Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
071 Bujang Gila Tapak Sakti
SATU
Angin malam bertiup dingin.
Tanpa desau dan tak mampu menimbulkan suara gemerisik pada daun-daun pepohonan
di puncak gunung Mahameru. Biasanya kesunyian yang dibalut udara dingin ini
akan berlangsung sampai menjelang pagi ketika burung-burung atau binatang hutan
lainnya mulai mengeluarkan suara menyongsong terbitnya sang surya. Namun sekali
ini baru saja beberapa saat lewat tengah malam tiba-tiba kesunyian dipecahkan
oleh langkah-langkah aneh yang datang dari lereng sebelah selatan. Suara itu
bukan suara kaki-kaki kuda. Di antara suara langkah yang terus menurut itu
sesekali terdengar suara orang tertawa. Manusia gila dari mana yang tertawa di
malam buta di puncak gunung yang gelap dan dingin begitu rupa?
Suara dalam kegelapan itu
bergerak ke arah puncak gunung. Tak lama kemudian samar-samar kelihatan satu
pemandangan yang sulit dipercaya. Suara langkah-langkah kaki tadi ternyata
adalah suara langkah kaki seekor keledai bertubuh pendek dan kurus. Binatang
ini bergerak menembus kegelapan malam dan dinginnya udara. Di atas gigih
tubuhnya yang kurus dan pendek itu sungguh kontras tampak duduk seorang
bertubuh gemuk luar biasa. Orang ini mengenakan celana hitam yang sangat
komprang tapi karena tubuhnya yang luar biasa gendut itu maka celana besar itu
tetap saja kesempitan. Begitu juga baju putihnya yang besar dan tak dapat
dikancing hingga dada dan perutnya yang gembrot tersembul keluar.
Si gemuk ini memiliki sepasang
mata sipit sedang rambutnya yang berwarna putih disanggul di atas kepala.
Melihat keadaan rambutnya jelas dia sudah berusia lanjut.
Dengan berjalan kaki saja
seorang akan mengalami kesulitan untuk mendaki gunung Mahameru apalagi
menunggang keledai kurus kecil seperti itu. Dan penunggangnya memiliki bobot
gemuk luar biasa pula, lebih dari 200 kati! Namun keledai dan penunggangnya itu
kelihatan enak saja mendaki dan bergerak menuju puncak gunung Mahameru. Malah
si gendut ini menunggangi binatang itu sambil tertawa-tawa. Di punggungnya dia
memanggul sebuah karung besar yang entah apa isinya. Yang jelas isi karung itu
kelihatan tiada henti-hentinya bergerak-gerak. Sesekali terdengar suara
bergedebuk, seolah-olah ada seorang yang menendang atau meninju dari dalam
karung itu. Sebaliknya si genut ini tetap saja tenang-tenang di atas punggung
keledainya seolah tak ada terjadi apa-apa dan gayanya seperti orang yang tengah
berjalan sambil memperhatikan pemandangan indah di sekelilingnya, padahal saat
itu malam gelap gulita dan dinginya udara menembus jagat dan daging sampai ke tulang
belulang. Malah kemudian setiap terdengar suara gedebuk dia keluarkan tawa
mengekeh.
“Gebukanmu kurang keras.
Tendanganmu kurang kencang! Aku seperti digelitik saja! Ayo gebuk, pukul lebih
kuat! Ha….ha…..ha…..!” si gendut berkata lalu menutup ucapannya dengan suara
tawa membahana di seantero lereng gunung di mana dia berada.
Hebatnya, semakin tinggi ke
atas gunung semakin cepat langkah keledai pendek dan kurus itu. Si gendut yang
menungganginya kini malah tampak cengengesan sambil bersiul-siul kecil. Saat
itulah terlihat ada keanehan lain. Manusia gemuk ini nukan benar-benar duduk
menunggang di atas punggung keledai. Tapi ternyata pantatnya hanya sekedar
menempel saja karena kedua kakinya yang besar berat menjejak tanah! Jadi dia
hanya mengepit tubuh binatang tunggangannya sedang kedua kakinya melangkah
lincah sambil menjepit dan membimbing langkah si keledai.
Semakin jauh dan tinggi ke
atas semakin keras dan sering gerakan-gerakan benda di dalam karung. Gebukan
dan tendangan semakin sering menimpa tubuh orang gemuk berambut putih itu.
Namun dia tetap anteng-anteng saja. Akhirnya bersama keledainya dia sampai di
puncak sebelah timur gunung Mahameru. Meski dari kawah keluar uap yang menyebar
hawa panas, tetapi di tempat di mana si gendut dan keledainya berada udara
terasa sangat dingin. Keringatnya yang membasahi tubuh di gendut seolah telah
berubah sedingin es! Gilanya seperti tidak merasakan udara dingin yang bisa
membuat orang beku itu, si gendut mulai menyanyi-nyanyi kecil sambil menurunkan
karung besar yang sejak tadi dipanggulnya lalu melemparkannya ke tanah.
Dari dalam karung terdengar
suara yang tidak jelas. Seperti mengeluh dan mengomel. Tiba-tiba karung yang
berisi benda yang selalu bergerak itu bergulingan ke arah si gendut. Apapun
benda yang ada di dalamnya, gerakan berguling itu bukan gerakan biasa. Benda
apa saja yang kena ditabraknya pastilah akan mengalami cidera berat.
Si gendut di atas punggung
keledai sesaat mengernyitkan kedua matanya yang sipit. Lalu dia mengumbar suara
tertawa panjang. “Dasar anak gendeng! Dibungkus dalam karung saja kau masih
hendak melawan! Tidak tahu kesalahan! Tidak sadar telah berbuat dosa besar! Kau
tunggu saja! Sebentar lagi kau akan terima hukumanmu!” Habis mengomel seperti
itu manusia gendut ini lalu tertawa gelakgelak. Sungguh aneh! Sedang marah
atau sedang bagaimanakah dia ini sebenarnya.
Sementara itu karung yang
berguling menyambar ke arah si gendut mengeluarkan suara menderu. Si gendut
gerakkan kedua kakinya. Tubuhnya secepat kilat berputar aneh. Keledai yang
ditungganginya juga ikut berputar. Buntalan karung lewat satu jengkal di
sampingnya lalu menghantam sebatang pohon.
Braaak!
Batang pohon itu mengeluarkan
suara berderak. Kulit luarnya hancur berkeping-keping. Dari dalam karung
terdengar suara seperti orang merintih tapi juga seperti menggerendeng!
Si gendut tertawa memecah
kesunyian. Dia tampak turun dari keledainya padahal sebenarnya dia hanya
melangkah mundur lalu bergerak mendekati karung yang terhampar tak jauh dari
pohon yang barusan ditabraknya. Dia membungkuk membuka tali ikatan karung lalu
dengan gerakan cepat dia menarik ke atas bagian bawah karung hingga apa yang
menjadi isinya menggelinding jatuh ke tanah. Dan astaga!
Ternyata yang keluar dari
karung itu adalah sosok tubuh seorang anak lelaki berusia sekitar 10 tahun. Tak
kalah hebatnya dengan lelaki gendut berpakaian sempit itu si anak juga memiliki
badan luar biasa gemuknya. Dia hanya mengenakan sehelai cawat hingga dadanya
yang gembrot dan perutnya yang gendut kelihatan jelas menggelembung. Saking
gendut anak ini kelihatan seolah-olah tak berleher. Dagu dan dadanya menggempal
jadi satu. Anehnya wajah dan tubuhnya tampak berkeringatan padahal udara di
tempat itu dingin luar biasa!
Keningnya kelihatan benjut.
Mungkin ini akibat benturan dengan batang pohon tadi. Jika batang pohon bisa
hancur sedang si anak Cuma benjut keningnya jelas ada satu kehebatan pada
dirinya.
Dengan sepasang matanya yang
besar anak ini memandang marah pada orang di depannya. Dia membuka mulutnya
lebar-lebar dan terdengar suara tidak jelas seperti suara orang gagu. Tubuhnya
yang terhampar di tanah bergerak bangkit seperti mencoba hendak duduk. Tapi
tubuh itu kemudian roboh kembali. Sepasang tangannya meninju-ninju sedang kedua
kakinya yang besar menendang-nendang. Si anak keluarkan suara menggerung dari
tenggorokkannya.
“Buntalan jelek bau apek!
Ha….ha….ha….! Ayo menarilah terus! Ha…ha…ha…!” Si gendut bermata sipit mengejek
dan tertawa gelak-gelak.
Sebaliknya si gendut bermata
besar tampak beringas. Dia julurkan lidahnya lalu tiba-tiba sekali tubuh itu
menggelinding cepat ke arah orang yang menertawainya. Kedua kakinya berkelebat
demikian rupa. Walau gerakan kedua kakinya jelas kaku namun dari derasnya suara
angin jelas gerakan anak ini mengandung tenaga yang berbahaya. Apabila setengah
jalan menyusul kedua tangannya ikut bergerak.
“Bocah edan!” teriak teriak si
gendut yang diserang. Dia mengomel tapi kemudain tertawa mengekeh. Dengan
sekali bergerak saja dia berhasil mengelakkan serangan si anak. Tetapi sebelum
dia sempat berbalik tahu-tahu bocah gendut itu telah berputar lebih dulu dan
kembali bergulingan menyerbunya!
Bukkk!
Satu tendangan menghantam
lekukan kaki tapat di belakang kedua lutut si gendut. Tak ampun lagi tubuh yang
berat besar itu ambruk jatuh duduk di tanah.
Jatuh bergedebruk si gendut
tampak sangat marah tapi lagi-lagi aneh. Dari mulutnya yang terdengar bukan
suara caci maki malah suara tertawa bergelak!
Tapi tiba-tiba sekali tubuh
yang menjelepok di tanah itu berputar, lalu melesat dan tahu-tahu tanagn kanan
si gendut sudah menjambak rambut anak lelaki gemuk bercawat itu dan plak-plak.
Tangan kirinya menampar pipi kiri kanan si anak!
Yang ditampar sama sekali
tidak kelihatan kesakitan malah mulutnya menyunggingkan seringai. Tiba-tiba dia
mengulurkan lidahnya panjang-panjang. Mencibir mengejek!
Plak!
Si gendut berambut putih
tampar satu kali lagi pipi anak itu. Kali ini si bocah tidak tinggal diam.
Dengan gerakan kaku dia sentakkan kepalanya hingga jambakan si gendut terlepas.
Lalu secepat kilat anak ini susupkan kepalanya ke selangkangan orang. Si gendut
menjerit keras sewaktu ada yang menggigit salah satu bagian rahasia di bawah
perutnya!
“Putus burungku!” jerit si
gendut seraya melompat mundur. Di bawah sebatan pohon dia tanggalkan celana
lalu membulak-balik, menarik-narik memeriksa.
“Ah…. ” dia menarik nafas
lega. “Untung masih utuh ! Anak gila!” Si gendut memaki seraya berpaling pada
anak lelaki yang saat itu terduduk di tanah. “Dalam keadaan tertotok saja dia
masih mampu bergerak, memukul dan menendang. Bahkan sempat-sempatnya hendak
menggigit perkututku! Aku harus mengakui bocah sedeng ini memang luar biasa!
Kalau saja dia tidak membuat kesalahan besar rasa-rasanya mau aku mengambilnya
jadi murid…..” Si gendut memutar tubuh, melangkah mendekati anak itu. “Santiko
bocah sialan! Aku terpaksa menjatuhkan hukuman sekarang juga!”
“Ha….huk….hak….huk!” Keluar
suara seperti orang gagu dari mulut anak lelaki sepuluh tahun yang hanya
mengenakan cawat itu. Rupanya dia berusaha mengetakan sesuatu. Tapi karena
dirinya berada dalam keadaan tertotok maka dia tidak bisa mengucapkan apa-apa.
Si gendut bermata sipit tidak perdulikan gelagat itu, dia kembali menjambak
rambtu si anak. Yang dijambak coba meronta lepaskan diri tapi si gendut tidak
mau memberi kesempatan lagi. Dengan cepat dia berkelebat. Seperti melayang
bocah gembrot itu ditentengnya menuju puncak gunung. Di satu tempat yang agak
datar dia berhenti dan memandang berkeliling. Kemudian dilihatnya apa yang
dicarinya yaitu dua buah batu hitam seperti sepasang tonggak menancap di tanah.
Si gendut membawa bocah itu ke arah dua tonggak batu ini. Di antara celah dua
batu kelihatan mengepul asap putih yang membersitkan hawa dingin sekali.
Walaupun mempunyai daya tahan luar biasa ternyata si gendut masih sempat
bergumam kedinginan. Dia katupkan rahangnya kuat-kuat agar gigi-giginya tidak
bergemeletakan.
DUA
Berdiri di antara dua buah
batu hitam si gendut memandang tajam-tajam ke bagian tanah di antara celah dua
batu. Dia coba menembus lapisan asap putih dingin yang terus-terusan menebar di
tempat itu. Matanya berhasil melihat sebuah lobang di tanah antara dua batu
hitam. Rupanya dari sinilah sumber asap putih yang dingin luar biasa itu
keluar.
Si gendut cekal leher bocah
bercawat dan menyeretnya ke dekat lobang.
“Ha….huk….ha…..huk…..huk!” Si
bocah kembali keluarkan suara.
Si gendut tertawa lebar. Dia
mengusap dagunya sesaat lalu berdiri di tepi lobang. “Anak sableng! Sebagai
orang hukuman kau masih layak mengatakan sesuatu sebelum hukuman dijatuhkan.
Ucapkan apa yang hendak kau katakan!”
Lalu si gendut ini bungkukkan
badannya, mulutnya didekatkan ke salah satu bagian leher si bocah, lantas dia
meniup. Begitu angin tiupan menyambar leher si bocah, jalan suaranya yang
tertotok jadi terbuka dan si bocah itu langsung bisa bicara. Sungguh ini
merupakan kepandaian luar biasa. Melepaskan totokan hanya dengan jalan meniup!
Umumnya orang di dunia persilatan akan mempergunakan jari-jari tangan untuk
memusnahkan totokan. Siapakah sebenarnya si gendut aneh ini?
“Ayo ha huk ha huk! Totokanmu
sudah kulepas! Lekas bicara kalau ada yang mau kau bilang! Kalau tidak akan
segera kupendam kau dalam lobang inti es itu!”
Sesaat anak usia sepuluh tahun
bernama Santiko itu menatap berang pada si gendut bermata sipit. Kedua matanya
yang besar seperti dikobari api kemarahan. Kemudian perlahan-lahan tatapan
garang itu mengendur, wajahnya yang keringatan kelihatan seperti redup.
“Anak aneh!” membatin si
gemuk. “Bagaimana bisa di udara yang begini dingin, dekat lobang inti es dia
masih saja keringatan. Padahal aku hampir mati kedinginan!”
“Pamanku tolol!” tiba-tiba
keluar ucapan itu dari mulut si anak yang membuat di gendut di hadapannya jadi
melengak.
“Sialan! Apa katamu?”
“Pamanku tolol!” mengulang si
bocah tanpa rasa takut mendengar bentakan dan melihat tampang orang yang marah
besar. “Sebetulnya apa salah saya sampai paman hendak memendam diri saya dalam
lobang inti es itu?”
“Dasar anak tak tahu diri!
Goblok, sableng dan gendeng! Kau masih bertanya apa salahmu! Gila! Apa masih
perlu kusebutkan?!”
“Sebutkan saja paman, biar
lebih jelas.”
“Baik!” jawab si gendut dengan
nada berang tapi kembali dari mulutnya terdengan suara tertawa bergelak. “Aku
akan katakn biar jelas apa kesalahanmu! Hingga kalaupun kau mati dalam lobang
inti es ini kau tidak akan mampus penasaran! Ha…ha…ha….!”
“Sudah. Bilang cepetan. Aku
bosan mendengar suara tawamu!” kata bocah gemuk bernama Santiko.
Si gendut di hadapannya tetap
saja mengumbar tawa. Tiba-tiba suara tawanya lenyap, berganti dengan bentakan.
“Anak setan! Kau telah
melakukan kesalahan maha besar! Kau mencuri peralatan gamelan Keraton. Sultan
sangat marah. Gamelan pusaka tidak bisa dimainkan lagi. Padahal perayaan
Sekaten hanya tinggal beberapa minggu lagi! Nah sekarang kau tahu apa
kesalahanmu! Apa dosamu!”
Santiko tampak tenang saja.
Lalu dia berkata. “Ah, rupanya masalah peralatan gamelan itu yang jadi biang
kerok! Tolong paman katakan, sebenarnya peralatan apa yang saya curi?”
“Anak iblis! Mulutmu ternyata
licik! Sudah mencuri kau masih bertanya apa yang kau curi ! Kau memang pantas
dipendam dalam lobang inti es itu ! ” “Kalau paman tidak mau mengatakan benda
apa yang kucir ya sudah ! Pendam saja saya cepat-cepat dalam lobang inti es
itu!”
Si gendut tertawa bergelak.
“Betul, memang betul! Sebaiknya kupendam saja kau saat ini juga! Tapi biar
kuberi kesempatan lagi! Ada yang masih hendak kau katakan?!”
“Ya….”
“Apa?!”
“Kau memang paman tolol!”
“Bocah sialan!” Si gendut
dalam marahnya mengangkat tangan kanannyatinggi-tinggi. Siap menggebuk kepala
si bocah, yang hendak digebuk tenang-tenang
saja malah ulurkan lidah
mencibir! Melihat hal ini si gendut turunkan tangannya dan tertawa
terkekeh-kekeh. “Apa alasanmu mengatakan aku tolol?” tanya si gendut. “Karena
kau tidak mau mengatakan benda apa yang aku curi? Padahal
sebenarnya kau sendiri tahu
apa yang aku curi! Jadi kau tolol!” “Kalau begitu kita berdua tolol. Paman dan
keponakan sama-sama tolol!”
menyahuti si bocah. Plak! Satu
tamparan melayang di pipi kanan Santiko hingga anak ini terpelanting
dan tersandar ke salah satu
tiang batu dekat lobang yang mengeluarkan kepulan asap
putih. “Sakit!” tanya si
gendut. “Lumayan….” jawab Santiko seenaknya yang membuat orang yang bertanya
jadi kembali tertawa membahak.
“Bocah sialan! Biar saat ini
kukatakan padamu apa yang telah kau curi. Kau mencuri bonang penerus slindro
dan bonang penerus pelog. Itu adalah dua peralatan tabuhan gamelan yang sangat
penting. Tanpa dua benda itu gamelan pusaka Keraton tidak mungkin dimainkan!
Nah kau sudah dengar apa yang aku bilang! Kau mencuri dua buah bonang!”
“Hanya dua buah kentongan besi
itu yang saya curi. Bukankah masih banyak bonang-bonang yang lain? Mengapa
sampai geger begitu?”
“Anak setan! Kalau tidak
mengingat siapa ibumu sudah kupatahkan batang lehermu saat ini juga!” teriak si
gendut hampir berteriak lalu tertawa bergelak. “Coba kau katakan, mengapa kau
mencuri dua buah bonang itu?’
“Saya Cuma iseng saja paman….”
“Mencuri dua buah bonang
pelengkap gamelan kramat kau katakan iseng! Anak sialan! Ha…ha….ha…..! Hai!
Katakan pada siapa dua buah bonang itu kau berikan?”
Si bocah tidak menjawab.
“Tak kau katakanpun aku sudah
tahu!” si gendut menjawab sendiri.
“Kalau paman sudah tahu
mengapa musti bertanya?”
“Aku hanya memeriksa. Betul
dua buah bonang pusaka itu kau berikan pada janda muda dan cantik bernama Nyi
Bulan Seruni Pitaloka?!” Si bocah tertawa gelak-gelak. “Anak setan! Kenapa kau
tertawa!” bentak si gendut.
“Paman ingat sekali nama
panjang perempuan itu! Hik…..hik! Pasti ada apaapanya.”
“Setan! Jangan kau berani
bicara kotor!”
“Rupanya apa yang Nyi Bulan
Seruni benar. Banyak orang lelaki di dalam dan di luar Keraton tergila-gila
padanya. Katanya, salah satu dari mereka adalah paman sendiri!
Hik…..hik…..hik!”
“Kau benar-benar anak setan!
Perempuan itu bukan pasanganku! Usiaku hampir delapan kali usianya!”
“Apakah itu menjadi soal?
Maklum saja lelaki sekarang. Makin tua makin menjadi. Kambing tua mana yang
tidak doyan rumput segar? Hik….hik…..hik!”
“Edan! Jadi kau samakan aku
dengan kambing tua?!” teriak si gendut marah. Tapi pada akhir ucapannya dia
tertawa gelak-gelak. “Anak setan, mangapa kau mencuri dua bonang pusaka itu
lalu menyerahkannya pada Nyi Bulan Seruni Pitaloka?”
“Dia meminta tolong kepada
saya untuk mengambilkan dua bonang itu. Mana saya tega menolak….”
“Diberi hadiah apa kau
olehnya? Pati kau diajak tidur!”
Santiko menyeringai. “Mauku
sih begitu, tapi Nyi Bulan bilang aku masih kecil. Nanti saja sepuluh tahun
lagi katanya! Hik…hik…hik…..” Anak itu tertawa gelak-gelak.
Si gendut juga ikut-ikutan
tertawa.
“Sepuluh tahun lagi! Kalau kau
masih hidup! Mungkin kau sudah keburu mampus dalam lobang inti es itu!”
“Kalau begitu kau bisa
mewakili saya mendapatkan hadiah itu….”
Si gendut kembali tertawa
mengekeh mendengar kata-kata Santiko itu. Lalu dia diam dan bertanya. “Kau
sudah siap untuk kupendam?!”
“Sudah sejak tadi paman.
Inilah hari sangat bersejarah….”
“Eh, bersejaah bagaimana
maksudmu?!”
“Hari ini seorang paman hendak
memendam hidup-hidup keponakannya sendiri dalam lobang! Rasanya belum pernah
terjadi di dunia ini….Hanya gara-gara dua buah bonang!”
“Anak sialan! Kau bisa berkata
begitu! Dua bonang itu bukan alat tetabuhan biasa. Pusaka keramat turunan
penguasa Kerajaan! Atau kau mungkin lebih suka penguasa Keraton sendiri yang
akan menabas batang lehermu?”
“Dua buah bonang besi yang tak
lebih dari kentongan biasa. Apa sulitnya membuat dan menggantikannya dengan
yang baru? Bukankah banyak ahli pembuat gamelan di tanah Jawa ini?”
“Jangan bodoh! Gamelan pusaka
itu bukan buatan manusia. Tapi dibuat dan dikirmkan oleh para dewa dari
swargaloka.”
“Paman percaya hal itu?” tanya
Santiko.
“Eh!” si gendut tergagu,
sesaat jadi terdiam.
“Kalau tak bisa membuat yang
baru, mengapa tidak mencari saja yang kini memegangnya yaitu Nyi Bulan Seruni ?
”
“Dia mana mau mencari
perempuan itu. Kabarnya dia tinggal di dasar lautan dan sering tetirah di
langit ke tujuh!”
“Percuma saja paamn digelari
Dewa Ketawa. Bisanya Cuma ketawa. Cobalah memutar otak sedikit.”
“Anak setan! Kau yang berbuat
jahat, aku yang kau suruh susah! Sudah! Jangan banyak bicara lagi. Sebelum
kupendam aku tetap ingin tahu alasanmu yang sebenarnya mengapa kau mau-mauan
mencuri bonang-bonang itu lalu menyerahkannya pada Nyi Bulan.”
“Sudah saya bilang janda
cantik itu minta tolong. Karena merasa tidak ada susahnya, saya menyelinap
masuk Keraton dan mengambil dua benda yang dimintanya itu.”
“Aku tidak percaya! Semudah
itu kau mau mengerjakan apa yang dimintanya….”
“Baiklah. Akan saya katakan.
Dua buah bonang itu berbentuk seperti sepasang payu dara perempuan. Nah saya
anggap saja itu payu daranya Nyi Bulan. Saya lalu mencurinya. Sebelum
menyerahkan dua buah bonang itu saya usap-usap dulu, saya ciumi. Nah apa tidak
sedap? Lalu baru saya serahkan pada Nyi Bulan.”
“Anak kurang ajar!” teriak si
gendut yang punya gelar Dewa Ketawa itu. Habis berteriak dan lalu tertawa
gelak-gelak. Tiba-tiba dia melompat. Sekali sergap saja dia sudah menjambak
rambut Santiko, lalu bocah ini diseretnya ke arah lobang di antara dua buah
batu hitam berbentuk tonggak. Sampai di dekat lobang kedua tangannya membuat
gerakan seperti memijit di seluruh tubuh Santiko. Akibat pijitan aneh ini tubuh
anak itu jadi memanjang kaku laksana sebuah balok kayu. Hanya leher dan
kepalanya saja yang masih bisa digerakkan. Suaranyapun putus tak bisa bicara
lagi. Dewa Ketawa memijit dua telapak tangan si anak. Kedua tangan itu kini
tampak mengembang. Lalu dengan gerakan cepat si gendut memegang pinggang
Santiko. Anak ini dibaliknya kepala dan tangan ke bawah, kaki di atas. Sebelum
membenamkan tubuh Santiko ke dalam lobang inti es Dewa Ketawa tertawa panjang
dan berkata.
“Hukumanmu tujuh tahun dibenam
dalam lobang inti es yang maha dingin. Setelah tujuh tahun totokan di tubuhmu
akan musnah dan kau bisa bebas. Itu tentu saja kalau umurmu panjang! Selama ini
tidak ada mahluk yang sanggup mendekam begitu lama dalam lobang inti es! Satu
tahun di dalam lobang inti es sama dengan sepuluh tahun hidup di luaran. Kalau
nanti kau masih hidup berarti usiamu sudah delapan puluh tahun! Di dasar lobang
kau akan menemui sejenis lumut putih. Hanya itu satu-tunya makananmu untuk
bertahan hidup. Tapi ketahuilah lumut es itu mengandung racun jahat. Baru makan
sedikit saja kau sudah menemui kematian!”
“Ha…ha…ha…ha!”
Habis tertawa panjang Dewa
Ketawa menjebloskan tubuh Santiko ke dalam lobang inti es. Mula-mula kedua
tangannya masuk ke dalam lobang. Ketika kedua telapak tangan anak ini mencapai
dasar lobang ternyata di sebelah atas tubuhnya hanya tenggelam sampai ke batas
pinggang.
Dewa Ketawa kembali tertawa
gelak-gelak. “Anak sialan! Kau membikin aku susah saja! Kau bisa tenang di
lobang itu sampai malaikat maut menjemput. Tapi aku masih terus berurusan
dengan Kerajaan ! Ah ! Bonang penerus slindro, bonang penerus pelog di mana aku
bisa mencarimu. Nyi Bulan Seruni Pitaloka di maan kau bersembunyi ? ”
Setelah memperhatikan sekali
lagi ke arah sosok tubuh Santiko yang dipendam kaki ke atas kepala le bawah itu
Dewa Ketawa memandang berkeliling. Keadaan di sekitarnya masih gelap gulita
serta diselimuti hawa dingin. Dia memasukkan dua jari tangan kirinya ke dalam
mulut lalu meniup. Satu suitan nyaring terdengar seperti membelah kegelapan
malam. Dari arah kiri kemudian kelihatan muncul keledai kurus pendek itu. Dewa
Ketawa mengusap kepala binatang ini lalu naik ke atas punggungnya. Seperti tadi
datangnya, begitu pula dia pergi meninggalkan puncak gunung Mahameru. Seolah
duduk menunggangi keledai tetapi sebenarnya dia hanya menumpangkan tubuh saja
sementara kadua kakinya yang menjejak tanah melangkah berjalan seperti biasa.
TIGA
Santiko merasa tubuhnya
seperti berubah menjadi batu, mengeras dan kaku. Darah dalam tubuhnya laksana
beku dan berhenti mengalir. Kedua telapak tangannya yang menempel di dasar
lobang inti es disengat hawa dingin luar biasa. Begitu dinginnya hingga lambat
laun dia merasa seperti menempel pada bara api. Keadaannya benarbenar sangat
menderita. Apalagi dia terpendam di lobang kepala ke bawah kaki ke atas.
Meski lobang itu agak longgar
dan dia bisa bernafas leluasa namun rongga dadanya seolah mau pecah. Setiap dia
menghembuskan nafas yangkeluar adalah asap putih dingin dan membalik menghantam
wajahnya yang gembrot. Anak lelaki berusia sepuluh tahun ini dengan segala
kepandaian terbatas yang dimilikinya berusaha mengerahkan tenaga dalam guna
memusnahkan totokan yang menguasai tubuhnya. Namun sia-sia belaka. Yang mampu
dilakukannya adalah menggerakkan leher dan sedikit kepala serta bernafas!
Ketika pagi tiba dan sinar
matahari perlahan-lahan muncul menerangi bumi, puncak gunung Mahameru itu
terasa hangat. Tetapi di dalam lobang inti es hawa tetap saja dingin bukan
main. Dari liang hidung Santiko mulai keluar darah. Darah ini langsung membeku
begitu mengalir ke bibir. Masih untung si anak bisa menggerakkan bibirnya
hingga darah yang beku mampu dijatuhkannya ke dasar lobang. Kalau darah beku
itu sampai menutupi kedua lobang hidungnya maka celakalah dia karena akan sulit
untuk bernafas.
Meski kini hari sudah siang
dan matahari bersinar terang benderang namun di dalam lobang inti es Santiko
hanya mampu melihat dasar lobang secara samar-samar. Perutnya mulai terasa
perih minta diisi. Menurut Dewa Ketawa di dasar lobang itu terdapat sejenis
lumut es. Hanya itu satu-satunya benda yang bisa dimakan. Tapi celakanya lumut
itu mengandung racum mematikan!
“Nasib diriku memang sialan.
Walaupun memang aku mencuri dua buah bonang itu tapi lenih sialan lagi ada
seorang paman yang tega-teganya memendamku di lobang keparat ini! Apa yang
harus kulakukan? Mati lebih cepat rasanya lebih baik dari pada tersiksa begini!
Sialan! Benar-benar sialan!”
Hawa dingin terus mengalir
dari sekitar lobang dan dasar lobang di mana kedua telapak tangan Santiko
menempel.
Hawa itu mengalir melalui
kedua tangannya, terus merasuk ke sekujur tubuhnya hingga dia merasakan
tubuhnya tidak seperti tubuh lagi melainkan seolah telah berubah menjadi batu
yang keras. Dan celakanya perih dalam perut besarnya semakin menjadi-jadi.
Padahal belum setengah harian dia dipendam di tempat itu.
Bocah ini mulai berpikir-pikir.
“Bukankah lebih baik dia makan saja lumut es yang ada di dasar lobang ? Hingga
dia segera mati keracunan ?! ”
Tapi setelah
menimbang-nimbang, bagaimanapun beraninya Santiko dia tetap saja anak-anak yang
punya rasa takut menghadapi kematian. Selama dua hari dua malam dia bertahan
terhadap dingin dan lapar. Namun memasuki hari ketiga dia tak sanggup lagi.
Apapun yang terjadi dia sudah tidak perduli lagi akan kematian. Meskipun
demikian anak nakal aneh berotak cerdik ini tidak begitu saja melahap lumut es
beracun yang ada di sekitar dasar lobang. Mula-mula dia hanya menjilatjilat
saja sekedar melenyapkan dahaga dan lapar yang menggila. Ternyata meskipun
hanya menjilat racun jahat lumut es itu membuat lidah, gusi dan bibirnya
menjadi bengkak tebal, sakit laksana disengat kalajengking. Racun yang sempat
terserap air liurnya menjalar ke kepala hingga bocah sepuluh tahun ini merasa
kepalanya seolaholah menjadi besar dan seperti diketok dengan palu godam!
Pemandangannyapun berkunang-kunang ditambah adanya rasa perih di kedua matanya.
Dua hari lamanya dia mengalami
sengsara seperti itu. Dari telinga dan hidungnya mengucur darah yang segera
membeku. Hari berikutnya bengkak di seluruh mulut mulai menciut dan rasa sakit
pada kepala mulai berkurang. Dua hari setelah itu keadaanya boleh dikatakan
pulih namun untuk makan lumut es itu Santiko tidak berani. Setelah dua hari
bertahan, tasa lapar dan dahaga membuat dia kembali tak berdaya. Mau tak mau
karena hanya lumut es itu satu-satunya makanan yang ada meskipun mengandung
racun jahat Santiko terpaksa kembali menjilati lumut es di dasar lobang. Dia
sudah siap sedia menghadapi apapun yang terjadi. Bahkan matipun dia sudah
pasrah.
Anak itu menjilat permukaan
dasar lobang bebrapa kali. Lalu berhenti. Setelah menunggu sekian lama tak ada
yang terjadi. Lidahnya, gusi dan bibirnya tidak bengkak. Tak ada rasa sakit
seperti disengat kalajengking. Kepalanya juga tidak berdenyut-denyut atau sakit
seperti dikemplang.
“Aneh, apa yang terjadi dengan
tubuhku?” membatin Santiko. “Lumut tawar itu tidak mendatangkan cidera seprti
pertama kali aku menjilatnya” Santiko coba berpikir terus tapi dia tidak dapat
memecahkan rahasia apa yang terjadi.
Sebenarnya apakah yang
terjadi? Lumut es di dasar lobang inti es itu jelasjelas mengandung racun.
Ketika Santiko pertama kali menjilatnya, anak ini menjadi bengkak mulutnya luar
dalam. Kepalanya sakit bukan kepalang sedang kedua matanya menjadi kabur dan
perih. Darah mengucur dari lobang hidung dan liang telinganya. Namun bersamaan dengan
itu racun yang menjalar dalam tubuh Santiko yang jumlahnya tidak seberapa
banyak telah membuat tubuhnya membentuk kekuatan penangkis jika racun yang sama
dalam kadar yang sama kembali masuk ke dalam tubuhnya. Dengan kata lain
tertentu. Tanpa disadari Santiko inilah rupanya yang terjadi.
Namun celakanya karena mengira
lumut es itu tidak akan mencelakainya lagi maka si anak menlahapnya dengan
rakus. Beberapa saat kemudian dirasakan sekujur tubuhnya menjadi sangat panas.
Bersamaan dengan itu dirasakannya seprti ada ribuan jarum yang menusuki
badannya. Lobang yang tadinya longgar kini mendadak dirasakannya sempit. Ini
satu pertanda bahwa sekujur tubuh Santiko telah membengkak.
Perutnya selain panas juga
membelit sakit bukan kepalang.
Kepalanya seprti ditindih batu
besar. Dari telinga dan hidungnya keluar darah kental. Nafasnya menyesak
sementara dadanya seprti mau pecah! Dia terbatuk-betuk beberapa kali lelu
muntah-muntah. Isi perutnya laksana mau terbongkar namun yang keluar ternyata
gumpalan-gumpalan darah! Dalam keadaan seperti itu anak ini akhirnya jatuh
pingsan.
Santiko tidak tahu berapa lama
dia tidak sadarkan diri. Ketika dia akhirnya siuman. Dirasakannya hawa dingin
mencucuk sampai ke tulang sungsumnya pertanda hawa panas yang tadi menguasai
dirinya telah lenyap. Perutnya tidak sakit lagi dan nafasnya juga tidak sesak.
Darah tidak lagi mengucur dari hidung dan telinganya.
Untuk kesekian kalinya anak
ini coba memutar otak, memikirkan apa sebenarnya yang terjadi. “Pertama kali
kujilat lumut es itu mendatangkan celaka. Kedua kali kujilat tidak apa-apa. Aku
seperti kebal terhadap racun itu. Ketika kulahap seperti orang rakus ternyata
aku hampir mati dibuatnya…. Jangan-jangan….. Aku harus mencobanya lagi.”
Kalau aku masih hidup berarti
dugaanku benar. Kalau aku mati aku sudah pasrah.
Begitulah, setelah menunggu
selama tiga hari, begitu tak sanggup lagi menahan lapar dan dahaga dia kembali
melahap lumut es itu. Namun dia berlaku hatihati. Lumut beracun itu dimakannya
sedikit demi sedikit. Tidak melebihi jumlah yang pernah dimakannya sebelumnya.
Dengan hati berdebar dia menunggu. Tubuhnya terasa panas. Tak lebih dari itu.
Tak ada hal-hal lain yang terjadi. Tak ada rasa sakit pada kepala dan perut
serta dada. Juga tak ada darah yang keluar dari hidung dan telinganya.
“Aku tahu sekarang!” kata
Santiko dalam hati. “Jika kumakan lumut itu sedikit demi sedikit berarti aku
punya kekebalan terhadap sedikit racun lumut es. Jika kutelan banyak aku akan
kebal terhadap racun lumut es sampai sebanyak yang kutelan…..! Malah tubuhku
akan terasa hangat, sanggup melawan dinginnya hawa di lobang celaka ini! Lumut
es beracun! Kau tak akan sanggup membunuhku. Malah kau memberi kekuatan hebat
dalam tubuhku! Aku akan sanggup bertahan dalam lobang celaka ini sampai
kapanpun! Paman Dewa Ketawa! Kau lihat saja nanti! Aku tidak akan menemui ajal
dalam lobang inti es ini! Kau bakal menerima pembalasanku!”
Hari demi hari berlalu.
Berganti minggu, berubah jadi bulan. Tanpa terasa tujuh tahun telah berlalu
sejak hari pertama Dewa Ketawa menjebloskan Santiko ke dalam lobang inti es
itu. Meskipun lumut es beracun itu selama bertahun-tahun dapat dekendalikannya
hingga tidak mendatangkan celaka, namun kesengsaraan yang dialaminya terpendam
sekian lama dalam lobang itu sulit dibayangkan.
Sekian lama dia berusaha
membebaskan diri dengan mengerahkan tenaga dalam yang dimilikinya, namun
sia-sia belaka. Dia tak kunjung mampu untuk membebaskan diri dari totokan Dewa
Ketawa. Pada hari terakhir tahun ketujuh, seperti yang dikatakan oleh Dewa Ketawa
dulu, totokan yang menguasai tubuh Santiko ternyata musnah dengan sendirinya.
Saat itu pagi menjelang siang.
Anak yang kini telah menjadi
seorang pemuda tujuh belas tahun ini dengan susah payah mengeluarkan dirinya
dari dalam lobang. Selama tujuh tahun terpendam dan hanya makan lumut es
ternyata Santiko telah tumbuh menjadi seorang pemuda bertubuh gemuk luar biasa.
Tubuh yang gemuk inilah yang membuatnya susah keluar dari lobang yang kini
menjadi sangat sempit. Begitu dia akhirnya keluar, Santiko tertawa gelak-gelak
karena dapatkan dirinya dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali. Pakaian dalam
yang melekat di tubuhnya telah sejak lama hancur. Selain itu banyak bagian
tubuhnya yang telah mengalami perubahan. Dari pinggang ke atas sampai ke
wajahnya yaitu bagian yang selama tujuh tahun terpendam dalam lobang inti es
berwarna putih pucat. Cahaya matahari membaut wajahnya dan dadanya segera
menjadi kemerah-merahan.
Dari pinggang ke bawah sampai
ke kaki tubuhnya kelihatan kehitam-hitaman. Selain auratnya perubahan juga
tampak pada telapak tangannya. Kedua telapak tangan Santiko kini kelihatan
putih seolah tidak berdarah. Lalu dia merasakan tubuhnya yang kini gendut tak
karuan itu enteng sekali. Walaupun berat badannya kini mungkin lebih dari 150
kati namun gerakannya terasa tingan.
Dia coba berjingkrak-jingkrak.
Tubuhnya laksana melayang. Ketika dicobanya melompat tahu-tahu hup! Tubuh gemuk
itu melayang tinggi ke udara. Dia jadi takut sendiri. Tapi kembali dia
melompat. Kali ini dia melompat dari bawah sebatang pohon besar. Hup! Enak saja
dia sampai di atas pohon dan duduk di salah satu cabang tertinggi. Mula-mula
dia agak merasa gamang. Setelah bebrapa saat tampak dia mulai tertawa-tawa dan
goyang-goyangkan kaki sambil memandang ke mana-mana memperhatikan pemandangan
yang indah di sekeliling puncak gunung Mahameru itu.
Puas duduk uncang-uncang kaki
di atas pohon Santiko melompat turun.
Hal lain yang terasa aneh
baginya ialah bahwa di udara yang sangat dingin di puncak Mahameru itu tebuhnya
terasa hangat. Malah wajahnya selalu keringatan. Tidak dapat tidak ini tentulah
akibat racun lumut es yang kini mengendap dalam darahnya dan menjadi satu
kekuatan aneh yang sanggup melawan hawa sedingin apapun!
“Apa aku sekarang jadi seorang
pemuda gendut tak karuan. Tapi menurut paman sialan itu kini usiaku sudah
delapan puluh tahun! Gila! Aku akan cari dirinya. Akan kuhajar habis-habisan.
Tapi, aku punya kepandaian app manghadapinya?”
“Dia begitu sakti!” Santiko
jadi termenung sejurus. Sambil merenung tanpa sadar dia menggosok-gosokkan
kedua telapak tangannya yang putih itu satu sama lain. Perlahan-lahan terasa
ada aliran hawa dingin di antara dia telapak tangan. Bersamaan dengan itu
telapak tanagn yang tadi putih kini tampak menjadi kemerahan. Tiba-tiba ada
satu sinar membersit keluar dari celah dua telapak tangan yang digosok-gosokkan
itu. Sinar ini menghampar hawa dingin luar biasa dan melesat ke atas. Menyambar
cabang pohon besar yang tadi didudukinya.
Kraak!
Santiko gendut terperangah.
Cabang pohon itu berderak patah.
Bagian yang patah lalu jatuh ke tanah.
Santiko bersurut mundur saking
kagetnya. Pandangannya pulang balik pada kedua talapak tangannya dan cabang
pohon yang jatuh ke tanah.
“Tubuhku ringan, seolah aku
memiliki ilmu meringankan tubuh. Lalu ada angin bercahaya keluar dari kedua
telapak tanganku. Sanggup memutus cabang pohon sebesar paha! Eh…..apakah aku
saat ini sudah jadi orang sakti?” Begitu Santiko berkata-kata dalam hati saking
heran dan bingungnya.
Tapi pemuda ini tidak hilang
akal. Mudah saja untuk membuktikan kalau dia memang benar-benar punya
kesaktian. Dia melangkah mendekati pohon yang tadi cabangnya dihantamnya hingga
tumbang ke tanah. Batang pohon ini besarnya hampir sepemelukan . Mula-mula
Santiko agak bimbang.
Namun sambil menggigit
bibirnya dia lalu menghantam batang pohon itu dengan tangan kanannya.
Terjadilah hal yang
mengagumkan.
Batang pohon besar itu hancur
berkeping-keping. Lalu perlahan-lahan pohon besar itu tumbang dengan
mengeluarkan suara menggemuruh!
Santiko pandangi tangan
kanannya. Waktu memukul tadi dan tangannya beradu dengan batang pohon yang
keras dia sama sekali tidak merasa sakit. Juga tidak mengalami cidera
sedikitpun.
Santiko berteriak keras lalu
berjingkrak-jingkrak kegirangan. Dada dan perutnya yang gembrot
bergoyang-goyang.
Tiba-tiba Santiko hentikan
lompatannya. Dia sadar. Kedua tangannya ditutupkan ke bagian bawah perut lalu
dia memandang berkeliling.
“Ah, untung tak ada
siapa-siapa. Kalau sampai ada yang melihat diriku melompat-lompat dalam keadaan
telanjang seperti ini bisa-bisa aku dianggap setan Mahameru! Ha…ha….ha!”
Puas tertawa pemuda ini mulai
berpikir-pikir. “Aku tidak bisa begini terusterusan. Aku harus mencari
pakaian.”
“Tapi di mana ada baju dan
celana di gunung ini? Berarti aku harus turun gunung! Benar-benar gila!”
Memikir sampai di situ Santiko
bersiap-siap tinggalkan puncak gunung. Sebelum pergi dia memandang dulu ke arah
lobang init es yang selama tujuh tahun menjadi tempatnya terpendam penuh
siksaan.
“Hemmmm….. Ada baiknya aku
melakukan sesuatu.” Katanya dalam hati. Dia memandang pada kedua telapak
tangannya yang putih lalu menoleh ke arah batang pohon yang tumbang. Di
mulutnya tersungging senyum. Santiko melangkah mendekati batang pohon itu.
“Mampukah aku….?” pikirnya sambil lagi-lagi memandang pada kedua telapak
tangannya.
Dengan agak bimbang dia
berjongkok di dekat batang pohon itu sambil menggosok-gosok kedua telapak
tanagnnya satu sama lain. Lalu dirasakannya ada hawa dingin aneh datang dari
perutnya, mengalir cepat sampai di ujung-ujung jarinya.
Perlahan-lahan Santiko
letakkan kedua tangannya di atas batang pohon. Dia menekan sedikit. Dadanya
berdebar ketika melihat bagian batang yang ditakannya itu jadi melesak!
“Kalau bagini berarti aku
mampu melakukannya….” katanya dalam hati. Lalu di gendut ini pergunakan kedua
tangannya untuk merubah batang pohon itu menjadi sebuah boneka besar berbentuk
seorang lelaki yang berdiri dengan kedua kaki saling menempel dan sepasang
tangan diluruskan.
Boneka kayu ini kemudian
dimasukkannya ke dalam lobang, kepala ke bawah kaki ke atas. Persis seperti
yang dilakau Dewa Ketawa terhadap dirinya tujuh tahun yang lalu. Setelah puas
memperhatikan boneka kayu itu sambil tertawa-tawa akhirnya pemuda gendut ini
tinggalkan puncak Mahameru.
Hanya beberapa saat saja
setelah Santiko meninggalkan tampat itu tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak
di sebelah timur puncak gunung. Menyusul suara orang bernyanyi.
Tujuh tahun dipendam.
Tujuh tahun menjalani hukuman.
Hari ini hari pembebasan.
Hari ini akan kulihat lagi
sang insan.
Entah nasih hidup entah sudah
berpulang.
Suara nyanyian berakhir.
Kembali terndenga suara tawa.
Tak lama kemudian muncullah
seorang lelaki bertubuh gemuk besar bermata sipit. Rambutnya yang putih
digulung di atas kepala. Dai muncul menunggang seekor keledai kecil kurus.
Langkah binatang dan penunggangnya cepat sekali.
Dalam waktu singkat dia sampai
di depan lobang inti es yang diapit oleh dua buah tonggak batu hitam.
Mendadak si gendut yang bukan
lain Dewa Ketawa ini hentikan tawanya. Kedua matanya yang sipit menatap tak
berkesip ke arah lobang inti es. Yang dilihatnya bukan sosok tubuh manusia yang
terpendam dalam lobang itu tetapi……tak dapat dipastikannya.
Dewa Ketawa turun dari
keledainya. Melangkah menghampiri benda yang terpendam itu Memperhatikannya
dari atas sampai ke bagian yang terpendam. Lalu diulurkannya tangan kanannya
meraba-raba. Paras Dewa Ketawa berubah.
“Kayu…..”desisnya. “Gusti
Allah!” Si gendut mengucap. “Apakah hukuman ini telah merubah tubuhnya menjadi
kayu begini rupa?!” Untuk beberapa lamanya Dewa Ketawa tertegun tak bergerak
tak berkesip. Lalu, sekali kedua tangannya bergerak, kayu yang menyerupai tubuh
manusia itu ditariknya keluar dari lobang inti es.
“Gila! Benar-benar kayu!” kata
Dewa Ketawa lagi dengan suara bergetar. Namun kemudian ada sesuatu yang membuat
dia perlahan-lahan memalingkan kepala ke kiri. Pandangannya membentur pohon
kayu yang tumbang. Lalu meledaklah tawa manusia gemuk ini.
“Dia masih hidup! Dia coba
menipuku dengan membuat boneka kayu ini! Anak setan! Ha….ha…..ha…..ha!” Meski
mengomel panjang pendek namun Dewa Ketawa pada akhirnya kembali mengumandangkan
gelak tawanya di puncak gunung Mahameru itu. Puas mengumbar tawa akhirnya dia
tinggalkan pula tempat itu.
EMPAT
Sebetulnya Angling Kamesworo
tidak suka melewati hutan Randuabang. Selain banyak dihuni binatang buas di
situ juga sering mendekam komplotan rampok ganas yang tidak segan-segan membunh
mangsanya hanya untuk sekeping uang. Selain itu bersama rombongannya yang
terdiri dari selusin perajurit pengawal dia membawa serta salah soerang puteri
patih Kerajaan yang baru saja ikut berburu di kawasan timur Pagarejo yang
dikenal sebagai daerah banyaknya menjangan.
Namun wakil patih kerajaan ini
tidak punya pilihan lain. Dia harus segera berada di Kotaraja. Lewat hutan
Randuabang dia bisa mempersingkat perjalanan. Angling Kamesworo sebelumnya
adalah salah seorang perwira muda di jajaran balatentara pasukan Kerajaan.
Usianya yang belum mencapai
tiga puluh, penampilan dan perawakannya yang tinggi kukuh serta berotot
ditambah otak cerdas dan pengetahuan luas dalam bidang ketentaraan termasuk
ilmu silat tinggi yang dimilikinya telah membuat patih Kerajaan yang sudah
lanjut usia itu pernah menyampaikan usulan pada Sultan. Jika dia kelak mengundurkan
diri maka Angling Kamesworolah yang diingininya sebgai penggantinya. Sebgai
manusia biasa tentu saja Angling Kamesworo mempunyai satudua kekurangan. Salah
satu kekurangan itu ialah sifatnya yang sombong dan tinggi hati. Sifat buruk
itu semakin menonjol sejak akhir-akhir ini. Mungkin sekali hal itu timbul
karena mengetahui kegagahan dan kehebatan ilmunya ditambah jabatannya yang
cukup tinggi dengan peluang akan menjadi patih kerajaan dalam waktu beberapa
tahun dimuka.
Pagi itu rombongan mulai menembus
hutan Randuabang dan sebelum sore berharap mereka sudah keluar dari situ. Kalau
saja Sekar Mindi, puteri patih kerajaan itu tidak mempergunakan kereta sebagai
kendaraanya tetapi menunggang kuda biasa, mungkin rombongan bisa bergerak lebih
cepat.
Setelah ikut berburu selama
tiga hari, sang dara merasa sangat letih dan lebih suka naik kereta. Kalau
Sekar Mindi adiknya sendiri pasti Angling Kamesworo telah memaksanya agar
menunggang kuda saja. Naumn terhadap puteri atasannya dia tentu saja tidak bisa
memaksa. Apalagi secara diam-diam sebenarnya pemuda ini telah jatuh hati
terhadap Sekar Mindi. Dan ada tanda bahwa gadis itupun suka padanya.
Tak lama memasuki hutan
Randuabang rombongan sampai di dekat sebuah telaga yang dikelilingi oleh
pohon-pohon besar dan tinggi rimbun serta bunga-bunga hutan hingga tempat itu
selain sejuk juga indah pemandangannya. Sekalipun keadaan di situ sangat
menarik biasanya tidak ada orang yang mau berhenti atau beristirahat. Namun
tidak demikian halnya dengan Sekar Mindi. Gadis yang baru sekali ini melihat
telaga itu begitu tertarik hingga dia berseru pada sais kereta agar berhenti.
Melihat kereta berhenti
Angling Kamesworo segera mendekati. “Ada apa kau menghentikan kereta?” tanya
pemuda itu. “Saya yang menyuruh,” yang menjawab Sekar Mindi lalu membuka pintu
kereta. Angling Kamesworo
cepat menahan pintu dan bertanya. “Sekar….Kau hendak kemanakah?’ “Pemandangan
di telaga dan sekitarnya sangat indah. Saya ingin turun dan
melihat-lihat barang
sebentar.” “Jangan lakukan hal itu Sekar. Kawasan hutan Randuabang ini sangat
berbahaya. Banyak binatang buas dan orang jahat.”
“Berada bersamamu apa saya
perlu menakutkan semua itu , Angling?” tanya sang dara sambil tersenyum yang
membuat si pemuda jadi leleh hatinya dan tak bisa melarang berbuat apa-apa
ketika Sekar Mindi mendorong pintu kereta lebar-lebar lalu turun. Dia berdiri
di tepi telaga, menarik nafas dalam menghirup udara segar. “Indah sekali
pemandangan di sini. Udaranya segar.” Si gadis berpaling pada Angling
Kamesworo. “Kau tidak merasa lapar?’ tanyanya.
Walaupun memang sepagi itu dia
belum makan apa-apa dan perutnya sudah minta diisi namun Angling Kamesworo
menggeleng.
“Saya justru lapar,” kata
Sekar Mindi. “Di kantong perbekalan dalam kereta masih banyak dendeng kering. Bagaimana
kalau kita bakar dan makan sambil menikmati keindahan telaga ini?”
“Saya kira…..”
Sekar Mindi memgang lengan
Angling Kamesworo. “Saya rasa mungkin hanya sekali ini seumur hidup saya
berkesempatan berada di tempat ini. Apakah kau tega menolak?”
Pemuda itu menghela nafas
dalam. Dia memandang berkeliling lalu memberi isyarat pada para pengawal dan
kusir kereta. Dari dalam kereta segera diturunkan kantong perbekalan. Beberapa
orang pengawal mencari kayu api untuk memanggang dendeng kering sedang Sekar
Mindi duduk di atas sebuah batu besar di tepi telaga. Sambil menikmati
keindahan telaga dan alam sekitarnya gadis ini mempermainmainkan kakinya dalam
air telaga.
Bau harumnya dendeng yang
dibakar menebar di seantero telaga bahkan jauh ke dalam hutan Randuabang.
“Dendengnya sudah matang
Sekar. Ingin saya bawakan beberapa potongan besar?”
“Kalau kau tidak keberatan
Angling,” jawab Sekar Mindi tanpa menoleh dan terus mempermainkan kedua kakinya
dalam air telaga. Angling Kamesworo memutar tubuh melangkah ke tempat
pemanggangan dendeng.
Tiba-tiba terdengar jeritan
Sekar Mindi. Ada sesuatu seprti tangan manusia menyentuh jari dan telapak
kakinya. Bersamaan dengan itu satu benda besar tersembul keluar dari dalam
telaga. Air telaga muncrat kemana-mana.
Semua orang yang ada di tempat
itu tentu saja jadi terkejut besar. Angling Kamesworo melompat ke tempat Sekar
Mindi duduk.
“Ada apa Sekar….?” tanya
pemuda itu. Namun dia tak memerlukan jawaban. Dari dalam telaga saat itu muncul
keluar satu sosok tubuh manusia yang luar biasa gemuknya dan berpakaian aneh.
“Dedemit telaga!” salah
seorang perajurit berteriak. Dia dan kawan-kawannya yang tadi ikut melompat ke
tempat Sekar Mindi berada jadi mundur ketakutan.
Angling Kamesworo merangkul
Sekar Mindi dan membawa gadis ini ke tempat aman lalu dengan cepat membalikkan
tubuh, melompat kembali ke tepi telaga. Saat itu sosok yang tadi melesat keluar
dari dalam telaga tegak berdiri di dekat batu dalam keadaan basah kuyup.
Walaupun sosok manusia bertubuh gemuk luar biasa namun sesaat Angling Kamesworo
tambah meragu dan aujkan pertanyaan dengan membentak.
“Siapa kau? Setan atau
dedemit?”
Yang dibentak tampak terlonjak
kaget tapi sesaat kemudian dia sunggingkan senyum. Mukanya yang gembrot tampak
kemerahan. Dia mengenakan baju yang kesempitan dan anehnya kancingnya terletak
di punggung bukan di sebelah depan. Celananya juga tampak kekecilan. Di bagian
pinggang tarbuka tak terkancing hingga perutnya yang gembrot kelihatan
membuntal keluar. Lalu di kepalanya dia mengenakan sebuah peci hitam yang
kupluk dan basah kuyup.
“Uh….panasnya hari ini!” kata
si gendut pula acuh tak acuh seperti tidak mendengar bentakan orang dan seolah
tidak melihat Angling Kamesworo serta yang lain-lainnya di tempat itu.
Ucapan si gendut itu tentu
saja membuat semua orang yang ada di situ terheran-heran. Jelas dia barus
keluar dari dalam telaga yang airnya dingin dan saat itu udara pagi masih
terbungkus dinginnya sisa hawa malam hari. Adalah aneh kalau si gendut yang
basah kuyup ini berkata panasnya hari ini!
Sambil terus tersenyum dia
memandang berkeliling. Dari dalam saku bajunya dia mengeluarkan sebuah benda.
Ketika dikembangkannya ternyata benda itu adalah sebuah kipas kertas yang
berada dalam keadaan basah tapi sama sekali tidak luruh atau robek. Duduk
enak-enakan di atas batu lalu dia berkipas-kipas sambil tiada hentinya berkata
“Huh…..panasnya hari ini. Gila panas betul! Aku sampai keringatan!”
Merasa seperti tidak diacuhkan
dan dianggap sepi Angling Kameseoro menjadi marah.
“Makhluk edan! Siapapun kau
adanya apa kau kura aku tidak berani dan tidak tega menggasakmu sampai lumat?!”
“Angling…. Hati-hati.
Jangan-jangan dia mahluk halus rimba belantara yang menunjukkan diri….” Sekar
Mindi berkata dari kejauhan.
Mendengar ucapan Sekar Mindi
itu si gendut berhenti berkipas. Dia memandang ke arah sang gadis sesaat lalu
tertawa gelak-gelak. “Aku dibilang mahluk halus. Apa buta dan tidak melihat
tubuhku sekasar ini ?! ” Lalu si gendut itu kembali tertawa-tawa dan
berkipas-kipas.
Melihat sikap dan tutur kata
si gendut tak dikenal itu marahlah Angling Kameseoro. Dia bergerak lebih dekat.
Tangan kanannya dihantamkan tepat-tepat ke muka si gendut. Pukulan yang
dilepaskannya bukanlah sembarang pukulan. Kalau sempat mendarat di hidung pasti
akan melesak hancur. Kalau menghantam bibir pasti mulutnya akan pecah. Kalau
sampai menghajar mata tak dapat tidak akan pecah buta !
Sesaat lagi jotosan keras itu
akan mengenai sasarannya tiba-tiba dengan geraka acuh tak acuh si gendut angkat
kipasnya. Serangkum angin dingin menyambar dan Angling Kamesworo merasa seperti
melabrak tambok tak kelihatan. Tangannya yang menjotos tertahan. Bagaimanapun
dia mengerahkan tenaga luar dan dalam tetap saja tak bisa meneruskan
pukulannya, padahal muka lawan yang jadi sasarannya hanya setengah jengkal di
depan tinjunya !
Sadarlah pemuda itu kalau dia
berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi. Untung saja tak ada seorang
lainpun di situ yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Meski sadar kalau
yang dihadapinya bukan manusia sembarangan, namun karena sifatnya yang congkak
sombong, Angling Kamesworo tetap saja tidak mau bersikap merendah. Dia kembali
membentak.
“Setan atau dedemit, manusia
atau jin ! Kalau kau punya sedikit ilmu jangan berani jual lagak di hadapanku!
Sebelum kujatuhkan tangan keras katakan siapa dirimu! Mengapa berani mengganggu
kami yang sedang beristirahat di tempat ini! Malah kau berlaku kurang ajar!
Memegang kaki puteri patih kerajaan, membuatnya terkejut dan ketakutan!”
Mendengar ucapan panjang lebar
itu si gendut tampak terkejut. Dia hentikan berkipas-kipas. Lalu berdiri dan
berpaling pada Sekar Mindi. Dia membungkuk dalam-dalam dan berkata
“Cucuku yang cantik jelita
harap maafkan kakekmu ini kalau aku sudah membuatmu kaget dan ketakutan. Kakek
tidak tahu kalau kau adalah puteri sinuhun kanjeng patih kerajaan. Tapi terus
teran kakek tidak ada niat jahat terhadapmu atau mengganggu istirahat kalian.
Terus terang saja tadi kakek sedang enak-enakan bermain di dasat telaga.
Kulihat ada benda putih-putih bergerak di permukaan telaga. Kukira ikan, tak
tahunya kakimu. Maafkan kalau kakek sudah bertindak kurang ajar berani memegang
kakimu yang bagus. Itu kakek lakukan karena kebodohanku dan tidak tahu. Harap
maafkan tua bangka tolol ini!”
Tentu saja ucapan si gendut
berkopiah kupluk itu membuat semua orang jadi kaget. Dia menyebut dirinya kakek
dan memanggil Sekar Mindi sebagai cucu!
“Gendut keparat!” bentak
Angling Kameseworo. “Jangan kau berani berlaku kurang ajar dan main-main!”
“Ah….. ” si gendut menghela
nafas panjang. “Kalau aku kurang ajar bukankah sudah minta maaf. Kalau aku
dituduh berani main-main, itu sama sekali tidak benar. Masakan aku setua bangka
ini mau bergurau yang bukan-bukan dengan cucuku, puteri patih kerajaan pula ! ”
“Gendut sialan ! Kau menyebut
dirimu kakek dan menyebut gadis itu cucumu ! Umurmu pasti lebih muda dari gadis
itu ! Apa itu namanya bukan mempermainkan secara kurang ajar ?! ” bentak
Angling Kamesworo dengan suara bergetar karena sudah tak dapat menahan marah.
Si gendut tertawa gelak-gelak
sampai wajahnya yang keringatan menjadi merah. Dia lalu menjawab.
“Umur puteri patih kerajaan
itu paling tinggi dua puluh dua tahu. Cucuku, kau tahu berapa usiaku ?! ”
“Setan gemuk ! Kau jawablah
sendiri ! ” teriak Angling Kamesworo.
“Baik ! Akan kujawab ! ” sahut
si gendut pula. “Kalau kau mau tahu, usiaku sudah delapan puluh ! Kau dengar ?!
”
Kedua mata Angling Kamesworo
melotot. Yang lain-lain juga terkeisap kaget mendengar ucapan si gendut itu.
Jelas kalau dia tidak main-main maka dia adalah seorang gila yang kesasar.
Melihat kepada wajahnya paling tidak usianya hanya dua puluh tahun, mungkin
kurang. Bagaimana dia enak saja berkata bahwa dia berusia delapan puluh tahun
?!
Angling Kamesworo kalau
menurutkan hawa amarahnya mau dia segera menghantam si gendut berpeci kupluk
itu habis-habisan. Namun sebagai orang berkepandaian dia masih bisa berpikir.
Tadi waktu dia melancarkan jotosan si gendut ini mengangkat kipasnya secara
acuh tak acuh. Tapi dari benda itu membersit hawa dingin yang dapat menahan
gerakannya. Lalu tadi dia berkata sedang main-main di dalam telaga. Saat dia
dan rombongan berhenti di telaga sampai saat si gendut muncul di permukaan
telaga cukup lama. Manusia mana yang mampu mendekam dalam air selama itu?
“Gendut mengaku kakek berusia
delapan puluh tahun. Sebenarnya siapa sirimu. Siapa namamu?” tanya Angling
Kamesworo.
“Ah, cucuku, ternyata kau bisa
berbasa basi, bisa bicara baik-baik dan sopan. Baik aku jawab pertanyaanmu,”
kata si gendut pula. “Namaku nama kampung. Santiko. Ada juga yang menyebutku
dengan gelaran muluk. Bujang Gila Tapak Sakti.”
“Dari mana kau berasal dan apa
kerjamu di dalam telaga itu?!” tanya Angling Kamesworo.
“Asalku dari kampung sekitar
sini. Aku berada di dalam telaga karena kepanasan. Coba mencari kesejukan.
Tidakkah kau dan yang lain-lain merasa betapa panasnya hari ini?” Lalu si
gendut mengipas-ngipaskan kipas kertasnya.
Sesaat Angling Kamesworo
memperhatikan kedua tangan si gendut. Jelas terlihat kedua telapak tangannya
berwarna putih pucat. Diam-diam pemuda ini jadi merasa tidak enak.
“Gendut, dengar ucapanku. Aku
tidak senang kau berada di sini. Lekas angkat kaki dan pergi…..”
“Ah, nasibku malang. Dihina
dan diusir orang. Tapi baiklah aku akan pergi. Apa susahnya angkat pantat dari batu
dan angkat kaki pergi? Tapi tunggu….” Si gendut yang bernama Santiko dan
bergelar Bujang Gila Tapak Sakti itu mendongakkan kepalanya. Hidungnya kembang
kempis menghirup-hirup. “Aku mencium harumnya bau daging panggang. Tapi sudah
hampir hangus. Mengapa tidak cepat-cepat disantap?!”
Astaga!
Semua orang baru sadar kalau
dendeng yang mereka panggang hampir hangus. Semua segera menghampiri tempat
pemanggangan kecuali Angling Kamesworo. Sekar Mindi membagi-begikan potongan
dendeng panggang pada orang-orang yang ada di tempat itu. Ketika dia
menghampiri Angling, pemuda ini memberi isyarat agar si gadis tidak melangkah
lebih dekat. Angling berpaling pada Bujang Gila Tapak Sakti.
“Kau sudah mendengar
kata-kataku tadi. Kenapa tidak lekas angkat kaki dari sini?’
“Begitu? Baik aku segera
pergi.” Menjawab si gendut. Dia berpaling pada Sekar Mindi. “Cucuku, sudah
tujuh puluh tahun aku tak pernah menikmati daging. Apalagi dendeng panggang
seperti itu. Apakah aku boleh minta barang sepotong kecil?”
Sekar Mindi tampak ragu-ragu.
Namun sesaat kemudian gadis ini melangkah juga ke arah Bujang Gila Tapak Sakti
sambil membawa potongan dendeng bakar yang tadi hendak diberikannya pada
Angling Kamesworo.
Setengah jalan Angling
mencegatnya. Dendeng panggang yang ada di tangan si gadis dirampasnya lalu
dibantingkannya ke tanah. Tak cukup sampai di situ. Daging yang jatuh di tanah
itu lalu diinjak-injaknya dengan kakinya yang memakai kasut dari kulit hingga
hancur dan kotor.
“Kau lapar gendut?! Makanlah!”
katanya lalu Angling Kamesworo tertawa gelak-gelak. Dua belas perajurit lainnya
ikut-ikutan tertawa. Hanya kusir kereta yang sudah lanjut usia dan Sekar Mindi
yang tidak tertawa, senyumpun tidak.
Si gendut tenang-tenang saja
malah menyeringai. Dia membungkuk mengambil dendeng panggang yang sudah hancur
dan kotor bergelimang tanah itu dengan tangan kanannya. Lalu sambil
membejak-bejak daging itu dalam genggaman telapak tangannya dia berkata
“Sayang, dagingnya seenak ini dibuang begitu saja, diinjak, dikotori dengan
tanah. Padahal banyak orang miskin yang kelaparan sekitar sini. Termasuk
aku…..”
Tangan yang membejak-bejak
dendeng panggang itu perlahan-lahan dibuka. Semua orang terkejut ketika
menyaksikan bagaimana dendeng bakar yang tadi sudah hancur dan kotor
diinjak-injak kini berubah menjadi sepotong besar daging panggang segar yang
mengepulkan asap dan menebar bau harum bukan main.
“Cucuku,” kata si Bujang Gila
Tapak Sakti sambil memandang pada Sekar Mindi. “Terima kasih atas pemberianmu
ini. Kakek tidak akan melupakan kebaikan hatimu….” Habis berkata begitu si
gendut berkopiah kupluk itu melahap daging panggang itu sambil tangan kiri
mengipas-ngipaskan kipas kertasnya. Di satu tempat dia berpaling lagi pada
Sekar Mindi dan menjura dalam-dalam. Lalu hup! Sekali dia menggenjot kedua
kakinya tubuhnya yang seprti buntalan raksasa itu melayang ke atas. Sesaat
kemudian kelihatanlah si gendut itu duduk berjuntai goyang-goyang kaki di atas
cabang sebuah pohon. Cabang ini tak seberapa besarnya. Dibandingkan dengan
tubuh si gendut yang berat seharusnya cabang itu akan menekuk ke bawah behkan
bisa patah. Tapi nyatanya cabang pohon tersebut hanya melentur bergoyanggoyang
mengikuti gerakan atau uncangan kaki si gendut!
Selusin perajurit dan Sekar
Mindi terkagum-kagum melihat apa yang terjadi. Sebaliknya Angling Kamesworo
tampak merah mukanya. Apa yang dilakukan Bujang Gila Tapak Sakti seolah-olah
mempermainkan dan mengejek dirinya. Dia hendak meneriakkan sesuatu tetapi tak
jadi karena dengan tiba-tiba kusir tua menghampirinya dan berkata. “Raden,
kalau saya tidak salah manusia gendut bernama Santiko bergelar Bujang Gila
Tapak Sakti ini tujuh tahun dulu adalah bocah yang mencuri dua buah bonang
perangkat gamelan keraton.”
Tentu saja keterangan itu
membuat Angling Kamesworo jadi terkejut. Tujuh tahun lalu dia belum masuk ke
dalam jajaran pasukan Kerajaan. Namun beberapa waktu sesudah bergabung dengan
alat kerajaan dia pernah mendengar tentang dicurinya dua buah bonang itu.
“Kenapa tidak kau katakan dari
tadi?!” ujar Angling Kamesworo pula dengan
suara keras yang ditekan.
“Maafkan saya. Ingatan saya berjalan lamban….” “Kalau begitu dia harus segera
kita tangkap!” kata Angling Kamesworo pula
seraya memandang ke arah
cabang pohon dimana si gendut duduk masih enak-enakan menyantap daging panggang
sambil uncang-uncang kaki dan berkipas-kipas. “Bujang Gila Tapak Sakti! Lekas
turun dari pohon! Aku mau bicara denganmu!” berteriak Angling Kamesworo.
Baru saja dia berteriak begiut
dan belum sempat si gendut memberikan jawaban tiba-tiba ada derap kaki kuda
sekitar telaga. Tahu-tahu lima penunggang kuda bertampang sangar beringas dan
garang muncul di tempat itu. Kelimanya menebar demikian rupa dalam sikap
mengurung rombongan. Masing-masing duduk di atas kuda sambil menekankan tangan
ke gagang golok besar yang tersisip di pinggang.
LIMA
Angling Kamesworo segera
maklum siapa adanya kelima orang itu. Tak dapat tidak pastilah gerombolan
perampok jahat hutan Randuabang.
“Salan!” maki Angling
Kamesworo dalam hati. “Urusan dengan si gendut gila itu belum selesai. Kini
datang lagi penyakit baru!”
“Kalian siapa dan mau apa?!”
tiba-tiba Angling Kamesworo bertanya dengan suara keras hingga lima penunggang
kuda tersentak. Lalu berbarengan kelimanya tertawa gelak-gelak.
“Anak muda. Caramu bertanya
galak amat!” salah seorang dari lima penunggang kuda membuka mulut. Barisan
gigi-giginya kelihatan besar-besar dan berwarna hitam.
“Jika kau dan kawan-kawanmu
datang membawa maksud jahat, jangan berani lakukan disini. Kepala kalian akan
kubuat menggelinding di tanah!”
Lima penunggang kuda kembali
tertawa bergelak. Yang tadi bicara membuka mulut.
“Aku Warok Wesi Randuabang,
penguasa rimba belantara ini.Empat orang ini adalah sahabat-sahabat dan anak
buahku. Bertemu baru satu kali, bagaimana kau bisa menuduh kami datang membawa
maksud jahat, anak muda?!”
“Sudah! Aku tak ada waktu
panjang lebar dengan kalian! Harap tinggalkan tempat ini. Kamipun segera akan
berlalu dari sini!” Habis berkata begitu wakil patih kerajaan ini memberi
isyarat pada semua anggota rombongan. Lalu dia melangkah mendekati Sekar Mindi
dan dengan cepat membimbing gadis itu masuk ke dalam kereta.
“Tunggu dulu!” seru Warok Wesi
Randuabang.
Angling Kamesworo menutupkan
pintu kereta. Pada Sekar Mindi dia berkata. “Apapun yang terjadi jangan keluar dari
dalam kereta!” lalu dia berpaling pada lima penunggang kuda.
“Kami datang karena mencium
bau dendeng panggang yang harum itu. Karena lapar dan ada rejeki jelas kami mau
minta bagian! Apakah kalian mau memberi atau terlalu pelit tak mau
berbagi-bagi?”
“Wesi Randuabang,” penunggang
kuda di samping sang warok berkata “Yang kita temui di tempat ini ternyata
bukan cuma dendeng panggang yang lezat tapi ada seorang gadis cantik. Hanya
sayang si jelita itu buru-buru disembunyikan ke dalam kereta!”
Lima orang berwajah garang itu
kembali tertawa bergelak.
Angling Kamesworo yang merasa
semakin tidak enak cepat berkata.
“KAu dan kawan-kawanmu mau
dendeng panggang silahkan saja ambil. Tapi ingat, jangan ganggu rombongan ini!”
“Anak muda, hatimu ternyata
sangat baik. Bersedia memberikan dendeng panggang yang enak itu. Tapi kenapa
buru-buru mau pergi?” Warok Wesi Randuabang.
Angling Kamesworo tidak
menjawab. Dia melompat ke atas kudanya dan memberi isyarat pada kusir kereta
serta dua belas perajurit untuk segera bergerak meninggalkana tempat itu.
Warok Wesi Randuabang cepat
menggerakkan kudanya. Empat kawannya mengikuti. Kelimanya kini berada di depan
rombongan dan jelas-jelas menghadang.
“Anak muda, kalau aku bilang
jangan buru-buru pergi kau harus patuh!” membentak Warok Wesi Randuabang. “Apa
kau tidak tahu berhadapan dengan siapa?!”
“Kau yang buta tidak tahu
berhadapan dengan siapa!” balas membentak Angling Kamesworo.
“Aku tidak buta anak muda! Kau
mengenakan pakaian perwira dan ada dua belas orang berseragam perajurit. Jelas
kalian adalah sekelompok pasukan kerajaan.” Warok Wesi Randuabang berpaling
pada teman-temannya. Lalu bertanya “KAwankawan, apakah ada bedanya bagi kita
kalau mereka adalah cecunguk-cecunguk kerajaan atau bukan?”
“Tentu saja tidak!” menyahuti
salah seorang anak buah Warok Wesi Randuabang.
“Sekalipun mereka srombongan
setan atau jin pelayangan tentu saja tak ada artinya bagi kita!” menyahuti anak
buah yang lain.
Warok Wesi Randuabang
menyeringai. “Anak muda, kau dengar apa yang dikatakan teman-temanku.”
“Kalian membuatku jijik dan
lama-lama aku bisa jengkel! Lekas menyingkir. Jangan menghalangi jalan!” bentak
Angling Kamesworo.
“Lagakmu memuakkan!” tukas
Warok Wesi Randuabang, Kepala rampok hutan Randuabang ini menarik tali kekang
mudanya, hendak bergerak ke arah Angling Kamesworo. Tapi salah seorang anak
buahnya cepat mendahului seraya berkata.
“Gembel kerajaan ini biarkan
aku yang membereskan!”
Anak buah Warok Wesi
Randuabang yang satu ini segera menggebrak kudanya. Bersamaan dengan itu dia
mencabut goloknya. Senjata ini membabat begitu dia sampai di hadapan Angling
Kamesworo.
Perwira muda kerajaan ini
cepat merunduk. Kelihatannya dia seperti hendak menysupkan satu jotosan ke dada
lawan.
Melihat gelagat ini anak buah
Warok Wesi putar pergelangan tangannya. Senjatanya kini menderu ke bawah. Siap
untuk membabat putus tangan Angling Kamesworo. Semua orang di pihak rombongan
kerajaan yang menyaksikan itu menjadi terpaku tegang. Sekar Mindi pejamkan mata
dan tekap mulutnya kuat-kuat agar tidak mengeluarkan suara jeritan. Kalau
pemuda pelindungnya itu sampai celaka dan tewas di tangan kawanan rampok hutan
berarti dirinya sendiri tak bisa diselamatkan dan akan jatuh ke tangan
gerombolan rampok Warok Wesi Randuabang. Tubuh gadis ini jadi menggigil dan
wajahnya pucat tak berdarah menghadapi kenyataan ini.
Tetapi apa yang terjadi
kemudian justru mengejutkan Warok Wesi dan kawankawannya. Di kala mereka sudah
memperkirakan lengan perwira muda itu akan dibabat putus tiba-tiba tubuh Angling
Kamesworo merunduk hampir sama datar dengan punggung kuda. Bersamaan dengan itu
kaki kirinya melesat ke depan.
Bukkk!
Ujung kaki Angling Kamesworo
menghantam lambung anak buah Warok Wesi hingga mengeluarkan suara bergedebukan
sedang dari mulutnya meledak suara jeritan keras. Tubuhnya terpental dari
punggung kuda lalu jatuh punggung terkapar di tanah, goloknya terlepas mencelat
ke udara yang dengan cepat segera disambar oleh sang perwira muda.
Selagi Warok Wesi dan tiga
orang anak buahnya terkesiap melihat kejadian itu dari atas pohon terdengar
suara tertawa bergelak. Jika kita layangkan pandang ke arah pohon itu ternyata
di cabang pohon kini bukan hanya Santiko alias Bujang Gila Tapak Sakti saja
yang kelihatan duduk di sana melainkan di sebelahnya kini tampak ikut duduk
seorang pemuda berambut gondrong mengenakan pakaian putih-putih.
“Dut, bagi lagi aku daging
panggangnya,” kata si gondrong.
“Ah, dagingku tinggal sedikit.
Tapi baiklah. Kuberikan secuil lagi!” Lalu Bujang Gila Tapak Sakti memberika
sepotong kecil lagi daging panggangnya pada pemuda di sampingnya. Keduanya
mengunyah daging itu sambil tertawa-tawa.
“Aku sudha lama mencarimu,
syukur-syukur sekarang bisa ketemu!” kata si gondrong.
“Aku merasa tidak perlu
mencarimu. Karena aku yakin kau pasti mencariku! Buktinya sekarang kita ketemu!
Ha…ha…ha….!” Bujang Gila Tapak Sakti mengipasngipaskan kipas kertasnya ke
wajahnya yang keringatan. Saat itulah tendangan Angling Kamesworo mendarat di
lambung anak buah Warok Wesi hingga rampok satu ini jatuh ke tanah. Tak
berkutik lagi karena tulang punggungnya patah. Bujang Gila Tapak Sakti dan si
gondrong tertawa gelak-gelak melihat kejadian itu. Warok Wesi Randuabang
melirik ke arah cabang pohon. Dia tidak mengenali siapa adanya si gendut
berkopiah kupluk dan berbaju yang kancingnya terbalik itu. Namun dia segera
mengenali pemuda satunya yang berambut gondrong.
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 Wiro Sableng…..” membatin Warok Wesi. Hatinya mendadak santak jadi tidak
enak. Dia memberi isyarat pada tiga orang anak buahnya. “Kalian lekas keroyok
perwira muda itu. Aku akan melakukan sesuatu.” Habis berkata begitu Warok Wesi
menggebrak kudanya ke kanan seolaholah dia hendak meninggalkan tempat itu.
Namun di satu tempat dia membelok lagi dan memacu kudanya ke arah kereta.
“Lindungi kereta!” teriak
Angling Kamesworo.
Sua belas perajurit segera
bergerak mengamankan kereta dimana puteri patih kerajaan berada.
Angling Kamesworo sendiri
segera menyambut serangan tiga orang anak buah Warok Wesi. Ketiganya menyerang
dengan golok di tangan.
“Kalian mencari mampus!”
hardik perwira muda itu.
Golok di tangannya berputar
aneh. Tiga orang anak buah Warok Wesi merupakan penjahat-penjahat yang memiliki
kepandaian memainkan golok tingkat tinggi. Selama bertahun-tahun malang
melintang dalam rimba Randuababng dan sekitarnya Warok Wesi menyempatkan diri
untuk mengajarkan ilmu golok itu pada empat orang anak buahnya. Walau masih
belum sempurna betul namun kehebatan mereka memainkan senjata tajam itu tidak
bisa dianggap rendah. Namun sekali ini ketiganya kena batunya. Yang mereka
hadapi adalah seorang perwira muda berkepandaian tinggi calon patih kerajaan!
Tiga anak buah Warok Wesi
sesaat jadi terkesiap ketika melihat golok yang ada di tangan perwira muda itu
seolah berubah menjadi sepuluh buah, menyambar dengan mengeluarkan suara
berdesing menggidikkan.
Trang….trang….trang!
Tiga kali bunga api berpijar
di udara pagi. Tiga seruan tertahan keluar dari mulut tiga orang anak buah
Warok Wesi. Telapak tangan yang memegang golok terasa pedas. Senjata di tangan
masing-masing hampir saja terlepas mental dalam satu bentrokan golok secara
kilat tadi.
Sadar kalau lawan mereka
memiliki kepandaian tinggi, salah seorang dari pengeroyok berseru.
“Keluarkan jurus bintang
bertabur!”
Ilmu silat mengandalkan golok
yang disebut jurus bintang bertabur itu sebenarnya harus dimainkan oleh lima
orang. Namun karena merasakan adanya ancaman maka tiga orang perampok hutan
Randuabang itu lekas-lekas saja mengeluarkannya dengan maksud dapat menghabisi
lawannya.
Begitu jurus bintang bertabur
itu dimainkan walau Cuma oleh tiga orang saja, Angling Kamesworo merasakan
dirinya menghadapi serangan laksana curahan hujan yang bertabur dari arah
berbeda-beda. Baru saja dia mementahkan atau menangkis satu serangan lawan,
dari jurusan lain datang pula serangan baru. Dihadapinya serangan satu ini,
gempuran datang menderu dari jurusan lain. Hanya dengan kehebatan dan
kecepatannya bergerak perwira muda itu sanggup lolos dari seranganserangan
maut walau dua kali pakaiannya robek besar disambar ujung senjata
lawanlawannya.
Angling Kamesworo kertakkan
rahang. Dia keluarkan suara membentak nyaring lalu menghadapi keroyokan tiga
lawannya dengan gebrakan-gebrakan aneh yang secara perlahan-lahan membuat dia
sanggup bertahan lalu balas mendesak lawan dengan tusukan atau babatan maut!
Di bagian lain, ketika melihat
dua belas perajurit melindungi kereta, Warok Wesi Randuabang segera hunus golok
besarnya. Tanpa tedeng aling-aling dia menggebrak ke arah kereta. Para perajurit
yang mengawal tentu saja tidak mau tinggal diam. Enam orang langsung
menyongsong sedang enam lainnya tetap bersiaga menjaga keselamatan kereta.
Enam perajurit yan gmnyambut
kedatangan Warok Wesi Randuabang itu dua memegang golok, tiga menggenggam pedang
dan satu lagi bersenjatakan tombak. Enam senjata berserabutan ke arah kepala,
dada dan perut Warok Wesi. Sang Warok ganda tertawa. Golok besar di tangannya
berkiblat lenyap. Terdengar suara berdentrangan. Lalu dua jeritan merobek
langit. Dua sosok tubuh roboh ke tanah bermandikan darah. Mereka adalah
perajurit yang memegang golok dan pedang. Empat temannya karuan menjadi gugup.
Tapi sadar akan kewajiban dan tanggung jawab besar mereka atas keselamatan
puteri patih kerajaan maka keempat perajurit ini kembali menyerbu Warok Wesi.
Namun keberanian meraka hanya satu kesia-siaan belaka. Sekali lagi golok di
tangan kepala rampok hutan Randuabang itu berkiblat, dua perajurit lagi roboh
ke tanah meregang nyawa. Dua kawannya yang hampir putus nyali segera memberi
isyarat pada enam temannya yang berada di sekitar kereta. Tiga orang segera
bergerak, tiga lagi tetap berjaga-jaga. Kini ada lima perajurit menghadapi
Warok Wesi.
“Kalau kalian sayang jiwa
lekas minggat dari sini. Kalau tidak kalian akan merasakan akibatnya!”
Lima perajurit itu rupanya
tidak takut akan gertakan Warok Wesi. Dengan cepat mereka menggebrak memulai
serangan. Kali ini mereka menjaga jarak dan bertindak hati-hati. Tiga jurus
pertama mereka bisa bertahan bahkan sesekali melancarkan serangan yang cukup
membuat kepala rampok itu sibuk. Namun jurusjurus berikutnya satu persatu
mereka menemui ajal dibabat atau ditusuk golok besar di tanagn Warok Wesi.
Dati tiga orang sisa perajurit
yang mengawal kereta hanya satu saja yang mencoba berjibaku menusukkan goloknya
ke punggung Warok Wesi yang saat itu lengah ketika sibuk membunuhi
kawan-kawannya yang lima. Dua lainnya sudah kabur ketakutan. Perajurit yang
satu ini berhasil menusukkan senjatanya ke punggung kepala perampok itu. Namun
alangkah kagetnya ketika menyaksikan bagaimana dia seolah menusuk batu yang
keras. Ternyata sang warok tidak mempan senjata tajam! Tidak percuma dia
menyebut diri sebagai Warok Wesi.
“Pembokong sialan!” rutuk
Warok Wesi. Dia memutar tubuh. Tangan kirinya bergerak mencekik leher si
perajurit. Lalu seperti seorang membelah kelapa, golok di tangannya menetak
batok kepala perajurit itu!
“Keparat!” maki Warok Wesi
ketika muncratan darah membasahi muka dan pakaiannya. Dengan lengan bajunya dia
menyeka noda darah lalu melompat turun dari atas kuda dan lari ke arah kereta.
Di atas pohon si gendut
berpeci hitam kupluk menepuk bahu si gondrong.
“Sobatku gondrong! Aku mau
tanya, sebetulnya kenapa kau mencariku?!”
“Soal kecil saja,” jawab
Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku dimintakan bantuan oleh si Kerbau Bunting
itu…..”
“Kerbau Bunting katamu?” tanya
Bujang Gila Tapak Sakti. Dia berpikir sejenak. Lalu dia berkata.
“Ah! Pasti si Dewa Ketawa itu!
Paman sialan! Dia yang memendam aku sampai karatan di lobang inti es di puncak
gunung Mahameru! Bantuan apa yang dimintanya? Sudah! Kau tak usah menjawab! Aku
sudah tahu!”
“Tahu apa?” tanya Wiro
menguji.
“Orang tua itu pasti minta
bantuanmu untuk mendapatkan dua buah bonang kelengkapan gamelan keraton!
Betulkan…….?!”
Wiro mengangguk lalu cepat
berkata “Sudah dulu. Urusan dua buah bonang itu kita tunda dulu. Ada hal yang
lebih penting!”
“Apa maksudmu?”
Pendekar 212 menunjuk ke arah
kereta.
“Kau lihat sendiri. Orang
jahat itu berhasil merobohkan dua belas pengawal. Kini dia tengah menuju kereta
hendak menculik puteri patih kerajaan bernama Sekar Mindi. Apakah kau tidak
akan menolongnya?!”
“Perduli amat dengan gadis
itu. Orang-orangnya tadi menghinaku habishabisan….”
“Tapi gadis itu tidak jahat
padamu.”
Si gendut tertawa sambil
berkipas-kipas. “Kau suka padanya. Pasti!”
Wiro menyeringai. Dia
memandang ke bawah pohon. Ke arah kereta. “Lihat, Warok Wesi tengah menarik
tubuh Sekar Mindi dengna paksa dari dalam kereta….. Kau masih tak mau menolong
gadis itu?”
“Kalau kau suka padanya, kau saja
yang menolongnya!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti.
“Kau gendut sialan!” maki Wiro
sambil menggaruk kepala. Sekali dia berkelebat tubuhnya melayang ke arah kereta
dan menjejak tanah tepat di belakang Warok Wesi yang tengah berusaha menarik
Sekar Mindi keluar dari dalam kereta. Gadis ini berusaha bertahan sambil
berpegangan pada pinggiran pintu. Namun apalah artinya kekuatan seorang
perempuan dibanding dengan kekuatan Warok Wesi seorang lelaki bertubuh kokoh
besar yang sudah dirasuk setan. Sekali lagi dia merengut maka Sekar Mindi
akhirnya keluar dari kereta. Dengan cepat hendak menotok gadis ini lalu
mendukungnya di bahu kiri. Namun tiba-tiba dia merasakan ada seseorang menepuk
bahunya sambil memanggil.
“Warok….”
Warok Wesi menoleh. Begitu
kepalanya menghadap ke belakang satu jotosan melanda hidungnya. Pegangannya
pada pinggang Sekar Mindi terlepas. Kepalanya seperti dihantam palu godam.
Sakitnya bukan main hingga dia menjerit keras. Tetapi hebatnya jangankan
berdarah atau cidera, hidung itu tidak berubah sedikitpun kecuali hanya
berwarna kemerah-merahan.
“Kurang ajar! Setan alas ini
ternyata kebal senjata tajam kebal pukulan!” kata Wiro dalam hati. “Tak ada
jalan lain,aku harus melumpuhkannya dengna totokan!” lalu Wiro hendak menotok.
Rupanya Warok Wesi tahu apa yang hendak dikerjakan lawan. Didahului dengan
bentakan garang kepala rampok ini menerkam ke depan. Kedua tangannya seperti
hendak mencengkeram leher Pendekar 212. Tapi tahu-tahu salah satu tangannya
menggebuk ke arah perut.
Bukkk!
Murid Eyang Sinto Gendeng dari
Gunung Gede itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terangkat sampai setengah tombak
sebelum mencelat beberapa langkah.
Dari atas pohon terdengar
suara tertawa bergelak. Yang tertawa bukan lain adalah Bujang Gila Tapak Sakti.
“Sobatku Wiro. Bagaimana
rasanya digelitik si Warok?!” mengejek si gendut.
“Kentut busuk!” maki Pendekar
212 seraya bangkit berdiri. Baru saja tegak, Warok Wesi sudah berada di
hadapannya melancarkan satu tendangan deras. Untung Wiro masih sempat jatuhkan
diri dan berguling menjauh. Namun lagilagi begitu dia berdiri kembali kepala
penjahat itu sudah berada di dekatnya dan siap melancarkan serangan ganas. Kali
ini Pendekar 212 tidak mau memberi hati lagi. Dia menahan serangan lawan dengan
jurus-jurus ilmu silat orang gila yang didapatnya dari Tua Gila dari pulau
Andalas. Begitu lawan kebingungan dan putus asa karena semua serangannya luput
maka Wiro lalu menggempur dengan jurus-jurus kilat : membuka jendela memanah
matahari, di balik gunung memukul halilintar, kincir padi berputar dan kepala
naga menyusup awan. Empat pukulan melanda muka, dada dan perut Warok Wesi.
Mukanya babak belur. Tubuhnya yang tinggi besar terbanting ke tanah. Untuk
beberapa lama Warok Wesi terkapa tak bergerak.
“Tamat riwayatmu!” kata Wiro
puas. Tapi kedua matanya jadi mendelik sewaktu perlahan-lahan tubh yang
terkapar itu bergerak. Lalu tiba-tiba Warok Wesi membuat satu lompatan dan
tahu-tahu dia sudah berdiri di hadapan murid Sinto Gendeng itu.
“Iblis satu ini benar-benar
kebal!” desis Pendekar 212. Dia mengerahkan tenaga dalam siap untuk menghantam
dengan pukulan sakti sinar matahari. Justru pada saat itulah terdenga suara
tawa bergelak dari atas pohon.
“Sobatku Pendekar 212! Coba
kau bawa setan alas itu ke bawah pohon ini. Aku akan tunjukkan padamu bagaimana
memusnahkan kekebalan dirinya!”
Wiro mendongak ke atas pohon
di mana si gendut Bujang Gila Tapak Sakti duduk berjuntai uncang-uncang kaki
sambil berkipas-kipas.
Melihat ke atas pohon,
melupakan kedudukan lawan merupakan satu kesalahan besar yang dibuat Wiro
Sableng. Di saat dai bertindak lengah itu Warok Wesi melompat sambil
melayangkan jotosannya ke muka Wiro.
Pendekar212 merasakan
kepalanya seolah meledak dan tanggal dari lehernya. Tubuhnya mencelat jauh dan
terbanting tepat di batang pohon di mana Bujang Gila Tapak Sakti duduk
berjuntai. Untuk beberapa lamanya pemandangannya gelap berkunang-kunang. Dia
hanya melihat samar-samar Warok Wesi melangkah mendekatinya. Tangan kanannya
memegang sebilah golok berdarah.
Di hadapan Wiro, Warok Wesi
tegak sesaat. Mukanya seganas iblis. Seringai setan bermain di mulutnya.
“Aku tidak pernah memimpikan
hari ini akan membunuh tokoh paling terkenal dalam dunia persilatan. Pendekar
212 hari ini tamat riwayatmu!”
Tangan Warok Wesi yang
memegang golok mengayun ke bawah. Tapi baru setengah jalan bacokan maut itu
berjalan tiba-tiba dari atas pohon mencurah jatuh cairan kuning. Cairan ini
jatuh tepat menimpa kepala dan tubuh Warok Wesi Randuabang, malah bermuncratan
mengenai Pendekar 212 yang duduk tersandar di batang pohon.
Dari mulut Warok Wesi keluar
suara raungan dahsyat. Orang ini melangkah mundur dengan muka pucat lalu
mencak-mencak seperti orang gila. Kedua tangannya berulang kali memegangi
kepala dan bagian tubuhnya yang kecurahan cairan kuning dari atas pohon. Lain
halnya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu muncratan air kuning dan hangat
itu menerpa tubuhnya, dia segera tahu apa yang terjadi.
“Bujang Gila keparat! Apa yang
kau lakukan? Kuputus burungmu!” Wiro berteriak lalu berdiri.
Si gendut di cabang pohon
tertawa gelak-gelak. “Kau harus berterima kasih telah kukencingi!” berseru
Bujang Gila Tapak Sakti.
“Setan alas! Enak saja kau
bicara begitu! Lihat mukaku basah kejatuhan cipratan air kencingmu di kepala
Warok sialan itu!”
“Anak tolol! Justru itu aku
bilang kau harus berterima aksih. Kau Cuma kecipratan. Lihat si Warok. Dia
malah basah kuyup. Air kencingku membuat ilmu kebalnya musnah tak manjur lagi !
”
“Pembohong besar ! Konyol ! ”
teriak Wiro masih sangat jengkel. “Turunlah biar kugebuk tubuhmu sampai jadi
pepes ! ”
Bujang Gila Tapak Sakti
tertawa mengekeh. “Kalau kau tak percaya mengapa tidak dicoba ? Coba kau hajar
Warok itu sekali lagi ! ”
Pendekar 212 garuk-garuk
kepala. Diperhatikannya keadaan Warok Wesi yang mencak-mencak, meraung sambil
coba mengeringkan kepala dan tubuhnya yang basah dengan kedua tangan. Tentu
saja tidak mungkin baginya untuk mengeringkan air kencing Bujang Gila Tapak
Sakti itu. Dengan wajah sangat ketakutan dia lari ke kudanya, berusaha
melarikan diri dari tempat itu. Apalagi tiga orang anak buahnya yang terakhir
sudah menemui ajal pula di tangan Angling Kamesworo.
“Mungkin apa yang diucapkan si
gendut sialan itu benar. Kalau tidak mengapa Warok Wesi sampai berusaha
melarikan diri dengan sangat ketakutan seperti itu. ” Memikir sampai disitu
Pendekar 212 segera melompat mengejar Warok Wesi yang saat itu baru saja
menggebrak kudanya hendak melarikan diri. Murid Sinto Gendeng ini masih sempat
mencekal pergelangan kaki kiri Warok Wesi lalu ditariknya kencang-kencang, Tubuh
Warok Wesi terbetot dari kuda tunggangannya. Binatang ini terus saja berlari.
Akibatnya sang Warok jatuh terbanting ke tanah. Sebelum dia sempat bangkit
tendangann kaki kanan Wiro bersarang di sisi kanannya.
Kraaakk !
Warok Wesi meraung keras.
Empat tulang iganya berpatahan ! Dia berusaha bangkit. Namun baru setengah
duduk sebilah golok berkelebat membacok lehernya. Sekali lagi terdengar suara
raungan keluar dari tenggorokan Warok Wesi. Lalu tubuhnya roboh kembali. Sekali
ini tak bergerak lagi. Mati dengna leher hampir putus.
Perlahan-lahan Angling
Kameswowo menjatuhkan golok yang dipegangnya yang barusan dipakainya untuk
membunuh kepala rampok hutan Randuabang yaitu Warok Wesi Randuabang. Lalu dia
menoleh ke atas pohon.
“Anak muda bernama Bujang Gila
Tapak Sakti, turunlah. Kau telah berbuat jasa pada kerajaan. Menyelamatkan
puteri patih. ”
“Ah siapa bilang aku menolong.
Tadi aku kan Cuma kencing saja ! ”
Pendekar 212 tersenyum sambil
garuk-garuk kepala.
“Gendut!” seru Wiro. “Kau
turun sajalah! Orang mau bicara padamu ! ”
Mendengar ucapan murid Sinto
Gendeng itu Bujang Gila Tapak Sakti melompat turun dari atas pohon. Tapi dia
tidak melompat turun ke tempat di mana Wiro dan Angling Kamesworo berada
melainkan ke jurusan lain. Begitu dia
berkelebat si gendut inipun
lenyap dari pemandangan.
“Astaga! Dia kabur!” seru
Wiro. “Aku harus mengejarnya!”
“Tunggu!” kata Angling
Kamesworo.
“Ada apa perwira?” tanya Wiro.
“Sobat muda berjuluk Pendekar
212, kau sudah kenal lama dengan anak gendut aneh itu?”
“Belum lama. Tapi dia telah
beberapakali menolongku.”
“Kau tahu dimana bisa
mencarinya? Tahu tempat kediamannya mungkin?”
Wiro gelengkan kepala.
“Ada perlu apa kau hendak
mengejarnya?” tanya Angling Kamesworo lebih lanjut.
“Ada urusan besar yang harus
diselesaikannya.”
“Menyangkut dua bonang milik
keraton itu bukan?”
Wiro jadi garuk-garuk kepala.
“Pendekar 212. Ketahuilah, kau
juga ikut berjasa menyelamatkan puteri patih kerajaan. Jika kau mau ikut aku ke
kotaraja, niscaya patih kerajaan akan memberikan hadiah besar padamu……”
Wiro tersenyum. “Perwira, aku
harus segera mengejar si gendut itu.”
“Baiklah sobat. Atas nama
kerajaan aku berterima kasih padamu. Satu hal harap kau ingat baik-baik. Jika
dua buah bonang pusaka itu kau temui, harap kau suka mengembalikannya ke
keraton.”
Murid Eyang Sinto Gendeng
mengangguk lalu tinggalkan tempat itu. Dia tak tahu harus mengejar si gendut ke
mana.
Sambil berlari dia menggerutu
seorang diri. “Kalau tidak diminta oleh Dewa Ketawa, aku tak akan mau menangani
urusan gila brengsek ini ! ”
ENAM
Biduk kecil itu meninggalkan
Tanjung Lenggasana tepat dipertengahan malam Jum’at Wage ketika bulan purnama
empat belsa hari tertutup oleh ketebalan awan kelabu kehitaman. Laut berombak
tenang. Angin bertiup datar. Penumpang biduk, seorang kakek berambut panjang
riap-riapan sampai ke punggung duduk di bagian belakang biduk. Tangan kirinya
yang kurus tinggal kulit pembalut tulang hanya sesekali saja mengayuh kayu
pendayung. Namun hebatnya biduk kecil itu sekali didayung mampu meluncur jauh.
Berlainan dengan tangan
kirinya si kakek memiliki tangna kanan yang tidak pantas disebut tangan. Karena
sebatas siku ke bawah tangan itu berbentuk sebuah gergaji besi dengan
gigi-giginya yang besar runcing berkilau mengerikan.
Kakek ini duduk memandang ke
arah kejauhan dalam kegelapan malam. Dia rupanya tengah memusatkan pikirannya
ke suatu titik yang saat itu masih belum terlihat.
Makin jauh ke tengah laut dia
mulai melihat apa yang dibayangkannya dalam pikiran dan coba dilihat dan ditembusnya
dalam kegelapan malam.
“Perempuan itu pasti ada di
sana. Firasatku mengatakan demikian. ” membatin si kakek. Lalu dikayuhnya
biduknya dua kali berturu-turut. Biduk kayu itu laksana terbang, meluncur di
permukaan air laut menembus kegalapan malam. Dia coba sekali lagi untuk
memastikan kebenaran firasatnya. Segala pikiran dan titik pandang dipusatkan.
Setelah beberapa lama apa yang dipusatkannya itu mendadak buyar. “Aneh ! Aku
tidak bisa memusatkan pikiran sepenuhnya. Pasti ada yang tidak beres. ”
Si kakek memandang ke timur.
Laut tampak gelap. Dia berpaling ke barat. Sunyi dan gelap. Perlahan-lahan dia
menoleh ke belakang. “Hemm….ini sebabnya…… ” katanya dalam hati. Jauh di
belakangnya tampak sebuah perahu. Berlayar searah dengan tujuannya. “Ada yang
mengikuti. Aku akan coba membuktikan betul tidaknya. ” Lalu kakek berambut
panjang itu mengayuh tiga kali pada bagian kanan biduk dan tiga kali pula pada
samping kiri.
Terdengar suara bersiur ketika
biduk melesat laksana anak panah lepas dari busurnya. Beberapa saat kemudian si
kakek kembali menoleh ke belakang. Perahu yang tadi berada di belakang sana
lenyap tak kelihatan lagi. Si kaakek tersenyum. Hatinya lega. Kini tak ada lagi
yang dirisaukannya. Tapi astaga ! Ketika dia berpaling ke timur ternyata
dilihatnya perahu tadi kini berada sejajar di sebelah kanannya.
“Kurang ajar ! Siapa orang
dalam perahu itu. Kalau dia bisa bermain-main di atas laut dengan perahunya
berarti dia bukan manusia sembarangan. Dia coba mengikutiku. Bahkan sengaja berlayar
mendampingi. Dia hendak mengejekku ! Awas ! Akan kuberi pelajaran padanya ! ”
Kakek itu lalu memegang kayu
pendayung erat-erat di tangan kiri. Kedua matanya dipejamkan. Mulutnya
komat-kamit. Perutnya menggembung lalu mengempis. Hawa sakti yang mengalir dari
perut orang tua itu bergerak memasuki kayu pendayung melalaui tangan kirinya
yang tampak bergetar keras. Sesaat kemudian perlahan-lahan dibukanya kedua
matanya lalu memandang lagi ke arah timur. Perahu tadi kelihatan di arah itu
malah kini tampak lebih memepet mendekat. Si kakek berusaha memperhatikan siapa
penumpang perahu itu adanya. Namun kegelapan malam sulit ditembus.
“Sekarang kau terima hadiah
dariku, penguntit gelap ! ” si kakek berkata. Tangan kirinya yang memegang kayu
pendayung diturunkan ke dalam air laut. Ujung kayu pendayung diarahkannya
tepat-tepat ke jurusan perahu di kejauhan. Lalu genggamannya dilepaskan.
Pendayung itu meluncur satu jengkal di bawah permukaan air laut. Laksana seekor
ikan hantu pendayung melesat ke arah perahu. Tak lama kemudian kelihatan perahu
di jauhan sana hancur berantakan bagian samping kirinya terkena hantaman
pendayung !
Si kakek tertawa mengekeh.
“Tamat riwayatmu penguntit tolol ! ”
Menjelang dinihari si kakek
mulai dapat melihat satu titik hitam di kajauhan. Makin sering dia pergunakan
tangan kiri mengayuh, makin cepat biduk itu meluncur makin tambah besar titik
yang dilihatnya itu. Lama-lama titik itu telah berubah menjadi sebuah noktah
hitam dan akhirnya terlihat jelas. Ternyata adalah sebuah pulau.
Biduk kecil medarat di tepi
pantai. Dia memandang berkeliling. Juga menoleh ke tengah lautan di
belakangnya. Tak kelihatan apa-apa. Debur ombak yang memecah di pantai pulau
menimbulkan suara menggidikkan. Merasa aman si kakek turun dari atas biduknya.
Lalu dengan langkah bergegas dia memasuki bagian pulau yang ditumbuhi berbagai
macam pepohonan dan semak belukar. Melihat caranya berjalan yang begitu cepat
tampaknya kakek ini sudah mengenal seluk beluk pulau itu. Dalam waktu singkat
dia sudah sampai di pertengahan pulau dimana terdapat sebuah gubuk berdinding
kajang beratap rumbia. Anehnya gubuk ini sama sekali tidak ada jendela ataupun
pintunya.
“Nyi bulan, kau masih saja
berlaku aneh seperti dulu-dulu….” Kata si kakek dalam hati. Setelah memandang
berkeliling dan menunggu sesaat maka orang tua ini kemudian berseru. “Nyi Bulan
Seruni Pitaloka! Aku tahu kau ada dalam gubuk. Begini caramu menyambut tamu
yang datang dari jauh?!”
Sunyi sejenak lalu kesunyian
itu dipecahkan oleh suara orang tertawa. Suara tawa perempuan. Bagitu suara
tawa lenyap terdengar sesuatu berkereketan. Bagian atap gubuk yang terbuat dari
rumbia tampak menguak. Tiba-tiba dari celah atap dan dinding melesat keluar
satu sosok tubuh. Di udara dia berjungkir balik beberapa kali sebelum menjejakkan
kedua kaki di tanah dan berdiri tegak hanya satu langkah di hadapan si kakek
hingga orang tua itu sesaat jadi tergagau dan mundur. Betapa tidak. Yang
berdiri di depannya adalah seorang nenek berwajah buruk kalau tidak mau
dikatakan menyeramkan. Hidungnya yang panjang bengkok dicanteli sebuah anting
bulat berwarna merah. Mulutnya yang berbibir tebal kelihatan pencong perot.
Yang menggidikkan adalah sepasang matanya. Mata si nenek berwarna hitam semua,
tak ada putihnya! Lalu rambutnya panjang berkeriting aneh dan menebar bau
busuk.
Melihat si kakek tergagau atas
kemunculannya yang mendadak si nenek tertawa mengekeh sambil
menggoyang-goyangkan kepalanya hingga rambutnya yang busuk menebar bau tak
sedap ke seantero tempat.
“Siapa kau?!” sentak si kakek.
Si nenek menjawab dengan tawa
melengking.
“Kakek jelek. Kalau kau punya
peradatan sebagai pendatang kaulah yangharus memperkenalkan diri lebih dulu.
Tapi malam ini aku sedang senang. Aku bisa memaafkan keteledoranmu. Biar aku
yang menyebut siapa dirimu. Kakek jelek, bukankah kau orangnya yang dikenal
dengan gelar si Gergaji Setan?!”
Dalam hatinya si kakek merasa
terkejut. “Aku belum pernah mengenal perempuan celaka ini. Bagaimana dia tahu
namauku?” “Gergaji Setan, lekas bilang apa keperluanmu menginjakkan kaki di
pulau Sempu ini!” “Aku ke sini untuk mencari perempuan bernama Nyi Bulan Seruni
Pitaloka!” jawab si kakek.
“Hemm….. Rupanya kau satu dari
sekian banyak lelaki hidung belang yang tergila-gila pada Nyi Bulan!”
“Jangan bicara ngaco! Aku
datang atas tugas yang diberikan kerajaan!”
“Ah! Hebat betul! Kerajaan
mempercayai satu tugas padamu orang yang selama ini dikenal bukan sebagai tokoh
silat baik-baik….”
“Siapa aku tidak usah
dipersoalkan! Tugasku lebih penting!”
“Kalau kau memang mendapat
tugas dari kerajaan, apakah kau bisa memperlihatkan surat tugasmu?”
“Kau tidak layak memeriksa!
Apalagi melihat surat tugas kerajaan!”
“Hemmm….. Beigut? Kalau begitu
lekas putar jidatmu, angkat kaki dan pantatmu dari sini. Tinggalkan pulau Sempu
selagi kau bisa bernafas!”
Dalam dunia persilatan si
Gergaji Setan cukup dikenal dan merupakan satu tokoh silat yang disegani
walaupun dia bukan termasuk golongan putih. Ucapan si nenek tadi jelas
dirasakannya sangat merendahkan dan menghina dirinya. Namun karena dia belum
mengenal dan mengetahui siapa adanya nenek ini maka dia tidak mau bertindak
ceroboh.
“Soal pergi bukan soal susah.
Hanya saja aku ingin tahu siapa kau sebenarnya dan aku tidak akan pergi sebelum
ketemu dengan Nyi Bulan Seruni Pitaloka.”
“Kau ternyat tua bangka keras
kepala. Tidak melihat tingginya gunung Mahameru di depan mata! Ketahuilah aku
adalah pembantu Nyi Bulan Seruni. Semua urusan dengan Nyi Bulan harus
disampaikan lewat diriku!”
Si kakek manggut-manggut.
Tangan kirinya menusap-usap mata gergaji pada sambungan tangan sebelah kanan.
“Ternyata kau cuma seorang
pembantu. Siapa sudi berurusan dengan seorang kacung buruk sepertimu?!”
Paras buruk si nenek kelihatan
berubah jadi tambah buruk. Matanya bersitkan sinar hitam. Lalut erdengar
tawanya melengking panjang.
“Tamu tak tahu diri.
Menyingkirlah sebelum aku menajdi marah!”
“Nenek buruk! Jangan tolol!
Lebih baik lekas kau panggilkan majikanmu! Aku kau muntah bicara terlalu lama
dengan perempuan busuk bau sepertimu!”
“Tua bangka keparat! Lihat rambutku!”
teriak si nenek marah sekali.
Perempuan tua itu lalu
goyangkan kepalanya. Rambutnya yang panjang keriting bergerak aneh, tidak
ubahnya seperti senjata yang membabat ke arah kepala si Gergaji Setan.
Si kakek yang mengenakan jubah
biru tak tinggal diam. Dia kebutkan lengan jubahnya sebelah kiri. Terdengar
suara berkesiuran. Serangan tangan kosong si nenek buyar berantakan. Tubuhnya
terjajar sampai tiga langkah. Di saat itu si Gergaji Setan menekan. Dengan
ganas tanagn kanannya yang berupa gergaji besi itu membabat ke dada si nenek.
Perempuan tua ini terlambat mengelak. Gergaji Setan melanda dadanya. Tak dapat
tidak dada itu akan terbabat dalam sampai setengahnya. Tapi apa yang terjadi
satu keanehan. Terdengar suara berkeresakan yang keras seolah gergaji besi
memapas benda keras.
Si Gergaji Setan terbelalak
kaget dan melompat mundur. Diperhatikannya mata gergajinya ternyata semua masih
utuh. Lalu dia memperhatikan ke depan. Pakaian si nenek robek besar di bagian
dada. Tapi dia sama sekali tidak terluka. Mata si kakek memebelalak ketika
melihat pada dada kiri kanan si nenek menempel dua buah benda bulat kuning yang
ada tonjolannya di bagian tengah.
“Bonang penerus slindro dan
bonang penerus pelog!” seru si kakek ketika dia mengenali benda paa yang ada di
dada si nenek. Justru kemunculannya di pulau itu adalah dalan tugas mencari dua
buah bebunyian pelengkap gemelan keraton itu!
“Kacung Nyi Bulan!” seru si
Gergaji Setan. “Jika kau mau menyerahkan dua buah bonang itu secara baik-baik,
aku berjanji mengampuni selembar nyawamu!”
“Ha….ha hebatnya! Bagaimana
kalau aku punyai dua lembar nyawa?!” ujar si nenek pula mengejek lalu tertawa
gelak-gelak.
“Kalau begitu biar aku ambil
dua-duanya!” kata si kakek dengan marah. Sekali berkelebat maka dia sudah menyerang
perempuan tua itu dengan teramat ganas. Serangannya susul menyusul laksana deru
ombak menghempas karang. Si nenek dibuat sibuk dan harus bertindak cepat kalau
tidak mau kehilangan anggota badannya putus digilas tangan gergaji. Senjata
yang menjadi satu bagian dengan tangan yang buntung itu menggerus ke dada,
membabat ke lengan, kadang-kadang menukik ke perut lalu berbalik tidak terduga
ke arah leher!
Dalam satu gebrakan hebat pada
jurus kedua puluh sembilan kaki kiri nenek pembantu Nyi Bulan terpeleset.
Tubuhnya tak ampun lagi jatuh terduduk di tanah. Sebelum dia sempat berdiri
lawan menyorongkan gergaji mautnya ke leher si nenek.
“Berani kau bergerak putus
lehermu!” ancam si Gergaji Setan.
“Berani kau membunuhnya kubuat
leleh sekujur tubuhmu!” satu suara tibatiba terdengar membentak.
TUJUH
Si Gergaji Setan terkejut lalu
berpaling. Si nenek yang lehernya hampir digorok juga berusaha memalingkan
kepala ke arah datangnya suara membentak itu. Saat itu malam mulai menjelang
pagi. Udara mulai terang-terang tanah. Si kakek dan si nenek melihat seorang
pemuda bertubuh kekar, berambut gondrong tegak sekitar sepuluh langkah kanan.
Kedua kakinya terkembang sedagn tangan kanannya mulai dari siku sampai ke ujung
jari kelihatan memancarkan sinar putih perak menyilaukan. Tak berapa jauh dari
pemuda ini, sedikit agak ke belakang berdiri pula seorang pemuda lain berbadan
gemuk luar biasa, mengenakan baju kesempitan dan memakai peci hitam kupluk di
atas kepalanya hampir menutupi alis.
Mata dan kulit kening si nenek
tampak berkerenyit. Dia mengenali siapa pemuda gendut gembrot itu tapi tidak
mengetahui siapa adanya pemuda gagah berambut gondrong yang tengah mengancam si
Gergaji Setan dengan satu pukulan sakti.
Sebaliknya si Gergaji Setan
mengenali siapa adanya si pemuda gondrong dan tidak tahu siapa adanya si
gendut.
“Pendekar Kapak Maut 212 Wiro
Sableng…. ” berkata Gergaji Setan. “Bagaimanadi abisa muncul di pulau ini ! Apa
keperluannya ! Jangan-jangan…. Dia mengancamku dengan pukulan sinar matahari !
Gila betul!. Sekalipun aku mampu menggorok leher perempuan celaka ini tapi
rasanya aku tak bakal bisa lolos dari hantaman pukulan sakti itu!” Gergaji
Setan berpikir sesaat.
Si nenek yang mengaku pembantu
Nyi Bulan Seruni Pitaloka capat membaca situasi. Kalaupun pemuda gagah itu
mampu membunuh si Gergaji Setan dengan pukulan saktinya, lehernya sendiri tak
mungkin lolos dari kematian digorok gergaji lawan. Maka sebelum si kakek
mengambil keputusan dia cepat mengangkat tangan kirinya dan melambai memberi
tanda pada semua orang.
“Pemuda rambut gondrong!
Jangan teruskan seranganmu! Kau tak bakal mampu menyelamatkan nyawaku. Kakek
setan keparat ini orangnya nekad! Biar aku serahkan dua buah barang milik Nyi
Bulan yang dicari dan diinginkannya! Asal saja dia tidak menggorokku! Gergaji
Setan, kau mau bersumpah tidak akan membunuhku jika dua buah bonang yang ada di
balik pakaianku aku serahkan padamu?!”
Gergaji Setan idak berpikir
panjang. Jika orang sudah berkata begitu mengapa dia harus memperpanjang
urusan? Maka cepat dia berkata.
“Aku bersumpah! Tapi awas
kalau kau berani menipu!”
Si nenek menyeringai. Kedua
tangannya bergerak ke arah dada. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan dua
buah benda bundar berwarna kuning ang bagian tengahnya menonjol ke atas.
Pendekar 212 dan Bujang Gila
Tapak Sakti yang tegak tak jauh dari tempat itu sama-sama saling pandang.
“Bonang penerus slindro dan
bonang penerus pelog…..?” bisik Bujang Gila Tapak Sakti. Wiro mengangguk.
“Heran. Bagaimana dua peralatan keraton yang hilang itu berada di tangan si
nenek tak dikenal ini?’
“Nenek!” Bujang Gila Tapak
Sakti berseru. “Kau harus menyerahkan dua buah bonang milik Keraton itu
padaku!”
“Gendut! Aku tidak berurusan
denganmu! Tapi dengan kakek berjuluk Gergaji Setan ini! Dia utusan Kerajaan
yang ditugasi mencari dua buah bonang ini! Aku merasa tidak ada gunanya menahan
alat bebunyian ini lebih lama…..” Lalu si nenek serahkan dua buah bonang itu
pada si Gergaji Setan yang segera diterima dan cepatcepat dimasukkan ke dalam
jubah birunya. Perlahan-lahan tangan gergajinya dijauhkan dari leher si nenek.
“Nenek!” kini Wiro yang
berseru. “Bagaimana kau tahu kalau dia memang betul-betul utusan Kerajaan?!”
“Apa perdulimu!” menyahuti si
nenek yang merasa nyawanya kembali setelah senjata maut yang tadi menempel di
lehernya diangakt ke atas.
Gergaji Setan menyeringai.
Dengan tangan kirinya dikeluarkan secarik kertas lalu dilemparkannya ke arah
Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Itu surat tugasku! Ada cap
Kerajaan! Kau lihat dan baca sendiri kalau tidak percaya!” kata si Gergaji
Setan. Lalu sekali dia bergerak, tubuhnya sudah melesat lima langkah.
“Gergaji Setan! Kau
membatalkan niatmu menemui majikanku Nyi Bulan Seruni Pitaloka?!” berseru si
nenek.
Tanpa berpaling si Gergaji
Setan menyahuti. “Perlu apa lagi aku menemui janda itu. Dua buah bonang pusaka
Keraton sudah ada padaku!”
Sementara itu begitu si
Gergaji Setan berkelebat pergi Wiro memberi isyarat pada Bujang Gila Tapak
Sakti yang tegak di sampingnya agar si gendut ini segera mengambil kertas yang
tadi dilemparkan si Gergaji Setan. Pemuda gendut ini cepat mengambil kertas
itu. Dia kelihatan memutar-mutar dan keningnya berkerut-kerut.
“Sialan!” damprat Wiro. “Kalau
tidak bisa baca bilang saja!” Wiro lalu menarik kertas itu dari tangan Bujang
Gila Tapak Sakti yang hanya bisa menyeringai tersipu-sipu.
Cepta Wiro meneliti dan
membaca surat tugas itu. Di bagian bawah memang ada cap Kerajaan. Sebelumnya
murid Eyang Sinto Gendeng sudah sering melihat surat-surat penting yang
dikeluarkan Kerajaan. Sekali melihat saja dia segera mengetahui bahwa cap
Kerajaan itu palsu. Berarti surat tugas itupun palsu!
“Surat ini palsu!” teriak
Pendekar 212 lalu berpaling ke arah larinya si Gergaji Setan. Saat itu si kakek
sudah bergerak sejauh dua puluh langkah. Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti
kemudian sama menoleh pada si nenek berhidung bengkok.
Anehnya perempuan tua berwajah
buruk ini tampak menyeringai lalu terdengar suara tawanya mula-mula perlahan
kemudian mengeras tinggi.
“Pagi-pagi aku sudah tahu
kalau surat itu palsu! Siapa yang tidak kenal dengan si Gergaji Setan? Tokoh
silat berhati culas yang bisa jadi ular kepala lima!”
“Tapi dua buah bonang itu
sudah jatuh ke tangannya! Apa yang hendak kau lakukan?!” ujar Wiro sambil
garuk-garuk kepala.
“Betul! Kalau kau sudah tahu
surat itu palsu, mengapa dua buah bonang pusaka itu kau serahkan padanya.
Jangan-jangan kau berkomplot dengan dia. Karena melihat kedatangan kami! Hayo
lekas katakan apa yang akan kau lakukan?!” menukas Bujang Gila Tapak Sakti.
“Lihat saja!” jawab si nenek
tak acuh. Lalu dia melompat bangkit. Pandangannya diarahkan pada si Gergaji
Setan yang saat itu berada hampir dua puluh langkah di kejauhan dan siap lenyap
di balik serumpunan semak belukar.
Dari tempatnya berdiri baik
Pendekar 212 maupun Bujang Gila Tapak Sakti dapat melihat bagaimana sepasang
mata si nenek yang keseluruhannya berwarna hitam mengeluarkan kilatan
menggidikkan. Lalu perempuan ini tampak anggukkan kepalanya dua kali
berturut-turut.
Wuss!
Wusss!
Dari kedua mata si nenek melesat
keluar dua larik sinar hitam berbentuk dua garis lurus. Udara di tempat itu
serta merta terasa panas. Dua larik sinar hitam berkiblat ke arah si Gergaji
Setan. Kakek ini baru sadar kalau dirinya diancam bahaya ketika dua larik sinar
sudah begitu dekat. Dia berpaling dan berseru keras lalu cepat menyingkir.
Namun terlambat. Dua larik sinar hitam keburu menghantam punggung dan
pinggangnya.
Terdengar jeritan si Gergaji
Setan sekali lagi. Tubuhnya terkapar di samping semak belukar. Bagian punggung
berlobang besar dan mengepulkan asap berbau sangitnya daging tubuh yang
terbakar. Bagian pinggang laksana dipanggang dan hampir putus. Si Gergaji Setan
menemui ajal secara sangat mengerikan.
Bujang Gila Tapak Sakti
leletkan lidah sementara Pendekar 212 Wiro Sableng hanya bisa menyaksikan
kejadian itu sambil garuk-garuk kepala.
“Panasnya udara ini! Aku tak
tahan!” kata Bujang Gila Tapak Sakti lalu keluarkan kipas kertasnya dan mulai
berkipas-kipas. “Aku harus pergi dari sini tapi dia buah bonang itu harus kuselamatkan
lebih dulu!” Lalu si gendut ini hendak melangkah ke arah mayat si Gergaji
Setan. Namun langkahnya tertahan ketika dia mendengar suara tertawa bergerak
dari arah depan sementara Wiro dan si nenek tampak tercekat.
Sesaat kemudian dari balik
semak belukar di dekat mana mayat si Gergaji Setan terkapar muncul satu sosok
tubuh gendut, berambut putih yang digulung ke atas, bermata sipit dan
menunggangi seekor keledai kurus pendek.
“Dewa Ketawa!” ujar Wiro.
Orang gendut yang barusan
datang menunggang keledai memang benar si kakek aneh yang dikenal dengan
panggilan Dewa Ketawa adanya. Dengan matanya yang sipit dia memandang si neenk,
Wiro dan agak terkejut ketika melihat Bujang Gila Tapak Sakti juga ada di situ.
“Kerbau Bunting! Ada apa kau
tahu-tahu muncul di sini?!” Wiro menegur.
Si kakek meledak tawanya.
“Aku senang kau masih mau
memanggil aku dengan sebutan Kerbau Bunting itu ! Ha…ha….ha… ! Pendekar 212
apakah kau ada baik-baik saja ? Ketahuilah kita semua berada di sini dengan
tujuan yang sama. Mencar dan menemukan kembali dua buah bonang pusaka milik
Keraton. Gusti Allah menolongku dan memberi keberuntungan padaku hingga aku
tidak terlambat !” Lalu si kakek gendut ini turun dari keledainya. Dengan cepat
dia memeriksa dada pakaian si Gergaji Setan. Lalu tampak dia mengeluarkan dua
buah bonang yang terbuat dari besi kuning itu dan memasukkannya ke dalam
kantong perbekalan yang tergantung di leher keledai. Sambil tertawa-tawa si
kakek lambaikan tangannya. “Selamat tinggal kalian bertiga. Aku merasa tak ada
kepentingan lain lagi di pulau ini !”
“Tunggu ! Aku punya
kepentingan !” teriak Bujang Gila Tapak Sakti.
Dewa Ketawa menoleh pada
pemuda gendut itu. Sambil naik ke punggung keledainya dia berkata. “Ah, kau
rupanya. Kucari ke puncak Mahamer. Kukira kau sudah jadi batu. Mungkin juga
sudah jadi santapan binatang buas. Nyatanya kau masih hidup dan ada di sini !
Ha….ha…..ha…. ! Coba kau katakan apa kepentinganmu !”
“Pertama, kau harus serahkan
kedua bonang itu padaku ! Kedua aku ingin menggebukmu. Tujuh tahun kau
memendamku dalam lobang inti es !”
Dewa Ketawa tertawa
gelak-gelak. “Apa yang kau katakan itu bukan kepentingan ! Pertama, dua buah
bonang itu bukan milikmu. Kedua kau kuhukum karena memang berbuat salah yaitu
mencuri dua buah bonang ini ! Ciluk baaaaa. Maluuuuu…… !”
Diejek begitu rupa Bujang Gila
Tapak Sakti jadi naik darah. Sekali lompat saja dia sudah sampai di depan Dewa
Ketawa. Tapi si kakek gendut tidak kalah cepat. Dia menggebrak pinggul
keledainya. Binatang dan penunggangnya melesat ke depan, lenyap di balik
pepohonan.
“Paman jahat sialan ! Apa kau
kira bisa kabur seenaknya ?!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti. Dia coba
mengejar. Tapi dari arah depan ada satu gelombang angin menghantam dengan
tiba-tiba. Demikian derasnya gelombang ini hingga pemuda gemuk itu walaupun
memiliki bobot hampir 150 kati tetap saja terpelanting dan jatuh tunggang
langgang.
Bujang Gila Tapak Sakti
membalas dengan mendorongkan telapak tangan kanannya. Terdengar suara
berkesiuran ketika ada angin kencang menggebubu keluar dari telapak tangan si
pemuda. Braak….! Braaaakkkkkk! Semak belukar rambas berpelantingan. Pohon-pohon
kecil bertumbangan. Namun selanjutnya serangan angin sakti yang dilepaskan
Bujang Gila Tapak Sakti itu hanya melanda tampat kosong.
“Keparat sialan! Paman celaka
itu akan kukejar kemanapun dia pergi!” serapah si pemuda lalu melompat dan
berkelebat ke arah lenyapnya Dewa Ketawa. Mengejar sampai puluhan tombak Bujang
gila Tapak Sakti masih belum menemukan si orang tua. Dia terus mengejar hingga
akhirnya sampai di tepi pantai. Saat itu udara telah semakin terang. Langit di
ufuk timur tampak benderang. Memandang ke tengah laut Bujang Gila Tapak Sakti
jadi melengak, tarik nafas dalam dan bantingkan kakinya ke pasir pantai.
Saat itu jauh di tengah laut tampak
sebuah perahu meluncur dengan cepat memecah gelombang pagi. Di atas perahu ada
seekor keledai dan di bagian belakang tampak orang tua gendut berjuluk Dewa
Ketawa itu!
“Setan! Setaaaannnnnn!” teriak
Bujang Gila Tapak Sakti sambil meninjuninjukan tangan kanannya ke telapak
tangan kiri. Dia mencebur masuk ke dalam air laut. Kedua tangannya dipukulkan
ke atas air. Terjadilah suatu yang luar biasa. Dengan kesaktiannya air laut
yang dipukul itu bergulung besar membentuk gelombang tinggi lalu menghantam ke
tengah laut tempat beradanya perahu Dewa Ketawa. Perahu itu sempat bergoncang
keras oleh hantaman gelombang yang memukulnya. Namun perahu itu sudah berada
terlalu jauh ke tengah. Hantaman pukulan sakti Bujang Gila yang membuat
gelombang besar itu hanya mampu menggoncangkannya, sama sekali tidak mampu
membuatnya terbalik!
Sadar dia tidak bisa berbuat
banyak lagi, sambil memaki panjang pendek Bujang Gila Tapak Sakti keluar dari
laut. Dia menghampiri sebatang pohon kelapa besar.
Tangan kanannya bergerak.
Braaakk!
Pohon kelapa itu berderak
patah lalu tumbang. Si pemuda gosok-gosokkankedua tangannya hingga ada hawa
dingin mengalir. Lalu dengan kesaktian luar biasa yang dimilikinya, hanya
dengan mempergunakan tangan kosong, batang kelapa besar itu dibentuknya menjadi
sebuah perahu ramping. Selesai membuat perahu dia mematahkan dua batang kayu
untuk dijadikan pendayung.
Ketika Pendekar 212 Wiro
Sableng yang mengikuti Bujang Gila Tapak Sakti sampai pula di tepi pantai,
dilihatnya pemuda gendut itu sudah berada di tengah lautan, duduk di atas
batang kelapa berbentuk perahu seperti menunggang kuda. Kedua tangannya kiri
kanan bergerak cepat mendayung hingga sebentar saja perahu itu semakin jauh ke
tengah dan akhirnya lenyap dari pemandangan Pendekar 212 Wiro Sableng.
Kini murid Eyang Sinto Gendeng
dari gunung Gede inilah yang memaki panjang pendek karena ditinggal begitu
saja. Padahal sebelumnya mereka datang ke pulau itu bersama-sama. Di tengah
laut perahu mereka hancur berantakan oleh pendayung yang dihantamkan si Gergaji
Setan dan mati-matian keduanya terpaksa berenang untuk mencapai pulau Sempu
yang menjadi tujuan mereka di mana diketahui beradanya Nyi Bulan Seruni
Pitaloka yang menguasai dua buah bonang perlengkapan gamelan Keraton.
Selagi Wiro mengomel seorang
diri seperti itu tiba-tiba satu suara menegurnya.
“Tak ada gunanya mengomel anak
muda berambut gondrong. Dewa Ketawa dan keponakannya sudah pergi jauh. Dua buah
bonang yang kau cari juga tak ada lagi di sini.”
Tanpa berpaling Wiro
menjawab.”Kalau saja ada perahu di tempat ini pasti sudah kukejar paman dan
keponakan sialan itu. Gara-gara mereka aku jadi tersesat ke pulau ini!”
Di belakangnya terdengar suara
orang tertawa.
“Dalam hidup ini memang banyak
hal yang membuat kita kecewa. Tapi apa kau tahu justru banyak manusia yang
sengaja mencari kekecewaan….?”
Ucapan ini membuat Pendekar
212 Wiro Sableng jadi memutar tubuh. Kini dia berhadap-hadapan dengan nenek
berwajah buruk yang mengaku pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu.
DELAPAN
Kau rupanya….. kataWiro agak
kaget. Kedua matanya menatap lekat-lekat pada wajah buruk perempuan tua itu.
“Kau terkejut anak muda?”
tanya si nenek.
“Ya, kukira siapa…..” jawab
Wiro lalu mulutnya menyunggingkann senyum.
“Kau manusia aneh. Barusan kau
memperlihatkan rasa kaget, kini malah tersenyum. Apa ada yang lucu? Atau kau
menertawaiku? Awas kau….”
“Sabar nek,” kata Wiro cepat
seraya mundur satu langkah karena dilihatnya si nenek menggerakkan tangan
kanan. “Dari jauh wajahmu kelihatan seram. Tapi setelah dekat begini rupa
kurasa sebenarnya wajahmu bukan seram tapi malah lucu!”
“Kurang ajar, apakah kau
hendak mempermainkan orang tua yang umurnya lima kali usiamu?!” bentak si
nenek.
“Maafkan aku,” kata Wiro
sambil garuk-garuk kepala. “Aku tersenyum karena belum pernah melihat orang
pakai anting di cuping hidung sepertimu. Setahuku orang pakai anting di
telinga. Hidungmu walau bengkok kulihat bagus. Sayang hidung dilobangi untuk
dicanteli anting. Eh, apa kau pernah punya kekasih nek?”
“Sialan! Apa maksud pertanyaanmu?!”
sentak si nenek.
“Tidak ada maksud apa-apa.
Cuma aku mau tahu saja kalau kekasihmu menciummu apa dia tidak repot karena ada
anting besar merah di hidungmu itu?!”
Si nenek kelihatan marah namun
sesaat kemudian dia tersenyum lalu meledak tawanya tinggi dan panjang.
“Sekarang aku yang bertanya
nek. Mengapa kau tertawa begini rupa?”
Perempuan tua itu
geleng-geleng kepala. “Aku mau tanya dulu, apa betul kau orangnya yang berjuluk
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 seperti yang diucapkan si Gergaji Setan
tadi?”
Wiro kembali garuk-garuk
kepala.
“Hai! Kulihat dari tadi kau
menggaruk kepala berulang kali. Pasti kau sudah lama tidak mandi. Cuci mukapun
mungkin juga tidak…..”
Si nenek lalu tertawa mengekeh
sementara Wiro hanya tegak tersipu-sipu.
“Ah, seharusnya aku tidak
layak bicara dan tertawa-tawa dengan orang yang pantas jadi cucuku…..”
“Aku yakin kau sebenarnya
seorang ramah, nek.” Kata Wiro memuji lalu pemuda ini melihat ada kerlipan
sinar aneh pada kedua mata yang hitam dari si nenek.
“Kau belum menjawab
pertanyaanku tadi. Apa benar kau Pendekar 212 Wiro Sableng?”
“Sebetulnya aku orang biasa
saja. Orang lain saja yang macam-macam menjuluki diriku yang bukan-bukan.”
“Kau datang ke pulau Sempu ini
ada keperluan apa?”
“Aku datang bersama si gendut
brengsek itu…..”
“Ya, aku tahu siapa dirinya.
Namanya Santiko, dipanggil orang dengan nama Bujang Gila Tapak Sakti. Kau
bersahabat dengan dia….?”
“Bersahabat benar ya tidak.
Soalnya dia sering mengencingiku. Kalau sahabat masakan tega mengencingi kawan
sendiri!”
Si nenek tak dapat menahan
tawanya. Dia tertawa hingga kedua matanya yang hitam berair. Wiro memperhatikan
wajah dan sepasang mata perempuan itu.
“Aku tahu! Seperti si gendut
itu kau kemari untuk mencari dua buah bonang milik Kerajaan. Betul?!”
Wiro mengangguk. “Dewa Ketawa,
paman Bujang Gila Tapak Sakti yang meminta aku untuk mendapatkan dua buah
peralatan gamelan itu, Keraton kini dilanda kebingungan besar dengan lenyapnya
dua buah alat berbunyian itu. Kabarnya Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang
mencurinya….”
“Dari mana kau tahu janda itu
yang mencurinya?”
“Dia bukan mencuri, dia hanya
menyuruh seseorang untuk mengambilnya. Yaitu si gendut Bujang Gila Tapak Sakti
itu!”
Wiro menyeringai. “Kalau
begitu, si Bujang Gila adalah maling kecil karena dia hanya disuruh saja. Dan
Nyi Bulan berarti yang jadi maling besarnya karena dia biang keroknya!”
“Enak saja kau mengatakan
majikanku biang kerok. Kutampar pecah kepalamu!” si nenek mengancam.
Wiro angkat tangannya. “Jangan
aku ditampar nek. Aku hanya ingin bertanya satu kali lagi. Setelah itu akan
pergi dari sini.”
“Apa yang hendak kau
tanyakan…..?” Dua mata si nenek menyorot ke arah Wiro.
“Apa betul kau pembantunya Nyi
Bulan Seruni Pitaloka itu?”
Si nenek terdiam sesaat. Lalu
“Eh, ada perlu apa kau bertanya begitu?!”
“Kalau kau tak mau menjawab
sudahlah. Aku pergi. Tapi…..” Wiro memandang berkeliling. “Laut begini luas.
Tak punya perahu tak mungkin berenang. Bagaimana aku bisa pergi dari sini….”
Wiro memandang pada si nenek. “Jika kau berada di pulau ini berarti kau punya
perahu untuk datang ke sini. Apa aku boleh meminjam perahumu nek?”
“Enak bicaramu! Kalau aku
pinjami lalu aku mau pakai apa nanti?”
“Bukankah di sini ada dua buah
perahu?” ujar Wiro pula.
“Dari mana kau tahu?!”
“Bukankah kau tinggal di sini
bersama Nyi Bulan? Berarti paling tidak ada dua buah perahu di tempat ini.”
“Nyi Bulan sedang tidak ada di
pulau ini. Dia pergi dengan perahunya. Hanya ada satu perahu di sini. Kalaupun
ada dua aku tak akan memeberikannya padamu. Kau datang mau-maumu sendiri.
Silahkan pergi semaumu pula!”
“Ah, nasibku jelek amat kalau
begitu!” ujar Wiro seraya garuk-garuk kepala. “Nek, kau pernah melihat kuda
melahirkan?’
“Apa-apaan kau bertanya
seperti itu?”
“Jikalau kau tertarik, aku punya
seekor kuda betina di teluk. Sedang hamil besar. Kurasa hari ini adalah hari
dia akan melahirkan. Paling tidak besok. Kalau kau ingin melihat kita bisa
pergi bersama-sama….”
“Itu hanya akalmu saja agar
kau bisa meninggalakan pulau ini, naik perahu bersamaku. Kau cerdik tapi
ketololanmu bisa kubaca!”
Wiro menghela nafas dalam lalu
berkata. “Aku mau pergi. Jadi kau tak bersedia menolong?’
“Dari tadi kau selalu bilang
mau pergi. Mau pergi. Tapi tidak pergi-pergi. Sudah pergi sana !”
“Sebelum pergi aku ingin
melihat tempat kediaman Nyi Bulan dulu. Mungkin dia bisa menolongku.”
“Kau tak layak melihat. Bukan
sembarang orang boleh masuk !”
“Hemmm begitu?” kata Wiro
seraya usap-usap dagunya. “Tadi kulihat kau keluar dari dalam gubuk kajang
beratap rumbia tak ada pintu tak ada jendela. Apa di gubuk aneh itu kediamanmu
bersama Nyi Bulan? Tadi aku diam-diam coba mengintip ke dalam gubuk. Di dalam
ternyata kosong melompong. Tak ada apa-apanya. Tapi di bawah lantai tanah aku
merasa ada sesuatu tersembunyi. Mungkin kau dan majikanmu itu tinggal di bawah
tanah seperti undur-undur!”
Paras si nenek berubah. Wiro
menatapnya dengan tersenyum lalu berkata “Aku suka melihat kedua matamu yang
hitam semua tak ada putihnya itu. Apakah Nyi Bulanmu yang membuatkan mata itu untukmu?
Jangan-jangan pendanganmu bisa tembus hingga kau bisa melihat auratku sebelah
dalam….!”
“Pemuda lancang! Mulutmu
kurang ajar!” teriak si nenek. Dia maju selangkah hendak memukul. Wiro hanya
tegak diam. Perlahan-lahan si nenek tarik pula tangannya. Dia membalikkan tubuh
dan terdengar berucap. “Lekas tinggalkan pulau Sempu ini sebelum aku
berna-benar marah!”
“Aku tidak akan mau pergi
sebelum tahu siapa kau sebenarnya. Jangan-jangan kau adalah Nyi Bulan janda
yang tersohor sampai di Kotaraja itu.”
Terdengar suara tercekat. Si
nenek membalik dan kini kedua matanya yang hitam pekat tampak berkilat-kilat
memandang pada Pendekar 212.
“Nek….” kata Wiro perlahan
seraya mengulurkan tangan memegang lengan perempuan tua itu.
“Eh! Berani-beraninya kau
memegang diriku!” tangan si nenek lalu menampik tangan si pemuda.
“Nek, kalau kau tak mau
mengatakan siapa dirimu sebenarnya tak jadi apa. Terus terang aku sudah tahu
keadaan dirimu sebenarnya. Nah, aku memang harus pergi. Aku terpaksa mencari
batang pohon dulu untuk kujadikan perahu!”
Wiro membalikkan diri lalu
melangkah ke arah sederet pepohonan.
“Tunggu dulu!” seru si nenek.
Wiro hentikan langkah dan
berpaling.
“Apa yang kau ketahui tentang
diriku?! Lekas jawab !”
Wiro terdiam sesaat. Kedua
matanya menatap wajah dan sepasang mata hitam si nenek. Dipandang lama dan
lekat seprti itu membuat si nenek seperti gelisah lalu palingkan wajahnya ke
jurusan lain.
“Aku tahu kau bukan pembantu
atau kacungnya Nyi Bulan Seruni Pitaloka !” kata Wiro.
Bahu si nenek tampak bergetar.
“Apa lagi yang kau ketahui?”
“Sudahlah! Buat apa kita
bertanya jawab panjang lebar. Akan mulai membuat perahu sebisaku.” Lalu Wiro
keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaiannya. Si nenek terkesiap
melihat kapak sakti bermata dua yang memancarkan sinar menyilaukan itu. Dalam
hati perempuan tua ini berkata. “Mungkin senjata mustika itu bisa menolongku
memecahkan masalah. Tapi apakah pemuda ini bisa dipercaya…..? Kadang-kadang
kulihat dia seperti kurang waras. Kadang-kadang ucapannya kurang ajar
seenaknya….. Bagaimana ini? Tapi kalau tidak kucoba rasanya tidak puas hatiku.”
“Pendekar 212!” memanggil si
nenek.
“Eh, ada apa lagi ini?”
“Aku ingin membuat perjanjian
denganmu!”
“Perjanjian? Perjanjian apa?”
tanya Wiro.
“Temui aku tengah malam dua
hari dari sekarang di Candi Gajah di bukit Imogiri….”
Wiro tersenyum lalu tertawa
panjang. “Jika kau seorang gadis cantik jelita tanpa dimintapun aku malah
berharap dapat bertemu denganmu. Siapa sudi berjanji denganmu nek.”
“Jangan bergurau. Aku tidak
main-main….”
“Aku juga tidak main-main,”
sahut Wiro.
Si nenek tampak marah sekali.
Tiba-tiba tanagn kanannya bergerak ke arah wajahnya. Dia membuat gerakan
seperti merenggutkan sesuatu. Di lain saat Wiro jadi melengak kaget. Si nenek
ternyata telah menarik lepas sehelai topeng kulit yang halus sekali dari
kepalanya. Kini kelihatanlah satu wajah perempuan muda luar biasa cantiknya.
Bahkan kedua mata si nenek yang semula hitam pekat kini tampak putih hitam
bening berkilat indah sekali.
“Siapa kau sebenarnya….?”
Tanya Wiro masih setengah tercekat dan kagum.
“Apa kau masih tak membuat
janji bertemu denganku di bukit Imogiri?!”
“Ah…!” Wiro menyeringai.
“Katakan dulu siapa dirimu sebenarnya. Janganjangan kau adalah setan pulau
atau jin laut yang memperlihatkan diri sebagai nenek lalu berubah menjadi
perempuan muda dan cantik…”
“Kau selidikilah sendiri!”
kata si jelita. Lalu dia menggerakkan kedua kakinya. Tubuhnya melesat ke atas
atap gubuk. Bersamaan dengna itu atap gubuk terbuka dan tubuh perempuan itupun
lenyap masuk ke dalam gubuk. Wiro mengejar, melompat dan coba ikut menyusup
tapi atap gubuk yang terbuat dari rumbia itu sudah menutup kembali.
“Sialan!” maki Wiro. Karena
masih menggenggam Kapak Maut Naga Geni 212 di tangannya, semula murid Eyang
Sinto Gendeng ini hendak pergunakan senjata itu untuk menghancurkan atap. Tapi
dia berpikir. “Si nenek sepertinya tidak berniat jahat terhadapku. Ada satu
rahasia yang disembunyikannya. Kalau aku merusak gubuk ini mungkin dia akan
marah besar dan aku bisa dapat kesulitan.” Setelah berpikir lagi sesaat
akhirnya Pendekar 212 turun dari atas atap. Dia mengorek dinding gubuk sedikit
lalu mengintai ke dalam. Tak ada benda apapun di situ, kecuali hanya lantai
tanah. “aneh, kesaktian apa yang dimiliki perempuan itu hingga bisa lenyap
begitu rupa? Apakah dia amblas menembus tanah?”
Sambil geleng-geleng kepala
Wiro akhirnya tinggalkan tempat itu. Tiga langkah dia berjalan dari arah gubuk
terdengar suara orang berseru. Suara perempuan.
“Pendekar 2121! Berjalanlah
dua ratus langkah ke arah timur! Kau akan menemukan tiga buah perahu. Kau boleh
mengambil salah satu untuk menyeberang ke daratan”!
Wiro tertawa perlahan lalu
menjawab. “Terima kasih nek! Eh, siapa kau. Nenek atau gadis jelita adi. Ya
sudah terima kasih nek gadis!” Wiro tertawa gelakgelak lalu melangkah cepat ke
jurusan sesuai petunjuk suara tadi.
SEMBILAN
Keledai kurus dan pendek itu
kelihatan seperti terbang memasuki pintu gerbang Kotaraja di sebelah timur.
Dewa Ketawa yang berada di atas punggung binatang ini tampak tersenyum-senyum.
“Kalau malam ini bisa kutemui
sang Patih berarti selesailah urusan gila ini! Sialan betul! Lebih dari tujuh
tahun aku dibuat tersiksa. Gara-gara keponakan kurang ajar itu!”
Dalam waktu singkat Dewa
Ketawa sampai di hadapan sebuah gedung bagus yang di bagian depannya tampak
menyala sebuah lampu minyak besar. Inilah gedung kediaman Patih Kerajaan. Dua
orang pengawal yang tengah bertugas segera menghadang di pintu masuk.
“Orang tua penunggang keledai.
Kami tidak kenal siapa dirimu. Apa keperluanmu malam-malam mendatangi tempat
kediaman Patih Kerajaan?”
Dewa Ketawa menatap tampang
pengawal yang barusan menegur lalu tertawa perlahan. “Pengawal konyol, kau
tidak perlu mengenal aku. Adapun keperluanku ialah hendak menemui Patih
Kerajaan. Katakan padanya Dewa Ketawa datang menghadap.”
“Apa? Siapa? Namamu Dewa
Ketawa. Eh, betul….?” Pengawal satunya bertanya terheran-heran.
Orang tua gendut di atas
keledai itu menjawab dengan suara gelak berderai. “Lekas beri tahu Patih
Kerajaan. Aku datang membawa urusan penting. Disamping itu aku juga ingin minta
kopi manis. Minum kopi malam-malam begini tentu nikmat sekali!”
“Orang tua, maan mungkin kami
akan memberi tahu Patih bahwa ada orang yang hendak menghadap malam-malam buta
begini. Salah-salah kami bisa kena tendangan!”
“Kalau begitu biar aku yang
memberitahu langsung!” Dewa Ketawa lalu menggebrak keledainya. Dua orang
pengawal cepat mencegah namun keduanya segera terpental jungkir balik di tanah.
Ketika Dewa Ketawa mencapai tangga dan hendak bertindak turun tiba-tiba seorang
pemuda bertubuh tinggi tegap muncul dan menegur sopan.
“Orang tua, keu tentu datang
dari jauh dan membawa urusan penting. Mari kusuruh orang menjaga keledaimu. Kau
harap memberi tahu apa keperluanmu.”
“Kau betul. Aku membawa satu
urusan maha penting. Aku ingin menghadap Patih Kerajaan,” jawab Dewa Ketawa.
“Ah, kau tentu orang penting
yang tengah ditunggu-tunggu oleh Patih. Namun patut saya beritahu sejak sore
tadi Patih kurang sehat. Saat ini dia baru saja pulas. Tentu kau sependapat
denganku bahwa terlalu tidak sopan kalau dia dibangunkan. Apakah kau tidak
keberatan menunggu sampai pagi datang. Lalu kita sama-sama menghadapnya. Di
samping itu kau tentu sangat letih, ingin istirahat. Paling tidak sebelum
merebahkan diri di kasur yang empuk kau juga ingin menikmati kopi hangat barang
seteguk dua teguk.”
Melihat orang menyapa dengan
ramah dan sopan serta tampang si pemuda yang gagah disertai potongan tubuh yang
kekar, Dewa Ketawa tertawa bergelak dan angguk-anggukkan kepala.
“Tawaran bagus, siapa mau menolak?!”
katanya. Diambilnya buntalan yang tergantung di leher keledai.
“Kalau begitu ikuti saya,”
kata si pemuda pula. Dia memanggil seorang pengawal dan memerintahkan agar
mengurus keledai Dewa Ketawa. Lalu pemuda ini memberi tanda agar Dewa Ketawa mengikutinya.
“Anak muda, siapa namamu dan
apa jabatanmu di gedung kepatihan ini?” bertanya si gendut bermata sipit Dewa
Ketawa.
“Saya Angling Kamesworo, hanya
seorang pembantu Patih Kerajaan….” jawab si pemuda.
“Ah sungguh luar biasa. Semuda
ini kau sudah menduduki jabatan yang begitu tinggi.Tak lama lagi kau tentu akan
diangkat menjadi Patih menggantikan Patih yang sekarang…..”
“Aku masih harus banyak
belajar….” jawab Angling Kamesworo. Dia membawa orang tua itu ke dalam sebuah
kamar yang cukup luas. Selain ada seperangkatan kursi juga ada sebuah ranjang
berkasur tebal dan empuk.
“Orang tua, kau belum
memperkenalkan dirimu. Harap kau suka memberi tahu….”
“Panggil aku Dewa Ketawa….”
“Astaga! Sungguh mataku buta
tidak melihat Mahameru di depan mata!” kata Angling Kamesworo lalu membungkuk
dalam-dalam. “Dewa Ketawa, silahkan duduk. Kalaupun kau hendak langsung
istirahat dan tidur silahkan naik ke atas ranjang itu….”
Dewa Ketawa tertawa dulu lalu
meletakkan buntalan yang dibawanya di atas meja. Dari dalam buntalan terdengar
suara seperti dua benda keras saling beradu atau bergesekan.
“Dewa Ketawa, saya lihat kau
membawa dan meletakkan buntalan itu dengan sangat hati-hati. Isinya tentu benda
sangat berharga….” kata Angling Kamesworo yang sejak tadi memeperhatikan
buntalan buruk yang dibawa si tua gendut ini .
Dewa Ketawa mengekeh.
“Pandangan matamu tajam, kau jelas orang cerdik. Tidak salah kalau kau
dipercayakan Sultan jabatan yang tinggi. Karena kau orang baik dan setelah aku
tahu kau ternyata orang kepercayaan kerajaan maka aku tidak akan menyembunyikan
rahasia lagi apa yang kubawa dalam buntalan itu. Tapi aku ingin kau menerkanya
lebih dulu Angling Kamesworo.”
Si pemuda tersenyum. “Kalau
saja saya mempunyai kesaktian untuk dapat melihat tembus, tentu saya bisa
menerka isi buntalanmu itu Dewa Ketawa. Sayang saya tidak pnya kepandaian
itu….”
Dewa Ketawa tertawa panjang.
Dia merasa semakin suka pada pemuda ini. “Baiklahm akan kukatakan padamu.
Buntalan butut ini berisi dua buah benda maha berharga bagi Kerajaan. Dua buah
bonang pelengkap perangkat gamelan Kraton yang hilang ada di dalamnya! Akan
kuserahkan pada Sultan melalui Patih Kerajaan!”
“Gusti Allah Maha Kuasa!” kata
Angling Kamesworo.
“Dua buah bonang pusaka dan
sangat keramat itu akhirnya ditemui juga. Dewa Ketawa, Sultan pasti akan
memberikan hadiah besar luar biasa padamu. Bukan mustahil kau akan diangkatnya
menjadi Adipati di satu wilayah penting!”
Dewa Ketawa tertawa bergelak.
“Tua bangka yang sudah bau
tanah sepertiku ini sama sekali tidak mengharapkan hadiah besar, juga tidak
menginginkan jabatan. Kalau dua benda pusaka itu sudah kembali patut kita semua
bersyukur. Lenyapnya dua buah bonang ini ada hikmahnya Angling. Yaitu agar kita
semua lebih waspada agar jangan terjadi lagi hal seperti itu. Omong-omong,
bolehkah aku minta kopi hangat berang secangkir? /aku memang letih tapi belum
mengantuk benar.”
“Akan saya suruh orang
menyiapkannya. Saya sendiri nanti yang akan membawanya ke mari.”
Si gendut kembali tertawa
panjang sementara Angling Kamesworo membuka pintu kamar dan segera keluar.
Tak lama kemudian pemuda ini
muncul kembali membawa sebuah cangkir besar. Bau harumnya kopi menebar dalam
kamar itu. Dewa Ketawa tertawa lebar menyambuti cangkir yang diserahkan
padanya.
“Silahkan menikmati kopinya.
Sehabis minum kau bisa istirahat. Besok pagipagi sekali saya akan menghubungi
Patih dan memberi tahu kedatanganmu….”
“Terima kasih anak muda,” kata
Dewa Ketawa. Kopi yang masih sangat panas itu langsung saja diteguknya, membuat
Angling Kamesworo terkesiap karena ternyata panasnya minuman itu tidak membuat
bibir, mulut ataupun lidah si kakek gendut melepuh. Dari situ saja dia sudah
mengetahui begaimana saktinya orang ini.
“Saya minta diri dulu. Sampai
besok pagi….” kata Angling Kamesworo seraya membungkuk lalu melangkah ke pintu.
“Sampai besok pagi !”
menyahuti Dewa Ketawa. Sesaat dia memperhatikan pemuda itu menutup pintu kamar
lalu kembali meneguk kopinya hingga habis. Orang tua ini meletakkan cangkir di
atas meja lalu menggeliat beberapa kali. Perlahan-lahan dia bangkit dari kursi.
Sekujur tubuhnya yang gemuk terasa letih ada perasaan aneh di dada dan perutnya
menjalar ke seluruh tubuh. Orang tua bertubuh gemuk ini kelihatan mengernyit
lalu memegangi dada dan perutnya. Sesaat kemudia satu jeritan keras keluar dari
mulutnya. Bersamaan dengan itu darah segar ikut menyembur.
“Kurang ajar ! Aku diracun….”
Hanya kata-kata itu yang sempat diucapkannya. Lalu tubuhnya yang hampir 200
kati itu roboh ke pinggiran ranjang. Sepasang matanya yang sipit mendelik.
Begitu Dewa Ketawa roboh ke
ranjang, pintu kamar tampak terbuka. Angling Kamesworo muncul bersama sepuluh
orang perajurit. Dua diantara memebawa sebuah tandu.
“Gotong orang itu ke luar.
Naikkan ke atas gerobak bersama keledainya. Buang mayatnya dan keledai di
jurang dalam dekat Candi Gajah ! Ingat baik-baik apa yang kalian lakukan adalah
rahasia besar. Jika sampai bocor kepala kalian semua akan kupancung tanpa ampun
!”
Sepuluh orang perajurit itu
segera masuk ke dalam kamar. Tubuh gemuk Dewa Ketawa dibujurkan di atas tandu
lalu digotong keluar kamar. Angling Kamesworo kemudian mengambil buntalan di
atas meja. Ketika diperiksanya isinya ternyata memang dua buah bonang milik
Keraton yang lenyap dicuri orang lebih dari tujuh tahun silam. Pemuda ini menyeringai.
Dua buah bonanag itu dipegangnya satu di tangan kiri satu lagi di tangan kanan.
Lalu perlahan-lahan dua buah tonjolan bonang diadunya satu sama lain. Terdengar
suara tidak seberapa keras tetapi diikuti gema yang panjang tanda dua buah
peraltan itu memang dibuat dari logam yang bukan sembarangan.
Angling Kamesworo memasukkan
dua buah bonang itu kembali ke dalam buntalan.Lalu cepat-cepat keluar dari
kamar, kembali ke kamarnya sendiri. Ketika keluar pemuda ini seudah berganti
pakaian. Tak lama kemudian dalam kegelapan tampak dia memacu seekor kuda menuju
selatan yaitu berlawanan arah dari arah yang ditempuh rombongan yang membawa
sosok tubuh Dewa Ketawa dan keledainya. Di luar Kotaraja wakil patih kerajaan
ini membelok ke timur mengikuti sebuah sungai kecil. Di satu tempat dimana air
sungai cukup dangkal dia menyeberang kemudain memacu tunggangannya menuju
daerah bebukitan yang jarang didatangi orang.
SEPULUH
Candi Gajah di bukit Imogiri
kini tak lebih dari sebuah reruntuhan saja. Patung Gajah besar di halaman depan
hanya tinggal bagian tubuh dan empat kaki dalam keadaan rusak sedang kepalanya
lenyap entah kemana.
Jauh sebelum tengah malam
seorang lelaki muda berkumis dan berjanggut lebat kelihatan berada di tempat.
Dia sengaja naik ke atas sebatang pohon berdaun rimbun lalu duduk di sebuah
cabangnya yang gelap kelindungan. Orang ini agaknya tengah menunggu seseorang.
Tapi yang ditunggu tidak
muncul-muncul. Orang ini mulai kesal. Waktu berjalan seolah merayap. Apalagi
udara malam di bukit Imogiri itu cukup dingin dan nyamuk hutan menyengat
laksana menyerbu.
“Sialan, tak ada yang muncul.
Jangan-jangan aku ditipu perempuan berwajah nenek dan gadis itu,” pikir si
pemuda.
Dari atas pohon dia memandang
berkeliling ke bawah.
Gelap dan sepi. Tapi tidak.
Kesepian itu dipecahkan oleh suara derap kakikaki kuda.
Orang di atas pohon sekali
lagi memandang ke bawah.
Dari kegelapan malam muncul
seorang penunggang kuda. Orang ini mengenakan jubah putih, memakai tapi merah
berbentuk tarbus. Sebuah kumis tipis menghias mulutnya sedang di dagunya ada
secuil janggut berkeluk. Di leher dan hampir seluruh badan kuda bergelantungan
berbagai macam buntalan kain.
Orang ini berhenti di depan
reruntuhan candi Gajah lalu turun dari kudanya. Sesaat dia memandangi keadaan candi
itu termasuk patung gajah. “Sayang…..” terdengar dia berkata sendirian.
“Dulunya candi ini pasti megah dan bagus.”
“Sekarang rusak tak ada yang
memelihara. Sebaiknya aku istirahat dulu di tempat ini.”
Dari dalam salah satu buntalan
orang ini mengeluarkan sepotong makanan lalu pergi duduk di tangga candi
menyantap makanan ini.
Orang di atas pohon untuk
beberapa lamanya masih mendekam memperhatikan orang yang duduk di tangga candi.
“Siapa kiranya orang yang
membawa begitu banyak buntalan di kudanya?”
Setelah menunggu sesaat lagi
akhirnya orang di atas pohon melompat turun. Langsung menghampiri orang
berjubah putih yang sedang enak-enak istirahat sambil makan.
Munculnya orang tak dikenal
apalagi melompat turun dari atas pohon ditambah orangnya memiliki kumis dan
janggut tebal, tentu saja mengejutkan orang yang duduk di tangga. Dia melompat
dan bergerak cepat ke arah kudanya.
“Saudara, kau siapa…..?” tanya
si kumis tebal.
“Katakan dulu kau siapa,”
jawab si kumis tipis.
“Aku gelandangan yang kebetulan
tersesat di tempat ini.”
Si kumis tipis memperhatikan
orang di hadapannya sesaat. Dia menaruh syak wasangka. “Sulit dipercaya ada
gelandangan tersesat ke tempat sepi begini , malam buta pula !”
“Lalu kau anggap siapa kau ini
? Orang jahat ? Rampok ?!”
“Mungkin sekali ! Kalau tidak
mengapa tadi kau sembunyi di atas pohon sana. Berarti kau sengaja mencegat
jalan orang. Jika kabu berani berbuat jahat padaku, kau akan menyesal ! "
“Hem… begitu ? Kulihat kau
membawa banyak buntalan. Apa isinya?”
“Perlu apa kau mau tahu? Kalau
mau lihat harus ada uang !”
“Gila ! Mau lihat saja pakai
uang !”
“Kalau kau tak mau membeli
buat apa melihat-melihat segala ?!”
“Nah, rupanya kau seorang
pedagang keliling. Pantas begini banyak dan sarat buntalanmu.”
“Kalau sudah tahu, apakah kau
punya uang untuk membeli selembar baju ?”
“Aku tak punya uang,” jawab
sikumis tebal.
“Kau tak punya uang tak usah
bicara denganku. Jangan ganggu, aku ingin istirahat barang sebentar.” Orang
berjubah putih dab bertarbus merah itu menghabiskan makanannya cepat-cepat.
Lalu dia berpaling pada lelaki berkumis tebal. “Kenapa kau masih di sini ?”
“Memangnya ada yang melarang
aku tak boleh di sini ?!”
“Ada !”
“Siapa ?!”
“Aku !” jawab si jubah putih
yang pedagang keliling.
Lelaki berkumis tebal tertawa
gelak-gelak. “Bicaramu enak amat. Sepertinya tempat ini nenek moyangmu yang
punya!”
“Jangan bicara seenakmu!”
bentak si pedagang keliling.
“Jangan mengatur orang
seenaknya!”
“Sudah! Aku tak mau bicara
denganmu!”
“Siapa bilang aku suka bicara
dengan orang sepertimu!” balas si kumis lebat.
Kedua orang itu sama-sama
membuang muka dan berdiam diri. Tapi tak sengaja keduanya sama-sama berpaling
dan saling pandang. Lalu cepat-cepat keduanya memalingkan wajah lagi. Beberapa
saat berlalu. Lelaki berkumis lebat memutar kepalanya, memeperhatikan orang
yang duduk di tangga. Tak tahan rupanya dia duduk diam-diam saja.
“Hai!” tegurnya. Si kumis
tipis diam saja. “Hai! Kalau mau dagang jangan ke tampat sunyi begini. Malam
hari pula! Siapa yang mau beli?! Hantu?!”
“Kau tentu saja tidak bakal
membeli karena tidak punya uang. Aku mau dagang aku pergi kemana sukaku. Rejeki
seseorang datangnya tidak pandang waktu dan tempat! Kau sendiri apa keperluanmu
malam-mamal buta berada di sini?!”
“Itu bukan urusanmu…..”
“Agaknya kau tengah menunggu
seseorang. Siapa yang kau tunggu?”
“Si kumis tebal jadi kesal.
“Apa urusanmu tanya-tanya?!”
“Di sini hanya kita berdua.
Bicara dan saling tanya apa salahnya!” balas si pedagang.
“Tadi kau sendiri yang bilang
tidak suka bicara denganku. Kini malah mengajak omong!”
“Aku berubah pikiran!” jawab
si kumis tipis lalu tersenyum. Kedua matanya menatap tajam pada orang yang
tegak di bawah pohon itu. Sebaliknya orang yang di bawah pohon juga memandang
dengan cara yang sama.
“Dengar aku tahu siapa kau
adanya,” kata si pedagang keliling.
“Aku juga tahu siapa kau
sebenarnya,” balas si kumis lebat.
Keduanya sama-sama terdiam
sesaat. Lalu mereka sama-sama tertawa bergelak.
“Kau Pendekar 212 Wiro
Sableng! Pasti! Jangan mungkir! Tanggalkan kumis dan janggut palsumu!”
Lelaki di bawah pohon tampak
menggaruk kepalanya.
Perlahan-lahan kedua tangannya
digerakkan ke wajahnya. Srett….srett! Kumis tebal yang tadi menempel di bawah
hidung tanggal lalu dicampakkannya ke tanah. Begitu wajah orang ini licin
klimis kecuali tambutnya yang kemudian dikeluarkannya dari balik penutup
kepala. Ternyata dia berambut gondrong dan memang bukan lain adalah Wiro
Sableng Pendekar 212.
Sambil menyengir Wiro berkata.
“Sekarang giliranmu. Kau pasti si nenek yang mengaku pembantu Nyi Bulan Seruni
Pitaloka. Nenek-nenek yang wajahnya bisa bisa berubah jadi seorang gadis cantik
jelita!”
Orang yang duduk di tangga
candi tertawa geli. Sekali tangannya bergerak maka lepaslah topeng tipis yang
menutupi mukanya. Kini kelihatan wajahnya yang asli yaitu wajah seorang
perempuan muda berparas cantik jelita.
“Nah apa kataku! Kau memang
nenek gadis itu!” kata Wiro.
“Aku bukan nenek, juga bukan
gadis…..”
“Jadi….?” Wiro berpikir
sejenak. “Astaga! Sekali ini pasti tidak akan salah. Kau pastilah janda muda
bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu!”
Perempuan cantik yang duduk di
tangga mengangguk. Lalu dibukanya tarbus merah di atas kepalanya. Sekali dia
menggerakkan kepalanya maka tergerailah rambutnya yang hitam berkilat sampai ke
bahu.
Untuk kedua kalinya murid
Eyang Sinto Gendeng terpesona oleh kecantikan perempuan muda itu. Pertama kali
dulu ketika janda ini membuka samaran sebagai seorang nenek. “Ah, wajahnya
memang seindah rembulan empat belas hari. Malah lebih indah dari rembulan.
Rembulan masih ada penyok-penyoknya, yang ini justru mulus tanpa cacat!”
membatin Wiro.
“Nyi Seruni sekarang aku ingin
tahu mengapa kau melakukan semua ini…..” bertanya Pendekar 212.
“Apa yang kau maksud melakukan
semua ini?” balik bertanya Nyi Bulan Seruni Pitaloka.
“Ringkasnya saja yaitu mengapa
kau menyuruh bocah bernama Santiko mencuri dua buah bonang milik Kraton sampai
anak itu dipendam dalam lobang inti es selama tujuh tahun. Lalu mengapa kau
meminta aku menemuimu di tempat ini? Kuminta kau jangan menjebakku….”
Nyi Bulan Seruni tertawa
kecil.
“Aku bukan orang jahat. Aku
menyesal mendengar Santiko yang sekarang jadi pemuda berjuluk Bujang Gila Tapak
Sakti itu sampai pernah dihukum sandiri oleh pamannya si Dewa Ketawa. Tujuh
tahun lalu memang aku pernah menyuruhnya mencuri dua buah bonang perlengkapan
gamelan Keraton. Itu aku lakukan demi permintaan suamiku…..”
“Suamimu sekarang berada di
mana?” bertanya Wiro.
“Kau ini bagaimana. Kalau aku
disebut orang janda tentu aku sudah tak punyai suami lagi.”
Wiro menyeringai. “Maksudku,
apakah kau janda ditinggal mati suami atau dicerai atau bagaimana….”
“Kau ini ada-ada saja. Suamiku
tewas di tangan seorang dikenal dengan julukan Sepasang Pedang Dewa.
Kematiannya justru ada sangkut pautnya dengan dua buah bonang itu. Dulu dia
adalah seorang ahli pembuat bonang. Suatu hari seperangkatan bonang milik
Keraton minta dibersihkkan dan diperbaiki bagianbagiannya yang rusak atau
penyok. Ketika sedang melakukan pekerjaan itu Sepasang Pedang Dewa muncul.
Mula-mula merela bicara baik-baik, lalu terjadi pertengkaran yang diakhiri
dengan perkelahian.
Suamiku kalah dan tewas di
tangan lawan. Namun apa yang hendak dirampas oleh Sepasang Pedang Dewa itu
berhasil diselamatkan nya karena sebelum Sepasang Pedang Dewa muncul dia telah
menyembunyikannya di dalam dua buah bonang yaitu bonang penerus slindro dan
bonang penerus pelog. Sebelum mati dia berpesan agar dua buah bonang itu
diselamatkan dan apa yang disembunyikannya di dalam bonang harus segera
diambil. Namun aku terlupa. Ketika orang-orang dari Keraton datang mengambil
seperangkat bonang itu, aku menyerahkannya begitu saja. Ini di sebabkan karena
aku sangat berduka atas kematian suamiku. Walau dia tiga puluh tahun lebih tua
dari ku, tapi dia seorang suami sekaligus ayah yang baik. Satu minggu kemudian
aku baru ingat akan pesan mendiang suamiku. Itupun setelah aku mendapat mimpi.
Tidak mudah untuk masuk ke dalam Kraton, apalagi harus mencuri dua buah bonang
itu. Aku mendapat akal. Karena bentuknya yang gemuk bulat dan lucu Santiko
menjadi kesayangan orang-orang dalam Kraton. Dia mudah pergi dan masuk kemana
saja. Maka aku menyuruhnya mencurinya.
Kasihan, sebenarnya dia anak
baik walaupun suak usil dan kurang ajar. Pamannya menangkapnya dan menghukumnya
di puncak gunung Mahameru. Aku sendiri menyembunyikan diri dan berusaha
memperdalam semua pelajaran ilmu kesaktian yang kudapat dari suamiku. Jika saja
aku dapat mengeluarkan apa yang disembunyikan suamiku dari dalam dua buah
bonang itu, mungkin kepandaianku sudah stinggi langit sedalam lautan. Itu
sebabnya aku menyuruhmu datang kemari untuk dimintai tolong…..”
“Tunggu dulu,” memotong Wiro.
“Jika dua buah bonang itu begitu berharganya bagimu, mengapa kau serahkan pada
si Gergaji Setan dan akhirnya dilarikan oleh Dewa Ketawa?”
Nyi Bulan Seruni Pitaloka
tersenyum yang membuat Pendekar 212 diam-diam jadi blingsatan melihatnya. Janda
yang ditinggal mati suaminya ketika berusia 13 tahun itu berdiri dari tangga
candi lalu melangkah mendekati kudanya.
Dari dalam salah satu buntalan
barang yang bergantung di leher serta badan kuda itu dikeluarkannya dua buah
benda berwarna kuning lalu diperlihatakannya pada Wiro. Ketika Wiro
memperhatikan ternyata dua buah benda itu adalah dua buah bonang.
Murid Eyang Sinto Gendeng jadi
terheran-heran. “Aku tak mengerti. Sebelumnya aku menyaksikan sendiri kau
menyerahkan dua buah benda seperti itu pada si Gergaji Setan. Kini mengapa kau
masih memiliki dua buah lagi?”
“Pendekar 212, selama aku
memiliki dua buah bonang itu keselamatanku selalu terancam. Banyak orang-orang
pandai yang baik dan yang jahat mencariku. Bukan saja untuk mendapatkan
tubuhku. Aku ingin dua buah bonang dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya
tidak jatuh ke tangan orang sebisa-bisanya aku buat dua buah bonang tiruan….”
“Aku mengerti sekarang. Dua
buah bonang yang kau berikan pada si Gergaji Setan adalah bonang-bonang palsu
sedang yang asli tetap kau sembunyikan di tempat aman!”
“Apa yang kau katakan memang
betul,” jawab Nyi Bulan Seruni Pitaloka. “Kau benar-benar cerdik. Sekarang apa
yang hendak kau lakukan dengan dua buah bonang itu?” bertanya Wiro.
“Aku akan mengembalikannya ke
Keraton. Mungkin dengan minta tolong lagi pada Bujang Gila Tapak Sakti. Namun
sebelum kukembalikan aku ingin mengambil dulu apa yang tersembunyi di dalamnya,
lalu…..”
“Nyi Bulan! Kau memang cerdik.
Tapi kecerdikanmu hari ini berakhir sudah. Jika kau sayang nyawa lekas serahkan
dua buah bonang dalam buntalan itu padaku !”
Satu suara bergema keras di
tempat sunyi itu. Dua buah bayangan berkelebat. Tahutahu Nyi Bulan sudah
diapit oelh dua orang bertubuh tinggi kekar. Satu sudah berusia lanjut satunya
lagi masih muda.
Nyi Bulan Seruni Pitaloka
terkejut besar. Dia cepat berpaling dan segera mengenali orang yang ada di
sebelah kanannya, yakni lelaki berusia lanjut berambut putih dan mengenakan
jubah merah. Pada pinggang jubahnya kiri kanan tergantung masing-masing sebilah
pedang. Lelaki yang lebih muda bukan lain adalah Angling Kamesworo, wakil Patih
Kerajaan. Yang satu ini memang segera pula dikenali oelh Pendekar 212. Ada apa
pemuda ini tiba-tiba berada di tempat ini, begitu Wiro berpikir. Di samping itu
dia mencium adanya bahaya mengancam Nyi Bulan. “Nyi Bulan ada hubungan apa
antara kau dengan orang-orang ini?’
“Yang ini adalah Sepasang
Pedang Dewa,” jawab Nyi Bulan seraya menunjuk tepat-tepat ke arah lelaki
berambut putih yang mengenakan jubah merah. “Pembunuh keparat ini berani
muncul! Hari ini akan membalaskan dendam kesumat kematian suamiku!”
Sepasang Pedang Dewa ganda
tertawa. “Tadi aku sudah bilang. Kalau sayang nyawa lekas serahkan dua buah
bonang itu !”
“Langkahi dulu mayatku baru
kau bisa mendapatkan benda-benda itu !” teriak Nyi Bulan. “Kalau begitu
bersiaplah untuk mati !” bentak Sepasang Pedang Dewa. Sret ! Srett ! Dua pedang
yang tergantung di pinggangnya melesat keluar.
SEBELAS
Kita kembali dulu pada
beberapa peristiwa yang terjadi sebelum munculnya Sepasang Pedang Dewa dan
Angling Kamesworo di Candi Gajah.
Angling Kamesworo melarikan
kudanya mendaki puncak salah satu bukit luat Kotaraja yang jarang didatangi
manusia. Kuda tunggangannya rupanya sudah sering menempuh jalan itu hingga
binatang ini mampu berlari dengan kencang dan dalam waktu singkat sampai di
puncak bukit paling tinggi. Dalam kegelapan tampak sebuah bangunan kayu
berbentuk panggung. Di kolong bangunan enam ekor anjing besar melompat dan
menggarang lalu mulai menyalak begitu Angling Kamesworo muncul bersama kudanya.
Anjing-anjing itu menyalak terus sambil mengurung kuda bahkan jelas siap hendak
menyerang.
Tiba-tiba dari dalam rumah
terdengar suara orang bertanya “Siapa yang datang ?!”
“Saya guru! Angling
Kamesworo!”
Lalu dari dalam rumah panggung
terdengar suara suitan keras. Enam ekor anjing menggerang pendek dan berbalik
lalu lari kembali mendekam di bawah kolong rumah. Angling Kamesworo tidak turun
dari kudanya. Dari atas panggung binatang ini dia langsung melompat ke serambi
depan rumah.
Di tangan kirinya tergenggam
buntalan berisi dua buah bonang hasil meracuni orang tua itu sampai mati!
Begitu kakinya menginjak
lantai srambi begitu pintu depan bangunan terbuka. Angling Kamesworo segera
masuk. Pintu tertutup kembali. Di dalam rumah, di bawah penerangan lampu minyak
besar tampak duduk di kursi goyang seorang lelaki berusia lebih dari setengah
abad berambut putih. Seseorang perempuan berwajah ayu, berkulit hitam manis
terbaring melintang di atas pahanya dan lengan-lengan kursi goyang.
Perempuan ini mengenakan
pakaian yang sangat minim hingga Angling Kamesworo dapat melihat setiap lekuk
dan sudut tubuhnya. Begitu si pemuda masuk, orang di atas kursi goyang mengelus
paha si hitam manis itu seraya berkata. “Masuklah dulu ke kamar. Aku ada tamu
yang membawa urusan penting!”
Si jelita hitam manis itu
turun dari pangkuan orang berjubah merah. Ketika berdiri pakaian minim yang
menutupi tubuhnya jatuh dan tercampak di lantai. Tapi dia tidak berusaha
memungutnya malah enak saja dia melangkah menuju ke kamar, membuat Angling
Kamesworo sesaat jadi tertegun.
“Angling, kau membawa kabar
apa untukku?!” si jubah merah yang adalah Sepasang Pedang Dewa bertanya.
“Saya membawa kabar baik,
guru. Saya telah mendapatkan dua buah bonang itu.”
Sepasang Pedang Dewa melompat
dari duduknya. Langsung saja dia menyambar buntalan yang dibawa muridnya dan
mengeluarkan isinya.
“Kau hebat!” memuji Sepasang
Pedang Dewa sambil tersenyum lebar dan menimang-nimang dua buah bonang itu.
Parasnya tiba-tiba berubah.
“Ada apa guru?”
“Ceritakan dulu bagaimana kau
mendapatkan dua buah benda ini.”
Angling Kamesworo lalu bercerita.
“Ceritamu meyakinkan. Tapi aku
merasa was-was. Coba kuperiksa dulu dua bonang ini.” Lalu Sepasang Pedang Dewa
malangkah ke dekat lampu. Nyala api lampu diperbesarnya. Dua buah bonang
ditelitinya berulang kali, dibolak-baliknya tiada henti. Jari-jari tangannya
berkali-kali mengusap bagian bawah dua buah bonang itu. Tiba-tiba bonang-bonang
itu dibantingkannya ke lantai.
“Palsu! Dua buah bonang itu
palsu!” teriaknya. Lalu dia berpaling dengan marah pada Angling Kamesworo. “Kau
yang mempermainkan aku atau kau yang tolol dipermainkan orang!”
Paras Angling Kamesworo
berubah pucat. “Mana saya berani mempermainkan guru. Saya mendapat dua buah
bonang itu malah sampai membunuh Dewa Ketawa dengan racun yang dimasukkan dalam
kopinya…..”
“Aku tidak perduli bagaimana
kau mendapatkan bonang-bonang palsu itu. Lekas ikuti aku! Kita harus
mendapatkan bonang-bonang yang asli!” teriak Sepasang Pedang Dewa lalu
didorongnya tubuh muridnya ke arah pintu hingga Angling Kamesworo hampir
terjengkang.
Bujang Gila Tapak Sakti
walaupun tertinggal jauh di belakang namun dia
sudah bisa menduga kemana Dewa
Ketawa akan membawa dua buah bonang yang didapatnya dari pembantu Nyi Bulan
Seruni Pitaloka itu. Maka dia segera menuju Kotaraja dengan tujuan terus
mendatangi gedung Kepatihan.
Namun di luar kota pemuda
gendut berpeci kupluk ini berpapasan dengan serombongan perajurit yang memacu
sebuah gerobak. Di atas gerobak itu dilihatnya seekor binatang yang bukan lain
adalah keledai milik pamannya. Terheran-heran Bujang Gila Tapak Sakti berhenti
di tepi jalan dan memeperhatikan rombongan itu berlalu hingga akhirnya lenyap
di kejauhan. Dia sama sekali tidak tahu kalau di lantai gerobak tergeletak
sosok tubuh pamannya si Dewa Ketawa.
Untuk beberapa lamanya Bujang
Gila Tapak Sakti berdiri bimbang apakah dia akan terus ke Kotaraja atau
mengikuti rombongan itu. Akhirnya dia memutuskan untuk mengejar rombongan saja.
Walau tubuhnya hampir 150 kati namun berkat kesaktiannya Bujang Gila Tapak
Sakti mampu berlari secepat angin. Dalam waktu singkat dia berhasil mengejar
rombongan yang membawa keledai itu tak berapa jauh dari bukit Imogiri.
“Rombongan harap berhenti!”
teriak Bujang Gila Tapak Sakti.
Seorang perajurit yang
ditugaskan memimpin rombongan berpaling. Dia terkejut sekali ada seorang pemuda
luar biasa gemuk mampu berlari sekencang itu dan memerintahkan rombongannya
berhenti. Karena curiga maka dia memerintahkan kawan-kawannya untuk bergerak
terus. Ketika Bujang Gila Tapak Sakti akhirnya berhasil menyusul dan menghadang
di depan mau tak mau rombongan itu terpaksa berhenti.
“Babi gendut ada apa kau
menghadang perjalanan orang! Apa kau tidak tahu kami adalah perajurit-perajurit
Kepatihan?!”
Plaaakkkk!
Perajurit pemimpin rombongan
yang barusan membentak terpelanting dari kudanya begitu disambar tamparan
Bujang Gila Tapak Sakti. Mulutnya pecah, dia mengerang sebelum pingsan. Melihat
kejadian ini dua orang perajurit yang hendak bertindak jadi bimbang. Mereka
maklum kalau tengah berhadapan bukan saja dengan seorang berkepandaian tinggi
tapi mungkin pula berotak miring.
“Kalian mau bawa kemana
keledai itu?” bertanya Bujang Gila Tapak Sakti.
Tak ada yang menjawab.
Plaaakkk!
Untuk kedua kalinya tamparan
Bujang Gila Tapak Sakti menyambar. Satu korban lagi menggelinding jatuh dari
punggung kuda.
“Jika tidak ada yang mau
menjawab, satu demi satu kalian akan kuhajar!” mengancam Bujang Gila Tapak
Sakti.
Beberapa orang perajurit
memang tampak takut. Tapi empat orang diantaranya menunjukkan sikap lain.
Melihat dua kawannya terkapar di tanah seperti itu keempatnya segera mencabut
senjata masing-masing lalu menyerang Bujang Gila Tapak Sakti. Si gendut yang
merasa mendapat jalan untuk melampiaskan amarahnya segera saja menyambut
keroyokan orang. Tangan kiri kanan berkelebat kian kemari.
Terdengar suara
bak-buk-bak-buk disertai jerit kesakitan empat perajurit yang jatuh saling
tindih di tanah.
Keempatnya menderita cidera
berat. Ada yang hancur pipinya, remuk tulang dada atau berpatahan tulang–tulang
iganya.
Justru pada saat mengamuk
itulah Bujang Gila Tapak Sakti mendekati gerobak dan tiba-tiba melihat sosok
tubuh Dewa Ketawa yang menggeletak di lantai gerobak. Pemuda ini menjerit keras
lalu melompat ke atas gerobak. Dia melengak ketika melihat sekujur kulit tubuh
pamannya itu sampai ke wajahnya yang gemuk berwarna hitam kebiruan.
“Kurang ajar! Siapa yang punya
perkejaan ini?!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti keras sekali hingga
perajurit-perajurit yang masih ada di sana tergagau kaget dan kecut.
“Kami…..kami tidak tahu apa
yang terjadi. Kami hanya disuruh membawa keledai dan mayat orang gemuk ini
untuk dibuang ke dalam jurang dekat sini…..” seorang perajurit menjawab dengan
ketakutan.
“Kurang ajar! Siapa yang
menyuruh kalian?!”
Mula-mula tak ada yang berani
menjawab. Ketika Bujang Gila Tapak Sakti mulai menggerang tanda kemarahannya
semakin mendidih akhirnya seorang perajurit membuka mulut.
“Raden Angling Kamesworo yang
menyuruh kami….”
“Pembantu Patih Kerajaan
itu?!”
“Betul,” jawab si perajurit
pula. Lalu dia memberi isyarat pada temantemannya. Semua perajurit yang masih
duduk di punggung kuda masing-masing segera saja menggebrak tunggangan mereka
lalu kabur dari tempat itu.
Di atas kereta Bujang Gila
Tapak Sakti menggebuk pantat keledai kurus itu seraya memaki “Binatang keparat!
Turun dulu kau ke tanah! Jangan enak-enakan nongkrong di atas gerobak ini!”
Dipukul pantatnya keledai itu
melompat turun dari gerobak. Bujang Gila Tapak Sakti membungkuk lalu meletakkan
telinganya ke dada kiri Dewa Ketawa. Dia tidak pasti apakah dia dapat mendengar
detakan jantung pamannya itu atau tidak.
Namun dia tidak mau menunggu
lebih lama. Dia tahu pamannya itu berada di bawah pengaruh racun yang sangat
jahat. Maka dengan ujung sebuah golok ditorehnya urat besar dekat pergelangan
tangan kiri Dewa Ketawa. Lalu dengan mulutnya dia mulai menyedot darah yang ada
dalam tubuh pamannya itu.
Setiap mulutnya penuh darah
yang disedotnya disemburkan keluar. Begitu berulang kali sampai sedikit demi
sedikit warna hitam biru pada sekujur tubuh orang tua gemuk itu menjadi berkurang.
Bujang Gila Tapak Sakti merasa lega sekali begitu dia menangkap suara erangan
halus keluar dari mulut Dewa Ketawa. Orang tua gemuk ini lalu ditelungkupkannya
di atas lantai gerobak. Bajunya disingkapkan di bagian punggung. Kedua
tangannya diusapkan satu sama lain hingga ada hawa sangat dingin membersit
keluar. Dengan hati-hati Bujang Gila Tapak Sakti meletakkan kedua telapak
tangannya di punggung Dewa Ketawa lalu dia mulai mengerahkan tenaga.
Suara erangan orang tua itu
semakin keras terdengar begitu hawa sakti yang mengalir dari telapak tangan
Bujang Gila masuk merasuk ke dalam sekujur tubuh termasuk peredaran darahnya.
Perlahan-lahan Dewa Ketawa membuka kedua matanya yang tadinya mendelik tapi
sempat dipejamkannya. Begitu dia melihat tampang Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa
Ketawa menyeringai lalu umbar tawa panjang.
“Brengsek! Jangan ketawa dulu!
Nyawamu masih berada di ujung tanduk!” kata Bujang Gila Tapak Sakti memberi
ingat.
“Anak setan! Kau rupanya yang
menolongku!” kata Dewa Ketawa lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia melompat
dan berdiri di atas gerobak.
“Awas! Kau masih belum
sembuh!” sang keponakan mengingatkan lagi.
“Siapa bilang aku belum
sembuh! Mari ikut aku ke tempat kediaman Angling Kamesworo. Pembantu patih
sialan itu yang meracuniku !” Dewa Ketawa keluarkan suara tawa mengekeh.
Tiba-tiba dia ingat akan buntalannya. Dia memandang berkeliling. “Heh…dimana
buntalan itu ?!” dia bertanya seolah pada diri sendiri sambil memijit-mijit
keningnya.
“Buntalan apa paman ?!” tanya
Bujang Gila Tapak Sakti.
“Buntalan berisi dua buah
bonang milik Keraton.”
“Kalau Angling Kamesworo yang
meracunimu, pasti dia pula yang mengambil benda-benda itu!” kata Bujang Gila
Tapak Sakti.
“Kalau begitu aku ingin segera
membekuk batang lehernya. Kita ke gedung Kepatihan sekarang juga!” Dewa Ketawa
melompat turun dari gerobak. Bujang Gila Tapak Sakti menyusul. Dia segera
mencari kuda paling besar sedang pamannya sudah naik ke atas punggung keledai.
Baru saja keduanya hendak bergerak pergi tiba-tiba di kejauhan terdengar suara
kaki-kaki kuda mendatangi.
“Santiko, lekas sembunyi. Kita
tidak tahu apakah yang datang teman atau lawan!” kata Dewa Ketawa.
Kedua orang itu lalu mendekam
di tempat gelap. Tak lama kemudian dua penunggang kuda muncul. Mereka berhenti
di tempat itu. Yang pertama adalah orang tua berjubah merah yakni Sepasang
Pedang Dewa sedang satunya jelas Angling Kamesworo. Pembantu patih Kerajaan ini
jadi melengak kaget ketika melihat beberapa orang perajurit berkaparan di tanah
dalam keadaan cidera berat. Dia berpaling pada Sepasang Pedang Dewa.
“Ini adalah rombongan
perajurit yang saya perintahkan untuk membuang mayat Dewa Ketawa bersama
keledai tunggangannya! Tapi guru lihat sendiri. Keledai itu tak ada di sini.
Mayat Dewa Ketawapun lenyap! Lalu siapa pula yang membunuh
perajurit-perajuritku ini!”
“Sudah! Perlu apa mengurusi
manusia dan keledai keparat itu serta perajuritperajurit tengik ini!” tukas
Sepasang Pedang Dewa. “Kita ada urusan yang lebih penting. Kuharap saja laporan
dari orang kepercayaanku benar adanya.”
Ada pertemuan antara Pendekar
212 Wiro Sableng dan Nyi Bulan Seruni Pitaloka di Candi Gajah tengah malam ini.
Kita harus segera menuju ke sana, membekuk batang leher janda itu dan merampas
dua buah bonang pusaka dari tangannya!”
Di tempat gelap, sebenarnya
Bujang Gila Tapak Sakti sudah gatal tangannya untuk menyerang dan menghajar
habis-habisan Angling Kamesworo. Lebih lagi si gendut Dewa Ketawa. Namun orang
tua ini masih mampu menahan hawa amarahnya ketika keponakannya berisik mengatakan
bahwa dia hendak menghancur lumatkan Angling Kamesworo.
“Anak setan gendut sialan!
Jangan bertindak ceroboh. Membunuh pembantu Patih Kerajaan itu tidak ada
sulitnya. Tapi dengar apa yang tadi mereka bicarakan? Nyi Bulan dan Pendekar
212 mengadakan pertemuan rahasia di Candi Gajah.”
Jangan-jangan pemuda sahabat
kita itu sudah menjadi pengkhianat. Bekerja sama dengan Nyi Bulan Seruni yang
jelas-jelas talh mencuri dua buah bonang itu!”
Ucapan terakhir sang paman
membuat Bujang Gila Tapak Sakti merasa tidak enak karena dirinya sendiri juga
terlibat dalam pencurian itu. Malah dia yang bertindak langsung melakukan
pencurian tujuh tahun lalu. Apakah sang paman menyindirnya saat ini?
Ketika Angling Kamesworo dan
Sepasang Pedang Dewa meninggalkan tampat itu, Dewa Ketawa memberi isyarat pada
Bujang Gila. Paman dan keponakan ini lalu menggebrak tunggangan masing-masing
ke arah yang sama yaitu jurusan bukit Imogiri.
DUA BELAS
Orang berjubah merah itu tidak
percuma dijuluki Sepasang pedang Dewa. Begitu kedua tangannya bergerak memutar
sepasang pedang maka bertaburlah dua cahaya putih dalam gelapnya malam.
Breet! Breett!
Nyi Bulan Seruni Pitaloka
terpekik dan melompat mundur. Jubah putihnya robek di bagian dada dan perut
hingga sebagian auratnya tersingkap lebar.
Sepasang Pedang Dewa
menyeringai.
“Itu peringatan terakhir Nyi
Bulan!” katanya sambil melintangkan sepasang pedang di depan dada. “Apa kau
masih belum mau menyerahkan dua buah bonang itu?!”
“Rampok busuk! Keluarkan
kepandaianmu kalau memang bisa mengambilnya dariku!” teriak Nyi Bulan.
Sepasang Pedang Dewa tertawa
mengekeh. “Kau benar-benar perempuan nekad. Tapi aku ada usul. Kecantikan sudah
lama kuketahui. Ternyata tubuhmu juga sangat bagus. Bagaimana kalau kau ikut
saja ke tempatku secara baik-baik. Kita bisa hidup bersama. Dua buah bonang itu
milik kita berdua!”
“Tua bangka tak tahu diri!
Jangankan aku! Kambingpun tak bakal suka padamu!” teriak Nyi Bulan.
Tampang Sepasang Pedang Dewa
jadi gelap membesi.
Sambil membentak kembali dia
menyerang dengan dua pedangnya.
Kali ini Nyi Bulan tidak
tinggal diam. Dia berlaku cerdik. Dia menyambut serangan lawan dengan
mempergunakan dua buah bonang untuk menangkis. Hal ini membuat Sepasang Pedang
Dewa menjadi serba salah. Kalau dia terus melanjutkan menyerang ada kemungkinan
dua buah bonang itu kena hantaman senjatanya. Kalau bonang-bonang tersebut
sampai rusak, berarti akan merusak pula rahasia besar yang tersimpan di
dalamnya!
“Aku harus merampas dua buah
bonang itu! Aku akan telanjangi dia sekujur tubuhnya. Kalau sudah tak
berpakaian lagi masakan dia tidak akan menjatuhkan apa yang dipegangnya guna
menutupi aurat!” Begitu Sepasang Pedang Dewa berpikir dan kembali menyerbu. Dua
pedangnya meluncur, membabat dan menusuk kian kemari, membuat Nyi Bulan jadi
sibuk sekali. Dua senjata lawan menyayat dan merobek pakaiannya di beberapa
tempat hingga auratnya semakin tersingkap. Apa yang ada di benak lawan akhirnya
terbaca juga oleh Nyi Bulan. Dia melirik pada Pendekar 212 lalu berteriak
“Wiro! Selamatkan dua buah bonang ini!” Lalu secepat kilat dua buah bonang
dilemparkannya ke arah Pendekar 212. Namun ketika masih melayang di udara
tiba-tiba ada tiga orang yang melompat dan berusaha menangkap benda-benda itu.
Yang pertama adalah Angling
Kamesworo, wakil Patih Kerajaan. Yang kedua adalah dua manusia gendut besar
yang baru saja sampai di tempat itu dan bukan lain adalah Dewa Ketawa dan
Bujang Gila Tapak Sakti.
Sesaat Pendekar 212 jadi
terkesiap melihat apa yang terjadi. Lalu dia bertindak cepat. Sebelum ada yang sempat
menyentuh dua buah bonang itu, Wiro lepaskan pukulan “benteng topan melanda
samudera” sekaligus dengan kedua tangannya. Dua gelombang angin menggebubu
dahsyat. Debu dan pasir beterbangan. Daun-daun pepohonan di sekitar tempat itu
luruh bermentalan. Dua buah bonang yang melayang di udara mencelat tinggi ke
atas. Tiga orang yang tadi melompat saling mendahului hendak menangkap dua buah
benda itu kini jadi saling bertabrakan lalu sama-sama jatuh duduk di tanah.
Yang paling menderita adalah Angling Kamesworo. Walau tubuhnya tinggi dan kekar
namun dibanding dengan luar biasa besarnya tubuh-tubuh Dewa Ketawa serta si
Bujang Gila maka tak ampun lagi dia sempat tergencat di tengah-tengah sebelum
jatuh terduduk di tanah. Pembantu Patih Kerajaan ini seprti dijepit dua buah
batu sebesar rumah. Dua tulang iganya patah dan di keningnya tampak benjut
besar!
Selagi tiga orang itu
berkaparan di tanah Pendekar 212 Wiro Sableng cepat melompat dan tanpa banyak
kesulitan berhasil menangkap dua buah bonang itu lalu memasukkannya di balik
pakaiannya. Melihat dua buah bonang kini dikuasai Wiro, Angling Kamesworo walau
dalam keadaan cidera cepat berdiri. Tapi gerakannya jadi tertahan ketika
menyadari adanya Dewa Ketawa di tempat itu. “Bagaimana mungkin orang yang sudah
kuracuni sampai mati ini kini berada di sini dalam keadaan hidup?!” Hanya saja
saat itu Angling Kamesworo tidak mau menghabiskan waktu memikirkan hal itu
lebih lama. Dia harus mendapatkan dua buah bonang. Maka dia melangkah ke arah
Pendekar 212.
“Wiro, lekas kau serahkan dua
buah bonang itu padaku!”
“Enak betul!” sahut Wiro.
“Kau dulu pernah menyelamatkan
Sekar Mindi, puteri Patih Kerajaan. Kau adalah sahabat Kerajaan. Karena itu
lekas serahkan padaku dua bonang! Jasa besarmu akan kuberi tahu langusng pada
Sultan!”
Wiro menyeringai. “Dulu
wajahmu memang kulihat wjah pelanduk. Tapi sekarang sudah berubah jadi harimau
yang ada benjut di kepalanya! Dulu aku melihat wajahmu seperti seekor domba.
Tapi sekarang ini tampangmu sama dengan seekor srigala! Siapa percaya dirimu!”
Terdengar suara tawa mengekeh.
Satu sosok gendut melompat ke hadapan Wiro. Ternyata Dewa Ketawa.
“Aku mendapat tugas dari
Kerajaan untuk mengambil dua buah bonang itu. Jadi serahkan sekarang juga
padaku!” kata Dewa Ketawa sambil terus tertawa dan ulurkan kedua tangannya.
“Sobatku Kerbau Bunting Dewa
Ketawa!” menyahuti Pendekar 212, “Dua buah bonang ini pasti akan kuserahkan
padamu. Tapi nanti. Tidak sekarang…..”
“Sobatku muda! Kali ini aku
tak mau bergurau! Serahkan dua buah bonang itu!” kata Dewa Ketawa pula ngotot
walau dia masih keluarkan suara tertawa.
Saat itu Bujang Gila Tapak
Sakti sudah berdiri pula di samping Dewa Ketawa. Pemuda berkopiah kupluk dan
mengenakan baju terbalik ini berkata “Paman mengapa kau harus mengurusi dua
buah bonang itu! Selesaikan dulu hutang piutangmu dengan Angling Kamesworo.
Bukankah dia yang hendak membunuh meracunimu?!”
“Anak setan! Betul juga
ucapanmu! Ha….ha…..ha….!” kata Dewa Ketawa. “Kalau begitu kau uruslah dua buah
bonang itu. Aku akan mematahkan batang leher manusia culas dan keji ini!”
Angling Kamesworo tahu bahaya
yang dihadapinya.
Karenanya begitu Dewa Ketawa
melompat menyergapnya, pemuda ini cepat melayangkan dua buah tinjunya
bertubi-tubi ke perut dan dada si gendut. Jotosanjotosan Angling Kamesworo
tentu saja bukan pukulan biasa. Jangankan tubuh manusia, tembok atau batu saja
pasti akan ambruk! Tapi luar biasanya si Dewa Ketawa yang dihantam bertubi-tubi
seperti itu tidak bergeming sedikitpun malah masih bisa tertawa-tawa.
Penasaran Angling Kamesworo
alihkan hantamannya ke muka si gendut.
Sekali ini Dewa Ketawa tidak
tinggal diam.
Orang tua ini monyongkan
mulutnya lalu meniup! Perlahan saja!
Serangkum angin halus keluar
dari mulut Dewa Ketawa. Angling Kamesworo merasakan seperti ada tembok tak
terlihat menghalangi pukulan-pukulannya. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga
luar dan dalam tetap saja dia tidak mampu menembus apalagi mendaratkan pukulan
ke wajah lawan.
Dewa Ketawa meniup sekali
lagi. Kali ini lebih keras.
Puuuhhh!
Angling Kamesworo menjerit
keras. Wajahnya seperti dihantam pentungan besi. Kepalanya seperti copot dan
tubuhnya terbanting menghantam patung gajah.
Braak!
Patung batu yang sudah tua itu
ambruk. Reruntuhannya menimbun sosok Angling Kamesworo yang tergeletak di bawahnya
antara sadar dan pingsan. Dari mulut, hidung dan kedua matanya tampak mengucur
darah. Dewa Ketawa tarik tangan pemuda ini hingga dia terbetot keluar dari
dalam timbunan reruntuhan lalu membantingkannya ke tanah. Begitu berulang kali
dilakukannya hingga akhirnya pembantu Patih Kerajaan itu menggeletak tak
berkutik lagi. Sekujur tubuhnya babak belur. Tulang-tulangnya banyak yang
patah. Menggerampun dia tak mampu lagi!
Ketika Dewa Ketawa melompat ke
hadapan Angling Kamesworo tadi, Bujang Gila Tapak Sakti segera mendekati
Pendekar 212.
“Sobatku Wiro, kau harus
berikan dua buah bonang itu padaku. Ini untuk menebus dosaku pada Kerajaan.
Dulu aku yang mencurinya….”
Murid Eyang Sinto Gendeng
berpikir. “Kalau aku bertindak keras membuat urusan dengan si gendut ini bisa
jadi kapiran.” Maka Wiropun menjawab. “Sobatku gendut! Kau tak usah kawatir.
Dua buah bonang ini pasti akan kuberikan padamu. Tapi Nyi Bulan kekasihmu itu
bilang dia sendiri yang akan menyerahkannya padamu nanti. Nah mana aku berani
menyalahi pesan kekasihmu itu!”
Bujang Gila Tapak Sakti sesaat
jadi tertegun. Lalu dia tersenyum. “Siapa Nyi Bulan kekasihku?”
“Ah, kau lupa pada ceritamu
sendiri tempo hari. Waktu kau mencuri dua buah bonang ini dengan menyerahkannya
padanya, kau kan diciumnya beberapa kali. Nah kalau kau bukan kekasihnya mana
dia mau menciummu! Kau lihat saja, nanti pasti kau akan diciumnya lagi sampai
kau bisa semaput kenikmatan!”
Bujang Gila Tapak Sakti
tertegun lagi dan tersenyum lagi. Dia mengusap-usap kedua pipinya yang gembrot
lalu berkata. “Kau benar juga. Kalau begitu biar kutunggu sampai dia selesai
berkelahi dengan orang berjubah merah itu.”
“Nah kau pergilah duduk di
tangga candi sana!” kata Wiro selanjutnya. “Apakah kau membawa kipas saktimu?”
“Tentu saja. Memang kenapa?!”
tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Apakah kau tidak merasa
kepanasan? Kulihat muka dan ketekmu sudah basah oleh keringat!”
“Astaga! Kau betul! Untung kau
mengingatkan!” kata Bujang Gila Tapak Sakti. Lalu dia keluarkan kipas
kertasnya. Sreett! Kipas dikembangkan. Dia pergi duduk di tangga candi dan
berkipas-kipas memperhatikan perkelahian antara Dewa Ketawa dan Nyi Bulan
Seruni Pitaloka melawan Sepasang Pedang Dewa.
Janda cantik itu sendiri yang
sedang menghadapi lawan tangguh dalam hati sempat memaki-maki mendengar
kata-kata Wiro tadi bahwa dia adalah kekasih Bujang Gila Tapak Sakti dan nanti
dia akan menciumnya lagi. Namun karena harus memusatkan perhatian pada lawan
sementara pakaiannya sudah penuh robek-robek di mana-mana mau tak mau harus
melupakan kekesalan hatinya.
Saat itu dia sudah berada
dalam keadaan terdesak hebat. Dia sama sekali tidak memiliki senjata dan dua
pedang lawan dalam sejurus dua jurus lagi pasti tidak lagi merobek pakaiannya
melainkan akan merobek daging dan memutus tulang-tulang tubuhnya.
“Saatnya aku harus
mengeluarkan ilmu andalanku. Kalau tidak aku akan mati percuma di tangan
bangsat ini!” membatin Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Mulutnya dikatupkan
rapat-rapat. Kedua matanya memandang lekat-lekat ke depan. Tiba-tiba wuss….wuss!
Dua larik sinar hitam melesat
keluar dari kedua mata Nyi Bulan. Hawa panas menghampar membuat Bujang Gila
Tapak Sakti seperti di panggang.
“Celaka! Dia benar-benar
memiliki ilmu kesaktian sinar sakti pemantek nyawa!” Sepasang Pedang Dewa berteriak
dalam hati ketika melihat dua sinar hitam yang keluar dari dua mata Nyi Bulan.
Orang ini cepat melompat mundur seraya membabatkan pedangnya untuk melindungi
diri.
Dua sinar hitam menyambar dua
bilah pedang.
Cess! Cesss!
Dua pedang yang ada dalam genggaman
Sepasang Pedang Dewa menjadi leleh. Pemiliknya berteriak keras dan lepaskan dua
senjatanya. Tapi terlambat. Hawa yang sangat panas keburu menyambar telapak
tangannya. Kedua tangan itu kini leleh mengelupas dagingnnya bahkan tulang
telapak tangan dan tulang-tulang jarinya ikut lumer!
Sepasang Pedang Dewa menjerit
terus. Nyalinya ikut leleh membuat dia dalam sakit yang bukan alang kepalang
akhirnya melarikan diri dari tempat itu.
“Nyi Bulan! Kesaktianmu hebat
sekali kekasihku!”
Nyi Bulan tersentak dan
berpaling. Yang bicara adalah Bujang Gila Tapak Sakti.
“Sialan! Ini gara-gara Wiro.
Si gendut ini benar-benar menganggap aku kekasihnya!” Nyi Bulan mengomel dalam
hati. Lalu dilihatnya Bujang Gila Tapak Sakti melangkah mendekatinya sambil
terus berkipas-kipas dan cengar-cengir. Saat itu Dewa Ketawa baru saja
membanting Angling Kamesworo habis-habisan dan melangkah ke arah Pendekar 212.
“Nyi Bulan, sobatku Wiro
bilang kau sendiri yang akan menyerahkan dua buah bonang itu padaku. Lalu akan
menciumku berulang-ulang. Ah….betapa bahagianya diriku!” Bujang Gila Tapak
Sakti memasukkan kipas kertasnya lalu berseru pada Pendekar 212. “Wiro, mana
dua buah bonang itu. Berikan pada Nyi Bulan biar dia nanti yang memberikan
padaku!”
“Tidak, dua buah bonang itu
harus kau serahkan padaku!” Dewa Ketawa mempercepat langkahnya ke arah Wiro.
“Semua dengar!” tiba-tiba Nyi
Bulan berteriak.
“Kekasihku, jangan berteriak
keras-keras. Nanti suaramu yang merdu bisa rusak!” seru Bujang Gila Tapak
Sakti.
Nyi Bulan katupkan mulutnya
rapat-rapat, kedua matanya memandang mendelik pada Wiro. Sebaliknya murid Eyang
Sinto Gendeng cepat kedipkan mata memberi tanda. Sebelum Dewa Ketawa datang
lebih dekat Wiro cepat berbisik. “Jangan bodoh. Kita harus menipu
manusia-manusia gendut ini. Kalau tidak bakal menghadapi urusan berat!”
Kemarahan Nyi Bulan mengendur
sedikit. Dia berpaling pada Bujang Gila Tapak Sakti dan tersenyum manis.
Senyuman ini membuat si pemuda gendut jadi blingsatan lalu kedip-kedipkan
matanya. Dia juga membersihkan kedua pipinya dengan ujung-ujung bajunya,
setelah itu dia melangkah mendekati Byi Bulan sambil mengangsurkan pipinya.
“Kata sobatku itu kau mau cium aku sambil menyerahkan dua buah bonang.”
“Bagaimana kalau ciumannya
dulu, bonangnya boleh nanti boleh menyusul….”
“Setan betul,” maki Nyi Bulan
dalam hati. “Dulu waktu masih bodoh memang semua orang senag padanya. Sekarang
sudah jadi bocah bagini bagaimana mungkin aku menciumnya!”
Lagi-lagi Nyi Bulan memandang
pada Wiro dengan mata dibesarkan.
Sebaliknya kembali Pendekar
212 mengedipkan mata dan berbisik. “Cium saja cepat. Sambil mencium kau totok
tubuhnya!”
Mendengar ucapan murid Eyang
Sinto Gendeng itu Nyi Bulan baru mengerti. Maka dia kembali berpaling dan
melangkah mendekati Bujang gila Tapak Sakti seraya berkata. “Santiko kekasihku!
Tujuh tahun lebih kita tak bertemu. Betapa kangennya aku padamu. Saat ini ingin
sekali aku memeluk dan menciummu!”
Mendengar kata-kata itu Bujang
Gila Tapak Sakti berteriak girang. Dia kembangkan kedua tangannya lalu memeluk
Nyi Bulan dengan mesra. Ketika janda jelita ini menciumi pipinya di gendut yang
seperti merasa di sorga ini tersenyumsenyum sambil pejamkan mata. Pada saat
itu pula dua tangan Nyi Bulan bergerak menotok punggung dan dada si pemuda. Tak
ampun lagi Bujang Gila Tapak Sakti menjadi kaku tak bisa bergerak tak bisa
bersuara. Ketika Nyi Bulan melepaskan dirinya dari pelukan pemuda ini, si
gendut ini masih tegak dengan sikap kedua tangan merangkul, mulut tersenyum dan
mata terpenjam!
Dewa Ketawa tak bisa ditipu.
Dia tahu apa yang terjadi. Segera dia pergunakan kesaktiannya yaitu meniup dari
jauh untuk melepaskan totokan di tubuh keponakannya. Wiro yang maklum melakukan
apa yang akan dilakukan oleh Dewa Ketawa cepat bergerak menghalangi tubuh
Bujang Gila dengan tubuhnya sambil gerakkan tangan kiri untuk menyingkirkan
angin tiupan Dewa Ketawa. Ketika tangannya tersambar angin tiupan itu murid
Eyang Sinto Gendeng merasa seperti ada ratusan jarum mencucuk! Ketika
diperhatikan terlihat darah keluar dari pori-pori di sekujur lengan kirinya
sampai ke telapak. Sakitnya bukan kepalang.
“Lekas keluarkan dua buah
bonang itu. Atau kau akan kubuat lumat seperti pembantu Patih Kerajaan itu!”
mengancam Dewa Ketawa.
Saat itu Nyi Bulan sudah tegak
di hadapan Dewa Ketawa.
“Orang tua bertubuh gendut.
Apakah kau juga minta kupeluk dan kucium?!”
“Eh……!” Dewa Ketawa sesaat
jadi tertegun. Lalu sambil menggoyanggoyangkan tangan dan melangkah mundur dia
berkata. “Tidak! Jangan….. aku tidak butuh peluk dan ciumanmu! Aku hanya
inginkan dua buah bonang itu. Aku harus mengembalikannya pada Sultan sebagai
penebus kesalahan keponakanku!”
“Kalau begitu baik. Dua buah
bonang itu akan kuserahkan padamu setelah aku mengambil sesuatu yang jadi
milikku dan tersembunyi di dalamnya.” Kata Nyi Bulan.
“Aku tidak mengerti….” Kata
Dewa kEtawa sambil menutup mulutnya agar tidak tertawa dulu.
Nyi Bulan berpaling pada
Pendekar 212 dan berkata. “Wiro, keluarkan dua buah bonang itu. Juga Kapak Naga
Geni 212-mu….?”
Wiro mengeluarkan dua buah
bonang dari balik pakaiannya lalu menyerahkannya pada Nyi Bulan.
“Kapaknya?” ujar Nyi Bulan
pula.
“Untuk apa….?” tanya Wiro.
“Ketahuilah, menurut suamiku
sebelum dia menghembuskan nafas terakhir ketika dibunuh oleh Sepasang Pedang
Dewa, benda rahasia yang tersembunyi dalam dua buah bonang ini hanya mampu
dicukil keluar oleh dua macam senjata mustika. Yang pertama dengan
mempergunakan keris sakti keris Nogo Sosro. Yang kedua dengan senjata berbentuk
kapak bermata dua. Keris Nogo Sosro entah berada di mana, tak mungkin aku
mencarinya. Lalu aku melihat kau mengeluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 waktu di
pulau Sempu. Kurasa inilah senjata yang dimaksud suamiku. Nah apakah kau tidak
mau mengeluarkan senjata saktimu itu untuk menolong?’
Pendekar 212 garuk-garuk
kepala.
Dewa Ketawa maju selangkah.
“Nyi Bulan, kalau kau menipuku dan sobatku ini, jangan salahkan nanti aku
sampai membunuhmu!”
Nyi Bulan tidak acuhkan
uacapan si gendut itu. Dia cepat mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 begitu
dikeluarkan Wiro dari balik pakaiannya. Dua buah bonang diletakkannya saling
berdekat di tangga candi. Lalu Kapak Naga Geni 212 diletakkannya di atas dua
buah bonang itu. Mata-mata kapak yang tajam berkilauan menyentuh ujung-ujung
menonjol kedua bonang. Nyi Bulan berpaling pada Wiro dan Dewa Ketawa. “Kuharap
tak ada yang mengeluarkan suara baarng sedikitpun. Kalau tidak sulit bagiku
memusatkan pikiran dan tenaga dalam!”
Dewa Ketawa menekap multnya
semakin kuat. Wiro mengangguk sambil menggaruk kepala. Nyi Bulan pejamkan kedua
matanya. Perlahan-lahan dia mulai mengerahkan tenaga dalam murni dari perutnya.
Ketika tenaga dalam itu mengalir melewati dadanya Pendekar 212 hampir berseru
melihat bagaimana sepasang payudara Nyi Bulan jadi membesar luar biasa.
“Sialan! Baru sekali ini kau
melihat buah sorga sebesar itu. Ingin sekali aku meremasnya!” kata Pendekar 212
dalam hati.
Aliran tenaga dalam meluncur
melewati dua tangan Nyi Bulan yang memegang gagang Kapak Maut Naga Geni 212.
Sesaat kemudian kelihatan cahaya putih pada mata kapak semakin terang dan
perlahan-lahan berobah menjadi merah. Cahaya merah ini lalu membungkus dua buah
bonang.
Dalam suasana yang sunyi
seperti di pekuburuan itu tiba-tiba terdengar suara halus jatuhnya sesuatu ke
batu tangga candi.
Nyi Bulan menarik nafas lega.
Kedua matanya dibuka. Cahaya merah lenyap. Perlahan-lahan kapak yang
dipegangnya diangkat dan diserahkan pada Wiro seraya mengucapkan terima kasih.
Dengan sangat hati-hati janda
cantik ini mengangkat dua buah bonang dari tangga candi. Di bekas tempat
bonang-bonang itu diletakkan, di batu tangga kini terlihat dua buah benda aneh.
Baik Wiro maupun Dewa Ketawa tidak tahu benda apa itu adanya. Benda ini
berbentuk gumpalan aneh seperti diremas menjadi bulat. Dengan hati-hati, satu
persatu Nyi Bulan membuka kedua bena itu. Ketika terbuka dan terkembang
ternyata adalah sehelai potongan kain sutra yang sangat tipis. Pada potongan
kain itu terdapat tulisan-tulisan kuno yang tak bisa dibaca oleh Wiro dan Dewa
Ketawa.
“Nyi Bulan….. Benda apa itu
sebenarnya?” tanya Wiro berbisik.
Nyi Bulan tersenyum. “Suamiku
berlaku cerdik. Dia sengaja menuliskan dengan huruf-huruf kuno secara terbalik.
Jika tulisan ini dibaca di atas kaca maka yang pertama isinya adalah ilmu
kesaktian yang sangat langka di dunia ini, sedang yang kedua berisi ilmu
pengobatan yang tak ada duanya.
Wiro dan Dewa Ketawa jadi
terkesiap mendengar keterangan Nyi Bulan itu.
“Dewa Ketawa, sekarang kalau
kau mau ketawa silahkan saja,” kata Nyi Bulan. Lalu dia berdiri dan menyerahkan
dua buah bonang pada orang tua bertubuh gendut itu. “Dua buah bonang ini tidak
cacat barang sedikitpun. Ambillah, bawa kembali ke tempatnya di Keraton.
Kuharap kau bisa buas kini karena bisa menebus kesalahan keponakanmu itu.”
Dewa Ketawa cepat mengambil
dua buah bonang itu, memeriksanya sebentar lalu memasukkannya ke balik
pakaiannya.
Nyi Bulan berpaling pada
Pendekar 212.
“Wiro, kau banyak menolngku.
Aku berhutang budi besar padamu. Sebagai balasan apakah kau mau ikut aku
berjalan-jalan ke dasar bumi?’
“Heh! Apa maksudmu Nyi Bulan?”
Janda jelita itu tak menjawab.
Dia memegang lengan Pendekar 212 lalu mengajaknya berjalan bergandengan. Pada
langkah kelima Nyi Bulan hentakkan kaki kanannya ke tanah.
Di tanah terlihat sebuah
lobang besar dan dalam. Nyi Bulan enak saja meluncur ke dalam lobang itu. Wiro
terpaksa membungkukkan tubuh karena lengannya ikut tertarik.
“Kau mau ikut aku atau tidak
Wiro?”
“Ah, bagaimana ini! Aku mau
saja. Tapi kau bukannya hendak menguburku hidup-hidup?”
“Kalau aku bermaksud jahat,
berarti kita akan mati terkubur bersama-sama. Lagi pula coba kau lihat ke bawah
sana….”
Wiro ulurkan kepalanya ke
dalam lobang. Astaga. Dia tidak percaya pada pemandangannya. Di bawah sana dia
bukannya melihat lorong atau lobang yang gelap, melainkan menyaksikan satu pemandangan
yang indah dari sebuah daerah pesawahan lengkap dengan sungai dan gunung yang
indah sekali.
“Kau mau ikut sekarang?” tanya
Nyi Bulan sambil tersenyum.
Wiro langusung saja masukkan
kedua kakinya ke dalam lobang. Begitu keduanya lenyap, tanah yang tadi
berlobang kini menutup kembali secara aneh tanpa bekas sama sekali ! Mata sipit
Dewa Ketawa sempat tak berkesip beberapa lamanya ketika menyaksikan bagaimana
di tanah ini terlihat ada dua buah gundukan yang meluncur, bergerak makin jauh,
maikn jauh dan akhirnya lenyap di dalam kegelapan.
“Ilmu berjalan di dalam
tanah…. !” seru Dewa Ketawa sambil golenggolengkan kepala. “Jadi ilmu itu
benar-benar ada rupanya….” Setelah menarik nafas panjang dan mengumbat tawa
sepuas-puasnya Dewa Ketawa memutar tubuh. Berjalan tiga langkah menuju tempat
dia meninggalkan keledainya, tiba-tiba dia ingat pada Bujang Gila Tapak Sakti.
Orang tua ini menoleh ke belakang lalu meniup. Hebat sekali ! Totokan yang
menguasai tubuh keponakannya itu serta merta musnah. Bujang Gila Tapak Sakti
kini dapat bergerak dan bersuara lagi. Begitu dirinya bebas pemuda gemuk ini
berteriak keras.
“Nyi Bulan kekasihku! Jangan
tinggalkan diriku! Mengapa cacing tanah berambut gondrong itu yang kau ajak
pergi, bukan aku !” Lalu dia jatuhkan diri di tanah di tempat tadi Nyi Bulan
dan Pendekar 212 lenyap masuk ke dalam tanah dan menangis seperti anak kecil.
Dewa Ketawa lagi-lagi
gelengkan kepala. “Anak setan !” makinya. “Kalau tidak karena kau semua urusan
gila ini tidak bakal terjadi !” Orang tua ini akhirnya tinggalkan tempat itu.
Di kejauhan tak lama kemudian terdengar suara langkah kakinya dan kaki-kaki
keledainya. Lalu dalam kegelapan malam di bukit Imogiri itu kembali terdengar
suara gelak tawanya berkepanjangan.
TAMAT