Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
079 Ninja Merah
ARTI KATA-KATA JEPANG DALAM
KISAH INI:
Ninjato = Pedang khas yang biasa menjadi senjata ninja
Kusarigama = senjaja berupa rantai dengan uiung pisau bentuk ganco,
ujung lain diberi bandulan besi
Tatami = alas lantai berbentuk persegi empat
Shinobi = sebutan asli untuk ninja
Shuriken = senjata rahasia yang dilemparkan, kebanyakan berbentuk
bintang, ada yang beracun
shakuhachi = suling dari bambu
shamisen = instrumen musik memiliki tiga buah senar
seppuku = bunuh diri secara terhormat
Sake = minuman keras khas Jepang (sejenis anggur dari beras)
donburi = nasi dalam mangkok
gaijin = orang asing
geisha = wanita pelayan pada tempat-tempat tertentu terkadang juga
menjadi penghibur)
katana = pedang panjang
ninjutsu = ilmu bela diri
hai! = Ya!, siap!, baik!
Doyo/Dojo = tempat berlatih silat (ruang tertutup)
inezumi = rajah atau tato
sensei = guru
SATU
SAAT itu telah memasuki musim
semi. Namun udara dingin masih terasa mencucuk dimana-mana.
Salju tipis masih tampak
menyapu puncak-puncak pepohonan, juga pada kuntum-kuntum bunga Sakura Yang
pucuk-pucuknya mulai mengembang.
Jauh di sebelah Timur Kioto
terdapat sebuah bukit kecil.
Saat itu baru taja lewat
tengah malam. Dalam gelap dan dinginnya udara tiga sosok berpakaian dan
bertutup kepala serba hitam bergerak cepat menuju puncak bukit.
Di punggung masing-masing
menyembul hulu ninjato.
Lalu pada pinggang mereka
tergantung kusarigama.
Mereka tidak mengikuti jalan
batu Yang berliku-liku melainkan mengendap dan berkelebat di balik semak
belukar dan pepohonan.
Puncak bukit merupakan kawasan
perumahan Perguruan Emerarudo atau Perguruan Zamrud. Ke tempat inilah agaknya
tiga orang itu tengah menuju.
Di dalam salah satu ruangan
pada sebuah bangunan di puncak bukit seorang lelaki berusia setengah abad duduk
di lantai sedang tekun membaca sebuah kitab tebal. Kantuknya yang tadi sempat
menyerang terpupus sirna oleh daya tarik kitab yang tengah dibacanya.
Orang ini mengenakan kimono
tebal berwarna biru tua. Pada bagian dada kimono sebelah kanan tersulam gambar
batu permata zamrud bewarna kuning terang, lengkap dengan garis-garis kilauan
cahaya sekeliling permata. Orang ini adalah Noboru Kasai pimpinan tertinggi
atau Ketua Utama Perguruan Emerarudo.
Saat itu terdengar perlahan
suaranya membaca.
Kebersihan aurat adalah sangat
penting dalam ilmu Pengobatan. Bagaimana seseorang bisa mengobati orang lain
kalau tubuhnya tidak bersih.
akan tetapi di atas semua itu
kebersihan jiwa atau kebersihan batin adalah yang paling utama.
Dengan batin yang bersih
seseorang akan berada dalam keadaan lebih andal untuk menyalurkan hawa sakti
yang dimilikinya ke dalam badan orang yang akan diobatinya. Karena itu …
Suara Noboru Kasai membaca
terhenti oleh suara pintu bergesek di belakangnya.
"Hisao … Kaukah itu?
tanya Noboru Kasai tanpa berpaling. Tak ada jawaban..
Se tttt… settt… setttt! Teppp
… tepppp … tepppp!
Malah Ketua Perguruan
Emerarudo ini mendengar suara berkelebat tiga kali berturut-turut dibarengi
oleh siuran angin halus.
Noboru Kasai letakkan kitab di
pangkuannya ke atas tatami. Lalu perlahan-lahan palingkan kepala.
Sepasang mata sang Ketua
terbuka lebar melihat siapa yang ada di dalam ruangan itu.
"Shinobi…!"
Shinobi adalah panggilan asli
untuk ninja. Dan memang saat itu di dalam kamarnya tegak tiga sosok ninja,
muncul dalam penampilan mereka yang angker.
Bertubuh tinggi kukuh
dibungkus pakaian serba hitam mulai dari ujung kaki sampai ke kepala. Di bagian
muka hanya sepasang mata mereka yang kelihatan, memandang tak berkesip ke arah
Noboru Kasai dengan pandangan sedingin salju di puncak gunung Fuji.
Di belakang punggung mereka
tersembul gagang ninjato yang juga dikenal sebagai katana pendek, pedang khas
para ninja. Lalu seuntai rantai yang salah satu ujungnya merupakan senjata
berbentuk ganco dan ujung satu lagi diberi gandulan pemberat kelihatan melilit
di pinggang. Noboru Kasai perhatikan tangan ke tiga ninja ini. Masing-masing
memakai shuko yaitu cakar pemanjat yang sekaligus merupakan senjata sangat
berbahaya.
Dalam hati Noboru Kasai
membatin "Pasti ke tiganya menerobos masuk dengan memanjat tembok. Jika
tidak satu murid perguruan pun memergoki mereka, berarti ke tiganya adalah
ninja-ninja dari tingkat sangat tinggi …"
Perlahan-lahan Noboru Kasai
berdiri. Sreettt! Sreetttt!
Dua kali terdengar suara
berdesir ketika dua orang ninja yang berdiri dekat pintu dan di sebelah kanan
Noboru Kasai mencabut ninjato pedang pendek masing-masing.
Ninja berbadan paling tinggi
di sebelah tengah memberi isyarat dengan tangan kiri. Dua orang temannya yang
hendak mendekati Noboru Kasai hentikan langkah. Ninja yang di tengah maju dua
langkah.
"Sahabat-sahabat tak
diundang. Kalian masuk secara tidak sopan …"
Ninja di dekat pintu
mendengus. Mulut dibalik penutup wajahnya berucap.
"Ninja tidak kenal sopan
santun. Ninja hanya kenal darah dan nyawa!"
Daun telinga kiri Noboru Kasai
bergerak.
"Hemmm.. aku tidak
mengenali suaranya. Berarti dia memang ninja asli. Bukan orang dalam .. ."
"Katakan apa maksud
kalian masuk ke tempatku!"
bentak Noboru Kasai. Sekilas
matanya melirik ke arah lantai di sebelah kiri di mana tergeletak katana
miliknya.
Ninja bertubuh paling tinggi
dapat membaca apa yang ada dalam benak Ketua Perguruan Emerarudo itu. Dia cepat
melangkah dan menginjak katana di lantai dengan kaki kanannya.
"Aku memberi waktu lima
detik pada kalian agar segera keluar dari tempat ini!" Noboru Kasai beri
peringatan.
Ke dua tangannya diturunkan ke
sisi sedang sepasang kaki tegak merenggang cepat.
Apa yang terjadi kemudian
berlangung sangat Ninja di sebelah tengah hunus ninjatonya. Melihat ini dua
temannya segera menggebrak maju. Tiga pedang maut berkelebat ke arah Noboru
Kasai. Ketua Perguruan Emerarudo ini keluarkan suara menggembor.
Dengan tangan kosong dia
hadapi tiga penyerangnya.
Noboru membuat gerakan yang disebut
"dewa tanah mengebor bumi." Tubuhnya menukik , jatuh ke atas lantai
tatami. Tiga pedang lewat di atasnya. Lalu dia susul dengan jurus
"penguasa langit membelah angkasa" Tangan kanannya menghantam ke atas
disusul dengan tendangan kaki kiri kanan.
Wuuuutt! Wuuuut!
Pukulan dan tendangan kaki
kiri Noboru Kasai hanya mengenai tempat kosong. Tapi bukkkk!
Tendangan kaki kanannya mampir
dengan telak di dada salah seorang penyerang hingga ninja satu ini mencelat ke
dinding. Dinding yang hanya terbuat dari kertas itu langsung jebol dan ninja
itu sendiri terlempar ke luar. Untuk sesaat dia tak kuasa bangun, hanya
mengerang sambil pegangi dada.
Dua orang ninja yang ada di
dalam ruangan mendengus marah. Serangan pedang mereka membuntal-buntal ganas.
.Walau Ketua Perguruan Emerarudo menyandang nama besar dan berkepandaian tinggi
namun para ninja bukanlah lawan yang mudah dihadapi.
Gerakan mereka secepat setan,
serangan pedang mereka seganas iblis. Apalagi saat itu Noboru Kasai bertangan
kosong pula.
Setelah mengelak dua kali
berturut-turut Noboru melejit ke arah kanan. Maksudnya hendak mengambil hanbo,
yaitu tongkat kayu yang biasa dipakai untuk melatih murid-murid. Namun
gerakannya berhasil di papas oleh ninja di sebelah kiri. Selagi dia coba
menghantam penyerang ini dengan pukulan tangan kosong mengandung hawa sakti,
dari samping ninja bertubuh tinggi kiblatkan ninjatonya.
Breetttttl
Bahu kimono Noboru Kasai robek
besar. Dia merasakan perih pada bahu kanannya lalu ada cairan panas mengucur.
Darah! Meski menderita sakit bukan main dan kemarahan mendidih namun Ketua
Perguruan Emerarudo ini tampak bersikap tenang. Tapi sebaliknya dua ninja tak
mau memberi kesempatan. Pedang pendek mereka kembali menggempur dengan ganas
hingga Noboru Kasai terdesak ke sudut sebelah kanan.
Breeetttt!
Breetttt!
Kimono sang Ketua robek lagi.
Kali ini di bagian dada dan perut. Noboru Kasai terjajar ke belakang. Dia
berusaha berpegangan pada sebuah rak tapi tidak terjangkau. Selagi tubuhnya
tersandar ke dinding, ninja berbadan tinggi tusukkan pedangnya ke lambung
Noboru Kasai. Ketua Perguruan ini keluarkan keluhan pendek lalu roboh ke
lantai. Sebagian dari badannya yaitu bagian dada ke atas berada di luar kamar.
Ninja berbadan tinggi
mendatangi dengan cepat dan membungkuk seraya bertanya.
"Lekas katakan! Di laci
nomor berapa kau simpan surat-surat penting Perguruan!"
Dalam keadaan sekarat Nobora
Kasai membuka mulutnva. Suaranya tersendat perlahan.
"Aku … aku seperti
mengenali suaramu … Bukan kah kau..”
"Kurang ajar!"
bentak ninja bertubuh tinggi. Pedang di tangan kanannya dihunjamkan ke
tenggorokan Noboru Kasai. Sebelum maut menyergap Ketua Perguruan Emerarudo itu
tiba-tiba angkat tangan kanannya.
Lima jari tangannya
terpentang. Tulang- tulang jari keluarkan suara berderak.
Cleeeppp!
Pedang menembus tenggorokan
Noboru Kasai.
Dalam saat yang bersamaan lima
ujung jari sang Ketua menghunjam di dada kiri ninja yang membunuhnya.
Pakaian hitam tebal yang
dikenakan ninja tembus di lima bagian. Ninja itu sendiri terjajar ke belakang.
Dadanya serasa ditusuk lima paku panas! Wajahnya di balik penutup kepala sesaat
jadi pucat.
"Lima jari dewa… Jadi dia
memang benar-benar memiliki ilmu kepandaian itu..!” katanya dengan mata melotot
memandang pada Noboru Kasai yang sudah tak bernyawa lagi. Sambil pegangi dada
kirinya ninja ini melangkah mundur. Dia memberi isyarat pada ninja yang ada di
dekatnya.
”Tolong kawanmu. Lari ke
tembok sebelah timur.
Tunggu aku di tempat
pertemuan!" Sehabis berkata begitu ninja berbadan tinggl ini melesat ke pintu.
Dia berlari cepat sepanjang lorong pendek lalu menerobos masuk ke dalam sebuah
ruangan sangat rahasia yang tidak sembarang orang boleh masuk ke tempat ini. Di
pintu masuk ruangan berjaga-jaga seorang murid Perguruan dalam keadaan
terkantuk-kantuk. Pedang di tangan ninja berkelebat menghantam pertengahan
kening murid penjaga. Murid ini tak pernah tahu apa yang menyebabkan
kematiannya. Tubuhnya roboh mandi darah dengan kepala hampir terbelah.
Ninja pembunuh melompat masuk
ke dalam ruangan rahasia. Sesaat dia tegak tertegun. Di dalam ruangan itu ada
dua buah lemari besar merapat ke dinding. Di situ terdapat dua ratus laci-laci
kecil yang diberi nomor mulai dari 1 sampai 200.
"Aku tak mungkin
memeriksa semua laci celaka itu! Aku harus bisa mengingat! Harus bisa!” Ninja
itu lalu menarik laci-laci pada derstan angka mulai dari 150 sampai 160.
Sementara itu diluar sana
ninja yang diperintahkan menolong temannya yang terluka bertindak cepat.
Sang teman rupanya menderita
luka dalam yang sangat parah akibat tendangan Noboru Kasai tadi. Darah tampak
mengucur dari mulutnya. Begitu tahu kawannya tak sanggup berdiri, dengan cepat
di segera memanggulnya.
Akan tetapi sebelum dia sempat
berkelebat pergi di sekelilingnya terdengar suara langkah-langkah kaki.
Sesaat kemudian sekitar dua
puluh orang murid perguruan muncul mengurung tempat itu. Di depan sekali
seorang lelaki berkimono merah darah berambut pendek berwajah beringas. Mukanya
merah. Gerakannya cepat dan enteng tetapi langkah kakinya tidak tetap.
Sesekali tubuhnya tampak
seperti terhuyung.
Bagaimanapun tinggi ilmu yang
dimilikinya tapi ninja itu segera menyadari bahwa dia tak mungkin lolos dari
sekian banyak orang yang mengurung. Apalagi si kimono merah berwajah merah
beringas di sebelah depan dikenalinya adalah Shigero Momochi salah seorang dari
dua Wakil Ketua Perguruan. Begitu Shigero Momochl mendekat ninja jatuhkan kawan
yang dipanggulnya ke lantai. Sekali menusukkan pedangnya ke dada kawannya
sendiri, ninja yang sudah terluka parah itu langsung meregang nyawa.
"Tangkap dia
hidup-hidup!" teriak Shigero Momochi.
Tapi mana mungkin menangkap
seorang ninja hidup-hidup. Apalagi dalam keadaan terperangkap seperti itu. Sang
ninja keluarkan suara mendegus dari balik kain hitam penutup wajahnya. Dua
tangan memegang gagang pedang erat-erat. Begitu kelompok anak murid Perguruan
Emerarudo menyerbu dibawah pimpinan Shigero Momochi dengan berbagai macam
senjata ninja ini cepat menyongsong dengan ninjatonya.
Beberapa kali terdengar suara
berdentrangan beradunya senjata. Gelombang serangan anak murid Perguruan
Emerarudo tidak bisa dibendung. Shigero Momochi yang masih berusaha menangkap
hidup-hidup ninja itu untuk dimintai keterangan tak mampu berbuat banyak.
Setelah memukul lepas pedang ditangan ninja dia hanya bisa menyaksikan
bagaimana puluhan anak muridnya membantai sang ninja hingga akhirnya menemui
ajal dengan keadaan tubuh hancur lumat mengerikan.
Shigero Momochi seperti mau
muntah. Dia palingkan kepala, memandang ke ruangan dalam bangunan.
"Ketua Noboru Kasai …"
bisiknya. Secepat kilat dia lari masuk ke dalam rumah. Lututnya goyah ketika
dia menemukan Noboru Kasai telah jadi mayat, tergeletak di atas tatami dengan
tubuh bergelimang darah.
"Ketua …" kata
Shigero Momochi sambil jatuhkan diri, berlutut di samping mayat Noboru Kasai.
Dia merasa seperti ingin berteriak, tapi juga ingin menangis.
Tiba-tiba telinganya mendengar
suara dari arah ujung lorong pendek di luar sana dimana terletak ruangan
rahasia. Sambil menggenggam pedangnya Shigero Momochi cepat berdiri.
* * *
DUA
Di dalam ruangan rahasia ninja
memeriksa deretan laci bernomor 150 sampai 160. Tapi dia tidak menemukan apa
yang dicarinya. Dalam hati dia memaki setengah mati.
"Aku harus ingat! Harus
ingat!" katanya berulangulang.
Pada saat itu dia mendengar
suara orang berlari dari ujung lorong. Sebelumnya dia juga telah mendengar
suara ramai di luar ruangan tempat Noboru Kasai terbunuh.
"Orang-orang Perguruan
sudah tahu apa yang terjadi …" desis ninja. Matanya kembali memandang
deretan laci-laci. Dia seperti hendak memukul kepalanya sendiri ketika
tiba-tiba dia ingat.
"Laci 168 katanya
setengah berseru.
Segera laci nomor 166
dibukanya. Sepasang mata ninja membesar. Apa yang dicarinya akhirnya ditemui
juga. Dalam laci itu kelihatan sebuah amplop besar berwarna kuning. Secepat
kilat ninja menyambar amplop itu. Lalu melompat membobol dinding kiri ruangan
rahasia. Ternyata dinding ruangan ini tidak terbuat dari kertas biasa melainkan
dari sejenis papan alot. Ninja terpaksa pergunakan jotosannya untuk menjebol.
Baru saja dia hendak berkelebat kabur lewat lobang di dinding tiba-tiba pintu
kamar rahasia terbuka.
Satu bentakan menggeledek di
belakangnya.
"Jangan lari!"
Yang berteriak adalah Shigero
Momochi. Wakil Ketua Perguruan ini cepat mengejar dengan pedang terhunus.
Gerakannya mengejar tertahan ketika di sebelah depan ninja dilihatnya gerakkan
tangan kiri. Dua buah benda berbentuk bintang melesat ke arahnya.
Shigero memaki setengah mati.
"Shuriken!"
teriaknya.
Pedangnya di putar ke depan.
Trang … trang …!
Dua senjata rahasia bintang
besi beracun yang dilepaskan ninja mental dan menancap di dinding ruangan.
Begitu Shigero memandang ke depan sang ninja sudah lenyap.
"Mahluk iblis! Kau kira
kau bisa lolos dari tanganku…!"
bentak Shigero Momochi lalu
mengejar. Larinya tidak tetap, agak menghuyung. Sampai di taman gelap di
belakang bangunan besar orang yang dikejarnya tak kelihatan lagi. Belasan murid
Perguruan muncul mendatangi.
"Percuma… Ninja keparat
itu berhasil melarikan diri!" kata Shigero Momochi sambil menghentakkan
kakinya.
"Aku bersumpah akan
membalaskan kematian Ketua. Kalian lekas mengatur hubungan dengan para Ketua
Ninja! Beri tahu apa yang telah terjadi. Minta mereka menyelidik dan memberi
tahu siapa anggotaanggota mereka yang terlibat kejahatan keji ini! Mereka harus
berani mengakui! Kalau tidak aku bersumpah akan menumpas semua ninja di negeri
ini! Sejak dulu mereka hanya menimbulkan keonaran dan bencana saja! Melakukan
kejahatan hanya untuk sejumlah uang! Mahlukmahluk durjana! Pembunuh
bayaran!"
"Wakil Ketua
Momochi!" seorang murid Perguruan berkata sambil maju mendekati Shigero
Momochi.
"Ninja bukan cuma
membunuh tapi juga mencuri surat-surat penting dari ruangan rahasia.
"Aku sudah tahu! Kalian
periksa surat apa yang hilang! Aku akan mengurus jenazah Ketua …" Shigero
Momochi memandang berkeliling.
"Siapa diantara kalian
yang membawa minuman….?" Tak ada satupun yang menjawab.
"Kalau begitu satu orang
dari kalian lekas pergi kekamarku, ambil botol sake dan antarkan padaku …"
"Tapi Wakil Ketua Momochi
…" kata seorang murid kepala.
"Dalam keadaan seperti
ini tidak sepantasnya Wakil Ketua meneguk minuman keras itu lagi …"
"Kurang ajarl Kau
memerintah aku atau bagaimana … ?!" bentak Shigero Momochi dengan mata
membelalang.
Semua murid Perguruan yang ada
di situ unjukkan wajah tidak seneng. Satu persatu mereka tinggalkan tempat itu.
Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya.
"Seharusnya dia yang
dibunuh ninja, bukan Ketua Noboru Kasai … Pimpinan tak berguna, Pemabuk,
pemarah … semua yang jelek ada padanya. Mau jadi apa Perguruan kita ini kelak …
!"
"Aku kawatir setelah
Ketua tiada, dia yang akan menjabat jadi Ketua. Celakalah kita semua!"
sahut temannya.
"Hal itu tak mungkin
terjadi. Para Dewa tak bakal merestui!" kata seorang murid Perguruan lain
yang ikut mendengar percakapan dua temannya tadi.
DALAM dinginnya udara
menjelang pagi itu sayup sayup terdengar suara shakuhachi ditiup dalam
senandung yang menyayat hati. Tiupan seruling bambu ini diikuti dengan petikan
shamisen yang menghiba-hiba.
Suara bebunyian ini datang
dari serambi bangunan besar Perguruan Emerarudo di puncak bukit.
Di serambi rumah besar, di
bawah penerangan lampu minyak redup, diatas tatami duduk dua orang perempuan.
Seorang sudah agak lanjut, satunya masih gadis. Perempuan yang lebih tua duduk
meramkan mata sambil meniup shakuchaki. Gadis di sebelahnya memetik shamisen.
Masing-masing memainkan bebunyian itu penuh perasaan. Sepasang mata perempuan
yang lebih tua tampak berkaca-kaca sedang si gadis tak dapat menahan larutnya
kesedihan hingga air mata yang tak terbendung menetes jatuh kepipinya.
Di dalam rumah besar hampir
seratus anak murid Perguruan Emerarudo tegak rangkapkan tangan di atas dada.
Sikap berdiri mereka tampak gagah. Namun dari kepala-kepala yang ditundukkan
serta sepasang mata.
yang dipejamkan jelas seperti
dua perempuan tadi merekapun sedang tenggelam dalam rasa duka yang mendalam.
Rasa dukacita atas tewasnya
Noboru Kasai Ketua Perguruan Emerarudo membuat puncak bukit itu tenggelam dalam
kesedihan. Gadis pemetik shamisen tak sanggup menahan kesedihannya akhirnya
berhenti memetik bebunyian itu lalu bersujud dan menangis tersedu-sedu.
Perempuan peniup seruling ikut tergugah dan tiupan sakuhachinya jadi
tersendat-sendat.
Menjelang malam memasuki pagi,
selagi udara terang-terang tanah tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
mendatangi. Tak lama kemudian seorang lelaki separuh baya berwajah gagah muncul
menunggang kuda putih.
Di atas punggung kuda dia
memandang seperti tidak percaya pada keadaan yang dilihatnya. Matanya menyipit
ketika dia berpaling ke serambi dan melihat gadis pemetik shamisen jatuhkan
diri lalu menangis keras. Orang ini melompat dari kudanya.
"Apa yang terjadi ….
?!" Dia bertanya sambil melangkah cepat melewati berisan para murid
Perguruan.
Dadanya mendadak bergejolak,
tapi sikap dan suaranya kelihatan lembut.
Seorang murid kepala
mendatangi dan berkata.
"Wakil Ketua Hisao
Matsunaga syukur kau cepat kembali. Wakil Ketua Shigero Momochi ada di dalam
bangunan utama. Sudah lama menunggu …."
"Tiupan shakuhachi dan
petikan shamisen tadi. .. membawakan lagu pengantar jenazah. Katakan apa yang
terjadi?!" tanya orang yang barusan turun dari kuda. Ternyata dia adalah
salah seorang dari Wakil Ketua Perguruan.
"Saya tidak berani menerangkan.
Lebih baik Wakil Ketua menemui Wakil Ketua Shigero Momochi saja …."
Mendengar jawab murid kepala
itu, seperti terbang Hisao Matsunaga melompat dan masuk ke dalam rumah besar.
Di dalam ruangan dimana jenazah Noboru Kasai dibaringkan di atas selembar kasur
tipis yang diberi alas kain wool tebal, Hisao Matsunaga jatuhkan diri berlutut.
Sesaat dia menatap wajah Ketua Perguruan yang sudah jadi mayat itu. Kain putih
yang menutupi tubuh jenazah tampak basah oleh darah di beberapa bagian. Lalu ke
dua matanya dipejamkan.
Ketika mata itu dibuka kembali
pandangan Hisao Matsunaga tertuju pada Shigero Momochi. Baru disadari nya kalau
saat itu di ruangan itu terdapat juga beberapa orang pengurus dan tua-tua
perguruan. Lalu seorang anak lelaki berusia empat belas tahun yang duduk dengan
kepala tertunduk dekat kepala jenazah.
Wajah Hisao Matsunaga jelas
menunjukkan keperihan ketika dia memperhatikan anak ini. Karena si anak adalah
Akira Kasai, putera dan anak tunggal mendiang Ketua Noboru Kasai. Ibu Akira meninggal
dunia pada saat anak ini dilahirkan. Sejak itu Noboru Kasai tak mengambil
perempuan lain pengganti istrinya ataupun memelihara gundik. Agaknya Ketua
Perguruan Emerarudo ini sengaja menjauhi kehidupan duniawi sampai akhirnya
kematian datang menjemput.
Hisao Matsunaga berpaling
kembali pada Shigero Momochi lalu berkata dengan suara perlahan.
"Shigero, ceritakan
padaku bagaimana semua ini terjadi!”
"Kita bicara di kamar
sebelah saja.." bisik Shigero.
Waktu bicara Hisao Matsunaga
dapat mencium nafas Shigero yang berbau minuman keras. Perlahan-lahan dia
bangkit mengikuti Shigero menuju sebuah ruangan yang terletak bersebelahan
dengan ruangan dimana jenazah Ketua Perguruan disemayamkan.
"Aku tidak melihat
sendiri bagaimana kejadiannya.
Ketika aku masuk ke kamar
Ketua, beliau sudah menggeletak di atas tatami dalam keadaan berlumuran darah.
Sudah tidak bernafas lagi ….." Lalu Shigero Momochi menuturkan apa yang
diketahuinya.
"Sebelum peristiwa itu
terjadi, kau berada di mana Shigero? Selama ini jangankan manusia, lalat
seekorpun jika menyusup ke tempat ini pasti kau ketahui …"
"Kau betul Hisao …"
jawab Shigero Momochi dengan wajah merah.
"Malam tadi entah mengapa
nyenyak sekali tidurku.
Sampai tidak mendengar suam
apa-apa. Bahkan para muridpun tidak sempat mengetahui …. !”
"Aku yakin kau pasti
minum banyak lagi malam tadi. Kalau tidak, mungkin peristiwa ini bisa
dihindari….
Harap maafkan aku Shigero.
Bukan maksudku menyalahkanmu.
Kalau Dewa sudah menakdirkan
hal ini akan terjadi, pasti terjadi tanpa bisa dihalangi. Aku sendiri merasa
menyesal pergi ke Kioto walau aku kesana ditugaskan secara pribadi oleh Ketua
untuk menemui seorang Shogun …."
"Sampai saat ini aku
memang belum bisa menghilangkan kebiasaan minum sake keras itu .. ."
"Kudengar kini malah kau
mencampurnya dengan wiski yang dibawa pelaut-pelaut kulit putih …"
memotong Hisao Matsunaga tetap dengan suara lembut.
"Kuharap saja kau bisa
mawas diri dan menghenti kan kebiasaan minum."
Tampang Shigero Momochi tampak
jadi beringas.
Dia hendak menyemprotkan
ucapan. Tapi dengan lembut Hisao Matsunaga berkata.
"Siapa diantara kita yang
tidak suka meneguk sake. Tapi minum secara berlebihan bisa membawa hal-hal tak
diingin bagi seseorang. Musibah ini kiranya bisa dijadikan hikmah ….."
Wajah Shigero Momochi nampak
menjadi merah.
Sambil berdiri dia berkata.
"Kalau Perguruan menganggap hal ini terjadi karena kesalahanku, aku
bersedia menerima hukuman dan melakukan seppuku!"
Shigero Momochi segera hendak
mencabut pedangnya.
Hisao Matsunaga cepat memegang
bahu Shigero dan berkata. "Bagi kita orang-orang Jepang melakukan seppuku
atau harakiri adalah kematian paling terhormat.
Tapi tidak jika kita
sebenarnya bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih terhormat .. ."
"Katakan apa yang harus
aku lakukan!" kata Shigero beringas.
"Bukan kau, saja Shigero.
Tapi kita. Semua yang ada di Perguruan ini …”
"Ya.. ya, katakan saja
apa yang harus kita lakukan?"
"Pertama, kita harus
mengurus jenazah Ketua …."
"ltu memang menjadi
kewajiban kita para pengurus dan murid Perguruanl Lalu ….?"
"Selanjutnya .kita harus
menyelidik siapa pelaku pembunuhan ini…."
"Dan pelaku
pencurian!" sambung Shigero Momochi.
Hisao Matsunaga tampak
terkejut. "Pencurian? Apa maksudmu?’
"Ada sebuah amplop
rahasia berisi surat-surat penting lenyap dari laci di ruang rahasia …."
Paras Hisao Matsunaga jadi berubah.
"Berarti ini bukan
pembunuhan biasa. Pasti banyak kaitannya pada hal-hal lain yang tidak terduga
….."
"Aku sudah meminta
beberapa orang untuk menghubungi para Ketua Ninja guna ikut menyelidik.
Aku juga telah bersumpah jika
mereka tidak bisa memberikan jawaban atau tidak dapat membuktikan bahwa
kelompok masing-masing tidak terlibat, maka aku akan menumpas semua Ninja di
negeri ini sampai habis!"
"Kesetiaanmu untuk
membela kematian Ketua sangat aku hargakan Shigero. Tapi kita harus hati-hati
menghadapi para ninja. Jika mereka bergabung kekuatan mereka jauh lebih besar
dari kita …"
"Kita bisa memakai tangan
kelompok Oda Nobunaga untuk membasmi mereka …"
"Betul, tapi ingat … Perguruan
punya ketentuan untuk tidak terlibat dan melibatkan diri dengan orangorang
Pemerintahan …"
"Lalu mengapa kau sendiri
pergi menemui Shogun, walau katamu itu atas perintah Ketua ….."
Hisao Matsunaga mengangguk
pendek. "Justru hal itu diperintahkannya agar aku memberi tahu bahwa
Perguruan kita menghormati pihak angkatan perang, para Jenderal, tapi tidak mau
melibatkan diri dalam urusan pemerintahan …"
"Kalau begitu kita harus
punya cara sendiri untuk menghajar para ninja itu …"
"Jika benar mereka yang
membunuh Ketua..:” Shigero Momochi menatap tajam dengan matanya yang merah pada
Hisao Matsunaga.
"Apa maksudmu dengan
ucapan itu Hisao? Jelas mereka muncul di sini mengenakan seragam ninja.
Membawa senjata ninja. Bahkan
ada dua ninja yang sudah lumat di luar sana bisa kau lihat sendiri keadaan
mereka. Dan tampaknya kau hendak meragukan bahwa kematian guru bukan disebabkan
oleh para ninja keparat itu!"
"Tenang Saudaraku …"
kata Hisao Matsunaga dengan suara lembut.
"Sebagai perguruan besar,
tidak semua orang di luar sana suka terhadap kita. Mungkin saja memang ada yang
memakai tangan ninja untuk menghancurkan kita.
Mungkin juga ada para tokoh
silat kaki tangan pemerintah yang melakukannya karena tidak ingin melihat kita
sebagai satu kekuatan yang membahayakan mereka …"
"Ah, aku orang bodoh yang
tidak bisa mencerna dan berpikir sepintarmu …."
"Kau orang pandai. Otakmu
cerdik. Aku tahu hal itu. Jangan terlalu merendah Shigero. Sekarang mari temani
aku untuk memeriksa ruangan rahasia. Surat penting apa yang telah dicuri ninja
…."
Memeriksa 200 laci di ruangan
rahasia Perguruan Emerarudo bukan pekerjaan mudah dan memakan waktu lama.
Mereka memang menemui sebuah laci dalam keadaan kosong yaitu laci nomor 166.
Tapi baik Hisao maupun Shigero tidak dapat memastikan surat atau benda apa yang
telah lenyap dicuri dari laci tersebut.
Menjelang pagi ke dua pucuk
pimpinan Perguruan tersebut keluar dari ruangan rahasia, bergabung dengan
pengurus Perguruan lainnya untuk mengatur persiapan upacara perabuah jenarah
Noboru Kasai.
Sementara itu beberapa tamu
yang sudah diberi tahu atas musibah yang menimpa Perguruan telah mulai
kelihatan berdatangan.
Kita kembali dulu pada
kejadian beberapa waktu sebelumnya setelah ninja memasuki ruangan rahasia
Perguruan Emerarudo, mencuri sebuah amplop kuning lalu melarikan diri setelah
lebih dulu mementahkan pengejaran yang dilakukan Shigero Momochi.
Kelihatan seorang ninja
melarikan diri dan menghilang bersama kepekatan malam boleh dikatakan tak dapat
ditandingi oleh siapapun. Di lereng bukit sebelah Selatan ninja yang telah
membunuh Ketua Perguruan Emerarudo itu menyelinap ke balik sebatang pohon
besar.
dia tegak bersandar ke batang
pohon. Tangan kanannya mendekap dada kirinya yang terasa mendenyut saki. Dada
itulah yang sebelumnya mendapat serangan "Lima Jari Dewa" yang sempat
dilakukan oleh Noboru Kasai. Dalam gelap ninja membuka pakaian hitamnya.
Jantungnya berdenyut keras
ketika dilihatnya ada lima bintik hitam membekas di dada kirinya.
"Celaka ….. ! Tanda ini tidak
bisa hilang sekalipun kulitku dikelupas!" Sesaat sang ninja nampak masgul.
Namun bila dia ingat pada
amplop kuning itu, rasa kawatirnya segera lenyap. Dengan cepat amplop kuning
dikeluarkannya dari balik pakaiannya. Bagian depan amplop ada tulisan dalam
huruf kanji berbunyi : "Sangat Rahasia. Risalah Pewarisan Pimpinan
Perguruan." Amplop dibalikkan. Bagian penutup amplop di sebelah belakang
selain diikat dengan benang juga disegel dengan lak tebal berwarna merah.
Dengan tangan agak gemetar
ninja merobek penutup amplop. Dari dalam amplop dikeluarkannya lembaran tebal
kertas berwarna merah.
"Hah?!”
Sang ninja berseru kaget.
Sepuluh lembar kertas merah yang barusan dikeluarkannya dari dalam amplop
dibolak-baliknya.
"Aneh! Mengapa semua
kertas ini kosong? Tak ada tulisan, tak ada apa-apanya! Jangan-jangan aku
tertipu! Siapa yang menipu? Sang Ketua ….?" Tak mungkin …. !"
Seolah-olah tak percaya ninja memeriksa kembali kertas-kertas merah itu,
melihat ke dalam amplop kalau-kalau ada kertas lain yang tertinggal.
Kemudian dengan kesal amplop
dan kertas merah itu diremasnya sampai lumat. Setelah itu sambil memaki panjang
pendek amplop dan kertas merah itu dibantingkannya ke tanah! "Kurang ajar
Benar-benar sialan!"
* * *
TIGA
PENDEKAR 212 Wiro Sableng tarik
kerah baju tebal-nya tinggi- tinggi. Sesaat dipandanginya air sungai kecil di
hadapannya yang dalam kegelapan malam seolah-olah diam tidak mengalir. Barusan
dengan susah payah dia mengumpulkan beberapa potong kayu. Dalam udara lembab
dan dingin begitu rupa hampir tak mungkin mendapatkan kayu kering. Dia telah
menghabiskan sekotak geretan untuk membakar kayu menyalakan api.
Namun sia-sia saja. Sesekali
matanya melirik ke arah sebuah batu di atas mana terbaring seekor kelinci dalam
keadaan terikat keempat kakinya..
Dari saku baju tebalnya Wiro
keluarkan botol kaleng berisi sake. Setelah meneguk minuman keras ini dua kali
dia merasa tubuhnya menjadi hangat.
"Badanku hangat tapi
perutku tetap saja keroncongan." Dia memandang lagi pada kelinci di atas
batu.
"lngin sekali aku
cepat-cepat merasakan bagaimana lezatnya daging kelinci Jepang. Tapi api sialan
tak mau hidup …" Apa aku harus mempergunakan senjata mustika itu hanya
untuk menyalakan api?" Wiro garukgaruk kepala.
"Kelihatannya memang tak
ada jalan lain …." Murid Sinto gendeng akhirnya keluarkan Kapak Maut Naga
Geni 212 dari balik pakaiannya. Dia juga mengeluarkan batu hitam pasangan
senjata sakti itu.
Ketika cahaya yang
memancar,dari dua mata kapak menerangi tempat itu, sepasang mata yang sejak
tadi mengintip dibalik kerapatan serumpunan batangbatang bambu membesar karena
terkejut dan juga kagum. Dalam hati orang yang bersembunyi itu berkata.
"Belum pernah aku melihat
senjata seperti itu.
Dari sinarnya saja jelas
senjata itu memiliki hawa sakti luar biasa. Pasti inilah senjata yang
dipakainya untuk membunuh Arashi si Nenek Badai. Pemuda dari negeri ribuan
pulau itu … Aku harus merampas senjata itu. Batu hitamnya sekalian … !"
Di depan tumpukan kayu yang
disilang-silang di tanah Wiro gosokkan keras-keras salah satu mata kapak dengan
batu hitam di tangan kanannya. Bersamaan dengan itu dia kerahkan tenaga
dalamnya.
Wussss!
Lidah api menyambar ke arah
tumpukan kayu.
Krekkkk … Terdengar suara
berkeretakan. Kayu-kayu lembab itu berubah menjadi merah. Sesaat kemudian
apipun berkobar. Ketika api padam, kayu-kayu yang tadinya basah telah berubah
menjadi arang merah.
Di balik batang-batang bambu,
orang yang sejak tadi mengintip berdecak dalam hati.
"Benar-benar luar biasa.
Bagaimanapun aku harus dapatkan senjata itu. Batu hitamnya juga….." Lalu
tanpa suara dia bergeser dari balik batang-batang bambu itu.
Wiro simpan kembali kapak
sakti dan batu hitam.
Lalu dia melangkah ke arah
kelinci. Binatang ini mencicit keras seolah tahu kalau dirinya sebentar lagi
akan dipesiangi.
"Ya … ya sekarang kau
boleh mencicit, berteriak sesukamu. Asal saja jangan sudah masuk ke perutku kau
nanti masih mencicit!"
Wiro mulai membuka ikatan pada
keempat kaki binatang itu. Kalau tadi kelinci ini mencicit keras terus menerus,
kini tiba-tiba diam.
"Eh, kenapa diam … ? ujar
Wiro. Dilihatnya sepasang mata kelinci itu memandang sayu dan sesekali
berkedip-kedip. Telinganya bergerak-gerak, begitu juga cuping hidungnya. Dari
mulutnya yang bergigi-gigi putih kecil terdengar suara desah halus.
Tiba-tiba saja ada perasaan
tidak enak dalam diri Pendekar 212. "Aneh, mengapa mendadak aku jadi tidak
tega membunuh binatang ini …." Wiro perhatikan lagi kelinci itu. Masih
memandang padanya dengan mata sayu dan berkedip.
"Semakin kupandang
semakin kasihan aku jadinya … Ah sudahlah. Biar kulepas saja …" Wiro
membungkuk, letakkan kelinci itu di tanah lalu berkata.
"Kelinci, kau tentu punya
emak, punya bapak.
Punya saudara punya teman dan
hutan belantara. Kau boleh pergi. Aku tak jadi menyantanmu. Walau perutku
keroncongan kurasa aku masih bisa menahan lapar..Kau bebas. Pergilah …."
Setelah dilepas, kelinci itu
tidak segera lari.
Seolah-olah berterima kasih
dia berpaling ke arah Wiro, mencicit beberapa kali sambil mengedipkan kedua
matanya.
"Ya … ya.. . Pergi sana.
.." kata Wiro pula.
Binatang itu mencicit lagi dan
mengedip dua kali lalu membuat lompatan tinggi. Namun dia tak pernah masuk lagi
ke dalam hutan, bahkan setelah melompat tak sempat lagi menginjakkan
kaki-kakinya di tanah.
Sebuah benda melesat dari
kegelapan, menyambar ke kepala kelinci itu. Binatang ini mencicit keras lalu
jatuh terhempas ke tanah.
"Astaga!" Wiro
berseru dan cepat melompat.
Kelinci diambilnya dari tanah.
Sepasang mata Pendekar 212 melotot besar. Sebuah besi lancip lebih besar dari
lidi . menancap tepat di kening kelinci. Pada besi ini menempel sebuah bendera
berbentuk segi tiga berwarna merah. Di bagian tengah bendera, ada tulisan Kanji
warna hitam berbunyi "Bendera Darah."
"Binatang malang …."
desis Wiro. "Aku segaja melepaskanmu. Sekarang ternyata ada orang jahat
membunuhmu. Kalau memang nasibmu seperti ini kan lebih baik kau kupanggang dan
kusantap saja tadi …"
Wiro garuk-garuk kepalanya
dengan tangan kiri. Lalu diusapnya kepala kelinci itu beberapa kali. Darah yang
mengucur dari kepala kelinci mengotori jari-jari tangannya. Perlahan-lahan Wiro
letakkan binatang itu di tanah lalu dia tegak kembali, memandang berkeliling.
"Orang jahat! Siapa kau
yang tega-teganya membunuh kelinciku?!” Aku tahu kau masih berada di sekitar
sini! Perlihatkan dirimu!"
Dalam keheningan dan dinginnya
udara malam tiba-tiba terdengar suara tertawa. Suara tawa ini melengking keras
tapi pendek.
"Kurang ajar …"
kertak Pendekar 212. Dia jelas mendegar suara tertawa itu. Keras dan dekat tapi
anehnya dia tidak bisa mengetahui dari arah mana datangnya.
"Orang itu sepertinya
memiliki ilmu memindahkan suara!" pikir Wiro.
"Hemmm …. Kau tidak
berani unjukkan diri ya?!
Apa kau seorang pengecut atau
mungkin tampangmu jelek seperti donburi basi?!"
Tetap hening. Kali ini
sepertinya juga tak ada suara jawaban. Tapi tidak. Karena tiba-tiba jawaban
yang diterima Wiro adalah melesatnya sebuah benda merah ke arah kaki kirinya.
Sang pendekar cepat melompat.
Seeettttl Cleeeppp!
Breettt!
Sebuah bendera merah menancap
di tanah, tepat di atas mana tadi kaki Wiro meminjak. Gerakan Wiro mengelak
tadi cepat sekali. Namun sebelum menancap di tanah besi bendera masih sempat
merobek ujung kaki celana putihnya!
"Bendera aneh itu
lagi!" desis Wiro dengan mata mendelik.
"Si pelempar jelas
sengaja mencari tantaran.
Bukan cuma mau membunuh
kelinci tapi juga mau membunuh diriku!"
Sambil mundur mendekati sebuah
pohon besar Wiro memandang berkeliling. Dia sengaja berdiri di depan pohon
untuk mempersempit ruang serang musuh yang tersembunyi.
"Pembokong gelap! Apa kau
masih tidak mau memperlihatkan diri?!" teriak Wiro.
Baru saja dia berteriak begitu
tiba-tiba setttt…. setttt Dua buah Bendera Darah melesat dalam gelapnya malam
den menancap di batang pohon, hanya seujung kuku jari dari telinga kiri kanan
sang pendekar! Walau udara dingin tapi murid Sinto Gendeng sempat keluarkan
keringat dan tengkuknya jadi merinding.
Dia sadar kalau pun dia masih
berdiri di sekitar situ, cepat atau lambat dirinya bakal jadi tancapan bendera
aneh itu. Walau besi bendera tidak mengandung racun tapi daya bunuhnya tidak
bisa dibuat main.
Memikir sampai di situ Wiro
keluarkan seruan keras.
Kedua kakinya menjejak tanah
sambil kerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Tubuhnya melesat ke atas.
Settttt …. setttt …. setttt ….
sefflt!
Empat Bendera Darah dengan
sebat mengikuti gerakan Wiro. Satu mengarah perut, satu mencari sasaran di
basian dada dan dua menyambar ke arah kepala.
"Kurang ajar!" rutuk
Pendekar 212.
"Si pembokong benar-benar
inginkan nyawaku!
Siapa dia … Kaki tangan
orang-orang lembah Hozu?’ (Mengenai silang sengketa Pendekar 212 dengan
orangorang Lembah Hozu, ikuti serial Wiro Sableng berjudul "Pendekar
Gunung Fuji")
Masih melayang di udara Wiro
membuat gerakan jungkir balik. Ke dua tangannya serentak lepaskan pukulan
tangan kosong yang menghamburkan angin deras.
Empat Beqaera Darah bukan saja
berhasil dihindar tap!
malah dibuat mental. Tetapi
murid Sinto Gendeng jadi tersentak kaget ketika melihat apa yang terjadi. Empat
buah Bendera Darah yang kena hantaman pukulan tangan kosongnya tadi tiba-tiba
berbalik. Dua diantaranya kelihatan robek. Empat bendera merah Empat bendera
merah ini berkibar aneh. Lalu seperti didorong oleh kekuatan hebat, empat
bendera itu melesat berpencaran dan kembali menyerang Wiro di empat sasaran!.
"Kurang ajar! ini bukan
main-main!” Wiro Cepat melompat kebalik serumpun semak belukar. Sambil melomat
dia lepaskan pukulan ”Tameng Sakti Menerpa Hujan”.
Dua buah Bendera Darah robek
dan menancap pada rerumpunan semak belukar. Satu diantaranya malah tepat di
depan hidung Pendekar 212 hingga kembali murid Sinto Gendeng keluarkan keringat
dingin.
Yang dua lagi berhsrsil
dihantam luruh ke tanah.
Hebatnya meski jatuh namun dua
bendera ini tidak tergeletak begitu saja melainkan jatuh dengan tetap menancap
di tanah!.
Di balik kerapatan
batang-batang bambu di tepi sungai terdengar suara orang berdesah. Sepasang
telinga Wiro menangkap suara desah itu. Tanpa Pikir panjang dia segera
menghantam ke arah Pohon bambu.
Pukulan yang dilepaskannya
kali ini adalah dalam jurus "segulung ombak menerpa karang."
Terdengar suara seperti ombak besar bergulung di Pantai. Lalu wusss…. braaakkkk
….. ! Rumpunan batang bambu di depan sana laksana dihantam topan, hancur rambas
berantakan.
"Kosong! Tak ada
siapa-siapa di tempat itu!” seru Wiro dengan pandangan kaget.
Baru saja dia berseru demikian
dan belum habis rasa kagetnya tiba-tiba dari atas terdengar Suara seekor
berkesiuran.
"Bendera keparat!"
teriak Wiro.
Tiga buah Bendera Darah
melesat dengan kecepatan setan dari atas pohon besar. Membuat dia lagi-lagi
dipaksa jungkir balik selamatkan diri.
Cleeppp!
Bendera Darah pertama menancap
amblas ke dalam tanah.
Kraakkkk!
Bendera Darah ke dua
menghantam batu kali dan menancap di batu itu!.
“Gila! Kalau benar benda itu
bisa menancap di batu, kekuatannya benar-benar luar biasa! Batok kepala pasti
tembus!”
Namun Wiro tidak sempat
berpikir panjang. Dia merasa lututnya goyah ketika menyadari Bendera Darah
ketiga menyusup di bahunya, merobek baju tebalnya lalu ada rasa sakit dikulit
bahu sebelah kiri. Pertanda ada daging bahunya yang kena ditembus besi bendera.
Rasa sakit mula-mula tidak
terasa karena saking cepatnya gerakan besi itu menembus. Wiro ulurkan tangan kanannya
ke bahu kiri dan cabut bendera yang menancap di bahunya itu sementara baju
tebalnya kelihatan merah oleh darah yang keluar dari luka.
Sambil menggenggam bendera
merah yang dicabutnya dari bahu kiri Wiro mendongak ke atas. Dalam kegelapan
samar-samar dilihatnya satu sosok aneh tegak di cabang terendah.
"Mahluk apa di atas pohon
pikir Wiro.
"Sosoknya seperti
manusia…. tapi tak jelas kepala tak kelihatan mukanya …."
"Setan alas di atas
pohon! Apa kau tak berani turun ke tanah?!"
Sosok di atas pohon keluarkan
tawa melengking keras tapi pendek. Tubuhnya kemudian tampak melesat ke atas
lalu berputar jungkir balik. Di lain kejap dia melompat ke bawah, menukik
laksana seekor alap-alap menyambar mangsanya.
"Makan benderamu
sendiri!" bentak Wiro.
Tangan kanannya yang memegang
bendera merah melempar ke atas. Bendera Darah menderu ke arah Ubun-ubun kepala
sosok yang saat itu melayang sebat ke bawah.
"Huh!"
Orang yang melayang turun
keluarkan suara terkejut ketika melihat bendera miliknya sendiri kini dilempar
orang ke arah batok kepalanya. Dalam kejutnya dia bertindak tenang sekali.
Sambil miringkan tubuh ke kiri dia malah sengaja menyambut Serangan bendera
dengan dada kirinya. Cleppp! Bendera itu menyusup dan lenyap di tubuhnya seolah
seekor burung yang melesat masuk ke sarangnya!
Rasa heran Pendekar 212
berubah jadi terkejut besar ketika sesaat kemudian dia melihat sosok Yang tegak
di hadapannya. "Gila! Seumur hidup baru sekali ini aku melihat mahluk
macam begini!"
* * *
EMPAT
Di hadapan Wiro saat itu tegak
sesosok tubuh yang mulai dari kaki sampai ke kepala tertutup oleh puluhan,
mungkin ratusan bendera-bendera kecil berwarna merah. Dari wajahnya hanya
sepasang matanya saja yang kelihatan. Memandang tajam tak berkesip pada
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Aneh, mahluk ini
terbungkus bendem kaki tangan, badan sampai kepala. Apakah dia tidakmengenakan
pakaian? Tak bisa kuterka apa dia lelaki atau perempuan …."
Diam-diam Wiro mencium seperti
ada bau harum muncul di tempat itu bersamaan dengan kemunculan mahluk aneh ini.
Untuk sesaat lamanya dua orang
itu hanya berdiri . tegak saling pandang tanpa bicara.
"Hemmm …" Murid
Sinto Gendeng akhirnya bergumam.
"Rupanya aku berhadapan
dengan hantu penjual bendera!"
Diejek seperti itu sepasang
mata orang yang bekujur tubuh dan mukanya tertutup bendera-bendera merah
kelihatan membesar. Walau jelas marah namun dia tetap diam, tak membuat gerakan
apa-apa.
"Tukang bendera! Kau
membunuh kelinci itu, Kau juga menyerang dengan maksud membunuh. Padahal antara
kita tidak ada silang sengketa. Bertemu pun baru kali ini! Bahkan tampangmu
yang tersembunyi dibalik kain-kain popok merah itu tak pernah kulihat!"
Dari tenggorokan orang dl
hadapan Wiro terdengar suara menggeru. Lalu dia membentak.
"Orang asing! Lagakmu sombong!
Penghinaanmu keliwatan. Kau boleh menghina diriku! Tapi menghina
bendera-benderaku sebagai kain popok tak dapat kuterima! Penghinaan atas
Bendera Darah berarti mati!"
Wiro segara saja maklum kalau
mahluk yang ada dihadapannya itu tidak bicara dengan suara aslinya tapi
mempergunakan suara perut. Dia lantas ingat Akiko Bessho, murid mendiang Hiroto
Yamazaki dari Gunung Fuji yang juga ahli mempergunakan ilmu suara dari perut.
Wiro sendiri sempat belajar cara bicara dengan perut itu dari Akiko walaupun
belum tuntas. Maka diapun rubah suaranya. kerahkan tenaga dalam ke perut dan
bicara menirukan suara seperti kambing.
"Oh, jadi yang kukira
kain popok itu adalah Bendera Darah! Pantas ganas amat!" Mahluk yang
terbungkus bendera jadi marah dan juga kaget. Marah karena lagi-lagi Wiro
menghina Bendera Darahnya.
Terkejut karena tidak
menyangka pemuda asing itu juga mampu menggunakan suara perut malah meniru
suara kambing!
"Dengar …. Sebelum
kubunuh katakan dulu dari mana kau belajar bicara dengan suara perut itu?!”
"Eh, perlu apa kau
bertanya? Aku mau belajar dari hantu atau jin atau dari siapa saia apa
urusanmu?!"
"Hemmm begitu …… Berarti
kau mempercepat saat kematianmu!" Mahluk bendera gerakkan kedua tangannya.
"Tunggu dulu!" seru
Pendekar 212.
"Katakan mengapa kau
ingin membunuhku!"
"Sekedar untuk menebus
nyawa Nenek Arashi yang kau bunuh beberapa waktu lalu …" Wiro terkejut.
”Apa hubunganmu dengan nenek
jahat itu?!" tanya Wiro.
"Kau bisa tanyakan
sendiri padanya nanti di akhirat ltupun kalau kau bisa ketemu dia…!" Orang
itu menjawab lalu tertawa keras.
Dua tangannya bergerak.
Terdengar suara settt….
settt…. Empat kali
berturut-turut. Wiro hampir tak melihat kapan orang itu mencabut
bendera-bendera kecil di tubuhnya tahu-tahu empat Bendera Darah melesat ke
arahnya!
Murid Eyang Sinto Gendeng
berseru keras. Tubuhnya berkelebat lenyap. Bersamaan dengan itu dia menghantam
ke depan dengan tangan kiri. Lepaskan pukulan "kunyuk melempar buah."
Dua buah Bendera Darah mental dan robek lalu menancap di tanah. Dua lainnya
terus meluncur mengejar ke arah mana perginya sasaran.
Wiro kertakkan gerahamnya
ketika melihat dua Bendera Darah secara luar biasa mampu mengejar dan menyambar
ke arah perut dan dadanya.
Trang …. bang …. !
Terdengar dua kali suara berdentrangan.
Dua kali berturut-turut bunga api memancar terang dalam kegelapan malam.
Lalu wusss …. wusss!
Dua Bendera Darah terbakar di
udara. Begitu punah dua batang besi kecil yang jadi tiang bendera luruh ke
tanah. Sekali ini tak mampu menancap seperti sebelumnya!
Mahluk kendera terkesiap
kaget. Dua matanya memandang tak berkesip ke arah tangan kanan Wiro dimana
tergenggam batu hitam empat persegi panjang pasangan Kagsak Maut Naga Geni 212.
Dengan benda inilah rupanya tadi Wiro menangkis serangan dua dari empat Bendera
Darah. Wiro sendiri tidak menyangka kalau batu api itu bukan saja sanggup
menangkis serangan Bendera Darah tapi waktu bentrokan tadi sekaligus membakar
kain bendera!
”Batu itu. .. ” Manusia
bendera membatin.
"Lalu kapaknya tadi … Aku
harus mendapatkan nya! Musti!"
"Gaijn….Aku mungkin bisa
melupakan pembunuhan atas diri Nenek Arashi yang kau lakukan lalu membebaskanmu
dari kematian. Asal kau menerima syarat yang bakal aku katakan …" Wiro
menyeringai.
"Setan alas ini rupanya
punya rencana tersembunyi …" katanya dalam hati. Lalu,
"Tadinya aku memang sudah
siap-siap menghadapi kematian. Sekarang kau bilang mau membebaskan diriku. Coba
katakan apa syaratmu itu …"
"Serahkan batu hitam itu.
Juga senjata berbentuk kapak yang kau simpan di balik pakaian…"
Wiro sesaat jadi melongo. Lalu
dia tertawa gelakgelak.
"Aku merasa tidak ada
yang lucu. Mengapa harus tertawa segala? Kau harus bersyukur tak jadi
kubunuh!" Wiro tersenyum lalu berkata.
"Memang tidak ada yang
lucu. Tadinya kau kukira seorang penjua! bendera. Ternyata kau adalah seorang
perampok tengik yang ingin barang orang lain!"
"Kau memutuskan untuk
tidak mau menyerahkan dua barang yang kuminta itu?" nada suara manusia
bendera mengandung ancaman.
"Kira-kira begitu …"
jawab Wiro seenaknya.
"Berarti kematian sudah
diambang pintu. Kasihan, datang dari jauh hanya untuk mengantar nyarwa.
Mayatmu pun tak akan ada yang
mengurus!”
"Kalau kau kira aku
memang akan mati ditanganmu, apakah kau hendak titip salam buat Nenek Arashi di
akhirat?!" ejek Wiro pula.
Manusia bendera berteriak
marah. Tubuhnya berkelebat.
Tangannya kiri kanan beqerak.
Sepuluh bendera yang menempel di tubuhnya berkelebat. Wiro tak tinggal diam.
Batu hlam dibabatkan ke depan sedang tangan kiri lepaskan dua pukulan sakit
berturut-turut.
Bummmm!
Bummmm!
Manusia bendera tampak
terhuyung-huyung tapi hanya sebentar. Belasan bendera yang menempel menutupi
badannya tersibak akibat pukulan Wiro tadi cepat-cepat dirapikannya. Memandang
ke depan empat buah Bendera Darah dilihatnya musnah terbabakar. Dua menancap di
pohon, dua lenyap dalam kegelapan malam tapi dua buah lagi walau tidak tepat
berhasil menancap di tubuh lawannya!
Wiro menyeringai kesakitan.
Sebuah Bendera Darah menancap menyisi pinggiran paha kirinya. Darah mengucur
membasahi kaki celana putih yang dikenakannya.
Bendera Darah ke dua menyambar
rusuk kanan, menyusup dekat tulang iga sebelah luar!.
"Aku masih mau memberi
kesempatan agar kau berubah pikiranl Bagaimana?!" Mahluk bendera berkata.
"Mahluk edan! Biar aku
kembalikan dulu dua benderamu ini!" jawab Wiro. Dengan cepat dia cabut dua
bendera yang menancap di tubuhnya. Namun sebelum dia sempat melemparkan senjata
itu ke arah pemiliknya tiba-tiba manusia bendera gerakkan badannya.
Terjadilah hal yang luar
biasa. Tiga puluh Bendera Darah yang menempel di badannya melesat.
Dengan mengeluarkan suara
menderu laksana topan menggidikkan bendera-bendera itu menyambar ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Celaka! Aku tak punya
kesempatan mengelak atau menangkis!" Wiro terpaksa Iepaskan dua bendera
yang dipegangnya lalu pergunakan batu api untuk menangkis sebisanya. Gerakannya
untuk mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 tidak dapat tidak tetap akan kedahuluan
oleh serangan tiga puluh Bendera Darah yang menyerbu laksana topan itu!
"Ah, aku benar-benar mati
di tangannya!" kata Wiro.
Dia masih berusaha jatuhkan
diri walau sadar hal ini adalah sia-sia saja sementara puluhan Bendera Darah
menderu ganas.
Tiba-tiba satu teriakan keras
menggema dari arah sungai kecil.
"Yori! Jangan bunuh
dia!" Mahluk bendera tersentak kaget.
Saal itu di pertengahan sungai
kelihatan seorang gadis berkimono biru berdiri di atas sebuah perahu kecil yang
meluncur dengan cepat. Sebelum ujung perahu menyentuh pinggiran sungai gadis
ini sudah melesat sambil cabut sebilah katana dan siap menyerbu kirimkan
tangkisan untuk membendung serangan puluhan Bendera Darah walau dia maklum
bahwa tidak seluruhnya bendera-bendera maut itu bisa diruntuhkannya.
Paling tidak sebagian besar
masih akan menancap di tubuh Wiro.
"Ah dia …!" kata
mahluk bendera dalam hati.
Kedua matanya bersinar seperti
mau marah. Namun tiba-tiba saja dia menyentakkan kepala dan melambaikan kedua
tangannya ke belakang seraya berseru. "Bendera kembali!"
Terjadilah hal yang luar
biasa. Puluhan Bendera Darah yang menyerbu ke arah Wiro tiba-tiba tegak dan
berkibar. Lalu secara aneh bendera-bendera ini berputar. Seolah-olah ditarik
oleh kekuatan besi berani yang hebat, semua bendera melesat berbalik dan
menyusup di antara puluhan bendera yang menempel di tubuh manusia bendera.
Gadis yang melompat dari atas
perahu menginjakkan ke dua kakinya di tanah. Di saat yang sama manusia bendera
membungkuk dalam-dalam sampai tiga kali lalu putar tubuhnya.
"Yori! Tunggu!" seru
si gadis berkimono biru sambil berusaha mengejar.
Tapi si manusia bendera itu
sudah lenyap di telan kegelapan malam.
Wiro menarik nafas lega dan
berpaling ke kiri.
"Sahabatku nona Akiko
Bessho. Syukur kau datang … !”
"Kau tak apa-apa?"
tanya gadis kimono biru sambil matanya meneliti sekujur tubuh Pendekar 212.
"Ah, kau terluka di tiga
tempat. Bahu, paha, dan rusuk …." Besi bendera itu tidak beracun. Tapi
lukamu cepat harus dirawat. Lewat dari tiga hari luka itu akan membusuk …"
"Dan aku bisa mati …?”
Si gadis menggeleng. "Mati
ya tidak. Cuma kau mungkin akan catat seumur hidup. Salah satu tangan atau
kakimu bisa-bisa lumpuh …."
"Bendera-bendera merah
kurang ajar. Kau tadi kudengar menyebut nama mahluk aneh itu. Dia manusia atau
apa … ? Lelaki atau perempuan ….?"
"Maafkan aku. Aku tak
bisa menerangkan siapa dirinya … !”
"Jadi kau sebenarnya
kenal Siapa dia adanya?" tanya Wiro.
"Lupakan dia, Yang jelas
kau selamat Aku senang bisa bertemu kau di sini …."
"Aku juga … Tapi aku
merasa aneh. Kita bersahabat.
Dan kau ternyata kurang
percaya padaku. Tak mau menceritakan siapa adanya manusia aneh tadi.
Lalu kulihat dia seperti takut
padamu dan cepat-cepat berkelebat pergi … ."
"Sudahlah, lupakan saja
mahluk yang kau anggap aneh itu," kata Akiko Bessho. Lalu dari sebuah
kantong kain yang dikeluarkannya dari balik bajunya Akiko Bessho mengambil
sebutir obat berwarna merah dan diberikannya pada Wiro.
"Lekas telan. Lukamu
pasti sembuh dalam tempo satu hari …." Wiro memasukkan obat itu ke dalam
mulutnya. Mendadak saja dia seperti mau muntah. Obat yang dimulutnya hampir
melompat keluar.
"Tolol! Kau seperti anak
kecil saja! Jangan dihisap. Itu bulan gula-gula! Langsung telan!"
"Obat apa ini! Sepahit
tahi setan!" teriak Wiro.
"Ngacokl Apa kau sudah
pernah makan kotoran setan?!" ujar Akiko pula menahan tawa. Wiro cepat
telan obat dalam mulutnya. Begitu obat pahit lewat ditenggorokannya dia menarik
nafas lega.
"Terima kasih
Akiko," kata Wiro.
"Coba ceritakan bagaimana
kau berada di tempat ini. Bukankah kita janji bertemu bulan purnama di muka di
desa Kitano di . . kaki gunung Mitaka? Kau sengaja mencariku. Kangen atau
bagaimana ….?" Kata-kata Pendekar 212 itu membuat wajah Akiko Bessho
menjadi bersemu merah. Wiro tertawa lebar dia menarik tangan Akiko mengajaknya
duduk dekat perapian.
"Aku dalam perjalanan ke
Kioto. Seorang sahabat mendiang Sensei meninggal dunia. Kematiannya tidak
wajar. Dibunuh oleh ninja…:”
"Ninja…"desis Wiro.
"Aku tidak mengerti
bagaimana ada manusia atau kelompok manusia seperti mereka. Melakukan apa saja
demi uang! Bahkan membunuh bayi sekalipun mereka tega!"
”Mereka memang ganas dan
kejam. Lebih kejam dari orang-orang Lembah Hozu yang pernah kita. hadapi dulu
….”
"Heran, mengapa Kaisarmu
tidak menumpas mereka”
"Sulit. Karena
orang-orang atau pejabat-pejabat tinggi sendiri banyak mempergunakan tenaga
mereka.
Para samurai tak sanggup
menumpas mereka. Selain kepandaian pendekar samurai jauh dibawah para ninja,
juga adanya pejabat-pejabat tinggi tadi yang tetap menginginkan adanya ninja
baik untuk kepentingan usaha dagang mereka, jabatan maupun keamanan."
"Sebetulnya akupun tadi
dalam perjalanan menuju Kioto …." kata Wiro pula.
"Kalau kau memang mau
pergi sama-sama, tentu saja aku tidak keberatan. Tapi ada syarat! Jangan
mencari perkara dan berbuat yang aneh-aneh. Aku ke sana untuk melayat, bukan
untuk bersenang- senang …." Wiro tersenyum. Sambil garuk kepala dia
menjawab.
"Bagiku, bisa pergi
sama-sama tidak merupakan kesenangan tersendiri..!’
"KaIau begitu ayo kita
berangkat sekarang. Kioto masih cukup jauh dan kita harus jalan kaki …”
"Bagaimana dengan ilmu
pukulan matahari. Kau masih terus melatih diri?" tanya Wiro.
Akiko Bessho mengangguk.
"Daya hantamku jauh lebih besar. Aku berterima kasih kau telah mengajarkan
ilmu pukulan sakti itu. Lalu bagaimana dengan ilmu bicara dari Perut yang aku
ajarkan padamu. Kau sudah bisa?
"Wah, aku harus banyak
berlatih. Kadang-kadang Yang keluar bukan suara manusia tapi suara
binatang…" jawab Wiro hingga Akiko Bessho tertawa geli.
"Sahabat gurumu yang
dibunuh ninja itu, siapakah dia? ” tanya Wiro sambil melangkah cepat di sa
Akiko.
"Namanya Noboru Kasai.
Ketua Perguruan silat Emerarudo” jawab Akiko sambil lebih mempercepat jalannya
(siapa adanya gadis Jepang bernama Akiko Besso ini harap baca Serial Wiro
Sableng bejudul "Pendekar Gunung Fuji").
* * *
LIMA
Di dalam ruangan itu berkumpul
para pucuk pimpinan Perguruan Emerarudo. Hisao Matsunaga duduk bersebelahan
dengan Shigero Momochi. Di hadapan mereka duduk empat orang tua-tua Perguruan
mengapit seorang anak lelaki berusia 14 tahun. Anak ini adalah Akira, putera
tunggal mendiang Ketua Noboru Kasai.
Keheningan menggantung
beberapa lamanya.
Hisao Matsunaga mengusap
dadanya beberapa kali lalu terdengar dia batuk-batuk.
"Wakil Ketua, kau agak
kurang sehat rupanya … ?
tanya seorang tua sesepuh
Perguruan yang duduk di hadapan Hisao.
"Mungkin masuk angin.
Sehabis berjalan jauh ke Kioto dua hari lalu …" jawab Hisao Matsunaga
sambil mengusap dadanya lalu menarik nafas panjang. Dia melirik pada Shigero
Momochi yang duduk seperti terkantukkantuk di sampingnya. "Orang ini pasti
habis meneguk minuman keras lagi …" kata Hisao dalam hati. Lalu dia
memandang pada Akira Kasai sesaat dan berkata.
"Akira-san …Kami sengaja
mengikut sertakan kau dalam pembicaraan penting ini karena sebagai putera
mendiang Ketua Perguruan kami menganggap kau harus tahu akan segala pembicaraan
maupun rencana Perguruan …"
Akira Kasai membungkuk dalam
dalam lalu menjawab.
"Saya berterima kasih
atas kehormatan ini!”
"Seperti kita ketahui dua
hari dari sekarang jenazah Ketua Noboru Kasai akan diperabukan," kata
Hisao meneruskan ucapannya tadi.
"Sesuai ketentuan
Perguruan, sebelum hal itu dilakukan sudah harus ditentukan dan diumumkan siapa
pengganti beliau yang akan menjabat sebagal Ketua Perguruan. Sejak puluhan
tahun silam sudah ada ketentuan bahwa seorang Ketua membuat semacam surat
warisan di dalam mana dia menyebutkan siapa penggantinya jika karena satu dan
lain hal dia tidak lagi bisa memegang jabatan sebagal Ketua. Apapun isi surat
warisan itu atau siapapun yang ditunjuk menjadi penggantl tidak ada seorangpun
yang boleh membantah.
Semua harus tunduk dengan isi
surat warisan. Aku dan Shigero Momochi sudah memeriksa di semua tempat termasuk
Ruangan Rahasia Perguruan dan kamar pribadi mendiang Ketua. Namun surat itu tak
ditemukan.
Kita semua tahu, malam itu
tiga orang ninja menyerbu ke sini. Mereka bukan saja berniat membunuh Ketua
tapi dari penyelidikan ternyata mereka juga mencurl surat penting itu. Walau
yang dua terbunuh, satu-satunya yang melarikan dirl agaknya telah berhasil
mencuri dan melarikan surat itu. Waktu kita hanya sedikit Kurang dari dua hari.
Dalam waktu yang sangat singkat itu kita harus menemukan surat itu. ..!”
Shigem Momochi yang duduk
seperti terkantukkantuk dikejutkan oleh pertanyaan Hisao Matsunaga.
"Shigero, apakah sudah
ada kabar dari orangorang kita yang kau suruh menghubungi para Ketua Ninja
….?!” Shigero Momochi usap mukanya.
"Maafkan, aku kurang
mendengar pertanyaanmu tadi Hisao …"
"Kau kelihatan sakit atau
mengantuk Shigero? Tanya Hisao berusaha menahan jengkelnya.
"Dalam urusan penting
begini rupa bagaimana mungkin dia tidak acuh dan malah mengantuk?!"
Seorang tua sesepuh Perguruan membuka mulut.
"Wakil Ketua Hisao
Matsunaga tadi menanyakan apa sudah ada kabar dari orang-orang yang disuruh
untuk menghubungi para Ketua Ninja …. ?"
"Oh itu. .." Shigero
usap lagi mukanya.
"Belum ….belum"
katanya sambil menggeleng.
"Mereka belum kembali.
…"
Hisao Matsunaga menarik nafas
dalam.
"Kalau sampai saat
terakhir jenazah diperabukan surat itu belum ditemukan dan Perguruan belum
mengangkat Ketua yang baru, apa yang harus kita lakukan?"
Salah seorang tua yang duduk
di sebelah Akira Kasai membungkuk lalu menjawab. "Menurut aturan, walau
ini tidak pernah terjadi sebelumnya, jabatan Ketua sementara dipegang oleh
istri atau putra mendiang Ketua. Karena mendiang Ketua tidak punya istri maka
jabatan itu dipercayakan pada puteranya … !” Semua mata ditujukan pada Akira
Kasai.
"Aku tidak pernah melihat
aturan itu secara tertulis," tiba-tiba Shigero Momochi membuka mulut.
"Dan aku merasa aturan
itu tidak benar. Perguruan bukan Kerajaan dimana tahta atau pucuk pimpinan
diserahkan pada seorang putera jika sang raja meninggal. Aku lebih suka jika
tanggung jawab Perguruan untuk sementara berada di tangan kelompok pimpinan
…"
Sesaat keadaan di tempat itu
menjadi hening.
Tiba-tiba Akira Kasai
membungkuk.
"Akira-san, kau hendak
mengatakan sesuatu’" tanya Hisao Matsunaga.
"Kalau diperkenankan
paman Wakil Ketua…" jawab anak lelaki itu.
"Kedudukanmu sama dengan
kami. Jadi kau berhak bicara," kata Hisao Matsunaga sambil senyum.
"Kau tak usah malu
apalagi merasa takut.
Bicaralah …."
Setelah membungkuk sekali lagi
maka anak itupun mulai bicara.
"Maafkan saya karena baru
saat ini menyampaikan apa yang saya ketahui…. ini menyangkut surat warisan atau
surat penunjukan siapa yang jadi pengganti mendiang Ayah. Surat itu ada di Puri
Sanzen. Disimpan oleh seorang pendeta bernama Komo. .."
Semua orang yang ada di situ
tentu saja jadi terkejut karena tidak menyangka akan mendengar keterangan itu
dari mulut Akira Kasai.
"Akira san …" kata
Shigero Momochi dengan nada penasaran. "Kenapa baru sekarang kau bilang?
Padahal kau tahu kita semua sudah kelabakan mencari surat itu!"
"Harap maafkan. Saya tak
berani bicara karena takut kesalahan dan para orang tua di sini menganggap diri
saya lancang … ." Hampir saja Shigero Momochi hendak mendamprat anak itu.
Tapi Hisao Matsunaga cepat berkata.
"Bagaimana ceritanya
surat itu berada di tangan pendeta Komo dan bagaimana kau mengetahui hal itu
Akira-san?”
"Sekitar satu bulan lalu
Ayah sendiri yang menyuruh saya mengantarkan surat itu ke Puri Sanzen dan
menyerahkannya pada pendeta Komo. Agaknya Ayah seperti sudah punya firasat ada
sesuatu yang bakal terjadi atas dirinya. Menurut pesan Ayah pada pendeta Komo,
surat itu hanya saya yang bisa mengambil lalu menyerahkannya pada para Wakil
ketua Perguruan …" Shigero Momochi menggelengkan kepala.
"Sepertinya mendiang
Ketua tidak percaya pada kita semua … Aku merasa malu diperlakukan seperti
itu…" Hisao Matsunaga batuk beberapa kali sambil usap usap dadanya. Dia
berkata untuk mendinginkan suasana.
"Aku rasa mendiang Ketua
melakukan hal itu tentu ada sebabnya. Buktinya, kalau dia tidak berbuat begitu
surat penting tersebut pasti sudah jatuh ketangan ninja!" Walau wajahnya
masih menunjukkan ketidak senangan tapi Shigero Momochi diam saja.
"Lalu apa yang harus kita
lakukan sekarang?" tanya salah seorang tua.
"Aku dan beberapa murid
Perguruan akan mengantar putera mendiang ketua ke Puri Sanzen. Puri itu cukup
jauh dari sini. Jika berangkat malam ini dan berhenti istirahat di beberapa
tempat, baru besok petang akan kembali. Mengingat pulera Ketua tak bisa
menunggang kuda maka delapan orang akan bergantian menandunya. Akira-san kau
lekas bersiap-siap. Aku akan mengatur segala sesuatunya,.."
Hisao Matsunaga segera
berdiri. Sebelum melangkah ke pintu dia berpaling pada Shigero Momochi.
"Shigero, selama kami
pergi semua hal di perguruan menjadi tanggung jawabmu. Yang lain-lain supaya
membantu termasuk menyambut para tamu yang datang melayat." Shigero
Momochi diam saja.
Agaknya dia tidak suka akan
ucapan Hisao tadi yang seolah-olah memerintah dan membuat dia berada dalam
kedudukan lebih rendah.
AKlRA Kasai memandang pada tandu
yang sebentar lagi akan membawanya ke Puri Sanzen. Saat itulah seorang anak
lelaki seusia Akira dan sama-sama mengenakan kimono warna merah melangkah
mendekati Akira dan menegur.
"Akira, ku dengar kau mau
berangkat ke Puri Sanzen …" Akira Kasai berpaling. Dia tertawa lebar
ketika melihat siapa dihadapannya. Keno teman sebaya dan sepermainan.
"Betul Keno, aku harus
pergi …"
"Malam-malam begini? Aku
kawatir …"
"Aku ditemani paman Wakil
Ketua Hisao Matsunaga. Apa yang harus dikawatirkan?Wjar Akira pula.
"Akira, aku mimpi buruk.
Kau jatuh ke dalam jurang yang dasarnya penuh dengan batu-batu merah membara.
Aku takut akan terjadi apa-apa dengan dirimu dalam perjalanan..!” Akira Kasai
tersenyum dan pegang bahu temannya itu.
"Kau sahabat yang baik.
Aku pergi cuma sebentar. Besok juga sudah kembali … Doakan saja supaya aku
selamat pergi dan kembali!”
"Bagaimana kalau aku ikut
bersamamu?” tanya Keno.
"Tentu saja aku suka.
Tapi paman Wakil Ketua belum tentu mau mengizinkan," jawab Akira.
"Kalau begitu sebelum ada
yang melihat biar aku sembunyi duluan dalam tandu …"
"Heh! Kau benar-benar
konyol Keno …."
"Konyol atau apapun
katamu pokoknya aku harus ikut!"
"Kalau kau memaksa
terserah saja. Lekas masuk ke dalam tandu,..!” kata Akira sambil memandang berkeliling
takut ada yang melihat.
* * *
ENAM
SEBETULNYA Puri Sanzen
terletak tidak terlalu jauh dari bukit dimana Perguruan Emerarudo berada. Hanya
saja jalan menuju ke Puri itu sangat sulit, buruk dan berbatu-batu. Disamping
itu pendakian dan penurunan datang silih berganti hingga rombongan yang
dipimpin oleh Hisao Matsunaga tidak bisa bergerak cepat.
Menjelang dinihari ketika
rombongan bergerak perlahan dan tertatih-tatih melewati sebuah pendakian curam,
dari puncak pendakian tiba-tiba muncul tujuh sosok hitam.
"Shinobi!" kata
Hisao Matsunaga dengan suara bergetar.
"Ninja!" teriak
beberapa orang anggota rombongan hampir berbarengan.
"Eh, apa yang terjadi
…?" ujar Akira Kasai di dalam tandu ketika merasakan tandu yang diusung
oleh empat orang anak murid Perguruan tiba-tiba diturunkan ke tanah. Lalu
mendadak pula terdengar suara beradunya pedang.
Keno yang berbaring di lantai
cepat berdiri dan enyingkap tabir penutup jendela kecil di dinding tandu.
Dia mengintai keluar. Suaranya
bergetar ketika berpaling pada Akira dan berkata.
"Rombongan kita diserang
ninja, Jumlah mereka lebih dari lima. Kelihatannya Wakil Ketua dan anak murid
Perguruan berada dalam keadaan terdesak …"
"Apa yang harus kita
bkukan ….?" tanya Akira Kasai, Tangan kanannya meraba katana pendek yang
tersisip di pinggang. Walau wajahnya tidak menunjukkan rasa takut tapi getaran
suaranya cukup menjadi pertanda bahwa anak ini merasa sangat kawatir.
"Mimpiku jadi kenyataan.
Ninja-ninja hitam itu pasti mengincar dirimu … !"
"Mengincar diriku?
Mengapa? Apa salahku … ?’
"Aku juga tidak tahu.
Tapi aku merasa dirimu dalam bahaya Akira. Lekas kau menyelinap keluar. Segitu
sampai di luar cepat lari ke Puri Sanzen …"
"Apa maksudmu? Apa yang
hendak kau lakukan?!" tanya Akira.
"Sudah. Waktu kita tidak
banyak. Lekas pergi …" kata Keno. Lalu dipeluknya temannya itu erat-erat!.
Akira balas memeluk sambil
berkata. "Aneh kau ini Keno. Kau memelukku seperti kita akan berpisah dan
tidak bertemu lagi … !’
"Lekas pergi …. Aku
mendengar suara jeritn wakil Ketua … Dia pasti terluka. Keadaan benar-benar
sangat berbahaya! Larilah! Ambil jalan rahasia yang kita temukan waktu
main-main di hutan dulu. Kau ingat?!"
Akira mengangguk dengan
gerakan kaku. Keno menggeser pintu dorong tandu lalu menarik lengan kawannya.
Putera mendiang Noboru Kasai ini mau tak mau akhirnya keluar juga dari dalam
tandu itu.
"Keno…?" ujar Akira.
Tapi Keno sudah menutup pintu
dari dalam tandu.
Akira Kasai memandang
berkeliling. Tempat dia berdiri berada dalam bayang-bayang gelap pohon besar
hingga dirinya tersamar tidak kelihatan. Kuduknya merinding ketika melihat
bagaimana murid-murid Perguruan Emerarudo bertahan mati-matian terhadap
serangan yang dilancarkan oleh tujuh orang ninja.
Seorang ninja berhasil
dibunuh, satunya lagi tergeletak antara sadar dan pingsan. Namun seluruh
rombongan orang-orang Perguruan Emerarudo sudah bergeletakan jadi mayat,
kecuali Wakil Ketua Hisao Matsunaga.Orang ini tersungkur di tepi jalan,
berusaha merangkak mencapai tandu.
Akira memutar kepalanya ke
arah tandu dimana Keno berada. Sepasang mata anak ini terbeliak besar.
Pintu tandu berada dalam
keadaan terbuka lebar. Dari tempat gelap dia berdiri anak ini dapat melihat
sosok tubuh Keno. Matanya membeliak dan jantungnya seperti hendak copot ketika
melihat bagaimana tubuh Keno tersandar di tempat duduk tandu. Sebilah katana
menancap di dadanya!
Kalau tak cepat dia menutup
mulutnya sendiri mungkin anak ini sudah berteriak karena ngeri.
"Keno… Mimpimu …Ternyata
kau yang mendapat celaka. Seharusnya …. seharusnya aku yang menemui ajal. Keno
sahabatku … Kini aku mengerti. Kau sengaja menyuruhku pergi. Kau memilih tetap
berada dalam tandu. untuk menipu ninja-ninja jahat itu. Keno …." Akira
Kasai tak kuasa membendung air matanya. Di sebelah sana dilihatnya Wakil Ketua
Perguruan Emerarudo merangkak di tanah terbatuk-batuk dan pegangi dada kirinya.
Tiba-tiba empat orang ninja melompat mengurungnya. Masing-masing memegang
ninjato berlumuran darah!
"Ninja-ninja itu … Mereka
pasti membunuh Paman Hisao. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana aku
menolongnya. Paman …"
Tiba-tiba terngiang di telinga
Akira ucapan Keno.
Mimpiku jadi kenyataan.
Ninja-ninja hitam itu pasti mengincar dirimu…Aku merasa dirimu dalam bahaya
Akira. Lekas menyelinap keluar. Begitu sampai di luar cepat lari ke Puri
Sanzen..
"Ninja-ninja itu…apa
mereka benar hendak membunuhku? Mengapa?!" Akira memperhatikan seorang
ninja lagi berkelebat mengurung Hisao Matsunaga.
"Aku merasa diriku
seperti seorang pengecut! Aku ingin menolongmu Paman Hisao. Tapi apa dayaku.
Maafkan aku Paman …."
Anak itu putar tubuhnya.
Kraaakkk!
Tak sengaja kaki kiri Akira
menginjak sebatang kayu agak kering hingga mengeluarkan suara. Lima ninja
berpaling ke arah kegelapan. Juga Paman Hisao Matsunaga.
Secepat kilat Akira melompat
ke balik sebuah pohon besar lalu menghilang. Lima ninja berkelebat ke arah
tandu lalu ke jurusan dimana tadi mereka mendengar suara berderak disertai
berkelebatnya satu bayangan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hisao Matsunaga
untuk bangkit dan naik ke punggung seekor kuda lalu menggebrak binatang ini
meninggalkan tempat itu. Lima ninja saling pandang.
Sesaat kemudian ke limanya
serentak berkelebat ke arah lenyapnya Akira. HlSAO Matsunaga belum lama memacu
kudanya ketika tiba-tiba dalam kegelapan malam dua penunggang kuda datang dari
jurusan berlawanan. Karena jalan sempit dan Hisao Matsunaga agaknya tidak mau
menghindar atau menepi maka dua penunggang kuda yang datang dari arah depan
terpaksa bersibak dan menepi.
"Orang itu menunggang
kuda seperti dikejar setan!" ujar penunggang kuda di kiri jalan. Dia
berpakai an dan berikat kepala putih serla berambut gondrong.
Melirik ke kanan dia melihat
sebuah jurang batu dalam kegelapan.
"Gila, sempat kaki kudaku
terperosok, amblas diriku ke dalam jurang itu!"
"Wiro …"
"Ada apa Akiko? Kau
kelihatannya seperti kaget."
"Penunggang kuda yang
barusan lewat. Walau gelap tapi aku masih sempat melihat wajahnya. Dia Hisao
Matsunaga …"
"Siapa manusia bernama
naga itu?’ tanya Wiro acuh saja.
"Salah satu dari dua
Wakil mendiang Noboru Kasai, Ketua Perguruan Emerarudo yang hendak kita layati
…"
"Eh, kalau benar berarti
ada urusan penting membuat dia meninggalkan perguruan …"
"Atau tengah dikejar
sesuatu …" kata Akiko pula.
"Aku …. Harap kau tunggu
disini. Aku coba mengejarnya untuk mencari tahu apa yang terjadi."
"Terserah padamu. Tapi
kau harus tahu menunggu di tempat seperti ini tidak sama sedapnya dengan
menunggu di rumah teh, ditemani oleh geisha …"
"Aku tak bakal
lama!" jawab Akiko lalu cepat memutar kudanya. Baru saja gadis itu lenyap
Wiro mendadak mendengar suara orang berlari. Dia berpaling ke kiri. Tampak satu
sosok kecil dalam kegelapan.
Sosok ini menyibak serumpunan
semak belukar di kiri jalan lalu lenyap dalam celah di antara dua buah batu
besar. Pendekar 212 sesaat jadi tercengang.
"Anak kecil dalam rimba
belantara malam-malam begini. Eh, apa ada tuyul di Jepang ini … ? Tapi kulihat
kepalanya tidak botak. Atau mungkin tuyul Jepang memang pakai rambut tidak
botak seperti di Jawa …"
Memikir sampai di situ Wiro
turun dari kudanya dan melangkah ke arah semak belukar di mana si anak tadi
dilihatnya lenyap.
Baru saja dia sampai di depan
semak belukar tiba-tiba lima sosok hitam berkelebat. Dua tegak mendekam di
depannya di atas batu besar di kiri kanan semak-semak tiga lainnya langsung
mengurung di samping dan belakang.
"Ninja!"
Wiro angkat tangan kanannya
sambil tertawa lebar untuk menunjukkan sikap bersahabat. Tapi lima ninja
pentang sikap garang. Di samping itu mereka merasa heran tidak mengira akan
menemukan seorang pemuda asing di tempat itu. Mereka bicara cepat satu sama
lain. Lalu yang berada di atas batu sebelah kanan membentak.
"Pemuda asing, dimana kau
sembunyikan anak itu?!"
"Anak, anak apa?balik
bertanya Pendekar 212.
"Anak lelaki pakai kimono
merah!" kata ninja di samping kanan.
"Maksudmu tuyul gondrong
itu … ? Lima ninja saling berpandangan.
"Tuyul! Apa itu
tuyul?!" Salah seorang dari mereka bertanya.
"Ah, bagaimana ya aku
menerangkannya," ujar Wiro pula sambil garuk-garuk kepala membuat lima
ninja jadi tidak sabaran. Salah seorang dari mereka berbisik pada teman
disebelahnya. Yang satu ini menyampaikan pada temannya yang lain.
"Pemuda asing ini
mencurigakan. Dari pada jadi urusan di kemudian hari lebih baik dibereskan saja
…"
"Setuju …!” Lima ninja
membuat gerakan menyerang.
Tubuh mereka merunduk. Pedang
ditukikkan ke bawah. Yang di atas batu melayang turun.
"Eh, apa-apaan
inil?!" Tadi bertanya sekarang malah menyerang!" seru Wiro. Lima
katana mencuat ke udara. Murid Sinto gendeng berteriak keras dan cepat
berkelebat hindarkan serangan. Tapi dua senjata lawan masih sempat menggurat
punggung dan perutnya.
Brettt!
Breettt!
Pakaian Pendekar 212 robek
besar di dua tempat.
Dia jadi keluarkan keringat
dingin. Lima ninja putar senjata masing-masing dari bawah ke arah pinggang.
Lalu untuk kedua kalinya
mereka menyerang secara serentak.
Traaangggg!
Cahaya terang disertai suara
menggaung merobek Kegelapan malam, dibarangi oleh lima kali suara beradunya
senjata dan percikan bunga api. Lima ninja keluarkan suara kaget dan mundur.
Sepasang mata mereka memandang tak berkesip pada kapak bermata dua yang
memancarkan sinar angker di tangan Wiro.
Biasanya jika lebih dari tiga
orang ninja menghantam satu serangan mereka tak akan pernah luput. Tapi jika
kali ini berlima mereka tidak bisa membunuh lawan dalam satu kejapan mata saja
maka ini adalah hal yang sangat luar biasa. Mereka saling melempar isyarat lalu
mulai bergerak memutari Pendekar 212. Tiba-tiba tanpa bentakan ataupun aba-aba ke
limanya menyerbu.
Lima katana berkiblat ke arah
murid Sinto Gendeng. Wiro salurkan tenaga dalamnya ke tangan kanan. Hawa sakti
ini terus mengalir ke senjata yang dipegangnya. Dua mata kapak memancar sinar
lebih terang. Ketika senjata itu diputarnya untuk menangkis lima serangan maut
pedang ninja sinar panas menghampar. Suara yang keluar dari senjata mustika itu
laksana gaungan ratusan tawon. Lima ninja berteriak keras saling memberi
semangat.
Tranggg! Trangggl
Dua katana mental ke udara.
Dua ninja terjengkang ke tanah sambil pegangi tangannya yang terasa seperti
memegang benda panas. Ninja ke tiga di samping kiri seperti kerbau melenguh
sewaktu kaki kiri Wiro menghantam perutnya. Namun gerakan murid Sinto Gendeng
hanya sampai di situ. Dari samping kiri ninja ke empat berhasil menyusupkan
pedangnya ke arah pinggang. Wiro sempat melihat serangan yang bisa merobek
perutnya ini. Cepat dia lepaskan satu pukulan tangan kosong. Ninja di samping
kiri menjerit keras.
Tubuhnya mencelat mental dan
terbanting di tanah mati, muntah darah. Namun sebelumnya katananya masih sempat
menggores paha Wiro hingga koyak dan darah mengucur deras.
Selagi Wiro terhuyung-huyung
menahan sakit.
Dari samping kanan dan sebelah
belakang dua ninja lagi datang menyerbu. Sambil jatuhkan diri Pendekar 212
putar Kapak Maut Naga Geni 212 untuk lindungi diri.
Ternyata dua ninja lainnya
yang tadi dihantam Wiro hingga pedang masing-masing mental saat itu telah
bangkit berdiri dan ikut menyerbu. Keduanya bukan mempergunakan pedang tetapi
menyerang dengan lemparan shuriken yaitu senjata rahasia berbentuk bintang
terbuat dari besi!
Putaran kapak sakti dalam
jurus "dibalik gunung memukul halilintar’ yang dilancarkan Wiro memang
berhasil membabat putus tangan ninja di sebelah kanan namun dirinya sendiri
untuk kedua kalinya terkena serangan lawan. Salah satu dari dua shuriken
menancap tepat di lengan kanannya demikian kerasnya hingga Kapak Maut Naga Geni
212 terlepas dari genggaman nya. Senjata ini jatuh di tanah berbatu-batu dengan
suara berkerontangan. Di saat itu pula serangan baru datang dari kiri yaitu
tusukan sebilah katana.
Wiro yang terbaring di tanah
cepat gulingkan diri.
Karena tanah sekitar situ
banyak batu-batunya maka gerakannya berguling tidak bisa cepat. Malah tanpa
disadari dia berguling ke arah ninja yang tangannya dibikin buntung dan
berleriak kesakitan kalang kabut.
Penuh dendam dan amarah ninja
ini tendangkan kaki kanannya ke dada Wiro.
Dukkkkl
Ujung runcing sebilah katana
yang seharusnya menancap di perut Wiro mengantam batu. Tendangan ninja buntung
tadi menyelamatkan nyawanya dari tusukan pedang itu. Namun ini bukan berarti
dia benar benar selamat karena tendangan ninja itu membuat tubuhnya mencelat ke
arah jurang batu dan tak ampun lagi melayang jatuh ke dasar jurang dalam kegelapan
malam Wiro berusaha berjungkir balik dan mencari pegangan dalam gelapnya malam.
Tapi keadaan kaki dan tangannya yang terluka membuat dia tidak mampu mencari
plan untuk selamat. Malah tubuhnya semakin deras jatuh ke dasar jurang. Siap
disambut oleh batu batu keras yang berusia ratusan tahun.
* * *
TUJUH
KETlKA Akira sampai di Puri
Sanzen rupanya sesuatu yang menggemparkan telah terjadi di tempat itu.
Di sebuah ruangan pendeta Komo
terbujur di atas sebuah pembaringan dikelilingi oleh belasan pendeta agama Zen.
Begitu Akira masuk diantar oleh seorang pendeta muda semua yang ada di situ
berpaling padanya. Serta merta semua mereka tunjukkan wajah kaget bahkan ada
yang sampai keluarkan seruan tertahan. Seorang pendeta lanjut usia, diikuti
oleh yang lain-lainnya cepat mendatangi.
"Anak, aku mungkin saja
lupa. Tapi bukankah kau yang bernama Akira, putera Noboru Kasai yang dikabarkan
telah meninggal dunia itu…!’
"Pendeta, kau benar. Saya
memang Akira …" jawab si anak lalu membungkuk memberi penghormatan pada
pendeta yang menyapanya dan juga pada pendeta lain yang ada di ruangan itu.
"Jadi ternyata kau masih
hidup!" ujar seorang pendeta sambil mengusap rambut Akira.
"Seseorang memberi tahu
bahwa kau ikut jadi korban keganasan ninja."
"Satu melapetaka besar
menimpa rombongan kami. Hanya atas kekuasaan dan perlindungan Dewa saya bisa
selamat …"
"Akira, aku Pendeta
Kamashaki. Menjelang dinihari tadi tiga orang ninja menyusup ke tempat ini dan
membunuh Pendeta Komo …" Kagetnya Akira bukan kepalang. Dia berpaling ke
arah pembaringan ditengah ruangan dan langsung saja lari. Dari noda-noda darah
yang masih melekat di wajah dan leher pendeta ini Akira segera maklum bahwa
sang pendeta menemui ajal memang karena dibunuh. Disamping jenazah pendeta Komo
lama Akira menundukkan kepala dan berdoa untuk arwahnya.
"Pendeta Kamashaki, siapa
orangnya yang mengatakan bahwa saya telah jadi korban pembunuhan oleh ninja?’
bertanya Akira Kasai sambil berpaling pada pendeta Kamashaki.
"Hisao Matsunaga, Wakil
Ketua Perguruan Emerarudo.."
"Dewa Maha besar..” kata
si anak pula.
"Saya malah mengira
dirinya juga telah dibunuh ninja. Rupanya beliau sempat melarikan diri dan
datang ke sini lebih dulu dari saya. Dia tentu mengira saya telah jadi korban.
Kami datang ke sini untuk mengambil surat penting yang dulu pernah saya
titipkan pada pendeta Komo …"
"Surat itu telah kami
serahkan pada Hisao Matsunaga. Setelah dia memberi tahu kau tewas di tangan
ninja, kami merasa memang haknya untuk mengambil surat itu. Apakah kami telah
melakukan kesalahan …? tanya pendeta Kamashaki pula.
"Sebetulnya surat itu
hanya saya yang boleh mengambilnya. Tapi pendeta sama sekali tidak berbuat
kekeliruan. Paman Hisao berhak mengambil surat itu karena tidak tahu kalau saya
masih hidup. Kalau begitu saya minta diri, mohon kembali ke perguruan sekarang
juga…"
"Anak, kau tentu sangat
capai. Di samping itu apa yang terjadi tentu telah membuat jiwamu tergoncang.
Kau perlu istirahat dulu di sini beberapa waktu lamanya."
"Terima kasih pendeta.
Tapi jika kau tidak keberatan saya memilih cepat-cepat kembali …"
"Kalau kami boleh
bertanya," ujar seorang pendeta pula.
"Apa isi surat penting
dalam amplop kuning itu?"
"Surat pernyataan siapa
yang akan menjadi pewaris jika Ayahanda berhalangan melanjutkan jabatan sebagai
Ketua Perguruan …" Pendeta Kamashaki memegang bahu Akira.
"Anak," katanya.
"Jika kau memang memilih
pulang sekarang juga, kami tidak bisa menahan. Hanya sebelum pergi coba kau
ceritakan apa yang telah terjadi di Perguruan "Malam kemarin perguruan
kami diserbu ninja Ayah dibunuh..!” Akira lalu menceritakan apa yang terjadi di
Perguruan Emerarudo.
"Besok jenazah Ayahanda
akan diperabukan.
Saya juga sedih sekali melihat
bahwa pendeta Komo ikut tewas di tangan ninja. Saya menduga keras ini ada
sangkut pautnya dengan surat pewarisan itu. Dan saya merasa bersyukur paman
Hisao telah mendapatkannya Mengenai sahabat saya Keno, karena puri Sanzen lebih
dekat dari perguruan, apakah saya boleh minta tolong agar jenazah sahabat saya
itu diurus …?”
"Kau tak usah kawatir.
Kami akan mengurusnya dan menyerahkan sebagian abunya padamu …" kata
seorang pendeta muda.
"Saya sangat berterima
kasih," kata Akira lalu membungkuk dalam-dalam. Pendeta Kamashaki kemudian
berkata.
"Hanya beberapa saat
setelah Wakil Ketua Hisao Matsunaga menerima surat itu, di puri datang seorang
gadis bernama Akiko Bessho. Kau kenal padanya? ”
"Saya berusia sepuluh
tahun ketika Ayah memperkenalkannya pada saya. Kalau tidak salah dia adalah
anak murid seorang pandai yang diam di Gunung Fuji .. ”
"Gadis itu melihat Wakil
Ketua Perguruan di perjalanan lalu mengikuti sampai ke puri. Karena dia memang
dalam perjalanan menuju Perguruan untuk melayat maka Akiko Bessho meninggalkan
tempat ini bersama-sama wakil Ketua Perguruan …"
"Pendeta Kamashaki, saya
berterima kasih kau dan para pendeta di sini telah banyak membantu. Saya minta
diri sekarang …"
"Dua orang pendeta akan
mengantarkanmu. Sekaligus sebagai wakil kami untuk melayat dan menghadiri
upacara perabuan…"
Akira Kasai membungkuk lalu
dia memegang tangan pendeta Komo yang telah dingin itu. Setelah membungkuk
sekali lagi, diantar oleh dua orang pendeta anak ini keluar dari ruangan itu.
* * *
MUNCULNYA Akira Kasai malam
itu diantar oleh dua pendeta Zen dari puri Sanzen membuat geger tapi juga.
menggembirakan semua orang yang ada di Perguruan Emerarudo. Betapakan tidak.
Semula, sesuai keterangan Wakil Ketua Hisao Matsunaga anak itu ikut jadi korban
penyerangan ninja. Satu rombongan khusus telah pula dikirim untuk mengambil
jenazahnya. Ternyata dia masih hidup.
Hisao Matsunaga sampai
berkaca-kaca kedua matanya dan memeluk erat-erat Akira Kasai.
"Dewa Maha Besar. Kami
semua mengira kau sudah tewas Akira. Aku sendiri sempat melihat mayatmu di
dalam tandu walau cuma dari kejauhan. Lalu aku cepat-cepat menuju Puri Sanzen,
kawatir kalau- kalau ninja menyerbu pula ke sana. Ternyata memang betul.
Untung saja mereka tidak
mendapatkan amplop kuning berisi surat warisan itu. Tetapi untuk itu pendeta
Komo terpaksa mengorbankan nyawanya …"
"Jadi benar rupanya
mereka menginginkan surat warisan itu. Tapi untuk apa …?" tanya Akira
dengan suara perlahan.
"Sekarang tak usah
kawatir lagi. Surat itu sudah ada di tanganku. Sebentar lagi isinya akan
dibacakan di depan semua pengurus dan anggota perguruan serta para tamu yang
datang melayat. Sekarang kau perlu membersihkan diri dan istirahat sebentar.
Masuklah ke kamarmu …"
Ketika Akira hendak menuju
kamarnya, dua pendeta Zen segera mengikuti. Tapi ditegur oleh Shigero Momochi
dengan nada kasar. Salah seorang pendeta membungkuk lalu menjawab.
"Saya ditugasi oleh
pendeta Kamashaki untuk menjaga dan mengawal anak itu …" Marahlah Shigero
Momochi mendengar kata-kata sang pendeta. Dengan suara lantang dia berkata.
"Pendeta, kau dengar
baik-baik ya! Anak itu berada di perguruan kami, di rumah sendiril Perlu apa
dikawal dan dijaga? Ini tempat aman! Jangan memandang rendah kami orang-orang
Emerarudo. Tempat ini bukan Puri Sanzen dimana kalian bisa berlaku semaunya
..!’
Paras dua pendeta Zen itu
tampak menjadi merah. Yang satu menjawab. "Kami hanya menjalankan perintah
pimpinan ..!’
"Kalau menjalankan
perintah pimpinan kalian cukup di puri kalian saja, bukan di sini! Kalian tidak
punya hak dan kekuasaan apa-apa di tempat in?”
"Jika begitu harap
maafkan kami …" Hisao Matsunaga datang menghampiri. Sambil batuk-batuk dan
mengusap dadanya dia berkata.
"Dua sahabat dari Puri
Sanzen dan Wakil Ketua Shigero Momochi, kita semua ini hanya keliru prasangka
belaka. Setelah apa yang terjadi dengan rombongan kita di tengah perjalanan
menuju Puri Sanzen, lalu ditambah dengan apa pula yang terjadi di puri sana,
para sahabat pendeta Zen rupanya ingin ikut membantu menjaga keselamatan kita
semua. Aku mewakili perguruan mengucapkan terima kasih. Namun dengan segala
kerendahan hati kami meminta agar para pendeta yang adalah tamu-tamu kami
terhormat, tidak perlu mencapai kan diri ikut berjaga-jaga."
Dua pende!a Zen anggukkan
kepala lalu membungkuk dan kembali ke tempat duduk yang disediakan.
Hisao Matsunaga berpaling pada
Akira dan memberi tanda agar anak itu melanjutkan langkah menuju kamarnya.
Kemudian sambil memegang bahu
Shigero Momochi dia berkata.
"Dua pendeta itu memang
berlaku bodoh. Tapi kita jangan ikut-ikutan bodoh. Semua persoalan bisa
diselesaikan lebih baik kalau ditangani dengan sabar dan sikap sopan …"
"Aku orang pemabokan jadi
mana bisa sabar dan sopan!" sahut Shigero Momochi seraya melangkah pergi.
Hisao Matsunaga hanya bisa
tersenyum lalu menghela nafas dalam sambil usap-usap dadanya. Menjelang tengah
malam di hadapan para pengurus dan anggota perguruan Emerarudo serta semua tamu
yang hadir, seorang sesepuh perguruan membacakan isi surat warisan yang
diterima Hisao Matsunaga dari pendeta Kamashaki di Puri Sanzen. Sesuai apa yang
terlulis di surat pewarisan yang ditetapkan oleh almarhum Noboru Kasai sebagai
Ketua pewaris adalah Hisao Matsunaga.
Pengumuman ini diterima semua
orang dengan perasaan lega dan gembira. Berarti besok upacara perabuan jenazah
Noboru Kasai dapat dilaksanakan tanpa suatu halangan.
Ketika pengurus tua perguruan
hendak memasuk kan surat warisan itu ke dalam amplop kuning kembali Akira Kasai
membuat gerakan seperli hendak berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ke
mimbar. Hisao Matsunaga yang duduk di sebelahnya cepat mendampingi.
"Akira-san, apakah ada
sesuatu yang hendak kau sampaikan … ?
"Paman Hisao ada sesuatu
yang tidak benar …"
"Ah, hal apakah yang
tidak benar itu Akira?"
"Saya tidak dapat
memastikan sebelum melihat sendiri surat warisan yang barusan dibacakan itu
…"
"Tentu saja kau boleh
melihatnya. Aku akan meminta surat itu dari pengurus yang barusan membacanya.
Begitu maumu … ?"
"Kalau Paman Hisao tidak
keberatan …"
"Tentu saja aku tidali
keberatan …" jawab Hisao Matsunaga lalu menghampiri orang tua yang membaca
kan surat warisan itu dan mengambil suratnya. Hisao kembali pada Akira. Surat
dalam amplop dikeluarkannya terus diserahkan pada Akira.
"Silahkan dibaca sendiri
Akira. Lalu tunjukkan padaku dimana kesalahannya …"
Akira Kasai membaca surat itu
sampai dua kali dan menelitinya depan belakang. Dalam hati anak ini berkata.
"Aku ingat betul. Waktu ayah memasukkan surat ini ke dalam amplop kuning,
setetes dawat tertumpah di sudut kiri surat. Tapi di surat ini sama sekali
tidak ada noda dawat itu..!’ (dawat = tinta)
"Akira-san, kau sudah
membaca Surat itu …?"
"Sudah Paman Hisao
…"
"Kau menemukan sesuatu …?
"Maafkan saya. Saya
mungkin keliru. Mungkin bukan surat ini yang saya maksudkan …"
Hisao Matsunaga tersenyum.
"Akira-san, kau mungkin masih terlalu capai. Besok akan ada upacara
perabuan yang panjang. Sebaiknya kau masuk ke kamar tidur dan
beristirahat."
"Saya rasa memang
begitu..!’ kata Akira pula.
Lalu cepat-cepat anak ini
meninggalkan tempat itu, menuju ke kamarnya.
Di dekat sebuah jambangan
besar Akira Kasai hentikan langkahnya. Di situ dilihatnya tegak seorang gadis
berpakaian serba biru berwajah cantik. Agaknya gadis ini berdiri di situ
sengaja menunggu Akira.
"Maafkan saya, bukankah
saya berhadapan dengan nona Akiko Bessho? berucap Akira begitu sampai di hadapan
si gadis. Lalu dia membungkuk memberi
hormat.
"Adik Akira, kau rupanya
masih ingat diriku. Akuturut berduka atas meninggalnya Ayahmu …" Akiko
Bessho lalu membungkuk.
"Terima kasih..: jawab
Akira. Lalu dia terdiam.
"Kau sepertl tengah
memikirkan sesuatu atau ingin mengatakan sesuatu..?"
Dalam hati Akira membatin.
"Aku tidak tahu banyak tentang gadis ini. Tapi mungkinkah dia bisa
dipercaya?" "Adik Akira,.kalau tak ada yang hendak kau katakan aku
akan kembali ke tempat upacara …"
"Sebetulnya memang ada.
Tapi di sini saya rasa tidak aman … Temui saya setelah pembacaan doa kesembilan
di samping gudang sebelah timur …"
"Saya akan menemuimu..!’
Baru saja Akiko hendak melangkah tiba-tiba dari empat penjuru kawasan perguruan
terdengar dentangan lonceng.
"ltu lonceng tanda
bahaya!" kata Akira. Anak ini serta merta lari ke tempat. upacara
sembahyang. Akiko Bessho mengikuti. Di pelataran besar di depan meja sembahyang
mereka melihat empat orang ninja tegak dengan kaki terkembang. Masing-masing mencekal
katana. Dua orang diantara mereka memanggul sesosok tubuh yang agaknya sudah
lama kaku alias sudah jadi mayat!
* * *
DELAPAN
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
seolah merasa sudah putus nyawanya padahal saat itu tubuhnya masih melayang di
udara dan yang pasti sesaat lagi baru akan menghantam dasar batu jurang sedalam
hampir seratus kaki itu. Dalam kegelapan malam tiba-tiba entah dari mana
datangnya puluhan benda berbentuk segitiga terbuat dari kain melesat ke arah
Wiro. Kain segitiga ini tak bakal mampu melesat demikian derasnya kalau tidak
dicanteli setangkai besi lancip. Sang pendekar tidak tahu apa yang terjadi atas
dirinya. Dia hanya mendengar suara sett… settt banyak sekali. Lalu dalam
gelapnya malam samar-samar dia melihat ada benda aneh berkelebat ke arah dirinya
dan tahu-tahu sekujur pakaiannya sudah disisipi puluhan kain segitiga.
Puluhan kain-kain yang
menempel dipakaiannya itu membentang dan berkibar deras. Bersamaan dengan itu
Wiro merasakan kecepatan jatuhnya berkurang Tubuhnya seperti melayang! Puluhan
kain segitiga yang berkibar kencang seolah melawan arus menahan jatuh dirinya.
Ketika dia akhirnya mencapai dasar jurang, tubuhnya memang masih terbanting
sakit namun tak ada tulangnya yang patah, dan tak ada luka-luka dideritanya.
Sesaat Wiro seolah tak
percaya. kalau dia masih hidup.
Perlahan-lahan dia mencoba
duduk. Dua buah benda runcing menyengat pantatnya hingga pemuda ini tersentak
kesakitan. Dirabahnya bagian belakang tubuhnya, lalu dada dan perut.
pakaiannya. Dua buah benda yang menempel di . pakaiannya dicabutnya. Dabm
gelapnya dasar lubang perlahan-lahan matanya mulai mampu melihat dua benda yang
barusan dicabutnya.
"Bendera Darah!"
seru Pendekar 212 hampir tercekat. Dia memandang berkeliling. Dinding dan dasar
jurang batu kelihatan menghitam.
"Tak ada gerakan, tak ada
suara. Apa benarbenar tak ada manusia di sini?" Wiro menggosok kedua
matanya, memandang berkeliling sekali lagi.
"Dimana mahluk itu
bersembunyi? Beberapa hari lalu dia inginkan jiwaku, sekarang mengapa dia
menyelamatkan diriku? Aku harus keluar dari jurang celaka ini! Tapi agaknya
harus menunggu sampai pagi.
Sampai terang..!”
Satu persatu Wiro cabut
bendera segi tiga yang menyusup di sekujur pakaiannya sambil menghitung.
"Enam puluh sembilan
bendera! Gila! Bagaimana mahluk itu bisa melemparkan sebanyak itu dalam waktu
begitu singkat?! Luar biasa! Kalau tadi dia ingin membunuhku pasti mudah saja
baginya." Wiro garukgaruk kepalanya.
"Walau sebelumnya dia
ingin membunuhku tapi saat ini aku harus berterima kasih padanya!" Wiro
lalu melompat ke atas sebuah batu besar. Dari tempat ketinggian ini dia
berputar, memandang kesetiap sudut jurang. Tetap saja dia tidak melihat apa-apa
kecuali batu-batu menghitam.
"Manusia bendera, jika
kau tidak mau muncul tak jadi apa! Aku benar-benar berterima kasih atas
pertolonganmu!" Wiro berseru. Dia jadi merinding ketika suara teriakannya
itu menggema di dinding dan jurang batu lalu bergaung berulang-ulang.
"Cukup sekali saja aku
berteriak. Tak mau menjawab ya sudah. Terpaksa aku menunggu sampai pagi. Kalau
tak ada jalan keluar dari dasar jurang berarti aku akan mati perlahan-lahan di
tempat ini. Eh, janganjangan manusia bendera itu sengaja hendak membunuhku
dengan cara begini!" Wiro garuk-garuk kepala lagi lalu duduk di batu.
Sesaat dia memperhatikan
puluhan Bendera Darah yang bertebaran di depannya. Tiba-tiba dia merasa ada
hembusan angin halus disampingnya. Dia berpaling. Tak ada apa-apa. Lalu ada bau
harum masok ke penciumannya. Wiro ingat bau itu.
"Pasti dia!" katanya
dalam hati. Dia berpaling ke kiri, ke kanan. Lalu diputarnya tubuhnya ke
belakang!
Murid Shinto Gendeng ini
hampir berseru kaget – ketika di hadapannya kini dalam kegelapan malam tegak
mahluk itu. Dia melompat bangkit dengan cepat.
Si manusia bendera! Seperti
keadaannya yang dilihat Wiro tempo hari, mahluk ini sekujur tubuh mulai dari
kaki sampai kepala tertutup ratusan bendera merah berbentuk segi tiga. Hanya
sepasang matanya saja yang tersembul. Berhadapan begitu dekat di atas batu Wiro
melihat sepasang mata bening memandang sedingin salju tepat-tepat ke arahnya.
Tanpa berani berlaku lengah
Wiro tundukkan kepala dan berkata. "Tuan penolong, aku berterima kasih kau
telah menyelamatkan jiwaku, kalau tidak mati konyol jatuh kedasar jurang batu
ini!”
Orang yang diajak bicara tidak
menjawab.
Wiro membungkuk. Puluhan
bendera yang bertebaran di batu diambilnya lalu diserahkannya pada mahluk di
hadapannya.
"Benderamu, ambillah.
Sayang kalau dibuang begitu saja..!”
Manusia bendera keluarkan tawa
mengekeh. Dua tangannya bergerak mengambil enam puluh sembilan buah bendera.
Dengan kecepatan luar biasa, entah bagaimana caranya semua bendera itu
disisipkannya ke pakaiannya. Diam diam otak murid Sinto Gendeng bekerja.
"Jika mahluk ini berada
di dasar jurang berarti ada jalan keluar masuk tempat ini," pikirnya. Di
hadapannya mahluk bendera masih tertawa. Dengan perasaan heran dan tidak enak
Wiro bertanya.
"Kau masih tertawa terus.
Ada apakah…?"
”Kau mengira aku telah
menyelamatkan nyawamu…? mahluk itu bertanya.
"Dia masih saja
mempergunakan suara dari perut.
Sengaja menyembunyikan
suaranya yang asli," membatin Wiro. Lalu dia berkata.
"Kenyataannya memang
begitu. Dengan benderabenderamu kau membuat aku tidak amblas jatuh ke dasar
jurang ini!"
"Orang asing, aku sama
sekali tidak menyelamatkan nyawamu. Aku hanya mengulur saat kematianmu!"
Wiro melengak kaget mendengar
kata-kata itu.
"Apa maksudmu manusia
bendera?"
"Aku tidak ingin kau mati
jatuh ke dalam jurang.
Aku ingin membunuhmu dengan
kedua tanganku sendiri!
Kau dengar?!"
"Aku dengar, Kalau begitu
mengapa tidak kau bunuh saja aku saat ini?!" tanya Wiro "Aku masih
memandang seseorang …" jawab manusia bendera sambil memandang ke jurusan
lain.
"Nona Akiko Bessho?"
tanya Wiro pula.
"Kau sudah tahu. Mengapa
bertanya?
"Punya hutang budi apa
kau dengan gadis itu hingga tidak segera membunuhku hanya karena memandang
dirinya?"
"Urusanku dengan orang
lain apa perdulimu?" jawab manusia bendera.
"Pada pertemuan pertama
kau bilang membunuhku karena aku membunuh nenek Arashi. Perempuan sakti itu
memang nenekmu sungguhan?"
"Aku datang kemari bukan
untuk ngobrol denganmu.
Tapi ada satu hal yang akan
kukatakan. Kau telah
membunuh seorang ninja dan
membuat buntung tangan
ninja lainnya. Berarti kau tak
bisa lari dari kematian.
Ninja akan mengejarmu sampai
akhirnya mereka berhasil membunuhmu!"
"Kalau begitu lebih enak
mati di tangan ninja dari pada di tanganmu!"
Manusia bendera melengak dan
menatap tajam pada Wiro. Lalu kembali dia tertawa mengekeh. Sambil mendongak
manusia bendera berkata. "Jangan harap kau bisa mati enak di tangan ninja.
Mereka akan membunuhmu secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit…"
Manusia bendera tertawa
panjang. Begitu hentikan tawanya dia berkata.
"Aku akan meninggalkan
tempat ini. Kau mau mengikutiku …?"
"Jika kau tidak menjebak
dan benar-benar ingin aku keluar dari sini tentu saja aku ikut. Tapi kenapa kau
menawarkan jasa baik lni …?"
"Bukankah kau lebih suka
dan memilih mati di tangan ninja dari pada di tanganku Hik … hik … hik …"
Manusia bendera tertawa lagi
lalu seperti tidak acuh dia melangkah tinggalkan tempat itu. Wio gelengkan
kepala, akhirnya melangkah mengikuti. Tapi dari mulutnya keluar rintihan
kesakitan. Dia haru sadar kalau paha kirinya luka besar dan di lengan kanan
masih menancap senjata rahasia ninja berbentuk bintang.
Manusia bendera berpaling.
"Kau terluka?"
Wiro kertakkan rahang. Dia
menotok urat besar di lengan kanannya sebelum mencabut shuriken yang menancap
di situ. Ketika senjata rahasia itu dicabut dia memang merasa sakit yang bukan
kepalang. Tetapi tak ada darah yang memancur. Dalam gelap Wiro tak dapat
melihat keadaan lengannya hingga dia tak mengetahui apakah senjata rahasia itu
beracun atau tidak.
Manusia bendera memperhatikan
luka di paha kiri Wiro. Lalu berkata. "Aku ada obat untuk mempertautkan
daging yang koyak itu. Kau mau …?
"Kau mahluk aneh.
Sebentar bicara acuh dan kejam. Sekarang malah berbaik hati mau mengobati
diriku. Kalau kau memang rela masakan aku mau menolak. …"
Manusia bendera cabut sebuah
bendera yang tersisip di bahu kanannya. Lalu dia membungkuk dan dekatkan ujung
lancip bendera ke luka di paha kiri.
"Astaga! Kau hendak
menusuk lukaku!" seru Wiro sambil cepat mundur.
"Orang asing, kau terlalu
curiga …"
"Siapa yang tidak curiga
pada orang yang hendak membunuhku!" jawab Wiro.
"Di dalam besi runcing
ini ada rongga berisi obat.
Ujung lancip besi ada
lobangnya. Jika kutiup pangkal besi bendera, obat akan keluar …"
"Kalau begitu lakukanlah.
Tapi awas kalau kau menipuku!" kata Wiro.
Ketika manusia bendera itu
membungkuk dan meniupkan obat dalam besi bendera, Wiro dapat mencium bau bagian
kepala orang ini yang sangat harum.
Sementara itu obat yang keluar
dari besi bendera terasa sangat sejuk di pahanya yang luka hingga rasa sakit
serta merta hilang.
"Terima kasih. Kau
menolongku untuk kesekian kalinya. Hidup ini sungguh aneh. Dibalik kebaikan ada
hawa kematian. Di balik kematian ada kebaikan …"
Manusia bendera tak mau bicara
lagi. Dia membalikkan badan dan siap melangkah.
"Astaga!" tiba-tiba
Wiro berseru kaget. Dirabanya bagian tubuh sekitar pinggang. Apa yang dicarinya
tidak ditemukan. Wajahnya menjadi sangat pucat. Manusia bendera tertawa.
"Kau mencari senjata
mustika kapak bermata dua itu… Ninja telah merampasnya sebelum kau jatuh terjungkal
ke dalam jurang ini …"
"Aku ingat. Kau betul!
Tapi bagaimana kau bisa tahu? Yang ditanya tak menyahut melainkan melanjutkan
langkahnya yang barusan terhenti. Berjalan kira-kira dua ratus kaki ke timur
kelihatan sebuah terowongan gelap. Manusia bendera masuk ke dalam terowongan
batu ini. Tak lama kemudian sekeluarnya dari terowongan pendek itu Wiro
dapatkan dirinya berada dalam rimba belantara.
"Dari sini kau bisa cari
jalan sendiri …" Manusia bendera berkata lalu siap berkelebat pergi.
"Tunggu dulu … !"
panggil Wiro.
"Ada apa?!"
"Nona Akiko Bessho
memanggilmu dengan nama Yori. Apa betul itu namamu?"
"Kau bisa tanyakan
sendiri padanya kalau bertemu nanti."
"Aku mencium bau
wewangian di tubuhmu. Hanya orang perempuan yang pakai minyak wangi. Apakah
kau….."
Manusia bendera tertawa
panjang. "Jaman sekarang kaum lelaki juga banyak yang suka bersolek dan
pakai segala macam wewangian …!" Habis berkata begitu dia gerakkan kedua
kakinya. Sesaat kemudian mahluk aneh itu lenyap dari hadapan Pendekar 212 Wiro
Sableng.
* * *
SEMBILAN
KITA kembali ke ruang besar
Perguruan Emerarudo, tempat pembicaraan doa pengantar jenazah menjelang
diperabukan. Suara lonceng yang bertalu-talu membuat sirap suara mereka yang
berdoa. Ketegangan berat menggantung di udara. Di depan meja sembahyang besar
dua orang ninja yang memanggul dua sosok jenazah tiba-tiba melemparkan
jenazah-jenazah itu ke atas lantai hingga mengeluarkan suara bergedebukan yang
membuat orang – banyak jadi merinding.
Para pengurus dan semua anggota
perguruan yang ada di tempat itu sama keluarkan seruan keras ketika mereka
mengenali bahwa jenazah yang dibawa dan dilemparkan ninja ke lantai ternyata
adalah mayat dua orang murid perguruan tingkat atas. Selain bekasbekas luka
bacokan, pada kening kedua orang ini menancap sebuah shuriken. Warna biru yang
menggembung pada daging dan kulit kening menandakan bahwa senjata rahasia itu
mengandung racun mematikan.
Enam orang pengurus perguruan
secara serentak melompat dari atas tatami yang mereka duduki. Yang paling
beringas adalah Wakil Ketua Shigero Momochi.
Dua orang anak murid perguruan
itu ada!ah yang disuruhnya untuk menemui pimpinan para ninja guna mencari
keterangan siapa yang telah membunuh Ketua Noboru Kasai serta mengobrak-abrik
ruangan rahasia.
Sekarang mereka di bawa
kembali dalam keadaan seperti itu oleh empat orang ninja. Apa yang telah
terjadi?
"Datang membawa mayat,
melemparkan di depan perjamuan sembahyang ketika orang sedang berkabung!
Sungguh satu perbuatan kurang
ajar dan tidak beradab!
Apalagi kalau kalian yang
telah membunuh mereka!"
Suara Shigero Momochi
terdengar keras dan lantang.
Dia bicara sambil tangan
kanannya memegang hulu katana yang tergantung di pinggang. Salah seorang dari
empat ninja maju satu langkah.
"Kami para ninja memang
tidak mengenal sopan santun dan peradaban. Tua-tua perguruan mengirimkan orang
untuk menyelidik. Hal itu sama saja dengan mencurigai dan menuduh bahwa kami
terlibat dalam pembunuhan Ketua kalian! Apakah itu satu tindakan sopan?!”
Shigero Momochi mendengus.
"Kau tahu apa tentang kematian Ketua kami? Serombongan ninja menyerbu
kemari! Membunuh Ketua kami dan berusaha mencuri sebuah surat penting! Apa kami
hanya berdiam diri?!"
"Shigero Momochi! Siapa
yang tidak kenal denganmu? Pengurus Perguruan Emerarudo yang suka menenggak
minuman keras. Pantat botol! Aku tahu kaulah yang memberi perintah pada ke dua
orang itu untuk menyelidik! Kekurang ajaranmu tidak bisa dimaafkan hanya dengan
kematian dua anak buahmu itu!"
"Ninja jahanam! Katakan
apa maumu?!" Sang ninja ganti mendengus. "Kami datang untuk meminta
enam kepala anggota perguruan. Itu sebagai penutup malu. Terserah apakah kalian
akan melakukan harakiri sendiri atau kami terpaksa turun tangan mengambil enam
kepala itu!"
"Kau boleh punya nyali selangit!
Kau tidak sadar sudah masuk ke sarang macan! Sekalipun Dewa menolong kau dan
tiga kawanmu tak bakal bisa keluar hiduphidup dari tempat ini!" Habis
berkata begitu sret! Shigero Momochi cabut pedangnya. Bersamaan dengan itu
sepuluh orang anak buah perguruan melompat pula dengan katana terhunus.
"Tahan!" tiba-tibe
terdengar satu seruan. Satu bayangan berkelebat. Empat orang ninja di depan
meja sembahyang merasakan sambaran angin keras hingga mereka cepat mundur. Yang
tegak di tengah ruangan ternyata adalah Hisao Matsunaga, Ketua baru Perguruan
Emerarudo.
"Semua harap menahan
diri. Saat ini adalah saat duka berkabung bagi kami orang-orang perguruan.
Bahkan doa pengantar jenazah
ke perabuan masih belum selesai dipanjatkan. Apakah diantara kita tidak mungkin
berbesar jiwa untuk tidak berbuat onar? Para ninja, kami merasa kalian berempat
cukup berbaik hati untuk mau mengantar jenazah murid-murid perguruan.
Aku tidak berusaha mencari
tahu siapa pembunuh mereka. Aku tidak akan menuduh kalian sebagai pelaku.
Aku akan melupakan segala
sesuatu yang bersilang diantara kita asalkan kalian berempat sudi meninggalkan
tempat ini. Aku Ketua Perguruan Emerarudo memohon dengan hormat …….."
"Mana bisa seperti itu
aturannya. Enak betul!"
Yang berkata keras itu adalah
Shigero Momochi. "Ketua, jangan merendahkan derajat kita dengan alasan
kita sedang berduka! Komplotan manusia-manusia hitam durjana ini seharusnya
sudah sejak lama dibasmi!"
"Shigero Momochi,
ucapanmu selain menghina juga terlalu takaburl Aku harap kau mau berlutut dan
minta maaf!" kata ninja yang sejak tadi bertindak sebagai juru bicara.
"Keparat kurang ajar!
Kalau tidak kubuat menggelinding kepalamu rasanya tidak berguna hidup
ini!"
Dari dalam saku kimononya
Shigero Momochi keluarkan sebotol minuman keras. Minuman ini ditenggaknya
sampai habis. Botol kaleng yang kosong kemudian dibantingkannya ke lantai
ruangan. Tampangnya kini kelihatan menjadi merah beringas. Bahunya naik ke
atas. Dua tangannya menggenggam katana. Sepuluh orang murid perguruan bergerak
maju selangkah demi selangkah. Empat ninja tak tinggal diam. Empat bilah pedang
mereka berkilauan dibawah sorotan lampu minyak.
Di saat yang sangat
menegangkan itu tiba-tiba dua orang pendeta Zen berdiri dan melangkah cepat ke
depan meja sembahyang.
"Kami dua orang tamu yang
tak ingin melihat tuan rumah dalam saat berkabung harus turun tangan pula untuk
menyelesaikan kericuhan. lzinkan kami mewakili tuan rumah …." Pendeta Zen
yang bicara berpaling pada Hisao Matsunaga lalu membungkuk. Dua pendeta ini adalah
yang mengantarkan Akira kembali malam tadi ke perguruan.
"Pendeta tidak tahu diri!
Pekerjaan kalian hanya menyangkut urusan keagamaan! Mengapa sekarang berlagak
sepelti dua jago silat?! Kau dan kawanmu bertindak lancang! Tapi tidak apa!
Kami sudah lama memperhatikan tindak tanduk para orang suci agama Zen yang
sering mencampuri urusan dan kepentingan kami. Malam ini kalian rupanya mau
menjadi tumbal pendahuluan mewakili kawan- kawan kalian!" bentak ninja
hitam.
"Dua pendeta!" seru
Hisao Matsunaga dengan cepat.
"Terima kasih atas
perhatian kalian. Tapi semua ini adalah urusan perguruan. Biar kami yang
menyelesaikan secara baik-baik." Mendengar ucapan Ketua pergunran itu, dua
pendeta Zen segera menjura, menghaturkan permintaan maat lalu cepat kembali ke
tempat duduk masing-masing.
Ninja di sebelah depan
menyeringai di balik kain hitam penutup wajahnya. "Dua pendeta Zen. Kalian
berhutang nyawa pada Ketua Perguruan! Kalau tidak dia yang menolak, niscaya
kalian berdua sudah terkapar jadi bangkai tak berguna!"
Dua pendeta Zen kelihatan
merah wajah masing masing. Tapi ke duanya tak berkata apa-apa dan mengambil
sikap menundukkan kepala.
"Mungkin ada lagi yang
berbaik hati hendak mewakili tuan rumah?!" berseru ninja paling depan.
Tiba tiba terdengar suitan keras disertai berkelebatnya satu bayangan. Di lain
kejap satu sosok terbungkus pakaian serba merah mulai dari kaki sampai ke
kepala tegak di tengah ruangan, menghadap ke arah empat orang ninja.
Dari wajahnya hanya sepasang
matanya yang kelihatan, memandang tak berkesip. Sebilah katana menyembul dari
balik punggungnya.
"Ninja Merah!"
seruan itu keluar dari hampir semua mulut.
"Selama dunia terkembang
baru sekali lni aku melihat ada ninja merah!" kata seseorang dengan mata
terbelalak. Shigero Momochi yang hendak meradang karma merasa didahului orang
juga ikut terkesima. Dia berpaling pada Hisao Matsunaga. Ketua baru Perguruan
Emerarudo ini sendiri tampak tegak tertegun.
"Siapa kau?!" bentak
ninja hitam sementara tiga kawannya tegak dengan sikap waspada penuh.
"Tadi kau bertanya siapa
lagi wakil tuan rumah.
Nah aku adalah wakil yang kau
tanyakan itu! Aku sengaja capai-capai datang ke sini, jadi jangan kecewakan
diriku!"
"lni tidak masuk akal!
Tak pernah ada ninja merah! Buka penutup kepalamul Aku mau lihat
tampangmu!" Ninja merah tertawa pendek.
"Apakah kau mau membuka
penutup kepalamu lebih dulu!"
"Kurang ajar! Bersiaplah
untuk mati!" bentak ninja hitam lalu dia melompat ke arah ninja merah
sambil hantamkan ninjatonya. Tangan ninja merah bergerak ke punggung. Sebilah
pedang berkiblat di udara, menangkis dengan keras pedang di tangan ninja hitam.
Kalau tidak merasa malu
disentak lawan dalam satu kali gebrakan ninja hitam hampir mengeluarkan seruan
tertahan. Bentrokan senjata dengan ninja merah bukan saja membuat tangannya
terasa pedas dan pedangnya hampir terlepas, tetapi juga menyebabkan kedua
lututnya tertekuk. Dia merasa seolah ada kekuatan besar menekan tubuhnya dari
atas. Kalau tidak cepat dia melompat mundur sambil memasang kudakuda baru,
pasti dirinya jatuh terhenyak di depan meja sembahyang.
"Mahluk merah ini
memiliki tenaga luar biasa.
Jurus ilmu pedangnya
aneh….." Ninja ini seperti terpanggang ketika di depannya ninja merah
tertawa mengekeh dan mengejek.
"Ninja jelek, masih mau
terus atau berlutut saja minta ampun!"
"Mahluk takabur!
Sekalipun kau punya tujuh kepala selusin tangan ninja tak pernah tunduk dan
takut!" Pedang di tangan ninja hitam melesat ke udara, membeset ke dada,
menusuk ke perut dan merobek lagi ke dada.
Serangan ninja sulit dikelit,
hampir tak pernah gagal. Ninja merah berseru keras. Tubuhnya melesat ke atas,
jungkir balik dan hantamkan kaki kanan ke arah kepala ninja hitam waktu
melayang turun.
Meleset. Malah pedang ninja
hitam membeset ke arah dada membuat ninja merah berseru kaget lalu cepat
membuang diri ke samping. Begitu kakinya menginjak lantai Satu tusukan
menyambar dengan ganas.
"Hah!" Hebat sekali.
Ninja merah masih mampu berkelit. Tapi ketika ujung pedang mencuat dan membalik
ke arah dadanya, ninja merah terlambat mengelak. Ujung pedang menyambar robek
dada pakaiannya. Masih untung kulit atau daging dadanya tidak ikut tersambar.
Dengan nafas agak mengengah
ninja merah tegak sambil letakkan tangan kiri di pinggang. Kedua kakinya
terkembang.
"Aneh …." kata Hisao
Matsunaga dalam hati.
"Kuda-kudanya aneh. Dia
memegang katana hanya dengan sebelah tangan. Siapa ninja tunggal ini
sebenarnya." Keanehan yang dilihat oleh Hisao itu juga diketahui oleh
semua orang yang ada di situ. Mereka sama bertanya-tanya dalam hati siapa
adanya ninja merah ini.
"Ninja jelek, kau merasa
sudah cukup atau masih mau terus?" Pertanyaan ninja merah benar-benar
sangat merendahkan ninja hitam. Di dahului suara menggembor ninja hitam
menyergap dengan serangan berantai.
Katana dalam genggamannya
seolah lenyap. Berubah menjadi sinar keputihan yang mencuat ke berbagai bagian
tubuh ninja merah. Setelah menghindar dengan sebat, ninja merah keluarkan suara
suitan keras. Lalu tubuhnya berkelebat menyongoong serangan lawan.
Trang …. trang …. trang!
Tiga kali dua katana bentrokan
di udara. Ninja hitam berseru kaget. Pedangnya lepas dari tangan. Dia cepat
jatuhkan diri. Ketika bangkit sebuah kusarigama tahu-tahu sudah tergenggam di
tangannya. Rantai yang ujungnya dicanteli senjata berbentuk ganco ini diputar
dua kali di atas kepala lalu dengan kecepatan kilat membeset ke bawah.
"Jebol perutmu Brojol
ususmul” teriak ninja hitam.
"Perut bapakmu!"
Usus Ibumu!" balas berteriak ninja merah. Pedang di tangan kanannya
meluncur ke depan. Sengaja disusupkan masuk ke dalam gelungan kusarigama.
"Ha … ha …. Kau menjebak
diri sendiri!" teriak ninja hitam. Lalu dengan sekuat tenaga dia tarik
kusarigama-nya. Maksudnya hendak membetot lepas pedang di tangan lawan. Tapi
alangkah terkejutnya ketika cepat sekali pedang ninja merah justru melesat
terus dan tahu-tahu ujung katana itu sudah menempel di tenggorokan-nya,
membuatnya melangkah mundur.
Wajahnya yang tersembunyi di
balik kain hitam pucat pasi. Jantungnya seperti mau tanggal. Langkah mundurnya
tertahan ketika pinggangnya membentur meja sembahyang.
"Dasar ninja kurang ajar!
Kalau mau sembahyang jangan memantati meja! Putar tubuhmu!” bentak ninja merah.
Pedangnya digerakkan secara aneh, mambuat tubuh ninja hitam jadi terputar.
Dalam suasana lain mungkin
semua orang akan tertawa membahak melihat kejadian yang lucu itu.
Namun saat itu semua dihimpit
oleh rasa tegang hingga tak ada yang bersuara ataupun bergerak Ninja merah
dekatkan kepalanya ke wajah ninja hitam. Tanpa didengar oleh orang-orang yang
ada di situ, dengan suara perlahan dia berkata. "Seorang teman kehilangan
senjata berbentuk kapak bermata dua. Ada bukti senjata itu berada di tangan
komplotanmu, Lekas jawab atau kugorok lehermu saat ini juga!"
"Ninja tidak takut mati!
Kau boleh gorok leherku!" menyahuti ninja hitam.
"Kurang ajar! Nyalimu
boleh juga! Aku urung menggorok lehermu! Kau akan kubiarkan hidup. Tapi kedua
matamu kubuat buta lebih dulu!" Tangan ninja merah yang memegang pedang
bergerak ke atas. Ninja hitam yang masih memegang ujung rantai besi coba
bertahan. Dia mengerahkan seluruh tenaganya sampai tubuhnya keringatan.
Ternyata dia tak mampu melawan tenaga lawan.
"Mata kananmu lebih
dulu!" kata ninja merah.
Ujung pedang bergerak ke arah
mata kanan ninja merah Tiba-tiba tangan kiri ninja hitam menyelinap ke sisi.
Sesaat kemudian sebuah belati
kecil yang tergenggam di tangan kiri itu menghunjam deras ke perut ninja merah.
"Belati beracun!"
teriak beberapa orang.
Ninja merah tampk tenang. Dia
bukannya tidak tahu apa yang dilakukan lawan. Begitu ujung belati hampir
menyentuh pakaian merahnya dan siap menjebol perutnya, tangan kiri ninja merah
berkelebat. Ninja hitam berteriak kesakitan ketika lengannya yang memegang
pisau dicekal lawan. Dia merasa seperti dijepit dengan jepitan besi. Ketika dia
coba berontak terasa ada tekanan aneh pada urat besar di pergelangan tangan
Lalu mendadak sontak sekujur tangan kirinya menjadi kaku! Sementara itu ujung
katana di tangan ninja merah sudah rampal di depan mata kanannya.
"Bagaimana, kau mau
memberi keterangan atau tidak?!" kertak ninja merah. Nyali ninja hitam
jadi leleh.
"Aku tidak tahu menahu
soal senjata yang kau tanyakan itu. Ada tiga komplotan besar ninja di daerah
ini …."
"Sebutkan!"
"Ninja Nara, Ninja Iga
dan Ninja Okazaki…."
"Kau dari ninja
mana?!"
"Nara ….:”
Ninja merah tertawa perlahan.
"Manusia kentut busuk! Kau kira aku bisa kau akali! Setahuku ninja Nara
tidak pernah memiliki shuriken beracun seperti yang kalian pergunakan untuk
membunuh dua murid perguruan itu!" Pedang di tangan ninja merah bergerak
ke atas.
Craasss!
Ninja hitam meraung keras.
Mata kirinya pecah. Darah muncrat.
"Kau masih punya
kesempatan kurang dari sekejapan mata! Katakan kau gembong ninja dari
mana!"
"I ….. Iga…” jawab ninja
hitam.
"Dasar ninja tolol kalau tadi-tadi
kau beri tahu mata kananmu tak akan buta!" Tiba-tiba tiga buah senjata
rahasia berbentuk bintang melesat ke arah ninja merah. Dari samping berkelebat
satu bayangan. Lalu tring … tring …. !
Dua buah shuriken mental ke
udara dan menancap di loteng ruangan. Shuriken ke tiga ternyata melesat sangat
sebat dan siap menembus dada ninja merah. Orang banyak menahan nafas. Wajah
ninja merah dibalik penutup kepala menyeringai. Tangan kirinya mencengkram bahu
ninja hitam. Tangan kanan yang masih memegang pedang dan tergelung dalam rantai
besi ditarik kesamping. Tubuh ninja hitam bergeser keras ke kanan. Lalu
terdengar jeritnya ketika shuriken beracun menancap amblas di punggungnya,
terus menembus paru-paru sebelah kiri Ninja ini langsung mati berdiri!
Ninja merah memandang pada
Shigero Momochi yang berdiri di tengah ruangan sembahyang. Dialah tadi yang
telah melompat dan menangkis dua buah senjata rahasia yang dilemparkan oleh
kawan ninja dari lga itu.
"Terima kasih …. Aku
tidak melupakan bantuanmu tadi!" kata ninja merah pada Shigero Momochi.
Tiga ninja hitam yang ada di tempat itu menjadi marah dan nekad melihat kawan
mereka menemui ajal mengenas kan begitu rupa. Ketiganya melompat dan langsung
menyergap ninja merah dengan serangan ganas. Tiga bilah katana berkiblat di
udara mengeluarkan suara berdesing mengerikan.
"Aha, selain kurang ajar
kalian juga ternyata curang!" teriak ninja merah. Sretttl Dia cabut
pedangnya dari gelungan rantai besi berkepala ganco. Tiga ninja yang menyerbu
mengira lawan mereka akan pergunakan senjatanya untuk menangkis. Cepat-cepat
mereka putar arah pedang. Tiga katana itu kini menderu ke arah tubuh sebelah
bawah lawan. Tapi mereka kecele.
Ninja merah ternyata tidak
pergunakan katananya untuk menangkis. Tapi tiba-tiba mengangkat tubuh ninja
yang sudah mati dan memutarnya seperti titiran lalu dilempar ke arah tiga ninja
yang menyerangnya.
Craasss! Craasss! Craasss!
Tiga pedang menghantam tubuh
mayat di tiga tempat. Lantai ruangan sembahyang lagi-lagi dikotori dengan
darah! Tiga ninja hitam terkesiap kaget tidak mengira kalau pedang mereka akan
menghantam tubuh kawan sendiri walaupun sudah jadi mayat. Hisao Matsunaga usap
mukanya berulang kali sementara yang lainnya tertegun menyaksikan apa yang
terjadi.
Tiga ninja hitam jadi tambah
beringas. Mereka berteriak dahsyat lalu kembali menyerbu ninja merah.
Yang diserang siap menunggu
dengan pedang melintang di depan dada. Dan lagi-lagi dia memegang pedang dengan
satu tangan yaitu tangan kanan tidak lazimnya cara ninja memegang senjata, Saat
itu Shigero Mamochi tidak mau tinggal diam. Begitu tiga ninja hendak mengeroyok
lagi dia berkelebat masuk ke dalam kalangan pertempuran. Tapi dia jadi melongo
ketika mendapatkan hanya satu lawan yang tersisa.
Dua ninja lainnya telah lebih
dulu menggeletak di tanah dengan perut dan dada robek. Keduanya melejang-lejang
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi.
"Maafkan aku hanya
meninggalkan satu korban untukmu!" kata ninja merah pula pada Shigero
Momochi.
Lalu dia keluarkan suitan
keras. Di lain kejap semua orang hanya sempat melihat orang itu berkelebat satu
kali lalu lenyap di ujung ruangan sembahyang.
Shiaero Momochl memandang
mendelik pada satu-satunya ninja yang masih hidup. Ninja satu ini sebenarnya
sudah hampir putus nyalinya. Namun dia sadar tak mungkin lolos hidup hidup dari
tempat itu. Belasan anak murid perguruan dilihatnya telah mengurung tempat itu.
Dengan nekad dia lalu menyerbu ke arah Shigero. Wakil ketua perguruan yang suka
mabok ini memang memiliki ilmu pedang tinggi. Namun satu lawan satu menghadapi
ninja hitam itu dia sempat dibuat repot bahkan robek lengan kimononya sebelum
akhirnya dia berhasil membacok pangkal leher lawan sampai tewas.
AKIRA Kasai menghela natas
lega. Tapi wajahnya masih gelisah. Dia berpaling pda Akiko Bessho yang tegak di
sebelahnya.
"Ada empat ninja terbunuh
di perguruan. Keadaan semakin rumit…!” kata anak itu dengan suara perlahan.
"Aku tahu.,." jawab
Akiko.
"Kawan-kawan mereka
bahkan mungkin semua komplotan ninja dl negeri ini akan menyerbu. Menuntut
balas! Aku sahabatmu, aku tidak akan membiarkan kalian diperlakukan
semena-mena. Aku akan melakukan apa saja yang bisa membantu ….. Cuma saat ini
aku juga punya kesulitan …… ."
"Kesulitan apa?” tanya
Akira Kasai.
"Dalam perjalanan ke sini
sebenarnya aku bersama seorang kawan. Seorang pemuda asing bernama W iro.
Begitu melihat Ketua Hisao Matsunaga memacu kuda di malam buta, aku mengambil
keputusan untuk mengikutinya. Pemuda asing itu aku suruh tunggu di satu tempat.
Ketika aku kembalil dari puri bersama Ketua Hisao Matsunaga kawanku tak ada
lagi di tempat penantian. Aku bersama Ketua menyelidik tapi tak bisa lama
karena dia harus cepat-cepat kembali ke sini.
Sebelum pergi aku menemukan
sebuah shuriken menancap di batu. Ninja …. Jangan-jangan kawanku ltu… .?. telah
dibunuh atau diculik oleh ninja …."
"Kau salah nona Akiko.
Aku ada di sini. …" satu suara terdengar. Seorang pemuda berpakaian dekil
dan robek serta berambut gondrong muncul dari balik sebuah tiang bangunan.
Akiko Bessho berpaling dan hampir berteriak ketika melihat Pendekar 212 Wiro
Sableng tegak di depannya.
"Wiro! Kukira kau…."
* * *
SEPULUH
Murid Sinto Gendeng tersenyum.
Tapi tiba-tiba wajahnya kelihatan mengernyit.
"Eh, kau seperti
kesakitan…." kata Akiko.
"Saya lihat ada luka di
paha dan lengannya," kata Akira pula.
"Aku diserang lima orang
ninja. Satu berhasil kubunuh. Satunya lagi kubabat buntung tangan kanannya.
Yang tiga berhasil membuatku
babak belur lalu menendangku sampai jatuh ke dalam jurang batu …."
"Jatuh ke dalam jurang
batu?! Saya tidak percaya!
Bagaimana mungkin sekarang kau
masih hidup?!" kata Akira Kasa! pula.
"Wiro, ini Akira Kasai,
putera mendiang Ketua Noboru KasaI…." Akiko memperkenalkan.
Wiro mengangguk lalu
membungkuk. Akira Kasai balas menjura lalu menutup mulutnya menahan tawa.
"Sobat kecil, mengapa kau
tertawa ?” tanya Wiro.
"Caramu membungkuk
seperti orang menahan buang air besar!" jawab Akira pula yang membuat Wiro
tertawa lebar dan garuk-garuk kepala.
"Wiro, apa yang dikatakan
Akira benar. Jika kau jatuh ke dalam jurang batu bagaimana kau bisa hidup dan
bisa datang ke sini walau dalam keadaan masih terluka?"
"Kau mungkin tak percaya.
Kawanmu bernama Yori itu yang menolongku."
”Yori ….?’
"Manusia bendera …."
"Hah! Yori si Bendera
Darah! Bukankah dia sebelumnya bermaksud hendak membunuhmu!?’
"Betul. Tapi agaknya dia
begitu takut padamu hingga menangguhkan kematianku."
"Tak bisa
kupercaya."
"Dia juga yang
mengobatiku dan berkata bahwa setelah aku membunuh dan melukai seorang ninja,
nvawaku akan terancam kemanapun aku pergi. Melihat apa yang terjadi di tempat
ini aku merasa beruntung.
Kalau saja aku datang lebih
cepat pasti aku yang jadi sasaran balas dendam ninja-ninja itu. Walau aku lolos
dari lobang jarum kematian namun nasibku jelek Kapak Maut Naga Geni 212 milikku
dirampas kawannya ninja!"
"Ah, senjata itu bagimu
sama saja dengan nyawamu," kata Akiko.
"Nona Akiko, jangan
lupakan diriku. Bukan kalian saja yang punya kesulitan. Saya juga…”’
"Adik Akira maatkan aku
…."
"Apakah kita bisa bicara
di tempat lain sekarang?"
"Baik, kita bicara di
tempat aman. Kawanku ini akanikut menemani …"
"Tunggu dulu. Saya tidak
kenal pemuda asing ini sebelumnya. Apa dia bisa dipercaya?” tanya Akira Kasai.
"Kau bisa mempercayai
dirinya seperti kau mempercayai diriku …."
"Terus terang saya tidak
bisa mengatakan apakah saya mempercayaimu dan juga orang ini. Tapi saya tidak
punya orang lain yang bisa diajak bicara…." Lalu Akira Kasai memutar
tubuhnya. Dia berjalan di depan sekali menuju ke arah timur kawasan perguruan
yang luas. Di belakang sebuah bangunan yang dijadikan gudang dimana keadaan
sepi dan agak gelap anak ini berhenti.
"Di sini aman. Kita
bicara di sini saja …." kata Akira. Dia melirik pada Wiro sebentar seolah
masih meragu. Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.
"Bocah … :’
"Bocah …. Apa itu?” tanya
Akira.
"Di negeriku bocah
artinya anak kecil …"
"Oh …"
"Kalau kau kurang percaya
padaku, biar aku pergi saja. Nanti aku kembali lagi," kata Wiro pula. Lalu
dia memutar tubuh hendak meiangkah pergi.
"Tunggu, saya kira saya
bisa percaya padamu seperti saya percaya pada nona Akiko."
"Bagus, sekarang katakan
apa yang hendak kau sampaikan padaku …. ."
"Ini menyangkut surat
warisan pengesahan Ketua yang tadi dibaca oleh salah seseorang sesepuh perguruan…"
"Ada apa dengan surat
itu?’ tanya Akiko. Anak usia 14 tahun itu memandang dulu ke kiri dan ke kanan
seolah takut ada orang laln mendengar pembicaraan.
Lalu dengan suara perlahan dia
berkata.
"Saya yakin surat yang
dibacakan itu adalah surat palsu."
"Tapi saya melihat
sendiri pendeta Kamashaki menyerahkannya dalam amplop kuning tertutup pada
Hisao Matsunaga di Puri Sanzen …."
"ltu yang
mengherankan," sahut Akira Kasai.
"Lalu apakah kau punya
alasan atau bukti mengatakan surat itu palsu?" bertanya pendekar 212.
Akira Kasai mengangguk.
"Saya melihat Ayah membubuhkan tanda tangan dan cap perguruan pada surat
pengangkatan pewaris Ketua itu. Waktu itu setetes tinta jatuh menodai sudut
kiri bawah surat. Ayah memaki dirinya sendiri karena ketotolannya itu. Namun
saya lihat Ayah terus saja memasukkan surat itu ke dalam amplop kuning.
Mengikatnya dengan benang, diberi lem dan diberi lak besar. Surat itu
diserahkan pada saya dengan pesan agar saya bersama beberapa pembantunya
menyerahkan surat itu pada pendeta Komo di Puri Sanzen …."
"Kapan hal itu
tejadi?" tanya Akiko.
"Sekitar satu bulan
lalu."
"Akira-san, kau banyak
mengetahui kejadian pada malam waktu Ayahmu dibunuh?’ bertanya Wiro. Ketika
anak itu mengangguk Wiro dan Akiko minta agar dia menceritakan. Sesaat setelah
mendengar cerita Akira, Wiro lantas berkata.
"Ada kemungkinan Ayahmu
karena kurang senang dengan noda tinta di surat warisan, lalu membuat surat
baru mengganti surat yang kau terima?"
"Saya tidak yakin. Karena
surat yang bernoda tinta itu hanya saya simpan satu malam. Besoknya langsung
dikirimkan pada pendeta Komo."
"Melihat gelagat, Ayahmu
seperti tidak mempercayai keamanan di perguruan …" kata Wiro.
"Saya tidak mengerti dan
saya tidak tahu mengapa Ayah berbuat begitu."
"Sekarang sudah ada Ketua
perguruan yang baru.
Apa yang masih kau
risaukan?" tanya Akiko Bessho.
"Siapa saja yang jadi
Ketua saya tidak perduli.
Tapi saya mengira telah
terjadi kecurangan. Pemalsuan surat warisan Ketua."
"Selain Hisao Matsunaga,
siapa lagi pengurus di perguruan yang berhak untuk jabatan itu?" tanya
Wiro.
"Paman Shigero Momochi.
Tapi syukur Ayah tidak mewariskan jabatan Ketua padanya …."
"Memangnya kenapa?’ tanya
Wiro lagi.
"Sifatnya kasar. Pemabok.
Walau hatinya baik, mana mungkin orang seperti dia bisa diangkat jadi Ketua.
Saya kira memang tepat kalau Ayah mewariskan jabatan Ketua pada paman Hisao
Matsunaga. Hanya saja saya masih merasakan ada sesuatu yang tidak beres …"
"Akira-san sudahlah. Hal
itu tak perlu kau pikirkan berpanjang-panjang. Perguruan sudah punya Ketua
baru. Besok jenazah Ayahmu akan diperabukan …."
Akira terdiam. Baik Akiko
maupun Wiro sama maklum kalau si anak masih belum puas. Agaknya belum seluruh
unek-uneknya dikeluarkan.
"Adik Akira, mungkin
masih ada yang hendak kau katakan?"Tanya Akiko.
Wiro menguap lebar-lebar.
Selain letih luka di kaki dan di lengannya terasa berdenyut sakit. Dia lalu
pergi duduk di sebuah bangku kayu dekat dinding gudang.
"Memang ada. Mungkin ini
bisa dijadikan petunjuk siapa yang membunuh Ayah …."
"Kita semua tahu Ayahmu
dibunuh oleh ninja. Ada tiga kelompok besar ninja di negeri ini. Tidak mudah
untuk menyelidiki. Buktinya kau saksikan sendiri bagaimana mereka berani
mendatangi tempat ini hanya karena tersinggung …."
Si anak tidak perdulikan
ucapan gadis itu. Dia memotong. ‘Waktu saya melihat jenazah Ayah pertama kali,
saya melihat ada kelainan pada lima jari tangan kanan beliu …"
"Kelainan
bagaimana?"
"Lima jarinya berada
dalam keadaan seperti habis mencengkeram. Setahu saya Ayah memang mempunyai
ilmu pukulan disebut Lima Jari Dewa. Untuk mendapatkan ilmu itu Ayah harus
melakukan perjalanan selama tujuh bulan ke sebuah pegunungan di Tibet. ltupun
belum sempurna betul. Menurut Ayah dia harus kembali lagi ke sana. Siapa saja
yang terkena pukulan Lima Jari Dewa pasti menemui ajal atau cacat bertanda
seumur hidup tubuhnya, tak bisa dihilangkan. Saya yakin sebelum terbunuh Ayah
sempat melepaskan pukulan itu ke tubuh ninja. Kalau tidak mengapa jari-jari
tangannya berada dalam keadaan mencengkeram. Saya mengerti tidak mudah mencari
tahu siapa ninja yang terkena pukulan itu. Namun paling tidak kita sudah punya
petunjuk …"
"Selain Ayahmu, apa ada
pengurus perguruan lainnya memiliki ilmu Lima Jari Dewa itu?" bertanya
Akiko. Akira Kasai menggeleng.
”’Cuma Ayah satu-satunya yang
menguasai ilmu itu!” Akiko memandang pada Wiro.
"Apa yang bisa kita
lakukan?"
"Semua yang diceritakan
anak ini dan semua yang terjadi adalah urusan dalam perguruan. Kita tak bisa
mencampuri dan melibatkan diri. Aku sendiri sedang bingung karena menderita
luka dan kehilangan kapak mustika. Namun mungkin semua yang terjadi di sini
merupakan satu jalan bagiku untuk menyelidik ninja mana yang mencuri senjataku
itu…!’” Wiro memandang pada Akira lalu berkata.
"Sobatku kecil, aku akan
melakukan apa saja untuk membantu menyingkap siapa pembunuh Ayahmu….."
Akira Kasai membungkuk.
"Terima kasih gaijin …" katanya perlahan lalu dia berpaling pada
Akiko.
"Ada satu hal yang tidak
saya mengerti dan ingin saya bicarakan denganmu!’
"Katakan saja …"
"lni menyangkut kejadian
sewaktu rombongan kami dicegat ninja dalam perjalanan ke Puri Sanzen … ."
"Apa yang tidak kau
mengerti Akira!”
"Ninja berlaku ganas.
Mereka menumpas hampir semua anggota rombongan. Termasuk sahabat saya Keno.
Yang selamat hanya saya dan Paman Hisao.
Namun waktu itu saya … !”
Akira Kasai tidak meneruskan kata-katanya. Dari balik bangunan gudang terdengar
suara orang batuk. Sesaat kemudian Hisao Matsunaga yang sekarang menjadi Ketua
Perguruan Emerarudo muncul di tempat itu.
"Maafkan kalau
kedatanganku menggangu pembicaraan kalian. Jika memang ada urusan penting yang
perlu dibicarakan, dalam bangunan besar ada beberapa ruangan bisa dipergunakan
…."
"Kami kebetulan bertemu
dan tidak bicara hal-hal penting," kata Akiko pula sambil tersenyum lalu
membungkuk.
Begitu juga Akira dan Wiro.
"Akira-san," Hisao
menegur, "Kau butuh istirahat lngat besok akan ada upacara panjang sebelum
Ayahmu diperabukan. Mengapa tidak segera saja masuk kamar dan istirahat?"
"Maafkan saya paman Hisao.
Selamat malam untuk kalian semua," jawab Akira. Sekali lagi anak ini
membungkuk lalu cepat-cepat ditinggalkannya tempat itu.
Hisao Mastunaga perpaling pada
Akiko. "Nona Akiko, bagimu telah kusediakan sebuah kamar untuk istirahat.
Jika kau suka akan kuantar kesana sekarang juga …."
"Terima kasih. Ketua
terlalu memperhatikan saya”
Hisao Matsunaga kini memandang
pada Wiro. Rambut gondrong, kening diikat kain putih, pakaian robek serta luka
di paha dan lengan.
"Nona Akiko siapa
pengemis asing ini?" Mulut Pendekar 212 sampai bergerak pencong mendengar
orang menyebutnya sebagai pengemis. Dalam hati dia memaki panjang pendek.
"Dia sahabat saya.
Maafkan kalau keadaannya morat marit. Dia barusan dirampok orang di tengah
jalan..!” dusta Akiko.
"Hemmm …. Banyak uang
atau hartamu yang dirampas?" tanya Hisao Matsunaga pada Wiro dengan senyum
menunjukkan ketidak percayaan.
"Sedikit. Cuma lima tail
emas dan lima tail perak,"
jawab Wiro terpaksa berdusta
agar karangan Akiko cocok dengan ucapannya.
"Ck …. ck …. ck …"
Hisao Matsunaga berdecak.
"ltu bukan sedikit"
katanya lagi-lagi dengan tersenyum tanda dia tidak percaya ucapan si gondrong
tadi.
"Nona Akiko, saya siap
mengantarkanmu….."
"Terima kasih Ketua. Saya
tak mau merepotkan orang. Biar saya bergabung dengan para tamu lainnya di ruang
besar upacara sembahyang …."
"Kalau begitu kemauan
Nona saya tidak bisa memaksa," kata Hisao Matsunaga pula. Lalu dia
melangkah. Namun berhenti di hadapan Wiro dan berkata.
"Saya menghargai
kehadiranmu untuk melayat.
Tapi sesuai aturan, kau hanya
diperkenankan duduk di barisan paling belakang tempat upacara …." Wiro
tersenyum.
"Saya sudah tahu. Tempat
pengemis seperti saya memang di situ …. Lagi pula saya kawatir duduk ramairamai
di depan ….."
"Apa yang kau kawatirkan?"
tanya Hisao Matsunaga heran.
"Saya kawatir beberapa
tail emas yang masih ada dalam kantong pakaianku disambar orang …" jawab
Wiro.
"Selamat malam
ketua," katanya kemudian Sambil membungkuk. Tanpa berkata apa-apa lagi
Hisao Matsunaga tinggalkan tempat itu dengan cepat. Begitu orang pergi Wiro
berpaling pada Akiko yang memandang padanya sambil tertawa geli.
"Nasibku buruk amat.
Disangka pengemis oleh Ketua Perguruan…!’
"Sudahlan. Dia cuma salah
menduga dan menilai orang," menyahuti Akiko Bessho.
"Bagaimana pendapatmu
mengenai Akira Kasai…?
"Dia anak baik. Tapi aku
punya firasat keselamatannya terancam." Jawab Wiro polos.
"Kalau begitu aku akan
mengawasi dirinya secara diam-diam."
"Malam ini biar aku saja
yang berjaga-jaga. Apa lagi tak ada gunanya aku berada di ruangan pembacaan
doa. Aku mana pandai berdoa cara kalian …" Habis berkata begitu Pendekar
212 Wiro Sableng melangkah ke arah bangunan di mana tadi dilihatnya Akira
masuk.
Dia melambaikan tangan pada
Akiko Bessho lalu berkelebat naik ke atas atap bangunan lain di seberangnya.
* * *
SEBELAS
LAPAT-lapat dari ruang besar
tempat upacara doa dilangsungkan terdengar suara orang membaca doa tak
berkeputusan. Tanpa diketahui oleh orang-orang perguruan Emerarudo, dua sosok
hitam berkelebat cepat di kegelapan malam. Seperti cecak keduanya merayap cepat
menaiki tembok tinggi.
Ketika dua sosok hitam itu
menyelinap naik ke atas atap kamar tempat tidur Akira Kasai, di suatu bukit
kecil di dalam sebuah bangunan berbentuk kuil seseorang menyalakan lilin di
atas sebuah meja batu berlumut. Di atas meja terdapat aebuah bokor tembaga Di
dalam bokor ini tersimpan abu jenazah seseorang.
Nyala api lilin yang
menari-nari tertiup angin membuat bayang-bayang seram di dinding ruangan.
Orang yang menyalakan lilin membungkuk
di hadapan meja batu sampai tiga kali lalu perlahan-lahan jatuhkan diri
berlutut. Sepuluh jari-jari tangannya dirangkapkan satu sama lain. Lalu
diantara siliran angin malam terdengar dia berucap.
"Nenek …. Cucu telah
membuat kesalahan besar.
Dua kali cucu berhasil
menemuinya. Tapi dua kali pula cucu gagal membunuhnya. Kali pertama karena
permintaan orang yang pernah menyelamatkan kehormatan cucu. Kali ke dua karena
kebodohan cucu sendiri. Yaitu cucu tidak mampu, tidak tega melakukannya. Setiap
cucu melihat wajahnya ada perasaan aneh dalam hati cucu. Nenek Arashi Cucu
mohon maafmu. Agaknya cucu tidak akan pernah bisa membunuhnya. Kalau ini satu
dosa besar, mulai dari sekarang hukumlah diriku …."
Orang yang berucap di depan
meja batu yang dijadikannya meja sembahyang itu terdiam sesaat, berusaha
membendung air mata yang hendak keluar dari kedua matanya.
Tiba-tiba suara hatinya
seperti berontak dan di telinganya seolah mengiang kata-kata. Cucu tidak
berbudi. Mana keberanian yang kutempa selama dua belas tahun dalam dirimu! Mana
kekuatan batin yang kutanamkan dalam tubuhmu! Mana hawa sakti yang mengalir
dalam darah dan setiap denyut jantungmu!
Jangan perasaan menguasai
pikiranmu. Aku tahu kau tiba-tiba jatuh cinta padanya. Cinta! ltulah kelemahan
pangkal bahala yang akan membunuhmu! Aku tidak meminta banyak padamu. Hanya
satu! Bunuh pemuda asing itu! Atau arwahku akan membayangi selama hidupmu!
Orang di depan meja batu
katupkan jari-jari tangannya satu sama lain hingga mengeluarkan suara
berkereketan. Di kejauhan tiba-tiba terdengar suara lolongan anjing membuat dia
tercekat. Laiu dia berdiri lurus-lurus memandangi bokor di atas meja batu
berlumut. Setelah membungkuk tiga kali dia berkata.
"Nenek Arashi, aku harus
pergi sekarang. Lain kesempatan aku akan menyambangimu lagi di sini …."
Sampai di luar kuil dia tegak
tertegun. Dia tidak tahu harus pergi kemana. Akhirnya dia menuruni bukit
sepembawa kakinya Angin dan udara malam yang dingin tidak diacuhkannya.
KEMBALI ke Perguruan
Emerarudo. Suara orang membaca doa masih terdengar wabu kini mulai mengalun
perlahan. Dua sosok hitam di alas bangunan dengan cepat menyelinap ke bawah
cucuran atap.
Sretttt…. sretttt!
Mereka merobek dinding kertas
dengan sebuah alat berbentuk pisau kecil. Di lain kejap tanpa ada yang
mengetahui keduanya telah menyelinap masuk ke dalam kamar tidur Akira Kasai.
Saat itu putera mendiang bekas
Ketua Perguruan Noboru Kasai memang telah bersiap untuk istirahat membaringkan
diri di atas selembar kasur tipis. Sebelum berbaring dia merasa perlu
memanjatkan doa terlebih dulu bagi arwah Ayahnya. Pada saat itulah tiba-tiba
dia melihat dua sosok hitam menerobos masuk ke dalam kamar dan tanpa suara
mereka menjejakkan kaki di atas tatami.
"Shinobi!" seru
Akira Kasai dengan lidah kelu.
Wajahnya menjadi pucat. Ninja
di sebelah kanan menganggukkan kepala. Melihat tanda ini ninja di samping kiri
segera menghunus katananya. Cahaya maut berkilau dari badan pedang. Rasa takut
yang menyelubungi diri Akira tiba-tiba saja lenyap. Berubah dengan dendam
kebencian.
"Kalian pasti komplotan
ninja yang membunuh Ayah! Saat ini kalian pasti juga hendak membunuhku!
Kalian kira aku takut
mati?!"
Dua ninja tak menjawab.
Tiba-tiba Akira jatuhkan diri
diri di lantai. Dia berguling ke kepala kasur di mana terletak pedang miliknya.
Namun sebelum dia mampu
menyentuh senjata itu, ninja di sebelah kanan cepat melompat lalu menginjak
lengan anak ini.
Akira Kasai menjerit keras.
Dengan suara bergetar karena amarah dan juga kesakitan anak ini berkata.
"Aku tidak takut mati!
Ayo bunuh!"
Ninja yang memegang pedang
tidak tunggu lebih lama. Senjata di tangannya di tetakkan ke kepala Akira
Kasai.
Wutttt!
Sesaat lagi kepala anak itu
akan terbelah tiba-tiba dinding kiri kamar jebol. Satu bayangan merah berkelebat
dan trang! Sebilah katana melesat ke depan menangkis bacokan pedang ninja.
"Ninja merah!"
teriak dua ninja hitam hampir bersamaan. Kejut keduanya bukan olah-olah.
Terutama ninja yang senjatanya kena tangkis. Lengannya bergeletar.
Jan-jarinya terasa pedas
panas. Selagi dia masih dilanda kaget tiba-tiba satu tusukan menderu ke
dadanya. cepat ninja ini berkelit ke samping sambil menangkis. Dari samping
kawannya ikut membantu.
Tranggg!
Tiga pedang beradu keras.
Bunga api memercik terang dalam kamar. Dua pedang di tangan ninja menjepit
pedang ke tiga hingga tak bisa bergerak.
Namun yang punya senjata malah
keluarkan suara tertawa.
"Kau inginkan pedangku
silahkan ambil!" Pedang dilepas. Bersama dengan itu sosok ninja merah
melesat ke atas. Dua ninja hitam memburu dengan pedang mereka. Dari atas ninja
merah melepaskan pukulan tangan kosong. Serangkum angin dahsyat menderu.
Dua ninja hitam berseru kaget
begitu senjata mereka bergetar keras dan tak mampu ditusuk atau dibacokkan.
"Lepaskan senjata
rahasia!" teriak ninja sebelah kanan. Serentak dia dan kawannya gerakkan
tangan kiri melepaskan senjata rahasia berbentuk bintang. Lawan yang diserang
jatuhkan diri ke lantai sambil ulurkan tangan menjangkau pedang yang tadi
dilepaskannya dan saat itu hampir jatuh di atas tatami.
Gerakannya ini sungguh luar
biasa cepatnya hingga dua buah senjata rahasia yang dilemparkan ke arahnya tak
berhasil menemui sasaran, satu menembus dinding kamar terus melesat keluar
satunya menancap di tiang kayu.
Ninja sebelah kanan keluarkan
jeritan maut begitu pedang ninja merah menjebol perutnya. Tubuhnya langsung
roboh. Darah bergenang cepat di atas tatami.
Ninja satunya menggembor
marah. Sekali berkelebat pedangnya menyambar ke leher ninja merah yang masih
berbaring di lantai. Dalam keadaan menelentang ninja merah tangkis serangan
ganas itu. Dalam waktu bersamaan kaki kanannya menendang ke atas.
Dukkkk!
Ninja hitam meraung keras.
Pedang lepas dari tangannya Sambil terbungkuk-bungkuk dia pegangi bagian bawah
perutnya yang hancur. Matanya membeliak terbalik-balik. Mati! Ninja merah
sarungkan pedangnya. Ketika melewati tiang dimana menancap satu dari dua
senjata rahasia tadi ninja merah mencabut dan memeriksanya.
"Hemmmm …. shuriken
beracun …." gumamnya.
Lalu dia . cepat-cepat tinggalkan
tempat itu. Ketika orang banyak memasuki kamar ltu Akira Kasai tertunduk di
alas tatami sambil pegangi lengan kanannya yang sakit. Keringat dingin
membasahi tubuhnya.
Yang muncul di tempt itu
adalah Shigero Momochi, Akiko Bessho lalu seorang tua pengurus perguruan,
ditambah delapan orang murid perguruan. Akiko cepat memberikan pertolongan.
Seorang ahli urut cepat dipanggil. Atas pertanyaan Shigero Momochi, Akira lalu
menerangkan apa yang terjadi.
"Luar biasa malam ini.
Ninja merah muncul sampai dua kali untuk menolong kita," kata orang tua
yang jadi pengurus perguruan.
"Pertama waktu empat
ninja muncul di ruang pembacaan doa. Lalu di sini."
"Aku merasa malu.
Kejadian di tempat ini menunjukkan kelemahan kita. Perguruan bisa diterobos
begitu saja!" Kembali Shigero Momochi bicara. Dia berkata sambil memandang
berkeliling. Murid-murid perguruan tak ada yang berani melihat wajahnya.
Ada suara batuk-batuk. Ketua
Hisao Matsunaga yang telah diberi kabar apa yang terjadi segera datang ke
tempat itu.
"Akira-san,"
katanya.
"Mulai saat ini kuharap
kau pindah ke bangunan tempat kediamanku. Aku minta selusin anggota perguruan
menjaga kamarnya!
Satu hal kalian ingat. Jangan
sampai orang luar tahu apa yang terjadi di sini. Kecuali kalau kalian semua mau
dianggap orang-orang tolol!"
Akira kemudian digendong, di
bawa ke tempat yang dikatakan Hisao Matsunaga. Yang, lain-lain kecuali Shigero
Momochi tinggalkan tempat itu.
"Ninja merah … ."
desis Shigero Momochi sambil usap-usap dagunya.
"Siapa mahluk ini
sebenarnya. Jika dia bisa muncul dalam waktu cepat berarti dia tadi masih
berada di dekat-dekat sini …. Mungkin seorang gagah salah satu dari para
tamu……" Sementara Shigero Momochi melangkah menuju ruang besar tempat
pembacaan doa, Akiko Bessho juga pura-pura pergi ke ruangan itu.
Namun di satu tempat dia
berputar, bergegas kembali.
Hanya saja kali ini dia tidak
menuju bangunan dimana kamar Akira Kasai terletak, tapi ke bangunan di depannya
dimana yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng bersembunyi di atap.
"Aku punya dugaan.
Jangan-jangan gaijin ini yang menyaru jadi ninja merah …. !” tiba-tiba di atas
atap bangunan tampak ada sosok tubuh bergerak.
"Huh itu dia!
Menggosok-gosok mata. Kelihatannya seperti habis bangun tidur!" Sosok di
atas atap melompat turun.
"Aku melihat kelainan
pada wajahmu. Ada apakah.?"
"Wiro, kau tadi berkata
hendak mengawasi keselamatan Akira Kasai. Pecuma saja kau bermulut besar!"
"Eh, memangnya
kenapa?" tanya Wiro.
"Dua ninja menyusup masuk
hendak membunuh anak itu. Apa kau tidak lihat ….?”
"Astaga!"
"Ninja merah muncul lagi
menyelamatkan anak itu….. ."
"Astaga!"
"Astaga! Astaga! Kau
hanya bilang astaga! Apa saja kerjamu di atas atap sana?" Akiko Bessho
jadi kesal.
"Maafkan diriku. Aku
ketiduran. Aku benar-benar latih dan luka- luka ditubuhku membuat aku rasanya
kurang enak badan …. Tapi bagaimana bisa orang orang perguruan kebobolan lagi
….. ?"
"Jangan salahkan mereka.
Kau sendiri juga sudah kebobolan. Masih untungan anak itu tidak mati dibunuh
Hanya cidera tangan kanannya…:”
"Astaga Kasihan betul
…."
"Astaga lagi! Sudah tidur
saja kau di atas atap sana!” saking kesalnya Akiko Bessho lalu tinggalkan Wiro.
"Ternyata bukan dia. Lalu
siapa ninja merah itu?
Mungkin yori….? Atau Kamashaki
pendeta Zen itu? “
Selagi Akiko Bessho melangkah
sambil berpikir-pikir itu dua sosok berjubah melangkah tanpa suara di
belakangnya. Ternyata dua orang ini tidak mengikuti si gadis, melainkan
menyelinap ke arah bangunan dimana tadi Akira Kasai dibawa.
Di ruang besar pembacaan doa
Hisao Matsunaga membaca doa dengan khusuk. Kedua matanya dipejamkan. Sesekali
matanya dibuka. Kali kesekian dia membuka mata dan menyapu para hadirin yang
ada di ruangan itu, baru dia menyadari Sesuatu. Maka perlahan sekali dia
berbisik pada Shigero Momochi yang ada di sebelahnya.
"Shigero, aku tidak
melihat dua orang pendeta Zen yang datang bersama Akira itu…."
shigero Momochi yang juga
asyik membaca doa buka kedua matanya. Lalu dipejamkan kembali. Seperti tak acuh
dia berkata. "Mungkin mereka sudah pulang…"
Kalau betul berarti sungguh
tidak sopan per-buatan mereka. Tidak minta diri pada tuan rumah Apalagi upacara
pembacaaan doa belum selesai. Disamping itu mereka selayaknya menunggu sampai
selesai upacara perabuan jenazah. Jangan-jangan mereka berkeliaran ke mana-maria..:”
"Mungkin saja mereka
lelah membaca doa lalu jalan melihat-lihat bangunan perguruan kias," jawab
Shigero lagi.
”melihat-lihat malam-malam
begini? Hatiku merasa kurang enak." kata Hisao Matsunaga.
Kalau begitu biar aku mencari
di mana mereka berada."
Shigero hendak hangkit
berdiri. Padahal sebenarnya saat itu dia ingin kembali ke kamarnya untuk
meneguk minuman keras. Mulutnya terasa pahit dan tenggorokannya seolah kering.
"Biar aku saja yang
pergi. Kau tetap di sini," kata Hisao Matsunaga lalu mendahului berdiri.
Shigero Momochi memperhatikan
kepergian sang ketua sambil berkata-kata sendiri dalam hati. "Anak itu
membuat keadaan menjengkelkan. tiba-tiba saja dia menjadi sangat Penting.
Mengapa ada komplotan ninja yang menginginkan nyawanya? Ninja bekerja hanya
atas dasar bayaran. Kalau dibayar berarti ada yang membayar. Siapa? Mengapa ….
?"
Dua pendeta Zen mendekam di
balik sebuah pot besar Memandang ke depan mereka melihat sekitar dua belas
orang anggota perguruan berjaga-jaga di dekat bangunan di mana Akira Kasai
berada. Di ruangan dalam masih ada empat orang lagi melakukan pengawalan.
Sambil memandang berkeliling
salah seorang pedeta Zen berbisik pada temannya. " Aku sebetulnya tidak
suka pekerjaan macam begini. Kalau bukan pendeta Kamashaki yang menyuruh aku
lebih enak diam di kamarku, berdoa sambil tidur-tiduran …"
Mendiang Ketua Noboru Kasai
punya hubungan sangat baik dengan kita. Sangat pantas kalau pendeta Kamashaki
meminta kita menyelamatkan anak itu, Pendeta agaknya telah punya firasat atau
bisa melihat apa Yang bakal dialami anak itu. Ini semua berdasar pada kenyataan
bahwa Ayahnya meninggal secara tidak wajar. Seseorang telah menyuruh
membunuhnya, Lalu mungkin orang yang sama pula yang menginginkan surat warisan
jabatan Ketua itu..”
"Kalau aku boleh menuduh
dan mohon ampun pada Dewa atas ucapan dan jalan pikiranku ini, aku punya dugaan
Wakil Ketua Shigero Momochi lah yang jadi biang keladi dibalik semua
ini.agaknya dia maklum kalau kelakuan dan tindak tanduknya selama ini tidak
memungkinkan dirinya diangkat jadi Ketua. Dia berusaha mencuri surat warisan
untuk mengubah isinya. Ternyata Wakil Ketua Hisao Matsunaga bertindak lebih
cepat mengamankan surat itu …."
Pendeta Zen yang satu lagi
terdiam sesaat. Dia memandang berkeliling sekali lagi. "Kurasa aman. Lekas
kau bertindak, jangan ngomong saja. Kita tak punya waktu banyak…."
Kawannya lalu mengeruk saku
jubah. Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil yang ujungnya berbentuk pipa rokok.
Ujung ini didekatkannya ke mulut. Penutup kotak dibuka lalu dia meniup. Dari
dalam kotak berhembus keluar asap tipis bewarna kelabu. Begitu terkena siliran
angin asap ini terus menyebar dan menyungkup bangunan di depan sana cepat
sekali.
Dua belas orang anak murid
perguruan tiba-tiba saja merasa mengantuk. Mereka menguap berulang kali lalu
satu demi satu jatuh terkapar, tertidur pulas. Di dalam bangunan empat orang
pengawal lainnya menyusul tenggelam dalam kantuk yang tidak tertahankan lagi
hingga akhirnya jatuh pulas. Akira Kasai yang ada dalam kamar lebih cepat
tertidur. Anak ini melingkar dl atas kasur tipis tak tahu apa-apa lagi.
"Sekarang.. " bisik
pendeta Zen di sebelah kanan.
Lalu mendahului berlari ke
arah bangunan. Kawannya berkelebat mengikuti. Akira Kasai yang mereka temui
dalam kamar segera saja digendong. Keduanya lalu keluar dari bangunan, sengaja
melewati pintu belakang.
Begitu mereka sampai di tangga
terbawah satu suara menegur dari tempat gelap.
"Bukan main Dua pendeta
Zen ternyata penculikpenculik busuk Hendak kalian bawa kemana anak itu.?!”
* * *
DUABELAS
DUA pendeta Zen tersentak
kaget. Yang berada di depan segera bergerak melindungi temannya yang membawa
Akira Kasai.
Orang yang menegur keluar dari
kegelapan.
Ternyata dia adalah Hisao
Matsunaga Ketua Perguruan Emerarudo yang baru.
"Ketua Matsunaga, harap
kau jangan salah paham.." kata pendeta Zen yang berdiri di sebelah depan.
"Aku tak pernah salah
paham. Kalian yang salah paham! Perguruan Emerarudo selama puluhan tahun telah
menggalang tali persaudaraan dengan Puri SanZen. Ternyata di antara kalian ada
manusia-manusia culas. Atau mungkin pimpinan Puri yang memberi perintah ….?”
Hisao Matsunaga bicara dengan
seringai sinis dan sebentar-sebentar tangan kanannya mengusap dada kiri.
"Ketua Matsunaga, kami
hanya menjalankan tugas. Kami bukan menculik anak . ini, tapi justru mau
menyelamatkannya. Kau sendiri tahu bagaimana berturut turut dia hendak dibunuh
…."
Hisao Matsunaga kembali
menyeringai lalu batukbatuk beberapa kali. "Tidak disangka para pendeta
pandai berdusta mencari dalih …."
"Kami tidak berdusta.
Kami benar-benar ingin menyelamatkan anak ini …"
”Turunkan anak itu, letakkan
di tanah!" bentak Hisao Matsunaga. Lalu dia batuk-batuk kembali. Tangan
kanannya lagi-lagi dipakai untuk mengusap dada.
"Kami tidak bisa
melakukannya …." Marahlah Ketua Perguruan Emerarudo itu. Sekali lompat
saja dia sudah berada di hadapan pendeta yang menggendong Akira. Tangan
kanannya bergerak ke punggung dimana menjulur gagang pedang.
"Cabut pedang
kalian!"
"Kami para pendeta mana
pernah membawa senjata? !"
"Bagus! Kalau begitu biar
kupatahkan batang lehermu dengan tangan kosong!" Habis berkata begitu
Hisao Matsunaga langsung menyerang pendeta di sebelah belakang. Tapi kawannya
di sebelah depan cepat memapasi seraya berkata :
"Lekas larikan anak itu.
Biar aku menghadapi Ketua Perguruan barang sejurus dua jurus!"
"Pendeta kurang
ajar!" bentak Hisao Matsunaga lalu hantamkan tangan kanannya ke
tenggorokan sang pendeta. Perkelahian tak dapat dihindari lagi.
Para pendeta di Puri Sanzen
selain mendalami ilmu agama juga banyak yang memiliki ninjutsu atau kepandaian
silat serta kesaktian yang cukup tinggi. Dua diantara mereka adalah yang kini
berada di perguruan itu. Gerakan pendeta yang langsung menghadapi sang Ketua
kelihatan lemah gemulai seperti penari. Namun setiap gerakan yang dibuatnya
mengeluarkan hawa dingin hingga Hisao Matsunaga berlaku hati-hati.
Berlawanan dengan sang pendeta
gerakan gerakan Hisao Matsunaga justru cepat, deras dan ganas. Hanya dalam
waktu lima jurus pendeta itu dibuat terjengkang ke tanah muntah darah. Satu
jotosan mengandung hawa sakti yang dihantamkan Hisao Matsunaga dengan telak
mengenai dadanya.
Berhasil merobohkan pendeta
satu itu Hisao Matsunaga segera mengejar pendeta satunya yang membawa kabur
Akira Kasai. Sadar kalau dia tak bisa meloloskan diri pendeta ini terpaksa
turunkan anak yang di gendongnya ke tanah lalu menghadapi Hisao Matsunaga.
Ternyata pendeta ini kepandaiannya jauh lebih rendah dari temannya tadi.
Hantaman tepi telapak tangan Hisao Matsunaga tak dapat dikelitnya.
Krakkk!
Lehernya patah. Nyawanya lepas
sebelum tubuhnya rubuh menyentuh tanah!
Saat itu Akira Kasai telah
terjaga dari tidurnya akibat sirapan asap aneh pendeta Zen tadi. Sambil
mengucak-ucak kedua matanya dia memandang berkeliling dan dapatkan dirinya
terbujur di atas tanah.
"Eh, di mana diriku inl?’
dia bertanya sendiri lalu memandang berkeliling. Saat itulah dia melihat Ketua
Hisao Matsunaga tengah mengayunkan tangan memukul patah batang leher pendeta
Zen. Dengan terkejut si anak melompat berdiri.
"Paman Ketua ……"
Hisao Matsunaga memandang
berkeliling. Dilihatnya ada beberapa orang mendatangi dari jurusan tempat
pembacaan doa. Di depan sekali Shigero Momochi.
"Lekas masuk ke
kamarmu!" teriak Hisao Matsunaga. Tapi untuk sesaat lamanya si anak masih
tegak tertegun. Saat itulah tiba-tiba dari salah satu atap bangunan melayang
turun satu sosok merah. Hisao Matsunaga terkejut sekali karena sambil melayang
orang ini lepaskan pukulan tangan kosong yang mengeluarkan suara angin menderu,
membuat Ketua Perguruan ini terhuyung-huyung kalau tidak lekas melompat ke
samping.
"Nlnja merah!" seru
Hisao Matsunaga. Sementara itu Shigero Momochi dan bebera orang yang mendatangi
hanya tinggal belasan langkah dari tempat itu. Di antara mereka kelihatan pula Akiko
Bessho.
"Hai!" teriak
Shigero. Hisao Matsunaga juga membentak keras ketika keduanya melihat bagaimana
nlnja merah dengan satu gerakan kilat menyambar tubuh Akira Kasai. Ketika dia
hendak berkelebat pergi memboyong si anak Shigero Momochi menghadang dengan
tebasan pedang.
Ninja meran melompat ke kiri.
Dari jurusan ini dia mendengar suara berdesir. Sebilah katana menyambar ke arah
punggungnya. Serta merta ninja merah hunus pedangnya pula. Tanpa menoleh dia
sapukan senjatanya ke belakang.
Tranggg!
Dua katana saling beradu
memercikkan bunga api. Ninja merah jatuhkan diri ke tanah. Sambil mengepit
tubuh Akira dia bergulingan. Tiga katana datang menyambar.
Satu dari Shigero Momochi,
satu dan Hisao Matsunaga dan yang ketiga dari Akiko Bessho. Tiga kali terdengar
suara berdentrangan. Walau dia sanggup menangkis tiga hantaman pedang namun
pedang di tangan ninja merah tergetar keras.
"Cincang bangsat inil
Selamatkan Akira-san!" teriak Hisao Matsunaga.
"Tunggu dulu!" Yang
berseru adalah Shigero Momochi.
"Tahan semua
serangan!"
"Shigero apa
maksudmu?!" tanya Hisao Matsunaga hampir berteriak dan berusaha menahan
marahnya.
"Sebelumnya ninja merah
ini menolong kita sewaktu empat ninja hitam muncul. Sekarang dia hendak
melarikan anak itu! Aku perlu menanyai siapa dirinya sebenarnya dan mengapa dia
melakukan semua ini?!"
"Si pemabok tolol!"
maki Hisao dalam hati Hati dia berkata.
"Shigero, orang
jelas-jelas hendak menculik putera mendiang Ketua! Kau masih hendak bicara
berbaik-baik …. Sungguh aneh!" Dia terbatuk-batuk lagi.
"Kau benar Ketua! Justru
karena semua terasa aneh aku ingin menyingkapkan tabir keanehan ini! Dua
pendeta Zen juga melakukan keanehan! Apa kau tak. .."
"Shigero! Kau kembali
saja ke ruang pembacaan doa. Biar mahluk merah ini aku yang membereskan!
Adalah tolol kalau dalam
keadaan seperti ini kau mau ngobrol dengan musuh!" Mendengar kata-kata
Hisao Matsunaga itu Shigero Jadi meradang.
"Kalau itu mau Ketua
terserah saja!" katanya. Lalu dia membalikkan tubuh. Matanya membentur
Akiko Bessho. Dia mendelik pada si gadis.
"Kau juga aneh! Kau orang
luar! Mengapa ikut campur urusan kami?!"
"Wakil Ketua Shigero.
Maafkan kalau aku telah bertindak lancang. Tapi bagiku Akira sudah seperti adik
sendiri mengingat hubungan Ayahnya dengan mendiang guruku. Lagi pu la…" Si
gadis tidak meneruskan ucapannya. Saat itu dalam amarah yang tak terbendung
lagi Hisao Matsunaga melompat dan menyergap ninja merah dengan satu serangan
kilat. Untungnya yang diserang tidak berlaku lengah. Sekali tangan kanannya
bergerak pedangnya menangkis pertengahan badan pedang Hisao hingga tangan
masing-masing tergetar keras.
Hisao berlaku cerdik. Begitu
pedang saling menempel dengan cepat dia mendorong. Ketua baru perguruan
Emerarudo ini memang dikenal sebagai memiliki hawa sakti yang sanggup
mengeluarkan tenaga luar biasa kuatnya. Tetapi alangkah kagetnya dia ketika
tibatiba tenaga dorongannya seolah-olah berbalik menggempur dirinya sendiri.
Semakin dicobanya semakin terdorong dia kebelakang.
Selagi Hisao Matsunaga
berusaha mempertahankan diri dari tekanan lawan tiba-tiba ninja merah hentakkan
kaki kanannya menghantam tanah. Ketua perguruan itu merasakan tanah yang
dipijaknya seperti dilanda gempa. Tubuhnya terhuyung-huyung. Dia bertahan
mati-matian dengan sekuat tenaga agar tidak jatuh.
Tapi bukan saja dia kalah
tenaga malah dari mulutnya kelihatan ada darah meleleh! Tenaganya seolah punah.
Tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa langkah. Saat itulah pedang di tangan
ninja merah berkelebat. Hisao Matsunaga coba menangkis tapi meleset.
Breetttl
Dada kimono Hisao Matsunaga
robek besar mulai dari pertengahan perut sampai ke bahu kiri. Perut dan dadanya
tersingkap lebar tubuhnya jatuh terlentang di tanah. Pedang di tangan ninja
merah menyusul berkelebat mengikuti arah jatuhnya sedetik kemudian ujung pedang
telah menempel di tenggorokan Hisao Matsunaga.
Saat Itu Shigero Momochi sudah
tak ada lagi di situ. Beberapa orang murid perguruan dan juga Akiko Besso
tertegun tegang. Agaknya nyawa sang Ketua tidak tertolong lagl. Namun rupanya
ninja merah tidak bermaksud membunuhnya. Karena dengan cepat dia memasukkan
pedangnya ke dalam sarung lalu dengan cepat pula dia berkelebat lenyap dari
tempat itu. Akira Kasai ikut lenyap bersamanya.
"Ninja merahl
Tunggu!" seru Akiko.
Yang diteriaki sudah lenyap
dari pemandangan. Tapi si gadis dengan nekad berusaha mengejar.
* * *
TIGABELAS
AKlRA Kasai merasa seperti mau
tanggal jantungnya dibawa iari sekencang itu.
"Nin …. ninja merah ….
Kau mau membawa saya kemana? Kau juga mau membunuhku..? Untuk bertanya begitu
anak ini berusaha menindih rasa takutnya hingga suaranya tersendat bergetar.
"Siap bilang aku mau
membunuhmu. Malah aku ingin kau selamat ..:” ninja merah menjawab.
"Aku membawamu ke tempat
aman.
"Ah, gadis itu masih saja
mengikutiku!" Ninja merah membatin.
"Anak, kau tahu tempat
yang baik dimana kau bisa tinggal sementara dengan aman!?”
"Eh, bagaimana ini? Kau
bilang mau membawa saya ke tempat aman. Mau menyelamatkan diriku.
Sekarang mengapa malah
bertanya? Dan mau meninggalkan saya?!"
Kau lama tinggal di kawasan
ini. Pasti tahu seluk beluk daerah ini. Aku tak ingin ada orang mendatangimu
lagi dengan maksud keji mau membunuhmu. Disamping itu ada satu urusan besar
yang harus aku selesaikan …"
"Kalau begitu kau
turunkan saja saya di tengah jalan ini!" kata Akira Kasai pula.
"Boleh saja! Tapi coba
kau lihat ke belakang. Ada seseorang mengejar. Jika kau kuturunkan apa kau
merasa pasti si pengejar itu tidak akan memisahkan badan dan kepalamu?!"
Mendengar hal itu Akira Kasai jadi bergeming juga.
"Saya rasa lebih baik
ikut kemana kau pergi saja," kata si anak kemudian. Ninja merah tersenyum
dan berlari terus. Makin lama makin kencang. Akira melihat pohon-pohon yang
mereka Iewati laksana hantu-hantu hitam berkelebat
Coba kau lihat. Apa orang yang
mengejar masih ada di belakang?" ninja meminta bantuan anak yang dikepit
di sisi kirinya itu.
"Masih. Malah sekarang
ada dua," jawab Akira Kasai.
"Hah?! Apa katamu?!"
Ninja merah berpaling.
Memang benar. Di belakangnya
kini ada dua orang yang mengejarnya. Tak jelas siapa satunya. Ninja kertakkan
rahang. Kedua tumit kakinya tidak menginjak tanah lagi.
Larinya benar-benar kilat
laksana hembusan angin hingga beberapa waktu kemudian dia bisa lolos dari dua
pengejar.
"lni kawasan Okaza. Tak Jauh
dari sini ada sungai kecil … !” tiba-tiba Akira berkata.
"Kau anak pandai,"
ujar ninja merah.
"Kalau kita menuju ke
sana apa ada tempat yang aman bagimu? ”
"Sepanjang sisi sungai
kawasan peladangan.
Biasanya ada beberapa buah
gudang sayur di sekiar situ!”
"Kita menuju ke sana! Kau
tunjukkan saja jalan nya!" Ninja merah mempercepat larinya. Tak lama
kemudian sungai yang dikatakan Akira Kasai kelihatan memanjang dalam ke gelapan
di lamping sebuah lembah subur. Di kiri kanan sungai merupakan daerah peladangan.
Memang benar di situ terlihat
beberapa buah bangunan gudang tempat penimbunan sayur sebelum diambil oleh para
tengkulak. Ninja membawa Akira ke sebuah gudang terdekat. Keadaan di sini sunyi
dan gelap.
"Kau berani kutinggal
sendiri di sini?” tanya ninja merah setelah menurunkan si anak dari
kempitannya.
Akira Kasai memandang
berkeliling. Hatinya berdebar juga.
"Ninja merah, apa
sebenarnya yang hendak kau lakukan hingga kau tega- teganya meninggalkan diri
saya sendirian di sini?"
"lni bukan soal tega atau
tidak," jawab ninja merah.
"Aku tidak bisa membawamu
justru aku kawatir jiwamu terancam!"
"Kau tidak mau mengatakan
mau pergi kemana?"
"Kalau aku katakan kau
pasti tidak percaya …."
"Bilang saja …."
"Aku mau menyerbu ke
markas komplotan ninja Nara!"
"Apa …. ? si anak
terkejut dan melotot.
"Saya melihat kau
merobohkan tiga ninja. Itu hebat! Tapi kalau kau mau menyerbu markas ninja itu
adalah gila!"
"Eh, gila kenapa?”
"Kau mau bunuh
diri?!" tukas si anak.
"Hanya orang gila yang
mau bunuh diri!" sahut ninja merah.
"Karena itu saya katakan
kau gila. Kau tak bakal dapat menerobos masuk markas mereka. Kalaupun bisa, tak
mungkin dapat keluar hidup-hidup!"
"Kau mau taruhan?!"
tantang ninja merah.
"Boleh saja! Kalau aku
kalah akan kuserahkan padamu katana yang tergantung di pinggangku. Kalau kau
kalah aku minta pakaian ninja merahmu!"
"Hah?!" ninja merah
berseru, tidak menyangka si anak akan meminta pakaiannya. Setelah berpikir
sejenak dia berkata.
"Baik! Taruhan
jadi!" Akira tertawa perlahan.
"Eh, kenapa kau tertawa?
Ada yang lucu?!" tanya ninja merah.
"Kalau aku menang taruhan
aku tak akan pernah dapat pakaian merahmu. Karena kau sudah tewas di markas
ninja Nara …."
"Ah, kau betul juga.
Kalau begitu menyusul saja nanti ke sana …. Nah sekarang kau kutinggal dulu!
Masuk ke dalam gudang! Jangan
sekali-kali berani keluar apapun yang terjadi. Kalau ada petani masuk sembunyi
di balik tumpukan sayuran. Mengerti….?!"
"Hai!" jawab Akira
Kasai. Ninja merah putar tubuhnya tapi si anak memegang lengannya.
"Tunggu dulu … ."
"Apalagi? Kalau mau
bicara cepatlah. Waktuku tidak banyak. Sebentar lagi pagi datang …."
"Ninja merah, saya tidak
tahu siapa kau sebenarnya.
Tapi apakah saya bisa
mempercayaimu?"
"Anak, kenapa kau
bertanya begitu?’
"Soalnya ada hal penting
yang harus kubicarakan.
Saat ini hanya ada kau
…."
"Apa yang hendak kau
bicarakan?"
"Banyak!”
"Waktuku sangat sedikit.
Nanti saja kita bicara …."
"lni menyangkut surat
warisan dan …"
"Kalau itu bisa kau
bicarakan nanti dengan Ketua Perguruan …."
"Justru saya tidak mau
bicara dengan dia …."
"Bicara dengan Wakilnya.
Eh, kenapa kau tidak mau bicara dengan Hisao Matsunaga? “
"Karena saya tidak
percaya padanya. Saya sangat curiga! Saya yakin dia yang jadi biang keladi kematian
Ayah!” Ninja merah. terkejut mendengar kata-kata Akira Kasai itu. Dia menarik
si anak ke dekat sebuah bangku panjang terbuat dari kayu dekat dinding gudang.
"Duduk. Kau bicaralah.
Jika kau curiga pada orang kau harus punya bukti atau saksi."
"Saksi saya tidak punya.
Tapi bukti ada!"
"ltu boleh juga …."
“Mengenai surat warisan
pengangkatan Paman Hisao Matsunaga. Saya yakin surat itu palsu. Waktu Ayah
membuatnya ada tinta menetes di sudut kiri bawah surat. Saya diperkenankan
memeriksa surat itu. Ternyata noda tinta itu tidak ada … ."
"Mmmmmm …." ninja
merah bergumam.
"Mengapa hal itu tidak
kau katakan terus terang pada Ketua Hisao?
"Saya takut."
"Lanjutkan
bicaramu."
"Saya yakin surat yang
asli disembunyikan oleh Paman Hisao. Atau sudah dimusnahkannya. Waktu Ayah
memasukkan surat ke dalam amplop, saya sempat membaca bahwa yang diangkat Ayah
sebagai pewaris jabatan Ketua adalah Paman Shigero Momochi bukan Paman Hisao
Matsunaga …."
"Kalau penglihatanmu
betul rasanya tidak masuk akal Ayahmu melakukan hal itu. Orang pemabuk dan
punya sifat kasar seperki Shigero mana mungkin dijadikan Ketua?!"
"Saya juga tidak
mengerti. Tapi saya yakin Ayah punya alasan berbuat begitu. Semua orang memang
tahu Paman Shigero punya sifat buruk. Banyak yang tidak suka. Terus terang saja
saya juga tidak suka padanya. Tapi semua orang tahu hatinya baik …."
"Kalau kau tidak bisa
mendapatkan surat warisan yang asli, sulit untuk membuat urusan…."
"Siapa yang jadi Ketua
sekarang bagi saya tidak soal," kata Akira Kasai.
“Tapi saja juga yakin bahwa
Paman Hisao adalah pelaku pembunuh Ayah saya …." Ninja merah tersentak
oleh rasa terkejut.
"Bagaimana kau bisa
menuduh begitu? Bukankah Ayahmu mati dibunuh oleh ninja?"
"Kelihatannya begitu.
Tapi mungkin juga oleh ninja bohongan. Karena waktu Ayah meninggal, saya lihat
kedudukan lima jari tangannya seperki habis melancarkan ilmu pukulan Lima Jari
Dewa. Itu ilmu pukulan paling hebat di Jepang saat ini. Siapa yang terkena
pasti akan mati, kalaupun selamat akan cacat atau sakit-sakitan seumur
hidupnya. Agaknya Ayah masih sempat melancarkan serangan itu pada pembunuhnya
…."
"Lalu ….?
"Sejak malam terjadinya
pembunuhan itu saya lihat Paman Hisao selalu batuk-batuk dan sering mengusap
dada kirinya … ."
"Anak, hal itu tidak bisa
kau jadikan bukti bahwa Ayahmu telah menghantamnya dengan pukulan Lima Jari
Dewa dan bahwa Hisao Matsunaga yang membunuh Ayahmu …"
"Saya punya bukti lain.
Waktu kau merobek pakaian Paman Hisao dengan ujung pedang, saya sempat melihat
dada kirinya. Saya menyaksikan ada lima titik besar berwarna merah yang
membengkak di dada kirinya. Itu adalah bekas pukulan Lima Jari Dewa!"
Sepasang mata ninja merah
tampak mendelik.
"Berarti Paman Hisaolah
yang dipukul Ayah dengan ilmu Lima Jari Dewa. Berarti dialah yang menyamar jadi
ninja lalu menyerbu perguruan dan membunuh Ayah …."
"Aku ingat waktu
berkelahi dengan Ketua Perguru-an itu. Ada kejadian yang mengherankan. Ketika
dia menggembor tenaga untuk menahan tekanan pedangku, dari mulutnya keluar
darah. Pertanda dia memang terluka di dalam. Akibat pukulan Ayahmu."
"Satu lagi,"
menyambung si anak.
"Waktu rombongan kami
diserang komplotan ninja, semua anak murid perguruan mati dibunuh. Mengapa
Paman Hisao bisa menyelamatkan diri padahal jelas saya lihat saat itu dia sudah
dikurung oleh lima orang ninja. Tapi dia tidak dibunuh karena ninja-ninja itu
memang orang bayarannya!"
"Akira, aku kagum dengan
kecerdikanmu berpikir…" kata ninja merah pula.
"Kagum saja tidak ada
artinya. Apakah kau juga bersedia menolong mengungkapkan kekejian ini pada para
pengurus Perguruan Emerarudo?
"Aku berjanji!"
jawab ninja merah.
"Terima kasih …."
kata Akira Kasai. Anak ini membungkuk dalam-dalam lalu menyelinap masuk ke
dalam gudang sayur. Tak lama setelah ninja merah lenyap dalam kegelapan malam,
dari atas atap gudang sayur dua sosok tubuh melayang turun ke tanah.
"Kita berbagi
tugas," kata sosok di samping kanan.
"Aku tetap di sini
menjaga anak itu. Kau mengikuti ninja merah." Kawannya mengangguk.
"Hati-hatilah. Komplotan
ninja atau orang- orang dari Perguruan bisa muncul setiap saat di tempat ini.
Sayang tadi kita tidak sempat
mendengar apa yang dibicarakan anak itu dengan ninja merah. …"
* * *
EMPATBELAS
DINIHARI menjelang pagi. Di
dua tempat.
Tempat pertama adalah Perguruan
Emerarudo. Upacara pembacaan doa baru saja selesai dan akan dilakukan lagi pada
saat menjelang perabuan jenazah. Ketua perguruan berada dalam kamarnya. Selesai
berganti pakaian dia keluar menuju ke ruangan di mana telah menunggu beberapa
pengurus termasuk Shigero Momochi.
"Ketua, bagaimana
keadaanmu?" tanya Shigero.
"Aku sudah minum obat.
Keadaanku cukup sehat.
Apakah dua orang yang kusuruh
menguntit kemana larinya ninja merah sudah kembali?" tanya Hisao
Matsunaga.
"Belum Ketua …"
"Kita harus menyelamatkan
dan mendapatkan anak itu kembali …" kata sang Ketua sambil pegangi dada
kirinya. Di luar tiba-tiba ada suara derap kaki kuda.
Tak lama kemudian dua orang
anak murid perguruan yang memiliki keahlian menunggang kuda secara luar biasa
masuk. Setelah membungkuk salah seorang dari mereka memberi laporan.
"Ninja merah lenyap, tak
berhasil kami ketahui kemana perginya. Tapi putera mendiang Ketua Noboru Kasai
kami ketahui bersembunyi di sebuah gudang sayur dekat sungai Okaza. Di dekat
gudang kami lihat nona Akiko Bessho berjaga-jaga."
"Gadis murid Hiroto
Yamazaki itu memang sudah kucurigai. Kecurigaanku ternyata betul. Dia
berkomplot dengan pendeta dari Puri Sanzen, berkomplot juga dengan ninja merah
dalam menculik Akira Kasai! Aku akan menangani tuntas persoalan ini!"
Hisao Matsunaga masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dipinggangnya kelihatan
tersisip sebilah katana panjang yang gagangnya ada batu-batu permatanya. Ini
adalah pedang kebesaran milik Perguruan Emerarudo yang telah berumur lebih dari
tiga ratus tahun.
"Ketua," tiba-tiba
Shigero Momochi berkata sambil melangkah.
"Kau harus tetap berada
di sini. Di antara para tamu. Upacara perabuan segera akan dilakukan siang
nanti. Biar aku dan anak-anak yang turun tangan .. ."
"Tidak bisa Shigerol Aku
mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan anak itu dan menghukum Akiko Bessho.
Selesai upacara perabuan jenazah aku bersumpah untuk mencari sendiri ninja
merah sampai dapat .. ."
"Tapi kau kelihatannya
masih kurang sehat Ketua!"
"Siapa bilang aku kurang
sehat” jawab Hisao Matsunaga lalu srettt!
Pedang di pinggangnya dicabut.
Sinar menyilaukan bertaburan. Dess… dess … dessssl Tiga buah patung yang
terbuat dari batu dan terletak di atas sebuah meja panjang putus disambar
pedang. Tiga kepala patung jatuh ke lantai tapi bagian bawahnya tetap berada di
atas meja. llmu kendo yang dlmiliki sang Ketua memang hebat. Namun kehebatannya
ini menjadi tanda tanya ketika dia bisa dirobohkan oleh ninja merah sebelumnya.
Karena tak bisa dicegah
Shigero Momochi akhirnya hanya bisa diam saja ketika Hisao Matsunaga dengan
cepat meninggalkan perguruan lewat jalan belakang.
Mereka memacu kuda
masing-masing menuju kawasan Okaza. Hisao Matsunaga di depan sekali.
* * *
Tempat kedua seperti biasanya
setiap pagi doyo besar di markas ninja Nara selalu ramai dipergunakan untuk
latihan berbagai macam senjata. Mereka hanya mengenakan celana panjang hitam
tanpa baju dan penutup wajah. Tubuh mereka memiliki otot-otot kokoh.
Gerakan memainkan senjata
ataupun ninjutsu sangat gesit dan ringan. Setiap gerakan mengeluarkan desiran
angin.
Seorang lelaki berusia
setengah abad dengan inezumi bergambar naga kepala tiga di dada kanannya
berjalan seputar dojo. Sesekali dia mendekati orangorang yang berlatih untuk
membetulkan kuda-kuda atau memberi tahu cara yang tepat melemparkan shuriken
ataupun memainkan kusarigama dan kendo. Orang ini adalah Shimada Kagami. Dialah
pimpinan tertinggi ninja kelompok Nara, satu dari tiga kelompok ninja yang
paling ditakuti pada masa itu.
Di tengah ruangan tiba-tiba
Shimada Kagami hentikan langkahnya. Dia memandang berkeliling lalu berseru.
"Hentikan latihanl Apakah
kalian tidak merasakan ada keanehan dalam ruangan ini?” Semua ninja yang ada
dalam dojo ltu hentikan latihan mereka lalu memandang pada pemimpin mereka.
Salah seorang dari mereka mendongak lalu berkata.
"Memang ada keanehan.
Ruangan ini terasa semakin dingin …" Ninja yang lainnya seolah baru
menyadari ikut mengiyakan. Lalu mendadak saja tubuh mereka mulai bergetar.
Rahang menggembung dan geraham bergemeletukan. Hawa dlngin menyerang dengan
hebat. Di tengah ruangan Shimada Kagami coba bertahan.Tapi tidak sanggup.
"Pada musim dingin
sekalipun tak pernah kejadian sedingin ini. Apa lagi musim dingin sudah lewat!
Lekas kenakan pakaian kalian!
Kembali ke tempat ini dalam hitungan ke tiga puluh!" Serta merta dojo itu
menjadi kosong. Shimada Kagami juga ikut lenyap. Tak lama kemudian dia muncul
lagi dalam keadaan sudah berpakaian serba hitam mulai dari kaki sampai kepala.
Ninja-ninja lainnya menyusul
muncul pula.
Semua lengkap dengan katana di
pinggang atau di belakang punggung. Mereka tegak menyebar di ruangan latihan.
Jari-jari tangan dikepal membentuk tinju. Lengan diluruskan ke depan sejajar
pinggang.
"Kerahkan hawa sakti dari
perut! Panaskan aliran darah!" teriak Shimada Kagami. Semua ninja
melakukan apa yang dikatakan. Tapi hawa dingin yang menyerang bukannya
berkurang malah semakin bertambah hingga banyak di antara mereka tertegak diam
seperti membeku. Shimada Kagami membentak keras.
Tubuhnya melesat keatas
langit- langit ruangan. Ada bagian atap yang bergeser. Sesaat kemudian ketika
dia melayang turun sebilah senjata yang memancarkan sinar perak menyilaukan
tergenggam di tangannya.
Hawa panas yang keluar dari
senjata ini ternyata mampu mengurangi dinginnya udara di dalam dojo.
"Senjata luar biasal
Benar-benar luar biasa!" kata Shimada Kagami. Senjata itu diputarnya di
atas kepala.
Sinar putih berkiblat ke
seluruh penjuru. Suara menggema seperti ratusan tawon mengamuk memenuhi ruangan
dan bersamaan dengan itu hawa panas terasa semakin santar. Pada saat inilah
atap ruangan di ujung kiri tiba-tiba jebol. Satu sosok merah melayang ke bawah.
"Ninja merah!"
Seluruh anggota kelompok ninja
Nara termasuk pimpinannya menjadi gegerl Semua tidak bergerak.
Hanya mata masing-masing
diarahkan tak berkesip pada ninja merah yang mereka lihat berdiri secara aneh.
Mahluk ini tegak dengan kaki
terkembang. Dua tangan diangkat ke atas, telapak mengembang. Sepasang lengannya
tidak berhenti membuat gerakan berputar.
Dari ke dua telapak tangan
ninja merah inilah membersit keluar angin tajam sedingin es!
Semua ninja anak buah Shimada
Kagami seolaholah telah menjadi beku tak sanggup lagi menggerakkan tangan atau
kaki ataupun kepala mereka. Mereka tegak seperti patung es!
Dalam marah mereka hendak
membentak namun yang keluar hanya suara erang orang kedinginan! Hanya sang
pimpinan yang masih sanggup bertahan. Namun lama-lama diapun tak sanggup
memutar senjata yang dipegangnya. Perlahan-lahan tangan kanannya jatuh terkulai
kesisi.
Ninja merah melangkah maju dan
berhenti kirakira lima tindak dari hadapan Shimada Kagami.
"Aku tidak mau mendengar
bantahan atau kedustaan! Ucapan ninja adalah ucapan kesatria!
Beberapa anak buahmu menyerang
seorang pendekar asing dekat sebuah jurang batu. Mereka merampas senjata
berbentuk kapak milik pendekar itu yang kini kau pegang.
Serahkan senjata itu, aku akan
menyerahkannya pada sang pendekar. Lalu aku akan pergi dari sini tanpa membuat
urusan jadi panjang! Kalau tidak kalian semua akan aku jadikan patung
es!!"
"Ninja keparat! Kau pasti
mahluk jadi-jadian!
Mempergunakan ilmu sihir untuk
membuat kami tidak berdaya! Pengecut"
"Kau mau serahkan kapak
sakti itu atau tidak!"
"Kau boleh mengambil
senjata ini sesudah melangkahi mayatku!"
"Ninja sombong! Mari kita
berkelahi dengan pedang. Kalau aku kalah kau boleh bunuh diriku. Kalau kau
kalah kau harus menyerahkan kapak bermata dua itu!" Sambil berkata begitu
ninja merah cabut katananya.
Ujung senjata ini di
usapkannya ke wajah dada dan perut Shimada Kagami. Aneh, ada hawa panas yang
mengalir dari pedang terus masuk ke dalam tubuhnya hingga Shimada kini merasa
hangat dan terbebas dari hawa sangat dingin yang menguasainya.
"Kau menerima perjanjian
atau tidak?!" tanya ninja merah begitu dilihatnya Shimada Kagami mulai
bisa menggerakkan badan. Pimpinan ninja ini keluarkan suara mendengus. Kapak di
tangan kanannya di lemparkan ke atas. Senjata ini menancap di salah satu balok
penyanggah atap ruangan latihan. Lalu didahului dengan bentakan garang dia
cabut katananya langsung menyerang ninja merah.
Dalam waktu singkat sepuluh
jurus berlalu.
Shimada Kagami yang merasa
berada di atas angin menggempur terus-terusan. Pedangnya berubah menjadi
bayang-bayang. Mendesak ninja merah habishabisan hingga orang ini kelihatan
pontang panting menghindar atau menangkis cari selamat.
Lima jurus lagi berlalu.
Shimada Kagami jadi penasaran. Semua anak buahnya juga jadi heran melihat
pimpinan mereka tak sanggup mengalahkan lawan padahal perkelahian sudah
berjalan lebih dari lima belas jurus. Padahal lagi sang lawan hanya memegang
katananya dengan satu tangan, cara memegang pedang yang tak pernah mereka lihat
selama ini!
Shimada berleriak keras.
Pedangnya menetak deras dari atas ke bawah. Dari perutnya dia alirkan tenaga
dalam.
Tranggg!
Dua katana beradu keras.
Katana di tangan ninja merah terlepas dan mencelat ke atas.
"Saatmu menerima
kematian!" teriak Shimada Kagami. Ninja merah jatuhkan diri ke lantai dojo
begitu pedang membabat.
Bretttl
Pinggang pakaiannya robek.
Pedang di tangan Shimada menancap di lantai dojo. Selagi dia berusaha
mencabutnya ninja merah gulingkan diri ke samping.
Kaki kanannya berkelebat.
Bukkk!
Shimada Kagami mengeluh tinggi
ketika tulang kering kaki kanannya dibabat tendangan lawan.
Pedangnya terlepas. Tubuhnya
roboh ke lantai. Ketika dia mencoba bangun dengan cepat, gerakannya kalah cepat
dengan gerakan ninja merah. Saat itu lawan sudah tegak di atasnya. Kaki kanan
ninja merah menginjak anggota rahasia dibawah perutnya.
"Kalau kau tidak mengaku
kalah, kuhancurkan kemaluanmu!" mengancam ninja merah. Kaki kanannya
ditekankan sedikit hingga Shimada Kagami mengerenyit kesakitan. Tangan kanannya
ditepukkan berkali-kali ke lantai dojo.
"Aku mengaku kalah! Kau
boleh ambil kapak itu Setelah mengambil kapak kau boleh pergi dengan
aman!" kata Shimada Kagami.
Ninja merah lepaskan
pijakannya di selangkangan orang. Sekali lompat saja dia melesat ke atas untuk
menyambar kapak mustika yang menancap di tiang penyanggah atap. Seorang anak
buah Shimada cepat mendorong pintu geser, memberi jalan keluar pada ninja
merah.
Ketika dia melangkah pergi
tiba-tiba ada suara berdesir di belakangnya. Bersamaan dengan itu terdengar
suara orang berteriak memberi ingat.
"Awas serangan pedang
terbang!"
Ninja merah membalik sambil
putar kapak di tangan kanan.
Traaaanggg!
Suara berdentrangan terdengar
lima kali berturutturut.
Lima katana yang dilemparkan
oleh lima anak buah Shimada yang telah terlepas dari pengaruh hawa dingin
mencelat berpatahan di udara.
Shimada Kagami berteriak marah
pada lima anak buahnya yang telah melakukan kecurangan itu. Dia melompat sambil
membabatkan katananya. Namun hukuman dari ninja merah datang lebih dulu. Tiga
kali kapak bermata dua menderu di udara. Tiga ninja terkapar mandi darah di
lantai dojo, dua temannya menggelepar dengan leher hampir putus!
Keheningan dan ketegangan
berdarah menggantung di tempat itu. Lalu terdengar suara serak Shimada Kagami.
"Kau telah menjatuhkan
hukuman. Aku merelakan kematian mereka …" Lalu pimpinan ninja kelompok
Nara itu menjura dalam-dalam sampai tiga kali. Ninja merah balas membungkuk
tiga kali lalu tinggalkan tempat itu.
Sampai di luar bangunan dia
memandang berkeliling mencari-cari.
Apa yang dicarinya itu segera
menunjukkan diri.
Dari atas atap bangunan satu
sosok merah melayang turun.
"Mahluk Bendera
Darah!" ujar ninja merah.
"Jadi kau tadi yang
berteriak memberi peringatan.
Aku berterima kasih kau telah
menyelamatkanku dari serangan maut lima katana tadi. Aku heran bagaimana kau
tahu aku berada di markas ninja ini?"
"Aku dan Akiko
menguntitmu. Aku sulit mempercayai ilmu apa yang kau keluarkan hingga semua
ninja itu termasuk pemimpinnya hampir kaku kedinginan?" Ninja merah
tersenyum.
"Kau menyebut Akiko.
Dimana gadis itu sekarang? “
"Di gudang di tepi sungai
Okaza … Kita harus ke sana sekarang. Aku seperti punya firasat buruk …"
Ninja merah melihat dua ekor kuda dekat sebuah pohon. Dia memberi isyarat pada
mahluk bendera lalu berpaling ke arah bangunan dan berteriak.
"Pimpinan ninja Nara!
Kami pinjam dulu dua ekor kudamu!" Di dalam bangunan Shimada Kagami
menjawab perlahan.
"Untung kau meminjam
kudaku, kalau kau meminjam nyawaku berarti aku akan menghadap Dewa
Kematian!"
* * *
LIMABELAS
KETIKA ninja merah dan manusia
Bendera Darah sampai di gudang sayur di tepi sungai Okaza mereka terkejut
mendapatkan Akiko Bessho tengah bertempur mati-matian melawan Hisao Matsunaga
dibantu oleh enam orang murid Perguruan Emerarudo.
Gadis ini telah terluka di
beberapa bagian tubuhnya.
Tapi seperti seekor harimau
betina dia menahan serangan lawan bahkan sesekali balas menyerang dengan sebat.
Gadis ini berkelahi dengan membelakangi satu-satunya pintu gudang sayur. Dia
sengaja mengambil kedudukan di pintu yang terbuka itu untuk mencegah lawan
masuk ke dalam di mana bersembunyi Akira Kasai.
"Nona Akiko! Aku tidak
segan-segan membunuhmu kalau kau tidak segera menyerah!" teriak Hisao
Matsunaga.
"Ketua Perguruan
Emerarudo! Antara kita tidak ada silang sengketa! Kalau kau tidak menyembunyikan
sesuatu mengapa kau begitu nekad hendak membunuh diriku! Kau juga bertindak
pengecut! Mengeroyok seorang perempuan sampai tujuh orang!"
Hisao Matsunaga menyeringai
buruk.
"Jelas-jelas kau ikut
terlibat dalam penculikan putera mendiang Ketua kami! Masih bisa bilang tidak
ada silang sengketa!"
"Kau salah sangka.."
"Diam!" hardik Hisao
Matsunaga. Dia putar pedangnya dengan sebat lalu kirimkan dua bacokan ganas
berturut-turut. Dua kali terdengar suara berdentrangan sewaktu Akiko berusaha
menangkis serangan lawan.
Kali ke dua pedang di
tangannya terpental lepas. Gadis ini terpekik lalu melompat mundur.
"Jangan harap aku akan
mengampuni nyawamu!"
kertak Hisao Matsunaga lalu
menyergap dengan satu tusukan.
Akiko Bessho masih sempat
berkelit walau lagilagi ujung pedang sempat melukai bahu kirinya. Tangan gadis
ini tiba-tiba terpentang mengeluarkan cahaya perak menyilaukan. Hisao Matsunaga
dan enam anak murid perguruan terkejut. Serentak mereka menyerbu bersamaan.
Akiko hantamkan tangan kanannya.
Wusssl
Sinar putih berkiblat. Hawa
sangat panas menerpa para pengeroyok. Mereka cepat melompat menjauh. Namun dua
orang murid perguruan terlambat bergerak. Tubuhnya terpental sampal lima kaki
lalu menggeletak mati di tanah dalam keadaan hangus!
"llmu iblis apa yang kau
miliki?!" teriak Hisao Matsunaga dengan wajah berubah sementara empat
murid perguruan yang ada di situ menjadi pucat tak berani mendekat.
Akiko Bessho tertawa tinggi.
"Kalau kau ingin tahu
mendekatlah kemari!" katanya sambil siapkan "pukulan sinar
matahari!" yang dipelajarinya dari Pendekar 212 Wiro Sableng. Sekali ini
tidak tanggung-tanggung. Dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya.
Ditantang begitu rupa Ketua
Perguruan Emerarudo menjadi kalap. Dengan pedang terhunus dan berteriak keras
dia menusukkan senjatanya kearah dada Akiko Bessho. Si gadis siap menyambut
dengan pukulan sinar matahari. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi
dari dua arah.
Dari selatan gudang menyusuri
sungai adalah Shigero Momochi bersama dua orang pengurus dan tiga orang murid
perguruan. Dari sebelah timur gudang muncul ninja merah dan mahluk Bendera
Darah.
"Tahan serangan!"
"Hentikan
perkelahian!"
Tapi Hisao Matsunaga tidak mau
perduli. Pedang nya terus ditusukkan. Akiko menghantam.
"Akikol Jangan!"
satu teriakan terdengar begitu keras. Lalu satu sambaran cahaya menerpa ke arah
pedang Hisao Matsunaga.
Trang!
Katana milik Perguruan
Emerarudo yang telah berumur ratusan tahun itu mental ke udara. Jatuh tepat
ketika Shigero Momochi sampai di tempt itu. Dengan satu gerakan cekatan dia
berhasil menangkapnya. Wakil Ketua perguruan ini cepat melompat turun. Sesaat
dia memandang ke jurusan ninja merah yang tadi menangkis pedang Hisao Matsunaga
dengan senjata berbentuk kapak mata dua. Lalu dia melirik pada manusia Bendera
Darah. Setelah itu dia berpaling pada Akiko Bessho.
"Nona Akiko!" bentak
Shigero Momochi.
"Kau jelas bersalah
karena telah menculik putera mendiang Ketua kami..!” Pintu gudang sayur
tiba-tiba terbuka. Satu suara terdengar menyahuti ucapan Shigero Momochi tadi.
"Paman Shigero, tak ada
yang menculik diri saya.
Mereka semua malah berusaha
menyelamatkan saya dari tangan berdarah Paman Hisao Matsunaga!"
Dari dalam gudang keluarlah
sosok Akira Kasai.
Paras Hisao Matsunaga mendadak
sontak berubah.
Namun dia cepat menguasai
diri.
"Akira! Syukur Dewa kau
dalam keadaan selamat!" Akira Kasai tidak perdulikan ucapan sang Ketua.
Dia melangkah ke arah Shigero Momochi.
Sampai di hadapan orang ini si
anak berkata.
"Paman Shigero, saya mau
memberi tahu bahwa Paman Hisao telah memalsukan surat warisan.
Seharusnya kaulah yang
diangkat Ayah sebagai pewaris Ketua Perguruan..!” Beberapa pasang mata tampak
melotot.
"Akira! Kau ini bicara
apa? Berani kau memfitnah dan memberi malu Ketua kita?! ujar Shigero.
"Dia tidak memfitnah dan
tidak memberi malu siapapun! Akira, katakan semua apa yang kau ketahui!"
kata Akiko Bessho sambil
bersandar ke dinding gudang sayur.
Akira Kasai memandang penuh
kebencian pada Hisao Matsunaga lalu anak ini berkata dengan suara lantang.
"Paman Hisao! Kau juga
yang membunuh Ayah!
Menyamar sebagai ninja Kau
juga yang membunuh sahabatku Keno!"
"Anak, kau jangan
mengada-ada. Masakan aku.."
Hisao Matsunaga melangkah
mendekati anak itu. Tibatiba cepat sekali tangannya menjambak rambut Akira. Si
anak dibembengnya hingga menempel ke dadanya. Lalu sebuah pisau beracun yang
tahu-tahu sudah ada di tangan kirinya diarahkan ke leher Akira.
"Siapa berani mendekat
kugorok leher anak ini!"
kertak Hisao Matsunaga dengan
wajah sebengis setan.
"Paman Shigero, saya
tidak takut matil Ada bukti tanda pukulan Lima Jari Dewa yang dilepaskan ayah
di dada kirinya!" berteriak Akira Kasai.
Shigero Momochi berteriak
keras. "Hisao! Apa benar yang dikatakan anak ini?”
"Benar atau tidak aku tak
punya waktu buat menerangkan!" jawab Hisao Matsunaga. Lalu dia mundur ke
arah seekor kuda.
"Awas jika ada yang
berani menghalangiku!" Dia mundur lagi dan hampir sampai ke kuda yang akan
dipergunakannya melarikan diri sambil menyandera Akira Kasai.
Tapi tiba-tiba sekali ninja
merah melompat ke arahnya. Tangannya bergerak dua kali. Hisao Matsunaga
mengeluarkan suara seperti tercekik. Mulutnya tak bisa bersuara lagil Bersamaan
dengan itu sekujur tubuhnya menjadi kaku akibat dua totokkan yang dilakukan
ninja merah tadi. Semua orang yang ada di situ kecuali Akiko Bessho jadi
terkejut. Mereka memang pernah mendengar tentang ilmu totokan yang bisa
membungkam suara dan melumpuhkan orang tapi seumur hidup baru sekali itu
melihatnya.
Akira Kasai menggeliat. Dengan
susah payah dia melepaskan diri dari rangkulan Hisao Matsunaga begitu turun di
tanah anak ini hunus pedangnya. Semua orang menyangka anak ini akan menusukkan
senjata itu ke tubuh Hisao Matsunaga ternyata dia hanya merobek kimononya di
bagian dada kiri.
Bretttttt
Kimono robek besar. Dada kiri
Hisao Matsunaga tersingkap lebar Kelihatan lima bintilan merah di dadanya.
Shigero Momochi medatangi sang Ketua dan memperhatikan dekat-dekat dada itu.
"ini memang bekas pukulan
Lima Jari Dewa…." katanya.
"Hisao! Kau benar-benar
keji!" Shigero Momochi tampak sangat kecewa. Orang ini putar tubuhnya
membelakangi Hisao Matsunaga seperli hendak melangkah pergi. Tapi tiba-tiba dia
membalik. Satu cahaya putih berkiblat.
Craassss!
Katana yang diayunkan Shigero
Momochi membabat perut dan dada Hisao Matsunaga. Darah basahi kimononya yang
robek besar. Tubuhnya huyung lalu roboh terlentang di tanah. Tak bergerak lagi,
mati dengan mata melotot.
Dari balik robekan pakaian
tersembul sebuah benda berwarna kuning Akira Kasai tercekat. Anak ini melompat
lalu mencabut benda kuning itu. Ternyata sebuah amplop.
Dengan tangan gemetar Akira
membuka amplop lalu mengeluarkan sehelai kertas yang ada di dalamnya.
Anak ini tidak membaca lagi
apa yang tertulis di kertas itu tapi matanya langsung memperhatikan bagian
sudut bawah kiri. Di situ dilihatnya noda tinta yang sangat dikenalinya. Dengan
mata berlinangan Akira Kasai melangkah mendekati Shisero Momochi. Surat yang
dipegangnya diserahkan pada orang ini. Shigero Momochi membaca surat itu.
Tiba-tiba tangannya tampak
ber-getar. Mulutnya berhenti membaca. Sepasang matanya memandang pada Akira
Kasai. Seperti tidak Percaya apa yang barusan dilihat dan dibacanya. Sebaliknya
Akira Kasai mengusut air matanya dan memandang padanya dengan tersenyum
" Paman Shigero, itu
surat warisan asli yang dibuat Ayah, Kaulah Pewaris jabatan Ketua Perguruan
Emerarudo yang syah.” Ketika dia hendak meluruskan tubuhnya. Shigero Momochi
Cepat merangkulnya dan berbisik.
"Aku tidak percaya.
Bagaimana aku manusia kasar dan tolol ini diberi kepercayaan begitu besar oleh
ayahmu…"
"Ayah tahu apa yang
dilakukannya. Asal saja kau jangan suka mabok lagi Paman Shigero …"
Dua mata Shigero Momochi
tampak berkata-kaca.
"Soal minuman itu. Hisao
Matsunaga yang mengajarkan padaku. Dia mengirimkan berbagai minuman keras ke
kamarku. Setiap hari. Sejak lima tahun yang lalu…..”
"Ah, berarti dia memang
sudah mengatur jauhjauh hari. Sengaja menjadikan kau orang jelek dimata semua
orang di perguruan. Kami semua tahu kau memang jelek rupa dan jelek sifat.
Namun hatimu Seputih Salju di puncak Fuji dan jiwamu bersih sebersih bunga
sakura yang mulai bersemi….”
Ucapan Akira Kasai itu sangat
menyentuh perasaan Shigero Momochi hingga dia memeluk anak itu erat-erat
sementara air mata jatuh membasahi pipinya.
"Paman Shigero,
sembunyikan air matamu. Jangan Sampai ada orang lain yang melihat. Masakan
Ketua Perguruan besar menangis seperti anak kecil.."
Shigero Momochi mau tak mau
jadi tersenyum.
Sambil mendukung Akira dia
mendatangi ninja merah, mahluk Bendera Darah dan Akiko Bessho.
"Kalau tidak dengan
bantuan kalian bertiga, entah apa jadinya dengan Akira dan perguruan kami. Aku
atas nama Pribadi dan perguruan Emerarudo mengucapkan terima kasih besar…..”
Lalu Shigero Momochi membungkuk
tiga kali.
Setelah itu dia berpaling pada
Akiko Bessho.
"Nona Akiko, kami harap
kau suka ikut ke perguruan untuk mengobati luka-lukamu. Kau kelihatan pucat.
Tubuhnya tentu lemas karena banyak mengeluarkan darah .. !”
Lalu Shigero berkata pada
Bendera Darah dan ninja merah.
"Aku juga mengundang
kalian berdua kembali ke perguruan…"
Sepantasnya aku menerima
undangan kehormatan dan pengobatan itu. Hanya dua temanku ini mungkin akan
menyusul kemudian. Ada urusan penting yang harus mereka selesaikan.."
Habis berkata begitu Akiko
Bessho naik ke atas punggung seekor kuda dibantu oleh ninja merah Shigero juga
naik ke atas kudanya sambil terus menggendong Akira.
"Nona Akiko.. Urusan pada
maksudmu…?" Ninja merah tiba-tiba bertanya.
"Aku tidak merasa ada
urusan apa-apa dengan mahluk aneh ini!"
Akiko Bessho tertawa lebar.
Dia dekatkan kudanya pada ninja merah lalu membungkuk berbisik.
"Dia mencintaimu. Jangan
kecewakan hatinya …"
"Kau gila… Masakan aku..
Lelaki atau perempuan nya pun aku tidak tahu …"
Ninja merah tak bisa
meneruskan ucapannya karena saat itu Akiko Bessho sudah menggebrak kudanya dan
tinggalkan tempat itu.
Tiba-tiba kelihatkan kuda yang
membawa Shigero Momochi dan Akira berbalik mendatangi.
"Ada apakah?" tanya
ninja merah. Dari atas punggung kuda Akira Kasai meluncur turun. Dia
menanggalkan katana yang tergantung di pinggangnya lalu menyerahkan pada ninja
merah seraya berkata.
"Aku kalah taruhan. Kau
boleh ambil pedang ini..!”
"Heh,. aku tidak
sungguhan….." jawab ninja merah agak sungkan menerima senjata itu.
"Sungguhan atau tidak
terimalah sebagai tanda terima kasih saya …"
Ninja merah mau tidak mau
mengambil pedang itu. Akira Kasai membungkuk lalu dibantu Shigero anak ini naik
kembali ke atas kuda.
Di saat hari mulai terang-terang
tanah kini di tempat itu hanya tinggal ninja merah dan manusia Bendera Darah
berdua saja yang tegak saling berhadap-hadapan.
"Gadis itu mencintaimu
…" tiba-tiba meluncur ucapan itu dari mulut Bendera Darah.
"A … apa?!" Paras di
balik penutup wajah ninja merah jadi bersemu merah.
"Justru tadi dia bilang
kau mencintaiku!" Kini wajah yang tersembunyi dibalik bendera- bendera
merah itu yang jadi jengah kemerahan.
"Kau ini … siapa kau
sebenarnya?" tanya ninja merah.
"Wajah dan sekujur
tubuhmu tersembunyi di balik ratusan bendera."
"Kau sendiri siapa?
bukankah kau Pendekar 212 Wiro Sableng? Gaijin itu …?" balik berucap
mahluk Bendera Darah.
"Aku tak kenal orang yang
kau sebutkan itu!"
"Jangan berdusta! Coba
buka penutup kepalamu!
Perlihatkan wajahnya! Jika kau
memang seorang ninja kesatria!"
"Aku tidak keberatan
memperlihatkan diri," jawab ninja merah. Lalu dengan tangan kanannya
dibukanya kain merah yang menutupi kepala dan wajahnya.
Melihat wajah yang kini
terpampang di depannya, mahluk Bendera Darah keluarkan seruan tertahan.
"Bukan dia! Jadi kau
memang bukan pendekar asing bernama Wiro itu..? "
“Kau kecewa….?” tanya ninja
merah.
Mahluk bendera Darah tidak
menjawab. Seolah pada dirinya sendiri terdengar dia berkata perlahan.
"Lalu … lalu kemana
perginya pemuda itu …?" Orang di depan Bendera Darah tertawa lebar.
"Jika kau mau
memperlihatkan dirimu sendiri aku bersedia memberi tahu dimana pemuda itu
berada!”
"Aku tidak percaya
…"
‘Kalau begitu kau tidak ingin
bertemu dengannya?" Bendera Darah tampak meragu. Dia menyerah.
"Baiklah, kau boleh
melihat diriku …" Lalu dia membuat gerakan cepat sekali seperti orang
membuka penutup kepala dan pakaian. Ternyata ratusan bendera merah yang
menancap ditubuhnya itu tersisip pada sebuah jubah tebal. Ketika jubah dibuka
kelihatanlah wajah dan tubuhnya.
Ninja merah sampai ternganga
terkesiap begitu melihat siapa yang tegak di depannya. Seorang gadis cantik
berambut coklat, mengenakan sehelai pakaian kuning tipis sehingga lekuk
tubuhnya yang bagus membayang.
"Namamu Yori…
Benar…?" ninja merah bertanya.
Gadis cantik di hadapan ninja
merah mengangguk.
"Sekarang tepati janjimu.
Katakan dimana kau bisa menemui gaijin bernama Wiro itu …"
"Dia ada di
dekatmu," jawab ninja merah. Ketika si gadis memandang berkeliling
mencari-cari ninja merah cepat-cepat lepaskan topeng tipis yang menutupi kepala
dan mukanya.
"Tak ada siapa-siapa di
sini. Kau berdusta!" kata si gadis seraya balik memandang ke depan
kembali.
Lalu berubahlah parasnya.
Merah terkejut tapi disusul dengan senyum gembira.
"Kau …!” katanya dengan
lidah seperti kelu.
"Jadi selama ini kau
menyamar menjadi ninja merah..!” Ninja merah garuk-garuk kepalanya.
"Aku hanya menuruti
nasihatmu tempo hari. Katamu setelah aku membunuh ninja maka kemanapun aku akan
dikejar sampai mereka bisa membunuhku! Apakah sekarang setelah tahu siapa
diriku kau akan memberitahu ninja? Atau mungkin kau sendiri yang hendak
membunuhku karena masih dendam atas kematian nenek Arashi?" Si gadis
geleng-gelengkan kepalanya sambil tertawa.
"Wiro," katanya,
"apakah kau akan
cepat-cepat pergi ke Perguruan Emerarudo memenuhi undangan Shigero Momochi
tadi”
"Bersamaku saat ini ada
seorang gadis cantik jelita. Adalah tolol kalau aku malah pergi melihat orang
mati….."
Yori alias gadis Bendera.
Darah tertawa cekikikan.
Wiro mengembangkan ke dua
tangannya. Tanpa ragu-ragu si gadis menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan pemuda
itu. Ke duanya saling peluk dan masih terus bercumbu berangkulan walaupun hari
mulai terang tanda malam telah berganti siang.
* * *
TAMAT