Bastian Tito
-------------------------------
----------------------------
108 Hantu Muka Dua
1
KURA-KURA raksasa itu tengah
melayang pesat ke arah utara dan siap menukik menuju satu kawasan di mana
terletak sebuah goa disebut Goa Pualam Lamerah. Mendadak binatang ini keluarkan
suara menguik keras. Di bawah sana, dari kelebatan rimba belantara tiba-tiba
melesat satu cahaya putih. Kalau saja penunggangnya tidak cepat bertindak,
menarik kepala kura-kura ke belakang niscaya kepala binatang itu akan hancur!
"Ada pembokong jahat di
dalam rimba!" kata si penunggang kura-kura raksasa dengan rahang
menggembung dan mata melotot tak berkesip. Dia adalah seorang gadis berparas
cantik, rambut digulung di atas kepala, mengenakan pakaian berwarna Jingga.
Gadis ini rundukkan kepalanya lalu berbisik pada binatang tunggangannya. "Laecoklat,
lekas kau melayang turun ke arah timur lalu berballk dan terbang ke jurusan
datangnya cahaya serangan tadi…."
Seolah mengerti kura-kura
raksasa bernama Laecoklat itu kepakkan sayapnya demikian rupa hingga tubuhnya
berputar ke arah timur. Di satu tempat kurakura terbang ini berbalik dan
melesat ke bawah. Menjelang mendekati kawasan dari arah mana tadi ada cahaya
putih menyambar, gadis cll atas kura-kura angkat tangan kanannya. "Aku mau
tahu siapa yang kurang ajar berani mencari perkara!" Lalu gadis ini
pukulkan tangan kanannya. Selarik sinar Jingga menggebubu.
Di bawah sana kelihatan
daun-daun dan ranting pepohonan amblas bermentalan. Sebelum daundaun itu luruh
ke tanah, kura-kura raksasa telah mendarat di satu tempat. Gadis di atasnya
dengan cepat melompat turun lalu menyelinap sebat di antara pepohonan. Belum
jauh bergerak, si gadis hentikan larinya. Mukanya merah mengetam pertanda
geram. Dua tangannya dikepal. Dari mulutnya serta merta keluar suara bentakan.
"Memang sudah kuduga!!
Kau rupanya biang racunnya! Tapi sungguh tidak kusangka! Bangsa Peri itu
ternyata makhluk pengecut yang tega mencelakai orang dengan jalan
membokong!"
Orang yang dibentak tertawa
tawar. Sesaat dia usap kepala angsa raksasa di atas mana dia berada lalu
melompat turun. Sambil rangkapkan dua tangannya yang bagus di atas dada, orang
ini, yang adalah seorang gadis cantik bermata biru berkata dengan suara datar
tenang-tenang saja.
"Gadis genit dan pongah
Luhjelita! Wahai! Tak ada yang berlaku pengecut, tak ada yang berniat membokong!
Kalau memang ada niat mencelakai pukulan sakti sinar putihku tadi pasti tak
akan meleset!"
Mendengar ucapan orang, dara
berpakaian Jingga jadi tambah penasaran. "Peri Angsa Putih! Katakan apa
maumu?! Apa tamparanku beberapa waktu lalu masih kurang nyaman dan kau minta
digebuk sekali lagi?!"
(Seperti dituturkan dalam
serial Wiro Sableng sebelumnya berjudul Hantu Tangan Empat antara Luhjelita dan
Peri Angsa Putih telah terjadi bentrokan cukup hebat Luhjelita kemudian membawa
Wiro dengan kura-kura terbangnya, meninggalkan Peri Angsa Putih dengan perasaan
dendam penasaran. Dapat dimengerti kalau kini sang Peri menghadangnya di
kawasan rimba belantara itu).
Peri Angsa Putih tertawa
panjang. "Luhjelita, aku mencegatmu di tempat ini untuk menanyakan sesuatu.
Kemana kau bawa pemuda asing bernama Wiro Sableng itu. Apa yang telah kau
lakukan terhadapnya!"
"Astaga! Jadi hati serta
pikiranmu rupanya masih belum lepas dari mengingat pemuda satu itu!"
Luhjelita geleng-gelengkan kepalanya. "Bukankah sudah jelasjelas kukatakan
dia tidak menaruh hati padamu! Buktinya dia mau ikut bersamaku dan kau
ditinggal begitu saja! Sungguh aku tidak mengerti. Lelaki itu suamimu bukan,
kekasih juga bukan! Mengapa merepotkan diri mencarinya?!"
Merah padam paras Peri Angsa
Putih mendengar ucapan Luhjelita. Rasanya ingin dia melabrak gadis itu saat itu
juga. "Luhjelita, jika pemuda itu ikut bersamamu apa kau mengira dia suka
padamu? Kau memang pandai merayu, kau menjual kecantikanmu dengan bedak genit
dan bujuk rayu. Selain itu kau juga mempergunakan ilmu kepandaianmu secara
keji, memaksanya ikut bersamamu! Setelah itu pasti kau melakukan perbuatan
tidak senonoh terhadapnya!"
Luhjelita tertawa sambil
sepasang alisnya dinaikkan ke atas dan hidungnya dipencongkan. "Cemburu!
Kau tidak dapat menyembunyikan rasa cemburumu wahai Peri Angsa Putih. Padahal
pemuda itu bukan suami bukan kekasihmu! Hik… hik… hik! Sungguh malang nasibmu
wahai Peri Angsa Putih. Tak mendapatkan cinta di atas langit sana,
sampai-sampai keleleran ke Negeri Latanahsilam!"
"Gadis bejat berhati
busuk! Dulu kukira hanya kaum lelaki di negerimu saja yang mendapat julukan
hidung belang! Ternyata para gadisnya juga pantas mendapat julukan itu! Satu di
antaranya adalah kau! Semua lelaki kau anggap bisa jatuh berlutut di hadapanmu!
Satu hari kelak kau bakal kena batunya! Huh! Tak layak bagiku bicara lebih lama
dengan manusia rendah sepertimu!" Habis berkata begitu Peri Angsa Putih
balikkan tubuhnya, melangkah menuju ke Laeputih, angsa raksasa tunggangannya.
"Peri sinting! Kau yang
mencari pangkal sengketa memancingku di rimba ini! Kalau pelajaranku tempo hari
belum cukup biar kuberi pelajaran sekali lagi agar mulutmu tidak lancang! Aku
mau lihat apa kau masih bisa bicara lancang menghina jika mukamu sudah kurobah
menjadi muka setan!"
Sosok Luhjelita tiba-tiba
melesat ke arah Peri Angsa Putih. Sepuluh jari tangannya yang memiliki
kuku-kuku cukup panjang menyambar ke depan. Dari ujung-ujung kuku itu menderu
kepulan asap berwarna Jingga! Yang diserang adalah wajah sang Peri!
"Sepuluh Kuku Iblis
Menggurat Langiti" seru Peri Angsa Putih kaget. Dia tahu betul keganasan
ilmu yang dipergunakan Luhjelita untuk menyerangnya itu. Jangankan muka orang,
batu keras sekalipun bisa hancur terkena cakaran sepuluh kuku itu!
Sambil berseru keras Peri
Angsa Putih cepat menyingkir selamatkan wajahnya. Bersamaan dengan itu dari
sepasang matanya menyembur dua larik sinar biru! Kini Luhjelita yang terkejut
terkesiap dan buru-buru bersurut sambil tarik pulang serangannya.
"Wusss! Wusss!"
Dua larik sinar biru memapas
satu jengkal di atas jarijari Luhjelita Walau dia berhasil selamatkan dua
tangannya namun tak urung Luhjelita jadi terhuyung-huyung karena kuda-kuda
sepasang kakinya sempat goyah. Selagi dia berusaha mengimbangi diri Peri Angsa
Putih memburu dan tangan kanannya berkelebat sangat cepat.
"Gadis binal tukang rayu!
Aku kembalikan hadiah yang pernah kau berikan tempo hari!" Peri Angsa
Putih berseru keras. Lalu "plaaakk!" Satu tamparan keras mendarat di
pipi kanan Luhjelita. Gadis ini terpekik dan jatuh terduduk di tanah! Darah
berlelehan dari sudut bibirnya yang pecah. Pemandangannya sesaat
berkunang-kunang. Tiba-tiba didahului suara menggembor Luhjelita melompat
bangkit. Dua kakinya dikembangkan dan sedikit menekuk. Mulutnya komatkamit sementara
tangan kanannya yang diangkat ke atas diputar ke kanan. Angin sedahsyat puting
beliung dan memancarkan sinar merah menderu keluar dari telapak tangan
Luhjelita, membuat Peri Angsa Putih tersentak kaget.
"Pukulan Mengelupas
Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi" teriak Peri Angsa Putih. "Dari
mana kau dapatkan ilmu itu kalau bukan dari Hantu Muka Dua!"
"Dari mana aku dapatkan
boleh kau tanyakan pada setan di neraka langit ke tujuh!" jawab Luhjelita
lalu tertawa bergelak.
Peri Angsa Putih palangkan dua
lengannya didepan dada. Sepasang matanya memandang tak berkesip. Begitu dia
anggukkan kepala dari tangan yang bersilang menyambar keluar satu gelombang
sinar biru, menghantam laksana air bah memapasi sinar merah serangan Luhjelita!
Inilah ilmu kesaktian bernama Membalik Langit Menggulung Bumi, merupakan satu
ilmu langka yang dimiliki para Peri dan jarang sekali dikeluarkan kalau
tidakdalam keadaan terdesak.
Seperti diketahui ilmu pukulan
Mengelupas Puncak Langit Mengeruk Kerak Bumi yang dilancarkan Luhjelita adalah
satu ilmu ganas yang bisa membuat musuh menemui ajal dengan sekujur tubuh
terkelupas hingga tinggal tulang belulang. Di lain pihak ilmu Membalik Langit
Menggulung Bumi yang dilancarkan Peri Angsa Putih memiliki kehebatan yang
sanggup menggulung setiap serangan lawan yang datang lalu membalikkannya pada
si penyerang. Jika hal itu sampai terjadi maka Luhjelita akan mengalami nasib
"senjata makan tuan"
yakni menemui ajal oleh ilmu
kesaktiannya sendiri. Kini yang menentukan ialah tingkat kekuatan tenaga dalam
masing-masing. Jika tenaga dalam Luhjelita lebih hebat maka Peri Angsa Putih
akan menemui ajal secara mengerikan. Sebaliknya jika tenaga dalam sang Peri
berada di atas lawan maka Luhjelita akan menemui nasib mengenaskan!
Dalam keadaan sangat menegangkan
begitu rupa tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat disertai bentakan
menggelegar menggetarkan seantero rimba belantara.
"Dua perawan tolol! Kawin
saja belum! Mengapa nekad mencari mati?!"
"Wussss!"
Satu sinar putih panas dan
menyilaukan berkiblat di antara sinar pukulan sakti Luhjelita dan Peri Angsa
Putih. Dua gadis itu sama-sama terpekik dan terpental. Luhjelita menyangsrang
di antara semak belukar. Lelehan darah di mulutnya tampak bertambah banyak.
Kakinya terkangkang demikian rupa hingga auratnya terpampang tak karuan rupa.
Peri Angsa Putih terguling di tanah. Dada pakaiannya tersingkap robek! badanya
mendenyut sakit. Untuk beberapa lamanya ke dua gadis ini tak bisa bergerak,
saling melotot lalu samasama berpaling ke satu arah di mana saat itu tampak
seorang pemuda berambut gondrong terduduk menyeringai di tanah sambil
garuk-garuk kepala.
*
* *
2
SEPASANG mata Luhjelita dan
Peri Angsa Putih samasama terbuka lebar. Sementara itu dari atas hancuran
rerantingan dan daun-daun pepohonan dalam keadaan hangus melayang jatuh
menutupi bahu serta badan orang yang mereka pandangi.
"Pendekar 212…"
desis Peri Angsa Putih.
"Wiro Sableng…"
desah Luhjelita. Dalam hati gadis satu ini membatin agak gelisah. "Dia
muncul disini. Jangan-jangan dia sudah tahu apa yang terjadi di tepi sungai
kecil tempo hari…."
Pemuda yang jatuh terduduk di
tanah itu memang Pendekar 212 Wiro Sableng adanya. Saat itu dadanya mendenyut
sakit dan jalan darahnya tidak teratur akibat bentrokan dengan kekuatan tenaga
dalam dua gadis berkepandaian tinggi itu. Dia masih menjelepok di tanah seperti
orang kesakitan. Padahal saat itu sebenarnya diam-diam matanya jelalatan
melihat pemandangan yang tak mungkin terhindarkan. Luhjelita masih melesak
terkangkang di dalam semak belukar. Lalu di sebelah sana Peri Angsa Putih
terguling dengan dada terbuka.
Sang Peri sadar terlebih dulu.
Dia segera rapatkan pakaiannya yang robek lalu berdiri. Luhjelita melompat
keluar dari semak belukar lalu membenahi pakaiannya yang tersingkap awut-awutan
di sebelah bawah. Dua gadis cantik ini sama-sama memaklumi, kalau Wiro tidak
muncul menengahi adu kekuatan tenaga dalam mereka, salah satu dari mereka saat
itu pasti menemui ajal dan yang lainnya terluka hebat!
"Pemandangan asyik.
Gila…. Putih amat! Tapi sayang singkat sekali…" kata sang pendekar konyol
sambil tersenyum lalu bangkit berdiri tak lupa garuk-garuk kepala.
"Kalian berdua,"
ujar Wiro. "Pasal lantaran apa maka hendak saling berbunuhan?"
Luhjelita yang cerdik dan
pandai merayu segera berbuat sesuatu mendahului Peri Angsa Putih. Dia melangkah
mendekati Wiro dan pegang lengan sang pendekar lalu bertanya, "Wiro, kau….
Kau tak apa-apa? Maafkan diriku. Aku…."
Mendapat Periakuan semesra itu
tentu saja hati Pendekar 212 menjadi lebih menaruh perhatian pada Luhjelita.
Namun karena tidak mau terpengaruh begitu saja Wiro mengulangi ucapannya tadi.
"Aku bertanya. Kalian
masih tidak mau menceritakan silang sengketa apa yang ada di antara
kalian?"
Peri Angsa Putih
geleng-gelengkan kepala. Dia hendak menjawab namun lagi-lagi didahului oleh
Luhjelita.
"Kau tahu sifatku wahai
Wiro. Tak mungkin aku mencari lantai terjungkal membuat silang sengketa. Kalau
tidak karena sangat terpaksa, bagiku sangat tidak layak melayani Peri dari
langit ke tujuh ini. Kejadian di tepi telaga tempo hari, rupanya dia menaruh
dendam lalu menghadangku di rimba belantara Ini. Bahkan sempat hendak
membunuhku dengan cara membokong. Wahai, kalau saja tadi kau tidak muncul dan
menolong kami dengan pukulan saktimu, niscaya peri jahat ini sudah kubuat
melayang rohnya ke langit di atas sana!"
"Wiro, jangan percaya
ucapannya!" kata Peri Angsa Putih setengah berteriak. "Walau hatiku
memang sakit menerima Perlakuannya namun tidak ada niat untuk membunuhnya, apa
lagi secara membokong! Aku hanya ingin memberi peringatan pada gadis ini agar
dia tidak bicara, bertingkah dan berbuat sembarangan! Ternyata sampai saat ini
dia masih saja pandai bermanis mulut padahal diam-diam dia menebar bisa
kejahatan di mana-mana!"
Luhjelita tertawa.
"Mudah-mudahan pemuda sahabatku ini mau percaya akan apa yang kau ucapkan.
Wahai, mengapa tidak kau katakan sekalian padanya bahwa kau tengah mencari-cari
dirinya? Padahal seperti yang aku katakan padamu, dia bukan suami bukan pula
kekasihmu!"
Wiro jadi heran mendengar
kata-kata Luhjelita itu. Dilihatnya wajah Peri Angsa Putih menjadi merah.
Sebenarnya dia punya banyak pertanyaan pada dua orang gadis itu tapi karena
mereka saling berperang mulut pendekar kita hanya bisa garuk-garuk kepala.
"Dia memang bukan kekasih
juga bukan suamiku!"
Peri Angsa Putih menyahuti
ucapan Luhjelita.
"Apapun hubunganku dengan
dirinya bukan urusanmu! Aku tidak menyembunyikan sesuatu. Sebaliknya kau
membekal niat buruk dalam hatimu. Bukankah kau sebenarnya kaki tangan Hantu
Muka Dua?"
Luhjelita mendengus.
"Lagi-lagi kau menyebut Hantu Muka Dua. Peri Angsa Putih, sungguh pandai
kau bermain kata memutar lidah. Bukankah kau yang punya maksud jahat terhadap
pemuda ini? Aku tahu semua tentang bunga mawar kuning yang hanyut di sungai
kecil di satu bukit. Kalau bukan lindungan dari Para Dewa, sahabatku ini pasti
sudah menemui ajal secara mengenaskan."
Kening Pendekar 212 jadi
mengerenyit. Kata-kata Luhjelita itu mengingatkan Wiro pada kejadian beberapa
waktu lalu. Dia segera bertanya. "Luhjelita, apa yang kau ketahui tentang
bunga mawar kuning beracun itu?"
Luhjelita mencibir ke arah
Peri Angsa Putih. "Tanyakan saja padanya. Dia yang punya pekerjaan! Tapi
aku yakin dia akan menyangkal dengan seribu cara…."
Wiro berpaling pada Peri Angsa
Putih. Setelah menatap wajah cantik berwarna biru itu sesaat dia lantas
berkata. "Peri Angsa Putih, kita cukup lama bersahabat Aku telah menanam
budi padamu. Banyak pertolonganmu yang belum dapat aku balas. Sekarang, apakah
kau mau mengatakan perihal mawar kuning beracun yang hampir mencelakai diriku
itu?"
"Wiro, aku tidak tahu
menahu perihal yang kau tanyakan itu. Bunga mawar kuning Aku tidak
mengerti…."
Luhjelita tertawa. Sambil
kembali memegang lengan Pendekar 212 dia berkata. "Kau lihat dan dengar
sendiri wahai Wiro. Bagaimana liciknya Peri ini. Masih bisa berpura-pura pada
saat perbuatan kejinya sudah ketahuan!"
"Gadis bermulut busuk
berhati culas! Perbuatan keji apa yang telah aku lakukan terhadap
dirinya?!" kata Peri Angsa Putih hampir berteriak saking geramnya.
"Jika kau mau mendengar
akan kubuka kedok kejahatanmu!" kata Luhjelita pula sambil mengerling dan
tersenyum pada Wiro. Namun sebelum gadis ini meneruskan ucapannya Wiro
mengangkat tangan dan cepat berkata. "Luhjelita, biar aku yang menjelaskan
padanya." Lalu Wiro memandang pada Peri Angsa Putih. Sambil bicara dia
memperhatikan sepasang mata biru si gadis untuk menjajagi apakah benar Peri
cantik ini tidak tahu menahu perihal bunga mawar kuning yang hampir merenggut
jiwanya itu.
"Tak lama setelah aku
meninggalkanmu, aku sampai di sebuah bukit Di situ ada telaga dan aliran sungai
kecil. Ketika berada di tepi sungai kulihat sekuntum bunga mawar berwarna
kuning dihanyutkan arus sungai. Karena belum pernah melihat bunga mawar
berwarna kuning, apa lagi bentuknya indah sekali, Ininya Itu kuambil. Ketika
bunga kudekatkan ke hidung dan kucium, mendadak aku tidak sadarkan diri. Ketika
siuman ternyata ada seorang kakek aneh berkepandaian tinggi menolongku….
Menurut si kakek, bunga mawar kuning itu hanya tumbuh di lapisan langit ke
tujuh dan merupakan bunga tanaman atau peliharaan bangsa Peri. Mendengar
penjelasan itu aku menaruh syak wasangka bahwa ada seseorang yang bermaksud
meracunku dengan bunga itu. Lalu karena bunga itu hanya tumbuh di negeri Para
Peri, aku jadi… hemmm…"
Wiro tidak teruskan ucapannya.
Dia garuk-garuk kepala dan tersenyum namun tetap mengawasi air muka terutama
dua mata Peri Angsa Putih. (Mengenai bunga mawar kuning yang hampir mencelakai
Pendekar 212 harap baca serial sebelumnya berjudul Hantu Tangan Empat)
"Wahai…. Aku tahu terusan
ucapanmu Wiro. Karena bunga mawar kuning itu hanya tumbuh di negeri kami
kecurigaanmu tentu jatuh pada kami bangsa Peri…."
"Dan karena saat itu kau
satu-satunya Peri yang berada di Negeri Latanahsilam maka jelas kaulah
pelakunya. Bukankah begitu wahai sahabatku Pendekar 212 Wiro Sableng?"
ujar Luhjelita pula memojokkan Peri Angsa Putih hingga sang Peri menjadi merah
padam wajahnya. Sambil bicara Luhjelita kembali memegang lengan murid Sinto
Gendeng.
Setelah menenangkan hatinya
yang bergejolak marah Peri Angsa Putih berucap. Seperti Wiro tadi dia pun
bicara dengan memandang tajam ke mata sang pendekar. Pertanda bahwa dia tidak
bergeming untuk menyatakan kebenaran apa yang diucapkannya.
"Wiro, kalau aku boleh bertanya.
Ketika kau meninggalkan diriku, dengan siapakah kau pergi dan kemanakah kau
menuju?"
"Wiro, hati-hati dengan
pertanyaannya! Dia pasti bersilat lidah memutarbalik kenyataan!" Luhjelita
langsung menimpali ucapan Peri Angsa Putih.
Peri Angsa Putih tetap
mengarahkan pandangannya ke mata Wiro. Dengan tenang dia berkata. "Aku
bicara padamu wahai sahabatku Wiro. Bukan dengan gadis itu. Jangan pegangannya
pada lenganmu membuat hatimu menjadi luluh dan otakmu menjadi tumpul! Kebenaran
tidak akan terkubur dengan rayuan semesra apapun!"
Wiro garuk-garuk kepala,
memandang pada Luhjelita.
Dia hendak menarik tangannya
tapi pegangan Luhjelita justru tambah kuat sementara senyum dan kerling matanya
tambah memikat "Wiro…" kata Luhjelita setengah berbisik. "Tidak ada
gunanya bicara dengan Peri jahat ini. Ayo kita pergi saja dari sini "
"Wahai! Kau yang membuka
pangkal cerita berbisa. Ketika bisa itu hendak berbalik menerkam dirimu kau
buru-buru hendak tinggalkan tempat ini. Kau merasa takut kini Luhjelita?"
"Peri busuk! Siapa
takutkan dirimu!" bentak Luhjelita dengan mata membelalang.
Peri Angsa Putih tersenyum.
"Kau memang gadis pemberani. Terutama pada lelaki. Kau memang tidak takut
padaku. Tapi kau takut kalau kedokmu terbuka sendiri!"
"Hai! Bagaimana
ini!" ujar Wiro. Dia memandang pada dua gadis itu berganti-ganti.
"Jangan bingung sendiri
wahai pemuda asing," ujar Peri Angsa Putih pula. "Jawab saja
pertanyaanku tadi. Nanti kau akan tahu apa yang sebenarnya terjadi…."
"Tak sulit bagiku untuk
menjawab!" kata murid Sinto Gendeng pula.
"Kalau begitu jawablah.
Dengan siapa kau pergi, kemana kau menuju?" Peri Angsa Putih mengulangi
pertanyaannya.
"Kau tahu sendiri karena
kau juga melihat. Hemmm…"
Wiro garuk-garuk kepalanya dan
memandang pada Luhjelita. Si gadis ini kembali layangkan senyum manja dan mesra
seraya berbisik. "Kita pergi saja sekarang juga Wiro…."
"Aku pergi dengan
dia…" kata Wiro pada Peri Angsa Putih.
"Kau pergi dengan gadis
itu. Pergi kemana Wiro? Kau tentu bisa dan mau mengatakan," kata Peri Angsa
Putih pula seolah menuntun.
"Waktu itu dia mengajakku
pergi ke Goa Pualam Lamerah. Namun aku menolak dan akhirnya kami pergi ke
sebuah bukit. Di situ ada telaga serta anak sungai yang kusebutkan…."
"Wahai, ingatanmu sangat
jernih sekali Wiro. Jadi yang ada di tempat itu adalah kau dengan dia. Apakah
aku juga ada di tempat itu?"
Pendekar kita gelengkan
kepala.
"Berarti hanya kau dan
dia yang berada di tempat itu. Jika kemudian ada bunga mawar kuning dihanyutkan
air sungai, apakah mungkin aku yang menghanyutkannya padahal aku tidak ada di
sana?"
"Mungkin saja kau muncul
secara diam-diam.
Dengan kepandaianmu kau bisa
saja melakukan hal itu!" menukas Luhjelita.
"Kau tidak tuli wahai
Luhjelita. Pemuda itu mengatakan di situ hanya ada kau dan dia…" kata Peri
Angsa Putih.
"Pada saat kejadian itu,
aku tidak lagi bersamasama denganmu Wiro. Bukankah saat itu aku pergi mandi di
telaga dan kau entah berada di mana! Kalau aku berniat jahat, mengapa tidak aku
lakukan pada saat kau bersamaku?!"
"Luhjelita, kau memang
betul. Aku tidak mengikutimu sampai di telaga…" kata Wiro pula.
"Berarti pada saat antara
aku pergi dan kau berada sendiri di tepi sungai kecil, Peri ini muncul dan
membuang bunga mawar beracun itu ke dalam aliran sungai karena dia tahu kau ada
di tepi sungai, pasti kau akanmelihat bunga itu dan mengambilnya"
"Wiro," kata Peri
Angsa Putih masih dengan segala ketenangan, "Bunga mawar kuning itu katamu
dihanyutkan arus sungai kecil. Apakah kau tahu dari mana atau di sebelah mana
anak sungai itu berasal?"
"Kalau aku tidak salah
dari telaga di lereng bukit…"
"Wahai, kau menjawab
jujur dan polos. Lalu siapakah yang mandi saat itu di telaga di lereng bukit
itu?"
Wiro terdiam tapi kemudian
segera berpaling memandang ke arah Luhjelita. Di saat yang sama Luhjelita
berteriak keras dan melompat ke arah Peri Angsa Putih. "Dasar Peri jahat!
Kau putarbalikkan kenyataan!
Kau yang melakukan kebusukan
malah kini menuduh diriku!" Tangan kanan Luhjelita berkelebat ke depan,
melancarkan satu jotosan keras ke arah dada Peri Angsa Putih.
"Luhjelita! Siapa yang
tidak kenal dirimu! Kau menebar bujuk rayu cinta di mana-mana. Tapi diamdiam
kau membekal maksud busuk dalam hatimu!"
balas berteriak Peri Angsa
Putih. Dengan sebat dia hantamkan pula tangan kanannya ke depan.
"Bukkk!"
Dua lengan saling beradu
keras. Dua gadis samasama terpekik dan mundur dua langkah. Peri Angsa Putih
pegangi lengan kanannya yang tampak bengkak.
Luhjelita terbungkuk-bungkuk
menahan sakit. Di sela bibirnya terlihat darah mengucur pertanda dia mengalami
luka dalam yang cukup berbahaya. Sambil terus melangkah mundur Luhjelita
memandang penuh geram pada Peri Angsa Putih.
" Peri jahat! Kalau saat
ini aku terpaksa pergi bukan karena aku takut! Jangan mengira kau telah
mengalahkan aku! Lain waktu kalau bertemu aku akan menghajarmu habis-habisan!
Jangan harap kau bisa menginjakkan kaki lagi di Tanahsilam ini!"
"Luhjelita! Tunggu! Kau
mau kemana?!" berseru Wiro.
"Wiro, mari sama-sama
kita tinggalkan tempat ini.
Jangan kau sampai terpengaruh
dan tertipu oleh Peri jahat itu!"
"Harap maafkan aku
Luhjelita. Kali ini aku tak bisa memenuhi permintaanmu. Justru aku ingin kau
tetap berada di sini agar masalah yang kita bicarakan bisa menjadi jelas "
Luhjelita kelihatan sangat
kecewa.
"Tak apa…. Aku tahu kau
mencurigai diriku. Kau telah termakan ucapan Peri jahat itu. Kuharap satu waktu
kau akan sadar. Di balik wajahnya yang cantik itu ada maksud busuk yang akan
mencelakai dirimu. Di balik sinar matanya yang biru bagus itu ada kobaran api
yang akan membakarmu…." Dengan wajah sedih Luhjelita memutar tubuhnya.
Ketika dia hendak melangkah pergi tiba-tiba ada dua sosok bayangan berkelebat.
Luhjelita tampak kaget. Peri Angsa Putih tak kalah kejutnya tapi masih mampu
berlaku tenang. Sebaliknya Pendekar 212 tegak terheran-heran.
"Luhjelita, kau memang
harus segera meninggalkan tempat ini!" Tiba-tiba salah seorang yang
barusan berkelebat muncul berkata. "Hantu Muka Dua sudah sejak lama
mencarimu!"
Luhjelita pandangi orang yang
bicara padanya itu sesaat lalu berkata. "Kemana aku mau pergi adalah
urusanku sendiri…."
"Wahai! Aku khawatir
Hantu Muka Dua tak sedap makan tak nyenyak tidur karena sudah lama tidak
melihatmu. Jangan tunggu sampai dia jatuh sakit…"
"Memangnya aku ada
hubungan apa dengan Hantu Muka Dua?!" hardik Luhjelita. Gadis ini
keluarkan suara mendengus lalu berkelebat pergi dari tempat Itu.
"Wahai, galak amat dara
satu itu. Pantas Hantu Muka Dua suka padanya. Hik… hik… hik!"
Orang yang barusan bicara pada
Luhjelita kini berpaling ke arah Peri Angsa Putih lalu tertawa bergolak.
"Sahabat-sahabatku, tidak
sangka Peri yang hendak kita bunuh ini cantik sekali wajahnya. Kulitnya sehalus
sutera. Putih dan mulus. Senyumnya semanis madu. Ha… ha… ha…! Kalau kalian
berdua setuju biar kuperpanjang sedikit umurnya agar aku bisa bersenang-senang!
Aku tidak takut kutukan Para Peri! Ha…ha… ha!" Orang ini ulurkan lidahnya
berulang kali. Salah satu teman yang diajak bicara menjawabi.
"Dalam usia setua dan
dosa karatan sekujur tubuh, aku tidak menampik menambah sedikit dosa. Apakah
kau mau berbagi kesenangan denganku wahai sahabat?"
Orang-orang yang barusan
muncul itu lalu samasama tertawa bergelak.
*
* *
3
ORANG yang berdiri paling
dekat di hadapan Wiro dan Peri Angsa Putih saat itu adalah seorang kakek berkepala
botak berwarna hitam. Hidungnya luar biasa besar hampir menutupi sebagian
mukanya yang keriput.
Orang ke dua juga seorang
kakek, bertubuh kurus kering berambut seperti ijuk. Matanya cuma satu, yang
satu lagi yakni yang sebelah kanan terkatup picak dan sengaja dipoles dengan
cat warna merah. Yang hebatnya, kakek ini tegak sambil mendukung seorang kakek
lain di atas bahunya. Kakek ini juga memiliki rambut seperti ijuk tapi putih
semua.
Sambil duduk di bahu, si kakek
tidak hentinya meniup sebuah seruling yang ujungnya ditancapi sebuah tengkorak.
Suara tiupan seruling itu sember tak karuan. Tapi si kakek tampak begitu asyik
dan dia seperti tidak peduli tengah berada di mana, tidak acuh keadaan
sekitarnya. Hidungnya kembang kempis dan pipinya terkempot-kempot. Setiap dia
meniup, dari mulut, hidung, dua telinga dan sepasang mata tengkorak mengepul
asap hitam!
Wiro dekati Peri Angsa Putih
dan berbisik. "Dari omongan mereka aku menduga keras mereka adalah kaki
tangan Hantu Muka Dua. Apa kau kenal siapasiapa mereka ini?"
Belum sempat Peri Angsa Putih
menjawab, kakek yang kepalanya botak hitam membuka mulut. "Sobatku mata
picak, apakah pemuda ini yang menurut pesan Hantu Muka Dua harus kita pesiangi
dan kuras darahnya lewat ubun-ubun di kepalanya yang gondrong?!"
Yang ditanya kedap-kedipkan
mata kirinya beberapa kali baru menjawab. "Wahai! Dari potongan tubuh dan
ciri-cirinya memang tak salah!"
Mendengar ucapan orang murid
Sinto Gendeng maklum kalau kakek-kakek itu jelas membawa niat yang tidak baik terhadapnya.
Dia memandang pada kakek picak lalu kedap-kedipkan matanya meniru.
Kemudian sambil sunggingkan
seringai mengejek dia berkata. "Matamu cuma satu, apa kau tidak keliru
melihat bahwa aku orang yang dimaksudkan Hantu Muka Dua?!"
"Kau pandai melucu!"
menyahuti kakek mata picak.
"Setelah urusan kami
dengan Peri Angsa Putih selesai, kau akan kukirim ke tempat setan neraka
melawak!"
"Wah! Hebat sekali! Baru
kali ini aku tahu kalau di neraka sana ada tempat khusus untuk para setan
melawak! Apa kau pernah mampir atau mungkin sudah melihat sendiri?!" Murid
Sinto Gendeng lalu tertawa gelak-gelak.
"Manusia tidak waras!
Biar kubunuh kau sekarang Juga!" bentak kakek picak marah. Namun kakek
botak kepala hitam cepat memberi isyarat.
"Sobatku, jangan kesusu.
Jangan merusak suasana. Biarkan aku bersuka-suka lebih dulu dengan Peri cantik
jelita ini!" Lalu si kakek langsung saja mendekati Peri Angsa Putih sambil
senyum-senyum dan kedip-kedipkan mata sementara kakek yang berada di atas bahu
si picak terus saja meniup suling tengkoraknya. Asap hitam membumbung ke udara.
Pendekar 212 cepat menghadang.
"Kakek hidung cendawan, tunggu dulu! Jelas kau dan dua kawanmu Ini adalah
kaki tangan Hantu Muka Dua! Heran, di usia sudah bau tanah begini rupa mengapa
kalian masih saja mau berbuat jahat mencelakai orang lain?!"
"Hik… hik…! Sahabatku
Lahidungbesar! Dengar pemuda itu! Enak saja kau disebutnya kakek hidung
cendawan! Hik… hik… hik! Lucu memang tapi apa kau tidak jadi jengkel? Lekas
katakan padanya kita bukan mau berbuat jahat! Tapi justru mencari pahala!
Hik…hik… hik!" Yang bicara adalah kakek mata picak si pendukung kakek yang
asyik meniup suling tengkorak.
Kakek yang dipanggil dengan
nama Lahidungbesar tertawa panjang. "Anak muda, kami membunuhmu bukan
berarti berlaku jahat berbuat dosa. Tapi justru mencari pahala! Menurut Hantu
Muka Dua kau telah membunuh seorang anak buahnya bernama Hantu Api Biru.
Gara-gara kau dia juga kehilangan seorang pembantu utama bernama Si Pelawak
Sinting.
Apa tidak pantas kalau Hantu
Muka Dua memerintahkan kami membalas dendam mencabut nyawamu, menguras darahmu
lewat ubun-ubun. Kabarnya konon darahmu dan dua temanmu mujarab untuk menjadi
peredam senjata hingga mampu menjadi senjata sakti mandraguna!"
"Ha… ha… ha!" Kakek
mata picak tertawa. Lalu membentak. "Sekarang agar kawanku Si
Lahidungbesar memberi sedikit pengampunan dan mencabut nyawamu secara enak,
lekas kau beri tahu di mana dua kawanmu berada!"
"Makhluk-makhluk
geblek!" maki Wiro. "Aku sudah bersumpah untuk membunuh Hantu Muka Dua!
Karena kalian kaki tangannya ada baiknya kalian kutumpas lebih dulu!"
"Wahai sombongnya!"
kata kakek mata picak.
"Hai! Kau majulah! Biar
kuremas hidung cendawanmu sampai hancur!" Mengejek Wiro. Membuat
Lahidungbesar keluarkan suara menggeram marah.
Peri Angsa Putih mendekati
Wiro dan cepat berbisik.
"Jangan kau anggap enteng
ke tiga kakek itu. Yang barusan kau tantang memiliki kepandaian hampir
setingkat kakekku Hantu Tangan Empat "
"Apa?" ujar Pendekar
212 terkesiap kaget.
"Si botak itu sangat tinggi
ilmunya. Kakek yang picak itu bernama Lapicakkanan. Ilmunya sulit dijajagi.
Tapi yang sangat berbahaya
adalah kakek berambut putih yang didukung di atas bahunya. Asap hitam dari
suling tengkoraknya jika sampai masuk ke dalam tubuh bisa membuat aliran darah
menjadi beku! Kakek satu ini setahuku bernama Lasulingmaut."
"Siapa takutkan
mereka!" kata Wiro pula walau dia jadi garuk-garuk kepala dan tengkuknya
mendadak menjadi dingin.
"Ikuti aku, melompat ke
atas angsa putih. Kita harus cepat-cepat tinggalkan tempat ini sebelum
terlambat!"
Mendengar bisikan Peri Angsa
Putih, Wiro menjadi bimbang. Tapi akhirnya dia menjawab. "Kalau kau mau
pergi silakan saja. Aku tetap di sini menghadapi tiga kakek sambal itu!"
"Wahai…. Bagaimana
ini?!" Peri Angsa Putih jadi bingung. Akhirnya dia memutuskan untuk tetap
berada di situ.’
"Hai, kenapa tidak
pergi!" Wiro menegur sementara Lahidungbesar dengan menyeringai telah
bergerak mendekati Peri Angsa Putih. Sambil melangkah dia berkata.
"Lapicakkanan, kau bereskan si gondrong Ini. Aku akan meringkus Peri
cantik ini. Kalau berhasil kau pasti akan mendapat bagian!"
Lapicakkanan tertawa bergelak
lalu basahi bibirnya berulang kali sedang mata kirinya dikedipkan tiada henti.
Di atas bahunya kakek yang bernama Lasulingmaut terus saja meniup sulingnya.
Kelihatannya tambah asyik karena matanya sampai terpejam-pejam. Tiba-tiba
Lahidungbesar menyergap ke depan. Tangan kanannya menyambar ke arah Peri Angsa
Putih. Gerakannya seperti orang hendak menotok. Ini adalah aneh karena setahu
Wiro tidak satu orangpun di Negeri Latanahsilam memiliki ilmu menotok. Dengan
cepat Wiro menghadang gerakan si kakek. Dia berhasil menelikung pinggang orang.
Sementara itu tanpa ada yang
mengetahui, di atas sebuah pohon besar berdaun rimbun hingga sulit terlihat
dari bawah, mendekam seorang berpakaian rumput kering warna hitam. Orang ini
sulit dilihat wajah aslinya karena seluruh mukanya dilumuri dengan sejenis
tanah liat. Lalu tanah liat ini masih dilapisi pula dengan sejenis jelaga
berwarna hitam. Walau siang bolong begitu sosoknya tidak beda dengan sosok
hantu. Entah sejak kapan dia berada di atas pohon itu. Yang jelas orang ini
merasa sangat cemas menyaksikan apa yang terjadi di bawah sana.
"Peri Angsa Putih,
ilmunya tinggi. Mungkin tidak sulit baginya menghadapi kakek berhidung besar
itu. Namun jika dikeroyok tiga dan kalau sampai kakek di atas dukungan turun
tangan, wahai aku khawatir dia bisa kelabakan. Bahkan bakal cidera berat. Lalu
pemuda asing berambut gondrong itu. Sampai di mana kehebatannya? Berdua dengan
Peri Angsa Putih apa mungkin mereka menghadapi tiga kakek sakti kaki tangan
Hantu Muka Dua? Aku ingin sekali menolongnya tetapi firasat menyuruh aku harus
menunggu dulu sampai aku tahu siapa adanya sosok yang sembunyi di balik sayap angsa
putih di sebelah sana. Tapi apakah aku bisa menunggu, kalau sampai salah satu
dari dua orang itu mendapat celaka berarti hidupku tambah tidak tenteram! Wahai
mengapa nasibku jadi begini. Sementara orang yang kucari masih belum juga
kutemukan"
Orang di atas pohon mendadak
berkacakaca ke dua matanya. Dia cepat pergunakan tangan untuk mengusap mata
lalu tetapkan hati. Sambil memperhatikan apa yang terjadi di bawah pohon
sesekali dia mengerling memperhatikan sosok Laeputih, yakni angsa putih raksasa
milik Peri Angsa Putih. Ada siapa sebenarnya di bawah salah satu sayap angsa
raksasa ini?
Sesaat setelah orang bermuka
hitam mendekam di atas pohon, secara tak sengaja dia melihat sepasang kaki
putih muncul di balik sayap sebelah kiri angsa putih. Dari bentuk sepasang kaki
itu dia bisa menduga itu adalah kaki milik seorang perempuan. Lebih dari itu
dia tak bisa menerka namun mendadak saja dadanya berdebar. Kalau saja dia bisa
melihat raut wajah perempuan yang sembunyi di balik sayap angsa itu.
"Anehnya, setahuku angsa
putih itu galak terhadap siapa saja yang bukan tuannya. Tapi mengapa orang itu
bisa enak-enakan sembunyi di bawah sayapnya tanpa si angsa menjadi
marah…?" Orang di atas pohon kembali memperhatikan pergumulan antara Wiro
dengan Lahidungbesar.
Begitu berhasil mencekal
pinggang lawannya, dengan mempergunakan jurus Kincir Padi Berputar, Wiro angkat
tubuh si kakek, siap untuk dibantingkan ke tanah. Tapi alangkah kagetnya murid
Eyang Sinto Gendeng ketika mendadak dirasakannya sosok kepala botak hitam berhidung
besar itu laksana seberat gunung! Dia tidak mampu mengangkatnya!
Penasaran Wiro kerahkan tenaga
luar dalam dan mencoba sekali lagi. Keringat sebesar-besar jagung bercucuran di
keningnya.
"Kerahkan seluruh
tenagamu anak muda! Keluarkan semua ilmu kesaktian yang kau miliki! Asal jangan
kau keluarkan isi perutmu! Ha… ha… ha!" mengejek Lahidungbesar.
"Sialan, sebentar lagi
kubanting kau sampai remuk!" kata Wiro dalam hati. Dia kerahkan tenaga
habishabisan.
Sosok Lahidungbesar terangkat
tapi cuma setengah jengkal. Dan saat itu dari tubuh sebelah bawah murid Sinto
Gendeng tiba-tiba saja keluar angin yang bersuara nyaring.
"Bruuuttt!"
"Brengsek! Mengapa aku
sampai kentut!" Wiro memaki diri sendiri.
Lapicakkanan tertawa mengekeh.
"Bangsat kurang
ajar!" Lahidungbesar meludah dan memaki karena angin yang keluar dari
bagian bawah si pemuda menyambar hidungnya dan baunya membuat dia mau muntah.
Tiba-tiba kakek ini membuat gerakan aneh. Tahu-tahu kini Wirolah yang
dicekalnya, ditarik ke atas bahu lalu "braakk!" Pendekar 212
dibantingnya ke tanah!
* *
4
UNTUK sesaat lamanya
pemandangan Wiro jadi berkunang-kunang. Tulang punggung serasa hancur. Selagi
dia tidak berdaya seperti itu tiba-tiba Lapicakkanan melompat dan hunjamkan
kaki kanannya ke dada Wiro!
"Amblas dadamu! Hancur
jantungmu!" teriak Lahidungbesar.
Sesaat lagi kaki kanan
Lahidungbesar benar-benar akan menghancur remuk tubuh Pendekar212 Wiro Sableng,
tiba-tiba sebuah benda panjang berwarna biru yang menebar bau harum laksana
seekor ular besar melesat antara telapak kaki Lahidungbesar dan permukaan dada
murid Sinto Gendeng.
"Dessss!"
Lahidungbesar laksana
menginjak lapisan karet yang kenyal. Kakinya terpental ke atas. Tubuhnya ikut
melambung setinggi dua tombak. Ketika dia turun kembali dilihatnya Wiro telah
berguling selamatkan diri dan sesaat kemudian tegak memasang kuda-kuda siap
menghadapinya. Dengan geram Lahidungbesar berpaling ke kiri. Di situ dilihatnya
Peri Angsa Putih tegak sambil memegang selendang sutera biru. Selendang inilah
tadi yang dipergunakan sang Peri untuk menyelamatkan Wiro.
"Wahai! Peri Angsa Putih
menolong pemuda asing.
Ck… ck… ck…."
Lahidungbesar decakkan lidahnya berulang-ulang. "Kalau tak ada hubungan
apa-apa antara kalian berdua pasti kau tidak akan bertindak seperti itu wahai
Peri Angsa Putih. Hemmm… aku membaur hal yang tidak enak. Lapicakkanan, lekas
kau bunuh pemuda itu. Aku akan meringkus Peri bermata biru itu
hidup-hidup!"
"Botak hitam hidung
besar! Kalau kau berani mendekati Peri Angsa Putih kupanggang tubuhmu saat ini
juga!" Wiro membentak sambil Periahan-lahan tangan kanannya diangkat.
Lahidungbesar tertawa
bergelak. "Barusan kau hampir mampus di tanganku! Selamatkan diri saja
belum mampu bagaimana kau bersombong diri hendak menolong Peri ini?!"
Walau tertawa dan menganggap enteng Pendekar 212 namun diam-diam Lahidungbesar
merasa kaget ketika memperhatikan bagaimana tangan kanan pemuda berambut
gondrong di hadapannya tiba-tiba bergetar dan berubah menjadiputih menyilaukan
seolah terbungkus seduhan perak!
Lahidungbesar bukan seorang
penakut atau mudah menjadi kecut. Namun karena ingin cepat-cepat menguasai Peri
Angsa Putih maka dia memilih berlaku cerdik.
"Lapicakkanan!" seru
Lahidungbesar pada kakek yang mendukung LasulingmauL "Aku tak begitu
bernafsu menghadapi si gondrong itu! Aku lebih bernafsu menghadapi Peri Angsa
Putih!" Habis berkata begitu tanpa tunggu lebih lama si hidung cendawan
itu melesat ke hadapan Peri Angsa Putih. Seperti tadi tangan kanannya bergerak
seolah hendak menotok. Peri Angsa Putih mundur dua langkah lalu kebutkan
selendang sutera di tangan kanannya.
"Wutttt!"
Sinar biru bertabur di udara.
Laksana sebuah jala besar siap melibas sosok Lahidungbesar. Tapi si hidung
besar ini tertawa bergelak. Begitu selendang sutera biru menyambar dia sengaja
susupkan diri, masuk ke dalam selubungan selendang. Selanjutnya dia membuat
gerakan bergulung ke arah lawan.
Peri Angsa Putih berseru kaget
ketika tahu-tahu lawan telah berada hanya satu langkah di hadapannya. Dengan
cepat gadis ini hantamkan tangan kanannya ke batok kepala Lahidungbesar. Ini
adalah satu serangan dahsyat yang jika mengenai sasaran akan membuat rengkahnya
batok kepala. Namun gerakan Peri Angsa Putih masih kalah cepat dengan gerakan
tangan kanan Lahidungbesar. Begitu tangan kanan kakek botak itu menyambar di
depan lehernya, Peri Angsa Putih merasakan ada satu sambaran angin yang menusuk
urat besar di tenggorokannya. Selendang biru di tangan kirinya terlepas jatuh.
Lehernya seperti dicekik.
Tubuhnya serta meria menjadi lemas. Sang Peri cepat kerahkan tenaga dalam serta
alirkan darah ke lehertapi sia-sia saja. Diatakmampu membebaskan diri dari
kekuatan yang menguasai dirinya.
Di atas pohon, orang yang
mukanya dilumuri tanah liat hitam mendesah penuh kaget. "Wahai! Ternyata
Lahidungbesar benar-benar telah memiliki Ilmu Menjirat Urati. Aku harus cepat
menolong Peri itu!" Orang ini segera hendak melayang turun. Namun hentikan
gerakannya ketika tiba-tiba di bawah sana dilihatnya pemuda berambut gondrong
melompat mendekati Lahidungbesar yang telah memanggul tubuh Peri Angsa Putih di
bahu kirinya.
"Hidung besar hidung
belang! Turunkan gadis itu! Kalau tidak kutambus tubuhmu saat ini juga!"
Lahidungbesar tertawa
mengejek. "Kau mau menembus tubuhku! Silakan saja! Wahai sungguh senang
mati berdua sambil memeluk gadis jelita ini!" Meski kelihatannya
menganggap enteng lawan namun diam-diam kakek kepala botak berhidung besar ini
merasa was-was juga ketika melihat bagaimana tangan kanan Wiro berubah menjadi
putih menyilaukan seperti seduhan perak tertimpa sinar matahari. Maka cepat dia
berkata pada Lapicakkanan. "Kau hadapi si gondrong itu! Aku akan membawa
Peri ini ke Istana Kebahagiaan. Kutunggu kau di sana…."
"Pergi saja cepat! Pemuda
otak miring ini biar aku dan Lasulingmaut yang membereskan!" menjawab
Lapicakkanan.
Lahidungbesar cepat berkelebat
namun gerakannya tertahan karena di hadapannya telah menghadang Pendekar 212.
"Tua bangka jahanam
berhidung besar! Kau membuat aku nekad!" Habis membentak murid Sinto
Gendeng langsung saja hantamkan tangan kanannya.
Sinar putih menyilaukan
berkiblat. Hawa panas menerpa Seantero tempat. Beberapa mulut keluarkan
teriakan kaget.
Orang di atas pohon tersentak!
"Pemuda gila! Walaupun
dia berhasil membunuh kakek itu, apa dia tidak sadar pukulannya juga akan
menghabisi Peri Angsa Putih?!" Orang di atas pohon serta merta melompat
turun sambil tangan kanannya dipukulkan ke bawah. Namun lagi-lagi gerakannya
tertahan karena tiba-tiba kakek yang ada di atas dukungan Lapicakkanan dan
sejak tadi asyik terus meniup suling tengkoraknya, mendadak cabut suling
tengkoraknya lalu disapukan ke bawah! Asap hitam menggebubu keluar dari setiap
lobang yang ada di tengkorak, menyambar dahsyat menghantam cahaya putih panas
pukulan Sinar Matahari yang dilepaskan Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Blaaarrr! Blaaar!
Blaaarr!"
Letupan keras disertai
pancaran bunga api terang benderang menggema tiga kali berturut-turut. Wiro
terpental dan bergulingan di tanah. Mulutnya terasa asin. Ketika dia meludah,
ludahnya kelihatan merah bercampur darah pertanda ada bagian tubuhnya yang
terluka di sebelah dalam. Dia ingat ucapan Peri Angsa Putih. Yaitu bahwa asap
hitam yang keluar dari dalam tengkorak yang menancap di seruling Lasulingmaut
sanggup membuat darah lawan menjadi beku. Wiro segera bangkit, gerakkan tangan
dan kakinya. Dia merasa lega karena walau di dalam ada luka tapi lebih dari itu
keadaannya tidak kurang suatu apa. Namun murid Eyang Sinto Gendeng ini melengak
kaget ketika dilihatnya kakek bernama Lahidungbesar tak ada lagi di tempat itu.
"Celaka! Jahanam hidung
besar itukabur bersama Peri Angsa Putih!"
Baru saja Wiro berkata begitu
di samping kanan terdengar suara tawa mengekeh disusul oleh tiupan seruling
sember. Wiro menoleh. Kakek picak memandangnya dengan seringai serta tawa mengejek.
Di atas dukungannya kakek berambut putih tampak asyik meniup suling
tengkoraknya seolah di tempat itu tidak terjadi apa-apa. Walau memperhatikan
hanya sebentar dan diselimuti hawa marah namun murid Sinto Gendeng melihat satu
keanehan. Tadi-tadi tengkorak di ujung seruling itu selalu mengepulkan asap
hitam. Namun sekali ini tidak sedikitpun tampak asap hitam.
"Apa yang hendak
dilakukan jahanam satu ini. Aku harus berhati-hati…" kata Wiro membatin.
Rahangnya menggembung. Dia segera alirkan tenaga dalam ke tangan kiri kanan.
Tubuhnya bergetar tanda kali ini Wiro siap mengerahkan seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya.
Lapicakkanan tertawa mengekeh
lalu kembali sunggingkan seringai mengejek. "Pemuda gondrong! Kuras
seluruh tenaga dalam yang kau miliki! Aku mau lihat sampai di mana kehebatan
orang dari negeri yang katanya seribu dua ratus tahun lebih maju!"
"Jangan terpancing!
Jangan lakukan apa yang dikatakannya! Jangan kerahkan seluruh tenaga dalam!
Semakin kau mengerahkan semakin mudah baginya melumat dirimu!"
Tiba-tiba satu suara menggema
dari atas pohon. Wiro belum sempat berpaling Lapicakkanan dongakkan kepala dan
gerakkan mata kanannya yang picak tertutup cat merah. Selarik sinar merah
menderu.
"Wussss!"
Pohon besar di atas sana
mendadak sontak dilamun kobaran api. Lebih dari setengah bagian atas pohon ini
kini tampak gundul hangus. Tapi orang yang tadi berada di tempat itu telah
berkelebat lenyap. Lapicakkanan menggeram marah. Dia mendongak pada orang yang
didukungnya.
"Wahai Lasulingmaut, siapa
menurutmu bangsat di atas pohon tadi yang tahu kelemahan ilmu Asap Iblis
Pembeku Darah milikmu itu?!"
Kakek di atas dukungan
lepaskan ujung suling dari mulutnya. Lalu keluarkan suara jawaban bergumam yang
hanya diketahui dan dimengerti oleh kakek pendukung. "Kau betul, pasti
keparat berjuluk Penolong Budiman. Sudah dua kali dengan ini dia menggerecoki
kita. Kita harus segera mencarinya!"
Kakek di atas dukungan kembali
keluarkan suara bergumam. Kakek yang mendukungnya tampak kecewa tapi berucap.
"Kau benar. Memang bukan saatnya mengejar bangsat satu itu…."
Kakek di atas dukungan
tiba-tiba rundukkan kepalanya. Mulutnya meniup ke arah Wiro. Kalau tadi asap
hitam menderu keluar dari semua lobang yang ada di tengkorak, kini asap itu
menyambar dahsyat dari mulutnya yang meniup.
Sesaat murid Eyang Sinto
Gendeng jadi bingung apa yang hendak diperbuatnya. Kalau dia ingat akan ucapan
orang di atas pohon tadi dia tidak boleh menyambuti serangan asap maut Itu
dengan pengerahan tenaga dalam. Tapi apa masuk akal? Dengan tenaga dalam tinggi
saja tadi dia tidak mampu menghadapi serangan asap. Apa lagi tanpa tenaga dalam
sama sekali! Dalam bingungnya Wiro akhirnya cabut Kapak Maut Naga Geni 212.
Begitu tenaga dalam disalurkan ke senjata mustika itu dia langsung membabat.
Sinar putih panas disertai gaungan seolah ada seribu tawon mengamuk seperti
hendak meruntuhkan langit membelah bumi!
"Pemuda tolol!
Mempergunakan senjata sakti itu sudah betul! Tapi dia masih saja mengerahkan
tenaga dalam!" Orang bermuka tanah liat hitam memaki sendiri melihat apa
yang dilakukan Wiro. Ucapan itu terdengar di balik serumpunan semak belukar.
Seperti ada petir menghantam bumi, rimba belantara itu sesaatterang benderang.
Tanah terbongkar. Nyala api disertai gulungan asap hitam menggebu. Kapak Maut
Naga Geni 212 terlepas dari tangan Wiro. Di atas bahu kawannya kakek berambut
putih kembali meniup.
"Wussss!"
Semburan asap hitam menyambar
ke arah Wiro yang saat itu berusaha menangkap kapak saktinya yang tengah
melayang jatuh ke bawah.
"Benar-benar tolol!
Mencari mati!" Dari balik semak belukar kembali terdengar suara orang.
Lalu "seetttt… seett!" Menyambar selarik sinar hitam yang mengembang
berbentuk kipas. Sinar hitam ini bukan sinar hitam biasa karena disertai serpihan-serpihan
aneh berbentuk bunga-bunga api yang memancarkan cahaya berkilauan.
"Pukulan Menebar Budi
Hari Ke tiga!" seru Lapicakkanan dengan tampang berubah sementara di
atasnya kakek berambut ijuk warna putih menggumam keras. Ke duanya kaget dan
kecut ketika melihat bagaimana cahaya hitam berbentuk kipas itu mendorong
dengan dahsyat pukulan Asap Iblis Pembeku Darah yang disemburkan Lasulingmaut.
Dua kakek terdorong ke belakang. Tubuh mereka bergetar hebat.
Kakek di sebelah atas cepat
melintangkan suling tengkoraknya di depan dada. Lalu benda ini diputarnya
seperti titiran. Walau dia dan kawannya masih merasakan adanya tekanan cahaya
hitam lawan yang tak kelihatan namun dua kakek aneh itu merasa lega karena
mereka mampu meredam serangan mematikan itu. Ketika cahaya hitam yang disebut
Pukulan Menebar Budi Hari Ke tiga itu menyapu lewat di bawah kaki mereka si
kakek sebelah atas keluarkan lagi suara bergumam. Kali ini lebih keras.
"Aku tahu, aku sudah
dengar Lasulingmaut! Walau hatiku panas memang ada baiknya kita tinggalkan
tempat ini! Urusan dengan pemuda gondrong itu biar kita selesaikan lain waktu.
Sialan…. Keparat betul! Dia muncul lagi! Seperti dulu setiap muncul dia tak
pernah memperlihatkan diri!"
Lapicakkanan pegang pinggang
kakek yang didukungnya lalu bersiap memutar diri untuk tinggalkan tempat itu.
Namun baru membuat setengah lingkaran tiba-tiba satu cahaya menyilaukan
menyambar ke arah dadanya. Bersamaan dengan itu ada suara menggaung aneh
disertai hantaman hawa luar biasa panas. Sambil berteriak keras kakek bermata
picak ini melompat mundur. Kakek yang didukungnya menggumam keras lalu
cepat-cepat kembangkan dua kakinya. Sambaran sinar menyilaukan yang bukan lain
adalah sabetan Kapak Maut Naga Geni 212 lewat di dada Lapicakkanan dan hanya
seujung kuku memapas di atas dua kaki Lasulingmaut.
"Pemuda keparat! Mampus
kau!" teriak Lapicakkanan marah sekali. Matanya yang picak digerakkan.
Namun belum sempat dia menyemburkan api merah dari matanya itu kapak sakti
warisan Eyang Sinto Gendeng dari puncak Gunung Gede kembali membabat. Sekali
ini Lapicakkanan tak bisa mengelak. Kaki kirinya sebatas paha amblas papas
dimakan Kapak Maut Naga Geni 212. Darah menyembur. Tubuhnya mendadak sontak
digerogoti hawa panas.
Lapicakkanan meraung keras.
Lasulingmaut yang ada di atasnya melompat turun sambil tangannya melemparkan
sesuatu. Saat itu juga terdengar letupan keras lalu asap pekat kelabu menutupi
pemandangan. Ketika asap itu lenyap, dua kakek aneh tak ada lagi di tempat itu.
Wiro hentakkan kaki penuh
geram. Dia memandang berkeliling. Mencari-cari. Tidak tampak siapa-siapa.
Bahkan orang di atas pohon dan kemudian bersembunyi di balik semak belukar,
yakni orang yang tadi menolongnya dari serangan Asap Iblis Pembeku Darah juga
tidak kelihatan. Di udara terdengar suara menguik. Wiro cepat mendongak. Dia
melihat Laeputih melayang terbang menuju ke timur. Di punggungnya duduk
perempuan berambut lepas, panjang terurai ditiup angin.
"Aneh, angsa putih
raksasa itu adalah milik Peri Angsa Putih. Lalu siapa perempuan yang
menungganginya itu. Hendak dibawanya kemana angsa itu? Mengapa Laeputih
bersikap jinak?"
Selagi Wiro memperhatikan
sambil bertanya-tanya, tiba-tiba di arah barat tampak melayang kura-kura
raksasa ditunggangi perempuan berpakaian Jingga.
"Luhjelita," desis
Wiro. "Ternyata dia masih ada di sekitar sini. Melihat arah terbangnya
jelas dia seperti mengikuti angsa putih. Aku harus menolong Peri Angsa Putih!
Kakek keparat bernama Lahidungbesar Itu pasti membawanya ke Istana Kebahagiaan!
Aku akan menyusul ke sana. Tapi bagaimana dengan Naga Kuning dan Si Setan
Ngompol? Apakah mereka telah berhasil mendapat kesembuhan dari Hantu Raja
Obat?"
Sesaat Wiro jadi bimbang.
Akhirnya dia tetap mengambil Keputusan untuk berangkat menuju Istana
Kebahagiaan. Ketika dia hendak bergerak pergi mendadak pandangannya membentur
selendang biru milik Peri Angsa Putih yang tadi terjatuh di tanah. Wiro segera
ambil selendang ini, melipatnya lalu memasukkannya ke balik pakaiannya.
5
DI ATAS sebuah pembaringan
batu yang dialasi permadani dan bantal-bantal empuk terbuat dari rumput kering,
Hantu Muka Dua berbaring dengan mata terpejam, ditemani setengah lusin gadis
cantik berpakaian serba minim. Diantara mereka ada yang memijat-mijat tangan
atau kaki, ada pula yang memijitmijit kepalanya. Seorang gadis bermuka bulat
berbadan sintal sesekali menyuapkan sejenis buah menyerupai anggur ke dalam
mulut Hantu Muka Dua yang saat itu terbaring dengan penampilan wajah seorang
lelaki separuh baya. Sudah beberapa kali gadis ini berusaha memasukkan buah itu
ke dalam mulut Hantu Muka Dua, namun Hantu Muka Dua entah apa sebabnya sejak
tadi selalu mengatupkan mulut Di sisi kanan bersimpuh gadis ke enam, gadis
paling cantik dari semua gadis yang ada di ruangan itu. Gadis ini memegang
sehelai kipas daun yang dikipaskipaskannya ke arah Hantu Muka Dua dan menebar
bau harum. Beberapa waktu berlalu tanpa ada yang berani bicara dan Hantu Muka
Dua masih saja berbaring dengan mata terpejam.
Gadis yang memegang kipas
bernama Luhkiniki. Diantara semua gadis yang ada di Istana Kebahagiaan Itu
memang yang satu ini adalah kesayangan Hantu Muka Dua dan lebih berani dari
yang lain-lainnya.
"Wahai Hantu Muka Dua,
Junjungan kami para penghuni Istana Kebahagiaan, Raja Diraja Segala Hantu di
Negeri Latanahsilam. Sejak tadi kau berbaring berdiam diri pejamkan mata.
Mungkinkah sakit menjangkit badan atau adakah sesuatu yang kurang mengenakkan?
Kalau memang berkenan di hati sudilah Junjungan memberi jawaban."
"Jangan ganggu aku dengan
berbagai ucapan dan pertanyaan. Aku tidak sakit! Tapi sedang kalut pikiran.
Banyak yang aku pikirkan saat ini! Kalian lakukan saja apa kewajiban kalian!
Dan awas! Jangan suapi lagi aku dengan buah celaka itu! Jangan berani berisik
apa lagi bertanya!"
"Wahai Junjungan, maafkan
kami kalau berlaku menyakiti hatimu. Tidak maksud hati berlaku kurang ajar.
Kalau memang ada kekalutan pikiran dan kau mau menceritakan, siapa tahu kami
bisa membantu…" berucap gadis yang memegang kipas.
"Luhkiniki, aku sayang
padamu. Tapi saat kalut begini jangan kau berbanyak mulut! Jangan kira aku
tidak tega menampar mukamu yang cantik itu!"
Mendengar kata-kata Hantu Muka
Dua itu, gadis bernama Luhkiniki memandang pada lima kawannya lalu tutup
mulutnya tak berani bersuara lagi. Beberapa waktu lagi berlalu. Sesekali Hantu
Muka Dua keluarkan suara seperti mendengkur. Tapi semua gadis itu tahu sang
Junjungan bukan tengah tertidur lelap. Tiba-tiba Hantu Muka Dua bergumam. Lalu
mulutnya terbuka.
"Tidak mungkin! Tidak
mungkin!"
Dua wajah Hantu Muka Dua depan
belakang tampak mengucurkan keringat sebesar butiran-butiran jagung.
Kalau saja tidak takut kena
marah, Luhkiniki sebenarnya ingin bertanya apa yang tidak mungkin itu. Namun
karena takut gadis ini dan kawan-kawannya lebih baik memilih diam. Mendadak
Hantu Muka Dua bangkit dari berbaring. Duduk di pembaringan, memandang
berkeliling. Lalu berkata lagi. "Tidak mungkin! Tidak mungkin Lakasipo!
Tidak mungkin kau saudaraku! Tanda berbentuk gambar bunga dalam lingkaran yang
ada di bawah lengan dekat ketiak kananmu itu mungkin hanya satu kebetulan saja!
Kita tidak bersaudara. Haram bagiku bersaudara denganmu! Seharusnya aku bunuh
kau saat itu Lakasipo! Tapi jahanam betul! Mengapa aku berlaku tolol! Mengapa
tidak aku lakukan!"
Seperti dituturkan dalam
serial Wiro Sableng berjudul Hantu Jati Landak di sebuah pulau terjadi
pertarungan hidup mati antara Lakasipo alias Hantu Kaki Batu dengan Hantu Muka
Dua. Saat itu Hantu Muka Dua hendak menghabisi Lakasipo. Hampir Hantu Muka Dua
akan merenggut nyawa lawannya itu tiba-tiba dia melihat tanda seperti jarahan
berupa gambar bunga dalam lingkaran di lengan sebelah dalam dekat ketiak kanan
Lakasipo. Dia serta merta ingat pada tanda yang sama yang ada pada lengannya
sebelah dalam dekat ketiak kanan. Terbayang oleh Hantu Muka Dua wajah seorang
kakek bernama Lamanyala. Terngiang di telinganya ucapan orang tua itu.
"Ketahuilah, kau memiliki
tiga orang saudara. Semuanya laki-laki. Ketika banjir besar melanda daerah
tempat kediamanmu puluhan tahun silam, kalian berempat dihanyutkan air bah ke
empat penjuru angin. Semua saudaramu masih hidup. Begitu kabar yang aku sirap.
Namun di mana mereka berada tidak aku ketahui dan tidak aku selidiki. Satu hal
yang aku ketahui kalian berempat memiliki tanda aneh di bawah lengan kanan
sebelah atas, dekat ketiak. Tanda itu berupa gambar setangkai bunga dalam
lingkaran…."
Hantu Muka Dua memandang
berkeliling. Pandangannya berhenti pada wajah jelita Luhkiniki. Memberanikan
diri gadis ini berkata. "Wahai Hantu Muka Dua, Raja Diraja Segala Hantu,
penguasa Kerajaan yang berpusat pada Istana Kebahagiaan, hal apakah yang tengah
kau alami? Tadi matamu terpejam tapi kau tidak tidur. Kau tiba-tiba bicara
sesuatu tetapi kau tidak mengigau. Kau menyebut-nyebut tidak mungkin. Apa yang
tidak mungkin wahai Hantu Muka Dua. Tidak dapatkah kami menolongmu dari
kekalutan yang membuncah pikiranmu?"
Hantu Muka Dua sesaat masih
menetap Luhkiniki.
Kemudian dia memandang ke
pintu. "Sudah belasan hari mereka pergi. Sampai saat ini apakah masih
belum kembali?"
"Wahai, gerangan siapa
yang Junjungan pertanyakan? Sudilah menyebut nama agar kami bisa
menjawab…" berkata Luhkiniki.
"Yang kutanyakan adalah
tiga sahabat tangan kananku di Istana Kebahagiaan ini. Si Lahidungbesar,
Lapicakkanan dan Lasulingmaut!" jawab Hantu Muka Dua pula dengan suara
agak berang.
Baru saja Hantu Muka Dua
selesai berucap tibatiba di luar ruangan ada orang berseru.
"Hantu Muka Dua Junjungan
Penguasa Istana Kebahagiaan! Kami bertiga yang kau tanyakan ada di luar sini!
Mohon waktu untuk menghadap! Kami membawa kabar buruk!"
Dua wajah Hantu Muka Dua
sesaat berubah menjadi wajah kakek-kakek pucat. Setelah hatinya tenang wajahnya
depan belakang kembali pada wajah dua lelaki separuh baya.
"Pintu batu tidak
dikunci. Dorong dan masuklah!" Hantu Muka Dua berkata. Matanya memandang
tak berkesip ke ujung ruangan. Dinding ruangan itu perlahan-lahan bergerak ke
kiri. Dua orang kakek kelihatan tegak di seberang sana. Salah seorang di
antaranya mendukung satu sosok yang paha kirinya buntung. Dari kutungan tubuh
ini kelihatan darah masih mengucur. Enam gadis yang ada di ruangan itu menjerit
ngeri.
Membuat Hantu Muka Dua jadi
tergagau kaget dalam kejutnya. "Gadis-gadis jahanam! Keluar kalian semua!
Tinggalkan ruangan ini!" hardik Hantu Muka Dua. Enam gadis cantik serta
merta menghambur lari dan menghilang lewat sebuah pintu yang ada di balik tiang
besar berukir.
Dua kakek di ambang pintu
bertindak hendak melangkah masuk.
"Jahanam! Jangan berani
masuk mengotori kamar ketiduranku dengan darah busuk!" Hantu Muka Dua
kembali berteriak marah. Dia melompat ke arah pintu yang terbuka. Saat itu dua
wajahnya telah berubah menjadi muka raksasa yang menakutkan. Hidung besar,
mulut berbibir tebal, taring mencuat dan rambut, kumis serta janggut lebat
awut-awutan! Sepasang matanya yang besar memandang seperti mau menelan dua
kakek di depannya. Lalu dia memperhatikan kakek buntung paha yang ada dalam
dukungan kakek berhidung besar berkepala botak hitam.
Dengan suara bergetar menahan
amarah Hantu Muka Dua bertanya. "Apa yang terjadi dengan Lapicakkanan?!
Lasulingmaut! Lahidungbesar! Jawab!"
Kakek di sebelah kanan yang
berambut seperti ijuk berwarna putih keluarkan suara bergumam lalu masukkan
ujung suling yang ditancapi tengkorak dan meniup satu kali. Suling itu
keluarkan suara sember disertai mengepulnya asap hitam dari lobang mata,
hidung, mulut dan telinga tengkorak.
"Keparat! Lasulingmaut!
Apa kau tak bisa bicara wajar?!" menghardik Hantu Muka Dua. Rambut di
kepalanya dan kumis tebal di bawah hidungnya sampai naik berjingkrak! Yang
dihardik, yakni kakek yang membawa suling, kembali meniup sulingnya. Suara
sember terdengar lagi dan asap hitam kembali mengepul.
"Jahanam! Kau mau
membunuh aku dengan asap beracun itu! Kau memang sialan! Tak pernah bisa bicara
wajar!" Hantu Muka Dua berpaling pada kakek yang mendukung orang tua
buntung paha. "Kau juga tidak bisa bicara wajar? Atau Perlu kurobek dulu
mulutmu?! Lahidungbesar! Ayo ceritakan apa yang terjadi!"
"Maafkan kami wahai Hantu
Muka Dua. Maafkan aku! Sesuai perintahmu kami berhasil menghadang Peri Angsa Putih
bahkan sekaligus menemukan kekasihmu Luhjelita!"
Mendengar kata-kata kakek yang
hidungnya besar itu dua wajah Hantu Muka Dua depan belakang berubah menjadi
muka lelaki separuh baya kembali. Dia mendesah sambil pejamkan mata.
"Wahai Luhjelita kekasihku…. Bagaimana keadaannya? Lama nian dia tidak
menyambangiku. Lama nian aku tidak melihat wajahnya yang jelita. Lama nian aku
tidak melihat lekuk tubuhnya yang bagus putih dan kencang…."
"Luhjelita ada baik-baik
saja wahai Hantu Muka Dua," jawab Lahidungbesar. Lalu dia melanjutkan.
"Keberuntungan kami malah
lebih besar dari yang kami duga. Di tempat di mana Luhjelita dan Peri Angsa
Putih berada, di situ juga ada pemuda asing dari negeri seribu dua ratus tahun
mendatang yang kau suruh bunuh itu!"
"Maksudmu pemuda gondrong
sinting bernama Wiro Sableng itu?"
"Benar sekali wahai Hantu
Muka Dua…. Tapi seperti katamu, pemuda itu tidak lagi bersosok kerdil. Tidak
setinggi lutut! Tubuhnya sama besar dengan kita!"
"Jahanam! Siapa yang
menolongnya hingga bisa jadi besar begitu rupa?!"
"Kami tidak tahu. Kami
tidak sempat menyelidik…."
"Apa dua kawannya juga
ada di situ? Seorang bocah banyak tingkah dan seorang kakek bau pesing?"
Lahidungbesar gelengkan
kepala.
Hantu Muka Dua menatap tajam
pada kakek bernama Lahidungbesar lalu pandangannya turun pada sosok buntung
paha yang digendong si kakek. "Aku sudah bisa menduga-duga apa yang
terjadi! Tapi kau harus menerangkan mengapa Lapicakkanan berada dalam keadaan
seperti ini! Siapa yang mencelakainya. Peri Angsa Putih atau pemuda bernama
Wiro Sableng itu?!"
Kakek mata picak dalam
gendongan kakek hidung besar keluarkan erangan panjang sementara darah masih
mengucur dari pahanya yang buntung. "Hantu Muka Dua Aku tak tahan. Sekujur
tubuhku terasa panas…. Panas sekali "
Hantu Muka Dua perhatikan
buntungan di paha Lapicakkanan. "Ini bukan luka biasa. Sebagian pahanya
yang masih bersisa kelihatan hangus seperti dipanggang…."
" Kakek bernama
Lasulingmaut mendongak. Matanya berkaca-kaca. Dari mulutnya keluar suara
bergumam. Setelah meniup sulingnya satu kali kakek ini usut air matanya.
"Wahai Hantu Muka Dua.
Sahabatku ini terkena sambaran kapak sakti milik pemuda bernama Wiro Sableng
itu "
"Jahanam besar! Kalian
bertiga ternyata tidak becus!" Dua muka Hantu Muka Dua kembali berubah
menjadi wajah-wajah raksasa menggidikkan.
"Sebenarnya hal mudah
bagi kami untuk membereskan pemuda itu. Malah Peri Angsa Putih telah kami
tawan…."
"Apa?!" Hantu Muka
Dua tersentak. "Di mana Peri Itu sekarang?"
"Aku sembunyikan di
sebuah sumur melintang dekat jalan masuk ke Istana Kebahagiaan di sebelah
utara…."
"Jangan bermain culas
denganku Lahidungbesar. Gadis itu harus kau bawa ke hadapanku! Aku sudah lama
menyarang dendam terhadapnya. Walau aku tidak boleh membunuhnya tapi aku sudah
lama berniat untuk merampas kehormatannya. Bahkan aku akan membuatnya hamil
mengandung! Agar segala kutuk jatuh pada dirinya!" Hantu Muka Dua basahi
bibirnya dengan ujung lidah berulang kali. Rangkungannya turun naik dan dua
wajahnya berubah menjadi wajah dua orang pemuda gagah. Ini pertanda bahwa
dirinya telah dirasuki nafsu birahi kotor!"
"Hantu Muka Dua, wahai!
Kau tentu tidak lupa. Bukankah kita sudah membuat perjanjian? Jika aku berhasil
meringkus Peri Angsa Putih maka Peri itu akan menjadi bagianku untuk bersuka-suka
sebelum kau masukkan ke dalam ruang penyiksaan, Ruangan Obor Tunggal!"
"Memang kita sudah
membuat perjanjian. Tapi aku kuasa untuk merubah segala perjanjian! Apa seorang
Raja Diraja seperti aku harus mendapatkan barang bekas? Kau mau memberi sisa
padaku Lahidungbesar? Katakan berapa nyawa yang kau miliki!" Tampang
raksasa kembali muncul di dua wajah Hantu Muka Dua.
"Wahai Hantu Muka Dua,
kau adalah Junjungan dan Raja Diraja Segala Hantu, pembangun Kerajaan
Kebahagiaan, Penguasa Tunggal di Istana Kebahagiaan, mana aku berani membantah.
Jika kau memang menginginkan Peri Angsa Putih, aku akan membawanya ke
sini!"
"Peri itu telah
menghancurkan tempat kediamanku terdahulu. Dia menimbun dengan lahar
panas…." (Baca riwayat Hantu Muka Dua sebelumnya dalam serial Wiro Sableng
berjudul Peri Angsa Putih)
"Apa perintahmu akan kami
patuhi wahai Hantu Muka Dua," kata kakek bernama Lahidungbesar.
"Panas… sekujur tubuhku
terasa panas. Hantu Muka Dua, aku tak tahan…" ucapan itu kembali meluncur
dari mulut kakek bernama Lapicakkanan.
"Sekujur tubuhnya
dijalari racun senjata sakti berbentuk kapak milik pemuda bernama Wiro Sableng
itu…" menjelaskan Lahidungbesar.
"Tak usah khawatir. Aku
akan mengobatinya. Aku akan memberikan kesembuhan padanya!" kata Hantu
Muka Dua. Dia melangkah mendekati Lahidungbesar yang mendukung kakek buntung
Lapicakkanan. Tangan kanannya diangkat ke atas. Lalu secepat kilat diayunkan ke
bawah.
"Praaakkk!"
Kepala Lapicakkanan langsung
pecah!
"Manusia tak berguna! Apa
guna hidup berlamalama!" kata Hantu Muka Dua. Saat itu wajahnya beberapa
ketika berubah menjadi muka raksasa kemudian kembali ke muka lelaki separuh
baya.
Lahidungbesar merasakan
tengkuknya menjadi dingin. Sosok Lapicakkanan yang telah jadi mayat terlepas
dari gendongannya. Tapi sebelum menyentuh lantai kaki kanan Hantu Muka Dua
telah menendang hingga mayat itu mencelat mental sampai beberapa tombak.
Hantu Muka Dua usap-usap
telapak tangannya satu sama lain. Dia melirik pada Lasulingmaut lalu berpaling
pada Lahidungbesar. "Tadi kau mengatakan sebenarnya kalian dengan mudah
bisa membereskan pemuda dari negeri asing itu. Nyatanya kalian memang tidak
mampu! Apa yang terjadi?!" Hantu Muka Dua membentak membeliak.
"Ada seorang
berkepandaian tinggi menolong pemuda itu," jawab Lahidungbesar.
"Kau tahu siapa?!"
Lasulingmaut bergumam keras
lalu tiup suling tengkoraknya. Matanya tampak berkaca-kaca seperti tadi.
"Jangan cengeng!"
bentak Hantu Muka Dua pada kakek berambut ijuk putih yang selama ini kemanamana
selalu didukung oleh Lapicakkanan. Hantu Muka Dua berpaling pada Lahidungbesar.
"Kau tahu atau tidak ta hu siapa adanya orang yang membantu Wiro?!"
"Orangnya tidak
menunjukkan diri. Tapi kami berdua yakin dia adalah orang yang selama ini
menjadi tanda tanya besar di Negeri Latanahsilam yaitu Si Penolong
Budiman."
Tampang Hantu Muka Dua
mendadak sontak berubah menjadi tampang kakek-kakek pucat. Ini satu pertanda
selain kaget dia juga merasa tidak enak.
"Bagaimana kau bisa yakin
wahai hidung besar…?" Hantu Muka Dua ajukan pertanyaan.
"Orang itu lepaskan
pukulan berupa tebaran sinar hitam yang ada serpihan-serpihan aneh. Apa lagi
kalau bukan Pukulan Menebar Budi. Yang dihantamkannya saat itu adalah Pukulan
Menebar Budi Hari Ke tiga!"
Mendengar keterangan
Lahidungbesar itu sepasang mata Hantu Muka Dua mendelik besar. Lalu dia
usap-usap mukanya sebelah depan berulang kali. Dalam hati dia membatin.
"Pukulan Menebar Budi Hari Ke tiga saja sudah membuat anak buahku
kelabakan. Belum lagi Pukulan Menebar Budi Hari Ke empat, Ke lima, Ke enam dan
Ke tujuh! Siapa adanya manusia satu ini harus diselidiki, diringkus dan
dihabisi. Tapi mungkinkah dia Dewa yang turun ke bumi melakukan
penyamaran?" Hantu Muka Dua memandang pada dua kakek di hadapannya lalu
berkata.
"Aku melihat pertanda buruk.
Sudah sebelas malam aku seolah melihat wajah-wajah aneh. Beberapa kali aku
melihat gambar bunga dalam lingkaran. Sayang Lagandrung dan Lagandring sudah
mampus! Kalau mereka masih hidup mungkin bisa memberi keterangan yang aku
harapkan. Selama ini kabut rahasia selalu menyelubungi kehidupanku. Aku tak
pernah tahu asal usulku. Aku tak pernah tahu siapa ayah siapa ibuku!
Wahai!" Sambil bicara rawan seperti itu Hantu Muka Dua usap-usap bagian
bawah lengan dekat ketiak kanannya di mana terdapat tanda berbentuk bunga dalam
lingkaran!
"Junjungan, Raja Diraja
Segala Hantu, mengapa kau bicara seolah memperlihatkan kelemahan hati
kerendahan jiwa?"
Ucapan Lahidungbesar itu
membuat Hantu Muka Dua seolah tersadar." Kau betul wahai Lahidungbesar.
Percuma aku mengaku diri sebagai Raja Diraja Segala Hantu di Negeri
Latanahsilam, percuma aku membangun Istana Kebahagiaan sebagai pusat kekuasaan
Kerajaan baru! Percuma aku dijuluki Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala
Nafsu! Ha… ha… ha!"
Sebelum kita lanjutkan apa yang
akan dilakukan Hantu Muka Dua terhadap Peri Angsa Putih yang kena ditawan oleh
Lahidungbesar, dalam Bab berikutnya kita ikuti dulu serangkaian kejadian di
masa puluhan tahun silam.
* *
6
LELAKI yang membekal parang
terbuat dari batu biru di tangan kanannya itu hentikan lari di ujung jurang.
Memandang ke bawah sesaat dia jadi tercekat.
"Jurang batu…. Dalam
sekali! Celaka! Tak mungkin kuterjuni…." Dia silangkan parang di depan
dada lalu berpaling ke belakang. Belum selesai dia membuat gerakan tiba-tiba sesosok
tubuh melayang di udara, membuat gerakan berjumpalitan dua kali. Di lain kejap
sosok ini sudah tegak di hadapannya dengan muka menyeringai garang dan
membersitkan nafas menyapu panas sampai ke permukaan wajahnya.
"Latumpangan! Tempat
larimu sudah putus! Kau hanya punya tiga pilihan! Mampus bunuh diri menerjuni
jurang! Mati di tanganku atau menyerahkan Jimat Hati Dewa padaku!"
‘Orang yang memegang parang
biru mendengus lalu meludah ke tanah. "Selama Parang Langit Biru masih
berada di tanganku, jangan kau berani mencari mati wahai Lasedayu!"
Lasedayu si muka garang
tertawa bergelak. "Parang Langit Biru hanya ciptaan alam. Apakah sanggup
melawan diriku Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam ini?!"
"Kau bermimpi atau
mungkin juga mengigau! Sudah sejak dua puluh tahun lalu kau tidak lagi menjadi
Wakil Para Dewa di muka bumi ini! Hak Perwakilanmu telah dicabut karena Para
Dewa meragukan kesetiaan dan kelurusan hatimu! Buktinya saat ini kau sengaja
mengejar aku, memaksa untuk mendapatkan benda yang bukan hakmu!"
"Aku memaksa, kau tidak
mau menyerahkan! Wahai! Sungguh buruk bakai jadinya bagi dirimu wahai
Latumpangan!" ujar Lasedayu pula.
"Terserah padamu! Aku
sudah siap berjibaku sampai tetes darah terakhir, sampai hembusan nafas
penghabisan!" Latumpangan geser dua kakinya memasang kuda-kuda kokoh.
"Sayang sekali otakmu
dirasuk seribu kebodohan dan hatimu dihantui seribu kepicikan! Kau memilih mati
dari pada menyerahkan benda yang kuminta. Tapi aku masih memberi kesempatan
sekali lagi agar kau mau berpikir. Kau mau menyerahkan Jimat Hati Dewa itu
padaku agar bisa selamat?"
Latumpangan menggeleng.
"Jimat ini adalah titipan Dewa. Aku tidak akan menyerahkan pada
siapapun!"
"Wahai! Benar-benar
sangat disayangkan!" Lasedayu gerakkan sepuluh jari tangan kanannya.
Jari-jari tangan itu keluarkan suara berkeretekan. Bersamaan dengan itu
mulutnya membentuk seringai buruk.
"Serahkan Jimat Hati
Dewa!" Lasedayu membentak sambil ulurkan tangan kanannya. Meminta! Suara
bentakannya menggelegar sampai ke dalam jurang. Sepasang matanya membelalang
menyeramkan.
Namun Latumpangan tidak takut.
"Bukan jimat yang akan kau dapat! Makan mata parangku!" Tangan kanan
Latumpangan berkelebat.
"Wuuutttt!"
Sinar biru berkiblat begitu
Parang Langit Biru membabat ke depan. Lasedayu cepat tarik tangannya yang
diulurkan. Sambaran angin pedang terasa dingin dan membuat tubuhnya sebelah
depan tergetar, me maksa kakinya bergeser lersurut setengah langkah.
Dalam hati dia berkata.
"Parang Langit Biru boleh juga! Tapi persetan! Siapa takut!"
Kaki kanan Lasedayu menyapu ke
depan, berusaha menendang betis kiri Latumpangan. Yang diserang membuat babatan
menukik untuk menangkis sekaligus membacok kaki lawan. Namun serangan Lasedayu
itu hanya tipuan belaka. Begitu sinar biru pedang bertabur ke bawah, dia
hentakkan kaki kirinya. Saat itu juga tubuhnya melesat setinggi dua tombak.
Sambaran parang batu lewat menderu.
Dari atas, tangan kanan
Lasedayu menyambar ke arah batok kepala Latumpangan dalam kecepatan luar biasa.
"Pecah kepalamu!" teriak
Lasedayu.
Latumpangan rundukkan
kepalanya. Sambil selamatkan diri dia tusukkan Parang Langit Biru ke arah dada
lawan yang mengambang di atasnya. Lasedayu kertakkan rahang, menggeram marah
karena dia tahu bagaimanapun cepatnya hantaman tangannya ke kepala Latumpangan,
ujung parang lawan akan menembus dadanya lebih dulu!
Masih melayang di udara
Lasedayu pergunakan kaki kiri untuk menendang. Namun luput! Sementara itu
parang biru terus menusuk ke atas! Lasedayu keluarkan teriakan keras. Bersamaan
dengan itu dia membuat gerakan aneh. Tubuhnya seolah terbanting ke samping.
Latumpangan percepat gerakannya menusuk,
"Rasakan!"
teriaknya. Parang biru amblas ditubuh sebelah kanan Lasedayu. Ternyata hanya
menusuk di celah sempit antara ketiak dan rusuk lawan! Walau selamat tapi
Lasedayu tahu betul bahaya besar yang mengancamnya. Jika lawan bertindak cepat
dan sigap, mata parang yang sangat tajam itu bisa merobek tembus daging dan
memutus tulang-tulang iganya. Dan memang itulah sepertinya yang akan dilakukan
Latumpangan. Tangan kanannya diputar demikian rupa tapi bukan untuk menyayat ke
arah tubuh melainkan dibabatkan ke belakang untuk memutus lengan kanan
Lasedayu!
Lasedayu yang tahu bahaya
segera jatuhkan tubuhnya ke bawah. Parang lawan yang ada di ketiaknya seolah
dijadikan tempat luncuran. Sebelum, bagian tajam mata parang berputar, dengan
tangan kirinya Lasedayu mencekal pergelangan tangan kanan Latumpangan. Sesaat
kemudian tangan kiri Lasedayu ikut meremas jari-jari lawan. Lalu
"kraakkk..kraaaakkk!"
Dua kali suara patahan tulang
hampir tak terdengar karena lenyap ditindih jeritan Latumpangan.
Parang Langit Biru jatuh
tercampak berkerontangan di tanah yang berbatu-batu. Latumpangan sendiri
tersurut beberapa langkah sambil matanya melotot memandangi tangan kirinya yang
memegangi lengan dan jari-jari tangan kanannya yang telah hancur. "Remasan
Sepuluh Jari Hantu…!" desis Latumpangan menyebut ilmu lawan yang
menciderainya. Tiba-tiba seperti kalap Latumpangan berteriak keras. Lalu tangan
kirinya laksana kilat menghantam berulang kali ke depan.
"Bukkk! Bukkkk!
Bukkkk!"
Tubuh Lasedayu terangkat
sampai tiga kali berturutturut begitu jotosan Latumpangan mendarat susul
menyusul di dadanya.
"Puaskan hatimu
Latumpangan! Pukul terus sesukamu!" kata Lasedayu sambil menyeringai
buruk.
"Bukkk! Bukkk!
Bukkkk!"
Kembali Latumpangan menghujani
tubuh lawan dengan pukulan-pukulan keras. Kembali sosok Lasedayu terangkat ke
udara bahkan kini dari mulutnya kelihatan ada darah mengucur. Tapi dia masih
saja menyeringai.
"Cukup Latumpangan!"
Tiba-tiba Lasedayu berteriak.
Tangannya kiri kanan
berkelebat ke sekujurtubuh lawan, mulai dari kepala sampai ke dada.
"Kraaakk…kraaakkk…
kraaakk!" Suara patah dan hancurnya tulang terdengar mengerikan berulang
kali. Remasan Sepuluh Jari Hantu! Bertubi-tubi menghantam Latumpangan!
Sosok Latumpangan
terhuyung-huyung tak karuan dan dari mulutnya keluar jerit kesakitan tak
berkeputusan. Tulang batok kepalanya amblas. Tulang kening dan tulang pipinya
sebelah kanan hancur. Darah berselemak menutupi wajahnya. Itu masih ditambah
lagi dengan tulang bahu kiri kanan yang remuk serta dua tulang iga melesak
patah.
Lasedayu tertawa bergelak.
"Aku menawarkan madu, kau lebih suka racun! Wahai! Silakan kau teguk
sendiri!"
"Lasedayu keparat! Aku
pasrah mati! Tapi kau juga harus ikut mampus bersamaku!" kata Latumpangan
dengan suara keras namun sember bergetar. Tiba-tiba Latumpangan melompat nekad
merangkul tubuh Lasedayu. Lalu dengan sekuat tenaga dia menarik Lasedayu ke
tepi jurang. Niatnya rupanya adalah untuk menjatuhkan diri bersama-sama
lawannya ke dalam jurang batu! Tentu saja Lasedayu tidak mau mati konyol begitu
rupa.
Dengan tumit kirinya Lasedayu
memijak gagang Parang Langit Biru yang tergeletak di tanah. Begitu parang
melesat mental ke atas segera disambarnya dengan tangan kiri. Setelah itu
terdengar jeritan Latumpangan. Matanya terpentang besar, membeliak ke udara.
Rangkulannya pada tubuh Lasedayu terlepas. Sosok Latumpangan Periahan-lahan
melosoh ke bawah lalu terkapar tertelentang di tanah. Parang Langit Biru
miliknya menancap di tubuhnya. Menembus pinggangnya dan kiri ke kanan!
Pada saat itu di langit
sebelah utara mendadak menggelegar suara guntur dibarengi kilatan cahaya
terang. Sesaat Lasedayu terkesiap. "Aneh, langit cerah.
Tak ada mendung apa lagi
hujan. Mengapa ada gelegar guntur dan sambaran petir…." Membatin Lasedayu.
Namun dia tidak mau memikirkan
keanehan itu lebih lanjut. Dengan cepat dia jongkok di samping mayat
Latumpangan, menggeledah ke balik pakaian orang itu. Di pinggang pakaian Latumpangan
yang terbuat dari kulit kayu sangat tebal dia menemukan benda yang dicarinya,
sebuah kantong sebesar kepalan tangan, terbuat dari sejenis daun yang sangat
liat.
Lasedayu pergunakan kuku-kuku
jarinya yang panjang hitam untuk merobek kantong daun. Dari dalam kantong itu
muncul sebuah benda berbentuk segumpal daging berwarna kemerah-merahan.
Gumpalan daging ini bergerak berdenyut-denyut seolah hidup!
"Jimat Hati Dewa…"
desis Lasedayu dengan suara serta tangan bergetar. Seringai menyeruak di mulutnya.
Namun laksana direnggut setan seringai itu lenyap ketika tiba-tiba dari langit
sebelah utara dimana tadi menggelegar suara guntur disertai berkiblatnya petir,
melesat sebuah benda berwarna merah. Belum habis kejut Lasedayu tahu-tahu
seorang kakek yang kulit muka dan tubuhnya berwarna merah telah tegak di
hadapannya. Kakek ini memegang sebatang tongkat aneh yang mulai dari pangkal
sampai ke ujungnya dikobari nyala api berwarna merah. Sepasang mata si kakek
yang juga seolah dikobari api menatap tajam pada Lasedayu. Begitu dia membuka
mulut dan bicara, lidahnya tampak seperti dibuat dari api.
"Lasedayu, lekas kau
serahkan Jimat Hati Dewa Itu padaku!"
"Wahai! Kau siapa?"
tanya Lasedayu. Suaranya keras dan dalam hati dia menduga-duga siapa adanya
makhluk aneh di hadapannya itu.
7
KOBARAN api di dua mata dan
lidah si kakek yang muncul dari atas langit menjilat ke depan.
"Aku Wakil atau Utusan
Para Dewa! Datang diperintahkan untuk mengambil Jimat Hati Dewa yang kini kau
pegang itu…." Si kakek ulurkan tangan kirinya.
Ternyata telapak dan jari-jari
tangannya itu juga dijilati api!
Terkejutlah Lasedayu mendengar
ucapan si kakek.
"Tunggu dulu! Aku juga
Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam ini! Antara kita berada dalam kedudukan
sama! Jangan kau berani memerintah diriku!"
"Lasedayu, kedudukanmu
sebagai Wakil Para Dewa, seperti dikatakan Latumpangan telah dicabut sejak dua
puluh tahun lalu. Para Dewa sudarj banyak murka padamu sejak lama. Hari ini kau
membunuh Latumpangan dan punya niat jahat hendak menguasai Jimat Hati Dewa yang
bukan menjadi hakmu! Aku tidak sudi bicara berpanjang-panjang. Serahkan Jimat
itu! Sekarang!"
"Kau tidak sudi bicara
berpanjang-panjang. Aku tidak sudi menyerahkan benda yang kau minta!"
"Lasedayu, kau berani
menantang Wakil Para Dewa?" suara si kakek bernada mengancam.
"Aku mau tahu kau hendak
berbuat apa padaku!" menantang Lasedayu.
Si kakek angkat tangan kirinya
yang memegang tongkat.
"Wusssss!"
Tongkat di tangan si kakek
berubah menjadi sebuah cambuk apL "Kau berani membangkang, kau akan
menerima azab!" Si kakek yang mengaku Wakil Para Dewa kembali gerakkan
tangan kirinya.
"Wusss!"
Petir api menggelegar dahsyat
mengerikan, berputar di udara lalu menghantam ke arah kaki orang di hadapannya.
Lasedayu berteriak kaget dan cepat melompat. Kaki celana kulit kayu sebelah
kiri hangus. Daging kakinya tampak terkelupas merah.
"Jahanam! Berani kau
menciderai diriku!" teriak Lasedayu. Dia hantamkan tangan kanannya.
Lepaskan satu pukulan tangan kosong. Si kakek cepat menyingkir ketika melihat
satu sinar kuning berkiblat menyambarnya. Sambil mengelak dia gerakan cambuk
apinya.
"Wusss! Taaarrrrr!"
Nyala api panjang menembus
kiblatan cahaya kuning. Saat itu juga cahaya kuning bertabur berantakan dengan
mengeluarkan suara letusan keras!
Tangan kiri si kakek bergetar
keras. Cambuk api yang dipegangnya mental ke udara. Dia cepat menguasai senjata
itu sementara Lasedayu terjajar sampai tiga langkah. Mukanya pucat. Tangan
kanannya seperti kaku. "Kakek itu mampu menghancurkan Pukulan Tangan Dewa
Warna Kuning…." Diam-diam Lasedayu menjadi kecut. "Akan kucoba dengan
Pukulan Tangan Dewa Warna Biru yang paling hebat!"
Lasedayu lalu kerahkan tenaga
dalam ke tangan kanan dan tanpa menunggu lebih lama dia segera menghantam. Si
kakek rupanya sudah tahu apa yang hendak dilakukan Lasedayu. Sambil menekuk
lutut dan miringkan tubuh ke kiri, dia putar cambuk apinya begitu melihat
cahaya biru menderu keluar dari tangan kanan lawan.
"Wussss!" Cambuk api
menderu di udara.
"Taarrr! Byaaaarrr!"
Lasedayu berseru kaget. Cepat
dia gulingkan diri di tanah ketika melihat cambuk api di tangan lawan
menghancurkan Pukulan Dewa Warna Biru yang tadi dilepaskan.
"Taarrr! Taaarrr!
Taaarrr!"
Cambuk api mengejar dan
menghantam ke arah Lasedayu tiga kali berturut-turut. Dua batu besar yang
terkena hantaman cambuk api hancur berentakan dan hancurannya berubah menjadi
keping-keping merah membara!
Dua kali Lasedayu berhasil
lolos dari hantaman cambuk api, namun kali yang ke tiga dia tak mampu lolos.
Cambuk itu mendarat melintang di permukaan dadanya, mulai dari bahu kiri
bersilang ke pinggang kanan. Tubuhnya terpental ke udara sampai dua tombak.
Lasedayu terbanting dan terkapar di tanah. Di sampingnya tanah yang tadi
terkena hantaman cambuk kelihatan terbelah dalam dan hangus.
Kakek Wakil Para Dewa sesaat
tatap sosok Lasedayu yang tak berkutik itu. Dia mendengus dan berkata.
"Kematian semudah dan
secepat membalik tangan. Mengapa manusia masih memPeriihatkan ketinggian hati
yang sebenarnya hanyalah satu kebodohan belaka?!"
Kakek ini gerakkan tangan
kirinya. Cambukapinya kembali berubah ke bentuk semula yakni sebatang tongkat
berapi. Lalu dengan mulut komat kamit dia melangkah mendekati sosok tak
bergerak Lasedayu. Ketika dia membungkuk hendak mengambil Jimat Hati Dewa yang masih
berada dalam genggaman tangan kiri Lasedayu tiba-tiba tidak disangka-sangka
kaki kanan orang yang diduga telah menemui ajal itu melesat ke arah dada si
kakek.
"Bukkkk!"
Sang Wakil Para Dewa menjerit
keras. Tubuhnya terpental tiga tombak, terbanting jatuh punggung pada sebuah
batu besar dan dari mulutnya menyembur darah kental!
"Wahai, mengapa aku
bertindak lengah! Belum mati jahanam itu rupanya!" keluh si kakek.
Memandang ke depan dilihatnya Lasedayu terbungkuk-bungkuk berusaha bangkit
berdiri. Walau dadanya serasa hancur si kakek cepat bangun. Tangan kirinya
digerakkan. Tongkat api kembali berubah menjadi cambuk menyala.
"Kali ini harus kuputus
lehernya! Harus kutanggalkan kepalanya!" Si kakek berkomat kamit sambil
putar pergelangan tangan kirinya. Cambuk api bergetar, meliuk-liuk laksana
sosok ular hidup. Begitu dia menyentak maka cambuk api itu melesat ganas ke
udara, mengeluarkan suara menggidikkan disertai nyala api seperti hendak
membakar langit!
Di depan sana, ketika cambuk
api membuat dua kali putaran di udara dengan segala kedahsyatannya, Lasedayu
tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya. Jimat Hati Dewa yang berupa gumpalan
daging merah hidup itu dimasukkannya ke dalam mulutnya lalu dikunyahnya
mentah-mentah!
Kakek Wakil Para Dewa berteriak
kaget.
"Tidak! Jangan lakukan
itu!"
Seperti orang kesurupan
Lasedayu mempercepat kunyahannya. Daging yang dikunyah keluarkan darah merah
kehitaman dan mengucur dari dalam mulutnya. Dari tenggorokannya ada suara
seperti srigala menggeram tak berkeputusan. Sepasang matanya menatap membeliak
dan garang pada si kakek.
"Jangan! Lasedayu! Jangan
kau telan benda dalam mulutmu! Semburkan keluar!"
Lasedayu tidak peduli.
Kunyahannya semakin cepat. Darah yang keluar dari mulutnya bertambah banyak.
Lalu gluk… gluk… gluk! Haaaaah! Jimat Hati Dewa ditelannya, amblas ke dalam
perut lewat tenggorokannya. Begitu sang jimat berada dalam tubuh Lasedayu,
terjadilah satu hal luar biasa. Justru inilah yang sejak tadi ditakutkan si
kakek.
"Celaka wahai Para Dewa!
Celakalah Negeri ini! Ampuni diriku! Aku tak sanggup mencegah! Jimat itu berada
dalam perutnya. Hawa sakti telah mengalir dan bersatu dalam darahnya!"
Wakil Para Dewa menjerit sambil jatuhkan diri.
Sosok Lasedayu tampak bergetar
hebat. Lalu dari dalam tubuhnya seolah ada satu cahaya biru membersit Ketika
cahaya itu lenyap, luka menganga yang melintang mengerikan di dada Lasedayu
secara aneh mendadak sontak lenyap tak berbekas. Di saat yang sama lelaki ini
merasakan tubuhnya menjadi sangat ringan. Di dalam badannya ada satu kekuatan
sangat dahsyat yang siap meledak setiap saat! Ketika dia menggeserkan dua
kakinya dan tak sengaja mengalirkan tenaga dalam ke kaki itu, tanah berbatu
yang dipijaknya amblas sampai satu jengkal dan keluarkan kepulan asap. Dari
mulut yang bercelemongan darah membersit suara menggereng. Matanya menyorot
ganas memperhatikan cambuk api yang menderu dahsyat di udara lalu menyambar ke
arah lehernya!
Jika saja Lasedayu tidak
menelan Jimat Hati Dewa, pada saat cambuk api melilit dan disentakkan dari
lehernya, pastilah leher itu akan hancur putus dan kepalanya akan menggelinding
di tanah! Namun yang terjadi justru sebaliknya. Cambuk api keluarkan suara
"dess… desss… desss" berulang kali disertai kepulan asap seolah
diguyur air. Lalu kelihatan bagaimana cambuk itu terputus-putus menjadi
beberapa bagian. Begitu si kakek melompat kaget dia lihat dan dapatkan cambuk
apinya telah berubah kembali menjadi se batang tongkat yang kini panjangnya
hanya tinggal dua jengkal!
"Kakek yang mengaku Wakil
Para Dewa! Takdir telah berbalik menentukan lain! Hari ini kau terpaksa
serahkan nyawamu padaku!" Lasedayu maju mendekat sambil tertawa bergelak.
"Kau akan terkutuk
seumur-umur jika berani membunuhku!" kata si kakek seraya melemparkan
potongan tongkatnya ke arah Lasedayu. Benda berapi ini melesat menyambar ke
tenggorokan Lasedayu. Sekali Lasedayu mengangkat tangan kirinya, tongkat itu
berhasil ditangkapnya lalu diremasnya hingga hancur.
Jarak antara ke dua orang itu
bertambah dekat. Hanya terpisah satu tombak tiba-tiba Lasedayu pukulkan tangan
kanan. Serangkum angin yang memancarkan cahaya kuning berkiblat ganas,
menyambar ke arah si kakek! Pukulan Tangan Dewa Warna Kuning sebelumnya pernah
dipergunakan Lasedayu untuk menyerang lawannya itu dan amblas tak berdaya
ditangkis cambuk api milik si kakek. Namun kali ini si kakek tidak lagi
memiliki tongkat ajaib atau cambuk saktinya. Selain itu Jimat Hati Dewa yang
kini telah menyatu dalam tubuh Lasedayu dan menjadi satu kekuatan dahsyat
membuat pukulan itu jadi berlipat ganda kehebatannya. Begitu cahaya kuning
menghantam langsung si kakek terpental. Masih melayang di udara tubuh sebelah
kanannya yang terkena sambaran pukulan hancur di bagian bahu sampai ke sisi
sebelah kanan. Sisi kanan si kakek kini hanya tinggal satu gerakan atau lobang
besar. Tulangtulang iganya serta sebagian isi dada dan perutnya bisa terlihat
dengan jelas. Darah mengucur menggidikkan. Tapi aneh dan luar biasanya si kakek
Wakil Para Dewa itu sama sekali tidak menemui ajal. Sesaat dia masih berusaha
berdiri. Dengan langkah sempoyongan dia mendekati mayat Latumpangan lalu
mencabut Pedang Langit Biru yang menembus tubuh orang itu. Semula Lasedayu
mengira si kakek akan pergunakan senjata itu untuk menyerangnya. Ternyata
kemudian Periahan-lahan tubuhnya yang kini nyaris tinggal separoh itu melayang
ke atas.
Lasedayu berusaha mengejar
sambil lepaskan satu pukulan lagi yakni Pukulan Tangan Dewa Warna Biru. Seperti
diketahui pukulan ini jauh lebih dahsyat dari pukulan Tangan Dewa Warna Kuning.
Akan tetapi saat itu sosok si kakek sudah berada jauh di luar daya capai
pukulan. Namun Lasedayu sudah cukup puas. Dia bukan saja telah menciderai
lawan, yang lebih penting saat itu Jimat Hati Dewa telah mendarah daging dalam
tubuhnya hingga kini dia menjadi seorang sakti mandraguna luar dalam. Sebelum
berkelebat menghilang ke ufuk langit arah utara si kakek di atas sana keluarkan
ucapan yang ditujukan pada Lasedayu.
"Wahai anak manusia
berhati jahat. Apa yang kau lakukan hari ini terhadapku kelak akan membuat
jatuhnya kutukan Para Dewa terhadapmu! Dua pertiga dari hidupmu akan kau jalani
dalam kesengsaraan. Aku akan meminta kepada Para Dewa agar hidup keluargamu
morat marit dalam sengsara. Jika kelak kau punya anak maka kau tidak akan
memiliki mereka. Si bungsu yang paling kau sayangi justru akan menjadi musuhmu
paling besar di alam ini!"
Kakek gila! Wahai! Kau boleh
mengoceh meminta kutukan Dewa. Siapa takut!" Lasedayu lepaskan pukulan
Tangan Dewa Warna Biru. Namun tidak sanggup mencapai sasaran sementara si kakek
yang tubuhnya nyaris tinggal sebelah sudah melesat lebih jauh ke atas dan
akhirnya lenyap di langit sebelah utara.
8
BEBERAPA belas tahun setelah
kejadian di tepi jurang… "Wahai istriku Luhpingitan, aku akan
meninggalkanmu dan anak-anak. Aku pergi tak akan lama, hanya sekitar sepuluh
tahunan. Jika aku kembali maka aku akan membawa kalian ke Lembah Bulan Sabit.
Di situ aku sudah membangun satu rumah besar untuk tempat tinggal kita yang
baru…."
Perempuan bernama Luhpingitan
memandang sedih pada suaminya. Walau masa sepuluh tahun di Negeri Latanahsilam
sama dengan setahun di tanah Jawa namun seolah tak sanggup dia menatap mata
sang suami, perempuan itu alihkan pandangannya ke arah tempat tidur besar
terbuat dari batu berlapiskan jerami kering. Di atas tempat tidur itu terbaring
empat anak laki-laki masing-masing berusia setahun, dua tahun, tiga tahun dan
empat tahun sesuai ukuran usia di Negeri Latanahsilam yang tidak sama dengan
negeri lainnya pada masa itu. Ke empat anak itu tengah tertidur nyenyak dalam dinginnya
udara menjelang pagi.
"Lasedayu wahai suamiku.
Sebelum kau pergi, apakah kau tidak akan memberi nama dulu pada ke empat anak
kita?"
Mendengar pertanyaan istrinya
Itu Lasedayu tersenyum.
Sambil memegang bahu
Luhpingitan dia menjawab. "Istriku, jangan kau merasa sedih. Aku memang
sudah menyiapkan masing-masing sebuah nama untuk mereka. Nama-nama itu akan
kusebut dan beritahu padamu kelak jika aku kembali sepuluh tahun
mendatang…."
"Suamiku, sebenarnya
sejak beberapa waktu belakangan ini muncul banyak kekhawatiran dalam diriku.
Aku sering mimpi buruk tentang dirimu, tentang ke empat anak kita.
Mereka…."
"Luhpingitan, orang di
Negeri Latanahsilam ini menyebut mimpi adalah rampai bunganya tidur. Buruk atau
baiknya yang akan terjadi adalah suratan Para Dewa di atas langit…."
"Justru aku juga telah
beberapa kali kedatangan Dewa dalam mimpiku wahai Lasedayu. Sepertinya ada yang
tidak disenangi Para Dewa terhadap kita sekeluarga…."
Lasedayu tersenyum namun
diam-diam dia teringat pada kejadian belasan tahun silam ketika dia berkelahi
dengan Wakil Para Dewa dan berhasil menciderai kakek itu. Walau hatinya
mendadak tidak enak, pada istrinya Lasedayu tetap saja berkata lembut dan
menghibur.
“Sudahlah Luhpingitan, aku
akan berangkat sekarang. Tenangkan hatimu. Lihat anak-anak kita. Mereka tidur
nyenyak, mereka gemuk-gemuk semua tanda sehat. Dan lihat tanda bunga dalam
lingkaran yang ada di bawah lengan kanan dekat ketiak mereka. Itu adalah tanda
dari Para Dewa bahwa kelak mereka akan menjadi orang-orang gagah di Negeri ini.
Empat putera Lasedayu dari istri bernama Luhpingitan akan menjadi orang-orang
hebat tanpa tandingan. Wahai, aku pergi, jaga mereka baik-baik….”
“Lasedayu…” kata Luhpingitan
sambil memegang tangan suaminya. Matanya entah mengapa mendadak saja
berkaca-kaca begitu menatap ke empat anaknya. “Anak-anak itu. Aku….”
Lasedayu merangkul istrinya
lalu berbisik. “Jika kau masih khawatir aku akan usahakan mempersingkat
perjalanan. Aku berjanji akan kembali dalam waktu lima tahun….”
Luhpingitan sandarkan
kepalanya ke dada Lasedayu.
“Kalau begitu janjimu alangkah
gembiranya hatiku. Pergilah wahai suamiku. Jaga dirimu baikbaik….”
Di malam dingin menjelang pagi
Lasedayutinggalkan anak istrinya di tempat kediaman mereka yang terletak di
satu kaki bukit dekat aliran sebuah sungai besar.
Lasedayu sampai di tepi sungai
pada saat langit di ufuk timur kelihatan terang pertanda sang surya segera akan
muncul menerangi jagat Dia menarik nafas dalam-dalam. Hawa segar memenuhi
rongga dadanya. Belum sempat lelaki ini menghembuskan nafas dari dadanya
tiba-tiba telinganya menangkap suara menggemuruh dari arah hulu sungai. Lalu
mendadak langit yang tadi mulai terang kini kembali menghitam. Dua kali kilat
menyambar disusul oleh gelegar guruh yang menggetarkan tanah!
“Wahai, Ini satu pertanda alam
yang tidak baik. Apa yang bakal terjadi?!” membatin Lasedayu. Hatinya serta
merta terasa tidak enak. Suara menggemuruh semakin keras dan dahsyat.
“Sepertinya ada air bah datang melanda dari hulu!” Baru saja Lasedayu berkata begitu
angin keras bertiup. Tubuhnya sampai terpental dua tombak. Dengan cepat lelaki
ini menggapai satu pohon besar tapi “kraakk!” Pohon itu tumbang dihantam angin.
Langit tambah kelam. Gelegar guruh tiada henti. Hujan lebat mendadak turun. Air
sungai bergerak aneh. Lalu dari arah hulu tiba-tiba menderu gelombang air bah
yang bukan olah-olah dahysatnya. Jangankan semak belukar, dan pepohonan.
Batu-batu besar yang ada di sepanjang tepi sungai porak poranda dihantam air.
“Banjir tiga ratus tahun!”
seru Lasedayu menyebut air bah yang biasanya terjadi sekali dalam tiga ratus
tahun. Wajahnya tegang sekali. Dia memandang ke arah barat, ke jurusan tempat
kediamannya. “Anak istriku! Aku harus kembali!”
Laksana terbang Lasedayu
melompat ke sebuah batu besar yang bergulingan dihantam air bah. Dari atas batu
ini dia melayang dan injakkan kaki di atas tumbangan pohon besar. Sesaat dia
bingung. Kemana lagi dia hendak melompat. Kemana mata memandang hanya gelombang
air yang terlihat. Tiba-tiba satu putaran air menghantam batang kayu di atas
mana Lasedayu berada.
“Celaka!” seru Lasedayu. Pada
saat batang kayu yang dipijaknya mencelat mental dia cepat melompat. Di udara
dia jungkir balik satu kali lalu sebelum batang kayu tadi tenggelam di dalam
air dengan cepat dia menggapai, memegang batang kayu itu erat-erat. Malangnya
batang kayu ini meluncur deras ke arah sebuah batu besar. Benturan tak dapat
dihindarkan. Lasedayu menjerit keras. Tulang punggungnya terasa seperti hancur
luluh ketika tubuhnya sebelah belakang beradu keras dengan batu besar. Lelaki
ini langsung jatuh pingsan namun dua tangannya masih tetap memeluk erat batang
kayu yang merupakan satu-satunya benda penyelamat nyawanya!
****
LASEDAYU duduk
terbungkuk-bungkuk di tanah yang becek. Sekujur tubuhnya terutama di sebelah
belakang mendenyut sakit Mukanya pucat dan pandangan matanya sayu. Kalau saja
dia bisa meminta rasanya saat itu dia lebih suka memilih mati. Periahanlahan
dia turunkan tangan kanan yang sejak tadi dipergunakan untuk menopang
keningnya. Memandang ke depan dia hanya melihat tanah rata yang disana-sini
masih digenangi air. Lasedayu sampai di tempat itu malam tadi. Dan kini
matahari menjelang tenggelam. Berarti hampirsatu hari penuhdia terduduk di
situ, didera oleh rasa sakit di sekujur tubuh serta perasaan hancur di dalam
hati. Otaknya seperti mau gila menghadapi kenyataan ini.
"Rata semua…. Rumahku,
lenyap tak berbekas. Para Dewa…. Wahai tunjukkan padaku dimana mereka berada.
Mengapa kau jatuhkan cobaan maha berat ini padaku! Anak istriku… Luhpingitan,
anak-anakku….Apakah mereka masih hidup? Dimana mereka sekarang?"
Tenggorokan Lasedayu turun
naik. Dadanya terasa sesak. Matanya berkaca-kaca. Suara isakannya tak bisa
ditahan. Isakan ini kemudian berubah menjadi ratap tangis memilukan.
"Wahai…. Apa kesalahanku. Apa kesalahan anak istriku… Luhpingitan,
anak-anakku! Dimana kalian?!" Lasedayu kembali letakkan tangan kanannya di
atas kening. "Kalau saja aku tidak pergi mungkin aku masih bisa menolong
mereka…."
Lasedayu kembali meratap. Dia
tundukkan kepalanya hampir menyentuh tanah yang becek. Rasanya ingin dia
menghunjamkan dirinya ke dalam tanah dan mati terkubur di tempat bekas rumahnya
itu.
Lasedayu menarik nafas dalam.
Pandangannya jauh ke depan tapi kosong. Dia ingat sesuatu! Tiba-tiba pelipisnya
bergerak-gerak. Rahangnya menggembung dan pandangan matanya menjadi beringas.
Dua tangannya dikepalkan di atas paha. Dari mulutnya keluar suara memaki.
"Jahanam! Ini pasti
akibat ulah ucapan keji Wakil Para Dewa itu!" Seolah terngiang, Lasedayu
mendengar kembali ucapan Wakil Para Dewa di masa kejadian belasan tahun silam.
“Wahai anak manusia berhati
jahat. Apa yang kau lakukan hari ini terhadapku kelak akan membuat jatuhnya
kutukan Para Dewa terhadapmu! Dua pertiga dari hidupmu akan kau jalani dalam kesengsaraan.
Aku akan memohon pada Para Dewa agar hidup keluargamu morat-marit dalam
sengsara. Jika kelak kau punya anak maka kau tidak akan memiliki mereka. Si
bungsu yang paling kau sayangi justru akan menjadi musuhmu paling besar di alam
ini!"
Sosok Lasedayu bergeletar.
"Ucapan keji itu agaknya telah menjadi kenyataan. Kutukan Dewa telah jatuh
atas diriku!"
Sesaat setelah matahari
tenggelam dan tempat itu diselimuti kegelapan mendadak Lasedayu mendengar suara
bisikan halus, seolah datang dari lubuk hatinya.
"Wahai Lasedayu, tiada
gunanya kau berhiba diri duduk di tempat ini. Sampai seratus tahun pun kau di
sini kau tak mungkin menemukan istri dan empat anakmu. Bangkitlah! Tinggalkan
tempat ini! Cari anak istrimu walau kau harus berjalan jutaan tombak dan
menghabiskan waktu ratusan tahun!"
"Wahai! Siapa kau yang
bicara padaku seperti itu?!"
Lasedayu keluarkan suara
seraya memandang berkeliling.
"Aku suara hati nuranimu.
Aku ada di dalam hatimu!"
suara jawaban itu menggema di
dalam dada Lasedayu. Lelaki ini usap mukanya berulang kali. Dia memandang lagi
berkeliling. Lalu Periahan-lahan dia bangkit berdiri.
* *
9
PULAU karang kecil di pantai
barat Negeri Latanahsilam itu adalah pusat arus air laut berputar. Tidak
mengherankan kalau sepanjang hari sepanjang tahun di sekitar pulau selalu
terdengar suara seperti mengaung. Suara ini ditimbulkan oleh kencangnya arus
yang berputar dan ditepis oleh derasnya tiupan angin laut.
Serombongan burung camar
melayang di udara. Beberapa diantara burung-burung ini memisahkan diri lalu
menukik turun ke tengah pulau di mana terdapat satu tonjolan batu karang rata.
Burung-burung ini, yang membawa rumput-rumput segar dalam jepitan paruh mereka
hinggap di atas satu gundukan batu berwarna kehijauan berselimut lumut. Burung-burung
camar itu kemudian mulai menggesek-gesekkan kaki masing-masing pada gundukan
tempat mereka hinggap sambil mengeluarkan kicau berisik. Tiba-tiba gundukan
berlumut itu bergerak. Di sebelah tengah ada bagian menyerupai sepasang tangan.
Lalu di sebelah atas dua lobang kecil membuka, menyerupai mata! Astaga, benda
berupa gundukan berlumut ini ternyata satu benda hidup adanya! Dan ketika satu
lobang lagi membuka di bagian atas di bawah dua lobang kecil tadi, terdengarlah
suara orang bicara!
"Kawan-kawanku…. Wahai
camar laut. Kalian datang lagi membawa makanan untukku…. Aku sangat berterima
kasih pada kalian. Sejak kakek yang memeliharaku meninggal dunia, jasa kalian
tidak terhingga! Kalau kalian tidak selalu datang membawa rumput-rumput segar
untuk makananku pasti sudah sejak lama aku menjadi bangkai tulang belulang
berserakan di puncak pulau karang ini!"
Burung-burung camar kembali
menggesekkan kaki mereka di atas kepala makhluk aneh yang duduk di atas batu
karang sambil keluarkan suara kicau tiada henti. Makhluk berlumut gerakkan
tangan kanannya. Satu persatu dia mengambil rerumputan segar yang terjepit di
paruh burung-burung itu lalu memasukkannya ke dalam mulut dan mulai mengunyah
memakannya. Sambil makan rumput dia pergunakan tangan kiri untuk mengusap dan
membelai binatang-binatang yang selalu datang membawakan makanan untuknya itu.
"Kalian berjasa besar.
Kalian memberikan nafas kehidupan padaku. Wahai burung-burung camar, aku tidak
bakal melupakan budi kalian seumur-umur…."
Burung-burung di atas kepala
makhluk aneh itu keluarkan kicau riuh. Sesaat setelah semua rumput segar yang
mereka bawa diambil dan habis dimakan, binatang-binatang itu merentangkan
sayapnya lalu terbang ke udara diikuti pandangan sepasang mata si makhluk aneh.
Dari mulutnya keluar ucapan setengah berdesah.
"Terima kasih…. Terima
kasih wahai kawan-kawanku. Enam puluh tahun…. Sudah enam puluh tahun aku berada
di tempat ini. Kalau menuruti kata-kata si kakek yang sudah meninggal itu aku
harus berada di sini sepuluh tahun lagi. Setelah itu aku harus masuk ke alam
pengembaraan, menjajal segala ilmu kepandaian yang kumiliki sambil mencari tahu
dimana dan siapa adanya ayah bundaku…."
"Wahai makhluk di puncak
batu karang tempat arus berputar! Jika kau mengikuti petunjukku, kau tak perlu
harus menunggu sampai sepuluh tahun lagi! Sebelum sang surya tenggelam hari
ini, kau sudah boleh meninggalkan pulau karang!"
Makhluk di atas batu karang
tersentak kaget. Dia mendongak ke atas. Di antara silaunya sinar matahari dia
melihat ada sebuah benda berwarna merah melayang turun dari sebelah utara.
Belum sempat dia berkejap, benda ini tahu-tahu sudah sampai di hadapannya!
Kejut si makhluk aneh bukan alang kepalang! Sosok yang tegak di depannya saat
itu adalah sosok seorang kakek yang keadaannya sungguh mengerikan. Sekujur
badannya dikobari nyala api. Namun sosok sebelah kanan yaitu bagian bahu sampai
ke pinggang hanya merupakan satu lobang besar menggidikkan. Makhluk berlumut di
atas batu bisa melihat isi dada dan perut serta genangan darah di dalamnya.
"Makhluk api yang sosokmu
hanya tinggal sebelah! Siapa kau adanya! Apa maksud ucapanmu tadi?!"
Yang dftanya menyeringai.
Lidah api membersit dari mulutnya. Sepasang matanya juga memancarkan nyala api.
"Namaku Lamanyala. Sejak dua ratus tahun silam aku adalah Wakil Para Dewa
di Negeri ini. Kau sendiri, apakah kau bisa menerangkan siapa adanya dirimu
wahai makhluk berlumut?!"
Yang ditanya tergagau lalu
bungkam tak bisa menyahut.
Makhluk berapi yang mengaku
bernama Lamanyala tertawa mengekeh hingga lidah api keluar dari mulut, mata dan
sepasang telinganya. "Enam puluh tahun hidup di tempat terpencil ini! Kau
tidak tahu dirimu sendiri. Bahkan kau tidak punya nama. Sungguh malang hidupmu
wahai makhluk berlumut! Untuk mengurangi kemalangan itu biar saat ini aku
memberi nama padamu. Agar kau mengenali dirimu sendiri dan aku mudah menyebut
memanggilmu. Wahai apakah kau suka kupilihkan sebuah nama untukmu?"
Makhluk berlumut masih
membisu.
Kakek bertubuh api
melanjutkan. "Aku akan namakan kau Labahala."
Makhluk berlumut yang sampai
saat itu masih duduk di atas batu karang dongakkan kepalanya. Dua matanya
memandang tak berkesip pada si makhluk api. "Wahai! Nama yang kau berikan
padaku sungguh tak sedap didengar dan buruk sekali arti maknanya! Apa tak ada nama
yang lebih baik dari itu!"
Si kakek bernama Lamanyala dan
mengaku Wakil Para Dewa tertawa bergelak. "Berpuluh tahun bahkan sejak kau
masih ada di rahim ibumu, aku sudah menyirap memperhatikan keadaan dirimu serta
meramal keadaanmu di masa mendatang. Mengingat siapa dirimu maka nama itu
adalah yang paling tepat untukmu!"
"Kau bukan ayahku bukan
pula kerabat keluarga! Apa hakmu memberi aku nama?!"
Kembali Lamanyala tertawa
panjang. "Makhluk berlumut, kau tahu apa tentang ayahmu! Kau tahu apa
tentang kerabatmu! Satu-satunya makhluk yang kau kenal adalah kakek gurumu yang
sudah mati itu! Satu-satunya kerabat yang dekat denganmu hanyalah burung-burung
camar yang selalu datang membawakan rumput makanan bagimu! Dan kau tidak tahu
burung-burung itu sebenarnya adalah suruhan Para Dewa hingga kau tidak menemui
ajal percuma di pulau terpencil ini! Sekarang apakah kau tidak berterima kasih
pada Para Penguasa di atas sana?! Berani menolak nama pilihan yang
kuberikan?!"
Terkejutlah makhluk berlumut.
Sesaat dia hanya bisa berdiam diri.
"Labahala, kau dengar
baik-baik. Kehidupan masa depanmu sudah ada dalam bayangan benakku! Aku akan
memberi petunjuk dan kau hanya tinggal menjalankan!"
"Kalau aku tidak mau
mengikuti dan menjalani petunjukmu, kau mau berbuat apa wahai Lamanyala?"
"Tidak ada makhluk
setololmu di muka bumi ini! Jika kau masih terus mendekam di tempat ini apa
yang akan kau dapat? Dan jika Para Dewa menghentikan anugerahnya melalui
burung-burung camar itu, apa kau bisa bertahan hidup sampai satu tahun di muka?
Di tempat ini kau hanya mendapatkan angin, embun, terik panas matahari dan
lumut!"
"Guruku telah mengajarkan
berbagai ilmu padaku! Itu sudah memberikan kepuasan tiada tara padaku!"
"Kau punya ilmu katamu,
bagus! Tapi kapan kau mempergunakan ilmu itu? Apa yang kau dapat dari ilmumu
itu? Kau tidak lebih dari seekor cacing tanah terpencil di pulau celaka ini!
Apakah kau akan menghabiskan hidupmu seumur-umur di tempat ini?! Sebaliknya
jika kau ikut petunjukku, kelak kau akan
mendapatkan berbagai ilmu kesaktian
mandraguna, yang akan menjadikanmu makhluk tiada tandingan."
"Menurut guru. Sepuluh
tahun lagi aku boleh meninggalkan pulau. Mengembara kemana aku suka sambil
memanfaatkan semua Ilmu yang kumiliki! Aku sudah cukup puas dengan ilmu yang
aku miliki! Aku tidak Periu ilmu tambahan. Juga tidak dari kau wahai makhluk
api!"
"Wahai, sungguh picik
jalan pikiranmu. Rupanya lumut bukan hanya menutupi tubuhmu sebelah luar tapi
juga sudah membungkus otakmu! Ha… ha… ha!"
"Wahai! Jangan keliwat
menghina makhluk api! Akan kuPeriihatkan padamu bahwa aku bukan makhluk
bodoh!" Habis berkata begitu makhluk berlumut yang oleh Wakil atau Utusan
Para Dewa diberi nama Labahala hantamkan tangan kanannya ke batu karang datar
yang ada di depannya.
"Braaakkk!"
Batu karang amblas membentuk
lobang besar sementara pecahannya berkeping-keping melayang ke udara. Makhluk
berlumut meniup. Pecahan-pecahan batu karang yang ternyata sebenarnya telah
hancur itu berubah, beterbangan menjadi debu dan luruh ke tanah!
"Kau bisa menghancurkan,
tapi apakah kau sanggup mengembalikan debu karang itu ke bentuknya
semula?" bertanya kakek api Lamanyala.
"Aku tidak
mengerti…" jawab makhluk berlumut.
"Kau tidak mengerti! Ha…
ha… ha! Lihat apa yang aku lakukan!" Kakek api ulurkan tangan kanannya
lalu disapukan ke tanah. Debu hancuran batu karang yang tadi dipukul makhluk
berlumut membubung ke udara, menyatu kembali secara aneh. Si kakek gerakan
tangan kanannya dua kali, kali ketiga dia seperti memukul ke arah lobang di
depan makhluk berlumut.
"Wuuttt! Seetttt! Setttt!
Bluuupppp!"
Lobang besar akibat hantaman
pukulan tadi kini tertutup oleh gumpalan debu, rata tak berbekas seperti
keadaan semula!
Labahala hanya bisa leletkan
lidah menyaksikan kejadian itu. Kakek api menyeringai lebar lalu berkata.
"Sungguh hebat ilmu
pukulan Menghancur Karang Membentuk Debu yang kau Periihatkan padaku. Wahai,
bukankah itu nama pukulan yang barusan kau Periihatkan padaku? Hik… hik…
hik!"
Makhluk berlumut terkesiap
kaget. Tidak mengerti bagaimana si kakek api tahu nama pukulan yang barusan
dikeluarkannya.
"Makhluk berlumut yang
aku beri nama Labahala, jika kau mengikuti petunjukku kau akan dapatkan
berbagai ilmu yang jauh lebih hebat dari yang barusan kau Periihatkan. Kau tak
Periu menunggu sepuluh tahun. Sebelum sang surya tenggelam hari ini kau sudah
boleh meninggalkan pulau ini! Terserah apakah kau mau menerima berkah atau
tetap jadi cacing tanah dengan sejuta ketololan!"
Makhluk berlumut merenung
sejenak. Lalu dia bertanya. "Petunjuk apa yang hendak kau berikan padaku
wahai kakek api?"
"Pertama, kau akan
kuwariskan beberapa ilmu kepandaian yang akan membuatmu kelak menjadi makhluk
tanpa tandingan di Negeri Latanahsilam. Semua akan tunduk padamu dan kau akan
menjadi Raja Di Raja Segala Makhluk bergelar Hantu yang ada di Negeri
itu…."
"Dari guru saya pernah
mendengar bahwa Para Hantu di Negeri Latanahsilam adalah para tokoh sakti
mandraguna yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya"
"Kau tak usah khawatir!
Dengan ilmu yang aku berikan mereka akan tunduk di bawah telapak kakimu! Kau
akan menjadi Raja Di Raja! Untuk itu kelak kau harus membangun satu Kerajaan
yang berpusat pada satu istana yang harus kau beri nama Istana Kebahagiaan. Di
dalam istana itu kau akan menemukan kesaktian dan kehebatanmu. Di dalam istana
itu kau akan menemukan kebahagiaan dunia tiada taranya. Karena di istanamu itu
akan berkumpul semua perempuan cantik delapan penjuru angin. Hik… hik… hik! Aku
tanya apa kau tidak suka hidup seperti itu…?!"
Si makhluk berlumut leletkan
lidahnya di ujung bibir. Perbuatannya ini sudah cukup memberi tanda pada kakek
api bahwa orang di hadapannya itu menyukai apa yang didengarnya dan berarti
bersedia mengikuti apa-apa yang dikatakannya.
" Labahala, begitu kau
menginjakkan kaki di Negeri Latanahsilam maka kau berhak menyandang gelar Hantu
Muka Dua, dan dirimu adalah pelambang makhluk Hantu Segala Keji, Segala Tipu,
Segala Nafsu! Haha…ha…!"
Labahala kerenyitkan kening.
Gelar dan pelambang yang dikatakan si kakek api sungguh angker terdengar di
telinganya. "Kakek Lamanyala, gelar dan pelambang yang kau sebutkan
barusan "
Si kakek angkat tangan
kanannya yang dikobari api mulai dari bahu sampai ke telapak. "Aku tahu
apa yang ada dalam benak dan hatimu. Gelar dan pelambang yang kusebutkan tadi
adalah yang paling cocok untukmu karena aku akan membuatmu demikian rupa hingga
keadaanmu menjadi memiliki satu kepala dengan dua muka seumur hidupmu!"
"Kek, aku…."
"Jangan bicara! Jangan
memutus ucapanku sebelum selesai!" Kakek api membentak. Kobaran api di
muka dan matanya menjilat ke depan membuat makhluk berlumut cepat-cepat tarik
kepalanya ke belakang takut terbakar. "Dengar Labahala, sebelum kau
tinggalkan pulau ini kau wajib membersihkan diri di pantai pulau sebelah timur.
Lalu begitu kau berada di Negeri Latanahsilam maka kau akan memiliki kepala
dengan empat pasang macam muka. Muka Pertama adalah muka aslimu yakni muka
lelaki separuh baya. Putih di sebelah depan. Itu muka jahatmu. Lalu hitam di
sebelah belakang, itu muka baikmu. Muka ke dua adalah muka seorang kakek
pucatpasi, sama warna depan dan belakang. Kau akan memiliki muka ini jika kau
berada dalam keadaan kaget atau takut. Muka ke tiga akan muncul jika kau sedang
bergairah atau naik nafsu terhadap lawan jenismu. Kau akan memiliki dua muka
anakmuda yang sangat tampan. Putih di sebelah depan, hitam di bagian belakang.
Muka terakhir adalah mukamu yang paling dahsyat. Wajahmu depan belakang akan
berubah menjadi wajah raksasa jika kau sedang marah!"
Tidak terasa si makhluk
berlumut usap mukanya sebelah depan dan gosok-gosok kepalanya sebelah belakang.
Lamanyala tertawa. "Belum, kepalamu masih belum berubah wahai Labahala.
Kepalamu masih tetap memiliki satu wajah. Ha… ha… ha! Sekarang dengar apa yang
harus kau lakukan begitu berada di Negeri Latanahsilam. Pertama sekali kau
harus mencari makhluk sakti bernama Hantu Tangan Empat Dia memiliki beberapa
ilmu kesaktian. Satu yang paling hebat adalah ilmu pukulan bernama Tangan Hantu
Tanpa Suara. Kau harus merampas ilmu itu dari tangannya. Dengan akal kejimu kau
harus menundukkan Hantu Tangan Empat karena saat ini dialah yang paling tinggi
ilmu kepandaiannya. Selesai urusanmu dengan Hantu Tangan Empat kau harus
mencari seorang berjuluk Hantu Lumpur Hijau. Makhluk ini diam di satu tempat
bernama Kubangan Lalumpur. Dari dia kau harus merampas ilmu kesaktian bernama
Hantu Hijau Penjungkir Roh. Bilamana dua tugas itu sudah kau selesaikan maka
kau harus pergi ke satu lembah di selatan Negeri Latanahsilam. Lembah ini
bernama Lembah Seribu Kabut Di situ ada seorang pertapa bernama Lasedayu.
Kesaktiannya konon lebih tinggi dari Hantu Tangan Empat. Jadi kau harus
hati-hati terhadap makhluk satu ini. Dia memiliki banyak ilmu kepandaian. Satu
diantaranya adalah pukulan ganas bernama Mengelupas Puncak Langit Mengeruk
Kerak Bumi. Semua ilmu yang dimiliki Lasedayu dengan mudah bisa kau dapati
hanya dengan jalan mencungkil dan merampas pusarnya! Kau paham wahai
Labahala?"
"Aku paham wahai
Lamanyala. Namun jika Lasedayu memiliki kepandaian tinggi tentu sulit untuk
mencungkil merampas pusarnya "
"Kau benar. Tapi jika kau
mempergunakan alat ini pekerjaan itu akan jadi mudah…." Kakek api lalu
masukkan tangan kirinya ke dalam lobang di sisi kanan tubuhnya. Dari dalam
rongga ini dikeluarkannya sebuah benda yang diselimuti darah kental.
* *
10
LABAH ALA kernyitkan kening.
Dia tidak tahu benda apa yang dipegang si kakek api Wakil Para Dewa itu. Si
kakek mendongak ke langit, pejamkan matanya lalu meniup. Serta merta darah yang
melumuri benda yang dipegangnya lenyap. Kini kelihatan ujud benda itu, ternyata
adalah sebuah sendok aneh bergagang pendek, terbuat dari emas murni memancarkan
cahaya kuning berkilauan.
"Ini adalah Sendok
Pelangkah Nasib. Dengan benda ini dengan mudah kau bisa mengorek pusar
Lasedayu. Ambillah, simpan baik-baik. Benda ini hanya boleh kau keluarkan pada
saat kau siap mencungkil pusar Lasedayu. Jika telah selesai kau harus pergi ke
tepi pantai, menghadap ke utara lalu buang Sendok Pelangkah Nasib ke dalam laut
Secara gaib sendok ini akan kembali padaku…."
Si kakek api ulurkan tangannya
yang menyala. Dengan hati-hati Labahala ambil benda itu. Tangannya bergetar
begitu memegang sendok emas dan kuduknya terasa dingin. Setelah memperhatikan
sejenak Sendok Pelangkah Nasib dimasukkannya ke balik sosoknya yang penuh
lumut.
"Labahala, kelak kau akan
menjadi Raja Di Raja Para Hantu di Negeri Latanahsilam. Dalam perjalanan
hidupmu ada satu pantangan yang harus kau ingat baik-baik. Yaitu kau
sekali-kali tidak boleh membunuh perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa.
Termasuk binatang yang betina…."
"Wahai, mengapa begitu
Kek?" tanya makhluk berlumut
"Pantangan sudah begitu
kejadiannya. Tak ada pertanyaan untuk hal itu dan tak ada jawabnya
bagimu!" kata Lamanyala pula. "Ada beberapa hal lagi yang harus kau
lakukan wahai Labahala. Begitu Hantu Tangan Empat jatuh dalam kekuasaanmu, kau
harus memerintahkannya untuk pergi ke Negeri Seribu Dua Ratus Mendatang. Negeri
itu disebut Tanah Jawa. Hantu Tangan Empat satu-satunya makhluk di Latanahsilam
yang punya kesaktian untuk menembus jarak serta perbedaan waktu. Di Tanah Jawa
dia harus mencari tiga manusia. Yang pertama bernama Wiro Sableng, berjuluk
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Yang ke dua seorang bocah aneh dipanggil
dengan sebutan Naga Kuning atau Naga Cilik. Yang ke tiga seorang kakek berjuluk
Si Setan NgompoL Salah satu dari ke tiga orang itu memiliki sebuah batu sakti
bernama Batu Pembalik Waktu. Batu itu harus kau dapatkan untuk mencegah
orang-orang di Tanah Jawa bisa masuk ke dalam alammu. Sebaliknya dengan
memiliki batu itu kau bisa masuk ke dalam alam seribu dua ratus tahun
mendatang. Bilamana kau berhasil menjejakkan kaki di Tanah Jawa, segudang ilmu
kepandaian akan mudah kau dapatkan. Lebih dari itu kau bisa pula menjadi Raja
Di Raja di Negeri asing itu…."
"Kakek Lamanyala, aku
sangat berterima kasih atas semua petunjukdan apa yang kau berikan padaku.
Setelah membersihkan diri aku segera akan berangkat menuju Lembah Seribu Kabut
tempat kediaman Lasedayu. Namun wahai Kakek Lamanyala, jika aku boleh bertanya
mengapa sampai aku yang terpilih menerima semua berkah ini?"
Si kakek api tertawa lebar.
Ketika mulutnya terbuka kobaran api menjilat-jilat keluar. "Takdir dan
perjalanan nasibmu sudah begitu Labahala. Kau terpilih menerima rezeki besar.
Sekarang dengar, masih ada satu dua petunjuk lagi yang harus kau dengar dariku
wahai Labahala. Tiga manusia yang kusebutkan tadi bisa menjadi bencana bagimu
karena itu harus kau bunuh mereka setiap ada kesempatan. Tetapi mereka juga
memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi. Darah yang mengalir di tubuh mereka
bisa kau jadikan cairan sakti peredam senjata apa saja yang kau inginkan hingga
senjatamu itu menjadi satu sen- jata mustika sakti mandraguna. Jadi bunuh dia
tapi ambil darahnya! Petunjuk selanjutnya akan sampai kepadamu melalui mimpi-mimpi."
"Terima kasih atas
petunjukmu Kek," kata makhluk berlumut lalu rundukkan tubuhnya ke depan
sampai keningnya hampir menyentuh tanah. Si kakek api tertawa senang. Dia
ulurkan tangan kirinya menepuknepuk bahu Labahala. Karuan saja makhluk berlumut
ini kelojotan karena kobaran api yang ada di tangan si kakek langsung membakar
bahunya, membuat lumut di bagian tubuh itu hangus kering.
"Aku pergi sekarang wahai
Labahala. Sudah tiba saatmu untuk mandi membersih diri!" Habis berkata
begitu si kakek ulurkah tangan kanannya mencekal kuduk Labahala. Sekali dia
menyentakkan tangan itu maka melesatlah sosok makhluk berlumut itu, melayang di
udara dan akhirnya jatuh di dalam laut dangkal di pantai timur pulau karang.
"Labahala! Bersihkan
tubuhmu dari selimut lumut! Setelah itu pergi ke pantai sebelah selatan. Kau
akan menemukan sebuah perahu. Kayuh perahu itu menuju daratan Negeri
Latanahsilam. Selamat jalan wahai Raja Di Raja Segala Hantu! Selamat jalan
wahai Hantu Segala Keji, Segala Tipu, Segala Nafsu!"
Di dalam air laut Labahala
memandang berkeliling. Dia mendengar suara itu tapi sama sekali tidak melihat
sosok si kakek api. Anehnya ketika dia "mengusap lengannya, lumut hijau
yang telah bertahun-tahun membungkus tubuhnya hingga menyerupai lapisan batu
terkelupas rontok. Labahala terkesiap. Digosoknya bagian tubuh yang lain. Hal
yang sama terjadi. Labahala mengusap wajahnya. Beberapa kali mengusap saja
seluruh wajahnya serta merta menjadi bersih! Kembali ke pulau karang ternyata
kakek Wakil Para Dewa di Negeri Latanahsilam masih berada di tempatnya semula.
Seringai lebar menguak di wajahnya. Dari mulutnya meluncur ucapan.
"Lasedayu, dendamku
puluhan tahun silam akan segera terbalaskan! Kau tidak pernah tahu siapa
sebenarnya yang mencelakai dirimu! Kau akan hidup sengsara terkutuk
seumur-umur! Celakalah kau Lasedayu!"
Kakek yang tubuhnya geroak dan
terbungkus nyala api itu tertawa panjang dan puas. Namun tawanya mendadak
sontak lenyap ketika di langit ada cahaya putih disusul suara mengiang di ke
dua telinganya.
"Lamanyala, Wakil Para
Dewa di Negeri Latanahsilam. Kami memang menginginkan hukuman dijatuhkan atas
diri Lasedayu. Namun bukan dengan cara seperti yang telah kau kerjakan.
Pelaksanaan hukuman bukan berarti membakar dan menebar dendam. Apa lagi kau sadar
penuh siapa adanya Lasedayu dan siapa pula adanya makhluk berlumut yang kau
beri nama Labahala itu!"
Si kakek api menatap ke
langit. Lalu rapatkan dua tangan dan letakkan di atas kening. Lututnya ditekuk
sedikit
"Wahai Junjungan Dari
Atas Langit, mohon maaf kalau aku telah keliru bertindak. Namun bukan maksud
hati membakar dan menebar dendam. Kalau Junjungan melihat keadaan diriku yang
sengsara dan mengerikan begini rupa, hukuman apakah yang akan setimpal sebagai
balasan atas kejahatan Lasedayu terhadap diriku puluhan tahun silam? Selain itu
wahai Junjungan, bukankah karena perbuatan Lasedayu pula maka Jimat Hati Dewa
raib selama-lamanya, tak mungkin kembali lagi ke tangan para Junjungan?"
"Lamanyala, sebenarnya
kami telah menyiapkan satu hukuman yang setimpal terhadap Lasedayu. Namun
kedahuluan oleh tindakanmu. Sungguh disayangkan kau mengambil keputusan dan
bertindak sendiri, tidak menaruh hormat dan berunding dulu dengan kami.
Karenanya segala apa yang kelak terjadi sepenuhnya akan menjadi tanggung jawabmu!"
Rahang si kakek api
menggembung. Telinganya panas dan hatinya meradang. "Wahai Para Junjungan,
sudah nasib diri kami manusia di bumi ini. Jika salah langsung diterpa, jika
celaka tidak pernah diambil kira. Puluhan tahun aku hidup dengan sosok hanya
tinggal sebelah! Siapa yang peduli akan kesembuhanku? Manusia di bumi tidak,
para Dewa di langit juga tidak! Tapi ketika aku mengambil keputusan
memperkarakan makhluk jahat bernama Lasedayu, kesalahan justru ditimpakan pada
diriku! Wahai Junjungan, seperti katamu, aku akan ber- tanggung jawab akan
segala apa yang terjadi sebagai akibat perbuatanku! Tapi ketahuilah, mulai saat
ini jangan disebut lagi diriku ini sebagai Wakil Para Dewa Di Negeri
Latanahsilam! Kelak Labahala tidak hanya akan membuat kegegeran di permukaan
bumi Latanahsilam tapi juga akan membuat heboh Para Dewa di atas langit
sana!"
Si kakek tundukkan kepala,
tekuk lututnya lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Di langit sinar putih
menyambar ke atas pulau namun Lamanyala telah lenyap tanpa bekas!
11
KITA kembali ke Istana
Kebahagiaan. Seperti dituturkan dalam Bab Lima kakek sakti bernama Lapicakkanan
yang buntung paha kirinya akibat tebasan Kapak Maut Naga Geni 212 akhirnya
menemui ajal dibunuh Hantu Muka Dua karena menganggap kakek itu tidak ada
gunanya lagi. Saat itu matahari mulai naik. Udara tampak cerah. Dari sebuah
jalan rahasia di sebelah timur Istana Kebahagiaan kelihatan seorang kakek
berkelebat cepat, lari sambil mendukung seorang kakek di atas bahunya. Kakek
yang berlari adalah Lahidungbesar sedang yang didukung sudah dapat ditebak
ialah Lasulingmaut adanya. Seperti biasanya sambil didukung Lasulingmaut tiup
suling tengkoraknya yang mengeluarkan suara sember dan mengepulkan asap hitam.
"Lasulingmaut!"
sambil berlari Lahidungbesar berkata.
"Ini kali pertama dan
kali terakhir aku mendukungmu! Jangan samakan aku dengan Lapicakkanan. Aku
tidak sudi mendukungmu kemana aku pergi. Aku bukan keledai tunggangan!"
Lasulingmaut si kakek aneh
yang tak pernah bicara menyeringai lalu tiup sulingnya yang mengeluarkan suara
sember. Setelah itu dia bergumam beberapa kali.
"Aku tahu kau marah!
Wahai terserah padamu! Apapun yang terjadi! Apapun yang kau lakukan, jika
urusan ini selesai aku tetap tidak akan mau mendukungmu lagi! Sialan!"
Lasulingmaut tiup lagi suling
tengkoraknya hingga asap hitam berkepulan. Tiba-tiba suling itu melesat ke arah
wajah kakek hidung besar. Kali ini tak ada kepulan asap. Tapi ujung suling
berkelebat mengarah ke mata kanan Lahidungbesar! Lahidungbesar menggembor marah
dan hantamkan tangan kanannya ke atas. Siap untuk memukul hancur suling yang
ditancapi tengkorak itu. Kakek yang didukungnya menggumam keras lalu gerakkan
tangannya sedikit. Suling yang dipegangnya serta merta melenceng ke kiri.
Hantaman tangan Lahidungbesar hanya mengenai udara kosong. Untuk pertama
kalinya Si Lasulingmaut keluarkan suara tertawa aneh bergumam.
"Lasulingmaut jahanam
keparat! Wahai! Kau hendak menusuk mataku! Membuat aku picak seperti
Lapicakkanan!" teriak Lahidungbesar marah.
Di belakang ke dua orang itu,
empat orang lelaki bertubuh tegap, mengenakan pakaian kulit kayu berbentuk
jubah coklat dilengkapi kopiah tinggi juga berwarna coklat berlari sebat
membawa sebuah tandu terbuka. Pada bagian pertengahan tandu itu berbentuk
kursi. Di atas kursi ini duduklah Raja Diraja Segala Hantu, penguasa Istana
Kebahagiaan yang disebut Junjungan alias Hantu Muka Dua.
"Kalian berdua di depan
sana!" Tiba-tiba Hantu Muka Dua berseru pada dua kakek yang tengah
bertengkar.
"Kita tengah menghadapi
satu urusan besar!
Jika tidak segera berhenti
bertengkar, jangan salahkan kalau kepala kalian kupecahkan seperti aku
memecahkan kepala Lapicakkanan!"
Hidung besar kakek bernama
Lahidungbesar mengembang tambah besar. Mulutnya menggerutu lalu diam. Di
atasnya Lasulingmaut bergumam keras lalu tiup suling tengkoraknya.
Di sebuah lereng bukit
berbatu-batu Lahidungbesar hentikan larinya. Yang disebut sumur melintang
seperti dikatakan oleh kakek itu ternyata adalah sebuah goa batu di lamping
bukit sedalam tiga tombak. Sepanjang bagian dasar goa ada hamparan batu rata
setinggi pinggul hingga goa itu tidak bedanya merupakan sebuah pembaringan.
Karena saat itu sinar sang surya berada di sisi lain dari lereng bukit maka
bagian dalam goa batu tersebut tidak terlihat jelas.
"Wahai Junjungan Hantu
Muka Dua, ini sumur melintang tempat aku meninggalkan Peri Angsa Putih,"
berkata Lahidungbesar, memberi tahu Hantu Muka Dua.
Hantu Muka Dua memberi
isyarat. Empat pengusung tandu segera turunkan tandu ke tanah. Sepasang mata
Hantu Muka Dua membesar berbinar-binar. Tatapannya tidak beralih ke arah goa
yang gelap. "Kau tunggu apalagi Lahidungbesar! Lekas keluarkan Peri itu
dari dalam sumur melintang. Pastikan dia masih berada di bawah pengaruh Ilmu
Menjirat Urat yang aku ajarkan padamu!"
"Jangan khawatir
Junjungan. Sampai saat ini dia pasti berada dalam keadaan tidak berdaya."
Lahidungbesar diam-diam merasa menyesal telah memberftahu bahwa Peri Angsa
Putih berada di dalam goa itu. Padahal sebenarnya dia sudah punya niat keji untuk
mengumbar nafsu merusak kehormatan sang Peri. Periahan-lahan Lahidungbesar
turunkan Lasulingmaut dari dukungannya. Lalu dia melangkah ke mulut goa,
membungkuk, terus masuk merangkak sejauh setengah tombak. Begitu tangannya
menyentuh dua kaki dia tidak segera menarik tapi diusap-usapnya lebih dulu.
Usapannya naik ke betis. Nafas Lahidungbesar memburu dilanda nafsu. Hidungnya
yang besar tambah mengembang. Kalau saja Hantu Muka Dua tidak ada di situ,
pasti tangannya akan menggerayang lebih ke atas.
"Lahidungbesar! Apa yang
kau lakukan berlamalama di dalam sumur itu!" Hantu Muka Dua berteriak
tidak sabaran.
"Sebentar wahai
Junjungan. Sumur ini agak sempit…"
jawab Lahidungbesar yang
disambut dengan suara tiupan suling semberoleh Lasulingmaut. Kakek satu ini agaknya
sudah tahu apa yang tengah dilakukan kawannya itu.
Ketika menarik sepasang kaki
itu dalam gelap Lahidungbesar merasa heran dan membatin. "Aneh, mengapa
sosok Peri ini jadi sangat berat. Waktu kakinya kupegang terasa kasar. Lalu
mengapa betisnya seperti ada bulu-bulunya. Keras berotot. Seharusnya halus dan
lembut." Sesaat kakek hidung besar ini berhenti menarik. Dia
mengendus-endus. Lalu kembali berkata dalam hati." Seingatku sosok Peri
Angsa Putih menebar bau harum mewangi. Saat ini aku seperti mencium bau
keringat. Ada yang tidak beres "
Walau hatinya kini mendadak
merasa tidak enak Lahidungbesar kembali menarik dua kaki. Ketika dia sampai di
ujung sumur melintang, pada bagian yang terang dia melihat ke bawah,
memperhatikan.
"Wahai!"
Lahidungbesar berseru. Tampangnya berubah pucat tanda terkejut amat sangat
"Lahidungbesar! Ada
apa?!" bertanya Hantu Muka Dua.
Lasulingmaut turunkan
sulingnya dari mulut, menatap tajam ke arah mulut goa.
"Ka… kaki itu…"
jawab Lahidungbesar. Namun ucapannya terputus dan berubah menjadi jerit
kesakitan setinggi langit ketika satu tendangan menghantam dadanya keras luar
biasa!
Darah menyembur merah dari
mulut kakek itu. Karena sebagian mulutnya tertutup oleh hidungnya yang besar
maka muncratan darah bersibak membasahi separuh muka, leher dan bajunya. Tubuh
Lahidungbesar terbanting ke lamping batu lalu roboh terduduk di tanah! Mukanya
sepucat kain kafan! Lasulingmaut melompat empat langkah menjauhi mulut goa
sambil keluarkan suara bergumam. Hantu Muka Dua berteriak marah.
"Jahanam di dalam sumur
melintang! Siapa kau!"
Dua kaki yang terjuntai di
mulut goa bergerak ke atas ke bawah, menimbulkan dua gelombang angin deras,
membuat semua orang yang ada di depan goa cepat-cepat menyingkir. Sesaat
kemudian orang yang ada dalam goa itu melompat keluar sambil tertawa bergelak.
"Kurang ajar! Pendekar
212 Wiro Sableng! Kau rupanya!" teriak Hantu Muka Dua marah. Walau marah
namun diam-diam hatinya jadi tidak enak. Maksud kedatangannya jauh-jauh ke
tempat itu adalah untuk menemui Peri Angsa Putih, musuh besarnya. Tapi kini
yang keluar dari dalam sumur melintang itu adalah orang lain yang juga
merupakan musuh besarnya yang selama ini telah berkali-kali ingin dibunuhnya!
Hantu Muka Dua memandang mendelik pada Lasulingmaut, lalu pada Lahidungbesar
dan membentak. "Lahidungbesar! Bagaimana bisa pemuda asing jahanam ini
yang ada di dalam sumur melintang! Mana Peri Angsa Putih yang kau katakan itu?!
Kalian mempermainkan aku hah?!" Wajah Hantu Muka Dua depan belakang
langsung berubah menjadi wajah-wajah raksasa menggidikkan. Sepasang matanya
mendelik pada dua kakek di depannya.
Lasulingmaut hanya gembungkan
mulut lalu bergumam, membuat Hantu Muka Dua tambah marah. Lahidungbesar
gelengkan kepala dengan dada sesak. Dia coba membuka mulut hendak menjawab tapi
yang keluar dari mulutnya bukan ucapan melainkan semburan darah. Di depan goa,
orang yang barusan melompat keluar tegak dengan kaki terkembang, tangan dilipat
di depan dada dan mulut sunggingkan seringai mengejek. Suara tertawa lalu
keluar dari mulutnya. Mulamula Periahan lalu mengeras. Seperti disaksikan semua
orang yang ada di situ, orang ini memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng!
"Hantu Muka Dua! Sungguh
sial nasibmu! Maksud hati mencari Peri, tak tahunya hanya datang mencari
mati!"
Rahang Hantu Muka Dua
menggembung. Gerahamnya mengeluarkan suara bergemeretakan. "Pemuda asing!
Jangan bicara sombong di hadapan Raja Diraja Segala Hantu, penguasa tunggal
Istana Kebahagiaan! Aku memang sudah lama mencarimu! Hari ini jangan harap kau bisa
lolos dari kematian! Jangan mimpi bisa kembali hidup-hidup ke negeri
asalmu!"
Setelah membentak Hantu Muka
Dua masih sempat berpikir apa sebenarnya yang telah terjadi dan dimana
beradanya Peri Angsa Putih. Hal yang sama juga menjadi tanda tanya di diri Lahidungbesar
sementara Lasulingmaut seperti biasanya unjukkan sikap tidak acuh. Hal ini
membuat kemarahan Hantu Muka Dua menjadi tambah menggelegak. Dia berpaling pada
Lahidungbesar dan berkata. "Kalian yang punya pekerjaan! Kalian yang
bertanggung jawab! Lekas bunuh pemuda asing itu! Dan tunjukkan padaku dimana
Peri Angsa Putih!"
Lahidungbesar tak bisa
menjawab karena dia memang tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi.
Mengapa tahu-tahu Pendekar 212 telah berada di tempat itu dan juga tidak tahu
dimana beradanya Peri Angsa Putih saat itu. Selain itu Lahidungbesar berada
dalam keadaan terluka parahi di dalam akibat tendangan Wiro. Nafasnya
megap-megap dan tulang dada serta beberapa iganya ada yang hancur.
Dalam keadaan seperti itu
tiba-tiba ada suara perempuan berseru. "Hantu Muka Dua, kau mencari
diriku?! Aku ada di sini!"
Hantu Muka Dua dan semua orang
yang ada di lereng bukit batu itu kecuali Wiro palingkan kepala ke arah
datangnya suara. Di atas sebuah batu besar di tempat ketinggian kelihatan Peri
Angsa Putih tegak di samping Laeputih angsa raksasa tunggangannya. Ternyata di
situ dia tidak sendirian. Di sebelahnya tegak seorang gadis ramping tinggi
semampai mengenakan pakaian biru. Di keningnya menempel sekuntum bunga tanjung
kuning. Semua orang terpesona melihat kecantikan gadis satu ini yang tak kalah
anggun dengan Peri Angsa Putih.
"Luhcinta…" desis
Hantu Muka Dua. "Bagaimana dia bisa bergabung dengan Peri Angsa Putih. Apa
hubungan antara dua gadis itu…." Penguasa Istana Kebahagiaan ini lantas ingat
pada peristiwa ketika dia berhasil menjebak dan membawa gadis itu ke tempat
kediamannya di bawah Telaga Lasituhitam sebelum digusur oleh Peri Angsa Putih
beberapa waktu lalu. Kemunculannya pasti membawa dendam. Karena Hantu Muka Dua
tahu Luhcinta bukan gadis sembarangan dan merupakan murid seorang nenek sakti
bernama Hantu Lembah Laekatakhijau dan juga merupakan cucu kandung nenek sakti
lainnya yang dijuluki Hantu Penjunjung Roh.
Mengingat sampai di situ Hantu
Muka Dua diamdiam menjadi was-was. Apalagi dia mempunyai pantangan membunuh
perempuan. Akan cukup sulit baginya untuk menghadapi langsung dua gadis jelita
berkepandaian tinggi itu. Dia memandang berkeliling, menghitung jumlah orang
dan mengukur kekuatan di pihaknya. Walau dia tidak meremehkan kemampuan dua
kakek sakti yang ada bersamanya namun Hantu Muka Dua tetap saja merasa
khawatir. Kakek hidung besar jelas tidak bisa diandalkan lagi. Maka makhluk
yang mengaku Raja Diraja Segala Hantu ini lantas memberi isyarat pada empat
orang lelaki berjubah yang menjadi pengusungnya. Melihat tanda ini ke empat
orang itu segera keluarkan suitan keras. Dua kali berturut-turut. Hanya
beberapa saat setelah suitan menyentak keras maka tiga sosok berkelebat dan
muncul tegak di samping Hantu Muka Dua. (Siapa adanya Luhcinta, riwayatnya bisa
dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Rahasia Bayi Tergantung)
Sosok pertama adalah seorang
nenek berkaki pendek sebelah, mengenakan pakaian kulit kayu warna-warni. Walau
dia jelas berambut panjang riap-riapan dan memakai anting di dua telinganya,
namun perempuan tua ini di bawah bibirnya ditumbuhi bulu-bulu menyerupai kumis
lelaki! Yang angkernya dari nenek ini ialah dia mempunyai sepasang tangan
berkuku panjang, berwarna hitam dan dilebati rambut-rambut hitam berjingkrak! Si
nenek adalah salah satu kaki tangan Hantu Muka Dua yang dikenal dengan julukan
Si Pembedoi Usus! Julukan ini sesuai dengan kebiasaannya yang selalu membunuh
lawannya dengan
cara merobek perut membetot
usus!
Peri Angsa Putih yang
mengenali siapa adanya nenek satu ini diam-diam merasa terkejut karena tidak
menyangka si nenek yang selama ini memang tidak disenangi oleh Para Peri dan
Dewa ternyata telah bergabung di Istana Kebahagiaan menjadi kaki tangan Hantu
Muka Dua!
Orang ke dua adalah seorang
lelaki separuh baya yang mukanya diberi pupur tebal, alis terang dan gincu
merah mencorong. Rambutnya keriting aneh, panjang menjulai sampai bahu. Walau
dia mengenakan pakaian laki-laki namun sikap tingkahnya seperti perempuan,
sebentar-sebentar tersenyum dan mematik-matik rambutnya. Di hidungnya dia
memakai sebentuk subang bermata yang memancarkan cahaya berkilat-kilat.
Sesekali dia mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng dan kedip-kedipkan
matanya lalu mencibir pada Lasulingmaut yang memperhatikannya dengan pandangan
mengejek sambil keluarkan suara ber- gumam. Di Negeri Latanahsilam orang ini
dikenal dengan nama Si Betina Bercula. Nama ini cukup menjadi pertanda bahwa
dia sebenarnya adalah seorang lelaki yang punya kelainan dan menjalani hidup
sebagai perempuan. Konon selama belasan tahun dia lenyap tak diketahui kemana
perginya. Begitu muncul tahu-tahu dia sudah menjadi orang kepercayaan Hantu
Muka Dua.
Kalau Luhcinta tidak
mengetahui siapa adanya Si Betina Bercula, lain halnya dengan Peri Angsa Putih.
Melihat Si Betina Bercula dia langsung merasa khawatir terhadap keselamatan
Pendekar 212 Wiro Sableng. Apalagi dari sikapnya dia jelas mengincar pemuda
asing itu.
Orang ke tiga yang muncul
bersama nenek Si Pembedol Usus dan Si Betina Bercula dikenali Wiro bukan lain
adalah Si Pelawak Sinting. Seorang kakek aneh yang pernah menunjukkan sikap
baik menolong sang pendekar tetapi kemudian menjebloskannya ke sebuah lobang
maut dan ternyata dia adalah kaki tangan Hantu Muka Dua. Namun saat itu Wiro
menjadi bingung dan sulit menerka apakah Si Pelawak Sinting yang muncul ini
adalah yang palsu atau yang asli.
Seperti diceritakan dalam
serial terdahulu (berjudul Hantu Tangan Empat) Pelawak Sintingyang asli adalah
seorang kakek baik-baik. Kakek ini mempunyai kesukaan bernyanyi sambil menari.
Kemana-mana selalu membawa payung daun yang diletakkan di atas kepala serta
membekal sebuah tambur terbuat dari batang kayu yang dilubangi lalu salah satu
sisinya ditutup dengan kulit binatang yang dikeringkan. Selain itu caranya berpakaian
selalu mendodorkan celananya bagian belakang ke bawah hingga pantatnya yang
hitam dan kasap tersingkap ke mana-mana.
"Sialan benar!" kata
Wiro memaki dalam hati sambil menggaruk-garuk kepala. "Bagaimana aku
mengetahui kakek ini Pelawak Sinting asli yang baik atau Pejawak Sinting palsu
yang jahat! Dulu Pelawak Sinting yang asli telah merampas payung serta tambur
itu dari Si Pelawak Sinting palsu. Pelawak Sinting palsu adalah kakak kembar
yang asli. Tapi sekarang kakek itu muncul membawa payung dan tambur seperti
milik Pelawak Sinting. Apakah dia yang asli atau yang palsu tapi berhasil
mendapatkan atau membuat sendiri payung daun dan tambur itu?!" Pendekar
212 coba mengingatingat.
"Antara dua kakek sinting
kembar itu memang sulit dibedakan. Mulutnya sama-sama tonggos, mata sama belok
dan hidung sama pesek. Lalu pantat juga sama-sama hitam burik! Bahkan suaranya
tidak beda sedikitpun. Suara… suara… Aku ingat sekarang. Pelawak Sinting yang
asli tidak bisa menyebut namaku dengan lempang. Dia tidak bisa menyebut Wiro
seolah lidahnya kelu melafatkan huruf ‘er’. Selain itu dia suka cegukan seperti
anak kecil.
Walau aku yakin kakek ini
adalah Si Pelawak Sinting palsu tapi ada baiknya aku menguji dulu agar tidak
kesalahan tangan."
"Sobatku kakek Pelawak
Sinting!" Wiro berseru.
"Aku gembira bisa bertemu
lagi denganmu. Apa kau masih ingat namaku…?"
Payung di atas kepala Si
Pelawak Sinting mumbul ke atas. Kakek ini monyongkan mulutnya yang tonggos.
"Aku masih belum buta!
Bukankah kau pemuda asing bernama Wiro Sableng itu? Tidak sangka aku mendapat
perintah untuk membunuhmu kembali!"
Telinga Wiro seperti mengiang.
"Dia mampu menyebut namaku dengan benar. Berarti dia memang Si Pelawak
Sinting palsu sialan itu!" Wiro membatin. Lalu dia berkata lagi.
"Walau kau sudah mendapat hajaran dari adikmu rupanya kau belum kapok! Apa
kali ini kau akan menjebloskan aku lagi ke dalam lubang?!"
Belum sempat Si Pelawak
Sinting palsu yang bernama Labodong itu menjawab, Betina Bercula goyangkan
pinggulnya. Sambil mematik merapikan rambutnya dia berkata. "Wahai…. Hik…
hik…. Kalau kau memang ingin masuk lobang biar sekali ini aku yang mencarikan
lobang untukmu. Hik… hik…. Orang muda bertampang gagah. Mari aku bisikkan
sesuatu padamu!"
Habis berkata begitu Si Betina
Bercula melompat ke hadapan Pendekar 212. Wiro segera mundur menjauh. Tapi
lengannya sudah terpegang dan tahu-tahu mulut Betina Bercula sudah berada dekat
telinga kirinya. Wiro cepat tarik tangan dan jauhkan kepalanya. Namun Betina
Bercula masih sempat menjilat daun telinga sang pendekar. Sambil tertawa
cekikikan lelaki yang berperangai banci ini kembali ke tempatnya semula.
"Wahai! Telingamu
pahit-pahit asin. Tapi lumayan! Enak juga! Hik… hik… hik!"
Wiro usap telinganya yang
barusan dijilat tengkuknya terasa merinding. Dalam hati dia memaki panjang
pendek.
"Kalian semua
dengar!" Tiba-tiba Hantu Muka Dua membentak. "Kita kemari bukan untuk
bergurau. Tapi untuk menangkap Peri itu hidup-hidup, juga kawannya yang
berpakaian biru itu. Tugas paling utama adalah membunuh pemuda asing bernama
Wiro Sableng itu!"
"Penguasa tertinggi
Istana Kebahagiaan! Kami siap melakukan!" kata Lahidungbesar sambil
mencoba tegak tapi terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk.
"Makhluk tak berguna!
Lebih baik aku pecahkan saja kepalamu seperti Lapicakkanan!" kata Hantu
Muka Dua.
Lasulingmaut bergumam panjang.
Dia angkat suling tengkoraknya. Sambil mengerahkan tenaga dalam ujung suling
itu ditusuk-tusukkannya ke beberapa bagian tubuh kakek kawannya. Walau apa yang
dilakukan si kakek tidak menyembuhkan luka dalam Lahidungbesar namun hebatnya
Lahidungbesar kini merasa ada satu kekuatan besar masuk ke dalam badannya yang
membuat dia mampu bangkit berdiri. Begitu kakek ini berdiri, Lasulingmaut
segera melompat naik ke atas bahunya.
Nenek berjuluk Si Pembedol
Usus kembangkan dua tangannya lalu keluarkan pekik keras. Sekali berkelebat dia
sudah mendahului melesat ke arah ketinggian dan jejakkan kaki dua. tombak di
depan batu besar di mana Peri Angsa Putih dan Luhcinta berada. Si Pelawak
Sinting palsu berkelebat pula mengikuti gerakan si nenek. Ketika Lahidungbesar
hendak melompati Pendekar 212, Si Betina Bercula cepat berkata.
"Pemuda satu itu
bagianku! Jangan ada yang berani menyentuhnya!"
"Jangan kau berani
main-main di hadapan Junjungan kita!" bentak Lahidungbesar sementara di
atasnya Lasulingmaut mulai tiup suling tengkoraknya dan kepulkan asap beracun
yang sanggup membuat beku aliran darah! Lahidungbesar kelihatan marah tapi
sebenarnya dia merasa gembira karena dalam keadaan terluka di dalam seperti itu
dia tidak Periu turun tangan melakukan serangan. Tapi di atas pundaknya
Lasulingmaut yang sudah gatal ingin segera turun tangan bergumam marah.
"Siapa main-main! Lihat
bagaimana aku membunuhnya!" balas berteriak Si Betina Bercula. Tubuhnya
melesat melewati dua kakek itu dan sesaat kemudian tangan kirinya menyambar ke
arah leher Wiro dalam gerakan menabas yang sangat ganas! Tentu saja murid Eyang
Sinto Gendeng segera menyingkir selamatkan diri. Tapi baru saja dia bergerak
tiba-tiba tangan kanan Betina Bercula melesat ke bawah perutnya!
"Sialan!" maki Wiro.
Karena tidak menyangka dan lagi pula gerakannya mengelak tertahan oleh lamping
batu yang ada di belakangnya sementara serangan lawan datangnya seperti kilat,
Wiro hampir tak punya kesempatan untuk selamatkan diri.
Tapi gilanya ternyata apa yang
dilakukan Betina Bercula hanyalah meraba bagian tubuh di bawah pusar Pendekar
212 lalu melompat menjauh. Sambil tertawa cekikikan dia usapkan tangannya yang
barusan meraba ke hidungnya sendiri!
"Banci kurang ajar!"
rutuk Pendekar 212 marah sekali dan merinding kuduknya. Sambil kerahkan tenaga
dalam ke tangan kanan dia melompat dan menghantam ke arah Si Betina Bercula.
Namun saat itu pula Lahidungbesar yang dihardik oleh Hantu Muka Dua berkelebat
dari samping menghadangnya. Dari atas dukungannya Lasulingmaut bergumam keras
lalu babatkan suling tengkoraknya. Asap hitam mengepul menyambar ke kepala
murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini!
12
KITA ceritakan sedikit
bagaimana Luhcinta sampai berada di tempat itu. Sesaat setelah Peri Angsa Putih
dibawa kabur oleh Lahidungbesar, Luhcinta yang tengah melanjutkan perjalanan
sambil melakukan penyelidikan tentang asal usul dirinya sampai di tempat
berlangsungnya perkelahian. Hatinya gembira karena dia melihat Pendekar 212 di
kejauhan. Namun pemandangan lain membuat gadis ini merasa tidak enak. Selain
itu sudah sejak beberapa hari ini Luhcinta merasa seolah ada seseorang yang
selalu membayangi perjalanannya dari jauh. Luhcinta menemukan Laeputih angsa
milik Peri Angsa Putih di balik batu-batu bukit tapi si pemiliknya sendiri
tidak kelihatan di tempat itu. Ketika dia mendekati binatang ini, dia melihat
ada sepasang kaki putih tersembul di bawah sayap angsa.
"Ada perempuan
bersembunyi di bawah sayap angsa itu. Mungkinkah sang Peri? Jangan-jangan
sesuatu terjadi dengan dirinya," pikir Luhcinta. Dia mempercepat
langkahnya. Belum sempat dia mencapai Laeputih tiba-tiba seorang gadis
berpakaian ungu menyelinap keluar dari balik sayap angsa. Gerakannya cepat
sekali. Luhcinta hendak memanggil, tapi gadis itu telah berkelebat lenyap di
balik bebatuan. "Siapa gadis itu? Mengapa dia sembunyi lalu melarikan diri
kalau tidak membekal maksud kurang baik?" Luhcinta sampai di samping angsa
raksasa.
"Laeputih, mana Peri
Angsa Putih. Mengapa kau seperti memencilkan diri di balik batu?" Luhcinta
bertanya dan usap-usap leher angsa putih itu. Laeputih rundukkan kepalanya
sambil keluarkan suara mendesah halus. Dua sayapnya direntang dan
digesek-gesekkan ke bawah. Luhcinta menduga-duga apa kira-kira yang hendak
disampaikan binatang itu kepadanya. Laeputih kemudian mematuk-matuk bebatuan di
depannya dan sayapnya dikepakkan berulang kali.
"Hemmm…. Laeputih,
mungkin kau menyuruhku naik ke atas punggungmu dan mengajakku terbang.
Baik…baik, aku akan menunggangimu…." Luhcinta ingat pada Wiro dan hentikan
ucapannya. Dia memandang ke arah kejauhan. Wiro dilihatnya masih berada di
tempat tadi, tegak seorang diri sambil memegang sehelai selendang berwarna
biru. "Kalau aku tidak salah menduga, selendang itu adalah milik Peri
Angsa Putih. Apakah sang Peri memberikannya pada Wiro…?"
Luhcinta merenung sambil
gigit-gigit bibirnya. Laeputih kembali mematuk-matuk dan keluarkan suara
mendesah tanda tidak sabaran.
"Wahai, kau sudah tidak
sabar rupanya sahabatku. Baik, aku akan naik ke punggungmu. Tapi aku harus
berhati-hati. Jangan sampai aku jatuh wahai Laeputih. Terbangkan aku ke tempat
di mana beradanya Peri Angsa Putih " Sekali melompat Luhcinta telah berada
di atas angsa putih itu. Tanpa menunggu lebih lama Laeputih segera melesat
terbang ke arah timur. Wiro yang berada di bawah sempat melihat Laeputih
bertanya-tanyii siapa adanya penunggang berbaju biru yang jelas bukan Peri
Angsa Putih adanya. Selagi dia bertanya-tanya seperti itu tak lama kemudian Wiro
melihat seekor kura-kura terbang melintas di udara. Dari arah yang ditujunya
agaknya kura-kura itu mengikuti angsa putih dari kejauhan. Wiro sudah tahu
siapa adanya penunggang kura-kura terbang itu. Yakni bukan lain dara cantik
bernama Luhjelita.
Saat itu Wiro ingat dan ingin
sekali menemui dua temannya yaitu Naga Kuning dan Setan Ngompol. Pada saat
ditinggal mereka masih menunggui obat yang diberikan oleh Hantu Raja Obat agar
tubuh mereka juga bisa dibesarkan seperti keadaannya sekarang. Namun akhirnya
Wiro mengambil keputusan untuk segera menuju ke Istana Kebahagiaan. Karena dia
sangat mengkhawatirkan keselamatan Peri Angsa Putih. Selain itu dia hendak
mencari kejelasan mengenai siapa sebenarnya orang yang hendak meracuninya
dengan bunga mawar kuning. Peri Angsa Putih atau Luhjelita.
Sebelum Wiro meninggalkan
tempat itu menuju Istana Kebahagiaan yang menjadi sarang Hantu Muka Dua, orang
bermuka tanah liat hitam yang oleh Lahidungbesar dan kawan-kawan diduga adalah
Si Penolong Budiman, telah lebih dulu meninggalkan tempat itu. Seperti Wiro
diapun hendak menuju Istana Kebahagiaan. Namun sepanjang jalan dia selalu
melihat ke udara memperhatikan angsa putih yang terbang ditunggangi gadis
berpakaian biru. Sambil lari dia membatin. Setiap dia membatin detak jantungnya
mengeras dan hatinya berdebar.
"Sayang, aku tidak sempat
melihat wajah perempuan yang terbang bersama angsa putih itu. Melihat keadaan
tubuhnya mungkin dia gadis yang selama ini kucari. Wahai…. Kalau saja Para Dewa
menolong dan aku bisa menemukannya, mungkin derita batin selama puluhan tahun
ini bisa terobati. Bagaimanapun aku harus bertemu, harus melihatnya sebelum
kematian menjadi bagianku…." Sepasang mata orang aneh ini tampak
berkaca-kaca. Ketika dia memandang lagi ke udara dilihatnya ada seekor
kura-kura raksasa terbang mengikuti angsa putih di kejauhan.
Ternyata Laeputih membawa
Luhcinta ke lereng bukit dimana terletak sumur melintang. Bagaimanapun
cerdiknya angsa putih itu namun tak mungkin baginya untuk memberi tahu bahwa
Peri Angsa Putih ada di dalam goa itu. Binatang ini hanya hinggap di lereng
batu yang terdekat sambil sesekali menjulurkan kepalanya ke arah goa dan
keluarkan suara menguik halus. Karena terlindung oleh satu batu besar Luhcinta
tidak dapat melihat mulut goa. Selagi dia berpikir-pikir coba mengertikan
petunjuk apa yang berusaha diberikan oleh angsa putih itu, tiba-tiba di bawah
sana dilihatnya Wiro berlari mendaki lereng bukit berbatubatu. Saking
gembiranya gadis ini hendak berseru memanggil sang pendekar. Namun maksudnya
dibatalkan ketika di salah satu lamping bukit sebelah barat dia melihat satu
sosok hitam mendekam memperhatikan. Ketika dia memandang ke jurusan itu, orang
di balik batu segera menyelinap menghilang.
"Pasti itu orang yang
mengikutiku sejak beberapa hari ini…" kata Luhcinta dalam hati. Setelah
berpikir sejenak gadis ini akhirnya menuruni lereng bukit menemui Pendekar 212
Wiro Sableng. Wiro sendiri sebenarnya telah melihat sosok angsa putih di atas
bukit batu sana. Dia tidak menduga kalau penunggangnya adalah dara cantik
bernama Luhcinta yang sejak pertemuan mereka pertama kali selalu dikenangnya.
Apalagi kakek gendut Si Hantu Raja Obat yang menolong membesarkannya pernah
membisikkan kata-kata yang kadang-kadang terngiang di telinganya: "Ratusan
orang akan jatuh cinta pada gadis itu. Tapi hanya ada satu pemuda yang berkenan
di hatinya. Kau!"
"Aku senang bertemu
denganmu Wiro. Apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanya Luhcinta.
"Aku juga gembira bisa
melihatmu lagi. Kau sendiri apa yang kau lakukan di sini? Kau datang menunggang
angsa milik Peri Angsa Putih," ujar Pendekar 212.
"Agaknya kita tengah
mencari orang yang sama. Peri pemilik angsa itu…."
"Peri itu ditawan dan
dibawa kabur oleh anak buah Hantu Muka Dua. Aku tengah dalam perjalanan menuju
Istana Kebahagiaan, sarangnya Hantu Muka Dua…" menerangkan Wiro.
Luhcinta terkejut mendengar
penjelasan Wiro itu.
"Angsa putih itu secara
aneh menurunkan aku di lereng bukit ini. Berkali-kali dia menjulurkan kepalanya
ke arah sana. Aku tidak tahu…. Tapi agaknya dia berusaha memberitahukan
sesuatu…."
Wiro memandang ke arah yang
ditunjuk Luhcinta. Seperti si gadis pandangannya juga terhalang oleh batu besar
di lamping bukit
"Ada satu hal ingin
kukatakan. Seseorang mengikutiku sampai di lereng bukit batu ini,"
memberitahu Luhcinta.
"Aku tahu. Aku melihatnya
dari bawah. Seorang penunggang kura-kura terbang. Aku kenal orangnya. Seorang
gadis bernama Luhjelita "
"Kalau begitu ada dua
orang yang mengikutiku," kata Luhcinta pula. Lalu gadis ini menunjuk ke
arah kejauhan dan menceritakan tentang sosok hitam yang dilihatnya.
"Tak ada siapa-siapa di
situ…" kata Wiro memperhatikan.
"Orang itu sudah sejak
beberapa hari ini menguntitku. Pasti dia mempunyai maksud tidak baik. Gadis
penunggang kura-kura itu juga tidak kelihatan lagi. Aneh…."
"Kalau begitu kau harus
berhati-hati," kata Wiro lalu dia memperhatikan gerakan-gerakan yang
dibuat oleh angsa putih. "Binatang itu selalu menjulurkan kepalanya ke
arah batu besar di bawah sana. Coba kuselidiki. Mungkin ada sesuatu di balik
batu itu. Apakah kau membaui sesuatu?" Wiro bertanya sambil mendongak,
berusaha membaui aliran udara.
"Aku seperti mencium bau
harum…" kata Luhcinta.
"Betul! Itu adalah harum
bau tubuh dan pakaian Peri Angsa Putih!" kata Wiro pula. "Kau tunggu di
sini. Aku akan memeriksa ke balik batu besar itu."
Sambil memperhatikan Wiro
menuruni lereng bukit, dalam hati Luhcinta berkata. "Sampai sedekatmana
hubungan pemuda itu dengan Peri Angsa Putih.
Bagaimana dia bisa mengenali
harum bau tubuh dan pakaian sang Peri…? Wahai…. Mengapa aku berpikir sampai ke
situ. Kalaupun antara mereka ada jalinan hubungan tertentu kurasa wajar-wajar
saja. Bukankah Peri bermata biru itu sangat cantik dan baik budi peri
lakunya?" Luhcinta termangu sesaat. Dia tersentak ketika mendengar
teriakan Wiro dari balik batu.
"Luhcinta! Lekas kemari!
Aku menemukan Peri Angsa Putih!"
Luhcinta segera menuruni
lereng bukit batu. Wiro dilihatnya berdiri di depan sebuah goa. Ketika dia
merunduk dan memperhatikan ke dalam goa benar saja. Di dalam sana terbujur
sosok perempuan berpakaian sutera putih dan menebar bau harum.
"Jangan-jangan dia sudah
jadi mayat. Mati dibunuh…" kata Luhcinta dengan wajah cemas.
"Waktutadi kusentuh
kakinya masihterasa panas. Tolong aku menarik tubuhnya keluar dari dalam
goa."
Dua orang itu kemudian menarik
tubuh Peri Angsa Putih yang ada dalam goa atau sumur melintang lalu
membaringkannya di satu tempat datar. "Dia masih bernafas, tapi tubuhnya
tidak bergerak. Mungkin pingsan…."
Wiro gelengkan kepala lalu
menceritakan apa yang terjadi dengan Peri Angsa Putih waktu berkelahi melawan
kakek bernama Lahidungbesar.
"Berarti dia terkena ilmu
penyirap tubuh yang disebut Ilmu Menjirat Urat. Orang yang berada di bawah
pengaruh ilmu ini akan menjadi seperti pingsan, mata terpejam tubuh tak bisa
digerakkan. Setahuku itu adalah salah satu ilmu yang dimiliki Hantu Muka
Dua."
"Hantu Muka Dua pasti
telah mengajarkannya pada Lahidungbesar," kata Wiro. Lalu dia berlutut di
samping tubuh Peri Angsa Putih. Di leher sang Peri sebelah kanan kelihatan
tanda kebiru-biruan. "Ilmu totokan tanpa menyentuh…" kata Wiro dalam
hati. Lalu dia ulurkan tangannya, siap untuk menotok urat besar di leher sang
Peri. Di sampingnya Luhcinta mengeluarkan suara tertahan. Wiro berpaling. Dilihatnya
gadis itu memandang padanya dengan wajah kemerahan.
Pendekar 212 garuk-garuk
kepala lalu tertawa. Dalam hati dia membatin. "Mungkin gadis ini cemburu
kalau aku menyentuh Peri Angsa Putih." Memikir begitu maka Wiro berkata.
"Luhcinta, hanya ada satu cara untuk membebaskan Peri Angsa Putih dari
sirapan Ilmu Menjirat Urat. Yaitu menotok uratnya yang kelihatan biru
itu…."
Paras Luhcinta mendadak tambah
merah. Gadis ini palingkan mukanya ke jurusan lain.
" Walah, apalagi yang
salah ini…?" pikir Wiro sambil garuk-garuk kepala Begitu dia ingat meledak
tawanya.
"Mengapa kau
tertawa?" tanya Luhcinta heran.
"Aku melihat wajahmu
merah sampai ke telinga. Aku tahu sebabnya. Kau mungkin menganggap aku kurang
ajar. Bukankah totok di negeri ini berarti payudara perempuan? Ha… ha…
ha…"
"Kau! Kalau sudah tahu
mengapa masih menyebut?!" tanya Luhcinta merengut. Tapi mulutnya
mengembang, bibirnya bergetar lal u tawanya menyembur tak tertahankan lagi.
Karena malu gadis ini akhirnya tutup wajahnya dengan dua tangan.
"Seharusnya aku
mengatakan tutuk. Bukan to…."
"Sudah! Kita harus segera
menolong Peri Angsa Putih…" kata Luhcinta pula.
"Kau yang melakukan, aku
akan memberi tahu caranya." Lalu Wiro luruskan dua jari tangan kanannya.
"Kerahkan tenaga dalammu
ke tangan. Dua ujung jari yang diluruskan harus menutuk urat besar di leher
itu. Tapi ingat, pada saat jari menutuk, tenaga dalam harus sudah sampai di
ujung-ujung jari. Bukan sebelum atau sesudahnya…."
"Aku takut kesalahan. Kau
saja yang melakukan," kata Luhcinta sambil menggeleng.
Wiro pegang tangan kanan si
gadis. "Luruskan dua jarimu. Yang tengah dan yang telunjuk." Luhcinta
diam saja. Dia pandangi tangan Wiro yang memegangi lengannya. Tangannya
bergetar aneh. Getaran itu terasa sampai ke dada. Membuatnya seolah tenggelam dalam
satu kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah dirasakan. Seumur hidup baru sekali
itu Luhcinta dipegang tangannya oleh seorang lelaki. Dia ingin menarik, tetapi
seperti ada yang mendorong agar dia tidak melakukan hal itu. "Hai, katamu
kita harus segera menolong Peri ini. Kau tunggu apa lagi Luhcinta?"
Sementara itu tanpa setahu ke
dua orang yang sedang berpegangan tangan ini, di balik sebuah batu besar
seorang gadis berpakaian Jingga menggigit bibirnya memperhatikan Wiro dan
Luhcinta. "Aku memang sudah menduga. Ternyata gadis bernama Luhcinta itu
lebih berbahaya dari pada Peri Angsa Putih…."
Tidak tahan melihat Wiro
berpegang-pegangan dengan Luhcinta,, gadis dibalik batu itu yang bukan lain
Luhjeiita adanya akhirnya balikan diri, tinggalkan lereng bukit itu menuju ke
satu tempat yang dikelilingi batu-batu tinggi di mana dia meninggalkan
kura-kura raksasa tunggangannya. Baru saja dia duduk di punggung kura-kura
coklat itu tiba-tiba sudut matanya melihat satu bayangan berkelebat dekat batu
besar di sebelah kiri. Luhjelita berpaling. Dia agak tergagau ketika melihat di
atas batu besar yang hanya terpisah kurang dari sepuluh tombak di sebelah
kirinya tegak seorang berpakaian serba hitam. Mukanya tertutup oleh sejenis
tanah liat yang dicat hitam hingga siapa adanya orang ini atau bagaimana wajah
aslinya sulit dikenali.
"Setan alas gentayangan
siang bolong!" Luhjelita memaki sendiri lalu menggebrak tunggangannya.
"Tunggu! Katakan, apakah
kau gadis anak murid Nenek sakti dari Lembah Laekatakhijau bernama Luhmasigi?!"
Karena masih berada dalam
keadaan kesal. Luhjelita yang biasanya genit dan pandai merayu ini menjawab
seenaknya. "Setan hitam di siang bolong! Kalau bertanya tentang katak,
jangan bicara denganku. Tapi bicara dengan kodok! Hik… hik… hik!"
Habis berkata begitu Luhjelita
tepuk keras-keras punggung Laecoklat kura-kura tunggangannya. Binatang ini
serta meria melesat ke udara meninggalkan sosok serba hitam di atas batu sana.
Kembali pada Wiro dan
Luhcinta. "Sekarang alirkan tenaga dalammu "
Luhcinta bukannya melakukan
apa yang dikatakan Wiro, tapi malah pandangi pemuda itu dengarimatanya yang
bening bagus. Dipandangi seperti itu pendekar kita jadi bingung sendiri.
"Kalau begini, sampai pagi tak akan jadi-jadinya aku menolong Peri Angsa
Putih." Lalu Wiro kerahkan tenaga dalamnya.
Aliran hawa sakti itu menyusup
masuk ke dalam dua jari Luhcinta. Begitu ujung jari si gadis bergetar tanda
tenaga dalam yang dialirkan sudah mencapai ujungujung jari, Wiro segera
tusukkan jari-jari itu ke bagian leher Peri Angsa Putih yang kebiru-biruan.
Saat itu juga Peri Angsa Putih buka sepasang matanya yang biru. Dia melihat
langit. Lalu melihat Luhcinta dan terakhir sekali pandangannya membentur Wiro.
"Di mana aku.Apa yang
terjadi? Wahai Luhcinta…."
Peri Angsa Putih bangkit dan
duduk. Matanya kemudian melihat tangan Wiro yang masih memegangi tangan
Luhcinta. Luhcinta cepat-cepat menarik lengannya sementara Wiro coba tersenyum
sambil garukgaruk kepala. Dilihatnya paras Peri Angsa Putih berubah.
"Kalian berdua… sedang
apa di sini?" tanya sang Peri perlahan dan ada nada kecemburuan dalam
pertanyaannya itu. Wiro tak bisa menjawab. Luhcinta juga tidak mengeluarkan
suara. Dalam hatinya gadis ini berkata. "Jangan-jangan Peri ini menduga
aku tengah berbuat yang bukan-bukan di tempat ini bersama Wiro."
"Wiro, bagaimana aku…
kita bisa berada di sini?" Peri Angsa Putih kembali bertanya.
"Nanti saja aku
ceritakan. Sekarang kita harus melakukan sesuatu untuk menjebak orang yang
membawamu ke mari. Kau dan Luhcinta sembunyi di balik bebatuan. Biar aku yang
masuk ke dalam goa itu."
Ternyata seperti yang
diceritakan sebelumnya Lahidungbesar memang kena dijebak ketika dia muncul lagi
di tempat itu bersama rombongan orang-orang Istana Kebahagiaan. Bukan saja
dijebak malah dadanya sempat dihantam tendangan Pendekar 212 Wiro Sableng.
13
SEKARANG kita ikuti apa yang
terjadi dengan Luhcinta dan Peri Angsa Putih. Begitu nenek Si Pembedol Usus dan
Pelawak Sinting berkelebat ke hadapan mereka Luhcinta segera menyongsong.
Dengan suara lembut dia menegur. "Sepasang kakek dan nenek, kami tahu
kalian adalah orang baik-baik. Di dalam hati kalian pasti ada apa yang
dinamakan kasih sayang. Lalu mengapa tega hendak menyerang kami? Kalau hanya
karena alasan kalian adalah kaki tangan Hantu Muka Dua dan mengharapkan imbal
jasa berupa harta atau kedudukan, ketahuilah kalian telah tertipu. Imbalan
kasih sayang tidak sebagus dan seindah imbalan kejahatan. Bukankah lebih baik
bagi kalian meninggalkan tempat ini, meninggalkan Istana Kebahagiaan dan Hantu
Muka Dua. Berbuat baik di jalan yang penuh kasih antara sesama…?"
Nenek berkumis halus pandangi
Luhcinta sesaat, lalu sambil menuding dengan telunjuk tangan kanannya dia
tertawa cekikikan. "Aku yang tua hendak diberi pelajaran oleh seekor
cecunguk hijau! Hik… hik… hik! Sungguh menggelikan. Di ujung kematian kau masih
bisa bersyair wahai gadis yang keningnya ada bunga tanjung!"
Di sebelah si nenek, kakek
bernama Si Pelawak Sinting menyahuti. "Tapi sahabatku, syair gadis itu
lumayan bagus. Bisa kujadikan bahan nyanyian pengiring tarianku!" Lalu
kakek Ini pukul tamburnya, dan menari berjingkat-jingkat dan mulai menyanyi.
"Na…na… na ..Ni._ ni… ni "
Peri Angsa Putih yang tidak
sabaran melihat kelakuan kakek ini segera membentak. "Pelawak Sinting,
adik kembarmu pernah memberi pengampunan padamu!
Pemuda asing bernama Wiro
Sableng itu tempo hari juga batal dari niat membunuhmu! Nyatanya kau tidak
kapok! Masih memalsukan diri sebagai Pelawak Sinting dan masih jadi kaki tangan
Mantu Muka Dua! Hari ini biaraku yang memberi pelajaran padamu agar kau bisa
kapok seumur hidup!"
"Na… na… na.„. Ni… ni…
ni!" Si Pelawak Sinting bernyanyi lalu mencibir. "Peri Angsa Putih,
tempatmu di langit di atas sana! Mengapa turut campur urusan orang di Negeri
Latanahsilam?!"
"Wahai kakek bernama
Pelawak Sinting. Di dalam otakmu aku yakin tidak ada kesintingan. Di dalam
hatimu pasti ada kasih. Jangan lihat siapa adanya Peri sahabatku ini. Tapi
dengar apa ujarnya. Pergilah dari sini sebelum terlambat "
"Pelawak Sinting! Jangan
dengar ucapan gadis hijau bau susu ini!" bentak si nenek Pembedol Usus.
Habis membentak dia langsung
menerjang Luhcinta. Tangan kanannya yang hitam dan berbulu panjang melesat ke
perut si gadis. Dari cara orang menyeran jelas nenek itu memang hendak membobol
perutnya!
Luhcinta masih sempat menarik
nafas dalam tanda kecewa. Lalu dia cepat melompat ke samping menghindarkan diri
dari serangan si nenek. Tapi alangkah kagetnya gadis ini ketika tangan kanan Si
Pembedol Usus meluncur tambah panjang seolah bisa diulur! Luhcinta terpekik
kaget.
"Na… na… na…. Ni… ni…
ni…!" Si Pelawak Sinting terus bernyanyi dan memukul tamburnya namun
sepasang matanya yang belok melirik tajam ke arah Peri Angsa Putih.
Peri Angsa Putih yang tahu
ketinggian ilmu dan keganasan nenek berkumis halus berkaki pendek sebelah itu,
apa lagi ketika melihat bagaimana sekali menggebrak saja dia siap untuk
menghantam jebol perut Luhcinta, tanpa tunggu lebih lama segera goyangkan
kepalanya. Dua larik sinar biru menderu keluar dari sepasang matanya, membeset
ke arah nenek Si Pembedol Usus!
"Peri sesat! Kau telah
banyak mencelakai kawankawanku! Hari ini aku mewakili mereka menghukummu!"
teriak Si Pembedol Usus. Nenek ini marah sekali. Karena dua larik sinar biru
dari mata sang Peri memaksa dia menarik pulang serangannya yang tadi .
dianggapnya dapat merobek
perut Luhcinta. Didahului pekik melengking sosok si nenek melesat dua tombak ke
atas. Tapi aneh dan mengerikannya dua tangannya yang hitam melayang tertinggal
di sebelah bawah seolah tanggal dari persendian, melesat menyambar ke perut
sang Peri.
"Dua Tangan Pembetot
Roti!" seru Peri Angsa Putih mengenali serangan ganas yang dilancarkan si
nenek.
Dengan tenang dia membuat
gerakan mengelak. Namun tidak disangka, dari sebelah atas kaki kanan lawan yang
tadi melayang ke udara, menderu mengincar batok kepalanya sebelah belakang! Dan
lebih celakanya lagi di saat yang sama payung daun milik Si Pelawak Sinting
berputar melayang, menyambar ke arah leher kanan Peri Angsa Putih. Seperti
diketahui payung itu walau terbuat dari daun kering namun memiliki kehebatan
luar biasa Jangankan tubuh manusia, pohon atau batu saja pasti akan putus jika
sampai kena tersambar. Diserang dari tiga jurusan seperti itu sungguh sulit
bagi Peri Angsa Putih untuk selamatkan diri. Salah satu dari tiga serangan
pasti akan bersarang di tubuhnya yaitu dua sambaran tangan yang akan merobek
dan membedol ususnya, tendangan pada bagian belakang kepala atau terabasan
payung daun!
Luhcinta kaget besar. Peri
Angsa Putih yang barusan menolongnya dari serangan si nenek kini malah
dikeroyok ganas seperti itu. "Wahai! Jika kasih tidak lagi dapat
menyejukkan hati menyehatkan pikiran, jangan salahkan kalau kekerasan merupakan
jalan keluar yang tidak enak!" Gadis itu berseru. Tubuhnya bergerak seperti
sosok seorang penari. Dua tangannya dengan lemah gemulai didorongkan ke arah Si
Pelawak Sinting.
"Pelawak Sinting! Awas!
Serangan Tangan Dewa Merajam Bumi" Yang berteriak memberi ingat Si Pelawak
Sinting adalah Hantu Muka Dua. Tapi terlambat. Di depan sana payung yang hendak
membabat putus bahu kanan Peri Angsa Putih mental hancur bertaburan. Tamburnya
ikut terlempar berantakan. Di saat yang sama Si Pelawak Sinting terpental jauh.
Mulutnya muntahkan darah segar. Tubuhnya terbanting ke atas tanah berbatu-batu.
Menggerung kakek ini segera berkelebat bangkit Tapi dia hanya bisa keluarkan
suara gerungan karena dapatkan sekujur tubuhnya lumpuh tak berdaya, tak bisa
lagi digerakkan barang sedikitpun!
Itulah keganasan serangan
Tangan Dewa Merajam Bumi yang dilancarkan Luhcinta. Siapa saja yang sampai
terkena maka tubuhnya akan menjadi lumpuh tak berdaya, sulit disembuhkan alias
bakalan cacat seumur hidup. Selama ini Luhcinta jarang sekali mengeluarkan Ilmu
itu. Dia lebih suka menasehati lawan agar insaf dan bertobat. Namun jika lawan
tidak bisa lagi diajak bicara dan tetap membangkang malah nekad maka tak ada
jalan lain!
"Gadis setan alas! Hari
ini biar aku mencabut pantangan membunuh perempuan asal kau bisa
kuhabisi!"
teriak Hantu Muka Dua marah
besar melihat apa yang terjadi dengan Si Pelawak Sinting. Sampaisampai dia
punya niat menyalahi larangan. Manusia berwajah dua yang saat itu menampilkan
muka-muka raksasa angkat dua tangannya. Yang satu siap melepas pukulan Hantu
Hijau Penjungkir Roh satunya lagi hendak menghantamkan pukulan Tangan Hantu
Tanpa Suara.
Ilmu kesaktian bernama Hantu
Hijau Penjungkir Roh itu merupakan satu sinar hijau berbentuk segi tiga yang
bisa membuat sasaran menjadi leleh lunak seperti lumpur. Aslinya ilmu yang
dirampasnya dari Hantu Lumpur Hijau itu melesat keluar dari sepasang mata Namun
belakangan Hantu Muka Dua mampu mengeluarkan dari tangan kiri atau kanan hingga
kehebatannya menjadi berlipat ganda. Selain itu pukulan Tangan Hantu Tanpa
Suara yang dirampas Hantu Muka Dua dari Hantu Tangan Empat bisa membuat sosok
Luhcinta tersedot sebelum dihancur luluhkan! Pada saat yang sangat menegangkan
begitu rupa tiba-tiba Betina Bercula berkelebat ke hadapan Hantu Muka Dua dan
berseru.
"Wahai Junjungan Raja
Diraja Segala Hantu! Mengapa bertindak bodoh mau menyengsarakan diri sendiri
melanggar pantangan membunuh perempuan?! Biar aku yang akan menghabisi gadis
binal berpakaian biru itu! Tapi aku mohon jangan kau suruh bunuh dulu pemuda
asing bernama Wiro Sableng itu! Kau tahu maksudku bukan? Aku sudah jatuh hati
padanya pada pandangan pertama! Hik… hik… hik!"
Hantu Muka Dua tersadar.
Sambil turunkan dua tangannya dia membentak.
"Banci sialan! Lekas kau
habisi gadis bernama Luhcinta itu!" Hantu Muka Dua lalu berpaling pada
empat lelaki bertubuh besar yang menjadi pengusungnya.
Dan berteriak berikan
perintah. "Kurung pemuda asing itu. Jangan biarkan dia lolos. Beri tahu
dua kakek itu agar tidak membunuhnya!"
Empat lelaki pengusung tandu
hentakkan kaki kanan ke tanah membuat bukit batu bergetar. Lalu "sreet…
sreettt." Mereka cabut kain coklat penutup kepala dan kibaskan di udara.
Kain itu serta merta berubah bentuk seperti sebuah segi tiga dan menjadi kaku
seperti sebilah besi sehingga merupakan sebuah senjata berbahaya!
Melihat sang Junjungan kabulkan
permintaannya, Betina Bercula jatuhkan diri berlutut "Terima kasih wahai
Junjungan. Kau mengabulkan permintaanku!"
Sikap Betina Bercula
benar-benar seperti menghormat dan berterima kasih. Tapi sambil menjura dan
berkata dua tangannya enak saja meluncur ke depan memegangi paha Hantu Muka
Dua. Tangannya lalu mengusap naik ke atas.
"Banci jahanam! Jangan
sampai aku berubah pikiran dan menggebuk batok kepalamu!" bentak Hantu
Muka Dua.
Betina Bercula cepat melompat
bangkit tersenyum cengengesan sambil usap-usap rambutnya yang keriting lalu
tertawa cekikikan. Dia segera berpaling ke arah Luhcinta. Namun sebelum sempat
bergerak lebih jauh tiba-tiba terdengar satu jeritan merobek langit. Dua tangan
aneh nenek Si Pembedol Usus yang melayang di udara kelihatan berselomotan
darah. Dalam genggamannya melingkar berkelojotan usus manusia. Mengerikan luar
biasa untuk disaksikan. Luhcinta keluarkan suara seperti mau muntah. Betina
Bercula terpekik ngeri. Apa yang terjadi? Janganjangan Peri Angsa Putih telah
jadi korban keganasan nenek satu itu!
*
* *
14
PADA waktu Lasulingmaut
menggebukkan suling tengkoraknya dan asap beracun mengepul ganas, Pendekar 212
Wiro Sableng segera tutup jalan nafas dan rundukkan kepala seraya balas
menghantam dengan pukulan Segalung Ombak Menerpa Karang. Wiro berlaku cerdik.
Yang digempurnya bukan kakek di atas dukungan tetapi justru kakek yang
mendukung yakni Si Lahidungbesar. Seperti diketahui Lahidungbesar sebelumnya
telah terluka parah di bagian dada sebelah dalam akibat tendangan Wiro. Tulang
dada dan beberapa iganya remuk. Walau dia telah diberi tambahan kekuatan oleh
Lasulingmaut namun keadaan lukanya yang cukup parah membuat Lahidungbesar hanya
bisa bertahan selama empat jurus. Di jurus-jurus selanjutnya dia mulai
kelabakan menjadi bulan-bulanan serangan Wiro. Apa lagi Wiro sengaja menghantam
dengan pukulanpukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi.
Lahidungbesar mulai
terhuyung-huyung. Dua kakinya tidak mampu lagi membentuk kuda-kuda bertahan
apalagi menyerang. Menyadari keadaan kawan yang mendukungnya seperti itu
Lasulingmaut keluarkan suara bergumam keras. Dia sedot sulingnya menghirup’asap
beracun dalam tengkorak. Lalu asap itu disemburkannya berulang kali ke arah
Pendekar 212. Sambil menyembur tangan kanannya bergerak menghantamkan suling
tengkorak. Sesekali tubuhnya melesat ke udara lalu menukik lancarkan serangan
berupa gebukan yang selalu diarahkan ke kepala Wiro. Selesai menggebuk dia
kembali hinggap di bahu Lahidungbesar.
Untuk beberapa jurus Wiro
terpaksa bertahan menghadapi serangan beruntun yang dilancarkan kakek berambut
putih itu. Walau dia mampu menahan nafas menjaga diri dari rasukan asap beracun
namun lamalama ada juga asap yang menembus jalan pernafasan Pendekar 212 Wiro
Sableng. Akibatnya aliran darah sang pendekar mulai tidak teratur.
"Celaka!" keluh Wiro
dalam hati. Dia segera kerahkan hawa sakti untuk mengatur jalan darah dan raba
Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menghindari diri dari keracunan. Seperti
diketahui selama digembleng oleh Eyang Sinto Gendeng di puncak Gunung Gede,
Wiro telah dibekali berbagai ilmu antaranya ilmu kebal racun. Namun kehebatan
luar biasa dari asap tengkorak Lasulingmaut masih sanggup menembus benteng
pertahanannya walau tidak sampai membuat dirinya jatuh celaka. Lasulingmaut memang
bukan kakek sembarangan. Kakek yang tidak mampu berjalan jauh dengan kakinya
sendiri juga tidak bisa bicara ini satu kali berhasil menipu Wiro. Ujung
sulingnya membeset di bahu kiri sang pendekar.
"Breettt!"
Baju putih Pendekar 212 robek
besar. Kulit bahunya ikut terkelupas. Darah mengucur. Di saat yang sama di
kakek menyembur ke depan." Wussss!" Asap hitam beracun melabrak ke
arah wajah Wiro. Sambil tutup jalan nafas Wiro jatuhkan diri berlutut. Tangan
kiri lepaskan pukulan Sinar Matahari. Diarahkan pada Lasulingmaut. Selagi
cahaya putih menyilaukan dan panas berkiblat di udara Wiro berguling di tanah.
Begitu bangkit dia hanya tinggal setengah langkah dari hadapan Lahidungbesar.
Kakek berhidung besar itu
menggertak beringas. Kaki kanannya diangkat untuk menendang kepala Wiro. Justru
ini adalah satu kesalahan besar. Dalam keadaan semakin lemah seperti itu dan
masih mendukung kawannya di atas bahu, dia kehilangan keseimbangan. Bukan saja
tendangannya tidak mengenai sasaran tapi ketika Wiro keluarkan jurus silat
bernama Ular Gila Membelit Pohon Menarik Gendewa yang diwarisinya dari Tua Gila
di Pulau Andalas, Lahidungbesar tak mampu lagi selamatkan diri. Lasulingmaut
yang tahu bahaya serta meria melompat cari selamat dan hinggap di atas sebuah
batu besar dengan mulut menggembung keluarkan suara menggumam. Matanya melotot
memperhatikan apa yang terjadi dengan temannya.
Saat itu Wiro berhasil
menangkap pinggang Lahidung besar. Ketika dia siap untuk menjotos si kakek di
arah hidungnya yang besar tiba-tiba matanya sempat melihat bahaya besar
mengancam Peri Angsa Putih. Dua tangan aneh Si Pembedol Usus melayang di udara
siap untuk merobek perut dan membedol usus Peri itu tanpa terelakkan. Di saat
yang sama serangan payung berputar dan tendangan kaki di belakang kepala datang
pula dengan segala keganasannya. Walau serangan di kepala dapat dielakkan
dengan merunduk cepat dan serangan payung dihancurkan oleh Luhcinta namun
serangan dua tangan aneh yang mengapung di udara tak mungkin dihindarkan.
Sesaat lagi dua tangan Si
Pembedol Usus akan merobek perut Peri Angsa Putih dan membetot semua isi yang
ada di dalamya tiba-tiba sesosok tubuh melayang di depan tubuh sang Peri.
Di atas sana si nenek Pembedol
Usus berseru kaget Dia tidak mampu menahan gerak dua tangannya yang mengapung
di udara. "Breettt!" Terdengar suara robeknya perut menyusul jeritan
setinggi langit. Peri Angsa Putih terjajar ke belakang. Lalu terpekik dan
memandang ke bawah ke arah perutnya. Mukanya yang barusan pucat seperti mayat
jadi berdarah ketika menyadari bahwa bukan perutnya yang robek dan bukan
ususnya yang bergelantungan dalam genggaman dua tangan di depan sana.
"Braaakk!"
Sosok yang tadi melayang di
depan sang Peri roboh ke tanah. Itulah tubuh kakek bernama Lahidungbesar yang
tadi dilemparkan Wiro untuk membenteng melindungi Peri Angsa Putih dari
serangan dua tangan si nenek Pembedol Usus. Tiga orang menggerung marah
menyaksikan kejadian itu. Yang pertama tentu saja pemilik dua tangan yang
kesalahan menjebol perut dan membunuh kawan sendiri yaitu nenek Si Pembedol
Usus. Yang ke dua adalah Hantu Muka Dua dan yang ke tiga kakek berambut putih
Lasulingmaut. Karena tidak mampu lagi berjalan atau berlari dengan kaki sendiri
kakek ini gulingkan dirinya ke bawah. Sambil menggelinding dari lereng batu dia
lemparkan tongkat tengkoraknya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat itu Wiro
yang telah kerasukan oleh asap hitam beracun di samping terkesiap sendiri
melihat apa yang terjadi dengan Lahidungbesar yang tadi dilemparkannya, sesaat
berada dalam keadaan lengah. Dia baru sadar kalau dirinya diserang orang pada
saat suling tengkorak itu hanya tinggal tiga jengkal lagi dari pelipis kirinya.
Pada saat yang genting itu tiba-tiba dari balik batu besar di samping kiri
melesat satu bayangan hitam. Luar biasa sekali gerakan orang ini karena dia
mampu menangkap suling tengkorak yang sesaat lagi akan menghantam kepala
Pendekar 212!.
Wiro melengak kaget. Berpaling
dia dapatkan dirinya berhadap-hadapan dengan seorang berpakaian serba hitam.
Wajah orang ini tertutup sejenis tanah liat yang juga berwarna hitam.
"Makhluk hitam, aku tidak
tahu kau ini setan kesiangan atau manusia sepertiku! Yang aku tahu kau barusan
telah menyelamatkan jiwaku. Aku berhutang budi berhutang nyawa padamu. Aku
menghaturkan terima kasih " Wiro lalu membungkuk dalam-dalam.
"Kraaakk! Kraaakkk!"
Tangan hitam yang mencekal
suling tengkorak bergerak meremas secara aneh. Suling dan tengkorak hancur
berkeping-keping. Asap hitam mengepul tapi sudah kehilangan racun jahatnya.
" Astaga’" Pendekar
212 tercekat kaget. "Sahabatku, aku melihat sendiri! Kau menghancurkan
suling dan tengkorak itu dengan ilmu mematah tulang bernama Koppo! Bagaimana
mungkin?! Dari mana kau mendapatkan ilmu itu? Siapa kau sebenarnya? Harap sudi
memberitahu…." Seperti diketahui Wiro sendiri memiliki ilmu yang sama yang
didapatnya dari Nenek Neko di Negeri Sakura.
Di balik wajahnya yang tebal
tertutup tanah liat hitam, orang berpakaian hitam tersenyum, "kau
menyebutnya ilmu Koppo. Aku menamakannya ilmu Keppeng.
Mungkin bersumber dari orang
dan negeri yang sama " Sambil bicara si hitam ini memandang ke jurusan
Peri Angsa Putih dan Luhcinta. "Wahai sahabat, sebenarnya aku ingin sekali
menemui salah seorang dari kalian di sini. Namun agaknya kali ini bukan saat
yang tepat. Aku khawatir orang yang akan kutemui akan salah menduga…."
"Katakan apa kePeriuanmu.
Aku pasti membantu!" kata Wiro.
Si hitam gelengkan kepala. Dia
membuang hancuran suling dan tengkorak lalu menggosok-gosok telapak tangannya
satu sama lain. "Jika umur sama panjang kita pasti bertemu lagi wahai
sahabat Mungkin pada saat itulah aku minta tolong padamu!"
"Aku akan menolongmu
kapan saja. Sekarang!" kata Pendekar 212.
Orang bersosok serba hitam ini
memandang lagi ke jurusan Peri Angsa Putih dan Luhcinta. Lalu berpaling pada
Wiro. "Selamat tinggal sahabat…." Baru saja dia berucap sosoknya
lantas berkelebat lenyap.
"Luar biasa cepat
gerakannya…" ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala. Saat itu tiba-tiba
Luhcinta berlari dari ketinggian lereng bukit sana disusul oleh Peri Angsa
Putih.
"Wiro, orang serba hitam
tadi! Dia yang selama ini menguntit membayangi aku…."
"Astaga! Mengapa kau
tidak cepat memberitahu!" ujar Wiro pula. "Dia sudah pergi. Tapi jika
melihat caranya bicara dan bagaimana dia barusan menyelamatkan diriku, aku
punya dugaan dia tidak bermaksud jahat padamu…."
"Lalu mengapa dia selalu
mengikutiku?"
"Mungkin itu satu hal
yang harus kau selidiki. Siapa tahu dia ada sangkut pautnya dengan masalah yang
tengah kau selidiki. Tentang asal usulmu…."
Berubahlah paras Luhcinta
mendengar ucapan Wiro. Suaranya bergetar ketika berkata. "Kau mungkin
benar. Kalau begitu aku akan mengejar ke jurusan dia lenyap tadi…."
"Jangan, jika dia punya
kepentingan pasti dia yang akan mencarimu. Lagi pula urusan di tempat ini belum
selesai. Apakah kau akan meninggalkan aku begitu saja"
Luhcinta tertegun karena tidak
menyangka ucapan Itu akan keluar dari mulut pemuda yang selama ini diam-diam
selalu dikenangnya. Ketika Wiro berucap begitu, Peri Angsa Putih sampai pula di
tempat itu. Gadis bermata biru ini seperti Luhcinta juga jadi tertegun
mendengar kata-kata Wiro itu. Namun dasar perasaan mereka saling berbeda. Kalau
Luhcinta tertegun saking gembiranya maka Peri Angsa Putih tertegun karena
tiba-tiba saja muncul rasa cemburu di lubuk hatinya.
"Aku mendengar sendiri
ucapan pemuda itu begitu mesra dan Luhcinta menatap Wiro tak kalah mesranya.
Wahai, sampai sejauh mana
sebenarnya hubungan ke dua orang ini. Jangan-jangan aku hanya…." Peri
Angsa Putih gigit bibirnya sendiri. Ketika tiba-tiba tiga orang muncul di
tempat itu dan semua perhatian orang tertuju pada si pendatang ini diam- diam
Peri Angsa Putih balikkan tubuh, berlari ke puncak bukit dan lenyap di balik
bebatuan.
* *
15
WALAU amarah Hantu Muka Dua,
Lasulingmaut dan nenek Si Pembedol Usus meluap luar biasa melihat kematian
Lahidungbesar namun ke dua orang ini jadi terpaksa menahan diri ketika melihat
munculnya sosok orang serba hitam yang selama ini menjadi nomor satu di
kalangan orang Istana Kebahagiaan, apa lagi begitu muncul langsung menangkap
dan meremas hancur suling tengkorak. Selain itu empat orang pengusung tandu
yang barusan diperintah untuk mengurung
Pendekar 212 saat itu
sama-sama terkesiap dan ciut nyali masing-masing begitu melihat Lahidungbesar
meregang nyawa dengan cara sangat mengerikan. Apa lagi saat itu Si Pelawak
Sinting terkapar di tanah dalam keadaan lumpuh tidak berdaya. Betina Bercula,
walaupun tak kurang suatu apa tapi nyalinya telah leleh. Banci satu ini tengah
berpikir bagaimana bisa meninggalkan tempat itu dengan aman. Tidak ketahuan
Hantu Muka Dua juga tidak ketahuan pihak lawan.
" Penolong Budiman…"
desis Hantu Muka Dua dan Lasulingmaut hampir berbarengan. "Jadi ini ujud
sosoknya.
Naga-naganya urusan bisa tidak
karuan kalau aku meneruskan apa mauku. Jahanam betul! Yang hendak dibunuh tak
dapat dilaksanakan, yang hendak diculik tak dapat dilakukan! Hari ini terpaksa
aku harus mengalah lagi!" Hantu Muka Dua memberi isyarat pada empat
pengusung tandu agar segera mengangkatnya. Namun mendadak terjadi perubahan.
Orang serba hitam sehabis bicara dengan Wiro pergi begitu saja. Nyali Hantu
Muka Dua kembali bangkit. Dia memberi isyarat lagi pada empat pengusung tandu,
juga pada Betina Bercula. Dia sendiri segera turun dari tandu, siap untuk
memimpin serangan terhadap Wiro dan kawan-kawan.
Si nenek Pembedol Usus
melayang turun dan cepat hendak memasang kembali dua tangannya yang tadi
ditanggalkannya secara aneh. Namun belum sempat dia bergerak tiba-tiba tiga
orang melesat muncul dari balik batu-batu besar di lereng bukit itu. Salah
seorang di antara mereka berteriak.
"Kencingi cepat!
Kencingi! Biar tidak bisa kembali ke tempat asalnya!"
Berdesir darah si nenek
Pembedol Usus. Wajahnya langsung pucat mendengar teriakan itu. Dengan cepat dia
melayang turun menyambar dua tangannya yang masih mengapung di udara dan masih
berlumuran darah sementara isi perut Lahidungbesar yang tadi dibedolnya
berhamparan di tanah! Namun si nenek kalah cepat. Seorang bocah berambut jabrik
berpakaian serba hitam telah lebih dulu mencekal dua potongan tangan lalu
melemparkannya pada seorang kakek berkuping lebar yang tegak dekat sebuah batu
besar. Begitu dua potongan tangan jatuh di hadapannya kakek ini berbalik,
rorotkan celananya ke bawah lalu "serrr….!" Dia kencingi dua tangan
yang tergeletak di tanah itu.
Nenek Si Pembedol Usus meraung
keras. Dari kutungan tangannya mengepul asap disertai kucuran darah.
Selagi semua orang terkesiap
melihat kejadian itu, Pendekar 212 Wiro Sableng berseru gembira.
"Naga Kuning! Kakek Setan
Ngompol!"
Naga Kuning yang sosok
tubuhnya kini sudah menjadi besar lambaikan tangan pada Wiro. Si Setan Ngompol
tarik celana bututnya ke atas baru berbalik dan tertawa mengekeh. Lupa akan
suasana yang dihadapinya Wiro melompat menemui ke dua orang itu.
"Wiro, kami berhasil!
Hantu Raja Obat menepati janjinya. Lihat! Kami sekarang sama sebesar dengan
kau!" kata Naga Kuning bangga. Wiro tertawa bergelak. Setan Ngompol mulai
jelalafan matanya memperhatikan Peri Angsa Putih dan Luhcinta.
Nenek Si Pembedol Usus yang
sudah jejakkan kakinya di tanah tiba-tiba membentak. "Gendut keparat!
Pasti kau yang memberi tahu pada orang-orang dari negeri asing itu! Pasti kau
yang menyuruh mereka mengencingi dua tanganku hingga tak mungkin lagi
kupasangkan ke badan! Jahanam betul! Aku bersumpah akan membunuhmu!"
Seorang kakek gendut yang
mukanya bulat dan ada tompel besar di pipi kiri saat itu duduk uncanguncang
kaki di atas sebuah batu besar tertawa mengekeh hingga perut dan dadanya yang
gembrot berguncang-guncang. Inilah Si Hantu Raja Obat, makhluk aneh yang telah
mengobati Wiro hingga sosoknya menjadi sebesar orang-orang di Negeri
Latanahsilam. Ternyata dia juga telah mengobati dua kawan Wiro yakni Naga
Kuning dan kakek berjuluk Si Setan Ngompol.
"Kalau kau sudah tahu dan
ingin membunuhku, apakah kau mau melakukannya sekarang?!" Hantu Raja Obat
bertanya sambil melirik pada Luhcinta lalu tersenyum dan kedipkan matanya.
Antara Luhcinta dan Hantu Raja Obat memang sudah saling mengenal dan kakek
gendut ini pernah berhutang budi terhadap si gadis.
Mendengar ucapan Hantu Raja
Obat, Si Pembedol Usus hanya menggerutu panjang pendek.
"Kalau kau memang masih
butuh dua tanganmu itu, silakan ambil saja!" kata Setan Ngompol ikut
bicara.
"Tua bangka sialan! Kau
juga akan kubunuh nanti! Dua tangan itu tak ada gunanya! Tak bisa dipasangkan
lagi ke tubuhku! Jahanam!"
"Bisa atau tidak bisa
baiknya diambil saja Nek. Di buat sop dan disantap kurasa masih cukup
enak!" kata Naga Kuning pula membuat si nenek tambah meluap amarahnya tapi
tak berani berbuat apa karena jerih pada Hantu Raja Obat. Dia melirik pada
Hantu Muka Dua, lalu tanpa banyak cerita lagi segera tinggalkan tempat itu.
Hantu Muka Dua sendiri
menggeram panjang pendek. Tadi dia merasa lega dengan perginya Penolong Budiman
yang berkepandaian sangat tinggi itu. Tapi kini muncul Hantu Raja Obat yang
diketahuinya bersifat aneh dan memiliki ilmu sulit dijajagi. Dari pada cari
perkara dia segera naik ke atas tandu. Tapi Hantu Raja Obat cepat menegur.
"Kerabatku Hantu Muka
Dua! Jangan pergi dulu. Aku ingin bicara beberapa hal padamu! Satu di antaranya
tentang tanda bunga dalam lingkaran!"
Pucatlah dua wajah Hantu Muka
Dua mendengar kata-kata Hantu Raja Obat itu. "Aku tak ada waktu
melayanimu!" jawabnya.
"Percayalah, sahabatku
ini orang baik-baik!" berkata Wiro. "Dia tidak akan mengencingi
tangan atau kakimu!"
Hantu Raja Obat tertawa
mengekeh. "Betul! Apa yang dibilang pemuda ini memang betul! Ha…
ha…ha!"
Hantu Muka Dua memaki
habis-habisan. Wajahnya depan belakang berubah menjadi wajah raksasa. Dia
gerakkan tangannya ke pinggang. Ketika tangan itu diangkat terdengar satu
letusan kecil lalu asap hijau menggebubu menutup pemandangan.
"Hantu pengecut! Pasti
dia kabur sudah!" teriak Hantu Raja Obat. Benar saja, begitu asap hijau
luruh lenyap, sosok Hantu Muka Dua tak kelihatan lagi di atas tandu. Melihat
kejadian ini empat orang anak buahyang mengusungnya serta merta melarikan diri
berserabutan.
"Hantu Muka Dua! Jangan
tinggalkan aku!" seru kakek rambut putih Lasulingmaut. Setan Ngompol dekati
kakek ini lalu usap-usap rambutnya yang putih.
"Kau mau kukencingi atau
kutampar? Kau membuat susah sahabatku si pemuda itu ya?!"
"Kita sama-sama tua,
mengapa berani dalam keadaan aku tidak berdaya?" kata Lasulingmaut.
"Kau pandai bicara!
Sudah, biar kutampar saja mulutmu sampai perot!" Setan Ngompol usap-usap
telapak tangannya satu sama lain lalu yang kanan bergerak. "Plaakkk!
Byaaar!" Si kakek tidak menampar Lasulingmaut tapi menampar sebuah batu di
samping kakek itu. Batu hancur berantakan. Tentu saja Lasulingmaut menjadi
kecut. Wajahnya langsung pucat memasi.
"Ayo jawab, kau mau
kutampar atau kukencingi?!" bentak Setan Ngompol sambil jambak rambut
putih si kakek.
"Aku… aku memilih
dikencingi saja…" jawab Lasulingmaut ketakutan setengah mati.
Semua orang yang ada di situ
tertawa bergelak. Dan suara tawa makin menjadi-jadi ketika gilanya Si Setan
Ngompol benar-benar mengencingi kepala Lasulingmaut. Selagi semua orang tertawa
riuh sambil memperhatikan perbuatan Setan Ngompol, Betina Bercula pergunakan
kesempatan untuk melarikan diri. Sayang mata Si Setan Ngompol sempat melihat.
Tanpa membetulkan celananya dia segera melompat mengejar dan mencekal leher
orang.
"Ah, ternyata kau lumayan
cantik. Aku tidak akan mengencingimu. Kau mau aku apakan?" tanya si kakek
seraya sunggingkan senyum dan kedipkan matanya. Setan Ngompol sama sekali tidak
tahu kalau yang dihadapinya bukan perempuan sungguhan.
"Kau kencingipun aku
suka…" jawab Betina Bercula sambil balas tersenyum genit membuat Setan
Ngompol jadi blingsatan. "Tapi kalau mau mengencingiku jangan di depan
orang banyak ini. Kita cari tempat yang enak…."
"Jangan bercanda! Kau mau
menjajalku atau bagaimana?!" tanya Setan Ngompol.
"Aku sungguhan. Masakan
berani bercanda dengan kakek segagah ini?" Makin blingsatan Setan Ngompol
mendengar pujian itu. Apa lagi sambil bicara Betina Bercula lingkarkan
tangannya dengan mesra di pinggang Setan Ngompol dan menuntunnya ke balik
sebuah batu besar.
"Kek!" Wiro berseru.
"Orang itu bukan per…." Wiro mengingatkan. Tapi Naga Kuning cepat
menyikut iganya.
"Biar saja. Sebentar lagi
kakek gatal itu pasti tahu rasa!" kata Naga Kuning sambil menahan tawa.
Betul saja. Tak lama setelah
Setan Ngompol lenyap di balik batu besar tiba-tiba terdengar teriakannya.
"Aduh! Aduuhhh! Perempuan gila! Kau apakan aku! Kau kira aku ini kelapa
yang mau diremas jadi santan! Aduuhhh!"
Ketika Wiro, Hantu Raja Obat
dan Naga Kuning melompat ke balik batu mereka dapatkan Si Setan Ngompol
terbaring di tanah sambil tekapi bawah perutnya menahan sakit. Betina Bercula
tak kelihatan karena memang sudah kabur melarikan diri.
"Enak Kek?!" tanya
Wiro.
"Sialan kau! Enak bapak
moyangmu! Mau pecah rasanya kepalaku atas bawah!"
Suara tawa meledak lagi di
tempat itu.
TAMAT