-------------------------------
----------------------------
Episode 03 Mustika Putri Terkutuk
1
Padang rumput di kaki Gunung
Pucung terhampar luas, membentuk permadani alam berwarna hijau.
Matahari bersinar penuh
kehangatan, membuat warna hijau rerumputan padang menjadi berpendar cerah.
Dari sebatang pohon beringin besar
berumur ratusan tahun yang berdiri tegak diliputi kesan angker, melantun alunan
seruling. Suaranya mendayu, seperti berlari pada pucuk rerumputan, lalu hilang
tertelan hembusan angin. Alunannya sendiri membawa cerita pada alam, bahwa
hidup ini penuh warna-warni yang setiap saat patut disyukuri.
Padang rumput biasa menjadi
tempat main para bocah pengembara sapi, sambil melepas makan binatang
peliharaannya. Di sana, mereka sering terlihat duduk tenang di punggung seekor
kerbau besar sambil meniup suling.
Tapi lantunan seruling yang
saat ini terdengar, bukan dari bocah pengembala. Melainkan, dari seorang bocah
kecil berumur sebelas tahun. Dia tampak duduk santai sambil mengangkat satu
kakinya pada kaki lain, di sebatang tangkai besar pohon beringin. Tangannya
tampak bergerak-gerak indah pada lubang-lubang nada seruling bambu.
Bocah itu tampak lusuh.
Rambutnya panjang melewati bahu, ikal dan kotor. Bajunya kuning dihiasi
tambalan di beberapa bagian, dipadu celana pendek berwarna hitam yang sekotor
rambutnya. Namun penampilan yang lusuh itu tak membuat wajahnya tampak susah.
Wajahnya malah terlihat ceria.
Sepasanag matanya yang bulat
tampak berbinar-binar. Kelihatan kalau dia adalah anak yang memiliki rasa
percaya diri. Hidungnya bangir. Sementara, bibirnya yang masih menghembuskan
udara ke serulingnya tampak tipis, meski agak kering karena panasnya sengatan
matahari. Dengan bentuk yang bulat telor, wajahnya terlihat menggemaskan.
"Ah Aku haus
sekali," keluh bocah itu setelah puas memainkan seruling. "Perutku
pun sudah kalap minta diisi."
Anak kecil itu beranjak turun
dari dahan pohon, dan berniat pergi ke desa terdekat untuk mencari makanan. Apa
pun caranya, yang penting perutnya bisa terisi.
Di kotaraja atau di
pasar-pasar desa, bocah itu dikenal sebagai pengamen. Kepandaiannya memainkan
seruling, dimanfaatkan untuk mencari makan di warung kedai-kedai. Alunan
serulingnya yang begitu merdu, membuat para pengunjung kedai tak
sungkan-sungkan memberinya sekeping uang. Tak jarang pula, ada pengunjung kedai
yang tak sudi mendengar alunan serulingnya.
Kepandaian yang dimiliki bocah
itu adalah bermain sulap. Itu sebabnya, orang-orang seringkali menyebut-nya si
Bocah Ajaib
Tak berapa lama bocah itu
berjalan dan kini sudah tiba di Desa Dukuh. Hari ini, di desa itu memang sedang
ada hari pasaran. Di hari itu para pedagang secara serempak membuka usaha,
sehingga ber-duyun-duyun menuju pusat keramaian di alun-alun desa untuk
berbelanja atau mencari hiburan.
Maka kesempatan itu tak
disia-siakan si Kecil. Segera dia menuju arah alun-alun. Sambil ber-senandung
kecil, tubuhnya menyelinap di antara lalu lalang penduduk yang memenuhi tempat
itu. Cara melangkahnya tampak santai. Kedua tangannya diletakkan di belakang
tubuhnya. Sedang matanya yang bulat melirik ke sana kemari.
"Walet... Oi, Walet"
panggil seseorang dari balik kerumunan orang yang mengelilingi seorang penjual
keranjinan tangan.
Bocah itu menoleh ke asal
suara. Matanya menemukan seorang lelaki berusia empat puluhan dengan pakaian
amat sederhana. Bajunya ke-coklatan, dengan celana hitam sebatas betis.
Kepalanya yang ditumbuhi uban,
ditutupi blankon batik lusuh. Dari sinar matanya, tampak sekali kalau lelaki
berbadan agak kurus itu mengenali si Kecil yang dipanggil Walet.
Wajah lelaki itu tak bisa
disebut tampan, tapi tidak juga jelek. Bibirnya yang kehitaman karena terlalu
banyak merokok, selalu memperlihatkan keramahan.
Hidungnya tampak kecil, tak
sesuai dengan matanya yang agak besar.
"Ada apa, Kang
Sentana?" tanya Walet.
Walet. Sebuah nama yang
terdengar aneh. Bocah itu sendiri senang dengan namanya. Dia pula memberi diri
nama itu, setelah mengganti nama aslinya yang terdengar bodoh. Walet, ya, nama
sejenis burung bertubuh mungil. Bocah itu memang kagum dengan burung walet.
Terutama, pada kecerdikannya dalam mengarungi alam. Mampu meliuk-liuk di antara
karang tajam, sementara burung lain tak mampu melakukannya.
Sentana tiba di dekat Walet.
Sebelum menjawab pertanyaan tadi, kepalanya menoleh ke belakang takut-takut.
"Jiran datang, Let,"
bisik Sentana hati-hati sekali, seakan tak mau terdengar seorang pun.
"Jiran tengik itu?"
"Iya. Yang mana
lagi?"
Walet menggeleng-gelengkan
kepala. Wajah bocah itu tampak dongkol, menerima berita dari Sentana.
"Apa kutu busuk itu
memang sudah tidak punya muka?" desis Walet.
"Iya Padahal, seminggu
yang lalu kau sudah membuatnya malu di kedai Ki Soma," timpal Sentana.
Kurang lebih seminggu lalu,
orang yang sedang dibicarakan Walet dan Sentana memang telah dipermalukan anak
berjuluk Bocah Ajaib itu. Dengan kehebatannya mengelabui pandangan seseorang.
Walet mempermainkan lelaki
bernama Jiran. Bocah itu amat benci melihat perbuatan Jiran yang selalu memeras
rakyat lemah. Jiran kemudian ditantang untuk bertarung di tengah-tengah pasar.
Tentu saja tantangan itu amat membuat Jiran kalap. Padahal, dia adalah orang
yang paling ditakuti di Desa Dukuh.
Selama ini, tak ada seorang
pun penduduk berani menentangnya secara terang-terangan. Mendengar namanya
saja, mereka langsung merengket seperti siput. Tapi, ternyata Walet berani mengejeknya
habis-habisan.
Waktu itu, Jiran mengeluarkan
parangnya, lalu membabat perut Walet. Walet sendiri tak mencoba mengelak.
Akibatnya, perutnya sampai tersayat lebar.
Orang seisi pasar sudah
mengira, riwayat Walet akan segera tamat. Tapi kenyataannya, malah membuat
Jiran mendelik sejadi-jadinya. Dari luka sayatan di perut Walet, ternyata
ular-ular berbisa yang menjulur-julurkan kepala ke arah Jiran. Melihat hal itu,
Jiran lantas lari kocar-kacir. Selama ini, dia memang belum tahu kalau bocah
yang dihadapinya adalah anak lelaki yang memiliki kekuatan batin, sehingga,
mampu menipu mata seseorang.
***
"Jadi bagaimana,
Let?" tegur Sentana ketika melihat bocah lelaki itu tercenung.
"Aku tidak mau dia
terus-terusan memeras rakyat, Kang," jawab Walet tegas.
"Jadi?"
"Kali ini aku harus
membuatnya benar-benar kapok" tandas Walet, geram.
Tangan Sentana bergerak
memukul udara.
Wajahnya tampak bersemangat
setelah mendengar ucapan Walet barusan.
"Aku setuju, Let Biarpun
kau jauh lebih muda dariku, tapi kau amat cocok menjadi sahabatku," puji
Sentana, berbinar-binar.
"Mari, Kang," ajak
Walet.
"Ke mana, Let?"
"Katanya mau kasih
pelajaran sama Jiran tengik itu?" tukas Walet.
"Ah Aku sih tunggu di
sini aja, Let. Kau sendirilah yang datangi kutu kupret itu...," sergah
Sentana seraya cengar-cengir.
"Takut?" seloroh
Walet.
"O, tidak.... Tidak. Tapi
kan, kalau parangnya tersangkut di leherku terasa sakit sekali, Let...."
Walet tertawa kecil.
"Iyalah, Kang," ujar
bocah itu seraya melangkah ke arah Jiran. Tak beberapa jauh dari tempat Walet,
Jiran tampak sedang membuat onar. Seorang pedagang buah semangka berdiri
ketakutan di hadapan Jiran. Seperti biasa, lelaki itu tengah memungut pajak
liar dari para pedagang. Dengan terpaksa, beberapa pedagang memberi apa yang
diminta Jiran, kalau tidak ingin mendapat perlakuan kejam.
Tapi tampaknya lain bagi si
pedagang semangka.
Dia bukannya tidak ingin
memberi. Namun karena hari ini, dagangannya belum terjual sebuah pun.
Maka, dia tak bisa memberi
uang pada Jiran.
"Aku benar-benar belum
punya uang, Den.
Daganganku belum terjual.
Maklum, musim hujan,"
ucap lelaki pedagang semangka,
memelas.
"Aku tak peduli,"
hardik Jiran kasar.
Laki-laki bertampang kasar itu
berdiri angkuh dengan tangan di pinggang. Perawakannya tidak tinggi, tapi
terbilang kekar. Bajunya hitam bergaris-garis putih. Bagian dadanya yang tak
tertutup memperlihatkan bulu-bulu lebat. Celananya hitam, memanjang hingga mata
kaki. Pinggangnya terlilit sabuk kulit lebar sebagai tempat parang. Matanya agak
menukik dengan kelopak mata terlipat ke dalam. Alis mata lelaki itu setebal
brewok yang tumbuh di dagunya. Hidungnya besar dan bibirnya tebal.
"Kau mau beri aku uang
apa tidak? Atau ku acak-acak daganganmu ini" ancam Jiran. Matanya
mendelik, seperti hendak keluar.
"Ampun, Den. Jangan
diacak-acak daganganku...,"
pinta pedagang semangka
memelas.
"Aaah, tai kucing"
Baru saja Jiran hendak
menendang peti
semangka.... Tiba-tiba
terdengar bentakan bocah kecil yang nyaring.
"Hey, Bajingan"
Jiran kenal suara itu.
Ingatannya langsung kembali pada kejadian seminggu lalu, yang membuat dirinya
kehilangan muka karena telah dipecundangi oleh seorang bocah kecil. Ketika
menoleh ke asal suara, dilihatnya Walet sedang berdiri menantang, tujuh tombak
dari tempatnya.
"Kau...," desis
Jiran geram.
"Ya, aku" sahut
Walet gagah. "Apa kau belum kapok dengan pelajaran kecil yang kuberi
padamu?"
Wajah Jiran merah padam
mendengar ucapan Walet. Sungguh memalukan kalau seorang yang amat ditakuti di
desa ini mendapat bentakan dari anak ingusan. Tentu saja Jiran tak mau kejadian
memalukan seminggu lalu terulang lagi.
"Mau apa kau, Bocah
Sialan?" kata Jiran, dingin dan datar.
Tak terlihat tanda-tanda kalau
lelaki itu takut terhadap Walet. Tampaknya, dia sudah siap menghadapi keanehan
yang mampu diperlihatkan si Bocah Ajaib.
"Tak banyak yang
kumau," ucap Walet. "Aku hanya ingin kau tak mengusik-usik para
pedagang lagi...."
"Apa? Hua ha ha... Kau
mimpi, Bocah"
"Tidak. Justru aku akan
menjadi mimpi burukmu, kalau kau tidak mau pergi dari sini," ancam Walet
tanpa kenal rasa takut sedikit pun.
"Ooo, kau mau
memperlihatkan kebolehanmu bermain sihir padaku? Silakan.... Kau pikir aku akan
tertipu lagi?" ledek Jiran, mencibir.
Walet melangkah lebih dekat ke
arah Jiran. Tak ada kesan keragu-raguan pada gerak kakinya. Bahkan matanya
menatap lurus-lurus ke mata Jiran yang mampu membuat ciut nyali para penduduk
lain.
"Kau menduga aku tidak
bisa menipumu lagi seperti waktu itu? Benar. Aku tidak bisa menipumu lagi. Tapi
aku akan membuatmu lari terkencing-kencing, lelaki bernyali kodok" cemooh
Walet, berusaha memancing kegusaran lawannya.
Jiran terpancing. Tapi,
tampaknya belum cukup untuk membuatnya kalap. Hanya saja wajahnya yang terlihat
makin terbakar merah dan tangannya terus meremas-remas gagang parang.
"Nah Lebih baik, kau
segera pergi dari sini. Kau tak mau kujadikan kodok buduk, kan?" cecar
Walet, lebih keterlaluan.
Kali ini, cemoohnya berhasil
mencukil harga diri Jiran. Lelaki bertampang sangar itu merasa ubun-ubunnya
hendak dijebol aliran darah panas yang mendadak mendesir keras.
"Bajingan...," rutuk
Jiran. Sisi rahangnya mengeras, memperdengarkan gemelutuk gigi-giginya yang
beradu geram. "Kucincang kau, Bocah Keparat"
"Kau mau cincang aku? Ayo
Cincang bagian mana yang kau suka" tantang Walet seraya mengangkat dagu
tinggi-tinggi.
Bagi bocah itu bersikap angkuh
pada manusia bejat seperti Jiran memang mesti dilakukan. Orang yang tak pernah
memperlakukan manusia seperti manusia, pantas diperlakukan layak anjing
geladak.
"Hiaaa"
Berbareng satu lengkingan
merobek angkasa, Jiran meluruk ke arah bocah kecil itu. Tak ada lagi rasa malu
menghadapi lawan yang jauh lebih kecil darinya. Karena pada dasarnya, dia
sendiri memang sudah tak punya rasa malu lagi. Parangnya menciptakan bunyi yang
menggidikkan manakala ditarik dari pinggangnya.
"Hih"
Bet
Satu tebasan dilepaskan Jiran
dengan kejamnya.
Senjatanya yang setiap hari
diasah itu berkelebat di udara, bersama sinar pantulan matahari. Leher kecil
Bocah Ajaib adalah sasaran pertama.
Tes
"Aaakh..."
Dalam sekerdipan mata, leher
Walet terpenggal diiringi desahan kesakitan. Kepala kecilnya yang terlontar
dari tubuh, lalu menggelinding di atas tanah berlumpur.
Siapa pun yang menyaksikan
kejadian itu akan bergidik ngeri. Lain halnya Jiran. Lelaki bengis itu tak puas
dengan tebasan pertama. Dia tidak ingin tertipu lagi, seperti kejadian minggu
lalu. Maka parangnya kembali diayunkan setengah tenaga.
Bet
Tes
Tebasan susulan Jiran,
membabat bahu Walet hingga tangan kanannya putus. Sebelum tubuh Walet yang tak
utuh terpuruk di jalanan pasar, Jiran mengayun sekali lagi parang haus
darahnya.
Sing
Bret
Dada bocah kecil itu kontan
terbelah dengan luka menganga lebar. Tepat ketika Jiran mendengus garang, tubuh
Walet yang tanpa kepala dan lengan lagi ambruk diiringi bunyi berdebam. Darah
sudah terpercik ke mana-mana. Warna merahnya menodai jalanan berlumpur.
Sebagian mengalir lambat dalam genangan air sisa hujan tadi malam di sisi
jalan. Sementara itu para panghuni pasar tak sanggup melihat kejadian ini lebih
lama. Perbuatan Jiran memang lebih telengas daripada pembantaian yang pernah
mereka lihat di mana pun. Beberapa wanita yang melihat bahkan menjerit
sejadi-jadinya. Bahkan ada yang langsung tak sadarkan diri, menyaksikan
kebiadaban ini.
Tak lama, dari balik
kerumunan, seseorang menyeruak. Langsung ditubruknya tubuh Walet yang
mengenaskan. Lelaki kebodoh-bodohan itu adalah Sentana yang begitu akrab dengan
Walet.
"Walet Walet" seru
Sentana, sesegukan.
Sambil mendekap, Sentana
menangis meraung-raung seperti anak kecil kehilangan boneka kesayangan.
"Ini salahku. Let. Kalau
saja aku tak mem-beritahukanmu tentang kedatangan lelaki iblis itu, tentu kau
tak akan bernasib senaas ini," desah Sentana lirih di antara isak tangis.
Sementara itu, Jiran berdiri
sombong tak jauh dari tempat Sentana. Tangannya sibuk membersihkan parangnya
yang bernoda darah. Sambil memperdengarkan tawa puas tak henti-hentinya,
seperti tingkahnya jika sedang menang judi.
"Hua ha ha... Dikira aku
tidak memiliki persiapan jika harus menghadapinya lagi," kata Jiran
lantang.
Seakan-akan, dia memberi
pemberitahuan pada setiap teIinga di pasar itu, bahwa dirinya tidak bisa
dipermainkan lagi.
Usai memasukkan senjata ke
dalam sarungnya kembali, Jiran mengeluarkan sesuatu dari balik ikat pinguang
lebarnya.
"Kalian lihat ini"
seru Jiran pada seisi orang pasar, seraya mengangkat tinggi-tinggi sesuatu di
tangan kanannya.
Seketika orang-orang yang
berkerumun mengarahkan pandangannya pada tangan kanan Jiran.
"Aku sudah mencari tahu
tentang bocah itu seminggu belakangan ini. Setelah kutahu kalau dia memiliki
kekuatan sihir, aku pun mencari dukun yang mampu mematahkan kekuatan gaibnya.
Dan ini...."
Jiran menggoyang-goyangkan
bungkusan kecil dari kain hitam di tangannya.
"Ini adalah pemberian
dukun itu. Jimat hitam yang dapat melumpuhkan kekuatan bocah sialan ini. Ha ha
ha..."
Tawa Jiran yang penuh
kemenangan bergetar, menggema ke segala arah.
"Jadi kalian sudah tak
bisa berharap perlindungan dari bocah dungu ini lagi," sambung laki-laki
bertampang seram itu seraya memasukkan jimat hitam tadi ke dalam bajunya.
Setelah puas tertawa, Jiran
melangkah pergi meninggalkan tempat itu diiringi seringai kepuasan Tinggal
penghuni pasar dan Sentana yang terus menangisi kemalangan nasib Walet.
*** 2
Sementara Jiran telah
menghilang di ujung jalan, Sentana masih terduduk di jalan becek. Tidak
dipedulikan lagi pakaiannya yang dikotori lumpur.
Kematian mengerikan yang
menimpa Walet terus ditangisinya. Sedangkan, orang seisi pasar berkerumun di
sekitarnya dengan wajah ngeri bercampur kasihan melihat nasib bocah malang itu.
Sampai hujan rintik-rintik
mulai turun, mereka tetap terpaku bisu di tempat masing-masing. Tak ada sepatah
kata pun ingin dikeluarkan. Mereka bukannya tidak mau menghibur Sentana, karena
begitu terguncang dengan pembantaian brutal di depan biji mata. Dan mereka
hanya terdiam mem-bisu.
Tak ada seorang pun yang
berani menjatuhkan pandangan pada jenazah Walet. Kengerian telah mendepak mata
mereka ke tempat lain, meski masih terpaku di sana.
Bagi orang-orang pasar, Walet
memang teman kecil yang menyenangkan. Bocah itu tak hanya mampu menghibur hati,
tapi juga selalu menolong siapa saja yang butuh uluran tangannya. Di antara
mereka bahkan sudah menganggap adik atau anak sendiri. Pada saat Jiran mengamuk
tadi inginnya mereka turun tangan. Tapi apa daya? Mereka memang tak memiliki
daya dalam menghadapi lelaki kejam itu.
Sekian lama mereka terdiam
dalam siraman gerimis, bagai sekumpulan area. Sampai akhirnya.... "Yhiaaa
Walet brengsek Anak sialan"
Seketika kerumunan orang pasar
itu tersentak oleh teriakan Sentana. Dan mata mereka langsung terbelalak
serentak mendengar umpatan Sentana yang terdengar ganjil di telinga
"Apa-apaan ini? Apa Sentana kemasukan setan?" tanya hati masing-masing.
Dan keheranan mereka terjawab seketika, saat tangan Sentana mengangkat tubuh
kaku Walet yang kini telah berubah menjadi batang pohon pisang. Begitu juga
kepala dan tangan bocah itu.
Berbarengan, para penghuni
pasar berseru gembira. Tak pernah terpikirkan kalau Walet masih mampu
mempermainkan Jawara Desa Dukuh.
Padahal, Jiran telah sesumbar
kalau memiliki jimat hitam yang mampu mematahkan kekuatan si Bocah Ajaib itu.
"Walet Walet Ke mana kau,
Bocah Brengsek?"
seru Sentana seraya bangkit.
Mata laki-laki itu yang masih
tampak berair, kini berbinar-binar diliputi kegembiraan.
"Walet Sembunyi di mana
kau?" teriak Sentana.
Sentana mencari-carinya Walet
di antara
kerumunan orang pasar. Tapi
meski menyeruak ke sana kemari, bocah kecil itu tak juga ditemukan.
***
Sementara itu jauh dari pasar,
seorang anak tengah duduk santai di atas dahan pohon yang tumbuh di sisi jalan
setapak. Dia tak lain Walet, bocah sakti yang baru saja mengecoh Jiran.
Jemarinya terus memainkan seruling, seperti tak pernah terjadi apa-apa
sebelumnya.
Sengaja Walet duduk di sana,
karena ada seseorang yang ditunggunya. Tentu saja orang yang dimaksud adalah
Jiran. Walet amat tahu, lelaki itu akan melintasi jalan tempatnya menunggu.
Jalan ini memang biasa dilewati, jika Jiran hendak pulang ke tempat tuan tanah
Sumpena, majikannya.
Tak lama Walet menunggu. Kini,
Jiran tampak melintas tepat di bawah dahan tempat Walet duduk.
Lelaki bertampang kasar itu
melangkah tenang.
Bibirnya memperdengarkan
siulan berirama kacau, seakan prajurit menang perang.
Dan ketika mendengar tiupan
seruling dari atas pohon yang menurut cerita penduduk setempat amat angker,
Jiran menghentikan langkah sekaligus siulannya. Desas-desus tentang dedemit
yang ber-sarang di pohon itu, berseliweran di benak Jiran. Dan seketika matanya
melirik tegang ke kanan dan kiri.
Sementara di atas dahan, Walet
bisa menangkap garis ketakutan di wajah Jiran. Memang, biarpun sanggup berlaku
bengis, Jiran amat percaya pada takhayul. Betapa takutnya dia, jika
membayangkan bentuk genderuwo yang suka mengunyah jantung manusia. Dan Walet
tahu akan ketakutan laki-laki itu.
Maka, ada baiknya
dimanfaatkannya kepercayaan Jiran pada takhayul.
"Jiran...," desah
Walet dengan suara dibuat-buat.
Mendengar namanya disebut,
Jiran makin tegang.
Sebenarnya, laki-laki itu tak
begitu merasa takut melewati tempat ini bila siang hari. Terangnya sinar
matahari, membuatnya yakin kalau para dedemit tidak bakal gentayangan. Tapi
kalau hari sudah termakan senja, apalagi ditambah mendung gelap di langit
seperti itu? Jelas, jantungnya akan berdetak-detak keras bagai tabuhan gendang.
"Jiraaan..." Sekali
lagi Walet memperdengarkan suara berat.
Lebih keterlaluan lagi,
suaranya sengaja dibuat bergetar, seperti rintihan dari alam kubur.
Sedangkan lelaki bertampang
kasar di bawahnya mulai blingsatan. Kepalanya menoleh takut-takut ke satu sudut
paling gelap di dekat batang pohon sebesar kerbau itu. Napasnya pun mulai turun
naik tak teratur. Kemudian menyusul keringat dingin membasahi keningnya.
"Jiii... raaannnthhh...,"
goda Walet, kian dibuat seseram mungkin.
Sekejap, Jiran menghentikan
gerak tubuhnya.
Dipasangnya telinga
jelas-jelas, untuk menentukan asal suara mendirikan bulu roma yang tertangkap
telinganya. Yakin suara itu dari atas pohon, kepalanya segera mendongak.
Untunglah, lebatnya dedaunan
pohon mampu melindungi Walet. Sehingga, mata Jiran tak sempat menangkap
kehadirannya. Terlebih, hari sudah demikian sunyi. Sehingga membuat kepekatan
merayapi sekitarnya.
"Jirrraaannnthhh, aku
hauuusss. Aku ingin me-minum darahhhmuuu, Jiran. Dan aku juga lapar.
Jantungmu tentu amat lembut
bila kukunyahhh...."
Napas Jiran langsung terhenti.
Begitu pula detak jantungnya. Rasanya, dia bisa mati berdiri tanpa darah di
wajahnya. Wajahnya benar-benar menjadi pucat melebihi mayat.
Saat berikutnya....
Srak
Walet tiba-tiba membuang
tubuhnya ke bawah.
Gesekan dengan dedaunan yang
menimbulkan suara cukup keras, membuat Jiran tersentak bukan alang kepalang.
Dan ketika matanya menangkap sesosok tubuh melayang dari atas pohon, kontan
saja kedua kakinya yang sudah sejak tadi bergetar hebat bergerak. Lelaki bengis
berhati kodok itu kontan lari tunggang langgang.
"Wuaaa, ampun Mbah
Jantungku jangan dimakaaan" jerit laki-laki bertampang seram itu amat
keras.
Tanpa menoleh sedikit pun,
Jiran terus lari sampai tubuhnya menghilang di ujung jalan setapak.
Sepeninggaran Jiran, Walet
kontan tertawa terbahak-bahak. Perutnya bahkan sampai terasa sakit, melihat
kejadian lucu tadi.
Plok Plok Plok
Tiba-tiba tawa bocah kecil itu
terpenggal oleh tepukan seseorang. Masih dengan wajah merah menahan geli, Walet
cepat menoleh. Dilihatnya seorang pemuda gagah dan tampan berdiri tak jauh dari
tempatnya. Pemuda berpakaian hijau muda itu dipundaknya tersampir kain bercorak
catur.
Sementara, rambutnya yang
panjang sebahu tak teratur, membuat penampilannya makin terlihat gagah.
"Siapa Kakang ini?"
sapa Walet sopan.
"Aku Andika. Kau
siapa?" sahut pemuda itu, tak kalah ramah.
Siapa lagi pemuda ini kalau
bukan Andika, yang kesohor dengan julukan Pendekar Slebor.
Keduanya kemudian saling
berjabatan tangan dengan hangat. Sesaat kemudian keduanya terlibat percakapan
ringan sambil melangkah beriringan.
*** Di sebuah pondok
terbengkalai di pinggir desa tampak dua orang berbeda usia sedang bercakap-cakap.
Suara mereka lamat-lamat menembus curahan hujan gerimis di luar pondok. Dan
mereka memang Walet dan Andika.
Keduanya tampak akrab bertukar
cerita setelah tadi berkenalan. Andika sudah memperhatikan seluruh sepak
terjang Walet sejak di pasar. Pemuda itu terkesan melihat keberanian bocah
kurus ini dalam membela orang lemah terhadap tangan kejam Jiran. Makanya, Pendekar
Slebor tertarik untuk mengenal lebih jauh. Seperti juga Sentana, Andika pun
merasa tidak ada salahnya bersahabat dengan seseorang yang usianya jauh lebih
muda. Nilai sebuah persahabatan, toh tak bisa hanya dinilai dengan perbedaan
usia.
Secara jujur, Andika mengakui
kalau
ketertarikannya pada Walet,
dikarenakan ada kesamaan sewaktu kecil dulu. Mereka sama-sama gelandangan, tak
memiliki siapa-siapa. Dan mereka merasa senasib hingga persahabatan itu sudah
seperti keluarga sendiri. Dan mereka pun sama-sama tak sudi melihat
ketidakadilan, kesemena-menaan, dan kekejaman yang terjadi di depan mata.
Bedanya, Andika kecil memilih jalan menjarahi pundi-pundi uang milik para
penguasa lalim. Sedangkan Walet menentang orang-orang lalim dengan kekuatan
batinnya.
"Jadi, Kang Andika tak
tertipu oleh kekuatan batinku?" tanya Walet seraya merapatkan kain pusaka
pinjaman Andika ke tubuhnya.
Andika mengangguk.
"Aku juga tidak mengerti,
kenapa orang lain tertipu sedang aku tidak," jawab Andika. "Mmm,
mungkin karena Kakang memiliki hati bersih," duga Walet.
"0, ya?"
"Bersihnya hati Kakang
Andika, karena berpegang teguh pada kebenaran sebagai amanat Tuhan.
Keimanan pada Tuhan, tidak
membuat orang mudah terpengaruh sesuatu...," tutur Walet.
Mendengar ucapan bijaksana bocah
kecil di depannya, Andika tertawa renyah. Dikucek-kuceknya rambut Walet seperti
sikap seorang kakak pada adiknya. Andika tidak bermaksud meledek Walet. Dia
tertawa, karena merasa tak percaya kalau ucapan penuh makna tadi terlontar dari
bibir seorang anak sebelas tahun.
"Kau anak yang hebat.
Let" puji Andika tulus.
"Ah, masa? Setiap orang
bisa berkata seperti itu, Kang. Asal dia bisa memperhatikan hidup yang
dijalaninya," sergah Walet, menghindari pujian Andika.
Lama keduanya berbincang
simpang siur, berbagai kisah duka atau suka. Namun....
"Tunggu, Let...,"
tukas Andika tiba-tiba.
Mata pemuda itu menyipit dan
terarah ke tempat yang cukup gelap di depannya. Seolah dia hendak menembus
rintik-rintik gerimis di luar.
"Ada apa, Kang?"
tanya Walet heran.
"Aku melihat seorang
berdiri di sana tadi. Kau tunggu saja di sini. Aku ingin menyelidikinya,"
ujar Andika seraya beranjak dari pondok tua ini.
Tanpa mempedulikan kepungan
hujan, Andika berlari menuju tempat seseorang yang dilihatnya tadi.
Wajar saja jika kecurigaannya
timbul, karena tidak biasanya seseorang berdiri di bawah curahan gerimis dan
kungkungan udara dingin. Begitu cepat Andika berkelebat, sehingga sebentar saja
tubuhnya tiba di tempat tujuan. Namun ternyata di situ Andika tidak melihat
orang tadi. Bagi pemuda itu, hal ini tergolong aneh. Bagaimana tidak? Tempat
itu berupa padang rumput luas, yang tidak memungkinkan seserang bersembunyi.
Satu-satunya tempat bersembunyi, hanya pohon besar di dekatnya.
Tapi ketika seluruh penjuru
pohon diawasi, tidak juga diketemukan orang yang dicari.
"Apa mungkin dia
melarikan diri?" tanya hati Andika. "Ah Sepertinya tidak
mungkin"
Sewaktu mendekati tempat itu,
Andika telah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Di dunia persilatan,
kecepatan gerak warisan dari buyutnya yang berjuluk Pendekar Lembah Kutukan,
memang sulit dicari tandingan. Bila orang itu melarikan diri, tentu masih
sempat terlihat. Lalu kenapa tiba-tiba orang itu menghilang bagai menyatu
dengan desir angin malam?
"Aneh...," bisik
Andika, tidak mengerti.
Belum lagi keheranannya
terjawab, mendadak saja ada teguran lembut di belakang Andika.
"Tuan...."
Meski sapaan itu tak terdengar
keras, Andika tetap tersentak. Lagi-lagi benaknya digerayangi keheranan.
Kenapa tiba-tiba pula orang
itu muncul lagr? Tak ada suara sekecil apa pun yang tertangkap telinga Andika.
Bahkan desah napasnya
sekalipun.
Dengan gumpalan keheranan
dalam benaknya, Andika menoleh ke belakang. Tampak seorang wanita cantik nan
anggun berdiri tepat dua tombak di dekatnya. Saat mata Andika bertumbukan
dengan wajahnya, pendekar muda itu menjadi terpukau. Tak pernah dalam hidupnya
wajah secantik itu dilihatnya. Kulitnya putih agak berpendar terang, meski
suasana saat ini dirundung gelap. Matanya berhias bulu-bulu lentik, seolah
menggapai langsung ke hati Andika.
Hidungnya bangir dan bibirnya
merekah merah delima. Rambutnya yang hitam legam sebatas pinggang, terurai bak
hamparan permadani surga.
Tubuhnya yang tinggi sintal
diselimuti gaun kuning rembulan.
Andika menarik napas
dalam-dalam, mencoba menguasai getaran asing yang mendadak menyeruak dalam
relung batinnya.
"Dia benar-benar
sempurna...," desah Andika tak sabar.
"Tuan...," sapa
wanita itu sekali lagi.
Andika terkesiap dari
keterpesonaannya. Sambil mengutuki dirinya yang bersikap seperti orang bodoh,
bergegas dilontarkannya senyum ramah. Namun yang terlihat di bibirnya ternyata
lebih mirip ringisan seekor kuda pikun. Maklum saja, dia begitu kikuk.
"Kau..., kau ini
siapa?" tanya Andika, agak tergagap.
Tak, terdengar jawaban dari
bibir wanita cantik itu, kecuali membalas senyum Andika dengan keranuman
bibirnya. Sehingga, memaksa jantung Andika kian berdetak tak karuan.
"Ng..., anu kau. Kau
belum menjawab pertanyaanku tadi, kan?" kata Andika.
"Tolong aku, Tuan
Pendekar," pinta wanita itu, tak sedikit pun menjawab pertanyaan Andika
sebelumnya.
Sepasang alis sayap elang
pemuda gagah itu bertaut.
"Tolong? Tolong
bagaimana?" bisik batin Andika lagi. "Bencana itu..., bencana itu.
Aku terpaksa melakukannya. Tolong aku, Tuan Pendekar," lanjut wanita
cantik itu, makin membingungkan Andika.
"Tunggu dulu, Dik.
Bisakah kau jelaskan padaku satu persatu?" tanggap Andika sambil
menggaruk-garuk kepala. Matanya kali ini menangkap bias kemurungan di wajah
wanita itu.
Cukup lama Andika menunggu
jawaban, tapi wanita di hadapannya tetap tertunduk dalam-dalam.
Andika menggeleng-geleng
kepala. Dan saat menggeleng, matanya terlempar ke arah lain.
"Bagaimana aku
bi...."
Andika tak melanjutkan
ucapannya, karena begitu matanya kembali pada wanita itu, dia tak menemukan
siapa-siapa lagi.
"Hei.... Ke mana
kau?" panggil Andika.
Seketika Andika menyadari
sesuatu yang ganjil.
Ternyata wanita itu menghilang
begitu saja dalam waktu demikian singkat Padahal, Andika hanya sempat mengalihkan
pandangan saat menggeleng.
Maka saat berikutnya bulu roma
Andika meremang.
"Siapa wanita itu?"
bisik pemuda itu amat samar.
*** 3
Wilayah Kadipaten Karangwaja
yang luas, terbentang dari kaki Gunung Srandil di sebelah timur hingga Pesisir
Pantai Laut Selatan. Di kadipaten itu berdiri empat perguruan besar.
Masing-masing Perguruan Elang Hitam di wilayah timur, Perguruan Tangan Wesi di
sebelah barat, Perguruan Naga Langit di wilayah selatan, dan Perguruan Ular
Iblis di wilayah utara. Dari keempat perguruan ini, hanya Perguruan Ular Iblis
yang kerap kali menimbulkan masalah di kadipaten itu.
Kadipaten yang yang dipimpin
Adipati Tunggul Manik ini sering dibuat susah oleh para murid Perguruan Ular
Iblis yang melanggar hukum.
Kerusuhan sering diciptakan di
beberapa kampung.
Tabiat ugal-ugalan dan
semena-mena adalah hal biasa bagi murid perguruan itu. Untuk melakukan
penangkapan, para prajurit kadipaten malah dibuat kewalahan. Karena,
murid-murid perguruan itu rata-rata memiliki ilmu kesaktian tinggi
Dengan alasan inilah, Adipati
Tunggul Manik berulang kali mengirim utusan ke tiga perguruan lain, untuk
memohon bantuan mengatasi sepak terjang Perguruan Ular Iblis. Meski begitu,
persoalan demi persoalan yang ditimbulkan para murid Perguruan Ular Iblis tak
kunjung selesai.
Seperti halnya hari ini, dua
lelaki dari Perguruan Ular Iblis terlihat memasuki gerbang desa. Keduanya
berpakaian serupa. Rompi merah tua dengan rajutan ular bertaring besar di
bagian belakangnya. Pakaian itu masih dipadu dengan celana panjang warna
kelabu. Kepala mereka diikat kain merah bergambar lambang perguruan, seperti di
baju bagian belakang yang dikenakannya. Kegagahan tampak pada kedua lelaki muda
berwajah tampan itu. Sayang, sinar mata mereka berbinar culas.
Mereka terus melangkah angkuh,
memasuki jalan desa yang lengang siang ini. Tak heran, karena para penduduk
yang terutama laki-laki sedang pergi ke sawah. Sedangkan para wanitanya sedang
memper-siapkan makan siang untuk dibawa ke sawah nanti.
Ketika kedua lelaki itu
melewati jembatan bambu yang membelah anak Sungai Lanang, seorang gadis desa
berwajah cantik dan bertubuh molek kebetulan melintasi jembatan pula. Maka
ketiganya berpapasan di tengah jembatan bambu.
"Ada anak kelinci, Kang
Wisesa," seloroh lelaki yang berwajah lebih muda.
"Anak kelinci yang montok
dan manis, Karta,"
timpal laki-laki yang
dipanggil Wisesa seraya terbahak-bahak keras.
Sedangkan gadis desa yang
digoda menjadi tersurut ketakutan ke sisi jembatan. Matanya mem-beliak ngeri,
mendapati seringai nakal Karta dan Wisesa. Dia berniat lari menerobos sisi kiri
jembatan, tapi Wisesa dengan sigap menghalang-halanginya.
"Kenapa terburu-buru,
Nyai?" tanya Wisesa. "Apa tidak sebaiknya kita berkenalan dulu? Siapa
namamu?
"Marni," sahut gadis
itu, cepat.
"Marilah, kita
ngobrol-ngobrol dulu," ajak Karta.
Marni menggelengkan kepala.
Rambutnya yang panjang tergerai bergoyang-goyang mengikuti irama gelengan
kepalanya. "Maaf, aku terburu-buru, Kang. Mau ngantar makanan buat Ayah di
sawah," tukas Marni, berusaha menolak ajakan Wisesa.
"Aaah Hanya ngobrol saja
kan tidak lama," selak Karta sambil menjulurkan tangan untuk menjamah
pangkal lengan Marni.
"Tapi, Emak sudah
menunggu di rumah. Masakan buat Ayah pasti sudah matang," tolak Marni lagi
seraya berusaha mundur, menghindari tangan liar Karta dengan wajah mulai
memucat.
Merasa usahanya untuk
melintasi jembatan sia-sia, Marni perlahan-lahan melangkah mundur.
Pikirnya, lebih baik kembali
ketimbang harus berurusan dengan dua lelaki hidung belang ini. Terlebih, dia tahu
kalau mereka adalah anggota Perguruan Ular Iblis, biang kekacauan di Kadipaten
Karangwaja.
Melihat Marni siap-siap
melarikan diri, Karta mendekatkan wajahnya pada telinga Wisesa.
"Kang, mumpung tidak ada
orang. Bagaimana kalau kita bawa lari perempuan ini?" bisik Karta, memberi
usulan.
Wisesa melirik kawannya
sesaat. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Yang pasti, bibirnya menyeringai
jalang. Setelah itu, kepalanya mengangguk, memberi persetujuan atas usul Karta
tadi.
Marni tahu, gelagat itu tidak
baik. Ia memang sering bertemu orang-orang seperti Karta dan Wisesa yang selalu
memperlihatkan tingkah mencurigakan jika menyimpan niat busuk pada dirinya yang
menjadi kembang desa.
Menyadari hal ini, Marni
segera berbalik, dan lari sekuat tenaga di atas jembatan bambu. Sehingga,
membuat jembatan itu bergoyang-goyang bersama suara berderit. "Mang,
kejar" seru Karta setengah berteriak, dan langsung mengejar Marni.
Saat berikutnya, Wisesa pun
mengejar gadis itu.
Tiga orang berlari di atas
jembatan, mengakibatkan kerangka bambu itu nyaris roboh. Deritnya riuh, seperti
oleng ke kiri dan kanan, sehingga Marni terhuyung-huyung.
Sementara di bawah sana, anak
sungai berbatu sebesar kerbau siap menanti. Bagi Karta maupun Wisesa, jarak
setinggi tujuh tombak dari jembatan ke permukaan sungai bukan masalah. Dengan
tingkat meringankan tubuh yang mereka miliki, ketinggian yang lebih dari itu
pun sanggup ditaklukkan.
Tapi buat Marni, yang tak
memiliki ilmu bela diri sekalipun? Ancaman terenggut maut di atas batu besar
bisa saja menimpa dirinya.
Rasa bingung Marni membuat
keseimbangan
tubuhnya tidak bisa terkuasai
lagi. Tubuhnya oleng ke kiri, langsung melanggar sisi jembatan dari bilah bambu
memanjang. Dorongan tubuhnya yang begitu keras, menyebabkan bambu di sisi jembatan
tak kuasa menahannya.
Krak
Bambu sisi jembatan itu patah,
dan....
"Aaa..."'
Tak ayal lagi, Marni terlempar
ke bawah. Jeritan melengking yang terdengar menyayat keluar dari
tenggorokannya, sehingga tercipta gema ke setiap penjuru, seperti panggilan
maut.
"Bodoh Kenapa tidak
menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menangkapnya?" bentak Wisesa
menyesali keterlambatan Karta mengejar gadis desa itu.
"Mak..., maksudku tadi
hanya ingin mempermain- kan dia, Kang," jawab Karta tergagap.
"Tapi akibatnya dia jatuh
ke sana" hardik Wisesa kembali seraya menunjuk ke anak sungai. Di sana,
tubuh Marni tergolek tanpa bergerak sedikitpun setelah menghantam permukaan
sebongkah batu besar.
"Jadi apa harus
diperbuat, Kang? Apa penduduk kampung bakal tahu?" tanya Karta,
tertunduk-tunduk.
"Goblok Aku memarahimu
bukan karena takut pada penduduk kampung"
"Jadi apa, Kang?"
"Karena kita tak jadi
menikmati tubuh gadis cantik itu"
"Ooo, aku kira apa. Kalau
itu sih, aku juga menyesal, Kang," tukas Karta seraya meringis-ringis
takut.
"Ayo kita pergi Aku tak
ingin buang-buang tenaga jika penduduk desa tahu kejadian ini...," ajak
Wisesa pada Karta.
Keduanya baru hendak melangkah
tapi segera diurungkan. Karena, mata mereka menemukan seseorang berdiri di
ujung jembatan. Tangannya terlipat di depan dada, seperti menantang Karta dan
Wisesa.
"Siapa kau?" bentak
Wisesa kasar. Sikap orang itu membuat dirinya merasa ditantang secara tak
langsung.
Bentakan itu sama sekali tidak
digubris lelaki yang baru datang. Malah matanya menatap terus kedua orang murid
Perguruan Ular Iblis itu tajam-tajam.
Jemari tangan kanannya
terlihat menepuk-nepuk lengan yang lain.
"Hey, aku bicara
padamu" bentak Wisesa sekali lagi. Suaranya terdengar makin meninggi.
Bukannya menyahut, pemuda berpakaian hijau dan tersampir kain bercorak catur
pada pundaknya itu malah menoleh ke belakang. Seolah seruan itu ditujukan pada
orang di belakangnya. Tentu saja perbuatan ini kian membuat Wisesa dongkol.
"Aku bicara padamu,
Goblok" maki Wisesa dengan wajah matang.
Sekali lagi si Pemuda menoleh
ke belakang. Lebih menjengkelkan lagi, badannya dibalikkan pula.
Dengan membelakangi Karta dan
Wisesa, bahunya diangkat.
"Apa orang itu sudah
sinting? Tidak ada siapa-siapa di belakangmu, kok teriak-teriak seperti
itu...?"
Meski tidak terlalu keras,
ucapannya tetap dapat ditangkap telinga Wisesa. Kontan saja wajah lelaki itu
menjadi tertekuk beringas. Pangkal hidungnya terlipat. Sedang bibir atasnya
terangkat, seperti mulut kera sedang marah.
Saat itulah pemuda tadi
berbalik menghadap mereka. Wajahnya terperangah, melihat mimik muka Wisesa.
Sepasang alisnya terangkat, seperti orang ketakutan.
"Astaga, jadi orang itu
benar-benar sinting...," ujar pemuda itu agak keras.
"Bangsaaat" maki
Wisesa tak alang kepalang murka.
Siapa yang sudi disebut orang
sinting? Begitu marahnya Wisesa, sampai-sampai seluruh urat lehernya tersembul
ketika memaki.
Sementara Karta di belakangnya
malah tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kejengkelan kawannya. Apalagi jika
teringat ucapan si Pemuda yang menganggap Wisesa orang gila.
"Tolong Tolooong, ada dua
orang sinting di jembatan" teriak pemuda berpakaian hijau itu selanjutnya.
Tawa meriah Karta terputus
seketika mendengar teriakan tadi. Jelas, perasaannya ikut tersinggung. Itu artinya
dia juga dianggap sinting Dan wajahnya pun tertular wajah jelek Wisesa....
"Kita hajar saja dia,
Kang," usul Karta pada Wisesa.
"Diam kau" bentak
Wisesa, kesal ditertawai Karta.
Dihampirinya pemuda yang
tampak berpura-pura ketakutan. Langkahnya terbanting-banting di jembatan bambu,
membuat getaran bagai ada gempa.
"Hei..., hei, hati-hati
Bambu-bambu itu sudah keropos" teriak pemuda gondrong yang ternyata
Andika, alias Pendekar Slebor seraya menjentik kulit bambu yang dikeratnya dari
sisi jembatan.
Keratan kulit bambu itu kontan
meluncur deras tanpa tertangkap mata Wisesa. Dan tiba-tiba saja menghantam
bagian jembatan yang hendak diinjak Wisesa.
Krak
Sebelah kaki Wisesa kontan
terperosok, begitu jentikan kecil Andika tadi disertai tenaga dalam tingkat
tinggi. Memang, bambu yang terkena kontan remuk. Sehingga, tak kuat menahan
bobot Wisesa.
"Kunyuk Kunyuk"
umpat Wisesa seraya bangkit terseok.
Wisesa memegangi selangkangan
yang terantuk potongan bambu. Sambil meringis menahan nyeri yang merasuk hingga
ke ulu hati, tangannya menunjuk ke arah Karta.
"Karta Tunggu apa lagi.
Goblok? Ayo singkirkan manusia pembawa sial itu" teriak Wisesa. Mendapat
teriakan Wisesa, Karta tersentak. Masih setengah terkejut, dia berlari menuju
Andika.
"Manusia siaaal..."
teriak Karta seraya mengayunkan tinju ke wajah Andika.
Di lain pihak, Pendekar Slebor
malah asyik senyum-senyum saja menantikan serangan. Padahal, Karta mengirim
pukulan beserta pengerahan tenaga dalam. Maka ketika tinju Karta hampir
mendarat di wajah, Andika segera menggenjot tubuh dengan pengerahan seluruh
kemampuan meringankan tubuhnya. Wesss
Tubuh Pendekar Slebor
tiba-tiba seperti menghilang dari pandangan Karta. Alhasil, pukulannya pun
melayang tanpa kendali. Tubuh lelaki gagah namun agak bodoh itu meluruk deras,
kemudian terjerembab di ujung jembatan. Lalu dengan segera Karta bangkit dengan
mata membesar sejadi-jadinya.
"Kang Cepat lari, Kang
Orang tadi barangkali prajurit Nyi Roro Kidul" jerit Karta pada Wisesa
yang menyaksikan juga peristiwa tadi.
Tak ada dua helaan napas,
keduanya sudah kocar-kacir kelimpungan. Sebentar saja, mereka sudah cukup jauh
meninggalkan jembatan bambu ini.
Menyusul menghilangnya dua
lelaki tadi, Andika muncul kembali.
"Walet Ayo kita teruskan
perjalanan" seru Pendekar Slebor ke arah sebatang pohon besar.
Dari balik pohon besar itu,
keluar Walet bersama Marni. Ya Marni memang tidak mati. Tubuhnya yang tergolek
di atas bongkahan batu sebenarnya, hanya batang kayu kering. Sudah pasti itu
hasil kerja Walet.
Memang, semula Pendekar Slebor
dan Walet hendak berkunjung ke beberapa desa untuk menemui sesepuhnya. Ini
karena Andika hendak menanyakan tentang bencana yang terjadi seperti disebutkan
wanita aneh yang ditemuinya beberapa malam lalu. Secara kebetulan, mereka melintasi
daerah itu dan menyaksikan Marni sedang dipermainkan dua lelaki tadi.
*** 4
Setelah Andika mengalami
kejadian aneh beberapa hari lalu, kepalanya tak habis-habisan berpikir tentang
wanita cantik yang ditemuinya di bawah sebatang pohon besar. Siapa dia?
Bagaimana dia bisa tiba-tiba hadir, lalu tiba-tiba pula menghilang?
Apa maksudnya meminta tolong?
Lalu, bencana macam apa yang dimaksudnya? Seruntun pertanyaan itu terus
bergaung di benak Andika.
Di mulut sebuah jendela kamar,
Andika terpekur.
Dicobanya memahami seluruh
ucapan wanita itu.
Lama dia begitu, namun tak
secercah jawaban pun yang didapat.
Setelah menolong Marni siang
tadi, Andika dan Walet mengantarnya pulang dan sampai di rumah.
Mereka berdua ditawari
bermalam oleh Nyi Saodah, ibunya Marni. Semula, Andika menolak karena masih
punya urusan. Terutama hendak mencari tahu makna pesan wanita cantik aneh itu
kepada beberapa sesepuh desa berbeda. Namun ketika hujan begitu saja mengguyur
bumi, mau tak mau diterimanya juga tawaran Nyi Saodah.
Mereka diperlakukan seperti
tamu kehormatan oleh keluarga Marni. Bukan karena telah berjasa menyelamatkan
Marni dari cengkeraman dua lelaki bejat siang tadi, tapi semata-mata karena
nilai-nilai tata krama dalam keluarga itu sendiri. Kendati demikian, kedua
orangtua Marni amat berterima kasih anaknya telah diselamatkan.
Andika dan Walet mendapat
kamar istirahat di rumah yang lumayan besar itu. Sejak lepas senja tadi, Walet
sudah tertidur pulas di balai dalam kamar.
Tampaknya, bocah itu terlalu
lelah setelah seharian berjalan bersama Andika.
Kini keadaan sepi. Suara hujan
di luar, menembus dinding bilik kamar. Sementara, angin basah singgah melalui
jendela tempat Andika merenung.
Sampai saat itu, hujan tidak
juga mau berhenti.
Dan ini agaknya membuat Andika
kesal karena urusannya jadi mandek. Namun biar bagaimanapun, dia harus menerima
perlakuan alam yang seperti ini.
Lagi pula, siapa yang bisa
menolak kehendak Tuhan untuk menurunkan hujan?
Lamat-lamat Andika bisa
menikmati suasana seperti ini. Sampai tiba-tiba berkelebat bayangan seseorang
di balik dinding bilik. Dari bentuk tubuhnya, diyakini kalau bayangan itu tubuh
seseorang wanita.
"Marni.... Kaukah
itu?" sapa Andika, menduga-duga. Tidak ada jawaban. Sementara, desah hujan
di luar masih terus terdengar.
"Marni...," ulang
Andika. Dugaannya, barangkali suaranya terlalu lemah untuk menembus hujan,
sehingga Marni tidak mendengar.
Tapi, tak juga ada sahutan.
Andika mulai curiga.
Dipasangnya pendengaran tajam-tajam, mencoba menangkap gerakan terkecil yang
mencurigakan. Tapi, justru matanya kembali menangkap kelebatan seseorang.
Anehnya, telinganya tidak menangkap suara sedikit pun
Entah kenapa, kuduk Andika
meremang hebat.
Padahal, dia belum menduga
yang bukan-bukan.
"Apa-apaan ini?"
desis Pendekar Slebor amat samar.
Andika jadi teringat wanita
cantik yang ditemuinya beberapa hari lalu. Saat itu, kuduknya pun meremang. Dan
kini, napas Andika seperti hendak terhenti karena tegang. Saat berikutnya....
Brak
Dinding bilik di depan Andika
jebol seketika, menciptakan suara keras mengalahkan keramaian hujan. Dan
tiba-tiba, seorang berambut panjang menerobos masuk. Dari arah terjangannya,
Andika tahu kalau orang itu hendak menyerang Walet.
Dengan sigap Andika
menghentakkan kakinya.
Tubuhnya cepat meluruk deras
ke arah orang yang baru masuk. Tak ada tindakan lain yang ingin dilakukannya
saat itu, kecuali menahan si penyerang agar tidak mendekati Walet.
Mendapati seseorang berusaha
menghalangi, sosok berpakaian merah-merah itu menghentikan gerakannya.
Sementara Walet yang mendengar
keributan, seketika terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap pedih, karena
terbangun tiba-tiba.
"Ada apa, Kang
Andika?" tanya Walet setengah berseru.
Andika tak menyahut, apalagi
menoleh. Karena pada saat bersamaan, sosok yang baru datang itu menuding ke
arahnya.
"Minggir kau Jangan
campuri urusanku" bentak sosok berpakaian serba merah itu.
"Kalau kau berurusan
dengan kawan kecilku ini, itu berarti berurusan langsung denganku,"
sanggah Andika, menanggapi bentakan orang yang ternyata bukan wanita.
Sosok itu ternyata lelaki
berusia lima puluh tahunan. Rambutnya yang panjang dipenuhi uban.
Wajahnya amat menakutkan
dengan bekas luka sayatan pedang yang memanjang dari kening hingga ke pipi.
Sebelah matanya terlihat sudah tidak utuh lagi karena sayatan itu. Meski
rambutnya panjang, bagian depan kepalanya tak berambut. Sehingga keningnya
tampak menjadi lebih lebar. Dengan kumis lebat menutupi bibir, lelaki itu makin
terlihat sangar.
"Kau akan menyesal jika
mencampuri urusanku, Anak Muda," ancam orang itu dingin.
Andika tersenyum sinis, di
bawah terpaan sinar lampu minyak dalam kamar.
"Keliru Justru kau yang
akan menyesal telah berurusan denganku," tangkis Andika tenang.
"Bagaimana, ya? Karena
siang tadi, aku baru saja mendapat sebutan baru dari dua orang laki-laki.
Manusia pembawa sial. Kau mau
ikut sial seperti dua lelaki itu?"
"Kau terlalu memaksa,
Kisanak. Hiaaah"
Tak banyak berbasa-basi lagi,
lelaki itu melancarkan serangan ganas ke mata Andika. Jari telunjuk dan jari
tengah tangan kanannya mengejang, seakan ditarik rentangan kawat baja di
dalamnya.
Wut
Untuk mengukur tingkat
kekuatan tenaga dalam lawannya, sengaja Andika memapak totokan itu dengan
telapak tangan kanannya.
Dab
Kini Andika tahu, lawannya
memiliki ilmu kesaktian yang tergolong tinggi. Itu bisa dirasakan dari getaran
hebat yang mengalir di sekujur persendian tangan kanannya. Menyadari lawan
tidak bisa dibuat main-main, Pendekar Slebor lantas mengirim serangan balasan.
Jurus awal 'Memapak Petir
Membabi Buta'
dikerahkan untuk menyerang
tinju geledek tingkat lima milik laki-laki itu. Sasarannya adalah tulang iga.
Wesss
Pukulan sepasang tangan yang
bergerak dari dua arah berbeda, menimbulkan deru angin keras. Ini sebagai bukti
kalau kecepatan dan penyaluran tenaga Andika dikerahkan tak tanggung-tanggung.
"Hih"
Laki-laki berpakaian serba
merah itu menaikkan kaki kanannya dalam bentuk melipat ke atas. Dan begitu
pukulan itu dekat, kaki kanan yang terlipat sudah melepaskan tendangan ke
perut, dengan badan condong ke samping. Dengan demikian selain bisa menghindari
pukulan Andika, orang itu mampu melepaskan serangan balasan. Dan itu memang
sebuah gerak kembangan dari jurus 'Sapuan Ekor Ular'.
Andika cepat menarik tubuh ke
belakang, lalu secepatnya berputar. Berbareng dengan itu, kakinya membuat
gerakan menyapu untuk menjatuhkan lawan dengan mendepak kakinya yang masih
menjejak.
Wres
Namun gerakan laki-laki itu
tak kalah cepat dalam memindahkan jejakan kakinya, setelah melompat terlebih
dahulu untuk menghindari sapuan Andika.
Sementara keduanya bertukar
jurus, Walet malah berteriak-teriak menyemangati Andika.
"Terus, Kang Hajar
jidatnya yang lebar itu Yak, yak Jitak saja" teriak Walet seraya
meninju-ninju.
Matanya yang semula kuyu
karena kantuk, kini terbuka lebar-lebar dan berbinar penuh semangat.
Tiga puluh jurus berlalu
begitu cepat. Pertarungan antara Pendekar Slebor melawan laki-laki berpakaian
serba merah itu belum menghasilkan apa-apa bagi satu sama lain. Dugaan Andika
sebelumnya memang tidak meleset. Lawan memang memiliki kedigdayaan yang cukup
tangguh.
"Hiyaaah"
Jep
Biarpun hingga saat ini belum
tahu alasan pasti, mengapa lelaki berwajah sangar itu hendak menyerang Walet,
namun Andika bersungguh-sungguh untuk menjatuhkan lawannya. Dalam pertarungan
seperti ini hanya ada dua pilihan, membunuh atau dibunuh. Meski selaku ksatria
sejati Pendekar Slebor lebih suka tidak ada yang menjadi korban.
Sesekali terbetik dugaan dalam
benak Andika bahwa lawannya mungkin mengalami kesalah-pahaman. Namun serangan-serangan
mematikan yang dihadapi tidak memberi kesempatan untuk mempertimbangkan dugaan
itu. Mau tak mau, Pendekar Slebor melayani setiap gempuran yang datang.
Memasuki jurus ketiga puluh
empat, kecepatan gerak Pendekar Slebor meningkat pesat. Bukan hanya itu, jurus
yang dimainkannya pun terlihat tak beraturan lagi. Dengan begitu, bukan berarti
lelaki berpakaian serba merah itu mendapat kesempatan untuk berada di atas
angin. Gerakan menggila pendekar muda berjuluk Pendekar Slebor justru seperti
menutup seluruh ruang geraknya.
"Gila Jurus apa ini"
maki lelaki itu, antara kekaguman dan kegusaran.
Jep Wess, wesss, jeb, jeb, jeb
Keterperanjatan lawan
dimanfaatkan Andika untuk melepaskan totokan beruntun ke leher, dada, ulu hati,
dan pinggang.
Melihat hal ini, lelaki
berpakaian serba merah itu kian terperangah. Wajah buruknya menegang demikian
rupa. Lalu sekejap berikutnya, berganti ringisan menahan sakit luar biasa pada
bahunya.
Des
"Akh"
Tanpa disangka-sangka, rupanya
Pendekar Slebor menyelipkan satu bacokan lengan di antara pukulan berantainya.
Bersama erangan tertahan,
tubuh lelaki setengah baya itu terlempar ke belakang, langsung menghantam
dinding bilik. Kemudian, dia jatuh berguling di tanah tergenang air. Hujan
langsung menyerbunya, membuat seluruh badan lelaki itu basah kuyup.
Sebelum benar-benar berhenti
berguling, orang itu menghentakkan kakinya ke udara, sehingga bisa berdiri
kembali. Sambil mendekap bahu kanan, dia langsung melarikan diri begitu cepat
laksana kelelawar malam. Sementara Andika hanya berdiri saja memperhatikan
kepergian orang itu.
"Kenapa tak dikejar,
Kang?" Walet, tak puas menyaksikan Andika membiarkan lawan melarikan diri.
"Itu orang dari Perguruan Ular Iblis. Orang brengsek yang tak pantas
diberi ampun"
"Tak perlu," sergah
Andika. "Yang perlu sekarang ini, adalah penjelasanmu. Kenapa orang itu
hendak menyerangmu?"
"Mana aku tahu,"
sahut Walet, seraya mengangkat bahunya.
"Jangan bohong. Buktinya
kau tahu kalau dia dari Perguruan Ular Iblis. Pasti kau punya masalah dengan
mereka, kan?" desak Andika.,
"Sumpah modar bohongan
Aku tidak punya masalah apa-apa dengan mereka, Kang. Kalau aku tahu bahwa dia
dari perguruan itu, karena sempat melihat lambang perguruan di punggung
bajunya,"
sangkal Walet.
Andika menyerah. Bisa saja anak
ini tidak berbohong.
"Ada apa, Nak
Andika?" tanya Nyi Saodah yang tiba-tiba menguak pintu kamar.
"Tidak ada apa-apa, kok
Nyi. Hanya ada tikus tadi,"
sahut Walet cepat.
Nyi Saodah melongo. Tikus
sebesar apa yang bisa menjebol dinding bilik rumahnya?
***
Satu teka-teki belum terjawab,
telah datang lagi teka-teki lain. Andika jadi pusing memikirkannya. Di lain
sisi, dia yakin adanya satu hubungan antara peristiwa wanita cantik yang
ditemaninya, dengan tokoh sakti dari Perguruan Ular Iblis semalam. Namun
demikian jawabannya masih buntu.
Untuk menghubungkan seluruh
mata rantai
peristiwa semua itu, Andika
memang harus menyelidiki satu persatu. Mula-mula hal ihwal mengenai Perguruan
Ular Iblis secara lengkap harus diketahui-nya. Termasuk, kepentingannya
terhadap diri Walet.
Selanjutnya dia akan mencari
tahu tentang bencana seperti disebutkan wanita cantik yang ditemuinya beberapa
hari lalu. Dan yang terakhir, akan diselidikinya siapa wanita cantik
terselubung teka-teki itu sebenarnya.
"Benar-benar rumit...,"
keluh Andika bersama satu helaan napas panjang.
"Kopinya, Kang
Andika...."
Andika tersadar dari kecamuk
pikirannya.
Didapatinya Marni telah
berdiri di depannya, mem- bawa dua cangkir tanah liat berisi kopi panas.
"Wah Pagi-pagi seperti
ini, memang tepat kalau disuguhkan kopi ngebul-ngebul," seloroh Andika
seraya menyambut cangkir di tangan kanan Marni.
"Terima kasih, ya."
Gadis manis di depan pemuda
itu tersipu-sipu sambil meletakkan cangkir kopi yang lain di meja kayu. Kulit
wajahnya yang putih memperlihatkan semu merah, kala mata Andika berusaha
menangkap mata lentiknya.
"Mmm, kopi ini
betul-betul nikmat. Kau yang buat, Ni?" tanya Andika setelah menyeruput
kopi.
Marni mengangguk malu, tanpa
berani mengadu pandang dengan pemuda tampan yang duduk di kursi itu.
"Tapi, kurasa hanya perlu
kopi satu cangkir.
Kenapa disediakan dua?"
lanjut Andika.
"Ah Cangkir yang ini buat
Walet, kok Kang...," kata Marni lembut.
"Ooo," bibir Andika
membulat. "Dikira buat aku. He he he..."
Lagi-lagi Marni tersipu. Wajah
ayu berhias rona merah itu membuat Andika gemas. Hati pemuda itu mau tak mau
memuji keayuan Marni yang begitu alami. Bulu matanya yang lentik, berkelopak
lembut.
Hidungnya tinggi menipis, dan
bibirnya merah delima....
"Aku ke belakang dulu, ya
Kang Andika."
Andika tersentak. Matanya
sempat berkerjap kaget mendengar sapaan Marni.
"Eh Iya, ya. E..., apa
tidak sebaiknya menemani aku ngobrol?" sahut Andika gelagapan.
Mendapat tawaran Andika, Marni
tidak bisa menyembunyikan rasa senang di wajahnya. Itu bisa dilihat dari bias
mata beningnya. Dia pun duduk di depan Andika malu-malu. Kepalanya tertunduk
dalam memandang ke bawah meja.
Lama keduanya terdiam seperti
orang bodoh.
Andika sendiri bingung, mau
bicara mulai dari mana.
Rasanya semua jadi serba
salah. Sampai akhirnya, dia teringat pada wanita aneh berwajah cantik yang
pernah ditemuinya.
"Ngomong-ngomong, apa kau
pernah mendengar desas-desus tentang wanita cantik yang aneh?" tanya
Andika pada Marni.
Marni mengangkat kepala.
"Aneh bagaimana,
Kang?"
"Datang tiba-tiba dan
pergi pun tiba-tiba. Ya, seperti menghilang begitu saja."
Wajah Marni mendadak
memperlihatkan
kengerian.
"Ada apa, Ni?"
ungkit Andika, ingin tahu. Marni tidak segera menjawab. Sepertinya, dia sedang
mempertimbangkan sesuatu.
"Apa yang Kakang maksud
Nyai Roro Kidul?" tanya Marni, hati-hati.
"Nyai Roro Kidul?"
"Dia Ratu Penguasa Laut
Setan. Dan Kadipaten Karangwaja masih termasuk wilayah kekuasaannya.
Beliau..., beliau Ratu
Lelembut."
Andika tercekat. Bulu halus di
kuduknya kontan meremang.
"Ratu Lelembut,"
desis pemuda itu tak sadar.
*** 5
Pagi beranjak pergi. Matahari
perlahan menanjak menuju puncak singgasananya. Sinarnya yang kemilau singgah
pada genangan air hujan, lalu memantul lagi ke udara. Pantulan cahaya matahari
pada genangan air yang beriak diterpa angin, membuat genangan itu bagai kilau
mutiara berserakan.
Awal siang ini Andika
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan bersama Walet. Keduanya pamit pada
keluarga Marni yang dengan berat hati melepas kepergian mereka. Terlebi-lebih,
bagi Marni. Per-kenalan singkat dengan pemuda tampan itu mengukir kesan teramat
dalam hati Marni.
Marni sendiri tak pernah
mengerti perasaan macam apa yang mengusiknya, setelah mengenal Andika. Gadis
itu hanya tahu kalau dirinya amat berharap Andika tetap tinggal bersama
keluarganya.
Dan kalaupun tetap harus
pergi, dia berharap dapat berjumpa lagi.
"Selamat jalan, Kang
Andika...," ucap Marni begitu berat, seperti tercekat di tenggorokan.
Keluarga Marni kini berdiri di
pintu rumah untuk melepas kepergian Andika dan Walet.
Andika menghentikan langkahnya
seraya menoleh.
Ucapan perlahan Marni sempat
tertangkap telinganya. Dijawabnya kalimat perpisahan Marni dengan seulas
senyum. Lalu langkahnya dilanjutkan menyusul Walet yang berjalan lebih dahulu.
"Ke mana kita,
Kang?" tanya Walet ketika mereka sudah cukup jauh. "Kau tahu orang
yang paling tepat untuk ditanyai tentang Kadipaten Karangwaja ini?" Andika
balik bertanya.
"Adipati Tunggul Manik,
aku rasa."
"Tepat."
"Jadi kita akan ke
pendapa kadipaten?"
Andika mengangguk.
"Wah Seumur-umur, baru
kali ini aku mau masuk tempatnya para kanjeng. Apa kita bakal diizinkan masuk
ke sana, Kang? Kita kan hanya wong cilik?"
tukas Walet agak ragu.
"Kau jangan cerewet.
Lihat saja nanti," sahut Andika.
Kali ini, Walet yang
mengangguk-angguk. Matanya bergerak kian kemari, membayangkan suasana pendapa
kadipaten.
"Pasti dayangnya
cantik-cantik ya, Kang" usik Walet, seraya tersenyum nakal.
Andika menggeleng-geleng.
Bibirnya memperlihatkan senyum yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri.
"Kau mirip sekali dengan
diriku waktu kecil, Let"
ucap Andika dalam hati.
***
Sesampai di kadipatenan,
Pendekar Slebor dan Walet disambut dua prajurit penjaga gerbang yang berseragam
punggawa, dan bercelana hitam sebatas betis berlapis kain batik. Rambut
keduanya digelung ke atas. Pada masing-masing pangkal lengan, terdapat semacam
gelang berukir.
"Siapa Kisanak. Dan ada
keperluan apa?" tanya seorang di antara dua punggawa seraya mengacungkan
tombak.
"Aku ingin bertemu
Adipati Tunggul Manik," sahut Andika. "Katakan pada beliau, Pendekar
Slebor ingin bertemu."
Mendengar nama Pendekar Slebor
disebutkan, prajurit itu tampak agak terperangah. Baginya, bisa bertemu
langsung pendekar besar seperti Andika adalah suatu kehormatan tak ternilai.
Paling tidak sama saja mendapat kepercayaan dari seorang bangsawan.
Sementara, prajurit punggawa
yang satu lagi pun terperanjat.
"Maafkan kebodohanku,
Tuan Pendekar. Aku benar-benar tak mengenalimu," hatur punggawa itu seraya
menjura hormat, disusul kawannya.
"Ah Jangan perlakukan aku
seperti kalian memperlakukan kalangan istana. Aku sama saja seperti
kalian," sergah Andika, risih mendapat penghormatan berlebihan kedua
punggawa itu.
"Sudikah kiranya Tuan
menunggu sesaat. Aku akan melapor dahulu pada Kanjeng Adipati," pamit
prajurit yang menanyai Andika tadi.
"Silakan."
Sepeninggalan prajurit
tersebut, Walet menyenggol lengan Andika.
"Jadi Kang Andika adalah
Pendekar Slebor itu? Oh, jadi selama ini aku bersama seorang pendekar
kesohor"
Sambil berbicara mata bocah
kecil itu terus membesar. Entah karena kesal tidak pernah diberi tahu Andika
tentang dirinya selaku pendekar yang begitu disegani, atau karena bocah kecil
itu sama kaget dengan prajurit kadipaten tadi. "Kakang ini benar-benar
brengsek...," gerutu Walet.
"Kalau tahu begitu, aku
sudah minta diajarkan jurus saktimu...."
Andika tak mempedulikan
gerutuanmu Walet, karena prajurit yang melapor telah kembali.
"Tuan Pendekar
dipersilakan menemui Kanjeng Adipati di pendapa," kata prajurit itu,
mempersilakan.
Andika dan Walet memasuki
gerbang kekadipatenan, diantar prajurit tadi.
Setelah berjalan melewati
taman sari kekadipatenan, mereka tiba di satu bangunan besar ber-tiang-tiang
kokoh. Bangunan ini tak berdinding, sehingga orang di dalamnya bisa melepas
pandangan ke seluruh penjuru taman sari. Di tengah ruangan berlantai agak
meninggi itu, tampak Adipati Tunggul Manik duduk di atas kursi kebesaran. Mimik
wajahnya terlihat senang. Matanya berbinar-binar menyambut kedatangan Andika.
"Selamat datang di
kadipaten kami, Pendekar Slebor," sambut laki-laki setengah baya itu
seraya berdiri ketika Andika telah melewati tangga batu pendapa.
"Salam hormat dari hamba,
Kanjeng Adipati," hatur Andika sambil menjura berbareng dengan Walet.
Setelah mempersilakan duduk,
Adipati Tunggul Manik menanyakan maksud kedatangan Andika dan Walet. Maka
secara gamblang, Pendekar Slebor pun mengajukan beberapa pertanyaan pada
Penguasa Kadipaten Karangwaja ini.
"Apakah di kadipaten
belakangan ini sering terjadi keresahan, Kanjeng Adipati?" tanya Andika,
meng-ungkapkan keingintahuannya.
"Keresahan?" gumam
Adipati Tunggul Manik sambil mengusap-usap dagu. "Aku tidak tahu, apakah
yang terjadi belakangan ini di kadipatenku bisa disebut sesuatu yang
meresahkan. Karena menurut-ku, kejadian-kejadian itu lebih tepat disebut
bencana."
Mata Adipati Tunggul Manik
jatuh pada lantai pendapa, seperti sikap seseorang yang sedang prihatin.
"Bencana?" Andika
teringat langsung pada wanita cantik yang menemuinya. Dan dia juga bertutur
tentang bencana. "Bencana macam apa, Kanjeng Adipati?"
Adipati Tunggul Manik menarik
napas dalam-dalam. Beban berat tampak tergambar di wajahnya, karena begitu
memikirkan keadaan kadipatennya yang sedang dilanda sesuatu yang amat
mengerikan.
"Kalau ingin mengetahui
lebih jelas, lebih baik Kisanak bermalam beberapa lama di sini," ujar
Adipati Tunggul Manik itu lemah. "Aku sangat berharap kau dapat membantu
memecahkan persoalan kami."
Andika menyetujui tawaran
Adipati Tunggul Manik.
Lebih-lebih, Walet yang begitu
berhasrat menikmati sedikit kenyamanan tempat tinggal para pembesar.
Terutama, kecantikan para
dayangnya.
***
Waktu tanpa lelah terus
berputar, sebagaimana hukum alam. Malam pun menjelang. Angin dingin berlarian
di seluruh wilayah Kadipaten Karangwaja.
Untung saja hujan yang
biasanya turun, tidak menampakkan diri. Meski begitu, suasana di luar tetap
tidak terasa nyaman.
Seluruh kampung di kadipaten
ini tampak mati. Tidak ada seorang penduduk kampung pun yang menampakkan batang
hidung. Mereka semua
meringkuk was-was di tempat
tidur masing-masing.
Sementara di luar sana,
lolongan anjing hutan bersahut-sahutan seakan membawa ancaman di setiap saat.
Hingga malam demikian menua,
Andika belum juga bisa memejamkan matanya. Maka diputus-kannya untuk bergabung
dengan para pengawal di gerbang istana. Dan baru saja kakinya melangkah keluar
dari kamar, Walet menyusul. Rupanya, bocah itu juga tidak bisa tidur. Menurut
perasaannya, ada sesuatu yang bakal terjadi malam ini. Benar saja
karena....
"Aaa...
Firasat mereka ternyata
terbukti. Baru saja keduanya hendak menyapa tiga prajurit, tiba-tiba saja
terdengar teriakan tinggi melengking, merobek ke-heningan malam.
"Pasti ada satu korban
lagi," desis seorang prajurit dengan wajah menegang.
"Kalian tetap berjaga di
sini. Biar aku yang akan memeriksa apa yang terjadi" ujar Andika sigap.
"Kau juga Walet"
Andika memang melihat gelagat,
bocah kecil tampaknya juga ingin tahu itu. Maka tanpa mempedulikan gerutuan
Walet, pendekar gagah itu melesat cepat keluar dari rumah adipati itu.
Ke-cepatannya begitu memukau. Sampai-sampai prajurit yang menjaga pintu gerbang
terperangah tak percaya, menyaksikan tubuh Andika tiba-tiba saja menghilang.
"Itu tadi teman karibku,
kalian mesti tahu itu,"
tukas Walet, menyombong. Tapi,
siapa yang mau peduli ocehan bocah macam Walet? ***
Di tempat lain, tepatnya di
sebuah bukit yang ditumbuhi pepohonan lebat, sebelas lelaki sedang mengadu jiwa
melawan lima lelaki bertopeng.
Seorang di antara mereka tampak
tergeletak tanpa nyawa di tanah basah. Tubuhnya bermandikan darah dari luka
menganga di dadanya. Bisa dipastikan, jeritan yang didengar Andika tadi berasal
dari mulut lelaki naas itu.
Sebelas lelaki yang bertarung
melawan lima orang itu berasal dari Perguruan Naga Langit. Itu bisa dilihat
dari gambar naga bersayap yang terdapat di dada kanan mereka. Sedangkan lelaki
yang tergeletak juga berasal dari Perguruan Naga Langit.
Di lain pihak, kelima lawan
orang-orang Perguruan Naga Langit itu hitam-hitam. Topeng mereka juga berwarna
hitam.
Dengan senjata berbentuk cakar
dari logam, orang-orang Perguruan Naga Langit berusaha menggempur habis-habisan
kelima lawan mereka.
Cara mereka bertempur demikian
membabi-buta. Ini memperlihatkan, bagaimana kalapnya kesebelas lelaki itu.
Sementara, lima lelaki bertopeng itu menggunakan golok untuk melakukan gempuran
balik.
Trang, tring, tring
"Heaaa"
"Hih"
Gegap gempita pertempuran,
memporak-
porandakan kesenyapan kaki
bukit. Berbaurnya denting senjata beradu dengan teriakan pembangkit semangat,
merambah suasana malam ini. Bukit ini seolah hendak digoncang gempa. Sementara,
dedaunan seolah hendak dirontokkan. Ditilik dari jumlah, kawanan lelaki
bertopeng mestinya kewalahan. Tapi kenyataannya, justru sebaliknya. Kelima
orang itu malah tampak menguasai keadaan. Bahkan lambat-laun mereka mulai
berada di atas angin.
Dari cara bertempurnya jelas
sekali kalau kelima lelaki bertopeng itu, rata-rata memiliki ilmu beberapa
tingkat di atas orang-orang Perguruan Naga Langit.
Bahkan.... Bret
"Waaa"
Bukti kelebihan lima lelaki
bertopeng itu terjadi, ketika seorang lagi dari kawanan Perguruan Naga Langit
mendapat sabetan golok telak di perutnya.
Padahal, lelaki yang menjadi
korban memiliki ilmu paling tinggi. Bahkan dia sudah dibantu seorang kawannya
dalam mengeroyok.
Kenyataan yang terjadi di
depan mata itu membuat semangat orang-orang Perguruan Naga Langit yang lain
menjadi susut. Mereka mulai dirasuki kegentaran, melihat ketangguhan yang
rata-rata dimiliki kelima lelaki itu. Bahkan kegentaran itu makin parah,
tatkala kesepuluh lelaki dari Perguruan Naga Langit melihat kakak seperguruan
mereka menggelepar-gelepar sambil mendekap perutnya.
Seorang di antara mereka
rupanya masih memiliki sedikit keberanian. Walaupun orang itu paling muda,
namun memiliki semangat menggebu, sebagaimana layaknya orang berdarah muda.
"Ayo, jangan biarkan
nyali kita ciut Tak perlu ragu menghadapi maut, jika berada di pihak yang
benar"
teriak anak muda itu lantang.
Namun teriakan penuh gelegak
semangat tempur itu seperti tidak berarti dalam membakar keberanian sembilan
orang Perguruan Naga Langit yang lain. Mereka terlihat mulai tersurut setindak
demi setindak, setelah sebelumnya menghentikan serangan.
"Kenapa kalian ini?"
bentak murid termuda itu gusar. "Apa kalian tak ingin menuntut balas atas
kematian guru kita tercinta yang telah dibunuh secara mengerikan oleh
orang-orang biadab ini"
Sementara itu, kelima lelaki
bertopeng sudah siaga penuh menanti serangan selanjutnya. Masing-masing tahu,
pihak mereka sudah mampu mengalahkan nyali sisa orang-orang Perguruan Naga
Langit.
Dalam suatu pertempuran, hal
ini sudah menjadi suatu keuntungan yang tak ternilai.
"Ayooo" seru si
Murid termuda lagi. Mata anak muda itu memerah bagai seonggok bara. Begitu pula
wajahnya yang ditumbuhi kumis tipis. Ketampanannya berubah menjadi mimik
kemurkaan tak
terkendali. Dia benar-benar
murka terhadap kelima lelaki bertopeng yang telah banyak membunuh saudara
seperguruan dan gurunya. Di sisi lain dia juga murka kepada kesembilan
kawannya.
"Kalian pengecut
semua" hardik anak muda itu ketika menyaksikan sembilan lelaki saudara
seperguruannya tiba-tiba saja lari serabutan tanpa mempedulikan seluruh
ucapannya.
Kemudian, mata anak muda itu
beralih jalang pada kelima lelaki itu. Sepasang tangannya yang menggenggam
senjata berbentuk cakar meregang kuat, memperlihatkan tarikan otot-otot.
Seakan, dia hendak meremas hancur gagang senjatanya.
"Aku memang tak akan
mampu menandingi kalian.
Tapi, jangan harap aku akan
melarikan diri seperti mereka" dengus anak muda itu geram, seberat auman
seekor singa luka. Kelima lelaki bertopeng itu saling berpandangan mendengar
kalimat nekat anak muda tadi. Mata mereka terlihat begitu meremehkan. Dari
balik topeng yang hanya memperlihatkan mata, terdengar tawa mengejek kelima
lelaki itu.
"Apa kau tak dengar
ocehan seekor lalat yang hendak kita tepuk mati ini?" leceh seorang lawan
berperawakan kurus, namun berotot kenyal.
"Ah Aku tidak
mendengarnya, Kang. Yang kudengar malah suara ng... ng... ng"
"Suara lalat Hus... ha
ha..." Ejekan demi ejekan semakin memanaskan telinga pemuda dari
Perguruan Naga Langit ini.
Maka kemarahannya makin terukir hingga ke puncak. Telinganya terasa terbakar,
karena darah sudah menggelegak sampai ke ubun-ubun. Dia murka semurka-murkanya.
"Keparat busuk kalian
semuaaa Hiaaa" Kini pemuda itu meluruk buas. Tak ada lagi keinginan untuk
bisa memenangkan pertarungan, kecuali mengadu jiwa. Kalaupun tangannya tak
mampu mencabut satu nyawa lawan, dia tidak peduli. Mati sebagai seorang ksatria
jauh lebih baik ketimbang menjadi seorang pengecut.
Tubuh pemuda itu terus
melabrak salah seorang lawan terdekatnya. Sepasang senjata di tangannya terayun
cepat dari samping menuju wajah dan dada.
"Hih"
Wut, wut
Orang yang menjadi sasaran
sempat terkesiap mendapat gempuran membabi buta ini. Sebelumnya orang itu tahu
kalau kemampuan jurus pemuda itu berada jauh di bawahnya. Namun sedikit pun tak
diduga kalau puncak kenekatan seseorang mampu melipatgandakan kekuatannya.
Begitu pula yang terjadi pada diri pemuda dari Perguruan Naga Lagit ini.
"Hiah"
Trang
Satu tebasan ke wajah dapat
ditangkis dengan golok orang bertopeng itu. Namun keterkejutannya membuat
matanya lengah menangkap sambaran senjata pemuda dari Perguruan Naga Langit
yang mengarah ke dadanya. Akibatnya....
Bret
"Aaakh"
Lolongan panjang terdengar
setelah dada lelaki bertopeng itu terkoyak oleh senjata pemuda ini.
Begitu kuatnya senjata
berbentuk cakar itu merobek dadanya, sehingga sebagian kulitnya terbawa di
ujung senjata cakar itu. Darah pun kontan tersembur dari lukanya yang
tertembus, hingga nyaris mengenai dinding paru-parunya.
Lelaki bertopeng itu
terhuyung-huyung limbung.
Kedua tangannya mendekap dada
yang bersimbah warna merah. Tak begitu lama kemudian, tubuhnya pun ambruk tak
berkutik lagi.
Tak puas membabat satu orang,
pemuda dari Perguruan Naga Langit melabrak lawan berikutnya.
Serangan pertama yang membawa
hasil tak terduga tadi, membuatnya makin bersemangat dan menggila menggempur
lawan.
Dengan satu terkaman pemuda
itu berusaha menyambar salah seorang lawan di sisi kanan.
"Hiaaa"
Namun tentu saja lelaki
bertopeng yang menjadi sasaran tak ingin mengalami nasib serupa kawannya.
Terkaman pemuda itu segera
dihindarinya dengan membuang tubuh ke belakang. Sambil melempar tubuh, kaki
kanannya terangkat tinggi-tinggi ke perut pemuda dari Perguruan Naga Langit
yang masih di udara.
Begkh
"Akh"
Bersama satu erangan pendek,
pemuda dari Perguruan Naga Langit itu terpental lebih tinggi ke udara. Setelah
itu, tubuhnya jatuh menghantam bumi.
Isi perutnya yang terasa bagai
diaduk-aduk oleh tangan-tangan raksasa, membuatnya berguling-gulingan di tanah
berlumpur. Seluruh tubuhnya langsung berlumur tanah kecoklat-coklatan. Demikian
juga kedua tangannya. Dan keadaan itu membuat telapak tangannya menjadi licin.
Akibatnya, senjatanya langsung terlepas.
Kesempatan baik itu tak
disia-siakan tiga lelaki bertopeng yang masih berdiri siaga. Serentak mereka
menyerbu pemuda nekat itu. Tiga batang tombak setajam taring iblis terayun di
udara, siap merencah tubuhnya yang masih bergelinjang di tanah.
"Hiaaa"
"Mampus kau bangsat
busuk"
"Kini kau akan menebus
nyawa kawan kami"
*** 6
Ketika sekejap lagi
senjata-senjata tiga orang bertopeng memangsa tubuh pemuda dari Perguruan Naga
Langit, tiba-tiba....
Wusss
Mendadak terdengar suara keras
menderu. Lalu....
Trang, trang, trang
Tahu-tahu ketiga tombak lelaki
bertopeng itu berterbangan ke udara dalam keadaan terbelah dua.
Kejadian tak terduga sama
sekali ini, membuat tiga orang bertopeng tersentak. Sementara itu, tangan
mereka terasa berdenyar-denyar nyeri.
"Apakah kalian ini
anjing-anjing lapar yang memperebutkan sepotong tulang? Sungguh tak tahu malu
mengeroyok pemuda yang tak berdaya itu? Di mana muka kalian ditaruh? Di
pantat?" cecar seorang pemuda tampan berbaju hijau yang baru datang.
Wajahnya tampak
bersungut-sungut. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Andika, pendekar yang
memiliki seribu satu tingkah slebor?
"Keparat Jangan cari
mampus kau" bentak salah seorang bertopeng.
"Kalau aku cari mampus,
kenapa senjata kalian kubuat terpental seperti itu? Kasihan-kasihan.... Di
samping tidak punya muka, kalian ini juga tidak punya otak," cemooh
Andika.
"Tutup bacotmu"
"Dan di samping tidak
punya otak, kalian juga tidak punya perasaan," tambah Andika, makin
memanas-manasi. "Diam Diam Diam"
"Dan..., di samping tidak
punya perasaan, kalian juga tidak punya... he... he," Andika terkekeh.
Saat memapak senjata ketiga lelaki bertopeng dengan kain pusakanya tadi, dia
rupanya sempat pula melucuti celana mereka. "Kalian juga tidak punya
celana lagi... hi... hi... hi."
Mendadak ketiga lelaki
bertopeng itu melirik celana mereka berbarengan. Benar saja Celana mereka
ternyata sudah hilang entah ke mana
"Nah Aku rasa urusan
dengan kalian cukup sampai di sini. Izinkanlah aku pergi bersama lawan kalian
ini," ujar Andika lagi.
Kemudian Andika berkelebat
cepat bagai
bayangan hantu, setelah
menyambar tubuh pemuda dari Perguruan Naga Langit. Ditinggalkannya tempat itu,
sekaligus tiga lelaki bertopeng yang sibuk mengumpat-umpat karena merasa begitu
bodoh telah dipermainkan seseorang tak dikenal. Sementara seorang bertopeng
lain yang tak kebagian kerjaan usil Pendekar Slebor, hanya menatap ketiga
kawannya tak mengerti.
***
Pendekar Slebor memapah pemuda
dari
Perguruan Naga Lagit yang
ditolongnya. Pemuda yang mengaku bernama Senaaji kemudian menceritakan kejadian
yang sebenarnya, kenapa orang-orang Perguruan Naga Langit sampai bertarung
melawan orang-orang bertopeng itu.
Menurut Senaaji, waktu itu
Perguruan Naga Langit tengah dirundung suasana berkabung. Seluruh murid
berkumpul di ruang khusus guru mereka yang bernama Ki Kusuma. Seminggu,
belakangan, perguruan ini dilanda kejadian aneh yang mengerikan. Setiap malam,
beberapa murid mendadak jatuh sakit, memuntahkan darah segar. Lebih mengerikan
lagi, pada muntahan darah mereka terserak puluhan batang jarum.
Setelah memakan banyak korban
dari murid perguruan, malam itu pun Ki Kusuma menderita penyakit aneh pula. Dan
hal ini menyebabkan murid-murid Perguruan Naga Langit jadi begitu khawatir.
Dan akhirnya berkumpul di
sekitar pembaringan Ki Kusuma.
Saat mereka lengah, lima
lelaki bertopeng menyelinap masuk untuk menjarah benda-benda pusaka di ruang
penyimpanan. Namun sebelum sempat membawa lari benda-benda pusaka termasuk
kitab kesaktian Perguruan Naga Langit, seorang murid memergoki mereka. Maka
terjadilah pertempuran maut di halaman perguruan yang membawa korban lima murid
perguruan.
Ketika kelima lelaki bertopeng
melarikan diri, dua belas murid segera melakukan pengejaran. Sampai akhirnya
terjadi pertarungan yang menyebabkan dua orang murid Perguruan Naga Langit
gugur, sedangkan sembilan lainnya melarikan diri. Maka tinggalah Senaaji
sendiri sampai akhirnya ditolong oleh Pendekar Slebor.
Kini Pendekar Slebor dan
Senaaji tiba di halaman depan Perguruan Naga Langit. Di halaman yang cukup luas
ini lima mayat murid Perguruan Naga Langit masih tergeletak bermandikan darah.
"Mari kita langsung masuk
ke ruang semadi guru, Tuan Pendekar," ajak Senaaji.
Pemuda itu masuk lebih dahulu,
baru kemudian diikuti Andika. Setelah melewati lorong kamar-kamar perguruan,
nanti mereka akan tiba di ruang khusus Ki Kusuma. Memasuki kelokan lorong,
keduanya berpapasan dengan seorang murid yang lari tergegas-gesa.
"Ada apa, Kang
Dirun?" tanya Senaaji was-was karena melihat gelagat tak baik di wajah
lelaki itu.
"Guru.... Guru"
jawab murid bernama Dirun itu terbata. "Beliau sedang sekarat Kau mesti
cepat menemuinya, Senaaji Aku mau memberi tahu murid-murid yang sedang berjaga
di ruang penyimpanan benda pusaka"
Bagai diberi aba-aba, Senaaji
dan Dirun berlari ke arah berlawanan. Sedangkan Andika terus mengikuti Senaaji
dari belakang.
Setibanya di ruang khusus
gurunya, Senaaji menyeruak di antara puluhan murid yang berkerumun di sana.
"Guru" teriak
Senaaji tatkala tiba di sisi pembaringan Ki Kusuma. "Bertahanlah, Guru.
Kau pasti akan sembuh," suara Senaaji terdengar lirih, dibebani duka.
Sementara yang diajak bicara sama sekali tidak memberi tanggapan.
"Kalian kenapa berkumpul
di sini? Bubar. Beri Guru udara segar" hardik Senaaji kemudian pada
murid-murid yang lain sambil menoleh ke belakang.
Senaaji tak peduli lagi,
apakah di antara mereka kakak-kakak seperguruannya atau tidak. Di hanya ingin
udara di ruang yang tak terlalu besar itu, tidak jadi penat.
"Beri jalan pada Pendekar
Slebor" sambung pemuda itu ketika mendapati Andika masih berdiri di pintu
ruangan.
Pendekar Slebor? Para murid
yang lain langsung bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tak dinyana sama sekali kalau
tokoh besar seperti Pendekar Slebor akan mengunjungi perguruan mereka. Seraya
melangkah teratur untuk keluar ruangan, mereka menjura pada Andika sebagai
salam penghormatan.
Mata mereka terus menatap
Andika lekat-lekat, karena telah salah terka. Selama ini pendekar yang
menggemparkan dunia persilatan itu dianggap seorang lelaki setengah baya
berwibawa. Tapi yang disaksikan kali ini adalah seorang pemuda ber-penampilan
acuh, namun ramah. Sama sekali di luar perkiraan mereka
Sementara, Andika membalas penghormatan
itu dengan menjura pula. Sikap yang ramah harus dibalas dengan ramah pula.
Meskipun sudah masuk dalam jajaran tokoh kalangan atas dunia persilatan, toh di
dalam semesta yang luas tak terbatas ini Andika hanya setitik debu tak berarti.
Seseorang maju ke depan
Andika. Dia murid tertua di perguruan itu. Namanya, Subali penampilannya gagah
berwibawa. Berkumis dan beralis lebat dan hitam. Rambutnya yang ikal sebatas
bahu diikat kain coklat, warna perguruan mereka.
"Salam hormat, Tuan
Pendekar. Selamat datang di perguruan kami," ucap Subali. "Maafkan,
kami tak menyambut selayaknya, karena keadaan mempri-hatinkan yang menimpa
kami."
"Tak apa-apa, Kisanak.
Kedatanganku ke sini justru ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Sekaligus, untuk menjenguk
guru kalian," kata Andika.
"Subali, biarkan tamu
kita menemuiku," terdengar suara Ki Kusuma seperti keluhan panjang
bergetar.
"Aku ingin berbicara....
Padanya...." Subali mempersilakan Andika.
"Ada apa, Ki?" tanya
Andika seraya mendekati Ki Kusuma.
Di sisi Senaaji, Andika
bersimpuh. Ditunggunya kata-kata lemah Ki Kusuma yang akan disampaikan.
"Bolehkah aku berwasiat
padamu, Anak Muda?" Ki Kusuma memulai, namun tersendat-sendat.
Mata lelaki tua itu tampak
sayu tak bercahaya, dirangsek penyakit aneh. Di sela-sela janggut putih di
sudut bibirnya terdapat darah mengering.
Dan Andika hanya mengangguk.
Dia tahu isyarat itu cukup bagi Ki Kusuma sebagai tanda setuju.
"Kadipaten Karangwaja
sedang dilanda bencana mengerikan. Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi,
karena ajalku sudah semakin dekat. Sebelum kau datang, aku didatangi seorang
wanita secara gaib.
Dalam sekaratku, dia memberi
'petunjuk' padaku, bahwa kaulah yang dapat melepaskan kadipaten ini dari
bencana. Namun terlebih dahulu kau harus meminta bantuan seorang yang
pribadinya ibarat
'kendi berisi telaga'.
Kujungilah dua perguruan malam ini juga...," ucapan terpatah-patah Ki
Kusuma terhenti.
"Perguruan apa saja,
Ki?" desak Andika. Pendekar Slebor ingin mengetahui lebih jelas, tapi
lelaki tua Pemimpin Perguruan Naga Langit itu sudah menghembuskan napas
terakhir.
"Guru.... Guru,"
Senaaji tersentak. Senaaji yang begitu mencintai gurunya memanggil-manggil nama
Ki Kusuma dalam sesenggukan. Sementara Subali menundukkan kepala dalam-dalam.
Di samping rasa kehilangan merayapi batinnya, dia juga merasa beban yang amat
berat siap menantinya selaku murid tertua.
Dan tentu saja Subali akan
meneruskan kepemimpinan Perguruan Naga Langit. Seperti juga Subali, murid-murid
lain di luar ruang semadi juga tertunduk penuh rasa duka.
Sementara itu, Andika justru
tengah berpikir keras tentang wasiat terakhir Ki Kusuma. Ucapannya seperti
pesan terselubung, seperti satu teka-teki yang menuntut jawaban tepat dan
cepat. Mengingat, keadaan gawat kini menimpa Kadipaten Karangwaja.
Setiap saat bisa berarti satu
nyawa
"Aku turut berdukacita
atas kematian guru kalian,"
ucap Andika setelah tersadar
dari kecamuk pikirannya. "Lebih baik kalian segera mengurus jenazah Ki
Kusuma dan kawan-kawan yang
meninggal di halaman depan.
Dan sungguh menyesal aku tidak bisa mengikuti upacara pemakaman, mengingat
pesan terakhir Ki Kusuma agar aku segera berangkat malam ini juga."
Bersama satu tarikan napas
penyesalan, Andika segera mohon pamit.
"Tuan Pendekar,"
cegah Subali, saat Andika beru saja hendak beranjak. "Ada sesuatu yang
hendak kusampaikan. Mari...."
Subali mengajak Andika
meninggalkan ruang khusus itu. Mereka lantas berjalan beriringan.
Setibanya di lorong
kamar-kamar perguruan, barulah Subali memulai.
"Sewaktu lima orang bertopeng
melakukan perampokan tadi, aku berusaha meringkus mereka bersama murid lain.
Tanpa sengaja, kalung salah seorang lelaki bertopeng terjatuh, dan
kutemukan."
Subali mengeluarkan kalung
yang dikatakannya dari balik baju.
"Ini Tuan Pendekar,"
kata Subali.
Kalung telah berpindah tangan.
Kini Andika mengamati dengan teliti benda itu. Mata kalung itu berbentuk
lempengan bundar dengan gambar seekor ular bertaring besar.
"Hey? Bukankah ini
lambang Perguruan Ular Iblis?"
cetus Andika.
"Benar, Tuan Pendekar,"
sahut Subali cepat.
"Tolong panggil aku
Andika saja, Kang Subali. Aku terlalu risih bila disebut Tuan," pinta
Andika, membetulkan panggilan Subali terhadap dirinya.
"Mmm, bisa Kakang
ceritakan tentang perguruan itu?"
"Tidak banyak yang kutahu
tentang Perguruan Ular Iblis, ng.... Andika. Perguruan itu begitu tertutup,
seakan diselimuti tabir rahasia. Namun ada sesuatu yang sempat kuketahui dari
cerita guru kami...."
"Apa itu?"
Sesaat Subali mengisi
penuh-penuh paru-parunya dengan udara.
"Ki Kusuma serta dua
kawan seperjuangannya pernah bentrok dengan pemimpin perguruan itu kurang lebih
tiga puluh lima tahun yang lalu. Waktu itu mereka masing-masing belum
mendirikan perguruan."
"Sebabnya?" tanya
Andika lagi.
"Aku tak tahu jelas.
Namun kudengar, bentrokan itu ada kaitannya dengan Mustika Putri
Terkutuk...,"
jawab Subali dengan mata
menyipit, mengingat seluruh cerita yang sempat didengarnya dari Ki Kusuma.
"Mustika Putri Terkutuk?
Ah Makin rumit saja persoalan ini," keluh Andika dalam hati.
Belum lagi sempat Andika tahu
tentang wanita cantik yang mendatanginya dan mendatangi Ki Kusuma saat
menjelang ajal, kini sudah ditambah persoalan lelaki berwajah seram yang
menyerang Walet tanpa alasan jelas. Lalu muncul persoalan tentang seorang yang
bisa membantunya dalam menghentikan bencana Kadipaten Karangwaja. Dan menurut
Ki Kusuma, orang itu berkepribadian ibarat
'kendi berisi telaga'. Bahkan
Andika pun harus mendatangi dua perguruan malam ini juga. Malah muncul
persoalan baru tentang Mustika Putri Terkutuk, yang menurut Andika juga harus
disingkapnya. Benar-benar bisa membuat seluruh rambut di kepalanya rontok
"Tapi, tunggu
dulu...," bisik Andika.
Tiba-tiba saja benaknya
teringat pada cerita Subali.
"Kau tahu, dua orang
kawan Ki Kusuma yang kini membangun perguruan silat seperti kau katakan
tadi?" ungkap Andika dengan mata berbinar-binar.
"Maksudmu?" Subali
belum menangkap arah pertanyaan Andika.
"Apa nama perguruan yang
mereka dirikan?"
sambung Andika, langsung pada
permasalahan.
Subali termangu beberapa
tarikan napas. Lelaki berperawakan tinggi besar itu tampak berusaha keras
mengorek ingatannya.
"Ah Aku ingat Perguruan
Elang Hitam dan Perguruan Tangan Wesi" cetus Subali.
"Dua perguruan itu pasti
dimaksud Ki Kusuma,"
papar Andika tanpa diminta
Subali. "Di mana letak dua perguruan itu, Kang?"
Dengan singkat, Subali pun
memberitahukan letak dua perguruan yang diyakini Andika akan menjadi kunci dari
seluruh teka-teki.
*** 7
Warna merah bara di kaki
langit sebelah timur mulai nampak, beriring kokok lantang ayam jantan yang
bersahut-sahutan. Pagi telah lahir kembali.
Dalam perjalanan menuju timur
Kadipaten
Karangwaja, Andika banyak
menemukan serakan mayat, akibat pembantaian ganjil. Di sebuah dusun tak jauh
dari Perguruan Elang Hitam, kejadian serupa juga ditemukan.
Mulanya Andika merasa curiga
menyaksikan dusun itu begitu lengang dan sunyi, bagai tak ada denyut kehidupan
sedikit pun. Padahal, warga dusun ini selalu menyambut datangnya sang Fajar
untuk mencari nafkah pagi-pagi sekali. Namun didapatinya saat ini sama sekali
bertolak belakang.
Kecurigaan itu mendorong
keingintahuan Andika.
Segera didatanginya
rumah-rumah panggung para penduduk. Dan apa yang didapatinya? Ternyata para
penghuni rumah telah bergeletakkan tanpa nyawa.
Bahkan Andika memandanginya
sampai bergidik.
Lantai kayu di sekitar mayat
dipenuhi darah kehitaman bercampur serakan jarum.
Dan ketika rumah demi rumah
dimasukinya, pemandangan demi pemandangan menggidikkan pun disaksikannya.
Sehingga memaksa kuduknya meremang tanpa dikehendaki.
"Ini sungguh-sungguh
bencana mengerikan," desis Andika dengan bibir terangkat ngeri. "Ini
bukan lagi perbuatan manusia Ini perbuatan iblis"
Ketika Andika hendak
melanjutkan perjalanan, masih sempat disaksikannya seorang penduduk yang
merangkak mencoba keluar rumah. Mulutnya merah oleh darah. Wajahnya pucat,
layaknya mayat.
Andika mencoba menolong orang
itu, tapi usahanya sia-sia. Nyawa orang itu telah melayang lebih dulu, saat
Pendekar Slebor tiba di sisinya.
"Laknat...," dengus
Andika untuk kesekian kali.
Begitu selesai kata-katanya,
Andika segera melesat cepat, pergi dari situ. Dikerahkannya seluruh ilmu
meringankan tubuh agar segera tiba di Perguruan Elang Hitam. Dia tak ingin
semua kejadian gila itu menjadi kian berlarut.
"Aku harus segera
menyelesaikannya," tandas Andika, sarat kegalauan.
Dengan kobar api amarah yang
seakan hendak membakar seluruh jaringan tubuhnya, Andika berlari sepenuh
tenaga. Bagai orang kerasukan setan, diterabasnya onak berduri dan semak
belukar.
Dicobanya mencari jalan pintas
yang bisa mem-bawanya cepat tiba di tujuan. Pohon-pohon raksasa yang mencoba
menghalangi luncuran tubuhnya, dilompati bagai seekor Walet mematahkan hadangan
batu karang.
Seribu satu perasaan yang
berkecamuk dalam diri berbaur menjadi sebentuk kekuatan tak terduga.
Kecepatan larinya jadi kian
menggila. Sampai-sampai, pandangannya hanya menangkap kelebatan
bayangan kabur dari
benda-benda yang dilewatinya saat berlari.
Tak ada berapa lama, Andika
tiba di satu lembah luas yang diapit bukit. Rumput hijau setinggi betis
menghampar indah dalam selimut sinar surya.
Jajaran pepohonan pinus
memagari sekitar lembah.
Tepat di tengah lembah itulah
Perguruan Elang Hitam berdiri.
Tanpa ingin membuang waktu
sekejap pun, Andika melanjutkan larinya. Dadanya yang saat itu hendak terbelah
karena dengus napas memburu, tak lagi dihiraukan. Hanya satu yang dipikirkan
saat itu, dia harus memecahkan seluruh teka-teki lalu menuntas-kan bencana
brutal ini
"Heaaa..."
Wrrr...
Setibanya di pagar tinggi
Perguruan Elang Hitam, Andika melenting tinggi ke udara. Tubuhnya melayang di
udara, melewati pagar dari batang-batang cemara.
Jlek
Begitu usai melakukan gerakan
indah di angkasa, kaki Pendekar Slebor menjejak mantap di pelataran depan perguruan
itu. Apa yang ditemukannya di sana? Ternyata sebuah pemandangan yang semula
begitu dikhawatirkan Andika terjadi. Puluhan mayat murid perguruan tampak
berserakan tumpang tindih, bagai onggokan daging tak berharga.
"Biadaaab Siapa dalang
semua ini?" teriak Andika, dengan suara menggelegar penuh kemurkaan.
Dengan napas memburu, Andika
mencoba mencari sisa-sisa kehidupan di dalam bangunan Perguruan Elang Hitam.
Seluruh ruang dijelajahinya.
Namun, tak sejengkal pun
dilewati. Dan lagi-lagi matanya dijejali anyir darah dan mayat-mayat tanpa
tanda kehidupan.
"Oh, Tuhan...,"
keluh Andika lemah.
Tak mampu lagi pemuda itu
menatap apa yang tergambar di depan matanya. Matanya dipejamkan rapat-rapat.
Kepalanya menggeleng lemah, seakan tidak ingin mempercayai semua yang
dilihatnya. Saat berikutnya, Andika kembali melesat lebih gila dari sebelumnya.
Tak ingin lagi. Tak ingin lagi dia menyaksikan apa yang terjadi di perguruan
mengenaskan itu. Bahkan sekadar untuk mengingat sekalipun
Tak lama kemudian, tubuh
Pendekar Slebor sudah melesat di luar Perguruan Elang Hitam. Dia berlari deras
menuju tujuan berikut, Perguruan Tangan Wesi di wilayah barat. Sebuah jarak
yang jauh, karena ditempuh dari satu ujung ke ujung lain. Tapi hal itu sama
sekali tidak mengusik tekadnya untuk segera sampai di penguruan itu. Sementara,
hati nuraninya terus berharap agar tidak menemukan lagi pemandangan seperti di
Perguruan Elang Hitam.
***
Jauh dari harapan Andika, di
Perguruan Tangan Wesi saat ini justru sedang terjadi pertempuran maut.
Tiga puluh orang bertopeng
datang menyerbu. Seperti maksud kedatangan mereka di Perguruan Elang Hitam dan
Perguruan Naga Langit, pasukan bertopeng itu juga hendak merampas benda-benda
pusaka milik Perguruan Tangan Wesi.
Kejadian yang menimpa dua
perguruan besar di wilayah timur dan selatan, dialami Perguruan Tangan Wesi.
Sebelum penyerbuan orang-orang bertopeng, beberapa murid perguruan juga
tertimpa bencana aneh. Mereka mendadak menggelepar-gelepar sekarat. Dari mulut
masing-masing, keluar muntahan darah bercampur puluhan batang jarum. Kemudian,
kejadian serupa menimpa guru besar perguruan itu.
Belum sempat sisa murid
Perguruan Tangan Wesi menguburkan jenazah rekan-rekan dan guru mereka, pasukan
bertopeng datang dari berbagai penjuru, laksana serigala-serigala lapar memburu
sekerat daging. Berikutnya, pertarungan hidup mati pun meletus dahsyat.
Orang-orang bertopeng itu yang
bersenjatakan golok membabat setiap murid Perguruan Tangan Wesi yang lengah,
karena kematian guru tercinta mereka. Sebagian murid yang masih sempat
melakukan perlawanan, harus bersusah payah mempertahankan nyawa.
"Hiaaa"
"Haih"
Trang Trang Bret
"Wuaaa"
Orang kelima belas dari
Perguruan Tangan Wesi menemui ajal, terbabat golok pada bagian wajahnya.
Di lain pihak, lawan orang-orang
bertopeng itu tetap dalam jumlah semula. Belum seorang pun mengalami luka.
Apalagi sampai tewas. Jelas-jelas kalau orang-orang bertopeng itu tidak mau
tanggung-tanggung menjalankan niat busuknya. Tampaknya, yang dikirim ke
perguruan itu adalah orang-orang pilihan yang memang tangguh.
Pertempuran terus berlangsung
di sekitar pelataran perguruan. Setiap jengkal tanah pelataran, menjadi kancah
penentuan antara hidup dan mati.
Terutama, bagi para murid
Perguruan Tangan Wesi.
Yang mati-matian membela diri dan
nama perguruan.
Lebih dari itu, mereka pun
siap mati untuk menghadapi kebatilan.
Di beberapa sudut pelataran,
satu lelaki bertopeng dikeroyok tiga murid perguruan. Keroyokan itu dilakukan
tidak ksatria, tapi semata-mata mereka menyadari kalau ketangguhan orang-orang
bertopeng itu tidak bisa diremehkan.
Di sebelah timur kancah
pertarungan, dua murid Perguruan Tangan Wesi harus melayani habis-habisan,
golok seorang lelaki bertopeng yang bergerak begitu cepat mengejar keduanya.
Padahal mereka sudah berusaha memperlebar jarak satu dengan yang lain, agar
perhatian orang bertopeng itu dapat terpecah.
Kedua murid perguruan yang
tidak menggunakan senjata dalam pertempuran itu terpaksa tunggang langgang
menghadapi sabetan golok orang
bertopeng. Sebagaimana namanya,
murid-murid Perguruan Tangan Wesi memang hanya meng-andalkan sepasang tangan
sebagai senjata. Mereka dilatih sedemikian rupa, agar tangan mereka mampu
menjebol karang. Namun begitu, bukan berarti tangan mereka kebal terhadap
senjata tajam. Itu sebabnya, mereka hanya menghindari serangan tanpa mampu
menangkis sambaran golok. Kalau kebetulan beruntung, mereka bisa menangkis
tangan orang bertopeng yang memegang senjata.
"Hiah"
Bet, bet
"Hait"
Pada suatu kesempatan, lelaki
bertopeng yang terus menyabet-nyabetkan golok bertubi-tubi, tiba-tiba
melepaskan tendangan menyapu dengan memutar tubuh terlebih dahulu.
Gerakan yang tak terduga ini
membuat seorang murid terkesiap kaget. Dia tak terburu lagi melangkah mundur
untuk menghindari kepalanya dari ancaman tendangan. Terpaksa badan merunduk,
sehingga luput dari tendangan ganas itu. Namun baru saja bisa bernapas lega.
Lelaki bertopeng itu segera melancarkan serangan susulan. Goloknya langsung
menggempur buas dari atas. Sehingga....
"Mampus kau Hiaaah"
Crak
"Aaakh"
Didahului satu suara benda
tajam membelah batok kepala, terdengar jerit kematian dari murid Perguruan
Tangan Wesi. Tengkorak murid naas itu nyaris terbelah hingga pelipis. Darah pun
langsung menyembur deras, begitu golok itu dicabut dari kepalanya.
"Adi Karsa" teriak
murid Perguruan Tangan Wesi yang seorang lagi, melebihi kerasnya jerit kematian
kawannya. Wajahnya memerah matang menyaksikan adik seperguruannya mengalami
nasib memilukan di tangan orang bertopeng itu.
"Hua ha ha... Kenapa?
Kaget melihat kawanmu mampus dengan mudah di tanganku? Atau kau takut mendapat
giliran berikutnya?" ejek lelaki bertopeng itu pongah.
Dengan mata berkobar-kobar
amat gusar, murid Perguruan Tangan Wesi yang baru saja kehilangan seorang
saudaranya, mendengus geram. Pangkal hidungnya terangkat sebagai tanda
kegeramannya pada orang bertopeng itu.
"Iblis Kau harus membayar
nyawa saudara seperguruanku" dengus murid itu, sambil mengangkat tangan di
depan dada. Otot-otot tangannya kontan bersembulan dan menegang.
"Ah Jangan anggap dirimu
pedagang tempe. Pakai bayar-bayaran segala," cemooh orang bertopeng itu
kembali, kian mendidihkan darah murid Perguruan Tangan Wesi.
"Bangsat Hiyaaa..."
Deb, deb, deb
Tubuh murid Perguruan Tangan
Wesi melenting tinggi ke arah orang bertopeng itu. Kedua tangannya memukul
bergantian di udara, menimbulkan bunyi menggetarkan gendang telinga. Rupanya,
dia berniat meremukkan kepala lawannya sebagai bayaran atas kematian adik
seperguruannya yang bernama Karsa.
"Hih"
Seketika orang bertopeng itu
secepatnya menyer-gap tanah untuk menyelamatkan kepalanya. Usahanya berhasil.
Tubuhnya langsung bergulingan, tepat di bawah kaki murid Perguruan Tangan Wesi
yang tengah melayang. Dan dalam satu rangkaian gerak yang begitu cepat, golok
di tangannya menebas ke atas, tepat diarahkan ke sepasang betis murid itu.
Crak
"Waaa"
Bruk
Setelah kawannya mengalami
nasib mengerikan, kali ini murid Perguruan Tangan Wesi itu mendapat giliran.
Kedua kakinya terputus sebatas betis di udara. Potongannya langsung terpetal ke
samping, diikuti semburan darah segar. Kemudian tubuhnya ambruk ke tanah,
karena tidak bisa lagi berpijak.
"Sayang sekali Sebenarnya
aku masih suka main-main denganmu beberapa jurus lagi. Tapi, tampaknya kau tak
bisa lagi menjadi lawan tandingku. Lebih menyesal lagi, pemimpinku menugaskan
agar pekerjaanku harus diselesaikan secara tuntas.
Jadi...."
"Kau ingin bunuh aku?
Bunuhlah Aku tak pernah gentar untuk mati di tanganmu, Bangsat"
"O-o-o Itu sudah pasti
kulakukan. Nah, terimalah ke.... Akh" Tanpa sempat menyelesaikan
kalimatnya, lelaki bertopeng keji itu mengejang. Matanya mendelik keatas.
Sedangkan dadanya membusung ke depan tegang. Tak pernah diduga kalau ucapannya
tadi justru menjadi sambutan bagi ajalnya sendiri.
"Ya Terimalah kematianmu,
Iblis Keparat," ujar seseorang di belakangnya seraya membetot tangan
kanannya dari tubuh lelaki bertopeng itu. Orang yang membokong memang murid
tertua Perguruan Tangan Wesi.
Bruk
Tubuh lelaki bertopeng ambruk
ke depan seperti sebatang pohon tumbang. Di bokongnya kini terlihat jelas
lubang menganga, yang mengeluarkan darah segar.
"Menyingkirlah, Adi
Selamatkan dirimu bagaimanapun caranya" perintah lelaki berperawakan
pendek kekar dengan kumis melintang di bawah hidungnya. Sementara kepalanya dicukur
gundul.
"Tapi, Kang
Manggala...."
"Jangan pakai tetapi Kau
harus menjadi saksi mata atas kejadian ini, agar para tokoh aliran putih bisa
menyelesaikannya. Sehingga, kejadian seperti ini tidak terulang pada perguruan
lain" hardik orang yang dipanggil Manggala, tanpa maksud memarahi adik
seperguruannya.
"Baik, Kakang. Tapi bukan
berarti aku takut mati.
Kau harus tahu itu,
Kakang," ucap murid yang dua kakinya buntung itu.
"Aku tahu. Kita semua
bukan orang-orang pengecut. Kita adalah ksatria yang tak gentar mati demi
menghadapi kebatilan. Ayo, cepatlah Adi...,"
pinta Manggala dengan suara
bergetar.
Meski Manggala dikenal sebagai
lelaki berjiwa tegar, tak urung perasaannya tersentuh melihat semangat juang
adik seperguruannya.
Dalam kancah pertarungan yang
kian mendebar bau anyir darah, seorang murid Perguruan Tangan Wesi terseok-seok
menyeret tubuh untuk keluar dari medan kematian. Mata berairnya tak henti-henti
menatapi mayat demi mayat saudaranya.
"Kalau kalian gugur semua
hari ini, aku berjanji tidak akan menangisi. Karena kalian adalah ksatria.
Ya, ksatria. Dan walau aku
ditinggalkan sendiri di dunia busuk ini, yang penting kalian jangan memisahkan
aku pada saat kita akan bertemu lagi nanti...."
*** 8
Andika semula berharap,
bencana yang menimpa dua perguruan yang dikunjungi sebelumnya, tidak menimpa
Perguruan Tangan Wesi pula. Namun, Tuhan berkehendak lain. Apa yang
diharapkannya ternyata melesat. Begitu pun keinginannya agar tidak terlambat
tiba di perguruan itu.
Setibanya di Perguruan Tangan
Wesi, matanya malah menyaksikan pembantaian. Manggala, murid tertua perguruan
itu pun menemui ajal, tepat saat Andika menjejakkan kaki di pelataran
perguruan.
Darah Pendekar Slebor mendidih
sehebat-
hebatnya. Kemurkaannya yang
memang sudah menggelegak, kini tiba di puncak ubun-ubun. Dalam sekejap,
rahangnya mengeras. Demikian pula seluruh otot di sekujur tubuhnya. Dadanya
kini ibarat gunung berapi yang siap meletus.
"Kalian keparat semua
Akan kubantai kalian, seperti kalian bantai mereka" bentak Andika
menggelegar, seraya menunjuk pada serakan mayat para murid Perguruan Tangan
Wesi.
Teriakan itu mengejutkan dua
puluh orang bertopeng yang masih hidup. Serempak mereka menoleh ke arah Andika,
dengan tatapan siaga.
Namun kesiagaan itu percuma, karena
Pendekar Slebor telah bergerak sebelum mereka lebih lama melihatnya.
"Hiaaat"
Wesss
Bayangan hijau muda dari
pakaian Pendekar Slebor bergerak dalam kecepatan luar biasa. Mata para lelaki
bertopeng sampai-sampai begitu sulit menangkap bentuk tubuhnya, kecuali
seberkas bayangan hijau muda.
Plak Des
Dan tiba-tiba saja, seorang
bertopeng terpental tinggi ke udara. Dari mulutnya berceceran percikan darah.
Entah apa yang hancur dari bagian tubuhnya, setelah menerima hantaman Pendekar
Slebor. Yang pasti, begitu tubuhnya ambruk di tanah, sudah tak memiliki nyawa
lagi.
Andika terus berkelebat,
lalu....
"Khaaah"
Deb Krak
"Waaa"
Menyusul dua lelaki bertopeng
yang kontan ambruk terkena serangan Pendekar Slebor. Kedua orang itu pun
terpental bagai batang pohon kering terhempas topan. Satu orang memuntahkan
darah segar, setelah menerima jotosan telak yang langsung memecah ulu hatinya.
Seorang lagi tak sempat berteriak. Kepalanya remuk begitu saja dari ubun-ubun
hingga pangkal hidung.
Tujuh belas lelaki bertopeng
lain terkesiap bukan alang kepalang. Seumur hidup, belum pernah mereka
menyaksikan serangan yang begitu cepat. Bagi mereka, kecepatan itu sudah tidak
mungkin dilakukan manusia. Tapi kenyataan yang terjadi di depan mata? Sungguh
membuat mereka bertanya dalam hati masing-masing, apakah mereka telah diserang
siluman sinting?
Untuk menjawab pertanyaan itu,
mereka tidak punya waktu lagi. Langkah terbaik sisa pasukan bertopeng itu
adalah bersiap menanti serangan datang. Seandainya melarikan diri pun tampaknya
sia-sia belaka, karena dengan mudah sosok bayangan hijau itu akan dapat
mengejar.
"Jangan lengah" seru
salah seorang yang tampaknya menjadi pemimpin pasukan, mempe-ingati bawahannya.
Baru saja seruan itu
selesai....
Plak
"Aaa"
Kembali terdengar pekikan,
yang diawali suara tamparan keras. Tampak seorang laki-laki bertopeng
terjengkang ke tanah.
Melihat kenyataan ini, nyali
sisa pasukan bertopeng makin menciut. Napas mereka tersengal tak beraturan,
sebagai ungkapan kengerian yang terjadi. Orang-orang keji itu kini bisa
merasakan, bagaimana keadaan bila maut siap menjemput seperti dialami
murid-murid Tangan Wesi.
"Kenapa kalian diam saja?
Apa iblis di diri kalian telah pergi, setelah puas membantai?"
Terdengar teriakan Andika dari
sebelah selatan pelataran.
Secara berbarengan, keenam
belas lelaki
bertopeng itu menoleh. Kini
mereka baru bisa melihat jelas sosok yang dihadapi. Dia adalah seorang pemuda
yang ketampanannya kini diselimuti kobaran api kemurkaan.
"Sss..., siapa kau
sebenarnya?" tanya pemimpin pasukan bertopeng agak gentar.
"Aku? Aku siapa,
ya?" cemooh Andika, mencibir,
"Barangkali orang sinting
yang begitu berselera menghisap darah kalian hidup-hidup."
Bibir Pendekar Slebor kali ini
menyeringai penuh ancaman. Sementara dari balik topeng, mata keenam belas
lelaki bertopeng itu menyipit. Bisa jadi mereka menanggapi secara
sungguh-sungguh ucapan Andika barusan.
"Kam... kami tidak ada
urusan denganmu. Kenapa kau turut campur?" untuk yang kedua kalinya, sang
Pemimpin pasukan bertopeng bertanya tersendat.
"Ada Kenapa tidak?"
bentak Andika sangar.
"Kalian tahu apa
hubunganku dengan orang-orang yang telah kalian bantai?"
Para lelaki bertopeng itu
saling melirik. Bagaimana pertanyaan terakhir Pendekar Slebor terjawab, kalau
mereka sendiri tidak mengenalnya.
"Tidak tahu, kan? Aku
juga tidak tahu" cerocos Pendekar Slebor lagi.
Kata-kata Andika membuat
keenam belas lelaki di sekitarnya makin yakin kalau orang yang dihadapi memang
orang sinting tulen.
"Kau ingin tahu?"
bentak Andika pada pemimpin pasukan lawan.
Bentakan barusan disertai
penyaluran tenaga dalam penuh, sehingga terdengar mengguntur.
Pemimpin orang bertopeng yang
memang sudah jatuh nyali tersentak bukan main. Sampai-sampai kepalanya
tersentak ke atas seperti sedang mengangguk.
"Bagusss Jadi kau ingin
tahu?" sambung Andika setelah melihat gerakan kepala lelaki itu.
"Kalau kau dan anak buahmu benar-benar ingin tahu, maka kuizinkan pergi
dari sini...."
Mereka amat lega mendengar
keputusan terakhir Andika.
"Dan kalian harus ke
suatu tempat, untuk mengetahui jawabannya" terabas Andika lagi.
Keenam belas lelaki bertopeng
itu menunggu kata Pendekar Slebor selanjutnya. Mereka berharap, pemuda sinting
itu menyebutkan nama suatu tempat.
Sehingga mereka bisa aman
meninggalkan pelataran Perguruan Tangan Wesi.
Sementara itu, Andika malah
menggeram tak karuan.
"Grrrmmmhhh Ya Kalian
harus pergi ke... ke neraka"
Kelegaan sesaat mereka buyar
seketika mendengar jawaban Pendekar Slebor. Jantung mereka saat itu juga terasa
hendak berhenti berdenyut, dengan napas tersekat di tenggorokan. Bagaimana
mereka tidak setakut itu kalau pemuda berbaju hijau ini memiliki kesaktian yang
tak mungkin ditandingi, meski dikeroyok sekaligus.
"Ampun...."
Baru saja pemimpin pasukan
bertopeng hendak memohon ampun, mulut Pendekar Slebor sudah memperdengarkan
gelegar menggetarkan bangunan perguruan.
"Khhhuaaa..."
Lalu....
Pendekar Slebor langsung
berkelebat cepat, sambil melepaskan pukulan dan tendangan berturut-turut.
Begitu cepat gerakannya, sehingga....
"Akh"
"Waaakh...."
Dua lelaki bertopeng yang
berdiri paling dekat terhempas ke belakang bagai tanpa bobot, begitu terhantam
pukulan dan tendangan Andika. Tubuh keduanya baru berhenti terlempar, kala
menghantam dinding bangunan perguruan. Dinding itu langsung remuk, seperti
remuknya tubuh kedua lelaki yang termakan serangan Pendekar Slebor.
Saat berikutnya.... Pendekar
Slebor kembali berkelebat, disertai tamparan khas. Dan....
Jbret Prak Prak
"Aaakh... Aaa...
Aaakh..."
Tiga suara menggidikkan
terdengar dalam waktu hampir bersamaan. Satu orang langsung melintir di udara
terhajar tamparan sakti pada wajahnya. Dua orang lagi masih tetap tegak di
tempat. Namun kepalanya sudah tidak utuh lagi, terkena babatan tangan pada
leher. Lalu keduanya ambruk bersamaan, disertai semburan darah segar.
Pendekar Slebor tak puas
sampai di situ. Baginya, mereka telah berhutang nyawa puluhan murid Perguruan
Tangan Wesi. Suka tidak suka, hutang itu harus dibayar lunas dengan nyawa.
"Hiaaa"
Kembali terdengar teriakan
merobek angkasa dari Pendekar Slebor. Ketika teriakan itu terdengar, tubuhnya
sudah tidak ada di tempat. Saat berikutnya, Pendekar Slebor sudah tiba di depan
empat lawan yang tersurut ketakutan. Dan tanpa dapat ditangkap mata, tangannya
bergerak membentuk kelebatan hijau muda.
Deb, deb, deb, deb
Empat jotosan telak langsung
menghajar ulu hati keempat lelaki bertopeng. Wajah mereka sulit digambarkan
dengan mata terbeliak.
Tak terlontar jeritan sedikit
pun dari mulut keempat lelaki bertopeng itu, karena nyawa lebih dahulu terlepas
ketika ambruk di tanah.
Bruk, bruk, bruk, bruk
Menyaksikan kematian
mengerikan kawan-
kawannya, sisa pasukan
bertopeng itu putus harapan.
"Ampuni kami, Tuan Ampuni
kami...." Seperti bocah kecil bodoh, mereka serempak berlutut sambil
merengek-rengek.
Pendekar Slebor sendiri sudah
berdiri tepat di depan mereka dengan napas mendengus-dengus.
Hanya napas banteng ngamuk
yang bisa menandingi kekerasan Andika. Tak ada tanda-tanda kalau Andika telah
puas atas kematian para lawannya tadi. Itu terlihat jelas dari warna matanya
yang memerah matang. Namun entah kenapa, Pendekar Slebor menghentikan gerak
menggilanya kala sisa pasukan bertopeng itu berlutut memelas. Seolah ada satu
kekuatan dari relung batinnya yang mencegah serangannya.
"Ka..., kami memang
manusia busuk, Tuan. Kami mengaku bersalah. Kami juga mengaku, kalau kami semua
pantas mendapat perlakuan seperti yang Tuan Pendekar lakukan. Tapi, tolong beri
kesempatan hidup agar kami dapat menebus semua kesalahan,"
pinta seorang dari mereka
mengiba.
"Kalian bisa menebus
kesalahan hanya dengan nyawa...," tandas Andika bergetar dan terdengar
dingin.
"Tapi, apakah di hadapan
Tuhan kami tidak bisa bertobat, Tuan Pendekar? Kalau Tuan tidak bisa mengampuni
kami, sudikah menyerahkan kami pada Tuhan Penguasa Alam. Biar Dia yang akan
menentukan, hukuman apa yang
pantas bagi kami...,"
lanjut orang itu makin lirih.
Kepalanya tertunduk dalam, seperti juga kawan-kawannya.
Seberkas kekuatan asing
tiba-tiba menyeruak kembali dari relung batin Andika yang terdalam.
Seolah, dalam dirinya
terdengar ucapan, "Tuhan Maha Pengampun...."
Lalu terjadi keganjilan.
Seluruh daya kemurkaan yang bergolak dalam diri Andika surut bagai tersapu
gelombang maha sejuk.
"Baiklah.... Kalian
kumaafkan," putus Andika perlahan. "Namun, kuminta kalian membuka
topeng itu. Di mataku, topeng itu adalah perlambang manusia tak bertanggung
jawab. Bisanya hanya melakukan kebusukan dari belakang, namun tetap ingin
dianggap orang baik...."
Mereka pun memenuhi permintaan
Andika. Satu persatu mereka melepas kain hitam penutup kepala.
Sampai pada orang terakhir
yang membuat Andika mengerutkan dahi dalam-dalam.
"Kau.... Jiran?"
ujar Andika setengah bertanya.
*** 9
Andika benar-benar tak menduga
kalau Jiran, lelaki yang pernah disaksikannya saat dipermainkan Walet di pasar
Desa Dukuh, ada di antara orang-orang bertopeng itu. Setahu dia, Jiran bukan
murid Perguruan Ular Iblis.
"Tuan Pendekar
mengenalku?" tanya Jiran terheran-heran.
"Bukankah kau yang hendak
membunuh seorang bocah di pasar Desa Dukuh waktu itu?" Andika balik
bertanya, seakan ingin meyakinkan diri.
"Maafkan aku, Tuan. Waktu
itu aku khilaf," sahut Jiran.
"Jadi benar?"
Jiran mengangguk.
"Apa hubunganmu dengan
Perguruan Ular Iblis?"
tanya Andika kembali.
"Tidak ada Tuan...."
Alis Andika langsung bertaut
rapat. Kelihatannya ada sesuatu yang tak beres.
"Kau bersedia
menceritakan padaku tentang semua yang kau ketahui?" tanya Andika,
setengah mendesak.
Jiran tak segera menjawab. Air
wajahnya berubah, memperlihatkan ketakutan. Kepalanya pun menggeleng-geleng tak
beraturan. Di mata Andika, lelaki itu tampak amat gelisah.
"Kau takut pada
seseorang?" duga Andika.
Jiran langsung mengangguk.
Matanya menebar takut-takut ke setiap penjuru, seakan sedang diintai maut.
"Ketakutan itu tak perlu
disimpan. Aku akan berusaha melindungimu. Lagi pula, bukankah kau ingin
bertobat? Inilah saatnya untuk membuktikan kesungguhanmu pada Tuhan. Paling
tidak, kau telah berusaha menebus sedikit dosamu...," desak Andika, berusaha
menekan ketakutan Jiran.
Lama Jiran meremas-remas
tangannya sendiri.
"Baiklah, Tuan Pendekar.
Aku harap ini bisa menebus sedikit kesalahanku...," desah Jiran, akhirnya.
Andika lega. Bibirnya
menawarkan senyum senang pada keputusan Jiran yang berani menanggung akibat
demi tobatnya.
"Silakan," ucap
Andika. "Aku senang sekali mendengarnya."
"Sebenarnya, seluruh
bencana yang terjadi di kadipaten ini tidak ada hubungan sama sekali dengan
Perguruan Ular Iblis," Jiran memulai ceritanya.
"Perguruan itu memang
tertutup dan penuh kerahasiaan, tapi tidak pernah melakukan tindak
kerusuhan...."
"Jadi, selama ini ada
seseorang yang hendak memfitnah perguruan itu?" selak Andika.
"Lebih tepat, jika
dikatakan hendak mengadu domba, Tuan," lanjut Jiran. "Orang-orang
bertopeng yang menyerbu ke Perguruan Elang Hitam dan Perguruan Naga Langit,
sengaja diperintah untuk meninggalkan kalung berlambang Perguruan Ular Iblis.
Demikian juga, beberapa orang yang melakukan pengacauan. Mereka diperintah
untuk mengenakan pakaian berlambang perguruan itu. Dengan begitu, Perguruan
Ular Iblis akan makin dibenci perguruan lain di kadipaten ini. Dan setiap
kejahatan yang terjadi perguruan itu akan langsung dituding sebagai
pelakunya...."
"Sementara orang yang
memfitnah bisa bertindak seenaknya tanpa kedoknya terbuka? Agar dia tetap
dipandang bersih dan tetap aman?" selak Andika lagi.
"Benar, Tuan...,"
jawab Jiran singkat. Sesaat Andika bergumam samar. Ditepuk-tepuknya dagu dengan
jemari tangan kanannya.
"Lalu, bagaimana caranya
manusia keparat itu dapat melakukan pembunuhan keji, dengan memasukkan puluhan
batang jarum ke dalam tubuh manusia?" lanjut Andika.
Jiran baru hendak menjawab.
Tapi otak jernih Andika sudah lebih dahulu menemukan jawabannya.
"Pasti Mustika Putri
Terkutuk itu" duga Pendekar Slebor agak heran, setelah ingat pesan
terakhir Ki Kusuma.
"Benar, Tuan. Bagaimana
Tuan tahu tentang mustika itu?" tanya Jiran heran.
"Bagaimana mustika itu
dapat digunakan untuk membunuh?" lanjut Andika, seakan tidak mendengar
pertanyaan Jiran tadi.
"Kalau itu aku tidak
tahu, Tuan," jawab Jiran.
Padahal, Andika tidak
mengajukan pertanyaan itu pada dirinya.
"Sekarang katakan, siapa
biang keladi semua ini?
Siapa dalang pembantaian keji
ini?" tanya Andika dengan kata-kata tegas.
Untuk kesekian kalinya, Jiran
melirik kian kemari.
"Gusti Adipati,
Tuan...," bisik Jiran amat halus, dan takut-takut.
Andika menatap Jiran dengan
sinar mata tak percaya. Kelopak matanya tampak menyipit, seakan hendak
membuktikan kesungguhan di wajah lelaki itu. "Kau jangan main-main,
Jiran," tandas Pendekar Slebor setengah memojokkan. "Apa kau pikir
aku akan mudah dipermainkan?"
Jiran menggeleng-gelengkan
kepala. Alis matanya terlihat merapat, untuk memperlihatkan kesungguhan
ucapannya barusan.
"Kalau Tuan tidak
percaya, aku bisa dilumpuhkan selama Tuan membuktikan hal itu. Kalau aku
ternyata menipu, Tuan boleh membunuhku," tegas Jiran yakin.
Andika menarik napas. Sudut
bibirnya sedikit terangkat. Dia tidak bisa lagi menganggap lelaki itu hendak
menipunya. ,
"Ya, Tuhan...,"
desis Andika tiba-tiba terperangah.
Saat itu pula dia ingat
sesuatu. "Walet ada di kadipaten. Dan dia pernah hendak dibunuh oleh
seorang berpakaian orang Perguruan Ular Iblis yang sudah pasti kaki tangan
Adipati itu juga. Bocah itu kini dalam sarang harimau, dan berarti dalam bahaya
besar...."
"Tuan sedang berbicara
padaku?" usik Jiran pada Andika.
"Walet Kau kenal dia,
kan?"
"Jadi bocah itu masih
hidup?" sergah Jiran bingung. Setahunya, anak itu telah habis direncahnya.
"Kau tahu, kenapa Adipati
Tunggul Manik ingin membunuhnya?" tanya Andika tergesa, dirasuki
kekhawatiran pada nasib Walet.
"Aku tidak tahu, Tuan.
Hanya waktu aku dipecundangi bocah itu seminggu sebelumnya, aku melapor pada
Adipati. Mendengar laporanku, Adipati Tunggul Manik tampak geram. Aku masih
ingat, telapak tangannya dipukul keras. Setelah itu, dia membisikkan sesuatu
pada Artabuncah...."
"Artabuncah? Lelaki yang
wajahnya cacat bekas sayatan?"
"Betul, Tuan. Dia tangan
kanan Adipati."
Dugaan Andika jadi memang
benar. Tapi, apa alasannya Walet hendak dibunuh? Lama Andika memikirkan
pertanyaan itu, sampai akhirnya menyerah.
"Ah, sudahlah. Begini
saja. Kalian lebih baik sembunyi dulu, selama aku menyelesaikan masalah ini.
Aku tak ingin kalian jadi korban kejahatan Adipati Tunggul Manik," putus
Andika secepatnya. "Aku harus segera ke kadipaten. Kawan kecilku dalam
bahaya."
"Tapi, di mana tempat
yang aman bagi kami, Tuan.
Seluruh kadipaten ini selalu
ditempatkan mata-mata Adipati?" tukas Jiran dengan wajah pasi.
"Ng..., lebih baik kalian
pergi ke Perguruan Naga Langit. Katakan, kalian adalah utusan Pendekar
Slebor," ujar Andika cepat.
"Jadi Tuan ini Pendekar
Slebor?" kata Jiran setengah berseru.
Wajah lelaki itu menampakkan
keterkejutan yang amat sangat. Begitu juga kawannya. Pantas saja mereka merasa
tak mampu menghadapi pendekar muda itu.
Kalau Jiran menatap Andika
penuh kekaguman, Andika sendiri mendadak terdiam. Benaknya ter-ngiang kembali
pesan Ki Kusuma saat teringat Perguruan Naga Langit.
"'Kendi berisi
telaga'...," bisik Andika. "Bukankah ibarat itu berarti seseorang
yang berjasmani kecil, namun memiliki isi besar, artinya memiliki jiwa yang
tangguh. Walet Dialah orang yang dimaksud wanita cantik dalam 'petunjuk' Ki
Kusuma, orang yang mampu membantu menghadapi kekuatan Mustika Putri Terkutuk
Pantas, Adipati Tunggul Manik hendak membunuh Walet Ya, bocah itulah yang
sanggup menghalanginya memanfaatkan kekuatan Mustika Putri Terkutuk...."
Andika mengangguk-angguk penuh
kepuasan.
Kemudian Pendekar Slebor pamit
pada sisa pasukan bertopeng yang masih menatapnya, seperti kumpulan orang'
dungu. Sampai tubuh Andika menghilang, barulah mereka tersadar.
***
Kekadipatenan siang itu
terlihat lengang. Dua prajurit jaga tampak berdiri tegak di sisi pintu gerbang.
Angin siang berhembus sepoi-sepoi, membuat keduanya agak terkantuk. Di sekitar
pagar tembok kadipaten, pepohonan bergemerisik diusik angin lalu.
Di sebuah kamar dalam bangunan
kadipaten, Walet tertidur pulas. Sejak Andika pergi, bocah lelaki itu sama
sekali tidak bisa memicingkan mata. Tanpa sempat tertidur, Walet terus menunggu
Andika kembali. Seolah-olah, dia dapat merasakan perjuangan Andika jauh di
sana. Setelah keletihan meringkusnya habis-habisan, dia tak bisa lagi terjaga.
Di kamar yang disediakan
Adipati Tunggul Manik bocah itu akhirnya tertidur.
Cukup lama kamar Walet tampak
damai. Kuakan jendela tempat angin melintas masuk mengirim cahaya siang ke
dalam kamar yang ditata apik ini. Di sebelah jendela tampak lemari besar
berukir berdiri.
Di sudut lain, sepasang meja
dan kursi berukir terpaku bisu. Tirai putih yang menutup tempat tidur yang
selama hidup baru dinikmati Walet, merambai halus ketika angin menerpa. Semua
itu tak sedikit pun menampakkan ancaman bagi Walet. Namun, tanpa disadari
sepasang mata bengis tampak mengamatinya dari balik dinding. Dari sang
Pengintai itulah bahaya maut siap mencengkeram jiwa Walet.
Saat berikutnya, lemari besar
berukir bergeser perlahan. Suara geserannya begitu halus, sehingga tak mengusik
kenyenyakan tidur Walet. Namun begitu, kalaupun suaranya terdengar lebih keras,
Walet sepertinya tetap melayang dalam mimpi. Dia memang sudah begitu lelah,
membuat tidurnya amat nyenyak.
Grrr...
Setelah lemari bergeser satu
tombak, terlihatlah satu lubang persegi sebesar pintu. Dari sana, seseorang
muncul mengendap. Dan ternyata orang itu Adipati Tunggul Manik
Lelaki setengah baya itu kini
tidak lagi mengenakan pakaian kebesaran, melainkan berpakaian jubah hitam
dengan sabuk kain di bagian pinggang. Celananya berwarna hitam pula. Sedangkan
kepalanya diikat kain berwarna merah darah.
Sangat hati-hati Adipati
Tunggul Manik mendekati Walet. Sedikit pun tak terdengar suara kala sepasang
kaki lelaki itu bersentuhan dengan lantai. Padahal dia mengenakan kasut kayu.
Dengan begitu, terlihat jelas bagaimana tingginya ilmu meringankan tubuhnya.
Adipati Tunggul Manik makin
dekat. Dan ketika tiba tepat di sisi tempat tidur Walet, tangan kanannya
bergerak meraih sesuatu dari belakang tubuhnya.
Sret
Keris dari baja hitam sepanjang
dua jengkal kini tergenggam kuat-kuat, siap dihujamkan ke tubuh bocah kecil
yang tetap tertidur pulas. Sehati-hati langkah Adipati Tunggul Manik, senjata
itu diangkat tinggi-tinggi di atas tubuh Walet. Sesaat keris itu hendak
dihujamkannya ke dada Walet, tiba-tiba....
"Adipati Keluar kau"
Terdengar bentakan keras
menggelegar yang tidak hanya mengagetkan Adipati Tunggul Manik. Walet punkontan
tersentak kaget, hingga terjaga.
Menyaksikan calon korbannya
terbangun, Adipati Tunggul Manik bergerak sigap. Hanya sekali hentak saja,
tubuhnya berputar ke belakang di udara. Dalam waktu yang demikian cepat, dia
sudah menghilang kembali di balik pintu rahasia sebelum Walet benar-benar
sadar. Dan lemari besar di sisi jendela itu pun kembali ke tempat semula.
"Adipati Di mana
kau?" Kembali terdengar seruan di luar.
"Hei? Bukankah itu suara
Kang Andika?" gumam Walet seraya mengusap-usap kelopak matanya yang sepat.
Bergegas bocah itu bangkit,
lalu meninggalkan kamar. Dia terus berlari, melewati lorong-lorong kamar. Dan
setibanya di luar, bocah kecil itu berteriak girang melihat lelaki yang
ditunggu-tunggunya seharian penuh telah kembali.
"Kau sudah pulang, Kang?
Wah, bawa oleh-oleh apa?" kata Walet.
"Kesini kau"
Bukannya menjawab, Andika
malah berseru keras-keras pada Walet.
Dengan wajah bersungut-sungut,
Walet meng-hampiri Andika.
"Ada apa sih. Kang?
Kayaknya sewot sekali...,"
gerutu bocah itu. "Kau
baik-baik saja?" tanya Andika segera, ketika Walet sampai di dekatnya.
Walet menaikkan satu sudut
bibirnya. Dipandangi-nya Andika dengan bola mata terangkat ke atas.
"Ya, baik-baik saja. Apa
aku kelihatan seperti orang sakit lepra?" sahut Walet asal bunyi.
"Bagus Berarti bajingan
itu tidak memiliki kesempatan untuk menghabisimu...."
"Banjingan? Siapa,
Kang?" tanya Walet. Bocah itu bingung melihat sikap Andika yang begitu
tegang.
Matanya bahkan bergerak-gerak
siaga, seakan hendak mengawasi setiap gerak mencurigakan di seluruh penjuru
kekadipatenan ini.
"Pasti selama ini kau
selalu waspada. Itu bagus"
lanjut Andika, tanpa
mempedulikan keheranan bocah kecil di depannya.
"Selama Kang Andika
pergi, aku memang tidak bisa tidur. Mataku melek terus, seperti kerbau
kebanyakan kopi"
"Kau tahu di mana Adipati
Tunggul Manik?" tanya Andika lagi.
"Mana aku tahu. Tadi aku
ketiduran," sahut Walet acuh. "Memangnya ada apa, Kang?"
Lagi-lagi Andika seperti tidak
mempedulikannya.
"Adipati Keluar kau Apa
perlu aku yang memaksamu keluar"
Pendekar muda itu malah
berseru kembali dengan tenaga penuh, membuat Walet menutup telinganya
rapat-rapat.
"Kang Oi, Kang Apa Kakang
baru dicolek setan sewot?" dengus Walet sambil mendongak ke wajah tegang
Andika. "Dan.... Kenapa dengan dua prajurit di pintu gerbang itu?"
Walet mengarahkan pembicaraan
ketika matanya menemukan tubuh kedua prajurit tergeletak lemah.
"Aku menotoknya,"
jawab Andika singkat. Tanpa menoleh sedikit pun.
Sikap Andika itu membuat Walet
mulai dongkol.
Maka disikutnya lengan Andika.
"Kenapa Kakang jadi
usil?" tanya Walet, setengah menggerutu.
"Kau tidak mengerti. Nanti
akan kujelaskan semuanya," sergah Andika.
"Aku maunya sekarang,
Kang."
Andika tidak menanggapi, tapi
malah sibuk mengawasi bangunan kadipaten yang masih tetap sepi.
"Kaaang, aku maunya
sekarang" jerit Walet sewot.
"Diam Ini bukan waktunya
bergurau" hardik Andika.
Terpaksa Walet menutup
bibirnya rapat-rapat.
Rupanya pemuda itu memang
bersungguh-sungguh.
Tak lama kemudian beberapa
orang muncul dari bangunan kadipaten dengan setengah berlari.
Mereka menuju halaman depan,
dan satu persatu berdiri menyusun pagar betis. Sehingga, terbentuklah empat
baris yang terdiri dari puluhan orang. Mereka adalah para prajurit pilihan
kadipaten yang ditempatkan di padepokan belakang.
Layaknya para prajurit
pilihan, tubuh mereka rata-rata tegar berotot dengan dada bidang membusung
penuh percaya diri. Mereka hanya mengenakan celana hitam sebatas betis yang
dililit kain batik, tanpa memakai baju. Sementara rambut mereka digelung ke
atas. Di tangan masing-masing tergenggam sebatang tombak serta tameng besi.
Puluhan prajurit itu siap
menjalani titah junjungannya, tanpa pernah disadari kalau ternyata diumpankan
untuk membela seorang berhati busuk dan bermuka dua.
"Kalian kuminta
menyingkir Jangan sampai kalian mati di tanganku hanya karena telah dibodohi
Adipati," pinta Andika.
"Tidak mungkin. Mereka
adalah punggawa istana yang berkewajiban menjalani segala titah
junjungannya..." seru seseorang dari belakang barisan. Kemudian muncul dua
orang berpakaian senapati dan berpakaian tumenggung. Masing-masing bernama Senapati
Wisesa dan Tumenggung Adiguna.
Senapati Wisesa berperawakan
tinggi dan tegap.
Dadanya yang kekar berisi,
ditutup selempengan kain merah berjumbai benang warna emas di sisinya.
Seperti juga para prajurit,
dia mengenakan celana hitam yang dililit kain batik. Bedanya, pada ujung
celananya terdapat hiasan dari benang perak.
Wajah Senapati Wisesa
tergolong tampan. Apalagi, mengingat usianya yang masih tiga puluh lima tahun.
Kumis tebal serta cambang
hitam di depan telinga, membuat penampilannya terlihat kian gagah.
Rambutnya digelung ke atas
dengan hiasan kepala dari perak berukir. Di tangannya terhunus keris pusaka
miliknya.
Sementara Tumenggung Adiguna
bertubuh agak gemuk. Badannya ditutup pakaian kebesaran seorang tumenggung. Dia
berbaju dan bertopi hitam, seperti milik Adipati. Bentuk topinya yang seperti
tabung meninggi itu, dihiasi garis-garis lurus berwarna emas.
Begitu pula ujung-ujung
bajunya, dihiasi ukiran berwarna emas. Celananya berwarna putih susu, dibalut
batik dan diikat kain bergaris merah putih.
Wajah Tumenggung Adiguna agak
bulat, tanpa ditumbuhi kumis atau cambang bauk. Usianya cukup tua, membuat
matanya agak abu-abu. Namun, wajahnya memancarkan kewibawaan tinggi. Bibirnya
yang agak tipis berlawanan dengan hidungnya yang agak tebal.
"Tuan Senapati dan Tuan
Tumenggung," mulai Andika kembali, "Aku sangat menghormati kalian,
selaku pembesar terhormat. Jadi kuharap kalian tidak menghalangiku untuk
meringkus Adipati Tunggul Manik."
"Bagaimana mungkin kami
membiarkan begitu saja junjungan kami diusik orang?" sanggah Tumenggung
Adiguna tegas.
"Kalian harus
mempercayaiku...."
"Karena kau seorang
pendekar kesohor?" selak Senapati Wisesa.
"Bukan...," Pendekar
Slebor segera menggeleng.
"Karena aku telah
mendapatkan bukti kalau junjungan kalian telah melakukan makar jahat."
"Bagaimana orang yang
baru dikenal seperti dirimu bisa dipercaya, kami sudah kenal lama pada Kanjeng
Adipati, selaku pemimpin yang baik," sanggah Tumenggung Adiguna kembali.
"Kalian memang tak bisa
mempercayaiku begitu saja. Aku bisa memaklumi. Tapi, izinkanlah aku meringkus
Adipati dahulu. Setelah itu, baru kalian kupertemukan pada seseorang yang
mengetahui jelas kejahatan tersembunyi yang dilakukannya," tutur Andika
berusaha bersabar.
"Bagaimana kami harus
mempercayaimu?
Bagaimana kalau kau ternyata
menipu kami?" tanya Tumenggung Adiguna, lagi-lagi berusaha menyudut-kan
Andika.
Andika kini benar-benar mati
kutu. Bagaimanapun caranya, memang sulit menembus kesetiaan mereka pada
junjungan. Apalagi, Andika tidak bisa langsung membuktikan seluruh makar
Adipati Tunggul Manik.
Namun begitu, Andika harus
tetap meringkus Adipati Tunggul Manik untuk diserahkan pada pihak Perguruan
Naga Langit. Di lain sisi, dia tak ingin ada korban tak berdosa di pihak
kadipatenan. Karena mereka sebenarnya hanya menjalankan tugas tanpa tahu
apa-apa.
Kini, Andika benar-benar
berada dalam keadaan sulit. Seakan dia dihadapkan pada buah simalakama.
Dua pilihan yang meski
diambil, tapi sama-sama mengandung bahaya. Kalau bersikeras untuk meringkus
Adipati Tunggul Manik, maka mau tak mau harus dihadapinya para prajurit dan
Senapati Wisesa dan bersama Tumenggung Adiguna. Itu berarti mem-bahayakan jiwa
mereka. Sementara, kalau usaha meringkus Adipati ditangguhkan, maka bisa saja
pengkhianat rakyat itu melakukan tindakan yang bisa memakan korban lebih banyak
di pihak rakyat.
"Jadi lebih baik kau
segera menyingkir dari tempat ini sebelum kami bertindak," ujar Senapati
Wisesa mengancam.
Andika tidak berbuat apa-apa.
Peringatan Senapati Wisesa tadi seperti tidak didengarnya. Bukan apa-apa.
Andika hanya sedang diamuk kebimbangan, untuk mengambil satu keputusan. Meski
dirinya dikenal sebagai pendekar berotak encer, keadaan yang dihadapinya kali
ini tetap saja menyulitkan.
Sikap Andika itu tentu saja
memancing kegusaran Senapati Wisesa. Selaku petinggi, sikapnya harus tegas pada
siapa pun. Tak peduli, orang itu pendekar yang disegani di seantero persilatan
sekalipun.
"Kalau itu maumu, apa
boleh buat...," tandas senapati itu. Kemudian.... "Seraaang"
Layaknya air bah, puluhan
prajurit segera menyerbu Pendekar Slebor. Dalam sekejap mata saja, Pendekar
Slebor sudah dikepung. Hanya ada satu tujuan di benak para prajurit saat itu,
menunaikan tugas sebaik-baiknya.
"Hiaaat"
Seruan perang terlontar ke udara,
seiring tusukan tombak.
Wut, wut, wut
*** 10
Sejak malang melintang dalam
dunia persilatan, maka pertarungan terberat yang dialami Andika kali ini adalah
pertarungan yang terberat. Bukan karena lawan-lawan yang meski dihadapinya
rata-rata berkepandaian tinggi. Kalaupun mereka semua mengeroyoknya, belum
tentu mampu mengalahkan pendekar urakan ini. Tentu saja selaku pendekar sejati,
Andika merasa berat untuk menurunkan tangan kejam pada orang-orang yang
sebenarnya hanya diperalat.
Namun demikian, Pendekar
Slebor tidak begitu bodoh untuk membiarkan tubuhnya direncah puluhan batang
tombak yang mengancam dirinya dari segala penjuru. Secepatnya dilepas kain
pusaka dari pundaknya. Dengan penyaluran tenaga dalam secukupnya, serbuan
tombak para prajurit itu bisa disapu bersih.
"Hih"
Wut Kra-krak-krak-krak
Satu rentetan suara patahan
tombak terdengar.
Dua puluh tiga prajurit saat
itu juga terlonjak, mengikuti hentakan pada senjata masing-masing.
Tombak mereka sendiri sudah
tidak memiliki ujung lagi, patah terkena hantaman senjata ganjil Andika.
Patahannya bertebaran sesaat
di udara, lalu jatuh berserakan di tanah.
Serangan awal yang gagal itu
dilanjutkan serangan susulan oleh para prajurit. Sebagai pasukan pilihan,
dengan sigap mereka membentuk satu bentuk pertempuran mirip bintang berpijar.
Secara bergantian, orang yang di belakang maju ke depan dan sebaliknya.
Sehingga, gerakan mereka tampak seperti kerlip bintang.
Meski tingkat kepandaian para
prajurit masih jauh di bawahnya, tapi tak urung Andika merasa agak bingung
menghadapi siasat serangan itu. Serangan bergantian berupa tangan dan kaki itu
benar-benar mendobrak benteng pertahanan Andika.
Terlebih, ketika kedua puluh
tiga orang itu mulai mengeluarkan pedang panjang masing-masing.
Dengan begitu, daya jangkau
serangan makin membesar. Dan itu berarti semakin memperkecil ruang gerak
Pendekar Slebor.
Agar tidak terus diserbu
kelebatan pedang para prajurit yang terus mencecarnya, Pendekar .Slebor
mengubah siasat pertahanannya. Di tengah kepungan, tubuhnya tiba-tiba
berputaran cepat dengan bertumpu pada satu kaki. Sedangkan kakinya yang lain
sengaja diseret di tanah berdebu.
Sekejap saja, kepulan debu
pekat berterbangan.
Angin hasil ciptaan Andika,
membuat kepulan debu itu bertebaran di tengah kepungan. Maka tubuh Pendekar
Slebor pun terselimuti, dan tak dapat ditangkap lagi oleh mata para
pengeroyoknya.
Saat selanjutnya, tubuh Andika
meluncur ke atas seperti hendak terbang. Dia berusaha untuk melepaskan diri
dari kepungan rapat para prajurit.
Dan usahanya ternyata
berhasil.
"Walet Apa kau hanya bisa
bengong seperti tuyul bego"
Ketika masih di udara, Andika
berteriak pada Walet yang berdiri di dekat tembok kadipatenan.
Memang, sebelum Pendekar
Slebor dirangsek begitu rupa, bocah kecil itu telah menyingkir terlebih dahulu.
Kebetulan dia tidak menjadi
incaran para prajurit, sehingga tidak mendapat rintangan apa-apa.
Sebenarnya, Andika dongkol
melihat bocah itu yang hanya menonton dirinya. Padahal Andika sendiri sedang
sungsang sumbel menghindari keroyokan.
"Lawan saja, Kang Salah
sendiri, kenapa hanya bertahan" sahut Walet begitu Andika menjejak tanah,
lima belas tombak dari musuh-musuhnya. Lagak bocah itu seperti tukang sabung
ayam yang sedang memberi semangat pada jagonya.
"Tai kucing" maki Andika
sengit. "Aku tak mau mereka celaka, karena diperalat Adipati Tunggul
Manik"
"Lumpuhkan saja kalau
begitu Totok saja mereka.
Tok, tok, tok, bereskan?"
"Dengkulmu beres Jumlah
mereka terlalu banyak untuk ditotok satu persatu Apa matamu buta?"
"Kalau begitu, gimana
ya?" tanya Walet santai seraya menaikkan kedua bola matanya.
"Jangan banyak tanya Kau
bisa bantu apa tidak, Bocah Sialan?"
"Tentu saja. Kenapa
tidak?" sahut Walet, tetap acuh.
"Ayo lakukan Kenapa masih
tunggu-tunggu lagi"
bentak Andika, buru-buru
manakala melihat seluruh prajurit kini malah turut menyerbunya.
Walet hanya
menggeleng-gelengkan kepala santai.
"Kenapa Kakang tidak
bilang dari tadi. Salah sendiri...."
"Cepaaat" sergah
Andika mangkel tak ketolongan.
Walet nyengir sebentar,
kemudian mulai bersila seraya memejamkan mata.
Seketika daya pengaruh batin
bocah kecil itu pun memancar ke sekitarnya bagai gelombang air yang kian
membesar. Kekuatan tak terlihat itu lalu mulai merasuk dalam benak setiap
prajurit. Dan tiba-tiba saja, para prajurit menyaksikan makhluk tinggi besar
menyeramkan menghadang di depan.
Tinggi makhluk itu hampir sama
dengan pohon kelapa. Badannya ditumbuhi lumut berwarna hijau tua berlendir.
Kepalanya berbentuk kepala ular kdbra dengan taring sebesar mata tombak di
mulutnya yang terbuka lebar. Sepasang matanya bersinar merah tanpa bola mata,
semerah liur yang memanjang di rongga mulutnya.
Saat makhluk itu menyerang
bagai salakan seribu guntur, puluhan prajurit di depannya tersurut mundur
dengan wajah kaku. Mata mereka menatap tak ber-kedip pada makhluk yang
diciptakan oleh kekuatan batin Walet.
Berbarengan satu erangan
kembali, tangan makhluk itu bergerak menyapu.
"Aaarrrgggkhhh"
Wessshhh
"Wuaaa"
Tujuh prajurit langsung
terlempar ke udara laksana kulit padi terhempas angin. Prajurit yang lain tentu
saja menjadi ciut, menyaksikan kejadian ini. Seumur hidup, tak pernah mereka
menyaksikan makhluk yang demikian mengerikan. Tanpa banyak kata, puluhan orang
itu lari serabutan. Mereka tidak ingin jadi perkedel, ditumbuk tangan besar
makhluk aneh ini.
Andika sendiri pun sempat
terkesima melihat kawan kecilnya mampu memunculkan makhluk dari dasar bumi
seperti ini. Dalam hatinya, dia sempat memuji kehebatan Walet. Tak percuma si
wanita cantik aneh itu menjuluki Walet 'kendi berisi telaga'. "Bagus,
Walet Usahakan agar mereka tak celaka.
Cukup membuat mereka 'buang
hajat' di celana saja
He he he...," seloroh
Andika, puas melihat hasil kerja sahabatnya.
Usai terkekeh, pendekar muda
ini menggenjot tubuhnya menuju bangunan kadipatenan.
Dilain sisi, Senapati Wisesa
dan Tumenggung Adiguna masih berusaha mengadakan perlawanan pada makhluk
ciptaan Walet. Keduanya segera mengeluarkan keris pusaka masing-masing. Dengan
senjata terhunus, digempurnya makhluk itu tanpa kenal takut.
Selaku orang kepercayaan
adipati, mereka memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Ini bisa terlihat
dari setiap gerakan mereka. Kala makhluk jejadian ciptaan Walet itu mencoba
menyampok, dengan gesit keduanya melenting tinggi ke perut buncit makhluk besar
itu. Lalu, disusul sabetan keris pusaka di tangan masing-masing.
"Khiah"
Sret
Kulit perut makhluk itu memang
terkena sabetan mereka. Tapi, sama sekali tidak mengakibatkan luka sedikit pun.
Senjata mereka seperti menebas gumpalan asap tebal saja. Kenyataan itu
benar-benar mengejutkan Senapati dan Tumenggung Adiguna.
Padahal, keduanya belum lagi
bisa mengerti, kenapa makhluk itu tiba-tiba muncul begitu saja.
Selama hidup, Senapati Wisesa
maupun
Tumenggung Adiguna memang
belum pernah
memperdalam ilmu batin tingkat
tinggi. Mereka hanya terbatas mempelajari ilmu olah kanuragan yang terpusat
pada pengolahan kekuatan luar. Itu sebabnya, mereka menjadi terheran-heran
dengan kehadiran makhluk aneh seperti yang dihadapi kini.
Sementara itu, Andika telah
jauh memasuki bangunan kekadipatenan. Pemuda itu tiba di ruang tengah besar,
berlangit-langit tinggi. Di sana ditemukannya Adipati Tunggul Manik yang sudah
berdiri menantang dengan sorot mata tajam. Kedua tangannya memegang sesuatu di
depan dada. Dari bentuknya yang bulat telur sebesar kepalan tangan dan berwarna
biru laut, dapat diduga kalau benda itu adalah Mustika Putri Terkutuk.
"Sudah kuduga sejak
kedatanganmu, Pendekar Slebor Kau memang akan menjadi penghalang segala
rencanaku," sambut Adipati Tunggul Manik dingin.
"O, ya?" timpal
Andika kalem. "Kalau begitu, aku memang benar-benar manusia pembawa sial
seperti kata anak buahmu."
Adipati Tunggul Manik
menggeram.
"Kau memang pembawa sial.
Tapi, percayalah.
Sebentar lagi kesialan yang
kau bawa akan pergi bersama nyawamu ke dasar neraka"
"Wow-wow-wow Tunggu dulu.
Bagaimana kalau kesialan yang kubawa, justru memberimu ongkos ke liang lahat.
Mungkin cacing-cacing tanah sudah begitu kangen padamu...," ledek Andika
menimpali.
Adipati Tunggul Manik
mengacungkan mustika di tangannya.
"Dengan benda keramat di
tanganku ini, kau memiliki kemungkinan kecil untuk menjadi pemenang"
"Ah Jangan bicara soal
menang atau kalah Aku tak suka pasang undian" tukas Andika ngaco.
Merasa ucapannya tak
ditanggapi sungguh-
sungguh, Adipati Tunggul Manik
mengangkat pangkal hidung kesal. Bibirnya tampak menyeringai gusar.
"Kenapa meringis? Belum
menunaikan kewajiban, buang hajat sebelum bertarung? Hi hi hi...," ejek
Andika.
"Kau banyak mulut,
Babi" hardik Adipati Tunggul Manik.
Seketika Adipati Tunggul Manik
menyerbu Andika dengan amarah membludak. Mustika di tangan kanannya langsung
dihantamkan ke kepala Pendekar Slebor.
"Khiaaa"
Wut
Andika menghindari hantaman
itu hanya dengan menggeser tubuh satu langkah ke belakang.
Luputnya serangan pertama,
disusul serangan kedua.
Tubuh Adipati Tunggul Manik
cepat berputar dengan kaki kiri terangkat, berusaha meremukkan kepala Pendekar
Slebor kembali.
Kali ini, Andika tak
menghindar. Namun
dipapaknya tendangan berputar Adipati
Tunggul Manik dengan pergelangan tangannya. Sementara tangan kirinya yang
bebas, segera mengirim sodokan ke selangkangan sebagai balasan.
Tentu saja Adipati Tunggul
Manik tak mau barang rahasianya pecah. Maka dengan sigap bagian terpenting
dalam hidupnya itu dilindunginya dengan kedua tangan. Seketika tangan mereka
berbenturan keras.
Baru saja terjadi benturan,
Andika sudah menyusul Adipati Tunggul Manik satu serangan lagi. Dengan tubuh
merunduk, disapunya kaki adipati yang menjadi tumpuan tubuhnya. Serangan yang
begitu cepat itu membuat Adipati Tunggul Manik mati langkah. Dia tidak bisa
lagi mengangkat kaki yang menjadi incaran sapuan kaki Pendekar Slebor.
Satu-satunya jalan hanya membuang tubuh ke belakang.
"Hiaaah"
Dengan menggenjot satu kakinya,
Adipati Tunggul Manik melenting ke udara dan berputaran ke belakang. Lalu
kakinya mendarat, dan berdiri empat tombak dengan kuda-kuda mantap kembali.
Pendekar Slebor tak sudi
membiarkan adipati itu bernapas lega. Baru saja tubuhnya sampai di atas tanah,
Andika sudah melabraknya dengan satu terkaman menggila. Dari gerakannya
terlihat kalau Andika tengah mengeluarkan jurus sakti ciptaannya,
'Memapak Petir Membabi Buta'.
Adipati Tunggul Manik
benar-benar terperangah, menyaksikan jurusnya yang aneh. Bagaimana Adipati
Tunggul Manik tidak menilai seperti itu, kalau gerakan yang diperlihatkan
lawannya lebih mirip terjangan orang sinting yang kalap?
Belum sempat wajah
keterkejutan adipati itu hilang, tangan kanan Pendekar Slebor sudah tiba di
dekat wajahnya. Dan ini membuat Adipati Tunggul Manik serba salah. Maka
diusahakannya untuk menyelamatkan wajah dari sampokan tangan Pendekar Slebor.
Tapi tangan pemuda itu tiba-tiba saja berbelok arah ke dada. Seolah-olah tangan
itu bisa berubah arah, hanya karena tiupan angin tak menentu.
"Gila Jurus sial macam
apa itu?" maki Adipati Tunggul Manik dongkol.
"Pengumuman...
Pengumuman. Ini jurus
'Memapak Petir Membabi Buta'
Hea ha ha ha..."
teriak Andika seraya
menyambung terjangan ngawurnya.
Tubuh Pendekar Slebor mendadak
terhuyung deras ke arah Adipati Tunggul Manik. Bahu kanannya siap dibenturkan
ke dada.
Berbareng pelototan matanya
karena terkesiap, Adipati Tunggul Manik merunduk sedalam-dalamnya.
Hanya itu yang bisa dilakukan,
karena dia sudah berada di sudut ruangan. Saat itu, sifat berandalan Andika
sebagai gelandangan kecil kotaraja muncul kembali. Dia ingin sedikit
mempermainkan orang terhormat bermuka dua itu.
Maka sebelum Adipati Tunggul
Manik mengubah keadaan tubuhnya yang membungkuk, Andika mengangkat kaki kanan
ke atas kepala, lalu menjejak keras-keras di atasnya. Mau tak mau Adipati
Tunggul Manik makin merundukkan badan. Sampai akhirnya, dia merangkak serabutan
layaknya babi tolol.
"Huh Hus" ledek
Pendekar Slebor sambil ber-tepuk-tepuk tangan.
Namun kesempatan luang itu
digunakan Adipati Tunggul Manik untuk berguling menjauhi lawan. Dan, mulutnya
pun langsung memaki panjang pendek, karena merasa telah dipermainkan.
"Bangsat-bangsat-bangsat"
maki adipati itu saat bergulingan.
"Biar-biar-biar-biaaarrr"
balas Andika tak kalah gencar.
Setelah itu, Andika tertawa
terbahak-bahak keras.
Puas rasanya mempermainkan
seorang penguasa pengkhianat yang menganggap orang-orang kecil hanya anjing
yang bisa diperalat.
Adipati Tunggul Manik kini
bangkit dengan wajah terbakar. Sepasang matanya berkobar-kobar merah, di puncak
kemurkaan.
"Kau harus membayar
perlakuan ini dengan nyawa, Keparat" ancam lelaki setengah baya itu
bergetar. Lalu diletakkannya Mustika Putri Terkutuk di dada.
"Ng.... Ngomong-ngomong,
dari mana kau dapatkan benda itu?" tanya Pendekar Slebor berlagak pilon.
Padahal, Andika tahu kalau
adipati itu sudah siap memanfaatkan kekuatan gaib benda keramat yang
dipegangnya.
"Pasti kau telah
merebutnya dari tangan pemimpin Perguruan Ular Iblis. Iya, kan? Lalu, dia kau
bunuh secara diam-diam. Sehingga, para muridnya tidak pernah sadar kalau mereka
telah kecolongan. Dan kau pun selamat dari tuntutan dendam mereka.
Setelah itu, kau bisa leluasa
mengadu domba perguruan itu dengan perguruan lain...," kata Andika,
berusaha mengganggu Adipati Tunggul Manik.
"Diaaam" bentak
Adipati Tunggul Manik menggelegar.
"Wah-waaah Sebagai
seorang penguasa, kau ternyata memiliki otak encer. Sayang sekali, keenceran
otakmu dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri...."
"Diaaam Aku memang ingin
berkuasa penuh di daerah ini. Aku ingin seluruh cita-citaku tercapai. Aku ingin
mengeruk uang rakyat sebanyak-banyaknya, agar dapat membuat sorgaku sendiri.
Tapi itu tak akan bisa kulaksanakan, kalau perguruan-perguruan itu masih tetap
berdiri. Mereka pasti akan menentang tindak-tandukku. Maka, mereka harus
dimusnahkan"
Andika menggeleng-gelengkan
kepala.
"Ck, ck, ck.... Tak
kusangka kalau kau hanya seekor babi rakus"
Adipati Tunggul Manik kian
kalap. Rahangnya mengejang, memperlihatkan gerakan otot kegeraman di sisi
wajahnya. Sedangkan bibirnya tampak bergetar hebat. Selama ini, tak ada seorang
pun yang berani menghinanya seperti itu.
"Bersiaplah untuk mampus,
Pemuda Busuk"
dengus Adipati Tunggul Manik
mengakhiri ucapan.
Setelah itu dia memejamkan
mata seraya
mengangkat Mustika Putri
Terkutuk ke depan wajahnya. Bibirnya tampak bergerak-gerak merapal-kan mantera.
Pendekar Slebor memperhatikan
perbuatan lawannya dengan kewaspadaan penuh. Hari ini, bisa disaksikannya
bagaimana benda keramat itu mampu melakukan serangan biadab. Mungkin Andika
harus menghadapi sebentuk kekuatan gaib yang mampu menyusup ratusan batang
jarum ke dalam perutnya, seperti dialami rakyat dan orang-orang perguruan tempo
hari.
Dugaan-dugaan Andika menjadi jelas,
manakala selarik sinar berwarna merah bara terlontar dari Mustika Putri
Terkutuk. Sesaat benda itu berputar mengelilingi tubuh Adipati Tunggul Manik,
seakan menunggu aba-aba darinya. Lalu....
Nging...
Terdengar denging halus saat
cahaya merah itu meluruk menuju Pendekar Slebor. Meski belum pernah menghadapi
serangan seganjil itu, namun Pendekar Slebor tak mau ayal-ayalan. Segera
seluruh daya sakti ditubuhnya dikerahkan. Maka sekejap mata saja tubuhnya telah
diselimuti lapisan kekuatan yang tak terlihat. Memang, benteng tembusan pandang
itu sanggup menahan satu terjangan petir sekalipun.
Tapi, Andika rupanya salah
perhitungan. Sewaktu menjalani penyempurnaan kedigdayaan di Lembah Kutukan,
petir memang tak sanggup menembus benteng pertahanan puncaknya. Namun bagi
kekuatan gaib seperti cahaya merah bara yang kini melesat cepat ke arahnya,
benteng itu ternyata tidak berguna sama sekali
Seperti menembus lapisan asap,
cahaya merah milik Adipati Tunggul Manik menelusup begitu saja dalam lapisan benteng
pertahanan Andika. Akibatnya, cahaya itu langsung menerjang dada bidang
Pendekar Slebor.
Tanpa menimbulkan suara,
cahaya merah tersebut telah menghilang di dalam dada Andika. Seketika saat
itulah Pendekar Slebor merasakan seluruh bulu halus di tubuhnya meremang hebat.
Saat berikutnya, dadanya mulai terasa sesak. Napasnya menjadi tersengal-sengal
tak menentu. Dadanya kini terasa direncah-rencah dari dalam. Rupanya, ratusan
batang jarum gaib telah menggerogoti isi tubuhnya dari dalam
"Aaa"
Terdengar satu lengkmgan
menyayat yang
terlempar dari kerongkongan
Andika. Rasa sakit luar biasa yang kini diderita memaksanya berteriak
kuat-kuat. Tenaga sakti yang masih dikerahkan, tanpa sadar ikut terbawa dalam
teriakannya. Sehingga, membuat lapisan luar dinding beton kadipatenan menjadi
retak-retak, lalu berguguran. Lampu gantung besar di tengah ruangan yang
terbuat dari pualam gosok berjatuhan ke bawah. Sesaat kemudian, lampu hias itu
runtuh, menimbulkan suara keras berderak ke seluruh ruangan.
Sementara itu, tubuh Pendekar
Slebor berguling-gulingan di lantai ruangan. Kedua tangannya mencengkeram
dadanya sendiri dan perutnya. Otot di lehernya tampak membesar, karena erangan
tertahan.
Pada puncak penderitaan itu,
Andika masih sempat menyadari kebenaran 'petunjuk' yang diterima Ki Kusuma dari
wanita cantik aneh itu. Hanya seseorang yang bisa menolongnya. Seorang
berkepribadian 'kendi berisi telaga'.
"Walet Ke mana kau?"
desis Andika seiring lelehan darah kental dari bibirnya.
Seingatnya, bocah kecil itu
sedang berusaha menghalau Senapati Wisesa dan Tumenggung Adiguna. Kalau anak
itu mendapat kesulitan, apakah nyawanya akan berakhir di sini?
Kala kesadarannya nyaris
terhempas akibat deraan sakit yang begitu hebat, tiba-tiba selarik sinar hijau
menyala membersit dari langit-langit ruangan.
Sinar itu cepat menerabas
masuk ke tubuh Pendekar Slebor.
Seketika terdengar pekikan
panjang kembali.
Tubuh Pendekar Slebor
mengejang dengan kepala mendongak. Satu pertempuran gaib memang sedang terjadi
dalam dirinya. Bahkan itu menciptakan siksaan yang lebih menggila dari
sebelumnya.
Pendekar Slebor tak mampu lagi
merasakan siksaan itu. Tubuhnya melemah, lalu terkulai. Belum lama Andika
terdiam, tanpa gerak, dua larik sinar merah dan hijau keluar dalam keadaan
menyatu.
Di udara, sinar itu saling
menghimpit, hingga menimbulkan sayatan-sayatan cahaya beraneka warna. Lama
kejadian itu berlangsung sampai akhirnya cahaya hijau menelan habis cahaya
merah membara.
Bersamaan dengan menghilangnya
cahaya merah, Mustika Putri Terkutuk sirna di tangan Adipati Tunggul Manik.
Lelaki itu sendiri terpental deras ke belakang, langsung menghantam tembok
beton setebal tiga jengkal. Tembok itu hancur menciptakan lubang besar
menganga, bersama hancurnya seluruh tulang punggung Adipati Tunggul Manik.
Penguasa lalim itu tewas dengan mata terbeliak dan darah merah membasahi
mulutnya.
***
Ada terpaan hangat pada wajah
Andika. Ada
lantunan seruling mendayu
mengusik telinganya.
Pendekar Slebor membuka mata
perlahan. Dia tidak berharap kalau dirinya telah tiba di sorga, setelah ingat
kejadian terakhir yang dialaminya. Harapannya terkabul. Di sisinya, Walet
tampak asyik meniup seruling bambu.
"Syukurlah kau sudah
siuman, Kang. Bagaimana dadamu? Apa masih terasa sakit. Kalau masih, tahanlah
sedikit. Jamak bagi pendekar kesohor seperti Kakang Andika," kata Walet
seraya melepas ujung suling dari bibirnya.
"Walet..., apa yang
terjadi?" tanya Andika tersendat.
"Ng.... Kemarin kita
berhasil menumpas manusia busuk yang bernama Adipati Tunggul Manik. Sayang Kang
Andika tidak sampai selesai menikmati pesta itu."
Andika mendelik berang.
"Jangan gila kau Aku
sudah hampir mati dibilang pesta"
"Seperti kukatakan tadi,
jamak bagi pendekar kesohor seperti Kakang," sahut Walet santai.
Bocah itu lantas berdiri seraya
menepuk-nepuk pantat. Kakinya melangkah perlahan. Dan dari bibir mungilnya
terdengar siulan riang.
"Mau ke mana kau?"
tanya Andika seraya bangkit terseok. Disusulnya Walet.
"Cuci mata ke Desa Dukuh.
Aku sudah lama tidak melihat janda penjual batik di pasar itu," kata bocah
itu seenaknya.
Andika menggeleng-gelengkan
kepala.
"Hey Kau tahu tentang
Mustika Putri Terkutuk?
Apa ada riwayatnya?"
tanya Andika.
"Dulu ada seorang putri
dan pangeran yang jatuh cinta. Mereka ingin menikah, tapi tak diizinkan
orangtua masing-masing. Karena kerajaan keduanya sedang bermusuhan satu sama
lain. Namun mereka nekat dengan kawin lari. Mengetahui hal itu, ayah sang
Pangeran yang sakti mengutuk keduanya. Putri itu menjadi mustika keramat, dan
sang Pangeran mati tertelan bumi," tutur Walet santai.
"Dari mana kau
tahu?"
"Jangan usil, Kang Kalau
aku tahu, ya tahu,"
sergah Walet acuh.
"Ah, sayang. Aku kira
wanita cantik itu penjelmaan Nyi Roro Kidul. Padahal, aku ingin sekali bertemu
dengannya...," bisik Andika amat perlahan.
Keduanya terus menelusuri
jalan berumput hijau menuju barat, tempat matahari terpuruk lelah dalam selimut
lembayung. Dan sampai saat itu, Andika tidak pernah mengetahui kalau Walet
adalah titisan sang Pangeran yang kini berada di sampingnya
SELESAI