-------------------------------
----------------------------
Episode 10 Pengadilan Perut Bumi
1
Teriakan-teriakan pertarungan
terdengar memecah keheningan di kaki sebuah pegunungan berapi.
Sebuah pertarungan tingkat
tinggi antara dua tokoh tua melawan satu tokoh tua dibantu seorang pemuda,
sulit diduga sampai di mana tingkat ilmu masing-masing. Yang jelas, teriakan
mereka lebih menggidikkan daripada salakan seribu petir.
Bisa dikatakan, pertarungan
ini satu dari bentrokan terdahsyat sepanjang seratus tahun belakangan. Apalagi,
tiga orang di antara mereka, memang sulit dicari tandingan sejak pertama kali
muncul delapan puluh tahun yang lalu. Jika untuk kedua kalinya mereka hadir
kembali dan membuat keguncangan, sebenarnya bukan hal yang terlalu aneh.
Dibanding delapan puluh tahun
yang lampau, pertarungan kali ini ternyata lebih hebat lagi, dengan turut
andilnya seorang pemuda jelmaan siluman. Dan pemuda itu memang mendapat tugas
untuk
membuat kekacauan di bumi
setiap sejuta purnama.
Layaknya sosok siluman,
penampilan pemuda itu memang mengerikan. Tubuhnya kekar sarat dengan otot
menonjol. Rambutnya panjang berwarna merah bara bagai percikan api neraka.
Matanya seperti mata macan hutan liar. Dan di dua sudut bibirnya, tersembul dua
taring tajam mengancam Lahirlah sebutan angker bagi dirinya. Manusia Dari Pusat
Bumi Sementara itu satu orang yang berdiri di pihaknya adalah lelaki tua
berusia sekitar seratus dua puluh tahun. Wajahnya datar dengan satu lubang
hidung kecil. Berbibir amat tipis dan berkelopak mata begitu sempit. Tubuhnya
terbungkus kain kafan usang dari bahu hingga terikat ketat di mata kaki.
Dagunya ditumbuhi jenggot panjang dan putih sekitar satu depa. Rambutnya pun
putih, tersibak ke mana-mana.
Delapan puluh tahun lalu,
sepak terjangnya membuat ciut nyali banyak tokoh persilatan. Dialah tokoh yang
berjuluk Hakim Tanpa Wajah
Lawan kedua tokoh itu adalah
dua lelaki yang sifatnya bertolak belakang. Satu begitu pemarah dan pemberang.
Sedang yang lain begitu lugu dan dungu.
Usia lelaki yang berwatak
pemberang tak jauh beda dengan Hakim Tanpa Wajah. Namun karena dalam tubuhnya
mengalir darah serigala, maka tak mengalami ketuaan. Sosoknya tinggi besar,
dengan bulu-bulu hitam lebat di sekujur tubuh dan wajahnya.
Penampilannya seperti gorila.
Namun, tak begitu dengan paras wajahnya yang terbilang tampan, meski pipinya
begitu tebal. Seperti Manusia dari Pusat Bumi, lelaki keturunan serigala ini
pun hanya bercelana hitam tanggung yang ujungnya sudah koyak-moyak.
Sesuai keadaannya, julukannya
pun Lelaki Berbulu Hitam sejak muncul delapan puluh tahun yang lampau.
Sedangkan kawan Lelaki Berbulu
Hitam yang berwatak dungu, berjuluk Pendekar Dungu. Karena seangkatan dengan
tokoh sesat yang berjuluk Hakim Tanpa Wajah, dia sudah begitu peot keriput.
Pakaiannya warna-warni, penuh
tambalan. Tubuhnya bongkok seperti gagang tongkat. Tapi masih begitu gagah.
Matanya kelabu, tapi tetap berbinar penuh semangat. Rambutnya memutih rata
ditutup selembar topi pandan. Wajahnya tanpa jenggot dan kumis. Mulutnya hanya
memiliki tiga butir gigi yang semuanya berwarna kuning langsat (Untuk
mengetahui awal kisah bentrokan mereka, ikuti serial Pendekar Slebor dalam
episode : “Manusia Dari Pusat Bumi”).
Pertarungan mereka telah
memasuki hari kedua, tanpa henti. Meski usia tiga orang di antara mereka
tergolong uzur, namun pertarungan yang panjang itu tak juga membuat lelah.
Tenaga mereka seperti tak terkuras sama sekali. Dari gejolak pertarungan yang
kian memanas, tampaknya mereka malah memiliki cadangan tenaga yang cukup untuk
beberapa hari lagi.
Des Plak
Dua tinju yang dilepaskan dari
jurus 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi' secara berbarengan oleh Hakim Tanpa Wajah
dan Manusia Dari Pusat Bumi mencoba melebur kekompakan pertahanan lawan.
Sudah jurus yang ketujuh puluh
guru dan murid itu mengerahkan jurus langka ini. Akibat yang ditimbul-kannya membuat
permukaan tanah seperti digoyang berkali-kali. Hal itu terjadi karena pada
setiap rangkai jurus, kaki mereka selalu melakukan jejakan-jejakan bertenaga ke
bumi. Terlalu banyaknya jejakan hebat menyebabkan tanah banyak yang retak di
sana-sini.
Pepohonan dalam jarak sekitar
dua puluh tombak dari kancah pertarungan, sudah pula bertumbangan.
Pendekar Dungu dan Lelaki
Berbulu Hitam sudah amat kenal dengan jurus 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi'.
Mereka mampu mengimbangi dengan
gabungan jurus masing-masing.
Sewaktu tinju yang dilepaskan
guru dan murid itu merangsek pertahan secara berbareng, mereka pun berpencar.
Masing-masing menahan satu tinju.
Dengan begitu, sepertinya
kekompakan mereka ter-pecah. Padahal, tidak sama sekali. Karena justru mereka
sedang menjalankan siasat tempur baru yang diharapkan akan mengecoh lawan.
“Dungu Jangan merenggangkan
jarak Gabungan jurus kita bisa kocar-kacir” ujar Lelaki Berbulu Hitam,
pura-pura terkejut.
“Lho? Kupikir ini siasat kita
untuk mengecoh mereka” sahut Pendekar Dungu lugu.
“Wuaaa, Dasar Goblok Kenapa
mesti disebut-sebut? Kau telah menggagalkan rencana kita”
umpat Lelaki Berbulu Hitam, di
antara terjangan bertubi-tubi Hakim Tanpa Wajah.
“Lho? Salahmu sendiri Kenapa
tadi berteriak...?
Hey Kau tadi berteriak apa
padaku, ya?”
“Ah, sudah Tutup saja bacotmu
Dan, hadapi si Pemuda Jelek itu” hardik Lelaki Berbulu Hitam.
Manusia Dari Pusat Bumi tak
kalah garang merangsek Pendekar Dungu. Sepuluh cakarnya men-cabik udara, menuju
leher lelaki berotak kerbau itu.
Tapi Pendekar Dungu malah
tertawa keras-keras sampai terdongak-dongak. Sehingga, sambaran cakar si Pemuda
Jelmaan Siluman luput berkali-kali.
“Kenapa kau tertawa, Dungu?
Apa kau pikir ucapanku barusan lucu? Haih” dengus Lelaki Berbulu Hitam sambil
balas menyerang Hakim Tanpa Wajah dengan hentakan telapak tangan lurus ke dada.
“Ait..., ait”
Pendekar Dungu
berjingkat-jingkat sewaktu Manusia Dari Pusat Bumi mengincar kaki keriputnya.
“Pemuda sialan ini memang
jelek, Hitam Setelah kupikir susah payah, baru kusadari kalau ada manusia yang
lebih jelek daripada dirimu He... he...
he” oceh Pendekar Dungu tanpa
rasa bersalah sedikit pun pada Lelaki Berbulu Hitam.
“Wuaaa, Tua Bangka Berotak
Bebal Kalau aku berhasil meremukkan kepala hakim sialan ini, kau akan dapat giliran”
ancam Lelaki Berbulu Hitam berang. Matanya mendelik-delik seperti orang
keracunan.
Puncak pertarungan mereka
diawali oleh
melompatnya Manusia Dari Pusat
Bumi jauh keluar arena. Menyadari muridnya akan mengerahkan kesaktian baru yang
mungkin belum pernah disaksikannya, Hakim Tanpa Wajah ikut menjauhi lawan.
Dengan beruntun salto di udara, lelaki tua terbungkus kain kafan usang itu
mengambil tempat jauh dari lawan, dan juga jauh dari si Manusia Jelmaan Siluman
pula. Paling tidak, sekadar untuk menjaga kemungkinan agar dirinya tidak jadi
sasaran serangan nyasar milik murid ajaibnya.
“He... he... he. Kau punya
kejutan untukku, Bocah Bagus?” tanya Hakim Tanpa Wajah di kejauhan.
Bibirnya menyeringai penuh
harap. “Sekarang inilah saat yang tepat untuk membuktikan bahwa kau mampu
menjadi 'Sang Penuntut' dari pengadilanku
He... he... he”
Tak lama setelah kata-kata
Hakim Tanpa Wajah tuntas, si Manusia Jelmaan Siluman pun menyiapkan satu
serangan gaib yang didukung oleh kekuatan dari alam lain. Sejenak kepalanya
mendongak lurus ke langit, disusul oleh terangkatnya kedua tangannya
tinggi-tinggi. Seluruh jarinya membentang, seolah hendak menggapai atap dunia,
lalu meruntuhkannya
“Nah, lo... Nah, lo Pemuda
jelek itu hendak berbuat apa?” tanya Pendekar Dungu dengan mimik linglung,
seperti untuk diri sendiri.
“Mana kutahu Kau pikir dia itu
adikku, hingga aku tahu apa yang mau diperbuatnya” sahut Lelaki Berbulu Hitam,
tetap garang seperti yang sudah-sudah.
“Jadi dia itu bukan adikmu?”
sergah Pendekar Dungu. “O-o. Pantas saja kau kelihatannya lebih jelek daripada
dia....”
Pendekar Dungu
mengangguk-angguk polos,
dengan pandangan tetap pada
pemuda siluman itu.
“Diaaam” bentak Lelaki Berbulu
Hitam. Suaranya mengguntur ke segenap penjuru. Tapi sama sekali tidak mengusik
Manusia Dari Pusat Bumi jauh di depan.
“Lihat..., lihat” seru
Pendekar Dungu pada kawan buruknya yang masih mendelik dengan rahang mengejang.
Ditunjuknya si Manusia Dari Pusat Bumi.
Jauh di sana, orang yang
dimaksud sedang mengalami getaran hebat. Seluruh tubuhnya bagai diberontaki
seribu makhluk tak berwujud. Masih tetap mendongak, mulut bertaringnya perlahan
membuka.
Setelah itu, meluncurlah
lengkingan asing yang baru kali ini terdengar di telinga manusia mana pun.
Lengkingan tinggi, yang langsung
menerabas hingga ke sudut hati. Tak keras, namun amat berpengaruh pada sambaran
mereka.
Telinga sepasang tokoh aneh
musuh bebuyutan Hakim Tanpa Wajah ini tak terlalu terganggu oleh jeritan tadi.
Tenaga dalam mereka terlalu tinggi untuk bisa dijatuhkan dengan kekuatan suara
seperti itu.
Namun begitu, ada pengaruh
lain yang tak lagi terbendung. Semacam ketakutan yang sulit dijelaskan,
mendadak saja menggerayangi diri Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu.
“Sial Apa yang telah
diperbuatnya padaku?” desis Lelaki Berbulu Hitam tak mengerti. “Seumur hidup,
belum pernah kurasakan perasaan mencekam seperti sekarang....”
Ketika Hakim Tanpa Wajah
melirik Pendekar Dungu, lelaki tua bongkok itu pun menampakkan wajah pias.
Mimiknya seperti orang yang sedang menunggu ajal.
“Dungu Apakah kau merasakan
hal yang sama?”
tanya Lelaki Berbulu Hitam.
Pendekar Dungu lalu
menggeleng. “Aku tak tahu apa yang kau rasakan. Bahkan aku pun tak tahu, apa
yang kurasakan saat ini. Semuanya begitu asing...,”
jawab Pendekar Dungu, tak lagi
berkesan bodoh seperti sebelumnya. “Apa yang mesti kita lakukan?”
“Pusatkan pikiranmu, Dungu
Tutup semua indera
Aku yakin, gelombang suara itu
yang menjadi penyebabnya” ujar Lelaki Berbulu Hitam memper-ingatkan, di antara
pertempuran rasa takut yang menelusup dengan rasa murka yang menjadi sifatnya.
Dan secepat itu pula Lelaki
Berbulu Hitam, bersemadi dalam keadaan berdiri. Lalu, ditutupnya seluruh
indera. Pikirannya langsung dipusatkan pada satu titik dalam diri. Sementara
Pendekar Dungu mengikuti perbuatannya.
Memang benar dugaan Lelaki
Berbulu Hitam.
Manusia Dari Pusat Bumi saat
ini sedang mengirim satu kekuatan gaib melalui gelombang suaranya, yang
bersumber dari medan kekuatan jahat di satu lapisan langit yang menjadi tempat
bergentayangan-nya para makhluk halus laknat Ketika memasuki pintu-pintu
indera, kekuatan itu akan segera menyerap habis-habisan seluruh keberanian
dalam diri manusia yang paling digdaya sekali pun.
Lama kelamaan, lengkingan
milik manusia utusan alam kejahatan yang menusuk angkasa itu kian meninggi.
Gelombang suaranya kian bertambah, seiring makin hebatnya penyergapan kekuatan
jahat dari langit
Lelaki Berbulu Hitam dan
Pendekar Dungu benar-benar mati-matian menghadapi gempuran tak berwujud yang
mencoba merangsek seluruh indera.
Mereka bertahan habis-habisan,
seperti dua orang yang mencoba menutup sebuah pintu. Makala terjadi angin topan
maha hebat yang mencoba menguak-nya....
Pertanyaan bagi mereka, bukan
lagi apakah mereka mampu mengalahkan kekuatan jahat itu?
Tapi, apakah mampu bertahan?
Kemenangan bagi mereka memang tidak mungkin. Benteng kekuatan garba mereka tak
sebanding kekuatan medan jahat dari langit. Kalaupun mampu bertahan, akan
berapa lama mereka sanggup melakukannya?
Tubuh dua lelaki itu bergetar,
bersamaan dengan meningginya lengkingan lawan. Dari seluruh pori-pori tubuh
mereka, mengalir cairan kemerahan. Keringat bercampur darah Sesekali tubuh
mereka tersentak-sentak. Dan pada puncaknya, mulut kedua lelaki itu melepas
teriakan berbareng, meningkahi lengkingan tinggi milik Manusia Dari Pusat Bumi.
Tapi bukan berarti mereka telah menang. Sebaliknya, justru mereka baru saja
terhempas dalam kekalahan dahsyat.
Bergiliran tubuh keduanya
berlutut lemah. Mata mereka menatap sayu, ke arah Hakim Tanpa Wajah dan Manusia
Dari Pusat Bumi secara bergantian.
“He... he... he. Kalau delapan
puluh tahun lalu kalian luput dari pengadilanku, maka kali ini tak bisa
menghindarinya lagi...,” kata Hakim Tanpa Wajah, disertai seringai berhawa
maut.
Dihampirinya kedua tubuh lemah
itu.
“Apakah masih sanggup melawan,
kalau aku mencoba melumpuhkan kalian?” cemooh Hakim Tanpa Wajah meremehkan.
Tangannya pun diangkat
perlahan, seakan hendak menjadikan kedua lelaki seangkatan dengannya ini
sebagai bulan-bulanan.
“Bersiaplah menerima 'hukuman
pendahuluan'
dariku,” ujar Hakim Tanpa
Wajah lagi. “Jarang sekali
'para terhukum' mendapat
kehormatan mendapatkan
'Totokan Penyiksa' milikku.
Hanya orang-orang yang pernah luput dari pengadilanku yang akan menerima-nya.
Seperti kalian”
Didahului seringai, Hakim
Tanpa Wajah menyalurkan hawa sakti ke tiap jarinya. Dipersiapkannya satu ilmu
yang disebutnya 'Totokan Penyiksa'.
Pada saat itulah, Lelaki
Berbulu Hitam menggeram laksana serigala luka. Suaranya terlempar ke segenap
penjuru, hingga jauh ke balik gunung.
Hakim Tanpa Wajah tercekat.
Tak pernah disangka kalau lawan masih sanggup melakukan hal ini. Malah
keterkejutannya jadi kesalahan, manakala tangan bercakar Lelaki Berbulu Hitam
merangsek dengan seluruh sisa tenaga.
Saaat
Sebisa-bisanya, Hakim Tanpa
Wajah berkelit.
Namun tetap juga cakar Lelaki
Berbulu Hitam merobek kafannya, sekaligus membeset kulit dadanya....
Bret
Betapa murkanya Hakim Tanpa
Wajah. Totokan yang berisi kekuatan terpusat di jari, segera saja dilancarkan
ke leher lawan.
Suit
“Grrrh”
Namun mendadak sebuah geraman
lain hadir di dekatnya. Bukan lagi dari mulut Lelaki Berbulu Hitam, tapi dari
moncong dua ekor serigala besar Begitu tiba, kedua hewan buas itu langsung saja
menerkam jemari Hakim Tanpa Wajah.
Hakim Tanpa Wajah seketika
menarik kembali gerak tangannya. Karena begitu kaget oleh kehadiran yang
tiba-tiba dua serigala itu, tubuhnya pun mengambil jarak ke belakang dengan
satu lompatan cepat.
Maka kesempatan itu
dipergunakan Lelaki Berbulu Hitam untuk melompat dengan sisa tenaganya ke
punggung dua serigala. Sebuah tali kekang yang terikat menjadi satu di leher
binatang-binatang itu, cepat disambarnya. Kini dia berdiri di atas dua punggung
serigala. Tiap kakinya, berpijak pada satu punggung serigala.
Ketika Hakim Tanpa Wajah masih
terpana, Lelaki Berbulu Hitam tanpa membuang waktu menyambar tubuh Pendekar
Dungu. Kemudian, menghentakkan tali kekang. Kini mereka pun melesat cepat ke
atas serigala jejadian....
*** 2
Seorang pemuda berpakaian
hijau-hijau tampak tengah melangkah bersungut-sungut dan tergesa di sebuah
jalan berlumpur. Sesekali kakinya berjingkat, untuk mencari tempat pijakan yang
lebih kering.
Pemuda ini tetap tampan, meski
wajahnya terlipat.
Matanya tajam dan alisnya
hitam melengkung seperti kapak sayap elang. Anak rambutnya yang tak pernah
ditata berayun-ayun kecil di sekitar dahinya. Di tangannya ada gulungan kain
bercorak papan catur.
Entah sudah berapa kali
gulungan kain itu ditinju-tinjunya gemas. Melihat ciri-cirinya, siapa lagi pemuda
itu kalau bukan Andika, alias Pendekar Slebor.
“Benar-benar sial Enak saja
dia menunjukku menjadi orang yang bisa mencegah si Manusia Siluman atau Manusia
Kuman atau manusia apa pun dia Padahal, sebelumnya aku sudah dipermainkan
mentah-mentah Pura-pura jadi wanita cantik segala macam. Jadi nenek pikunlah
Jadi inilah Itulah....
Tidak sekalian dia jadi
kentut” gerutu Pendekar Slebor seperti khotbah orang tak waras.
Sehari lalu, Andika memang
baru saja bertemu si Raja Penyamar di Kampung Kelelawar. Mendapat semua
penjelasan lelaki yang telah mati itu, Pendekar Slebor jadi mangkel begitu
rupa. Biarpun mendapat kehormatan dari tokoh tua kawakan macam Raja Penyamar
sebagai orang satu-satunya yang bisa menghadapi Manusia Dari Pusat Bumi, tetap
saja dia merasa telah dipermainkan. (Baca episode :
“Manusia Dari Pusat Bumi”).
Sementara itu pada saat yang sama, seekor burung gagak berwarna hitam sedang
melayang-layang angker di angkasa. Binatang itu terus melakukan putaran jauh di
atas Andika, seolah-olah sedang melakukan pengintaian.
Di atas sana, mata tajam
binatang itu memang terus mengawasi Pendekar Slebor. Sesekali dari paruhnya
meluncur keluar suara serak menyeramkan.
Jika gagak itu membentangkan
sayap lebar-lebar, dia akan terlihat bagai hantu dari langit.
Lama kelamaan, Andika mulai
merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada burung itu.
Langkahnya segera dihentikan
untuk memastikan, apakah burung itu hanya kebetulan mengikuti atau tidak.
Dengan berpura-pura duduk di sebatang pohon tua tumbang, ditunggunya tanggapan
si Burung Gagak.
Untuk beberapa saat, burung
hitam kelam itu tetap melayang berputar. Dan mendadak saja, tubuhnya menukik
cepat. Sayapnya merapat, sedang paruhnya menusuk udara di depan.
“Kaaak”
Tak beberapa lama, si Burung
Gagak sudah hinggap ringan di dahan pohon beringin lebat. Mata kemerahannya
terkesan dingin, menantang
kehadiran pendekar muda dari
Lembah Kutukan.
Sedangkan kepalanya bergerak
kian kemari.
Andika melirik hati-hati,
seakan khawatir kalau tindakannya diketahui. Dengan ujung mata yang menyelidik,
mulutnya berbisik.
“Apa maunya burung ini? Belum
pernah kutemui binatang bertingkah seaneh itu....”
Tiba-tiba sesuatu mengejutkan
burung gagak itu, begitu terdengar suara ranting kayu kering yang tak sengaja
terinjak di balik pohon beringin. Derak ranting patah itu yang menyebabkan
burung gagak tadi mengepakkan sayap kuat-kuat, lalu merambah angkasa kembali.
Andika pun turut terkejut,
meski tak separah burung tadi. Kewaspadaannya cepat bangkit. Mata tajamnya
mengarah siaga ke arah bunyi tadi. Tanpa gerak, dinantinya sesuatu yang bakal
terjadi berikutnya. Yang jelas dia menduga, pasti ada orang di balik pohon
beringin itu.
Namun setelah sekian lama
menunggu, tak juga terjadi sesuatu pun. Bahkan orang di balik pohon beringin besar
tak muncul-muncul. Itu menyebabkan keingintahuannya mendadak muncul.
Dengan langkah hati-hati,
Andika mendekati pohon beringin itu. Pengerahan sebagian ilmu meringankan
tubuhnya, membuat langkah Pendekar Slebor tidak menimbulkan suara sedikit pun,
meski berjalan di atas serakan daun kering.
Setibanya di sisi batang besar
pohon beringin, Andika mengendap untuk melihat sisi lain di balik pohon, tempat
asal bunyi tadi. Kepala dijulurkannya perlahan. Tindakannya terlihat bodoh
sekali. Padahal, dia bisa saja melompat ringan ke satu dahan pohon beringin di
atas, lalu melihat siapa orang yang ber-sembunyi di balik tumbuhan besar itu.
Dan kebodohannya harus dibayar
oleh keterkejutan luar biasa. Bagaimana dia tidak terperanjat, kalau pada saat
yang sama, ada satu kepala pula yang melongok? Bahkan hampir-hampir saja wajah
Pendekar Slebor tertabrak wajah orang yang dicurigai.
“Siapa kau?” bentak Andika
gusar.
Hidung Pendekar Slebor kontan
kembang-kempis, karena terkejut. Cerita Raja Penyamar, benar-benar telah
membuatnya menjadi orang sakit jantung.
Waktu itu, si Raja Penyamar
menceritakan bagaimana mengerikannya si Manusia Dari Pusat Bumi.
Juga, tentang kemungkinan
kekuatan-kekuatan alam gaib milik para siluman yang bisa membantunya.
Karena keterangan itu, Andika
jadi terlalu berhati-hati semenjak keluar dari Kampung Kelelawar. Dalam
bayangannya, Manusia Dari Pusat Bumi tentu bisa saja tiba-tiba muncul tanpa
diketahui, lalu membedol jantungnya dengan kekuatan siluman.
“Kau sendiri siapa?” balas
orang di balik pohon.
Suaranya lantang, namun
berkesan halus. Tepatnya, suara itu milik wanita.
Andika mengernyitkan alis
rapat-rapat. Dia berpikir sejenak. Seingatnya, Manusia Dari Pusat Bumi yang
diceritakan Raja Penyamar bukan wanita. Kalau begitu, orang di balik pohon ini
tentu bukan manusia jelmaan siluman yang dimaksudkan.
“Tapi...,” bisik Pendekar
Slebor kemudian.”... bisa saja siluman congek yang sedang menyamar jadi
wanita....”
“Hey Apa kau bilang tadi? Kau
menyebut aku siluman congek?”
Terdengar dampratan gusar dari
balik sebatang pohon.
“O, jadi kau bukan siluman
congek? Lalu kau siluman apa? Apa sejenis siluman kibul?” tanya Andika, tanpa
maksud meledek sedikit pun.
Pertanyaan itu terlontar
begitu saja, karena sedang was-was.
“Diam kau” bentak orang di
balik pohon, makin tersinggung.
“Wait Apa aku menyinggungmu?
Kau tentu bukan siluman kibul, ya? Pas... ti, kau siluman...,” Andika
mengurut-urut kening. “Siluman apa, ya? Hey Lebih baik kau saja yang
memperkenalkan padaku, siluman jenis apa kau Aku tak begitu tahu soal
siluman-siluman”
“Manusia tak tahu adat”
Selesai terdengarnya hardikan
itu, kembali terdengar suara pakaian yang menggelepar di udara.
Orang di balik pohon itu
rupanya melompat ke atas dahan pohon beringin. Tampaknya dia sudah tidak sabar
lagi.
Mendengar bunyi itu, Andika
dengan sigap memasang kuda-kuda siap tempur. Kepalanya mendongak tegang ke atas
pohon, langsung melihat seorang wanita yang sudah amat dikenalnya dulu
***
“Brengsek kau” maki sebuah
suara wanita dari atas pohon beringin.
Selincah dan seanggun burung
manyar, wanita itu melompat turun. Lalu dia berdiri tepat di depan pemuda yang
baru saja dimakinya. Tangannya cepat terangkat, siap mendaratkan tamparan ke
pipi pemuda di depannya.
Plak
Tamparan itu pun benar-benar jatuh
pada pipi kiri pemuda berpakaian hijau-hijau yang memang Andika.
Sementara Pendekar Slebor itu
sendiri masih terpana-pana melihat wanita yang baru saja muncul.
Tak ada akibat yang parah dari
tamparan itu. Di pipinya, Andika malah merasakan satu kehangatan serta
kemanjaan.
“Kenapa jadi bengong begitu?
Apa kau sudah tak kenal lagi padaku?” sentak wanita itu seraya menyusul satu
cubitan gemas ke perut Andika.
Pendekar Slebor meringis.
Perutnya jadi begitu pedas.
“Purwasih...?” gumam Andika.
Purwasih, seorang gadis cantik
putri Raja Alengka.
Tubuhnya yang berkulit agak
kecoklatan agak mungil ditutup ketat oleh pakaian hijau lumut. Begitu
menggemaskan. Dia tampak lebih muda daripada usia yang sebenarnya dengan rambut
dikepang ekor kuda. Wajahnya mungil, dengan mata bulat yang dihiasi bulu
lentik. Hidungnya tipis dan mancung, membatasi sepasang matanya. Semuanya makin
sempurna dengan bentuk bibirnya yang menantang.
Sebagai seorang pendekar
wanita yang cukup kondang dengan julukan Naga Wanita, kehadirannya selalu
ditemani pedang bergagang kepala naga yang tergantung di punggung. (Tentang
Purwasih, baca episode : “Dendam dan Asmara”).
Sebenarnya antara Purwasih
dengan Andika masih ada pertalian darah. Buyut Andika yang bergelar Pendekar
Lembah Kutukan, adalah salah seorang keluarga istana juga.
“Ya, aku memang Purwasih.
Tapi, kenapa kau memandangku seperti melihat hantu?” tanya Purwasih.
“A..., aku hanya hampir
pangling,” Andika ter-gagap. “Tak kusangka setelah sekian lama berpisah, kau
kian cantik mempesona.”
“Gombal”
“Sungguh” tegas Andika sambil
meraba dadanya.
“Kenapa?” tanya Purwasih lagi.
“Hanya memeriksa jantungku.
Aku takut, jantung ini tahu-tahu berhenti karena begitu kaget melihat
kecantikanmu....” “Kau makin gombal”
Andika tertawa berderai. Saat
itulah Purwasih yang begitu rindu, menubruknya. Bahu kekar Andika dirangkul,
seperti sikap seorang kakak yang bertemu adik lelakinya setelah terpisah
bertahun-tahun.
Tawa Andika terpenggal
mendadak. Sementara akar pohon beringin di bawahnya tersangkut di kaki.
Sedangkan tubuhnya sudah
telanjur terdorong oleh rangkulan Purwasih.
“E... e-e-e” teriak Andika.
Lalu....
Bruk
Keduanya langsung terjatuh.
Beruntung bagi Purwasih karena jatuhnya di atas tubuh Andika.
Sebaliknya, naas bagi Andika.
Kepalanya langsung dikecup sebongkah batu sebesar kepalan tangan yang
memaksanya harus meringis-ringis ber-kepanjangan....
Sekarang giliran Purwasih
melepas tawa kecilnya.
Sebelum terlalu lama, Andika
cepat menekan bibir gadis jelita itu dengan jari telunjuk. Lama, ditatapnya
Purwasih. Sehingga, membuat gadis ini merasakan debaran-debaran tak beraturan
di dada.
“Apakah Andika akan berbuat
yang macam-
macam?” tanya Purwasih
membatin.
Sebenarnya sudah terlalu lama
Purwasih berharap Andika memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.
Kalau hari ini harus menerima
pernyataan perasaan itu dari Andika, betapa berbunga-bunga hatinya.
Mata sarat bulu lentik milik
Purwasih perlahan terpejam.
“Kenapa kau seperti orang
mengantuk?” tanya Andika, mengejutkan Purwasih.
Dara cantik ini sama sekali
tak menduga Andika akan membisiki kalimat itu. “Aku pikir....”
Kalimat Purwasih terpenggal,
tak sanggup dilanjut-kannya. Sebab dia yakin, Andika pasti menemukan rona merah
di kedua belah pipi halusnya.
“Ah Kau ini kenapa jadi
berpikir macam-macam,”
bisik Andika lagi. “Aku tadi
mendengar suara men-curigakan.”
Perlahan Andika bangkit,
diikuti Purwasih. Sesaat kemudian mereka sudah mengedarkan pandangan ke segenap
penjuru. Tak ada seorang pun yang terlihat.
“Aku tak melihat seorang pun,”
kata Purwasih.
“Bahkan aku tak juga mendengar
suara men-curigakan seperti katamu tadi.”
Tapi....
“Andika.... Temui aku di
Sungai Mati sebelah utara.”
Andika mendadak saja mendengar
bisikan halus singgah ke dalam liang telinganya. Begitu halus, hingga hanya dia
sendiri yang bisa menangkapnya.
Dari warna suara tadi, Andika
segera bisa menduga siapa sesungguhnya orang yang telah mengirim bisikan jarak
jauh tersebut. Suara yang belum lama dikenalnya. Raja Penyamar.
“Purwasih.... Menyesal sekali
aku harus pergi,”
pamit Andika.
Pendekar Slebor sadar, Raja
Penyamar tentu hendak menyampaikan sesuatu yang penting.
“Aku ikut Andika,” pinta
Purwasih. Wajahnya menampakkan sinar kekecewaan. Bagaimanapun juga, rindunya
belum lagi tuntas.
“Bukan aku tak mau mengajakmu.
Tapi tampaknya urusan ini harus kulakukan sendiri,” cegah Andika
sungguh-sungguh. Purwasih memain-mainkan jemarinya. Wajahnya tertunduk dalam.
“Kalau begitu, kapan kita bisa
berjumpa lagi?”
ungkap gadis itu agak melemah.
Andika berpikir sejenak.
“Bagaimana kalau di pura tua
sebelah timur kaki Gunung Sumbing?” tawar Andika. “Aku berjanji akan menemuimu
di sana, pada hari ke tiga setelah purnama.”
Purwasih mengangguk lamban dan
berat.
“Kalau begitu, aku pergi
dulu,” pamit Andika sekali lagi diiringi sebaris senyum menawan. Senyum yang
mampu meruntuhkan hati gadis mana pun juga.
Baru saja Andika hendak
berangkat....
“Andika tunggu” sentak
Purwasih, menahan langkah Pendekar Slebor.
Andika menoleh. Mimik wajahnya
seolah hendak bertanya kenapa Purwasih masih juga menahannya.
“Hati-hatilah,” pesan gadis
itu sendu.
Andika menarik napas sejenak,
lalu melangkah pergi. Bukannya dia tak tahu, bagaimana perasaan Purwasih
terhadapnya. Hanya saja, Andika tak pernah memiliki perasaan yang sama.
Tinggallah Purwasih menatapi
kepergian Pendekar Slebor.
“Aku masih rindu padamu,
Andika..,” bisik gadis itu, sendu sekali.
Purwasih memang tak bisa
berbuat apa-apa. Gadis ini amat tahu pribadi Andika. Kalau pemuda itu berkata
hendak menyelesaikan urusan sendiri, maka akan dilakukannya sendiri. Hitam
baginya harus hitam. Putih baginya harus putih. Berkeras bagi Purwasih pun,
sama sekali tak berguna. ***
Jika dengan berkuda, jarak
yang harus ditempuh Andika ke Sungai Mati di sebelah utara akan memakan waktu
setengah hari. Maka paling tidak Pendekar Slebor bisa tiba di sana menjelang
malam nanti. Lain lagi kalau ditempuhnya dengan berlari.
Pengerahan ilmu meringankan
tubuh warisan Pendekar Lembah Kutukan cukup untuk mem-persingkat waktu hingga
tiba lebih awal.
Kala ini matahari mulai
terpuruk di kaki langit sebelah barat. Sinar Jingganya memulas permukaan Sungai
Mati yang tak lagi mengalir sejak beberapa puluh tahun belakangan ini. Terpaan
angin mengusili permukaannya, membuat cahaya pantulan matahari menjadi
terencah-rencah menjadi sinar kecil-kecil.
Tak lama berselang setelah
Andika sampai, Raja Penyamar pun muncul dalam penampilan aslinya.
Seorang kakek tua berjenggot
putih yang menguncup di ujungnya. Kepalanya berambut putih pendek, dibelit kain
batik, seperti bentuk blangkon Parahiangan. Wajahnya dipenuhi kerutan yang
berkesan berwibawa. Sinar mata tuanya pun begitu sejuk. Dia mengenakan baju
coklat rapat berkerah pendek, serta bercelana pangsi hitam.
Raja Penyamar muncul begitu
saja di atas permukaan air sungai. Jika ditilik dari caranya berdiri, sehelai
bulu pun mungkin kalah ringan dibanding tubuhnya. Bisa dimaklumi, sehab wujud
sebenarnya dari lelaki itu sudah berupa roh.
“Ada apa memanggilku, Raja
Penyamar?” tanya Andika. “Terus terang saja, sebenarnya aku enggan bertemu
denganmu. Aku masih jengkel oleh semua ulahmu padaku beberapa waktu lalu.” “Ah
Anak Muda..., Anak Muda. Apa kau tak memiliki sedikit kesabaran dalam
menghadapi tingkah si Tua Bangka ini?” gurau Raja Penyamar, tokoh tua yang amat
disegani pada masa jayanya delapan puluh tahun silam.
Beberapa tahun lalu. Raja
Penyamar telah mati karena penyakit yang tak bisa disembuhkan. Berkat kuasa
Tuhan Penguasa Alam, rohnya masih tetap hidup untuk menjalani tugas mulia,
menyelamatkan manusia dari tangan biadab Manusia Dari Pusat Bumi. Walaupun
upaya penyelamatan itu dibantu orang.
“Ah, sudahlah Tak perlu lagi
berbasa-basi, Orang Tua” sergah Andika. “Katakan saja, apa ke-pentinganmu
memanggilku ke tempat ini?”
Raja Penyamar mengangguk-angguk
sebentar.
Sementara bibirnya tetap
tersenyum.
“Aku tahu, baru kali ini kau
menghadapi persoalan yang berkaitan dengan dunia siluman...,” kata Raja
Penyamar lagi.
“Ya, kuakui masalah baru ini
membuatku mendadak jadi orang jantungan. Kau tahu, betapa tak enaknya berjalan
di atas bumi dengan perasaan waswas karena khawatir siluman-siluman bisul
segala macam seperti yang kau sebutkan, akan mencekik leherku tiba-tiba?”
cerocos Andika bernafsu.
“Ha... ha... ha” Raja Penyamar
tertawa.
“Kenapa tertawa?”
“Kini aku baru percaya, bahwa
setiap manusia sesungguhnya pasti memiliki rasa takut juga....”
“Hey? Tapi itu bukan berarti
aku pengecut”
sentak Andika tersinggung.
“Ya..., ya. Apa pun namanya
itu....”
“Pokoknya aku bukan pengecut”
tandas Andika tak peduli. “Sekarang, katakan saja. Apa maksudmu?”
“Aku tadi baru hendak
menjelaskan, tapi kau menyelak...,” sindir Raja Penyamar.
“Baik..., baik. Aku tak akan
menyelak lagi Ayo katakan”
Raja Penyamar diam sesaat.
“Sekarang aku sudah boleh bicara?”
usik Raja Penyamar.
“Dari tadi juga sudah
kutunggu”
Akhirnya pembicaraan yang
sungguh-sungguh bisa berlanjut juga.
“Karena aku tahu, kau harus
menghadapi seperti ini. Maka kau membutuhkan sesuatu yang bisa mem-bantumu,”
papar Raja Penyamar.
“Apa itu?”
“Sebuah Cermin Alam Gaib.
Dengan benda itu, kau akan dapat mengetahui setiap kehadiran siluman-siluman
itu. Meskipun, mereka makhluk-makhluk halus....”
“Di mana bisa kudapat benda
itu?” tanya Andika bersemangat.
“Di Rimba Slaksa Mambang....”
*** 3
Kalau ada tempat yang paling
menggidikkan dan tak seorang pun mau mendekati, maka salah satunya adalah Rimba
Slaksa Mambang. Sesuai sebutannya, konon hutan belantara itu adalah tempat
ber-semayamnya para makhluk halus.
Tepat di jantung Rimba Slaksa
Mambang, tumbuh pohon amat besar berusia ratusan tahun. Di sanalah terletak
pintu penghubung dari alam nyata, menuju alam gaib.
Pohon itu sangat besar seperti
pohon beringin.
Batangnya saja sebesar tiga
atau empat ekor kerbau tua. Warnanya hitam kusam kehijauan, karena di-selimuti
lumut liar. Di sana-sini merangas oyot pohon yang menjulur dari atas ke bawah,
seolah tangan-tangan bisu dari dunia lain. Akarnya sudah meninggi seperti
sekat-sekat ruangan pemandian mayat.
Daunnya begitu lebat, tak
memberi kesempatan secercah pun bagi cahaya untuk masuk.
Bagi manusia waras, merambah
tempat ini adalah tindakan gila yang paling gila. Tapi, tidak bagi seorang
pemuda berambut gondrong berpakaian hijau-hijau dengan selembar kain bercorak
catur tersampir di bahu.
Tak ada hal yang terlalu gila
untuk dilakukan pemuda itu, selama menyangkut keadilan dan kebenaran.
Terkadang, kegilaan baginya adalah sekadar cara mencapai tujuan tadi. Lalu,
pendekar mana lagi yang kerap bermain-main dengan tindakan gila kalau bukan si
Pendekar Slebor? Seperti petunjuk Raja Penyamar, Andika telah tiba di Rimba
Slaksa Mambang. Setelah menerobos onak berduri, semak belukar dan simpang
siurnya batang pepohonan. Pendekar Slebor akhirnya tiba pula di dekat pohon
angker tadi.
Dari jarak dua puluh tombak,
Pendekar Slebor memandangi pohon raksasa itu dengan pandangan takjub. Bila
dibanding-banding, tubuhnya hanya seperti kuku dengan pohon itu. Beberapa kali
kepala Andika mendongak, untuk menatap ubun-ubun tumbuhan raksasa itu. Dan
beberapa kali pula kepalanya harus digeleng-gelengkan. Orang lain mungkin akan
berpikiran yang bukan-bukan saat itu.
Andika sendiri justru sedang
menyadari bahwa keberadaan manusia seperti dirinya di alam semesta ini,
sebenarnya terlalu kecil. Mungkin hanya sekadar debu di antara debu yang lebih
besar.
Puas menghela napas, Andika
mulai memusatkan perhatian kembali pada tugasnya untuk menemukan Cermin Alam
Gaib yang menurut Raja Penyamar, tergolek dalam salah satu lubang pohon
raksasa.
Pendekar Slebor mendekati
pohon raksasa itu.
Makin dekat, makin terlihat
jelas bagaimana rupa tumbuhan ini. Ternyata di batangnya, banyak terdapat
lubang dalam berukuran sebesar kepala manusia.
Kesulitan pertama bagi Andika
adalah, bagaimana cara menemukan satu lubang yang di dalamnya terdapat Cermin
Alam Gaib? Sementara, Raja Penyamar tak pernah menyinggung-nyinggung soal itu.
“Jempol kerbau Bagaimana aku
bisa menemukan benda itu kalau lubangnya saja begitu banyak,” rutuk Andika.
“Kalau aku rogoh setiap lubang, bisa saja ada binatang berbisa di dalamnya. Apa
si Tua Brengsek ini menganggapku sudah kebal racun?” Sesaat dipandanginya lagi
batang pohon. Sampai akhirnya, diputuskannya untuk memeriksa setiap lubang
dengan ranting kering. Setelah didapatinya ranting kering, Andika pun mulai
melakukan pemeriksaan. Satu persatu, disodoknya. lubang-lubang itu dengan
hati-hati. Pada lubang kelima, tiba-tiba saja seekor ular pohon berbisa mematuk
keluar.
Andika tercekat. Wajahnya
pasti akan langsung jadi santapan empuk bisa ular itu kalau tak cepat berkelit.
Dengan ranting kayu di tangan kanannya, kepala ular berbisa tadi langsung
dihantamnya, dengan telak.
Prak
Tanpa sempat berdesis lagi,
binatang itu menemui ajal.
Pendekar Slebor menarik napas
lega. Lubang-lubang di bagian paling bawah telah selesai diperiksa.
Tak ada satu tanda pun didapat
untuk menunjukkan kalau Cermin Alam Gaib berada di dalamnya. Dengan begitu,
Pendekar Slebor harus memeriksa lebih ke atas.
Masih tetap berhati-hati,
Andika mulai merayapi kulit pohon. Tonjolan-tonjolan keras dimanfaatkannya
untuk pijakan dan pegangan. Lalu sebagian demi sebagian batang pohon
dirayapinya. Sementara itu, tangannya terus memasukkan ranting kayu ke setiap
lubang.
Ketika hari mulai terjebak
dalam kegelapan, Andika baru bisa memeriksa sampai di tengah batang pohon.
Sungguh sebuah pekerjaan yang tak ringan, nilainya. Sampai pada lubang
keseratus tiga puluhan, barulah Pendekar Slebor mendapat satu keganjilan.
Ranting kayu di tangannya
bertumbuk dengan suatu benda hingga menimbulkan bunyi yang lain dari sebelumnya.
Krang
“Nah Kalau aku beruntung,
pasti di lubang ini Cermin Alam Gaib terdapat. Kalau apes, paling-paling aku
hanya menemukan piring kaleng rombeng bekas kenduri para dedemit,” gurau
Pendekar Slebor menghibur diri. Paling tidak, dengan begitu dia lebih yakin
untuk memasukkan tangannya ke dalam lubang.
Dengan tetap berpegangan erat
pada satu tonjolan kulit pohon, Andika memasukkan satu tangan ke dalam lubang
tadi. Mulanya sebatas pergelangan tangan. Lalu, lebih dalam sampai sebatas
siku.
Sampai akhirnya, sebatas bahu.
Tapi sejauh itu, tangannya tidak menemukan apa-apa.
“Aneh...,” bisik Andika.
Diperhatikannya ranting kayu yang sebelumnya diselipkan di balik baju.
“Padahal ranting kayu ini
tidak lebih panjang dari tanganku.”
Memang, kalau ranting itu tadi
menyentuh sesuatu, tangan Andika justru tak menyentuh apa-apa. Bahkan dasar
lubang itu sekali pun. Sementara, tangannya sudah tidak bisa dijulurkan lebih
dalam lagi.
Untuk meyakinkan diri. Andika
mengeluarkan tangannya. Kembali lubang itu disodoknya dengan ranting kayu.
Tring
Sekarang terdengar lagi suatu
bunyi. Namun suaranya lebih tinggi dari yang pertama.
Andika meringis. Benar-benar
dia tak habis pikir.
“Ada yang aneh dengan lubang
ini,” simpul Pendekar Slebor kemudian. Hanya itu yang bisa diperbuat.
Selebihnya, dia masih tetap bingung. Sementara itu, matahari sudah tenggelam
seluruhnya di kaki langit
barat. Sisa sinar Jingga pun terkubur gelap. Hari telah berganti, dan waktu
para makhluk halus untuk bergentayangan di mayapada telah tiba.
Dalam kepekatan suasana Rimba
Slaksa
Mambang, berpasang-pasang mata
bermunculan satu persatu. Dari semak, dari kulit pohon, dari ranting besar,
bahkan dari dedaunan.
Wujud-wujud asing menyusul
muncul tanpa pernah disadari Pendekar Slebor. Satu, dua, tiga, dan seterusnya.
Mereka menampakkan diri dengan bentuk masing-masing. Benar-benar suasana yang
menyeramkan.
Saat yang sama, kesusahpayahan
Andika menggapai dasar lubang tiba-tiba hilang sama sekali.
Mendadak saja, tangannya
menyentuh sesuatu.
Seolah, benda itu datang
dengan sendirinya.
Sementara itu bulu-bulu halus
di sekujur tengkuk Andika meremang. Dia sama sekali tak bisa mengerti, apa yang
terjadi. Dan ketika tangannya ditarik untuk melihat benda yang dipegangnya,
sehimpun suara menggidikkan memadati tempat itu. Tak seperti tawa.
Tak juga seperti tangis. Tak
seperti jeritan. Tak juga seperti gumaman. Semuanya begitu asing....
***
“Pengadilan menanti”
Satu teriakan membawa Andika
kembali ke alam kesadaran. Kelopak matanya segera dibuka. Sinar siang, tajam
menusuk, membuat Pendekar Slebor berkali-kali mengerjap silau. Wajahnya
menengadah langit, karena tubuhnya sudah tergeletak entah di mana.
Yang terakhir diingatnya hanya
suasana Rimba Slaksa Mambang yang mendadak asing sewaktu mencoba menemukan
Cermin Alam Gaib. Sewaktu tangannya ditarik dari lubang, suara-suara aneh
sempat didengarnya. Setelah itu, dia tak sadarkan diri sama sekali.
Seakan-akan, seluruh kesadarannya dibetot oleh suatu kekuatan. Padahal, benda
yang terpegang tangannya belum lagi dilihatnya.
Seiring keluhan kecil, Andika
mencoba bangkit.
Sakit pada beberapa bagian
tubuh, membuatnya harus bersusah payah menegakkan punggung. Kini dilihatnya
sebuah dataran kosong tandus. Tanah kering berdebu kecoklatan di mana-mana.
Sedang di kejauhan sana, hanya terlihat jajaran pegunungan mengurung tempat
ini.
“Di mana aku?” bisik Pendekar
Slebor. “Mengapa tiba-tiba aku ada di tempat ini?”
Sebelum pertanyaan itu
terjawab, kembali terdengar teriakan kedua.
“Pengadilan menanti”
Pendekar Slebor tersentak.
Dengan sigap, dicobanya berdiri. Lalu dicarinya asal suara tadi. Tanpa
sulit-sulit, dilihatnya dua sosok di kejauhan. Cara berdiri mereka begitu
mengancam di mata Andika.
“Siapa pula mereka?” tanya
Pendekar Slebor kemudian.
Penasaran dengan wajah kedua
orang itu, Andika mengangkat tangan di atas alis matanya untuk menahan sinar
matahari yang menusuk, sehingga tak begitu jelas melihat siapa yang hadir.
Tiba-tiba, Pendekar Slebor baru sadar kalau di tangannya tergenggam sesuatu. Sewaktu
dilihat, ternyata sebuah cermin selebar jengkalan tangan. Bentuknya bulat,
dengan bingkai kayu hitam serta setangkai gagang tempat tangannya menggenggam.
“Inikah cermin yang dimaksud
Raja Penyamar”
tanya Andika membatin.
Seperti sebelumnya, pertanyaan
itu pun dipenggal oleh teriakan yang sama.
“Pengadilan menanti”
Andika menjadi jengkel.
Teriakan yang sama dengan suara serak memekakkan, tentu saja amat memuakkan.
Andika melirik kesal dengan ujung mata. Kemudian....
“Peduli setan Peduli tuyul”
maki Pendekar Slebor sembarangan, dengan teriakan pula.
Salah seorang yang dimaki
terkekeh mendengarnya. Terdengar sama menyebalkannya dengan teriakan tadi.
Andika berpikir, kalau bukan orang tak berotak, tentunya mereka orang sinting.
Bila orang waras, mana mungkin tak tersinggung dengan makiannya.
Silat slebor Andika tampaknya
tak akan berguna menghadapi orang sesinting mereka. Seperti halnya menghadapi
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu dulu (Baca episode : “Manusia Dari
Pusat Bumi”). Justru, malah Andika sendiri yang dibuat kelimpungan menghadapi
tingkah simpang siur kedua lelaki tersebut.
“Sebenarnya apa yang kalian
mau dariku?” tanya Andika akhirnya.
“Tak banyak,” sahut seorang
yang dikenal sebagai Hakim Tanpa Wajah. “Kami hanya ingin mengadilimu di
Pengadilan Perut Bumi....”
“Mengadili? He... he... he”
giliran Andika terkekeh.
“Dugaanku ternyata benar.
Kalian memang orang sinting Tapi, tunggu dulu....” Andika langsung teringat
pada cerita Raja Penyamar di Kampung Kelelawar beberapa waktu lalu.
“Kalian tentu Hakim Tanpa
Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi...,” duga Pendekar Slebor yakin.
“Tepat sekali” jawab Hakim
Tanpa Wajah.
“Nah” Andika menjentikkan jari
tangan. “Kalau begitu, pucuk dicinta..., ulam tiba”
“He... he... he. Baru kali ini
aku bertemu 'seorang tertuduh' begitu bersemangat berhadapan denganku,” tukas
Hakim Tanpa Wajah.
Andika berjalan mendekati
mereka. Sampai sekitar delapan tombak, barulah dia berhenti. Ditatapnya wajah
dan perawakan mereka satu-satu.
“Kau pasti Hakim Berwajah
Tembok” sebut Pendekar Slebor seraya mengacungkan jari ke wajah Hakim Tanpa
Wajah. Lalu, matanya memutar ke Manusia Dari Pusat Bumi. “Sedangkan kau pasti
Manusia Dari Lobang Koreng”
Mendapat cemoohan pemuda dari
Lembah
Kutukan itu, lagi-lagi Hakim
Tanpa Wajah terkekeh tanpa beban. Lain halnya Manusia Dari Pusat Bumi dengan
wajah yang tetap dingin, kakinya melangkah dua tindak ke depan.
“Dengan ini, kau kutuntut atas
beberapa
kesalahan. Bahwa kau telah
bersalah, banyak mencampuri urusan orang lain. Bahkan bertindak gegabah
membunuh para pengacau dunia” papar Manusia Dari Pusat Bumi, bagai seorang
jaksa penuntut dalam sebuah pengadilan.
Mulut Andika kontan mencibir.
“Heh Kalau semua orang menganggap menegakkan keadilan sama dengan mencampuri
urusan orang, bisa cepat kiamat dunia ini....” “Kau juga bersalah karena telah
mencuri sebuah cermin dari Rimba Slaksa Mambang” lanjut Manusia Dari Pusat Bumi
tanpa peduli dengan tanggapan sinis Pendekar Slebor.
Acuh tak acuh, pemuda
berpakaian hijau itu mengangkat cermin di tangannya ke depan.
“O, ya. Aku hampir lupa
memberitahukanmu.
Dengan cermin ini, aku akan
bisa menghadapimu meski kau menguras seluruh ilmu gaibmu dan mengundang seluruh
siluman sial untuk
membantu....”
“Salah” terabas Manusia Dari
Pusat Bumi, begitu dingin. “Justru cermin itu akan membuatmu makin sulit untuk
mengalahkanku...”
Sekali ini Andika benar-benar
dibuat terperanjat habis-habisan. Pasti ada sesuatu yang tak beres telah
terjadi, begitu pikir Pendekar Slebor.
“Apa maksudmu?” tanya Andika
seperti tak yakin dengan pendengarannya.
“Cermin itu adalah benda milik
para siluman yang dipersiapkan selama ratusan tahun, untuk mengokoh-kan
kehadiranku sebagai 'pemelihara angkara murka'”
Jantung Andika seperti hendak
berhenti berdenyut saat itu juga. Darahnya seperti berhenti mengalir, dan
benaknya seperti dikosongkan tiba-tiba. Baru disadari kalau dia telah melakukan
kesalahan besar. Juga baru diingat kalau Raja Penyamar yang ditemuinya di
Sungai Mati, tak pernah meninggalkan aroma bunga sedap malam layaknya kebiasaan
Raja Penyamar (Baca episode : “Manusia Dari Pusat Bumi”).
“Tentu ada siluman yang telah
menyamar menjadi Raja Penyamar untuk menipuku. Lalu, aku dimanfaatkan untuk
mengantarkan benda laknat ini pada Manusia Dari Pusat Bumi. Sebagai makhluk
kasar aku dimanfaatkan, karena mereka tak bisa membawa sendiri benda ini,
akibat sekat antara alam halus dan kasar...,” simpul Pendekar Slebor geram.
Untuk pertama kalinya, wajah
dingin Manusia Dari Pusat Bumi menampakkan seringai.
“Keparat” rutuk Andika.
Kemarahan Pendekar Slebor
meledak sudah.
Diangkatnya Cermin Alam Gaib
tinggi-tinggi. Dengan seluruh kekuatan warisan Pendekar Lembah Kutukan yang
terkerahkan akibat kemurkaannya, tentu benda tipis itu akan hancur
berkeping-keping seperti kerikil kala Andika menghantamkannya ke lutut.
Siat Tak
Cermin di tangan Andika
seketika bertumbukan amat keras dengan lututnya. Namun hasilnya bukan-lah
seperti yang diduga sebelumnya, benda itu tetap utuh seperti tak pernah terjadi
apa-apa. Sebaliknya, sehimpun rasa nyeri tak terhingga melabrak Andika saat itu
juga.
“Aaakh”
Teriakan menyayat terlepas
dari kerongkongan pendekar muda itu. Bersamaan dengan teriakannya, Cermin Alam
Gaib terlepas jauh ke angkasa. Benda itu seketika melayang dalam putaran cepat.
Pantulan sinar matahari berkerjap-kerjap dari permukaannya, bagai cemoohan bagi
Pendekar Slebor.
Meski menderita sakit luar
biasa, Andika masih mampu menjaga akal sehatnya. Jelas benda itu akan berbahaya
jika jatuh ke tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Maka tanpa mempedulikan rasa
sakit yang menjalari serat-serat tubuhnya, Pendekar Slebor sebisa-bisanya
menghentakkan kakinya penuh tenaga. Maka tubuhnya langsung melayang menyusul
Cermin Alam Gaib.
“Hiaaa”
Sekejap di belakangnya,
Manusia Dari Pusat Bumi mengikuti tindakan Pendekar Slebor. Tak kalah tangkas,
tubuhnya melayang ke udara dari arah berlawanan. Tak
Di udara, tangan Pendekar
Slebor yang hendak menggapai cermin dihadang dengan tendangan ungkit yang lurus
di depan dada. Maka seketika telapak tangan Andika tersodok telak ujung jari
kaki pemuda bertaring itu. Kemudian disusul dengan sambaran tangan kanan,
seperti gerakan menyampok untuk merebut Cermin Alam Gaib.
Tak
Andika cepat mengirimkan
serangan susulan. Satu gerak menyabet ke dalam dilepaskan tangan kiri untuk
menahan pergelangan tangan Manusia Dari Pusat Bumi yang hendak menggapai Cermin
Alam Gaib. Akibatnya, pergelangan tangan mereka ber-hantaman keras.
Ketika titik balik luncuran
cermin tiba, kedua pemuda gagah berbeda silat dan usia itu sama-sama saling
melancarkan tebasan-tebasan amat cepat.
Satu menghantam, yang lain
menangkis. Begitu pula sebaliknya. Bahkan tindakan itu sampai tubuh mereka
mulai meluncur turun, menyusul menukiknya Cermin Alam Gaib.
Khawatir Hakim Tanpa Wajah
memanfaatkan
kesempatan itu untuk menyambut
cermin dari bawah, Pendekar Slebor cepat-cepat melepas kain pusaka dari bahunya
pada kesempatan yang begitu tipis.
Srat
Kecepatan yang sulit
tertandingi warisan Pendekar Lembah Kutukan, cukup memberi Pendekar Slebor
kesempatan untuk menyabetkan kain pusaka ke arah Cermin Alam Gaib.
Tar
Pendekar Slebor memang sempat
mengenyahkan cermin, jauh dari jarak jangkauan Hakim Tanpa Wajah. Tapi untuk
itu, dia harus menebusnya dengan akibat yang tak ringan. Mendadak saja hantaman
punggung tangan Manusia Dari Pusat Bumi telah menyodok dadanya.
Des
Saat itu juga, arah luncuran
tubuh Pendekar Slebor berubah cepat. Tubuhnya tidak lagi meluncur lurus ke
bawah, melainkan meluncur dalam arah menyimpang ke belakang akibat hantaman
tenaga Manusia Dari Pusat Bumi. Sepotong erangan tertahan langsung tercipta.
Setelah itu, Pendekar Slebor tak ingat apa-apa. Dunia bagai dirampas tiba-tiba.
Semuanya menjadi gelap...,
gelap.
***
Malam ini adalah hari ketiga
setelah purnama.
Kaki Gunung Sumbing disapu
rata oleh cahaya temaram rembulan yang mulai meramping. Di sebelah timur kaki
gunung, sebuah pura tua berdiri dingin di atasnya.
Di dalam bangunan itu,
Purwasih duduk gundah di antara siraman cahaya lembut api unggun. Wajah
gelisahnya berpendar-pendar akibat pantulan cahaya, membuatnya terlihat
demikian anggun menawan.
“Ke mana Andika?” tanya
Purwasih pada diri sendiri. “Tak mungkin dia ingkar janji. Aku tahu pribadinya.
Lalu, kenapa sampai selarut ini dia belum juga datang?” Sudah begitu lama dara
jelita berjuluk Naga Wanita itu menanti kehadiran jejaka pujaan hatinya.
Selama itu, perasaannya terus
saja terombang-ambing oleh kegelisahan. Dia sendiri tak memahami, kenapa bisa
begitu.
Untuk sedikit mengusir rasa
yang tak enak itu, Purwasih melamunkan kejadian yang lalu, yang pernah dialami
bersama Andika. Ya Saat-saat indah memang pernah dialaminya bersama si Pemuda
itu.
Kala di mana dia begitu dekat
serta berbagi suka dan duka dalam suatu tugas negara, menumpas
Gerombolan Begal Ireng. Tapi
mungkin saja saat itu, Purwasih tahu kalau Andika hanya menganggapnya sebagai
mitra seperjuangan. Atau mungkin menganggapnya sebagai saudara perempuan,
karena sesungguhnya mereka berdua masih memiliki pertalian darah. (Baca episode
: “Dendam dan Asmara”).
Sesaat kemudian, bibir ranum
Purwasih mengem-bangkan senyum tipis, manakala benaknya terngiang kembali
ucapan-ucapan urakan Andika padanya yang sering kali keterlaluan dan
menggemaskan.
“Andika..., Andika...,” bisik
gadis itu tak sadar.
“Hey, Gadis Cacingan”
Tiba-tiba saja sebuah suara
merobek lamunan Purwasih. Dengan sigap, tangan pendekar wanita itu meraih
gagang pedang di punggungnya.
Sret
“Siapa kau?” bentak si Naga
Wanita seraya mengacungkan mata pedang ke depan.
Dari pintu masuk, muncullah seorang
nenek tua berpunuk seperti onta. Rambutnya demikian panjang, hingga
terseret-seret di tanah. Tak seperti nenek tua biasa, dia mengenakan baju
panjang warna Jingga mencolok. Pipinya yang kendor, tampak bergerak- gerak
sewaktu mengunyah gulungan sirih.
Seperti tak peduli dengan
pertanyaan gusar Purwasih, nenek peot itu terus mendekati Purwasih.
“Apa kau tak dengar kalau
kusebut gadis
cacingan?” kata nenek itu.
“Apa maksudmu, Nenek Tua?”
tanya Purwasih lebih sopan, sewaktu mengetahui siapa yang masuk.
Pedang berkepala naga di
tangannya diturunkan. Dia tak ingin terlihat tidak sopan pada orang tua uzur
itu.
“Apa maksudmu? Huh Buat apa
kau masih terus menunggu di sini? Terbengong-bengong seperti orang cacingan?”
“Aku menunggu seseorang, Nek.”
“Pemuda berpakaian hijau-hijau
berwajah ningrat, tapi berpenampilan gembel itu?” terabas si Nenek Peot
semena-mena.
“Dari mana Nenek tahu?” tanya
Purwasih heran.
Si Nenek Peot mengibaskan
tangan di udara.
“Haaah Itu soal sepele” tukas
si Nenek. “Kau tak perlu tahu dari mana aku tahu. Yang sekarang justru harus
kau tahu adalah.... Ah slompret Kenapa aku jadi pelupa begini?”
Si Nenek Pikun memainkan
gulungan sirih di mulutnya. Untuk beberapa saat bia tampak berpikir keras.
“O, iya Aku ingat sekarang.
Yang perlu kau ketahui, pemuda yang kau tunggu sekarang ini sedang sekarat....”
“Apa?” sentak Purwasih begitu
khawatir.
“Sabar-sabar.... Jangan
terburu nafsu Anak muda sial itu masih cukup kuat untuk tetap bertahan
hidup....”
“Di mana dia, Nek?” desak
Purwasih, tak sabar.
“Di danau dekat pinggiran
Rimba Slaksa Mambang,” jawab si Nenek acuh sambil melenggang keluar. Seiring
dengan itu, wangi bunga sedap malam segera menebar memenuhi ruangan.
*** 4
“Kira-kira, ke mana lagi kita
harus mencari pemuda bertanda bintang itu, Dungu?” tanya Lelaki Berbulu Hitam
pada kawannya yang berotak bebal.
Setelah lolos dari tangan
Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi, kini mereka sudah tampak jalan
beriringan pada sebuah jalan setapak.
“Gara-gara hakim sableng itu,
kita gagal meminta bantuan pemuda yang ditunjuk dalam wangsit sebagai 'sang
penolong'” gerutu lelaki keturunan serigala itu keras dan meledak-ledak.
“Aku kira juga begitu,” sahut
Pendekar Dungu, dengan mata terus terjatuh pada jalan. “Kalau binatang peliharaanmu
tidak segera datang waktu itu, tentu kita sudah jadi tawanan si Bangkotan Muka
Rata”
Lelaki Berbulu Hitam
menghentikan langkahnya.
Wajahnya tiba-tiba terbakar
matang.
“Aku sedang membicarakan
pemuda penolong kita, Dungu Bukan soal serigala-serigalaku Lagi pula, mereka
bukan peliharaanku. Mereka itu kawanku”
bentak Lelaki Berbulu Hitam
ngotot sampai-sampai urat lehernya menonjol keluar.
“Astaga Sial kau, ya Jadi si
Hakim Tanpa Wajah dan pemuda jelek itu kawanmu?” Pendekar Dungu ikut berhenti.
Ditantangnya tatapan berang si Manusia Berbulu dengan wajah penasaran.
“Bukan, Guobeluoook Maksudku,
Serigala-
serigala itu”
“Lho. Jadi, serigala-serigala
itu yang bisa menolong masalah kita? Tadi kau bilang pemuda berpakaian
hijau-hijau.... Kau jadi linglung sekarangnya?” kata laki-laki bangkotan
berotak bebal itu lagi.
Setelah itu Pendekar Dungu
melangkah santai, meninggalkan Lelaki Berbulu Hitam yang masih berdiri sambil
memukul-mukul kepala sendiri. Andai Lelaki Berbulu Hitam adalah mercon bungkus,
tentu sudah melesak saat itu juga menghadapi kebodohan kawannya.
Sebelum Lelaki Berbulu Hitam
sempat menumpahkan kemarahan dengan serangkai caci-maki kasar, tiba-tiba
seseorang berkelebat dari belakang, melewati dirinya lalu melewati Pendekar Dungu
di depan.
Dari kecepatannya bergerak,
tentu orang itu sedang mengerahkan kemampuan lari cepat pada puncaknya.
“Hey, siapa itu?” seru Lelaki
Berbulu Hitam.
“Bukan aku” jawab Pendekar
Dungu. Padahal, Pendekar Dungu tak ditanya sama sekali. Namun dia cepat sadar
kalau ada orang yang mendahuluinya.
“Ya... ya Siapa itu?”
“Kejar, Dungu” ujar Lelaki
Berbulu Hitam seraya mengempos tenaga untuk mengejar orang tadi.
“Ya... ya... ya, kejar” latah
Pendekar Dungu lebih bersemangat.
Seketika kejar-kejaran terjadi.
Tanpa mengalami kesulitan, Lelaki Berbulu Hitam yang lebih unggul dalam ilmu
meringankan tubuh daripada Pendekar Dungu, bisa menyusul orang yang diburu.
Dari jarak empat depa di belakang buruan, seluruh ilmu meringankan tubuhnya
dikempos. Di udara, tubuhnya segera melesat cepat mendahului orang tadi, lalu
berhenti menghadang dengan wajah garang.
“Berhenti” bentak Lelaki
Berbulu Hitam lantang. Buruan itu berhenti mendadak, begitu mendengar bentakan.
Sementara Pendekar Dungu terlalu keasyikan menggenjot langkah larinya yang tak
sehebat Lelaki Berbulu Hitam. Akibatnya, sewaktu kawannya menghadang mendadak,
dia malah lupa berhenti.
“E-e-e, awas Awaaas” teriak
Pendekar Dungu kelimpungan sendiri, tanpa bisa menahan. Dan yang jadi sasaran
tabrakannya adalah Lelaki Berbulu Hitam.
Dada besar manusia keturunan
serigala itu ditanduknya. Untuk ilmu-ilmu yang berhubungan dengan tenaga,
Pendekar Dungu memang berada satu tingkat di atas Lelaki Berbulu Hitam. Jadi
jangan tanya, apa akibatnya kalau kepalanya menyeruduk Lelaki Berbulu Hitam.
Seperti kerbau gila
Lelaki Berbulu Hitam
terjengkang ke belakang beberapa depa. Mulutnya menganga lebar dan matanya
mendelik hendak keluar. Saat berikutnya, tubuh gempal itu menimbulkan bunyi
cukup merdu sewaktu menghantam jalan berkerikil.
Di lain pihak, mata sayu
Pendekar Dungu jadi tambah sayu. Biji matanya yang kelabu berputar-putar tak
karuan. Tak lama berikutnya, kepalanya sendiri, ditampar-tampar. Seakan, dengan
perbuatan itu gerak mata bisa dibetulkan.
Tak jauh di depan, Lelaki
Berbulu Hitam bangkit menggeliat-geliat menahan sakit di seluruh belakang
tubuhnya. Sesekali diam meliuk ke kiri, lalu ke kanan, lalu ke kiri lagi.
“Kali ini, kepalamu
benar-benar akan kuremukkan, Dungu” ancam Lelaki Berbulu Hitam dengan mata mengerjap-ngerjap.
Tingkah kedua tokoh itu
benar-benar mem- bingungkan orang yang dihadang. Dia seorang wanita berpakaian
hijau lumut. Dengan rambut berkepang ekor kuda dan pedang kepala naga di
punggung, sudah bisa diduga dia adalah Purwasih. Kebetulan sekali gadis itu
mengambil jalan singkat dari tempat itu untuk menuju tepian Rimba Slaksa
Mambang.
“Kalian ini siapa?” tanya
Purwasih heran pada Lelaki Berbulu Hitam yang menggeram-geram menghampiri
Pendekar Dungu.
“Biar... biar Jangan
dipisahkan Dikiranya aku takut pada manusia jelek ini”
Bukannya menyahuti, Pendekar
Dungu malah berseru lantang pada Purwasih.
Begitu lantangnya ucapan itu
ditujukan pada Lelaki Berbulu Hitam yang siap mengamuk. Lalu, dia malah
berbalik lalu lari sebisa-bisanya.
Lelaki Berbulu Hitam mengejar
di belakang.
Makian simpang-siurnya
terdengar sampai mereka menghilang di kejauhan.
Tinggal Purwasih yang hanya
bisa menggeleng-geleng.
“Makin banyak saja manusia
edan di dunia ini,”
gumam gadis itu, lalu
melanjutkan larinya yang tersendat.
Jarak yang sudah tidak begitu
jauh, membuat Purwasih dengan singkat tiba di danau pinggiran Rimba Slaksa
Mambang. Segera pandangannya beredar ke seluruh tepian danau. Sampai akhirnya,
gadis itu menemukan Andika sedang tergolek lemah di salah satu sudut.
Purwasih segera menjemputnya.
Setelah diangkat, tubuh pemuda itu dibopong di bahu. Baru saja Purwasih hendak
pergi, mendadak dua lelaki aneh yang menghadangnya tadi, muncul lagi. “Naaa,
itu dia” seru Pendekar Dungu. “Daya penciummu jempolan, Hitam”
“Jangan menepuk-nepukku
seperti itu” bentak Lelaki Berbulu Hitam ketika Pendekar Dungu menepuk-nepuk
punggungnya keras.
***
Dalam ruang sebuah pura tua di
sebelah timur kaki Gunung Sumbing, lima orang tampak mematung bisu. Yang
seorang tergeletak pucat di dekat api unggun. Dialah Andika. Telah tiga hari
tiga malam, pemuda itu tak sadarkan diri. Di sisinya, Purwasih duduk menekuk
lutut di lantai. Di salah satu sudut ruang. Pendekar Dungu duduk melengkung.
Kepalanya terjatuh sesekali, akibat serangan kantuk. Tak jarang mengalir lendir
dari mulutnya yang menganga seenaknya. Sedangkan Lelaki Berbulu Hitam berdiri
melipat tangan di depan dada, tepat di dekat pintu masuk. Satu orang lagi,
adalah Raja Penyamar.
Di antara mereka, tak seorang
pun yang tahu tentang kehadiran Raja Penyamar. Memang, kehadirannya hanya
berupa jasad halus. Sedikit pun tak ada niat untuk menampakkan diri pada
mereka.
“Apakah kau tak ingin
istirahat dulu, Anak Gadis?”
kata Lelaki Berbulu Hitam,
memecah kesunyian. “Kau sudah begitu letih mengurusnya tiga hari tiga
malam....”
Dengan wajah letih karena
kurang tidur, Purwasih menggeleng lamat.
“Bagaimana aku bisa memejamkan
mata kalau orang yang kucintai terbaring dalam keadaan menyedihkan? Denyut
jantungnya begitu lemah. Dan wajahnya sudah begitu pucat,” tolak Purwasih,
lirih. Ditariknya napas untuk mengenyahkan beban yang menggelantungi dada. “Aku
tak mengerti, kenapa dia tetap saja tak mau sadar. Padahal aku telah cukup
menyalurkan hawa murni ke dalam tubuhnya.”
Lelaki Berbulu Hitam yang hari
itu memperlihatkan sifat halus terpendamnya, tampak mengangguk-angguk dengan
wajah datar.
“Jangan kau pikir aku tak
turut membantu, Anak Gadis. Diam-diam, aku juga mengirim hawa murni dari jarak
jauh ke tubuh anak muda itu. Tapi, tampaknya sia-sia...,” kata Lelaki Berbulu
Hitam seperti mengeluh.
“Bagaimana dengan kawanmu
itu?” tanya
Purwasih, seraya melempar
pandangan ke arah Pendekar Dungu.
Melihat si Tua Bangkotan di
sudut ruangan, wajah Lelaki Berbulu Hitam jadi berubah. Ada garis kemangkelan
terlihat di sudut bibirnya.
“Bagaimana kalau kita
menggabungkan hawa murni kita untuk menolongnya?” usul Purwasih.
“Mungkin dengan begitu, dia
akan tersadar.”
“Sementara memang begitu,”
jawab Lelaki Berbulu Hitam menyetujui. Segera dihampirinya Pendekar Dungu. “Hey
Bangun, Dungu”
Merasa tak berguna hanya
dengan mulut, Lelaki Berbulu Hitam menendang kaki Pendekar Dungu.
Plak
“Hiaaat”
Kontan saja si Tua Bangka
bergigi ompong ini mencak-mencak. Untung saja tangannya tak tersasar ke wajah
Lelaki Berbulu Hitam. Kalau tidak, bisa terjadi kiamat dalam ruangan itu.
“Ada apa?” tanya Pendekar
Dungu, akhirnya.
Purwasih dengan singkat
menjelaskan maksudnya. Setelah Pendekar Dungu setuju, meski harus menunggu lama
agar mengerti, barulah ketiganya bersiap-siap. Mereka kemudian duduk
berkeliling di sekitar tubuh Andika. Tangan mereka menyatu sama lain. Sedangkan
sebelah tangan Purwasih, menempel di dada pemuda yang tak sadarkan diri ini.
Dalam pemusatan rasa dan
pikiran, mereka mulai menyalurkan hawa murni masing-masing. Dan tanpa
diketahuinya, Raja Penyamar ikut andil menyalurkan kekuatan halusnya, melalui
diri Purwasih.
Waktu berlalu. Cukup lama
mereka melakukan usaha itu. Tapi sedikit pun tak ada perubahan pada diri
Andika. Sampai akhirnya, mereka berhenti karena kehabisan tenaga.
“Aneh Kenapa seluruh hawa
murniku seperti disedot begitu saja. Tenagaku seperti terkuras...,”
desah Lelaki Berbulu Hitam,
terheran-heran.
“Ya Aku pun baru menyadari,
setelah kita menggabungkan hawa murni,” timpal Purwasih.
“Aneh...,” tambah Lelaki
Berbulu Hitam.
“Aneh memang.... Memang aneh,”
Pendekar
Dungu ikut-ikutan.
Sementara, seseorang tanpa
wujud langsung menyadari apa sesungguhnya yang terjadi dalam diri anak muda
ksatria itu. Raja Penyamar yakin, ada semacam medan pusaran jahat dari alam
lain yang menumpangi garba Andika. Meski sampai saat itu tak juga diketahui
penyebabnya.
Medan pusaran jahat itu
sengaja dirasuki seseorang ke dalam diri Andika. Tujuannya untuk menyedot habis
tenaga orang-orang yang hendak menolongnya, dengan menyalurkan hawa murni.
Mulanya si Korban tak akan
merasakan tenaganya tersedot. Mereka baru akan tahu, setelah tak bisa lagi
mengerahkan tenaga dalam selama beberapa waktu.
Karena kekuatan mereka sudah
terkuras. Yang tersisa hanya rasa lemas jika mencoba mengerahkan tenaga dalam.
“Hanya ada satu orang yang
sengaja melakukan ini dengan maksud tertentu,” bisik Raja Penyamar.
“Hakim Tanpa Wajah Dia tentu
dibantu Manusia Dari Pusat Bumi. Tujuannya tentu hendak melumpuhkan si Dungu
dan si Hitam, yang masih tetap sulit ditaklukkan. Tentu selama ini, gagak yang
menjadi
'saksi mata'nya telah
mengabarkan bahwa si Dungu dan si Hitam membutuhkan pertolongan Andika....”
Saat itulah indera halus Raja
Penyamar merasakan sesuatu yang tak diharapkan bakal terjadi. Tapi, peringatan
inderanya itu sudah terlambat. Karena....
“Pengadilan menanti”
Sebuah teriakan yang begitu
dikenal, melantak kesunyian ruangan dari arah luar.
“Dungu dan Hitam keparat
Kalian tak akan bisa menghindar lagi dari pengadilanku He... hek... hek...
heee”
“Siapa mereka?” tanya
Purwasih. Selama tiga hari mengenal Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam,
Purwasih memang hanya mendengar penjelasan tentang alasan mereka mencari-cari
Andika, lalu sudi pula menolongnya. Sedangkan tentang asal-usul dua tokoh aneh
ini, serta urusan lama dengan Hakim Tanpa Wajah tak pernah diceritakan.
“Manusia tak waras yang sok
benar sendiri” jawab Lelaki Berbulu Hitam.
“Aku tak mengerti?” lanjut
Purwasih.
“Nanti pun kau akan tahu,”
putus Lelaki Berbulu Hitam. Selanjutnya, laki-laki berbulu lebat itu keluar
dengan langkah terbanting-banting keras.
Pendekar Dungu mengikuti di
belakangnya. Juga Purwasih.
Di luar, Lelaki Berbulu Hitam
berdiri menantang kedatangan dua seterunya di kejauhan. Sepasang tangannya
bertolak pinggang. Wajahnya cepat memerah dipompa kemarahan.
Dengan latah, Pendekar Dungu
berdiri di samping-nya dan ikut bertolak pinggang. Punggungnya yang sudah
melengkung dipaksa-paksakan untuk tegak.
Mungkin pikirnya, dengan begitu
dia tampak mem-busungkan dada. Padahal, malah terlihat seperti sedang menderita
encok.
“Penasaran kau, ya?” cemooh
Lelaki Berbulu Hitam sarat tekanan.
“Kujamin Sekali ini, kau tak
akan lolos lagi. Ingat itu, tak akan” tandas Hakim Tanpa Wajah, berkawal
seringai.
“Orang tua Siapa sesungguhnya
kau ini? Kenapa berkata begitu tak sopan dan lancang?” selak Purwasih. Muak
juga gadis itu melihat lagak Hakim Tanpa Wajah.
“Heee... he... he... heee Ada
gadis cantik yang minta diadili” leceh Hakim Tanpa Wajah.
“Tunggu dulu Dari tadi kau
bicara soal pengadilan.
Apa kau orang yang belakangan
ini membuat kegemparan, dengan julukan Hakim Tanpa Wajah?”
tanya Purwasih tanpa terbetik
rasa takut.
“Ya Kau gadis pintar”
“Ooo.... Jadi, ini orangnya
yang membuat takut banyak tokoh persilatan belakangan ini?” sinis Purwasih kian
berani.
“Sudahlah, Anak Gadis Hanya
buang-buang waktu berbicara dengan manusia sial ini” sergah Lelaki Berbulu
Hitam, naik pitam.
“Ya... ya. Hanya manusia sial
yang buang-buang waktu,” timpal Pendekar Dungu ngawur.
Lelaki Berbulu Hitam maju
beberapa tindak. Dari cara berjalannya, tampak kalau dia sudah begitu bernafsu
membalas kekalahannya waktu itu.
“Ayo Maju kau” tantang Lelaki
Berbulu Hitam.
Manusia Dari Pusat Bumi baru
hendak melayani tantangannya. Tapi, sang Guru mengeluarkan tangan dari balik
kafan untuk menahan pemuda setengah siluman itu.
“Aku ingin sedikit mengenang
peristiwa delapan puluh tahun lalu,” kata Hakim Tanpa Wajah.
Selesai berkata, laki-laki
berkain kafan itu meloncat-loncat ke depan. Empat depa di depan Lelaki Berbulu
Hitam, baru dia berhenti.
“Kita hendak mulai dari jurus
kacangan atau jurus habis-habisan?” tawar Hakim Tanpa Wajah pongah.
“Aaargh”
Lelaki Berbulu Hitam tak mau
banyak cing-cong.
Diterkamnya Hakim Tanpa Wajah
dengan jari menegang seperti batangan baja.
Hakim Tanpa Wajah amat kenal,
bagaimana
tingkat kecepatan lawannya.
Pada masa jayanya delapan puluh tahun yang silam, Lelaki Berbulu Hitam berada
di papan atas dalam ilmu-ilmu kecepatan.
Tahu akan hal itu, mestinya
Hakim Tanpa Wajah cepat menghindar dari cakar Lelaki Berbulu Hitam yang sanggup
merobek lehernya dalam sekali tebas.
Tapi hal itu tak juga
dilakukan. Sampai....
Srat
Leher kurus Hakim Tanpa Wajah
benar-benar di-mangsa cakar lelaki tinggi besar itu. Benarkah laki-laki tua
berkain kafan itu akan kehilangan kepala? Sama sekali tidak Sebab, Hakim Tanpa
Wajah amat tahu kalau lawannya kini sudah tak memiliki tenaga dalam yang bisa
diandalkan untuk melakukan itu.
“He... he... he Kenapa
berhenti?” ledek Hakim Tanpa Wajah.
Tampak Lelaki Berbulu Hitam
terpana-pana memandangi jari-jari berkuku tajam miliknya yang tak seampuh
sebelumnya.
“Astaga, Hitam Kenapa kau tak
sungguh-sungguh
'menggaruk' leher manusia sial
itu?” seru Pendekar Dungu, masih belum menangkap apa yang terjadi.
“Aku bukan main-main, Goblok
Sudah kukerahkan seluruh tenaga dalamku untuk merobek lehernya.
Tapi, tenagaku tidak ada lagi”
teriak kalap Lelaki Berbulu Hitam.
“Tak ada? Memang kau pinjamkan
pada siapa?”
tanya si Dungu kembali. Amat
lugu..., dan tentu menyebalkan
*** 5
Jasad halus Raja Penyamar
menelusuri sebuah lorong asing yang panjang bagai tak bertepi. Dalam lorong
berpusaran kabut itu, tubuhnya melayang terus menuju ujungnya. Sesekali ada
semacam terpaan angin kuat menahan. Dengan susah payah,
ditembusnya dinding angin itu.
Tak jarang pula ada kilatan-kilatan cahaya menyambarnya demikian liar.
Raja Penyamar tetap tak
peduli.
Seberkas kilatan cahaya
tiba-tiba menerjang Raja Penyamar. Tubuhnya langsung terlempar ke sisi lorong,
dan langsung disambut pusaran kabut. Tanpa bisa menguasai keseimbangan,
tubuhnya terombang-ambing di sisi lorong. Lalu kekuatan pusaran itu hendak
melemparnya keluar dari lorong.
Karena Raja Penyamar begitu
bertekad untuk berhasil tiba di ujung lorong, kekuatan meng-hempasnya tadi
dilawannya. Dia berteriak sekuat-kuatnya, berjuang melawan pusaran yang hendak
menggagalkan usahanya. Ketika lengkingannya kian meninggi dan meninggi,
keseimbangan tubuhnya pun dapat dikuasai. Dia terus melayang kembali dalam
lorong menuju ujungnya, setelah lepas dari cengkeraman pusaran tadi.
Akhirnya tiba pula Raja
Penyamar di ujung lorong.
Di sana terbentang ruang tanpa
batas. Dalam ruang itu, menggema suara panggilan-panggilan Andika.
“Raja Penyamar Raja Penyamar”
Andika Di mana kau?” tanya
Raja Penyamar, bingung. “Aku di sini”
Raja Penyamar mengikuti arah
suara Andika.
Dengan tuntunan gaung suara
itu, Andika bisa ditemukan pada satu bagian ruang tanpa batas.
Sosok pemuda itu sedang terkurung
dalam sebuah sangkar yang selalu berubah bentuk, namun memiliki warna tetap.
Yakni, warna merah bara neraka.
Di dalam sangkar, Raja
Penyamar melihat Andika meronta-ronta mengerahkan seluruh tenaga. Setiap kali
tubuhnya bersentuhan dengan jeruji sangkar, terperciklah bunga-bunga api panas
luar biasa.
Sehingga membuat tenggorokan
Andika tercekat hendak melepas lolongan.
“Bagaimana aku harus keluar
dari sini?” tanya Andika kacau.
“Kerahkan seluruh kehendak
sucimu” perintah Raja Penyamar, di sisi sangkar yang melayang dalam ruang tanpa
batas.
“Sudah kucoba. Tapi, tak
berhasil”
“Coba lagi, dan terus coba”
“Aku tak bisa”
“Kau harus bisa, Andika”
“Aku tak kuat' lagi Sangkar
ini terlalu kokoh. Dan pijarnya begitu menyiksa untuk dilawan”
“Tidak, Andika Kau akan kuat
untuk menentang-nya Ayo, kerahkan lagi kehendak sucimu Jangan menyerah Ingat
Kau adalah pribadi yang tak ingin dikalahkan keangkaramurkaan”
“Aku letih”
“Jangan pernah letih Kau belum
tiba pada batas hidup Ayo, berusahalah Jeruji merah bara itu tak sekuat
kehendak sucimu, Andika Tataplah ruang tanpa batas ini Mestinya, kehendak
sucimu menempati rongga ruang ini Karena, itu yang sesungguhnya disediakan sang
Penguasa Alam untukmu Ayo Kau sanggup melawan sangkar laknat itu, Andika Ayo”
seru Raja Penyamar tanpa kenal menyerah.
“Aku....”
“Jangan pernah berkata-kata
lagi Hanya dirimu yang mampu menolong Hanya dirimu” sambung Raja Penyamar,
makin mendesak.
Beberapa lama tubuh Andika
bergetar dalam kungkungan sangkar. Seluruh bagian tubuhnya mengejang. Mimik
wajahnya sangat menggambarkan suatu perjuangan hidup dan mati. Sedangkan
sepuluh jari tangannya mengeras di depan dada.
Andika terus berjuang...
berjuang....
Pada satu batas perjuangannya,
jeruji sangkar merah bara terlihat meredup dan menguat. Seolah, sedang bertahan
dari perlawanan kekuatan kehendak suci Andika. Dan pada saatnya....
“Aaa”
***
Andika mendadak tersadar dari
pingsannya yang berhari-hari. Kelopak matanya membuka tersentak.
Sinar matanya nanar,
mencari-cari liar. Ketika cahaya matahari ditemukannya, barulah otot-ototnya
yang menegang demikian rupa dilemaskan. Dadanya mulai menarik udara ke
paru-paru. Lega.
“Andika...,” panggil sebuah
suara dari sisi.
Andika menoleh. Dilihatnya
Purwasih duduk di dekatnya dengan wajah letih dan mata basah.
“Sukurlah, kau sudah sadar
Andika. Aku begitu khawatir melihat keadaanmu,” kata Purwasih lirih seraya
menghambur ke dada bidang Andika. Dara jelita itu terisak di sana.
“Apa yang terjadi, Purwasih?
Di mana aku?” tanya Andika lemah.
Purwasih menegakkan tubuhnya.
“Kau berada dkempat yang aman Andika,” jawab gadis itu.
“Apa yang terjadi denganku?”
ulang Andika.
Pendekar Slebor mencoba
bangkit. Dan Purwasih pun membantunya, menegakkan punggung dan duduk di sisi
pemuda itu.
Lalu, gadis itu pun
menceritakan kejadian yang menimpa Andika sepanjang pengetahuannya.
Termasuk, tentang dua lelaki
aneh yang kemudian dikenalnya sebagai Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu.
Juga tentang kedatangan dua lelaki asing lain yang dikenalnya sebagai Hakim
Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi dari desas-desus santer belakangan ini.
“Sewaktu Hakim Tanpa Wajah dan
Manusia Dari Pusat Bumi bertempur dengan dua lelaki aneh yang membantuku malam
itu, tiba-tiba saja ada bisikan di telingaku untuk membawamu secepatnya keluar
dari tempat itu. Aku tak tahu, siapa yang berbisik. Seolah, suara itu langsung
terdengar meski tak melalui telingaku. Tanpa banyak pikir, aku segera
menuruti-nya dan sampailah di tempat ini,” papar Purwasih menyelesaikan
ceritanya.
Mata gadis itu langsung
merayapi tempat ini.
Sebuah ruang gubuk yang tak
begitu terawat baik.
Terletak di sebuah dataran
lembah.
“Mana Raja Penyamar?” tanya
Andika.
“Raja Penyamar?” Purwasih tak
paham maksud Andika.
“Ah Aku lupa, kau belum
mengenal dia,” gumam Andika. “Apa yang kau katakan, Andika?”
“Tidak,” hindar Andika cepat.
Dia mencoba bangkit, tapi segera ditahan Purwasih.
“Mau ke mana, kau?” tanya
gadis itu.
“Aku harus mencari seseorang.
Semua kejadian yang menimpaku harus dijelaskannya,” kata Pendekar Slebor.
Sekali lagi dicobanya untuk
berdiri kembali. Tapi, kembali Purwasih menahannya.
“Bisikan yang datang padaku
waktu itu menitipkan pesan untukmu juga, Andika....”
“Apa?” tanya Andika cepat.
“Katanya, kau tak perlu
mendatangi tempatnya.
Dia sendiri nanti yang akan
menemuimu....”
***
Tengah malam, ketika Purwasih
benar-benar
terpulas membayar kekurangan
tidurnya, Andika menyelinap keluar gubuk diam-diam. Memang, ada bisikan yang
dikenalnya sebagai suara Raja Penyamar.
Di tengah lembah dalam siraman
cahaya redup benda-benda langit, lelaki yang telah lama mati itu berdiri
menanti Andika.
“Maukah kau menjelaskan
padaku, apa yang sesungguhnya telah terjadi?” tanya Andika, setibanya di dekat
jasad halus Raja Penyamar.
“Mestinya kau yang lebih
dahulu menjelaskan padaku, kenapa tiba-tiba tergolek tak sadarkan diri di danau
pinggiran Rimba Slaksa Mambang?” balik tanya Raja Penyamar.
“Kau belum tahu kejadian yang
menimpaku?
Bukankah kau jasad halus yang
tak dibatasi ruang dan waktu?”
“Ya, benar. Aku memang jasad
halus. Tapi, bukan berarti bisa seenaknya menembus batas ruang dan waktu. Tetap
ada ruang-ruang dan waktu-waktu tertentu yang tak bisa kutembus. Sebab, aku
bukan Tuhan. Hanya Tuhan-lah yang memiliki secara mutlak ruang dan waktu...,”
papar Raja Penyamar. “Sekarang kau mau menjelaskan padaku, apa yang kau alami?”
“Baik....”
Andika mengalah. Maka
diceritakannya bagaimana telah ditipu mentah-mentah oleh siluman yang
menyerupai Raja Penyamar, sampai akhirnya dia sadar telah dimanfaatkan untuk
menyampaikan senjata milik Manusia Dari Pusat Bumi.
“Aku telah begitu bodoh” rutuk
Andika pada diri sendiri. “Mestinya aku ingat kalau kau selalu meninggalkan
aroma bunga sedap malam setiap kali pergi....”
“Semuanya telah terjadi.
Selaku manusia biasa, kau bisa berbuat kesalahan,” hibur Raja Penyamar, arif.
“Kau tak menyalahkanku?” ujar
Andika heran.
“Aku tetap menyalahkanmu.
Tapi, bisa kumaklumi.
Untuk itu, kau harus melakukan
sesuatu agar kesalahanmu dapat ditebus.” Raja Penyamar diam sesaat. “Beberapa
hal harus kau lakukan. Pertama, kau harus memanfaatkan kesaktian Lelaki Berbulu
Hitam dan Pendekar Dungu. Sebelum terjun kembali ke dalam dunia persilatan,
mereka telah kukecoh dengan memberi wangsit palsu yang mengatakan bahwa masalah
diri mereka bisa ditolong olehmu.
Dengan begitu, setiap
perkataanmu akan dituruti mereka. Nah Usahakan, agar mereka berdiri di pihakmu
untuk menentang kezaliman Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi....”
“Selanjutnya?”
“Aku yakin, Cermin Alam Gaib
akan sangat menyulitkanmu. Karena itu, kau harus meng-hancurkannya....”
“Bagaimana caranya?”
Raja Penyamar menggeleng.
“Sampai saat ini, belum bisa kuketahui. Perlu waktu dan usaha untuk mencoba
menerobos benteng gaib rahasia
kelemahan cermin itu...,” kata
Raja Penyamar. “Oh, ya. Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Apa kau sudah
menyelesaikan seluruh kitab penyamaran yang kuberi?”
“Belum. Ada satu bagian akhir
yang tak ku-selesaikan. Sebab, bagian itu kupikir tidak begitu penting,” jawab
Andika.
“Kau keliru. Justru bagian itu
adalah bagian terpenting yang akan menyempurnakan ilmu menyamarmu....”
***
Dua lelaki tengah berjalan
tertatih-tatih di hamparan dataran tandus. Matahari bersinar terik tepat
menyengat ubun-ubun keduanya. Seorang berusia muda. Rambutnya kaku, hingga
sebagian berdiri seperti landak dengan warna kusam kemerahan. Wajahnya terlihat
amat dungu, matanya sering terjuling-juling. Berjidat besar dan berhidung besar
pula. Jalannya terpincang-pincang. Kerap kali mulutnya meringis-ringis menahan sakit
sewaktu sebelah kakinya yang bengkak karena borok, terantuk batu jalan.
Pakaiannya tidak sedap dipandang sama sekali. Bahkan tak pantas bagi lelaki
seperti dia, mengenakan gaun rombeng perempuan berwarna kelabu.
Sedangkan seorang lagi berusia
setengah baya.
Entah banyak pikiran atau
kenapa, wajahnya tampak lebih tua daripada usia sebenarnya. Rambutnya yang
panjang dipenuhi uban dan dikepang. Sama kusamnya dengan rambut lelaki pertama.
Wajahnya kurus, sekurus tubuhnya. Hidungnya lancip dan matanya besar tanpa
alis. Tak henti-henti mulutnya yang bergigi ompong, menggerutu sepanjang jalan.
Setiap beberapa langkah,
ditepuk-tepuknya pakaian bertambal sulam yang dikenakan. Seolah dia takut
banyak debu menempel. Kalau pemuda yang berjalan bersamanya tertatih-tatih
karena borok, lelaki ini tertatih-tatih karena sandal kayu kebesarannya.
Sewaktu berjalan, akan
terdengar bunyi mengganggu telinga, akibat benturan sandal dengan kerikil. Di
dunia persilatan, dia dikenal sebagai Ketua Partai Pengemis Timur. Julukannya,
si Penggerutu Berkepang.
“Sialan... ugh-ugh Ke mana
lagi kita mesti mencari Lima Gembel Busuk?” tanya si Penggerutu Berkepang
membuka percakapan. “Apa kau punya sedikit usul, Borok?”
“Aku tak tahu,” jawab pemuda
yang dipanggil Borok.
“Ugh-ugh sialan Kalau begitu,
buat apa kita terus mengukur jalan seperti ini tanpa tujuan jelas?
Debuh... nggg... nggg...
was... wis... wus” gerutu si Penggerutu Berkepang..
“Biar kita kenal jalan. Ha...
ha... ha” si Borok tertawa dengan mata menjuling-juling dan bibir
tertarik-tarik.
“Tak lucu” Si Borok langsung
bungkam.
“Kau sendiri, kira-kira ke
mana harus mencari mereka?” aju si Borok.
Jawaban si Penggerutu
Berkepang hanya gerutuan panjang.
“Nah Kalau begitu kita
sama-sama tak tahu. Kan, ada baiknya kita terus berjalan. Siapa tahu, kalau
beruntung kita bertemu tabib yang bisa
menyembuhkan borok dan
julingku. Dan kau bisa disembuhkan dari kebiasaan menggerutumu Ha...
ha... ha”
“Tak lucu”
Sementara itu di atas mereka,
tepatnya di udara terbuka nan luas, seekor gagak hitam berkeliling-keliling
liar. Sejak dari tadi, binatang itu terus mengawasi mereka. Matanya yang
kemerahan merekam terus ciri-ciri mereka. Suara jerit memekakkannya
berkali-kali merobek angkasa.
Sejauh itu, kehadirannya tak
pernah dipedulikan oleh dua lelaki tadi.
Angkasa sepi ketika binatang
berwarna hitam malam itu melayang pergi. Selang sekian lama, kehadirannya
digantikan dua sosok yang
menghadang di depan.
“Kau kenal dua lelaki itu,
Borok?” tanya si Penggerutu Berkepang, menyaksikan ada dua orang menghadang
mereka jauh di depan.
“Yang pasti bukan anggota Lima
Gembel Busuk”
tukas Borok. Matanya melirik
susah-payah ke arah penghadang.
“Kira-kira kau tahu, apa yang
mereka mau?” tanya Penggerutu Berkepang sambil tetap melangkah.
“Yah.... Yang pasti, mereka
tak ingin merampok kita. Mau mengambil apa mereka dari kita? Gaun rombeng ini?
Atau terompah kayu jelekmu? Ha-ha-ha”
Setibanya tak jauh dari para
penghadang, Penggerutu Berkepang berbasa-basi.
“Hey, kalian berdua Apa kabar?
Kenapa siang terik begini berdiri di tempat panas?”
Sahutan yang didapat cukup
mengejutkan mereka.
“Pengadilan menanti”
*** 6
Tak ada niat lain bagi Hakim
Tanpa Wajah dan muridnya menghadang Ketua Partai Pengemis Timur dan si Borok,
kecuali membawa mereka berdua ke Pengadilan Perut Bumi. Dengan begitu, tak ada
lain hal yang bisa terjadi. Pertempuran
“Gebuk mereka, Kepang” seru
Borok, menye-mangati kawannya untuk segera menyerang.
Merasa panas, Penggerutu
Berkepang segera membuka jurusnya. Langkahnya diseret-seret sambil
menggerak-gerakkan tangan, mengitari Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat
Bumi. Sementara dua lawannya masih tampak sedingin es. Tanpa gerak, mata mereka
mengawasi Penggerutu Berkepang. Di bibir mereka tersembul seringai. Entah meremehkan,
entah geram.
Set
Tiba-tiba saja, Penggerutu
Berkepang menghentakkan tangannya, menebas udara di depan Hakim Tanpa Wajah.
Tapi, serangannya sama sekali tak langsung diarahkan ke tubuh lawan. Mungkin
maksudnya sekadar menggertak. Seperti tak mempan dikecoh, Hakim Tanpa Wajah tak
terkejut.
Dia tetap tenang, seperti batu
karang.
“Tunggu apa lagi? Ayo, hantam
saja” teriak Borok tak sabar melihat kawannya masih menunggu-nunggu.
“Diam kau, Sialan Yang mau
bertempur kau atau aku?” hardik Penggerutu Berkepang, diikuti gerutuannya.
“Alah Jujur aja Apa kau takut? Bukankah mereka yang bikin gentar nyali tokoh
persilatan belakangan ini?” cemooh Borok, memanas-manasi.
“Biar nama mereka bikin ngacir
setan belang sekali pun, aku tak akan mundur Mau ditaruh di mana mukaku, selaku
Ketua Partai Pengemis Timur?” dengus Penggerutu Berkepang, masih tetap mencak
sana mencak sini.
“Kalau begitu, ayo terjang
mereka”
“Tunggu dulu, Sialan Aku
sedang mencari-cari kelemahan mereka,” dalih Penggerutu Berkepang.
“Ya, kawanmu benar Tunggu apa
lagi?” timpal hakim palsu berwajah tembok, tanpa menoleh pada lawan di
belakangnya.
Barulah kesungguhan Penggerutu
Berkepang ter-sulut mendengar ucapan Hakim Tanpa Wajah barusan. Setelah
berpindah ke depan karena tak ingin membokong, segera dikirimnya dua tendangan
susun tiga. Sasarannya kepala, dada dan
selangkangan. Begitu cepat
gerakannya dari atas ke bawah. Deb Deb Deb
Tapi enteng saja Hakim Tanpa
Wajah menangkis-nya satu demi satu dengan pergelangan tangannya tanpa bergerak
sama sekali. Pada saat yang sama, bola mata sempitnya digerakkan untuk memberi
isyarat pada muridnya untuk menjauh.
Manusia Dari Pusat Bumi
langsung mengambil jarak tujuh tombak ke belakang. Kini tersedia arena bagi
Hakim Tanpa Wajah dan Penggerutu Berkepang untuk bertukar jurus-jurus berat.
Serangan susulan dilancarkan
Penggerutu
Berkepang. Dengan tangan
terbentang, tubuhnya berputar. Sepasang tangannya menyambar lurus ke kepala
Hakim Tanpa Wajah. Wut Wut
Dua sambaran tangan Ketua
Partai Pengemis Timur mampu dihindari Hakim Tanpa Wajah dengan amat mudah.
Lelaki bangkotan itu hanya merunduk dua kali, maka putaran tangan pengemis itu
pun memakan angin. Selanjutnya, Hakim Tanpa Wajah melancarkan serangan balasan
yang tak kalah berbahaya. Didahului hentakan suara tertahan, tangan yang
berjari menegang lurus menuju ulu hati disodokkan.
Jep
Untuk mematahkannya,
Penggerutu Berkepang menurunkan kedua tangan dengan memutarnya lebih dahulu ke
atas. Setelah bersilangan sekepakan, kedua tangannya segera menghadang tusukan
jari Hakim Tanpa Wajah.
Tak
Hakim Tanpa Wajah tak puas
dengan serangan awal. Dan dia menyusuli tangan lawan dengan sapuan dua kaki
yang terikat tali kafan.
Mengetahui kakinya terancam,
Penggerutu
Berkepang melompat di tempat.
Baru saja kakinya menjejak, sepasang kaki Hakim Tanpa Wajah sudah menyapu
kembali. Kali ini, Penggerutu Berkepang yang begitu disegani di wilayah timur
tak ingin terus didekte dengan melompat seperti orang bodoh. Maka dengan modal
jejakkan sesaat tadi, tubuhnya dilempar ke belakang.
“Hup”
“Bagus Bagus Itu baru Ketua
Partai Pengemis Timur” sorak Borok bersemangat.
“Diam kau” hardik Penggerutu
Berkepang seraya menangkis tinju yang menyusul tubuhnya. “Nih, makan jurus
'Ekor Naga Menyapu Gunung' milikku” Langsung Penggerutu Berkepang membuat
beberapa babatan kaki ke
beberapa bagian tubuh Hakim Tanpa Wajah. Pergantian gerak kakinya begitu cepat.
Dalam sekerdip mata, lima kali pergantian gerak bisa dibuatnya. Tentu saja hal
itu dapat dilakukan, mengingat Penggerutu Berkepang adalah tokoh jajaran atas
wilayah timur yang kesohor dengan permainan jurus-jurus kakinya. Apalagi,
sekarang dia sudah mencoba memainkan jurus-jurus berat.
“Bodoh Kau tidak bisa
mengalahkanku dengan jurus anak kecil macam ini Bahkan hanya untuk membuat aku kewalahan,
he-he-he” ledek Hakim Tanpa Wajah kian keterlaluan.
Sambil melempar kata-kata
meremehkan, tubuh Hakim Tanpa Wajah meliuk ke sana kemari seperti seekor ular
nangka. Lincah dan cepat tak terkejar.
Jenggot putihnya yang panjang
terayun kian kemari, mengikuti liukan tubuh rentanya.
Bet Bet Bet
Penggerutu Berkepang mencoba
melepas kembali beberapa tendangan kunci mematikan. Namun, itu pun bisa
dihindari Hakim Tanpa Wajah dengan amat mudah.
“Ayo, balas seranganku Jangan
hanya
menghindar” hardik Penggerutu
Berkepang makin kalap.
“Tenang..., tenang.... Apa kau
tak senang kalau aku ingin sedikit menghiburmu?” sahut Hakim Tanpa Wajah
seperti tidak menggerakkan bibir.
Makin kalap saja Penggerutu
Berkepang. Tiga jurus 'Ekor Naga Menyapu Gunung' yang digabung menjadi satu,
secara serentak dihamburkan ke arah Hakim Tanpa Wajah. Untuk serangannya kali
ini, laki-laki tua berkain kafan itu tak bisa lagi mengandalkan kelincahan
tubuh semata. Beberapa sodokan kaki lawan disambutnya dengan jentikan jari kurus,
terbungkus kulit keriputnya.
Tik
Meski terdengar lembut, bagi
Penggerutu
Berkepang jentikan jari kurus
Hakim Tanpa Wajah malah terasa menyengat ke tulang sum-sum. Setiap kali
terkena, mulutnya yang tak henti-henti membeber gerutuan dan meringis kesakitan.
Di luar arena, si Borok
mencak-mencak sendiri.
Seperti bertarung dengan setan
kesiangan, dia memukul dan menendang tak karuan. Bibirnya yang oleng ke samping
dengan lancar melempar teriakan-teriakan seru nan menggebu.
“Yak Hiaaat Set Hait Tendangan
ke kiri Balas ke kanan Ah, Goblok Jangan ditangkis Gigit saja jarinya Iyak,
begitu”
Sementara itu di arena, Hakim
Tanpa Wajah sudah mulai bosan dengan permainannya. Segera dia menjauh beberapa
langkah dari lawan yang mendengus-dengus bernafsu.
“Sekarang, bersiaplah untuk
kujadikan bulan-bulanan” kata Hakim Tanpa Wajah.
Penggerutu Berkepang sudah tak
bisa
membedakan lagi, apakah lawan
masih mengolok-oloknya atau berkata sungguh-sungguh. Dia terlalu kalap untuk
memikirkannya. Padahal kalau bisa tenang sedikit, tentu dia tak mau melanjutkan
pertarungan dengan mata gelap seperti itu. Sebab, kecerobohannya kali ini bisa
menjadi kunci kekalahan paling menyebalkan yang bisa segera membawanya ke pintu
Pengadilan Perut Bumi
“Apa pun katamu, semuanya tai
kucing” umpat Penggerutu Berkepang sambil maju merangsek dengan tendangan
berputar bagai kincir liar.
Bet Bet Bet
Bunyi tendangan Penggerutu
Berkepang mendekat cepat, menerbangkan debu tinggi-tinggi. Rupanya, tenaga
pamungkas telah pula disalurkan pada kedua senjata mautnya. Andai saat itu ada
sebongkah batu karang sebesar banteng terkena sepakannya, tak bisa disangkal
lagi tentu akan lebur berhamburan ke segenap penjuru
Ketika kaki Penggerutu
Berkepang menebas leher, Hakim Tanpa Wajah segera menyambutnya dengan papakan
telapak tangan kiri. Tangan kanannya yang lowong mendorong ke depan disertai
tenaga dalam tinggi. Apa yang sedang dilakukan manusia berotak tak waras itu,
seperti tak berbahaya. Namun jika melihat kakinya menjejak bumi beriring
hentakan tadi, maka menjadi jelas kalau Hakim Tanpa Wajah sedang mengerahkan
satu ilmu andalan yang bernama 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi'.
Kesaktiannya yang disertai
pemusatan tenaga, sanggup membuat lubang sedalam beberapa jengkal pada karang.
Sementara, satu depa di sekitarnya sebuah batu sebesar banteng kontan menjadi
butiran debu.
Dak
Seketika dua telapak tangan
berbenturan. Dalam keadaan terdesak, Penggerutu Berkepang masih sempat memapak
hentakan telapak tangan Hakim Tanpa Wajah. Namun begitu, 'Tenaga Sakti Pembelah
Bumi' terlalu tangguh untuk dihadapi tenaga dalamnya. Sekejap tubuhnya
bergetar. Sekejap berikutnya, Penggerutu Berkepang sudah terlempar jauh ke
belakang.
“Wuaaa” Jeritannya terpenggal
manakala Penggerutu Berkepang jatuh meninju permukaan bumi dengan keras.
Seluruh kesadarannya kontan terbang.
Kalaupun tak langsung tewas
saat itu juga, itu karena Hakim Tanpa Wajah hanya menyalurkan kurang dari
seperempat tenaga saktinya. Lawannya akan terluka dalam, sekaligus kehilangan
kesadaran. Tak lebih dari itu.
Menyaksikan kawannya ambruk,
Borok cemberut.
Matanya makin terjuling-juling
menunggu Penggerutu Berkepang bangkit kembali. Tapi, itu tak bakal terjadi.
“Kok, hanya sebegitu?” gumam
Borok terpatah-patah.
Bagai pendekar tak
terkalahkan, Borok maju.
Wajahnya dibuat sejumawa
mungkin, meski dipaksa-kan. Langkahnya terbanting-banting, meski harus
menderita kesakitan akibat borok di kakinya.
“Mungkin saja kau bisa berbuat
itu pada dia”
bentak Borok garang pada Hakim
Tanpa Wajah.
“Ta...Pi....”
Laki-laki itu langsung memukul
dadanya keras-keras hingga terbatuk-batuk.
“Tapi, kau tidak bisa
melakukan itu padaku sama sekali. Kuulangi, sama sekali” lanjut Borok.
Lalu Borok maju lagi hingga
jaraknya tinggal enam langkah dari Hakim Tanpa Wajah.
“Kau tahu sebabnya kenapa?”
sambung Borok.
“Sebab, he... he... he.... Aku
tak mau bertempur denganmu, rasanya. Bagaimana kalau kita damai saja?”
Hakim Tanpa Wajah terkekeh.
Namun Manusia Dari Pusat Bumi yang berdiri tak jauh darinya malah menggeram. Si
Borok mendelik. Jangan ditanya, bagaimana bola matanya yang selalu salah alamat
itu. Jangan ditanya pula, bagaimana bibirnya yang tak mau bersahabat itu.
Pokoknya, dia terlihat jelek sekali
“Wua... haaa-haaa” jerit Borok
kalang kabut seraya mengerahkan seluruh kekuatan untuk lari.
Tapi....
Tuk
Manusia Dari Pusat Bumi cepat
menotoknya dari jarak jauh.
*** 7
Pengadilan Perut Bumi. Sebuah
tempat tersembunyi, tak terjangkau manusia lain. Seperti namanya, terletak jauh
di bawah permukaan bumi. Untuk tiba di sana, harus melalui rawa-rawa dalam yang
penuh binatang buas melata dari buaya hingga ular. Di dasar rawa, ada lorong
air berliku yang sesungguhnya adalah aliran sungai di perut bumi. Setibanya di
ujung lorong panjang, akan ditemui sebuah dunia lain yang biasa dipakai si
Hakim Tanpa Wajah....
Sebuah kolam besar dalam ruang
di dasar bumi, menjadi gerbang masuk yang menghubungkan lorong aliran sungai
bawah tanah dengan tempat ini.
Hakim Tanpa Wajah dan Manusia
Dari Pusat Bumi telah tiba di sana. Mereka muncul di permukaan kolam dengan
membopong tubuh dua lelaki pada bahu masing-masing. Dari tepi kolam, mereka
memasuki salah satu mulut lorong yang banyak terdapat di sekeliling tepian
kolam. Setelah berjalan menempuh lorong yang tak begitu panjang, mereka
akhirnya tiba di ruang lain. Ruang amat luas yang memiliki banyak kamar.
Setiap kamar ditutup pintu
besi berjeruji baja.
Dalam kamar-kamar itulah,
orang-orang yang diculik dari dunia persilatan ditawan. Dan mereka berasal dari
beberapa wilayah dan dari golongan berbeda.
Pada setiap pintu kamar,
terdapat tulisan di atasnya. Satu kamar bertuliskan; 'Kamar Ular'. Yang lain
diberi nama 'Kamar Buaya'. Ada juga 'Kamar Katak' dan 'Kamar Rajawali'. Serta,
beberapa tulisan lain.
Di dalam sebuah kamar yang
bertuliskan 'Kamar Rajawali', ada dua lelaki dari kalangan tua yang pernah
mengibarkan panji kejayaan masing-masing pada masa delapan puluh tahun silam.
Mereka tak lain, Lelaki Berbulu Hitam dengan Pendekar Dungu.
Memang, setelah berhasil
diperdayai dengan menguras kekuatan mereka melalui tubuh Pendekar Slebor, Hakim
Tanpa Wajah dan muridnya akhirnya bisa juga membawa dua tokoh tak tertandingi
itu ke Pengadilan Perut Bumi. Sebuah mimpi delapan puluh tahun milik Hakim
Tanpa Wajah, kini baru terwujud.
“Kau akan merasakan balasanku,
Hakim Jelek”
ancam Lelaki Berbulu Hitam
manakala guru dan murid itu sedang melewati kamar tahanannya. “Akan
kurencah-rencah seluruh tubuhmu seperti makanan anjing geladak”
Hakim Tanpa Wajah hanya
terkekeh mendengar ungkapan kemurkaan Lelaki Berbulu Hitam. Diliriknya lelaki
tinggi besar yang berdiri mencengkeram jeruji baja itu dengan mata mencemooh.
Ketika tangan besar Lelaki Berbulu Hitam hendak menggapainya, Hakim Tanpa Wajah
hanya melompat sedikit lalu terkekeh lagi. Suara tawa buruknya menghilang di
sebuah tikungan lorong, bersama menghilangnya tubuh bangkotan berkafan itu yang
diiringi sang Murid.
“Siapa mereka, Hitam?” tegur
Pendekar Dungu di belakang Lelaki Berbulu Hitam.
Lelaki keriput itu tampak
tenang-tenang saja bersandar pada dinding batu dengan mata terkantuk-kantuk.
“Kalau aku sudah berteriak
mengkelap seperti tadi, pada siapa kau pikir aku berteriak?” sahut Lelaki
Berbulu Hitam kasar, masih dibawa kegusaran pada Hakim Tanpa Wajah.
“Ah Yang kutahu, selalu
mengkelap pada siapa saja. Dan berbicara dengan berteriak, bagimu sama saja”
“Kau meledekku?” bentak
manusia berdarah serigala itu dengan wajah memerah. Dihampirinya Pendekar Dungu
bersungut-sungut. “Hey, apa kau tuli? Aku tanya tadi, apa kau meledekku?”
Tapi orang yang diajak berdebat
menyahutinya dengan dengkuran panjang.
“Dasar tua bangka keropos”
maki Lelaki Berbulu Hitam kesal.
Sementara itu, dua lelaki di
bahu Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi telah dilempar-kan ke dalam
'Kamar Kutu Busuk' bersama empat orang lain, yang sudah lama berada di dalam
sana.
Bruk Bruk
“Tenang-tenanglah kalian
menunggu saat
pengadilan nanti” ujar Hakim
Tanpa Wajah penuh kepuasan.
Setelah itu, dia memerintahkan
Manusia Dari Pusat Bumi untuk mengunci pintu besi kembali.
Krang
Kini keduanya meninggalkan
kamar itu.
Begitu mereka menghilang di
satu tikungan, dua lelaki yang menjadi warga baru 'Kamar Kutu Busuk'
siuman. Mereka adalah si
Pemimpin Partai Pengemis Timur bersama kawannya yang dipanggil Borok.
“Heee, sialan Di mana aku
sekarang?” tanya laki-laki berjuluk Penggerutu Berkepang sambil mengurut-urut
kening. Lalu disusul dengan kebiasaannya menggerutu.
“Uuuh...,” keluh Borok, ikut
menegakkan tubuh dalam keadaan duduk. “Apa ini neraka? Kenapa neraka bau
pesing, ya?”
Empat orang lain yang berada
dalam ruang itu, lebih dulu segera menyambut. Wajah mereka begitu terkejut
ketika melihat siapa orang yang baru datang.
Tentu saja Penggerutu
Berkepang sangat dikenal, karena mereka adalah empat anggota dari Lima Gembel
Busuk. Kamasetya, Guruhdadi, Kamajaya, dan Dartasa. Sedangkan yang bernama
Damarsuta, telah tewas sesaat setelah ditemukan Andika beberapa waktu lalu
(Baca episode : “Manusia Dari Pusat Bumi”).
“Sialan was-wis-wus ng-ng....
Rupanya kalian ada di sini Aku sudah susah-payah kian kemari mencari, kalian
malah enak-enakan” balas Penggerutu Berkepang, menanggapi sambutan mereka.
“Kami bukan enak-enakan di
sini, Ketua” sangkal Kamajaya, lelaki yang paling berpengaruh di antara mereka.
“Kami diculik Hakim Tanpa Wajah seperti beberapa tokoh persilatan lain”
“Aku tahu...,” tukas
Penggerutu Berkepang.
Padahal, laki-laki itu juga
yang tadi memancing perdebatan. Dia berdiri sambil menepuk-nepuk pakaian yang
masih basah dan kotor.
“Sekarang di mana kita?” tanya
Penggerutu Berkepang kemudian.
“Bukankah kau sudah tahu,
Ketua?” sahut
Kamajaya, tak bermaksud
meledek atau menyindir.
“Aku memang bilang begitu tadi
Aku memang sudah tahu tempat ini, kok Tapi, apa salahnya kalian menjawab
pertanyaanku selaku ketua kalian” hardik Penggerutu Berkepang bersungut-sungut.
“Sialan....”
Kamajaya mengangkat bahu. Dia
memang tak bisa menang berdebat dengan ketua sendiri. “Kita ada di Pengadilan
Perut Bumi,” jawab Kamajaya kemudian.
“Aku tahu Sudah kubilang
bukan? Aku tahu”
bentak Penggerutu Berkepang
serba salah.
Selagi Penggerutu Berkepang
melempar
pandangan keluar dari jeruji
baja seperti seorang pengawas kurang kerjaan, Kamajaya mengusiknya lagi.
“Ketua, boleh aku bertanya
sedikit?”
“Ya.... Sedikit saja...,” kata
Penggerutu Berkepang.
“Siapa kiranya anak muda yang
bersama Ketua ini? Kalau dia anggota kita, kenapa aku belum mengenalnya?”
Mendadak Penggerutu Berkepang
berbalik.
Wajahnya memberang.
“Goblok... Eh, sialan” umpat
Ketua Partai Pengemis Timur sambil menghampiri Kamajaya tergesa. “Kau harus
memberi hormat pada dia Ayo”
Penggerutu Berkepang segera
menekan punggung Kamajaya untuk menjura.
“Kalian juga” sambung
laki-laki pada tiga lelaki lain.
Meski tak mengerti-sama
sekali, terpaksa keempat lelaki itu menjura juga.
“Nah, sialan... Eh, bagus”
puji Penggerutu Berkepang berbareng anggukan puas.
Kamajaya dan tiga rekannya
menatap, seolah hendak bertanya kembali. Siapa anak muda itu sebenarnya?
“Jangan menatap begitu padaku
Apa kalian tidak kenal, siapa dia?” lanjut Penggerutu Berkepang lagi.
Ditunjuknya pemuda berwajah
tak karuan yang sedang tersenyum-senyum penuh arti itu. “Dia itu pendekar yang
amat disegani..., Pendekar Slebor” “Ah, masa'?” gumam keempat lelaki itu,
serempak.
“Jangan masa'-masa'”
Lalu Ketua Partai Pengemis
Timur melirik anak muda yang selama ini dipanggil Borok olehnya.
“Bor Coba kau buka topeng
jelek itu” ujarnya acuh, pada Borok.
Pemuda itu pun mempreteli
perangkat
penyamarannya. Termasuk, kaki
palsu yang bengkak.
Maka, tampaklah sekarang oleh
semua orang yang ada dalam ruang itu. Wajah seorang pemuda tampan yang
berperawakan gagah. Memang benar Dia adalah Pendekar Slebor
“Nah, kan.... Kubilang juga
apa...,” gerutu Penggerutu Berkepang.
Pemuda yang kini mengenakan
pakaian hijau-hijau dengan selembar kain bercorak catur tersampir di bahu itu
mendekati keempat lelaki yang masih menjura padanya. Mereka disalami satu
persatu.
“Ketuamu benar. Aku memang
Pendekar Slebor.
Kalian bisa memanggilku
Andika. Dan kurasa, tak perlu acara penghormatan seperti ini.... Bukan begitu,
Penggerutu Berkepang?” kata Andika.
“Bukan” jawab Penggerutu
Berkepang, tak mau tahu.
Andika tertawa. Juga empat
dari Lima Gembel Busuk. Kecuali, si Penggerutu Berkepang. Lelaki setengah baya
itu masih menekuk wajah di dekat jeruji baja.
Sebenarnya, apa yang Andika
rencanakan?
Memang, waktu itu, setelah
mendapat pesan dari Raja Penyamar untuk menyelesaikan bagian akhir kitab
penyamaran yang diberikannya, maka Andika pun menjalankannya.
Dan tepat, apa kata Raja
Penyamar. Bagian akhir kitab itu berisi inti dari seluruh ilmu 'Menyamar'.
Dengan mempelajari bagian itu,
Andika bukan saja mampu menipu mata seseorang. Tapi juga mampu menipu penciuman
seekor anjing pelacak sekali pun.
Dengan melakukan semadi
beberapa lama dengan cara-cara tertentu, maka pemuda itu bisa mengubah zat-zat
dalam tubuhnya, sehingga mampu merubah pula bau tubuhnya. Kalau dulu
penyamarannya dapat dibongkar oleh penciuman serigala milik Lelaki Berbulu
Hitam di kaki Gunung Merapi menuju Kampung Kelelawar, maka sekarang tak akan
terjadi lagi (Baca episode : “Manusia Dari Pusat Bumi”).
Bukan hanya itu. Dengan
semacam sugesti dalam semadi, Andika mampu mengubah warna pribadinya.
Menghilangkan untuk sementara
pribadi aslinya, lalu memunculkan pribadi baru. Itu sebabnya, Manusia Dari
Pusat Bumi yang memiliki indera siluman pun mampu ditipunya mentah-mentah
Tak heran kalau Raja Penyamar
menyebut bagian akhir kitab itu sebagai bagian terpenting dari seluruh kitab
“Apa rencanamu selanjutnya,
Bor?” tanya Penggerutu Berkepang pada Andika.
Andika berdiri. Didekatinya si
Ketua Partai Pengemis Timur itu.
“Aku belum tahu,” jawab
Pendekar Slebor. “Kurasa aku harus mempelajari dulu seluruh keadaan di
sini....”
***
Dua hari sudah Pendekar Slebor
dan Penggerutu Berkepang berada dalam ruang tahanan di
Pengadilan Perut Bumi. Selama
itu, belum ada satu tindakan pun yang bisa diperbuat. Andika masih tetap
berpikir keras sambil mempelajari keadaan di sana.
Sedangkan Penggerutu Berkepang
masih tetap menggerutu tak bosan-bosannya.
Sebenarnya, kalau tidak
terkena ilmu totokan rahasia milik Hakim Tanpa Wajah, dengan amat mudah mereka
melantakkan jeruji baja yang mengungkung. Totokan itu memang telah
melumpuhkan kekuatan tenaga
dalam mereka.
Sehingga seolah-olah mereka
menjadi terkunci dalam tubuh masing-masing. Begitu pula yang dialami Lelaki
Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Selaku tokoh kawakan yang lama malang
melintang, mereka sendiri tak pernah tahu secara pasti, bagaimana lawan bisa
menotok mereka sedemikian rupa.
Selama mengenal Hakim Tanpa
Wajah, memang baru kali ini mereka tahu kalau lelaki itu memiliki ilmu totokan
simpanan.
Pada awalnya, ketika baru
pertama kali masuk ruang tahanan, Andika agak heran melihat mereka tak berusaha
menghancurkan jeruji baja di pintu ruangan. Toh, kebanyakan dari mereka adalah
tokoh kelas atas yang tak akan begitu menemui banyak kesulitan untuk
melantakkan batang baja sekalipun.
Dan sewaktu Kamajaya
menjelaskan, barulah Andika mengerti duduk persoalannya.
“Tampaknya kita mati kutu di
sini, Tuan
Pendekar,” ungkap Kamajaya
putus asa. “Aku pernah mendengar Hakim Tanpa Wajah berkata bahwa kita akan
diadu seperti hewan, sampai mati pada purnama ketiga nanti. Waktunya tinggal
beberapa hari lagi, bukan?”
“Sialan.... Tak pantas kau
berkata seperti itu
Memalukan nama Partai Pengemis
Timur saja...,” gerutu Penggerutu Berkepang.
“Aku tak takut mati, Ketua,”
sebut Kamajaya. “Aku hanya khawatir akan membunuh kawan seperjuangan saat diadu
nanti.”
“Kalau begitu, ya jangan mau
diadu Kau kan bukan ayam atau domba yang bisa diatur-atur
Kenapa goblok sekali....”
“Tapi, bagaimana kalau Hakim
Tanpa Wajah memiliki totokan rahasia lain yang membuat kita gelap mata,
sehingga tak bisa membedakan mana kawan atau lawan?” susul Kamajaya lagi.
“Iya, juga ya...,” gumam
Penggerutu Berkepang.
Tapi setelah itu. “Ah, peduli
amat Pokoknya, kau harus tidak mau diadu. Titik”
Andika hanya bisa
geleng-geleng kepala menyaksikan kekerasan kepala Ketua Partai Pengemis Timur
itu. Untung saja Penggerutu Berkepang berada di pihak yang benar. Kalau tidak,
apa jadinya dunia persilatan nanti?
Keenam orang itu kembali diam.
Ruang sunyi.
Bunyi napas mereka terpantul
dinding batu. Mau tak mau, mereka hanya bisa menikmati gema desah napas saja.
Pendekar Slebor sendiri
terdiam. Dirinya mungkin begitu, tapi pikirannya tidak. Otaknya terus berkutat
untuk mencari pemecahan. Sambil berpikir, tangannya tanpa sadar memainkan
sebutir batu kecil yang dilemparnya berulang-ulang ke dinding ruangan.
Entah karena jengkel atau
sebab lain, mendadak saja batu kecil itu dihempasnya ke lantai keras-keras.
Tak
Yang lain tersentak. Bukan
sekadar karena batu kecil itu menimbulkan suara yang keras dalam ruangan. Tapi,
juga karena terciptanya lubang yang dalam, sekitar tiga-empat jengkal
“Astaga Apa Tuan Pendekar
luput ditotok?” bisik Kamajaya, di dekat Andika.
Andika terdiam. Diingatnya
sesuatu.
“Aku memang ditotok, ketika
menyamar bersama Penggerutu Berkepang waktu itu. Tapi yang menotok-ku bukan
Hakim Tanpa Wajah...,” jelas Pendekar Slebor.
“Manusia Dari Pusat Bumi?”
selak Dartasa, lelaki lain dari Lima Gembel Busuk, menduga.
“Ya Mungkin dia hanya menotok
untuk
melumpuhkanku,” tambah Andika.
“Tapi, kenapa Hakim Tanpa
Wajah tak mengeluarkan totokan rahasianya pada Tuan?” tanya Kamajaya.
“Mungkin karena dikira aku tak
terlalu berbahaya.
Dan kalaupun dibawa ke sini,
mungkin hanya untuk menutup jejak penculikan ketua kalian,” jelas Andika pada
empat anggota Lima Gembel Busuk.
“Hey? Kau membicarakan aku,
ya?” penggal Penggerutu Berkepang.
Andika bangkit menuju jeruji
baja.
“Kau tak menyahuti
pertanyaanku?” desak Penggerutu Berkepang.
Pendekar Slebor tak
menggubrisnya. Malah kini siap mengerahkan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah
Kutukan untuk menghancurkan pintu baja ruang tahanan ini.
Dengan sedikit pemusatan
pikiran dan perasaan, Andika sudah bisa menghimpun sepertiga kekuatan saktinya
pada kedua belah tangan. Saat berikutnya....
“Heaaa”
Brak
Pintu berjeruji baja kokoh
kontan roboh dalam keadaan lantak. Benda itu tak akan sanggup menahan terjangan
tenaga sakti Pendekar Slebor, meskipun tebalnya tiga kali lipat.
“Yak Sialan... eh, bagus” puji
Penggerutu Berkepang.
Andika mempersilakan tokoh
setengah baya itu keluar lebih dahulu. Saat melewati Andika, laki-laki berambut
berkepang itu menoleh ke arah Andika.
“Biar begitu, pukulanmu tadi
sebenarnya biasa-biasa saja...,” kata Ketua Partai Pengemis Timur.
Andika tertawa. Tapi sempat
pula mendelik kesal di belakang lelaki setengah baya itu. Kalau saja tak
berniat untuk memasuki Pengadilan Perut Bumi, tentu Andika tak akan pernah
bertemu manusia yang begitu menjengkelkan ini.
Awal pertemuan Andika dengan
tokoh itu bermula ketika Pendekar Slebor teringat pada gelang perak berukir
milik salah sedang anggota Lima Gembel Busuk yang ditemukan sedang sekarat.
Saat itu, dia baru saja menyelesaikan bagian terakhir kitab penyamaran yang
diberikan Raja Penyamar.
Bermodal gelang itu, Andika
menyelidiki hingga sampai ke markas Partai Pengemis Timur. Gelang itu rupanya
menjadi lambang partai mereka. Di sana, dia pun bertemu Penggerutu Berkepang.
Pada lelaki itu, dijelaskannya semua perihal tentang kehadiran Hakim Tanpa
Wajah. Termasuk, keterlibatan Lima Gembel Busuk dengan tokoh tersebut.
Dengan penjelasan Andika,
kebingungan Partai Pengemis Timur terhadap hilangnya para rekan mereka akhirnya
terjawab. Sampai suatu saat, Andika menyinggung-nyinggung soal gagak hitam yang
menjadi tanda akan datangnya si Hakim Tanpa Wajah.
Secara tak terduga, Penggerutu
Berkepang pun mengatakan pada Andika kalau hari-hari belakangan selalu diikuti
gagak hitam seperti gambaran Andika.
Mengetahui hal itu, Andika
segera menyusun rencana untuk bisa masuk ke Pengadilan Perut Bumi.
Sekaligus, menyelamatkan
anggota Lima Gembel Busuk lain.
***
Kini dengan hati-hati, keenam
orang yang baru bebas tadi menelusuri lorong berkamar. Yang pertama hendak
dicari Andika adalah Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam. Karena menurut
Raja Penyamar, kedua tokoh aneh itu bisa membantunya untuk menghadapi Hakim
Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi.
Kamar demi kamar diperiksa.
Karena tidak ingin tertangkap basah oleh Hakim Tanpa Wajah yang bisa saja
kembali tiba-tiba, maka Andika tak mem-bebaskan dulu beberapa tokoh lainnya.
Sampai akhirnya, Pendekar Slebor sampai di 'Kamar Rajawali'.
“Hey, Orang Tua” panggil
Andika dari balik jeruji.
Lelaki Berbulu Hitam yang
sedang mondar-mandir gelisah dalam ruangan cepat menoleh. Wajahnya yang semula
berangasan, mendadak menjadi cerah demi melihat wajah Andika.
“Aoi, Tuan penolong ternyata
ada di sini juga?”
sapa Lelaki Berbulu Hitam
dibuat seramah mungkin.
Didekatinya pintu baja.
Andika memberi isyarat dengan
tangan agar lelaki berdarah setengah serigala itu menjauh. Seperti tadi, akan
didobraknya pintu berjeruji baja 'Kamar Rajawali'. Tapi sebelum niatnya
terlaksana.... “Haaa, rupanya ada penyelundup yang berusaha meloloskan para
tawananku? He... he... he”
Tiba-tiba terdengar sebuah
suara yang sudah dikenal.
Tak hanya Andika yang langsung
menoleh sigap ke arah seruan itu. Penggerutu Berkepang serta empat anggotanya
pun ikut menoleh.
Di ujung lorong, berdiri Hakim
Tanpa Wajah dengan muridnya. Pada bahu Manusia Dari Pusat Bumi, terkulai lemah
tubuh seorang dara dengan baju koyak monyak. Wajah gadis itu tersembunyi di
balik punggung manusia jelmaan siluman ini. Tapi bukan berarti Andika tak bisa
mengenalinya. Cukup hanya melihat pedang bergagang kepalan naga di punggung.
Pendekar muda itu yakin kalau gadis yang terkulai di bahu Manusia Dari Pusat
Bumi adalah....
Purwasih
Bagaimana Andika bisa melakukan
perlawanan kalau Purwasih berada di bawah ancaman Manusia Dari Pusat Bumi?
Andika tidak bisa berbuat lain, sewaktu Hakim Tanpa Wajah memerintahnya untuk
masuk ke dalam 'Kamar Rajawali' bersama Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar
Dungu. Agar tidak terjadi pembobolan pintu baja kembali, sekali itu Andika
harus mendapat jatah totokan pelumpuh tenaga, tanpa perlawanan sedikit pun.
Purwasih sendiri dikurung dalam kamar terpisah. Untung saja, dia tak disatukan
dengan tokoh-tokoh sesat.
*** 8
Ketika pengadilan pada purnama
ketiga akhirnya tiba, bulan bulat tepat menggantung bebas di angkasa raya.
Seluruh tawanan Pengadilan Perut Bumi digiring ke sebuah ruang besar. Tangan
mereka dibelenggu menjadi satu dengan rantai-rantai baja.
Dari sebuah lorong gelap tak
berpelita tak seperti tempat lain dalam Pengadilan Perut Bumi, para tawanan
tiba di ruang besar tersebut. Suara tumbukan rantai di tangan mereka
berpantulan pada dinding ruang, menciptakan bunyi menggema yang mendirikan bulu
roma.
Ruang itu seluas alun-alun
keraton. Sisi dan atasnya berupa dinding batu bergigi-gigi kasar, membentuk
kubah raksasa. Di tengah ruangan, terdapat meja besar berukir yang bentuknya
melengkung setengah lingkaran. Di ujung depan meja, terdapat sebuah tengkorak
manusia untuk menempatkan lilin berwarna merah sebesar lengan manusia. Api di
atas lilin bergerak-gerak kecil.
Sinarnya menerangi ukiran
bergambar para algojo berjubah sedang memancung, menggantung, atau menyiksa
korbannya.
Di sekeliling dinding ruangan,
terdapat ratusan pelita kecil. Seolah, puluhan pasang mata yang siap
menyaksikan jalannya pengadilan si Hakim Gila.
Tepat di depan meja, terdapat
tungku api besar menyala-nyala. Lidah apinya bergerak menjilat-jilat bagai
gapaian tangan-tangan dari neraka. Di depan tungku api sekitar empat tombak,
berdiri panggung besar dari batu berbentuk persegi.
Permukaan panggung terlihat
kasar, bahkan tajam.
Andai seseorang terjatuh di
sana, tentu kulit tubuhnya akan langsung terkelupas.
Para tahanan dijajarkan di
kedua sisi panggung dalam dua barisan. Ada sekitar sepuluh orang setiap baris.
Di sebelah kiri adalah tokoh-tokoh aliran sesat.
Sedangkan sebelah kanan aliran
lurus.
Tak lama mereka menunggu,
Hakim Tanpa Wajah memasuki ruangan dari sebuah pintu kecil, tak jauh di
belakang meja. Tubuhnya tidak dibungkus kain kafan lusuh seperti biasa. Kini
dia mengenakan jubah hitam panjang, sampai menutupi seluruh kakinya.
Dengan langkah-langkah angkuh,
laki-laki itu menghampiri meja, lalu duduk di sebuah bangku besar yang
sandarannya lebih tinggi dari kepalanya.
“Pengadilan dimulai.”
Hakim Tanpa Wajah membuka
sidang dengan
suara berat. Tanpa hendak
melaksanakan tuntutan dan pembelaan lagi, Hakim Tanpa Wajah langsung
menjatuhkan hukuman.
“Dengan ini, kalian semua
dihukum mati dengan cara bertarung satu lawan satu, hingga ada yang menemui
ajal” ujar Hakim Tanpa Wajah.
Bersamaan ketukan palu,
beberapa orang
tawanan berseru. Ada yang
memaki atau bergumam kaget. Sebagian di antara mereka hanya diam tegang
memandangi wajah buruk Hakim Tanpa Wajah.
Duk Duk Duk
Palu diketuk Hakim Tanpa Wajah
berkali-kali.
“Diam” bentak Hakim Tanpa
Wajah kasar. Suara Hakim Tanpa Wajah bergema memadati ruangan. “Sang Penuntut
Bawa dua terhukum ke depan”
lanjut hakim gila ini.
Manusia Dari Pusat Bumi
melepas dua lelaki di barisan kiri. Digiringnya mereka ke atas panggung.
Lelaki pertama adalah seorang
berusia sekitar tiga puluh tahunan. Badannya tinggi besar, dihiasi otot kenyal
menonjol dan gambar rajahan di seluruh badan. Kepalanya gundul penuh cacat
bekas luka, serta berwajah seram dan kasar. Dia hanya mengenakan celana pendek
merah yang digabung selempang bersilang di dada dari kulit ular. Di tangannya
tergenggam dua golok besar. Di dunia persilatan, lelaki itu dikenal sebagai
Sepasang Golok Angin.
Lelaki kedua bertubuh lebih
kecil. Di lain sisi, tingginya malah melebihi si Gundul. Itu sebabnya, dia
tampak kurus. Wajahnya cukup tampan, namun dingin dan bermata tajam. Rambutnya
yang pendek diikat kain berwarna merah. Pakaiannya pun sewarna dengan ikat kepala.
Bila diperhatikan, tangannya tampak lebih panjang dari biasa. Kedua tangan
itulah senjata maut si Lelaki jangkung yang berjuluk si Tangan Ular.
Keduanya kini berdiri
berhadapan, di atas panggung batu. Masing-masing menatap tajam pada calon
lawan, seakan dua hewan buas. Tangan lelaki jangkung itu mengepal keras, lalu
meremas-remas.
Lawannya di depan, memainkan
gagang golok dengan jari-jarinya.
Sesaat kemudian....
Tak Tak
Dua totokan jarak jauh dilepas
Hakim Tanpa Wajah. Dengan begitu, mereka terbebaskan dari kuncian tenaga. Tapi
kini keadaan mereka diganti dengan penguncian pikiran. Ya Tepat dugaan Kamajaya
waktu itu, Hakim Tanpa Wajah memang menotok jalan kesadaran orang-orang yang
hendak disabung. Pikiran mereka kini terkunci dalam nafsu membunuh yang liar
“Hiaaakh”
Kancah pertarungan maut pecah.
Sepasang Golok Angin menerjang lebih dulu. Sepasang golok besarnya berputar di
kedua sisi tubuh bagai dua kincir setan.
Wuk Wuk Wuk
Setibanya di depan lawan, satu
golok di tangan kanan Sepasang Golok Angin menebas deras ke depan. Kepala lawan
hendak dibelah menjadi dua bagian.
Tapi si Tangan Ular
menyelamatkan kepalanya yang kecil dengan merunduk sigap dengan tubuh tetap
tegak. Gerakannya seperti tiang bambu runtuh.
Tubuh Sepasang Golok Angin
disambut dengan sodokan dua tangan lurus ke depan. Arahnya, tepat kedua sisi
dada bidang lawan.
Bet
Mengetahui ada sepasang tangan
hendak men-jebol dadanya, Sepasang Golok Angin menghentikan putaran golok di
tangan kiri dan dengan tangkas dihadangnya tohokan si Tangan Ular dengan
membentang sisi golok di depan dada.
Tang Tang
Tangan sekeras baja milik si
Tangan Ular bertumbukan dengan senjata Sepasang Golok Angin.
Kekuatan tenaga dalam mereka
seketika menimbulkan percikan api meskipun yang berbenturan hanya golok dengan
tangan.
Luputnya serangan, mendorong
Tangan Ular melepas satu serangan susulan yang cepat. Dengan jari menegang
lurus seperti kepala seekor ular sendok disambarnya wajah Sepasang Golok Angin
dalam pergantian arah serangan secepat kilat.
Bet
Tangan si Tangan Ular begitu
cepat menyambar.
Tapi gerakan Sepasang Golok
Angin rupanya tak kalah cepat. Dalam kecepatan, kedua tokoh aliran sesat itu
tampaknya cukup berimbang. Seperti mematahkan leher, Sepasang Golok Angin
menggeleng cepat, menyelamatkan wajahnya dari patukan lawan.
Namun Tangan Ular seperti tak
memberi kesempatan pada Sepasang Golok Angin untuk sekadar bernapas lega.
Sekali lagi, tangan yang lain mematuk deras ke wajah Sepasang Golok Angin.
Bet
Kembali si Lelaki Gundul itu
melempar wajah ke lain arah. Usahanya kedua berhasil, disusul satu tebasan dua
golok berbarengan untuk menggunting leher si Tangan Ular yang masih meluncur
turun.
Set
Mana mau Tangan Ular
menyerahkan lehernya untuk ditebas. Maka dengan cerdik otot perut hingga badannya
dikencangkan cepat ke depan. Secepat itu pula tubuhnya berguling ke depan,
menerobos benteng pertahanan lawan. Kakinya kini begitu bebas, tidak di dekat
perut si Lelaki Gundul.
Akibatnya....
Duk
Sepasang Golok Angin langsung
terjengkang ke belakang. Tubuhnya yang besar melayang menuju permukaan tajam
panggung.
Tak dinyana lagi kepala
Sepasang Golok Angin terjerembab lebih dahulu ke permukaan panggung.
Tangannya yang sebelumnya
sibuk menggerakkan senjata, tak sempat lagi menjadi topangan. Seketika wajah
kasar lelaki itu terbentur....
Duk
Lolongan menyayat terdengar.
Wajah Sepasang Golok Angin tercabik-cabik bermandikan darah. Golok di tangannya
sudah dilepas, lalu didekapnya wajah sambil meraung-raung.
Saat itulah Tangan Ular
menghadiahinya satu patukan maut, sebagai pengantar menuju kematian.
Bet Bles
Ulu hati si Gundul naas itu
langsung jebol. Tangan kanan si Tangan Ular tembus satu jengkal ke dalam.
Setelah mengaduk bagian dalam
tubuh lawan, barulah tangan mautnya ditarik keluar. Berbarengan dengan itu,
tubuh Sepasang Golok Angin pun ambruk.
***
Panggung kematian sunyi
kembali. Tangan Ular berdiri kaku bagai mayat hidup pemakan bangkai. Di
dekatnya, tubuh Sepasang Golok Angin tergeletak tanpa nyawa. Darah pertama pada
purnama ini, membasahi panggung. Seperti terjadi delapan puluh tahun yang
silam.
Purwasih yang berada di
barisan kanan tak kuasa menyaksikan kejadian itu. Hanya dia satu-satunya wanita
dalam jajaran para korban. Selaku wanita, hatinya tetap lembut, sehingga tak
bisa menelan mentah-mentah peristiwa kejam itu. Tak seperti para tawanan lain
yang hanya menatap dengan mata menyipit.
“He... he... he Sebuah
pelaksanaan hukuman yang memuaskan” puji Hakim Tanpa Wajah.
Bibir laki-laki tua itu tak
kunjung henti melempar seringai haus darah. Kegilaannya membuatnya merasakan
satu kepuasan tersendiri manakala menyaksikan orang lain saling membunuh.
“Sang Penuntut Lemparkan mayat
tak berguna itu ke lubang menuju rawa. Biar dia jadi makanan buaya peliharaanku
He-he-he” perintah Hakim Tanpa Wajah pada Manusia Dari Pusat Bumi.
Manusia Dari Pusat Bumi
menuruti apa kata sang Guru. Mayat Sepasang Golok Angin segera dibawanya keluar
ruangan. Dari pintu kecil tempat Hakim Tanpa Wajah masuk tadi, dia keluar.
Disusurihya lorong kecil yang lurus menuju sebuah lubang air seperti sumur.
Lubang itu bersambungan
langsung dengan rawa-rawa di mana ratusan buaya setiap purnama ketiga delapan
puluh tahun silam, menanti-nanti mayat yang akan diumpankan.
Sementara itu di ruang
Pengadilan Perut Bumi, acara dilanjutkan kembali. Hakim Tanpa Wajah tak sabar
menunggu muridnya kembali. Dia terlalu berselera untuk melihat kembali satu adu
nyawa yang akan menumpahkan darah di atas panggung, di depan matanya.
Dari kursi kebesarannya, Hakim
Tanpa Wajah bangkit. Dihampirinya jajaran tawanan di sebelah kanan. Bibirnya
tetap menyeringai ketika kakinya melangkah angkuh seraya memandangi para
tawanan satu demi satu.
Tiba di dekat Andika, mata
pemuda itu ditatapnya tajam-tajam. Dan Andika membalasnya tak kalah tajam.
“He-he-he Pendekar muda
kesohor yang bikin geger dunia persilatan belakangan ini sungguh sayang, kau
harus mengalami nasib sial di pengadilanku,” ujar Hakim Tanpa Wajah, memuakkan.
“He-he-he,” Andika tertawa meledek dengan bibir mencibir. “Lelaki jelek bangkotan
yang hebat delapan puluh tahun lalu, sungguh disayangkan akan kubuat
terkencing-kencing di 'kandang'nya sendiri....”
Wajah si Bangkotan itu
mendekat pada Andika.
Bibirnya tetap memamerkan
seringai. Dari mimik wajahnya, tak tampak kalau dia terpancing ucapan Andika
barusan.
“Bagaimana cara kau
membuktikan hal itu, Anak Muda Tolol?” desis Hakim Tanpa Wajah.
“Bagiku amat mudah, Orang Tua
Jelek Kita lihat saja nanti” ancam Andika, tepat di wajah buruk si Hakim Tanpa
Wajah.
Hakim Tanpa Wajah tergelak.
Lalu langkahnya dilanjutkan.
“Mudah? He-he-he Lihat saja
nanti? He-he-heee-hek” kata Hakim Tanpa Wajah sambil mendekati Pendekar Dungu.
Kini laki-laki bangkotan itu
tiba di depan Pendekar Dungu.
“Dungu.... Dungu.... Akhirnya
kau harus menyerah juga di tanganku,” kata Hakim Tanpa Wajah penuh kemenangan.
“Apa?”
Pendekar Dungu melotot. Mata
sayu si Bangkotan Ompong itu seperti hendak keluar mendadak.
“Kau bilang apa? Mana
tanganmu? Coba kulihat.
Apa iya aku ada di sana?” kata
Pendekar Dungu dengan wajah terlolong-lolong keheranan.
“Kau masih tetap bodoh seperti
dulu, Dungu”
Selesai memaki, Hakim Tanpa
Wajah melangkah ke samping Lelaki Berbulu Hitam kini dihadapinya.
“Kau... he-he-he Kenapa dari
tadi mulutmu bungkam? Sudah bosan membeberkan makian- makian memuakkanmu itu?”
ledek Hakim Tanpa Wajah.
“Diam kau, Manusia Jelek
Sejagad Lepaskan belengguku. Dan bebaskan totokanku Ayo kita bertarung untuk
membuktikan, siapa di antara kita yang lebih hebat” maki Lelaki Berbulu Hitam
terus menerus.
“Tarik napas, Hitam.... Tarik
napas,” selak Pendekar Dungu. “Kalau kau tak tarik napas, kau bisa mati karena
terlalu panjang memaki....”
“Diam kau, Bangkotan Dungu Aku
tak perlu pendapatmu yang menjengkelkanku. Apa kau pikir aku tak bisa
menghadapi lelaki sok besar ini? Aaah, sial-sial-sial”
“Hey-hey Kenapa kau jadi sewot
padaku?” jawab Pendekar Dungu, tanpa rasa salah sedikit pun.
“Kalian benar-benar sinting”
hardik Hakim Tanpa Wajah, terpancing tingkah kedua lelaki yang pernah menjadi
saingan utamanya dulu.
Sebelum melanjutkan langkah,
kembali Hakim Tanpa Wajah menatap Pendekar Dungu dan Lelaki Berbulu Hitam.
“Setelah kalian berdua menemui
ajal, akan kucari si Raja Penyamar Keparat Tinggal dia saingan beratku, setelah
kalian berdua, Manusia Sinting”
Sementara itu, tanpa diketahui
siapa pun, seseorang memasuki salah satu ruangan dalam Pengadilan Perut Bumi.
Ruangan itu terletak di antara kamar-kamar tahanan. Cara berjalannya amat
ringan dan pasti.
Tatkala satu obor menerangi
wajahnya, maka tampaklah mimik menyeramkan. Bertaring, berambut merah bara
bagai kayu bakar neraka dan bermata seekor macan hutan. Dia memang si Manusia
Dari Pusat Bumi. Mestinya, setelah melempar mayat Sepasang Golok Angin tadi,
dia kembali ke ruang pengadilan. Tapi, itu tidak dilakukannya. Seakan, dia
memiliki rencana sendiri di luar rencana sang Guru.
Di dalam ruangan, matanya
mencari-cari sebentar.
Di dinding batu, matanya
tertumbuk pada lubang kecil yang langsung didekati. Dari lubang itu,
dikeluarkannya sebuah benda. Tepatnya, sebuah cermin bulat berbingkai kayu
hitam. Cermin Alam Gaib yang direbutnya dari tangan Andika. Sebuah cermin yang
dikhususkan untuknya, datang dari alam siluman sebagai bekal dari para makhluk
kegelapan, untuk mendukung tugasnya menjadi sang Pengacau Dunia
Dengan menggenggam pegangan
cermin, Manusia Dari Pusat Bumi duduk bersila. Matanya terpejam dan bibirnya
bergerak-gerak merapalkan mantera.
Bisikannya terdengar naik
turun, seperti irama nyanyian upacara-upacara gaib.
Sewaktu bisikan mantera makin menurun
dan menurun, timbul selubung cahaya kemerahan di sekitar tubuhnya. Dalam
kegelapan ruang, cahaya itu berpendar memenuhi tempat ini. Sampai akhirnya,
seluruh ruangan dipadati cahaya merah berasal dari tubuh Manusia Dari Pusat
Bumi.
Tak lama, seberkas sinar lain
keluar perlahan dari permukaan cermin. Bentuknya memanjang, seperti serat
berpendar. Warnanya lebih merah dari sinar yang keluar dari tubuh Manusia Dari
Pusat Bumi.
Serat cahaya merah pekat itu
membesar perlahan, membentuk suatu wujud menyeramkan. Sesosok siluman tinggi
besar Kepalanya besar, bermata satu serta berperut buncit. Mulut bertaring
besar bergerak-gerak, menciptakan lendir-lendir pucat kental yang memanjang.
“Ini purnama yang kau
janjikan, Eyang. Saatnya aku menerima petunjuk darimu,” desis Manusia Dari
Pusat Bumi. Matanya tetap terpejam rapat.
Diawali denting panjang,
siluman tadi menggeram
“Benar Ini purnama yang
ditentukan bagimu.
Tugas besar dari seluruh
makhluk alam kegelapan harus kau emban...,” kata makhluk yang dipanggil Eyang.
“Apa itu, Eyang?”
“Buat kekacauan di muka bumi
Tapi, kau tak akan bebas bergerak untuk melakukan hal itu, selama masih ada
seseorang....”
“Siapa dia?”
“Seseorang yang dimanfaatkan
kaummu untuk menyampaikan Cermin Alam Gaib. Namanya Andika yang berjuluk
Pendekar Slebor. Salah seorang keturunan manusia ksatria berjuluk Pendekar
Lembah Kutukan....”
“Kenapa dia begitu berbahaya
bagiku?” susul Manusia Dari Pusat Bumi, ingin tahu lebih jelas.
“Karena, dia adalah satu dari
manusia yang memiliki bakat suci dalam dirinya sepanjang satu abad terakhir.
Orang seperti itu, akan menghambat usaha kita menguasai dunia dan mengubahnya
menjadi alam kegelapan....”
Sesaat sang Siluman menunjuk
pada cermin di tangan Manusia Dari Pusat Bumi. Tangannya bergetar kuat, seolah
benda itu memiliki pengaruh hebat.
“Pergunakan benda itu Hanya
ada satu-satunya Cermin Alam Gaib di alam kami. Benda itu adalah tiang Istana
Kerajaan Siluman. Jika kau tak men-jaganya, berarti membiarkan kaummu
hancur...,”
tandas makhluk itu amat berat.
Suaranya seolah dibebani ratusan gunung.
“Lalu, apa manfaatnya yang
hebat bagiku?”
“Nanti kau akan segera tahu.
Yang jelas, kini kau harus melepaskan diri dari keinginan Hakim Tanpa Wajah.
Kau bukan berada di bawah pengaruhnya.
Kau berada di bawah pengaruh
kami Khianati dia
Karena, pengkhianatan adalah
salah satu kerja terbaik bagi kaum kita”
***
Pertarungan maut kedua di
ubun-ubun panggung kematian akan dimulai lagi. Dua petarung telah dipilih dari
barisan kanan. Purwasih harus berhadapan dengan pemuda yang amat dicintainya.
Andika
Dua anak itu sudah berdiri
diam di atas panggung.
Tak ada sepatah kata pun yang
terucap. Mereka terpaku bisu digerayangi ketegangan hebat. Andika menatap mata
berbulu legam milik wanita di depannya dengan sinar mata kekhawatiran. Begitu
juga Purwasih. Sedang sekitar dahi, mulai berpeluh.
Tak ada yang bisa diperbuat,
kecuali menunggu Hakim Tanpa Wajah melepas totokan rahasianya yang akan membuat
keduanya kehilangan kesadaran sama sekali. Lalu, mereka berubah seperti hewan
buas tak kenal kasihan.
“Apa yang bisa kuperbuat?”
tanya batin Andika.
Tak beda dengan para tawanan
lain, kekuatan Pendekar Slebor sudah tidak bisa lagi diandalkan.
Tenaga sakti warisan Pendekar
Lembah Kutukan terkunci, tanpa daya dalam dirinya. Begitupun ilmu peringan
tubuhnya. Kalaupun ada yang bisa diandalkan, hanya kecerdasan otaknya. Tapi apa
lacur? Sampai saat gawat ini, dia pun tak menemukan akal. Pikirannya buntu,
akibat cekaman rasa tegang. Tak salah perkataan siluman yang menyamar sebagai
Raja Penyamar dulu. Setiap manusia memang memiliki rasa takut. Kecuali, orang
itu memang sudah tidak waras. Apalagi, ini menyangkut kematian yang sudah
begitu dekat.
Sebagai seorang lumpuh yang
bertahan di ujung jurang. Dan Andika mau tak mau kehilangan akal sehatnya juga.
“Tiba saatnya hukuman
dijatuhkan,” sentak Hakim Tanpa Wajah dari belakang meja kebesarannya.
“Tunggu” tahan Andika, di
antara kecamuk pikiran untuk mencegah pertarungan membabi-buta dengan Purwasih.
Hakim Tanpa Wajah menunggu
ucapan Andika, bibirnya terus menyeringai.
“Apa tak bisa aku meminta
sesuatu, sebagai permintaan terakhir?” usul Pendekar Slebor pada Hakim Tanpa
Wajah, setelah berpikir keras sesaat.
Hanya itu yang sempat terbetik
di benaknya. Sekadar mengulur waktu.
“Heee... he he heeek Kau masih
sempat juga bercanda saat menjelang kematianmu, Anak Muda”
kata Hakim Tanpa Wajah,
sekaligus menertawai usulan calon korbannya.
Dari balik meja, tangan si Tua
Bangka muncul lalu menggoyang-goyangkannya sebagai isyarat pe-nolakan.
“Sudah tak ada waktu lagi
bagimu, Anak Muda.
Terima saja nasibmu. Hih”
Sekejap, tangan Hakim Tanpa
Wajah berkelebat melepas totokan jarak jauh ke arah Andika dan Purwasih.
Tuk Tuk Maka ini artinya acara
sabung nyawa akan berlanjut lagi. Berarti pula, Andika akan kehilangan seluruh
kendali diri seperti halnya Purwasih. Keduanya pun langsung tersulap, menjadi
hewan-hewan buas haus darah.
“Heaaa”
Teriakan menggelegar Andika
membuncah
ruangan besar sebagai tanda
pertarungan maut membabibuta dimulai. Kalau menilik dari
kemampuan Andika selaku
pendekar muda yang malang melintang di jajaran atas dunia persilatan, amat
mudah diduga Purwasih akan cepat menemui ajal di tangannya. Artinya, Pendekar
Slebor akan menang mutlak. Namun begitu, kemenangan di atas panggung kematian
milik Hakim Tanpa Wajah bukan berarti keberuntungan. Pemenang atau pecundang,
sama-sama bakal mati. Seperti juga pertarungan sebelumnya. Tangan Ular yang
menang atas Sepasang Golok Angin, harus menerima kematiannya akibat pukulan
'Tenaga Sakti Pembelah Bumi' yang terkenal ampuh milik Hakim Tanpa Wajah. Deb
Sapuan telapak tangan Pendekar
Slebor mengancam leher Purwasih alias si Naga Wanita. Sebentuk serangan amat
cepat yang begitu disegani di dunia persilatan, karena merupakan bagian jurus
sulit tertandingi yang diciptakan di Lembah Kutukan.
“Haiiit”
Naga Wanita agak susah payah
berkelit ke sisi.
Sekedip setelah itu, pedang
bergagang kepala naga di punggungnya sudah diloloskan, lalu disabetkan deras ke
tangan Pendekar Slebor.
Set
Tangan pendekar muda dari
Lembah Kutukan seperti memiliki mata. Secepat tebasan pedang Purwasih, tangan
itu ditarik kembali ke belakang.
Dengan begitu, Pendekar Slebor
yang tak lagi memiliki kesadaran, telah membayar serangannya yang dimentahkan
Naga Wanita yang sama-sama tak sadar.
“Kau akan kucincang-cincang
hingga lumat, kalau satu di antara mereka celaka, Manusia Jelek” teriak Lelaki
Berulu Hitam dari bawah panggung yang ditujukan pada Hakim Tanpa Wajah.
Sahutan tua bangka sok benar sendiri
itu hanya kekeh mengejek. Namun....
“Tak ada lagi satu manusia pun
yang boleh mempengaruhiku atau mengaturku Tidak juga kau, Orang Tua Bermuka
Rata Untuk itu, aku harus membunuhmu”
Tak lama berselang terdengar
seruan lain memenuhi ruang Pengadilan Perut Bumi. Lantang menggema dan sarat
kekuatan. Dinding batu seolah hendak diruntuhkan oleh suara itu
Hakim Tanpa Wajah dengan serta
merta menoleh ke belakang, tempat asal suara keras tadi. Betapa terperanjatnya
si Tua Bangka melihat siapa orang yang berada di sana.
“Kau.... Apa-apaan kau ini?
Apa aku tak salah dengar?” ujar Hakim Tanpa Wajah terheran-heran menyadari
murid tunggalnya, Manusia Dari Pusat Bumi telah menyatakan akan membunuhnya
Dari mulut pintu kecil menuju
ruang pembuangan mayat, Manusia Dari Pusat Bumi melangkah perlahan menuju Hakim
Tanpa Wajah. Matanya yang
menyeramkan menghujam
tajam-tajam manik mata lelaki tua itu. Bibirnya pun membentuk seringai
mengancam, memperlihatkan dua taringnya. Hakim Tanpa Wajah bergegas bangkit
dari kursi.
Wajahnya sarat ketegangan
berbaur rasa ketidak mengertian. Kini ditunggunya si Murid sambil berdiri tanpa
gerak.
“Siapa yang telah menghasutmu,
sehingga mau memusuhiku?” tanya Hakim Tanpa Wajah kemudian.
Pertanyaan itu tak mendapat
jawaban. Muridnya yang murtad memang jenis manusia yang tak banyak omong.
Sifatnya begitu dingin, seolah selalu siap mencabut nyawa siapa pun.
“Pasti ini akibat pengaruh
Cermin Alam Gaib,”
desis Hakim Tanpa Wajah,
menduga. “Sial Kenapa aku tak berusaha mencari tahu tentang benda laknat
itu....”
Manusia Dari Pusat Bumi kian
dekat. Dan ketika mencapai empat tombak dari Hakim Tanpa Wajah, langkahnya
dihentikan. Kini guru dan murid berhadap hadapan untuk menjadi lawan. Sesaat
kemudian, manusia jelmaan siluman itu mulai menggeram, menyadarkan Hakim Tanpa
Wajah bahwa semuanya telah terlambat.
***
Tampaknya pertarungan
besar-besaran akan
segera terjadi di ruang
Pengadilan Perut Bumi. Lalu, apakah Hakim Tanpa Wajah akan terbunuh oleh
muridnya sendiri? Bagaimana dengan para tawanan Hakim Tanpa Wajah? Mampukah
mereka keluar dari tempat tersebut?
Bagaimana pula dengan nasib
Andika dan
Purwasih? Akankah mereka
saling bunuh?
Dan apa sesungguhnya keampuhan
Cermin
Pusaka Alam Gaib bagi si
Pemiliknya? Sanggupkah Andika menghancurkan cermin yang menjadi tiang istana
para siluman itu?
Ikuti kelanjutan kisah ini
dalam episode : CERMIN ALAM GAIB
Selesai