Pendekar Slebor Episode 03 Mustika Putri Terkutuk

Pendekar Slebor Episode 03 Mustika Putri Terkutuk
Pijar El
-------------------------------
----------------------------


Episode 03 Mustika Putri Terkutuk

1

Padang rumput di kaki Gunung Pucung terhampar luas, membentuk permadani alam berwarna hijau.

Matahari bersinar penuh kehangatan, membuat warna hijau rerumputan padang menjadi berpendar cerah.

Dari sebatang pohon beringin besar berumur ratusan tahun yang berdiri tegak diliputi kesan angker, melantun alunan seruling. Suaranya mendayu, seperti berlari pada pucuk rerumputan, lalu hilang tertelan hembusan angin. Alunannya sendiri membawa cerita pada alam, bahwa hidup ini penuh warna-warni yang setiap saat patut disyukuri.

Padang rumput biasa menjadi tempat main para bocah pengembara sapi, sambil melepas makan binatang peliharaannya. Di sana, mereka sering terlihat duduk tenang di punggung seekor kerbau besar sambil meniup suling.

Tapi lantunan seruling yang saat ini terdengar, bukan dari bocah pengembala. Melainkan, dari seorang bocah kecil berumur sebelas tahun. Dia tampak duduk santai sambil mengangkat satu kakinya pada kaki lain, di sebatang tangkai besar pohon beringin. Tangannya tampak bergerak-gerak indah pada lubang-lubang nada seruling bambu.

Bocah itu tampak lusuh. Rambutnya panjang melewati bahu, ikal dan kotor. Bajunya kuning dihiasi tambalan di beberapa bagian, dipadu celana pendek berwarna hitam yang sekotor rambutnya. Namun penampilan yang lusuh itu tak membuat wajahnya tampak susah. Wajahnya malah terlihat ceria.

Sepasanag matanya yang bulat tampak berbinar-binar. Kelihatan kalau dia adalah anak yang memiliki rasa percaya diri. Hidungnya bangir. Sementara, bibirnya yang masih menghembuskan udara ke serulingnya tampak tipis, meski agak kering karena panasnya sengatan matahari. Dengan bentuk yang bulat telor, wajahnya terlihat menggemaskan.

"Ah Aku haus sekali," keluh bocah itu setelah puas memainkan seruling. "Perutku pun sudah kalap minta diisi."

Anak kecil itu beranjak turun dari dahan pohon, dan berniat pergi ke desa terdekat untuk mencari makanan. Apa pun caranya, yang penting perutnya bisa terisi.

Di kotaraja atau di pasar-pasar desa, bocah itu dikenal sebagai pengamen. Kepandaiannya memainkan seruling, dimanfaatkan untuk mencari makan di warung kedai-kedai. Alunan serulingnya yang begitu merdu, membuat para pengunjung kedai tak sungkan-sungkan memberinya sekeping uang. Tak jarang pula, ada pengunjung kedai yang tak sudi mendengar alunan serulingnya.

Kepandaian yang dimiliki bocah itu adalah bermain sulap. Itu sebabnya, orang-orang seringkali menyebut-nya si Bocah Ajaib

Tak berapa lama bocah itu berjalan dan kini sudah tiba di Desa Dukuh. Hari ini, di desa itu memang sedang ada hari pasaran. Di hari itu para pedagang secara serempak membuka usaha, sehingga ber-duyun-duyun menuju pusat keramaian di alun-alun desa untuk berbelanja atau mencari hiburan.

Maka kesempatan itu tak disia-siakan si Kecil. Segera dia menuju arah alun-alun. Sambil ber-senandung kecil, tubuhnya menyelinap di antara lalu lalang penduduk yang memenuhi tempat itu. Cara melangkahnya tampak santai. Kedua tangannya diletakkan di belakang tubuhnya. Sedang matanya yang bulat melirik ke sana kemari.

"Walet... Oi, Walet" panggil seseorang dari balik kerumunan orang yang mengelilingi seorang penjual keranjinan tangan.

Bocah itu menoleh ke asal suara. Matanya menemukan seorang lelaki berusia empat puluhan dengan pakaian amat sederhana. Bajunya ke-coklatan, dengan celana hitam sebatas betis.

Kepalanya yang ditumbuhi uban, ditutupi blankon batik lusuh. Dari sinar matanya, tampak sekali kalau lelaki berbadan agak kurus itu mengenali si Kecil yang dipanggil Walet.

Wajah lelaki itu tak bisa disebut tampan, tapi tidak juga jelek. Bibirnya yang kehitaman karena terlalu banyak merokok, selalu memperlihatkan keramahan.

Hidungnya tampak kecil, tak sesuai dengan matanya yang agak besar.

"Ada apa, Kang Sentana?" tanya Walet.

Walet. Sebuah nama yang terdengar aneh. Bocah itu sendiri senang dengan namanya. Dia pula memberi diri nama itu, setelah mengganti nama aslinya yang terdengar bodoh. Walet, ya, nama sejenis burung bertubuh mungil. Bocah itu memang kagum dengan burung walet. Terutama, pada kecerdikannya dalam mengarungi alam. Mampu meliuk-liuk di antara karang tajam, sementara burung lain tak mampu melakukannya.

Sentana tiba di dekat Walet. Sebelum menjawab pertanyaan tadi, kepalanya menoleh ke belakang takut-takut.

"Jiran datang, Let," bisik Sentana hati-hati sekali, seakan tak mau terdengar seorang pun.

"Jiran tengik itu?"

"Iya. Yang mana lagi?"

Walet menggeleng-gelengkan kepala. Wajah bocah itu tampak dongkol, menerima berita dari Sentana.

"Apa kutu busuk itu memang sudah tidak punya muka?" desis Walet.

"Iya Padahal, seminggu yang lalu kau sudah membuatnya malu di kedai Ki Soma," timpal Sentana.

Kurang lebih seminggu lalu, orang yang sedang dibicarakan Walet dan Sentana memang telah dipermalukan anak berjuluk Bocah Ajaib itu. Dengan kehebatannya mengelabui pandangan seseorang.

Walet mempermainkan lelaki bernama Jiran. Bocah itu amat benci melihat perbuatan Jiran yang selalu memeras rakyat lemah. Jiran kemudian ditantang untuk bertarung di tengah-tengah pasar. Tentu saja tantangan itu amat membuat Jiran kalap. Padahal, dia adalah orang yang paling ditakuti di Desa Dukuh.

Selama ini, tak ada seorang pun penduduk berani menentangnya secara terang-terangan. Mendengar namanya saja, mereka langsung merengket seperti siput. Tapi, ternyata Walet berani mengejeknya habis-habisan.

Waktu itu, Jiran mengeluarkan parangnya, lalu membabat perut Walet. Walet sendiri tak mencoba mengelak. Akibatnya, perutnya sampai tersayat lebar.

Orang seisi pasar sudah mengira, riwayat Walet akan segera tamat. Tapi kenyataannya, malah membuat Jiran mendelik sejadi-jadinya. Dari luka sayatan di perut Walet, ternyata ular-ular berbisa yang menjulur-julurkan kepala ke arah Jiran. Melihat hal itu, Jiran lantas lari kocar-kacir. Selama ini, dia memang belum tahu kalau bocah yang dihadapinya adalah anak lelaki yang memiliki kekuatan batin, sehingga, mampu menipu mata seseorang.

***

"Jadi bagaimana, Let?" tegur Sentana ketika melihat bocah lelaki itu tercenung.

"Aku tidak mau dia terus-terusan memeras rakyat, Kang," jawab Walet tegas.

"Jadi?"

"Kali ini aku harus membuatnya benar-benar kapok" tandas Walet, geram.

Tangan Sentana bergerak memukul udara.

Wajahnya tampak bersemangat setelah mendengar ucapan Walet barusan.

"Aku setuju, Let Biarpun kau jauh lebih muda dariku, tapi kau amat cocok menjadi sahabatku," puji Sentana, berbinar-binar.

"Mari, Kang," ajak Walet.

"Ke mana, Let?"

"Katanya mau kasih pelajaran sama Jiran tengik itu?" tukas Walet.

"Ah Aku sih tunggu di sini aja, Let. Kau sendirilah yang datangi kutu kupret itu...," sergah Sentana seraya cengar-cengir.

"Takut?" seloroh Walet.

"O, tidak.... Tidak. Tapi kan, kalau parangnya tersangkut di leherku terasa sakit sekali, Let...."

Walet tertawa kecil.

"Iyalah, Kang," ujar bocah itu seraya melangkah ke arah Jiran. Tak beberapa jauh dari tempat Walet, Jiran tampak sedang membuat onar. Seorang pedagang buah semangka berdiri ketakutan di hadapan Jiran. Seperti biasa, lelaki itu tengah memungut pajak liar dari para pedagang. Dengan terpaksa, beberapa pedagang memberi apa yang diminta Jiran, kalau tidak ingin mendapat perlakuan kejam.

Tapi tampaknya lain bagi si pedagang semangka.

Dia bukannya tidak ingin memberi. Namun karena hari ini, dagangannya belum terjual sebuah pun.

Maka, dia tak bisa memberi uang pada Jiran.

"Aku benar-benar belum punya uang, Den.

Daganganku belum terjual. Maklum, musim hujan,"

ucap lelaki pedagang semangka, memelas.

"Aku tak peduli," hardik Jiran kasar.

Laki-laki bertampang kasar itu berdiri angkuh dengan tangan di pinggang. Perawakannya tidak tinggi, tapi terbilang kekar. Bajunya hitam bergaris-garis putih. Bagian dadanya yang tak tertutup memperlihatkan bulu-bulu lebat. Celananya hitam, memanjang hingga mata kaki. Pinggangnya terlilit sabuk kulit lebar sebagai tempat parang. Matanya agak menukik dengan kelopak mata terlipat ke dalam. Alis mata lelaki itu setebal brewok yang tumbuh di dagunya. Hidungnya besar dan bibirnya tebal.

"Kau mau beri aku uang apa tidak? Atau ku acak-acak daganganmu ini" ancam Jiran. Matanya mendelik, seperti hendak keluar.

"Ampun, Den. Jangan diacak-acak daganganku...,"

pinta pedagang semangka memelas.

"Aaah, tai kucing"

Baru saja Jiran hendak menendang peti

semangka.... Tiba-tiba terdengar bentakan bocah kecil yang nyaring.

"Hey, Bajingan"

Jiran kenal suara itu. Ingatannya langsung kembali pada kejadian seminggu lalu, yang membuat dirinya kehilangan muka karena telah dipecundangi oleh seorang bocah kecil. Ketika menoleh ke asal suara, dilihatnya Walet sedang berdiri menantang, tujuh tombak dari tempatnya.

"Kau...," desis Jiran geram.

"Ya, aku" sahut Walet gagah. "Apa kau belum kapok dengan pelajaran kecil yang kuberi padamu?"

Wajah Jiran merah padam mendengar ucapan Walet. Sungguh memalukan kalau seorang yang amat ditakuti di desa ini mendapat bentakan dari anak ingusan. Tentu saja Jiran tak mau kejadian memalukan seminggu lalu terulang lagi.

"Mau apa kau, Bocah Sialan?" kata Jiran, dingin dan datar.

Tak terlihat tanda-tanda kalau lelaki itu takut terhadap Walet. Tampaknya, dia sudah siap menghadapi keanehan yang mampu diperlihatkan si Bocah Ajaib.

"Tak banyak yang kumau," ucap Walet. "Aku hanya ingin kau tak mengusik-usik para pedagang lagi...."

"Apa? Hua ha ha... Kau mimpi, Bocah"

"Tidak. Justru aku akan menjadi mimpi burukmu, kalau kau tidak mau pergi dari sini," ancam Walet tanpa kenal rasa takut sedikit pun.

"Ooo, kau mau memperlihatkan kebolehanmu bermain sihir padaku? Silakan.... Kau pikir aku akan tertipu lagi?" ledek Jiran, mencibir.

Walet melangkah lebih dekat ke arah Jiran. Tak ada kesan keragu-raguan pada gerak kakinya. Bahkan matanya menatap lurus-lurus ke mata Jiran yang mampu membuat ciut nyali para penduduk lain.

"Kau menduga aku tidak bisa menipumu lagi seperti waktu itu? Benar. Aku tidak bisa menipumu lagi. Tapi aku akan membuatmu lari terkencing-kencing, lelaki bernyali kodok" cemooh Walet, berusaha memancing kegusaran lawannya.

Jiran terpancing. Tapi, tampaknya belum cukup untuk membuatnya kalap. Hanya saja wajahnya yang terlihat makin terbakar merah dan tangannya terus meremas-remas gagang parang.

"Nah Lebih baik, kau segera pergi dari sini. Kau tak mau kujadikan kodok buduk, kan?" cecar Walet, lebih keterlaluan.

Kali ini, cemoohnya berhasil mencukil harga diri Jiran. Lelaki bertampang sangar itu merasa ubun-ubunnya hendak dijebol aliran darah panas yang mendadak mendesir keras.

"Bajingan...," rutuk Jiran. Sisi rahangnya mengeras, memperdengarkan gemelutuk gigi-giginya yang beradu geram. "Kucincang kau, Bocah Keparat"

"Kau mau cincang aku? Ayo Cincang bagian mana yang kau suka" tantang Walet seraya mengangkat dagu tinggi-tinggi.

Bagi bocah itu bersikap angkuh pada manusia bejat seperti Jiran memang mesti dilakukan. Orang yang tak pernah memperlakukan manusia seperti manusia, pantas diperlakukan layak anjing geladak.

"Hiaaa"

Berbareng satu lengkingan merobek angkasa, Jiran meluruk ke arah bocah kecil itu. Tak ada lagi rasa malu menghadapi lawan yang jauh lebih kecil darinya. Karena pada dasarnya, dia sendiri memang sudah tak punya rasa malu lagi. Parangnya menciptakan bunyi yang menggidikkan manakala ditarik dari pinggangnya.

"Hih"

Bet

Satu tebasan dilepaskan Jiran dengan kejamnya.

Senjatanya yang setiap hari diasah itu berkelebat di udara, bersama sinar pantulan matahari. Leher kecil Bocah Ajaib adalah sasaran pertama.

Tes

"Aaakh..."

Dalam sekerdipan mata, leher Walet terpenggal diiringi desahan kesakitan. Kepala kecilnya yang terlontar dari tubuh, lalu menggelinding di atas tanah berlumpur.

Siapa pun yang menyaksikan kejadian itu akan bergidik ngeri. Lain halnya Jiran. Lelaki bengis itu tak puas dengan tebasan pertama. Dia tidak ingin tertipu lagi, seperti kejadian minggu lalu. Maka parangnya kembali diayunkan setengah tenaga.

Bet

Tes

Tebasan susulan Jiran, membabat bahu Walet hingga tangan kanannya putus. Sebelum tubuh Walet yang tak utuh terpuruk di jalanan pasar, Jiran mengayun sekali lagi parang haus darahnya.

Sing

Bret

Dada bocah kecil itu kontan terbelah dengan luka menganga lebar. Tepat ketika Jiran mendengus garang, tubuh Walet yang tanpa kepala dan lengan lagi ambruk diiringi bunyi berdebam. Darah sudah terpercik ke mana-mana. Warna merahnya menodai jalanan berlumpur. Sebagian mengalir lambat dalam genangan air sisa hujan tadi malam di sisi jalan. Sementara itu para panghuni pasar tak sanggup melihat kejadian ini lebih lama. Perbuatan Jiran memang lebih telengas daripada pembantaian yang pernah mereka lihat di mana pun. Beberapa wanita yang melihat bahkan menjerit sejadi-jadinya. Bahkan ada yang langsung tak sadarkan diri, menyaksikan kebiadaban ini.

Tak lama, dari balik kerumunan, seseorang menyeruak. Langsung ditubruknya tubuh Walet yang mengenaskan. Lelaki kebodoh-bodohan itu adalah Sentana yang begitu akrab dengan Walet.

"Walet Walet" seru Sentana, sesegukan.

Sambil mendekap, Sentana menangis meraung-raung seperti anak kecil kehilangan boneka kesayangan.

"Ini salahku. Let. Kalau saja aku tak mem-beritahukanmu tentang kedatangan lelaki iblis itu, tentu kau tak akan bernasib senaas ini," desah Sentana lirih di antara isak tangis.

Sementara itu, Jiran berdiri sombong tak jauh dari tempat Sentana. Tangannya sibuk membersihkan parangnya yang bernoda darah. Sambil memperdengarkan tawa puas tak henti-hentinya, seperti tingkahnya jika sedang menang judi.

"Hua ha ha... Dikira aku tidak memiliki persiapan jika harus menghadapinya lagi," kata Jiran lantang.

Seakan-akan, dia memberi pemberitahuan pada setiap teIinga di pasar itu, bahwa dirinya tidak bisa dipermainkan lagi.

Usai memasukkan senjata ke dalam sarungnya kembali, Jiran mengeluarkan sesuatu dari balik ikat pinguang lebarnya.

"Kalian lihat ini" seru Jiran pada seisi orang pasar, seraya mengangkat tinggi-tinggi sesuatu di tangan kanannya.

Seketika orang-orang yang berkerumun mengarahkan pandangannya pada tangan kanan Jiran.

"Aku sudah mencari tahu tentang bocah itu seminggu belakangan ini. Setelah kutahu kalau dia memiliki kekuatan sihir, aku pun mencari dukun yang mampu mematahkan kekuatan gaibnya. Dan ini...."

Jiran menggoyang-goyangkan bungkusan kecil dari kain hitam di tangannya.

"Ini adalah pemberian dukun itu. Jimat hitam yang dapat melumpuhkan kekuatan bocah sialan ini. Ha ha ha..."

Tawa Jiran yang penuh kemenangan bergetar, menggema ke segala arah.

"Jadi kalian sudah tak bisa berharap perlindungan dari bocah dungu ini lagi," sambung laki-laki bertampang seram itu seraya memasukkan jimat hitam tadi ke dalam bajunya.

Setelah puas tertawa, Jiran melangkah pergi meninggalkan tempat itu diiringi seringai kepuasan Tinggal penghuni pasar dan Sentana yang terus menangisi kemalangan nasib Walet.

*** 2

Sementara Jiran telah menghilang di ujung jalan, Sentana masih terduduk di jalan becek. Tidak dipedulikan lagi pakaiannya yang dikotori lumpur.

Kematian mengerikan yang menimpa Walet terus ditangisinya. Sedangkan, orang seisi pasar berkerumun di sekitarnya dengan wajah ngeri bercampur kasihan melihat nasib bocah malang itu.

Sampai hujan rintik-rintik mulai turun, mereka tetap terpaku bisu di tempat masing-masing. Tak ada sepatah kata pun ingin dikeluarkan. Mereka bukannya tidak mau menghibur Sentana, karena begitu terguncang dengan pembantaian brutal di depan biji mata. Dan mereka hanya terdiam mem-bisu.

Tak ada seorang pun yang berani menjatuhkan pandangan pada jenazah Walet. Kengerian telah mendepak mata mereka ke tempat lain, meski masih terpaku di sana.

Bagi orang-orang pasar, Walet memang teman kecil yang menyenangkan. Bocah itu tak hanya mampu menghibur hati, tapi juga selalu menolong siapa saja yang butuh uluran tangannya. Di antara mereka bahkan sudah menganggap adik atau anak sendiri. Pada saat Jiran mengamuk tadi inginnya mereka turun tangan. Tapi apa daya? Mereka memang tak memiliki daya dalam menghadapi lelaki kejam itu.

Sekian lama mereka terdiam dalam siraman gerimis, bagai sekumpulan area. Sampai akhirnya.... "Yhiaaa Walet brengsek Anak sialan"

Seketika kerumunan orang pasar itu tersentak oleh teriakan Sentana. Dan mata mereka langsung terbelalak serentak mendengar umpatan Sentana yang terdengar ganjil di telinga "Apa-apaan ini? Apa Sentana kemasukan setan?" tanya hati masing-masing. Dan keheranan mereka terjawab seketika, saat tangan Sentana mengangkat tubuh kaku Walet yang kini telah berubah menjadi batang pohon pisang. Begitu juga kepala dan tangan bocah itu.

Berbarengan, para penghuni pasar berseru gembira. Tak pernah terpikirkan kalau Walet masih mampu mempermainkan Jawara Desa Dukuh.

Padahal, Jiran telah sesumbar kalau memiliki jimat hitam yang mampu mematahkan kekuatan si Bocah Ajaib itu.

"Walet Walet Ke mana kau, Bocah Brengsek?"

seru Sentana seraya bangkit.

Mata laki-laki itu yang masih tampak berair, kini berbinar-binar diliputi kegembiraan.

"Walet Sembunyi di mana kau?" teriak Sentana.

Sentana mencari-carinya Walet di antara

kerumunan orang pasar. Tapi meski menyeruak ke sana kemari, bocah kecil itu tak juga ditemukan.

***

Sementara itu jauh dari pasar, seorang anak tengah duduk santai di atas dahan pohon yang tumbuh di sisi jalan setapak. Dia tak lain Walet, bocah sakti yang baru saja mengecoh Jiran. Jemarinya terus memainkan seruling, seperti tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Sengaja Walet duduk di sana, karena ada seseorang yang ditunggunya. Tentu saja orang yang dimaksud adalah Jiran. Walet amat tahu, lelaki itu akan melintasi jalan tempatnya menunggu. Jalan ini memang biasa dilewati, jika Jiran hendak pulang ke tempat tuan tanah Sumpena, majikannya.

Tak lama Walet menunggu. Kini, Jiran tampak melintas tepat di bawah dahan tempat Walet duduk.

Lelaki bertampang kasar itu melangkah tenang.

Bibirnya memperdengarkan siulan berirama kacau, seakan prajurit menang perang.

Dan ketika mendengar tiupan seruling dari atas pohon yang menurut cerita penduduk setempat amat angker, Jiran menghentikan langkah sekaligus siulannya. Desas-desus tentang dedemit yang ber-sarang di pohon itu, berseliweran di benak Jiran. Dan seketika matanya melirik tegang ke kanan dan kiri.

Sementara di atas dahan, Walet bisa menangkap garis ketakutan di wajah Jiran. Memang, biarpun sanggup berlaku bengis, Jiran amat percaya pada takhayul. Betapa takutnya dia, jika membayangkan bentuk genderuwo yang suka mengunyah jantung manusia. Dan Walet tahu akan ketakutan laki-laki itu.

Maka, ada baiknya dimanfaatkannya kepercayaan Jiran pada takhayul.

"Jiran...," desah Walet dengan suara dibuat-buat.

Mendengar namanya disebut, Jiran makin tegang.

Sebenarnya, laki-laki itu tak begitu merasa takut melewati tempat ini bila siang hari. Terangnya sinar matahari, membuatnya yakin kalau para dedemit tidak bakal gentayangan. Tapi kalau hari sudah termakan senja, apalagi ditambah mendung gelap di langit seperti itu? Jelas, jantungnya akan berdetak-detak keras bagai tabuhan gendang.

"Jiraaan..." Sekali lagi Walet memperdengarkan suara berat.

Lebih keterlaluan lagi, suaranya sengaja dibuat bergetar, seperti rintihan dari alam kubur.

Sedangkan lelaki bertampang kasar di bawahnya mulai blingsatan. Kepalanya menoleh takut-takut ke satu sudut paling gelap di dekat batang pohon sebesar kerbau itu. Napasnya pun mulai turun naik tak teratur. Kemudian menyusul keringat dingin membasahi keningnya.

"Jiii... raaannnthhh...," goda Walet, kian dibuat seseram mungkin.

Sekejap, Jiran menghentikan gerak tubuhnya.

Dipasangnya telinga jelas-jelas, untuk menentukan asal suara mendirikan bulu roma yang tertangkap telinganya. Yakin suara itu dari atas pohon, kepalanya segera mendongak.

Untunglah, lebatnya dedaunan pohon mampu melindungi Walet. Sehingga, mata Jiran tak sempat menangkap kehadirannya. Terlebih, hari sudah demikian sunyi. Sehingga membuat kepekatan merayapi sekitarnya.

"Jirrraaannnthhh, aku hauuusss. Aku ingin me-minum darahhhmuuu, Jiran. Dan aku juga lapar.

Jantungmu tentu amat lembut bila kukunyahhh...."

Napas Jiran langsung terhenti. Begitu pula detak jantungnya. Rasanya, dia bisa mati berdiri tanpa darah di wajahnya. Wajahnya benar-benar menjadi pucat melebihi mayat.

Saat berikutnya....

Srak

Walet tiba-tiba membuang tubuhnya ke bawah.

Gesekan dengan dedaunan yang menimbulkan suara cukup keras, membuat Jiran tersentak bukan alang kepalang. Dan ketika matanya menangkap sesosok tubuh melayang dari atas pohon, kontan saja kedua kakinya yang sudah sejak tadi bergetar hebat bergerak. Lelaki bengis berhati kodok itu kontan lari tunggang langgang.

"Wuaaa, ampun Mbah Jantungku jangan dimakaaan" jerit laki-laki bertampang seram itu amat keras.

Tanpa menoleh sedikit pun, Jiran terus lari sampai tubuhnya menghilang di ujung jalan setapak.

Sepeninggaran Jiran, Walet kontan tertawa terbahak-bahak. Perutnya bahkan sampai terasa sakit, melihat kejadian lucu tadi.

Plok Plok Plok

Tiba-tiba tawa bocah kecil itu terpenggal oleh tepukan seseorang. Masih dengan wajah merah menahan geli, Walet cepat menoleh. Dilihatnya seorang pemuda gagah dan tampan berdiri tak jauh dari tempatnya. Pemuda berpakaian hijau muda itu dipundaknya tersampir kain bercorak catur.

Sementara, rambutnya yang panjang sebahu tak teratur, membuat penampilannya makin terlihat gagah.

"Siapa Kakang ini?" sapa Walet sopan.

"Aku Andika. Kau siapa?" sahut pemuda itu, tak kalah ramah.

Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Andika, yang kesohor dengan julukan Pendekar Slebor.

Keduanya kemudian saling berjabatan tangan dengan hangat. Sesaat kemudian keduanya terlibat percakapan ringan sambil melangkah beriringan.

*** Di sebuah pondok terbengkalai di pinggir desa tampak dua orang berbeda usia sedang bercakap-cakap. Suara mereka lamat-lamat menembus curahan hujan gerimis di luar pondok. Dan mereka memang Walet dan Andika.

Keduanya tampak akrab bertukar cerita setelah tadi berkenalan. Andika sudah memperhatikan seluruh sepak terjang Walet sejak di pasar. Pemuda itu terkesan melihat keberanian bocah kurus ini dalam membela orang lemah terhadap tangan kejam Jiran. Makanya, Pendekar Slebor tertarik untuk mengenal lebih jauh. Seperti juga Sentana, Andika pun merasa tidak ada salahnya bersahabat dengan seseorang yang usianya jauh lebih muda. Nilai sebuah persahabatan, toh tak bisa hanya dinilai dengan perbedaan usia.

Secara jujur, Andika mengakui kalau

ketertarikannya pada Walet, dikarenakan ada kesamaan sewaktu kecil dulu. Mereka sama-sama gelandangan, tak memiliki siapa-siapa. Dan mereka merasa senasib hingga persahabatan itu sudah seperti keluarga sendiri. Dan mereka pun sama-sama tak sudi melihat ketidakadilan, kesemena-menaan, dan kekejaman yang terjadi di depan mata. Bedanya, Andika kecil memilih jalan menjarahi pundi-pundi uang milik para penguasa lalim. Sedangkan Walet menentang orang-orang lalim dengan kekuatan batinnya.

"Jadi, Kang Andika tak tertipu oleh kekuatan batinku?" tanya Walet seraya merapatkan kain pusaka pinjaman Andika ke tubuhnya.

Andika mengangguk.

"Aku juga tidak mengerti, kenapa orang lain tertipu sedang aku tidak," jawab Andika. "Mmm, mungkin karena Kakang memiliki hati bersih," duga Walet.

"0, ya?"

"Bersihnya hati Kakang Andika, karena berpegang teguh pada kebenaran sebagai amanat Tuhan.

Keimanan pada Tuhan, tidak membuat orang mudah terpengaruh sesuatu...," tutur Walet.

Mendengar ucapan bijaksana bocah kecil di depannya, Andika tertawa renyah. Dikucek-kuceknya rambut Walet seperti sikap seorang kakak pada adiknya. Andika tidak bermaksud meledek Walet. Dia tertawa, karena merasa tak percaya kalau ucapan penuh makna tadi terlontar dari bibir seorang anak sebelas tahun.

"Kau anak yang hebat. Let" puji Andika tulus.

"Ah, masa? Setiap orang bisa berkata seperti itu, Kang. Asal dia bisa memperhatikan hidup yang dijalaninya," sergah Walet, menghindari pujian Andika.

Lama keduanya berbincang simpang siur, berbagai kisah duka atau suka. Namun....

"Tunggu, Let...," tukas Andika tiba-tiba.

Mata pemuda itu menyipit dan terarah ke tempat yang cukup gelap di depannya. Seolah dia hendak menembus rintik-rintik gerimis di luar.

"Ada apa, Kang?" tanya Walet heran.

"Aku melihat seorang berdiri di sana tadi. Kau tunggu saja di sini. Aku ingin menyelidikinya," ujar Andika seraya beranjak dari pondok tua ini.

Tanpa mempedulikan kepungan hujan, Andika berlari menuju tempat seseorang yang dilihatnya tadi.

Wajar saja jika kecurigaannya timbul, karena tidak biasanya seseorang berdiri di bawah curahan gerimis dan kungkungan udara dingin. Begitu cepat Andika berkelebat, sehingga sebentar saja tubuhnya tiba di tempat tujuan. Namun ternyata di situ Andika tidak melihat orang tadi. Bagi pemuda itu, hal ini tergolong aneh. Bagaimana tidak? Tempat itu berupa padang rumput luas, yang tidak memungkinkan seserang bersembunyi. Satu-satunya tempat bersembunyi, hanya pohon besar di dekatnya.

Tapi ketika seluruh penjuru pohon diawasi, tidak juga diketemukan orang yang dicari.

"Apa mungkin dia melarikan diri?" tanya hati Andika. "Ah Sepertinya tidak mungkin"

Sewaktu mendekati tempat itu, Andika telah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Di dunia persilatan, kecepatan gerak warisan dari buyutnya yang berjuluk Pendekar Lembah Kutukan, memang sulit dicari tandingan. Bila orang itu melarikan diri, tentu masih sempat terlihat. Lalu kenapa tiba-tiba orang itu menghilang bagai menyatu dengan desir angin malam?

"Aneh...," bisik Andika, tidak mengerti.

Belum lagi keheranannya terjawab, mendadak saja ada teguran lembut di belakang Andika.

"Tuan...."

Meski sapaan itu tak terdengar keras, Andika tetap tersentak. Lagi-lagi benaknya digerayangi keheranan.

Kenapa tiba-tiba pula orang itu muncul lagr? Tak ada suara sekecil apa pun yang tertangkap telinga Andika.

Bahkan desah napasnya sekalipun.

Dengan gumpalan keheranan dalam benaknya, Andika menoleh ke belakang. Tampak seorang wanita cantik nan anggun berdiri tepat dua tombak di dekatnya. Saat mata Andika bertumbukan dengan wajahnya, pendekar muda itu menjadi terpukau. Tak pernah dalam hidupnya wajah secantik itu dilihatnya. Kulitnya putih agak berpendar terang, meski suasana saat ini dirundung gelap. Matanya berhias bulu-bulu lentik, seolah menggapai langsung ke hati Andika.

Hidungnya bangir dan bibirnya merekah merah delima. Rambutnya yang hitam legam sebatas pinggang, terurai bak hamparan permadani surga.

Tubuhnya yang tinggi sintal diselimuti gaun kuning rembulan.

Andika menarik napas dalam-dalam, mencoba menguasai getaran asing yang mendadak menyeruak dalam relung batinnya.

"Dia benar-benar sempurna...," desah Andika tak sabar.

"Tuan...," sapa wanita itu sekali lagi.

Andika terkesiap dari keterpesonaannya. Sambil mengutuki dirinya yang bersikap seperti orang bodoh, bergegas dilontarkannya senyum ramah. Namun yang terlihat di bibirnya ternyata lebih mirip ringisan seekor kuda pikun. Maklum saja, dia begitu kikuk.

"Kau..., kau ini siapa?" tanya Andika, agak tergagap.

Tak, terdengar jawaban dari bibir wanita cantik itu, kecuali membalas senyum Andika dengan keranuman bibirnya. Sehingga, memaksa jantung Andika kian berdetak tak karuan.

"Ng..., anu kau. Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, kan?" kata Andika.

"Tolong aku, Tuan Pendekar," pinta wanita itu, tak sedikit pun menjawab pertanyaan Andika sebelumnya.

Sepasang alis sayap elang pemuda gagah itu bertaut.

"Tolong? Tolong bagaimana?" bisik batin Andika lagi. "Bencana itu..., bencana itu. Aku terpaksa melakukannya. Tolong aku, Tuan Pendekar," lanjut wanita cantik itu, makin membingungkan Andika.

"Tunggu dulu, Dik. Bisakah kau jelaskan padaku satu persatu?" tanggap Andika sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya kali ini menangkap bias kemurungan di wajah wanita itu.

Cukup lama Andika menunggu jawaban, tapi wanita di hadapannya tetap tertunduk dalam-dalam.

Andika menggeleng-geleng kepala. Dan saat menggeleng, matanya terlempar ke arah lain.

"Bagaimana aku bi...."

Andika tak melanjutkan ucapannya, karena begitu matanya kembali pada wanita itu, dia tak menemukan siapa-siapa lagi.

"Hei.... Ke mana kau?" panggil Andika.

Seketika Andika menyadari sesuatu yang ganjil.

Ternyata wanita itu menghilang begitu saja dalam waktu demikian singkat Padahal, Andika hanya sempat mengalihkan pandangan saat menggeleng.

Maka saat berikutnya bulu roma Andika meremang.

"Siapa wanita itu?" bisik pemuda itu amat samar.

*** 3

Wilayah Kadipaten Karangwaja yang luas, terbentang dari kaki Gunung Srandil di sebelah timur hingga Pesisir Pantai Laut Selatan. Di kadipaten itu berdiri empat perguruan besar. Masing-masing Perguruan Elang Hitam di wilayah timur, Perguruan Tangan Wesi di sebelah barat, Perguruan Naga Langit di wilayah selatan, dan Perguruan Ular Iblis di wilayah utara. Dari keempat perguruan ini, hanya Perguruan Ular Iblis yang kerap kali menimbulkan masalah di kadipaten itu.

Kadipaten yang yang dipimpin Adipati Tunggul Manik ini sering dibuat susah oleh para murid Perguruan Ular Iblis yang melanggar hukum.

Kerusuhan sering diciptakan di beberapa kampung.

Tabiat ugal-ugalan dan semena-mena adalah hal biasa bagi murid perguruan itu. Untuk melakukan penangkapan, para prajurit kadipaten malah dibuat kewalahan. Karena, murid-murid perguruan itu rata-rata memiliki ilmu kesaktian tinggi

Dengan alasan inilah, Adipati Tunggul Manik berulang kali mengirim utusan ke tiga perguruan lain, untuk memohon bantuan mengatasi sepak terjang Perguruan Ular Iblis. Meski begitu, persoalan demi persoalan yang ditimbulkan para murid Perguruan Ular Iblis tak kunjung selesai.

Seperti halnya hari ini, dua lelaki dari Perguruan Ular Iblis terlihat memasuki gerbang desa. Keduanya berpakaian serupa. Rompi merah tua dengan rajutan ular bertaring besar di bagian belakangnya. Pakaian itu masih dipadu dengan celana panjang warna kelabu. Kepala mereka diikat kain merah bergambar lambang perguruan, seperti di baju bagian belakang yang dikenakannya. Kegagahan tampak pada kedua lelaki muda berwajah tampan itu. Sayang, sinar mata mereka berbinar culas.

Mereka terus melangkah angkuh, memasuki jalan desa yang lengang siang ini. Tak heran, karena para penduduk yang terutama laki-laki sedang pergi ke sawah. Sedangkan para wanitanya sedang memper-siapkan makan siang untuk dibawa ke sawah nanti.

Ketika kedua lelaki itu melewati jembatan bambu yang membelah anak Sungai Lanang, seorang gadis desa berwajah cantik dan bertubuh molek kebetulan melintasi jembatan pula. Maka ketiganya berpapasan di tengah jembatan bambu.

"Ada anak kelinci, Kang Wisesa," seloroh lelaki yang berwajah lebih muda.

"Anak kelinci yang montok dan manis, Karta,"

timpal laki-laki yang dipanggil Wisesa seraya terbahak-bahak keras.

Sedangkan gadis desa yang digoda menjadi tersurut ketakutan ke sisi jembatan. Matanya mem-beliak ngeri, mendapati seringai nakal Karta dan Wisesa. Dia berniat lari menerobos sisi kiri jembatan, tapi Wisesa dengan sigap menghalang-halanginya.

"Kenapa terburu-buru, Nyai?" tanya Wisesa. "Apa tidak sebaiknya kita berkenalan dulu? Siapa namamu?

"Marni," sahut gadis itu, cepat.

"Marilah, kita ngobrol-ngobrol dulu," ajak Karta.

Marni menggelengkan kepala. Rambutnya yang panjang tergerai bergoyang-goyang mengikuti irama gelengan kepalanya. "Maaf, aku terburu-buru, Kang. Mau ngantar makanan buat Ayah di sawah," tukas Marni, berusaha menolak ajakan Wisesa.

"Aaah Hanya ngobrol saja kan tidak lama," selak Karta sambil menjulurkan tangan untuk menjamah pangkal lengan Marni.

"Tapi, Emak sudah menunggu di rumah. Masakan buat Ayah pasti sudah matang," tolak Marni lagi seraya berusaha mundur, menghindari tangan liar Karta dengan wajah mulai memucat.

Merasa usahanya untuk melintasi jembatan sia-sia, Marni perlahan-lahan melangkah mundur.

Pikirnya, lebih baik kembali ketimbang harus berurusan dengan dua lelaki hidung belang ini. Terlebih, dia tahu kalau mereka adalah anggota Perguruan Ular Iblis, biang kekacauan di Kadipaten Karangwaja.

Melihat Marni siap-siap melarikan diri, Karta mendekatkan wajahnya pada telinga Wisesa.

"Kang, mumpung tidak ada orang. Bagaimana kalau kita bawa lari perempuan ini?" bisik Karta, memberi usulan.

Wisesa melirik kawannya sesaat. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Yang pasti, bibirnya menyeringai jalang. Setelah itu, kepalanya mengangguk, memberi persetujuan atas usul Karta tadi.

Marni tahu, gelagat itu tidak baik. Ia memang sering bertemu orang-orang seperti Karta dan Wisesa yang selalu memperlihatkan tingkah mencurigakan jika menyimpan niat busuk pada dirinya yang menjadi kembang desa.

Menyadari hal ini, Marni segera berbalik, dan lari sekuat tenaga di atas jembatan bambu. Sehingga, membuat jembatan itu bergoyang-goyang bersama suara berderit. "Mang, kejar" seru Karta setengah berteriak, dan langsung mengejar Marni.

Saat berikutnya, Wisesa pun mengejar gadis itu.

Tiga orang berlari di atas jembatan, mengakibatkan kerangka bambu itu nyaris roboh. Deritnya riuh, seperti oleng ke kiri dan kanan, sehingga Marni terhuyung-huyung.

Sementara di bawah sana, anak sungai berbatu sebesar kerbau siap menanti. Bagi Karta maupun Wisesa, jarak setinggi tujuh tombak dari jembatan ke permukaan sungai bukan masalah. Dengan tingkat meringankan tubuh yang mereka miliki, ketinggian yang lebih dari itu pun sanggup ditaklukkan.

Tapi buat Marni, yang tak memiliki ilmu bela diri sekalipun? Ancaman terenggut maut di atas batu besar bisa saja menimpa dirinya.

Rasa bingung Marni membuat keseimbangan

tubuhnya tidak bisa terkuasai lagi. Tubuhnya oleng ke kiri, langsung melanggar sisi jembatan dari bilah bambu memanjang. Dorongan tubuhnya yang begitu keras, menyebabkan bambu di sisi jembatan tak kuasa menahannya.

Krak

Bambu sisi jembatan itu patah, dan....

"Aaa..."'

Tak ayal lagi, Marni terlempar ke bawah. Jeritan melengking yang terdengar menyayat keluar dari tenggorokannya, sehingga tercipta gema ke setiap penjuru, seperti panggilan maut.

"Bodoh Kenapa tidak menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menangkapnya?" bentak Wisesa menyesali keterlambatan Karta mengejar gadis desa itu.

"Mak..., maksudku tadi hanya ingin mempermain- kan dia, Kang," jawab Karta tergagap.

"Tapi akibatnya dia jatuh ke sana" hardik Wisesa kembali seraya menunjuk ke anak sungai. Di sana, tubuh Marni tergolek tanpa bergerak sedikitpun setelah menghantam permukaan sebongkah batu besar.

"Jadi apa harus diperbuat, Kang? Apa penduduk kampung bakal tahu?" tanya Karta, tertunduk-tunduk.

"Goblok Aku memarahimu bukan karena takut pada penduduk kampung"

"Jadi apa, Kang?"

"Karena kita tak jadi menikmati tubuh gadis cantik itu"

"Ooo, aku kira apa. Kalau itu sih, aku juga menyesal, Kang," tukas Karta seraya meringis-ringis takut.

"Ayo kita pergi Aku tak ingin buang-buang tenaga jika penduduk desa tahu kejadian ini...," ajak Wisesa pada Karta.

Keduanya baru hendak melangkah tapi segera diurungkan. Karena, mata mereka menemukan seseorang berdiri di ujung jembatan. Tangannya terlipat di depan dada, seperti menantang Karta dan Wisesa.

"Siapa kau?" bentak Wisesa kasar. Sikap orang itu membuat dirinya merasa ditantang secara tak langsung.

Bentakan itu sama sekali tidak digubris lelaki yang baru datang. Malah matanya menatap terus kedua orang murid Perguruan Ular Iblis itu tajam-tajam.

Jemari tangan kanannya terlihat menepuk-nepuk lengan yang lain.

"Hey, aku bicara padamu" bentak Wisesa sekali lagi. Suaranya terdengar makin meninggi. Bukannya menyahut, pemuda berpakaian hijau dan tersampir kain bercorak catur pada pundaknya itu malah menoleh ke belakang. Seolah seruan itu ditujukan pada orang di belakangnya. Tentu saja perbuatan ini kian membuat Wisesa dongkol.

"Aku bicara padamu, Goblok" maki Wisesa dengan wajah matang.

Sekali lagi si Pemuda menoleh ke belakang. Lebih menjengkelkan lagi, badannya dibalikkan pula.

Dengan membelakangi Karta dan Wisesa, bahunya diangkat.

"Apa orang itu sudah sinting? Tidak ada siapa-siapa di belakangmu, kok teriak-teriak seperti itu...?"

Meski tidak terlalu keras, ucapannya tetap dapat ditangkap telinga Wisesa. Kontan saja wajah lelaki itu menjadi tertekuk beringas. Pangkal hidungnya terlipat. Sedang bibir atasnya terangkat, seperti mulut kera sedang marah.

Saat itulah pemuda tadi berbalik menghadap mereka. Wajahnya terperangah, melihat mimik muka Wisesa. Sepasang alisnya terangkat, seperti orang ketakutan.

"Astaga, jadi orang itu benar-benar sinting...," ujar pemuda itu agak keras.

"Bangsaaat" maki Wisesa tak alang kepalang murka.

Siapa yang sudi disebut orang sinting? Begitu marahnya Wisesa, sampai-sampai seluruh urat lehernya tersembul ketika memaki.

Sementara Karta di belakangnya malah tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kejengkelan kawannya. Apalagi jika teringat ucapan si Pemuda yang menganggap Wisesa orang gila.

"Tolong Tolooong, ada dua orang sinting di jembatan" teriak pemuda berpakaian hijau itu selanjutnya.

Tawa meriah Karta terputus seketika mendengar teriakan tadi. Jelas, perasaannya ikut tersinggung. Itu artinya dia juga dianggap sinting Dan wajahnya pun tertular wajah jelek Wisesa....

"Kita hajar saja dia, Kang," usul Karta pada Wisesa.

"Diam kau" bentak Wisesa, kesal ditertawai Karta.

Dihampirinya pemuda yang tampak berpura-pura ketakutan. Langkahnya terbanting-banting di jembatan bambu, membuat getaran bagai ada gempa.

"Hei..., hei, hati-hati Bambu-bambu itu sudah keropos" teriak pemuda gondrong yang ternyata Andika, alias Pendekar Slebor seraya menjentik kulit bambu yang dikeratnya dari sisi jembatan.

Keratan kulit bambu itu kontan meluncur deras tanpa tertangkap mata Wisesa. Dan tiba-tiba saja menghantam bagian jembatan yang hendak diinjak Wisesa.

Krak

Sebelah kaki Wisesa kontan terperosok, begitu jentikan kecil Andika tadi disertai tenaga dalam tingkat tinggi. Memang, bambu yang terkena kontan remuk. Sehingga, tak kuat menahan bobot Wisesa.

"Kunyuk Kunyuk" umpat Wisesa seraya bangkit terseok.

Wisesa memegangi selangkangan yang terantuk potongan bambu. Sambil meringis menahan nyeri yang merasuk hingga ke ulu hati, tangannya menunjuk ke arah Karta.

"Karta Tunggu apa lagi. Goblok? Ayo singkirkan manusia pembawa sial itu" teriak Wisesa. Mendapat teriakan Wisesa, Karta tersentak. Masih setengah terkejut, dia berlari menuju Andika.

"Manusia siaaal..." teriak Karta seraya mengayunkan tinju ke wajah Andika.

Di lain pihak, Pendekar Slebor malah asyik senyum-senyum saja menantikan serangan. Padahal, Karta mengirim pukulan beserta pengerahan tenaga dalam. Maka ketika tinju Karta hampir mendarat di wajah, Andika segera menggenjot tubuh dengan pengerahan seluruh kemampuan meringankan tubuhnya. Wesss

Tubuh Pendekar Slebor tiba-tiba seperti menghilang dari pandangan Karta. Alhasil, pukulannya pun melayang tanpa kendali. Tubuh lelaki gagah namun agak bodoh itu meluruk deras, kemudian terjerembab di ujung jembatan. Lalu dengan segera Karta bangkit dengan mata membesar sejadi-jadinya.

"Kang Cepat lari, Kang Orang tadi barangkali prajurit Nyi Roro Kidul" jerit Karta pada Wisesa yang menyaksikan juga peristiwa tadi.

Tak ada dua helaan napas, keduanya sudah kocar-kacir kelimpungan. Sebentar saja, mereka sudah cukup jauh meninggalkan jembatan bambu ini.

Menyusul menghilangnya dua lelaki tadi, Andika muncul kembali.

"Walet Ayo kita teruskan perjalanan" seru Pendekar Slebor ke arah sebatang pohon besar.

Dari balik pohon besar itu, keluar Walet bersama Marni. Ya Marni memang tidak mati. Tubuhnya yang tergolek di atas bongkahan batu sebenarnya, hanya batang kayu kering. Sudah pasti itu hasil kerja Walet.

Memang, semula Pendekar Slebor dan Walet hendak berkunjung ke beberapa desa untuk menemui sesepuhnya. Ini karena Andika hendak menanyakan tentang bencana yang terjadi seperti disebutkan wanita aneh yang ditemuinya beberapa malam lalu. Secara kebetulan, mereka melintasi daerah itu dan menyaksikan Marni sedang dipermainkan dua lelaki tadi.

*** 4

Setelah Andika mengalami kejadian aneh beberapa hari lalu, kepalanya tak habis-habisan berpikir tentang wanita cantik yang ditemuinya di bawah sebatang pohon besar. Siapa dia? Bagaimana dia bisa tiba-tiba hadir, lalu tiba-tiba pula menghilang?

Apa maksudnya meminta tolong? Lalu, bencana macam apa yang dimaksudnya? Seruntun pertanyaan itu terus bergaung di benak Andika.

Di mulut sebuah jendela kamar, Andika terpekur.

Dicobanya memahami seluruh ucapan wanita itu.

Lama dia begitu, namun tak secercah jawaban pun yang didapat.

Setelah menolong Marni siang tadi, Andika dan Walet mengantarnya pulang dan sampai di rumah.

Mereka berdua ditawari bermalam oleh Nyi Saodah, ibunya Marni. Semula, Andika menolak karena masih punya urusan. Terutama hendak mencari tahu makna pesan wanita cantik aneh itu kepada beberapa sesepuh desa berbeda. Namun ketika hujan begitu saja mengguyur bumi, mau tak mau diterimanya juga tawaran Nyi Saodah.

Mereka diperlakukan seperti tamu kehormatan oleh keluarga Marni. Bukan karena telah berjasa menyelamatkan Marni dari cengkeraman dua lelaki bejat siang tadi, tapi semata-mata karena nilai-nilai tata krama dalam keluarga itu sendiri. Kendati demikian, kedua orangtua Marni amat berterima kasih anaknya telah diselamatkan.

Andika dan Walet mendapat kamar istirahat di rumah yang lumayan besar itu. Sejak lepas senja tadi, Walet sudah tertidur pulas di balai dalam kamar.

Tampaknya, bocah itu terlalu lelah setelah seharian berjalan bersama Andika.

Kini keadaan sepi. Suara hujan di luar, menembus dinding bilik kamar. Sementara, angin basah singgah melalui jendela tempat Andika merenung.

Sampai saat itu, hujan tidak juga mau berhenti.

Dan ini agaknya membuat Andika kesal karena urusannya jadi mandek. Namun biar bagaimanapun, dia harus menerima perlakuan alam yang seperti ini.

Lagi pula, siapa yang bisa menolak kehendak Tuhan untuk menurunkan hujan?

Lamat-lamat Andika bisa menikmati suasana seperti ini. Sampai tiba-tiba berkelebat bayangan seseorang di balik dinding bilik. Dari bentuk tubuhnya, diyakini kalau bayangan itu tubuh seseorang wanita.

"Marni.... Kaukah itu?" sapa Andika, menduga-duga. Tidak ada jawaban. Sementara, desah hujan di luar masih terus terdengar.

"Marni...," ulang Andika. Dugaannya, barangkali suaranya terlalu lemah untuk menembus hujan, sehingga Marni tidak mendengar.

Tapi, tak juga ada sahutan.

Andika mulai curiga. Dipasangnya pendengaran tajam-tajam, mencoba menangkap gerakan terkecil yang mencurigakan. Tapi, justru matanya kembali menangkap kelebatan seseorang. Anehnya, telinganya tidak menangkap suara sedikit pun

Entah kenapa, kuduk Andika meremang hebat.

Padahal, dia belum menduga yang bukan-bukan.

"Apa-apaan ini?" desis Pendekar Slebor amat samar.

Andika jadi teringat wanita cantik yang ditemuinya beberapa hari lalu. Saat itu, kuduknya pun meremang. Dan kini, napas Andika seperti hendak terhenti karena tegang. Saat berikutnya....

Brak

Dinding bilik di depan Andika jebol seketika, menciptakan suara keras mengalahkan keramaian hujan. Dan tiba-tiba, seorang berambut panjang menerobos masuk. Dari arah terjangannya, Andika tahu kalau orang itu hendak menyerang Walet.

Dengan sigap Andika menghentakkan kakinya.

Tubuhnya cepat meluruk deras ke arah orang yang baru masuk. Tak ada tindakan lain yang ingin dilakukannya saat itu, kecuali menahan si penyerang agar tidak mendekati Walet.

Mendapati seseorang berusaha menghalangi, sosok berpakaian merah-merah itu menghentikan gerakannya.

Sementara Walet yang mendengar keributan, seketika terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap pedih, karena terbangun tiba-tiba.

"Ada apa, Kang Andika?" tanya Walet setengah berseru.

Andika tak menyahut, apalagi menoleh. Karena pada saat bersamaan, sosok yang baru datang itu menuding ke arahnya.

"Minggir kau Jangan campuri urusanku" bentak sosok berpakaian serba merah itu.

"Kalau kau berurusan dengan kawan kecilku ini, itu berarti berurusan langsung denganku," sanggah Andika, menanggapi bentakan orang yang ternyata bukan wanita.

Sosok itu ternyata lelaki berusia lima puluh tahunan. Rambutnya yang panjang dipenuhi uban.

Wajahnya amat menakutkan dengan bekas luka sayatan pedang yang memanjang dari kening hingga ke pipi. Sebelah matanya terlihat sudah tidak utuh lagi karena sayatan itu. Meski rambutnya panjang, bagian depan kepalanya tak berambut. Sehingga keningnya tampak menjadi lebih lebar. Dengan kumis lebat menutupi bibir, lelaki itu makin terlihat sangar.

"Kau akan menyesal jika mencampuri urusanku, Anak Muda," ancam orang itu dingin.

Andika tersenyum sinis, di bawah terpaan sinar lampu minyak dalam kamar.

"Keliru Justru kau yang akan menyesal telah berurusan denganku," tangkis Andika tenang.

"Bagaimana, ya? Karena siang tadi, aku baru saja mendapat sebutan baru dari dua orang laki-laki.

Manusia pembawa sial. Kau mau ikut sial seperti dua lelaki itu?"

"Kau terlalu memaksa, Kisanak. Hiaaah"

Tak banyak berbasa-basi lagi, lelaki itu melancarkan serangan ganas ke mata Andika. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya mengejang, seakan ditarik rentangan kawat baja di dalamnya.

Wut

Untuk mengukur tingkat kekuatan tenaga dalam lawannya, sengaja Andika memapak totokan itu dengan telapak tangan kanannya.

Dab

Kini Andika tahu, lawannya memiliki ilmu kesaktian yang tergolong tinggi. Itu bisa dirasakan dari getaran hebat yang mengalir di sekujur persendian tangan kanannya. Menyadari lawan tidak bisa dibuat main-main, Pendekar Slebor lantas mengirim serangan balasan.

Jurus awal 'Memapak Petir Membabi Buta'

dikerahkan untuk menyerang tinju geledek tingkat lima milik laki-laki itu. Sasarannya adalah tulang iga.

Wesss

Pukulan sepasang tangan yang bergerak dari dua arah berbeda, menimbulkan deru angin keras. Ini sebagai bukti kalau kecepatan dan penyaluran tenaga Andika dikerahkan tak tanggung-tanggung.

"Hih"

Laki-laki berpakaian serba merah itu menaikkan kaki kanannya dalam bentuk melipat ke atas. Dan begitu pukulan itu dekat, kaki kanan yang terlipat sudah melepaskan tendangan ke perut, dengan badan condong ke samping. Dengan demikian selain bisa menghindari pukulan Andika, orang itu mampu melepaskan serangan balasan. Dan itu memang sebuah gerak kembangan dari jurus 'Sapuan Ekor Ular'.

Andika cepat menarik tubuh ke belakang, lalu secepatnya berputar. Berbareng dengan itu, kakinya membuat gerakan menyapu untuk menjatuhkan lawan dengan mendepak kakinya yang masih menjejak.

Wres

Namun gerakan laki-laki itu tak kalah cepat dalam memindahkan jejakan kakinya, setelah melompat terlebih dahulu untuk menghindari sapuan Andika.

Sementara keduanya bertukar jurus, Walet malah berteriak-teriak menyemangati Andika.

"Terus, Kang Hajar jidatnya yang lebar itu Yak, yak Jitak saja" teriak Walet seraya meninju-ninju.

Matanya yang semula kuyu karena kantuk, kini terbuka lebar-lebar dan berbinar penuh semangat.

Tiga puluh jurus berlalu begitu cepat. Pertarungan antara Pendekar Slebor melawan laki-laki berpakaian serba merah itu belum menghasilkan apa-apa bagi satu sama lain. Dugaan Andika sebelumnya memang tidak meleset. Lawan memang memiliki kedigdayaan yang cukup tangguh.

"Hiyaaah"

Jep

Biarpun hingga saat ini belum tahu alasan pasti, mengapa lelaki berwajah sangar itu hendak menyerang Walet, namun Andika bersungguh-sungguh untuk menjatuhkan lawannya. Dalam pertarungan seperti ini hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Meski selaku ksatria sejati Pendekar Slebor lebih suka tidak ada yang menjadi korban.

Sesekali terbetik dugaan dalam benak Andika bahwa lawannya mungkin mengalami kesalah-pahaman. Namun serangan-serangan mematikan yang dihadapi tidak memberi kesempatan untuk mempertimbangkan dugaan itu. Mau tak mau, Pendekar Slebor melayani setiap gempuran yang datang.

Memasuki jurus ketiga puluh empat, kecepatan gerak Pendekar Slebor meningkat pesat. Bukan hanya itu, jurus yang dimainkannya pun terlihat tak beraturan lagi. Dengan begitu, bukan berarti lelaki berpakaian serba merah itu mendapat kesempatan untuk berada di atas angin. Gerakan menggila pendekar muda berjuluk Pendekar Slebor justru seperti menutup seluruh ruang geraknya.

"Gila Jurus apa ini" maki lelaki itu, antara kekaguman dan kegusaran.

Jep Wess, wesss, jeb, jeb, jeb

Keterperanjatan lawan dimanfaatkan Andika untuk melepaskan totokan beruntun ke leher, dada, ulu hati, dan pinggang.

Melihat hal ini, lelaki berpakaian serba merah itu kian terperangah. Wajah buruknya menegang demikian rupa. Lalu sekejap berikutnya, berganti ringisan menahan sakit luar biasa pada bahunya.

Des

"Akh"

Tanpa disangka-sangka, rupanya Pendekar Slebor menyelipkan satu bacokan lengan di antara pukulan berantainya.

Bersama erangan tertahan, tubuh lelaki setengah baya itu terlempar ke belakang, langsung menghantam dinding bilik. Kemudian, dia jatuh berguling di tanah tergenang air. Hujan langsung menyerbunya, membuat seluruh badan lelaki itu basah kuyup.

Sebelum benar-benar berhenti berguling, orang itu menghentakkan kakinya ke udara, sehingga bisa berdiri kembali. Sambil mendekap bahu kanan, dia langsung melarikan diri begitu cepat laksana kelelawar malam. Sementara Andika hanya berdiri saja memperhatikan kepergian orang itu.

"Kenapa tak dikejar, Kang?" Walet, tak puas menyaksikan Andika membiarkan lawan melarikan diri. "Itu orang dari Perguruan Ular Iblis. Orang brengsek yang tak pantas diberi ampun"

"Tak perlu," sergah Andika. "Yang perlu sekarang ini, adalah penjelasanmu. Kenapa orang itu hendak menyerangmu?"

"Mana aku tahu," sahut Walet, seraya mengangkat bahunya.

"Jangan bohong. Buktinya kau tahu kalau dia dari Perguruan Ular Iblis. Pasti kau punya masalah dengan mereka, kan?" desak Andika.,

"Sumpah modar bohongan Aku tidak punya masalah apa-apa dengan mereka, Kang. Kalau aku tahu bahwa dia dari perguruan itu, karena sempat melihat lambang perguruan di punggung bajunya,"

sangkal Walet.

Andika menyerah. Bisa saja anak ini tidak berbohong.

"Ada apa, Nak Andika?" tanya Nyi Saodah yang tiba-tiba menguak pintu kamar.

"Tidak ada apa-apa, kok Nyi. Hanya ada tikus tadi,"

sahut Walet cepat.

Nyi Saodah melongo. Tikus sebesar apa yang bisa menjebol dinding bilik rumahnya?

***

Satu teka-teki belum terjawab, telah datang lagi teka-teki lain. Andika jadi pusing memikirkannya. Di lain sisi, dia yakin adanya satu hubungan antara peristiwa wanita cantik yang ditemaninya, dengan tokoh sakti dari Perguruan Ular Iblis semalam. Namun demikian jawabannya masih buntu.

Untuk menghubungkan seluruh mata rantai

peristiwa semua itu, Andika memang harus menyelidiki satu persatu. Mula-mula hal ihwal mengenai Perguruan Ular Iblis secara lengkap harus diketahui-nya. Termasuk, kepentingannya terhadap diri Walet.

Selanjutnya dia akan mencari tahu tentang bencana seperti disebutkan wanita cantik yang ditemuinya beberapa hari lalu. Dan yang terakhir, akan diselidikinya siapa wanita cantik terselubung teka-teki itu sebenarnya.

"Benar-benar rumit...," keluh Andika bersama satu helaan napas panjang.

"Kopinya, Kang Andika...."

Andika tersadar dari kecamuk pikirannya.

Didapatinya Marni telah berdiri di depannya, mem- bawa dua cangkir tanah liat berisi kopi panas.

"Wah Pagi-pagi seperti ini, memang tepat kalau disuguhkan kopi ngebul-ngebul," seloroh Andika seraya menyambut cangkir di tangan kanan Marni.

"Terima kasih, ya."

Gadis manis di depan pemuda itu tersipu-sipu sambil meletakkan cangkir kopi yang lain di meja kayu. Kulit wajahnya yang putih memperlihatkan semu merah, kala mata Andika berusaha menangkap mata lentiknya.

"Mmm, kopi ini betul-betul nikmat. Kau yang buat, Ni?" tanya Andika setelah menyeruput kopi.

Marni mengangguk malu, tanpa berani mengadu pandang dengan pemuda tampan yang duduk di kursi itu.

"Tapi, kurasa hanya perlu kopi satu cangkir.

Kenapa disediakan dua?" lanjut Andika.

"Ah Cangkir yang ini buat Walet, kok Kang...," kata Marni lembut.

"Ooo," bibir Andika membulat. "Dikira buat aku. He he he..."

Lagi-lagi Marni tersipu. Wajah ayu berhias rona merah itu membuat Andika gemas. Hati pemuda itu mau tak mau memuji keayuan Marni yang begitu alami. Bulu matanya yang lentik, berkelopak lembut.

Hidungnya tinggi menipis, dan bibirnya merah delima....

"Aku ke belakang dulu, ya Kang Andika."

Andika tersentak. Matanya sempat berkerjap kaget mendengar sapaan Marni.

"Eh Iya, ya. E..., apa tidak sebaiknya menemani aku ngobrol?" sahut Andika gelagapan.

Mendapat tawaran Andika, Marni tidak bisa menyembunyikan rasa senang di wajahnya. Itu bisa dilihat dari bias mata beningnya. Dia pun duduk di depan Andika malu-malu. Kepalanya tertunduk dalam memandang ke bawah meja.

Lama keduanya terdiam seperti orang bodoh.

Andika sendiri bingung, mau bicara mulai dari mana.

Rasanya semua jadi serba salah. Sampai akhirnya, dia teringat pada wanita aneh berwajah cantik yang pernah ditemuinya.

"Ngomong-ngomong, apa kau pernah mendengar desas-desus tentang wanita cantik yang aneh?" tanya Andika pada Marni.

Marni mengangkat kepala.

"Aneh bagaimana, Kang?"

"Datang tiba-tiba dan pergi pun tiba-tiba. Ya, seperti menghilang begitu saja."

Wajah Marni mendadak memperlihatkan

kengerian.

"Ada apa, Ni?" ungkit Andika, ingin tahu. Marni tidak segera menjawab. Sepertinya, dia sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Apa yang Kakang maksud Nyai Roro Kidul?" tanya Marni, hati-hati.

"Nyai Roro Kidul?"

"Dia Ratu Penguasa Laut Setan. Dan Kadipaten Karangwaja masih termasuk wilayah kekuasaannya.

Beliau..., beliau Ratu Lelembut."

Andika tercekat. Bulu halus di kuduknya kontan meremang.

"Ratu Lelembut," desis pemuda itu tak sadar.

*** 5

Pagi beranjak pergi. Matahari perlahan menanjak menuju puncak singgasananya. Sinarnya yang kemilau singgah pada genangan air hujan, lalu memantul lagi ke udara. Pantulan cahaya matahari pada genangan air yang beriak diterpa angin, membuat genangan itu bagai kilau mutiara berserakan.

Awal siang ini Andika memutuskan untuk melanjutkan perjalanan bersama Walet. Keduanya pamit pada keluarga Marni yang dengan berat hati melepas kepergian mereka. Terlebi-lebih, bagi Marni. Per-kenalan singkat dengan pemuda tampan itu mengukir kesan teramat dalam hati Marni.

Marni sendiri tak pernah mengerti perasaan macam apa yang mengusiknya, setelah mengenal Andika. Gadis itu hanya tahu kalau dirinya amat berharap Andika tetap tinggal bersama keluarganya.

Dan kalaupun tetap harus pergi, dia berharap dapat berjumpa lagi.

"Selamat jalan, Kang Andika...," ucap Marni begitu berat, seperti tercekat di tenggorokan.

Keluarga Marni kini berdiri di pintu rumah untuk melepas kepergian Andika dan Walet.

Andika menghentikan langkahnya seraya menoleh.

Ucapan perlahan Marni sempat tertangkap telinganya. Dijawabnya kalimat perpisahan Marni dengan seulas senyum. Lalu langkahnya dilanjutkan menyusul Walet yang berjalan lebih dahulu.

"Ke mana kita, Kang?" tanya Walet ketika mereka sudah cukup jauh. "Kau tahu orang yang paling tepat untuk ditanyai tentang Kadipaten Karangwaja ini?" Andika balik bertanya.

"Adipati Tunggul Manik, aku rasa."

"Tepat."

"Jadi kita akan ke pendapa kadipaten?"

Andika mengangguk.

"Wah Seumur-umur, baru kali ini aku mau masuk tempatnya para kanjeng. Apa kita bakal diizinkan masuk ke sana, Kang? Kita kan hanya wong cilik?"

tukas Walet agak ragu.

"Kau jangan cerewet. Lihat saja nanti," sahut Andika.

Kali ini, Walet yang mengangguk-angguk. Matanya bergerak kian kemari, membayangkan suasana pendapa kadipaten.

"Pasti dayangnya cantik-cantik ya, Kang" usik Walet, seraya tersenyum nakal.

Andika menggeleng-geleng. Bibirnya memperlihatkan senyum yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri.

"Kau mirip sekali dengan diriku waktu kecil, Let"

ucap Andika dalam hati.

***

Sesampai di kadipatenan, Pendekar Slebor dan Walet disambut dua prajurit penjaga gerbang yang berseragam punggawa, dan bercelana hitam sebatas betis berlapis kain batik. Rambut keduanya digelung ke atas. Pada masing-masing pangkal lengan, terdapat semacam gelang berukir.

"Siapa Kisanak. Dan ada keperluan apa?" tanya seorang di antara dua punggawa seraya mengacungkan tombak.

"Aku ingin bertemu Adipati Tunggul Manik," sahut Andika. "Katakan pada beliau, Pendekar Slebor ingin bertemu."

Mendengar nama Pendekar Slebor disebutkan, prajurit itu tampak agak terperangah. Baginya, bisa bertemu langsung pendekar besar seperti Andika adalah suatu kehormatan tak ternilai. Paling tidak sama saja mendapat kepercayaan dari seorang bangsawan.

Sementara, prajurit punggawa yang satu lagi pun terperanjat.

"Maafkan kebodohanku, Tuan Pendekar. Aku benar-benar tak mengenalimu," hatur punggawa itu seraya menjura hormat, disusul kawannya.

"Ah Jangan perlakukan aku seperti kalian memperlakukan kalangan istana. Aku sama saja seperti kalian," sergah Andika, risih mendapat penghormatan berlebihan kedua punggawa itu.

"Sudikah kiranya Tuan menunggu sesaat. Aku akan melapor dahulu pada Kanjeng Adipati," pamit prajurit yang menanyai Andika tadi.

"Silakan."

Sepeninggalan prajurit tersebut, Walet menyenggol lengan Andika.

"Jadi Kang Andika adalah Pendekar Slebor itu? Oh, jadi selama ini aku bersama seorang pendekar kesohor"

Sambil berbicara mata bocah kecil itu terus membesar. Entah karena kesal tidak pernah diberi tahu Andika tentang dirinya selaku pendekar yang begitu disegani, atau karena bocah kecil itu sama kaget dengan prajurit kadipaten tadi. "Kakang ini benar-benar brengsek...," gerutu Walet.

"Kalau tahu begitu, aku sudah minta diajarkan jurus saktimu...."

Andika tak mempedulikan gerutuanmu Walet, karena prajurit yang melapor telah kembali.

"Tuan Pendekar dipersilakan menemui Kanjeng Adipati di pendapa," kata prajurit itu, mempersilakan.

Andika dan Walet memasuki gerbang kekadipatenan, diantar prajurit tadi.

Setelah berjalan melewati taman sari kekadipatenan, mereka tiba di satu bangunan besar ber-tiang-tiang kokoh. Bangunan ini tak berdinding, sehingga orang di dalamnya bisa melepas pandangan ke seluruh penjuru taman sari. Di tengah ruangan berlantai agak meninggi itu, tampak Adipati Tunggul Manik duduk di atas kursi kebesaran. Mimik wajahnya terlihat senang. Matanya berbinar-binar menyambut kedatangan Andika.

"Selamat datang di kadipaten kami, Pendekar Slebor," sambut laki-laki setengah baya itu seraya berdiri ketika Andika telah melewati tangga batu pendapa.

"Salam hormat dari hamba, Kanjeng Adipati," hatur Andika sambil menjura berbareng dengan Walet.

Setelah mempersilakan duduk, Adipati Tunggul Manik menanyakan maksud kedatangan Andika dan Walet. Maka secara gamblang, Pendekar Slebor pun mengajukan beberapa pertanyaan pada Penguasa Kadipaten Karangwaja ini.

"Apakah di kadipaten belakangan ini sering terjadi keresahan, Kanjeng Adipati?" tanya Andika, meng-ungkapkan keingintahuannya.

"Keresahan?" gumam Adipati Tunggul Manik sambil mengusap-usap dagu. "Aku tidak tahu, apakah yang terjadi belakangan ini di kadipatenku bisa disebut sesuatu yang meresahkan. Karena menurut-ku, kejadian-kejadian itu lebih tepat disebut bencana."

Mata Adipati Tunggul Manik jatuh pada lantai pendapa, seperti sikap seseorang yang sedang prihatin.

"Bencana?" Andika teringat langsung pada wanita cantik yang menemuinya. Dan dia juga bertutur tentang bencana. "Bencana macam apa, Kanjeng Adipati?"

Adipati Tunggul Manik menarik napas dalam-dalam. Beban berat tampak tergambar di wajahnya, karena begitu memikirkan keadaan kadipatennya yang sedang dilanda sesuatu yang amat mengerikan.

"Kalau ingin mengetahui lebih jelas, lebih baik Kisanak bermalam beberapa lama di sini," ujar Adipati Tunggul Manik itu lemah. "Aku sangat berharap kau dapat membantu memecahkan persoalan kami."

Andika menyetujui tawaran Adipati Tunggul Manik.

Lebih-lebih, Walet yang begitu berhasrat menikmati sedikit kenyamanan tempat tinggal para pembesar.

Terutama, kecantikan para dayangnya.

***

Waktu tanpa lelah terus berputar, sebagaimana hukum alam. Malam pun menjelang. Angin dingin berlarian di seluruh wilayah Kadipaten Karangwaja.

Untung saja hujan yang biasanya turun, tidak menampakkan diri. Meski begitu, suasana di luar tetap tidak terasa nyaman.

Seluruh kampung di kadipaten ini tampak mati. Tidak ada seorang penduduk kampung pun yang menampakkan batang hidung. Mereka semua

meringkuk was-was di tempat tidur masing-masing.

Sementara di luar sana, lolongan anjing hutan bersahut-sahutan seakan membawa ancaman di setiap saat.

Hingga malam demikian menua, Andika belum juga bisa memejamkan matanya. Maka diputus-kannya untuk bergabung dengan para pengawal di gerbang istana. Dan baru saja kakinya melangkah keluar dari kamar, Walet menyusul. Rupanya, bocah itu juga tidak bisa tidur. Menurut perasaannya, ada sesuatu yang bakal terjadi malam ini. Benar saja

karena....

"Aaa...

Firasat mereka ternyata terbukti. Baru saja keduanya hendak menyapa tiga prajurit, tiba-tiba saja terdengar teriakan tinggi melengking, merobek ke-heningan malam.

"Pasti ada satu korban lagi," desis seorang prajurit dengan wajah menegang.

"Kalian tetap berjaga di sini. Biar aku yang akan memeriksa apa yang terjadi" ujar Andika sigap. "Kau juga Walet"

Andika memang melihat gelagat, bocah kecil tampaknya juga ingin tahu itu. Maka tanpa mempedulikan gerutuan Walet, pendekar gagah itu melesat cepat keluar dari rumah adipati itu. Ke-cepatannya begitu memukau. Sampai-sampai prajurit yang menjaga pintu gerbang terperangah tak percaya, menyaksikan tubuh Andika tiba-tiba saja menghilang.

"Itu tadi teman karibku, kalian mesti tahu itu,"

tukas Walet, menyombong. Tapi, siapa yang mau peduli ocehan bocah macam Walet? ***

Di tempat lain, tepatnya di sebuah bukit yang ditumbuhi pepohonan lebat, sebelas lelaki sedang mengadu jiwa melawan lima lelaki bertopeng.

Seorang di antara mereka tampak tergeletak tanpa nyawa di tanah basah. Tubuhnya bermandikan darah dari luka menganga di dadanya. Bisa dipastikan, jeritan yang didengar Andika tadi berasal dari mulut lelaki naas itu.

Sebelas lelaki yang bertarung melawan lima orang itu berasal dari Perguruan Naga Langit. Itu bisa dilihat dari gambar naga bersayap yang terdapat di dada kanan mereka. Sedangkan lelaki yang tergeletak juga berasal dari Perguruan Naga Langit.

Di lain pihak, kelima lawan orang-orang Perguruan Naga Langit itu hitam-hitam. Topeng mereka juga berwarna hitam.

Dengan senjata berbentuk cakar dari logam, orang-orang Perguruan Naga Langit berusaha menggempur habis-habisan kelima lawan mereka.

Cara mereka bertempur demikian membabi-buta. Ini memperlihatkan, bagaimana kalapnya kesebelas lelaki itu. Sementara, lima lelaki bertopeng itu menggunakan golok untuk melakukan gempuran balik.

Trang, tring, tring

"Heaaa"

"Hih"

Gegap gempita pertempuran, memporak-

porandakan kesenyapan kaki bukit. Berbaurnya denting senjata beradu dengan teriakan pembangkit semangat, merambah suasana malam ini. Bukit ini seolah hendak digoncang gempa. Sementara, dedaunan seolah hendak dirontokkan. Ditilik dari jumlah, kawanan lelaki bertopeng mestinya kewalahan. Tapi kenyataannya, justru sebaliknya. Kelima orang itu malah tampak menguasai keadaan. Bahkan lambat-laun mereka mulai berada di atas angin.

Dari cara bertempurnya jelas sekali kalau kelima lelaki bertopeng itu, rata-rata memiliki ilmu beberapa tingkat di atas orang-orang Perguruan Naga Langit.

Bahkan.... Bret

"Waaa"

Bukti kelebihan lima lelaki bertopeng itu terjadi, ketika seorang lagi dari kawanan Perguruan Naga Langit mendapat sabetan golok telak di perutnya.

Padahal, lelaki yang menjadi korban memiliki ilmu paling tinggi. Bahkan dia sudah dibantu seorang kawannya dalam mengeroyok.

Kenyataan yang terjadi di depan mata itu membuat semangat orang-orang Perguruan Naga Langit yang lain menjadi susut. Mereka mulai dirasuki kegentaran, melihat ketangguhan yang rata-rata dimiliki kelima lelaki itu. Bahkan kegentaran itu makin parah, tatkala kesepuluh lelaki dari Perguruan Naga Langit melihat kakak seperguruan mereka menggelepar-gelepar sambil mendekap perutnya.

Seorang di antara mereka rupanya masih memiliki sedikit keberanian. Walaupun orang itu paling muda, namun memiliki semangat menggebu, sebagaimana layaknya orang berdarah muda.

"Ayo, jangan biarkan nyali kita ciut Tak perlu ragu menghadapi maut, jika berada di pihak yang benar"

teriak anak muda itu lantang.

Namun teriakan penuh gelegak semangat tempur itu seperti tidak berarti dalam membakar keberanian sembilan orang Perguruan Naga Langit yang lain. Mereka terlihat mulai tersurut setindak demi setindak, setelah sebelumnya menghentikan serangan.

"Kenapa kalian ini?" bentak murid termuda itu gusar. "Apa kalian tak ingin menuntut balas atas kematian guru kita tercinta yang telah dibunuh secara mengerikan oleh orang-orang biadab ini"

Sementara itu, kelima lelaki bertopeng sudah siaga penuh menanti serangan selanjutnya. Masing-masing tahu, pihak mereka sudah mampu mengalahkan nyali sisa orang-orang Perguruan Naga Langit.

Dalam suatu pertempuran, hal ini sudah menjadi suatu keuntungan yang tak ternilai.

"Ayooo" seru si Murid termuda lagi. Mata anak muda itu memerah bagai seonggok bara. Begitu pula wajahnya yang ditumbuhi kumis tipis. Ketampanannya berubah menjadi mimik kemurkaan tak

terkendali. Dia benar-benar murka terhadap kelima lelaki bertopeng yang telah banyak membunuh saudara seperguruan dan gurunya. Di sisi lain dia juga murka kepada kesembilan kawannya.

"Kalian pengecut semua" hardik anak muda itu ketika menyaksikan sembilan lelaki saudara seperguruannya tiba-tiba saja lari serabutan tanpa mempedulikan seluruh ucapannya.

Kemudian, mata anak muda itu beralih jalang pada kelima lelaki itu. Sepasang tangannya yang menggenggam senjata berbentuk cakar meregang kuat, memperlihatkan tarikan otot-otot. Seakan, dia hendak meremas hancur gagang senjatanya.

"Aku memang tak akan mampu menandingi kalian.

Tapi, jangan harap aku akan melarikan diri seperti mereka" dengus anak muda itu geram, seberat auman seekor singa luka. Kelima lelaki bertopeng itu saling berpandangan mendengar kalimat nekat anak muda tadi. Mata mereka terlihat begitu meremehkan. Dari balik topeng yang hanya memperlihatkan mata, terdengar tawa mengejek kelima lelaki itu.

"Apa kau tak dengar ocehan seekor lalat yang hendak kita tepuk mati ini?" leceh seorang lawan berperawakan kurus, namun berotot kenyal.

"Ah Aku tidak mendengarnya, Kang. Yang kudengar malah suara ng... ng... ng"

"Suara lalat Hus... ha ha..." Ejekan demi ejekan semakin memanaskan telinga pemuda dari

Perguruan Naga Langit ini. Maka kemarahannya makin terukir hingga ke puncak. Telinganya terasa terbakar, karena darah sudah menggelegak sampai ke ubun-ubun. Dia murka semurka-murkanya.

"Keparat busuk kalian semuaaa Hiaaa" Kini pemuda itu meluruk buas. Tak ada lagi keinginan untuk bisa memenangkan pertarungan, kecuali mengadu jiwa. Kalaupun tangannya tak mampu mencabut satu nyawa lawan, dia tidak peduli. Mati sebagai seorang ksatria jauh lebih baik ketimbang menjadi seorang pengecut.

Tubuh pemuda itu terus melabrak salah seorang lawan terdekatnya. Sepasang senjata di tangannya terayun cepat dari samping menuju wajah dan dada.

"Hih"

Wut, wut

Orang yang menjadi sasaran sempat terkesiap mendapat gempuran membabi buta ini. Sebelumnya orang itu tahu kalau kemampuan jurus pemuda itu berada jauh di bawahnya. Namun sedikit pun tak diduga kalau puncak kenekatan seseorang mampu melipatgandakan kekuatannya. Begitu pula yang terjadi pada diri pemuda dari Perguruan Naga Lagit ini.

"Hiah"

Trang

Satu tebasan ke wajah dapat ditangkis dengan golok orang bertopeng itu. Namun keterkejutannya membuat matanya lengah menangkap sambaran senjata pemuda dari Perguruan Naga Langit yang mengarah ke dadanya. Akibatnya....

Bret

"Aaakh"

Lolongan panjang terdengar setelah dada lelaki bertopeng itu terkoyak oleh senjata pemuda ini.

Begitu kuatnya senjata berbentuk cakar itu merobek dadanya, sehingga sebagian kulitnya terbawa di ujung senjata cakar itu. Darah pun kontan tersembur dari lukanya yang tertembus, hingga nyaris mengenai dinding paru-parunya.

Lelaki bertopeng itu terhuyung-huyung limbung.

Kedua tangannya mendekap dada yang bersimbah warna merah. Tak begitu lama kemudian, tubuhnya pun ambruk tak berkutik lagi.

Tak puas membabat satu orang, pemuda dari Perguruan Naga Langit melabrak lawan berikutnya.

Serangan pertama yang membawa hasil tak terduga tadi, membuatnya makin bersemangat dan menggila menggempur lawan.

Dengan satu terkaman pemuda itu berusaha menyambar salah seorang lawan di sisi kanan.

"Hiaaa"

Namun tentu saja lelaki bertopeng yang menjadi sasaran tak ingin mengalami nasib serupa kawannya.

Terkaman pemuda itu segera dihindarinya dengan membuang tubuh ke belakang. Sambil melempar tubuh, kaki kanannya terangkat tinggi-tinggi ke perut pemuda dari Perguruan Naga Langit yang masih di udara.

Begkh

"Akh"

Bersama satu erangan pendek, pemuda dari Perguruan Naga Langit itu terpental lebih tinggi ke udara. Setelah itu, tubuhnya jatuh menghantam bumi.

Isi perutnya yang terasa bagai diaduk-aduk oleh tangan-tangan raksasa, membuatnya berguling-gulingan di tanah berlumpur. Seluruh tubuhnya langsung berlumur tanah kecoklat-coklatan. Demikian juga kedua tangannya. Dan keadaan itu membuat telapak tangannya menjadi licin. Akibatnya, senjatanya langsung terlepas.

Kesempatan baik itu tak disia-siakan tiga lelaki bertopeng yang masih berdiri siaga. Serentak mereka menyerbu pemuda nekat itu. Tiga batang tombak setajam taring iblis terayun di udara, siap merencah tubuhnya yang masih bergelinjang di tanah.

"Hiaaa"

"Mampus kau bangsat busuk"

"Kini kau akan menebus nyawa kawan kami"

*** 6

Ketika sekejap lagi senjata-senjata tiga orang bertopeng memangsa tubuh pemuda dari Perguruan Naga Langit, tiba-tiba....

Wusss

Mendadak terdengar suara keras menderu. Lalu....

Trang, trang, trang

Tahu-tahu ketiga tombak lelaki bertopeng itu berterbangan ke udara dalam keadaan terbelah dua.

Kejadian tak terduga sama sekali ini, membuat tiga orang bertopeng tersentak. Sementara itu, tangan mereka terasa berdenyar-denyar nyeri.

"Apakah kalian ini anjing-anjing lapar yang memperebutkan sepotong tulang? Sungguh tak tahu malu mengeroyok pemuda yang tak berdaya itu? Di mana muka kalian ditaruh? Di pantat?" cecar seorang pemuda tampan berbaju hijau yang baru datang.

Wajahnya tampak bersungut-sungut. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Andika, pendekar yang memiliki seribu satu tingkah slebor?

"Keparat Jangan cari mampus kau" bentak salah seorang bertopeng.

"Kalau aku cari mampus, kenapa senjata kalian kubuat terpental seperti itu? Kasihan-kasihan.... Di samping tidak punya muka, kalian ini juga tidak punya otak," cemooh Andika.

"Tutup bacotmu"

"Dan di samping tidak punya otak, kalian juga tidak punya perasaan," tambah Andika, makin memanas-manasi. "Diam Diam Diam"

"Dan..., di samping tidak punya perasaan, kalian juga tidak punya... he... he," Andika terkekeh. Saat memapak senjata ketiga lelaki bertopeng dengan kain pusakanya tadi, dia rupanya sempat pula melucuti celana mereka. "Kalian juga tidak punya celana lagi... hi... hi... hi."

Mendadak ketiga lelaki bertopeng itu melirik celana mereka berbarengan. Benar saja Celana mereka ternyata sudah hilang entah ke mana

"Nah Aku rasa urusan dengan kalian cukup sampai di sini. Izinkanlah aku pergi bersama lawan kalian ini," ujar Andika lagi.

Kemudian Andika berkelebat cepat bagai

bayangan hantu, setelah menyambar tubuh pemuda dari Perguruan Naga Langit. Ditinggalkannya tempat itu, sekaligus tiga lelaki bertopeng yang sibuk mengumpat-umpat karena merasa begitu bodoh telah dipermainkan seseorang tak dikenal. Sementara seorang bertopeng lain yang tak kebagian kerjaan usil Pendekar Slebor, hanya menatap ketiga kawannya tak mengerti.

***

Pendekar Slebor memapah pemuda dari

Perguruan Naga Lagit yang ditolongnya. Pemuda yang mengaku bernama Senaaji kemudian menceritakan kejadian yang sebenarnya, kenapa orang-orang Perguruan Naga Langit sampai bertarung melawan orang-orang bertopeng itu.

Menurut Senaaji, waktu itu Perguruan Naga Langit tengah dirundung suasana berkabung. Seluruh murid berkumpul di ruang khusus guru mereka yang bernama Ki Kusuma. Seminggu, belakangan, perguruan ini dilanda kejadian aneh yang mengerikan. Setiap malam, beberapa murid mendadak jatuh sakit, memuntahkan darah segar. Lebih mengerikan lagi, pada muntahan darah mereka terserak puluhan batang jarum.

Setelah memakan banyak korban dari murid perguruan, malam itu pun Ki Kusuma menderita penyakit aneh pula. Dan hal ini menyebabkan murid-murid Perguruan Naga Langit jadi begitu khawatir.

Dan akhirnya berkumpul di sekitar pembaringan Ki Kusuma.

Saat mereka lengah, lima lelaki bertopeng menyelinap masuk untuk menjarah benda-benda pusaka di ruang penyimpanan. Namun sebelum sempat membawa lari benda-benda pusaka termasuk kitab kesaktian Perguruan Naga Langit, seorang murid memergoki mereka. Maka terjadilah pertempuran maut di halaman perguruan yang membawa korban lima murid perguruan.

Ketika kelima lelaki bertopeng melarikan diri, dua belas murid segera melakukan pengejaran. Sampai akhirnya terjadi pertarungan yang menyebabkan dua orang murid Perguruan Naga Langit gugur, sedangkan sembilan lainnya melarikan diri. Maka tinggalah Senaaji sendiri sampai akhirnya ditolong oleh Pendekar Slebor.

Kini Pendekar Slebor dan Senaaji tiba di halaman depan Perguruan Naga Langit. Di halaman yang cukup luas ini lima mayat murid Perguruan Naga Langit masih tergeletak bermandikan darah.

"Mari kita langsung masuk ke ruang semadi guru, Tuan Pendekar," ajak Senaaji.

Pemuda itu masuk lebih dahulu, baru kemudian diikuti Andika. Setelah melewati lorong kamar-kamar perguruan, nanti mereka akan tiba di ruang khusus Ki Kusuma. Memasuki kelokan lorong, keduanya berpapasan dengan seorang murid yang lari tergegas-gesa.

"Ada apa, Kang Dirun?" tanya Senaaji was-was karena melihat gelagat tak baik di wajah lelaki itu.

"Guru.... Guru" jawab murid bernama Dirun itu terbata. "Beliau sedang sekarat Kau mesti cepat menemuinya, Senaaji Aku mau memberi tahu murid-murid yang sedang berjaga di ruang penyimpanan benda pusaka"

Bagai diberi aba-aba, Senaaji dan Dirun berlari ke arah berlawanan. Sedangkan Andika terus mengikuti Senaaji dari belakang.

Setibanya di ruang khusus gurunya, Senaaji menyeruak di antara puluhan murid yang berkerumun di sana.

"Guru" teriak Senaaji tatkala tiba di sisi pembaringan Ki Kusuma. "Bertahanlah, Guru. Kau pasti akan sembuh," suara Senaaji terdengar lirih, dibebani duka. Sementara yang diajak bicara sama sekali tidak memberi tanggapan.

"Kalian kenapa berkumpul di sini? Bubar. Beri Guru udara segar" hardik Senaaji kemudian pada murid-murid yang lain sambil menoleh ke belakang.

Senaaji tak peduli lagi, apakah di antara mereka kakak-kakak seperguruannya atau tidak. Di hanya ingin udara di ruang yang tak terlalu besar itu, tidak jadi penat.

"Beri jalan pada Pendekar Slebor" sambung pemuda itu ketika mendapati Andika masih berdiri di pintu ruangan.

Pendekar Slebor? Para murid yang lain langsung bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tak dinyana sama sekali kalau tokoh besar seperti Pendekar Slebor akan mengunjungi perguruan mereka. Seraya melangkah teratur untuk keluar ruangan, mereka menjura pada Andika sebagai salam penghormatan.

Mata mereka terus menatap Andika lekat-lekat, karena telah salah terka. Selama ini pendekar yang menggemparkan dunia persilatan itu dianggap seorang lelaki setengah baya berwibawa. Tapi yang disaksikan kali ini adalah seorang pemuda ber-penampilan acuh, namun ramah. Sama sekali di luar perkiraan mereka

Sementara, Andika membalas penghormatan itu dengan menjura pula. Sikap yang ramah harus dibalas dengan ramah pula. Meskipun sudah masuk dalam jajaran tokoh kalangan atas dunia persilatan, toh di dalam semesta yang luas tak terbatas ini Andika hanya setitik debu tak berarti.

Seseorang maju ke depan Andika. Dia murid tertua di perguruan itu. Namanya, Subali penampilannya gagah berwibawa. Berkumis dan beralis lebat dan hitam. Rambutnya yang ikal sebatas bahu diikat kain coklat, warna perguruan mereka.

"Salam hormat, Tuan Pendekar. Selamat datang di perguruan kami," ucap Subali. "Maafkan, kami tak menyambut selayaknya, karena keadaan mempri-hatinkan yang menimpa kami."

"Tak apa-apa, Kisanak. Kedatanganku ke sini justru ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya.

Sekaligus, untuk menjenguk guru kalian," kata Andika.

"Subali, biarkan tamu kita menemuiku," terdengar suara Ki Kusuma seperti keluhan panjang bergetar.

"Aku ingin berbicara.... Padanya...." Subali mempersilakan Andika.

"Ada apa, Ki?" tanya Andika seraya mendekati Ki Kusuma.

Di sisi Senaaji, Andika bersimpuh. Ditunggunya kata-kata lemah Ki Kusuma yang akan disampaikan.

"Bolehkah aku berwasiat padamu, Anak Muda?" Ki Kusuma memulai, namun tersendat-sendat.

Mata lelaki tua itu tampak sayu tak bercahaya, dirangsek penyakit aneh. Di sela-sela janggut putih di sudut bibirnya terdapat darah mengering.

Dan Andika hanya mengangguk. Dia tahu isyarat itu cukup bagi Ki Kusuma sebagai tanda setuju.

"Kadipaten Karangwaja sedang dilanda bencana mengerikan. Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, karena ajalku sudah semakin dekat. Sebelum kau datang, aku didatangi seorang wanita secara gaib.

Dalam sekaratku, dia memberi 'petunjuk' padaku, bahwa kaulah yang dapat melepaskan kadipaten ini dari bencana. Namun terlebih dahulu kau harus meminta bantuan seorang yang pribadinya ibarat

'kendi berisi telaga'. Kujungilah dua perguruan malam ini juga...," ucapan terpatah-patah Ki Kusuma terhenti.

"Perguruan apa saja, Ki?" desak Andika. Pendekar Slebor ingin mengetahui lebih jelas, tapi lelaki tua Pemimpin Perguruan Naga Langit itu sudah menghembuskan napas terakhir.

"Guru.... Guru," Senaaji tersentak. Senaaji yang begitu mencintai gurunya memanggil-manggil nama Ki Kusuma dalam sesenggukan. Sementara Subali menundukkan kepala dalam-dalam. Di samping rasa kehilangan merayapi batinnya, dia juga merasa beban yang amat berat siap menantinya selaku murid tertua.

Dan tentu saja Subali akan meneruskan kepemimpinan Perguruan Naga Langit. Seperti juga Subali, murid-murid lain di luar ruang semadi juga tertunduk penuh rasa duka.

Sementara itu, Andika justru tengah berpikir keras tentang wasiat terakhir Ki Kusuma. Ucapannya seperti pesan terselubung, seperti satu teka-teki yang menuntut jawaban tepat dan cepat. Mengingat, keadaan gawat kini menimpa Kadipaten Karangwaja.

Setiap saat bisa berarti satu nyawa

"Aku turut berdukacita atas kematian guru kalian,"

ucap Andika setelah tersadar dari kecamuk pikirannya. "Lebih baik kalian segera mengurus jenazah Ki Kusuma dan kawan-kawan yang

meninggal di halaman depan. Dan sungguh menyesal aku tidak bisa mengikuti upacara pemakaman, mengingat pesan terakhir Ki Kusuma agar aku segera berangkat malam ini juga."

Bersama satu tarikan napas penyesalan, Andika segera mohon pamit.

"Tuan Pendekar," cegah Subali, saat Andika beru saja hendak beranjak. "Ada sesuatu yang hendak kusampaikan. Mari...."

Subali mengajak Andika meninggalkan ruang khusus itu. Mereka lantas berjalan beriringan.

Setibanya di lorong kamar-kamar perguruan, barulah Subali memulai.

"Sewaktu lima orang bertopeng melakukan perampokan tadi, aku berusaha meringkus mereka bersama murid lain. Tanpa sengaja, kalung salah seorang lelaki bertopeng terjatuh, dan kutemukan."

Subali mengeluarkan kalung yang dikatakannya dari balik baju.

"Ini Tuan Pendekar," kata Subali.

Kalung telah berpindah tangan. Kini Andika mengamati dengan teliti benda itu. Mata kalung itu berbentuk lempengan bundar dengan gambar seekor ular bertaring besar.

"Hey? Bukankah ini lambang Perguruan Ular Iblis?"

cetus Andika.

"Benar, Tuan Pendekar," sahut Subali cepat.

"Tolong panggil aku Andika saja, Kang Subali. Aku terlalu risih bila disebut Tuan," pinta Andika, membetulkan panggilan Subali terhadap dirinya.

"Mmm, bisa Kakang ceritakan tentang perguruan itu?"

"Tidak banyak yang kutahu tentang Perguruan Ular Iblis, ng.... Andika. Perguruan itu begitu tertutup, seakan diselimuti tabir rahasia. Namun ada sesuatu yang sempat kuketahui dari cerita guru kami...."

"Apa itu?"

Sesaat Subali mengisi penuh-penuh paru-parunya dengan udara.

"Ki Kusuma serta dua kawan seperjuangannya pernah bentrok dengan pemimpin perguruan itu kurang lebih tiga puluh lima tahun yang lalu. Waktu itu mereka masing-masing belum mendirikan perguruan."

"Sebabnya?" tanya Andika lagi.

"Aku tak tahu jelas. Namun kudengar, bentrokan itu ada kaitannya dengan Mustika Putri Terkutuk...,"

jawab Subali dengan mata menyipit, mengingat seluruh cerita yang sempat didengarnya dari Ki Kusuma.

"Mustika Putri Terkutuk? Ah Makin rumit saja persoalan ini," keluh Andika dalam hati.

Belum lagi sempat Andika tahu tentang wanita cantik yang mendatanginya dan mendatangi Ki Kusuma saat menjelang ajal, kini sudah ditambah persoalan lelaki berwajah seram yang menyerang Walet tanpa alasan jelas. Lalu muncul persoalan tentang seorang yang bisa membantunya dalam menghentikan bencana Kadipaten Karangwaja. Dan menurut Ki Kusuma, orang itu berkepribadian ibarat

'kendi berisi telaga'. Bahkan Andika pun harus mendatangi dua perguruan malam ini juga. Malah muncul persoalan baru tentang Mustika Putri Terkutuk, yang menurut Andika juga harus disingkapnya. Benar-benar bisa membuat seluruh rambut di kepalanya rontok

"Tapi, tunggu dulu...," bisik Andika.

Tiba-tiba saja benaknya teringat pada cerita Subali.

"Kau tahu, dua orang kawan Ki Kusuma yang kini membangun perguruan silat seperti kau katakan tadi?" ungkap Andika dengan mata berbinar-binar.

"Maksudmu?" Subali belum menangkap arah pertanyaan Andika.

"Apa nama perguruan yang mereka dirikan?"

sambung Andika, langsung pada permasalahan.

Subali termangu beberapa tarikan napas. Lelaki berperawakan tinggi besar itu tampak berusaha keras mengorek ingatannya.

"Ah Aku ingat Perguruan Elang Hitam dan Perguruan Tangan Wesi" cetus Subali.

"Dua perguruan itu pasti dimaksud Ki Kusuma,"

papar Andika tanpa diminta Subali. "Di mana letak dua perguruan itu, Kang?"

Dengan singkat, Subali pun memberitahukan letak dua perguruan yang diyakini Andika akan menjadi kunci dari seluruh teka-teki.

*** 7

Warna merah bara di kaki langit sebelah timur mulai nampak, beriring kokok lantang ayam jantan yang bersahut-sahutan. Pagi telah lahir kembali.

Dalam perjalanan menuju timur Kadipaten

Karangwaja, Andika banyak menemukan serakan mayat, akibat pembantaian ganjil. Di sebuah dusun tak jauh dari Perguruan Elang Hitam, kejadian serupa juga ditemukan.

Mulanya Andika merasa curiga menyaksikan dusun itu begitu lengang dan sunyi, bagai tak ada denyut kehidupan sedikit pun. Padahal, warga dusun ini selalu menyambut datangnya sang Fajar untuk mencari nafkah pagi-pagi sekali. Namun didapatinya saat ini sama sekali bertolak belakang.

Kecurigaan itu mendorong keingintahuan Andika.

Segera didatanginya rumah-rumah panggung para penduduk. Dan apa yang didapatinya? Ternyata para penghuni rumah telah bergeletakkan tanpa nyawa.

Bahkan Andika memandanginya sampai bergidik.

Lantai kayu di sekitar mayat dipenuhi darah kehitaman bercampur serakan jarum.

Dan ketika rumah demi rumah dimasukinya, pemandangan demi pemandangan menggidikkan pun disaksikannya. Sehingga memaksa kuduknya meremang tanpa dikehendaki.

"Ini sungguh-sungguh bencana mengerikan," desis Andika dengan bibir terangkat ngeri. "Ini bukan lagi perbuatan manusia Ini perbuatan iblis"

Ketika Andika hendak melanjutkan perjalanan, masih sempat disaksikannya seorang penduduk yang merangkak mencoba keluar rumah. Mulutnya merah oleh darah. Wajahnya pucat, layaknya mayat.

Andika mencoba menolong orang itu, tapi usahanya sia-sia. Nyawa orang itu telah melayang lebih dulu, saat Pendekar Slebor tiba di sisinya.

"Laknat...," dengus Andika untuk kesekian kali.

Begitu selesai kata-katanya, Andika segera melesat cepat, pergi dari situ. Dikerahkannya seluruh ilmu meringankan tubuh agar segera tiba di Perguruan Elang Hitam. Dia tak ingin semua kejadian gila itu menjadi kian berlarut.

"Aku harus segera menyelesaikannya," tandas Andika, sarat kegalauan.

Dengan kobar api amarah yang seakan hendak membakar seluruh jaringan tubuhnya, Andika berlari sepenuh tenaga. Bagai orang kerasukan setan, diterabasnya onak berduri dan semak belukar.

Dicobanya mencari jalan pintas yang bisa mem-bawanya cepat tiba di tujuan. Pohon-pohon raksasa yang mencoba menghalangi luncuran tubuhnya, dilompati bagai seekor Walet mematahkan hadangan batu karang.

Seribu satu perasaan yang berkecamuk dalam diri berbaur menjadi sebentuk kekuatan tak terduga.

Kecepatan larinya jadi kian menggila. Sampai-sampai, pandangannya hanya menangkap kelebatan

bayangan kabur dari benda-benda yang dilewatinya saat berlari.

Tak ada berapa lama, Andika tiba di satu lembah luas yang diapit bukit. Rumput hijau setinggi betis menghampar indah dalam selimut sinar surya.

Jajaran pepohonan pinus memagari sekitar lembah.

Tepat di tengah lembah itulah Perguruan Elang Hitam berdiri.

Tanpa ingin membuang waktu sekejap pun, Andika melanjutkan larinya. Dadanya yang saat itu hendak terbelah karena dengus napas memburu, tak lagi dihiraukan. Hanya satu yang dipikirkan saat itu, dia harus memecahkan seluruh teka-teki lalu menuntas-kan bencana brutal ini

"Heaaa..."

Wrrr...

Setibanya di pagar tinggi Perguruan Elang Hitam, Andika melenting tinggi ke udara. Tubuhnya melayang di udara, melewati pagar dari batang-batang cemara.

Jlek

Begitu usai melakukan gerakan indah di angkasa, kaki Pendekar Slebor menjejak mantap di pelataran depan perguruan itu. Apa yang ditemukannya di sana? Ternyata sebuah pemandangan yang semula begitu dikhawatirkan Andika terjadi. Puluhan mayat murid perguruan tampak berserakan tumpang tindih, bagai onggokan daging tak berharga.

"Biadaaab Siapa dalang semua ini?" teriak Andika, dengan suara menggelegar penuh kemurkaan.

Dengan napas memburu, Andika mencoba mencari sisa-sisa kehidupan di dalam bangunan Perguruan Elang Hitam. Seluruh ruang dijelajahinya.

Namun, tak sejengkal pun dilewati. Dan lagi-lagi matanya dijejali anyir darah dan mayat-mayat tanpa tanda kehidupan.

"Oh, Tuhan...," keluh Andika lemah.

Tak mampu lagi pemuda itu menatap apa yang tergambar di depan matanya. Matanya dipejamkan rapat-rapat. Kepalanya menggeleng lemah, seakan tidak ingin mempercayai semua yang dilihatnya. Saat berikutnya, Andika kembali melesat lebih gila dari sebelumnya. Tak ingin lagi. Tak ingin lagi dia menyaksikan apa yang terjadi di perguruan mengenaskan itu. Bahkan sekadar untuk mengingat sekalipun

Tak lama kemudian, tubuh Pendekar Slebor sudah melesat di luar Perguruan Elang Hitam. Dia berlari deras menuju tujuan berikut, Perguruan Tangan Wesi di wilayah barat. Sebuah jarak yang jauh, karena ditempuh dari satu ujung ke ujung lain. Tapi hal itu sama sekali tidak mengusik tekadnya untuk segera sampai di penguruan itu. Sementara, hati nuraninya terus berharap agar tidak menemukan lagi pemandangan seperti di Perguruan Elang Hitam.

***

Jauh dari harapan Andika, di Perguruan Tangan Wesi saat ini justru sedang terjadi pertempuran maut.

Tiga puluh orang bertopeng datang menyerbu. Seperti maksud kedatangan mereka di Perguruan Elang Hitam dan Perguruan Naga Langit, pasukan bertopeng itu juga hendak merampas benda-benda pusaka milik Perguruan Tangan Wesi.

Kejadian yang menimpa dua perguruan besar di wilayah timur dan selatan, dialami Perguruan Tangan Wesi. Sebelum penyerbuan orang-orang bertopeng, beberapa murid perguruan juga tertimpa bencana aneh. Mereka mendadak menggelepar-gelepar sekarat. Dari mulut masing-masing, keluar muntahan darah bercampur puluhan batang jarum. Kemudian, kejadian serupa menimpa guru besar perguruan itu.

Belum sempat sisa murid Perguruan Tangan Wesi menguburkan jenazah rekan-rekan dan guru mereka, pasukan bertopeng datang dari berbagai penjuru, laksana serigala-serigala lapar memburu sekerat daging. Berikutnya, pertarungan hidup mati pun meletus dahsyat.

Orang-orang bertopeng itu yang bersenjatakan golok membabat setiap murid Perguruan Tangan Wesi yang lengah, karena kematian guru tercinta mereka. Sebagian murid yang masih sempat melakukan perlawanan, harus bersusah payah mempertahankan nyawa.

"Hiaaa"

"Haih"

Trang Trang Bret

"Wuaaa"

Orang kelima belas dari Perguruan Tangan Wesi menemui ajal, terbabat golok pada bagian wajahnya.

Di lain pihak, lawan orang-orang bertopeng itu tetap dalam jumlah semula. Belum seorang pun mengalami luka. Apalagi sampai tewas. Jelas-jelas kalau orang-orang bertopeng itu tidak mau tanggung-tanggung menjalankan niat busuknya. Tampaknya, yang dikirim ke perguruan itu adalah orang-orang pilihan yang memang tangguh.

Pertempuran terus berlangsung di sekitar pelataran perguruan. Setiap jengkal tanah pelataran, menjadi kancah penentuan antara hidup dan mati.

Terutama, bagi para murid Perguruan Tangan Wesi.

Yang mati-matian membela diri dan nama perguruan.

Lebih dari itu, mereka pun siap mati untuk menghadapi kebatilan.

Di beberapa sudut pelataran, satu lelaki bertopeng dikeroyok tiga murid perguruan. Keroyokan itu dilakukan tidak ksatria, tapi semata-mata mereka menyadari kalau ketangguhan orang-orang bertopeng itu tidak bisa diremehkan.

Di sebelah timur kancah pertarungan, dua murid Perguruan Tangan Wesi harus melayani habis-habisan, golok seorang lelaki bertopeng yang bergerak begitu cepat mengejar keduanya. Padahal mereka sudah berusaha memperlebar jarak satu dengan yang lain, agar perhatian orang bertopeng itu dapat terpecah.

Kedua murid perguruan yang tidak menggunakan senjata dalam pertempuran itu terpaksa tunggang langgang menghadapi sabetan golok orang

bertopeng. Sebagaimana namanya, murid-murid Perguruan Tangan Wesi memang hanya meng-andalkan sepasang tangan sebagai senjata. Mereka dilatih sedemikian rupa, agar tangan mereka mampu menjebol karang. Namun begitu, bukan berarti tangan mereka kebal terhadap senjata tajam. Itu sebabnya, mereka hanya menghindari serangan tanpa mampu menangkis sambaran golok. Kalau kebetulan beruntung, mereka bisa menangkis tangan orang bertopeng yang memegang senjata.

"Hiah"

Bet, bet

"Hait"

Pada suatu kesempatan, lelaki bertopeng yang terus menyabet-nyabetkan golok bertubi-tubi, tiba-tiba melepaskan tendangan menyapu dengan memutar tubuh terlebih dahulu.

Gerakan yang tak terduga ini membuat seorang murid terkesiap kaget. Dia tak terburu lagi melangkah mundur untuk menghindari kepalanya dari ancaman tendangan. Terpaksa badan merunduk, sehingga luput dari tendangan ganas itu. Namun baru saja bisa bernapas lega. Lelaki bertopeng itu segera melancarkan serangan susulan. Goloknya langsung menggempur buas dari atas. Sehingga....

"Mampus kau Hiaaah"

Crak

"Aaakh"

Didahului satu suara benda tajam membelah batok kepala, terdengar jerit kematian dari murid Perguruan Tangan Wesi. Tengkorak murid naas itu nyaris terbelah hingga pelipis. Darah pun langsung menyembur deras, begitu golok itu dicabut dari kepalanya.

"Adi Karsa" teriak murid Perguruan Tangan Wesi yang seorang lagi, melebihi kerasnya jerit kematian kawannya. Wajahnya memerah matang menyaksikan adik seperguruannya mengalami nasib memilukan di tangan orang bertopeng itu.

"Hua ha ha... Kenapa? Kaget melihat kawanmu mampus dengan mudah di tanganku? Atau kau takut mendapat giliran berikutnya?" ejek lelaki bertopeng itu pongah.

Dengan mata berkobar-kobar amat gusar, murid Perguruan Tangan Wesi yang baru saja kehilangan seorang saudaranya, mendengus geram. Pangkal hidungnya terangkat sebagai tanda kegeramannya pada orang bertopeng itu.

"Iblis Kau harus membayar nyawa saudara seperguruanku" dengus murid itu, sambil mengangkat tangan di depan dada. Otot-otot tangannya kontan bersembulan dan menegang.

"Ah Jangan anggap dirimu pedagang tempe. Pakai bayar-bayaran segala," cemooh orang bertopeng itu kembali, kian mendidihkan darah murid Perguruan Tangan Wesi.

"Bangsat Hiyaaa..." Deb, deb, deb

Tubuh murid Perguruan Tangan Wesi melenting tinggi ke arah orang bertopeng itu. Kedua tangannya memukul bergantian di udara, menimbulkan bunyi menggetarkan gendang telinga. Rupanya, dia berniat meremukkan kepala lawannya sebagai bayaran atas kematian adik seperguruannya yang bernama Karsa.

"Hih"

Seketika orang bertopeng itu secepatnya menyer-gap tanah untuk menyelamatkan kepalanya. Usahanya berhasil. Tubuhnya langsung bergulingan, tepat di bawah kaki murid Perguruan Tangan Wesi yang tengah melayang. Dan dalam satu rangkaian gerak yang begitu cepat, golok di tangannya menebas ke atas, tepat diarahkan ke sepasang betis murid itu.

Crak

"Waaa"

Bruk

Setelah kawannya mengalami nasib mengerikan, kali ini murid Perguruan Tangan Wesi itu mendapat giliran. Kedua kakinya terputus sebatas betis di udara. Potongannya langsung terpetal ke samping, diikuti semburan darah segar. Kemudian tubuhnya ambruk ke tanah, karena tidak bisa lagi berpijak.

"Sayang sekali Sebenarnya aku masih suka main-main denganmu beberapa jurus lagi. Tapi, tampaknya kau tak bisa lagi menjadi lawan tandingku. Lebih menyesal lagi, pemimpinku menugaskan agar pekerjaanku harus diselesaikan secara tuntas.

Jadi...."

"Kau ingin bunuh aku? Bunuhlah Aku tak pernah gentar untuk mati di tanganmu, Bangsat"

"O-o-o Itu sudah pasti kulakukan. Nah, terimalah ke.... Akh" Tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya, lelaki bertopeng keji itu mengejang. Matanya mendelik keatas. Sedangkan dadanya membusung ke depan tegang. Tak pernah diduga kalau ucapannya tadi justru menjadi sambutan bagi ajalnya sendiri.

"Ya Terimalah kematianmu, Iblis Keparat," ujar seseorang di belakangnya seraya membetot tangan kanannya dari tubuh lelaki bertopeng itu. Orang yang membokong memang murid tertua Perguruan Tangan Wesi.

Bruk

Tubuh lelaki bertopeng ambruk ke depan seperti sebatang pohon tumbang. Di bokongnya kini terlihat jelas lubang menganga, yang mengeluarkan darah segar.

"Menyingkirlah, Adi Selamatkan dirimu bagaimanapun caranya" perintah lelaki berperawakan pendek kekar dengan kumis melintang di bawah hidungnya. Sementara kepalanya dicukur gundul.

"Tapi, Kang Manggala...."

"Jangan pakai tetapi Kau harus menjadi saksi mata atas kejadian ini, agar para tokoh aliran putih bisa menyelesaikannya. Sehingga, kejadian seperti ini tidak terulang pada perguruan lain" hardik orang yang dipanggil Manggala, tanpa maksud memarahi adik seperguruannya.

"Baik, Kakang. Tapi bukan berarti aku takut mati.

Kau harus tahu itu, Kakang," ucap murid yang dua kakinya buntung itu.

"Aku tahu. Kita semua bukan orang-orang pengecut. Kita adalah ksatria yang tak gentar mati demi menghadapi kebatilan. Ayo, cepatlah Adi...,"

pinta Manggala dengan suara bergetar.

Meski Manggala dikenal sebagai lelaki berjiwa tegar, tak urung perasaannya tersentuh melihat semangat juang adik seperguruannya.

Dalam kancah pertarungan yang kian mendebar bau anyir darah, seorang murid Perguruan Tangan Wesi terseok-seok menyeret tubuh untuk keluar dari medan kematian. Mata berairnya tak henti-henti menatapi mayat demi mayat saudaranya.

"Kalau kalian gugur semua hari ini, aku berjanji tidak akan menangisi. Karena kalian adalah ksatria.

Ya, ksatria. Dan walau aku ditinggalkan sendiri di dunia busuk ini, yang penting kalian jangan memisahkan aku pada saat kita akan bertemu lagi nanti...."

*** 8

Andika semula berharap, bencana yang menimpa dua perguruan yang dikunjungi sebelumnya, tidak menimpa Perguruan Tangan Wesi pula. Namun, Tuhan berkehendak lain. Apa yang diharapkannya ternyata melesat. Begitu pun keinginannya agar tidak terlambat tiba di perguruan itu.

Setibanya di Perguruan Tangan Wesi, matanya malah menyaksikan pembantaian. Manggala, murid tertua perguruan itu pun menemui ajal, tepat saat Andika menjejakkan kaki di pelataran perguruan.

Darah Pendekar Slebor mendidih sehebat-

hebatnya. Kemurkaannya yang memang sudah menggelegak, kini tiba di puncak ubun-ubun. Dalam sekejap, rahangnya mengeras. Demikian pula seluruh otot di sekujur tubuhnya. Dadanya kini ibarat gunung berapi yang siap meletus.

"Kalian keparat semua Akan kubantai kalian, seperti kalian bantai mereka" bentak Andika menggelegar, seraya menunjuk pada serakan mayat para murid Perguruan Tangan Wesi.

Teriakan itu mengejutkan dua puluh orang bertopeng yang masih hidup. Serempak mereka menoleh ke arah Andika, dengan tatapan siaga.

Namun kesiagaan itu percuma, karena Pendekar Slebor telah bergerak sebelum mereka lebih lama melihatnya.

"Hiaaat"

Wesss

Bayangan hijau muda dari pakaian Pendekar Slebor bergerak dalam kecepatan luar biasa. Mata para lelaki bertopeng sampai-sampai begitu sulit menangkap bentuk tubuhnya, kecuali seberkas bayangan hijau muda.

Plak Des

Dan tiba-tiba saja, seorang bertopeng terpental tinggi ke udara. Dari mulutnya berceceran percikan darah. Entah apa yang hancur dari bagian tubuhnya, setelah menerima hantaman Pendekar Slebor. Yang pasti, begitu tubuhnya ambruk di tanah, sudah tak memiliki nyawa lagi.

Andika terus berkelebat, lalu....

"Khaaah"

Deb Krak

"Waaa"

Menyusul dua lelaki bertopeng yang kontan ambruk terkena serangan Pendekar Slebor. Kedua orang itu pun terpental bagai batang pohon kering terhempas topan. Satu orang memuntahkan darah segar, setelah menerima jotosan telak yang langsung memecah ulu hatinya. Seorang lagi tak sempat berteriak. Kepalanya remuk begitu saja dari ubun-ubun hingga pangkal hidung.

Tujuh belas lelaki bertopeng lain terkesiap bukan alang kepalang. Seumur hidup, belum pernah mereka menyaksikan serangan yang begitu cepat. Bagi mereka, kecepatan itu sudah tidak mungkin dilakukan manusia. Tapi kenyataan yang terjadi di depan mata? Sungguh membuat mereka bertanya dalam hati masing-masing, apakah mereka telah diserang siluman sinting?

Untuk menjawab pertanyaan itu, mereka tidak punya waktu lagi. Langkah terbaik sisa pasukan bertopeng itu adalah bersiap menanti serangan datang. Seandainya melarikan diri pun tampaknya sia-sia belaka, karena dengan mudah sosok bayangan hijau itu akan dapat mengejar.

"Jangan lengah" seru salah seorang yang tampaknya menjadi pemimpin pasukan, mempe-ingati bawahannya.

Baru saja seruan itu selesai....

Plak

"Aaa"

Kembali terdengar pekikan, yang diawali suara tamparan keras. Tampak seorang laki-laki bertopeng terjengkang ke tanah.

Melihat kenyataan ini, nyali sisa pasukan bertopeng makin menciut. Napas mereka tersengal tak beraturan, sebagai ungkapan kengerian yang terjadi. Orang-orang keji itu kini bisa merasakan, bagaimana keadaan bila maut siap menjemput seperti dialami murid-murid Tangan Wesi.

"Kenapa kalian diam saja? Apa iblis di diri kalian telah pergi, setelah puas membantai?"

Terdengar teriakan Andika dari sebelah selatan pelataran.

Secara berbarengan, keenam belas lelaki

bertopeng itu menoleh. Kini mereka baru bisa melihat jelas sosok yang dihadapi. Dia adalah seorang pemuda yang ketampanannya kini diselimuti kobaran api kemurkaan.

"Sss..., siapa kau sebenarnya?" tanya pemimpin pasukan bertopeng agak gentar.

"Aku? Aku siapa, ya?" cemooh Andika, mencibir,

"Barangkali orang sinting yang begitu berselera menghisap darah kalian hidup-hidup."

Bibir Pendekar Slebor kali ini menyeringai penuh ancaman. Sementara dari balik topeng, mata keenam belas lelaki bertopeng itu menyipit. Bisa jadi mereka menanggapi secara sungguh-sungguh ucapan Andika barusan.

"Kam... kami tidak ada urusan denganmu. Kenapa kau turut campur?" untuk yang kedua kalinya, sang Pemimpin pasukan bertopeng bertanya tersendat.

"Ada Kenapa tidak?" bentak Andika sangar.

"Kalian tahu apa hubunganku dengan orang-orang yang telah kalian bantai?"

Para lelaki bertopeng itu saling melirik. Bagaimana pertanyaan terakhir Pendekar Slebor terjawab, kalau mereka sendiri tidak mengenalnya.

"Tidak tahu, kan? Aku juga tidak tahu" cerocos Pendekar Slebor lagi.

Kata-kata Andika membuat keenam belas lelaki di sekitarnya makin yakin kalau orang yang dihadapi memang orang sinting tulen.

"Kau ingin tahu?" bentak Andika pada pemimpin pasukan lawan.

Bentakan barusan disertai penyaluran tenaga dalam penuh, sehingga terdengar mengguntur.

Pemimpin orang bertopeng yang memang sudah jatuh nyali tersentak bukan main. Sampai-sampai kepalanya tersentak ke atas seperti sedang mengangguk.

"Bagusss Jadi kau ingin tahu?" sambung Andika setelah melihat gerakan kepala lelaki itu. "Kalau kau dan anak buahmu benar-benar ingin tahu, maka kuizinkan pergi dari sini...."

Mereka amat lega mendengar keputusan terakhir Andika.

"Dan kalian harus ke suatu tempat, untuk mengetahui jawabannya" terabas Andika lagi.

Keenam belas lelaki bertopeng itu menunggu kata Pendekar Slebor selanjutnya. Mereka berharap, pemuda sinting itu menyebutkan nama suatu tempat.

Sehingga mereka bisa aman meninggalkan pelataran Perguruan Tangan Wesi.

Sementara itu, Andika malah menggeram tak karuan.

"Grrrmmmhhh Ya Kalian harus pergi ke... ke neraka"

Kelegaan sesaat mereka buyar seketika mendengar jawaban Pendekar Slebor. Jantung mereka saat itu juga terasa hendak berhenti berdenyut, dengan napas tersekat di tenggorokan. Bagaimana mereka tidak setakut itu kalau pemuda berbaju hijau ini memiliki kesaktian yang tak mungkin ditandingi, meski dikeroyok sekaligus.

"Ampun...."

Baru saja pemimpin pasukan bertopeng hendak memohon ampun, mulut Pendekar Slebor sudah memperdengarkan gelegar menggetarkan bangunan perguruan.

"Khhhuaaa..."

Lalu....

Pendekar Slebor langsung berkelebat cepat, sambil melepaskan pukulan dan tendangan berturut-turut. Begitu cepat gerakannya, sehingga....

"Akh"

"Waaakh...."

Dua lelaki bertopeng yang berdiri paling dekat terhempas ke belakang bagai tanpa bobot, begitu terhantam pukulan dan tendangan Andika. Tubuh keduanya baru berhenti terlempar, kala menghantam dinding bangunan perguruan. Dinding itu langsung remuk, seperti remuknya tubuh kedua lelaki yang termakan serangan Pendekar Slebor.

Saat berikutnya.... Pendekar Slebor kembali berkelebat, disertai tamparan khas. Dan....

Jbret Prak Prak

"Aaakh... Aaa... Aaakh..."

Tiga suara menggidikkan terdengar dalam waktu hampir bersamaan. Satu orang langsung melintir di udara terhajar tamparan sakti pada wajahnya. Dua orang lagi masih tetap tegak di tempat. Namun kepalanya sudah tidak utuh lagi, terkena babatan tangan pada leher. Lalu keduanya ambruk bersamaan, disertai semburan darah segar.

Pendekar Slebor tak puas sampai di situ. Baginya, mereka telah berhutang nyawa puluhan murid Perguruan Tangan Wesi. Suka tidak suka, hutang itu harus dibayar lunas dengan nyawa.

"Hiaaa"

Kembali terdengar teriakan merobek angkasa dari Pendekar Slebor. Ketika teriakan itu terdengar, tubuhnya sudah tidak ada di tempat. Saat berikutnya, Pendekar Slebor sudah tiba di depan empat lawan yang tersurut ketakutan. Dan tanpa dapat ditangkap mata, tangannya bergerak membentuk kelebatan hijau muda.

Deb, deb, deb, deb

Empat jotosan telak langsung menghajar ulu hati keempat lelaki bertopeng. Wajah mereka sulit digambarkan dengan mata terbeliak.

Tak terlontar jeritan sedikit pun dari mulut keempat lelaki bertopeng itu, karena nyawa lebih dahulu terlepas ketika ambruk di tanah.

Bruk, bruk, bruk, bruk

Menyaksikan kematian mengerikan kawan-

kawannya, sisa pasukan bertopeng itu putus harapan.

"Ampuni kami, Tuan Ampuni kami...." Seperti bocah kecil bodoh, mereka serempak berlutut sambil merengek-rengek.

Pendekar Slebor sendiri sudah berdiri tepat di depan mereka dengan napas mendengus-dengus.

Hanya napas banteng ngamuk yang bisa menandingi kekerasan Andika. Tak ada tanda-tanda kalau Andika telah puas atas kematian para lawannya tadi. Itu terlihat jelas dari warna matanya yang memerah matang. Namun entah kenapa, Pendekar Slebor menghentikan gerak menggilanya kala sisa pasukan bertopeng itu berlutut memelas. Seolah ada satu kekuatan dari relung batinnya yang mencegah serangannya.

"Ka..., kami memang manusia busuk, Tuan. Kami mengaku bersalah. Kami juga mengaku, kalau kami semua pantas mendapat perlakuan seperti yang Tuan Pendekar lakukan. Tapi, tolong beri kesempatan hidup agar kami dapat menebus semua kesalahan,"

pinta seorang dari mereka mengiba.

"Kalian bisa menebus kesalahan hanya dengan nyawa...," tandas Andika bergetar dan terdengar dingin.

"Tapi, apakah di hadapan Tuhan kami tidak bisa bertobat, Tuan Pendekar? Kalau Tuan tidak bisa mengampuni kami, sudikah menyerahkan kami pada Tuhan Penguasa Alam. Biar Dia yang akan

menentukan, hukuman apa yang pantas bagi kami...,"

lanjut orang itu makin lirih. Kepalanya tertunduk dalam, seperti juga kawan-kawannya.

Seberkas kekuatan asing tiba-tiba menyeruak kembali dari relung batin Andika yang terdalam.

Seolah, dalam dirinya terdengar ucapan, "Tuhan Maha Pengampun...."

Lalu terjadi keganjilan. Seluruh daya kemurkaan yang bergolak dalam diri Andika surut bagai tersapu gelombang maha sejuk.

"Baiklah.... Kalian kumaafkan," putus Andika perlahan. "Namun, kuminta kalian membuka topeng itu. Di mataku, topeng itu adalah perlambang manusia tak bertanggung jawab. Bisanya hanya melakukan kebusukan dari belakang, namun tetap ingin dianggap orang baik...."

Mereka pun memenuhi permintaan Andika. Satu persatu mereka melepas kain hitam penutup kepala.

Sampai pada orang terakhir yang membuat Andika mengerutkan dahi dalam-dalam.

"Kau.... Jiran?" ujar Andika setengah bertanya.

*** 9

Andika benar-benar tak menduga kalau Jiran, lelaki yang pernah disaksikannya saat dipermainkan Walet di pasar Desa Dukuh, ada di antara orang-orang bertopeng itu. Setahu dia, Jiran bukan murid Perguruan Ular Iblis.

"Tuan Pendekar mengenalku?" tanya Jiran terheran-heran.

"Bukankah kau yang hendak membunuh seorang bocah di pasar Desa Dukuh waktu itu?" Andika balik bertanya, seakan ingin meyakinkan diri.

"Maafkan aku, Tuan. Waktu itu aku khilaf," sahut Jiran.

"Jadi benar?"

Jiran mengangguk.

"Apa hubunganmu dengan Perguruan Ular Iblis?"

tanya Andika kembali.

"Tidak ada Tuan...."

Alis Andika langsung bertaut rapat. Kelihatannya ada sesuatu yang tak beres.

"Kau bersedia menceritakan padaku tentang semua yang kau ketahui?" tanya Andika, setengah mendesak.

Jiran tak segera menjawab. Air wajahnya berubah, memperlihatkan ketakutan. Kepalanya pun menggeleng-geleng tak beraturan. Di mata Andika, lelaki itu tampak amat gelisah.

"Kau takut pada seseorang?" duga Andika.

Jiran langsung mengangguk. Matanya menebar takut-takut ke setiap penjuru, seakan sedang diintai maut.

"Ketakutan itu tak perlu disimpan. Aku akan berusaha melindungimu. Lagi pula, bukankah kau ingin bertobat? Inilah saatnya untuk membuktikan kesungguhanmu pada Tuhan. Paling tidak, kau telah berusaha menebus sedikit dosamu...," desak Andika, berusaha menekan ketakutan Jiran.

Lama Jiran meremas-remas tangannya sendiri.

"Baiklah, Tuan Pendekar. Aku harap ini bisa menebus sedikit kesalahanku...," desah Jiran, akhirnya.

Andika lega. Bibirnya menawarkan senyum senang pada keputusan Jiran yang berani menanggung akibat demi tobatnya.

"Silakan," ucap Andika. "Aku senang sekali mendengarnya."

"Sebenarnya, seluruh bencana yang terjadi di kadipaten ini tidak ada hubungan sama sekali dengan Perguruan Ular Iblis," Jiran memulai ceritanya.

"Perguruan itu memang tertutup dan penuh kerahasiaan, tapi tidak pernah melakukan tindak kerusuhan...."

"Jadi, selama ini ada seseorang yang hendak memfitnah perguruan itu?" selak Andika.

"Lebih tepat, jika dikatakan hendak mengadu domba, Tuan," lanjut Jiran. "Orang-orang bertopeng yang menyerbu ke Perguruan Elang Hitam dan Perguruan Naga Langit, sengaja diperintah untuk meninggalkan kalung berlambang Perguruan Ular Iblis. Demikian juga, beberapa orang yang melakukan pengacauan. Mereka diperintah untuk mengenakan pakaian berlambang perguruan itu. Dengan begitu, Perguruan Ular Iblis akan makin dibenci perguruan lain di kadipaten ini. Dan setiap kejahatan yang terjadi perguruan itu akan langsung dituding sebagai pelakunya...."

"Sementara orang yang memfitnah bisa bertindak seenaknya tanpa kedoknya terbuka? Agar dia tetap dipandang bersih dan tetap aman?" selak Andika lagi.

"Benar, Tuan...," jawab Jiran singkat. Sesaat Andika bergumam samar. Ditepuk-tepuknya dagu dengan jemari tangan kanannya.

"Lalu, bagaimana caranya manusia keparat itu dapat melakukan pembunuhan keji, dengan memasukkan puluhan batang jarum ke dalam tubuh manusia?" lanjut Andika.

Jiran baru hendak menjawab. Tapi otak jernih Andika sudah lebih dahulu menemukan jawabannya.

"Pasti Mustika Putri Terkutuk itu" duga Pendekar Slebor agak heran, setelah ingat pesan terakhir Ki Kusuma.

"Benar, Tuan. Bagaimana Tuan tahu tentang mustika itu?" tanya Jiran heran.

"Bagaimana mustika itu dapat digunakan untuk membunuh?" lanjut Andika, seakan tidak mendengar pertanyaan Jiran tadi.

"Kalau itu aku tidak tahu, Tuan," jawab Jiran.

Padahal, Andika tidak mengajukan pertanyaan itu pada dirinya.

"Sekarang katakan, siapa biang keladi semua ini?

Siapa dalang pembantaian keji ini?" tanya Andika dengan kata-kata tegas.

Untuk kesekian kalinya, Jiran melirik kian kemari.

"Gusti Adipati, Tuan...," bisik Jiran amat halus, dan takut-takut.

Andika menatap Jiran dengan sinar mata tak percaya. Kelopak matanya tampak menyipit, seakan hendak membuktikan kesungguhan di wajah lelaki itu. "Kau jangan main-main, Jiran," tandas Pendekar Slebor setengah memojokkan. "Apa kau pikir aku akan mudah dipermainkan?"

Jiran menggeleng-gelengkan kepala. Alis matanya terlihat merapat, untuk memperlihatkan kesungguhan ucapannya barusan.

"Kalau Tuan tidak percaya, aku bisa dilumpuhkan selama Tuan membuktikan hal itu. Kalau aku ternyata menipu, Tuan boleh membunuhku," tegas Jiran yakin.

Andika menarik napas. Sudut bibirnya sedikit terangkat. Dia tidak bisa lagi menganggap lelaki itu hendak menipunya. ,

"Ya, Tuhan...," desis Andika tiba-tiba terperangah.

Saat itu pula dia ingat sesuatu. "Walet ada di kadipaten. Dan dia pernah hendak dibunuh oleh seorang berpakaian orang Perguruan Ular Iblis yang sudah pasti kaki tangan Adipati itu juga. Bocah itu kini dalam sarang harimau, dan berarti dalam bahaya besar...."

"Tuan sedang berbicara padaku?" usik Jiran pada Andika.

"Walet Kau kenal dia, kan?"

"Jadi bocah itu masih hidup?" sergah Jiran bingung. Setahunya, anak itu telah habis direncahnya.

"Kau tahu, kenapa Adipati Tunggul Manik ingin membunuhnya?" tanya Andika tergesa, dirasuki kekhawatiran pada nasib Walet.

"Aku tidak tahu, Tuan. Hanya waktu aku dipecundangi bocah itu seminggu sebelumnya, aku melapor pada Adipati. Mendengar laporanku, Adipati Tunggul Manik tampak geram. Aku masih ingat, telapak tangannya dipukul keras. Setelah itu, dia membisikkan sesuatu pada Artabuncah...."

"Artabuncah? Lelaki yang wajahnya cacat bekas sayatan?"

"Betul, Tuan. Dia tangan kanan Adipati."

Dugaan Andika jadi memang benar. Tapi, apa alasannya Walet hendak dibunuh? Lama Andika memikirkan pertanyaan itu, sampai akhirnya menyerah.

"Ah, sudahlah. Begini saja. Kalian lebih baik sembunyi dulu, selama aku menyelesaikan masalah ini. Aku tak ingin kalian jadi korban kejahatan Adipati Tunggul Manik," putus Andika secepatnya. "Aku harus segera ke kadipaten. Kawan kecilku dalam bahaya."

"Tapi, di mana tempat yang aman bagi kami, Tuan.

Seluruh kadipaten ini selalu ditempatkan mata-mata Adipati?" tukas Jiran dengan wajah pasi.

"Ng..., lebih baik kalian pergi ke Perguruan Naga Langit. Katakan, kalian adalah utusan Pendekar Slebor," ujar Andika cepat.

"Jadi Tuan ini Pendekar Slebor?" kata Jiran setengah berseru.

Wajah lelaki itu menampakkan keterkejutan yang amat sangat. Begitu juga kawannya. Pantas saja mereka merasa tak mampu menghadapi pendekar muda itu.

Kalau Jiran menatap Andika penuh kekaguman, Andika sendiri mendadak terdiam. Benaknya ter-ngiang kembali pesan Ki Kusuma saat teringat Perguruan Naga Langit.

"'Kendi berisi telaga'...," bisik Andika. "Bukankah ibarat itu berarti seseorang yang berjasmani kecil, namun memiliki isi besar, artinya memiliki jiwa yang tangguh. Walet Dialah orang yang dimaksud wanita cantik dalam 'petunjuk' Ki Kusuma, orang yang mampu membantu menghadapi kekuatan Mustika Putri Terkutuk Pantas, Adipati Tunggul Manik hendak membunuh Walet Ya, bocah itulah yang sanggup menghalanginya memanfaatkan kekuatan Mustika Putri Terkutuk...."

Andika mengangguk-angguk penuh kepuasan.

Kemudian Pendekar Slebor pamit pada sisa pasukan bertopeng yang masih menatapnya, seperti kumpulan orang' dungu. Sampai tubuh Andika menghilang, barulah mereka tersadar.

***

Kekadipatenan siang itu terlihat lengang. Dua prajurit jaga tampak berdiri tegak di sisi pintu gerbang. Angin siang berhembus sepoi-sepoi, membuat keduanya agak terkantuk. Di sekitar pagar tembok kadipaten, pepohonan bergemerisik diusik angin lalu.

Di sebuah kamar dalam bangunan kadipaten, Walet tertidur pulas. Sejak Andika pergi, bocah lelaki itu sama sekali tidak bisa memicingkan mata. Tanpa sempat tertidur, Walet terus menunggu Andika kembali. Seolah-olah, dia dapat merasakan perjuangan Andika jauh di sana. Setelah keletihan meringkusnya habis-habisan, dia tak bisa lagi terjaga.

Di kamar yang disediakan Adipati Tunggul Manik bocah itu akhirnya tertidur.

Cukup lama kamar Walet tampak damai. Kuakan jendela tempat angin melintas masuk mengirim cahaya siang ke dalam kamar yang ditata apik ini. Di sebelah jendela tampak lemari besar berukir berdiri.

Di sudut lain, sepasang meja dan kursi berukir terpaku bisu. Tirai putih yang menutup tempat tidur yang selama hidup baru dinikmati Walet, merambai halus ketika angin menerpa. Semua itu tak sedikit pun menampakkan ancaman bagi Walet. Namun, tanpa disadari sepasang mata bengis tampak mengamatinya dari balik dinding. Dari sang Pengintai itulah bahaya maut siap mencengkeram jiwa Walet.

Saat berikutnya, lemari besar berukir bergeser perlahan. Suara geserannya begitu halus, sehingga tak mengusik kenyenyakan tidur Walet. Namun begitu, kalaupun suaranya terdengar lebih keras, Walet sepertinya tetap melayang dalam mimpi. Dia memang sudah begitu lelah, membuat tidurnya amat nyenyak.

Grrr...

Setelah lemari bergeser satu tombak, terlihatlah satu lubang persegi sebesar pintu. Dari sana, seseorang muncul mengendap. Dan ternyata orang itu Adipati Tunggul Manik

Lelaki setengah baya itu kini tidak lagi mengenakan pakaian kebesaran, melainkan berpakaian jubah hitam dengan sabuk kain di bagian pinggang. Celananya berwarna hitam pula. Sedangkan kepalanya diikat kain berwarna merah darah.

Sangat hati-hati Adipati Tunggul Manik mendekati Walet. Sedikit pun tak terdengar suara kala sepasang kaki lelaki itu bersentuhan dengan lantai. Padahal dia mengenakan kasut kayu. Dengan begitu, terlihat jelas bagaimana tingginya ilmu meringankan tubuhnya.

Adipati Tunggul Manik makin dekat. Dan ketika tiba tepat di sisi tempat tidur Walet, tangan kanannya bergerak meraih sesuatu dari belakang tubuhnya.

Sret

Keris dari baja hitam sepanjang dua jengkal kini tergenggam kuat-kuat, siap dihujamkan ke tubuh bocah kecil yang tetap tertidur pulas. Sehati-hati langkah Adipati Tunggul Manik, senjata itu diangkat tinggi-tinggi di atas tubuh Walet. Sesaat keris itu hendak dihujamkannya ke dada Walet, tiba-tiba....

"Adipati Keluar kau"

Terdengar bentakan keras menggelegar yang tidak hanya mengagetkan Adipati Tunggul Manik. Walet punkontan tersentak kaget, hingga terjaga.

Menyaksikan calon korbannya terbangun, Adipati Tunggul Manik bergerak sigap. Hanya sekali hentak saja, tubuhnya berputar ke belakang di udara. Dalam waktu yang demikian cepat, dia sudah menghilang kembali di balik pintu rahasia sebelum Walet benar-benar sadar. Dan lemari besar di sisi jendela itu pun kembali ke tempat semula.

"Adipati Di mana kau?" Kembali terdengar seruan di luar.

"Hei? Bukankah itu suara Kang Andika?" gumam Walet seraya mengusap-usap kelopak matanya yang sepat.

Bergegas bocah itu bangkit, lalu meninggalkan kamar. Dia terus berlari, melewati lorong-lorong kamar. Dan setibanya di luar, bocah kecil itu berteriak girang melihat lelaki yang ditunggu-tunggunya seharian penuh telah kembali.

"Kau sudah pulang, Kang? Wah, bawa oleh-oleh apa?" kata Walet.

"Kesini kau"

Bukannya menjawab, Andika malah berseru keras-keras pada Walet.

Dengan wajah bersungut-sungut, Walet meng-hampiri Andika.

"Ada apa sih. Kang? Kayaknya sewot sekali...,"

gerutu bocah itu. "Kau baik-baik saja?" tanya Andika segera, ketika Walet sampai di dekatnya.

Walet menaikkan satu sudut bibirnya. Dipandangi-nya Andika dengan bola mata terangkat ke atas.

"Ya, baik-baik saja. Apa aku kelihatan seperti orang sakit lepra?" sahut Walet asal bunyi.

"Bagus Berarti bajingan itu tidak memiliki kesempatan untuk menghabisimu...."

"Banjingan? Siapa, Kang?" tanya Walet. Bocah itu bingung melihat sikap Andika yang begitu tegang.

Matanya bahkan bergerak-gerak siaga, seakan hendak mengawasi setiap gerak mencurigakan di seluruh penjuru kekadipatenan ini.

"Pasti selama ini kau selalu waspada. Itu bagus"

lanjut Andika, tanpa mempedulikan keheranan bocah kecil di depannya.

"Selama Kang Andika pergi, aku memang tidak bisa tidur. Mataku melek terus, seperti kerbau kebanyakan kopi"

"Kau tahu di mana Adipati Tunggul Manik?" tanya Andika lagi.

"Mana aku tahu. Tadi aku ketiduran," sahut Walet acuh. "Memangnya ada apa, Kang?"

Lagi-lagi Andika seperti tidak mempedulikannya.

"Adipati Keluar kau Apa perlu aku yang memaksamu keluar"

Pendekar muda itu malah berseru kembali dengan tenaga penuh, membuat Walet menutup telinganya rapat-rapat.

"Kang Oi, Kang Apa Kakang baru dicolek setan sewot?" dengus Walet sambil mendongak ke wajah tegang Andika. "Dan.... Kenapa dengan dua prajurit di pintu gerbang itu?"

Walet mengarahkan pembicaraan ketika matanya menemukan tubuh kedua prajurit tergeletak lemah.

"Aku menotoknya," jawab Andika singkat. Tanpa menoleh sedikit pun.

Sikap Andika itu membuat Walet mulai dongkol.

Maka disikutnya lengan Andika.

"Kenapa Kakang jadi usil?" tanya Walet, setengah menggerutu.

"Kau tidak mengerti. Nanti akan kujelaskan semuanya," sergah Andika.

"Aku maunya sekarang, Kang."

Andika tidak menanggapi, tapi malah sibuk mengawasi bangunan kadipaten yang masih tetap sepi.

"Kaaang, aku maunya sekarang" jerit Walet sewot.

"Diam Ini bukan waktunya bergurau" hardik Andika.

Terpaksa Walet menutup bibirnya rapat-rapat.

Rupanya pemuda itu memang bersungguh-sungguh.

Tak lama kemudian beberapa orang muncul dari bangunan kadipaten dengan setengah berlari.

Mereka menuju halaman depan, dan satu persatu berdiri menyusun pagar betis. Sehingga, terbentuklah empat baris yang terdiri dari puluhan orang. Mereka adalah para prajurit pilihan kadipaten yang ditempatkan di padepokan belakang.

Layaknya para prajurit pilihan, tubuh mereka rata-rata tegar berotot dengan dada bidang membusung penuh percaya diri. Mereka hanya mengenakan celana hitam sebatas betis yang dililit kain batik, tanpa memakai baju. Sementara rambut mereka digelung ke atas. Di tangan masing-masing tergenggam sebatang tombak serta tameng besi.

Puluhan prajurit itu siap menjalani titah junjungannya, tanpa pernah disadari kalau ternyata diumpankan untuk membela seorang berhati busuk dan bermuka dua.

"Kalian kuminta menyingkir Jangan sampai kalian mati di tanganku hanya karena telah dibodohi Adipati," pinta Andika.

"Tidak mungkin. Mereka adalah punggawa istana yang berkewajiban menjalani segala titah junjungannya..." seru seseorang dari belakang barisan. Kemudian muncul dua orang berpakaian senapati dan berpakaian tumenggung. Masing-masing bernama Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna.

Senapati Wisesa berperawakan tinggi dan tegap.

Dadanya yang kekar berisi, ditutup selempengan kain merah berjumbai benang warna emas di sisinya.

Seperti juga para prajurit, dia mengenakan celana hitam yang dililit kain batik. Bedanya, pada ujung celananya terdapat hiasan dari benang perak.

Wajah Senapati Wisesa tergolong tampan. Apalagi, mengingat usianya yang masih tiga puluh lima tahun.

Kumis tebal serta cambang hitam di depan telinga, membuat penampilannya terlihat kian gagah.

Rambutnya digelung ke atas dengan hiasan kepala dari perak berukir. Di tangannya terhunus keris pusaka miliknya.

Sementara Tumenggung Adiguna bertubuh agak gemuk. Badannya ditutup pakaian kebesaran seorang tumenggung. Dia berbaju dan bertopi hitam, seperti milik Adipati. Bentuk topinya yang seperti tabung meninggi itu, dihiasi garis-garis lurus berwarna emas.

Begitu pula ujung-ujung bajunya, dihiasi ukiran berwarna emas. Celananya berwarna putih susu, dibalut batik dan diikat kain bergaris merah putih.

Wajah Tumenggung Adiguna agak bulat, tanpa ditumbuhi kumis atau cambang bauk. Usianya cukup tua, membuat matanya agak abu-abu. Namun, wajahnya memancarkan kewibawaan tinggi. Bibirnya yang agak tipis berlawanan dengan hidungnya yang agak tebal.

"Tuan Senapati dan Tuan Tumenggung," mulai Andika kembali, "Aku sangat menghormati kalian, selaku pembesar terhormat. Jadi kuharap kalian tidak menghalangiku untuk meringkus Adipati Tunggul Manik."

"Bagaimana mungkin kami membiarkan begitu saja junjungan kami diusik orang?" sanggah Tumenggung Adiguna tegas.

"Kalian harus mempercayaiku...."

"Karena kau seorang pendekar kesohor?" selak Senapati Wisesa.

"Bukan...," Pendekar Slebor segera menggeleng.

"Karena aku telah mendapatkan bukti kalau junjungan kalian telah melakukan makar jahat."

"Bagaimana orang yang baru dikenal seperti dirimu bisa dipercaya, kami sudah kenal lama pada Kanjeng Adipati, selaku pemimpin yang baik," sanggah Tumenggung Adiguna kembali.

"Kalian memang tak bisa mempercayaiku begitu saja. Aku bisa memaklumi. Tapi, izinkanlah aku meringkus Adipati dahulu. Setelah itu, baru kalian kupertemukan pada seseorang yang mengetahui jelas kejahatan tersembunyi yang dilakukannya," tutur Andika berusaha bersabar.

"Bagaimana kami harus mempercayaimu?

Bagaimana kalau kau ternyata menipu kami?" tanya Tumenggung Adiguna, lagi-lagi berusaha menyudut-kan Andika.

Andika kini benar-benar mati kutu. Bagaimanapun caranya, memang sulit menembus kesetiaan mereka pada junjungan. Apalagi, Andika tidak bisa langsung membuktikan seluruh makar Adipati Tunggul Manik.

Namun begitu, Andika harus tetap meringkus Adipati Tunggul Manik untuk diserahkan pada pihak Perguruan Naga Langit. Di lain sisi, dia tak ingin ada korban tak berdosa di pihak kadipatenan. Karena mereka sebenarnya hanya menjalankan tugas tanpa tahu apa-apa.

Kini, Andika benar-benar berada dalam keadaan sulit. Seakan dia dihadapkan pada buah simalakama.

Dua pilihan yang meski diambil, tapi sama-sama mengandung bahaya. Kalau bersikeras untuk meringkus Adipati Tunggul Manik, maka mau tak mau harus dihadapinya para prajurit dan Senapati Wisesa dan bersama Tumenggung Adiguna. Itu berarti mem-bahayakan jiwa mereka. Sementara, kalau usaha meringkus Adipati ditangguhkan, maka bisa saja pengkhianat rakyat itu melakukan tindakan yang bisa memakan korban lebih banyak di pihak rakyat.

"Jadi lebih baik kau segera menyingkir dari tempat ini sebelum kami bertindak," ujar Senapati Wisesa mengancam.

Andika tidak berbuat apa-apa. Peringatan Senapati Wisesa tadi seperti tidak didengarnya. Bukan apa-apa. Andika hanya sedang diamuk kebimbangan, untuk mengambil satu keputusan. Meski dirinya dikenal sebagai pendekar berotak encer, keadaan yang dihadapinya kali ini tetap saja menyulitkan.

Sikap Andika itu tentu saja memancing kegusaran Senapati Wisesa. Selaku petinggi, sikapnya harus tegas pada siapa pun. Tak peduli, orang itu pendekar yang disegani di seantero persilatan sekalipun.

"Kalau itu maumu, apa boleh buat...," tandas senapati itu. Kemudian.... "Seraaang"

Layaknya air bah, puluhan prajurit segera menyerbu Pendekar Slebor. Dalam sekejap mata saja, Pendekar Slebor sudah dikepung. Hanya ada satu tujuan di benak para prajurit saat itu, menunaikan tugas sebaik-baiknya.

"Hiaaat"

Seruan perang terlontar ke udara, seiring tusukan tombak.

Wut, wut, wut

*** 10

Sejak malang melintang dalam dunia persilatan, maka pertarungan terberat yang dialami Andika kali ini adalah pertarungan yang terberat. Bukan karena lawan-lawan yang meski dihadapinya rata-rata berkepandaian tinggi. Kalaupun mereka semua mengeroyoknya, belum tentu mampu mengalahkan pendekar urakan ini. Tentu saja selaku pendekar sejati, Andika merasa berat untuk menurunkan tangan kejam pada orang-orang yang sebenarnya hanya diperalat.

Namun demikian, Pendekar Slebor tidak begitu bodoh untuk membiarkan tubuhnya direncah puluhan batang tombak yang mengancam dirinya dari segala penjuru. Secepatnya dilepas kain pusaka dari pundaknya. Dengan penyaluran tenaga dalam secukupnya, serbuan tombak para prajurit itu bisa disapu bersih.

"Hih"

Wut Kra-krak-krak-krak

Satu rentetan suara patahan tombak terdengar.

Dua puluh tiga prajurit saat itu juga terlonjak, mengikuti hentakan pada senjata masing-masing.

Tombak mereka sendiri sudah tidak memiliki ujung lagi, patah terkena hantaman senjata ganjil Andika.

Patahannya bertebaran sesaat di udara, lalu jatuh berserakan di tanah.

Serangan awal yang gagal itu dilanjutkan serangan susulan oleh para prajurit. Sebagai pasukan pilihan, dengan sigap mereka membentuk satu bentuk pertempuran mirip bintang berpijar. Secara bergantian, orang yang di belakang maju ke depan dan sebaliknya. Sehingga, gerakan mereka tampak seperti kerlip bintang.

Meski tingkat kepandaian para prajurit masih jauh di bawahnya, tapi tak urung Andika merasa agak bingung menghadapi siasat serangan itu. Serangan bergantian berupa tangan dan kaki itu benar-benar mendobrak benteng pertahanan Andika.

Terlebih, ketika kedua puluh tiga orang itu mulai mengeluarkan pedang panjang masing-masing.

Dengan begitu, daya jangkau serangan makin membesar. Dan itu berarti semakin memperkecil ruang gerak Pendekar Slebor.

Agar tidak terus diserbu kelebatan pedang para prajurit yang terus mencecarnya, Pendekar .Slebor mengubah siasat pertahanannya. Di tengah kepungan, tubuhnya tiba-tiba berputaran cepat dengan bertumpu pada satu kaki. Sedangkan kakinya yang lain sengaja diseret di tanah berdebu.

Sekejap saja, kepulan debu pekat berterbangan.

Angin hasil ciptaan Andika, membuat kepulan debu itu bertebaran di tengah kepungan. Maka tubuh Pendekar Slebor pun terselimuti, dan tak dapat ditangkap lagi oleh mata para pengeroyoknya.

Saat selanjutnya, tubuh Andika meluncur ke atas seperti hendak terbang. Dia berusaha untuk melepaskan diri dari kepungan rapat para prajurit.

Dan usahanya ternyata berhasil.

"Walet Apa kau hanya bisa bengong seperti tuyul bego"

Ketika masih di udara, Andika berteriak pada Walet yang berdiri di dekat tembok kadipatenan.

Memang, sebelum Pendekar Slebor dirangsek begitu rupa, bocah kecil itu telah menyingkir terlebih dahulu.

Kebetulan dia tidak menjadi incaran para prajurit, sehingga tidak mendapat rintangan apa-apa.

Sebenarnya, Andika dongkol melihat bocah itu yang hanya menonton dirinya. Padahal Andika sendiri sedang sungsang sumbel menghindari keroyokan.

"Lawan saja, Kang Salah sendiri, kenapa hanya bertahan" sahut Walet begitu Andika menjejak tanah, lima belas tombak dari musuh-musuhnya. Lagak bocah itu seperti tukang sabung ayam yang sedang memberi semangat pada jagonya.

"Tai kucing" maki Andika sengit. "Aku tak mau mereka celaka, karena diperalat Adipati Tunggul Manik"

"Lumpuhkan saja kalau begitu Totok saja mereka.

Tok, tok, tok, bereskan?"

"Dengkulmu beres Jumlah mereka terlalu banyak untuk ditotok satu persatu Apa matamu buta?"

"Kalau begitu, gimana ya?" tanya Walet santai seraya menaikkan kedua bola matanya.

"Jangan banyak tanya Kau bisa bantu apa tidak, Bocah Sialan?"

"Tentu saja. Kenapa tidak?" sahut Walet, tetap acuh.

"Ayo lakukan Kenapa masih tunggu-tunggu lagi"

bentak Andika, buru-buru manakala melihat seluruh prajurit kini malah turut menyerbunya.

Walet hanya menggeleng-gelengkan kepala santai.

"Kenapa Kakang tidak bilang dari tadi. Salah sendiri...."

"Cepaaat" sergah Andika mangkel tak ketolongan.

Walet nyengir sebentar, kemudian mulai bersila seraya memejamkan mata.

Seketika daya pengaruh batin bocah kecil itu pun memancar ke sekitarnya bagai gelombang air yang kian membesar. Kekuatan tak terlihat itu lalu mulai merasuk dalam benak setiap prajurit. Dan tiba-tiba saja, para prajurit menyaksikan makhluk tinggi besar menyeramkan menghadang di depan.

Tinggi makhluk itu hampir sama dengan pohon kelapa. Badannya ditumbuhi lumut berwarna hijau tua berlendir. Kepalanya berbentuk kepala ular kdbra dengan taring sebesar mata tombak di mulutnya yang terbuka lebar. Sepasang matanya bersinar merah tanpa bola mata, semerah liur yang memanjang di rongga mulutnya.

Saat makhluk itu menyerang bagai salakan seribu guntur, puluhan prajurit di depannya tersurut mundur dengan wajah kaku. Mata mereka menatap tak ber-kedip pada makhluk yang diciptakan oleh kekuatan batin Walet.

Berbarengan satu erangan kembali, tangan makhluk itu bergerak menyapu.

"Aaarrrgggkhhh"

Wessshhh

"Wuaaa"

Tujuh prajurit langsung terlempar ke udara laksana kulit padi terhempas angin. Prajurit yang lain tentu saja menjadi ciut, menyaksikan kejadian ini. Seumur hidup, tak pernah mereka menyaksikan makhluk yang demikian mengerikan. Tanpa banyak kata, puluhan orang itu lari serabutan. Mereka tidak ingin jadi perkedel, ditumbuk tangan besar makhluk aneh ini.

Andika sendiri pun sempat terkesima melihat kawan kecilnya mampu memunculkan makhluk dari dasar bumi seperti ini. Dalam hatinya, dia sempat memuji kehebatan Walet. Tak percuma si wanita cantik aneh itu menjuluki Walet 'kendi berisi telaga'. "Bagus, Walet Usahakan agar mereka tak celaka.

Cukup membuat mereka 'buang hajat' di celana saja

He he he...," seloroh Andika, puas melihat hasil kerja sahabatnya.

Usai terkekeh, pendekar muda ini menggenjot tubuhnya menuju bangunan kadipatenan.

Dilain sisi, Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna masih berusaha mengadakan perlawanan pada makhluk ciptaan Walet. Keduanya segera mengeluarkan keris pusaka masing-masing. Dengan senjata terhunus, digempurnya makhluk itu tanpa kenal takut.

Selaku orang kepercayaan adipati, mereka memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Ini bisa terlihat dari setiap gerakan mereka. Kala makhluk jejadian ciptaan Walet itu mencoba menyampok, dengan gesit keduanya melenting tinggi ke perut buncit makhluk besar itu. Lalu, disusul sabetan keris pusaka di tangan masing-masing.

"Khiah"

Sret

Kulit perut makhluk itu memang terkena sabetan mereka. Tapi, sama sekali tidak mengakibatkan luka sedikit pun. Senjata mereka seperti menebas gumpalan asap tebal saja. Kenyataan itu benar-benar mengejutkan Senapati dan Tumenggung Adiguna.

Padahal, keduanya belum lagi bisa mengerti, kenapa makhluk itu tiba-tiba muncul begitu saja.

Selama hidup, Senapati Wisesa maupun

Tumenggung Adiguna memang belum pernah

memperdalam ilmu batin tingkat tinggi. Mereka hanya terbatas mempelajari ilmu olah kanuragan yang terpusat pada pengolahan kekuatan luar. Itu sebabnya, mereka menjadi terheran-heran dengan kehadiran makhluk aneh seperti yang dihadapi kini.

Sementara itu, Andika telah jauh memasuki bangunan kekadipatenan. Pemuda itu tiba di ruang tengah besar, berlangit-langit tinggi. Di sana ditemukannya Adipati Tunggul Manik yang sudah berdiri menantang dengan sorot mata tajam. Kedua tangannya memegang sesuatu di depan dada. Dari bentuknya yang bulat telur sebesar kepalan tangan dan berwarna biru laut, dapat diduga kalau benda itu adalah Mustika Putri Terkutuk.

"Sudah kuduga sejak kedatanganmu, Pendekar Slebor Kau memang akan menjadi penghalang segala rencanaku," sambut Adipati Tunggul Manik dingin.

"O, ya?" timpal Andika kalem. "Kalau begitu, aku memang benar-benar manusia pembawa sial seperti kata anak buahmu."

Adipati Tunggul Manik menggeram.

"Kau memang pembawa sial. Tapi, percayalah.

Sebentar lagi kesialan yang kau bawa akan pergi bersama nyawamu ke dasar neraka"

"Wow-wow-wow Tunggu dulu. Bagaimana kalau kesialan yang kubawa, justru memberimu ongkos ke liang lahat. Mungkin cacing-cacing tanah sudah begitu kangen padamu...," ledek Andika menimpali.

Adipati Tunggul Manik mengacungkan mustika di tangannya.

"Dengan benda keramat di tanganku ini, kau memiliki kemungkinan kecil untuk menjadi pemenang"

"Ah Jangan bicara soal menang atau kalah Aku tak suka pasang undian" tukas Andika ngaco.

Merasa ucapannya tak ditanggapi sungguh-

sungguh, Adipati Tunggul Manik mengangkat pangkal hidung kesal. Bibirnya tampak menyeringai gusar.

"Kenapa meringis? Belum menunaikan kewajiban, buang hajat sebelum bertarung? Hi hi hi...," ejek Andika.

"Kau banyak mulut, Babi" hardik Adipati Tunggul Manik.

Seketika Adipati Tunggul Manik menyerbu Andika dengan amarah membludak. Mustika di tangan kanannya langsung dihantamkan ke kepala Pendekar Slebor.

"Khiaaa"

Wut

Andika menghindari hantaman itu hanya dengan menggeser tubuh satu langkah ke belakang.

Luputnya serangan pertama, disusul serangan kedua.

Tubuh Adipati Tunggul Manik cepat berputar dengan kaki kiri terangkat, berusaha meremukkan kepala Pendekar Slebor kembali.

Kali ini, Andika tak menghindar. Namun

dipapaknya tendangan berputar Adipati Tunggul Manik dengan pergelangan tangannya. Sementara tangan kirinya yang bebas, segera mengirim sodokan ke selangkangan sebagai balasan.

Tentu saja Adipati Tunggul Manik tak mau barang rahasianya pecah. Maka dengan sigap bagian terpenting dalam hidupnya itu dilindunginya dengan kedua tangan. Seketika tangan mereka berbenturan keras.

Baru saja terjadi benturan, Andika sudah menyusul Adipati Tunggul Manik satu serangan lagi. Dengan tubuh merunduk, disapunya kaki adipati yang menjadi tumpuan tubuhnya. Serangan yang begitu cepat itu membuat Adipati Tunggul Manik mati langkah. Dia tidak bisa lagi mengangkat kaki yang menjadi incaran sapuan kaki Pendekar Slebor. Satu-satunya jalan hanya membuang tubuh ke belakang.

"Hiaaah"

Dengan menggenjot satu kakinya, Adipati Tunggul Manik melenting ke udara dan berputaran ke belakang. Lalu kakinya mendarat, dan berdiri empat tombak dengan kuda-kuda mantap kembali.

Pendekar Slebor tak sudi membiarkan adipati itu bernapas lega. Baru saja tubuhnya sampai di atas tanah, Andika sudah melabraknya dengan satu terkaman menggila. Dari gerakannya terlihat kalau Andika tengah mengeluarkan jurus sakti ciptaannya,

'Memapak Petir Membabi Buta'.

Adipati Tunggul Manik benar-benar terperangah, menyaksikan jurusnya yang aneh. Bagaimana Adipati Tunggul Manik tidak menilai seperti itu, kalau gerakan yang diperlihatkan lawannya lebih mirip terjangan orang sinting yang kalap?

Belum sempat wajah keterkejutan adipati itu hilang, tangan kanan Pendekar Slebor sudah tiba di dekat wajahnya. Dan ini membuat Adipati Tunggul Manik serba salah. Maka diusahakannya untuk menyelamatkan wajah dari sampokan tangan Pendekar Slebor. Tapi tangan pemuda itu tiba-tiba saja berbelok arah ke dada. Seolah-olah tangan itu bisa berubah arah, hanya karena tiupan angin tak menentu.

"Gila Jurus sial macam apa itu?" maki Adipati Tunggul Manik dongkol.

"Pengumuman... Pengumuman. Ini jurus

'Memapak Petir Membabi Buta' Hea ha ha ha..."

teriak Andika seraya menyambung terjangan ngawurnya.

Tubuh Pendekar Slebor mendadak terhuyung deras ke arah Adipati Tunggul Manik. Bahu kanannya siap dibenturkan ke dada.

Berbareng pelototan matanya karena terkesiap, Adipati Tunggul Manik merunduk sedalam-dalamnya.

Hanya itu yang bisa dilakukan, karena dia sudah berada di sudut ruangan. Saat itu, sifat berandalan Andika sebagai gelandangan kecil kotaraja muncul kembali. Dia ingin sedikit mempermainkan orang terhormat bermuka dua itu.

Maka sebelum Adipati Tunggul Manik mengubah keadaan tubuhnya yang membungkuk, Andika mengangkat kaki kanan ke atas kepala, lalu menjejak keras-keras di atasnya. Mau tak mau Adipati Tunggul Manik makin merundukkan badan. Sampai akhirnya, dia merangkak serabutan layaknya babi tolol.

"Huh Hus" ledek Pendekar Slebor sambil ber-tepuk-tepuk tangan.

Namun kesempatan luang itu digunakan Adipati Tunggul Manik untuk berguling menjauhi lawan. Dan, mulutnya pun langsung memaki panjang pendek, karena merasa telah dipermainkan.

"Bangsat-bangsat-bangsat" maki adipati itu saat bergulingan.

"Biar-biar-biar-biaaarrr" balas Andika tak kalah gencar.

Setelah itu, Andika tertawa terbahak-bahak keras.

Puas rasanya mempermainkan seorang penguasa pengkhianat yang menganggap orang-orang kecil hanya anjing yang bisa diperalat.

Adipati Tunggul Manik kini bangkit dengan wajah terbakar. Sepasang matanya berkobar-kobar merah, di puncak kemurkaan.

"Kau harus membayar perlakuan ini dengan nyawa, Keparat" ancam lelaki setengah baya itu bergetar. Lalu diletakkannya Mustika Putri Terkutuk di dada.

"Ng.... Ngomong-ngomong, dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya Pendekar Slebor berlagak pilon.

Padahal, Andika tahu kalau adipati itu sudah siap memanfaatkan kekuatan gaib benda keramat yang dipegangnya.

"Pasti kau telah merebutnya dari tangan pemimpin Perguruan Ular Iblis. Iya, kan? Lalu, dia kau bunuh secara diam-diam. Sehingga, para muridnya tidak pernah sadar kalau mereka telah kecolongan. Dan kau pun selamat dari tuntutan dendam mereka.

Setelah itu, kau bisa leluasa mengadu domba perguruan itu dengan perguruan lain...," kata Andika, berusaha mengganggu Adipati Tunggul Manik.

"Diaaam" bentak Adipati Tunggul Manik menggelegar.

"Wah-waaah Sebagai seorang penguasa, kau ternyata memiliki otak encer. Sayang sekali, keenceran otakmu dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri...."

"Diaaam Aku memang ingin berkuasa penuh di daerah ini. Aku ingin seluruh cita-citaku tercapai. Aku ingin mengeruk uang rakyat sebanyak-banyaknya, agar dapat membuat sorgaku sendiri. Tapi itu tak akan bisa kulaksanakan, kalau perguruan-perguruan itu masih tetap berdiri. Mereka pasti akan menentang tindak-tandukku. Maka, mereka harus dimusnahkan"

Andika menggeleng-gelengkan kepala.

"Ck, ck, ck.... Tak kusangka kalau kau hanya seekor babi rakus"

Adipati Tunggul Manik kian kalap. Rahangnya mengejang, memperlihatkan gerakan otot kegeraman di sisi wajahnya. Sedangkan bibirnya tampak bergetar hebat. Selama ini, tak ada seorang pun yang berani menghinanya seperti itu.

"Bersiaplah untuk mampus, Pemuda Busuk"

dengus Adipati Tunggul Manik mengakhiri ucapan.

Setelah itu dia memejamkan mata seraya

mengangkat Mustika Putri Terkutuk ke depan wajahnya. Bibirnya tampak bergerak-gerak merapal-kan mantera.

Pendekar Slebor memperhatikan perbuatan lawannya dengan kewaspadaan penuh. Hari ini, bisa disaksikannya bagaimana benda keramat itu mampu melakukan serangan biadab. Mungkin Andika harus menghadapi sebentuk kekuatan gaib yang mampu menyusup ratusan batang jarum ke dalam perutnya, seperti dialami rakyat dan orang-orang perguruan tempo hari.

Dugaan-dugaan Andika menjadi jelas, manakala selarik sinar berwarna merah bara terlontar dari Mustika Putri Terkutuk. Sesaat benda itu berputar mengelilingi tubuh Adipati Tunggul Manik, seakan menunggu aba-aba darinya. Lalu....

Nging...

Terdengar denging halus saat cahaya merah itu meluruk menuju Pendekar Slebor. Meski belum pernah menghadapi serangan seganjil itu, namun Pendekar Slebor tak mau ayal-ayalan. Segera seluruh daya sakti ditubuhnya dikerahkan. Maka sekejap mata saja tubuhnya telah diselimuti lapisan kekuatan yang tak terlihat. Memang, benteng tembusan pandang itu sanggup menahan satu terjangan petir sekalipun.

Tapi, Andika rupanya salah perhitungan. Sewaktu menjalani penyempurnaan kedigdayaan di Lembah Kutukan, petir memang tak sanggup menembus benteng pertahanan puncaknya. Namun bagi kekuatan gaib seperti cahaya merah bara yang kini melesat cepat ke arahnya, benteng itu ternyata tidak berguna sama sekali

Seperti menembus lapisan asap, cahaya merah milik Adipati Tunggul Manik menelusup begitu saja dalam lapisan benteng pertahanan Andika. Akibatnya, cahaya itu langsung menerjang dada bidang Pendekar Slebor.

Tanpa menimbulkan suara, cahaya merah tersebut telah menghilang di dalam dada Andika. Seketika saat itulah Pendekar Slebor merasakan seluruh bulu halus di tubuhnya meremang hebat. Saat berikutnya, dadanya mulai terasa sesak. Napasnya menjadi tersengal-sengal tak menentu. Dadanya kini terasa direncah-rencah dari dalam. Rupanya, ratusan batang jarum gaib telah menggerogoti isi tubuhnya dari dalam

"Aaa"

Terdengar satu lengkmgan menyayat yang

terlempar dari kerongkongan Andika. Rasa sakit luar biasa yang kini diderita memaksanya berteriak kuat-kuat. Tenaga sakti yang masih dikerahkan, tanpa sadar ikut terbawa dalam teriakannya. Sehingga, membuat lapisan luar dinding beton kadipatenan menjadi retak-retak, lalu berguguran. Lampu gantung besar di tengah ruangan yang terbuat dari pualam gosok berjatuhan ke bawah. Sesaat kemudian, lampu hias itu runtuh, menimbulkan suara keras berderak ke seluruh ruangan.

Sementara itu, tubuh Pendekar Slebor berguling-gulingan di lantai ruangan. Kedua tangannya mencengkeram dadanya sendiri dan perutnya. Otot di lehernya tampak membesar, karena erangan tertahan.

Pada puncak penderitaan itu, Andika masih sempat menyadari kebenaran 'petunjuk' yang diterima Ki Kusuma dari wanita cantik aneh itu. Hanya seseorang yang bisa menolongnya. Seorang berkepribadian 'kendi berisi telaga'.

"Walet Ke mana kau?" desis Andika seiring lelehan darah kental dari bibirnya.

Seingatnya, bocah kecil itu sedang berusaha menghalau Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna. Kalau anak itu mendapat kesulitan, apakah nyawanya akan berakhir di sini?

Kala kesadarannya nyaris terhempas akibat deraan sakit yang begitu hebat, tiba-tiba selarik sinar hijau menyala membersit dari langit-langit ruangan.

Sinar itu cepat menerabas masuk ke tubuh Pendekar Slebor.

Seketika terdengar pekikan panjang kembali.

Tubuh Pendekar Slebor mengejang dengan kepala mendongak. Satu pertempuran gaib memang sedang terjadi dalam dirinya. Bahkan itu menciptakan siksaan yang lebih menggila dari sebelumnya.

Pendekar Slebor tak mampu lagi merasakan siksaan itu. Tubuhnya melemah, lalu terkulai. Belum lama Andika terdiam, tanpa gerak, dua larik sinar merah dan hijau keluar dalam keadaan menyatu.

Di udara, sinar itu saling menghimpit, hingga menimbulkan sayatan-sayatan cahaya beraneka warna. Lama kejadian itu berlangsung sampai akhirnya cahaya hijau menelan habis cahaya merah membara.

Bersamaan dengan menghilangnya cahaya merah, Mustika Putri Terkutuk sirna di tangan Adipati Tunggul Manik. Lelaki itu sendiri terpental deras ke belakang, langsung menghantam tembok beton setebal tiga jengkal. Tembok itu hancur menciptakan lubang besar menganga, bersama hancurnya seluruh tulang punggung Adipati Tunggul Manik. Penguasa lalim itu tewas dengan mata terbeliak dan darah merah membasahi mulutnya.

***

Ada terpaan hangat pada wajah Andika. Ada

lantunan seruling mendayu mengusik telinganya.

Pendekar Slebor membuka mata perlahan. Dia tidak berharap kalau dirinya telah tiba di sorga, setelah ingat kejadian terakhir yang dialaminya. Harapannya terkabul. Di sisinya, Walet tampak asyik meniup seruling bambu.

"Syukurlah kau sudah siuman, Kang. Bagaimana dadamu? Apa masih terasa sakit. Kalau masih, tahanlah sedikit. Jamak bagi pendekar kesohor seperti Kakang Andika," kata Walet seraya melepas ujung suling dari bibirnya.

"Walet..., apa yang terjadi?" tanya Andika tersendat.

"Ng.... Kemarin kita berhasil menumpas manusia busuk yang bernama Adipati Tunggul Manik. Sayang Kang Andika tidak sampai selesai menikmati pesta itu."

Andika mendelik berang.

"Jangan gila kau Aku sudah hampir mati dibilang pesta"

"Seperti kukatakan tadi, jamak bagi pendekar kesohor seperti Kakang," sahut Walet santai.

Bocah itu lantas berdiri seraya menepuk-nepuk pantat. Kakinya melangkah perlahan. Dan dari bibir mungilnya terdengar siulan riang.

"Mau ke mana kau?" tanya Andika seraya bangkit terseok. Disusulnya Walet.

"Cuci mata ke Desa Dukuh. Aku sudah lama tidak melihat janda penjual batik di pasar itu," kata bocah itu seenaknya.

Andika menggeleng-gelengkan kepala.

"Hey Kau tahu tentang Mustika Putri Terkutuk?

Apa ada riwayatnya?" tanya Andika.

"Dulu ada seorang putri dan pangeran yang jatuh cinta. Mereka ingin menikah, tapi tak diizinkan orangtua masing-masing. Karena kerajaan keduanya sedang bermusuhan satu sama lain. Namun mereka nekat dengan kawin lari. Mengetahui hal itu, ayah sang Pangeran yang sakti mengutuk keduanya. Putri itu menjadi mustika keramat, dan sang Pangeran mati tertelan bumi," tutur Walet santai.

"Dari mana kau tahu?"

"Jangan usil, Kang Kalau aku tahu, ya tahu,"

sergah Walet acuh.

"Ah, sayang. Aku kira wanita cantik itu penjelmaan Nyi Roro Kidul. Padahal, aku ingin sekali bertemu dengannya...," bisik Andika amat perlahan.

Keduanya terus menelusuri jalan berumput hijau menuju barat, tempat matahari terpuruk lelah dalam selimut lembayung. Dan sampai saat itu, Andika tidak pernah mengetahui kalau Walet adalah titisan sang Pangeran yang kini berada di sampingnya

SELESAI

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar