Pendekar Slebor Episode 01 Lembah Kutukan

Pendekar Slebor Episode 01 Lembah Kutukan
Pijar El
-------------------------------
----------------------------

Episode 01 Lembah Kutukan

1
Bulan bulat penuh mengambang di cakrawala, hanya disemaraki gumpalan awan putih kecil. Sehingga, cahaya berjuta bintang pun nampak lebih nyata. Sinar bulan yang lembut berwarna kuning keemasan itu tak luput jatuh pada suatu halaman depan sebuah perguruan silat itu, karena teri hat jelas dari tulisan yang tertera di atas papan jati yang menggantung di atas pintu gerbangnya. Letaknya tepat di punggung bukit, dan dikelilingi barisan tak teratur pohon-pohon besar. Perguruan ini tidak begitu dikenal di dunia persilatan, karena para ketuanya tidak menganjurkan murid-muridnya membawa-bawa nama perguruan jika berada di luar lingkungan perguruan.

Di malam yang baru saja menyelimuti sekitarnya, terdengar teriakan-teriakan berirama memberi aba-aba dari halaman Perguruan Trisula Kembar. Setiap kali terdengar teriakan lantang memberi aba-aba, setiap kali pula di kuti teriakan susulan yang tak kalah lantang dari bcberapa orang murid Perguruan Trisula Kembar, menyertai gerakan kompak suatu jurus.

Yang memberi aba-aba adalah seorang pemuda cukup tampan. Dia nampak berwibawa dalam sorotan sinar remang bulan purnama. Dan semua yang sedang berlatin ini mengenakan seragam perguruan berwarna hitam-hitam.

Hanya saja, pemuda yang memberi aba-aba itu mengenakan tutup kepala dari kain berwarna merah, bergambar sepasang trisula bersilang di bagian kening.

Sedangkan yang dilatih tidak mengenakan tutup kepala.

Nampaknya itu cukup sebagai bukti kalau pemuda itu memiliki tingkat kepandaian yang khusus di perguruan ini.

Sesekali pemuda yang memakai penutup kepala itu berkeliling memperhatikan setiap gerak dari jurus-jurus yang dimainkan berbarengan oleh sekitar dua puluh pemuda. Bila ada kuda-kuda yang tidak kokoh dan nampak rapuh, atau gerakan yang tampak lambat, pemuda itu tak segan-segan memukulkan punggung tangannya bila salah seorang murid ada yang salah bergerak.

Tanpa ada yang tahu, di atas sebuah pohon besar yang menjulang tinggi melampaui pagar perguruan, seseorang duduk diam sambil memperhatikan orang-orang yang berlatih silat. Lebatnya dedaunan pohon, membuat cahaya bulan tidak berdaya menembusnya. Ini jelas membawa keuntungan bagi pengintai yang tampak tenang, bagai segerombol daun jika dilihat sekilas dari kejauhan.

Dia Andika, seorang remaja berusia belasan tahun.

Tubuhnya agak kurus, sehingga terlihat begitu lemah.

Matanya yang tajam dengan dua garis alis mata yang menukik bagai kepak elang, memperhatikan kegiatan berlatih di Perguruan Trisula Kembar.

Memang, sebenarnya hampir setiap malam Andika berada di situ, untuk memperhatikan jurus demi jurus yang diajarkan di Perguruan Trisula Kembar. Setiap gerakan mampu dicerna otaknya yang memang cerdas.

Bahkan sampai gerak tersulit sekalipun.

Kalau ditelusuri asal-usulnya, sebenarnya Andika salah seorang gelandangan di kotapraja, yang kebetulan berjarak setengah hari perjalanan dari bukit tempat Perguruan Trisula Kembar berdiri. Untuk seorang yang tidak memiliki ilmu silat atau ilmu meringankan tubuh sedikit pun, jarak sejauh itu bisa melelahkan.

Seperti juga halnya Andika. Dan karena kekerasan hatinya untuk bisa melihat latihan setiap malam, hal itu tidak dipedulikannya lagi. Bahkan hatinya selalu disesaki keinginan menggebu-gebu untuk dapat belajar ilmu beladiri. Keinginannya itu bukan tidak beralasan. Memang, sebagai gelandangan yang selalu disingkirkan, dia selalu diperlakukan semena-mena oleh orang yang merasa dirinya berkuasa. Kehidupan kotapraja memang terkadang bengis. Maka, dia merasa perlu memiliki sedikit kemampuan untuk mempertahankan diri.

Sebenarnya, Andika ingin mencoba mengajukan diri untuk menjadi murid Perguruan Trisula Kembar. Tapi, hatinya tidak begitu yakin, mengingat dirinya hanyalah seorang gelandangan yang bakal dianggap sampah disana.

Maka satu-satunya cara yang bisa dilakukannya adalah mencuri-curi setiap jurus dari pohon besar seperti yang sedang dilakukannya saat ini.

***
 "Hiat hiat hiaaat" Teriakan-teriakan yang diiringi semangat berlatih dari Perguruan Trisula Kembar masih terus berkumandang, bagai hendak membelah bukit.

"Satu... Dua... Satu... Dua..." Andika terus memperhatikan dan langsung mencerna ke dalam otaknya yang cerdas. Begitu seksamanya, sehingga dia tidak tahu kalau di bawah pohon telah berdiri seorang pemuda berpakaian serba hitam. Menilik dari pakaiannya, jelas pemuda itu juga murid dari Perguruan Trisula Kembar yang kebetulan habis pergi dari kotapraja.

"Hei, siapa itu?" bentak pemuda itu, dari bawah pohon.

Kepala pemuda itu mendongak ke atas. Dan ketika Andika tidak juga bergerak, pemuda itu cepat mengebutkan tangannya. Maka sebilah pisau seketika meluncur deras ke arah Andika.

Krosak Lemparan pisau seruncing taring serigala itu luput dari sasaran, pada saat bersamaan Andika kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

Buk Orang yang memergoki Andika cepat memburu keasal bunyi suara, ketika tubuh Andika menghantam tanah bersemak.

Dengan tubuh terhuyung-huyung, Andika berusaha bangkit. Kepalanya terasa pusing, karena terhantam satu batang pohon saat jatuh tadi. Dunia bagai berputar hebat.

Belum tuntas rasa pusing di kepalanya, datang lagi satu hajaran telapak kaki yang mendarat di pelipisnya. Plak "Aduh" jerit Andika tertahan, dan kontan terpental tiga langkah.

Mendapat serangan demikian, naluri mempertahankan diri Andika timbul. Tanpa mempedulikan lagi rasa pusing yang membuatnya ingin muntah, dia bangkit. langsung kuda-kudanya dipasang dengan mata mengerlap-ngerjap.

"Bedebah Rupanya kau sering mencuri jurus-jurus kami, ya" geram murid Perguruan Trisula Kembar tatkala melihat kuda-kuda Andika. Dan itu memang kuda-kuda pembuka jurus 'Trisula Terbang' milik perguruan itu.

Selama mendapat jurus demi jurus hasil mencuri dari Perguruan Trisula Kembar, Andika memang melatih sendiri di sebuah kandang kuda yang sudah tak terpakai di kotapraja. Sehingga, tampak tidak ada keanggungan sedikit pun dari gerakannya.

"Jangan sembarangan menuduh orang Apakah kau dan perguruanmu merasa kehilangan sesuatu?" dalih Andika dengan wajah takut-takut.

"Tidak, kan? Kalau begitu, aku bukan pencuri" "Pintar ngomong kau, ya?" dengus pemuda itu.

"Aku punya mulut...." "Kalau begitu, biar mulutmu akan kuhancurkan Hiaat..." Setelah itu Andika kembali dirangsek. Kali ini terlihat lebih ganas, karena pemuda itu sudah dipengaruhi kemarahan meluap-luap.

Satu pukulan tangan dari murid Perguruan Trisula Kembar terlihat bagai sedang menggenggam gagang trisula, ketika melayang tajam ke arah leher Andika. Jelas jitu memperlihatkan kesungguhannya untuk menghabisi Andika secepat mungkin.

Andika tahu persis, itu adalah jurus kelima 'Trisula Terbang'. Maka dengan sedikit bergerak ke sisi kiri, dihindarinya serangan itu.

"Uts" Dengan kecerdikannya, Andika menggabungkan tiga jurus 'Trisula Terbang' sekaligus, sehingga terlihat seperti jurus baru. Maka ketika murid perguruan itu hilang keseimbangan karena serangannya luput, Andika cepat menyudut. Seketika sikunya yang cukup runcing disodokkan ke arah ulu hati murid Perguruan Trisula Kembar itu.

Dugh "Ukh..." Orang itu kontan terjatuh berguling, diiringi keluhan tertahan. Kedua tangannya memegangi ulu hati yang terasa diaduk akibat hantaman siku Andika. Dia mencoba bangkit berdiri, sambil menatap tajam ke arah bocah gelandangan itu.

Andika yang bertubuh kecil sudah bersiap-siap kembali. Dibanding tubuh penyerangnya yang tegap dan berotot, tubuh Andika memang tidak ada apa-apanya. Dan memang, murid Perguruan Trisula Sakti itu membuat kesalahan dengan menganggap remeh Andika yang bertubuh kurus.

"Untuk apa kau mencuri jurus-jurus perguruan kami?" tanya pemuda itu terdengar seperti erangan suaranya.

"Kau pasti dari golongan hitam yang diutus untuk memata- matai kaml.." Andika bukannya menjawab, tapi malah mesem- mesem menahan tawa yang mau pecah saat itu juga. Tiba- tiba, timbul pikiran-pikiran nakal yang kebanyakan dimiliki anak gelandangan di kotapraja.

"Apa kau tidak melihat jurusku? Kalau diperhatikan, pasti kau tahu dari perguruan mana aku," kata Andika lantang, dengan wajah dibuat seangkuh mungkin.

Murid Perguruan Trisula Kembar hanya menautkan alis sambil tetap memegangi ulu hatinya yang masih terasa mual.

"Perguruan mana, ya? Kuda-kudanya memang kuda- kuda milik Perguruan Trisula Kembar. Tapi jurus yang dipakai untuk mematahkan seranganku, rasanya baru kali ini kulihat," pikir orang itu tetap meringis.

"Dasar murid tolol" umpat Andika dalam hati.

"Ada apa ini?" Tiba-tiba terdengar teriak seseorang di belakang Andika, sekitar tiga tombak jauhnya. Dan seketika kedua orang itu kontan melihat ke arah datangnya suara.

"Oh, Kakang Soma.... Jembel kurus bau ini kupergoki sedang memata-matai perguruan kita di atas pohon itu," lapor murid Perguruan Trisula Kembar, ketika mengenali orang yang baru datang itu. Dan dia lantas menjura.

Andika tahu, orangyang baru datang ini adalah yang tadi sedang melatih beberapa murid di halaman depan perguruan Trisula Kembar. Rupanya, dia dipanggil dengan nama Soma. Melihat kehadiran pelatih silat itu, agak ngeri juga Andika Orang yang dipanggil itu melirik Andika. Matanya tampak tenang dan dingin.

"Benar begitu...? Hm, siapa namamu?" tanya Soma cukup ramah, namun belum juga tersenyum.

"Andika," jawab gelandangan itu ragu.

"Benar begitu Andika?" ulang Soma.

"Benar.... Eh, tidak. Maksudku...." "Aaah Bertele-tele kau Sudah, Kang Soma. Tangkap saja bajingan bau ini, lalu kita paksa bicara...." sergah murid yang dipecundangi Andika tadi.

Soma hanya mengangkat sebelah tangan, menyuruh orang itu diam.

"Biarkan dia bicara baik-baik, Gopala." Andika berkali-kali menelan ludah, membayangkan apa yang bakal terjadi pada dirinya nanti. Mungkin nanti akan dipukuli ramai-ramai seperti karung pasir di pekarangan perguruan yang setiap malam dilihatnya. Atau barangkali pula di kat di sebatang kayu, lalu dijemur di terik sinar matahari. Dan bisa juga.... "Andika...." Andika terperangah. Dia lupa kalau pertanyaan Soma tadi belum dijawab.

"Maksudku tadi, tidak benar kalau aku memata-matai perguruan ini, aku hanya...." "Hanya apa?" pancing Soma kembali. Wajahnya tak berubah sedikit pun, seakan terbuat dari batu yang dipahat.

"Hanya sedikit mengintip agar bisa belajar satu-dua jurus...," ungkap Andika akhirnya.

"Sudah berapa lama itu kau lakukan?" "Hanya baru..., dua purnama." "Huh Dua purnama, kok baru...," celetuk murid vang dipanggil Gopala itu.

Beberapa saat Soma hanya memainkan dagu dengan jari tangan kanannya. Dan matanya jatuh ke arah i erumputan yang berselimut sinar bulan temaram.

"Sudikah kau memperlihatkan jurus-jurus yang telah didapat selama di perguruan kami?" pinta Soma.

Andika kontan terkejut mendengar tawaran itu, dan benaknya sudah membayangkan dirinya yang berdiri di pelataran perguruan, lalu memainkan beberapa jurus di bawah sinar bulan. Memang, itulah yang diidam- idamkannya selama ini.

"Bagaimana, Andika? Anggap saja ini undangan dari kami...." "Oh Baik... baik," jawab Andika cepat-cepat Seakan takut kalau undangan itu hanya berlaku hanya sekali saja.

Andika segera menjura seperti layaknya murid Perguruan Trisula Kembar pada Soma. Saat itulah Andika mtlihat untuk pertama kalinya senyum Soma yang ramah dan tak dibuat-buat.

***
 Soma memperkenalkan Andika kepada laki-laki setengah baya yang juga menggunakan pakaian hitam- hitam. Penampilannya sederhana, tidak jauh beda dengan murid-murid yang lain. Dan ini memberi kesan seakan orang itu tidak memiliki pengaruh apa-apa di perguruan itu.

Namun ketika Soma bersikap normat dan menjura kepadanya sambil memanggil guru, barulah Andika tahu kalau laki-laki bertubuh sedang itu adalah orang paling berpengaruh di situ.

Dan Andika segera menyusul memberi hormat "Kita kedatangan tamu, Guru," papar Soma.

"Namanya Andika. Dan dia selama dua purnama ini mencoba mempelajari jurus-jurus perguruan kita dari atas sebuah pohon." "Hm...," gumam laki-laki setengah baya itu berwibawa dengan melipat tangan di depan dada.

"Hm. Namaku Ki Sanca. Dan aku adalah Ketu; Perguruan Trisula Kembar. O, ya. Benarkah yang dikatakan muridku itu, Nak Andika?" tanya laki-laki setengah baya yang memperkenalkan diri sebagai Ki Sanca "Benar, Ki," jawab Andika singkat.

"Sampai jurus apa yang kau dapatkan?" "Kalau tidak salah sampai jurus...," 'Sapuan Trisu Kembar'," jawab Andika lagi, tanpa ingin menyembunyikan sedikit pun. Begitu lugu sikapnya.

Soma yang masih berdiri di sisi Andika terperanjat Sampai-sampai dia bergumam sendiri. Bahkan Ki Sanca pun sempat memperlihatkan perubahan air muka, mendengar jawaban polos Andika.

Dari tempat duduknya, Ketua Perguruan Trisu Kembar ini bangkit. Matanya memperhatikan Andik dari mulai ujung kepala hingga ujung kaki. "Memang bukan main anak ini.

Padahal untuk bisa sampai ke jurus yang barusan disebutkan, murid-muridnya yang lain paling tidak membutuhkan waktu paling cepat enam Purnama. Tapi anak ini?" Maukah kau perlihatkan padaku di halaman depan? Andika mengangguk cepat. Ki Sanca bergegas melangkah keluar dari pendopo. Sementara di belakangnya menyusul Andika dan Soma. Dan mereka langsung menuju ke halaman depan perguruan yang biasa digunakan untuk berlatih.

Begitu sampai di luar, Ki Sanca segera memerintahkan murid-muridnya berdiri membentuk lingkaran besar. Sementara di tengah-tengahnya Andika sudah berdiri dengan wajah berbinar. Sedikit pun tak ada garis kesombongan terlintas di wajah anak berumur belasan ini.

"Ya, silakan mulai," Ki Sanca memberi aba-aba dari pinggir lingkaran.

Andika memulai. Seketika tubuhnya menjura sebagaimana kebiasaan perguruan itu. Dan kini dia memulai dengan membuka jurus-jurus pertama.

Jurus demi jurus dimainkannya dengan cukup memukau. Terlihat amat mantap. Setiap kali menyambung satu jurus dengan jurus lain, terlihat gerakannya yang mengagumkan. Biarpun di mata Ki Sanca gerakan-gerakan itu tak memiliki pertahanan kokoh, namun anak muda belasan itu tetap dikaguminya. Kalaupun ada kekurangan, itu disebabkan dia melatih sendiri setiap jurus yang didapat.

"Guru. Menurutku anak ini punya bakat luar biasa," bisik Soma yang menjadi murid tertua perguruan, kepada Ki Sanca yang berdiri di sebelahnya.

Ki Sanca melirik muridnya, lalu tersenyum. "Apa artinya itu, Soma?" "Apa, Guru?" Soma balik bertanya seraya meng angkat bahu dan ikut tersenyum.

"Kau sepertinya mengusulkan padaku untuk mej nerima dia sebagai murid. Begitu, kan?" tebak Ki Sana langsung.

"Kira-kira begitu, Guru," kata Soma. Paras mukanya nampak seperti yang berpikir sungguh-sungguh.

Ki Sanca terkekeh kecil.

"Yah. Entah kenapa, aku juga berpikir kalau anak itu berbakat luar biasa...," desah Ki Sanca.

Diliriknya Soma yang kini memperlihatkan kepuasan di wajahnya.

"Cukup Cukup... Andika. Guru kami hari ini ternyata mau bermurah hati," ujar Soma. Andika seketika menghentikan gerakan jurusnya. Dia kemudian menjura kepada Ki Sanca dan Soma, lal kepada seluruh murid yang melingkarinya. Sebentar k« mudian kakinya melangkah ke arah Soma.

"Jadi aku boleh pergi dari sini, tanpa dihukum? "Lebih dari itu. Guru kami mengizinkan kau menjadi murid perguruan ini...." Mata Andika melotot tak percaya. Mulutnya menganga, persis orang bodoh yang melihat wanita cantik "Sungguhkah itu?" tanya Andika lugu. Namun tiba tiba....

"Tunggu Tunggu dulu, Kang Soma Bagaimana kalau dia ternyata mata-mata yang ingin menghancurkan perguruan kita? Bagaimana kalau anak ini murid dari orang tokoh hitam?" sebuah suara bernada tak senang tiba-tiba terdengar.

Soma seketika menoleh pada sumber suara, yang ternyata berasal dari murid yang dipecundangi Andika tadi.

Pemuda berwajah kasar yang bernama Gopala itu jelas- jelas tidak senang terhadap keputusan Soma. Cara memandang Andika pun amat sinis, bagai menyimpan bara dendam di kedua biji matanya.

"Apa alasanmu?" selidik Soma mewakili Ki Sanca.

"Tidak hanya jurus-jurus kita yang dimilikinya. Tapi juga jurus-jurus lain yang kuyakini berasal dari perguruannya pun dimilikinya. Dia hanya berpura-pura supaya kita menerimanya, lalu dengan leluasa mempelajari jurus-jurus kita. Sampai pada akhirnya nanti, dia akan membawa perguruannya ke sini. Dan...," Gopala tidak meneruskan.

"Bagaimana kau yakin begitu, Gopala?" sela Ki Sanca.

Laki-laki setengah baya itu memang belum tahu tentang pertarungan kecil antara Andika dengan Gopala.

"Aku sempat bertarung dengannya tadi, Guru. Dia mengeluarkan jurus-jurus aneh. Dan..., dan dia menjatuhkan saya," urai Gopala malu-malu.

Ki Sanca beralih kepada Andika. "Benar begitu, Nak Andika?" Andika tidak langsung menjawab apa yang ditanyakan Ki Sanca. Dan tubuhnya malah bergerak, memperlihatkan tiga jurus 'Trisula Terbang' yang digabungkan secara cerdik, hingga tampak sebagai jurus-jurus baru.

Sebagai orang yang memiliki kejelian, serta banyak menelan pahit manisnya dunia persilatan, Ki Sanca mampu menebak jurus-jurus apa yang dimainkan Andika.

Terlebih, jurus-jurus yang digabung Andika adalah ciptaannya sendiri yang sudah menyatu dengan darah dan dagingnya.

"Trisula Terbang' jurus tujuh, delapan, dan sem-bilan," kata Ki Sanca sengaja dikeraskan, agar murid-muridnya mendengar. "Bukan begitu, Nak Andika?" "Betul, Ki.... Maaf kalau aku lancang." Gopala seperti tidak percaya dengan apa yang di- dengar dari Ki Sanca. Demikian juga murid-murid yang lain, termasuk Soma. Wajah-wajah mereka memancarkan keterkejutan yang amat sangat.

"Begitulah kenyataannya," tutur Ki Sanca menjawab lirikan Soma yang menyimpan tanya.

Lalu dengan langkah tenang, Ki Sanca kembali masuk pendopo, di ringi penghormatan seluruh murid dengan menjura bersamaan.

Diam-diam hati Ki Sanca menyayangkan Andika menjadi muridnya. Bukan apa-apa, Ki Sanca amat yakin kalau bakat alam yang dimiliki Andika yang begitu luar biasa, suatu saat akan membuat diri anak muda itu men jadi pendekar digdaya yang sulit ditandingi. Itu pun kalau guru yang mendidiknya dari golongan putih.

***
2
Pagi selalu datang ramah bulan-bulan belakangan.

Atap Perguruan Trisula Kembar yang terbuat dari pelipah kelapa, tersentuh hangatnya mentari pagi. Satwa penghuni bukit sebagian memperdengarkan kidung alam yang damai.

Sejak pagi buta tadi, seluruh penghuni perguruan telah sibuk melaksanakan tugas masing-masing. Sebagian murid membelah kayu bakar, sebagian lain mengisi air di pancuran sebelah selatan bukit. Mereka juga menggarap ladang jagung yang luas, terletak tepat di belakang padepokan. Hasilnya memang cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan sisanya bisa dijual di kotapraja untuk keperluan lain.

Sedangkan tugas murid-murid wanita adalah memasak, mencuci, berbenah-benah, dan pekerjaan yang lain. Namun sebenarnya mereka lebih banyak hanya membantu jalannya kehidupan sehari-hari Perguruan Trisula Kembar.

Memang jika diperhatikan, perguruan ini tak beda jauh dengan sebuah perkampungan kecil di atas bukit.

Segala segi-segi kehidupan masyarakat tercermin diperguruan ini.

Dan Andika tak luput dari tugas. Pemuda tanggung ini mcmbantu Soma yang kini resmi menjadi saudara perguruan. Atau tepatnya, kakak seperguruan. Bersama tiga orang murid lain, mereka tampak membel kayu bakar.

Di tengah-tengah kesibukan mereka bekerja itulah Andika menceritakan asal-usul dirinya. Soma dan tiga orang murid lain mendengarkan penuh perhatian.

Berdasarkan cerita orang yang menemukannya enam belas tahun lalu Andika ditemukan sebagai bayi merah oleh seorang pencopet tua di pinggir hutan. Mulanya pencopet tua itu tidak ingin peduli. Tapi ketika dia melihat dengan mata kepala sendiri si bayi itu demikian tenang tanpa tangis, tengah bermain bersama seekor ular berbisa besar, barulah disadari kalau bayi ini bukanlah bayi biasa.

Dan hal ini membuat si pengemis tertegun.

Maka dengan segera, diambilnya dahan pohon untuk mengusir ular itu. Begitu ular pergi, bayi itu segera dibawa ke gubuknya di pinggir hutan sebelah timur. Mulailah kehidupan baru bagi bayi itu.

Di sanalah dia dibesarkan dan dididik oleh pengemis tua. Bahkan ilmu copet-mencopet pun diajarkannya pula.

Menginjak usia tujuh tahun, Andika telah menjadi pencopet lihai di kotapraja. Bocah itu memang telah menjadi musuh bagi saudagar-saudagar kaya yang culasj kaki tangan adipati yang menarik pajak dari rakyat kecil bahkan para begal berbahaya yang biasa meminta darah dan nyawa orang kecil.

Ternyata, sebagian besar hasil jarahan, oleh Andika bdikembalikan ke orang-orang kecil yang selama ini megap-megap didesak berbagai pihak yang merasa dirinya berkuasa. Dan nilai-nilai seperti itu sebenarnya tidak pernah diajari ayah angkatnya. Bahkan niat pengemis tua itu memelihara Andika, sebenarnya bertujuan tidak baik.

Dia ingin bila sudah terlalu tua dan tidak bisa lagi bekerja, Andika dapat menggantikannya. Dan dia tinggal menerima hasilnya saja.

Ternyata, cita-cita licik itu jauh dari kenyataan.

Buktinya, ada suatu cahaya kemuliaan di garba jiwa anak itu yang sulit ditembus oleh didikannya yang keras sekalipun. Dan pencopet itu memang tak mungkin merubahnya.

Maka, setiap kali Andika pulang menjarah di kotapraja tanpa hasil banyak, karena sudah mengalir pada tangan- tangan kurus rakyat menderita, pengemis tua itu mendampratnya habis-habisan dan memukulinya. Bahkan mengikatnya di sebuah batang pohon tinggi dalam keadaan menggantung, dengan kaki di atas selama seharian.

Berkali-kali hal itu terjadi, namun cahaya di garba jiwa Andika tetap tidak memudar sedikit pun. Sampai suatu hari, pengemis tua itu sudah demikian murka. Anak itu hendak dibunuhnya dengan sebilah balok besar. Andika terpaksa lari menyelamatkan diri, karena dikejar pengemis yang kalap dan menyumpahinya.

"Anak sundal Berhenti kau Biar kubunuh kau, Seperti orang tuamu yang membuangmuke hutan Kalau tahu kau seperti ini, biar setan hutan mengutukmu" dengus pengemis tua kala itu.

"Jadi kau tak pernah tahu siapa orangtuamu?" tanya Soma, ketika Andika selesai bercerita, tanpa menghentikan ayunan kampak besarnya ke arah kayu yang hendak dibelah.

Andika menggeleng. Disapunya peluh di kening dengan punggung tangan.

"Barangkali, itulah yang dinamakan takdir. Aku rasa tidak ada gunanya memikirkan apa-apa yang sudah terjadi, Kang," kata bocah tanggung itu, tenang.

Soma meninju bahu kurus Andika, untuk sekadar menghibur.

"Sangat betul, Andika," ucap Soma kemudian.

"Lantas, kalau sekarang sudah menjadi seorang murid perguruan ini, apa pekerjaanmu yang dulu itu akan terus dijalani?" "Menurut Kang Soma sendiri?" Andika malah balik bertanya.

"Kalau aku jadi dirimu.... Hm..., maksudku memiliki ilmu mencopet selihaimu, aku tidak akan berhenti...." "Kenapa begitu, Kang?" 'Hei, Copet Kecil Budiman Siapa lagi nanti yang bakal mengembalikan uang rakyat jelata yang dirampas paksa orang-orang terkutuk itu?" kata Soma, yang dibarengi tawanya. Mereka semua yang ada di situ ikut tertawa.

Sedangkan Andika hanya mesem-mesem, menahan malu.

'Terus terang, kalau kau hendak mencari ilmu kedigdayaan, di sini bukanlah tempat yang tepat. Kau lihat sendiri, kehidupan di sini lebih mirip sebuah desa dibanding sebuah perguruan silat," papar Soma. "Kami hanya ingin hidup tenang di tempat terpencil ini. Kalaupun Ki Sanca mengajarkan kami ilmu silat, semata-mata hanya untuk dapat mempertahankan diri jika sewaktu-waktu diperlukan. Kami hanya ingin lari dari huru-hara dunia persilatan yang bengis. Banyak di antara kami yang sudah berkeluarga dan hidup damai di sini. Rasanya itu pun sudah cukup tanpa perlu menyabung uyawa, agar bisa diakui menjadi yang terhebat di dunia persilatan." "Tapi, kebenaran toh, harus tetap ditegakkan," sergah Andika, tidak begitu setuju dengan ucapan Soma.

"Memang..., namun harus disadari kemampuan kita.

Ilmu milik perguruan ini tidak ada seujung kuku dibanding ilmu tokoh golongan hitam yang kini meraja lela di dunia persilatan. Lalu, haruskah kami membuang nyawa tanpa hasil yang bisa diharapkan?" sahut Soma.

Soma langsung menghentikan kerjanya, menatap Andika. Seakan dia meminta jawaban anak belasan tahun itu dengan kedua bola matanya. Dan Andika hanya menggeleng.

Sedangkan Soma kembali menggerakkan tangannya, untuk menancapkan kapak pada potongan batang kayu besar.

"Andai aku memiliki kedigdayaan seperti Ki Panji Agung.. Hm..., tentu aku tak akan tinggal diam di tempat ini...," gumam Soma, diiringi keluhan yang begitu jadi beban dalam dadanya.

. "Ki Panji Agung?" Andika seperti bertanya pada diri sendiri "Beliau tokoh golongan putih dari keluarga Pendekar LembahKutukan.Ilmunya sulit ditandingi tokoh-tokoh golongan hitam puluhan tahun silam," jelas Soma "Ke mana sekarang beliau?" tanya Andika lagi, ingin tahu.

"Entah, beliau menghilang begitu saja seperti angin Malah kini sudah menjadi dongeng ksatriaan yang dibicarakan rakyat jelata dari mulut ke mulut. Seperti halnya keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan lain yang juga hanya jadi dongeng untuk mengiringi tidur anak- anak rakyat jelata setiap malam. Mereka memang selalu berharap, keluarga pembela kebenaran itu akan hadir lagi untuk membela yang lemah," desah Soma.

"Sayang..., padahal Ki Panji Agung amat dibutuhkan sekarang ini," keluh Andika.

"Ya Kita hanya dapat berharap seperti rakyat jelata, agar lahir kembali pendekar-pendekar, seperti keluarga Pendekar Lembah Kutukan...," kata Soma, sambil mengacak-acak rambut sebatas bahu Andika.

Dan pemuda tanggung itu hanya diam saja, membayangkan kehebatan keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Dalam hati, Andika memang berharap bisa menjadi seperti mereka.

"Siapa tahu kau nanti bisa seperti beliau, An... tutur Soma menambahkan.

"Omong kosong... Mana mungkin pepesan teri seperti saya bisa jadi pendekar," potong Andika dengan mata membelalak. Keduanya tertawa berbareng.

Malam telah rebah di kaki Gunung Menjangan. Gelap merambat perlahan menyelimuti sekitarnya. Di sebelah timur kaki gunung yang berhadapan dengan jurang terjal mengerikan, tampak tiga sosok tubuh berdiri tegang.

Dalam gelap yang tak terjangkau cahaya satu benda langit pun, sosok mereka seperti bayangan saja.

"Panji Agung Panji Agung... Keluarlah kau, Tua Bangka Keparat Apa tulang-tulang rapuh dan daging peotmu membuat cepat ngantuk?" Teriakan menggelegar yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi terdengar dari salah seorang diantara mereka. Gemanya menelusup ke sela-sela pohon, dan memantul pada lekuk pegunungan sebelah barat.

Bahkan sampai menggugurkan daun-daun pepohonan di sekitar mereka "Cepatlah keluar, Pendekar Tua Apa kau takut menghadapi kematian?" Kembali terdengar teriakan menggema, namun tidak ada tanda-tanda sahutan dari orang yang diteriaki. Hanya gema suara teriakan itu yang terdengar di antara desir angin malam yang dingin menusuk.

"Panji Agung" teriak orang yang mengenakan pakaian serba hitam terbuat dari beberapa lapis sutera.

Wajah orang itu tampan dan kelimis. Namun, berkesan amat dingin. Matanya yang tajam mengedari seluruh kaki gunung. Tak beda dengan mata seekor ular liar di kegelapan yang menanti mangsa.

"Panji Agung, aku Begal Ireng Aku kembali untuk kematianmu, Tua Keparat" teriak orang yang mengaku sebagai Begal Ireng kembali. Suaranya terdengar menggelegar bagai halilintar.

Sementara itu, dua orang lain tetap mematung. Hanya jubah putihnya yang sedikit menggelepar diusik angin.

Keduanya bagai tidak bisa dibedakan, karen sama-sama berkepala gundul dan bermata sipit. Ditambah kulit yang pucat, mudah diduga kalau mereka berasal dari daratan Tiongkok. Di kalangan persilatan, mereka dikenal sebagai si Kembar dari Tiongkok. Du tokoh golongan hitam amat dingin dalam menghabii lawan-lawannya. Kekejaman mereka seperti tergambar dari bibirnya yang terlalu tipis dan melekuk sinis.

"Aku tahu, kau ada di dalam pondok di atas sana Panji Agung Jangan sampai aku menyebutmu sebaga pendekar pengecut" Lagi-lagi Begal Ireng berteriak lantang. Kali in suaranya diwarnai tekanan-tekanan marah memuncak Dan tak lama kemudian....

"Ada apa, Tua Bangka Begal Ireng?" tiba-tiba terdengar sahutan berwibawa yang amat dekat dengan mereka. Namun, sesungguhnya asal suara itu sendiri amat jauh dari atas pegunungan. Sungguh suatu pengiriman suara dengan tingkat tenaga dalam mempesona. Bahkan hanya bisa dilakukan oleh segelintir tokoh persilatan bertenaga dalam sangat tinggi. Dan salah satunya adala Ki Panji Agung "Jangan coba menyebutku tua bangka lagi Da jangan main sembunyi-sembunyi seperti ini, Peot" dengus Begal Ireng.

"Ha ha ha.. Apa dipikir kau masih muda, Bega Ireng? Jangan lupa, kau adalah salah satu orang tua yang tak tahu diri di dunia ini. Lantas, kenapa tidak mau menerima kenyataan? Takut tidak bisa 'menggarap' perawan lagi, sehingga merasa perlu menuntut ilmu awet muda?" ejek Ki Panji Agung, masih belum menampakkan diri.

"Diam" murka Begal Ireng. Tangannya langsung berkelebat, melepaskan pukulan jarak jauh Sebatang pohon cemara besar saat itu juga tumbang berderak menjadi sasaran kekesalan lewat pukulan jarak jauhnya.

"Ha ha ha...." Tahu-tahu Ki Panji Agung telah berada di pucuk sebuah pohon cemara di hadapan mereka. Dia memakai ikat kepala merah, berjenggot putih, dan berambut menjuntai sepinggang berwarna putih pula. Tubuhnya yang kurus tidak membuatnya kelihatan loyo. Wajahnya tampak menyimpan kerutan, namun memperlihatkan kewibawaan.

"Apa keperluanmu hingga sudi bertandang ke tempat menyepiku ini, Begal Ireng?" sambut Ki Panji Agung.

Bibirnya terus saja tersenyum ringan.

"Hanya ada satu keperluanku. Mengirim kau ke Neraka" tegas Begal Ireng.

"Ah Kau pasti tahu, itu bukan tempatku, Begal Ireng" Tubuh Ki Panji Agung langsung melenting, dan berputaran beberapa kali di udara. Lalu, kakinya ringan bagai sehelai bulu. Dan kini, pada jarak sekitar lima tombak, dia berhadapan dengan Begal Ireng dan si kembar dari Tiongkok.

"Kalau aku tak salah duga, ini pasti urusan lama yang menghangat kembali. Begitu?" tanya Ki Panji Agung, pura- pura bodoh.

Mata Begal Ireng yang nyalang menusuk, langsungj bertemu dua bola mata kelabu Ki Panji Agung. Dan mulutnya masih dengan mimik sinis. "Kau belum begitu pikun untuk mengingat peristiwa empat puluh tiga tahun lalu, bukan?" kata Begal Ireng, dengan wajah meremehkan.

Mendapat pertanyaan ini, Ki Panji Agung hanya tertawa. Dan ini membuat beberapa kerutan di wajah nya meregang. Dia ingat betul kejadian itu. Jadi, benar ini memang urusan lama yang rupanya hendak diperuncing setan belang si Begal Ireng.

"Tentu saja aku ingat. Waktu itu, ada seorang pecundang berjuluk si Pencabut Nyawa yang gagal melaksanakan niat busuknya, untuk menggulingkan Sang Prabu. Pecundang itu adalah kau sendiri, Begal Ireng..., kata Ki Panji Agung, lantang.

Seketika terdengar gemeletuk gigi-gigi beradu milik Begal Ireng, begitu Ki Panji Agung selesai mengucap kan kata-katanya.

"Bagus kalau masih ingat, Keparat Dengan begitu aku bisa menjelaskan tekadku yang mungkin belum kau dengar selama memencilkan diri di lubang tikus. Pertama, aku Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa tidak akan berhenti melaksanakan keinginannya sampai ajal menjemput Yang jelas, sang Prabu harus menyerahkan kursi istananya kepadaku Kedua, kau masi punya waktu untuk mengejekku sebagai pecundang sebelum niatku terlaksana..., untuk membunuhmu" kata Begal Ireng, lantang.

"O, o.... Kau takut aku akan menghalangimu lagi untuk merebut kekuasaan kerajaan, hingga merasa perlu menghabisiku? Kalau itu maumu, silakan," timpal Ki Panji Agung, tenang.

Dan kini tidak ada suara terlontar dari mulut mereka.

Suasana jadi hening mencekam. Hanya terdengar bisikan angin yang melaju di sela kaki gunung. Bahkan Binatang malam yang mestinya telah memperdengarkan nyanyiannya, kali ini seperti enggan bersuara. Sepertinya, mereka tahu kalau saat ini ada kekuatan besar yang akan meledak dalam suatu pertempuran maut. "Hiaaat" Keheningan kontan pecah oleh teriakan menusuk angkasa. Begal Ireng segera memulai pertempuran dengan satu serangan mengerikan. Tangannya yang telah terisi tenaga dalam, menebas bagian leher Ki Panji Agung. Suatu serangan menggeledek, sehingga menimbulkan bunyi yang mendirikan bulu roma.

Singngng...

Ki Panji Agung yang telah waspada sejak tadi, sedikit menggeser tubuhnya ke kiri, menghindari tebasan tangan Begal Ireng. Sehingga serangan tangan yang terbuka milik Begal Ireng hanya lewat sejengkal dari lehernya Namun tak urung, Ki Panji Agung bisa merasakan pedih akibat angin pukulan tadi.

Serangan berikutnya menderu lebih ganas. Sebelah kaki Begal Ireng bagai memiliki mata, mengejar ke mana saja Ki Panji Agung bergerak. Bahkan serangan- serangannya selalu mengarah pada bagian-bagian yang mematikan Ki Panji Agung sama sekali belum balas menyerang Dengan agak kewalahan, dia berusaha mengelak dan menangkis. Sungguh, Ki Panji Agung tidak menyangka kalau kepandaian Begal Ireng maju demikian pesat Sehingga untuk beberapa saat tadi, dia sempat terkesiap.

Dibanding empat puluh tiga tahun yang lalu, meski Begal Ireng masuk dalam jajaran tokoh atas golongan hitam, namun kemampuannya masih beberapa tingkat di bawah Ki Panji Agung. Pada saat dia hendak berbuat makar terhadap Prabu Mahesa, Ki Panji Agung yang saat itu menjadi tokoh golongan putih, muncul mematahkan rencana jahatnya. Sengaja nyawa Begal Ireng dan komplotannya tidak dihabisi, karena diharapkan di lain waktu dapat bertobat. Namun kenyataannya sekarang? Biarpun serangan-serangan Begal Ireng sangat merepotkan, namun belum ada satu hantaman pun yang menyentuh tokoh tua digdaya ini.

Memang, kecepatan dan tenaga dalam yang dimiliki beberapa keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan, sulit dicari tandingannya. Seperti juga Ki Panji Agung, sebagai salah satu keturunan keluarga itu.

Dunia persilatan menyebut kecepatan dan kekuat an tenaga dalam yang dimiliki keluarga Pendekar Lem bah Kutukan sebagai ilmu 'Siluman' karena apabila di gunakan, hasilnya memang menakjubkan.

Tampaknya, untuk dua hal itu Begal Ireng masih belum mampu menandingi Ki Panji Agung. Sehingga ketikaKi Panji Agung mulai melancarkan serangan balasan, tokoh bengis itu jadi berada di bawah angin.

Sampai suatu saat, Ki Panji Agung melancarkan serangan pukulan ke dada kiri Begal Ireng. Dengan agak terkesiap, tokoh hitam ini mengebutkan tangan kirinya dengan gerakan menyilang. Namun sungguh di luar dugaan, Ki Panji Agung memutar tangan kanannya, dan langsung bergerak menggedor dada Begal Ireng. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

Desss "Aaakh" Tubuh Begal Ireng kontan melayang lurus, begitu dadanya terkena hantaman yang disertai tenaga dalam dari tangan kanan Ki Panji Agung. Diiringi keluhan tertahan, tubuhnya terus melayang dan kontan menghantam sebuah pohon besar di belakangnya hingga Iangsung hancur. Sepuluh tombak di depan Ki Panji Agung, kini Begal Ireng tergeletak memegangi bagian dadanya sambil meringis, dia bangkit.

Lagi-lagi Ki Panji Agung terkesiap. Betapa tidak? Pukulannya tadi amat dikenalnya, karena memang milik Keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Bahkan pukulan itu dapat menyerpihkan batu karang besar sekalipun. Tapi, nampaknya tidak ada pengaruh besar yang terjadi pada diri Begal Ireng. Ilmu apa yang kini dikuasainya? "'Pukulan Geledek' tingkat lima milikmu tidak berarti apa-apa buatku, Panji Agung," ledek Begal Ireng dengan wajah amat sinis. "Kau bahkan tidak akan mampu membinasakanku meski pukulan kotoran kucing itu dikerahkan hingga puncaknya Ha ha ha..." Sehabis berkata demikian, Begal Ireng kembali menyerang. Kali ini, tangannya sudah menggenggam cemeti yang dilepas dari bagian pinggangnya, setelah sejak tadi hanya dililitkan. Cletarrr Bunyi cemeti yang bisa memecahkan gendang telinga seseorang yang berilmu cetek seketika terdenga menggelegar. Tidak itu saja. Gesekan cemeti dengan udara pun menimbulkan percik-percik api yang membuat nyali setiap orang yang melihat menjadi ciut.

Tapi tidak untuk Ki Panji Agung. Asam garam yanj ditelannya dalam mengarungi rimba persilatan selama ini, membuatnya tetap tenang menanti serangan. Meski dia tahu, kali ini bisa saja nyawanya benar-benar terancam....

Cletarrr Cemeti yang terbuat dari satu akar tumbuhan beracun itu melesat menuju wajah Ki Panji Agung. Dengan sigap Ki Panji Agung melenting ke udara. Memang menghadapi senjata seperti itu, dia tidak boleh bertempur dalam jarak jauh. Karena itu sambil berkelit, tubuhnya berjumpalitan memperkecil jarak dengan Bega Ireng.

Tapi Begal Ireng rupanya juga tidak bodoh. Dengan membarengi gerakan salto Ki Panji Agung, tubuhnya pun melenting menjaga jarak. Bagai dua buah bola mereka berputaran di udara, di antara batang-batang pohon cemara. Dan saat itulah Begal Ireng menjalankan rencana licik yang sebelumnya telah direncanakan matang dengan dua orang botak yang selama pertarungan terjadi hanya diam mematung.

Dengan tubuh masih melayang di udara, Begal ireng melecutkan cemetinya, sebagai isyarat kalau rencana segera dilaksanakan Maka seketika tubuh si Kembar dari Tiongkok yang tadinya mematung, dalam waktu singkat telah membentuk sebuah gerakan bersama. Sekejap satu tangan mereka mengerahkan dua kekuatan yang tergabung pada masing- masing telapak. Tiba-tiba, telapak tangan yang bersatu itu memerah. Dan dalam sekejap pula, satu tangan yang lain diarahkan pada tubuh Ki Panji Agung yang masih melayang di udara Sehingga....

Whush...

Bunyi angin pukulan jarak jauh yang digabung dua orang botak itu melesat memburu tubuh tua Ki Panji Agung. Maka....

Desss Memang begitu cepat pukulan jarak jauh itu, sehingga KiPanji Agung tak mampu menghindari. Apalagi tubuhnya saat itu tengah berada di udara. Maka tak beda dengan sebuah durian, tubuh Ki Panji Agung kontan nuluncur jatuh terhantam pukulan jarak jauh licik itu. Suara berdebum terdengar saat tubuh kurus Ki Panji Agung menghujam tanah.

"Ha ha ha...." Megitu mendarat di tanah, Begal Ireng tertawa terbahak-bahak puas, dengan dada membusung.

Sementara tangannya sudah menggenggam cemetinya kembali.

"Bagaimana, Ki Panji Agung? Lumayan kan, pukulan jarak jauh dua sobatku itu?" ejek tokoh sesat itu kepada Ki Panji Agung yang mulai bangkit dengan mulut meneteskan darah.

Tokoh tua aliran putih itu menatap tajam, lurus lurus ke arah Begal Ireng. Kemarahan pendekar tua ini kini menggejolak sampai ke ubun-ubun.

"Tikus busuk macam kau, memang tidak pernah malu bertindak curang...," dengus Ki Panji Agung sambi menahan sakit yang mendera di bagian belakang tubuh nya.

'Apa kau merasa aneh melihat perbuatanku? Mestinya lebih berhati-hatilah kalau sudah tahu begitu..., kembali Begal Ireng meledek.

Begal Ireng tawanya yang terbahak, mengusik pelosok kaki gunung. "Sekarang, bersiaplah menerima kematianmu, Tua Bangka...," lanjut Begal Ireng penuh ancaman.

Ki Panji Agung yang menyadari kalau keadaannya tidak menguntungkan, segera saja mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Sebelumnya, dia telah menotok beberapa jalan darah di bagian tubuhnya, tatkala mengetahui kalau pukulan si Kembar dari Tiongkok ternyata beracun.

"Hiaaat...." Begal Ireng mulai merangsek kembali. Serangannya sekarang tidak tanggung-tanggung lagi. Cemetinya menggeletar di udara, menimbulkan bunyi menggelegar dan percikan api. Bahkan sekarang dua orang botak itu ikut andil pula dalam serangan puncak. Dengan ganas mereka mengeroyok pendekar tua beraliran putih in Maka pertarungan sengit tak dapat dielakkan lagi.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Pendekar tua berkesaktian tinggi itu rupanya tetap tidak mudah diruntuhkan, meski telah terluka dalam yang parah. Pukulan-pukulan geledeknya yang telah dikerahkan hingga puncaknya, beberapa kali membuat kekompakan tiga orang pcngeroyoknya menjadi sedikit kacau.

Hingga menjelang fajar, pertarungan alot ini terus l»crlangsung.

Sementara tubuh Ki Panji Agung sudah terkoyak disana-sini, terkena sabetan cemeti Begal Ireng yang setajam mata pedang iblis. Darah makin banyak mengucur dari tubuhnya. Dan ini membuat Ki Panji Agung semakin lemah dan tersuruk-suruk di antara serangan bertubi-tubi tiga tokoh golongan hitam itu.

Hingga matahari mulai mengintip di ujung timur cakrawala, sebuah sabetan cemeti Begal Ireng melecut ke bagian mata Ki Panji Agung.

Ctarrr "Aaakh" Belum juga Ki Panji Agung menguasai diri, dua pukulan berisi tenaga pamungkas dari si Kembar dari Tiongkok seketika menghantam dada kiri dan kanan Ki Panji Agung.

"Ugh" Ki Panji Agung memang sudah tak kuasa menghindar dari dua serangan itu. Tubuhnya kontan terpental amat jauh diiringi pekikan tertahan. Dan tubuhnya lurus meluncur seperti batu yang dilontarkan. Kemudian, dia jatuh di muka bumi dan langsung terguling-guling mengenaskan.

Tubuh Ki Panji Agung hanya sempat bergeming sedikit. Kepalanya bergerak dengan mata menatap sayu ke arah tiga pengeroyoknya. Anehnya, bibirnya justru tersenyum. Dan ini membuat Begal Ireng menautkan alis tak mengerti.

Sesaat kemudian, Ki Panji Agung tak berkutik lagi.

Pendekar tua yang sakti itu telah tiada. Dengan sebuah senyum manis menyertai kepergiannya.

Begal Ireng yang mengetahui musuh utamanya telah benar-benar mampus, langsung tertawa terbahak-bahak.

Dianggapnya, itu merupakan kemenangan yang amat besar dalam hidupnya. Selama ini, tidak ada satu tokoh golongan hitam pun yang mampu menandingi KI Panji.

Agung. Apalagi, membunuhnya.

Sedangkan dua orang botak yang membantunya hanya menatap dingin tubuh Ki Panji Agung. Tatapan nya berkesan memuakkan, seperti sedang melihat sepotong bangkai tikus menjijikkan.

Begal Ireng belum puas juga tertawa, sampai akhir nya tercekat oleh sesuatu yang amat ganjil. Dari jasad Ki Panji Agung, tiba-tiba keluar cahaya keperakan yang masih dapat tertangkap mata, karena matahari belum begitu muncul benar.

Sinar itu melayang cepat ke angkasa, lantas meluncur ke arah barat seperti hendak menjauhi matahari Dan sinar itu lurus meluncur, mirip bintang jatuh... menuju Perguruan Trisula Kembar.

Sinar itu terus menembus atap padepokan, lalu menyelusup ke dalam tubuh salah seorang murid yang masih terpulas, karena lelah akibat latihan semalam. Murid itu adalah..., Andika. Dan itu tanpa disadari Andika sendiri.

***
3
Seorang gadis tinggal di padepokan Perguruan Trisula Kembar. Rambutnya panjang disanggul kecil. Tampak anak rambutnya menjuntai di depan telinga. Kulitnya kuning langsat, tubuhnya langsing, dan wajah ayu. Dan itu membuatnya semakin mempesona. Bibir nya yang kerap tersenyum, sering kali menggetarkan kalbu laki-laki.

Namanya, Ningrum.

Kira-kira empat purnama yang lalu, Ningrum datang ke perguruan ini dengan mengaku sebagai tabib wanita yang tersesat di hutan sebelah selatan, ketika mencari rempah-rempah dan dedaunan untuk bahan obat-obatan.

Sejak saat itulah, dia tinggal di sana. karena kebetulan perguruan waktu itu belum memiliki tabib, maka Ki Sanca memutuskan untuk menerima Ningrum.

Dan pagi ini, Ningrum tampak tengah sibuk di dapur perguruan. Tangannya dengan lincah mencari-cari daunan yang digunakan untuk obat, kemudian di tumbuknya.

Setelah itu racikannya dimasukkan ke dalam kuali, dan mulai mengaduk perlahan-lahan. Gadis memang tengah membuat jamu godokan untuk murid-murid Perguruan Trisula Kembar.

"Pagi, Nini...," sapa Andika pada Ningrum yang usia nya lebih tua sekitar lima tahun.

"Pagi...," sahut Ningrum seraya tersenyum teduh.

"Sedang menggodok ramuan apa, Nini?" lanjut Andika.

Padahal, sebenarnya Andika harus membantu Soma membelah kayu bakar seperti biasanya. Tadi, waktu pergi ke dapur untuk mengambil kapak, tanpa sengaja Andika melihat Ningrum. Ada yang menyejukkan hati pemuda tanggung itu, tatkala matanya bertemu tatapan lembut Ningrum. Mata yang berbulu lentik dan memancar indah itu telah menggetarkan sendi-sendi kelaki-lakian Andika Dan pemuda tanggung itu sendiri tidak mcngerti, perasaan apa yang menjalar hatinya.

'Ini ramuan beras kencur...," sahut Ningrum, singkat. "Beras kencur?" tanya Andika dalam hati.

Mendadak terlintas pikiran nakal yang selalu saja muncul di benak anak gelandangan kotapraja seperti Andika.

"Benar," jawab Ningrum, tanpa menghentikan gerakan tangannya yang halus dalam mengaduk kuali tanah liat.

"Untuk pegal kena pukulan bisa?" "Tentu saja, bisa...." "He he he...," batin Andika terkekeh.

Sekejap kemudian wajah Andika dibuat memelas.

Mulutnya meringis-ringis di depan Ningrum.

"Kalau begitu, Nini bisa menolongku, bukan? Tanganku ini semalam kena gagang trisula waktu latihan" ujar Andika seraya menjulurkan tangannya pada ningrum.

"Yang mana?" tanya Ningrum heran, karena tidak melihat ada bekas terpukul sedikit pun pada tangan pemuda tanggung itu.

"Ini..., yang ini," tunjuk Andika pada bagian tangan yang dianggap kaku.

Ningrum memegang tangan kurus itu, dan memperhatikan daerah yang ditunjuk Andika.

"Kok, tidak ada memar?" tanya Ningrum, heran.

"Memang... memang," sergah Andika. "Tapi kalau dipegang, terasa nyeri. Kalau Nini tidak percaya, pegang saja" Walaupun agak sedikit mengerutkan kening kareru bingung, Ningrum memijit juga bagian tangan yang ditunjuk Andika. Setiap kali ditekan, anak badung iti langsung menjerit-jerit seperti amat menderita dengan wajah meringis-ringis sedemikian rupa. Andika tidak peduli, bila wajahnya di mata Ningrum terlihat sepert orang kesakitan.

Atau, lebih mirip orang yang sedang buang hajat besar.

Pokoknya, meringis. Biar sandiwara nya kelihatan benar- benar bagus "Adouuuw" teriak Andika.

"Sakit sekali, ya?" tanya Ningrum kebingungan.

"Iya Kau tahu rasa sakit terkena tusukan seribu sembilu?" kata Andika, menggambarkan rasa sakit yang dibuat-buat.

Dalam hati, Andika sendiri mau tertawa sekeras kerasnya melihat mata Ningrum yang bergerak bingung ketika dia menjerit-jerit.

"Adouuuw" sekali lagi mulut Andika memperde ngarkan teriakan.

"Lho? Aku lean belum memijit tanganmu lagi?" sela Ningrum dengan alis mata terangkat.

"Belum, ya? Ng..., makanya pijit lagi, biar aku teriak lagi...," kata Andika, ketolol-tololan.

Sebelum tangan halus Ningrum memegang kembali lungan kurus Andika, tiba-tiba....

"Lagi apa kau di sini?" Terdengar suara Soma, menegur Andika. Seketika Andika menarik tangannya.

Memang kakak seperguruannya itu sudah berada di belakangnya sambil berkacak pinggang, begitu Andika menoleh. Dan pemuda tanggung itu jadi cengar-cengir.

"Minta beras kencur...," jawab Andika asal jadi.

Soma memelototi anak itu. Dia tahu, apa maksud Andika sebenarnya. Seketika dijewernya telinga Andika sekeras-kerasnya.

"Ayo, ikut aku membelah kayu Orang lain sudah sungsang sumbel, kau masih enak-enak minta beras kencur" "Ampuuun. Ampuuun, Kang Soma" Soma terus berjalan sambil menarik Andika, keluar dari dapur. Setelah agak jauh dari tempat Ningrum, barulah jeweran pada Andika dilepasnya.

"Kau memang tidak boleh melihat 'ayam' mulus" maki Soma, jengkel.

Andika tidak menjawab. Sementara tangannya sibuk mengusap-usap telinganya yang merah matang. Wajah nya masih meringis seperti sewaktu di depan Ningrum. Tapi, kali ini bukan pura-pura lagi.

"Hey Aku bicara denganmu" "Alaaah, Kakang Soma ini.... Kenapa jadi begitu mangkel? Kalau memang Kang Soma juga suka dengan nini tadi itu, saya bersedia mengalah...," canda Andika seenak perut.

Soma hanya menggeleng-geleng kepala.

"Monyet kecil brengsek" hardik Soma, setengah tertawa. Ditamparnya kening Andika, seraya berjalan ke tempat dia tadi membelah kayu.

Bergegas Andika memikul kapak yang tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya yang kurus. Segera disusulnya Soma.

"Kang Tunggu, Kang Nama nini tadi itu siapa, ya tanya Andika ingin tahu.

***
 Siang memanggang bulat-bulat kotapraja, membuat debu jalan menjadi amat ringan. Hingga tatkala angin bertiup, debu-debu itu beterbangan menjengkelkan Matahari memang bersinar terik. Tapi biarpun begitu kotapraja tetap ramai. Terlebih lagi, siang itu ada acara yang banyak mengundang minat orang di sekitarnya.

Soma yang kebetulan pergi ke kotapraja bersa Andika untuk menjual kelebihan jagung dan belanja beberapa keperluan, tidak luput dari rasa ingin tahu. Mereka bergegas mempercepat lari kuda yang menarik pedati.

"Ada apa ya, Kang?" tanya Andika ketika pedati yang dikendarai kini sudah kosong, melewati sebuah kerumunan yang ditengah-tengahnya terdapat sebuah panggung.

"Nampaknya ada pertandingan silat," jawab Soma menduga-duga.

Setahu Soma, jika ada panggung besar di kotapraja seperti itu, biasanya akan ada pertunjukan kesenian takyat, atau pertandingan silat.

"Kita nonton dulu ya, Kang...," ajak Andika, sambil menatap kakak seperguruannya.

"Bagaimana, ya...," Soma ragu-ragu. Dia agak khawatir Ki Sanca nanti menegurnya kalau pulang terlambat.

"Jangan terlalu lama berpikir seperti itu, Kang" usik Andika pada pemuda kekar yang saat itu mengenakan pakaian lurik, sehingga nampak seperti rakyat biasa. Kna toh, perlu juga melihat perkembangan dunia per-•ilntan." Gaya Andika yang selalu tampak sok tahu itu, se-i mgkali membuat Soma geleng-geleng kepala. Apalagi til nt keras kepalanya.

"Kalau Ki Sanca nanti mengomeli kita, biar aku yang itnggung jawab," desak Andika kemudian.

"Baik... baik." Soma menyerah.

Kalau Soma tidak menuruti keinginannya, bisa-bisa di panjang perjalanan pulang kunyuk itu terus saja nyerocos.

Mereka pun menjalankan pedati ke sudut dekat kedai makan, tidak jauh dari panggung itu. Sebentar kemudian, pedati itu ditambatkan di situ. Dalam hati Soma, setelah mereka cukup puas melihat keramaian itu, barulah akan mencari bahan keperluan sehari-hari.

"Ingat, jangan coba macam-macam" pesan Soma tatkala mereka turun dari pedati.

Andika hanya mengacungkan satu ibu jarinya seraya mencibir. Seakan-akan, dia meyakinkan Soma agar tak perlu khawatir dengan dirinya.

Kerumunan orang makin padat saat mereka telah bergabung. Banyak dari mereka yang hadir berpakaian seperti layaknya orang persilatan. Beberapa orang menyandang pedang, sebagian lain ada yang membawa tombak, golok, keris, dan toya. Tampaknya dugaan Soma ada benarnya. Mereka pasti berkumpul untuk ikut dalam pertandingan silat di atas panggung besar di depan sana.

Tiba-tiba Andika menunjuk seorang pendekar wa nita dengan rambut berkepang kuda. Pedang besar yan tidak sesuai dengan tubuhnya, tampak tersandang punggung.

Cantik, namun terlihat judes.

"Lebih cantik mana dia dengan Nini Ningrum? tanya Andika, usil.

Lantas saja Soma menepak jari tangan Andika. Dan seketika pemuda tanggung itu menekuk wajahnya yang menukik itu, makin menukik.

"Kenapa Kang Soma selalu saja gusar kalau aku bicara soal Nini Ningrum?" "Hus Bukan begitu Jarimu yang menunjuk-nunjuk seenaknya itu bisa bikin perkara...." "O, jadi bukan...." "Sudah, diam Apa mulutmu bisa kaku kalau tida bicara agak lama?" "He he he..." Andika menggerak-gerakkan kedua alisnya, menggoda Soma.

"Jadi, apa maumu?" tanya Soma. "Kakang belum jawab pertanyaanku tadi." "Apa?" "Kakang cemburu, bukan?" "Astaga Jadi, kau masih meributkan masalah kemarin pagi itu?" Andika tersenyum nakal, seraya mengangguk mantap.

"Kemarin aku melarangmu mengganggu Nini Ningrum, karena dia lebih tua darimu, Tolol Kau harus hormat kepadanya...," dengus Soma.

"Ah, syukurlah kalau begitu." "Apa maksudmu?" 'Tidak apa-apa...." Kembali mereka mengarahkan pandangan ke atas panggung. Tampak seseorang naik ke atasnya, membacakan sebuah pariwara.

"Saudara-saudara... kisanak dan nisanak Tuan Cokro Adi sebagai seorang saudagar kaya, membutuhkan seorang pendekar yang mampu melindungi dirinya, sekaligus keluarga dan hartanya. Maka untuk itulah, panggung ini disediakan, agar para pendekar yang berminat menjadi pengawal bayaran Tuan Cokro Adi,dapat memperlihatkan ketangguhan ilmu kedigdayaannya. Dua orang yang tak terkalahkan akan berhak dipilih Tuan Cokro Adi...," kata orang itu, lantang.

Begitu orang itu selesai membacakan pariwara, menyusul seorang bertampang kasar dan membawa sebilah kapak, naik ke atas panggung. Dia orang pertama yang berminat. Untuk beberapa saat, dia berdiri angkuh, seakan-akan menunggu orang yang ingin menantangnya.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki bertubuh kurus kering naik ke atas panggung. Tubuhnya amat berlawanan dengan orang yang membawa kapak. Dengan pakaian merah-merah yang agak kebesaran, kakinya melangkah menuju panggung. Dari sorot matanya orang akan segera tahu kalau ilmu kesaktiannya tidak bisa dipandang remeh.

"Bayuganda...," kata laki-laki kurus itu segera memperkenalkan diri, seraya membungkuk hormat pada laki-Iaki yang membawa kapak. "Orang-orang menjuluk aku si Jari Iblis...." Mendadak saja terdengar riuh kecil di sana-sinj Memang, julukan Jari Iblis untuk kalangan persilatan tidak asing lagi. Dia pendekar aneh, karena sikaprra amat santun kepada orang lain. Namun dalam urusan bunuh- membunuh , tak pernah ada satu lawan pun yang disisakan. Dia bekerja untuk siapa saja yang bisa membayarnya mahal.

"Ha ha ha... Jadi, ini orangnya yang berjuluk Jari Iblis itu," seloroh orang bertampang kasar di hadapannya.

"Rupanya hari ini, si Kapak Setan beruntung dapat menjajal kebolehanmu, Ki Bayuganda...." "Hm... silakan, Kisanak. Mari kita mulai," ujar Jari Iblis.

Kini, pertandingan siap dimulai. Masing-masing memasang kuda-kudanya dengan mantap. Gaungan Kapak besar yang diputar-putar orang bertampang kasar yang mengaku berjuluk Kapak Setan sesekali terdengar.

Selangkah demi selangkah, mereka menjejaki panggung, mencari peluang yang tepat untuk memulai serangan.

"Hiaaat" Si Kapak Setan mulai menyerang dengan kapaknya yang berdesing membelah udara, menuju dua kaki kurus Jari Iblis. Namun serangan itu dielakkan dengan mudah oleh Jari Iblis, dengan sedikit bergeser ke belakang. lantas, sebelah kakinya secepat angin topan membabat kepala Kapak Setan yang merendah.

Jebbb Mau tak mau si Kapak Setan terpaksa menjatuhkan diri kepermukaan panggung, dan secepatnya berguling menjauh. Kini dia bangkit kembali. Tapi sebelum kuda- kudanya mantap benar, Jari Iblis melepaskan serangan bertubi-tubi dengan dua jari menegang bagai mata pedang ke arah bagian-bagian tubuh yang mematikan. Namun sampai sejauh itu Kapak Setan masih mampu menghindarinya.

Belum sampai lima belas jurus berlalu, satu kelebatan tangan Jari Iblis bergerak cepat ke arah ulu hati. Tapi dengan cepat pula Kapak Setan memapaknya dengan punggung tangan.

Plakkk Sungguh di luar dugaan Justru tenaga dorongan yang kuat ketika memapak itu dimanfaatkan Jari Iblis untuk memutar tubuhnya sambil mengelebatkan jari tangannya.

Begitu cepatnya, sehingga tak bisa dihindari lagi oleh si Kapak Setan. Maka....

Clap "Aaakh..." Si Kapak Setan kontan menjerit memilukan ketika jari tangan lawan menembus lehernya seperti menembus pelepah pisang. Matanya kontan mendelik ngeri. Dan begitu Jari Iblis mencabut jarinya dari leher, darah memuncrat memerciki panggung.

Penonton seketika berseru ngeri. Dalam perlu dingan semacam itu, mestinya tidak perlu sampai mati. Karena, pertandingan ini semata-mata hanya untuk menentukan orang yang bakal menjadi pengawal Tuan Cokro Adi.

Namun rupanya, Jari Iblis memang tidak pernah berniat memberi keringanan kepada siapa pun yang berurusan dengannya.

Jari Iblis segera menjura, memberi hormat kepada hadirin. Wajahnya dingin, sedikit pun tidak memperlihatkan penyesalan.

"Aku benci ini," geram Soma. Lalu, diajaknya Andika untuk pergi dari situ.

"Ke mana, Kang? Pertandingan belum selesai, kata Andika enggan.

"Aku muak melihat pembunuhan yang hanya karena uang seperti tadi...," jelas Soma.

"Kalau begitu, Kang Soma harus naik ke panggung untuk menghentikan si kurus jelek itu agar tidak membunuh penantang yang lain," ujar Andika tanpa tedeng aling-aling.

Andika sepertinya tidak takut kalau perkataan sampai ke telinga Jari Iblis.

"Apa kau sudah gila? Aku jelas bukan tandingan orang itu. Bahkan kemampuannya mungkin beberapa tingkat di atas guru kita sendiri...," sentak Soma.

Belum lagi Soma sempat menarik keluar Andika dari kerumunan, kembali terdengar jeritan menggiriskan dari atas panggung.

Rupanya seorang lagi menemui kematian di tangan Jari Iblis. Dan Soma makin tidak betah untuk tetap di sana.

Agak kasar dan tergesa, ditariknya tangan Andika.

"Hei Berhenti" bentak seseorang di antara kerumunan.

Soma menoleh bingung. Rasanya, dia tidak berbuat suatu kesalahan? Lalu, kenapa orang itu menyuruh berhenti dengan nada kasar seperti itu? Astaga Mendadak Soma menyadari kebrengsekan Andika.

"Copeeet" teriak orang yang membentak tadi. Tak salah lagi, ini pasti akal Andika. Dengan membuat kericuhan di tengah-tengah kerumunan, maka perhatian pengunjung akan beralih dari panggung. Hasilnya, kekejaman yang dilakukan Jari Iblis akan terhenti. Entah untuk berapa lama....

"Lari, Andika Lari...' seru Soma seraya menarik kuat kuat pergelangan tangan yang dipegangnya.

Sekali lagi. Soma terkejut bukan main Ternyata yang ditariknya bukan lagi tangan Andika, melainkan tangan seorang laki-laki tua. Soma hanya bisa mendengus kesal.

Rupanya pada saat dia terpana barusan, anak kunyuk itu sempat menukar tangannya dengan tangan seorang aki yang kebetulan berada di dekatnya. Tentu orang tua keriput itu mengamuk sejadi-jadinya. Bibirnya yang sudah berlipat keriput seperti kain lusuh,menyemburkan makian pedas, tepat di depan hidung Soma. Bahkan makian orang tua di depannya juga disertai gerimis kecil yang terlontar dari mulutnya. Dengan bibir tersenyum kecut, Soma mengusap wajahnya yang hampir basah oleh air ludah.

Naas sekali nasibnya hari ini.

Setelah itu Soma tersadar pada keadaan Andika. "Ke mana bocah brengsek itu sekarang?" "Andika..." teriak Soma kelimpungan.

Sungguh mati, Soma begitu khawatir terhadap pemuda tanggung itu. Entah kenapa, selama anak itu dikenalnya, dia seperti memiliki seorang adik yang patut mendapatkan perhatian. Namun orang yang diteriaki tidak terlihat batang hidungnya. Kerumunan orang begitu banyak, bagaimana mungkin mudah untuk mencari? "Andika Di mana kau?" Sementara di satu kerumunan lain, terjadi kekacauan.

Beberapa orang berlari ke sana kemari di antara keramaian, mengejar seorang pemuda tanggung yang menjarah kantung-kantung uang milik mereka. Jelas anak itu adalah Andika.

"Hei Berhenti kau, Pencopet Keparat" "Kuremukkan batok kepalamu, Bocah Jahanam" "Tangkap Tangkap" Terdengar teriakan-teriakan korban jarahan tangan Andika yang melengking geram.

"Jangan hanya teriak-teriak Kejar aku kalau kali bisa, manusia kentut yang bermuka kentut, berjidat kentut, berdengkul kentut.... Pokoknya, kentut" balas, Andika tanpa rasa takut sedikit pun sambil berlari terbirit-birit.

Selincah kera hutan, Andika menelusup di antara kerumunan orang.

Berkali-kali orang-orang yang mengejarnya nyaris dapat menjambret bajunya, tapi selalu luput. Sampai akhirnya, Andika terkurung dengan tubuh merapat di pinggir panggung. Orang-orang yang mengejarnya makin dekat, dengan wajah disarati kekalapan. Mata mereka terlihat nyalang bagai ingin menelan Andika hidup-hidup. Selangkah demi selangkah, mereka mendekat dengan tangan terentang, takut kalau buruannya lolos lagi.

Andika yakin, kalau sudah tidak bisa lagi meloloskan diri. Kecuali, dengan satu cara.... Naik ke panggung pertandingan Tubuhnya yang kurus itu pun cepat meIompat ke atas panggung setinggi bahu.

Jleg Manis sekali Andika mendaratkan kakinya di atas panggung.

"Phuih" keluh Andika membuang napas.

Memang sampai di situ orang-orang yang mengejar nya tidak lagi berani mendekati. Tentu saja mereka takut disangka menjadi penantang Jari Iblis yang kejam menggiriskan. Dan tujuh orang berpakaian perlente itu hanya menatapnya kebodoh-bodohan. Siapa yang sudi jadi makanan empuk jari-jari tangan si Jari Iblis? . Sementara Andika hanya merayapi mereka dengan iii |iiian mata.

Senyum mengejeknya yang khas tersembul. Bukan itu saja. Dia malah melambaikan tangan, sehingga menimbulkan kejengkelan di hati pengejarnya.

"Kau penantang berikutnya?" Tiba-tiba terdengar suara berat di belakang. Andika terkesiap. Darahnya serasa berhenti mengalir. Wajahnya kontan pucat. Gila Sungguh tidak pernah disangka akan sejauh ini Maka sambil menelan ludah susah payah, Andika berbalik. Tampaklah seraut wajah seraut yang menyeringai buas. Andika ingin menjelaskan segera pada Ki Bayuganda alias si Jari Iblis, kalau dia bukan penantang.

Bahkan niat saja pun tidak. Sementara, pengunjung mulai berseru kaget. Suara- suara gumaman mulai terdengar seperti sekumpulan lebah. Mereka memandang Andika dengan mata yang sulit dijelaskan. Mungkin merasa heran, mungkin merasa terpana. Atau mungkin, merasa salah lihat.

"Apa anak itu sudah sinting?" kata salah seorang.

"Apa itu anak sudah bosan makan nasi?" seloroh yang lain.

"Astaga Semuda itu sudah menjadi pendekar dan berani pula menantang Jari Iblis. Ck ck ck...." "Itu anak konyol yang berlagak sakti, atau anak sakti yang berlagak konyol, ya?" Sementara itu, Andika berusaha mengucapkan kata- kata yang terasa terganjal di tenggorokan. Lidahnya pun jadi kelu. Dicobanya menggerakkan bibir, namun hanya sepotong-sepotong yang terucap.

"Ba... bu... anu. aduh Mak...," gagap Andika.

Jari Iblis sudah menjura hormat. Sebagai isyarat kalau sudah siap untuk memulai pertandingan. Sementara di kejauhan sana. Soma nyaris seperti orang gila. Dia ingin menerobos masuk menghampiri panggung dan menjelaskan duduk persoalannya kepada Jari Iblis, tapi orang-orang yang begitu kepingin tahu kejadian di atas panggung, membuat kerumunan jadi padat dan sulit ditembus.

"Andika Turun..." teriak Soma, kalang kabut.

Sedangkan Ki Bayuganda pun mulai menyusun langkah perlahan....

***
4
Andika sebenarnya bukan tergolong anak pengecut.

Sebagai orang yang pernah terbenam dalam dunia gelandangan, dia sering berhadapan dengan maut.

Sewaktu masih menjalani kegiatannya menjarah kantung-kantung uang milik orang-orang kaya berhati busuk, pernah suatu kali bahu kirinya tertembus sebilah belati yang dilemparkan oleh korban jarahannya. Kalau saja saat itu belati yang menancapnya mengenai tubuh nya lebih ke bawah, mungkin dia sudah di alam lain dengan perantara belati yang menembus jantungnya Kalau kali ini jantungnya memburu keras dengan wajah memucat, sebenarnya wajar saja. Dirinya kini hadapkan pada dua pilihan yang sama-sama berat, dan sama-sama bisa melemparnya ke neraka. Andai dia memilih turun, maka orang-orang yang memburunya tentu akan menghajarnya.

Kalau memilih diam, dia harus berhadapan deng jari maut milik Ki Bayuganda. Kini mata dingin Ki Bayuganda menembuskan kengerian ke seluruh persendian Andika.

Nyali pemuda tanggung itu benar-benar bagai dihimpit habis-habisan.

Kaki kurus Ki Bayuganda yang tertutup jubah batas betis melangkah satu-satu di permukaan panggung, dari kayu. Langkah-langkahnya yang berbau maut, begitu menghentak jantung Andika. Jurus-jurus pembuka pun mulai dimainkannya. Dua jari dari masing-masing tangan yang masih memerah oleh darah, mengejang Tanpa memperdengarkan teriakan, jari Ki Bayuganda melesat ke arah dada Andika dengan kecepatan dahsyat.

Bagi pemuda tanggung yang tidak pernah mempelajari ilmu tenaga dalam dan kecepatan, tusukan jari Ki Bayuganda mustahil untuk dihindari.

Pada saat jari berkecepatan kilat itu hanya tinggal dua jengkal lagi dari dada Andika, tiba-tiba....

"Uts" Tubuh Andika seketika melenting bagai selembar bulu di udara. Sebentar dia berputaran, lalu hinggap tanpa sedikit pun suara di belakang Ki Bayuganda.

"Kurang ajar" dengus Jari Iblis.

Sementara Andika hanya terkesiap. Tangannya mendekap dada yang sebelumnya akan menjadi sasaran jari-jari menyeramkan Ki Bayuganda. Matanya belum berani melirik ke dada, sebab di kepalanya sudah terbayang darah yang mengalir deras dari bagian tubuh yang dikiranya terkena. Tapi ketika matanya mencoba melirik, ternyata dadanya masih utuh.

"Apa yang baru saja kulakukan? Mungkinkah aku bermimpi?" pada saat gawat tadi, Andika memang hanya mengikuti naluri untuk menyelamatkan diri. Dia hanya sekadar mencoba berkelit dengan melenting semampunya.

Namun, yang terjadi justru di luar dugaan sama sekali. Dia mampu melewati kepala Jari Iblis dan mendarat ringan di belakangnya.

Demikian juga Soma di kejauhan. Mulutnya tanpa sadar terbuka karena demikian terpana. Rasanya sulit dipercayai apa yang baru dilihatnya.

"Aneh..., aneh" bisik batin Andika berkali-kali.

Sebelum sempat Andika terpesona lebih jauh oleh apa yang dilakukannya barusan, Ki Bayuganda sudah melancarkan serangan susulan yang lebih beringas Kemarahannya mencuat begitu saja, karena merasa telah dipermainkan oleh anak tanggungyang tak pernah dikenalnya dalam dunia persilatan.

Beberapa jurus yang diruntunkan untuk menghabisi Andika. Namun, pemuda tanggung itu lincah sekali berlompatan menghindarinya. Seberapa cepat pun Bayuganda mengerahkan jurus-jurusnya, tetap belum menggores kulit Andika sedikit pun.

Para pengunjung memang terpesona melihat adegan seru itu. Tapi bukan oleh kehebatan gerakan kedua orang itu, melainkan justru pertarungan yang sulit diikuti mata biasa. Gerakan mereka bagai kilasan-kilasa bayangan saja. Padahal jika mereka bisa melihat, gerakan Andika sama sekali tidak menunjukkan sedang bertempur, melainkan gerakan ngawur yang begitu cepat Sekali lagi tubuh Andika melenting ke udara dan mendarat di bibir panggung, tepat di belakang si Jari Iblis.

Wukkk Deb deb deb...

Andika pun mulai menyusun kuda-kuda. Setiap kaki atau tangannya bergerak dengan pemusatan penuh terdengar deru yang sampai di tempat Soma berdiri "Hiaaat..." Sementara Ki Bayuganda kembali merangsek dengan teriakan kemarahan membakar dahsyat.

Dan tubuh mereka berdua lantas seperti menyatu dalam pusaran gerakan-gerakan luar biasa. Sebentar saling pisah, sebentar kemudian menyatu kembali.

Sementara para penonton seperti terkena tenung saja. Mereka benar-benar menjadi patung hidup, menyaksikan pertarungan luar biasa itu.

Bagi yang mempunyai penglihatan jeli, mereka akan melihat kalau si Jari Iblis begitu bernafsu untuk cepat menjatuhkan Andika. Jari-jarinya yang setajam mata pisau berkelebatan cepat sekali. Namun sampai sejauh ilu, Andika masih mampu menghindari dengan kelitan- kelitannya yang lincah. Namun tak urung, beberapa bagian tubuh Andika sempat tersayat jari-jari bagai baja ilu.

Pada suatu kesempatan, Ki Bayuganda yang berjuluk Jari Iblis mencoba membabatkan jarinya ke arah leher Andika. Namun di luar dugaan, serangan itu sama sekali tidak dihiraukan oleh pemuda tanggung itu. Baru ketika serangan itu hampir menyentuh Ieher, Andika cepat menarik kepalanya ke belakang.

"Uts" Begitu serangan itu bisa dihindari, Andika cepat memutar tubuhnya seraya melepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi. Begitu cepat gerakannya, sehingga Jari Iblis tak bisa lagi menghindari.

Degh... "Aaakh..." Satu pukulan dengan punggung tangan telak sekali mendarat di leher Jari Iblis. Di ringi jerit kesakitan tubuh Ki Bayuganda terpental keras, melayang bagai tanpa bobot.

Dari mulutnya, tersembur percikan merah yang menciprati sebagian penonton.

Ketika jatuh berdebum di tanah, barulah or~ orang tahu kalau Ki Bayuganda atau si Jari Iblis-lah y melayang.

Dan ketika menyentuh tanah, dia sudah k hilangan nyawa.

Matilah tokoh kejam itu di tangan orang anak tanggung yang tak pernah sedikit pun dj sebut-sebut dalam rimba persilatan.

Di panggung, tampak Andika berdiri kuyu dengan pakaian tercabik di sana-sini. Di beberapa bagian tubuh nya, darah mengalir akibat besetan jari tangan Ki Bayuganda.

***
 Senja mulai meremang di Perguruan Trisula Kembar.

Di depan padepokan, tampak Andika tengah termenung. Memang, setelah menamatkan riwayat Jari Iblis, pikirannya mulai dirasuki keinginan untuk menjajal keanehan yang terjadi tiba-tiba dalam dirinya. Tatkala Cokro Adi, saudagar yang mengadakan pertandingan itu mendekatinya untuk memberi ucapan selamat, tanpa banyak bicara lagi Andika berusaha melompat sekuat tenaga dari atas panggung. Nyatanya, keajaiban itu tetap tinggal dalam dirinya. Tubuhnya tiba-tiba terasa begitu ringan, hingga lompatannya mencapai jarak dua puluh tombak. Masih dengan terheran, kakinya lalu menjejak ringan di atas beberapa kepala para pengunjung, berlari di atas mereka. Padahal, itu hanya dapat dilakukan oleh tokoh golongan atas Andika terus berlari dalam keheranan tak habis- habisnya menuju Perguruan Trisula Kembar. Bahkan tanpa sadar, Soma yang tertinggal di kotapraja sampai dilupakannya.

"Astaga... Apa yang terjadi, Andika?" Sebuah suara bernada terkejut membuyarkan lamunannya. Menyadari ada orang yang menegurnya, Andika menoleh.

Tampak Ningrum sedang memperhatikannya dengan wajah terkejut. Gadis itu benar- benar kaget melihat keadaan Andika dengan pakaian terkoyak-koyak bernoda darah dan luka-luka yang masih meneteskan darah meski tidak terbilang parah.

"Ng.... Jatuh dari pedati tadi, Nini...," elak Andika, herbohong.

Ningrum mendekatinya. Dipegangnya bahu Andika yang terluka.

"Tapi, kenapa lukamu ini seperti terkena benda tajam?" tanya Ningrum, agak heran.

"Ah Barangkali hanya terkena batu tajam...." "Tunggu di sini sebentar Akan kuambilkan ramuan untuk membalut luka-lukamu supaya cepat mengering," ujar Ningrum seraya berdiri, lantas pergi mengambil ramuan.

Sebenarnya setiap kali pemuda tanggung itu bertumbukan mata dengan gadis yang lebih tua lima tahun tadi, hatinya akan merasa senang bukan kepalang. Namun untuk saat ini, benaknya masih tetap disibuki oleh kejadian seperti mimpi yang dialami kemarin malam.

"Apa yang terjadi sebenarnya? Apa arti semua ini?" Andika kembali merenung. Matanya kosong memandang lurus. "Mukjizatkah? Atau, barangkali aku sudah gila dan membayangkan hal yang bukan-bukan?" Tiba-tiba sepasang tangan halus menyadarkannya kembali. Ternyata tangan Ningrum. Dengan bibir tersenyum, gadis itu mulai membalut luka-luka Andika dengan ramuan dan akar tumbuhan.

"Terima kasih sekali, Nini...," ucap Andika dengan menatap sejurus pada mata bulat Ningrum.

Ditatap seperti itu, Ningrum jadi tersipu. Bergegas matanya dilepaskannya dari tatapan lekat Andika. Dia sendiri heran, "Kenapa berlaku seperti itu. Tatapan tajam mata anak tanggung itu seperti memiliki pesona tersendiri.

Sinarnya langsung menerabas langsung ke hatinya yang paling dalam. Padahal, Ningrum sendiri lahu kalau usia Andika lebih muda darinya. Aneh" "Sudahlah.... Lain kali, kau harus hati-hati jika sedang di atas pedati...," kata gadis itu lembut.

Andika mengangguk. Matanya tetap memperhatikan wajah ayu Ningrum yang kini mulai bersemu merah.

Ningrum beranjak pergi. Begitu ringan kakinya melangkah. Dan begitu gadis itu hilang dari pandangan, Soma muncul. Dia langsung menghampiri Andika yang masih menatap ke arah kepergian Ningrum.

"Siapa kau sebenarnya Andika?" tanya Soma, begitu tiba di depan Andika.

Andika mengangkat wajah dengan keningberkerul "Ada apa, Kang Soma? Mengapa kau berkata seperti itu?" "Sewaktu pertama kali ke sini, kau mengatakan kalau kau seorang anak gelandangan yang ingin belajar sedikit ilmu bela diri. Di kotapraja tadi, nyatanya kau dapat membinasakan tokoh kejam yang banyak ditakuti orang...," papar Soma.

Barulah Andika mengerti maksud pertanyaan tadi Kepalanya hanya menggelengkan perlahan, sebagai jawaban.

"Apa maksudmu?" desak Soma.

Andika menarik napas dalam-dalam dan mengheml buskannya kuat-kuat.

"Semua yang kukatakan dulu memang benar, Kang.

Aku memang gelandangan kotapraja. Aku tidak berbohong, termasuk cerita hidupku yang dibesarkan oleh pencopet tua licik itu. Kalau di kotapraja tadi aku mampu mengalahkan Ki Bayuganda, aku sendiri tidak tahu kenapa...," kata Andika.

Soma berbalik membelakangi Andika.

"Entah kenapa, aku belum bisa mempercayai itu,' tegas Soma. "Sungguh, Kang.... Aku berani sumpah" Tidak ada tanggapan dari Soma. Dia tetap diam sambil melipat tangan di dada. Sikapnya persis saat pertama kali Andika bertemu dengannya.

"Mungkin benar juga kata adik seperguruanku dulu kau memang mata-mata dari perguruan lain yang hendak berniat jahat terhadap kami," kata Soma perlahan namun menusuk.

Selesai mengucapkan itu, Soma meninggalkan Andika begitu saja. Kakinya melangkah lebar-lebar, dengan hentakan kuat.

"Kang..., Kakang harus percaya padaku" Tanpa ada yang tahu, di salah satu ranting dahan yang tidak besar, di luar pagar perguruan seseorang tengah berdiri tanpa menimbulkan bunyi. Dari caranya berdiri, jelas ilmu meringankan tubuhnya sudah sangat tinggi. Dan kalau melihat ciri-cirinya, orang itu adalah Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa.

Memang, sejak dari kotapraja, tepatnya sejak Andika memperlihatkan kemampuan ajaibnya yang mampu menghabisi Ki Bayuganda, Begal Ireng terus mengawasi Andika dengan sinar mata menerkam. Sebagai orang yang pernah bertarung melawan Ki Panji Agung, Begal Ireng melihat adanya kesamaan pada jurus-jurus yang diuraikan Andika. Jelas, jurus-jurus itu milik Ki Panji Agung.

Sebetulnya, Begal Ireng tidak akan menemukan letak Perguruan Trisula Kembar. Buktinya saat membuntuti Andika yang berlari dengan kecepatan angin menuju perguruan, tokoh golongan hitam itu terteter. Bahkan akhirnya kehilangan jejak.

Kemarahan besarnya ditumpahkan pada pepohonan hutan. Bagaimana dia tidak murka, jika ilmu meringankan tubuhnya ternyata mampu dipecundangi anak ingusan? Soma yang pulang menggunakan pedati, kebetulan melewati tempat Begal Ireng kehilangan jejak. Kembali Begal Ireng menaruh harapan dapat menemukan Andika, dengan mengikuti Soma. Akhirnya. dia memang berhasil. Tampak bibirnya kini menyeringai puas. Tanpa bersuara dia turun dari pohon.

"Tunggulah kau, Anak Keparat Tidak akan pernah ada keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan selama aku masih ada...." dengus Begal Ireng.

Begitu banyak hal yang tidak dimengerti dalam hidup Andika. Hal seperti itu yang terus bergeliat dalam benaknya hari-hari belakangan ini. Setiap kali Ki Sanca menemukannya, pasti sedang merenung dengan pandangan kosong. Ki Sanca menyangka, perubahan yang terjadi pada diri Andika akhir-akhir ini hanya masalah akil baliknya yang mulai meraba arti cinta. Sebab, memang ada desas-desus dari beberapa muridnya, mengenai sikap Andika terhadap Ningrum. Makanya, dia hanya tersenyum setiap kali memergoki anak tanggung itu berdiam diri berlama-Iama.

Padahal, pertanyaan-pertanyaan tentang diri sendirilah yang lebih menguasai pikiran Andika. "Siapa dirinya sebenarnya? Siapa orangtuanya? Kenapa dia harus dibuang di pinggir hutan saat bayi? Lalu belakangan ini, apa pula yang terjadi pada dirinya?" Beberapa hari lalu Andika memang telah bermimpi aneh. Mimpi yang mengusik tidurnya, sebelum peristiwa di kotapraja terjadi. Dalam mimpinya, dia didatangi seorang kakek berjenggot dan berambut putih. Keningnya mengenakan ikat merah. Kewibawaan tampak terpancar dalam wajah orang tua yang datang dalam mimpi itu.

Orang tua itu tersenyum pada Andika tanpa sepatah kata. Tangannya mengangsurkan sesuatu yang bercahaya menyilaukan. Dan tanpa sepatah kata pula, Andika menerimanya. Setelah itu, Andika terbangun pada saat matahari sudah naik sepenggalan.

Tanpa pernah diketahui Andika sendiri, bertepatan dengan mimpinya, cahaya keperakan yang keluar dari jasad Ki Panji Agung yang mati dibunuh Begal Ireng masuk dalam tubuhnya.

"Andika..." Tiba-tiba sebuah panggilan terdengar. Maka anak muda yang termenung dengan wajah tanpa sinar gairah itu tersentak. Begitu menoleh, ternyata Ki Sanca sudah ada di depannya.

"Ah, Guru.... Aku sampai kaget," kata Andika berusaha bersikap wajar pada Ki Sanca. Dia segera bangkit.

"Sore ini kau tidak ada kerjaan, bukan?" Andika mengangguk sopan.

"Bagus Kalau begitu, kau harus menolongku?" "Pasti, Guru. Apa yang bisa aku bantu, Ki?" Ki Sanca tak langsung menjawab, tapi malah mengangguk-angguk. Bibirnya menyembulkan senyum kecil.

"Tolong antarkan Ningrum ke pinggir hutan. Dia ingin mencari beberapa jenis dedaunan dan akar-akaran.

Persediaannya hampir habis," ujar Ki Sanca.

"Apa Guru percaya padaku, kalau aku mampu menjaga Nini Ningrum? Bukankah ada yang lebih mampu menjaganya, seperti Kang...," sergah Andika merasa diri¬nya dicomblangi.

"Sttt Katanya kau mau menolongku. Kok, tiba-tiba seperti menolak?" kata Ki Sanca.

Andika garuk-garuk kepala, meski tidak gatal.

Rasanya dia sudah terjebak.

"Baiklah, Guru...." Kembali Ki Sanca tersenyum kecil.

"Ng.... Tunggu, Guru" cegah Andika ketika Ki Sanca hendak beranjak pergl "Ada apa lagi?" "Apa Kang Soma bercerita sesuatu pada Guru? tanya Andika ragu-ragu.

'Bercerita tentang apa?" Andika cepat-cepat menggelengkan kepala.

"Tidak apa-apa.„." Ki Sanca jadi ikut geleng-geleng kepala melihat tingkah anak muda ini yang serba salah. Dia hendak meneruskan langkah, namun.... "Guru...," lagi-lagi Andika mencegahnya.

"Ada apa lagi?" tanya Ki Sanca dengan alis mata terangkat karena bingung.

"Boleh menanyakan sesuatu?" "Pasti Masa' aku tidak membolehkan muridku bertanya," seloroh Ki Sanca.

"Guru tahu mengenai tafsir mimpi?" "Sedikit-sedikit. Kenapa?" Ki Sanca mendekati kembali Andika yang masih berdiri. Sesaat orang tua itu menunggu, Andika belum juga mengatakan sesuatu. Pemuda tanggung itu agak ragu untuk menceritakan tentang mimpinya. Hatinya hanya bimbang kalau-kalau mimpi itu tidak berhubungan sama sekali dengan kejadian aneh pada dirinya. Atau paling tidak mimpi itu sekadar kembang tidur.

"Ayo Apa yang ingin kau tanyakan?" desak Ki Sanca.

Akhirnya Andika memutuskan untuk bercerita juga.

"Anu, Ki.... Aku bermimpi didatangi seorang tua berjenggot putih, kepalanya mengenakan ikat kepala merah. Wajahnya amat berwibawa dan teduh. Dia memberiku sesuatu, tapi aku tidak tahu apa. Yang jelas, sesuatu itu bercahaya kemilau keperakan. Apa artinya itu, Guru?" Begitu selesai mendengarkan cerita Andika, wajah tua Ki Sanca tiba-tiba saja seperti diselubungi sesuatu yang sulit dijelaskan. Sepasang alis putihnya bertaut sedemikian rupa, menunjukkan kalau pikirannya tengah diusik oleh hal yang nampaknya sungguh-sungguh. Dan itu membuat Andika jadi penasaran.

"Apa artinya itu, Guru?" ulang Andika dengan tekanan pada kata-katanya.

Dan Andika melihat adanya keanehan ketika Ki Sanca berusaha menghindar dari pertanyaan itu.

"Nah Ningrum sudah datang.... Ayo, antarkan dia" kilah Ki Sanca untuk menghindar dari pertanyaan Andika. ' "Tapi, Guru...." "Ayo Jangan membantah gurumu, Anak Brengsek. Ki Sanca memperlihatkan senyum pada Andika, tahu kelihatan kalau dipaksakan. Tidak lagi lepas seperti sebelumnya.

Dan mau tidak mau, Andika pergi juga ketika Ningrum sampai di tempat mereka berdiri. Kakinya kelihatan berat dalam melangkah mengiringi Ningrum keluar dari perguruan.

***
 Api membumbung ke angkasa menyebarkan asap hitam pekat menyemarakkan langit. Si jago merah yang tak kenal kata ampun itu kelihatan menggila, melalap apa Scja yang di dekatnya. Asal kebakaran itu, tepat berada di bukit yang menjadi letak Perguruan Trisula Kembar. Perguruan yang tenang bagai perkampungan kecil di atas bukit itu perlahan-lahan mulai musnah. Padahal, perguruan itu tak pernah membuat persoalan dengan urusan dunia luar.

Bahkan perguruan itu tempat orang yang lari dari kebrutalan rimba persilatan.

Di sana-sini bangkai manusia tercampak mengenas- kan. Sebuah pembantaian besar-besaran telah terjadi.

Seluruh laki-laki tak tersisa. Juga, tak terhitung wanita yang menemui ajal. Mereka dihabisi seperti binatang dengan luka terkuak lebar di tubuh.

Beberapa wanita yang beruntung masih memilik nyawa pun keadaannya sungguh menyedihkan. Dengan luka tak ringan, mereka merangkak keluar dari kepungan api. Tangisan anak kecil yang kehilangan orangtuanya terdengar di beberapa tempat. "Guru... Guru..." Andika yang baru saja tiba mengantar Ningrum jadi terkesiap tak percaya. Tanpa mempedulikan Ningrum, dia berlari sambil berteriak-teriak. Dilabraknya kepungan api dengan satu kecepatan yang kini dimilikinya. Tubuhnya bagai mengejang dironta kekuatan sakti yang tidak pernah dimengerti. Beberapa balok kayu yang runtuh hendak menimpa anak-anak dan perempuan yang masih hidup, terpental seperti sebatang lidi terhajar lengan kurus Andika.

Lalu dengan kecepatan yang hanya dimiliki tokoh persilatan golongan atas, diraihnya mereka satu demi satu, dan dikeluarkannya dari kepungan api.

"Guru... Kang Soma Di mana kalian?" Setelah tidak ada lagi yang bisa diselamatkan, Andika mulai memeriksa seluruh mayat yang bergelimpangan.

Bagai kerasukan setan, dia mencari-cari Soma dan gurunya di antara mayat-mayat yang sudah hangus menghitam.

Sebentar saja Soma ditemukan Andika dalam keadaan benar-benar mengenaskan. Tubuhnya tercabik- cabik di sana-sini. Tak jauh dari mayat Soma, Andika menemukan tubuh Ki Sanca dalam keadaan sekarat.

Tangannya menggapai-gapai lemah ke arahnya. Tak beda dengan keadaan Soma, orang tua itu pun tercabik menggidikkan.

Andika cepat menghampiri, dan menubruknya. Lalu, diambilnya kepala Ki Sanca, dan disandarkan di bahunya.

"An... dika," panggil Ki Sanca, lirih.

"Guru.... Tenang, Guru.... Aku menyelamatkanmu, Guru... kau harus selamat, Guru...," ucap Andika terbata.

Ki Sanca menggeleng perlahan sekali di pangkuan Andika.

"Aku tak tahan.... Aku tak akan hidup lebih lama, Andika...." "Jangan bicara seperti itu, Guru...." Dari balik jubahnya, Ki Sanca mengeluarkan satu kitab berukuran kecil, sebesar telapak tangan Orang dewasa. Tangannya bergetar memberikan kitab itu pada Andika.

"Bacalah kitab ini...," ujar orang tua itu, lirih. "Kitab itu menceritakan tentang keluarga Pendekar Lembah Kutukan.... Aku pernah dititipkan kitab ini oleh salah seorang pendekar dari keluarga itu. Tampaknya, dia begitu yakin kalau aku dapat menyampaikan suatu saat pa...." "Sudahlah, Guru. Jangan terlalu banyak bicara," sergah Andika. "Aku tidak peduli dengan kitab ini. Itu tidak ada hubungannya denganku. Yang penting, kau harus selamat, Guru...." Ki Sanca hanya menggelengkan kepala. Bibirnya mengembangkan senyum bersama darah di sisi-sisinya.

"Bacalah... itu milikmu, aaakh" Begitu selesai mengucapkan kata-katanya, Ki Sanca meregang nyawa. Tubuhnya mengejang, lalu diam tidak bergerak lagi. Mati.

"Guru, Guru..., jangan mati Siapa yang berbuat sebiadab ini? Guru...," teriak Andika, seakan kehilangan orangtua sendiri. Pemuda itu hanya bisa terduduk lunglai.

Pipinya basah oleh air yang mengalir dari sepasang matanya. 7
Sang Penguasa Jagat menurunkan cahaya.

Untuk tiga purnama tapa.

Pada hamba.

Lalu hamba berdiri untuk berjanji Angkara murka di wajah bumi Mesti mati Ketika hamba terbujur mati Cahaya itu hamba warisi Pada setiap babak keturunan keluarga hamba.

Satu menjadi pewaris cahaya.

Alis mata Andika bertaut saat membaca bait syair pada kitab yang hanya memiliki dua halaman terbuat dari kayu setebal jarinya.

"Apa maknanya ini?" tanya Andika, bergumam sendiri.

Lalu dibacanya halaman kedua.

Sang Pewaris datangi Lembah Kutukan.

Jalani penyempurnaan.

Alam selaku guru.

Untuk satu ilmi. baru.

Sementara tanpa para 'Penjaga Pintu' berkipas naga.

Sang Pewaris tak pernah tahu ke mana.

"Apa pula makna bait satu ini?" Andika bingung. Kepalanya digaruk-garuk, seakan dengan begitu bisa membuka pikirannya sehingga dapat memecahkan maksud syair yang baru saja dibaca. "Apa mungkin Ki Sanca salah alamat dengan memberikan kitab kayu itu padaku?" Setelah peristiwa pembumi hangusan Perguruan Trisula Kembar, Andika bersama Ningrum berjalan tanpa tujuan pasti. Dan akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi ke kotapraja. Di sana, mungkin mereka bisa hekerja sebagai pelayan kedai makan, atau menjadi buruh harian.

Pokoknya, asal bisa makan untuk menyam-bung hidup.

Penampilan Andika sengaja dibuat berbeda dari sebelumnya. Secara sadar, dia dapat mencium maksud pembantaian Perguruan Trisula Kembar yang dilakukan orang biadab. Meski belum tahu siapa yang telah melakukannya, namun diyakini kalau orang-orang biadab itu sebenarnya mengincar dirinya. Barangkali, ada hubungannya dengan peristiwa di kotapraja lalu. Makanya, dia kini mengenakan caping agar wajahnya tidak mudah dikenali. Pakaiannya pun diganti. Baju-baju milik Ki Sanca yang tersisa dalam kebakaran, dibuntal dalam kain putih agar bisa dikenakan. Kini, penampilannya bagai seorang pendekar. Jubahnya hitam-hitam dengan trisula kembar milik Ki Sanca terselip di pinggang.

Di sebuah kandang kuda tak terpakai di sudut kotapraja, Andika membaca berkali-kali kitab kayu itu.

Diperhatikannya baris demi baris syair di dalamnya.

Dan tiba-tiba, tersembul di benaknya pertanyaan yang mula-mula harus dijawab. "Kenapa Ki Sanca beranggapan kalau diriku adalah orang yang berhak menerima kitab tua itu?" sesaat dia berpikir. Otakny ayang memang tajam, cepat menemukan jawabannya.

"Mimpi itu" pekik Andika, bagai bocah kecil yang mendapat mainan.

Bukankah beberapa saat sebelum peristiwa pembantaian itu, Andika menceritakan tentang mimpinya kepada Ki Sanca? Maka dengan terburu-buru dibukanya halaman kayu pertama, dan dibacanya dengan seksama.

Pada syair itu, disebutkan tentang 'cahaya'. Maka ingatan Andika langsung menerawang pada mimpi yang dialami.

Namun mimpinya pun kelihatan seperti ada cahaya. Lalu, diperhatikannya satu baris lain.

"Cahaya itu hamba warisi" gumam Andika, membaca syair itu.

Lagi-lagi pemuda tanggung itu membayangkan mimpinya, tentang seorang tua yang memberinya cahaya berkilau. "Apakah pemberian cahaya berkilau keperakan itu bermakna mewariskan?" "Kalau begitu, aku adalah salah seorang pewaris 'cahaya”? Dan itu, berarti aku adalah salah satu ke turunan dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan..., desah Andika.

Andika menyipitkan mata. Rasanya sulit hal itu di percayainya.

Tapi bagaimana dengan kejadian aneh yang dialami Andika? Tentang kekuatan dahsyat itu? Tentang kecepatan kilat larinya? Sedangkan pada syair jelas-jelas disebutkan kalau para tokoh sakti keluarga Pendekar Lembah Kutukan mendapatkan 'cahaya' melalui tapa untuk membasmi keangkara murkaan. Itu berarti 'cahaya* yang disebutkan dalam syairnya adalah sebuah kesaktian yang luar biasa.

Persis seperti kesaktian yang tiba-tiba saja dimilikinya "Jadi, aku adalah keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan yang kehebatannya sudah seperti do- ngeng? Apa ini bukan mimpi?" desah Andika.

"Andika...." Dari luar kandang kuda, Ningrum datang tergopoh raengejutkan Andika. Cepat-cepat Andika menyembunyikan kitab kayu di tangannya ke balik pakaian. Dia merasa, kerahasiaan kitab kayu itu harus dijaga. Bahkan kepada Ningrum sekalipun.

"Ada apa, Nini?" tanya Andika, seraya menatap gadis cantik itu.

Gadis ayu yang baru pulang dari kedai makan tem patnya kini bekerja sebagai pelayan, cepat menghampiri Andika.

"Di kedai tadi, kudengar tiga orang berwajah seram raenyebut-nyebut soal Perguruan Trisula Kembar...," bisik Ningrum.

Andika segera berdiri, ingin memperhatikan sungguh- sungguh berita yang dibawa Ningrum selanjutnya.

"Apa kata mereka?" tanya Andika, amat penasaran.

Api kemarahan dalam dada Andika atas peristiwa pembantaian perguruan yang sudah seperti keluarganya sendiri, berkobar kembali. Lebih-lebih, ketika ingatannya kembali pada gambaran tubuh Soma dan Ki Sanca yang mengenaskan. Andika telah bersumpah untuk mencari orang-orang biadab yang melakukannya. Bahkan menuntut pembayaran atas perbuatan keji mereka "Kudengar, merekalah yang melakukan pembantaian itu. Dan kalau tidak salah dengar, pembantaian itu dilakukan sebenarnya dengan maksud mencari seorang anak muda tanggung. Apa mungkin kau yang dicari?" "Jahanam Mereka mungkin kawan-kawan si Jari Iblis yang ingin menuntut balas padaku...," desis Andika. disertai gejolak kegeraman.

"Apa katamu, Andika?" tanya Ningrum ingin tahu, Andika menggelengkan kepala menyadari kelan cangan mulutnya, dengan mengungkap kejadian yang mestinya tetap dirahasiakan.

"Tidak..., tidak apa-apa, Nini...," kilah Andika.

Sementara, Ningrum menatap cemas pada pemuda tanggung ini. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya, tapi tak ingin diungkapkannya.

"Apa mereka masih di sana?" tanya Andika kembali.

"Sewaktu aku ke sini, mereka pergi menuju timur...," jelas Ningrum.

"Apa Nini kenal mereka?" Ningrum menggeleng.

"Ciri-cirinya?" Ningrum pun menguraikan ciri-ciri ketiga orang bertampang bengis itu. Mereka memang Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa dan dua orang Tiongkok yang membantunya. Siapa lagi kalau bukan si Kembar dari Tiongkok

***
 Ketika malam telah merayap. Dan ketika Andika terlelap. Orang tua berikat kepala merah itu datang lagi dalam mimpi Andika malam ini. Kalau saja anak muda tanggung ini pernah mengenal atau pernah melihat Ki Panji Agung yang kesohor itu, sudah tentu akan langsung mengenali gambaran seseorangyang muncul dalam mimpinya.

Dengan senyum berwibawa, Ki Panji Agung dalam mimpi itu membelai-belai rambut Andika.

"Pergilah kau ke Lembah Pandam. Temui wanita Penjaga Pintu' di sana, pada malam purnama..." ujar Ki Panji Agung, lembut.

Begitu kata-kata itu selesai, Andika terjaga dengan peluh membasahi sekujur wajah. Tidak ada yang menakutkan dalam mimpi itu. Tapi entah kenapa, jantungnya berdetak keras dan napasnya memburu kencang. Barangkali mimpi itu semacam satu kekuatan gaib yang menelusup dalam rongga jiwanya.

Sambil menyapu keringat di kening, Andika mengingat kembali pesan orang tua dalam mimpinya. Lembah Pandam? 'Penjaga Pintu' Begitu cepat ingatannya kembali pada syair di halaman kedua kitab kayu pemberian Ki Sanca. Sepertinya ada kesamaan antara pesan itu dengan salah satu baris syairnya.

Cepat diambilnya kitab dalam buntalan yang tadi dijadikan bantal. Sebelum kitab itu benar-benar dikeluarkannya, diliriknya Ningrum yang tertidur tak jauh di sebelahnya. Wanita itu masih terpulas, jadi cukup aman untuk membukanya tanpa terusik kerahasiaannya.

Dibukanya kitab itu hati-hati tanpa menimbulkan bunyi. Di ringi beberapa tarikan napas, ditelitinya bari demi baris sampai akhirnya menemukan baris yang dicari. Benar saja Ada kata-kata 'Penjaga Pintu'di sana, Dan ini berarti sama dengan ucapan orang tua dalam mimpinya tadi.

"Lalu, untuk apa menemuinya?" hati Andika bertanya- tanya.

Sebelum Andika bisa berpikir, kantuk menyergapnya kembali. Segera tubuhnya direbahkan, dan sebentar saja terdengar tarikan napasnya yang halus.

Matahari beranjak sepenggalan. Sinarnya menyapu wajah tirus Andika, sehingga membuatnya terbangun.

"Pagi, Andika," sapa Ningrum. Rupanya gadis itu telah bangun lebih awal. Di luar kandang kuda tua yang kini jadi tempat berteduh sementara mereka, Ningrum membuat perapian untuk me- masak air.

Andika buru-buru bangkit. Hatinya agak malu juga bangun lebih siang dari pada Ningrum. Dengan meng garuk-garuk rambutnya yang sebahu tak teratur, Andika berusaha tersenyum.

"Pagi, Nini. Maafkan, aku bangun terlambat. Mestinya aku yang mencari kayu-kayu kering untuk perapian itu," sahut Andika. "Hm... kalau begitu, biarlah aku yang mengambil air saja." Ningrum hanya tersenyum.

Andika siap akan melangkah, setelah mengambil ember kayu yang tak jauh dari situ.

"O, ya Andika...," sahut Ningrum, menahan langkah Andika menuju mata air yang tak jauh dari sana. "Tolong jangan panggil aku dengan sebutan nini. Cukup Ningrum saja. Kalau terus-terusan begitu, aku jadi jengah." Andika mengangkat alis dan bahunya berbarengan.

Rasanya, dia memang tak perlu membantah permintaan Ningrum. Masalahnya, pemuda tanggung itu sendiri sudah lama ingin memanggil gadis ayu yang selalu me-buatnya berdebar-debar ini.

"Ningrum...," ucap Andika, tanpa maksud apa-apa.

Bisa jadi dia sedang melatih lidahnya agar nanti tak keluar lagi sebutan nini.

"Kau mau diam di situ terus, apa mau ke mata air?" usik Ningrum mendapatkan Andika masih saja menatapnya terpaku ke arahnya.

"Oh, iya...." Andika menepuk keningnya keras-keras menyadari upa yang barusan dilakukannya tanpa sadar. Dan Ningrum hanya menggelengkan kepala. Bibirnya memperlihatkan senyum yang demikian mempesona, secerah pagi ini Tak begitu lama Andika mengambil air. Karena, selain tempatnya tidak terlalu jauh, Andika juga sedang menjajal ilmu lari cepatnya yang didapat tanpa diketahuinya. Tak heran kalau dia sudah kembali lagi di hadapan Ningrum.

Andika kini duduk bersila di pinggir perapian bersama Ningrum. Teh hangat dalam mangkuk tempurung kelapa di tangannya sesekali diseruput.

"Ng..., Ningrum. Apa kau tahu letak Lembah Pandam?" tanya Andika.

"Lembah Pandam?" ulang Ningrum ingin meyakinkan apa yang didengarnya dari mulut Andika.

"Iya, Lembah Pandam. Kenapa, Ningrum?" tanya Andika, nggak berani melihat perubahan pada wajah gadis itu.

Ningrum segera menyembunyikan raut heran di wajahnya.

"Tidak apa-apa," kilah Ningrum, menghindar. Di aduknya teh yang mendidih di kuali yang biasa digunakan untuk menggodok ramuan, sekadar mengalihkan perhatian pemuda tanggung itu.

Andika yang sudah telanjur melihat perubahan sekilas pada wajah Ningrum, jadi bertanya-tanya. "Ada apa dengan lembah itu, sehingga Ningrum bersikap seakan menyembunyikan sesuatu?" "Ada apa dengan lembah itu, Ningrum? Apa tempat itu amat berbahaya?" selidik Andika.

"Tidak apa-aja. Aku hanya biasa ke lembah itu untuk mencari damar sebagai campuran ramuanku...," desah Ningrum, berkilah.

"Ooo." Andika mengangguk-angguk.

"Kau sendiri ada kepentingan apa menanyakan tempat itu?" Ningrum balik bertanya tanpa diduga Andika sama sekali.

"Anu...." Anak muda tanggung itu gelagapan. "Ng….

Aku hanya..., ya hanya ingin melihat bulan purnama." Ningrum menatapnya heran. Hatinya seperti tidak puas dengan jawaban Andika yang tampak main-main.

"Sungguh Apa kau tak tahu kalau di sana bulan purnama bersinar begitu jelas dan sangat indah," ujar Andika memberi alasan.

"Bagaimana kau tahu kalau di sana bulan purnama tampak lebih indah, sedangkan letak lembah itu kau masih tanya padaku?" desak Ningrum.

Andika jadi mati kutu. Kalaupun diteruskannya menjawab pertanyaan Ningrum, bisa-bisa akhirnya rahasia miliknya terbuka.

"Sialan Aku kira hanya otakku saja yang encer" gerutu pemuda tanggung itu dalam hati.

Andika jadi tersipu malu, sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya, untuk mengangkat wajahnya berat sekali.

"Oh, ya. Hari tampaknya sudah cukup siang. Apa kau nanti tidak terlambat masuk kerja di kedai itu?" kata Andika, mengalihkan pembicaraan. Matanya langsung disipitkan, melihat ke arah matahariyang semakin naik.

"Astaga.... Kenapa aku jadi keenakan bicara denganmu...," tukas Ningrum seraya bergegas bangkit.

"Selamat..., selamat...," kata Andika dalam hati.

Tak lama kemudian Ningrum keluar dari kandang kuda itu, lalu berangkat ke kedai tempat kerjanya.

***
 Letak Lembah Pandam berjarak satu hari berjalan kakidari kotapraja. Dan tepat pada saat bulan beranjak perlahan di cakrawala tak berawan, Andika dan Ningrum tiba di sana.

Andika sebetulnya berharap sekali dapat pergi sendiri ke tempat ini dengan arah petunjuk yang diberikan Ningrum. Namun, dia tak sampai hati meninggalkan sendirian perempuan seayu Ningrum. Apalagi, di kota praja yang segala kejahatan bisa saja terjadi. Dan setahu Andika, Ningrum selama di Perguruan Trisula Kembar hanya seorang tabib muda yang kebetulan menetap di perguruan itu.

Bagaimana Andika dapat menemui wanita 'Penjaga Pintu' seperti yang dikatakan orang tua dalam mimpinya, itu urusan nanti. Yang penting, akan dicarinya alasan tepat, jika nanti Ningrum bertanya. Kalau perlu, dia akan mengarang cerita yang bisa dipercaya Ningru agar rahasia tentang dirinya tidak bocor.

Ini bukan berarti Andika tidak mempercayai Ningrum.

Yang jelas, dia hanya sekadar menjaga agar dirirry sebagai keturunan Pendekar Lembah Kutukan dapat tetap terjaga kerahasiaannya, sampai semua pesan yang terkandung dalam syair di kitab kayu itu dapat dilaksanakan.

Lembah Pandam begitu sunyi, hanya di si paduan nyanyian jangkrik. Tempat ini hanya berupa dataran berumput luas yang diapit kaki gunung, sehingga bulan purnama nampak berada dalam mangkuk raksasa bila dilihat dari lembah itu. Sungguh menawan Berarti, tak salah dugaan Andika.

Di belakang segerombol semak lebat yang banyak tumbuh di sana, Andika dan Ningrum duduk dalam temaram sinar bulan. Angin malam menyapu wajah-wajah mereka. Bagi Andika, itu berarti pengintaian ter-sembunyi.

Bagaimana bagi Ningrum? "Jadi kau ke sini jauh-jauh hanya untuk duduk perti ini?" tanya Ningrum, kebingungan.

"Apa aku tidak boleh menikmati keindahan purnama bersamamu seperti sekarang?" balas Andika dengan mata tetap mengawasi dataran di depannya.

"Kenapa harus di semak-semak seperti ini? Kita kan bisa duduk di dataran rumput itu, dan membuat api unggun...," ujar Ningrum. Wajah mempesonanya tampak bersemu merah tanpa diketahui Andika.

"Tapi aku kan tidak bermaksud yang bukan-bukan.

Jangan berpikiran ngaco" sergah Andika sambil melirik Ningrum di sampingnya. "Kau mau percaya atau tidak, aku ini pemuda baik-baik." Ningrum tertawa kecil mendengar itu.

"Ssst... ssst" cegah Andika. "Kenapa jadi tertawa? Apa tadi ada yang lucu?" "Bagaimana tidak lucu. Kau tadi mengatakan, ingin menikmati purnama. Tapi, kenapa malah duduk melingkar di semak dengan wajah tegang seperti itu...," kata Ningrum, sambil tersenyum manis.

Andika melirik Ningrum dengan alis tertaut.

"Jadi, maumu apa? Apa aku harus merangkulmu agar suasana lebih nikmat?" seloroh Andika, ceplas-ceplos.

Mata Ningrum kontan membesar, mangkel campur malu.

"Kau mulai kurang ajar padaku? Aku kan lebih tua darimu" sindir Ningrum.

"Biar kau lebih tua, tapi aku toh tetap laki-laki," kata Andika lagi, makin membuat wajah wanita muda itu memerah tak karuan.

"Kau makin ngaco" hardik gadis itu seraya bangkit.

Andika diam saja dan tetap tidak bergeming memandang ke depan. Ketika Ningrum berjalan keluar dari semak, baru anak muda tanggung itu menoleh.

"Mau ke mana kau?" tanya Andika setengah ber-bisik.

"Aku akan mencari damar" jawab Ningrum ketus, Baru kali inilah wanita muda yang anggun itu bersikap agak judes. "Persediaan damarku habis" "Jangan Nanti ada apa-apa Tetap di sini saja "Menunggumu yang tegang memperhatikan dataran rumput? Ooo..., terima kasih banyak, Tuan Muda...,' ledek Ningrum, lalu melangkah. "Lagi pula kau tidak perlu khawatir. Aku cukup kenal baik dengan daerah ini Jauh lebih baik ketimbang dirimu...." "Huh, perempuan" maki Andika, menggerutu.

Lama Andika meringkuk dalam semak seperti setan bodoh kesasar. Bahkan ketika malam makin tua pun, belum tampak ada tanda-tanda seorang perempuan yang lewat di padang rumput yang terhampar di depannya.

"Sialan...," gerutu pemuda tanggung itu sambi menggaruk kepala. "Apa aku sudah dikibuli mimpi sendiri?" Hati Andika makin resah, ketika Ningrum belum juga kembali. Dia memang sudah terlalu lama pergi, tapi belum juga kembali. Biarpun gadis itu sempat membuatnya kesal tadi, toh Andika tidak akan mampu menguasai perasaan yang dirasanya sebagai cinta itu. Dan perasaan khawatir saat itu pula menguasainya.

"Ke mana dia? Jangan-jangan...," gumam Andika.

Kekhawatiran Andika jadi benar-benar beralasan, ketika.... "Hiaaat" Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita yang memecah malam sepi. Teriakan itu seperti dekat saja. Tapi dari sebelah mana? Suara itu memantul kian kemari, sehingga sulit ditentukan asalnya. Tubuh Andika menegang menyadari keadaan yang genting itu. Pendengarannya segera dipusatkan agar dapat cepat menentukan asal suara tadi.

"Haaap" Terdengar lagi teriakan seorang wanita. Setelah memperhatikan dengan seksama, Andika merasa tidak mengenali suara itu. Itu bukan suara Ningrum. Lantas, siapa? Yakin kalau suara itu berasal dari sebelah timur, barulah Andika bergerak. Sekali lagi, dijajalnya kemampuan ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya secara aneh itu. Nyatanya, ilmu itu tetap ada dalam tubuhnya. Maka tubuhnya pun melesat bagai tak memiliki berat. Dia melenting-lenting di antara bebatuan gunung seringan kumbang.

Begitu tiba di tempat kejadian, Andika melihat dua orang perempuan tengah bertempur sengit. Salah seorang menggenggam pedang besar melebihi ukuran tangannya.

Namun kemampuan tenaga dalamnya tampak tangguh.

Kelihatan ringan saja dia menggerak-gerakkan pedang besar itu kian kemari. Rambut wanita berusia sekitar dua puluh sembilan tahun itu berkepang kuda. Dalam gerakannya yang cepat, Andika masih sempat melihat kecantikannya yang disinari bulan. Dan rasanya, wajah wanita itu cukup dikenalnya. Di ngat-ingatnya di mana pernah bertemu. Tak salah lagi Di kota Praja, saat ada panggung pertandingan beberapa waktu lalu Dan yang seorang lagi.... Andika mengerjap-ngerjap mata, tak mempercayai apa yang dilihatnya. Tampak Ningrum dengan gerakan luar biasa menandingi serangan- serangan wanita. Padahal, Ningrum hanya menggunakan sebatang ranting pohon. Namun begitu, terlihat kekuatan tenaga dalamnya, ranting sebesar kelingking itu mampu dibuatnya menjadi senjata ampuh menandingi pedang milik lawannya.

Andika yang masih di atas sebuah batu besar menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya kesal bercampur kagum. Kesal karena merasa telah dikibuli Ningrum selama ini. Kagum karena ternyata perempuan selembut itu memiliki ilmu kedigdayaan yang tidak main-main.

"Berhenti" teriak Andika dengan pengerahan tenaga dalam yang keluar begitu saja.

Dua wanita yang sedang menjajal jurus masing- masing terhentak. Dan seketika mereka menghentikan gerakan, dan sama-sama menoleh ke arah Andika.

Pada kesempatan itulah, Andika yang tak berada jauh dari mereka bergerak mengagumkan. Luncuran tubuhnya demikian cepat, dan sulit di kuti mata biasa ke arah mereka. Dan sebelum ada yang menyadari, Andika cepat menggerakkan tangannya. Lalu....

Tep tep teppp...

Pedang dan ranting kayu di tangan kedua wanita itu kini sudah berpindah tangan, setelah tersambar tangan Andika.

"Ada apa ini? Kenapa kalian berkelahi seperti perempuan binal yang memperebutkan lelaki?" kata Andika terdengar kurang ajar di telinga kedua wanita itu.

Kedua wanita itu sama-sama memelototi Andika.

Perempuan berkepang itu memelototi, karena dirinya merasa terhina oleh perkataan Andika barusan.

Semen¬tara Ningrum melotot, karena tidak mempercayai kalau yang baru saja bergerak seperti angin itu adalah Andika, pemuda tanggung menawan namun bodoh dalam ilmu kedigdayaan.

"Andika?" sebut gadis itu, tak percaya.

Andika memperlihatkan senyumnya yang memikat, namun juga seringkali menjengkelkan.

"Kau kira siapa, Sayang?" sambut Andika, nakal menggoda. "Sekarang, ceritakan kenapa kalian berkelahi?" "Kembalikan dulu pedangku" bentak wanita berambut berkepang dengan wajah berang.

"Kita buat perjanjian saja. Kau ceritakan masalahmu dengan ng..., kekasihku ini...," ujar Andika tenang seraya menunjuk Ningrum.

Lagi-lagi Ningrum mendelik, mendengar perkataan Andika yang seenak dengkul.

"Setelah kau menceritakan itu, barulah pedang ini akan kuberikan," sambung Andika.

"Kau pikir, kau siapa, hah?" "Kupikir aku bukan siapa-siapa. Tapi yang jelas, aku sekarang sedang memegang pedangmu." Diperhatikannya pedang besar berkepala naga pada gagangnya.

"Nampaknya, ini sangat berarti bagimu. Bukan begitu.' Kalau tak cerita, tak kau dapat benda kunomu ini..." "Kenapa tak kau tanya kekasihmu?" "Ya, kenapa? Karena aku menanyakanmu", jawab Andika benar-benar menyebalkan.

"Anak keparat Kau tidak mengenal aku adalah Naga Wanita, orang kepercanyaan prabu" maki wanita itu penuh amarah.

"Ampunkan hamba jika tidak tahu siapa dirimu," seloroh Andika lagi amat meremehkan.

Wanita cantik berambut kepang dua itu memperlihatkan sinar keheranan di wajah halusnnya.

Hampir semua tokoh rimba persilatan mengenalnya. Dan sebagian malah yang ada langsung ciut nyalinya mendengar julukannya. Tapi anak ingusan yaflg baru besar itu? "Andika. Biar aku saja yang menjelaskanya...." Sela Ningrum. Dia tidak mau hal itu menjadi terlalu berlarut larut.

"Kalau begitu, ya terserahmu...." Dengan acuh tak acuh, Andika melemparkan pedang wanita berambut kepang dua yang mengaku berjuluk Naga Wanita itu. Dan pedang itu jatuh tepat di dekat kakinya.

Sementara, Ningrum mulai menjelaskan duduk per- masalahannya.

"Ketika aku sedang mencari damar, melintas seseorang. Timbul keinginanku untuk mengetahui maksudnya. Karena, aku pikir ada hubungannya dengan Andika. Tapi, usahaku dalam membuntuti ternyata diketahui. Dan aku malah dituduh sebagai mata-mata.

karena telah menguntit wanita yang ternyata seorang pendekar kepercayaan prabu untuk menyelidiki pemberontakan-pemberontakan yang belakangan ini kerap terjadi," tutur Ningrum.

Sebentar Ningrum menghentikan ceritanya, untuk mengambil napas. Sedangkan Andika dan Naga Wanita hanya diam saja.

"Aku tentu saja menyanggah tuduhan itu. Sementara, dia tidak mau menerima begitu saja. Lalu, dia menyerangku. Maka, pertarungan pun berlangsung," Ningrum menghentikan ceritanya.

Andika mengangguk-angguk paham.

"Lalu, siapa kalian sebenarnya? Dan, apa tujuan kalian ke tempat ini?" selidik Naga Wanita. Saat bertanya, wajahnya penuh sinar kecurigaan.

Mendengar pertanyaan yang diajukan Naga Wanita, Andika jadi menyadari sesuatu yang sempat dilu-pakannya sesaat tadi. Dan dia jadi mengumpat diri sen-diri, seraya menghentakkan tangan menyapu udara. Kenapa tujuannya semula jadi terlupakan? Lebih bodoh lagi, kenapa tadi bersikap kurang ajar pada perempuan yang kini berdiri beberapa tombak di depannya? Bisa saja, dialah orang yang dimaksud kakek dalam mimpinya.

Andika segera menjura, mencoba memperbaiki kesalahan yang tadi dibuatnya pada Naga Wanita. "Maafkan sikapku tadi, Nyai," ucap Andika.

Wanita cantik itu menyambutnya dengan senyum meledek.

"Sebenarnya, hanya aku saja yang mempunyai tujuan khusus datang ke tempat ini. Sedangkan dia kebetulan hanya ikut aku...," urai Andika. Tangannya menunjuk sopan pada Ningrum.

"Lantas apa tujuanmu?" ulang Naga Wanita.

Andika segera menghampiri perempuan cantik itu "Bisakah aku mengatakan tujuanku itu agak jauh dari tempat ini?" Naga Wanita beberapa saat hanya menatap Andika.

Kecurigaan masih tampak di wajah itu. Namun, akhirnya dituruti juga permintaan Andika. Mereka berjalan be berapa puluh langkah dari tempat itu, meninggalkan Ningrum yang memandang dengan hati bertanya-tanya.

"Apakah Nyai memiliki Kipas Naga?" tanya Andika setelah mereka cukup jauh dari tempat Ningrum berdiri.

Kipas Naga sebenarnya ciri-ciri 'Penjaga Pintu' yang disebutkan dalam syair kitab kayu yang kini ada dalam jubah hitam Andika.

Belum lagi Naga Wanita menjawab pertanyaan yang diajukan Andika, wajah cantik itu berubah mendadak Kesannya seperti orang yang baru ingat sesuatu.

"Tunggu dulu.... Bukankah kau yang dulu menghabisi si Jari Iblis di panggung pertandingan kotapraja?" tanya Naga Wanita.

Sejak tadi, tampaknya Naga Wanita pangling dengan penampilan Andika yang lain. Dulu, dia hanya berpakaian seperti layaknya rakyat biasa. Namun sekarang, dengan jubah hitam milik Ki Sanca serta dua trisula diselipkan di kedua belah pinggang. Penampilan nya pun jadi lain. Tidak lagi terlihat begitu kurus. Juga, berkesan lebih tua.

"Benar, Nyai. Tapi Nyai belum menjawab pertanyaan tadi," mulai Andika kembali.

"Oh, ya maaf. Kau menanyakan apa tadi?" "Apa Nyai memiliki Kipas Naga?" ulang Andika. "Kipas Naga? Aku memang berjuluk Naga Wanita. Tapi mengenai itu, aku sama sekali tidak pernah memilikinya.

Hanya pedang ini saja senjataku," ungkap Naga Wanita.

"Jadi, Nyai ini bukan 'Penjaga Pintu' "Ah 'Penjaga Pintu' apa? Aku sama sekali tidak mengerti pertanyaanmu...." "Aneh" pikir Andika. Malam sudah berubah menjadi dini hari. Berarti sudah melampaui waktu yang dikatakan kakek dalam mimpinya. Sedangkan wanita yang ditemuinya kini mengaku kalau bukan 'Penjaga Pintu'. Lalu, wanita yang mana lagi? Mendadak sontak mata Andika tertuju pada Ningrum yang masih berdiri di tempatnya. Hanya dia satu-satunya wanita selain Naga Wanita yang ada di sekitar lembah malam ini. Kedigdayaannya saat bertarung dengan Naga Wanita pun, nampaknya dapat dijadikan penguat prasangka Andika. Kalau begitu....

Pantas saja, selama ini Ningrum seperti menyembunyikan sesuatu saat Andika menanyakan tentang Lembah Pandam. Bisa jadi juga, alasannya untuk mencari damar di sekitar situ, sengaja dibuat untuk menutupi tujuan yang sesungguhnya.

Kini, Andika melangkah kembali ke tempat semula.

Sedang Naga Wanita mengikutinya. Ketidaksabarannya untuk segera menanyakan Ningrum, membuatnya bagai tidak mempedulikan Naga Wanita.

"Hei, Anak Muda Tunggu dulu Aku masih harus bicara tentang sesuatu padamu," cegah Naga Wanita.

"Maaf, Nyai.... Tunda dulu pembicaraan itu. Aku ada sedikit keperluan." Masih dengan langkah cepat dan lebar, Andika menyahuti tanpa menoleh.

Dalam hati Naga Wanita menggerutu panjang pendek.

"Kalau saja tidak punya kepentingan dengan anak muda ini, dia tak akan sudi lama-lama di sini". Memang, sejak menyaksikan bagaimana Andika menghabisi nyawa Jari Iblis dulu, Naga Wanita jadi tertarik untuk mengajaknya gabung dalam memberantas para pemberontak Begitu sampai di depan Ningrum, Andika menatap dalam-dalam wajah ayu ini.

"Katakan yang sebenarnya tentang dirimu, Ningrum? Kau tidak hanya sekadar tabib wanita yang tak memiliki kesaktian apa pun, bukan? Kau hanya menyamar, agar dapat melaksanakan tujuanmu tanpa dicurigai...," kata Andika di depan hidung Ningrum yang mungil melancip.

"Apa-apaan kau ini, Andika? Mestinya aku yang curiga padamu Buktinya tanpa kusangka, di balik sikapmu yang terkadang kekanak-kanakan itu terdapat kedigdayaan yang dimiliki tokoh atas dunia persilatan," serang Ningrum tak mau kalah.

Mata setajam sembilu milik Andika, masih menatap tepat di kedua bola mata berbulu lentik Ningrum.

"Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan.

Katakan saja kalau kau adalah 'Penjaga Pintu’ tegas Andika.

"'Penjaga Pintu' apa?" tanya Ningrum tidak mau kalah.

"Mana buntalan milikmu" "Kenapa dengan buntalan itu?" Tak perlu Ningrum menjawab di mana buntalan ini diletakkan karena Andika ingat benda itu masih di dalam semak tempatnya mengintai tadi. Dan sebelum habis kalimat terakhir Ningrum tadi, Andika sudah melesat seakan menghilang dari tempatnya berpijak. Tampaknya, ilmu meringankan tubuhnya sudah demikian tinggi. Hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat demikian cepat.

Bahkan tak lama kemudian, Andika sudah kembali dengan wajah menegang kaku.

'Tidak ada benda itu dalam buntalanmu. Di mana kau sembunyikan?" dengus Andika.

"Benda apa?" tanya Ningrum lagi, masih saja tetap bersikeras.

"Baik...," kata Andika geram, oleh rasa penasaran yang menggelegak sampai ke ubun-ubun. "Kalau memang begitu maumu." Sekali lagi Andika berkelebat. Dalam kecepatan dahsyat, dia menyergap tubuh Ningrum yang sintal. Gadis yang tidak siap menerima sergapan itu hanya terkejut, tidak sempat berbuat apa-apa.

"Dapat" sorak Andika sambil mengacungkan kipas lipat yang didapat dari balik pakaian Ningrum. Itu tadi merupakan gabungan ilmu mencopet dengan meringankan tubuh "Kembalikan padaku" teriak Ningrum, karena menyadari rahasianya akan segera terbongkar.

"Jangan marah-marah seperti itu. Aku tadi tidak sempat menyentuh apa-apa di balik bajumu. Kecuali kipas ini. He he he...." Maka dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, Ningrum balik menyergap Andika untuk merebut kipasnya. Namun dia kalah cepat, sehingga kipas itu tidak berhasil kembali ke tangannya. Malah, kini Andika sudah membuka lipatan kipas itu. Dan....

Tampaklah gambar seekor naga merah menyala diterpa sinar bulan....

"Jadi, kau 'Penjaga Pintu' itu, Ningrum" pekik Andika girang.

Dengan serta-merta, diraihnya tangan Ningrum yang masih jengkel setengah mati diperlakukan barusan. Lalu, gadis ayu itu digandengnya.

"Kau mau bukan, mengantarku ke Lembah Kutukan?" rayu Andika amat halus, saat Ningrum baru saja hendak mengangkat tangan untuk menamparnya.

***
 Matahari hampir turun di ujung barat. Biar begitu, kegarangan sinarnya masih cukup menyengat kulit. Angin mengangkat ke udara debu-debu jalan. Tanah memang amat kering. Malah, hujan sudah begitu lama tidak membasahinya.

Kota Kabupaten Banyugerabak lengang ketika Andika, Ningrum, dan Purwasih alias Naga Wanita tiba. Tak sesuai dengan nama kabupaten itu yang berarti air bercucuran, daerah itu tampak begitu kerontang. Pepohonan yang bertahan hidup di sisi-sisi jalan hanya tinggal batang- batang meliuk tanpa daun. Kemarau panjang rupanya tengah menggasak habis-habisan daerah ini.

Sudah tiga hari mereka berkuda. Itu pun atas jasa Purwasih yang membeli tiga ekor kuda gagah di kotapraja.

Menurutnya perjalanan ke Lembah Kutukan akan memakan waktu yang terlalu lama bila berjalan kaki.

Apalagi, dalam kemarau yang melanda seperti sekarang ini. Jelas, akan teramat menyiksa.

Andika dan Ningrum sebenarnya tidak setuju kalau Purwasih bersama mereka. Bagi Andika maupun Ningrum, perjalanan yang harus dilakukan mengandung kerahasiaan. Tentu saja Andika tidak mau terang-terangan kalau dirinya adalah salah seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan sebelum benar-benar siap untuk itu Bagi Ningrum sendiri, tugas yang dijalaninya dari guru nya juga hal yang tabu untuk dicampuri orang lain termasuk Purwasih.

Namun karena Purwasih sudah telanjur terlibat ketika berada di Lembah Pandam, mereka berdua akhir nya hanya bisa memberi satu syarat agar Purwasih dapat mengunci mulut tentang diri Andika dan Ningrum. Da ternyata, Purwasih tidak keberatan. Dia sendiri sebenar nya amat memiliki kepentingan dengan keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Dalam hal ini, Andika. Lalu, siapakah Ningrum sebenarnya? Tepat seperti dugaan Andika, Ningrum meman 'Penjaga Pintu' seperti yang tertulis dalam kitab kayi Lembah Kutukan adalah suatu tempat rahasia.

M mang, di lembah itulah keturunan keluarga Pendeka Lembah Kutukan menjalani penyempurnaan. Khusus-nya, bagi salah seorang keturunan yang mewarisi kesaktian para pendekar yang hidup beberapa abad lalu itu Orang- orang di dunia persilatan hanya tahu kalau lembah itu berada di salah satu kabupaten wilayah barat, di sebuah deretan pegunungan yang sulit dijarah.

Penjaga Pintu' adalah sebutan untuk orang-orang perguruan wanita Naga Merah yang mendapat tugas dari gurunya untuk mencari seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang mendapat warisan kesaktian, lalu mengantarnya ke Lembah Kutukan untu menjalani penyempurnaan. Dan perguruan itu sendi berada tepat di gerbang masuk Lembah Kutukan. Untuk menjalani tugas tanpa dicurigai, Ningrum memang menyamar sebagai seorang tabib muda yang tampak hanya sedikit memiliki ilmu olah kanuragan.

Hingga sampai saat ini, Ningrum belum sekalipun menjelaskan penyempurnaan macam apa yang harus dijalani Andika. Sewaktu di Lembah Pandam, dia hanya meminta bukti pada Andika kalau dirinya memang benar salah seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Dan Andika menceritakan semua kejadian yang dialami, termasuk menunjukkan pada Ningrum kitab kayu pemberian Ki Sanca. Baru setelah itu, Ningrum lebih banyak diam. Meski, Andika kerap kali menggoda dan merayunya.

Sewaktu di perjalanan tiga hari berkuda, Andika mau tak mau jadi lebih banyak bertanya pada Purwasih. Dan selaku seorang pendekar kerajaan yang berkepentingan dengan keturunan Pendekar Lembah Kutukan, nyatanya Purwasih lebih banyak tahu mengenai kisah-kisah kewiraan keluarga itu, ketimbang Andika sendiri yang merupakan keturunan Iangsung.

Lucu memang.

Tapi biar bagaimanapun, hal itu wajar saja bagi Andika. Jangankan untuk mengetahui asal-usulnya, sedang orang tuanya saja hingga kini tidak pernah dikenalnya.

Kata Purwasih, seluruh keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang menjadi pewaris kesaktian pendekar itu selalu muncul dengan jurus-jurus berbeda. Termasuk, Ki Panji Agung yang baru diketahui Andika kalau dialah orang tua yang datang dalam mimpinya, saat Purwasih menggambarkan sosok orangnya. Cerita Purwasih itu amat membuat penasaran Andika.

Kenapa mereka memiliki jurus-jurus berbeda? Yang diketahuinya selama ini, seorang yang mewarisi kedigdayaan keluarganyabiasanya tetap memiliki jurus- jurus sama. Dan Andika belum bisa menjawab rasa penasarannya.

Agak jauh memasuki kota kabupaten, mereka berhenti di sebuah kedai untuk beristirahat.

Kedai itu tak begitu luas dan agak kotor. Namun, mereka tetap turun dari kuda masing-masing, dan menambatkannya di depan kedai. Dengan agak terpaksa.

mereka masuk juga karena memang hanya kedai itu satu- satunya yang ada di kota Kabupaten Banyugerabak.

Lima orang berwajah tak ramah tampak duduk terpencar di beberapa meja kayu bundar. Hampir semuanya memegang gelas bambu berisi tuak. Rupanya hari yang kelewat panas membuat mereka hanya berselera untuk minum.

Andika, Ningrum, dan Purwasih lalu menuju sebuah meja kosong yang terletak di sudut. Sebentar kemudian mereka sudah duduk melingkari meja itu.

"Pelayan, berikan kami makanan" seru Andika tanpa membuka caping yang dikenakan.

Tak lama menunggu, makanan dengan lauk sederhana disediakan seorang pelayan tua dengan sikap sopan.

"Terima kasih, Ki...," ucap Andika ramah.

Dan belum lagi pelayan di sampingnya beranjak, Andika sudah mengangkat kaki di atas kursi. Lalu, disantapnya makanan tanpa niat mencuci tangannya yang berdaki. Padahal, Purwasih yang bersedia membayar seluruh makanan pun belum sempat mempersilakan.

Dan sesaat kemudian, terdengarlah alunan mulut Andika yang sibuk mengunyah makanan penuh nafsu.

Seakan, dia baru menemukannya selama seminggu.

"Memalukan kau, Andika Apa kau tidak bisa makan dengan tata cara yang baik?" gerutu Ningrum. Andika tetap tidak peduli.

"Apa salahnya kau menghormati Purwasih...," lanjut Ningrum. Wajahnya tertekuk kesal.

"Aku bukan dari kalangan istana yang bisa menghormat dengan cara mereka. Aku rasa, Nyai Purwasih bisa maklum," sahut Andika yakin.

"Huh, tapi...." "Pak Pelayan" panggil Andika, memotong gerutuan Ningrum lebih lanjut.

Pelayan tua yang baru saja hendak beranjak, menghentikan langkah.

"Ada apa, Tuan?" tanya pelayan berusia tujuh puluh tiga tahun itu.

"Apa Aki punya persediaan ayam?" tanya Andika.

"O, tentu.... Kedai kami ini sebenarnya menyediakan Iauk-pauk yang cukup lengkap, Tuan. Ada belut, kambing bakar, lele, dan ikan-ikanan. Apalagi, hanya ayam...," jawab pelayan itu dengan wajah bangga.

"Kalau begitu, biar ayamnya diadu dengan ayam betina cerewet ini," tukas Andika seraya mencibir kearah Ningrum.

Pelayan itu jadi tertawa geli setelah mengerti guyonan Andika.

Sedangkan Ningrum tambah mangkel. Wajahnya merah padam seperti dilanda kebakaran.

Purwasih hanya tersenyum kecil. Setelah cukup mengenal, hatinya harus mengakui kalau pemuda tanggung itu menyenangkan. Terkadang dia bisa amat berwibawa, tapi terkadang bisa menjengkelkan.

Kekaguman lain yang mesti diakuinya adalah, pesona diri pemuda tanggung itu. Kalau saja Andika bukan seorang pemuda belasan tahun, tentu Purwasih akan cepat jatuh hati.

"Hhem...," Ningrum mendehem ketika mendapatkan mata Purwasih sedang menatap lekat pada wajah Andika yang sebagian tertutup caping.

Menyadari dirinya tertangkap basah, Purwasih cepat- cepat mengalihkan perhatian.

"K i, aku minta tuaknya...," ujar Purwasih pada pelayan yang kebetulan belum beranjak.

"Baik, Nini.... Beruntung sekali, karena ini persediaan tuak kami yang tersisa." Pelayan tadi segera melangkah ke belakang. Dan, tak lama dia kembali lagi membawa satu kendi kecil tuak.

Kini mereka menyantap makanan yang tersuguh di atas meja. Saat itu, terdengar ringkik kuda yang dihentikan mendadak bersama kepulan debu yang sebagian sempat singgah ke dalam kedai. Sebentar kemudian, terdengar langkah orang menuju kedai.

Kini di pintu kedai, berdiri angkuh tiga orang berwajah bengis tanpa sedikit pun garis keramahan. Dua orang di antaranya yang berkepala gundul serta bermata sipit, menerabas dengan pandangan langsung ke dalam kedai Seorang lagi nampak tetap rapih, meski tampak habis melakukan perjalanan jauh. Berpakaian hitam-hitam seperti halnya Andika, namun pinggangnya dihiasi cemeti kasar. Wajahnya cukup kasar dan amat dingjn.

Purwasih yang duduk menghadap pintu jadi terperangah. Amat dikenalinya ketiga orang itu. Begal Ireng, pemberontak besar yang sedang diselidikinya, bersama dua orang kaki tangannya, si Kembar dari Tiongkok. Maka cepat-cepat Purwasih memalingkan wajah, me-nyembunyikannya dari tatapan Begal Ireng.

"Keparat itu ada di sini...," bisik Purwasih amat hati- hati.

Andika dan Ningrum yang membelakangi pintu se- rentak menatap mata Purwasih.

"Siapa?" tanya Andika dengan suara wajar.

"Ssst..., Begal Ireng dan dua orang Tiongkok jahanam itu," bisik Purwasih lagi.

Andika mengernyitkan wajah. Dia memang merasa asing dengan nama-nama itu. Begitu juga Ningrum, meski termasuk orang dunia persilatan, dia sedikit pun tidak tahu-menahu mengenai Begal Ireng. Yang diketahuinya hanya tugas untuk mencari pendekar pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan. Itu saja "Kau tidak tahu siapa dia?" tanya Purwasih tetap berbisik. "Dialah dalang semua kekacauan di dunia persilatan belakangan ini. Tokoh nomor satu dari golongan hitam. Dan, dialah yang membunuh Ki Panji Agung. Bahkan belum lama ini, kudengar dia membantai habis satu perguruan kecil di suatu bukit. Kalau tidak salah, Perguruan Trisula Kembar...." Andika kontan terperangah. Tanpa terasa, ingatannya dibawa kembali .kepada peristiwa beberapa waktu lalu.

Tentang api yang berkobar ganas, tentang tubuh Soma yang sudah seperti kakaknya sendiri dalam keadaan tercabik di sana-sini. Juga, tentang tubuh tua Ki Sanca yang menyedihkan. Mayat lelaki dan perempuan yang berserakan bagai tak berarti apa-apa, teriakan anak-anak kecil dan wanita yang masih hidup, semuanya amat menyesakkan dadanya. Mereka telah dihancurkan pada saat Andika merasa telah menemukan keluarga yang selama ini dirindukan.

Napas Andika jadi kembang-kempis akibat sesak dari dendam dan rasa kehilangan yang saat itu menyerang sekujur dadanya. Otot-otot di tangannya yang kurus mengejang dalam satu kepalan geram.

"Ningrum Apakah orang-orang itu yang kau lihat waktu bekerja di kedai kotapraja?" tanya Andika ber-getar.

Hati-hati wanita muda itu menoleh pada tiga orang yang baru masuk. Mereka kini sudah menempati satu meja tepat di sisi pintu keluar. Tak lama, Ningrum mengangguk.

Dan gadis itu dapat melihat, bagaimana terbakarnya mata Andika dengan warna merah.

"Aku harus menuntut balas," geram Andika.

Menyadari hal itu, Ningrum cepat meraih tangan Andika. Digenggamnya tangan itu erat-erat, berusaha menenangkan kerusuhan dalam dada pemuda tanggung di sebelahnya. .

"Jangan bertindak sebodoh itu, selama belum menjalani penyempurnaanmu, Andika...," bisik Ningrum mencoba meyakinkan pemuda yang sudah naik darah itu.

Namun bayangan-bayangan menyakitkan itu lebih kuat menguasainya.

"Mereka tidak bisa seenaknya membunuh orang- orang yang aku sayangi, seperti membunuh anjing gelandangan. Mereka tidak bisa membunuh mereka kalau hanya aku yang dicari...," gumam Andika saat itu juga terdengar giginya yang bergemeletuk.

"Andika, benar kata Ningrum.... Mereka bukan tokoh golongan hitam yang sembarangan. Untuk menghadapi Begal Ireng saja, kita bertiga pun belum tentu mampu. Kau harus siap dulu Andika...," sergah Purwasih menenangkan Andika yang semakin kalap. Dia menye-sal, kenapa sudah selancang itu mengatakan tentang mereka pada Andika.

"Mereka tentu datang kesini untukmencari aku dan untuk membunuhku, seperti mereka membunuh Ki Panji Agung.... Keparat-keparat itu rupanya mendapat hari bagus menemukanku di sini" Sehabis berkata demikian, Andika bangkit. Sehingga menimbulkan bunyi tak beraturan akibat meja yang terdorong.

"Andika" tahan Ningrum dengan wajah demikian khawatir. "Demi aku, tolonglah tunda kemarahanmu sampai sudah menjalani penyempurnaan...," pinta Ningrum, memelas sekali.

Sia-sia. Andika malah sudah bertolak pinggang, menghadap ke arah tiga tokoh hitam itu.

"Begal Ireng keparat" Tubuh Andika berputar langsung melenting dan berputaran di udara, lalu hinggap dua meja di dekat meja ketiga orang itu duduk.

Kemudian, langsung ditatap ketiga orang itu satu persatu dengan sinar mata jalang tak terkendali.

"Kau mencari keturunan Pendekar Lembah Kutukan, bukan? Hari ini kau beruntung...." 

***
Sementara itu, lima orang yang sedari tadi asyik menikmati tuaknya seketika keluar kedai dengan wajah pucat, begitu mendengar nama Begal Ireng diteriakkan Andika.

Sementara ketiga manusia busuk itu bagai tak merasa terusik oleh kehadiran Andika.

"Pelayan, sediakan kami tuak" ujar Begal Ireng.

Bibir Begal Ireng tersenyum amat sinis, kemudian kembali tidak mempedulikan pemuda berang itu.

"Ayo, tunggu apa lagi bajingan?" hardik Andika makin mata gelap.

Dan Andika sudah membuka caping yang masih menutup kepalanya. Dibantingnya benda itu persis di meja mereka. Sengaja Andika melakukan itu, dengan harapan kemarahan mereka akan terpancing.

Prakkk Caping yang dibanting tanpa sedikit pun pengerahan tenaga dalam, langsung menghantam permukaan meja, lantas terpantul ke arah wajah Begal Ireng. Amat mudah bagi Begal Ireng untuk menggelengkan kepalanya sedikit, sehingga terhindar dari benda nyasar itu. Namun, Begal Ireng kembali seperti biasa.

Sementara pelayan tua itu sudah datang ke hadapan tiga tokoh hitam ini bagai seekor kera menghampiri harimau. Badannya menciut demikian rupa, sebagai pertanda kalau demikian ketakutan.

"Ma..., maaf Tuan. Kami kehabisan persediaan tuak," ucap pelayan itu tergagap.

"Kalau begitu, kau bisa ambil kendi tuak di meja dua perempuan itu," ujar Begal Ireng.

"Tapi, Tuan.... Tapi, mereka sudah memesannya lebih dahulu." "Kau mau ambilkan atau tidak?" ancam Begal Ireng.

Matanya menatap dingin pada pelayan itu, menusukkan sinar kengerian.

"Keterlaluan Apa kau pikir dunia ini milikmu" geram Andika. Kemarahannya kini benar-benar sampai pada batas yang tidak bisa lagi ditahan. "Hiaaat..." Tiba-tiba teriakan mengguntur keluar dari mulut Andika. Kekuatan tenaga dalam yang kini berada di tubuhnya, tanpa disadari terikut dalam teriakan. Akibatnya, kendi-kendi tuak kosong itu pecah berkeping. Bahkan pelayan tua yang nampaknya tak memiliki kepandaian apa- apa menutup telinganya dengan wajah kesakitan. Sedang Ningrum dan Purwasih pun sempat merasakan tusukan nyeri pada telinga, tapi mampu diatasi dengan menyalurkan hawa murni pada telinga masing-masing.

Kedua tangan Andika sudah menggenggam keras sepasang trisula yang dicabut dari pinggangnya. Dengan satu terkaman harimau, diserangnya ubun-ubun Begal Ireng Singngng Namun dengan egosan ke belakang yang manis sekali, tusukan sepasang trisula itu hanya menyambar angin di depan Begal Ireng. Sedangkan tubuh Andika meluncur deras, melabrak dinding kayu kedai, hingga membuat lubang besar. Dan begitu mendaratkan kakinya di luar, Andika sudah siap dengan kuda-kuda tempurnya.

"Keluarlah kau, Begal Ireng Apakah kau sejenis anjing buduk pengecut?" teriak Andika.

Tak ada lagi yang dipikirkan anak muda tanggung itu, kecuali segera menghabisi nyawa manusia-manusia yang telah merusak kebahagiaan yang baru saja dikenyamnya saat berada di Perguruan Trisula Kembar. Manusia- manusia yang tidak hanya membunuh harapannya untuk memiliki keluarga besar seperti saat itu, tapi juga membunuh orang-orang yang sudah menjadi keluarga sendiri secara keji.

Untuk sedikit memikirkan keselamatannya sendiri saja, sudah tidak ada di benaknya saat ini. Dan kalaupun harus mati, Andika sudah siap.

Dengan langkah tenang teratur, Begal Ireng melangkah keluar, diikuti dua orang botak kaki tangannya.

"Hiaaat" Andika langsung menyerang kembali. Ujung runcing trisula di tangan kanannya menyabet ke arah leher Begal Ireng. Namun dengan kecepatan mengagumkan, Begal Ireng melenting dan berputaran beberapa kali ke belakang.

Lalu dengan amat ringan kakinya menjejak tanah kembali.

Sikapnya masih tetap menganggap enteng Andika, dengan kedua tangan terlipat di dada.

Andika bagai tak mau memberi kesempatan.

Diserbunya kembali Begal Ireng. Jurus-jurus 'Trisula Kembar'nya menyabet ke sana kemari tanpa aturan.

Memang, pengalamannya yang terlalu hijau dalam dunia persilatan, membuat Andika tidak tahu kalau kekalapan pada saat bertempur bisa berarti kelemahan.

Begitu Andika menyabetkan trisulanya ke dada, Begal Ireng cepat menangkis dengan punggung tangan.

Plakkk Dua kekuatan tenaga dalam luar biasa beradu pada satu titik, menghasilkan benturan yang amat keras.

Dan ternyata, hal ini mengakibatkan Begal Ireng terseret dalam keadaan berdiri lima depa ke belakang Tampak kepulan debu menyebar di sekitar kakinya.

Begal Ireng terperangah. Tak pernah diduga kalau kekuatan tenaga tusukan tangan Andika yang bau kencur itu setingkat dengan tokoh kelas atas.

"Gila" umpat Begal Ireng dalam hati sambil memegangi punggung tangannya yang terasa nyeri bukan main.

Memang, keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan sering kali sulit dipahami. Dia sendiri tidak dapat menebak, kenapa jenazah Ki Panji Agung yang dihabisinya dulu mengeluarkan cahaya kemilau. Dan belum tuntas kebingungan itu terjawab, kini pemuda yang diburunya belakangan ini memperlihatkan tingkat tenaga dalam yang tidak mungkin bisa didapat secara mudah oleh anak ingusan macam Andika.

Begal Ireng memang tahu kalau kecepatan gerak Andika benar-benar menakjubkan. Itu diketahuinya saat melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana Andika menamatkan riwayat Jari Iblis di kota Praja.

Sebenarnya, itu pun sudah membuatnya terheran- heran, di samping kagum dan benci. Makanya, Begal Ireng langsung dapat menduga kalau Andika adalah salah seorang keturunan Pendekar Lembah Kutukan, dan langsung menguntit untuk membunuhnya.

Sementara, Andika sendiri terpelanting ke belakang, karena kehilangan keseimbangan. Tubuhnya bergulingan bermandikan debu di jalan panas. Tak beda dengan Begal Ireng, dia pun merasakan nyeri yang bukan kepalang di bagian tangannya. Namun tak lama kemudian, pemuda tanggung itu sudah bangkit kembali.

Serangan berikut dari Andika kembali datang ke Begal Ireng dengan lebih menggila. Jurus-jurus 'Trisula Kembar' tergabung menjadi satu, membuat tubuh Andika terlihat hanya kelebatan yang meluncur ngawur.

Kali ini, Begal Ireng tidak ingin lagi menganggapnya enteng. Dia tahu, serangan kalap itu akan banyak memberi keuntungan adanya. Namun, kecepatan dan kekuatan tenaga dalam Andika bukan berarti tidak membahayakan "Hiaaat" Beberapa saat, serangan membabi buta Andika cukup merepotkan Begal Ireng. Namun dibanding Andika, jelas Begal Ireng jauh berpengalaman. Malang melintang di dunia persilatan membuatnya benar-benar matang sebagai tokoh kelas atas golongan hitam. Ditambah, kekalapan Andika yang banyak memberi keuntungan baginya. Tak heran ketika suatu saat, Andika harus menelan pil pahit Saat itu Andika melesat cepat sambil menyabetkan 'Trisula Kembar'-nya. Namun dengan hanya melenting ke atas, sebentar trisula itu berhasil dihindari Begal Ireng. Dan baru saja kakinya mendarat, kembali datang serangan kalap dari Andika. Maka cepat Begal Ireng merunduk.

Seketika di luar dugaan, Begal Ireng cepat melepaskan satu gedoran telapak tangan berisi tenaga dalam tinggi.

Begitu cepatnya, sehingga Andika tak mampu berkelit. Sehingga....

Desss "Aaakh" Trisulanya terpencar jauh dari tubuhnya. Begitu jatuh di tanah, Andika meringis kesakitan. Tangannya memegangi dada yang telak terhajar telapak tangan Begal Ireng. Sedangkan dari mulutnya, darah kehitam-hitaman menciprati tanah berdebu.

"Andika..." Jerit Ningrum tatkala matanya melihat, bagaimana tubuh kurus Andika melayang tak beda selembar daun kering diterpa angin. Maka dari dalam kedai dia berlari mendekati Andika yang tersuruk mencoba bangkit kembali.

Dua orang botak dan sipit kaki tangan Begal Ireng yang berdiri tak jauh dari pintu kedai, sama sekali tidak mencegahnya. Dengan amat dingin dan kaku, mereka hanya melirik tubuh Ningrum yang sintal.

"Keparat kau, Begal Ireng" jerit Ningrum menyayat, setelah merangkul tubuh Andika yang limbung.

Bagi Ningrum, Andika adalah segalanya. Andika berarti satu tugas amat berat yang diembannya dari Perguruan Naga Merah. Andika berarti seorang sahabat yang amat menyenangkan. Dan Andika juga berarti cinta pertamanya yang tumbuh subur, semenjak pertama kali turun dalam dunia persilatann. Cinta yang kini tak lagi bisa dianggapnya sebagai rasa kasihan belaka. Cinta yang mekar semerbak di kedalaman hati gadis ini.

Sambil memapah tubuh Andika, mata Ningrum yang legam indah menjadi beringas. Dari bagian bawah bulu mata lentiknya, garis-garis bening mengambang berbaur murka yang tak terbendung. Dan setelah merebahkan kembali tubuh Andika yang tak berdaya, Ningrum bangkit.

Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah Begal Ireng.

"Kubunuh kau, Begal Ireng" Bersama lengking kemarahan, Ningrum mencabut senjata kipasnya yang selama ini selalu disembunyikan.

Kini kembali Begal Ireng melayani seorang yang kalap. Maka pertarungan sengit tak dapat dihindari lagi. Jurus- jurus mereka bertemu, menerbangkan angin dan menimbulkan bunyi-bunyian mendebarkan.

Mata Andika yang berkunang-kuang memperhatikan pertarungan dengan perasaan kekhawatiran yang sangat.

Ingin dia berteriak pada Ningrum agar tidak berurusan dengan Begal Ireng. Tapi rasa sesak yang demikian mendera dada, membuatnya tak bisa menggetarkan pita suara sedikit pun.

Hal yang amat tak diharapkan pun terjadi juga.

Sebentar saja Ningrum sudah terdesak. Bahkan tiba-tiba saja satu hantaman tangan Begal Ireng mendarat tepat di dagunya, sehingga membuatnya terpental. Bunyi rahang yang remuk terdengar keras. Tidak hanya menyayat telinga, tapi juga hati Andika Pemuda tanggung itu tergagap, berusaha meneriak- kan nama Ningrum. Namun dari mulutnya hanya keluar suara serak tak berarti.

Ketika Andika melihat bagaimana Ningrum jatuh keras dan tak berkutik lagi di sisi jalan, rasa sesak di dadanya tidak lagi dihiraukan. Kerongkongan yang semula bagai terkunci, tiba-tiba meledak menciptakan teriakan yang terdengar seperti lolongan menyayat.

"Aaa..." Andika berusaha bangkit, tapi lantas tubuhnya limbung. Perlahan-lahan dia mencoba tegak. Mata tajam Andika menyambar langsung ke mata Begal Ireng, bagai seekor rajawali terluka.

Sebelum Andika sempat menggerakkan otot-ototnya yang mengejang untuk menyerang Begal Ireng, suatu benda keras mendadak menembus dada kiri bagian belakang. Dan bumi tiba-tiba terayun di mata Andika. Lalu, gelap... gelap. * ** "Disorgakah aku?" Pertanyaan pertama di hati Andika muncul, ketika matanya membuka. Pandangannya sedikit kabur. Tampak ruangan di sekitarnya berwarna merah menyala. Sebuah meja kayu jati berukir indah, berada tak jauh dari tempatnya tergeletak. Dari jendela besar di ruang itu, Andika dapat melihat taman indah, di latar belakangi deretan pegunungan.

Pemuda tanggung itu mencoba bangkit. Tapi…… "Uuuh...," keluh Andika.

Memang masih terasa sakit di beberapa bagian di tubuhnya. Ketika merasa bagian dadanya, didapati kain putih membalut rapat.

Berarti aku masih hidup. Tapi, di mana aku?" tanya Andika dalam hati.

"Kau sudah siuman, rupanya...." Tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya. Ketika Andika menoleh agak susah, tampaklah seseorang yang amat dikenalnya, baru saja masuk dari satu pintu. "Ningrum?" bisik Andika ragu.

Perempuan itu tersenyum ramah. Sambil berjalan mendekati Andika.

"Bukan. Aku bukan Ningrum. Aku Ningsih, saudara kembarnya...," kata gadis yang baru datang. Ternyata dia memang bukan Ningrum.

"Lalu...." "Dia kutemukan tewas di depan sebuah kedai. Ter geletak tak jauh dari tubuhmu," jelas gadis yang mengaku bernama Ningsih, sebelum Andika tuntas dengan pertanyaannya.

Dada Andika mendadak jadi bertambah sakit mendengar penjelasan itu. Rasanya seperti sayatan beribu sembilu. Napasnya sesak, tatkala membayangkan bagaimana Ningrum dihabisi Begal Ireng saat itu. Semua tentang diri gadis muda itu pun satu persatu tergambar jelas di benaknya. Keayunannya, pandangan matanya, kelembutannya....

"Ah Mengapa dia harus mati? Ini semua salahku," desah Andika, menyalahkan diri sendiri. "Aku tak mau mendengar pertimbangannya waktu itu. Kalau saja aku mendengarnya, tentu dia tidak mati. Bodoh Aku memang teramat bodoh" "Jangan salahkan dirimu. Kalau memang maut datang pada waktunya, tak ada seorang pun yang dapat menghindar," ucap Ningsih lembut.

Andika menatap gadis yang semula dikiranya Ningrum itu. Amat lekat.

"Kau mirip sekali dengan Ningrum." "Kalau kau merasa lebih senang untuk mengang- gapku Ningrum, silakan saja," kata gadis itu seperti paham apa yang ada dalam pikii an Andika.

"Tapi kau tetap bukan Ningrum...," keluh Andika penuh rasa kehilangan.

Beberapa saat, setelah Andika mampu menguasai diri, barulah pikiran jernihnya mulai terbuka.

"Sekarang, di mana aku?" tanya Andika.

"Perguruan Naga Merah." "'Penjaga Pintu”? "Ya." "Bagaimana kau bisa menemukan kami waktu itu?" "Waktu itu, aku sedang memulai tugas dari guruku untuk menyusul Ningrum. Dia sudah begitu lama meninggalkan tempat ini, namun belum ada kabar sedikit pun. Ketika melewati kota kabupaten, aku temukanmu dan Ningrum," jelas Ningsih.

Andika mendapatkan suatu keganjilan dari penuturan Ningsih. „ "Hanya aku dan Ningrum? Lalu, bagaimana nasib Purwasih, si Naga Wanita itu?" Andika bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Sesaat kening pemuda tanggung itu berkerut, memikirkan kejadianyang menimpanya. Dia berusaha meyakinkan diri, kalau saat itu ada gadis lain yang bersamanya.

"Kau yakin tidak melihat wanita lain, selain saudara kembarmu itu?" tanya Andika lagi.

Gadis seayu dan seanggun Ningrum di hadapannya menggelengkan kepala.

"Aneh" gumam Andika. "Apakah dia ditahan Begal Ireng? Kalau melarikan diri, rasanya tak mungkin untuk pendekar wanita macam dia." "Boleh aku tanya sesuatu...." "Andika," potong Andika, memperkenalkan diri agar Ningsih tidak begitu canggung memanggilnya.

"Boleh aku tanya sesuatu, Andika?" ulang Ningsih.

Andika mengangguk.

"Ada urusan apa sebenarnya kau dengan Naga Wanita?" tanya Ningsih, sehingga membuat Andika heran.

"Dari mana kau tahu?" Ningsih lalu mengeluarkan sesuatu dari balik pa-kaian berwarna putih bersulam naga merah miliknya. Tampak sebuah belati berukir naga tanpa gagang. Pang-kalnya hanya diberi semacam pita berwarna keemasan.

"Senjata rahasia Naga Wanita ini kutemukan menembus punggungmu...." "Apa?" Andika membelalakkan matanya.

"Sedikit saja benda ini menembus lebih ke bawah, maka jantungmu berhenti bekerja. Untung hal itu tak terjadi," lanjut Ningsih.

Andika jadi bingung. Timbul ah pertanyaan dalam hatinya, "Kenapa Purwasih ingin membunuhnya? Benarkah dia sungguh-sungguh orang kepercayaan prabu? Atau, dia adalah salah seorang kaki tangan Begal Ireng yang telah berusaha menggiring dirinya dan Ningrum ke kedai itu, agar dapat dihabisi?" Dada Andika jadi sesak kembali. Pukulan telak Begal Ireng rupanya membuat luka dalam yang cukup parah di dadanya. Dan seketika mulutnya memperdengarkan erangan tertahan. Sedangkan tangannya meraba dadanya yang sakit.

Tstirahatlah dulu, Andika. Luka dalammu mungkin baru akan sembuh lima hari ini dengan obat-obatan kami," saran Ningsih seraya memberi seulas senyum bening pada Andika. Mirip sekali dengan senyum Ningrum yang amat dikagumi Andika.

***
8
Lembah Kutukan memang tempat yang mengerikan.

Dari namanya saja, orang bisa saja memperkirakan kalau tempat itu menyeramkan. Kenyataannya, bahkan lebih menyeramkan dari bayangan orang. Dan di tempat itulah Andika akan menjalani penyempurnaan ilmu ke saktiannya.

Dari bangunan Perguruan Naga Merah yang diapit dua bukit terjal yang membentuk gerbang masuk ke Lembah Kutukan. Andika dilepas oleh guru Perguruan Naga Merah.

Dia adalah seorang wanita tua berwibawa. Dan keluarga wanita tua berjuluk Naga Biru itu adalah sahabat turun- temurun keluarga Pendekar Lembah Kutukan. Tugasnya adalah menjaga pintu masuk Lembah Kutukan, sekaligus mengantar setiap keturunan pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan untuk menjalani penyempurnaan.

"Ikuti terus celah yang diapit bukit yang memanjang ini," pesan Naga Biru. "Setelah kau sampai pada suatu lembah yang dikelilingi gunung, bersiaplah untuk melewatinya. Itulah Lembah Kutukan yang tak pernah ada satu manusia pun berhasil melaluinya, kecuali para pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan." Sejenak wanita itu menatap Andika, lalu kembali menatap ke arah Lembah Kutukan.

Tersiapkan seluruh kesaktian yang telah diwarisi padamu untuk melewatinya hingga mencapai satu goa.

Dan setelah berhasil melewatinya, kau akan mendapatkan jurus-jurus sakti yang akan menjadi milikmu," jelas Nyi Nagageni.

Maka dengan dilepas saudara kembar Ningrum, Andika melangkah masuk pada celah yang dibentuk oleh apitan dua bukit. Sebenarnya, Andika sudah tidak lagi berkeinginan untuk menjalani hal itu. Semangat hidupnya pun bahkan telah pupus, sejak kehilangan orang terakhir yang dicintainya. Ningrum Kalau dulu Soma dan Ki Sanca yang sudah dirasakan sebagai keluarganya, disingkirkan secara keji oleh Begal Ireng, kini menyusul orang yang sudah dianggap sebagai kekasihnya Andika merasa kematian mereka disebabkan semata-mata oleh dirinya. Itulah yang membuatnya menjadi enggan untuk terus hidup. Rasa kehilangan yang berbaur dendam dan perasaan bersalah, menghantui dirinya.

Kalau saja Nyi Naga geni yang tak hanya berwibawa namun juga bijak itu tidak mencegahnya dan memberikan wejangan yang meresap sampai ke akar hatinya, tentu Andika akan pergi lagi untuk mencari dan mengadu jiwa dengan Begal Ireng tanpa berharap suatu kemenangan pun, kecuali menyusul orang-orang yang dicintainya.

Kini mulailah Andika melangkahkan kaki selangkah demi selangkah. Dadanya yang kini sudah pulih, berdetak keras. Otot-otot di tubuh kurusnya menegang, menyadari dirinya harus menjalani ujian antara hidup dan mati. Meski masih ada keinginannya untuk mati saja, namun itu sama sekali tidak membuatnya sembarangan.

Belum berapa jauh Andika melangkah, peluh sudah bersimbah membanjiri wajah dan tubuhnya. Raut wajah tampan yang tirus itu bagai seorang yang melihat malaikat maut tepat di depan mata.

Setelah sekian jauh melangkah menyusuri celah sempit selebar rentangan tangan dan berliku, barulah Andika tiba pada ujung celah. Dari ujung celah itu, tampak suatu pemandangan yang tampak sebagai suatu alam lain.

Sementara langit di atas lembah ini sama sekali dikepung gumpalan-gumpalan awan hitam raksasa yang bergerak berputar di tempat itu juga. Setiap kali segumpal besar menabrak gumpalan lain, lidah petir langsung menukik ke dataran lembah. Dalam satu kedipan mata saja, beberapa petir menyalak sahut-menyahut.

Tak kalah mengerikan sekaligus menakjubkan, petir itu satu demi satu menyambar batu-batu sebesar telapak kaki yang tersusun dalam jarak teratur di selur uh dataran lembah. Pantas, belum ada seorang manusia pun selamat melewati lembah itu untuk tiba di dalam goa. Mereka harus memiliki ketajaman mata dan kecepatan gerak, yang mampu menandingi sambaran-sambaran lidah petir.

Tampaknya, kecepatan dari kesaktian yang telah diwariskan pada Andika, mampu menandingi sambaran lidah petir itu. Dan Andika benar-benar mengaguminya.

Pantas pula kalau hanya para pewaris kesaktian itu yang mampu melewati lembah ini, termasuk Ki Panji Agung.

Namun, itu bukan berarti menjamin Andika secara pasti untuk bisa melewati lembah mengerikan itu.

Segalanya harus dipersiapkan, dan perhatiannya dipusatkan habis-habisan, jika tidak ingin dipanggang lidah petir.

Sebenarnya, Andika jadi bergidik juga. Tapi kebulatan tekadnya untuk dapat menjalani penyempurnaan ilmu kesaktian agar dapat mengenyahkan iblis jahanam Begal Ireng, membuatnya tidak begitu peduli terhadap kengerian yang sebentar-sebentar memberon-tak.

Mulailah Andika menenangkan dirinya. Seluruh perhatian dipusatkan pada matanya. Pada taraf puncak pemusatan pikirannya, hingga merasa dirinya benar-benar kosong, barulah ia mulai menggerakkan kakinya kembali.

Perlahan-lahan tubuhnya keluar dari celah, dan mulai menjejakkan kaki di permukaan lembah yang dipenuhi batu-batu tersusun rata dan teratur.

Pada celah antara dua batu itu, Andika menjejakkan kaki untuk melangkah. Pada langkah ketiga, satu sambaran berkelebat dari arah depan.

"Uts" Namun dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh, Andika bisa menghindari, meski harus mundur dua langkah ke belakang.

Kembali Andika mulai melangkah. Kali ini, dia tidak mau tanggung-tanggung. Dilangkahinya beberapa deret batu untuk tiba pada satu sela batu. Baru saja kakinya menjejak, satu lidah petir melesat dari arah samping, mengarah kehagian kepalanya.

Srattt Andika tidak mau lagi melangkah mundur, karena berarti harus mengulangi melewati beberapa deret balu yang kini sudah terlampaui. Maka....

"Hiaaat..." Andika langsung melenting, seraya meliukkan tubuhnya. Lalu, manis sekali kakinya menjejak tidak beru bah pada deret batu itu.

Setombak demi setombak, Andika maju. Semakin maju menuju goa di kejauhan sana, semakin gencar pula sambaran-sambaran lidah petir ke arahnya. Sehingga, dia harus begerak meliuk-liuk dalam satu gerakan aneh Namun tiba-tiba datang sambaran kilat lagi, sebelum Andika bersiap.

Srat Glarrr Satu sambaran ternyata tidak bisa dihindarinya lagi.

Tangannya yang terpentang seketika tersambar kilat.

Tangannya seketika terasa bagai ditempeli baja membara, menghanguskan sebagian kulitnya. Bukan hanya itu, seluruh bagian tubuhnya bagai disengat kekuatan yang membuatnya merasa dipereteli sebagian demi sebagian.

Andika menjerit sejadi-jadinya, bersahutan dengan petir yang terus saja menyalak di sekeliling lembah. Tanpa menunggu lebih lama, kakinya dihentakkan penuh kekuatan. Maka tubuhnya seketika berputaran beberapa kali di udara dalam kesakitan yang masih mendera di sekujur tubuhnya. Andika melenting mundur beberapa langkah. Itu berarti dia gagal lagi. Anehnya, dalam keadaan mundur seperti itu tak ada satu lidah petir pun yang mengarah ke tubuhnya.

Masih dengan tubuh limbung, Andika berhasil menjejakkan kaki di ujung celah yang tadi ditinggalkan.

Diperiksa segera tangannya. Ada bagian yang terpanggang hangus. Kulit itu tersobek tanpa darah sedikit pun. Wajah Andika meringis menahan pedih. Mulutnya sendiri mengumpat kesal.

"Sompret Baru saja beberapa tombak, aku sudah seperti ini. Bagaimana lagi kalau sudah hampir tiba di goa itu? Bisa-bisa aku sudah jadi kambing guling" dengus Andika.

Tak lama kemudian, pemuda tanggung itu sudah mencoba kembali. Untunglah, dia termasuk anak keras kepala. Jadi, kata kapok tidak pernah mampir di benaknya.

Usahanya kali ini makin membuat Andika lebih berhati-hati dan lebih memusatkan perhatian. Itu tak sia- sia. Andika telah tiba di tengah-tengah lembah. Di sana, makin menggila saja serangan dari kekuatan alam itu.

Semakin disambar bertubi-tubi, Andika semakin gesit menggerakkan tubuhnya, membentuk gerakan demi gerakan yang sudah tidak disadarinya lagi. Dan dia makin terbiasa.

"Hiaaat..." Gerakan pemuda itu makin mantap untuk berkelit dari sambaran lidah petir. Bahkan gerakannya sampai terlihat seperti menghilang karena begitu cepatnya. Dan ketika goa yang ditujunya hampir dijangkau, tubuhnya jadi tidak terlihat lagi, kecuali bersit-bersit lidah petir yang tak putus- putus di kuti gelegarnya yang angkuh.

Teppp "Fhuuuh...." Andika membuang napas lega. Akhimya tiba juga dia di muka goa tanpa harus jadi kambing guling.

Diperhatikannya rongga goa itu. Tampak remang di dalamnya, dan hanya diterangi pelita-pelita kecil yang kelihatannya dihidupi oleh gas alam. Goa itu nampak tidak terlalu dalam.

"Hm.... Ada kejutan apa lagi di dalamnya?" tanya hati Andika. Sejenak dia hanya mengusap-usap tangan yang tersambar petir tadi. Masih terasa pedih.

Andika kembali melangkah. Kewaspadaan tetap dijaga seperti saat melewati lembah di belakangnya.

Matanya bergerak ke sana kemari, menjaga setiap kemungkinan yang bisa mencelakakan dirinya.

"Aku yakin, di sinilah Pendekar Lembah Kutukan yang kesohor hingga sekarang ini menyembunyikan kitab jurus- jurus saktinya," duga Andika yakin.

Tapi, belum ada sesuatu pun yang mencurigakan meski dia sudah hampir tiba di ujung goa.

"Hm....

Kenapa goa ini tampaknya tidak menampakkan tanda-tanda kalau tempat ini berbahaya?" tanya Andika lagi, dalam hati.

Keadaan itu tak berubah sampai Andika tiba di ujung goa. Matanya lurus memandang sekeliling goa yang kini melebar. Luasnya kira-kira seluas padepokan. Pelita-pelita kecil menyala di pinggir-pinggirnya, membentuk lingkaran.

Tepat di tengah ruang goa, tampak ada mata air yang luar biasa jernihnya. Begitu jernihnya, hingga dasarnya jelas terlihat. Di tepi mata air itu, tum-buh-tumbuhan menjalar yang menyelimuti batuan di sekitarnya. Buahnya amat mengundang selera. Merah ranum, mirip tomat.

"Pohon apa ini? Kalau tomat, aku jelas tahu...," gumam Andika lagi.

Mulut Andika berdecak-decak seperti kagum. Padahal, dia tidak peduli pada sebentuk keindahan yang terpampang di depan hidungnya. Dan mulutnya berdecak karena kecewa. Tidak ada satu kitab pun yang terlihat di tempat itu.

"Huh Mana jurus-jurus sakti seperti yang dikatakan guru besar Naga Merah?" cibir Andika dengan wajah kecut.

Tubuhnya yang lemas, segera diletakkan di sebuah batu yang menjorok keluar.

"Tapi, tak mungkin guru Naga Merah itu berbohong padaku" gumam pemuda itu setelah cukup lama duduk merenung.

Andika terus bertanya-tanya sendiri dalam hati.

"Kalaupun ada kitab jurus-jurus sakti itu, tak mungkin para pendekar keturunan Pendekar Lembah Kutukan memiliki jurus-jurus yang berbeda satu dengan yang lain," pikir Andika lagi, ketika ingat penjelasan Purwasih dulu, mengenai tokoh-tokoh keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Termasuk, Ki Panji Agung, orang tua yang datahg dalam mimpinya. Dan mendadak saja Andika terlonjak.

Wajahnya memancarkan kesan kegembiraan teramat sangat.

"Kenapa aku jadi bodoh" maki Andika dengan bibi tersungging lebar.

Memang tidak ada kitab jurus-jurus sakti itu. Sampai goa ini runtuh pun, kitab itu tak akan didapat Jurus-jurus sakti itu justru lahir dari setiap gerakan menghindar dari serangan sambaran lidah petir Dengan kata lain, setiap pendekar keturunan Pendekar Lembah Kutukan yang mengalami penyempurnaan, dituntun oleh alam untuk menciptakan jurus-jurus baru. Makanya, mereka memiliki jurus-jurus yang berbeda satu dengan lain.

Dari duduknya yang tadi tak bergairah, Andika langsung melompat-lompat tak beda dengan tingkah orang kesetanan.

"Yaaa... Aku dapat Aku dapat" teriak Andika, menggema ke seluruh ruangan goa.

Dua goa ini memang bukan tempat jurus-jurus itu tersimpan. Di sini, bukan tempat penyempurnaan itu. Di sini hanya tempat untuk beristirahat dan makan

***
 Enam purnama berlalu. Selama itu, di Lembah Kutukan yang merupakan tempat bunuh diri selain bagi pewaris kesaktian Pendekar Lembah Kutukan, seseorang berkelebat dalam gencamya tukikan-tukikan lidah petir. Di tempat itu, tidak bisa dibedakan antara siang dan malam.

Gelap dengan kerjap-kerjap petir yang datang bertubi-tubi.

Dari sanalah akan lahir seorang pendekar belia yang akan menggemparkan seluruh napas dunia persilatan.

Anak muda tanggung yang akan muncul didahului oleh cemoohan dan anggapan enteng. Kemudian, dia terus membuat goncangan di dunia persilatan, lewat jurus-jurus aneh yang telah berhasil diciptakannya sendiri dengan tuntunan alam dan ketajaman otaknya.

Berkat keganjilan jurus-jurusnya, serta kesleboran tingkahnya yang seringkali memaksa kawan tertawa atau lawan menggeram jengkel, dia akan dikenal sebagai Pendekar Slebor Pendekar yang malang melintang dengan seribu satu akal bulus

***
 Lalu, bagaimanakah rencana jahat Begal Ireng untuk menggulingkan prabu? Apakah Andika akan benar-benar mampu menandingi kesaktian tokoh nomor satu golongan hitam itu? Bagaimana dengan Purwasih alias Naga Merah? Mengapa dia mencoba membunuh Andika? Lalu, kenapa hal yang sebenarnya tentang perbedaan jurus-jurus tokoh keturunan Pendekar Lembah Kutukan diceritakannya pada Andika? Sehingga, anak muda tanggung itu mampu memecahkan teka-teki di Lembah Kutukan? Benarkah dia adalah orang kepercayaan prabu yang ditugaskan untuk menyelidiki pemberontakan Begal Ireng? Bagaimana nasib Ningrum? Benarkah dia telah mati seperti yang dikatakan saudara kembarnya, Ningsih Dan bagaimana dengan kitab kayu milik Andika? Siapa yang mencurinya? Apakah kerahasiaan tempat Perguruan Naga Merah dan Lembah Kutukan akan terbongkar oleh Begal Ireng yang bertekad akan menghabisi seluruh keturunan keluarga Pendekar Lembah Kutukan? Lalu, siapakah orangtua Andika sesungguhnya? Silakan simak kelanjutan pada episode: 'Dendam dan Asmara
SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar