Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
075 Harimau Singgalang
SATU
Hari itu hari ketiga di bulan
kedelapan merupakan hari besar bagi penduduk Pagaralam dan sekitarnya. Suara
talempong, rabab dan saluang terdengar tiada putusputusnya.
Sejak pagi halaman rumah
gadang tempat kediaman Datuk Gampo Alam telah dipenuhi oleh para tetamu yang
berdatangan dari berbagai penjuru.
Di barisan kursi sebelah
depan, dinaungi oleh payung-payung besar berwarna warni duduklah sang Datuk
didampingi keempat istrinya di sebelah kiri sedang di sebelah kanan duduk
seorang pemuda tampan kemenakan Datuk Gampo Alam, bernama Andana.
Begitu banyaknya tamu yang
datang hingga di antara mereka ada yang tidak kebagian tempat duduk. Namun
semuanya dengan senang hati tegak di sekeliling halaman menunggu dimulainya
acara perhelatan besar itu.
Perhelatan besar ini diadakan
sebgaai ungkapan rasa syukur atas kembalinya sang kemenakan setelah beberapa
tahu menghilang di negeri orang. Pada kesempatan yang sama perhelatan ini juga
sebagai ungkapan rasa duka cita dalam mengenang berpulangnya Datuk Bandaro
Sati, ayah dari Andana dan kakak dari Daruk Gampo Alam. Sesuai dengan berita
yang telah didengar orang dari mulut ke mulut, Datuk Bandaro Sati mati dibunuh
orang di sekitar Ngarai Sianok beberapa waktu lalu. Siapa pembunuhnya masih
belum diketahui. Sementara itu jenazah Datuk Bandaro Sati telah dimakamkan di
puncak gunung Singgalang di mana berdiam kakak perempuan almarhum bernama Uning
Ramalah. Kabarnya perempuan yang sudah tua ini merupakan seorang nenek sakti
mandraguna yang mempunyai pantangan membunuh.
Itu sebabnya dia tidak turun
gunung guna menuntut balas atas kematian adiknya.
Andana selain tampan dan
bertubuh kekar diketahui orang sebagai seorang pandeka (pendekar) berilmu silat
tinggi, memiliki tenaga dalam tinggi dan kesaktian yang sulit dicari
tandingannya.
Belakangan tersiar kabar bahwa
konon pemuda itu telah dijuluki orang sebagai Harimau Singgalang.
Di belakang deretan kursi yang
diduduki Datuk Gampo Alam dan keluarganya, duduk orang-orang terpandang yang
datang dari Pagaruyung dan Batusangkar serta Bukittinggi. Bahkan ada yang
datang dari pesisir Pariaman.
Tumenggung Rajo Langit, tokoh
besar di Pagaruyung sebenarnya juga diundang tetapi tidak kelihatan hadir.
Mungkin ada sangkut pautnya dengan dua kejadian di Pagaralam beberapa waktu
lalu antara Tumenggung Rajo Langit dan orang-orangnya di satu pihak dengan
Andana dan Pendekar 212 Wiro Sableng di lain pihak.
Di antara orang banyak yang
tegak mengelilingi halan rumah gadang kelihatan seorang pemuda mengenakan saluak
(kopiah khas Minang), berpakaian bagus berwarna biru. Dia tegak sambil
rangkapkan kedua tangan di depan dada.
Memandang berkeliling. Jika
pandangannya bertemu dengan Andana maka diapun tersenyu lebar dan mengacungkan
jari jempolnya. Orang-orang di sekitar tempat dia berdiri terheran-heran
melihat pemuda ini. Mereka tidak mengenali siapa dia. Dan anehnya pemuda ini
memiliki potongan badan serta wajah yang mirip dengan Andana kemenakan Datuk
Gampo Alam itu.
“Tak mungkin saudaranya
Andana,” kata seorang tamu setengah berbisik.
“Setahu waden si Andana itu
tak punya kakak tak punya adik….” (waden = aku)
Sementara itu di salah satu
bagian rumah gadang, Bunga sedang didandani oleh seorang juru solek. Di ruangan
sebelah yang dipisahkan dengan batas sehelai hordeng terletak brebagai
perlengakapan untuk menari termasuk seperangkat carano berisi sirih yang akan
dipersembahkan pada Andana selaku tamu kehormatan dalam perhelatan itu.
Sewaktu juru rias tengah
membentuk dan mempertebal alis mata Bunga, tak sengaja gadis ini mengerling ke
arah ruangan sebelah. Dia melihat seorang perempuan tinggi besar mengenakan
baju kurung kuning dan berselendang melangkah mendekati cerana berisi susunan
daun sirih yang sudah diisi gambir dan kapur. Karena tidak pernah melihat perempuan
sebesar dan setinggi itu sebelumnya, diam-diam Bunga memperhatikan terus orang
ini. Dalam hati dia merasa aneh mengapa justru orang-orang di sekitarnya seolah
tidak memperhatikan perempuan tinggi besar ini?
Dari dalam sehelai sapu tangan
orang itu mengeluarkan sebuah botol kecil. Isi botol kecil ini berbentuk
cairan, ditebarkan di atas sirih. Tampak asap tipis mengepul.
Lalu orang ini cepat-cepat
meninggalkan tempat itu tanpa bunga sempat melihat wajahnya.
Selesai didandani dengan penuh
rasa ingin tahu Bunga pergi ke ruangan sebelah. Diperhatikannya tiga susunan
sirih yang ada di atas cerana. Warnanya yang seharusnya hijau segar telah
berubah agak kehitaman. Bunga mendekatkan hidungnya ke susunan sirih itu. Gadis
ini merasa hidungnya seperti hendak tanggal. Dia batukbatuk berulang kali.
Wajahnya tampak agak pucat. Racun kala hutan….. kata Bunga dalam hati. Mengapa
perempuan tinggi besar tak dikenal tadi meracuni daun-daun sirih itu? Siapa
yang hendak diracuninya? Andana? Pasti Andana karena sesuai kebiasaan sirih itu
nanti akan dipersembahkan pada pemuda tersebut.
Andana akan mengunyahnya! Apa
yang harus dilakukannya? Membuang semua sirih itu lalu menggantikannya dengan
yang baru? Tak ada jalan lain. Memang hanya itu yang segera dan harus
dilakukannya. Karena kalau Andana sampai mengunyah dan memakan daun sirih
persembahan yang telah disiram dengan racun kala hutan itu maka nyawanya tidak
akan tertolong lagi. Racun kala hutan adalah racun paling jahat yang tidak ada
obat pemusnahnya.
Seorang perempuan separuh baya
muncul dari balik hordeng. “Bunga, saatmu keluar. Lekas bawa cerana dan turun
ke bawah. Para penari lainnya sudah menunggu.”
Dengan agak gugup gadis itu
berdiri lalu mengambil cerana di atas meja.
Bersamaan dengan itu dia cepat
mengambil selembar daun sirih yang masih segar dari atas meja, lalu diberinya
gambir dan kapur sirih dan dilipatnya. Sebelum diletakkan di atas cerana Bunga
mengambil lagi sehelai daun sirih. Daun kedua ini dipergunakan sabagai alas
untuk meletakkan daun sirih yang tadi dilipatnya.
Meskipun sirih yang satu itu
terlindung dari racun yang sudah melekat pada sirih-sirih lainnya namun hati
Bunga tetap saja merasa kawatir kalau-kalau racun kala hutan bisa merambas
menembus daun sirih yang dijadikan alas.
“Hai cepatlah Bunga! Apa yang
kau lakukan itu?!” tegur perempuan tadi.
“Saya segera turun, Etek….”
kata Bunga pula. (Etek = panggilan terhadap perempuan lebih tua dan biasanya
telah bersuami).
Perhelatan besar dan meriah
itu dibuka dengan sambutan pendek yang tak lupa dibumbui dengan pepatah pepitih
di samping memuji-muji Datuk Gampo Alam dan kemenakannya.
Selesai sambutan perhelatan
dilanjutkan dengan pergelaran Tari Piring. Tarian ini dibawakan oleh dua pasang
muda mudi diiringi bunyi-bunyian. Masing-masing penari membawa sebuah piring
kaca di tangan kiri kanan. Mereka menari meliuk-liuk
terkadang bergerak cepat
menghnetak-hentak. Kemudian keempat menari bergerak mengelilingi tumpukan
pecahan kaca yang ditebarkan di atas tanah. Pada puncaknya keempar penari itu
menari dengan menjejakkan kaki mereka di atas pecahan kaca tersebut. Kemudain
mereka menari sambil bergulingan beberapa kali di atas kaca!
Setelah Tari Piring selesai
masuklah rombongan debus memperlihatkan kebolehan mereka dalam ilmu kebal. Ada
yang menusuk perut dan dadanya dengan berbagai senjata tajam. Mulai dari pisau
sampai keris dan golok bahkan tombak. Ada pula yang mencelupkan kedua tangannya
dalam minyak mendidih kemudian membasuh wajahnya dengan minyak panas itu.
Seorang perempuan memperlihatkan kemampuannya memakan kaca dan minum air
mendidih. Pertunjukan diakhiri dengan pergaan seorang lelaki muda
melompat-lompat dia atas paku sambil memotongmotong lidahnya dengan sebilah
pisau. Pertunjukan debus ini disaksikan orang banyak dengan perasaan berdebar.
Orang-orang perempuan acap kali terpaksa memalingkan muka mereka karena ngeri.
Pertunjukan puncak adalah
penampilan rombongan muda mudi membawakan Tari Gelombang. Di sebelah depan
bergerak sembilan orang pemuda berpakaian galembong dan destar hitam. Di sebelah
belakang bergerak lima orang penari perempuan yang kesemuanya adalah
gadis-gadis cantik berbaju kurung berkain songket. Rambut mereka dihias dengan
sunting berwarna kuning emas. Yang paling cantik di antara semua gadis penari
itu adalah yang di depan sebelah tengah. Dia memakai tengkuluk tanduk kerbau di
atas kepalanya serta membawa cerana berisi sirih. Gadis ini tentu saja adalah
Bunga.
Sejak rombongan penari muncul
sepasang mata Datuk Gampo Alam boleh dikatakan tidak berkesip dari
memperhatikan wajah dan tubuh Bunga. Duduknya tampak tidak tenang. Lehernya
berulang kali disentakkan. Tenggorokannya tampak turun naik beberapa kali
kelihatan dia membasahi bibirnya dengan ujung lidah.
Sesekali dia memandang
berkeliling seperti mencari-cari seseorang. Zainab istri tua sang Datuk sampai
berkata “Dari tadi saya perhatikan Datuk seperti gelisah, Siapa yang Datuk
cari…. ?”
Datuk Gampo Alam tidak
menjawab. Dia memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur sosok Pendekar
212 Wiro Sableng yang tegak di tepi halaman di antara orang banyak.
Datuk Gampo alam berpaling
pada Andana. “Itu pemuda sahabatmu bernama Wiro….?”
“Betul Paman…”
“Perlu apa dia berada di
sini?”
“Dia orang asing di sini.
Perhelatan ini tentu saja sangat menarik perhatiannya.
Sebagai seorang sahabat apa
salahnya dia berada di sini menonton pesta. Saya yang mengundangnya datang.”
“Dari mana dia dapat saluak
dan pakaian bagus itu?” tanya Datuk Gampo Alam lagi.
“Saya yang meminjamkannya,”
jawab Andana.
Tampang Datuk Gampo Alam
tampak berkerut dan masam. Dia memandang berkeliling. Orang yang dicarinya
akhirnya dilihatnya juga. Palindih. Sang Datuk memberi isyarat agar Palindih
mendekatinya. Begitu Palindih sampai di hadapannya Datuk Gampo Alam segera
berbisik. “Gadis yang membawa cerana itu, siapa dia?”
Astaga sudah bangkit pula
gatal urang gaek ini! Kata Palindih dalam hati.
“Namanya Bunga,” memberi tahu
Palindih juga dengan berbisik. Lelaki ini melihat harapan mencari untung. Untuk
urusan beginian dia pasti akan mendapat upah atau hadiah besar.
“Agaknya Datuk berhasrat ?”
tanya Palindih kembali berbisik.
“Hemmm….” Datuk Gampo Alam
usap-usap dagunya. Kedua matanya tak lepas dari memandang wajah dan gerakan
tubuh Bunga yang tengah menari. Lehernya disentak-sentakkan berulang kali. “Nama
bagus, orangnya cantik secantik bidadari….”
kata Datuk Gampo Alam agak
keras diluar sadar. Tiba-tiba saja satu cubitan menyambar pahanya hinga sang
Datuk terlonjak di tempat duduknya.
Yang mencubit adalah Rukiah,
istri Datuk Gampo Alam yang paling muda dan duduk tepat di samping sang Datuk.
“Di saat-saat seperti ini
sepantasnya Datuk menjaga mata dan mulut!” hardik Rukiah tapi dengan suara
sangat perlahan.
“Ah kau orang perempuan mau
tahu saja urusan lelaki!” kata Datuk Gampo Alam dengan muka cemberut.
Rukiah tak kalah cemberutnya
malah dengan membelalakkan mata pada Palindih dia berkata “Pergi kau dari sini!
Berani kau menjadi comblang, kusuruh potong burung tekukurmu!”
Palindih memandang pada Datuk
Gampo Alam. Dia ragu sesaat. Akhirnya Datuk berkata, “Sudah, pergi sajalah. Aku
hanya sekedar bertanya, tak ada maksud apa-apa. Lekas pergi Palindih. Kalau
tidak habis aku bengkak-bengkak. Ada kalajengking betina di sini! Aduah….!”
Paha Datuk Gampo Alam kembali disambar cubitan. Sakit dan pedas bukan main.
“Ada apa Mamak…..” tanya
Andana terheran-heran.
“Tak ada apa-apa. Si Rukiah
sudah tak sabar mau segera bersantap siang makan besar! Dasar perempuan urusan
perut saja yang diingatnya!” jawab Datuk Gamp Alam berdusta.
Para pemuda yang menarikan
Tari Gelombang yang berada di sebelah depan bersibak ke kiri dan ke kanan
memberi jalan pada gadis pembawa cerana. Dengan lemah gemulai Bunga maju ke
arah Andana selangkah demi selangkah. Kalau Andana mengagumi kepandaian gadis
itu menari, maka sebaliknya saat itu Bunga berada dalam keadaan bingung serta
takut. Kalau dia bergerak lebih dekat dan memberi tahu bahaya yang mengancam
pada si pemuda, jelas Datuk Gampo Alam dan orang-orang di sekitarnya akan
mendengar.
Maka sebisa-bisa yang
dilakukan Bunga adalah membuat gerakan-gerakan berupa isyarat tangan dan
goyangan kepala agar Andana bangkit berdiri lalu melangkah menghampirinya. Hal
ini sebenarnya tidak pernah kejadian karena seharusnya sang penarilah yang
menghaturkan dan mempersembahkan sirih persembahan kepada orang yang dihormati.
Namun agaknya Bunga tak punya jalan atau cara lain.
Sambil terus menari Bunga
menggoyangkan kepalanya ke belakang. Kedua matanya menatap lurus pada pemuda
itu. Lalu tangan kanannya digerak-gerakkan agar lebih jelas bagi Andana akan
isyarat yang diberikannya. Mula-mula Andana tidak memperhatikan. Namun setelah
berulang kali Bunga membuat gerakan yang sama dan menatap padanya, pemuda ini
mulai menduga-duga agaknya ada sesuatu yang hendak disampaikan gadis ini lewat
isyarat goyangan kepala, tatapan mata dan gerakan tanagn itu.
DUA
Datuk Gampo Alam yang duduk di
sebelah Andana dan banyak orang lainnya juga sama merasa heran mengapa gadis
pembawa sirih persembahan itu belum juga bergerak maju mendekati tamu
kehormatan guna memberikan persembahan sekapur sirih. Bunga jadi tambah
bingung. Keringat mengucur di kening dan kuduknya.
Andana sendiri perlahan-lahan
mulai menangkap isyarat yang dibuat Bunga. Namun hatinya masih meragu. Dia
melirik pada Datuk Gampo Alam. Tampaknya sang Paman mulai mencium adanya
sesuatu yang tidak beres. Andana kemudian memandang ke jurusan di mana
sahabatnya Wiro Sableng berdiri. Sebenarnya Wiropun berharap Andana melihat
kepadanya karena sejak tadi dia sudah maklum ada sesuatu. Dia ingin pula
memberikan isyarat pada Andana agar mengikuti apa yang diinginkan Bunga di
balik isyarat yang diberikannya. Bagitu Andana memandang ke padanya, Wiro serta
merta menengadahkan telapak tangan kanannya lalu menggerakgerakkan tangan itu
ke atas. Sehabis membuat gerakan itu Wiro susul dengan gerakan tudingan ibu
jari berulang kali.
Akhirnya Andana menangkap juga
apa maksud Bunga dengan isyarat goyangan kepala serta gerakan tangan.
Perlahan-lahan pemuda ini berdiri. Datuk Gampo Alam hendak menegur tapi sang
kemenakan sudah melangkah mendekati penari yang membawa cerana berisi sirih
persembahan. Bunga cepat menyongsong.
Cerana dipegangnya dengan
kedua tangannya. Kedua kakinya ditekuk sedikit dan kepalanya ditengadahkan. Dia
memandang tersenyum pada si pemuda. Gemas sekali Datuk Gampo Alam melihat apa
yang dilakukan Bunga itu. Rasa cemburu membakar dadanya.
“Ambil sirih paling atas. Yang
lainnya mengandung racun!” bisik Bunga seraya mengangsurkan cerana lebih
tinggi.
Andana tentu saja terkesiap
kaget mendengat bisikan gadis itu. Namun dia cepat menguasai keadaan. Wajahnya
yang tadi tampak berubah dihiasnya dengan senyum yang dibalas pula dengan
senyum oleh Bunga. Pemuda ini ulurkan tangannya ke arah cerana. Sesuai dengan
apa yang tadi dibisikkan Bunga dia mengambil lipatan sirih segar hijau yang
paling atas yang terletak begitu rupa di atas selembar daun sirih.
Sepintas dia dapat melihat
bagaimana sirih-sirih lainnya berwarna aneh, hijau kehitaman.
Dengan sirih di tangan
kanannya Andana melangkah mundur, kembali ke tempat duduknya.
“Makanlah sirih persembahan
itu, Andana. Sengaja diberikan bukan saja sebagai penghormatan tapi juga
sebagai ungakapan syukur bahwa kau akhirnya kembali ke Pagaralam dengan
selamat.” Yang berkata adalah Datuk Gampo Alam dengan senyum aneh bermain di mulutnya.
Andana memperhatikan sejenak
sirih di tangannya.
“Apa lagi yang kau tunggu
Andana? Makanlah….”
Andana menganggukkan
kepalanya. Tanpa ragu-ragu sirih itu dimasukkannya ke dalam mulutnya.
Perlahan-lahan mulai dikunyahnya. Dia berpaling pada Datuk Gampo Alam. Sang
Paman dilihatnya angguk-anggukkan kepala dan masih tersenyum.
Orang banyak bertepuk tangan
dan ada yang bersorak sorai. Sementara itu muda mudi yang menarikan Tari
Gelombang tampak terus melenggang meliuk-liuk mengikuti alunan tetabuhan. Datuk
Gampo Alam yang tidak habis-habisnya memperhatikan Bunga berkata pada istri
mudanya “Rukiah, aku lihat tadi mulut penari pembawa cerana itu bergerak
seperti mengatakn sesuatu. Kau dengar apa yang diucapkannya?’
“Mana mungkin telinga saya
mendengar. Suara talempong keras sekali. Suara gendang tak kalah kerasnya.
Gadis itu mungkin suka pada kemenakan Datuk.
Barangkali mereka sudah saling
kenal sebelumnya. Lagi pula perduli apa saya akan segala yang diucapkannya?”
Datuk Gampo Alam terdiam.
Ingatannya melayang pada beberapa kejadian di masa lalu. Hemmmm…. dulu kedua
anak ini memang pernah digunjingkan orang.
Pernah terlihat
bercinta-cintaan di tengah jalan. Kalau begini aku harus bertindak cepat!
Datuk Gampo Alam berpaling ke
samping. Dilihatnya kemenakannya itu mengunyah sirih dengan tenang. Sementara
itu di atas rumah gadang sepi karena semua orang turun ke bawah untuk melihat
dari dekat keramaian itu. Seorang perempuan tinggi besar berbaju kurung kuning
dengan selendang yang hampir menutupi seluruh wajah hingga mata kanannya seja
yang kelihatan, mengintai dari balik jendela. Anehnya mata orang ini besar dan
merah tidak pantas untuk mata seorang wanita. Satu kali angin bertiup agak
kencang. Selendang yang menutupi wajah itu tersingkap lebar hingga kelihatanlah
begian besar wajah perempuan ini.
Astaga! Wajah ini ternyata
wajah seorang lelaki yang menyeramkan. Mata kirinya buta picak. Kumis dan
cambang baeuknya meranggas kasar! Tangan kanannya yang memegang pinggiran
selendang tampak merah kehitaman seperti pernah terbakar.
Orang yang menyamar sebagai
perempuan inilah tadi yang telah mengguyurkan racun kala hutan di atas
daun-daun sirih dalam cerana. Wajahnya yang angker tampak tegang sewaktu
menyaksikan bagaimana Andana masih tetap duduk dengan tenang di kursinya, malah
beberapa kali melayangkan senyum pada penari pembawa cerana.
Apa yang terjadi. Orang di
balik jendela bertanya pada diri sendiri. Jelas dia sudah memakan sirih beracun
itu. Mengapa masih belum mati terjengkang?! Apa benar dia memiliki kesaktian
luar biasa hingga tak mempan racun? Celaka!
Orang ini pergunakan kedua
tangannya untuk memegang selendang. Dengan bergegas dia segera meninggalkan
tempat itu.
Di bawah rumah gerak gerik
orang yang tadi mengintai di balik jendela ternyata sempat terlihat oleh
Andana. Dia berbisik pada Datuk Gampo Alam.
“Mamak, ada seseorang di atas
rumah gadang. Gerak geriknya mencurigakan.
Saya akan coba menyelidik dan
mengejar!” (Mamak di sini artinya Paman)
Datuk Gampo Alam menoleh ke
arah rumah gadang. Dia masih sempat melihat punggung orang yang dikatakan
Andana itu. Sesaat parasnya berubah. Lalu cepat dia berkata. “Tetap saja di
sini Andana. Tak ada yang perlu dikawatirkan. Orang berbaju kurung kuning tadi
kurasa pastilah salah satu dari juru masak. Lupakan hal itu Andana. Tak sedap
pula makan kita nanti.”
Hati Andana tetap tidak
tentram. Dia tidak pernah melihat perempuan dengan ukuran badan sebesar dan
setinggi orang tadi. Maka diapun berpaling ke arah Wiro berdiri. Namun
sahabatnya itu dilihatnya tak ada lagi di situ.
Kemana pula sahabatku orang
Jawa itu? Pikir Andana.
Dari tempatnya berdiri Wiro
Sableng dapat melihat orang yang ada di jendela rumah gadang. Walau wajahnya
tidak jelas karena terus-terusan ditutup dengan selendang namun bentuk tubuhnya
yang tinggi besar menarik perhatian murid Eyang Sinto Gendeng ini.
Bukan main! Kata Wiro dalam
hati. Baru kali ini aku melihat perempuan begini besar dan tinggi. Gerak
geriknya terasa aneh. Sebaiknya aku menyelidik ke atas rumah sana. Siapa tahu
nasibku mujur. Bertemu perawan cantik….. Selagi dia berpikir seperti itu,
perempuan berbaju kurung kuning di jendela rumah sudah lenyap.
Tanpa pikir panjang lagi
Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu, menyeruak di antara orang banyak.
Dia terpaksa mengambil jalan berputar untuk dapat sampai ke tangga di sisi kiri
rumah gadang. Ketika Wiro sampai di dekat bangunan lumbung padi, perempuan
berbaju kurung kuning itu dilihatnya menuruni anak tangga terakhir lalu
berkelebat ke arah barisan pohon-pohon pisang.
Cepat sekali langkah perempuan
itu. Eh, malah dia sekarang berlari.
Nah…..nah, dia berpaling ke
arahku. Tak jelas wajahnya. Tapi astaga! Mengapa dia melepas kain panjangnya.
Dua mata Wiro membesar ketika
melihat di balik kain panjang yang dibuka olrh perempuan tinggi besar itu
sambil berlari ternyata dia mengenakan celana galembong hitam. Kedua kakinya
kini terlihat jelas.Besar berbulu dan dililiti gelang akar bahar!
Laki-laki! Ternyata dia
laki-laki! Eh, banci atau bagaimana?! Janganjangan…. Kalau dia bukan orang
jahat apa perlunya menyelinap ke atas rumah gadang, menyamar seperti perempuan!
Wiro berteriak. Tahu kalau
dirinya sudah terlihat dan dikejar orang “perempuan” berbaju kurung kuning itu
mempercepat larinya. Wiro segera mengejar.
Yang dikejar lenyap di jalan
kecil menurun. Lalu terdengar suara kuda digebrak orang ke arah Timur.
Sialan! Gerutu Wiro. Dia
memandang berkeliling, mencari-cari kalau-kalau ada kuda di sekitar situ.
Pendekar ini hanya bisa banting-banting kaki karena tak seekor kudapun yang kelihatan.
Tiba-tiba telinganya menangkap derap kaki kuda.
Yang satu ini justru
mendatangi ke arahnya. Wiro cepat menyongsong. Seorang lelaki tua muncul di
atas punggung seekor kuda. Orang ini berpakaian dan berdestar putih.
Di tangan kirinya dia memegang
sebuah saluang. Kedua mata Wiro jadi terbelalak ketika dia mengenali orang ini
(Saluang = suling khas Minang terbuat dari bambu)
Astaga! Si kakek ini adalah
orang tua aneh berilmu tinggi yang dulu menghadang jalanku sewaktu bersama
Andana. Dia mencelakai diriku hingga selangkangan celanaku robek besar. Lalu
kutelanjangi dirinya, kurampas celananya!
Sesaat Wiro agak bimbang. Tapi
dia perlu kuda tunggangan orang tua itu.
Dlam keadaan seperti itu si
orang tua hentikan kudanya. Kedua matanya menatap tajam ke arah Pendekar 212.
Suling di tangan kanan dimelintangkan di depan dada.
Ah, pasti dia marah sekali
padaku!
“Pencuri calana! Hari ini kita
bertemu lagi! Mana celanaku yang kau rampas tempo hari?!” orang tua itu
membentak.
“Sabar, tenang…..”
“Sabar! Tenang! Enak betul
cakapmu! Kau telanjangi diriku! Kau permalukan aku! Apa sekarang kau hendak
menelanjangi aku lagi huh?! Apa kau kira kini aku bisa sabar dan tenang melihat
tampangmu?!”
“Saya minta maaf atas kejadian
tempo hari! Saya terpaksa melakukannya.
Itupun gara-gara kau membuat
robek celanaku….”
“Apapun alasanmu kau tetap
maling perampas calana! Dan kau tidak bisa mengembalikan celana itu!”
“Akan aku kembalikan nanti.
Aku berjanji!”
Orang tua di atas kuda tertawa
sinis. Dia keluarkan suara mendengus lalu berkata. “Kulihat kau berpakai dan
mengenakan saluak bagus! Hemmm…. Pasti hasil rampasan pula! Siapa pula yang
telah kau telanjangi? Kali ini pasti tidak tanggungtanggung.
Kau rampas seluruh pakaiannya!
Kau telanjangi orang sampai bugil!”
“Orang tua dengar….”
“Kau yang harus mendengar
padaku! Bukan aku!” hardik si orang tua. “Dan kali ini aku tidak Cuma bicara
dengan mulut ! Tapi juga dengan ini !”
Wiro hendak menggaruk
kepalanya karena tak tahu mau bicara apa lagi.
Selain itu dia merasa sangat
risau karena orang yang dikejarnya tentu sudah semakin jauh. Di hadapannya saat
itu sehabis berkata begitu si orang tua lantas ayunkan suling bambunya ke arah
kepala Pendekar 212.
Wuuuttt!!
“Pecah kepalamu!” teriak si
orang tua.
Wiro berseru keras. Tengkuknya
menjadi dingin sewaktu suling bambu di tangan orang tua itu memapas topi kain
songket di kepalanya. Padahal dia sudah merunduk dengan gerakan cepat. Topi itu
mental dan robek menjadi beberapa potongan!
Ketika orang tua itu
membelikkan kudanya dan kembali hendak menghantamkan suling bambunya Pendekar
212 membuat gerakan aneh. Dia menyusup ke bawah perut kuda tunggangan lawan.
Tadi dia telah memperhatikan kalau kuda itu adalah seekor kuda jantan. Begitu
berada di bawah perut kuda murid Sinto Gendeng ini dengan cepat menyodok biji
kemaluan binatang itu. Tidak terlalu keras tapi cukup membuat kuda ini
meringkik tinggi, emngangkat kedua kaki depannya ke atas setelah itu
menghentak-hentakkan kedua kaki belakangnya!
“Kurang ajar! Kau apakan
kudaku!” teriak si orang tua kaget dan cepat berusaha mengimbangi diri. Namun
terlambat. Kuda yang kesakitan itu kembali melejangkan kaki belakangnya. Tak
ampun lagi penunggangnya terperosok ke samping lalu jatuh ke tanah. Di saat
yang sama dengan kecepata kilat Wiro melompat ke atas punggung kuda lalu
menggebrak binatang ini hingga dalam sakitnya menghambur lebih kencang dari
selama ini bisa dilakukannya.
Pendekar 212 hanya
senyum-senyum mendengar di belakangnya orang tua itu memaki panjang pendek.
Lalu dia mendengar ada suara pepohonan tumbang dan semak belukar rambas di
belakangnya. Pasti orang tua itu telah melepaskan satu pukulan sakti. Wiro
menelungkup serata mungkin di atas punggung kuda.
Sekeluarnya dari jalan kecil
yang berkelok-kelok Wiro sampai ke sebuah lembah kecil menurun. Sesaat dia
dapat melihat keadaan di depannya. Di kejauhan dia melihat seorang penunggang
kuda berbaju kuning.
Jarakku begitu jauh. Tak
mungkin mengejarnya jika terus menempuh jalan kecil ini pikir Wiro. Di sebelah
kanannya ada sebuah hutan kecil. Jika dia memasuki hutan itu mungkin dia masih
mampu memotong jalan orang yang dikejarnya. Tanpa berpikir panjang lagi Wiro
segera memasuki hutan itu. Tak lama kemudian dia berhasil mencapai lereng
lembah. Di satu tempat dia berhenti. Orang yang dikejarnya tidak kelihatan tapi
telinganya lapat-lapat dapat menangkap suara derap kaki kuda di arah Selatan
lembah. Secepat kilat Wiro mengerahkan kudanya ke jurusan itu. Namun anehnya
suara derap kuda yang dikejarnya lenyap dengan tiba-tiba.
Tak mungkin orang itu lenyap
begitu saja. Wiro memandang berkeliling. Eh!
Di sebelah sana dia melihat
sehelai pakaian berwarna kuning menyangsang di antara semak belukar. Wiro
segera mendatangi. Dipegangnya ujung pakaian itu. Ini baju kurung si manusia
banci itu! Pasti dia beraa di sekitar sini! Wiro memandang berkeliling. Sunyi,
tak ada suara tak ada gerakan.
Tiba-tiba suara tawa bergelak
menggeledek di belakang Pendekar 212 sampai sang pendekar tergagau karena
terkejut.
“Orang asing! Berani kau
mengejarku?! Ini ada hadiah untukmu! Keparat!” Wiro berpaling dengan cepat.
Saat itu pula dua buah pisau
terbang melesat ke arahnya. Satu mengarah ke dada, satunya mengarah perut!
“Banci edan!” teriak Wiro
marah. Dia tidak sempat melihat jelas orang yang menyerangnya dengan dua bilah
pisau terbang itu. Sambil melompat turun dari kuda Wiro lepaskan pukulan
“Tameng Sakti Menerpa Hujan”.
Pisau yang mengarah dada
mencelat mental, patah dua. Salah satu patahannya menancap di sebatang pohon.
Pisau kedua siap dibikin mental oleh pukulan sakti itu namun tiba-tiba terjadi
hal luar biasa. Pisau satu ini membuat gerakan aneh. Meliuk
ke kiri dan tiba-tiba berubah
menjadi seekor ular!
“Ha….ha….ha….!” Orang di depan
sana tertawa bergelak lalu berkelebat lenyap.
“Kurang ajar!” damprat Wiro.
Dia cepat menyingkir sambil lepaskan lagi satu pukulan sakti ke arah pisau yang
kini berubah menjadi ular dan mematuk secepat setan berkelebat! Bagaimanapun
cepatnya Wiro menghindar, serangan tak terduga itu tak dapat dielakkannya. Ular
mematuk dan menancap di bahu kirinya! Sehabis mematuk binatang jejadian ini
menggelepar lalu jatuh ke tanah, berubah menjadi bubuk hitam yang mengepulkan
asap.
Pendekar 212 cepat menotok
beberapa bagian tubuhnya begitu dia merasa ada hawa panas menjalar. Selain
panas bahunya seperti ditusuk puluhan jarum.
Dirobeknya bajung pada bagian
bahu kiri. Dengan tangan kanannya dia memencet bagian bahu sekitar patukan
ular. Darah mengucur keluar. Bukan berwarna merah tetapi hitam! Paras sang
pendekar menjadi pucat! Cepat-cepat dia keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari
balik pakaian merahnya. Setelah merapal satu mantera pendek dalam keadaan tubuh
panas dingin salah satu mata kapak ditempelkannya pada luka bekas patukan ular
di bahu kirinya.
Wiro menjerit keras sewaktu
asap kelabu mengepul keluar dari bahu yang ditempel senjata mustika sakti itu.
Sekujur tubuhnya laksana dirajam. Sesaat mata kapak yang tadinya berwarna putih
perak menyilaukan berubah manjadi sangat hitam lalu perlahan-lahan puith
kembali ke warna asalnya. Ketika senjata itu diangkat dari bahunya darah hitam
masih mengucur terus malah tambah banyak.
Celaka! Racun jahat sekali.
Lukaku tak mau berhenti ! Murid Sinto Gendeng jadi bingung dan takut. Namun
sesaat kemudian hawa panas yang menyungkup tubuhnya mulai reda. Darah yang
tersedot keluar oleh kekuatan Kapak Maut Naga Geni 212 perlahan-lahan tampak
berubah dari hitam menjadi merah segar.
Murid Eyang Snito Gendeng
menarik nafas lega. Dia terduduk di tanah. Dia baru saja selamat dari satu
racun maha jahat. Ketika dia teringat pada orang tadi serta merta Wiro melompat
bangkit. Dia memandang berkeliling.
Bagaimanapun saktinya manusia
tadi tak mungkin dia lenyap amblas ke dalam bumi! Pikir Wiro. Lalu bagaimana
dia bisa raib begitu rupa?! Pendekar ini segera memeriksa semak belukan di
tempat itu. Hemmmm….. ini rahasianya! Kata Wiro. Di balik serumpunan semak
belukar lebat, di belakang dua pokok keladi hutan berdaun lebar tampak sebuah
lobang besar. Dengan membungkuk Wiro memasuki lobang itu. Hati-hati dia
bergerak maju. Kapak Naga Geni 212 tetap berada dalam genggamannya. Baru
berjalan sekitar sepuluh langkah, lobang itu bercabang dua.
Setelah meragu sejenak Wiro
memasuki lobang sebelah kanan. Sepuluh lobang lagi bergerak ke dapan kembali
lobang itu bercabang. Kini bukan Cuma dua tapi tiga.
Wiro memandang berkeliling.
Keadaan di tempat itu semakin gelap. Bau busuk menusuk hidung. Sadar akan
bahaya tak terduga yang mungkin bisa membokongnya sewaktu-waktu secara tidak
terduga murid Eyang Sinto Gendeng akhirnya memutar tubuh, keluar dari lobang
itu.
Di belakangnya mendadak
terdengar suara tawa bergelak. Lalu satu suara mengejek. “Orang asing! Ternyata
nyalimu rendah! Kalau jiwamu pengecut mengapa berani merantau sejauh ini?
Ha…ha…ha…!”
“Bangsat!” maki Wiro. Bagitu
keluar dari lobang dengan penuh kemarahan murid Sinto Gendeng ini menghantamkan
pukulan “dewa topan menggusur gunung” kearah lobang itu tiga kali
berturut-turut. Lembah itu laksana mau amblas ke perut bumi. Bukit kecil di
mana lobang tadi berada longsor dengan suara bergemuruh.
Lobang jalan masuk tertimbun
tanah tak kelihatan lagi.
Wiro memasukkan Kapak Mau Naga
Geni 212 ke balik pakaiannya. Manusia banci! Aku mau lihat apa kau bisa keluar
hidup-hidup dari dalam lobang celaka itu!
Habis berkata begitu Pendekar
212 segera tinggalkan tempat itu dengan berjalan kaki karena kuda si orang tua
yang tadi dirampasnya tak ada lagi di tempat itu. Meskipun dirinya telah
selamat dari racun ular yang sangat jahat tadi namun saat itu dia merasa
tubuhnya lemas sekali.
Hanya beberapa saat Wiro
teinggalkan tempat itu satu bayangan putih berkelebat. Orang ini memandang
berkeliling. Sambil gelengkan kepala dia berkata.
Pukulan “dewa topan menggusur
gunung.” Hemm…. anak itu rupanya masih terus mengamalkan ilmu kesktian itu.
Kekuatan tenaga dalamnya sudah jauh lebih tinggi.
Gunung Merapipun bisa
dibobolnya! Orang ini yang ternyata seorang tua usap mukanya beberapa kali.
Tiba-tiba dia membuat gerakan menarik pada bagian belakang kepalanya. Selembar
topeng tipis dan rambut palsu tanggal dari kepalanya.
Astaga! Di balik topeng itu
kelihatan wajahnya yang asli. Cekung hanya tinggal kulit pembalut tulang.
Rambut putih di kepalanya tampak jarang. Tapi kumis dan janggutnya kelihatan
tebal seputih kapas.
Ketika Wiro sampai ke tempat
perhelatan kembali tidak mudah baginya menemui Andana karena saat itu Andana
sedang bercakap-cakap dengan Datuk Gampo Alam dana keduanya berada dalam rumah
gadang tengah makan. Kali ini Andana berlaku cerdik. Setiap gulai atau ikan dan
daging yang dimakan sang Datuk itu pula yang diambilnya. Paling tidak dia
berusaha menghindari akan diracuni orang untuk kedua kalinya.
Ketika Atun, datang membawakan
minuman tambahan untuk Andana, pembantu itu membisikkan sesuatu padanya.
“Eh, kenapa kau jadi makan
terburu-buru Andana?” tanya Datuk Gampo Alam ketika dilihatnya kemenakannya itu
menyuap dan mengunyah makanannya lebih cepat dari sebelumnya.
“Perut saya tiba-tiba saja
tidak enak. Mungkin saya masuk angin karena kurang tidur malam tadi…. Paman,
izinkan saya ke belakang dulu….” Andana membasuh tangan kanannya lalu
cepat-cepat dia meninggalkan tempat itu menuju ke pancuran di belakang rumah
gadang. Namun di satu tempat dia membelok ke jurusan lain, melangkah cepat
hingga akhirnya sampai di balik barisan pohon-pohon pisang tak jauh dari
lumbung padi.
Di situ menunggu Pendekar 212
Wiro Sableng.
“Ada apa Wiro? Mengapa kau
meminta aku datang kemari. Eh, pakainmu robek di bahu. Kulihat mukamu agak
pucat…..”
Dengan cepat Wiro menceritakan
apa yang telah dialaminya.
“Saya memang sudah curiga
melihat orang itu waktu dia muncul di jendela rumah gadang. Tapi saya tak
mungkin melakukan sesuatu. Ternyata kau bertindak cepat. Kau sempat melihat
wajahnya? Yang penting kau benar-benar sudah aman dari racun jahat itu?”
“Saya aman, tak usah kawatir.
Mengapa tampang orang itu saya hanya sempat melihatnya sekilas sebelum dia
menyelinap masuk ke dalam lobang. Orangnya berkumis dan berewokan. Salah satu
matanya kalau aku tak salah ingat yang sebelah kiri buta…..”
Andana berpikir-pikir. Lalu
pemuda ini gelengkan kepala. “Kau tahu, sekitar tiga tahu aku meninggalkan
Pagaralam. Orang jahat datang dan pergi berganti-ganti.
Aku tak tahu siapa yang satu
ini. Ilmunya tak bisa dibuat main. Nanti akan kutanyakan pada Datuk. Aku merasa
yakin ini masih pekerjaannya Tumenggung Rajo Langit….”
Wiro usap-usap dagunya lalu
berkata. “Untuk sementara sebaiknya kejadian ini dirahasiakan antara kita
berdua…..”
“Hem…. Kelihatannya kau kurang
percaya pada Pamanku Datuk Gampo Alam?”
“Saya tidak mengatakan begitu,
sahabat.” Jawab Wiro. “Tapi coba kau pikirkan sendiri dalam-dalam.”
“Aku harus meninggalkan tempat
ini sekarang….”
“Kau harus makan dulu. Gulai
kambing, rendang pedas menunggumu….”
Wiro tertawa. “Seleraku jadi
hilang dengan kejadian ini,” katanya.
Ketika Pendekar 212
meninggalkan tempat itu, di sebuah jendela dekat anjungan rumah gadang Datuk
Gampo Alam yang sempat menyaksikan pertemuan antara kemenakannya dengan Wiro
bergerak menjauhi jendela. Lehernya disentaksentakkan dua kali lalu dia kembali
ke tempat duduknya semula. Menggulung sebatang rokok dan menghisapnya
dalam-dalam.
TIGA
Palindih masuk ke dalam rumah
itu sambil tersenyum-senyum. Sesaat dia memandang pada Mamak Rabiah dan Bunga.
Lalu bungkusan yang dibawanya diletakkannya di atas meja.
“Apa itu Palindih?” tanya Mak
Rabiah.
“Hadiah dari Datuk Gampo Alam
buat anak Etek,,Bunga. Cita halus dari negeri Cina, kain songket berbenang emas
dari Palembang, sehelai selendang sutera lalu sejumlah uang! Besar nian rejeki abak
Etek.”
Mamak Rabiah sesaat saling
pandang dengan Bunga.
“Kami tidak meminta. Mengapa
Datuk memberikan?” tanya Mamak Rabiah pula.
“Itu tandanya beliau puas.
Datuk memuji kepandaian Bunga menari. Bukan itu saja, kecantikan anak Etek
itupun disebut-sebutnya terus menerus.”
“Kalau Datuk Gampo Alam
memberikan dengan ikhlas, kami menerima dengan ikhlas pula. Sampaikan ucapan
terima kasih kami pada Datuk….” Mamak Rabiah mengira Palindih akan segera pergi
namun lelaki itu masih tegak di hadapannya. Mamak Rabiah lalu membuka bungkus
yang dibawa Palindih. Di situ memang ada cita, kain songket serta sehelai
selendang dan uang dalam kantong kain.
“Banyak sekali uang yang
diberikan Datuk Gampo Alam. Kau ambillah sebagian Palindih.” Mamak Rabiah
mengangsurkan sejumlah uang pada pembantu Datuk Gampo Alam itu.
“Ah tak usahlah Etek. Saya
menolong juga dengan ikhlas…..” katanya tapi kedua matanya melirik ke tangan
kanan Mamak Rubiah.
“Ambillah….”
“Etek ini ada-ada saja,” kata
Palindih. Lalu diambilnya juga uang dan dimasukkan ke dalam sakunya. “Etek
Rabiah, ketahuilah selain disuruh menyampaikan hadiah ini, saya juga membawa
pesan dari Datuk Gampo Alam.”
“Pesan apa geranagn?” tanya
Mamak Rabiah pula.
“Datuk mengundang Etek datang
ke rumahnya sore ini juga setelah ba’dal Asar. Kalau Etek suka kita bisa pergi
bersama-sama.
“Datukmu mengundang saya
datang ke rumah gadang? Agak aneh kedengarannya Palindih. Baru sekali ini
kejadain begini. Apa gerangan maksudanya?”
tanya Mamak Rabiah pula seraya
memandang pada Bunga.
“Saya tidak tahu Etek. Tentu
maksud baik semata. Karena itu jangan ditolak undangannya.”
Mamak Rabiah berpikir sejenak
lalu berkata. “Kau pergilah lebih dahulu. Biar aku menyusul sendiri kemudian.”
Kata perempuan itu seraya membetulkan letak selendangnya.
Begitu Palindih pergi Mamak
Rabiah cepat menutupkan pintu lalu dia tegak bersandar pada daun pintu seraya
memejamkan matanya.
Bunga segera mendekati
perempuan ini. “Ada apa Mak? Mamak kurang sehat?”
Tanpa membuka matanya
perempuan itu menjawab. “Mamak rasa telah membuat kesalahan besar anakku.
Menyetujuimu menjadi gadis penari pembawa sirih persembahan itu….”
“Kalau begitu Mamak tak usah
saja datang….” kata Bunga tanpa mau bertanya apa yang membuat Mamak Rabiah
berkata begitu.
“Kalau tidak datang salah pula
nanti…..” jawab Mamak Rabiah lalu menarik nafas panjang.
Datuk Gampo Alam menyambut
kedatangan Mamak Rabiah dengan tawa lebar penuh gembira. Perempuan itu
dibawanya ke anjungan rumah gadang lalu mereka duduk berhadap-hadapan.
“Istri-istri Datuk kemana….?”
tanya Mamak Rabiah ketika melihat hanya sang Datuk saja sebagai tuan rumah yang
menemaninya hingga mau tak mau dia merasa kikuk.
“Mereka sibuk semua Mak
Rabiah. Terima kasih kau mau datang…..”
“Datuk, saya dan Bunga
mengucapkan terima kasih atas pemberian Datuk tadi siang….”
“Ah, itu hanya hadiah kecil
saja. Tak usah disebut-sebut,” kata Datuk Gampo Alam. Setelah menyentakkan
lehernya beberapa kali sang Datuk berkata. “Aku tak pernah tahu kalau kau
menyimpan burung bagus luar biasa di sangkar emas….”
“Saya tidak paham maksud
Datuk…”
Lelaki itu tertawa lebar.
“Maksudku anakmu yang cantik dan pandai menari itu. Bunga….. Betul itu
namanya?”
“Bunga gadis buruk, keturunan
orang tak punya. Maklum saja gadis kampung.
Apa yang Datuk kagumi?”
Datuk Gampo Alam kembali
tertawa dan menyentak-nyentakkan lehernya.
“Kau pandai merendah Rabiah.
Kalau Bunga tak jadi penari siang tadi tak pernah aku tahu bahwa ada seorang
bidadari di Pagaralam ini!” Mamak Rabiah terdiam.
Datuk Gampo Alam menggeser duduknya.
Dengar Rabiah, gadis secantik Bunga tidak pantas tinggal di rumahmu yang
sekarang…..”
“Mengapa Datuk berkata begitu?
Lalu kemana kami hendak pergi? Kami orang miskin…..”
“Aku punya beberapa rumah di
Pagaralam ini, juga di Pagaruyung. Kau boleh memilih mana yang kau suka. Atau
di sini di rumah gadang ini. Masih ada satu kamar tersisa…..”
Berdebarlah dada Mamak Rabiah
mendengar kata-kata Datuk Gampo Alam itu. Sudah terbayang olehnya kini apa
tujuan laki-laki ini menyuruhnya datang.
“Rabiah…. Kau faham maksudku
bukan?”
“Maafkan, saya tidak mengerti
Daruk.” Jawab Rubiah dan dadanya tambah menggemuruh. Mukanya tampak memucat.
“Begini, maksudku anakmu itu.
Aku ingin mengambilnya jadi istri….”
Ya Tuhan, benar rupanya
dugaanku! Kata Mamak Rabiah dalam hati.
“Datuk, saya….”
“Kau setuju? Bagus!”
“Maksud saya bukan begitu
Datuk. Bunga masih kecil. Belum pantas bersuami. Lagi pula, maakan saya Datuk.
Bukankah Datuk sudah punya empat orang istri? Agama dan adat tidak mengijinkan
lebih dari itu….”
Datuk Gampo Alam tertawa
lebar. “Kalau itu yang kau takutkan, setiap saat aku bisa menceraikan salah
seorang dari istriku. Kau sebut saja yang mana. Empat kurang satu ditambah satu
kan empat juga jadinya. Ha….ha…..ha…..!”
Mamak Rubiah tundukkan kepala.
Dadanya seperti siap untuk meledak.
“Datuk, saya kurang sehat.
Izinkan saya pulang…..”
“Tentu, tentu. Palindih akan
saya suruh mengantar dengan kereta…..”
“Terima kasih. Saya masih
mampu berjalan.”
“Baik kalau begitu.Tapi
dengar. Besok Jum’at. Pagi-pagi sekali kau harus datang memberikan jawaban. Dan
kau tahu jawaban apa yang aku ingin bukan?”
Rabiah tidak menyahut.
Dituruninya tangga rumah besar bergonjong itu dengan langkah gontai
sempoyongan. Dunia seperti berputar di matanya. Dalam hatinya dia berseru pada
Yang Kuasa. Tuhan, beri saya kekuatan. Sampaikan langkah saya ke rumah. Yang
lebih penting janganlah semua ini terjadi menurut keinginan manusia yang satu
itu……
Begitu Bunga membukakan pintu,
Mamak Rabiah langsung memeluk dan menciumi anak itu. Kedua matanya basah.
Mamak, ada apakah? Tanya Bunga
heran seraya membimbing perempuan itu duduk ke sebuah tempat tidur kayu.
Nasib kita memang belum lepas
dari sengsara Nak. Datuk Gampo alam…..” Mamak Rabiah tak dapat meneruskan
kata-katanya.
“Datuk Gampo Alam? Mengapa dia
Amak?”
“Tak sampai hati Mamak
mengatakannya padamu Bunga.”
“Saya sudah bisa menduga walau
Mamak tak mau mengatakannya. Tua bangka tak tahu diuntung itu pasti meminta
saya jadi istrinya. Bukan begitu Mak?”
Mamak Rabiah mengangguk dan
tangisnya mengeras.
“Apa yang Mamak katakan
padanya?”
“Tidak ada. Mamak tidak
mengatakan apa-apa. Tapi dia meminta Mamak datang lagi memberi kabar. Besok
hari Jum’at pagi.”
Bunga berdiri, melangkah ke
meja dimana masih terletak bungkusan hadiah dari Datuk Gampo Alam.
“Jadi itu sebabnya dia memberi
hadiah sebanyak ini! Tua bangka gila! Tak sudi aku menerima pemberiannya ini!”
Bunga lalu melemparkan bungkusan itu ke dinding. Bunga sendiri seprti tak kuasa
lagi berdiri, jatuh berlutut dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Lalu
terdengar isak tangisnya.
EMPAT
Di rumah gadang sesaat setelah
Mamak Rabiah pergi, Rukiah istri termuda Daruk Gampo Alam keluar dari balik
pintu. Dia melangkah menemui suaminya dengan muka cemberut.
“Eh, termakan nasi basi atau kacang
busuk sampai mukamu asam seperti itu Rukiah! Atau ada hantu gunung Sitoli
merasuk ke dalam tubuhmu!”
Rukiah tersenyum pencong.
“Saya sudah dengar semua pembiacaraan Datuk dengan Mamak Rabiah tadi….”
Tampang Datuk Gampo Alam
berubah. Merah membesi. “Perempuan kurang ajar! Jadi berani kau mencuri dengar
pembicaraanku! Setan kau!” Datuk Gampo Alam sentakkan lehernya sempai empat
kali sedang kedua matanya memandang membeliak pada istri mudanya itu. Kalau
saja yang ada di hadapannya itu bukan Rukiah yang memang sangat disayanginya
tetapi salah satu dari tiga istrinya yang lain, pasti sang Datuk sudah
menjambak rambutnya.
“Bukan saya yang setan!”
menjawab Rukiah dengan beraninya. “Tapi Datuk!”
Ucapan itu membuat Datuk Gampo
Alam bergeletar selurh tubuhnya. “Ku tampar mulutmu nanti Rukiah!” mengancam
sang Datuk.
Sang istri muda tenang-tenang
saja. Malah menyahuti. “Saya sudah bicara dengan kakak-kakak di sini. Kalau
Datuk memang mau mengawini Bunga, silahkan.
Datuk boleh menceraikan salah
satu dari kami berempat. Tapi saya minta Datuk menceraikan saya!”
“Aha! Kau cemburu Rukiah!”
kata Datuk sambil tertawa. Diantara keempat istrinya Rukiah sebagai istri muda
tentu saja merupakan istri yang paling disayanginya. “Aku tidak akan
menceraikan mu apapun yang terjadi!”
“Kalau Datuk tidak mau
menceraikan saya, biar saya yang minta cerai dan pergi dari sini! Kami semua
tidak suka Datuk mengambil gadis itu sebagai istri. Gadis yang pantas jadi anak
Datuk itu akan bernasib buruk dan menderita batin seperti kami-kami di sini!”
“Perempuan setan! Cakapmu
benar-benar membuatku marah! Menyingkir dari hadapanku!” kata Datuk Gampo Alam
setengah berteriak lalu menyentakkan lehernya.
“Jadi Datuk tetap mau
mengawini Bunga?” tanya Rukiah dengan beraninya.
“Setan manapun tak bisa
menghalangiku!” jawab Datuk Gampo Alam.
“Kalau begitu saya minta cerai
sekarang juga!”
Plaak!
Tamparan Datuk Gampo Alam
membuat Rukiah terpekik. Perempuan muda ini hampir terjatuh nanar. Sambil
pegangi pipinya menahan sakit dia berkata. “Lakilaki gila! Umur hanya tinggal
sejengkal dari liang kubur masih saja ingin kawin!
Kambing tua tidak tahu diri.
Kerjanya melahap daun muda saja!”
Datuk Gampo Alam menyentakkan
lehernya beberapa kali. Pipinya yang cekung tampak menggembung sampai ke rahang.
“Perempuan tak tahu diuntung!
Kau minta cerai! Baik! Kujatuhkan talak satu padamu! Sekarang angkat kaki dari
rumah gadang ini!”
“Talak satu?! Huh! Kenapa Cuma
talak satu? Kenapa tidak sekalian talak tiga?!” sentak Rukiah.
“Kalau itu maumu Baik! Kujatuhkan
talag tiga! Nah, puas kau sekarang? Ayo cepat lindang dari rumahku ini!” Suata
Datuk Gampo Alam demikian kerasnya hingga terdengar oleh orang-orang yang ada
di halaman, termasuk Andana. (lindang = angkat kaki). Kau datang ke sini hanya
membawa sehelai pakaian buruk lekat di badan! Kalau kau pergi jangan harap akan
kuperbolehkan membawa lebih dari pada baju yang melekat di tubuhmu itu!”
“Saya tidak tamak harta! Saya
tidak akan membawa apa-apa kecuali pakaian ini!” jawab Rukiah. Lalu
ditanggalkannya cincin, gelang dan kalung emasnya.
Perhiasan ini kemudian
dilemparkannya ke muka Datuk Gampo Alam hingga sang Datuk tersurut kaget tapi
juga marah sekali. Sebelum dia sempat menyemprotkan caci maki atau melayangkan
tangannya, Rukiah sudah melangkah ke pintu lalu menuruni tangga rumah gadang
dengan cepat. Di halaman rumah gadang Andana detang menyongsongnya.
“Saya mendengar suara
ribut-ribut tadi. Kini saya lihat Etek seperti terburuburu.
Etek mau kemana?” Sambil
bertanya Andana memperhatikan wajah istri
Pamannya yang usidanya jauh
lebih muda dari dirinya. “Astaga, ada apa pipi Etek kelihatan merah?”
Rukiah coba tersenyum.
“Andana, jika kau punya kesempatan aku harap kau mau menemuiku di simpang tiga
jalan ke sawah. Ada sesuatu yang sangat penting ingin kukatakan.” Setelah
berkata begitu Rukiah cepat-cepat berlalu.
Sementara itu dari atas rumah
Datuk Gampo Alam menuruni tangga dengan cepat. “Apa yang dikatakan perempuan
setan itu padamu?!” tanya Datuk Gampo Alam pada Andana.
“Tidak begitu jelas. Dia bicara
terburu-buru. Katanya dia mau pergi…..”
“Pergi kemana?!” tanya sang
Datuk lagi.
“Saya tidak tahu Paman. Dia
hanya bicara sebentar lalu cepat-cepat pergi.”
Andana diam sejenak sambil
mengusap-usap dagunya. “Mamak, saya sudah menginap malam tadi di rumah gadang.
Saya sudah pula menerima kehormatan besar yaitu sebgai penerima sirih
persembahan. Samua itu tidak mungkin terjadi kalau bukan Paman yang
mempersiapkan dan mengaturnya. Saya mengucapkan ribuan terima kasih Paman. Tiba
saatnya hari ini saya minta diri. Mulai hari ini saya akan tinggal di surau.”
“Kau tidak berbasa-basi,
Andana?” Pemuda itu menggeleng.
“Bagaimana kalau Tumenggung
Rajo Langit mengirimkan orang-orangnya untuk menangkapmu. Kau tidak takut? Jika
kau tidak ada di dekatku, aku tak bisa melindungimu.”
“Saya tidak takut pada
siapapun Paman. Kecuali pada Yang Satu di atas sana,” jawab Andana sambil
menunjuk ke langit. “Lagi pula sebelumnya Tumenggung itu memang sudah mengirim
orang-orangnya untuk menangkap saya.
Tuhan masih melindungi saya.
Pemuda sahabat saya yang menghajar habis semua monyet-monyet Tumenggung Rajo
Langit. Tumenggung itu sendiri kalau tidak cepatcepat lari pasti babak belur
untuk kedua kalinya…..”
“Untuk kedua kalinya katamu?
Jadi sebelumnya dia pernah menghajar Rajo Langit?’
“Betul. Waktu tua bangka itu
mencoba mengganggu anak gadis orang…”
Eh, jangan-jangan anak ini
menyindirku, pikir Datuk Gampo Alam.
“Andana, pemuda kawanmu yang
bernama Wiro itu, apa dia memang seorang pendekar berkepandaian tinggi?”
bertanya Datuk Gampo Alam.
Yang ditanya mengangguk. “Bagi
saya kalau seorang bisa menghadapi lebih dari tiga orang lawan hanya dengan
tangan kosong, apalagi lawan bersenjata pula, dia sudah saya anggap sebagai
seorang pendeka besar….”
Datuk Gampo Alam terdiam. Dalam
hati dia berkata. Orang Jawa ini jelas akan membuatku susah dan rencanaku
berantakan. Kalau tidak diambil tindakan dari sekarang urusan bisa tidak
karuan. Lalu anak yang di hadapanku ini sendiri sampai dimana pula
kehebatannya. Dia sempat berguru dengan Datuk Alis Merah.
“Andana aku yakin kau bisa
menghadapi semua kesukaran ini. Sekalipun tanpa pertolongan sahabatmu bernama
Wiro itu. Kabarnya kau sudah diberi orang gelar Harimau Singgalang.”
Andana coba tersenyum dan
berkata. “Itu hanya cakap gurau orang saja Paman. Mana berani saya memakai
gelar sehebat itu….”
“Jadi, kau sungguhan hendak
pergi?”
Andana mengangguk.
Datuk Gampo Alam menyentakkan
lehernya dua kali. “Baiklah, aku tak bisa melarang. Namun sebelum pergi naiklah
dulu ke atas. Ada beberapa hal yang perlu kubicarakan denganmu.”
“Perihal apakah Paman?” tanya
Andana.
“Perihal rumah gadang dan
segala isinya. Aku bermaksud menjualnya.”
Terkejut Andana mendengar
kata-kata Pamannya itu. Dengan perasaan tidak enak dia menaiki tangga mengikuti
Datuk Gampo Alam naik ke atas rumah gadang.
Begitu sampai di atas rumah
gadang Datuk Gampo Alam masuk ke dalam kamarnya. Ketika keluar dia membawa
segulung kertas. Setelah duduk di hadapan kemenakannya dibukanya gulungan
kertas itu seraya berkata. “Andana ini adalah Surat Wasiat peninggalan Ayahmu.
Isinya bisa kau lihat sendiri nanti. Sekarang biar kubacakan dulu.”
Surat Wasit. Hari Kamis hari
ke dua belas bulan Muharram. Saya Datuk Bandaro Sati, dengan ini berwasiat.
Jika terjadi sesuatu apa dengan diri saya yang menyebabkan kematian saya, maka
semua harta kekayaan yang tertinggal termasuk rumah gadang yang di Pagaralam
dan segala harta pusaka yang ada di dalamnya, ternak dan sawah ladang akan saya
wariskan pada dan menjadi hak syah Datuk Gampo Alam, satu-satunya adik kandung
saya. Segala urusan selanjutnya dialah yang bertanggung jawab penuh untuk
menentukan. Tertanda Datuk Bandaro Sati.
Mengetahui Penguasa di
Pagaruyung Tumenggung Rajo Langit.
Sehabis membacakan Surat
Wasiat itu Datuk Gampo Alam menatap wajah kemenakannya. Anak ini kelihatan
tenang saja membatin sang Datuk. Tak ada perubahan pada air mukanya. Datuk
Gampo Alam akhirnya menyerahkan Surat Wasiat itu pada Andana. “Kau baca
sendirilah,” katanya.
Andana membaca Surat Wasiat
itu. Sesaat kemudian diserahkannya kembali pada pamannya.
“Kau tidak akan mengatakan
atau menanyakan sesuatu Andana?”
“Memang ada Paman,” jawab si
pemuda. “Pertama kapan Surat Wasiat itu Paman terima dari almarhum Ayahanda?”
“Beberapa waktu lalu. Kalau
aku tak salah ingat hanya sekitar tida empat minggu sebelum dia meninggal.
Itulah, seperti yang aku katakan tempo hari. Dia seolah-olah sudah mendapat
firasat. Membuat Surat Wasiat ini lalu memberikannya padaku. Bisa kufahami. Kau
tak ada di Pagaralam, entah berada dimana. Lalu kakak kami Uning Ramalah
seperti kau ketahui tidak mau mengurusi hal-hal seperti ini lagi.”
“Paman, pengetahuan saya
sangat dangkal tentang hal-hal yang menyangkut warisan. Tetapi ada sesuatu yang
saya ketahui dengan jelas sekali.”
“Hemmm, apakah itu Andana?”
tanya Datuk Gampo Alam sambil menyentakkan lehernya dua kali.
“Warisan yang ditinggalkan
Ayah saya bukanlah termasuk Pusaka Tinggi.
Yaitu pusaka turun temurun
dari nenek moyang kita yang tidak boleh dijual atau dibagi-bagikan. Tetapi
tetap akan menjadi pusaka untuk bisa dimanfaatkan oleh keturunan sedarah
sedaging. Contoh Pusaka Tinggi itu ialah rumah gadang yang di Batusangkar.
Tetapi rumah gadang yang ini adalah Pusaka Rendah. Rumah dan segala isinya
adalah milik Ayahanda langsung. Hasil pencaharian dan pembeliannya sendiri.
Dari keringatnya sendiri.
Bukan harta turun temurun. Dengan kata lain sebagai anak kandung satu-satunya
maka sayalah yang secara syah menerimanya sebagai warisan, wajib menjaga dan
memeliharanya. Secara hukum dan secara adat Surat Wasiat itu adalah keliru…..
Mungkin yang dimaksudkan Ayahanda adalah rumah gadang pusaka keluarga di
Batusangkar.”
“Mana mungkin keliru Andana.
Di sini jelas disebutkan rumah gadang di Pagaralam. Rumah gadang dimana aku dan
kau saat ini duduk berhadap-hadapan.
Jelas di sini dikatakan aku
yang ditunjuknya sebagai pewaris dengan segala isi di dalamnya.”
“Paman , saya yakin ada
sesuatu yang keliru…..” kata Andana lagi.
Datuk Gampo Alam tersenyum.
“Andana, kau lihat sendiri tanda tangan Tumenggung Rajo Langit yang mengesahkan
SuratWasiat ini. Apakah kau ingin mengatakan aku memalsukan dan membuat-buat
Surat Warisan ini?”
“Saya tidak mengatakan begitu
Paman. Jangan Paman salah sangka. Apa yang saya maksudkan cukup jelas. Semua
harta pusaka milik Ayah adalah hasil pembelian ayah dari keringatnya sendiri.
Bukan berasal dai kakek atau nenek moyangnya. Bukan berasal dari pusaka
turun-temurun.Hanya itu saja yang ingin saya katakan. Apa artinya terserah
Paman untuk mengkajinya.”
“Ah, aku mengerti sekarang!
Jelas kau tidak suka rumah dan harta Ayahmu diberikan kepadaku! Walau
jelas-jelas di dalam Surat Wasiat ini Ayahmu mengatakan begitu. Jelas dan
ikhlas. Ada saksinya pula. Saksi bukan orang sembarangan. Tapi seorang
berpangkat. Seorang Tumenggung penguasa negeri!” Datuk Gampo Alam menyentakkan
lehernya dulu baru meneruskan. “Andana, jika aku pikir-pikir mengapa Ayahmu
membuat Surat Waisat begini rupa pasti ada sebab musababnya.
Mungkin ada sesuatu yang tidak
berkenan di hatinya atas dirimu hingga Surat Wasiat ini ditujukannya padaku
bukan padamu. Mungkin kau dianggapnya melakukan satu kesalahan besar karena
telah meninggalkan Pagaralam sampai bertahun-tahun tanpa kabar berita. Ini
rupanya sangat menyakitkan hatinya….”
“Paman biar saya katakan terus
terang sekarang. Saya kembali ke Pagaralam ini mengikuti pesan Ayahanda yang
saya terima secara gaib. Pesan beliau selamatkan rumah gadang dan harta pusaka
di dalamnya…..”
“Aneh sekali kedengarannya,”
kata Datuk Gampo Alam sambil memandang ke halaman lewat pintu rumah gadang.
“Betul Paman, memang aneh
kedengarannya kalau tidak melihat sendiri. Tapi kejadian itu saya alami
sendiri, disaksikan oleh guru saya Datuk Alis Merah. Waktu itu kami berada di
dekat air terjun kecil di kawasan tempat kediaman Datuk Alis Merah. Ayah
tiba-tiba saja muncul dikawal oleh seekor harimau besar. Ayah tegak di atas
batu. Berpakaian hijau yang penuh lubang-lubang bekas tusukan. Sekujur tubuhnya
berlumuran darah. Saat itulah Ayah memberi tahu agar saya segera pulang ke Pagaralam.
Rumah gadang dalam bahaya…..”
Untuk beberapa lamanya Datuk
Gampo Alam berdiam diri. Terbayang kembali olehnya kejadian di Ngarai Sianok.
Ketika dia bersama Hantu Mata Picak mengeroyok Datuk Bandaro Sati lalu membunuh
kakanknya itu dengan cara menikamnya bertubi-tubi dengan keris miliknya sendiri
yaitu Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. Anak ini mengatakan keris sakti bertuah
itu tak ada padanya. Dia berdusta. Keris itu kutemukan di bawah bantal dalam
kamarnya. Kalau dia banyak ulah dengan senjata itu pula akan kuhabiskan
riwayatnya!
“Paman, saya minta diri. Kalau
memang Paman yakin Ayah benar-benar mewariskan rumah gadang beserta isinya,
termasuk sawah ladang dan ternak peliharaan, berbahagialah Datuk. Saya tidak
akan mengungkit atau menuntut. Saya malah berterima kasih Paman mau merawat
rumah serta semua peninggalan Ayah….”
Mulutnya berkata begitu tapi
siapa tahu isi hatinya, pikir Datuk Gampo Alam.
“Begini sajalah Andana.
Urusanku akan terlalu banyak nanti. Bagaimana kalau semua sawah ladang dan ternak
kuberikan saja padamu.”
“Terima kasih Paman.
Ketahuilah, saya datang ke Pagaralam ini bukan untuk mendapatkan segala macam
harta warisan. Tujuan saya Cuma satu…..”
Andana bangkit dari duduknya.
Sebelum menuruni tangga diteruskanna dulu ucapannya yang tergantung tadi.
“Tujuan saya ke Pagaralam ini adalah mencari pembunuh Ayah saya. Dan saya yakin
saya akan menemukan orangnya!”
Tampang Datuk Gampo Alam
berubah. Andana tidak lagi memperdulikan Pamannya itu. Dibalikkannya tubuhnya
lalu dia menuruni tangga rumah gadang dengan cepat. Dari jendela Datuk Gampo
Alam dapat melihat kemenakannya itu menunggangi kuda ke arah Timur yaitu arah
yang ditempuh Rukiah waktu pergi tadi.
Sang Datuk menyentakkan
lehernya lalu berteriak memanggil tiga orang pengawalnya. “Ikuti dan selidiki
kemana perginya anak itu. Laporkan padaku apa yang kau ketahui!”
LIMA
Simpang tiga itu terletak di
kaki bukit kecil yang menurun. Tak jauh dari sana terbentang daerah pesawahan.
Sore itu suasana di sekitar tempat itu tampak sepi.
Sesekali terdengar kicau
burung. Ketika Andana sampai di simpang tiga itu dia tidak melihat Rukiah atau
siapapun di situ.
Jangan-jangan perempuan itu
mendustaiku. Pikir Andana. Baru saja dia berpikir begitu telinganya menangkap
detak suara roda. Dari balik pepohonan dan semak belukar muncul sebuah pedati
ditarik dua ekor sapi. Di depannya di sebelah seorang sais tua duduk Rukiah.
Perempuan ini menyuruh sais menghentikan pedati lalu dia turun. Dia melambaikan
tangan pada Andana agar pemuda itu masuk ke kawasan pepohonan, terlindung dari
pemandangan orang yang mungkin lewat di tempat itu.
“Etek, hal penting apakah yang
hendak Etek sampaikan pada saya?” tanya Andanan begitu turun dari kudanya.
“Jangan panggil saya dengan
sebutan Etek itu. Sudah saya katakan saya muak mendengarnya. Panggil saja nama
saya. Rukiah. Bukankah usia kita tak jauh beda?
Kau pasti lebih tua dari
saya.”
“Baiklah. Nah sekarang saya
ingin dengar apa yang hendak kau sampaikan,” kata Andana pula.
“Saya tahu Datuk Gampo Alam
talah membuat Surat Wasiat palsu. Dia ingin menguasai rumah gadang serta semua
harta pusaka peninggalan mendiang Ayahmu….”
“Saya tidak terkejut…..” kata
Andana. “Tadi Datuk memperlihatkan pada saya Surat Wasiat itu. Surat itu
ditanda tangani oleh Tumenggung Rajo Langit. Tanda tangan itu tidak palsu….”
“Memang tidak palsu. Karena
Datuk Gampo Alam berkomplot dengan Tumenggung Rajo Langit. Saya dengar rumah
gadang itu berikut isinya akan dijualnya pada si Tumenggung. Lalu tumenggung
Rajo Langit kabarnya akan menjual lagi pada seorang utusan yang datang dari
tanah Jawa…”
“Ini hal baru bagi saya
Rukiah,” kata Andana. “Tidak seberapa aneh kalau Datuk Gampo Alam mau menjual
rumah gadang guna mendapatkan uang.
Belakangan ini dagangnya
merugi terus. Hutangnya di mana-mana. Biaya rumah tangganya dengan empat
istri….”
“Sekarang tinggal tiga. Karena
saya sudah minta cerai. Tapi segera akan menjadi empat lagi.”
“Maksudmu?”
“Gaek busuk itu hendak
mengambil Bunga menjadi istrinya!”
“Apa?” kejut Andana dengan
wajah berubah tegang.
“Mamak Rabiah datang dipanggil
Datuk. Saya dengar dia meminta Bunga pada perempuan itu…..”
“Apa jawab Mamak Rabiah?”
“Saya intip dan saya lihat air
muka perempuan itu. Dia jelas tergoncang. Dia tak bisa memberikan jawaban
apa-apa. Datuk minta dia datang hari Jum’at besok untuk memberikan jawaban….”
“Kambing tua bangka yang sudah
bau tanah itu masih saja ingin menyantap daun muda!” kertak Andana sambil
mengepalkan tinju kanannya. Dia menatap wajah Rukiah sesaat lalu bertanya.
“Dari mana kau tahu ihwal rencana penjualan rumah itu?”
“Dari seorang tangan kanan
Tumenggung Rajo Langit. Orang ini tergila-gila pada saya sebelum saya diambil
istri oleh Datuk Gampo Alam. Dia menceritakannya waktu merayu saya agar mau
jadi istrinya. Ketika saya kawin dengan Datuk Gampo alam, orang ini sangat
marah. Dia pergi dari Pagaruyung, tak tahu entah berada di mana sekarang.
Namanya Rusli…..”
Andana tegak termangu beberapa
saat lamanya.
“Kau harus menolong Bunga,
Andana. Selamatkan dia dari cengkeraman Datuk Gampo Alam. Saya tahu dia
mencintaimu. Saya dapat melihat dari sinar matanya sewaktu dia membawakan Tari
Gelombang. Saya juga tahu dia telah menyelamatkan dirimu dari sirih yang
diracun orang.”
“Saya tahu hal itu Rukiah.
Saya akan segera menemuinya untuk mengucapkan terima kasih. Jelas saya
berhutang nyawa padanya. Lebih dari itu saya tentu akan menyelamatkannya dari
tangan Paman saya yang gila istri itu. Tapi Rukiah, apakah kau tahu siapa yang
menaruh racun di sirih dalam cerana itu?”
“Hanya satu orang dugaan saya
Andana. Manusia jahat bergelar Hantu Mata Picak. Dia adalah orang kepercayaan
Datuk Gampo Alam. Saya yakin dia juga atau anak buahnya yang berusaha
membunuhmu dengan ular berbisa tempo hari!”
“Kurang ajar benar!” kata
Andana sambil meninju-ninju tapak tangan kirinya dengan tangan kanan. “Berarti
Datuk Gampo Alam ada di belakang semua ini!”
“Saya kira begitu! Tapi kau
harus menyelidiki dan membuktikannya dulu….”
“Mengenai orang yang berjuluk
Hantu Mata Picak ini, di mana sarangnya.
Kau tahu di mana saya bisa
mencarinya?”
“Mencarinya sama dengan
mencari hantu. Dicari susah. Tidak dicari kadangkadang dia muncul begitu saja.
Saya hanya bisa memberitahu ciri-cirinya. Orangnya tinggi besar. Berkumis dan
berjanggut tebal. Mata kirinya buta. Kulitnya hitam, dia berkalung dan
bergelang akar bahar….”
“Terima kasih. Saya sangat
berterima kasih padamu Rukiah. Sekarang kau hendak ke mana?”
“Saya akan kembali ke gubuk
orang tua saya di Bonjol.”
“Mau saya antarkan?”
Rukiah tertawa. Dipegangnya
jari-jari tangan pemuda itu. “Saya tidak bisa berdusta bahwa saya menyukai
dirimu. Tapi saya sendiri saat ini tak lebih dari seorang janda. Jangan
kecewakan Bunga. Jangan buat dia cemburu…..”
Paras Andana sesaat menjadi
merah.
Rukiah tertawa lebar. “Ingat
peristiwa malam lalu, ketika saya mengajakmu tidur di kamar?”
Wajah Andana semakin memerah.
“Saya masih berharap kau mau
memenuhinya. Kalau begitu carilah nanti saya di Bonjol….” Rukiah berjingkat
lalu diciumnya pipi kiri pemuda itu.
Andana merangkul punggung
janda itu dan bertanya. “Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Ayah saya mati
dibunuh orang. Kau mungkin pernah menyirap kabar apa sesungguhnya yang terjadi.
Siapa pelaku pemubunhnya.”
“Sayang sekali yang satu ini
saya tidak tahu apa-apa Andana.” Jawab Rukiah.
“Tapi mungkin kau bisa
bertanya pada Sati.”
“Siapa Sati?”
“Dia pedagang cita keliling.
Banyak punya hubungan dengan siapa saja.
Terakhir sekali saya dengar
dia digebuk setengah mati oleh tukang-tukang pukul Datuk Gampo Alam. Dia pasti
mendendam dan mencari seribu cara untuk membalaskan sakit hatinya.”
“Di mana saya bisa menemukan
orang itu?”
“Pergi saja ke Pasar Gombak.
Orang sepasar pasti tahu di mana bisa mencarinya.”
“Saya akan cari orang itu.
Sekali lagi saya sangat berterima kasih padamu Rukiah.”
Janda Datuk Gampo Alam
mengangguk. Sekali lagi diciumnya pemuda itu lalu bergegas dia kembali ke
pedati yang menunggunya.
Ketika pedati mulai bergerak
mendadak di belakangnya Andana mendengar suara bergemerisik. Dia cepat membalik
dan sempat melihat tiga orang berpakaian seragam hitam berlari menuju tiga ekor
kuda yang ditambatkan di kejauhan.
“Anak buah Datuk Gampo Alam….”
desis Andana. “Mereka tidak melakukan apa-apap terhadapku tapi mungkin akan
mencelakai Rukiah…..” Pasti mereka telah mendengar apa yang dikatakan Rukiah
tadi. Ada dua jiwa terancam. Rukiah dan Sati!” Andana cepat melompat ke atas
kudanya dan mengejar pedati yang ditumpangi Rukiah.
“Ada apa?” tanya Rukiah ketika
dilihatnya Andana memacu kudanya mendatangi.
“Tiga orang anak buah Datuk Gampo
Alam ternyata menyelinap mendengar pembicaraan kita. Keselamatanmu terancam
Rukiah…. Apa ada jalan lain menuju Bonjol? Atau sebaiknya kau jangan ke Bonjol.
Mereka pasti mengejarmu. Tidak ditemuinya di jalan akan dicarinya ke rumahmu di
Bonjol!”
Rukiah tampak berpikir. Dia
berpaling pada sais tua di sebelahnya. “Putar arah.
Kita ke Koto Tangah saja.
Batal ke Bonjol!” Lalu Rukiah berpaling pada Andana.
“Terima kasih. Kau telah
menyelamatkan orang buruk ini. Walau sekarang hanya seorang janda tapi saya
tetap ingin hidup lebih lama…. Punya suami lagi. Tapi tidak dengan lelaki
seperti Datuk itu. Tobat rasanya!”
Andana geleng-gelengkan
kepalanya. Dia mengangkat tangannya membalas lambaian Rukiah.
Tiga orang anak buah Datuk
Gampo Alam yang sempat terlihat Andana memang meninggalkan tempat itu dengan
cepat. Namun di satu tempat lelaki sebelah depan membelok ke kiri lalu
menghentikan kudanya di antara kelebatan pepohonan.
“Kenapa kau berhenti di sini
Luhak?” tanya salah satu temannya.
Orang yang bernama Luhak yang
bergigi tonggos dan mulutnya tak pernah terkatup itu memberi isyarat agar
kawan-kawannya jangan bicara. Dia juga memberi isyarat agar mereka segera turun
dari atas kuda masing-masing lalu bersembunyi di balik semak-semak. Tak lama
kemudian terdengar derap kaki kuda. Andana lewat di depan mereka.
“Apa yang ada di benakmu
Luhak? Bukankah kita harus segera melapor pada Datuk? Dia pasti senang
mendengar laporan hebat dari kita. Kita bakal diberinya hadiah besar!”
“Dari dulu otakmu tetap saja
bodoh Ayub!” jawab Luhak. “Soal lapor melapor bisa menyusul kemudian. Soal
hadiah tak akan kemana larinya. Ada rezeki besar di depan mata apa akan
dibiarkan lewat begitu saja?”
“Eh kawan, apa pula maksudmu?”
tanya orang ketiga yang bernama Kairudin.
Luhak si tonggos tertawa lebar
hingga seluruh giginya atas bawah seperti hendak keluar dari mulutnya. “Yang
kumaksud dengan rejeki itu adalah si Rukiah itu.
Kini dia bukan lagi istri
Datuk. Sudah minta cerai dan sudah lari. Dia hanya berteman sais tua itu.
Daerah sekitar sini sunyi senyap. Nah, apakah perlu lagi aku jelaskan pada
kalian yang bodoh-bodoh ini?”
Sepasang mata kedua orang itu
sama-sama membesar. “Kau benar-benar cerdik Luhak!” memuji Kairudin sementara
Ayub tampak berulang kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah tanda dia juga
sudah menangkap apa yang dimaksudkan oleh Luhak tadi. Tanpa banyak cerita lagi
ketiga orang ini segera melompat ke atas punggung kuda masing-masing. Mereka
bergerak ke arah simpang tiga di mana mereka sebelumnya mengintai pertemuan
Andana dengan janda Datuk Gampo alam itu. Dari sini ketiganya mengambil jalan
yang menuju ke Bonjol. Tapi belum jauh meninggalkan simpang tiga Luhak yang
berada di depan melihat jejak-jejak roda pedati di tanah. Dia segera
menghentikan kudanya.
“Jelas pedati yang ditumpangi
janda Datuk itu berbalik arah di sini….” kata Luhak.
“Tidak sulit mengetahui kemana
mereka pergi. Jejak roda pedati yang begini jelas akan menjadi petunjuk bagi
kita. Ayo….” Luhak sentakkan tali kekang kudanya.
Pedati yang ditarik dua ekor
sapi itu bergerak kencang karena menempuh jalan yang menurun. Namun tiga orang
penunggang kuda di belakang mereka bergerak jauh lebih cepat hingga ketika
pedati sampai di ujung penurunan, ketiganya sampai pula di sana, langsung
mengurung pedati.
Sais tua di samping Rukiah
berbisik, “Agaknya mereka muncul bukan dengan maksud baik. Kalau terjadi
apa-apa lekas turun dari pedati dan lari selamatkan diri….”
Rukiah memandang pada ketiga
orang itu lalu menegur. “Luhak, ada apa kau menyusul kemari.”
“Begini, saya dan
kawan-kawan….” Luhak tidak meneruskan kata-katanya melainkan tertawa lebar
hingga Rukiah jijik melihat berisan gigi-giginya yang besarbesar kuning dan
menjorok ke depan itu. “Tadinya kami kira Etek pergi ke Bonjol, ternyata kini
berubah arah….”
“Kemana aku mau pergi apa
urusan kalian? Apa Datukmu yang menyuruh memata-mataiku? Katakan padanya aku
tidak akan mau kembali ke rumahnya!”
Rukiah berpaling pada sais tua
di sebelahnya. “Jalankan pedati….”
“Bapak tua, tak perlu
cepat-cepat pergi. Perjalananmu cukup sampai di sini.
Kami yang akan mengantarkan
janda Datuk Gampo Alam ini ke tujuannya…..” Luhak mendekati sais tua itu.
Sekali dia merengutkan leher pakaiannya, orang tua ini jatuh dari pedati dan
terhantar di tanah. Anak buah Datuk Gampo Alam yang bernama Ayub langsung
melompat ke atas pedati dan memegang tali kekang dua ekor sapi.
“Saya tidak percaya padamu.
Kalian pasti akan berbuat jahat terhadap perempuan muda ini!” kata sais tua
seraya mencoba bangkit. “Lari…..! Larilah rangkayo!” (Rangkayo = panggilan
kehormatan).
Bukkk!
Satu tendangan yang keras
mendarat di dada sais tua itu. Tak ampun lagi tubuhnya rebah ke tanah. Tak
berkutik. Dari sela bibirnya kelihatan ada darah mengucur.
“Manusia jahat! Di mana peri
kemanusiaanmu!” teriak Rukiah marah sekali.
Dia melompat dari atas pedati.
Bukan untuk melarikan diri tapi memukuli pinggang Luhak dengan tangan kanannya
sementara tangan kirinya menarik pakaian laki-laki itu. Karena kehilangan
keseimbangan Luhak jatuh ke bawah. Tapi sambil jatuh lelaki ini merangkul bahu
Rukiah hingga keduanya jatuh bersamaan ke tanah dan saling tindih!
Kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh Luhak. Langsung saja dia merangkul dan menciumi janda muda
itu dengan penuh nafsu hingga Rukiah menjerit-jerit dan berusaha melepaskan
dirinya.
“Luhak! Jangan kau makan
sendiri!” berseru Kairudin. Lalu diapun melompat turun daru kudanya. Ikut
bergulingan di tanah sambil tangannya meraba kian kemari.
Ayub tak mau ketinggalan. Tiga
lelaki itu berebutan menggagahi Rukiah. Yang satu meraba dan menciumi. Yang
lain meraba sambil berusaha menanggalkan kain yang dikenakan Rukiah. Lalu yang
ketiga seperti kemasukan setan merobeki kebaya janda muda itu. Dalam waktu
singkat keadaan Rukiah boleh dikatakan hampir bugil. Dia menjerit tiada henti
sambil berusaha memukul dan menendang. Namun mana sanggup dia menghadapi tiga
lelaki sekaligus. Semakin keras jerit, pukulan dan tendangannya semakin
bernafsu Luhak dan kawan-kawannya. Jelas Rukiah tak akan dapat mempertahankan
kehormatannya.
“Manusia-manusia bajingan!
Hebat juga kelakuan kalian!” tiba-tiba satu bentakan menggeledek di tempat itu.
ENAM
Luhak dan dua kawannya tentu
saja terkejut. Ketiga orang ini cepat berpaling.
“Andana…..!” desis Luhak tapi
kini keterkejutannya bercampur dengan rasa heran. Sebelumnya dia telah melihat
pemuda itu meninggalkan kawasan simpang tiga.
Kini mengapa tiba-tiba muncul
dan berganti pakaian.
“Bukan dia Luhak…..” bisik
Ayub. “Kalau tak salah aku dia adalah pemuda Jawa kawan kemenakan Datuk….”
“Hendak kalian apakan
perempuan itu?!” pemuda yang datang bertanya sambil bertolak pinggang.
“Hendak kami apakan bukan
urusanmu?!” kata Luhak seraya melompat tapi dia lupa kalau tadi dia telah
sempat membuka celana hitamnya hingga pakaian itu hampir jatuh ke bawah
menelanjangi dirinya sendiri.
“Jangan-jangan dia hendak
minta bagian pula Luhak,” berkata Kairudin seraya berdiri lalu tegak di samping
kawannya.
Ayub yang masih menindih
Rukiah agaknya masih belum mau melepaskan perempuan tiu. Dia merasa lebih banyak
mendapat kesempatan tanpa menyadari bahwa sesungguhnya bahaya besar mengancam
dirinya saat itu.
“Ah, kalau kalian memang
berbaik hati mau membagi-bagi rejeki denganku, itu bagus sekali. Coba
kusingkirkan dulu orang hutan yang satu ini!”
Habis berkata begitu pemuda
berpakaian serba putih yang tahu-tahu saja muncul di tempat itu melompat ke
arah Ayub. Sesaat kemudian terdengar suara bergedebuk menyusul raungan Ayub.
Tubuh lelaki ini terpental jauh. Dalam keadaan nungging tadi tendangan pemuda
berpakaian putih mendarat telak di selangkangannya.
Kantong kemaluannya remuk.
Untuk beberapa lamanya Ayub berguling-guling di tanah, melejang-lejangkan kedua
kakinya dan memegang bawah perutnya sambil tiada hentinya berteriak. Dia
berusaha berdiri tapi jatuh dan jatuh lagi. Tiba-tiba teriakannya lenyap.
Tubuhnya terlentang di tanah. Kedua matanya mendelik.
Kairudin mendekati kawannya
ini.
“Dia mati! Luhak, Ayub mati!”
teriak Kariaudin pada Luhak.
“Bedebah jahanam! Berani kau
membunuh kawanku!” teriak Luhak marah besar. Dihunusnya golok yang terletak di
tanah. Kairudin juga tidak tinggal diam. Dia melakukan hal yang sama. Keduanya
lalu mendekati si pemuda dari samping kiri dan kanan. Sementara Rukiah dengan
cepat berusaha bangkit. Sambil membenahi pakaiannya yang robek di sana sini
janda ini lari ke balik sebatang pohon besar.
“Bagus! Kalian punya nyali!
Majulah!”
“Nyali! Apa itu nyali!” sentak
Kairudin yang tak mengerti kata yang barusan diucapkan pemuda berambut gondrong
di hadapannya.
Pendekar 212 Wiro Sableng
tertawa geli. “Kalau kau mau tahu artinya nyali majulah! Ayunkan golokmu!”
“Manusia sombong! Laidangku
ini akan memisahkan kepalamu dari badan!”
teriak Kairudin. Lalu anak
buah Datuk Gampo Alam ini melompat sambil membabatkan goloknya ke leher Wiro.
(ladiang = golok)
Serangan orang ini boleh juga.
Deru sambaran senjatanya deras dan gerakannya cepat sekali. Namun yang
dilawannya bukan sembarang pendekar.
Akan halnya Luhak melihat
kawannya berulang kali hanya membacok tempat kosong, tidak menunggu lebih lama
segera pula melompat membantu. Dua golok berkelebat kian kemari dalam
gerakan-gerakan silat yang selama ini tidak pernah dilihat Wiro. Sepasang
senjata lawan bergulung-gulung menyerang tubuhnya dari kepala sampai ke
pinggang.
Hemmmm…..Ilmu silat mereka
cuma main atas. Pinggang ke bawah terbuka.
Murid Sinto Gendeng tiba-tiba
keluarkan bentakan keras. Tubuhnya dijatuhkan ke tanah. Sambil bergulingan dia
menendang ke arah kedua kaki Kairudin.
Yang ditendang cepat melompat
tinggi-tinggi. Ini yang dimaui Wiro. Dari bawah dia lepaskan pukulan tanagn
kosong “kunyuk melempar buah” dengan mengandalkan sedikit saja dari tenaga
dalamnya. Apa yang terjadi kemudain membuat Luhak terkejut. Kairudin menjerit
keras. Selagi tubuhnya melayang di udara, satu gelombang angin laksana sebuah
batu besar melesat ke arah selangkangannya.
“Astaga! Apa ini?!” kata
Kairudin. Di lain kejap terdengar jeritannya.
Tubuhnya terlempar sampai dua
tombak. Ketika jatuh ke tanah, tubuh itu tidak berkutik lagi. Selangkangannya
kelihatan robek dan ada genangan darah mengalir sampai ke tanah.
Putuslah nyali Luhak. Dia
mengambil keputusan untuk kabur melarikan diri.
Sebelum kabur dia lebih dulu
mendesak Wiro dengan dua serangan berantai.
“Tonggos! Aku pinjam dulu
golokmu!” seru Wiro. Lalu dengan gerakan cepat dia menyelinap di bawah bacokan
senjata lawan. Tangan kanannya menyambar ke atas.
Kraaak!!
Sambungan siku tangan kanan
Luhak tanggal dan remuk. Jerit orang ini setinggi langit. Wiro cepat menangkap
goloknya yang terlepas dan mental ke udara.
“Ampun! Jangan dibunuh waden!
Jangan dibunuh waden!” teriak Luhak berulang kali seraya mundur. Mukanya pucat.
Tangan kirinya diangkat sambil digoyang-goyangkan.
“Siapa mau membunuhmu. Nyawamu
cukup diwakili kedua orang kawanmu itu….” kata Wiro. Golok di tangan kanannya
bergerak. Gagangnya menghantam keras ke mulut Luhak.
Luhak menjerit keras sekali.
Darah muncrat dari mulutnya. Lima giginya yang tonggos di bagian atas dan empat
di sebelah bawah rontok. Sebagian terlempar masuk ke dalam mulutnya. Sebagian
lagi mental keluar. Luhak terus meraung kesakitan sambil pegangi mulutnya yang
berdarah dengan tangan kiri. Lututnya goyah. Dia berlutut terbungkuk-bungkuk.
Darah masih terus mengucur dari mulutnya yang pecah serta gusinya yang hancur.
Wiro melangkah ke balik pohon
di mana Rukiah bersembunyi ketakutan.
Sesaat Wiro terkesiap juga
melihat tubuh yang hampir bugil itu.
“Maafkan saya,” kata Wiro.
“Adik tak apa-apa…..”
“Saya…..saya tidak apa-apa.
Terima kasih kakak sudah menolong saya….”
Wiro mengangguk lalu dia
membalik.
“Tunggu, jangan tinggalkan
saya….” kata Rukiah menyangka Wiro hendak pergi.
“Tetap saja di situ. Saya akan
menyelesaikan urusan dengan anak buah Datuk Gampo Alam ini….” kata Wiro pula.
Lalu mayat Ayub dan Kairudin dinaikkannnya ke atas kuda masing-masing. Kini dia
mendekati Luhak. Sekali menarik leher pakaian lelaki ini Luhak tertegak dan
ketakutan setengah mati.
“Kau boleh kembali ke
Pagaralam. Bawa kedua mayat kawanmu itu. Katakan semua yang terjadi di sini
pada Datukmu. Sebelum kau naik ke atas kudamu, tanggalkan dulu celanamu!”
“A…..apa maksudmu….?” tanya
Luhak tergagap dalam ketakutannya.
“Maksudku begini setan!” kata
Wiro. Lalu direnggutnya celana hitam laki-laki itu. Tubuh Luhak kemudian
ditunggingkannya kepala di bawah kaki di atas. Celana Luhak ditariknya sampai
tanggal. Ketika lelaki ini ditegakkannya kembali dengan sendirinya Luhak hanya
mengenakan baju saja alias telanjang di sebelah bawah!
Barang antiknya gundal-gandil
kian kemari!”
“Naik ke kudamu!” perintah
Wiro.
“Onde mak! Jangan! Jangan
diperlakukan saya seperti ini! Berikan celana saya…..!”
“Boleh! Kau memilih celana
atau nyawa?” ujar Wiro pula seraya pura-pura hendak mencekik leher Luhak. Orang
ini kembali ketakutan setengah mati.
“Sa…..saya memilih hidup saya…..”
katanya. Lalu naik ke atas kudanya. Wiro memukul pinggul dua ekor kuda lainnya
yang membawa mayat Ayub dan Kairudin.
Sesaat setelah orang-orang itu
lenyap di kejauhan Wiro kembali ke balik pohon.
“Mereka sudah pergi. Kau aman
sekarang….”
“Terima kasih. Pertolonganmu
tidak akan saya lupakan. Bukankah kau sahabat Andana?” kata Rukiah dari balik
pohon.
“Betul…. Nama saya Wiro.”
“Wajah kalian hampir mirip
satu sama lain,” kata Rukiah pula. “Tapi kau lebih….” Janda ini tidak
meneruskan ucapannya.
“Lebih apa? Lebih kurang
ajar?!”
“Maksud saya buka begitu…..”
jawab Rukiah. Dalam hati dia berkata. Kau lebih jantan dari Andana.
“Apalagi yang bisa saya tolong
sekarang?” bertanya Wiro.
“Di atas pedati ada sebuah
peti kayu. Dalam peti itu ada beberapa potong pakaian. Tolong ambilkan petinya
kemari. Saya nyaris telanjang. Saya harus berganti pakaian….”
“Saya lebih suka melihat adik
seperti sekarang ini…..”
“A….apa kata kakak?!” tanya
Rukiah hampir tak percaya dengan pendengarannya. Wiro hanya tertawa sambil
garuk-garuk kepala. “tak pernah saya mendengar orang baik-baik seperti kakak
tega-teganya berkata seperti itu.”
“Saya bukan orang baik-baik,”
jawab Wiro pula.
“Ah! Tolonglah ambilkan peti
itu. Kalau tidak ambilkan sehelai kain dan sehelai kebaya yang ada di
dalamnya.”
Wiro tersenyum. Dia melangkah
juga ke pedati. Di dalam sebuah peti kayu di temukannya beberapa potong
pakaian. Wiro mengambil sehelai kebaya dan sehelai kain lalu membawanya ke
balik pohon.
“Ulurkan saja dari belakang
pohon. Jangan melangkah ke sini!” kata Rukiah.
Wiro tertawa. Dilemparkannya
kain panjang yang diambilnya dari dalam peti.
Tidak ke belakang pohon tetapi
beberapa langkah di sebelah depan.
“Mana pakaiannya?” tanya
Rukiah.
“Sudah saya lemparkan di depan
pohon….”
Rukiah menjulurkan kepalanya
dari balik pohon. Lalu terdengar dia mengomel. “Ini bukan saatnya bergurau!”
Wiro membungkuk mengambil
kain. Bersama-sama dengan kebaya kain itu dilemparkannya ke belakang pohon.
Rukiah segera sibuk berpakaian. Tak lama kemudian janda muda ini keluar dari
pohon itu. Yang dilakukannya pertama sekali adalah melihat keadaan sais tua
yang menggeletak di tanah.
“Jangan kawatir, orang tua itu
belum mati. Cuma pingsan. Tapi dia tidak akan mungkin membawa pedati meneruskan
perjalanan….”
“Saya bisa pergi sendiri.
Tolong naikkan dia ke atas pedati.”
Wiro menaikkan sais yang masih
pingsan dan cidera cukup berat itu ke atas pedati.
“Senja hampir datang. Sebentar
lagi malam akan turun. Apakah adik berani melakukan perjalanan sorang diri?” bertanya
Wiro.
Rukiah tidak menjawab. Dalam
hatinya dia bertanya-tanya apakah pemuda itu hanya sekedar bertanya atau
bermaksud mengantarkannya.
“Koto Tangah tidak seberapa
jauh dari sini….”
“Saya tidak tahu jauh
dekatnya,” kata Wiro pula lalu mengikatkan kudanya di belakang pedati.
“Eh, mengapa pula kakak
mengikatkan kuda itu ke pedati?” tanya Rukiah.
Wiro tidak menjawab melainkan
naik ke atas pedati dan duduk di samping Rukiah.
“Saya senang kakak mau
mengantarkan. Tapi apakah saya bisa mempercayai kakak?”
Wiro tertawa lebar. “Sudah
saya bilang tadi. Saya bukan orang baik-baik. Tapi dibandingkan dengan Datuk
Gampo Alam saya sedikit lebih baik. Dan jauh lebih muda….”
Pemuda satu ini konyol.
Sepertinya juga keras kepala. Tapi apa yang dikatakannya betul. Kalau aku tidak
bisa mendapatkan Andana, tak ada ruginya mendapatkan yang satu ini. Lagi pula
wajah mereka begitu mirip. Dan dia lebih berani, lebih jantan.
Rukiah meletakkan tangan
kanannya di atas ribaan Pendekar 212.
“Saya percaya pada kakak,”
katanya.
Wiro mengambil tali kekang dua
ekor sapi penarik pedati. Sesaat kemudian pedati itupun bergerak meninggalkan
tempat itu. Di Barat sang surya mulai tenggelam.
Di atas pedati Rukiah masih
meletakkan tangan kanannya di atas paha Wiro.
Tak dapat dibayangkan
begaimana kehebohan yang terjadi di Pagaralam ketika Luhak yang setengah
telanjang itu muncul membawa mayat dua orang kawannya. Datuk Gampo Alam seperti
orang kemasukan setan saking marahnya.
Bukannya dicarikan kain atau
apa saja untuk menutupi aurat anak buahnya itu malah sambil
menyentak-nyentakkan lehernya dia berteriak.
“Setan bodoh kau Luhak! Biar
kutelanjangi sekalian dirimu!” Lalu breet….brettt! Tangan kirinya merobek baju
hitam Luhak dengan tangan kanannya menampari muka anak buahnya itu dengan
kalap.
TUJUH
Pasar sudah agak lenggang
ketika Andana sampai di situ. Tapi di tempat orang main Kim suasana masih
ramai. (Kim = semacam permainan judi memakai nomornomor. Siapa yang nomornya
paling banyak keluar jadi pemenang) Setelah bertanya beberapa kali akhirnya
seseorang menunjuk pada lelaki berkopiah hitam dan berpakaian putih yang sedang
asyik main Kim sambil menggoyang-goyangkan kepalanya mengikuti lagu yang
dinyanyikan oleh pemberi tahu nomor. Di sela bibirnya terselip sebatang rokok yang
apinya sering mati dan sebentar-sebentar dinyalakannya.
Angku mudo pai ka pasa
Mambao itiak duo-duo
Barangkek kapa di muaro
Maratok suliang limo kali
(Engku muda pergi ke pasar
Membawa itik dua-dua
Berangkat kapal di muara
Meratap suling lima kali)
Mendengar pantun yang
dinyanyikan dengan iringan tetabuhan itu lelaki berkopiah hitam mencoret angka
22 dan angka 5 yang ada di kertas Kimnya dengan arang. Kemudaian dia menyedot
rokoknya dalam-dalam. Ternyata api rokok itu sudah mati pula. Ketika dia sibuk
mencari korek api di saku pakaiannya, tahu-tahu seseorang yang tegak di
sebelahnya membantu menyalakan rokok itu. Orang berkopiah menghisap rokoknya
dalam-dalam lalu sekilas melirik pada orang yang tegak di sampingnya.
“Sati….?” tanya orang tadi
yang bukan lain adalah Andana seraya duduk di sebelah si kopiah hitam.
Yang ditegur memang Sati.
Pedagang cita keliling ini melirik kembali. Kedua matanya membesar. Dia menatap
lekat-lekat. “Kau siapa? Astaga bukankah kau kemenakan Datuk Gampo Alam yang baru
kembali ke Pagaralam? Yang kabarnya sudah digelari orang dengan julukan Harimau
Singgalang? Yang dinobatkan sebagai tamu terhormat dan dipersembahkan sekapur
sirih oleh gadis tercantik di Pagaralam?”
Andana tersenyum. “Perlahan
kalau bicara. Karena mungkin tidak semua yang kau katakan itu benar sobat.”
Lalu Andana mengambil potongan arang dan mencoret angka di kertas Kim milik
Sati yang kebetulan keluar. “Ada yang ingin saya tanya Sati. Saya sangat
memerlukan bantuanmu.”
“Saya sudah maklum. Sebenarnya
saya pernah mencari Angku Mudo. Tapi sekarang Angku Mudo sendiri yang datang.
Saya sedang asyik main Kim. Bisa Angku Mudo datang malam nanti ke rumah saya?”
(Angku Mudo = Angku Muda, panggilan kehormatan)
Sebenarnya Andana ingin
mendapat keterangan saat itu juga. Tapi dia tidak mau memaksa. Apalagi
dilihatnya hari segera memasuki senja. Jadi dia tak akan lama menunggu.
“Beri tahu saya letak
rumahmu….”
Sati memberi tahu letak
rumahnya. Lalu berkata “Saya orang dagang. Berarti mata duitan. Segala urusan dengan
saya harus ada uangnya…..” Sati lalu tertawa mengekeh tapi hampir tanpa suara.
“Jangan takut Sati. Setiap
kata yang kau sebutkan, jika memang merupakan keterangan berharga pasti akan
saya bayar,” jawab Andana pula.
“Jangan kawatir Angku Mudo.
Sekali ini saya keluar dari aturan itu. Angku Mudo tak perlu membayar
sepeserpun. Sampai nanti malam. Saya tunggu di rumah.
“Dengar sobat,” bisik Andana
seraya memegang bahu pedagang cita keliling itu. “Saya punya firasat nyawamu
terancam.”
Paras Sati berubah. “Apa
maksud Angku Mudo?”
“Jangan terus pulang ke rumah.
Tunggu saya sampai datang di tempat gelap di ujung Utara jembatan batang
kelapa.”
Andan berdiri. Sebelum pergi
dia masih sempat mencoret angka ke lima yang ada di kertas Kim di depan Sati.
“Sudah lima angka Sati. Kau
menang.”
“Hah, apa?!” Sati
memperhatikan kertasnya lalu berteriak gembira. Dia setengah berlari membawa
kertas itu ke tempat juru bayar Kim duduk.
Lelaki tinggi besar berwajah
seram itu berdiri gelisah di bawah bayangbayang pohon. Suasananya sekitarnya
gelap dan sunyi. Sesekali terdengar suara binatang hutan di kejauhan. Orang ini
memelihara kumis dan cambang bawuk lebat menutupi lebih dari sebagian wajahnya.
Mata kirinya picak buta sedang telinga kanannya sumplung. Tampangnya yang seram
itu dalam kegelapan kelihatan lebih angker. Pakaiannya serba hitam. Keningnya
dililit dengan kain hitam dan rambutnya yang kasar acak-acakan menjulur
gondrong sampai ke bahu. Leher dan setiap pergelangan kaki serta tangannya
dilingkari kalung dan gelang terbuat dari akar bahar.
Agaknya orang ini yang bukan
lain adalah Hantu Mata Picak tengah menunggu kedatangan seseorang. Dalam gelap
beberapa kali dia terdengar menggerutu sambil menepuki nyamuk yang banyak
berkeliaran dan menyengat kulitnya.
Tak selang berapa lama
terdengar suara langkah-langkah kaki kuda mendatangi. Hantu Mata Picak mengusap
mukanya beberapa kali. Seorang penunggang kuda muncul dari kegelapan.
“Sudah lama saya menunggu
Datuk di sini…” kata orang tinggi besar di bawah pohon dengan nada seperti
mengomel.
“Setan! Tutup mulutmu!” hardik
penunggang kuda. “Bukan kau yang harus bicara lebih dulu tapi aku!”
“Kalau begitu saya menunggu
apa yang hendak Datuk katakan….”
“Kau sadar telah beberapa kali
membuat kesalahan?!”
“Saya tahu. Tapi semua itu
terjadi secara tidak terduga Datuk…”
“Setan kau Daud! Jangan banyak
mulut! Jangan mencari-cari alasan! Kurobek mulutmu nanti baru tahu dirasa!”
Orang tinggi besar bertampang
angker terpaksa berdiam diri.
“Pertama! Kau memang berhasil membunuh
Udin Burik. Tapi tololnya kau meninggalkan bukti! Mengapa kau bunuh orang itu
dengan pisau terbang yang hulunya ada ukiran tengkorak?! Apa kau tidak sadar
itu berarti meninggalkan jejak?!”
“Saya terpaksa Datuk. Saya
bersumpah! Waktu itu Udin Burik siap membuka mulut hendak memberi tahu siapa
yang menyogoknya untuk memberi kesaksian palsu di depan Tumenggung Rajo Langit.
Jarak saya dengan dia terpaut jauh! Tak ada jalan lain. Dia saya habisi dengan
pisau terbang….”
Orang di atas kuda meludah ke
tanah. “Untung aku bisa mencuri pisau bergagang tengkorak itu dari Andana.
Walaupun begitu dia sudah terlanjur melihat, menyimpan dan mengetahui!”
Daud alias Hantu Mata Picak
masih berdiam diri. Orang yang dipanggil Datuk kembali mengeluarkan
kemarahannya.
“Ketololanmu yang kedua setan!
Kau tidak berhasil membunuh anak itu dengan racun kala hutan. Lekas kau
terangkan kenapa sampai bisa begitu. Atau kupuntir kepalamu sampai tanggal
sekarang juga!”
“Terus terang saya juga heran
Datuk. Saya yakin betul dia telah mengunyah sirih beracun dalam cerana. Hanya
ada satu kemungkinan? Pemuda yang bergelar Harimau Singgalang itu kebal racun?”
“Kanciang kau Daud!” maki
orang di atas kuda. “Sudah gagal pandai pula kau mencari dalih hendak cuci
tangan! Dari jaman nenek moyangku sampai sekarang belum pernah kudengar ada
anak manusia yang kebal racun kala hutan! Jangankan manusia, setan sekalipun
akan mampus oleh racun jaha itu!” (kanciang = makian kotor seperti sundal,
pantat) “Kalau kau merasa tidak mampu menjadi pembantuku, katakn saja! Biar
saat ini juga kau kupecat! Tapi mukamu akan kutendang lebih dulu.
Hidungmu akan kubikin melesak
dan matamu yang satu lagi kubikin picak!”
Sepasang mata Datuk Gampo Alam
membeliak seperti hendak keluar dari rongganya saking marahnya. “Ingat
baik-baik Daud! Jangan sekali lagi kau berani menyebut anak itu dengan gelar
keparat sialan itu! Dia tidak punya gelar! Dia tidak berhak menyandang julukan
Harimau Singgalang!”
“Tapi di luaran orang banyak
kini menyebutnya dengan gelar itu Datuk….”
“Persetan! Kau rupanya memang
minta kupecat Daud!”
“Datuk, saya rasa saya sudah
berusaha menjalankan tugas yang Datuk berikan sebaik-baiknya. Hanya saja kita
tidak mengira bahwa keadaan lain dari yang diduga.
Dimulai waktu kita menghadang
Datuk Bandaro Sati di tepi Ngarai Sianok. Tiga tulang iga saya sempat patah dan
kini agaknya masih belum bertaut utuh. Kalau saya bernafas panjang-panjang
ngilu rasanya dada ini. Lalu lihat tangan kanan saya. Masih gembung merah.
Akibat pukulan sakti telunjuk penembus raga yang dilepaskan Datuk itu….”
Orang di atas kuda yang bukan
lain adalah Datuk Gampo Alam adanya menyeringai. “Menjadi pembantuku berarti
siap mengorbankan raga bahkan jiwa!
Jika kau tidak suka
menyingkirlah dari hadapanku!”
“Saya tidak berkata tidak
suka, Datuk. Kalau saja Datuk jauh-jauh hari dulu sudah mengajarkan ilmu belut
putih itu pada saya mungkin sudah saya bereskan anak itu. Paling tidak saya
tidak akan mengalami nasib sengsara seperti ini….”
Datuk Gampo Alam meludah ke
tanah. Lalu menyentakkan lehernya tiga kali.
“Kau manusia tidak tahu diri!
Jasa baru seujung kuku sudah meminta imbalan sebesar gunung Merapi!”
Daud alias Hantu Mata Picak
terdiam sebentar lalu dia berkata. “Ada satu lagi yang ingin saya katakan
Datuk. Waktu saya turun dari rumah gadang pada hari perhelatan itu, pemuda Jawa
bernama Wiro Sableng itu mengikuti saya. Di satu tempat saya menghadangnya.
Menghantamnya dengan dua pisau terbang sekaligus.
Serangan saya gagal. Saya
susul dengan ilmu hitam ular Bira Satu dai dua pisau itu berubah menjadi ular
dan berhasil mematuknya. Tapi pemuda itu juga berhasil membuat musnah ular
jejadian itu. Untung saya masih sempat melarikan diri masuk ke dalam terowongan
Si Nago-Nago. Celakanya, entah dengan ilmu pukulan apa dia menghantam selah
satu bagian lorong hingga amblas dan menutup jalan masuk.
Untung saya bisa menyelamatkan
diri lewat lorong rahasia di sebelah Timur. Pemuda itu berbahaya Datuk. Mungkin
lebih bahaya dari kemenakan Datuk sendiri……”
“Berbahaya atau tidak, itu
termasuk salah satu tugasmu untuk menyingkirkannya.”
“Baik kalau begitu kata Datuk.
Apa saya boleh minta diri sekarang.?”
“Setan! Aku belum menyuruhmu
pergi. Ada satu tugas untukmu….?’
“Saya tahu. Datuk akan
memerintahkan saya untuk mencari dan membunuh Andana kembali….”
“Orang tolol macammu tak akan
bisa menjalankan tugas itu. Kau sudah membuktikan ketidak mampuanmu. Biar orang
lain yang melaksanakan hal itu. Kau cukup kusuruh menjalankan tugas mudah
saja…..”
Meski dai merasa kini
disepelekan dan dianggap randah namun Hantu Mata Picak masih bertanya. “Tugas
apa itu Datuk?”
“Cari Sati. Datangi rumahnya
dan bunuh dia pada kejap pertama kau melihatnya. Mengerti?”
“Maksud Datuk Sati pedagang
cita keliling itu?”
“Setan! Apa ada dua orang
bernama Sati di Pagaralam ini?! Dasar tolol!
Dungu! Pandir!” Datuk Gampo
Alam sentakkan lehernya lalu membedal tali kekang kuda tunggangannya.
DELAPAN
Seorang tamu berpakaian bagus,
didampingi oleh seorang pengawal menunggu Datuk Gampo Alam di rumah gadang. Dia
ternyata adalah Tumenggung Rajo Langit penguasa di wilayah Batusangkar yang
membawahi Pagaruyung, Pagaralam dan sekitarnya.
“Harap maafkan saya
Tumenggung. Kebetulan ada urusan penting di waktu hampir bersamaan. Sudah lama
Tumenggung datang?”
Tumenggung Rajo Langit menekuk
mukanya yang sejak tadi tampak asam. Dia senyum terpaksa lalu menjawab berbasa
basi. “Belum berapa lama….”
“Rencana Tumenggung jadi
dijalankan?”
“Orang-orang sudah saya kirim,
mereka tahu di mana mencari anak itu.
Sekarang kalau Datuk tidak
keberatan saya akan membicarakan hal lain….”
“Tentu saja. Kita bisa bicara
panjang lebar sambil menunggu kabar. Namun sebaiknya saya menyuruh orang di
dalam menghidangkan kopi panas. Juga penganan kesukaan Tumenggung.”
Tumenggung Rajo Langit
mengangguk lalu dia memberi isyarat pada pengawal yang duduk di sebelahnya dan
berkata “kau boleh pergi. Tunggu aku di bawah tangga….”
Tak lama kemudian dua cangkir
besar kopi dihidangkan bersama sepiring pisang goreng yang masih panas. Setelah
meneguk kopi dan mencicipi goreng pisang Tumenggung Rajo Langit membuka
pembicaraan.
“Apakah masih ada persoalan
yang menghambat rencana jual beli rumah gadang ini Datuk……?”
“Dari pihak saya tidak. Tapi
bagaimana dengan rencana Tumenggung tempo hari?”
“Malam ini saya sudah mengirim
selusin orang untuk menangkapnya. Mereka bukan orang sembarangan. Empat
diantaranya adalah pasukan dari Bukittinggi. Dua dari mereka membawa senjata
panjang bernama bedil yang didatangkan dari Jawa….
Selain itu ada seorang gagah
berkepandaian tinggi dari Selatan yang dikenal dengan julukan Anduang Mata
Api.”
“Saya yakin sekali ini kita
bisa menangkapnya. Begitu tertangkap malam ini juga dia akan dibawa ke
Batusangkar.”
“Penjara yang kuat sudah
disiapkan untuknya. Dia tidak akan bisa lolos lagi!”
“Saya merasa lega Tumenggung
mau bersusah payah….” kata Datuk Gampo Alam pula. “Namun ada satu hal yang
mungkin sudah Tumenggung ketahui….” kata Datuk Gampo Alam pula. “Kemenakan saya
itu darang kemari membawa seorang teman dari Jawa. Ilmu silatnya tinggi. Salah
seorang pembantu kepercayaan saya hampir menemui ajal di tangannya.”
Mulut Tumenggung Rajo Langit
tampak komat-kamit. “Pemuda keparat
itu….” katanya. “Dua kali dia
berani mencari perkara dengan saya. Saya bersumpah untuk menangkapnya juga! Membunuhnyapun
tidak ada urusan!”
“Ah, jadi benar rupanya kabar
yang saya dengar. Dia berani menyerang Tumenggung….”
“Sampai dua kali. Pertama tak
jauh dari telaga. Yang kedua di pekuburan.
Sewaktu saya menangkap tangan
kemenakan Datuk bercinta-cinta dengan anak gadis Mamak Rabiah…. Habis anak buah
saya dihajarinya. Kalau tidak lekas saya menyingkir……”
“Maksud Tumenggung Bunga?”
tanya Datuk Gampo Alam memotong katakata sang Tumenggung dengan wajah berubah.
“Betul… Eh, saya lihat wajah
Datuk berubah mendengar ucapan saya….”
“Sebetulnya saya sudah bertemu
dengan Mamak Rabiah. Saya meminta agar anaknya itu saya jadikan istri…. Dulu
memang ada pergunjingan mengenai hubungan gelap antara Bunga dan Andana. Tapi
waktu itu mereka masih bisa dianggap anakanak.
Kini Bunga sudah dewasa. Saya
tidak ingin ada laki-laki berani mengganggu calon istri saya itu….”
Kini paras Tumenggung Rajo
Langitlah yang berubah. Dalam hati Tumenggung ini berkata Gila! Siapa menyangka
tua bangka yang sudah punya empat istri ini menginginkan gadis itu. Kalau aku
tidak lekas bertindak, salah-salah aku bisa kedahuluan!
Setelah mendehem beberapa kali
sang Tumenggung berkata. “Rupanya kita terpaut pada kembang yang sama Datuk.”
“Apa maksud Tumenggung?”
“Saya tidak tahu kalau Datuk
jatuh hati pada gadis itu. Saya sendiri sebenarnya sudah lama tertarik padanya.
Tapi kini setelah tahu Datuk suka padanya , saya tidak berani bersaing. Saya
hanya ingin mengajukan penawaran….”
Lama Datuk Gampo Alam menatap
wajah Tumenggung Rajo Langit dengan mulut setengah ternganga. Seperti orang
yang di hadapannya tadi, sang Datuk juga membatin. Mentang-mentang orang
berpangkat enak saja dia berkata terangterangan tertarik pada gadis itu. Apa
dia menyangka kekuasaannya bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya?
Berbunuhanpun aku tak segan dengan kambing buruk ini.
“Datuk, saya katakan saya
ingin mengajukan penawaran,” mengulang Tumenggung Rajo Langit.
“Penawaran apa?” tanya Datuk
Gampo Alam.
“Biarkan saya mengawini Bunga.
Sebagai ganti rugi akan saya tambah harga jual beli rumah gadang berikut isinya
ini…..”
Datuk Gampo Alam tersenyum
pencong. Tumenggung setan! Kau mencari perkara!
Datuk Gampo Alam menyentakkan
lehernya beberapa kali lalu berkata. “Kita sudah lama bersahabat. Apalagi
mengingat Tumenggung penguasa tertinggi di wilayah ini. Saya tidak berani
menolak keinginan Tumenggung memperistri Bunga.
Itu adalah urusan pribadi
Tumenggung. Saya berterima kasih Tumenggung mau membeli lebih dari yang sudah
kita setujui…..” Manusia tak tahu diuntung. Habis kau bayar harga rumah gadang
ini akan kau rasakan apa yang bakal terjadi atas dirimu.
Tumenggung Rajo Langit
angguk-anggukkan kepalanya. Lalu diteguknya kopi sampai habis. Dia tidak
menolak sewaktu Datuk Gampo Alam menawarkan secangkir kopi lagi.
“Saya akan mempersiapkan uang
pembayarang itu. Paling lambat dalam waktu dua tiga hari di muka Datuk sudah
mendengar kabar dari saya.”
Datuk Gampo Alam mengangguk.
Andana tengah melakukan sujud
akhir sembahyang Maghrib ketika di luar tiba-tiba menggemuruh suara kaki-kaki
kuda. Ada tiga belas orang membanjiri halaman di samping kiri surau. Dua belas
orang turun dengan cepat. Sebagian dari mereka langusng menuju pintu surau. Dua
diantaranya membawa senjata panjang yakini bedil kocok yang sudah diisi sebutir
peluru. Beberapa lainnya mengurung bangunan itu. Hanya satu orang saja yang
turun dari kudanya dengan gerakan tidak terburu-buru. Sikapnya tenang tapi
kedua matanya mengawasi setiap sudut dengan penuh waspada. Orang ketiga belas
ini ternyata adalah seorang nenek berpakaian galembong hitam yang biasanya
dikenakan laki-laki. Mukanya lancip, kedua matanya menonjol merah keluar.
Sepintas tampang si nenek tiada beda dengan seekor binyawak! Dialah orang yang
dijuluki Anduang Mata Api itu! Sementara yang lainlain bergerak sibuk, si nenek
hanya tegak di bawah sebatang pohon seraya merangkapkan kedua tangan di depan
dadanya.
Lima orang memasuki surau
dengan cepat. Di saat itu Andana tengah melakukan duduk tahajud akhir.
Kekhusukannya bersembahyang membuat dia tidak perduli dengan langkah-langkah
berat yang menginjak lantai papan surau. Seolah tidak apa-apa dia terus saja
sembahyang. Lalu dia merasakan ada dua buah benda keras dan dingin ditempelkan
pada pelipisnya kiri kanan.
“Asyhadu Allah illa ha
illallah….” Andana terus dengan sembahyangnya.
Telunjuk kanannya yang
terletak di paha kanan diluruskannya. Ketika dia mengucapkan salam dia tidak
bisa memutar kepalanya ke arah kanan ataupun kiri karena kepala itu tertahan
oleh dua pucuk moncong bedil! Andana hanya bisa mengucapkan salam tanpa dapat
menoleh ke kanan dan ke kiri. Dengan tangan kirinya diusapnya wajahnya. Kedua
matanya dengan cepat membaca situasi. Lalu dia menegur dengan sikap tenang.
“Manusia-manusia dari mana
yang telah berubah menjadi iblis durhaka!
Mengganggu orang dalam
sembahyang?!”
“Jangan banyak mulut! Kami
mendapat perintah menangkapmu hidup atau mati!” Orang yang memegang bedil di
sebelah kanan membentak. Kawannya yang sebelah kiri mengeluarkan sebuah rantai
besi yang ada gemboknya. Benda itu dilepmparkannya ke lantai di depan Andana
lalu memerintahkan pada selah seorang di dekatnya. “Ikat kedua tangannya! Kalau
dia berani bergerak kutabur otak dalam kepalanya!”
Orang yang diperintah masukkan
goloknya ke sarung lalu cepat mengambil rantai besi itu. Andana belum pernah
melihat orang ditembak bedil. Namun dia pernah mendengar bahwa senjata panjang
itu bisa mengoyak dada, merobek perut dan merengkahkan kepala! Dalam keadaan
seperti itu yaitu dua moncong bedil sekaligus menempel di kepalanya kiri kanan
Andana tak berani berlaku ceroboh.
“Kalian orang-orang Tumenggung
Rajo Langit?” bertanya Andana.
“Kambui wa-ang! Kalau sudah
tahu siapa kami mengapa masih bertanya!”
bentak orang yang memegang
bedil di sebelah kanan.
“Jangan banyak cakap. Ulurkan saja
kedua tanganmu. Atau otakmu akan bertaburan di lantai surau ini!”
Andana tampak seperti
tersenyum. “Rupanya Tumenggung kalian itu masih belum puas. Semua orang di
Pagaralam ini tahu bahwa tuduhan pembunuhan atas diriku dulu hanya fitnah busuk
belaka….”
Dengan tenang Andana
mengulurkan kedua tangannya. Sewaktu rantai besi hendak diikatkan pada kedua
lengannya, dalam hati Andana berkata. Kalian hanya menjalankan perintah. Tapi
kalau aku tidak memberi pelajaran pada kalian, kalian bisa jadi keras kepala
dan sewenang-wenang!
Rantai besi mulai dilingkarkan
di kedua tangan Andana. Pada saat itulah tibatiba terdengar suara siulan.
Menyusul bentakan keras.
“Manusia-manusia gila! Kalian
seperti tidak ber-Tuhan! Menangkap orang di rumah suci!”
Atap surau yang terbuat dari
ijuk berderik halus. Lalu tiba-tiba sekali lampu minyak yang tergantung dekat
pintu surau padam. Dalam keadaan yang gelap gulita itu Andana serta merta
jatuhkan tubuhnya ke lantai papan. Dua letusan menggelegar.
Andana merasakan sesuatu yang
panas robek bahu kirinya. Dia menghantam sambil menahan sakit. Terdengar suara
orang menjerit di susul suara bergedebuk jatuhnya satu dodok tubuh. Di sebelah
atas suara seseorang menerobos masuk lewat celah antara atap dan dinding lalu
melayang ke bawah.
Setelah itu terlihat satu
bayangan putih berkelebat kian kemari. Setiap kaki atau tangannya bergerak satu
korban roboh ke lantai.
Meski tidak dapat melihat
jelas siapa adanya orang yang masuk ke dalam surau itu nemun dari gerakannya
yang sebat dan mengeluarkan suara menderu serta bentuk potongan tubuhnya Andana
sudah dapat menduga siapa adanya orang ini. Dia segera menyambar sebuah bedil
yang tercampak di lantai. Senjata ini dipegangnya di bagian selongosng besinya.
Dengan popor senapan itu lalu dia menghantam para penyerang dalam kegelapan.
Tak lama kemudian suara hiruk
pikuk perkelahian di dalam surau itu berhenti.
Kesunyian mencengkam. Di luar
surau nenek berjuluk Anduang Mata Api pencongkan mulutnya beberapa kali. Kedua
tangannya masih dilipat di depan dada.
Tiba-tiba dari pintu surau
melayang keluar satu sosok tubuh. Lalu satu lagi, satu lagi sampai akhirnya
kelihatan lima orang bergeletakan di halaman surau tanpa berkutik lagi. Tiga
orang pingsan berat. Satu mengerang dengan kening berlumuran darah.
Yang kelima agaknya tengah
meregang nyawa. Di dalam surau tadi ketika dia membabatkan goloknya menyerang
orang berpakaian putih, tiba-tiba orang itu mendahului dengan satu tendangan
yang tepat mengenai lengannya. Golok yang digenggamnya berbalik menghantam
perutnya sendiri. Ususnya berbusaian!
Tujuh orang ang berada di
halaman surau cepat mendatangi kelima kawan mereka yang dalam keadaan babak
belur itu. Mereka bergidik melihat kawan yang tengah meregang nyawa dengan usus
menjela-jela.
Sementara itu perempuan
berjuluk Anduang Mata Api masih tetap tak bergerak di tempatnya di bawah pohon.
Hanya kedua alis matanya saja yang tampak bergerak-gerak naik ke atas. Lalu dia
berkata dengan suara keras.
“Apakah kalian ingin menjadi
kucing buta dan bisu? Empat kawan kalian dihajar orang sampai tak sadarkan
diri. Yang satu malah dibunuhi! Kalian hanya berdiri menonton! Jika kalian
tidak berbuat sesuatu rasanya lebih baik aku mengepruk kepala kalian satu
persatu!”
Mendengar kata-kata si nenek,
tujuh orang yang berada di halaman surau serta merta bergerak. Mereka
berserabutan menuju pintu surau. Siap menyerang Andana yang ada di dalam sana.
Namun tiba-tiba sekali dari dalam surau terdengar suara menderu. Si nenek
Anduang Mata Api mengerenyit. Tujuh orang yang coba memasuki surau terlempar ke
hadapannya sebelum mereka sempat mencapai pintu seolah-olah disambar angin
topan dahsyat! Ketujuhnya kemudian malang melintang berkaparan di tanah.
Meskipun banyak diantara mereka yang cidera namun nasib mereka jauh lebih baik
dari lima kawan mereka terdahulu. Yang tujuh ini hanya babak belur tapi tak ada
yang sampai menemui ajal!
Anduang Mata Api batuk-batuk
beberapa kali ketika dari dalam surau dilihatnya Andana keluar sambil memegang
bahu kirinya. Bajunya nampak sobek di bahu dan ada warna merah tanda tubuhnya
terluka. Sewaktu menjatuhkan diri menyelamatkan kepalanya dari ancaman dua buah
bedil kocok, peluru salah satu bedil itu masih sempat menghajar bahu kirinya.
Walaupun meleset tapi peluru senjata itu telah merobek baju dan daging bahunya.
Anduang Mata Api
menggigit-gigit bibirnya sendiri sewaktu melihat ternyata ada dua orang pemuda
yang keluar dari dalam surau. Sebelumnya dia tidak pernah melihat Andana.
Sesaat dia jadi bingung sendiri.
Eh, dua pemuda itu punya wajah
mirip satu sama lain. Perawakan mereka juga serupa. Sialan kenapa Tumenggung
tidak mengatakan kalau ada dua lawan bukan cuma satu! Aku harus minta bayaran
lebih besar kalau begini. Tapi…..ada juga senangnya aku ikut campur urusan ini.
Dua pemuda di hadapanku ini samasama punya tampang gagah. Badan mereka
sama-sama kukuh.
“Hemmmm…… hasrat mudaku
kembali berkobar. Kalau aku dapat salah satu saja di antara mereka….” Begitu si
nenek membatin.
Sementara itu Wiro berbisik
pada Andana. “Ada perempuan tua bermuka binyawak di depan kita. Hati-hati
sahabat. Gerak geriknya menyataka dia seorang berkepandaian tinggi. Dia pasti
dedengkot penyerangan ini!”
“Firasatmu sama denganku. Cuma
belum jelas apa dia kaki tangan Tumenggung Rajo Langit atau Pamanku Datuk Gampo
Alam.”
“Mungkin dua-duanya,” kata
Wiro pula.
Si nenek maju beberapa
langkah. Andana dan Wiro lakukan hal yang sama.
Mereka sama-sama tegak saling
tatap terpisah dalam jarak lebih dari sepuluh langkah.
Untuk beberapa saat lamanya
suasana di halaman surau yang agak gelap itu dicengkram kesunyian. Tapi ini
tidak berjalan lama. Setelah puas memperhatikan dua pemuda gagah itu si nenek
tiba-tiba bertanya dengan suara keras.
“Yang mana di antara kalian
bernama Andana, kemenakan Datuk Gampo Alam?! Dan punya gelar sombong,
menganggap diri bergelar Harimau Singgalang!”
Belum sempat Andana menjawab,
Wiro sudah angkat tangan kirinya.
“Menurutmu siapa di antara
kami yang pantas jadi Harimau Singgalang?!”
Anduang Mata Api melirik pada
Wiro lalu tersenyum. “Kau pasti bukan sang kemenakan. Lidahmu seolah terbuat
dari seng. Logat bicaramu seperti orang yang tengah makan galamai!” (galamai =
dodol)
Wiro tertawa. “Nenek, mulutmu
pandai bicara dan ternyata otakmu cerdik juga. Kau yang berwajah saperti
galamai, jadi kau orangnya yang bertindak sebagai pemimpin dari baruak-baruak
yang dua belas orang ini! Siapa yang membayarmu melakukan perbuatan keji ini?!”
(baruak = monyet)
Anduang Mata Api tentu saja
marah sekali wajahnya dikatakan seperti dodol.
Tapi si nenek tidak segera
mendamprat melainkan mendongakkan kepalanya.
Dari mulutnya keluat suara
tawa mengekeh disusul ucapan “Orang banyak mulut kabarnya lama matinya. Tapi
sekali lagi kau berani bicara kurang ajar, umurmu kulipat jadi pendek! Kau
dengar itu anak muda?!”
Pendekar 212 Wiro Sableng
garuk-garuk kepalanya dan balas tertawa. Ketika dia hendak membuka mulut di
sampingnya Andana mendatangi dan berbisik.
“Sahabat, saya ada urusan
sangata penting yang harus dikerjakan.” Rupanya Andana baru ingat akan
perjanjiannya dengan Sati. “Saya harap kau tidak keberatan mengurus binyawak
perempuan ini. Saya harus pergi sekarang….. Hati-hati. Tua bangka ini agaknya
bukan galamai atau dodol yang empuk.”
Bisikan Andana itu rupanya
terdengar oleh Anduang Mata Api. “Kemenakan Datuk Gampo Alam!” katanya cepat.
“Aku mendapat perintah untuk menagkapmu hidup atau mati! Aku masih punya rasa
belas kasihan menangkapmu hidup-hidup!
Tapi jika kau berani bergerak
satu langkah saja, kuhabisi kau kejap ini juga!”
“Siapa yang memberimu
perintah?!” tanya Andana tenang.
“Berapa kau dibayar nenek
galamai?!” ikut menukas Wiro Sableng sambil menyeringai.
Rahang dan pipi si nenek
tampak menggelembung. Kedua matanya menjadi merah laksana bara api di malam
gelap.
“Siapa memberiku perintah atau
berapa aku dibayar bukan urusan kalian! Kau kemenakan Datuk Gampo Alam
jelas-jelas manusia buronan yang harus ditangkap dan dijebloskan dalam
penjara!”
Wiro keluarkan suara berdecak
berulang kali. “Nek, lagakmu sudah keterlaluan. Kau hanya disuruh orang. Tidak
mengetahui apakah sahabatku ini benar pembunuh atau bukan!”
Murid Sinto Gendeng ini
kemudian berpaling pada Andana.
“Pergilah cepat. Jika dia
berani menghalangi akan kita lihat apa yang hendak dilakukannya!”
Mendengar ucapan sahabatnya
itu tanpa menunggu lagi Andana segera berkelebat namun si nenek dengan
kecepatan luar biasa melesat memotong gerakan pendekar bergelar Harimau
Singgalang itu.
Wiro tak tinggal diam. Dia
segera melompat memapas gerakan si nenek sambil mendorongkan dua tangannya ke
depan, Anduang Mata Api mendengar deru halus. Dia berseru kaget ketika satu
gelombang angin melanda dirinya, membuat dia sempoyongan.
Astaga, anak celaka ini
ternyata memiliki tenaga dalam luar biasa! Keluh Anduang Mata Api. Sebelum
tubuhnya tersapu pukulan “benteng topan melanda samudera” yang dilepaskan Wiro
perempuan tua ini cepat menyingkir dengan membuat lompatan ke samping. Dari
samping dengan gerakan kilat dia kirimkan satu serangan ke arah Pendekar 212.
Tapi sewaktu dilihatnya Andana berkelebat pergi, dia memutuskan membereskan
pemuda buruannya itu lebih dulu. Dari tenggorokannya terdengar suara
menggembor. Kedua matanya yang merah membara diarahkan pada Andana. Kepalanya
digoyangkan.
Wuuuttttt! Wuuuuuuut!
Dua buah cahaya lurus berwarna
merah kebiruan melesat dari sepasang mata si nenek, menyambar ke arah punggung
Anadana.
“Andana! Awas! Teriak Wiro.
Tanpa diperingatkanpun
sebenarnya putera Datuk Bandaro Sati itu sudah mengetahui bahaya yang
mengancam.
Sambil melompat ke balik
sebatang pohon besar Andana tusukkan telunjuk tangan kanannya ke depan. Dalam
gelap terdengar suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya satu sinar biru.
Sinar biru ini melesat
menyongsong dua larik sinar merah yang keluar dari sepasang mata Anduang Mata
Api.
Wiro yang sudah gatal tangan
tak tinggal diam. Dia hantamkan tangan kanannya ke arah titik pertemuan
sinar-sinar sakti itu. Cahaya putih menyilaukan yang disertai hawa panas
menderu menggidikkan. Itulah pukulan “sinar matahari”!
Dentuman dahsyat laksana
kepundan meledak menggelegar di tempat itu.
Andana terdengar berseru keras
lalu tubuhnya lenyap dari balik batang pohon besar.
Anduang Mata Api menekapkan
kedua tangannya pada kedua matanya yang terasa ditusuk-tusuk. Wiro sendiri
berdiri tergontai-gontai.
Daun-daun pepohonan runtuhan
berguguran. Ranting dan cabang pohon patah berjatuhan. Pada batang pohon di
balik mana tadi Andana berlindung kelihatan dua buah lobang hitam.
Lobang-lobang itu terjadi
akibat hantaman dua larik sinar merah kebiruan yang keluar dari mata Anduang
Mata Api. Dapat dibayangkan kalau sinar itu mendarat di tubuh manusia!
Sadar kalau Andana tak dapat
dihalanginya lagi, si nenek menumpahkan seluruh kemarahannya pada Pendekar 212
Wiro Sableng!
SEMBILAN
Kita tinggalkan dulu Pendekar
212 yang tengah menghadapi kemarahan nenek bermuka binyawak bernama Anduang
Mata Api itu. Mari kita ikuti kepergian Andana menemui pedagang cita keliling
bernama Sati dari siapa dia mengharap dapat mengetahui orang yang telah membunuh
Ayahnya.
Begitu Andana muncul di ujung
jembatan batang kelapa, Sati segera keluar dari tempat gelap. “Sudah habis saya
dimakan nyamuk. Mengapa lama benar Angku Mudo datang?”
“Orang-orang suruhan
Tumenggung Rajo Langit menyerbu saya di surau.
Mereka berusaha menangkap
saya. Tak perduli hidup atau mati!”
Sati tempak terkejut. “Keji
sekali tindakan mereka. Berani berbuat huru hara dalam rumah suci! Astaga, saya
lihat bahumu terlukan Angku Mudo….”
“Disambar pelor……”
“Pelor? Hampir tak percaya saya…..!”
“Ada dua penyerbu membawa
bedil yang kabarnya didatangkan dari Jawa.”
Andana terdiam sebentar.
“Sudahlah, sekarang kita segera ke rumahmu. Saya akan buktikan bahwa
benar-benar ada orang yang menginginkan kematianmu.”
Malam merayap perlahan. Dingin
dan sunyi. Dalam kegelapan yang menghitam, diantar oleh hembusan angin malam,
empat bayangan berkelebat menuju sebuah rumah yang terletak di lembah kelam
sunyi. Empat orang ini bergerak tanpa suara seolah menyatu dengan kegelapan
malam. Di depan sekali bergerak orang tinggi besar bermuka garang dan hanya
puna satu mata serta satu daun telinga. Dia bukan lain adalah Daud alias Hantu
Mata Picak, tangan kanan dan kepercayaan Eatuk Gampo Alam. Tiga orang di
belakangnya adalah anak buahnya.
Beberapa belas langkah dari
rumah di dalam lembah Hantu Mata Picak memberi isyarat. Tiga anak buahnya
berhenti. Dia cepat berbisik “Ada nyala lampu minyak di dalam rumah. Berarti
ada orangnya. Kelian bertiga lekas menyebar. Aku akan masuk dan menabas leher
manusia itu. Beri tanda dengan suitan jika ada orang yang datang…..”
Tiga anak buah Hantu Mata
Picak mengangguk lalu mereka cepat menyebar.
Hantu Mata Picak melangkah ke
pintu belakang rumah. Lewat celah-celah dinding dia melihat lampu minyak
menyala di ruangan tengah. Selain dari itu rumah di tengah lembah itu berada
dalam keadaan sunyi senyap. Hantu Mata Picak terus mengintai. Di salah satu
sudut rumah ada sebuah balai-balai. Di atas balai-balai ini samar-samar tampak
sesosok tubuh tengah tidur nyenyak.
Hantu Mata Picak tak menunggu
lebih lama. Dikeluarkannya sebilah golok dari balik pinggangnya. Dengan benda
ini, tanpa suara sama sekali dia mencongkel pintu belakang lalu menyelinap
masuk dengan cepat. Dia langusng menuju balai-balai dimana terbujur sosok tubuh
berselubung selimut. Tangan kanannya yang memegang golok diangkat
tinggi-tinggi. Senjata itu lalu dibacokkan dengan deras. Yang diarah adalah
bagian batang leher.
Crassss!
Tubuh di bawah selimut tak
bergerak. Tak ada darah yang muncrat membasahi selimut atau mengucuri tempat
tidur. Hantu Mata Picak mengeluarkan seruan heran. Dengan tangan kirinya
diangkatnya selimut itu. Yang dilihatnya bukan leher manusia yang luka parah
apa lagi terbabat putus, melainkan hanya sebuah bantal guling yang robek besar
dan ketika diangkat kapuknya berhamburan kian kemari.
“Kurang ajar! Aku kena
tertipu!” Hantu Mata Picak memaki marah.
Digeledahnya seluruh rumah.
Namun di rumah itu memang tidak ada siapapun.
Saking marahnya Hantu Mata
Picak menghantami apa saja yang ada di dalam rumah dengan goloknya. Mendengar
ribut-ribut tiga orang anak buahnya segera masuk dan bertanya apa yang terjadi.
“Bangsat itu tidak ada di
sini! Dia menipu dengan guling yang diselimuti!”
“Berarti dia sudah tahu bahaya
mengancam dirinya Daud,” kata salah seorang anak buah Hantu Mata Picak menyebut
nama pimpinan mereka itu.
“Kelihatannya ini bukan kerja
satu orang,” berkata teman di sebelahnya.
“Aku tidak yakin Sati punya
akal dan keberanian berbuat begini! Kita bakar saja rumah ini!”kata yang satunya
lagi. Lalu diambilnya lampu minyak yang tergantugn di dinding. Ketika minyak
hendak diguyurkan ke lantai papan, tiba-tiba entah dari mana munculnya satu
tangan yang kokoh menarik lengannya. Di lain kejap anak buah Hantu Mata Picak
merasakan tubuhnya dibetot ke samping baru terlempar ke luar rumah lewat
jendela yang jebol dan hancur berantakan. Lampu minyak yang tadi dipegangnya,
sebelum terlempar jatuh mengguyur pakaiannya. Celakanya ketika lampu kemudaian
terlepas nyala apinya jatuh di bagian pakaian yang telah basah oleh minyak itu.
Tak ampun lagi apipun berkobar menyulut pakaian dan tubuh orang itu.
Dia berteriak-teriak sambil
bergulingan di tanah coba memadamkan api. Namun perut, dada dan pangkal
lehernya sedah keburu terbakar sebelum api padam!
Hantu Mata Picak dan dua orang
anak buahnya yang masih ada di dalam rumah dan kini dalam keadaan gelap gulita
tentu saja terkejut bukan alang kepalang.
Sang pemimpin cepat menyadari
bahayanya kalau berada di tempat gelap sementara ada seorang musuh mengintai di
tempat yang sama serta merta dia menghambur keluar rumah lewat pintu belakang,
diikuti salah seorang anak buahnya. Anak buahnya yang satu lagi melompat lewat
jendela. Ketiganya sampai di halaman samping berbarengan. Kaget ketiga orang
ini semakin memuncak ketika di halaman itu tahu-tahu mereka berhadapan dengan
seorang pemuda berpakaian serba putih, berambut gondrong dan tegak sambil
rangkapkan dua tangan di depan dada. Di mulutnya tersungging senyum mengejek.
“Harimau Singgalang!” kata
salah seorang anak buah Hantu Mata Picak.
Hantu Mata Picak tertawa
mengejek. “Anak-anak, gelar tidak pantas bagi seorang pembunuh dan buronan
penjara Batusangkar seperti dia!”
Andana menyeringai. “Jadi kau
rupanya yang selama ini gentayangan berusaha hendak membunuhku. Mulai dari ular
berbisa, picau beracun, lalu sirih yang diberi racun kala hutan! Siapa yang
memperbudakmu?!”
“Bangsat! Aku tidak merasa
diperbudak siapapun! Manusia seprtimu patut dilenyapkan dari muka bumi.
Kehadiranmu di Pagaralam hanya mendatangkan keonaran!”
Andana tertawa pendek
mendengar kata-kata Hantu Mata Picak itu. “Dulu kabarnya kau pernah berdandan
seperti perempuan, memakai selendang dan baju kurung warna kuning. Apa sekarang
kau sudah berhenti jadi banci? Masih untung kau selamat dari tanah bukit yang
diruntuhkan kawanku tempo hari. Tapi dasar manusia tak tahu diri. Diberi
selamat oleh Tuhan malah kini makin semena-mena! Aku tahu kau adalah kaki
tangan Datuk Gampo Alam!”
Hantu Mata Picak mendengus.
“Apa yang kau ketahui cukup hanya sampai malam ini Andana! Besok kau boleh
bicara banyak di alam barzah!” Habis berkata begitu Hantu Mata Picak lalu
melompat sembari membabatkan goloknya.
Serangannya memiliki kuda-kuda
yang kuat dan ayunan goloknya mengeluarkan suara menderus serta tebaran angin dingin.
Terlambat saja Andana mengelak niscaya bahi kirinya bisa putus dihantam
sambaran senjata itu.
Geram melihat serangannya bisa
dielakkan lawan, didahului dengan bentakan garang untuk kedua kalinya Hantu
Mata Picak melancarkan serangan. Dua orang anak buahnya kini juga tak tinggal
diam.
Yang satu menghunus sebilah
parang berkeluk, yang kedua mengeluarkan sebatang tongkat besi yang ujungnya
bercabang dua berbentuk pipih seperti mata pisau. Tiga serangan yang datang
dari tiga jurusan menggempur Harimau Singgalang laksana curahan air hujan. Dua
orang lelaki yang iktu mengeroyok memang merupakan orang-orang yang paling
tinggi ilmu kepandaiannya di antara sekian banyak anak buah Hantu Mata Picak.
Disamping itu Hantu Mata Picak sendiri juga menguasai ilmu golok tingkat tinggi
dan gerakannya sangat sebat. Mau tak mau murid Datuk Alis Merah dari Asahan ini
dipaksa harus berhati-hati. Pakaian bahkan rambut di kepalanya sesekali
berkibar-kibar disapu angin tiga senjata lawan.
Breettt!
Breettt!
Memasuki jurus ke tujuh golok
di tangan Hantu Mata Picak merobek baju putih Andana di bagian lambung. Robekan
kedua terjadi di dekat ketiak kirinya akibat tusukan tongkat besi bermata dua
anak buah Hantu Mata Picak.
Andana merasa tengkuknya
dingin. Terlambat saja dia membuat gerakan mengelak, salah satu serangan itu
pasti sudah merobek tubuhnya! Menyadari keadaan yang sangat berbahaya ini
Andana segera keluarkan ilmu silat yang dipelajari dari gurunya Datuk Alis
Merah di tanah Asahan. Ilmu silat ini bernama ilmu silat Kumango Tujuh
Serangkai. Ilmu silat Kumango merupakan ilmu silat yang mendasar dan banyak
dikuasai para pendekar di tanah Minang bahkan sampai ke pesisir Selatan dan
Timur. Demikian mendasarnya ilmu silat Kumango hingga segala kekuatan maupun
kelemahannya banyak diketahui orang. Akibatnya ilmu silat ini dianggap tak
banyak berguna dan kemampuannya lagi hingga jarang yang mau mempelajarinya.
Tetapi seorang Datuk di Utara
yaitu Datuk Alis Merah justru berusaha menegakkan kehebatan ilmu silat ini
dengan menciptakan ilmu silat baru yang mendasarkan gerakannya pada ilmu silat
Kumango lama. Dia menyusun tujuh jurus aneh. Dari tujuh jurus ini bisa
dikembangkan masing-masing tiga jurus baru hingga keseluruhan jurus berjumlah
dua puluh satu. Setiap jurus diolah begitu rupa hingga dasar gerakannya
berlawanan dengan dasar gerakan ilmu silat Kumango lama, diberi tambahan dasar
kuda-kuda yang kokoh serta gerakan tangan yang disertai tenaga dalam.
Andana memainkan jurus demi
jurus menghadapi tiga lawannya yang bersenjata sementara dia sendiri masih
mengandalkan tangan kosong. Memasuki jurus keenam belas pemuda ini merasakan
serangan lawan mulai dapat ditahannya. Dua anak buah Hantu Mata Picak kelihatan
seperti berlomba untuk dapat menyarangkan senjata mereka di tubuh atau kepala
Andana. Namun gerakan mereka sudah dipengaruhi kemarahan berlebihan hingga
tidak memakai perhitungan lagi. Hal ini terjadi karena sekian lama menggempur
mereka tak sanggup untuk mendekati lawan, apalagi melukainya. Sebaliknya kaki
dan tangan Andana acap kali menyusup menembus pertahanan mereka hingga serangan
mereka sering menjadi mentah dan gerakan keduanya menjadi kacau. Hantu Mata
Picak yang juga merasakan mengendurnya daya serangannya akibat ilmu silat si
pemuda yang sulit diterkanya kini mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya hingga
tubuhnya yang besar itu laksana seekor alap-alap, berkelebat kian kemari. Golok
di tangannya menyambar menderu-deru. Kelihatannya dia mulai dapat menggoyahkan
pertahanan Andana.
Namun Hantu Mata Picak salah
menduga.
Putera Almarhum Datuk Bandaro
Sati itu dengan cerdik mengarahkan serangan-serangan gencarnya pada anak buah
Hantu Mata Picak yang memegang tongkat besi bercabang dua. Senjata ini
merupakan senjata terpanjang diantara tiga senjata para pengeroyok, jadi merupakan
senjata paling berbahaya karena mampu mencapai dirinya dari jarak jauh
sekalipun. Begitu lawan terdesak hebat, Andana susupkan satu tendangan ke
perutnya. Selagi lawan terjajar ke belakang sambil meraung kesakitan dan tak
berani lagi memasuki kalangan perkelahian, Andana merampas tongkat besinya.
Dengan senjata ini kini Andana menghadapi Hantu Mata Picak dan seorang anak
buahnya. Pemuda ini mengamuk laksana kesetanan. Dua jurus menggempur parang
berkeluk di tangan anak buah Hantu Mata Picak mentak ke udara. Selagi lawan
tampak kebingungan Andana hujamkan ujung tongkat yang berbentuk dua bilah pisau
itu ke arah perutnya! Orang ini membuka mulutnya lebarlebar seperti hendak
berteriak. Kedua matanya mendelik. Mimik mukanya mengerikan. Namun tak ada suara
yang keluar dari mulutnya. Ketika tusukan tongkat besi dilepaskan tubuhnya
langsung roboh. Perutnya robek besar dan usus besarnya tampak menggelembung
mengerikan.
Anak buah Hantu Mata Picak
yang tongkat besinya kena dirampas kini berada di tangan Andana
terbungkuk-bungkuk berusaha memungut parang berkeluk milik kawannya yang
terlepas mental dan tergeletak di tanah. Tapi gerakannya tidak lepas dari
perhatian Andana. Begitu jari-jarinya menyentuh gagang parang, tumit kaki kanan
Harimau Singgalang menghantam keningnya dengan telak. Orang ini terjengkang ke
tanah. Sesaat kedua tangannya melejang-lejang lalu tubuhnya tak berkutik lagi.
Kepalanya rengkah. Darah menggelimangi wajah bercampur lelehan cairan otak!
Harimau Singgalang putar
tubuhnya dengan cepat sambil melintangkan tongkat besi di atas kepalanya ketika
dia mendengar di belakangnya ada suara menderu. Betul seperti dugaannya. Hantu
Mata Picak kirimkan serangan membokong dengan golok besarnya. Dua senjata yang
sama-sama terbuat dari besi itu saling bentrokan di udara, mengleluarkan suara
keras serta percikan bunga api yang terang di dalam kegelapan malam.
Golok di tangan Hantu Mata
Picak patah dua dan terlepas mental dari genggamannya. Sebaliknya tongkat besi
yang dipegang Andana hanya gompal sedikit.
Andana adalah seorang pendekar
sejati. Melihat lawan tidak lagi bersenjata dia segera membuang tongkat besi
berujung sepasang pisau itu. Namun ayunan dari bentrokan tadi masih sempat
menghantam ke bawah sesaat setelah dia melepaskan senjata ini.
Hantaman ini justru mengarah
kepala Hantu Mata Picak. Andana jadi terkesiap dan tidak sempat berbuat
apa-apa. Namun di hadapannya Hantu Mata Picak tampak tenang saja. Kedua
tangannya diangkat ke atas untuk menangkap tongkat besi itu.
Astaga! Ilmu apa yang dimiliki
manusia jahat ini! Kedua tangannya merah membara sampai sebatas pergelangan!
Andana menyaksikan perubahan kedua tangan manusia bermata satu itu dengan
terkejut. Ketika tongkat besi itu ditangkapnya terdengar suara mendesis
panjang. Hantu Mata Picak menyeringai. Tongkat besi yang dipegangnya ikut
membara mengepulkan asap. Sekali dia menggerakkan kedua tangannya yang merah
membara itu, tongkat besi melengkung membentuk setengah lingkaran.
Hantu Mata Picak tertawa
mengekeh. Tongkat besi dicampakkannya ke tanah.
Lalu dia melompat menyerang
Andana. Kedua tangannya yang telah berubah menjadi bara panas itu berkelebat ke
arah leher Harimau Singgalang.
SEPULUH
Kalau besi saja bisa dibuat
membara dan leleh, dapat dibayangkan apa yang terjadi dengan batang leher
Andana kalau sampai kena cengkeram sepasang tangan Hantu Mata Picak!
Ilmu Bara Neraka! Kata Andana
dalam hati. Kedua tangan lawannya berubah menjadi merah membara dan panas luar
biasa. Dari mana manusia celaka ini mendapatkan ilmu itu? Namun Harimau
Singgalang tidak dapat berpikir panjang. Dia harus menyelamatkan diri. Dua
tangan Hantu Mata Picak berkelebat ganas. Andana cepat melompat mundur ke dekat
sebatang pohon. Lawan memburu dengan menebas telapak tangan kanannya. Sekali
lagi Andana mengelak. Tabasan tangan melabrak pohon.
Wusss!
Kraaak!
Batang pohon itu bukan saja
terbakar dikobari api tapi juga patah lalu tumbang dengan suara menggemuruh.
“Pemuda keparat!” maki Hantu
Mata Picak penuh geram karena lawan untuk kedua kalinya berhasil mengelakkan
serangannya. “Apa kau kira bakal bisa lolos dari tanganku? Kau akan mampus
dengan tubuh lumat sampai ke tulang belulangmu!”
Hantu Mata Picak menutup
makiannya sambil mendorongkan kedua tangannya yang membara ke depan.
Wusss! Wusss!
Dua larik sinar merah menderu
ke arah Andana.
Di seberang sana Andana
memasang kuda-kuda. Lututnya membengkok sedang tubuhnya agak membungkuk.
Tiba-tiba pemuda ini tusukkan jari tangan kiri kanan ke arah datangnya serangan
dua larik sinar merah. Dua gelombang lidah api menderu dahsyat mengjutkan Hantu
Mata Picak. Matanya yang Cuma satu mendelik besar ketika melihat bagaimana dua
gelombang lidah api dari pukulan sakti Inti Api yang dilepaskan Andana
menghantam buyar dua larik sinar merah panas pukulan Bara Neraka yang
dihantamkannya pada pemuda itu. Hantu Mata Picak kerahkan habis-habisan seluruh
tenaga dalamnya agar pukulan Bara Nerakanya bisa bertahan dan menghantam lawan
kembali. Namun dia kalah kekuatan. Ketika Andana mendorongkan dua jari
telunjuknya ke depan, dua lidah api menggemuruh.
Hantu Mata Picak menjerit
keras. Sekujur tubuhnya dikobari api. Dia berusaha memadamkan api yang membakar
badannya itu dengan menjatuhkan diri di tanah lalu bergulingan. Namsibnya masih
untung karena di dekat sana ada sebuah parit dangkal.
Tanpa pikir panjang Hantu Mata
Picak mencemplungkan dirinya ke dalam parit.
Begitu api oadam dia cepat
berdiri lalu melarikan diri dari tempat itu. Andana mengejar. Telunjuk tangan
kanannya di arahkan ke punggung orang. Namun pukulan Inti Api tak jadi
dilepaskannya. Dia merasa tidak enak membokong seperti itu. Dia pasti mati! Dia
tidak bakal bisa selamat dari luka bakar yang dahsyat itu! Kata Andana dalam
hati. Dia membungkuk memungut sebuah benda yang tadi jatuh ke tanah sewaktu
Hantu Mata Picak bergulingan sambil menjerit-jerit. Benda itu ternyata adalah
sebilah pisau yang gagangnya berbentuk ukiran tengkoran manusia.
Hemmm…… Kini kudapatkan
buktinya. Jadi memang dia yang membunuh Udin Burik orang yang bersaksi palsu di
hadapan Tumenggung bahwa akulah yang telah membunuh Sarkam! Dia juga yang
memasang senjata rahasia ini di rumah gadang untuk membunuhku!
“Angku Mudo,” tiba-tiba
terdengar suara Sati si pedagang cita keliling di samping Andana. “Kenapa tidak
Angku Mudo bunuh sekalian manusia setan itu!
Membiarkannya hidup sangat
berbahaya!”
“Luka bakar yang parah itu
akan merengut nyawanya. Kalaupun dia bisa hidup dia akan cacat seumur-umur.
Siksaan itu lebih ganas dari kematian…..”
“Tapi Angku Mudo, justru
manusia jahanam itulah yang ikut membantu membunuh Ayah Angku Mudo!” kata Sati
pula.
Andana membalikkan tubuhnya.
Dia seperti mendengar petir di liang telinganya.
“Apa katamu Sati?! Saya
mencarimu justru untuk meminta keterangan menyangkut rahasia kematian Ayah
saya! Kalau barusan kau katakan Hantu Mata Picak ikut membantu membunuh Ayah
saya, lalu siapa yang dibantunya? Siapa sebenarnya yang membunuh Ayah saya?
Tumenggung Rajo Langit?!”
Andana terbeliak heran ketika
melihat Sati gelengkan kepalanya. Tidak sabaran dipegangnya kedua bahu Sati,
digoyang-goyangkannya hingga Sati berteriak kesakitan.
“Lekas katakan siapa pembunuh
Ayah saya!”
“Datuk Gampo Alam. Mamak Angku
Mudo sendiri!” jawab Sati.
Mulut Andana tampak ternganga.
“Saya sudah menduganya tapi saya berusaha untuk tidak mempercayainya! Ternyata
kini…. Sati, kau melihat sendiri kejadian itu? Ceritak pada saya!” kata Harimau
Singgalan hampir berteriak. Kembali tubuh pedagang cita keliling yang kerempeng
itu diguncangnya.
“Saya menyaksikan sendiri
Angku Mudo. Saat itu saya dalam perjalanan ke Bukittinggi. Terjadinya di tepi
Ngarai Sianok. Saya saksikan Ayah Angku Mudo dikeroyok oleh Hantu Mata Picak
dan Datuk Gampo Alam. Satu saat Hantu Mata Picak berhasil menyergap Ayah Angku
Mudo dari belakang. Dalam keadaan tidak berdaya seperti itu Datuk Gampo alam
datang dari depan. Diambilnya keris Tuanku Ameh Nan Sabatang. Dengan senjata
itu ditikamnya tubuh Ayah Angku Mudo bertubi-tubi secara biadab. Darah mengucur
mengerikan dari belasan luka menganga.
Saya lihat Ayah Angku Mudo
roboh ke tanah dengan keris masih menancap di dada Datuk Bandaro Sati….
Sementara itu Datuk Gampo Alam dan Hantu Mata Picak sudah melarikan diri.”
“Jahanam! Manusia-manusia biadab
itu akan kuhabisi! Tak ada ampunan bagi mereka! Aku bersedia masuk neraka atas
dosa membunuh keduanya!” Suara Andana bergetar keras. Tubuhnya seperti
menggigil dan wajahnya yang tampan tampak mengelam.
Sati untuk beberapa lamanya
hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala.
“Setelah itu saya melihat satu
kejadian aneh Angku Mudo,” katanya kemudian.
“Kejadian aneh? Kejadian aneh
macam mana maksudmu?” tanya Andana.
“Dari dasar Ngarai Sianok
tiba-tiba saya melihat berkelebat satu sosok berpakaian putih ke arah tubuh
Datuk Bandaro Sati yang tergeletak di tanah. Tak dapat saya pastikan siapa
adanya sosok tubuh ini. Entah malaikan entah setan.
Mahluk ini membelakangi saya.
Sesaat kemudia dia memandangi tubuh Ayah Angku Mudo. Lalu saya lihat dia
membungkuk, mencabut keris yang menancap di dada Ayah Angku Mudo. Juga memungut
sarung keris yang tercampak di tanah. Setelah itu seperti terbang dia melesat
ke langit. Ke arah matahari. Saya berusaha mengikuti gerakannya. Tapi sinar
matahari menyilaukan mata saya. Orang itu lenyap entah kemana. Saya sendiri
sudah tidak dapat lagi menahan takut lalu lari dari tempat itu….”
Kedua rahang Andana tampak
menggembung. Terbayang kembali di matanya kejadian sewaktu ayahnya muncul di
atas batu besar di tempat kediaman Datuk Alis Merah.
“Sati, ada satu hal yang ingin
saya tanyakan,” kata Andana setelah berdiam diri beberapa ketika. “Soal rumah
gadang. Saya mendapat keterangan bahwa Mamak saya akan menjual rumah itu pada
Tumenggung Rajo Langit….”
“Saya tahu hal itu. Semua
orang di Pagaralam ini tahu.”
“Menurut Rukiah, istri termuda
Datuk Gampo Alam, rumah itu kabarnya akan dijual pada seseorang dari Jawa. Kau
tahu juga hal itu Sati?” Sati mengangguk.
“Saya tidak mengerti. Mengapa
Mamak saya tidak langsung saja menjualnya pada orang Jawa itu.”
“Karena Paman Angku Mudo itu
tidak tahu tahasia yang ada di balik semua itu,” kata Sati pula.
“Rahasia? Rahasia apa maksudmu
Sati?” tanya Andana heran.
“Saya mendengar kabar angin.
Betul tidaknya walahualam. Kabar itu mengatakan bahwa tepat di bawah rumah
gadang, terkubur dalam tanah, terdapat sejumlah harta karun berupa
potongan-potongan emas….”
“Sulit saya mempercayainya!”
ujar Andana.
“Orang dari Jawa itu kabarnya
memiliki sebuah peta mengenai letak kuburan harta karun itu. Dalam peta
ternyata letaknya tepat pada titik dimana rumah gadang berdiri.”
Andana hampir tertawa
mendengar keterangan itu. “Dari mana pula asal muasalnya harta karun berupa
emas itu Sati?”
“Kabarnya, beberapa puluh
tahun yang silam ada keluarga Istana di tanah Jawa yang melarikan diri dari
pengejaran kaum pemberontak. Mereka datang ke pulau ini, tersesat di Pagaralam
dengan membawa berbagai harta kekayaan yang bisa mereka bawa. Diantaranya
potonga-potongan emas itu yang kemudian mereka kubur.
Orang-orang dari tanah Jawa
itu kemudain lenyap satu persatu secara aneh. Ketika rumah gadang milik Ayah
Angku Mudo didirikan, rumah itu dibangun tepat di atas kubur harta karun.”
Andana ternganga dan
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sulit saya percaya Sati.
Benar-benar tidak masuk akal….”
“Dunia jaman sekarang ini
Angku Mudo, banyak yang tidak masuk akal. Tapi justru itulah kenyataan…..”
jawab Sati pula.
Tumenggung Rajo Langit
bersiap-siap hendak berpamitan ketika tiba-tiba dari arah halaman terdengar
suara gaduh. Menyusul pekik perempuan. Lalu ada seseorang berlari menaiki
tangga leksana terbang. Orang ini adalah pengawal sang Tumenggung yang
sebelumnya disuruh menunggu di bawah tanga rumah gadang. Mukanya pucat dan
dadanya turun naik.
“Astaga! Ada apa pengawal?!”
tanya Tumenggung pula sambil berdiri, diikuti oleh Datuk Gampo Alam. Sang Datuk
langsung melompat ke arah tangga lalu tergesa-gesa menuruninya. Pekik perempuan
tadi dikenalinya sebagai suara salah seorang istrinya. Begitu dia sampai di
bawah tangga dilihatnya Zainab, istri tuanya tegak gemetaran dengan muka
seputih kafan. Di halaman, tepat di bawah tangga kelihatan tertelungkup sesosok
tubuh yang bentuk dan keadaannya sangat mengerikan.
Pakaian hitam yang sebelumnya
melekat di tubuhnya kini tak berbentuk pakaian lagi.
Robek dan hangus. Lalu kulit
dan daging tubuhnya tampak merah mengerikan serta membersitkan bau daging yang
terpanggang. Mukanya tidak beda dengan muka setan.
Rudak mengerikan. Salah satu
matanya mencelet ke luar dan mengucurkan darah.
Hidungnya hampir gerumpung!
“Astaghfirullah!” mengucap
Datuk Gampo Alam. “Kau Daud? Benar kau Daud?!”
Saat itu Tumenggung Rajo
Langit sudah berada pula di tempat itu, memandang penuh ngeri pada sosok tubuh
orang yang penuh luka bakar.
Orang yang disebut dengan nama
Daud alias hantu Mata Picak berusaha bangkit hendak merangkang. Tapi begitu
tegak seperti binatang kaki empat langsung ambruk ke tanah.
“Demi Tuhan! Katakan apa yang
terjadi denganmu Daud?!” tanya Datuk Gampo Alam setengah berteriak. Lehernya disentak-sentakkan
sampai tiga kali.
“Sa….saya ti….tidak
berhasil…..” ucapan itu terpotong oleh suara seperti tercekik. Orang yang
berkelukuran luka bakar itu tak bergerak lagi.
“Daud!” teriak Datuk Gampo
Alam.
“Saya yakin dia sudah mati
Datuk,” kata Tumenggung Rajo Langit. Dia menarik nafas panjang. “Buruk sekali
pengalaman saya hari ini. Lebih baik saya minta diri saja.” Lalu sang
Tumenggung memberi isyarat pada pengawalnya.
Keduanya segera meninggalkan
halaman rumah gadang.
SEBELAS
Kita kembali ke halaman surau
di mana Wiro dan nenek bernama Anduang Mata Api saling berhadap-hadapan.
Perginya Andana dari tempat
itu membuat si nenek bernama Anduang Mata Api menjadi marah luar biasa.
Sepasang matanya yang merah menyala seperti bara api. Kini seluruh kemarahannya
ditumpahkan pada Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Kau membuat dia lolos dari
tanganku! Sekarang kau yang bertanggung jawab! Aku minta nyawamu! Dengar?!”
Wiro tersenyum sinis. “Nyawaku
Cuma satu! Buat apa nyawaku untukmu?
Lagi pula kalau kau minta
nyawaku, pasti aku akan mati! Kalau aku mati di tempat ini pasti kau tidak mau
menguburku. Lalu karena jenazahku tidak terurus, rohku akan gentayangan jadi
setan. Kalau sudah begitu kau yang akan kucari pertama sekali!”
Habis berkata begitu Wiro
tertawa gelak-gelak.
“Anak kanciang! Jangan kau
berani bergurau padaku!” bentak Anduang Mata Api marah sekali.
“Siapa suka bergurau dengan
perempuan tua bangka bermuka seperti binyawak kali!” jawab Wiro. “Kau lihat
sendiri apa yang terjadi dengan semua anak buahmu. Apa kau mau menyusul
mereka?!”
“Mandeang! Kau keliwat
menghina! Sombong! Kau bakal tahu rasa dan tahu siapa diriku!” bentak Anduang
Mata Api. Kedua matanya menatap garang ke arah Wiro. Lalu kepalanya
digoyangkan. Dua larik sinar merah menderu ke arah Wiro.
Yang satu ke jurusan kepala,
satunya lagi mengarah dada. Murid Eyang Sinto Gendeng sudah menyaksikan
kehebatan kesaktian si nenek.Karenanya segera saja dia balas menghantam dengan
pukulan Sinar Matahari di tangan kanan den pukulan Benteng Topan Melanda
Samudera di tangan kiri.
Dentuman keras untuk kesekian
kalinya melanda tempat itu. Daun-daun pepohonan luruh kering, banyak yang
terbakar. Begitu juga ranting-rantingnya. Atap surau seperti terbongkar. Salah
satu dindingnya jebol dan hangus. Pendekar 212 Wiro Sableng tersurut sampai
empat langkah. Sedang si nenek hampir terjengkang kalau tidak lekas membuat
lompatan. Namun waktu dia berdiri kembali tubuhnya tampak terhuyung. Saat
itulah pukulan Benteng Topan Melanda Samudera menerpanya. Tak ampu lagi perempuan
tua ini terpental sampai dua tombak. Tubuhnya menyangsrang di serumpunan semak
belukar. Dari mulutnya kelihatan darah mengucur. Walau dia jelas-jelas
menderita luka di dalam namun tidak kelihatan bayangan rasa sakit di wajahnya.
Malah dia tampak bertambah garang.
Perlahan-lahan dia membebaskan
dirinya dari semak belukar. Sepasang matanya yang merah memandang tak
berkesiap.
“Cukup aku melayani orang gila
seperti kau! Saatnya kau harus mendekam di penjara kembali. Kau harus bersyukur
aku tidak membunuhmu, tapi menyerahkanmu hidup-hidup pada penguasa negeri di
Batusangkar!”
Ucapan si nenek itu ditanggapi
dengan seringai oleh Wiro bahkan sambil garuk-garuk kepala. Namun seringainya
mendadak lenyap dan tangannya yang menggaruk kepala cepat diturunkan. Di tangan
si nenek kelihatan sebuah gulungan benda berwarna putih halus.
Eh, aku seperti pernah melihat
benda ini, pikir Wiro.
Di hadapannya tiba-tiba si
nenek berseru. “Lihat benang!”
Benda yang dipegangnya di
tangan kanan melesat ke depan. Ternyata segulungan benang yang dengan cepat
melesat dan sebelum murid Eyang Sinto Gendeng bisa berbuat apa-apa, benang
putih halus itu telah melibat sekujur tubuhnya mulai dari dada sampai ke
pergelangan kaki! Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga untuk memutus atau lolos
dari gulungan benang itu tetap saja sia-sia.
“Benang Kayangan!” seru Wiro
ketika dia tiba-tiba ingat dan mengenali benda yang menggulung sekujur
tubuhnya, membuatnya tak berdaya. Kalau ini benar Benang Kayangan
jangan-jangan…..
“Nenek muka binyawak! Apa
hubunganmu dengan Tua Gila!” Wiro ajukan pertanyaan.
Eh, bagaimana anak celaka ini
kenal dengan si tua bangka itu? Membatin Anduang Mata Api. Lalu dia berkata.
“Dengar anak muda. Kau cukup berharga untuk membuatku bersenang-senang. Sebelum
aku serahkan kau pada penguasa negeri di Batusangkar, apa salahnya aku
menikmati kehebatan dirimu. Kulihat tubuhmu tegap, ototmu kukuh. Kau tentu
dapat menyenangkan diriku. Hik….hik….hik!
“Tua bangka sinting! Apa yang
hendak kau lakukan padaku?!” bentak Wiro.
“Apa yang ada dalam otakmu?!”
Si nenek semakin keras
tawanya. “Lihat saja nanti. Lihat saja nanti….!”
katanya. “Jika kau memang
hebat, mungkin kau akan kubiarkan hidup. Mungkin juga tidak akan kuserahkan
pada penguasa di Batusangkar. Hik…hik…hik. mudahmudahan rejekiku benar-benar
besar kali ini. Hilang harimau singa gantinya!
Hik…hik…hik! aku senang engkau
nikmat!” Si nenek mengumbar tawa panjang.
Kedua matanya merah
berkilat-kilat. Kilatan itu terasa aneh di mata Wiro. Bukan kilatan karena
marah tapi oleh sesuatu yang lain. Rangsangan nafsu!
Setelah tertawa panjang dan
puas Anduang MataApi memanggul tubuh Pendekar 212 di bahu kirinya. Lalu dengan
cepat dia berkelebat meninggalkan tempat itu.
Udara malam terasa semakin
dingin walau saat itu tubuh Wiro hampir kuyup oleh keringat. Apa yang hendak
dilakukan manusia ini. Dia punya satu maksud kotor.
Dia tidak akan segera
membunuhku tapi….
Si nenek berlari kencang
sekali. Dalam waktu singkat dia sudah berada di tepi sebuah hutan kecil. Di
satu tempat dia membelok ke kiri. Walau dalam hutan sangat gelap namun
perempuan tua itu mampu berlari cepat seolah matanya bisa melihat dalam gelap.
Tak lama memasuki hutan si nenek berhenti. Wiro merasakan tubuhnya diturunkan.
Memandang berkeliling ternyata dia dibaringkan di lantai papan sebuah gubuk
tanpa dinding.
“Kita sudah sampai anak muda!”
berkata Anduang Mata Api. “Saatnya kau menunjukkan kejantananmu!” Si nenek
susupkan tangannya kian kemari di sela-sela benang yang menggulung dan mengikat
sekujur tubuh Wiro. Nafasnya memburu.
Warna merah pada kedua matanya
semakin berkilat.
“Hai! Tua bangka gila!
Apa-apaan ini?!” teriak Wiro ketika dilihatnya si nenek membuka celananya lalu
menariknya sampai ke lutut. “Kurang ajar! Tua bangka mesum!”
Anduang Mata Api tertawa
perlahan. “Memakilah terus! Berteriaklah! Makian dan teriakanmu membuat aku
tambah terangsang!” kata perempuan tua itu.
“Aku bersumpah akan membunuhmu
kalau kau berani berlaku keji!”
“Ssssstttt….soal mati biar
kita atur kemudian. Yang penting sekarang kita bersenang-senang dulu….” kata si
nenek pula. Lalu dengan cepat ditanggalkannya semua pakaian yang melekat di
badannya. Pendekar 212 kini seolah-olah benar-benar melihat seekor binyawak
hitam tegak di depannya. Dia berteriak dan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya
tapi sia-sia saja. Ikatan Benang Kayangan tak mampu diputusnya, dibuat
kendurpun tidak bisa.
“Anak muda….” si nenek duduk
di atas paha Wiro. “Aku tahu kau tidak akan bernafsu. Tidak akan terangsang
melihat wajahku yang buruk dan tubuhku yang kurus peot. Jangan kawatir anak
muda. Aku akan membuatmu bernafsu dan terangsang!
Lihat saja….!” Anduang Mata
Api terdengar seperti merapal sesuatu. Lalu kedua telapk tangannya disapukan ke
wajah serta sekujur badannya sampai ke kaki.
Astaga! Bagaimana mungkin dia
bisa berubah seperti ini?! Ujar Wiro sewaktu dilihatnya muka buruk si nenek
telah berubah menjadi wajah seorang perempuan muda yang cantik. Lalu tubuh yang
tadi kurus kering dan hitam bugil itu kini berganti dengan sebentuk tubuh
bagus, putih berisi. Dua buah payudara besar dan kencang terpentang di depan
mata Pendekar 212.
“Kekasihku, bagaimana
sekarang…..?” tanya si nenek yang telah berubah menjadi seorang perempuan muda
cantik jelita, bertubuh bagus mulus dan dalam keadaan bugil! Kedua tangannya
merayap ke bawah perut Pendekar 212.
“Hik….hik…hik apa kataku. Kau
mulai terangsang! Bagus!” Anduang Mata Api menggeser duduknya ke atas.
“Kurang ajar, kurang ajar
kau!”
“Sudahlah, jangan pura-pura
memaki. Jangan pura-pura tidak suka. Buktinya kulihat kau sudah siap….!”
Wiro tak berdaya menolak.
Bagaimanapun dia harus mengakui bahwa dalam keadaan sepreti itu dirinya telah
dibuat terangsang oelh nenek-nenek yang kini berubah menjadi perempuan muda
cantik itu. Nafas Anduang Mata Api semakin keras laksana orang mengorok. Tubuh
bagus itu bergoyang-goyang di atas tubuh Wiro.
“Seharusnya aku lepaskan kedua
tanganmu.” Berkata Anduang Mata Api.
“Agar kau bisa memelukku,
meraba sekujur tubuhku. Tapi aku kawatir kalau kulepaskan kau akan memukulku
dan melarikan diri….”
Pendekar 212 pejamkan kedua
matanya.
Anduang Mata Api tertawa. “Ah,
kau memejamkan mata. Berarti kau juga merasa enak. Nikmat….Kau suka ini. Kau
suka!”
Tiba-tiba suara tawa Anduang
Mata Api ada yang menimpali. Suara tawa lakilaki!
“Dajal perempuan!
Berpuas-puaslah sekenyangmu. Aku bisa menunggu. Kali ini kau tak bakal bisa
kabur lagi!”
Kagetnya Anduang Mata Api
bukan alang kepalang. Keadaan ini membuat keampuhan ilmunya merubah diri
menjadi rontok. Saat itu juga sekujur tubuhnya berubah kembali menjadi satu
sosok kurus kering menjijikkan. Sedang mukanya kembali pada ujud aslinya yakni
seperti muka binyawak! Wiro kerenyitkan kening bergidik dan berteriak melihat
keadaan orang yang duduk di atas perutnya itu.
“Tua bangka jahanam! Berani
kau membuntuti aku sampai ke sini!” bentak Anduang Mata Api. Tanpa berusaha
mengambil pakaiannya untuk menutupi auratnya perempuan tua ini melompat. Sambil
membentak dia putar kepalanya ke arah datangnya suara tadi. Sekali dia
menggoyangkan kepalanya dua larik sinar merah menderu dahsyat.
“Ilmu Sepasang Mata Api apa
hebatnya!” terdengar suara berseru disertai berkelebatnya satu bayangan putih.
Dua larik sinar merah api
menghantam sebuah pohon besar. Tak ampun lagi pohon itu hancur berlobang lalu
tumbang dengan suara menggemuruh.
“Apa kataku!” orang tadi
kembali berseru. Wiro masih belum dapat melihat wajahnya dan sosok tubuhnya
karena baik si nenek maupun orang yang bicara berada di belakang kepalanya
sementara dia tetap tak berdaya terlentang di tanah dalam keadaan terikat dan
celananya merosot sampai ke bawah!. “Ilmumu tidak berguna.
Buktinya tidak mau menyentuh
diriku! Ha….ha….ha….!”
“Manusia sombong! Lihat
serangan!” teriak Anduang Mata Api merah sekali.kepalanya digoyangnya berulang
kali. Larikan sinar merah melesat bertubi-tubi seolah tidak putus-putusnya.
Orang yang diserang mengelak dengan berkelebat cepat kian kemari. Si nenek
berputar-putar tanda dia mengikuti ke arah mana lawannya berada. Saat itu
akhirnya Wiro dapat melihat siapa adanya orang itu.
Astaga! Dia rupanya!
DUA BELAS
Pendekar 212 Wiro Sableng kini
dapat melihat siapa adanya orang yang berkelahi melawan si nenek bermuka
binyawak yang saat itu berada dalam keadaan bugil. Dia bukan lain adalah kakek
aneh yang dulu pernah menghadang perjalannya dengan Andana. Dan kakek ini pula
yang pernah ditelanjangi dicurinya celananya.
Serangn api yang menyembur
keluar dari sepasang mata Anduang Mata Api dielakkan oleh si kakek dengan
gerakan-gerakan aneh. Kedua kakinya terkadang tampak melompat, sesekali seperti
menendang ke kiri dan ke kanan. Di lain saat kedua kakinya itu seperti menari
lalu berjingkrak-jingkrak. Tubuhnya gerabakgerubuk, terhuyung-huyung kian
kemari seperti orang mabok sementara kedua tangannya digerakkan demikian rupa
seolah-olah orang yang berusaha bertahan agar tidak jatuh.
Ya Tuhan! Aku tidak buta!
Gerakan orang tua itu adalah jurus-jurus ilmu silat Orang Gila. Hanya kakek
sakti Tua Gila yang memilikinya dan pernah mengajarkannya padaku. Tapi dia
jelas bukan Tua Gila!
Wiro seperti mendapat
semangat. Dia percaya orang tua itu akan menolongnya.
Sementara pertolongan belum
datang dia berusaha melepaskan diri dari lilitan Benang Kayangan. Tapi tetap
tidak berhasil.
Sambil menghadapi serangan
maut si nenek , sesekali si kakek berpaling pada Wiro yang tergeletak di tanah
dalam keadaan terikat dan juga setengah talanjang karena celananya masih
seperti tadi yaitu merosot sampai ke paha! Setiap kali dia berpaling pada Wiro,
setiap kali pula dia menyeringai lali mencibir.
Ah, jangan-jangan dia masih
mendendam padaku atas kejadian tempo hari.
Kutelanjangi dirinya lalu
pernah pula kurampas kudanya!
“Anak muda, kau tenang-tenang
saja di situ. Giliranmu untuk menerima hukuman bakal datang!” si kakek berseru
lalu kembali menghadapi lawannya.
Gerakannya yang gerabak
gerubuk kini sambil melepaskan pukulan tangan kosong jarak jauh membuat si
nenek tampak bergoyang-goyang tanda sang kakek memiliki tenaga dalam luar
biasa.
“Betina mesum, saatnya kau
mengembalikan barang yang kau curi dariku! Di mana barang itu kau
sembunyikan?!” si kakek berseru.
Anduang Mata Api menyeringai.
“Kau mau barangmu, cari sendiri!”
“Ah! Kau memang kurang ajar!”
si kakek berpaling sebentar pada Wiro, mencibir lalu kembali dia menghadapi si
nenek. “aku terpaksa tak akan memberi ampun padamu! Kau bukan cuma pembunuh
keji tapi juga pencuri tengik!”
“Ah, aku juga memberikan
kenikmatan pada setiap lelaki….. hik….hik….hik. pemuda itu barusan merasakannya!
Hik…..hik….hik!”
“Tua bangka sialan!” teriak
Wiro.
“Anak muda! Kau bisa jadi
kekasihku! Jadi tutup mulut dan tunggu sampai nanti kita bersenang-senang lagi.
Biar kubereskan dulu kurcaci rongsokan ini!” kata Anduang Mata Api pula. Dia
lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Serangannya kini bukan saja
api yang keluar dari kedua matanya, tetapi juga pukulanpukulan tangan kosong
yang tak kalah hebatnya dengan yang dilancarkan lawannya,.
Walaupun demikian si nenek
tetap saja tidak mampu menyentuh atau membuat cidera si kakek. Malah ketika
lawannya membuat gerakan-gerakan cepat dan berputar-putar, dia seperti kena
sirap ikut pula berputar-putar. Si kakek keluarkan suara tertawa panjang.
Tubuhnya tiba-tiba melesat ke udara. Lawan berusaha menghantam tapi luput.
Kedua kaki si kakek dengan kecepatan luar biasa, dua kaki itu menendang ke arah
pipi si nenek dengan keras.
Raungan setinggi langit
melesat keluar dari mulut perempuan tua itu.
Tubuhnya terhuyung-huyung lalu
jatuh berlutut. Daun telinganya hancur dan darah mengucur dari kedua liangnya.
Rahangnya rengkah kiri kanan, tulang pelipisnya remuk! Dia megap-megap beberapa
kali lalu tersungkur dan menggeletak di tanah tak berkutik lagi!
“Kek…. Hai!” Wiro memanggil.
Tapi yang dipanggil seperti tidak mendengar.
Kedua mata kakek itu
memperhatikan ujung benang yang mengikat tubuh Pendekar 212. Benang ini lenyap
di balik seonggok pakaian, yaitu pakaian milik Anduang Mata Api.
Dengan ujung kakinya si kakek
mengungkit dan melemparkan pakaian itu. Di tanah, sebelumnya tertutup oleh
pakaian kelihatan sebuah benda. Inilah yang dicarinya. Dengan cepat si kakek
mengambilnya. Lalu dia berpaling ke arah Wiro.
“Kek, tolong lepaskan libatan
benang ini!” kata Wiro.
Si kakek mendengus. Tiba-tiba
dia gerakkan tangannya menyentakkan benang yang menjulai di tanah. Dua kali
sentak tubuh Pendekar 212 terbetot keras. Lalu tubuh itu berputar laksana
gasing. Benang putih yang menggulung di tubuh Wiro terbuka lepas. Begitu lepas
tak ampun lagi Wiro berdebam ke tanah. Hidungnya menyentuh tanah lebih dulu.
Murid Eyang Sinto Gendeng menjerit keras. Hidungnya serasa remuk. Darah
mengucur.
Dalam keadaan sakit dan
mengomel Wiro masih bisa ingat diri. Cepat-cepat dia berdiri sambil menarik
celananya.
Lalu dia mendekati orang tua
itu. “Kek, walau kau menyakitiku aku berterima kasih. Kau telah menolongku
membebaskan ikatan benang keparat itu….”
“Benang keparat katamu?
Sialan! Enak saja kau bicara! Lagi pula siapa yang menolongmu! Aku hanya
mengambil benang milikku! Perempuan jahat itu mencurinya dariku beberapa waktu
yang lalu….”
“Hemmmmm……” Wiro
garuk-garukkan kepalanya. “Kek, kau bilang benang itu milikmu? Mana mungkin?!”
“Apa yang mana mungkin?!”
hardik si kakek.
“Aku tahu betul, benang itu
adalah Benang Kayangan. Cuma ada satu pemiliknya. Seorang kakek sakti
menyandang dua julukan yaitu Pendekar Gila Patah Hati dan Iblis Gila Pencabut
Jiwa. Namun dia lebih dikenal dengan sebutan Tua Gila!”
“Kau bisa bicara begitu tentu
kau kenal padanya!”
“Aku…..aku adalah….” Wiro tak
meneruskan kata-katanya.
Si kakek menyeringai. “Kau
bicara terlalu banyak. Aku tahu itu hanya untuk mengalihkan perhatianku! Kau
kira aku sudah lupa perbuatan kurang ajarmu tempo hari?! Kau telanjangi diriku.
Kau curi celanaku. Lalu kau juga merampas kudaku!
Malam ini setelah kau
bersenang-senang dengan betina busuk itu, tiba saatnya kau menerima hukuman
dariku! Aku akan mematahkan lima jari tangan kananmu karena mencuri celana dan
menelanjangi diriku. Lalu aku akan mencopot satu kakimu karena telah merampas
kudaku….”
“Kek,dengar! Aku akan ganti
celana dan kudamu itu!” si kakek menyeringai.
“Celana dan kuda itu tidak
seberapa nilainya. Tapi sakit hatiku atas kekurang ajaranmu tak bisa impas
dengan apapun!”
Habis berkata begitu si orang
tua melompat ke arah Pendekar 212. Tangan kanannya membuat gerakan mencengkeram
ke arah jari-jari tangan kanan Wiro sedang kaki kirinya menndang ke pangkal
paha!
Tentu saja murid Sinto Gendeng
tidak mau menjadi bulan-bulanan serangan.
Secepat kilat dia mengelak.
Diluar sadar tak sengaja dia mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat Orang Gila.
Sekali bergerak dia berhasil mengelakkan dua serangan itu.
“Eh! Anak setan! Kau memainkan
ilmu silat apa?! Siapa yang mengajarkan gerakan itu padamu?!” bertanya si
kakek.
“Aku akan katakan. Jawabannya
ada di telapak tangan kananku,” jawab Wiro.
Si orang tua mengernyit lalu
mendekat. “Coba kulihat telapak tanganmu itu!”
Wiro ulurkan tangan kanannya.
Si kakek tundukkan kepala. Tiba-tiba tangan Wiro bergerak laksana kilat ke arah
wajah si orang tua. Sebelum kakek ini sempat menjauhkan kepalanya, Wiro telah
berhasil menarik lepas topeng tipis yang dikenakan orang tua itu. Kini
kelihatanlah wajahnya yang asli. Mukanya pucat. Pipi dan mata cekung besar,
memelihara kumis serta janggut putih. Kepalanya nyaris botak karena rambutnya
sangat jarang. Begitu mengenali wajah orang itu pucatlah paras Pendekar 212.
buru-buru dia jatuhkan diri, berlutut di tanah seraya berseru.
“Kek! Maafkan muridmu ini! Aku
terlanjur berlaku kurang ajar padamu karena tidak tahu kau adalah guru sendiri!
Sekarang aku siap menerima hukuman!”
Orang tua di hadapan Wiro
menatap tak berkesip. Wajahnya semakin pucat.
Wiro menjadi tegang.
“Kek….”
Orang bermuka pucat itu yang
bukan lain adalah Tua Gila si kakek sakti paling ditakuti di Pulau Andalas
sedikit demi sedikit menyunggingkan senyum.
“Anak setan! Kelakuanmu
seharusnya memang tidak bisa diampuni. Kalau saja kau bukan muridku…. Hemmm,
mau kuapakan kau ini!” tangan kiri Tua Gila hinggap di telinga Pendekar 212
lalu diputar-putarnya ke depan dan ke belakang sambil tertawa mengekeh. Walau
sakitnya jeweran itu setengah mati Wiro tak berani bersuara. Si kakek menarik
tangannya ke atas hingga Wiro terangkat dan berdiri.
“Ada apa kau jauh-jauh datang
kemari?!” bertanya Tua Gila.
“Saya kangen padamu kek. Ingin
menyambangimu. Sekalian membawa pesan dan salam Eyang Sinto Gendeng di Gunung
Gede….”
“Hemmm… apakah gurumu di nenek
bawel itu ada baik-baik saja!”
“Beliau ada baik-baik dan
sehat-sehat.”
“Perjalananmu sekali ini
agaknya menemui banyak hal yang tidak menyenangkan, kecuali tadi waktu kau
diajak bersuka-suka oleh si nenek itu…..” Si kakek lalu terkekeh.
Paras Pendekar 212 jadi merah.
Sambil menggaruk-garuk kepala dia berkata.
“Tak sengaja saya terlibat
dalam satu persoalan yang menimpa sahabat saya bernama Andana. Dia keponakan
Datuk Gampo Alam…. Yang punya hubungan dekat dengan Tumenggung Rajo Langit di
Batusangkar.”
“Tumenggung Rajo Langit punya
kekausaan tapi tak punya ilmu kepandaian berarti. Tak usah takut padanya. Yang
harus diperhitungkan justru Datuk Gampo Alam. Dia punya beberapa ilmu
kesaktian. Dia memiliki ilmu kepandaian yang disebut ilmu Belut Putih. Lalu
ilmu Raja Sebumi. Ilmu ini membuat dia tidak bisa mati selama tubuhnya masih
menginjak bumi. Di samping itu dia juga masih punya satu ilmu yang hebat. Dalam
keadaan terdesak dia sanggup masuk ke perut bumi….
Beri tahu hal itu pada
sahabatmu Andana….”
Wiro mengangguk. “Terima kasih
atas petunjukmu Kek…. Apakah kau mau memaafkan perlakuan saya tempo hari?” Wiro
bertanya karena merasa masih ada ganjalan.
“Sudahlah! Malam begini larut.
Tubuh rongsokan ini tak sanggup lama-lama berada di luaran. Kalau urusanmu
sudah selesai datang ke tempatku….”
“Saya pasti datang Kek….”
Tua Gila memasukkan gulungan
Benang Kayangannya ke balik pakaian. Dia hendak melangkah pergi. Tapi tiba-tiba
berbalik kembali sambil tersenyum.
“Bagaimana pendapatmu tentang
janda Datuk Gampo Alam itu….?”
Paras Pendekar 212 untuk
kesekian kalinya menjadi merah. Sambil garukgaruk kepala dia berkata.
“Saya….saya baru satu kali menemuinya Kek….”
Tua Gila mengekeh. “Baru satu
kali menemuinya atau baru sekali menidurinya……?!”
Wiro menahan nafas. “Anak
setan hati-hati kalau berbuat. Sampai anak orang kau hamili, kau tak bakal
kembali ke tanah Jawa…….”
Tua Gila tertawa lagi lalu
berkelebat pergi. Murid Eyang Sinto Gendeng kembali hanya bisa garuk-garuk
kepala. “Untung orang tua itu tidak marah. Kalau tidak pasti habis aku
dikerjainya!”
TIGA BELAS
Malam itu Datuk Gampo Alam
hampir tak bisa memicingkan mata. Kematian Daud alias Hantu Mata Picak yang
diandalkannya benar-benar mengenaskan dan merusak semua rencananya. Agaknya
kini dia memang harus turun tangan sendiri, tak mungkin meminjam tangan orang
lain. Ditambah dengan ucapan Tumenggung Rajo Langit bahwa dia ingin mengambil
Bunga jadi istrinya membuat sang Datuk jadi tambah gelisah, mengkal, benci dan
marah.
Kalau selesai pembayaran
penjualan rumah gadang akan kuhabisi tua bangka keparat itu! Lalu sang Datuk
teringat pada Sati. Manusia itu tak bisa dibiarkan hidup lebih lama. Tentu dia
akan berceloteh menebar cerita yang bukanbukan!
Mungkin dia mendendam padaku
gara-gara dihajar para pembantuku sampai babak belur di Batusangkar tempo hari.
Setan!
Hanya ada satu hal yang
membuat sang datuk agak terhibur. Yaitu besok pagi dia akan mendengar kabar
dari Mamak Rabiah mengenai lamarannya untuk memperistrikan Bunga. Dia
tersenyum-senyum seniri di atas tempat tidur.
Tak ada yang pernah menolak
lamaran Datuk Gampo Alam. Semua gadis di Pagaralam ini ingin kuperistrikan!
Termasuk Bunga tentunya.
Menjelang pagi akhirnya Datuk
Gampo Alam tertidur juga walau Cuma sebentar. Paginya dia sudah duduk di ruang
tengah rumah gadang. Tak lama kemudian perempuan itu tampak di ujung halaman,
melangkah menuju rumah gadang, menaiki tangga dan samapi di atasnya.
“Rabiah, kau benar-benar
memenuhi janji. Duduklah. Aku ingin sekali cepatcepat mendengar kabar baik
darimu….”
Saat itu Rabiah merasakan
tubuhnya lemah dan gontai. Kalau saja dia tidak menguatkan hati mungkin watu
menaiki tangga tadi dia sudah terguling ke bawah.
“Kau ingin minum apa Rabiah?
Teh manis? Kopi hangat?”
“Terima kasih Datuk. Saya baru
saja minum,” jawab Mamak Rabiah.
“Hemmm…. kalau begitu kita
segera bisa bicara. Kau membawa kabar baik pasti. Bunga bersedia menjadi
istriku bukan?”
Sesaat Rabiah tertunduk tak
bisa membuka mulut.
“Eh, Rabiah. Ada sesuatu yang
perlu kukatakan padamu. Kau maupun Bunga tidak perlu merasa takut akan
melanggar adat atau agama. Rukiah telah kuceraikan.
Jadi kalau Bunga menjadi
istriku, jumlah istriku tetap empat. Tidak lima seperti yang mungkin kalian
takutkan. Ha …..ha…..ha…..!”
“Datuk, sebenarnya saya….”
“Apakah kau sudah mereka-reka
hari dan tanggal serta bulan baik perkawinan anakmu dengan aku Datuk Gampo
Alam, bengsawan terpandang di Pagaralam ini?”
“Datuk, sebenarnya…..
Sebenarnya saya ini bukan Ibu kandung Bunga,” ucapan itu keluar dari mulut
Mamak Rabiah.
“Ah, kau ini hendak bergurau
atau bagaimana. Semua orang di Pagaralam ini tahu kalau kau adalah ibunya
Bunga. Ibu kandung. Aneh kalau sekarang kau tidak mengakuinya.”
“Saya tidak berdusta Datuk.
Saya memang bukan Ibunya. Saya tidak pernah melahirkannya.”
Datuk Gampo Alam menatap wajah
perempuan itu beberapa saat. “Sudahlah Rabiah. Apakah kau Ibunya atau bukan
tidak penting bagiku. Yang penting Bunga sudah setuju kujadikan istri. Begitu?”
“Tidak Datuk. Maafkan saya.
Saya sudah menyampaikan maksud Datuk pada gadis itu. Tapi maaf sekali lagi.
Bunga menolak karena dia merasa belum cukup umur…..”
“Belum cukup umur? Alasan
buta!” belalak Datuk Gampo Alam sambil menyentakkan lehernya dua kali. Coba kau
katakan berapa umur anak itu sekarang?”
“Belum lagi dua puluh…..”
“Belum lagi dua puluh. Anak
orang lain umur sembilan belas sudah jadi janda! Rabiah, apa aku harus menunggu
sampai gadis itu jadi seorang nenek?!” Datuk Gampo Alam sentakkan lehernya.
Mamak Rabiah tidak bisa
menjawab. Kepalanya tertunduk namun dadanya seperti menggemuruh.
“Dengar Rabiah. Penghulu sudah
kuhubungi. Pasumandan pengiring pengantin sudah disiapkan. Juru masak dan juru
rias sudah diberi tahu. Kau dan Bunga tinggal tahu beres saja! Apa lagi? Apa
tidak senang menjadi istri Datuk Gampo Alam?!”
Perlahan-lahan Rabiah
mengangkat kepalanya. Kedua matanya tampak basah.
Air mata bercucuran di kedua
pipinya.
“Gila! Apa pula ini Rabiah?!
Mengapa kau menangis?!” Datuk Gampo Alam terheran-heran tapi juga mulai
jengkel.
“Datuk…. Ingin saya
menyampaikan satu rahasia yang selama ini mungkin tidak Datuk ketahui.
Sebenarnya Bunga itu adalah…..”
Ucapan Mamak Rabiah terputus
ketika di tengah halaman rumah gadang terdengar suara orang berteriak.
“Datuk Gampo Alam! Turunlah ke
halaman! Aku ingin bicara denganmu!”
Eh, itu suara si Andana, ada
apa dia berteriak seperti itu. Kurang ajar! Setan!
Datuk Gampo Alam menyentakkan
lehernya lalu berdiri dan melangkah cepat ke jendela. Dari jendela dia melihat
Andana duduk di atas seekor kuda. Mukanya tampak sangar. Di sebelahnya juga
duduk di atas kuda adalah pemuda Jawa bernama Wiro Sableng itu. Sesuatu telah terjadi.
Jangan-jangan Sati sudah membuka mulut! Rahang Datuk Gampo Alam menggembung.
Dadanya berdebar keras. Namun dia cepat menguasai diri.
“Kemenakanku Andana, mengapa
tidak naik ke atas rumah gadang kalau ingin bicara denganku?”
“Aku ingin kau datang kemari.
Kita bicara di halaman sini!” jawab Andana.
Kurang ajar. Berani dia bicara
beraku-aku denganku!
Datuk Gampo Alam tidak dapat
menahan amarahnya. Dia melompat menuruni tangga. Begitu sampai di hadapan
Andana dia membentak.
“Apapun yang ada di benakmu
aku tidak suka melihat kau bicara kurang ajar padaku! Turun dari kuda dan
bicara di dalam rumah! Setan apa yang tiba-tiba merasuk dirimu hingga adat
sopan santunmu menjadi hilang lenyap?!”
Andana menyeringai sementara
Wiro tampak cengar-cengir. “Datuk setan!”
bentak Andana tak kalak keras.
“Apa masih pantas aku bicara hormat dengan manusia yang telah membunuh Ayahku?
Ayo jawab!”
Tampang Datuk Gampo Alam
sesaat tampak memutih namun di lain saat berubah menjadi kelam merah. Dia
merasa seolah kepalanya menjadi dua. Rahangnya menggembung. Nafasnya seperti
meledak-ledak.
“Anak setan! Ayahmu mati jauh
dari sini! Dikubur jauh di puncak Singgalang.
Sungguh kurang ajar kalau kau
berani menuduh aku sebagai pembunuh Ayahmu!
Kemenakan keparat! Kau sudah
gila rupanya!”
“Kau yang gila!” teriak
Andana.
Sang Datuk tersentak seperti
dihenyakkan.
“Kau bukan saja membunuh
Ayahku. Tapi juga berusaha membunuh diriku dengan menyuruh kaki tanganmu. Aku
tahu semua perbuatanmu. Mulai dari pisau terbang beracun itu. Ular berbisa dan
sirih dalam cerana! Semua kau yang merencanakan! Kau membunuh Ayahku! Kini
giliranmu sudah tiba! Kau ingat dimana kau membunuh Ayahku, Datuk?!”
“Otakmu benar-benar tidak
waras! Bicara gila apa ini?!” teriak Datuk Gampo Alam. “Kalau tidak memandang
kau anak kakak kandungku, sudah kupecahkan kepalamu sejak tadi-tadi!”
Wiro Sableng batuk-batuk
beberapa kali. Suaranya membuat Datuk Gampo alam berpaling padanya dan lantas
saja berteriak marah. “Kau juga bangsat! Kau pasti sudah mempengaruhi kemenakanku
dengan hasutan-hasutan gila! Kau bakal dapat bagian dariku!”
Wiro tertawa lebar. “Boleh
saja kau bilang aku bangsat. Jika aku bangsat maka kau adalah bapak moyangnya
bangsat. Kan begitu! Jangan berlagak yang tidaktidak Datuk! Sahabatku ini ada
bukti, ada saksi hidup yang mengatakan bahwa kaulah yang telah membunuh
Ayahnya!”
“Anak setan! Kau berani
mencampuri urusan aku dan kemenakanku! Rasakan tanganku!” Datuk Gampo Alam
melompat dan melancarkan satu jotosan ke arah pinggang Pendekar 212. Wiro cepat
geser kuda tunggangannya lalu palangkan lengan kanannya menangkis serangan
Datuk Gampo Alam.
Dua lengan beradu. Wiro serasa
seperti dihantam pentungan keras sebaliknya sang Datuk seolah digebuk dengan
besi. Lengan masing-masing kelihatan merah.
Kalau Wiro terhuyung ke kiri
maka Datuk Gampo Alam terpental sampai dua langkah! Ketika sang Datuk dengan
penasaran hendak menyerang kembali, Andana cepat menyorongkan kudanya hingga
gerakan Datuk Gampo Alam terhalang.
“Kau masih ingat dimana kau
membunuh Ayahku?!” ujar Andana sambil menatap tajam pada Mamak atau Pamannya
itu. “Di situ pula nyawamu akan kau lepas. Kutunggu kau besok di Ngarai Sianok!
Jangan mencoba lari! Selama Merapi dan Singgalang masih tegak menjaga nagari,
selama Batang Anai masih mengalir ke laut dan selama air Danau Singkarak masih
tetap biru, selama itu pula aku akan mencarimu!”
“Andana! Jangan kau terpancing
hasutan orang! Otakmu sedang kacau. Setan mana yang mengatakan padamu bahwa aku
yang membunuh Ayahmu! Gila! Aku Datuk Gampo Alam tega membunuh kakak kandung
sendiri!”
“Datuk culas! Hatimu lebih
jahat dari iblis! Tak ada setan, tak ada hasutan!
Tapi ada seorang saksi hidup
yang melihat kejadian waktu kau dan Hantu Mata Picak membunuh Ayahku!”
“Ah! Mana mungkin! Ini pasti
fitnah belaka! Jangan sampai kau terjebak Andana!” ujar Datuk Gampo Alam sambil
mengurut-urut lengannya yang masih terasa sakit.
Rahang Andana menggembung. Dia
berpaling ke arah sebatang pohon besar di ujung halaman. Lalu berteriak. “Sati!
Keluarlah! Berikan kesaksianmu pada Mamak jahanam ini!”
Dari balik pohon keluarlah
Sati sambil mengangkat tangannya. Sejarak sepuluh langkah dari orang-orang itu
dia berkata keras-keras.
“Demi Allah aku bersumpah! Aku
menyaksikan dengan mata kepala sendiri Hantu Mata Picak mencekal Datuk Bandaro
Sati dari belakang. Lalu Datuk Gampo Alam merampas keris milik kakaknya. Dengan
keris itu dia kemudian menusuk sekujur tubuh Datuk Bandaro Sati bertubi-tubi
sampai akhirnya menemui ajal di tepi Ngarai Sianok!”
Datuk Gampo Alam seperti
mendengar halilintar.
Saat itu terdengar pula
dampratan Andana.
“Hanya untuk mendapatkan dan
menjual rumah gadang milik Ayahku, kau membuat Surat Wasiat palsu! Kau bunuh
Ayahku, kau coba membunuh aku! Datuk keparat! Kelak kau akan jadi puntung
neraka!”
“Dusta! Fitnah! Kubunuh kau
Sati! Kau mendendam padaku karena pernah dihajar oleh anak buahku! Dan kau
Andana menjatuhkan tuduhan palsu karena kau tidak suka aku memperistri Bunga!
Kalau kau merasa benar mengapa tidak melapor dan mengadu pada Tumenggung di
Batusangkar?!”
Wiro keluarkan suara tertawa.
“Tumenggung itu sama saja bengsatnya dengan kau! Bukankah dia yang memenjarakan
sahabatku ini sesuai dengan rencana kalian berdua?! Seharusnya kau tidak perlu
banyak bicara Datuk. Makin banyak kau bicara makin terungkap kelicikanmu!”
Pelipis Datuk Gampo Alam
bergerak-gerak. Dia memandang pada Andana dan berkata. “Andana kemenakanku….”
“Jangan sebut aku
kemenekanmu!” sergah Harimau Singgalang. “Hari ini putus hubungan mamak dengan
kemenakan! Ingat! Aku tunggu kau di Ngarai Sianok petang ini sebelum matahari
tenggelam. Arwah Ayahku akan menyaksikan kematianmu di tempat kau membunuhnya
dulu!”
“Anak keparat! Setan haram
jadah!” carut Datuk Gampo Alam lalu menyentakkan lehernya dan meludah ke tanah.
Andana memberi isyarat pada
Wiro. Keduanya segera meninggalkan tempat itu.
Ketika Datuk Gampo Alam naik
kembali ke atas rumah gadang, Mamak Rabiah tak ada lagi di situ. Meledaklah
kemarahan sang Datuk. Apa saja yang ada di dekatnya langsung ditendang dan
dipukulnya!
Tiga orang istrinya tentu saja
terkejut dan keluar dari kamar masing-masing.
“Ada apa Datuk? Mengapa
mengamuk seperti ini?” tanya Zainab istri paling tua.
Plaakkk! Jawaban berupa
tamparan keras yang dilayangkan Datuk Gampo Alam ke pipi istrinya itu membuat
Zaenab terpekik dan tersandar ke dinding.
EMPAT BELAS
Mamak Rabiah tidak lagi hanya
melangkah tetapi kini berlari secepat yang bisa dilakukannya. Bunga yang sedang
menyisir rambut di dalam rumah sangat terkejut ketika di pintu terdengar
ketukan beruntun disertai suara memanggil-manggil.
“Bunga! Bunga! Lekas buka
pintu Naaakk!”
Bunga melemparkan sisir ke
atas sebuar rak lalu bergegas membuka pintu.
“Ada apa Mak? Orang Datuk
Gampo Alam menyakiti Mamak karena menolak pinangannya?!”
“Tidak Bunga. Bukan….. Ada hal
lain yang lebih gawat dari itu. Malapetaka besar akan terjadi kau harus
mencegahnya Nak. Hanya kau yang bisa mencegahnya….!”
“Apa yang harus saya cegah
Mak? Malapetaka apa maksud Mamak?” tanya Bunga tak mengerti. “Minum dulu Mak, biar
Mamak bisa tenang dan bicara jelas….”
lalu gadis itu mengambil
segelas air putih. Setelah meneguk sampai setengahnya dia berkata. “Nah,
sekarang Mamak bisa bicara lebih jelas. Apa melapetaka yang Mamak katakan tadi
itu. Lalu apa pula yang harus saya cegah….”
“Kakakmu….. Harimau
Singgalang… Datuk Gampo Alam….” ucapan perempuan itu tersendat dan
terputus-putus.
“Harimau Singgalang? Maksud
Mamak Andana? Datuk Gampo Alam? Ada apa dengan mereka Mak?”
“Mereka akan saling
berbunuhan. Sore ini! Di Ngarai Sianok. Di situ mereka akan saling berbunuhan
sampai salah satu dari mereka mati! Kau harus mencegah hal itu Bunga!”
“Aneh, apa pasal Mamak dan
Kemenakan itu saling berbunuhan? Kalau itu betul lalu bagaimana pula saya bisa
mencegahnya?”
“Datuk Gampo Alam…. Ternyata
dia yang membunuh Datuk Bandaro Sati Ayah Andana. Adiknya itu dibunuhnya di
Ngarai Sianok. Kini Andana akan menuntut balas. Saat ini mereka tentu sudah
berada dalam perjalanan….”
Bunga termenung beberapa
lamanya. Dengan suara perlahan dia kemudian berkata. “Jika mereka memang maunya
saling bunuh membunuh biarkan saja Mak.
Bukan urusan kita. Lagi pula
saya yakin kakak Andana akan menang karena dia berada di pihak yang benar….”
“Justru karena itulah Bunga.
Kau harus mencegah agar mereka tidak saling bunuh. Kau harus mencegah kakakmu
itu tidak membunuh Datuk Gampo Alam.
Karena Datuk itu adalah….”
“Karena Datuk itu adalah apa
Mak?” tanya Bunga ketika Mamak Rabiah tidak meneruskan kata-katanya.
Mamak Rabiah
tersengguk-sengguk. Air mata bercucuran deras ke pipinya.
Diulurkannya kedua tangannya
merangkul Bunga. Lalu diantara sedu sedannya dia berkata. “Karena Datuk Gampo
Alam sebenarnya Ayah kandungmu sendiri Bunga….”
Si gadis meronta melepaskan
diri. Melangkah mundur dan memekik keras.
Gelas yang masih dipegangnya
lepas terjatuh, pecah berantakan di lantai. Wajahnya tampak pucat
sekali.bahunya bergetar menahan goncangan. Dia memandang pada Mamak Rabiah
seperti melihat hantu.
“Mamak….. Mamak tidak bicara
dusta?”
Mamak Rabiah menggelengkan
kepala. “Datuk Gampo Alam memang sebenarnya Ayah kandungmu Nak…..”
Bunga merasakan seperti tulang
belulangnya menjadi luluh. Gadis ini jatuh terduduk di lantai. Mamak Rabiah
duduk pula di hadapannya.
“Maafkan Mamak Bunga. Selama
ini Mamak selalu merahasiakan hal itu karena Mamak patuh pada pesan Ibumu….”
“Pesan Ibu saya?” kedua mata
Bunga membesar. “Pesan apa Mak?” Bunga mengulurkan kedua tangannya lalu
menggocang bahu Mamak Rabiah. Tangis Mamak Rabiah semakin keras. Tidak tahan
akhirnya dia memeluk Bunga erat-erat.
“Kejadiannya sekitar dua puluh
tahun lalu. Waktu itu Datuk Gampo Alam sedang berburu di rimba. Dia tersesat
dan terpisah dari teman-temannya. Saat itu dalam keadaan terluka di salah satu
kakinya, dia terpesat ke pondok tempat kediaman Ibumu. Selama Datuk sakit
terserang demam panas. Ibumulah yang merawatnya.
Ketika dia sembuh, Datuk Gampo
Alam merasa berhutang budi. Lalu dia mengawini Ibumu. Selama Ibumu mengandung
Datuk Gampo Alam tak pernah datang lagi.
Ibumu melahirkanmu dalam
keadaan sangat menderita. Mamak yang waktu itu bertindak sebagai dukun beranak
menolong Ibumu. Hanya sayang Ibumu telah kehabisan daya. Dia banyak
mengeluarkan darah dan menghembuskan nafas ketika kau keluar dari rahimnya.
Namun sebelum meninggal Ibumu sempat berpesan agar Mamak jangan memberi tahu
kepadamu siapa Ayahmu. Juga dia berpesan agar aku mengambilmu sebagai anak
sendiri dan merawatmu baik-baik….”
Bunga menjatuhkan dirinya ke
dalam pangkuan Mamak Rabiah dan menangis keras-keras. Ketika tangisnya mulai
reda, dengan suara parau gadis ini berkata.
“Seharusnya saya ikut mati
bersama Ibu saat itu…”
“Jangan berkata seperti itu
Nak….”
“Mamak, orang seperti Datuk
Gampo Alam itu sepantasnya dibiarkan mati dibunuh orang….”
“Jangan berpikiran seperti itu
Bunga. Baik atau buruknya dia, bagaimanapun dia adalah Ayah kandungmu. Kau
berasal dari tetesan darahnya Nak….”
Bunga menjerit lalu meratap.
“Saya tidak perduli pada Datuk Gampo Alam.
Saya kini menangisi nasib diri
yang hina ini. Kalau Datuk Gampo Alam ayah saya dan Datuk Bandaro Sati Ayah
Andana berarti kami saudara sebapak. Berarti kami tidak akan pernah bisa…..”
Bunga meraung keras.
“Bunga, Mamak dapat merasakan
apa yang ada di hatimu. Kini kau menyadari bahwa kau tak akan pernah bisa
bersatu dengan pemuda yang kau cintai itu. Pertalian darah antara Ayahmu dan
Ayah Andana terlalu kuat….. Sekarang kau tahu mengapa Mamak meminta agar kau
mencegah mereka saling bunuh. Lakukan sesuatu Bunga….. Selamatkan Ayahmu dan
juga pemuda yang kau kasihi itu….”
Harimau Singgalang dan
Pendekar 212 Wiro Sableng tidak bodoh untuk meninggalkan Datuk Gampo Alam
begitu saja. Bukan mustahil Datuk yang licik itu akan melarikan diri. Karena
itu kedua pemuda ini bersembunyi di satu tempat kelindungan, memperhatikan
rumah gadang dari kejauhan. Dua pendekar ini tidak menunggu lama. Seorang
pelayan kelihatan menuntun seekor kuda hitam ke dekat tangga rumah gadang. Tak
lama kemudian kelihatan Datuk Gampo Alam menuruni rumah. Dia mengenakan pakaian
galembong serba hitam. Keninngnya diikat dengan sehelai kain hitam pula. Di
pinggangsebilah keris terselip sebilah keris emas yang bukan lain adalah keris
Tuanku Ameh Nan Sabatang yang dicurinya dari Andana. Di pinggang kanan terselip
sebuah saluang (suling khas Minang)
“Datuk keparat itu sudah siap
hendak berangkat. Tapi aneh mengapa dia membawa saluang segala?” membuka mulut
Andana di tempat yang kelindungan.
“Bukan mustahil itu bukan
suling biasa Andana. Pasti ada tuah kesaktiannya….” menyahuti Wiro.
Saat Datuk Gampo Alam naik ke
atas kuda hitamnya, tiga istrinya berada di belakang jendela tengah rumah
gadang. Zainab istri tua berkata pada dua madunya.
“Saya punya firasat, Datuk
Gampo Alam tak akan pernah kembali lagi ke rumah gadang ini.”
Begitu Datuk Gampo Alam memacu
kudanya meninggalkan Pagaralam, Andana dan Wiro segera menguntit dari kejauhan.
Sementara itu dari jurusan lain sebuah kereta tua ditarik oleh seekor kuda
besar meluncur kencang ke arah Barat Laut di mana berdiri tegak Gunung Merapi.
Saisnya seorang pemuda berkopiah hitam kupluk sedang di sebelahnya duduk
seorang gadis cantik yang menutupi wajahnya dengan sehelai selendang. Dia bukan
lain adalah Bunga anak kandung Datuk Gampo Alam.
Ngarai Sianok diselimuti
kesunyian. Sesekali angin bertiup kencang. Di Timur langit tampak kemerahan
tanda sang surya berisap-siap untuk masuk ke ufuk tenggelamnya. Datuk Gampo
Alam turun dari kudanya, membiarkan binatang itu merumput. Dia memandang
berkeliling lalu melangkah ke tepi Ngarai. Sunyi, tak ada siapa-siapa di tempat
itu. Sesaat dia memeprhatikan keadaan di sekelilingnya dengan rasa tegang.
Anak keparat itu masih belum
muncul rupanya. Atau dia memang tak akan muncul?!
Baru saja dia membatin begitu
tiba-tiba dari balik tanah yang ketinggian muncul dua orang penunggang kuda
yang sama-sama mengenakan pakaian putih.
“Kurang ajar!” rutuk Datuk
Gampo Alam. “Pemuda Jawa itu apa-apaan dia ikut bersama anak setan ini!”
Begitu Andana dan Wiro sampai
di hadapannya Datuk Gampo Alam langsung menegur sinis sambil bertolak pinggang.
“Rupanya kau tidak punya nyali
untuk datang sendirian!”
Andana hendak menjawab. Tapi
Wiro cepat mendahului. “Kami memang datang berdua, tapi yang punya urusan
dengan manusia jelek licik sepertimu ini Cuma satu. Kemenakanmu sendiri. Apa
kau merasa ngeri menghadapainya….?”
Tampang Datuk Gampo Alam
kelihatan kelam kemerahan. Dia berpaling pada Andana. “Kau inginkan nyawaku.
Mengapa masih ongkang-ongkang di atas kuda?
Turunlah untuk membuktikan
mulut besarmu bahwa kau memang punya kemampuan membunuhku Andana tersenyum. Dia
melirik pada Wiro. Murid Sinto Gendeng langsung membuka mulut. “Rupanya Datuk
kita ini ingin cepat-cepat menemui kematiannya.
Apa pendapatmu sobat?”
“Aku masih mau memberi
kesempatan padanya untuk bertobat dan minta ampun pada Tuhan sebelum meregang
nyawa menghadap Penguasa Akhirat!”
Muka Datuk Gampo Alam seperti
udang direbus. Lehernya disentakkan.
“Anak setan! Kau yang akan
jadi cacing tanah lebih dulu!” hardik Datuk Gampo Alam. Begitu Andana meloncat
turun dari kudanya langsung saja dia menyerang dengan jotosan keras ke arah
pinggang. Andana tidak tinggal diam. Masih melayang di udara kaki kanannya
melesat ke arah kepala Pamannya itu. Mau tak mau Datuk Gampo Alam terpaksa
tarik pulang serangannya. Dia membalik ke kiri dengan cepat.
Begitu tendangan Andana lewat
sang Datuk balas menghantam dengan kaki kanan.
Andana berseru kaget. Kaki
sang Datuk menyambar begitu cepat dan tak terduga.
Sedang dari mulutnya terdengar
suara aneh seperti binatang mencicit. Selanjutnya tubuhnya tampak bergerak kian
kemari, melenting-lenting seperti bola, tangan dan kakinya berkelebat aneh
dalam gerakan-gerakan yang tidak terduga, menggapai merobek ganas. Inilah ilmu
silat “tupai pesisir” yang sangat berbahaya. Baru dua jurus mengeluarkan ilmu
silat aneh itu terdengar suara pakaian robek. Andana melompat mundur. Pakaian
putihnya robek di bagian dada dan kulit dadanya kelihatan tergurat cukup dalam
hingga tampak darah mengambang.
“Anak setan! Itu peringatan
pertama untukmu!” kata Datuk Gampo Alam.
“Sebentar lagi akan kuputus
urat lehermu! Kini aku yang memberi kesempatan padamu untuk bertobat sebelum
mampus!”
Andana ganda tertawa. Tubuhnya
membuat gerakan seperti merunduk. Tibatiba kakinya melest ke atas lalu menderu
ke bawah. Datul Gampo Alam tersentak kaget melihat gerakan silat yang aneh ini.
Namun dia tidak berkesempatan memperhatikan lebih lama karena saat itu
serangan-serangan si pemuda datang bertubi-tubi. Inilah ilmu silat Kumango
Tujuh Serangkai yang dipelajari Andana dari gurunya Datuk Alis Merah di Asahan.
Dalam ilmu silat Datuk Gampo
Alam punya pengetahuan dan pengalaman luas. Dia tahu betul kehebtan dan
kelemahan masing-masing ilmu silat. Namun sekali ini dia dibuat tak berdaya dan
tak mampu menerka ilmu silat apa yang dimainkan Andana untuk menyerangnya. Saat
demi saat dia merasa tekanan yang berat dan membuatnya terdesak. Satu kali
ketika dia terlambat mengelak, pukulan tepi telapak tangan kanan Andana
bersarang di bahunya. Sang Datu mengeluh tinggi. Tulang bahunya seperti remuk.
Dalam keadaan termiring-miring Datuk Gampo Alam cabut saluang di pinggangnnya.
“Sobatku, jika saluang itu
ditiupnya kau boleh menyanyi dan aku akan menari!” Pendekar 212 yang berada di
tepi kalangan perkelahian. Sementara itu udara di atas Ngarai Sianok tiba-tiba
saja berubah mendung.
“Anak-anak setan!” kata Datuk
Gampo Alam. “Kalian boleh menegjek! Lihat saja apa yang akan terjadi dengan
diri kalian! Aku sudah mencium kematian kalian!”
Lalu Datuk Gampo Alammeniup
saluangya kuat-kuat. Bersamaan dengan terdengarnya suara lengkingan saluang tiba-tiba
dari lobang sebelah bawah seruling bambu itu keluar dua buah gelembung yang
saat demi saat semakin besar, semakin besar dan akhirnya berubah bentuk menjadi
dua mahluk katai berkulit merah dan hanya mengenakan cawat. Kepala botak sedang
gigi-gigi serta taring-taring yang runcing panjang kelihatan mengerikan.
Jari-jari tangannya pendek-pendek tetapi berkuku panjang berwarna hitam legam!
“Anak-anak, kalian sudah lama
tidak menghisap darah. Lekas serang pemuda yang sebelah depan. Jika kawannya
berusaha membantu, bunuh keduanya!”
Mahluk katai aneh itu
berteriak hingar bingar lalu melesat ke depan, mengeroyok Andana. Gerakan dua
mahluk katai ini cepat bukan main. Sepuluh kuku jari mereka berkelebat ganas.
Setiap menyerang, mereka berusaha mendekatkan mulut pada perut atau dada dan
leher Andana. Jelas mahluk ini memang ingin menyedot darah si pemuda. Dikeroyok
dua begitu rupa Andana kembali mainkan jurus-jurus ilmu silat Kumango Tujuh
Serangkai.
Dengan ilmu silatnya ini
Andana berhasil menggebuk, menjotos dan menendang dua mahluk itu. Tapi anehnya
seperti tidak merasa, keduanya tertawatawa dan berjingkrak-jingkrak setiap kali
kena hantaman!
Ilmu iblis! Rutuk Andana dalam
hati. Jari tangannya diarahkan lurus-lurus pada dua mahluk katai itu. Ketika
didorongkan ke depan, satu larik sinar merah panas menderu ganas ke arah mahluk
katai di sebelah kanan. Pohon bahkan batu sekalipun akan hancur berantakan
terkena pukulan “inti api” yang barusan dilepaskan Andana.
Namun yang diserang kelihatan
tertawa-tawa. Begitu sinar merah menyambar di depan mukanya, dia membuka
mulutnya lebar-lebar. Lalu seperti seorang melahap makanan yang enak begitulah
dia menelan sinar api panas pukulan sakti itu.
Sementara itu kawannya sambil
berjingkrak-jingkrak sesekali bergelantungan pada jalus sinar merah panas
seolah benda itu adalah seutas tali! Di sebelah sana Datuk Gampo Alam terus
saja tiup saluangnya.
Celaka, aku tak bisa bertahan
lebih lama! Keluh Andana dalam hati. Berarti bahaya besar mengancamnya kini.
Pemuda ini melirik ke arah Wiro seolah minta dibantu. Dalam keadaan seperti itu
Pendekar 212 tidak mau turun tangan dan melakukan pengeroyokan. Setelah
berpikir keras murid Sinto Gendeng ini berkata.
“Sobatku Harimau Singgalang.
Jika ekornya tak bisa dihancurkan, mengapa tidak kembali ke asalnya?”
Mula-mula Andana tidak
mengerti ucapan itu. Namun begitu dia paham maka langsung saja dia melompat ke
udara. Dua mahluk katai ikut melompat. Dari atas Andana lepaskan lagi pukulan
sakti “inti api” Sekali ini bukan diarahkan pada dua mahluk katai berkepala
botak yang matian-matian berusaha menancapkan taringtaringnya ke bagian tubuh
Andana untuk kemudian disedot darahnya. Kini yang menjadi sasaran Andana adalah
saluang yang ditiup Datuk Gampo Alam, sari mana dua mahluk tadi keluar secara
aneh.
Wussss!!!
Braaak!!
Saluang yang ditiup sang Datuk
hancur berantakan. Datuk Gampo Alam sendiri terlempar dua langkah dan terduduk
di tanah. Salah satu jarinya tampak mengucurkan darah!
LIMA BELAS
Bersamaan dengan hancurnya
saluang di tangan Datuk Gampo Alam dua mahluk katai terdengar menjerit keras.
Tubuh mereka perlahan-lahan menciut hingga akhirnya hanya tinggal seujung jari
kelingking untuk kemudian lenyap tanpa bekas!
Datuk Gampo Alam cepat bangkit
berdiri. Mukanya kelam membesi sementara huja mulai turun rintik-rintik di
kawasan itu. Dari arah Timur saat itu sebuah kereta meluncur cepat menuju
Ngarai Sianok.
“Anak setan!” tiba-tiba Datuk
Gampo Alam membentak, tangan kanannya bergerak mencabut keris Tuanku Ameh Nan
Sabatang. “Dulu dengan keris sakti bertuah ini kuhabisi Bapakmu! Rupanya sudah
menjadi takdir, kaupun akan menemui ajal di tanganku, dengan keris ini!” begitu
senjata itu digerakkan sinar kuning berkiblat. Andana merasa ada hawa dingin
menyambar. Cepat-cepat dia kerahkan tenaga dalam dan lepaskan satu pukulan
tangan kosong. Sang Datuk merasa seolah didorong oleh satu tembok besar.
Karenanya dia kerahkan tenaga dalamnya sampai tangannya yang memegang keris
bergetar hebat. Pada puncak bentrokan tenaga dalam dengan cerdik Datuk Gampo
Alam membuat gerakan menyusup dari samping. Sinar kuning kembali berkiblat.
Andana merasakan ada hawa dingin menyambar wajahnya. Secepat kilat dia melomapt
ke kiri dan balas menyerang.
Seperti sudah diketahui dalam
ilmu silat meskipun memiliki pengalaman luas, namun Datuk Gampo Alam masih
kalah jauh dengan kemenakannya itu. Karena untuk mempergunakan keris sebagai
senjata harus didasari dengan ilmu silat juga maka walau senjata itu sakti
bertuah tetap saja Datuk Gampo Alam tak bakal mampu mempecundangi lawannya.
Malah dalam satu gebrakan hebat Andana berhasil mennendang lengan kanan Datuk
Gampo Alam. Keris Tuanku Ameh Nan Sabatang mencelat ke udara. Andana melompat
menyambuti selagi keris itu jatuh ke bawah.
“Saatmu menerima kematian
Datuk keparat!” teriak Andana. Smbil melayang turun dia tusukkan keris di
tangan kanannya ke arah Datuk Gampo Alam. Keris menyambar dari arah kiri. Datuk
Gampo Alam mengelak ke kanan. Mendadak Andana menggebrak ke kanan. Keris sakti
bertuah kembali menusuk.
Breettt!
Baju Datuk Gampo Alam di
bagian bahu kanan robek besar. Namun tubuhnya lolos dari tusukan keris emas
itu. Tiba-tiba Datuk Gampo Alam keluarkan suara seperti anjing melolong.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya mencekal pergelangan tangan kanan Andana
lalu ditarik kuat-kuat. Terjadilah satu hal yang tidak bisa diterima akal.
Tubuh Datuk Gampo Alam lenyap amblas ke dalam tanah.
Andana berteriak kesakitan
sewaktu tangannya yang memegang keris terseret di atas permukaan tanah.
Tubuhnya berguling jungkir balik. Dia berusaha melepaskan tangannya namun
sia-sia.
Pendekar 212 berseru kaget
melihat kejadian itu. Ilmu iblis apa yang dimiliki Datuk keparat itu. Bagaimana
dia bisa masuk ke dalam tanah dan menarik tangan Andana.
Pekik Andana semakin keras.
Dengan tangan kirinya dia berusaha memukul gunjulan tanah yang bergerak yang
rupanya adalah tubuh atau kepala Datuk Gampo Alam. Tapi tidak ada hasilnya.
Sementara itu jari-jari tangan dan daging di bagian belakang telapak tangannya
telah mengelupas. Dari langit hujan turun mulai lebat.
Anak Datuk Bandaro Sati itu
tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya guna melepaskan tangannya.
Wiro yang juga dalam keadaan
bingung karena tidak tahu harus menolong bagaimana, untuk beberapa saat hanya
bisa berlari di samping Andana. Sambil lari akhirnya Wiro keluarkan Kapak Maut
Naga Geni 212. Dengan senjata ini dihantamnya bagian tanah yang menggunjul dan
bergerak. Cahaya putih menyilaukan yang disertai hamparan hawa panas luar biasa
dan dibarengi suara seperti tawon mengamuk menggema di tempat itu.
Tanah dan pasir serta
batu-batu kerikil muncrat berterbangan. Di tanah kelihatan lobang sedalam satu
jengkal. Ternyata hantaman Kapak Maut Naga Geni 212 tidak menolong walau sudah
dipukulkan beberapa kali. Tangan kanan Andana semakin parah. Darah mulai
mengucur sedang lapisan kulit dan daging sudah terkelupas dalam. Satu hal yang
masih bisa dilakukannya, keris Tuanku Ameh Nan Sabatang tidak mau dilepaskannya
dari genggamannya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mengaum dahsyat. Dalam
udara yang semakin gelap itu sementara hujan bertambah lebat tiba-tiba muncul
seekor harimau besar.
Pendekar 212 sampai tersurut
saking kagetnya. Andana tidak kalah kejutnya.
Namun entah mengapa pemuda ini
tiba-tiba saja menjadi tenang. Saling bertatapan begitu dekat Andana membatin.
Binatang ini, aku yakin adalah
harimau yang muncul mengawal Ayahku waktu di Asahan dulu. Ayah, apakah kau
mengirimkannya untuk menolongku?
Binatang jejadian itu mengaum
sekali lagi. Lalu tubuhnya menukik ke bawah dan astaga! Harimau besar amblas
lenyap ke dalam tanah.
Saat itu pula cekalan pada
lengan Andana terlepas. Lalu terjadilah hal luar biasa. Di dalam perut bumi
terdengar bentakan-bentakan manusia dan auman harimau berulang kali. Seolah
tengah terjadi perkelahian antara manusia dengan seekor harimau. Hal itu tidak
berlangsung lama. Didahului oleh satu lolongan panjang dan auman yang
menggetarkan tanah, tiba-tiba dari dalam tanah melesat sosok tubuh Datuk Gampo
Alam. Tubuh dan kepalanya sampai ke muka penuh berselomotan tanah hingga
kelihatan menyeramkan. Di samping itu pada bahu kiri, pangkal leher dan bawah
dagu ada luka panjang seperti dicakar.
Untuk kedua kalinya dari dalam
tanah melesat keluar harimau besar itu.
Telinga kirinya kelihatan
mengucurkan darah. Binatang ini memandang Datuk Gampo Alam sesaat, mengaum
keras membuat sang datuk tersurut gentar lalu berputar-putar beberapa kali
mengelilingi Andana, mengaum sekali lagi dan lenyap!
Pendekar 212 gelengkan kepala
dan leletkan lidah.
Kawatir kalau musuh besar
pembunuh Ayahnya itu akan masuk kembali ke perut bumi Andana yang masih
memegang keris Tuanku Ameh Nan Sabatang cepat menyerbu dan kirimkan satu
tikaman ke arah batang leher Datuk Gampo Alam.
Perkelahian seru terjadi
sampai delapan jurus. Walaupun belum dapat melukai lawannya dengan senjata
sakti bertuah itu namun Andana lagi-lagi membuat sang Datuk terdesak hebat.
Jahanam, ilmu silat apa yang
dimiliki anak setan ini hingga aku tidak bisa memecahkan kelemahannya! Maki
sang Datuk. Sebelum Andana menyerbunya kembali dia melompat mundur.
“Kau kira kau bisa lari dari
kematianmu Datuk celaka!” teriak Andana.
Datuk Gampo Alam menyeringai.
“Siapa yang lari,” jawab Datuk Gampo Alam sambil menyentakkan leher dua kali.
Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Mulutnya berkomat-kamit. Kedua
matanya dikejapkan. Wutt….wuuuttt! Dari kedua mata itu tiba-tiba melesat sebuah
benda putih panjang, meliuk-liuk seperti ular.
Selagi Andana dan Wiro
terperangah melihat hal itu sang Datuk goyangkan kepalanya.
Dua binatang putih lagi
melesat keluar. Kini dari telinga kiri kanan. Ketika dia mendengus, maka
sepasang berikutnya melesat keluar dari hidung. Datuk Gampo Alam membuka
mulutnya lebar-lebar. Benda yang sama dalam ukuran lebih besar menderu keluar
dari mulutnya. Benar-benar mengerikan!
“Gila! Ilmu apa ini?!” ujar
Wiro sementara Andana memasang kuda-kuda dan menyiapkan pukulan “inti api” di
tangan kiri.
Ternyata masih ada lagi dua
benda putih panjang keluar dari tubuh sangDatuk.
Satu dari anusnya dan satu
lagi dari lobang kemaluannya. Ternyata binatang-binatang itu keluar dari setiap
lobang yang ada di tubuhnya!
“Kau takut anak setan?!” ujar
Datuk Gampo Alam seraya melangkah mendekati Andana. “Ilmu Belut Putih hanya aku
yang memiliki di dunia! Kau merupakan korbannya yang pertama!” Habis berkata
begitu Datuk Gampo Alam
keluarkan suara mendengus dari
hidungnya. Dua ekor belut putih yang ada di dua lobang hidungnya melesat ke
arah Andana.
Harimau Singgalang berteriak
keras. Tangan kirinya dihantamkan. Pukulan “inti api” menyambar belut putih
yang di kiri tapi luput. Belut putih yang kedua dibabatnya dengan keris Tuank
Ameh Nan Sabatang.
Crasss! Belut itu terkutung
dua. Tapi begitu jatuh ke tanah hidup kembali dan menjadi dua ekor, terus
menyerang Andana. Datuk Gampo Alam tertawa mengekeh.
Belut putih besar dimulutnya
meluncur semakin panjang dengan kepala tegak siap untuk mematuk.
Belut putih pertama yang lolos
dari pukulan “inti api” melesat ke muka Andana. Sebelum pemuda ini sempat
mengelak binatang ini telah menyusup masuk ke dalam lobang hidung kiri Andana!
Pemuda ini jadi gelagapan dan berusaha menarik keluar belut yang masuk ke dalam
hidungnya itu. Tapi semakin ditarik semakin dalam masuknya binatang ini. Darah
mulai mengucur.
“Celaka!” seru Pendekar 212. tanpa
menunggu lebih lama dia segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dan melompat ke
hadapan Andana. Sinar terang menyilaukan berkiblat di bawah udara gelap dan
curahan hujan.
Crass! Belut putih di hidung
Andana putus dua, jatuh ke tanah dan hidup lagi!
Dua binatang ini kini
menyerang Wiro!
“Keparat sialan! Apa yang
harus kulakukan!” saat itu salah seekor dari belut putih itu berhasil
menancapkan mulutnya di betis kiri Pendekar 212. Wiro hendak merambasnya dengan
senjata mustikanya. Tapi percuma saja pikirnya karena itu hanya akan menambah
banyaknya jumlah binatang-binatang jejadian itu! Dengan menggeram Wiro
berpaling pada Datuk Gampo Alam. Dia ingat sesuatu. Hatinya meragu. Tadi Andana
telah menghantam belut putih itu dengan pukulan “inti api”.
Jika dia menghantam dengan
batu apinya, apakah akan mempan? Tak ada jalan lain.
Dia harus mencoba. Kalau tidak
dia akan menemui ajal bersama Andana di tempat itu!
Dari balik pakaiannya murid
Sinto Gendeng keluarkan sebuah batu hitam empat persegi yang merupakan pasangan
Kapak Maut Naga Geni 212. Batu ini digosokkannya kuat-kuat ke mata kapak dan
diarahkan pada Datuk Gampo Alam.
Disaat yang sama sang Datuk
buka mulutnya lebar-lebar. Belut putih paling besar yang bergelantungan di
mulutnya melesat menyambar ke leher Pendekar 212.
Wusss!
Lidah api yang luar biasa
panasnya menyambar. Belut putih besar yang menyerang Wiro mencelat mental,
hancur cerai berai di udara. Ketika jatuh ke tanah ternyata binatang jejadian
ini tidak berkembang biak menjadi banyak. Potonganpotongan tubuhnya berubah
menjadi asap dan akhirnya sirna.
Datuk Gampo Alam tersentak
kaget. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk menghantam lagi dengan
gosokan kapak dan batu. Sekali ini dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya
sementara andana berusaha melepaskan diri dari gigitan dua ekor belut putih
yang menancap di pahanya kiri kanan!
Datuk Gampo Alam berteriak
keras ketika satu gelombang api sebesar rumah mengggebubu ke arahnya. Di lain
kejap tubuhnya tenggelam dalam kobaran api.
Semua belut putih yang ada di
tubuhnya hancur cerai berai. Anehnya yang ada di tempat lain seperti yang
menancap di kaki Wiro dan Andana ikut-ikutan leleh, berubah jadi asap lalu
lenyap!
Dalam kobaran api kelihatan
sosok Datuk Gampo Alam melesat ke atas.
Begitu kobaran api lenyap
kelihatan orang ini tegak menyeringai sambil bertolak pinggang. Tubuhnya tidak
cidera sedikitpun. Bahkan pakaiannya sama sekali tidak hangus! Sarung keris
emas bertuah yang ada di pinggangnya juga kelihatan tidak mengalami kerusakan.
Hanya ilmu “belut putih”-nya saja yang musnah!
Luar biasa! Bagaimana ada
manusia sehebat bangsat satu ini! Kertak Wiro. Di sampingnya Andana keluarkan
suara menggeram.
“Anak setan! Kau telah ikut
campur urusanku! Berarti kau memilih mampus bersama kemenakan durhaka itu!”
Datuk Gampo Alam berkata dengan mimik bengis.
“Kalian berdua silahkan maju
bersamaan agar waktuku tidak terbuang percuma!”
Wiro tertawa gelak-gelak.
“Lagakmu hebat amat Datuk! Kau akan mati jadi setan penasaran karena tak dapat
mengawini Bunga! Ha….ha…..ha…..!”
Mendengar kata-kata Wiro itu
mendidihlah amarah Datuk Gampo Alam.
Kepalanya disentakkan dua kali
lalu didahului bentakan keras dia melompat ke arah Wiro dan Andana.
“Sahabat,” kata Wiro pada
Andana. “Kau pergunakan kapak ini. Kerahkan tenaga dalammu setiap kau melakukan
serangan!”
Wiro melemparkan Kapak Maut
Naga Geni 212 pada Andana.
ENAM BELAS
Harimau Singgalang ini tak
sempat berpikir banyak dan cepat menyambuti senjata mustika itu. Ketika Datuk
Gampo Alam melompat ke hadapannya sambil melancarkan satu pukulan tangan
kosong, Andana segera menyambut dengan salah satu jurus terhebat ilmu silat
Kumango Tujuh Sarangkai, membuat sang Datuk terpaksa bersurut.
Dua jurus menggebrak Kapak
Maut Naga Geni 212 berhasil membabat bahu kiri lawan. Datuk Gampo Alam
berteriak setinggi langit. Darah muncrat. Bahu kirinya putus dan jatuh ke
tanah. Tapi begitu potongan tangan itu menyentuh tanah, tiba-tiba potongan itu
melesat kembali ke tempatnya semula di pangkal bahu sang Datuk.
Bersamaan dengan itu Datuk
Gampo Alam tertawa mengekeh.
“Kalian bermimpi kalau menduga
bisa membunuh Datuk Gampo Alam!”
Habis berkata begitu sang
Datuk sorongkan kepalanya ke depan. “Kau boleh menabas batang leherku! Aku
tidak akan melawan! Ha…ha….ha….”
“Kurang ajar!” kertak Andana.
Sekali berkelebat dia babatkan Kapak Maut Naga Geni 212. sinar putih
menyilaukan berkiblat panas disertai suara keras seperti ratusan tawon
mengamuk. Yang dituju Andana benar-benar batang leher Pamannya itu.
Craaaas!
Lagi-lagi darah menyembur
begitu leher Datuk Gampo Alam putus.
Kepalanya jatuh dan
menggelinding ke tanah. Dan pada saat kepala itu pula kepala ini melesat
kembali ke tempatnya semula! Leher yang putus bersambung kembali tanpa
kelihatan sedikit ciderapun!
Datuk Gampo Alam tertawa
bergealk sementara Andana dan Wiro Sableng tertegun saling pandang dengan muka
pucat. Wiro tiba-tiba ingat pada keterangan kakek sakti Tua Gila. Yaitu bahwa
walau ditabas jadi berapa potonganpun Datuk Gampo Alam tidak akan bisa mati
selama tubuhnya atau kedua kakinya masih menginjak bumi!
Hujan turun makin lebat. Udara
mulai gelap karena di Barat sang surya siapi tenggelam. Sementara itu dari arah
Selatan Ngarai Sianok sebuah kereta meluncur cepat ke arah tempat di mana
Andana dan Wiro serta Datuk Gampo Alam berada.
“Apa yang harus kita lakukan?”
Andana mendekati Wiro dan berbisik.
Murid Eyang Sinto Gendeng usap
mukanya yang basah oleh air hujan.
“Seseorang pernah memberi tahu
kelemahan ilmu manusia iblis ini. Kita harus memancingnya….” Lalu Wiro berpaling
pada Datuk Gampo Alam.
“Datuk ilmumu memang tinggi.
Tapi sayang cuma sulapan belaka. Apa kau berani untuk ditabas lehernya sekali
lagi?!”
Datuk Gampo Alam menyeringai.
“Kalian akan segera mampus di tanganku.
Tak ada salahnya mengikuti apa
kemauan kalian barang sebentar. Silahkan kau mau membacok dan menabas di bagian
mana saja yang kau sukai!” Sambil tertawa memandang enteng dengan sombongnya
Datuk Gampo Alam sorongkan kepalanya ke depan. Wiro berpaling pada Andana dan
anggukkan kepalanya.
Tangan kanan Harimau
Singgalang bergerak. Kapak Maut Naga Geni 212 berkelebat. Sinar menyilaukan
berkiblat disertai deru keras dab hawa panas.
Crassss!
Untuk kedua kalinya leher
Datuk Gampo Alam putus. Darah muncrat dan kepalanya menggelinding jatuh di tanah.
Saat itu pula Wiro melompat dan menyambar pinggang sang Datuk. Tubuh orang ini
kemudian dipanggulnya hingga
kedua kakinya tidak menginjak
bumi!
Dari kepala yang tercampak di
tanah terdengar suara Datuk Gampo Alam.
“Turunkan tubuhku! Turunkan
aku ke tanah!” Tubuh yang dipanggul Wiro melejanglejangkan kaki dan tangannya
namun tidak berdaya untuk melancarkan serangan karena gerakannya makin lama
makin lemah.
Dalam ngeri dan tidak
percayanya melihat apa yang terjadi Andana hanya bisa tertegak diam. Suara
teriakan Datuk Gampo Alam semakin perlahan dan mendelik.
Pada saat itulah sebuah kereta
meluncur cepat dan berhenti di tempat itu. Dari atas kereta terdengar jeritan
perempuan.
“Bunga!” seru Andana.
Wiro berpaling. Bunga hampir
pingsan melihat kepala ayahnya menggeletak di tanah sedang tubuhnya yang lain
dipanggul oleh Wiro. Dari kutungan leher kelihatan darah mengucur.
“Demi Tuhan! Ya Allah! Apa
yang terjadi! Jangan bunuh! Jangan bunuh dia!
Dia Ayah saya…..” Habis
berteriak begitu Bunga tersungkur jatuh di tanah yang becek.
Dua mata Datuk Gampo Alam yang
mendelik berputar ke arah Bunga dan menatap gadis itu dengan pandangan aneh.
Mulutnya terbuka. Tapi tak terdengar apa yang diucapkannya.
Akan halnya Wiro, begitu
melihat Bunga dan mendengar ucapan gadis tiu, tubuh Datuk Gampo Alam yang
dipanggulnya terjatuh lepas. Pada saat dua kaki sang Datuk menyentuh tanah,
tiba-tiba kutungan kepalanya melesat menuju lehernya! Sang Datuk hidup kembali!
“Celaka!” seru Wiro. Andana
bersurut mundur. Datuk Gampo Alam memandang berkeliling lalu melangkah ke arah
Bunga.
“Jangan dekati gadis itu!”
teriak Andana.
Datuk Gampo Alam tidak
perduli. Dia melangkah terus. Ada rasa takut di hati Bunga ketika melihat Datuk
Gampo Alam mendekatinya. Dia cepat berdiri.
“Bunga….. Tadi kau mengatakan
aku…..aku….ini Ayahmu…..? Atau telingaku salah mendengar?” Ucapan itu keluar
dari mulut Datuk Gampo Alam.
“Manusia jahat sepertimu tidak
mungkin menjadi Ayah gadis itu!” teriak Andana seraya mendatangi. Keris Tuanku
Ameh Nan Sabatang ditusukkannya ke dada sang Datuk.
“Kakak…. Demi Tuhan! Jangan
bunuh dia! Sudahi semua permusuhan ini!
Datuk Gampo Alam adalah Ayah
kandung saya……”
Pendekar 212 jadi garuk-garuk
kepala. Andana ternganga dan membeliak tak berkesip. Datuk Gampo Alam keluarkan
jeritan keras. Lalu putar tubuhnya dan lari ke arah sebuah bukit kecil di ujung
Ngarai Sianok.
“Ayah! Kau mau kemana?!”
teriak Bunga memanggil. Ketika dia hendak mengejar Andana cepat memegang lengan
gadis itu. “Ayah…..!”
Datuk Gampo Alam tidak
perdulikan teriakan Bunga. Dia lari terus sampai akhirnya tiba di atas bukit
kecil. Pada saat itu terdengar guntur menggelegar. Langit terang benderang.
Petir tampak menyambar di puncak bukit. Bunga terpekik keras ketika melihat
bagaimana petir menghantam tubuh Ayahnya. Tubuh Datuk Gampo Alam kelihatan
mengepulkan asap lalu terbanting roboh ke tanah bukit.
“Ayah!” teriak Bunga. Kali ini
Andana tak kuasa lagi menahan gadis itu. Dia mengikuti lari Bunga dari
belakang. Begitu juga Wiro. Mereka menuju ke puncak bukit.
“Jangan!” kata Andana ketika
Bunga hendak menjatuhkan diri memeluk tubuh Datuk Gampo Alam yang masih sangat
panas dan mengepulkan asap serta tak karuan bentuknya itu. Anehnya sarung keris
Tuanku Ameh Nan Sabatang tampak tergeletak tak jauh dari mayat Datuk Gampo
Alam. Ketika Bunga mendudukkan dirinya di tanah dan menangis keras. Andana
melangkah mengambil sarung keris itu. Lalu dia kembali mendekati Bunga.
Beberapa lamanya dipandanginya gadis itu. Lalu terdengar dia berkata.
“Bunga….”
Bunga menurunkan kedua
tangannya yang dipakai menutupi wajahnya.
“Saya harus pergi sekarang.
Sahabat saya Wiro akan mengantarkanmu pulang.
Dia juga akan mengurusi
jenazah Datuk Gampo Alam kalau dia memang Ayahmu….”
“Kakak hendak kemana?” tanya
Bunga dengan lidah kelu.
“Saya belum tahu mau pergi
kemana. Saya titipkan rumah gadang dan isinya padamu…..”
Gadis itu berusaha berdiri
hendak merangkul tubuh Andana. Tapi Harimau Singgalang memutar tubuh dengan
cepat dan meninggalkan bukit di tepi Ngarai Sianok itu menuju ke Timur.
Tak ada perubahan pada telaga
di Asahan itu. Suasana sejuk terasa menyegarkan. Tiupan angin seolah memberikan
kekuatan yang ajaib. Di ujung jalan yang menurun Harimau Singgalang sudah dapat
melihat gadis itu duduk membelakanginya, menghadap ke telaga yang jernih.
Seperti punya firasat kalau ada seseorang tegak memperhatikannya dari kejauhan,
Halidah berpaling.
Sesaat gadis itu tercengang.
Bibirnya yang merah segar terbuka dan terdengar suaranya berkata antara percaya
dan tidak.
“Betul Abang yang saya lihat
ini….?”
Andana tertawa lebar. Dia
melangkah cepat-cepat sambil mengembangkan kedua tangannya. Halidah tak dapat
menahan hatinya lagi. Gadis ini berteriak lalu tenggelam ke dalam pelukan
hangat Andana.
“Jangan pergi lagi Bang.
Jangan tinggalkan saya lagi untuk selamaselamanya….” bisik Halidah. Air matanya
terasa hangat di dada Andana.
“Abang tak akan pergi lagi
Halidah. Tak akan Abang tinggalkan lagi kau untuk selama-lamanya,” bisik Andana
lalu mencium dalam-dalam rambut hitam Halidah.
TAMAT