Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
112 Rahasia Mawar Beracun
1
DUA SOSOK putih berkelebat.
Begitu cepatnya gerakan mereka hingga kelihatan seperti bayang-bayang setan,
menembus kelebatan rimba belantara. Di satu tempat setelah keluar dari kawasan
hutan sosok di sebelah depan berhenti. Astaga! Ternyata dia adalah manusia
biasa juga adanya tapi luar biasanya dia adalah seorang dara berwajah cantik.
Pakaiannya putih tipis keabu-abuan. Rambutnya yang tergerai lepas di punggung
berwarna pirang membuatnya selain tambah cantik juga tampak anggun.
Sosok ke dua berhenti
disamping dara cantik pertama. Ternyata dia juga seorang dara jelita. Raut
tubuh dan potongan badannya sangat menyerupai gadis satunya. Siapa gerangan
sepasang gadis berwajah sama yang barusan memasuki kawasan rimba belantara sunyi
dan berbahaya itu?
Di Negeri Latanahsilam
keduanya dikenal dengan julukan Sepasang Gadis Bahagia. Di balik kecantikan
mereka yang mempesona itu tersembunyi satu sifat yang membuat orang lain bisa
merinding jika mengetahui, terutama kaum perempuan. Sejak lama diketahui
sepasang gadis kembar ini memiliki kelainan. Begitu banyak para pemuda yang
tertarik pada mereka namun segera menjauhkan diri dengan perasaan ngeri begitu
mengetahui bahwa dua gadis itu hanya berselera pada kaum sejenisnya.
"Luhkemboja, ada apa kau
berhenti?" bertanya dara bernama Luhkenanga pada dara satunya yang adalah
kakaknya.
Sebelum menjawab, dari balik
pakaiannya Luhkemboja keluarkan sebuah tongkat terbuat dari batu berwarna biru.
Tongkat itu digosok-gosokkannya ke leher. Lalu diturunkan ke dada. Si gadis
menggeliat sendiri lalu tertawa panjang.
"Tingkahmu membuat aku
ingat pada gadis bernama Luhjelita itu," berkata Luhkenanga. Sepasang
matanya membesar berbinar-binar.
Luhkemboja si kakak telan
ludahnya sendiri. "Aku juga selalu ingat padanya. Belum pernah kita
menemui gadis secantik dia. Memiliki tubuh padat kencang. Waktu dia mendesah
memohon agar kita tidak menyentuh dadanya…. Wahai! Apa yang diucapkan dan
bagaimana dia menggerakkan tubuh malah membuat aku tambah bergairah. Kapan-kapan
aku ingin mencarinya kembali.”
"Gadis satu itu memang
luar biasa. Terus terang aku juga belum puas wahai kakakku Luhkemboja. Tapi
kita harus hati-hati. Kau tahu siapa adanya gadis itu. Dia pasti membekal
dendam terhadap kita."
"Mengapa perlu merasa
takut padanya. Jika dia berani muncul siapa tahu dia memang sengaja mencari
kita karena ketagihan…." kata Luhkemboja lalu tertawa.
(Untuk mengetahui apa yang
terjadi antara sepasang dara kembar ini dengan Luhjelita harap baca Episode
sebelumnya berjudul "Hantu Langit Terjungkir").
"Tongkat batu ini,"
kata Luhkemboja setelah puas tertawa.
"Sesuai yang dipesankan
kakek, kita harus segera menyerahkan padanya. Tetapi aku punya rencana
lain!"
"Heh, apa yang ada di
benakmu?" bertanya sang adik.
"Kalau kakek menginginkan
tongkat ini berarti benda ini adalah satu benda sangat penting. Pasti
mengandung satu kekuatan atau satu kesaktian. Buktinya kau lihat sendiri.
Tongkat ini mengeluarkan cahaya biru."
"Jangan-jangan tongkat
itu menyembunyikan satu rahasia yang si kakek tidak pernah atau tidak mau
menceritakannya pada kita."
"Boleh jadi," kata
Luhkemboja pula lalu memperhatikan tongkat batu yang dipegangnya dengan seksama
mulai dari ujung satu sampai ujung lainnya.
"Aku tidak melihat
sesuatu yang aneh pada tongkat ini. Kecuali sangat enteng…."
"Coba kuperiksa,"
kata Luhkenanga pula lalu ganti memeriksa. Seperti kakaknya gadis satu inipun
tidak melihat keanehan atau kelainan pada tongkat batu itu. Benda ini
ditirnang-timangnya lalu diusap-usapnya beberapa kali. Ketika hendak
dipulangkannya pada kakaknya, selintas pikiran muncul dalam benaknya. Tongkat
ditariknya kembali. Lalu dengan ujung jari tengahnya tongkat itu
disentil-sentilnya mulai dari ujung kiri sampai ujung kanan.
"Apa yang kau lakukan
Luhkenanga?" tanya Luhkemboja.
"Coba kau perhatikan.
Dengar…." Sambil terus menyentil Luhkenanga dekatkan tongkat batu biru itu
ke telinga kiri kakaknya. "Kau mendengar sesuatu?"
"Tentu saja. Suara jarimu
beradu dengan tongkat batu biru. Apa anehnya?"
Luhkenanga gelengkan kepala.
"Ada bunyi atau suara berlainan. Pada dua ujung kiri kanan berlainan
dengan bagian tengah…."
"Bagiku sama saja Tidak
ada bedanya," kata Luhkemboja. Tongkat itu diambilnya kembali.
"Dengar Luhkemboja. Aku
punya satu rencana. Bagaimana kalau…."
Luhkemboja tertawa ketika
mendengar apa yang kemudian diucapkan adiknya. Dia membalikkan badan lalu
memberi isyarat untuk segera melanjutkan perjalanan. Belum jauh meninggalkan
ujung rimba belantara, di satu tempat mendaki dimana udara terasa sejuk
Luhkenanga tiba-tiba berkata. "Ada seorang perempuan berpakaian serba
putih seperti kita duduk di sebelah sana…."
Luhkemboja hentikan larinya
dan memandang ke arah yang ditunjuk sang adik. Memang benar. Di kejauhan sana
seorang perempuan muda berparas cantik jelita duduk bertopang dagu di atas
bukit berumput. Langsung saja dada sepasang gadis kembar ini jadi berdebar dan
rasa gairah menjalari tubuh mereka.
"Wajahnya cantik sekali.
Kulitnya bersih…." ucap Luhkemboja.
"Harum bau tubuhnya
tercium sampai ke sini. Aku rasa-rasa tahu siapa adanya orang itu. Kelihatannya
dia sengaja duduk bersunyi diri. Seperti memikirkan sesuatu," ujar
Luhkenanga pula.
"Mari kita dekati. Siapa
tahu rejeki besar menjadi bagian kita," kata Luhkemboja mengajak.
Dua gadis kembar segera
berkelebat Sebentar saja mereka sudah berada di hadapan perempuan muda yang
duduk di atas rumput itu. Orang ini turunkan tangannya lalu mengangkat kepala
memandang pada sepasang dara yang baru datang. Kagetlah Luhkemboja dan
Luhkenanga ketika mereka melihat dan menyadari siapa adanya orang itu.
Sebaliknya orang yang duduk di atas rumput tetap tenang saja walau dia sudah
mengenali dua gadis yang berdiri di hadapannya.
"Peri Angsa Putih…."
menyapa Luhkemboja sementara Luhkenanga pandangi peri cantik itu sambil
berulang kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
Dibanding dengan kakaknya
Luhkenanga memang dia tidak bisa menyembunyikan gelora hatinya melihat
kecantikan wajah dan kemulusan tubuh Peri Angsa Putih. Apa lagi tubuh peri ini
menebar bau harum mewangi yang menambah rangsangan dalam dirinya.
"Wahai, sungguh pertemuan
tidak disangka. Bukankah kalian berdua kerabat yang dijuluki Sepasang Gadis
Bahagia?" balas menegur Peri Angsa Putih.
Dua gadis kembar jatuhkan
diri, berlutut di hadapan sang Peri. Luhkemboja malah ulurkan tangan memegang
lalu mengangkat tangan Peri Angsa Putih, kemudian menciumnya dengan sikap
hormat walau sebenarnya perbuatannya itu lebih didorong oleh hawa gairah.
Luhkenanga tidak tinggal diam. Dia tirukan apa yang dilakukan kakaknya dan
mencium belakang telapak tangan malah sampai ujung lengan Peri Angsa Putih.
Sambil tersenyum Peri Angsa Putih tarik tangannya.
"Aku sudah lama mendengar
perihal kalian berdua. Hanya tidak tahu mana yang bernama Luhkemboja dan mana
yang bernama Luhkenanga."
Dua gadis kembar lalu
memperkenalkan diri masingmasing.
"Wahai Peri Angsa Putih,
gerangan apakah yang membuat kau berada di bukit sunyi ini?" bertanya
Luhkemboja.
"Sepertinya tengah
menunggu seseorang," menyambung Luhkenanga.
"Wahai, jika kau benar
menunggu seseorang biar aku coba menerka," kata Luhkemboja sambil
tersenyum dan mengusap-usap keningnya seolah tengah berpikirpikir.
"Kalau salah dugaanku
mohon maafmu wahai Peri cantik dari Negeri Atas Langit. Bukankah kau tengah
menunggu lelaki gagah bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu itu?"
"Wahai! Dugaan kakakku
pasti betul. Sudah lama kami menyirap kabar kalau lelaki itu tertarik padamu
dan kau. Hemm…." Luhkenanga tidak teruskan katakatanya.
Bersama kakaknya dia tertawa
panjang.
Wajah Peri Angsa Putih sesaat
kelihatan menjadi merah. Namun sambi! mengulum senyum Peri ini kemudian
berkata. "Dugaan kalian memang betul. Aku berada di bukit berumput ini
tengah menunggu orang. Tapi bukan lelaki bernama Lakasipo itu. Melainkan justru
aku menunggu kedatangan kalian berdua."
"Kami?!" ujar
Luhkenanga dan Luhkemboja terpekik girang hampir bersamaan. Sepasang gadis
kembar ini saling melirik lalu duduk bersimpuh di atas rumput. Satu di kiri,
satu di kanan. Demikian dekatnya mereka mengapit hingga pinggul dan bahu mereka
bersentuhan hangat dengan pinggul serta bahu Peri Angsa Putih. Bahkan hembusan
nafas keduanya menyentuh permukaan wajah sang Peri.
"Sungguh kami merasa
bahagia mengetahui kau berada di sini sengaja menunggu kami," kata Luhkenanga
seraya memegang iengan Peri Angsa Putih dan mengusap-usapnya. "Tentu ada
sesuatu yang bisa kami lakukan untukmu."
Sementara itu Luhkemboja mulai
pula meraba lengan Peri Angsa Putih satunya.
Peri Angsa Putih yang sudah
tahu kelainan sifat dua gadis kembar ini perlahan-lahan lepaskan kedua
tangannya dari genggaman Luhkemboja dan Luhkenanga.
Lalu berkata. "Aku ingin
mengetahui dan meyakini satu hal. Mudah-mudahan kalian berdua bisa memberi
penjelasan…."
"Wahai, hal apakah itu
Peri Angsa Putih?" tanya Luhkenanga seraya rapatkan duduknya. Pahanya
sampai menindih paha sang Peri.
"Beberapa waktu yang lalu
aku melihat kalian berdua keluar dari sebuah goa di kawasan barat sana…."
Wajah dua gadis kembar
mendadak sontak jadi berubah. Adik kakak ini saling melirik. Dalam hati mereka
menduga-duga apakah sang Peri tahu apa yang telah terjadi, apa yang telah
mereka lakukan di goa itu?
"Wahai, tidak disangka
kau mengetahui kehadiran kami di goa itu…" kata Luhkemboja. Dia tak berani
berdusta karena khawatir sang Peri tahu banyak tentang mereka. "Kami
kebetulan saja lewat di kawasan itu…."
"Betul, kami memang
kebetulan lewat di sana," menyambungi Luhkenanga.
"Ketika melihat sebuah
goa kami mencoba masuk…" Luhkemboja meneruskan.
Luhkenanga kembali menyambung.
"Kami masuk sekedar untuk mencari tempat yang teduh dan aman untuk
beristirahat"
"Kalian masuk dan jadi
beristirahat dalam goa itu?" tanya Peri Angsa Putih.
Luhkemboja menggeleng.
Luhkenanga memandang pada kakaknya lalu ikut menggeleng.
"Jadi kalian tidak masuk…?"
tanya Peri Angsa Putih.
"Kami memang masuk…"
jawab Luhkenanga dengan suara perlahan.
"Tapi kami segera keluar
lagi!" kata Luhkenanga.
"Kenapa?" tanya Peri
Angsa Putih.
"Ada orang lain dalam goa
itu!"
"Ada satu pemandangan
menusuk mata yang membuat kami tak sanggup berada di situ dan cepatcepat
keluar…."
Peri Angsa Putih menatap dua
gadis kembar berganti-ganti lalu bertanya. "Siapa orang lain yang kalian
lihat dalam goa itu? Kaitan mengenalnya? Lalu….Memangnya apa yang dia lakukan
di situ…."
"Ada dua orang dalam goa
itu wahai Peri Angsa Putih. Satu gadis, satu pemuda…" kata Luhkemboja.
"Yang gadis berada dalam
keadaan bugil. Tengah berpelukan dengan seorang pemuda berambut panjang. Kalau
kami tidak salah dia adalah pemuda asing yang belum lama berselang berada di
Negeri Latanahsilam ini…."
"Kalau tidak salah dia
pemuda yang bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212."
****
2
TENGGOROKAN Peri Angsa Putih
kelihatan turun naik. Suaranya agak tersendat ketika bertanya.
"Apa kalian mengenali siapa
adanya gadis di dalam goa yang bersama pemuda bernama Wiro Sableng itu?"
"Luhjelita. Gadis yang
dikenal sebagai penunggang kura-kura terbang itu!"
"Kalian tidak salah
lihat?"
"Kami berdua. Mana
mungkin salah lihat!" jawab Luhkenanga.
"Kalau begitu…."
Peri Angsa Putih tidak meneruskan ucapannya.
"Kalau begitu apa wahai
Peri Angsa Putih?" tanya Luhkenanga sambil kembali tangannya merayap ke
lengan sang Peri.
"Tidak…. Tidak apa-apa.
Keterangan kalian sangat berguna. Paling tidak aku kini benar-benar yakin dan
mengetahui apa yang terjadi dalam goa itu…." Lalu dalam hati sang Peri
berkata. "Aku juga menyaksikan sendiri. Tadinya aku seperti ingin
mengatakan tidak yakin pada penglihatanku sendiri. Tapi kini ada dua orang yang
menyaksikan hai yang sama. Berarti tidak perlu aku menyelidik lebih jauh. Wahai
mengapa kejam sekali rasanya dunia ini memperlakukan diriku. Peri Bunda, kau
benar. Aku harus menjauhkan diri dari pemuda bernama Wiro itu. Aku harus
kembali ke Negeri Atas Langit…" Peri Angsa Putih memandang pada dua gadis
kembar lalu bangkit berdiri. "Terima kasih atas semua keterangan kalian.
Aku harus pergi sekarang…."
"Wahai," ujar
Luhkenanga seraya berdiri pula.
"Tak jauh dari sini ada
sebuah dangau. Dibangun orang di atas sebuah telaga jernih. Udara di sana sejuk
sekali. Pemandangannya indah nian. Bagaimana kalau kita bertiga pergi ke sana.
Beristirahat barang setengah hari sambil berbincang-bincang. Siapa tahu ada
keterangan lain yang ingin kau dapatkan dan kebetulan kami ketahui…."
"Terima kasih. Kalian
berdua baik sekali. Tapi keterangan yang aku cari sudah kudapat. Lain waktu
undangan kalian tentu ada kupenuhi…."
"Sayang sekali. Kalau kau
mau pergi kamipun hendak pergi pula…" kata Luhkenanga.
Saat itu sekonyong-konyong
berkelebat satu bayangan putih disertai bentakan.
"Dua gadis kembar! Jangan
kalian berani pergi! Kembalikan dulu tongkat yang kau curi dariku!"
Belum habis kejut Luhkemboja
dan Luhkenanga tahutahu seorang pemuda berambut gondrong sambil menyeringai dan
berkacak pinggang telah berdiri di hadapan mereka.
"Peri Angsa Putih! Ini
pemuda bernama Wiro Sableng yang barusan kita bicarakan!" berkata
Luhkenanga.
Sementara Luhkemboja cepat
menjauh karena khawatir Wiro akan merampas tongkat batu biru yang dipegangnya.
Pemuda berambut gondrong yang
memang Pendekar 212 Wiro Sableng adanya melirik ke kiri dimana berdiri Peri
Angsa Putih. Murid Sinto Gendeng hendak layangkan senyum pada sang Peri namun
batal ketika dilihatnya Peri Angsa Putih unjukkan wajah kaku malah kemudian
palingkan muka ke jurusan lain.
"Kalian membicarakan aku
mengenai apa?!" tanya Wiro.
Luhkemboja dan Luhkenanga
tidak segera menjawab tapi tertawa cekikikan.
"Gadis-gadis aneh! Ada
apa kalian tertawa. Luhkemboja! Lekas serahkan tongkat di tanganmu itu
padaku!"
"Kau sungguhan mau tahu
apa yang barusan kami bicarakan?!" Luhkemboja berkata seraya senyumsenyum.
Wiro mulai mencium ada yang
tidak beres. Tapi dia segera menjawab. "Katakan saja. Aku ingin
tahu!"
"Kau tidak malu Peri
Angsa Putih ikut mendengar?" tanya Luhkenanga lalu tertawa cekikikan.
"Kami melihat kau dan
gadis bernama Luhjelita berbugil-bugil di dalam goa!" Berucap Luhkemboja.
"Gadis kurang ajar!
Jangan kau berani memfitnah!" teriak Pendekar 212 marah.
"Kalian berzinah di dalam
goa!" ujar Luhkenanga.
Amarah murid Sinto Gendeng
tidak terkendalikan lagi. Mukanya mengelam. Kupingnya seperti dipanggang.
Sekali lompat saja Wiro
layangkan satu tamparan ke muka Luhkenanga. Seperti diketahui dua kakak beradik
kembar yang dikenal dengan julukan Sepasang Gadis Bahagia ini bukanlah
gadis-gadis sembarangan. Mereka memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi sekali
hingga mampu bergerak cepat dan ringan. Selain itu mereka juga memiliki
jurus-jurus ilmu silat aneh. Sekali bergerak Luhkenanga berhasil selamatkan
diri dari tamparan Wiro yang bisa meremukkan tulang pipinya.
Penasaran Wiro kembali
mengejar Luhkenanga. Namun saat itu satu bayangan putih berkelebat dari
samping. Angin yang menyambar membuat Wiro terpaksa hentikan niatnya. Ketika
dia memandang ke depan pendekar kita jadi tertegun. Yang menghadang di
hadapannya adalah Peri Angsa Putih.
"Peri Angsa Putih…. Apa
maksudmu menghalangi gerakanku?!" tanya Wiro heran.
"Apa maksudmu menyerang
gadis itu?!" balik bertanya Peri Angsa Putih. Tapi dia tidak memandang ke
arah Wiro karena wajahnya seperti tadi lagi-lagi dipalingkan ke jurusan lain.
"Dia…. Gadis itu kau
dengar sendiri! Dia berkata jahat! Memfitnahku!"
Peri Angsa Putih mendengus.
Wajahnya tersenyum sinis. Membuat Wiro menjadi tambah marah walau bercampur
heran. "Peri Angsa Putih. Ada apa ini?! Kau bicara tapi tidak mau melihat
padaku! Kau sepertinya membela gadis-gadis tukang fitnah ini!"
"Mereka tidak memfitnah.
Aku melihat sendiri kau dan Luhjelita di dalam goa itu. Jangan mengira aku
tidak tahu apa yang kalian lakukan?!"
Wiro hendak menggaruk kepala
habis-habisan lalu dekati Peri Angsa Putih.
"Jangan kau berani
bergerak lebih dekat!" membentak Peri Angsa Putih.
Wiro kaget bukan main. Dia
ulurkan tangan hendak memegang lengan Peri Angsa Putih tapi kembali sang Peri
membentak. Air mukanya membayangkan ancaman.
"Pendekar 212! Jangan
sentuh diriku! Aku bukan Luhjelita gadis yang bisa menjadi pemuas nafsu
bejatmu!"
Wiro ternganga besar. Dua
kakinya seperti dipantek ke tanah. "Peri Angsa Putih, aku…."
"Aku tak sudi kau
menyebut namaku! Berlalulah dari hadapanku!"
"Mati aku! Apa yang
terjadi dengan Peri satu ini?!" membatin Wiro. Ketika dia berpaling ke
samping, dua gadis kembar tertawa cekikikan lalu berkelebat pergi.
Wiro tak mau mengejar karena
khawatir Peri Angsa Putih akan kembali menghadang dan bisa-bisa antara mereka
terjadi bentrokan yang tak diinginkan. Dengan menahan hawa amarahnya terhadap
dua dara yang kabur itu Wiro bertanya. "Aku tidak mengeri. Ada apa ini?!
Wajahmu melihat aku seperti melihat hantu…."
"Aku tidak melihat hantu!
Tapi melihat makhluk sangat menjijikkan!" tukas Peri Angsa Putih.
Wiro garuk kepala.
"Tampangku memang jelek!
Terserah kau mau bilang apa!
Tapi harap kau jelaskan dulu mengapa kau membela dua gadis jahat tadi. Lalu mengapa
kau marah-marah dan berkata tak karuan padaku. Aku merasa tidak punya salah
padamu. Dua gadis kembar itu mencuri tongkat batu titipan orang. Mereka juga
memfitnah diriku lalu enak saja melarikan diri. Aku tidak…."
Saat itu mendadak ada suara
menderu dahsyat disertai suara ringkikan kuda. Sesaat kemudian seekor kuda
hitam besar berkaki enam muncul dan berhenti di tempat itu. Di atasnya duduk
Lakasipo dengan sikap gagah.
"Saudaraku Wiro Sableng!
Kerabatku Peri Angsa Putih! Aku merasa gembira bisa menemui kalian berdua di
tempat ini!" Lakasipo hendak tertawa lebar.
Tapi tidak jadi ketika dia
melihat raut wajah Peri Angsa Putih serta Wiro yang tampak kebingungan.
Pendekar 212 kedipkan mata. Maksudnya hendak memberi tahu tapi Lakasipo yang
tidak mengerti malah berucap.
"Wahai, aku tidak ingin
mengganggu. Rupanya kalian sedang asyik berdua-dua di tempat ini. Wiro, biaraku
pergi dulu. Nanti aku akan mencarimu kembali. Banyak hal yang ingin kubicarakan
denganmu!"
"Kuharap kau jangan pergi
dulu Lakasipo. Aku juga banyak pembicaraan denganmu!" kata Wiro.
"Kerabat Lakasipo, jika
kau memang mau pergi bolehkah aku ikut menumpang bersamamu sampai di kaki bukit
sana?"
Ucapan Peri Angsa Putih itu
membuat Lakasipo terheran-heran dan memandang Wiro yang saat itu hanya bisa
tegak sambil garuk-garuk kepala. Mengira Peri Angsa Putih menyindirnya Lakasipo
cepat membungkuk dan berkata. "Maafkan, tidak maksudku mengganggu kalian.
Aku mohon diri dulu…."
"Lakasipo, tunggu! Aku
ikut bersamamu!" seru Peri Angsa Putih.
"Peri Angsa Putih,
bukankah kau…? Wahai mana tungganganmu angsa putih itu?" tanya Lakasipo.
"Dia tak ada di sini. Itu
sebabnya aku minta ikut bersamamu…."
Lakasipo memandang pada Wiro
seolah mau bertanya. Tapi pendekar kita hanya tegak diam dan kini tidak lagi
menggaruk kepala, memandang pada Lakasipo dan Peri Angsa Putih dengan raut muka
membayangkan heran dan bingung.
Dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba Peri Angsa Putih melompat ke atas punggung kuda hitam kaki enam dan
duduk di belakang Lakasipo.
"Peri Angsa Putih,
bagaimana ini. Mungkin aku perlu bertanya…."
"Pacu kudamu Lakasipo.
Dalam perjalanan kau boleh mengajukan seribu pertanyaan. Semuanya akan kujawab!
Apa lagi menyangkut saudara angkatmu yang kau anggap baik dan suci itu!"
Habis berkata begitu Peri Angsa Putih menggebrak pinggul Laekakienam dengan
tangan kirinya sementara tangan kanannya enak saja merangkul ke pinggang
Lakasipo. Kuda hitam raksasa berkaki enam itu meringkik keras lalu melompat ke
depan.
"Peri geblek!" Wiro
memaki sendirian dalam hati.
"Apa yang terjadi dengan
dirinya! Katanya dia melihat sendiri aku dan Luhjelita di dalam goa. Melihat
apa?"
Wiro garuk-garuk kepala.
"Jangan-jangan…. Bayangan yang kulihat dalam goa memang adalah
bayangannya. Gila betul! Dia menyangka…. Aku tidak percaya! Dia bukan makhluk
sembarangan. Masakan bisa percaya saja pada ucapan dua gadis kembar sialan itu.
Tapi….Memangnya aku sedang apa di dalam goa ketika dia melihat!" Wiro
geleng-geleng kepala dan tendangtendang rumput liar di depannya. "Caranya
dia pergi dengan Lakasipo. Seperti sengaja hendak membuat aku sakit hati. Dia
pakai merangkul pinggang lelaki itu segala. Mungkin agar aku sakit hati dan
cemburu! Gila, perlu apa aku sakit hati dan cemburu! Kupikirkanpun tidak!
Sayang…. Kenapa dia jadi begitu. Padahal dia pernah menyelamatkan nyawaku, aku
juga begitu…."
Akhirnya Wiro hanya bisa
menghela nafas panjang sambil jambak-jambak rambut sendiri. Saat itulah
tibatiba ada satu suara berucap.
"Kalau kasih sejati
berubah menjadi kebencian memang hebat akibatnya. Wahai Pendekar 212, kau
tengah menghadapi ujian berat! Ujian itu akan berubah menjadi malapetaka jika
kau memang berbuat apa yang dikatakan Peri tadi…."
"Siapa yang
bicara?!" seru murid Sinto Gendeng.
Dalam kagetnya Wiro segera
palingkan kepala.
3
DI HADAPAN Wiro berdiri
seorang gadis tinggi semampai berkulit putih. Pakaiannya yang biru gelap
membuat kecantikannya tambah menonjol. Rambutnya yang panjang tergerai
melambai-lambai ditiup angin. Di keningnya yang putih licin melekat sebuah
bunga tanjung kuning.
"Luhcinta…" ujar
Wiro perlahan setengah berbisik.
Apa yang barusan dialaminya
membuat Wiro tidak kuasa tersenyum padahal kemunculan Luhcinta murid Nenek
Hantu Lembah Laekatakhijau ini sangat menggembirakan dan mampu menghibur
hatinya.
"Aku bersyukur kau berada
di sini…" kata Pendekar 212. Lalu dia ingat pada ucapan Luhcinta tadi.
"Kata-katamu tadi, apakah
kau sudah lama berada di sini dan mendengar…."
"Aku mendengar semua yang
dikatakan dua gadis kembar itu. Aku juga mendengar apa yang diucapkan Peri
Angsa Putih…" kata Luhcinta sambil tersenyum.
Senyuman yang benar-benar
tulus dan membuat hati murid Sinto Gendeng merasa sejuk hingga kemarahan dan
kejengkelannya berangsur lenyap.
"Kau… kau mempercayai apa
yang mereka katakan?" Wiro bertanya.
"Kau tidak boleh bertanya
seperti itu. Tapi kau justru harus membuktikan bahwa kau tidak melakukan apa
yang dituduhkan mereka…."
"Mereka bertiga
menuduhku. Aku sendirian! Fitnah mereka dalam waktu singkat tentu akan tersebar
luas di Negeri Latahansilam ini. Sebelum aku bisa membuktikan diriku tidak
berbuat keji, namaku sudah tak karuan tercemar."
"Itulah hidup. Ketulusan
kasih tidak selalu muncul cerah dimana-mana. Sesekali redup bahkan pupus oleh
hal-hal yang tidak terduga. Apa lagi jika kau tidak bisa membuktikan dirimu
benar-benar bersih…."
"Aku bersumpah…!"
Wiro gelengkan kepalanya.
"Percuma saja! Siapa yang
mau percaya! Di tanah Jawa saja aku tidak pernah berbuat serendah itu. Apa lagi
di sini di negeri orang…."
"Soal dirimu di tanah
Jawa siapa yang tahu. Yang jadi masalah justru sepak terjangmu di negeri
ini…."
"Agaknya kau seperti
mempercayai apa yang diucapkan tiga orang itu…" kata Wiro dengan nada
kecewa.
"Wahai, adakah aku
mengatakan seperti itu Wiro? Fitnah adalah penodaan paling jahat atas kasih
sayang. Tapi bagaimana kasih sayang akan menunjukkan kebersihan jati dirinya
kalau kau tidak mampu membuktikan bahwa dirimu sungguh bersih?"
"Jadi kau tidak
mempercayai tuduhan ketiga orang itu?"
Luhcinta tersenyum.
"Masalahnya bukan percaya atau tidak. Tapi kemampuan dirimu untuk
menyatakan bahwa kau benar-benar bersih…."
"Aku tidak ingin membela
diri. Tapi dua gadis kembar itulah yang telah berbuat keji terhadap Luhjelita.
Kau mungkin belum tahu. Mereka dua gadis yang punya kelainan jiwa. Hanya
suka…."
"Aku tak Ingin mendengar
hal itu," kata Luhcinta memotong dengan suara halus. "Seharusnya hal
itu pantas kau ucapkan pada Peri Angsa Putih…."
"Percuma saja. Dia tidak
akan percaya. Dia tidak memberi kesempatan padaku untuk menjelaskan…."
Pendekar 212 terdiam. Dia
menarik nafas berulang kali lalu berkata. "Aku berterima kasih padamu. Kau
memberi petunjuk padaku bagaimana harus berbuat. Aku akan melakukan sesuatu.
Melakukan apa saja untuk membersihkan diriku…."
"Aku gembira mendengar
ucapanmu. Ingatlah selalu, hidup yang didasarkan pada kasih sejati tidak ada
pernah menempuh jalan keliru…."
"Tapi aku tidak mencintai
Luhjelita atau Peri Angsa Putih. Jika itu maksudmu. Sekalipun demikian tidak
mungkin aku akan berbuat keji terhadap salah satu dari mereka…."
"Wahai, aku tidak
membicarakan cinta. Aku menyebut kasih. Karena kasih adalah lebih kudus dan
lebih agung dari pada cinta. Kasih sejati tidak dapat digantikan oleh cinta,
betapapun murninya…."
"Aku tidak mengerti
maksud ucapanmu," kata Wiro sambil garuk-garuk kepala.
"Suatu ketika kau pasti
akan mengerti."
"Luhcinta, apakah kau
pernah mengasihi seseorang?" tanya Pendekar 212 pula.
Luhcinta tertawa perlahan
sambil palingkan wajahnya yang bersemu merah ke jurusan lain. Lalu gadis
berhiasan bunga tanjung di keningnya ini berkata.
"Teka teki hidupku masih
menjadi beban berat dalam hatiku. Bagaimana mungkin aku memikirkan hal yang kau
tanyakan itu?"
"Kurasa jika kau pernah
mengasihi seseorang, beban hidupmu mungkin bisa berkurang. Tapi entahlah…. Aku
bukan orang yang ahli dalam soal kasih sayang," kata Wiro pula lalu
tertawa tapi kecut.
"Luhcinta, apakah kau
telah berhasil mengungkapkan rahasia kehidupan kedua orang tuamu?" Wiro
alihkan pembicaraan.
"Masih jauh panggang dari
api. Tapi siapa tahu, segala sesuatunya bisa berubah secara tidak terduga.
Kekuatan kasih bisa meruntuhkan tembok baja yang mengelilingi kita.
Mudah-mudahan semua teka teki hidup yang menyelubungi diriku bisa terungkap
secepatnya…."
"Jika kau suka, aku
bersedia membantu…."
"Terima kasih. Bahtera
hidup ini biar kukayuh sendiri. Kita berpisah dulu sampai di sini…."
"Tunggu, kau mau menuju
ke mana?"
"Terus terang aku sendiri
tidak tahu harus meneruskan perjalanan ke mana…."
"Kasih ada membimbing
perjalananmu," kata Wiro.
Luhcinta tertawa lepas.
"Ternyata kau lebih cepat mengetahui arti kasih dari pada yang kau duga
sendiri…."
Wiro tertawa dan memperhatikan
gadis itu membalikkan badannya siap untuk berlalu. Ketika Luhcinta berputar ke
kiri Wiro melihat robek berlubang pada bagian bahu kanan pakaian biru yang
dikenakan si gadis. Saat itu Wiro tidak ingat apa-apa. Tetapi begitu Luhcinta
sudah jauh di ujung sana tiba-tiba dia ingat akan secarik sobekan kain biru
yang disimpannya di dalam saku pakaiannya. Wiro segera keluarkan robekan itu.
Robekan kain itu ditemuinya ketika dia keluar dari goa, tersangkut di ujung
ranting tak jauh dari goa di mana Luhjelita disekap.
"Cabikan pakaian ini….
Jelas cabikan baju biru Luhcinta," kata Wiro dalam hati. "Berarti dia
juga berada dekat goa itu. Jangan-jangan sebenarnya dia juga punya dugaan yang
sama dengan Peri Angsa Putih. Celaka! Aku harus mencarinya. Aku harus
menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin hanya dia satu-satunya gadis
yang bisa menerima penjelasanku." Wiro mengejar ke kaki bukit Tapi gadis
cantik berpakaian biru itu tak kelihatan lagi.
Tertegun sendirian Wiro ingat
pada ucapan Hantu Raja Obat alias Hantu Seribu Obat dan Luhrinjani yaitu bahwa
di Negeri Latanahsilam ini ada seorang gadis yang mencintainya dengan sepenuh
hati. "Luhjelita jelas bukan, entah kalau dia bersandiwara," pikir
Pendekar 212. "Peri Angsa Putih juga pasti bukan. Dulu selendangnya saja
dimintanya kembali. Tadi sikapnya begitu ketus dan garang. Selain itu Luhjelita
atau Peri Angsa Putih masih kucurigai sebagai pelaku yang hendak meracuni
diriku dengan mawar kuning di telaga tempo hari. Lalu bagaimana dengan
Luhcinta?"
Wiro berpikir-pikir.
"Dulu Hantu Seribu Obat pernah mengatakan bahwa diantara sekian banyak
gadis di Negeri Latahansilam ini hanya Luhcinta seorang yang mencintai diriku.
Mungkin benar. Walau dia agak mencurigai aku telah berbuat aib tapi tadi dia
menunjukkan sikap lembut Mungkin gadis satu ini pandai menyembunyikan perasaan
hatinya? Kalau aku terlalu mempercayai ucapan Hantu Seribu Obat dan Luhrinjani,
aku khawatir terlalu berharap yang bukan-bukan…."
Dalam bayangan Wiro saat itu
mendadak muncul bayangan wajah Bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan Bunga,
tiga gadis yang pernah menempati hatinya. Wiro jadi garuk-garuk kepala. Sambil
berjalan otaknya bekerja terus. Dia ingat pada kakek berjuluk Si Pelawak
Sinting.
"Aku harus mencari Si
Pelawak Sinting yang palsu. Kakek itu satu-satunya orang yang melihat kejadian
di telaga tempo hari. Aku harus dapat mengorek keterangan dari dirinya."
DI SATU tempat sunyi, di balik
semak belukar lebat di kaki sebuah bukit sebelah timur, Luhcinta duduk
termenung sendirian. Dia mengingat-ingat kembali pertemuan serta semua
ucapannya dengan Wiro tadi.
"Aku memang tidak melihat
sendiri apa yang terjadi di dalam goa. Aku hanya melihat Luhjelita keluar dari
dalam goa, disusul pemuda itu. Sepasang gadis kembar mungkin saja mengarang
cerita. Aku tahu sifat perangai mereka. Tapi Peri Angsa Putih tidak mungkin
memfitnah. Apa lagi kudengar dia berkata bahwa dia juga melihat dengan mata
kepala sendiri apa yang dilakukan Wiro dan Luhjelita…"
Luhcinta menghela nafas
panjang dan mengusap wajahnya berulang kali. "Wahai…” katanya dalam hati.
"Sudah seburuk inikah
sifat dan perbuatan makhluk hidup di atas muka bumi Negeri Lahtanahsilam ini?
Aku tak ingin mempercayai dia tega berbuat sekeji itu. Tapi kenyataan
mengatakan demikian, bagaimana mau membantahnya. Dia mengatakan tidak mencintai
Luhjelita ataupun Peri Angsa Putih. Wahai…. Mungkin itu sengaja diucapkannya
untuk menghilangkan jejak, untuk menutupi keaiban dirinya. Agaknya dia pandai
bersandiwara. Tapi jika yang dikatakannya itu benar, lalu siapakah gadis yang
dicintainya di Negeri Latanahsilam ini?"
Lama Luhcinta duduk termenung
di balik semak belukar lebat itu. Lalu dia menarik nafas dalam berulang kali
dan berkata. "Mudah-mudahan dia bisa melakukan sesuatu untuk membersihkan
dirinya…. Sementara itu, bagaimana aku harus mengambil sikap? Mungkin lebih
baik aku mengurus persoalan diriku sendiri. Tapi….Wiro…. Ah, bagaimana ini….
Apa yang harus aku lakukan?"
Luhcinta memandang
berkeliling. Dia ingat pada orang berpakaian hitam yang mukanya ditempeli tanah
liat kering yang selama ini selalu menguntit dirinya. Sejak beberapa waktu
belakangan ini orang aneh itu tak pernah lagi kelihatan membayang-bayangi
dirinya. Pertemuan terakhir dengan orang aneh berkepandaian tinggi itu Luhcinta
sempat memintanya untuk menanggalkan tanah liat hitam yang selalu menutupi
wajahnya. Luhcinta melihat satu wajah yang tidak dikenalnya. Sebagai imbalan
Luhcinta siap menerangkan apa hubungannya dengan Luhpiranti dan Latampi. Namun
sebelum sempat bicara terjadi satu hal yang hebat.
Serombongan Peri turun dari
atas langit hendak memboyong patung Luhmintari (ibu Hantu Jatilandak).
Maksud para Peri itu
digagalkan oleh Peri Angsa Putih. Ketika patung berhasil diselamatkan, orang
berpakaian serba hitam yang dikenal dengan panggilan Si Penolong Budiman tak
ada lagi di tempat tersebut (Baca Episode berjudul "Rahasia Patung
Menangis").
4
UNTUK menghilangkan kerisauan
hatinya sambil berjalan Pendekar 212 bersiul-siul membawakan lagu tak menentu.
Di langit sang surya mulai condong ke barat Udara yang tadinya panas
berangsur-angsur terasa teduh. Selagi asyik berjalan sambil bersiul-siul begitu
tiba-tiba Wiro melihat seseorang di tengah jalan, duduk menjelepok di tanah
membelakanginya. Orang ini mengenakan pakaian berwarna hijau tua. Kepalanya
separuh botak separuh lagi ditumbuhi rambut panjang berwarna putih, kusut masai
riap-riapan.
"Dari caranya duduk di
tengah jalan, jelas dia seperti sengaja menghadang jalanku," kata murid
Sinto Gendeng dalam hati. "Aku belum dapat melihat wajahnya. Apa aku kenal
padanya? Lelaki atau perempuan dia adanya?"
Wiro hentikan langkahnya tapi
terus saja bersiul-siul. Tanpa berpaling tiba-tiba orang yang duduk di tengah
jalan hamburkan suara tertawa. Dari suaranya ternyata dia adalah seorang
perempuan.
"Umur tinggal sejengkal
buruk! Masih bisa gembira diri bersiul-siul!" Orang di tengah jalan
keluarkan ucapan. Suara siulan Pendekar 212 langsung berhenti.
"Bicara tapi tak mau
melihat! Menegur tapi membelakangi orang! Kalau kau masih muda pasti kurang
mendapat pelajaran sopan santun dari orang tuamu! Kalau kau sudah tua bangka
mungkin kau sudah pikun atau kurang waras?"
Baru saja Wiro berkata begitu
sosok yang duduk di tengah jalan mendadak sontak melesat ke atas. Begitu turun
ke tanah orang ini telah berdiri menghadang tepattepat ke arah Wiro. Sebelumnya
Pendekar 212 telah banyak melihat manusia berwajah seram. Tapi yang satu ini
sungguh dahsyat hingga Wiro tersurut sampai dua langkah!
Yang tegak di hadapan Wiro
saat itu adalah seorang nenek angker. Sebagian besar wajahnya tidak berdaging
lagi, terkelupas begitu rupa hingga tulang kening, pipi, hidung, mulut dan dagu
menyembul putih mengerikan. Mata kirinya hanya merupakan satu rongga besar
sementara bola matanya tersembul bergelantungan keluar. Bagian depan pakaian
hijau si nenek sengaja dibuka hingga dada dan sebagian perutnya kelihatan
jelas. Dada dan perut inipun tidak lagi berdaging hingga tulang dada dan
tulang-tulang iganya menyembul menyeramkan!
"Hik… hik!" Si nenek
tertawa pendek. "Anak muda berambut panjang! Matamu melotot, keningmu
mengerenyit tanda berpikir. Apakah kau ingat dan sudah mengenali siapa diriku?!"
Wiro garuk kepalanya lalu
menjawab. "Gadis cantik saja jarang kuingat-ingat apa lagi kau yang sudah
nenek dan buruk pula!" Wiro lalu tertawa gelak-gelak.
Lalu dia menyambung.
"Pakaianmu boleh juga Nek! Cuma kurang kau buka sampai ke bawah. Kalau lebih
ke bawah pasti aku bisa melihat pemandangan yang lebih apik! Ha.,, ha…
ha!"
Si nenek keluarkan suara
menggembor. Dia hunjamkan kaki kanannya ke tanah hingga tanah berlobang besar.
Pasir dan debu beterbangan ke udara.
"Buset! Nenek ini punya
ilmu juga rupanya. Aku harus hati-hati," membatin Wiro dan bersikap
waspada.
"Kekasihku
Lajahilio!" si nenek tiba-tiba berseru memanggil seseorang. "Lekas
unjukkan diri! Katakan pada pemuda keparat ini siapa aku adanya!"
Ada angin bersiur. Lalu dari
atas sebatang pohon besar melayang turun sosok seorang kakek berambut putih
awut-awutan. Mata kanan sipit, sebaliknya mata kiri besar mendelik. Kakek ini
mengenakan jubah kuning pekat Melihat si kakek Pendekar 212 segera ingat. Kakek
ini adalah Lajahilio. Si nenek pastilah kekasihnya yang bernama Luhjahilio. Di
dalam rimba persilatan Negeri Latanahsilam mereka dikenal dengan julukan
Sepasang Hantu Bercinta walau mereka selama puluhan tahun memang hidup bersama
tanpa kawin.
Seperti dituturkan dalam
Episode berjudul "Rahasia Patung Menangis" sepasang kakek nenek ini
pernah muncul untuk membalaskan dendam kesumat kematian dua murid mereka yakni
Lagandring dan Lagandrung. Yang mereka serbu saat itu antara lain Hantu
Jatilandak yang membunuh Lagandring. Hantu Jatilandak hampir menemui ajalnya
kalau tidak ditolong oleh orang sakti berjuluk Si Penolong Budiman dan Luhcinta
yang muncul secara berbarengan. Malang bagi si nenek saat itu, dia terkena
hantaman pukulan sakti Pukulan Kasih Mendorong Bumi yang dilepaskan Luhcinta.
Tak ampun lagi sosok si nenek amblas terpendam seolah tercetak ke dinding batu.
Walau Luhjahilio tak sempat menemui ajal, tapi ketika Lajahilio menolong
mengeluarkan sosoknya dari dalam batu, sebagian daging muka dan tubuhnya masih
tertinggal di batu! Itu sebabnya kini dia menderita cacat yang sangat
mengerikan.
Lajahilio tegak berkacak
pinggang tapi agak terbungkuk. Sepasang matanya membeliak pandangi Pendekar 212
Wiro Sableng.
"Anak muda yang umurnya
tinggal sejengkal buruk! Kau berhadapan dengan Sepasang Hantu Bercinta! Aku
Lajahilio dan nenek itu kekasihku bernama Luhjahilio!"
"Hebat!" memuji Wiro
sambil acungkan jari tapi bukan jari jempol melainkan jari kelingking tangan
kirinya! "Julukan kalian sungguh luar biasa. Aku salah menduga. Tadinya
kukira bangsa hantu itu tak bisa bercinta. Ternyata kalian bisa. Pasti kalian
bercintanya di sekitar kuburan! Kalian bernama Lajahilio dan Luhjahilio. Pasti
kalian orang-orang dari abad jahiliah! Tapi ada satu hal aku ingin tahu!
Bagaimana kalian bisa menghitung kalau umurku cuma tinggal sejengkal
buruk?!"
Si kakek menyeringai, si nenek
mendengus. "Anak muda, nasibmu yang malang!" kata Lajahilio.
"Sebenarnya kekasihku bukan mencari dirimu, tetapi mencari kekasihmu yang
bernama Luhcinta itu! Dia yang menyebabkan kekasihku cacat begini rupa!
Luhcinta belum ditemui, kaupun tak ada salahnya dipesiangi lebih dulu! Ha… ha…
ha!"
"Tua bangka pikun! Aku
tidak ada hubungan apa-apa dengan Luhcinta. Dan dia bukan kekasihku! Jika
kalian punya silang sengketa dengan dirinya, mengapa melampiaskan dendam
padaku?!"
"Rupanya takut mati juga
kau! Hik… hik… hik! Lajahilio! Lekas kau panggil sahabat kita si muka kuning
itu! Kalian berdua harap awasi jangan sampai pemuda ini melarikan diri!"
Mendengar kata-kata si nenek
kekasihnya Lajahilio lantas keluarkan satu suitan keras. Saat itu juga dari
balik pohon kayu besar terdengar suara "Buuuttttt!"
Lalu kelihatan melangkah
keluar seorang nenek. Mulai dari rambut sampai ke ujung kaki nenek ini berwarna
kuning. Di lehernya bergelantungan berbagai macam kalung. Semuanya berwarna
kuning. Salah satu kalung itu adalah sendok emas sakti yakni Sendok Pemasung
Nasib yang dirampasnya dari Lakasipo sewaktu Lakasipo hendak menyerahkan benda
itu pada Hantu Langit Terjungkir. Di kepala si nenek menancap tiga buah sunting
yang bergoyang-goyang kian kemari setiap dia bergerak. Dia juga mengenakan
anting-anting bulat besar berwarna kuning.
Sambil berjalan sesekali si
nenek songgengkan pantatnya. Lalu "buuuutttttt"…. Enak sajadia
keluarkan kentut panjang dan keras.
Di punggungnya nenek muka
kuning itu memanggul sebuah keranjang besar. Keranjang ini berisi belasan ekor
ayam jantan. Sambil berjalan si nenek pegang seekor ayam jantan di tangan
kirinya. Lalu dengan tangan kanannya enak saja nenek ini memuntir dan mencabut
daging yang menonjol di ujung dubur ayam. Binatang ini keluarkan suara
kesakitan. Si nenek lemparkan binatang itu ke tanah. Ayam yang kesakitan
setengah mati ini seperti celeng menghambur sempoyongan. Seolah menenggak
penganan lezat, si nenek kemudian mengunyah dan menelan kibul ayam dalam
mulutnya mentah-mentah! Selagi mulutnya mengunyah, di sebelah bawah kentutnya
bertabur tiada henti!
Ketika melihat si nenek
bermuka dan berpakaian serba kuning ini kaget Wiro bukan alang kepalang.
Ternyata si nenek yang dikenal
dengan nama Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut atau Nenek Selaksa Angin ini
adalah kambratnya Sepasang Hantu Bercinta!
Menghadapi dua kakek nenek
aneh itu bukan hal mudah, apalagi kalau mereka dibantu pula oleh Luhkentut!
Sungguh Wiro tidak menduga
kalau Sepasang Hantu Bercinta punya hubungan tertentu dengan si nenek muka
kuning.
"Celaka! Bagaimana urusan
bisa kapiran begini!"
Wiro mengeluh dalam hati.
"Jangan-jangan nenek tukang kentut itu tahu kalau aku menipunya! Tapi
siapa tahu ada harapan. Kulihat dia masih asyik menenggak kibul ayam jantan!
Seolah tidak acuh akan kehadiranku!"
Tapi saat itu si nenek justru
putar kepala, memandang melotot pada Wiro dengan mulut gembung karena tersumpal
kibul ayam.
Ketika melihat Pendekar 212
Wiro Sableng, Nenek Selaksa Kentut tak kalah kejutnya. Mulutnya
termonyong-monyong. Dia segera telan habis kibul ayam dalam mulutnya, kentutnya
dulu "buuuutttttt"… lalu berseru.
"Sepasang Hantu Bercinta,
ini urusan salah kaprah! Wahai! Aku tidak tahu kalau yang ingin kalian pesiangi
adalah pemuda dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang ini! Aku tak mungkin
membantumu! Dia tak boleh kalian bunuh!"
"Buuuuttttttt..!"
Sepasang kakek nenek bernama
Luhjahilio dan Lajahilio sama-sama delikkan mata. Luhjahilio berteriak marah.
"Luhkentut! Jangan kau
berani menipu mengingkari perjanjian! Ingat! Aku dan kekasihku sudah mencarikan
hampir tiga puluh ayam jantan untuk kau jadikan santapan kibulnya!"
"Tua bangka muka setan!
Siapa menipu! Siapa ingkari perjanjian! Aku cuma bilang tidak mau membantumu.
Dan kalian tidak boleh membunuh pemuda itu!"
"Buuuttt…" Luhkentut
kembali pancarkan kentutnya.
Lajahilio maju dekati nenek
muka kuning. Dia sengaja bicara lembut, berusaha membujuk.
"Mengapa begitu wahai
kerabatku Luhkentut? Mengapa kau mendadak berubah pikiran?"
"Buuuuttttt!" Si
nenek kentut dulu sebelum menjawab.
"Aku punya urusan besar
dengan pemuda itu! Aku tak ingin dia mampus sebelum urusanku selesai!"
"Kurang ajar! Kalau kau
tak mau membantu harap lekas angkat kaki dari sini! Lain hari urusan dustamu
ini akan kita selesaikan!" Kembali Luhjahilio berteriak marah.
"Aku tidak akan pergi
dari sini! Kalian berdua saja yang lekas menyingkir!" Nenek muka kuning
ulurkan tangannya ke belakang, mencekal seekor ayam jantan.
Seperti tadi kibul ayam ini
dipuntirnya sampai putus lalu dikunyah dan ditelannya. Ayam yang terkuik-kuik
kesakitan enak saja dilemparkannya ke muka Luhjahilio sambil tertawa-tawa.
Luhjahilio marah besar. Sekali hantam saja ayam jantan itu cerai berai
berkepingkeping.
Bulunya beterbangan di udara.
Kemarahan Luhjahilio tidak sampai di sana. Dia segera menerjang ke arah nenek
muka kuning dan lepaskan satu pukulan sakti mengandung tenaga dalam hebat.
Angin deras menyapu ke depan. Nenek muka kuning sesaat terhuyung dan
terkentut-kentut "Buutt… buuttt". Tapi dia tidak tinggal diam dan
cepat bertindak.
"Kurang ajar! Berani kau
menyerangku! Rasakan!" teriak Luhkentut Entah kapan nenek ini bergerak
tahu-tahu tangan kanannya telah mencengkeram tangan kanan Luhjahilio yang
hendak menghantam dadanya.
Lajahilio, kakek kekasih,
Luhjahilio tahu benar kehebatan si nenek muka kuning berjuluk Nenek Selaksa
Kentut atau Nenek Selaksa Angin itu. Kalau dia tidak segera turun tangan pasti
tangan kanan kekasihnya akan mengalami cidera berat. Tidak menunggu lebih lama
kakek ini segera menyerang dari samping.
Melihat orang bertindak
curang, walau dia kurang suka terhadap nenek muka kuning namun Wiro tak mau
berpangku tangan saja. Sebenarnya saat itu dia bisa saja cari selamat
menyelinap tinggalkan tempat itu. Namun yang dilakukannya adalah berkelebat
menghadang gerakan Lajahilio.
"Bukkkk!"
*
* *
5
LENGAN kanan Wiro saling
bentrokan dengan lengan kanan Lajahilio. Pendekar 212 mengerenyit dan terhuyung
dua langkah. Di depannya si kakek keluarkan jeritan tertahan. Dia hampir
terjengkang. Ketika diperhatikannya ternyata lengannya telah bengkak merah,
sakitnya bukan kepalang. Mukanya kelam merah menahan sakit dan juga ada rasa
tidak percaya. Selama ini kekuatan tangannya mampu menghancurkan batu. Tapi
kini si pemuda bukan saja sanggup menahan malah membuat dia kesakitan setengah
mati. Masih untung tulang lengannya tidak cidera.
"Pemuda asing jahanam!
Aku mau lihat sampai di mana kehebatanmu! Makan seranganku ini!"
Lajahilio dorongkan dua
tangannya ke arah Pendekar 212. Dua rangkum angin menggebubu, menyapu dahsyat
Murid Sinto Gendeng terpental sampai dua tombak. Wiro cepat tekuk lututnya agar
dia tidak jatuh duduk. Ketika Lajahilio susul serangannya tadi dengan tendangan
ke arah kepala, Wiro serta merta pukulkan tangan kanannya. Serangkum angin
laksana topan melabrak ke depan. Sosok Lajahilio sesaat mengapung di udara lalu
terangkat dan mental jungkir balik di udara. Ketika jatuh di tanah punggungnya
terbanting lebih dulu. Lajahilio mengeluh tinggi. Di sebelah belakang sekujur
tulangtulangnya serasa remuk. Sedang di bagian depan yang barusan dihantam
angin pukulan Benteng Topan Melanda Samudra yang tadi dilepaskan Wiro dadanya
serasa amblas.
"Buuuttttt…" Kembali
terdengar kentut panjang nenek muka kuning, disusul ucapannya.
"Luar biasa! Anak muda
rambut panjang! Ilmu apa yang kau pergunakan menghantam kakek jelek itu! Hik…
hiik… hik…?" Di samping kiri si nenek muka kuning tertawa cekikikan. Untuk
kesekian kalinya tangannya siap memuntir kibul seekor ayam jantan.
Terhuyung-huyung, dengan dada
sesak dan darah mengucur di sela bibir, Lajahilio bangkit berdiri. Memandang ke
samping kiri dia keluarkan seruan tertahan. Tadi ketika melihat kekasihnya
saling mencengkeram dengan nenek muka kuning dia berusaha untuk membantu karena
tahu betul bahaya besar yang mengancam Luhjahilio. Tapi gerakannya dihadang
oleh Wiro. Kini ketika dia memperhatikan kagetnya bukan alang kepalang melihat
apa yang terjadi. Saat itu Luhjahilio dilihatnya tegak sambil pegangi jidatnya.
Di jidat itu kini menempel potongan tangan kanan miliknya sendiri! Sebatas
lengan sampai ke ujung jari. Dengan muka pucat si nenek berusaha menanggalkan
tangan yang menempel di keningnya itu tapi sia-sia saja. Luhjahilio berteriak
dan hentak-hentakkan kakinya kalang kabut!
"Ilmu Menahan Darah
Memindah Jazad!" desis Lajahilio dalam hati. "Jadi benar rupanya
nenek muka kuning ini memiliki ilmu dahsyat itu. Dia sanggup memindah
bagian-bagian tubuh manusia tanpa mengeluarkan darah tanpa membunuh! Tapi
akibatnya lebih mengenaskan dari kematian!"
"Luhjahilio! Mari kita
tinggalkan tempat ini!" Lajahilio berseru.
"Buuuutttt…!"
"Tidak sebelum tanganku
ini bisa ditanggalkan!" jawab Luhjahilio. Kembali dia menarik-narik potongan
tangannya. Tetap tidak berhasil. Nenek muka kuning tertawa gelak-gelak.
"Luhjahilio, bagusnya kau
ikuti ucapan kekasihmu. Sebelum aku memindahkan bagian tubuhmu yang lain ke
jidat atau pipimu!" berkata Luhkentut lalu "buuuttttt…!"
Luhjahilio meradang marah.
Tapi Lajahilio cepat menarik tangan kekasihnya dan setengah menyeret membawa
nenek itu kabur dari tempat tersebut Pendekar 212 Wiro Sableng merasa
tengkuknya dingin ketika nenek muka kuning tiba-tiba berpaling ke arahnya.
Sepasang mata si nenek memandang lekat-lekat, mulutnya komat kamit mengunyah
kibul ayam. Dia menyeringai, lalu tertawa mengekeh hingga sebagian kibul ayam
yang ada di mulutnya tersembur keluar. Melihat si nenek tertawa Wiro merasa
lega sedikit. Namun dia tetap berjaga-jaga dengan mengerahkan tenaga dalam ke
tangan kanan.
Si nenek songgengkan pantatnya
lalu "buuuttt..!"
"Anak muda bernama Wiro
Sableng! Mana dua kawanmu yang dulu turut memperdayaiku di gua yang ada
patungnya?"
"Anu Nek…. Mereka berada
di Latanahsilam…"
"Pasti mencari perempuan!
Hik… hik… hik!" Si nenek tertawa lalu sambung tawanya dengan kentut dua
kali buuuttt.. buutttt! Puas tertawa dan terkentutkentut si nenek perhatikan
tangan kanan Wiro Sableng.
terbangan ke udara. Si nenek
muka kuning berseru keras. Tubuhnya tergontai-gontai sementara dua kakinya
laksana ditanam ke tanah. Dia kerahkan seluruh tenaganya tapi tak urung
lututnya mulai goyah. Pakaiannya berkibar-kibar. Keranjang ayam di punggungnya
berderak-derak. Belasan ayam yang ada dalam keranjang itu berkotek-kotek
ketakutan lalu semuanya amblas terpental dihantam sambaran angin deras,
beterbangan cerai berai di udara. Sesaat kemudian keranjang ayam ikut terbang
hancur berantakan. Tiga buah sunting di kepala si nenek bergoyang keras lalu
mencelat mental. Begitu juga sepasang anting ditelinganya, copot mental. Masih
untung rangkaian kalung yang tergantung di lehernya tak ikut diterbangkan angin
pukulan, tertahan di bawah dagu!
Bagaimanapun Luhkentut
bertahan namun tak urung dua kakinya yang terpendam di tanah perlahanlahan
terangkat ke atas. Di lain saat sosok tubuhnya tampak limbung naik ke udara.
Mengapung sejajar tanah dengan sepasang kaki menghadap ke arah Wiro.
"Buuuttt… buuuutttt..
buuttttt!" Si nenek kentut berulang kali.
Tiba-tiba wut.. wuuutt… wuutttt!
Pakaian kuning yang melekat di tubuh si nenek terlepas tanggal dari tubuhnya,
terbang ke udara lalu menyangkut jauh di atas sebatang pohon!
"Kurang ajar! Hai! Kau
apakan diriku?!" Teriak Luhkentut sambil kalang kabut menutupi tubuhnya
yang kini bugil polos sementara kentutnya keluar bertalu-talu.
Wiro tersentak kaget Serta
merta dia hentikan serangan Benteng Topan Melanda Samudera. Walau si nenek
ternyata mempunyai kehebatan untuk bertahan tapi dia tidak menyangka akibatnya
akan seperti itu. Ketika Luhkentut berhasil turunkan dua kakinya ke tanah, Wiro
tak berani berada lebih lama di tempat itu. Takut dilabrak si nenek murid Sinto
Gendeng segera tancap ambil langkah seribu. Sambil kabur dia memaki dalam hati.
"Nenek sinting! Salah
sendiri mengapa tidak pakai celana dalam!"
6
PERI Bunda pegang lengan Peri
bermata biru yang duduk di hadapannya. Untuk beberapa lamanya tak satupun
diantara mereka yang membuka mulut bicara. Akhirnya Peri Bunda memecah
kesunyian di dalam kamar besar dan bagus itu.
"Aku tahu hatimu masih
terguncang hebat wahai kerabatku Peri Angsa Putih. Tidak mudah memang
menghadapi kejadian seperti ini karena menyangkut jauh sampai ke bagian
terdalam dari hati nuranimu. Tapi ketahuilah kerabatku, apa yang telah kau
lakukan adalah tindakan yang benar. Pemuda itu harus kau jauhi. Bahkan harus
kau tinggalkan sebelum malapetaka menimpa dirimu seperti yang terjadi dengan
diri Luhmintari, Peri yang jadi ibu Hantu Jatilandak ketika dia bersuamikan
Lahambalang. Aku akan melindungimu terhadap para Peri lainnya. Jika Peri
Sesepuh bertanya biar aku yang menghadap. Aku akan membantumu jika terjadi
apa-apa."
"Peri Bunda kau sangat
baitetoati. Tapi bagaimana kalau pemuda itu berdendam terhadapku dan melakukan
sesuatu yang tidak baik?" tanya Peri Angsa Putih pula.
"Kau tak usah kawatir
wahai kerabatku. Aku sendiri yang akan turun tangan menghadapinya jika dia
berani berbuat begitu. Kalau perlu kita bisa perguna kan para tokoh Hantu di
Negeri Latanasilam untuk membantu. Jangan harap dia bisa kembali ke tanah
asalnya jika dia berani mencideraimu…" Peri Bunda diam sejenak. Lalu dia
bertanya. "Peri Angsa Putih, apakah kau pernah mengatakan isi hatimu pada
pemuda bernama Wiro Sableng itu? Apakah dia tahu kau mencintainya?"
Sepasang mata biru Peri Angsa
Putih memandang lekat-lekat pada Peri Bunda, seolah membesar dan berbinar. Di
lubuk hatinya dia berkata. "Aku memang tidak pernah berterus terang pada
Wiro. Tidak mungkin seorang perempuan, apa lagi seorang Peri mendahului membuka
isi hatinya. Namun… mungkin ketidaktahuan ini membuat dia bersikap seperti itu
padaku. Tapi apa gunanya. Sekalipun kini dia tahu tak ada artinya lagi. Aib
yang telah dilakukannya terlalu besar. Aku tidak mungkin menerima seorang
kekasih seperti itu…." Peri Angsa Putih usap pinggiran ke dua matanya lalu
berkata. "Kau betul Peri Bunda. Aku memang tak pernah mengatakan isi
hatiku pada Wiro. Sekarang semuanya sudah kasip. Biar tetap kupendam seumur
hidupku…."
"Aku bangga melihat
ketabahanmu wahai Peri Angsa Putih. Kau tak usah kawatir pemuda itu akan
melakukan sesuatu. Jika perlu aku akan turun ke Negeri Latanahsilam
menemuinya…."
"Apa yang akan kau
lakukan Peri Bunda? Apa yang hendak kau katakan padanya?"
"Kau tak usah kawatir,
kau tak usah takut. Serahkan semua padaku. Pasti akan dapat kuselesaikan demi
untuk kebaikan dirimu dan kesucian kita sebagai kaum Peri yang tidak bisa
disamakan dengan bangsa manusia biasa…" Peri Bunda belai pipi Peri Angsa
Putih lalu bangkit berdiri. "Aku akan pergi ke Negeri Latanahsilam
sekarang juga. Kau tetap di sini. Jangan kemana-mana. Kau boleh berada di
kamarku ini sampai aku kembali…."
"Terima kasih Peri Bunda.
Aku memang merasa lebih tenteram berada di kamarmu ini," kata Peri Angsa
Putih pula.
"Sebelum aku pergi ada
satu hal lagi yang perlu kukatakan padamu. Jika aku tidak mengeluarkan hal ini
rasanya akan menjadi ganjalan yang tidak enak."
"Katakanlah Peri Bunda.
Wahai gerangan apa yang hendak kau sampaikan?" ujar Peri Angsa Putih pula.
"Menurut ceritamu kau
meninggalkan Wiro pergi bersama Lakasipo, menunggangi kuda hitam berkaki enam
berdua-dua."
"Betul Peri Bunda,"
membenarkan Peri Angsa Putih sambil anggukkan kepala.
"Dengan caramu itu kau
bermaksud hendak sekedar membalaskan sakit hatimu pada Wiro. Mungkin juga
hendak mengatakan bahwa bukan dia seorang lelaki di atas dunia ini. Tapi kau
lupa satu hal. Entah kau sadari atau tidak kau seolah memberi harapan pada
Lakasipo…"
Peri Angsa Putih terdiam. Peri
Bunda melanjutkan kata-katanya. "Mungkin aku salah menduga. Tapi setahuku,
sebelum Wiro muncul di Negeri Latanahsilam kau pernah memperlihatkan sikap dan
rasa tertarik pada Lakasipo. Sikapmu berubah begitu Wiro datang…."
Wajah Peri Angsa Putih bersemu
merah. Peri ini coba tertawa. "Peri Bunda, kau meminta aku melupakan
pemuda itu. Aku telah melakukannya…. Mengenai Lakasipo, bukankah dia juga telah
masuk dalam pikatan Luhjelita?"
"Itu dulu. Bagaimana kini
kalau dia tahu apa yang telah dilakukan Wiro dengan Luhjelita? Dia pasti akan
kecewa besar, mungkin marah sakit hati dan mengarahkan pilihannya padamu.
Apalagi sejak lama tersiar kabar bahwa Luhjelita konon adalah kekasih Hantu
Muka Dua…."
"Wahai, terus terang aku
tidak memikir sampai ke sana, Peri Bunda…."
Peri Bunda cium kening
kerabatnya itu lalu tinggalkan tempat tersebut Tak lama setelah Peri Bunda
pergi, walau berada dalam kamar yang luas dan bagus lamalama Peri Angsa Putih
merasa gelisah sendiri. Dia duduk di tepi pembaringan yang empuk. Lalu
melangkah mundar-mandir. Sesekali dia berdiri di belakang satu jendela,
memandang keluar ke arah sebuah taman yang dipenuhi berbagai bunga yang tengah
berkembang. Di tengah taman tiba-tiba seolah muncul bayangan sosok Pendekar 212
Wiro Sableng, melambaikan tangan kearahnya.
Peri Angsa Putih sampai
tersurut "Wahai…. Pertanda apa ini?. Mengapa bayangannya mendadak muncul
seperti itu. Apakah satu pertanda bahwa aku sebenarnya tidak bisa melupakan
dirinya? Bahwa semua apa yang aku katakan pada Peri Bunda sebenarnya tidak
keluar dari lubuk hatiku? Wahai…. Antara aku dan dia mungkin tidak bisa pernah
terjalin tali perkawinan. Tapi apa yang telah dilakukannya memperjauh jarak
antara aku dengan dia. Wiro, mengapa kau melakukan perbuatan aib itu…?"
Peri Angsa Putih jauhi
jendela. Lalu kembali dia melangkah mundar mandir di dalam kamar yang luas dan
bagus itu. Di sudut kamartergantung serangkaian jambangan bunga dari rotan
bersusun enam. Yang sebelah bawah paling besar, sebelah atasnya lebih kecil
demikian seterusnya. Peri Angsa Putih telah beberapa kali memperhatikan
jambangan yang berisi bunga hidup itu. Namun entah mengapa kali ini tergerak
hatinya untuk mendekati jambangan tersebut dan melihat bunga-bunga yang ada di
situ lebih dekat. Semua bunga yang ada dalam jambangan selain bagus dan
memiliki warna indah juga menebar bau harum semerbak.
Peri Angsa Putih hendak
melangkah pergi ketika tiba-tiba pandangannya membentur sesuatu pada jambangan
paling besar di sebelah bawah. Sang Peri membungkuk agar bisa melihat lebih
jelas. Tidak percaya pada apa yang dilihatnya dia ulurkan tangan mengambil
benda itu. Yang diambil Peri Angsa Putih, terselip di antara kembang-kembang
bagus dan harum ternyata adalah dua buah bunga mawar kuning.
"Mawar kuning…"
desis Peri Angsa Putih. "Bunga ini hanya tumbuh di Taman Larangan. Mengapa
bisa berada di sini? Apakah Peri Bunda tahu kalau dua kuntum mawar kuning ini
terselip di antara bungabunga lainnya dalam jambangan?" Tiba-tiba Peri
Angsa Putih ingat. Tangannya bergetar. "Mawar kuning ini mawar beracun!
Mawar inilah yang tempo hari hampir membunuh Wiro di telaga. Wahai para Dewa!
Janganjangan…."
Takut keracunan Peri Angsa
Putih selipkan kembali dua kuntum mawar kuning itu di antara bunga-bunga
dijambangan rotan paling bawah. Namun selintas pikiran muncul di benaknya.
"Kalau benar apa yang kuduga, aku harus mempunyai bukti. Dua bunga mawar
kuning beracun itu harus kuambil dan kusembunyikan. Lalu aku harus menyelidik.
Atau mungkin aku akan tanyakan terus terang padanya? Berarti aku harus
menyusulnya saat ini juga! Tidak kusangka! Wahai, sungguh tidak kusangka!"
Cepat-cepat Peri Angsa Putih
hendak mengambil dua kuntum bunga mawar yang barusan diletakkannya. Namun
gerakannya tertahan. Dia merasa ada seseorang tegak di belakangnya,
memperhatikannya. Pasti Peri Bunda, pikir Peri bermata biru itu. Dia segera
membalikkan badan. Dugaannya ternyata salah!
7
YANG tegak di depan pintu
kamar itu adalah seorang perempuan cantik berpakaian putih sangat tipis hingga
beberapa bagian auratnya terlihat jelas. Bagaimana orang ini bisa masuk tanpa
membuka pintu bagi Peri Angsa Putih tidak mengherankan. Karena perempuan itu
adalah roh dari seseorang yang sebenarnya telah mati, namun bisa muncul dalam
wujud seperti manusia biasa berkat pertolongan para Peri dibantu para Dewa.
Sebagai mahluk setengah gaib sosok ini secara aneh sanggup masuk ke dalam
sebuah ruangan melalui celah atau lobang kecil.
"Luhrinjani…." Peri
Angsa Putih menyebut nama perempuan itu dengan suara bergetar. Lalu tangan
kirinya diletakkan di atas bibir seolah tak berani lagi bersuara membuka mulut.
Perempuan yang dipanggil dengan
nama Luhrinjani tersenyum. "Wahai, kau masih ingat namaku. Apakah kau juga
masih ingat siapa diriku ini adanya Peri Angsa Putih?"
"Aku ingat, kau adalah
roh yang mampu mewujudkan diri karena pertolongan para Peri dan para
Dewa…." jawab Peri Angsa Putih.
"Jawabanmu tidak salah,
tapi bukan itu yang aku maksudkan wahai Peri Angsa Putih," kata Luhrinjani
sambil layangkan senyum.
"Senyumnya sinis…. Apa
yang dimaksudkan mahluk ini?" membatin Peri Angsa Putih. "Wahai, aku
kurang paham maksudmu Luhrinjani."
"Begitu? Dengar baik-baik
wahai Peri bermata biru. Aku adalah Luhrinjani. Sampai saat ini aku masih istri
seorang lelaki bernama Lakasipo, berjuluk Hantu Kaki Batu yang dulunya adalah
Kepala Negeri Latanahsilam. Jelas…?"
Peri Angsa Putih anggukkan
kepala namun tetap bertanya-tanya apa maksud Luhrinjani dengan semua tanya dan
ucapannya itu.
"Aku tidak melupakan budi
baik dan jasa para Peri termasuk dirimu yang telah mampu membuat diriku bisa
berkeadaan seperti ini. Tapi itu bukan berarti aku harus begitu saja menerima
perlakuan menyakitkan dari para Peri!"
"Wahai, sepanjang aku
tahu kami para Peri tidak pernah menyakiti hatimu. Mungkin kau…."
"Peri Angsa Putih, ayam
putih terbang siang kata orang. Apa yang kau telah lakukan terlihat jelas
karena aku tidak buta!"
"Wahai, memangnya apa
yang telah aku lakukan?" Peri Angsa Putih bertanya heran.
"Kau lupa pada ucapanku
tadi. Sampai saat ini Lakasipo masih suamiku dan aku masih istrinya. Jangan ada
perempuan lain yang berani bermain api cinta dengan suamiku, termasuk
kau!"
Waktu menyebut "kau"
itu Luhrinjani beliakkan sepasang matanya dan jari telunjuk tangan kirinya
ditudingkan tepat-tepat ke wajah Peri Angsa Putih, membuat Peri ini terkejut
dan tersurut satu langkah! Wajahnya yang jelita berubah pucat.
"Luhrinjani, bagaimana
kau bisa menuduhku bermain cinta dengan suamimu? Memangnya aku ini…."
"Kau Peri pertama yang
kuketahui berani berkata dusta!" Membentak Luhrinjani.
Kalau tadi wajah Peri Angsa
Putih putih pucat, maka kini paras itu berubah merah. "Luhrinjani, apa
maksudmu! Kedustaan apa yang telah aku lakukan?!" Peri Angsa Putih
bertanya dengan suara keras lantang.
Matanya yang biru membersitkan
sinar pertanda dia tengah dilanda kemarahan besar. "Jangan berani bicara
yang bukan-bukan! Tempat ini bukan duniamu! Jika kau masih bermulut lancang
lekas angkat kaki dari sini sebelum kuperintahkan barisan para Peri untuk
menyeretmu dan melemparkan rohmu ke bumi sana!"
Luhrinjani kembali layangkan
senyum sinis.
"Aku tidak bicara yang
bukan-bukan. Justru aku datang untuk bicara yang benar-benar!" menyahuti
Luhrinjani si mahluk gaib setengah roh setengah manusia itu. "Aku tidak
pula bermulut lancang! Dan terus terang aku merasa senang jika ada Peri lain di
tempat ini mendengar apa yang akan kusampaikan padamu!"
"Rupanya kemunculanmu
sengaja hendak mempermainkan dan mempermalukan diriku!" kata Peri Angsa
Putih dengan suara bergetar.
"Peri Angsa Putih, dengar
baik-baik apa yang akan kukatakan. Aku tidak, suka kau memikat suamiku! Aku
tidak suka melihat kau bercinta dengan Lakasipo!"
"Mahluk kurang ajar!
Siapa memikat suamimu! Siapa bercinta dengan Lakasipo!" Teriakan Peri
Angsa Putih menggelegar di dalam kamar besar itu.
"Jangan kira aku buta
wahai Peri Angsa Putih. Aku punya kemampuan melihat apa yang kau lakukan. Aku
punya kemampuan mengawasi tindak tanduk suamiku!"
"Kalau kau mempunyai
kemampuan mengapa kau tidak bertindak ketika Lakasipo bercinta di sebuah goa
batu pualam dengan Luhjelita?! Jika kau punya kemampuan mengapa kau tidak
bertindak terhadap Luhsantini istri Hantu Bara Kaliatus yang sejak beberapa
lama ini selalu kemana-mana bersama Lakasipo?!"
Luhrinjani tertawa panjang
mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. "Kau hendak mengalihkan
pembicaraan. Saat ini bukan perihal gadis bernama Luhjelita itu yang ingin aku
bicarakan. Soal Luhsantini tidak usah kau korek-korek karena aku sudah ada
rencana tersendiri terhadapnya. Aku datang ke sini untuk membicarakan dirimu!
Hanya karena perselisihanmu dengan pemuda gagah bernama Wiro Sableng itu lantas
kau berbuat tak karuan! Wahai! Apa kau kira aku tidak tahu bagaimana kau
meninggalkan pemuda itu lalu memikat suamiku?! Menunggangi Laekakienam
bersama-sama sambil tanganmu merangkul ke pinggang Lakasipo? Kau sungguh cerdik
Peri Angsa Putih! Kau sakiti hati Wiro Sableng, sekaligus kau rayu
suamiku!"
"Luhrinjani! Tuduhanmu
busuk sekali! Aku tidak punya niat memikat suamimu! Juga tidak punya keinginan
bercinta dengannya!"
"Yang kau ucapkan justru
berlainan dengan apa yang aku rasa dan aku lihat sendiri!" jawab
Luhrinjani.
"Sebagai Peri kau tentu
tahu apa yang kau ucapkan benar-benar putih bersih! Terus terang aku meragukan
kebersihan diri dan hatimu Peri Angsa Putih! Sebagai Peri kau lebih banyak
berkeliaran di Negeri Latanahsilam. Kau lebih banyak terpikat pada urusan
dunia. Jangan kira aku tidak tahu kalau kau telah jatuh hati pada pemuda
bernama Wiro Sableng itu! Jangan kira aku tidak tahu karena Wiro tidak membalas
cintamu kau lantas berbalik hati berusaha mendekatkan diri pada suamiku! Aku
ingin tahu apa kau berani menyangkal ucapanku! Berarti kau menambah dalam
kedustaanmu sendiri!" Luhrinjani tertawa panjang.
Belum puas sehabis tertawa
kembali dia menyemprotkan kata-kata. "Peri Angsa Putih, kau memang cantik.
Banyak lelaki bisa tertarik padamu. Tapi selain cantik kau ternyata picik! Apa
kau kira begitu mudah mendapatkan seorang suami berasal dari Negeri
Latanahsilam? Atau kau memang sudah siap menerima kutuk para Peri dan para
Dewa. Seperti yang dialami Luhmintari dan Lahambalang yang melahirkan bayi pembawa
malapetaka si Hantu Jatilandak itu? Hik…hik… hik! Rupanya memang bakal ada satu
Peri lagi yang akan menerima kutuk laknat! Dan kaulah mahluknya!"
Kembali Luhrinjani keluarkan
tawa panjang.
"Mahluk roh busuk
jahanam!" teriak Peri Angsa Putih. Amarahnya tak terkendalikan lagi. Dari
dua bola matanya menyambar sinar biru ke arah Luhrinjani.
Tapi orang yang diserang telah
lebih dulu berkelebat lenyap seolah sirna ditelan dinding kamar. Yang
tertinggal hanya suara tertawanya. Dua larik sinar biru yang tidak mengenali
sasarannya melabrak sebagian pintu dan dinding kamar hingga hancur berantakan
dan kepulkan asap biru.
Peri Angsa Putih sadar lalu
bingung sendiri melihat apa yang telah dilakukannya. "Celaka…. Kamar Peri
Bunda kubuat rusak. Sebentar lagi para Peri akan datang ke tempat ini. Aku
harus segera pergi sebelum mereka muncul!"
Peri Angsa Putih segera
berkelebat ke arah pintu yang jebol. Tapi dia ingat sesuatu. Cepat dia
mendekati jambangan rotan lalu mengambil dua kuntum mawar beracun. Bunga-bunga ini
digulungnya dibalik pakaian putihnya lalu dengan cepat dia tinggalkan tempat
itu. Ketika enam orang Peri berpakaian serba merah di bawah pimpinan Peri
Sesepuh yang luar biasa gemuknya itu sampai di kamar tersebut, Peri Angsa Putih
tak ada lagi disitu.
Peri Sesepuh usap mukanya yang
putih gembrot dan selalu keringatan. Dia memandang berkeliling.
"Wahai, gerangan apa yang
terjadi di tempat ini? Mana Peri Bunda? Aku mencium bau harum. Pertanda ada
seseorang memasuki kamar ini sebelumnya…." Peri gemuk berpakaian merah dan
memiliki bulu ketiak panjang berserabutan itu memandang pada anak buahnya. Lalu
memberi perintah. "Lekas selidiki apa yang terjadi! Cari Peri Bunda sampai
dapat!"
8
KAKEK berpenampilan dahsyat di
puncak bukit batu yang menghadap ke laut itu hentikan samadinya. Telinganya
menangkap suara kaki-kaki berlari di kejauhan. Matanya yang tadi terpejam
dibuka sedikit.
"Ada dua orang yang
berlari. Mudah-mudahan mereka…" membatin si kakek. Orang tua ini
mengenakan sehelai jubah putih. Rambutnya panjang di sebelah belakang,
melambai-lambai ditiup angin laut Yang dahsyat dari manusia ini adalah
kepalanya. Dia memiliki otak yang terletak di luar kepala, antara kening dan
ubun-ubun. Otak ini diselubungi oleh sejenis benda atos berbentuk kening sehingga
otak yang bergerak berdenyut-denyut itu bisa dilihat dengan jelas!
"Kakek Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab! Kami datang!"
Kesunyian yang hanya dibayangi
suara halus tiupan angin laut di tempat itu dipecah oleh dua seruan perempuan
berseru berbarengan.
Kakek yang tengah bersamadi
gerakkan kepalanya. Begitu dia membuka sepasang matanya lebih besar, dua gadis
berparas cantik, sama-sama mengenakan pakaian putih dan sama-sama berambut
pirang tahu-tahu telah berlutut di hadapannya.
"Cucuku Luhkemboja dan
Luhkenanga. Lama aku menunggu akhirnya kalian datang juga. Apakah kalian
berhasil melaksanakan tugas. Mendapatkan benda yang aku inginkan?"
Dua gadis cantik yang bukan
lain adalah Sepasang Gadis Bahagia tundukkan kepala lalu sama-sama menjawab.
"Berkat petunjukmu kami
berhasil mendapatkannya."
Ternyata dua gadis kembar ini
adalah cucucucu dari tokoh paling terkemuka di Negeri Latanahsilam yakni yang
dikenal dengan julukan Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Tidak menunggu lebih lama
gadis bernama Luhkemboja segera keluarkan tongkat batu biru dari balik
pakaiannya lalu diserahkan pada si kakek.
Hantu Sejuta Tanya menyambut
benda itu dengan wajah berseri-seri dan mata berkilat-kilat. Tongkat batu
diusapnya berulangkali. "Tongkat Bahagia Biru…" kata si kakek perlahan
menyebut nama tongkat itu. "Akhirnya kau kembali juga ke tanganku."
Luhkemboja dan Luhkenaga
saling melontar pandang. Kini mereka baru tahu kalau tongkat batu biru itu
bernama Tongkat Bahagia Biru. Keduanya menduga-duga apakah tongkat tersebut ada
hubungan atau sangkut pautnya dengan Istana Kebahagiaan, pelambang Kerajaan
Hantu Muka Dua.
Sebelumnya telah dituturkan
bahwa tongkat sakti ini pernah berada di tangan tokoh berjuluk si Tongkat Biru
Pengukur Bumi yang mayatnya ditemukan oleh Luhjelita. Ketika Luhjelita
menemukan mayat Si Tongkat Biru Pengukur Bumi, tongkat tersebut ada di dekat
mayat, lalu di ambil oleh Luhjelita. Si gadis kemudian menyerahkan tongkat
tersebut kepada Pendekar 212. Lalu belum lama berselang Sepasang Gadis Bahagia
yang memang mendapat perintah dari Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab berhasil
mengambil tongkat itu dari tangan Wiro setelah lebih dulu melakukan perbuatan
keji terhadap Luhjelita.
"Luhkemboja dan
Luhkenanga, tidak sia-sia aku mempunyai cucu seperti kalian. Aku sangat berterima
kasih kalian sudah dapatkan tongkat ini…."
Waktu Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab berkata Luhkenanga melirik pada kakaknya. Luhkemboja memberi
isyarat dengan kedipan mata. Maka Luhkenanga lantas berucap. "Kek, mataku
yang awam melihat tongkat batu itu biasa-biasa saja. Buruk seperti tiada
berguna. Tetapi agaknya bagimu sangat penting. Apakah ada sesuatu rahasia atau
satu kekuatan sakti yang terkandung dalam tongkat itu? Yang kami tidak
tahu?"
Hantu Sejuta Tanya Jawab
tersenyum. "Tongkat buruk ini bagi orang lain tak ada artinya. Tapi bagiku
sangat berharga dan penuh kenangan. Tongkat ini diberikan oleh seorang sahabat
bernama Lasedayu. Beberapa lama berada di tanganku tongkat dicuri oleh seorang
tak dikenal. Setelah menguasai tongkat ini dia kemudian menjuluki dirinya
sebagai si Tongkat Biru Pengukur Bumi. Dengan tongkat ini dia gentayangan di
Negeri Latanahsilam, menebar angkara muka hingga dia menjadi momok ditakuti.
Kemudian kusirap kabar dia pernah menjadi kaki tangan Hantu Muka Dua. Namun kemudian
konon dia menemui ajal di bunuh seseorang. Aku sangat berbahagia karena tongkat
pemberian sahabatku ini sekarang telah berada di tanganku kembali. Jasamu
sangat besar. Aku tidak akan melupakan seumur hidup…."
"Kau kakek kami, kami
cucumu. Pantas sekali kalau kami berbakti padamu!" kata Luhkemboja.
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab tersenyum.
Tongkat Bahagia Biru
diletakannya di atas pangkuan. Lalu tangannya kiri kanan mengusap kepala dua
gadis kembar itu.
"Luhkenanga dan
Luhkemboja. Sewaktu kalian kutugaskan mencari tongkat ini, aku juga telah
meminta kalian agar menyirap kabar tentang seorang pemuda asing bernama Wiro
Sableng. Apa kalian berhasil mengetahui dimana dia berada?"
"Kakek Sejuta Tanya
Sejuta Jawab," kata Luhkenanga.
"Jangan kau terkejut
kalau mengetahui justru tongkat itu kami rampas dari pemuda asing bernama Wiro
Sableng itu!"
Kakek yang otaknya berada di
luar kepala itu tampak terkejut. Dia usap-usap janggut putihnya berulang kali.
"Sungguh tidak kuduga…. Bagaimana tongkat ini bisa berada di tangannya.
Harap kau mau menceritakan lebih banyak dan lebih jelas…."
Luhkemboja lalu menuturkan
riwayat pertemuannya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Tak lupa dia juga
menerangkan kemunculan Peri Angsa Putih.
"Wahai, banyak keanehan
rupanya terjadi di Negeri Latanahsilam. Menurut kabar yang aku dengar
sebenarnya Peri Angsa Putih sudah sejak lama menaruh hati pada pemuda dari
negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu. Mengapa kini dia bersekutu
membantu kalian?"
"Bisa saja terjadi kalau
pemuda itu sebenarnya adalah seorang hidung belang!" kata Luhkenanga.
"Apa maksudmu cucuku
Luhkenanga?" tanya Hantu Sejuta Tanya Jawab.
Luhkemboja dan Luhkenanga lalu
mengarang cerita bahwa mereka telah memergoki Pendekar 212 dan Luhjelita tengah
melakukan perbuatan mesum di sebuah goa di kawasan terpencil.
Berubahlah wajah tua Hantu
Sejuta Tanya Jawab. Otaknya tampak menggembung lebih besar dan berdenyut keras.
Berkali-kali kakek ini gelengkan kepalanya.
"Tak bisa kupercaya!
Wahai, sungguh tak bisa kupercaya…. Dua cucuku, kalian menyaksikan sendiri
kejadian itu?" tanya Hantu Sejuta Tanya jawab.
"Bukan cuma kami
Kek," jawab Luhkenanga. "Peri Angsa Putih juga ikut melihat karena
kebetulan dia berada di sana!"
Si kakek hembuskan udara dari
dalam mulutnya seolah menghembuskan hawa panas mengandung bara api yang
membakar perut dan dadanya.
"Wahai para Dewa. Sungguh
tak bisa kupercaya! Kacau sudah semua rencanaku. Bagaimana aku akan meneruskan.
Pertanda Negeri Latanahsilam tak bisa diselamatkan! Malapetaka akan melanda
negeri ini! Istana kebahagiaan akan menjadi pusat bahala. Nyawa akan bertabur
dimana-mana. Darah akan menganak sungai membasahi negeri! Apa yang aku takutkan
kelak akan terjadi! Wahai para Dewa apa yang harus aku lakukan? Pemuda bernama
Wiro Sableng! Wahai, mengapa yang aku lihat dulu tentang dirimu tidak sama
dengan kenyataan?!" Kembali kakek yang otaknya berada di luar kepala itu
menggeleng berulang kali.
Wajahnya yang keriput tampak
memucat penuh kecewa. Luhkemboja dan Luhkenanga saling bertukar pandang
mendengar ucapan Hantu Sejuta Tanya Jawab yang tidak mereka mengerti itu.
"Kek, kalau kami boleh
bertanya apa maksud semua ucapanmu tadi?" bertanya Luhkemboja.
Sang adik menyambung.
"Kau punya rencana. Tapi kacau katamu. Rencana apa Kek? Malapetaka apa
yang akan menimpa Negeri Latanashilam? Ada apa dengan Hantu Muka Dua di Istana
Kebahagiaan? Apa dia yang akan jadi biang racun rencana di negeri ini?"
Luhkemboja kembali membuka
mulut. "Kek, tadi kau berucap sepertinya dulu pernah menyirap diri Wiro
Sableng dan apa yang akan terjadi di masa mendatang. Lalu kau melihat kenyataan
lain…. Kek, agaknya kau punya satu rencana besar yang tidak pernah kami
ketahui. Kau merahasiakan sesuatu!"
"Cucu-cucuku, maafkan
diriku. Perasaan hati dan tubuhku mendadak tidak enak. Aku berterima kasih
kalian telah mendapatkan tongkat ini. Namun harap dimaafkan. Harap kalian suka
meninggalkan aku seorang diri. Aku ingin bersamadi kembali. Mungkin satu hari
suntuk. Mungkin berhari-hari sampai satu minggu. Tergantung petunjuk yang aku
dapat dari para Dewa…"
"Kek, jika kami dapat
membantu…." kata Luhkemboja pula.
Hantu Sejuta Tanya Jawab
gelengkan kepala. "Terima kasih, kurasa saat ini tak ada seorangpun yang
bisa menolongku. Karenanya aku perlu mendekatkan diri pada Yang Kuasa…."
Luhkemboja dan Luhkenanga
saling pandang seketika. Lalu ke dua gadis kembar ini sama-sama membungkuk
memberi hormat Setelah itu keduanya segera tinggalkan tempat itu.
Tak lama setelah dua gadis itu
berlalu Hantu Sejuta Tanya Jawab ambil Tongkat Bahagia Biru dari atas
pangkuannya. Tongkat dipegangnya dengan ke dua tangannya. Dia membaca satu
mantera pendek. Dari telapak tangan kiri kanannya mengepul asap biru pekat dan
menebar bau harum. Si kakek gerakkan tangannya, membuat gerakan berputar. Yang
kiri didorong ke arah depan, yang kanan ditarik ke belakang. Seharusnya tongkat
batu itu akan berputar. Tetapi hal itu tidak terjadi. Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab baca kembali manteranya. Sampai tiga kali. Lalu dua tangannya diputar
kuat-kuat
"Kraaakkkk!"
Tongkat batu biru patah dua!
Sepasang mata si kakek membeliak besar perhatikan tongkat yang patah. Masih
kurang percaya dia dekatkan tongkat itu ke matanya, memeriksa ujungujung yang
patah.
"Palsu!" teriak si
kakek tiba-tiba. "Kurang ajar! Dua gadis celaka itu pasti telah
menipuku!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab tancapkan dua patahan tongkat batu ke batu hitam di atas mana dia duduk.
Dua patahan tongkat amblas ke dalam batu sampai dua pertiganya!
"Luhkemboja! Luhkenanga!
Kalian berada di mana?! Lekas kembali ke sini!" teriak si kakek.
Jawaban yang diterimanya
hanyalah gema suaranya yang kemudian pupus ditelan hembusan angin laut Tapi
perlu apa aku mencari kebenaran? Hanya untuk membela pemuda berhati keji itu?
Bukankah lebih baik aku memencilkan diri bersunyi diri di satu tempat? Biarlah
terjadi apa yang akan terjadi! Kelak semuanya akan selesai dengan
sendirinya."
"Peri Angsa Putih! Kami
sahabatmu datang!"
Peri Angsa Putih terkejut Ada
orang berseru memanggilnya. Dia cepat berpaling dan dapatkan Naga Kuning serta
Si Setan Ngompol sudah berada di sampingnya.
"Hemm… Kalian…."
Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut sang Peri. Dalam keadaan seperti itu,
apalagi Naga Kuning dan Si Setan Ngompol adalah sahabatsahabat Wiro yang kini
dibencinya, Peri Angsa Putih bersikap seperti tidak acuh. Dalam hati dia
berkata.
"Kalau Wiro bersifat
sekeji itu, dua sahabatnya ini walau satu masih bocah dan lainnya sudah
kakekkakek, keduanya pasti bangsa bajingan juga! Aku tidak lagi bisa
mempercayai orang-orang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang itu!
Ternyata mereka jahat busuk semua!"
"Peri Angsa Putih, apakah
kau baik-baik saja selama ini?" bertanya Si Setan Ngompol.
Peri Angsa Putih pandangi
wajah kakek itu. Dia tidak mau menjawab. Sebenarnya dia merasa heran dan ingin
bertanya sewaktu melihat si kakek tidak lagi mempunyai daun telinga sebelah
kanan. Tapi karena sedang kalut ditambah mendadak saja timbul rasa benci
terhadap dua sahabat Wiro ini maka Peri Angsa Putih tidak ajukan pertanyaan.
"Wahai, kau diam
saja!" berkata Naga Kuning.
"Melihat wajahmu yang
murung agaknya ada sesuatu yang menjadi ganjalan hatimu."
"Apapun yang sedang
kurasa dan kualami, semua bukan menjadi urusan kalian…."
Mendengar kata-kata sang Peri
Naga Kuning dan si kakek jadi sama-sama saling pandang. Si bocah berbisik.
"Tidak biasanya dia seperti ini. Mengapa berubah jadi ketus dan tak acuh
pada kita?"
Si Setan Ngompol sesaat diam
saja. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. "Naga Kuning, memang kita
tidak boleh mengganggu orang yang sedang kalut. Urusan orang jangan dijadikan
urusan kita." Lalu pada Peri Angsa Putih si kakek berkata. "Peri,
kami tidak berniat mengganggumu. Kami tidak berkeinginan mencampuri apapun yang
jadi urusanmu. Kami kebetulan lewat di sini dan melihatmu sendirian. Karena
kita bersahabat itu sebabnya kami mendatangi dan bertegur sapa. Kami tadinya
ingin menanyakan apakah kau mengetahui dimana beradanya sahabat kami Pendekar
212 Wiro Sableng."
"Pemuda itu, aku tak tahu
dia berada di mana. Kalaupun tahu rasanya bukan menjadi urusanku…."
Naga Kuning dan Setan Ngompol
kembali saling berpandangan. "Kenapa dia jadi ketus judes begini…?"
Bisik si bocah.
"Jangan-jangan si sableng
itu telah menyakitinya. Pasti terjadi sesuatu antara mereka!" jawab Si
Setan Ngompol.
"Kalaupun itu betul, itu
urusan dia dengan Wiro. Tidak selayaknya dia bersikap seperti ini terhadap
kita!" tukas Naga Kuning.
"Kalian mencari
Wiro?" Tiba-tiba Peri Angsa Putih bertanya. Di wajahnya kelihatan seulas
senyum. Naga Kuning dan Setan Ngompol jadi lega. Tapi hanya sesaat. Karena di
lain kejap senyum itu lenyap dan sang Peri berucap. "Jika ingin tahu
dimana sahabat kalian itu berada, tanyakan pada kekasihnya, Luhjelita!"
"Eh, sejak kapan
Luhjelita jadi kekasih sahabat kami?" tanya Naga Kuning. Sementara Setan
Ngompol bengong tak mengerti.
"Jangan pura-pura tidak
tahu. Kalian bertiga pasti sama saja! Muncul di Negeri Latanashilam untuk
mencari gadis-gadis menghibur diri secara keji! Kami di sini bukan gadis-gadis
barang mainan!"
"Astaga." Si Setan
Ngompol sampai tersentak mendengar kata-kata Peri Angsa Putih itu. Kencingnya
yang sejak tadi ditahan-tahannya langsung muncrat.
"Jangan-jangan Wiro telah
melakukan sesuatu pada Peri ini. Mungkin sudah dipeluk atau diciumnya!"
"Mungkin juga sudah
digerayanginya!" sambung Si Setan Ngompol.
"Gila! Dia enak-enakan
dapat anak orang, kita berdua yang dapat dampratan! Kek, mari kita tinggalkan
tempat ini. Tapi biaraku mengatakan sesuatu dulu pada Peri ini agar dia tahu
rasa!" Habis berkata begitu si bocah memandang pada Peri Angsa Putih dan
berkata. "Peri cantik bermata biru! Apapun urusanmu dengan Wiro bukan
urusan kami! Apapun urusan Wiro dengan Luhjelita, juga urusanmu dengan
Luhjelita, bukan pula urusan kami! Tapi satu hal aku beritahu padamu! Waktu di
tanah Jawa ada lusinan gadis tergila-gila pada Wiro. Mereka semua mengasihi
sahabatku itu! Kecantikan mereka tidak kalah dengan kau! Jangan kau merasa
paling cantik karena punya sepasang mata biru. Di tanah Jawa juga ada seorang
gadis bernama Ratu Duyung, memiliki mata lebih biru dan lebih bening dari kau!
Memiliki kecantikan yang tidak kalah dengan kau! Lalu masih ada segudang gadis
cantik lainnya. Biar aku sebutkan nama mereka satu persatu. Pandansuri!
Anggini! Bidadari Angin Timur. Yang satu ini memiliki rambut bagus pirang,
tubuhnya tak kalah harum semerbak dengan dirimu! Banyak lagi gadis-gadis lain
yang tergila-gila pada Wiro. Tapi Wiro memperlakukan mereka sebagai sahabat
dengan hati tulus! Tidak pernah dia berhati culas memanfaatkan kasih orang
untuk dijadikan barang permainan seperti katamu tadi! Kalau dia ingin berlaku
serong mengapa dilakukannya di tanah brengsek ini? Di tanah Jawa banyak gadis
yang bersedia menyerahkan dirinya secara pasrah! Tapi dia tidak mau
melakukannya! Aku tidak tahu apakah kau masih perawan atau tidak! Tapi
sahabatku itu aku tahu betul! Sampai saat ini dia masih bujang!"
Peri Angsa Putih terbelalak
ternganga mendengar kata-kata Naga Kuning itu. Wajahnya merah sampai ke
telinga. Tubuhnya tidak bergerak barang sedikitpun.
"Kau dengar baik-baik
Peri Angsa Putih!" Naga Kuning menyambung ucapannya. "Sebenarnya kami
tidak ingin menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam ini! Kalau bukan kami
tersesat siapa sudi! Negeri kami di tanah Jawa jauh lebih indah! Orangnya ramahramah.
Kalian di sini apa! Pakaian saja tidak karuan! Sebagian dari kalian bertubuh
bau! Malah banyak yang tidak pernah mandi-mandi! Kita pernah bersahabat! Tapi
sikap dan ucapanmu barusan sangat merendah kan diri kami dan sahabatku Wiro
Sableng!"
Habis berkata begitu Naga
Kuning tarik tangan Si Setan Ngompol mengajaknya pergi dari tempat itu.
Sambil melangkah mengikuti si
bocah dengan celana kuyup oleh kencingnya sendiri si kakek berkata. "Anak
geblek! Perlu apa kau memberi tahu nama gadis-gadis yang tergila-gila pada Wiro
itu. Peri Angsa Putih tidak kenal mereka semua!"
"Kenal atau tidak biar
dia tahu rasa! Mungkin dia merasa cantik sendiri di atas langit dan di kolong
bumi ini! Kalau saja dia bisa datang ke tanah Jawa dia akan lihat bahwa
gadis-gadis di sana banyak yang lebih cantik dan lebih mulus kulitnya dari
dia…. Mentangmentang kita orang kesasar enak saja dia mau melecehkan kita! Aku
sebenarnya sudah gerah. Ingin buru-buru angkat kaki dari negeri celaka
ini…."
"Aku juga,"
menyahuti Setan Ngompol. "Tapi sebelum daun telingaku sebelah kanan
kudapat kembali bagaimana mungkin aku bisa pergi. Selain itu aku juga belum
bertemu dengan Luhlampiri si nenek yang membuat hatiku empot-empotan itu!"
"Jangan jadi kakek tolol!
Di tanah Jawa ada ratusan nenek lebih montok segar dibanding si nenek peot itu.
Namanya saja Luhlampiri! Pasti dia turunan nenek lampir!"
"Jangan kau menghina
kekasihku itu!" Setan Ngompol marah.
Naga Kuning tertawa lalu
mencibir. "Tua bangka itu kenal kau saja belum, bagaimana kau bisa bilang
dia kekasihmu!"
"Kenal memang belum tapi
kami berdua sudah pernah saling berlirik mata dan berbalas senyum!"
Naga Kuning tertawa cekikikan.
"Lama-lama di negeri aneh ini kau bisa berubah jadi mahluk aneh. Sekarang
saja tampangmu sudah tidak karuan! Mata lebar jereng! Kuping cuma satu! Celana
kuyup bau pesing! Kek, apa hari ini kau sudah mandi?!"
"Anak sialan! Jangan
sampai kuremas kantong menyanmu!" teriak Setan Ngompol marah. Tangan
kanannya tiba-tiba menyelonong ke bawah perut Naga Kuning. Si bocah cepat
melompat selamatkan diri seraya berteriak.
"Kek! Baru satu hari kau
kenal pemuda banci bernama Si Binal Bercula itu, kini kau sudah ketularan
senang memegang bagian terlarang!"
"Bocah setan! Kurobek
mulutmu!" teriak Setan Ngompol marah. Dia mengejartapi Naga Kuning sudah
menghambur lari sambil tertawa cekikikan. (Mengenai tokoh banci berjuluk Si
Binal Bercula harap baca Episode berjudul "Hantu Muka Dua")
*
* *
HANYA sesaat setelah Naga
Kuning dan Setan Ngompol tinggalkan pedataran tinggi itu, Peri Angsa Putih
merasa sekujur tubuhnya lemas. Dia terduduk di tanah. Wajahnya mengelam dan air
mata tak kuasa dibendungnya. Dia mulai menangis sesengukan. Ucapan Naga Kuning
sangat memukul sanubarinya. Hatinya seperti disayat-sayat.
"Ucapan anak itu mungkin
betul. Tapi…." Peri Angsa Putih tutupkan dua tangannya ke wajah dan
menangis keras. Tiba-tiba hidungnya membaui sesuatu. Dia turunkan dua tangan,
memandang berkeliling. Ketika dia mendongak ke atas, di langit dilihatnya ada
satu bayangan biru berkelebat rendah menuju ke arah barat dimana saat itu sang
surya yang hendak tenggelam menyaput langit dengan cahayanya yang merah
keemasan.
"Peri Bunda…." desis
Peri Angsa Putih. "Dia turun lebih dulu dari aku. Mengapa baru sampai di
sekitar sini. Wahai, kulihat dia berputar-putar di sebelah sana. Itu arah
Gunung Latinggimeru. Agaknya ada sesuatu yang tengah diperhatikannya di sekitar
situ. Bukankah dia mengatakan padaku hendak mencari dan menemui Wiro?
Jangan-jangan dia sudah membayangi pemuda itu. Apa yang harus aku
lakukan…?"
Peri Angsa Putih memandang ke
arah barat. Saat itu dilihatnya sosok biru Peri Bunda tengah menukik ke bawah,
ke arah selatan gunung lalu lenyap dari pemandangan.
"Aku harus mengintai ke
sana…" kata Peri Angsa Putih lalu bangkit berdiri. "Kawasan selatan
itu adalah daerah berbatu-batu berbentuk aneh. Jarang orang datang ke sana.
Mungkin ada seseorang yang menunggunya di sana?"
Peri Angsa Putih cepat
melangkah ke tempat dia meninggalkan Laeputih, angsa putih raksasa
tunggangannya. Sesaat kemudian kelihatan Peri itu telah melayang di udara
menunggangi angsa putihnya. Dia sengaja menempuh arah berputar agar tidak
terlihat oleh Peri Bunda.
Di atas punggung angsa
tunggangannya Peri Angsa Putih keluarkan dua mawar kuning beracun dari balik
lipatan pakaiannya. "Peri Bunda…." desis nya. "Jadi kau
rupanya…. Sungguh aku tidak percaya…. Mengapa Peri Bunda? Mengapa kau lakukan
itu? Apa dosa pemuda itu terhadapmu?"
*
* *
10
PENDEKAR 212 Wiro Sableng
berdiri di atas kepingan batu besar berbentuk perahu tertelungkup itu. Jauh di
sebelah utara menjulang Gunung Latinggimeru.
"Kawasan aneh…"
membatin murid Sinto Gendeng.
"Batu-batu yang ada di
sini semuanya berbentuk ganjil. Mengapa Luhjelita meminta aku datang ke bukit
batu ini?" Agak jauh di sebelah sana ada tiga buah batu berbentuk tiang.
Ujungnya lancip runcing seolah hendak menusuk langit Sang pendekar ingat.
"Itu tiga batu yang dikatakan Luhjelita. Di situ dia akan menemuiku."
(Mengenai perjanjian bertemu
antara Wiro dengan Luhjelita harap baca Episode sebelumnya berjudul "Hantu
Langit Terjungkir")
Memandang ke arah barat Wiro
melihat matahari sedang menggelincir ke titik tenggelamnya. "Malam masih
agak lama. Rembulan belum tentu cepat muncul. Apakah benar dugaanku bahwa malam
ini malam bulan purnama penuh seperti yang dikatakan Luhjelita?" Saat itu
Wiro mendadak ingat pada pertemuannya terakhir sekali dengan Luhcinta beberapa
waktu lalu. "Aku sempat berkata padanya bahwa aku tidak mencintai
Luhjelita ataupun Peri Angsa Putih. Mungkin aku terlalu tolol! Mengapa aku
sampai berucap begitu? Bisa-bisa dia salah menduga dan salah mengharap. Tapi
kalau kubanding-banding sifat budi pekertinya, cara dia bicara, semuanya sangat
berbeda dengan sang Peri maupun Luhjelita. Aku punya kesan dia mencurigaiku
berbuat mesum dengan Luhjelita. Tapi sikapnya tetap tidak berubah, bicaranya
tetap lembut. Dia seperti tidak membenciku sama sekali. Mungkinkah dia gadis
yang dimaksudkan si Hantu Raja Obat dan Luhrinjani? Gila! Tak berani aku
menduga! Aku masih dijerat urusan gila! Dipermalukan sepasang gadis kembar
sialan itu! Semua orang di Negeri Latanahsilam pasti sudah tahu cerita gila
itu!"
Selagi Wiro tegak di atas batu
dan berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba dia melihat satu cahaya biru melesat
di udara. Tak lama kemudian cahaya ini menukik ke bawah. Hawa harum menebar di
Seantero bukit batu. Seorang perempuan berkulit putih bagus, berwajah cantik
anggun tahu-tahu telah tegak di hadapan Pendekar 212.
Murid Sinto Gendeng tentu saja
terkejut ketika dia mengenali siapa yang berdiri di depannya. Dalam hati dia
membatin.
"Lain yang dinanti lain
yang datang. Lain yang dicari lain yang unjukkan diri!"
Namun sambil tersenyum dan
garuk-garuk kepala murid Sinto Gendeng menyapa.
"Peri Bunda…."
"Aku gembira kau masih mengenaliku
walau jarang kita bersua…." kata si baju biru yang bagian bawahnya panjang
menjela-jela yang memang Peri Bunda adanya.
"Siapa yang bisa
melupakan seorang Peri cantik sepertimu. Yang konon adalah Peri Junjungan Dari
Segala Junjungan. Simpul Agung Dari Segala Peri…."
Peri Bunda tertawa senang.
"Hatiku gembira mendengar kau menyebut semua itu wahai pemuda bernama Wiro
Sableng. Datang dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang menyandang gelar
Pendekar . Lebih gembira lagi karena aku bisa menemui lebih cepat dari yang aku
duga…."
"Ini memang pertemuan
yang tidak terduga, Peri Bunda. Hanya sayang sebentar lagi malam akan turun.
Tempat ini pasti akan diselimuti kegelapan. Kecuali…."
"Kecuali bulan purnama
penuh muncul menerangi jagat," sambung Peri Bunda sambil melayangkan
senyum.
"Lagi pula, terus terang
saat pertemuan ini aku lebih suka jika udara malam yang gelap mau membantu.
Hingga kita disini tidak terlihat siapa-siapa…."
Saat itu pantulan cahaya sang
surya yang hendak tenggelam jatuh di wajah Peri Bunda hingga parasnya kelihatan
cantik sekali, membuat murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini jadi terpesona.
Dalam hati Wiro bertanya-tanya
apa maksud sang Puteri bahwa dia lebih suka udara malam yang gelap hingga tidak
ada yang melihat mereka berdua di kawasan bukit batu aneh itu.
"Peri Bunda, apakah kau
memang sengaja mencari diriku?"
Sang Peri anggukkan kepala.
"Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Pembicaraan ini cukup panjang. Mari
kita memilih tempat duduk yang enak…."
Wiro jadi merasa tidak enak.
"Bagaimana kalau sebelum pembicaraan selesai tahu-tahu Luhcinta
muncul?"
"Hai, parasmu sesaat
terlihat gelisah. Apakah kehadiranmu di tempat ini tengah menunggu
seseorang?" bertanya Peri Bunda.
Wiro garuk-garuk kepala.
"Aku menunggu dua orang sahabatku. Naga Kuning dan Si Setan Ngompol. Kami
berjanji bertemu di bukit batu ini," kata Wiro berdusta. Lalu dia
memandang berkeliling dan berkata.
"Batu panjang tempat aku
berdiri ini cukup baik untuk tempat kita duduk berbicara. Kau duduk di sebelah
sana, aku di ujung sini."
Sang Peri mengangguk tanda
setuju. Keduanya lalu duduk di atas batu panjang berbentuk perahu tertelungkup
itu. Peri Bunda menggeser duduknya, sengaja agak lebih dekat dengan Wiro. Hal
ini membuat sang pendekar kembali bertanya-tanya dalam hati.
"Peri Bunda, kau bisa
mulai. Hal apakah yang hendak kau bicarakan?"
"Wahai, bagaimana aku
harus memulai. Ujung yang mana yang hendak aku sibakkan lebih dulu,"
ujar Peri Bunda dan kembali
mengulum senyum. "Aku khawatir jika salah aku mengucap, jika keliru aku
mengambil langkah permulaan kau akan salah menduga terhadap diriku…."
"Aku percaya, maksudmu
sengaja mencari diriku adalah maksud baik semata. Mengapa ragu untuk
memulai?" ujar Wiro pula. Dalam hati dia berkata.
"Jangan-jangan Peri ini
mencariku ada sangkut pautnya dengan urusan gila di goa itu. Bukan mustahil
Sepasang Gadis Bahagia telah menemuinya lalu mengadukan apa yang terjadi. Edan
betul!"
"Aku gembira kau bisa
berkesimpulan baik seperti itu. Biar aku menggeser dudukku lebih dekat."
Sang Peri lalu bergerak ke kiri hingga jaraknya dengan Wiro hanya terpisah dua
jengkal. Berada sedekat itu murid Sinto Gendeng seolah dapat mencium keharuman
bau tubuh Peri Bunda sampai ke lekuk-lekuknya yang tersembunyi sekalipun! "Aneh,
mengapa Peri satu ini berperangai lain sekali?" tanya Wiro dalam hati.
"Aku sengaja bicara
berdekat-dekat begini, bukan maksud apa-apa," kata Peri Bunda seolah tahu
apa yang ada dalam benak atau hati sang Pendekar. "Kegelapan malam bisa
saja memiliki telinga yang dapat mendengar. Saputan angin mungkin saja
merupakan suara yang menebar jauh ke tempat takterduga. Duduk berdekatan begini
aku bisa bicara lebih perlahan, untuk menjaga segala kemungkinan."
Wiro tambah tidak mengerti.
Mengapa pembicaraan itu seolah satu rahasia besar yang jangankan orang lain
tapi udara malampun tak boleh mendengarkanya? Dia menunggu sampai sang Peri
akhirnya melanjutkan bicaranya.
"Wahai, sejak beberapa
waktu lalu telah tersebar kabar bahwa kau telah melakukan satu aib besar terhadap
Luhjelita, di satu goa…. Kau tahu, perbuatan ini bukan saja mencemari Negeri
Latanahsilam, tetapi juga menjadikan satu pemandangan menusuk mata bagi kami
para Peri di Negeri Atas Langit."
"Dugaanku tidak
meleset!" kata Wiro dalam hati.
"Hal sialan itu yang
hendak dibicarakannya! Sepasang Gadis Bahagia, pasti kalian sudah menyebar
kabar. Awas kalian!"
"Kau hendak mengatakan
sesuatu Wiro? Kulihat bibir dan pelipismu bergerak-gerak." Bertanya Peri
Bunda. Wajahnya ditundukkan sedikit dan dia memperhatikan Wiro dari bawah
dengan kepala dimiringkan.
"Peri Bunda, kalau saya
boleh bertanya dari mana atau dari siapa kau mendapat keterangan bahwa saya
telah melakukan aib besar terhadap Luhjelita?" Wiro menjawab dengan balas
bertanya.
"Wahai…. Aku ingin menjaga
semua yang terbaik. Karenanya tak perlu kujelaskan dari mana sumber kabar yang
aku terima. Kuharap kau tidak kecewa…" jawab Peri Bunda.
"Kalau kau tak mau
memberitahu tak jadi apa. Tapi saya sudah bisa mengira, siapa biang racun
penyebar fitnah itu," kata Wiro pula. "Sekarang ingin saya
mengetahui, apakah kau mempercayai hal itu?"
"Setiap hal yang disertai
kenyataan dan saksi hidup tidak dapat dikatakan sebagai fitnah…."
Pendekar 212 Wiro Sableng
menyeringai. "Kenyataan bisa dibuat diciptakan oleh orang yang tidak
senang terhadap seseorang. Apapun alasannya. Saksi hidup bisa saja memberikan
kesaksian salah atau kesaksian palsu apapun alasannya. Saat ini kita berdua-dua
di sini. Jika kemudian hari tersebar kabar bahwa kita telah berbuatu sesuatu
yang memalukan di tempat ini, bagaimana perasaan dan tanggapanmu Peri
Bunda…."
Saat itu sang surya telah
tenggelam. Udara mulai gelap. Namun Wiro dapat melihat bagaimana wajah sang
Peri bersemu merah mendengar kata-katanya barusan.
"Jadi kau menyangkal
telah melakukan perbuatan itu?"
"Saya menyangkal karena
di dalam goa memang saya tidak melakukan perbuatan seperti dituduhkan itu. Saya
tidak berbuat apa-apa, kecuali menolong gadis bernama Luhjelita itu. Kalau kau
suka mendengar akan saya ceritakan apa yang sebenarnya terjadi…."
"Wahai…. Bagaimana kalau
kukatakan bahwa Peri Angsa Putih ikut melihat apa yang kau lakukan bersama
Luhjelita."
"Bisa saja dia memang
melihat kami berdua. Tapi apa yang dilihatnya? Ketika saya masuk ke dalam goa,
gadis bernama Luhjelita itu memang sudah tidak dalam keadaan berpakaian. Dia
telah menjadi korban kebejatan…."
"Tunggu dulu wahai pemuda
bernama Wiro. Peri Angsa Putih tidak mungkin berdusta…" memotong Peri
Bunda.
"Saya tidak mengatakan
dia berdusta. Mungkin sekali dia hanya melihat ekor dari satu kejadian. Dia
tidak melihat permulaan, ketika saya masuk dan menemukan Luhjelita. Ketika saya
menolongnya…. Saya tidak mengerti, mengapa Peri Angsa Putih mempunyai dugaan
serta tuduhan seperti itu. Padahal dia mungkin hanya melihat sebagian dari
kejadian…."
"Anggaplah Peri Angsa
Putih melihat bagian terakhir dari apa yang terjadi. Tapi bagaimana dengan dua
gadis kembar berjuluk Sepasang Gadis Bahagia itu? Mereka melihat bagian pertama
dari apa yang terjadi!"
"Peri Bunda, tadi kau
menolak memberitahu siapa sumber yang menebar berita. Kini akhirnya kau
mengungkap sendiri. Peri Angsa Putih dan Sepasang Gadis Bahagia! Saya tidak
tahu apa yang terjadi dengan Peri satu itu. Dulu dia sangat baik terhadap saya.
Banyak budi pertolongannya yang sangat besar dan tidak dapat saya balas. Tapi
mengenai Sepasang Gadis Bahagia, saya tahu kalau mereka adalah gadis-gadis
berkelakuan aneh tidak karuan…."
"Aku tahu siapa mereka.
Tapi itu tidak bisa dijadikan alasan bahwa mereka menebar fitnah. Api, yang
dilihat orang jahat dan orang baik dari satu kenyataan pasti tidak akan berbeda
dan tidak berubah!"
Pendekar 212 jadi panas hati
mendengar ucapan sang Peri. Maka diapun berkata. "Peri Bunda, hari sudah
gelap. Saya tak ingin lagi meneruskan pembicaraan ini. Jangan sampai saya
mendapat fitnah untuk kedua kalinya di Negeri Latanah silam ini. Negeri yang
saya tahu tidak semua penghuninya merupakan mahluk-mahluk suci! Saya juga tahu
bahwa tidak semua Peri di atas langit sana agung dan kudus! Banyak diantara
mereka yang telah menempuh hidup keliru menurut ukuran para Peri. Padahal
mereka hanya sekedar ingin melepaskan diri dari kepalsuan hidup dan
menginginkan harkat mereka sebagai mahluk hidup. Saya kasihan melihat nasib
seorang sahabat saya bernama Hantu Jatilandak. Dia adalah korban kutukan salah
kaprah dari para Peri! Dia hidup dalam keadaan sebagai mahluk mengerikan!
Padahal apa dosanya! Ibunya menjadi patung mengenasksn! Apakah perlakuan hidup
seperti itu yang hendak dibanggakan dan dianggap paling sesuai oleh para Peri
di atas langit sana? Terus terang saja Peri Bunda. Maukah kau berterus terang
bahwa jauh di lubuk hatimu kau juga mendambakan satu kehidupan wajar yang
dijalin cinta kasih sesama mahluk bernyawa?"
Lama Peri Bunda terpana
mendengar ucapan murid Sinto Gendeng itu. Untuk beberapa saat sepasang matanya
sampai tidak berkedip-kedip memandangi si pemuda. Perlahan-lahan Wiro bangkit
berdiri. Tapi tiba-tiba Peri Bunda memegang lengan ’sang Pendekar dan berkata.
"Jangan pergi dulu. Pembicaraan kita belum selesai…."
Wiro merasa adanya kehangatan
dalam pegangan Peri Bunda. "Aku ingin melakukan sesuatu untuk
menolongmu," bisik sang Peri.
"Apa yang hendak kau
lakukan Peri Bunda?"
"Kau tahu, dengan
tersebarnya berita aib itu keadaan dirimu sebenarnya terancam bahaya. Bukan
mustahil ada pihak tertentu ingin mencelakai dirimu…."
"Saya memang sudah
dicelakai!" kata Wiro pula sambil menyeringai.
"Mungkin juga ada yang
berniat jahat hendak membunuhmu," ujar Peri Bunda.
"Itupun sudah dilakukan
orang. Secara kasar dan secara diam-diam. Terakhir sekali saya pernah hendak
dibunuh dengan mawar kuning beracun yang kabarnya hanya tumbuh di Negeri Atas
Langit. Dan saya juga sudah tahu siapa pelakunya…."
"Siapa?" tanya Peri
Bunda.
"Satu diantara dua orang
ini. Luhjelita atau Peri Angsa Putih!" jawab Wiro.
"Wiro…."
"Dan saya punya saksi
hidupnya!" kata Wiro lagi-lagi sambil menyeringai.
"Siapa?!" Peri Bunda
sangat ingin tahu.
"Seorang kakek berjuluk
Si Pelawak Sinting. Dia adalah Si Pelawak Sinting yang palsu!"
"Kau percaya pada kakek
sinting itu?" tanya Peri Bunda pula.
"Lagaknya memang sinting.
Tapi saya tahu otak orang tua satu itu lebih cerdik dari ular kepala dua!"
jawab Wiro.
Peri Bunda menghela nafas
dalam. "Wiro," katanya perlahan. "Apapun yang barusan aku dengar
terucap dari mulutmu, saat ini ada satu hal yang ingin kutanyakan. Aku ingin
kejelasan. Apakah kau mencintai gadis bernama Luhjelita itu?"
"Aku tak ingin menjawab
pertanyaan aneh itu!" kata Wiro. Padahal pada Luhcinta sebelumnya dia pernah
mengatakan bahwa dia tidak mencintai Luhjelita.
"Kau tak mau menjawab tak
jadi apa. Bagiku jawabnya bisa ya bisa tidak." Berkata Peri Bunda sambil
tersenyum dan sampai saat itu tangannya masih saja memegangi lengan Pendekar
212. "Pertanyaanku selanjutnya. Jika seandainya kau benar tidak mencintai
Luhjelita, lalu apakah kau mencintai kerabatku si mata biru Peri Angsa
Putih?"
Di balik sebuah batu besar, di
udara malam yang gelap karena bulan purnama empat belas hari masih belum
muncul, seorang yang sejak tadi mendekam mendengar semua pembicaraan itu
letakkan dua tangannya di atas leher, menahan seruan tertahan yang hampir
tersembur. Dua matanya membeliak, mulutnya ternganga dan sepasang telinganya
berusaha dan ingin sekali mendengar jawaban yang keluar dari mulut Pendekar
212. Orang ini bukan lain adalah si mata biru Peri Angsa Putih.
Peri Bunda yang tadi
mengajukan pertanyaan diam-diam sebenarnya juga ingin sekali mendengar jawaban
Pendekar 212.
Tanpa diketahui orang ini,
satu sosok lain di kegelapan malam menahan debaran yang menggoncang dadanya.
Dia juga ingin tahu apa yang akan keluar sebagai jawaban dari mulut Wiro.
Apakah masih sama seperti yang dulu pernah didengarnya? Dan orang ini adalah
gadis cantik bernama Luhcinta. Di samping kiri orang ini, dua orang yang ikut
bersamanya juga merasa tegang. Salah seorang diantara mereka bukan lain Naga
Kuning adanya, berbisik pada kawan di sebelahnya yaitu kakek Si Setan Ngompol.
"Kalau salah si sableng
itu berucap, sahabat kita ini bisa seperti disambar petir!"
Sang kawan menjawab. "Aku
tidak mengira kita akan kedahuluan Peri Bunda. Lebih celaka lagi kalau Peri
Angsa Putih juga sudah ada di sekitar sini!"
Yang diajak bicara memandang
berkeliling. Lalu berkata. "Orang yang menurut sahabat kita ini katanya akan
muncul di bukit batu ini juga belum kelihatan. Kalau dia tidak datang urusan
bisa tambah ruwet. Rahasia mawar beracun itu mungkin tidak akan bisa
terungkap."
"Aku punya firasat gadis
itu pasti datang. Luhjelita memang punya sifat aneh, pandai merayu membuat
lelaki mudah terpikat dan menganggap dirinya dicintai gadis itu. Tapi untuk
urusan seperti ini dia pasti muncul. Apa lagi namanya sudah babak belur dibuat
sebusuk comberan." kata Setan Ngompol.
"Kek," Kata Naga
kuning pada Setan Ngompol.
"Menurutmu apa benar Wiro
main burung-burungan dengan Luhjelita?"
"Bocah geblek! Apa
maksudmu main burungburungan?!" tukas Si Setan Ngompol.
Naga Kuning menutup mulut
menahan tawa. "Kau jangan berpura-pura tidak tahu! Kau lebih banyak
pengalaman dariku! Hik…hik…hik!"
* *
11
KITA tinggalkan dulu
ketegangan yang mulai menggantung di bukit berbatu-batu sementara bulan purnama
masih juga belum memunculkan diri. Langit diatas sana masih masih gelap disaput
awan. Angin bertiup sayup dan dingin.
Di saat sore menjelang senja
di hari yang sama, dua bayangan putih berkelebat ke arah timur meninggalkan
kawasan pantai. Sambil lari dua orang itu tidak hentinya tertawa cekikikan.
Dari tawa mereka jelas bahwa keduanya adalah perempuan. Ketika akhirnya mereka
hentikan lari di satu tempat kelihatan mereka adalah dua gadis cantik berwajah
sama. Ternyata mereka bukan lain Sepasang Gadis bahagia, cucu-cucu Hantu Sejuta
Tanya Sejuta Jawab yang belum lama berselang telah menipu kakek itu.
"Aku tak habis
pikir!" berkata gadis di sebelah kanan yaitu Luhkenanga. "Bagaimana
mungkin mudah sekali kita membohongi orang tua itu! Padahal dia pandai dan
cerdik luar biasa! Hik… hik!"
"Kau benar! Kurasa hari
ini hari apesnya!" jawab Luhkemboja sang kakak.
Mungkin juga! Tapi
jangan-jangan orang tua itu sudah lamur matanya! Hingga tidak bisa membedakan
lagi tongkat yang asli dan tongkat yang palsu!"
"Malah, jangan-jangan dia
juga tidak kenal lagi pada tongkatnya yang ada di bawah perut!"
Dua gadis itu tertawa
cekikikan. Lalu Luhkemboja bertanya."Menurutmu apa saat ini dia sudah tahu
kalau kita membohonginya?"
"Pertanyaanmu itu membuat
aku kecut!" berkata Luhkenanga."Ayo kita lari biar jauh dulu. Nanti
kita berhenti di bukit Tanah Bertengger. Di sana pasti aman. Kita periksa lagi
tongkat ini. Bukankah tadi kita sempat melihat bagaimana kakek memuntir-muntir
tongkat yang kita berikan? Tapi karena tongkat itu palsu, akhirnya patah! Aku
yakin ada yang tengah diselidikinya. Berarti tongkat asli yang ada pada kita
menyembunyikan sesuatu!"
Dua gadis kembar itu lalu lari
ke arah timur di mana terdapat sebuah kawasan berbukit-bukit. Bukit di tempat
itu bersusun-susun demikian rupa hingga diberi nama Tanah Bertengger. Di satu
tempat yang mereka rasakan aman, keduanya hentikan lari. Di langit bulan purnama
mulai menyembulkan diri.
Dari balik pakaiannya
Luhkemboja keluarkan Tongkat Bahagia Biru. Setelah ditimang-timang lalu dia
mulai memeriksa.
Aku yakin tongkat ini
menyembunyikan sesuatu. Kau ingat bagaimana kakek kita memeriksa tongkat palsu
waktu benda itu patah dua? Sayang kita keburu kabur karena takut. Kalau tidak
pasti kita bisa mendapatkan lebih banyak kejelasan." Luhkemboja
memuntir-muntir tongkat yang dipegangnya.
"Apa yang hendak kau
lakukan?" bertanya Luhkenanga.
"Meniru gerakan kakek.
Bukan mustahil tongkat ini sebenarnya terdiri dari dua bagian yang bisa bertaut
dan bisa dipisahkan…."
Luhkemboja terus
memuntir-muntir tongkat batu berwarna biru redup itu. Namun sampai beberapa
lama dia tidak terjadi apa-apa.
"Biar aku yang
lakukan!" kata Luhkenanga lalu mengambil tongkat batu dari tangan
kakaknya.
Namun baru sesaat tongkat batu
berada dalam pegangannya sekonyong-konyong ada sambaran angin datang dari
samping. Luhkenanga berseru kaget. Luhkemboja yang sempat melihat ada bayangan
orang berkelebat cepat bergerak melakukan sesuatu. Namun satu kekuatan tenaga
yang tidak kelihatan mendorong tubuhnya, membuat gadis ini terjajar sampai lima
langkah. Sebelum dia bisa mengimbangi diri dan sebelum Luhkenanga sempat
bertindak, bayangan tadi telah lenyap seolah ditelan keremangan malam yang
walau ada bulan purnama tapi sinarnya terhalang oleh sekelompok awan gelap.
"Celaka! Tongkat batu
kena dirampas orang!" Berteriak Luhkenanga.
Tiba-tiba satu bayangan hitam
besar kelihatan di tanah. Lalu ada suara tawa berat bergelak. Dua dara kembar
cepat berbalik.
Empat langkah di hadapan
mereka tegak satu sosok tubuh tinggi besar memiliki sepasang mata angker. Bola
matanya tidak berbentuk bundar melainkan berupa segitiga memancarkan warna
hijau. Yang luar biasanya orang ini mempunyai kepala dengan dua wajah. Wajah di
sebelah depan berupa wajah seorang lelaki separuh baya berwarna putih. Sedang
di wajah sebelah belakang berwarna hitam keling.
"Hantu Muka Dua!"
seru Luhkemboja.
"Dia yang mencuri tongkat
biru kita!" teriak Luhkenanga.
Orang bermuka dua yang memang
adalah Hantu Muka Dua tertawa bergelak. "Gadis-gadis cantik! Aku sudah
lama mengincar kalian! Malam ini bakal merupakan malam bahagia bagi kita
bertiga!"
"Makhluk muka dua! Apa
maksudmu?!" sentak Luhkemboja.
"Kembalikan tongkat itu
pada kami!" teriak Luhkenanga.
Hantu Muka Dua kembali
tertawa. "Aku tidak mungkin mengembalikan tongkat batu ini. Benda ini
sudah ditakdirkan menjadi milikku! Tapi jika kalian memang menginginkan
tongkat, aku akan memberikan tongkat lain!" Habis berkata begitu Hantu
Muka Dua menunjuk ke bawah lalu tertawa gelak-gelak.
“Mahluk jahanam kurang
ajar!" maki Luhkemboja.
"Walau kau punya nama
besar dan ilmu setinggi langit! Jangan kira kami takut padamu! Malam ini akan
jadi malam kematian bagimu! Riwayat Raja Di Raja Segala Hantu di Negeri
Latanahsilam akan berakhir! Istana Kebahagiaan akan menjadi milik kami Sepasang
Gadis Bahagia!"
"Hebat sekali ucapan
kalian! Tidak ada salahnya aku menjajagi dulu sampai dimana kehebatan ilmu kalian.
Setelah itu baru aku menjajagi sampai dimana kenikmatan yang tubuh kalian bisa
berikan padaku! Ha… ha… ha!"
Dua gadis kembar berteriak
marah. Tubuh mereka lenyap menjadi bayang-bayang dan berkelebat seraya
menghantam ke arah Hantu Muka Dua.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
Dua gadis kembar menjerit dan
cepat melompat mundur seraya pegangi lengan mereka yang menggembung merah dan
sakit akibat bentrokan lengan dengan lawan. Hantu Muka Dua sendiri tertawa
mengekeh walau diam-diam dia merasa kagum karena kekuatan dua pukulan sepasang
gadis kembar membuat tulang lengannya menjadi nyeri. "Aku harus
cepat-cepat melumpuhkan mereka. Kalau tidak bisa-bisa aku kena dicelakai!"
Sambil tertawa Hantu Muka Dua
maju mendekati dua lawan. "Dua gadis kembar! Aku tahu selama ini kalian
hanya suka pada makhluk sejenis. Hari ini aku akan memberi pengalaman baru pada
kalian. Bagaimana nikmatnya bersenang-senang dengan seorang lelaki! H… ha… ha!
Kalau kalian sudah merasakan, kalian pasti akan mengekoriku kemana aku
pergi!"
"Hantu keparat!"
maki Luhkemboja lalu dia berteriak menyebut jurus serangan yang hendak
dilancarkannya.
"Bahagia Naik Ke
Pelaminan!"
Luhkenanga tidak tinggal diam.
Didahuiui teriakan "Bahagia Menukik Menjebol Pusar Bumi!" gadis ini
melesat ke arah Hantu Muka Dua. Gerakan mereka hebat sekali. Hampir tak
kelihatan. Tahu-tahu kaki kanan Luhkemboja sudah menghujam ke arah kepala
sedang tinju kanan Luhkenanga menyodok ke perut Hantu Muka Dua.
"Hebat… hebat! Kalian
memang dua gadis hebat! Aku senang! Kalian berdua juga pasti hebat di atas
ranjang! Kalian memang pantas kujadikan penghuni kamar dari Istana
Kebahagiaan!"
"Habis berkata begitu
Hantu Muka Dua gerakkan tangannya kiri kanan.
"Wuuuttt!"
"Wuuuttt!"
Dua larik angin menderu.
Luhkemboja terpekik sambil
pegangi lehernya. Luhkenanga juga menjerit. Seperti kakaknya gadis ini juga
pegangi lehernya. Tubuh mereka menggeliat beberapa kali lalu terhampar
terguling di tanah. Sepasang kaki bagus kedua gadis ini menyentaknyentak hingga
pakaian mereka tersingkap sampai ke pinggul. Sesaat kemudian sosok keduanya
diam tak berkutik lagi. Tak bisa bergerak dan tak mampu keluarkan suara. Itulah
kehebatan ilmu Menjirat Urat yang dilancarkan Hantu Muka Dua. Mampu membuat
lawan tak berdaya, semacam ilmu melumpuhkan tanpa menyentuh. Ilmu ini termasuk
salah satu ilmu yang dirampasnya beberapa waktu lalu dari Lasedayu alias Hantu
Langit Terjungkir.
"Putih mulus! Ha… ha… ha!
Kalian benar-benar tidak mengecewakan aku!" kata Hantu Muka Dua. Lalu dia
bertepuk tiga kali. Dari kegelapan muncul enam orang lelaki mengusung sebuah
tandu.
"Naikkan dua gadis ini ke
atas tandu. Segera bawa ke Istana Kebahagiaan! Aku menunggu di sana!"
Enam anak buah Hantu Muka Dua
menjura hormat.
Dengan cepat mereka menaikkan
sosok dua gadis kembar ke atas tandu lalu mengusung ke arah berkelebatnya
makhluk berjuluk Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu itu!
*
* *
12
SEPASANG daun telinga Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab bergerak-gerak. Dia mendengar suara kaki-kaki
berlari, banyak sekali dan masih berada di kejauhan.
"Itu bukan suara lari
Luhkemboja dan Luhkenanga…"
membatin si orang tua yang
otaknya berada di luar batok kepala. "Mereka berjumlah lebih dari empat
orang. Aneh, mengapa mereka tidak segera menuju ke sini. Tapi berlari
berputar-putar di tebing laut sebelah timur. Aku akan menunggu. Jika mereka
muncul membawa niat jahat akan kuhabisi!"
Sejak kejadian dua cucunya
menipu dirinya dengan Tongkat Bahagia Biru orang tua ini selalu diselubungi
hawa amarah. Dia seperti mau marah melihat siapa saja. Tidak heran kalau dia
berucap dalam hati seperti itu. Suara kaki-kaki yang berlari terdengar makin
keras.
"Mereka mulai
mendekat," kata Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab. Tak selang berapa lama
kakek ini melihat satu pemandangan aneh dihadapannya. Enam orang lelaki
bertubuh besar bertelanjang dada mengusung sebuah tandu yang ditutupi sehelai
tikar tipis terbuat dari jerami kering berwarna hitam.
Mereka berlari berputar-putar
mengelilingi Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab yang tengah duduk di satu
pedataran tinggi menghadap ke laut Setelah memperhatikan sesaat dan enam
pengusung tandu seperti tidak mau hentikan larinya, hilanglah kesabaran si
kakek. Dia pukulkan telapak tangan kanannya ke tanah. Bukit pasir di tepi laut
itu bergoncang seperti di landa gempa. Debu dan pasir membubung sampai setinggi
tiga tombak. Enam pengusung tandu terhuyung-huyung. Jika mereka tidak segera
jatuhkan diri berlutut niscaya ke enamnya akan jatuh berserabutan di tanah.
"Enam lelaki sinting
kesasar! Pertunjukkan arakarakan gila apa yang tengah kalian lakukan?!"
membentak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Enam orang bertubuh besar
penuh otot itu segera turunkan tandu yang mereka usung dari bahu masingmasing,
diletakkan di tanah. Salah seorang dari mereka yang bertindak sebagai wakil teman-temannya
palingkan kepala ke arah si kakek lalu membuka mulut.
"Kami mendapat perintah,
membawa tandu ini kepadamu!"
Anehnya lima orang kawan
lelaki yang barusan bicara secara bersamaan mengulang ucapan kawannya tadi.
"Kami mendapat perintah, membawa tandu ini kepadamu!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab kerenyitkan kening. Otaknya yang tembus pandang berdenyut keras. Matanya
pandangi enam orang yang berlutut di tanah di hadapannya.
"Siapa yang memberi
perintah?!" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab ajukan pertanyaan.
"Pendekar 212 Wiro
Sableng!’ jawab lelaki tadi. Lima kawannya mengikuti.
"Pendekar 212 Wiro
Sableng!"
"Hah! Siapa?!"
"Pendekar 212 Wiro
Sableng! Pemuda asing dari negeri seribu dua ratus tahun mendatang!"
Seperti tadi lima pengusung
tandu lainnya mengulangi ucapan temannya. "Pendekar212 Wiro Sableng!
Pemuda asing dari negeri seribu dua rarus tahun mendatang!"
"Kalian jahanam
semua!" Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membentak. "Apa kalian kira
aku tuli hingga bicara diulang-ulang seperti itu?!"
"kami hanya menjalankan
perintah dari Wiro Sableng!"
"kami hanya menjalankan
perintah dari Wiro Sableng!"
"Aku tak ingin kalian
bicara diulang-ulang! Jika kalian berani berlaku seperti itu satu peratu akan
kupatahkan leher kalian!"
Enam orang lelaki tidak
menjawab, hanya memandang pada si kakek. Si kakek sendiri menatap ke arah
usungan. Dari apa yang dilihatnya dia maklum ada sesuatu di atas tandu dibawah
hamparan tikar tipis hitam yang menutupinya.
"Apa yang ada di bawah
tikar di atas tandu itu?!" Hantu Sejuta Tanya bertanya.
"Silahkan membuka tikar
dan melihat sendiri!"
"Silahkan membuka tikar
dan melihat sendiri!"
Lima lelaki bertelanjang dada
seperti tadi mengikuti ucapan temannya.
Kesabaran Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab sirna. Tubuhnya dimiringkan condong ke depan. Entah kapan
tangannya bergerak tahu-tahu kraaakkk! Salah seorang dari enam lelaki pengusung
tandu terkapar di tanah dengan leher patah! Lima temannya membeliak marah tapi
tidak berani melakukan sesuatu.
"Siapa yang mau jadi
korban ke dua? Silahkan bicara diulang-ulang!" kata Hantu Sejuta Tanya
Sejuta Jawab pula. Lalu keluarkan suara menggereng dari tenggorokkannya.
Lima lelaki pengusung tandu
tidak menjawab.
"Aku perintahkan salah
satu dari kalian segera menyibakkan tikar hitam!" membentak si kakek.
Salah seorang dari lima lelaki
ulurkan tangan kanan.
"Bettttt!"
Tikar hitam jerami kering
tersingkap lalu dilemparkan ke udara, melayang jatuh ke arah pantai. Dua mata
Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab membeliak. Dari mulutnya menggembor teriakan
dahsyat. Sekali bergerak tubuhnya melesat ke udara setinggi dua tombak. Ketika
turun ke tanah, dua kakinya amblas masuk ke dalam tanah sampai pergelangan
kaki. Di atas tandu menggeletak dua sosok tubuh gadis yang nyaris tidak tertutup
apa-apa. Sepasang mata mereka mendelik. Sebatang tongkat batu berwarna biru
melintang di dada salah seorang gadis ini
"Cucuku!" teriak si
kakek. "Luhkemboja! Luhkenanga!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab mendekati tandu. Dia membungkuk memeriksa dan dapatkan dua gadis di atas
tandu masih bernafas dan berada dibawah satu kekuatan aneh yang melumpuhkan.
Keadaan mereka mengenaskan sekali. Dari tanda-tanda yang ada di aurat mereka si
orang tua maklum kalau dua cucunya ini telah dirusak kehormatannya secara keji.
"Biadab! Siapa yang
melakukan perbuatan keji ini?!" teriak Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab.
Tangan kirinya menyambar. Laki-laki di samping kiri dijambak lalu diangkat ke
atas. Tangan kanannya menghantam.
"Praakkkk!"
Tulang muka lelaki itu melesak
hancur. Darah muncrat. Hantu Sejuta Tanya Sejuta Jawab bantingkan sosok yang
sudah jadi mayat itu. Lalu dia menjambak lelaki berikutnya. Takut setengah mati
dan tak mau jadi korban keganasan si kakek orang ini segera membuka mulut.
"Yang melakukan adalah
pendekar 212 Wiro Sableng!"
Tidak seperti tadi, kini
lelaki-lelaki lainnya tidak mengulangi ucapan kawannya itu.
Bergetar sekujur tubuh Hantu
Sejuta Tanya Sejuta Jawab. "Dia memperkosa dua cucuku! Lalu menyuruh
kalian membawa gadis-gadis ini ke sini?! Begitukah hah?!"
Empat lelaki pengusung tandu
anggukan kepala.
"Manusia jahanam!
Kenalpun aku tidak! Bertemu muka belum pernah! Mengapa dia berbuat sekeji ini
pada dua cucuku!"
Lelaki di samping tandu
sebelah kiri menjawab.
"Menurut Wiro,dua cucumu
telah mencuri tongkat batu berwarna biru. Wiro berusaha mendapatkannya kembali
dan menghadang dua gadis itu di satu tempat. Dia mendapatkan tongkat sakti
kembali tapi ternyata palsu. Wiro lalu menghajar dan memperkosa dua gadis ini.
Menurut Wiro dua gadis ini punya kelainan menebar aib dan kekejian dimana-mana.
Jadi pantas menerima hukuman berat dan diperlakukan secara keji pula! Lalu kami
disuruhnya mengantarkan sosok-sosok mereka padamu!"
"Dimana pemuda asing itu
sekarang?!" tanya si kakek dengan sekujur tubuh bergeletar.
"Kami tidak tahu! Dia
membunuh dua sahabat kami. Lalu sehabis memberi perintah yang disertai ancaman
dia kabur entah kemana."
"Kalian lekas angkat kaki
dari sini sebelum kubunuh semua!" Menghardik Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab.
Empat lelaki bertubuh besar
serta merta berdiri lalu tinggalkan tempat itu dengan cepat. Si kakek segera
menyambar tongkat batu biru yang tergeletak di atas dada Luhkenanga. Dia cepat
memeriksa. Dengan dua tangannya tongkat dipatahkan. Lalu dia kembali memeriksa.
"Tongkat ini memang
palsu! Tapi mengapa ini dijadikan alasan oleh pemuda asing itu untuk berbuat
keji pada dua cucuku! Aku tahu dua cucuku memang mengidap penyakit tidak wajar.
Yang tidak bisa disembuhkan seumur-umur. Tapi itupun tidak bisa dijadikan
alasan untuk mencelakai mereka. Kabar yang aku dengar tentang kehebatan dan
kebaikan pemuda itu ternyata jauh berbeda dengan kenyataan! Aku akan
mencarinya! Akan kulumat dengan dua tanganku! Berarti benar kabar yang kusirap
selama ini. Bahwa pemuda itu telah berbuat cabul dengan gadis bernama
Luhjelita! Kalau tidak diambil tindakan lama-lama bisa habis semua anak gadis
orang di negeri ini!"
Hantu Sejuta Tanya Sejuta
Jawab kembali perhatikan sosok dua cucunya. Sepasang mata tua ini tiba-tiba
mengerenyit.
"Ada keanehan….
Luhkemboja dan Luhkenanga seperti berada dalam kelumpuhan. Tak bisa bergerak
dan tak bisa bicara. Ilmu kekuatan apa yang menguasai mereka. Aku
seperti…." Orang tua itu mengingatngingat.
"Dua cucuku.’Wahai! Dia
berada dibawah pengaruh Ilmu Menjerat Urat! Ilmu ini hanya Hantu Muka dua dan
beberapa orang anak buahnya yang memiliki! Jangan-jangan Pendekar 212 Wiro
Sableng telah menjadi kaki tangan Hantu Muka Dua? Aku harus mencari pemuda
keparat itu. Mengorek lidahnya agar mau mengaku lalu melumat sekujur tubuhnya
mulai dari kepala sampai ke kaki!"
13
KEMBALI ke bukit yang dipenuhi
batu-batu berbentuk aneh di selatan Gunung Latinggimeru. Bulan purnama empat
belas hari, bulat penuh telah muncul sejak beberapa waktu lalu. Keadaan di
tempat itu kini tidak lagi diselimuti kegelapan.
Peri Bunda gerak-gerakkan
jari-jari tangannya yang halus di atas lengan Wiro. "Kau belum menjawab
pertanyaanku tadi Wiro. Malu menjawab atau memang tidak mau menjawab?! Apakah
kau mencintai Peri Angsa Putih?"
Wiro coba sunggingkan senyum
lalu garuk-garuk kepalanya. Diusapnya tangan Peri Bunda lalu perlahan-lahan
dilepaskannya pegangan Peri itu dari lengannya.
"Saya tidak tahu apa
maksudmu dengan semua pertanyaan itu. Mungkin sekali kau tengah mempelajari
seluk beluk ilmu bercinta?" Wiro tertawa lebar.
Peri Bunda juga tertawa tapi
kembali mendesak.
"Wahai, kau pandai
mengalihkan pembicaraan. Tapi benar dugaanku kau tak mau menjawab
pertanyaanku."
Kembali murid Sinto Gendeng
ini dibuat garuk-garuk kepala.
"Aku menunggu jawabanmu,
Wiro," kata Peri Bunda.
"Peri Bunda, kerabatmu
Peri Angsa Putih itu bukan saja Peri berhati baik, tapi juga memiliki wajah
sangat cantik. Sepasang matanya yang biru membuat orang memandangnya tak jemu.
Tak ada orang yang bisa melupakannya jika sudah sekali bertemu. Jangankan
lelaki, kaum perempuan pasti akan mengaguminya…."
Peri Bunda tersenyum.
"Kata-katamu sungguh Sejuk didengar dan polos. Kau seperti seorang
penyair. Kalau Peri Angsa Putih ada di sini pasti dia akan senang mendengarnya…."
"Mungkin juga
terharu!" kata Wiro sambil tersenyum-senyum dan garuk-garuk kepala. Di
hadapannya Wiro melihat Peri Bunda kerenyitkan kening, mungkin tidak paham
mengapa Wiro berkata begitu. Di tempat persembunyiannya Peri Angsa Putih
sendiri merasakan tubuhnya bergetar. Seolah ada hawa dingin menyelubunginya
mulai dari kepala sampai ke kaki.
Sementara itu Luhcinta yang
berada bersama Naga Kuning dan si kakek Ngompol tegak mematung walau di dalam
dadanya bergoncang menahan rasa tegang. Sejak tadi dia ingin beranjak pergi,
takut tak kuasa mendengar pembicaraan Peri Bunda dan Wiro yang semakin
mempengaruhi hati dan perasaannya itu. Tapi dua kakinya seolah diganduli batu
besar hingga dia tak mampu bergerak. Gadis ini akhirnya setengah terpaksa
memilih tetap berdiri di tempat itu.
"Wahai, tabahkan diriku
jika seandainya jawaban yang diberikan Wiro seolah petir menyambar di depan
wajahku?" begitu Luhcinta Membatin.
Lain halnya dengan Peri Angsa
Putih sendiri. "Aku tidak mengerti, mengapa Peri Bunda mendesak bahkan
seperti memaksa ingin mengetahui apakah Wiro mencintai aku atau tidak. Walau
hati ini juga sangat mengharap mendapatkan jawaban, tetapi bagaimana kalau
jawaban nanti berlainan dari yang diharapkan? Jangan-jangan Peri Bunda tahu aku
sembunyi di sini. Lalu sengaja mengorek keterangan dari pemuda itu. Bagiku
kalaupun dia…." Peri Angsa Putih tidak berani meneruskan kata hatinya itu.
"Wiro, jawaban tak
kunjung keluar dari mulutmu. Sangat susahkah bagimu untuk mengatakan bahwa kau
mencintai kerabatku Peri Angsa Putih. Ya atau tidak?" Kembali Peri Bunda
mendesak.
"Peri Bunda," Wiro
berucap. "Cinta kasih itu adalah sesuatu yang suci dan sangat pribadi.
Penuh rahasia. Dan ada kebahagiaan dalam kerahasiaan itu. Jika seorang lelaki
mencintai seorang gadis atau sebaliknya atau seorang gadis mencintai seorang
pemuda, apakah dia akan begitu saja mengatakan, menceritakan kepada setiap
orang, pada siapa saja yang menanyakannya karena rasa ingin tahu yang sulit
diduga alasannya? Peri Bunda, jika aku mencintai seseorang, aku tidak akan
mengatakan pada orang lain tapi akan mengatakan sendiri pada orang yang aku
cintai itu. Akan kubisikkan ketelinganya. Jadi yang tahu hanya kami berdua.
Buat apa orang lain yang tak ada urusannya perlu mengetahui isi hati kami
berdua?"
Suasana di bukit batu itu
untuk beberapa lamanya dicekam kesunyian. Ada ketidak enakan seolah menggantung
di udara, menyusup ke lubuk hati orang-orang yang ada di tempat itu. Peri Bunda
terdiam lalu menghela nafas berulang kali. Agaknya dia kehabisan akal dan cara
untuk mengorek keterangan dari mulut Pendekar 212. Di tempat gelap Peri Angsa
Putih tundukkan kepala. Hati kecilnya sangat ingin mendengar satu jawaban lain.
Satu pengakuan.
Namun jawaban yang didengarnya
justru tambah membungkus hati sanubarinya dalam ketidakpastian yang
mengiris-iris. Dalam hati Peri Angsa Putih berkata. "Peri Bunda, kau tahu
bagaimana perasaanku terhadap pemuda itu. Memang salahku aku tak pernah berkata
terus terang padanya. Tapi apakah wajar aku mengatakan hal itu padanya? Bukankah
aku terikat larangan dan pantangan Negeri Atas Langit? Peri Bunda, jika aku
hubungkan dua kuntum bunga mawar kuning yang ada di kamarmu itu, apakah
sebenarnya yang tengah kau lakukan?"
Di bagian lain Naga Kuning
berbisik pada si kakek Setan Ngompol. "Untung pandai juga si sableng itu
memberikan jawaban. Tidak ada yang tersinggung dan kecewa. Rahasia hatinya
tetap tersembunyi…."
"Soal bicara kawan kita
itu memang pandai. Dia bisa berubah jadi penyair, terkadang seperti juru
dakwah. Tapi jika kau perhatikan dalam setiap sikap dan ucapannya selalu saja
terselip sifat konyol dan sinting! Dasar sableng!"
Dalam diamnya Peri Bunda
akhirnya menyadari bahwa tak mungkin baginya mendapatkan jawaban yang
diinginkan dari Wiro. "Pemuda ini benar-benar cerdik. Membuat aku
bertambah kagum padanya. Mungkin memang lebih baik bagiku kalau dia tidak
menjawab. Siapa tahu dia memang tidak mencintai Luhjelita, Peri Angsa Putih
ataupun Luhcinta. Mudahmudahan ada setitik harapan…."
"Wiro, kau tak mau
menjawab berterus terang tak jadi apa. Tapi aku tetap mengkhawatirkan
keselamatanmu. Aku tak ingin kau mendapat celaka. Aku tak ingin kau menemui
malapetaka dan merasa berdosa kalau itu terjadi sementara aku tidak berbuat
sesuatu apa demi keselamatan dirimu…."
"Peri Bunda, saya sangat
berterima kasih kau memperhatikan keselamatan saya. Mudah-mudahan saya bisa
menjaga diri…."
"Dalam hal keselamatan
diri apa lagi menyangkut keselamatan jiwa jangan berpegang dan mengandalkan apa
yang disebut mudah-mudahan. Kematian tidak bisa dicegah dengan yang namanya
mudahmudahan. Kematian bisa ditimbulkan oleh orangorang yang tidak kita duga.
Kau telah mengalami sendiri. Bahkan tadi kau telah menyebutkannya. Kau hampir
menemui kematian akibat sekuntum mawar kuning beracun. Dan kau sudah yakin pelakunya
salah satu dari dua orang yakni Peri Angsa Putih atau Luhjelita. Wahai, apakah
kau hendak mensia-siakan jiwamu untuk kedua kalinya? Kau harus menjauhkan
dirimu dari ke dua orang itu Wiro. Jika sekali mereka telah mencoba dan tidak
berhasil, bukan mustahil mereka akan melakukannya kembali. Jika itu sampai
terjadi mungkin nyawamu sulit untuk diselamatkan…."
Kalau Luhcinta hanya
kerenyitkan kening mendengar ucapan Peri Bunda itu, lain halnya dengan Peri
Angsa Putih. Dia sangat terkejut karena tidak menyangka Peri Bunda akan berkata
seperti itu. "Peri Bunda sepertinya ikut mempercayai bahwa memang aku atau
Luhjelita yang hendak membunuh Wiro dengan mawar beracun. Padahal aku menemukan
bukti nyata, bunga-bunga itu berada dalam kamarnya Untuk apa dia menyimpan
bunga mawar itu kalau bukan ada maksud jahat? Wahai Peri Bunda, sejak aku
menemukan dua kuntum mawar beracun dalam kamarmu aku sudah menaruh curiga. Kau
berada di belakang semua bencana itu! Kau yang jadi biang racunnya. Sekarang
kau hendak lempar batu sembunyi tangan. Peri Bunda, walau kau junjunganku tapi
untuk urusan satu ini aku melawanmu habis-habisan!" Selesai berkata begitu
Peri Angsa Putih segera bergerak keluar dari balik persembunyiannya. Tapi
langkahnya tertahan ketika telinganya kembali mendengar Peri Bunda berucap.
"Wiro, ada satu tempat
yang aman bagimu. Jika kau suka aku akan mengantarkanmu ke sana…."
"Tempat aman apa maksudmu
Peri Bunda?" tanya Wiro.
"Tempat itu, terletak
antara Negeri Atas Langit dan Negeri Latanahsilam. Di situ ada sebuah puri
bernama Puri Kebahagiaan. Aku akan membawamu ke sana. Sampai keadaan aman kita
bisa menetap di sana."
Pendekar 212 menatap
lekat-lekat ke wajah sang Peri. Dia melihat satu wajah cantik mempesona. Ketika
Peri Bunda merangkum senyum dibibirnya yang merah, murid Sinto Gendeng ini
merasa ada getaran aneh dalam dadanya. Dia hendak menggaruk kepala. Tak jadi,
Wiro malah balas tersenyum!
"Ikut aku Wiro,"’
bisik Peri Bunda sambil memegang jari-jari tangan Pendekar 212.
Luhcinta merasakan degupan jantungnya
mengeras.
"Peran apa sebenarnya
yang tengah dilakukan Peri Bunda," dia membatin. "Puri Kebahagiaan….
Baru sekali ini aku mendengar nama itu. Jangan-jangan ada sangkut pautnya
dengan Istana Kebahagiaan milik Hantu Muka Dua?"
Ditempat lain Peri Angsa Putih
merasakan tubuhnya seperti terbakar. "Peri Bunda! Sekarang aku tahu apa
yang ada dihatimu! Kau Peri penghianat culas! Kau memainkan pisau bermata dua!
Wahai!"
"Puri Kebahagiaan yang
kau sebutkan itu Peri Bunda, tempat apakah itu?" Wiro terdengar bertanya.
"Puri Kebahagiaan!"
kata Peri Angsa Putih dalam hati. "Para Peri di Negeri Atas Langit telah
lama mendengar dan mencurigai keberadaan puri tersebut. Namun sulit untuk
mengetahui dimana beradanya. Karena setiap hendak diselidiki ada satu hawa aneh
mengambang di udara, membendung penglihatan! Kini aku mendengar sendiri.
Ternyata Peri Bunda berada di belakang keberadaaan Puri Kebahagiaan itu!"
Peri Angsa Putih gigit bibirnya menahan gejolak darah dan gejolak hati.
"Peri itu tadi mengucapkan sampai keadaan aman kita bisa menetap di sana.
Kita! Kita siapa maksudnya? Dia dan Wiro? Sungguh culas! Kalau aku ingat semua
pembicaraan sebelumnya. Dia melarang diriku berhubungan dengan pemuda itu. Aku
dimintanya agar menjauhkan diri dan melupakan Wiro. Kini dia malah ingin
berdua-dua bersama pemuda itu! Berarti selama ini dia telah menipu
diriku!"
Di tempatnya bersembunyi
bersama Naga Kuning dan Si Setan Ngompol, Luhcinta tegak tertegun. Dia tatap
wajah Peri Bunda. Dengan ilmu kesaktian langka yang dimilikinya gadis ini dalam
pandangannya mampu mendekatkan wajah Peri itu hingga dia dapat melihat jelas
air muka dan tatapan Peri Bunda yang ditujukan pada Wiro.
"Peri Bunda…"
membatin Luhcinta. "Dari tatapan wajahmu, dari pandangan sepasang matamu,
aku dapat meraba ke dalam relung hatimu paling dalam.
Kau mencintai pemuda itu…. Apa
kau lupa pantangan dan larangan di Negeri Atas Langit? Kau seorang Peri
sanjungan, junjungan dari segala Peri, hendak berselingkuh melanggar larangan.
Peri Bunda, aku sungguh tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi. Tetapi aku
sadar sedalam-dalamnya. Kasih yang selama ini dimiliki kami manusia biasa
ternyata juga masih menjadi bagian kalian. Selama ini kalian berusaha menutupi.
Tetapi keadaan membuat semakin
ditutupi semakin kuat dorongan hati kalian untuk menyingkap dan membuangnya.
Kita sama-sama perempuan wahai Peri Bunda. Kasih yang ada dalam hatimu dan ada
yang dalam hati semua perempuan tiada beda. Selama hayat dikandung badan kaum
perempuan ditakdirkan untuk berbagi kasih pada seorang lelaki. Kasih mempunyai
kekuatan sangat kokoh. Sanggup menghancurkan tembok bernama larangan sekalipun
tembok itu terbuat dari baja. Peri Bunda, mungkin kau tidak mengetahui. Kau
bukan saja berperang rasa dengan Peri Angsa Putih, tetapi juga dengan
diriku…."
Kalau Luhcinta masih mampu
membendung gejolak yang menggoncang hati dan pikirannya, lain halnya dengan
Peri Angsa Putih yang merasa dikhianati oleh Peri Bunda.
Tidak dapat menahan hatinya
lagi Peri Angsa Putih segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi
lagi-lagi gerakannya tertahan karena saat itu di langit sebelah timur kelihatan
sebuah benda bulat besar bersayap, terbang berputar-putar. Sesaat kemudian
benda ini yang ternyata adalah seekor kura-kura raksasa mendarat di bukit batu.
Dua orang melompat turun.
Orang sebelah depan adalah
seorang gadis berpakaian ungu yang rambutnya digulung ke atas. Dia bukan lain
Luhjelita. Di belakangnya mengikuti seorang kakek berpipi kempot. Mulutnya yang
tonggos kelihatan cengengesan sedang matanya belok lebar.
Kakek berhidung pesek ini
mengenakan celana yang bagian belakangnya sengaja didodorkan ke bawah demikian
rupa hingga pantatnya yang hitam kasap budukan kelihatan ogel-ogelan
kemana-mana. Di tangan kanannya kakek ini memegang sebuah rebana yang
pinggirannya diberi kerincingan. Sambil menyanyi na… na… na… ni… ni… ni kakek
ini pukulpukulkan rebana itu ke pantatnya. Gerakan kakinya berjalan seperti
orang menari.
" Pendekar 212 Wiro
Sableng! Aku Luhjelita datang sesuai perjanjian! Lihat siapa ikut
bersamaku!"
Habis berseru begitu Luhjelita
melangkah mendekati tiga buah batu berbentuk tiang yang ujungnya lancip mencuat
ke arah langit berhias bulan purnama penuh.
14
SEMUA orang yang ada di bukit
batu sama terkejut. Wiro segera bangkit berdiri. Peri Bunda serta merta
melompat bangun. "Wahai, jadi ini sebabnya kau datang ke bukit batu aneh
ini, Wiro. Rupanya kau telah membuat perjanjian dengan Luhjelita…! Aku tidak
cemburu. Tapi akan lebih baik kalau kita berdua segera tinggalkan bukit ini,
pergi ke Puri Bahagia! Tak ada yang bisa mengikuti kita sampai di sana…."
"Tidak mungkin saya ikut
bersamamu Peri Bunda. Ada urusan yang harus diperjelas dengan gadis itu."
"Membuat urusan dengan
Luhjelita tidak akan memperjelas masalah. Malah akan memperburuk dan
memperuncing suasana! Ikuti aku Wiro. Lekas tinggalkan tempat ini!" Peri
Bunda ulurkan tangan menarik lengan Wiro. Tapi murid Sinto Gendeng ini segera
mengelak.
Tiba-tiba ada cahaya merah
melewati bulan purnama. Lalu satu sosok gemuk luar biasa, berpakaian serba
merah, menjela panjang sampai ke tanah tahutahu kelihatan tegak di tiang batu
runcing sebelah tengah. Demikian gemuknya makhluk ini tinggi lehernya dan dagu
jadi satu. Selain gemuk gembrot tak karuan, dia juga memiliki wajah buruk. Bulat
selalu keringatan, dihias hidung pesek serta tahi lalat sebesar telur burung
dara di pipi kiri. Karena bagian samping kiri kanan pakaian sang Peri ini
dibelah tinggi, tiupan angin membuat pakaian itu tersingkap lebar menyembulkan
auratnya sampai ke pinggul.
"Aku sebenarnya sudah
jemu dengan suasana di tempat ini! Sekarang untung ada hiburan! Ada pemandangan
sedap menyegarkan! Waw! Montoknya pinggul peri gendut itu. Putih lagi!"
bisik Setan Ngompol sambil cengengesan dan matanya melotot memandang ke arah Peri
Sesepuh.
"Ini belum
seberapa," balas berbisik Naga Kuning.
"Ingat waktu dia duduk
mengongkong pada saat menolong kita dulu? Aku tidak dapat memastikan apa kali
ini dia pakai celana dalam atau tidak! Hik… hik…hik!" (Baca Episode
sebelumnya berjudul "Peri Angsa Putih")
"Aku yakin, seperti dulu
sekarang ini dia juga tidak pakai celana dalam. Jadi buka matamu lebar-lebar.
Jangan berkedip. Telat memandang hilang rejeki!"
kata Setan Ngompol pula lalu
tertawa cekikikan dan terkencing-kencing.
Luhcinta yang merasa terganggu
oleh bisik-bisik serta tawa dua orang itu berpaling dan bertanya. "Apa
yang kalian tertawakan? Kalian mentertawaiku?"
"Bukan! Tidak…. anu….
Peri gemuk itu. Biasanya dia tidak pakai celana dalam!" jawab Naga Kuning
seenaknya walau Setan Ngompol telah menginjak kakinya agar dia tidak bicara
teledor.
Walau mukanya jadi berkerut
mendengar katakata Naga Kuning itu namun Luhcinta kembali bertanya.
"Kau bisa berkata begitu,
memangnya apa pernah melihat?"
"Hik… hik…. Tanyakan saja
pada kakek ini! Dia yang paling lama dan paling asyik melihatnya!" jawab
Naga Kuning. Luhcinta tersenyum dan geleng-geleng kan kepala lalu berpaling ke
arah deretan tiga batu berbentuk tiang.
"Peri Sesepuh!"
Peri Angsa Putih berseru kaget
Siapa mengira kalau Peri yang menjadi pimpinan tertinggi di Negeri Atas Langit
itu akan muncul di tempat itu.
"Peri Bunda, sedang apa
kau di sini?!" Peri Sesepuh yang mukanya gembrot keringatan menegur.
Matanya memandang ke arah Peri
Bunda. Sesaat kemudian dia alihkan pandangan, menyapu ke Seantero bukit batu
yang diterangi cahaya bulan purnama.
"Hemm…. Ternyata ada
banyak orang di tempat ini. Beberapa diantaranya sengaja sembunyi di balik
bebatuan…." Peri Sesepuh yang sakti ini ternyata sudah mengetahui bahwa
selain Peri Bunda, Wiro Sableng, Luhjelita dan kakek aneh yang dikenalnya
dengan nama Si Pelawak Sinting, masih ada beberapa orang lain di bawah sana.
Peri Bunda tekukkan lututnya
memberi hormat lalu mendongak ke arah Peri Sesepuh yang tegak di atas tiang
batu runcing.
"Peri Sesepuh, Peri
Pimpinan di Negeri Atas Langit, mohon maafmu. Aku tidak sempat memberi tahu
sebelum turun ke bumi. Ada satu keperluan yang harus aku urus di tempat
ini."
"Aku tidak ingin tahu apa
urusanmu. Tapi aku melihat ada yang tidak beres bakal terjadi di bukit batu
ini. Karenanya lekas kau ikut aku kembali ke Negeri Atas Langit. Sesuatu telah
terjadi di sana. Kamar ketiduranmu dijebol orang!"
Terkejutlah Peri Bunda
mendengar kata-kata Peri Sesepuh itu. Hatinya sesaat bimbang sebelum berkata.
"Terima kasih wahai Peri
Sesepuh. Kau telah sudi datang memberi tahu. Aku akan segera kembali. Tapi aku
mohon biarkan aku menyelesaikan urusan lebih dulu. Izinkan aku membawa pemuda
ini ke satu tempat. Dia harus diselamatkan dari ancaman maut…."
"Wahai Peri Bunda, tidak
pernah kutahu kalau kau bersahabat dengan pemuda asing yang datang dari negeri
seribu dua ratus tahun mendatang itu. Setahuku dia adalah sahabatnya Peri Angsa
Putih…."
"Peri Sesepuh, izinkan
kami pergi…."
Peri Sesepuh tersenyum.
"Jika kau memikirkan keselamatan pemuda itu, biar aku yang membawanya.
Katakan ke tempat mana aku harus pergi. Sementara kau boleh menyelesaikan
urusan di tempat ini!"
Peri Bunda jadi bingung
mendengar kata-kata Peri pimpinannya itu. "Peri Sesepuh, aku mohon…. Aku tak
ingin merepotkanmu. Biar aku yang membawa pemuda ini…."
"Para Peri dari atas
langit!" tiba-tiba Luhjelita berseru. Dari tadi dia sudah tidak sabaran
melihat dan mendengar percakapan dua Peri itu. "Jika kalian hendak
berbincang-bincang menyelesaikan urusan, cari saja tempat lain. Jauh-jauh hari
tempat ini sudah kutetapkan sebagai tempat pertemuan dengan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Harap kalian suka pergi dari sini!"
Peri Sesepuh yang merasa
tersinggung mendengar kata-kata Luhjelita itu sunggingkan senyum mengejek lalu
menjawab. "Luhjelita, gadis perayu lelaki! Kau rupanya! Apakah pertemuanmu
dengan pemuda itu menyangkut urusan rayu merayu, urusan cinta murah? Atau kau
hendak melanjutkan perbuatan aib yang kau lakukan bersamanya di dalam goa dulu?"
"Peri lancang mulut!
Tidak kukira mulutmu sekotor itu! Kau berserikat dalam tuduhan! Aku ke bukit
batu ini justru untuk membuktikan bahwa kalian bangsa Peri bukanlah makhluk
suci dan baik!"
"Wahai, apa maksudmu
gadis perayu?" tanya Peri Sesepuh.
"Aku akan membuktikan
bahwa salah seorang Perimu yakni yang bernama Peri Angsa Putih adalah peri
jahat yang bermaksud hendak membunuh pemuda asing itu dengan sekuntum mawar
beracun! Tapi kenyataan diputar balik. Tuduhan diacungkan ke arahku! Sungguh
keji dan busuk!"
Muka bulat gemuk dan
keringatan Peri Sesepuh kelihatan berkerut. "Kau menuduh Peri Angsa Putih
selagi dia tidak berada di sini untuk membela diri. Aku tidak bisa menerima
tuduhan seperti itu! Karenanya kuharap kau dan kawanmu kakek sinting itulah yang
segera angkat kaki dari bukit batu ini!"
"Peri Sesepuh! Aku ada di
sini!" Tiba-tiba ada suara berseru dari balik sebuah batu besar. Di lain
kejap muncullah Peri Angsa Putih. Wajahnya agak pucat dan sepasang matanya
seperti sembab.
"Wahai! Sungguh tidak disangka
kau rupanya telah ada di sini Peri Angsa Putih. Mengapa sengaja bersembunyi
sejak tadi?"
Wajah Peri Angsa Putih menjadi
bersemu merah.
"Maafkan saya Peri
Sesepuh. Saya tidak ingin merusak suasana pertemuan antara Peri Bunda dengan
pemuda bernama Wiro Sableng itu," jawab Peri Angsa Putih pula. Kini wajah
Peri Bundalah yang berubah merah.
"Peri Angsa Putih!"
Peri Bunda menegur. "Ucapanmu seolah memberi kesan aku punya hubungan
rahasia dan tidak baik dengan pemuda ini!"
"Aku tidak mengatakan
begitu Peri Bunda," jawab Peri Angsa Putih. "Tapi aku memang ingin
menyampaikan sesuatu yang bukan saja memberi kesan, tapi mungkin bisa
membuktikan bahwa memang ada sesuatu yang hendak kau sembunyikan di balik
pertemuanmu dengan pemuda itu!"
Peri Bunda maju dua langkah
mendekati Peri Angsa Putih. Suaranya keras tapi bergetar ketika dia bertanya.
"Apa maksudmu dengan ucapanmu itu Peri Angsa Putih?"
Peri Angsa Putih meraba ke
balik pakaian putihnya.
"Tunggu dulu!" Peri
Sesepuh berseru lalu berpaling pada Luhjelita. "Gadis perayu, karena Peri
Angsa Putih sudah ada di sini, aku memberi kesempatan padamu untuk membuktikan
bahwa memang dia yang telah berniat jahat hendak membunuh pemuda asing itu
dengan mawar kuning beracun!"
Luhjelita yang jadi kesal
karena terus-terusan dipanggil dengan sebutan "gadis perayu" menjawab
tak kalah ketus bahkan kurang ajar. "Peri gendut hidung pesek! Aku datang
kemari membawa seorang saksi kakek berjuluk Si Pelawak Sinting ini! Dia
bersedia memberi kesaksian bahwa bukan aku yang melepas bunga mawar beracun di
anak sungai. Bunga yang kemudian diambil oleh Wiro, diciumnya lalu membuatnya
jatuh pingsan hampir sekarat"
Peri Sesepuh mendengus marah.
Mukanya mengelam.
"Kakek sinting yang
otaknya miring bagaimana mungkin bisa dijadikan saksi? Bicaranya saja pasti
ngacok! Dari tadi kulihat kerjanya hanya menyanyi dan menari. Pakai celanapun
dia tidak karuan!"
Di bawah batu berbentuk
tonggak tinggi kakek berjuluk Si Pelawak Sinting (yang palsu) bernama asli
Labodong tertawa mengekeh. Dia goyangkan rebananya hingga mengeluarkan suara
berkerincing keras.
Setelah menyanyi na… na… na…
ni… ni… ni diapun berkata.
"Peri Sesepuh, waw… waw!
Terima kasih kau telah memuji otakku yang miring, bicaraku yang ngacok serta
celanaku yang kedodoran! Terima kasih, berarti kau sejak tadi diam-diam
memperhatikan diriku! Ha…ha… ha! Wahai, sudah sejak lama tidak ada perempuan
yang memperhatikan aku. Apa lagi seorang Peri sepertimu.
Terima kasih… terima kasih!
Ha… ha… ha! Kau tahu wahai Peri Sesepuh, seorang saksi berotak waras terkadang
bisa jadi sinting karena tekanan. Aku yang kau bilang sinting hari ini tengah
berpikiran cerah! Aku ingat betul apa yang terjadi di tepi sungai kecil dulu
itu karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Sobatku bernama Luhjelita
ini memang bukan dia yang meracun pemuda itu dengan mawar kuning. Aku kebetulan
berada di anak sungai saat itu. Jadi tahu betul hanya ada dua orang di situ
yakni Peri kerabatmu bernama Peri Angsa Putih itu serta Luhjelita…. Ketika
Luhjelita muncul di tepi anak sungai, pemuda itu sudah lebih dulu keracunan,
pingsan sekarat sehabis mencium bunga mawar beracun yang konon hanya tumbuh di
Negeri Atas Langit, negeri kalian kaum Peri…."
"Tidak semudah itu
menerima kesaksianmu Pelawak Sinting!" tukas Peri Sesepuh, "Bisa saja
Luhjelita telah lebih dulu meluncurkan bunga beracun itu ke dalam aliran sungai
kecil. Lalu ketika pemuda itu pingsan dia muncul pura-pura hendak
menolong…."
"Tidak, Luhjelita tidak
muncul untuk menolong,"
memotong Si Pelawak Sinting.
Lalu sambil melirik pada Luhjelita yang ada di sampingnya dia berbisik.
"Apa aku katakan pada
Peri gendut itu kau kulihat dalam keadaan bugil, tengah menggerayangi bagian
bawah perut di balik celana Wiro Sableng?"
"Jangan melantur! Kurobek
mulutmu jika kau membuka rahasia yang satu itu! Yang jelas kau tahu aku tidak
meracuni Wiro dengan bunga mawar kuning!" kata Luhjelita cepat
"Pelawak sinting, jika
tidak bermaksud menolong pemuda itu, lalu apa yang dilakukan Luhjelita?"
bertanya Peri Sesepuh.
"Aku tidak tahu. Yang
jelas ketika aku mendatangi dia lantas kabur. Aku kemudian menolong pemuda yang
keracunan itu. Aku mengetuk pusarnya dengan gagang gayung hingga racun yang ada
dalam tubuhnya larut ke bagian tubuh sebelah bawah, tidak memasuki
jantung…."
"Pelawak Sinting berapa
kau dibayar Luhjelita
untuk memberi kesaksian palsu
itu?" tanya Peri Sesepuh sambil sunggingkan senyum mengejek di mukanya
yang gembrot keringatan.
"Aku tidak dibayar dan
kesaksianku tidak palsu!"
jawab Si Pelawak Sinting lalu
goyang rebananya beberapa kali. Kakinya bergerak-gerak menari dan dari mulutnya
keluar suara nyanyi na… na… na… ni… ni…ni!
"Kalau kau tidak dibayar
pasti kau sudah larut dalam peluk rayunya!" Yang berkata adalah Peri
Bunda.
Luhjelita delikkan mata dan
mendamprat. "Peri baju biru! Mukamu cantik tapi mulutmu kotor. Tubuh dan
pakaianmu harum tapi hatimu busuk! Kalau kau tidak bisa membela Peri Angsa
Putih jangan bicara serendah itu! Apakah begitu tata cara bicara kaum Peri di
Negeri Atas Langit?"
"Aku tak perlu dibela
karena memang bukan aku yang membuang mawar kuning beracun ke dalam aliran
sungai!" Peri Angsa Putih tiba-tiba berkata seraya maju beberapa langkah
hingga dia kini berdiri tepat di hadapan Peri Bunda.
Dari balik pakaiannya Peri
Angsa Putih keluarkan dua kuntum mawar kuning yang telah layu. "Peri
Bunda, aku tidak tahu kau akan berdalih bagaimana. Tapi dua kuntum mawar
beracun ini aku temui dalam jambangan rotan di kamarmu!"
Di atas tiang batu Peri
Sesepuh terkejut Peri Bunda sendiri pucat wajahnya. Luhjelita tak kalah
kagetnya sedang Pendekar 212 melongo garuk-garuk kepala.
"Peri Bunda, jadi kau
rupanya!" ujar Peri Sesepuh sambil geleng-geleng kan kepala.
Setan Ngompol ikut-ikutan
gelengkan kepalanya.
"Peri secantik itu tidak
sangka berhati begitu jahat!"
"Tapi apa alasannya dia
hendak membunuh sahabat kita Wiro?" tanya Naga Kuning.
"Sahabat-sahabatku,
kuharap kalian mau bersabar dan tidak berisik. Segala perbuatan yang tidak
berdasarkan kasih antara sesama makhluk akan segera tersingkap…" kata Luhcinta.
Ketiga orang itu sampai saat itu masih mendekam di tempat persembunyian mereka.
"Peri Bunda!" Dari
atas tiang batu berujung lancip kembali Peri Sesepuh menegur. "Kau telah
melakukan satu perbuatan sangat keji! Apa alasanmu berbuat begitu?!"
"Peri Sesepuh…."
Peri Bunda gigit bibirnya sendiri.
Wajahnya masih pucat Dia
pegangi dadanya dengan dua tangan lalu kepalanya digelengkan berulang kali.
"Kau tak mau menjawab.
Tapi aku sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik perbuatanmu itu! Kau
sebenarnya mencintai pemuda asing itu. Kau tidak ingin kehilangannya. Kau sudah
bertekad menghadapi malapetaka apapun asal kau bisa mendapatkan dia. Karena itu
kau lebih dulu ingin mencelakai dan mengadu domba Peri Angsa Putih dan
Luhjelita. Jika pemuda itu menaruh syak wasangka pada mereka bukankah berarti
kau mendapat jalan untuk merebut hatinya?!"
Mendengar kata-kata Peri
Sesepuh itu, Peri Angsa Putih mau tak mau membatin. "Itu sebabnya Peri
Bunda ingin membawa Wiro ke Puri Bahagia. Dia ingin berdua-dua dengan pemuda
yang dikasihinya itu. Sungguh tidak kuduga…."
Peri Bunda mendongak memandang
ke arah Peri Sesepuh. "Peri Sesepuh…" desisnya. Lalu satu teriakan
dahsyat keluar dari mulut Peri Bunda. "Tidak…! Tidaaakkkk!"
"Apa yang tidak Peri
Bunda.." hardik Peri Sesepuh.
15
WAJAH Peri Bunda yang tadinya
pucat kini berubah merah seperti saga. Air mukanya tak kalah bengis dengan
paras Peri Sesepuh.
"Tidaaaakkkk!" Peri
Bunda kembali berteriak.
Teriakannya menggelegar di
seantero malam, menggetarkan Seantero bukit batu.
"Peri Bunda! Jangan
sampai membuat aku menjatuhkan tangan hukum dan kutuk saat ini juga! Lekas
berlutut dan akui perbuatanmu!" Peri Sesepuh keluarkan suara keras
lantang.
"Kau!"
Tiba-tiba Peri Bunda tudingkan
jari telunjuk tangan kanannya tepat-tepat ke arah Peri Sesepuh. "Aku tidak
berbuat! Bukan aku yang meracuni pemuda itu. Tapi kau! Kau Peri Sesepuh! Kau!
Dua bunga mawar kuning beracun itu aku temukan dalam kamarmu! Sengaja aku ambil
lalu aku simpan dalam kamarku! Ketika kejadian bunga itu hanyut di aliran anak
sungai, bukankah kau juga berada di sekitar situ? Bahkan sempat bicara
denganku? Waktu itu sebenarnya aku juga melihat dua kuntum bunga mawar ada di
balik lipatan pakaian merahmu!"
Semua orang yang ada di tempat
itu jadi terkejut besar. Luhcinta saking kagetnya sampai-sampai melompat keluar
dari persembunyiannya. Diikuti oleh Naga Kuning dan Setan Ngompol.
Di atas batu wajah Peri
Sesepuh pucat pasi seperti melihat setan. Mulutnya bergetar.
"Peri Bunda! Kau
menuduhku? Kau sengaja hendak memutar balik kenyataan? Benar-benar busuk budi
pekertimu! Kau layak kuhabisi saat ini juga!"
Selesai berkata begitu Peri
Sesepuh kibaskan tangan kanannya ke bawah. Segulung cahaya merah menggelegar,
menyambar ke arah Peri Bunda.
"Tunggu!" teriak
Luhjelita.
"Tahan!" Pendekar
212 ikut berteriak.
"Peri Sesepuh!
Jangan!" Peri Angsa Putih juga berteriak keras.
Namun Peri Sesepuh tetap terus
menghantam. Larikan sinar merah menggelombang membuntal tambah cepat dan tambah
dekat ke arah Peri Bunda.
Sementara Peri Bunda sendiri
tidak melakukan sesuatu seolah pasrah dirinya hendak dibantai orang!
Terpaksa tiga orang itu
bertindak cepat. Wiro, Luhjelita dan Peri Angsa Putih sama-sama gerakkan tangan
kanan, menghantam ke atas.
Selarik sinar Jingga menderu
dahsyat keluar dari telapak tangan Luhjelita. Selain menebar hawa panas pukulan
ini sanggup membuat lawan menjadi lemas tak berdaya.
Dari tangan kanan Peri Angsa
Putih melesat satu sinar putih. Inilah pukulan sakti yang disebut Membalik
Langit Menggulung Bumi. Pukulan ini sanggup membuat setiap serangan lawan
berbalik menghantam pemiliknya sendiri!
Sinar ke tiga yang mencuat
laksana perak menyala menyilaukan mata dan menebar panas luar biasa adalah
pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar 212.
"Bummm!"
"Bummm!"
"Blaarrr!"
Tiga dentuman dahsyat
menggelegar di malam bulan purnama itu. Bukit batu laksana dilanda geluduk
dihantam gempa. Batu-batu besar bergelundung bergemuruh. Beberapa orang
keluarkan seruan tegang. Tiga batu hitam berbentuk tiang berujung lancip,
termasuk dimana Peri Sesepuh sejak tadi berdiri tegak, keluarkan suara
berderak. Lalu patah dan roboh berkeping-keping. Sosok Peri Sesepuh sendiri
kelihatan mencelat tinggi ke udara. Pakaian merahnya terbakar hangus di
beberapa tempat Walau kemudian dia mampu berjungkir balik dan melayang turun
injakkan kaki di tanah namun tubuhnya tampak menghuyung. Rambutnya yang
digulung berbusai riap-riapan. Wajahnya sepucat kain kafan. Pakaian merahnya
hangus dan robek hingga dada, perut dan pahanya tersingkap bugil. Sang Peri
sadar akan keadaan auratnya. Dia berusaha gerakkan tangan untuk menutupi tubuh.
Tapi sepasang tangannya seolah kaku, sulit digerakkan!
Dari mulutnya perlahan-lahan
keluar lelehan darah. Bentrokan kekuatan sakti dahsyat tadi membuat pendekar
212 Wiro Sableng terjengkang dan sesak nafas untuk beberapa saat Tangan
kanannya kaku. Di bagian lain Peri Angsa Putih terpental dan jatuh tak jauh
dari Luhcinta. Luhcinta segera memberi pertolongan. Luhjelita sendiri saat itu
tampak merangkak, berusaha berdiri. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu
semburkan darah kental. Peri Bunda yang berada di dekatnya segera mendatangi.
Si Pelawak Sinting tampak
kelabakan, melangkah kian kemari mencari-cari rebananya yang tadi mental akibat
letusan-letusan dahsyat Celananya yang selalu kedodoran saat itu bukan cuma
kedodoran tapi sudah merosot sampai ke bawah paha. Dia tidak sadar kalau
auratnya tersembul ke mana-mana.
Naga Kuning tersandar di
sebuah batu, pucat pasi dan sulit bernafas. Tapi tawanya kemudian tersembur
ketika melihat keadaan Si Pelawak Sinting yang pakaiannya tidak karuan
disebelah bawah. Akan halnya Si Setan Ngompol, kakek satu ini terbadai di tanah
dalam keadaan menungging. Mulutnya komat kamit entah mengucap apa. Di sebelah
bawah air kencingnya mengucur tiada henti!
Sambil pegangi dadanya yang
berdenyut sakit Pendekar 212 Wiro Sableng melangkah mendekati Peri Sesepuh.
Sang Peri memandang dengan mata besar dan wajah membayangkan rasa takut
"Wiro, aku mengaku
salah…. Kalaupun kau bunuh aku saat ini aku menerima pasrah…" kata sang
Peri dengan suara sangat perlahan dan bergetar.
"Peri Sesepuh, apa benar
kau yang hendak membunuh saya dengan mawar beracun itu?" bertanya Pendekar
212.
Peri Sesepuh semburkan ratap
tangis lalu anggukkan kepalanya berulang kali. Suara tangisnya semakin
menjadi-jadi ketika Wiro pegang bahunya dan bertanya dengan suara lembut,
sepertinya tanpa ada rasa marah, tanpa ada rasa dendam. Hal ini membuat hati
Peri Sesepuh serasa disayat-sayat.
"Memang… memang aku yang
melakukannya…"
ucap Peri Sesepuh mengakui dan
kembali menganggukkan kepala berulang kali sambil tekap wajahnya dengan dua
tangan. Murid Sinto Gendeng terdiam lalu garuk-garuk kepalanya.
"Kenapa Peri Sesepuh….
Kenapa kau melakukan itu? Apakah saya pernah membuat dosa padamu? Apakah saya
pernah menyakiti hatimu?"
"Tidak… Kau tidak pernah
berbuat salah apaapa…. Kau lelaki paling baik yang pernah aku kenal…."
"Atau mungkin karena kau
juga ikut mengira aku telah berbuat aib dengan Luhjelita seperti yang kini
tersebar luas di seluruh negeri? Tapi bukankah kabar jahat itu tersiar
kemudian, setelah peristiwa mawar beracun itu?"
"Wiro, aku tahu kau orang
baik. Aku juga yakin kau tidak berbuat sekeji itu terhadap siapapun, juga
terhadap Luhjelita…."
"Lalu Peri Sesepuh,
kenapa kau hendak meracuni saya? Apa alasanmu? Kau belum menjawab…."
Tangis Peri Sesepuh semakin
keras. Bahunya berguncang-guncang.
"Peri Sesepuh, apakah kau
mau menjelaskan alasanmu hendak meracuni saya?" Wiro kembali bertanya.
Setelah tangisnya reda
perlahan-lahan Peri Sesepuh turunkan ke dua tangannya. Dia menatap pada Wiro,
lalu pada Peri Angsa Putih dan Peri Bunda. Dia juga melayangkan pandangan pada
Luhjelita dan Luhcinta. Dalam sesenggukan dia berucap.
"Aku Peri tertinggi di
Negeri Atas Langit. Tapi nasibku sangat malang. Aku adalah Peri dengan wajah
dan tubuh paling buruk. Aku tak mungkin bersaing dengan Peri lainnya, terutama
Peri Bunda dan Peri Angsa Putih…."
"Kau Peri pimpinan
mereka, kau peri panutan. Mereka bisa disebut sebagai Peri-Peri asuhmu. Lalu
mengapa kau mengatakan tidak mungkin bersaing dengan mereka? Apa maksudmu Peri
Sesepuh?" tanya Wiro.
"Mereka memiliki paras
wajah sangat cantik. Sedang aku… kau lihat sendiri. Mana mungkin aku bersaing
memperebutkan dirimu…."
"Memperebutkan
diriku?" ujar Wiro heran.
Peri Sesepuh usap wajahnya
yang basah oleh air mata dan keringat lalu mengangguk. "Walau kami saling
merahasiakan, tetapi kami sama tahu bahwa kami bertiga sama-sama sangat
mencintaimu! Cuma sayang, dalam keterbatasan diriku aku menempuh jalan salah.
Aku ingin menyingkirkanmu. Aku berpikir, jika aku tidak bisa mendapatkan dirimu
maka dua peri itu juga tidak boleh mendapatkan dirimu!" Peri Sesepuh
kembali menutup wajahnya dengan dua tangan lalu terisak-isak menahan tangis.
Dia lalu memandang pada Peri Angsa Putih dan Peri Bunda. Kemudian menatap
kembali pada pemuda di hadapannya.
"Dosaku besar nian. Bukan
saja terhadapmu Wiro. Tapi juga pada dua kerabatku Peri Angsa Putih dan Peri
Bunda. Juga pada gadis bernama Luhjelita itu. Perbuatanku sempat menyengsarakan
dirinya hinga dia terkena tuduhan jahat. Wiro, juga kalian semua. Aku siap
menerima hukuman. Kalian bunuhpun saat ini aku ikhlas menerima…."
Murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede pandangi wajah Peri Sesepuh beberapa lamanya. Ada rasa hiba
menyeruak di lubuk hatinya. Sambil memegang bahu sang Peri dia membungkuk dan
berbisik.
"Peri Sesepuh, jangan
katakan parasmu tidak cantik. Bagiku kecantikanmu tidak kalah dengan Peri Bunda
dan Peri Angsa Putih. Cuma memang kau agak nakal…."
Sepasang mata Peri Sesepuh
membesar. Lalu mulutnya menyeruakkan senyum. Tawanya keluar tidak tertahankan
lagi.
"Eh, ada apa dengan Peri
gendut itu!" kata Naga Kuning heran sambil menggamit Setan Ngompol."
Barusan dia menangis meratap habis-habisan.
Sekarang malah tertawa…."
"Peri Sesepuh," Wiro
berucap. "Kau tak perlu bersedih. Tak perlu memikirkan masalah ini
berpanjangpanjang. Tidak ada dosa dan kesalahan yang harus kau tanggung. Saya
memaafkan semua perbuatanmu…."
"Wiro…." ujar Peri
Sesepuh, "apa aku tidak salah mendengar dan kau tidak keliru
berucap?"
"Saya memaafkanmu,"
ulang Wiro.
Peri Sesepuh berseru keras
lalu jatuhkan diri hendak memeluk dua kaki Wiro. Sang Pendekar cepat pegang
bahu Peri Sesepuh. Susah payah dia mengangkat tubuh yang beratnya ratusan kati
itu, membantu sang Peri berdiri. Peri Sesepuh kucurkan air mata dan lingkarkan
tangannya ke punggung Wiro. Pendekar 212 tersenyum. Tangan kiri menepuk-nepuk
bahu Peri Sesepuh sedang tangan kanan menggaruk kepala.
"Assssyyiiikkkk…"
kata Naga Kuning sambil tertawa lebar. "Ini memang kesempatan bagus untuk
memeluk si sableng itu. Lain saat bisa banyak yang cemburu!" Lalu bocah
konyol ini berpaling pada Setan Ngompol. "Kalau kau ingin dipeluk Peri
gembrot itu lekas dekati dia…."
"Bocah setan!" maki
si kakek.
"Kami berdua juga
memaafkanmu Peri Sesepuh!"
Peri Sesepuh lepaskan
pelukannya di punggung Wiro dan memandang ke arah Peri Angsa Putih dan Peri
Bunda yang barusan sama-sama berucap. Dengan berurai air mata dia melangkah menghampiri
dua kerabatnya itu. Ketiga peri itu lalu saling rangkul bertangis-tangisan.
Sambil mengusut air matanya Peri Sesepuh berkata.
"Kerabat-kerabatku, untuk
sementara aku tidak akan kembali ke Negeri Atas Langit. Pimpinan negeri
kuserahkan padamu wahai Peri Bunda…."
"Memangnya kau mau pergi
kemana Peri Sesepuh?" tanya Peri Bunda.
"Aku tidak tahu. Mungkin
aku perlu memencilkan diri bersunyi-sunyi di satu tempat. Entah sampai berapa
lama." Peri Sesepuh lalu ciumi satu persatu kening dua kerabatnya itu.
Sang Peri kemudian menghampiri Luhjelita dan cubit pipi gadis cantik ini dan
berkata. "Aku tahu, waktu di tepi telaga kau menggerayangi pemuda itu
bukan hendak mencelakainya.
Tapi kau tengah berusaha
mendapatkan satu ilmu dahsyat. Kau tak usah kawatir, tiga tahi lalat yang ada
di bawah pusar pemuda itu bisa kau dapatkan. Asal kau pandai dan tahu
caranya!" Sementara Luhjelita terbelalak kaget mendengar ucapan yang tidak
diduganya itu Peri Sesepuh tertawa cekikikan sambil melangkah menghampiri Luhcinta.
Dia pegang dua tangan si gadis dan berbisik sangat perlahan hingga tak ada yang
mendengar. "Kau yang paling beruntung diantara semua kami. Jika kelak kau
mendapatkannya jangan lupakan diri kami. Kami ikut menitipkan kasih sayang kami
untuknya dilubuk hatimu yang paling suci…."
"Aku… aku mendapatkan
siapa maksudmu Peri Sesepuh?" tanya Luhcinta.
Sang Peri tersenyum lalu
membisikkan satu nama ke telinga Luhcinta yang membuat gadis ini melirik ke
arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sebelum pergi Peri Sesepuh
layangkan senyum dan pandangannya pada Si Setan Ngompol, Si Pelawak Sinting dan
Naga Kuning. Lalu dia berpaling sekali lagi pada Wiro. Sang Pendekar balas
tersenyum. Lalu susun dua jari tangan kanannya di atas bibir kemudian layangkan
cium jauh pada Peri Sesepuh. Peri gemuk itu tekap mulutnya menahan tawa tapi
masih bisa membalas genit dengan kedipkan mata sebelum berkelebat lenyap.
"Si sableng itu!"
kata Setan Ngompol. "Dia yang sebenarnya ganjen duluan! Jangan disalahkan
kalau Peri Gendut itu sampai kecantol habis-habisan padanya!"
"Peri Sesepuh, kalau saja
kakek sobatku ini yang kau pilih pasti urusan bisa beres dan kita bisa berhelat
besar di negeri ini!" kata Naga Kuning pula sambil tepuk-tepuk perut Si
Setan Ngompol.
Sambil terkencing-kencing
karena perutnya ditepuk Setan Ngompol berkata. "Mana mungkin aku dapatkan
peri gendut itu. Saat ini aku punya saingan berat! Lihat kakek berjuluk Pelawak
Sinting itu! Dia sampai memperagakan diri menyembulkan anunya agar terlihat
kejantanannya o!eh Peri Sesepuh. Padahal menurutku dia cuma punya sebuah terong
rebus yang sudah penyok!" Saat itu Si Pelawak Sinting memang masih sibuk
melangkah mundar mandir mencari rebananya. Sejak saudaranya Si Pelawak Sinting
yang asli tidak memperbolehkannya membawa tambur kulit dan payung daun, dia
terpaksa mempergunakan rebana berkerincing.
Semua orang yang ada di situ
tertawa bergelak. Termasuk Peri Angsa Putih, Peri Bunda, Luhjelita dan Luhcinta
malah wajah keempat mereka ini tampak bersemu merah dan palingkan muka ke
jurusan lain, tak berani melihat ke arah Si Pelawak Sinting yang masih terus
berjalan kian kemari tanpa sadar kalau bagian bawah tubuhnya terbuka melompong!
TAMAT