-------------------------------
----------------------------
Episode 07 Pusaka Langit
1
Gerimis masih terus turun. Tak
ada tanda-tanda kalau limpahan air dari langit itu akan segera reda. Padahal
telah hampir setengah harian hamparan tanah di-basahinya. Salakan guntur dan
kerjapan kilat mem-bungkam seluruh senandung satwa malam.
Yang kini terdengar rinai
rintik air yang menimpa daun pepohonan, atau meninju atap-atap rumbia rumah
penduduk. Sesekali desah angin dingin ikut memeriahkan tarian titik-titik air
yang bagai jarum-jarum halus di angkasa. Saat itulah, langit yang gelap pekat
karena malam, bagai hendak dibelah selarik cahaya merah bara.
Selubung udara ditembusnya
dalam kecepatan yang amat dahsyat. Cahayanya yang terang berbentuk memanjang,
seperti kelebatan seekor naga api.
Sementara, bulatan di ujung
depan memperlihatkan cahaya merah yang lebih terang daripada bagian lain.
Tanpa terlihat oleh siapa pun,
benda angkasa itu terus meluncur deras dalam suatu tukikan tajam.
Dengan sinarnya yang kemerahan
benda itu melintasi beberapa daerah membuat garis memanjang. Akhirnya dalam
sekejap benda itu lenyap, tenggelam dalam sebuah danau besar, Danau Panca Warna
Benda apakah itu?
Mungkin tak ada seorang pun
yang bisa meng-ungkapkannya, sehingga mengundang teka-teki.
Kini benda angkasa itu
tergolek di dasar Danau Panca Warna. Dingin air danau yang bisa membunuh
seseorang di malam hari, ternyata tak mampu meredam cahayanya yang memerah
bagai bara.
Sebagian dasar danau malah
menjadi terang benderang oleh warna merah kemilau.
Benda angkasa itu pun tergolek
dengan kebisuan-nya. Tidak seorang pun yang tahu, benda apa itu. Tapi bisa jadi
benda itu bakal membuat kegemparan di dunia persilatan.
Hari bergulir dalam putaran
waktu. Dua purnama telah berlalu, sejak jatuhnya benda angkasa ke dalam Danau
Panca Warna. Seperti biasa penduduk di desa sekitar danau itu melakukan
kegiatan sehari-hari.
Belum ada pengaruh yang
berarti bagi mereka.
Apalagi mereka tidak pernah
menyadari adanya sebuah kekuatan dahsyat yang tersimpan dalam benda angkasa
itu.
Jantung Desa Ambangan tampak sibuk
hari ini.
Tidak mengherankan, pusat desa
dijadikan pasar, tempat warga desa mengeruk nafkah atau membeli kebutuhan
sehari-hari.
Seperti hari-hari sebelumnya,
hari ini pasar di Desa Ambangan pun begitu ramai. Ada-ada saja suara ribut yang
terdengar. Satu sama lain saling tindih, seperti sebuah paduan suara tak
beraturan.
Matahari terus merambat hingga
tepat di atas kepala. Kini semakin siang, suasana pasar semakin tidak nyaman.
Kebisingan bukannya mereda, malah makin memuncak. Sengatan matahari pun makin
ngotot menggigit ubun-ubun kepala. Tapi orang-orang di pasar tidak ambil peduli
sama sekali. Mereka terus melakukan kegiatan masing-masing.
Sampai akhirnya,
“Hiii... haaa...”
Sebuah teriakan lantang
membahana tiba-tiba menghentikan kesibukan mereka serempak. Dengan tatapan
bingung, para pengunjung
menoleh berbarengan ke asal
teriakan. Kini semua orang melihat sosok lelaki hitam bertubuh kekar, tapi
pendek. Dia mengenakan celana pendek dengan baju. Kulitnya yang hitam, terlihat
berkilatan dijilati cahaya matahari. Begitu juga kulit wajahnya. Tak ada yang
pantas dilihat dari lelaki berumur tua itu.
Tubuhnya kumal dan rambutnya
kotor bergulung.
“Siapa dia?” bisik seorang
pedagang.
“Tidak tahu. Barangkali orang
gila nyasar,” jawab orang yang ditanya. “Tapi kalau diperhatikan, sepertinya
aku pernah melihat wajahnya....”
“Iya Aku juga begitu. Tapi
siapa ya?”
Sementara, penghuni pasar
mulai kasak-kusuk tak menentu membicarakan orang yang baru saja berteriak tadi,
tapi ada juga yang kembali meneruskan pekerjaannya, karena menganggap lelaki
itu hanya orang gila.
“Oooi Apa kalian semua tidak
tahu ada benda langit maha dahsyat jatuh ke desa kita? Benda langit bercahaya,
yang menyimpan kekuatan bintang
Kekuatan amat dahsyat Hua ha
ha... Kalau aku yang memilikinya, tentu akan menjadi tokoh nomor satu dunia
persilatan. Aku akan menjadi sakti mandraguna. Kalau aku sudah sakti, akan
kukawini sembilan puluh sembilan janda desa ini Aminah, Tukiyem, Samijah,
Jinten, Rokayah... ng, siapa lagi, ya
O, iya... Sulastri, Iyam,
Diding..., eh Si Diding kan bukan janda, dia kan duda? Masa' aku mesti kawin
sama lelaki buduk itu? Hi hi hi... Tak usah, ya...,”
oceh laki-laki berkulit hitam
itu.
Di sebuah kedai, beberapa
lelaki muda yang mendengar teriakan kacau orang itu menoleh ke arahnya.
Ucapannya barusan sedikit memancing rasa ingin tahu mereka, selaku warga dunia
persilatan.
“Apa aku tak salah dengar
tadi?” tanya seorang lelaki berjubah biru tua.
Wajah orang itu tak sebagus
pakaiannya. Malah boleh dikatakan pasaran. Rambutnya digelung dengan sisiran
rapi. Sedang di punggungnya tampak sebatang toya pendek.
“Jangan ikut-ikutan gila,
Paksi Kenapa kau harus percaya pada omongan orang sinting itu?” sergah lelaki
yang duduk di depan lelaki bernama Paksi tadi.
Sama seperti Paksi, laki-laki
itu pun mengenakan jubah biru tua. Wajahnya amat menawan. Kulitnya putih dan
berkumis tipis. Rambutnya dibiarkan terurai lepas, tapi tetap tertata rapi. Dia
sering dipanggil dengan nama Rudapaksa. Sebagai kakak seperguruan Paksi atau bernama
lengkap Rudapaksi cukup wajar kalau berani menegurnya agak keras.
“Tapi mungkin saja dia memang
pernah melihat benda keramat yang dimaksud, Kang,” bantah Paksi, takut-takut.
Rudapaksa kali ini tertawa
ringan.
“Ya Tapi, hanya dalam
angan-angan. Sudahlah, Paksi. Habiskan saja makananmu itu. Tugas kita untuk
menyampaikan amanat Guru mesti didahulu-kan.”
Rudapaksi menaikkan sudut
bibirnya. Dia agak kesal juga pada sikap kakak seperguruannya. Tapi biar
begitu, ucapan Rudapaksa tetap juga dituruti.
Mereka mulai melanjutkan makan
yang terpenggal beberapa saat tadi. Tapi baru saja mulai mengunyah beberapa
kali, kembali keduanya terhenti oleh kericuhan yang terjadi di tengah pasar.
Rupanya teriakan itu berasal dari orang gila tadi, yang kini kedua tangannya
dipegangi dua orang kekar berkulit hitam juga.
“Lepaskan aku Lepas Kalau
tidak, akan kukutuk kalian menjadi kodok bunting Ah Kodok bunting kurang bagus.
Sebaiknya kalian kukutuk menjadi tikus bingung. Hua ha ha... tikus bingung...
ngung...
ngung”
“Ayo, Buntar Kau harus pulang.
Jangan bikin keributan di pasar” bujuk lelaki yang ada di kanan orang gila
bernama Buntar itu. Nadanya seperti rayuan seorang ibu kepada anak bungsunya
yang merajuk minta dibelikan mainan.
“Benar, Bun. Ibumu di rumah
menunggu. Istri dan anakmu juga,” timpal lelaki yang ada di kiri Buntar.
“Huh Aku tak peduli mereka.
Aku hanya ingin memiliki benda sakti itu” bentak Buntar. Matanya mendelik bagai
hendak meloncat dari ceruknya.
“Mana ada benda yang kau
sebutkan itu Kau hanya dicolek setan danau” balas lelaki di kanan Buntar.
Buntar makin mendelik.
Sepertinya, dia akan menelan bulat-bulat kepala lelaki di kanannya itu.
“Siapa yang bilang begitu?”
hardik Buntar keras.
Sampai-sampai, air liur
terciprat ke mana-mana.
“Sialan,” gerutu orang yang
mendapat bagian cipratan air liur Buntar.
“Kau, sih Jangan bilang
begitu, Somad Bilang saja benda itu ada di rumahnya. Pasti dia mau pulang tanpa
dipaksa,” bisik lelaki yang ada di kiri Buntar hati-hati sekali.
“Kami sudah mendapatkan benda
angkasa itu, Bun. Sekarang ada di meja makan rumahmu,” ucap lelaki yang
dipanggil Somad tadi.
“Kok di meja makan, Mad.
Memangnya kerupuk?”
sergah lelaki teman Somad
dengan wajah bersungut- sungut.
“Biar saja, Rimang. Yang
penting dia mau pulang
Kenapa kau jadi goblok, sih?”
hardik Somad.
“O. Iya, Bun. Kerupuk itu, eh
Benda angkasa itu sudah ada di meja makanmu. Wah Bagus, lho Kalah perkedel
gosong” kata lelaki yang dipanggil Rimang, kebodoh-bodohan.
“Kalian bohong Kalian akan
dustai aku Tidak Aku tidak mau pulang, sebelum mendapat benda sakti itu” teriak
Buntar kalap.
Laki-laki pendek itu
melonjak-lonjak liar. Sekuat tenaga lelaki gila itu berontak dari cekalan
Rimang dan Somad. Tingkahnya sudah seperti kuda liar yang sulit dikendalikan.
Sehingga meski sudah sepenuh tenaga lengan laki-laki gila itu dipegangi, tetap
saja mereka terhempas juga oleh tenaga amukannya.
Buk Buk
Tubuh Rimang dan Somad
langsung menghantam tanah berbatu. Begitu bangkit, mereka meringis-ringis
menahan sakit tak kepalang tanggung di bagian bokong. Sementara puluhan orang
di pasar malah menertawakan mereka. Padahal, kedua lelaki itu bukan tontonan
kuda lumping
“Kalian tidak punya kerjaan,
ya? Masa' orang gila dilayani...,” celoteh seorang lelaki tua yang biasa
menyabung ayam di pasar.
“Ah Apa pedulimu, Ki” sergah
Somad sambil menepuk-nepuk bagian belakang tubuhnya, untuk mengenyahkan debu.
Kemudian kembali dicobanya menggiring pulang Buntar bersama Rimang.
Sebelum mereka sempat mencekal
pergelangan tangan Buntar, tiba-tiba keganjilan terjadi. Buntar mendadak ambruk
bergelinjang liar di atas tanah.
Tubuhnya berguling-gulingan
tak karuan. Sesekali tangannya mengejang keras, lalu mencakar-cakar permukaan
jalan.
Hal itu tentu saja membuat
Rimang dan Somad terbengong, layaknya sapi ompong. Bibir mereka yang kebetulan
sama-samar dower, terayun-ayun begitu saja. Sama sekali tidak disangka kalau
Buntar akan menjadi liar seperti itu. Selama ini, mereka hanya tahu kalau
lelaki itu lebih banyak berbicara simpang siur daripada mengamuk seperti ini.
“Nah, lo. Kenapa dia, Mat?”
tanya Rimang. Somad hanya bisa mengangkat bahu. Sementara, wajah hitamnya
diliputi keheranan luar biasa.
Belum lagi keheranan dua
lelaki itu terjawab, Buntar bangkit tiba-tiba. Matanya jalang, mengawasi sekeliling
pasar. Wajahnya yang semula lugu, kini berubah bengis. Otot-otot wajahnya
menegang sedemikian rupa, dengan sepasang alis terpaut ketat.
Sesaat kemudian, mulut orang
gila itu menggeram.
Suara yang dihasilkan
tenggorokannya terdengar bagai auman serigala. Bahkan tangan Buntar mengejang
dengan jari-jari langsung membentuk cakar. Perlahan-lahan tubuhnya membungkuk,
seakan siap menerkam.
“Aaargkh...”
Berbareng satu erangan
mengerikan, tubuh Buntar menerjang kedua kawannya penuh kebengisan.
“Wuaaa”
Sambil menjerit
sejadi-jadinya, Somad menubruk tubuh kawannya yang berdiri termangu-mangu di
sisinya. Ketakutan yang teramat sangat membuatnya mampu bergerak tanpa sadar.
Dan hasilnya, mereka memang bisa lolos dari terkaman ganas Buntar, meski harus
berguling-gulingan di tanah berdebu.
Sementara, Buntar sendiri
langsung menabrak tiang kayu penyangga kedai yang berdiri tak jauh dari situ.
Tiang kayu jati itu langsung dijadikan sasaran kebuasan Buntar. Tangannya
mencabik-cabik kayu sebesar paha manusia, seperti mencabik-cabik batang pohon
pisang.
Dua lelaki yang mencoba
membawa Buntar jadi menelan ludah menyaksikan kejadian itu. Di samping ngeri
saat membayangkan bila jadi sasaran amukan Buntar, mereka juga terperangah
bingung. Selama ini, Buntar dikenal sebagai laki-laki yang tidak pernah
memiliki ilmu olah kanuragan sedikit pun. Apalagi sampai mampu mengoyak-ngoyak
kayu jati seperti itu. Tapi kini yang disaksikan ternyata bertolak belakang
dari kenyataan yang diketahui selama ini.
Dari mana kekuatan Buntar ini?
Mereka tak bisa menjawab pertanyaan yang menggayut di benak.
Bagaimana mungkin kekuatan
Buntar bisa bagai sepuluh ekor singa jantan, sementara tak pernah terlihat
berguru pada guru mana pun?
Sesaat berikutnya, mata Buntar
beralih kembali pada Rimang dan Somad. Bahkan kali ini berkilat-kilat lebih
menggidikkan. Dua lelaki hitam itu tercekat.
Jantung mereka seperti hendak
pensiun saat itu juga.
*** 2
Somad dan Rimang, menjerit
bersahut-sahutan seperti dua orang yang menyaksikan setan di siang bolong, saat
Buntar menerkam. Tentu saja mereka tak pernah berharap menjadi sasaran cabikan
jari-jari laki-laki gila itu.
“Wuaaa Kita akhirnya mondar
juga. Mad” teriak Rimang kalang kabut.
“Buntar Ampun, Tar Biar Rimang
saja yang kau cakar-cakar” jerit Somad, tak kalah bingung.
Buntar tak mempedulikan
teriakan-teriakan mereka. Tubuhnya melaju deras, laksana kuda binal menuju
Somad dan Rimang. Kali ini tampaknya calon korbannya tak berniat dibiarkan
lolos begitu saja. Itu terlihat dari sinar merah matanya yang menancap, tepat
pada kedua calon korbannya.
Sesaat lagi Somad dan Rimang
menjadi korban terkaman Buntar, saat yang bersamaan meluruk serangkum angin
pukulan jarak jauh. Angin itu terus mendesir cepat, ke arah lelaki gila yang
sudah sebuas singa lapar. Dan.... Buk
“Aaargkh”
Berbareng satu erangan
mendirikan bulu roma, tubuh Buntar terpental lima tombak ke samping.
Diiringi bunyi keras berdebam,
Buntar jatuh ke tanah.
Tubuhnya berguling-gulingan
beberapa saat, bergerak deras. Kemudian tubuhnya menghantam kaki meja dagangan
seorang penjual batik. Brak
Para penghuni pasar yang
menyaksikan seluruh kejadian langsung berteriak kalang kabut. Apalagi pedagang
batik yang merasa dagangannya jadi kacau balau tak karuan. Demikian pula
wanita-wanita yang kebetulan sedang berbelanja di pasar itu.
“Kalem..., kalem” seru seorang
pemuda tampan dari satu sudut pasar. “Kalau kalian berteriak-teriak seperti
itu, pasar ini akan mirip tempat penampungan orang-orang sinting.”
Pemuda tampan itu berpakaian
hijau muda.
Perawakannya tegap dan gagah.
Rambutnya yang panjang sebatas bahu, tertata rapi. Sementara di bahu kekarnya
tersampir sehelai kain bercorak papan catur.
Dengan langkah santai serta
alis legam yang terungkit tinggi-tinggi, pemuda tampan itu mendekati Somad dan
Rimang. Mereka masih berpelukan satu sama lain. Sementara, Rimang pucat pasi
seperti mayat. Kakinya tertekuk lemas dan bergetar hebat.
Sedang Somad malah lebih parah
lagi. Celana kumalnya malah sudah dibanjiri cairan basah berbau pesing.
“Kenapa dia?” tanya pemuda
yang baru datang itu.
“Tit..., tidak tahu. Sejak dia
terakhir mengambil pasir di dasar Danau Panca Warna, tahu-tahu jadi begini,”
jawab Somad tersendat, seraya memiringkan jari telunjuk di dahinya.
“Kalian pencari pasir di danau
itu?” tanya pemuda itu lebih lanjut.
“Benar,” jawab Rimang ikut
bicara. “Kami mencari makan dari hasil menjual pasir. Tapi sejak Buntar seperti
itu, keluarganya tidak ada yang kasih makan lagi. Kasihan, ya Den? Sekarang,
kesintingannya makin gawat. Bagaimana, Den.... Apa bisa menolong kami?”
Pemuda berpakaian hijau muda
termangu di tempat. Matanya memperhatikan Buntar yang masih bergelinjangan di
tanah lekat-lekat. Sinar ke-prihatinan tampak di matanya melihat nasib lelaki
gila itu. Sementara itu, Buntar mulai berusaha bangkit, walaupun
terhuyung-huyung. Pukulan jarak jauh yang beberapa lama melumpuhkan
kekuatannya, kini mulai dapat dikuasai. Matanya tetap berkilat jalang, siap
menerkam orang yang telah menyerangnya.
“Tuh.... Tuh, Den Si Buntar
bangun lagi, tuh” seru Rimang kelimpungan. Matanya yang sudah besar kian
membesar seperti jengkol matang.
“Kalian lebih baik menyingkir
dulu ke tepi jalan,”
ucap si Pemuda tampan datar.
“Biar kucoba mengurus kawanmu....”
Tanpa menyahut lagi, Somad dan
Rimang
langsung lari tunggang
langgang ke tepi jalan. Tentu saja, mereka tidak akan sudi isi perut mereka
dikorek-korek jari Buntar.
Diamati puluhan pasang mata.
Pemuda yang ternyata Andika dan amat tersohor dengan julukan Pendekar Slebor,
tegak mematung di jalanan pasar.
Sebelas tombak di depannya,
Buntar telah siap menerjang. Sasarannya kali ini adalah Andika. Untuk beberapa
saat, keduanya hanya bertatapan. Mata merah Buntar menghujam tajam, ke
manik-manik mata laki-laki berjuluk Pendekar Slebor yang mem-balasnya dengan
tatapan iba.
“Aaargkh”
Buntar kini melesat menerkam
Pendekar Slebor.
Kebuasan serangannya terlihat
jelas pada jari-jemarinya yang meregang membentuk cakar.
Wusss
Dengan tenaga meledak-ledak,
cakaran Buntar mencoba merobek wajah Pendekar Slebor. Namun hanya sedikit
Andika melengos ke samping, sambaran tangan itu pun luput begitu saja di
sampingnya.
Mendapati kegagalan pada
serangan pertama, tentu saja Buntar jadi kalap. Dua tangannya segera bergerak
sekaligus, untuk mencabik-cabik wajah Pendekar Slebor bagai gerakan seekor kera
yang hendak menyambar buah.
Sekali lagi Andika dapat
meredam serangan, dengan memiringkan sedikit kepalanya ke belakang.
Sementara, tubuhnya tetap pada
tempat semula.
Sementara, orang-orang di
pasar berseru kagum melihat gerakan Andika yang berkesan gesit dan berani.
Namun, lain halnya Somad dan Rimang mereka malah seperti orang latah. Karena
terlalu ngerinya melihat serangan buas Buntar, keduanya jadi mengikuti gerakan
Pendekar Slebor tanpa sadar.
Mereka ikut memiringkan kepala
berbarengan, kemudian bergerak ke arah yang saling bertemu.
Dan....
“Adow” seru keduanya, seakan
yang sedang diserang.
Berbarengan dengan itu, wajah
mereka tampak meringis-ringis tak karuan. Ternyata kepala mereka saling
berbenturan.
Di arena pertarungan, Buntar
makin binal men-cecar Pendekar Slebor. Bukan hanya tangannya yang mencoba
merencah tubuh Andika. Kini, kedua kakinya pun turut ambil bagian.
Deb Deb
Dua kali tendangan ganas yang
terlihat liar, memapas ke arah dada Pendekar Slebor. Gerakannya seperti
seseorang yang hendak melempar tubuh Andika dengan hentakan telapak kakinya.
Sampai saat ini, Pendekar
Slebor sendiri hanya berkelit untuk menghadapi setiap serangan. Dia memang
masih menimbang berkali-kali untuk melancarkan serangan balasan. Apalagi lawan
yang dihadapinya kali ini bukan tokoh jahat yang haus darah.
Melainkan, hanya seorang
pencari pasir malang yang sedang dipengaruhi satu kekuatan ganjil. Meski sampai
saat itu Andika belum tahu, kekuatan apa yang mempengaruhi, namun bisa diyakini
kalau kekuatan itu memiliki daya cengkeram luar biasa pada diri seseorang.
Bahkan mampu membuat orang yang dirasukinya menjadi sebuas singa lapar dan
sekuat seekor gajah jantan
Jalan satu-satunya yang bisa
dilakukan Pendekar Slebor menotok Buntar agar tenaganya lumpuh.
Untuk melumpuhkannya, Andika
harus menotok jaring saraf di bagian punggung. Tapi sampai sejauh itu, memang
belum ada kesempatan. Buntar selalu saja bisa menutup kesempatan gerak Andika
dengan kibasan tangan yang liar. Itu sebabnya, Andika belum dapat menotoknya.
Sampai suatu saat, Buntar
melakukan terkaman bernafsu ke arah Pendekar Slebor. Maka, mata jeli Andika
dapat melihat kalau saat itu adalah kesempatan baik untuk melakukan totokan.
Selincah macan kumbang, tubuhnya cepat melenting ke depan dengan arah yang
berlawanan dengan gerak Buntar.
Sehingga, tubuh masing-masing
seperti dua batang tombak yang dilempar dari arah berbeda. Andika meluncur di
atas, sedang Buntar meluncur di bawah.
“Hup”
Tiba-tiba Pendekar Slebor
berputaran di tanah berdebu, bagai sebuah bola bergulir. Sebelum guliran
tubuhnya terhenti, sepasang kakinya menghentak ke tanah. Bersama kepulan debu
yang menyebar di udara, Pendekar Slebor kembali melenting ringan dengan satu
gerakan menawan, sehingga membuat semua mata yang menyaksikan menjadi
terbengong-bengong kagum. Tubuhnya lantas berputaran di udara bagaikan seutas
cemeti yang dilempar, lalu meluruk membawa satu serangan menakjubkan.
“Hup”
Tanpa memberi kesempatan pada
laki-laki gila itu untuk berbalik, Andika telah tiba tepat di belakangnya. Lalu
dengan kecepatan sukar diikuti mata awam, tangannya mengirim satu totokan ke
bagian bawah tengkuk Buntar.
Tuk
Bruk
Tanpa dapat melontarkan suara
sedikit pun, Buntar menggeloso di jalanan pasar. Seluruh kerangka tubuhnya
seakan dilolosi tanpa sisa. Dan ketika tubuhnya menghantam tanah, terciptalah
kepulan debu tebal yang merambah di sekitarnya.
“Fhuih....”
Andika membuang napas lega.
Rasanya dia seperti baru saja melepas beban amat berat yang menggelayuti pundaknya.
Bertempur dengan orang tak berdosa seperti Buntar, baginya lebih berat
ketimbang harus bertempur melawan tokoh sesat golongan atas. Bukan karena
tingkat kepandaian atau kebuasan yang telah diperlihatkan Buntar.
Melainkan, karena beban batin
yang amat berat jika menurunkan tangan kejam pada orang yang sebenarnya tidak
tahu apa-apa.
Somad dan Rimang lantas
bertepuk tangan
menyaksikan keberhasilan
Andika melumpuhkan Buntar. Wajah mereka langsung cerah ceria, tak beda wajah
kuli pelabuhan yang baru mendapat upah. Bibir mereka bahkan sampai bergerak
maju mundur saking senangnya.
“Hebat, Den” seru Rimang.
Andika yang merasa mendapat
sanjungan lugu, jadi tersenyum-senyum dalam hati.
“Yah, sudahlah.... Kisanak
berdua lebih baik membawa teman Kisanak pulang,” ujar Andika seraya menggandeng
bahu kedua lelaki itu.
Rimang dan Somad
mengangguk-angguk ber-
barengan. Setelah mengucapkan
terima kasih berkali-kali sambil menawarkan Andika singgah ke rumah mereka,
Somad dan Rimang akhirnya membawa Buntar pulang.
***
Desa Ambangan terletak tak
jauh dari Bandar Sunda Kelapa, salah satu bandar yang cukup ramai di Pulau Jawa
Dwipa. Banyak pedagang dari Malaka yang singgah ke sana untuk melanjutkan
pelayaran ke Maluku. Ada pula para saudagar dari Tiongkok, Arab, Gujarat,
Persi, dan saudagar dari negeri lain.
Sehari setelah kejadian di
pasar Desa Ambangan, Andika semula berniat mengunjungi beberapa negeri di
kawasan nusantara dengan menumpang kapal dagang para saudagar. Namun sejak
berurusan dengan lelaki gila kemarin, niatnya akhirnya diurungkan. Meski
demikian, Andika tetap menyinggahi Bandar Sunda Kelapa. Sekadar untuk
melihat-lihat keadaan.
Saat ini kapal dagang dari
Maluku merapat di dermaga. Para kuli kapal tampak sibuk menurunkan
rempah-rempahan dari lambung kapal. Semangat kerja mereka menciptakan keriuhan
yang sampai di telinga Andika. Padahal, dia berdiri dalam jarak yang cukup
jauh.
Sementara di tepi dermaga,
seorang syahbandar sedang berbincang dengan Saudagar Ternate pemilik kapal.
Dari cara berbicara, tampaknya mereka sedang membahas sesuatu yang penting,
berkaitan dengan denyut perdagangan di bandar ini.
Ketika pandangan Andika
beredar ke arah lain, matanya melihat lelaki berperawakan kekar dan berpakaian
pendekar turun dari geladak kapal. Pakaiannya memperlihatkan ciri khas kstaria
Tiongkok.
Bajunya yang memanjang ke
lutut, memiliki belahan pada sisi-sisinya. Kalau bajunya berwarna merah darah,
maka celananya yang memanjang berwarna hitam hingga tertutup lilitan tali
sepatunya. Di tepi lengan bajunya, terdapat rajutan dari benang ber-sepuh emas.
Ini menandakan kalau lelaki itu bukan rakyat jelata. Malah bisa jadi seorang
terhormat di negerinya.
Sebagaimana orang Tiongkok,
kulitnya begitu kuning. Apalagi ketika wajahnya disengat sinar mentari. Matanya
yang segaris terlihat makin menyipit kala mentari di ubun-ubun Bandar Sunda
Kelapa mengusik dengan sengatannya yang terik.
Kaki orang Tiongkok itu
menuruni jembatan menuju tepi dermaga dengan langkah mantap.
Dengan mantap pula kakinya
melangkah menjauhi dermaga ke arah Andika berdiri. Ketika makin dekat ke arah
Pendekar Slebor, bisa ditangkap ketampanan wajah lelaki Tiongkok itu. Dengan
ikatan rambut di atas kepala, dia terlihat lebih muda dari pada usianya yang
berkisar antara tiga puluh, hingga tiga puluh lima tahun.
Sekitar tiga puluh tombak dari
tempat Andika, dua lelaki lain datang menyambutnya. Kalau melihat ciri-cirinya,
mereka adalah Rudapaksi dan Rudapaksa, dua pendekar muda yang terlihat di
sebuah kedai di pasar Desa Ambangan.
“Selamat datang di Sunda
Kelapa, Saudagar Chin Liong” sambung Rudapaksa, lelaki yang tertua.
Sikapnya penuh keramahan serta
kehangatan.
Sambil tetap tersenyum, tangan
kanannya diulurkan.
Berbeda dengan sikap
Rudapaksa, lelaki Tiongkok bernama Chin Liong tak memperlihatkan kehangatan.
Dia memang menjabat uluran
tangan Rudapaksa.
Namun, wajahnya sedikit pun
tak menampakkan seulas senyum.
“Ah, ya. Ini adik
seperguruanku. Namanya, Rudapaksi,” lanjut Rudapaksa, tak mau memper-besar hal
sepele dari sikap Chin Liong.
Rudapaksi ikut menjulurkan
tangan kanan. Lalu disambut Chin Liong dengan wajah tetap dingin.
“Kenapa saudara Chin Liong
begitu terlambat dari rencana semula?” tanya Rudapaksa selanjutnya.
“Mmm, aku terpaksa melalui
jalur Maluku, karena musuh kerajaan kami tentu sudah mempersiapkan penyerangan
di sekitar Selat Malaka yang biasa kami lalui... jadi meski agak jauh, aku
harus menempuh Laut Tiongkok Selatan,” tutur Chin Liong dengan bahasa Melayu
terpatah-patah.
“Musuh kerajaan?” tanya
Rudapaksi agak heran.
“Apa mereka menginginkan benda
itu juga?”
Sesaat Chin Liong menatap
Rudapaksi lekat-lekat.
“Ya. Mereka bahkan bersedia
memenggal kepala rakyat tak berdosa, untuk mendapatkan benda ini.”
Rudapaksa dan Rudapaksi
menautkan alis ber- bareng. Rupanya, mereka mendapat tugas yang tidak main-main
dari guru mereka
***
Sementara itu, ada hal-hal
yang mengundang teka-teki di daerah Pesisir Utara Pulau Jawa Dwipa ini, bagi
Andika. Pertama kali menjejakkan kaki, Pendekar Slebor sudah dihadang pada
kejadian aneh. Tentang orang yang tiba-tiba menjadi hilang ingatan, lalu
memiliki kekuatan raksasa dan bertingkah buas.
Sehari berikutnya, Andika
dibuat penasaran oleh pertemuan tiga lelaki di Bandar Sunda Kelapa yang
hati-hati memperbincangkan tentang sesuatu.
Bahkan tampaknya akan
mengakibatkan per-
tumpahan darah
“Aku harus menyelidiki semua
itu agar semuanya menjadi jelas,” bisik Andika perlahan.
Untuk itu Pendekar Slebor
harus pergi ke Danau Panca Warna, sebagaimana disebutkan kawan Buntar.
Matahari mulai tersuruk di
barat cakrawala. Andika pun mengayunkan kakinya, meninggalkan Bandar Sunda
Kelapa yang tetap berdenyut dengan kesibukannya, kembali ke Desa Ambangan.
*** 3
Di Desa Ambangan, Andika
langsung menanyakan letak Danau Panca Warna pada seorang penduduk yang
kebetulan berpapasan dengannya di jalan.
Setelah mengetahui letak danau
itu, Andika melanjutkan langkahnya. Namun baru saja kakinya terayun dua tindak,
pemuda desa yang ditanyainya tadi menahannya.
“Tunggu, Kang” panggil pemuda
itu. Andika menoleh.
“Ada apa, Kisanak?” tanya
Pendekar Slebor seraya berbalik, dengan penasaran.
“Sebaiknya Kakang jangan ke
tempat itu,” lanjut pemuda tadi. Wajahnya tampak bersungguh-sungguh, saat
mengucapkan kalimat terakhir.
“Kenapa, Kisanak?” tanya
Andika lagi. Wajahnya makin dipulas warna penasaran.
“Apa kau tidak tahu danau itu
kini sudah dihuni mambang jahat?” pemuda itu malah balik bertanya.
Mendengar penjelasan pemuda
itu, Andika jadi melepas tawa ringan. Memang, masyarakat Jawa Dwipa seringkali
menghubung-hubungkan satu kejadian dengan hal-hal berbau takhayul. Bisa jadi,
mungkin karena pengaruh kepercayaan nenek moyang.
“Mambang jahatnya pakai
brewok, ya,” seloroh Andika tanpa maksud mengejek.
Maksudnya, Andika sekadar
berkelakar. Tapi kepercayaan seseorang, rupanya terlalu peka untuk dijadikan
sedikit gurauan. Buktinya, pemuda itu langsung memperlihatkan wajah tak senang
pada Pendekar Slebor. Andika akhirnya hanya bisa mengangkat bahu tinggi-tinggi.
“Kenapa Kisanak bisa berkata
seperti itu?”
“Sampai hari ini, sudah lima
orang penggali pasir yang tiba-tiba gila setelah menyelam ke dasar danau...,”
jelas pemuda itu.
“Lima orang?” penggal Andika
tanpa sadar. Tentu saja Pendekar Slebor menjadi terkejut, sebab yang diketahui
hanya Buntar.
“Ya Kemarin sore empat
penggali pasir menjadi hilang ingatan secara bersamaan. Mereka mengoceh-kan
sesuatu yang mereka lihat di dasar danau. Entah, benda apa. Apa kau belum
mendengar berita itu?”
tanya pemuda itu. Kata-kata
yang terlontar dari mulutnya terdengar tertahan-tahan. Ada kesan ketakutan
dalam dirinya.
Andika hanya menggeleng
sebagai jawabannya.
Sementara itu, tangannya
mengusap-usap dagu perlahan. Tampaknya, berita yang keluar dari mulut Buntar
sinting tak bisa dianggap main-main lagi
“Jadi, sebaiknya urungkan saja
niatmu untuk pergi ke Danau Panca Warna. Para penggali pasir saja tak sudi lagi
menjadikan tempat itu sebagai mata pen-caharian sejak hari ini,” lanjut pemuda
itu, memperingati.
Andika mengangguk-angguk. Bisa
dimaklumi perhatian penduduk desa seperti pemuda di hadapan-nya. Sifat tolong
menolong penduduk desa memang masih berakar kuat.
“Terima kasih atas nasihatnya,
Kisanak,” ucap Andika tulus.
Pemuda itu hanya membalas
ucapan terima kasih Andika dengan senyum ramah dan tulus pula. “Kalau begitu,
aku mohon pamit,” tutur pemuda itu sopan seraya mengangkat tangan
tinggi-tinggi.
“Silakan,” sahut Andika, juga
mengangkat tangan.
Pemuda desa itu melangkah,
meninggalkan Andika yang masih terpaku di tengah jalan setapak. Ketika dia
sudah berjalan sepuluh tombak, Andika segera menggenjot ilmu meringankan
tubuhnya untuk segera tiba di Danau Panca Warna. Itu sebabnya, ilmu meringankan
tubuhnya dikerahkan sampai pada tingkat yang paling tinggi.
Dalam sekerdipan mata, tubuh
Andika sudah lenyap dari tempat berdiri semula. Bumi seakan menelannya begitu
saja. Sementara pada saat yang bersamaan, pemuda desa tadi menoleh ke arah
tempat Andika berdiri. Dia ingin memastikan apakah Andika melangkah menuju
Danau Panca Warna.
Melihat tubuh Andika tiba-tiba
hilang tanpa bekas di depannya, biji mata pemuda desa itu langsung terbelalak
tak tanggung-tanggung. Sepasang bola matanya seakan hendak melompat keluar.
Beberapa saat dia tampak tergagap-gagap. Seluruh wajahnya saat itu pula seperti
kehilangan darah. Tak lama kemudian, dia lari tunggang langgang dengan wajah
seputih mayat.
“Tolooong Ada mambang danau”
jerit pemuda itu terseok-seok.
***
Cakrawala telah diselimuti
lembayung, ketika Andika tiba di Danau Panca Warna. Hari menjelang senja.
Matahari tampak memudar berwarna jingga di atas permukaan danau. Kemilau
bayangannya tampak menari-nari bersama riak halus air danau. Jika diperhatikan
sepintas, danau itu berkesan damai. Panorama sore yang melingkupinya, mampu
menyejukkan hati setiap insan yang menikmatinya.
Tidak hanya itu. Kulit pun
seperti dimanja dengan hembusan angin sepoi-sepoi basah yang sesekali berlari
di permukaan danau.
Namun di balik kedamaian itu,
sebenarnya ter-sembunyi sebuah kekuatan dari luar bumi pembawa bencana
pertumpahan darah. Dan Andika bisa merasakannya, meski belum bisa menduga lebih
jauh akan akibat yang bakal menimpa dunia persilatan oleh kehadiran benda asing
di dasar danau ini.
Pada dasarnya, Pendekar Slebor
sudah cukup yakin oleh berita yang disampaikan Buntar melalui setiap ocehannya.
Tak mungkin orang awam seperti Buntar mendadak memiliki kekuatan raksasa kalau
tak ada sesuatu yang mempengaruhinya. Namun begitu, Andika tetap merasa
penasaran untuk melihat sendiri benda yang dimaksud Buntar dengan mata kepala
sendiri.
Maka tanpa berpikir untuk
kedua kali, pendekar muda itu langsung melempar diri ke dalam danau.
Rasa penasarannya yang makin
membludak, membuatnya tak sempat berpikir untuk membuka pakaian.
Byur
Air dingin Danau Panca Warna
menusuk seluruh permukaan kulit Andika. Sesaat bisa dinikmati kesegaran alami,
mengenyahkan kepenatan yang sejak siang tadi menggelayuti tubuhnya. Setelah
mengisi penuh paru-parunya dengan udara di permukaan danau, Andika langsung
menyelam.
Cahaya senja ternyata masih
cukup mampu
menembus ke dalam danau.
Bahkan masih bisa menerangi dasarnya, biarpun kilaunya sudah redup.
Perlahan-lahan Pendekar Slebor
menyelam menuju dasar danau sedalam sekitar sepuluh tombak. Makin menembus ke
dalam, air makin terasa dingin menggigit. Dan tekanan pun makin memberat di
sekitar dadanya.
Saat matanya sudah dapat
menangkap per-
mukaan dasar danau, Pendekar
Slebor mulai menelusuri dari satu bagian ke bagian lainnya. Indra
penglihatannya saat ini benar-benar dipertajam, agar mampu menangkap keganjilan
keganjilan yang ada.
Namun sampai sejauh itu tak
juga ditemukan benda yang dimaksud. Yang terlihat hanya hamparan pasir danau,
batu-batu alam, tumbuhan danau, dan ikan-ikan yang riang bebas di dalamnya.
Sementara itu, dada Pendekar
Slebor mulai terasa sesak. Sudah beberapa kali napasnya dihembuskan sedikit
demi sedikit. Kini, persediaan udara dalam paru-paru benar-benar telah menipis.
Andika harus kembali ke permukaan dulu untuk mengambil napas kembali, lalu
menyelam lagi.
Dan baru saja Andika hendak
membuang sisa udara pernapasannya, tiba-tiba saja matanya menangkap sesuatu
yang amat menarik. Suatu kilauan cahaya merah bara
Andika memekik girang dalam
hati. Pasti, benda ini yang dimaksud Buntar tempo hari Maka tanpa mempedulikan
sesak di dadanya, mulai didekatinya benda bercahaya yang berjarak sekitar tujuh
tombak dari tempatnya.
Andika makin dekat. Dan
matanya pun terus menyipit, karena terpaan cahaya menyilaukan dari benda asing
itu. Anehnya cahaya merah bara menyilaukan itu terasa seperti mengirimkan
getaran ke dalam diri Andika. Suatu getaran yang makin menarik dirinya, untuk
terus mendekati.
Menyadari hal itu, dada Andika
mulai berdegup-degup kencang. Dan ini tentu saja menyebabkan persediaan udara
dalam paru-parunya menjadi cepat terkuras. Apalagi, dia hanya mengandalkan sisa
udara saja. Semua itu benar-benar di luar per-hitungan. Biarpun telah memiliki
pengalaman matang dalam dunia persilatan, namun dalam menghadapi keganjilan
benda itu Andika tak mau ambil resiko.
Segera Andika memutuskan
kembali ke per-
mukaan, untuk menghirup udara
segar. Setelah itu, dia akan kembali lagi. Tapi, maksud itu hanya sempat
terpercik di benaknya. Sebab satu tarikan tiba-tiba saja membetot tubuhnya
Kekuatannya lebih kuat daripada cengkeraman tangan-tangan sepuluh gurita
raksasa
Andika tergagap. Dalam
keterkejutannya, air danau jadi tertelan. Tentu saja hal itu membuatnya makin
blingsatan.
Andika sedikit menenangkan
hatinya, tapi itu pun tak menolong. Bahkan ketika dicoba untuk mengerahkan
kekuatan sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan, hasilnya tetap nihil.
“Gila” maki pemuda itu dalam
hati.
Bagaimana dia tidak memaki,
kalau kekuatan tarikan tadi seperti menelan kekuatan sakti miliknya?
Sebagai pendekar keras kepala,
Andika tidak mau menyerah begitu saja. Sekali lagi, tenaga sakti miliknya
dikerahkan. Bahkan sampai sehabis-habisnya.
Glrrrblb... blp
Sekejap, tercipta suatu
pusaran besar yang diramaikan oleh beribu-ribu gelembung udara. Itu pun masih
ditingkahi kerjapan sinar menyilaukan akibat benturan tenaga sakti Andika
dengan tenaga tarikan benda aneh itu.
Setelah itu, semuanya bagai
tersapu begitu saja.
Sinar menyilaukan yang tadi
tercipta, pusaran air, dan ribuan gelembung, lenyap tanpa bekas. Hanya
sisa-sisa pasir yang bertebaran tak beraturan di sekitar tempat itu. Sementara
Andika kembali dikekang tenaga tarikan yang tak bisa dipahaminya.
Andika kian gelagapan. Dan ini
amat mem-
bahayakan bagi dirinya. Maka
tanpa dapat ditahan lagi, pernapasannya menarik air danau dalam satu sedotan
tak disengaja. Air pun merambah ke saluran pernapasan pendekar muda ini,
sehingga membuat dadanya bagai dicabik-cabik sekawanan serigala.
Sesaat kemudian kepalanya
berdenyut amat keras, menyusul rasa sakit seakan dihimpit dua gunung raksasa.
Tubuh Andika kejang. Kesadarannya
perlahan mengabur. Begitu pula pandangannya. Sampai akhirnya, dia tak ingat
apa-apa lagi. Pingsan
*** 4
Seseorang tampak berdiri
mematung dalam
kegelapan malam di tepian
Danau Panca Warna. Cara berdirinya seperti menantang rembulan yang bagai mengambang
sepenggalan di atas permukaan air Danau Panca Warna. Pakaiannya berwarna biru
tua ketat. Rambutnya pendek dengan ikat kepala yang sewarna pakaiannya. Di
pinggangnya terselip dua toya pendek sepanjang lengan.
Entah, apa yang sedang
diperbuat orang itu di tepi danau yang kini dijauhi penduduk. Yang pasti,
matanya jatuh lurus pada bayangan lembut rembulan di permukaan air. Sesaat
kemudian terdengar keluhan dari mulutnya. Setelah itu, ditariknya napas
dalam-dalam, dan dihempaskannya keras. Seakan, dirinya sedang dirasuki
kejengkelan.
Rupanya orang itu telah puas
memandang permukaan danau. Setelah sekian lama hanya berdiam tanpa bergerak,
kini tubuhnya dipalingkan untuk segera berlalu dari tempat sunyi ini. Tapi niat
untuk pergi mendadak diurungkan, manakala matanya menangkap sesuatu terapung
lamban di tengah danau.
Orang itu menyipitkan matanya,
berusaha mem-perjelas pandangan. Bisa jadi, dia telah salah lihat.
Namun semakin ditatapnya lebih
jelas, malah hatinya semakin yakin kalau pandangannya tidak keliru.
Yang dilihatnya adalah tubuh
seseorang berbaju hijau muda.
“Ya, Tuhan...,” desis orang
itu meninggi, disergap keterkejutan. “Aku harus segera menolongnya.
Mudah-mudahan masih bernapas”
Orang itu lantas berlari
menuju sebuah sampan kecil yang tertambat tak jauh dari tempatnya. Dengan
sigap, dia melompat ke lambung sampan. Gerakannya terlihat amat ringan.
Sehingga sampan itu tidak terbalik meski kakinya menjejak di sisinya.
Diambilnya pengayuh yang tergeletak di lambung sampan.
Lalu dikayuhnya sampan itu
penuh ketergesa-gesaan.
Tanpa banyak memakan waktu,
orang itu telah sampai di dekat tubuh yang terapung tadi. Segera diangkatnya
tubuh itu ke atas sampan. Setelah berada di pangkuan, diperiksanya denyut nadi
lelaki malang yang ternyata Andika.
“Ahhh,” desah orang itu lega.
“Untunglah masih bernyawa. Rupanya, kau memiliki nasib cukup baik, Kisanak.
Kalau saja terapung dalam keadaan tertelungkup, tentu nyawamu sudah ditunggu
para penghuni kubur.”
***
Pagi telah menjelang, beriring
kicau burung di pucuk-pucuk pepohonan. Kabut tipis tampak merambat lamban,
diiringi alunan kokok ayam jantan di kejauhan. Sementara terabasan sinar tipis
di sela-sela dedaunan bagai menghiasi garis-garis ke-hidupan.
Setelah semalaman tak sadarkan
diri, kini Andika siuman. Kelopak matanya terbuka perlahan, lalu
mengerjap-ngerjap sesaat.
“Di mana aku?” desah Pendekar
Slebor, masih dalam keadaan telentang.
Perlahan pemuda itu bangkit,
lalu duduk lemah di bibir balai-balai bambu tempatnya terbaring. Sambil menarik
napas berkali-kali, pandangannya beredar ke sekeliling ruangan.
Ternyata, Andika berada dalam
sebuah gubuk kecil yang terbilang kotor. Di sana sini terlihat sarang laba-laba
serta debu tebal. Di lantai tanah, tampak bekas api unggun yang masih
mengepulkan asap tipis.
Sementara, jendela yang hanya
satu-satunya di gubuk bilik itu sedikit terkuak, membiarkan cahaya matahari
menerobos masuk.
“Ke mana tuan rumah yang jorok
ini” gerutu Andika.
Andika segera bangkit, dan
melangkah menuju pintu gubuk yang sudah berlubang-lubang dimakan rayap. Matanya
lantas mengerut, tatkala sinar matahari menimpa wajahnya yang agak pucat.
Dengan tangan kanan, dia
berusaha menghalangi cahaya matahari yang langsung menimpa matanya.
Setelah dapat menguasai silau,
matanya mulai mencari-cari. Tentu saja hendak mencari pemilik gubuk yang
seperti kandang setan itu.
“Oi, Kisanak” seru Pendekar
Slebor tatkala matanya telah menemukan seseorang berbaju biru tua sedang
memancing.
Dengan agak tertatih, gubuk di
tepi danau tadi ditinggalkannya untuk menghampiri orang berbaju biru yang
membelakanginya.
“Kisanak,” tegur Andika sekali
lagi, karena orang itu sama sekali tidak menoleh waktu diteriakinya tadi.
Tangannya dijulurkan ke bahu
orang berambut pendek itu, lalu disentuhnya.
Orang yang ditegur akhirnya
menoleh juga. Dan betapa terperanjatnya Andika, ketika melihat wajah orang
berambut pendek yang ternyata seorang wanita.
Sedikit gelagapan, Andika
segera menarik tangannya dari bahu wanita itu.
“Ma.... maaf, Nisanak. Aku tak
bermaksud kurang ajar. Kukira kau...,” ucap Andika terbata.
“Lelaki?” terabas wanita itu,
seperti tidak mempedulikan ucapan Andika. “Atau memang kau berpura-pura tidak
tahu, agar dapat menyentuh tubuhku?”
Andika menggaruk-garuk
kepalanya yang tak gatal.
Apalagi yang meski dikatakan
kalau menghadapi wanita kenes macam ini.
“Kenapa aku berada di
gubukmu?” tanya Andika lagi.
“Itu bukan milikku, tapi hanya
gubuk terbengkalai di tepi danau ini. Tapi yang penting bisa dimanfaatkan untuk
bermalam,” sahut wanita tadi, acuh. Kemudian dia terlihat asyik kembali dengan
kailnya.
“Jadi, kenapa aku berada di
gubuk itu?” ulang Andika, sedikit memperbaiki kalimatnya.
“Kau sendiri kenapa berada di
danau ini?” wanita itu balik bertanya, tanpa berpaling.
“Aku?” Andika tergugu.
Entah kenapa, Pendekar Slebor
tak ingat apa-apa lagi. Tentang kejadian yang kemarin sore dialaminya pun tidak
ada di benaknya. Itu sebabnya, dia tak mengerti maksud ucapan wanita di
depannya.
“Kenapa aku ada di danau ini?”
tanya Andika kebodoh-bodohan.
Ucapan Andika barusan tentu
saja memancing kejengkelan wanita berambut pendek ini.
“Kau orang dungu atau pemuda
pikun?” ledek wanita itu memalingkan tubuhnya ke arah Andika.
“Aku..., aku tidak tahu. Aku
tidak ingat apa-apa. Apa kau sudi menjelaskan padaku?” pinta Andika.
Wajahnya tampak sulit
dijelaskan, dengan alis terangkat kecil.
Wanita itu menatap Andika
lekat-lekat. Kelopak matanya yang berhias bulu mata lentik berwarna legam,
tampak mengerut. Begitu juga kening di wajahnya. Setelah menemukan kesungguhan
di wajah Andika, wanita itu tersenyum tipis.
“Aku menemukanmu terapung di
danau ini tadi malam.”
“Aku? Terapung? Kenapa
begitu?” tanya Andika beruntun.
Pendekar muda itu benar-benar
diombang-ambing kebingungan. Tak ada sedikit pun ingatan yang tertinggal di
kepalanya.
“Mana aku tahu” sahut wanita
itu cepat. Kembali dia jengkel. Lalu, tubuhnya berbalik lagi. Kailnya kali ini
rupanya mendapat mangsa.
“Hih”
Berbareng dengan satu teriakan
kecil, wanita itu menarik kail yang bergerak-gerak. Tapi yang terkait di mata
kail membuat wanita itu tertawa renyah.
“Hi hi hi... Kukira mendapat
ikan besar, tak tahunya hanya kain gombal” ujar wanita itu diselingi tawa
sambil menggoyang-goyangkan kail yang kini digelayuti kain bercorak catur.
Sementara dia sibuk tertawa,
Andika malah menatap kain itu penuh perhatian. Kain itu meng-ingatkannya pada
sesuatu. Tapi, entah apa. Pendekar Slebor sendiri masih samar.
“Hey? Kenapa kau tidak
tertawa?” sentak wanita berambut pendek ini pada Andika. “Apa kau tidak berselera
untuk berguyon?”
Andika menyahuti hanya dengan
gelengkan kepala.
“Huh Rupanya aku telah
menolong pemuda
bodoh,” rutuk wanita itu
dongkol.
Andika tak mempedulikan. Malah
kakinya melangkah kembali menuju gubuk dengan kepala tertunduk. Benaknya masih tidak
habis pikir, kenapa ingatannya hilang begitu saja.
“Apakah aku memang pemuda
bodoh seperti
disebut wanita itu? Lalu,
siapa aku? Siapa namaku?
Dan, kenapa aku berada di
sini?” kata batin Pendekar Slebor, bertanya pada diri sendiri.
“Hey” panggil wanita tadi.
“Kau tidak tersinggung dengan ucapanku tadi, kan?”
Andika menoleh, lalu
menggeleng.
“Aku Ratna Kumala. Kau boleh
memanggilku Ratna. Siapa namamu?” lanjut wanita itu bersama sebaris senyum
tipis sebagai permohonan per-sahabatan.
Andika menaikkan keningnya.
“Aku tidak tahu,”
jawab pemuda itu perlahan.
Ratna Kumala merengut lagi. “Nisanak Boleh aku minta kain itu?” pinta Andika.
“Untuk apa gombal ini?” tukas
Ratna Kumala, sambil menahan tawa.
“Aku tidak tahu. Rasanya kain
itu ingin kumiliki.”
Ratna Kumala tertawa. Kali ini
lebih nyaring, dan terdengar riang.
“Kau bisa menjengkelkan,
sekaligus lucu Nih
Ambillah”
Ratna Kumala melempar kain
bercorak catur basah pada Andika. Dan seketika Pendekar Slebor pun
menangkapnya.
“Terima kasih,” hatur Andika.
Kemudian Pendekar Slebor
melanjutkan langkah- nya, meninggalkan wanita itu.
“Hey Jangan panggil aku
Nisanak lagi, ya Apalagi Kisanak”
Andika tak menyahut, dan terus
berjalan sambil terus mengamati kain bercorak catur di tangannya.
***
Desa Ambangan kini telah
dibanjiri pendatang dari berbagai daerah. Mereka rata-rata tokoh persilatan,
baik dari golongan putih atau hitam, dari kelas bawah hingga kelas atas.
Orang-orang itu layaknya semut
yang mendatangi gula. Ya Desa Ambangan belakangan ini menjadi gula bagi seluruh
kalangan persilatan, setelah tersiar kabar tentang benda sakti di dasar Danau
Panca Warna.
Tujuan utama mereka tentu saja
untuk mendapatkan benda sakti itu. Di samping, ada pula yang hendak bertemu
rekan segolongan, yang pada umumnya dilakukan oleh para pendekar golongan
putih.
Sementara ada pula yang
berniat mencari guru atau menjajal ilmu yang sudah dimiliki.
Dan pagi ini, datang lagi tiga
orang berpenampilan sangar. Yang seorang adalah laki-laki berwajah penuh brewok
kasar. Rambutnya berdiri tegak, seperti duri landak. Matanya memancarkan sinar
kekejaman dengan alis yang tumbuh samar-samar. Hidungnya pesek. Wajahnya yang
berbentuk persegi, menampakkan rahangnya yang kokoh. Lelaki berperawakan tinggi
besar itu dikenal dengan nama Atma Sungsang.
Yang berjalan di tengah
bernama Kebo Ireng. Jika mendengar namanya, bisa terbayang kalau
perawakannya besar dan kekar.
Padahal sebaliknya, justru lelaki itu berbadan kerempeng. Dan tubuhnya paling
tinggi dibanding dua temannya. Wajahnya tirus, sebagaimana orang kurus.
Hidungnya lancip dan matanya cekung. Sejumput jenggot ikut menghiasi wajahnya
yang mirip tikus.
Yang terakhir bernama
Jarjaran. Melihat penam-pilannya yang mirip Atma Sungsang, sudah bisa
dipastikan kalau dia masih bersaudara dengannya.
Bedanya, Jarjaran tidak
memelihara brewok. Dagunya tampak licin, karena sering dipangkas dengan
goloknya.
Mereka bertiga mengenakan
pakaian sewarna.
Hitam. Celananya sebatas
lutut. Laki-laki bernama Atma Sungsang menyandang parang berukuran besar pada
pinggangnya. Sedangkan Kebo Ireng membawa senjata berbentuk kipas.
Ketiga lelaki sangar itu kini
memasuki sebuah penginapan. Sebagaimana desa yang dekat bandar, penginapan itu
diramaikan oleh para pendatang dari beberapa negeri yang menginap untuk
menunggu bongkar muat barang di kapalnya. Namun mulai tiga hari yang lalu,
penginapan ini juga dipenuhi para pendekar yang mengisi kamar demi kamar di
sana.
Kebo Ireng selaku lelaki
tertua, memasuki ruang tengah penginapan lebih dahulu. Langkahnya terlihat
angkuh. Tak beda Atma Sungsang dan Jarjaran di belakangnya.
“Kami pesan tiga kamar,” ucap
Kebo Ireng dingin pada pemilik penginapan di meja penerimaan tamu.
“Aduh.... Sayang sekali, Tuan.
Kami hanya punya sisa dua kamar,” jawab pemilik penginapan ramah.
“Tiga” terabas Kebo Ireng,
keras.
“Wah Kalau Tuan menghendaki
tiga kamar, sebaiknya cari di penginapan lain saja. Barangkali di sana masih
banyak kamar, Tuan...,” usul pemilik penginapan, sambil tersenyum sopan.
“Jangan bertele-tele
Menyediakan tiga kamar, atau ditukar nyawamu?” ancam Kebo Ireng, tetap dingin.
Diancam seperti itu, laki-laki
tua pemilik penginapan ini jadi mengerut. Wajahnya berubah pias pasi.
“Ma..., af, Tuan. Kami
sungguh-sungguh hanya punya dua kamar. Kamar lain sudah terisi semua,”
ucap laki-laki tua itu agak
memelas.
Brakkk
Baru saja ucapan pemilik
penginapan itu selesai mendadak saja Kebo Ireng menggebrak meja setinggi
pinggang di depannya.
Gebrakannya terlihat ringan.
Tapi akibatnya tidak pernah diduga. Meja jati itu langsung jebol
berkeping-keping. Padahal tebalnya hampir sejari telunjuk.
Pemilik penginapan tersentak
ke belakang. Wajahnya makin memucat. Bulir-bulir keringat dingin pun sudah
membasahi keningnya.
“Apa kau tak punya otak?
Kenapa tak diusir saja seorang tamu yang menempati kamarmu?” dengus Kebo Ireng
tanpa perubahan pada wajahnya. Wajah dan bicaranya tetap dingin. Sedangkan
matanya memandang penuh ancaman.
“Ba..., bagaimana aku harus
mengusir tamuku sendiri, Tuan?” jawab pemilik kedai, masih berusaha menolak.
“Kau bertele-tele sekali,
Bangsat” hardik Atma Sungsang dari belakang Kebo Ireng.
Lelaki ini rupanya sudah tidak
sabar lagi. Gagang parang di pinggangnya bahkan sudah diangkat.
Namun, Kebo Ireng mengangkat
tangan kanannya, memberi isyarat pada Atma Sungsang untuk tetap tenang.
“Jangan sia-siakan
nyawamu...,” ujar Kebo Ireng setengah berbisik pada pemilik penginapan. “Toh
lebih baik kau kehilangan seorang pelangganmu, ketimbang mesti kehilangan
nyawa?”
“Baik..., baiklah,” sahut
pemilik penginapan terbata-bata.
Kemudian laki-laki tua itu
segera meninggalkan meja penerima tamu. Dia naik ke lantai atas dengan setengah
berlari.
Sementara tiga lelaki sangar
itu hanya tertawa terbahak-bahak melihat tingkah pemilik kedai yang terlihat
bagai tikus comberan di mata mereka. Dan tawa mereka langsung putus ketika....
“Kunyuk Apa kau kira aku ini
anjing yang bisa kau usir seenaknya, hah”
Terdengar keributan dari
lantai atas. Rupanya pelanggan yang hendak diminta keluar oleh pemilik
penginapan, tidak bisa menerima perlakuan itu begitu saja. Kemudian terdengar
suara langkah berlari, diselingi makian-makian kasar.
Pemilik penginapan itu berlari
serabutan menuruni anak tangga penginapan yang terbuat dari kayu yang disusun
berputar pada satu tiang. Sementara seorang lelaki setengah baya berbadan tegap
menyusul di belakangnya, dengan mengacung-acungkan samurai.
“Ampun, Tuan.... Ampun” teriak
si pemilik penginapan mengiba-iba sambil tetap berlari.
“Berhenti” bentak Jarjaran.
Kedua yang tengah
kejar-kejaran berhenti tiba-tiba begitu mendengar bentakan yang terasa
menggetarkan dinding kayu penginapan.
“Kisanak Kuminta kau
meninggalkan penginapan ini. Kamarmu akan kami pergunakan,” sentak Kebo Ireng
lantang dari lantai bawah.
“Apa?” balas lelaki yang
memegang samurai.
Wajahnya yang hitam tampak
semakin matang terbakar kegusaran. “Seenak dengkulmu saja bicara.
Kau pikir dirimu raja?”
Sementara Kebo Ireng menatap
laki-laki itu disertai sebaris senyum sinis. Sikapnya begitu mengejek,
seolah-olah menganggap kemarahan lelaki setengah baya itu hanya sebagai
tontonan meng-asyikkan.
“Jangan menatapku seperti itu,
Kunyuk”
Kebo Ireng malah terkekeh.
“Kau terlalu banyak bacot,
Kisanak,” cemooh Kebo Ireng seraya menjentik pecahan meja jati di depannya.
Zing
Mendadak melesat sesuatu dari
tangan Kebo Ireng. Begitu cepatnya, sehingga laki-laki yang memegang samurai
tak menduga sama sekali. Dan....
Jep
“Wuaaa...”
Lengkingan panjang terdengar
dari mulut lelaki setengah baya malang itu. Tanpa pernah diduga, pecahan kayu
itu ternyata langsung menembus perutnya. Dari sini bisa diukur, betapa
dahsyatnya tenaga dalam Kebo Ireng.
“Satu... dua,” dengan santai
Kebo Ireng meng-hitung. “Tiga...”
Bersamaan dengan berhentinya
hitungan Kebo Ireng, tubuh lelaki itu ambruk, lalu menggelinding di atas anak
tangga.
Brak
Tubuh laki-laki itu baru
berhenti bergulir, setelah menabrak dinding ruangan di bawah. Tak ada gerakan
sedikit pun di tubuhnya. Tampak darah mengalir dari lukanya akibat terjangan
pecahan kayu.
Sementara, semua mata
memandang ke arah
sosok yang telah diam tak
berkutik lagi. Sedangkan mata Kebo Ireng telah tertuju pada pemilik penginapan.
“Nah Sekarang, kami bisa
mendapat kamar, bukan?” kata Kebo Ireng pada pemilik penginapan.
Pemilik penginapan tak bisa
menyahut. Tubuhnya masih mengejang kaku, setelah menyaksikan satu kejadian
mengerikan. Bibirnya bergetar hebat, seakan hendak mengucapkan sesuatu yang tak
bisa di-keluarkannya.
“Tidak perlu, Ki. Beri saja
mereka kandang kambing” tiba-tiba terdengar suara wanita yang berasal dari
pintu masuk penginapan.
*** 5
“Siapa yang berani bertingkah
di hadapan Tiga Setan Selatan?”
Kali ini Atma Sungsang yang
membentak. Tubuhnya segera berbalik, menghadap pintu masuk. Kini terlihatlah
seorang gadis berambut pendek berpakaian biru tua tengah berdiri santai tepat
di mulut pintu. Dan gadis itu memang Ratna Kumala.
Sementara itu para penghuni
kamar lain ber-munculan di dekat pintu masing-masing setelah mendengar jeritan
tadi. Di antaranya, malah sudah menyiapkan senjata di tangan. Mereka adalah
beberapa tokoh persilatan yang selalu siaga terhadap kekacauan. Namun belum ada
satu pun yang hendak turun tangan.
“Ooo, Tiga Setan Kurapan?”
ejek Ratna Kumala acuh tak acuh.
“Perempuan keparat Rupanya dia
minta di-cincang, Kang,” dengus Jarjaran amat geram.
Meski mata ketiga lelaki yang
memperkenalkan diri sebagai Tiga Setan Selatan itu menghujam lurus-lurus ke
arahnya, namun Ratna Kumala tetap bersikap santai. Malah dengan tenang kakinya
melangkah ke dalam ruangan sambil menoleh ke sana kemari, melihat-lihat keadaan
penginapan. Seakan-akan tak dipedulikannya Tiga Setan Selatan yang begitu muak
melihat tingkahnya.
“Hm.... Para tamu terhormat.
Para saudagar dan para pendekar. Penginapan ini rupanya telah di-masuki tiga
ekor kecoa mabok. Tapi, percayalah padaku. Mereka tak akan senang ditonton
seperti itu,” celoteh Ratna Kumala.
Kebo Ireng berusaha menahan
diri agar tak kalap menerima ejekan habis-habisan dari Ratna Kumala.
Namun beda dengan Atma
Sungsang. Seluruh wajah lelaki itu langsung matang. Rahangnya bergemelutuk,
memperlihatkan tarikan otot kegeraman. Dari hidung-nya yang pesek terdengar
dengusan napas sebagaimana banteng murka. Maka tanpa meminta pertimbangan Kebo
Ireng lagi, Atma Sungsang menerjang Ratna Kumala dengan parang besar di tangan
disertai makian yang menggelegar ke seluruh ruangan.
Kemarahannya yang memuncak
membuat Atma
Sungsang ingin secepatnya
menghabisi gadis itu, maka senjatanya langsung diarahkan ke kepala wanita yang
membuat ubun-ubunnya hendak
meledak ini.
Wet
“Heit”
Ratna Kumala bertindak cepat
dalam menghadapi sabetan parang yang bergerak dahsyat. Tubuhnya langsung
bersalto ke belakang. Namun, serangan Atma Sungsang memang tak
tanggung-tanggung.
Sebelum kaki gadis itu
mendarat mantap di tanah, parangnya sudah diayunkan kembali dalam
kecepatan luar biasa.
“Heaaa”
Wet Wet
Mau tak mau, Ratna bersalto ke
belakang kembali.
Bahkan sampai tubuhnya hampir
mencapai pintu keluar, Atma Sungsang tetap memburu bagai kerasukan.
Pada saat bersamaan, mendadak
seseorang masuk ke rumah penginapan ini. Begitu asyiknya dia memperhatikan
sesuatu di tangannya, sampai-sampai tak menyadari kalau tubuh Ratna Kumala
berputar deras ke arahnya. Dan....
Buk
“Adaow”
Orang itu berteriak nyaring,
begitu kaki Ratna Kumala mendepaknya tanpa sengaja. Orang yang ternyata pemuda
berpakaian hijau itu tak lain Andika alias Pendekar Slebor. Kini pendekar ini
telah kehilangan seluruh ingatannya akibat gangguan pada otak besarnya, ketika
mengalami cidera di dasar Danau Panca Warna.
Andika langsung tersuruk
mendapat hantaman keras tadi. Kain bercorak catur yang menjadi pusat
perhatiannya tadi terlempar dari tangannya. Dan memang, kain itu sampai saat
ini masih menjadi bahan pemikirannya.
“Sialan Tengik sekali kau,
Ratna” maki pemuda itu pada Ratna Kumala yang sudah berdiri di sisinya.
Andika segera bangkit dengan
wajah bersungut-sungut. “Kenapa kau bercanda keterlaluan dengan lelaki bengkak
itu, sih?”
Mendengar kicauan jengkel
Andika, Ratna Kumala jadi tertawa geli. Matanya melirik Atma Sungsang yang
lantas mendelik mendengar ucapan Andika.
“Tadi kau meninggalkanku
begitu saja. Setelah kutemui, malah menabrakku tanpa permisi” rutuk Andika.
“Hey, Pemuda Dungu” hardik
Atma Sungsang.
Atma Sungsang benar-benar
jengkel disebut lelaki bengkak. Apalagi, dia memang sedang diamuk kemarahan
oleh ulah Ratna Kumala.
“Hah? Apa?” tanya Andika,
seraya mengangkat wajah kebodoh-bodohan.
“Apa? Kau tadi menyebutku
apa?”
“Lelaki bengkak,” sahut
Andika, seperti tak merasa salah.
“Keppparaaat...” desis Atma
Sungsang. Hidungnya sudah kembang kempis karena gusar.
Di lain pihak, Andika malah
sibuk mencari-cari kain bercorak caturnya. Matanya jelalatan ke sana kemari,
sampai akhirnya kain yang dicari ditemukan tengah berada di bawah kaki Atma
Sungsang.
“Na, itu dia” seru pemuda itu
tertahan.
Lalu Andika menghampiri kain
itu tanpa mempedulikan Atma Sungsang. Padahal, lelaki tinggi besar itu sudah
ingin mengunyahnya hidup-hidup.
“Den Gemuk Permisi, ya. Apa
kakinya bisa diangkat?” kata Andika kalem. Sementara tangannya sudah siap
menarik kain bercorak catur di kaki Atma Sungsang.
“Babi Rupanya, kau memang
minta mampus”
hardik Atma Sungsang.
Tangannya pun terangkat tinggi-tinggi, untuk membenamkan ujung parangnya ke
punggung Andika yang sedang merunduk.
Wet
“Awas” pekik Ratna Kumala,
memperingati.
Teriakan Ratna Kumala begitu
melengking nyaring, membuat telinga Andika bagai ditusuk sebatang lidi.
Bukan itu saja. Pendekar muda
yang sedang mengalami gangguan ingatan itu jadi tersentak tak alang kepalang.
Dan seketika kain bercorak catur yang sudah dipegangnya ditarik mendadak.
Akibatnya....
Bruk
Atma Sungsang kontan jatuh
berdebam di lantai penginapan. Tubuhnya yang tambun menciptakan getaran kecil
pada tiang dan dinding kayu penginapan.
“Aduh.... Maaf ya, Den Gemuk.
Aku tak sengaja,”
ucap Andika tergesa-gesa.
Bibirnya meringis-ringis melihat Atma Sungsang jatuh. Padahal yang merasakan
sakit bukan dia.
“Babi Babi Babi” maki Atma
Sungsang gencar.
Segera laki-laki itu mencelat
bangkit. Ke-kalapannya kini benar-benar membuatnya nyaris edan. Dia berteriak
sekuat-kuatnya, tatkala melabrak Andika kembali.
“Khuaaa...”
Wet Wet
Dua tebasan Atma Sungsang
sekaligus hendak memotong lutut dan leher Andika. Gerakannya benar-benar sudah
membabi buta. Tak dipedulikan lagi, apakah lawannya nanti bakal menjadi daging
cincang atau perkedel.
“Mak Mat..”
Andika melompat tak karuan.
Tangannya mendekap wajahnya sendiri, mirip anak kecil yang hendak dipukuli
ibunya,
Sebelumnya, Ratna Kumala sudah
mengira riwayat Andika akan tamat di ujung parang Atma Sungsang.
Bagaimana perkiraan itu tidak
muncul, kalau serangan Atma Sungsang demikian cepat mengancam tubuh Andika.
Padahal selama ini yang diketahuinya, Andika hanyalah pemuda bodoh yang pikun
Kini, gadis itu boleh ternganga. Nyatanya, pemuda yang dianggap bodoh itu mampu
mementahkan tebasan Atma Sungsang dengan gerakan cepat luar biasa. Meski
terlihat tolol.
“Hiaaa”
Wet Deb
Serangan susulan Atma Sungsang
yang berupa tebasan-tebasan parang, disertai tendangan-tendangan dengan ganas
ke beberapa bagian tubuh Andika. Terkadang, menyapu gencar ke kepala.
Sesekali menotok. Malah tak
jarang pula mencoba menghantam selangkangan. Namun semua itu dengan mudah
dihindari Andika. Sampai suatu saat, tubuhnya seperti berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lain.
Sementara itu, Ratna Kumala
makin terpana.
Sungguh tak dikira kalau
pemuda tolol itu akan melakukan gerakan mengagumkan?
Tak hanya Ratna Kumala
terkagum-kagum melihat setiap kelitan Andika. Bahkan tamu penginapan pun sampai
berdecak-decak kagum Meski di antara mereka terdapat tokoh berkepandaian cukup
tinggi, tak urung mereka sampai terlongong bengong.
Di ruang tengah, pertarungan
berjalan kian sengit.
Tapi sampai sejauh itu,
Pendekar Slebor belum tampak hendak balas menyerang. Sampai suatu saat,
tubuhnya melenting gesit ke udara. Setelah beberapa kali berputaran, kakinya
menjejak ringan sejauh enam tombak di depan Atma Sungsang.
Di lain pihak, Atma Sungsang
tampak tersengal-sengal kehabisan napas. Hampir seluruh tenaga dalam,
kecepatan, dan jurus-jurus dahsyat dikerah-kannya. Namun, Pendekar Slebor tetap
biasa-biasa saja.
Kini, Atma Sungsang menatap
jalang pada Andika dengan napas senin-kemis. Sedangkan Andika bergerak kian
kemari, memperlihatkan kembangan jurus yang terlihat ganjil. Setiap kali
tubuhnya bergerak, bayangannya yang terlihat. Gerakannya benar-benar bagai
sambaran kilat. Tak ada yang indah dari jurus-jurusnya. Tapi, mata para tokoh
yang sudah banyak makan asam garam akan segera tahu kalau gerakan itu merupakan
gerakan tangguh yang amat sulit ditembus. Itulah jurus ketiga puluh dari
rangkaian jurus 'Memapak Petir Membabi Buta'.
Entah bagaimana jurus-jurus
yang tercipta di Lembah Kutukan masih melekat kuat dalam otaknya.
Padahal buat Andika sendiri,
seperti asal gerak saja.
Bisa jadi setiap jurus
ciptaannya sudah begitu menyatu dalam dirinya, sehingga kelumpuhan ingatan yang
dialami tak sedikit pun mempengaruhi jurus-jurusnya.
Melihat jurus-jurus Andika,
Atma Sungsang jadi tercekat. Tak mungkin seorang berkepandaian tanggung dapat
melakukannya. Bahkan Kebo Ireng yang berkepadaian lebih tinggi dari dirinya
pun, tidak bakalan mampu.
Dan tiba-tiba saja, Atma
Sungsang menyadari kalau dirinya tengah berhadapan dengan tokoh kelas atas
dunia persilatan. Padahal, dirinya sendiri? Hanya bajingan tengik yang masih
perlu mencari guru
Tanpa disadari, kaki Atma
Sungsang tersurut dua langkah. Pada saat itu pula dia ingat desas-desus tentang
seorang pendekar kalangan atas yang mampu melakukan gerakan secepat kerjapan
kilat.
“Pendekar Slebor...,” desah
Atma Sungsang cukup keras bersama wajahnya yang memucat.
Tak lama kemudian, Atma
Sungsang berbalik, lantas mengambil langkah seribu. Dia berlarian menuju
jendela besar penginapan. Dan langsung diterjangnya jendela agar bisa cepat
tiba di luar.
Sementara, Kebo Ireng dan
Jarjaran telah menyusut di sudut meja penerimaan tamu yang sudah berlubang pada
bagian tengahnya. Sama seperti Atma Sungsang, mereka pun teringat pada
kebesaran nama Pendekar Slebor. Mendengar nama besar itu, nyali mereka langsung
menciut.
“Loh? Den Gemuk tadi ke mana?”
tanya Andika dengan wajah bingung ketika gerakannya berhenti perlahan-lahan.
Pendekar Slebor jadi
celingukan ke sana kemari, mencari-cari lawannya tadi.
“Wah, Den Gemuk.... Rupanya
dia lupa kalau pintu keluar ada di belakang sana,” gumam Andika saat matanya
menemukan jendela besar di sudut timur porak poranda.
“Pemuda tak tahu diri Jadi
selama ini kau hanya mau mempermainkan aku, ya?”
Tiba-tiba terdengar bentakan
seorang wanita di belakang Pendekar Slebor.
Andika cepat menoleh. Rupanya,
Ratna Kumala sedang menghampirinya dengan wajah garang.
Tangan lentiknya bahkan
menuding-nuding kasar.
“Ada apa, Ratna?” tanya Andika
heran.
Pemuda itu bingung, tahu-tahu wanita
jelita yang dikenalnya beberapa hari ini membentak-bentak tak karuan.
“Kenapa? Jangan berpura-pura
lagi padaku Apa kau pikir telingaku tuli? Aku dengar ucapan lelaki bajingan
tadi” dengus Ratna Kumala.
“Ucapan apa?”
“Apa?” mata Ratna Kumala mendelik
sejadi-jadinya. “Lelaki tadi mengatakan kalau kau adalah Pendekar Slebor, yang
sakti dan suka menipu wanita”
“Siapa Pendekar Slebor?” tanya
Andika lagi, benar-benar menjengkelkan Ratna Kumala.
“Siapa? Ya, kau Kau telah
berpura-pura tolol untuk mempermainkan aku. Kau mencoba mem- perolok-olok aku,
heh. Kau... penipu”
Andika melongo. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
“Mulai sekarang, jangan pernah
dekati aku lagi.
Anggap saja aku tak pernah
menolongmu. Dan, aku tak pernah kenal padamu Apa dikira aku akan memelas padamu
agar aku tetap dekat padamu?
O.... Terima kasih, Pendekar
Muda...,” cecar Ratna Kumala lagi.
Andika makin melongo seperti
sapi ompong.
“Ratna, tunggu” tahan Andika
ketika Ratna Kumala berbalik pergi.
Langkah gadis itu terbanting-banting
keras di lantai penginapan. Tampaknya hatinya begitu kesal dengan pemuda
ganteng di belakangnya.
“Ratna”
Terdengar panggilan sekali
lagi. Tapi, kali ini bukan berasal dari mulut Andika.
*** 6
“Tak patut kau bersikap
seperti itu pada pendekar terhormat seperti dia”
Terdengar kembali suara lelaki
dari arah tangga.
Suaranya terdengar berwibawa.
Dan dari nadanya, terkesan kalau lelaki itu kenal baik pada Ratna.
Sesaat Ratna terdiam di
tempat. Kemudian tubuhnya berbalik. Wajahnya tampak terlihat jengkel ber-campur
gembira.
“O, jadi kau menginap di
tempat ini rupanya, Kakang Rudapaksa?” ucap gadis itu seraya memandang lelaki
di tangga penginapan.
“Jangan mengalihkan
pembicaraan, Ratna Kau harus minta maaf pada Pendekar Slebor,” ujar lelaki
berjubah biru tua bernada memerintah. Wajahnya yang tampan menawan, dihiasi
sebaris kumis tipis memperlihatkan kesungguhan. Dan dia memang Rudapaksa.
“Mana Kakang Rudapaksi?” tanya
Ratna Kumala, mencoba mengalihkan pembicaraan lagi.
Ratna Kumala dan Rudapaksa
memang satu
perguruan. Begitu juga
Rudapaksi. Mereka adalah murid-murid terbaik Ki Kenaka, guru besar Perguruan
Topan Utara.
“Rupanya kau tak mendengarku,
ya? Kuperingatkan, kau harus minta maaf pada pendekar itu”
hardik Rudapaksa.
Dihardik seperti itu, wajah
Ratna Kumala jadi memerah. Perlakuan kakak seperguruannya sama sekali tidak
membuatnya untuk segera meminta maaf pada Andika. Malah hatinya bertambah
kesal. Sambil menggerutu, tubuhnya berbalik kembali ke arah pintu.
“Biar namanya selebar jagad sekalipun,
aku tak sudi meminta maaf padanya” dengus gadis itu seraya melangkah pergi.
“Ratna”
Rudapaksa berusaha menahannya.
Tapi, Ratna Kumala sudah menghilang di sisi pintu keluar. Dan ini membuat
Rudapaksa menggeleng-geleng kepala.
“Dasar anak keras kepala,”
rutuk pemuda itu perlahan.
Rudapaksa lalu berbalik
menghadap Pendekar Slebor. Dihampirinya pendekar muda yang sudah kondang
namanya ini.
“Maafkan adik seperguruanku
itu, Tuan
Pendekar,” ucap pemuda itu.
Sementara pendekar muda yang
ditegur masih berdiri terpaku menatap pintu keluar, tempat Ratna Kumala
menghilang.
“Tuan Pendekar,” sapa
Rudapaksa sekali lagi.
“Eh, apa? Tuan berbicara
denganku?” tanya Andika, setelah tersadar dari keterpakuannya.
“Ya,” jawab Rudapaksa seraya
tersenyum. “Maafkan adik seperguruanku tadi.”
“Tak apa-apa,” jawab Andika
singkat, kemudian berbalik. Sebentar saja dia sudah meninggalkan penginapan
untuk menyusul Ratna Kumala.
***
Malam turun merambah di Desa
Ambangan. Bulan sabit tampak mengambang hening di angkasa berawan tipis. Satwa
malam mulai memperdengarkan senandungnya di sela-sela kegelapan.
Di atas sebatang pohon meranti
yang tumbang di pinggir jalan setapak, Ratna Kumala membisu.
Matanya memandang lurus pada
kepingan rembulan pucat di atas sana. Pikirannya sendiri mengembara pada
kejadian beberapa hari lalu, saat menolong Andika di Danau Panca Warna.
Sewaktu tubuh pemuda tampan
itu diangkat dari dinginnya air danau, entah kenapa Ratna Kumala menatapnya
lama-lama. Ada semacam keter-pesonaan yang sulit dijabarkan kata-kata, ketika
mendapati gurat-gurat ketampanan wajah Andika. Garis dan lekuk wajah itu
membuat hatinya bergetar halus.
Dia sendiri tak mengerti,
perasaan macam apa itu.
Dan ketika hari-hari dilalui
bersama pemuda itu, perasaan yang menyeruak saat pertama kalinya menatap tidak
juga pupus. Hari memang terus berlalu. Tapi, getaran itu malah kian menguat
men-cengkeram rongga batin Ratna Kumala.
“Kenapa dengan diriku ini?”
desah batin gadis itu.
Baru pertama kali ini dia
menemukan gejolak aneh saat bertemu seorang pemuda. Apakah ini cinta buta? Atau
sekadar kekaguman? Tanpa disadari, kepalanya menggeleng-geleng perlahan-lahan.
Dia tidak bisa mengatakan kalau itu hanya sekadar rasa kagum.
Kalau hanya kagum, kenapa
Ratna Kumala harus merasa kecewa tatkala dibohongi Andika? Apakah ini pertanda
kekhawatirannya jika harus kehilangan, setelah diketahui kalau pemuda itu
adalah Pendekar Slebor? Apalagi, seorang pendekar adalah milik semua orang
lemah, bukan milik dirinya.
“Apa mungkin aku telah jatuh
hati padamu, sementara namamu pun belum sempat kuketahui?” bisik Ratna Kumala
perlahan.
“Ratna....”
Lamunan Ratna Kumala buyar
seketika, begitu terdengar suara halus di belakangnya. Cepat kepalanya menoleh
ke asal suara tadi. Ternyata Andika sudah berdiri di sana dengan mata lekat
menatapnya. Seketika wajah Ratna Kumala bersemu.
Tanpa diduga pemuda yang
sedang mengisi benaknya tiba-tiba berada di belakangnya.
“Kenapa kau dekati aku lagi?
Bukankah sudah kukatakan, jangan coba....”
“Ratna...,” sela Andika. “Kalau
kau marah karena kesalahanku, maafkanlah. Tapi bisakah kau jelaskan padaku, apa
salahku?”
Ratna Kumala tak menyahut,
tapi diam dalam seribu bahasa.
“Apa kau tak merasa telah
mempermainkanku?”
tanya Ratna Kumala akhirnya,
setelah cukup lama berdiam diri.
“Mempermainkanmu bagaimana?”
tanya Andika tak mengerti.
“Kau tak pernah mengatakan
padaku kalau dirimu adalalah Pendekar Slebor,” sahut Ratna Kumala tanpa
menoleh.
Kali ini Andika yang membisu.
Matanya menancap lurus ke rerumputan berembun.
“Aku sendiri tak tahu, apakah
aku adalah orang yang kau sebutkan tadi,” balas Andika, nyaris men-desah.
“Kau mulai berpura-pura lagi
padaku,” ujar Ratna Kumala kesal.
Andika menarik napas
dalam-dalam.
“Ratna pandangah aku,” pinta
Andika penuh harap. Ratna Kumala tak mempedulikan.
“Ratna...,” ulang Andika
sambil menatap punggung Ratna Kumala.
Pemuda itu melangkah dan
langsung memegang bahu gadis muda yang berusia sebaya dengannya.
Lalu, perlahan diputarnya
tubuh Ratna Kumala agar menghadap dirinya.
“Lihallah aku. Rat. Tatap
mataku. Apakah aku terlihat berpura-pura padamu?” sangkal Andika lembut.
Matanya terarah tepat di manik mata indah gadis berambut pendek di depannya
Sementara, Ratna Kumala
sledikit pun tak sanggup membalas tatapan Iembut itu. Entah kenapa, wajahnya
kini terasa hangat. Itu sebabnya, wajahnya tak mau diperlihatkan. Dia khawatir
perubahan wajahnya diketahui Andika.
Sesaat kemudian Andika melepas
pegangannya pada bahu Ratna Kumala, lalu berbalik. Kini, dihadapinya temaram
cahaya rembulan yang menyapu wajah jantannya.
“Percayalah padaku, Rat. Aku
tak pernah bermaksud membohongimu. Apalagi, mempermainkanmu. Ingatanku
benar-benar lenyap begitu saja. Aku tak tahu, kenapa tiba-tiba berada di gubuk
tepi danau itu. Dan aku juga tak tahu, kalau kau menyelamatkan-ku. Kini bahkan
aku tidak tahu siapa diriku, dan siapa namaku,” tutur Andika di sela-sela desau
angin yang bertiup dan suara jangkrik.
Keduanya kini terdiam. Mereka
berdiri saling membelakangi, sibuk dengan isi benak masing-masing.
Entah, apa yang saat ini
tengah mereka pikirkan.
Hanya mereka yang tahu.
Sekian lama sunyi.... “Maafkan
aku.... Aku telah menuduhmu yang tidak-tidak,” akhirnya Ratna Kumala membuka
suara, walau hampir berbisik dengan kepala tertunduk.
“Aku bisa maklum. Kesalahan
memang bagian dari diri kita.”
Ratna Kumala tergugu. Segera
direnunginya kata-kata bijak dari hati arif seorang pemuda tampan di dekatnya.
***
Hari bergulir tanpa kenal
letih. Dan waktu jualah yang mengakrabkan Ratna Kumala dan Andika. Nama Andika yang
masih belum diketahui Ratna Kumala, kini sudah tidak menjadi persoalan. Dan
Andika sendiri bersedia dipanggil apa saja oleh Ratna Kumala, berhubung dia
sendiri lupa pada namanya.
Akhirnya, Ratna Kumala
memutuskan untuk
memanggil dengan sebutan Slebor.
Hari-hari dilalui Andika di
gubuk, di tepi Danau Panca Warna. Di sini, dia mencoba mengembalikan semua
ingatannya. Meski tetap sulit. Tapi terus berusaha. Di samping karena sifat
kepala batu yang membuatnya tak mudah menyerah, juga karena Ratna Kumala pun
terus mendorong semangatnya.
Di kala senggang, Ratna Kumala
bercerita kalau dirinya adalah adik seperguruan Rudapaksa dan Rudapaksi.
Beberapa bulan lalu, guru mereka memberi tugas penting pada kedua kakak
seperguruannya. Ratna Kumala yang tak dipilih untuk menjalankan tugas, tentu
saja menjadi iri. Apalagi dia pun salah satu murid terbaik Ki Kenaka, Ketua
Perguruan Topan Utara. Menurutnya, gurunya pilih kasih pada murid lelaki. Lalu
karena kesal, diputuskan untuk pergi dari perguruan tanpa pamit pada Ki Kenaka.
Tujuannya tentu saja hendak
ikut menjalankan tugas bersama Rudapaksa dan Rudapaksi. Tapi hingga sejauh itu,
kedua kakak seperguruannya malah menyuruhnya pulang ke perguruan.
“Itu sebabnya aku pergi ke
tepi danau ini, untuk melepas kejengkelanku pada malam kau terapung,”
jelas Ratna Kumala, mengakhiri
ceritanya.
Tapi baru saja Ratna Kumala
bercerita.....
“Aaa...”
Tiba-tiba teriakan menyayat
hati terdengar. Andika terkesiap. Sama halnya Ratna Kumala. Seketika mereka
saling bertatapan, seakan tidak mempercayai apa yang didengar barusan. Dan
belum lagi keduanya memutuskan untuk melihat apa yang terjadi, sudah terdengar
lagi satu teriakan membahana.
“Huaaa”
Kali ini mereka tak menunggu
lebih lama. Andika segera menggenjot tubuhnya. Langsung melesat bagaikan kilat
menuju arah datangnya suara. Sedangkan Ratna Kumala menyusul di belakangnya.
Meski agak jauh tertinggal karena ilmu lari cepat Andika jauh di atasnya, Ratna
Kumala berusaha untuk terus mengikuti.
Tak lama, Andika sudah
menghentikan larinya, dan langsung berdiri mematung sambil menatap sesuatu di
tanah.
“Apa yang terjadi, Slebor?”
tanya Ratna Kumala setelah kakinya menjejak di belakang Andika.
Andika tak segera menjawab,
karena tahu Ratna Kumala akan segera menyaksikan apa yang dilihatnya.
Di tanah berumput yang tak
jauh dari danau, tampak tergeletak bermandikan darah dua mayat yang amat
dikenal Ratna Kumala. Masing-masing di kening mayat itu terdapat lubang sebesar
ibu jari.
Sedangkan di tubuh dan pakaian
terdapat sayatan kasar.
“Kakang Rudapaksa.... Kakang
Rudapaksi,” desis Ratna Kumala.
Nyaris gadis itu menjerit,
saat mengenali kedua mayat yang terbujur kaku di depannya. Kejengkelan terhadap
kedua kakak seperguruannya memang timbul belakangan ini. Namun tak urung
perasaannya seperti tercabik-cabik mendapati kenyataan itu. Biar bagaimanapun,
mereka tetap kakak seperguruan yang dicintainya.
“Bedebah keji Siapa yang telah
melakukan ini?”
dengus gadis itu dengan mata
mencari-cari jalang. Di bawah kelopak matanya yang berbulu lentik tampak
menggenang segaris air mata.
Dengan lembut Andika memegang
kedua pangkal lengan Ratna Kumala. Lalu, dibangunkannya gadis itu dari
bersimpuhnya.
“Aku turut menyesal atas
kejadian ini, Rat,” ucap pemuda itu perlahan
Tatkala Ratna kumala membenamkan
wajah di dada bidang Andika untuk melepas kesedihannya, tiba-tiba saja....
“Serbuuu”
Bagai aliran air bah, diiringi
teriakan menggelegar sepasukan berseragam merah mendadak menyerbu Andika dan
Ratna Kumala. Pasukan yang berjumlah puluhan orang itu mengenakan penutup
kepala merah berlipat ke belakang. Di bagian lengan baju mereka yang memanjang
hingga ke lutut, terdapat tulisan Tiongkok berbentuk elang. Celana mereka yang
juga berwarna merah, tertutup sepatu panjang di bagian betis.
Entah, bagaimana cara mereka
bersembunyi di dalam semak dan pepohonan. Sampai-sampai pen-dengaran Andika
yang terlatih, tidak bisa menangkap desah napas mereka sedikit pun. Dari cara
melompat, Andika tahu kalau mereka adalah pendekar-pendekar Tiongkok
berkepandaian tinggi.
“Pasukan Tiongkok dari mana
ini?” tanya Ratna Kumala garang.
Benak gadis itu langsung bisa
menduga kalau para pengepungnya adalah yang menghabisi nyawa dua saudara
seperguruannya.
“Sudah pasti dari negeri
Tiongkok,” sahut Andika setengah berkelakar. Namun demikian, matanya tetap
bergerak waspada. “Yang pasti pula, mereka berniat merencah kita berdua.”
Ucapan Andika barusan
sepertinya tidak meleset.
Setelah memutari Andika dan
Ratna Kumala beberapa lama, puluhan lelaki bermata sipit itu berhamburan dalam
terjangan dahsyat.
“Hiaaa”
Mulut Andika seketika
berteriak menggelegar.
Berbareng dengan itu, tubuhnya
cepat melenting ke udara sambil menyambar pinggang Ratna Kumala.
Tapi lompatan Pendekar Slebor
tidak dibiarkan pasukan dari Tiongkok itu. Dengan sigap, para penyerbu
bersenjatakan tombak itu mengangkat senjata ke atas. Lalu dengan serentak
tombak itu ditusukkan ke tubuh Andika dan Ratna Kumala yang melayang di udara.
Andika tentu saja tak
membiarkan tubuhnya dicabik-cabik puluhan tombak. Maka tanpa sempat tertangkap
mata pasukan itu, tangan kirinya yang masih bebas menyambar kain bercorak catur
dari pundak dan langsung dikebutkannya.
Bet Bet
Trak Trak
Puluhan tombak setajam
taring-taring serigala seketika tersambar Kain Pusaka Pendekar Slebor, hingga
berbenturan satu dengan yang lain. Sebagian malah ada yang tersasar ke tubuh
kawan mereka sendiri. Tapi karena pasukan dari Tiongkok ini memiliki kepandaian
tinggi, maka tombak yang tersasar itu dapat segera dikuasai dengan baik.
Sementara Pendekar Slebor
langsung melenting tinggi-tinggi, sambil berputaran di udara.
“Sial” maki Andika, begitu
hinggap di sebuah batang pohon besar. “Mereka rupanya tidak sudi mengongkosi
kawan sendiri ke neraka.”
Belum sempat Andika bernapas
lega, empat orang Tiongkok ini serempak menyusul ke dahan pohon.
Setelah berputar di udara
beberapa kali, dua orang menjejakkan kaki disisi Andika dan Ratna Kumala.
Sedangkan, dua orang lain
hinggap di dahan yang berhadapan.
“Haiii”
Seorang di sisi kiri Andika
mengayunkan pangkal tombak ke kepala Andika dengan tenaga dalam tinggi.
Sehingga, tombaknya menciptakan angin yang menderu kencang.
Wesss
“Hih”
Tanpa menemui kesulitan,
Pendekar Slebor melecutkan kain pusaka di tangan kirinya. Cletar
Krak
Pangkal tombak lawan langsung
terpatah dua.
Sementara itu, Ratna Kumala
yang berada dalam rangkulan Andika harus menghadapi lawan di sisinya. Gadis
yang memiliki sifat keras kepala ini ternyata cukup mampu mengimbangi setiap
serangan.
Kini dua orang lawan di depan
tak mau tinggal diam. Mereka segera memutar tombak masing-masing, bersiap
memperkuat serangan.
“Hih”
Salah seorang menghentikan
putaran tombak secara mendadak. Lalu tiba-tiba tombaknya ditusukkan ke dada
Pendekar Slebor dengan tenaga penuh.
Menurut perkiraannya, dia akan
segera menamatkan pendekar muda itu di ujung senjatanya. Tapi, dugaan-nya
meleset sama sekali. Justru dari sini Pendekar Slebor bisa melihat kesempatan
bagus.
“Bhaaa”
Dengan satu gerakan tak
terduga, Andika melesat ke arah salah seorang lawan yang kehilangan tombak, dan
sedang melepaskan pukulan. Secepat kilat, ditariknya tangan orang itu ke
arahnya.
Sehingga....
Jep
“Aaa”
Tombak lawan di depan yang
tertuju pada Andika, kontan menembus pinggang orang yang tangannya ditarik
untuk dijadikan tameng.
“Wah Tega nian kau membunuh
kawan sendiri,”
seloroh Pendekar Slebor. “Lain
kali, lebih baik meminta izin dulu pada kawanmu itu.”
Andika langsung menggejot
tubuhnya, hingga melayang kembali di udara bersama Ratna Kumala dalam
rangkulannya. Kedua tubuh itu menyeruak daun pepohonan, hingga merontokkan yang
kering.
Pada pucuk satu pohon,
Pendekar Slebor menjejak. Kemudian tubuhnya digenjot kembali. Tubuhnya melesat
dari satu pucuk ke pucuk pohon lain dengan kecepatan angin. Sampai akhirnya,
pasukan dari Tiongkok itu hanya bisa menggerutu kesal ketika tubuh mereka
lenyap.
*** 7
Dua hari setelah terbunuhnya
Rudapaksa dan Rudapaksi, Danau Panca Warna didatangi ratusan tokoh persilatan
dari seluruh penjuru baik secara perorangan, maupun perkelompok.
Sedikit demi sedikit, mereka
telah berkumpul di sekitar Danau Panca Warna membentuk lingkaran yang kian
membesar. Entah siapa yang memberi petunjuk, yang jelas mereka berkumpul
serempak setelah memastikan tentang benda pusaka di dasar Danau Panca Warna dari
penduduk desa tempat mereka menginap.
Dalam beragam pakaian dan
senjata, seluruh tokoh itu menatap tegang ke permukaan air danau.
Sesekali mata mereka melirik
waspada satu dengan yang lain. Sikap curiga seperti itu terutama diperlihatkan
orang-orang pada barisan terdepan. Mereka umumnya adalah tokoh-tokoh golongan
sesat yang begitu berhasrat untuk menguasai benda pusaka di dasar Danau Panca
Warna ini.
Sementara, para pendekar
aliran putih lebih suka mengambil tempat yang agak jauh dari tepi danau.
Tujuan mereka memang bukan
hendak menguasai-nya, tapi hendak menyelamatkan. Mereka takut, pusaka yang
hendak diperebutkan itu bakal jatuh ke tangan para durjana.
Di beberapa tempat lain yang
terbilang jauh dari danau, beberapa orang tampak berkerumun untuk menyaksikan
peristiwa hebat yang tampaknya akan segera meletus. Dari sekian banyak tokoh,
beberapa orang tampak menonjol. Di antaranya adalah lelaki berpenampilan
menggetarkan hati. Tubuhnya yang gempal dan tinggi ditutup pakaian padri
berwarna putih. Pakaiannya pun masih digabung kain hitam bertotol putih
berbentuk jubah yang menutupi dari bahu kiri ke pinggang kanan. Orang
persilatan mengenalnya sebagai si Padri Sesat. Padahal, nama aslinya adalah
Kudungga.
Sebagaimana seorang padri,
kepala Kudungga gundul dengan beberapa titik hitam di ubun-ubunnya.
Kesan menyeramkan tergambar di
wajah yang ditumbuhi brewok lebat dan kasar. Sedangkan matanya yang bulat
tajam, dihiasi alis hitam tebal. Dia tak tampak membawa senjata, kecuali tasbih
berbiji sebesar buah duku di tangan kanannya yang kekar berbulu.
Sementara di sebelah timur
danau, tampak lelaki tua berwajah culas. Kumis dan janggut putihnya tergerai
tipis, hingga ke dadanya yang cekung.
Rambutnya juga sudah berwarna
putih. Tanpa alis, matanya terlihat tajam. Dia mengenakan celana pangsi hitam.
Dadanya yang kurus tak ditutupi apa-apa.
Bibir lelaki tua itu terus
menyeringai kejam.
Sementara, kedua tangannya
menepuk-nepuk kecapi kayu. Orang persilatan mengenalnya sebagai Dedengkot
Iblis. Sedangkan nama aslinya sendiri tak pernah diketahui.
Di sebelah selatan danau,
berdiri mematung seorang lelaki berpenampilan perlente yang dikenal bernama
Lodaya Burang. Namun dia lebih dikenal sebagai Kumbang Bengis Dari Timur.
Sesuai namanya, dia memang gemar memetik 'bunga' desa yang tak berdosa.
Sifatnya kejam. Itu terlihat dari wajahnya yang begitu dingin. Rambutnya
tersisir rapi dan berminyak. Wajahnya masih terlihat tampan, meski telah
disemaraki kerutan. Lelaki gagah itu berpakaian seorang bangsawan dengan
kancing dan berantai emas. Celana panjang hitamnya ditutupi kain batik sebatas
lutut.
Ketiga lelaki itu memang tokoh
kelas atas golongan sesat yang amat ditakuti di tanah Jawa Dwipa.
Sementara, jauh di lereng
bukit yang memagari danau, Andika dan Ratna Kumala sedang memperhatikan seluruh
tokoh persilatan itu. Keduanya bersembunyi di balik sebongkah batu sebesar
kerbau.
“Aku tak mengerti, kenapa
mereka berkumpul seperti orang yang hendak nonton pertujukan ludruk?” tanya
Andika. Ingatannya yang hilang membuatnya melupakan benda pusaka di dasar danau
yang menyebabkan dirinya sampai menjadi pikun seperti sekarang ini.
“Apa kau belum mendengar
berita santer itu?”
tanya Ratna Kumala agak heran
karena tokoh kelas satu seperti Andika bisa luput dari desas-desus tersebut.
“Aku tak tahu,” jawab Andika
sambil melirik Ratna.
“O, iya,” sergah Ratna Kumala
cepat-cepat.
Kepalanya mengangguk-angguk.
“Aku lupa kalau kau kehilangan ingatan.”
“Kehilangan ingatan? Apa kau
menganggapku gila? Sinting? Sableng?” cecar Andika, tak senang mendengar ucapan
Ratna Kumala.
“Ei, ei Tentu saja kau tidak
gila. Maksudku, kau mengalami....”
“Ya Aku sudah tahu,” potong
Andika bersungut- sungut.
Melihat tingkah pemuda di
sisinya barusan, Ratna Kumala jadi tersenyum-senyum kecil.
“Kenapa?” tanya Andika.
Matanya membesar pada Ratna Kumala.
“Sebenarnya sulit mengatakan
kalau kau tidak sinting. Sebab, tingkahmu lebih ngaco dibandingkan orang
sinting.”
Usai berkata begitu. Ratna
Kumala tertawa tertahan. Tangannya lantas menutup bibirnya yang merah ranum.
“Sialan” maki Andika.
Ratna Kumala terus tertawa.
“Sudah... sudah Kau ingin
meledekku terus, atau ingin menceritakan kenapa mereka berkumpul di danau itu?”
sergah Andika.
“Baik..., baik,” ucap Ratna
Kumala sambil menghentikan tawa. “Apa kau masih ingat ketika kita singgah di
Desa Ambangan untuk mencari makanan mentah?”
“Tentu saja ingat. Kau pikir,
aku pikun?” selak Andika cepat.
Setelah itu, Andika jadi
tersenyum-senyum malu setelah sadar kalau dirinya saat ini memang pikun minta
ampun.
Setelah tersenyum sejenak,
Ratna Kumala
meneruskan ucapan.
“Waktu itu, aku dengar dari
percakapan orang di kedai kalau di dasar Danau Panca Warna ada benda sakti yang
jatuh dari langit. Mereka menyebutnya Pusaka Langit....”
“Benda sakti? Pusaka Langit?”
bisik Andika, tanpa maksud bertanya.
Samar-samar benak Andika
dilintasi bayangan kejadian yang dialami di dasar Danau Panca Warna beberapa
waktu lalu. Tentang pasir danau, tentang cahaya merah bara menyilaukan, dan
tentang pusaran air. Setelah itu, semuanya seperti sirna kembali dari
kepalanya.
“Andika” sapa Ratna Kumala
perlahan.
Andika tersadar. Kepalanya
lantas menoleh pada Ratna Kumala.
“Siapa Andika?” tanya pemuda
itu bodoh.
Ratna Kumala tersenyum
kembali. Kali ini tersimpan sesuatu yang sulit dijelaskan. Dan senyumnya pun
menyimpan makna khusus.
“Ya, kau...,” jawab Ratna
Kumala agak tersipu, ketika mata elang Andika memergoki pandangan hangatnya.
“Aku? Jadi, namaku Andika?
Dari mana kau tahu?”
tanya Andika heran.
“Aku..., aku, akh Apa itu penting?”
“Terserahmu. Apa kau anggap
itu penting?” Andika malah balik bertanya.
“Ng..., aku ke Desa Ambangan
kemarin. Di sana, kucoba mengorek keterangan tentang dirimu. Termasuk, namamu
dari beberapa orang persilatan....”
“Apa? Hanya untuk itu kau singgah
ke sana? Apa kau sinting? Mestinya kau tahu, itu akan membahayakan dirimu.
Karena, pembunuh kakak seperguruanmu tentu berniat menghabisimu pula” kata
Andika panjang lebar.
Wajah Ratna Kumala dalam
sekejap berubah memerah. Matanya pun berkilat-kilat kesal.
“Kau memang tak tahu berterima
kasih. Belum lagi berterima kasih karena telah kuselamatkan, kini malah
membentak-bentakku karena telah berusaha menolongmu, agar kau ingat pada dirimu
sendiri,” sungut Ratna Kumala seraya membuang wajah kesisi lain.
“Baik Terima kasih.... Terima
kasih banyak
Cukup? Tapi, tetap saja aku
tak setuju dengan tindakanmu ke desa itu Toh, aku akan ingat kembali pada
namaku suatu saat. Aku yakin itu” ucap Andika.
“Tapi, aku tak suka
memanggilmu dengan sebutan Slebor” bentak Ratna Kumala di depan hidung Andika.
“Kenapa? Aku sendiri tak punya
masalah. Lantas kenapa tiba-tiba kau yang mesti tak suka? Kenapa, Ratna?” desak
Andika.
Ratna Kumala mati kutu.
Kenapa? Tentu saja gadis itu tak sudi memanggil orang yang telah menawan
hatinya dengan sebutan dungu seperti itu.
Tapi alasan itu tentu saja tak
dikatakannya, dan hanya disembunyikan di sudut hatinya yang terdalam.
“Ah, sudahlah,” tukas Andika.
“Kenapa aku harus meributkan soal itu. Toh kau masih sehat walafiat...”
Ratna Kumala langsung lega,
karena Andika tidak mendesaknya. Meskipun hatinya masih agak jengkel.
***
Sementara jauh di bawah sana,
para pendatang tampak sudah memulai acara dahsyat yang akan segera terjadi.
“Hari ini kita berkumpul,”
kata Lodaya Burang, membuka keheningan. “Dan kita semua tahu, benda sakti yang
bersemayam di dasar danau inilah yang mengundang kita semua untuk memilikinya.
Tapi, tak mungkin semuanya bisa memilikinya. Yang jelas, harus ada satu orang
yang benar-benar menjadi pemilik tunggal Pusaka Langit Dan orang itu harus
benar-benar pantas memilikinya Untuk itu, kita harus melakukan pertandingan,
agar dapat mengambil Pusaka Langit. Siapa yang paling unggul, dialah yang
berhak menyelam ke dasar Danau Panca Warna.”
Semua orang yang mendengar
suara Lodaya
Burang termanggut-manggut.
Entah menyetujui usul itu, atau tidak. Yang jelas, bagi mereka yang
berkepandaian rendah, perlahan-lahan mundur ke belakang, lalu hilang entah ke
mana.
“Jika ada yang ingin memulai,
kupersilakan menghadapiku. Dengan satu syarat, kita bertaruh nyawa”
tantang Lodaya Burang.
Tampaknya, laki-laki perlente
itu benar-benar bernafsu memiliki Pusaka Langit, sehingga lebih dahulu
mengajukan tanding.
“Ha ha ha..., Kumbang Perlente
Mana ada yang berani menyambut tantanganmu, kecuali aku” tiba-tiba Dedengkot
Iblis menyelak disertai tenaga dalam.
Sehingga, permukaan air danau
terlihat beriak.
“Ooo Rupanya kau, Tua Bangka.
Apa tidak sebaiknya kau memikirkan dirimu yang sudah dekat liang kubur,
daripada ikut memperebutkan Pusaka Langit?” ejek Lodaya Burang dengan wajah
dingin.
Sebagai tokoh yang sudah
bulukan dalam dunia persilatan, Dedengkot Iblis tak terpancing ejekan Lodaya
Burang barusan. Dia amat tahu siasat tokoh macam Lodaya Burang yang ingin
memancing kemarahannya, agar bertarung tanpa kendali.
“Ah Jangan terlalu banyak
basa-basi, Kumbang Bengis dari Timur. Apa kau tak berani menghadapiku, sehingga
menyarankan agar aku mundur?” tukas Dedengkot Iblis, balik mengejek.
Lodaya Burang jadi termakan
ucapannya sendiri.
Lelaki perlente itu malah
terpancing ucapan Dedengkot Iblis. Wajahnya seketika terbakar berang.
“Hhh, Bajingan Tua Mari kita
buktikan saja”
bentak laki-laki perlente itu
seraya melompat tinggi ke dataran kosong.
Seketika itu pula Dedengkot
Iblis menyusul.
Dan tanpa ingin menunggu lebih
lama, Kumbang Bengis melancarkan serangan pembuka.
“Khiaaa”
Tapak Maut yang di kalangan
persilatan begitu terkenal kejam dari Kumbang Bengis, menerabas deras ke dada
Dedengkot Iblis. Angin pukulannya seketika menimbulkan suara menderu-deru.
Deb Wut Wut Deb
Tentu saja Dedengkot Iblis tak
mau terhantam begitu saja. Tubuhnya langsung melengos ke kiri dan kanan, bagai
gerakan seekor cengcorang. Kemudian, kecapi di kedua tangannya diangkat dengan
gerakan menebas ke atas.
Dreng
Bunyi getaran senar kecapi
milik laki-laki tua itu terdengar melengking ketika berbenturan dengan tangan
Kumbang Bengis. Tenaga dalam tingkat tinggi yang disalurkan pada masing-masing
tangan mereka, membuat lengkingan tali senar kecapi Dedengkot Iblis mampu
memecahkan gendang telinga orang yang berilmu cekak. Terbukti, beberapa orang
yang berada di sekitar arena pertarungan berjatuhan sambil mendekap telinga
masing-masing.
Kini Dedengkot Iblis balas
menyerang. Kecapinya diayunkan ke samping, terarah pada rusuk sebelah kiri
Kumbang Bengis. Namun laki-laki perlente itu mengetahui ancaman yang datang ke
arahnya.
Segera kakinya diangkat
berbarengan dengan gerakan tubuhnya ke belakang. Dreng
Sekali lagi, bunyi melengking
terdengar ketika lutut Kumbang bengis bertumbukan dengan sisi kecapi Dedengkot
Iblis.
“Hiaaat”
Berbareng satu teriakan
garang, tubuh Dedengkot Iblis langsung berputar cepat. Kaki kanannya terbentang
tinggi, bermaksud memecahkan kepala Kumbang Bengis dengan satu sapuan dahsyat.
Namun, mata jeli Kumbang
Bengis masih mampu menangkap gerakan kilat Dedengkot Iblis. Segera dia
menjatuhkan diri ke tanah berumput searah dengan sapuan kaki Dedengkot Iblis.
Setelah itu tubuhnya bergulingan, tangannya menghentak tanah untuk kemudian
bergegas bangkit.
Kumbang Bengis menjejakkan
kakinya, sepuluh tombak di depan Dedengkot Iblis. Tak ada sekerdip mata setelah
menyentuh tanah, dia sudah mempersiapkan kuda-kuda kembali.
“Jurus-jurusmu rupanya masih
cukup bagus, meski semakin peot, Tua Bangka” ledek Lodaya Burang bersama
tatapan matanya yang dingin.
“Tak perlu banyak memuji, Mata
Keranjang
Karena, hanya aku yang pantas
mendapat Pusaka Langit” balas Dedengkot Iblis.
Selesai berkata demikian,
lelaki tua sakti itu menerjang Kumbang Bengis.
“Haaat”
“Tunggu” cegah Lodaya Burang
tiba-tiba.
Dedengkot Iblis sebenarnya tak
mengerti, kenapa Lodaya Burang mendadak menahan serangannya. Di kalangan tokoh
kelas satu, pantang untuk menghentikan pertarungan jika belum ada yang tewas.
Namun begitu, Dedengkot Iblis
cepat menghentikan juga terjangannya.
“Ada seseorang yang hendak
berbuat
kecurangan” kata Lodaya Burang
seraya menunjuk ke seberang danau yang dibatasi bukit cemara.
Di sana, memang terlihat
seseorang berpakaian hijau dan bertopeng kain warna hijau pula. Dia tampak
sedang bersiap terjun ke Danau Panca Warna.
“Bangsat Pengecut dari mana
yang hendak mendahului kita itu?” hardik Dedengkot Iblis geram.
Sementara itu orang di
seberang sana telah melompat ke danau.
“Aku tidak ingin didahului”
teriak Dedengkot Iblis penuh kemurkaan.
Tanpa mengindahkan Lodaya
Burang lagi, dia bergegas menggenjot tubuhnya ke udara. Gerakannya begitu indah
di udara. Tubuh lelaki tua itu berputaran dengan tangan terbentang. Sementara
kecapinya yang telah ditautkan ke punggung, memperdengarkan bunyi mendesing.
Tak lama, Dedengkot Iblis menembus permukaan air danau bagai sebatang tombak.
Byur
Tak ada seorang tokoh kelas
atas golongan sesat pun yang tidak berhasrat memiliki Pusaka Langit.
Memang, suatu keharusan bagi
mereka untuk memiliki benda pusaka apa pun yang sanggup melambungkan nama ke
puncak kekuasaan dunia persilatan. Meskipun, itu hanya baru kabar angin dari
mulut ke mulut. Lodaya Burang sebagai seorang tokoh kelas atas golongan sesat
menyadari benar hal itu. Itu sebabnya, dia tak sudi membiarkan seorang pun
mendahuluinya untuk mendapatkan Pusaka Langit. Sesaat setelah Dedengkot Iblis
menyelam, dia pun memburu ke arah danau. Byur
Lodaya Burang menyusul ke
dalam Danau Panca Warna.
Menyaksikan dua saingannya
telah masuk ke dalam danau, Kudungga yang dikenal sebagai si Padri Sesat
secepatnya melakukan tindakan sama. Dari tempatnya berdiri, segera kakinya
bergerak.
Kehandalan ilmu meringankan
tubuhnya, membuat gerakan kaki Kudungga terlihat menjadi puluhan. Dan dalam
sekejap, lelaki kasar itu telah tiba pula di bibir danau. Lalu.....
Byur
Tubuh tinggi gempal Kudungga
seketika me-nampar permukaan air danau, menciptakan percikan air yang tinggi.
Kini, tiga tokoh sakti aliran
sesat telah siap berlaga bertaruh nyawa dalam dinginnya dasar Danau Panca
Warna. Ditambah, seseorang yang hendak melakukan kecurangan....
*** 8
Selang beberapa saat, setelah
ketiga tokoh kelas satu golongan sesat itu tertelan Danau Panca Warna,
permukaan danau menjadi tenang kembali. Hanya tersisa riak kecil yang
berkejar-kejaran menuju tepian.
Sementara suasana menjadi
sepi. Sedangkan tokoh lain seperti tidak mau bertindak apa-apa. Di antara
mereka tak ada yang mau mengantar bahaya untuk ikut menyelam ke danau. Sebagian
berpikir, jika mereka ikut masuk ke danau, itu sama artinya mencari mati.
Karena, harus menghadapi tiga tokoh kejam Di samping itu mereka juga sudah
mendengar bagaimana kekuatan pengaruh Pusaka Langit bagi orang-orang
berkepandaian tanggung. Bahkan sebagian yang lain hanya ingin menunggu apa yang
akan terjadi. Mereka adalah tokoh-tokoh golongan putih.
Ketegangan menyelimuti diri
para tokoh persilatan lain. Hati mereka semua seperti tak henti bertanya, apa
yang akan terjadi kemudian. Dan ketegangan pun membuat mereka bagai patung tak
bernyawa.
Bahkan rasanya mereka ingin
menahan napas saat menanti kejadian berikutnya. Sementara, desau angin yang
berjinjit di permukaan air danau, makin mem-bangun suasana mencekam.
Sesaat demi sesaat mereka
menanti, namun belum ada tanda-tanda kalau ketiga tokoh sesat dan seorang yang
wajahnya tertutup itu akan segera muncul. Padahal, daya tahan pernapasan
seseorang sudah mengalami saat-saat amat membahayakan dalam waktu selama itu.
Sampai akhirnya....
Blup Blup Blup...
Mendadak sesosok tubuh muncul
ke permukaan danau dalam keadaan mengerikan. Sayatan-sayatan kasar merencah
sekitar badan orang itu, hingga pakaiannya terserpih. Di keningnya terdapat
lubang sebesar jari. Sementara, air disekitarnya berubah merah. Ternyata,
lelaki itu Lodaya Burang
Blup Blup Blup...
Tak lama berikutnya, Dedengkot
Iblis menyusul.
Keadaannya juga mengerikan
Selanjutnya, giliran si Padri Sesat. Keadaannya pun tak kalah mengerikan dengan
dua orang sebelumnya.
Kini seluruh orang yang berada
di pinggir danau terperangah. Kelopak mata mereka membesar tegang. Tak pernah
ada yang menyangka kalau tiga tokoh aliran sesat itu akan mengalami nasib
begitu menggiriskan Keterkejutan tak luput melanda diri Andika dan Ratna Kumala
di tempat persembunyian.
Berbeda dengan mereka yang
berada di sekitar danau, kedua anak muda itu terkejut karena menyaksikan luka
di kening ketiga mayat dari kejauhan.
“Apakah aku tidak salah lihat,
Andika?” gumam Ratna Kumala.
“Tampaknya, kita akan segera
bertemu pembunuh kedua saudara seperguruanmu...,” tanggap Andika tanpa
melepaskan pandangan dari tiga mayat yang terapung di danau.
“Aku tidak mengerti, kenapa
bajingan itu membunuh kakak seperguruanku. Dan, kenapa pula mereka membunuh
tiga tokoh sakti aliran sesat?”
tanya Ratna Kumala, masih terdengar
bergumam. “Aku juga tidak mengerti. Yang pasti, orang itu membunuh bukan karena
kurang kerjaan,” tukas Andika seraya bangkit dari duduknya.
“Hendak ke mana kau?” tanya
Ranta Kumala cemas.
Andika mengangkat bahu acuh
tak acuh.
“Kau ingin tahu alasan orang
itu membunuh kedua kakak seperguruanmu dan tiga orang tokoh sesat itu, atau
tidak?”
Kaki Pendekar Slebor
melangkah, menuju jalan setapak yang menurun ke arah Danau Panca Warna.
“Apa maksudmu?” tanya Ratna
Kumala, seraya ikut bangkit.
“Akan kuringkus orang itu.”
“Aku ikut”
Sepasang alis sayap elang
milik Andika merapat.
Tampaknya dia tak begitu suka
oleh ucapan terakhir Ratna Kumala. Ditatapnya gadis berambut pendek itu
lekat-lekat, dengan kelopak mata agak mengerut.
“Apa kau pikir orang yang akan
kuhadapi nanti centeng pasar berkepandaian tanggung? Apa kematian ketiga tokoh
aliran sesat itu tidak membuka matamu?” tegas Andika.
Ratna Kumala menaikkan
wajahnya tinggi-tinggi.
“Apa kau kira aku takut?”
ujarnya agak tersinggung.
“Aku yakin kau tidak akan
takut. Karena, kau memang perempuan nekat yang tidak bisa berpikir jernih,”
sindir Andika, seraya menaikkan sudut bibir.
“Apa maksudmu?”
“Kau tidak mengerti? Apa
otakmu sudah digadai-kan? Ini bukan masalah takut atau tidak, Ratna. Ini masalah
hidup-mati. Mengerti?” sambut Andika.
Mata Ratna Kumala membesar
sejadi-jadinya. Gadis yang juga keras kepala itu mulai jengkel mendengar ucapan
Andika yang terdengar ceplas-ceplos tadi.
“Sudah kubilang, aku tidak
takut Apa kau pikir seorang pengecut tidak akan mati? Semua orang pasti akan
mati, Andika. Kalau aku mesti mati hari ini di tangan bajingan itu, apa
bedanya? Mati toh hanya masalah waktu. Aku bahkan lebih suka mati dalam
perjuangan, ketimbang mati penasaran atau mati ketakutan...,” sergah Ratna
Kumala panjang.
Andika berdecak jengkel.
Tangannya lantas menggaruk-garuk kepala. Dia mati kutu menghadapi gadis jelita
satu ini. Dihelanya napas dalam-dalam, mencoba mengenyahkan kedongkolan yang
mulai menggelayuti tenggorokan.
“Baiklah,” Andika menyerah.
“Tapi kau harus menunggu di tepi danau. Biar aku saja yang menyelam.”
Kini, Ratna Kumala mengangguk
puas.
Kemudian, mereka segera turun
dengan
mengerahkan ilmu meringankan
tubuh. Maka sebentar saja mereka telah tiba di bibir danau.
Dan tanpa mempedulikan puluhan
pasang mata yang menatap dan puluhan mulut yang kasak-kusuk melihat
kehadirannya, Andika langsung loncat ke dalam Danau Panca Warna.
Byur
Rasa dingin langsung merambah
sekujur tubuh Andika. Gelembung-gelembung kecil yang diciptakan sibakan air,
menari-nari di sekitar wajahnya. Untuk kedua kalinya, dia akan menyelam ke
dalam danau berair bening, namun selalu siap membawa hawa maut.
Sempat pula ingatan pendekar
muda itu ber- kelebat tentang kejadian-kejadian yang pernah menimpanya. Terutama
saat melakukan penyelaman pertama, hingga menemukan benda sakti yang kini
disebut-sebut orang dunia persilatan bernama Pusaka Langit. Sekilas tergambar
di kepalanya, bagaimana rasa sesak yang melanda dadanya kala sinar merah bara
menyilaukan menyedot dirinya.
Setelah itu, ingatannya pun
pupus kembali.
Kejadian yang tersembul sesaat
di benaknya, membuat Andika terpaku. Untunglah, dinginnya air danau segera
menyadarkannya.
Kini Andika menggerakkan
kakinya, mengayuh untuk menyelam ke dasar Danau Panca Warna.
Setelah dasar danau terlihat,
penyelaman diteruskan ke sekitarnya. Tumbuhan danau yang menggapai-gapai lemah
gemulai, disibakkan dengan kedua tangannya. Perlahan Andika maju. Seluruh
kemampuan indra pengelihatannya dikerahkan untuk menebus keremangan dasar
danau.
Beberapa saat kemudian, mata
Pendekar Slebor menangkap sesosok tubuh berpakaian serba hijau sedang berenang
menuju permukaan.
“Akhirnya kau kutemukan juga
kunyuk busuk itu”
kutuk hati Andika.
Wrrr
Tanpa menunggu lebih lama,
Andika mengirim pukulan jarak jauhnya. Saat telapak tangannya terdorong ke
depan, segulungan gelembung udara yang memanjang meluncur ke arah sasaran.
Bentuknya seperti rentangan
tambang yang tembus pandang.
Sebenarnya, pantang bagi
seorang pendekar seperti Andika melakukan bokongan. Namun, semuanya sudah
matang dipertimbangannya. Dia tahu, pukulan jarak jauh akan melemah jika
dilakukan dalam air. Di samping itu, orang yang dituju pun cukup jauh dari
tempatnya. Kalau pun bokongannya akan mengenai sasaran, pasti tidak akan
berakibat parah. Tujuan Andika memang bukan hendak melumpuhkan, melainkan
sedikit memberi per-ingatan.
Mendengar bunyi ganjil di
belakangnya, orang berpakaian serba hijau itu bergerak siaga. Tangannya cepat
mengayuh ke depan, sehingga tubuhnya terdorong cepat ke belakang. Maka pukulan
jarak jauh Andika hanya melintas di depan dadanya.
Saat orang berpakaian serba
hijau itu berbalik, pada tangan kirinya terlihat kain putih tembus pandang yang
didalamnya terdapat batu sebesar kepala bayi, memancarkan sinar merah bara
menyilaukan
Hal itu langsung menusuk benak
Andika. Secara samar-samar, bayangan kejadian beberapa waktu lalu terbersit
kembali. Keningnya berkerut. Andika berusaha mempertahankan bayangan itu.
Beberapa saat ia hampir berhasil. Bayangan kejadian berupa cahaya merah bara
seperti yang baru saja dilihatnya di tangan orang itu makin menjelas di
benaknya.
Sebelum semuanya menjadi
benar-benar jelas, tiba-tiba telinganya menangkap suara sumbang menggetarkan.
Wrrr...
Pendekar Slebor terkesiap. Secepatnya
disadari kalau sosok berpakaian serba hijau itu telah melakuan serangan balik
berupa pukulan jarak jauh kini mengancam.
“Arrrgkh”
Andika berteriak keras seraya
berputaran di dalam air. Suaranya yang disertai gelembung udara terdengar aneh
dan menyeramkan. Teriakannya membuat Andika mampu menghindari terjangan tenaga
pukulan yang jauh lebih dahsyat dari pukulannya.
“Gila Pukulan macam apa itu?”
Serapahnya dalam hati.
Nyaris Pendekar Slebor tak
mempercayai kejadian di depan matanya tadi. Bagaimana mungkin orang itu bisa
mengirimkan pukulan yang mampu menciptakan pusaran sebesar kerbau di sekitar
tubuhnya?
Ketika mata elangnya tertumbuk
kembali pada batu merah bara di tangan orang itu, Pendekar Slebor langsung
teringat pada cerita Ratna Kumala tentang benda pusaka dari langit.... Pusaka
Langit
Hanya ada satu dugaan di
kepala Andika saat itu.
Dia yakin, benda pusaka itulah
yang telah memperkuat tenaga pukulan orang. Jadi, Pusaka Langit benar-benar
nyata dan bukan bualan belaka orang-orang persilatan
Memang pantas jika hati Andika
berkata seperti itu. Karena, dia tidak lagi ingat tentang kehebohan Pusaka
Langit, sampai Ratna Kumala menceritakan semuanya. Padahal sebelumnya, dia
tidak mempercayai. Meskipun, beberapa kali bayangan kejadian berapa waktu lalu
terbersit samar dalam ingatannya.
Kalau di dalam air saja benda
itu mampu melipatgandakan kekuatan seseorang, apa lagi jika di daratan? Tentu
orang yang memilikinya akan mampu membelah gunung karang
Menyadari bahaya yang akan
mengancam dunia persilatan bila benda pusaka itu berada di tangan orang
sebengis lelaki berbaju hijau, Andika memutuskan untuk menghadapinya
habis-habisan.
Dia tak mau sungkan-sungkan
lagi melepas pukulan pamungkasnya sekalipun. Maka tangannya cepat bergerak dari
depan dada, membentang ke samping dengan telapak terbuka lebar. Perlahan
sepasang tangan pendekar muda itu terangkat, lalu kembali ke depan dada.
Setelah menyatukan kedua telapak tangan, matanya terpejam. Sesaat
berikutnya....
Wrrr...
Satu pukulan jarak jauh yang
lebih kuat
dilancarkan Pendekar Slebor.
Seperti serangan sebelumnya, pukulannya kali ini pun menimbulkan
gelembung-gelembung udara memanjang yang terbentang ke arah orang berbaju serba
hijau itu.
Bedanya, kali ini
gelembung-gelembung udara itu lebih besar dan bergerak berputar di sekitar
tenaga pukulannya.
Orang berbaju serba hijau yang
menyaksikan pukulan Pendekar Slebor berniat mementahkannya.
Bahkan sekaligus menguji
keampuhan Pusaka Langit yang terbungkus kain putih tembus pandang di tangannya.
Bersamaan tindakan itu, Andika
segera merang-seknya. Seketika sepasang kaki dan tangannya dikayuh sekuat
tenaga. Maka pengerahan tenaga sakti warisan Pendekar Lembah Kutukan membuat
tubuhnya meluncur bagai seekor hiu memburu mangsa.
Di pihak lain, orang berpakaian
serba hijau juga melakukan hal yang luar biasa. Pukulan sakti Pendekar Slebor
yang bisa meremuk redamkan bongkahan karang sebesar kerbau, ternyata dapat
dibelokkan ke arah lain dengan sabetan kain berisi Pusaka Langit
Pendekar Slebor tentu saja dibuat
tersentak melihat kenyataan di depan matanya barusan. Tapi karena tubuhnya
sudah telanjur meluncur deras ke arah lawan, tidak dipedulikan lagi kekuatan
maha dahsyat dalam Pusaka Langit. Yang ada dalam kepalanya hanya tekad untuk
merebut pusaka itu agar dapat diamankan dari tangan keji.
Wrrr...
Dalam terjangannya, tangan
Pendekar Slebor membentang ke depan, mengarah ke dada orang berbaju hijau yang
masih lengah.
Deb
Terdengar bunyi tertahan,
ketika jari-jari mengejang Andika menotok tulang dada orang berbaju hijau yang
langsung terdorong deras ke belakang. Luncuran tubuhnya baru berhenti ketika
punggungnya menimpa batu cadas besar di
belakangnya.
Grrr...
Batu cadas yang menjulang ke
permukaan kontan remuk di bagian yang terhajar punggung lelaki itu.
Tapi orang bertopeng kain
hijau ini tampak tidak mengalami sesuatu yang berarti. Dengan tenang, kakinya
menjejak ke batu cadas, lalu berenang menuju Pendekar Slebor.
Mata Pendekar Slebor jadi
membesar, karena baru kali ini menemukan orang yang bisa menahan pukulan
pamungkas warisan Pendekar Lembah Kutukan. Apalagi, tetap sehat walafiat
seperti lelaki itu.
Sementara itu, mata orang
berbaju serba hijau itu tampak berbinar angkuh. Kalau saja wajahnya tak
tertutup, tentu Pendekar Slebor akan menyaksikan senyum penuh ejekan lawannya.
Lelaki bertopeng kain hijau
itu makin dekat ke arah Pendekar Slebor. Sementara itu, tangannya sudah siap
melancarkan jurus yang mungkin menciptakan pusaran air raksasa karena daya
sakti dari Pusaka Langit....
*** 9
Sekujur tubuh Pendekar Slebor
jadi mengejang karena tegang. Biarpun sudah banyak menelan asam garam rimba
persilatan, tapi tak luput pula dicekam ketegangan. Seumur hidupnya, baru kali
ini menjalani pertarungan maut di bawah air. Terlebih, kesaktian orang berbaju
serba hijau itu sulit diukur akibat pangaruh kekuatan Pusaka Langit.
Bahkan kini dada Pendekar
Slebor mulai terasa sesak. Entah sudah berapa lama berada di bawah air, dia
sendiri tidak tahu. Yang pasti, paru-parunya harus diisi udara baru, kalau
tidak ingin dadanya pecah.
Namun, Pendekar Slebor tidak
bisa begitu saja melayang ke permukaan. Baru saja sepasang kakinya hendak
dikayuh ke atas, orang berpakaian serba hijau itu telah tiba di depannya.
Srrr...
Tangan kanan lelaki bertopeng
bergerak menyapu ke perut Pendekar Slebor. Untunglah, pada saat yang gawat
pendekar muda itu mampu melakukan
gerakan kecil ke belakang.
Sehingga, tangan lawannya lewat beberapa rambut dari perutnya. Kalau saja
Pendekar Slebor kalah cepat, bisa dipastikan isi perutnya akan ambrol saat itu
juga, terkena tombak kecil bermata tiga di tangan lawannya. Rupanya orang
berpakaian serba hijau itu mengeluarkan senjata saat Andika lengah
Selesai dengan satu sabetan,
lelaki bertopeng hijau itu mengirimkan tebasan dan tusukan susulan.
Senjatanya berpindah-pindah
sasaran. Dari dada, ke kepala, lalu sesekali ke leher Pendekar Slebor.
Serangan bertubi-tubi ini
membuat Pendekar Slebor kewalahan. Di samping pernapasannya yang sudah tak
memungkinkan, gerakan lawannya pun menggila. Kalau saja kecepatan sakti warisan
Pendekar Lembah Kutukan tidak menyatu dalam dirinya, sulit dibayangkan lagi
bagaimana keadaan-nya. Tubuhnya pasti akan tercabik senjata lawan.
Saat berikutnya, lelaki
bertopeng itu mulai pula memanfaatkan Pusaka Langit sebagai senjata. Tanpa
memberi kesempatan secuil pun pada Pendekar Slebor, tangannya yang menggenggam
kain tembus pandang berisi Pusaka Langit segera diayunkan.
Srrr...
Bagai palu aneh, batu merah
bara dalam
bungkusan kain tembus pandang
itu menderu ke kepala Andika. Sekejap lagi, kepalanya tentu akan remuk. Namun,
keadaan terdesak seperti itu mampu membuat Pendekar Slebor melakuan hal yang
sebenarnya sudah tidak mungkin. Entah, naluri macam apa yang menuntun tubuhnya
hingga bisa bergeser ke belakang tanpa disadari.
Sekali lagi, serangan orang
berbaju serba hijau itu luput. Tapi bukan berarti Pendekar Slebor tidak
menerima akibat lain yang tak kalah parah. Pusaka Langit ternyata telah
melipatgandakan tenaga dorongan berbentuk gelombang dalam air akibat hantaman
tadi.
Pendekar yang mengalami
gangguan pada ingatannya itu langsung terdorong deras ke belakang, meski di
dalam air. Tubuhnya baru berhenti meluncur, setelah menghantam batu cadas
besar.
Grrrgh...
Cadas yang menjadi sasaran
tubuh Andika kontan menjadi gompal Pecahannya pun berhamburan di dasar danau
berpasir. Andika sendiri mengalami akibat yang tak kalah hebat. Dari mulutnya
keluar cairan merah kental. Yang kemudian melayang bagai asap merah dalam air.
Sementara, rasa sesak yang mendera punggung memaksanya melepas pernapasan. Maka
air pun cepat merasuk ke saluran napasnya. Dan ini membuat Pendekar Slebor jadi
gelagapan.
Kesempatan itu cepat digunakan
sebaik-baiknya oleh orang berbaju serba hijau itu. Kembali dilabrak-nya
Pendekar Slebor. Setelah mengayun kaki dan tangannya sekuat tenaga, tubuhnya
meluncur deras dengan kaki kanan mengarah ke dada Andika.
Bekh
“Aaargkh
Andika langsung memekik dalam
air. Namun suaranya yang terlontar kuat, teredam begitu saja.
Sementara, terjangan air ke
dalam jalan napasnya kian parah. Wajah tampan pendekar muda itu tampak
mengejang dalam bias air danau. Matanya mem-belalak, menahan sakit tak terkira.
Perlahan-lahan pandangannya mengabur. Sebelum seluruh
kesadarannya lenyap, tangan
kekarnya men-cengkeram orang berbaju hijau itu dengan sisa tenaga terakhir.
Srrrt...
Serangan balasan terakhir
Pendekar Slebor ternyata hanya mampu menyambar topeng kain berwarna hijau dan
baju bagian depan lawan. Kini, pandangan yang mengabur dapat menyaksikan wajah
lawannya. Sekaligus, melihat tanda tubuh berwarna hitam berbentuk bayangan ular
di dada.
Setelah itu, semuanya hilang.
Pendekar Slebor telah tak sadarkan diri.
Tubuh tegapnya langsung
mengapung lamban dalam dekapan dingin air Danau Panca Warna.
Pakaian hijau-hijau dan kain
bercorak caturnya melambai-lambai lemah, selemah tubuhnya saat ini.
***
Matahari pagi mendaki
sepenggalan di cakrawala.
Cahayanya yang kemerahan telah
memudar sejak tadi. Perlahan benda alam raksasa itu mengirim kehangatan ke
wajah bumi. Begitu juga di sekitar Dana Panca Warna.
Beriring terusirnya kabut,
Andika alias Pendekar Slebor siuman dari pingsannya. Tubuhnya tergeletak lemah
di bibir danau berpasir lembut, beberapa tombak dari permukaan. Mata elangnya
mengerjap-ngerjap silau, diterkam sinar matahari. Kepalanya bergerak lambat.
“Kenapa aku bisa berada di
luar danau?” desah Pendekar Slebor seraya mencoba bangkit.
Andika segera mendekap dada
dengan kedua tangannya ketika dirambati rasa nyeri hebat, akibat luka yang
dialami dalam pertempuran kemarin.
Begitu pula bagian
punggungnya. Bahkan sekujur badannya terasa bagai direncah beribu sembilu.
Merasa dirinya tak mungkin
berada di tempat itu tanpa bantuan seseorang, Andika menoleh ke kanan dan kiri.
Tanpa susah payah mencari, matanya telah menemukan seseorang berbaju koko
kuning yang dipadu celana pangsi hitam. Dia berdiri membelakangi Andika. Dari
bentuk tubuh dan warna putih rambutnya, bisa diduga kalau lelaki itu sudah
berumur lanjut. Rambutnya yang digelung ke atas, diikat kain warna biru tua. Meski
kelihatan tua, cara berdirinya tampak gagah. Satu tanda kalau dia terbiasa
melatih diri dengan ilmu olah kanuragan.
“Kau sudah siuman, Anak Muda?”
sapa orang tua itu tanpa berbalik.
“Begitulah, Ki. Semula kupikir
aku sudah melayat ke akherat menemui arwah para leluhur,” sahut Andika mencoba
akrab, meski hatinya masih diliputi tanda tanya. “Maaf, Ki. Kalau boleh tahu,
siapa kau sebenarnya?” Andika berusaha bangkit meski agak terseok.
“Aku hanya seorang lelaki tua
tak berarti,” jawab lelaki itu, sedikit pun tidak memuaskan Andika.
“Tentu saja aku tahu kalau kau
lelaki, Ki. Karena pinggulmu memang tak besar seperti milik perempuan,” kelakar
Andika. “Tapi, aku tak tahu namamu. Tak mungkin aku memanggilmu hanya dengan
sebutan saja. Sebab, kau telah menolongku.”
“Anak muda..., Anak Muda. Tak
perlu kau ikuti anggapan orang banyak bahwa seorang menolong mengharapkan
penghormatan dan sanjungan nama.
Dunia memang seringkali
brengsek. Nilai-nilai suci seperti pertolongan tanpa pamrih, selalu saja hendak
diganti nilai-nilai yang mengharuskan seseorang menuntut pamrih pada orang yang
ditolongnya,” tutur lelaki itu bijak, masih belum juga menoleh.
“Ah Kau ini, Ki. Bikin aku
malu saja,” ujar Andika.
Mulut Pendekar Slebor jadi
meringis-ringis. Entah karena malu oleh ucapan lelaki tua di depannya, atau
karena sakit di tubuhnya.
“Tapi, bukankah tidak salah
kalau aku mengetahui namamu?” lanjut Andika.
“Memang tidak.”
“Nah Jadi, boleh aku tahu
siapa namamu, Ki?” “Kau kenal Ratna Kumala?” lontar lelaki tua itu, malah balik
bertanya.
Andika menautkan alis. “Ya
Memang kenapa, Ki?”
“Kau tahu di mana dia?”
Mendadak Andika tersadar. Ya
Ke mana Ratna Kumala? Lalu ke mana pula para pendekar yang berkumpul di sini
kemarin?
“Kau tak tahu?” usik lelaki
tua.
Kepala Andika menggeleng
lamban.
“Kau ingin tahu?” lanjut
lelaki tua itu lagi, seakan tahu jawaban Andika.
“Tentu, Ki. Ke mana dia? Apa
terjadi sesuatu padanya?” sahut Andika cepat. Kekhawatiran terhadap gadis keras
kepala itu kontan menelusuri relung hatinya.
“Anak kepala batu itu pasti
berbuat macam-macam lagi,” rutuk orang tua itu, seperti tak berniat menjawab
pertanyaan Andika barusan.
“Kalau tak salah duga, kau
tentu guru Ratna?”
terka Andika.
Tak ada jawaban. Namun begitu,
Andika tetap yakin kalau lelaki tua penolongnya memang guru Ratna Kumala. Ini
bisa dinilai dari tekanan suaranya yang terdengar kebapakan saat bergumam tadi.
“Namaku, Kalingga. Aku memang
guru gadis brengsek itu,” jawab orang tua yang ternyata bernama Kalingga dengan
satu helaan napas.
Kemudian tubuhnya berpaling
menghadap Andika.
Kini, mata Andika bisa melihat
wajah tua berwibawa di depannya.
Tak ada jenggot putih menghias
dagu tuanya.
Hanya kumis tebal yang
melintang hingga ke sudut bibir. Warnanya tak seputih rambut di kepalanya.
“Jadi, kau hendak mencari
murid wanitamu itu, Ki Kalingga?” tanya Andika, ingin tahu.
“Itu salah satu tujuanku.”
“Maksudmu, kau punya tujuan
lain?”
“Tepat.”
Andika tak melanjutkan
pertanyaan, karena merasa pertanyaannya terlalu beruntun untuk masalah pribadi
lelaki tua itu. Padahal, sungguh tidak pantas seseorang terlalu ingin turut
campur dalam urusan pribadi orang lain.
“Kenapa kau tak bertanya
lagi?” usik Ki Kalingga, saat mendapati wajah penasaran pemuda di depannya.
“Kau tidak keberatan, Ki?”
“Aku bahkan berharap, kau
bertanya lebih jauh.”
“Ooo....”
Andika memajukan bibir
bulat-bulat. Sementara, benaknya bertanya-tanya heran. Kenapa lelaki tua ini
menginginkan dia bertanya lebih jauh? Apakah ada maksud tertentu?
“Mana pertanyaanmu?” tegur Ki
Kalingga,
menyadarkan ketercenungan
Andika.
“O, ya. Aku lupa. Apa
tujuanmu, selain mencari Ratna, Ki Kalingga?”
“Aku tak akan menjawabnya
sekarang. Kecuali, bila kau sudi menukarnya dengan jawabanmu,” kilah Ki
Kalingga, dibarengi sebaris senyum tipis yang ramah.
Mata Andika jadi menyipit.
Dalam hati, dia agak menggerutu dengan jawaban konyol Ki Kalingga terhadapnya.
Benar-benar orangtua aneh Dia tak ingat kalau dirinya lebih aneh lagi.
Sehingga, kaum persilatan menjulukinya Pendekar Slebor.
“Baik..., baik, Ki. Terserah
kau sajalah,” ucap Andika seraya melepas napas. “Kau ingin menanya- kan apa
padaku?”
“Siapa namamu? Dan, apa
tujuanmu?”
“Aku..., ah Apa itu perlu,
Ki?”
“Perlu,” terabas Ki Kalingga
cepat.
“Aku Andika. Kaum persilatan
menjulukiku Pendekar Slebor. Tapi kau tak perlu memuji lantaran aku keturunan
Pendekar Lembah Kutukan yang sudah menjadi cerita rakyat. Karena aku sendiri
tak ingin....”
Ucapan Pendekar Slebor
terputus. Ada hal aneh yang tiba-tiba dirasakannya. Sesaat dia memikirkan keanehan
itu. Sampai akhirnya....
“Kodok buduk Kutu kupret
Monyet ngantuk
Rupanya ingatanku sudah
kembali” seru Andika, girang bukan alang kepalang.
“Kenapa?” tanya Ki Kalingga,
karena tak mengerti permasalahannya.
“Tidak apa-apa, Ki. Aku baru
saja mendapat anugerahTuhan...”
“Ooo...”
Kali ini Ki Kalingga yang
memajukan bibir bulat-bulat. Padahal, hatinya kebingungan. Baru kali ini
ditemukannya orang aneh yang menyumpah-nyumpah sewaktu mendapat anugerah Tuhan.
Namun tanpa diketahui, dalam
hati terdalam Andika terpercik serangkai puji syukur kepada-Nya.
Dan memang wajar bila dia
memanjat syukur dalam hati. Karena, kesembuhan ingatannya begitu tiba-tiba.
Barangkali karena hantaman kedua sinar Pusaka Langit yang melabrak matanya,
saat bertempur melawan lelaki bertopeng di dasar danau kemarin.
Ingat pertempuran kemarin,
Andika jadi terbayang wajah lawannya yang sempat dilihatnya sebelum pingsan.
Rasanya, dia pernah melihat wajah lelaki itu.
Tapi, entah di mana.
“Bisa kembali ke percakapan
kita?” tegur Ki Kalingga ketika melihat Andika tercenung.
“Oh Tentu saja bisa, Ki. Jadi
apa tujuanmu yang lain?”
“Sebelum kujawab, akan
kuceritakan sebuah kisah padamu,” kata Ki Kalingga memulai. “Lima ratus tahun
yang lalu, ada sebuah benda langit yang menembus lapisan udara bumi, dan jatuh
ke hulu Sungai Kuning di Cina. Seorang sakti yang hidup di masa Dinasti Ming
tahu kalau benda itu memiliki kekuatan bintang yang sangat dahsyat, dari
wangsit saat bertapa.”
Andika manggut-manggut dengan
kening berkerut.
Rupanya dia benar-benar
tertarik mendengarnya.
“Dia pun menelusuri hulu
Sungai Kuning, untuk mencari benda langit itu. Ketika benda itu ditemukan dia
mendapat kesulitan, karena ternyata mampu memancarkan kekuatan yang
mempengaruhi diri seseorang. Itu sebabnya, ia menangguhkan untuk mengambilnya.
Lalu, dia bertapa kembali untuk memohon petunjuk Yang Maha Kuasa, untuk
mengetahui bagaimana cara
menangkal kekuatan benda itu, hingga bisa diambilnya. Sampai suatu malam, dia
kembali mendapat wangsit. Dalam wangsit itu, dia diberi petunjuk untuk membuat
sehelai selendang dari serat pohon yang hanya tumbuh di suatu goa angker, di
suatu pegunungan tertinggi di Tibet,” lanjut Ki Kalingga.
Andika makin tertarik. Bahkan
pandangannya kali ini tak beralih dari wajah Ki Kalingga.
“Meski mendapat halangan yang
nyaris merengut jiwanya, akhirnya dia bisa juga mendapatkan serat pohon, yang
kemudian dijadikan selendang putih tembus pandang. Dengan selendang itulah ia
berhasil mengambil benda langit tersebut. Dan dengan kesaktiannya, benda
angkasa raya itu dijadikan pedang pusaka tak tertandingi.”
Sebentar Ki Kalingga
menghentikan ceritanya.
Sepertinya, dia ingin mencari
kata-kata yang tepat untuk menuturkan ceritanya.
“Empat ratus tahun kemudian,
setelah berpindah tangan dari satu keturunan ke keturunan berikutnya, pedang
pusaka itu melebur, layaknya lilin terbakar api. Dan leburannya lalu menyatu
dengan bumi. Yang tertinggal hanya gagangnya saja. Tapi rupanya, kekuatan benda
angkasa yang menjadi bahan pedang, lenyap setelah empat ratus tahun kemudian.
Sementara selendang penjinak
kekuatan benda langit dan gagang pedang pusaka itu, lima puluh tujuh tahun yang
lalu dititipkan pada seorang keturunan si Pertapa Sakti itu kepadaku. Menurut
buyutnya, benda angkasa seperti itu akan jatuh ke bumi kembali, setiap lima
ratus tahun sekali. Dan ketika lima ratus tahun sejak benda langit pertama
ditemukan, amanatnya yang dititipkan padaku hendak diambilnya kembali,” Ki
Kalingga menyelesaikan ceritanya.
“Lalu, apa hubungannya dengan
diriku. Sampai-sampai, kau merasa perlu menanyakan nama dan julukanku?” tanya
Andika tidak mengerti.
“Aku berharap, kau sudi
menolongku menyelamatkan benda angkasa sakti itu dari tangan orang-orang
berhati iblis.”
“O. Jadi, itu tujuanmu selain
mencari Ratna?”
“Ya.”
“Kenapa bukan kau saja yang
melakukannya?”
“Aku sudah tua. Sudah jenuh
oleh gelora dunia persilatan yang selalu berbau anyir darah. Aku berharap, kau
sebagai tokoh muda yang disegani, sudi melanjutkan perjuanganku. Kini, aku
hanya ingin mendidik murid-muridku menjadi orang berguna bagi rakyat, bagi
orang banyak,” tutur Ki Kalingga perlahan, namun tetap berkesan tegas
berwibawa.
“Nah Kurasa aku sudah cukup
menyampaikan amanatku padamu, Pendekar Slebor. Terima kasih atas kesediaanmu
meneruskan perjuanganku,” lanjut Ki Kalinga, seraya menepuk bahu kekar Andika.
“Tapi, Ki....”
Belum sempat Andika
melanjutkan ucapan, lelaki tua itu sudah melesat cepat bagai tersapu angin.
Tampak jelas, bagaimana
tingginya ilmu meringankan tubuh Ki Kalingga. Mungkin hanya segelintir orang
yang mampu melakukannya, termasuk Andika sendiri.
Setelah Ki Kalinga pergi,
Andika tercenung.
Ingatannya yang mulai pulih,
membuatnya cepat terbayang pada kematian dua murid terbaik Ki Kalingga,
Rudapaksa dan Rudapaksi.
“Kalau gurunya sudah sesakti
itu, murid terbaiknya tentu tak kalah hebat. Tapi, bagaimana kedua murid
pilihan itu dapat dibunuh dengan mudah? Musuh macam apa yang mesti kuhadapi
ini?” desis Andika dengan alis bertaut rapat.
Cukup lama Andika terdiam,
memikirkan lawan yang akan dihadapi. Sampai akhirnya, dia teringat pada lelaki
bertopeng di dasar danau.
“Diakah orangnya?” gumam
Andika.
Andika berusaha
mengingat-ingat wajah yang sempat dilihatnya secara sekilas itu. Ya Dia yakin
pernah melihat wajah itu. Di mana dan kapan ter-lihatnya, belum begitu jelas.
Karena, setiap kali mengingat, luka dalam yang diderita membuat daya ingatannya
buyar seketika.
Akhirnya, diputuskan untuk
menyembuhkan luka dalamnya lebih dahulu. Andika lalu bersila di tanah.
Matanya perlahan-lahan terperjam.
Sedang sepasang tangannya bersidekap di depan dada. Dia memulai semadi untuk
menyalurkan hawa murni ke bagian tubuhnya yang terluka.
Lambat laun, tubuh Pendekar
Slebor mulai terasa segar kembali. Maka Andika pun memenggal semadi-nya.
Berbareng dengan gerakan tangan untuk meng-hapus peluh yang membasahi
keningnya, dia mulai mengingat kembali lelaki yang dihadapi di dasar Danau
Panca Warna.
Dan tiba-tiba gangguan datang
lagi tanpa disangka-sangka. Telinga tajamnya menangkap desir lembut dari arah
belakang.
Zing...
“Hiaaah”
Tanpa mau menoleh ke belakang
lagi, tubuh Pendekar Slebor melenting ringan ke atas. Andika sudah sering
mendengar suara seperti itu. Bahkan bisa dibilang sudah begitu akrab selama
mengarungi buasnya rimba persilatan. Desing itu adalah suara yang ditimbulkan
luncuran senjata tajam kecil.
Dugaan Andika tidak meleset
sedikit pun. Tampak sebilah pisau belati hendak memangsa punggungnya.
Jlep
Luput dari sasaran, belati itu
menembus batang pohon cemara lima belas tombak di depan Andika.
“Kutu koreng” maki Andika di
udara.
Setelah berputaran beberapa
kali, tubuh Pendekar Slebor meluncur turun kembali. Sepasang kakinya ringan
sekali menjejak tanah berpasir tanpa kesulitan. “Siapa manusia biang kurap yang
coba-coba main-main?” bentak Andika jengkel, seraya mengedarkan pandangan liar
ke sekitar tempatnya berdiri.
Tak terdengar jawaban. Bahkan
desahan napas sekalipun. Tampaknya, si Pembokong telah melarikan diri ketika
Andika sibuk menghindari serangan gelap tadi.
Dengan bibir bergerak-gerak
menggerutu, Andika mengalihkan pandangan ke belati di pohon cemara.
Di gagangnya, terdapat sehelai
daun lontar yang diikat seutas tali.
“Permainan macam apa lagi
itu?” gerutu Pendekar Slebor dongkol.
Kakinya lantas melangkah
menuju pohon cemara sasaran belati itu. Setibanya di dekat pohon itu, Andika
mencabut belati. Kemudian, ikatannya dibuka.
Dibentangnya daun lontar yang
terdapat di belati, lalu terlihat tulisan di dalamnya.
Maafkan aku bila menyuruh
seseorang
menyampaikan pesanku ini,
meski sebenarnya lebih pantas disampaikan langsung. Tuan Pendekar, kulihat kau
sudah cukup akrab dengan adik seperguruanku Ratna Kumala. Untuk itu, aku
meminta tolong pada Tuan untuk menjaga keselamatannya.
Tugas yang kami jalankan amat
berbahaya. Bisa saja kami akan terbunuh suatu saat. Jadi, untuk kedua kalinya
aku memohon pertolongan Tuan. Bila ternyata kami memang terbunuh, sudilah
kiranya Tuan Pendekar menyelamatkan gagang pedang yang kami simpan di satu
tiang Penginapan Mekar Harum di Desa Ambangan.
Tertanda, Rudapaksa. Andika
menutup daun lontar itu. Lalu tanpa sadar, diremas-remasnya. Persoalan kini
mulai menjadi jelas bagi dirinya. Bahkan sekarang bisa teringat jelas, siapa
lelaki yang bertarung dengannya di dasar danau kemarin, setelah surat itu
menyebut-nyebut tentang tugas yang diemban Rudapaksa dan Rudapaksi.
Wajah lawannya memang wajah
lelaki dari Tiongkok yang dilihatnya di Bandar Sunda Kelapa, bersama Rudapaksa
dan Rudapaksi beberapa saat lalu.... Ya
Chin Liong
Lalu, ke mana Ratna? Pertanyaan
yang sempat diajukan pada Ki Kalingga kini tersembul lagi di lerung benaknya.
Andika terpaku memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada diri gadis
kepala batu itu.
Plok
Tiba-tiba, Andika menepuk
keningnya keras.
“Mengapa aku lamban sekali
berpikir Tentu saja Chin Liong telah menculiknya, karena mengira Ratna Kumala
tahu tempat persembunyian gagang pedang pusaka yang disebut Rudapaksa dalam
suratnya”
cetus hati Andika. “Heh
Rupanya lelaki itu sudah mengkhianati Rudapaksa dan Rudapaksi untuk menguasai
selendang penjinak Pusaka Langit, sekaligus ingin mendapatkan benda angkasa
raya dan gagang pedang pusaka itu”
Bibir Pendekar Slebor tampak
menyeringai, antara senang karena berhasil memecahkan teka-teki, dengan
kegusaran atas pengkhianatan Chin Liong.
“Seujung rambut saja gadis itu
terusik kau akan kubuat hancur seperti sambal terasi, Chin Liong...”
Selesai mengucapkan kalimat
terakhir, Andika melesat dari tempat itu.
Kini tepian Danau Panca Warna
sunyi. Desir angin yang membelai permukaan danau terdengar men-dayu. Tanpa
diketahui Andika, beberapa depa dari tempatnya berdiri teronggok dua timbunan
tanah yang cukup besar. Pada satu ujung timbunan, tertancap batang pohon
kering. Di dalamnya bersemayam puluhan mayat yang dibantai sepasukan orang
berpakaian merah, bersama lelaki biadab yang membawa selendang berisi Pusaka
Langit.... Salah seorang di antara mayat-mayat itu adalah Ratna Kumala
*** 10
Karena letaknya tak jauh dari
pusat perniagaan Bandar Sunda Kelapa, Desa Ambangan tak pernah mati dari
kesibukan. Pasar di desa itu terus berdenyut siang dan malam, tak seperti pasar
di tempat lain yang baru ramai jika jatuh hari pasaran. Hal itu wajar saja,
jika memperhatikan bagaimana barang-barang yang dibongkar muat di Bandar Sunda
Kelapa, sebagian dibawa ke pasar tersebut untuk dijual.
Sementara, kapal-kapal niaga
yang membawa barang tak pernah kenal kata siang atau malam untuk berlabuh di
bandar.
Malam itu, Andika tiba di
pusat Desa Ambangan.
Mestinya, dia bisa tiba lebih
awal di sana. Karena, jarak antara Danau Panca Warna dengan pusat desa hanya
berjarak sepeminum teh. Namun, penduduk desa tentu akan mengenalinya sebagai
seorang pendekar yang menolong Buntar waktu itu. Akibatnya, kedatangannya di
desa itu akan cepat tercium lawan yang bisa saja menguping dari obrolan
penduduk. Itu sebabnya, diputuskannya untuk datang malam hari.
Tempat yang dituju Pendekar
Slebor adalah Penginapan Mekar Harum, tempat di mana
Rudapaksa menyembunyikan
gagang pedang pusaka dari Tiongkok pada satu tiangnya. Agar tak mudah dikenali,
sengaja dia mengenakan caping lebar dan berjalan pada tempat-tempat yang tak
terlalu terang.
Sementara, matanya terus
mengawasi kian kemari.
Siapa tahu saat itu dia bisa
menemukan Chin Liong
Saat Pendekar Slebor melintasi
satu kelontong yang cukup terang oleh cahaya lampu minyak, seseorang yang
dikenalnya melintas tepat di depannya. Langkah Andika bergegas berhenti.
Tangannya cepat-cepat menurunkan caping ke depan. Andika amat hafal wajah
lelaki desa yang bernama Diding itu.
Dia adalah kawan Buntar, orang
yang ditolongnya tempo hari. Kalau cahaya dari lampu minyak kelontong dibiarkan
menerpa wajah, tentu Diding akan mengenalinya pula.
Setelah Diding lewat beberapa
langkah darinya, Andika meliriknya. Dia hanya ingin meyakinkan kalau Diding
tidak menoleh ke belakang. Yakin kalau lelaki desa itu tidak akan menoleh,
Andika segera melanjutkan langkahnya.
Tapi baru dua tindak kakinya
bergerak....
“Lho, Den Pendekar Mau ke
mana?”
Terdengar panggilan Diding di
belakangnya.
“Benar-benar apes,” rutuk
Andika membatin.
“Matamu jeli juga, Kang,” ujar
Andika, setengah menggerutu ketika Diding sudah berdiri di hadapan-nya. Mata
besar Diding berbinar-binar senang bisa bertemu kembali pendekar sebaik Andika.
“O, jelas...,” tukas Diding
bangga. Hidungnya kembang-kempis merasa dipuji. “Den Pendekar mau ke mana?”
Bukannya menjawab, Andika
malah meraih pergelangan tangan lelaki desa itu.
“Ikut aku,” bisik Andika,
seraya menarik Diding ke satu lorong di antara dua bangunan kelontong.
“Eh, eh... Jangan narik-narik
seperti ini, Den. Nanti aku dikira pencopet yang ketangkap basah,” kicau
Diding.
“Diam”
Mendapat bentakan Andika,
mulut Diding yang berbibir setebal tahu langsung saja terkatup rapat-rapat.
“Kuminta, kau tidak berbicara
pada siapa pun kalau aku ada di desa ini,” ujar Andika di sudut lorong. Matanya
terpaut erat pada mata Diding, sebagai isyarat kalau pembicaraannya sangat
penting.
Diding mengangguk-angguk
tergesa dengan alis terangkat tinggi-tinggi.
“Ho-oh... ho-oh,” ucap Diding
ketolol-tololan.
“Dan satu lagi....”
“Apa, Den?”
“Apa kau melihat lelaki
Tiongkok?”
Kening Diding berkerut.
“Lihat, Den...,” jawab Diding.
“Bagus. Di mana dia?” lanjut
Andika.
“Itu, tuh Di perkampungan
Tiongkok di ujung pasar. Ada Bun li, ada Bo Liang, Mei Lan, Ling ling.
Mpeh Lim Giok yang perutnya
sebesar tong juga ada....”
Andika menarik napas kesal.
Yang ditanya lain, yang dijawab lain lagi. Andika jadi menggerutu dalam hati.
“Aku tak menanyakan para
pendatang dari negeri Tiongkok yang menetap di daerah ini.”
“Jadi yang mana, Den?”
“Lelaki Tiongkok berwajah
tampan yang baru datang saat ada kegemparan benda langit yang jatuh ke danau.
Pakaiannya berwarna merah, dan ter-kadang mengenakan pakaian warna hijau,” urai
Andika, menjelaskan ciri-ciri Chin Liong.
Kembali kening Diding
berkerut. Kali ini, benaknya sungguh-sungguh mengingat lelaki pendatang dari
Tiongkok yang sampai di desanya belakangan ini. “O, iya Den. Aku pernah lihat
lelaki Tiongkok yang seperti Aden gambarkan....”
“Di mana?” sela Andika cepat.
“Di... mmm, penginapan Mekar
Harum”
“Penginapan Mekar Harum,”
gumam Andika, tak kentara.
Terbersit pikiran dalam benak
Pendekar Slebor kalau Chin Liong telah mendahuluinya. Meskipun, belum diyakini
benar apakah Chin Liong telah mendapatkan gagang pedang pusaka itu atau belum.
“Aku harus segera ke sana...,”
bisik Andika.
“Ah Aku sih tidak perlu
diajak, Den,” tukas Diding.
“Siapa yang mengajakmu?” tanya
Andika, seraya memberi senyum sebagai tanda terima kasih.
Diding cengar-cengir tak
karuan.
“O, kukira mau ngajakku, he he
he.”
“Kalau mau ikut, ya boleh
saja. Tapi asal berani mati.”
“Kok?”
“Aku bukan mau menginap di
sana, tapi mau mencari seorang pembunuh berdarah dingin. Mau ikut?”
“Ah-ah Terima kasih banyak
kalau gitu”
Sekali lagi, Andika tersenyum.
Setelah mengucapkan terima kasih, Andika berlalu dari lorong itu.
Tinggal Diding yang
mengedik-ngedikkan bahu kalau ngeri membayangkan dirinya harus berhadapan
dengan pembunuh berdarah dingin.
“Hiiiy, amit-amit” desis laki-laki
itu.
***
Penginapan Mekar Harum kini
terselimut sepi.
Para pendekar yang beberapa
hari lalu menginap di sana, sejak kemarin mulai pergi satu persatu. Mereka
sudah kehilangan keberanian untuk mendapatkan Pusaka Langit, setelah tiga tokoh
utama aliran sesat terbantai oleh orang aneh dalam sekali tepuk.
Kini penginapan itu ibarat
kembang desa yang kehilangan kecantikannya. Tak ada lagi yang mau bertandang ke
sana. Sementara, para pedagang dari negeri lain tidak begitu berminat menyewa
kamar di sana, karena terletak begitu terpencil di sudut desa.
Suasana Penginapan Mekar Harum
memang sama sekali tidak menarik. Bahkan boleh dibilang agak berkesan angker.
Letaknya persis di bibir tebing yang menghadap Danau Panca Warna. Bangunannya
tampak kuno, berdiri di ketinggian dengan kawalan pepohonan cemara yang besar
dan rimbun.
Keangkeran juga terlihat pada
bangunannya. Pintu utamanya terbuat dari kayu meranti berwarna merah kusam,
bagai darah mengering. Di beberapa bagian dindingnya, lumut meranggas liar
ditambah beberapa bagian lain yang sempal. Atapnya terbuat dari genting beton
dan dihiasi patung besar berbentuk buto ijo pada ujung-ujungnya.
Di ruang tengah bangunan itu,
tampak seseorang berpakaian merah duduk menyendiri di satu kursi bermeja. Kedua
tangannya tampak memutar-mutar cangkir bambu berisi tuak. Sesekali, tangannya
terangkat untuk meneguk isinya. Setelah tuak dalam bambu habis, dituangnya
kembali tuak dari tabung bambu panjang yang disandarkan di sisi meja.
Tampaknya, hanya lelaki itu
yang masih berminat menyewa kamar di Penginapan Mekar Sari. Karena, tak ada
satu orang pun terlihat selain dia dan pemilik penginapan tua yang duduk
terkantuk-kantuk dibelai angin malam. Saat hari makin teringkus kegelapan
malam, terdengar langkah seseorang memasuki ruangan tengah penginapan itu.
Kesunyian di sana membuat langkah-langkah itu terdengar jelas berirama bagai
detak jantung orang sekarat.
“Kita bertemu lagi, Chin
Liong” seru seseorang di belakang lelaki berpakaian merah yang ternyata Chin
Liong, lelaki Tiongkok yang dicari Andika.
Chin Liong tak menoleh.
Wajahnya tetap dingin, sedingin gunung karang. Tak ditanggapinya seruan itu,
meski terdengar penuh kegeraman. Karena, dia sendiri tahu kalau orang yang baru
datang berdiri cukup jauh dari tempatnya. Dengan begitu, masih punya banyak
kesempatan untuk menghindar kalau orang di belakangnya mencoba bermain api.
“Kau tak gembira bertemu lagi
denganku?” lanjut lelaki berpakaian hijau-hijau itu.
Dia mengenakan kain bercorak
catur di pundaknya. Ya Dia adalah Andika yang baru tiba di penginapan ini.
“Ah Sayang sekali kalau kau
tak gembira,”
sambung Andika seraya
melangkah perlahan mendekati Chin Liong. “Padahal ini malam terakhirmu untuk
menikmati dunia konyol ini....”
“Bicara apa kau, Kisanak?”
ujar Chin Liong datar dan dingin.
Matanya yang sipit terpaku
lurus pada satu sudut ruangan, seperti tak mempedulikan kehadiran Andika.
Andika tersenyum sinis.
“Aku bicara apa? Kau tak
dengar ucapanku tadi?
Sayang sekali Lelaki sehebat
kau, ternyata malas membersihkan kuping,” cemooh Andika, memancing kemarahan
calon lawannya. Chin Liong tak melontarkan sepatah kata pun untuk menanggapi
ucapan terakhir Andika. Malah dia berdiri dari kursinya.
“Kurasa kau berbicara pada
orang yang tidak tepat. Ada baiknya, aku masuk kamar. Aku perlu istirahat. Jadi
aku mohon pamit, Kisanak,” tutur Chin Liong dengan kalimat terputus-putus dan
kaku. Dia memang belum begitu menguasai bahasa Melayu.
“Tunggu, Bajingan Bau” bentak
Andika tiba-tiba.
Lelaki tua pemilik penginapan
yang semula mengangguk-angguk dipermainkan kantuk, mendadak saja tersentak.
Matanya terbelalak karena begitu kaget-nya.
Sementara, Chin Liong
mengurungkan niat untuk masuk kamarnya. Dia berdiri tanpa gerak, tepat di
antara meja dan kursi yang didudukinya tadi.
“Ada apa lagi, Kisanak?” tanya
Chin Liong tetap datar.
“Di mana kau sembunyikan
wanita yang kau culik itu?”
Chin Liong menoleh. Matanya
bertumbukan
langsung pada Andika. Wajah
tampan lelaki Tiongkok itu tak terlihat berubah sedikit pun. Tetap dingin.
“Wanita?” tanya Chin Liong
singkat.
“Jangan coba-coba bermain-main
denganku, Chin Liong” hardik Andika, mulai gusar.
Bagaimana tidak gusar hati
Andika kalau wanita yang telah menyelamatkannya, dan menjadi kawan baiknya
belakangan ini dalam ancaman tangan keji Chin Liong?
“Kau sungguh aneh, Kisanak.
Aku bahkan tidak mengenalmu. Tapi, tiba-tiba saja kau menuduhku menyembunyikan
seorang wanita...,” sangkal Chin Liong tenang. “Kau..., benar-benar tai kucing”
maki Andika.
Kegusaran Pendekar Slebor
sudah tiba di ubun-ubun. Pendekar muda itu merasa dirinya sedang dipermainkan.
“Aku sudah tak mau banyak
basa-basi lagi, Chin Liong Katakan, di mana wanita itu Kalau tak kau serahkan,
terpaksa kita harus bersabung nyawa kembali seperti di dasar danau,” ancam
Andika dengan mata terbakar merah.
Menanggapi ancaman Andika,
Chin Liong malah tersenyum tipis dan sinis. Kepalanya menggeleng-gelengkan
perlahan. Di mata Andika, sikapnya seperti sedang mengejek.
“Telor busuk Kentut busuk
Bubur busuk” maki Andika kalap, sekalap kakek-kakek kehilangan cangklong
kesayangan.
Usai menyemprotkan sumpah
serapahnya,
Pendekar Slebor langsung
menerjang Chin Liong.
“Khiaaah”
Beriring teriakan menggeledek,
tubuh Andika meluncur secepat kilat ke arah Chin Liong. Satu tendangan dilancarkan
ke dada laki-laki Tiongkok itu.
“Hih”
Kecepatan gerak Andika yang
hanya dimiliki para Pendekar Lembah Kutukan, memaksa Chin Liong membuang diri
ke samping secepat mungkin.
Brak
Kaki Chin Liong membentur meja
kayu enam tombak dari tempatnya semula, hingga langsung hancur
berkeping-keping. Setelah berguling di lantai beberapa kali, kakinya menjejak
lantai. Sekejap tubuh lelaki Tiongkok itu berputar di udara, lalu mendarat
mantap di satu meja lain.
Andika memburu kembali.
Didekatinya laki-laki sipit itu dengan bersalto melewati pecahan kayu meja.
Setibanya di dekat lawan, kaki tangannya diputar untuk menyapu kepala.
Serangan Andika kali ini tidak
berusaha dihindari.
Dipapakinya tendangan Andika
dengan tangan kiri.
Des
Sementara tangan kanan Chin
Liong yang bebas, segera mengirim serangan balasan ke perut Andika yang masih
di udara.
“Hih”
Bet
Pendekar Slebor tak ingin
perutnya jadi sasaran empuk pukulan lawan. Segera kedua tangannya membentuk
silang untuk menangkis pukulan Chin Liong.
Des
Pukulan Chin Liong dapat
dimentahkan Pendekar Slebor. Kini, tubuh Chin Liong meluncur turun dan tiba di
sisi meja tempat Andika berdiri. Melihat kaki Chin Liong berada tepat di
depannya, Pendekar Slebor menyentak sepasang tangan dengan telapak membentuk cakar.
“Haih”
Jep Jep
Lagi-lagi, gempuran Pendekar
Slebor tak menemui sasaran. Karena, Chin Liong melompat ke lantai yang tak
kalah cepat dengan sentakan tangannya.
Sementara itu, lelaki tua
pemilik penginapan menjadi kalang kabut. Terbungkuk-bungkuk dia berlari
kelimpungan kian kemari, mengkhawatirkan meja-mejanya yang mulai berantakan
akibat pertempuran dua lelaki muda tangguh itu.
“Hey., hey Kalian jangan
bercanda di sini” bentak laki-laki tua itu seraya mengacung-acungkan tongkat.
“Kali ini, jangan berharap kau akan mem-
pecundangi aku”
Terdengar seruan Pendekar
Slebor di sela-sela teriakan jengkel si pemilik penginapan.
“Keluarkan Pusaka Langit itu
Aku tak gentar dengan benda seperti itu'
Lelaki yang diteriaki hanya
menatap Pendekar Slebor dengan mata kian menyipit. Meski sudah memulai
pertarungan, wajahnya tetap tak me-nunjukkan perubahan. Seakan wajah lelaki
Tiongkok itu terbuat dari potongan arca saja
“Ayo, tunggu apa lagi? Serang
aku dengan senjata yang paling hebat sekalipun,” tantang Andika dengan wajah
matang.
Tetap saja Chin Liong berdiri
dalam kuda-kuda tanpa bergerak-gerak. Tentu saja hal itu membuat Pendekar
Slebor makin diberangus kegusaran.
“Kau memang....”
Andika kehabisan kata-kata
untuk memancing kemarahan lawan. Bibirnya terkatup. Sedangkan rahangnya
mengeras.
Merasa tak ada gunanya lagi
banyak bicara, Pendekar Slebor mulai membuka jurus baru. Tubuh Andika mulai
bergerak ke sana kemari, seperti kehilangan keseimbangan. Namun, bukan berarti
gerakannya tidak mengandung maut.
Sedangkan Chin Liong sendiri
bisa menilai, bagaimana dahsyatnya gerakan yang sedang diperlihatkan Pendekar
Slebor. Seumur hidup, belum pernah dia melihat jurus serupa itu. Jurus yang
luar biasa cepat, dan liar. Malah dalam setiap pergantian gerakan, tercipta berpuluh
bayangan kaki atau tangan lawannya.
Pendekar Slebor rupanya sudah
tak ingin membuang waktu lagi. Hingga telah mengerahkan jurus 'Mengubak Hujanan
Petir', jurus keseratus dari rangkaian jurus yang diciptakannya di Lembah
Kutukan.
Kedahsyatan jurus itu terletak
pada dinding kekuatan yang tercipta di sekitar tubuh Pendekar Slebor. Selama
turun ke dunia persilatan, baru kali ini Pendekar Slebor mengeluarkan jurus
'Mengubak Hujanan Petir'. Karena, Andika berpikir kalau lawan akan segera
mengeluarkan Pusaka Langit ber-kekuatan bintang. Jurus 'Mengubak Hujanan Petir'
mungkin bisa menandinginya.
Karena, Andika pernah melindungi diri dengan kekuatan jurus tersebut, ketika
menjalani penyempurnaan di Lembah Kutukan. Saat itu rentetan lidah petir bagai
membentur dinding tak terlihat, hendak menyambar tubuh Pendekar Slebor. Akibat
yang terjadi sungguh menakjubkan Sekitar tubuhnya berpendar cahaya terang
benderang yang mampu membutakan mata seseorang
Menyadari lawan mengerahkan
jurus ampuh, Chin Liong tak mau kalah bahaya. Tak ada waktu lagi baginya untuk
menimbang lebih lama. Segera dipersiapkannya jurus andalan. Disatukannya
telapak tangan di depan dada. Sepasang kelopak matanya mengatup. Lalu terdengar
tarikan napas panjangnya.
Beberapa saat napasnya diatur
tarikan demi tarikan, hembusan demi hembusan. Sampai akhirnya, dia mendorong
kedua tangan ke depan dengan telapak mengejang bersama hembusan napas keras.
“Hsss....”
Chin Liong kini siap memainkan
jurus 'Naga Menerjang Badai'. Suatu jurus yang diimbangi pengerahan tenaga
geledek dalam tubuh melalui pernapasan. Terciptanya pemusatan tenaga geledek
pada sepasang tangannya, membuat tangan lelaki Tiongkok mengeluarkan percikan
api. Bentuknya bagai bunga yang berpijar indah. Namun, di balik itu terpendam
kekuatan yang mampu menjebol gulungan ombak laut sebesar gunung
Kemudian, sepasang tangan
laki-laki Tiongkok itu mulai berputar teratur dan lamban. Gerakannya seperti
seseorang yang sedang menggapai seluruh udara dalam ruangan tersebut. Dan
tiba-tiba saja....
Sret Sret
Terjulur lidah-lidah geledek
ke seluruh ruangan.
Seakan dalam ruang ini sedang
terjadi badai petir.
“Khiaaa”
Dimulai satu bentakan
membahana, Chin Liong meluruk menuju Andika. Sepasang tangannya tetap berputar,
namun lebih cepat dari sebelumnya. Setibanya di dekat Pendekar Slebor, kedua
tangannya meng-hentak dari samping kiri.
“Hsss...”
Web Sret Sret
Dalam luncuran teramat deras,
tangan Chin Liong mengancam kedua sisi dada Andika. Namun
Pendekar Slebor yang sudah
siap sejak tadi, tak sudi dadanya dijebol tangan lawan. Dengan sigap, kedua
tangan dinaikkan dari bawah dengan tenaga penuh untuk membentengi dada.
Dret
Percikan bunga api raksasa
langsung membersit, manakala tangan mereka berbenturan. Kalau tangan Pendekar
Slebor masih terpaku pada keadaan semula, maka tangan Chin Liong terhentak ke
belakang, seakan baru menimpa dinding karet kuat yang tak terlihat. Chin Liong
sempat terkesiap melihat kenyataan itu.
Dengan wajah yang sukar
dilukiskan, kakinya tersurut tiga langkah ke belakang, akibat dorongan kuat
pada sepasang tangannya. Tapi sebagai tokoh sakti yang amat disegani di seluruh
daratan Tiongkok, dia tak pernah berpikir untuk mengurungkan serangan
berikutnya.
“Khaaaih”
Entah apa yang hendak
dilakukannya saat itu, Pendekar Slebor sendiri tidak mengerti. Tubuhnya
mendadak saja melenting ke belakang, bagai sebatang tombak melengkung. Di
udara, dia memutar tubuhnya sehingga kakinya meluncur lebih dahulu.
Srrr... Tep
Pada satu tiang penyangga
bangunan, kaki Chin Liong menjejak. Lalu saat berikutnya, kakinya dihentakkan.
Kemudian tubuhnya meluncur kembali, kali ini dengan tangan yang menyilang di
atas kepala serta putaran tubuh, membentuk sebuah pengebor hidup
“Khaaaih”
Teriakan dan lidah geledek
milik Chin Liong, seperti hendak melantakkan ruangan penginapan.
Bukan cuma itu. Gerak aneh
yang sedang dilakukannya pun tampak hendak melantakkan dinding kekuatan
Pendekar Slebor.
Sementara itu, Andika
membengkokkan kedua lutut dengan kaki terpentang. Sepasang tangannya mengepal
kejang di sisi-sisi pinggang. Pendekar Slebor sedang mencoba membuat kuda-kuda
bertahan, karena ia tahu kalau
lawan hendak mengadu tenaga.
Sambil mengimbangi teriakan
mengguntur Chin Liong, Pendekar Slebor menarik seluruh otot-otot dadanya. Dada
bidangnya seketika mengeras, memperlihatkan garis-garis otot yang menojol.
“Khaaah”
Drarrr
Gemuruh besar tercipta saat
tangan Chin Liong mampu menguak dinding pertahanan Pendekar Slebor. Bahkan
tangannya yang berputar mampu mendarat telak di dada Andika. Dan itu terjadi
karena pendekar muda kesohor itu memang sengaja membuka dadanya.
Kenyataannya, akibat yang
menimpa Chin Liong sungguh luar biasa. Kulit di sekujur tubuhnya tiba-tiba
memerah dan terbakar. Sedangkan tubuhnya terlontar ke belakang, bagai terseret
di udara.
“Wuaaa”
Duk Brak
Tiang besar yang semula
berdiri kokoh dan angkuh, menjadi porak poranda terhajar tubuh Chin Liong.
Andai tidak ada tiang lain, tentu bangunan penginapan itu akan segera runtuh
Sementara itu Pendekar Slebor
masih tertancap tegak dalam kuda-kudanya. Tapi, hal itu bukan berarti tidak
mengalami akibat dari pertumbukan dua kekuatan liar tadi. Dari lubang hidung
dan mulutnya mengalir darah kental kehitaman. Darah itu terus mengalir lambat
melalui dagu Andika, lalu menetes di kain bercorak catur yang melingkari
pundaknya.
Sesaat kemudian, tubuh pemuda
itu bergetar seperti kehilangan tenaga. Dia yakin, dirinya telah mengalami luka
dalam. Itu sebabnya, segera dilepas-kannya kekuatan sakti yang memperkuat jurus
'Mengubak Hujanan Petir'nya.
Lalu, dia segera mengerahkan hawa murni untuk mengobati luka dalam yang
diderita. Terdengar pengaturan napas Andika. Sepasang matanya terpejam rapat.
Sementara, sepasang tangannya disatukan oleh ujung jari tengah di depan dada.
Tak lama kemudian, suasana
menjadi hening.
Pendekar Slebor telah
menyelesaikan pengerahan hawa murni dalam tubuhnya. Sedang tujuh tombak di
depannya, Chin Liong tergeletak tanpa gerak.
Badannya tertelungkup,
menutupi pecahan-
pecahan tiang bangunan.
“Kau terlalu rakus untuk
memiliki Pusaka Langit, Sobat,” desah Andika perlahan. “Rupanya, kau tak ingin
membiarkan aku merebut benda sakti itu dari tanganmu. Sehingga, kau lebih rela
kehilangan nyawa ketimbang mempergunakan benda itu untuk
melawanku.”
Di salah satu sudut ruangan,
lelaki tua pemilik penginapan meringkuk seperti tikus kehilangan akal.
Kedua tangannya menutup
telinga rapat-rapat.
“Tolong..., tolong Ada dua
orang gila ingin meng-hancurkan penginapanku satu-satunya,” lirih orang tua itu
seperti sedang sekarat.
Selanjutnya, terdengar langkah
ringan Andika.
Didekatinya tubuh Chin Liong
yang tergolek. Darah kental kehitaman menodai lantai. Andika berharap lawannya
belum mati. Masih ada satu urusan yang mesti diselesaikan. Ya Dia belum tahu,
di mana Ratna Kumala. Menurutnya, Ratna Kumala disandera Chin Liong. Oleh
karena itu, dia ingin menanyakannya pada lelaki Tiongkok itu. Itu pun kalau
masih hidup.
“Chin Liong...,” sapa Andika
seraya membalik tubuh lelaki itu dengan kedua tangannya.
Saat itulah mata Andika
tertumbuk pada suatu yang membuatnya amat terkesiap. Tidak, dia tidak melihat
gagang pedang pusaka seperti yang disebutkan Rudapaksa dalam suratnya.
Nyatanya, dada Chin Liong tak memiliki tanda tubuh berbentuk bayangan ular
seperti yang dilihatnya, ketika bertempur di dasar Danau Panca Warna.
Jantung pemuda itu mendadak
hendak berhenti berdenyut. Bulu halus di tengkuknya meremang hebat, dirayapi
kekhawatiran yang menyeruak dirinya.
“Dia bukan lelaki yang
bertempur denganku di dasar danau itu...,” desis Andika. “Ya, Tuhan....
Tampaknya aku telah salah
tangan....”
Pada waktu yang bersamaan,
terdengar tawa lantang seseorang yang menggema liar di sekitar ruangan besar
itu.
“Hua ha ha... Bagaimana
Pendekar Slebor yang juga bodoh? Apakah kau sudah menyadari dirimu telah
kupermainkan? Begitu mengasyikan permainan-ku, bukan? Tentang surat palsu dari
Rudapaksa yang kubuat dengan tanganku. Juga, tentang cerita bohong mengenai
gagang pedang pusaka yang tersimpan di satu tiang bangunan ini. Kau telah
terkecoh, Babi Bodoh Hua ha ha.... Kau hendak mencari teman wanitamu itu,
bukan? Carilah dia di antara puluhan mayat yang telah terbantai di tepi Danau
Panca Warna tempo hari. Hua ha ha... Selamat tinggal, Pendekar Bodoh”
Tubuh Andika mengejang. Tak
ada sepatah kata pun yang bisa diucapkan. Lidahnya kelu. Seluruh sendinya kaku.
Dia tak bisa berbuat apa-apa, karena begitu terpukul oleh rasa bersalah yang
men-cengkeramnya saat itu.
*** Siapakah lelaki yang telah
mempermainkan Andika? Bagaimana dengan Pusaka Langit? Benarkah cerita Ki
Kalingga mengenai benda langit yang pernah turun lima ratus tahun lalu? Apa
yang akan diperbuat Andika selanjutnya? Matikah Chin Liong, lelaki Tiongkok
yang menjadi korban fitnahan lelaki terselubung teka-teki?
Ikuti kelanjutan kisah ini
dalam episode : PENGEJARAN KE CINA SELESAI
SELESAI