-------------------------------
----------------------------
Episode 09 Manusia Dari Pusat Bumi
1
Seorang kakek tua renta tampak
menggelantung terbalik pada seutas tali jerami dengan kedua pergelangan kaki
terikat. Sikapnya bersidekap rapat seperti seekor kelelawar, diam tanpa
bergeming.
Tubuhnya yang terbalik membuat
untaian jenggot panjang berwarna putih yang telah kotor itu menutupi wajahnya.
Menjulur sampai tanah, sekitar satu depa.
Raut wajah lelaki bangkotan
berumur seratus dua puluh tahun ini sulit dikenali. Bukan hanya karena tertutup
jenggot, tapi juga karena ruangan tempatnya menggelantung tak memiliki cahaya,
kecuali sebuah lubang sebesar biji mata manusia di langit-langit ruang, tepat
di dekat benang jerami tersangkut.
Seberkas cahaya dari lubang
kecil tadi jatuh pada kain usang berwarna putih, yang membungkus tubuh si
Lelaki Bangkotan ini dari batas bahu hingga mata kaki, seperti libatan kain
kafan. Suasana di dalam ruangan kecil dan sempit ini mengingatkan pada suasana
di liang lahat. Kenyataannya memang begitu.
Ternyata lelaki bangkotan ini
memang berada dalam perut sebuah kuburan yang memiliki rongga lebih besar dari
biasa.
Ketika pertama kali muncul
sekitar delapan puluh tahun yang lalu, dia mendapat gelar angker. Hakim Tanpa
Wajah Orang-orang dunia persilatan men-julukinya demikian, karena lelaki itu nyaris
tak memiliki wajah. Raut mukanya datar dengan satu lubang hidung kecil.
Bibirnya amat tipis, hingga nyaris tak kentara. Sepasang kelopak mata sempit.
Bahkan biji matanya sendiri sulit ditegaskan, apakah berwarna hitam atau putih.
Karena kelompak matanya memang terlalu kecil.
Selama berkecimpung dalam
rimba persilatan, sepak terjangnya amat membingungkan. Tak seperti tokoh
golongan hitam yang memusuhi golongan putih.
Tak peduli tua atau muda,
lelaki atau wanita. Setiap orang yang berurusan dengannya, selalu dituduh
sebagai 'si pembuat kesalahan'. Dan kemunculannya untuk menjatuhkan
satu-satunya hukuman....
Hukuman mati Itu sebabnya, dia
mendapat julukan lengkap Hakim Tanpa Wajah.
Pada masanya, Hakim Tanpa
Wajah menjadi tak terkalahkan. Dia ditakuti layaknya malaikat maut.
Baik di kalangan bawah, maupun
raja-raja.
Setiap kali bertemu seseorang
yang memiliki ilmu kedigdayaan, Hakim Tanpa Wajah langsung saja men-ceramahi
dengan tuduhan-tuduhan. Kesalahan sekecil apa pun tak luput dari penilaiannya.
Banyak orang persilatan waktu itu terheran-heran, bagaimana dia bisa tahu
kesalahan-kesalahan seseorang, sehingga seolah-olah memiliki mata di mana-mana.
Tak ada seorang pun yang mampu menjawab. Karena setiap kali ada yang berusaha
menjawab, maka orang itu akan menerima hukuman mati
Seorang demi seorang waktu itu
hilang begitu saja tanpa bekas. Bahkan nasibnya tak pernah diketahui lagi. Tak
peduli dari kalangan bawah persilatan atau pun kalangan atas. Baik yang punya
nama besar, atau tidak.
Hanya ada tiga tokoh sakti
yang waktu itu mampu luput dari kebiasaan aneh berbau maut dari si Hakim Tanpa
Wajah. Salah satunya adalah tokoh yang berjuluk Lelaki Berbulu Hitam. Sedangkan
dua orang lain adalah Raja Penyamar dan Pendekar Dungu.
Seperti juga Hakim Tanpa Wajah,
ketiga tokoh itu pun memiliki nama besar. Selain Hakim Tanpa Wajah, tak ada
seorang pun sanggup menandingi kehebatan ilmu kedigdayaan mereka. Menurut kabar
burung kala itu, keempatnya sebenarnya memiliki kepandaian berimbang.
Setelah menggegerkan dunia
persilatan sekian lama, keempatnya menghilang, tak jelas ke mana.
Seolah-olah mereka sama-sama
mengadakan per-janjian untuk mengundurkan diri, lalu akan muncul kembali suatu
saat. Dan pada saat itulah mereka akan mengukur kembali kesaktian masing-masing,
untuk menentukan siapa yang lebih berhak mendapat tempat teratas.
Delapan puluh tahun telah
berlalu. Namun tak ada secuil tanda-tanda pun kalau keempat tokoh sakti itu
akan muncul kembali. Lambat tapi pasti, nama mereka mulai dilupakan orang.
Dan hari ini, saat yang
dikehendaki keempat tokoh sakti itu tampaknya telah tiba. Karena, Hakim Tanpa
Wajah yang sudah puluhan tahun menggelantung dalam liang lahatnya, tiba-tiba
saja membuka kelopak matanya yang sempit. Sesaat kemudian, terdengar tawa kekeh
yang menggema kasar, membuat tanah dalam kuburan ganjil itu berguguran.
“He... he... he”
Hakim Tanpa Wajah membuka
bibir tipisnya.
Dan....
“Cuah”
Hakim Tanpa Wajah menyemburkan
ludahnya, hingga melesat ke arah tali jerami rapuh yang sebenarnya tak akan
kuat menahan berat tubuhnya, seandainya saja lelaki bangkotan itu tak memiliki
ilmu meringankan tubuh luar biasa.
Wesss...
Tasss...
Tali jerami putus menimbulkan
bunyi halus. Tak berhenti sampai di situ. Ludah Hakim Tanpa Wajah terus melesat
begitu ludah laki-laki ini meng-hantamnya ke satu sudut liang. Kekuatan tenaga
dalam tingkat tinggi yang terkandung dalam air kental berwarna keputihan itu
ternyata mampu membuat lubang kecil sedalam dua depa
Mestinya tubuh kering
kerontang lelaki bangkotan ini segera jatuh. Kenyataannya, justru bertolak
belakang. Hakim Tanpa Wajah tetap menggelantung tegak di atas. Benar-benar
mustahil
“He... he... he, jenggot
sialan Mengganggu acara-ku saja,” gerutu Hakim Tanpa Wajah, lebih mirip gurauan
orang kurang waras. Ditepuk-tepuknya jenggot putih panjang merangas yang
menjulur ke tanah di bawahnya.
Rupanya, jenggot itu telah
kaku seperti akar pepohonan. Sehingga, dapat menopang tubuh Hakim Tanpa Wajah
yang memang seringan kapas.
Dengan gerakan indah lelaki
bangkotan ini menurunkan kakinya, lantas berdiri. Sebentar dia memandangi
langit-langit kuburan ganjil yang digunakan untuk bertapa puluhan tahun.
Bibirnya tersenyum tipis, lalu kedua tangannya menghentak ke atas. Dan....
Brolll
Dari luar, bongkahan koral dan
tanah kering kontan berhamburan ke segenap penjuru, bagai baru dibuncah angin
puting beliung. Gundukan makam tua bernisan tumpukan tengkorak kepala ini
sekarang berlubang besar. Dan dari situ tubuh lelaki bangkotan ini mencelat
keluar.
Seperti tidak pernah peduli pada
hawa segar yang baru saja memenuhi paru-parunya kembali, Hakim Tanpa Wajah
kembali terkekeh serak. Wajahnya yang pucat dengan juntaian rambut putih yang
alot dan kotor, membuat bibirnya yang sudah tak kentara makin tak jelas saja,
meski sedang terkekeh.
“Apa kalian bertiga kini
sanggup menandingiku?”
gumam laki-laki tua ini
berbicara sendiri.
Tentu saja yang dimaksud Hakim
Tanpa Wajah adalah Lelaki Berbulu Hitam, Raja Penyamar, dan Pendekar Dungu.
“Hm.... Mungkin hanya tinggal
aku saja yang belum memiliki murid,” sambung laki-laki ini.
“Koaaak”
Mendadak seekor burung gagak
hitam kelam hinggap di batang pohon kering besar, tak jauh dari tempat
berdirinya lelaki bangkotan itu. Kedua sayapnya dibentangkan dan
dikepak-kepakkannya.
Paruhnya yang menyeramkan
melempar teriakan nyaring beberapa kali, seakan hendak menegur Hakim Tanpa
Wajah.
Sementara lelaki berbebat kain
kafan dari bahu hingga ke mata kaki itu menjadi tertarik. Kepalanya segera
menoleh ke arah gagak.
“Kau ingin mengatakan berita
apa, 'saksi mata'?”
tegur laki-laki tua itu. Hewan
berbulu hitam itu disebut
'saksi mata' oleh laki-laki
tua ini seakan-akan dia adalah hakim pengadilan yang sedang berbicara dengan
seorang saksi dalam sebuah perkara.
“Kaoook” sahut burung gagak
itu. Kepalanya terayun ke depan dan ke belakang. “Ada wanita hamil? Ah Kau tak
perlu mem-beritahukan aku tentang itu Di mana-mana juga ada wanita hamil.
Apalagi sudah makin banyak pasangan yang berhubungan intim seenak perut,
seperti monyet hutan,” tukas Hakim Tanpa Wajah.
“Kak-koaaak-kaaak”
“O, maksudmu wanita hamil itu
telah mati seminggu lalu? Ah Itu juga biasa. Tak aneh bukan?”
“Kaaak-kaaak”
“Apa?”
Hakim Tanpa Wajah langsung
menjulurkan kepalanya ke depan, karena agak tersentak dengan ucapan gagak
terakhir yang hanya bisa dimengerti olehnya.
“Kau bilang, jabang bayi dalam
kandungannya masih tetap hidup? Nah Itu baru luar biasa, 'saksi mata' Pintar...
pintar” puji laki-laki tua ini. “Di mana mayat wanita hamil itu? Aku harus
mengeluarkan si Jabang Bayi. Anak itu pasti memiliki kelebihan luar biasa.
Kebetulan sekali, aku sedang berpikir untuk mengangkat murid. He... he... he”
“Koaaak”
Burung gagak tadi berkoak
sekali lagi. Di atas dahan tempatnya hinggap, dia melompat berbalik.
Sebentar kemudian sayapnya dikepakkan
kuat-kuat, langsung mengangkasa menerabas angin siang yang panas.
Dan seketika itu pula, Hakim
Tanpa Wajah segera mengikutinya. ***
Hakim Tanpa Wajah berlari
cepat dengan cara melompat-lompat. Dan akhirnya, laki-laki bangkotan itu tiba
bersama burung gagak di tepi sebuah danau alam yang tak begitu luas. Sementara
burung gagak hitam yang menuntunnya ke tempat itu sudah hinggap kembali di
pucuk sebongkah batu runcing, tak jauh dari Hakim Tanpa Wajah.
“Mana? Aku tak melihat wanita
hamil, seperti yang kau katakan?” Hakim Tanpa Wajah memberengut.
Seketika gagak hitam itu
menaikkan sayap tinggi-tinggi, menanggapi dengan rasa tak suka pada ucapan
lelaki berusia seratus dua puluhan itu.
“Kaaak-kaaak-kaaak” koak
burung itu nyaring, merambah ke segenap bibir danau berair keruh kecoklatan.
“He... he... he Kau jangan
bergurau padaku, 'saksi mata'. Mana mungkin wanita hamil itu berada di dasar
danau ini. Eh? Tapi hewan sepertimu memang tidak perlu ngibul dan suka berkata
apa adanya.
Tidak seperti manusia yang
suka mengobral ucapan untuk kepentingan perutnya sendiri....”
Hakim Tanpa Wajah memandangi
permukaan
danau yang dibelai angin
beberapa lama.
“Baik-baik. Tak ada ruginya
jika aku mencoba membuktikan beritamu, 'saksi mata'...,” kata Hakim Tanpa Wajah,
akhirnya.
Laki-laki tua itu segera akan
melaksanakan niat-nya untuk mencaritahu kebenaran berita dari sang Gagak.
Diangkatnya tangan pucat berkeriput di depan wajah, dengan telapak saling
bersilang ke depan.
Cukup lama Hakim Tanpa Wajah
bersikap seperti itu, sampai akhirnya air danau bergolak bagai diaduk-aduk dari
dalam oleh sepasang tangan raksasa.
Rupanya laki-laki tua ini
sedang mengerahkan tenaga batin berkekuatan dahsyat yang dinamakan ilmu
'Rahasia Pikiran'. Karena
hanya dengan mem- bayangkan benda yang menjadi sasaran, dia dapat mengangkat,
melempar, atau bahkan meng-hancurkannya. Begitu juga dengan dasar danau di
depannya. Dibayangkannya dasar danau itu sedang teraduk-aduk kuat luar biasa.
Maka, yang terjadi pun demikian
Sampai suatu saat terdengar
gemuruh tertahan dari dasar danau, beriring sembulan gelembung-gelembung udara
yang demikian ramai. Sebentar kemudian menyusul sesosok tubuh wanita hamil
muncul ke permukaan. Tampaknya, mayat wanita hamil itu terjebak di sebuah
rongga batu besar yang berisi udara di dasar danau ini. Sehingga air danau
tidak dapat masuk ke dalam rongga batu. Dengan begitu, si Jabang Bayi tetap
bisa mengirup udara untuk bernapas. Meski, sampai saat ini Hakim Tanpa Wajah
tak bisa mengerti, bagaimana cara si Jabang Bayi bernapas. Yang pasti, suhu
rendah yang begitu dingin di dasar danau, telah membuat mayat wanita hamil
tidak cepat membusuk.
Mudah sekali Hakim Tanpa Wajah
meniti permukaan air danau dengan daun-daun kering yang diambil dari sebatang
pohon. Di atas daun demi daun yang dimanfaatkan sebagai pijakan lompatan,
lelaki bangkotan itu mendekati mayat wanita hamil tadi.
Dijemputnya tubuh kaku itu.
Sebentar kemudian dibopong di bahu, lalu dibawanya ke tepian.
“He... he... he, 'saksi mata'
Kau telah berjasa padaku. Aku akan segera punya murid luar biasa Dia akan
kudidik menjadi tokoh tak terkalahkan di dunia persilatan. He... he... he”
Baru saja kata-katanya
selesai, Hakim Tanpa Wajah melesat pergi.
“Kau tentu tahu, di mana kau
bisa menemuiku, bukan?” Seru Hakim Tanpa Wajah pada si Burung Gagak.
“Kaaak” *** 2
“Eiii Hi... hi... hi”
Seorang wanita genit tampak
berdiri berhadapan berjarak tiga tombak dengan seorang pemuda di tengah jalan
berbatu di satu lereng bukit, melihat kemunculannya tadi wanita bertubuh sintal
yang tersenyum menggoda ini agaknya memang sengaja menghadang. Dengan pakaian
ketat berwarna merah menyala, leluk-lekuk tubuhnya jadi membayang jelas.
Wanita berusia sekitar dua
puluh delapan tahun itu berambut panjang. Berkerudung kuning tembus pandang
yang menjulur hingga menutupi wajahnya.
Meski tertutup kain tertembus
pandang, kecantikan-nya masih tetap bisa ditangkap mata pemuda yang dihadang.
Sayangnya, rias wajahnya terlalu berlebihan. Sehingga terasa sebal dipandang.
Bibirnya mekar memerah. Pipinya dipupuri tebal-tebal. Matanya memandang sayu
dengan bulu-bulu mata lentik.
Alis matanya dilukis demikian
tebal menantang.
Sementara pipinya diberi
pemerah.
Pemuda yang dihadang
mengangkat alisnya yang seperti sayap elang, ketika wanita genit itu mulai maju
perlahan mendekatinya. Baginya, biasa kalau agak terpikat dengan kecantikan
wanita di depannya kini. Tapi kalau tingkahnya genit dengan penampilan seronok,
rasanya ketertarikan itu jadi buyar seketika.
Dia berpikir, hanya
wanita-wanita nakal yang ber-dandan seperti dia.
“Mau ke mana, Anak Muda
Tampan?” tanya
wanita genit ini mendayu-dayu.
“Ke sana boleh, ke sini juga boleh,” jawab pemuda berpakaian hijau-hijau dengan
selembar kain bercorak catur tersampir di bahunya. Sambil menjentik anak rambut
yang panjang menghalangi pandangan, ditatapnya wanita genit itu acuh tak acuh.
“Kalau begitu, ke sini saja,
ya? Ya? Ya?”
Pemuda tampan bertubuh kekar
ini menarik napas. “Aneh-aneh saja manusia di dunia ini.
Seenaknya saja memaksa
kehendaknya pada orang lain. Memang aku ini jongosnya apa?” gerutu pemuda ini
tak kentara.
“Ah Jangan sesinis itu...”
sergah wanita itu seraya mencibir.
Telinga wanita ini ternyata
cukup tajam juga. Dia bisa menangkap ucapan berbisik pemuda tadi.
“Kalau nanti kau sudah dekaaat
denganku, baru tahu rasa kau. Bisa-bisa kau tidak mau jauh-jauh dariku. Hi...
hi...” Dijawilnya dada bidang si Pemuda dengan jarinya yang lentik.
“Ih...”
Pemuda tampan ini menyurut ke
belakang.
Dadanya kontan menguncup
karena geli.
“Jangan lancang, ya” bentak
pemuda itu agak mangkel.
“Itu tadi bukan lancang, Anak
Muda Hanya semacam ketrampilan tangan. Hi.. hi... hi....”
“Hus”
Si Wanita genit cepat-cepat
mengatupkan mulutnya. Dan secepat itu pula, bibir merahnya dicibir-cibirkan
kian kemari.
“Kenapa bibirnya? Keseleo?
Atau salah urat?”
gurau pemuda ini asal bunyi.
Mungkin karena cetusan rasa jengkel. “Hi... hi... hi.... Bisa sajaaa” Kembali
dijawilnya dada bidang pemuda berpakaian hijau ini.
“Ah, sudah Aku ingin lewat.
Tak ada waktu buat melayanimu”
“Juwita Permatasari
Megapuspita Ranasutra....”
“Apa itu?” tanya si Pemuda
heran.
“Namaku.”
“Aku tak tanya namamu” hardik
pemuda ini makin dongkol. “Sudah, minggir Kasih aku jalan”
Pemuda itu maju selangkah
untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, segera kembali dihadang oleh wanita genit
itu. Hampir-hampir saja, wanita ini ditabraknya.
“Aiii, nafsu nih?” tukas
wanita genit yang mengaku bernama Juwita Permatasari Megapuspita Ranasutra itu.
“Sialan” maki pemuda berbaju
hijau ini sambil membelalakkan mata ke arah perempuan di
depannya. “Kalau kau sejenis
wanita nakal, akan salah bila memilihku.”
“Jadi namamu siapa, anak muda
tampan yang gagah perkasa?”
“Sialan”
Sekali lagi, pemuda ini
memaki. Ucapannya barusan seakan hanya kentut bagi perempuan cantik itu.
“Kalau kuberitahu, kau
bersedia memberiku lewat?” usul pemuda itu kemudian, supaya bisa cepat pergi
dari sana dan tidak lagi berurusan dengan wanita binal semacam ini.
“Tergantung...,” sahut si
Wanita Genit.
“Tergantung apa?”
“Tergantung, apakah kau
memiliki sesuatu yang digantung-gantung. Hi... hi... hi” celoteh wanita genit
ini makin menjurus.
Tingkah Juwita bahkan kian
nakal saja. Malah bahu kekar pemuda itu mulai digelayuti dengan kedua tangan.
Sesekali matanya mengerling dan mengumbar senyum tipis penuh arti.
“O, ya. Jadi siapa namamu,
Pemuda Ganteng?”
“Aku..., ah Apa perlu
kuberitahu namaku?”
“Perlu” selak Juwita berbareng
gerakan tangan jahil ke arah tubuh bagian bawah pemuda di sisinya.
Tentu saja calon korban tangan
usil itu terkesiap.
“Baik..., baik Namaku Andika”
ujar pemuda yang tak lain pendekar muda kesohor dari Lembah Kutukan yang
berjuluk Pendekar Slebor.
“Amit-amit kalau tangan wanita
ini sempat
'Bertemu' di tempat rahasiaku”
rutuk Andika tak kentara. “Dasar wanita nakal Biar cantik bisa-bisa malah bawa
penyakit”
“Apa katamu” sentak Juwita
dengan mata terbelalak besar-besar. Jelas, dia tersinggung dengan gerutuan
Andika.
Andika alias Pendekar Slebor
meringis ngeri-ngeri.
Tapi dia cukup jujur untuk
mengulang kembali gerutuannya tadi.
“Aku bilang, secantik-cantik
wanita nakal, bisa saja bawa penyakit....”
“Kau harus membayar
penghinaanmu itu” teriak wanita genit ini persis di telinga Andika.
Satu tangan Juwita terangkat
tinggi-tinggi, siap menampar wajah pemuda yang menghinanya.
“Jangan terlalu perasa Aku
kan, tidak bilang kalau kau membawa penyakit. Aku hanya bilang....”
Andika berusaha berdalih. Tapi
sebelum sempat ucapannya diselesaikan, tangan wanita itu sudah melayang deras.
Bet
Angin keras segera saja terdengar,
pertanda kalau tamparan tangan Juwita membawa satu tenaga dalam tingkat tinggi.
Dan ini sama sekali luput dari dugaan Pendekar Slebor sebelumnya. Beruntung
kesiagaannya tidak ikut terdesak oleh rasa kagum pada kecantikan wanita yang
kini menjadi lawannya.
Tanpa mau mengambil bahaya
sedikit pun, Andika melempar tubuhnya jauh-jauh ke belakang. Namun begitu,
masih juga dirasakannya rasa pedih berdenyar pada bagian tubuh yang sempat
tersambar angin pukulan lawan.
“Apa kau sudah sinting,
Perempuan Cantik?
Kenapa kau tiba-tiba hendak
membunuhku?” sentak Pendekar Slebor, begitu bangkit berdiri dengan satu
lompatan indah.
Wanita cantik itu tertawa
renyah menanggapi kebingungan Andika.
“Jangan heran, Anak Muda.
Sebenarnya aku hanya ingin mengenal Pendekar Slebor. Aku ingin tahu, apakah
nama besarmu benar-benar bukan sekadar bungkus bubur nasi”
“Jadi, sebenarnya kau telah
tahu tentang diriku?”
tanya Pendekar Slebor.
“Hi... hi... hi. Siapa yang
tak kenal ciri-ciri pemuda sakti kesohor seperti kau, Pendekar Slebor Pemuda
tampan yang selalu berpakaian hijau-hijau dengan kain bercorak catur tersampir
di bahu. Dan, satu lagi yang tidak mungkin kau lepaskan dari tubuhmu....
Tanda bintang berwarna hijau
kebiru-biruan yang kau bawa dari lahir di tangan kananmu” urai Juwita.
Andika jadi tak habis pikir
pada wanita yang kini dihadapinya. Jarang sekali orang persilatan yang tahu
tanda lahir di tangan kanannya, karena selalu ter- tutup lengan baju. Pendekar
Slebor sendiri sudah tidak begitu memperhatikan hal kecil ini. Dan sekarang,
tiba-tiba saja ada orang asing yang baru saja bertemu, tapi sudah tahu hal
kecil tentang dirinya.
“Tampaknya aku sedang
berhadapan dengan
orang yang tak bisa dibuat
main-main,” gumam Pendekar Slebor.
Entah bagaimana Andika jadi
menduga kalau wanita ini adalah tokoh jajaran atas yang lebih dulu malang
melintang dalam dunia persilatan ketimbang dirinya. Memang menurut cerita dari
mulut rakyat, Andika mendapat kabar kalau setiap pewaris kesaktian Pendekar
Lembah Kutukan yang juga buyutnya, pasti memiliki tanda seperti terdapat di
tangan kanannya. Namun sejauh itu, orang-orang hanya tahu tentang tanda khusus
yang menjadi ciri khas pewaris pendekar panutan itu.
Sedangkan bentuk dan letaknya
tak pernah ada yang tahu. Jika ada seorang yang tahu tentang bentuk dan letak
tanda lahir itu, bisa jadi dia adalah tokoh tua yang cukup akrab dengan
Pendekar Lembah Kutukan itu sendiri.
“Tapi, apa mungkin dia salah
seorang sahabat buyutku, Pendekar Lembah Kutukan? Bukankah buyutku itu hidup
lebih dari seratus tahun lalu?
Sementara wanita ini mungkin
baru berusia antara dua puluh tujuh sampai dua puluh sembilan tahun,”
bisik Andika, mulai ragu
dengan dugaannya.
“Kenapa kau bengong seperti
kambing masuk angin?” sentak Juwita membuyarkan dugaan-dugaan Andika.
“Siapa kau sebenarnya,
Perempuan Cantik?” tanya Andika, hati-hati. Bukan apa-apa. Pendekar Slebor
hanya tak mau berbuat kurang ajar jika wanita itu benar-benar sahabat buyutnya.
Siapa tahu, dia memiliki ilmu awet muda
Wanita cantik ini menggoyang-goyangkan
kepala ke kiri dan kanan. Dan kerudungnya yang tembus pandang itu ikut bergerak
lemah gemulai.
“O, o Belum waktunya kau
mengenalku, Anak Muda Menggemaskan” tandas Juwita seraya memainkan jari
telunjuk di depan kepala. “Suatu saat, kau akan tahu siapa aku. Sekarang ini,
kau cukup kubiarkan dongkol dan penasaran saja. Hi... hi... hi”
Selesai berkata demikian
perempuan mempesona itu berpindah tempat, tanpa menggerakkan badan sedikit pun.
Dari satu jarak, ke jarak lain. Sehingga, akhirnya dia menghilang tanpa jejak.
Sungguh satu unjuk kebolehan ilmu meringankan tubuh yang mungkin hanya dimiliki
oleh dua atau tiga orang di dunia persilatan. Bahkan Andika sendiri pun tak
sanggup melakukannya.
Tanpa sadar, mulut Andika
berdecak. Sementara itu matanya terbuka lebar tanpa berkedip. Dan ada satu
lagi, hidungnya mencium aroma bunga sedap malam, sepeninggalan wanita genit
tadi. ***
Hakim Tanpa Wajah membawa
mayat wanita hamil yang ditemukannya di danau, ke sebuah rawa penuh buaya buas.
Dia menyelam tanpa kesulitan ke dasar rawa berlumpur seperti seekor katak
besar. Anehnya, tak ada seekor buaya pun yang berani mengusik.
Kehadirannya bagi binatang
peninggalan zaman purba itu, seperti raja diraja yang ditakuti. Binatang-
binatang berdarah dingin itu langsung saja menyingkir ketakutan, manakala Hakim
Tanpa Wajah lewat.
Setelah menyelami sekian depa
kedalaman rawa, Hakim Tanpa Wajah tiba di sebuah lubang besar menganga.
Dimasukinya lubang di dasar rawa itu.
Lorong panjang berliku-liku
dalam lubang bukan sesuatu yang sulit buatnya, tanpa perlu mengambil napas.
Beberapa lama kemudian,
laki-laki tua ini muncul di sebuah kubangan air dalam sebuah ruang besar di
perut bumi, yang memiliki beberapa lorong lain.
Tempat itulah yang beberapa
puluh tahun lalu, dijadikan sebagai penjara, pengadilan, sekaligus tempat bagi
orang-orang persilatan yang diculiknya menjalani hukuman. Dan tempat itu
dinamakan: Pengadilan Perut Bumi.
“Kita sudah tiba, Bocah Bagus”
kata Hakim Tanpa Wajah pada si Jabang Bayi dalam perut mayat wanita hamil yang
dipondongnya. “Sebentar lagi kau akan kukeluarkan dari perut ibumu. He... he...
he”
Hakim Tanpa Wajah memasuki
sebuah lorong yang di dalamnya hanya diterangi obor-obor dari gas alami.
Diletakkan mayat yang
dibawanya di lantai sebuah ruangan yang tak begitu luas sebesar gubuk.
Telinganya lantas didekatkan
ke perut besar mayat wanita itu, seakan ingin meyakinkan kalau si Jabang Bayi
masih hidup.
“He... he... he. Kau
benar-benar bocah kuat” puji Hakim Tanpa Wajah seraya menepuk-nepuk
kandungan. “Bagaimana cara
mengeluarkan kau, ya?
Aku jadi bingung juga. Kau
tahu sendiri bukan, kalau aku bukan dukun beranak. He... he... he”
Layaknya orang kebingungan,
Hakim Tanpa Wajah mondar-mandir di dekat mayat wanita hamil ini. Namun jalannya
sungguh aneh. Dia seperti melompat-lompat
Kini dia berpikir untuk
menemukan cara, bagaimana mengusahakan si Jabang Bayi hadir di alam yang baru,
tanpa harus mencelakakannya. Tentu saja Hakim Tanpa Wajah tak ingin si Jabang
Bayi mendapat celaka. Hasratnya untuk menjadikan si Jabang Bayi menjadi
muridnya, telah membuatnya bertindak hati-hati.
Kebingungan laki-laki tua ini
terjegal mendadak, saat matanya menangkap satu gerakan ganjil dalam perut mayat
wanita itu.
“Ei, apa itu?” tanya Hakim
Tanpa Wajah ingin tahu.
Didekatinya perut buncit mayat
wanita ini.
“We... we... we. Rupanya kau
sudah tak sabar lagi, Bocah Bagus” kata Hakim Tanpa Wajah sewaktu melihat
kandungan tersentak-sentak dari dalam.
“Kau tentunya sudah penat di
dalam sana. Tapi, tampaknya kau ingin keluar sendiri tanpa ingin dibantu....
Weee, begini saja. Biar kau kuberi sedikit pertolongan.”
Dengan kuku runcing jari
telunjuknya, Hakim Tanpa Wajah menusuk hati-hati perut besar mayat si Wanita.
Maka lubang sebesar jari pun tercipta, tanpa mengeluarkan darah. Tak ada lima
kerdipan mata, lubang kecil itu mulai melebar, merobek kulit perut wanita si
Wanita.
Penyebab robekan yang kian
besar itu tentu saja geliatan liar si Jabang Bayi di dalamnya. Kemudian disusul
menyembulnya sepotong kaki mungil, namun kokoh. Dan sebelah kaki yang lain,
membuat kulit perut ibu sang Bayi jadi terkuak makin lebar. Maka sebagian
jaringan rahim yang sudah agak liat pun terlihat. Ketika lubang di perut sang
Ibu makin melebar, tampaklah seorang bayi. Mungil, sehat, dan masih merah
seperti layaknya bayi lain. Namun ada yang berbeda dengan bayi satu ini.
Gusinya telah ditumbuhi dua gigi runcing, berbentuk taring yang menyembul di
sudut-sudut bibirnya *** 3
Puluhan tahun yang lalu, ada
seorang pemuda digdaya yang selalu muncul bersama monyet kecilnya. Bentuk
tubuhnya gagah. Wajahnya tampan, hingga mampu menggoyahkan hati setiap wanita
yang melihatnya. Meski tindak-tanduknya lebih tepat disebut tingkah orang tak
punya otak, toh, tetap saja puluhan wanita kalangan dunia persilatan
mengejar-ngejarnya.
Otak pemuda itu memang bebal
seperti kerbau.
Cara berpikirnya memang tak
lebih daripada bocah ingusan berumur enam tahun. Tapi untuk urusan kedigdayaan,
jangan coba-coba menjajalnya. Begitulah pendapat umum dunia persilatan kala
itu, mengenai dirinya.
Sementara monyet kecilnya yang
seringkali justru lebih cerdik dari pemuda itu sendiri. Baginya, binatang
peliharaannya itu adalah sahabat, sekaligus teman mengambil keputusan. Bila ada
orang-orang yang berurusan dengannya, maka hewan yang memiliki naluri kuat itu
akan memberinya pertimbangan. Apakah orang itu akan dibunuh, atau dibiarkan
hidup. Sesakti apa pun seseorang, jika si Kera Kecil itu sudah
berjingkat-jingkat liar seraya menampakkan wajah beringas, maka akan digasak
habis oleh pemuda tampan ini. Sejauh itu, tak ada seorang pun yang bisa lepas
dari tangan mautnya, kalau sudah mendapat isyarat dari hewan peliharaannya.
Hampir semua yang dihabisinya adalah orang-orang dari golongan hitam. Karena
itu, dia amat dimusuhi habis-habisan oleh datuk-datuk sesat di empat penjuru
angin. Apalagi, kera kecilnya yang selalu saja bisa mencium sifat-sifat busuk
seseorang.
“Sebaliknya, jika si Kera
Kecil itu mulai melompat berputaran sambil bertepuk tangan, maka orang itu akan
dibiarkannya hidup. Meskipun, orang tersebut sudah nyaris melemparnya ke liang
kubur sekali pun.
Kini, setelah sekitar delapan
puluh tahun berlalu, pendekar itu tidak lagi gagah. Wajahnya pun sudah
diramaikan kerutan di sana-sini. Tubuhnya yang dulu kekar berisi, kini hanya
seonggok tulang berbalut kulit keriput. Kalaupun ada yang tidak berubah, hanya
pakaiannya yang berwarna-warni, penuh tambalan di sana-sini. Meski tubuhnya
sudah melengkung seperti tongkat, dia masih bisa berjalan cukup gagah tanpa perlu
penyangga. Matanya kelabu, tapi tetap berbinar riang. Rambutnya memutih rata
dan ditutupi selembar topi pandan. Tanpa jenggot dan kumis, dia seperti lebih
muda daripada usia sebenarnya. Kalau laki-laki itu cengengesan sendiri
sesekali, maka tampaklah gusi yang hanya memiliki tiga batang gigi kuning
langsat. Ketuaan usianya mungkin hanya bisa ditaksir dari panjang alis mata
berwarna putih, yang menjuntai menutupi kelompak matanya yang sayu.
Tokoh inilah yang dulu kesohor
dengan julukan Pendekar Dungu Tua bangka itu kini tengah berjalan melenggang di
sebuah pematang sawah. Sayang, monyet kecil sahabat setianya tak seberuntung
dirinya diberi usia panjang. Binatang itu telah mati sekitar enam puluh tahun
lalu. Kini, tidak ada lagi yang bisa memberi pertimbangan padanya untuk
bertindak pada orang-orang yang berurusan dengannya.
Bahkan dia tidak bisa lagi
membedakan, mana orang-orang dari golongan lurus dan mana yang dari golongan
sesat.
“Hoiii, Dungu”
Tiba-tiba terdengar teriakan
seseorang, saat Pendekar Dungu sampai di ujung pematang. Langkah kakinya
seketika tertahan, tapi tak segera menoleh ke asal suara. Sesaat laki-laki tua
itu hanya terpaku dengan mata berkedip-kedip lambat. Selanjutnya kakinya
digerakkan kembali untuk meneruskan perjalanan. Barangkali hatinya sudah tidak
yakin, apakah ada orang memanggilnya atau tidak. Atau, barangkali dia sendiri
sudah lupa dengan julukannya sendiri.
“Oooi, Bodoh Lagakmu masih
tetap menjengkelkan seperti dulu”
Terdengar teriakan kembali.
Kali ini terdengar agak kalap.
Jauh di belakang Pendekar
Dungu, tampak seseorang berlari ringan mengejarnya. Cara larinya bagai
kesetanan. Blingsatan dengan langkah-langkah ngawur seperti anak kecil baru
bisa berlari.
Penampilannya membuat siapa
pun merinding.
Seluruh badannya yang besar
kelebihan lemak, ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat. Bahkan sampai ke wajahnya.
Kalau dilihat sekilas, laki-laki yang baru datang ini mirip seekor kera. Namun
begitu, wajahnya tidak seburuk itu. Untuk orang kebanyakan, dia masih termasuk
tampan. Sayang, pipinya agak tebal oleh lemak. Bulu-bulu hitam lebat di
badannya, membuatnya tak membutuhkan baju untuk melindungi diri dari sengatan
sinar matahari. Hanya bagian bawahnya saja yang ditutupi celana panjang hitam.
Tokoh ini salah satu yang tak
tertandingi pada puluhan tahun yang lalu. Julukannya, Lelaki Berbulu Hitam. Tak
seperti Pendekar Dungu, lelaki itu tak nampak dimakan usia. Walau berusia
seratus tahun lebih, namun tak membuatnya menjadi renta.
Padahal dia sama sekali tidak
memiliki ilmu awet muda. Bisa saja dia tetap muda seperti berusia empat
puluhan, karena konon dalam tubuhnya mengalir darah keturunan serigala. Dan
lelaki berbulu itu memang lahir dengan cara di luar kebiasaan alam, yakni dari
perut seekor serigala betina jejadian.
Mulanya, wanita itu adalah
penuntut ilmu hitam serigala siluman. Habisnya batas waktu ilmu hitam itu,
menyebabkan si Wanita berubah wujud menjadi serigala.
Pada masa jayanya, Lelaki
Berbulu Hitam dikenal sangat beringas. Wajar saja, darahnya memang panas
layaknya serigala. Dalam membunuh, dia tak pernah mengenal batas-batas
kekejian. Merencah-rencah lawan baginya merupakan hal biasa.
Namun begitu, sesungguhnya
Lelaki Berbulu Hitam tetap memiliki hati nurani. Kerap kali dalam dirinya
terasa ada hembusan kuat, yang mencoba menyadar-kannya dari kebuasan seekor
binatang. Saat seperti itulah, akan terjadi pertarungan batin antara dua
kehendak yang saling bertentangan. Yang satu ingin memperturutkan naluri
kebuasan, sedang yang lain ingin mengikuti hati nurani.
Pernah, Lelaki Berbulu Hitam
berurusan dengan Pendekar Dungu. Penyebabnya, hanya karena Lelaki Berbulu Hitam
merasa iri terhadap Pendekar Dungu yang memiliki seekor kera berkemampuan
mengagumkan. Menurut Lelaki
Berbulu Hitam, dengan bantuan kera kecil cerdik itu, tentu dirinya bisa mulai
menghilangkan sikap buas pada setiap orang.
Tentu saja Pendekar Dungu
tidak ingin binatang kesayangannya direnggut Lelaki Berbulu Hitam.
Karena, dia pun amat
memerlukan kecerdikan binatang kecil itu. Maka pertentangan itu pun menyulut
pertarungan seru dan habis-habisan.
Setelah pertarungan dahsyat
habis-habisan itu, mereka tidak pernah lagi muncul di dunia persilatan.
Keduanya seperti disadarkan
oleh sebuah kekuatan suci, bahwa mereka tidak bisa bergantung dengan seekor
hewan kecil. Mereka harus bisa mengatasi masalah sendiri. Untuk itulah, mereka
lalu meng-asingkan diri, meminta petunjuk sang Penguasa Jagad agar bisa
mengenyahkan kekurangan diri masing-masing. ***
Lelaki Berbulu Hitam telah
sampai di dekat Pendekar Dungu.
“Kenapa kau dungu sekali,
Dungu?” tegur Lelaki Berbulu Hitam dengan wajah memerah kesal.
“Kau bilang aku dungu?” tanya
Pendekar Dungu, ketolol-tololan.
“Ya”
“Kenapa kau katakan begitu?”
“Karena kau dungu, Dungu”
Pendekar Dungu
mengangguk-angguk dengan alis mata berkerut.
“Ya, ya.... Aku memang dungu.
Betapa dungunya aku...,” gumam Pendekar Dungu.
“Ah, sudah Kalau terus
meributkan kedunguan-mu, kita tak akan selesai-selesai sampai seratus abad lagi
Jadi, ke mana saja kau selama ini?” tanya Lelaki Berbulu Hitam, seperti seorang
sahabat yang lama tak bersua. “Aku? Kalau tidak salah, aku menyembunyikan diri
di Gunung Gangginggung. Aku bertapa di sana.... Itu kalau tidak salah.”
“Kalau tidak salah? Kau masih
saja dungu seperti dulu.”
“Ya, dasar dungu....”
“Sama seperti kau, aku juga
mengucilkan diri. Dan aku juga bertapa untuk memohon wangsit dari Yang Kuasa.”
Pendekar Dungu mengupil
hidung.
“Kalau tak salah, aku tidak
bertanya soal itu,”
gumam Pendekar Dungu santai.
“Kau menjengkelkan, Dungu Hih”
Lelaki Berbulu Hitam
melayangkan cakar panjangnya yang berwarna hitam ke perut Pendekar Dungu.
Suara mendesau tajam terdengar
menggiriskan saat tangan itu menyambar. Dan udara pun terasa seperti bergetar
tersambar kuku-kukunya.
Bet
Sementara itu, jari tangan kanan
Pendekar Dungu segera menjentik kotoran hidungnya yang menempel ke arah
sambaran Lelaki Berbulu Hitam. Maka desir angin yang tak kalah santer pun
terdengar. Tahi hidung itu terus melesat, lalu menghantam kuku kelingking
Lelaki Berbulu Hitam.
Tak
Seperti sebuah bangunan beton
amat tebal, secuil tahi hidung milik lelaki tua berotak bebal itu sanggup
menahan laju sambaran cakar Lelaki Berbulu Hitam.
Lelaki Berbulu Hitam jadi
mendengus gusar. “Kau hendak menghinaku, Dungu?” bentak laki-laki seram ini setengah
bertanya.
Rupanya Lelaki Berbulu Hitam
tak mau kalah unjuk kebolehan. Satu gerakan tangan dibuat. Maka seketika
beberapa lembar bulu hitam di punggung jarinya terlepas, lalu melesat deras ke
sepasang mata Pendekar Dungu. Wesss
Sementara itu Pendekar Dungu
mendadak
menguap lebar-lebar. Setelah
itu napasnya dihempas-kan.
“Hoaaah... huuuhhh”
Semua itu dilakukan seperti di
luar kesadaran.
Namun hasil yang terjadi
sungguh luar biasa
Lembaran-lembaran bulu
berkekuatan hebat itu langsung terhambat di udara. Dan begitu hembusan
napasnya, terpenggal, bulu-bulu maut itu pun meng-gelepar turun di udara
kehilangan seluruh kekuatan seperti lembaran kapas. Namun beberapa lembar di
antaranya sempat tersangkut di lubang hidung Pendekar Dungu. Dan sebentar kemudian....
“Aaa... aaa... haaachiiihhh”
Orang tua berpakaian tambalan
ini mendadak membersin keras. Lendir kental dari hidungnya langsung terlontar
menuju Lelaki Berbulu Hitam dengan kecepatan angin topan. Sewaktu bergesekan
dengan udara, lendir menjijikkan itu mengepulkan asap tipis. Mungkin lubang
hidung yang tak pernah dibersihkan selama puluhan tahun itu, telah
menyebabkannya beracun.
Mata Lelaki Berbulu Hitam
kontan mendelik.
Secepat dadanya disingkirkan
ke samping. Maka lendir si Pendekar Dungu pun meluncur ke sasaran lain, seekor
ular sawah besar yang naas. Batok kepala binatang melata itu terhajar lendir
tadi. Maka sekejap saja kepala ular itu berhamburan. Sedangkan bekas hantaman
lendir mengeluarkan asap tipis, mengambang lamban di antara puncuk padi yang
masih berwarna hijau. “Ngomong-ngomong, apa yang kau dapat waktu bertapa?”
Pendekar Dungu melontarkan pertanyaan sambil menghindari tendangan kasar musuh
lamanya. “Kalau tidak salah..., sial Kenapa aku jadi melatahimu Maksudku, aku
mendapat wangsit.
Masalah kita bisa diatasi
dengan bantuan seseorang.... Hiaaat” jawab Lelaki Berbulu Hitam, masih terus
menggempur liar.
“Lho? Kenapa bisa sama, ya?
Haih”
“Jadi, kau mendapat wangsit
seperti itu juga?”
“Ya, ya Kalau tidak salah...,
hiaaah”
Kedua tokoh itu bertukar jurus
kian panas.
Gerakan mereka membongkar
habis pematang sawah di bawah. Angin pukulan dan tendangan satu sama lain
menyapu bulir-bulir padi hijau hingga berterbangan ke segenap penjuru.
“Lalu, apa kau mendapatkan
ciri-ciri orang yang bakal bisa membantu kita untuk mengenyahkan kekurangan
diri kita?” tanya Lelaki Berbulu Hitam yang dibarengi susulan terjangan.
“Kau sendiri? Hey, jangan
menyerang jidatku
Otakku bisa jadi tambah bebal”
hardik Pendekar Dungu kalap.
“Ada bintang....”
“Di langit?” selak Pendekar
Dungu.
“Dungu Heaaa”
“Memang Aiiit”
“Maksudku, orang itu memiliki
tanda bintang di tangan kanannya” teriak Lelaki Berbulu Hitam, sampai urat-urat
di tenggorokannya membengkak.
“Lho? Kenapa bisa sama lagi
dengan wangsitku, ya?”
Srat Prat Pada saat yang
bersamaan, telapak tangan Pendekar Dungu menyerempet bulu dada laki-laki
berpakaian tambalan. Sebaliknya cakar Lelaki Berbulu Hitam menyambar pakaian di
bagian dada si Tua Bangkotan. Sejengkal bulu dada lelaki keturunan serigala itu
tercukur gundul. Sementara, pakaian Pendekar Dungu koyak lebar.
“Kau merusak bajuku” maki
Pendekar Dungu kalap.
“Hanya baju dekil dan bau
Tapi, kau malah merontoki bulu dadaku Kau merusak penampilan-ku” sentak Lelaki
Bertubuh Hitam tak kalah kalap.
“Bulu-bulumu mestinya memang
harus dirontokkan semua Aku geli melihatnya Memandang bulumu, seperti melihat
setumpuk lalat jamban” ejek Pendekar Dungu sambil memajukan wajah keriputnya,
menantang Lelaki Berbulu Lebat.
Lelaki Berbulu Lebat jadi
latah. Kepalanya ikut-ikutan dijulurkan. Kini keduanya saling berhadap-hadapan
wajah. Jidat keduanya bertemu, seperti sepasang domba tua sedang bersabung.
“Kau yang mestinya
menanggalkan pakaian
rombengmu itu Pakaianmu hanya
membawa
penyakit kudis saja” balas
Lelaki Berbulu Hitam.
“Ngomong-ngomong, apa kau
berniat mencari orang bertanda bintang itu?” tanya Pendekar Dungu
sungguh-sungguh, seperti tak pernah terjadi apa-apa pada dirinya.
“Aku pikir begitu.”
“Kalau kupikir..., ng.... Apa
iya aku bisa berpikir?”
gumam Pendekar Dungu
menyebalkan.
“Jadi kau akan mencari dia
juga, apa tidak?”
bentak Lelaki Berbulu Lebat
ngotot sekali.
“Hayo Hayo” Keduanya seketika
menyudahi pertarungan. Dan seperti tak pernah terjadi apa-apa, mereka berjalan
bersisian ke arah timur. Matahari saat ini menggelantung dengan warna Jingga di
belakang. Cara jalan mereka seperti dua orang sahabat kental. Tak beberapa jauh
berjalan, mulut Pendekar Dungu mulai berkicau lagi.
“Kau punya murid? Muridmu apa
sejelek kau juga?”
Tak lama kemudian kembali
keduanya bertengkar.
Suara teriakan kasar seketika
terdengar ke mana-mana. *** 4
Apa yang dinamakan Pengadilan
Perut Bumi tetap tersembunyi dari segenap mata penghuni rimba persilatan. Di
sana, lelaki bangkotan berkain kafan yang berjuluk Hakim Tanpa Wajah sedang
mempersiapkan sesuatu yang akan menggemparkan.
Selalu kegemparan yang bakal
dimunculkan kembali, setelah terkubur delapan puluh tahun lebih. Ya Dia akan
mempersiapkan satu pengadilan raya dunia persilatan. Siap mendakwa, lalu
menjatuhi hukuman bagi tokoh-tokohnya. Tak seperti dulu, kemunculan pengadilan
miliknya kali ini akan lebih menggetarkan nyali. Karena lelaki tua yang merasa
dirinya sebagai hakim sejagad, bakal didukung murid tunggal yang baru sekali
ini dimiliki.
Siapakah murid tunggalnya?
Dialah bayi ajaib yang
ditemukan Hakim Tanpa Wajah dari dalam kandungan mayat seorang wanita tak
dikenal. Setelah keluar dari perut ibunya, keajaiban makin menjadi-jadi.
Tubuhnya berkembang pesat, tak seperti bayi biasa. Paling tidak, bayi lain
membutuhkan waktu satu tahun untuk bisa berjalan.
Namun si Bayi Ajaib itu hanya
perlu waktu satu minggu Tangan dan kakinya yang semula merah mungil, cepat
menjadi kekar. Yang lebih gila lagi, dalam waktu seminggu remasan jarinya sudah
mampu menghancurkan batang pohon. Tak ada susu buat pertumbuhannya, yang jadi
makanannya hanya akar-akar pohon bakau yang tumbuh di rawa, di atas Pengadilan
Perut Bumi. Hari terus berjalan, sesuai kodratnya. Dua bulan telah berjalan.
Sementara pertumbuhan si Bayi Ajaib kian tidak terkendali. Dalam usia sedini
itu dia sudah bisa berlari dan melompat kian kemari, menabraki dinding batu di
dalam ruang Pangadilan Perut Bumi hingga berguguran. Tubuhnya mulai disarati
otot-otot kenyal. Tulangnya makin kokoh. Sedangkan tingginya sudah seperti anak
umur sembilan tahun.
Di samping semua itu, wajah si
Bayi Ajaib lebih menampakkan keganasan. Mulutnya yang bertaring, seringkali
menyeringai layaknya hewan buas.
Sepasang matanya seperti milik
macan hutan. Bola mata hitamnya tegak lurus, berbentuk pipih. Tidak seperti
manusia umumnya, rambutnya berwarna merah menyala seolah-olah dibuat dari bahan
batuan neraka. Hakim Tanpa Wajah menamakan bocah itu, Manusia Dari Pusat Bumi.
Karena, lahirnya jauh di dasar bumi.
Lalu bagaimana si Bayi Ajaib
bisa terkandung dalam perut mayat wanita tak dikenal itu?
Kisahnya dimulai dari sebuah
tempat, dalam kelebatan hutan bernama Rimba Selaksa Mambang.
Seorang gadis yang belum
pernah sekali pun tersentuh lelaki, telah tersesat di sana. Mulanya dia
dikejar-kejar segerombolan bajingan yang bernafsu melampiaskan hawa nafsu
kelelakian di tepi hutan.
Waktu itu gadis ini hendak
melewati tepi hutan untuk membuat jalan pintas menuju sebuah kampung terpencil.
Dia memang hendak membeli obat untuk bapaknya yang hampir sekarat, sehingga
harus mengambil jalan pintas.
Melihat gadis ayu dan molek
berjalan sendiri di tepi hutan, gerombolan bajingan jadi tergiur. Mereka
berusaha menghadang. Seketika gadis yang tahu ada segerombolan orang hendak
berniat jahat padanya, langsung saja melarikan diri ke dalam hutan. Tanpa
disadarinya, wilayah hutan paling angker di kawasan barat itu telah dimasuki.
Selama ini, tidak ada seorang pun berani menjejakkan kaki di sana. Begitu juga
gerombolan bajingan yang mengejarnya.
Ketika makin dalam memasuki
hutan, gadis itu mulai sadar kalau telah memasuki hutan angker.
Buktinya, gerombolan yang
mengejarnya sudah tidak terlihat lagi. Namun kesadarannya sudah terlambat,
karena dirinya sudah telanjur terjebak dalam pusat Hutan Rimba Selaksa Mambang.
Pepohonan raksasa bersisian
satu sama lain dalam baris yang tak teratur. Ototnya merangas, menggantung
bagai ribuan tangan makhluk dasar neraka sedang menggapai-gapai. Dedaunan yang
lebat tak membiarkan cahaya matahari sempat menerobos. Bagi gadis ini,
pepohonan itu seperti berpuluh-puluh mata-mata dari alam gaib yang sedang
mengawasinya. Lalu, dia pun menjadi ketakutan.
Gadis itu berlarian kembali
dengan perasaan tercekam. Namun, iniiah justru yang menjadi kesalahan terbesar
dalam hidupnya. Karena ternyata, dia makin masuk ke tengah-tengah Rimba Selaksa
Mambang, di mana berdiri istana para mambang, siluman-siluman penghuni hutan
Malam pun menjelang. Rimba
Selaksa Mambang makin disergap kegelapan. Sementara, si Gadis makin dililit
perasaan takut luar biasa. Sampai suatu ketika, muncul sosok-sosok menyeramkan
secara tiba-tiba dari sebuah pohon raksasa sebesar rumah
Ada sekitar dua puluh sosok
bertubuh besar menampakkan diri secara samar-samar. Rata-rata tinggi mereka
sekitar tiga kali manusia dengan wujud yang begitu mengerikan. Ada yang
bertaring sepanjang lengan manusia. Ada yang bermata bulat amat besar, seakan
hendak keluar. Bahkan ada yang berkepala besar dengan tanduk menjulang, malah
sebagian lain memiliki perut buncit.
Mendapat semua itu, kontan
saja si Gadis menjerit sejadi-jadinya. Benteng kekuatan jiwanya hancur
seketika. Dan saat itu juga dia tak sadarkan diri.
“Apakah purnama telah
benar-benar berada tepat di atas kepala kita?” tanya seorang siluman dengan
bahasa mereka sendiri.
“Tinggal beberapa saat lagi,”
sahut yang lain.
“Kebetulan sekali ada seorang
gadis manusia yang datang ke tempat kita. Tanpa harus pergi keluar wilayah,
kita bisa mendapatkan gadis yang dibutuh-kan. Tak seperti sejuta purnama yang
lalu.”
“Kak..., kak..., kak Purnama
kesejuta kali ini rupanya kita benar-benar beruntung” timpal siluman berkepala
gundul dan berpusar panjang.
“Nang..., ning..., ning....
Nang-gung...” Siluman berperut buncit menari-nari girang. Perutnya yang
menggelantung hampir menyentuh tanah, terayun-ayun ke sana kemari. “Tanpa
susah-susah, kita akan mendapat hadiah dari Sri Ratu. Kak..., kak..., kak” ***
Purnama akhirnya tiba juga di
pucuk angkasa.
Para siluman tadi mulai
melaksanakan tugas yang diemban. Mereka harus menanam benih keturunan bangsa
siluman, ke dalam perut seorang gadis yang masih tetap pingsan itu.
Upacara gaib segera
dilaksanakan, yang sulit dipahami pikiran manusia. Mula-mula kedua puluh
siluman itu melingkari tubuh gadis ini yang meng-geletak. Perlahan-lahan mereka
mulai bergerak mengitarinya. Kian lama, putaran itu bertambah cepat menggila.
Sampai akhirnya, tubuh halus semua siluman itu mengabur, dan berubah menjadi
pusingan angin kencang. Batang-batang pohon besar yang tak begitu kuat
menghujam bumi, pasti akan tercabut dan melayang ke udara tak bedanya dengan
lembaran bulu. Hutan lebat itu bagai digasak angin topan maha hebat.
Anehnya, tubuh gadis itu tetap
berada di tempat semula, seperti tak mendapat pengaruh sama sekali.
Pada saat angin berbentuk
pusaran makin tinggi merangsek angkasa, seberkas cahaya kemerahan berkelebat
cepat dari puncaknya menuju perut gadis itu. Bersamaan dengan terlepasnya
cahaya tadi, tercipta bebunyian menggidikkan bagai suara segerombolan lebah dan
denting sejuta genta.
Kesunyian hutan kian dipecah.
Sepertinya kedua puluh siluman tadi sedang mengumandangkan semacam mantera
hitam untuk mengantar masuknya sang Benih berbentuk cahaya, ke rahim si Gadis.
Sekian kejap berikutnya,
cahaya merah sudah menelusup lenyap dalam perut gadis itu. Dan saat itulah
terlempar raungan menyayat dari mulut wanita malang ini, memenggal bebunyian
ganjil yang sebelumnya menyesaki hutan.
Alam mendadak sunyi. Hanya
tersisa derak ranting yang terlambat jatuh serta tiupan angin yang lelah.
Upacara gaib telah selesai.
Para makhluk halus itu satu persatu meninggalkan tempat ini. Nyawa si Gadis
telah melayang sebagai tumbalnya.
Dan dari bawah pohon besar
tempat meng- hilangnya para siluman, timbul mata air keruh berwarna kehitaman.
Genangan mata air itu kian besar, seiring membesarnya perut si Gadis Malang.
Pada saatnya, aliran air yang
tercipta menghanyutkan tubuh gadis itu ke arah selatan, di mana telah menanti
danau tempat mayatnya ditemukan oleh si Hakim Tanpa Wajah. ***
“Pengadilan menanti”
Dari balik sebuah bukit
karang, meluncur teriakan beringas nan lantang dari seseorang. Suaranya begitu
menggebuk jantung setiap telinga yang mendengarnya. Demikian pula bagi lima
orang pejalan kaki di bawah lereng bukit.
Pakaian kelima lelaki itu
sungguh tak sedap dipandang. Bertambal sulam serta compang-camping.
Rata-rata tubuh mereka dekil,
seolah menjadi pakaian sehari-hari. Dua orang di antaranya malah berhias koreng
di beberapa bagian tubuh. Satu orang di antaranya berkaki pincang.
Kelima lelaki gembel ini berasal
dari wilayah timur.
Di sana memang terdapat
perkumpulan orang-orang macam mereka. Dunia persilatan menamakan perkumpulan
itu Partai Pengemis Timur.
Pada dasarnya, orang telah
salah sangka terhadap kehadiran mereka. Penampilan dekil para anggota perkumpulan
itu, membuat nama mereka dekat dengan sebutan pengemis, walau sebenarnya bukan
pengemis. Jauh di lubuk hati masing-masing, tetap memiliki harga diri untuk
tidak meminta-minta.
Perkumpulan itu bisa hidup
tanpa belas kasihan orang lain. Mereka punya lahan usaha sendiri, untuk
menyambung hidup para anggotanya. Namun rupanya banyak orang menyamaratakan
dengan para pengemis. Akhirnya, mereka pun mendapat julukan itu. Kalaupun
mereka berpakaian seperti itu, karena masing-masing ingin mencoba menjauhi kesenangan
dunia yang berlebihan.
Anggota Partai Pengemis Timur
rata-rata berkepandaian tinggi. Beberapa pentolannya, bahkan amat disegani di
kawasan timur. Beberapa tahun yang lalu, pernah terjadi perampokan
besar-besaran yang dilakukan kawanan begal berilmu tinggi.
Beberapa pendekar tangguh tak
sanggup meladeni kebuasan mereka. Beberapa di antaranya menemui ajal. Sedang
yang lain harus menderita luka dan cacat seumur hidup.
Kebrutalan gerombolan begal
itu akhirnya memancing tokoh-tokoh Partai Pengemis Timur. Dari dua puluh
anggota, sepuluh pentolan turun untuk menghadapi keganasan gerombolan begal.
Meski kalah dalam jumlah dan
senjata, kesepuluh pengemis itu sanggup memorat-maritkan anggota gerombolan
berilmu tak tanggung, yang berjumlah banyak. Pentolan-pentolannya bahkan dapat
dibuat mati
Para anggota Partai Pengemis
Timur pulang dengan keadaan sehat walafial. Sejak itu kehadiran mereka mulai
diperhitungkan oleh orang persilatan wilayah timur.
Di antara kesepuluh lelaki
yang turun menumpas gerombolan begal itu, lima orang kumuh yang sedang berjalan
di lereng bukit karang tadi ikut ambil bagian.
Mereka masing-masing bernama
Kamasetya,
Dartasa, Damarsuta, Guruhdadi,
dan Komajaya. Kekompakan yang terjalin, membuat mereka dijuluki Lima Gembel
Busuk, meski tak harus keluar dari Partai Pengemis Timur.
Lima Gembel Busuk dikenal
bukan karena
kehadirannya yang selalu
membawa bau busuk atau berpenampilan tak karuan. Mereka amat kesohor karena
keistimewaannya dalam memainkan jurus gabungan yang dinamakan 'Benteng Angin'.
Jurus gabungan itu mampu menahan serangan, sehingga lawan seperti menggasak
angin.
Lima Gembel Busuk segera
menghentikan langkah begitu mendengar teriakan yang sulit dimengerti tadi.
Satu sama lain saling
berpandangan heran.
“Kang Apakah seruan itu
ditujukan untuk kita?”
tanya Kamasetya, lelaki adik
dari orang yang dipanggil Kamajaya. Usia masing-masing terpaut dua tahun.
Sekitar empat puluhan.
“Entahlah. Aku sendiri
bingung,” jawab Kamajaya.
Dari puncak bukit karang di
atas mereka, muncul-lah dua lelaki berusia jauh berbeda. Yang seorang tampak
masih begitu muda dengan penampilan menggidikkan. Tubuhnya kekar sarat otot
tebal.
Rambutnya merah, sedangkan di
sudut bibirnya tersembul taring tajam.
Sementara lelaki yang satunya
tampak amat renta.
Meskipun demikian, sinar
matanya tetap me-mancarkan kekuatan berapi-api. Tubuhnya dari batas leher
hingga mata kaki ditutup kain kafan lusuh.
Siapa lagi kalau bukan Hakim
Tanpa Wajah bersama muridnya, Manusia Dari Pusat Bumi? Dalam setengah tahun saja,
murid baru sang Hakim Sejagad itu telah menjelma menjadi pemuda bengis.
“He... he... he”
Hakim Tanpa Wajah terkekeh.
Dikeluarkannya segulungan daun lontar dari balik kain kalannya.
“Dengan ini, kalian Lima
Gembel Busuk harus menjalani pengadilan di perut bumi Menurut sang
'saksi mata', kalian harus
dituntut karena kesalahan mencampuri urusan orang lain Kalian telah lancang
dengan mengusik-usik urusan gerombolan begal beberapa tahun yang lewat He...
he... he” sambung Hakim Tanpa Wajah di sela-sela tawanya.
“Sinting” maki Guruhdadi,
lelaki berkoreng berusia muda serta berambut gembel. “Siapa dua orang ini?
Apa aku tak salah dengar?
Mereka telah menyalah-kan kita karena telah memberantas orang-orang bejad macam
gerombolan begal itu?”
“Seumur hidup, baru kutemui
manusia macam mereka” timpal Kamajaya.
“Alah Kenapa kita tak
melanjutkan perjalanan saja Tak perlu menggubris mereka. Toh, kita tidak
memiliki urusan apa-apa dengan mereka,” sergah Guruhdadi sambil menggaruk-garuk
kudis di kakinya yang juga dipenuhi koreng. “Ayo”
Keempat lelaki yang lain
menyetujui saran Guruhdadi. Kini mereka mulai melangkah beriringan lagi di
lereng setapak. Tapi baru tiga langkah, terdengar lagi suaru berat Hakim Tanpa
Wajah.
“Karena itu, setelah menimbang
dan menilai, maka kuputuskan kalau kalian harus menerima hukuman mati di Neraka
Perut Bumi”
Diawali bunyi gelepar jubah
hitamnya, Manusia Dari Pusat Bumi melompat ringan untuk menghadang Lima Gembel
Busuk. Dan tanpa basa-basi lagi, pemuda keturunan siluman itu mengirim tamparan
keras ke arah seorang dari Lima Gembel Busuk.
Wuuuk
Damarsuta, lelaki pincang yang
diserang, tahu kalau tamparan itu bisa meremukkan rahangnya dalam sekejap. Maka
tubuhnya langsung saja dilempar ke belakang, melewati keempat kawannya yang
beriringan.
Tak berhasil menghajar
Damarsuta, Manusia Dari Pusat Bumi maju setindak. Kini dirangseknya Kamajaya
dengan sebuah sapuan kaki deras ke bagian leher. Berbeda dengan Damarsuta yang
tak begitu siap, Kamajaya mencoba menyambut kaki pemuda itu dengan tangkisan
tangan.
Tak
Benturan keras kontan terjadi.
Akibatnya, Kamajaya terdorong ke sisi. Wajahnya menampakkan kesakitan luar
biasa. Betapa tak dinyana kalau lawan yang demikian muda memiliki tenaga luar
begitu kuat Bahkan pergelangan tangan yang digunakan untuk menangkis tadi,
terasa bagai remuk. Itu baru tenaga luar. Lantas, bagaimana lagi kalau tenaga
dalamnya sudah dikeluarkan?
Kemampuan Manusia Dari Pusat
Bumi memang tak diragukan. Pada usia satu bulan setelah bisa berlari lincah
serta tubuh yang mulai ditumbuhi otot kenyal, Hakim Tanpa Wajah sudah
menurunkan ilmu-ilmu kesaktiannya. Yang paling awal diturunkan adalah beberapa
rangkaian jurus berisi tenaga luar.
Keyakinan sang Guru pada
keajaiban si Bocah ternyata tak lari dari harapan. Seperti orang rakus, bocah
itu melalap jurus-jurus sakti bertenaga luar yang diturunkan padanya.
Kemampuan yang mengagumkan itu
memancing keinginan Hakim Tanpa Wajah untuk segera menurunkan ilmu-ilmu lain
yang setingkat lebih tinggi.
Pada tingkatan berikutnya,
apa-apa yang diturunkan sang Guru pun habis dilalap tanpa kesulitan. Maka,
Hakim Tanpa Wajah pun jadi demikian girang. Untuk melampiaskan rasa senangnya
yang membludak itu, kembali diturunkannya ilmu yang lebih tinggi. Begitu
seterusnya, sehingga si Bocah Ajaib menguasai ratusan jurus-jurus sakti serta
tata cara pengolahan tenaga secara ampuh. Sementara itu, dengan cepat pula si
Bocah tumbuh layaknya pemuda dewasa.
“Hiaaa”
Kamasetya kalap melihat
saudaranya dapat dibuat hilang keseimbangan oleh pemuda kemarin sore.
Setelah menahan tubuh Kamajaya
yang oleng ke samping, Kamasetya maju ke muka. Bersama wajah penuh ancaman,
dihantamnya pemuda itu dengan kepala kurusnya.
Bet
Pukulan cepat Kamasetya
seperti menerkam angin. Pemuda itu cepat melengoskan tubuhnya tanpa dapat
disentuh kepalan Kamasetya. Betul-betul gerakan teramat lincah yang pernah
ditemukan Kamasetya selama menjadi tokoh disegani wilayah timur, bersama
keempat kawan dan saudaranya.
Sekejap berikutnya, justru
Kamasetya yang harus pontang-panting menghindari serangan balasan Manusia Dari
Pusat Bumi. Sama dengan saudaranya, dia juga bertanya-tanya dalam hati. Siapa
sesungguhnya pemuda belia berwajah bengis yang sebenarnya sulit dipercaya jika
memiliki gerak dan tenaga setangguh itu? Terlebih, sewaktu mata Kamasetya
menangkap sepasang taring runcing di sudut bibir pemuda itu. Hatinya tanpa
sadar tergedor.
Sekali lagi dia tak percaya
ada manusia memiliki taring seperti hewan buas, serta sepasang mata seekor
macan hutan
Sewaktu benak Kamasetya
disarati keheranan, satu babatan tangan cepat siap merontokan iganya.
Weeet
“Kamasetya awaaas”
Kamajaya yang masih berdiri
tak jauh darinya langsung berguling dijalan lereng bukit menuju tubuh adiknya.
Setibanya di dekat Kamasetya, dia bangkit dibarengi satu terkaman ke perut
Manusia Dari Pusat Bumi.
Begkh
Dua kepalan Kamajaya masuk
mentah-mentah ke perut pemuda keturunan siluman itu, memaksa tubuhnya terlempar
deras tanpa ampun. Saat ambruk, Kamasetya yakin kalau pemuda itu tak akan
sanggup bangkit lagi. Pukulan seperti itu juga pernah merontokkan nyawa tiga
tokoh berilmu tinggi gerombolan begal, beberapa tahun yang lalu dalam sekali
pukul.
Tapi, dugaannya keliru. Tanpa
luka sedikit pun, pemuda berwajah menyeramkan itu bangkit seraya menggeram.
Suaranya menerabas, hingga sampai ke sudut nyali.... *** 5
Sebuah kedai kini sepi
pengunjung. Memang, waktu makan siang sudah lewat sekian lama. Para buruh
bandar, atau para pendatang dari Gujarat, Cina, dan Arab yang biasa singgah
untuk makan, sudah kembali semua ke bandar. Kebetulan, kedai itu berada tak
begitu jauh dari pusat niaga ini.
Dua orang pelayan wanita
tengah membersih-bersihkan meja bekas makan para pengunjung.
Kedua wanita yang sama-sama
cantik ini berkebaya agak ketat dengan kain sepanjang lutut. Masing-masing
kebaya berwarna merah, dan hijau. Dalam kerja santai seperti ini, sesekali
mereka bergurau. Tak jarang pula keduanya bergunjing tentang segala hal.
Tawa mereka yang lembut,
terkadang memenuhi ruang kedai.
Belum habis canda mereka,
masuk seorang
pemuda tampan menawan.
Rambutnya tak teratur, panjang sampai bahu. Seperti salah seorang wanita
pelayan, baju pemuda itu juga hijau. Begitupun celananya. Pada bahunya yang
tegap, tersampir selembar kain bercorak catur. Sambil menguap berkepanjangan,
kakinya melangkah acuh ke sebuah meja. Tentu saja, pemuda ini adalah Andika
alias Pendekar Slebor.
“Ssst... Ni Warsih..., kau
sudah janji dengan seseorang, ya?” tukas wanita berkebaya merah, menegur
rekannya yang kebetulan membelakangi Andika.
“Janjian?” tanya wanita yang
dipanggil Ni Warsih, heran.
“Itu lho” wanita berkebaya
merah mengerling ke arah Andika.
Mendapat isyarat mata itu, Ni
Warsih berbalik mengikuti pandangan mata rekannya. Dan matanya bertemu dengan
pemuda tampan menggetarkan hati.
“O, Gusti...,” bisik Ni
Warsih.
Mata Ni Warsih terbelalak pada
rekannya. Tangan kanannya yang masih memegang serbet kotor, diletakkan di dada.
“Kenapa Ni Warsih?” tanya
wanita berkebaya merah sambil tertawa kecil.
“Itu betul-betul manusia, ya?
Kenapa tuampuan sekali...,” kata Ni Warsih setengah berbisik. “Aduh, rontok
juga jantungku....”
“Itu bagianku, ya?” serobot
wanita berkebaya merah.
“Eee.... Enak saja, Kau
Ningsih Mau nyerobot rejeki orang?”
“Hi... hi... hi”
Wanita berkebaya merah yang
dipanggil Ningsih cengengesan.
Di sisi lain, Andika merasa
tak enak hati dibicara-an seperti itu.
“Ehem..., ehem” Andika
mendehem.
“Nah, lo...,” ujar Ningsih
menakut-nakuti Ni Warsih.
“Sana kamu layani Katanya
rejekimu....”
“Aduh.... Bagaimana, ya? Kok,
aku jadi dag-dig-dug gitu lho”
“Wajahmu juga mulai merah
matang.... Nah
Sekarang, malah mulai biru....
Merah lagi...,” goda Ningsih.
“Masa'... masa'?”
“Iya Sumpah, biar disambar
geledek bareng- bareng”
“Kalau gitu, kamu saja yang
melayani dia, ya?”
“Wah.... Ketiban bulan
aku....”
Wanita berkebaya merah
menampakkan
kecerahan di wajahnya. Baru
saja dia mulai beranjak, Ni Warsih menahannya.
“E-e, biar aku saja”
Ni Warsih mendahului Ningsih
menuju Andika.
Wanita itu jadi terlihat
kampungan sekali, sewaktu berlari terburu-buru. Cetusan antara perasaan gembira
meluap bersama kegugupan.
“Kang mau...?”
Tenggorokan Ni Warsih mendadak
tersekat.
Ucapannya terputus sebelum
selesai. Lalu dia tertegun seperti orang bodoh di sisi Andika. Mulutnya
megap-megap ingin berkata, tapi tidak bisa.
“Mau apa?” kata Andika.
“Mak... maksud saya, Kakang
mau mesan apa?”
Andika menatap lurus-lurus
sepasang bola lentik Ni Warsih. Dan ini membuat wanita itu makin gugup.
Dadanya jadi terasa sesak.
“Kalau memesan Nisanak sendiri
boleh?” goda Andika sambil mengerling.
Mendadak saja Ni Warsih tambah
megap-megap, semakin parah. Selanjutnya.... Bruk
Wanita itu ambruk, semaput
dengan mata
terbelalak ke atas. Tinggal
Andika yang hanya bisa garuk-garuk kepala. Cepat Ningsih menubruk rekannya,
untuk menyadarkan. Sebentar saja, Ni Warsih siuman.
Ni Warsih kini dibawa masuk
oleh Ningsih. Meski sudah siuman, tapi sama sekali belum bisa bangun.
Kakinya masih lemas. Sampai
Ningsih muncul, Ni Warsih belum menampakkan batang hidungnya kembali. Maka
'Rejeki' Ni Warsih pun diambil alih oleh wanita berkebaya merah ini.
Dilayaninya Andika dengan mata terus melirik-lirik nakal. Dasar perempuan
Sewaktu Andika mulai menyantap
hidangan, dua lelaki asing masuk. Tidak hanya asing, keduanya juga ganjil.
Seorang tampak begitu rua renta. Bertopi pandang lusuh, serta berpakaian
tambalan di sana-sini. Meski agak bongkok, jalannya tetap sigap. Alis matanya
tampak memanjang, hingga menutupi kelopak mata dengan warna putih.
Seorang lagi membuat Ningsih
hampir menjerit ketakutan kalau tidak segera mendekap mulut.
Bagaimana wanita itu tidak
terkejut? Ternyata orang itu ditumbuhi bulu lebat di sekujur tubuhnya. Dikira
ada orang utan mau makan siang di tempat ini.
Dari pintu masuk, kedua
laki-laki aneh itu sudah tampak tak akur. Satu sama lain saling mengomel tak
karuan. Lelaki berbulu, terus saja menghardik-hardik kasar. Sementara, yang
lain berbicara ngalor-ngidul, seolah-olah tak mendengarkan teriakan keras
lelaki di sebelahnya. Terkadang pula dia balas membentak, setelah itu acuh
kembali.
Andika tak peduli pada kedua
lelaki tadi. Pemuda itu terus melahap makanan penuh selera. Cara makannya
seperti orang yang baru bertemu makanan selama tiga hari. Tak ada lagi tata
cara kesopanan buat pemuda itu. Kakinya diangkat, duduk bersila di bangku
panjang tempatnya duduk. Mangkuk air tempat mencuci tangan pun tak disentuhnya,
meski tangan yang dipakai untuk meraup nasi ke mulut bisa dibilang dekil. Apa
mau dikata? Memang begitulah si Pendekar Slebor.
Dua lelaki yang baru datang
sudah mengambil tempat di satu sudut kedai, berhadap-hadapan dengan meja
Andika. Lelaki tua yang tak lain Pendekar Dungu itu sudah duduk dengan wajah
bodoh di kursi panjang. Sepertinya, dia tak tahu apa yang harus dilakukannya
dalam kedai. Berbeda orang yang satu lagi, yang tak lain Lelaki Berbulu Hitam.
Kawan seperjalanan Pendekar
Dungu yang pernah menjadi lawan tangguhnya dulu malah terus memaki-maki sambil
mengitari meja makan.
“Sudah kubilang Jangan urus
perutmu dulu, sebelum kita temukan orang itu, Dungu” hardik Lelaki Berbulu
Hitam dengan urat leher tertarik.
“Pantas saja otakmu jadi
bebal. Karena, yang kau pikirkan hanya makan”
Pendekar Dungu melirik sejenak
pada lelaki kalap tadi. Lalu, matanya kembali tertegun-tegun ke arah meja
makan.
“Jangan berlagak bodoh Kau
pasti dengar ucapanku” sambung Lelaki Berbulu Hitam.
Namun, setelah itu Lelaki
Berbulu Hitam
menampar keras-keras kening
sendiri.
“Siapa bilang dia berlagak
bodoh Memang dari dulu sudah bodoh” gumam laki-laki berbulu itu.
Karena wataknya yang keras,
gumamannya pun tak terdengar seperti gumaman. Bagi yang mendengarnya, gumaman
itu dianggap teriakan.
“Dunguuu Kita mesti keluar
dari tempat celaka ini” seru Lelaki Berbulu Hitam tak tanggung-tanggung.
Kekesalannya yang memuncak, telah membuatnya mengerahkan tenaga dalam bersama
teriakannya.
Saat itu juga, dinding kayu
kedai bergetar dan retak. Meja dan kursi terangkat mendadak. Piring-piring
tanah liat di meja Andika juga ikut menjadi korban. Semuanya pecah berpetalan.
Sementara wanita pelayan di ruang dalam kedai langsung mendekap telinga
masing-masing dengan wajah menahan sakit.
Sedangkan Andika tetap tenang,
meski telinganya sempat terasa nyeri. Tanpa kentara, Pendekar Slebor
menyalurkan hawa murni ke gendang telinga untuk meredam tenaga dalam kuat yang
mencoba
merangsek ke dalam. Di samping
itu, Andika juga mengirim hawa murni ke ruang dalam kedai, agar gelombang
teriakan hebat Lelaki Berbulu Hitam tidak begitu mencelakakan dua pelayan
wanita di sana.
Setelah berteriak kalap,
Lelaki Berbulu Hitam agak menurun kemarahannya. Kakinya melangkah menghampiri
kursi di depan Pendekar Dungu dengan bersungut-sungut. Dengan rasa kesal,
didudukinya kursi itu. Baru saja tubuh gempalnya turun pada kursi....
Bruk
Kursi kayu kontan terbelah
dua, membuat Lelaki Berbulu Hitam terjatuh duduk di lantai kedai.
Salahnya sendiri. Teriakan
bertenaga dalamnya tadi, telah membuat kursi kayu itu retak. Sewaktu dibebani
tubuh besarnya, tentu saja tak kuat lagi bertahan.
“Siaaal”
Lelaki Berulu Hitam berteriak
kuat-kuat lagi. Tapi lagi-lagi dia harus menelan getah dari perbuatannya.
Langit-langit kedai yang
memang sudah keropos segera berjatuhan. Pecahannya sebagian masuk tanpa permisi
ke mulutnya yang lebar.
“Afh... glek”
“Astaga Rupanya kau telah memesan
makanan lebih dahulu Dasar culas Kenapa tak ajak-ajak aku makan?” maki Pendekar
Dungu, sewaktu telinganya menangkap suara mulut Lelaki Berbulu Hitam menelan
sesuatu.
Lelaki gempal berbulu yang
terduduk di lantai, mendelik mata sebesar-besarnya. Ucapan lugu Pendekar Dungu
terdengar di telinganya sebagai hinaan. Tak lama kemudian, Lelaki Berbulu Hitam
mulai mengomel-ngomel lagi. Mulai dikitarinya meja tempat Pendekar Dungu sambil
berkacak pinggang serta mencak-mencak serabutan.
Belum habis omelan Lelaki
Berbulu Hitam masuk lagi seorang nenek-nenek peot berpunuk besar, seperti
seekor onta. Rambutnya putih panjang.
Karena terlalu panjang, rambut
itu terseret-seret menyapu lantai kedai. Wajah nenek tua ini bukan hanya
keriput, tapi sudah begitu kendor. Pipinya menggelantung ke sisi rahang.
Matanya tak kalah parah, memutih tanpa warna hitam lagi. Sementara, bibirnya
yang berkerut-kerut, terus saja memamah sirih. Sesekali disekanya cairan sirih
di sudut bibir dengan lengan baju yang berwarna jingga terang kebesaran.
“Ugh..., uhugh... ugh”
Nenek itu terbatuk-batuk.
Dilewatinya meja Andika tanpa mau ambil pusing untuk menegur. Tanpa rasa
bersalah, air sirih kental di mulutnya diludahkan sembarangan. Masih wajar
kalau singgah di bawah meja Andika. Tapi, air sirih menjijikkan itu justru
mampir di bibir gelas bambu tempat minum pemuda ini.
Pendekar Slebor jadi
mendengus. Pangkal
hidungnya kontan terlipat.
Kalau saja bukan orang lanjut usia yang berbuat seperti itu, sudah disodoknya
mulut orang itu dengan kepalan
Dua meja setelah tempat
Andika, nenek itu mendapat tempat yang dianggap cukup nyaman. Dia duduk
menghadap jendela besar sebelah timur, sehingga angin menyapu wajah kendornya.
Wajahnya bagai dibelai-belai, hingga matanya berkedip-kedip lamban seperti orang
sekarat. Sebentar kemudian, nenek itu sudah merebahkan diri melepaskan
dengkurnya yang keras.
“Sebenarnya, nenek sial ini
hendak makan atau hanya numpang tidur,” gerutu Andika, merasa terusik
kenyamanannya.
Betapa tidak terusik? Sudah
piring-piringnya hancur oleh teriakan sinting Lelaki Berbulu Hitam, gelas
bambunya disinggahi benda nyasar, kini ada pula senandung yang sungguh mati tak
sedap masuk telinga.
Sementara Lelaki Berbulu Hitam
tak bosan-bosannya mencaci maki Pendekar Dungu, nenek tua yang tak kalah
bangkotan tadi dengan tenang menikmati mimpinya. Sirih di mulut peot itu tak
juga dibuang. Air liur berwarna merah sirih pun mulai mengalir lambat tanpa
dosa.
Andika sudah tak tahan lagi.
Seacuh-acuhnya pemuda ini, tak akan bisa menahan jijik kala menatap air liur
kental itu. Nasi yang tersisa beberapa kepal lagi di piringnya yang sebagian
masih utuh ditinggal begitu saja.
“Niii” panggil Andika pada
pelayan.
Pelayan wanita berkebaya merah
keluar tergopoh-gopoh ke arahnya. Wajahnya masih tetap berkerut ketakutan.
Sedang matanya tak berani sedikit pun melirik ke arah para tamu lain, kecuali
Andika.
“Ada apa, Kang?” tanya Ningsih
pada Andika.
“Kenapa orang-orang sinting
itu tidak dilayani?”
tanya Andika. Dia ingin, agar
para pengunjung aneh itu cepat-cepat diam karena sibuk dengan makanan yang
dihidangkan.
“Mana aku berani melayani
kalau mereka sinting,”
bisik Ningsih dengan
mendekatkan mulut ke telinga Andika.
“Siapa yang bilang mereka
sinting?” tanya Andika bingung.
“Lho? Kakang tadi bukan bilang
begitu?”
“Aku tadi hanya dongkol. Jadi
kusebut mereka sinting,” tandas Andika tanpa hendak menurunkan suara.
“Siapa yang sinting?”
Mendadak saja, Lelaki Berbulu
Hitam, tokoh kelas atas yang ditakuti pada zamannya, berseru murka.
Hatinya kontan tersinggung
pada ucapan Andika.
Memang, hanya orang tuli yang
tak mendengar ucapan pemuda urakan yang cukup keras tadi.
Sementara wanita berkebaya
merah itu langsung terlonjak kaget. Dia hampir meloncat, karena begitu
kagetnya. Matanya terbelalak, sedang mulutnya terbuka lebar. Jangan ditanya,
bagaimana pucat pasinya wajah Ningsih saat itu.
“Siapa yang sinting?” ulang
Lelaki Berbulu Hitam.
Dihampirinya Pendekar Slebor
dengan langkah berdebam-debam.
Namun, pemuda yang didekati
hanya tersenyum-senyum menikmati kekalapan lelaki berpenampilan bagai orang
utan itu. Sementara, pelayan wanita berkebaya merah sudah terbirit-birit ke
dalam sejak tadi. Masih bagus kalau tak terkencing-kencing di celana.
“Kau yang barusan bilang aku
orang sinting?”
tanya Lelaki Berbulu Hitam,
tak merasa harus sopan sedikit pun. Matanya sudah mendeliki Andika. “Aku tidak
bilang begitu,” sangkal Andika. “Yang kukatakan, kalian bertiga....”
“Kenapa kami bertiga?”
“Ya, sinting....”
“Pemuda busuk tak tahu adat”
Lelaki Berbulu Hitam seketika
meniup serakan piring di meja Andika. Pecahan piring pun berhamburan secepat
kilat ke wajah Pendekar Slebor.
Sungguh suatu pamer kekuatan
yang mengagumkan
Andika yang merasa mendapat
tantangan adu kekuatan, dengan sigap meniup kembali pecahan piring itu ke arah
lelaki di depannya. Mula-mula, pecahan piring itu berhenti di udara. Dan sesaat
kemudian berbalik meluncur ke wajah Lelaki Berbulu Hitam.
Di tengah jalan, pecahan
piring tanah liat itu tertahan lagi. Bukan karena ulah Lelaki Berbulu Hitam.
Nyatanya, mulut laki kasar itu memang belum lagi tampak bergerak. Lalu, siapa
yang usil ingin ikut campur adu kekuatan yang dimiliki orang-orang kalangan
atas itu? *** 6
Sementara itu di bukit karang,
di mana Lima Gembel Busuk dihadang Manusia Dari Pusat Bumi.
Pertarungan satu lawan lima
telah memasuki jurus ke sembilan puluh.
Sebenarnya, Lima Gembel Busuk
sanggup
membuat tekanan pada pemuda
itu. Pukulan tangan mereka serta hantaman tongkat milik si Pincang,
berkali-kali menjebol benteng pertahanan Manusia Dari Pusat Bumi. Namun sampai
sejauh itu, Manusia Dari Pusat Bumi mampu meredam seluruh hajaran di tubuhnya
dengan cara aneh.
Lima Gembel Busuk benar-benar
tak habis pikir, kenapa pemuda itu seperti memberi kesempatan pada mereka untuk
mendaratkan pukulan atau hantaman. Dan sewaktu mereka merasakan satu sengatan
luar biasa setiap kali berhasil mendaratkan serangan, barulah disadari.
Sudah berkali-kali pukulan
tokoh ternama dari wilayah timur itu berhasil memakan bagian demi bagian tubuh
Manusia Dari Pusat Bumi. Namun, yang semakin melemah justru keadaan tubuh
mereka.
Tenaga lima lelaki ini seperti
disedot oleh kekuatan tak terlihat sebagian demi sebagian.
Meski agak terlambat,
Kamajaya, orang yang paling berpengaruh di antara mereka, segera memberi
aba-aba.
“Hentikan serangan” seru
Kamajaya cepat. “Kita akan kehabisan tenaga kalau terus mendaratkan serangan ke
tubuhnya” Di lain tempat, Hakim Tanpa Wajah ikut terkejut dengan kemampuan tak
terduga murid tunggalnya.
Selama ini, dia hanya menurunkan
ilmu-ilmunya yang diserap secara baik. Kalupun pemuda ini belum begitu lihai
memainkan setiap jurus ajaran Hakim Tanpa Wajah, penyebabnya hanya karena
usianya yang terlalu hijau. Sehingga, dia belum begitu berpengalaman dalam
medan tempur. Dengan kemampuan di luar dugaan tadi, Manusia Dari Pusat Bumi
justru memanfaatkan kekurangannya untuk menguras tenaga lawan.
“He... he... he Pintar, Bocah
Bagus Kau memang murid yang bisa diandalkan Ada baiknya kau tidak hanya menjadi
muridku, tapi sekaligus jadi seorang
'Penuntut Pengadilan Perut
Bumi'. He... he... he” kata Hakim Tanpa Wajah dari tempatnya berdiri.
Bukan main berbunganya hati
lelaki bangkotan itu menyaksikan para calon orang hukumannya mundur teratur,
menghadapi pemuda hijau yang sesungguhnya baru berusia teramat muda.
Di kancah pertarungan, lima
Gembel Busuk sudah bersiap-siap memainkan jurus andalan 'Benteng Angin'.
Mula-mula, lima lelaki itu mengatur keberadaan masing-masing dalam bentuk
lingkaran lima belas tombak di sekitar pemuda itu. Setapak demi setapak, mereka
maju dengan langkah teratur dan pasti menuju pusat sasaran serangan. Ketika
tinggal sekitar tiga tombak lagi, mereka serempak mengerahkan kembangan jurus
masing-masing, seolah hendak membingungkan lawan. Lalu pada waktunya, tenaga sembrani
mereka dilepaskan dari kedua belah telapak. Tenaga yang sanggup membuat mereka
menggabungkan tenaga pada telapak tangan langsung membentuk lingkaran,
mengurung Manusia Dari Pusat Bumi seperti gelang tembus pandang.
Dinginnya wajah Manusia Dari
Pusat Bumi tak berubah sediki pun menghadapi jurus andalan yang amat kesohor di
wilayah timur itu. Selama 'Benteng Angin' dipergunakan Lima Gembel Busuk, belum
ada seorang lawan pun yang sanggup mengungguli. Tapi bagi lelaki belia
berperawakan manusia berusia dua puluh limaan itu, mungkin hanya mainan tak
berarti.
“Heaaa”
Adu kedigdayaan dimulai
kembali. Manusia Dari Pusat Bumi membuat terjangan lebih dahulu. Hatinya sudah
tak sabar ingin segera menyelesaikan pekerjaan. Yang jadi sasaran pertama
adalah si Pincang. Jurus yang diturunkan gurunya mulai dikerahkan pada tingkat
yang sulit ditandingi.
Delapan puluh tahun yang lalu,
jurus itu pernah menjatuhkan berpuluh-puluh tokoh jajaran atas. Pada waktu itu,
jika Hakim Tanpa Wajah sudah merangsek dengan kaki menjejak-jejak dengan bumi
penuh tenaga, maka para lawannya seketika menjadi gentar.
Karena mereka tahu kalau dia
telah memainkan jurus
'Tenaga Sakti Pembelah Bumi'.
Setelah sekian lama terkubur
masa, jurus tangguh itu tak lagi muncul. Orang pun tak pernah lagi melihatnya
seperti tak pernah lagi melihat Hakim Tanpa Wajah. Kalaupun masih ada yang
mengenali jurus itu, hanya terbatas pada tiga saingan utama Hakim Tanpa Wajah.
Yakni, Pendekar Dungu, Raja Penyamar, dan Lelaki Berbulu Hitam.
Namun begitu, tak luput dari
kelima lawannya bertanya-tanya heran. Jurus apa yang bisa membuat permukaan
tanah bergetar seperti ada seekor naga raksasa sedang bergeliat di dasar bumi?
***
Jauh di tempat lain, tepatnya
di sebuah kedai bandar, adu kesaktian para tokoh jajaran atas yang bertemu di
satu tempat tanpa sengaja, berlangsung makin hangat. Dua orang sudah dikenal
sebagai Lelaki Berbulu Hitam dengan Pendekar Dungu.
Keduanya adalah tokoh dari
zaman yang jauh berbeda dengan orang ketiga yang dikenali sebagai Pendekar Slebor.
Sedangkan tentang nenek bongkok berpunuk, belum ada seorang pun yang tahu
tentang dirinya.
Ketika itu, Andika maupun
Lelaki Berbulu Hitam disentak oleh keusilan seseorang. Pecahan piring yang
meluncur ke wajah Lelaki Berbulu Hitam akibat ditiup balik Andika, mendadak
saja berhenti di udara.
Sudah pasti ada seseorang yang
mengirim tenaga dalamnya yang tak kalah hebat.
Pendekar Slebor serta Lelaki
Berbulu Hitam yang memang memiliki indera tajam, segera saja bisa mengendus
orang yang berbuat usil. Orang itu duduk menyender pada sisi meja, terpulas
dengan liur bercampur sirih. Siapa lagi kalau bukan si Nenek Bongkok. Dengan
dengkurnya, diam-diam tenaga dalamnya yang sudah sangat tinggi disalurkan ke
arah pecahan piring. Alhasil, kepingan-kepingan kecil tanah liat itu pun
tertahan di udara.
“Siaaal”
Lelaki Berbulu Hitam mulai
sewot lagi.
Kemarahannya kali ini
berpindah ke nenek bongkok.
“Kau jangan sok ikut campur,
Perempuan Peot”
hardik Lelaki Berbulu Hitam
garang. Matanya mendelik-delik buruk kepada nenek bongkok yang tetap
mendengkur. “Kau mau bibirmu yang sudah mirip gombal itu kusumpal dengan
pecahan piring, ya?”
Dan seketika itu pula Lelaki
Berbulu Hitam menggerakkan tangannya, hendak menyambar benda-benda kecil tajam
itu di udara. Tapi sebelum tangannya sampai, pecahan-pecahan itu melayang lebih
cepat ke atas, kemudian berhenti kembali setelah naik sekitar satu depa.
Sekali lagi, Andika tersentak.
Bukan karena tak tahu siapa yang berbuat hal itu. Justru dia tersentak setelah
menyadari kalau di sekitarnya kini hadir tiga orang yang tingkat kepandaiannya
tak terukur. Kalau tadi si Nenek Bongkok menahan tiupan tenaga dalamnya pada
pecahan piring hanya dengan mendengkur, kini pecahan-pecahan tanah liat kering
itu dipindahkan ke atas, dalam keadaan tetap melayang oleh Pendekar Dungu di
sudut ruangan dengan mengipas-ngipaskan topi pandannya secara santai
Kini giliran Pendekar Dungu
mendapat jatah pelototan mata Lelaki Berbulu Hitam.
“Kau juga jangan ikut-kutan
latah, Dungu” bentak Lelaki Berbulu Hitam.
“Aku tidak mau 'ikut-ikut'.
Makanan macam apa itu? Aku hanya mau makan nasi biasa,” tukas Pendekar Dungu
acuh tak acuh.
“Kenapa kau tak panggil
pelayan saja?”
“Jangan, jangan dipanggil.
Biar aku tunggu pelayan itu memanggilku saja...”
“Goblok Kau pikir, mau makan
apa cari pelacur”
“Aku mau cari nasi biasa Sudah
kubilang tadi, bukan?”
“Gggeeehhh....”
Lelaki Berbulu Hitam menggurutukkan
gigi-giginya sendiri. Rahangnya sampai seperti membengkak, karena begitu
jengkel dengan kebodohan Pendekar Dungu.
Sementara Andika
celingak-celinguk sendiri. Dia tak habis mengerti, apa yang sesungguhnya
diributkan kedua lelaki ganjil itu? Dan kenapa pula si Nenek Bongkok
usil-usilannya menjahili? Seolah-olah, pemuda itu sedang disuguhkan satu adegan
sandiwara rakyat yang penuh guyonan. Sesekali matanya memperhatikan Pendekar
Dungu di sudut kedai. Saat yang lain, diperhatikannya Lelaki Berbulu Hitam yang
belum juga beranjak di dekat mejanya.
Juga, diawasinya si Nenek
Bongkok yang tetap pulas seperti bayi, seakan-akan suara menggelegar-gelegar
Lelaki Berbulu Hitam tak pernah bisa mengusiknya.
“Para orang tua Sebelum kalian
melanjutkan pertengkaran, bolehkah aku yang muda ini tahu, siapa kalian
sebenarnya?” selak Andika, memotong makian panjang-panjang Lelaki Berbulu
Hitam.
“Apa pedulimu” tandas Lelaki
Berbulu Hitam.
“Wah Kalau namaku, aku tahu.
Tapi kalau nama kalian...? sahut Pendekar Dungu sambil berpikir beberapa saat.
Setelah itu, dia menggeleng lamban.
“Nyem... nyem... grrr...
suiiittt...,” Nenek bongkok pun ikut menjawab dengan caranya sendiri.
Andika meringis. Dirinya yang
slebor pun dibuat berdecak-decak oleh sikap ketiga orang itu. Apalagi orang
yang waras? Bisa-bisa langsung ngacir dari tempat ini
“Maksudku, mungkin aku bisa
membantu kalian,”
ralat Andika.
“Aku tak perlu bantuanmu,
Bocah” sentak Lelaki Berbulu Hitam.
“Ya, Anak Muda. Mana mau
manusia keras kepala itu dibantu. Di samping keras kepala, dia juga tinggi
hati. Pertolongan orang lain selalu dianggapnya hinaan,” selak nenek bongkok,
tanpa sedikit pun membuka kelompak mata keriputnya. Setelah itu, dia meludah.
“Cuih”
Cairan berwarna merah dari
mulut nenek itu terbang cepat, menuju kepingan-kepingan bekas piring yang masih
melayang di atas, karena dikendalikan tenaga dalam Pendekar Dungu. Ludah kental
itu langsung menyebar ke beberapa arah, menggasak habis pecahan tanah liat
keras, lalu mendorongnya kuat ke dinding kedai. Seketika lubang-lubang sebesar
jari manusia tercipta, karena kekuatan dalam dari setiap pecahan itu.
“Sudah kubilang, kau tak usah
ikut campur, Nenek Peot Sudah tidak pantas bagimu ikut bermain-main seperti
ini”
Lelaki Berbulu Hitam berpindah
tempat. Dihampirinya nenek bongkok dengan wajah menyeringai-nyeringai merah.
Setibanya di sisi meja, Lelaki
Berbulu Hitam menjatuhkan tangannya tanpa tenaga. Belum lagi tangan itu sampai
ke permukaan meja, papan dari kayu setebal seperempat jengkal itu terpatah dua
bagian Lagi-lagi, dia hendak pamer kekuatan.
“Huuuaaah” si Nenek Bongkok
menguap lebar-lebar. Gulungan sirih tersembul di antara kuapan mulutnya. “Itu
kekuatan yang sudah ketinggalan zaman buatku, Monyet.”
“Kau bilang aku apa?” bentak
Lelaki Berbulu Hitam kuat-kuat di depan hidung si Nenek Bongkok.
“Kau tak suka kukatakan
monyet? Baik, memang mestinya kau kusebut biang monyet....” Lelaki keturunan
serigala itu tak bisa lagi menguasai diri. Itulah sifatnya yang sulit hilang,
meski telah menjalani tapa selama puluhan tahun. Itu pula yang menjadi masalah
utama bagi dirinya. Tapi dibanding dulu, sekarang ini Lelaki Berbulu Hitam
termasuk sabar. Sebelum menyembunyikan diri selama puluhan tahun, seseorang
akan langsung dikepruknya hingga mampus jika sekali saja menyindirnya.
“Biar mampus kau, Nenek
Keropos”
Berbareng makian kasar, tangan
besar Lelaki Berbulu Hitam terangkat cepat tinggi-tinggi. Sebelum benar-benar
sampai ke puncak, tangan itu sudah menukik deras ke kepala nenek bongkok.
Telapak tangannya terbuka lebar, seperti sebatang pacul siap memburai lumpur
sawah
Wuk Prak
Ubun-ubun nenek bongkok
benar-benar telak terkepruk oleh telapak tangan lebar milik Lelaki Berbulu
Hitam. Andika sendiri sampai hendak bangkit, untuk menahan tangan itu. Pendekar
Slebor yang kesohor ini tahu, keprukan itu tak bisa dianggap remeh. Batu karang
sebesar kerbau saja belum tentu sanggup bertahan. Apalagi kepala rapuh si Nenek
Bongkok.
Tapi, kenyataan yang terjadi
malah jauh di luar perkiraan. Sesudah tertimpa tangan besar Lelaki Berbulu
Hitam, si Nenek Bongkok menggaruk ubun-ubun. Bahkan bibirnya yang lusuh
mengembangkan senyum melecehkan.
“Sudah kubilang, tenagamu
sudah ketinggalan zaman. Itu tadi untuk membunuhku, atau untuk membunuh
kutu-kutu di kepalaku?”
Siapa yang tak panas dikatakan
seperti itu? Apalagi, bagi lelaki berperawakan seram ini.
Telinganya serasa disodok
sebatang besi panas.
Darahnya langsung bergejolak.
Sifat-sifat seekor serigala yang mendekam dalam tubuhnya pun terusik. Layaknya
serigala murka, mulutnya menyeringai. Untung saja wajahnya tak serupa binatang
buas itu.
“Grrr...” geram Lelaki Berbulu
Hitam sangar. Si Nenek Bongkok tetap tenang, memperhatikan seluruh tingkah
calon lawannya. Tidak tahu, apakah lelaki yang berada dalam puncak kemarahan
itu dipedulikan atau tidak. Yang jelas, dia terus saja memamerkan wajah
melecehkan. Tangannya berbalut kulit keriput memain-mainkan gulungan sirih di
sudut bibir.
Tak perlu ada yang
memanas-manasi, pertarungan memang akan segera pecah.
“Wah Urusan jadi runyam,”
gumam Andika
perlahan sekali di mejanya.
“Kalau orang seperti mereka bertarung di kedai ini, bisa porak-poranda seluruh
isinya....”
Untung saja yang ditakutkan
Andika tidak terjadi.
Si Nenek Bongkok rupanya masih
punya sedikit perasaan pada nasib sumber rejeki orang lain.
Dengan terseok-seok tubuhnya
diangkat dari kursi panjang.
“Tempat ini terlalu kecil buat
kita bergurau...,” kata nenek itu sambil melenggang terbungkuk-bungkuk. *** 7
Sampai saat ini Andika tak
tahu, siapa dua manusia aneh yang siap bertukar jurus-jurus sakti di pelataran
depan kedai. Juga tentang urusan mereka masing-masing. Semuanya benar-benar tak
jelas. Yang jelas Pendekar Slebor yakin kalau tingkat kepandaian mereka berada
beberapa tingkat di atasnya.
Sementara Pendekar Dungu tetap
duduk masa bodoh di kursinya, Andika ikut keluar kedai. Tepat di pintu kedai,
tubuhnya disandarkan untuk memperhatikan segala hal dahsyat yang bakal meledak.
Di pelataran kedai, si Nenek
Bongkok berdiri terbungkuk-bungkuk. Tangannya terus saja memper-mainkan
gulungan sirih dari sudut bibir yang satu ke sudut lain. Selama melihat, tak
sekalipun Andika menangkap suara tawa wanita tua ini. Andika menilai nenek peot
itu termasuk manusia bersifat dingin.
Sekitar delapan tombak di
depan si Nenek Bongkok, Lelaki Berbulu Hitam berdiri dengan sikap tak sabar
ingin melabrak lawan. Kedua tangannya terlihat meremas-remas jemari, membuat
otot-otot tangan gempal itu bermunculan. Sesekali dia menggeram dengan tatapan
mata menusuk.
“Ayo Tunggu apa lagi, Kunyuk
Bohongan?” tantang si Nenek Bongkok berbarengan dengan semburan ludah berwarna
merah ke bawah kakinya.
Tak perlu lagi banyak
basa-basi. Lelaki Berbulu Hitam langsung membuka sepertiga jurus andalan-nya.
Sudah bisa disadari kalau lawan yang bakal dihadapi tidak bisa diladeni dengan
jurus tanggung. “Grrr...”
Beriring geraman berat serta
terseret, lelaki berperawakan buruk itu menelentangkan kuku-kuku jari tangannya
di depan wajah. Sesaat setelah terdiam, napasnya dihembuskan ke kuku jari
jemarinya.
“Fhuuuh....”
Kuku panjang berwarna hitam
serta runcing seperti milik hewan buas itu makin menghitam. Sisi-sisinya tampak
berpendar kehijauan. Tak lama kemudian, asap tipis mengambang dari sana.
Wut Wut Wut
Lelaki Berbulu Hitam
menggerak-gerakkan tangannya dalam kecepatan menggila. Sepasang cakaran itu
seakan hendak menghalau udara di sekitarnya.
“Yeee.... Anak kecil ingusan
juga bisa begitu”
ledek si Nenek Bongkok.
Lelaki Berbulu Hitam tak mau
lagi mendengarkan setiap kalimat mengolok-olok dari mulut lawan.
Dengan satu tarikan napas,
diterkamnya bumi sepenuh tenaga. Tak ada yang mengerti, kenapa tindakan bodoh
itu dilakukannya. Bahkan Andika juga tidak mengerti. Tapi si Nenek Bongkok
tampaknya sudah paham betul tindakan lawannya. Maka sebelah kakinya diangkat
tinggi-tinggi, siap menanti serangan lawan selanjutnya.
Di lain pihak, tubuh besar
Lelaki Berbulu Hitam yang sudah menimpa tanah berpasir, meluncur seperti papan
di permukaan es menuju bagian bawah tubuh si Nenek Bongkok dengan sepasang tangan
mencabik-cabik ke depan.
Wuk Wuk Wuk
Ketika tinggal empat kaki dari
tubuh Lelaki Berbulu Hitam dari tempatnya, si Nenek Bongkok menghentakkan
kakinya yang telah diangkat sebelumnya kuat-kuat ke bumi.
Bammm
Seketika suara berdebam
tercipta. Sepertinya, tak ada yang istimewa dari tindakan nenek itu. Tanah yang
dihentaknya tak mengalami apa-apa. Bahkan debu pun tak terlihat mengepul. Amat
bertolak belakang dengan bunyi keras yang dihasilkannya.
Tapi, siapa nyana kalau
hentakan kaki berkesan tak berarti itu sanggup melempar tubuh besar Lelaki
Berbulu Hitam dari tanah tempatnya terseret? Dan yang terjadi memang demikian.
Lelaki Berbulu Hitam seperti disentak kekuatan dasar bumi, hingga tubuhnya
meluncur ke atas
Di udara, lelaki penuh bulu
itu terperangah.
Matanya melotot besar-besar.
Tangan dan kakinya bergerak kalang-kabut, sebelum akhirnya mampu menguasai
keseimbangan dengan memutar tubuh di udara ke samping. Dengan cara itu, dia
bisa melepaskan diri dari dorongan kuat dari bawah.
Jleg
Hanya dalam satu tarikan
napas, lelaki itu sudah berdiri tegak kembali. Sekarang, wajah murkanya sudah
terdepak entah ke mana, berganti dengan mimik keterkejutan.
“Kau...,” kata Lelaki Berbulu
Hitam terputus. Jari berbulunya menunjuk ke arah nenek bongkok.
Matanya menatap tak berkedip,
seakan sedang melihat setan memakai gincu.
“Hek... hek... hek”
Untuk pertama kalinya, si
Nenek Bongkok memperdengarkan tawa.
“Kau mulai mengenaliku?” tanya
nenek itu dengan suara tak lagi sama seperti semula. Kali ini terdengar agak
besar dan mantap. “Hanya, seorang yang bisa melumpuhkan jurus maut 'Serigala
Tak Berkaki' milikku dengan cara seperti tadi,” ucap Lelaki Berbulu Hitam nada
suaranya tak setinggi sebelumnya. “Kau pasti....”
“Ya, pasti” terabas si Nenek
Bongkok.
Tubuh bongkok nenek itu
tiba-tiba menegak. Satu demi satu dilepasnya punuk, rambut panjangnya, kemudian
wajah keriput seperti mencopot topeng.
Memang, sesungguhnya itu hanya
sekadar topeng yang dibuat begitu halus, sehingga amat mirip dengan wajah nenek
tua sesungguhnya.
Sekarang bisa dilihat wajah
dan tubuh asli si Nenek Bongkok tadi. Dia ternyata seorang kakek seusia
Pendekar Dungu. Dagunya ditutup bulu putih lebat, tak begitu panjang. Kepalanya
dibelit kain batik seperti blangkon Sunda, menutupi rambutnya yang putih tak
terlalu panjang. Seperti juga Pendekar Dungu, laki-laki tua ini pun berwajah
kerut-merut.
Namun begitu, gigi-giginya
masih lengkap. Itu terlihat sewaktu tertawa lepas. Dia mengenakan baju coklat
berkerah pendek yang tertutup rapat. Sedangkan celananya berupa pangsi warna
hitam.
“Raja Penyamar Tak kuduga kau
sudah sepeot Pendekar Dungu...,” kata Lelaki Berbulu Hitam.
“Ya Rupanya kita berjodoh
untuk bertemu lagi, meski jarak puluhan tahun telah memisahkan kita”
balas lelaki tua yang disebut
sebagai Raja Penyamar.
“Nah, sekarang cukup sudah
salam perjumpaan kita.
Aku pergi dulu...”
Lelaki tua itu lantas pergi
tanpa memberi kesempatan Lelaki Berbulu Hitam berkata lagi sepatah kata.
Kepergian Raja Penyamar cukup mengejutkan Andika. Cara perginya membuat pemuda
itu teringat pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Sama seperti wanita cantik
dan genit yang menggodanya dulu, si Tua Raja Penyamar pun berlalu cepat dari
satu tempat, ke tempat lain tanpa terlihat menggerakkan badan sedikit pun. Dan
Andika lebih terperanjat lagi, manakala hidungnya mencium wangi kembang sedap
malam sepeninggalan Raja
Penyamar.
“Astaga Jadi kakek tua itu
yang dulu menyamar menjadi wanita cantik,” bisik Pendekar Slebor. “Hi...
hi... hi.”
Andika melepas tawa kecilnya,
membayangkan dirinya berkencan dengan kakek bangkotan kalau dulu sempat
tergoda. ***
Empat hari setelah peristiwa
di kedai, Pendekar Slebor berjalan melintasi satu lereng di kaki bukit cadas.
Bertepatan dengan peristiwa di kedai, empat hari lalu pula di sana terjadi
pertempuran sengit antara Lima Gembel Busuk melawan Manusia Dari Pusat Bumi.
Mata tajam Andika langsung
menangkap tanda-tanda tak beres. Setelah menemukan beberapa lubang kasar bekas
pukulan di dinding cadas sekitarnya.
“Ada yang bertarung seru di
tempat ini belum lama, rupanya,” simpul Andika saat memperhatikan kerusakan di
dinding cadas.
Dari kedalaman lubang di sana,
Andika bisa memperkirakan kalau orang yang bertarung termasuk berkepandaian
tinggi. Kalau berkepandaian tanggung, tak mungkin mampu membuat lubang sedalam
dua jengkal di tempat yang keras seperti itu. Satu depa di sekitar lubang,
dinding cadas menjadi rapuh seperti bubuk. Pertanda kalau ada kekuatan pukulan
lain, menyebar di sekitar tangan yang menembus dinding cadas.
“Ilmu pukulan macam apa ini?
Selama ini, tak pernah kutemukan pukulan seganas ini. Angin pukulan di sekitar
tangan pemiliknya saja, sudah sanggup meremukkan cadas hingga menjadi leburan
halus,” gumam Andika, mengagumi kehebatan pemilik pukulan.
Perhatian Andika pada dinding
yang porak-poranda di beberapa bagian, terpenggal oleh suara halus di
belakangnya. Seperti desah napas terseret seseorang yang sedang sekarat. Andika
cepat menoleh. Seketika matanya melihat seorang dalam keadaan amat payah,
sedang berusaha menggerakkan tubuh dari balik sebongkah batu besar. Tak tampak
ada darah di sekujur tubuhnya. Namun dari batas bahu hingga setengah tulang iga
kanan tubuh lelaki itu tampak mengering seperti daging layu. Lelaki itu tak
lain adalah Damarsuta, anggota Lima Gembel Busuk yang berkaki pincang.
“Apa yang terjadi, Kang?”
tanya Andika, setelah bergegas menghampiri Damarsuta.
Damarsuta tak sanggup
menyahuti pertanyaan Andika. Untuk menggerakkan mulut saja sudah sulit.
Beberapa saat, dia seolah
berjuang antara hidup dan mati hanya untuk membisikkan sesuatu.
Andika cepat mendekatkan
telinga ke mulut Damarsuta.
“Hak... kim Tanpa
Waj-jahh...,” bisik Damarsuta lirih.
Setelah itu tak terdengar
apa-apa lagi. Tidak juga tarikan napas. Lelaki pincang itu mati dalam keadaan
mengenaskan. Keadaan sebenarnya sudah tak memungkinkan lagi untuk bertahan
hidup sekian lama. Namun karena tekadnya untuk memberitahu-kan seseorang
demikian kuat, nyawanya pun sanggup dipertahankan untuk beberapa lama. Empat
hari dia tersiksa hanya untuk menyampaikan kalimat pendek tadi.
Andika mengatupkan kelompak
mata Damarsuta dengan telapak tangan.
“Siapa manusia sinting bernama
Hakim Tanpa Wajah itu?” bisik Pendekar Slebor nyaris berdesis karena geram.
“Selama berkubang di dunia persilatan, julukan itu belum pernah kudengar. Tapi
kalau kutilik dari ilmu pukulan di dinding cadas, aku yakin dia tokoh jajaran
atas yang sudah cukup lama hadir di dunia persilatan. Apa mungkin orang itu
muncul lebih dulu, lalu ketika aku muncul dia menyembunyikan diri? Dan kini,
dia muncul lagi?”
Penasaran dengan petunjuk tak
jelas dari lelaki itu, Andika lalu memeriksa mayat Damarsuta. Dari baju
bertambalnya, tak ditemukan apa-apa yang bisa dijadikan petunjuk.
“Buntu,” gumam Andika lagi.
Pendekar Slebor pun bangkit
hendak pergi dari tempat itu. Sebelum benar-benar melangkah, sebuah seruan
menahannya.
“Anak muda Jangan coba-coba
melarikan diri”
Secepatnya Andika menoleh. Tak
jauh di lereng sebelah timur, tampak dua lelaki yang pernah dilihatnya di kedai
empat hari lalu berjalan beriringan.
Tentu saja mereka adalah
Lelaki Berbulu Hitam dengan Pendekar Dungu.
“Ah Orang-orang sinting itu
lagi,” gerutu Andika.
“Ada apa, Orang Tua?” “Jangan
sok ramah Katakan saja pada kami, kau murid si Sundal Hakim Tanpa Wajah,
bukan?” bentak Lelaki Berbulu Hitam tanpa tedeng aling-aling.
Andika kontan tertawa. Betapa
geli hatinya mendengar tuduhan tak beralasan si Lelaki Ganjil itu.
Jangan lagi menjadi murid,
mengenal namanya saja baru kali ini
“Jangan tertawa” bentak Lelaki
Berbulu Hitam sekali lagi.
Andika tentu saja jadi sewot.
“Orang tua Kau jangan
bertingkah seperti penguasa, mengatur-ngatur mulut orang seenaknya.
Orang berbicara ini tidak
boleh, itu tidak boleh, tertawa tidak boleh Apa kau mau aku menangis?
Seperti penguasa lalim yang
lebih senang, membuat rakyat menangis daripada tertawa?” khotbah Pendekar
Slebor menggebu-gebu.
“Huaaa... ha... ha” Entah
kenapa Pendekar Dungu tertawa mendengar semprotan kata-kata dari mulut Andika.
“Jangan tertawa” hardik
Andika, ikut-ikutan tingkah Lelaki Berbulu Hitam padanya tadi.
“Kau terlalu banyak mulut,
Anak Muda. Apa susahnya kau katakan pada kami, kalau kau adalah murid Hakim
Tanpa Wajah?” desak Lelaki Berbulu Hitam.
“Kenapa aku harus mengaku?”
“Ya, harus Kalau tidak, tahu
sendiri”
“Meski aku mengakui sesuatu
yang tidak benar?”
“Kau mau bilang, kalau kau
bukan murid Hakim Tanpa Wajah?”
“Aku memang bukan
muridnya....”
“Jangan mungkir. Sebelum tiba
di tempat ini, aku sudah melihat dari jauh bekas pukulan di dinding cadas itu”
Lelaki Berbulu Hitam menunjuk
ke salah satu bekas pukulan di dinding cadas.
“Aku tahu pemilik pukulan itu
Kalau ada orang yang memiliki pukulan ganas itu, tentu dia adalah muridnya”
lanjut Lelaki Berbulu Hitam
“Hakim Tanpa Wajah?”
“Nah, buktinya kau kenal dia”
sergah Lelaki Berbulu Hitam.
“Tentu saja aku tahu nama itu,
bukankah kau sudah menyebutnya beberapa kali tadi” balas Andika.
“O, iya. Aku lupa....” Lelaki
Berbulu Hitam mengangguk-angguk sebentar. “Kenapa aku jadi ketularan
penyakitnya si Dungu? Sialan”
Selagi Lelaki Berbulu Hitam
sibuk dengan dirinya sendiri, Andika mempergunakan kesempatan itu untuk melesat
pergi. Segenap kemampuan larinya segera dikerahkan, biar bisa cepat enyah dari
dua manusia sinting yang bisa membuatnya jadi ikut sinting.
“Hey, jangan lari” tahan
Lelaki Berbulu Hitam gusar.
“Hey, lari saja” teriak
Pendekar Dungu, tanpa tahu apa-apa.
Sambil mencaci maki habis
Pendekar Dungu, Lelaki Berbulu Hitam lari secepat kilat mengejar Andika. Di
belakangnya, Pendekar Dungu mengekori sambil terus bertanya-tanya sendiri.
“Apa salahku, ya...? Apa
salahku...?” *** 8
Hakim Tanpa Wajah dengan murid
ajaibnya, Manusia Dari Pusat Bumi kian unjuk taring. Seperti mengulang kejadian
delapan puluh tahun yang lalu, satu demi satu tokoh persilatan diculik. Mereka
menghilang tanpa jejak, seakan ditelan bumi. Tak jarang di antara mereka mati
di tempat kejadian, karena berusaha melawan.
Dunia persilatan golongan
putih gempar.
Sementara, kaun hitam geger.
Mereka tak habis pikir, bagaimana orang-orang andalan bisa menghilang tak tahu
rimbanya atau mati mengenaskan. Selama ini, tak pernah terjadi tokoh-tokoh
berilmu tinggi bisa rontok satu persatu dalam waktu begitu cepat.
Beberapa orang saksi yang
sempat melihat kejadian penculikan atau pembantaian, tak punya kesempatan untuk
menyimpan nyawa lagi. Mereka mati mengenaskan, sama dengan korban yang
bersikeras melawan.
Seorang saksi mata yang sempat
menyaksikan kejadian dengan mata kepala sendiri beruntung bisa pulang selamat.
Entah kenapa, Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi tidak mengetahui
saat orang itu bersembunyi di atas sebuah pohon besar.
Padahal, kedua manusia itu
memiliki telinga yang amat tajam. Atau mungkin, orang itu sengaja dibiarkan
hidup agar berita kemunculan mereka berdua dapat diketahui oleh seantero warga
persilatan.
“Aku tahu. siapa yang menculik
tokoh-tokoh persilatan” teriak orang itu. Dia memang melihat peristiwa
penculikan seorang tokoh golongan hitam di pinggiran hutan.
Mendengar teriakan itu,
orang-orang di sebuah dermaga kecil langsung mengerubungi. Sudah sejak lama
mereka ingin mengetahui kabar seperti ini.
Mereka penasaran, tapi tak
pernah ada yang tahu.
Berita yang dibawa orang ini
membuat rasa penasaran meledak saat itu juga.
“Apa yang kau bilang tadi?”
tanya seseorang di antara kerumunan.
“Aku tahu, siapa yang menculik
tokoh-tokoh persilatan belakangan ini” ulang si Pembawa Berita berkobar-kobar.
“Siapa?”
“Ya, siapa?”
“Ah Kau jangan coba-coba
ngibul, ya”
Si Pembawa Berita mulai
bercerita.
“Sewaktu aku sedang
tidur-tiduran di batang pohon, kudengar suara orang bertengkar. Suara mereka
keras dan lantang. Tak lama kemudian, disusul suara perkelahian seru. Wih Baru
kali ini kulihat pertempuran yang begitu hebat. Bayangkan saja....”
“Jangan bertele-tele, Goblok”
sentak salah seorang pendengar, merasa kesal.
“Iya-iya Ketika aku melihat
siapa yang berkelahi, ternyata seorang pemuda berperawakan menyeramkan.
Apalagi, wajahnya. Iiih.... Dia sedang merangsek orang tokoh yang bernama Iblis
Mata Darah. Kalian tentu tahu Iblis Mata Darah, bukan? Nah, pada saat itulah si
Iblis Mata Darah bertanya siapa pemuda itu sesungguhnya. Juga, orang tua yang
sedang menonton pertarungan. Kalau yang tua mengaku sebagai Hakim Tanpa Wajah.
Sedangkan yang muda berjuluk Manusia Dari Pusat Bumi. Kemudian kata mereka
lagi, semua tokoh persilatan akan diadili di Pengadilan Perut Bumi. Gila tidak?
Gila tidak?”
“Kau yang gila”
“E, tidak percaya dengan
ceritaku?”
“Bukan Kau cerita terlalu
seru, sampai ludahmu muncrat ke mukaku. Slompret, kau”
Lalu desas-desus pun
membentang ke segenap penjuru angin. Berita tentang Hakim Tanpa Wajah dengan
Manusia Dari Pusat Bumi dengan cepat menjadi bahan perguncingan yang tak pernah
basi.
Orang-orang dunia persilatan
yang sadar kalau bisa jadi korban berikutnya, mulai hati-hati melangkah.
Beberapa orang bahkan mulai membuat kelompok-kelompok tertentu, agar bila suatu
saat kedua manusia menggemparkan itu muncul, bisa dihadapi bersama-sama.
Namun begitu, dari hari ke
hari, korban tetap saja bertambah. Sudah hampir empat belas orang jajaran
berilmu tinggi telah menerima giliran. Siapa lagi yang akan menyusul, tak ada
seorang pun tahu. Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi muncul tanpa
pernah diduga. Setiap saat dan di setiap tempat, keduanya tiba-tiba saja
menampakkan diri seperti hantu.
Maka, jadilah keduanya momok
yang paling menakutkan bagi dunia persilatan belakangan ini.
Seperti juga pernah terjadi
delapan puluh tahun yang lalu. Peristiwa lama yang sudah dilupakan orang. ***
“Sudah kubilang pemuda sialan itu lewat sini”
Di dekat sebuah bangunan tua
tak terurus, Lelaki Berbulu Hitam menghardik Pendekar Dungu.
Setengah harian keduanya terus
mengejar Pendekar Slebor. Kejar mengejar seperti kucing-kucingan terjadi. Bagi
orang biasa atau berkepandaian tanggung, bila terus berlari selama itu tanpa
henti akan membuat mereka sekarat kehabisan napas.
Namun, tidak bagi Pendekar
Slebor dan dua pengejarnya.
Andika atau Pendekar Slebor
sesungguhnya memiliki ilmu lari cepat yang sulit dicari tandingan pada masa
ini. Kecepatannya sering disebut-sebut sebagai kecepatan setan. Tapi mau bilang
apa, kalau kenyataannya si Pengejar ternyata sanggup meng-imbangi kehebatannya?
Pendekar Slebor pun makin
yakin kalau kedua orang ganjil itu bukan tokoh sembarangan. Meski sampai saat
ini belum juga bisa diketahui, siapa sesungguhnya mereka.
Di tempat tersembunyi dalam
bangunan tak terurus berupa kuil kecil, Andika hati-hati sekali mengawasi
Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu. Rasanya dia menahan napas supaya tidak
terdengar telinga dua manusia aneh itu, setelah menyadari kalau bukan orang
sembarangan.
“Ini semua karena salahmu
Kalau saja tadi kau tak menunjuk ke arah lain” gerutu Pendekar Dungu dengan
wajah bersungut-sungut jengkel.
“Tapi, tunggu dulu,” sergah
Lelaki Berbulu Hitam cepat-cepat. Tubuhnya diam tak bergerak. Begitu juga
sepasang bola mata besarnya. Perhatiannya sedang dipusatkan ke arah bangunan
tua tempat bersembunyi Pendekar Slebor. “Kau mendengar sesuatu?” tanya Pendekar
Dungu.
“Aku tidak dengar apa-apa.
Pemuda sialan itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang boleh juga.
Tapi aku tahu, dia ada di
dalam bangunan tua itu”
“Ah Bagaimana kau yakin?”
“Sudah jangan banyak mulut
Pokoknya, aku tahu dia ada di sana. Titik” Lelaki Berbulu Hitam sewot.
Di dalam kuil tua, Andika
memaki-maki dalam hati.
Sulit dimengerti, bagaimana
lelaki berbulu itu tahu kalau dirinya ada di tempat tersebut? Terlihat olehnya
tidak. Terdengar pun tidak.
“Apa dia punya semacam indera
keenam?” bisik Andika, bertanya pada diri sendiri.
Entah karena kesal atau apa,
Andika akhirnya keluar dari persembunyian.
“Kalian ini sebenarnya mau
apa, hah?” hardik Andika mulai tak bisa menahan kedongkolan.
Pendekar Slebor muncul cepat
tepat di belakang kedua lelaki aneh itu dengan mengerahkan seluruh kemampuan
ilmu lari cepatnya.
Lelaki Berbulu Hitam dan
Pendekar Dungu
menoleh. Dari sikap, bisa
dilihat kalau mereka sudah tahu kehadiran Pendekar Slebor yang tiba-tiba itu.
Mana mudah orang-orang seperti
mereka
dipecundangi dengan cara
begitu.
“Sudah, jangan berpura-pura
lagi Ayo mengaku kalau kau murid si Hakim Tanpa Wajah” balas Lelaki Berbulu
Hitam, tak kalah menghardik.
“Aduuuh” gerutu Andika
langsung menepak-nepak kepala dengan telapak tangan berkali-kali. “Aku sudah
bilang, kalau bukan murid orang itu”
“Kalau kau bukan muridnya,
kenapa bersembunyi dari kami?” desak Lelaki Berbulu Hitam. “Itu karena aku
tidak berurusan apa-apa dengan kalian”
“Ngibul Apa bukan karena kau
takut pada kami?
Ilmu gurumu itu, tak sanggup
menandingi kehebatan kami berdua, bukan?”
“Wah, Gusti.... Gusti Kalian
ini manusia macam apa? Kenapa senang sekali memaksakan kehendak
Sumpah mati tertabrak nyamuk,
aku bukan murid orang yang kau sebutkan”
“Begini saja. Untuk mengetahui
kalau kau murid Hakim Tanpa Wajah atau bukan, kau harus
membuktikannya pada kami....”
“Bagaimana caranya?”
“Bertarung dengan kami”
“Lebih sinting lagi Mana aku
bisa bertarung sungguh-sungguh kalau tak punya urusan apa-apa pada kalian?”
“Takut?”
Andika menaikkan hidung, hingga
pangkalnya berlipat. Alis hitamnya menyatu. Hatinya mengkelap dengan ejekan
lelaki itu. Sifat kerasnya timbul ke permukaan. Dia paling dongkol kalau
disebut pengecut.
“Baik..., baik” putus Pendekar
Slebor cepat.
“Nah, begitu lebih baik....”
“Aaah, sudah Tunggu apa lagi?”
tantang Andika kalap.
“Hiaaa”
Teriakan mengguntur Lelaki
Berbulu Hitam terlempar ke angkasa. Kekesalannya selama ini pada kedunguan
Pendekar Dungu, seperti mendapat kesempatan untuk dilampiaskan pada anak muda
berpakaian hijau-hijau itu.
Andika mulai dirangsek. Jarak
yang cukup dekat, dimanfaatkan Lelaki Berbulu Hitam untuk langsung menyambar
leher Pendekar Slebor.
Wuk Wuk
Dua sambaran cakar kiri dan
kanan merobek udara, Pendekar Slebor dengan sigap mengangkat kedua tangannya. Secepat
gerakan geledek, tangan kanannya menahan tangan kiri Lelaki Berbulu Hitam.
Sementara, tangan kirinya
menjegal tangan kanan.
Tak Tak
Karena sama-sama menyalurkan
kekuatan,
sepasang tangan mereka terpaku
di tempat dalam usaha menahan tenaga dalam masing-masing lawan.
Beberapa saat lamanya,
otot-otot kedua orang itu mengejang, menyebabkan bulir-bulir keringat sebesar
biji jagung menyembul dari lubang kulit. Gigi mereka pun bergemelutuk, pertanda
sama-sama ingin menjadi pemenang dalam adu tenaga ini.
Dan saat itulah Lelaki Berbulu
Hitam menyaksikan jelas-jelas tanda lahir berbentuk bintang berwarna hijau
kebiruan di tangan kanan Andika. Matanya kontan membesar. Maka dia pun lupa
dengan adu kekuatan. Tanpa sengaja, penyaluran tenaga dalam ke tangannya
dihentikan secara mendadak.
Akibatnya....
Buhgh
Hidung Lelaki Berbulu Hitam
langsung saja terjotos punggung tangan Pendekar Slebor. Untung saja hanya
terserempet. Kalau tidak, dia akan kehilangan hidung untuk selamanya. Meski
begitu, tak urung tubuhnya melintir-lintir menahan sakit. Didekapnya hidung
yang mengeluarkan darah.
“Dhungu, watauuu”
“Astaga Kenapa kau sekarang
jadi begitu lamban?” seru Pendekar Dungu yang hanya menjadi penonton sejak
tadi. “Hidungmu masih utuh? Kasihan sekali kalau kau kehilangan hidung. Pasti
kau tambah jelek saja....”
“Thiam khauuu”
“Apa?”
Lelaki Berbulu Hitam melepas
pegangan pada hidungnya.
“Kubilang, diam kau”
“Ooo...” Pendekar Dungu
mengangguk-angguk tolol.
“Anak muda inilah yang kita
cari. Dungu” sambung Lelaki Berbulu Hitam. “Dialah 'Sang Penolong' agar kita
bisa menyelesaikan masalah kita”
Pendekar Dungu tak menanggapi
ucapan Lelaki Berbulu Hitam. Mulutnya bungkam seribu bahasa.
Tak hanya itu. Dia bahkan tak
bergeming sedikit pun seperti patung pesakitan Rupanya, dia benar-benar diam
seperti perintah Lelaki Berbulu Hitam.
“Hey? Apa kau tuli, Dungu Anak
muda itu yang kita cari-cari selama ini”
Pendekar Dungu tetap bungkam
dam diam.
“Dasar otak kerbau Aku bukan
menyuruhmu diam seperti itu Aku hanya menyuruhmu tutup mulut”
ralat Lelaki Berbulu Hitam,
setelah sadar ketololan kawannya.
Melihat kejadian itu, Andika
tak bisa menahan kegelian yang berontak dalam tubuhnya. Pendekar Slebor pun
tergelak ramai.
“Anak muda” tegur Lelaki
Berbulu Hitam, memenggal tawa meriah Pendekar Slebor. Mimik wajahnya berubah
ramah. “Kau tentu pemuda berhati mulya, bukan? Kau pasti sudi menolong kami,
bukan?
Kau tentu tahu, kalau kami
butuh bantuanmu, bukan? Bukan?” “Bukan” sentak Andika.
“Lho? Jangan begitu, aaah...
Wangsit yang datang pada kami berdua tak mungkin bohong. Kaulah orang yang bisa
menolong kami untuk menyelesaikan masalah diri kami.... Iya, kan Dungu?”
“Bukan” jawab Pendekar Dungu,
melatahi
jawaban Andika.
“Lho?” Wajah Lelaki Berbulu
Hitam mulai berang lagi.
“Eh, iya maksudku” ralat
Pendekar Dungu, seraya memamerkan tiga butir giginya.
“Nah Kau dengar sendiri
pengakuan kawanku itu, bukan?” lanjut Lelaki Berbulu Hitam pada Andika.
“Kalian ini betul-betul tak
bisa kumengerti. Mula-mula menuduhku murid orang yang tak kukenal.
Sekarang, kalian malah
merayu-rayuku untuk kutolong. Dan terus terang saja, sampai saat ini pun aku
belum mengerti maksud kalian...,” tolak Andika bersungguh-sungguh, setelah
melihat kesungguhan di wajah Lelaki Berbulu Hitam.
Baru saja kalimat Andika
selesai, si Lelaki Berperawakan Buruk itu menubruk kaki Pendekar Slebor, lalu
mendekapnya kuat-kuat.
“Aduh Jangan begitu pada kami,
'Tuan Penolong'.
Aku tadi memang berbuat salah.
Untuk itu, ampunilah aku. Ya. 'Tuan Penolong', ya? Ya, bukan?” ratap Lelaki
Berbulu Hitam, memelas pada Andika. Sayang, wajahnya tetap tak meyakinkan
layaknya orang memelas. Malah terlihat seperti orang menakut-nakuti
Andika meringis serba salah.
Bukan apa-apa.
'Perkutut' di sarang rahasia
miliknya tergesek-gesek bulu di kening Lelaki Berbulu Hitam.
“Aku rasa, kalian meminta
tolong pada orang keliru,” tutur Andika. “Aku bukan orang yang pantas untuk
dimintai pertolongan oleh orang-orang sehebat kalian.”
“Wuaaa, waaau... wauuu”
Pendekar Dungu yang sudah
terlihat bangkotan ikut menubruk kaki Andika. Kalau Lelaki Berbulu Hitam dari
depan, orang tua ini dari belakang. Dengan membenamkan wajah dalam-dalam di
selangkangan Andika, orang tua peot itu meraung-raung seperti anak kecil.
Andika kian serba salah.
“Baik..., baiklah. Aku akan
mencoba menolong kalian,” putus Andika akhirnya. “Tapi kuminta kalian mau
menceritakan dulu masalah sebenarnya....”
Kontan saja dua orang aneh itu
mendongakkan wajah cerah. Seterusnya mereka bangkit, lalu menandak-nandak
riang, menari kian kemari melebihi lincahnya penari jaipong
“Nang...
ning-ning-nang-ning-kung....”
Berkali-kali Andika
meringis-ringis tak karuan. Mau tertawa salah. Mau terharu, juga salah.
“O, Gusti.... Dosa apa yang
telah kuperbuat, sehingga Kau mengirim manusia-manusia sinting ini padaku,”
keluh Pendekar Slebor. *** 9
Matahari berwarna Jingga
menyaput pagi, merayap perlahan dalam bentangan kaki langit sebelah timur.
Ayam-ayam jantan berlomba
memperdengarkan kokoknya yang lantang. Angin dingin sisa udara malam merambati
bumi lamat-lamat. Suasana baru lengkap tercip-ta.
Seorang pemuda berambut
gondrong dalam pagi sejuk ini tampak bermandi keringat. Dia berjalan agak
lunglai, di antara jajaran alang-alang jangkung. Baju hijaunya sudah basah
kuyup. Napasnya pun berhembus cepat tak teratur.
Pemuda yang tak lain Andika
alias Pendekar Slebor, semalaman suntuk memang habis berlari habis-habisan.
Seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya dikuras habis. Seperti juga
sebelumnya.
Pendekar Slebor kini berusaha
melepaskan diri dari Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu yang dianggap
sinting.
Kemarin siang, setelah diminta
untuk menceritakan masalah masing-masing, kedua laki-laki aneh itu mengatakan
kalau Andika adalah orang yang bisa menolong. Pendekar Slebor diminta untuk
menghilangkan kekurangan dari masing-masing, terutama sifat-sifat mereka.
Selesai mendengar semuanya,
Andika jadi
kebingungan sendiri. Bagaimana
mungkin Pendekar Slebor bisa menghilangkan sifat berangasan Lelaki Berbulu
Hitam, dan membantu Pendekar Dungu agar bisa menilai mana orang baik dan orang
jahat? Semula Andika mengira masalah yang dihadapi biasa saja. Mungkin mereka
butuh tenaga untuk menghadapi sekelompok manusia bejad, atau membantu mencari
seseorang. Maka kalau untuk masalah yang mereka utarakan, Andika benar-benar
angkat tangan tinggi-tinggi.
Meski Andika sudah mengatakan
kalau tidak bisa membantu, mereka tetap saja ngotot. Andika yang dikenal
urakan, tetap saja dia dibuat kalang kabut oleh sikap kelewatan dua manusia
aneh itu.
Akhirnya, dengan sedikit
akal-akalan, Andika akhirnya bisa meloloskan diri. Sayangnya, Lelaki Berbulu
Hitam dan Pendekar Dungu langsung mengejar. Maka kejar-kejaran pun terjadi
lagi. Pendekar Slebor terus berlari karena tak ingin berurusan dengan orang
yang dianggap kurang waras. Mengurusi mereka hanya membuang-buang waktu, begitu
pertimbangannya. Di lain pihak, Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu terus
mengejar. Karena mereka yakin, Andika-lah orang yang dimaksud dalam wangsit.
Setelah nyaris kehabisan
napas, barulah Pendekar Slebor bisa melepaskan diri dari kejaran.
“Mereka betul-betul sinting,”
keluh Andika dalam helaan napas memburu. Dia terduduk lemas di bawah
alang-alang.
“Ya.... Mereka memang
orang-orang sinting. Tapi mereka patut dikasihi....”
Mendadak terdengar sahutan
yang mengelak ucapan Andika dari belakang. Tatkala Andika menoleh, tampaklah
orang tua yang kini dikenal sebagai Raja Penyamar sedang bersila tenang di
pucuk sebatang ilalang. Lelaki berumur lanjut ini memang tak kalah aneh dengan
dua orang yang mengejar-ngejar Andika. “Kau lagi. Apa maumu sebenarnya? Kenapa
kau dulu menipuku dengan menyamar sebagai
perempuan brengsek?” cecar
Andika, setelah terlonjak bangkit bersungut-sungut.
“Aaah, sudahlah. Kenapa soal
kecil itu jadi dibesar-besarkan” sergah Raja Penyamar.
Orang tua itu langsung menatap
Pendekar Slebor.
Tampak sinar mata Andika
menyala-nyala seperti mendesak menginginkan jawaban.
“Ya, ya. Aku memang ada maksud
tertentu
padamu. Sewaktu menyamar dulu,
aku hanya ingin membuktikan apakah kau benar-benar Pendekar Slebor, si Pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan.
Sengaja kau kupancing, agar
mengakui sendiri kalau kau memiliki tanda bintang di tangan kananmu...,”
papar Raja Penyamar mantap dan
berkesan penuh wibawa.
“Tapi kenapa harus menyamar
menjadi wanita cantik?” desak Andika, tak puas mendengar jawaban si Raja
Penyamar barusan.
Lelaki tua berwajah alim itu
melepas tawa kecil yang terdengar sejuk di telinga Andika.
“Karena kalau bukan keturunan
Pendekar Lembah Kutukan, maka pasti kau sudah tergoda,” jelas Raja Penyamar.
“Selama kukenal, keturunan pendekar agung itu tak gampang kena bujuk rayu.
Bahkan dari bidadari sekali pun....”
Andika jadi besar kepala. Dia
merasa tersanjung dengan penuturan Raja Penyamar. “Jadi, apa maksudmu denganku?”
“Sebelum kujawab, aku ingin
mengajukan
pertanyaan padamu, Anak Muda.”
“Silakan....”
“Apakah kau ingin mengetahui
peristiwa besar yang akan terjadi pada zamanmu, yang menyangkut peristiwa di
bukit cadas tempat kau menemukan lelaki berpakaian kumuh?”
Andika tak berusaha
menanggapi. Ditunggunya ucapan Raja Penyamar lebih lanjut.
“Aku tahu, kau pasti ingin
mengetahuinya,” simpul.
Raja Penyamar, menilik mimik
wajah pemuda di dekatnya. “Kalau kau ingin tahu, pergilah ke Kampung Kelelawar
di sebelah selatan. Kau harus menemui seseorang di sana....”
Andika ingin bertanya. Tapi,
si Raja Penyamar menahan gerak bibir pemuda itu hanya dengan mengacungkan jari
telunjuknya.
“Ini,” sambung orang tua itu
sambil melempar sebuah kitab tebal bersampul yang terlihat sudah amat tua ke
pangkuan Andika. “Kitab itu mungkin berguna buatmu kelak. Pelajari isinya....”
Selesai berpesan, Raja
Penyamar menghilang seperti sebelumnya. Tubuhnya berpindah dari satu pucuk
ilalang ke pucuk lain yang jauh, tanpa menggerakkan bagian tubuhnya sedikit
pun.
Sehingga dia tampak seperti
orang bersila yang melayang cepat. ***
Desa Bangbung bersebelahan
dengan Kampung Kelelawar. Kedua desa itu memang terletak di lereng gunung
berapi. Jalan pintas satu-satunya yang paling dekat untuk menuju Kampung
Kelelawar, memang hanya melewati Desa Bangbung. Setiap beberapa tahun sekali,
gunung berapi itu memuntahkan lahar panas. Dan belakangan ini, sang Raksasa
Alam itu tampak tenang dengan kepulan asap putih tipis di puncaknya.
Siang ini di sebuah warung
kopi kecil di Desa Bangbung, beberapan penduduk tampak tengah menikmati obrolan
santai yang begitu lepas. Seolah-olah mereka tak pernah dibebani masalah. Dua
orang di antaranya mengangkat kaki ke bangku panjang di depan meja. Di belakang
meja, seorang gadis manis sedang mengaduk-aduk kopi di cangkir tanah liat.
Di tengah obrolan mereka,
datang seorang lelaki gembrot berkumis baplang. Pipinya yang tebal seperti
bantal, berwarna agak kemerahan tersengat matahari. Dengan perut buncit seperti
orang hamil, baju biru tuanya tampak kesempitan. Rambutnya yang sepanjang
pinggang, dikuncir buntut kuda.
Buntalan kain hitam diikatkan
di bahunya.
“Minta kopinya, Cah Ayu,”
pinta lelaki gembrot itu, begitu duduk di ujung bangku panjang. Matanya yang
cacat bekas luka benda tajam, melirik nakal pada gadis pemilik warung.
“Kakang ini sepertinya orang
baru, ya?” sapa seorang pemuda di sebelah laki-laki gembrot itu, ramah. Adat
sopan-santun dan ramah tamah di desa itu memang masing mengakar kuat.
“Betul,” jawab lelaki bertubuh
boros, singkat.
“Tujuannya hendak ke mana?”
lanjut pemuda tadi.
Laki-laki gembrot pendatang
ini melempar pandangan ke gunung berapi yang menjulang angkuh di kejauhan.
“Kampung Kelelewar,” jawab si
Gembrot datar.
“Astaga Apa Kakang tahu,
tempat macam apa itu?”
Lelaki lain ikut nimbrung.
Paras mukanya berubah ketakutan, seperti juga tiga lelaki di sana.
“Kenapa dengan tempat itu?”
tanya si Gembrot, terpancing melihat perubahan wajah mereka.
“Kalau kau ingin tahu soal
tempat itu, kau mesti bertanya padaku” serobot orang lain yang baru datang.
Lelaki itu tampak angkuh.
Perawakannya besar dan kekar dengan brewok lebat. Kepalanya botak polos,
memantul cahaya matahari yang menimpanya.
Melihat lagaknya, tentu dia
seorang jawara yang ditakuti di desa ini. Sambil menyingkap jubah hitamnya,
kakinya diangkat ke atas bangku.
“Akulah orang satu-satunya di
sekitar wilayah ini yang paling tahu tempat itu. Karena, hanya aku yang berani
datang ke sana,” jelas laki-laki brewokan itu, sesumbar.
“Seberapa banyak kau tahu
tempat itu?” tanya lelaki gembrot.
“Banyaaak Kau ingin tahu?”
Si Gembrot mengangguk tanpa
menatapnya.
“Tapi, kau harus
membayarku....”
“Berapa?”
“Tak banyak. Asal cukup untuk
membayar gadis warung ini, ha ha ha”
Si Gembrot segera mengeluarkan
dua keping uang perak. Dijentiknya dua keping uang itu dengan jari, hingga
melayang berputar-putar. Dan seketika itu pula, lelaki brewok itu menyambarnya.
“Hanya dua keping?” tanya si
Brewok dengan bibir mencibir.
Tiba-tiba saja si Brewok melempar
uang logam di tangannya ke kayu penyangga warung. Sing...jep
Benda logam itu pun kontan
menancap hampir setengahnya.
“Kau pikir, aku ini siapa,
heh? Berani benar kau membayar keteranganku dengan dua keping perak?” bentak si
Brewok kasar pada si Gembrot.
Namun orang yang dibentak tak
menggubris.
Malah tenang-tenang saja. kopi
panasnya diseruput sedikit demi sedikit. Sikapnya ini memancing kemarahan si
Botak. Dengan lagak penuh
keangkuhan, si Brewok
menggebrak kursi dengan kakinya.
Brak
Bangku kayu itu kontan hancur
terbelah dua. Dua lelaki desa yang duduk bersama si Gembrot kontan jatuh,
dengan pantat menghantam tanah. Sementara mereka meringis-ringis menahan sakit,
si Lelaki berbadan gembrot masih tetap santai dalam keadaan duduk mengangkat sebelah
kaki. Padahal, sudah tak ada bangku lagi
“Heh? Permainan anak kecil
yang mengandalkan otot kaki,” ejek lelaki brewok. Didekatinya si Gembrot dengan
wajah sarat ancaman.
“Hih”
Begitu cepat kaki si Brewok
menyapu kaki lelaki berbadan boros yang sedang menopang tubuhnya.
Namun, si Gembrot lebih cepat
lagi mengangkat kakinya. Niat si Brewok untuk menggulingkan tubuh besar itu
gagal. Bahkan dengan gerakan seringan kapas si Gembrot menaikkan kedua kakinya
ke udara. Tubuh besarnya kini melayang seperti gelembung udara di atas pecahan
papan bangku yang menjorok ke atas. Padahal, pecahan papan itu sangat lancip
setipis mata pisau
Sampai di situ, si Jawara
Brewok mulai sadar kalau orang yang sedang berurusan dengannya tidak bisa
dianggap enteng. Hanya tokoh jajaran atas yang bisa melakukannya. Tiga puluh
tahun lagi, dia melatih ilmu meringankan tubuh, belum tentu bisa melakukannya.
Pikir punya pikir, si Brewok angkuh itu
akhirnya menyingkir takut-takut, kemudian menghambur keluar dari kedai kopi
itu.
Sepeninggalannya, terdengar
tepukan berirama santai dari jarak dua puluh tombak dari kedai.
Asalnya dari dua lelaki.
Masing-masing bertubuh tinggi besar dan berbulu, dan satu lagi bertubuh ringkih
seperti orang tua penyakitan. Mereka adalah Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar
Dungu.
Sesaat si Gembrot menoleh.
Selanjutnya, kopinya diseruput kembali. Sikapnya seperti seorang yang sedang
berpura-pura.
“Kenapa harus bertepuk tangan?
Bukankah hal seperti itu amat mudah dilakukan?” tanya Pendekar Dungu, ketika keduanya
menghampiri kedai kopi ini.
“Jangan banyak tanya dulu”
tahan Lelaki Berbulu Hitam.
Laki-laki berbulu itu, tak mau
Pendekar Dungu lebih banyak bertanya lagi. Dari wajahnya yang biasa berang,
terlihat pancaran rasa senang. Entah kenapa, sifatnya jadi demikian. Padahal,
itu sangat jarang terjadi pada dirinya.
“Akhirnya kau ditemukan di
sini, 'Tuan Penolong'”
sapa Lelaki Berbulu Hitam
begitu tiba di depan lelaki gembrot tadi, cukup ramah. Lagi-lagi hal yang amat
jarang muncul dalam dirinya.
Si Gembrot menoleh sejenak
seperti sebelumnya.
Lalu dia mulai acuh lagi.
“Aku tak tahu, siapa yang kau
maksud,” ucap si Gembrot datar.
“Aaah Jangan begitu, 'Tuan
Penolong'. Meski kau menyamar menjadi seekor katak sekalipun, penciuman
serigalaku tak akan dapat tertipu....”
“Apa maksudmu? Aku tak
mengerti?” “Sudahlah. Apa kau tak tahu, kalau aku adalah manusia berdarah
serigala? Aku memiliki penciuman yang amat tajam seperti serigala. Sehingga,
aku dapat membedakan bau tubuh seseorang....”
Si Gembrot menampakkan
kekecewaan pada
wajahnya. Dihelanya napas
beberapa kali.
“Baiklah. Aku menyerah,” desah
si Gembrot.
Segera laki-laki bertubuh
subur ini menanggalkan penambal wajahnya yang ternyata terbuat dari getah suatu
pohon. Dari getah itu bisa dibentuk dan diwarnai sedemikian rupa, sehingga
mirip pipi manusia. Tubuhnya yang dibuntal kain yang cukup banyak, mulai
dilolosi. Sehingga dia tak lagi nampak gembrot. Rambut palsu yang panjang pun
ikut ditanggalkan. Kini terlihatlah wajah tampan aslinya.
Wajah seorang pemuda yang
lebih dikenal sebagai Pendekar Slebor.
Sesungguhnya, kitab tua yang
diberikan Raja Penyamar pada Andika beberapa hari lalu, adalah kitab pelajaran
ilmu menyamar yang begitu sempurna. Jika hanya dengan mata dan telinga, orang
akan tertipu. Sebab dari kitab itu bisa dipelajari bagaimana seseorang bisa
mengubah wajah dan penampilan, sekaligus suara.
Kecerdasan dan kemauan kuat
Andika, mem-
bantunya menyelesaikan kitab
itu hanya dalam beberapa hari. Sebelumnya, Andika tak begitu tertarik. Baginya,
ilmu itu seperti merupakan perisai orang-orang pengecut yang ingin bersembunyi
di balik topeng. Atau, orang-orang bejad yang ingin lari dari tanggung jawab.
Namun Pendekar Slebor butuh pendukung agar tak lagi dikuntit oleh Lelaki
Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu, akhirnya kitab itu dipelajari juga. Andika
memang tidak mau urusannya diganggu kedua orang itu. Lagi pula, tak ada
salahnya mempelajari satu ilmu. Toh, baik buruknya satu ilmu, tergantung
manusia yang mempelajarinya.
Harapannya untuk bisa mengelabui
dua penguntit tadi, kini hancur seketika ketika dengan mudah lelaki seram yang
mengaku sebagai keturunan serigala ini mengetahui penyamarannya.
“Bagaimana, Tuan Penolong'?
Apakah kau sudah bersedia membantu masalah kami?” desak Lelaki Berbulu Hitam.
Andika membayar kopi serta
kerusakan bangku pada si Gadis pemilik warung. Kalau tadi matanya melirik nakal
pada gadis itu, sekarang giliran mata gadis itu yang melirik nakal padanya.
Meskipun pada saat ini, gadis itu masih belum percaya kalau penampilan buruk
Andika tadi sekadar penyamaran.
Dengan kedongkolan
menggelantung di tenggorokan, Andika memasukkan alat-alat menyamarnya ke dalam
buntalan kain. Termasuk baju besar berisi kain-kain yang dilapisi kapuk. Dia
harus mencari akal lain agar bisa meloloskan diri dari dua manusia merepotkan
ini. Belum sempat Andika menemui akal, mendadak saja....
“Pengadilan menanti”
Tiba-tiba terdengar satu
teriakan menggelegar merambah angkasa. Mendengar teriakan tadi, Lelaki Berbulu
Hitam dan Pendekar Dungu menoleh paling cepat di antara pengunjung lainnya.
Keduanya begitu terkejut, begitu mengenali jenis suara dan kata-kata tadi,
sebuah teriakan yang ditakuti oleh orang-orang persilatan delapan puluhan tahun
lampau.
“Hakim Tanpa Wajah?” desis
lelaki Berbulu Hitam nyaris tak percaya.
Mata laki-laki berbulu itu
menatap lurus ke asal suara, di mana dua orang berbeda usia berdiri mengancam.
Yang satu adalah si Hakim Tanpa Wajah. Sedang yang lain tentu saja Manusia Dari
Pusat Bumi.
“Hakim Tanpa Wajah,” bisik
Pendekar Dungu, tolol sekali.
“Jadi si Manusia Sialan itu
benar-benar masih hidup seperti kita juga?” tanya Lelaki Berbulu Hitam
“Jadi manusia sialan itu
benar-benar masih hidup, ya?” ulang Pendekar Dungu. Padahal, justru dia yang
tadi ditanya oleh Lelaki Berbulu Hitam.
“Dungu Apakah kau percaya
kalau manusia itu akan bertingkah lagi mengadili orang-orang persilatan?” susul
Lelaki Berbulu Hitam, bertanya lagi pada Pendekar Dungu.
“Ya Apakah aku percaya?”
Sementara dua lelaki aneh itu berdiri tegang, menatap dua titik yang mulai
bergerak ke arah mereka dikejauhan, Andika sudah tidak ada lagi di tempatnya.
Sewaktu Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu lengah karena mendengar
teriakan Hakim Tanpa Wajah, Pendekar Slebor langsung memanfaatkan kesempatan
untuk mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepatnya.
Dalam sekejap, dia sudah jauh
dari warung kopi.
Tujuannya jelas, ke Kampung
Kelelawar seperti pesan Raja Penyamar. Sayang, kalau saja pemuda sakti itu bisa
sedikit lama tinggal, tentu akan mendengar Lelaki Berbulu Hitam menyebutkan
nama Hakim Tanpa Wajah, orang yang sedang dicarinya karena berhubungan dengan
peristiwa di Bukit Cadas. Di mana si Lelaki Pincang dari Lima Gembel Busuk
pernah menyebut-nyebut namanya, sebelum tewas. *** 10
Pertarungan besar sepanjang
abad ini siap terjadi.
Bagaimana tidak? Dua tokoh tua
tak tertandingi delapan puluh tahun yang lalu akan berbaku jurus dengan seorang
tokoh tua tak tertandingi pula pada zamannya, didukung oleh pemuda keturunan
siluman
Kesaktian mereka tak diragukan
lagi, dan pasti akan segera memporak-porandakan tempat sekitarnya. Lelaki
Berbulu Hitam, Pendekar Dungu, dan Hakim Tanpa Wajah pasti menggunakan
ilmu-ilmu puncaknya. Belum lagi kesaktian milik si Pemuda Keturunan Siluman
yang selama ini belum diper-lihatkan seluruhnya pada sang Guru.
Di kedai kopi saat ini juga
telah ditinggali pengunjung maupun pemiliknya. Mereka semua tahu gelagat bahwa
akan ada sebuah bentrokan dahsyat, yang bisa saja menjadikan nyawa melayang.
Manakala angin dingin dari
kaki gunung merayapi tanah lapang dekat warung kopi, empat orang lelaki yang
siap bertarung berdiri tegang tanpa gerak. Dua orang pada satu sisi, sedang dua
orang lain delapan tombak pada sisi lain. Rambut dan pakaian mereka tampak
bergeletar diusuk angin, seolah menjadi panji yang menandai dimulainya
pertarungan maut
Lama mereka saling menusuk
dengan tatapan.
Sampai akhirnya, terdengar
ledakan suara melompat dari mulut salah seorang. Suara itu begitu melengking
menjotos langit, bagai tetabuhan dalam upacara para siluman sesat. Dari rongga
mulut siapa lagi jenis teriakan itu tercipta, kalau bukan milik Manusia Dari
Pusat Bumi....
“Eaaa...”
Manusia Dari Pusat Bumi
membuka jurus awal.
Serangan pembuka yang langsung
masuk ke satu dari sekian jurus pamungkas, 'Tenaga Sakti Pembelah Bumi'. Tak
ada perintah dari Hakim Tanpa Wajah padanya untuk langsung mengerahkan jurus
ini.
Tindakannya semata didorong
oleh naluri makhluk halus dalam dirinya yang memberitakan bahwa lawan tidak
bisa dihadapi dengan jurus-jurus tanggung.
Menyambut gerakan pemuda
Manusia Dari Pusat Bumi, Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar Dungu tidak mau
diam. Mereka cepat pula membuka jurus, memainkan kembangan jurus-jurus tangguh
masing-masing.
Deb, deb, wuk, zes
Laksana tiga pusat gelombang
samudera, gerak ketiga orang itu menciptakan terpaan kekuatan ke segenap
penjuru mata angin. Debu langsung menghambur tinggi-tinggi, kerikil terhempas
deras-deras, bebatuan berguliran kencang, dan bumi pun bagai diamuk badai
“Heaaa”
Manusia Dari Pusat Bumi
memulai serangan.
Diterjangnya dua lawan dengan
hentakan-hentakan kaki berdebam ke bumi.
Blam, blam, blam
Pada jarak tiga depa dari
kedua lawan, pemuda keturunan siluman itu cepat mengangsurkan sepasang
kepalannya ke kepala masing-masing sasaran. Seketika terdengar bunyi menderu,
mem-barengi hantaman dahsyat yang siap meremukkan.
Lelaki Berbulu Hitam dan
Pendekar Dungu tentu saja tak sudi membiarkan kepala mereka dijadikan sasaran
empuk. Mereka langsung berkelit berbarengan ke samping kanan, sehingga luput
dari hantaman. Sambil tetap memiringkan tubuh, Lelaki Berbulu Hitam mendepak
perut Manusia Dari Pusat Bumi. Sedangkan Pendekar Dungu melepas tusukan jari
tangan ke dada.
Namun, serangan balasan mereka
dengan mudah dimentahkan. Manusia Dari Pusat Bumi dengan mengangkat satu kaki
tinggi-tinggi dan menekuknya di depan dada dan perut. Alhasil, depakan dan
tusukan kedua lawan hanya sempat memakan kakinya yang memang sudah dipersiapkan
untuk membentengi.
Sebagai tokoh tua yang sudah
terlalu kenyang makan asam garam, serangan yang mudah
dimentahkan itu sebenarnya
hanya siasat. Tak mungkin serangan bersama itu dibuat, sehingga begitu mudah
diduga lawan.
Maka pada saat yang demikian
tipis dari serangan pertama, dua tokoh bangkotan itu membuat satu gerakan tak
terduga. Lelaki Berbulu Hitam menanduk Manusia Dari Pusat Bumi dengan
kepalanya. Di lain pihak, Pendekar Dungu menjatuhkan diri lantas menyapu kaki
pemuda siluman itu demikian cepat.
Dak Sret
Berbarengan dengan mendaratnya
kepala Lelaki Berbulu Hitam ke kening pemuda itu, kaki Pendekar Dungu pun
berhasil mengait kuda-kuda Manusia Dari Pusat Bumi yang hanya mengandalkan satu
kaki.
Maka tak dapat ditahan lagi,
Manusia Dari Pusat Bumi terlempar deras ke belakang.
Begitu dahsyat penggabungan
serangan dua tokoh tua itu, sehingga Manusia Dari Pusat Bumi terpental bagai
kerikil sembilan belas tombak jauhnya Tubuh kekar berotot menonjol pemuda
siluman itu pun meninju tanah berbatu. Siapa pun manusia yang menerima hantaman
keras dari kepalan Lelaki Berbulu Hitam sudah bisa dipastikan akan terlempar ke
neraka. Jangan lagi kening, lempeng baja setebal dua jengkal saja, bisa
mencekung dalam. Tapi, Manusia Dari Pusat Bumi bukan sekadar manusia.
Dia adalah gabungan keturunan
antara manusia dengan siluman
Tanpa luka berarti, pemuda
menyeramkan itu bangkit. Bibirnya menyeringai penuh ejekan. Matanya berbinar,
membersitkan cahaya haus darah....
Sementara itu, jauh di balik
gunung berapi, Pendekar Slebor telah memasuki wilayah Kampung Kelelawar.
Seperti namanya, kampung itu memang menjadi tempat bersemayamnya jutaan
kelelawar sebesar kera. Mereka menggelantung di pohon dan atap-atap rumah
terbengkalai.
Seratus dua puluh tahun yang
lalu, desa itu pernah dihuni para penduduk asli. Namun sewaktu jutaan kelelawar
menyerbu, banyak di antara mereka yang mati terisap darahnya. Dan hanya
segelintir orang saja yang sanggup menyelamatkan diri.
Betapa bergidik Andika,
menyaksikan ratusan tubuh hitam memenuhi sebatang pohon tua besar.
Mereka bagai buah-buahan dari
neraka, menjijikkan dan membuat bulu kuduk merinding.
Kedatangan Pendekar Slebor
tampak tak
mengusik kenyenyakan tidur
mereka. Namun sewaktu kaki pemuda itu melintasi satu garis dari bercak-bercak
darah, mata mengancam makhluk-makhluk itu mulai terbuka. Ratusan pasang mata bersinar
merah muncul di sana-sini. Makin lama makin banyak. Di dahan-dahan kering
merangas, di puncak-puncak atap rumah tua, di atas daun pintu, di daun jendela,
di tiang-tiang kayu, juga di nisan-nisan batu besar.
Kini tampaklah pemandangan
berjuta pasang bola merah menyala mengawasi si Pendatang, bagai para pemakan
bangkai menatapi hidangan mayat.
Pada saatnya, satu kelelawar
memperdengarkan jeritan menyayat.
“Kiiikkk”
Seekor di antaranya mulai
mengepakkan sayap kuat-kuat, lalu terbang menuju Andika. Seperti mendapat
aba-aba, ratusan kelelawar lain mengikuti
Maka terciptalah
tumpang-tindih bunyi kepakan sayap mengerikan.
Sekujur otot di tubuh Pendekar
Slebor kini menegang. Tak pernah diduga akan menghadapi lawan macam ini.
Ratusan kelelawar pengisap darah besar yang. kemudian menjadi ribuan, siap
mem-perebutkan darah Pendekar Slebor
Langit mendadak seperti
diselubungi warna-warni gelap dari tubuh para kelelawar. Dari utara hingga
selatan, dari barat hingga timur. Mereka menjerit-jerit memekakkan, dalam
serbuan besar-besaran.
“Gila” desis Andika. Sebelum
sempat memaki lagi, beberapa sambaran menukik dari belakang.
“Kiiikkk”
Secepat kilat Pendekar Slebor
menjatuhkan badan ke tanah. Maka sambaran-sambaran berbau maut itupun hanya
sempat menderu di atasnya. Selagi di tanah, tanpa sengaja Andika dihadapkan
pada tumpukan kerangka manusia, korban para makhluk haus darah
“Mereka benar-benar hewan dari
dasar neraka” rutuk Andika. “Aku harus berbuat sesuatu kalau tak ingin bernasib
sama dengan kerangka-kerangka ini.”
Andika pun segera melepas kain
bercorak catur dengan hati-hati. Dia tahu, gerakan kecil tubuhnya akan segera
memancing ratusan kelelawar lain untuk menyambar dari udara.
Ketika kain pusakanya sudah
tergenggam kuat di tangan, Pendekar Slebor menghentakkan kakinya dengan tenaga
penuh. Sekejap berikut, tubuhnya sudah bangkit kembali dengan kuda-kuda siap
menanti serbuan. Benar saja dugaan Andika, gerakannya tadi ternyata langsung
membuat para kelelawar merangseknya. Dari udara, kuku-kuku tajam mereka
mengancam setiap bagian tubuh Pendekar Slebor.
“Kiiikkk”
Puluhan kelelawar datang.
Tubuh-tubuh mereka menukik tajam.
Wuk Wuk Ctar Ctar
Pendekar Slebor langsung
menyambut mereka dengan hadiah perkenalan. Sabetan tajam kain pusakanya,
membabat belasan ekor kelelawar, membuat kepala binatang itu hancur. Bahkan ada
pula yang sayapnya tersayat lebar. Tubuh mereka yang terluka parah, langsung berjatuhan
meninju tanah bergantian. Sebagian di antaranya kehilangan nyawa saat itu juga.
Sementara, yang lain meng-gelepar-gelepar hebat.
Kejadian yang tak kalah
menggidikkan pun terjadi.
Kelelawar-kelelawar yang tak
terluka di atasnya, menyerbu tubuh kawan mereka sendiri yang terjatuh di tanah.
Satu kelelawar luka dirubungi puluhan kelelawar lain. Daging dan kulit mereka
dikoyak-koyak tanpa ampun. Kelelawar-kelelawar yang mendapat keratan daging
atau isi perut kawannya, langsung melayang kembali ke angkasa. Seolah mereka
gembira dan bangga dengan apa yang didapatnya. Di luar itu, yang paling diincar
adalah darah kawan naas mereka. Dalam waktu tak begitu lama, mereka sanggup
mengeringkan darah satu ekor kelelawar
Meski memperhatikan dengan
bergidik, Andika tak kehilangan akal sehatnya sedikit pun. Kini, Pendekar
Slebor punya cara menghadapi kelelawar-kelelawar buas itu, tanpa harus menguras
tenaga. Sejenak dikerahkannya tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan pada
sepasang telapak tangan.
Lalu....
“Hiaaa”
Teriakan mengguntur Pendekar
Slebor mengejutkan puluhan kelelawar yang sedang berpestapora menikam tubuh
kawannya. Mereka hendak
mengepak sayap untuk melesat
ke angkasa, tapi sudah terlambat. Pukulan jarak jauh Andika sudah berpentalan
gencar dari sepasang telapak tangannya.
Deb Deb Prak-prak
Kerumunan kelelawar itu buyar.
Tubuh mereka berpentalan terhantam pukulan jarak jauh Pendekar Slebor. Tanah
pun makin diramaikan oleh geleparan tubuh-tubuh hitam. Kala itulah,
kelelawar-kelelawar lain di angkasa menyambut gembira dengan teriakan
kema-tian. Semuanya menyerbu ke bawah, bagai hujan bongkahan benda hitam
Kesempatan bagus itu
dipergunakan Andika untuk segera melesat ke rumah-rumah yang terbengkalai.
Menurut perkiraannya, tentu
orang yang dimaksud si Raja Penyamar bisa ditemukan. Satu demi satu, rumah
kotor dan keropos itu diperiksa dengan perasaan was-was. Andika khawatir,
makhluk- makhluk buas di luar selesai dengan pestanya, sementara dia sendiri
belum selesai meneliti seluruh rumah.
Pada salah satu rumah paling
besar seperti istana kecil dengan tembok kusam penuh lumut, Andika menemukan
juga manusia di sana. Tampak seorang lelaki tua tengah duduk bersila di satu
sudut ruangan dengan wajah tenang serta sejuk. Bajunya putih, seperti pakaian
para biksu. Di sekitar badan lelaki tua itu merangas sarang laba-laba tebal.
Yang membuat Andika agak
terkejut, ternyata wajah lelaki tua itu milik si Raja Penyamar
“Raja Penyamar...,” tegur
Andika sambil mendekatinya.
Tak ada jawaban. Si Tua itu
tetap diam, seperti arca.
“Sebenarnya apa yang kau
rencanakan padaku, Raja Penyamar?” lanjut Andika, penasaran. Tapi tetap tak ada
sahutan meski Andika sudah tetap bersimpuh di depannya.
“Percuma kau menegurnya, Anak
Muda....”
Tiba-tiba terdengar sahutan dari
orang lain, di belakang Andika. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja orang
itu muncul. Telinga Andika yang terlatih pun, bahkan tak menangkap suara
kedatangannya.
Andika cepat menoleh, dan
hampir saja terlonjak manakala menangkap siapa orang yang baru saja datang.
Ternyata, orang itu Raja Penyamar juga
“Apa-apaan ini?” tanya Andika
tak mengerti.
Wajah Pendekar Slebor kontan
tertekuk. Dia merasa telah dipermainkan Raja Penyamar.
“O, aku tahu Lelaki yang duduk
ini tentu bukan kau. Dia hanya kau dandani hingga mirip denganmu, begitu
bukan?” sodor Andika, mengajukan kesimpulan.
“Kau salah,” sahut Raja
Penyamar yang baru datang, sambil menggeleng.
“Salah? Salah bagaimana? Aku
jadi bingung,”
gerutu Andika sambil menepak
kening.
“Yang duduk itu memang
aku....”
“Apa maksudmu? Apa kau sudah
ikut-ikutan sinting seperti lelaki yang terus menguntitku?”
Raja Penyamar yang baru datang
hanya menggeleng lambat. Senyumnya yang sejuk tersembul, menawarkan keramahan.
“Yang di dekatmu itu adalah
jasadku, Anak Muda,”
jalas Raja Penyamar.
“Jadi?” Andika terbengong.
“Kau telah mati?”
“Ya.... Empat puluh tahun yang
lalu.”
“Apa?”
Kali ini Andika benar-benar
terlonjak. Tubuhnya bangkit dengan wajah sulit dijabarkan. Dihampirinya lelaki
yang baru tiba.
“Kau tidak sedang bergurau,
bukan?” desak Andika sungguh-sungguh.
Sekali lagi, Raja Penyamar
menggeleng. Tetap perlahan dan tetap dengan senyum sejuk.
“Jadi yang selama ini kutemui
adalah rohmu?”
susul Andika, tak percaya.
“Benar. Tak seperti tiga orang
seangkatanku yang beruntung memiliki umur panjang hingga hari ini, aku justru
lebih dulu mati. Aku dulu mengidap penyakit yang tak ada obatnya. Aku tak
menyesal, karena itu adalah kehendak Yang Maha Esa. Namun tugasku dari-Nya,
rupanya belum selesai. Maka meski aku sudah mati, tapi masih diberi kesempatan
untuk menitipkan amanat....”
“Amanat?” “Ya Amanat pada
seorang berjiwa ksatria, berhati sekeras baja dan sebening pualam, berakal
seterang kilau berlian. Seorang yang hanya bisa menyelamatkan dunia persilatan
dari tangan lalim manusia jelmaan siluman....”
“Siapa orang itu?”
“Manusia Dari Pusat Bumi.”
“Bukan.... Maksudmu, siapa
orang yang akan diberi amanat itu?”
“Kau....” ***
Bagaimana Andika bisa menerima
amanat itu?
Apakah demikian berbahayanya
Manusia Dari Pusat Bumi, sehingga roh Raja Penyamar pun belum juga kembali ke
alam terakhirnya? Lalu, bagaimana pula nasib Lelaki Berbulu Hitam dan Pendekar
Dungu menghadapi Hakim Tanpa Wajah dan Manusia Dari Pusat Bumi?
Ikuti kelanjutan kisah ini
dalam episode : PENGADILAN PERUT BUMI
SELESAI