-------------------------------
----------------------------
Episode 13 Sepasang Bidadari Merah
1
Dunia seringkali menawarkan
pada
manusia sesuatu yang tidak
terduga.
Layaknya sakaratul maut
menjemput. Datang tanpa disadari siapa pun, sementara manusia mungkin masih
terlena buaian duniawi.
Seperti juga yang dialami seorang
gadis cantik yang saat ini
berada di sebelah selatan Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Dia adalah Anggraini,
putri
seorang tokoh silat wanita
bernama Ku-pu-kupu Merah. Berjalan bersamanya
adalah seorang laki-laki tua,
penguasa wilayah ini. Julukannya, Pangeran Neraka. Mereka tampak beriringan
akrab dengan langkah lambat menyusuri jalan setapak berkerikil halus. Sebelah
tangan Pangeran Neraka menggandeng bahu gadis cantik itu, memperlihatkan
perhatian seorang paman kepada kemenakannya (Untuk mengetahui lebih jelas
tentang mereka, baca serial Pendekar Slebor dalam kisah: "Pendekar Wanita
Tanah Buangan").
Di atas sana, angkasa meredup
la-
mat. Cahaya mentari telah
menguning matang, pertanda hari sebentar lagi tersungkur di awal malam. Angin
senja menyapu kulit kedua insan yang berta-lian darah itu.
"Bukankah kau hendak
menceritakan padaku tentang cemeti dan kalung kepala rajawali yang diberikan
ibu padaku, Paman Bureksa?" tanya Anggraini berna-da meminta, setelah
memindahkan benda-benda yang dimaksud ketangannya.
"Apakah kau sudah siap
mendengarnya?" tanya Pangeran Neraka yang bernama asli Bureksa.
Cara bicara laki-laki tua ini
saat itu sangat jauh dari
sifat sebenarnya yang telengas dan culas. Dia lebih tampak sebagai orangtua
arif penuh kasih.
"Apa maksudmu dengan
pertanyaan itu, Paman?"
Pangeran Neraka tertawa.
"Sewaktu bertemu pertama
kali, bukankah kau tak percaya kalau aku ini kakak ayahmu?" kata Pangeran
Neraka seperti hendak menguji kesungguhan
Anggraini menanyakan tentang
riwayat dua benda di tangannya.
"Sekarang aku percaya,
setelah Paman bisa tepat menceritakan tentang riwayat ibuku."
"Tapi itu bisa saja
dilakukan banyak orang yang mengenal ibumu. Kupu-kupu Merah adalah julukan
ibumu yang tersohor beberapa waktu lalu. Banyak orang yang tahu tentang
ibumu."
"Tapi, tak mungkin banyak
orang tahu tentang kalung kepala rajawali ini, bukan?"
Pangeran Neraka tertawa lagi.
En- tah apa yang dianggapnya lucu.
"Sekarang, Paman mau
menceritakan bagaimana kaitan benda-benda ini dengan ayahku, bukan?" desak
Anggraini halus tanpa kesan merajuk.
Dalam beberapa hari ini, gadis
itu memang sudah begitu dekat
dengan Pangeran Neraka. Keberadaan lelaki tua itu seperti mengisi kerinduannya
pada sosok seorang ayah. Namun demikian, sebagai seorang gadis yang dibesarkan
menurut adat orang-orang persilatan Anggraini tak tampak manja.
Pangeran Neraka mengangguk
man-
tap.
"Baiklah," desah
orang tua itu.
Anggraini menunggu. Namun,
belum
ada satu kata lagi meluncur
dari mulut Bureksa. Anggraini tentu saja menjadi agak heran.
"Kenapa Paman
kelihatannya ragu?"
tanya Anggraini.
"Aku ingin bertanya dulu
padamu sebelum bercerita," kata Bureksa, seraya menjemput bahu Anggraini
dengan kedua tangan kekarnya yang berkulit cacat seperti bekas terbakar.
Ditatapnya sepasang mata gadis itu lekat-
lekat. "Aku sempat
melihat kau bersama pemuda berpakaian hijau muda waktu
itu. Bagaimana hubunganmu
dengannya?"
Anggraini mengingat-ingat.
Gadis
itu cepat tahu, siapa yang
dimaksud pamannya. "Andika maksud Paman?"
"Ya" sahut Bureksa,
singkat.
"Dia kawan baruku,"
jawab Anggraini, sungkan.
"Jangan menyembunyikan
apa-apa padaku, Anggraini Aku sudah hidup cukup lama. Artinya, aku sudah hafal
benar, bagaimana sinar mata seorang gadis yang mulai jatuh hati pada seorang
pemuda...."
Ucapan Bureksa terasa sekali
me-
nyentil perasaan Anggraini.
Cepat-
cepat pandangannya dialihkan,
melepas ikatan mata Pangeran Neraka. Seolah-olah gadis itu percaya pamannya
mampu membaca isi hatinya melalui sinar ma-ta. Saat yang sama, pipinya bersemu
merah.
"Kau belum mengatakan hal
yang sebenarnya, bukan?" usik Pangeran Neraka. Nadanya seperti mendesak,
membuat Anggraini merasa tak nyaman.
"Ayo, Anggraini Katakan
padaku.
Kau mulai mencintai pemuda
itu, bu-
kan?" Pangeran Neraka
makin mendesak.
Cekalan tangan di bahu gadis
itu pun mengeras.
"Aku tak suka Paman
mendesakku seperti ini" se-tak Anggraini tiba-tiba. Ditepisnya kedua
tangan sang paman dari bahunya.
Gadis itu berbalik,
membelakangi
Bureksa. Wajahnya yang kian
matang
terbakar oleh rasa malu dan
kegugupan atas tekanan Bureksa, seakan-akan dis-embunyikannya.
Pangeran Neraka hendak meraih
ba-
hu Anggraini kembali dari
belakang.
Baru saja tersentuh, Anggraini
sudah menjauh
dengan langkah terbanting-
banting.
"Anggraini" seru Bureksa
agak gusar melihat sikap kemenakannya yang baru saja dikenal.
"Kalaupun aku mengakuimu
sebagai kakak ayahku, tapi bukan berarti Paman bisa mencampuri hidupku
seenaknya,"
gerutu Anggraini, sambil tetap
melangkah.
"Aku tak akan mencampuri
hidupmu, asal kau tidak mencintai pemuda itu"
tegur Pangeran Neraka, segera
menyu-sulnya.
"Paman tak bisa mengatur
cinta seseorang. Datangnya cinta tidak bisa ditentukan. Dan perginya pun tanpa
bi-sa dicegah" bantah Anggraini mulai sengit.
"Tapi kau belum tahu,
siapa pemuda itu"
"Aku memang belum lama
kenal dengannya. Tapi hatiku mengatakan, dia lelaki yang patut dicintai.
Seorang pemuda berkepribadian, punya jiwa ksatria. Juga memiliki
kelembutan...."
"Kau sedang mabuk,
Anggraini Kau tak menyadari, siapa yang kau cintai"
Pangeran Neraka kini segera
meng- hadang langkah Anggraini. Diangkatnya wajah terbakar Anggraini dengan
tangan.
"Lihat aku,
Anggraini" ujar orang tua itu, agak keras.
Gadis yang berwatak keras itu
tak
juga mau menurut. Lagi-lagi
ditepisnya tangan kekar Pangeran Neraka.
"Aku tak mau mendengar
ucapan Paman lagi, kecuali tentang ayahku"
tandas gadis itu.
"Pemuda itu pun
berhubungan erat dengan kematian ayahmu, Gadis Keras Kepala" hardik
Bureksa, mulai kehilangan kesabaran.
Anggraini tercekat. Apakah
telin-
ganya tak salah dengar?
Pamannya barusan menyebutkan, kalau Andika berhubungan dengan kematian ayahnya.
Dengan kelopak menyempit,
Anggraini mempertemukan
matanya dengan mata sembilu Pangeran Neraka. Ditang-kapnya jilatan api
kemarahan pada mata lelaki itu. Tapi, Anggraini tak peduli.
"Apa maksud Paman?"
tanya gadis itu nyaris seperti mendesis.
"Kalau kau ingin tahu,
dialah
orang yang telah membunuh
ayahmu" papar Pangeran Neraka tegas, penuh tekanan.
Anggraini melengak. Tak ada
lagi
kata yang bisa diucapkan
bibirnya. Dia terlalu terkejut mendengar berita yang disampaikan pamannya.
Kelopak matanya membuka tanpa kedip sekian lama. Lalu mendadak saja tubuhnya
berbalik dan berlari sambil mendekap wajah.
"Aku tak percaya
ini" teriak Anggraini bergetar seperti menahan
isak.
* * *
Berhari-hari Andika mencari
Anggraini. Dan tak sejenak pun
sempat dilihatnya lagi wajah gadis itu. Sejak menghilangnya Anggraini di daerah
Pintu Sorga dan Neraka Dunia, Andika jadi seperti anak ayam kehilangan induk
(Untuk lebih jelasnya, baca episode :
"Pendekar Wanita Tanah
Buangan"). Dia kelimpungan mencari kesana kemari, ta-pi hasilnya
melompong.
Kalau saja tak mengkhawatirkan
keselamatan gadis yang baru
turun dalam persilatan yang penuh tipu daya ini, tentu Pendekar Slebor sudah
melanjutkan perjalanan ketujuan lain.
Dia sendiri tak mengerti,
perasaan macam apa yang membuat hatinya begitu mengkhawatirkan Anggraini. Bisa
saja semacam perasaan bersalah, karena membuat Anggraini harus kehilangan
seorang yang amat dekat dengannya. Bisa jadi juga dia mulai menyukai pribadi
Anggraini. Tapi, apa begitu? Padahal Anggraini tergolong sulit diajak ber-
sahabat.
Orangnya terlalu keras.
Sambil membawa pikirannya
menera-
wang, Pendekar Slebor
melanjutkan pencarian. Sampai akhirnya, Andika tiba di suatu tempat yang teduh.
Pohon-pohon besar memayungi tempat itu. Sewaktu melihat ada sungai kecil berair
bening di sana, timbul keinginannya untuk sedikit menyejukkan badan.
Andika pun menanggalkan
pakaian.
Setelah melemparkan perangkat
penutup tubuhnya kebawah sebatang pohon, pemuda tampan itu langsung melompat ke
dalam sungai.
Byur
"Fhuah Segarnya,"
ucap Andika, begitu muncul di permukaan kembali.
Sungai kecil itu tergolong
cukup
dalam. Sehingga, memungkinkan
Andika menyelam. Kebeningan airnya menyebab-kan dasar sungai dapat terlihat
melalui permukaan.
Andika mencoba menyelamkan
kepala
lagi. Panas matahari yang
memanggang batok kepalanya siang itu, sepertinya belum cukup terusir.
"Fhuah"
Pemuda itu muncul kembali di
per-
mukaan. Kepalanya
menggeleng-geleng keras, mengusir usikan air pada telinganya.
"Tuhan memang adil.
Menciptakan rasa panas yang disertai pula rasa dingin. Coba kalau ada panas
saja, bi-sa gosong semua manusia di permukaan bumi ini," gumam pemuda itu
saat meng-gosok-gosok badan dengan batu cadas dari dasar sungai.
Puas menyejukkan sekaligus
mem-
bersihkan badan, Pendekar
Slebor berniat naik ke tepi sungai. Sewaktu matanya mencari pakaiannya,
wajahnya
kontan terlipat. Pakaiannya
tak ada lagi di tempat Mau tak mau, Andika mengurungkan niat untuk naik.
"Ini pasti ada yang
usil," bisik Pendekar Slebor sambil menggerutu.
"Apa dikiranya aku ini
bidadari dari kayangan yang tak bisa kembali lagi kalau pakaianku
diambil?"
Pendekar Slebor lantas mengedar-
kan pandangan ke sekeliling.
"Hey, Pencuri Kuberitahu,
kalau pakaianku tidak berharga untuk dijual.
Biar ke tempat loakan sekali
pun" teriak Andika. "Dan kalau kau hanya mau usil, ya jangan
keterlaluan Aku tidak bisa keluar dari sungai ini hanya dengan mengenakan
celana dalam"
Tak ada sahutan.
"Hoooiii Perempuan atau
lelaki
Jin botak atau manusia gundul
Tua
atau muda Yang membawa
pakaianku, cepat kembalikan ke tempatnya semula"
teriak Andika lagi.
Tetap saja tak ada tanggapan.
"Ah Apa aku hanya
berprasangka buruk saja. Belum tentu pakaianku dibawa orang. Mungkin saja
diterpa angin," gumam Andika, meralat dugaan sebelumnya.
Pikir punya pikir, pemuda itu
ak-
hirnya sedikit nekat untuk
naik mencari pakaiannya. Dengan tangan menutupi celana dalam, tubuhnya
mengendap-endap ke tempat pakaiannya diletakkan. Dicari-carinya baju dan celana
hijau muda itu ke sekitarnya. Tapi sejauh mata memandang, tak juga ditemukannya
Kecurigaan Andika mulai
tersembul
lagi.
"Kalau begitu, benar
dugaanku ta-di. Memang ada manusia usil yang hendak mengerjaiku," bisik
pemuda itu.
Sementara berbisik, matanya
meli-
rik kian kemari. Tentu saja
pemuda kesohor itu takut tertangkap basah sedang polos seperti bayi yang hanya
mengenakan popok
"Iya kalau lelaki yang mengusili
ku. Aku tak begitu malu. Bagaimana kalau wanita? Wah Bisa lepas wajahku karena
malu," gumam Andika lagi seraya mengendap-endap untuk kembali ke sungai.
Maksudnya, supaya bisa menyembunyikan tubuh.
Saat matanya melirik kesana
kema-
ri seperti maling kesiangan,
mendadak saja terdengar hardikan seseorang di-belakangnya.
"Nhaaa Mau berbuat mesum,
ya" Tanpa pikir apa-apa lagi, Andika
langsung saja
tunggang-langgang secepatnya ke arah sungai. Tak lagi diper-dulikan, bagaimana
caranya berlari sepanjang masih bisa menutupi celana dalamnya dengan tangan.
"Wuaaa"
Byur
Didahului teriakan kalang
kabut,
pemuda urakan yang ternyata
masih
punya malu itu terjun ke dalam
sungai kembali.
* * * 2
"Hik hikhik"
Satu alunan tawa nyaring
memekak-
kan telinga berkumandang,
mengejek
Pendekar Slebor.
Ketika kepalanya muncul ke
permu-
kaan, Andika melihat seorang
nenek jelek berpakaian aneh yang pernah dilihatnya saat melarikan Ratu Lebah.
Nenek itu masih terkikik-kikik, sampai tubuhnya berguncang-guncang kecil.
Dedaunan yang menutupi auratnya pun ikut bergetaran.
"Kau lagi...,"
gerutu Andika dongkol. "Cepat kembalikan pakaianku"
Mata Andika melotot ketika
mene-
mukan pakaian hijau muda itu
berada di tangan si nenek jelek.
"Enak saja Aku masih
senang menikmati pemandangan bagus itu, kok"
sergah si nenek, menghentikan
tawa nyaringnya. Dengan genit, diliriknya permukaan sungai tempat Andika
beren-dam. "Kau tak sadar, ya? Sungai itu terlalu bening untuk dijadikan
tempat bersembunyi. Hikhikhik"
Mata pemuda berambut gondrong
itu
mendelik sejadi-jadinya.
Kenapa dia jadi tolol Tentu saja setiap orang yang tak buta akan dapat melihat
tubuhnya yang tak berpakaian, dari permukaan air sungai yang begitu bening
Untuk keluar dari sungai,
sudah
tak mungkin lagi bagi Andika.
Itu sama saja membiarkan tubuhnya jadi tontonan indah si nenek genit. Namun,
otak encer Andika tak kehilangan akal. Permukaan air segera diaduk-aduknya
supaya bayangan tubuhnya jadi menghambur tak kentara.
"Lho Lho? Kok, tubuhmu
sekarang jadi tampak berantakan?" ejek si nenek dengan mata terbelalak.
"Tutup mulut mesummu itu,
Nenek Jelek" maki Andika kesal.
"Idih Begitu saja sudah
sewot"
goda si nenek dengan gaya
seorang pe-rawan desa merayu jejaka.
Andika mendengus. Pangkal
hidung-
nya jadi terlipat.
"Sebenarnya, apa
maumu?" tanya Andika kemudian.
"Aku? Yang kumau sih, ya
bisa ja-di kekasihmu...," sahut si nenek men-dayu.
"Amit-amit," bisik
Andika memba-tin.
Bergidik juga pemuda itu
menden-
gar ucapan si nenek genit.
"Terus terang, aku sedang
tak
berselera mendengar ocehan
tengik. Kenapa kau tak langsung katakan saja, apa maumu sebenarnya, Perempuan
Tua?"
Andika mengulangi kembali
pertanyaannya.
"Anak muda selalu
bernafsu," cemooh si nenek seraya mencibir. "Tapi, baiklah. Aku hanya
ingin memberi pelajaran padamu, karena kau harus ikut bertanggung jawab atas
luka yang diderita anak gadisku," tutur perempuan uzur itu akhirnya.
"O, sekarang persoalan
menjadi jelas. Sejak semula juga sudah kuduga kalau kau hendak
mengungkit-ungkit peristiwa itu lagi," tanggap Andika.
"Jadi, Ratu Lebah adalah
anakmu?"
"Aku tak bilang dia
anakku, Tolol"
"Kalau begitu, pasti dia
murid-mu," duga Andika.
"Nah Kau tidak tolol
lagi"
Pemuda sakti dari Lembah
Kutukan
itu memajukan bibirnya.
"Kalau muridnya saja
sebejat itu, apalagi gurunya," sindir Andika, pedas-pedas.
"Siapa yang kau bilang
bejat?"
bentak si nenek sewot.
"Muridmu, Ratu
Lebah"
"Eee, Pemuda Bermulut
Lancang
Kau tak boleh asal bicara
sebelum kui-zinkan"
Si nenek mencak-mencak.
Pakaian
Andika dikebut-kebutkannya
kian kema-ri.
"Ini mulutku sendiri,
Perempuan Tua. Aku tak bisa mengatakan yang hitam itu putih. Kalau memang
bejat, ya kukatakan bejat. Dan kalau...."
"Diam" potong si
nenek, menghar-dik.
Seketika itu juga Andika
benar-
benar terdiam. Mulutnya yang
biasanya begitu terampil mencerocoskan dengan kata pedas, tiba-tiba saja tak
bisa digerakkan. Raut mukanya kejang dan lidahnya kelu. Andika tetap tak bisa
mengucapkan sepatah kata pun, meski telah berusaha menggerakkan rahang
dengan menyalurkan kekuatan
tenaga dalam warisan Pendekar Lembah Kutukan yang diandalkan.
"Mhhh... mhhh bhff"
Hanya bunyi itu yang
terdengar.
"Hik hik hik Biar tahu
rasa kau
Itu namanya kualat pada orang
tua"
ledek si nenek.
Mencak-mencaknya ber-ganti goyangan pinggul ke kiri dan ka- nan.
Sekarang pendekar muda itu
baru
sadar kalau nenek yang
dihadapinya bukan orang sembarangan. Terbukti, tenaga dalamnya yang disegani di
dunia
persilatan tak berdaya
menghadapi kuncian yang dibuat si nenek kerahangnya.
"Sebelum aku salah
menjatuhkan tangan padamu, sebaiknya kutanyakan dulu padamu. Apakah kau
bertanggung jawab terhadap muridku yang terluka sewaktu kularikan dulu?"
Si nenek mulai mengajukan
perta-
nyaan, tak ubahnya seperti
seorang
punggawa mengorek keterangan
dari seorang mata-mata istana. Wajah keriputnya dibuat sebengis mungkin.
Padahal, malah terlihat menggelikan. Malah lebih parah daripada raut wajah
orang yang terserang mules hebat.
"Mmhh... mmh" jawab
Pendekar Slebor, tak kentara.
"O, iya Aku lupa dengan
mulut-mu...," kata si nenek.
Segera si nenek menyapukan
tangan
yang tak memegang pakaian
Andika ke udara. Gerakannya terlihat ringan sa-ja, seolah asap pun tak
terhalau. Namun, hasilnya ternyata dapat membuat kuncian pada mulut Andika
terbebas.
"Sekarang bicara"
bentak si nenek, disertai belalakan matanya.
"Aku tak akan menjelaskan
duduk perkaranya, kalau kau tak memberikan pakaianku dahulu" ujar Andika,
tak memuaskan si nenek.
"E, bisa juga kau
mengancam, ya
Nih Tangkap pakaian jelekmu Kau
pikir aku butuh? Untuk kujadikan gombal saja, aku tak berniat..."
Perempuan tua berompi kulit
pohon
itu melempar pakaian Andika
yang sejak tadi dipegangnya. Seperti ketika mem-bebaskan Andika dari kuncian
mulut, gerakan kali ini pun tak kelihatan bertenaga sama sekali. Amat enteng.
Namun ketika pakaian berwarna
hijau muda itu terlepas dari tangannya....
Wuuut
Terciptalah kelebatan amat
cepat.
Mata terlatih Andika yang
biasa me-
nangkap kecepatan sambaran
kilat di Lembah Kutukan, masih sempat menangkap kelebatan pakaiannya.
Lalu tangkas sekali pendekar
muda
itu mengangkat tangan dari
bawah permukaan sungai, untuk menjemput lemparan si nenek. Meski begitu,
ketangkasan tangannya belum bisa menghadang kelebatan pakaiannya.
Pyar
Sekejap kemudian, pakaian
hijau
muda itu menampai permukaan
sungai di belakang Andika. Saat itu air, seperti langsung disibak tangan
raksasa. Sampai-sampai, tubuh Andika sendiri terhempas gelombang besar ketepi
sungai.
"Sudah tidak betah di
sungai, ya?" ledek si nenek, menjengkelkan.
Seraya menggerutu
berkepanjangan,
Andika memakai pakaiannya.
Daripada setengah telanjang, dipakainya juga pakaian basah itu. Tak begitu
lama, dia pun naik.
"Nah Sekarang, jawab
pertanyaanku" kata si nenek memulai kembali.
"Terus terang, aku memang
memusuhi muridmu. Aku tak menyesal jika dia terluka," jelas Andika tak
segan-segan.
"Aku tak tanya kau
menyesal atau tidak Yang kutanya, apa kau bertanggung jawab terhadap keadaan
muridku"
sergah si nenek ngotot.
"Kalau itu pertanyaannya,
kujawab tidak."
"Bagus" cetus si
nenek.
Setelah itu, si nenek
berbalik.
Perempuan tua itu pergi begitu
saja.
Padahal, Andika menduga si
nenek akan menggempurnya setelah seluruh pertanyaan dijawab. Biasanya, jika
murid bejat, itu karena hasil didikan gurunya. Dengan kata lain, guru yang
ke-ji biasanya akan melahirkan murid yang sama keji.
Dengan terheran-heran, Andika
me-
nahan langkah si nenek.
"Kenapa kau tak
melabrakku?"
tanya Andika.
Si nenek menoleh sebentar.
"Apa kau mau bermusuhan
dengan seorang yang baru kau kenal?" si nenek balik bertanya. Bibirnya
tersungging kecil. Entah meledek, entah meremeh-kan.
Dan entah pula merasa lucu
dengan pertanyaan Andika barusan.
"Bermusuhan? Aku malah
sering me-mimpikan seluruh manusia di atas jagad ini membuang semua sifat ingin
musuhan. Lalu, mereka bisa hidup damai
saling berkasih sayang.
Sayang, hati manusia banyak yang dengki dan busuk...," ucap Andika seperti
bicara pada diri sendiri.
Sekali ini, si nenek terkekeh
mendengar penuturan pemuda
yang baru saja dikerjainya.
"Itu artinya, kau tidak
mau bermusuhan denganku. Nah, kenapa pula aku harus memusuhi orang yang tidak
ingin bermusuhan denganku? Asal kau tahu, Anak Muda Semestinya, di dunia ini
berlaku hukum yang setimpal
Setiap kejahatan harus dibalas kejahatan. Sebabnya, kebaikan harus dibalas pula
dengan kebaikan...," ucap si nenek berkesan dalam.
"Tapi, jika seseorang
ingin besar di hadapan Tuhan semesta Alam, semes-tinya memaafkan kejahatan yang
diperbuat orang terhadap dirinya. Dan, membalas kebaikan dengan kebaikan yang
lebih baik...," timpal Andika.
"Hik hik hik Aku suka
kau, Anak Muda" puji si nenek tulus meski disampaikan secara menyebalkan.
Tak lama kemudian, si nenek
sudah
menghilang bagai ditelan bumi.
Andika memang sempat menangkap kelebatan tubuhnya. Tapi dia tahu sulit untuk
me-nandingi kecepatan geraknya.
* * *
Anggraini termenung sendiri
dalam
kungkungan kebisuan.
Dipandanginya gerombolan bunga matahari di kejauhan, dengan sinar mata amat
kosong. Di bawah naungan ser ampun bambu kuning
yang tumbuh di beberapa tempat
di Pintu Sorga dan Neraka Dunia, gadis menawan itu duduk bersandar. Angin
mengu-sik derit batang bambu hingga saling bergesekan menggoda. Juga, gemerisik
dedaunan bambu mencoba menyadarkan
Anggraini dari lamunan. Namun,
gadis itu tidak peduli.
Banyak hal yang bisa membuat
se-
seorang bagai menghukum diri
menjadi area batu seperti itu. Untuk dara semacam Anggraini, penyebabnya
seringkali mudah dikenali. Cinta
Cinta? Ya Satu kata singkat,
na-
mun menyimpan sehimpun makna.
Dan itu telah menggerayangi gadis ini hari-hari belakangan. Dimulai sejak
Pangeran Neraka, pamannya, menerangkan kalau pembunuh ayah gadis ini adalah je-
jaka yang berhasil menanam benih-benih kasih terdalam, yang kemudian tumbuh
menjadi cinta pertamanya.
Betapa Anggraini sulit memper-
cayai keterangan tersebut.
Dimatanya, Andika adalah seorang pemuda yang tidak saja tampan rupawan. Tapi,
juga memiliki sifat yang patut dikagumi.
Ksatria, welas asih, dan
berwibawa
adalah sekadar sebagian
pribadinya.
Anggraini bisa melihatnya,
meski per-kenalan dengan Andika bisa dikatakan singkat.
Mungkinkah semua itu adalah
ke-
palsuan semata? Anggraini
bertanya resah. Bukankah kepura-puraan dan kemu-nafikan adalah jamur
menjijikkan yang semakin tumbuh di dunia ini? Dalam di-ri sekian banyak
manusia? Keraguan mulai merambah relung batin gadis itu.
"Tapi, bagaimana mungkin
dia tak membunuhku, kalau tahu aku bakal menuntut balas atas kematian
ayahku?"
sangkal sisi hati Anggraini
yang lain.
"Kalau dia memang yang
berdarah dingin, tentunya aku sudah tak memiliki nyawa lagi.... Tapi, ah Kenapa
dia membunuh
ayahku? Apa salahnya?
Atau...."
Relung hati gadis ini tak
kuasa
lagi menampung
beruntun pertanyaan
yang membingungkan. Dia
berontak dan terjaga. Namun yang ditelannya setelah itu adalah sebentuk
kekecewaan menghu- jam. Kecewa karena pemuda yang menanam benih cinta
pertamanya, ternyata adalah sang pembunuh ayah kandung yang begitu lama
dirindukan
"Aku benci kau,
Andika" rutuk Angraini geram, nyaris bergumam geram.
Sesudah itu, Anggraini bangkit
dengan benak terkoyak. Dia
berdiri di-am, menantang sapuan angin lembah. Dalam dirinya hanya terngiang
kata-kata Bureksa, pamannya. Andika adalah pembunuh Ayah Andika adalah pembunuh
Ayah...
* * * 3
Di pinggiran sungai Andika
sedang
memanggang ikan mujair hasil
tangka-pannya. Asap putih membawa aroma sedap berarak naik dari tumpukan kayu
bakar, menggoda perut Andika yang sudah demikian keroncongan.
Sambil bersiul-siul, pemuda
itu
membalik-balik panggangan ikan
di tangannya. Dan tiba-tiba siulan riangnya terhenti seketika, terpenggal oleh
ingatan yang muncul begitu saja.
"Si nenek jelek
itu...," gumam Pendekar Slebor. "Bukankah kemarin du-lu dia
mengatakan kalau kejahatan mestinya dibalas kejahatan? Kalau murid- nya terluka
oleh Anggraini, tentunya dia akan menuntut balas. Kemarin lalu pun, dia
menemuiku untuk meminta tanggung jawabku...."
Plak
Andika menampar kening keras-
keras dengan telapak tangan
kiri.
"Kenapa aku jadi tolol
Tentu si nenek jelek itu kini sedang mencari Anggraini. Bukankah sewaktu
menyelamatkan Ratu Lebah, dia melihat
Anggraini sedang bertarung
dengan muridnya itu? Tentu dia tahu, Anggraini lah yang melumpuhkan
muridnya.... Wah, kacau Anggraini bisa jadi sasaran kemarahan si nenek jelek.
Padahal, muridnya sendiri yang salah...," gumam Andika lagi.
Dari duduknya, pemuda berambut
gondrong itu cepat-cepat
bangkit
"Tapi, ke mana aku harus
mencari gadis itu? Dia menghilang seperti ditelan bumi. Berhari-hari aku menca-
rinya, tapi nihil. Apa iya,
aku bisa menemukan secepatnya sebelum didahului nenek jelek itu?"
Andika mengetuk-ngetuk kepala
dengan jari kiri. Sedang
dipikirkan, bagaimana caranya agar bisa cepat menemukan gadis yang baru turun
dalam dunia persilatan itu.
"Ah Peduli setan
bagaimana caranya Kalau aku hanya berpikir terus, bisa-bisa sudah kedahuluan
nenek jelek itu" umpat Pendekar Slebor pada diri sendiri.
Sejenak dipandanginya
panggangan
mujair di tangan kanan. Sudah
matang dan benar-benar menggoda. Baunya pun menyengat hidung.
"Apa boleh buat...,"
gumam Andika.
Panggangan mujair itu
dimasukkan
saja ke balik bajunya. Padahal
asapnya masih mengepul. Memang sayang, Dari pada dibuang, lebih baik dijadikan
persediaan kalau perutnya tak
bisa diajak berdamai lagi. Dasar urakan
Pemuda acuh ini pun beranjak
dari
tempat itu. Tujuannya, Pintu
Sorga dan Neraka Dunia. Dia akan memulai ulang pencarian Anggraini dari tempat
pertama. Disana, mungkin bisa disusuri jejak yang luput ditemukan pada
pencarian pertama.
* * *
Pintu Sorga dan Neraka Dunia
tam-
pak lengang. Pendekar Slebor
tiba di sana ketika matahari terjatuh pengga-lan dibelahan angkasa sebelah
barat.
Berawal dari tempat Anggraini
bertempur melawan Ratu Lebah
dulu, Andika mulai mencari tanda-tanda yang mungkin bisa dijadikan petunjuk,
kema-na perginya Anggraini. Cukup lama pemuda berpakaian hijau-hijau menyusuri
tiap jengkal tanah disekitarnya. Matanya bahkan sudah sedikit pedih, karena
terus dikerahkan. Kalau penci-umannya setajam anjing pelacak, tentu urusannya
akan lain.
"Tak ada tanda-tanda
sedikit
pun.... Koreng garing"
umpat Andika kesal. "Aku
jadi semakin
yakin,
Anggraini menghilang karena
keinginannya sendiri. Sedikit pun tak ada tanda kalau dia dipaksa oleh
seseorang. Apa mungkin dia tak ingin urusannya kucam-puri. Padahal, aku sangat
berkaitan erat dengan urusan gadis itu...."
Kepala pemuda sakti dari
Lembah
Kutukan ini menoleh ke sana
kemari.
Sepertinya, dia masih
penasaran.
"Kalau nanti aku bertemu
dengannya, bagaimana caraku menjelaskan kalau aku adalah pembunuh
ayahnya?" gumam Pendekar Slebor lagi.
Plak
Mendadak sontak Andika merasa
ke-
palanya ditampar seseorang
dari belakang. Hal itu membuat Andika terke-
siap. Bukan karena tamparan
itu berba-haya, sebaliknya tamparan itu sepertinya hanya dimaksudkan untuk
main-
main saja.
Pemuda urakan itu terkesiap,
ka-
rena sedikit pun tak menyangka
ada seseorang yang melayangkan telapak tangan kebelakang kepalanya. Padahal,
sebagai seorang pendekar sakti yang cu- kup menggetarkan dunia persilatan,
gerakan halus seekor cecak pun dapat
tertangkap telinganya.
Andika cepat menoleh.
"Hik hik hik Kalau ada
sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi.
Kalau ada jodoh untukku
seorang, boleh kita berkencan lagi"
Andika meringis lebar-lebar.
Orang yang menampar belakang
kepalanya ternyata perempuan tua pertapa, guru Ratu Lebah. Nenek yang sudah bau
tanah itu senyam senyum genit, memperlihatkan sebutir gigi besar yang masih
tersisa di mulutnya.
"Ampun.... Kenapa aku
harus berjumpa nenek jelek ini lagi? Apa sa-lahku?" gerutu Andika
berbisik.
"Kau jangan sembarangan
menghina-ku, ya?" hardik si nenek sewot. "Begini-begini juga masih
membawa reje-ki"
Rupanya bisikan Andika yang
begi-
tu halus bisa ditangkap dengan
baik oleh telinga si nenek. Barangkali
hanya kata hati saja yang tak
bisa di-dengarnya.
"Kita bertemu lagi, ya
Nek?" Andika berbasa-basi pura-pura ramah. Sementara wajahnya sama sekali
tidak me-nunjukkan keramahan. Bisa dibilang, mirip wajah orang yang telat buang
ha-jat
"Yang sopan terhadap
orangtua ka- lau tak mau kualat"
"Lho? Sapaan tadi sudah
sopan, bukan?" sergah Andika.
"Nih....."
Perempuan uzur itu menyodorkan
punggung tangannya.
"Cium Itu tanda kau anak
muda yang sopan Ayo, cium" perintah si nenek dengan mata mendelik-delik.
Dengan berdecak-decak mangkel,
Andika menuruti perintahnya.
"Aku sudah cium tangan,
Nek. Karena, aku sebenarnya menaruh hormat pada orang yang lebih tua. Sekarang,
apa lagi? Cium dengkulmu?" ceracau Andika.
Si nenek malah terkikik.
"Aku benar-benar suka
padamu,
Anak Muda" kata si nenek.
Lalu....
Plak
Sekali ini, kening Andika yang
menjadi sasaran kegemasannya.
Mulutnya sampai meringis-ringis.
"Kau benar-benar pemuda
yang cocok buat kujadikan menantu. Eh Maksudku, jadi suami muridku yang molek
itu, lho" lanjut si nenek.
"Apa?" Andika
terbelalak. Mulutnya terbuka lebar.
Selagi masih terbelalak bodoh
se-
perti itu, si nenek aneh
menarik tangannya.
"Ayo ikut aku, Anak Muda
Sebaiknya kau melihat dulu anak gadisku," ujar si nenek semena-mena.
"Tapi...."
"Biar kau tahu dan jelas
benar kalau anak gadisku memang molek" te-rabas nenek pertapa, tak peduli.
Andika pun ditariknya seperti kambing con-gek.
Baru beranjak sekitar empat
tom-
bak dari tempat semula,
seseorang
menghadang tepat di depan si
nenek.
Gerakannya ringan. Sewaktu
berke-
lebat, Andika menangkap warna
merah pakaian si penghadang. Juga, sempat menangkap rambutnya yang panjang.
Ma-ka, hatinya pun mulai menduga kalau si penghadang adalah Anggraini.
Dugaannya terbukti, ketika matanya jelas-jelas melihat wajah Anggraini yang
sudah tegak berdiri dengan sikap tegang.
"Nhaaa Pucuk dicinta ulam
pun tiba" sambut si nenek senang sekali bisa menemukan Anggraini yang
dica-rinya, tanpa harus susah payah.
Sementara, Andika sibuk
memperin-
gati Anggraini
Dibelakang si nenek. Tangannya
memberi isyarat di udara,
menyuruh
Anggraini untuk segera pergi.
Anak mu-da itu tidak mau urusan jadi runyam akibat kesalahpahaman, karena si
nenek belum sadar kalau sebenarnya muridnya lah yang bersalah.
"Jangan coba macam-macam
di bela-kangku, Anak Muda" ancam si nenek tanpa menoleh. "Bisa-bisa,
kubuat ru-jak kau"
Andika meringis. Tangannya
ber-
henti bergerak-gerak.
"Nah Mumpung kau ada di
sini, Anak Gadis. Katakan padaku, apa kau bertanggung jawab terhadap luka yang
diderita muridku tempo hari?" tanya si nenek memulai lagi.
"Maaf, Nek. Aku
menghadang bukan untuk berurusan denganmu. Urusanku
dengan pemuda itu," ucap
Anggraini menusuk, seraya melempar isyarat mata yang panas kepada Andika.
Kalau sebelumnya pemuda
berkain
corak catur itu meringis
mendengar ancaman aneh si nenek, kini mulutnya meringis karena sikap dan ucapan
Anggraini. Sama sekali tidak
dimengerti maksud gadis itu. Menurut dugaannya, tentu ada sesuatu yang melatar
belakangi sikap Anggraini yang kini berubah tak ramah padanya. Apa mungkin
gadis itu sudah tahu kalau Andika adalah pembunuh ayahnya?
Sembarangan saja kau
membacot"
sergah si nenek kasar.
"Jelas-jelas kau berurusan denganku, kalau kau telah melukai muridku tempo
hari Ayo jujur... jur... jur"
Cukup lama Anggraini menatap
si
nenek. Matanya
sebentar-sebentar melempar bara panas ke arah Andika.
Meski begitu, ada sesuatu yang
lain ditangkap mata Andika. Pancaran mata yang menyeruak di antara kebencian,
yang berasal dari hati terdalamnya.
Ya Andika menangkap rasa cinta
di antara sinar kebencian pada pandangan mata Anggraini
"Baiklah kalau
begitu," putus Andika. "Bisakah kau menjelaskan padaku duduk
permasalahannya? Terus terang saja, aku sama sekali tidak mengenali-mu."
Kata-kata Anggraini tetap
memper-
tahankan kesopanan pada
perempuan tua di depannya.
"Kau ingat pertempuran
dengan Ra-tu Lebah?" tanya si nenek.
Anggraini mengangguk.
"Orang yang melarikan
Ratu Lebah adalah aku. Ada lagi yang perlu kau tahu, aku adalah guru perempuan
itu...," papar si nenek
tegas dan mantap. Kalau bisa busungkan dada, tentu dia akan membusung. Sayang,
punggung-nya sudah bungkuk.
"Ya Sekarang aku
paham," lanjut Anggraini.
"Nah, bagus"
"Lalu, apa maumu
denganku, Nek?"
tanya Anggraini.
"Lho? Katanya paham?
Bagaimana ini?" si nenek menggerutu seraya menoleh pada Andika. Andika
membalasnya dengan mengangkat bahu.
"Begini," lanjut si
nenek memulai lagi. "Aku mau meminta pertanggung ja-wabanmu...."
"Kau tak bisa semena-mena
begitu, Nek,", selak Andika. "Dalam hal ini, muridmulah yang
bersalah...."
"Diammm Aku tak perlu
pendapat-mu" bentak si nenek geram sekali. Bibirnya sampai
terpuntir-puntir sewaktu membentak.
"Sudahlah, Nek,"
putus Anggraini.
"Menurutku, aku tak perlu
mempertang-gung jawabkan tindakanku terhadap muridmu...."
"Apa?" mata si nenek
mendelik besar-besar.
"Kau
ingin menyangkal
perbuatanmu?"
"Aku tidak menyangkal.
Kuakui, aku memang telah melukai muridmu. Tapi kalau kau katakan bersalah,
jelas aku tak akan mengakuinya...."
"Eee Anak gadis slompret
Nih, kuberi sedikit pelajaran, biar kau ta-hu adat"
Tangan keriput perempuan
pertapa
itu meraih daun-daun kering
penutup auratnya. Dalam sekerdipan mata saja, si nenek bisa sekaligus
melemparkan dedaunan kering ke arah Anggraini.
Wes Wes Wes
Beberapa lembar daun berwarna
coklat berkelebat deras, dan
nyaris tak tertangkap mata Andika dan
Anggraini.
Mata Andika yang terlatih
untuk bersiaga pada setiap sambaran lidah petir di Lembah Kutukan, sempat
melihat kehebatan lain pada kelebatan
daun-daun yang dilempar si
nenek. Masing-masing daun, ternyata telah diisi tenaga dorong menyamping. Pada
saat meluncur, daun yang satu dengan daun yang lain akan saling mendorong.
Sehingga, dapat bergerak mengembang untuk mengurung seluruh ruang gerak
Anggraini bila menghindar.
Jika gadis itu mencoba menghindar, maka malah akan terkena sambaran salah satu
daun.
"Jangan menghindar"
seru Andika, secepat kelebatan dedaunan yang dilempar si nenek.
Sayang, peringatan Andika
terlam-
bat. Anggraini dengan amat
sigap telah lebih dahulu bergerak menghindar. Aki-batnya....
Des
Daun yang ringan itu kontan
mela-
brak tubuh Anggraini bagai
palu raksasa sebesar kerbau. Kontan saja tubuh gadis itu melayang deras ke
belakang, seolah-olah bobotnya tak lebih berat dari daun yang menghajarnya.
Grusak
Setelah melayang hampir
sepuluh
tombak, Anggraini jatuh
menimpa gerombolan bunga matahari.
"Kau sudah sinting, Nenek
Moyang Gendoruwo" maki Andika murka, menyaksikan kesewenang-wenangan si
nenek di depan matanya.
"Eee Memaki orang tua,
ya? Mau kualat kau?" Salak si nenek tak ambil pusing dengan kegusaran
pemuda berambut gondrong itu.
"Kau tak pantas kuhormati
Kau lebih pantas kuhajar" cecar Andika lagi.
Beriring makiannya, Andika
meng-
hentak pergelangan tangan yang
masih digenggam si nenek. Tak lepas Padahal, si nenek tak tampak sungguh-
sungguh mencekalnya. Andika
mencoba lagi. Kali ini disertai penyaluran kekuatan warisan Pendekar Lembah
Kutukan sampai tingkat kedelapan. Tapi tetap tak bisa Cekalan tangan si nenek
hanya tersentak sedikit, tanpa
terlepas dari pergelangan tangan Andika.
"Ayo Kerahkan tenaga
saktimu
sampai tingkat kesembilan
belas" le-ceh si nenek, memanas-manasi.
Begitu mendengar penuturan
perem-
puan tua yang mencekalnya,
Andika kontan terdiam.
"Tingkat kesembilan
belas, katanya?" bisik hati Andika. "Bagaimana dia bisa tahu kalau
tenaga sakti warisan buyutku mencapai kekuatan pamungkas pada tingkat
kesembilan belas?"
"Wah Masih muda sudah
sering
linglung Hik hik hik"
* * * 4
Sementara itu
Pangeran Neraka
tengah mengadakan pembicaraan
rahasia dengan dua sekutu barunya, Kembar Dari Tiongkok. Di sebuah pondok di
kaki bukit yang Neraka Dunia, ketiganya ber-kumpul.
"Aku tak mengerti, kenapa
Mayangseruni tiba-tiba menghilang tanpa terlebih dahulu meminta izin
padaku?" ka-ta Pangeran Neraka, membuka percakapan.
Lelaki berkulit cacat itu
berja-
lan hilir mudik dalam ruangan.
Tangannya terlipat di depan dada.
"Sebelum menghilang, apa
ada kejadian ditempat kita ini, Ketua?"
tanya Chia Jui yang bersila
bersebelahan dengan saudara kembarnya, Chia
Kuo.
Dua lelaki Cina itu memang
telah
mengangkat Pangeran Neraka
sebagai
'ketua'. Di samping karena
tingkat il-mu Pangeran Neraka lebih tinggi, mereka juga membutuhkan pelindung.
Paling tidak bisa membantu mereka jika suatu hari harus berhadapan dengan
orang-orang kerajaan yang hendak mereka tum-bangkan dulu hersama Begal Ireng.
Khu-susnya, jika harus berhadapan dengan seseorang yang begitu mereka
taku-ti.... Pendekar Slebor (Baca episode "Dendam dan Asmara").
"Ya Memang telah terjadi
sesua-tu, sebelum Mayangseruni menghilang,"
gumam Bureksa alias Pangeran
Neraka.
Sekali lagi, disebutkannya
nama asli Ratu Lebah.
Chia Jui dan Chia Kuo menunggu
uraian Bureksa lebih lanjut.
"Menurut
keterangan kemenakanku
yang bernama Anggraini,
Mayangseruni bertempur dengannya. Dan... ah Baru aku ingat sekarang Anggraini
juga
bercerita kalau ada seseorang
melarikan Mayangseruni, ketika Anggraini
berhasil melukainya"
cetus Bureksa.
"Kira-kira, berada di
pihak mana orang yang telah melarikan Mayangseruni?" tanya Chia Kuo.
Pertanyaan itu wajar saja
diaju-
kannya. Dia maupun saudara
kembarnya memang khawatir jika ada orang lain yang berdiri di pihak lawan.
Malah, kesempatan mereka untuk mencari per-lindungan di bawah ketiak Pangeran
Neraka, menjadi semakin tak bisa diharapkan. Sebaliknya, jika ada orang
lain yang memihak mereka,
tentu dengan begitu akan lebih banyak memiliki kesempatan lolos dari tangan
pihak kerajaan.
"Aku masih belum bisa
memastikan.
Yang jelas, orang itu memiliki
kepandaian sulit diukur. Begitu menurut
Anggraini yang sempat melihat
cara orang itu melarikan Mayangseruni," jawab Bureksa gamang, karena
merasa kehilangan seorang kaki tangan setangguh Ratu Lebah.
Chia Kuo dan Chia Jui tak suka
mendengarnya. Mungkinkah
dengan begitu mereka akan digerayangi rasa was was, karena belum bisa
mengetahui orang itu berada di pihak mana?
"Bagaimana dengan
rencanamu membalas hutang nyawa Begal Ireng?" tanya Chia Jui kemudian.
Pangeran Neraka mengambil
tempat
duduk didepan lelaki gundul
kembar itu. Pembicaraan makin sungguh-sungguh baginya, jika sudah membahas soal
rencana balas dendam terhadap Pendekar Slebor.
"Justru itu yang hendak
kubicarakan pada kalian. Aku punya rencana ce-merlang untuk mengirim pemuda itu
ke neraka Hu hu hu" Bureksa mengekori kalimatnya dengan tawa anehnya.
Kembar Dari Tiongkok langsung
me-
nampakkan wajah penasaran
mendengar penuturan Pangeran Neraka. Mata keduanya pun tampak berbinar-binar
penuh luap. Dengan membantu membalaskan dendam Bureksa, mereka bisa sekaligus
me-metik keuntungan. Selamat dari buruan Pendekar Slebor Dan hal itu memang
yang amat diharapkan.
"Kalian tahu," kata
Pangeran Neraka, seraya mengangsurkan wajah ke dekat Kembar Dari Tiongkok. Cara
bica-ranya penuh tekanan, memancing keingintahuan Kembar Dari Tiongkok.
"Pendekar keparat itu akan mati, tanpa aku mesti turun tangan sedikit
pun"
Chia Jui dan Chia Kuo menatap
sungguh-sungguh mata Bureksa.
Kelopak mata mereka tak berkedip. Jangan
tanya, bagaimana rasa
penasaran mere-ka.
"Bagaimana cara kau
melakukan
itu, Ketua?" ujar Chia
Jui tak sabar menanti penuturan Bureksa selanjutnya.
"Huhuhu"
Bureksa melempar tawa khasnya
ke
segenap ruangan, hingga
memadati pondok kecil itu. Alis matanya yang tebal dan lebat diungkit-ungkit.
"Kalian tunggu saja hari
kematian anak sial itu" bisik Bureksa, mendesis.
* * *
Apa yang sebenarnya dialami
Anggraini setelah terhajar
daun yang dilempar nenek pertapa? Andika tidak tahu jawabannya. Sejauh yang diketahuinya,
Anggraini terpental jauh, lalu jatuh menyeruak gerombolan bunga matahari.
Dan sampai sejauh itu, pemuda
urakan ini tak habis fikir ,
siapa sesungguhnya nenek aneh itu. Sewaktu bertemu untuk yang kedua kalinya di
dekat sungai kecil, perempuan tua itu meninggalkannya begitu saja. Padahal,
Andika mengira akan dilabrak atas lu-ka-luka yang diderita Ratu Lebah. Lalu
pada waktu yang bersamaan ini, si nenek dengan telengas melabrak Anggrai-ni.
Sekaligus, membuat suatu kejutan dengan mengetahui tingkat pamungkas tenaga
sakti Andika.
"Katakan padaku Siapa kau
sebenarnya, Nenek jelek?" maki Andika, usai terbebas dari ketertegunannya.
"Jangan sebut-sebut aku
nenek jelek Kalau tak salah, di antara nenek-nenek, akulah yang paling cantik
Hik hik hik"
"Kau tak lebih dari
tukang sihir kampung Aku tak akan takut menghada-pimu, meski ilmumu jauh lebih
tinggi dariku. Bagiku, mengadu jiwa dengan manusia-manusia zalim adalah
kehormatan"
"Hush Hush Jangan terus
sewot begitu Yang zalim itu siapa, Pemuda Tolol?" dalih si nenek seraya
menga-cung-acungkan jari.
"Kau telah berlaku keji
pada gadis itu" bentak Andika lagi. Jarinya menunjuk ke arah Anggraini
terjerem-bab.
Gadis itu belum tampak muncul
da-
ri gerombolan pohon bunga
matahari yang jangkung. "Kau yakin aku telah berbuat keji pada gadis ayu
tadi?" kelit si nenek tenang.
Andika tak melanjutkan caci
ma-
kinya. Matanya yang mulai
memerah karena marah, menatap si nenek lurus-
lurus.
"Jangan main-main padaku,
Nenek Jelek Apa maksud perkataanmu?" tanya Andika, masih dengan nada
tinggi.
"Dasar anak muda Selalu
saja
terburu nafsu dalam segala
hal. Hik hik hik Coba sana, kau lihat ke tempat gadis ayu tadi jatuh,"
ujar si nenek.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar
Lem-
bah Kutukan itu ragu-ragu
melirik tempat jatuhnya Anggraini.
Ajaib Saat itu, si gadis
berpa-
kaian merah-merah muncul tanpa
luka sedikit pun. Anggraini tampak sedang mengebut-ngebutkan pakaian dari
dedaunan pohon bunga matahari yang menempel.
"Nah, kan.... Kubilang
juga
apa...," seloroh si nenek
penuh keme-nangan. "Sudah, ya Aku akan pergi du-lu Urusanku dengan kalian
sudah
beres. Menurutku, kalian anak
muda
yang jujur...."
Si nenek pun berkelebat dan
hi-
lang.
Sepeninggalannya, Andika
mengga-
ruk-garuk kepala. Ingin
rasanya dia menganggap semua kejadian dengan si nenek hanya mimpi. Semuanya
begitu
membingungkan"
"Jadi hanya begitu
saja?" gumam Andika, seperti orang bodoh.
"Aku punya urusan yang
belum ter-selesaikan denganmu, Andika" sentak Anggraini, mengejutkan
pemuda itu.
Gadis berambut panjang itu
sudah
berdiri empat tombak di
depannya. Si-kapnya begitu kaku, sarat ancaman.
"Ada apa lagi ini?"
tanya Andika, melihat sikap tak bersahabat Anggraini.
"Aku ingin menuntut
hutang nya-wa"
Pandangan Andika terjatuh.
"Sudah kuduga, akhirnya
kau akan tahu juga...," desah Pendekar Slebor.
"Kuakui, memang aku telah
......membunuh Begal Ireng,
ayahmu.
Tapi...."
"Aku tak butuh
alasanmu" penggal Anggraini dengan wajah merah penuh kemarahan.
"Kau harus dengar aku
dulu,
Anggraini"
Andika berusaha menjelaskan
pada
Anggraini kembali Sia-sia.
Gadis itu tampaknya sudah sampai pada ambang batas kemurkaan. Sebuah gejolak
dendam membunuh siap tertumpah.
"Aku paham, bagaimana
rasanya tak memiliki orangtua," bujuk pemuda itu tak menyerah begitu saja.
"Aku tak peduli"
Anggraini langsung memasang
jurus
pembuka. "Anggraini,
tunggu" cegah Andika. Tapi....
"Hiaaat"
Sudah tak ada kesempatan lagi
ba-
gi Pendekar Slebor menjelaskan
duduk perkara sebenarnya. Dan ketika satu tusukan jari Anggraini lurus-lurus
mengancam keningnya, Andika
dengan sigap menahannya dengan himpitan telapak tangan.
Tap
Tepat di depan wajah Pendekar
Slebor, gerakan jemari halus
namun berkekuatan milik Anggraini tertahan karena himpitan telapak tangan
Andika.
Gadis dari Tanah Buangan ini
su-
dah gelap mata Serangan
susulan memba-bi buta pun segera dilancarkan. Sebelah tangannya yang bebas,
menerabas dari samping kiri, menuju pelipis Pendekar Slebor.
Wuk
Suara santer yang tercipta
menya-
darkan Pendek Slebor, kalau
pelipisnya terancam sebentuk tenaga dalam yang bukan hanya meremukkan,
melainkan mampu membuat keningnya hancur lebur
Pendekar Slebor sadar. Dia
harus
memapaki tebasan tangan
Anggraini jika tak ingin pelipisnya jadi sasaran em-puk. Untuk melakukannya,
yang dibutuh- kan ialah tangan. Tapi, kedua tangannya masih menghimpit satu
tangan lain Anggraini. Kalau sedikit saja himpitan telapak tangan dikendurkan,
maka jari Anggraini akan langsung menusuk kening
Kedudukan sulit itu dengan
cerdik
dipecahkan Pendekar Slebor.
Seluruh kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan segera disalurkannya ke
sepasang telapak tangannya. Kekuatan sakti itu dalam sekejap menekan tenaga
dalam yang berada dalam tangan Anggraini
yang telah dihimpit. Maka tak
ada sekerdipan mata, sebelah tangan Anggraini langsung bisa dikuasai Andika.
Lalu dengan amat cepat, tangan Anggraini digiring untuk ditusukkan dengan
sebelah tangan gadis itu yang lain.
Aaagh
Selamatlah pelipis Andika dari
tebasan tangan gadis kalap
ini. Yang menjadi sasarannya malah tangan
Anggraini yang sebelah lagi.
Ketika bertumbukan, Anggraini merasakan tulang-tulang tangannya seperti dilo-
loskan dari daging.
Bagai singa betina terluka,
Anggraini tak peduli akan rasa
menyiksa di bagian tangannya. Sesaat setelah sepasang telapak tangan Pendekar
Slebor melepaskan himpitan, dikirimkannya tendangan cepat bertubi-tubi ke
beberapa bagian tubuh Pendekar Slebor. "Hiaaa"
Deb
Satu tendangan pertama
dilepaskan
dengan mantap. Sasarannya
tulang rusuk kiri Pendekar Slebor.
Masih dengan mudah, Andika
memen-
tahkan serangan Anggraini.
Gerakannya yang kesohor amat cepat, mementahkan tendangan gadis itu dengan satu
keli-tan manis.
Deb
Anggraini memburu. Tendangan
be-
rikutnya mendarat lurus kedada
bidang Andika.
Untuk tendangan kali ini,
Pende-
kar Slebor tak hanya mengelak.
Satu siasat tempur diterapkannya. Tangan Anggraini yang terangkat tinggi segera
disambut angsuran tangan kebawah kaki.
Berbarengan dengan itu Andika
menyalurkan sebagian kekuatan warisan
buyutnya yang sanggup menahan
serudukan banteng jantari sekali pun. Dan jari tangannya pun menjepit bagian
bawah kaki Anggraini.
Tap
"Aaaw" pekik
Anggraini saat itu juga.
Jepitan jari Andika, tanpa
senga-
ja rupanya mengenai bagian
bawah pa-hanya. Tak terlalu sakit. Hanya karena daerah itu cukup peka,
Anggraini seketika jadi menjerit kaget.
Sementara Andika sudah
mengunci gerak Anggraini dengan menekan kaki bagian atas dengan tangannya yang
lain. Kuncian yang demikian
kuat bagai himpitan batu karang, membuat Anggraini tidak bisa bergerak.
Walaupun tangannya masih bebas, tetap tidak bisa menjangkau Andika.
"Kurang ajar kau"
maki gadis itu.
Andika tersenyum serba salah.
"Aaa..., aku tak
sengaja" kilah pemuda itu, gagap.
"Lepaskan aku Kita
bertarung
mengadu jiwa"
"Jangan bernafsu begitu,
Anggraini Tak baik menyelesaikan persoalan dengan kepala mendidih," ujar
Andika, menasihati.
"Aku tak perlu
menyelesaikan persoalan hanya dengan bicara. Persoalan ini akan tuntas kalau
kau sudah masuk liang kubur" tandas Anggraini berge-jolak.
"Tenanglah dulu...,"
ucap Andika, kehabisan kata menghadapi amukan dendam gadis ini.
"Lepaskan aku
pengecut" hardik Anggraini.
Karena tak ingin dianggap
kurang
ajar, Andika akhirnya
melepaskan juga kuncian itu. Kalau lebih lama, akan menjadi kian risih.
Selagi melepas kuncian,
pendekar
muda kesohor itu melenting
ringan ke- belakang, untuk mengambil jarak. Ia berniat membujuk Anggraini
sekali la-gi.
"Anggraini, sabar....
Mestinya kau berpikir, kenapa aku tidak membunuhmu selagi aku tahu, kau akan
menuntut balas terhadap kematian ayahmu,"
jelas Andika dengan tangan
terangkat ke depan, mencoba menyabarkan Anggraini.
Sembilan tombak dari
tempatnya,
Anggraini mulai maju selangkah
demi selangkah. Matanya menusuk lurus, amat mengancam. Sementara tangannya
bergerak-gerak memainkan kembangan jurus yang pernah diajarkan ibunya.
"Aku pernah berpikir
seperti
itu," geram Anggraini.
"Lalu?" tanya Andika
tersurut-surut, seperti tikus selokan tertangkap basah oleh kucing betina.
"Aku tak peduli pada hal itu
la-gi"
"Itu artinya kau tak mau
mendengar suara hatimu, Anggraini. Sadar-
lah.... Apakah kau tak tahu,
suara ha-ti kerap kali membawa kebenaran?"
"Kukatakan sekali lagi,
aku tak peduli"
"O, Tuhan...," keluh
Andika.
Kepala Pendekar Slebor
menengadah
ke angkasa.
"Apa dunia-Mu ini sudah
terbalik?
Mengapa orang yang ingin
menegakkan kebenaran seperti diri hamba harus di-tuding bagai orang
hukuman?" bisik Pendekar Slebor, seperti menggugat.
Sang Maha Tunggal pasti
mendengar
keluh Andika.
Tapi apa Anggraini sudi
menden-
garkan juga? Tidak gadis itu
menerkam Pendekar Slebor manakala jarak mereka tinggal empat tombak lagi.
"Hiaaah"
Sepuluh jari indah gadis itu
se-
ketika menegang,
memperlihatkan kesan kebengisan. Setelah bersalto, tubuhnya meluruk di udara
dengan sepasang tangan mencabik udara.
Srah Srah Srah
Tiba di dekat Andika, cabikan
tangan Anggraini yang hanya
dimaksudkan untuk mengumpulkan tenaga ketelapak tangan, mengembang lebar dan
men-gepak indah bagai sepasang sayap kupu-kupu. Angin besar tercipta dari
kepa-kannya, pertanda kekuatan yang tersim-pan pada serangan tak bisa dianggap
main-main. Kupu-kupu Merah, Ibunya, memang telah mewariskan ilmu 'Kepakan Sang
Kupu-kupu' yang dahsyat kepada anak tunggalnya
Tindakan Anggraini tersebut me-
maksa Andika mengeluarkan pula
satu jurus yang cukup diandalkan. 'Guntur Selaksa'
"Heaaa"
Deb Deb Deb * * *
Wajar saja kalau Andika
terheran-
heran terhadap si nenek
pertapa, guru Ratu Lebah yang sebenarnya bernama
Nyai Silili-lilu. Satu nama
aneh yang entah didapat dari mana. Dia adalah seorang pertapa berusia amat
uzur.
Bahkan untuk ukuran seorang
nenek sekalipun. Dia telah hidup lebih dari tiga keturunan. Dunia persilatan
sudah menganggapnya sebagai siluman perempuan, karena tabiatnya sulit dipahami
dengan kesaktian yang demikian tinggi.
Nyai Silili-lilu kini kembali
ke-
tempat persembunyiannya.
Seperti biasa, dia masuk ke dalam satu wilayah pemakaman tua. Melalui pintu
rahasia pada pohon besar di tengah kuburan, perempuan tua itu masuk ke ruang
bawah tanah. Dan akhirnya si nenek pertapa tiba di ruangan, tempat tubuh
Mayangseruni atau Ratu Lebah terbaring.
Kini si nenek menghampiri satu
sudut ruangan, tempat
penyimpanan segala perabotannya. Beberapa saat, diaduk-aduknya barang-barang
yang sudah bagai tumpukan loak itu. Seisi ruangan jadi bising tak karuan.
Kalau saja ada orang yang
meli-
hat, tentu orang itu akan
bingung. Sebenarnya, si nenek sedang mencari sesuatu atau sedang uring-uringan?
Gedumbrang... gedumbreng Prak
Cit, cit, cit
Seekor tikus kurus lari
terbirit-
birit, ketika tangan luput si
nenek menggapai satu baki rombeng dari tuang laut.
"Selalu saja kau susah
ditemukan kalau sedang dibutuhkan Dasar baki kentut" maki perempuan tua
ini, sebal.
Tertatih-tatih, Nyai
Silili-lilu
membawa baki yang disebutnya
sebagai Baki Penerawang itu ke sebuah meja, setelah sebelumnya diisi air dari
gen-tong di satu sudut. Tak cuma baki yang menempati meja. Tubuh kurusnya pun
ambil bagian di atas meja batu.
Kini Nyai Silili-lilu bersila
te-
pat di depan baki. Baki dan
pemiliknya sudah mirip penghias meja. Mata Nyai Silili-lilu terpejam. Tangannya
menyentuh sisi kening.
"Nyam..., nyammm....
Khoekchuih"
perempuan tua itu memulai
mantera-manteranya.
Dal del dol perkedel nonjol...
Pak tani ketiban papan....
Matinya jam delapan....
Kuburnya tahun depan.... Ngik
Nyam... nyam" Dari balik
rompi kulit pohonnya, perlahan-lahan tangan Nyai Silili-lilu mengeluarkan
selembar kecil sobekan kain berwarna hijau muda dari sobekan baju Andika.
Sengaja sobekan kain itu disembunyikan, sewaktu Andika sedang mandi di sungai
kecil beberapa waktu yang lalu,
Dengan lemah gemulai, sobekan
kain bau apek itu dilemparkan
ke dalam baki berisi air hingga menjadi basah.
Beberapa saat mengapung, lalu
tengge-lam ke dasar baki.
Kelopak mata Nyai Silili-lilu
pun
menyusul membuka. Cukup lama
matanya melirik-lirik ke seluruh bagian baki.
Alisnya yang putih
sampai-sampai melengkung hebat. Sesuatu yang diha-
rapkannya belum juga muncul.
Perempuan tua ini mulai mangkel. Bibirnya maju mundur tak teratur, lebih jelek
daripada mulut mujair.
"Baki slomprettt Jangan
coba-
coba mogok kerja, ya?"
maki Nyai Silili-lilu dengan segenap semburan
liur.
Setelah dimaki, terjadi
perubahan
pada baki. Dan wajah keriput
si nenek pun ikut berubah. Cerah ceria, gemah ripah dan sebagainya....
"Mmm emmm emmm...,"
gumam Nyai Silili-lilu sambil mengangguk-angguk kepala berirama. "Ya ya
ya. Sudah kuduga sebelumnya. Anak muda itu memang masih ada hubungan denganku.
Dia itu cucunya si Sapta Cakra buduk, adikku yang ileran sewaktu masih kecil.
Iik hik hik Her... iler...."
Inilah satu tabir rahasia yang
sampai saat ini belum terbuka
untuk Pendekar Slebor. Sesungguhnya, Nyai Silili-lilu kakak perempuan dari Ki
Saptacakra, buyut Andika sendiri. Seperti juga Ki Saptacakra yang lebih dikenal
sebagai Pendekar Lembah Kutukan, Nyai Silili-lilu juga sudah menjadi cerita
rakyat. Jika nama Pendekar Lembah Kutukan besar karena ksatriaan-nya, maka Nyai
Silili-lilu besar karena sifatnya yang ganjil. Namun begitu, tetap ada satu
kejelasan kalau perempuan tua itu tak akan pernah sudi memihak pada golongan
sesat. Meski, tak juga memerangi kalau benar-benar tak terpaksa. Dengan begitu,
orang sering juga menyebutnya si Nenek pertapa ren-dah hati. Karena, dianggap tak
mau me-mamerkan kesaktiannya.
Nyai Silili-lilu kini menepuk-
nepuk dengkul sebentar. Lalu
mulai
bergumam lagi. Suara
gumamannya terdengar seperti orang berkumur.
"E e e Rupanya dia juga
pernah makan buah 'inti petir' Wih Rakus juga anak muda itu, ya? Dan... lho?
kok gambarnya hilang?"
sentak Nyai Silili-lilu. Matanya terbelalak, mulai mau mengamuk lagi dia.
Sebelum semburan mulutnya terjadi, bayangan di baki muncul lagi.
"Lho? Anak muda ini
sedang bertempur dengan kawan wanitanya. Kok, bisa begitu ya? Wah Mesti
cepat-cepat kulerai. Kalau tidak, bisa ada yang celaka....'
Nyai Silili-lilu bergegas
bangkit
dari meja batunya
Gedumprang
Nyai Silili-lilu tiba di
tempat
pertempuran, saat sepasang
anak muda itu sedang terlibat pertukaran jurus hebat. Debu menyelimuti arena
pertempuran, Kehebatan tenaga dalam yang dimiliki masing-masing menciptakan
gu-lungan debu tinggi serta pusaran angin yang menghempas batuan ke mana-mana
saat terjadi benturan. Sebagian padang tanaman bunga matahari pur sudah tak jelas
lagi bentuknya.
"Boleh juga ilmu
mereka," puji Nyai Silili-lilu. Nenek itu berdiri cukup jauh. Jarak yang
cukup untuk bi-sa menikmati pertempuran.
"Iya, ya. Kalau
cepat-cepat kulerai, aku bisa kehilangan tontonan se-ru," gumam Nyai
Silili-lilu. "Lebih asyik kalau. kunikmati dulu dua muda-mudi itu baku
hantam. Setelah mereka mulai tak terkendali, baru kulerai.
Hik hik hik Gagasan yang
bagus"
Maka, Nyai Silili-lilu yang
semu-
la hendak melerai Andika dan
Anggraini, sekarang malah duduk santai meng-guncang-uncang kaki dibawah
serumpun bambu kuning. Tingkahnya yang sudah berlipat seperti gombal, mencoba
bersiul. Yang dihasilkan malah suara
sember seperti kaleng rombeng
ditiup angin
"Hiaaa"
Des Deb Deb
Biar bagaimanapun, Pendekar
Sle-
bor tetap berada atas angin.
Sekian puluh jurus tangguh dikerahkan
Anggraini, tetap tidak bisa
menjatuh-kannya. Bahkan untuk sekadar membuat terdesak sekalipun.
Jurus-jurus ciptaan Andika di
Lembah Kutukan memang bukanlah
tandingan gadis yang masih hijau di dunia persilatan ini. Kalaupun Anggraini
telah mengeluarkan beberapa tingkat ilmu Kekuatan Kembarnya, tetap tak menjamin
bisa mengungguli Andika.
Setiap kali telapak tangan
Anggraini melepas pukulan
'Kekuatan Kembar', Pendekar Slebor meredamnya dengan selubung kekuatan sakti
warisan Ki Saptacakra yang sanggup menahan
gempuran petir
Sampai satu ketika....
Tap
Kecepatan tangan Andika yang
ser-
ing membuat Warga persilatan
kagum, mencekal pergelangan tangan gadis itu.
Sekali terkena, tangan
Pendekar Slebor langsung lekat bagai bertemunya dua besi sembrani.
Dalam serangkai gerakan yang
su-
lit diikuti mat awam, Andika
langsung memutar tubuh Anggraini hingga membe-lakanginya. Pada jarak
berhimpitan itu, sebelah
tangan Andika lain dengan tangkas meraih pinggang gadis itu dari belakang.
Tap
Pendekar Slebor pun langsung
men-
gunci tubuh Anggraini dalam
pelukannya.
Gadis itu berusaha meronta
sepe-
nuh tenaga. Tapi tetap tak
berhasil melepaskan diri. Tentu saja, tenaga Pendekar Slebor jauh lebih unggul da-rinya.
"Lepaskan aku, Pengecut
Apa kau hanya bisa berbuat seperti ini?" maki Anggraini dalam rontaannya
yang sia-sia.
"Kalau kau terus meronta,
aku
akan terus mendekapmu,"
kata Andika, tepat di belakang telinga Anggraini.
Kata-katanya diucapkan tanpa
amarah dan berkesan dalam.
Ternyata tak sekadar telinga
Anggraini yang menangkap
kalimat Andika barusan. Hati wanitanya pun me-nangkapnya. Ada getaran yang
tercipta di dada gadis ini. Gemuruh yang sejuk.
Maka perlahan-lahan tenaga
rontaannya memupus, lalu hilang sama sekali.
Anggraini tergugu dalam
dekapan tangan kekar pemuda yang menitipkan cinta
pertama baginya.
Di antara tarikan napas
Anggraini
yang masih terhela, Andika
mendekatkan mulutnya. "Kau bisa memusuhiku. Bahkan kau bisa membunuhku.
Tapi asal kau tahu, aku tak akan mungkin membunuh dan memusuhimu...,"
bisik Andika.
Anggraini bisa menikmati
selent-
ing rasa damai dalam kalimat
Andika.
Dan itu membuatnya seperti
makin ter-tawan dalam sangkar cinta yang mendadak menyembul, manakala tak berdaya
di dada bidang sang jejaka.
"Kau tahu sebabnya?
Karena kau tak pantas mendapatkan sikap permusu-hanku. Kau gadis yang berhati
pualam.
Rasa sayangmu terhadap orang
tua, mem-buktikannya. Jadi, kau tak bisa memak-saku memusuhimu," desah
Andika, seraya mengendurkan cekalannya pada tangan Anggraini.
Dengan hati-hati pula, Andika
me-
lepas pelukan sebelah
tangannya pada pinggang Anggraini. Kakinya lantas
mundur beberapa langkah,
membiarkan Anggraini terpaku merenungi kata-kata tadi.
Tak lama kemudian, bahu gadis
itu
tampak berguncang-guncang
kecil. Kepalanya merunduk. Sementara, sebelah
tangannya menutup bibir.
"Anggraini" panggil
Andika, ketika gadis menawan berlari membawa isak tertahannya.
Plok Plok Plok...
"Weleh..weleh..weleh
Sebuah ade-gan yang mengharukan," ceracau Nyai Silili-lilu sepeninggalan
Anggraini.
Dihampirinya
Andika. Sementara
pemuda itu masih terpaku
menatap hilangnya Anggraini di kejauhan.
"Heh, sudah jangan sedih
Nanti
Uwak belikan gasing dari kulit
jengkol...," tegur Nyai Silili-lilu, sambil menepuk pundak Andika.
Mendengar seloroh si nenek,
Andi-
ka menoleh Meski dengan
kalimat menggoda, Andika tahu ucapan Nyai Silili-lilu ditujukan untuk menghibur
kega-lauan hatinya terhadap sikap Anggraini.
"Kau lagi, Nek. Ada perlu
apa la-gi?" tanya Andika. Tak seperti sebelumnya, kali ini pendekar muda
itu
bersikap lebih ramah.
"Aku butuh
pertolonganmu," kata Nyai Silili-lilu singkat. Lalu tanpa banyak mulut,
tangan Andika langsung ditariknya.
"Mau ke mana kita,
Nek?"
"Nanti juga kau
tahu"
"Asal jangan dibawa ke
neraka sa-ja...."
"Kalau banyak tanya, kau
bakal sampai ke neraka
Andika meringis ngeri. * * * 6
Pendekar Slebor begitu terbawa
pesona, menatapi sosok yang
terbaring di depannya. Berkelopak mata lembut, diperindah sebaris bulu lentik
nan legam. Matanya terkatup. Di bawah sepasang mata berbulu lentik, mencuat
hidung tipis dan bangir. Sisi-sisi pang-kalnya mempertegas cekung kelopak
ma-ta, mempersarat kesan menggoda. Di bawah cuping hidung yang melancip, ada
terbentang bibir merah menggemaskan.
Bagian atasnya tipis, sedang
bagian bawahnya merekah. Dalam keadaan setengah terbuka, bibir itu seperti
mengundang birahi setiap pria. Semuanya ada dalam sebentuk wajah bulat telur,
di-permanis kulit kuning langsat bercahaya.
Sosok itu diam dalam kedamaian
yang dimilikinya. Dalam
kedamaian, dia seperti terbebas dari sebuah belenggu.
"Dhuarrr..."
Andika kontan tersentak dari
ke-
terpesonaannya terhadap wajah
Mayangseruni yang masih tak sadarkan diri.
Sementara itu, Nyai Silili-lilu
berada di belakangnya. Tampak
cengar-cengir, memergoki Andika yang tadi
tengah menikmati mana karya
Tuhan yang terbentang diam di meja batu.
"Suaramu masih lumayan
keras untuk membuat copot jantungku, Nek," se- loroh Andika, berusaha
berkelit dari tatapan mata Nyai Silili-lilu yang menggoda.
"Tertangkap basah?"
cecar Nyai Silili-lilu.
"Iya, Nek. He he
he," sahut Andika, mati kutu.
"Apa kubilang. Kau akan
terpesona setelah memperhatikan muridku...," tukas nenek pertapa itu
seraya membenahi perabotannya yang lupa dibereskan.
"Aku tak mengira wanita
yang kejam bisa memancarkan kedamaian dalam ketidak sadarannya," kata
Andika agak bergumam.
"Slompret kau Dia
bukannya gadis jahat Jangan coba-coba lagi kau sebut dia begitu" hardik
Nyai Silili-lilu gemas.
"Tapi..."
"Ya..., ya Kau akan
mengatakan tentang tindak-tanduknya di lembah
Pintu Sorga dan Neraka Dunia,
bukan?"
serobot Nyai Silili-lilu
sambil terus sibuk meletakkan barang-barangnya ke-tempat semula.
"Sebenarnya, itu bukan sifat asli Mayangseruni, Anak Muda.
Dia berubah sifat, karena
terkena racun 'Perusak Saraf milik Bureksa"
"Bureksa?" tanya
Andika. Jangan-kan nama Bureksa, julukan lelaki itu pun Andika belum tahu.
"Itu, lho.... Pangeran
Neraka,"
tambah Nyai Silili-lilu,
menegaskan. "Pangeran Neraka?"
Mata perempuan tua itu
memelototi
Andika.
"Kau ini bagaimana?
Malang melin-tang di dunia persilatan, tapi belum tahu kalau musuh yang telah
kau tumpas punya seorang kakak lelaki. Maksudku, si Bureksa itu adalah kakaknya
Begal Ireng, Tolol" dengus Nyai Silili-lilu.
Andika tak memberi tanggapan
apa-
apa. Pemuda itu diam dengan
kelopak mata menyipit. Ada sesuatu yang dipi-kirkannya, setelah mendengar
penjelasan Nyai Silili-lilu.
"Pantas saja Anggraini
cepat tahu kalau aku adalah pembunuh ayahnya,"
gumam pemuda berambut gondrong
ini.
"Pasti, lelaki itu yang
telah memberi-tahu. Dia pula tentu yang menghasut-hasut Anggraini, dengan
memutar-
balikkan kenyataan
sebenarnya.... Licik"
"Betul" sambut
perempuan tua ini seraya menuding telunjuk di depan wajah Andika. "Lelaki
slompret itu memang licik Cepat atau lambat, kau
pasti akan menghadapinya juga.
Untuk itu, aku peringati. Hati-hati terhadap Bureksa Dia selicik serigala dan
selicin belut"
Kepala Andika
mengangguk-angguk.
"Bagus Sekarang kau harus
membantuku menolong anak gadisku yang ma- lang ini," ujar Nyai
Silili-lilu.
Segera perempuan tua itu
mendeka-
ti meja batu tempat
Mayangseruni ter-geletak.
"Oh, iya Ada satu hal
lagi, sebelum kita berusaha menolong anak gadisku. Kau harus memanggilku
'Uwak'"
sambung si nenek, sama sekali
membuat Andika tak mengerti.
"Kenapa aku harus
memanggilmu
'Uwak'?" tanya Andika.
"Karena kau adalah cicit
kemenakanku..."
"Maksudmu bagaimana,
Nek?"
"Uwak"
"Eh, iya Maksudmu
bagaimana..., Uwak?"
"Aaah, slompret kau Sudah
kubilang jangan banyak tanya Telingaku sudah terlalu tua untuk menerima
per-tanyaanmu yang tak habis-habisnya"
Andika hanya bisa
menggaruk-garuk
kepala, meski tak gatal.
Untuk menyembuhkan
Mayangseruni,
memang dibutuhkan bantuan
seseorang yang sudah pernah memakan buah 'inti petir'. Salah seorang yang
beruntung memakan buah langka itu adalah Andika.
Ki Saptacakra telah memberi
buah itu, ketika Andika menyelesaikan penyempur-naannya di Lembah Kutukan (Baca
episode : "Dendam dan Asmara").
Sudah menjadi semacam cerita
di
dunia persilatan, bahwa bila
seseorang memakan buah mukjizat itu, maka akan sanggup menyerap tenaga petir ke
dalam seluruh serat tubuhnya. Bahkan sekaligus dapat memanfaatkan tenaga petir
itu menjadi sebentuk pukulan maha dahsyat berkekuatan geledek raksasa
Kejadian sebenarnya,
nyata-nyata
bukan sekadar cerita. Andika
kerap
kali mengalami hal ini,
setelah memakan buah 'inti petir'. Dalam saat-saat genting menghadapi musuh
yang terlampau tangguh, Pendekar Slebor bisa me-lancarkan pukulan maut sekuat
petir setelah terlebih dahulu menyerapnya dari angkasa. Sayangnya, kehebatan
itu tak selalu bisa diwujudkan, selama tak ada arakan awan hitam pekat. Dan
Andika lebih suka menganggapnya sebagai suatu bukti kekuasaan Tuhan. Tanpa
kehendak dan kodrat-Nya, segala hal yang mungkin terjadi tidak mungkin.
Sebaliknya, hal yang terkadang mustahil, mendadak bisa terjadi.
Saat ini, kemukjizatan buah
'inti
petir' yang sudah menyatu
dengan darah dan daging Andika, hendak dicoba di-manfaatkan oleh Nyai
Silili-lilu demi kesembuhan murid tunggalnya.
Sewaktu ditanya caranya,
jawaban
Nyai Silili-lilu mengejutkan
Andika.
Katanya, untuk bisa memulihkan
simpul-simpul saraf dalam jaringan otak
Mayangseruni yang terganggu, Pendekar
Slebor harus mencoba menyerap sambaran petir.
Andika berpikir, itu pun gila.
Kalau sebelumnya tubuhnya
menyerap kekuatan petir, itu semata-mata di luar kehendaknya. Petir tiba-tiba
menyam-bar. Dan dia merasakan penderitaan
luar biasa bagai disayat-sayat
sejuta kuku hewan buas.
Maka jika sekarang harus
menanti
disambar petir di atas sebuah
bukit gundul, itu sama artinya menyiksa di-ri. Padahal setiap kali mengalami
pe-nyerapan kekuatan petir, Andika selalu berharap hal itu tak akan terjadi
lagi padanya, untuk seumur hidupnya
"Kalau begitu, kau
bukanlah ksatria sejati" rutuk Nyai Silili-lilu menerima penolakan Andika.
"Ini sama saja bunuh
diri" kilah Andika.
Bukannya Pendekar Slebor
gentar,
tapi hanya agak ragu. Apakah
pada saat dia sengaja membiarkan dirinya disambar petir, nyawanya tetap utuh di
badan? Itu berarti dirinya telah melakukan kebodohan andai benar-benar tewas.
Lagi pula, sengaja menentang
kekuatan alam, seperti hendak menjajal-jajal kekuasaan Tuhan. Dan dia tak mau
jadi manusia durhaka
"Kau tak perlu
menganggapnya bunuh diri, Tolol Kau harus menganggapnya usaha menolong
sesama" kilah Nyai Silili-lilu, tak mau kalah bersikeras. "Aku tak
mau menentang kekuasaan Tuhan dengan sengaja"
"Anak bandel Apa kau
pikir Tuhan tak tahu hatimu? Dia itu mengetahui apa-apa yang dilahirkan atau
disembunyikan hati manusia. Kalau niatmu ik-hlas untuk menolong orang lain,
tentu tindakanmu tergolong tugas suci"
Andika diam dengan wajah
terli-
pat. Pemuda itu duduk
melengkung di bangku batu milik si nenek pertapa.
Kedua tangannya menopang dagu.
Melihat Andika duduk bertopang
dagu seperti itu, lama
kelamaan Nyai Silili-lilu menjadi sebal.
"Huh Tak kukira aku akan
punya cicit kemenakan sepengecut kau"
Andika terusik. Telah dua kali
telinganya mendengar si nenek
menyebut dirinya 'cicit kemenakan'. Benar-benar mengundang keingintahuannya.
"Siapa kau ini
sebenarnya, Uwak?
Sudah dua kali kau menyebutku
cicit kemenakan...?" tanya Andika penasaran.
"Janji dulu padaku, kau
harus menolong Mayangseruni. Setelah itu, baru kau kuceritakan siapa aku
sebenarnya"
elak si nenek, menuntut satu
perjanjian tak tertulis.
"Baik..., baiklah"
putus Andika akhirnya. "Tapi bukan karena aku ingin tahu siapa kau
sebenarnya. Aku merenungi kata-katamu barusan. Sepertinya, ucapanmu ada
benarnya, Uwak," tutur Andika jujur.
"Hik hik hik Itu baru
cicit kemenakanku"
"Sekarang
ceritakanlah?" pinta Andika.
Nyai Silili-lilu pun memulai
ce-
ritanya.
***
Dua hari berlalu sudah.
Kuburan
tua tempat tinggal Nyai
Silili-lilu tampak lengang. Kabut pagi bergen-tayangan lamban. Hujan yang sejak
se-malam mengguyuri hebat, pagi itu tinggal tersisa rintik-rintik gerimis
sa-ja.
Dalam rinai gerimis halus, dua
sosok tubuh berjalan
beriringan. Salah seorang berbadan gagah dan tegap, mem-bopong tubuh sintal
seorang wanita. Di sisinya, tertatih-tatih melangkah nenek tua bungkuk
berpakaian ganjil.
Keduanya adalah Andika dan
Nyai
Silili-lilu. Sedangkan wanita
yang di-bopong Pendekar Slebor tentu saja
Mayangseruni.
Semalam, ketika hujan badai
me-
rangsek bumi keduanya membawa
segera Mayangseruni kebukit terdekat. Sebuah bukit yang gundul kerontang, tanpa
ada sebatang pohon menjulang. Tempat itulah yang amat tepat bagi orang yang
hendak menyudahi hidup, dalam hujan menggila. Petir setiap saat akan mencari
perantara ke bumi. Jika tidak ada sebatang pohon pun, maka setiap benda yang
sudi berdiri tegak di sana akan menjadi sasarannya. Termasuk, manusia.
Dan tempat itu pula, sangat
tepat
untuk melaksanakan rencana
pengobatan Mayangseruni menurut Nyai Silili-lilu.
Andika pun berpikir begitu,
setelah niatnya benar-benar bulat untuk menolong si gadis malang.
Maka, malam itu juga mereka
be-
rangkat. Tebing-tebing terjal
yang me-magari bukit tak menjadi halangan bagi kedua tokoh sakti berbeda usia
itu.
Tak juga badai yang mengamuk,
tak juga jurang-jurang yang siap menelan tubuh mereka.
Begitu tiba di ubun-ubun
bukit,
Nyai Silili-lilu bergegas
menjauhi Andika yang tegak menentang angkasa,
serta tubuh Mayangseruni yang
rebah di dekatnya. Meski dalam hal kesaktian, si nenek berada beberapa tingkat
ilmu atas Andika, namun tak akan sudi han-gus diterjang lidah petir. Hanya
orang-orang yang beruntung
memakan
buah 'inti petir' saja yang
bisa me-naklukkan gejala alam dahsyat itu.
Belum lagi tubuh bungkuk Nyai
Si-
lili-lilu mencapai jarak yang
cukup jauh, sejulur lidah petir menyalak, membelah langit.
Glar Tubuh Andika yang menjadi
ujung
puncak bukit, tak ayal lagi
disambarnya. Pada kejap yang berselang begitu tipis, tubuh si jejaka bergetar
dan tersentak-sentak.
Yang terjadi selanjutnya,
siksaan
tak terhingga dialami Andika.
Penderi-taannya lebih hebat, dibanding tubuhnya ditarik seratus ekor kuda liar.
Atau lebih menyakitkan dari
sayatan sejuta sembilu.
Tak ada satu benteng diri yang
sanggup menahan penderitaan
itu. Tak juga milik pemuda berhati baja Pendekar Slebor. Alam memang terkadang
bisa ditaklukkan. Tapi, manusia tetap tak kuasa mengaturnya. Maka, mulut Andika
pun melempar teriakan melengking bagai hendak menyaingi salakan guntur merobek
angkasa
Tangan Andika mengejang serta
membentang tinggi-tinggi ke
atas. Kepalanya menengadah, seakan hendak merobek lehernya sendiri. Seluruh
otot-otot di tubuhnya meregang, dialiri te-gangan petir alam raksasa.
Kekokohan poros hati pemuda
ini
memang patut dikagumi. Meski
dalam
penderitaan yang bisa melempar
kesadarannya, Andika ternyata mampu mempertahankan tekad untuk menolong
Mayangseruni. Dia bertahan untuk tidak jatuh pingsan. Dan kesadarannya
meronta-ronta, untuk segera melakukan tindakan terhadap gadis di dekat
tempatnya berdiri.
Perjuangan antara hidup dan
mati
dimulai. Andika berusaha
menahan te-gangan lidah-lidah petir raksasa dalam tubuhnya, agar tak langsung
terserap bumi. Sesuai nasihat Nyai Silili-lilu, Andika harus menyalurkan
sebagian tenaga petir ketubuh Mayangseruni melalui keningnya.
Dalam cucuran hujan dan
terpaan
badai, dalam gelombang siksaan
yang tak kunjung henti, dan dalam getaran tubuh, Andika perlahan-lahan
menurun-kan dua jari telunjuknya ke pelipis gadis itu.
Begitu kedua jari telunjuk
Pende-
kar Slebor menyentuh pelipis
Mayangseruni, gelombang hebat tenaga petir
raksasa dalam tubuhnya
mengalir liar menuju tubuh gadis ini.
Srrrt
Tubuh basah kuyup Mayangseruni
tersentak-sentak seperti
dialami Andika sebelumnya. Dada montoknya terangkat-angkat cepat, bagai
dirasuki mak-hluk halus buas.
Pada kala itulah Pendekar
Slebor
harus segera memenggal aliran
lidah petir raksasa yang menjadikan tubuh gadis itu sebagai perantara ke bumi.
Jika tidak, Mayangseruni
bukannya bisa disembuhkan. Malah, justru nyawanya akan melayang Namun, tindakan
itu bukanlah hal
yang mudah buat Andika. Tubuh
halus gelombang lidah petir raksasa yang sudah mendapat perantara menuju bumi,
akan sulit diputuskan manakala telan-jur menemukan jalan. Untuk itu, Andika
harus mengempos seluruh kekuatan dalam setiap jengkal dirinya.
"Heeeaaakh" teriak
Andika serak mengerikan.
Di akhir teriakan, jari Andika
dapat diangkat dari pelipis
Mayangseruni. Berbarengan dengan itu, tubuh Pendekar Slebor terlempar jauh ke
belakang terhempas tenaganya sendiri.
Pemuda berhati baja itu baru
bisa
bangkit, setelah hujan mereda.
Itu pun telah dibantu Nyai Silili-lilu dengan menyalurkan hawa murni ke dalam
tubuhnya.
"Kira-kira, kapan dia
akan si-
uman, Uwak?" tanya Andika
ketika mereka tiba di pintu masuk yang terdapat di tubuh pohon besar.
Pakaiannya tampak koyak-moyak, seperti dicabik-cabik sekawanan serigala.
Wajahnya yang basah masih tampak pucat, setelah mengalami perjuangan antara
hidup dan mati di atas bukit.
"Kenapa kau bertanya
begitu, Bocah Slompret?" Nyai Silili-lilu malah balik bertanya. Bibirnya
tersungging kecil, penuh arti. "Apa kau sudah tak sabar ingin mengenal
lebih dekat gadis yang telah kau tolong? Kau punya pa-mrih sewaktu berniat menolong,
ya?"
Andika tentu saja tahu kalau
ne-
nek tua yang telah diketahui
sebagai kakak kandung buyutnya, Pendekar Lembah Kutukan, hanya ingin bergurau.
Sewaktu melewati anak tangga
batu
menuju ruang bawah tanah, mata
Andika memperhatikan seluruh anak tangga yang aneh menurutnya.
"Uwak Boleh kutanya
sedikit?"
aju Pendekar Slebor pada si
nenek.
"Ah Kau selalu saja
bertanya"
tukas Nyai Silili-lilu.
"Kenapa tangga batu ini
aneh sekali? Beberapa anak tangga diwarnai merah. Sebagian lain kuning, dan si-sanya
hijau. Apa maksudnya?"
Nyai Silili-lilu berhenti pada
satu anak tangga. Andika
mengikuti.
Jari telunjuk nenek itu lalu
menotok-notok kening Andika keras-keras. Sampai-sampai, kepalanya
melengak-lengak.
"Pikir..., pikir Anak
muda beb-al Sepanjang pengetahuanku, keturu-nanku memiliki otak yang
encer"
* * * 7
Gubuk kecil tempat kediaman
Pan-
geran Neraka dan anteknya,
Kembar Dari Tiongkok kelihatan sepi. Tak ada suara seorang pun di dalamnya.
Sementara, Anggraini tiba di
anak
tangga masuk. Dan saat itulah
Pangeran Neraka muncul bersama Kembar Dari
Tiongkok.
"Anggraini" panggil
Pangeran Neraka.
Anggraini menoleh. Langkahnya
un-
tuk menaiki tangga gubuk
diurungkan.
"Dari mana saja
kau?" tanya Bureksa, setelah dekat. "Kami sudah mencari-cari kau
belakangan ini. Aku khawatir kalau terjadi apa-apa terhadap dirimu...."
Kata-kata Bureksa seolah penuh
perhatian. Padahal dalam
hatinya ada rencana busuk yang akan melibatkan kemenakannya sendiri. Itu
sebabnya dia mencari-cari Anggraini.
"Aku hanya berkeliling-keliling,"
jawab Anggraini berbohong.
Dihinda-
rinya tatapan mata si paman
berjiwa bejat, namun belum diketahuinya sampai saat itu.
"Kau tak apa-apa,
bukan?" tanya Bureksa lagi. "Kelihatannya kau murung sekali?"
"Aku tak apa-apa, Paman.
Hanya lelah...."
Anggraini membalikkan tubuh,
lalu
mulai meniti anak tangga.
"Aku ingin istirahat dulu
Paman,"
pamit gadis itu dengan suara
tak ber-gairah. Tubuh Anggraini menghilang di ba-
lik pintu gubuk beberapa saat.
Setelah itu, Bureksa melirik Chia Jui dan Chia Kuo dengan pandangan licik.
"Hari ini, kita harus
mematangkan rencana," desis Bureksa perlahan.
Chia Jui dan Chia Kuo
mengangguk
berbarengan.
"Kalian lihat pandangan
gadis itu barusan? Apa kalian bisa melihat ada sesuatu yang terjadi padanya.
Kuyaki-ni, ini ada hubungannya dengan Ratu Lebah, atau Andika. Sore nanti,
kalian berpura-pura hendak keluar. Aku akan mengorek keterangan dari gadis itu
yang nantinya akan bisa
mempermulus rencana kita...."
"Menyingkirkan Pendekar
Slebor keparat" tambah Chia Jui diiringi se-ringai.
"Ya" timpal Bureksa
mantap.
Lalu, ketiganya segera masuk
ke
dalam gubuk.
***
Tanpa terasa, sore pun tiba.
Se-
suai rencana Pangeran Neraka,
Kembar Dari Tiongkok pamit keluar gubuk. Mereka hendak mencari bahan makanan di
kotapraja. Begitu alasan mereka.
Di dalam gubuk, kini tinggal
Bu-
reksa dan Anggraini.
Kepura-puraan Pangeran Neraka
saat itu diumbar lagi. Dengan penuh kepalsuan, dibuatkannya teh hangat untuk
Anggraini. Agar dianggap kalau dirinya menaruh rasa sayang pada kemenakan
sendiri.
Benar kata Nyai Silili-lilu
pada
Andika beberapa waktu lalu.
Bureksa memang selicik serigala dan selicin belut. Dia mampu bersandiwara
dengan sempurna di hadapan Anggraini. Dalam benaknya sendiri, tak pernah ada
rasa sayang pada kemenakannya. Yang ada
hanya kelicikan dengan
memanfaatkan Anggraini, untuk mengenyahkan Pendekar Slebor. Sebab, lelaki itu
amat jeli membaca pikiran Anggraini yang ayahnya dibunuh Andika. Dendam pasti
sedang bergelora dalam hati gadis itu. Begitu pikir Bureksa. Dendam itulah yang
akan dipicunya, sehingga Anggraini akan
mengenyahkan Andika
"Kau perlu meminum teh
hangat
ini, untuk menyegarkan
tubuh," kata Bureksa dengan tata krama yang manis.
Diletakkannya cangkir teh di
depan
Anggraini.
"Terima kasih,
Paman," hatur Anggraini.
Saat ini gadis itu sedang
duduk
menekuk lutut di lantai
beralas tikar pandan. Baru saja Anggraini selesai bersemadi.
"Kau tampaknya sedang ada
masalah, Anakku," kata Bureksa memulai kembali. "Kau bisa
menceritakan masa-lahmu padaku. Anggaplah aku sebagai pengganti
Ayahmu...."
Anggraini menoleh sejenak.
Bibir-
nya menyembulkan senyum tawar.
Beberapa saat, dia hanya menimbang.
"Paman benar. Aku memang
sedang memiliki masalah," kata gadis itu.
"Ceritakanlah...,"
bujuk Pangeran Neraka. Matanya berbinar-binar culas, mengetahui Anggraini mulai
mau membuka mulut.
"Kau tentu tahu pemuda
yang ber-samaku dulu, Paman...."
"Yang berpakaian hijau
itu?"
"Ya."
"Kau masih berhubungan
dengan
pembunuh ayahmu itu?"
kata Bureksa, berpura-pura tersentak kaget. Anggraini menggeleng.
"Aku justru menemuinya
untuk menuntut balas atas kematian Ayah...,"
tutur Anggraini datar.
"Lalu?"
"Kurasa aku tak sanggup
membunuhnya...."
"Dia memang terlampau
sakti untukmu."
"Bukan itu, Paman," sergah
Anggraini. "Melainkan, aku tak bisa melakukannya. Hatiku menolak setiap
kali aku berusaha membunuh pembunuh itu."
Bureksa mengangguk-angguk
dengan wajah dibuat sebijak mungkin.
"Kalau kau merasa tak
sanggup, kenapa tak lupakan saja dendammu padanya? Dendam itu selamanya tak
baik, Anakku...," tutur Bureksa halus. "Kalaupun aku melarangmu
berhubungan dengan pemuda itu, bukan berarti mengan-jurkan untuk membunuhnya
karena luapan dendam kesumat."
Bureksa tampaknya berusaha me-
mancing keingintahuan Anggraini,
dengan membuat tekanan kalimat.
Sementara Anggraini kemudian
me-
nyeruput teh. Diletakkannya
kembali cangkir tanah liat di tempatnya.
"Kenapa Paman melarangku
berhubungan dengan pemuda itu?" tanya gadis itu kemudian, terpancing gaya
bicara Bureksa.
Bureksa tertawa ringan.
Ditarik-
nya napas dalam-dalam, seakan
begitu berat menjelaskan hal yang akan diuta-rakannya.
"Ayolah, Paman...,"
desak
Anggraini, lagi-lagi
terpancing sikap Bureksa.
"Kularang kau mencintai
pemuda itu, bukan karena telah membunuh adik kandungku, ayahmu. Aku tidak
sepicik itu, Anggraini. Sebabnya karena...."
Sengaja Bureksa memenggal
kali-
mat.
"Katakan saja,
Paman"
"Kau yakin siap
mendengarnya?" Andika mengangguk, meski agak ra-
gu.
"Kau tak akan
kecewa?"
Kini kepala gadis itu
menggeleng
lamban.
"Baiklah...," desah
Bureksa, langsung diam sesaat. "Sebenarnya, pemuda itu adalah seorang
hidung belang.
Di dunia persilatan, dia
dikenal sebagai Iblis Pemetik Bunga. Banyak gadis yang sudah menjadi korbannya.
Setiap gadis akan mengalami kematian menge-naskan, setelah digauli pemuda itu.
Dia memiliki ilmu yang
menuntut tumbal kehormatan gadis suci seperti kau. Setiap kali seorang gadis
dikorbankan, ilmunya bertambah beberapa tingkat...," papar Pangeran Neraka
dengan sandiwaranya yang sempurna.
Selesai mendengar penuturan
Bu-
reksa, mata Anggraini
berkaca-kaca.
Tampak tersirat rasa kegeraman
di sa-na. Giginya terdengar bergeletuk dihantam kekecewaan mendalam.
"Pantas saja dia tak
segera membunuhku, sementara mengetahui aku hendak menuntut balas padanya.
Rupanya, pemuda keparat itu ingin menjadikan aku tumbal ilmu iblisnya"
Pak
Dengan tinjunya, Anggraini
meng-
hajar lantai kayu pondok.
Hantaman itu membuat lubang cukup besar, Pertanda kegeraman dan kebenciannya
telah ter- bakar cepat
Bureksa menepuk-nepuk bahu
Anggraini. Wajahnya
ditampakkan se
prihatin mungkin, terhadap
keadaan ha-ti gadis kemenakannya.
"Sudahlah...," bujuk
Pangeran Neraka. "Lupakan pemuda itu. Lupakan pu-la dendammu. Kembalilah
ke Tanah Buangan menemani ibumu. Tentu beliau kesepian di sana...."
"Aku tak akan kembali ke
Tanah Buangan sebelum membunuh pemuda itu, Paman" tandas Anggraini.
Matanya memerah penuh. "Dia telah membuat Ibu kesepian dengan tewasnya
Ayah"
Kepala Bureksa menggeleng-geleng
perlahan. Sementara, raut
wajahnya tetap mempertahankan kesan prihatin. Sedang benaknya sendiri
melantunkan tawa puas. Tawa tersembunyi penuh kemenan-gan
Pada saat yang sama,
Mayangseruni
sedang berbincang-bincang
dengan gurunya, Nyai Silili-lilu dalam tempat rahasia. Beberapa saat waktu
lalu, gadis menawan itu telah siuman.
Sementara keduanya berbicara
hi-
lir- udik, melepas kerinduan
setelah tak berjumpa demikian lama, Andika masuk melalui tangga batu. Dia baru
saja keluar untuk mencari pengganti pakaian, atas saran Nyai Silili-lilu.
Begitu Andika hendak memasuki
se-
buah pintu yang menghubungkan
ruang bawah tanah dengan anak tangga, ka-
kinya tertahan untuk melangkah
lebih lanjut. Andika tertarik oleh pembicaraan dua perempuan yang usianya
ter-paut jauh itu. Telinganya mendengar namanya disebut-sebut.
"Pemuda yang menolongmu
bernama Andika," terdengar suara Nyai Silili-lilu sayup.
"Andika? Rasanya aku
pernah mendengar selentingan nama pemuda itu,"
susul suara Mayangseruni yang
halus terdengar.
"Tentu saja kau pernah
mendengarnya, 'Nduk'. Apa kau lupa kalau Andika adalah nama asli Pendekar
Slebor....
Hik hik hik"
Si nenek tertawa pada akhir
kali-
mat. Padahal, tidak ada yang
lucu untuk ditertawakan.
"Pendekar Slebor, Guru?
Jadi
pendekar muda terhormat itu
yang telah membantuku menawarkan racun dalam tu-buhku?"
Suara Mayangseruni terdengar
me-
ninggi. Tampaknya, gadis ini
demikian terperanjat.
"Ya Apa telingamu tuli,
'Nduk'?"
"Ya, Tuhan.... Ini
benar-benar membuat hatiku berbunga-bunga, Guru"
"Eh, eh Apa kau tahu,
anak muda itu mati-mati dalam usaha menolongmu.
Kupikir, kalau ada pemuda yang
paling cocok denganmu, ya dia orangnya" Andika tersenyum sendiri menden-
garnya.
"Ah, Guru..." desah
Mayangseruni malu-malu.
"Eee Bagaimana kalau dia
naksir kau. Dan kau harus tahu malu pada Andika. Dia sudah mempertaruhkan nyawa
demi kesembuhanmu"
Tak terdengar tanggapan
Mayangse-
runi. Mungkin hatinya begitu
risih
mendengar celoteh guru
ceriwisnya yang terlalu memojokkan.
"Bayangkan saja, dia
harus membiarkan dirinya disambar petir"
"Untuk menolongku?"
"Iya Apa kau belum tahu,
racun
'Perusak Saraf hanya bisa
dilumpuhkan dengan menyalurkan sebagian kekuatan petir ke dalam tubuhmu? Dan
hanya
orang yang pernah memakan buah
'inti petir' saja yang bisa melakukannya...."
"Uggg, sekarang mmm, Kang
Andika di mana, Guru?"
"Weit, weit Belum apa-apa
sudah panggil-panggil 'Kang'. Mesra sekali kedengarannya.... Hik hik hik"
"Guru kenapa terus
menggodaku"
"Kakang mu itu sekarang
sedang sembunyi seperti cecurut di balik pintu itu" tukas Nyai
Silili-lilu, mengejutkan Andika.
Andika benar-benar tak
menyangka
kalau uwaknya mengetahui
kehadirannya. Padahal, dia sudah begitu hati-hati.
"Alah, tidak usah
pura-pura segala Ayo masuk" bentak si nenek dari dalam.
Dengan wajah merah padam,
Andika
terpaksa masuk juga. Perempuan
bangko-tan itu memang paling hebat menangkap basah seseorang
"Nah Inilah Pendekar
Slebor,
'Nduk' Sudah lama kau ingin
kenal
dengannya, bukan?"
cerocos Nyai Silili-lilu, seolah hendak menelanjangi Andika di tempatnya.
Untuk pertama kalinya, Andika
bi-
sa menyaksikan pribadi
Mayangseruni sesungguhnya. Tak ada lagi kesan keji pada wajah gadis ayu luar
biasa ini.
Mata lentiknya kini
memancarkan keang-gunan serta kesungkanan, sekaligus manakala bentrok dengan
mata elang Andika. Hati pemuda ini terasa sejuk dibuatnya.
"Ayo Ke sini, Anak Muda
Slompret" maki Nyai Silili-lilu semena-mena, mendapati Andika terdiam di
mulut pintu masuk ruang bawah tanah.
Andika tersentak. Matanya
menger-
jap-ngerjap layaknya bocah
kampung ca-cingan.
Sewaktu pendekar muda itu
melang-
kah lebih dekat ke arah dua
perempuan berbeda usia yang duduk bersandingan di meja batu, Mayangseruni
tampak tertunduk-tunduk. Wajah halusnya tampak bersemu merah.
Nyai Silili-lilu bangkit dari
me-
ja batu. Lalu dia berjalan
terbungkuk-bungkuk menuju ruang semadinya.
"Ajak anak gadisku cari
angin
Terserah kalian, di luar mau
berbuat apa Mau main petak umpet, kek. Atau apa, kek Masabodoh Asal jangan
berbuat yang macam-macam Bisa kusunat dua kali kau Andika" kata Nyai
Silili-lilu.
Pendekar Slebor menarik napas
se-
dalam mungkin. Untung dia
hanya punya satu uwak seperti Nyai Silili-lilu.
Kalau lebih sedikit saja,
bisa-bisa mati berdiri.
"Heh, tunggu apa lagi?"
sentak Nyai Silili-lilu di belakang Andika.
"Ayo, gandeng tangan
Mayangseruni
Ajak dia keluar Kalian hanya
membuat tempat tinggalku sumpek"
Puas berkoar-koar, nenek
pertapa
itu menghilang di balik
dinding ruang semadinya.
Tinggal Andika dan Mayangseruni
yang masih terdiam, menikmati
keterpesonaan masing-masing.
* * *
"Kita akan ke mana, Kang
Andika?"
tanya Mayangseruni pada pemuda
di sisinya.
Mereka kini berjalan
beriringan. Pagi tadi, mereka baru saja pamit pada Nyai Silili-lilu.
Sebenarnya, Andika tak berniat
pergi bersama-sama murid
tunggal uwaknya. Berhubung Nyai Silili-lilu mende-saknya terus untuk mengajak
Mayangseruni, Andika akhirnya mengizinkan juga gadis itu pergi bersamanya.
Mayang sendiri memang sudah
lama
merindukan bisa berjalan
beriringan bersama pendekar besar macam Andika.
Biarpun masih agak risih,
hatinya tentu saja gembira mendengar desakan gurunya pada Pendekar Slebor.
"Kang Andika...,"
tegur Mayangseruni. Pertanyaannya tadi belum dijawab Andika.
"Eh, apa?" gagap
Andika tersadar.
"Kakang melamun,
ya?" goda Mayang, sungkan-sungkan.
"Ah, tidak... Eh,
iya"
"Melamun apa?"
Andika tersenyum kecil.
"Kau tadi tanya apa
padaku?" Andika mengalihkan pembicaraan.
Merasa Andika tak mau
membicara-
kan isi pikirannya, Mayangseruni
tidak ingin memaksa.
"Aku tanya, kita akan ke
ma-
na...?" ulang
Mayangseruni.
"Ooo, itu. Kita akan ke
lembah Pintu Sorga dan Neraka Dunia," jawab Andika.
"Apa Kakang ada urusan di
sana?" tanya Mayangseruni lagi.
Sementara kesadarannya pulih,
Mayangseruni tak lagi ingat
tentang tempat tersebut. Termasuk, tentang dirinya yang diperalat Pangeran
Neraka.
Andika maklum akan hal itu.
"Aku punya sobat baru.
Dia masih hijau dalam dunia persilatan. Karena suatu hal, aku harus
mengenyahkan
ayahnya. Lalu, dia pun mencari
pembunuh ayahnya. Ketika tahu dari pamannya kalau akulah pembunuh ayahnya, dia
pun mulai memusuhiku. Aku hendak mencarinya di sana, karena khawatir terhadap
kelicikan si paman," tutur Andika gamblang.
"Entah kenapa, aku sepertinya
merasa pernah mendengar tentang tempat itu...," kata Mayangseruni, seperti
bergumam sendiri.
Karena merasa yakin
Mayangseruni
sudah siap, Andika memutuskan
untuk menceritakan kejadian yang telah menimpa Mayangseruni.
"Apa kau ingat dengan
seorang tokoh golongan sesat berjuluk Pangeran Neraka?" pancing Andika,
memulai membuka ingatan si gadis.
Beberapa ayunan langkah, gadis
berparas amat mempesona itu
mengingat-ingat nama yang disebutkan Andika.
Kening halusnya sedikit
terlipat.
"Ya, aku ingat kini...,"
ucap Mayangseruni kemudian. "Sebenarnya, ada urusan apa antara kau dan
lelaki itu?" tanya Andika lagi.
Kali ini, pertanyaan itu tidak
dimaksudkan untuk memancing
ingatan Mayangseruni. Andika hanya ingin tahu lebih jelas duduk persoalan
antara gadis itu dengan Pangeran Neraka, hingga melibatkan diri Mayangseruni
jauh ke lembah kaum sesat.
"Apa Kakang tak tahu
kalau lelaki itu adalah kakak kandung Begal Ireng?"
Kelopak mata teduh
Mayangseruni
sedikit membesar. Ditatapnya
mata Andika, meminta jawaban.
"Aku baru mengetahuinya
belakangan ini. Tapi, apa hubungan perkaramu dengan urusan antara aku dan Begal
Ireng?" Andika balik
tanya. Caranya melempar pertanyaan berkesan menyudutkan gadis berpakaian
merah-merah di sisinya.
Tetap dengan kesungkanan yang
me-
nyertainya, Mayangseruni
akhirnya membuka satu rahasia yang selama ini dis-impannya sendiri.
"Sebenarnya, aku tak ada
urusan apa-apa dengan Pangeran Neraka," aku Mayangseruni.
"Tapi, kenapa kau bisa
sampai
terlibat jauh dengan lelaki
itu?"
tanya Andika, dengan alis
legam ber-taut rapat, pertanda mulai terbawa
arus keingintahuannya.
"Sewaktu Kakang hendak menumpas gerombolan Begal Ireng, namamu jadi
kesohor ke seantero penjuru angin. Aku kerap kali mendengar nama harum Kakang
disebut-sebut di mana-mana. Banyak ku-dengar tentang diri Kakang, tentang
pribadi. Juga...." Mayang tersipu.
"Juga, tentang ketampanan
Kakang."
Mendengar hal itu, Andika
kontan
terbahak.
"Lalu?" tanya
Pendekar Slebor penasaran. Bibirnya masih menyisakan senyum lebar.
"Suatu hari, aku juga
mendengar desas-desus kalau Pangeran Neraka hendak membantu Begal Ireng. Dia
merenca-nakan pembunuhan licik terhadap diri Kakang. Lalu...."
Anggraini kembali memenggal
ceri-
ta. Ada sesuatu yang
membuatnya malu mengutarakan kelanjutan cerita.
"Lalu apa? Ayo,
lanjutkanlah Aku toh, bukan siapa-siapa bagimu. Maksudku, aku toh, masih cicit
kemenakan gu-rumu sendiri. Nyai Silili-lilu sudah mengatakannya padamu,
bukan?" desak Andika, halus.
"Lalu, aku berusaha
menggagalkan rencana licik Pangeran Neraka...,"
tambah Mayangseruni,
hampir-hampir
berbisik karena diusik
kesungkanan.
"Apa?" mata Andika
kontan membesar seperti hampir tak percaya. "Jadi, kau bertaruh nyawa
menghadapi Pangeran Neraka hanya karena ingin menyela-
matkanku?"
Anggraini tertunduk. Gadis
yang
berkepribadian agak pemalu itu
memainkan ujung-ujung kukunya. Tak berani matanya menatap langsung mata jantan
Andika. Seolah-olah, takut ada sinar mencemooh di sana. Kepala Andika
menggeleng-geleng. "Aku harus bilang apa padamu? Rupanya, kau terlalu
termakan desas-desus tentang diriku. Kau tertarik padaku, sementara orangnya
belum lagi kau kenal. Padahal, aku ini, ya hanya begini...," ucap Andika
tanpa tedeng aling-aling. Sifat acuhnya membuat ingatannya terlupa kalau sedang
berbicara dengan gadis yang agak pemalu.
Sebentar saja, Andika
menyadari
kebodohan ucapannya. Sambil
mengumpati diri dalam hati, keningnya ditampar gemas-gemas.
"Tapi, terus terang.
Terima kasih saja, rasanya belum cukup kuberikan untukmu. Karena, kau telah
begitu berani menentang Pangeran Neraka...,"
hatur Andika, seperti hendak
meralat kesalahan ucapannya barusan.
Mayangseruni tetap diam.
Pandan-
gannya masih saja terjatuh
mengawal langkah-langkah kakinya.
"Terima kasih, Mayang....
Dengan berbuat itu, berarti kau telah membantuku dalam menegakkan
kebenaran" "Aku malu, Kang...," kata Mayangseruni, seperti
berbisik.
"Kenapa harus malu dalam
melaksanakan hal yang baik?"
"Aku malu karena alasanku
mencoba menggagalkan rencana Pangeran Neraka, hanya karena ingin
menyelamatkanmu...."
"Apa itu perbuatan dosa?
Bukankah tugas kita untuk saling bahu membahu dalam kebaikan dan
kebenaran?" hibur Andika kembali.
Bibir ranum Mayangseruni
memper-
lihatkan senyum sejuk.
"Nah, begitu Jadi, pada
dasarnya kita telah lunas, bukan? Kau telah berusaha menyelamatkanku, dan aku
pun telah berusaha menyelamatkanmu...,"
tambah Pendekar Slebor seraya
menggandeng bahu gadis itu. Dan seketika wajah Mayangseruni mendadak matang.
Sementara kedua anak muda itu
me-
lanjutkan langkah begitu
akrab, sepasang mata terus mengawasi dari kejauhan. Mengawasi terus, dan terus.
Melihat keakraban Andika dan Mayangseruni, matanya perlahan namun pasti, mulai
menyimpan bara kebencian.... Anggraini. Gadis itulah yang menguntit Andika dan
Mayangseruni selama ini. Api kebencian yang berhasil disulut Pangeran Neraka,
makin berkobar-kobar melihat bagaimana
mesranya Andika dengan
Mayangseruni. Paling tidak,
begitulah dalam pandangan Anggraini.
Masih teringat kalimat-kalimat
yang diutarakan Bureksa,
pamannya, manakala menanyakan tentang Ratu Lebah atau Mayangseruni.
"Kau tahu, perempuan itu
sesungguhnya adalah kekasih Iblis Pemetik Bunga," tutur Pangeran Neraka
waktu itu. Disebutnya Andika dengan julukan karangannya sendiri. "Jangan
heran kalau suatu saat nanti, kau akan melihat mereka berjalan beriringan
dengan mesra. Terus terang saja Paman katakan, kau telah dikelabui mereka
mentah-mentah, Anakku...."
Tentu saja Bureksa bisa
menduga
demikian, karena begitu tahu
siapa
Mayangseruni. Seorang pendekar
wanita yang begitu menyanjung Andika. Setelah mendengar dari Anggraini kalau
Ratu Lebah alias Mayangseruni dibawa seorang nenek ceriwis yang diyakini
Bureksa sebagai gurunya, maka lelaki itu yakin, cepat atau lambat Andika akan
dekat dengan Mayangseruni. Apalagi, Bureksa tahu. Hanya Andika yang bisa
membantu menyembuhkan Mayangseruni da-ri racun miliknya.
Dapat dibayangkan, betapa
licik-
nya tokoh sesat ini. Semua
kenyataan diputarbalikkan, agar Anggraini terpe-rangkap ke dalam tipu dayanya.
Tak la-gi dipedulikannya hubungan darah antara dirinya dengan Anggraini.
Baginya, yang terpenting adalah mencapai tujuan yang diinginkan. Tanpa
mempedulikan, apakah cara mencapai tujuan itu men-gorbankan orang lain atau
tidak. Tidak juga kemenakannya sendiri
"Jika kau telah berhasil
dijadikan tumbal ilmu sesat pemuda itu, maka mereka akan menertawai bangkaimu,
Anggraini.... Bangkaimu"
tandas Bureksa, memberi pengulangan pada kata terakhirnya. Hal itu akan
mengendap rekat-rekat di dasar benak Anggraini.
Dan Bureksa tahu itu.
***
Lembah Pintu Sorga dan Neraka
Du-
nia. Andika dan Mayangseruni
akhirnya tiba di sana. Tanpa diketahui keduanya, Anggraini yang terpedaya
mentah-mentah semua hasutan pamannya, terus mengikuti.
"Ke mana kira-kira aku harus
mencari gadis itu?" tanya Andika pada di-ri sendiri. Matanya mencari-cari
ke segenap lembah yang berbukit-bukit.
"Jadi, sobat barumu itu
wanita, ya Kang Andika?" usik Mayangseruni.
Andika hanya menjawab dengan
ang-
gukan kecil. Dia masih sibuk
mengedarkan pandangan kesekitar lembah yang luas.
"Cantik, Kang?"
"Apa?" "Apa
gadis itu cantik?" ulang Mayangseruni.
"Mmm, yah.... Bisa
dibilang begitu."
"Boleh tanya sedikit yang
sifatnya agak pribadi, Kang?"
Pendekar muda itu menghentikan
kesibukan matanya. Sekarang
sepasang mata perkasanya ditujukan langsung ke bola mata Mayangseruni yang
selalu tak punya daya untuk membalas tatapan itu.
Timbul semacam kerikuhan
apabila men-cobanya. Mata Andika terlalu menelu-supkan pesona ke dalam dirinya.
Itu sebabnya kepalanya menunduk.
"Tanya soal apa?"
ucap Andika.
"Apa.... Kang Andika
tertarik pa-da gadis itu?"
Pertanyaan Mayangseruni
memaksa
Andika tergelak. "Kenapa
kau bertanya seperti itu?" tanya Pendekar Slebor, di antara derai tawa
lepasnya.
"Tidak apa-apa,
Kang...," kilah Mayangseruni, seraya mengangkat bahu.
"Tak mungkin. Tak mungkin
kau tak punya alasan menanyakan hal itu,"
sanggah Andika, main-main.
Tapi siapa nyana kalau ucapan
main-main Andika, justru
ditanggapi sungguh-sungguh oleh gadis itu. Pendekar Slebor melihat wajah ayu
gadis itu berubah. Kedua belah pipinya bersemu merah menggemaskan.
"Ah Sudahlah, Mayang....
Tak perlu dipersoalkan lagi. Aku memperhatikan gadis itu, karena akulah yang
membuatnya kehilangan seorang ayah.
Meski tak merasa berdosa, aku
tetap merasa bersalah padanya. Kau paham?"
Mayangseruni mengangguk
perlahan.
"Sekarang, kita harus
secepatnya menemukan gadis itu. Aku tak ingin
Pangeran Neraka yang licik
mengua-
sainya. Dia masih terlalu
hijau untuk menyadari kebusukan dunia persilatan...," tambah Andika.
"Bagaimana kalau kita
berpencar, Kang. Biar bisa lebih cepat menemukan-nya," usul Mayangseruni.
"Kau yakin?" tanya
Andika.
Pendekar Slebor hanya agak
khawa-
tir terhadap keselamatan
Mayangseruni.
Namun karena Andika percaya
Mayangseruni dapat menjaga dirinya sendiri, akhirnya disetujuinya. Bukankah dia
pernah melihat sendiri kehebatan murid uwaknya itu, ketika bertarung melawan
Anggraini? Dan kalaupun dulu pernah dipecundangi Pangeran Neraka, tentu karena
lawannya memperdayai gadis itu dengan tipu muslihat licik.... (Untuk lebih
jelasnya, bacalah episode :
"Pendekar Wanita Tanah
Buangan").
"Aku akan mencarinya ke
timur.
Kau mencarinya ke barat.
Bagaimana?"
kata Andika, menanggapi usul
Mayangseruni.
Gadis itu mengangguk.
"Dan kalau terjadi sesuatu, kau harus segera menghubungiku. Kau punya
caranya?"
Mayangseruni berpikir sejenak.
"Aku akan melepas
lebah-lebah
keangkasa," jawab
Mayangseruni cepat.
"Pikiran jitu" puji
Andika.
Lalu keduanya pun segera berpi-
sah. Seperti rencana, Andika
mulai menyusuri lembah bagian timur, Sedangkan Mayangseruni, si Ratu Lebah,
akan menyusuri arah yang berlawanan.
Dengan berpisahnya Andika
dengan
Mayangseruni, Anggraini yang
menguntit mesti membuat keputusan. Hendak mengikuti Andika atau Mayangseruni.
Gejolak kebencian yang diwarnai rasa cemburu, tanpa disadari telah mendorongnya
untuk mengikuti Mayangseruni.
Anggraini pun menuju lembah
ba-
gian barat. Sepeminum teh
kemudian, Mayangseruni sampai di sebuah bukit yang membentang di bagian barat
lembah Pintu Sorga dan Neraka Dunia. Tak seperti di tempat semula, tempat ini
di-tumbuhi pepohonan cemara besar yang berbaris seperti gerombolan pendaki.
Mayangseruni sejenak melepas
le-
lah. Tubuhnya bersandar di
batang sebuah pohon cemara. Rasa sejuk ditariknya ke dalam dada, untuk mengusir
pe-nat setelah mencari cukup lama.
"Apa mungkin gadis yang
dicari Kang Andika masih berada di daerah ini?" gumam Mayangseruni, pelan.
Dalam benak, Mayangseruni
tetap
saja digerayangi pertanyaan-pertanyaan
tentang hubungan gadis yang sedang di-carinya dengan Andika. Yang pasti, dia
ingin langsung mempercayai perkataan Andika, bahwa pemuda itu tak memiliki
hubungan khusus dengan Anggraini. Namun, keresahan dan kekhawatiran tetap saja
melingkupi benaknya.
Mayangseruni cukup sadar.
Pera-
saan seperti itu lahir dalam
dirinya, mungkin karena berharap banyak terhadap pemuda pujaannya. Seperti
pernah diungkapkan langsung pada
Andika,
Mayangseruni memang memuja
Andika yang sebelumnya hanya diketahui dari seli-weran kabar burung. Tentang
Pendekar Slebor yang muda, tampan, dan gagah.
Pendekar Slebor yang banyak
mengecoh bahkan memberantas tokoh-tokoh atas golongan sesat.
Belum lagi bertemu,
Mayangseruni
sudah begitu mengagumi.
Apalagi kini telah bertemu langsung tokoh muda pujaannya itu?
Memikirkan semua itu,
Mayangseru-
ni jadi tak memiliki semangat
lagi untuk meneruskan pencarian.
Mendadak sontak, Mayangseruni
di-
kejutkan suara mendesir yang
datang dari sebelah kiri. Lamunannya koyak seketika. Meski belum tahu suara
apa, namun gadis berjuluk Ratu Lebah itu serta merta berjungkir balik ke depan.
Wesss
Blar
Firasat pekanya terbukti.
Seben-
tuk bahaya maut baru saja
luput Manakala mata Mayangseruni menemukan tempatnya berdiri tadi, pohon cemara
yang dijadikan sandaran telah hancur lantak bagai baru tersambar petir.
Batangnya tumbang, menciptakan suara bergemuruh.
Pada bagian yang terhajar
desiran ta-di, mengepulkan asap tipis. Bahkan bagian atasnya membara
Bukan orang sembarangan yang
bisa
melakukan pukulan jarak jauh
seperti itu. Maka murid tunggal Nyai Silili-lilu itu langsung saja bersiaga.
"Jangan beraninya main
bokong
Keluar kau" tantang Ratu
Lebah pada si penyerang gelap.
Di ujung kalimat Mayangseruni,
sesosok tubuh berkelebat
keluar dari semak-semak. Pakaiannya sewarna dengan Mayangseruni. Merah-merah.
Begitu juga panjang rambutnya. Sepintas saja, penampilan mereka sulit
dibedakan.
"Siapa kau?" tanya
Mayangseruni gusar.
Gadis itu sama sekali tidak
men-
genali kalau wanita yang
berdiri di hadapannya adalah Anggraini, orang
yang pernah bertarung
dengannya beberapa waktu lalu.
"Jangan banyak basa-basi,
Perem- puan Lacur" maki Anggraini amat kasar dan menyakitkan telinga.
Mayangseruni tak begitu
terpenga-
ruh mendengar makian
Anggraini. Malah diamatinya penampilan gadis di hadapannya dengan kelopak mata
agak menyipit. Penampilan perempuan ini amat mirip dengan gambaran yang
diberikan Andika.
"Apakah kau
Anggraini?" tanya Mayangseruni hati-hati.
"Apa pedulimu menanyakan
nama-ku?" balas Anggraini, tetap kasar.
Sehingga, membuat Mayangseruni
jadi ragu apakah telah menemukan wanita
yang dimaksud Andika atau
bukan.
"Kalau kau Anggraini,
kenapa kau menyerangku?" tanya Mayangseruni kembali, berusaha tetap
menjaga kesabaran.
"Karena kau perempuan
bejat yang patut kukirim ke neraka"
Selesai itu, Anggraini
langsung
membuka jurusnya.
"Terimalah kematianmu,
Perempuan Keparat Hiaaa"
"Tunggu" tahan
Mayangseruni.
Usaha Mayangseruni sudah
terlam-
bat. Anggraini telah
menggempurnya
dengan serangkai tusukan anak
panah yang baru saja diloloskan dari tempatnya.
Jep Jep Jep
Tampaknya, gadis dari Tanah
Buan- gan itu tidak ingin lagi melihat lawannya hidup dalam keadaan utuh.
Cemburu dan benci telah menjadi satu,
menghasutnya untuk
merobek-robek tubuh Ratu Lebah. Seakan Anggraini tidak su-di melihat kecantikan
Mayangseruni me-lebihi dirinya.
Dalam segebrakan, tiga tusukan
mengancam bagian-bagian
mematikan di tubuh Mayangseruni. Sementara, Ratu Lebah sendiri sudah pasti tidak
ingin dijadikan satai hidup-hidup. Dengan lincah tanpa kehilangan
kegemulaian-nya, tubuhnya berkelit cepat dalam ti-ga kali menyempongkan tubuh.
Karena tak mungkin untuk terus
menghindar, Mayangseruni pun
melancarkan serangan balasan. Satu anak panah Anggraini yang hendak menembus
dada kanannya, segera dihantam dengan baco-kan tangan. Maksudnya, tentu saja
hendak mematahkan senjata itu.
Namun betapa tersentaknya
Mayang-
seruni, tatkala tangannya
berbenturan dengan anak panah yang hanya terbuat dari kayu. Sekujur tangan
hingga ke bagian rusuknya terasa tersengat api.
Bagaimana mungkin panas yang
demikian tinggi, bisa disalurkan dalam sebatang kayu tipis tanpa terbakar?
Di lain pihak, Anggraini tak
mem-
beri kesempatan pada
Mayangseruni, wa-lau sekadar untuk terheran.
"Heaaa" Swing
Mata panah di tangan kiri
Anggraini membabat udara
menuju perut Mayangseruni. Hendak dirobeknya perut gadis cantik itu. Jika
perlu, sampai isi perutnya bobol keluar
Sekali lagi Mayangseruni
terke-
siap. Gesekan mata panah dari
baja
dengan udara, menimbulkan
bunga api di sepanjang jalur babatan Kini makin yakinlah Mayangseruni.
Ternyata, lawannya benar-benar tidak ingin memberinya kesempatan untuk hidup.
Padahal, murid si nenek pertapa semula hanya menganggap Anggraini ingin
memberinya pelajaran, karena kecemburuan pada sikap akrab Andika padanya.
Paling tidak, begitu dugaannya.
Tak ada pilihan lain bagi
Mayang-
seruni kini. Dia pun harus
melakukan perlawanan seimbang. Maka tanpa ragu lagi, gadis yang lebih dikenal
sebagai Ratu Lebah itu langsung saja memainkan jurus-jurus andalannya.
"Bagus Keluarkan semua
ilmu an-dalanmu Agar aku puas membunuhmu"
geram Anggraini, Pendekar
Wanita dari Tanah Buangan.
Pertarungan hebat yang kedua
kali
bisa dipastikan akan segera
tercipta kembali. Namun....
"Tahan..."
Satu bentakan lantang,
tiba-tiba
menggetarkan pepohonan dan
merontokkan dedaunan.
Dua lelaki berkepala gundul
tahu-
tahu telah berdiri di dekat
arena pertarungan. Keduanya berpenampilan amat mirip. Dari pakaian sampai ke
wajah mereka. Anggraini mengenali mereka sebagai Kembar Dari Tiongkok.
"Paman Chia Kuo.... Paman
Chia Jui Kenapa kalian menghentikan perta-runganku?" tanya Anggraini
terheran-heran. Kemarahannya yang sudah memuncak menjadi surut kembali.
Sementara Kembar Dari Tiongkok
tak bergemik dari tempat
berdiri. "Pamanmu menyuruh kau untuk segera kembali," ucap Chia Jui.
"Dan kau harus kembali,
begitu kata pamanmu," timpal Chia Kuo memberi tekanan pada kata 'harus'.
Anggraini tidak bisa terima. Ke-
napa pada saat harus menumpas
perempuan jahat seperti dikatakan pamannya, dia harus berhenti menggempur lalu
pu-lang begitu saja.
"Tapi, Paman...."
"Tak ada tetapi,
Anggraini Kau harus menuruti perintah pamanmu"
Anggraini ingin menolak
perintah
kedua lelaki dari tanah
Tiongkok itu, tapi secepatnya Chia Jui memotong.
Meski memendam perasaan tak
me-
nentu, benturan perasaan
antara penasaran ingin menghabisi Ratu Lebah dengan keheranan terhadap perintah
paman- nya, Anggraini akhirnya meninggalkan sang lawan.
"Kita akan segera bertemu
lagi, Perempuan Laknat" ancam Anggraini pa-da Mayangseruni yang masih
berdiri
dengan kuda-kuda siap tempur.
Tak beda dengan
Anggraini,
Mayangseruni pun dibuat heran
atas
tindak-tanduk mereka semua.
Menurut cerita Andika, paman Anggraini adalah Pangeran Neraka. Bila lelaki itu
tahu kalau kemenakannya bertarung dengan Mayangseruni, tentunya tak akan
meme-rintah untuk menghentikan pertarungan.
Apa mungkin Pangeran Neraka
tidak ta-hu, dengan siapa kemenakannya bertarung?
Sebelum benar-benar pergi,
seo-
rang dari dua lelaki kembar
itu mele-satkan sebuah tabung bambu ke arah
Mayangseruni. Amat cepat
meluncur, namun tidak begitu berarti bagi gadis murid Nyai Silili-lilu. Tanpa
menemui kesulitan, tangannya menyergap benda itu.
Pada dasarnya, tabung bambu
se-
panjang jengkalan tangan itu
memang tidak dimaksudkan untuk menyerang.
Buktinya, setelah meneliti
sebentar, Mayangseruni menemukan secarik surat.
Dan Mayangseruni membacanya.
"Pendekar Slebor Tunggu
aku di-penginapan, sebelah utara Bukit Cemara jajar - Pangeran Neraka"
Sepeninggalan gadis yang
diyakini
sebagai Anggraini dan dua
lelaki
Tiongkok tadi, Mayangseruni
segera pu-la meninggalkan tempat ini. Hendak
disusul nya Andika ke arah
timur.
***
Tanpa kesulitan berarti,
Mayang-
seruni cepat menemukan Andika.
Lalu, segera diceritakannya kejadian yang terjadi secara singkat dan gamblang.
Usai mendengar penuturan gadis
itu, Andika terdiam sambil
mengetuk-ngetuk siku tangan yang disilangkan ke depan dada. Sedangkan matanya
menera-wang jauh.
"Aku merasa ada yang
ganjil dengan peristiwa itu," ucap Pendekar Slebor samar, namun cukup
jelas ditangkap telinga Mayangseruni.
"Ya Entah bagaimana, aku
pun merasakan hal yang sama," timpal Mayangseruni.
"Kau kenal dua lelaki
yang menyusul Anggraini?" tanya pemuda sakti da-ri Lembah Kutukan ini.
"Tidak," jawab
Mayangseruni.
"Kalau menilik gambaran
yang kau berikan, aku yakin mereka adalah Kembar Dari Tiongkok. Kau tentu
pernah mendengar dua kaki tangan Begal Ireng, bukan? Merekalah orangnya. Pasti
mereka telah bersekongkol dengan Pangeran Neraka...."
Kepala Mayangseruni
mengangguk-
angguk. Dia ingat sekarang
tentang
Kembar Dari Tiongkok yang
menjadi
orang kepercayaan Begal Ireng,
sewaktu mengadakan makar jahat terhadap kerajaan Alangkah.
Andika tak berhenti berpikir
sam-
pai di situ. Otaknya yang
encer, berjalan lagi.
Kalau Kembar Dari Tiongkok
berga-
bung cukup lama dengan
Pangeran Nera-ka, tentunya sudah mengenal Mayangseruni sebagai Ratu Lebah yang
kejam, pendamping Pangeran Neraka. Kalau kini kedua lelaki itu tak menggubris
Mayangseruni, berarti pula
Pangeran Neraka tahu kalau Mayangseruni sudah sembuh dari pengaruh racun
Perusak
Syarafnya. Begitulah yang
dipikirkan pendekar muda buyut Pendekar Lembah Kutukan ini.
Bukankah menurut Nyai Silili-
lilu, Pangeran Neraka adalah
lelaki yang memiliki kelicikan serigala dan licin bagai belut?
Kalau tiba-tiba dia tak
mempedu-
likan kehadiran Ratu Lebah,
sudah pasti ada satu rencana licik pula dalam benaknya....
"Hmmm.... Apa maumu,
Setan Gundul" bisik Andika geram, mengumpat lelaki sesat yang kini
merongrong pikirannya.
"Kang...," tegur
Mayangseruni, melihat pemuda itu mondar-mandir tak karuan seperti mandor
perkebunan jeng-kol
Andika tak memperhatikan teguran
gadis didekatnya. Otaknya
masih sibuk teraduk-aduk.
"Kang Andika...,"
panggil Mayangseruni sekali lagi.
Barulah Andika tersadar.
"E,
apa?" tanya Andika.
"Ternyata dugaanku
benar."
"Benar apa?"
"Gadis itu memang
cantik."
"Gadis apa? Eh..., gadis yang
ma-na?" tanya Andika acuh tak acuh. Kembali kebingungannya dilanjutkan
memikirkan rencana licik Pangeran Neraka.
"Anggraini, Kang. Siapa
lagi?"
ucap Mayangseruni, sungkan.
Gadis itu masih malu-malu
mengha-
dapi Andika yang sifatnya
berlawanan sama sekali dengannya.
"Iya.... Anggraini....
Siapa la-gi...," gumam Andika, tak sadar mengulang ucapan Mayangseruni.
"Eh, tunggu dulu Anggraini?" sentaknya tiba-tiba. Kalau ada cecurut
jantungan di dekatnya, tentu binatang itu akan tewas seketika
"Oh, ya Ada pesan
untukmu,
Kang" kata Mayangseruni
lagi. Dis- odorkannya secarik surat pada Andika.
"Surat ini kudapat dari
Kembar Dari Tiongkok itu."
Andika segera membaca. Dan
seke-
tika air mukanya berubah,
setelah membaca. Ada satu hal yang baru saja dis-impulkan pemuda itu. Kini
kepalanya mengangguk-angguk.
"Rasanya sekarang aku
mulai bisa membaca niat busuk lelaki itu," ujar Andika meletup-letup.
"Ayo, kita segera tinggalkan tempat ini, Mayang"
Seketika Pendekar Slebor
menyam-
bar tangan gadis cantik
rupawan itu semena-mena, lalu membawanya lari. *** 9
Penginapan yang dimaksud dalam
surat Pengeran Neraka,
terletak tepat di kaki Bukit Cemarajajar. Sesuai namanya, bukit itu dikepung
jajaran pepohonan cemara yang tumbuh rapat tak teratur hingga merambahi
kakinya. Pa-noramanya memikat. Barisan cemara yang tumbuh pada dataran miring,
akan terlihat seperti payung-payung kuncup da-ri kejauhan.
Penginapan itu dibentengi
pagar
tembok tak terlalu tinggi. Di
halaman depan dan belakangnya yang luas, bebe- rapa batang cemara dibiarkan
tumbuh pada setiap sudut dan tepian jalan masuk. Rumput jarum tumbuh subur di
seluruh taman, bak permadani hijau ter-hampar luas. Pada beberapa bagian taman,
ditempatkan patung-patung kayu ukir bernilai seni tinggi. Di tambah sebuah
kolam buatan berisi ikan berwarna-warni serta tanaman bunga di sisinya.
Sehingga menyempurnakan taman menjadi tempat yang menawarkan kenya-manan.
Tampaknya, si pemilik
penginapan
tak mau tanggung-tanggung
dalam menge-lola penginapannya, agar benar-benar menarik pengunjung. Terbukti,
bangunannya dirancang sedemikian rupa. Sebagian mengambil rancangan seni
lelu-hur, bagian lain mengambil gaya bangunan Cina. Meski si pemilik tahu,
tempatnya agak terpencil.
Andika dan Mayangseruni tiba
di
sana. Mereka masuk sambil
mengagumi taman dan bangunannya. Dalam hati,
Pendekar Slebor jadi
berseloroh sendiri.
"Selera Pangeran Slompret
itu rupanya tinggi juga....?"
Melalui jalan setapak dari
susu-
ran batuan sungai halus, dua
anak muda itu melangkah terus sampai memasuki bangunan penginapan.
Di ruang penerimaan tamu yang
tak
begitu besar, keduanya
disambut lelaki yang tampaknya berdarah campuran Melayu Cina.
"Ada yang bisa hamba
bantu?"
tanya penerima tamu ramah,
layaknya pemilik penginapan lain.
"Kami hendak memesan
kamar," kata Andika, menanggapi sambutan penerima tamu.
Tanpa banyak tanya, si
penerima
tamu berjalan menuju meja
berukir di sudut ruangan. Dari lacinya, diambil-nya dua anak kunci.
"Kamarnya terletak agak
berjauhan," kata penerima tamu yang sekaligus pemilik penginapan,
setibanya di dekat Andika dan Mayangseruni.
"Satu kamar berada
disayap timur, sedang yang lain berada di sayap kanan. Aku harap, Tuan-tuan
dapat mengerti. Karena hanya kamar-kamar itu yang belum terisi."
Ketajaman otak Andika
menangkap
suatu yang mencurigakan dengan
sambutan yang berkesan tergesa-gesa itu.
Bukan Pendekar Slebor kalau
tak bisa mencium gelagat aneh, meski hanya se-kelebatan. Tak percuma
orang-orang
persilatan sering
membicarakannya sebagai pendekar yang memiliki otak lebih encer dari pada bubur
bayi
"Dari mana lelaki ini
tahu kalau aku dan Mayangseruni hendak menginap dengan dua kamar
terpisah?" tanya Andika. "Padahal, lazimnya pemilik pen- ginapan
selalu menanyakan berapa kamar yang hendak dipesan, jika kedatangan tamu lebih
dari satu orang...."
Tanpa hendak memperlihatkan
kecu-
rigaan, Pendekar Slebor
menerima sodo-ran anak kunci dari lelaki berdarah campuran itu. Satu hal lagi
keganjilan yang ditangkap mata Andika. Ketika
memberi kunci, lelaki itu seperti
tahu hendak menyerahkan kunci yang mana pa-da Andika, dan yang mana pula untuk
Mayangseruni.
"Terima kasih,"
tutur Andika datar.
Menurut dugaan, lelaki pemilik
penginapan tentu telah
terlibat dalam rencana busuk Pangeran Neraka. Kalau melihat sinar matanya,
tampaknya tak ada sifat-sifat jahat dalam dirinya.
Barangkali, dia terpaksa
terlibat karena diancam.
Setelah Mayangseruni menyusul
pu-
la kata terima kasih, keduanya
lalu menuju kamar masing-masing. Kedua kamar itu terletak sama-sama dilantai
atas. Tapi, jaraknya berjauhan. Kira-kira, terpisah jarak dua puluh lima
tombak.
Andika masuk ke dalam
kamarnya.
Hampir berbarengan,
Mayangseruni pun masuk.
* * * Malam pun tiba. Sejauh
ini tak
ada tanda-tanda mencurigakan
bakal
terjadi. Pendekar Slebor
berusaha terus untuk tetap waspada, sesuatu bisa saja terjadi secara tiba-tiba.
Jangkrik berkerik-kerik tanpa
bo-
san-bosan. Nyanyian hewan
malam lain turut menimpali, membuat suasana makin terasa tegang.
Tanpa mampu memicingkan mata
se-
jenak pun, Pendekar Slebor
berjalan hilir mudik di dalam kamarnya yang sengaja tidak diberi penerangan.
Dalam keadaan gelap itu, matanya justru lebih leluasa meneliti keadaan di luar.
Sementara itu, pikirannya
terus dige-layuti kegelisahan. Andika khawatir akan keselamatan Mayangseruni di
kamar lain. Biarpun ilmu dara cantik tersebut tidak diragukan, namun tetap
merasa memiliki tanggung jawab terhadap keselamatannya.
Waktu terus merangkak. Entah
su-
dah berapa lama Andika seperti
itu, tetap juga tak terjadi apa-apa.
Untuk menghempas kejenuhan,
Pen-
dekar Slebor mencoba sedikit
menyibak kerai jendela. Angin menerobos diam-diam, sedikit pun tak membuatnya
menjadi merasa lebih tenang. Di angkasa maha luas, matanya menemukan sinar
pucat rembulan. Benda langit itu seakan menambah kegelisahan hatinya.
Di kamar lain, Mayangseruni
pun mengalami hal yang sama. Matanya juga tak bisa dipicingkan. Hatinya pun
gelisah, seperti pemuda pujaannya.
Bedanya, kalau Andika berjalan
tak karuan, gadis itu memilih
untuk duduk diam di atas pembaringan dalam keadaan bersemadi. Dalam gelap, mata
berbulu lentik Mayangseruni sesekali bergerak waspada. Gadis itu pun rupanya
berpendapat sama dengan Andika.
Jika tidak ingin diawasi orang
lain dari luar, lentera kamarnya harus di-padamkan.
Suatu saat, perasaan
Mayangseruni
tiba-tiba memperingati akan
suatu bahaya mengancam. Dia belum tahu, apa yang bakal terjadi. Yang jelas,
nalu-rinya memperingati harus waspada.
Wesss
Benar juga. Dari arah lubang
an-
gin di atas pintu, mendesis
suara tajam menuju dirinya.
Tangkas sekali Mayangseruni
me-
lempar tubuh ke samping
ranjang. Tak ada sekejap, desisan tadi menghujam ranjangnya, melahirkan suara
lain yang tak begitu kentara.
Bles
Seusai suara tadi, tak ada
keja-
dian lain menyusul. Hanya kelengangan
merajai kamarnya, serta suara lamat-lamat jangkrik yang berdendang. Untuk lebih
yakin, sengaja Mayangseruni menunggu beberapa lama dalam sikap mema- sang
kuda-kuda siaga.
Karena tetap tak terjadi
apa-apa,
barulah Mayangseruni mencoba
menghi-dupkan lentera yang sejak tadi dipadamkan. Bunyi pemantik api penginapan
terdengar, menyusul ruangan menjadi terang.
Kini, mata Mayangseruni bisa
me-
lihat jelas, benda apa yang
telah me-mangsa ranjangnya. Di sana, tertancap sebilah anak panah yang di tengahnya
diikatkan secarik surat.
Cepat Mayangseruni menjemput
anak
panah tersebut. Dari ikatannya
Mayangseruni melepas surat pada anak panah.
Asal kau tahu, perempuan tak
tahu malu Pemuda tampan yang kini bersama-mu, adalah kekasihku. Kau telah
berani-beraninya merebut Andika dari pelu-kanku. Bukankah wanita seperti itu
pantas disebut sebagai wanita murahan.
Anggraini
Betapa panasnya wajah
Mayangseru-
ni membaca surat yang berisi
bukan
hanya kecaman, tapi juga caci
maki.
Seluruh kata yang tertulis
dalam surat, seperti menyeruak paksa ke setiap jalan darahnya. Dadanya mendadak
se-sak, memaksa hidungnya menarik napas setarikan demi setarikan dengan
terse-ret-seret.
Wanita mana yang sudi
dikatakan
wanita murahan? Tidak juga
diri gadis cantik itu. Sebutan itu lebih menyakitkan ketimbang hantaman godam
raksasa seberat ribuan kati
Saat itu, yang terbersit dalam
pikiran Mayangseruni hanya
perkataan kalau pemuda idamannya telah menipu dirinya mentah-mentah. Cinta
murninya telah dipermainkan Andika. Cintanya yang selama ini terbangun dengan
pen-gorbanan, terserpih begitu mudah.
Perlahan-lahan, desakan rasa
pe-
dih dari dalam dada
Mayangseruni memaksa garis bening merembes dari kelopak matanya. Dia memang
seorang pendekar wanita. Tapi, tentu saja tak akan sanggup memungkiri
kewanitaannya. Biar bagaimanapun, air mata tetap menjadi bagian dalam hidup
seorang wanita seperti Mayangseruni.
Mayangseruni tak ingin
terisak.
Cukup airmata saja yang jatuh
sebagai tanda kekecewaan mendalam.
Mayangseruni melempar surat
dan
anak panah di tangan. Dengan
hati lu-luh lantak, kakinya melangkah menuju pintu kamar dan keluar dari sana.
Jika seseorang menanyakan hendak ke mana saat itu, dia tidak bisa menjawab.
Mayangseruni hanya ingin
meninggalkan tempat itu. Seakan-akan, hanya dengan begitu bisa membuang
jauh-jauh segala hal tentang Andika.
Bagaimana dengan Andika
sendiri?
Tidak Pemuda itu tak pernah
tahu ka- lau Mayangseruni pergi. Jendela kamarnya membelakangi kamar
Mayangseruni.
Sehingga apa pun yang terjadi
di kamar gadis itu, Andika tidak dapat melihatnya. Sementara, letak yang cukup
jauh, membuat suara halus anak panah tersapu angin tak dapat tertangkap telinga
Andika.
"Sudah lewat dini hari,
tapi kenapa belum terjadi apa-apa juga...,"
gumam Andika berbisik.
Untuk yang ke sekian kalinya,
Pendekar Slebor melepas
pandangan keluar dari jendela, seraya menajamkan indera pendengarannya. Tapi
tetap saja tak tertangkap suatu yang mencurigakan.
"Apakah aku sudah salah
perhitungan?" tanya Pendekar Slebor pada diri sendiri, ragu. "Apa
mungkin aku justru telah benar-benar masuk ke dalam pe-rangkap pangeran sial
itu tanpa kusa-dari?"
Andika makin digebah keraguan.
Sebelumnya pemuda itu sudah
merasa yakin, telah berhasil membaca rencana licik Pangeran Neraka. Semua hal-hal
yang berkesan ganjil, direkam serta diolah otaknya. Dia yakin, telah berada
pada arah yang tepat menuju puncak rencana lawan.
Kalau sampai selarut itu
perki-
raannya belum terbukti, tentu
saja Andika menjadi ragu. Segera Andika memutuskan untuk
memeriksa kamar murid bibi
buyutnya.
Bukankah Pangeran Neraka amat
licik?
Bisa saja, dia telah
memperdayai
Mayangseruni tanpa
sepengetahuannya.
Namun baru saja tangannya
hendak
menjemput gagang pintu,
tiba-tiba saja matanya melihat seseorang mengendap-endap ringan di atas
wuwungan. Tak jelas, apakah orang itu wanita atau lelaki. Sebab pada saat itu,
bulan dis-elumuti awan hitam pekat. Gerakan
orang itu amat ringan,
seringan kucing liar. Tak ada keributan yang ditimbul-kannya.
Anehnya, begitu melihat kehadiran
sosok tak dikenal itu, Andika
telah mengurungkan niat. Lebih aneh lagi, bibirnya malah memperlihatkan senyum.
Hanya Pendekar Slebor sendiri
yang tahu, kenapa begitu.
"He he he, kukira aku
sudah salah perhitungan...," bisik Andika samar.
Selang beberapa waktu
berikutnya,
pemuda urakan yang terkadang
sulit di-mengerti itu, mengangkat kesepuluh ja-rinya. Satu persatu, jari
tersebut di-lipat seraya menghitung.
"Satu... dua...
tiga...."
Pada hitungan kesepuluh,
Andika
bergegas membuka pintu
kamarnya. Wajahnya kini dibuat seperti sedang di-guncang kekhawatiran. Namun
karena dasarnya memang urakan, masih sempat- sempat pula bibirnya tersungging
kecil.
Aneh
Lalu, pemuda dari Lembah
Kutukan
itu berlari-lari, seolah
memburu suatu yang mencemaskan. Arahnya, menuju kamar Mayangseruni. Agar lebih
terlihat seperti sungguh-sungguh, Andika pun mengerahkan sebagian ilmu
meringankan tubuhnya yang amat dikagumi banyak tokoh persilatan.
Whus
Lebih cepat dari 'gas buangan'
siapa pun, Pendekar Slebor telah
tiba di depan kamar Mayangseruni. Tepat di depan pintu kamar, pemuda itu
berdiri sejenak. Dibenarkannya letak kerah ba-ju, kemudian menjemput gagang
pintu.
Pintu terbuka. Ruangan
ternyata
sudah gelap kembali. Ada
seseorang
yang telah mematikan kembali
lentera yang baru saja dinyalakan Mayangseruni sebelumnya.
Entah, siasat apa lagi yang
se-
dang dijalankan pemuda berotak
encer itu. Yang jelas, dia berlagak seperti orang yang bersiaga penuh. Kakinya
melangkah satu-satu, melewati mulut pintu. Sepasang tangannya teracung ke depan
dengan otot menegang. Diliriknya ranjang di dalam kamar. Ada seseorang sedang
terlelap di sana.
"Mayang..., ssst,
Mayang," bisik Pendekar Slebor hati-hati seraya men- dekat perlahan-lahan
ke sisi ranjang.
Makin dekat, gaya anak muda
brengsek itu makin
dibuat-buat. Sepertinya, Andika begitu tahu ada orang lain selain wanita
diranjang yang sedang mengawasi semua gerak-geriknya.
Kaki Andika mulai
berjingkat-jingkat kecil menuju tepi ranjang, seperti
maling jemuran. Tangannya pun
mencak sana mencak sini tak karuan.
Sebenarnya, apa yang ada dalam
pikiran Andika saat itu?
"Mayang....
Mayang...," ulang Pendekar Slebor, memanggil nama gadis yang sudah tidak
ada lagi di tempatnya.
Tepat ketika benar-benar tiba
di
tepi ranjang.
Werrr
Selimut yang menutupi sebagian
badan tersingkat amat cepat.
Seiring dengan itu, seberkas suara mendesis halus terdengar.
Seth
Tahu-tahu, telah menempel
benda
kecil tajam yang dingin tepat
di tenggorokan Andika. Namun Pendekar Slebor tak tampak terperanjat mendapat
sambutan tak ramah itu. Malah dia memperlihatkan cengiran kudanya yang
menjengkelkan.
"Apa kabar,
Anggraini?" tegur Pendekar Slebor.
Sungguh pada saat itu, tak ada
sedikit cahaya yang menerangi wajah wanita di depannya. Semuanya memang telah
diperhitungkan Pendekar Slebor.
Jadi, tanpa perlu melihat
jelas pun, Andika sudah tahu kalau wanita itu
adalah Anggraini. Kalaupun
sebelumnya memanggil-manggil nama Mayangseruni, itu semata-mata hanya
berpura-pura.
"Tak perlu berbasa-basi
lagi padaku, Penipu Laknat" geram Anggraini.
Di tangannya telah siap busur
yang merentang tegang. Ujung anak panahnya menempel di tenggorokan Andika.
"Kukira aku tidak seperti
apa
yang kau ucapkan,"
sangkal Andika tenang. "Aku yakin, kau telah termakan hasutan pamanmu.
Bukan begitu,
Anggraini?"
"Sekali lagi kau
berbicara, le-hermu akan tertembus anak panahku"
ancam Anggraini.
"Sekarang nyalakan lentera itu"
Andika menuruti perintah gadis
yang dibakar api dendam buta
ini. Perlahan tubuhnya beringsut ke tempat lentera tergantung. Dengan pemantik
api di dekatnya, dinyalakannya lentera minyak itu hati-hati di bawah ancaman
busur Anggraini.
"Sekarang, aku bisa
melihat wajah pembunuh ayahku. Aku akan lebih puas melihat, bagaimana wajahmu
ketika meregang maut...," desis Anggraini geram dengan menyipit. Andika
tak peduli dengan kegera-
man di wajah ayu yang terbakar
warna merah itu. Ditatapnya lurus-lurus mata Anggraini, seakan sedang berusaha
menembus langsung ke hati gadis itu.
"Apa kau yakin hendak
membunuh-ku?" tanya Andika.
Ucapan Pendekar Slebor mungkin
tak beda dengan sebuah
tantangan. Namun, nada kalimat yang dibuatnya men-gandung tekanan mantap,
mencoba meng-goyahkan niat membunuh dalam diri gadis itu.
Anggraini tak segera menjawab.
"Kenapa kau diam,
Anggraini? Apakah kau ragu?" susul Andika lagi.
"Diam kau Aku tak pernah
ragu untuk membunuh orang yang telah membunuh ayahku" bentak gadis itu
hampir tersekat isak yang muncul tanpa tertahan.
"Kau tak akan percaya
bila kukatakan, kalau aku telah melakukan tindakan yang benar dengan membunuh
ayahmu," ucap Andika kembali, tanpa takut Anggraini melepas tali busurnya.
"Kau penipu" maki
Anggraini. Wajahnya menyimpan mendung. Kalau saja tak berusaha menahan, tentu
isaknya sudah terlempar keluar.
"Aku memang pembunuh
ayahmu. Ta-pi, aku bukan penipu seperti katamu,"
sangkal Andika. "Pamanmu
lah yang pantas disebut penipu...." "Diam" bentak Anggraini.
Tapi, Andika tak peduli.
"Dia telah memutar
balikkan kenyataan sesungguhnya. Kau telah berhasil dipermainkan lelaki itu,
lalu di-manfaatkan untuk melaksanakan keinginannya untuk membunuhku...."
"Diam Diam Diam Kalau kau
tidak diam...."
"Kalau aku tak diam, apa
yang
akan kau lakukan Anggraini?
Apa? Membunuhku dengan anak panahmu ini? Ayo, bunuhlah aku Ayo bunuh"
Andika terus menyudutkan Anggraini dengan kata demi katanya.
Anggraini tidak bisa menjawab.
Bibirnya bergerak-gerak,
hendak mengucapkan sesuatu, namun tak mampu. Bulir bening yang sejak tadi
bergelayut di kelopak matanya, kini mulai gugur di sepanjang pipi halusnya.
"Kenapa kau belum juga
membunuh-ku, Anggraini? Kau ragu bukan? Karena, kau tidak ingin menyesal seumur
hidup setelah tahu aku tak pantas dibunuh...," sambung Andika agak
melembut.
Sementara hati gadis di depan
Pendekar Slebor makin goyah
diberon-dong isak.
"Perlu kau tahu.
Sebenarnya, aku sudah tahu kalau kau akan ada di sini.
Kelicikan pamanmu sudah dapat
kubaca.
Manakala tahu Mayangseruni
telah ber-samaku, dia pun segera mengatur siasat licik untuk mengenyahkanku
dengan tan-ganmu. Bukankah kau dan Mayangseruni hampir sulit dibedakan, jika
dilihat sekilas. Apalagi dalam gelap seperti tadi...," kata Andika, lalu
diam sesaat. "Dia mengira, aku bisa tertipu dengan menempatkanmu di kamar
Mayangseruni. Tidak Aku tidak tertipu. Kalaupun aku datang juga ke kamar ini,
itu karena ingin membuktikan padamu bahwa aku tidak. bersalah dengan membunuh
ayahmu. Aku yakin, telah melakukan tindakan benar. Jadi, kenapa aku harus takut
menghadapi tuntutan dendammu?"
Seluruh kalimat Andika bagai
menghujam ke dalaman batin
Anggraini.
Di telinganya, kata-kata itu
begitu mantap terulur bagai tak memiliki keraguan atau kedustaan sepercik pun.
Di lain sisi, justru keraguan
da-
lam diri Anggraini makin
membesar dan membesar. Bahkan berkembang perlahan bagai daging tumbuh yang
menyiksa.
Tangan Anggraini yang
merentang-
kan busur makin kehilangan
kekuatan.
Getarannya menghebat.
Biar bagaimanapun, dendam buta
membakar, cinta pula yang bisa
menerobos dari kepungannya. Anggraini tak kuasa menghalangi rontaan cinta dari
dalam dirinya. Sementara, kata demi kata pemuda di hadapannya telah jatuh tepat
di garba cinta itu sendiri. "Sadarlah. Anggraini. Begal
Ireng, ayahmu, adalah tokoh
sesat yang harus kusingkirkan...."
Mendapat kalimat terakhir
Andika,
mata Anggraini yang semula
terjatuh, kini membeliak beringas.
"Kebohongan apa lagi yang
kau katakan, Andika?" geram Anggraini.
"Kalau kau benar-benar
ingin membunuhku, cari tahulah tentang ayahmu di Istana Alengka, agar nanti tak
menyesal. Dan kau pun harus benar meyakini setiap ucapan pamanmu...."
Saat berbicara, mata Andika
men-
cari-cari sesuatu dalam kamar.
Ditemukannya remasan surat yang ditujukan untuk Mayangseruni, serta anak panah
di satu sudut ruangan.
Sejak semula, Andika sudah
tahu
kalau Pangeran Neraka akan
memperdayai Mayangseruni agar keluar dari kamar itu, lalu memperdayai Anggraini
pula agar menggantikan Mayangseruni di kamarnya. Hanya sampai semuanya terjadi,
Andika tidak tahu bagaimana cara Pangeran Neraka melakukannya.
Setelah melihat secarik surat
lu-
suh dan anak panah itu,
pikiran Andika terbuka kembali. Kini dia tahu, Pangeran Neraka mengeluarkan
Mayangseruni dari kamar secara halus. Tampaknya, tidak akan terjadi apa-apa
terhadap diri gadis itu. Karena, sasaran Pangeran Neraka hanya Andika sendiri.
"Kau lihat secarik surat lusuh dan anak panah di sudut ruangan itu?"
kata Andika memulai kembali
pada
Anggraini. "Dengan
benda-benda itu, kau bisa mengetahui siapa sesungguhnya pamanmu...."
"Apa maksudmu?"
sentak Anggraini bersama derai airmata yang tak bisa lagi dibendung.
"Apa kau tak mengenali
kalau anak panah itu adalah anak panahmu? Meski-pun belum sempat kubaca, namun
aku yakin isi surat itu mengatas namakan dirimu. Sementara, kau tak pernah
mengi-rimnya pada Mayangseruni yang sebelumnya menempati kamar ini...."
Mata sembab gadis itu melirik
ra-
gu ke sudut ruangan.
"Ayo, lihatlah.... Aku
tak akan lari. Dan aku tak akan membokong-mu...," ucap Andika.
Mata Anggraini kini beralih
pada
mata Andika. Ditembusnya
manik-manik mata perkasa pemuda itu. Seakan, dia ingin mencaritahu apakah
Andika berusaha menipunya atau tidak. Tapi, sebe-tik pun tak ditemukan
kedustaan di sa-na.
Perlahan-lahan,
tubuh Anggraini
beringsut menghampiri anak
panah dan secarik surat lusuh tadi. Mata anak panah di tangannya tetap
ditujukan pa-da Andika, seperti juga matanya yang tetap mengawasi. Begitu
tangan lembut Anggraini
hendak menjemput kedua benda
itu....
Brak
Mendadak saja, dinding kamar
je-
bol. Serangkum pukulan
bertenaga dalam dahsyat yang ditujukan pada Andika, merangsek masuk dengan amat
kasar Andika terkesiap. Begitu juga Anggraini.
Apalagi, pukulan jarak jauh
dahsyat itu searah dengan tempat Anggraini.
Pendekar Slebor yang sering
kali
menelan kejadian-kejadian tak
terduga selama petualangannya serta merta mengerahkan seluruh kemampuan ilmu
kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan.
"Anggraini awas"
Sekelebat gerak yang sulit
diiku-
ti mata, dilakukan pendekar
muda itu.
Disergapnya tubuh sintal
Anggraini, sekaligus menyelamatkan diri dari ter-jangan pukulan jarak jauh
tadi.
Tak ayal lagi, tubuh mereka
ber-
gulingan di lantai.
Ketika guguran dinding kayu
ber-
serakan tanpa daya, ketika
debu-debu ruangan sudah tergolek di seluruh
ruangan, tubuh Andika dan
Anggraini terdiam. Andika masih memeluk punggung Anggraini di bawahnya. Pemuda
itu menanti serangan lebih lanjut, tapi tak kunjung datang juga.
Andika lalu berkesimpulan,
penye-
rang gelapnya adalah Pangeran
Neraka.
Tahu kalau sasarannya selamat,
Bureksa mungkin menyingkir secepatnya. Pada dasarnya, dia memang tidak mau
mengambil bahaya menghadapi Andika secara langsung.
"Manusia kentut
pengecut" umpat Pendekar Slebor geram.
Andika bangkit, seraya
membantu
Anggraini. "Kau tidak apa-apa,
Anggraini?" tanya Andika lembut.
Sulit digambarkan, bagaimana
wa-
jah Anggraini saat itu.
Sehimpun rasa berbaur menjadi satu. Gundah, kalut, kecewa, serta dendam. Kini
dia tahu, ucapan Andika seluruhnya benar. Pamannya telah mengkhianati.
Tanpa berniat menjawab
pertanyaan
Andika, Anggraini menghambur
keluar kamar, membawa isak dan segala kepedi-han tak tertanggungkan.
"Anggraini, tunggu"
tahan Andika.
Tapi, kehancuran batin
Anggraini
memaksanya untuk tidak
mempedulikan apa-apa lagi. Dia terus berlari..., berlari..., membawa seluruh
luka dalam diri. Akan ke mana kau, Anggraini?
S E L E S A I