-------------------------------
----------------------------
Episode 04 Geger Ratu Racun
Dunia persilatan digemparkan
dengan munculnya seorang wanita berpakaian hitam-hitam dan bercadar merah darah.
Dengan kedahsyatan racunnya,
dia dikenal dengan julukan Ratu Racun. Setumpuk pertanyaan melanda Pendekar
Slebor.
Dari golongan mana Ratu Racun
sebenarnya? Hitam atau putih? Mengapa dia membunuh beberapa begal yang memiliki
kesaktian tinggi? Kenapa pula harus membunuh orang yang lemah tanpa alasan?
Dengan setumpuk kecerdikan dan kekonyolannya, Pendekar Slebor mengungkap
misteri di balik Geger Ratu Racun Dan, tanpa diduga, Pendekar Slebor pun menemukan
seseorang yang amat dekat dengan dirinya. Siapa dia? Serial Pendekar Slebor
dalam episode : GEGER RATU RACUN
1
Hutan Watuabang yang begitu
lebat membuat sinar mentari siang ini tak mampu menerabas hingga ke tanah.
Terlebih lagi di malam hari.
Ketika gelap telah menyelimuti permukaan bumi, maka hutan menjadi pekat seperti
tempat berkumpulnya para makhluk halus.
Di wilayah timur kekuasaan
Kerajaan Alengka, Hutan Watuabang terhampar. Perbukitan yang menjadi latar belakangnya,
semakin menampakkan keangkeran-nya. Daerah ini memang masih berada di kaki
pegunungan. Maka tak heran kalau udara di Hutan Watuabang menjadi dingin menusuk.
Tidak saja pada malam hari. Bahkan kala s iang pun udara masih terasa cukup
menggigit kulit.
Di kaki pegunungan inilah
berdiri sebuah bangunan besar yang berpagar balok-balok kayu randu hutan
berdiri.
Bangunan dari papan itu
beratapkan pelepah kelapa kering yang sudah berwarna coklat matang. Bentuknya yang
terlihat seadanya, membuat bangunan ini tidak sedap dipandang.
Kayu randu yang dijadikan
dinding tidak pula dihaluskan.
Sehingga warna dinding
bangunan ini tampak suram. Bahkan lumut hijau dan tebal sudah menutupi
permukaan dindingdindingnya.
Belum ada yang tahu kalau di
tempat itulah sisa-sisa pengikut Begal Ireng menetap. Mereka sengaja membuat markas
di sana untuk menghindari pengejaran dari prajurit Kerajaan Alengka (Untuk
jelasnya, baca serial Pendekar Slebor dalam episode "Dendam dan
Asmara").
Memang, setelah Begal Ireng
tewas di tangan Pendekar Slebor, sisa pasukan pemberontak ini dipimpin oleh
seorang yang bernama Kranggaek. Dia dulu adalah kaki tangan Begal Ireng, yang
merupakan tokoh aliran sesat jajaran atas. Sepak terjangnya juga tak kalah
menggiriskan. Banyak tokoh hitam yang mengakui kehebatannya. Lelaki berusia lima puluh tujuh tahun itu
bertubuh tinggi besar. Gagah berotot, meski usianya sudah menjelang senja.
Kulitnya sawo matang. Rambutnya
yang dipangkas tipis, melengkapi penampilan garangnya. Wajahnya angker, seangker
Hutan Watuabang. Matanya seperti menjorok keluar, alisnya tipis, serta hidung
dan bibirnya besar.
Di rumah yang tak begitu sedap
dipandang ini, suasana ramai tampak terdengar semarak. Suara gelak tawa yang ditingkahi
teriakan-teriakan kegembiraan, mengisyaratkan kalau di tempat itu sedang
diadakan pesta. Sore ini, Kranggaek dan anak buahnya memang tengah merayakan keberhasilan
mereka dalam perampokan di sebuah desa tadi pagi, tanpa diketahui pihak istana.
Di kursi kebesarannya,
Kranggaek duduk sambil meletakkan kakinya di atas meja. Rompi hitamnya tampak tersingkap
lebar-lebar, memperlihatkan dada bidang yang berbulu lebat. Celana merahnya
terangkat sebatas lutut, membuat otot-otot betisnya yang menonjol terlihat
jelas.
"Semoga iblis hutan ini
ikut senang atas keberhasilan kita" kata Kranggaek sambil mengangkat gelas
bambu berisi tuak.
Sementara anak buahnya yang
duduk di kursi masingmasing, mengelilingi meja besar terbuat dari kayu jati
kasar, menyambut ucapan itu dengan tawa lebar. Jumlah mereka yang mencapai dua
puluh tiga orang, menyebabkan tawa itu terdengar menggelegar riuh, menggetarkan
dinding markas ini.
"Ha ha ha... Jayalah para
penjahat negeri ini" seru seorang anak buahnya.
"Ya," sambut
Kranggaek lantang. "Dan mudah-mudahan, para iblis seluruh jagat mengirim
wabah bagi para pendekar yang bersikap sok pahlawan" Kembali tawa riuh
menggema, diiringi tegukan tuak keras di gelas bambu masing-masing hingga
tandas. Dari sebuah lodong
bambu besar tempat menyimpan tuak, mereka mengisi kembali gelas bambu
masing-masing, kemudian meneguknya kembali.
Ketika makin banyak tuak masuk
ke dalam rongga perut, kedua puluh tiga orang itu mulai mabuk. Mulut mereka mengoceh
kian kemari, mengucapkan perkataan yang tidak senonoh. Pikiran yang telah
berkarat dengan warna hitam keangkaramurkaan, kini makin dikotori oleh pengaruh
minuman keras.
Saat melahap rakus kambing
panggang hasil jarahan di desa sasaran perampokan, tingkah orang-orang itu
sudah seperti serigala lapar mencabik mangsa. Tak terlihat lagi perilaku
manusia yang semestinya berharkat mulia daripada makhluk lain.
Gelap mulai menyergap Hutan
Watuabang. Tanpa ada yang tahu, di balik dinding kayu markas Kranggaek,
seseorang berpakaian serba hitam diam-diam mengawasi tingkah memuakkan itu.
Sinar matanya berkobar-kobar penuh kemarahan. Tubuhnya tampak tak terlalu
besar, tidak pula terlalu tinggi. Hitamnya malam yang menyatu dengan warna pakaian,
menyebabkan dia sulit ditebak apakah wanita atau lelaki.
Begitu asyiknya mengintai,
membuat orang berpakaian serba hitam itu tidak memperhatikan keadaan sekeliling.
Sehingga....
"Hei Siapa kau?" Tiba-tiba
terdengar teriakan seorang anak buah Kranggaek, sehingga membuyarkan pikiran
yang berkecamuk di benak pengintai ini. Bola matanya langsung bergulir sigap ke
arah orang yang berteriak. Di samping kanannya, dalam jarak sepuluh tombak,
tampak seorang lelaki kasar sambil membawa tombak bermata golok, sedang memburu
ke arahnya. Namun
belum lagi anak buah Kranggaek itu mampu menjamah tubuhnya, tangannya bergerak
cepat menjentikkan kuku-kukunya yang panjang.
Tik T ik Sss Dalam sekejap,
dari kukunya membersit dua pijaran sinar seperti kunang-kunang yang terus melayang
cepat, menerabas gelap ma lam. Dan seketika dua pijaran sinar itu segera
menghunjam wajah penyerangnya.
"Aaakh..." Wajah
anak buah Kranggaek itu langsung terbakar.
Kulitnya berpendar merah
seperti bara. Kemudian, perlahanlahan wajah lelaki itu terkelupas sebagian demi
sebagian, layaknya daging panggang Tentu saja akibatnya, lelaki itu meraung-raung
tak terkira. Tubuhnya berguling-guling liar di atas rumput. Sedangkan tangannya
mendekap wajahnya yang tak bisa dikenali lagi.
Sesaat kemudian, tubuh anak
buah Kranggaek ini mengejang kaku. Penderitaan yang menyiksa membuatnya tak mampu
lagi mempertahankan nyawa.
"Ada apa itu?"
teriak Kranggaek sigap, ketika menangkap jeritan membahana seorang anak buahnya.
Tubuh laki-laki tua yang masih
kelihatan gagah ini segera berkelebat cepat menuju pintu utama. Tanpa perlu
memakan waktu lama, dia telah tiba di luar bangunan. Dengan mata jalang
dicarinya sumber teriakan tadi. Tapi yang ditemuinya di samping jendela
markasnya, hanya sesosok mayat anak buahnya yang terbubur kaku.
"Keparat Siapa yang
melakukan ini?" maki laki-laki berwajah seram itu penuh desakan kemurkaan.
Tak sepatah jawaban pun yang ditangkap
telinganya.
Sementara itu, anak buahnya
yang lain sudah menyusul keluar.
"Ada apa, Ketua?"
tanya seorang tangan kanannya.
Kranggaek tak menjawab.
Hanya matanya saja mengisyaratkan
ke arah mayat di sisi jendela yang membujur kaku dengan wajah mengelupas.
"Rupanya ada anjing yang
mencoba menggonggong di kandang singa...," lanjut orang tadi, berdesis.
Semuanya menjadi tegang.
Padahal, mereka sudah kerap kali menghadapi hal-hal semacam itu. Y a Biar
bagaimanapun, tidak ada manusia yang benar-benar tidak memiliki rasa takut.
Apalagi, jika berkenaan dengan
soal kematian "Kenapa kalian tampak begitu tegang? Apa kalian iri melihat
nasib kawan kalian yang telah sampai di neraka lebih dahulu? Kalau hanya itu,
kalian akan mendapat jatah juga...." Tiba-tiba terdengar sahutan dari
suatu tempat yang sulit ditentukan. Suaranya terdengar berpindah-pindah. Entah bagaimana
orang itu mengirim suara dari satu tempat ke tempat lain. Tapi yang pasti,
suaranya terdengar halus seperti suara wanita.
"Bedebah Kenapa kau tak
langsung keluar menghadapi aku?" teriak Kranggaek. Giginya bergemerutuk
keras, membuat rahangnya yang bergaris mengejang sedemikian rupa.
"Aku tak perlu
terburu-buru, karena sedang menunggumu sampai terhuyung-huyung tanpa tenaga,
setelah beberapa saat kau meminum Racun Sirna Daya-ku Setelah itu, barulah kau
akan kuhadapi" balas sosok yang bersembunyi itu.
Mata Kranggaek melirik ke sana
kemari, disertai rasa kegusaran dan kecemasan. Sementara hendak menemukan orang yang telah berani menyatroni markasnya,
benaknya juga terusik dengan ucapan orang itu.
"Racun," bisik
laki-laki tua itu.
Bisa saja dia menganggap
ucapan tadi sekadar gertak sambal. Tapi dalam dunia persilatan yang sudah lama diarungi,
kecerobohan adalah hal yang harus dihindari.
Kranggaek tak pernah
menganggap remeh siapa pun.
Menganggap remeh lawan, adalah
suatu kecerobohan yang bisa mengirimnya ke liang kubur.
"Apa benar ucapannya,
Ketua?" tanya seorang anak buah Kranggaek yang bertubuh kurus, dengan
mimik wajah cemas.
Lagi-lagi Kranggaek hanya
menggerakkan mata ke arah mayat anak buahnya yang terlebih dahulu menjadi
korban.
"Lihatlah wajahnya,
Tengkorak Merah. Apakah kau pikir dia tidak terkena racun yang amat
jahat?" ujar Kranggaek, setengah berbisik.
Laki-laki kurus yang dipanggil
Tengkorak Merah itu tiba-tiba bergidik. Dapat ditangkap maksud jawaban ketuanya.
Apa yang dicemaskan mereka
ternyata benar-benar terjadi.
Perlahan-lahan tubuh mereka
terasa melemah dan melemah.
Racun Sirna Daya seperti kata
si penyerang tadi rupanya mulai bekerja. Mulanya otot-otot terasa dibetot paksa
oleh suatu kekuatan tak terlihat. Selanjutnya, racun itu menyerang tulang. Dan
kini tubuh mereka terasa bagai tanpa kerangka lagi.
"Ternyata aku tak hanya
menggertak, bukan?" ledek orang yang menebar racun. "Ketika kalian
sudah mulai mabuk tadi, tanpa disadari aku menebar racun berbentuk asap tipis.
Racun itu kemudian terhirup napas, terbawa ke dalam tubuh, lalu disebarkan
darah ke seluruh jaringan tubuh. Kini, hasilnya mulai terlihat. Racun itu
memang tidak bekerja cepat. Tapi, hasilnya dapat meluluhkan tubuh kalian untuk
selama lamanya. Kalian tidak akan bisa berbuat
apa-apa lagi. Itu artinya, kalian hidup tidak, mati pun tidak...." Tak
lama, dari sebuah pohon besar melayang turun sesosok tubuh berpakaian serba
hitam. Dan dia mendarat tujuh tombak tepat di hadapan Kranggaek dan anak
buahnya.
Kranggaek sendiri sedang
berusaha mati-matian melawan racun yang mulai menggerogoti saraf-saraf di
tubuhnya.
Dikerahkannya seluruh hawa
murni dari pusat tubuhnya agar racun itu dapat ditawarkan. Paling tidak, mampu
menahan gerak racun agar tidak merusak jaringan tubuhnya lebih lanjut.
Namun usaha itu tampak tidak
membawa hasil. Tubuhnya makin lemas tak karuan. Sementara, seluruh anak buahnya
yang memiliki ilmu lebih rendah telah ambruk semua tanpa tenaga.
"Betapa nikmatnya hidup
tanpa dapat berbuat apa-apa lagi," sindir sosok berpakaian hitam, penuh
nada ejekan.
"Kalau tak ditolong orang,
maka kau tidak bisa minum atau makan. Maka, kau akan mati pelan-pelan dan penuh
penderitaan...." Dengan kemurkaan yang berkecamuk dalam dada, Kranggaek
menatap lawan di depannya. Dalam kere-mangan cahaya obor yang terpancar dari
dalam rumah, orang itu sulit dikenali. Hanya satu yang diketahui Kranggaek,
kalau lawannya adalah wanita. Itu pun hanya dari suara saja.
"Kau..., hanya kecoak
pengecut" maki Kranggaek murka.
"Siapa bilang aku
pengecut? Aku hanya berusaha bijaksana terhadap diriku. Kau tak mungkin
kukalahkan, karena kepandaianmu jauh lebih tinggi dariku. Lalu, apa salahnya
kalau aku membuatmu sedikit lemah agar dapat kukalahkan. Bukankah itu
adil?" "Bajingan busuk" "Hi
hi hi.... Dunia ini kenapa seringkah jadi aneh. Banyak maling teriak ma ling.
Banyak orang kotor sepertimu, menuduh orang lain nista. Bajingan busuk kau
katakan padaku? Apa tak kau sadari kalau dirimu lebih busuk daripada
bangkai" kilah wanita berpakaian serba hitam itu.
"Kubunuh kau
Hiaaat..." Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Kranggaek segera menyerang.
Memang tak ada guna lagi banyak bacot dalam menghadapi musuhnya. Makin lama
mengulur waktu, maka tubuhnya makin melemah saja. Itu tentu akan lebih menguntungkan
lawan. Lagi pula, dia lebih memilih mati dalam pertempuran adu nyawa, daripada
mati perlahan akibat racun yang kini masih terus meng-geragoti tubuhnya sedikit
demi sedikit.
Tak tanggung-tanggung lagi,
Kranggaek melabrak lawan.
Jurus pamungkasnya yang bernama
'Gajah Murka Melumat Mangsa', dikeluarkan. Sepasang tangannya bertaut menjadi satu.
Seperti belalai gajah, kedua tangannya mencoba meremukkan kepala orang
berpakaian serba hitam ini.
Wuuut Namun, sabetan tangan
Kranggaek luput, ketika lawannya dapat berkelit cepat ke bawah dengan menekuk
satu kakinya ke bawah. Sementara kaki yang lain merentang ke belakang.
"Hiaaa..." Bersama
satu teriakan melengking, orang berbaju serba hitam itu balas menyerang.
Jemarinya yang lurus meregang, menusuk ulu hati Kranggaek. Kalau ditilik dari
serangannya, tampaknya dia tidak ingin membiarkan lawannya hidup lebih lama.
Buktinya tusukan tadi adalah serangan mematikan yang disertai Racun Ular Laut,
yang mampu membinasakan lawan dalam beberapa kedipan.
Wesss Meski tubuhnya kian melemah, Kranggaek
ternyata masih mampu menghindari tusukan orang berpakaian serba hitam itu.
Tubuhnya segera dibuang ke samping kiri dengan deras, meski beberapa saat
limbung. Lalu segera otot kakinya diregangkan agar kuda-kudanya dapat tegak
kembali. Tapi, wanita berpakaian serba hitam itu rupanya tidak ingin memberinya
kesempatan sedikit pun.
"Hiaaa..." Bet Satu
sabetan menyamping dari wanita berpakaian serba hitam itu menyusul.
Jari-jarinya secepat kilat mengarah pada tenggorokan pemimpin perampok itu.
Untunglah Kranggaek masih mampu mengangkat sepasang tangannya, sehingga dapat memapak
jari lawan agar tidak merobek tenggorokannya.
Plak Benturan pergelangan
tangan terjadi. Akibatnya, wanita berpakaian serba hitam itu terdorong beberapa
tindak ke belakang. Dari sana dapat terlihat kalau dirinya masih jauh di bawah
Kranggaek, dalam hal tenaga dalam. Meskipun keadaan lelaki setengah baya itu
makin melemah.
"Rupanya kau hanya
perempuan kemarin sore yang hanya pandai bermain racun," cemooh Kranggaek,
memancing kemarahan lawan.
"Kau boleh berbicara
sesukamu sebelum membisu selamanya" geram perempuan berbaju hitam itu.
Kemudian dia mulai menyerbu lagi.
"Haaat..." Kali ini
perempuan itu mengeluarkan sebuah senjata aneh berbentuk tombak sepanjang
lengan. Pada ujungnya terdapat jari-jari yang melingkari batang tombak. Dengan
sepasang tangannya, tombak itu diputar seperti baling-baling. Jari-jari sepanjang jengkal lengan yang berputar di
ujung tombak, mendadak mengeluarkan asap kehijau-hijauan yang kemudian menebar
akibat angin yang ditimbulkan putaran jari-jari tombak. Tentu saja sasaran
tebarannya adalah ke arah Kranggaek Sebisa-bisanya Kranggaek melenting ke
belakang beberapa kali. Namun dorongan angin yang ditimbulkan tombak berjarijari
milik lawan rupanya lebih cepat menghembuskan asap racun yang bernama Perontok
Raga. Akibatnya, asap itu langsung menyapu tubuh Kranggaek di udara.
"Aaakh..." Terdengar
teriakan memilukan dari mulut lelaki kekar itu.
Sebelum sampai di tanah, satu
persatu bagian tubuhnya berpencaran ke bagian yang berbeda Sungguh dahsyat pengaruh
racun itu.
Dan Kranggaek sudah terbujur
kaku. Mati Memang pantas kalau jurus pamungkasnya dikeluarkan untuk menghadapi lawan.
Tubuhnya yang semakin lemah, membuatnya tak bisa lagi bertahan lebih lama
menghadapi gempuran-gempuran perempuan itu. Niatnya untuk mengadu jiwa tak
kesampaian.
Ternyata lawan telah lebih
dahulu melepaskan serangan dengan cara mengerikan.
Begitu telah mengirim
Kranggaek ke neraka, penyerang aneh itu melabrak anak buah Kranggaek
habis-habisan.
Laksana banteng ketaton,
seluruh bajingan itu dihajarnya sampai menemui ajal satu demi satu di ujung
tongkat mautnya.
Hanya dengan mengerahkan dua
puluh lima jurus, penyerang berbaju serba hitam itu telah membantai habis mereka
semua. Kini, mayat-mayat bertebaran mengerikan.
Dan sekitar tempat ini sudah
seperti tempat penjagalan hewan saja. Hutan
Watuabang kini hening. Rintih hewan malam serta desah angin menyelimuti
keheningan, sekaligus membawa kabar kematian.
-0o0oa-zo0o0
2
Dalam kehidupan, manusia
sering kali mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab. Tentang
kematian yang mesti datang, tentang nasib yang sulit diduga, juga tentang
hakikat hidup itu sendiri.
Sebagai manusia, Pendekar
Slebor pun tak luput dari pertanyaan-pertanyaan yang sulit terjawab. Di antara
banyak pertanyaan hidup, persoalan asa l-usul dirinyalah yang paling mengusik
hari-harinya belakangan ini.
Setelah Pendekar Slebor yang
bernama Andika ini mengetahui kalau dirinya masih termasuk keluarga Kerajaan Alengka
ketika menemukan lukisan K i Saptacakra di istana, dia memutuskan untuk mencari
orangtuanya sekaligus mencoba menguak asal-usul dirinya (Untuk lebih jelas,
silakan ikuti serial Pendekar Slebor dalam episode "Dendam dan
Asmara").
Berhari-hari Pendekar Slebor
telah menyusuri desa demi desa, bukit demi bukit, hutan dan sungai, dalam usaha
mencari orangtuanya. Sepanjang perjalanan, benaknya selalu digerayangi
pertanyaan. Siapa ibunya? Siapa pula ayahnya? Kenapa dirinya dibuang di dalam
hutan? Apa salahnya? Apakah dia anak haram? Perjalanan yang dihantui berbagai
macam pertanyaan benar-benar menyiksanya, ibarat berjalan dalam hutan semak berduri.
Namun begitu, tekadnya terus bergelora sehingga tak membuatnya menyerah. Bukan
Andika kalau tidak keras hati dan tidak kepala batu. Kini Pendekar Slebor tiba di sebuah desa,
ketika hari telah menjelang petang. Matahari tersuruk lelah di sudut barat cakrawala.
Cahayanya tampak menciptakan sapuan
lembayung di hamparan langit.
Memasuki mulut desa, mata
Pendekar Slebor menemukan kedamaian di sini. Kelengangan menyelimuti. Jauh dari
hirukpikuk sebagaimana kotapraja. Rumah-rumah panggung yang berdiri berdekatan
seperti hendak memperlihatkan keakraban antar penduduknya.
"Apa nama desa ini?"
gumam Andika, seraya terus melangkah.
Tak beberapa jauh memasuki
desa, Andika merasakan kedamaian. Namun mendadak....
"Aaa..." Tiba-tiba,
kedamaian itu lebur oleh suatu lengkingan nyaring seorang wanita. Kesiagaan
yang terlatih dalam dirinya, membuat Pendekar Slebor segera bergerak.
Begitu terkejutnya, sehingga
tanpa sadar tubuhnya terus melenting.
Namun bibirnya segera mencibir
ketika menyadari kebodohannya ini.
"Manusia setengah goblok
Kenapa mesti melenting kalau tidak ada yang menyerang?" rutuk Andika,
memaki diri sendiri, ketika kakinya mendarat di sebuah batang pohon.
Dan seketika Pendekar Slebor
bergegas melesat dari satu pohon ke pohon lain menuju asal jeritan. Tak begitu
sulit untuk menentukan arahnya. Selain pendengarannya yang tajam, jaraknya pun
tak terlalu jauh. Maka sebentar saja Andika telah tiba di tempat kejadian.
Dengan amat ringan, kakinya menjejak di sebatang pohon yang amat kecil. Tanpa warisan
kesaktian dari Pendekar Lembah Kutukan, seumur hidup hal ini tak akan bisa
dilakukannya. Ranting yang semestinya hanya kuat menahan tubuh seekor burung
kenari, nyatanya tidak patah ketika dihinggapinya. Dari ketinggian seperti itu, Andika bisa
leluasa melihat keadaan di bawah. Dan ketika matanya menangkap puluhan mayat
yang bergelimpangan di pekarangan-pekarangan rumah, gerahamnya jadi
bergemelutuk. Jiwa kependekarannya seketika bergolak.
"Astaga Pembantaian keji
macam apa pula ini?" desis Andika geram.
"Aaakh..." Belum
juga keterkejutannya pudar, terdengar kembali teriakan memilukan dari dalam
sebuah rumah yang terletak tepat searah dengan pohon yang dihinggapi Andika.
Tampak sesosok tubuh terlempar
deras ke tanah berlumpur di depan rumah itu. Lelaki tampan gagah berbaju coklat
itu sesaat menggelepar-gelepar. Sesaat kemudian tubuhnya kaku.
Dari mulut, hidung, dan
telinganya keluar cairan kuning berbentuk busa. T idak itu saja. Dari setiap
pori-pori tubuhnya pun keluar darah berwarna kehitaman.
"Astaga..." desis
Andika sekali lagi.
Sesaat kemudian, mata Andika
menangkap seorang wanita berbaju hitam keluar dari rumah tadi. Langkahnya
terlihat demikian angkuh. Tubuhnya memang sintal dan terlihat elok.
Tapi dari caranya berjalan,
tampak sekali kalau sifatnya kejam. Dan tampaknya dia adalah perempuan
bertangan dingin.
"Wanita jadah Berhenti
kau" hardik Andika ketika melihat perempuan itu hendak melesat pergi.
Walaupun tubuhnya berbalik,
namun perempuan itu menghentikan langkahnya. Dari pohon pinus, tubuh Andika melayang
turun. Lalu mantap sekali dia mendarat dan berdiri gagah tujuh tombak di
belakang wanita berbaju hitam. Baju hijaunya serta kain bercorak catur yang
tersampir di pundak berkibar
ditiup angin senja, saat matanya menatap wanita itu dalam kobaran kemurkaan.
Hal yang paling dibenci dalam
hidup Pendekar Slebor adalah penganiayaan terhadap orang-orang lemah. Jadi pantas
saja jika saat itu dadanya seperti hendak meledak.
Namun pengalamannya selama ini
menyadarkan kalau sebuah kekalapan bisa berakibat buruk bagi suatu pertarungan.
Sadar akan hal ini perasaannya yang membara segera dikendalikan.
"Mau apa kau, Bocah?"
tanya wanita berbaju hitam, meremehkan.
Berbareng dengan
pertanyaannya, wanita itu berbalik ke arah Andika. Kini terlihatlah kalau
wanita telengas itu mengenakan kain penutup wajah berwarna merah yang tembus
pandang. Meski wajahnya tertutup, namun dia dapat melihat jelas wajah tampan
Andika. Sedang bagi Andika yang melihatnya, wajah wanita itu terlihat
samar-samar. Sulit untuk dapat mengenalinya.
"Aku seorang penganggur.
Aku ingin minta pekerjaan padamu. Kalau tidak diberi, kau akan
kupaksa...," jawab Andika ngelantur.
Tampaknya ketenangan diri
Pendekar Slebor telah kembali seperti sediakala. Artinya, sifat-sifat
gelandangan kotapraja yang mendarah daging dalam dirinya pun siap muncul.
"Enyah kau Aku tak ada
waktu untuk meladenimu" hardik wanita itu.
Nada suara wanita itu seakan
menganggap Andika hanya patung cakil yang tak menarik perhatian. Apalagi,
sampai dipedulikan. Maka tubuhnya kembali berbalik, membelakangi Pendekar
Slebor. Kemudian, kakinya hendak melangkah.
"Apa kau tak tahu kalau
aku sangat penting bagimu?" kata Andika kembali, membuat wanita itu
menghentikan langkah. "Aku
tak pernah memerlukan anak ingusan macam dirimu" bentak wanita itu gusar,
tanpa berbalik. Sekali lagi, kakinya mulai melangkah untuk pergi dari tempat
pembantaian itu.
"Hei, tunggu Aku tak
bohong dengan ucapanku tadi. Aku memang sangat penting bagimu, karena memiliki
sesuatu yang akan kuperlihatkan padamu" Kembali wanita berpakaian hitam
menahan langkahnya.
Wanita berambut panjang itu
tampaknya mulai penasaran mendengar ucapan Andika. Padahal, tanpa disadarinya
semua itu hanya pancingan, agar Andika bisa mengorek keterangan yang berkaitan
dengan pembantaian tadi.
Pendekar Slebor memang tak mau
bertindak terge-sagesa.
Dia ingin tahu dulu alasan
wanita itu berada di tempat ini.
Mungkin saja dia hanya membela
diri, karena suatu kesalahan yang tak diperbuatnya. Mungkin juga yang
dibunuhnya adalah orang-orang jahat, yang pernah berhutang nyawa padanya.
Dan kemungkinan-kemungkinan
lain pun bisa saja.
Pancingan Pendekar Slebor
berhasil. Buktinya wanita bercadar merah itu mengurungkan kepergiannya.
Tubuhnya malah kini berbalik kembali menghadap Andika.
"Kau jangan coba-coba
mempermainkan aku, Bocah Cepat perlihatkan sesuatu yang akan kau tunjukkan
Kalau tidak, kau harus bayar dengan nyawamu" ancam perempuan itu.
Andika tersenyum-senyum. Entah
ingin meledek kebodohan wanita di depannya yang begitu mudah dikibuli, atau
karena hanya ingin iseng.
"Mana berani aku
mempermainkanmu jika banyak mayat berserakan di sekitar sini, karena
perbuatanmu. Aku tidak ingin senasib dengan mereka," ucap Andika dengan
mimik sungguh-sungguh. “Tapi sebelum aku memperlihatkannya padamu, kau harus
mengatakan dulu alasanmu membunuh mereka semua." Andika mencibirkan bibir pada mayat-mayat di
sekitarnya.
Sikapnya benar-benar terlihat
acuh tak acuh, seolah hendak membalas perlakuan wanita bercadar yang begitu meremehkannya.
"Itu urusanku Kau tak
perlu ikut campur, Kau pikir siapa dirimu sampai berani mencampuri
urusanku?" "Ooo.... Itu berarti kau tidak ingin kuperlihatkan sesuatu
yang kumaksud...?" "Bedebah Kenapa tak langsung saja diperlihatkan
padaku? Apa mesti menunggu kulitmu kusayat dulu?" dengus wanita itu. Dan
kesabarannya pun mulai tidak bisa dikuasai lagi.
"Tak ada gunanya menyayat
kulitku, yang tidak semahal kulit buaya," celoteh Andika.
Rupanya Pendekar Slebor mulai
dapat mengambil kesimpulan kalau calon lawannya telah membantai orangorang desa
dengan niat busuk.
Memang, bagi Andika, amat
mudah menentukan, apakah seseorang memiliki hati busuk atau tidak. Dari tutur
kata, pribadi seseorang memang bisa dinilai. Paling tidak, baikburuk sifatnya.
Mulut memang penyambung hati seseorang pada lingkungannya. Maka tak terlalu
sulit bagi anak muda itu untuk menilai wanita di hadapannya sebagai perempuan berhati
busuk, manakala kata-kata yang mengalir dari mulutnya ternyata ucapan kotor dan
kasar. Meskipun, Pendekar Slebor. belum tahu pasti niat apa yang disembunyikan
wanita itu.
"Rupanya kau lebih suka
memilih celaka" desis wanita bercadar, dilanda kemarahan membludak.
Kemudian tangan wanita itu
terangkat tinggi-tinggi.
Kesepuluh jarinya mengembang
lebar. Kelihatannya, dia akan melontarkan pukulan jarak jauh. "Tunggu" cegah Andika cepat.
"Baik, baik... Akan kuperlihatkan sesuatu yang kumaksud tadi...." Tangan
kanan Pendekar Slebor segera merogoh sesuatu di balik baju hijau pupusnya.
Setelah itu, dilemparkannya sebuah benda dari balik baju ke arah wanita
bercadar di depannya.
"Nih, tangkap" Wesss
Gerakan tangan Andika yang cepat tak tertangkap mata, membuat wanita bercadar
tersentak. Dia ingin menghindar secepat kilat, tapi benda yang dilempar
Pendekar Slebor meluncur demikian deras. Tak ada waktu lagi baginya untuk mengelak. Jalan satu-satunya bagi wanita itu
adalah menangkap benda yang melayang dalam kecepatan gila.
"Hih" Dengan satu
hentakan napas untuk mengerahkan tenaga dalam, wanita bercadar merah menangkap
sesuatu yang dilempar Andika.
Tep Betapa terperanjatnya
wanita itu ketika menyadari bahwa yang baru saja ditangkapnya ternyata hanya
sekepal nasi basi yang terbungkus dalam kertas kumal Jelas saja matanya langsung
membelalak sejadi-jadinya. Bahkan mulutnya menganga, sebagai cerminan rasa
terperanjat yang berbaur kegeraman. Sayang, mimik wajahnya yang penuh
kekecewaan itu berlangsung di balik cadar merahnya. Kalau tidak, tentu akan
menjadi bahan ejekan pendekar muda yang ugal-ugalan ini.
"Kenapa kau jadi terpaku
seperti itu? Apa tak pernah melihat nasi bungkus? Nasi itu sisa makanku siang
tadi. Aku pikir, aku masih bisa menyimpannya untuk makan sore. He he he.... Oh,
ya. Apakah benda itu penting bagimu? Yah, kalau tidak penting, buang
saja," tukas Andika berpura-pura bodoh.
"Keparat" wanita ini
benar-benar kalap. Suaranya menggelegar bagai guntur. "Apa kau tidak kenal
Ratu Racun, sehingga berani mempermainkanku?" "Hm... Jadi julukannya
Ratu Racun," bisik Andika. Satu hasil dari pancingan Pendekar Slebor telah
didapat dari mulut wanita bengis itu. Dalam gelombang amarah, seseorang sering
kali melontarkan sesuatu dari mulutnya, yang mestinya tak diucapkan. Itu
sebabnya, Andika berusaha membakar kemarahan calon lawannya. "Aku tak kenal segala macam
ratu-ratuan," sahut Andika tenang. "Ratu Kodok kek, Ratu Kadal kek.
Apalagi, Ratu Racun Tikus, he he he..." "Rupanya kau hanya cari
mampus" Selesa i menghardik, wanita yang ternyata berjuluk Ratu Racun itu
mengangkat tangan kembali. Sepuluh jemarinya terkembang di udara bersama satu
getaran hebat. Beberapa saat kemudian, sepasang tangannya merah membara.
"Wah Tampaknya tanganmu
bisa untuk memanggang sate juga, ya?" Lagi-lagi Pendekar Slebor mencemooh.
Sambil berkata tadi, sepasang
mata Andika menyipit rapat Seakan, dia adalah seorang kakek tua yang sedang memperhatikan
seorang cucu nakalnya.
"Hiaaah..." Ratu
Racun langsung memulai serangan. Wanita bercadar ini tak sudi lagi mendengar
cemoohan Pendekar Slebor yang membuatnya makin kalap. Bagaimana amarahnya tidak
membludak kalau harga dirinya sebagai seorang tokoh sakti diinjak-injak seenak
udel oleh bnak ingusan ini? Gebrakan pertama Ratu Racun mengarah pada kening Pendekar
Slebor. Jurus 'Jari Beracun'nya memang berisi serangan yang mengarah pada
kening. Sepasang tangannya yang semula terangkat tinggi-tinggi, kini menghentak
cepat.
Maka berkas merah bara dari
sepasang telapak tangannya melesat ke udara, berbarengan dengan luncuran
tubuhnya ke arah Pendekar Slebor.
Zesss...
"Weleh-weleh" ejek
Andika seraya memutar tubuh ke belakang.
Pendekar Slebor bersalto
gemulai dengan kedua tangan sebagai tumpuan. Sehingga terkaman Ratu Racun hanya
menebas angin saja. Perempuan itu segera
menapakkan tangannya lebih dulu ke tanah. Kemudian tangannya digenjot dengan
pengerahan tenaga dalam, hingga tubuhnya bersalto menyusul Andika. Secara
berbarengan, tubuh mereka berputar di udara laksana sepasang baling-baling
kembar. Dan selagi ada di udara, tangan Ratu Racun terus menjecar Pendekar Slebor
dengan pukulan bertubi-tubi ke bagian kening.
Sementara Andika tentu saja
tak sudi kepalanya remuk redam seperti adonan perkedel. Maka tangannya segera memapak
tusukan jemari Ratu Racun.
"Uts" Dek Dek Dek...
Telapak Pendekar Slebor
seketika bertumbukan dengan jemari Ratu Racun yang lentik, namun ganas.
Seketika uap putih tampak mengepul di antara pertemuan tangan Andika dengan
tangan perempuan itu.
"Akh..." pekik
Andika tertahan. Tak disangka kalau tangan Ratu Racun yang sudah tak berwarna
merah bara, ternyata terasa begitu panas. Rupanya hanya pada saat awal saja telapak
tangan wanita itu berubah merah matang. Yang tertinggal selebihnya hanyalah
hawa panas dahsyat Apakah hanya hawa panas? Ternyata tidak. Tanpa disadari
Pendekar Slebor, Racun Bara Neraka dari Negeri Tibet milik perempuan itu telah
merasuki tubuhnya.
Sementara, kaki Pendekar
Slebor sudah menjejak mantap di tanah berumput. Begitu juga Ratu Racun.
"Kalau hanya panas
seperti itu yang diandalkan, kau tak akan mampu mengalahkanku, Ratu Racun
Tikus.... Aku biasa menerima panas yang lebih dahsyat, panas petir" cemooh
Andika, dengan sikap dibuat sesombong mungkin. Tujuannya tentu saja untuk terus
memancing kemarahan lawan. Ratu
Racun menyeringai, menanggapi ejekan pemuda lawannya.
"Jangan sesumbar dulu,
Anak Sundal Coba lihat rumput yang baru saja kau pijak" ujar Ratu Racun.
"Eit... Kau tidak bisa
menipuku. Tentu kalau aku menengok ke bawah dan di saat aku lengah, kau akan
melabrakku kembali. Mengaku sajalah.... Orang jujur disayang tukang sayur...,"
sambut Andika enteng.
Tapi ketika hidung Pendekar
Slebor menangkap bau rumput hangus yang berasal dari bawah, mau tak mau matanya
melirik juga ke sana. Maka terlihatlah rumput yang menyentuh kakinya telah
gosong menghitam.
Pendekar Slebor kontan
bergidik. Tiba-tiba disadari kalau rumput itu gosong bukan sekadar karena hawa
panas. Lebih berbahaya lagi, karena rumput itu telah diganyang racun ganas.
"Racun...," desis
Andika.
"Ya, racun. Kalau
mayat-mayat di sekitar tempat ini mampus karena Racun Kelabang Biru-ku, maka
kau akan segera mampus dengan Racun Bara Neraka...," tandas Ratu Racun
tatkala mendengar desisan Andika.
Perlahan tapi pasti, tubuh
Pendekar Slebor terasa seperti dipanggang dalam tungku raksasa. Andika sadar,
racun yang disebutkan lawannya mulai bekerja. Entah apa yang bakal terjadi pada
dirinya, dia sendiri tidak tahu. Yang jelas, kini rasa panas luar biasa telah
menderanya.
"Hi hi hi.... Racun itu
akan bekerja, kemudian membakar habis seluruh sel-sel dalam tubuhmu. Dan kau
akan mati perlahan-lahan dalam keadaan kering kerontang. Pada puncaknya nanti,
tubuhmu akan terpecah pecah seperti tanah kering. Hi hi hi..." kata Ratu
Racun, seperti berusaha melemahkan semangat Pendekar Slebor. Apakah kesaktian warisan Pendekar Lembah
Kutukan akan mampu menghancurkan Racun Bara Neraka? Pertanyaan seperti itu yang
muncul begitu saja dalam diri Andika. Dan dia ragu untuk menjawabnya.
"Hi hi hi.... Selamat
menikmati kematianmu, Bocah Sombong" ujar Ratu Racun terdengar puas.
Setelah itu tubuhnya melesat
jauh ke balik pepohonan besar, dan menghilang di keremangan senja.
Tinggal Andika sendiri yang
terpaku seperti orang tolol.
Bibirnya meringis-ringis
menahan penderitaan yang mulai berlangsung.
"Aduh, Maaak.... Aku bisa
jadi tempe gosong hari ini" keluh Pendekar Slebor blingsatan.
-0o0oa-zo0o0
3
Secara jujur, Andika mengaku
kalau dirinya masih tergolong hijau dalam rimba persilatan. Selama turun dari Lembah
Kutukan, yang dihadapinya hanya tokoh-tokoh golongan hitam yang tidak
mengandalkan racun dalam pertarungan. Jadi wajar saja kalau kali ini Pendekar
Slebor agak kelimpungan, menyadari racun yang bersarang dalam tubuhnya akibat
pukulan beracun dari Ratu Racun.
Pendekar Slebor segera
mengempos tenaganya, untuk melesat pergi dari situ. Dia memang membutuhkan pertolongan.
Paling tidak, dia harus mencari tabib, untuk bisa mengeluarkan racun yang
bersarang di tubuhnya.
Walaupun dengan sisa-sisa
tenaganya, Andika berusaha berlari. Sudah cukup jauh dia berlari tapi tak
seorang pun ditemuinya, kecuali sebuah pondok yang kelihatan sepi. Sementara racun dalam tubuh Pendekar Slebor
sudah menjalar ke bagian-bagian lain. Tubuhnya kini makin didera panas luar
biasa. Sedangkan sendi-sendi di bagian tangan yang terlebih dahulu terkena
racun, mulai mengejang tanpa bisa digerakkan. Begitu panasnya, sehingga bagian
tubuh yang telah dijalari racun terasa seperti mengelotok.
"Kadal budek Tikus
gondrong Kodok pincang Racun ini benar-benar akan menghabisi nyawaku,"
dengus Andika dalam gelombang penderitaan yang makin memuncak.
Tubuh Pendekar Slebor bergetar
hebat. Keningnya pun sudah dibanjiri cucuran keringat berwarna kebiru-biruan
akibat pengaruh Racun Bara Neraka.
"Uh Sebaiknya aku
bersemadi dulu di sini. Racun ini tidak bisa didiamkan terus-menerus" kata
Andika, perlahan.
Andika segera duduk bersila
dengan mata terpejam. Cepatcepat Pendekar Slebor memusatkan seluruh pikiran,
perasaan, dan panca inderanya ke satu titik dalam benak. Akan dicobanya bersemadi,
untuk mematikan pengaruh Racun Bara Neraka. Dan seluruh tenaga sakti yang
dimilikinya akan dikerahkan.
Pendekar Slebor mulai melawan
keganasan Racun Bara Neraka. Harapannya hanya satu. Mudah-mudahan hawa murni dari
kesaktian yang diwariskan Ki Saptacakra yang lebih dikenal berjuluk Pendekar
Lembah Kutukan, mampu menghancurkan kekuatan racun yang menjalari tubuhnya.
Namun harapannya tetap
berpulang kepada Tuhan Penguasa Jagat yang berkuasa atas segala sesuatu. Untuk
itulah jiwa raganya dipasrahkan dalam semadi kepadaNya.
Saat-saat menegangkan berlalu.
Cukup lama sudah Andika bersemadi. Tapi, racun di tubuhnya tidak juga melemah.
Bahkan usaha perlawanan Andika
membuat Racun Bara Neraka semakin bekerja cepat. Tapi Andika tidak pernah mengenal kata
menyerah dalam kamus hidupnya. Sebagai anak muda keras kepala, pantang baginya
untuk putus asa sebelum benar-benar tak mampu berbuat apa-apa lagi.
Pendekar Slebor pun kembali
mengerahkan seluruh hawa murninya. Semakin pikirannya terhanyut dalam
pengerahan kekuatan hawa murni, tubuhnya semakin bergetar hebat.
Lama-kelamaan, tubuhnya tidak
hanya bergetar. Bahkan juga mulai memancarkan sinar berwarna merah
kehijau-hijauan.
Tampaknya, pertempuran antara
Racun Bara Neraka melawan hawa murni dalam tubuhnya sudah mencapai puncak.
Sampai akhirnya....
Jezzz...
Terdengar desisan tinggi yang
didahului letupan kecil.
Setelah itu, tubuh Pendekar
Slebor terjengkang ke belakang.
Dari lubang telinga, hidung,
dan mulutnya tampak mengalir darah kental kehitam-hitaman. Dan anak muda gagah
itu tergeletak tanpa bergerak sedikit pun.
Matikah dia? -o0o0a-z0o0o Sinar matahari hangat menerobos ke sebuah
jendela gubuk di tepian Hutan Watuabang. Kehangatan sinar mentari yang menimpa
wajah seorang pemuda berpakaian hijau pupus, membuatnya tersadar.
"Uuuh...," keluh
pemuda itu lirih. "Di mana aku?" Sambil mencoba bangun, pemuda itu
memandang ke sekelilingnya. Sungguh terasa asing.
"Ah Rupanya kau sudah
sadar, Nak" sapa seseorang dari pintu masuk di belakang pemuda itu. Pemuda berpakaian hijau pupus itu menoleh,
dengan kening berkerut. Lalu, bibirnya melepaskan senyum tipis.
"Kau kutemukan dalam
keadaan pingsan, tidak jauh dari pondokku. Apa yang terjadi, Anak Muda?"
tanya laki-laki berusia sekitar enam puluh lima tahun itu.
Pemuda yang tak lain Andika
tak langsung menjawab. Dia berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Dan
ketika merasakan otot di bagian punggung dan lehernya masih terasa nyeri,
Pendekar Slebor baru ingat kalau tubuhnya telah terkena racun, setelah
bertarung dengan wanita yang berjuluk Ratu Racun. Dan tampaknya, Racun Bara
Neraka telah menyebar hampir ke semua bagian tubuhnya dari tangan hingga
punggung. Untung saja racun ganas itu tidak sempat menerabas ke dalam jantung
dan otak, karena Pendekar Slebor telah berusaha mementahkannya dengan bersemadi
tidak jauh dari pondok yang ditempatinya itu. Dan itulah yang membuatnya
pingsan.
"Selamat pagi...,"
ucap Andika ramah pada lelaki tua yang telah melangkah menghampirinya.
"Pagi...," jawab
orang tua itu tak kalah ramah. "Bagaimana keadaanmu? Apa sudah agak
baikan?" Andika menjawab hanya dengan meringis.
"Oh, ya. Namaku Patigeni.
Kau bisa panggil aku, Ki Pati atau boleh juga Ki Geni," tambah lelaki tua
yang mengaku bernama Patigeni itu.
"Aku Andika, Ki...."
Seraya mengangguk hormat, Andika pun turut memperkenalkan diri.
"Tunggu dulu...,"
sergah Ki Patigeni tiba-tiba.
Mata Ki Patigeni yang sudah
menyipit karena keriput di sudut-sudutnya, makin menyipit setelah mendengar
nama Andika.
Dari mimik wajahnya terlihat kalau dia sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Ada apa, Ki? Apa aku
salah bicara?" tanya Andika terheran-heran.
"Tentu saja tidak. Tapi
aku hanya merasa pernah mendengar namamu. Entah di mana, dan kapan...." "Yah
Tentu saja kau pernah mendengar nama seperti itu, Ki. Nama Andika memang nama
pasaran yang biasa dipakai setiap ibu-ibu di rumah dukun beranak, untuk
menamakan anaknya yang baru lahir," seloroh Andika.
Ki Patigeni mendadak tertawa.
Mulanya Andika hanya menatap
wajah Ki Patigeni dengan pandangan terheran-heran. Tapi mendadak pula ikut
tertawa.
"Ha ha ha.... Kenapa kita
mesti tertawa, Ki? Bukankah ucapanku tak terlalu lucu?" kata Andika
kebo-doh-bodohan.
"Aku tertawa bukan karena
ucapanmu, Nak. Tapi aku menertawakan diriku yang bodoh ini...," tutur Ki
Patigeni dengan bibir masih menyisakan senyum.
"Bodoh?" tanya
Andika.
"Ya, bodoh. Karena tanpa
kusadari, ada pendekar besar di depanku. Bukankah kau yang berjuluk Pendekar
Konyol, dan menjadi bahan pembicaraan orang-orang dunia persilatan belakangan
ini? Kehebatanmu dalam menghancurkan Begal Ireng, menjadi bahan pembicaraan
hangat orang banyak," urai Ki Patigeni.
"Ah Itu kan hanya
kehendak Tuhan, Ki...," kilah Andika sungkan. Pemuda itu memang tidak
begitu senang dipuji.
"Jadi dugaanku
benar?" Andika tersentak. Hatinya mengumpat habis-habisan.
Betapa tololnya dia, bisa
begitu gampang terpancing. Pendekar
Slebor yang pernah bertemu Ratu Ra-naran dugaan lelaki tua itu diakuinya.
"Bukan begitu maksudku,
Ki...," sergah Andika, ingin meralat ucapannya tadi.
"Ah, sudahlah....
Pendekar berjiwa besar selalu ingin menyembunyikan keharuman namanya. Ibarat
padi, makin berisi makin merunduk," tukas Ki Patigeni tanpa maksud menyindir.
"Ya, ya.... Terus kau
pujilah aku, Ki.... Biar hidungku terus kembang-kempis dan kepalaku membesar
seperti tempayan," gurau pendekar tampan itu.
Sekali lagi K i Patigeni
terbahak-bahak.
"Rupanya julukan yang kau
sandang memang pantas. Kau memang konyol, Anak Muda," ledek Ki Patigeni di
sela tawa meriah.
"Oh iya, Ki Pati. Dari
mana kau mendengar tentang diriku?" tanya Andika, selesai Ki Patigeni
tertawa.
"Yah.... Biarpun tinggal
di daerah terpencil seperti ini untuk menyepi dari hingar-bingar rimba
persilatan, tapi aku tetap mengikuti perkembangannya.
Termasuk mengenai kemunculanmu...,"
jawab Ki Patigeni.
'Kebetulan kalau begitu.
Apakah kau tahu tentang Ratu Racun, Ki?" "Ratu Racun?" Ki
Patigeni mendekati balai-balai tempat Andika terbaring semalaman. Dia lalu
duduk bersila di samping pemuda itu.
"Apa kau mempunyai
ganjalan dengannya?" Ki Patigeni balik bertanya.
"Kalau aku tak bertempur
dengan orang itu kemarin, mungkin aku tidak akan sampai di depan gubukmu,
Ki." "Kau
bertempur dengannya? Aneh...." "Aneh Aneh kenapa, Ki Pati?" Ki
Patigeni terdiam sesaat. Tangan kanannya membelaibelai kumis putih di atas
bibirnya.
"Seperti juga kau, Nak
Andika. Ratu Racun pun baru saja hadir dalam kancah dunia persilatan. Awal
sepak terjangnya yang membuat namanya melambung adalah, setelah dia membantai
sisa-sisa anak buah Begal Ireng di Hutan Watuabang. Entah apa alasannya dia me
lakukannya. Yang pasti, dia telah berhasil menumpas gerombolan bajingan di bawah
pimpinan Kranggaek, seorang bekas tangan kanan Begal Ireng," urai Ki
Patigeni.
"Kalau begitu, memang
aneh. Sewaktu aku bertemu, kulihat dia sedang membantai beberapa penduduk
sebuah desa yang tak jauh dari tepi hutan ini. Mulanya aku mengira wanita itu
sedang memberantas para perampok yang mencoba menjarah desa itu. Sampai
akhirnya, aku tidak bisa menghindari pertempuran dengannya," tutur Andika,
ganti bercerita.
Untuk beberapa saat, dua
lelaki berbeda usia itu samasama membisu.
Mata mereka terlihat menerawang,
memikirkan tindak-tanduk Ratu Racun yang ganjil, menurut pandangan mereka. Apa
alasan wanita itu membantai gerombolan Kranggaek, lalu membantai pula penduduk
yang tidak berdosa? Jika dari golongan putih, tak mungkin akan tega membunuh
penduduk secara keji. Kalaupun dari golongan hitam, apa mungkin akan sudi
membunuh rekan segolongan seperti Kranggaek? Sepak terjang yang bertentangan
itulah yang kini menjadi bahan pikiran mereka berdua.
"Nak Andika, ada satu hal
yang perlu kau ketahui. Sebagai golongan muda, kau perlu pula mengenal beberapa
tokoh tua aliran sesat. Salah satunya, Guntara alias Iblis Petaka Racun...," tutur Ki Patigeni kembali.
"Tokoh tua itu memang menghilang dari rimba persilatan, sejak seorang
pendekar golongan putih mempecundanginya tiga puluh lima tahun silam. Maka
sejak saat itu, dia tak pernah menampakkan batang hidungnya lagi, menghilang
seperti tertelan bumi. Tak ada seorang pun yang tahu, di mana
keberadaannya," Ki Patigeni sesaat menghentikan ceritanya, untuk mengambil
napas. Sedangkan Andika tak melepaskan pandangannya ke wajah laki-laki tua itu.
"Ketika aku menjumpai
mayat Kranggaek dan anak buahnya, aku sempat dibuat terkejut. Ternyata, ketika kuperiksa,
racun yang membunuh mereka adalah racun milik Guntara. Mulanya aku menyangka,
lelaki busuk itu turun kembali dalam dunia persilatan dan hendak membuat keangkaramurkaan.
tapi ketika seorang penebang kayu menceritakan padaku tentang kejadian yang
disaksikannya, aku jadi tahu kalau si pembunuh itu ternyata seorang
wanita." Kembali laki-laki tua itu menghentikan ceritanya.
Sepertinya, dia berusaha
mengingat-ingat apa yang dialam inya.
"Ketika aku pergi ke
kadipaten, kudengar banyak orang membicarakan perihal Ratu Racun yang telah
berhasil mengirim Kranggaek ke neraka bersama seluruh anak buahnya. Maka,
dugaanku tentang kemunculan Guntara makin tak beralasan. T api, ada satu
pertanyaan yang muncul dalam diriku. Mungkinkah Ratu Racun adalah murid tunggal
Guntara alias Iblis Petaka Racun?" Ki Patigeni mengakhiri penjelasannya
dengan satu tarikan napas panjang dan berat.
Andika ikut menarik napas
dalam-dalam. Kalau memang benar Ratu Racun itu murid Guntara, maka tugasnya
akan semakin berat. Pundaknya akan semakin menerima beban untuk membasmi
keangkaramurkaan di atas jagat ini.
Keduanya kembali terhanyut
dalam pikiran masing-masing.
-0o0oa-zo0o0
4
Sejak Pendekar Slebor merawat
diri di gubuk Ki Patigeni hingga berangsung-angsur pulih, belum juga diketahui
secara pasti, siapa sesungguhnya lelaki tua itu. Setiap kali Andika mencoba
mengorek keterangan tentang dirinya, Ki Patigeni selalu dapat menghindar dengan
berbagai alasan.
Siapakah orang tua itu? Bagaimana
Andika tidak habis pikir tentang diri Ki Patigeni? Maalahnya, orang tua itu
begitu banyak tahu tentang liku-liku dunia persilatan. Padahal, hidupnya cukup
terpencil.
Menurut Andika, kerahasiaan
diri Ki Patigeni adalah tekateki yang harus segera dipecahkan. Secara tak
langsung, benaknya merasa ditantang untuk mengungkapkan tentang jati diri Ki
Patigeni. Apalagi, ketika lelaki tua itu merawat luka Andika untuk melenyapkan
sisa Racun Bara Neraka di tubuhnya.
"Apa ini, Ki?" tanya
Andika saat Ki Patigeni menyerahkan semangkuk ramuan berwarna merah kehijau-hijauan.
"Minumlah. Itu ramuan
Bunga Puspatuba yang hanya tumbuh di puncak gunung tertentu, yang dicampur akarakaran....
Ah, sudahlah. Kenapa kau jadi banyak tanya? Minum sajalah. Mudah-mudahan Racun
Bara Neraka yang masih mengendap di dalam tubuhmu bisa segera dilumpuhkan,"
jawab Ki Patigeni.
"Lho Kenapa kau bisa tahu
kalau aku terkena Racun Bara Neraka? Bukankah aku belum memberita-hukanmu,
Ki?" tanya Andika heran. Ki
Patigeni saat itu hanya mengibaskan tangan acuh tak acuh, membuat Andika
semakin heran dan penasaran.
-0o0oa-zo0o0
Empat hari telah berlalu. Kini
Andika yang telah merasa benar-benar pulih sedang menikmati udara tepian Hutan Watuagungyang
sejuk. Pagi memang baru saja lahir. Matahari pun belum begitu garang membakar
bumi. Sambil menghirup udara pagi yang segar, pandangannya menebar ke sekitar Hutan
Watuagung yang terlihat angker.
Saat itulah mata Pendekar
Slebor tertumbuk pada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sekitar dua puluh lima
depa dari tempatnya berdiri, Andika melihat Ki Patigeni sedang menebang
dahan-dahan pohon randu. Sebenarnya pekerjaan itu tak terlalu luar biasa. Para
penebang kayu pun sering melakukannya. Tapi tampaknya akan jadi lain lagi, bila
pekerjaan itu dilakukan hanya menggunakan punggung tangan untuk memapas
batang-batang pohon randu yang cukup besar. Seakan, Ki Patigeni sedang menebas
sebatang lidi Terkadang tubuhnya amat ringan merayap seperti cicak di pohon
randu untuk mencapai batang pohon yang hendak diambilnya.
"Dugaanku tepat,"
bisik Andika tertahan. "Ki Patigeni memang bukan orang sembarangan. Dia
pasti seorang tokoh tua dari aliran putih yang kini mengundurkan diri dari
dunia persilatan." Kini Pendekar Slebor harus mencari akal agar lelaki tua
itu bersedia mengatakan siapa dirinya sesungguhnya. Tapi ini tentu perlu
sedikit akal bulus. Sesaat Andika menimbangnimbang, takut perbuatannya terlalu
kurang ajar terhadap lelaki tua itu. Tapi rupanya sifat nakal dirinya lebih
kuat mempengaruhi. "Bolehlah
sekali-kali kurang ajar terhadap orang tua seperti Ki Patigeni," bisik
Andika perlahan sambil menyeringai bodoh.
-0o0oa-zo0o0
"Andika Andika, ke mana
kau?" panggil K i Patigeni keras.
Di dalam gubuknya, Ki Patigeni
mencari-cari pendekar muda itu. Entah ke mana dia. Yang pasti, Ki Patigeni
tidak menemukannya di balai-balai tempatnya biasa terbaring.
Bukan keadaan tubuh anak muda
itu yang membuat Ki Patigeni khawatir. Tapi ada satu hal yang membuat lelaki
tua berwajah berwibawa itu menjadi agak was-was. Di lantai gubuknya, tampak
banyak darah berceceran di mana-mana.
Dalam keadaan masih lemah,
memang tidak mustahil ada tokoh aliran hitam yang membokong anak muda itu.
Mendapat dugaan seperti itu,
Ki Patigeni berubah tegang.
Wajahnya menegang sedemikian
rupa. Pandangan matanya berubah penuh kesiagaan. Sementara, pendengarannya dipasang
setajam mungkin untuk dapat menangkap suarasuara mencurigakan. Lama keadaan
tegang itu berlangsung.
Sampai akhirnya....
"Patigeni Keluar kau, Tua
Bangka" Terdengar seruan lantang dari luar gubuknya. Ki Patigeni terkesiap,
walaupun sudah menjaga kewaspadaan.
"Aku tahu, kau berada di
gubuk reot itu, Patigeni Apa keasyikanmu menyepi telah membuatmu takut mati dan
tak jumawa lagi?" Kembali terdengar teriakan menatang.
Ki Patigeni tak menanggapi.
Bukannya takut, tapi hanya ingin memastikan siapa orang di luar sana.
"Baik, kalau kau tak
tertarik terhadap tantanganku.
Mungkin kau tertarik bila
namaku kusebutkan.... Aku adalah Guntara,
Iblis Petaka Racun Kedatanganku untuk membayar kekalahanku tiga puluh lima
tahun yang lalu" Untuk yang kedua kalinya, Ki Patigeni terkesiap.
"Guntara? Jadi keparat
itu memang masih hidup?" desis Ki Patigeni dalam getaran hebat.
Mendadak orang tua itu diserbu
kegeraman memuncak, walau tidak membuatnya kalap. Ketenangannya selaku tokoh kawakan
tetap terjaga. Maka dengan langkah tenang dan mantap, Ki Patigeni menuju pintu
gubuknya.
"Rupanya kau belum juga
menjadi penghuni neraka, Guntara?" seru Ki Patigeni ketika sudah berdiri
di ambang pintu.
Tampak samar-samar di dalam
rimbunnya pepohonan hutan, terlihat sebuah bayangan yang berdiri gagah menantang.
Tak begitu jelas wajahnya, namun mengaku sebagai Guntara.
"Aku mati? Ha ha ha....
Kau mimpi, Patigeni Nyawaku tak akan sudi meninggalkan jasad, kalau kau belum
mampus di tanganku" Ki Patigeni tidak menanggapi ucapan orang itu. Dia mematung
dalam kebisuan, seraya menatap tajam pada calon lawannya.
"Kenapa kau diam,
Patigeni? Rupanya waktu tiga puluhan lima tahun telah memupuskan nama besarmu
Tapi, aku tidak Nama besarku tetap ada. Dan tak lama lagi, julukan Iblis Petaka
Racun akan berkibar kembali. Lalu, julukanmu...." "Pendekar Tangan
Baja bisa saja menghilang dari rimba persilatan. Tapi keinginanku untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan, tak akan lenyap sampai mati," penggal
Ki Patigeni penuh wibawa.
"Pendekar Tangan Baja? Ha
ha ha...." Ki
Patigeni melihat sosok orang itu terpingkal-pingkal di kegelapan hutan.
"Kenapa kau tertawa ? Aku
tak pernah menganggap ucapanku lucu" hardik Ki Patigeni. "Dan, mana
anak muda yang berada di gubukku tadi? Jangan sekali-kali mencoba membunuhnya,
Guntara" Jawaban dari orang itu ma lah tawa yang terus semakin bergema.
"Kau menanyakan padaku
tentang anak muda tolol itu? Kau pikir darah yang berceceran dalam gubukmu itu
darah siapa? Darah ayam?" ejek orang yang mengaku sebagai Guntara setelah
puas tertawa.
"Jadi kau telah
membunuhnya? Manusia tidak tahu malu Apa kau tak merasa hina dengan membunuh
orang yang dalam keadaan lemah?" rutuk Ki Patigeni murka.
"Kau salah jika berbicara
tentang welas asih padaku, Patigeni. Apa kau sudah lupa kalau aku tidak
segolongan denganmu?" Gigi Ki Patigeni beradu, hingga terdengar gemeletuk
yang dalam. Sementara rahangnya mengejang keras dalam garis wajah yang
diselimuti api kemarahan, mendengar kalau Andika telah dibunuh Guntara. Kedua
tangannya yang pernah membuatnya terkenal dengan julukan Pendekar Tangan Baja, mendadak
mengepal kuat-kuat. Sesaat kemudian.....
"Hiaaa..." Tubuh Ki
Patigeni me luncur deras di udara menuju orang yang bernama Guntara. Saat itu,
tekadnya sudah bulat untuk mengadu jiwa dengan manusia keparat yang pernah dipecundanginya
tiga puluh lima tahun lalu. Memang, dialah pendekar yang mengalahkan Guntara.
Pada saat Ki Patigeni bercerita pada Andika pada waktu itu, hal dirinya sebagai
seorang tokoh kawakan dirahasiakannya. Itu dilakukan hanya untuk menjaga agar dapat menyepi dengan
tenang, tanpa harus mengotori tangannya dengan darah. Rasanya, tugas itu sekarang
sudah menjadi tanggung jawab pendekar-pendekar muda. Maka, pantas saja kalau
lelaki tua itu akan marah besar tatkala pemuda yang diharapkan mampu menerima
tongkat tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan menegakkan keadilan dan
kebenaran, ternyata dibunuh musuh lamanya.
Pada saat Ki Patigeni melayang
di udara, lawannya yang tetap berdiri di kegelapan rerimbunan pohon melontarkan
sesuatu yang melesat cepat ke arahnya.
Wesss...
Ki Patigeni terkesiap sejenak.
T api sebagai tokoh kawakan yang sudah banyak makan asam garam, serangan
mendadak itu tak membuatnya kelimpungan. Karena untuk menghindar tidak ada
kesempatan lagi, dengan tangkas ditangkapnya benda sebesar kepala manusia itu
dengan sepasang tangannya.
Tep Benda itu tertangkap di
udara. Bersamaan dengan itu, tubuh Ki Patigeni meluncur ke bawah. Saat itu
hatinya benarbenar dibuat was-was, karena sudah menduga kalau benda yang
dilempar musuhnya adalah kepala Andika. Tapi apa yang didapatnya? "Astaga"
Ki Patigeni berseru bingung.
Ternyata benda di tangannya
hanya seekor ayam yang sudah disembelih "Apa-apaan ini?" dengus Ki
Patigeni dalam hati. Orang tua itu sama sekali tidak mengerti apa sebenarnya
yang terjadi.
"Hehehe...." Terdengar
lagi tawa orang yang mengaku Guntara, sehingga membuat Ki Patigeni tersadar
dari keheranannya. "Kita
sudah impas, ya Ki Waktu itu, aku terpancing olehmu sehingga tanpa kusadari aku
mengakui julukanku. Kini kau yang berhasil kupancing" seru orang itu sete
lah menghentikan tawanya.
Sosok itu kemudian keluar dari
kerimbunan hutan dengan berlenggang santai. Dia ternyata Andika. Pemuda
ugal-ugalan itu lalu mendekati Ki Patigeni yang masih terpana.
"Salam hormatku, Pendekar
Tangan Baja, tokoh tua yang telah mempecundangi Guntara a lias Iblis Petaka
Racun," ucap Andika seraya menjura hormat. Sementara, mulutnya sibuk menahan
tawa yang hendak ambrol begitu saja.
"Kau meledekku, ya? Anak
muda brengsek Dari mana kau tahu kalau Guntara itu musuhku?" semprot Ki
Patigeni sedikit mangkel dijadikan kambing congek oleh Andika.
"Aku memang tidak tahu,
sebelum kau sendiri yang mengakuinya tadi Aku hanya coba-coba melihat tanggapanmu,
bila aku berteriak-teriak mengaku sebagai Guntara.
Kupikir untung-untunganlah.
Kalau ternyata kau memang pendekar yang telah mempecundangi Iblis Petaka Racun,
syukurlah. Kalau ternyata bukan, toh aku tidak rugi...," jawab Andika
santai.
"Kau...," ujar Ki
Patigeni seraya mendelikkan mata.
"Oh, iya Ki. Lebih baik
ayam di tanganmu itu kita bakar untuk makan siang. Dan soal darah di gubukmu
itu, aku m inta maaf. Aku lupa kalau gubukmu bukan tempat potong ayam.
He he he..." kilah
Andika, berpura-pura tak melihat mata Ki Patigeni yang membesar.
-0o0oa-zo0o0
Malam telah menjelang. Seperti
hari-hari biasa, angin dingin mulai berlarian bebas di alam terbuka. Daun
pepohonan mulai
merebah perlahan untuk beristirahat. Matahari benarbenar telah terpulas
beberapa saat lalu.
Ki Patigeni dan Andika tengah
duduk santai di balai-balai bambu di depan gubuk milik orang tua itu. Sinar
lampu minyak menerpa wajah keduanya. Dari gurat-gurat yang tergambar di wajah,
tampaknya dua manusia berbeda usia itu sedang membicarakan sesuatu yang
sungguh-sungguh.
"Lalu bagaimana caranya
kau bisa mengalahkan Iblis Petaka Racun, Ki?" tanya Andika.
Beberapa tarikan napas, Ki
Patigeni hanya memandang wajah anak muda itu.
"Aku makin kenal watakmu,
Andika," desah orang tua itu seraya tersenyum kecil.
"Apa maksudmu, Ki?"
tanya Andika tak mengerti.
Ki Patigeni mendorong kepala
Andika dengan tinjunya.
"Aku mulai tahu, kalau
kau mendadak bisa konyol Bisa urakan seperti orang pasar. Kau ingin
mengolok-olok aku lagi dengan pertanyaan tadi, ya?" kata orang tua ini,
setengah meledek.
"Ah..." Alis legam
Andika bertaut rapat. "Aku bertanya seperti itu, karena harus menghadapi
lawan yang memiliki ilmu yang sama dengan Guntara." "Huh Kenapa kau
jadi besar adat seperti itu...," gurau Ki Patigeni. "Aku hanya
bergurau...." Sekali lagi didorongnya kepala Andika dengan tinjunya.
Perlakuannya tampak seperti seorang
ayah yang sedang bersenda-gurau dengan anaknya. Mungkin lebih pantas kalau disebut
seorang kakek yang berbagi rasa dengan cucunya.
Mengingat, usia mereka bertaut
cukup jauh. "Kapan
kau mau menjawab pertanyaanku, Ki? Tahun depan...?" usik Andika ketika
mata Ki Patigeni tampak menerawang jauh merambah kegelapan malam.
"Oh.... Maaf, Andika. Aku
melamunkan masa mudaku dulu," ucap Ki Patigeni setengah mendesah.
"Jadi, bagaimana?" "Apanya?"
"Ah Kini kau yang akan mengolok-olokku, Ki Kau akan membiarkan pendekar
budiman seperti aku mati terpanggang racun milik Ratu Racun? Apa kau senang
melihat aku matang seperti sambal terasi?" "Iya, iya.... Kenapa kau
begitu nafsu untuk mengetahui rahasia kemenanganku terhadap Guntara? Tapi,
baiklah.
Begini, Andika. Ada dua jenis
racun yang paling ampuh milik Guntara. Pertama, Racun Perontok Raga. Sedang
yang kedua adalah racun yang telah melukaimu dulu. Racun Bara Neraka.
Tapi seganas-ganasnya kedua
racun itu, tetap saja memiliki kelemahan." "Apa itu, Ki?" desak
Andika.
"Untuk racun...." Belum
lagi lelaki tua itu melanjutkan ucapannya, tiba-tiba mata tuanya menangkap
sesuatu di langit lepas.
"Ada apa, Ki?" tanya
Andika ketika melihat mata keriput Ki Patigeni menajam.
Tanpa berkata, lelaki tua
berwibawa itu menunjukkan jari telunjuknya ke angkasa. Pendekar Slebor pun
menoleh ke arah yang ditunjuk orang tua itu. Maka terlihatlah seberkas cahaya
merah yang meluncur naik ke angkasa. Setelah mencapai ketinggian tertentu,
cahaya itu menukik deras. "Itu
tanda bahaya yang biasa digunakan para pengikut Begal Ireng untuk
memberitahukan rekan-rekannya," jelas Ki Patigeni datar.
"Jadi sisa-sisa
gerombolan Begal Ireng masih banyak yang berkeliaran?" "Ya,"
sahut Ki Patigeni.
-0o0oa-zo0o0
5
Pendekar Slebor dan Ki
Patigeni memutuskan untuk mencari tahu, apa yang terjadi sesungguhnya. Maka
seketika mereka bersamaan menggenjot tubuh dari balai-balai bambu yang
diduduki, lalu segera melesat ke arah cahaya yang tampaknya adalah panah berapi.
Jarak yang harus ditempuh
ternyata cukup jauh. Untunglah tubuh Andika sudah pulih benar, hingga tidak ada
kesulitan untuk mengiringi ilmu lari cepat Ki Patigeni. Biarpun sudah tua,
ternyata Ki Patigeni masih segesit burung camar.
Tubuhnya berkelebat di antara
pepohonan, seakan tanpa bobot sama sekali.
Tapi dalam hal kecepatan serta
ilmu meringankan tubuh, Andika tampaknya berada dua tingkat di atas lelaki tua
itu. Itu pun berkat kesaktian warisan Pendekar Lembah Kutukan yang memang
diakui oleh banyak tokoh kelas atas dunia persilatan sebagai kecepatan dan
kekuatan yang sulit ditandingi. Namun karena menghormati Ki Patigeni, Andika
tidak ingin lancang mendahuluinya. Padahal, dalam hati ilmu lari cepatnya ingin
segera dikerahkan untuk mengetahui peristiwa yang terjadi malam itu.
Dan ketika hampir sampai,
telinga mereka sayup-sayup menangkap jeritan seseorang. "Aaa...” Dan jeritan itu terus
berlangsung, berkumandang di angkasa.
"Rupanya ada pembantaian
gila lagi, Ki," kata Andika pada Ki Patigeni, seraya menghentikan larinya
sesaat untuk memperjelas pendengarannya.
"Tampaknya begitu,"
balas Ki Patigeni. "Apa kau menduga sama seperti aku, tentang orang yang
melakukan pembantaian?" "Ratu Racun?" Ki Patigeni tidak bisa
memastikannya. Yang pasti, mereka harus segera membuktikan dugaan itu
secepatnya.
Kembali kedua orang berbeda
usia itu menerabas kegelapan hutan. Tak ada enam tarikan napas, mereka sudah tiba
di tengah hutan. Daerah itu tidak begitu dipadati pohon jati besar yang berdiri
angkuh menentang malam Tidak seperti bagian lain dari Hutan Watuagung itu, bagian
tengah hutan tampak tidak begitu rimbun. Itu sebabnya sinar bulan masih mampu
sampai pada tanah berumput di bawah pepohonan.
Kini Pendekar Slebor dan Ki
Patigeni menemukan tempat persembunyian. Dari segerombolan semak, Andika dan Ki
Patigeni melihat seorang wanita berpakaian hitam sedang mengamuk. Di bawah
terpaan sinar bulan, mayat-mayat tampak berserakan mengerikan Dari sembilan
belas orang yang ada, hanya tinggal lima orang masih kelimpungan menghadapi amukan
wanita berpakaian hitam-hitam.
Selebihnya, telah kehilangan
nyawa.
"Racun Perontok
Raga...," bisik Ki Patigeni tak sadar, manakala mata kelabunya melihat
mayat yang berserakan.
"Kenapa, Ki?" tanya
Andika berbisik pula. "Perhatikanlah mayat-mayat itu.
Tubuh mereka yang cerai-berai menggidikkan itu akibat Racun Perontok
Raga," jawab Ki Patigeni menjelaskan.
"Astaga...," desis
Andika bergidik.
Kalau Ki Patigeni tidak
memberi tahu, mungkin Pendekar Slebor tidak akan memperhatikan keadaan
mayat-mayat korban wanita berpakaian hitam itu. Yang menarik perhatiannya,
justru wanita itu. Andika merasa ada sesuatu yang ganjil. Entah apa, belum bisa
dipastikan. Yang pasti, Andika hanya mengenal wanita kejam itu sebagai Ratu
Racun.
"Jadi bagaimana, Ki? Apa
kita harus turun tangan atau membiarkan perempuan gila itu menghabisi
lawannya?" tanya Andika, meminta pertimbangan Ki Patigeni.
"Biarkan saja mereka
saling bunuh," jawab Ki Patigeni, dingin.
"Apa? Bagaimana kau bisa
berkata seperti itu, Ki? Wanita itu memperlakukan manusia tak lebih daripada
binatang Kita harus segera menghentikan perbuatan biadabnya" Andika agak
terkejut juga.
'Yang dibantai wanita itu
memang binatang. Kau lupa, mereka adalah sisa-sisa gerombolan Begal
Ireng?" "Tapi mereka tetap manusia, Ki" sergah Andika.
"Jangan dilupakan
perbuatan mereka selama ini, Andika.
Tidak ada manusia yang
sebiadab mereka. Mereka lebih buas daripada binatang. Mereka tak lain hewan
berwujud manusia, jadi pantas saja kalau mendapat perlakuan seperti
itu...," urai Ki Patigeni datar.
Andika terdiam. Setelah
dipikir-pikir, ucapan lelaki tua itu memang ada benarnya.
Sementara itu pertarungan
antara Ratu Racun melawan sisa-sisa gerombolan Begal Ireng hampir selesa i. Dua orang lagi telah terbunuh dengan tubuh
cerai-berai.
Kini tinggal tiga orang lagi
yang tersuruk-suruk ketakutan, tanpa berani melakukan serangan.
"Mana bantuan dari
kawan-kawan kita?" teriak seorang lelaki pada kawannya.
"Aku sudah melepas
isyarat panah api sejak tadi, tapi mereka belum juga datang," jawab orang
yang ditanya, dengan suara tercekat.
"Kalaupun mereka datang
juga, kita sudah akan jadi mayat di tangan perempuan keparat ini. Lebih baik,
lari saja" usul lelaki lain.
Maka mereka saling bertatapan
sesaat, dengan tubuh terus beringsut ke belakang. Jelas, mereka tak ingin mati
konyol.
Apalagi, mata secara
mengenaskan seperti kawan mereka yang lain akibat racun lawan.
Ketiga orang itu semakin
memperlebar jarak dengan wanita berpakaian hitam-hitam ini. Memang, wanita ini
berdiri mematung bagai singa betina gurun yang mengintai mangsa.
Dan seketika, ketiga lelaki
tadi langsung berbalik, lalu lari tergesa-gesa.
"Kalian pikir, akan
diselamatkan iblis hutan ini?' seru Ratu Racun dari belakang.
Belum lagi mereka sempat
menghilang di kegelapan malam, Ratu Racun tiba-tiba mengibaskan rambutnya yang panjang
terurai.
Zing Zing Beberapa helai
rambut Ratu Racun seketika terlepas, lalu meluncur cepat dalam keadaan meregang
kuat ke arah tiga lelaki tadi. Naas bagi dua lelaki yang berlari ke arah utara.
Kepala mereka langsung
tertembus helai rambut Ratu Racun.
Keduanya tak sempat menjerit,
karena rambut Ratu Racun langsung menembus pusat wicara di otak. Beberapa saat mereka jatuh menggelepar-gelepar di tanah,
setelah itu mati dengan seluruh otot di tubuh meregang kejang.
Nasib mujur masih dimiliki
lelaki yang berlari ke arah selatan. Ketika rambut beracun hampir menembus
batok kepalanya, kakinya terantuk akar pohon yang tersembul hingga jatuh
tersuruk.
Srak Dukl Jep Sementara rambut
beracun milik Ratu Racun menancap pada batang pohon di depannya. Sedangkan
orang itu sendiri luput dari maut, meski harus jungkir balik di tanah. Sambil mendelik
dengan wajah tanpa darah, dia segera bangkit kembali. Lalu secepat kilat dia
buron tanpa ingin menoleh ke belakang.
Hutan Watuagung mendadak
disergap kesunyian. Tak ada lagi jeritan kematian atau teriakan haus darah.
Bahkan binatang melata pun seolah enggan memperdengarkan suaranya. Mungkin
karena terkejut dengan keriuhan barusan.
Ratu Racun masih berdiri tegak
di tempatnya. Tak ada sedikit pun gerak yang dilakukan. Hanya sepasang bola matanya
yang mengawasi puas pada mayat-mayat korbannya.
Tak jauh di belakang wanita
itu, Andika dan Ki Patigeni masih mengawasi gerak-geriknya. Mereka ingin tahu,
apa lagi yang hendak diperbuat wanita itu. Ternyata orang yang diawasi hanya
bersiap untuk pergi dari tempat itu.
"Kita cegah, Andika. T
ampaknya dia akan pergi...," bisik Ki Patigeni seraya hendak bangkit dari
semak-semak "Tunggu, Ki," tahan Andika. Dipegangnya bahu kurus Ki Patigeni.
Tentu saja tindakan Andika
membuat lelaki tua itu heran.
Belum lama tadi, justru Andika
yang ingin segera turun tangan.
Kini, setelah Ki Patigeni memutuskan untuk segera mengambil tindakan, anak muda
itu malah menahannya.
"Kenapa?" tanya Ki
Patigeni ingin mengetahui alasan Andika.
"Aku merasa ada suatu
yang ganjil, Ki," ungkap Andika.
"Di dunia ini memang
banyak manusia yang ganjil...." "Bukan itu, Ki" "Lalu
apa?" "Entahlah. Aku juga belum bisa memastikannya...." "Siapa
itu?" Tiba-tiba Ratu Racun berseru lantang. Rupanya telinganya menangkap kasak-kusuk
di balik semak-semak di belakangnya. Kalau tadi perhatiannya terpusat pada
lawan sehingga tak memperhatikan keadaan sekitar, kini pendengarannya bisa
lebih dipusatkan pada suara-suara yang mencurigakan.
Ki Patigeni memandang Andika
dengan senyum kecil.
Bahunya dinaikkan sedikit,
mengisyaratkan kalau akhirnya mereka mesti keluar juga. Tapi, Andika tak mau
mengambil langkah pertama, kalau langkah kedua masih bisa diusahakan.
Maka kembali K i Patigeni
ditahannya.
Sementara Ki Patigeni
bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Apa lagi yang ingin diperbuat
anak muda ini? Andika memberi isyarat pada Ki Patigeni dengan telunjuknya ke
belakang. Orang tua itu pun menoleh ke arah yang ditunjuk Andika. Sekitar tiga
tombak di belakangnya tampak seekor ular sanca belang sedang melilit di sebuah lubang
pohon.
Dengan cara yang cerdik,
Andika menggosok-gosok kedua telapak tangannya di dekat ular sanca itu.
Pengerahan tenaga dalam
pada kedua telapak tangannya, membuat hawa di sekitar lubang menjadi panas.
Beberapa saat kemudian, ular itu beringsut keluar sambil mendesis-desis. Masih
dengan hawa panas di kedua telapak tangannya, ular itu digiring sedikit demi
sedikit ke arah Ratu Racun.
Tak lama kemudian, ular itu
telah terlihat oleh Ratu Racun yang masih memasang telinga, karena mendengar
suara mencurigakan tadi. Namun melihat seekor ular sanca besar keluar dari
semak-semak dekat persembunyian Andika dan Ki Patigeni, kecurigaan Ratu Racun
lenyap begitu saja. Akhirnya disimpulkan, bisik-bisik yang didengarnya ternyata
hanya desisan ular.
Dan seraya menghela napas
panjang, Ratu Racun akhirnya melesat cepat bagai kilat pergi dari situ.
Tubuhnya seketika ditelan kegelapan malam.
"Fhuih..." Andika
menghempas napas lega.
"Kau menghindari Ratu
Racun bukan karena kapok dengan racunnya, kan?" ledek Ki Patigeni,
bercanda.
"Aku memang kapok, Ki...,"
jawab Andika acuh sambil melangkah keluar dari kerimbunan semak.
"Dasar kecoak
pengecut" goda Ki Patigeni lagi.
"Kecoak pengecut..., tapi
ganteng tentunya. Ha ha ha..." balas Andika tanpa merasa harga dirinya
direndahkan.
Tentu saja Andika mengerti kalau
Ki Patigeni hanya berkelakar saja. Dan lelaki tua itu sendiri tentu mengerti,
pasti ada alasan yang tepat bagi Andika untuk menghindari Ratu Racun tadi.
Sementara Pendekar Slebor menghampiri
tempat pertempuran yang dipenuhi mayat, Ki Patigeni mengawasinya dari kejauhan.
Ingin diketahuinya, hasil apa yang didapat anak muda itu. Dari berita yang
didengarnya, seringkah disebutkan kalau pendekar muda itu memiliki kecerdikan
luar biasa. Tak
lama kemudian....
"Ki, cepat ke sini"
panggil Andika.
Ki Patigeni cepat menghampiri.
"Ada apa?" tanya
orang tua itu singkat.
Andika menunjukkan sesuatu di
tangannya.
"Kau tahu, benda apa ini,
Ki?" tanya Andika.
Ki Patigeni mengambil benda
itu dari tangan Andika.
Diamatinya benda sebesar anak
kunci, berbentuk ukiran Bunga Wijayakusuma.
"Ini hanya kerajinan khas
dari Desa Wadaswetan," jelas Ki Patigeni. "Biasanya warga desa itu
mengenakan benda ini untuk kalung anak-anaknya...." "Nah itu satu petunjuk,
Ki..." "Petunjuk apa? Aku belum menangkap maksud-mu....” Andika tak
segera menjelaskan pertanyaan Ki Patigeni.
Malah lelaki tua itu diajaknya
untuk memperhatikan mayatmayat korban Ratu Racun.
"Apakah ada di antara
mereka yang kau kenal, Ki?" tanya anak muda itu kemudian.
Beberapa saat Ki Patigeni
mengamati mayat-mayat "Ya Aku kenal orang ini," ujar Ki Patigeni,
akhirnya.
"Sudah kuduga. Siapa dia,
Ki?" "Rawegenggong, seorang kaki tangan Begal Ireng yang cukup
diandalkan," sahut Ki Patigeni lagi.
Andika melangkah mondar-mandir
seraya mengacungacungkan jari telunjuknya di depan dada. Lagaknya sudah seperti
kakek jompo sedang menghitung jumlah anak cucunya. "Sekarang aku ada pertanyaan untukmu,
Ki," kata Pendekar Slebor kembali.
Sedang Ki Patigeni menunggu
dengan sabar. "Pernahkah Kranggaek dan Rawegenggong melakukan kejahatan di
Desa Wadaswetan?" tanya Andika penuh keyakinan.
Baru saja Ki Patigeni hendak
menggerakkan bibir, Andika sudah menggerakkan telunjuknya ke kiri dan kanan di
depan dada.
"A... a. Tak usah
dijawab, Ki. Karena aku yakin, kau akan menjawab, iya," cegah Andika, sok
tahu.
Ki Patigeni hanya
menggeleng-gelengkan kepala. Anak muda satu ini memang sering membuatnya gemas.
Ingin rasanya kepala anak muda sok tahu itu ditinjunya. Tapi, kenyataannya
memang benar. Dia memang ingin menjawab, iya.
"Sekarang aku ingin
bertanya lagi padamu, Ki. Dengan siapa lagi kedua orang itu melakukan kejahatan
di Desa Wadaswetan?" Ki Patigeni tak segera menjawab. Dia berpikir, pasti
Andika akan menyelaknya lagi.
"Ki?" tegur Andika.
"Apa kau sudah mengantuk?" "Anak brengsek T entu saja tidak. Aku
hanya mengira kalau jawabannya sudah kau ketahui...," sangkal Ki Patigeni
agak dongkol bercampur gemas.
Pendekar Konyol jadi tersenyum
bodoh pada lelaki tua itu.
Digerak-gerakkan sepasang alis
yang melengkung bagai kepakan elang itu.
"Makanya jangan sok
tahu" gerutu Ki Patigeni. "Mereka melakukan pembegalan di desa itu,
bersama enam orang lain.
Selain Kranggaek dan
Rawegenggong, ada Bagaswara, Karangga,
Nyi Rorokweni, Baturwedi, Sonagupta, dan Linggaraksa." "Terima kasih
banyak, Ki," ucap Andika seraya menjura konyol.
"Jadi kau ingin
mengatakan, kalau mereka adalah sasaran dendam Ratu Racun?" tanya Ki
Patigeni tanpa mempeduhkan tingkah Andika.
"Tepat Pada saat mereka
membegal, mungkin keluarga atau orang yang dicintai Ratu Racun telah dibunuh di
Desa Wadaswetan. Kini, wanita itu kembali untuk menuntut balas," urai
Andika, memaparkan dugaannya. "Dan kalung itu sebagai tanda kalau Ratu
Racun adalah seorang penduduk desa itu." Ki Patigeni mengangguk-angguk
pelan. Jadi, berarti kalung itu milik Ratu Racun yang terjatuh sewaktu
bertarung tadi. Kini baru dipahami maksud Andika, sekaligus memuji kecerdasan otaknya.
Namun saat Andika baru
hendakmeneruskan ucapannya, tiba-tiba....
Zes Zes Zes...
"Andika, awas"seru
Ki Patigeni, manakala matanya menangkap serangkum angin pukulan jarak jauh yang
mengarah ke tubuh anak muda itu.
Andika terkesiap. Saat itu
dirinya benar-benar dalam keadaan tidak waspada penuh. Padahal, Ki Patigeni
amat mengenali angin pukulan jarak jauh seperti itu. Itu adalah lontaran Racun
Bara Neraka yang nyaris membunuh Andika beberapa waktu lalu
-o0o0-a-z-0o0o
6
Naluri kependekaran Andika
memerintah untuk segera melompat. Maka tanpa diperintah otaknya lagi, tubuh
Andika pun melenting ke belakang dengan putaran beberapa kali.
Namun pada saat yang
bersamaan, Ki Patigeni berusaha menyelamatkan Andika. Sebisa-bisa-nya tubuhnya
digenjot untuk menyambar tubuh Andika. Dan akibatnya, kaki Andika malah menimpa
dada Ki Patigeni tanpa disengaja.
Begkh Rasa sakit yang diderita
lelaki tua itu akibat tendangan tak sengaja Andika memang tidak terlalu parah.
Tapi perakan tubuhnya malah jadi terhenti saat itu juga, di tempat Andika berdiri
sebelumnya. Sehingga....
Desss "Aaakh..." Ki
Patigeni memekik tertahan. Tanpa diduga sama sekali, pukulan beracun Bara
Neraka langsung menghajar telak rusuknya. Tubuhnya kontan terseret tenaga
dorongan pukulan itu sepuluh tombak ke samping kiri. Dan luncuran tubuhnya baru
terhenti, saat sebuah pohon tertumbuk bahu kirinya.
"Ki Pati..." teriak
Andika dilanda kekhawatiran, begitu mendaratkan kakinya. Terlebih, ketika
melihat pohon besar yang ditimpa tubuh Ki Patigeni menjadi menghitam dalam sekejap.
Tanpa mempedulikan serangan
gelap yang mungkin akan menyusul, Andika segera memburu ke arah Ki Patigeni tergeletak
tak berdaya.
Andika membalik tubuh lelaki
tua yang tertelungkup itu.
Orang tua yang terasa sudah
seperti kakeknya sendiri, meski belum begitu lama mengenalnya. Tampak mulut Ki
Patigeni mengeluarkan darah kental kehitam-hitaman. Demikian pula kedua telinga dan hidungnya. T ubuhnya terasa
begitu panas, saat Andika menyentuhnya. Tapi sekali-kali tidak membuat Andika
segera menjauh. Dialirinya tenaga sakti pada kedua telapak tangan, agar dapat
menguasai hawa panas yang hendak menghanguskannya.
"Andika.... Jangan sentuh
aku terlalu lama," desak Ki Patigeni, terbata.
Andika menggeleng-gelengkan
kepala tanpa tahu harus berucap apa.
"Aku telah terkena Racun
Bara Neraka. Tubuhmu masih belum s iap menerima serangan racun itu kembali.
Menjauhlah cepat Jangan sampai racun itu terserap ke dalam tubuhmu Cepat"
bentak Ki Patigeni, setengah mendesis.
"Tapi..., bagaimana
keadaanmu, Ki?" "Cepat menjauh Jangan pedulikan aku" "Aku
tidak peduli, Ki Kau harus diselamatkan" "Dengan apa kau akan
menyelamatkanku? Aku pun belum sempat memberitahukan tentang kelemahan Racun
Bara Neraka padamu. Cepat pergi Kalau kita berdua mati, siapa yang akan membela
kepentingan orang-orang lemah?" Dengan berat hati, Andika melepas juga
tubuh Ki Patigeni.
"Baik aku lepaskan. Tapi,
kau harus memberitahukan cara menundukkan racun ganas itu padaku agar aku bisa
segera menyembuhkanmu, Ki...," ujar Andika nyaris tercekat karena kesedihan
yang tiba-tiba datang.
Namun tak ada jawaban dari Ki
Patigeni.
"Ki...," panggil
Andika kembali.
Tetap tak ada jawaban. Malah
gerakan Ki Patigeni pun tak terlihat lagi, bahkan naik-turun dadanya sekalipun.
"Kiii..." Andika
menjerit sejadi-jadinya. Semua
kenangan Andika dengan Ki Sanca di Perguruan Trisula Kembar dahulu terbayang
kembali. Sama seperti Ki Patigeni, Ki Sanca pun meninggal dalam keadaan menyedihkan
di sisi Andika. Padahal, mereka sudah begitu dekat di hati anak muda ini.
Keduanya sudah dianggap sebagai keluarga sendiri (Untuk mengetahui tentang K i
Sanca, silakan ikuti serial Pendekar Slebor dalam episode perdana, "Lembah
Kutukan").
Andika terduduk lemah di sisi
mayat Ki Patigeni yang perlahan-lahan mengering bagai batang kayu yang terjemur
berbulan-bulan. Itulah akibat kedahsyatan Racun Bara Neraka Setelah itu tubuh
orang tua ini mulai retak-retak, seakan tanah tandus "Oh, Tuhan..."
desah Andika lirih.
Pendekar Konyol merundukkan
kepala dalam-dalam.
Rasanya, saat itu seluruh air
mata dikurasnya. Namun tempaan kependekaran selama ini, membuatnya tidak jadi cengeng.
T ak ada setetes air mata pun yang menggenang di bawah kelopak matanya. Hanya
desahan napas tersekat-sekat yang terdengar.
Kalau pada saat itu pukulan
jarak jauh kedua diarahkan padanya, tak dapat disangkal Andika akan langsung
terhajar.
Bagaimana dia bisa mengelak,
kalau jiwanya sendiri seperti melayang dari raga akibat rasa kehilangan yang
demikian dalam.
Lama Andika menunggu dalam
sepi malam yang kian terpulas. Namun, serangan gelap itu tak juga muncul.
-o0a-z0o Malam di Desa Wadaswetan, namun keramaian
masih menyemaraki sekitarnya. Andika saat ini baru tiba di desa itu.
Saat itu di alun-alun desa
memang sedang diadakan upacara adat
untuk pengangkatan seorang kepala desa baru. Pantas saja, malam ini jadi ramai
oleh warga desa yang berkumpul di alun-alun. Di salah satu sudut alun-alun,
Andika melihat seorang wanita desa berpakaian sederhana. Dihampirinya wanita
itu, disertai senyum manis di bibir.
"Nyi, apa bisa
menolongku, menunjukkan sesepuh desa ini?" tanya Andika.
Wanita berwajah ayu itu me
lirik malu-malu. Tampak bibirnya yang merah merekah melepas senyum manis.
"Mari, Kang.
Kuantarkan...." "Ah Rejeki nomplok" seru Andika, dalam hati.
"Kalau semua wanita cantik seramah dia, bisa-bisa aku berhenti jadi pendekar"
"Mari, Kang. Kok jadi melamun?" tegur wanita itu "Eh, iya...
iya," Andika kelimpungan.
Wanita itu lalu mengajak
Pendekar Slebor kesebu-ah balai pertemuan di bagian barat alun-alun untuk
menemui sesepuh desa yang dimaksud Andika. Kata wanita itu, namanya Ki Manik
Angkeran. Dialah kepala desa lama yang kedudukannya kini digantikan kepala desa
baru. Umurnya sekitar tujuh puluh tahun.
Sebentar saja, mereka telah
tiba di balai pertemuan itu.
Sebentar wanita itu
mengarahkan telunjuknya pada laki-laki yang menjadi sesepuh desa ini. Sedangkan
Andika manggutmanggut, tanda mengerti.
"Terima kasih atas
bantuanmu, Nyi," ucap Andika seraya tersenyum.
"Sama-sama....
Mari...," balas wanita itu, lalu berbalik pergi. Setelah wanita itu hilang ditelan banyaknya
orang-orang yang lalu lalang, Andika menghampiri laki-laki bernama Ki Manik
Angkeran, yang ditunjuk wanita tadi.
"Selamat malam,
Ki..," ujar Andika santun, seraya menjura hormat.
"Oh, selamat malam....
Ada perlu apa, Kisanak?" sambut Ki Manik Angkeran tak kalah santun.
Walaupun garis ketuaan tampak
di wajahnya, namun orang tua itu terlihat berwibawa. Rambutnya yang hampir
putih, merata ditutup blangkon lurik. Perawakannya tidak gemuk, tapi juga tidak
kurus. Dari bentuk tubuhnya, akan terlihat kalau selagi muda dia adalah lelaki
gagah. Apalagi dengan pakaian kembang-kembang yang dipadu oleh kain lurik sebatas
betis.
"Aku ingin menanyakan
sesuatu yang berkenaan dengan desa ini, Ki," jawab Andika.
"Kalau begitu, silakan
duduk dulu...," ucap lelaki itu, mempersilakan Andika.
Pemuda itu pun duduk pada satu
kursi kayu yang disusun berjajar memanjang di bawah tenda besar yang disanggah tonggak
bambu tinggi. Di depan jajaran kursi, dibangun sebuah panggung kecil sederhana
yang tampaknya digunakan untuk pemilihan kepala desa baru.
Saat itu, suasana balai tampak
sepi. Tampaknya pemilihan kepala desa baru telah selesai beberapa waktu lalu.
Tadi ketika Andika sampai, Ki Manik Angkeran sedang berbincangbincang dengan
seorang warga. Namun warga itu segera mohon diri ketika tahu ada seseorang yang
hendak menemui Ki Manik Angkeran. Maka kini tinggal Andika dan sesepuh desa itu
di tempat ini. "Apa
yang bisa saya bantu, Kisanak? Oh, iya. Nama Kisanak siapa, ya?" tanya Ki
Ki Manik Angkeran, setelah Andika duduk di salah satu kursi.
"Namaku Andika, Ki. Aku
ingin menanyakan suatu hal yang mungkin diketahui olehmu, sebagai sesepuh
desa," tutur Andika.
"Hm.. Aku Manik Angkeran.
Dan kau boleh memanggilku, Ki Manik. Ayo, silakan dimulai lagi," ujar
orang tua itu.
"Mungkin kau tahu tentang
peristiwa perampokan beberapa tahun lalu yang dilakukan Kranggaek dan
kawan-kawannya, Ki?" Ki Manik Angkeran terdiam beberapa saat. Benaknya seketika
berusaha menggali peristiwa perampokan yang dimaksud Andika. Cukup lama dia
terdiam Sampai akhirnya dia menarik napas dalam-dalam, lalu menghempaskannya
penuh beban.
"Ya Memang pernah terjadi
perampokan oleh kawanan Kranggaek beberapa tahun lalu. Tepatnya, delapan belas tahun
lalu," ucap Ki Manik Angkeran bersama satu desahan.
"Bisa diceritakan
kejadiannya padaku, Ki?" Ki Manik Angkeran menatap Andika dengan sinar
mata penuh tanda tanya.
"Aku tahu, pertanyaanku
memang tampak mencurigakan.
Tapi aku butuh keterangan itu,
Ki," kata Andika, seperti tahu isi pikiran K i Manik Angkeran.
"Apa kau ada alasan
khusus sampai menanyakan hal itu, Andika?" tanya sesepuh desa itu, belum
puas dengan jawaban Andika yang tampak mengambang di telinganya.
"Ya," jawab Andika
singkat.
"Apa itu?" tanya Ki
Manik Angkeran lagi, setengah mendesak. Andika
menarik napas, dan membuangnya perlahan. Kalau alasan menanyakan tentang
peristiwa itu diceritakannya, maka mau tak mau harus pula diceritakan tentang
tindakan Ratu Racun yang menghebohkan belakangan ini. Hal itu tentu akan memancing
rasa ingin tahu Ki Manik Angkeran lebih dalam.
Sesepuh desa itu pasti akan
menanyakan, siapa diri Andika sebenarnya. Bahkan bisa jadi akan ikut campur
dalam persoalan yang mengundang maut itu. Padahal, Andika tak mau jati diri
sesungguhnya diketahui lelaki itu. Dia tak mau kedatangannya malah mengusik
kegembiraan penduduk desa, kalau mereka tahu Pendekar Slebor yang menghebohkan belakangan
ini ada di sini.
"Apa itu perlu, Ki?"
tanya Andika kembali..
"Tampaknya begitu,
Andika. Sebab aku tak mau lancang memberi keterangan kalau tidak benar-benar
yakin tujuan baik orang yang bertanya," lanjut Ki Manik Angkeran, tegas berwibawa.
Sekali lagi Andika menghela
napas.
"Baiklah, Ki.... Kalau
itu memang syarat yang harus kulaksanakan untuk dapat keterangan darimu,"
desah Andika.
Andika pun mulai bercerita,
kenapa dia menginginkan keterangan itu. Termasuk, bercerita singkat bagaimana keterlibatannya
dalam perselisihan dengan Ratu Racun.
"Kalau begitu, kau tentu
seorang pendekar?" tanya Ki Manik Angkeran, yakin. Belum juga Andika
menjawab.....
"Kalau boleh kutahu,
siapa julukanmu?" Akhirnya yang dikhawatirkan Andika pun terjadi.
"Ah, hanya julukan
kosong, Ki. Orang-orang sering meledekku dengan memanggil Pendekar
Slebor...," tutur Andika terpaksa merendah. Suaranya sengaja dibuat
selemah mungkin, agar tidak ada orang lain yang mendengar. Mendengar ucapan Andika, lelaki berwibawa itu
tampak mengangkat alis putihnya tinggi-tinggi. Matanya seketika agak membesar,
tanda keterkejutannya.
"Astaga Jadi, kau ini
yang berjuluk Pendekar Slebor" seru laki-laki tua itu, agak keras.
"Sungguh suatu kehormatan bagi desa ini, karena dikunjungi pendekar besar
macam kau." Andika hanya bisa menunduk mendengar pujian sesepuh desa itu.
"Kalau begitu, biar kami
membuat acara penyambutan untuk T uan Pendekar," kata Ki Manik Angkeran
seraya berdiri.
"Tunggu, Ki" cegah
Andika. "Tak perlu acara seperti itu.
Lagi pula, aku tak ingin
mengganggu kegembiraan penduduk.
Aku akan senang, kalau kau
menceritakan tentang kejadian delapan belas tahun lalu itu..." Ki Manik
Angkeran mengangguk-angguk, kagum pada kerendahan hati pendekar muda di
hadapannya.
"Baiklah kalau
begitu," desah orang tua itu, lalu duduk kembali di kursinya.
"Delapan belas tahun lalu...." Baru saja Ki Manik Angkeran memulai
ceritanya, tiba-tiba....
"Aaa..." Terdengar
pekikan panjang seperti hendak merobek gendang telinga. Asalnya dari keramaian
di tengah alun-alun.
Tentu saja jeritan itu
mengejutkan Pendeekar Slebor dan Ki Manik Angkeran. Maka keduanya saling
pandang sesaat, seakan tak yakin dengan pendengaran masing-masing.
"Aaakh..." Kembali
terdengar pekikan lebih menyayat.
Kali ini, Andika tak menunggu
lebih lama. Seketika tubuhnya digenjot secepat mungkin, lalu melesat ke arah jeritan
bagai anak panah lepas dari busur. Begitu pula Ki Manik Angkeran. Dengan ringan, sesepuh desa
itu berlari di belakang Andika. Sebagai seorang yang dipercaya penduduk, sudah
tentu Ki Manik Angkeran memiliki kepandaian yang dapat diandalkan.
Namun sebelum benar-benar
sampai di tempat kejadian....
"Manik Angkeran Kalau kau
tak segera keluar, akan kubunuh satu demi satu wargamu" Terdengar teriakan
amarah dari seseorang, sehingga membuat Ki Manik Angkeran terkejut. Tapi, hal
itu tidak membuatnya berhenti berlari. Disadari sepenuhnya kalau tanggung jawabnya
selaku seorang sesepuh Desa Wadaswetan akan diuji. Hal itu bisa dipastikan dari
seruan yang baru saja didengarnya.
Ancaman orang itu tampaknya
bukan main-main. Dua teriakan tadi mungkin sebagai peringatan awal bagi Ki
Manik Angkeran. Dia yakin, dua nyawa warganya telah terenggut.
Kalau tidak segera tiba di
tempat kejadian, nyawa ketiga mungkin akan segera melayang. Ma-kanya larinya
kian dipercepat. Begitu tiba di tempat kericuhan, Andika dan Ki Manik Angkeran
me lihat seorang wanita berpakaian hitamhitam sedang berdiri angkuh di tengah
alun-alun. Sementara, dua mayat warga desa tergeletak tepat di sisi kakinya.
Dan Andika mengenalnya sebagai Ratu Racun yang sempat bentrok dengannya
beberapa waktu lalu.
Sementara warga desa yang
semula berkumpul gembira di alun-alun kini telah pergi dalam keadaan
kalang-kabut. Meski begitu, masih banyak juga yang bernyali cukup besar. Mereka
berkerumun di sekitar pinggiran alun-alun untuk menyaksikan kejadian
selanjutnya.
"Ada apa ini?" seru
Ki Manik Angkeran lantang.
Sekitar lima belas tombak dari
Ratu Racun, Ki Manik Angkeran berdiri gagah. Sementara, Andika tidak terlihat
di dekatnya. Ke mana dia? Di lain
sudut, Kepala Desa Wadaswetan yang baru pun telah tiba pula. Namanya, Anom
Wijaya. Perawakannya agak gemuk dan pendek. Usianya sekitar empat puluh delapan
tahun Matanya besar, berhidung mancung, dan bibirnya dihiasi kumis tipis.
Seperti juga K i Manik Angkeran, rambutnya ditutupi blangkon lurik. Pakaiannya
pun kembang-kembang yang dipadu kain lurik sebatas betis.
Segera saja Ki Anom Wijaya
menghampiri Ki Manik Angkeran.
"Ada apa, Ki Manik?"
tanya kepala desa yang baru ini.
"Aku pun baru saja
menanyakan hal itu padanya. Tapi, tampaknya dia belum mau menjawab
pertanyaanku," jawab Ki Manik Angkeran seraya menoleh sesaat pada kepala
desa ini.
Setelah itu mata laki-laki tua
ini kembali tertuju pada wanita berpakaian hitam-hitam serta bercadar merah
tembus panjang.
"Apa kepentinganmu
sebenarnya, sehingga begitu tega membunuh warga kami, Nisanak?" tanya Ki
Anom Wijaya dengan suara dibuat seramah mungkin. Padahal dalam dada amarahnya
demikian meletup-letup.
"Kau tak ada urusan
denganku, Kisanak" sahut Ratu Racun sinis. "Aku hanya ingin berurusan
dengan Ki Manik Angkeran...." Ki Anom Wijaya menoleh pada Ki Manik
Angkeran, seperti ingin meminta pertimbangan sesepuh desa itu.
"Apa keperluanmu
denganku, Nisanak?" tanya Ki Manik Angkeran.
"Tidak banyak.... Aku
hanya ingin membunuhmu" Ki Anom Wijaya cukup terkesiap mendengar jawaban lancang
wanita yang mengacau desanya itu. Tapi lain lagi bagi Ki Manik Angkeran. Seraya melangkah lebih
dekat pada Ratu Racun, dia terus menatap penuh ketenangan.
"Kenapa kau hendak
membunuhku? Apa aku pernah berbuat salah padamu?" tanya Ki Manik Angkeran.
"Tak perlu menanyakan
kesalahanmu, Manik Angkeran.
Coba diingat-ingat lagi. Maka,
kau akan tahu kalau kau punya sangkutan dengan seseorang...," sahut Ratu
Racun.
Ki Manik Angkeran
mengernyitkan dahi. Sama sekali tak dipahami maksud wanita di depannya.
"Apa kau bisa lebih jelas
menerangkan padaku?" ungkit sesepuh desa ini, meminta kejelasan.
"Tak perlu Yang pasti,
kau harus menyerahkan nyawamu padaku malam ini juga" Tanpa perlu berucap
lebih banyak lagi, Ratu Racun tiba-tiba melabrak Ki Manik Angkeran yang berdiri
sepuluh tombak di depannya.
"Hiaaa..." Tampaknya
pertempuran tak bisa dihindari lagi....
-0o0oa-zo0o0
Tak ada seorang pun yang ingin
mati cepat-cepat. Apalagi sampai terkena pukulan beracun milik Ratu Racun.
Seperti juga Ki Manik Angkeran. Melihat serangan ganas wanita itu, Ki Manik Angkeran
dengan sigap segera memasang pertahanannya.
Ketika telapak Ratu Racun
hendak menghantam dada, lelaki tua itu segera berkelit cepat ke samping kiri
seraya melakukan serangan balasan. Tangan kirinya cepat menebas ke leher Ratu
Racun dengan tak kalah cepat.
"Hih" Wut Tebasan tangan Ki Manik Angkeran luput,
ketika Ratu Racun cepat merundukkan tubuhnya. Memang tak ada yang mudah untuk
menjatuhkan tokoh setingkat Ratu Racun.
Apalagi, jika melihat
korban-korbannya yang rata-rata mati dalam keadaan mengerikan.
Serangan susulan Ratu Racun
mengarah pada kaki kanan Ki Manik Angkeran yang menjejak dalama keadaan mantap.
Disapunya kaki orang tua itu
dengan kaki kanannya.
Namun, Ki Manik Angkeran sudah
menduga datangnya serangan. Apalagi memang disadari kalau kaki kanannya adalah
kunci pertahanan dirinya. Maka dengan tangkas pertahanannya dipindahkan ke kaki
kiri. Sedangkan kaki kanannya segera diangkat tinggi-tinggi.
"Hap" Wesss Pasir
alun-alun seketika bertebaran tersapu kaki kiri Ratu Racun setelah luput
menyapu kaki lawan Sementara, Ki Manik Angkeran kembali memindahkan
pertahanannya ke kaki yang lain. Namun di saat itu, Ratu Racun mencoba kembali mencecar
tubuh sebelah kiri orang tua yang belum benarbenar siap itu.
Bet Bet Bet Tiga pukulan
berantai mengarah pada leher, dada, dan kening Ki Manik Angkeran. Untunglah
sesepuh desa itu memiliki pengalaman bertarung cukup matang. Sehingga, cecaran
seperti itu tidak membuatnya menjadi kelimpungan.
Maka dengan satu gerakan
mantap, Ki Manik Angkeran bersalto ke belakang. Sengaja tubuhnya dilempar agar
seluruh serangan lawan dapat kandas dalam satu gerakan menghindar.
"Hiaaa..." Ternyata, perhitungannya tepat. Seketika tiga
pukulan berantai lawan sanggup dimentahkan sekaligus.
Tep Kini Ki Manik Angkeran
mendaratkan kakinya mantap di tanah dengan napas memburu, tujuh tombak di depan
Ratu Racun. Matanya mengawasi perempuan itu dengan sinar penuh kesiagaan.
"Ternyata kau cukup punya
simpanan, Angkeran. Tak percuma kau dipercaya menjadi sesepuh desa ini. Tapi sayang,
tenaga tuamu tak akan mengizinkan kau bertarung lebih dari lima puluh jurus.
Cepat atau lambat, kau akan mati di tanganku...," ujar Ratu Racun disertai
ancaman.
"Benar katanya, Ki Manik.
Kau memang sudah cukup tua untuk bermain-main dengan wanita nakal ini Kenapa
tak diserahkan saja pada orang yang lebih muda...?" ujar seseorang di
belakang Ratu Racun tenang.
Rupanya tahu-tahu Andika sudah
berada di arena pertarungan tanpa diketahui Ratu Racun. Bahkan oleh Ki Manik
Angkeran yang menghadap ke arahnya.
Tanpa menoleh, Ratu Racun
menggeram angkuh.
"Sebutkan namamu agar aku
bisa menguburmu bersama si tua jompo dengan satu batu nisan." Namun tak
ada jaban yang terdengar. Bahkan desah napas orang di belakangnya pun tak lagi
tertangkap telinga Ratu Racun. Tiba-tiba saja wanita itu merasa telah diperma
inkan.
Dengan satu gerakan cepat,
tubuhnya berbalik.
"Bangsat Apa kau pikir
kau...." Bentakan Ratu Racun terputus ketika matanya tidak menemukan orang
yang meledeknya di belakang barusan.
Matanya bergerak liar ke sana
kemari di balik cadar, mencari orang yang dimaksud. "Aku di sini, Mbok Mau menyuruhku beli
terasi?" kata Andika sembarangan. Kini, pemuda itu telah berdiri tepat di sisi
Ki Manik Angkeran.
Ratu Racun berbalik kembali dengan
kemarahan memuncak.
"Bedebah kau" bentak
wanita itu sambil berbalik "Aha Dia lagi..." ledek Andika, saat
matanya bertatapan dengan mata Ratu Racun yang terlihat samar di balik cadar merahnya.
Kalau tak bersembunyi di balik
cadar itu, mungkin Andika dan Ki Manik Angkeran akan segera melihat bias
keterkejutan pada wajah wanita itu. Bagaimana tidak terperanjat? Selama hari-hari
belakangan ini, Ratu Racun begitu bangga pada kesaktian dirinya yang telah
mampu membunuh Pendekar Slebor yang kesohor dengan racun andalannya. Dan dia
yakin sekali akan kesaktiannya.
Tapi, hari ini kenyataan
mengatakan lain. Ternyata pendekar yang selalu menyebalkan bagi tokoh aliran
sesat itu masih bisa tersenyum seperti cengiran kuda sableng "Tak usah
terkejut.... Kalau orang sepertiku mati cepatcepat, siapa nanti yang akan
membuat hidung manusia sepertimu kembang-kempis karena jengkel. He he
he..." cerocos Andika kembali.
"Kali ini kau akan mati
sungguh-sungguh" hardik Ratu Racun jengkel.
"Memangnya ada mati
bohongan? Ih Seperti di lakon sandiwara saja...," tambah Andika, makin
membuat lawannya melotot geram.
"Bangsaaat..."
bentak Ratu Racun di batas kegusarannya.
"Ada di kasuuur...,"
timpal Pendekar Slebor, semakin konyol. "Hiaaat"
Ratu Racun tak bisa menahan kemurkaannya lagi. Maka satu hentakan berisi tenaga
dalam membawa tubuhnya meluncur deras ke arah Andika yang masih berdiri santai dengan
bibir mengulum senyum.
"Ki Manik, silakan
menyingkir," ujar pemuda itu tenang pada Ki Manik Angkeran seraya
membungkuk. Padahal, jarak antara dirinya dengan Ratu Racun nyaris habis.
Tapi, justru itulah akal
Pendekar Slebor. Dengan menundukkan kepala seperti itu, berarti sekaligus
menghindari cengkeraman jari beracun lawan yang mengarah ke kepalanya.
Wut Cakaran jari Ratu Racun
hanya membabat angin.
"Waduh Untung aku sedang
merunduk," ocah Andika kebodoh-bodohan.
Sepasang tangan Pendekar
Slebor lalu terangkat ke arah dada Ratu Racun. Serangan balasan seperti itu
terlihat kurang ajar di mata siapa pun. Apalagi, bagi lawannya.
Dengan mata mendelik gusar,
Ratu Racun menghindar cepat ke belakang. Tapi tak dinyana sama sekali, serangan
Pendekar Slebor ternyata hanya ledekan saja. Tangan anak muda itu ternyata
hanya terangkat tanpa maksud menjamahnya.
"Wah Tertipu, nih?" Ratu
Racun semakin marah tak terbendung. Diterjangnya kembali Andika dengan kaki
kanannya yang ganas menyapu kepala.
"Haiiit..." Deb Dalam keadaan masih merunduk, sulit bagi
Andika mengelakkan serangan. Maka itu tak ada pilihan lain baginya, kecuali
menjatuhkan tubuh ke tanah. Pendekar Slebor langsung melakukan putaran ke
depan, maka tendangan ganas Ratu Racun pun kandas.
Kali ini Pendekar Slebor tak
main-ma in lagi dalam melancarkan serangan balik. Dengan jurus 'Petir Selaksa',
serangannya diawali dengan satu terjangan sepasang tangannya ke perut Ratu
Racun yang memiliki pertahanan paling lemah.
"Haaat" Ratu Racun
tentu saja tak membiarkan perutnya jadi sasaran. Sengaja dicobanya untuk
memapak tangan Andika.
Karena pertemuan tangannya
dengan tangan Pendekar Slebor, racun yang terpusat di seluruh lengannya secara langsung
akan merasuk ke dalam tubuh lawan.
Pendekar Slebor yang pernah
bertemu Ratu Racun, tentunya tak mau mengulangi kesalahannya. Segera disadari kalau
perempuan itu akan mengadu tangan. Maka secepatnya Andika menarik kembali
terjangan-nya.
"Hup" Pendekar
Slebor cepat menarik pulang tangannya ke depan dada. Lalu secepat kilat kedua
tangannya dihempaskan ke depan, bagai seorang yang hendak menyergap kilatan
petir.
Kali ini, leher Ratu Racun
yang terancam oleh sepuluh jemari Pendekar Slebor yang merentang tegang hendak menembus
leher jenjangnya. Meski sempat terkesiap, Ratu Racun masih dapat mengegoskan
tubuhnya ke kanan sepenuh tenaga. Meski begitu, satu jari Andika menggores
kulit lehernya.
"Aih" pekik Ratu
Racun merasakan pedih yang tak terkira. Sambil
mendekap lehernya, Ratu Racun cepat melenting ke belakang beberapa putaran.
Keadaannya yang tidak menguntungkan
memaksanya melakukan tindakan itu.
Pendekar Slebor tak ingin
membiarkan Ratu Racun menarik napas lega. Diburunya kembali perempuan itu
dengan jurusnya yang terlihat ganjil. Untuk serangan kali ini, kepalanya
menyeruduk liar ke perut Ratu Racun. Jurus-jurus yang diciptakannya selama di
Lembah Kutukan memang terbentuk dari gerakan untuk menghindari sambaran petir.
Sehingga kalau dilihat,
jurus-jurusnya hanya berupa gerakan ngawur tak teratur. Namun bagi tokoh kelas
atas seperti Ratu Racun sendiri, jurus Pendekar Slebor tergolong sulit dihadapi.
Di samping aneh, jurusnya juga
seringkah mengecohkan. Bila Ratu Racun mengira serangan akan tertuju pada satu
bagian tubuh, maka yang akan dihajar justru bagian lain. Keganjilan itulah yang
membuat gerakan pendekar muda ini sulit diterka.
Seperti juga saat ini. Tatkala
Ratu Racun hendak meremukkan kepala Pendekar Slebor yang meluncur deras ke perutnya,
namun pendekar muda itu tiba-tiba malah berguling di tanah. Saat berputar, sepasang kaki
Pendekar Slebor langsung merangsek kedua perut perempuan itu.
Duk Duk "Egh" Ratu
Racun menjerit tertahan ketika sepasang tumit kaki Pendekar Slebor mendera
telak bahunya. Tak ayal lagi, tubuh perempuan itu terhempas ke belakang, lalu
berguling-guling di atas tanah beberapa kali.
Sementara, Andika cepat
bangkit berdiri.
"Hey, Perawan Tolol Apa
kau tak pernah berguling-guling di tanah sewaktu kecil dulu?" ledek Andika
enteng.
Godokan selama di Lembah
Kutukan membuat napasnya biasa-biasa saja.
Kalau melihat begitu keras penyempurnaannya
yang dijalani di tempat mengerikan itu, mungkin pendekar muda ini bisa
bertempur sehari semalam tanpa henti Diiringi erangan, Ratu Racun bangkit
terhuyung-huyung.
"Bedebah kau, Pemuda
Sialan" maki perempuan itu.
"Biar...," sahut
Pendekar Slebor enteng.
"Kau pikir dirimu telah
menang?" "Biar...." "Sontoloyo Kali ini kau akan merasakan
kembali Racun Bara Neraka milikku" "Biar...," sahut Andika
kembali, seakan tak ada kata lain untuk menanggapi omelan dongkol Ratu Racun.
Seketika Ratu Racun mulai
menengadahkan tangannya ke atas dalam rentangan lebar. Sepuluh jemari yang
terbuka, menegang bersama getaran hebat. Ucapannya tampak bukan ancaman kosong.
Dia benar-benar akan mengeluarkan ajian beracun
dari Negeri Tibet yang dimilikinya. Tak ada lima kerdipan mata, telapak
tangannya mulai berpijar merah.
Seakan, bara api telah
menelusup ke sepasang telapaknya itu.
Menyadari lawan telah
mengerahkan jurus ampuh yang pernah membuatnya sengsara, Andika mau tidak mau
harus bertindak hati-hati. Segera seluruh pikiran serta panca inderanya
dipusatkan ke satu titik dalam benak. T enaga sakti warisan Pendekar Lembah
Kutukan ini akan dipusatkan pada kedua telapak tangannya.
Wesss Saat Andika memejamkan
mata, Ratu Racun secara licik melepas pukulan jarak jauh berisi Racun Bara
Neraka. Maka seketika segumpal s inar merah membara membersit di malam gelap,
menerangi kancah pertempuran bagai bola lampu raksasa.
Ki Manik Angkeran, Ki Anom
Wijaya serta beberapa penduduk yang bernyali cukup besar hingga tak
meninggalkan alun-alun, menjadi terperanjat menyaksikan Pendekar Slebor akan
segera dilabrak gumpalan sinar maut yang menderu cepat ke arahnya.
Sebelum sinar itu benar-benar
sampai, tiba-tiba Andika menghempas tangan dan napasnya berbareng. Sepasang telapaknya
yang menghadap ke depan, saat itu pula melontarkan tenaga berkekuatan lima
puluh ekor gajah jantan Wusss Blarrr Bagai menimpa benda lentur, pukulan jarak
jauh lawan yang berisi racun mendadak berbalik arah, ketika bertumbukan di
udara dengan tenaga dorongan Pendekar Konyol. Sinar merah bara itu meluncur
balik berlawanan dari sebelumnya. Bahkan mengarah ke tuannya sendiri. "Sinting" maki Ratu Racun kelabakan.
Biarpun pukulan itu miliknya
sendiri, namun Ratu Racun sama sekali tak mau menerimanya. Racun Bara Neraka
adalah racun dari segala racun. Keganasannya sudah tidak disangsikan lagi.
Pemiliknya sendiri pun bisa mati terbunuh, bila terkena.
Ratu Racun melenting serabutan
ke udara, menghindari hantaman pukulannya sendiri. Tak diperhatikannya lagi Pendekar
Slebor yang pada saat bersamaan turut melenting ke udara. Lalu....
Wusss...
Pukulan kedua dilepas Pendekar
Slebor. Sasarannya tentu saja tubuh Ratu Racun yang masih mengambang di udara.
"Aaa..." Ratu Racun
memekik ngeri, saat menyadari pukulan lawan mengarah ke tubuhnya. Sedangkan dia
sendiri sudah tidak bisa menghindar dalam keadaan melayang di udara seperti ini.
Desss "Aaakh..." Satu
hantaman dahsyat, tiba di bahu kiri Ratu Racun Akibatnya perempuan itu melolong
tinggi, menembus cakrawala malam yang senyap. Kemudian tubuhnya menukik tajam
ke bumi, dengan kepala di bawah. Batu-batu cadas menonjol yang berserakan di
sekitar alun-alun, tentu akan meremukkan kepala wanita itu beberapa saat lagi.
Namun....
Tep Dengan gesit, Ratu Racun
memutar tubuhnya. Dan tanpa menemui kesulitan berarti, kakinya menjejak ringan
di tanah. Tak ada
satu tarikan napas, wanita bercadar merah itu cepat melarikan diri dalam
lesatan yang cepat.
Bisa saja Andika memburunya.
Tapi pendekar muda itu berpikir lain. Rasanya memang berbahaya kalau
pertarungan dengan tokoh sakti aliran hitam itu diteruskan. Masalahnya, setiap
saat bisa saja ada pukulan jarak jauh yang tersasar.
"Kisanak Kenapa tidak
dikejar?" tanya Ki Anom Wijaya setengah berseru. Hatinya tidak puas kalau
tidak menangkap hidup-hidup bajingan yang telah membunuh warganya.
"Lain kali aku berjanji
akan menghabisinya, sebagai pembayaran atas dua nyawa penduduk desa ini,
Ki," jawab Andika dengan mata menatap lurus pada arah menghilangnya lawan.
"Lain kali?" sergah
Ki Anom Wijaya. Laki-laki itu memang belum tahu, siapa Andika sesungguhnya.
Yang diketahuinya, anak muda itu telah bertarung dengan orang keparat yang membunuh
dua warganya.
"Ki Anom...,"
panggil Ki Manik Angkeran berwibawa.
Pengaruh sesepuh desa itu
tampaknya begitu dihargai Ki Anom Wijaya. Kepalanya menoleh pada Ki Manik
Angkeran dengan tatapan hormat, mesti jabatannya boleh dibilang lebih tinggi
dari K i Manik Angkeran.
"Ada baiknya kalau aku
perkenalkan pendekar muda ini padamu," lanjut Ki Manik Angkeran lembut.
"Dia adalah pendekar yang membela orang-orang tertindas. Dia juga salah seorang
keturunan pendekar besar yang menjadi cerita rakyat, Pendekar Lembah Kutukan.
Dialah Pendekar Slebor” Ki Anom Wijaya kontan terpana. Mulutnya terbuka tanpa sadar.
Tak ada yang bisa diucapkannya saat itu. Bahkan tak terdengar kata maaf, karena
bersikap agak tidak sopan pada Andika.
Namun Andika hanya membalasnya
dengan senyum ringan.
-0o0oa-zo0o0
7
Bukit Batujajar berbatasan
dengan bagian selatan Desa Wadaswetan. Letaknya yang berada di sekitar
pegunungan kapur, menyebabkan daerah itu begitu tandus. Kering kerontang
seperti sudah akrab bagi bukit ini. Dan kerap kali angin kencang bertiup, debu
kapur langsung bertebaran menjelajah permukaan Bukit Batujajar.
Apalagi, di s iang hari yang
sangat terik ini. Rasanya tak ada orang yang mau menyinggahi Bukit Batujajar,
kecuali orang bodoh. Tapi, rupanya ada juga beberapa orang yang terlihat di sana
Mereka bukan orang bodoh, tapi justru beberapa pendekar yang sedang terlibat
pertarungan seru dengan seorang wanita berpakaian serba hitam.
"Hiaaa..." Cletar Bet
Hingar bingar pertarungan membahana dari bukit tandus ini. Tak dapat
dipastikan, sudah berapa jurus telah dikerahkan untuk menjatuhkan lawan
masing-masing. Yang pasti, pertarungan telah berlangsung ketika matahari sudah menusuk
tepat di ubun-ubun. Sedangkan kini matahari sudah tersuruk sepenggalan.
Para pengeroyok wanita
berpakaian serba hitam terdiri dari tiga orang lelaki. Ketiganya sama-sama
gagah dan tampan.
Yang seorang adalah laki-laki
muda berusia tiga puluhan.
Kumisnya lebat dengan rambut
panjang terikat kain bercorak batik. Matanya tajam dihiasi alis mata yang
tebal. Dagunya ditumbuhi brewok, halus kebiru-biruan. Dia bernama Bayu. Seorang lainnya juga pendekar muda. Usianya
setahun lebih muda daripada Bayu. Sama seperti Bayu, laki-laki yang bernama
Soka pun memelihara kumis lebat. Bedanya, dia berambut pendek yang tertata rapi
tanpa ikat kepala.
Sementara orang yang terakhir
berpenampilan menawan.
Rambutnya ikal sebatas bawah
telinga. Wajahnya klimis dan terlihat bersih. Rahangnya yang berben-tuk agak
persegi, memperlihatkan kejantanannya. Dan dia sering dipanggil Sena.
Mereka bertiga berpakaian
sama. Dari s ini bisa dinilai kalau mereka berasal dari perguruan silat yang
sama. Dengan baju putih berlapis rompi kulit berwarna coklat, yang dipadu ce
lana berwarna hitam sepanjang lutut, mereka tampak kelihatan gagah.
Dalam rimba persilatan, mereka
lebih dikenal dengan julukan Tri Cemeti Puspa. Memang, cemeti bergagang dengan bentuk
bunga itu yang membuat mereka dijuluki demikian.
"Menyerahlah, Ratu Racun
Perbuatanmu di desa kami harus dibayar dengan nyawamu. Rakyat desa meminta kami
untuk membawamu, agar kau dapat diadili karena telah membunuh sepuluh warga
desa" seru Bayu setelah mengambil jarak sekitar sepuluh tombak dari lawan.
"Kalian hanya
mengada-ada, Kisanak Bagaimana aku bisa menuruti kemauan kalian, kalau
mendengarnya saja baru kali ini...," jawab wanita yang dipanggil Ratu
Racun oleh Bayu.
"Nisanak Jangan bersilat
lidah di depan kami Kami minta, Nisanak sudi ikut dengan niat untuk membayar
perbuatanmu" timpal Sena.
Namun, wanita itu malah
tertawa.
"Apa kalian hanya
bersandiwara untuk memperdayaiku? Kalian ingin merampas kehormatanku di tempat
yang diingini.
Bukan begitu?" "Wanita sundal Apa kau pikir kami ini
lelaki kotor seperti dugaanmu?" bentak Soka, tersinggung.
"Kang Kenapa kita harus
bertele-tele pada wanita busuk ini? Ringkus saja dia, hidup atau mati" Dan
tanpa menunggu persetujuan Bayu yang merupakan kakak seperguruannya, Soka
melabrak Ratu Racun.
"Hiaaat..." Cemeti
di tangan Soka terayun-ayun di udara. Putarannya memperdengarkan bunyi yang
membuat ngilu perasaan.
Wut Wut Wut Soka kian dekat
pada lawan. Cemeti maut di tangannya siap mencabik. Tapi....
"Tunggu" Tiba-tiba
terdengar teriakan seseorang menahannya.
Soka menoleh cepat. Begitu
pula Bayu dan Sena. Mereka ingin mengetahui orang yang hendak ikut campur
urusan ini.
Mata ketiganya pun menangkap
sosok pemuda berpakaian serba hijau dengan kain bercorak kotak-kotak hitam dan
putih tersampir di pundaknya. Rambut pemuda itu sebatas bahu tak teratur. Raut
wajahnya tampan dengan mata tajam berhias alis yang menukik bagai kepakan sayap
elang perkasa. Hidung pemuda tampan itu mancung dengan bibir tipis menawan.
Garis wajahnya yang gagah
sesuai sekali dengan kekekaran tubuhnya. Dia tak lain Andika, si Pendekar
Slebor Urusan Pendekar Slebor di Desa Wadaswetan memang telah selesai. Dia
telah mendengar seluruh kisah tentang peristiwa perampokan yang terjadi delapan
belas tahun lalu.
Menurut Ki Manik Angkeran, ada
keluarga pendekar yang terbantai ketika peristiwa itu terjadi. Suami istri
pendekar itu mati terbunuh dengan keadaan menyedihkan. Sedangkan dua anaknya
hilang tak tentu rimbanya. Anaknya yang perempuan berumur sekitar tujuh tahun. Sementara yang
laki-laki, masih berupa bayi berusia sekitar tiga bulan.
Seperti dugaan Andika,
perampokan itu memang dilakukan Kranggaek dan kawanannya. Dan dugaannya semakin
dekat pada kebenaran ketika mendengar tentang anak perempuan keluarga pendekar
yang dibunuh kawanan itu. Dugaan Andika, ini pasti masalah dendam kesumat Sayang,
Andika lupa menanyakan nama keluarga pendekar itu. Saat teringat hal itulah,
pemuda ini segera kembali ke Desa Wadaswetan melalui Bukit Batujajar yang bisa
menjadi jalan singkat. Dan tanpa disangka-sangka, dia melihat pertarungan
keempat orang itu.
"Ada perlu apa, Kisanak?
Kenapa kau ingin mencampuri urusan kami?" tanya Bayu, sopan.
"Aku sempat mendengar
kalian menyebut-nyebut tentang Ratu Racun Apa kalian berurusan dengannya?"
kata Andika.
"Ya, memang benar. Kami
ada urusan dengan Ratu Racun, kini wanita itu ada di sini. Apa Kisanak punya
sangkutan pula dengan dia? Kalau begitu, Kisanak datang pada saat yang tepat...,"
tutur Sena, lelaki termuda dari T ri Cemeti Puspa.
"Oh Tunggu..., tunggu
dulu. Jangan tergesa-gesa begitu, Kisanak," sergah Andika seraya melepas
senyum bersahabat.
"Aku memang ada sangkutan
dengan wanita yang kau sebutkan barusan. Tapi kurasa, aku tidak berurusan
dengan wanita berpakaian serba hitam ini...." Seketika ketiga lelaki itu
bersama-sama menyipit-kan mata "Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Bayu,
mengungkapkan ketidakmengertiannya.
"Ratu Racun memang
berpakaian serba hitam seperti juga wanita ini...," kata Andika kembali.
Tapi....
"Aku memang Ratu
Racun...," potong wanita itu. Sekarang
giliran Andika yang menyipitkan mata. Digarukgaruknya kepala meski tidak gatal.
"Apa ada yang salah,
ya?" bisik pemuda itu membatin.
Memang, Pendekar Slebor
sendiri sudah begitu yakin kalau wanita itu bukan Ratu Racun yang pernah
bertempur dengannya. Ratu Racun yang dikenal Andika berpakaian serba hitam, dan
mengenakan cadar merah darah. Sedangkan wanita ini, biarpun mengenakan pakaian
yang sama tapi tidak bercadar. Apa mungkin Ratu Racun telah melepas cadarnya? Tapi
kenapa tidak terkejut saat bertemu Andika yang jelasjelas dikenalnya sebagai
Pendekar Slebor? Padahal Pendekar Slebor adalah musuh yang menghalangi
tindak-tanduk-nya beberapa waktu lalu.
"Nah Kau dengar sendiri,
Kisanak. Dia telah mengakui sendiri kalau dirinya adalah Ratu Racun,"
sambar Soka dalam geletar kemarahan yang belum tuntas. "Sekarang, kita
tunggu apa lagi?" "Tapi, tunggu..." tahan Andika kembali.
Pendekar Slebor lalu
melangkahkan kakinya lebih dekat pada wanita berbaju serba hitam itu.
Ditatapnya lamat-lamat wanita berwajah ayu itu. Dari raut wajahnya, wanita itu
tidak mencerminkan seorang berhati iblis. Lalu, kenapa mengakuaku sebagai Ratu
Racun? Pembunuh keji itu memang sulit dimengerti sepak terjangnya. Karena di
samping membunuh tokoh-tokoh sesat, dia juga membunuh orang-orang tak berdosa
Apa maunya orang ini dengan mengaku-aku sebagai Ratu Racun? Kenapa persoalan
ini jadi dem ikian pelik? "Apa kesalahan yang kau perbuat terhadap mereka,
Nisanak?" tanya Andika sopan.
Wanita itu menatap Andika
sejenak. Saat itu, sinar yang sulit dijelaskan, terbias dari sepasang bola
matanya yang menawan Ya Sulit dijabarkan. Seakan sebuah bayang kabur yang
begitu jauh di balik kebeningan tatapannya. "Kau tanyakanlah sendiri pada
mereka," jawab wanita itu akhirnya.
"Bagaimana,
Kisanak?" lempar Andika, setelah tersadar dari keterpanaan terhadap
tatapan wanita di hadapannya.
"Apakah perlu kami
ceritakan kesalahan yang dibuatnya?" ujar Soka, mulai tak sabar.
"Aku rasa memang begitu.
Sebab, kita harus menyelesaikan masalah ini secara jernih," tutur Andika
tenang.
"Baik..., baik. Akan
kujelaskan," selak Bayu, lelaki tertua dari ketiga orang itu.
Berbeda dengan Soka yang
memiliki watak keras, Bayu memiliki ketenangan yang dalam. Pantas saja kalau penampilannya
mencerminkan kewibawaan.
"Wanita ini telah
melakukan pembunuhan atas sepuluh orang warga desa kami beberapa pekan lalu.
Kami lalu mencarinya, dan bertemu di tempat ini. Mulanya kami meminta agar dia
bersedia ikut secara baik-baik. Tapi, dia menolak. Maka terpaksa kami melakukan
kekerasan, seperti yang Kisanak lihat," lanjut Bayu.
"Benar begitu,
Nisanak?" Andika mengalihkan pertanyaan pada wanita yang mengaku Ratu
Racun.
"Hm....Aku memang Ratu
Racun. Tapi sungguh mati, aku tak melakukan perbuatan apa-apa seperti cerita
mereka barusan," sahut wanita itu datar.
"Nah, kini masalahnya
jelas, bukan? Kalian mungkin hanya salah paham...," ujar Andika.
"Bagaimana bisa salah
paham, kalau pembunuh warga desa kami mengaku bernama Ratu Racun" sergah
Soka, membentak. "Bagaimana
aku bisa mengakui perbuatan keji itu kalau aku tidak pernah melakukannya?"
timpal wanita berpakaian serba hitam itu, tak kalah gusar dengan nada membentak.
Soka mulai dibakar amarahnya
kembali. Kakinya maju setindak untuk menghajar Ratu Racun Untung Andika segera mencegahnya.
"Ah Sabar, Kisanak....
Sabar...," bujuk Andika sambil mengangkat kedua tangan. "Aku merasa
ada sesuatu yang ganjil dalam masalah ini." Telah dua kali Andika berkata
seperti itu. Pertama, diucapkan pada Ki Patigani. Dan kini, pada tiga pendekar
Tri Cemeti Puspa. Namun sampai saat ini, Andika sendiri belum mendapat jawaban
pasti tentang keganjilan yang dimaksud.
"Sebelum melanjutkan
ucapanmu, sudilah kiranya kau memberitahukan kami, siapa Kisanak
sesungguhnya?" tanya Bayu di sela ucapan Andika.
"Aku hanya seorang
pengembara yang ingin berbuat baik bagi orang-orang lemah dengan kemampuanku
yang tidak seberapa," jawab Andika, merendahkan diri. "Begini saja.
Kita akan membereskan masalah ini dengan satu kepastian Hilangkan kecurigaan,
lalu kita mencari bukti-bukti nyata yang bisa memberatkan wanita ini, atau
malah membebaskannya.
Untuk itu, pikiran harus tetap
jernih dan hati harus tetap dingin. Bagaimana? Bukankah kita ini
pendekar-pendekar terhormat yang menjunjung harga diri masing-masing?" Bayu
yang cukup bijaksana langsung mengangguki usul Andika, meski masih sedikit ragu
dengan Andika sebenarnya.
Sementara, kedua adik
seperguruannya tak bisa membantah ketika Bayu selaku kakak seperguruan
menyetujui.
"Bagaimana denganmu,
Nisanak?" tanya Andika pada wanita di sisi kirinya. Sesaat wanita ayu berhidung bangir serta
bermata bulat menawan itu hanya menatap Andika lekat-lekat. Sedangkan Andika
balas menatap. Kesempurnaan lekuk wajah Ratu Racun tiba-tiba saja menelusup ke
relung hatinya yang terdalam. Dan pemuda itu hanya mendesah dalam hati. Siapa sebenarnya
wanita ini? Rambutnya panjang tergerai, kulitnya yang seputih lapisan salju,
sinar matanya yang bening....
Semua itu seakan pernah ada di
dalam dasar ingatannya. Tapi siapa? "Bagaimana aku bisa mempercayai kalian
kalau kalian bukan orang jahat?" ungkit wanita itu, mengeluarkan rasa curiganya
pada Andika.
Pendekar Slebor membuang
napas. Sulit untuk meyakinkan wanita itu kalau dirinya bukan orang jahat.
Apalagi membuktikan ketiga pemuda yang membawa wanita itu untuk diadili. Di
dunia ini, mana mudah mempercayai seseorang yang baru saja bertemu? Dunia
memang sering kali memunculkan tipu daya yang berselimut kebenaran. Tanpa bukti
nyata, kepalsuan tidak akan terungkap.
"Aku tidak tahu,
bagaimana harus membuktikan kalau aku bukan orang jahat," tutur Andika
menyerah. "Bagaimana dengan kalian bertiga, Kisanak?" "Sulit
membuktikan kata-kataku sekarang ini, kalau aku orang baik-baik," kata
Bayu mewakili adik seperguruannya.
"Ucapan itu pertanda
kalau kalian adalah orang baik-baik," ujar Ratu Racun.
Ucapan itu membuat Andika, Bayu,
dan kedua adik seperguruannya sama-sama mengernyitkan alis tak mengerti.
"Ah Ini hanya berdasarkan
pengalamanku saja. Menurut penilaianku, biasanya orang yang ingin meyakinkan
orang lain dengan kata-katanya bahwa dirinya baik adalah orang jahat.
Begitu pula sebaliknya,"
urai wanita berpakaian serba hitam itu bijak. Mendengar ucapan berkesan falsafah hidup
barusan, Andika tersenyum sabar. Dalam hati, dipujinya wanita itu dalam menilai
seseorang. Biarpun, tak selalu harus begitu.
"Kalau begitu, kita
tunggu apa lagi?" tanya wanita itu bernada mengajak. Sebaris senyum tipis
tampak ketika menyaksikan keempat lelaki di dekatnya masih menatap penuh rasa
penasaran.
-0o0oa-zo0o0
8
Sejak peristiwa di Bukit Batujajar, Andika mengajak
tiga pendekar muda serta wanita yang mengaku sebagai Ratu Racun untuk tinggal
di sebuah penginapan di Desa Teratai.
Sebuah perkampungan yang cukup
ramai, karena terletak di persimpangan jalur perdagangan antar kota kadipaten.
Mereka telah tiga hari berma
lam di penginapan sederhana ini. Selama itu, Soka selalu bertanya dengan wajah
curiga, bagaimana cara Andika membuktikan kalau wanita yang ikut ini bukan Ratu
Racun yang membunuh warga desa tempat tinggal para pendekar Tri Cemeti Puspa.
Mulanya Andika tidak mau
memberitahukan rencananya pada pendekar muda itu. T api karena terus didesak,
akhirnya Andika menyerah.
"Kita tunggu saja
beberapa hari ini. Kalau selama wanita itu berada bersama kita, namun tetap
terjadi pembunuhan oleh Ratu Racun, berarti dia bukan orang yang dimaksud.
Mungkin hanya mengaku-aku saja. Entah dengan maksud apa," urai Andika pada
Soka. Sementara dua saudara seperguruannya menjaga wanita yang mereka curigai. "Bagaimana kalau dia pergi diam-diam,
lalu membuat kerusuhan di desa lain dan kembali ke sini secara diam-diam pula?"
kejar Soka.
"Karena itu kita harus
ketat menjaganya. Dia harus tetap di kamarnya selama beberapa hari ini,"
jawab Andika mantap.
Selama itu pula, Andika tak
habis-habisnya memikirkan keganjilan-keganjilan yang berkaitan dengan sepak
terjang Ratu Racun. Lama Andika berpikir di dalam kamarnya untuk memecahkan
teka-teki yang harus dipecahkannya. Sewaktu Pendekar Slebor mengintai Ratu Racun
bersama Ki Patigeni di Hutan Watuabang, memang ada perbedaan antara dua orang yang
mengaku Ratu Racun ini. Apa perbedaan itu? Dia berusaha mengingat-ingat. Sampai
akhirnya....
"Aku ingat" bisik
Andika setengah terlonjak bicara sendiri.
"Saat itu, aku melihat
senjata berbentuk tongkat yang tersembul di balik baju hitam Ratu Racun yang
kuintai di Hutan Watuabang bersama Ki Patigeni." Beberapa saat Andika
mengangguk-anggukkan kepala perlahan.
"Hm.... Tampaknya ada dua
orang Ratu Racun yang membuat heboh dunia persilatan," gumam Andika.
"Yang pertama tentu wanita dari Desa Wadaswetan. Seorang wanita yang
memiliki dendam kepada Kranggaek dan kawanannya, karena telah membunuh
orang-tuanya delapan belas tahun lalu." Kali ini Andika malah
mengernyitkan kening dalam-dalam.
"Lalu, siapa Ratu Racun
yang kedua? Apa maksudnya melakukan pembantaian terhadap orang-orang tak
berdosa? Lalu, apa pula maksudnya mengenakan cadar? Apa karena ingin tak
dikenali?" Beberapa lama, Andika memeras otak kembali. Seluruh ingatan
yang tersimpan di benak diaduk-aduknya. Sampai akhirnya, dia teringat ucapan Ki Patigeni
kalau salah seorang yang menjadi sasaran dendam Ratu Racun adalah wanita, yaitu
Nyi Rorokweni.
Mendadak Andika terlonjak,
lantas bangkit dari bangku kayu yang didudukinya.
"Jadi kalau begitu,
wanita yang mengaku sebagai Ratu Racun memang benar-benar Ratu Racun"
desis Andika dengan mata setengah membelalak. "Tentu dia yang telah membunuh
Kranggaek, Rawegenggong, dan para anak buahnya. Kini, dia sedang mencari
sisa-sisa kawanan yang telah membunuh orangtuanya. Sementara, ada juga orang yang
mengaku-aku sebagai Ratul Racun, dengan membunuhi orang-orang tak
berdosa...." Untuk memastikan hal itu, Andika segera menggenjot tubuh,
meninggalkan kamar. Tubuhnya melesat cepat ke kamar wanita berpakaian serba
hitam yang sedang dijaga Tri Cemeti Puspa. Dia bermaksud menanyakan kebenaran
semua dugaannya pada wanita yang mengaku sebagai Ratu Racun itu.Sesampainya di
tempat yang dituju, mata Andika jadi menyipit. Tiga pendekar muda yang sedang
menunggu kamar wanita itu ternyata tergolek pingsan. Ketika hidungnya menangkap
bebauan tak sedap, Andika langsung berkesimpulan kalau mereka telah ditebari
semacam racun ringan, sehingga membuat pingsan.
"Sialan" gerutu
Andika. "Bagaimana aku harus mengatakan pada para pendekar ini kalau Ratu
Racun yang hendak dibawa telah pergi...." Pikir punya pikir, Andika memutuskan
untuk pergi saja sebelum ketiganya siuman. Mereka tentu tak akan mau mengerti
mendapati kejadian itu. Bahkan bisa saja mereka menganggap Andika bersekongkol
dengan Ratu Racun.
Tak ada satu tarikan napas,
Andika sudah menghilang di balik jendela penginapan.
-0o0oa-zo0o0
Di suatu tempat yang berjarak sekitar lima
puluh tombak dari penginapan, tampak seseorang sedang berlari cepat dalam
kegelapan malam. Tak jauh di belakangnya, puluhan orang mengejar. Ketika sinar
bulan yang bersinar penuh menerangi, wajah dan pakaian mereka pun terlihat
cukup jelas.
Orang yang berlari di depan
adalah wanita berpakaian serba hitam. Rambutnya panjang terurai sebatas
pinggang.
Sapuan sinar bulan yang lembut
memperlihatkan keayuan wajahnya. Dia adalah Ratu Racun. Sedangkan para pengejarnya
terdiri dari para pendekar yang berpakaian seragam. Pakaian mereka rompi
kuning, berlapisan dalam berwarna merah. Celana mereka berbentuk pangsi warna merah
pula. Dari pakaian itu, rupanya kelima belas orang itu berasal dari perguruan
yang sama. Perguruan Elang Merah Rupanya sejak meninggalkan penginapan, Ratu
Racun sudah dikuntit terus oleh orang-orang Perguruan Elang Merah.
Bagi Ratu Racun yang bernama
asli Mayangsari, kelima belas lelaki itu rasanya tidak pernah memiliki
persoalan dengannya.
Maka yang dipilihnya adalah
melarikan diri. Di samping itu, dia memiliki urusan lain yang lebih penting.
Yakni, mendatangi seseorang yang pernah berhutang nyawa dengannya.
Karangga, seorang rekan
Kranggaek.
Para pendengar dari Perguruan
Elang Merah tentu saja tak sudi membiarkan buruannya pergi begitu saja.
Ada alasan yang membuat mereka
harus menangkap Mayangsari yang berjuluk si Ratu Racun, hidup atau mati.
Sekitar tiga pekan lalu,
seorang wanita berpakaian serba hitam serta berambut panjang seperti
Mayangsari, datang ke perguruan mereka Bedanya, wanita yang mengaku Ratu Racun
itu mengenakan cadar berwarna merah darah. Di perguruan itulah orang yang mengaku Ratu Racun
membantai beberapa murid muda dengan telengas.
Kejar-mengejar terus terjadi,
sampai melewati lerenglereng bukit berliku yang curam, bagai liukan ular liar.
Mereka terus menerabas semak belukar dan kelebatan ilalang.
Di dunia persilatan, kesaktian
Ratu Racun memang mampu menggetarkan setiap orang. Terlebih, kehebatannya dalam
hal racun Namun untuk ilmu lari cepat, Mayangsari tampaknya tidak jauh berbeda
dengan para pendekar dari Perguruan Elang Merah. Terbukti hingga saat itu, dia
belum juga mampu meloloskan diri dari kejaran.
"Berhenti kau, Perempuan
Jahanam" "Berhenti Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu"
Telinga Mayangsari menangkap teriakan-teriakan murka itu. Ditilik dari kekuatan
suaranya, tampaknya para pengejar semakin dekat. Tentu saja hal itu membuatnya
menjadi tegang. Peluh dingin mulai membasahi keningnya yang halus.
Dia sendiri sebenarnya tidak
takut kalau terpaksa harus bertempur. Biar bagaimanapun, hatinya tak perlu
gentar karena merasa tak pernah berbuat salah sedikit pun. Tapi selaku wanita,
perasaannya yang rapuh dan peka tidak bisa dibohongi Tanpa pernah dikehendaki
sama sekali, timbul rasa gentar pula di hatinya.
Dalam kekalutan yang mulai
menggerayangi dirinya, napas wanita itu menjadi tak teratur. Dadanya tera sa
hendak pecah akibat mengerahkan seluruh kemampuan lari cepat. Apalagi, jika
telinganya makin sering dilabrak teriakan murka para pengejar.
"Hei, Keparat Ke mana pun
kau lari, kami tak akan berhenti mengejar" ancam seorang pengejar, penuh kegeraman.
"Ini pasti fitnah yang sengaja dilakukan
seseorang pada diriku," bisik Mayangsari dengan napas memburu.
Untuk beberapa saat dia
berhenti di balik bongkahan batu sebesar kerbau yang bisa untuk menyembunyikan
tubuhnya.
"Tapi, manusia keparat
mana yang ingin memfitnahku?" lanjut wanita itu, bertanya pada diri
sendiri.
Mayangsari menanti tegang di
tempat persembunyiannya.
Untuk menarik napas saja,
rasanya amat sulit baginya. Dia begitu khawatir persembunyiannya akan tercium
para pendekar dari Perguruan Elang Merah yang tentunya berhasrat merencahnya
hidup-hidup.
Tiba-tiba....
Tep "Mmmph..." Jeritan
tertahan terlepas dari mulut Mayangsari. Benarbenar amat tertahan, karena
mulutnya dibekap seseorang.
Menyadari ada seseorang yang
menyergapnya, Mayangsari berusaha berontak. Nalurinya langsung memerintah untuk
mengerahkan tenaga dalam agar sergapan seseorang di belakangnya dapat
dimentahkan.
Sayang, tangan kekar yang kini
mendekap mulut serta merengkuh kuat pinggangnya ternyata memiliki tenaga jauh lebih
besar. Akibatnya, dia hanya bisa merasakan sakit pada bagian tubuh yang dijepit.
Untunglah kedua tangan
Mayangsari luput dari jepitan tangan kekar itu. Dengan begitu, dia masih punya
kesempatan untuk menyikut disertai tenaga dalam penuh. Baru saja niatnya hendak
dilaksanakan, lagi-lagi si penyergap mendahuluinya. Dari mulut Mayangsari,
tangan kekar itu bergerak lincah ke belakang leher melepaskan totokan.
Tuk "Akh..." Mayangsari hanya sempat
memekik kecil, lalu tubuhnya seperti kehilangan seluruh tulang-belulang.
Tubuhnya lunglai tanpa tenaga sama sekali. Yang dapat dilakukannya saat itu hanya
menggerakkan sepasang kelopak matanya dalam kekhawatiran memuncak.
Sesaat kemudian, tubuhnya
terasa dibawa lari dalam kecepatan tinggi Sementara, telinganya sayup-sayup mendengar
siulan orang yang membopongnya yang terdengar aneh, karena iramanya seperti
lagu anak-anak kecil yang biasa dinyanyikan pada malam bulan purnama.
Mayangsari tidak habis pikir
dengan keganjilan tingkah orang yang menyergapnya. Kalau menilai dari cara menyergapnya
tadi, bisa dipastikan orang itu tidak bisa dianggap sembarangan. Bahkan bisa
jadi adalah tokoh kelas atas dunia persilatan. Tapi kalau mendengar siulannya
yang terdengar riang dan lucu, perempuan itu jadi menimbang seribu kali untuk
menyebutnya sebagai tokoh yang disegani.
Tentu saja Mayangsari dibuat
bingung melihat keganjilan tingkah orang yang menyergapnya. Memang, orang itu
tak lain Pendekar Slebor, pendekar muda yang akan sakit gigi kalau tidak
bertingkah sedikit gila.
"Kau jangan ketiduran,
ya. Mentang-mentang keenakan sedang kubopong Bukan apa-apa, aku hanya takut
kalau kau ngompoli aku...." Telinga Mayangsari kembali menangkap
keganjilan.
Ngompol katanya? Orang ini
begal apa pemain ludruk? "Hm.... Aku pernah mendengar suaranya. Di mana,
ya?" tanya perempuan itu dalam hati.
Di tengah padang ilalang yang
tumbuh tinggi, Pendekar Slebor menghentikan larinya untuk bersembunyi dari
kejaran orang-orang Perguruan Elang Merah. Andika hanya ingin menjaga kemungkinan kalau para pengejar
Mayangsari sampai di tempat itu. Meski, sebenarnya mereka telah jauh tertinggal
di belakang sana. Memang tidak mungkin bagi mereka untuk bisa mengejar Pendekar
Slebor yang ilmu lari cepatnya hanya bisa ditandingi beberapa gelintir tokoh persilatan
kelas atas.
"Nah, sekarang kau bisa
sedikit lega," gumam Pendekar Slebor seraya menurunkan tubuh wanita itu
dari bahunya.
Di bawah siraman sinar bulan,
Mayangsari dapat melihat wajah orang yang telah menyergapnya. Ternyata, hanya seorang
pemuda tampan berambut gondrong tak teratur yang berpakaian hijau pupus, dengan
kain bercorak papan catur tersampir di pundaknya. Bibirnya memperlihatkan
senyum yang berkesan ketolol-lololan.
"Kau...," ujar
Mayangsari singkat, setelah mengenali Andika.
"Ya, aku. Kau
terkejut?" tanya Andika santai. Mayangsari menghempas napas. Dadanya yang
sejak tadi terasa ingin pecah karena tegang, mendadak lega. Rasanya dia baru
saja terbebas dari himpitan dua gunung raksasa.
"Kenapa menghentak napas
seperti itu? Lega karena bisa lepas dari kejaran orang-orang yang sudah mata
gelap?" sambung Andika sambil menempatkan tubuh di sisi Mayangsari yang
masih lunglai.
Sementara wanita itu hanya diam
saja, seraya mengucapkan syukur dalam hati.
"Makanya jangan suka
mempermainkan orang. Aku sudah berusaha menolongmu dari hukuman tiga pendekar
yang mungkin masih pingsan di penginapan itu, tapi kau malah melarikan diri
begitu saja," lanjut Andika, seperti tidak peduli dengan keadaan
Mayangsari. "Buat
apa menunggu lebih lama? T oh, aku tidak melakukan kesalahan apa-apa?"
sahut Mayangsari dengan nada jengkel.
"Dan, buat apa pula kau
menunggu lebih lama?" "Aku? Menunggu apa?" tanya Andika tak
mengerti "Bebaskan aku Ada jangkrik yang masuk ke dalam pakaianku"
bentak Mayangsari kalap.
"Oh, maaf. Aku lupa kalau
kau masih tertotok," sesal Andika dengan wajah sungguh-sungguh.
Tapi selanjutnya Andika malah
kelihatan bingung, yang membuat kepala Mayangsari nyaris pecah karena jengkel.
"Di bagian mana jangkrik
kurang ajar itu masuk? Biar aku bantu mengusirnya...," lanjut Pendekar
Slebor.
"Kubilang bebaskan aku
Aku tak perlu pertolonganmu yang lain Apa kau tuli?" hardik Mayangsari
kembali. Matanya membesar akibat kedongkolan yang mencapai ubun-ubun.
"Baik..., baik. Akan
kubebaskan," ujar Andika. Kemudian tangannya bergegas bergerak ke bagian
belakang kepala Mayangsari.
Tuk Satu totokan jari telunjuk
Andika membebaskan wanita berusia sekitar dua puluh lima tahun itu dari
pengaruh totokannya. Setelah merasa otot-ototnya dapat digerakkan kembali,
Mayangsari segera bangkit.
"Kau tak mengucapkan
terima kasih padaku?" usik Andika tatkala melihat wanita ayu itu
menepuk-nepuk pakaiannya yang dikotori ilalang kering, sekaligus mengenyahkan
seekor jangkrik iseng yang masuk ke balik bajunya.
Mayangsari tak menanggapi
ucapan Andika barusan. Malah, kakinya melangkah pergi dengan wajah cemberut. "Mau ke mana kau?" seru Andika.
Pemuda itu segera bangkit menyusul Mayangsari.
"Bukan urusanmu"
jawab Mayangsari, acuh.
"Tapi aku punya urusan
denganmu" sergah Andika.
Sementara Pendekar Slebor
berusaha menjajarkan langkah di sisi Mayangsari yang terus berjalan dengan
langkah terbanting.
"Aku tak peduli,"
jawab Mayangsari kembali, tetap dingin.
"Sungguh? Ini soal
seseorang yang hendak memfitnahmu.
Tentang seorang wanita yang
mengaku-aku sebagai dirimu.
Tentang Nyi
Rorokweni...," tutur Andika lagi Mendadak Mayangsari menghentikan langkah.
"Kau tadi menyebut Nyi
Rorokweni?" tanya wanita itu dengan alis berkerut, tanda perhatiannya
timbul tiba-tiba.
Nama yang baru saja disebutkan
Andika memang amat berkaitan erat dengan dirinya.
"Apa iya begitu?"
tanya Andika, pura-pura.
Timbul kenakalan Pendekar
Slebor sebagai seorang yang pernah besar sebagai gelandangan brengsek kotapraja.
Mayangsari menaikkan pangkal
hidungnya. Hatinya mulai gusar dengan sikap Andika yang terasa terlalu
meremehkan dirinya.
"Kau jangan coba
main-main denganku, ya" rutuk Mayangsari seraya menyipitkan mata.
"Tadi katanya kau tidak
peduli," ucap Andika tenang.
"Sekarang aku
peduli" "Sekarang aku yang tidak peduli He he he..." Mata bulat
Mayangsari berkilat gusar. Dipertemukannya sepasang bola matanya dengan mata
Andika, tepat ke manik maniknya. Pandangannya seakan hendak melalap
bulat-bulat tubuh Andika.
"Sebenarnya kau berdiri
di pihak mana? Aku, atau Nyi Rorokweni?" tanya Mayangsari seperti mendesis.
"Apa maksudmu?" balik
Andika, masih tetap acuh. Satu alis mata hitamnya terangkat tinggi-tinggi.
"Aku curiga, kau justru
kaki tangan Rorokweni si keparat itu. Itu artinya, aku bisa saja melumatmu
dengan racunku sekarang juga...," ancam Mayangsari, tidak main-main.
Andika menggaruk-garuk kepala,
meski tidak gatal "Tampaknya kau mulai dongkol padaku, ya?" kata
Andika enteng. "Ya.... Daripada aku keracunan, lebih baik menjawab pertanyaanmu.
Apa yang ingin kau tanyakan tadi?" "Apa hubungannya Nyi Rorokweni
dengan orang yang hendak memfitnahku?" tanya Mayangsari, bergegas.
"Kau tidak bisa sedikit
menduga?" "Jangan bertele-tele" "Baik..., baik. Nyi
Rorokweni telah menyamar sebagai dirimu. Dia membunuh puluhan orang tak
bersalah, dengan telengas. Lalu, dia mengaku sebagai Ratu Racun. Sebagai dirimu.
Bedanya, dia mengenakan cadar merah dalam setiap pembantaian yang dilakukannya...,"
tutur Andika, menjelaskan.
"Bagaimana kau bisa tidak
terkecoh oleh Nyi Rorokweni, sementara banyak pendekar aliran putih lain bisa
tertipu?" tanya Mayangsari, curiga.
"Aaah Kau masih tetap
mencurigai aku rupanya? Tapi kalau kau ingin tahu juga, akan kujawab. Yang
jelas, aku tahu perempuan yang hendak memfitnahmu itu adalah Nyi Rorokweni."
Kemudian Andika pun menceritakan seluruh
kejadian yang membawanya pada kesimpulan itu. Bagaimana dia pernah bertarung
melawan Ratu Racun yang bercadar merah. Juga dijelaskan, bagaimana dia dapat
melihat perbedaan antara Ratu Racun yang pernah bertempur dengannya itu dengan Ratu
Racun yang kini dikenalnya.
"Waktu kau menghabisi
Rawegenggong dan anak buhanya di Hutan Watuabang, aku tak sempat melihat
wajahmu.
Kelebatan hutan itu tak
memberi kesempatan untuk melihat wajahmu. Tapi aku melihat sesuatu yang tak
dimiliki Ratu Racun bercadar merah...," tutur Andika penuh keyakinan.
"Apa itu?" Mata
Andika melirik ke bagian pinggang Mayangsari. Di sana tersembul sebentuk
tongkat pendek yang tersembunyi di balik bajunya.
"Aku melihat benda itu
tidak dimiliki Ratu Racun telengas itu...," kata Andika, pasti.
Tanpa sadar, tangan Mayangsari
memegang benda yang dimaksud Andika.
"Ini senjataku," aku
wanita itu.
"Sudah kuduga." "Lalu,
bagaimana kau tahu kalau perempuan yang mengaku Ratu Racun adalah Ny i
Rorokweni?" desak Mayangsari kembali.
Tanpa ingin bertele-tele lagi,
Andika segera menceritakan penyelidikannya selama ini. Dimulai dengan kalung
kayu yang ditemukannya di sekitar tempat pertarungan Mayangsari dengan gerombolan
Rawegenggong di Hutan Watuabang, hingga kunjungannya ke Desa Wadaswetan untuk
menanyai sesepuhnya, Ki Manik Angkeran. "Lalu
aku teringat ucapan Ki Patigeni. Dia telah menjadi korban keganasan pukulan Ny
i Rorokweni. Dan ketika pukulan itu kuperhatikan, ternyata mirip pada
korban-korbannya yang terdiri dari orang-orang tak berdosa. Dan ketika
ciri-ciri pukulan itu kutanyakan pada Ki Manik Angkeran, ternyata juga sama
dengan pukulan salah satu tokoh yang pernah merampok di Desa Wadaswetan. Tak
ada orang lain yanag mempunyai pukulan seperti itu, selain Ny i Rorokweni.
Sementara melihat sepak
terjangmu pada orang-orangnya Begal Ireng, maka aku berkesimpulan..." "Kalau
aku sedang memburu mereka karena dendam?" selak Mayangsari.
'Tepat" ujar Andika
dengan lagak seorang penjual obat.
Mayangsari mengangguk-angguk
pelan. Rambutnya yang panjang ikut terayun-ayun. Sinar matanya sendiri terlihat
kagum pada Andika, karena mampu mengungkap rahasia dirinya dengan tepat.
"Sekarang kau harus jawab
pertanyaanku," pinta Andika lebih lanjut. "Kenapa kau dan Nyi
Rorokweni memiliki racun dahsyat yang juga dimiliki oleh seorang tokoh kalangan
hitam yang hidup puluhan tahun lalu?" "Ki Guntara?" "Dari
mana kau tahu?" Mayangsari menghela napas berat sesaat.
"Dia adalah guruku,"
kata wanita itu. "Ki Guntara pernah menceritkan tentang Ki Patigeni yang pernah
mengalahkannya. Sejak dikalahkan, guruku menjadi sadar kalau di dunia ini tak
ada orang yang paling tinggi. Sesakti apa pun orang itu, suatu saat akan tetap
jatuh dan tak mungkin menghindari kematian. Ingat pada kematian, dia ingat pada
kekuasaan Tuhan. Sampai akhirnya, seluruh kesalahannya disadari dan
bertobat...." Mayangsari
menghentikan ceritanya. Wajahnya tampak dirundung keprihatinan dalam.
"Tapi kau belum jawab
pertanyaanku tadi, kan?" usik Andika.
Mayangsari tersadar.
"Sejak saat itu, guruku
menyepi sekaligus mengangkat seorang murid bernama Rorokweni yang kala itu
berusia enam belas tahun. Sayang, Rorokweni ternyata memiliki watak buruk. Dan
guruku pun bisa mencium hal itu. Karena wataknya itu pula, guruku hanya
menurunkan sebagian ilmu kesaktiannya padanya. Dan Rorokweni yang mengetahui
hal itu, menjadi mata gelap. Guru pun dikhianati. Dengan racun yang pernah
dipelajarinya, Ki Guntara diracuni hingga lumpuh.
Dia berpikir, dengan lumpuhnya
guru, maka kitab ilmu racun yang belum dipelajarinya dapat dicuri. Sayang, niat
jahat itu tidak berjalan mulus. Ternyata guru telah menyembunyikan kitab itu di
suatu tempat rahasia. Tentu saja Rorokweni jadi murka. Guru lalu dipaksa untuk
memberitahukan tempat penyimpanan kitab itu. Namun, guru tetap tidak sudi memberitahukannya.
Tentu saja hal ini membuat Rorokweni makin kalap. Akhirnya, guru yang lumpuh
saat itu disiksa." Kembali Mayangsari menghentikan ceritanya, seperti berusaha
menahan kesedihan.
"Ketika guru sekarat,
namun tetap tak juga membuka rahasia tempat penyimpanan kitab itu, akhirnya
Rorokweni pergi dengan rasa jengkel," lanjut Mayangsari. "Beberapa tahun
kemudian, Rorokweni membegal keluargaku. Mereka membunuh kedua orangtuaku
secara keji. Aku masih bisa membayangkan, bagaimana kejinya Rorokweni beserta kawanannya
membunuh ayah dan ibuku. Untunglah aku dapat meloloskan diri dari kekejaman
mereka. Sementara, adikku yang masih berumur delapan bulan, entah bagaimana nasibnya.
Dan dalam keputusaasanku karena kehilangan selurh orang yang kucintai, aku
berjalan mengikuti kata hati. Sampai
akhirnya, aku tiba di kediaman Ki Guntara.
Keadaannya, yang menyedihkan,
membuat hatiku iba. Dan hatiku pun tergerak untuk mengurusnya." Keduanya
kini sama-sama terdiam. Pikiran mereka samasama dibawa kenangan masing-masing,
tentang orang-orang tercinta yang harus menjadi korban kebiadaban manusiamanusia
berhati iblis.
"Jadi menurutmu, apa
alasan Nyi Rorokweni mengaku-aku sebagai diriku?" tanya Mayangsari pada
Andika, mulai membuka percakapan kembali.
Andika mengusap-usap dagu.
Benaknya langsung merekareka jawaban pertanyaan Mayangsari barusan.
"Pertama, karena ingin
agar kau dibunuh oleh pendekarpendekar aliran putih...," gumam Andika.
"Kedua?" "Yang
kedua karena ingin mempersiapkan sesuatu buat dirimu. Karena dia tahu, kau
luput dari tangan para pendekar yang memburumu akibat fitnahnya. Dia tidak
lahu, kau akan tiba di tempatnya cepat atau lambat. Tentu saja untuk menuntut
balas atas kematian orang-tuamu...." "Maksudmu, dia akan mempersiapkan
sesuatu untuk menyambut kedatanganku, sementara perjalananku dihambat oleh para
pendekar golongan putih yang murka?" tebak Mayangsari.
Andika mengangguk.
"Lalu, apa maksudmu
dengan mempersiapkan sesuatu itu?" tanya Mayangsari, ingin tahu lebih
jelas.
"Aku pun tidak tahu.
Mungkin sedang mempersiapkan jebakan buatmu...." Belum selesai ucapan
Andika, tiba-tiba saja... "Hi
hi hi.... Semua perkiraanmu memang tepat, Pendekar Slebor. Tak percuma
orang-orang dunia persilatan meributkan tentang kecemerlangan otakmu" Tiba-tiba
terdengar tawa melengking yang mendirikan bulu roma.
Tubuh Andika menegang. Naluri
kependekarannya yang terlatih memperingatkan dirinya kalau bahaya akan segera tiba.
"Kau tahu, apa nama
daerah ini?" bisik Andika pada Mayangsari.
"Ini Lembah Burangrang.
Kenapa kau menanyakan hal itu?" Andika tidak menjawab pertanyaan heran
Mayangsari.
"Kau tahu tempat Nyi
Rorokweni?" Andika malah bertanya lagi.
Mayangsari terkesiap. Wajahnya
makin terlihat tegang.
"Dia tinggal di Lembah
Burangrang, lembah ini," desis wanita itu, menjawab pertanyaan Andika
barusan.
Mata Andika menyipit. Sepasang
bola matanya bergerak kian kemari, memperlihatkan kewaspadaan.
"Itu artinya, kita telah
masuk dalam perangkap Nyi Rorokweni tanpa disadari...," jelas pemuda itu,
nyaris mendesis.
-0o0oa-zo0o0
9
Dugaan Andika ternyata tak
meleset. Beberapa kerdipan mata kemudian, bermunculan puluhan orang dari balik
alangalang. Dengan panah di tangan, mereka mengepung Andika dan Mayangsari.
Pengepungan ini tampaknya memang benar benar telah dipersiapkan. Terbukti, barisan
kepungan demikian rapi, membentuk tiga lapisan.
Pada lapisan kepungan pertama,
mereka menyiapkan panah-panah berapi yang bagai kumpulan kunang-kunang raksasa
yang menerangi daerah sekitar.
Sedangkan pada lapisan kedua,
para pengepung mempersiapkan panah-panah beracun. Hal itu bisa diduga Andika,
karena mengingat Nyi Rorokweni amat ahli dalam hal racun.
Sedangkan di barisan ketiga,
para pengepung membawa kuali berukuran sebesar kepala manusia.
"Untuk apa kuali tanah
itu?" tanya Mayangsari dengan wajah menegang keras.
Andika melirik sekejap pada
wanita itu.
"Tampaknya mereka mencoba
membakar kita hidup-hidup di tengah padang ilalang ini Aku yakin, kuali kuali
itu berisi minyak yang akan dilontarkan ke udara. Kemudian, barisan pertama
akan melepas panah-panah api ke kuali-kuali itu.
Dan, saat itulah minyak akan
bertebaran di udara bersama api yang siap membakar padang ilalang, sekaligus
memanggang tubuh kita," jelas Pendekar Slebor.
Mayangsari bergidik.
"Kalau hanya untuk
menyelamatkan diri dari kobaran api, tentu saja mudah bagi kita. Tapi rasanya
tidak mudah menghindari jilatan api raksasa, sementara kita dihujani pula oleh
panah-panah beracun yang tak boleh menyentuh tubuh sedikit pun," tambah
Andika, tanpa maksud menakut-nakuti Mayangsari.
"Tapi racun anak panah
itu tak berarti bagiku. Apa kau lupa, kalau aku amat ahli dalam hal
racun?" sergah Mayangsari. ' "Tapi
apa kau memiliki ilmu kebal, hingga mampu membuat anak panah itu tidak bakal
menembus kulitmu?" Mayangsari tidak bisa menjawab pertanyaan Andika.
Kalaupun racun jahat pada anak
panah musuh tidak bisa membunuh, tentu saja dia akan tetap mati. Masalahnya,
anak panah yang setajam taring serigala itu akan menembus tubuhnya. Dalam hal
ini, Andika memang benar.
"Lalu apa akalmu untuk
lolos dari perangkap mengerikan ini?" tanya Mayangsari cemas. Sinar
kekalutan mulai mengusik wajah ayunya.
Orang yang ditanya tak
menyahut. Andika hanya diam mematung dengan tubuh mengejang. Entah apa yang
hendak dilakukannya. Yang jelas, hatinya amat geram dengan kelicikan semacam
itu.
"Andika, apa yang mesti
kita perbuat?" ulang Mayangsari setengah menjerit.
"Tenang,
Mayangsari...," sergah Andika singkat.
"Bagaimana bisa tenang,
sementara kita tak punya kesempatan lolos dari perangkap mengerikan ini?" "Diam
Bagaimana aku bisa berpikir jernih, kalau kau tetap mengoceh seperti itu?"
hardik Andika.
Bagi Andika sendiri, perangkap
semacam itu tak akan menjadi masalah yang terlalu besar. Cukup mengandalkan ilmu
kecepatan warisan Pendekar Lembah Kutukan, dia mampu lolos dari jilatan api.
Bahkan dari puluhan anak panah sekalipun. Namun, urusan akan jadi lain kalau di
sampingnya berdiri seorang wanita. Tentu Pendekar Slebor akan kesulitan mementahkan
serangan anak panah beracun kalau harus membopongnya. Sedangkan, ilmu peringan
tubuh Mayangsari belum cukup sempurna.
Ini betul-betul tantangan
besar di depan matanya. Di satu sisi, nyawanya sendiri harus diselamatkan. Dan
di sisi lain, Mayangsari
tak bisa begitu saja ditinggalkan. Dalam hal ini, Andika merasa harus bertanggung
jawab terhadap keselamatan jiwanya. Bukankah dia yang membawa wanita itu ke
tempat ini? "Seraaang..." Teriakan wanita dari sebelah selatan
membuyarkan pikiran Andika, sebelum sempat menemukan pemecahan masalah yang
mengancam jiwa mereka berdua.
Sesaat kemudian, mata Andika
melihat barisan ketiga dari para pengepung mulai me lontarkan kuali-kuali
berisi minyak pembakar. Dari berbagai penjuru, kuali-kuali tanah itu melayang
ke udara, disusul terlepasnya anak panah berapi dari barisan pertama ke arah
kuali-kuali tadi. Sekali lagi, perkiraan Andika tidak meleset Apa yang mesti
dilakukan Andika? Sedangkan puluhan anak panah berapi itu tak mungkin
ditangkapnya satu persatu. Pada saat yang mencekam itu, mata Andika tertumbuk
pada kumpulan alang-alang yang nyaris setinggi manusia di depannya. Maka dengan
sigap, tangannya meraih alang-alang itu. Sepasang tangannya yang kini dipenuhi
alang-alang kemudian bergerak bagai kilat, disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi.
Wes Wes Wes Bagai puluhan anak
panah, alang-alang itu meluncur deras menuju anak-anak panah yang sedang
melayang menembus kepekatan malam dengan kobaran api.
Dan.....
Tak, tak, tak...
Terdengar bunyi kayu patah
yang bersahutan. Rupanya puluhan anak panah berapi yang sedang meluncur itu
terpatah menjadi dua, ketika alang-alang yang dilontarkan Pendekar Slebor
melabraknya. Karena kehilangan bagian ekor, puluhan anak panah berapi itu jadi melayang kacau.
Sementara kualikuali tanah berisi minyak pembakar yang mestinya menjadi sasaran,
luput dari hunjaman anak panah berapi Seluruh kuali itu kemudian jatuh ke
bawah, dalam keadaan utuh karena tertahan gerombolan ilalang yang tumbuh lebat.
"Berhasil Ha ha ha... Aku
berhasil" pekik Andika, seperti anak kecil mendapat mainan.
Tentu saja hal itu membuat Nyi
Rorokweni yang berdiri di sebuah batu besar di sebelah selatan Lembah
Burangrang menjadi kalap.
"Bangsat Lepaskan anak
panah beracun" seru perempuan itu pada barisan kedua.
Zing Zing Zing Anak panah
dalam jumlah puluhan kembali memenuhi udara. Kali ini, tidak lagi menampakkan
kobaran-kobaran merah di angkasa, karena yang dilepas anak buah Nyi Rorokweni
adalah anak panah beracun Sekali lagi, Andika dan Mayangsari terancam bahaya.
Kalau tidak segera mengambil tindakan tepat, maut akan segera menjemput. Dan
sekali lagi pula, mereka merasa bagai telur di ujung tanduk.
Pada saat-saat berbau maut
itu, mata Andika kembali tertumbuk sesuatu yang bisa memberi peluang untuk
lolos dari ancaman maut. Kain bercorak catur yang tersampir di pundaknya
tiba-tiba tertiup angin kencang, sehingga menggelepar ke bagian depan tubuh
Andika. Saat itulah, dia ingat kalau kain ini adalah pusaka yang tahan terhadap
senjata setajam apa pun.
Maka cepat dilepasnya kain itu
dalam waktu sekejap mata.
Setelah pindah ke tangan, kain
itu digunakannya untuk menyabet seluruh anak panah beracun yang menghunjam mereka.
Keduanya memang tak mungkin melompat untuk menghindari, karena hujanan anak panah telah
menutup sekitarnya. Tapi dengan kain bercorak catur di tangan, Andika mampu
mementahkan hunjaman seluruh senjata berbahaya itu.
Tas Tas Tas...
Wut Wut Wut...
Bagai sebuah benteng aneh,
kain bercorak catur milik Andika berputar ke sekitarnya. Sementara, sebelah
tangan Pendekar Slebor yang lain memeluk tubuh Mayangsari.
"Ha ha ha..." Andika
kembali memperdengarkan tawa kemenangan setelah serangan kedua dapat digagalkan
kembali.
"Nyi Rorokweni
Perangkapmu tampaknya hanya cocok untuk tikus sawah" ledek Andika dengan
bibir mencibir.
Andika terpingkal-pingkal
seperti anak kecil, meledek Ny i Rorokweni.
"Bukan begitu,
Mayang?" tanya Andika pada Mayangsari yang masih melekat di tubuhnya.
Tidak ada sahutan. Bahkan yang
terdengar hanya suara mendesis saja.
"Mayang?" ulang
Andika ketika tak ada tanggapan dari wanita yang ditanya.
Dan Andika kini mulai
merasakan sesuatu yang tidak beres.
Tampaknya, memang begitu.
Karena tak lama kemudian, tubuh Mayangsari perlahan melorot turun bagai tanpa
tenaga.
Tangan kanan Andika bergerak
segera. Disanggah-nya tubuh Mayangsari agar tak ambruk.
"Kenapa kau,
Mayang?" tanya pemuda itu dalam kecamuk kekhawatiran yang datang begitu
cepat. "Dadaku
terkena panah...," desis Mayangsari lemah.
"Ya, Tuhan...,"
desis Andika. Sungguh tak disangkanya kalau benteng pertahanan yang tadi
dibuatnya ternyata masih mampu kecolongan. Pendekar Slebor jadi mengutuk dan menyumpahi
diri sendiri. Entah mengapa, saat itu Andika menjadi benci pada dirinya yang
tak mampu menjaga keselamatan seorang wanita.
"Maafkan aku, Mayang. Ini
semua akibat ulahku. Aku terlalu menganggap remeh serangan pasukan Nyi
Rorokweni tadi...," sesal Andika, terputus-putus.
"Kau telah berusaha,
Andika. Tapi, Tuhan rupanya berkehendak lain. Kalaupun kau tak membawaku ke
tempat ini, akhirnya aku sendiri juga yang akan datang ke sini. Justru, akulah
yang begitu tolol mengikuti arus dendam dalam diriku.
Padahal, ilmuku hanya
mengandalkan racun serta sedikit jurus-jurus tak berarti...." Kali ini
Andika yang menggeleng perlahan.
"Kau dan aku hanya
manusia biasa, Mayang. Kalaupun aku menjadi dirimu, tentu akan melakukan hal
yang sama.
Manusia mana yang tidak akan
dendam kalau orang-orang tercinta dibunuh secara keji?" tutur Andika lemah.
"Tapi aku mulai berpikir,
bukankah lebih baik dan lebih bijaksana kalau memaafkan mereka?" ucap
Mayangsari makin lemah.
Andika tak bisa berkata
apa-apa. Perkataan wanita dalam pelukannya memang benar, meski para bajingan
yang telah membunuh orangtuanya masih tetap sebagai bajingan yang mesti
dienyahkan. Kalaupun harus disingkirkan dari bumi ini, itu karena mereka telah banyak
menciptakan keangkaramurkaan. Bukan karena dorongan dendam. "Tapi..., keputusanku untuk mengenyahkan
dendam tampaknya sudah terlambat...," kata Mayangsari kembali, lirih.
"Rasanya maut akan segera
menjemputku...." Sebentar kemudian, tubuh wanita itu mengejang. Lalu matanya
terkatup perlahan disertai hembusan napas perlahan.
Anak panah yang menembus
paru-paru sebelah kanan, telah mengakibatkan nyawanya melayang. Jadi bukan
karena racun, karena tubuh Mayangsari memang kebal racun.
"Mayang...," panggil
Andika masgul.
Tak terdengar sahutan dari
wanita itu. Nyawanya memang telah dijemput malaikat maut. Paru-parunya yang
tertembus anak panah, membuatnya tak mampu lagi mempertahankan lebih lama
selembar nyawanya.
"Keparat kalian...,"
geram Andika.
Untuk yang kesekian kali,
orang baik terbunuh di hadapan pemuda ini. Bagaimana pendekar muda itu tidak
menjadi gusar? Kembali masa indah yang harusnya dapat dinikmati Andika dirampas
begitu saja oleh perbuatan orang-orang berhati iblis.
Perlahan tubuh Mayangsari
diletakkan di tanah berumput.
Sementara itu, api kemarahan
makin membesar dalam diri Andika. Api yang mendorongnya untuk segera membasmi bajingan-bajingan
tengik yang telah merenggut nyawa wanita ayu di hadapannya.
"Kau harus membayar nyawa
wanita ini, sekaligus membayar nyawa Ki Patigeni, Nyi Rorokweni" desis
Andika penuh getaran kemurkaan.
Setelah itu....
"Hiaaa..." Dari rimbunnya ilalang tinggi, tubuh Pendekar
Slebor melenting ke udara. Bagai sebuah bola, tubuhnya berputaran di udara
beberapa kali dengan tubuh menekuk rapat.
Melihat lawannya melayang
seperti itu, Nyi Rorokweni merasa memiliki kesempatan untuk memanggang tubuh Pendekar
Slebor dengan puluhan anak panah beracun.
"Serang" perintah
wanita itu pada pasukan berpanah.
Zing Zing Zing...
Puluhan anak panah kembali
memenuhi udara. Di bawah temaram cahaya bulan, senjata-senjata itu terlihat
seperti gerombolan hantu terbang. Seluruhnya kini terpusat pada diri Pendekar
Slebor yang masih berputar di udara. Sesaat lagi, tubuhnya tentu akan direncah
habis.
Tapi....
Wut Wut...
Tas Tas...
Kalau Nyi Rorokweni mengira
akan mendapat kesempatan emas, maka dugaan itu meleset sama sekali. Karena
dengan kain bercorak catur yang masih tergenggam di tangan kanan, Pendekar
Slebor memapak seluruh anak panah beracun tadi.
Akibat yang terjadi sungguh
memaksa mata Nyi Rorokweni terbelalak lebar-lebar. Puluhan anak panah
pasukannya kontan tersapu kembali ke arah pemiliknya. Padahal, keadaan Pendekar
Slebor yang berada di udara termasuk sulit untuk berkelit bagi tokoh kalangan
atas dunia persilatan sekalipun Zing Zing...
Jep Jep...
"Aaakh..." Teriakan
kematian berbaur menjadi satu tatkala anak panah yang dilepas pasukan Nyi
Rorokweni menghunjam seluruh
anak buahnya sendiri. Sedangkan Pendekar Slebor telah berdiri enteng, di pucuk
alang-alang. Seakan, tubuhnya tak memiliki bobot saja.
Kini, Pendekar Konyol dan Ny i
Rorokweni bisa berhadapan langsung. Andika bisa melihat wanita yang berpakaian
serba hitam dan berwajah dihiasi keriput itu, meski rambutnya tetap hitam dan
panjang terurai. Sedangkan Ny i Rorokweni yang masih berdiri di sebuah batu
besar, dapat melihat jelas bagaimana rupa Pendekar Slebor.
"Kau memilih waktu yang
tepat untuk membuka cadarmu, Wanita Biang Racun Tikus Karena hari ini, aku bisa
melihat wajahmu yang tak beda dengan lipatan kain ompol untuk yang pertama
kali, dan yang terakhir" seru Andika, dingin.
Bibir keriput Ny i Rorokweni
bergeletar menahan luapan kemurkaan. Ejekan Pendekar Slebor tadi benar-benar menginjak
harga dirinya.
"Jangan sesumbar, Bocah
Bau Kencur Kalau dulu kau masih bisa selamat dari racunku, kini kau akan mampus
dalam keadaan menyedihkan. Aku tahu, lelaki tua itu belum sempat memberitahukanmu
tentang penangkal racun milikku" balas Nyi Rorokweni.
"Apa kau pikir aku akan
sebodoh itu membiarkan tubuhku tersentuh tangan beracunmu? Kekalahanmu di Desa Wadaswetan
sebenarnya merupakan tanda kalau aku sudah paham, bagaimana harus menghadapimu.
Meski, aku tak pernah tahu penangkal racunmu" sergah Pendekar Slebor, mantap.
"Kau ingin membuktikan?" "Kunyuk buduk Hiaaa..." Dari jarak
sekitar dua puluh tombak, tubuh Ny i Rorokweni meluncur deras ke arah Pendekar
Slebor. Kedongkolannya sudah tidak bisa lagi dibendung pada setiap ejekan
Pendekar Slebor. Wrrr Saat
mencapai tubuh Pendekar Slebor, Nyi Rorokweni langsung melayangkan tebasan
tangan ke leher. Sedangkan Pendekar Slebor cepat merentangkan kain bercorak
catur dengan kedua tangannya untuk melindungi leher.
Bet Tebasan tangan Nyi
Rorokweni hanya menemui sasaran angin kosong. Dengan geram, dia menyusuli
dengan tendangan tinggi, hendak menyapu kepala Pendekar Slebor.
Tapi, mudah sekali pemuda itu
memen-tahkannya hanya dengan menaikkan rentangan kain ke bagian kepala.
Tep Masih tetap menjejakkan
kakinya di pucuk ilalang, Andika melakukan serangan balik. Jurus 'Menapak Petir
MembabiButa' segera dikerahkannya. Layaknya orang linglung, kepala Pendekar
Slebor berayun-ayun cepat.
Nyi Rorokweni yang melihat
gerakan aneh itu menjadi terpancing. Perhatiannya tertuju pada kepala Pendekar
Slebor.
Maka saat itu pula tangan
Andika menghunjam lurus ke ulu hati, seperti hendak menyambar ujung lidah petir.
Dess "Ugkh..." Tubuh
Nyi Rorokweni kontan terpental. Rasa sakit luar biasa yang menyerang ulu hati,
membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan. Wanita keji itu langsung terpuruk di sela-sela
ilalang yang semula menjadi tempat berpijaknya.
Bruk "Hey Dilarang buang
hajat di tempat itu" ejek Pendekar Slebor. Memang, Andika melihat wanita itu terjerembab
dengan pantat jatuh terlebih dahulu di lebatnya ilalang.
Dia sendiri masih tetap
berdiri gagah, sambil bertolak pinggang di pucuk ilalang.
"Bocah keparat Kubunuh
kau" maki Nyi Rorokweni, kalap.
Wanita itu segera bangkit.
Setelah kakinya mantap menjejak tanah, tubuhnya digenjot ke belakang. Dengan bersalto
tiga putaran, kakinya mendarat kembali di pucuk ilalang.
Nyi Rorokweni membuka serangan
berikutnya dengan luncuran deras disertai putaran tubuh ke arah Pendekar Slebor.
Setiap satu putaran, tangannya mencabik ke depan bagai seekor belalang. Seluruh
jarinya mengejang keras, seolah ada kawat baja yang menelusup otot-otot
tangannya.
Ketika luncuran tubuh Nyi
Rorokweni nyaris sampai, Pendekar Slebor tiba-tiba melepas ilmu peringan
tubuhnya.
Karena bobot tubuhnya terisi,
maka membuat pendekar muda itu menelusup cepat ke dalam lautan padang ilalang
yang setinggi manusia.
Srak Wesss Serangan Nyi
Rorokweni yang dilakukan di atas ilalang tentu saja jadi memakan angin, karena
sasarannya telah menelusup begitu cepat ke bawah. Hal itu membuat putaran tubuhnya
terus melaju dan sulit dihentikan, akibat tenaga dorongan yang mestinya untuk
melumat tubuh Pendekar Slebor.
Bagi Pendekar Slebor, keadaan
seperti itu adalah peluang bagus. Tak beda dengan seekor jangkrik liar,
Pendekar Slebor menyeruak rerimbunan ilalang untuk mengejar luncuran tak terkendali
dari tubuh Nyi Rorokweni. Lalu....
Tak Secara tiba-tiba, tangan
Pendekar Slebor tersembul di atas ilalang. Sepasang tangan yang saling terkait
dan sengaja dibentang bagai tiang kokoh itu, membentur kaki kanan lawan.
Akibatnya....
Bruk Sekali lagi, Nyi
Rorokweni terjerembab keras di lautan ilalang, ketika kakinya terantuk tangan
Pendekar Slebor.
Keseimbangan tubuhnya yang
memang sudah tak terkendali, tak bisa lagi dipertahankan. Suka tidak suka, Nyi
Rorokweni harus bercengkerama mesra dengan gerombolan ilalang "Kudekap
engkau dengan mesra, o ilalang.... Tanda cinta tak terhingga, wahai
ilalang...," ledek Pendekar Slebor, seperti orang yang sedang membacakan
sebait puisi.
Sementara, kaki pemuda itu
telah bertengger ringan kembali di pucuk tanaman liar itu.
Dengan meringis menahan sakit
tak kepalang di bagian kakinya, Nyi Rorokweni me lompat kembali ke atas ilalang.
Sepasang bola matanya sudah terbakar
merah.
Pertarungannya kali ini memang
benar-benar membuat ubunubunnya nyaris meledak karena gusar. Ejekan-ejekan
pemuda itu terlalu keterlaluan baginya.
"Kini bersiaplah untuk
kukirim ke neraka," desis Nyi Rorokweni, penuh ancaman.
Kelihatan sekali kalau
perempuan itu akan segera mengeluarkan ilmu andalan, 'Pukulan Racun Bara
Neraka'.
Seperti pernah dilihat Andika
sebelumnya, tangan Nyi Rorokweni terangkat tinggi-tinggi dengan seluruh jari
terbuka.
Dari bawah, sepasang tangannya
menegang kaku. Sedangkan kedua
matanya terpejam rapat, memusatkan seluruh kekuatan racun dalam dirinya ke
telapak tangan.
Tak ada lima helaan napas,
tangan Nyi Rorokweni berubah merah. Pancaran warna seterang bara itu menyinari
sebagian wajah keriputnya, memperlihatkan garis-garis telengas yang semula
tersembunyi dalam hatinya.
Bersama satu jeritan
membahana, Nyi Rorokweni menerkam dada Pendekar Slebor.
"Hiaaah..." "Aaa..."
Pada saat jemari tangan Nyi Rorokweni yang meregang nyaris mencabik dada,
Pendekar Slebor berteriak amat keras.
Suaranya langsung membelah
malam yang sepi.
Dan....
Wusss Tiba-tiba saja tubuh
pendekar muda itu lenyap dari pandangan mata Nyi Rorokweni. Tentu saja Ratu
Racun gadungan itu terkesiap. Pikirannya mulai menduga-duga, mungkinkah pemuda
itu memiliki ilmu 'Halimun'? Suatu ilmu yang mampu menyirnakan raga seseorang? Padahal
Pendekar Slebor hanya ingin mengecoh lawan.
Pemuda ini memang tidak pernah
memiliki ilmu langka yang dahsyat seperti perkiraan Nyi Rorokweni. Selama
ratusan tahun belakangan, tak ada seorang pun memiliki ilmu langka itu.
Termasuk, Pendekar Slebor yang baru saja mengecap asam garam dunia persilatan.
Anak muda itu hanya mengerahkan seluruh ilmu kecepatan warisan Pendekar Lembah
Kutukan pada titik tertinggi. Hasilnya, tubuhnya bergerak menghindari
cengkeraman jari lawan dalam kecepatan yang sudah tidak bisa lagi ditangkap
mata. Itu sebabnya, dia terlihat seperti menghilang. Sementara, Nyi Rorokweni berdiri tegang.
Sedangkan Andika sudah berada di belakangnya dengan senyum ketololtololan.
"Sudah kau temukan
jangkrik yang kau cari?" tegur Andika, setengah berbisik pada Nyi
Rorokweni.
Menyadari lawan telah berdiri
di belakangnya, Nyi Rorokweni berbalik secepat kilat. Sepasang tangannya menyapu
dalam satu gerakan mencabik.
"Hih" Wsss Untuk
kesempatan ini, Pendekar Slebor tak berusaha menghindar seperti sebelumnya. Dia
hanya menanti. Dan ketika tinggal sejengkal lagi tangan merah membara lawan mendarat
di lehernya, Pendekar Slebor melibatkan kain pusakanya tepat di pergelangan
kedua tangan Ny i Rorokweni hingga kini merapat erat.
Sreset Dan seketika Andika
melenting ke belakang tubuh perempuan itu seraya menghentak kain pusaka yang
masih tersangkut di pergelangan tangan Nyi Rorokweni.
Hentakan sepenuh tenaga
Pendekar Konyol tentu saja menyebabkan tangan Nyi Rorokweni tertarik deras ke wajahnya
sendiri. Hingga....
Cras "Aaa..." Tak
pelak lagi, tangan beracun Nyi Rorokweni memangsa wajahnya sendiri.
Tubuhnya langsung ambruk dan menggelepar
di antara ilalang yang ikut bergoyang liar. Dan dalam sekejap mata, daun
ilalang itu menghitam bersama kepulan asap tipis. Sementara tubuh Nyi Rorokweni sendiri perlahan
tapi pasti berubah menghitam, terpanggang keganasann racun miliknya sendiri.
Pada puncaknya, tubuhnya mulai retak-retak mengerikan. Maka berakhir pula
riwayat wanita te lengas yang telah banyak melakukan kebiadaban terhadap
manusia lain.
Lama Andika menatap mayat
mengerikan lawannya.
Sementara, desahan malam
menemani keterpakuan dirinya.
Angin dingin berhembus lembut
menyibak asap tipis yang mengepul dari tubuh Ny i Rorokweni. Sedangkan jangkrik
malam mulai berani memperdengarkan bunyinya yang lirih.
"Nak Andika...." Andika
pasti akan tetap terpaku hingga fajar menjelang, kalau saja seseorang tak
menegurnya.
Andika menoleh cepat, tersadar
dari keterpakuannya.
"Ki Manik Angkeran?"
sebut Andika pelan.
Tanpa diduga sesepuh Desa
Wadaswetan itu akan dijumpainya di tempat tersebut.
"Ada apa, Ki?" tanya
Andika, heran.
"Aku sengaja
mencarimu...," jawab lelaki tua berwibawa itu. "Ada sesuatu yang lupa
kusampaikan kepadamu, Nak Andika...." "Apa itu, Ki?" "Bukankah
kau masih keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan?" Bukannya menjawab
pertanyaan Andika, dia malah balik bertanya.
"Memangnya kenapa, Ki?"
tanya Andika, setelah mengangguk.
Ki Manik Angkeran bergumam
sesaat "Aku lupa memberitahukanmu, kalau keluarga yang dirampok kawanan Ny
i Rorokweni delapan belas tahun lalu adalah
anak Ki Panji Agung, seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Jadi, mungkin
mereka adalah keluargamu juga...," jelas laki-laki tua itu.
Andika terhenyak. Apa yang
mesti dikatakannya pada Ki Manik Angkeran tentang kematian Mayangsari yang
ternyata masih berhubungan darah dengannya? "Sayang sekali, waktu itu aku
tak sempat menyelamatkan gadis kecil anak keluarga pendekar itu...," desah
Ki Manik Angkeran.
"Dia sudah menjadi gadis
cantik, Ki. Tapi, kini sudah jadi mayat," selak Andika seraya mengarahkan
pandangan ke tubuh Mayangsari.
"Jadi diakah gadis kecil
itu?" tanya Ki Manik Angkeran.
"Sayang sekali, padahal
aku berharap dia bisa tetap hidup dan mencari adiknya...." "Adiknya?"
"Ya. Kau tentu bertanya, kenapa Nyi Rorokweni mendatangiku ke Desa
Wadaswetan dengan menyamar sebagai Ratu Racun? Dia ingin membunuhku, karena
akulah saksi mata yang mengetahui perbuatan mereka. Mereka takut, anak keluarga
pendekar itu menuntut balas dendam, dengan meminta keterangan padaku,"
tutur Ki Manik Angkeran, tidak membuat Andika puas.
"Tapi kau tadi mengatakan
tentang adik wanita itu?" "Ya Akulah yang membawa adik lelakinya yang
berumur delapan bulan. Lalu, anak itu kutinggal di pinggir Hutan Watuabang...."
Andika mendadak dirasuki ingatan tentang masa kecilnya.
Dia pun ditemukan di tepi
hutan oleh orangtua angkatnya seorang ahli mencopet. Tiba-tiba pula, timbul
keinginan untuk menanyakannya lebih lanjut pada Ki Manik Angkeran. "Kau masih ingat tanda anak lelaki kecil
itu?" tanya Andika.
Ki Manik Angkeran mengangguki
pertanyaan Andika.
"Ya Ada tanda berbentuk bintang
di tangan kanannya, berwarna biru kehijau-hijauan." Saat itulah seluruh
persendian Andika seperti dilepas secara paksa. Tanda yang disebutkan Ki Manik
Angkeran memang dimiliki pendekar muda ini pada tangan kanannya.
Jadi? Pendekar Konyol
terhenyak lesu. Pencarian keluarganya ternyata tiba pada satu kekecewaan.
Wanita yang dikenal sebagai Ratu Racun yang sebenarnya ternyata kakak kandungnya.
Tapi belum lagi mengenal lebih dekat, Mayangsari telah pergi untuk selamanya.
"Siapa nama gadis kecil
anak keluarga pendekar itu, Ki?" tanya Andika samar.
"Mayangsari...." "Ah
Kak Mayangsari. Kenapa kita mesti berjumpa saat kau tidak bisa lagi berbagi
kasih pada adikmu ini?" keluh hati Andika yang paling dalam. SELESAI