Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
077 Kepala Iblis Nyi Gandasuri
SATU
Penunggang kuda berpakaian
putih memacu tunggangannya secepat setan berkelebat. Menembus kegelapan malam
dalam cuaca buruk di penghujung bulan ke sebelas. Terpaan angin kencang dari
depan membuat rambutnya yang gondrong melambai deras ke belakang. Di puncak
sebuah bukit kecil kuda coklat mandi keringat itu berhenti berlari lalu
meringkik keras tak mau maju lagi walau selangkahpun!
“Mmmmmm….” Penunggangnya
bergumam lalu mengusap leher bintang itu berulang-ulang. “Perasaan binatang ini
tajam sekali….” Katanya dalam hati. Dia terus mengusap leher kuda lalu berkata.
“Tenang kudaku…. Tenang…. Tak ada yang perlu ditakutkan. Kau dan aku membawa
tugas agung! Menyelamatkan nyawa seorang pangeran. Gusti Allah pasti menolong
kita!”
Orang di atas kuda memandang
ke bawah bukit. Di sebuah pedataran di bawah sana, samar-samar dalam kegelapan
malam kelihatan sebuah bangunan yang atapnya bertingkat dua. Nyala lampu minyak
di langkan depan dari kejauhan terlihat seperti titik merah.
Angin bertiup kencang di
puncak bukit. Hujan rintik-rintik mulai turun.
“Kita harus melanjutkan
perjalanan kudaku. Kau sudah siap….?” Si penunggang kuda bicara lagi. Tangan
kanannya terus mengusap leher kuda. Binatang ini angkat kaki kirinya. Ekornya dikibaskan
berulang kali. Dari mulut dan hidungnya terdengar dengusan halus. “Kita
berangkat sekarang!” kata si penunggang kuda lalu menepuk pinggul binatang itu
dengan keras.
Kuda coklat meringkik satu
kali lalu seperti anak panah lepas dari busurnya binatang ini melesat menuruni
bukit. Kurang dari sepeminuman teh kuda dan penunggangnya akhirnya sampai di
depan rumah besar yang sebelumnya terlihat dari atas bukit. Selain besar rumah
itu ternyata dikelilingi oleh tembok tinggi berbentuk benteng, dikawal oleh
belasan penjaga bersenjata pedang dan tombak serta membawa tameng.
Begitu kuda dan penunggangnya
muncul di pintu gerbang rumah besar enam pengawal segera menyongsong. Empat
menutup jalan masuk dan dua orang mendatangi tamu tak dikenal itu dengan tombak
terhunus. Enam pasang mata memandang tak berkesip penuh curiga.
“Anak muda! Siapa kau! Ini
kawasan terlarang! Tidak satu orangpun boleh berada di tempat ini!” satu dari
dua pengawal yang memegang tombak bertanya. Suaranya garang.
“Namaku Wiro Sableng. Seseorang
mengutusku untuk menemui Pangeran Sampurno!” jawab orang di atas kuda.
“Sableng…..” pengawal satunya
berucap. “Kau tahu kalau sableng itu artinya gendeng?! sama dengan gelo alias
gila!”
Pemuda di atas kuda
menyeringai, garuk-garuk kepala lalu mengangguk.
“Kalau sudah tahu lekas kau
angkat kaki dari tempat ini! Di sini bukan tematnya orang-orang gila
keluyuran!”
“Namaku memang begitu. Tapi
aku belum gila….”
“Mungkin baru setengah gila!”
teriak pengawal dekat pintu masuk. Tiga kawan di sebelahnya tertawa
gelak-gelak.
“Dengar aku tidak main-main.
Aku harus menemui Pangeran Sampurno….” Kata Wiro.
“Kurang ajar! Dasar gila
disuruh pergi malah bandel!”
“Aku mau tahu apa keperluanmu
menemui Pangeran malam-malam buta begini. Kulihat kau orang asing. Bagaimana
bisa tahu kalau ini tempat kediaman Pangeran Sampurno?!” pengawal satunya
bertanya.
“Dari mana aku tahu ini
rumahnya Pangeran Sampurno buat apa dipersoalkan. Yang penting lekas kalian
bangunkan Pangeran. Aku harus menemuinya untuk memberi tahu kalau nyawanya
terancam!”
“Terancam….?”
“Nyawa Pangeran Sampurno
terancam?! Kawan-kawan kalian dengar ucapan pemuda sinting ini?!”
Enam pengawal di pintu gerbang
itu lalu tertawa mengejek. Salah seorang dari mereka berkata “Di sini ada
puluhan pengawal. Jangankan manusia, angin sekalipun tak bisa tembus!”
“Aku tidak main-main….”
“Aku juga tidak!” bentak si
pengawal. Kawan di sebelahnya rupanya sudah tidak sabar. Dia maju mendekat.
“Hanya ada satu cara mengusir
orang gila ini!” lalu tombak di tangannya diayunkan untuk menggebuk kepala
penunggang kuda.
Tapi dia jadi terperangah
ketika dengan kecepatan luar biasa si penunggang kuda menarik dan merampas
tombaknya. Lima kawannya tak kalah kaget. Salah seorang dari mereka melompat
dan langsung saja tusukkan tombaknya ke perut kuda. Melihat hal ini tentu saja
Wiro tidak tinggal diam. Tombak rampasannya diayunkan ke bawah memukul tombak
si pengawal.
Tranggg!
Tombak di tangan pengawal itu
terlepas mental dalam keadaan patah dua! Selagi dia kaget dan marah ujung
tumpul tombak di tanagn Wiro sudha menempel di keningnya. Sekali Wiro
mendorong, pengawal itu terjajar keras dan jatuh terjengkang di tanah. Lima
kawannya berteriak marah. Serta merta mereka menyerbu. Tiga dengan tombak, dua
dengan pedang. Tapi serentak kelimanya berseru kaget. Orang yang hendak mereka
serang tidak kelihatan lagi di atas punggung kuda.
“Hai! Pemuda itu lenyap!”
“Jangan-jangan dia mahluk
jejadian! Setan!”
“Astaga! Lihat!” teriak salah
seorang pengawal tiba-tiba. “Pemuda edan itu ada di sana!”
Empat pengawal cepat menoleh
ke arah yang ditunjuk. Ternyata saat itu pemuda berpakaian putih berambut
gondrong tengah melangkah cepat menaiki tangga bangunan. Lima pengawal serta
merta mengejar. Mereka berhasil menghadang Wiro di anak tangga teratas. Tanpa
banyak bicara lagi kelimanya terus saja menyerang. Maka di malam buta itu
terdengar suara riuh dentrangan senjata saling beradu. Dua jurus berlalu dengan
cepat. Lima pengawal berkaparan di sekitar tangga. Dua mengerang karena
kepalanya benjut di hantam tombak lawan. Satu terbungkukbungkuk kesakitan
akibat sodokan ujung tombak di perutnya. Pengawal keempat terjengkang di tangga
sambil urut-urut dadanya yang kena tendangan. Lalu pengawal kelima pegangi
hidungnya yang mengucurkan darah. Untung saja hidungnya tidak remuk dihantam
tombak.
Dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba ada suara menegur disertai berkelebat satu bayangan.
“Anak-anak, ada apa di
sini…..?!”
Wiro berpaling. Tak jauh di
ujung tangga tegak seorang kakek berbaju dan bercelana hitam. Dia menyandang
sehelai kain sarung. Pandangan matanya tajam ke arah Wiro. Tak satupun dari
pengawal sanggup bersuara berikan jawaban. Orang tua itu kembali menatap Wiro
yang saat itu tengah berkata sendiri dalam hati. “Orang tua jelek ini pasti bukan
Pangeran Sampurno. Jika dia memanggil para pengawal dengan sebutan anak-anak
berarti dia punya kedudukan tinggi di tempat ini.” Maka Murid Eyang Sinto
Gendeng cepat berkata.
“Aku datang untuk menemui
Pangeran Sampurno. Enam pengawal itu malah menganggap aku pemuda gila. Mereka
bukan saja mengusir tapi juga menyerangku…..”
“Lalu kau menghajar mereka!”
“Terpaksa karena aku tentu
saja tak mau digebuk….”
“Katakan siapa dirimu dan ada
keperluan apa hendak menemui Pangeran Sampurno. Melihat pada keadaan dirimu kau
bukan utusan dari Kotaraja, bukan pula seorang perajurit…..”
“Namaku Wiro Sableng. Aku ke
sini memang bukan di utus penguasa di Kotaraja. Aku juga bukan seorang
perajurit. Aku diutus oleh seseorang….”
“Siapa?!” memotong orang tua
berselempang kain sarung.
“Maaf, aku tak dapat
mengatakan pada siapapun kecuali Pangeran……”
“Pemuda edan kurang ajar! Pada
pimpinan kamipun kau berani menghina! Teriak pengawal yang terkapar di tangga.
“Ah, rupanya aku berhadapan
dengan pimpinan pengawal di empat ini!” kata Wiro. Dia menjura pada orang tua
di hadapannya lalu berkata. “Kuharap kau bisa berlaku lebih bijaksana….. Aku
datang untuk memberi tahu bahwa keselamatan Pangeran Sampurno terancam. Ada
yang ingin membunuhnya!”
Orang tua di hadapan Wiro tersenyum.
Dia berkata “Namaku Ki Ageng Bantoro. Aku sudah menjadi pengawal Pangeran
Sampurno sejak beliau masih bayi! Selama itu aku tahu betul tak ada satu
mahlukpun yang akan tega menyakitinya, apa lagi membunuhnya! Beliau tidak
pernah punya musuh! Jadi ceritamu bahwa ada seseorang yang mengutus untuk
memberi tahu bahwa keselamatan Pangeran terancam, ada yang ingin membunuh
beliau, itu adalah omong kosong belaka! Bukan mustahil kau sendiri punya maksud
jahat! Buktinya enam anak buahku kau buat babak belur…..”
“Aku menyesalkan kejadian itu.
tapi bukan aku punya mau, mereka minta sendiri!” jawab Wiro. “Sekarang apakah
kau tetap tidak mengizinkan aku menemui Pangeran? Aku harap kau mau membantu
menjagakan Pangeran dari tidurnya. Waktu untuk mencari selamat sempit sekali.
Malaikat maut bisa datang lebih dulu dari pada pertolongan…..”
Orang tua bernama Ki Ageng
Bantoro tersenyum sinis.
“Soal keselamatan Pangeran
serahkan saja pada kami….”
“Salah seorang anak buahmupun
tadi juga bicara takabur seperti itu. katanaya jangankan manusia, anginpun
tidak bisa tembus, kau saksikan sendiri kenyataan kini. Mereka berkaparan di
sana-sini….”
“Anak muda,” kata Ki Ageng
Bantoro pula. “Aku maklum kau punya ilmu. Tapi kalau dengan sedikit ilmu saja
kau sudah bicara dan bertindak pongah, berarti kau tidak labih baik dari
anak-anak buahku. Dan saat ini coba kau memandang berkeliling. Lihat apa yang
ada di sekitarmu!”
Wiro agak heran mendengar
ucapan terakhir orang tua itu. perlahan-lahan dia memandang berkeliling.
Kagetlah murid Sinto Gendeng ini. ternata tempat itu telah dikurung oleh lebih
dari dua puluh perajurit bersenjata lengkap. Sepuluh di antaranya memegang
busur dan anak panah di arahkan tepat-tepat pada dirinya!
Pendekar 212 garuk-garuk
kepala. Dia berpaling pada Ki Ageng Bantoro.
“Jika kau dan orang-orangmu
mau membunuhku, kelihatannya memang mudah saja. Tapi apakah itu akan menolong
menyelamatkan Pangeran Sampurno?”
Ki Ageng Bantoro kembali
sunggingkan senyum sinis. “Saat ini yang ingin kukatakan padamu apakah kau mau
menyerah secara baik-baik atau ingin mati terkutung-kutung!”
“Dunia ini memang aneh!”
menyahuti Pendekar 212. “Maksud baik mau menolong malah diterima salah! Kalau
memang sulit berbuat kebajikan, biar aku pergi saja! Kuharap kau tidak
menyesal, orang tua….”
Wiro putar tubuhnya untuk
menurni tangga.
“Tetap di tempatmu!” bentak Ki
Ageng Bantoro. Sepuluh perajurit pemegang busur merentangkan anak panah, siap
untuk di lepas. “Kau telah menciderai enam pengawal Pangeran. Apa kau kira bisa
pergi seenaknya?!”
Wiro cuma menyeringai. “Aku
datang dengan tujuan baik dan pergi juga dengan maksud baik. Kalau kalian
keliwat memaksa, jangan salahkan diriku!”
Baru saja Wiro berkata begitu
Ki Ageng Bantoro jentikkan telunjuk dan ibu jari tangan kanannya. Clekkk!
Sepuluh busur bergerak,
sepuluh anak panah melesat! Sasaran tertuju ke satu arah. Kepala dan badan
Pandekar 212 Wiro Sableng!
DUA
Secepat kilat Pendekar 212
jatuhkan diri ke tangga lalu erguling ke bawah. Ki Ageng Bantoro berseru kaget
karena baru menyadari paa yang bakal terjadi. Dia cepat menyambar sebatang
tombak dari seorang pengawal yang ada di dekatnya lalu melompat ke depan sambil
babatkan tombak dalam gerakan setengah lingkaran. Terdengar suara berdentrangan
berulang kali ketika tombak menghantam anak-anak panah yang melesat di udara.
Namun tak semua anak panah bisa diruntuhkan oleh si orang tua, empat di
antaranya terus melesat menyambar. Inilah sebenarnya yang dikawatirkan Ki Ageng
Bantoro. Empat anak panah yang lolos itu menancap di tubuh empat orang anak
buahnya yang tidak keburu mengelak karena tidak menduga dan masih berada dalam
keadaan terkesiap. Keempatnya langsung rubuh.
Ki Ageng Bantoro berteriak
marah. Dengan tombak masih di tangan dia menyerbu Pendekar 212 Wiro Sableng
tepat pada saat pemuda ini baru saja berusaha bangkit.
Wuttt!
Ujung runcing tongkat
menyambar seujung jari di depan mata murid Sinto Gendeng. Jantungnya serasa
tanggal. Cepat dia jatuhkan diri lagi begitu dilihatnya Ki Ageng Bantoro
memburu. Kali ini si orang tua kirimkan tusukan deras ke arah kepala Wiro.
Wuuuutt!
Claaap!
Terlambat saja Wiro
menjatuhkan diri pasti tembus batok kepalanya. Tombak di tangan Ki Ageng
Bantoro menancap di tanah sampai sepertiga panjang.
“Gila!” maki Wiro. Kakinya
dikibaskan coba menendang tulang kering lawan. Dengan sigap Ki Ageng Bantoro
melompat sampai setengah tombak lalu dari atas kembali dia tusukkan senjatanya.
Kali ini Wairo bergerak lebih cepat. Tangan kiri berkelebat menepis bagian
bawah mata tombak. Bersamaan dengan itu dia bangkit dan membuat lompatan pendek
sambil hantamkan tangan kanannya ke atas. Inilah jurus yang disebut “membuka
jendela memanah matahari.”
Ki Ageng Bantoro merasakan
kepalanya seperti copot ketika tekukan telapak tangan Wiro Sableng menghantam
dagunya dengan keras. Pukulan ini bukan saja membuat tulan gdagunya retak dan
rahangnya tergeser tetapi juga secara tidak sengaja membuat dia menggigit
lidahnya senidir hingga ujungnya hampir putus dan darah mengucur. Orang tua ini
meraung kesakitan. Tapi karena lidahnya luka parah suaranya terdengar aneh
menggidikkan di malam buta!
Sesaat seluruh anak buah Ki
Ageng Bantoro yang ada di tempat itu terkesiap tak percaya. Belum pernah mereka
melihat pimpinan mereka dirobohkan lawan seperti itu. Apa lagi lawan seorang
pemuda tak dikenal pula! Begitu sadar apa yang terjadi lebih selusin senjata
diantara mereka tiba-tiba menyerbu sambil berteriak beringas. Mendadak pintu
depan bangunan besar terbuka. Sinar terang merambas ke luar halaman. Sesaat
kemudian seorang lelaki paruh baya mengenakan baju putih lengan panjang dan
sehelai kain sarung serta bersandal kulit keluar diiringi seorang pelayan
membawa lampu minyak besar.
“Ada kejadian apa di sini….?”
Orang ini menegur seraya memandang berkeliling. Dia hendak berucap kembali akan
tetapi mulutnya serta merta terkancing ketika melihat sekian banyak perajurit
pengawal bergeletakan di sekitar tangga dan halaman rumah besar. Salah ssatu
diantara mereka adalah Ki Ageng Bantoro yang mengerang sambil menutupkan kedua
tangannya ke mulut yang mengucurkan darah.
Karena tak ada yang berani
menjawab, Wiro pergunakan kesempatan untuk maju ke hadapan oran gitu.
“Apakah saya berhadapak dengan
Pangeran Sampurno?” Wiro ajukan pertanyaan.
“Aku memang orang yang kau
sebutkan itu Anak muda, aku tak kenal kau dan tak pernah melihat sebelumnya.
Apakah kau yang telah menimbulkan malapetaka di tempat ini?!”
“Saya mohon dimaafkan. Saya
tidak bermaksud mencelakai siapapun. Tapi mereka menyerang, mengeroyok bahkan
bermaksud membunuh saya,” Wiro coba menerangkan.
“Para pengawal di sini
terlatih dengan baik dan punya kepatuhan tinggi. Jika mereka tidak punya alasan
mana mungkin hendak mencelakai dirimu?! Kau pemuda asing, datang dan muncul
malam buta begini! Orang mana yang tak akan curiga?”
“Saya sudah memberitahu maksud
kedatangan. Namun para pengawal di sini menganggap saya orang gila. Lalu ada
yang menyerang. Dalam keadaan terpaksa bagaimana mungkin saya hanya beridam
diri…..?”
“Kalau begitu coba kau katakan
apa maksud kedatanganmu!” ujar Pangeran Sampurno pula sambil terus
memperhatikan Wiro.
Wiro agak ragu untuk bicara di
depan orang banyak. “Pengeran, kalau boleh saya ingin bicara di tempat lain
saja. Hanya kita berdua….”
Pangeran Sampurno gelengkan
kepala. “Jika kau memang punya maksud baik, bicara terang-terangan! Hanya
manusia culas yang suka sembunyi-sembunyi…..”
“Kalau begitua mau Pangeran,
saya mengikuti saja. Saya datang diutus oleh guru saya. Eyang Sinto Gendeng
dari gunung Gede.”
“Hemmmm cukup jauh
perjalananmu. Dari barat ke timur sini.” Kata Pangeran Sampurno pula. Aku
hampir lupa pada nenek sakti itu. gerangan apa yang membuatnya mengutusmu.
Pamrih apa yang gurumu inginkan….?”
“Guru saya tidak punya pamrih
apa-apa. Niat menolong dilakuannya dengan ikhlas mengingat beberapa tahun silam
Kerajaan pernah membantunya.” Suara Pendekar 212 agak meradang karena dia mulai
jengkel dengan ucapan-ucapan sang Pangeran yang menghina gurunya. “Beliau
meminta saya untuk menyampaikan pesan bahwa keselamatan Pangeran sangat
terancam…..”
“Keselamatanku terancam?” ujar
Pangeran Sampurno sesaat menatap Wiro lalu memandang berkeliling pada
orang-orangnya dengan senyum dikulum. “Ah! Gurumu baik sekali mau
memperhatikanku dan mengirimmu jauh-jauh sampai ke sini. Ketahuilah, selama ini
aku tak punya musuh. Tak ada orang beritikad jahat yang mengancam keselamatan
diri ataupun keleuargaku. Tempat kediamanku terjaga siang dan malam. Semua aman
tentram sampai saat kemunculanmu menimbulkan keobaran, melakukan tindak
kekerasan malah membunuh!”
“Maaf Pangeran, tidak satu
orangpun saya bunuh di tempat ini. Yang menemui ajal itu adalah akibat kena
panah para pengawal Pangeran sendiri!”
Tiba-tiba seseorang melompat.
Ternyata Ki Ageng Bantoro. Dengan darah masih mengucur dari mulutnya dia
berkata. Ucapannya agak sulit dimengerti.
“Pangeran! Manusia jahat ini
pandai berdalih! Dia telah membunuh empat orang anak buahku! Izinkan aku
meringkusnya hidup atau mati!” habis berkata begitu kepala pengawal Pangeran
Sampurno ini loloskan kain sarungnya. Benda itu diputarnya dua kali di atas
kepala. Kali ketiga tiba-tiba kain sarung itu melesat ke arah kepala Pendekar
212. Sebelum Wiro sempat berbuat sesuatu kain sarung telah menjirat lehernya.
Dia berusaha meloloskan diri sambil menghantam dengan tangan kanan. Tapi Ki
Ageng Bantoro berlaku cerdik. Dengan cepat dia bergeak ke belakang punggung
Wiro. Dari sini dipuntirnya kain sarung kencang-kencang hingga jiratan kain itu
siap mematahkan tulang lehernya!
“Kain sarung jahanam! Senjata
macam apa ini?” rutuk Wiro dalam hati. Ketika mulutnya mulai terjulur dan dia
sulit bernafas Wiro yang tak mau mati konyol langsung salurkan tenaga dalam ke
tangan kanan sambil merapal aji kesaktian untuk melepas pukulan “sinar
matahari” dia tak mau kepalang tanggung. Kalau bukan dia yang putus nyawa maka
Ki Ageng Bantoro terpaksa harus dibunuhnya!
Ketika tangan kanan Wiro
berubah putih seperti perak dan mengeluarkan sinar menyilaukan Pengeran
Sampurno terkejut besar. Cepat dia mengangkat tangan dan berseru pada kepala
pengawalnya. “Ki Ageng! Lekas lepaskan pemuda itu!”
Sepasang mata Ki Ageng Bantoro
mendelik. Dengan kesal kain sarung diputar balik mengendur lalu dibetotnya ke
atas hingga lepas dari leher Wiro. Masih dengan sikap meradang orang tua ini
mundur beberapa langkah. Sementara Wiro berdiri sambil pegangi lehernya dengan
tangan kiri kanan.
Pangeran Sampurno mendatangi
Wiro, mencekal ke arah pakaian pemuda ini lalu berkata. “Sekarang jelaskan
bahaya apa yang mengancam diriku! Siapa yang ingin membunuhku!”
“Seorang perempuan, Pangeran.
Dia dekat sekali dengan dirimu. Karena berada di dalam rumahmu…..”
“Apa?” suara Pangeran Sampurno
menggeledek.
“Seorang perempuan bernama Nyi
Gandasuri. Dia yang ingin membunuhmu! Malam ini!” kata Wiro.
“Kurang ajar! Nyi Gandasuri
adalah istriku sendiri!” teriak Pangeran Sampurno dengan sepasang mata
membeliak seperti hendak keluar dari sarangnya.
“Memang dialah yang akan
membunuhmu Pangeran. Membunuh dan menghisap darahmu…..”
“Jahanam! Istriku sedang
tidur….”
“Memang dia kelihatan tidur.
Tapi itu hanya sosok kasarnya. Sosok halus atau jiwa raga, rohnya berada di
tempat lain. Di bawah kekuasaan jahat!”
“Pemuda keparat! Otakmu jelas
sinting dan mulutmu lancang kurang ajar!”
Pangeran Sampurno berteriak
keras lalu plaaakkkk!
Tangan kirinya melayang menampar
pipi kanan Wiro hingga bibir pemuda ini luka dan berdarah.Wiro merasakan
tubuhnya bergetar karena berusaha menindih gelagak amarah. Tangan kanannya
melesat ke atas mencekal pergelangan tanagn Pangeran Sampurno.
Pangeran Sampurno adalah salah
soerang pewaris tahta Kerajaan yang memiliki kepandaian silat serta tenaga
dalam dan kesaktian bukan sembarangan. Dia mengibaskan tangannya. Disangkanya
sekali sentak saja cekalan Wiro bisa dilepaskan. Tapi alangkah terkejutnya dia
ketika justru cekalan pemuda itu semakin kuat.
“Kerahkan seluruh tenagamu.
Luar dalam! Kesaktianmu sekalian! Dan akan kupatahkan tulang lenganmu dalam
sekejap!” kertak Wiro dalam hati. Pandangan matanya menembus ke dalam sepasang
mata sang Pangeran, membuat tergetar hati Pangeran Sampurno. Butir-butir
keringat memercik di kening sedang punggung pakaiannya juga basah oleh peluh.
“Pangeran, memang sulit
mempercayai apa yang tadi saya katakan. Tapi saya tidak bicara dusta. Istrimu
akan membunuhmu malam ini. Karena begitu perjanjiannya dengan dua mahluk iblis
Maharaja dan Maharatu Langit Darah yang menguasainya!”
“Keparat! Biar kupecahkan
kepalamu!” senak Pangeran Sampurno yang tentu saja tidak mau mempercayai ucapan
pemuda yang tidak dikenalnya itu. Malah dalam marahnya dengan cepat tangan kirinya
dihantamkan ke batok kepala Pendekar 212. Namun serangan maut itu tidak dapat
mencapai sasaran karena saat itu juga Wiro mendahului memuntir pergelangan
tangan kanan Pangeran Sampurno hingga terdengar suara berkeretak tanda
sambungan sikunya terlepas. Pangeran Sampurno menjerit setinggi langit. Wiro
dorong tubuh orang itu hingga terjelapak di depan pintu.
“Bunuh pemuda itu! Cincang
sampai lumat!” teriak sang Pangeran.
Ki Ageng Bantoro yang pertama
sekali melompat ke hadapan Wiro. Tangan kiri mencekal sarung sedang tangan
kanan memegang sebilah golok panjang. Sambil melompat kepala pengawal itu
berteriak pada puluhan anak buahnya agar ikut menyerbu. Maka lebih dari dua
puluh pengawal menyernag dengan berbagai macam senjata.
“Tewas diriku!” keluh murid
Sinto Gendeng. Otaknya cepat bekerja, tubuhnya cepat membuat gerakan
menyelamatkan diri. Yang pertama sekali dilakukan Wiro adalah menghantam ke
kiri dan ke kanan dengan pukulan “tameng sakti menerpa hujan” Dia sengaja tidak
mengerahkan tenaga dalam keras, cukup membuat hampir selusin pengawal
berjungkalan morat marit. Gerakan kedua menyusul. Wiro jatuhkan diri di lantai.
Bukan saja untuk mengelakkan sambaran golok di tangan Ki Ageng Bantoro tapi
sekaligus untuk dapat menggulingkan diri ke arah Pangeran Sampurno yang masih
terkapar di lantai sambil pegangi tangan kanannya yang keple tergontaigontai
karerna tanggal sambungan sikunya.
Ki Ageng bantoro dan sekitar
sepuluh pengawal jadi tertegun begitu melihat Wiro mencekal leher pakaian
Pangeran mereka seperti membembeng seekor kucing.
“Yang berani boleh maju!
Kalian akan lihat bagaimana kepala Pangeran kalian akan kubantingkan ke lantai
hingga pecah!”
Ki Ageng Bantoro meradang tapi
tidak bergerak. Begitu juga semua anak buahnya. Keadaan di tempat itu sunyi
sesaat kecuali suara erangan pangeran Sampurno yang terdengar tidak
berkeputusan.
Sambil menyeret sang Pangeran
Wiro melangkah mundur ke ujung langkan depan rumah besar. Ki Ageng Bantoro
bergerak hendak mengejar.
“Eit!” seru Wiro seraya angkat
tubuh Pangeran Sampurno tinggi-tinggi, siap untuk membanting.
“Keparat!” maki Ki Ageng
Bantoro. “Aku bersumpah akan mencincangmu!”
Murid Sinto Gendeng
menyeringai. Jaraknya sudah cukup jauh. Tiba-tiba tangan kanannya digerakkan.
Tubuh Pangeran Sampurno melayang di udara, melesat ke arah Ki Ageng Sampurno.
“Pangeran!” seru Ki Ageng
bantoro seraya memburu coba menangkap tubuh Pangeran Sampurno. Sebaliknya sang
Pangeran sendiri terdengar mendamprat.
“Pemuda keparat! Makan
jariku!” teriak Pangeran Sampurno marah. Sambil menahan sakit pada tangan kanan
dalam keadaan tubuh terlempar seperti itu dia tusukkan dua jari tangan kirinya
ke arah Wiro.
Wiro melengak kaget melihat
dua jari tangan sang Pangeran tiba-tiba berubah panjang dan menusuk ke arah
kedua matanya! Inilah ilmu kesaktian yang disebut “dua jari akhirat”. Jangankan
mata manusia, batupun sanggup dibuat bolong!
Murid Sinto Gendeng cepat
menghindar dengan melompat ke samping. Justru dari arah ini tiba-tiba seorang
pengawal datang menyongsong dengan sebilah kelewang.
“Kebetulan sekali!” seru Wiro.
Dengan gerakan kilat ditangkapnya lengan si penyerang lalu ditariknya demikian
rupa hingga kepala dan tubuhnya terlindung dari serangan “dua jari akhirat”
Akibatnya terjadilah hal yang tidak disangka oleh Pangeran maupun semua orang
yang ada di situ.
Pengawal yang menyerang Wiro
menjerit keras. Dua tuskan jari Pangeran Sampurno bersarang di keningnya.
Crosss!
Dua lobang terlihat di kening
pengawal. Darah mengucur mengerikan. Di saat itu pula tubuh Pangeran Sampurno
jatuh ke bawah. Kalau tidak lekas ditangkap oleh Ki Ageng Bantoro, Pangeran ini
pasti jatuh berdebam ke lantai batu! Celakanya karena tubuh Pangeran Sampurno
lebih tinggi dan besar sedang Ki Ageng Bantoro kecil, di samping itu kaki
kepala pengawal ini terpeleset pula di lantai yang licn oleh darah maka tak
ampun lagi dia terrsungkur. Tumpang tindih dengan Pangeran Sampurno.
“Pangeran maafkan saya….” Kata
Ki Ageng Bantoro. Bersama beberapa orang pengawal dia menolong Pangeran itu
bangkit berdiri. Saat itu Pendekar 212 Wiro Sableng tak kelihatan lagi di
tempat itu. Pangean Sampurno merasa sekujur tubuhnya dingin oleh keringa. Di
antara rintih kesakitan dia berkata.
“Papah aku ke dalam kamar…..”
TIGA
Suatu malam, empat puluh hari
sebelum kedatangan Pendekar 212 Wiro Sableng ke tempat kediaman Pangeran
Sampurno.
Langit malam yang redup sejak
senja menjadi tambah suram dan kelam ketika bulan purnama ditutup awan hitam
yang dihembuskan angin dari arah Selatan. Di sekitar pohon beringin besar yang
memayungi bekas reruntuhan candi serta merta berubah gelap gulita. Desau angin
tak kuasa memecah kesunyian yang mencekam. Tak sanggup mengibas daun-daun
apalagi akar gantung pepohonan yang menjulai panjang.
Tiba-tiba di kejauhan ada
suara derap kaki kuda ramai sekali. Semakin lama semakin keras mendekati
reruntuhan candi. Tapi anehnya baik kuda maupun para penunggangnya tak satupun
kelihatan. Suara derap kaki binatang-binatang itu menggemuruh seolah menerjang
batu-batu berlumut bangunan candi, lalu bergerak kencang melewati arah kanan
pohon beringin. Ketika suara derap kaki kuda itu melewati reruntuhan candi,
sebuah stupa tanpa kepala kelihatan bergoyang-goyang dalam gelapnya malam. Lalu
ketika suara tanpa ujud itu melewati pohon beringin, akar-akar gantung pohon
tampak bergoyang-goyang! Mahluk apakah yang sebenarnya barusan lewat ditempat
itu? Serombongan hantu berkuda? Begitu gemuruh suara lenyap suasana kembali
sunyi dan gelap. Namun tidak lama. Sesaat kemudian seolah-olah datang dari
langit yang kelam, di arah Timur terdengar suitan nyaring sekali, tiga kali
berturut-turut. Senyap seketika. Lalu seperti menyahuti suitan yang datang dari
Timur tadi, dari jurusan Barat berkumandang pula suitan keras tiga kali
berturur-turut.
Begitu suara suitan lenyap,
tepat di puncak pohon beringin besar terdengar
suara orang bertanya tapi
sosoknya sama sekali tidak kelihatan. “Siapa yang datang?!” “Kami dua orang
anggot dari kawasan Selatan!” Ada suara jawaban.
Terdengar juga di sekitar
puncak pohon beringin. “Sebutkan angka kalian!” “Aku 114!” “Dan aku 129!”
“Sebutkan keperluan kalian!” “Kami ingin menghadap Maharaja dan Maharatu Langit
Darah!” “Membawa urusan apa?!” “Kami mengantar seorang tamu. Calon anggota
baru!” “Lelaki atau perempuan? Sebutkan usianya!” “Perempuan. Sekitar dua puluh
lima tahun!” “Masih gadis atau janda atau punya suami?!” “Punya suami!”
“Cantikkan dia?!” “Hanya bidadari yang dapat menandingi kecantikannya!” Sunyi
sesaat. “Kalian berdua tunggu di pintu gerbang Timur! Kami akan menanyakan
apakah Maharaja dan Maharatu
Langit Darah bersedia menerima kalian!” Tak selang berapa lama terdengar suara
suitan tiga kali berturu-turut. “Kalian diperkenankan menghadap Maharaja dan
Maharatu langit Darah!” “Kalau begitu harap bukakan pintu!”
“Pintu segera kami buka. Ingat
peraturan! Kalian tidak diperkenankan memandang ke atas! Atas adalah langit dan
langit adalah bagian jagat yang berada dalam kekuasaan Maharaja dan Maharatu
Langit Darah! Apa jawab kalian?!”
“Kami akan mentaati
peraturan!”
“Kalau kalian mendengar ketentuan,
kalian sudah tahu hukuman yang bakal dijatuhkan?”
“Sudah!”
“Sebutkan!”
“Kepala kami akan dijadikan
batu ganjalan tiang Istana Langit Darah selama seratus hari! Sekarang harap
buka pintu gerbang! Tamu yang kami bawa sangat keletihan!”
Terdengar suara berdesir
halus. Lalu suara benda berat bergeser menggetarkan pohon beringin sampai ke
akar-akarnya yang berada jauh dalam tanah.
“Pintu sudah dibuka! Lekas
masuk!”
Terdengar lagkah-langkah kaki
kuda yang kemudian disusul suara benda berat bergeser seperti tadi. Lalu malam
kembali dibungkus kesunyian.
Menjelang dini hari, ketika
udara semakin dingin dan kegelapan malam masih pekat menghitam tiga ekor kuda
dalam keadaan tubuh berlapis debu dan keringat berhenti di depan serumpunan
bambu kuning. Penunggang di kiri kanan turun dengan cepat. Mereka adalah dua
orang lelaki berpakaian hitam, mengenakan topi kain hitam berkerucut yang
sebelah depannya ada gambar kepala kelelawar bermata besar. Pada dada dan
punggung baju mereka tertera angka 114 dan 129. Keudanya membantu turun
penunggang kuda ketiga yang ternyata adalah seorang perempuan muda berwajah
sangat cantik, berambut hitam dikonde dan ditancapi sebuah tusuk konde terbuat
dari emas berhias tiga buah berlian. Walau keliahtan mengenakan pakaian putih
ringkas namun sebenarnya di bawah pakaian itu dia memakai kebaya beludru hijau
serta kain panjang yang disingsingkan ke atas demikian rupa hingga
memudahkannya menunggang kuda.
“Nyi Gandasuri, kita segera
akan memasuki tempat bersemayam Maharaja dan Maharatu Langit Darah. Ingat
pantangan utama. Jangan sekali-sekali berani memandang ke atas. Jangan salah
bertindak, jangan keliru berucap. Sekali mereka tidak suka padamu bukan saja
maksudmu akan menjadi batal tetapi mungkin kau juga akan menjadi tumbal untuk
nenek moyang mereka. Jka kau untung mungkin kepalamu dijadikan ganjalan tempat
tidur atau almari pakaian Maharatu Langit Darah….”
Perempuan muda yang dipanggil
dengan nama Nyi Gandasuri itu diam saja. Wajahnya agak pucat karena kecapaian
melakukan perjalanan jauh. Dia melangkah mengikuti dua orang berpakaian hitam
yang meegang lengannya kiri kanan. Ketika dilihatnya dirinya dibawa seperti
hendak menabrak rerumpunan pohon bambu kuning, dia hentikan langkah. Tapi dua
orang lelaki di kiri kanannya terus bergerak dan settt…..settt….sett. Dua orang
lelaki itu dan juga dirinya menembus rumpunan bambu. Tak ada halangan, tak ada
yang menahan. Mereka masuk seperti melewati sebuah pintu terbuka. Lalu
tiba-tiba saja di hadapannya Nyi Gandasuri melihat sebuah istana yang
keseluruhan bangunannya berwarna merah basah. Perempuan berusia 25 tahun ini
perhatikan warna merah basah itu. hatinya berdebar. Dia kurang percaya.
Diulurkannya tangan memegang. Diperhatikannya jari-jari tangannya yang basah
dan merah sambil digosok-gosokkan satu sama lain.
“Darah….!” Desis Nyi Gandasuri
dengan tangan bergetar. Dia memandang berkeliling lalu membatin.
“Aneh…. Di luar sana tadi
keadaanya malam dan gelap. Mengapa tiba-tiba di sini keadaanya siang terang
benderang.”
“Nyi Gandasuri,” bisik lelaki
yang di bajunya ada angka 114. “Jaga segala tindakanmu. Semoga saja Maharaja
dan Maharatu tida melihat waktu tadi kau meraba dinding darah itu.”
Ketiganya mulai melangkah
menaiki tangga depan istana yang terdiri dari dua puluh satu anak tangga.
Walau agak tercekat oleh
ucapan 114 tadi Nyi Gandasuri terus melangkah menaiki tangga. Di undakan ke 16
dia berkata.
“Saya lihat keadaan di sini
sunyi-sunyi saja. Tak ada satu orangpun. Siapa yang melihat perbuatan saya
tadi? Kecuali kalian melaporkannya nanti…..”
“Jangan tolol Nyi Gandasuri!”
bisik 129. “Kita bukan berada di dunia biasa seperti di luar sana. Ini adalah
dunia magis wilayah kekuasaan Maharaja dan Maharatu Langit Darah! Seribu mata
bisa saja memperhatikan tindak tanduk kita saat ini….!”
“Seribu mata…..?” ujar Nyi
Gandasuri sambil melirik berkeliling.
Tiba-tiba terdengar suara
menggema keras sekali. Tiga orang itu merasakan jantung mereka berdenyut keras,
kaki bergetar dan gendang-gendang telinga mendenging sakit.
“Suara apa itu…..?” tanya Nyi
Gandasuri pucat.
“Gong Keramat pertanda ruangan
ke tempat di maan Maharaja dan Maharatu Langit Darah berada akan segera dibuka.
Ingat, jangan sekali-sekali melihat ke atas!”
Nyi Gandasuri, 114 dan 129
melangkah terus. Mereka telah melewati langkan istana yang merupakan pintu
besar. Tujuh langkan di depan pintu terbuka ini membentang sebuah tirai hijau
muda tak tembus pandang. Sayup-sayup dari belakang tirai terdengar suara
seperti air memancur deras sekali.
“Suara apa itu?” tanya Nyi Gandasuri.
Hatinya mendadak saja menjadi sangat tidak enak.
Baik 114 maupun 129 tidak
menjawab. Nyi Gandasuri palingkan kepalanya pada114. Lelaki ini akhirnya
membuka mulut. “Aku tak berani menerangkan. Kau lihat saja sendiri nanti….”
Terdengar suara mendesir.
Tirai hijau terbuka ke kiri dan ke kanan. Nyi Gandasuri hampir tersurut sedang
114 dan 129 cepat-cepat tundukkan kepala. Setelah darahnya yang tersirap tenang
kembali Nyi Gandasuri coba memandang ke depan walau mukanya menjadi sangat
merah.
Sekitar dua puluh langakh di
hadapannya terpampang tembok batu lebar dan tinggi berbentuk tebing-tebing
kecil diselang seling oleh pohon-pohon bunga. Di bagian tengah ada patung batu
sangat hidup dari seorang lelaki dan seorang perempuan dalam keadaan tanpa pakaian
tengah melakukan hubungan badan dengan muka menghadap ke depan. Dari mulut
mereka yang terbuka lebar, dari sepasang liang telinga, lobang hidung, mata,
dubur, serta kemaluan mereka mengucur keluar cairan merah pekat disertai
menyambarnya bau amisnya darah! Seluruh cairan mengucur ke bawah, masuk ke
dalam sebuah kolam besar. Dalam cairan darah di kolam Nyi Gandasuri melihat ada
ikan-ikan aneh berkeliaran, tetapi yang menyeramkan adalah bahwa juga di dalam
kolam itu penuh dengan tengkorak kepala serta tulang belulang manusia! Secara
aneh cairan darah dalam kolam terus naik ke atas lalu turun kembali ke dalam
kolam lewat lobang-lobang di kepala dan aurat dua patung batu manusia tadi
hingga cairan darah dalam kolam tidak pernah penuh atau luber.
Berdiri bulu tengkuk Nyi
Gandasuri menyakdikan pemandangan itu. kemudian didengarnya 129 berkata. “Arah
sini Nyi Gandasuri….” Lelaki itu melangkah mendahului ke samping kanan dinding
batu. Kawannya mengikuti, Nyi Gandasuri cepat-cepat membuntuti keduanya.
Di samping kanan dinding batu
itu terdapat sebuah tangga menurun. Ketika sampai di anak tangga terakhir Nyi
Gandasuri terkesiap oleh satu pemandangan taman yang indah luar biasa. Di
mana-mana bunga-bunga kelihatan warna-warni menebar bau wangi. Beberapa ekor
burung bertengger di cabang rendah pohon-pohon sambil berkicau-kicau. Lalu ada
sebuah pedataran rumput.
Di pertengahan pedataran ada
sebuah bangunan tanpa dinding berbentuk joglo tiga tingkat. Tiang-tiang
bangunan dan keseluruhan atau berwarna merah darah. Di bawah atap ada dua buah
kursi panjang beralas kain beludru merah dilengkapi bantalan-bantalan empuk.
Pada kursi panjang sebelah
kanan berbaring bermalas-malas satu sosok memiliki wajah nenek keriput beralis
merah mencuat ke atas, bermata merah menggidikkan. Rambutnya yang panjang
awut-awutan juga berwarna merah. Perempuan tua ini memelihara kuku panjang
melengkung juga berwarna merah. Tubuhnya ditutupi sehelai kain berbentuk
selendang dan panjang, berwarna merah. Begitu tipisnya selendang lebar ini
sehingga si nenek nyaris terlihat telanjang bulat. Pada kening si nenek
menempel sebuah permata merah sebesar kuku ibu jari tangan yang memancarkan
sinar gemerlapan.
Di kursi panjang sebelah kanan
berbaring seorang kakek berambut merah menjulai bahu. Seperti si nenek dia juga
memiliki alis mencuat ke atas, sepasang mata dan kuku panjang berwarna merah.
Di keningnya menempel sebuah permata yang memancarkan sinar merah. Ketika
menyeringai kelihatan deretan gigi-giginya berbentuk runcing-runcing dan merah.
Auratnya juga hanya dilindungi sehelai selendang tipis merah hingga dirinya tak
beda seperti telanjang saja. Bulu-bulu dadanya kelihatan lebat berwarna merah.
Sambil berbaring-baring si nenek melahap buah-buahan sedang si kakek asyik
menggeragot paha kambing panggang.
Sepasang kakek nenek aneh
angker inilah yang dikenal sebagai Maharaja dan Maharatu Langit Darah. Keduanya
sama memalingkan kepala ketika melihat kedatangan anak buah mereka 114 dan 129
membawa seorang perempuan muda berwajah sangat cantik.
Si nenek langsung campakkan
buah yang tengah di makannya sedang si kakek buang begitu saja paha kambing
panggang. Keduanya bergerak bangkit dan duduk di pinggiran kursi panjang.
Sepasang mata masing-masing berkilat-kilat memancarkan sinar merah
memperhatikan wajah dan tubuh Nyi Gandasuri.
“Maharatu, hari ini kita
mendapat rejeki besar rupanya!” kata Maharaja langit Darah.
Si nenek menyeringai. Dari
mulutnya keluar air liur. Berwarna merah. Air liur darah!
“Kau diam saja, aku yang bakal
menanyai!” kata si nenek.
Maharaja Langit Darah basahi
bibirnya dengan lidah merah berdarah. “Kau menanyai boleh saja. Tapi ingat, aku
yang mendapat bagian lebih dulu!”
“Enak saja! Apa kau lupa
perjanjian?! Jika yang datang perempuan maka dia jadi bagianku! Kau boleh dapat
sisa! Hikkkk…..hik….. hik…..!”
EMPAT
Ketika bangkit dari berbaring
dan duduk di tepi tempat tidur, selendang yang menutupi tubuh kakek nenek itu
merosot jatuh ke pangkuan hingga aurat mereka sebelah atas terbuka lepas. Nyi
Gandasuri yang memang berotak cerdik langsung saja melihat keanehab pada dua
sosok tubuh ini. Sebagai orang-orang yang lanjut usia seharusnya si nenek akan
memiliki dada rata, payudara leper bergelayutan samapi ke pinggang. Tapi yang
terlihat saat itu justru satu tubuh perempuan yang putih bagus dan masih
kencang. Begitu juga dengan keadaan tubuh si kakek. Di usia seperti itu dadanya
akan kelihatan tipis dan tulang-tulang iganya akan bersembulan keluar. Tapi
yang terlihat justru satu sosok tubuh kokoh tertutup bulu-bulu lebat berwarna
merah di bagian dada.
Dua lelaki yang membawa Nyi
Gandasuri berlutut di hadapan kakek nenek itu. salah seorang dari mereka
kemudian berseru sambil mengangkat kedua tangan ke atas diikuti oleh teman di
sebelahnya.
“Salam darah untuk Yang Mulia
Maharaja dan Maharau Langit Darah!”
Maharaja Langit Darah angkat
tangan kirinya sedikit. Telapak tangannya ternyata berwarna merah. Kedua
matanya tak berkesip memandang wajah dan tubuh Nyi Gandasuri. Sementara sang
Ratu menyeringai sambil cibirkan bibir.
“Lekas sampaikan laporan
kalian! Tenggorokanku mendadak kering. Hik….hik….hik!” kata Maharatu Langit
Darah pula. Dia menggeliatkan hingga payudaranya membusung kencang ke depan dan
mencuat tegang ke atas. 114 dan 129 cepat menunduk tak berani menikmati
pemandangan yang merangsang itu.
114 membuka mulut. “Kami
datang membawa seorang calon anggota. Namanya Nyi Gandasuri, usia 25 tahun…..”
Maharaja Langit Darah angkat
tangannya. “Sudah….. sudah! Kalian berdua boleh pergi. Hasil pekerjaan kalian
akan kucatat dalam Buku Daftar Kabajikan Darah. Kalau sudah banyak kelak kalian
akan dapatkan hadiah besar!”
“Terima kasih Maharaja Langit
Darah,” kata114 dan 129 berbarengan. Kedua orang ini menjura lalu memutar tubuh
dan tinggalkan tempat itu.
Maharaja Langit Darah
gulungkan selendang merahnya untuk menutupi aurat sebelah bawah. Lalu dia
berdiri.
“Perempuan muda, namamu Nyi
Gandasuri. Betul…..?”
Nyi Gandasuri mengangguk.
Sepasang mata yang merah dari
Maharaja Langit Darah merayapi wajah dan sekujur tubuh Nyi Gandasuri. Ujung
lidahnya berkali-kali diulurkan untuk membasahi bibir.
“Banyak orang datang ke istana
ini, membawa seribu satu macam maksud dan rencana. Harap katakan apa maksud
kedatanganmu ke tempat ini. dan juga apakah kau sudah diberi tahu oleh dua
orang anak buahku tadi segala tata aturan di tempat ini, segala tata aturan
untuk menjadi anggota keluarga Istana Langit Darah?”
“Mereka memang sudah memberi
tahu,” jawab Nyi Gandasuri. “Hanya saja saya pikir tentunya saya akan mendapat
keterangan lebih jelas dan lebih banyak dari Maharaja dan Maharatu….”
“Bagus, kau bukan saja cantik
jelita, memiliki tubuh bagus tapi juga punya otak pandai dan cerdik.
Sekarang…..”
Sampai di situ Maharatu langit
Darah tiba-tiba berdiri. “Cukup! Kau boleh duduk Maharaja. Pertanyaan
selanjutnya aku yang akan mengajukan!”
Waktu berdiri tadi, tidak
seperti Maharaja, sang ratu terus saja berdiri tanpa memperhatikan keadaan
dirinya. Atau mungkin saja dia memang sengaja berbuat begitu. Selendang merah
yang menutupi tubuhnya merosot jatuh ke tanah hingga dia berdiri dala keadaan
bugil. Mau tak mau Nyi Gandasuri jadi jengah juga melihat keadaan sang Ratu
itu.
“Nyi Gandasuri, sebelum kau
katakan apa maksud tujuan kedatanganmu ke sini, ada satu hal yang harus kau
ketahui. Siapa saja yang datang ke Istana Langit Darah, lelaki atau perempuan,
tua atau muda, cantik atau buruk, kaya atau miskin akan punya beberapa pilihan.
Pertama kecil sekali kemungkinan bahkan hampir tak pernah dia akan keluar dari
sini hidup-hidup sempurna seperti layak kedatangannya pertama kali. Kedua dia
harus meninggalkan badan kasarnya sampai kiamat di tempat ini dan hanya tubuh
halusnya yang kaan keluar dari sini. Ketiga bisa juga hanya tubuh kasarnya yang
meninggalkan tampat ini tetapi roh halusnya mendekam sampai kiamat di tempat ini.”
“Saya sudah mendengar hal itu
dari dua orang anak buahmu Maharatu,” menjelaskan Nyi Gandasuri.
“Bagus, berarti kita bisa
mempersingkat waktu. Pilihan mana yang akan nanti menjadi hanya aku dan
Maharaja yang memutuskan, bukan dirimu. Sekarang harap kau katakan apa maksud
datang ke sini yang berarti siap menjadi anggota keluarga Istana Langit
Darah….. Turut penglihatanku, karena kau sudah bersuami maka tentu maksudmu ada
sangkut pautnya dengan diri suamimu….”
“Benar sekali Maharatu.”
“Siapa nama suamimu Nyi
Gandasuri?” tnaya Maharatu Langit Darah pula.
“Suami saya Pangeran Sampurno
Tjokro Adiningrat…..”
Maharatu Langit Darah
keluarkan seruan tertahan sedang Maharaja Langit Darah saking kagetnya
sampai-sampai selendang tipis merah yang menutupi aurat sebelah bawah jatuh ke
tanah. Dan dia tidak berusaha mengambilnya kembali! Dia tegak dengan mata
melotot, menatap perempuan di hadapannya sambil membayangkan bagaimana
kira-kira kalau perempuan muda cantik jelita di hadapannya itu berada dalam
keadaan telanjang bulat. Kini dua orang bugil berdiri di hadapan Nyi Gandasuri,
membuat perempua muda ini jadi merah mukanya dan cepatcepat tundukkan kepala.
“Pangeran Sampurno, salah
seorang pewaris syah tahta Kerajaan!” ujar
Maharatu Langit Darah. “Betul
Maharatu, memang dia orangnya. Namun…….” “Namun apa Nyi Gandasuri?” tanya
Maharaja Langit Darah. “Suami saya tak akan pernah jadi Raja.” “Eh! Mengapa kau
berkata begitu?” tanya Maharatu Langit Darah.
“Dia hanya pewaris ketiga.
Sebelum dia masih ada dua orang kakak satu darah. Satu lelaki satu perempuan.
Selain itu suami saya tidak disukai oleh orang-orang dalan Keraton….”
“Hemmmm …… aku tahu sekarang,”
kata Maharatu Langit Darah. “Kedatanganmu ke mari musti ada sangkut pautnya
dengan diri suamimu dan tahta Kerajaan….”
“Betul Maharatu.”
“Kalau begitu sebutkan saja
apa maumu!” ujar sang Ratu pula.
“Sejak lama saya menginginkan
untuk menjadi istri seorang Raja. Menjadi istri pertama tentu saja tidak
mungkin. Menjadi selir saya tidak mau. Sri Baginda saat ini telah punya dua
istri. Saya ingin menduduki tempat sebagai istri ketiga. Tapi itu tahap pertama
saja……”
“Maksudmu?” bertanya Maharaja
Langit Darah.
“Setelah saya jadi istri
ketiga, satu persatu dua istri Sri Baginda harus disingkirkan. Hingga saya
akhirnya menjadi istri pertama…..”
Maharaja dan Maharatu Langit
Darah saling berpandangan. Lalu kedua manusia aneh ini tertawa gelak-gelak.
Sambil usap-usap dadanya
sendiri Maharatu Langit Darah berkata. “Kecantikan dan kebagusan potongan
tubuhmu memang bisa kau jadikan bekal pertama untuk mendampingi Sri Baginda
sebagai Permaisuri. Lalu kepandaian dan kecerdikan otakmu adalah modal kedua
yang tak kalah pentingnya. Namun semua modal itu tidak ada artinya jika kau
tidak punya kemampuan untuk mewujudkan citacitamu….”
“Itu sebabnya saya datang
kemari, siap menjadi anggota dan minta pertolongan serta petunjuk bagaimana
supaya saya bisa mencapai maksud itu.”
Maharatu Langit Darah
tiba-tiba tertawa panjang.
“Kau datang ke tempat yang
tepat Nyi Gandasuri! Jika segala syarat bisa kau penuhi, urusan selanjutnya
hanya soal mudah.”
“Saya mohon Maharatu mau
mengatakan syarat itu,” kata Nyi Gandasuri pula.
Maharatu langit Darah tidak
menajwab melainkan melangkah mendekati Nyi Gandasuri. Di hadapan istri Pangeran
Sampurno itu dia berhenti sesaat guna menatap kecantikan wajahnya lalu
mengulurkan tangan mengusap pipi dan dagu Nyi Gandasuri. Mendadak saja Nyi
Gandasuri merasa bulu kuduknya merinding. Tapi saat itu dia hanya bisa tegak
berdiam diri sambil tundukkan kepala. Kemudian Maharatu Langit Darah melangkah
berputar mengelilingi dirinya sampai tiga kali.
“Sempurna……sempurna sekali,”
kat asang Ratu dalam hati dengan pandangan mata merah berkilat-kilat. “Belum
pernah aku melihat perempuan dengan kecantikan dan kemulusan kulit sesempurna
dirinya. Tapi aku harus memeriksa dulu sampai ke dalam-dalam….”
Tiba-tiba Maharatu Langit
Darah hentikan langkah tepat di hadapan Nyi Gandasuri.
“Nyi Gandasuri, di tempat ini
terdapat banyak pantangan. Satu di antaranya para calon anggota tidak
diperkenankan memakai perhiasan dalam bentuk apapun. Kulihat kau memakai kalung
emas bermata berlian, gelang, dan tiga cincin. Harap semua perhiasan itu dibuka
dan serahkan padaku!”
Nyi Gandasuri tak segera
melakukan apa yang diperintahkan Maharatu Langit Darah. Kepalanya diangkat.
Pandangannya bertemu dengan pandangan sang Ratu. Tiba-tiba saja ada rasa takut
dan patuh dalam diri istri Pangeran Sampurno itu. semua perhiasan yang melekat
di badannya segera ditanggalkan lalu diserahkan pada Maharatu Langit Darah.
Sang Ratu langsung saja mengenakan semua perhiasan itu ke leher, pergelangan
tangan, telinga dan jari-jarinya. Lalu sambil melangkah mundar mandir dia
berkata.
“Nyi Gandasuri harap kau
mendengar baik-baik. Aku hanya bicara satu kali saja. Kau tidak diperkenankan
menolak atau membantah. Jika itu kau lakukan bukan saja apa yang kau inginkan
tidak akan kesampaian, tetapi kau juga akan terpaksa meninggalkan tempat ini
secara tidak sempurna. Entah tubuh kasarmu yang pergi entah hanya roh halusmu. Sekali
lagi dengarkan baik-baik. Kau siap?”
“Saya siap Maharatu,” kata Nyi
Gandasuri.
“Untuk mencapai maksud besarmu
menjadi permaisuri Sri baginda, pertama sekali kau harus menyingkirkan
penghalang paling dekat dalam kehidupanmu. Si penghalang adalah suamimu
sendiri. Kau harus menyingkirkan Pangeran Sampurno. Dengan kata lain kau harus
membunuhnya!” Sampai di situ Maharatu Langit Darah hentikan ucapannya dan juga
langkah kakinya. Dia melirik pada Nyi Gandasuri dan melihat wajah perempuan
muda itu menjadi pucat.
“Kau hendak mengatakan sesuatu
Nyi Gandasuri?”
“Bisakah pembunuhan itu
diserahkan dan dilakukan oleh orang lain?”
Maharatu menyeringai. “Tang
punya keinginan untuk jadi istri Raja adalah kau, bukan orang lain! Jadi
pertanyaanmu adalah pertanyaan tolol!” si nenek cemberut sesaat. Lalu dia
meneruskan. “Kematian suamimu akan menjadi berita besar di seantero Kerajaan. Akan
sampai ke telinga Sri Baginda. Kau akan mendapatkan perhatian dari padanya.
Bukan saja karena kau janda dari adiknya tetapi juga karena kau memiliki
kecantikan dan kebagusan tubuh yang tidak ada tandingnya di Kerajaan. Ada
sesuatu yang ingin kau tanyakan?”
Nyi Gandasuri menggeleng.
“Selanjutnya kau harus
menyingkirkan penghalang kedua dan ketiga. Yaitu kakak lelaki dan kakak
perempuan Pangeran Sampurno. Setelah itu kau lakukan, giliranmu untuk
menyingkirkan penghalang berikutnya yakni Permaisuri dan istri kedua Sri
baginda. Kau bersedia melakukan hal itu?”
“Saya bersedia Maharatu. Hanya
saja saya ingin petunjuk bagaimana saya dapat melakukannya. Mereka semua calon
korban itu adalah orang-orang penting yang dikelilingi oleh banyak pengawal…..”
“Dengan ilmu yang akan kami
berikan padamu, kau sangat mudah bisa membunuh semua orang itu. kau tidak
memerlukan senjata apapun. Tidak pisau, golok atau pedang, bahkan racunpun
tidak! Kau akan membunuh mereka dengan jelan menyedot darah mereka dari
ubun-ubun masing-masing!”
Terkejutlah Nyi Gandasuri
mendengar hal itu.
Sang Ratu dan Maharaja Langit
Darah justru tertawa mengekeh.
“Bagaimana mungkin saya
melakukan hal itu Maharatu?”
“Mengapa kau harus bertanya
begitu? Bukankah aku sudah bilang tadi. Dengan ilmu yang akan kami berikan
padamu, kau bisa melakukan pembunuhan itu dengan mudah…..”
“Kalau begitu saya siap
menunggu petunjuk selanjutnya,” kata Nyi Gandasuri pula dengan suara bergetar.
“Syarat berikutnya marupakan
pelengkap yang tidak boleh kau lalaikan,” Maharatu meneruskan ucapannya.
“Selama kau menjadi anggota keluarga Istana Langit Darah, setiap tiga bulan
sekali kau harus mencari darah segar yang harus kau dapatkan dari korbanmu
yaitu anak kecil berusia tujuh bulan ke bawah. Ketentuan itu berlaku seumur
hidupmu ke anak cucu dan cicit, sampai kiamat! Jika kau atau anak keturunanmu
lalai melakukannya maka kau atau mereka akan dipergunakan sebagai pengganjal
tiang Istana atau penupang pohon-pohon besar di kawasan ini selama empat puluh
malam! Ada yang hendak kau tanyakan Nyi Gandasuri?”
Yang ditanya saat itu berada
dalam keadaan terkesiap. Dia tak mampu berpikir panjang dan langsung saja
gelengkan kepala.
“Syarat selanjutnya Nyi
Gandasuri….. Setiap calon anggota keluarga Istana Langit Darah harus diteliti keadaan
tubuhnyaoleh kami berdua. Untuk itu pertama sekali kau harus ikut ke kamarku.
Aku sudah tua. Mataku kurang awas. Jadi perlu waktu lama untuk melakukan
pemeriksaan. Kau harus melayaniku selama satu hari satu malam…..” habis berkata
begitu si nenek tertawa cekikikan.
LIMA
Maharaja Langit Darah tak mau
ketinggalan. Cepat-cepat dia menimpali. “Selesai dia melakukan pemeriksaan, kau
akan kubawa ke tempat ku. Mungkin aku butuh waktu lebih lama dari dia. Paling
tidak sekitar tiga hari tiga malam….”
Nyi Gandasuri tidak berkata
apa-apa. Dia memang sudah mendengar hal atau aturan itu dari dua lelaki yaitu
114 dan 129 yang membawanya ke tempat itu. Istri Pangeran Sampurno ini kemudain
digandeng tangannya oleh sang Ratu meninggalkan tempat itu. ternyata dia dibawa
melewati sebuah jalan kecil yang di kiri kanannya membentuk jurang-jurang batu
tak seberapa dalam. Lapat-lapat Nyi Gandasuri mendengar suara orang melolong,
menjerit-jerit. Laalu ada juga suara erangan.
“Buka matamu lebar-lebar.
Perhatikan kiri kaan jalan!” kata Maharatu Langit Darah.
Ketika Nyi Gandasuri melakukan
apa yang dikatakan si nenek, parasnya menjadi pucat. Kuduknya merinding dan
langkahnya jadi terhuyung-huyung.
Di sepanjang jurang sebelah
kanan dilihatnya enam orang lelaki menggeletak dengan kepala ditindih batu
besar. Walau kepala mereka sudah gepeng, otak dan darah berbusai keluar namun
mereka tidak mati. Dari muut keenam orang ini keluar jeritan kesakitan tiada
henti. Lalu di bagian lain jurang empat lelaki tampak terbaring menelentang.
Kaki masing-masing terkangkang lebar. Sebuah batu besar berwarna merah
seolah-olah menyala menindih kemaluan mereka. Jerit keempat lelaki ini paling
keras di antara jeritan-jeritan manusia yang tersiksa lainnya.
Karena tak kuasa menyaksikan
pemandangan yang mengerikan itu Nyi Gandasuri berpaling ke kiri. Tetapi apa
lacur. Justru di sepanjang jurang sebelah kiri dia melihat pemandangan yang tak
kalah seramnya.
Tiga orang perempuan dalam
keadaan bugil diikat ke sebuah tiang. Puluhan ular menjilati sekujur tubuh
mereka. Mematuk muka dan kepala serta sekujur aurat. Bahkan ada di antara
binatang-binatang itu menembus masuk ke dalam mulut, lubang dubur dan lubang
kemaluan mereka. Nyi Gandasuri pejamkan kedua matanya. Kalau tidak dipegang
oleh Maharatu Langit Darah, perempuan ini pasti sudah roboh pingsan karena
ketakutan. Kemudian didengarnya si nenek tertawa panjang.
“Mahluk apa dia sebenarnya……”
kata Nyi Gandasuri dalam hati. “Di tempat seperti ini masih bisa tertawa…..”
“Buka matamu Nyi Gandasuri.
Kalau kau pejamkan hanya akan menambah rasa takut….”
Perlahan-lahan sambil
melangkah mengikuti si nenek yang terus memegang tangannya Nyi Gandasuri
membuka kedua matanya. Dia tak dapat menahan jeritan ketika dua matanya terbuka
di depannya terpampang satu sosok tubuh perempuna, dipancung pada sebuah tombak
besi, mulai dari ubun-ubun sampai ke dubur, kepala ke bawah kaki ke atas! Darah
mengucur dari batok kepalanya membasahi tambut lalu mengucur jatuh ke dasar
jurang batu. Darah juga mengucur dari dubur dan kemaluannya. Dari mulutnya yang
juga mengeluarkan darah perempuan ini mengerang perlahan, mungkin sedang
sekarat.
“Semua orang yang kau lihat
tengah menjalani hukuman karena kesalahan. Mereka semua adalah anggota keluarga
Istana Langit Darah. Mereka disiksa demikian rupa tidak sampai menemui ajal.
Berjalan terus, kau akan melihat cara kami menyiksa orang-orang bersalah
lainnya…..”
Nyi Gandasuri tak bisa berbuat
lain. Dia melangkah terus tetapi kedua matanya tak mau lagi dibukanya. Si nenek
tertawa cekikikan. Nyi Gandasuri tidak tahu entah berapa lama dia melangkahkan
kakinya, seolah berhari-hari rasanya hingga akhirnya terdengar kembali suara
Maharatu Langit Darah yang memegang lengannya itu.
“Kita sudah sampai di ujung
jalan. Kalau tadi kau tak mau melihat manusiamanusia disiksa itu, tak jadi
apa. Sekarang buka matamu…..”
Perlahan-lahan Nyi Gandasuri
membuka kedua matanya. Dia memandang berkeliling dengan terheran-heran.
“Aneh, bagaimana tahu-tahu aku
berada di tempat ini?” Istri Pangeran Sampurno itu bertanya dalam hati. Saat
itu didapatinya dirinya bersama maharatu Langit Darah berada dalam sebuah kamar
sangat bagus. Sebuah ranjang tinggi terbuat dari besi berlapis kuningan
berkilat terletak di tengah ruangan yang lantainya diberi alas permadani. Nyi Gandasuri
tidak melihat jendela ataupun lampu namun anehnya ruangan besar itu berada
dalam keadaan terang benderang.
Maharatu Langit Darah duduk di
tepi ranjang. Sesaat dia menatap wajah Nyi Gandasuri lekat-lekat lalu setengah
berbisik dia berkata. “Buka pakaianmu Nyi Gandasuri…..”
“Saya…..”
“Jangan sampai aku yang
melakukannya!” Maharatu langit Darah berkata dengan senyum dikulum tetapi
sepasang matanya membersit sinar merah mengancam.
Mau tak mau perlahan-lahan Nyi
Gandasuri membuka baju luarnya.
“Terus….terus…. mengapa
berhenti?! Buka semua pakaian yang menempel di tubuhmu! Jangan ada yang
tersisa….”
Ny Gandasuri merasakan dadanya
sesak dan tenggorokannya kering. Tangannya bergetar. Si nenek jadi tidak
sabaran. Dia melompat ke hadapan Nyi Gandasuri. Dua tangannya bergerak. Sepuluh
jari yang berkuku-kuku panjang merah berkelebat.
Brettt…..bretttt!
Pakain Nyi Gandasuri robek
hampir di setiap bagian hingga akhirnya jatuh ke atas permadani. Perempuan muda
ini menutupkan kedua tangannya ke mulut aga tidak berteriak ketika dia
menyadari bahwa saat itu seluruh pakaiannya telah tanggal dari auratnya!
Maharatu Langit Darah mundur
dua langkah. Kedua matanya jelalatan ke wajah dan sekujur tubuh Nyi Gandasuri.
Dua orang perempuan yang sama-sama bugil itu untuk beberapa lama saling
pandang.
“Wajahmu cantik….. tubuhmu
benar-benar sempurna. Kau memang layak jadi Permaisuri Sri Baginda. Tapi
melayani diriku lebih dulu adalah kewajiban ang tak bisa kau tolak….” Si nenek
bergerak mendekati Nyi Gandasuri. Kedua tangannya dikembangkan. Lalu dia
merangkul tubuh istri Pangeran Sampurno itu dengan penuh nafsu. Nyi Gandasuri
jadi bergidik ketika manusia itu menempelkan wajahnya ke dadanya dengan penuh
nafsu. Bibirnya bergerak liar, lidahnya menjilat-menjilat. Sebentar saja dada
Nyi Gandasuri telah basah oleh darah yang keluar dari mulut Maharatu Langit
Darah itu!
Nyi Gandasuri terbaring letih
dan pucat di atas tempat tidur. Matanya terpejam, kepalanya terasa berat.
“Nyi Gandasuri….. hari ini kau
bebas. Kau boelh pergi untuk mengatur segala apa yang menjadi niatmu….”
Perlahan-lahan dua mata
perempuan muda itu terbuka. Ditatapnya langitlangit kamar beberapa lama.
Tiba-tiba dia seperti melihat dua buah wajah di atas kamar itu. mula-mula
samar. Perlahan-lahan mulai jelas. Lalu mendadak terdengar suara membentak
marah.
“Kau berani melanggar
pantangan! Berani memandang ke atas!”
Bayangan dua wajah di
langit-langit kamar serta merta lenyap.
Nyi Gandasuri cepat bangkit
lalu duduk nanar di tepi ranjang.
“Maafkan saya Maharatu.
Sekujur badan saya terasa sakit. Kepala saya berat dan pusing. Pemandangan
seperti berkunang…..”
“Hemmmmm….. biarlah sekali ini
aku berbaik hati padamu! Seharusnya sebagai hukuman kepalamu dijadikan ganjalan
salah satu tiang Istana! Lekas kenakan pakaianmu dan pergi dari sini!”
Nyi Gandasuri terkejut. Baru
dia sadar kalau saat itu tubuhnya tidak tertutup selembar benangpun!
Dipandanginya tubuhnya. Dia jadi merinding sendiri. Hampir seluruh badannya
berwarna merah oleh darah dan luka-luka seperti bekas gigitan. Dia memandang
berkeliling. Pakaiannya bergeletakan di mana-mana dalam keadaan robek. Dari
pada tidak berpakaian sama sekali lebih baik mengenakan baju dan kain robek.
Sebelum dia mengenakan pakaian
yang robek-robek iu Maharatu Langit Darah mengulurkan sebuah tabung kecil dari
bambu. “Kau tak usah kawatir dengan darah dan gigitan di sekujur tubuhmu!
Oleskan minyak ini, kau akan kembali mulus.”
Mula-mula Nyi Gandasuri agak
ragu-ragu. Namun akhirnya diambilny juga tabung bambu itu. minyak berbau harum
yang ada di dalam tabung dioleskannya ke seluruh bagian tubuhnya yang bernoda
darah serta ada bekas gigitan. Sungguh ajaib. Semua noda dan bekas gigitan itu
lenyap seketika! Nyi Gandasuri kembalikan tabung minyak aneh itu lalu
cepat-cepat mengenakan pakaiannya.
Sambil mengenakan pakaiannya
perempuan muda ini mengingat-ingat apa yang telah terjadi atas dirinya. Bulu
kuduknya merinding. Dalam hati dia merutuk habis-habisan. “Manusia iblis!
Bagaimana mungkin ada perempuan seperti dia?! Wajah dan keadaan tubuh
berlainan. Menggauli diriku yang sama perempuannya seperti dia….. Mahluk
jahanam! Terkutuk kau sampai hari kiamat! Kalau tidak ingat pada tujuan semula
mau rasanya aku bunuh diri saat ini juga!”
Begitu selesai berpakaian Nyi
Gandasuri cepat melangkah ke pintu.
“Eitt! Tunggu dulu!”
Nyi Gandasuri hentikan
langkahnya seraya berpaling. “Ada apa lagi Maharatu? Bukankah kau tadi
memperbolehkan saya pergi…..?” “Betul. Tapi dengan muka pucat dan rambut
awut-awutan seperti itu apa kau
kira Maharaja Langit Darah
akan suka melihatmu?” “Apa maksudmu Maharatu?” tanya Nyi Gandasuri. Manusia
berwajah nenek tapi berbadan seperti gadis yang sedang mekar itu
tertawa panjang. Dililitkannya
selendang merahnya ke badan lalu berkata. “Apa kau lupa perjanjian? Setelah melayani
diriku kau harus melayani Maharaja Langit Darah?!”
Langsung Nyi Gandasuri
merasakan tubuhnya bergetar. Lututnya goyah. Kalau tidak berpegangan pada tiang
di kepala tempat tidur mungkin dia sudah jatuh terduduk.
“Sisir rambutmu, bedaki
wajahmu! Kalau Maharaja Langit Darah puas dengan pelayananmu, pasti dia bisa
memepercepat semua yang menjadi keinginanmu….” “Rasanya aku lebih baik mati
saja saat ini!” batin istri Pangeran Sampurno ini menugucap seperti itu. dia
memandang ke pintu.
“Kau telah melanggar peraturan
satu kali Nyi Gandasuri! Ingat, aku tidak akan mengampuni dirimu sampai dua
kali!”
Mau tak mau Nyi Gandasuri
akhirnya berdandan juga. Selesai menyisir rambutnya didapatinya Maharatu Langit
Darah tak ada lagi di tempat itu. bergegas dia menuju ke pintu dan membukanya.
Begitu pintu terbuka perempuan ini hampir menjerit karena kagetnya. Di
hadapannya berdiri Maharaja Langit Darah berkacak pinggang sambil sunggingkan
seringai menggidikkan. Sepasang matanya menatap Nyi Gandasuri berkilat-kilat.
“Dua hari dua malam aku
menunggumu! Kalau pagi ini kau tidak juga keluar pasti sudah kudobrak pintu dan
kulempar keluar Maharatu itu….”
“Maharaja…… Saya sangat letih.
Mungkin sakit. Izinkan saya….”
Maharaja Langit Darah tertawa
gelak-gelak. Air liurnya yang berwarna merah sampai bercucuran.
“Jangan kawatir. Aku tahu
bagaimana caranya melenyapkan keletihanmu. Bagaimana menyembuhkan penyakitmu….”
Tiba-tiba Maharaja Langit Darah memeluk Nyi Gandasuri lalu penuh nafsu
dikecupnya bibir perempuan itu hingga Nyi Gandasuri menggeliat ngeri dan jijik!
Maharaja Langit Darah kembali
tertawa bergelak. Tiba-tiba ditangkapnya tubuh Nyi Gandasuri, digotongnya lalu
dilarikannya memasuki sebuah kamar.
ENAM
Kuda coklat yang ditunggangi
Pendekar 212 Wiro Sableng berlari tersendatsendat. Saat itu dia berada di satu
pedataran yang penuh ditumbuhi alang-alang setinggi dada. Tak jauh di sebelah
Timur tempat kediaman Pangeran Sampurno. Jalan kecil berbatu-batu yang membujur
dari timur ke arah barat memang sulit untuk dilewati. Namun murid Sinto Gendeng
ini segera maklum kalau larinya kuda yang tersendat-sendat bukan karena jalan
yang kecil dan berbatu-batu.
“Kuda….. jika kau mencium
bahaya, hentikan larimu,” kata Wiro sambil usap leher kuda itu.
Seperti mengerti ucapan penunggangnya
kuda coklat hentikan lari. Kepalanya ditundukkan menusup alang-alang. Dari
mulutnya keluar suara menggembor sedang ekornya berputar-putar tak bisa diam.
Wiro memandang berkeliling.
Sunyi dan kelam. Ujung alang-alang kelihatan bergerak-gerak seperti ombak oleh
tiupan angin. Di empat tempat gerakan alangalang itu seperti terbelah. Murid
Sinto Gendeng serta merta berlaku waspada. Telinganya tak dapat menangkap suara
apa-apa namun matanya tak bisa ditipu. Belahan alang-alang di empat tempat hanya
bisa terjadi kalau ada sesuatu yang bergerak.
“Mungkin binatang, mungkin
juga manusia,” membatin Wiro.
“Jika manusia berarti memiliki
kepandaian tinggi. Suara gerakannya tidak kedengaran. Ada empat orang.
Hemmmm……”
“Kuda, ada empat mahluk hendak
mencari kenal. Sebaiknya kau jangan iktu campur! Cepat lari dari sini. Ikuti
terus jalan di depanmu. Tunggu aku di ujung jalan!” habis berbisik di telinga
kuda, Wiro melompat turun lalu menepuk pinggul kanan binatang itu. Kuda coklat
dongakkan kepalanya sesaat. Setelah itu binatang ini menghambur sepanjang jalan
kecil berbatu-batu.
Dari tempat berdiri Wiro bisa
melihat bahwa empat belahan di pedataran beralang-alang itu semakin menyempit
dan membentuk kotak. Dan dirinya di tengahtengah kotak itu!
“Jelas ini pekerjaan
manusia-manusia bermaksud jahat!” pikir Wiro. “Mereka hendak memantekku di
tengah pedataran alang-alang lalu menghantam. Cerdik juga tapi masih ada
tololnya!” Wiro segera tinggalkan jalan kecil, menyelinap ke dalam kawasan
alang-alang. Di satu tempat dia berhenti dan merunduk serendah mungkin. Tenaga
dalam disalurkan ke tangan yang diluruskan. Perlahan-lahan Wiro gerakkan tangan
kanannya seperi orang melambai. Dari ujung-ujung jarinya melesat keluar
serangkum angin. Membelah dan menggoyang alang-alang. Gerakan alang-alang
seolah ada seseorang melewati mengendap-endap. Wiro melambai terus sambil
memasang telinga dan mata. Dalam hati dia berharap tipuannya ini akan berhasil.
Tiba-tiba dari balik
alang-alang di empat penjuru melesat keluar empat sosok hitam. Dari ketinggian
sepuluh kaki empat sosok ini kemudian menukiki ke bawah, kearah ujung
alang-alang yang bersibak oleh lambaian tangan Wiro. Sambil menukik mereka
menghantam dengan pukulan tangan kosong.
“Mati!” Empat mulut berteriak
bersamaan.
Bummmmm!
Empat pukulan mengandung
tenaga dalam tinggi mendarat di tanah secara berbarengan. Tanah muncrat ke
atas. Alang-alang terbongkar dan berhamburan ke udara. Empat sosok yang
barussan melepaskan pukulan melayang turun. Mereka tersentak kaget dan saling
pandang.
“Tidak ada!” salah seorang di
antara mereka berteriak keheranan. Tiga temannya juga merasa aneh. Apapun yang
mereka hantam pasti mahluk bergerak dan hidup. Tapi mengapa mereka tidak
menemukan apa-apa di tempat itu selain tanah dan alang-alang yang terbongkar?
Empat orang yang ada di tempat
itu mengenakan pakaian berbentuk jubah berwarna hitam. Pada bagian dada dan
punggung jubah tertera angka-angka putih yaitu 15, 16, 17 dan 18. Keempatnya
memakai topi berbentuk kerucut. Pada sebelah depan topi ada gambar kelelawar
bermata besar merentangkan sayap. Tampang keempat orang ini tampak ganas
garang. Apalagi semuanya memelihara cambang bawuk lebat dan kumis tebal
melintang. Tak dapat memecahkan keanehan di tempat itu keempat orang ini
sama-sama alihkan pandangan ke kiri dari jurusan mana tadi tampak mulai
bergerak dan bersibaknya alang-alang.
“Lihat!” teriak orang yang
berdiri paling depan seraya menunjuk.
“Dia masih hidup!”
“Di sana!”
“Lekas buat gerakan Jala
Darah!”
Empat lelaki berjubah lalu keluarkan
suitan keras. Selagi suara suitan itu masih menggema dalam udara malam, tubuh
mereka sudah lebih dulu berkelebat lenyap.
Di depan sana Wiro Sableng
yang tadi sempat terlihat cepat bergerak. Berkelebat ke kiri lalu lenyap dalam
kerapatan alang-alang. Dia jongkok mendekam sambil memasang telinga. Tidak
terdengar suara apa-apa kecuali kerisik alang-alang tertiup angin malam.
“Mungkin mereka sudah pergi….”
Pikir Wiro. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri.
Tiba-tiba empat bayangan
berkelebat. Tahu-tahu empat orang berpakaian hitam berada di depan belakang
kiri dan kanannya. Masing-masing orang ini ulurkan tangan ke arah teman di
hadapan mereka. Murid Sinto Gendeng jadi terkejut ketika menyadari bahwa saat
itu empat pasang lengan berwarna merah dan basah yang saling bersilangan dengan
kokoh telah menjerat lehernya.
“Berani begerak patah lehermu”
“Tanggal kepalamu!”
Dua bentakan berturut-turut
menggeledek di telinga Wiro. Wiro sadar bahaya yang dihadapinya. Empat pasang
lengan itu demikian kokoh menjepit lehernya hingga jika keempat orang itu
serempak menggerakkan lengan mereka, lehernya bisa remuk, kepalanya benar-benar
bisa copot!
Inilah yang disebut gerakan
Jala Darah!
Untuk beberapa lamanya Wiro
hanya bisa tertegak diam. Bahkan bernafaspun dia seperti hati-hati.
Sebenarnya dua tangannya bisa
digerakkan untuk menghantam lawan. Tapi kalau dia tidak dapat mendahului
keempat lawan yang tengah menjepit lehernya maka dia bisa celaka sendiri
Salah seorang dari empat
manusia berjubah hitam berkata. “Maharaja meminta kita membawa orang ini hidup
atau mati! Dari pada repot-repot mengurusi lebih baik kita tanggalkan saja
kepalanya saat ini juga!”
“Tunggu dulu! Ingat pesan
khusus Maharatu padaku!” kata orang berjubah di sebelah belakang. “Beliau ingin
manusia satu ini dibawa hidup-hidup!”
“Di Istana Langit Darah yang
berkuasa adalah Maharaja Langit Darah! Kenapa kalian harus bertengkar?! Aku
setuju kita habiskan saja bangsat ini saat ini juga. Kalau tidak besok-besok
dia bisa membuat kita celaka!” Orang di sebelah kanan membuka mulut. Wiro
melirik ke kanan memperhatikan orang ini sambil menyumpah dalam hati.
“Kalau begitu cepat kita
lakukan sekarang!” kata orang di sebelah kiri Wiro.
“Tunggu dulu!” Wiro tiba-tiba
berucap kereas. “Siapa kalian?! Siapa Maharaja dan Maharatu itu?!”
“Keparat! Kau tak layak bicara
atau minta apapun pada kami!”
“Aku tidak meminta. Malah mau
memberi!” jawab Wiro.
“Mau memberi apa?!” bentak
orang di sebelah depan.
“Jika kalian mau membebaskan
diriku, kalian boleh mengambil empat tail emas yang ada di kantong bajuku
sebelah kiri dan sebelah kanan.”
Empat orang yang mengurung
Pendekar 212 terdiam. Tapi antara mereka tampak saling pandang.
“Pemuda miskin sepertimu
mengaku membawa empat tail emas di saku pakaian! Puah! Kau kira bisa menipu
kami?!”
“Kalau tidak percaya silahkan
periksa kedua kantong bajuku!”
Empat orang bertampang garang
itu jadi meragu. Mereka tidak dapat melihat kedua saku pakaian Wiro karena
terlindung oleh ketinggian alang-alang. Namun mereka sudah bisa menduga-duga di
sebelah mana kira-kira letak kedua kantong itu. selain itu terhadap kawan
masing-masing ada rasa kurang percaya hingga saling curiga mengawasi.
Masing-masing merasa kawatir ada yang berlaku curang lalu bertindak labih dulu
hingga nanti ada yang tidak kebagian.
“Kenapa jadi tolol!” tiba-tiba
salah seorang dari mereka berkata. “Kalaupun dia kita bunuh, emas itu tak akan
kemana. Kita bagi empat. Masing-masing dapat satu tail!”
Namun keserakahan diam-diam
mempengaruhi lelaki di sebelah kiri yaitu yang pada pakaiannya tertera angka 15
dan bertindak selaku pimpinan dalam rombongan yang menyergap Wiro itu. dia
turunkan tangannya ke bawah. Tangan yang turun ini lalu meluncur cepat ke saku
baju sebelah kiri si pemuda.
Inilah yang ditunggu Wiro.
Turunnya satu lengan berarti kurangnya daya menjepit sisa lengan-lengan
lainnya. Apa lagi ketiga orang itu jadi tersita perhatian mereka pada gerakan
tangan teman mereka. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan untuk selamat murid Sinto
Gendeng membentak keras. Lututnya ditekuk. Tubuhnya dijatuhkan ke bawah.
Bersamaan dengan itu kedua tangannya bergerak memukul. Dua orang berjubah hitam
terpental lalu jatuh di antara alang-alang. Tapi segera bangkit seolah
jotosan-jotosan Wiro tadi yang mengenai dada masing-masing tidak terasa
apa-apa.
Sementara itu leher dan kepala
Wiro walaupun selamat namun kening serta pelipisnya masih sempat terkikis dua
buah lengan hingga waktu menjatuhkan diri ke bawah kepalanya sempat terpuntir
dan lecet di kening serta pelipisnya!
Dua orang yang masih berada di
dekat Wiro yakni yang berangka 16 dan 17 pada jubahnya hujamkan kaki untuk
menendang perut serta muka sang pendekar. Tendangan mengarah perut berhasil
dihindarkan Wiro dengan berguling ke samping. Sedang kaki yang menendang ke
jurusan kepalanya dapat ditangkap lalu dipuntirnya kuat-kuat hingga si
penendang terbanting ke tanah dan untuk beberapa lamanya terkapar nanar.
Dua orang berjubah yang tadi
dipukul mental saat itu telah bangkit berdiri dan kembali menyerbu.
“Gila! Pukulan tadi telak sekali!
Tapi keduanya seperti tidak cidera sedikitpun! Siapa semua keparat-keparat
berjubah dan bertopi aneh ini? Mengapa mereka ingin membunuhku?!”
Sementara itu tiga orang lawan
kembali menyerbu. Bahkan satu lagi yang tadi terkapar nanar akibat bantingan
kini sudah bangun dan ikut menyerang kembali.
Lima jurus berlalu dengan
cepat. Walau dikeroyok empat namun murid Sinto Gendeng masih bisa menghadapi
dan berkali-kali tendangan atau jotosannya berhasil mendarat di tubuh atau muka
lawan.
Akan tetapi keempat orang itu
seperti memiliki ilmu kebal. Walupun muka dan tubuh juga pakaian mereka tampak
babak belur sementara topi-topi mereka yang berbentuk kerucut bercampakan di
tanah tetap saja mereka menyerbu kembali.
“Manusia-manusia aneh!” pikir
Wiro. “Makin digebuk makin kuat!” Dia mulai berpikir untuk mengerahkan tenaga
dalam dan lepaskan salah satu dari pukulan saktinya.
“Siapkan serangan Lidah
Darah!” tiba-tiba orang dengan jubah berangka 15 berteriak.
Murid Sinto Gendeng cepat
mengawasi. “Serangan Lidah Darah! Ilmu apa pula ini!” pikirnya.
Empat orang berjubah secara
berbarengan keluarkan suitan keras. Di balik alang-alang mereka tegak
rentangkan kaki. Kedua tangan diangkat ke atas. Dari mulut mereka keluar suara
meracau.
“Eh, empat setan alas ini tengah
meracau mantera atau mulai kesurupan…..” pikir Wiro. Lalu dilihatnya dari mulut
orang-orang itu mengucur keluar cairan merah. Darah! Murid Sinto Gendeng tak
mau berlaku ayal. Dia segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia yakin
keempat orang itu akan menyerangnya dengan ilmu siluman.
Empat tenggorokan keluarkan
suara seperti orang mendengkur. Lalu empat mulut tiba-tiba terbuka lebar dan!
Astaga! Dari keempat mulut orang itu melesat keluar lidah berbentuk aneh.
Selain panjang dan berlumuran darah juga membersitkan hawa panas!
Wiro segera angkat tangannya
untuk menghantam lebih dulu. Tapi cepat sekali empat lidah panjang datang
menyambar. Dua lidah menyambar ke arah tenggorokan Wiro, satu menderu ke arah
perut dan lidah keempat melesat ke tangan kanannya. Sebelum Wiro sempat
memukul, lengannya sudah lebih dahulu digelung lidah berdarah dan panas itu!
lengannya seperti disengat bara panas! Wiro berteriak keras karena kesakitan
dan juga marah! Tangan kanannya diputar demikian rupa. Sambil menahan sakit dia
berhasil mencengkeram lidah yang menggelung lalu dengan cepat menyentakkannya
kuat-kuat. Orang yang lidahnya dibetot tersungkur amblas masuk ke dalam
alang-alang.
Dessss!
Lidah berdarah putus! Wiro
bantingkan lidah itu ke dalam alang-alang degnan tengkuk merinding. Pada saat
itulah serangan tiga buah lidah sampai. Dua mencekik lehernya dan satu
menyambar perutnya.
Hantaman lidah berdarah pada
perutnya membuat tubuhnya terpental tapi tertahan oleh cekikan dua lidah pada
lehernya. Murid Sinto Gendeng mengeluh tinggi. Lehernya serasa remuk dan
kepalanya seolah tanggal.
“Tamat riwayatku!” keluh Wiro.
Matanya mendelik dan lidahnya mulai terjulur. Dia coba pergunakan tangan
kanannya untuk mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 tapi tak berhasil karena
potongan lidah panjang tadi sempat menggulung lengannya telah membuat lengan
itu menjadi berat dan kaku. Di samping itu perutnya yang kena dihantam lidah
berdarah terasa sakit bukan kepalang. Tak ada jalan lain. Dia segera merapal
ilmu kesaktian “pukulan sinar matahari” Hawa panas menjalar ke tangan kirinya.
Tangan sampai ke lengan tampak menjadi seputih perak menyilaukan. Tidak tunggu
lebih lama Wiro segera menghantam ke arah dua orang berjubah yang dua lidah
mereka menjerat lehernya.
Wussss!
Sinar putih menyambar dahsyat.
Sebelum menghantam dua orang berjubah sinar putih panas pukulan sinar matahari
merambas alang-alang dan serta merta terbakar menjadi kobaran api!
Dua lidah darah yang menjerat
leher Wiro meleleh musnah. Namun bekas jeratan meninggalkan tanda merah
berdarah pada leher sang pendekar.
Dua suitan keras melengking di
udara malam. Di bawah terangnya kobaran api Wiro melihat dua sosok hitam
berterbangan seperti burung raksasa di permukaan alang-alang! Ternyata adalah
dua orang berjubah hitam lainnya. Yang satu sambil melayang melesatkan lidahnya
ke arah kepala Wiro. Satunya lagi tiba-tiba membuat gerakan jurngkir balik di
atas alang-alang lalu tidak terduga sama sekali dia sudah berada di atas kepala
Wiro. Dia adalah orang yang tadi lidahnya dibetot lepas. Ternyata kini dalam
mulutnya ada lidah baru. Lidah ini menyambar ke ubun-ubun Pendekar 212. Jadi
dua lidah menyerang kepala Pendekar 212 sekaligus!
Murid Sinto Gendeng
tenggelamkan tubuhnya ke dalan alang-alang. Serangan lidah yang menyambar dari
depan lewat di atas kepalanya. Namun yang menghantam dari atas ke arah
ubun-ubunnya tak bisa dikelit. Karenanya untuk kedua kalinya Wiro lepaskan
pukulan sinar matahari.
Jeritan orang berjubah di
sebelah atas sana terdengar keras menggidikkan ketika tubuhnya dihantam pukulan
sakti tiu. Tubuh itu tampak mencelat tinggi sekali dalam keadaan hangus!
Wiro cepat putar tubuhnya
untuk menghantam lawan keempat. Namun orang ini sudah menyelinap ke dalam
alang-alang lalu kabur cari selamat.
Wiro tarik nafas lega.
Dirabanya lehernya. Terasa basah. Ketika diperhatikannya tangannya, tangan itu
bergelimang darah, membuatnya jadi bergidik dan juga memaki. Kobaran api
semakin besar membakar alang-alang. Wiro bergerak ke arah jalan kecil
berbatu-batu. Dia segera menuju ke ujung jalan kecil di mana kudanya menunggu.
Di satu tempat dia melihat dia buah benda hitam mengepulkan asap menyangsrang
di alang-alang. Ketika didekati dan ditelitinya ternyata dua buah jubah hitam
masing-masing berangka 16 dan 18.
“Aneh…. Kenapa cuma ada
pakaiannya? Mana tubuhnya?!” pikir Wiro. “tak mungkin dua keparat itu masih
hidup! Kalaupun kabur mengapa jubahnya ketinggalan di sini?!” Murid Sinto
Gendeng garuk-garukkepala karena tak dapat memecahkan keanehan itu. dia kembali
ke pertengahan alang-alang tempat jatuhnya lawan ketiga yang tadi juga
dihantamnya dengan pukulan sinar matahari. Di sini, di antara alang-alang
lagi-lagi dia hanya menemukan sehelai jubah berangka 17! Murid Sinto Gendeng
gelengkan kepala. “Empat orang tadi jangan-jangan mahluk siluman. Mereka
menyebut Maharaja dan Maharatu. Agaknya mereka adalah kaki tangan Maharaja dan
Maharatu itu….. Mereka menginginkan nyawaku. Mengapa? Mungkin ada sangkut
pautnya dengan kedatanganku ke tempat Pangeran Sampurno? Janganjangan mereka
mahluk-mahluk peliharaan sang Pangeran!”
Wiro segera tinggalkan tempat
itu. di kejauhan terdengar suara kentongan di beberapa tempat. Pertanda
penduduk di sekitar situ telah melihat kobaran api yang membakar pedataran
alang-alang.
Ketika sampai di ujung jalan Wiro
tidak menemukan kuda coklatnya. “Sialan! Binatang itu pasti sudah kabur entah
kamana!” katanya. Dia memandang berkeliing masih berusaha mencari-cari. Di
bawah sebatang pohon besar tiba-tiba dia melihat sebuah benda besar hitam. Dia
segera mendekati. Wiro jadi tertegun. Benda besar hitam yang dilihatnya tadi
ternyata adalah sosok kuda coklatnya. Binatang ini terkapar di tanah tanpa
nyawa lagi. Pada kepalanya kelihatan sebuah lobang besar yang masih mengucurkan
darah!
“apa yang terjadi dengan
binatang ini?!” pikir Wiro. Tengkuknya tiba-tiba menjadi dingin. Saat itulah
telinganya mendengar suara mendesir di atasnya. Dia mendongak. Sebuah benda
aneh dilihatnya melayang turun dari atas pohon dengan deras. Dalam kegelapan
malam sulit untuk melihat jelas benda apa itu adanya. Namun ketika benda itu
hanya tinggal sepuluh jengkal dari kepalanya murid Sinto Gendeng jadi melengak
kaget dan berseru keras!
TUJUH
Ki Ageng Bantoro mendorong
pintu kamar yang tidak terkunci. “Kalian tunggu di sini,” katanya pada dua orang
pengawal yang memapah Pangeran Sampurno Tjokro Adiningrat. Lalu dia memegang
lengan kiri sang Pangeran dan membantunya masuk ke dalam kamar.
Saat itu di atas tempat tidur
besar tampak terbaring tidur sesosok tubuh perempuan, membelakangi menghadap dinding.
Walau nyala lampu di ruangan tidak seberapa terang namun Ki Ageng Bantoro masih
bisa melihat jelas bahwa perempuan yang ada di atas tempat itdur tidak
mengenakan apa-apa kecuali sehelai kain panjang yang merosot ke bawah dan hanya
menutupi auratnya sampai setinggi betis.
Ki Ageng Bantoro telah sering
melihat kebagusan tubuh perempuan cantik istri Pangeran Sampurno itu. Namun
baru sekali ini dia melihat perempuan itu dalam keadaan polos seperti itu
walaupun hanya dari belakang. Jantung orang tua ini seolah berhenti berdetak.
Otak kotornya muncul membuat hatinya bicara. “Sayang hanya dari belakang. Kalau
aku bisa melihat dari depan…..”
Baru saja Ki Ageng Bantoro
membatin begitu tiba-tiba sosok telanjang di atas tempat tidur menggeliat lalu
berbalik.
“Ki Ageng, lekas berlalu dari
sini!”
Kepala pengawal itu tersentak
oleh suara keras Pangeran Sampurno yang mendadak menjadi marah ketika melihat
bagaimana sepsang mata orang tua yang memapahnya itu membeliak tak berkesip
memperhatikan tubuh istrinya.
“Maafkan saya Pangeran,” kata
Ki Ageng Bantoro pula. Pegangannya pada lengan Pangeran Sampurno dilepaskan
lalu memutar tubuh dan cepat-cepat melangkah ke pintu. Di ambang pintu si orang
tua berhenti. Dia coba berpaling sedikit lalu berkata. “Cidera pada siku kanan
Pangeran perlu segera mendapat perawatan. Saya akan panggilkan ahli urut dari
Krasak…..”
“Keluar dari kamar ini Ki
Ageng! Dan jangan lupa tutup pintu itu! Aku tahu mengobati cidera sialan ini!”
Begitu didengarnya suara pitu
ditutup Pangeran ini melangkah terhuyunghuyung lalu jatuhkan diri di atas
tempat tidur. Perempuan yang barusan menggeliat dan membalikkan tubuh, dalam
keadaan setengah tidur setengah jaga membuka kedua matanya.
“Mas Sampurno…..” Perempuan
itu hendak bertanya gerangan dari mana barusan adanya sang Pangeran dan mengapa
menjatuhkan diri ke atas tempat tidur seperti itu. Pertanyaannya tertahan
ketika dia mendengar erangan keluar dari mulut Pangeran Sampurno. Serta merta
dia bangkit dan duduk di atas tempat tidur. “Mas Sampurno ada apa dengan
dirimu….? Kau demam Mas?” dengan telak tangan kirinya perempuan itu memegang
kening sang Pangeran. Dia menyangka lelaki itu tiba-tiba diserang demam. Tapi
kening itu bukan terasa panas melainkan dingin dan berkeringat.
“Mas…..”
Pangeran Sampurno berteriak
kesakitan ketika perempuan itu memegang lengan kanannya.
“Gusti Allah! Apa yang terjadi
mas?!”
“Tangan kananku Nyi Ganda!
Jangan dipegang!”
Istri Pangeran Sampurno itu
memperhatikan tangan kanan suaminya dengan mata dibesarkan. “Memangnya ada apa
dengan tangan kananmu Mas?”
“Seorang pemuda sinting muncul
malam-malam buta ke tempat kita! Ketika aku keluar ternyata dia sudah betrokan
dengan para pengawal. Bahkan ada yang mati akibat ulahnya!”
“Siapa pemuda itu? Perampok?
Garong….?”
“Namanya Wiro Sableng. Murid
seorang nenek sakti di Gunung Gede yang pernah bersahabat dengan Kerajaan……”
“Wiro Sableng….?” Mengulang
sang istri dengan suara bergetar.
“Kau kenal pemuda sinting
itu?” tanya Pangeran Sampurno pula.
Nyi Gandasuri menggeleng. Lalu
dia berkata.
“Kalau gurunya bersahabat
dengan Kerajaan berarti muridnya juga menjadi sahabat Kerajaan. Lalu mengapa
bentrokan dengan para pegawal, sampai membunuh segala?!”
“Manusia edan itu memuntir
sambungan siku tangan kananku sampai lepas! Jahanam betul!”
Paras Nyi Gandasuri, istri
Pangeran Sampurno, jadi berubah.
“Sejak sore tadi sebenarnya
saya sudah punya firasat kurang baik,” kata Nyi Gandasuri pula. “Rupanya inilah
kejadiannya. Tapi Mas Sampurno, pasal lantaran apa pemuda yang katamu sinting
itu berani mencideraimu?”
“Aku menjadi kalap ketika
mulut busuknya berani memfitnah dirimu….”
“Memfitnah diri saya….?
Sungguh luar biasa! Katakan apa yang diucapkannya padamu Mas Sampurno. Bahwa
saya main gila dengan lelaki lain? Saya berani bersumpah…..” Nyi Gandasuri
tidak meneruskan ucapannya. Sang Pangeran melihat seperti ada kilatan sinar
aneh dalam mata istrinya itu. kemudian digelengkan kepalanya perlahan.
“Katakan Mas…. Fitnah apa yang
diucapkan pemuda bernama Wiro Sableng itu padamu.”
“Sudahlah…. Ucapan seorang
gila apa perlunya dipercaya.”
“Tapi Mas, saya merasa risih
bahkan tidak senang kalau Mas tidak mengatakan. Orang gila tidak mungkin
memfitnah sekaligus menciderai Mas Sampurno dan membunuh para pengawal…. Saya
minta Mas Sampurno tidak menyembunyikan apapun pada saya. Atau saya akan keluar
dan menanyakan pada para pengawal. Pada Ki Ageng Bantoro. Meerka pasti ikut
mendengar fitnah yang diucapkan pemuda itu….”
“Jangan. Kau tak usah keluar.
Jika kau memang mau mendengar dari mulutku sendiri, baik. Akan kukatakan.
Pemuda gila itu mengatakan ada seorang perempuan hendak membunuhku….”
“Seorang perempuan hendak
membunuhmu?!” belalak Nyi Gandasuri. Lalu senyum lebar menyeruak di mulutnya,
disusul oleh suara tertawa bergelak.
“Kalau itu dikatakannya memang
benar pemuda itu sinting edan! Perempuan mana pula yang akan membunuhmu!
Mungkin bekas kekasihmu di masa muda yang cemburu dan dendam karena Mas
Sampurno mengambil saya jadi istri dan bukannya dia. Sungguh lucu….!”
Pangeran Sampurno terdiam
sesaat. Sambungan sikunya yang tanggal mendenyut sakit hingga dia mengeluh
tinggi. Nyi Gandasuri rupanya tidak lagi memperhatikan cidera yang didera
suaminya melainkan ajukan pertanyaan. “Apa lagi yang dikatakan pemuda gila
itu?”
“Mmmmmmmm….. katanya perempuan
itu seorang yang sangat dekat dengan diriku….”
“Siapa? Ibu Mas Sampurno yang
sudah lumpuh itu? Nah, nah, nah! Bagaimana mungkin….”
“Dia menyebutkan sebuah nama
Nyi Ganda…..”
“Kalau begitu Mas Sampurno
sudah tahu…..”
Pangeran itu mengangguk
perlahan. “Katanya perempuan itu berada dalam rumah ini. Lalu dia menyebut
sebuah nama. Namamu. Jelas-jelas dia berkata bahwa seorang bernama Nyi
Gandasuri yang akan membunuhku….”
Nyi Gandasuri terpekik.
Tubuhnya melejang. Pangeran Sampurno melihat satu kejadian aneh. Tubuh istrinya
seperti terangkat ke atas da hampir menyentuh langitlangit kamar. Lelaki ini
sampai berseru melihat kejadian itu. Perlahan-lahan tubuh itu turun kembali.
“Istriku, apa yang terjadi
dengan dirimu? Barusan kulihat tubuhmu melayang. Kau seperti seorang memiliki
kesaktian….”
“Saya tidak memiliki ilmu
kesaktian apapun Mas Sampurno. Apa yang saya dengar dari mulutmu membuat saya
seperti mau meledak! Saya akan cari pemuda kurang ajar itu….”
“Ki Ageng Bantoro dananak
buahku yang lain pasti tidak tinggal diam. Biarkan mereka yang mencari manusia
itu. Sekarang yang penting adalah mencari tabib atau tukang urut untuk
menyambung tulang siku-ku….”
“Tidak perlu….”
“Eh, apa maksudmu tidak
perlu?” tanya Pangeran Sampurno yang serta merta menjadi beringas dan hendak
bangkit. Dia lupa keadaan tangan kanannya. Langsung saja jeritan keluar dari
mulutnya ketika dia coba mempergunakan kedua tangan untuk bertopang pada
permukaan tempat tidur.
“Tidak perlu memanggil tabib
atau tukang urut! Saya sanggup menolong cidera Mas Sampurno,” kata Nyi
Gandasuri pula.
“Kau?” kening sang Pangeran
jadi berkerut dan kedua matanya mengecil. “Kau bisa menyembuhkan tanganku yang
sakit? Eh, sejak kapan kau memiliki ilmu kepandaian dalam pengobatan?”
Nyi Gandasuri tidak menjawab.
Tubuhnya yang telanjang bergerak mendekati suaminya. Tangan kirinya diulurkan
ke arah bahu kanan Pangeran Sampurno. Tibatiba tangan itu mendorong dengan
keras hingga Pangeran Sampurno seperti dihenyakkan ke tempat tidur. Bersamaan dengan
itu, dalam keadaan tangan kiri masih menekan bahu kanan suaminya, Nyi Gandasuri
pergunakan tangan kanan untuk menarik tangan kanan Pangeran Sampurno
sekuat-kuatnya.
Trakkkkk!
Pangeran Sampurno menjerit
keras lalu tergeletak tak bergerak lagi di atas tempat tidur. Pingsan!
Perlahan-lahan Nyi Gandasuri bangkit berdiri. Dia turun dari atas tempat tidur
dan tegak di samping sosok suaminya. Kedua tangannya diangkat ke atas
dikembangkan. Lehernya ditegakkan lalu mulutnya dibuka sedikit demi sedikit.
Tiba-tiba ada satu suara
mengiang di telinganya. Nyi Gandasuri, ingat apa yang sudah kami atur. Setiap
korban harus berada dalam keadaan sadar. Setiap korban harus melihat apa yang
terjadi dengan dirimu dan apa yang kau lakukan! Perhatikan wajah korbanmu pada
saat-saat terakhirnya menuju kematian. Darah orang yang mati dalam keadaan
ketakutan lebih nikmat dari pada segala macam darah!
Perlahan-lahan Nyi Gandasuri
tundukkan kepala lalu turunkan kedua tangannya. Sesaat dia menatap sosok
suaminya. Lalu diambilnya sehelai baju malam berbentuk aneh berwarna hitam.
Kerah jubah ini mencuat tegak ke atas, menutupi seluruh kepala bagian belakang.
Tanpa suara dia melangkah ke pintu. Di pintu dia tegak sesaat. Perlahan-lahan
kedua matanya dipejamkan. Tanpa suara dia membuka pintu itu lalu melangkah
keluar. Jika ada yang melihat pasti akan terheran-heran karena saat itu Nyi
Gandasuri berjalan dengan mata tertutup tidak beda seperti orang berjalan dalam
tidur!
Setelah apa yang terjadi di
rumah besar itu sebelumnya maka Ki Ageng Bantoro telah memerintahkan anak
buahnya untuk melakukan penjaggan ketat. Pada saat-saat tertentu dia sendiri
ikut berkeliling guna memeriksa keadaan. Pengawal bertebaran di mana-mana.
Namun anehnya mereka sama sekali tidak melihat sosok Nyi Gandasuri yang
berjalan tidur itu. Perempuan ini melangkah sepanjang teras samping kiri
bangunan. Turun dari teras lalu melangkah di tanah berumput. Baru berhenti
begitu diasampai di bawah sebatang pohon berdaun sangat rindang.
“Maharaja dan Maharatu, saya
Nyi Gandasuri siap untuk mencari pemuda bernama Wiro Sableng itu! Kalau dia
tidak segera dibunuh bisa-bisa mendatangkan bencana bagi kita! Lagi pula
bukankah itu tugas yang Maharaja dan Maharatu berikan pada saat saya dilepas
pergi dari Istana Langit Darah……?”
Ada sesiur angin menyambar
puncak pohon di bawah mana Nyi Gandasuri berada. Lalu terdengar satu suara
laki-laki.
“Nyi Gandasuri, kau seorang
anggota yang baik. Penuh tanggung jawab. Pemuda yang kau sebutkan namanya tadi
memang sudah ditakdirkan mati di tanganmu! Menurut penglihatanku dia belum
pergi jauh. Bunuh dia, bawa mayatnya ke hadapanku!”
“Ah, Maharaja sudah hadir dan
mendengar rupanya,” ujar Nyi Gandasuri.
“Jika kau berhasil membawa
mayatnya ke hadapanku tabungan kebajikanmu akan menjadi luar biasa besar.
Kejadian itu kelak harus kita rayakan. Kau akan kuundang bersenang-senang di
dalam kamarku selama satu minggu. Setelah itu aku akan membantu dengan segala
cara agar kau dapat mencapai tujuanmu. Menjadi permaisuri Sri Baginda.”
“Saya menghaturkan terima
kasih Maharaja. Saya minta izin untuk bertindak sekarang juga. Mencari pemuda
itu, membunuhnya lalu membawanya ke hadapan Maharaja Langit Darah.”
“Bagus. Namun kau tidak perlu
buru-buru. Pemuda itu tak akan lari jauh. Ketahuilah sudah sejak beberapa hari
belakangan ini aku ingat dan rindu padamu. Ingin melihat wajah dan tubuhmu.
Darahku menjadi panas jika mengingat-ingat saatsaat kau berada di atas ranjang
bersamaku tempo hari. Sekarang, sebelum menjalankan tugas itu, aku ingin kau
menghibur diriku dulu. Tanggalkan jubah hitam yang kau pakai itu. Aku bisa
melihat dirimu dari tempatku berada. Biar mataku melihat auratmu yang bagus.
Dengan begitu nafsu birahiku bisa terlipur…..”
Nyi Gandasuri memandang
berkeliling. Hatinya bimbang. Tapi akhirnya apa yang diperintahkan dilakukannya
juga. Jubah hitam berleher tinggi dibukanya, dijatuhkan ke tanah.
Terdengar suara orang menarik
nafas panjang.
Lalu ada suara tawa cekikikan.
Menyusul suara perempuan. “Nyi Gandasuri, kecantikan wajah dan tubuhmu bukan cuma
untuk Maharaja Langit Darah. Tapi juga menjadi bagian Maharatu Langit darah.
Kalau urusanmu dalam kamar Maharaja Langit Darah selesai kau harus mampir ke
kamarku. Kau dengar itu Nyi Gandasuri?’
“Saya dengar Maharatu,” jawab
Nyi Gandasuri pula. “Sekarang bolehkah saya mengenakan pakaian kembali?’
“Kau boleh pergi. Bawa mayat
pemuda bernama Wiro Sableng itu ke hadapanku!” jawab suara tanpa ujud.
Nyi Gandasuri membungkuk.
Terdengar suara nafas memburu. Selesai mengenakan jubah hitam berleher tinggi
perempuan itu jingkatkan kedua kakinya. Sepasang tangannya diangkat ke atas.
Mulutnya dibuka. Lalu dia menghembus.
Settttt! Terdengar seperti
suara angin berdesir. Sosok tubuh Nyi Gandasuri lenyap ditelan malam seolah
amblas ke dalam tanah!
Di balik serumpunan semak
belukar dua orang yang sejak tadi merasakan sesak dada mereka menyaksikan apa
yang terjadi untuk sesaat lamanya saling pandang tanpa bisa mengeluarkan suara.
Yang satu akhirnya berkata dengan suara bergetar. “Ki Ageng Bantoro apa yang barusan
kita saksikan adalah hal luar biasa. Aneh di atas aneh. Kita harus memberi tahu
Pangeran Sampurno.”
Yang diajak bicara yaitu Ki
Ageng Bantoro kepala pengawal gedung kediaman Pangeran Sampurno menggeleng.
“Mungkin kita harus merahasiakannya dulu sampai beberapa waktu. Aku mencium
dibalik keanehan ini ada hal yang mengerikan…..”
Baru saja Ki Ageng Bantoro
berkata begitu tiba-tiba dari atas pohon melesat sebuah benda. Benda ini
bergerak cepat sekali hingga kedua orang itu tidak bisa memastikan benda apa adanya.
Kemudian terdengar dua jeritan keras. Pengawal yang ada di tempat kediaman
Pangeran Sampurno jadi tercekat. Mereka masih berada di bawah pengaruh kejadian
munculnya Wiro tadi. Kini terdengar dua suara jeritan yang menggidikkan.
Beramai-ramai para pengawal ini menuju pintu gerbang gedung, terus keluar ke
arah sebatang pohon besar dari arah mana tadi terdengar suara jeritan.
Hanya beberapa langkah dari
pohon besar itu semua pengawal tersurut menggigil. Di tanah mereka melihat dua
sosok tubuh terkapar dengan kepala berlumuran darah. Ubun-ubun kedua orang itu
tampak berlobang besar! Jelas keduanya sudah jadi mayat. Mulut menganga mata
mencelet!
DELAPAN
Benda yang melayang turun dari
atas pohon besar itu ternyata adalah potongan kepala seorang perempuan tua.
Rambutnya yang panjang hitam riap-riapan menebar bau kembang di pekuburan!
Wajahnya sangat putih. Sepasang alisnya mencuat tebal dan hitam. Kedua matanya
memancarkan sinar kemerahan. Di sudut-sudut bibirnya tersembul taring
terbungkus cairan darah! Dari mulutnya yang terbuka dan melelehkan darah
kelihatan menjorok keluar lidahnya yang berbentuk aneh. Lidah ini seolah
terbuat dari besi hitam, berbentuk corong lancip dan pada ujungnya ada lobang
seujung jari kelingking.
“Gusti Allah! Mahluk apa ini!”
ujar Pendekar 212 dalam hati.
Kepala perempuan dengan rambut
awut-awutan dan wajah mengerikan itu melesat ke arah kepala Wiro. Lidah besinya
bergerak, mencari sasaran di ubun-ubun. Murid Sinto Gendeng cepat berkelebat
menyingkir sambil memukul.
Brerttt!
Potongan kepala berputar aneh.
Pukulan Wiro mengenai tempat kosong. Sebaliknya walau dia sudah berusaha
menghindar dengan cepat namun lidah besi masih sempat menggaruk bahu bajunya
hingga robek besar. Wiro merasakan tubuhnya jadi dingin. Dia ingat pada kudanya
yang ditemuinya telah jadi mayat dengan kepala bolong. “Jangan-jangan mahluk
jahanam ini juga yang membunuh kuda itu!” pikir Wiro. Dia merasa belum sempat
menarik tangannya yang terdorong ke depan tahu-tahu potongan kepala itu
membalik lalu melesat ke atas. Dari ketinggian satu tombak kepala itu menukik
ke bawah. Lidah besi kembali mencari sasaran di batok kepala murid Sinto
Gendeng. Gerakan serangan kepala ini sungguh luar biasa cepatnya.
Untuk kedua kalinya Wiro
dipaksa harus melompat mencari selamat. Setelah melompat dia jatuhkan diri di
tanah lalu berguling.
Potongan kepala perempuan
menyeringai. Darah berlelehan dari mulutnya. Lidah besinya bergerak-gerak.
Tiba-tiba didahului oleh suara pekikan menggidikkan kepala ini kembali
menyerang. Kali ini karena bukan datang dari atas, Wior punya kesempatan untuk
menghantam langsung dengan jotosan tangan kanan.
Bukkk!
Potongan kepala itu mencelat
mental begitu jotosan tangan kanan Wiro menghantam pipi kirinya dengan telak.
“Pecah kepalamu! Tamat riwayatmu!”
ujar Wiro seraya melompat bangkit. Tapi dia jadi melongo ketika pukulan tangan
kosong yang disertai tenaga dalam itu ternyata jangankan memecahkan potongan
kepala, cidera sedikitpun tidak!
Sambil keluarkan suara pekik
panjang potongan kepala berputar-putar di udara. Rambutnya riap-riapan menebar
cairan merah. Darah juga menyembur-nyembur dari mulutnya. Lidah besinya
bergerak tiada henti. Ketika potongan kepala ini kembali melesat Wiro kerahkan
seluruh tenaga dalamnya lalu menghantam dengan pukulan sakti “kunyuk melempar
buah”
Satu gelombang angin yang amat
keras, laksana batu raksasa menggelinding, menderu dahsyat kearah potongan
kepala. Meski tahu dirinya terancam serangan mematikan tapi potongan kepala tak
berusaha menghindar. Malah menyeringai dan memekik tinggi.
Sesaat kemudian tak ampun lagi
kepala tanpa badan itu dilabrak pukulan sakti yang dilepaskan Pendekar 212.
Sinar terang aneh berkiblat sewaktu potongan kepala kena ditumbuk pukulan
“kunyuk melempar buah” kepala mencelat tinggi seolah hendak menembus langit.
“Astaga!” Pendekar 212 berseru
kaget dan mendadak saja tengkuknya menjadi dingin ketika sesaat kemudian seolah
meluncur turun dari langit potongan kepala tahu-tahu hanya tinggal satu tombak
saja di atas kepalanya.
Wusss!
Lidah besi mahluk kepala tanpa
badan menderu tipis di samping kepala Pendekar 212. Terdengar jerit sang
pendekar ketika tambut hitam yang riap-riapan mendera pipi kirinya. Murid Sinto
Gendeng terbanting ke tanah. Empat buah guratan panjang disertai lelehan darah
kelihatan di pipi Wiro.
“Kepala pelesit jahanam!” maki
Wiro sambil mengusap pipinya yang luka.
Dia berusaha bangkit. Tapi
baru pantatnya lepas dari tanah potongan kepala kembali menyerangnya.
“Setan alas! Makan
pencarianmu!” teriak Wiro. Kini tidak kepalang tanggung dia lepaskan pukulan
sakti yang paling menggegerkan dunia persilatan yaitu “pukulan sinar matahari”
Sinar putih menyilaukan seolah
membelah langit malam. Sinar sangat panas menerpa ke arah potongan kepala.
Seperti waktu dihantam dengan pukulan “kunyuk melempar buah” tadi, mahluk ini
sama sekali tidak berusaha menghindar. Malah lidah besinya kelihatan dijulurkan
lebih panjang. Lalu mulut itu meniup.
Werrrrrr!
Darah merah dan kental
menyembur dari mulut dan lobang lidah besi, menembus sinar putih pukulan sinar
matahari.
Bummmmm!
Ledakan keras menggetarkan
udara dan tanah.
Wiro berseru kaget ketika
darah yang disemburkan potongan kepala mampu menembus sinar pukulan saktinya.
Semburan darah terus menyambar ke arah kepalanya. Kalau tidak cepat mengelak
semburandarah yang kemudian berubah menjadi tetesan-tetesan darah itu amblas
menembus batang pohon di dekatnya!
Begitu menyemburkan darah
potongan kepala melesat lurus ke atas. Lalu selagi Wiro masih terkesiap melihat
tetesan-tetesan darah menghantam pohon, potongan kepala didahului jeritan
melengking melesat ke bawah. Lagi-lagi mahluk ini coba menusukkan lidah besinya
di kepala Wiro. Yang diarah selalu bagian ubun-ubun.
“Edan!” maki Pendekar 212.
Tanpa menunggu lebih lama dia segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212. Cahaya
sakti yang keluar dari dua mata kapak mustika ini menerangi tempat angker itu.
Tapi potongan kepala tidak takut. Malah pekiknya semakin keras.
Wiro menghantam.
Wuttt!
Sinar terang berkiblat. Suara
seperti ratusan tawon mengamuk berkumandang. Kali ini kepala tanpa badan itu
seperti agak jerih untuk melakukan bentrokan. Cepatcepat dia melenceng lurus
ke kiri, membelok ke kanan lalu tahu-tahu sudha berada di belakang kepala Wiro.
Pendekar 212 babatkan kapaknya
seputar kepala. Sinat terang membuntalbuntal. Potongan kepala keluarkan
jeritan berulang-ulang. Wiro menyangka mahluk itu ketakutan dan mungkin hendak
kabur. Tapi sangkaannya meleset. Karena tiba-tiba saja potongan kepala itu
membuat gerakan-gerakan aneh yaitu membeset lurus ke kiri, lalu melesat ke
kanan, membalik lurus ke depan, berputar lalu meluncu lagi lurus ke kanan, naik
ke atas dan diakhiri dengan menukik ke bawah, berusaha menusukkan lidah besinya
ke batok kepala sang pendekar.
“Celaka! Aku tak bia mengelak erus-terusan!
Kapak Naga Geni 212 seolah tidak mampu menghadapi mahluk jahanam itu! Apalagi
pukulan-pukulan sakti! Apa yang harus kulakukan!” dalam hatinya terniat untuk
segera mengeluarkan batu hitam pasangan kapak mustika. Dia hendak menggempur
potongan kepala dengan semburan api sakti. Tapi pukulan matahari yang begitu
panas sanggup ditahan oleh lawan, hatinya merasa ragu apakah api sakti akan
sanggup menciderai. Dalam keadaan bimbang seperti itu, tidak sengaja salah satu
jarinya menekan salah satu dari dua mata ukiran kepala naga yang merupakan
bagian gagang dari Kapak Maut Naga Geni 212. Mata ukiran kepala naga itu justru
adalah picu untuk mengeluarkan jarum-jarum putih halus yang ada dalam rongga
gagang dan merupakan senjata rahasia yang sangat berbahaya. Selama ini jarang
sekali Wiro mempergunakan senjata rahasia dalam badan kapak mustika itu. Tapi
ketidak sengajaan itu justru membuatnya terheranheran karena begitu selusin
jarum bertabur berkilauan di dalam gelapnya udara malam, dari mulut potongan kepala
terdengar suara menggeru. Potongan kepala ini berputar sebentar lalu melesat ke
kiri. Wiro memburu. Dia acungkan senjata sakti itu sambil menekan lagi mata
kepala naga. Selusin jarum putih kembali melesat keluar dari gagang kapak yaitu
dari bagian mulut ukiran naga. Di sebelah sana terdengar mahluk potongan kepala
menjerit aneh. Tampangnya yang angker kelihatan seperti sangat takut.
Lalu potongan kepala ini
berputar keras sambil melesat ke arah timur dan dalam waktu sangat cepat lenyap
di kegelapan malam.
“Aneh….” Kata Wiro sambil
memperhatikan senjata mustikanya. “Mahluk jahanam itu sepertinya takut pada
jarum-jarum putihku. Tapi apa yang ditakutinya? Pukulan sakti dan Kapak Maut
Naga Geni 212 sanggup dihadangnya. Masakan dengan jarum-jarum halus malah dia
ketakutan dan kabur. Pasti ada rahasinya. Aku harus mencari kelemahannya. Bukan
mustahil mahluk tadi ada sangkut pautnya dengan manusia-manusia berpeci kerucut
yang menyerangku di pedataran alangalang…..” Wiro tarik nafas panjang. Otak
dan suara hatinya masih terus berkerja. “Potongan kepala itu, bisa berputar.
Rambutnya dan darah yang keluar dari mulutnya merupakan senjata berbahaya.
Bergerak lurus-lurus…. Hemmmmm, mungkin itu salah satu kelemahannya. Aku harus
berhati-hati. Bukan mustahil dia akan muncul lagi….. Ah, kenapa jadi banyak
mahluk aneh muncul mau membunuhku? Apa ini ada sangkut pautnya dengan tugas
yang diberikan Eyang Sinto Gendeng? Memberi ingat Pangeran Sampurno bahwa
istrinya akan membunuhnya? Pangeran sialan! Kalau sudah diberi tahu tidak
percaya perlu apa aku susah-sush memberi ingat!” Wiro garuk-garuk kepala dan
tinggalkan tempat itu dengan mata dan telinga dipasang untuk mewaspadai keadaan
sekitarnya.
SEMBILAN
Di luar gedung besar kediaman
Pangeran Sampurno Tjokro Adiningrat udara malam terasa dingin. Hujan turun
rintik-rintik dan angin beritup kencang. Kalau para pengawal yang bertugas di
luar saat itu merasa kedinginan maka di dalam kamar sang Pangeran dan istrinya
saling rangkul di atas ranjang, asyik berhangat-hangat.
“Bagaimana keadaan tangan
kananmu Mas Sampurno?” tanya sang istri.
“Aku sungguh tak percaya. Kau
ternyata seorang ahli uut. Memang masih terasa linu sedikit tapi aku sudah bisa
menggerakkannya tanpa rasa sakit lagi….” Jawab Pangeran Sampurno lalu mencium
leher istrinya. Dia mendengar perempuan tu mengeluarkan suara lirih.
Nyi Gandasuri menggeliat lalu
berkata. “Tolong lampunya dibesarkan….”
“Eh, aneh sekali ini. biasanya
kau selalu ilang tak bisa tidur kalau lampu terang. Kau tak bisa terangsang
kalau lampu menyala besar. Sekarang malah minta lampu dibesarkan. Memangnya ada
apa istriku?” ujar Pangeran Sampurno pula.
Nyi Gandasuri tersenyum lebar.
Dengan tanagn kanannya ditariknya tubuh suaminya hingga berada di atas
badannya. “Saya ingin memperlihatkan sesuatu padamu. Kau sering-sering berkata
saya seperti perempuan dingin. Kau lihat saja sebentar lagi. Saya akan melayani
dan membahagiakan dirimu Mas Sampurno. Kau akan merasakan nikmat mulai dari
kapala sampai ujung kaki….”
Pangeran Sampurno hampir
tertawa membahak. Tapi ketika dilihatnya wajah istrinya yang cantik penuh
kesungguhan, sambil turun dari atas tempat tidur dia berkata. “Luar biasa
sekali kau malam ini Nyi Ganda. Biasanya kau selalu malu-malu walau hemmmmmm
aku tahu sebenarnya hasratmu manyala-nyala….”
Sang istri tertawa perlahan
lalu bangkit dari berbaringnya.
Pangeran sampurno melangkah ke
tengah kamar di mana tergantung lampu minyak. Dia berjingkat untuk mencapai
putaran lampu. Api lampu membesar. Kamar kini menjadi terang benderang. Lelaki
itu membalik ke arah tempat tidur.
Di atas tempat tidur
dilihatnya Nyi Gandasuri duduk bersandar ke dinding. Saat itu dia tidak
mengenakan apa-apa lagi. Tubuhnya polos putih dan seperti memantulkan cahaya
berkilat terkena sinar lampu. Dia duduk dengan kaki terkembang. Membuat semakin
panas darah di tubuh sang Pangeran dan semakin membakar hasratnya yang sejak
tadi mendadak jadi berkobar-kobar karena sikap dan ucapan-ucapan sang istri
yang tidak seperti biasanya. Rupanya ketika dia membesarkan nyala lampu minyak
tadi dengan cepat Nyi Gandasuri telah membuka seluruh pakaian di tubuhnya.
Padahal biasanya kalau tidak dia yang menanggalkan pakaian sang istri, Nyi
Gandasuri lebih banyak bersikap diam saja.
Dengan nafas memburu Pangeran
Sampurno segera saja hendak melompat ke atas tempat tidur. Namun tiba-tiba saja
gerakannya tertahan.
Di atas tempat tidur dilhatnya
sang istri tersenyu aneh padanya. Bukan hal ini yang membuat Pangeran Sampurno
berhenti melangkah. Melainkan oleh satu tanda merah yang tiba-tiba saja dilihatnya
melingkari leher istrinya. Tanda itu semakin lama semakin besar. Lalu tanda itu
berubah menjadi sebuah koyakan luka yang aneh mengerikan. Dari luka melingkar
mulai mengucur darah. Kucuran darah mengalir turun pada kedua bahunya terus
membasahi sepasang payudaranya yang putih dan kencang. Dari sini darah terus
mengalir ke perutnya yang polos hingga akhinya membasahi alas tempat tidur.
“Nyi Ganda!” seru Pangeran
Sampurno terbelalak. “Lehermu!”
Kalau sang suami demikian
kagetnya melihat apa yang terjadi tapi sang istri justru tenang-tenang saja.
Malah senyum Nyi Gandasuri semakin lebar. Kedua matanya dikedip-kedipkan sedang
mulutnya perlahan-lahan dibuka. Mulut itu bergerak-gerak seperti hendak
mengatakan sesuatu. Tapi dari mulut itu sama sekali tidak keluar sepotong
suarapun. Malah kini yang keluar adalah lidah merahnya. Lidah itu
dijulur-julurkan dan diputar-putarnya demikian rupa. Kalau saja tidak ada luka
aneh di selingkar lehernya pastilah Pangeran Sampurno akan terangsang hebat dan
mengecup mulut serta lidah istrinya itu.
“Nyi Ganda, apakah kau tidak
mendengar ucapanku tadi? Lehermu! Ada luka melingkar. Ada darah menetes…..!
Pegang lehermu, lihat dada dan perutmu!”
Nyi Gandasuri tidak menjawab.
Matanya memandang tak berkesip pada suaminya. Sang Pangeran tiba-tiba saja
menyadari bahwa dua mata istrinya telah berubah kemerah-merahan. Lalu wajahnya
yang cantik menjadi sangat pucat.
“Istriku, apa sebenarnya yang
terjadi dengan dirimu! Ya Tuhan! Nyi Ganda!” Pangeran Sampurno maju dua
langkah. Tapi tepat di pinggiran tempat tidur kembali langkahnya tertahan dan
matanya membelalak. Sang istri menyeringai. Lalu. Astaga!
Sedikit demi sedikit dari
sudut bibir Nyi Gandasuri sebelah atas muncul keluar sepasang taring besar
runcing mengerikan.
“Gusti Allah!” seru Pangeran
Sampurno. Dia mundur dengan sekujur tubuh bergidik. Lidah istrinya yang
terjulur merah tiba-tiba berubah warna dan bentuk. Lidah yang tadinya
bergerak-gerak lentur sekarang tampak kaku keras seprti besi. Bagian ujungnya
meruncing. Dan pada ujung yang runcing itu ada sebuah lobang!
“Nyi Ganda….!” Suara Pangeran
Sampurno bergetar. Kembali dia membuat langkah mundur.
Di atas tempat tidur Nyi
Gandasuri menyeringai. Mulutnya seperti menghembus. Dari lidah besi berbentuk
corong yang keluar bukannya angin tetapi darah merah kental!
“Pangeran suamiku….. Mengapa
takut? Bukankah kita akan bersenang-senang. Aku akan membahagiakanmu Mas
Sampurno….”
Tubuh polos di atas tempat
tidur kini berjongkok lalu beringsut ke pinggir.
“Mas Sampurno…..”
“Nyi Ganda. Jadi …..sebenarnya
kau manusia jejadian…..!”
“Aku manusia biasa. Istrimu….
Hik…hik….hik!” Nyi Gandasuri tertawa tinggi. Tiba-tiba bagian leher di bawah
dagu tepat di bagian luka melingkar, melesat ke atas!
Pangeran Sampurno berteriak
melihat kepala yang tanggal dari leher itu melayan ke atas sementara bagian
tubuh yang telanjang masih berjongkok di epi tempat tidur.
“Demi Tuhan Nyi Ganda! Mengapa
kau bisa jadi begini?!” teriak Pangeran Sampurno. Lalu ketakutannya jadi
berlipat ganda sewaktu dilihatnya bagaimana muka cantik tapi pucat itu
perlahan-lahan berubah menjadi wajah tua keriputan. Wajah seorang nenek yang
menyeramkan.
Pangeran Sampurno putus
nyalinya. Dia lari ke pintu. Tapi kalah cepat. Potongan kepala iblis Nyi
Gandasuri menukik ke arah batok kepalanya. Teriak sang Pangeran terpotong.
Crasss!
Ubun-ubun Pangeran Sampurno
jebol. Sepasang mata merah membelalak besar. Muka nenek yang menyeramkan itu
menyeringai. Lalu terdengar suara seperti air menggelegak ketika potongan
kepala itu menyedot dengan lidah besinya. Darah membasahi kepala dan muka
Pangeran Sampurno.
Di pintu tiba-tiba terdengar
suara ketukan-ketukan keras. Disertai suara orang berseru. “Pangeran! Pangeran
Sampurno! Ada apa di dalam sana?! Kami mendengar suara jeritan!”
Itu adalah suara seorang
pengawal yang bertugas di bagian dalam ruah besar kediaman sang Pangeran.
Karena tak ada jawaban dari dalam kawan di sebelahnya berkata. “Buka paksa
saja….”
Pintu dibuka paksa. Dua
pengawal melompat masuk ke dalam kamar yang terang benderang itu. Satu memegang
tombak, satunya menghunus golok. Lalu mendadak saja keduanya menjadi kaku
ketakutan ketika menyaksikan apa yang terjadi di dalam kamar besar itu.
Pangeran Sampurno terkapar di
lantai kamar. Mukanya tertutup darah dan di kepalanya ada sebuah lobang besar
mengerikan. Di atas tempat tidur ada satu sosok tubuh perempuan telanjang tapi
tanpa kepala. Dari lehernya yang kutung ada cairan darah seperti mendidih lalu
mengalir membasahi tubuhnya. Lalu di mana kepalanya, pikir kedua pengawal di
dalam kamar.
Tiba-tiba terdengar suara tawa
cekikikan. Nyawa dua pengawal seperti terbang ketika mereka mendongak ke atas.
Di salah satu sudut langit-langit kamar mereka melihat potongan kepala berambut
riap-riapan, bermuka nenek menyeramkan dan mulutnya memiliki lidah aneh
berlumuran darah.
“Setan kepala!” teriak
pengawal yng memegang tombak.
“Pelesit kudung!” seru
temannya dengan muka pucat.
Serentak kedua orang ini
menghambur ke arah pintu yang terbuka. Namun seperti ada tangan yang mendorong
pintu kayu jati itu terbating keras dan tertutup. Dua pengawal tak mampu dan
kelabakan berusaha membukanya. Dari sudut kamar suara cekikikan semakin
mengumbar. Lalu potongan kepala itu menukik ke arah pengawal yang memegang
tombak. Orang ini hanya keluarkan pekikan pendek. Tombaknya terlepas, tubuhnya
roboh ke tanah. Ada lobang besar di kepalanya.
Pengawal satunya sambil
menjerit ketakutan berusaha membabatkan goloknya ke arah kepala iblis Nyi
Gandasuri yang datang menyerangnya. Tapi bacokannya meleset. Di lain saat
terdengar jerit kematiannya.
Ketika malam itu selusin
pengawal masuk ke dalam kamar mereka melihat Nyi Gandasuri menaangis
menjerit-jerit di sudut kamar.
“Tolong….tolong….” teriaknya
memelas. Lalu tubuhnya yang kini sudah tertutup pakaian itu roboh pingsan ke
lantai.
SEPULUH
Di puncak Gunung Gede seorang
nenek bermuka jelek bertubuh kurus seperti jerangkong tersentak dari tidurnya.
Dia duduk di tepi balai-balai kayu beralas tikar jerami kering. Di kepalanya
yang berambut jarang ada lima buah tusuk kundai terbuat dari perak. Tusuk
kundai itu tidak disisipkan pada rambutnya melainkan ditancapkan di kulit
kepalanya!
Sepasang amta di nenek yang
cekung menatap ke arah pintu gubuk kayu yang terbuka. Di luar sana kelam bukan
main angin malam berhembus dingin.
“Mimpi buruk….” Si nenek
berkata pada dirinya sendiri. “Jangan-jangan anak setan itu gagal menjalankan
tugasnya!” Si nenek berdiri. Sebelum keluar dari gubuk kayu diambilnya sebatang
tongkat kayu yang tersandar dekat pintu.
Di luar udara dinginnya bukan
main. Tapi si nenek tenang saja seolah tidak merasa apa-apa. Memandang
berkeliling dia hanya melihat kegelapan.
“Di mana tua bangka itu?” dia
kembali bicara sendirian. “Aku mendengar suara ngoroknya tapi sosok bobroknya
tidak kelihatan!”
Walaupun memegang tongkat dan
tubuhnya bungkuk sekali, tapi nenek berwajah seram itu tidak pergunakan tongkat
kayunya untuk membantunya berjalan. Malah tongkat kayu itu
dibolang-balingkannya kian kemari. Dia melangkah ke arah sebuah batu besar dari
arah mana terdengar suara orang mendengkur. Tapi begitu sampai di belakang batu
dia sama sekali tidak menemukan orang yang dicarinya itu.
“Ah! Keparat sialan tua bangka
itu! Dia menipuku dengan ilmu memindahkan suara! Wong edan! Suara ngoroknyapun
dipindah-pindah! Rupanya dia takut dibokong orang!” saking kesalnya si nenek
ketok batu itu dengan ujung tongkat. Braakk! Batu hitam atos itu gompal dan
murak pada bagian yang terkena pukulan.
Si nenek keluar dari balik
batu. Dia memandang lagi berkeliling. Matanya membentur sosok pohon besar
sejarak dua puluh langkah di sebelah kirinya. Memandang ke pohon yang menghitam
dalam kegelapan itu si nenek ingat pada masa belasan tahun lalu. Ketika dia
masih menggembleng muridnya di puncak Gunung Gede itu. Sang murid sering dilemparkannya
ke atas pohon itu. Mukanya yang seram dan mulutnya yang perot tampak tersenyum.
Lalu dia mulai melangkah ke arah pohon.
Sampai di bawah pohon dia
tegak berdiam sebentar. Seluruh pohon sehening di pekuburan. Malah lagi-lagi
dari arah balik batu besar kembali terdengar suara orang mendengkur. Si nenek
menyeringai.
“Sekali ini kau tak bisa
menipuku tua bangka rongsokan!” lalu si nenek tempelkan tongkat kayunya ke
batang pohon. Sesaat kemudian tongkat itu bergetar aneh. Getaran merambat ke
batang pohon, menjalar ke atas. Di atas pohon , di sebuah cabang besar satu
sosok tubuh yang sedang tidur nyenyak tampak terguncangguncang.
“Hai! Gempa bumi atau sudah
kiamat dunia ini?! Sialan betul!” orang yang tidur terbangun langsung
menyumpah.
Kepalanya ditukikkan ke bawah.
Lalu dia berseru. “Sinto Gendeng! Pasti kau yang usil mengganggu tidurku!”
“Tua bangka rongsokan! Kau
turunlah sebentar! Aku mau bicara!” Si nenek di bawah pohon berteriak. Ternyata
dia adalah si nenek sakti Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar Kapak Maut Naga
Geni 212 Wiro Sableng, satu dari sedikit tokoh utama dunia persilatan pada masa
itu.
“Bicara malam-malam begini?!
Uh! Ada-ada saja kau ini! Apa tidak bisa menunggu sampai besok pagi?” “Kerjamu
selama satu minggu di sini tidur melulu. Apa kau kira tempatku ini tempat orang
mendengkur dari pagi sampai malam sampai pagi lagi?!”
“Eh Sinto kau tahu sendiri.
Kerjaku jalan melulu. Sepanjang tahun kalau dikumpulkan tidurku mungkin hanya
belasan hari saja! Apa salahnya kalau sekali ini aku berleha-leha molor terus
di tempat teman….. Itu gunannya teman. Lagi pula aku tidur di pohon. Kau mana
mungkin menyediakan ranjang bagus dan bantal empuk untukku! Ha…ha….ha….!”
“Sudah! Jangan bicara ngaco!
Lekas turun! Atau aku yang naik ke atas sana. Menjewer telingamu dan menyeretmu
ke bawah sini?!”
“Huahhhh!” Orang di atas pohon
menguap lebar-lebar. Lalu dala kegelapan malam dari atas pohon melayang turun
sebuah benda. Mula-mula kelihatan sebuah caping lebar terbuat dari bambu. Di
atas caping ini menyusul tampak sepasang kaki jelek keriput duduk bersila.
Setelah itu baru kelihatan sosok badan dan kepala. Orang yang melayang turun
sambil duduk di atas caaping bambu itu ternyata seorang kakek berpakaian
rombeng penuh tambalan seperti seorang pengemis. Rambutnya sudah putih semua.
Kedua matanya dipejamkan seperti tidur. Di ketiak kirinya terkepit sebatang
tongkat kayu. Di bahunya ada sebuah bantalan. Di tangan kanannya dia memegang
sebuah kaleng rombeng. Sambil melayang turun dia menggoyanggoyangkan kaleng
bututnya itu. maka terdengarlah suara berkerontangan yang menusuk telinga di
malam buta itu.
“Berisik! Hentikan perbuatan
edanmu itu atau kurampas kaleng rombengmu dan kubuang ke jurang!” si nenek
mengancam sambil tekap kedua telinganya yang terasa seperti dicucuk oleh suara
kerontangan kaleng.
Kakek yang melayang turun
tertawa gelak-gelak. Beberapa saat lagi capingnya akan menyentuh tanah dia
melompat turun. Caping disambarnya langsung diletakkan di atas kepala. Kini si
kakek berhadap-hadapan dengan si nenek.
“Kau masih tidur atau
bagaimana? Mengapa kedua matamu masih terus dipicingkan?” si nenek menegur.
Wajah tua di bawah caping
tersenyum. “Membuka mata atau tidak apa bedanya. Tetap saja aku tidak melihat
apa-apa……” jawab si kakek. Namun kedua matanya dibuka juga. Yang kelihatan
hanya sepasang mata berwarna putih. Ternyata kakek ini buta kedua matanya!
Sudah bisa kita duga kakek aneh ini bukan lain adalah orang sakti yang dikenal
dengan nama Kakek Segala Tahu.
“Uh…..! Malam-malam buta pakai
pamer ilmu segala!” si nenek menceloteh kembali.
“Eh, apa maksudmu Sinto?”
tanya Kakek Segala Tahu. Tangan kanannya hendak digoyangkan kembali. Tapi tidak
jadi karena dia kawatir si nenek akan marah lagi.
“Tadi waktu kau turun dari
atas pohon. Melompat saja kan bisa. Kenapa pakai duduk segala di atas caping!
Supaya aku tahu bahwa tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuhmu sudah selangit
tembus ya?!”
Si kakek tertawa gelak-gelak.
“Tua bangka tolol rongsokan sepertiku ini mau pamer ilmu kepandaian di depan tokoh
dunia persilatan sepertimu mana aku berani Sinto? Tadi itu aku hanya sekedar
melampiaskan rasa jengkel karena kau bangunkan sewaktu aku enak-enak tidur dan
bermimpi!”
“Kau bermimpi? Sama, aku
justru memanggilmu turun karena aku juga bermimpi. Apa mimpimu?” tanya Sinto
Gendeng.
“Rasanya aku berada di satu
puncak gunung yang indah. Ada sebuah rumah bagus seperti istana kecil. Di depan
istana ada seorang cantik jelita. Berpakaian sangat tipis yang tersingkap kian
kemari karena dihembuskan angin. Dia melambailambaikan tangannya padaku. Aku
segera mendatangi. Kupikir rejeki besar nih! Eh, begitu sampai di hadapannya
tiba-tiba saja gadis cantik jelita itu berubah menjadi seorang nenek-nenek
peot. Dan nenek itu adalah kau!”
“Sialan keparat! Jahanam kau!”
maki Sinto Gendeng panjang pendek. Sementara Kakek Segala Tahu tertawa
terkekeh-kekeh. Sambil mengusap matanya yang basah oleh air mata si kakek
kemudian berkata. “Nah, malam-malam buta begini mengapa kau menyuruh aku turun
dari pohon. Tadi katamu ada yang hendak kau bicarakan.”
“Betul,” jawab Sinto Gendeng
walau dengan wajah masih merengut. “Aku sudah cerita padamu bahwa aku mengutus
muridku si sableng bernama Wiro itu guna menemui Pangeran Sampurno Tjokro
Adiningrat! Dia kutugaskan menemui Pangeran itu untuk memberi peringatan bahwa
istrinya sendiri yang bernama Nyi Gandasuri ingin membunuhnya…..”
“”Ya, ya aku sudah dengar kau
cerita begitu,” kata Kakek Segala Tahu. “Ini sebagai akibat istrinya memiliki
ilmu iblis dan ingin menjadi permaisuri Sri Baginda.”
Sinto Gendeng mengangguk.
“Ternyata anak setan itu gagal menyelamatkan Pangeran Sampurno….”
“Dari mana kau tahu dia
gagal?” bertanya Kakek Segala Tahu.
“Barusan aku mimpi. Aku
melihat anak itu jatuh ke jurang dihantam ekor buaya jadi-jadian…..”
“Mati?”
“Mati sih belum. Cuma babak
belur….”
“Lalu mengapa itu jadi
persoalan?”
“Sialan kau! Kau tahu
bagaimana hubunganku dengan Keraton. Pangeran Sampurno banyak membantu dan aku
banyak berhutang budi padanya! Apa kau merasa aku tidak punya kewajiban untuk
menolongnya dari bahaya maut?”
“Sinto, kalau kau sudah
berusaha dan gagal itu bukan kesalahanmu. Itu berarti sudah takdir! Nah kenapa
musti dipikirkan?!”
“Bukan aku memikirkan itu
saja. Tapi aku juga kesal mangapa anak setan itu bisa gagal?!” ujar Sinto
Gendeng.
“Tunggu dulu Sinto. Sekarang
ini banyak bermunculan tokoh-tokoh aneh dalam dunia persilatan. Selain aneh
tentu saja mereka membekal ilmu kepandaian tinggi. Setiap ilmu baru, apalagi
ilmu hitam yang mengerahkan mahluk-mahluk halus tidak gampang menghadapinya.
Mungkin ini yang terjadi dengan muridmu.”
“Hemmmm, kalau begitu tidak
salah aku minta bantuanmu saat ini juga.”
“Sebagai teman yang sudah
kenal puluhan tahun bantu membantu adalah jamak-jamak saja. Pertolongan apa
yang bisa aku berikan?” tanya Kakek Segala Tahu.
“Kau carilah muridku itu. Dia
pasti tidak jauh dari Kotaraja. Periksa apa yang terjadi. Lakukan sesuatu jika
kau memang bisa menolongnya. Aku sebenarnya sudah lama bercuriga. Jangan-jangan
ini semua pekerjaan seorang yang sangat membenci dan mendendam muridku itu.”
“Siapa?” tanya Kakek Segala
Tahu.
“Wah, dia punya puluhan bahkan
mungkin ratusan orang yang tidak suka padanya. Jika kau selidiki sendirilah!”
Kakek Segala Tahu
geleng-gelengkan kepala. “Jika seorang teman meminta, maskan aku tega menampik.
Apalagi teman secantikmu ini!”
“Kurang ajar kau! Pasti kau
bermaksud mengejekku!” damprat si nenek.
Kakek Segala Tahu tertawa
lebar.
“Besok pagi aku tinggalkan
tempat ini. Sekarang biar kuteruskan dulu tidurku!” habis berkata begitu si
kakek gerakkan kedua kakinya. Wuttt! Tubuhnya melesat ke atas pohon. Lenyap
dalam kegelapan. Tak lama kemudian terdengar suara orang mendengkur di balik
batu besar sebelah sana. Eyang Sinto Gendeng cuma bisa geleng-geleng kepala
lalu beranjak pula dari tempat itu.
SEBELAS
Kematian Pangeran Sampurno
tentu saja merupakan satu peristiwa mengerikan dan menggegerkan. Beberapa hari
setelah jenazahnya dimakamkan, seorang utusan dari Keraton dataang menemui Nyi
Gandasuri. Orang ini membawa pesan agar sang janda menghadap Sri Baginda.
Pada hari yang telah
ditentukan maka datanglah Nyi Gandasuri menemui Raja. Karena ini adalah
pertemuan keluarga maka para pengawal diminta pergi dan di tempat itu hanya ada
Sri Baginda bersama permaisuri dan Nyi Gandasuri.
Menurut Raja kematian Pangeran
Sampurno yang adalah adik kandungnya sendiri bukan kematian biasa. Dia dibunuh
secara kejam. Tapi dibalik kekejaman iu ada suatu keanehan.
“Pada saat suami Nyi Ajeng
dibunuh, Nyi Ajeng sendiri ada dalam kamar. Mungkin Nyi Ajeng bisa menceritakan
bagaimana kejadiannya atau melihat siapa pembunuhnya.”
“Saya memang berada di dalam
kamar, Sri Baginda. Tapi saya sama sekali tidak melihat manusia keji pembunuh
suami saya itu. semua terjadi sangat cepat. Ketika saya terbangun dari tidur
saya dapati Pangeran Sampurno sudah menggeletak di lantai kamar. Di dekatnya
ada dua mayat pengawal.” Begitu keterangan Nyi Ageng Gandasuri yang tentu saja
dusta belaka.
“Ada laporan mengatakan bahwa
Ki Ageng Bantoro, kepala pengawal gedung kediaman Dimas Sampurno serta beberapa
pengawal lainnya beberapa waktu lalu juga terbunuh dengan cara sama. Kepalanya
berlobang. Semua mayat putih pucat seolah darahnya sudah dikuras habis dari
tubuh masing-masing!”
“Semuanya memang serba
mengerikan Sri Baginda. Saya sendiri terus terang saja merasa takut sepanjang
saat. Bukan mustahil saya akan menjadi korban pembunuhan pula….”
“Sri Baginda memang telah
memikirkan hal itu Nyi Ageng Ganda,” kata permaisuri Wiriapujiarti dengan suara
ramah tapi jelas wajahnya masam. “Karena itu Baginda juga telah memutuskan agar
Nyi Ageng bisa tinggal di lingkungan Keraton….. Bukan begitu Sri Baginda?” ujar
permaisuri pula seraya melirik penuh arti pada Sri Baginda.
Raja bukan tidak tahu kalau
permaisuri mengidap rasa cemburu. Selain jauh lebih muda Nyi Gandasuri juga
berwajah lebih cantik dan berkulit lebih putih serta mulus.
Setelah batuk-batuk beberapa
kali Sri Baginda berkata. “Apa yang dikatakan permaisuri memang betul. Demi
keselamatanmu sebaiknya Nyi Ajeng tinggal di lingkungan Keraton. Di sini
pengawalan lebih sempurna. Sebegitu jauh memang korban pembunuhan aneh ini
adalah orang laki-laki semua. Tapi kami tidak mau berlaku lengah. Karena itu
kami minta Nyi Ajeng tinggal di sini…..”
“Saya hanya akan merepotkan
keluarga Keraton saja. Rupanya memang sudah suratan nasib saya begitu. Saya
menghaturkan ribuan terima kasih karena Sri Baginda dan permasiduri begitu
memperhatikan saya. Jika itu titah dari Sri Baginda mana mungkin saya
menolak….”
“Nyi Ajeng boleh pindah
secepatnya kemari.” Kata sang Raja pula.
Keluar dari Keraton Nyi
Gandasuri tersenyum-senyum seorang diri. Dia tidak menyangka bahwa segala
rencaanya kelak akan berjalan lebih cepat karena Sri Baginda sendiri yang
membuka peluang. Waktu bicara tadi Nyi Gandasuri bukannya tidak melihat
beberapa kali Sri Baginda melemparkan senyum serta lirikan mengandung arti.
Begitu Nyi Gandasuri keluar
dari ruangan pertemuan permaisuri cepat berdiri. Raja memegang lengan istrinya
dan berkata “Mengapa cepat-cepat pergi. Kita harus membicarakan dimana Nyi
Gandasuri tadi layak ditempatkan…..”
Permaisuri tersenyum. “Semua
kamar layak baginya kecuali kamar saya. Saya ada keperluan lain jadi mohon
dimaafkan tidak dapat mendampingi Baginda. Semoga Sri Baginda puas bisa menolong
janda itu. Bukankah dia adik ipar Sri Baginda sendiri?”
Sri Baginda tersenyum “Ucapan
nada bicara dan raut wajahmu menyatakan kau merasa tidak senang pada adik
iparku itu. Kau cemburu padanya?’
“Kalau tubuh sekuntum bunga
bagus di taman yang telah penuh bunga, apakah bunga-bunga lainnya tidak akan
merasa seperti itu? Sri Baginda tanyakan saja pada kumbang di taman…..” jawab
permaisuri Wiriapujiarti. Lalu permaisuri ini memutar tubuhnya dan tinggalkan
ruangan itu. Sri Baginda geleng-gelengkan kepala. “Memang benar kata orang.
Perempuan berhati dan bermata tajam terhadap perempuan di sekitarnya.
Jangan-jangan dia sudah tahu apa yang ada di batinku…..”
Tiga hari kemudian Nyi
Gandasuri pindah ke dalam lingkungan Keraton. Padanya diberikan sebuah ruangan
di sayap kanan bangunan utama. Demikian besarnya ruangan ini hingga hampir
merupakan satu rumah tersendiri. Memandang berkeliling Nyi Gandasuri melihat di
ruangan itu ada empat buah pintu. Maka diapun berkata pada pelayan lelaki yang
tegak di sebelahnya. “Itu pintu kita masuk tadi. Lalu untuk apa ada tiga pintu
lainnya?”
“Yang di sebelah kanan ujung
pintu menuju serambi bangunan. Yang di sebelah kiri pintu menuju taman Keraton.
Lalu pintu ketiga nanti Nyi Ajeng akan mengetahui sendiri pintu apa…..”
“Pelayan, aku tak mau
berteka-teki. Pikiranku sudah cukup kusut karena kematian Pangeran Sampurno.
Aku minta kau mengatakan sekarang juga. Pintu apa itu!” tanya Nyi Gandasuri.
Karena tahu siapa adanya janda
muda itu sang pelayan jadi takut juga. Maka diapun menerangkan. “Pintu itu
khusus Nyi Ajeng. Tidak bisa dibuka dari dalam. Pada saat-saat tertentu Sri
Baginda bisa saja muncul dan masuk ke sini….”
“Oh…..” Nyi Gandasuri
mengangguk perlahan.
“Semua kamar istri dan gundik
Sri Baginda ada pintu seperti itu….”
“Berapa kamar semuanya?” tanya
Nyi Gandasuri pula.
“Sembilan, sepuluh dengan
ini,” jawab si pelayan.
“Berarti selama ini Sri
Baginda punya seorang permasuri, istri kedua dan tujuh selir,” membatin Nyi
Gandasuri. “Aku tidak mau dijadikan selir yang kedelapan!”
“Saya mohon diri Nyi Ajeng
Gandasuri….”
“Ya, ya…. Pergilah. Kau
pelayan baik. Nanti akan kusiapkan hadiah untukmu….”
“Terima kasih Nyi Ganda….”
Pelayan itu lalu cepat-cepat keluar dari ruangan besar tersebut.
Dari ruangan bangunan Keraton
yan gbakal jadi tempat kediaman Nyi Gandasuri pelayan lelaki tadi melangkah
cepat memasuki bangunan utama. Di satu lorong dia membelok ke kanan hingga
mencapai satu ruangan besar yang penuh dengan berbagai barang–barang antik
pusaka Keraton. Dari sini dia melangkah lurus menuju ke kanan, memasuki sebuah
ruangan kecil dan melangkah ke arah sebuah pintu yang tertutup. Dia mengetuk
daun pintu tiga kali berturut-turut. Begitu mendengar suara seseorang di dalam
dia segera mendorong pintu dan masuk.
Yang menunggunya di ruangan
itu ternyata adalah permaisuri Wiriapujiarti. Setelah memberi penghormatan si
pelayan memberitahu bahwa Nyi Gandasuri telah menempati ruangan kediamannya.
“Malam ini harus kau jalankan
tugasmu dengan segera. Aku tidak suka berbuat begini. Tapi Ni Loro Goalidra
dukun istana telah memberi tahu dan memberi ingat bahaya besar yang dibawa
janda Pangeran Sampurno itu. Salah satu dari kami harus tersingkir.”
“Saya tahu hal itu karena saya
ikut mendengar sendiri dari mulut Nyi Loro Goalidra. Kesetiaan saya terhadap
permasuri membuat saya akan melakukan apa saja yang permaisuri perintahkan….”
Permaisuri Wiriapujiarti
melangkah ke sebuah lemari kayu besar. Dari dalam lemari ini dikeluarkannya
sebuah peti. Tiga dindingnya terbuat dari kayu. Dinding sebelah depan terbuat
dari kawat berbetnuk jaring sehingga isinya bisa terlihat dengan jelas. Di
dalam peti itu melingkar seekor ular sendok berwarna hijau gelap. Binatang
berbisa ini membuka gelungannya dan mengangkat kepalanya begitu peti disentuh.
“Malam ini juga kau pergi ke
kamar Nyi Gandasuri. Ambil jalan khusus yang dipergunakan Sri Baginda. Lepaskan
ular ini ke dalam kamarnya. Kau tak usah kawatir bakal ketahuan. Para pengawal
yang bertugas malam ini adalah orangorangku.”
“Perintah permaisuri akan saya
jalankan.” Kata si pelayan pula.
Permaisuri anggukkan kepalanya
sedikit. Ke dalam saku pakaian pelayang itu dimasukkannya sebuah kantong kain
berisi uang. Lalu dengan cepat permaisuri tinggalkan tempat itu.
Kamar tidur baru biasanya
membuat seseorang tidak dapat memejamkan mata dengan segera. Begitu yang
terjadi dengan Nyi Gandasuri. Namun di samping hal itu ada pula hal lain yang
membuatnya tidak dapat segera memicingkan mata. Tujuannya untuk meminta
pertolongan pada Maharaja dan Maharatu Langit Darah ialah agar dapat menjadi
permaisuri Raja. Kini setelah berada di dalam Keraton dia jadi bingung sendiri.
Menurut rencana yang akan dibunuhnya selanjutnya adalah kakak lelaki dan kakak
perempuan Pangeran Sampurno. Setelah itu istri kedua Sri Baginda dan yang
terakhir baru sang permaisuri. Tapi kini dia berada demikian dekat dengan sang
permaisuri. Mengapa tidak mengambil jalan pintas saja langsung membunuh
permaisuri Wiriapujiarti?
Karena memikirkan hal ini
lewat tengah malam baru Nyi Gandasuri bisa memicingkan mata. Itupun setelah dia
mengambil keputusan untuk menghadap Maharaja dan Maharatu Langit Darah lebih
dulu sebelum bertindak.
Menjelang dini hari Keraton
kelihatan tenggelam dalam kesunyian. Udara terasa dingin mencucuk. Dari dalam
kamar tempat penyimpanan ular sendok, pelayan suruhan permaisuri keluar membawa
peti berisi binatang maut itu. walau sudah diberi tahu bahwa semua pengawal
yang bertugas malam itu adalah orang-orang permaisuri namun si pelayan tetap
saja berlaku hati-hati.
Dia berhasil mencapai pintu
khusus tanpa halangan apapun. Dengan hati-hati, mempergunakan kunci rahasia dia
membuka pintu tanpa suara sama sekali. Namun bagaimanapun juga Nyi Gandasuri
yang kini telah berubah menjadi satu mahluk tajam indera segera terbangun dari
tidurnya ketika pintu didorong si pelayan dari luar.
Mula-mula Nyi Gandasuri
melihat sebuah peti menyembul dari balik pintu yang terbuka itu. lalu muncul
sosok si pelayan mengendap-endap. Orang ini memandang berkeliling sejenak lalu
memperhatikan tempat tidur di mana Nyi Ageng terbaring tidur di balik kelambu
putih berbunga-bunga. Pintu ditutupnya kembali lalu dia melangkah mendekati
tempat tidur. Setelah membuka penutup peti perlahan-lahan peti dinaikkan
sejajar tepi tempat tidur. Lalu dengan hati-hati disingkapnya kelambu putih.
Ketika memandang ke dalam terkejutlah pelayan ini. di atas tempat tidur sama
sekali tidak ada sosok tubuh Nyi Gandasuri. Dia jadi bingung dan berpikir-pikir
apakah dia telah masuk ke dalam kamar yang salah. Maka dia berbalik sedikit
sambil memandang berkeliling. Saat itulah dia melihat satu pemandangan yang
mengerikan.
Di sudut kamar sebelah kiri
tegak sosok tubuh Nyi Gandasuri mengenakan pakaian tidur yang sangat tipis.
Kedua kakinya terkembang. Kepalanya mendongak. Di lehernya kelihatan ada
gurutan luka berdarah. Tiba-tiba dari bawah bibir sebelah atas mencuat keluar
sebuah taring. Bersamaan dengan itu leher Nyi Gandasuri tersentak putus.
Wajahnya yang cantik berubah menjadi putih, berganti dengan wajah seorang
nenek-nenek menyeramkan. Melihat kepala Nyi Gandasuri mencelat ke atas begitu
rupa sementara dari bagian leher yang kutung dan masih menyatu dengan badan
keluar suara seperti air mendidih, takutnya si pelayan tentu saja bukan alang
kepalang. Terlebih ketika dilihatnya kepala iblis Nyi Gandasuri ang melayang di
atas langit-langit kamar tiba-tiba menukik lurus ke arahnya. Di dahului oleh
pekik ketakutan si pelayan lemparkan peti ular ke lantai padahal tadi sudah
sempat membuka kaitan penutup pintu peti.
Ular sendok hijau meluncu
keluar. Pelayan lari ke pintu. Dari atas kepala iblis Nyi Gandasuri melesat ke
atas batok kepala si pelayan. Terdengar jeritan pendek. Tubuh pelayan
terbanting ke lantai. Ubun-ubunnya berlobang besar. Nyawanya putus. Ular sendok
yang melihat mangsa segera menyerbu mematuk tubuh si pelayan. Tapi sadar
rupanya bahwa mangsanya itu sudah jadi mayat maka dia membalikkan kepala,
memandang ke jurusan tubuh tanpa kepala Nyi Gandasuri yang ada di sudut kamar
sebelah kiri. Binatang ini tegakkan kepalanya. Masih dengan kepala tegak ular
berbisa ini melesat ke arah tubuh di sudut kamar itu.
Hanya sesaat lagi patukan ular
sendok akan menghujam di paha Nyi Gandasuri tiba-tiba dari atas potongan kepala
janda Pangeran Sampurno itu membeset ke bawah sambil menyemburkan darah dari
lidah besinya yang berlobang.
Kepala ular sendok seperti
terpuntir. Mata kirinya hancur dan beberapa bagian kepalanya tampak berlobang.
Binatang ini menggeliat beberapa kali. Kesempatan ini cepat dipergunakan oleh
kepala iblis Nyi Gandasuri untuk kembali ke tempat asalnya yaitu potongan leher
yang masih menyatu dengan badan. Begitu kepala dan lehernya bersatu dan
wajahnya kembali ke bentuk semula, maka menjeritlah Nyi Gandasuri melihat sosok
ular yang menggeliat-geliat di lantai kamarnya.
Pintu kamar dari mana si
pelayan menyelinap masuk terbuka lebar. Yang masuk ke dalam ternyata adalah Sri
Baginda Raja sendiri. Dengn cepat dia menyambar peti yang menggeletak dekat
kaki tempat tidur. Lalu dengan peti ini dihantamnya kepala binatang yang sedang
menggeliat itu hingga hancur.
“Nyi Ajeng! Tenang…. Tak usah
menjerit lagi. Kau aman sekarang. Ceritakan apa yang terjadi….” Kata Sri
Baginda begitu sampai di hadapan Nyi Gandasuri. Dalam takutnya janda itu
langsung menyusupkan kepala ke dada Sri Baginda dan merangkulnya Raja balas
memeluk sambil berkata. “Aku melihat mayat seorang pelayan. Mengapa dia berada
di sini….”
“Dia yang membawa ular berbisa
itu. Dia bermaksud membunuh saya dengan melepas binatang itu di atas tempat
tidur. Untung saya terbangun dan menghindar dengan melompat turun…..”
Tanpa berpaling Raja bertanya.
“Siapa yang membunuh pelayan itu?”
“Kepalanya berlobang besar.
Dia menemui ajal seperti kematian aneh yang dialami Pangeran Sampurno…..” Satu
suara menjawab di belakang Sri Baginda yang saat itu tegak membelakangi pintu
dan masih memeluki Nyi Gandasuri yang ketakutan.
Perlahan-lahan Sri Baginda
lepaskan pelukannya lalu memutar tubuh.
“Ni Loro Gondria,” ujar Sri
Baginda ketika dia mengenali perempuan tua bungkuk yang berdiri dekat mayat si
pelayan. Dia adalah dukun istana yang terkenal dengan berbagai ilmu selain ilmu
pengobatan.
Sang dukun tua membunguku.
“Maafkan saya karena telah berani masuk ke kamar ini. Saya mendengar suara
jeritan Nyi Ajeng. Bersama beberapa pengawal langsung mendatangi kamar ini.
Saya bersyukur Sri Baginda sudah berada di sini dan Nyi Ajeng terlepas dari
bahaya maut…..”
“Panggilkan Patih Kerajaan.
Ada persekongkolan orang-orang jahat hendak membunuh adik iparku dalam Keraton!
Siapa pelakunya harus dicari dan ditangkap…..”
Dukun tua itu mengiyakan
sambil membungkuk. Lalu cepat-cepat dia tinggalkan kamar itu.
DUA BELAS
Di kawasan berbukit-bukit di
sebelah timur menjelang memasuki Kotaraja hujan mulai turun. Walau cuma
rintik-rintik tapi lama-lama bisa membuat basah pakaian. Memikir sampai di sini
Pendekar 212 Wiro Sableng akhirnya membawa kudanya menempuh jalan sepanjang
selatan sebuah hutan belantara yang kabarnya sering dijadikan sarang bagi para
penjahat yang hendak melakukan penjarahan di daerah pinggiran Kotaraja.
Di sebuah tikungan menurun
Wiro memperlambat lari kudanya. Jalan yang ditempuh penuh dengan batu-batu
besar. Di sebelah kanan gelap menghitam rimba belantara. Di sisi kiri ada
sungai kecil yang telah mengering sejak musim kemarau silam.
Ketika hampir melewati
tikungan menurun itu tiba-tiba dari atas sebatang pohon besar melayang turun
sebuah benda. Menyambar ke arah Pendekar 212. Kuda yang ditunggangi Wiro
meringkik keras. Murid Sinto Gendeng cepat melompat turun dan membiarkan
binatang itu lari sendirian lalu berhenti di kejauhan.
Wuutttt!
Benda dari atas pohon kembali
melesat. Wiro melompat cari selamat karena dia sudah bisa menduga apa adanya
benda itu. Potongan kepala manusia dengan rambut riap-riapan yang dulu pernah
menyerangnya. Karena sudah tahu kalau potongan kepala itu tidak mempan dikapak
tidak mempan dihantam dengan pukulan sakti maka Wiro segera mengeluarkan Kapak
Naga Geni 212. Bukan untuk dipergunakan sebagai senjata pembacok atau pembabat
melainkan untuk dipergunakan jarum rahasia yang ada di dalamnya menyerang
potongan kepala!
Kali ketiga potongan kepala
menyerang, Wiro angkat Kapak Maut Naga Geni 212 sambil menekan salah satu dari
dua mata ukiran naga yang menjadi gagang senjata.
Selusin jarum putih halus
menyembur dari mulut kepala naga.
Clepp….clep…..clepp! Sembilan
dari dua belas senjata rahasia berbentuk jarum itu menancap di wajah potongan
kepala. Sampai di sini baru Wiro melihat adanya keanehan. Dulu potongan kepala
itu begitu takut melihat jarum-jrumnya dan lari terbirit-birit. Kini jangankan
lari, malah enak saja pentang tampang. Dan semudah itukah kini dia mampu
menyarangkan jarum-jarumnya hingga menancap di muka potongan kepala iblis?
“Ada yang tidak beres!” pikir
murid Sinto Gendeng. “Dulu kepala ini selalu menyerang lurus-lurus, menukik
mengincar batok kepala. Kini hanya bergerak mudar mandir ke depan ke belakang.
Tidak pernah menukik! Akan kucoba dengan satu pukulan sakti!”
Tidak menunggu lebih lamaWiro
segera kerahkan tenaga dalam lalu menghantam potongan kepala yang masih
melayang-layang di udara dengan pukulan “segulung ombak menerpa karang.”
Wuurrrr!
Angin deras menghampar
menghantam potongan kepala.
Prakkk! Byaarrr!
Potongan kepala hancur
berantakan. Tambutnya yang riap-riapan melayang putus dan lenyap entah kemana.
“Kayu!” seru Wiro ketika
meliaht kenyataan bahwa potongan kepala itu ternyata hanya sebuah boneka
terbuat dari kayu!. “Bangsat sial dangkalan! Siapa yang berani main-main!” Wiro
memaki geram.
Sebagai jawaban terdengar
suara orang tertawa gelak-gelak. Lalu ada suara kaleng berkerontangan.
“Walah! Tua bangka sialan itu
rupanya!” Wiro memaki tapi tidak berani keras-keras. Sesaat kemudian dia
berseru. “Kakek Segala Tahu! Buat apa masih bersembunyi! Ayo tunjukkan
tampangmu!”
Sambil tersenyum-senyum dan kerontangkan
kaleng rombengnya orang tua yang disebut dengan julukan Kakek Segala Tahu itu
melayang turun dari atas pohon.
“Gerakanmu sudah mulai lamban
anak muda! Kalau potongan kepala iblis sungguhan yang tadi menyerangmu pasti
kau sudah celaka! Hemmmm…..” Si kakek ulurkan kepalanya. “Kulihat ada bekas
guratan-guratan luka di wajahmu. Siapa yang punya pekerjaan?”
“Siapa lagi kalau bukan
kawanmu itu….!” jawab Wiro.
“Kawanku siapa?!” tanya Kakek
Segala Tahu heran.
“Potongan kepala iblis!”
menyahut Wiro.
Kakek Segala Tahu tertawa
mengekeh.
“Kek, coba kau katakan. Apa
juntrunganmu muncul di sini dan berbuat seperti anak-anak. Perlu-perlunya
membuat boneka kayu segala!” “Gurumu minta aku menemuimu.” “Eyang Sinto
Gendeng?” Si kakek mengangguk. “Orang tua itu punya firasat kau menghadapi
kesulitan.” “Kalau kesulitan siapa yang tidak pernah menemui…..” “Gurumu tahu
kau gagal menyelamatkan nyawa Pangeran Sampurno…..” Wiro garuk-garuk kepalanya.
“Lalu apa yang bisa kau bantu Kek?” “Aku sendiri tidak tahu sebelum aku
mendapat keterangan darimu.” “Seperti guru pernah mengatakan yang jdai biang
bahalanya adalah
perempuan bernama Nyi
Gandasuri, bekas istri Pangeran Sampurno sendiri. Dia yang membunuh suaminya
itu. Tapi sulit diketahui apa alasannya. Lalu beberapa waktu lalu kakak lealki
Pangeran Sampurno, adik Sri Baginda juga menemui ajal dengan cara sama seperti
yang dialami Pangeran Sampurno. Setelah kejadian itu berturutturut terbunuh
pula istri kedua Sri Baginda dan adik perempuan Sri Baginda hampir menjadi korban
pula jika tidak tiba-tiba pelakunya dipergoki para tokoh silat istana. Setelah
itu dua tokoh silat istana jadi korban…..”
Kakek Segala Tahu kerontangkan
kaleng rombengnya. Dia mendongak ke langit. Matanya yang buta berputar-putar.
Lalu dia berkata. “Kita tahu Nyi Gandasuri berniat membunuh suaminya. Tapi kita
tidak tahu apa benar dia yang melakukannya. Jangan-jangan dia hanya kedahuluan
oleh seseorang yang punya permusuhan dengan Pangeran itu…..”
“Tapi Kek….”
“Tunggu dulu! Ucapanku belum
selesai!” ujar Kakek Segala Tahu. Setelah menggoyang-gotangkan kalengnya
beberapa kali dia melanjutkan. “Baik Pangeran Sampurno maupun korban-korban
lainnya menemui ajal secara mengerikan dalam cara yang sama. Batok kepala
berlobang besar, tepat di ubun-ubun. Darah disedot habis! Berarti pelakunya
siapapun dia adanya adalah satu orang yang sama. Atau dari satu kelompok
manusia-manusia iblis yang memiliki ilmu hitam yang sama!”
“Saya curiga sekali si
pembunuh adalah Nyi Gandasuri,” ujar Wiro pula. “Kita bisa menuduh tapi harus
membuktikan. Apa kau pernah melihatnya?”
“Potongan kepala itu pernah
menyerangku….”
“Kau lihat tampangnya?”
“Sekilas…..”
“Wajahnya seperti wajah Nyi
Gandasuri?”
Wiro menggeleng. “Yang kulihat
justru wajah seorang nenek seram. Mulutnya ada taringnya. Lidahnya berbentuk
corong. Seperti dari besi……”
“Pelesit kudung! Ada yang
menamakan begitu berarti kelak dia akan mencari korban bayi-bayi di bawah umur
satu tahun. Gila betul! Kau harus melakukan sesuatu anak muda!”
“Itu sebabnya sekarang aku tengah
dalam perjalanan ke Kotaraja Keraton.”
“Untuk apa?” tanya Kakek
Segala Tahu.
“Nyi Gandasuri diketahui kini
tinggal dalam lingkungan Keraton.”
“Apa?!” si kakek terkejut
besar.
“Sri Baginda mempunyai itikad
baik untuk melindunginya. Namun ada kabar bahwa permaisuri sangat tidak
berkenan. Lalu ada kabar usil bahwa Sri Baginda ingin mengambilnya menjadi
istri kedua pendamping permaisuri….”
Kakek Segala Tahu mendongak ke
langit. Sepasang matanya yang putih berputar-putar. Lalu dia kerontangkan
kaleng bututnya. “Aku melihat sesuatu di langit. Ada bulan dilingkar awan
berbentuk gelang hitam. Kerajaan dalan bahaya! Kalau sampai Sri Baginda
mengambil Nyi Gandasuri menjadi istri kedua aku yakin besokbesok permaisuri
akan menemui ajal pula! Penglihatanku mungkin salah. Tapi kalau begini jalan
ceritanya, naga-naganya memang Nyi Gandasuri yang jadi pangkal bahala biang
racun segala racun!”
“Kalau begitu adanya kau ikut
aku ke Kotaraja Kek,” kata Wiro meminta.
Si kakek menyeringai. “Aku ke
Kotaraja?” katanya. “Huh, aku paling benci tempat-tempat ramai seperti itu.
Lagi pula aku tahu kau sanggup mengatasi semua persoalan…..”
“Kau lupa kek! Kalau aku
sanggup mana mungkin Eyang Sinto Gendeng memintamu mencariku!”
Kakek Segala Tahu yang merasa
tersudut malah tertawa.
“Siapa yang kau temui nanti di
Kotaraja? Apa kau sudah punya penghubung?”
Pendekar 212 mengangguk. “Ni
Loro Goalidra,” katanya menjawab.
“Hemmm….. Dukun perempuan itu.
Ilmu pengobatannya memang boleh. Aku tak tahu ilmu silat dan kesaktiannya. Tapi
siapapun yang akan kau temui berhatihatilah. Dalam keadaan seperti ini kau
tidak tahu siapa teman siapa lawan. Siapa musuh jelas-jelasan siapa musuh dalam
selimut!”
“Aku harus pergi sekarang. Aku
cuma mau memberikan ini untukmu jika nanti kau berhadapan dengan musuh yang
berupa potongan kepala itu!”
Dari balik pakaian rombengnya
Kakek Segala Tahu mengeluarkan sesuatu lalu disodorkannya pada Wiro. Pendekar
212 segera ulurkan tangan hendak menerima benda yang diberikan namun tangannya
ditarik kembali ketika dilihatnya benda apa yang hendak diberikan oleh si
kakek.
“Kau bergurau atau bagaimana
Kek?!” murid Sinto Gendeng jadi marah dalam jengkelnya.
“Memang kenapa? Kau tak mau
menerima senjata sangat berharga ini?”
Wiro hendak memaki lagi tapi akhirnya
hanya bisa tertawa gelak-gelak. “Seikat lidi tusuk satai buat apa! Kapak
mustikaku saja tidak mampu menghadapinya! Pukulan saktiku juga tidak mempan!
Apalagi kalau cuma lidi butut tusuk satai! Maafkan aku Kek, aku harus pergi
sekarang.”
Kakek Segala Tahu gelengkan
kepala. Wajahnya kelihatan sayu. Lalu terdengar dia berkata. “Terserah padamu.
Mau menerima atau tidak. Tapi jika saat ini kau mau berpikir sedikit saja kelak
kau tidak akan menyesal menerima tujuh batang lidi buruk ini!”
Lalu Kakek Segala Ttahu
mencampakkan ikatan tujuh batang lidi itu ke tanah. Dia goyangkan kalengnya.
Begitu suara berkerontangan lenyap sosoknyapun berkelebat lenyap laksana gaib.
Murid Sinto Gendeng gauk-garuk
kepalanya. “Aku tak ada waktu untuk berpikir. Tapi biarlah kuambil saja tujuh
batang lidi itu!” Setelah mengambil ikatan lidi berjumlah tujuh yang panjangnya
cuma sejengkal Wiro lanjutkna perjalanan. Kudanya ditemuinya tidak berapa jauh
di ujung jalan dekat serumpun pohon bambu.
TIGA BELAS
Hari masih pagi ketika Wiro
sampai di pintu gerbang timur Keraton. Di saat bersamaan Nyi Gandasuri sedang
berjalan-jalan di taman. Dari tempat ini dia dapat melihat bagian timur Keraton
termasuk pintu gerbang. Ketika dia memandang ke jurusan pintu gerbang, tak
sengaja pandangannya membentur Wiro yang baru turun dari kudanya lalu menemui
seorang pengawal. Pengawal ini mengatakan sesuatu pada temannya lalu si teman
memberi tanda pada Wiro agar pemuda ini menunggu. Dia sendiri melangkah masuk
menuju bangunan Keraton.
“Pemuda berbahaya itu. ada apa
dia datang ke Keraton?” pikir Nyi Gandasuri. “Aku harus dapat membunuhnya.
Kalau tidak semua urusan bisa kapiran!” Lalu cepat-cepat dia menyelinap di
balik jambangan-jambangan besar, memintas jalan pengawal tadi. Di satu tempat
dia memanggil si pengawal. Meliaht siapa yang memanggil pengawal ini cepat
mendatangi dan menjura hormat begitu sampai di hadapan Nyi Gandasuri.
“Ada apa Den Ayu memanggil
saya?”
“Saya lihat ada seorang
penunggang kuda di pintu gerbang Keraton. Siapa dia dan apa keperluannya?”
“Oh, pemuda itu maksud Den
Ayu. Dia mengaku bernama Wiro. Ingin bertemu dengan dukun sakti Ni Loro
Goalidra. Katanya dia sudah ada janji dengan dukun Keraton itu.”
“Hemmm…..” sambil bergumam Nyi
Gandasuri memutar otaknya. “Memang benar. Ni Loro kemarin berpesan padaku. Jika
pemuda itu datang katakan padanya bahwa Ni Loro akan menemuinya tengah malam
nanti di selatan Kotaraja, di persimpangan tiga dekat Candi Somapalo. Katakan
pada pemuda itu agar dia datang saja ke sana tengah malam nanti.”
“Kalau begitu kata Den Ayu
akan saya sampaikan tamu muda tadi. Jadi saya tidak perlu memberi tahu Ni Loro
Goalidra?”
“Tidak usah, biar aku saja
nanti menemuinya. Memberi tahu tamunya pemuda bernama Wiro itu telah datang dan
menunggu di tempat perjanjian tengah malam nanti,” kata Nyi Gandasuri pula
sambil tersenyum manis sekali hingga si pengawal merasa berbunga-bunga hatinya.
Setelah menjura hormat dia cepat-cepat kembali ke pintu gerbang timur. Pada
Pendekar 212 Wiro Sableng disampaikannya apa yang dikatakan Nyi Gandasuri.
Percaya bahwa pesan yang diterimanya berasal langsung dari Ni Loro Goalidra si
dukun sakti maka Pendekar 212 segera tinggalkan pintu gerbang Keraton.
Candi Somapalo walaupun tidak
terawat namun bangunannya msih tampak kukuh dan lima buah stupanya belum ada
yang rusak. Seperti yang dipesankan oleh dukun Keraton padanya, sebelum tengah
malam Pendekar 212 Wiro Sableng sudah berada di tempat itu. Namun semakin dekat
pada saat pertemuan semakin muncul rasa was-was dalam diri murid Sinto Gendeng
itu.
“Jangan-jangan ini jebakan
saja. Gila! Bagaimana aku bisa begitu bodoh! Melihat Ni Loro Goalidra itupun
aku belum pernah. Tahu-tahu nanti ada yang datang mengaku Ni Loro padahal
maksudnya henak membunuhku! Aku benar-benar harus waspada…..”
Wiro memandang ke langit.
Bulan sabit kelihatan bagus menerangi sebagian langit malam. Angin sesekali
bertiup kencang membuat bergoyang-goyang ranting dan dedaunan beberapa pohon
yang tumbuh di sekitar candi. Kemudian lapat-lapat terdengar suara derap kaki kuda
di kejauhan. Tak selang berapa lama kelihatan kdau dan penunggangnya muncul.
Seorang berjubah kuning, berambut putih turun dari punggung binatang itu. dia
melangkah terbungkuk-bungku menuju candi. Murid Sinto Gendeng tidak segera
keluar dari balik stupa besar di mana dia berlindung. Di tangga candi perempuan
tua bungkuk berhenti. Dia memandang berkeliling. Lalu terdengar dia berucap.
“Pendekar 212 Wiro Sableng.
Sesuai janji aku sudah datang. Mengapa kau masih bersembunyi? Aku tidak punya
waktu banyak….”
Penuh waspada Wiro keluar dari
balik stupa. Dia berhenti lima langkah di hadapan si nenek lalu berkata.
“Orang tua, sebelumnya kita
tidak pernah bertemu. Bagaimana aku tahu bahwa kau memang Ni Loro Goalidra,
dukun istana?”
Si nenek tertawa lepas. Wiro memperhatikan.
“Kepercayaan adalah modal
keselamatan. Jika kau tidak percaya bahwa aku adalah Ni Loro Goalidra mengapa
kau masih berdiri di hadapanku? Pergi saja sana! Ternyata aku kemari hanya
membuang waktu percuma saja!”
Wiro diam saja. Kedua matanya
memperhatikan nenek dari kepala sampai ke kaki.
“Kalau kau tak pergi biar aku
yang pergi!” Ni Loro Goalidra seperti mengancam.
“Nek, tunggu dulu…..” ujar
Wiro cepat. “Kau betul. Kepercayaan adalah modal keselamatan. Tapi bisa juga
sebaliknya. Kepercayaan bisa jadi sumber malapetaka!”
“Eh, apa maksudmu anak muda?
Kita datang ke sini mau bicara apa sebenarnya? Bicara mengenai maksudmu hendak
menyingkap tabir pembunuhan oleh mahluk potongan kepala itu atau membicarakan
hal yang lain?!”
Pendekar 212 Wiro Sableng
tertawa lebar. Dia maju dua langkah. “Seumur hidup aku belum pernah melihat
nenek-nenenk memiliki deretan gigi rapi bagus dan berkilat sepertimu! Kau Nyi
Loro Goalidra palsu!”
Habis berkata begitu Wiro
Sableng langsung menghantam, lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. Namun sebelum serangan maut itu mencapai sasaran tiba-tiba lima
bayangan hitam berkelebat memapasi. Kelimanya secara serentak sama gerakkan
tangan memukul ke arah Wiro. Satu persatu gelombang pukulan orang-orang ini
mungkin tidak ada artinya. Tapi bergabung lima kekuatannya menjadi sangat
dahsyat.
Murid Sinto Gendeng berteriak
keras lalu melompat ke atas sebuah stupa. Lima penyerang memburu. Salah satu di
antaranya berteriak. “Kau telah membunuh beberapa orang teman-teman kami
anggota istana Langit Darah! Apa mengira saat ini bisa lolos dari kematian?!”
Karena berada di tempat yang
lebih tinggi, Wiro segera mengenali siapa lima penyerang. “Mereka lagi…..!”
katanya dalam hati.
Lima orang itu mengenakan
seragam jubah hitam yang ada angka-angkanya di punggung dan dada. Mereka
mengenakan topi berbntuk kerucut bergambar kelelawar merentangkan sayap.
Mahluk-mahluk sepertiinilah yang dulu hendak membunuhnya. Wiro masih sempat
mengingat salah seorang penyerangnya dulu berangka 15. Kini orang yang sama
juga ada di tempat itu. Berarti dialah yang membawa empat temannya untuk
menghadang. Mereka berangka 8, 9, 11 dan 12. Lalu apa hubungan kelima orang ini
dengan dukun Ni Loro Goalidra palsu?”. “Mereka menyebut Istana Langit Darah.
Istana apa itu? di mana letaknya?” Namun Wiro tak bisa berpikir panjang. Saat
itu lima manusia berjubah telah menyerbunya kembali. Lima gelombang tenaga
dalam jadi satu menghantam ke arahnya.
Braakkkk!
Byaarrrr!!
Stupa di bawah Wiro Sableng
hancur berkeping-keping. Kalau tidak cepat dia melompat paling tidak kedua
kakinya akan ikut hancur. Keluarkan keringat dingin Wiro melompat ke balik
stupa lima langkah di sebelah kanan dan segera seja mengeluarkan Kapak Maut
Naga Geni 212. Wiro maklum kalau orang berangka 15 pada jubahnya memiliki ilmu
demikian tingginya, yang berangka 8, 9, 11 dan 12 tentu memiliki kepandaian
lebih tinggi.
Lima manusia berjubah segera
mengurung Wiro. Tapi mereka tidak memperdekat jarak karena rupanya diam-diam
mereka jerih melihat senjata yang memancarkan sinar aneh di tangan lawan.
Apalagi sebelumnya si angka 15 sudah memberi tahu akan kehebatan senjata itu.
Pada saat itu dukun palsu Ni
Loro Goalidra yang berdiri di belakang lima pengurung berjubah berkata. “Anak
muda! Jika kau mau serahkan senjatamu itu padaku, aku akan meminta lima kawanku
ini memberi ampunan pada dirimu!”
“Bangsat! Jelas aku memang
sudah kena jebak! Mereka satu komplotan rupanya! Komplotan manusia-manusia dari
Istana Langit Darah! Keparat!” maki Pendekar 212 dalam hati, marah dan jengkel
pada kebodohannya sendiri.
Wiro lalu menyeringai dan
menjawab ucapan si nenek.
“Aku akan serahkan senjata ini
padamu kalau kau mau membuka kedok dan memberi tahu siapa kau sebenarnya!”
Si nenek tertawa tinggi. Lalu tangan
kirinya bergerak ke wajahnya. Sekali tangan itu bergerak maka tanggallah topeng
tipis dan rambut palsu yang menutupi kepalanya. Sambil tertawa panjang orang
ini campakkan topeng itu ke lantai candi. Lalu tubuhnya diluruskan, tidak
bungkuk lagi seperti tadi. Wiro sendiri saat itu jadi tertegun tak percaya. Si
nenek dukun palsu itu ternyata adalah seorang perempuan muda berwajah luar
biasa cantiknya!
“Siapa kau sebenarnya?!” tanya
Wiro.
“Akulah Nyi Gandasuri orang
yang kau cari-cari!”
“Ah…..!” Wiro hanya bisa
keluarkan suara mendesah saking kagetnya.
Nyi Gandasuri ulurkan
tanganya. Sesuai ucapanmu, kau akan serahkan senjata itu jika aku membuka kedok
dan mengatakan siapa diriku! Nah tunggu apa lagi?! Serahkan senjata itu
padaku…..!”
Wiro gerak-gerakkan Kapak Naga
Geni 212 di tangan kanannya. “Memang tadi aku berucap seperti itu. Tapi setelah
tahu kalau kau adalah Nyi Gandasuri perempuan bejat pembunuh suami mana mungkin
aku memberikan senjata ini padamu! Enaknya! Aku yakin kau juga pembunuh yang lain-lainnya!”
“Dasar lidah tak bertulang!
Manusia curang! Kau memang layak dibunuh saat ini juga!”
Nyi Gandasuri jentikkan
jari-jari tangan kanannya.
Lima manusia berjubah bergerak
maju. Mereka tidak menghantam dengan pukulan tangan kosong. Tapi serentak kelimanya
membuka mulut dan wutt….wutt…..wutt…..wutt! Lima lidah mereka melesat keluar,
panjang dan basah bergelimang darah. Sebelumnya Wiro sudah pernah kena gebuk
lidah-lidah aneh dan berbahaya ini. Maka segera saja dia babatkan Kapak Maut
Naga Geni 212.
Sinar terang berkiblat. Suara
seperti ratusan tawon mengamuk menderu. Lalu hawa panas membuat kelima
penyerang tertegun sesaat. Tiga melompat menjauhi tapi yang dua berhasil
menyusup. Dua lidah basah berdarah menyambar ke arah Wiro. Satu menghantam ke
arah leher, satunya lagi melesat ke arah pergelangan tangannya, rupanya sengaja
hendak merampas kapak.
Wir merunduk cepat untuk
hindari serangan lidah yang mengarah leher. Begitu lehernya terhindar dari
jeratan lidah dia segera membabatkan senjatanya ke arah lidah yang coba
menggelung gagang kapak. Namun di saat yang bersamaan tiga lidah lainnya ikut
menyerbu. Dua di antaranya ke arah mata Pendekar 212. Yang ketiga menusuk
laksana tombak ke bagian perutnya.
“Celaka!” seru Wiro. Walau
sadar dia tidak mungkin mengelakkan semua serangan itu murid Sinto Gendeng
kiblatkan Kapak Maut Naga Geni 212, lalu tangan kirinya lepaskan pukulan “sinar
matahari”. Di saat yang sama dia membuat gerakan jurus “Silat orang gila”.
Tubuhnya bergoyang keras, condong menghuyung aneh. Berturut-turut dia keluarkan
jurus “ular gila membelit pohon menarik gendewa”, “dewa topan menggusur gunung”
lalu “kilat menyambar puncak gunung”. Sungguh dahsyat perlawanan mati hidup
murid Sinto Gendeng kali ini. Seumur hidupnya belum pernah dia mengeluarkan
semua ilmu kepandaiannya seperti itu.
Manusia berjubah dengan angka
12 mencelat terjengkang. Pinggul dan paha kirinya tampak hangus! Pakaiannya
mengepulkan asap. Pukulan sinar matahri menghantam telak badannya sebelah kiri.
Di berteriak keras, bergulingan di lantai candi lalu tergelimpang tak berkutik.
Mati!
Satu lawan roboh. Namun
Pendekar 212 harus membayar mahal. Tusukan lidah yang menghantam perutnya bisa
dikelit tapi secara tak terduga lidah yang sekerras bsei itu menghajar dadanya
dengan telak. Wiro merasakan dadanya seperti meledak. Dari mulutnya keluar
teriakan setinggi langit. Bersamaan dengan teriakan itu ikut menyembur darah.
Dalam keadaan terhuyung nanar sambil menahan sakit yang bukan kepalang, Wiro
harus menghidarkan kepalanya pula dari semburan darah dua orang lawan. Ketika
dia berusaha menyelamatkan diri dari serangan ini, lidah yang lain telah sempat
menjerat pergelangan tangannya. Lalu menyusul lidah darah keempat menempel di
badan Kapak Naga Geni 212.
Brettt!
Kapak Maut Naga Geni 212
terlepas dari pegangan tangan kanan Pendekar
212. Murid Sinto Gendeng
berteriak marah. Dadanya mendenyut sakit. Ditahannya sebisa mungkin. Kaki
kanannya menderu ke arah selangkangan manusia berjubah berangka 9 yang barusan
berhasil merampas senjata itu. orang ini meraung keras ketika anggota
rahasianya hancur dimakan tendangan Wiro. Namun sebelum roboh menemui ajalnya
dia masih sempat melemparkan kapak yang berhasil dirampasnya pada temannya
yaitu si jubah berangka 8, anak buah Istana Langit Darah yang paling tinggi
ilmu kepandaiannya di antara mereka berlima.
“Dapat” teriak si jubah
berangka 8 “Lekas tinggalkan tempat ini!” berteriak yang berangka 15 lalu
berkelebat pergi. “Kita bertemu di Istana Langit Darah!” seru orang berjubah
dengan angka 11 lalu menyusul kawannya si angka 15.
Pendekar 212 melompat bangkit.
Siap mengejar orang berjubah yang melarikan senjata mustikanya yaitu yang
berangka 8. Namun tiba-tiba sekali seseorang menghadangnya.
EMPAT BELAS
Pendekar 212 jadi tertegun
ketika melihat yang tegak di depannya adalah Nyi Gandasuri, perempuan cantik
pembunuh suami itu. Sambil mengusap dadanya yang sakit sementara darah masih
meleleh dari mulutnya pemuda ini berkata. Suaranya bergetar.
“Kecantikanmu setinggi langit.
Sayang kejahatanmu sedalam lautan…..”
Nyi Gandasuri tertawa tinggi.
“Aku juga menyayangkan. Kalau saja kau tadi mau menyerahkan senjata secara
baik-baik kau tak bakal mengalami nasib seperti ini. Hantaman lidah berdarah
itu hanya sanggup kau tahan selama tiga hari. Setelah itu kau akan menghadap
penguasa akhirat. Hik…. hik…..hik!”
“Perempuan iblis!” teriak
Wiro. Kedua tangannya kiri kanan segera diangkat untuk melepaskan pukulan
“sinar matahari”
Nyi Gandasuri mengangkat
tangannya. “Bagaimana kalau kita membuat perjanjian?”
“Perempuan jahanam! Siapa sudi
membuat janji denganmu!”
“Kau belum tahu apa perjanjian
itu, mengapa terlalu cepat menolak?” kata sang janda jelita pula. “Dengar,
dalam waktu tidak berapa lama aku pasti akan menjadi permaisuri Sri Baginda.
Aku akan mintakan jabatan tinggi untukmu di Keraton. Di samping itu secara
diam-diam kita bisa menjalin hubungan sebagai kekasih. Raja tua itu apa yang
bisa dibuatnya untuk menyenangkan batinku!”
“Perempuan bejat!” teriak
Wiro. “Jadi itu rupanya rencana busukmu selama ini! Ingin jadi permaisuri
sampai tega membunuh suami sendiri dan menjatuhkan korban pada orang-orang lain
tidak berdosa!”
Nyi Gandasuri cuma tertawa.
“Jadi kau menolak?”
“Kau boleh membuat perjanjian
dengan setan neraka! Di sana tempatmu kelak!”
Nyi Gandasuri mendengus. Dia
goyangkan bahu dan pinggulnya. Pakaian yang melekat di tubuhnya serta merta
merosot ke bawah. Di lain kejap perempuan muda yang cantik jelita dan memiliki
keindahan tubuh tiada duanya ini berdiri di depan Pendekar 212 dalam keadaan
tidak selembar benangpun menutupi auratnya.
Murid Sinto Gendeng merasakan
dadanya mendenyut sakit dan nafasnya menjadi sesak. Kedua matanya terbelalak.
Lalu segala sesuatunya terjadi sangat cepat. Di leher Nyi Gandasuri kelihatan
luka melingkar mengucurkan darah. Bersamaan dengan itu dari sudut-sudut
mulutnya mencuat keluar sepasang taring panjang dan tajam.
Desss! Kepala Nyi Gandasuri
terlepas dari lehernya lalu mencelat ke udara mengeluarkan suara menggidikkan.
Sementara itu bagian tubuh tanpa kepala yang telanjang tegak tak bergerak.
Darah pada permukaan lehernya tampak bergejolak seperti mendidih.
Sambil melayang di udara
potonga kepala itu umbar tawa menggidikkan. Lalu wajahnya yang tadi cantik
berubah seputih kafan untuk meudian berubah pula menjadi wajah seram seorang
nenek.
“Anak muda, sudah sejak satu
bulan ini aku berhasrat menyedot darah dari ubun-ubun kepalamu! Kau tak bisa
lolos lagi kali ini. Tak bisa lari…..!”
Potongan kepala itu membuka
mulutnya leba-lebar. Lalu mencuatlah lidah aneh itu. Berbentuk corong dengan
lobang di bagian runcingnya, berkekuatan sekeras besi! Di dahului suara tawa
panjang potongan kepala iblis Nyi Gandasuri melayang tinggi-tinggi ke udara
lalu menukik menyambar ke arah batok kepala Pendekar 212. Wiro yang berada dalam
keadaan terluka parah di sebelah dalam cepat jatuhkan diri, berguling ke balik
stupa. Potongan kepala agaknya tidak mau mundur. Walaupun sasaran sudah
terlindung di balik stupa batu tetap saja dia meneruskan serangan.
Braakkk!!
Stupa batu hancur berantakan
dihantam lidah besi kepala iblis Nyi Gandasuri. Begitu hancur potongan kepala
membumbung kembali ke atas lalu dari jurusan lain menukik lagi ke bawah, kearah
kepala Wiro. Ketika Wiro mencoba menghindar untuk cari selamat saat itulah dua
bayangan berkelebat melompat tembok candi Somapalo. Bersamaan dengan itu
terdengar suara berkerontangan.
“Kakek itu! untung dia
datang!” ujar Wiro. Dia menoleh ke kiri. Memang benar. Di situ dilihatnya Kakek
Segala Tahu tegak sambil melintangkan tongkat di depan dada. Di sebelahnya ada
seorang nenek bungkuk yang tangan kirinya memegang sebuah pendupaan yang selalu
mengepulkan asap dan menebar harumnya bau setanggi. Di bahu si nenek ada sebuah
buntalan besar.
“Ah, nenek antik ini pasti si
dukun Ni Loro Goalidra….” Menduga Wiro Sableng.
Wuuuutt!
Kepala iblis Nyi Gandasuri
datang menyambar. Wiro tersentak kaget. Kembali jatuhkan diri seraya lepaskan
pukulan sinar matahari.
Buummmm!
Potongan kepala mencelat kena
hantaman pukulan sakti itu. namun sesaat kemudian melayang turun kembali tanpa
cidera sedikitpun malah terdengar tawanya mengekeh.
Rambutnya berputar seperti
baling-baling lalu mulai menukik lagi untuk menyerang kepala Wiro.
“Anak tolol! Apakah kau masih
menyimpan lidi tusuk satai yang kuberikan tempo hari?!”
Salah satu dari dua orang yang
barusan datang bertanya. Itu suara Kakek Segala Tahu.
Wiro meraba ke balik
pakaiannya. Benda yang ditanyakan memang masih disimpannya. Buru-buru
dikeluarkan. “Masih ada Kek. Ini!”
“Lekas lemparkan padaku!”
teriak Kakek Segala Tahu tidak sabaran dan sambil menggoyang-goyangkan kaleng
rombengnya.
Wiro menurut saja dan
lemparkan ikatan tujuh buah lidi ke arah si kakek. Di atas sana potongan kepala
iblis Nyi Gandasuri berteriak keras ketika melihat ikatan lidi itu. Kalau tadi
dia bermaksud hendak menyerang Wiro maka kini kepala itu berputar lalu
melenceng dan menyambar ke arah Kakek Segala Tahu yang tengah memegang ikatan
tujuh lidi. Namun kepala iblis Nyi Gandasuri terpaksa melesat ke atas ketika
tiba-tiba nenek di samping Kakek Segala Tahu meniupkan pendupaannya ke arah
kepala itu. Asap dan butir-butir setanggi yang membara menderu ke arah sepasang
mata kepala iblis!
Selagi potongan kepala melesat
ke atas Kakek Segala Tahu melompat ke hadapan tubuh telanjang tanpa kepala Nyi
Gandasuri. Dengan kecepatan kilat tiga buah lidi ditusukkannya ke kutungan
leher. Si kakek menusuk demikian rupa hingga tiga bagian lancip lidi mencuat di
permukaan leher.
Di atas sana kepala iblis Nyi
Gandasuri terdengar meraung keras. Si kakek tusukkan lagi empat lidi yang masih
tersisa ke kutungan leher. Raungan kepala iblis semakin menjadi-jadi. Beberapa
lamanya kepal ini melayang berputar-putar lalu turun mendekati lehernya. Tapi
segera naik lagi. Begitu sampai beberapa kali. Merasa kepalanya tak mungkin
disambungkan lagi ke leher yang ditancapi tujuh lidi runcing itu, setelah
keluarkan jeritan panjang mengerikan potongan kepala iblis Nyi Gandasuri
melesat terbang ke arah bulan sabit yang mulai redup dan akhirnya lenyap tak
kelihatan lagi di batas titik pandang.
“Hai! Kalian mau ke mana!”
tana Wiro ketika melihat Kakek Segala Tahu dan si nenek sambil bergandengan
tangan hendak berkelebat tinggalkan tempat itu. “Kawanku ini sudah tidak sabar
lagi!” jawab si kakek seraya kerontangkan kaleng rombengnya. “Tak sabar mau
apa? Hendak bercumbuan?!” tanya Wiro seenknya. “Huss! Mulutmu usil amat!”
semprot Ni Loro Goalindra. “Apa kau kira tua
bangka seperti kami masih
pantas bercumbuan? Eh kau tahu apa yang ada dalam
buntalan besar ini?” Wiro
gelengkan kepalanya. “Bubuk bahan peledak!” “Dia tak sabaran mau meledakkan
Istana Langit Darah, sumber segala
malapetaka itu!” Wiro hanya
bisa tertegak terheran-heran. “Kau tetap di sini. Jaga tubuh tanpa kepala itu.
Aku kawatir kepalanya akan
kembali coba menyatukan diri!”
Si nenek dukun gelengkan
kepalanya. “Sampai kiamat kepala itu tak bakal kembali. Dia tak mampu
menyatukan diri dengan tubuhnya lagi karena adanya tujuh lidi yang menancap di
pangkal leher!”
“Kalau begitu buat apa aku
menjaganya!” kata Wiro pula.
“Sudah! Ini obat untukmu!
Lekas telan supaya kau tidak mati akibat gebukan lidah darah itu!” Si nenek
lemparkan sebuah benda berbentuk bulat hitam. Wiro cepat menyambuti dan
langsung menelannya tanpa ragu. Ketika dia berpaling kembali dua tua bangka itu
sudah lenyap dari tempat tersebut.
Wiro pegangi dadanya yang
sakit. Tertatih-tatih dia melangkah mendekati sosok telanjang tubuh tanpa
kepala Nyi Gandasuri.
“Tubuh begini bagus. Mulus tak
ada segores cacatpun! Ah, betapa sayangnya….” Entah sadar entah tidak Wiro
pergunakan tangan kanannya menusapi bagian dada tubuh polos itu. Ketika
jari-jarinya hendak meluncur ke bagian perut tibatiba satu ledakan keras
menggoncangkan candi. Dua buah stupa roboh . Dinding candi di sebelah selatan
rontok. Wiro sendiri jatuh terlentang. Bersamaan degnan itu sosok tanpa kepala
Nyi Gandasuri ikut jatuh menimpa dirinya.
Bagian dada yang membusung
jatuh tepat di wajah Pendekar 212.
“Enak ya menciumi buah dada
mayat!”
Wiro tersentak. Tubuh tanpa
kepala itu dilemparkannya ke samping lalu dia cepat berdiri. Di hadapannya
tegak Kakek Segala Tahu sambil memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Di samping si
kakek berdiri Ni Loro Goalidra. Saking gembiranya Wiro sampai berteriak dan
memeluk si kakek.
“Terima kasih Kek. Kau telah
menolong mendapatkan senjata mustika ini kembali. Aku mendengar suara ledakan
seperti gunung meletus. Apa yang terjadi?” Si kakek tersenyum dan menjawab
sambil tudingkan ibu jarinya pada Ni Loro Goalidra. “Tanyakan saja padanya.”
“Ah, aku cuma main-main dengan
bubuk peledak. Aku sudah mengira-ngira di maan letak kawasan Istana Langit
Darah. Lalu aku pasang bubuk peledak di empat penjuru. Sebelum diledakkan
kuasapi dan kujampai-jampai dulu. Kutebari dengan bunga tujuh rupa. Kubacakan
satu ayat suci dan aku mohon kepada Gusti Allah. Karena bagaimanapun hebat dan
pandainya manusia kalau tidak ada ridho Yang Kuasa segala rencana dan
perbuatannya bisa saja menemui kegagalan! Gusti Allah rupanya mendengar doaku.
Aku meledakkan di dua sudut. Kakek ini dua sudut lainnya! Buummmm! Istana
Langit Darah yang gaib itu benar-benar hancur berantakan. Puluhan anak buahnya
bertebaran jadi bangkai. Termasuk seorang gadis yang dijadikan gendak,
dipanggil dengan sebutan Maharatu Langit Darah dan memakai topeng wajah seorang
nenek. Cuma sayang, Maharaja Langit Darah berhasil melarikan diri! Kurang ajar
betul….” Setelah menyumpah beitu si nenek keluarkan sebuah jubah hitam dari
buntalannya. Pakaian itu ditebarnya di tanah serarya bertanya “Kau kenal jubah
ini?”
Wiro terbelalak besar ketika
melihat pakaian itu. Sehelai jubah hitam bergambar gunung Merapi berwarna biru
dengan latar belakang matahari berwarna merah.
“Pangeran Matahari….” Desis
Wiro. “Jadi manusia jahanam itu rupanya di belakang semua kejadian ini!”
Bretttt!
Wiro robek jubah hitam itu
saking marahnya.
“Kami berdua harus pergi,”
kata Ni Loro Goalidra. Lalu enaknya saja pendupaan dari tanah itu diletakkannya
di atas kepalanya. Dia berpaling pada Kakek Segala Tahu dan tanpa malu-malu
memegang tangan si kakek lalu menariknya pergi.
Wiro campakkan jubah hitam ke
tanah. Rahangnya menggembung. Tiba-tiba ada sebuah benda melayang dari langit.
Di atas tubuh tanpa kepala Nyi Gandasuri benda ini melayang. Ternyata potongan
kepala perempuan iblis itu!
“Potongan kepala celaka ini
kembali lagi!” kata Wiro tercekat sambil bersiapsiap dengan Kapak Maut Naga
Geni 212. Dalam gelapnya malam potongan kepala masih berputar-putar. Tampaknya
hendak berusaha menyatukan diri dengan lehernya. Namun tidak mungkin karena
terhalang oleh tujuh buah lidi yang seolah menjadi tujuh benda sakti penangkal,
keramat.
Lalu entah dari mana datangnya
mendadak ada ngiangan suara di telinga Wiro. “Pendekar 212….. Kalau kau mau
mencabut tujuh buah lidi itu hingga kepalaku bisa menyatu dengan badan kembali,
seumur hidup aku bersedia menjadi hamba sahayamu……”
“Eh, siapa yang bicara?!”
tanya Wiro sambil memandang berkeliling.
“Aku, roh Nyi Gandasuri…..”
terdengar ngiangan menjawab.
“Kalau kau bisa hidup lagi
memang enak melihat tubuhmu yang telanjang,” kata Wiro sambil tersenyum. “Hanya
sayang mahluk iblis sepertimu mana bisa dipercaya. Suamimu yang Pangeran saja
kau bunuh. Apalagi diriku seorang pemuda luntang lantung tak karuan
juntrungan……!”
Wiro masukkan senjata
mustikanya ke balik pakaian lalu tinggalkan tempat itu. Lapat-lapat di kejauhan
terdengar suara perempuan meratap aneh. Wiro percepat langkahnya. Potongan
kepala iblis Nyi Gandasuri berputar tiga kali lagi di atas sosok tubuhnya lalu
melesat lenyap di kegelapan malam.
TAMAT