ini tak muncul dengan jasad aslinya. Rohnya yang menyatu dengan Cermin Alam Gaib, tentu telah melanglang buana mencari wadah untuk ditempati.

"Ya, Tuhan...," desis Pendekar Slebor tiba-tiba.

Andika teringat pada pangeran yang mencari seorang gadis

bertanda bunga Wijayakusuma di

punggung

kanannya. Pada saat yang hampir bersamaan, dia pun teringat cerita Walet. Menurut 'bayangan' yang dilihat bocah ajaib itu, ada seorang wanita cantik berpakaian merah yang bertanda sama tengah berada dalam keadaan bahaya.

"Kalau mimpiku benar, berarti gadis yang berada dalam ' bayangan' Walet dan gadis yang dicari pangeran itu adalah Anggraini Dan..., astaga Tentu pangeran asing itu telah dirasuki roh Manusia Dari Pusat Bumi" simpul Pendekar Slebor nyaris tercekat.

Tanpa banyak mengumbar waktu lebih lama, Andika

segera

mengempos

seluruh

kemampuan

ilmu

meringankan tubuhnya. Tujuannya sudah pasti ke pesisir pantai Bukankah dalam bayangannya Walet melihat tempat yang dibatasi air sejauh mata memandang, dan di atasnyapurnama membulatpenuh? Andika yakin, tempat yang digambarkan Walet adalah pesisir pantai. Sedangkan purnama membulat penuh, jatuh tepat pada malam ini

*** Dermaga di pesisir pantai ditelan kebisuan men-

cengkam. Tak ada suara. Bahkan sekadar desir angin atau kecipak gelombang kecil sekali pun. Laut begitu tenang.

Andika yang telah tiba di sana, merasakan ketenangan laut seperti gambaran sebuah kematian.

Di sebelah tenggara dermaga, terlihat kapal layar kerajaan dari negeri Parsi tertambat, sebisu suasana.

"Aku merasakan hal yang aneh," bisik Andika.

Seketika bulu di sekujur tengkuknya meremang hebat. "Tak seperti biasanya. alam semati ini...."

Dengan langkab satu-satu, pemuda sakti yang

tersohor sebagai Pendekar Slebor mendekati lam-bung kapal. Begitu sampai ditempat yang dituju, matanya tertumbuk

pada

beberapa

sosok

mayat

yang

bergelimpangan, nyaris tersamar karena tertutup pasir pantai.

Begitu mega gelap membiarkan cahaya purnama

jatuh pada bibir pantai, tubuh-tubuh mayat itu terlihat jelas.

Dua lelaki berpakaian khas negeri Parsi tertelungkup tanpa gemik. Begitu juga dua wanita di sisi lain sudah tidak bernapas lagi. Wanita yang satu mengenakan mantel bulu beruang salju. Sementara yang satu lagi berkebaya ketat dengan kain wiron ketat pula. Dari kedua wanita itu, tak seorang pun yang dikenal Andika.

Sewaktu anak muda sakti itu sedang berjongkok di sisi tubuh perempuan bermantel bulu beruang, tanpa disadari

dua

pasang

mata

memendarkan

sinar

menatapnya di kegelapan. Mata itu demikian liar, memendam dendam. Dalam kesunyian tempat per-sembunyiannya, tcrsembul suara gcraman berat.

Rupanya, sesosok makhluk besar berbulu itu adalah beruang kutub milik Beruang Betina Kutub Utara. Tepat pada saat Andika di dekat tuannya, beruang itu pun melihat Andika. Entah bagaimana. naluri binatang itu menganggap

Andika

lah

yang

telah

membunuh

majikannya.

Dengan menggeram di kejauhan, beruang itu menjauhi dermaga.

Sementara itu, Andika mencoba meneliti dua lelaki yang telah meninggal di sisi lain. Udara di sekeliling tercium bau anyir dari darah yang mengering.

Mayat lelaki yang satu berbadan gempal, tapi bagian dada dan perutnya sobek. Seperti habis di cabik-cabik binatang buas. Mayat itu adalah Thariq, Perwi¬ra Kerajaan Parsi.

Mayat yang lain memiliki luka yang sama. Begitu

mengenaskan keadaannya. Andika mau tak mau harus mengerutkan dahi dalam-dalam. Lelaki itu Pangeran Husein, seorang yang dicurigainya sebagai Manusia Dari Pusat Bumi.

"Kalau begitu, aku telah salah duga. Rupanya, pangeran dari seberang lautan ini tampaknya tidak bersalah. Tapi, kenapa dia mendapat wangsit dalam mimpinya untuk mencari Anggraini sebagai calon istri?"

Andika kembali berbisik, bertanya pada diri sendiri. Tiba-tiba...."Dia telah diperalat, Kang," ucap seseorang di belakang Andika.

Andika menoleh. Ternyata di belakangnya berdiri, si bocah ajaib titisan seorang pangeran sakti yang mati ratusan tahun lalu. Walet

"Apa yang telah kau ketahui lagi, Walet?" tanya Andika, tanpa mau banyak basa-basi.

"Selama beberapa hari belakangan, aku berusaha menembus medan kekuatan gaib dari alam kegelapan yang datang berupa cahaya dalam 'bayangan'ku. Meski susah payah, akhirnya aku dapat sedikit menguaknya,"

lapor si bocah ajaib seraya melangkah menuju Pendekar Slebor. "Pangeran ini rupanya telah diperalat roh jahat...."

"Manusia Dari Pusat Bumi?" duga Andika cepat. "Ya

Roh manusia siluman itu telah mengirim wangsit palsu dalam mimpi sang pangeran. Dengan begitu, pangeran akan berusaha mencari Anggraini, gadis yang memiliki tanda tubuh di punggung kanannya. Setelah pengumuman dibuat sang pangeran, tentu Anggraini akan tertarik. Lalu, dia pun mendatangi tempat ini, tempat di mana kapal layar pangeran tertambat sekaligus sebagai satu-satunya tempat bagi Manusia Dari Pusat Bumi untuk bisa melaksanakan niatnya menculik Anggraini."

"Aku masih belum paham dengan tujuan roh laknat itu dalam menculik Anggraini?" ujar Andika, masih diliputi rasa penasaran.

"Untuk dijadikan tumbal, Kang," sahut Walel. Saat berucap, kelopak matanya menyipit. "Gadis itu memiliki tanda khusus di tubuhnya. Hanya dialah yang bisa menjadi syarat kembalinya Manusia Dari Pusat Bumi ke dunia kasar."

Andika bergidik mendengar penuturan si bocah ajaib di depannya.

"Kalau begitu, aku harus segera menyelamatkan Anggraini sebelum semuanya terlambal. Tapi, aku tak tahu ke mana harus pergi...," kata Pendekar Slebor, seperti mengeluh.

"Rasanya aku sudah bisa menemukan tempat

Manusia Dari Pusat Bumi yang kini sedang menggunakan wadah sescorang untuk melaksanakan niatnya...," kata Walet lagi, dengan gaya berkesan orang tua.

"Cepat katakan, di mana?" desak Andika. Walet pun memberitahukan Pendekar Slebor tempat yang dimaksud.

Selelah itu, segera Pendekar Slebor berlari bagai mengejar waktu ke arah yang dituju.

*** 8

Sebuah pohon besar berusia ratusan tahun yang

menjulang seperti hendak meraih langit, menjadi tempat untuk melaksanakan rencana Manusia Dari Pusat Bumi.

Dia memang bermaksud menyempurnakan dirinya kembali agar dapat muncul di alam kasar. Tempat ini sangat tepat, karena sama sekali tidak mengundang minat orang untuk mendatanginya. Letaknya memang persis di pusat hutan yang terkenal paling angker. Rimba Selaksa Mambang

Untuk yang kedua kalinya, Andika tiba di sana.

Pertama ketika berusaha mengambil Cermin Alam Gaib (Untuk

mengetahui

lebih

jelas,

bacalah

episode:

"Pengadilan Perut Bumi"). Kini untuk yang kedua kalinya, bertujuan untuk menyelamatkan Anggraini.

Saal ini, hari makin ditelan malam. Dini hari kian suntuk. Kabut merayap-rayap di segenap penjuru hutan, bagai segerombolan dedemit mencari mangsa. Pandangan yang terhalang kabut pekat, tak bisa menahan Pendekar Slebor untuk terus menembus hutan menuju jantung Rimba Slaksa Mambang. Bahkan udara dingin yang serasa hendak meretakkan tulang-tulang di sekujur tubuhnya tak mampu menahan langkah pemuda itu.

Sambil berjalan, Andika mengerahkan seluruh panca indranya, juga hawa murni dalam tubuhnya diatur agar dapat mengenyahkan rasa dingin. Kalau tidak begitu, dia bisa kehilangan kesadaran akibat siksaan dingin.

Menurut kabar angin, banyak orang persilatan

menjadi hilang ingatan, manakala terjebak dalam hutan itu pada saat malam. Beruntung kalau kebetulan mereka memiliki kepandaian cukup tinggi. Kalau tidak, biasanya esok hari mereka akan ditemukan mati dalam keadaan membiru.

Sementara Andika terus berjalan tersuruk-suruk, para satwa malam memperdengarkan rintihan. Suasana jadi kian menggidikkan.

Pada saatnya, Andika tiba di pohon tua yang batangnya lebih besar dari tubuh tiga ekor kerbau de-wasa.

"Kita bertemu kembali, sarang siluman bau pesing"

maki Andika berdesis.

Memang Pendekar Slebor menjadi begitu benci pada tempat itu. Di samping di sana bermukim para siluman yang pernah menipunya mentah-mentah untuk mengambil Cermin Alam Gaib, di sana pula bersarang musuh lamanya.

Manusia Dari Pusat Bumi

Andika tepekur sejenak. Ditatapnya lamat-lamat

bentuk pohon tua itu dalam kegelapan yang pekat. Nyaris pohon tua itu tak terlihat kalau saja tak ada sinar purnama yang sedikit menyusupi celah daun-daun pepohonan hutan yang demikian lebat.

Menurut Walet, Andika bisa menembus mas uk ke

dalam alam halus yang berada di dalam pohon tua itu.

Namun, caranya amat mengundang bahaya. Dan tak hanya bisa terluka, bahkan mungkin Andika akan kehilangan nyawa

Pertama-tama, Andika harus melakukan semadi.

Paling tidak agar batinnya benar-benar siap menghadapi alam kegelapan para makhluk durjana. Pendekar muda itu memang mesti membersihkan jiwanya dalam satu

penyerahan sepenuhnya pada Sang Khalik.

Andika baru hendak menyatukan sepasang telapak

tangannya, ketika tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh erat pangkal lengannya.

Andika tercekat. Dengan sigap dipasangnya kuda-

kuda."Tompel?" ucap Andika hampir-hampir berseru begitu melihat seseorang yang baru saja menyentuh tangannya.

Berikutnya, Andika justru merasa ragu. Benarkah

anak ini Tompel? Padahal, Andika harus mengatur hawa murni sedemikian rupa agar bisa bertahan dari hawa dingin yang seperti hendak membekukan. Tapi Tompel...?

Kaki Pendekar Slebor tersurut beberapa tindak ke belakang. Ditatapnya hati-hati serta teliti bocah tanggung di depannya. Dulu, dia pernah tertipu oleh siluman yang menyamar sebagai Raja Penyamar. Karena itu, Andika tak ingin tertipu untuk kedua kalinya. Dia tak boleh 'terpuruk dalam lobang yang sama (Baca serial Pendekar Slebor dalam episode : "Pengadilan Perut Bumi").

"Bang Andika.... Yeee... Kenapa jadi seperti orang kurang waras?" sungut si bocah tanggung.

Alis mata Andika dipaksa mengkerut. Gaya bicaranya memang khas Tompel. Acuh dan asal bunyi. Tapi, tetap saja Andika ragu.

"Hmh.. Jangan kau pikir aku akan tertipu lagi, siluman berpusar jengkol" maki Andika tersenyum sinis.

Bocah

di

depan

Pendekar

Slebor

langsung

memperlihatkan muka asam.

"Abang Andika ini bagaimana? Aku ini Tompel Benar-benar Tompel tulen Masa' dibilang siluman berpusar jengkol segala" rutuk Tompel.

"Tompel yang kukenal tak akan sanggup menghadapi hawa dingin hutan ini" sergah Andika.

"Terang saja Abang baru bertemu kembali denganku.

Selama ini Abang tidak tahu, kalau aku sudah menjadi murid Pendekar Dungu?" Mata Pendekar Slebor menyipit.

"Kau...? Murid Pendekar Dungu?" tanya Pendekar Slebor tak percaya.

"Kalau Abang tak kenal dia, aku bisa jelaskan ciri-cirinya. Orangnya sudah tua. Giginya tinggal tiga. Bertopi pandan dan berpakaian kacau-kacau. Dan satu lagi..., bodohnya minta tobat" papar si bocah tanggung lancar

"Aku sudah kenal dia." kata Andika lagi. "Tapi, tetap saja aku tak percaya kalau kau adalah Tompel."

"Aaah, Abang ini Kenapa jadi memusingkan aku ini Tompel atau bukan? Yang penting, Abang harus tahu Ada sesuatu yang lebih gawat dari itu" Andika tak berucap apa-apa. Ditunggunya perkataan bocah tanggung itu lebih jauh dengan keadaan tetap siap siaga.

"Bang Suta Dia bertingkah ganjil. Sewaktu hendak ke alun-alun untuk menonton pertunjukan wayang, aku berpapasan dengan Bang Suta. Anehnya, dia sama sekali tidak mengenaliku.

Padahal,

aku lewat persis

di

depannya...," cerocos si bocah tanggung, lancar seperti mercon kembang api. "Karena aku yakin ada yang tak beres telah terjadi pada diri Bang Suta, lalu kuurungkan niat ke alun-alun. Kemudian dia kuikuti dan sampai ke tempat ini. Kalau saja aku belum dibekali ilmu tenaga dalam oleh Guru Rengga...."

"Guru Rengga?"

"Pendekar Dungu. Si tua berotak bebal itu bernama Renggaswara" ujar Tompel, kurangajar. "Kalau aku tidak berbekal ilmu tenaga dalam, aku tentu sudah mampus dalam keadaan kaku di tempat ini."

Andika

mulai

mempercayai

keterangan

bocah

tanggung itu. Dia tahu benar, bagaimana sifat Tompel sesungguhnya. Anak ini tampak kurang ajar pada siapa saja. Tapi, sebenarnya berhati baik.

"Dan ada yang lebih membingungkan, Bang Andika"

cetus Tompel, setengah berbisik. "Bang S uta, entah bagaimana bisa menembus masuk ke dalam pohon besar itu."

Tompel menunjuk pohon tua raksasa di belakang

Andika.

"Aku sendiri bingung, bagaimana dia bisa melakukannya...," lanjut Tompel tetap berbisik.

"Suta?" desis Andika bergidik. Jadi, orang yang telah dirasuki roh Manusia Dari Pusat Bumi adalah sahabatnya sendiri? Orang yang sudah seperti saudara kandungnya....

"Ah Rasanya aku tak bisa mempercayainya," kata Andika, lirih.

"Semula aku juga begitu, Bang. Tapi kenyataan seringkali bertolak belakang dari harapan kita," tukas Tompel. Sebagai gelandangan kotapraja, ucapannya tergolong bijak. "Sekarang, apa yang harus kita lakukan, Bang?"

"Aku harus menyelamatkan seorang perempuan

dalam alam siluman di balik pohon ini," sahut Andika. "Kita masuk, Bang?" ralat Tompel. "Apa maksudmu?" tanya Andika.

"Lho? Biar bagaimanapun, aku harus ikut ke dalam sana. Bang Suta kan, sudah seperti kakak kan-dungku juga" sambung Tompel beralasan.

"Bukan itu masalahnya...."

"Apakah Abang kira aku takut dengan ‘genderuwo’, setan belang, siluman cacingan, dan segala macam?"

serobot Tompel penuh semangat berkobar-kobar.

"Aku tahu, kau bukan pengecut. Tapi...."

"Tak ada tapi, Bang" Tompel bersikeras. Bibirnya mencibir, seolah hendak menganggap masuk ke alam kegelapan para siluman hanya sekadar buang kentut baginya.

"Kau...," Andika kehabisan kata. "Baiklah, hitung-hitung buat berjaga-jaga."

"Berjaga-jaga bagaimana, maksud Abang?"

"Siapa tahu para siluman di dalam Sana langsung ngacir melihat wajahmu. Wajahmu kan. lebih jelek daripada mereka.... He he he.. ."

"Sialan benar"

Andika lalu memulai kembali niatnya untuk ber-

semadi. "Aku hendak bersemadi. Kalau nanti pintu alam gaib terbuka, kau harus segera masuk. Setelah itu, aku menyusul," pesan Andika, seraya menyatukan kedua tangannya.

"Kenapa bukan Abang lebih dahulu?" tanya Tompel, tak suka.

"Katanya kau bukan pengecut...," ledek Andika.

Tompel lagi-lagi mencibir.

"Ooo, pasti Perkenalkan, pendekar sakti kotapraja yang belum sempat tersohor" "Sudah diam kau" bentak Andika. Andika memulai semadinya. Dan sekali lagi, dia harus memenggal niatnya. Karena tiba-tiba, terdengar suara berat dan serak merambah seisi hutan. Andika tersentak. Lebih-lebih Tompel.

"Nah, lo... Rasanya aku belum pernah mendengar suara siluman seperti itu, Bang," bisik Tompel seraya mendekati Andika.

"Itu memang bukan suara siluman," kata Andika. "Aku yakin, itu suara binatang buas. Tapi, aku belum pernah mendengarnya di tanah Jawadwipa ini...." "Jadi binatang buas apa, Bang?"

"Mana aku tahu."

"Khoaarrrkhhh"

Suara geraman memecah suasana hutan angker

kembali, disusul terkuaknya semak-semak tinggi. Dan, muncullah sosok makhluk yang tak pernah ada di tanah Jawadwipa. Seekor beruang berwarna putih kapas berbulu indah. Namun di balik itu, tersimpan kebuasan hewan pemangsa berdarah dingin.

"Apa itu, Bang?" tanya Tompel, tersentak.

Seumur hidup, baru kali ini bocah itu melihat wujud yang begitu perkasa sekaligus menggetarkan hati

"Kalau tak salah, binatang itu disebut beruang kutub, Pel," jawab Andika tenang.

Bukan pertama kali bagi Pendekar Slebor meng-

hadapi bahaya yang jauh lebih mengancara jiwanya.

Jangankan beruang. Sepuluh ekor banteng ketaton pun dapat ditumpasnya dalam sekali kepruk.

Tapi yang dipermasalahkan bukan hal itu. Melainkan, Anggraini harus segera diselamatkan. Sebentar lagi, dini hari akan habis. Saat itulah Manusia Dari Pusat Bumi melaksanakan niatnya untuk menumbalkan Anggraini agar dirinya dapat kembali ke alam kasar.

"Seberapa jauh Pendekar Dungu telah menurunkan ilmu tenaga dalamnya padamu?" tanya Andika cepat.

"Cukup," jawab Tompel dengan mata tak berkedip memandang

makhluk

yang

mempesona

sekaligus

membuat nyalinya mengkerut.

"Kau sudah bisa menghancurkan batu karang?" tanya Andika.

"Ya..., kira-kira begitu."

"Mmm.... Kalau begitu, kau sanggup menghadapi binatang ini. Sementara itu, aku akan masuk sendiri ke alam siluman."

Tompel melotot, namun tak bisa menolak. Biar

bagaimanapun, Andika harus secepatnya masuk tanpa terhalang kedatangan makhluk buas yang menyeramkan itu.

"Cepat maju" hardik Andika. "Jangan biarkan hewan itu mengusik semadiku," pesan Andika.

Pendekar

Slebor

melangkah

beberapa

tindak

mendekati pohon besar, sarang para siluman untuk memulai semadi kembali.

*** 9

"Chiaaat..."

Selantang pendekar jajaran kelas atas dari dunia persilatan, Tompel merangsak beruang kutub yang telah kehilangan

tuannya.

Mulutnya

terbuka

lebar-lebar,

sehingga sulit dibedakan apakah anak itu sedang berteriak atau justru menguap.

Meski baru kali ini melihat sosok makhluk yang akan dihadapinya, anak tanggung yang ternyata murid si Pendekar Dungu membuat tendangan terbang ke dada beruang kutub.

Menyambut serangan pembuka Tompel, beruang

kutub yang besarnya dua kali lebih orang dewasa itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya. Sementara sepasang kaki depannya

mencakar-cakar

udara

ke

muka,

siap

menyambut kedatangan tendangan Tompel.

Telanjur meluncur deras di udara, Tompel tak bisa lagi menghinaari dari sambaran kuku-kuku tajam beruang salju. Namun dengan bekal ilmu yang didapat dari gurunya yang tergolong pelit dalam menurunkan ilmu, di udara tubuhnya menggulung demikian rupa seperti bola karet.

Dengan begitu, sambaran cakaran kuku binatang yang hendak merobek kaki kurusnya dapat dihindarinya.

Begitu luput dari cakar ganas beruang kutub, Tompel dengan cerdik segera melenturkan tubuh kembali sepenuh tenaga.

Dugkh

Tak ayal lagi, dada gempal si beruang salju menjadi mangsa empuk kaki kurus Tompel. Meskipun kakinya langsing, namun tendangan anak tanggung itu sanggup mendorong tubuh besar beruang sejati tiga tombak ke belakang.

Pada masa jayanya, Pendekar Dungu amat disegani.

Terutama dalam hal ilmu tenaga dalam. Maka, tak heran kalau sekarang kehebatan tenaga dalam itu terlihat pada murid tunggalnya yang masih bau kencur dan baru mendapat sebagian dari kesaktian tokoh bangkotan itu.

"Wihhh Aku bisa membuat binatang kutu kupret ini terjengkang ke belakang, lho" seru Tompel kegirangan sendiri melihat hasil tendangannya.

Wajah bocah itu tampak berbinar-binar bangga

sewaktu menoleh pada Andika. Sayang, pemuda sakti itu telah menyatu dalam semadinya.

"Khoarrkh"

Si binatang berbadan bongsor ini tentu saja jadi makin murka menerima perlakuan dari si bocah. Seraya mengumandangkan geraman menggetarkan udara, tubuh beruang itu merunduk perlahan. Ditusuknya Tompel dengan tatapan sepasang bola mata yang tajam

mengancam.

Perlahan binatang itu bergerak mengintai.

"Khoaargkh..."

Lalu mendadak beruang kutub ini meluruk menuju

Tompel.

Bocah murid Pendekar Dungu itu terperanjat bukan main. Tak diduga kalau lawan besarnya akan melakukan serangan tiba-tiba. Padahal, dikira binatang itu justru akan melarikan diri.

"Mampus juga aku" teriak Tompel kelimpungan seraya bergegas membuang diri ke sisi kiri.

Tubuh kurus bocah itu lantas bergulingan di tanah yang penuh akar-akar merangas.

"Bang Apa aku tidak bisa sedikit menawar, nih?" seru Tompel pada Andika. Bibirnya meringis sambil berusaha untuk bangkit kembali. Sejulur akar tua rupanya telah menghantam dengkulnya yang terlalu mancung.

Pendekar Slebor tak bisa lagi memperhatikan te-

riakan Tompel. Sebab pada saatyang sama, dia telah tiba di titik puncak kekhusuan semadinya. Dan pada saat itu niat Pendekar Slebor ditentukan,

apakah

berhasil

membuka pintu alam gaib menuju alam siluman atau tidak.Beberapa saat berselang, di sekujur tubuh Pen¬dekar Slebor munc ul semacam pendaran cahaya halus yang hanya bisa ditangkap mata seseorang yang memiliki kekuatan batin.

Cahaya halus

itu merambat dan

mengembang keluar dari tubuh Andika. Sedangkan tubuh pendekar muda ini sendiri tampak berge-tar. Kian lama, getaran tubuhnya kian kentara. Sampai akhirnya....

Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba bertiup amat kencang. Anehnya, hanya di daerah se-kitar pohon tua itu. Seketika, angin tadi membentuk pusaran yang menyerupai angin puting beliung yang menerbangkan daun-daun, ranting-ranting kering, rerumputan dan apa-apa yang bisa disapu. Bahkan, pepohonan besar yang tidak bisa

bertahan

dengan

akarnya

lagi

Semuanya

diterbangkan ke pusat pusaran, tepat di tengah-tengah batang besar pohon tua.

Begitu angin reda, terbukalah lingkaran selubung cahaya yang amat menyilaukan. Kian lama lingkaran itu kian membesar membentuk celah bundar pada batang pohon.

Begitu lingkaran cahaya itu berhenti mengembang, sekerdip mata saja Pendekar Slebor telah melompat ke sana.Plash

Tubuh pendekar muda kesohor itu langsung tertelan pintu alam gaib yang bcrhasil dibukanya.

Tompel yang kebetulan berdiri tak jauh dari pintu alam gaib, tanpa pikir panjang segera menyusul Pendekar Slebor. Dia meloncat sekuat tenaga, bahkan sampai harus buang 'gas' dari pantatnya segala. Sekejap Tompel terlambat, maka tak akan bisa menyusul Andika. Karena begitu tubuhnya menyentuh lingkaran cahaya, pintu alam gaib tersebut cepat menutup kembali.

***

Alam lain benar-benar berbeda dari alam nyata

tempat manusia hidup di dalamnya. Alam itu seperti kebun dengan beragam cahaya warna-warni di sekelilingnya.

Sebagian cahaya berkelebat dan berseliweran di sekitar Pendekar Slebor dan Tompel. Seluruh warna begitu menyilaukan. Namun sungguh aneh, mata Andika maupun Tompel sama sekali tidak terpengaruh.

Kulit mereka merasakan himpitan hawa panas di

mana-mana. Tapi, mereka sama sekali tidak tersiksa.

Telinga

keduanya

dikerubungi

suara-suara

yang

bersimpang siur tak karuan. Begitu bising, tapi tak menjadikan pekak.

Semua serba ganjil. Serba sulit dimengerti. Untuk pertama kali dalam hidup Andika dan Tompel memasuki alam para makhluk durjana.

"Akan ke mana kita. Bang?" tanya Tompel.

"Mana aku tahu. Semuanya begitu membingungkan,"

jawab Pendekar Slebor.

"Tanpa arah pasti dan alam yang begitu asing seperti ini, apa tidak mungkin kita akan tersesat?" cetus Tompel.

Hatinya cemas, meski di sampingnya berjalan seorang pendekar sakti yang amat disegani di dunia persilatan.

"Serahkan semuanya pada Sang Khalik. Kita ini milikNya. Percayalah, bahwa Sang Khalik tetap memelihara kita dari kejahatan para makhluk durjana," tutur Andika mantap.

Andika dan Tompel terus melangkah. Setiap langkah mereka merasa menjejak gumpalan-gumpalan awan tebal yang lunak dan berlendir menjijikkan. Sampai sebentang sinar merah menyala bagaikan pantulan dari dasar neraka membentang di depan, maka Tompel dan Andika berhenti.

"Kau lihat hamparan sinar merah menyala itu. Bang?

Apa tak mungkin kita benar-benar tersesat?" desis Tompel, ngeri membayangkan dirinya mati menyusuri bentangan sinar membara tanpa tepi.

Mulut Pendekar Slebor terkatup rapat, tak bisa bicara apa-apa. Tidak juga untuk menjawab pertanyaan bocah tanggung di sisinya yang terdengar amat sumbang.

Andika menarik napas dalam-dalam. Hati nuraninya mengingatkan untuk meminta kekuatan dari Sang Khalik.

Belum lagi tuntas Pendekar Slebor memasrahkan dirinya pada T uhan, tiba-tiba dari bawah kaki muncul tangan-tangan segelap lumpur. Tanpa diketahui Andika dan Tompel, tangan-tangan menjijikkan telah mencengkeram pergelangan tangan kaki mereka.

Srap Srap

Sebagai pendekar yang sudah begitu terlatih

kesigapannya,

Andika

cepat

membuat

gerakan

menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan

tenaga dalam tingkat sembilan belas nya. "Khiaaa"

Dua

pasang

tangan

yang

sempat

menjepit

pergelangan kaki Pendekar Slebor tak ayal lagi tercabut putus dari gumpalan-gumpalan seperti asap di bawahnya.

Seketika, cairan bcrwarna kuning kental menjijikkan bercucuran dari setiap potongan tangan tersebut.

Bibir Andika meringis jijik. Kalau saja tak bisa menguasai diri, saat itu juga Pendekar Slebor akan muntah.

Sementara itu, Tompel berusaha melakukan tindakan yang sama. Sayang, kesigapannya jauh berada di bawah Pendekar Slebor. Dia tcrlambat, karena sudah terlalu banyak

tangan-tangan

berlcndir

mencengkeram

pergelangan kaki kurusnya hingga ke betis.

Namun sebagai gelandangan kotapraja, dia terdidik untuk hidup pantang menyerah. Tompel tak putus harapan.

Seluruh ilmu tenaga dalam yang ter-golong tanggung, langsung dikerahkan ke bagian kaki. Pada saatnya, dia menghentak keras.

"Hiaaah"

Tras Tras

Hanya dua-tiga tangan yang terputus. Selebihnya, malah menjepit Tompel lebih kuat, lalu mulai menariknya ke dasar gumpalan.

Melihat hal itu, Pendekar Slebor tak mau kalah cepat dengan betotan-betotan liar. Segera selendang pusaka bercorak catur diloloskan dari bahunya. Sejurus, diputarnya bagai baling-baling. Kemudian disabetkannya beberapa kali. Kain yang semula lembut itu berubah tegang bagai lempengan baja. Dalam beberapa kelebatan, tangan-tangan yang berusaha membetot tubuh Tompel langsung nenjadi mangsa empuk.

Ctas Ctas Ctas

"Cepat menyingkir dari tempat ini, Tompel" seru Andika.

"Ke mana. Bang? Bukankah di hadapan kita hanya ada bentangan cahaya membara?"

"Jangan banyak tanya" bentak Pendekar Slebor.

Terpaksa, Tompel pun menggenjot kakinya memasuki hamparan cahaya merah yang panasnya menyengat

sekujur badan.

Kini, di atas hamparan cahaya merah menyiksa,

kedua lelaki berbeda usia itu berlari bagai pecundang.

Biarpun Andika sudah banyak makan asam-garam dunia persilatan, namun sebagai manusia biasa rasa takut tetap ada di benaknya. Hal yang sama pun berlaku pada Tompel.

Maka jangan tanya bagaimana takutnya si bocah badung yang semula menganggap semua itu sekadar buang

kentut.

Tak beda orang kesetanan, keduanya berlari. Andika yang memiliki ilmu meringankan tubuh lebih tinggi daripada Tompel, terpaksa harus menyeret tubuh bocah tanggung itu agar bisa tetap bersamanya.

Tanpa diketahui Andika dan Tompel yang terdampar di alam halus itu, para makhluk penghuninya tengah menertawakan mereka dari tempat tersembunyi.

Suara makhluk halus memadati segenap penjuru. Di mana pun Pendekar Slebor dan Tompel menjejakkan kaki, di situ terdengar tawa mengejek yang hingar bingar mendirikan bulu kuduk.

Lama kelamaan, terbakar kegeraman Pendekar

Slebor. Ketegaran hatinya memaksanya berontak dari kungkungan rasa takut yang mendera bertubi-tubi. Andika jadi murka, karena merasa telah dipermainkan mentah- mentah oleh para makhluk durjana.

Seketika Andika menghentikan larinya, napasnya

memburu bersama kepulan hawa panas dari hidungnya.

"Aku makhluk yang lebih mulia Terlalu bodoh jika aku menjadi bulan-bulanan kalian" teriak Pendekar Slebor mengguntur.

Teriakan itu mencabik-cabik hingar-bingar tawa

mengejek para siluman. Lalu alam pun sunyi. Sunyi....

Menyusul,

perubahan

berangsur-angsur

di

sekelilingnya. Dan lamat-lamat, semuanya mengabur dari pandangan Andika dan Tompel.

Ketika pandangan kembali terang, Andika dan Tompel sama-sama tertegun. Hati masing-masing berujar kalau mereka sangat kenal tempat itu.

"Bang Bukankah ini kamar penginapan Bang Suta?"

tanya Tompel hati-hati sekali.

Tidak ada tanggapan dari pemuda di sebelahnya.

Pendekar Slebor tampak sedang terdiam tegang, karena mendengar suara mencurigakan merambat menuju tempat mereka. Makin lama terdengar makin dekat.

Wuk, wuk, wuk

Deru santer bagai kcpakan sayap rajawali raksasa terdengar, dis usul hancurnya dinding kamar penginapan yang selama ini dipakai Sutawijaya.

Blar

Dari lobang besar yang tercipta, mencuat sebuah

benda kecil berbentuk bulat lonjong melayang-layang liar.

Pendekar Slebor langsung mengenali benda itu, begitu melihatnya

"Cermin Alam Gaib...," desis Pendekar Slebor.

Memang, cermin itu adalah senjata andalan musuh

terberatnya. Manusia Dari Pusat Bumi

Jika benda warisan siluman itu sudah muncul, itu berati pemiliknya pun tak lama lagi akan muncul pula.

Begitu duga Andika.

Tak lama berselang, Sutawijaya yang dirinya dikuasai roh halus Manusia Dari Pusat Bumi pun tampak memasuki lobang menganga di dinding pengi¬napan. Lelaki muda sahabat Andika itu terlihat ber-beda dari sebelumnya. Sinar matanya tampak menusuk bagai hendak mencabik

langsung kejantung. Wajahnya kaku, dingin, dan pucat.

Lebih pucat daripada mayat

Saat itu, hanya satu hal yang amat dikhawatirkan Andika, terhadap diri sahabatnya. Dia takut, roh Manusia Dari Pusat Bumi telah benar-benar menguasai garba batin Sutawijaya. Namun menurut Walet, Manusia Dari Pusat Bumi baru benar-benar akan menguasai penuh jasad Sutawijaya jika sudah berhasil mengorbankan Anggraini sebagai tumbalnya.

Lalu ke mana Anggraini?

"Hua ha ha haaahhh" satu tawa menyeramkan melompat dari tenggorokan Sutawijaya. "Kita bertemu kembali, Pendekar Slebor. Seperti pernah kuancamkan padamu, aku akan kembali menghancurkanmu seperti kau menghancurkan jasadku...."

"Manusia siluman bau" maki Pendekar Slebor.

"Kujamin niatmu tak akan tersampaikan untuk hadir kembali ke alam kasar dengan menguasai diri sahabatku"

Manusia Dari Pusat Bumi tertawa lagi. Kali ini lebih nyaring melengking,

"Buktikanlah, Pendekar Slebor Buktikan...," tantang Manusia Dari Pusat Bumi, memancing kemarahan Andika.

"Kalau itu yang kau ingikan, akan kulayani," tegas Andika seraya memasang jurus terampuhnya, 'Mengubak Hujanan Petir Membabi buta'.

Bibir Manusia Dari Pusat Bumi menyeringai mengejek.

"Kau masih saja mempergunakan jurus jelekmu itu, Pendekar Slebor? Ha ha ha..."

"Banyak cincong"

Pendekar Slebor yang sudah sepenuhnya siap

menghadapi lawan, segera menerjang ke depan. Se-

rangkai langkah-langkah teramat cepat dilakukannya.

Seluruh geraknya tampak ngawur tak karuan, namun amat bertenaga dan mantap. Itulah ciri khas jurus-jurus yang diciptakannya di Lembah Kutukan ketika menjalani penyempurnaan kesaktian dulu (Baca episode : "Dendam dan Asmara").

"Hiaaa"

Deb Wes

Sampokan tangan kanan Pendekar Slebor membabat

lurus ke bagian leher Manusia Dari Pusat Bumi. Ketika nyaris tiba di sasaran, gerakan tangannya tiba-tiba menyempong ke sasaran lain. Dari gerak menyampok, tangannya berubah mengacungkan jari untuk menotok jalan darah di bagian dada. Pendekar Slebor memang tak berniat sungguh-sungguh menghajar. Dia bukan pemuda bodoh yang baru saja turun gunung. Kalau seandainya berhasil menghantam leher lawan, itu sama artinya sengaja membunuh Sutawijaya sahabatnya.

Sementara Manusia Dari Pusat Bumi tampaknya tak

mudah dikelabui dengan perubahan gerak secara tiba-tiba yang bisa mengecohkan tokoh persilatan berilmu tinggi sekalipun. Dengan amat lincah, Manusia Dari Pusat Bumi menjepit jari jemari Pendekar Slebor dengan sepasang telapak tangannya. Tep

Pada saat yang nyaris tak berlainan, mata bengis Manusia Dari Pusat Bumi melirik tajam ke arah Cermin Alam Gaib. Seketika benda terkutuk yang masih melayang-layang di udara itu bagai mengerti bahasa isyarat mata tuannya. Langsung dibokongnya Pendekar Slebor dari belakang.

"Bang Andika, awas di belakangmu" teriak Tompel keras.

Tanpa diperingatkan Tompel pun, Pendekar Slebor

sebenarnya sudah menyadari bahaya. Dengan sigap, kakinya disentakkan ke atas. Masih dengan tangan terjepit telapak tangan Manusia Dari Pusat Bumi, dengan cerdik Andika melenting ke atas.

Maka tanpa bisa dicegah lagi, Cermin Alam Gaib

langsung menghajar tubuh tuannya scndiri.

Dakh Tubuh Manusia Dari Pusat Bumi kontan terhempas ke belakang amat deras. Dinding penginapan kembali jebol, menciptakan lobang besar tambahan.

"Sinting kau. Bang Bang Suta bisa terluka" bentak Tompel gusar menyaksikan siasat bertarung Pendekar Slebor yang sengaja mengumpankan tubuh lawan pada senjatanya sendiri.

"Tenang, Pel. Tentu saja aku sudah memperhi-tungkan. Senjata itu seperti anjing penurut bagi Manusia Dari Pusat Bumi. Mungkin bisa menghajar tuannya, tapi tak akan sampai terluka parah," kata Andika yakin.

Perkataan Pendekar Slebor terbukti. Dari lobang di dinding tadi, Manusia Dari Pusat Bumi meluncur masuk kembali dengan satu terkaman ganas dan berkekuatan penuh. Kesepuluh jari tangannya mengejang kaku, seolah-olah siap mencabik baja terkeras sekalipun.

"Nah, kau lihat sendiri, bukan?" ujar Pendekar Slebor seraya berkelit gesit.

Masih sempat-sempatnya Andika berkelakar dengan

Tompel, pada saat yang bagi orang lain tak bisa

menggerakkan lidah sekalipun, karena diliputi rasa tegang.

Sewaktu dua cakar Manusia Dari Pusat Bumi hendak merobek tenggorokannya, Pendekar Slebor bergerak sigap satu tindak ke samping.

Wuk

Maka sambaran itu pun lewat begitu saja, hanya

setengah jengkal dari tenggorokan Andika. Sebuah cara menghindar yang terlalu mengandung bahaya 119

besar. Seakan-akan, pendekar muda itu hendak

mengejek lawan.

"Sayang tak kena. Kau kurang cepat, Manusia Siluman Bau Coba sedikit lagi kau percepat gerakanmu.

Ayo... ayo...," ledek Andika, menganggap lawan seperti bocah kecil yang baru bisa merangkak.

"Khaaah Jebol igamu"

Dalam segebrak, Manusia Dari Pusat Bumi sudah membuat serangan sus ulan menggunakan siku kirinya.

Sementara dada bidang Pendekar Slebor hendak dijadikan sasaran.

Pendekar Slebor tak mau terus menghindar. Dia sadar kalau terus seperti itu lama-kelamaan akan terhantam juga oleh serangan gencar Manusia Dari Pusat Bumi. Maka dengan satu gerakan pontang-panting tapi secepat kedipan mata, tangannya menekuk di depan dada.

Dakh

Siku Manusia Dari Pusat Bumi berhasil ditahan

Pendekar Slebor. Kemudian tangan Pendekar Slebor yang lain

meruntunkan

serangkai

totokan

yang

bisa

menjatuhkan empat puluh ekor kuda jantan sekaligus.

Wuk, wuk, wuk..

Gencar bagai siraman hujan dari langit rangkaian totokan Pendekar Slebor. Tapi tak satu pun bisa

melumpuhkan Manusia Dari Pusat Bumi. Karena setiap kali mengenai sasaran, tubuh Manusia Dari Pusat Bumi berubah menjadi selembut asap. Meski setiap totokannya tepat mengenai sasaran, ujung jari Andika tak merasa menyentuh apa-apa.

Menyadari hal itu, Andika melenting ringan untuk menjauhi Manusia Dari Pusat Bumi. Pengalamannya di waktu lalu saat menghadapi lawannya untuk pertama kali, langsung terngiang di benaknya.

"Monyet iler, anjing bengek, kutu mencret" sumpah serapah panjang pendek keluar dari mulut Pendekar Slebor. "Rupanya dia mulai bermain sihir"

Sambil memaki, mata Andika mencari-cari ke mana

Cermin Alam Gaib. Di seluruh ruangan, tak ditemukannya lagi benda laknat itu, setelah sebelumnya melayang-layang.

Barulah Andika sadar.

Semenjak

menghantam

tuannya sendiri, cermin itu telah berada pada Manusia Dari Pusat Bumi kembali. Hanya dengan benda itu tokoh iblis itu bisa mengerahkan seluruh kekuatan saktinya.

Untuk menghadapi kekuatan sihir Manusia Dari Pusat Bumi, jalan satu-satunya bagi Pendekar Slebor adalah memusatkan segertap jiwanya pada satu titik terdalam di dasar diri lawannya. Sementara itu, dia menyerahkan dirinya pada kekuasaan Tuhan Semes-ta Alam.

Pengalaman ini didapat atas saran pangeran yang

menitis pada diri Walet. Dan terbukti, Pendekar Slebor dulu bisa menaklukkan Manusia Dari Pusat Bumi.

Kini Pendekar Slebor berusaha menyatukan dirinya dengan kekuatan Tuhan Alam Semesta. Dugaan Andika tak meleset. Begitu memasuki taraf pengosongan diri, sebuah semburan api raksasa tercipta dari sepasang telapak tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Seolah ada naga ganjil yang hendak menelan bulat-bulat tubuh Andika. Api raksasa itu menderu menuju dirinya tanpa bisa dielakkan lagi.

Seketika seluruh tubuh Andika menghilang di balik kobaran api. Namun beberapa saat berikutnya, api mendadak tersurut mundur. Karena dari seluruh pori-pori Pendekar Slebor membersit cahaya bening. Cahaya bening seperti air tanpa wujud ini mendesak dan terus mendesak api besar milik Manusia Dari Pusat Bumi.

Menyadari usahanya tak berhasil, Manusia Dari Pusat Bumi menambah pengerahan kekuatan sihirnya. Kini, bukan hanya api yang muncul dari telapak langan manusia jelmaan siluman itu. Sesosok makhluk yang bentuknya berubah-ubah melayang deras meluruk ke arah Pendekar Slebor.

Makhluk yang berubah-ubah wujud itu ternyata

sanggup menelan sejengkal demi sejengkal cahaya bening dari tubuh Pendekar Slebor. Pada akhirnya. sebentuk tangan mencuat dari perut makhluk itu. Dan, langsung mencengkeram Pendekar Slebor.

Krep

Saat itu, Andika merasa dirinya seperti dipaksa

tenggelam ke dasar danau dalam amat gelap. Napasnya sesak.

Jangankan menarik napas,

mengembangkan

dadanya pun sudah begitu sulit. Tubuh kekar pemuda itu bergeliat-geliat. Apakah Pendekar Slebor akan terus bergeliat hingga meregang nyawa?

***

Tanpa bisa dipahami, tiba-tiba saja cengkeraman

tangan ganjil di leher Pendekar Slebor sirna. Andika heran.

Secepat itu pula kelopak matanya membuka. Lalu apa yang dilihatnya? Sungguh suatu hal yang membuatnya nyaris tertawa geli, meski dirinya hampir mati sebelumnya.

Tompel, si bocah tanggung yang selama ini hanya jadi penonton, ternyata telah mencopet Cermin Alam Gaib dari balik pakaian Manusia Dari Pusat Bumi. Bocah itu yang berhati masih bersih dari kotoran dunia, membuatnya sama sekali tak terpengaruh kekuatan jahat benda laknat milik Manusia Dari Pusat Bumi.

Dengan mata kepala sendiri Andika melihat anak itu menimang-nimang Cermin Alam Gaib. Sedangkan bibirnya yang terlalu kecil, bersiul-siul tanpa bunyi.

"Abang boleh bangga padaku.... Biar begini-begLii, aku tidak bodoh untuk mengetahui kelemahan lawan," Tompel sesumbar dengan cuping hidung kembang-kempis bangga.

Sementara itu, mata Manusia Dari Pusat Bumi

mendelik sejadi-jadinya. Sulit diduga kalau bocah kecil yang tak pernah dipandang sebelah mata itu berhasil menjarah benda dari balik pakaiannya saat sedang memusatkan perhatian mengerahkan kekuatan sihir dari cermin. Sama sekali dia tak merasakan apa-apa. Sampai akhirnya, baru tahu ketika kekuatan sihirnya tiba-tiba pupus.

"Kembalikan benda itu" hardik Manusia Dari Pusat Bumi dengan sehimpun keganasan terpancar di sepasang matanya.

Tompel melirik acuh.

"Kembalikan dulu Kang Suta yang kini kau pakai jasadnya" balas si bocah pencopet acuh tak acuh.

Dengan garang, Manusia Dari Pusat Bumi menerkam bocah kecil itu. Dia tidak ingin benda andalannya direbut Pendekar Slebor.

"Tompel cepat lempar benda itu" seru Andika.

Tompel pun tak ingin menjadi korban cabikan tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Karena dirinya bukan dendeng yang bisa disobek-sobek. Maka segera dilemparkannya Cermin Alam Gaib pada Andika.

"Nih Bang"

Benda sakti itu berputar di udara. Bersamaan dengan itu, Andika melepas pukulan bertenaga dalam tingkat tinggi warisan Pendekar Lembah Kutukan.

Wush

Blash

Bagai bara mas uk ke dalam air, terdengar bunyi

desisan panjang ketika pukulan jarak jauh Andika menghantam Cermin Alam Gaib. Tepat pada saat itu, mulut Manusia Dari Pusat Bumi melepas lengkingan tinggi.

"Aaa..."

Saat itu pula seberkas cahaya amat menyilaukan membersit keluar dari tubuh Sutawijaya yang menjadi tumpangan roh halus Manusia Dari Pusat Bumi.

Keanehan tercipta.

Tubuh Sutawijaya seperti mcmbelah dua. Salah satu tubuh yang keluar dari diri Sutawijaya adalah, Anggraini....

Andika tergugu. Tompel pun begitu. Seperti dua manusia yang baru saja mengalami prahara yang teramat menggoncangkan jiwa.

Seumur hidup, memang baru kali ini Andika dan Tompel melihat kejadian yang amat ganjil. Sesosok tubuh yang tiba-tiba muncul dari dalam diri orang lain? Sementara Pendekar Slebor dan Tompel mematung, Sutawijaya dan Anggraini tampak menggeliat kecil. Dua manusia berbeda jenis yang tergeletak di lantai penginapan ini mulai siuman.

"Huhhh...." keluhan Sutawijaya terdengar.

Hampir berbarengan, Anggraini pun melepas erangan.

"Di mana aku?" tanya Sutawijaya mendesis, begitu membuka kelopak matanya.

Bcrbeda dengan Sutawijaya, Anggraini membuka mata beriring garis-garis ketakutan pada wajahnya.

Sepasang bola matanya yang indah bergerak nyalang kian kemari, seolah di sekelilingnya berkumpul segerombolan makhluk menakutkan dari dasar neraka.

Manakala matanya menemukan Andika, gadis itu kontan bangkit dan memburu ke arah pemuda itu.

Disergapnya Pendekar Slebor erat-erat. Sikapnya tak beda seorang gadis kecil yang meminta perlindungan. Di dada bidang Pendekar Slebor, Anggraini benar-benar menumpahkan semua ketakutannya dalam tangis.

"Semuanya telah berakhir, Anggraini....

Telah berakhir," ucap Andika lembut. Tangannya mencoba memberi rasa perlindungan dengan memeluk tubuh gadis itu erat-erat.

Namun jauh di dasar batin, Andika tetap bertanya gelisah....

"Mungkinkah dendammu akan hilang padaku.

Anggraini?"
SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar